2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Pendukung Pengembangan Sektor Perikanan Kota Ambon Sektor perikanan menjadi salah satu sektor andalan dalam memberi kontribusi kepada PDRB Kota Ambon. Hal ini ditunjang oleh potensi kekayaan sumberdaya laut, pemanfaatan sumberdaya, dan sarana dan prasarana penunjang perikanan yang cukup memadai, seperti tergambar di bawah ini. 2.1.1 Kekayaan sumberdaya laut Kota Ambon (1) Mangrove Tanaman mangrove ditemukan pada tepi pantai perairan teluk dan pantai terbuka Kota Ambon, yaitu jenis Sonneratia dan Avicennia, menempati zonasi paling depan dari komunitas mangrove. Sonneratia hidup pada substrat dengan cukup kandungan lumpur, sedangkan Avicennia dengan kandungan pasir. Komunitas mangrove menghasilkan daun, bunga, buah dan kayu yang digunakan sebagai makanan utama bagi hewan-hewan herbivore baik invertebrate dan vertebrata. Demikian pula secara tidak langsung terjadi proses perubahan jatuhan bahan-bahan
organik
dari
vegetasi
mangrove
menjadi
unsur-unsur
hara
(mineralisasi) yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas perairan dan menyangga kehdupan dalam jaringan makanan kehidupan organism perairan pantai dan di laut pada umumnya. Luas kawasan mangrove adalah 65 ha menyebar di Teluk Ambon bagian dalam 49,5 ha, pantai Tawiri Teluk Ambon bagian luar 10, 8 ha dan teluk Rutong, pantai selatan sebesar 5 ha, demikian pula ada tanaman mangrove di daerah karang mati di Hukurila.
Jumlah species mangrove di Teluk Ambon sebanyak 16 species.
Tanaman yang umum dan sering dominan adalah Sonneratia, Avicennia dan Rhizophora serta membentuk komunitas mangrove campuran (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008). (2) Padang lamun Padang lamun merupakan ekosistem bahari yang sangat menunjang produktivitas perairan. Perairan yang ditumbuhi padang lamun ialah di Teluk Baguala yang ditumbuhi lamun
jenis Thalassia hemprichi dan Syringodium
isoetifolium (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008).
13
(3) Bentik Tipe bentik yang mendominansi perairan Teluk Ambon dan Teluk Baguala, berasal dari filum moluska, ekinodermata, dan krustasea yang umumnya bernilai ekonomis. Filum krustasea yang bernilai ekonomis seperti kepiting mangrove dimana ditemukan 3 jenis kepiting mangrove dalam jumlah yang banyak pada perairan pantai Waiheru yaitu Scylla serrata, S. tranqueberica dan S. oceanica dengan kepadatan berkisar antara 20-460 individu per hektar (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008). (4) Terumbu karang Luas habitat terumbu karang di perairan Kota Ambon hanya sebesar 2,5 km2. Tipe terumbu karang tepi pada umumnya terdapat di perairan di Kota Ambon. Habitat hewan karang selain terumbu karang mati, adalah berbagai habitat lainnya yang bukan terumbu karang, seperti batuan besar (block dan bolders), menempati teras-teras dasar laut dan cliffs. Kondisi fisiografi, substrat dan dan dinamika arus pada perairan pantai, mempunyai kaitan dengan penyebaran hewan-hewan karang dan non-karang, yang cukup bervariasi di perairan Kota Ambon. Saat ini terumbu karang di perairan Kota Ambon, akan menghadapi tekanan yang semakin besar, karena pengambilan batu karang laut oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan, terutama untuk dijual sebagai bahan bangunan rumah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008). (5) Ikan Jenis ikan yang umumnya tertangkap di perairan pesisir Kota Ambon, dan umumnya menyebar merata di semua pesisir (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2008), terdiri atas : 1) Pelagis kecil yang terdiri atas jenis ikan puri putih (Stolephorus indicus), puri merah (Stolephorus heterolobus), teri (Encrasicholina spp), make (Sardinella spp), lompa (Thrisina baelama), buarao (Selaroides sp), dan lema/tatari (Rastrelliger kanagurta). 2) Pelagis besar yang meliputi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tuna (Thunnus sp). 3) Ikan karang dan ikan hias yang terdiri atas spesies Apogon sp, Lepidozygus tapeinosoma, Leptojulis cyanopleura, Chromis margantifer, Spratelloides sp, Caesio lunaris, dan Melichthys niger.
