MODEL CO-MANAGEMENT PERIKANAN TANGKAP DI PALABUHANRATU
SUTOMO
NRP : C462070074
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
Disertasi
“MODEL
CO-
MANAGEMENT PERIKANAN TANGKAP DI PALABUHANRATU” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian disertasi ini.
Bogor, Juli 2012 SUTOMO NRP : C462070074
ABSTRACT SUTOMO (C462070074). Model of Capture Fisheries Co-Management in Palabuhanratu. Supervised by ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON, and MUSTARUDDIN Co-management is an approach to management of fishery resources which provide a large role for public participation in the facilitation by the Government and other stakeholders in managing its available resources. Palabuhanratu including many coastal areas has involved public participation, government, universities, NGOs, and private sector in the development of their fisheries activities, and is currently a core minapolitan area. This study aims to analyze the present condition of the implementation of the concept of fisheries comanagement in Palabuhanratu and the dominant variables that affect it, determine the type and allocation of fishing effort, determine the appropriate comanagement model, and formulating the implementation patterns of comanagement cooperation in support of capture fisheries management in Palabuhanratu. This study used a SWOT analysis, QSPM, AHP, scoring analysis, feasibility analysis, analysis of LGP, and SEM analysis. Implementation of fisheries co-management is currently in Palabuhanratu still in a steady growth (quadrant of the matrix V IE, total IFAs = 2.66, total EFAs = 2.46). Dominant variables affecting the implementation of fisheries co-management is a human resource (TNPV = 5.82), capital (TNPV = 5.63), and technology (TNPV = 5.44). Co-management model that most appropriate for the management of capture fisheries in Palabuhanratu is a cooperative co-management model (RK = 0.259 on inconsistency reliable 0.07). Potential fishing effort that supports co-management fishery was payang, gillnet, troll lines, and longline, with the optimal allocation of 141 units, 31 units, 30 units and 20 units, respective by implementation of cooperative co-management can be focused on developing human resources capital (p <0.05), whereas the development of fishing technology can be ignored (p> 0.05). Human resource development should be done in the form of technical assistance and guidance, while training / education in the classroom can be reduced. Capital resources should be prioritized in the capital independent fishermen (K = 0.273, p = 0.00), and the capital of financial institutions (KP = 0.277, p = 0.00). Periodically, the performance of the implementation of co-management in fisheries should be evaluated. This performance evaluation should focus on improving the welfare of fishermen (KP = 3.385, p <0.05) and resource conservation and environmental protection (KP = 2.083, p <0.05). Key words: Palabuhanratu, cooperative co-management, capture fisheries, human resources, capital, performance evaluation
RINGKASAN SUTOMO (C462070074). Model Co-Management Perikanan Tangkap di Palabuhanratu. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON, dan MUSTARUDDIN Palabuhanratu merupakan suatu kawasan pelabuhan perikanan yang terletak di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pada kawasan Palabuhanratu terdapat beberapa potensi yang mendukung perikanan tangkap seperti panjang garis pantai 117 km dengan sembilan kecamatan terletak di kawasan pesisir. Wilayah fishing ground mencapai 702 km2. Potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan Kawasan Palabuhanratu 14.592 ton per tahun, selain itu juga ada berbagai komoditas ikan terdapat di kawasan Palabuhanratu dan yang paling dominan adalah ikan jenis tuna (Thunus sp) dan layur (Trichiurus sp). Kedua jenis ikan ini yang merupakan andalan komoditas ekspor Kawasan Palabuhanratu. Pada tahun 2008 jumlah nelayan di kawasan Palabuhanratu mencapai 12.368 orang, mempunyai sarana dan prasarana berupa Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) sebanyak 1 unit, Pusat Pendaratan Ikan (PPI) 1 unit, Tempat Pelelalangan Ikan (TPI) sebanyak 5 unit. Pelabuhan di Palabuhanratu memiliki dua macam kolam yaitu kolam yang berfungsi untuk penambatan kapal yang ukurannya <30GT seperti pancing, rawai, gillnet dan payang serta kolam untuk penambatan kapal ukuran >30GT seperti longline. Pelabuhan yang terdapat di Kawasan Palabuharatu ini terus dikembangkan baik luas kolam, luas dermaga, kawasan industri, laboratorium untuk pengujian mutu formalin dan histamin. Pada tahun 2009 dibangun pasar ikan, renovasi gedung TPI dan K-3. Pada tahun 2010 dibangun depo pasar dan los pasar. Kawasan Palabuhanratu ditetapkan sebagai kawasan minapolitan pada bulan April 2010 oleh Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan RI sekaligus pencetus gagasan minapolitan. Bupati Sukabumi, Sukmawijaya menginstruksikan memberikan dukungan kepada program minapolitan tersebut dengan mengintegrasikan beberapa pihak terkait untuk melaksanakan minapolitan tersebut sesegera mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi kini pelaksanaan konsep co-management pada bidang perikanan tangkap di Palabuhanratu dan variabel dominan yang mempengaruhinya, menentukan model co-management yang tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial, menentukan jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap yang mendukung co-management, dan merumuskan pola implementasi co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Penelitian ini menggunakan analisis SWOT, quantitative strategic planning matrix (QSPM), analytical hierarhcy process (AHP), analisis skoring, analisis kelayakan usaha (NPV, IRR, ROI, dan B/C), analisis linear goal programming (LGP), dan analisis structural equation modelling (SEM). Pelaksanaan comanagement perikanan tangkap saat ini di Palabuhanratu masih dalam pertumbuhan yang stabil (kuadran V matrik IE). Total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal dari co-management Palabuhanratu masing-masing sekitar 2,66 dan 2,46, sehingga posisi pelaksanaan saat ini termasuk kategori ”cukup baik”. Variabel dominan yang mempengaruhi pelaksanaan co-
management perikanan tangkap tersebut adalah sumberdaya manusia (SDM), modal, dan teknologi masing-masing dengan TNPV sekitar 5,82, 5,63, dan 5,44. Sedangkan sumberdaya ikan (SDI), pasar, prasarana pelabuhan, sarana transportasi, dan intensitas usaha pendukung mempengaruhi pelaksanaan comanagement perikanan tangkap Palabuhanratu masing-masing dengan TNPV 5,11, 4,97, 4,55, 4,39, dan 4,72. Aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya merupakan aspek/kriteria pengelolaan yang penting dalam pemilihan model co-management yang paling tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu. Sedangkan pembatas dari pengelolaan tersebut terdiri dari ketersediaan sumberdaya, sumber dan jumlah modal, kondisi sarana prasarana perikanan dan pendukungnya, lingkup kewenangan, dan tata ruang kewilayahan. Comanagement kooperatif terpilih sebagai model co-management yang paling tepat dan dapat mengakomodir lebih baik keempat kriteria pengelolaan yang ingin dicapai dan kelima pembatas pengelolaan yang ada. Model co-management kooperatif ini mempunyai rasio kepentingan (RK) sekitar 0,259 pada inconsistency terpercaya 0,07. Sedangkan rasio kepentingan (RK) model comanagement konsultatif, informatif, advokatif, dan instruktif lebih rendah, yaitu masing-masing 0,223, 0,188, 0,166 dan 0,154 pada inconsistency terpercaya 0,07. Sedangkan batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah tidak lebih dari 0,1. Usaha perikanan tangkap yang banyak digunakan dalam operasi penangkapan ikan di Palabuhanratu ada sembilan, yaitu payang, pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, purse seine, gillnet, pancing tonda, dan longline. Sedangkan jenis usaha perikanan tangkap potensial yang mendukung comanagement perikanan tangkap adalah payang, gillnet, pancing tonda, dan longline. Hasil analisis skoring menunjukkan keempat usaha perikanan tangkap ini mempunyai nilai fungsi (VA) gabungan paling tinggi dibandingkan lima usaha perikanan tangkap lainnya, yaitu payang 2,378, gillnet 2,237, pancing tonda 2,100, dan longline 3,191. Jumlah payang, gillnet, pancing tonda, dan longline saat ini di Palabuhanratu masing-masing sekitar 81 unit, 31 unit, 50 unit, dan 23 unit. Sedangkan alokasi optimalnya menurut hasil analisis LGP adalah payang sekitar 141 unit, gillnet 31 unit, pancing tonda sekitar 30 unit, dan longline sekitar 20 unit. Bila jumlah yang ada saat ini ingin dioptimalkan, maka payang perlu penambahan 60 unit, payang, gillnet tetap, pancing tonda perlu pengurangan 20 unit, dan longline perlu pengurangan 3 unit. Berdasarkan hasil analisis SEM, implementasi co-management kooperatif perlu difokuskan pada pengembangan sumberdaya manusia dan permodalan. Hal ini karena implementasi co-management kooperatif berpengaruh positif terhadap pengembangan SDM perikanan tangkap yang ditunjukkan oleh nilai koefisien pengaruh (KP) 0,301 dan pengaruh tersebut bersifat signifikan (probabilitas (p) <0,05, yaitu 0,018). Pengaruh yang sama dan bahkan lebih kuat juga terhadap pengembangan permodalan dengan KP 3,817 dan probabilitas 0,00 (signifikan). Sedangkan pengembangan teknologi perikanan tangkap dapat diabaikan sementara, karena pengaruh implementasi co-management terpilih yang meskipun positif, namun dampaknya tidak signifikan (p =0,053). Pengembangan sumberdaya manusia sebaiknya dilakukan dalam bentuk pendampingan dan bimbingan teknis, sedangkan pelatihan/pendidikan di kelas dapat dikurangi. Hal
ini karena pengaruh pendampingan dan bimbingan teknis ini bersifat signifikan bagi keberhasilan implementasi co-management kooperatif yang ditunjukkan oleh probabilitas < 0,05, yaitu masing-masing 0,015 dan 0,012. Sedangkan probabilitas pengaruh penyuluhan/pelatihan bersifat fix (tidak ada batas). Untuk permodalan usaha dalam konteks co-management ini, sumbernya sebaiknya diprioritaskan pada permodalan mandiri nelayan, dan modal dari lembaga keuangan (bank atau koperasi) dapat menjadi back-up bila tidak mencukupi. Permodalan yang berasal dari bantuan hibah sebaiknya diabaikan (tidak jadi fokus perhatian), karena meskipun pengaruhnya relatif besar (KP = 1,00), namun tidak signifikan dan ada setiap saat. Secara periodik, kinerja pelaksanaan co-management pada usaha perikanan perlu evaluasi. Evaluasi kinerja ini perlu difokuskan pada perbaikan kesejahteraan nelayan dan perlindungan kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Koefisien pengaruh (KP) kesejahteraan nelayan dan perlindungan kelestarian sumberdaya dan lingkungan terhadap kinerja usaha perikanan tangkap,masing-masing 3,385 dan 2,083 dengan probabilitas signifikan (p<0,05) Kata kunci : SDM,
Palabuhanratu, co-management kooperatif, perikanan tangkap, permodalan, SDI, evaluasi kinerja
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL CO-MANAGEMENT PERIKANAN TANGKAP DI PALABUHANRATU
SUTOMO NRP : C462070074
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo M.Si (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) 2. Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. I Nyoman Suyasa, MS (Kapusdik. KP - BPSDMKP - Kementerian Kelautan dan Perikanan) 2. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan)
Judul Disertasi
:
Nama Nomor Pokok Program Studi
: : :
Model Co-Management Perikanan Tangkap di Palabuhanratu Sutomo C462070074 Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Anggota
Dr. Mustaruddin, S.TP Anggota
Diketahui,
Ketua Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Prof. Dr. Ir Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Tanggal Ujian : 7 Juni 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Pengesahan: Juli 2012
KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul “Model Co-Management Perikanan Tangkap di Palabuhanratu” Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapat gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor. Judul ini merupakan salah satu isu strategis dimana negara kita Republik Indonesia sedang belajar berdemokrasi sehingga segala bentuk manajemen
juga
harus
ada
kompromistis
positif
terhadap
Coperative
Management. Dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si dan Dr. Mustaruddin, S.TP sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan hingga selesainya disertasi ini
2.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr dan Ketua Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Prof Dr. Ir Mulyono S. Baskoro, M.Sc beserta staf atas segala perhatian dan fasilitas yang penulis terima selama mengikuti pendidikan pascasarjana
3.
Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo M.Si dan Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc
4.
Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Terbuka Dr. Ir. I Nyoman Suyasa, MS dan Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
5.
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
6.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi atas perkenannya memberikan banyak informasi yang berkaitan dengan Palabuhanratu
7.
Kepala Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu yang telah mengizinkan penulis untuk masuk ke Palabuhanratu, mengambil gambar dan mengamati situasi di dalam PPN Palabuhanratu
8.
Seluruh anggota keluarga khususnya istri tercinta Romauli Siregar, terima kasih atas keikhlasan memberi ijin, doa, dorongan, kesabaran dan dukungan moril serta materil yang tidak terhingga nilainya dan anak-anakku tersayang Gheo, Brian dan Akhtar yang senantiasa memberikan inspirasi, semangat, dan motivasi kepada ayah.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran masukan demi kesempurnaannya sangat dibutuhkan. Semoga disertasi ini bisa menambah khazanah keilmuan khususnya dibidang Co-Management Perikanan Tangkap.
Bogor,
Mei 2012 SUTOMO
RIWAYAT HIDUP
Penulis
dilahirkan
di
Bakung,
Kabupaten
Banggai Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 13 Desember 1973. Penulis merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara pasangan ibu Andi Nade Petta Nisang dan Bapak Dg. Timbang. Penulis menikah dengan Romauli Siregar pada tahun 1999 dan dikarunia 3 orang putra yaitu Gheorhizky Alfisio Bahari, Kisal Albrian Geraldy dan Akhtar Muhammad Parsya. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar di SDN Inpres Masing tahun 1987, Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMPN Batui tahun 1990, Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMAN Batui tahun 1993, Sarjana Perikanan (S.Pi) pada Jurusan Teknologi Hasil Perikanan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor tahun 1993-1998, Magister Sains (M.Si) di Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) angkatan V, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor tahun 2003, Program Doktor pada program studi Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2007-sekarang Riwayat pekerjaan penulis yaitu bekerja sebagai staf pada Sekretariat Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tahun 2003 – 2006. Pada tahun 2006- 2009 menjadi Kepala Subbagian Data pada Ditjen KP3K. Pada tahun 2009-2011 diperbantukan di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Advisor PT. DSLNG. Sebelumnya penulis pernah bekerja di PT. Banggai Sentral Shrimp sebagai Head of Laboratory tahun 19982000. Pernah bekerja pada beberapa perusahaan konsultan pengembangan masyarakat dan konsultan perikanan antara tahun 2000-2003. Pengalaman organisasi penulis sejak mahasiswa menjadi Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Pengolahan Hasil Perikanan 1996-1998, Anggota Ikatan Ahli Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tahun 2010-2011.
DAFTAR ISI halaman
1
PENDAHULUAN ………………………………………… 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
2
3
Latar Belakang…………………………………………………… Perumusan Masalah ……………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………… Manfaat Penelitian ………………………………………………… Hipotesis Penelitian ……………………………………………… Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………
1 1 5 8 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………
13
2.1 Pengelolaan Perikanan di Pelabuhanratu .......................................... 2.1.1 Produksi perikanan ................................................................... 2.1.2 Kapal perikanan ........................................................................ 2.1.3 Alat tangkap ............................................................................. 2.1.4 Pemasaran hasil perikanan ....................................................... 2.2 Pengelolaan Berbasis Co-management ............................................. 2.3 Usaha Perikanan Tangkap ................................................................. 2.3.1 Klasifikasi usaha perikanan tangkap ........................................ 2.3.2 Permasalahan perikanan tangkap Indonesia ………………… 2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap Yang Berkelanjutan ...................... 2.4.1 Konsep potensi maksimum yang lestari ................................... 2.4.2 Alat tangkap yang ramah lingkungan ………………….…… 2.4.3 Pengembangan sumberdaya manusia melalui kegiatan usaha ekonomi ………………………………….. 2.5 Pengembangan Perikanan Tangkap Sebagai Wadah Comanagement 2.5.1 Lingkup pengembangan perikanan tangkap sebagai wadah co-management ………………………………………………. 2.5.2 Penerapan co-management pada usaha perikanan tangkap … 2.6 Posisi Masyarakat Dalam Pengelolaan Perikanan ………………… 2.7 Perikanan Co-management Sebuah Inovasi Memperkuat Kelembagaan ..................................................................................... 2.8 Co-management Menjadi Resolusi konflik Antar Nelayan .............. 2.9 Co-management Sebagai Upaya Pemberdayaan............................... 2.10 Co-management Perikanan Pendelegasian Tanggung Jawab Pemerintah Kepada Organisasi Nelayan…………………………. 2.11 Tipikal Kebijakan Perikanan Tangkap.............................................. 2.12 Arahan Kebijakan Perikanan Tangkap..............................................
13 13 14 15 16 16 20 20 22 24 24 25
METODOLOGI ...................................................................
37
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………. 3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan …………………………………… 3.3 Metode Pengumpulan Data……………………………………… 3.3.1 Metode pengumpulan data primer …………………...…..…
37 38 39 39
25 27 27 29 30 31 32 33 34 34 35
i
3.3.2 Metode pengumpulan data sekunder ………………………… 3.4 Metode Analisis …………………………………………………….
4
KONDISI KINI PELAKSANAAN CO-MANAGEMENT.. 49 4.1 Pendahuluan ……………...………………………........................... 4.2 Tujuan Penelitian................................................................................ 4.3 Metode Penelitian ……………...………………………................... 4.3.1 Lokasi dan waktu penelitian ..................................................... 4.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data ................................ 4.3.3 Analisis data.............................................................................. 4.4 Hasil Penelitian.................................................................................. 4.4.1 Kondisi internal pelaksanaan co-management.......................... 4.4.1.1 Faktor kekuatan ................................................…… 4.4.1.2 Faktor kelemahan …................................................ 4.4.2 Kondisi eksternal pelaksanaan co-management 4.4.2.1 Faktor peluang ........................................................... 4.4.2.2 Faktor ancaman .......................................................... 4.4.3 Posisi co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu ... 4.4.4 Variabel dominan yang mempengaruhi pelaksanaan co-management perikanan tangkap dan arah pengembangannnya…………………………………………... 4.5 Pembahasan .......................................................………………….. 4.6 Kesimpulan ………………………………………………………… 4.7 Saran....................................................................................................
5
ii
41 41
49 50 50 50 50 52 54 54 54 56 58 58 61 64
65 67 73 73
PENENTUAN USAHA PERIKANAN TANGKAP POTENSIAL ........................................................................
75
5.1 Pendahuluan...................................................................................... 5.2 Tujuan Penelitian.............................................................................. 5.3 Metode Penelitian............................................................................ 5.3.1 Lokasi dan waktu penelitian .................................................... 5.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data ................................ 5.3.3 Analisis data ............................................................................. 5.3.3.1 Determinasi unit penangkapan ikan potensial............. 5.3.3.2 Kelayakan usaha penangkapan.................................... 5.3.3.3 Alokasi unit penangkapan........................................... 5.4 Hasil Penelitian ................................................................................ 5.4.1 Penilaian setiap aspek pengelolaan ......................................... 5.4.1.1 Penilaian aspek biologi ................................................ 5.4.1.2 Penilaian aspek teknologi ………………………… 5.4.1.3 Penilaian aspek ekonomi …………………………… 5.4.1.4 Penilaian aspek sosial budaya ……………………… 5.4.2 Penilaian gabungan aspek pengelolaan …………………… 5.4.3 Alokasi optimal usaha perikanan tangkap ................................. 5.4.3.1 Hasil perancangan formula linear goal programming.. 5.4.3.2 Penentuan alokasi optimal usaha perikanan tangkap ....
75 77 77 77 77 78 78 82 83 86 86 86 88 90 93 95 98 98 99
5.5 Pembahasan ....................................................................................... 101 5.6 Kesimpulan ………………………………………………………… 109 5.7 Saran.................................................................................................. 110
6
PEMILIHAN MODEL CO-MANAGEMENT PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.................... 111 6.1 Pendahuluan....................................................................................... 6.2 Tujuan Penelitian................................................................................ 6.3 Metode Penelitian............................................................................... 6.3.1 Lokasi dan waktu penelitian ................................................... 6.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data ................................. 6.3.3 Analisis data.............................................................................. 6.4 Hasil Penelitian ................................................................................... 6.4.1 Kriteria pengelolaan perikanan tangkap................................... 6.4.2 Faktor pembatas (limit factors) pengelolaan perikanan tangkap……………………………………………………….. 6.4.3 Model co-management perikanan tangkap .............................. 6.4.3.1 Penentuan model co-management ............................... 6.4.3.2 Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif 6.5 Pembahasan ........................................................................................ 6.6 Kesimpulan ......................................................................................... 6.7 Saran....................................................................................................
111 111 112 112 112 114 117 117 119 124 124 128 129 137 138
7 POLA IMPLEMENTASI CO-MANAGEMENT TERPILIH................................................................................. 139 7.1 Pendahuluan........................................................................................ 7.2 Tujuan Penelitian................................................................................ 7.3 Metode Penelitian............................................................................... 7.3.1 Lokasi dan waktu penelitian ................................................... 7.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data ................................ 7.3.3 Analisis data............................................................................. 7.4 Hasil Penelitian ................................................................................... 7.4.1 Hasil kajian teoritis model ....................................................... 7.4.2 Desain model implementasi co-management terpilih .............. 7.4.3 Pola implementasi co-management terpilih …………………. 7.4.3.1 Pola pengembangan konseptual co-management kooperatif...................................................................... 7.4.3.2 Pola implementasi makro co-management kooperatif... 7.4.3.3 Pola implementasi teknis co-management kooperatif... 7.4.3.4 Pola evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap ……… 7.5 Pembahasan ........................................................................................ 7.6 Kesimpulan …………………………………………………………. 7.7 Saran...................................................................................................