14
4) Demersal yang meliputi ikan gurara (Lutjanus spp), ikan biji nangka (Parupeneus spp), ikan kapas-kapas (Garres spp), ikan kerapu (Epinephelus spp), gaca (Lethrinus spp) dan lain-lain. 2.1.2 Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon menggunakan berbagai alat tangkap dan armada penangkapan maupun hasil produksi, sebagai berikut : (1) Jenis alat tangkap Jenis alat tangkap yang digunakan di Kota Ambon pada tahun 2010, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Alat tangkap di Kota Ambon tahun 2010 Lokasi
Jenis Alat Tangkap
Perairan
TAD
TAL
TB
PS
Total
Gillnet dasar Gillnet melingkar
28 -
55 4
38 6
30 8
151 18
8,58% 1,10%
Gillnet hanyut Bagan (Liftnet)
33 7
78 3
14 5
22 -
157 15
8,92% 0,85%
7
35
-
-
7 42
0,40% 2,39%
-
-
-
4
0,22%
155 9
523 107
107 9
63 31
848 156
48,18% 8,86%
63 -
76 10
3 -
30 -
172 10
9,77% 0,57%
1 2
5 11
32
13 19
19 73
1,08% 4,15%
Redi Pukat cincin
-
Pukat mini Pancing tangan Pancing tonda Rawai tegak Bubu
4
Jala Panah
1
6
%
Amanisal
-
-
10
-
10
0,57%
Tangguk Rumpon
10 -
32 11
-
25
42 36
2,39% 2,04%
319
950
225
247
1.760
T o t a l
100,00%
Sumber : Profil Sumberdaya Kelautan & Perikanan Kota Ambon Tahun 2010 Keterangan : TAD = Teluk Ambon Dalam; TAL = Teluk Ambon Luar; TB = Teluk Baguala; PS = Pantai Selatan
(2) Armada Penangkapan Armada penangkapan yang digunakan di Kota Ambon oleh nelayan artisanal, dapat dilihat pada Tabel 3.
15
Tabel 3 Armada penangkapan ikan di Kota Ambon tahun 2010 Jenis Armada Penangkapan Wilayah Perairan
Perahu
Perahu Tanpa
Motor (Ketinting)
Motor
Motor Tempel
Teluk Ambon Dalam
130
-
Teluk Ambon Luar Teluk Baguala
295 35
12 29
129 15
4
Pantai Selattan
190
38
32
Jumlah
650
79
180
Persentasi
71,51%
8,69%
19,80%
Sumber : Profil Sumberdaya Kelautan & Perikanan Kota Ambon 2010
(3) Produksi perikanan Hasil tangkapan nelayan artisanal di Kota Ambon selama tahun 2010 dengan menggunakan alat tangkap dan armada tangkap seperti dikemukakan di atas, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Produksi/hasil tangkapan nelayan di Kota Ambon tahun 2010
Wilayah Tangkapan
Jenis & Jumlah Hasil Tangkapan (dlm ton) Pelagis Kecil
Teluk Ambon Dalam
Besar
Demersal 118,38
362,52
900,10 12,60
687,60 44,64
4.253,62 115,44
282,00
764,40
60,00
1.106,40
Total
3.250,26
1.677,10
910,62
5.837,98
Persentasi
55,57%
28,73%
15,60%
100%
Pantai Selatan
-
Jumlah
2.665,92 58,20
Teluk Ambon Luar Teluk Baguala
244,14
Pelagis
Sumber : Profil Sumberdaya Perikanan & Kelautan di Kota Ambon 2010
Volume produksi ikan segar yang tercatat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kota Ambon selama tahun 2010 adalah sebanyak 20.021,29 ton dengan total nilai transaksi sebesar Rp 64.258.636.000,-. Produksi yang tercatat di TPI ini juga meliputi nelayan dari luar Kota Ambon yang melakukan penangkapan di sekitar perairan dekat Kota Ambon, dan tidak termasuk volume dan nilai ikan yang diperdagangkan oleh ibu-ibu papalele, yang umumnya tidak tercatat di tempat pelelangan ikan. (4) Nelayan dan rumah tangga perikanan Jumlah nelayan dan rumah tangga perikanan di Kota Ambon dapat dilihat pada Tabel 5.