139 140 141 141 141 142 147 147 147 150 150 151 152 158 160 169 170
iii
8
PEMBAHASAN UMUM...................................................... 8.1 Pembahasan Umum………………………………………………
171 171
177 9.1 Kesimpulan......................................................................................... 177 9.2 Saran.................................................................................................... 178
9 KESIMPULAN DAN SARAN................................................
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………
179
LAMPIRAN …………………………………………………
187
iv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
halaman Keperluan data responden untuk analisis SWOT.................................... 51 Kelompok faktor internal co-management perikanan tangkap ……… 54 Kelompok faktor eksternal co-management perikanan tangkap …….. 58 Riset perikanan yang melibatkan masyarakat lokal di Pelabuhanratu... 59 Konflik pengelolaan perikanan di Pelabuhanratu …………………… 63 Program pengendalian pencemaran di Pelabuhanratu dan sekitarnya … 64 Hasil analisis QSPM penentuan pengaruh variabel pengelolaan terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Pelabuhanratu …………………………………………………………. 66 Parameter Penilaian Aspek Ekonomi...................................................... 79 Parameter Penilaian Aspek Biologi........................................................ 79 Parameter Penilaian Aspek Teknologi ……………………................... 80 Parameter Penilaian Aspek Sosial Buaya............................................... 81 Hasil penilaian aspek biologi usaha perikanan tangkap.......................... 86 Hasil standarisasi penilaian aspek biologi usaha perikanan tangkap ..... 87 Hasil penilaian aspek teknologi usaha perikanan tangkap...................... 88 Hasil standarisasi penilaian aspek teknologi usaha perikanan tangkap .. 90 Hasil penilaian aspek ekonomi usaha perikanan tangkap …………… 91 Hasil standarisasi penilaian aspek ekonomi usaha perikanan tangkap ... 92 Hasil penilaian aspek sosial dan budaya usaha perikanan tangkap …… 93 Hasil standarisasi penilaian aspek sosial dan budaya usaha perikanan tangkap ………………………………………………………………… 94 Hasil penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya dari usaha perikanan tangkap ……………………………. 96 Standarisasi penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya dari usaha perikanan tangkap …………………….. 97 Hasil analisis alokasi optimal usaha perikanan tangkap ......................... 100 Keperluan data responden untuk AHP.................................................... 113 Skala Banding Berpasangan................................................................... 116 Kriteria Uji Statistik AHP........................................................................ 115 Hasil analisis sensitivitas co-management kooperatif............................ 128 Keperluan data responden untuk analisis SEM....................................... 141 Kriteria Goodness-of-Fit ........................................................................ 146 Hasil uji kesesuaian model implementasi co-management kooperatif… 149 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen konseptual ……………………………………………………………... 150 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen makro… 152 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas dalam interaksi pengembangan SDM ………………………………………………….. 153 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas dalam interaksi pengembangan teknologi ……………………………………………… 156 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas dalam interaksi pengembangan pemodalan …………………………………………… 157 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap …………………………………….. 159 v
vi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
19
20
21
22
halaman Perumusan Masalah Penelitian............................................................... 7 Kerangka Pemikiran Penelitian …………………...…………….…… 10 Produksi Ikan di PPN Pelabuhanratu Selama Periode 2000-2009 …… 13 Nilai Produksi Ikan di PPN Pelabuhanratu Selama Periode 2000-2009................................................................................................ 14 Kapal Perikanan di PPN Pelabuhanratu selama Periode 1993-2007...... 15 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Gillnet, Bagan, dan Longline di Pelabuhanratu.......................................................................................... 15 Hierarki Pengelolaan Suimberdaya Alam Dengan Model Komanajemen………………………………………………………….. 17 Manajemen Perikanan Modern............................................................... 32 Instrumental Co-management................................................................ 32 Co-management Pemberdayaan Perikanan............................................ 32 Peta Lokasi Penelitian............................................................................. 38 Skema Analisis dalam Penelitian............................................................ 42 Struktur hierarki pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhanratu....................................................... 45 Introduksi teknologi dan co-management dalam pembuatan kapal perikanan …………………………………………………………….. 59 Matriks internal-eksternal (IE) posisi pelaksanaan co-management perikanan tangkap dan arah pengembagannya ……………………… 65 Struktur hierarki strategi pemilihan co-management ............................ 118 Hasil uji banding berpasangan antar kriteria/aspek ............................... 118 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait kriteria/aspek biologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap ……………………………………………….……. 120 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait kriteria/aspek teknologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap………………………………………………….….. 121 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait kriteria/aspek ekonomi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap…………………………………………………...… 122 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait kriteria/aspek sosial dan budaya ini dalam penerapan model comanagement perikanan tangkap di Pelabuhanratu …………………… 123 Hasil analisis pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap (berdasarkan urutan prioritas) ………………………………. 125
23 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek biologi ……………………………. 126 24 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek ekonomi ………………………………………… 127
vii
25 Rancangan Path Diagram Implementasi Model Co-management Terpilih……………………………………………………………… 143 26 Model implementasi co-management kooperatif ………………… 148 27 Rancangan Model Perikanan Tangkap Berbasis Co-Management........ 171
viii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
4
5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15
16
17
18
halaman Penentuan faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan co-management perikanan tangkap ...................................................... 187 Penentuan faktor eksternal yang menjadi kekuatan dan kelemahan co-management perikanan tangkap ..................................................... 188 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel sumberdaya ikan (SDI) terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap .................................................................................................. 189 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel sumberdaya manusia (SDM) terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap ................................................................................. 190 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel teknologi terhadap internaleksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap ………….. 191 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel pasar terhadap internaleksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap …………. 192 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel modal terhadap internaleksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap .................. 193 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel pelabuhan terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap ..... 194 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel transportasi terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap ..... 195 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel usaha pendukung terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap ..... 196 Hasil analisis QSPM penentuan pengaruh variabel pengelolaan ……. 197 Format AHP hierarki pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhanratu ………………………………… 200 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek biologi ………………………………….. 201 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasaran terkait kriteria/aspek biologi ………………………………. 202 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek biologi................................................................. 203 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas tata ruang kewilayahan terkait kriteria/aspek biologi ………………………………………… 204 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek teknologi ………………………… 205 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek teknologi ……………………………….. 206
ix
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
x
Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasarana terkait kriteria/aspek teknologi …………………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek teknologi ……………………………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas tata ruang kewilayahan terkait kriteria/aspek teknologi ……………………………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek ekonomi ………………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah model terkait kriteria/aspek ekonomi ………………………………... Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasarana terkait kriteria/aspek ekonomi …………………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas tata ruang kewilayahan terkait kriteria/aspek ekonomi………………………………………. Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek sosial dan budaya ………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek sosial dan budaya……………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek sosial dan budaya ……………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek sosial dan budaya ……………………………… Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek sosial dan budaya ………………… Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management konsultatif dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap ……………………… Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management informatif dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap ……………………… Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management lainnya dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap ………………………. Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management instruktif dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap ………………………
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
35
36
37
38
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
Perbandingan kontribusi kelima model co-management dalam mengakomodir empat kriteria/aspek biologi dan teknologi (bentuk 2-D plot) ……………………………………………………….…….. Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif (terpilih) terhadap intervensi kepentingan pemenuhan kriteria/aspek biologi (RK biologi = 1,00) …………………………………………………... Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif (terpilih) terhadap intervensi kepentingan pemenuhan kriteria/aspek ekonomi (RK ekonomi = 0,971)………………………………………………... Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif (terpilih) terhadap intervensi kepentingan pemenuhan kriteria/aspek sosial dan budaya (RK sos-bud = 0,00) ………………………………………… Pembiayaan usaha perikanan payang .................................................. Pembiayaan usaha perikanan pancing ulur .......................................... Pembiayaan usaha perikanan jaring rampus ........................................ Pembiayaan usaha perikanan bagan apung ........................................... Pembiayaan usaha perikanan trammel net ........................................... Pembiayaan usaha perikanan purse seine ............................................ Pembiayaan usaha perikanan gillnet .................................................... Pembiayaan usaha perikanan pancing tonda ........................................ Pembiayaan usaha perikanan longline ................................................. Penerimaan usaha perikanan payang ................................................... Penerimaan usaha perikanan pancing ulur ............................................ Penerimaan usaha perikanan jaring rampus ......................................... Penerimaan usaha perikanan bagan apung .......................................... Penerimaan usaha perikanan trammel net ........................................... Penerimaan usaha perikanan purse seine ............................................. Penerimaan usaha perikanan gillnet .................................................... Penerimaan usaha perikanan pancing tonda ........................................ Penerimaan usaha perikanan longline................................................... Hasil analisis kelayakan usaha payang ................................................. Hasil analisis kelayakan usaha pancing ulur......................................... Hasil analisis kelayakan usaha jaring rampus...................................... Hasil analisis kelayakan usaha bagan apung....................................... Hasil analisis kelayakan usaha trammel net......................................... Hasil analisis kelayakan usaha purse seine.......................................... Hasil analisis kelayakan usaha gillnet.................................................. Hasil analisis kelayakan usaha pancing tonda...................................... Hasil analisis kelayakan usaha longline................................................ Nilai peubahdan sisi kanan untuk formula LGP................................... Hasil analisis LGP penentuan alokasi usaha perikanan tangkap potensial................................................................................................. Output antara pada analisis model SEM implementasi co-management kooperatif.................................................................... Modification indices untuk penyempurnaan model………………….. Output akhir pada analisis model SEM implementasi co-management kooperatif (setelah modifikasi)……………………………………… Dokumentasi penelitian………………………………………………
223
224
225
226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 236 237 237 238 238 239 239 240 241 243 245 247 249 251 253 255 257 259 260 263 266 268 281
xi
xii
DAFTAR ISTILAH 1.
ABK
: Anak Buah Kapal
2.
AGPI
: Adjusted goodness of fit index
3.
AHP
: Analitycal Hierarchy Process
4.
Artisanal
: Perikanan Tangkap skala kecil
5.
Atraktor
: Merupakan pemikat yang bertujuan untuk memikat ikan, cumi-cumi dan lain-lain
6.
Bagan Apung
: Bagan/alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan dengan menggunakan perahu
7.
Bagan Tancap
: Bagan/alat tangkap yang digunakan untuk menangkap
ikan
dengan
dipasang
permanen di laut dengan menggunakan tiang tancap 8.
BBM
: Bahan Bakar Minyak
9.
B/C
: Benefit Cost Ratio
10.
Cofish
: Program pembangunan masyarakat pantai dan pengelolaan sumberdaya perikanan
11.
Co-Management perikanan
12.
Co-Management advokatif
: Pengelolaan perikanan dimana kerjasama antara pemerintah dan stakeholders dalam pengelolaan sangat menonjol : Pemerintah kurang begitu besar peranannya sementara masyarakat melalui kelompok kerja yang lebih banyak berperan
13.
Co-Management Informatif : Keterlibatan pemerintah sangat minimal, yaitu hanya dalam membentuk membuat kesepakatan
dan
kerjasama
dalam
masyarakat. 14. Co-Management Instruktif
: Pemerintah sangat berperan, masyarakat hanya
menerima
apa
saja
yang
direncanakan dan diatur oleh pemerintah
xiii
15.
Co-Management konsultatif : Masyarakat
lokal
begitu
banyak
keterlibatannya dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan rencana pengelolaan, namun pemerintah melalui orang orangnya serta instansinya masih memegang peranan 16.
Co-Management kooperatif : Masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang seimbang atau pemerintah pemegang kepentingan lainya bekerjasama dalam hubnungan kemitraan yang sejajar
17.
CVM
: Contingent Value Method
18. Fisheries management
: semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hokum.
19.
GFI
: Goodness of Fit Index
20.
Gillnet
: Alat
tangkap
yang
digunakan
untuk
menangkap ikan 21.
HNSI
: Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia
22.
IPTEK
: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
23.
IRR
: Internal Rate of Renturn
24.
Jaring Rampus
: Alat
tangkap
yang
digunakan
untuk
menangkap ikan berupa jaring rampus 25.
JTB
: Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan
26.
Kawasan Minapolitan
: Wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan
pemasaran
perikanan, pelayanan jasa, atau kegiatan pendukung lainya 27.
KP
: Koefisien Pengaruh
28.
KUB
: Koperasi Usaha Bersama
29.
KUR
: Kredit Usaha Rakyat
xiv
komoditas
30.
LGP
: Linier Goal Programming
31.
Longline
: Alat
tangkap
yang
digunakan
untuk
menangkap ikan 32.
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
33.
MEY
: Maximum Economic Yield
34.
Minapolitan
: konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan
berbasis
kawasan
berdasarkan prinsip – prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan 35.
MSY
: Maximum Sustainable Yield
36.
NP
: Nilai Pengaruh
37.
NPV
: Net Present Value
38.
Pancing Tonda
: Alat
tangkap
yang
digunakan
untuk
yang
digunakan
untuk
menangkap ikan 39.
Payang
: Alat
tangkap
menangkap ikan dengan bagian bawah tersimpul saat mengangkat ikan 40.
PEMP
: Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
41.
PPBSM
: Pengelolaan Perikanan BerbasisMasyarakat
42.
PPI
: Pusat Pendaratan Ikan
43.
PPN
: Pelabuhan Perikanan Nusantrara
44.
PPNP
: Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
Palabuhanratu 45.
Purse Seine
: Alat
tangkap
yang
digunakan
untuk
menangkap ikan 46.
QSPM
: Quantitative strategic planning matrix
47.
RK
: Rasio Kepentingan
48.
RMSEA
: Root Mean Square Error of Approximation
49.
ROI
: Return of Investment
50.
RTP
: Rumah Tangga Produksi
51.
SAR-PRA
: Sarana dan Prasarana
52.
SDI
: Sumber Daya Ikan
xv
53.
SDM
: Sumber Daya Manusia
54.
SEM
: Structural Equation Modelling
55.
SPBU
: Stasiun Pengisian Bahan Bakar Utama
56.
SWOT
: Strength Weaknesses Opportunity Threat
57.
TLI
: Tucker Lewis index
58.
TNP
: Total Nilai Pengaruh
59.
TNPV
: Total Nilai Pengaruh Variabel
60.
TPI
: Tempat Pelelangan Ikan
61.
Trammel Net
: Alat
tangkap
yang
digunakan
menangkap ikan 62.
UPT
: Usaha Perikanan Tangkap
63.
ZEE
: Zona Ekonomi Ekslusif
xvi
untuk
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Palabuhanratu adalah sebuah kawasan pelabuhan perikanan yang terletak di
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan minapolitan pada bulan April 2010 oleh Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan RI sekaligus pencetus gagasan minapolitan. Bupati Sukabumi, Sukmawijaya menginstruksikan memberikan dukungan kepada program minapolitan tersebut dengan mengintegrasikan beberapa pihak terkait untuk
melaksanakan
minapolitan
tersebut
sesegera
mungkin.
Kawasan
Palabuhanratu merupakan kawasan dengan mayoritas penduduknya sebagai nelayan sehingga Palabuhanratu ditetapkan sebagai kawasan minapolitan berbasis perikanan tangkap. Pencanangan Palabuhanratu sebagai kawasan minapolitan pertama dalam lingkup nasional atas dasar potensi yang dimiliki kawasan ini, baik potensi sumberdaya ikan, sumberdaya manusia dan sarana prasarana memadai. Palabuhanratu merupakan kawasan pelabuhan perikanan nusantara yang dapat melayani pendaratan kapal hingga 90GT dan merupakan salah satu tempat pusat pelelangan ikan di selatan Jawa Barat. Berbagai komoditas ikan terdapat di kawasan Palabuhanratu dan yang paling dominan adalah ikan jenis tuna (Thunus sp) dan layur (Trichiurus sp). Kedua jenis ikan ini yang merupakan andalan komoditas ekspor Kawasan Palabuhanratu. Terdapat beberapa potensi yang mendukung perikanan tangkap di Palabuhanratu seperti panjang garis pantai 117 km dengan sembilan kecamatan terletak di kawasan pesisir. Wilayah fishing ground mencapai 702 km2. Potensi lestari sumberdaya ikan Kawasan Palabuhanratu 14.592 ton per tahun. Jumlah tangkapan Ikan Diperbolehkan (JTB) sebesar 11.673 ton per tahun. Potensi lainnya berupa sumberdaya manusia, modal, teknologi sarana dan prasarana pendukung yang cukup baik. Pada tahun 2008 nelayan di kawasan Palabuhanratu mencapai 12.368 orang, sarana dan prasarana berupa Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) sebanyak 1 unit,
Pusat Pendaratan Ikan (PPI) 1 unit, Tempat Pelelalangan Ikan (TPI)
1
sebanyak 5 unit. Palabuhanratu dibangun sejak tahun 1990 dengan luas kolam pelabuhan 3 hektar, pada tahun 1998 ditambah 2 hektar kolam pelabuhan. Pelabuhan di kawasan Palabuhanratu sendiri telah dioperasionalkan sejak tahun 1993. Pelabuhan di Palabuhanratu memiliki dua macam kolam yaitu kolam yang berfungsi untuk penambatan kapal yang ukurannya <30GT seperti pancing, rawai, gillnet dan payang serta kolam untuk penambatan kapal ukuran >30GT seperti longline. Pelabuhan yang terdapat di Kawasan Palabuharatu ini terus dikembangkan baik luas kolam, luas dermaga, kawasan industri, laboratorium untuk pengujian mutu formalin dan histamin. Pada tahun 2009 dibangun pasar ikan, renovasi gedung TPI dan K-3. Pada tahun 2010 dibangun depo pasar dan los pasar. Di Palabuhanratu industri pengolahan juga mulai berkembang. Terdapat 6 Perseroan Terbatas (PT) yang melakukan pengolahan hasil tangkapan ikan segar. RTP pengolah ikan di Kawasan Palabuhanratu sebanyak 1.457 orang. Di Palabuhanratu berdiri organisasi dan kelembagaan seperti Koperasi Usaha Bersama Pengolahan (KUB pengolahan) sebanyak 38 KUB, Koperasi Usaha Bersama Perikanan tangkap (KUB perikanan tangkap) sebanyak 116 KUB dan Koperasi Usaha Bersama Budidaya (KUB Budidaya) sebanyak 31 KUB. Melihat potensi sumberdaya ikan, sumberdaya manusia, kelembagaan, sarana dan prasarana yang tersedia maka Pemerintah memilih kawasan Palabuhanratu
menjadi
pionir
kawasan
minapolitan
perikanan
tangkap.
Minapolitan perikanan tangkap merupakan sebuah program keterpaduan berbagai stakeholders untuk mengembangkan dan mengelola kawasan berbasis perikanan tangkap. Minapolitan perikanan tangkap merupakan program yang bertujuan untuk melakukan revitalisasi sektor perikanan khususnya perikanan tangkap guna meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat. Masyarakat di Kawasan Palabuhanratu maupun Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi masih meragukan implementasi program minapolitan bisa berhasil signifikan mengingat program minapolitan ini membutuhkan dukungan berbagai pihak. Minapolitan merupakan program yang dilakukan dengan menekankan koordinasi dan pengelolaan yang lebih tertata. Program minapolitan dipandang sebagai pembentukan atau penyempurnaan sistem yang telah ada agar berbagai
2
stakeholders bisa lebih terkoordinasi dan terintegrasi. Diharapkan pengembangan perikanan tangkap di Palabuhanratu didukung oleh instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan umum, Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, Dinas Pendidikan dan pihak-pihak terkait lainnya guna mewujudkan pengembangan sektor perikanan berbasis perikanan tangkap Konsep
minapolitan
tidak
lain
adalah
pengelolaan
bersama (co-
management) berbagai pihak. Menurut Nikijuluw (2002) Program comanagement mengoptimalkan peran berbagai pihak melalui koordinasi agar pihak-pihak tersebut berkolaborasi dan berintegrasi lebih baik.
Konsep co-
management perikanan tangkap merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dimana Pemerintah memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap untuk dapat menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, mengkonservasi lingkungan dan ekosistem pantai yang rusak. Pelaksanaan co-management ini juga sejalan dengan semangat melaksanakan undang-undang otonomi daerah dengan mengoptimalkan peran Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Bengen (2004), partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam menentukan berbagai kebijakan pengelolaan sumbedaya perikanan sangat penting karena mereka yang lebih mengetahui keadaan sumberdaya dan aktivitas mereka yang terkadang menyebabkan rusaknya sumberdaya. Penurunan hasil tangkapan nelayan, tekanan terhadap ekosistem pantai seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun akibat pencemaran limbah-limbah pabrik maupun limbah rumah tangga lebih banyak diketahui dan dirasakan langsung oleh masyarakat nelayan daripada penyuluh perikanan, petugas pelabuhan perikanan dan lainnya. Lebih lanjut Makino et al. (2009) menambahkan bahwa konsep co-management sangat mendukung upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan, termasuk membantu penyelesaian masalah utama yang selalu ada pada masyakakat nelayan, seperti kemiskinan dan penipisan cadangan sumberdaya perikanan. Berbagai program Pemerintah sebelumnya yang mirip dengan minapolitan telah dikembangkan di Palabuhanratu diantaranya program Pemberdayaan
3
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), revitalisasi perikanan dan implementasi teknologi tepat guna serta Cofish. PEMP juga telah mengadopsi konsep co-management. Melalui program PEMP maka masyarakat pesisir difasilitasi dan didorong bersama-sama untuk mandiri mengembangkan ekonomi pesisir terutama aktivitas ekonomi yang existing dan potensial dikembangkan. Berbagai jenis kegiatan PEMP meliputi penangkapan ikan, pengolahan hasil tangkapan, bengkel pesisir, kedai pesisir dan usaha
lainya
yang
mendukung
ekonomi
di
wilayah
pesisir.
PEMP
diimplementasikan dengan melibatkan perguruan tinggi, LSM, swasta, mengelola sumberdaya pesisir secara bersama-sama (co-management) Program Cofish adalah program pembangunan masyarakat pantai dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004. Program Cofish telah menganut konsep co-management. Implementasi program dilakukan melalui pendekatan partisipatif dan multi-sektor untuk mengajak keterlibatan bersama semua lapisan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan memelihara aset bersama kawasan pesisir. Upaya tersebut telah menunjukkan hasil positif berupa kesamaan pandangan dan tindakan
dengan
berbagai
stakeholders,
khususnya tentang pengelolaan
sumberdaya perikanan partisipatif dan strategi pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran serta mereka dalam mengatasi masalah kemiskinan dan kesejahteraannya. Program Cofish mempunyai tujuan : (1) memajukan pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya usaha perikanan tangkap secara bertanggungjawab dan berbasis partisipatif, dan (2) meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan prasarana sosial budaya dan untuk menciptakan kesempatan kerja/berusaha bagi masyarakat pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan proyek dilakukan melalui implementasi empat komponen, yaitu (1) pengelolaan sumberdaya perikanan pantai, (2) pembangunan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, (3) perbaikan lingkungan di pusat pendaratan ikan, dan (4) penguatan kelembagaan. Palabuhanratu merupakan kawasan pesisir yang banyak melibatkan partisipasi Pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan swasta dalam pengembangan masyarakat perikanan. Program tersebut menekankan keterlibatan semua
4
stakeholders
terutama
komponen
masyarakat
nelayan
untuk
menjamin
keberlanjutan kegiatan penangkapan, perbaikan ekonomi pesisir, dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Berbagai upaya pengelolaan seperti penyuluhan dan bimbingan teknis penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pengelolaan ekosistem pantai, bimbingan teknis peningkatan usaha dan mutu hasil olahan, pelibatan masyarakat dalam berbagai program pelestarian terumbu karang, dan lain sebagainya telah diimplementasikan di Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu (2010) dan DKP Kabupaten Sukabumi (2006), menyatakan bahwa upaya pelibatan/partisipatif masyarakat yang dikembangkan melalui beberapa program di Palabuhanratu dapat : (1) mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir terutama dari kalangan menengah ke bawah, (2) mendorong percepatan transfer knowledge dan teknologi pengelolaan perikanan tangkap yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah di kawasan Palabuhanratu, (3) mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya, serta (4) mendukung kemandirian ekonomi lokal di Palabuhanratu. Mengingat partisipasi masyarakat manfaatnya cukup baik, upaya tersebut harus dipertahankan dan konsep yang digunakan perlu dibakukan dan dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah model co-management pengelolaan perikanan. Supaya
bermanfaat
nyata,
model
co-management
tersebut
hendaknya
mengakomodir kondisi pengelolaan perikanan yang ada, memperhatikan variabelvariabel dominan pengelolaan dan harapan stakeholders di kawasan tersebut, serta ada panduan implementasinya bila dikemudian hari akan dikembangkan. Penelitian ini mencoba mengkaji secara mendalam terhadap hal-hal tersebut.
1.2
Perumusan Masalah Pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu telah ditetapkan oleh
Pemerintah pada April 2010 menggunakan pendekatan minapolitan. Program minapolitan adalah program yang mendorong partisipasi Pemerintah, swasta, LSM, dan perguruan tinggi yang tidak lain adalah pengelolaan bersama (co-management).
5
Nelayan dan stakeholders perikanan tangkap di Palabuhanratu masih meragukan implementasi program ini berhasil sesuai roadmap yang akan dilaksanakan pada tahun 2011. Bahkan beberapa stakeholders menganggap program minapolitan hanya sebuah nama saja sebenarnya tidak jauh berbeda dengan program-program sebelumnya untuk membangun perikanan tangkap. Program minapolitan bahkan dianggap oleh nelayan Palabuhanratu bukanlah sesuatu yang baru, hanya menjadikan sistem yang telah ada sebelumnya lebih terkoordinasi dan lebih tertata saja. Kehadiran minapolitan hanya dipandang sebagai pembentukan sistem agar stakeholders lebih terkoordinasi dan terintegrasi untuk melakukan pengelolaan bersama (co-management) guna mencapai tujuan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Hingga tahun 2008 pemanfaatan potensi ikan laut di Palabuhanratu belum optimal. Ikan segar sebagai produk utama di Palabuhanratu pemanfaatannya baru mencapai 8.848 ton atau 61% dari total potensi perikanan tangkap yang ada. Nilai Rupiah produksi perikanan tangkap pada tahun 2008 sebesar Rp.54.696.850.000 (Ferinaldy, 2008), diduga belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya ikan karena masalah SDM, modal, teknologi dan kinerja stakeholders terkait. Pengelolaan perikanan tangkap belum optimal dengan alokasi unit usaha perikanan tangkap yang belum optimal, model pengelolaan yang kurang tepat. Indikasi pengelolaan perikanan tangkap belum optimal disinyalir bahwa unit usaha perikanan tangkap yang dikembangkan tidak tepat, pelibatan masyarakat dalam program pemberdayaan masyarakat sedikit, koordinasi dan integrasi pengelolaan perikanan tangkap lemah. Oleh karena itu minapolitan dicanangkan untuk mengoptimalkan pengelolaan berbagai sumberdaya yang ada di Palabuhanratu tersebut. Pemecahan masalah tersebut di atas dapat didekati dengan menjawab pertanyaan berikut : 1)
Bagaimanakah program pengelolaan perikanan tangkap yang telah dan akan dilaksanakan saat ini di Palabuhanratu saat ini?
2)
Bagaimana unit usaha perikanan tangkap saat ini di Palabuhanratu apakah sudah sesuai kapabilitas dan alokasinya?
6
3)
Apakah pengelolaan yang akan dilaksanakan menjamin optimalisasi pemanfaatan dan keberlanjutan sumberdaya?
4)
Bagaimana pola implementasi pengelolaan dan model pengelolaan yang baik di Palabuhanratu? Kondisi Saat ini
Present status : 1. Pemafaatan SDI belum optimal 2. Produktivitas unit usaha belum optimal 3. Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan bersama (co-management) belum maksimal 4. Model Pengelolaan belum jelas
Keinginan untuk revitalisasi usaha perikanan tangkap namun rujukan model pengelolaan bersama belum jelas : (PEMP, Revitalisasi Perikanan)
Koordinasi, integrasi, alokasi sumberdaya, partisipasi stakeholders belum maksimal
Kondisi Mendatang Pengelolaan perikanan tangkap dalam kerangka minapolitan agar potensi sumberdaya dikelola berbagai stakeholders lebih terkoordinasi dan terintegrasi
Unit usaha : SDM, Teknologi, Modal Kinerja
Model Pengelolaan Pola implementasi pengelolaan
Co-management
Target : Pengembangan usaha perikanan tangkap secara bersama-sama untuk optimalisasi sumberdaya ikan, alokasi unit usaha perikanan tangkap optimal, model pengelolaan yang tepat, pola implementasi co-management yang tepat
Gambar 1. Perumusan Masalah Penelitian
7
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1)
Menganalisis kondisi kini pelaksanaan konsep co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu dan variabel dominan yang mempengaruhinya.
2)
Menentukan jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap potensial yang mendukung co-management.
3)
Menentukan model co-management yang tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu.
4)
Merumuskan pola implementasi co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
5)
Memformulasikan rancangan model pengembangan perikanan tangkap berbasis co-management.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1)
Membantu Pemerintah baik pusat maupun daerah dalam pengembangan program pengelolaan bersama perikanan tangkap
2)
Mendukung pengembangan ilmu pengetahuan pengelolaan bersama pada usaha perikanan tangkap
3)
Menjadi referensi bagi penelitian berikutnya baik yang menyangkut comanagement, community based management, maupun pengelolaan terpadu semua aspek pengelolaan perikanan tangkap
4)
Menjadi masukan bagi pengembangan keterlibatan bersama masyarakat, Pemerintah, dan stakeholders perikanan lainnya dalam pengembangan usaha perikanan tangkap potensial
5)
Berguna bagi pengembangan pengetahuan dan wawasan diri mahasiswa.
1.5
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah bahwa :
1)
Berbagai program Pemerintah, swasta, LSM, Perguruan tinggi dan stakeholders terkait di Palabuhanratu memperlihatkan program tersebut dikerjakan dengan pelibatan berbagai stakeholders. misalnya PEMP,
8
Program tersebut
revitalisasi perikanan, penyuluhan, uji coba teknologi
tepat guna. Oleh sebab itu patut diduga bahwa di Palabuhanratu sudah ada bentuk pengelolaan bersama (co-management). 2)
Berbagai program yang melibatkan banyak stakeholders, sehingga diduga ada co-management dengan variabel yang berpengaruh pada usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu.
3)
Ketidak jelasan pola pengelolaan bersama tersebut memunculkan berbagai program pengelolaan bersama (co-management) dengan nama yang berganti ganti tetapi pola implementasinya tetap sama dan belum dirumuskan secara baik.
1.6
Kerangka Pemikiran Penelitian Beberapa konsep pengelolaan yang berbasis co-management telah
diterapkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hal ini misalnya melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), aplikasi teknologi tepat guna, program revitalisasi perikanan tangkap dan yang terakhir program minapolitan yang dicanangkan pada April 2010 oleh KKP. LSM dan Perguruan tinggi telah membuat program pendampingan peningkatan usaha dan mutu hasil olahan ikan-ikan by-catch menjadi kerupuk, pendampingan dan bimbingan teknis pembuatan dendeng ikan dan produk olahan ikan lainnya. Program implementasi teknologi pengolahan ikan berbasis masyarakat melalui penerapan metode pemisahan daging dan tulang ikan, program pengembangan atraktor cumi-cumi secara tepat guna dan program hibah Ditjen Pendidikan Tinggi, dan lainnya. Program-program tersebut tentu memberi dampak tersendiri bagi nelayan dan masyarakat sekitar yang melandasi kerangka pemikiran yang diperlihatkan pada Gambar 2. Untuk menetapkan pijakan awal sekaligus mengukur kesesuaian topik, maka dalam disertasi ini dipandang perlu untuk mengetahui kondisi kini (present status) pelaksanaan konsep co-management kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Kondisi yang ada akan mempengaruhi stakeholders terkait dalam berinteraksi dan mengambil peran guna memenuhi kepentingan stakeholders dalam pengelolaan perikanan tangkap.
9
Kondisi kini yang ada dan kepentingan stakeholders yang berbeda-beda akan mempunyai pengaruh tersendiri dalam operasi usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian. Disertasi ini juga memandang perlu memaparkan kekuatan, kelemahan, peluang, maupun ancamannya model pengelolaan bersama sehingga dapat diketahui kondisi dan posisi pelaksanaan konsep co-management saat ini (present status) di Palabuhanratu. Disertasi ini juga mencoba mengurai beberapa variabel dominan yang mempengaruhinya pengelolaan bersama. Uraian variabel dominan dibuat dalam matriks IFAS, matriks EFAS, matriks internal-eksternal (IE), dan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM).
Kondisi kini Pelaksanaan Konsep Comanagement Perikanan Tangkap
Pemilihan Model Co-management
Pemilihan Usaha Perikanan Tangkap (UPT) Potensial Konsep Teoritis Model Co-management dan UPT Terpilih
Tugas Comanagement
Indikator Comanagement Pola Implementasi Comanagement Terpilih (Pengembangan SDM, Teknologi, dan Modal UPT)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Model co-management perikanan tangkap yang baik merupakan model yang mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap potensial dengan memahami kondisi yang ada, dan harapan setiap stakeholders terkait. Prinsip ini menjadi
10
pemikiran penting dalam pengembangan model co-management. Pertimbangan semua kriteria pengelolaan yang ingin dicapai dan keterbatasan pengelolaan dengan mengakomodir kepentingan semua stakeholders terkait menjadi fokus utama dalam pemilihan model co-management yang tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu ini. Penentuan model dilakukan secara prioritas menggunakan metode AHP dengan lingkup analisis terdiri dari identifikasi dan pendefinisian hireraki, penyusunan struktur hierarki, penetapan skala banding, formulasi data, simulasi dan uji statistik, dan interpretasi hasil (interpretasi model co-management terpilih). Dalam pelaksanaannya, model co-management tersebut juga tidak bisa lepas dengan kegiatan operasi dari usaha perikanan tangkap (unit penangkapan) yang ada sebagai aktivitas dominan bidang perikanan tangkap di Palabuhanratu. Operasi usaha perikanan tangkap akan menentukan pola implementasi model comanagement, dan model co-management akan mengendalikan dimanika operasi usaha perikanan tangkap yang ada. Interaksi umpan balik ini harus berjalan harmonis sehingga kegiatan pengelolaan perikanan tangkap dapat berkelanjutan di Palabuhanratu. Guna mendukung maksud tersebut, maka dipandang perlu untuk mengindentifikasi jenis dan alokasi beberapa usaha perikanan tangkap potensial dengan basis co-management. Pengkajian jenis usaha perikanan tangkap (unit penangkapan) yang potensial dengan basis pelibatan semua komponen di masyarakat penting untuk mendukung implementasi model co-management terpilih pada bidang perikanan tangkap di Palabuhanratu. Untuk meningkatkan kualitas potensial suatu usaha perikanan tangkap, dilakukan kajian terhadap semua aspek pengelolaan baik ekonomi, biologi, sosial budaya, maupun teknologi yang dikembangkan. Kajian ini terdiri dari analisis skoring, analisis kelayakan usaha, dan analisis LGP. Kesesuaian jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap tersebut dapat menghindari kegiatan penangkapan destruktif dan/atau berlebihan, sehingga pemanfaatan potensi perikanan Palabuhanratu tetap dapat dirasakan oleh generasi mendatang, demikian juga konsep co-management yang baik yang mengikutinya.
11
Guna memberi arah dalam implementasinya, juga dirumuskan solusi atau pola implementasi co-management terpilih. Solusi atau pola implementasi tersebut sinkron dengan dinamika usaha perikanan tangkap yang antara lain menyangkut
dukungan
pengembangan
sumberdaya
manusia,
dukungan
pengembangan teknologi penangkapan, dukungan penyediaan modal, sehingga kinerja usaha perikanan tangkap menjadi lebih baik. Pengkajian terkait solusi atau pola implementasi model co-management terpilih berdasarkan hasil analisis AHP. Untuk mengetahui pola implementasi yang tepat, maka komponen pengelolaan yang terlibat dalam interaksi model co-management tersebut dianalisis pola interaksinya yang menyangkut nilai pengaruh, signifikansi pengaruh, dan sifat pengaruh suatu komponen terhadap komponen lainnya baik langsung (direct effect) maupun tidak langsung (indirect effect). Kajian ini menggunakan metode SEM dengan lingkup analisis penyusunan model teoritis, perancangan path diagram, perumusan measurement model dan structural equation, penetapan matriks input dan estimasi model, evaluasi kriteria goodness-of-fit, interpretasi model (hasil analisis SEM). Selanjutnya model co-management tersebut juga dikontrol oleh garis tugas dan indikator keberhasilan co-management yang ditetapkan serta feedback kinerja usaha perikanan tangkap. Pola implementasi tersebut cukup detail dan menyeluruh, dan bila berhasil tentu dapat memandu berbagai kegiatan pengelolaan pada usaha perikanan tangkap Palabuhanratu sehingga menjadi lebih maju.
12
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengelolaan Perikanan di Palabuhanratu
2.1.1 Produksi perikanan Dalam lima belas tahun operasional (1993-2007) sejak diresmikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP) pada tanggal 18 Februari 1993, perkembangan produksi ikan mengalami fluktuasi. Volume produksi ikan Palabuhanratu tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 36,37% diantaranya produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan di kolam pelabuhan mengalami peningkatan sebesar 10,89% dan volume produksi ikan yang masuk ke pelabuhan melalui jalan darat mengalami peningkatan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Volume produksi ikan yang didaratkan di Palabuhanratu ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan ikan segar maupun untuk bahan baku olahan sehingga perlu didatangkan ikan dari luar pelabuhan untuk memenuhi permintaan pasar. Produksi ikan per jenis alat tangkap, ada yang mengalami peningkatan ada pula yang mengalami penurunan. Hasil tangkapan alat tangkap longline mengalami peningkatan sebesar 60,42%, pancing ulur 443,3% dan alat tangkap rampus sebesar 166,2%. Untuk alat tangkap lainnya rata-rata mengalami penurunan produksi hasil tangkapan. Gambar 3 menyajikan volume produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP) selama priode 2000-2009 (PPN Palabuhanratu, 2010). 8,000
Produksi Ikan (ton)
7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 3 Produksi Ikan di PPN Palabuhanratu Selama Periode 2000-2009. 13
Berdasarkan Gambar 3, produksi ikan di PPN Palabuhanratu cukup fluktuatif selama periode 2000-2009 namum mempunyai kecenderungan meningkat. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu berkonstribusi 40-50% dari total produksi perikanan Kabupaten Sukabumi. Meskipun produksi ikan di PPN Palabuhanratu agak fluktuatif selama periode 2000-2009, tetapi nilai rupiah produksinya cenderung meningkat (Gambar 4). Pada tahun 2000, nilai produksi ikan di di PPN Palabuhanratu sekitar Rp.21.437.100,00. Nilai ini terus meningkat hingga tahun 2009, dan peningkatan paling tajam terjadi pada periode 2004 ke 2005, yaitu dari Rp.15.920.235.650 pada tahun 2004 menjadi Rp.30.450.250.000 pada tahun 2005. Peningkatan nilai produksi tersebut lebih disebabkan oleh harga ikan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (PPN Palabuhanratu, 2010).
Nilai Produksi (Rp x juta)
40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 4 Nilai Produksi Ikan di PPN Palabuhanratu Selama Periode 2000-2009.
2.1.2 Kapal perikanan Jumlah kapal perikanan baik perahu motor tempel maupun kapal motor yang beroperasi mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2006 yaitu sebesar 6,77%. Jumlah kapal yang mendaratkan ikan lebih besar dari jumlah frekuensi masuk kapal. Hal ini disebabkan pada tahun 2007 jumlah kapal tuna longline yang melakukan aktifitas penangkapan ikan berkurang tetapi digantikan dengan kapal pengangkut ikan jenis lain.
14
Gambar 5 Kapal Perikanan di PPN Palabuhanratu Selama Periode 1993 – 2009. 2.1.3 Alat tangkap Pada periode 2000-2009 di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, jumlah alat tangkap cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Fluktuasi dengan kecenderungan menurun terjadi pada alat gillnet, namun pada priode 2006-2007, meningkat kembali (PPN Palabuhanratu, 2008). Gambar 6 memperlihatkan perkembangan jumlah alat tangkap gillnet, bagan, dan longline pada periode 2000-2009.
Gambar 6 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Gillnet, Bagan, dan Longline di Palabuhanratu.
15
Pada periode 2005-2007, terjadi peningkatan signifikan jumlah alat tangkap bagan sekitar 57,09%, dan hal ini diikuti oleh kenaikan jumlah nelayan sebesar 37,38%.
Peningkatan ini lebih disebabkan oleh adanya introduksi teknologi
bagan dari luar yang cenderung meningkatkan motivasi nelayan. Diantaranya dari Indramayu dan Cirebon yang mempekenalkan cara penggunaan lampu dengan kapasitas maksimal untuk mengundang gerombolan ikan datang ke bagan (Pemerintah Kabupaten Sukabumi, 2006).