16
Tabel 5 Jumlah nelayan dan RTP di Kota Ambon tahun 2010 Kecamatan
Jumlah Nelayan
Jumlah RTP
Teluk Ambon
683
595
Teluk Ambon Baguala
822
726
Sirimau
375
294
Leitimur Selatan
617
548
1.329
1.224
3.826
3.387
Nusaniwe Jumlah
Sumber : Profil Sumberdaya Perikanan & Kelautan Kota Ambon 2010
Jika dibandingkan jumlah nelayan dengan jumlah keseluruhan penduduk yang bekerja di Kota Ambon, hanya 4,4% penduduk yang bekerja mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Padahal standar upah minimum regional untuk pekerja sektor perikanan di Kota Ambon, relatif tinggi dibanding dengan upah minimum regional sektor pertanian maupun industri pengolahan (BPS Kota Ambon 2010). (5) Perikanan industri Selain nelayan artisanal, di Kota Ambon terdapat juga 5 perusahaan perikanan industri yang beroperasi, dan mengolah hasil tangkapan dalam bentuk ikan beku yang dipasarkan ke luar Maluku dan ke luar negeri (ekspor). Jenis ikan beku yang diolah di kelima industri ini ialah ikan cakalang, tuna, dan udang. Ikan dan udang yang diolah pada kelima industri ini, sebagian besar adalah hasil tangkapan dari Laut Banda (WPP 714) dan Laut Arafura (WPP 718), serta Laut Seram (WPP 715). (6) Budidaya laut Budidaya dilakukan juga bagi nelayan di kawasan Teluk Ambon bagian dalam, Teluk Baguala dan Leitimur Selatan.Umumnya kegiatan budidaya dilakukan secara pribadi maupun kelompok dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) dari 38 kelompok pembudi daya. Hasil produksi perikanan budidaya tahun 2010, masing-masing: - Ikan Kerapu
: 28,966 ton
- Ikan Baronang : 6,029 ton
- Ikan Lain
: 45,519 ton
(7) Usaha pengolahan hasil-hasil perikanan Disamping nelayan tangkap dan budidaya, juga terdapat 66 kelompok pengolahan hasil-hasil perikanan, yang didominasi oleh kaum perempuan (69,70%).
17
Jenis olahan ikan umumnya sebagai produk ikan asap (smoked fish), yang dilakukan dengan menggunakan peralatan yang cukup memadai, namun juga ada yang masih menggunakan peralatan yang sederhana. Umumnya jenis ikan yang diasap adalah jenis ikan cakalang dan komu. 2.1.3 Sarana dan prasarana penunjang perikanan Sarana dan prasarana penunjang industri perikanan yang ada di Kota Ambon, dapat dikatakan telah memadai. Hal ini disebabkan hampir semua sarana pendukung perikanan telah ada di Kota Ambon (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2011). Sarana dan prasarana penunjang perikanan yang dimaksudkan, meliputi : (1) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dengan fasilitas yang lengkap, termassuk juga tempat pelelangan ikan dan fasilitas cold storage; (2) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan fasiltas TPI dan pabrik es; (3) Balai Loka Budidaya; (4) Laboratorium Uji Mutu Ikan; (5) Cold Storage milik swasta; (6) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Khusus Nelayan; (7) Lembaga Pendidikan Perikanan, mulai dari tingkat menengah, diploma, sampai pasca sarjana; (8) Lembaga Oseonografi Nasional LIPI; (9) Pabrik stereofoam untuk pengepakan ikan. (10) Galangan kapal/dok 2.2 Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan Pembangunan sektor perikanan dan kelautan perlu dilaksanakan secara komprehensif dengan berlandaskan tiga penting, yaitu pembangunan sumberdaya manusia yang handal, pembangunan fisik disertai dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, serta pengembangan data dan jaringan informasi yang baik. Bila hal ini bisa berjalan dengan baik, maka kekhwatiran banyak orang terhadap pembangunan sektor perikanan dan kelautan segera berakhir dan eksistensi Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai lembaga Pemerintah yang menaungi sektor perikanan dan kelautan bangsa dapat tetap terjaga (Linting dan Anung 1994).