2.1.4 Pemasaran hasil perikanan Pemasaran
hasil
perikanan
dari
pelabuhan
perikanan
nusantara
Palabuhanratu berupa produk ikan segar dan ikan olahan (ikan asin dan pindang). Daerah tujuan distribusi meliputi Palabuhanratu (lokal) dan distribusi antar kota meliputi Sukabumi, Jakarta, Bandung, Bogor dan Cianjur. Untuk memenuhi kebutuhan ikan di pelabuhan perikanan nusantara Palabuhanratu ada juga ikan yang didatangkan dari daerah lain melalui jalur darat di antaranya dari Jakarta, Indramayu, Binuangen, Loji, Cisolok, Ujung Genteng dan Juwana Provinsi Jawa Tengah (Ditjen Perikanan Tangkap, 2006) 2.2
Pengelolaan Berbasis Co-management Menurut Pomeroy dan Williams (1994) dalam Bengen (2004) bahwa konsep
pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep cooperative management atau dengan Ko-manajemen (Co-management). Ko-manajemen didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan wewenang antara Pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove dan lain sebagainya. Dalam ko-manajemen ini, pihak masyarakat dan Pemerintah harus saling berinteraksi baik berupa konsultasi maupun penjajakan awal, misalnya bilamana Pemerintah akan menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah. Dalam konteks konsep ko-manajemen, masyarakat lokal merupakan mitra (patner) penting bersama-sama dengan Pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Ko-manajemen 16
merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengedepankan kerjasama berbagai pihak terkait. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan ini, yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah dan pengelolaan yang dilakukan oleh (Nikijuluw, 2002). Pengelolaan Berbasis Pemerintah
Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pemerintah sebagai pusat pengelolaan
Ko-Manajemen Pemberitahuan Konsultasi Kerjasama Komunikasi Pertukaran informasi Pengawasan hukum Aksi kerjasama Rekanan Kontrol masyarakat Koordinasi antar daerah
Gambar 7. Hierarki Pengelolaan Sumberdaya Alam Dengan Model Ko- manajemen (Bengen. 2004). Jadi dalam Ko-manajemen, bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan adalah hubungan kerjasama dari 2 (dua) pendekatan yaitu, pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah (government centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management) (Gambar 7). Posisi konsep Ko-manajemen dalam hal ini adalah jembatan antara kegiatan-kegiatan yang government centralized management dengan kegiatankegiatan dari pendekatan community based management. Dengan pendekatan pengelolaan berbasis ko-manajemen ini diharapkan akan mampu mencapai tatanan hubungan kerjasama (cooperation), komunikasi (communication) sampai pada hubungan kemitraan
(partnership). Dalam konsep ko-manajemen,
masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih murni oleh masyarakat (community-Based Resource Management; CBRM) menjadi embrio dari penerapan ko-manajemen tersebut (Nikijuluw, 2002).
17
White et al. (1994) dalam Bengen (2004) menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna (the users) dari sumberdaya alam tersebut. Penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, sehinga komanajemen hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu (Pomeroy dan Williams, 1994 dalam Bengen 2004). Pomeroy dan William (1994) dalam Bengen (2004) merekomendasikan 11 kondisi kunci keberhasilan Ko-Manajemen sebagai berikut : 1)
Batas (definisi) wilayah yang jelas Batas wilayah yang dikelola harus jelas, sehingga nelayan dan pembudidaya ikan dapat memiliki pengetahuan yang akurat tentang sumberdaya yang mereka kelola. Batas-batas wilayah harus didasarkan atas ekosistem dimana nelayan dan pembudidaya ikan dapat secara mudah mengamati dan memahaminya. Besarnya wilayah harus disesuaikan dengan skala usaha dan teknologi yang tersedia
2)
Keanggotaan yang jelas Nelayan-nelayan atau petani-petani ikan yang mempunyai hak-hak untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya di suatu wilayah harus secara jelas didefinisikan. Jumlah keanggotaan yang terbatas ini akan memudahkan proses komunikasi dan pengambilan keputusan.
3)
Kohesi kelompok Anggota-anggota organisasi seharusnya tinggal di dekat area. Kedekatan tempat tinggal ini memungkinkan adanya tingkat homogenitas yang tinggi, dalam asepek hubungan kekeluargaan, etnik, agama dan macam peralatan tangkap diantara anggota-anggota kelompok.
4)
Organisasi yang ada sekarang Para nelayan dan petani ikan harus mempunyai pengalaman sebelumnya dengan sistem pengelolaan tradisional dan pengorganisasian yang berbasis masyarakat, keanggotaan organisasi harus mengakomodasikan semua stakeholders yang ada.
18
5)
Manfaat melebihi biaya Setiap anggota kelompok mengharapkan agar manfaat yang diperoleh akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Dari segi administrasi dan pelaksanaan, dibandingkan rejim yang sifatnya sentralistik, Ko-manajemen membutuhkan total biaya yang lebih sedikit untk keduanya. Hanya saja, biaya administrasi dalam Ko-manajemen dapat lebih tinggi karena proses perumusan kebijaksanaan lebih banyak membutuhkan waktu dan melibatkan banyak kelompok
6)
Partisipasi Pihak-pihak yang terlibat Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya harus disertakan dalam kelompok dan semua pihak mempunyai hak dalam pengambilan keputusan.
7)
Penegakan aturan manajemen Aturan manajemen sebaiknya sederhana. Monitoring dan penegakan hak dapat dilakukan oleh semua anggota kelompok.
8)
Hak Hukum Pengorganisasian Kelompok nelayan atau petani ikan dan organisasi mempunyai hak hukum untuk membuat peraturan yang mengikat kepada para anggotanya
9)
Kerjasama dan Kepemimpinan pada level masyarakat Ada insentif dan kemauan para nelayan dan petani ikan untuk berpartisipasi secara aktif, baik dalam waktu, tenaga dan uang.
10)
Desentralisasi dan delegasi wewenang (otoritas) Pemerintah mempunyai kebijakan yang formal dan atau hukum-hukum yang berkaitan dengan desentralisasi fungsi-fungsi administrasi dan delegasi tanggung jawab manajemen dan/atau otoritas kepada Pemerintah lokal dan tingkat organisasi lokal.
11)
Koordinasi antar Pemerintah dan masyarakat Lembaga koordinasi eksternal harus didirikan. Kelompok-kelompok yang ada harus menempatkan wakilnya dalam lembaga koordinasi ini. Lembaga koordinasi ini bertugas untuk memonitor pengaturan manajemen lokal, menyelesaikan masalah konflik dan menegakkan peraturan-peraturan yang telah disepakati.
19
Sejalan dengan semangat reformasi yang berintikan demokrasi, maka dalam demokratisasi perumusan kebijakan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Kebijakan perikanan dan kelautan yang berskala nasional, dalam proses perumusannya harus sedemikian rupa sehingga kepentingan-kepentingan pihak yang terkait dapat terakomodasi secara adil dan proporsional, baik peranan dari bawah maupun dari atas yang dijalin melalui kepentingan bersama (ko-manajemen). Disini diperlukan organisasi kepentingan (seperti LSM) yang kokoh dan tidak terkooptasi, sehingga mampu mengartikulasikan kepentingan yang diwakilinya hingga ke tingkat perumusan kebijakan. Semua kepentingan tersebut harus diarahkan dan dicari titik temu yang dapat mengeliminir konflik pengelolaan (Widodo dan Suadi, 2006). 2.3
Usaha Perikanan Tangkap
2.3.1 Klasifikasi usaha perikanan tangkap Manetsch dan Park (1977) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Usaha perikanan tangkap adalah sebuah sistem yang tediri dari berbagai elemen yang saling terkait dan saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan berupa hasil tangkapan dan pendapatan nelayan yang lebih baik. Menurut Monintja (1994), berdasarkan skalanya, usaha perikanan tangkap dapat dikelompokkan menjadi perikanan rakyat maupun perikanan industri. Perikanan rakyat umumnya mempunyai skala usaha yang kecil, sarana dan prasarana penangkapan terbatas. Hal ini terutama disebabkan karena modal usaha yang dimiliki terbatas. Kegiatan penangkapan ikan dalam perikanan rakyat umumnya dilakukan secara tradisional. Dengan kondisi di atas, maka produksi yang diperoleh relatif rendah, daya penangkapan dan pemasaran sangat terbatas. Menurut Purbayanto (2008) selama ini sumberdaya perikanan di Indonesia merupakan rezim “milik bersama” atau “common property regimes” yaitu siapa pun dapat memanfaatkannya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan tersebut dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan pesat. namun penegakan hukum dan peraturan pengelolaan masih sangat lemah, sehingga dalam dalam 20
prakteknya kegiatan pemanfaatannya cenderung tidak terkendali. keadaan ini bila tidak segera diantisipasi dapat menyebabkan terjadinya perebutan sumberdaya atau dikenal dengan tragedy of common. Perikanan tangkap skala kecil dan perikanan tangkap skala besar ditentukan oleh cara operasi alat tangkap, teknologi alat tangkap yang digunakan, besarnya modal investasi, tenaga kerja dan kepemilikan usaha. Disebut perikanan tangkap skala besar atau skala industri jika kegiatan usaha penangkapan ikan menggunakan modal usaha yang besar, teknologi alat tangkap yang digunakan lebih bagus dan lebih modern, administrasi dan organisasinya lebih teratur sebagaimana layaknya suatu manajemen perusahaan yang dikelola secara professional. Sedangkan perikanan tangkap skala kecil jika kegiatan usaha penangkapan ikan modalnya kecil biasanya modal perorangan, teknologi alat tangkap yang digunakan lebih sederhana terkadang alat tangkap sangat tradisional, tidak memiliki organisasi dan pengelolaan administrasi yang baik (Hermawan, 2006). Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa usaha perikanan tangkap skala kecil masih mendominasi usaha perikanan tangkap di Indonesia. Hampir 90% skala usaha perikanan tangkap yang oleh nelayan di Indonesia tergolong usaha perikanan tangkap skala kecil. Diperkirakan lebih dari 10 juta nelayan Indonesia masih tergolong memiliki usaha perikanan tangkap skala kecil yang mendaratkan ikan 20 juta ton ikan per tahun. Usaha perikanan tangkap skala kecil di Indonesia hampir tidak berubah dari tahun ke tahun baik cara operasi, teknologi yang digunakan, modal yang dimiliki maupun manajemen yang diterapkan. Perubahan pada cara operasi dan teknologi hanya sedikit berubah dari perahu tanpa motor menjadi perahu dengan motor, itu pun masih dengan motor tempel. Demikian pula cara operasi dan teknologi alat tangkap yang dimiliki masih bersifat mencari ikan bukan menangkap ikan disebabkan para nelayan Indonesia sangat lemah dalam penguasan fishing ground dan kemampuan memanfaatkan teknologi alat tangkap. Teknologi penginderaan jauh multisensor dan multikanal untuk pemantaun kondisi laut menjadi salah satu metode alternatif untuk penyediaan data oseanografi secara time series dan real time
(Simbolon,
2011).
21
Perikanan industri pada umumnya memiliki modal usaha yang lebih besar, sarana dan prasarana lebih lengkap. Akibatnya produksi per upaya penangkapan lebih besar dibandingkan dengan perikanan rakyat. Dengan kondisi sarana yang lebih lengkap, mutu hasil tangkapanan akan lebih baik dan dapat memenuhi persyaratan yang diminta oleh pasar, termasuk pasar ekspor. Dengan demikian, perikanan industri diharapkan dapat mengemban misi negara yang secara aktif ikut membangun perekonomian nasional, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (PT. Usaha Mina, 2000). 2.3.2 Permasalahan perikanan tangkap Indonesia Menurut Baskoro (2008) terdapat masalah yang kompleks dan klasik pada usaha perikanan tangkap di Indonesia diantaranya selektifitas alat tangkap, perusakan habitat misalnya pemboman, alat yang berbahaya bagi nelayan, by catch tinggi, dampak biodiversity alat tangkap tinggi, alat tangkap tidak diterima masyarakat misalnya trawl. Pendapat lain juga ada yang menyatakan bahwa masalah perikanan tangkap Indonesia bukan hanya masalah sumberdaya manusia yang lemah, namun berbagai faktor lain seperti masalah ekologi dan biologi ikan yang rusak, jumlah populasi nelayan meningkat yang tidak diiringi dengan pengelolaan perikanan yang baik, semua ini menyebabkan tekanan pada nelayan membuat mereka melakukan praktek penangkapan ikan yang merusak lingkungan yang pada akhirnya membuat lesu dunia perikanan, khususnya tangkap. Komisi Nasional Pengkajian Potensi Sumberdaya Ikan Laut (2008) dan Nurhakim (2007) menyatakan bahwa penurunan hasil tangkapan merupakan permasalahan yang serius pada perikanan tangkap Indonesia. Penurunan hasil tangkapan yang didaratkan di tempat-tempat pendaratan ikan disinyalir banyak pihak bahwa semakin kecil stok ikan di berbagai belahan bumi. Faktor penyebabnya karena ekosistem ikan rusak, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing methods). Eksploitasi yang berlebihan disebabkan oleh berbagai faktor baik sendiri-sendiri maupun secara kombinasi, termasuk pertumbuhan populasi penduduk, penggunaan alat tangkap modern yang efektif, tapi metodenya merusak. Dukungan Pemerintah yang rendah juga dianggap sebagai masalah penting dalam pengembangan perikanan tangkap Indonesia. Dukungan Pemerintah pada 22
perikanan biasanya lebih ditujukan kepada pengembangan perikanan komersial karena mereka memiliki administrasi perusahaan yang lengkap dan memiliki aset yang dapat ditarik jika tidak mampu melunasi bunga uang yang dipinjam. Dukungan Pemerintah kepada perikanan pantai skala kecil hampir tidak ada karena mereka tidak mempunyai administrasi yang jelas, kadang-kadang tempat tinggalnya pun berpindah-pindah. Hal lainnya law enforcement yang masih rendah ditambah dengan partisipasi masyarakat yang rendah dalam menjaga dan melestrasikan sumberdaya perikanan juga merupakan kegagalan semua pihak termasuk Pemerintah dalam menata usaha perikanan tangkap. Komitmen Pemerintah dalam mendukung pembangunan perikanan laut, merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pembangunan di Sektor perikanan laut. Melihat rumitnya struktur kelembagaan yang ikut ambil bagian dalam menangani persoalan-persoalan perikanan laut membuat semakin banyaknya masalahmasalah yang timbul, untuk itu perlu penataan kembali lembaga-lembaga yang terkait dalam bidang perikanan laut sehingga wewenang dan fungsinya jelas dan optimal (Dahuri, 2001). Penyuluhan perikanan juga terbatas di Indonesia, sehingga kurang terjadi transformasi knowledge dan teknologi kepada nelayan. Kegiatan menyuluh bukan hal yang gampang karena berkaitan dengan merubah sikap dan perilaku apalagi kalau merubah perilaku manusia yang memiliki pendidikan yang rendah. Jikapun ada SDM penyuluh, terkadang kinerja juga kurang baik. Hal ini karena biaya penyuluh dikontrak Pemerintah dan dipekerjakan per tahun by project, sehingga tanggung jawab dan kontinyuitas pengabdian mereka terbatas. Disamping penyuluhaan, pengawasan juga diperlukan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan di ZEE oleh kapal-kapal ikan asing yang mendapat ijin untuk beroperasi di perairan ZEE Indonesia, sehingga pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan sedemikian rupa sehingga sumberdaya ikan tetap terjaga (Budiono, 2005). Menurut Fauzi dan Anna (2005), overfishing terjadi karena sulit mengendalikan faktor input dalam quasi open acces yang pada akhirnya sulit mengukur seberapa besar kapasitas perikanan yang dialokasikan di suatu wilayah perairan. Dalam kondisi ini sulit untuk mengetahui apakah perikanan dalam keadaan over capacity atau under capacity. Overfishing merupakan permasalahan
23
yang umum terjadi pada perairan yang kegiatan penangkapannya padat di perairan Jawa dan Sumatera. Overfishing adalah suatu keadaan dimana hasil tangkapan melebihi kapasitas ketersedaiaan sumberdaya. Penyebab overfishing karena (i) Lingkungan misalnya pencemaran, degradasi sumberdaya dan karena (ii) Manusia misalnya menangkap ikan menggunakan bom, cianida, alat tangkap tidak ramah lingkungan. 2.4
Pengelolaan Perikanan Tangkap Yang Berkelanjutan
2.4.1 Konsep potensi maksimum yang lestari Keberlanjutan suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh terjadi tidaknya keseimbangan biologi dari sumberdaya tersebut berupa regenerasi yang terus menerus dan tidak terganggu oleh upaya pemanfaatan yang diterjadi pada sumberdaya tersebut. Pada bidang perikanan tangkap, ditentukan oleh konsep ” Potensi Maksimum Yang Lestari (Maximum Sustainable Yield)” atau yang bisanya disingkat MSY (Clark, 1985). Terlepas dari itu, penggunaan MSY sebagai acuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, juga mempunyai beberapa kelemahan (Fauzi, 2005), yaitu : 1)
Tidak bersifat stabil, karena bila perkiraan stok meleset meskipun tidak terlelu signifikan, dapat menyebabkan pada pengrusakan stok.
2)
Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen.
3)
Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis. Namun demikian, menurut Ghofar (2003) konsep MSY juga mempunyai
kelebihan dari aspek ekonomis, karena dapat yang diperlukan tidak banyak dan cukup disiapkan dalam bentuk analisis sederhana, mudah pengerjaannya, dan gampang dimengerti oleh siapa saja termasuk pengambil kebijakan. Dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan manusia, menurut Widodo dan Nurhakim (2002) pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan mempunyai tujuan utama, yaitu : 1)
Menjaga kelestarian produksi atau pemanfaatan oleh manusia .
2)
Meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan sosial budaya nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya.
24
3)
Memenuhi kebutuhan industri yang memanfaatkan produksi dari perikanan tangkap. Menurut Monintja et al. (2002), standar yang digunakan pada aspek
teknologi untuk kepentingan perikanan tangkap yang berkelanjutan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu : 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku. 2.4.2 Alat tangkap yang ramah lingkungan Menurut Bahari (1989), ada sembilan kriteria alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen, by-catch rendah, dampak terhadap biodiversity rendah, tidak membahayakan ikan yang dilindungi, dan diterima secara sosial budaya. Monintja (1994) menyatakan bahwa suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi bila alat tangkap tersebut dalam operasionalnya hanya menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang sesuai. Sedangkan alat tangkap yang tidak merusak habitat adalah alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang dan ekosistem lainnya sebagai tempat hidup dan berkembang berbagai jenis ikan dasar. Terkait ini, maka penilaian tingkat kerusakan habitat yang terjadi akibat operasi alat tangkap, dapat didasarkan pada tingkatan kerusakan : 1)
Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang lebih luas.
2)
Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit.
3)
Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit.
4)
Aman bagi habitat.
2.4.3 Pengembangan sumberdaya manusia melalui kegiatan usaha ekonomi Program pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat pantai merupakan upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan tangkap dari aspek sosial 25
budaya
ekonomi.
Program
pemberdayaan
ini
penting
dalam
rangka
penanggulangan kemiskinan mencakup berbagai aspek kehidupan, sehingga pendekatannya pun meski bersifat holistik. Peningkatan akses dan pelibatan dalam ekonomi merupakan ujung tombak dari pendekatan holistik itu (Bengen, 2004). Kebijakan yang dapat diambil berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir sebaiknya mencakup aspek usaha, SDM, dan lingkungan. Pemberdayaan usaha merupakan upaya peningkatan kualitas usaha perikanan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan aspek usaha ini (Mashuri, 1993), yaitu : 1)
Inovasi teknologi dalam peningkatan akses informasi, pasar, bantuan modal dan transfer pengetahuan yang dapat mendorong efisiensi produksi, efektifitas manajemen dan modernisasi alat-alat maupun faktor produksi, menjadi tahapan yang harus ditempuh.
2)
Pengembangan asuransi perikanan tangkap. Pengembangan asuransi ini penting untuk mengurangi tingginya tingkat resiko kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan kecil.
3)
Program kemitraan yang diarahkan untuk menciptakan hubungan yang paling menguntungkan baik secara sosial budaya maupun ekonomi antara kelompok pelaku usaha besar dengan nelayan kecil. Pengembangan SDM merupakan langkah peningkatan kualitas SDM baik
dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial, maupun aspek gizi. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan dan mesti diteruskan adalah pelatihan kredit mikro system greemen bank. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajemen organisasi masyarakat pesisir serta untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan kelompok dalam penyediaan modal usaha. Diharapkan terjadi peningkatan kualitas masyarakat pesisir dalam berorganisasi, mengakses modal usaha, dan pengelolaan modal dalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan (Dahuri, 2001). Pengembangan lingkungan merupakan langkah penting dalam mencegah dan mengatasi terjadinya kemiskinan alamiah sekaligus merupakan pintu bagi terwujudnya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Langkah pemberdayaan lingkungan tersebut mencakup peningkatan kesadaran dan
26
kemampuan masyarakat pesisir dalam konservasi sumberdaya perikanan tangkap. Konservasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir dapat berupa penebaran bibit ikan potensial, perlindungan kawasan terumbu karang dan reboisasi hutan mangrove (Monintja, 1994 dan Fauzi 2005). Berbagai program penanggulangan kemiskinan baik yang dilakukan oleh Dinas/Instansi Pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki elemen-elemen pendekatan yang sama yaitu: (a) Adanya pendekatan kelompok; (b) Adanya pendekatan modal/dana sebagai pemicu kegiatan ekonomi; (c) Adanya pendampingan pada kelompok-kelompok masyarakat warga binaan; (d) Adanya pendayagunaan “resource” setempat. Secara kuantitatif program penanggulangan kemiskinan tersebut telah banyak memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan absolute, dimana pada tahun 1972 jumlah penduduk miskin berjumlah 69 juta orang menjadi 22 juta orang atau 11,3% pada tahun 1997 (BAPPENAS, 1998). Terlepas dari ini, ada kekhawatiran dan keraguan tentang efektifitas sumberdaya yang telah kita alokasikan pada program kemiskinan tersebut mengingat program tersebut terlalu dan berat bila harus dilakukan sendiri secara mandiri oleh masyarakat pesisir. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengarahkan, membina dan mengendalikan ke arah yang benar sehingga terwujud perubahan struktur masyarakat yang lebih mandiri. 2.5
Pengembangan Perikanan Tangkap Sebagai Wadah Co-management
2.5.1 Lingkup pengembangan perikanan tangkap sebagai wadah comanagement Pengembangan perikanan tangkap dapat diartikan sebagai usaha perubahan dari suatu yang kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Pengembangan perikanan tangkap juga merupakan suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan nelayan dan masyarakat pesisir dalam mengelola usaha perikanan tangkap dan ekonomi pesisir yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka. Keterlibatan nelayan dan masyarakat pesisir secara luas memberi ruang untuk pengembangan konsep comanagement.
27
Menurut Bahari (1989) dalam Sultan (2004), pengembangan perikanan tangkap merupakan suatu proses yang dilakukan nelayan, pengusaha, masyarakat pesisir dengan didukung oleh Pemerintah untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan tangkap dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan dan masyarakat pesisir melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Sedangkan menurut Pranaji (2000), pengembangan perikanan tangkap tidak dapat dilepaskan dari pengembangan bisnis perikanan secara holistik, yaitu pemberdayaan usaha perikanan tradisional dan industri pengelolaan ikan tidak cukup jika hanya dilakukan dengan pembenahan salah satu subsistem saja, melainkan harus menyehatkan pula keseluruhan jaringan kelembagaan bisnis perikanan. Pelibatan bersama stakeholders terkait dan luasnya lingkup pengembangan merupakan upaya penerapan konsep co-management dalam memajukan usaha perikanan tangkap Indonesia. Oleh karena lingkupnya yang luas, maka pengembangan perikanan tangkap hendaknya memperhatikan beberapa aspek terkait (Sultana dan Abeyasekera, 2008, Setiawan, 2007, dan Widodo et al. 1998), yaitu : 1)
Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders.
2)
Aspek
biologi,
berhubungan
dengan
sediaan
sumberdaya
ikan,
penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapanan dan jenis spesies. 3)
Aspek sosial dan budaya, berkaitan dengan kelembagaan, tenaga kerja, tata nilai yang dianut dalam menjalankan usaha, serta reaksi terhadap perubahan sekitar.
4)
Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat. Pengembangan yang multi aspek tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri
oleh nelayan atau oleh Pemerintah sendiri, tetapi pasti melibatkan semua stakeholders yang terkait di lokasi. Pengorganisasian keterlibatan para stakeholders
yang
terkait
memberi
ruang
co-management dalam usaha perikanan tangkap.
28
bagi
implementasi
konsep
2.5.2 Penerapan co-management pada usaha perikanan tangkap Menurut Soenarno et al. (2007), pengembangan usaha perikanan tangkap di suatu wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh upaya perluasan lapangan kerja dan pengembangan
teknologi
perikanan
tertentu.
Dalam
kaitan
ini,
maka
pengembangan teknologi hendaknya memprioritaskan jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak dan memberi pendapatan memadai bagi nelayan. Upaya ini merupakan penerapan konsep co-management karena meletakkan peran tenaga kerja (nelayan) dengan berbagai keahlian sebagai pelaku utama perikanan tangkap. Konsep co-management dapat diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap secara luas, dimana masyarakat, Pemerintah dan swasta bekerjasama untuk melakukan beberapa pengembangan di bidang perikanan tangkap. Pengembangan tersebut (Soenarno et al. 2007 dan Nikijuluw, 2002), diantaranya yaitu : 1)
Pengembangan prasarana perikanan
2)
Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan usaha perikanan tangkap
3)
Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan
4)
Pengembangan sistem informasi manajemen usaha perikanan tangkap. Menurut Imron (2003), pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di
Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan. Dalam hal ini, konsep co-management juga dapat digunakan terutama penyusunan aturan dan syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia. Dengan difasilitasi dan diarahkan oleh Pemerintah, nelayan, swasta, dan masyarakat pesisir dapat dilibatkan dalam pengembangan teknologi penangkapan, misalnya dengan ketentuan : 1)
Menyediakan kesempatan kerja yang banyak.
2)
Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan.
3)
Menjamin jumlah produksi yang tinggi.
4)
Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang bisa diekspor.
5)
Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan.
29
Teknik pelaksanaan ketentuan tersebut dapat dibicarakan bersama oleh Pemerintah, nelayan, swasta, dan masyarakat pesisir. 2.6
Posisi Masyarakat Dalam Pengelolaan Perikanan Dalam pengelolaan perikanan perlu pengetahuan tentang informasi dasar
mengenai proses biologi dan proses ekonomi yang menyangkut setiap jenis kegiatan perikanan. Proses biologi meliputi informasi tentang populasi spesies ikan tertentu atau kelompok spesies ikan dan dinamikannya, parameter habitat dan lingkungan yang mempengaruhinya, reproduksi, pertumbuhan dan mortalitasnya. Semua ini membutuhkan keterlibatan dan kerjasama semua komponen masyarakat nelayan, sehingga informasi yang diharpakan dapat terkumpul secara detail dan akurat (Nikijuluw, 2002). Menurut Nurhakim (2007), proses ekonomi dengan sejumlah metode misalnya MSY, MEY, input-output dalam menentukan pemanfaatan sumberdaya ikan, investasi permodalan yang diperlukan dan keluaran berupa hasil dan pendapatan usaha. Juga perlu diketahui metode untuk menetapkan stok ikan dan menetapkan tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya yang diinginkan. Rancangan kelembagaan dan regulasi untuk mempertegas hak pemanfaatan sumberdaya dan mengendalikan eksploitasi sumberdaya ikan dan pemasarannya. Proses ini juga akan berjalan dengan baik bila ada dukungan dari masyarakat. Dalam kegiatan ini, semua upaya pengelolaan tersebut menjadikan masyarakat nelayan sebagai basis informasi dan pengembangan. Menurut Fauzi (2005), pengelolaan sumberdaya ikan memerlukan suatu model tentang populasi ikan dan model ekonomi. Secara sederhana kegiatan penangkapan ikan akan berkelanjutan dan lestari (sustainable) jika laju penangkapan menghasilkan jumlah tangkapan yang seimbang dengan laju pertumbuhan stok ikan. Kajian tentang bagaimana menjaga keseimbangan ini tertuang dalam model-model pengelolaan perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan juga memerlukan model-model untuk mengkaji populasi ikan terutama yang mempengaruhi faktor-faktor pertumbuhan, mortalitas dan pendugaan stok ikan. Masalah pengelolaan sumberdaya perikanan sangat berkaitan erat dengan interaksi
masyarakat
di
lingkungan
pantai
(pesisir)
dan
Satria et al. (2002) menyatakan bahwa masalah pesisir disebabkan oleh : 30
perairan.
1)
Degradasi kawasan pesisir yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat (stakeholders coastal).
2)
Degradasi kualitas lingkungan perairan teritorial hal ini disebabkan oleh polusi, kontaminasi dan dampak aktivitas lingkungan di kawasan pesisir. Oleh karena ini, pengelolaan perikanan tidak boleh dilepaskan dengan peran
serta masyarakat nelayan dan pesisir. Kontribusi masyarakat nelayan dalam kegiatan perikanan sangat dominan, dan bahkan dikatakan sebagai pelaku utama kegiatan perikanan. Terkait dengan ini, maka masyarakat nelayan dan pesisir harus dilibatkan dalam kegiatan apapun yang dilakukan di kawasan perikanan. 2.7
Perikanan Co-management Sebuah Inovasi Memperkuat Kelembagaan Menurut Nielsen et al. (2003) selama dekade terakhir konsep co-
management meningkat diterima sebagai salah satu cara pengelolaan untuk meningkatkan
kinerja
pengelolaan
perikanan
(fisheries
management
performance). Walaupun demikian peningkatan penerimaan terhdap konsep comanagement masih didefinisikan berbeda-beda oleh berbagai pihak Berbagai stakeholders telah bersaing dan bahkan berkonflik dalam pemanfaatan ruang, sumberdaya ikan di kawasan pantai. Pembangunan infrastruktur, pariwisata, penangkapan ikan komersial dan sebagainya bersaing di kawasan pesisir dan pantai. Di Afrika selatan lembaga co-management yang ada di masyarakat tidak mampu mengatasi tekanan perkembangan kegiatan perikanan. Kelembagaan tumbuh karena didorong oleh Pemerintah. Disadari bahwa kelembagaan perikanan akan berkembang jika ada kemitraan Pemerintah, industri, nelayan untuk memperkuat manajemen bersama yang disebut co-management. Tata kelola perikanan dengan co-management di Afrika selatan meliputi 3 hal yaitu : 1.
Mengatur tujuan pengelolaan
2.
Mendefinisikan dan menyediakan pengetahuan dasar (base knowledge) bagi pengelolaan
3.
Memastikan implementasi keputusan manajemen
31
Pemerintah
3
2 1 pengelolaan
1
MengaturTujuan Pengelolaan
2
Pengetahuan dasar
3
Implementasi kebijakan
Komunitas nelayanKo
Gambar 8 Manajemen Perikanan Modern. Pemerintah
1
3
2
1
MengaturTujuan Pengelolaan
2
Pengetahuan dasar
pengelolaan 3
Implementasi kebijakan
Komunitas nelayanKo
Gambar 9 Instrumental Co-management.
Pemerintah
1
2
1
Mengatur Tujuan Pengelolaan
2
Pengetahuan dasar
3 3
pengel
Implementasi kebijakan
Komunitas nelayanKo
Gambar 10 Co-management pemberdayaan perikanan. 2.8
Co-management Menjadi Resolusi Konflik Antara Nelayan Kearny (2002) menulis bahwa co-management dapat menyelesaikan konflik
antar nelayan komersial dengan nelayan rekreasi di Victoria Australia yang terjadi 1980-1990-an. Fisheries co-management council Victoria ditugasi untuk mereview pengelolaan sumberdaya dan mengimplementasikan co-management untuk mengatasi konflik antar nelayan komersial dan nelayan rekresi tersebut. Lebih lanjut Kearny menjelaskan bahwa peran Pemerintah dalam co-management mengalami devolusi yaitu : (1) instruktive (otoritas user paling kecil), (2) consultative, cooperative (kesetaraan peran patners), (3) advisory dan normative 32
(peran Pemerintah kecil). Hal ini sejalan dengan Nikijuluw (2002) bahwa comanagement dengan peran Pemerintah lebih dominan ke peran Pemerintah yang kurang dengan urutan co-management instruktive, consultatative, cooperative, advisory dan normative. 2.9
Co-management Sebagai Upaya Pemberdayaan Menurut Jentoft (2004) co-management membutuhkan peningkatan
kapasitas. Peningkatan kapasitas meliputi peningkatan kapasitas kepribadian, kognitif, motivasi dan konseptual. Pemberdayaan melalui co-management dapat dicapai secara kolektif karena co-management bekerja di tingkat kelompok, masyarakat dan bahkan pada suatu kawasan yang lebih luas dengan melibatkan banyak stakeholders Batasan untuk pemberdayaan adalah : 1.
Kepentingan publik dalam pengelolaan perikanan dan negara memiliki tanggung jawab untuk menegakan aturan pengelolaan
2.
Campur tangan Pemerintah meliputi kekuasaan legislatif, sumberdaya keuangan (modal), dukungan pendidikan
3.
Campur tangan pengelola perikanan dalam hubungan sosial dan proses dari beberapa kompleksitas Pengelolaan bersama telah diterapkan dan dilaksanakan dengan instrumental
dari Pemerintah. Hal ini telah menciptakan situasi dimana proses berbeda dengan yang direncanakan akan menyebabkan pemberdayaan tidak berjalan di masyarakat setempat.
2.10 Co-management
Perikanan
Pendelegasian
Tanggung
Jawab
Pemerintah Kepada Organisasi Nelayan Menurut
Jentoft
(1989)
bahwa
co-management
perikanan
adalah
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab kepada organisasi nelayan. Pemerintah membuat aturan, kemudian nelayan mengimplemetasikan dan saling mengontrol aturan yang sesuai dengan organisasi nelayan yang akan dilaksanakan dengan baik dan sebaliknya. Co-management juga berarti organisasi nelayan diberikan otoritas oleh Undang-undang untuk mengontrol kepastian hukum atas aturan itu. Di Norwegia Pemerintah menyediakan Dewan Penasehat bagi 33
organisasi nelayan, Dewan Penasehat itu terdiri atas perwakilan nelayan, industri perikanan, dimana Pemerintah berkonsultasi sebelum aturan di undangkan, oleh karena itu co-management berarti organisasi perikanan yang tidak hanya menjalankan keputusan Pemerintah tetapi juga punya otoritas membuat dan mengimplementasikan aturan itu bagi mereka sendiri. 2.11 Tipikal Kebijakan Perikanan Tangkap Kebijakan (policy) sering diartikan sebagai aturan main atau set of rule of law. Kebijakan dapat berupa
formal law (positive law) dan informal law
(written). Dalam suatu negara, kebijakan biasanya dibuat oleh Pemerintah, dan kalaupun tidak membuat secara langsung, tetapi Pemerintah mempunyai peran dan wewenang untuk melegitimasi dan melindungi kebijakan yang dibuat secara legal oleh suatu lembaga tertentu sebagai aturan internal lembaga tersebut. Terkait dengan tatanan kenegaraan, kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan Pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah dalam rangkah mewujudkan suatu keinginan rakyat (Nikijuluw, V. 2005). Berdasarkan
tingkatannya,
kebijakan
dibedakan
atas
tiga
macam
(Nikijuluw, V. 2005) yaitu : 1)
Kebijakan umum; kebijakan umum merupakan kebijakan yang dalam bentuk Undang-Undang. Kebijakan umum lebih menekankan pada isu strategis.
2)
Kebijakan pelaksanaan; kebijakan pelaksanaan merupakan kebijakan dalam bentuk peraturan Pemerintah pusat dan daerah yang biasanya berupa aturan umum
operasional.
Kebijakan
pelaksanaan
cenderung
memberikan
pertimbangan pada isu strategis dan masalah teknis. 3)
Kebijakan teknis; kebijakan teknis merupakan kebijakan operasional yang dibawahi oleh kebijakan pelaksanaan. Kebijakan teknis lebih menekankan pada masalah teknis yang terjadi di lapangan.
2.12 Arahan Kebijakan Perikanan Tangkap Menurut Lawson (1984), Pemerintah perlu mengambil beberapa kebijakan dalam pengelolaan perikanan tangkap sehingga pengelolaan tersebut tetap berkelanjutan. Kebijakan tersebut dapat mencakup pembatasan alat tangkap
34
(restriction on gears), penutupan musim (closed season), penetapan kuota penangkapan, penutupan area (closed area), dan pembatasan ukuran ikan yang didaratkan. Menurut Kesteven (1973), sarana produksi merupakan indikator utama penunjang ke arah berkembangnya usaha perikanan tangkap. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2007), pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Keputusan bersama Mentan dan Menhub (Pasal 1) No. 493/KPTS/IK.410/7/96 dan No. SK.2/AL.106/PNB-96 menyatakan bahwa pelabuhan perikanan sebagai
prasarana perikanan adalah
tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan sekitarnya, untuk digunakan sebagai pangkalan
operasional,
tempat
berlabuh,
bertambat,
mendaratkan
hasil,
penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan. Unit pengolahan bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan melakukan penanganan yang tepat dan mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higienis dan terhindar dari sanitasi. Unit pengolahan ini terdiri dari terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Pada masyarakat nelayan, unit pengeolahan ini sederhana dan masih bersifat tradisional yang kegiatannya meliputi penggaraman, pendinginan, pengeringan dan pengasapan (Moeljanto, 1996). Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Dalam sistem perikanan tangkap, produsen merupakan masyarakat nelayan yang menyiapkan hasil tangkap dengan kualitas tertentu dan konsumen merupakan
35
pihak lain baik industri maupun perorangan yang membayar hasil tangkapan dengan harga tertentu. Unit pemasaran merupakan komponen kerja terakhir sekaligus tujuan sistem perikanan tangkap karena dari unit pemasaran ini dihasilkan transaksi yang dapat menutupi biaya kerja sistem dan memberikan keuntungan bagi pelakunya.
36
3 3.1
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Pemilihan Palabuhanratu sebagai lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan : 1)
Palabuhanratu memiliki kompleksitas pengelolaan perikanan karena pengaruh multi stakeholders, multi manajemen, dan multi usaha, sehingga perlu co-management.
2)
Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PSBPM) cukup banyak dilakukan di Palabuhanratu baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, LSM dan swasta dan perguruan tinggi. Kondisi ini tentu memberi data awal yang cukup bagi berbagai kajian pengelolaan dengan basis masyarakat di bidang perikanan.
3)
Program dari Pemerintah, swasta dan LSM di Palabuhanratu, juga selalu disertai dengan penyuluhan, pendampingan, dan bimbingan teknis kepada masyarakat yang merupakan unsur terpenting dalam co-management. Adapun program dengan mengutamakan pemberdayaan masyarakat tersebut di Palabuhanratu dari Pemerintah diantaranya program PEMP, sedangkan dari LSM, perguruan tinggi dan swasta diantaranya pendampingan dan bimbingan teknis untuk peningkatan usaha dan mutu hasil olahan ikan by catch menjadi kerupuk, dendeng ikan dan produk olahan ikan lainnya (terakhir dilakukan di Desa Cisolok Palabuhanratu). Output dari program tersebut dapat menjadi cikal bakal pengelolaan berbasis co-management di bidang perikanan.
4)
Palabuhanratu merupakan salah satu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang terletak cukup dekat dan selama ini belum pernah dilakukan penelitian co-management dengan obyek di bidang perikanan tangkap. Untuk mendukung relevansi dan keterwakilan data lokasi penelitian, maka
penelitian ini dilakukan di beberapa desa pesisir yang dominan aktivitas perikanannya di sekitar Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
37
Gambar 11 Peta Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dibeberapa desa pesisir yang dominan aktivitas perikanannya, yaitu Cisolok, Citepus, dan daerah sekitar pelabuhan. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal hingga penulisan disertasi dilakukan selama 6 (enam) bulan, yaitu mulai dari Juni 2010 sampai dengan Desember 2010. Sedangkan pengambilan data lapang dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama untuk pengumpulan data terkait kegiatan pengembangan perikanan tangkap terkait dengan konsep co-management, variabel yang berpengaruh dominan dalam co-management dan identifikasi model co-management yang tepat dilakukan pada bulan Juni - November 2010. Tahap kedua untuk pengumpulan data terkait jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap (unit penangkapan ikan) yang potensial dan mendukung co-management, serta pola implementasi comanagement terpilih dilaksanakan pada bulan September – Desember 2010. 3.2
Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung dikumpulkan di desa pesisir di Palabuhanratu berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap, sedangkan data sekunder merupakan data yang tersedia pada instansi terkait yang
38
mendukung kelengkapan data penelitian. Adapun data yang dikumpulkan baik dari jenis data primer maupun data sekunder meliputi : 1)
Data potensi sumberdaya perikanan dan lingkungan
2)
Data nelayan
3)
Data alat tangkap
4)
Data armada penangkapan ikan
5)
Data produksi dan komposisi hasil tangkapan
6)
Data ekonomi, sosial dan budaya
7)
Data finansial usaha perikanan tangkap
8)
Data kebijakan dan peraturan yang berlaku
9)
Informasi program yang mengadopsi konsep co-management di lokasi
10)
Informasi tentang berbagai model co-management untuk pengelolaan perikanan tangkap
11)
Data interaksi pengembangan usaha perikanan tangkap (SDM, teknologi, modal dan kinerja)
3.3
Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Metode pengumpulan data primer Metode pengumpulan data primer terdiri dari pemilihan kelompok sampling, identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Metode pengumpulan data ini dilakukan secara berurutan. 1.
Pemilihan kelompok sampling Sampling dilakukan terhadap stakeholders yang terkait dengan kegiatan
perikanan tangkap berbasis co-management di Palabuhanratu, yaitu perwakilan nelayan, pedagang/pengolah ikan, pengusaha perikanan (swasta), pengelola pelabuhan perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan masyarakat pesisir. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam pemilihan kelompok sampling ini adalah : 1)
Populasi kelompok sampling yang terkait dengan kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
2)
Tingkat keterlibatan kelompok sampling dalam kegiatan perikanan tangkap baik langsung maupun tidak langsung.
3)
Interaksi langsung kelompok sampling dengan nelayan.
39
2.
Identifikasi responden Jumlah responden yang dipilih dari kelompok sampling tergantung jenis
data primer yang dikumpulkan. Responden ini dipilih secara purposive sampling dari kelompok sampling berdasarkan ketokohan, pengetahuan, dan penguasaan terhadap aktivitas kelompoknya. Adapun ketentuan penetapan jumlah responden penelitian adalah : 1)
Jumlah responden untuk pengumpulan data analisis SWOT, QSPM, analisis kelayakan usaha, dan analisis skoring adalah 50 orang dari 981 populasi (510%) usaha perikanan tangkap sejenis di desa pesisir Palabuhanratu.