18
Dalam Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk pada tahun 1999, perikanan dan kelautan tidak lagi merupakan sub-sektor dari sektor pertanian tetapi sejak tahun 2009 telah menjadi sektor tersendiri yang pengelolaannya secara nasional dikendalikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Pembangunan
sektor perikanan dan kelautan ini yang dimulai dengan penantaan kelembagaannya merupakan wujud dari pembangunan nasional sekaligus cita-cita dari reformasi. Berbagai isu tentang kurangnya pembinaan terhadap masyarakat nelayan dan lemahnya ekonomi mereka, serta perlunya peningkatan kontribusi sumberdaya terbaharukan produk perikanan dari perairan Indonesia yang sangat luas (2/3 dari luas wilayah Indonesia). Kondisi ini menjadi pertimbangan penting ditetapkan pembangunan sumberdaya manusia yang handal sebagai landasan utama pembangunan sektor perikanan dan kelautan skala nasional (DKP 2004). Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan sektor perikanan dan kelautan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya sampai ke tingkat pemerintahan terendah bertanggung jawab atas berhasil tidaknya rencana pembangunan tersebut. Pembangunan sektor perikanan dan kelautan ini tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh Departemen Kelautan dan Perikanan tanpa adanya dukungan dari aparat Pemerintah Daerah, instansi teknis Departemen Kelautan dan Perikanan di daerah, dan lainnya. Selain instansi atau lembaga formal tersebut, pembangunna perikanan dan dan kelautan ini juga banyak berhubungan dengan lembaga keuangan, koperasi, dan lembaga infromal di masyarakat atau tempat usaha. Adapun lembaga informal yang banyak berhubungan dengan aktivitas perikanan dan kelautan diantaranya lembaga koperasi nelayan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi nelayan dan pengusaha perikanan. Selama ini, di lokasi aktivitas perikanan tangkap selalu terdapat perkumpulan nelayan, seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), paguyuban nelayan, dan kelompok masyarakat. Keberadaan lembaga informal ini di lokasi aktivitas perikanan dan kelautan sangat penting untuk menjaga keberlanjutan aktivitas pemanfaatan di lokasi tersebut. Terkait ini, maka lembaga informal tersebut memegang peran penting terhadap pembangunan perikanan dan kelautan (Dahuri 2001). Sejalan dengan perubahan pandangan dalam penataan kelembagaan negara untuk mengelola kebijakan pembangunan bidang perikanan dan kelautan, dengan
19
terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, juga berdampak ke daerahdaerah. Hal ini terlihat dari adanya pemisahan kelembagaan perikanan dari dinas pertanian, ataupun penonjolan nama perikanan dalam hal urusan perikanan digabung dengan urusan lain pada sebuah dinas/badan daerah. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dan bertahan hingga saat ini. Hal lain yang penting ialah bidang perikanan menjadi salah satu bidang strategis nasional, sehingga program mina politan menjadi program strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). 2.3 Pengelolaan Potensi Ekonomi Sektor Perikanam Perairan Indonesia yang sangat luas dan keberadaan pada posisi silang di antara dua samudera dan dua benua, mengharuskan Indonesia untuk berperan aktif dalam forum-forum regional sehingga terjalin kerjasama keamanan dengan negara-negara tetangga. Hal ini penting disamping untuk terciptanya keamanan regional sehingga potensi ekonomi perairan teruatam sumberdaya perikanan dan kelautannya dapat dimanfaatkan secara maksimal (Muchtar 1999). Disamping itu,
kerjasama luar negeri baik itu bilateral, regional maupun
internasional perlu ditingkatkan untuk pengaturan stok sumberdaya ikan, penelitian bahari maupun pengelolaan kawasan laut, termasuk dalam pengaturan batas ZEE. Pendayagunaan dan pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional dengan menerapkan konvensi hukum laut internasional meliputi penetapan batas wilayah perairan indonesia maupun ZEE serta mengembangkan potensi nasional merupakan kekuatan pertahanan keamanan di bidang maritim untuk menjamin keselamatan dan pemanfaatan potensi ekonomi perairan untuk pembangunan. Pemanfaatan potensi ekonomi perairan terutama sumberdaya perikanan laut, terkadang menimbulkan banyak kendala, terutama menyangkut permodalan dan sistem perbankan yang belum kondusif bagi investasi usaha penangkapan ikan di laut. Pada kondisi tertentu permodalan justru menjadi masalah utama pengembangan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan ini.
dalam
Pemanfaatan
sumberdaya ikan tentu dapat dioptimalkan bila didukung oleh kondisi kapal yang layak dan memadai, alat tangkap dan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan, persyaratan standar perbekalan dipenuhi. Tentu hal-hal ini dapat dipenuhi bila modal tersedia dan cukup (Jusuf 1999).