2)
Jumlah responden untuk pengumpulan data terkait penentuan model comanagement menggunakan analitycal hierarchy process (AHP) mengacu kepada ketentuan AHP menurut Saaty (1991), yaitu 20 orang expert. Responden berasal dari beberapa tokoh dari perwakilan semua kelompok sampling.
3)
Jumlah responden untuk pengumpulan data analisis LGP adalah 50 orang dari 981 populasi (5-10%) usaha perikanan tangkap sejenis yang potensial dan berbasis co-management di desa pesisir Palabuhanratu.
4)
Jumlah responden untuk pengumpulan data terkait perumusan solusi implementasi co-management terpilih menggunakan analisis structural equation modelling (SEM) mengacu kepada kebutuhan estimasi maximum likelihood (Ferdinand 2002) yaitu sekitar 183 orang (20%). Responden berasal dari perwakilan semua kelompok sampling.
3.
Pengumpulan data responden Pengumpulan data responden dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik
wawancara terbuka dan contingent value method (CVM). Teknik wawancara terbuka dilakukan untuk mengumpulkan data terkait pengelolaan perikanan tangkap berbasis co-management yang memerlukan informasi dari pelaku langsung maupun tidak langsung di lokasi. CVM dilakukan untuk mengumpulkan data yang penting untuk pemilihan dan pengembangan model co-management yang tepat dalam pengelolaan perikanan tangkap, namun maksudnya sulit dicerna responden, misalnya dalam pengumpulan data untuk analisis AHP dan analisis SEM. CVM dilakukan dengan menciptakan kondisi pasar hipotesis, sehingga 40
responden seakan-akan merasakan apa yang diilustrasikan enumerator, dan kemudian dapat menjawab dengan baik apa yang ditanyakan responden. 3.3.2 Metode pengumpulan data sekunder Metode pengumpulan data sekunder terdiri dari studi literatur, pendapat pakar, dan kombinasi keduanya. 1.
Studi literatur Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang berasal
dari buku, jurnal, atau hasil penelitian lainnya terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap, pelaksanaan prinsip co-management dalam pengelolaan dan lainnya di Palabuhanratu maupun di tempat lain dengan masalah serupa. 2.
Pendapat pakar Pendapat pakar yang dimaksud merupakan pendapat atau gagasan yang
disampaikan melalui media baik elektronik maupun media massa tentang suatu masalah yang berkaitan dengan penelitian. Pakar tersebut dapat berasal dari perguruan tinggi, instansi teknis (KKP dan lembaga riset perikanan), dan pengamat/praktisi perikanan, masing-masing 2 orang. Data yang dikumpulkan dapat bersifat landasan teori, perkembangan pengelolaan perikanan tangkap, progress implementasi program co-management di suatu lokasi, dan analisis prospek, dan kebijakan yang mendukung suatu program pengelolaan perikanan dan lainnya. 3.
Kombinasi studi literatur, hasil studi, dan pendapat pakar Metode kombinasi digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang
sumbernya banyak dan berantai. Metode kombinasi ini dapat dilakukan bila dari salah satu metode di atas belum didapatkan data yang diharapkan. 3.4
Metode Analisis Semua data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan
diidentifikasi, dikelompokkan, dan dianalisis sesuai peruntukannya untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian ini. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini mencakup analisis SWOT, analisis QSPM, analisis hierarki, analisis
41
skoring, analisis LGP, dan analisis SEM. Secara umum, skema analisis yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 11. Start Deskripsi Pengelolaan Perikanan Tangkap Palabuhanratu
Analisis SWOT dan QSPM Struktur Hierarki, Uji Banding Berpasangan
Metode AHP
Inconsistency ratio & Sensitivity test
Uji Statistik Model Co-management Terpilih
Analisis Skoring
Biologi Jenis Usaha Perikanan Tangkap Potensial
Sosial budaya Teknologi Ekonomi
Tidak
Ya
Potensial berbasis CoManagement
Analisis Kelayakan Usaha (NPV, B/C ratio, IRR, ROI)
Analisis LGP Penyusunan Model Teoritis & Path Diagram Goodness-of-fit
Alokasi Usaha Perikanan Tangkap Potensi & Berbasis Comanagement
Analisis SEM
Pola Implementasi Model Co-management Terpilih Stop
Gambar 12 Skema Analisis dalam Penelitian. 42
1.
Present status Untuk menganalisis kondisi kini (present status) pelaksanaan konsep co-
management
dalam
pengelolaan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu
menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT terdiri atas faktor analisis faktor internal dan analisis faktor eksternal, sehingga menjadi pijakan awal dalam pengembangan analisis selanjutnya pada penelitian ini. Analisis ini dilakukan dengan mengukur kekuatan (strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) yang ada pada perikanan tangkap saat ini yang menggunakan
konsep
co-management
dalam
beberapa
praktek
operasi
pengelolaannya, kemudian membuat plot kondisi/posisi saat ini berdasarkan pemetaan
hubungan
keempat
kelompok
faktor
tersebut.
Matriks
yang
dikembangkan dalam proses analisis ini mencakup matriks IFAS, matriks EFAS, dan matriks internal-eksternal (IE).
2.
Variabel Dominan yang mempengaruhi co-management untuk mengindentifikasi beberapa variabel dominan yang mempengaruhi
co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu menggunakan analisis Quantitative strategic planning matrix (QSPM), QSPM merupakan teknik analisis yang secara obyektif dapat menetapkan variabel yang mempengaruhi atau dibutuhkan oleh suatu kegiatan manajemen berdasarkan prioritas atau dominasinya. Secara umum, analisis yang dilakukan dalam pengembangan metode QSPM ini mencakup pendaftaran/identifikasi variabel, pemberiaan bobot, dan penghitungan nilai pengaruh.
3.
Penentuan model co-management Untuk menetukan model co-management yang paling tepat (dalam skala
prioritas) pada perikanan tangkap di Palabuhanratu digunakan Analytical Hierarhcy Process (AHP). Pilihan berdasarkan skala prioritas dipilih karena dapat membandingkan semua alternatif model co-management berdasarkan semua
pertimbangan
yang
mungkin
sehingga
lebih
representatif
dan
implementatif dalam aplikasinya.
43
Dengan mengacu kepada metodologi penelitian, pemilihan model comanagement ini dilakukan dengan pendekatan analisis hierarki. Hal ini penting supaya model co-management yang dipilih benar-benar merupakan model terbaik bagi pengelolaan potensi perikanan tangkap yang ada dan mengakomodir semua komponen pengelolaan terkait baik yang menjadi kriteria pengelolaan maupun pembatas pengelolaan. Rancangan hierarki pada bagian ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau interaksi terpadu semua komponen yang menjadi pertimbangan tersebut, sehingga pengelolaan perikanan lebih akomodatif dan membawa manfaat maksimal. Pengembangan analisis dengan pertimbangan berbagai komponen terkait ini juga penting dalam upaya melibatkan peran stakeholders terutama nelayan dan masyarakat lokal, dimana penilaian komponen pengelolaan merupakan kontribusi saran dan argumen dari stakeholders tersebut. Pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sangat ditentukan oleh kriteria/aspek pengelolaan yang ingin dicapai, kondisi pengelolaan yang ada saat ini, dan alternatif model co-management yang ditawarkan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Hasil identifikasi lapang dan studi literatur menunjukkan paling tidak ada empat aspek pengelolaan yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu,
termasuk
dengan
mengembangkan model co-management, yaitu aspek biologi, aspek teknologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial dan budaya. Dalam struktur hierarki yang dikembangkan, keempat aspek pengelolaan ini berada di level 2 setelah goal di level 1. Pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini juga dipengaruhi berbagai kendala/pembatas. Kendala/pembatas ini merupakan gambaran kondisi dalam pengelolaan, namun mempunyai keterbatasan baik kualitas maupun kuantitas, sehingga dapat menjadi penghambat kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Terkait dengan ini, maka model co-management yang baik adalah model comanagement yang dapat mengakomodir dan mengontrol keterbatasan tersebut, sehingga mendukung pengelolaan dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hasil identifikasi lapang dan studi literatur, diketahui bahwa hal-hal yang bisa menjadi
44
kendala/pembatas dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, termasuk dengan menerapkan model co-management diantaranya adalah ketersediaan sumberdaya, sumber dan jumlah modal, kondisi sarana prasarana perikanan dan pendukungnya, lingkup kewenangan, dan tata ruang kewilayahan. Faktor pembatas tersebut akan menentukan dan mempengaruhi pemenuhan kriteria pengelolaan perikanan yang perlu dicapai, dimana dalam struktur hierarki, faktor tersebut berada di level 3. Sedangkan alternatif model co-management yang ditawarkan untuk mendukung pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu ada berbagai tipe co-management dalam pengelolaan sumberdaya menurut Jentoft (1989) dan Nikijuluw (2002), yaitu : 1)
Model co-management Instruktif
2)
Model co-management Konsultatif
3)
Model co-management Kooperatif
4)
Model co-management Advokatif
5)
Model co-management Informatif
GOAL
Pemilihan Model Co-management Pengelolaan Perikanan Tangkap
Kriteria Pengelolaan
Biologi
Teknologi
Limit Factor
Sumberdaya
Modal
Alternatif Comanagement
Comanagement Instruktif
Comanagement Konsultatif
Gambar 13
Ekonomi
Sarana & Prasarana
Comanagement Kooperatif
Kewenangan
Comanagement Advokatif
Sosial Budaya
Tata ruang
Comanagement Informatif
Struktur hierarki pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
45
Dalam
struktur
hierarki
AHP,
alternatif
model
co-management
pengelolaan perikanan tangkap ini akan mengisi posisi level 4 dalam struktur hierarki AHP yang dikembangkan. Berdasarkan semua uraian tersebut, maka struktur hierarki pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dapat dirancang seperti Gambar 13. Pada Gambar 13 terlihat bahwa ada tiga tahapan analisis hierarki yang dilakukan untuk pemilihan model co-management yang tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu, yaitu
a) analisis
kepentingan empat aspek pengelolaan yang ingin dicapai dengan diberlakukannya model co-management pengelolaan perikanan tangkap, b) analisis kepentingan lima faktor pembatas dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, dan c) analisis kepentingan setiap alternatif model co-management pengelolaan perikanan.
Untuk mengakomodir kepentingan semua komponen pengelolaan
dalam hierarki AHP ini, maka pendapatan dan pertimbangan semua stakeholders dan komponen terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu sangat diharapkan. Pada bentuk co-management instruktif, informasi yang saling ditukarkan di antara Pemerintah dan nelayan tidak begitu banyak. Tipe co-management ini hanya berbeda dari rezim pengelolaan oleh Pemerintah dalam hal adanya dialog antara kedua belah pihak. Namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan peranannya. Dalam hubungan ini pemerintah menginformasikan kepada nelayan tentang rumusanrumusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang Pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan. Pada bentuk co-management konsultatif, masyarakat memiliki posisi yang hampir sama dengan pemerintah. Dengan kata lain masyarakat mendampingi Pemerintah dalam menjalankan co-management. Oleh karena itu, ada mekanisme yang membuat sehingga pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat. Meskipun masyarakat bisa memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, keputusan apakah masukan tersebut harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah yang berperan dalam perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan.
46
Pada bentuk co-management kooperatif, masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian, semua tahapan manajemen, sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pemantauan institusi co-management berada dipundak kedua belah pihak. Pada bentuk co-management advokatif, peran masyarakat cenderung lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, masyarakat justru dapat mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah. Kemudian pemerintah mengambil keputusan serta menetukan sikap resminya berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Sedangkan pada bentuk co-management informatif, peran pemerintah makin berkurang dan dilain pihak peran masyarakat lebih besar dibanding dengan empat bentuk co-management sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh mayarakat. Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan
perikanan,
sejak
pengumpulan
data,
perumusan
kebijakan,
implementasi serta pemantauan dan evaluasi.
4.
Usaha perikanan tangkap potensial Untuk menentukan jenis usaha perikanan tangkap yang potensial dan
mendukung model co-management terpilih di Palabuhanratu digunakan analisis skoring. Analisis skoring juga dipakai untuk mendapatkan hasil analisis yang tepat dan menyeluruh sesuai dengan kondisi pengelolaan yang ada, analisis skoring
ini
dilakukan
dengan
mempertimbangkan
empat
kriteria/aspek
pengelolaan yang juga digunakan dalam pemilihan model co-management, yaitu aspek ekonomi, biologi, sosial budaya, dan teknologi. Keterpaduan pertimbangan tersebut sesuai dengan prinsip co-management yang menekankan pada pelibatan semua komponen terkait dalam kegiatan pengelolaan. 5.
Kelayakan usaha penangkapan Untuk dapat menentukan pemilihan jenis usaha perikanan tangkap yang
potensial dan mendukung co-management pengelolaan perikanan tangkap terpilih
47
di Palabuhanratu maka digunakan analisis kelayakan usaha. Terkait dengan hal tersebut , maka pendekatan analisis ini akan menggunakan beberapa parameter finansial yang relevan, sehingga usaha perikanan tangkap yang layak dan tidak layak untuk dikembangkan lanjut dapat terlihat secara jelas. Usaha perikanan tangkap yang potensial dan dipilih untuk mendukung co-management pengelolaan perikanan terpilih adalah usaha perikanan tangkap yang memenuhi secara utuh semua persyaratan finansial yang ditetapkan. 6.
Alokasi optimal unit usaha Untuk menentukan alokasi optimal dari usaha perikanan tangkap (unit
penangkapan) yang potensial dan mendukung co-management dari hasil analisis skoring, digunakan analisis Linier Goal Programming (LGP). Alokasi optimal yang dimaksud merupakan alokasi paling tepat setiap jenis usaha perikanan tangkap potensial dengan berbagai keterbatasan atau kendala yang ada. 7.
Pola implementasi co-management kooperatif Analisis yang digunakan untuk menganalisis pola implementasi co-
management kooperatif perikanan tangkap di Palabuhanratu ini menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Analisis SEM ini digunakan untuk merumuskan solusi atau pola implementasi model co-management terpilih berdasarkan hasil analisis AHP. Menurut Mustaruddin (2010) dan Ferdinand (2004), SEM dapat digunakan untuk menganalisis berbagai peran stakeholders yang berinteraksi, menetapkan komponen yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, memberikan arahan pemilihan variabel yang menjadi perhatian dalam pengembangan operasi di suatu kawasan perikanan tangkap. Dalam penelitian ini, analisis SEM digunakan untuk menganalisis berbagai komponen yang berinteraksi dengan model co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik di Palabuhanratu.
48
4 KONDISI KINI PELAKSANAAN CO-MANAGEMENT DI PALABUHANRATU 4.1
Pendahuluan Kawasan Palabuhanratu dibangun pada tahun 1990. Kawasan Palabuhanratu
dihuni oleh 12.368 nelayan, 1.457 orang pengolah ikan. Terdapat potensi lestari MSY 14.592 ton pertahun. Palabuhanratu memiliki sumberdaya manusia yang memadai karena mudah diakses dari kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta serta Bogor. Palabuhanratu memiliki sarana dan prasarana perikanan yang cukup memadai terdapat Tempat Pelelangan Ikan, Tempat Pendaratan Ikan, terdapat banyak Kelompok Usaha Bersama, Perusahaan Pengolah ikan serta para stakeholders yang terlibat dalam pemasaran hasil perikanan. Walaupun terdapat potensi perikanan tangkap namun Palabuhanratu juga tidak pernah lepas dari permasalahan yang menyangkut sumberdaya manusia yang terlibat, teknologi penangkapan yang digunakan, ketersediaan modal maupun kinerja aparat dan stakeholders usaha perikanan tangkap. Hal inilah yang mendorong Pemerintah mengembangkan minapolitan yang tidak lain adalah pengelolaan perikanan dengan melibatkan banyak stakeholders atau pengelolaan bersama (co-management). Bila suatu model co-management dipilih untuk mengeliminir permasalahan yang ada sekaligus memotivasi partisipasi luas semua komponen pengelolaan, maka co-management haruslah dilengkapi dengan solusi dan panduan impelementasinya. Solusi implementasi model co-management dapat dikatakan baik bila sinkron dengan dinamika usaha perikanan tangkap dan relevan dengan kebutuhan pemecahan masalah. Untuk mengetahui kondisi pelaksanaan comanagement dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, maka berbagai hal yang terkait pelaksanaan kegiatan perikanan baik secara internal maupun eksternal perlu diidentifikasi. Hasil identifikasi faktor internal maupun eksternal yang terkait dengan keikutsertaan masyarakat dan stakeholders lainnya dapat menjadi ciri penting bagi dinamika pelaksanaan co-management perikanan tangkap selama ini di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Berbagai faktor internal dan eksternal yang
49
berpengaruh sangat menentukan posisi pelaksanaan co-management pada bidang perikanan tangkap saat ini dan arah pengembangannya ke depan. Interaksi antar komponen dan pelaku langsung perikanan tangkap di lokasi merupakan gambaran kini dari faktor internal pengelolaan perikanan tangkap Palabuhanratu. Faktor eksternal umumnya sulit karena pengendalian oleh pihak luar yang bukan pelaku langsung kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
4.2
Tujuan Penelitian Penelitian pada bab ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kini baik
internal maupun eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat dan variabel dominan yang mempengaruhinya.
4.3
Metode Penelitian
4.3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengumpulan data terkait penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – November 2010.
4.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data Jenis data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data potensi sumberdaya perikanan tangkap, data nelayan, data alat tangkap, armada penangkapan, data ekonomi, sosial dan budaya, serta data/informasi terkait program co-management di Palabuhanratu. Data potensi sumberdaya perikanan yang dikumpulkan mencakup hasil tangkapan utama nelayan, informasi fishing ground, konservasi SDI, dan zona pemanfaatan SDI.
Data nelayan yang dikumpulkan mencakup jumlah dan
kualitas SDM perikanan, keaktifan nelayan di lembaga lokal, dan intensitas pembinaan nelayan muda. Data alat tangkap dan armada/kapal yang dikumpulkan mencakup introduksi teknologi penangkapan, pengembangan alat tangkap, dan kontrol operasi kapal dan alat tangkap. Data ekonomi, sosial, dan budaya yang dikumpulkan mencakup modal usaha, perbekalan, sistem bagi hasil, sistem
50
promosi, jaringan pasar, harga jual, pengelolaan fasilitas, pengawasan pemanfaatan, pencemaran, dan mekanisme penyelesaian konflik nelayan. Data/informasi terkait program co-management yang dikumpulkan mencakup intensitas
pendampingan,
riset
perikanan
yang
melibatkan
masyarakat,
mekanisme penyaluran hibah, dan bimbingan teknis perikanan. Metode pengumpulan data primer terdiri dari pemilihan kelompok sampling, identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Kelompok sampling merupakan perwakilan stakeholders yang berinteraksi langsung dengan kegiatan pengelolaan perikanan, seperti nelayan pemilik, pedagang/pengolah ikan, pengelola pelabuhan perikanan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Responden ini dipilih secara purposive sampling dari kelompok sampling berdasarkan ketokohan, pengetahuan, dan penguasaan terhadap aktivitas kelompoknya. Jumlah responden untuk pengambilan data analisis SWOT ditetapkan 5 – 10% dari total populasi setiap kelompok sampling (Gasperzs, 1992). Tabel 1 Keperluan data responden untuk analisis SWOT No. 1. 2. 3. 4.
Kelompok Responden Nelayan (pemilik) Pengolah/Pedagang Ikan (pemilik) Pengusaha Pengelola Pelabuhan dan DKP Kab. Sukabumi Total
Populasi (orang)
Sampling (orang)
824 102
40 4
20 35
2 4 50
Keterangan : Sampling 50 orang Sedikit berbeda dengan data analisis SWOT, jumlah responden untuk penentuan faktor SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dan pengambilan data QSPM lebih sedikit yakni 20 orang,
yang terdiri dari 10
nelayan pemilik, 4 pengolah pedagang/pedagang ikan, 2 pengusaha, 2 pengola pelabuhan, dan 2 dari DKP Kabupaten Sukabumi. Hal ini karena data yang dibutuhkan lebih bersifat konseptual dan strategis (bukan teknis), sehingga ketokohan responden dalam kelompok benar-benar diperhatikan. Dari informasi lapangan, hanya sekitar 25 % dari nelayan pemilik yang mengetahui betul dan aktif menyuarakan aspirasi kelompok nelayan, sehingga dari 40 nelayan pemilik hanya diambil 20 orang. Sedangkan untuk kelompok sampling/stakeholders
51
lainnya lebih aktif dan berani, mungkin karena pendidikannnya umumnya lebih tinggi daripada nelayan. Sedangkan data sekunder berasal dari buku, jurnal, hasil penelitian/kegiatan terkait, yang di-cross check dengan pendapat pakar yang mengetahui perkembangan perikanan di lokasi termasuk dengan menerapkan konsep comanagement. 4.3.3 Analisis data Untuk mengetahui kondisi kini (present status) pelaksanaan co-management di Palabuhanratu yang digunakan ialah analisis SWOT. Analisis SWOT dapat membantu memetakan kondisi kini (present status) pelaksanaan kegiatan pengembangan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesses)) sedangkan faktor
meliputi peluang (opportunity) dan ancaman
(threat)). Untuk meningkatkan akurasi hasil analisis, maka informasi dari pihakpihak terkait akan digali sebanyak mungkin. Adapun tahapan proses analisis yang dilakukan menggunakan SWOT adalah : 1)
Pengembangan matriks IFAS, yaitu kegiatan menentukan faktor-faktor strategis internal, memuat tentang kekuatan dan kelemahan lengkap dengan hasil analisis bobot, rating dan skornya.