20
Sistem perizinan yang kurang efisien dan cenderung mempersulit, sistem charter kapal asing yang cenderung merusak harga merupakan kekurangan dari kebijakan-kebijakan terdahulu dalam pengaturan pemanfaatan potensi ekonomi sektor perikanan dan kelautan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan kondisi masyarakat
nelayan
pada
umumnya
masih
berada
pada
posisi
yang
memprihatinkan secara ekonomi. Dalam kaitan ini, maka perlu diadakan programprogram kemitraan yang dapat secara langsung menyentuh pada kebutuhan yang diperlukan oleh nelayan. Sebagian besar bank perkreditan dan koperasi yang diharapkan bisa mendukung kegiatan ekonomi nelayan ini, belum banyak berperan, termasuk rendahnya kemampuan dalam mengalokasikan dana-dana program pemberdayaan. Karena itu, sistem kemitraan dan pengelolaan bersama merupakan skema kerjasama terbaik yang lebih menguntungkan pihak nelayan dan perbankan (UU. No. 45 Tahun 2009). Untuk pembangunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan ke depan, orientasi kerakyatan harus menjadi tumpuan dalam mencapai target sebagaimana juga telah ditetapkan pada PROTEKAN 2003. Untuk ke arah itu, maka kegiatan perikanan rakyat seharusnya mendapatkan perhatian khusus, pemberdayaan perikanan rakyat (nelayan) melalui dukungan kelembagaan dan permodalan merupakan solusi strategis untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi. Hal ini karena lembaga penggerak dan keuangan merupakan senjata utama untuk mengerakkan kegiatan ekonomi termasuk di bidang perikanan dan kelautan. Komitmen pemerintah dalam mendukung pembangunan perikanan dan kelautan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pembangunan nasional di sektor ini. Program kemitraan yang dianggap lebih menguntungkan dapat implemnetasi pada sektor-sektor ril yang mendukung aktivitas utama pembangunan tersebut, seperti penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknnologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina (Clark 1985). Dalam mengembangkan program kemitraan sebagai basis penting kegiatan ekonomi bidang perikanan dan kelautan ini, harus didorong pada upaya penangkapan ikan yang efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang potensial melalui pengembangan rumpon.
21
Rumpon dapat dikembangkan pada perairan laut dangkal maupun laut dalam. Kondisi yang fleksibel ini, tentu sangat memudahkan untuk pemilihan lokasi-lokasi pemasangan rumpon yang terjangkau dengan armada dan pembiayaan yang dimiliki oleh nelayan pemanfaat dan kondisi cuaca di lokasi. Menurut Nikijuluw (2002), kegiatan ekonomi tersebut perlu terus dipertahankan, dimana pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama tersebut sehingga dapat berlangsung langgeng dan berkembang dengan baik. Melihat rumitnya struktur kelembagaan pemerintah ambil bagian dalam menangani persoalan-persoalan nasional termasuk perikanan dan kelautan ini terkadang semakin memperumit masalah yang ada. Karena itu, perlu penataan kembali lembaga-lembaga yang terkait dalam bidang perikanan dan kelautan
sehingga
wewenang dan fungsinya jelas dan optimal. Bila hal ini tercapai, maka misi pembangunan ekonomi nasional berbasis perikanan dan kelautan ini dapat tercapai. 2.4 Pengembangan Usaha Perikanan Berbasis Kluster 2.4.1
Kluster usaha pedesaan
Kluster usaha atau kluster industri dikembangkan oleh Porter (1990) yang dimaksudkan
untuk
meningkatkan
daya
saing
industri
pada
sebuah
kawasan/wilayah tertentu, agar dapat berkompetisi di pasar global. Sejak itu, kluster industri menjadi model pengembangan daya saing industri maupun kawasan, sehingga bermunculan berbagai konsep ataupun definisi mengenai kluster industri dari berbagai sudut pandang. Terlepas dari berbagai definisi mengenai kluster industri tersebut, Porter berpendapat bahwa kluster berpotensi mempengaruhi daya saing melalui 3 cara, yaitu : (i) adanya peningkatan produktifitas perusahaanperusahaan dalam kluster; (ii) penggerak inovasi dalam bidang tertentu; dan (iii) mendorong atau melahirkan bisnis baru dalam bidang tertentu. Dengan berbasis pada berbagai konsep tentang kluster industri dan tujuan dari kluster industri seperti dikemukakan oleh Porter tersebut, kluster industri/usaha mempunyai ciri-ciri, yaitu : (1) pengelompokan usaha-usaha serupa atau saling terkait dengan fokus pada pasar bersama dalam suatu kawasan/wilayah; (2) pengelompokan usaha dalam suatu kawasan/wilayah yang dapat berinteraksi secara efektif dan efisien; (3) pengelompokan perusahaan atau organisasi dalam sebuah
22
kawasan/wilayah yang saling bergantung dengan beragam jenis hubungan yang berbeda; (4) pengelompokan usaha sejenis di sebuah kawasan/wilayah dalam pemanfaatan faktor produksi, barang, dan jasa; (5) pengelompokan atas dasar hubungan konglomerasi antar usaha dalam sebuah kawasan/wilayah; (6) pengelompokan usaha berdasarkan pada ketersediaan sumber daya alam maupun kompetensi tenaga kerja di sebuah kawasan/wilayah; dan (7) pengelompokan berdasarkan kesamaan skala usaha dan kesamaan berbagai faktor produksi serta sosial-ekonomi. Menurut Zulham (2007), kluster usaha pedesaan umumnya berkisar pada usaha kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada kawasan tertentu di pedesaan. Berdasarkan konsentrasi tersebut, maka bentuk kluster usaha pedesaan termasuk usaha perikanan dapat dibagi menjadi kluster menurut tingkat pembangunan dan kemampuan pengembangkan potensi desa, kluster usaha yang terbentuk secara alamiah dan kluster usaha yang terbentuk dengan intervensi pemerintah. Kluster usaha/desa yang terbentuk secara alamiah dicirikan oleh skala ekonominya kecil, jumlah pekerja per unit usaha 5 – 10 orang, upahnya bersifat harian serta diinovasi sangat jarang dilakukan. Sedangkan kluster dengan intervensi pemerintah dibentuk untuk memanfaatkan peluang usaha usaha, untuk membuka lapangan kerja, memperbaiki kulitas produk, serta adanya kebijakan kerjasama ekonomi dengan negara lain. Kluster dengan intervensi ini mempunyai ciri-ciri skala ekonominya menengah ke atas, jumlah pekerja per unit usaha sekitar 20 orang, beberapa ada yang digaji tetap, inovasi sangat sering terjadi, persaingan kompetitif, dan beberapa fasilitas pendukung disediakan oleh pemerintah. Kluster usaha pedesaan tersebut perlu mengembangkan kerjasama yang integratif vertikal termasuk usaha perikanan. Hal ini supaya suatu usaha pedesaan dengan kluster tertentu dapat menjadi mitra (pemasok bahan baku) bagi usaha yang lainnya. Pada usaha pedesaan bidang perikanan, hal ini dapat dilakukan diantara nelayan dengan usaha pengolahan. Untuk meminimalisir friksi diantara usaha yang sejenis, maka setiap usaha tersebeut perlu membangun jaringan bisnis sendiri. Hal ini supaya usaha pedesaan tersebut lebih stabil dan bertahan lama (Iskandar 2006). 2.4.2 Penerapan sistem kluster pada industri perikanan Berbagai gagasan maupun tindakan pebisnis perikanan untuk meningkatkan daya saing di pasar global, maupun kebijakan pemerintah dalam pembinaan dan
23
pengembangan koperasi dan dunia usaha di Indonesia, dengan mengembangkan kluster industri perikanan. Menurut Marijan (2005), istilah kluster industri sebenarnya mulai dikenal dalam kegiatan ekonomi Indonesia yaitu pada masa Orde Baru, dimana pemerintah saat ini mengubah kebijakan pengembangan ekonomi dari berorientasi pertanian menjadi berorientasi industri. Sejak saat itu, industri mulai berkembang dari yang berskala mikro sampai ke yang berskala industri berat. Khusus untuk industri di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan, berkembang cukup merata baik dari yang skala mikro maupun industri modern. Di banding dengan bidang lain, pengembangan industri di ketiga bidang ini cukup banyak melibatkan peran serta rakyat secara luas, dimana rakyat umumnya menjadi pemilik usaha atau industri mikro, kecil, dan bahkan menengah. Menurut Klapwijk (1997), kluster