2)
Pengembangan matriks EFAS, yaitu kegiatan menentukan faktor-faktor strategis eksternal, memuat tentang peluang dan ancaman lengkap dengan hasil analisis bobot, rating dan skornya
3)
Pengembangan matriks internal-eksternal (IE), yaitu kegiatan penentuan kondisi/posisi perikanan tangkap saat ini yang menggunakan konsep comanagement. Dalam analisis ini, bobot menunjukkan tingkat kepentingan pengelolaan
perikanan tangkap pada co-management oleh beberapa faktor. Nilai bobot 0 - 1, dimana 0 menunjukkan tidak penting sampai 1 menunjukkan sangat penting. Rating menunjukkan tingkat pengaruh yang secara riil dapat diberikan oleh faktor tersebut terhadap co-management perikanan tangkap. Nilai rating 1 – 4. Dimana 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut menyatakan rendah, biasa, tinggi, dan sangat tinggi. 52
Nilai rating untuk faktor kelemahan dan ancaman diberi secara terbalik, yaitu bila pengaruh rendah diberi nilai 4 dan pengaruh sangat tinggi diberi nilai 1. Skor menyatakan tingkat pengaruh positif sesuai kepentingan co-management perikanan tangkap terhadap faktor dimaksud. Pengembangan
matriks
internal-eksternal
(IE)
dilakukan
mengidentifikasi kesesuaian kondisi pelaksanaan konsep
dengan
co-management
perikanan tangkap dengan sembilan kuadran strategi pengelolaan yang digunakan dalam analisis SWOT. Kesembilan kuadran tersebut adalah kuadran I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dan IX yang berturut-turut menyatakan I (kondisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi vertikal), II (kondisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal), III (kondisi penciutan atau turnaround), IV (kondisi stabilitas), V (kondisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal atau stabilitas), VI (kondisi divestasi atau pengurangan), VII (kondisi pertumbuhan melalui diversifikasi konsentrik), VIII (kondisi pertumbuhan melalui konsentrasi konglomerasi), dan IX (kondisi likuidasi). Setiap kuadran punya kisaran nilai faktor internal dan faktor eksternal tertentu. Posisi pengelolaan yang saat ini ditentukan dengan mencocokkan total skor faktor internal (matriks IFAS) dan faktor eksternal (matriks EFAS) dengan kisaran nilai pada kuadran. Posisi tersebut mencerminkan kondisi kini (present status) pelaksanaan konsep comanagement perikanan tangkap di Palabuhanratu. Untuk mengidentifikasi beberapa variabel dominan yang mempengaruhi comanagement perikanan tangkap di Palabuhanratu saat ini digunakan analisis Quantitative strategic planning matrix (QSPM). Tahapan analisis yang dilakukan terkait penentuan variabel dominan ini mengacu kepada David (2002), yaitu : 1)
Mendaftarkan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi pelaksanaan konsep co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu ke dalam matrik QSPM. Berbeda dengan analisis SWOT, variabel/faktor yang dimaksud di sini lebih bersifat strategis dan menentukan arah pelaksanaan.
2)
Memberikan bobot untuk setiap variabel sukses kritis
3)
Menetapkan nilai pengaruh (NP), yaitu : 1 = tidak berpengaruh, 2 = agak berpengaruh, 3 = cukup berpengaruh, dan 4 = sangat berpengaruh.
53
4)
Menghitung total nilai pengaruh (TNP), dengan menjumlahkan hasil perkalian bobot dengan NP dalam setiap baris.
5)
Menghitung
total
nilai
pengaruh
total
variabel
(TNPV),
dengan
menjumlahkan semua nilai TNP setiap baris. Nilai bobot, rating, dan nilai pengaruh (NP) pada masing-masing kriteria didapatkan dari pendapat responden.
4.4
Hasil Penelitian
4.4.1 Kondisi internal pelaksanaan co-management 4.4.1.1 Faktor kekuatan Hasil identifikasi faktor internal yang menjadi kekuatan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelompok faktor internal co-management perikanan tangkap Faktor Internal Bobot Rating Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama permodalan masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Kelemahan : Pembinaan nelayan muda Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Total
Skor
0,14 0,09
3 2
0,42 0,18
0,12
3
0,36
0,07 0,04
3 4
0,21 0,16
0,10
3
0,30
0,14
2
0,28
0,07 0,11 0,04 0,08 1,00
2 3 3 2
0,14 0,33 0,12 0,16 2,66
Ketersediaan SDM perikanan lokal merupakan salah satu faktor utama terlaksananya co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Peran yang bisa dilakukan oleh SDM perikanan lokal ini mencapai 14% dari total intensitas 54
aktivitas
internal
pelaksanaan
co-management
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu. Jumlah SDM perikanan lokal di Palabuhanratu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, jumlah nelayan Palabuhanratu sekitar 2.354 orang. Pada tahun 2009 jumlah nelayan sekitar 5.234 orang (PPN Palabuhanratu, 2010). Terkait dengan ini, maka rating ketersediaan SDM perkanan lokal termasuk baik dengan rating = 3. Kerjasama permodalan masyarakat nelayan merupakan bentuk pelaksanaan co-management perikanan tangkap di bidang keuangan. Bila kerjasama ini terjadi dengan baik, maka sangat menguntungkan bagi masyarakat nelayan, karena mereka dapat saling bantu bila ada kesusahan di antara mereka. Namun dalam kenyataannya, kerjasama permodalan ini belum berjalan dengan baik dengan rating = 2 atau cukup.
Saat ini nelayan lebih banyak mengandalkan
tengkulak/bakul dalam permodalan karena dianggap ketersediaan modalnya lebih stabil.
Kerjasama permodalan yang pernah terjadi di masyarakat nelayan
diantaranya dalam bentuk arisan. Arisan pernah dilakukan cukup intensif pada tahun 1993 – 1999. Arisan terutama dilaksanakan oleh isteri nelayan. Mereka berkumpul secara rutin setiap minggu untuk mengumpulkan modal melalui arisan. Anggota arisan yang sangat membutuhkan didahulukan mendapatkan modal tersebut pada saat cabut nomor arisan walaupun bukan yang bersangkutan yang mendapatkan nomor pemenang. Diantara istri nelayan mereka saling mengenal dan saling membantu. Sistem bagi hasil yang umum dilaksanakan oleh nelayan di Palabuhanratu. Sistem bagi hasil yaitu 50% untuk pemilik kapal dan 50% untuk kelompok nelayan. Dari 50% untuk kelompok nelayan tersebut nakhoda mendapat bagian 2 kali lebih banyak diripada nelayan ABK. Pembagian ini dianggap proporsional dimana pemilik kapal menanggung semua biaya melaut, dan nakhoda memimpin kegiatan penangkapan, sehingga wajar bila bagiannya lebih banyak dengan bobot = 0,12. Sistem bagi hasil dimana bila mereka mendapatkan keuntungan besar maka mereka sama-sama mendapatkan bagian besar, dan sebaliknya. Kejadian ini merupakan pelaksanaan co-management perikanan tangkap dalam pembagian pendapatan usaha bersama yang mereka lakukan. Pembagian seperti ini direalisasikan dihampir semua usaha perikanan tangkap dengan rating = 3 atau
55
baik. Ada beberapa kebijakan dan bila ada sedikit perbedaan lebih karena pertimbangan proporsi kontribusi diantara nelayan yang terlibat. Kepedulian nelayan dalam pengelolaan fasilitas seperti sarana tambat labuh, tempat pelelangan ikan, dan lainnya termasuk tinggi dengan rating = 3 atau baik. Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal lebih baik lagi, dimana sekitar 90% pengurus HNSI dan koperasi berasal dari kalangan nelayan dengan rating = 4 atau sangat baik. Pelibatan masyarakat dari berbagai stakeholders ini merupakan bentuk pelaksanaan co-management dalam pengembangan organisasi nelayan. Namun demikian, kontribusi koperasi dalam memberi bantuan permodalan kepada nelayan belum banyak dengan bobot = 0,04. Modal yang terkumpul dari anggota masih sedikit dan juga bantuan hibah dari pihak luar belum ada dalam beberapa tahun hingga tahun 2010. Nelayan Palabuhanratu saat ini sudah dapat mengembangkan sendiri berbagai peralatan penangkapan ikan. Nelayan sudah dapat membuat kapal penangkapan sendiri dengan rating = 3 atau cukup. Pembuatan kapal dan alat tangkap oleh nelayan biasanya bekerjasama dengan kelompok teknisi yang berasal dari daerah lain, seperti Kota Cilacap dan Tegal. Para Teknisi tersebut sengaja datang ke lokasi untuk berkerjasama dalam pembuatan kapal, alat tangkap dan peralatan perikanan tangkap lainnya. Pola co-management perikanan tangkap seperti ini sudah berlangsung efektif sejak tahuan 1990-an, dan hingga saat ini masih terus efektif terjadi di Palabuhanratu.
4.4.1.2 Faktor kelemahan Pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti pembinaan nelayan muda minim, koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap, penyelesaian konflik antar nelayan, tukar informasi fishing ground, dan penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan. Pembinaan nelayan muda tidak terlaksana baik di Palabuhanratu. Nelayan di Palabuhanratu relatif tidak banyak melibatkan anakanaknya pada kegiatan penangkapan ikan. Anak-anak nelayan lebih banyak berkembang sesuai dengan minat dan bakat mereka, meskipun masa depannya belum tentu lebih baik daripada sebagai nelayan dengan rating =2 atau cukup.
56
Kontrol penggunaan alat tangkap termasuk rendah di Palabuhanratu. Apabila
ada oknum nelayan yang mengembangkan alat tangkap, termasuk
berbahaya seperti penggunaan bahan peledak, bisanya nelayan lainnya diam saja dengan rating = 2 atau cukup. Dari sisi kontrol dan pengawasan, pelaksanaan co-management perikanan tangkap belum maksimal. Pada tahun 2000 – 2002, nelayan banyak menggunaan bahan peledak dan bius dalam operasi penangkapan, namun di kalangan nelayan cenderung membiarkannya. Akibatnya, banyak ikanikan belum layak tangkap dan bukan target mati, sehingga hasil tangkapan nelayan juga turun pada periode tersebut. Konflik antara nelayan umumnya disebabkan perebutan fishing ground dan tambat labuh. Nelayan yang memiliki peralatan lengkap umumnya tidak mau menginformasikan fishing ground yang potensial kepada nelayan lainnya. Disamping itu, banyak kapal nelayan besar yang menangkap ikan pada jalur penangkapan kurang dari 4 mil. Ini memicu konflik antara nelayan besar dengan nelayan kecil. Sebelum tahun 2007, di PPN Palabuhanratu, sering terjadi konflik antar nelayan, dimana nelayan yang mau bongkar muatan tidak mendapat tambat labuh, sedangkan nelayan yang sudah tambat labuh tidak mau memindahkan kapalnya dengan alasan sedangkan menyiapkan perbekalan.
Kondisi ini
kemudian menjadi sumber konflik diantara mereka. Pelaksanaan co-management perikanan tangkap dalam bentuk penyelesaian konflik bersama ini terkadang tidak dapat berjalan dengan baik, dimana nelayan yang bertikai lebih mendahulukan ego masing-masing. Namun setelah areal tambat labuh PPN Plabuhanratu diperluas pada tahun 2007 – 2009 dan informasi fishing ground serta kondisi cuaca disediakan secara gratis oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui PPN Palabuhanratu, konflik dan mis-informasi fishing ground sudah berkurang dengan rating = 3 atau baik. Kemampuan penyediaan perbekalan secara mandiri oleh nelayan juga tidak berkembang dengn baik. Koperasi maupun kelompok nelayan belum dapat menyediakan semua kebutuhan nelayan untuk melaut. Hal ini terjadi disamping karena modal usaha terbatas juga pengelolaan perbekalan belum profesional atau terkontrol dengan baik rating = 2 atau cukup.
Pengelolaan terkait erat dengan
SDM. Potensi SDM di Palabuhanratu yang besar jumlahnya ternyata tidak
57
menjamin terlaksananya co-management yang baik pada semua aspek pengelolaan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu.
Jumlah
nelayan
di
Palabuhanratu cukup banyak yaitu 5.234 orang pada tahun 2009. Walaupun nelayan cukup banyak namun organisasi nelayan seperti koperasi dan kelompok nelayan belum banyak berkembang dan memberi konstribusi untuk penyediaan perbekalan bagi nelayan. Banyak kebutuhan nelayan, seperti beras, minyak goreng, indomie, dan lainnya masih dibeli di pasar lokal yang harganya tentu yang berlaku umum di pasar, meskipun dibeli dalam jumlah besar.
4.4.2 Kondisi eksternal pelaksanaan co-management 4.4.2.1 Faktor peluang Hasil identifikasi faktor eksternal yang menjadi peluang terlaksananya comanagement perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Faktor eksternal co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu Faktor Eksternal Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama permodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan Total
Bobot
Rating
Skor
0,18 0,09 0,08 0,10 0,08
4 3 3 2 3
0,72 0,27 0,24 0,2 0,24
0,15 0,10 0,07 0,05 0,10
2 1 2 1 2
0,3 0,1 0,14 0,05 0,2
1
2,46
Faktor kedekatan dengan pasar potensial dan jalur ekspor, serta faktor trend kerjasama permodalan dengan pihak luar memberi peluang besar bagi pelaksanaan co-management perikanan tangkap dengan bobot masing-masing 0,19 dan 0,10.
Kedekatan
Palabuhanratu dengan Ibukota negara membuka
peluang yang luas untuk pemasaran hasil perikanan dari Palabuhanratu. Kedekatan dengan bandar udara internasional Cengkareng dan pelabuhan laut
58
internasional Tanjung Priok juga membuka peluang pengembangan pasar hasil perikanan tangkap Palabuhanratu. Dengan akses transportasi yang cukup baik ini peluang menarik minat investor untuk berkolaborasi dengan masyarakat setempat guna mengembangkan usaha perikanan tangkap terbuka lebar. Tabel 4 Riset perikanan yang melibatkan masyarakat lokal di Palabuhanratu No 1.
2.
3.
4.
5.
Jenis riset Penelitian usaha perikanan potensial, PEMP DKP RI dan LSM, 2001 – 2002 Kajian Mutu Produk Olahan Ikan by Catch, IPB, 2002 – 2005, Atraktor Cumi-cumi : Teknologi Tepat Guna Pendesaan, IPB, 2003, 20102011 Pengembangan sistem informasi perikanan, Lembaga Riset DKP RI dan perorangan, 2003, 2005, 2008 Kajian Zonasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, DKP RI, 2008-2009
6.
Identifikasi peluang pengembangan kawasan minapolitan, DKP, 2009-2010
7.
Riset potensi perikanan lainnya, 2001 – 2010, PT, Lembaga Riset, LSM
Fokus Identifikasi kelayakan usaha, pengembangan usaha potensial Uji mutu ikan by catch hasil tangkapan nelayan, alternatif olahan produk ikan by catch Desain atraktor cumi (bunga karang dari kawat dan ban bekas), analisis prospek ekonomi Pengembangan sistem informasi pelabuhan, informasi penangkapan, dan lain-lain Identifikasi fishing ground, jalur penangkapan, alat tangkap, dukungan sosial Identifikasi dukungan potensi SDI, usaha, infrastruktur, dan dukungan masyarakat untuk kawasan minapolitan Identifikasi SDI, alat tangkap, fishing ground, dan lain-lain
Pelibatan Masyarakat Lokal Responden, terlibat dalam dalam identifikasi usaha perikanan potensial, pelatihan kelayakan usaha Responden, enumerator, ikut serta dalam pelatihan, bimbingan teknis pengolahan ikan by catch, Ikut serta dalam perancangan atraktor, pemasangan atraktor, dan analisis finansial atraktor Responden, terlibat dalam pengumpulan data lapang, dan FGD pengembangan SIM Enumerator, responden, praktek operasi penangkapan, dan lainnya
Responden, terlibat dalam FGD, launching oleh Menteri KKP, dan lainnya
Enumerator, responden, pendampingan lapang dan laut, dan lainnya
Saat ini kerjasama “manajemen kolaboratif” berbagai stakeholders pada usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu telah terjadi dengan baik. Kerjasama kolaboratif ini telah terjadi pada usaha unit usaha longline, purse seine, dan pancing tonda. Banyak pengusaha dari Tegal, Pasuruan, dan lainnya telah menjalin
kerjasama
dengan
nelayan
Palabuhanratu.
Nelayan
dari
luar
Palabuhanratu menitipkan kapalnya dan biaya operasional kepada nelayan Palabuhanratu selama musim ikan dengan rating = 3 atau baik. Pola comanagement perikanan tangkap dalam hal menitipkan investasi alat tangkap kepada nelayan Palabuhanratu lebih baik daripada meminjamkan modal usaha oleh bakul/tengkulak kepada nelayan. Co-management dalam hal meminjamkan alat tangkap kepada nelayan Palabuhanratu oleh nelayan dari daerah lain lebih
59
baik ini terlihat bahwa hasil tangkapan dan harga jual yang baik dinikmati bersama nelayan ABK dan pengusaha pemilik kapal. Kegiatan riset perikanan juga intensif terjadi di lokasi, dimana nelayan dan masyarakat lokal sering terlibat sebagai enumerator dan responden dalam kegiatan riset tersebut. Adapun kegiatan riset perikanan dan konservasi SDI yang pernah terjadi di Palabuhanratu dengan melibatkan nelayan dan masyarakat lokal, diantaranya disajikan pada Tabel 4. Promosi potensi perikanan merupakan faktor eksternal yang menjadi peluang bagi pengembangan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Pengembangan kawasan perikanan tangkap dengan basis pelabuhan perikanan biasanya cukup mudah dengan mengundang investor melalui promosi perikanan. Bentuk
co-management
perikanan
tangkap
yang
dikembangkan
guna
mempromosikan potensi perikanan diantaranya pesta laut setiap tahun di Palabuhanratu, pencanangan program minapolitan pada tahun 2010, pelibatan HNSI dan wakil nelayan dalam kegiatan promosi Kabupaten Sukabumi di Bandung. Hubungan baik yang terbina melalui pola promosi perikanan ini memiliki rating = 3 atau baik.
Gambar 14 Introduksi teknologi dari eksternal pada pembuatan kapal perikanan. Bimbingan teknis introduksi teknologi baru banyak terjadi di Palabuhanratu. Setiap tahunnya ada 5–10 kegiatan bimbingan teknis penangkapan ikan yang dilakukan di Palabuhanratu. Bimbingan teknis dilaksanakan oleh perguruan tinggi
60
yang mendapat hibah penelitian. Pada tahun 2010-2011, IPB melakukan bimbingan teknis atraktor cumi-cumi. Teknologi ini sebagai salah satu teknologi alternatif pengkayaan stok ikan. Aspek teknologi perikanan tangkap merupakan merupakan salah satu faktor penting untuk mengembangkan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Pengembangan teknologi kapal dan peralatan produksi berkembang cukup baik di Palabuhanratu. Nelayan/pengolah/pedagang ikan cukup sering mencoba alat tangkap desain baru, mesin olahan buatan dalam negeri. Oleh karena itu introduksi teknologi baru dari luar termasuk peluang yang mendukung pengembangan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu.