industri/usaha tersebut umumnya tumbuh secara spontan. Khusus untuk bidang perikanan, usaha tersebut tumbuh secara spontan namun sangat tidak merata karena sangat tergantung pada tren pemanfaatan hasil laut dan tingkat pengusahaannya terhadap teknologi penangkapan. Selama ini, kegiatan penangkapan ikan di laut sebagian besar masih berkisar di perairan pantai yang padat penduduknya seperti perairan Utara Jawa, Selat Bali, dan selat Makasar. Menurut Pratikto (2009), pengembangan usaha perikanan harus diorientasikan pada daerah-daerah masih jarang penduduknya terutama di kawasan pulau-pulau kecil. Hal ini karena selain sumberdaya ikannya yang masih tersedia cukup banyak, jumlah sangat mendukung penyebaran penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang masih jarang penduduknya. Di lokasi tersebut, usaha perikanan dapat dikembangkan dengan satu kluster atau beberapa kluster yang diharapkan saling menopang satu sama lain untuk memenuhi permintaan produk asal daerah tersebut di pasar yang lebih luas. Bila melihat mhal tersebut, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan laut selanjutnya dihadapkan kepada tantangan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang optimal dan merata serta sekaligus dapat mengurangi tekanan/intensitas pemanfaatan secara berlebihan di daerah-daerah yang kritis (daerah padat). Selain itu juga perlu meningkatkan pengoperasian di wilayah ZEE secara bertahap. Untuk itu perlu pengaturan zona, dimana zona atau daerah-daerah yang sudah mengalami tekanan yang tinggi penangkapan harus mengurangi armada perikanannya sedang untuk daerah-daerah yang masih memiliki potensi yang besar namun memiliki
24
sedikit armada kapal, harus mulai dilakukan penambahan armada secara proporsional dengan standing stock tiap area penangkapan. Selain itu perlu dibangun armada-armada kapal perikanan yang besar yang sanggup beroperasi di daerah ZEE. Hal ini perlu
agar potensi perikanan laut di daerah ZEE dapat
dimanfaatkan secara optimal. Aspek lain yang perlu mendapat perhatian ialah kebijakan impor kapal-kapal bekas dapat dilanjutkan tanpa mematikan pengadaan kapal-kapal dalam negeri. Karena itu perlunya dorongan bagi pembangunan industri kapal perikanan dalam negeri dan meningkatkan kemampuan rancang bangun serta perekayasaan kapal dan alat penangkapan ikan (Jusuf 1999). Masalah pemasaran juga merupakan bagian yang sangat penting bagi usaha penangkapan ikan, berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri yang mudah mengalami proses pembusukan (highly perishable food). Untuk menjaga tingkat kesegaran ikan yang dihasilkan oleh nelayan agar sampai pada tingkat konsumen dengan kualitas mutu yang baik, maka prinsip-prinsip dasar penanganan ikan dengan mata rantai dingin (cold chain) mutlak diperlukan dengan dukungan prasarana yang memadai kepada nelayan (Nikijuluw 2002). Untuk mendorong upaya pengembangan usaha perikanan tangkap, terutama perikanan pesisir, agar dapat berkembang, sehingga menjadi salah satu instrumen peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka kluster industri yang dikembangkan adalah kluster desa. Kluster desa yang dimaksudkan, adalah pengelompokan usaha perikanan tangkap dari setiap desa yang didasarkan pada kesamaan kelayakan usaha, aksesibilitas terhadap jalur bisnis, proporsi kepemilikan usaha perikanan, maupun status desa (sesuai kriteria yang digunakan dalam penelitian ini). Kluster desa dalam konteks pengembangan perikanan tangkap ini, bertujuan agar intervensi program pemerintah atau pun lembagalembaga non pemerintah, untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di suatu wilayah, didasarkan pada karakteristik permasalahan tiap kluster. Dengan demikian, tidak terjadi keseragaman program intervensi pada semua usaha perikanan tangkap di sebuah wilayah kabupaten/kota ataupun kecamatan, sehingga terjaminnya tingkat keberhasilan program intervensi dimaksud.-