4.4.2.2 Faktor ancaman Faktor eksternal yang sifatnya ancaman dalam pengembangan comanagement perikanan tangkap diantaranya monopoli/pengaturan harga dan pendampingan serta hibah yang bernuansa politis. Pada tahun 1990-an, monopoli/pengaturan harga sangat jelas terjadi dalam kegiatan pemasaran hasil perikanan. Seorang tengkulak/pengusaha besar dapat menurunkan harga dengan mudah terutama bila terjadi musim ikan. Namun hal tersebut sudah sedikit berkurang dengan rating = 2 atau cukup. Kesadaran dan saling percaya antara nelayan dan pengumpul, serta pasar produk yang terbuka luas telah mengurangi ancaman di atas. Kalaupun terpaksa ada pengaturan harga ulang, biasanya sudah ada kesepakatan sebelumnya dengan nelayan. Misalnya antara nelayan dan pengumpul perikanan langganan, dimana sudah disepakati harga jual untuk setiap grade hasil tangkapan, dan bila tiba-tiba kualitas ikan berubah menjadi lebih jelek pada saat transaksi jual-beli, maka harga bisa diturunkan. Namun kepercayaan ini masih sering disalah gunakan oleh oknum pengumpul yang hanya mengejar keuntungan besar. Pendampingan, hibah kapal dan alat tangkap cukup banyak terjadi di Palabuhanratu. Kegiatan ini, hampir semua melibatkan masyarakat setempat, baik dalam perencanaan maupun
dalam penempatan barang-barang tersebut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 mengajak masyarakat Palabuhanratu membuat perencanaan kapal yang akan dihibahkan oleh Pemerintah. Penerapan prinsip co-management pada perencanaan pembuatan
61
kapal hibah tersebut disambut baik oleh masyarakat Palabuhanratu karena mereka merasa dihargai dalam perencanaan kapal yang dibutuhkan, meskipun realisasi pembuatan kapal dibuat di tempat lain dan bernuansa politis. Informasi yang tersebar di masyarakat Palabuhanratu memberi kesan bahwa tender hibah kapal oleh KKP cenderung masih bernuasa politis, sehingga beberapa HNSI yang dekat dengan perencana project sering menjadi sasaran kekesalan masyarakat sekitar karena HNSI dianggap kongkalikong dengan pejabat pemberi hibah. Ide pembagian zona pemanfaatan perairan pernah menjadi wacana dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Ide ini terjadi karena perairan di Palabuhanratu dilalui oleh kapal perikanan berukuran paling kecil hingga paling besar yang jumlahnya sangat banyak. Pemerintah Pusat pernah merencanakan pembagian zona pemanfaatan di Palabuhanratu. Zona pemanfaatan ini dimaksudkan untuk membagi wilayah penangkapan ikan untuk kapal besar dan kapal kecil. Meskipun tujuannya baik, hal ini berpengaruh bagi kelangsungan kegiatan perikanan tangkap apalagi rencana tersebut tidak terlebih dahulu mendapat masukan dan saran dari masyarakat setempat. Pembagian zona dapat membatasi ruang gerak nelayan melakukan penangkapan ikan. Zonasi berpengaruh pada penggunaan bahan bakar dan jumlah hasil tangkapan yang di dapat nelayan
dengan rating = 2 atau cukup. Zonasi pemanfaatan ini baru
wacana,
masyarakat
dan
berharap
dapat
terlaksana
dengan
baik
dan
mengakomodir kepentingan dan harapan masyarakat setempat sehingga comanagement perikanan tangkap lebih terasa di Palabuhanratu. Perairan Palabuhanratu termasuk fishing ground yang cukup padat. Kondisi ini menyebabkan interaksi fishing ground dengan komponen perairan termasuk ruaya ikan dan biota laut yang dilindungi sering terjadi. Adopsi IPTEK pada kegiatan yang dapat melindungi ruaya ikan dan biota laut yang dilindungi belum berjalan baik di kawasan Palabuhanratu. Pengawasan dari aparat berwenang belum terlaksana secara efektif. Penangkapan satwa yang dilindungi seperti penyu dan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan masih banyak terjadi di Palabuhanratu. Konflik antara nelayan karena beberapa nelayan menangkap ikan dengan bahan peledak di sekitar rumpon milik nelayan lain masih sering terjadi dengan rating = 1 atau rendah. Protes nelayan atas pengawasan yang lemah atas
62
nelayan yang melakukan penangkapan dengan bom belum direspon dengan baik oleh petugas pengawasan. Mediasi untuk memecahkan konflik diantara nelayan yang terjadi di laut belum efektif menyelesaikan konflik tersebut dan konflik sering berulang terjadi karena lemahnya pengawasan oleh aparat berwenang. Tabel 5 Konflik pengelolaan perikanan di Palabuhanratu No 1. 2.
3. 4.
5. 6.
Jenis konflik Penggunaan bahan peledak, 2000- 2010 Jalur penangkapan, 2003 - 2007
Pihak Bertikai Nelayan rumpon dan bukan rumpon Nelayan besar, nelayan kecil, POLAIR Penangkapan penyu Nelayan dan aparat dan lainnya Konflik penjualan Nelayan, tengkulak, ikan, 2004-2007 industri, pedagang
Keterangan Berulang, melibatkan banyak kelompok nelayan Sering, terutama pada musim paceklik
Pengawasan lemah, tindakan kurang tegas, tidak adil TPI tidak aktif, harga diatur tengkulak, industri lepas tangan Konflik hibah Nelayan, HNSI, Sering disusupi unsur politis perikanan PEMDA, masyarakat Konflik tambat labuh Nelayan lokal, Selesai melalui pengaturan pelabuhan nelayan pendatang, lama & retribusi tambat PPN, PEMDA labuh, lokasi tambat labuh
Pencemaran lingkungan perairan laut mempunyai pengaruh besar bagi usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu. Bila laut tercemar, maka hasil tangkapan ikan kurang sehat dikonsumsi. Pencemaran memiliki bobot = 10 % dari 10 faktor eksternal yang ada. Selama ini, limbah padat dan cair yang berasal dari kegiatan perikanan, industri dan aktivitas masyarakat pesisir sering di buang ke perairan Palabuhanratu, sehingga perairan terlihat agak keruh dan kotor. Akumulasi dampak pencemaran ini dapat menyebabkan hasil tangkapan ikan tercemar, membahayakan kapal nelayan dan kegiatan penyeberangan, wisata bahari, dan ekosistem laut di sekitarnya dengan rating = 2 atau sedang. Pengendalian pencemaran dengan prinsip co-management telah dilakukan cukup banyak, namun belum berhasil maksimal. Terkait dengan pencemaran diperlukan kerjasama stakeholders perikanan tangkap untuk bersama-sama melindungi kebersihan lingkungan terutama perairan laut Palabuhanratu. Pencemaran lingkungan Palabuhanratu menjadi tantangan besar untuk segera diatasi mengingat Palabuhanratu telah dicanangkan
63
sebagai kawasan minapolitan pada tahun 2010 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tabel 6 Pengendalian pencemaran di Palabuhanratu dan sekitarnya No. 1. 2.
Program Pelestarian kawasan pantai Penataan kawasan pelabuhan perikanan 3. Program konservasi perikanan dan kelautan (pelepasan penyu, penanaman bakau 4. Program penataan pemukiman kota pantai (pembersihan lingkungan, penghijauan, dan drainase) Sumber : Hasil survai lapang (2010)
Implementasi co-management LSM, PEMDA dan masyarakat DKP, PEMDA, Masyarakat
Tahun 2004 - 2006 2008
LSM, PEMDA dan masyarakat
1998 dan 2005
PEMDA dan masyarakat
Setiap tahun ada penilaian
4.4.3 Posisi co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu Posisi pelaksanaan co-managemnet perikanan tangkap di Palabuhanratu sangat ditentukan oleh kondisi pengelolaan perikanan tangkap yang melibatkan peran serta komponen terkait baik secara internal maupun eksternal. Terkait dengan ini, maka penilaian terhadap faktor internal dan faktor eksternal yang disampaikan pada bagian sebelumnya akan menghasilkan suatu peta nilai yang memberi gambaran terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu dibandingkan dengan kondisi ideal pengelolaan. Gambar 14 memperlihatkan hasil analisis matriks internal-eksternal (IE) posisi pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu saat ini Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa posisi pelaksanaan comanagement perikanan tangkap di Palabuhanratu berada pada kuadran V (pertumbuhan/stabilitas). Sesuai dengan ketentuan SWOT, bahwa suatu proyek atau kegiatan pengelolaan dapat dilanjutkan bila minimal berada kondisi pertumbuhan (total skor faktor internal > 2 dan total skor faktor eksternal > 1). Total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal co-management Palabuhanratu masing-masing berada pada kisaran 2 – 3, sehingga posisi pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu saat ini termasuk kategori ”cukup baik”. Dengan demikian, maka co-management perikanan tangkap sampai saat ini masih sedang tumbuh, dan dapat dikembangkan lagi menjadi lebih baik.
64
Tinggi
Total Skor Faktor Internal 2,66
4
III Penciutan
II Pertumbuhan
I Pertumbuhan
VI Penciutan
V Pertumbuhan/ ● Stabilitas
IV Stabilitas
IX Likuidasi
VIII Pertumbuhan
VII Pertumbuhan
3 Total Skor Faktor Eksternal
Menengah 2,46 2 Rendah
● = posisi saat ini = arah pengembangan
Gambar 15
1
2 Rendah
3 Menengah
4 Tinggi
Matriks internal-eksternal (IE) posisi pelaksanaan co-management perikanan tangkap dan arah pengembagan di Palabuhanratu.
4.4.4 Variabel dominan yang mempengaruhi pelaksanaan co-management perikanan tangkap dan arah pengembangannnya Dengan metode QSPM, semua variabel yang berpengaruh dapat diukur tingkat pengaruhnya terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap. Pengaruh tersebut dapat terjadi melalui interaksi dengan komponen internal maupun eksternal co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Tingkat pengaruh tersebut akan mencerminkan dominansi kepentingan/pengaruh variabel bagi kelangsungan kegiatan perikanan tangkap dengan menerapkan comanagement dalam pengelolaaanya. Tabel 7 menyajikan hasil analisis QSPM penentuan pengaruh variabel pengelolaan terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu.
65
Tabel 7
Hasil analisis QSPM penentuan pengaruh variabel pengelolaan terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu
Variabel Sumberdaya Ikan (SDI) Sumberdaya Manusia (SDM) Teknologi Penangkapan Pasar Modal Prasarana Pelabuhan Sarana Transportasi Intensitas Usaha Pendukung
TNPV 5,11 5,82 5,44 4,97 5,63 4,55 4,39 4,72
Urutan Pengaruh IV (keempat) I (pertama) III (ketiga) V (kelima) II (kedua) VII (ketujuh) VIII (kedelapan) VI (keeanam)
Keterangan : TNPV = total nilai pengaruh variabel
Variabel sumberdaya manusia (SDM), modal, dan teknologi merupakan tiga variabel yang dominan mempengaruhi pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuharatu. Sumberdaya manusia (SDM) terutama nelayan dan masyarakat pesisir mempunyai pengaruh besar bagi co-management karena mereka menjadi pelaku langsung perikanan tangkap. Modal menentukan ruang gerak dan skala aktivitas co-management perikanan tangkap. Teknologi penangkapan ikan memberi ruang untuk introduksi teknologi baru, pemberdayaan keahlian masyarakat, dan kombinasi pola pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dapat dilakukan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bila mengacu kepada hasil analisis matriks IE pada Gambar 15 dan hasil analisis variabel dominan pada Tabel 7, maka co-management perikanan tangkap dapat berkembang lebih baik bila dilakukan perbaikan baik secara internal maupun eksternal. Perbaikan secara internal dan eksternal tersebut dilakukan dengan memberi prioritas pelibatan terhadap sumberdaya manusia lokal dan pembenahan aspek teknologi serta sistem permodalan usaha. Hal ini penting supaya kegiatan perikanan tangkap berkelanjutan di lokasi, semua pihak merasa terlibat dan ikut menjaga keberhasilan-keberhasilan perikanan tangkap yang dicapai di lokasi.
66
4.5
Pembahasan Kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi/bisnis yang
banyak melibatkan cukup banyak anggota masyarakat dari kelas ekonomi bawah yang bagian terbesar dari penduduk negeri
ini. Dengan banyaknya anggota
masyarakat yang terlibat di dalamnya, maka kegiatan perikanan tangkap sering dianggap sebagai kegiatan ekonomi rakyat. Kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya kegiatan perikanan tangkap bagi kehidupan masyarakat di sepanjang pesisir Indonesia termasuk di Palabuhanratu. Terkait dengan ini, maka berbagai aktivitas terkait perikanan tangkap ini harus benar-benar melibatkan masyarakat dari berbagai komponen di lokasi dan mereka merasa senang dan menikmati manfaatnya. Co-management perikanan tangkap merupakan upaya untuk mengoptimalkan peran, keterlibatan, dan kerjasama dari semua stakeholders terkait perikanan tangkap dalam merencanakan, melaksanakan, memutuskan berbagai hal yang diperlukan bagi pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik. Menurut Hartoto et al. (2009), pelaksanaan co-management perikanan harus menjadikan nelayan, pengolah, pedagang ikan, dan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama berbagai jenis tindakan perencanaan, pengelolaan, dan successor berbagai program perikanan di suatu kawasan perikanan. Dilihat dari sisi internal pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, maka pelaksanaannya sudah termasuk “cukup baik”. Total skor faktor internal sekitar 2,66 (pada skala 1-4) menunjukkan pelaksanaannya comanagement sudah cukup baik. Menurut Rangkuti (2004), nilai skor faktor internal> 2 memberi pengertian bahwa pelaksanaan suatu program pengembangan telah melewati masa sulit seperti likuidasi dan penciutan, artinya program tinggal dilanjutkan dan diperbaiki beberapa kekurangan sehingga terus tumbuh dan berkembang mencapai output optimal. Bila melihat hasil analisis Tabel 2, beberapa hal yang perlu ditingkatkan secara internal untuk optimalnya pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, diantaranya kerjasama permodalan mandiri di masyarakat nelayan, pembinaan nelayan muda, koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap, serta penyediaan perbekalan secara mandiri oleh kelompok maupun koperasi nelayan.
67
Selama ini, bakul/tengkulak merupakan andalan utama nelayan bila kekuarangan modal untuk operasi penangkapan ikan. Di satu sisi hal ini cukup membantu dan memudahkan nelayan, namun implikasi dari pinjaman yang harus menjual hasil tangkapan kepada mereka dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh tengkulak. Menurut Hamdan et al. (2006) dalam penelitiannnya menyatakan bahwa satu hal utama yang mengancam keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap di suatau kawasan adalah masalah kestabilan dan mekanisme penetapan harga. Bila ada pihak yang merasa dirugikan, maka secara jangka panjang dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik, yang dapat mengancam keberlanjutan kegiatan perikanan. Terkait dengan ini, maka kebijakan perikanan tangkap perlu memberi perhatian penuh terhadap kestabilan harga dan penetapan harganya haruslah didasarkan pada mekanisme pasar. Penyediaan modal mandiri, serta koordinasi dan kontrol internal yang lebih baik dapat meningkatkan kemandirian pengelolaan perikanan dan atas kesadaran sendiri nelayan saling mengontrol satu sama lain untuk pengelolaan sarana penangkapan yang ramah lingkungan. Penerapan co-management memberi penekanan pada penggiatan kreativitas internal nelayan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi termasuk dalam hal permodalan dan pengelolaan kawasan perikanan. Hou (1997) dan Garrod dan Willis (1999) menyatakan bahwa kekuatan modal menjadi hal penting untuk ekspansi usaha ekonomi dan kreativitas pelaku ekonomi lokal. Modal sangat menentukan ketahanan usaha ekonomi dalam menghadapai berbagai masalah krisis yang mungkin terjadi. Terkait ini, maka program pembinaan melalui co-management seperti pengembangan kas kelompok, arisan, dan lainnya perlu terus digalakkan sehingga menjadi solusi bagi nelayan anggota yang membutuhkan bantuan modal. Pembinaan nelayan muda perlu diprogramkan secara khusus, sehingga keahlian dalam operasi penangkapan ikan maupun dalam pengembangan alat tangkap alternatif semakin teruji. Menurut Pearce dan Moran (1994) dan Nikijuluw (2002), kelangsungan sumberdaya ikan, penggunaan alat tangkap ramah lingkungan di suatu kawasan sangat tergantung dari kesadaran dan pembinaan yang dilakukan kepada generasi berikutnya. Bila hal ini tidak berjalan dengan
68
baik, maka terjadi ketimpangan pengelolaan dan kreativitas generasi perikanan menurun dalam memecahkan masalah. Dari segi jumlah, sumberdaya manusia perikanan di Palabuhanratu sudah cukup banyak, namun bila mereka tidak dibina dengan baik, dapat saja menjadi penyebab konflik pemanfaatan di kemudian hari. Pelaksanaan co-management terkait pembinaan SDM yang banyak tersebut memang selama ini belum optimal di lokasi dan hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam implementasi comanagement berikutnya yang dirancang pada Bab 7 penelitian. Menurut PMB (2004), pembinaan SDM tidak hanya dilakukan dengan mengikutsertakannya pada berbagai pelatihan dan pendidikan yang ada di lokasi, tetapi dapat dalam bentuk pelibatan langsung pada berbagai program dan kegiatan teknis yang ada di lokasi seperti menjadi pengurus HNSI, petugas lelang, pengurus koperasi dan lainnya. Bila melihat data Tabel 2, keterlibatan nelayan dalam berbagai kelembagaan lokal sudah sangat baik di Palabuhanratu, dan hal ini berarti kelemahan dalam pembinaan nelayan muda lebih karena teknis pembinaan (pelatihan dan lainnya) yang belum menyentuh atau menggerakkan kesadaran nelayan. Hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan comanagement perikanan tangkap ke depan. Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor, trend kerjasama permodalan dengan pihak luar, dan introduksi teknologi baru memberi peluang yang
besar
untuk
pengembangan
co-management
perikanan
tangkap
Palabuhanratu. Untuk pasar DKI Jakarta, banyak pelaku perikanan Palabuhanratu yang mengikat kontrak dengan agen di sentra pemasaran Jakarta. Hal ini berpengaruh positif bagi dinamika pemasaran produk di mana nelayan dan masyarakat pesisir banyak yang terlibat termasuk dalam distribusi dan pengiriman. Dalam konteks co-management, pelibatan yang semakin tinggi ini merupakan tujuan dari kegiatan pengelolaan perikanan. Menurut Nikijuluw (2002), pelibatan yang tinggi memberi ruang pemenuhan kebutuhan masyarakat secara partisipatif, pemecahan masalah perikanan secara mandiri oleh masyarakat dan penguatan kelompok swadaya masyarakat. Pomeroy dan Berkes (1997) menyatakan co-management dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bila usaha ekonomi yang dijalankan oleh masyarakat
69
mendapat perlindungan dari Pemerintah. Usaha ekonomi akan menggerakan partsipasi masyarakat baik sebagai pelaku usaha, konsumen, pelayan jasa, maupun kegiatan pendukungnya, dana akan terus berjalan selama tidak ada ketimpangan, intervensi, retribusi yang berlebihan dari Pemerintah. Untuk pasar ekspor lobster dan rajungan misalnya, telah mendorong partisipasi nelayan, pengumpul, pemilik jasa pengiriman di Palabuhanratu untuk bersama-sama mendukung pengadaan produk tersebut. Dari survei lapang, pengiriman untuk tujuan ekspor ini dapat terjadi 2 -3 kali sehari, dan saat ini telah menjadi kegiatan perikanan penting di Palabuhanratu. Pola co-management ini perlu dipertahankan, dan Pemerintah tinggal mengontrol dan melindungi pola pemasaran produk perikanan bernilai tinggi tersebut. Makino et al. (2009) menyatakan bahwa perlindungan sumberdaya dan ekonomi masyarakat lokal merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa dalam membangun kemandiriannya. Kemitraan permodalan yang terbangun dengan pengusaha yang berasal dari luar seperti Tegal, Pasuruan, dan lainnya juga memperlihatkan co-management yang terbangun dalam pengelolaan perikanan tangkap. Namun karena nelayan lokal hanya sebagai tenaga kerja, maka co-management ini belum maksimal memberi manfaat bagai kemandirian kegiatan perikanan di Palabuhanratu. Bintoro (1995) menyatakan bahwa kerjasama yang terbangun dengan pemilik kapal atau pemodal dari luar terkadang tidak berlangsung lama bila tidak dikelola dengan baik. Usaha penangkapan tuna suatu kawasan misalnya, pada bulan-bulan tertentu mungkin berkembang dengan baik, tetapi bila hasil tangkapan sudah berkurang dan nelayan lokal yang terlibat tidak terlalu terampil, maka dapat saja tidak diikutsertakan bila lokasi penangkapan pindah ke daerah lain. Riset perikanan yang ditunjukkan pada Tabel 4, menjadikan perikanan tangkap Palabuhanratu sebagai lokasi penting bagi bagi pengembangan keilmuan perikanan di Indonesia. Aktivitas riset perikanan terjadi setiap tahun di Palabuhanratu, sedikit banyak menambahkan pengetahuan dan wawasan pelaku perikanan lokal tentang sumberdaya ikan, migrasi, pengakayaan stock, dan konservasi perikanan. Pelibatan nelayan dan masyarakat lokal dalam berbagai kegiatan lapang dari riset tersebut memberi warna tersendiri bagi dinamika pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Nikijuluw (2002) menyatakan
70
bahwa pelibatan nelayan dan masyarakat lokal dalam riset merupakan bentuk implementasi terpenting kedua dalam co-management perikanan setelah pengenalan masyarakat. Pelibatan dalam riset memberi ruang untuk pengenalan lokasi riset, potensi daerah, prospek pemgembangan bisnis perikanan, dan pengembangan jalinan kemitraan yang lebih luas. Monopoli hasil tangkapan bukan hal yang asing dalam kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Secara sosial, tengkulak/pelaku monopoli ini telah melibatkan atau memberi lapangan kerja bagi sebagian orang di lokasi, sehingga sepintas telah menerapkan co-management dalam menjalankan usahanya. Tetapi praktek monopoli ini telah mengkerangkeng kebebasan sebagian besar nelayan kecil untuk menikmati harga jual dari hasil tangkapan yang didapatnya. Co-management juga mengedepankan keadilan dan pemetaan manfaat suatu kegiatan pengelolaan, sehingga co-management dalam praktek pengelolaan seperti ini termasuk black implemetation (penerapan salah). Kotler dan Armstrong (1997) menyatakan bahwa pengkondisian pasar dalam memberi keuntungan melimpah bagi pengembangan suatu produk atau suatu kegiatan bisnis, namun hal ini menjadi bom waktu bagi kehancuran pasar produk dan konflik multidimensi diantara pelaku pasar produk. Dalam kaitan ini, maka ancaman monopoli, pengaturan harga, dan juga bantuan yang bernuansa politis perlu dihindari dalam pengelolaan perikanan tangkap Palabuhanratu. Selama ini, praktek co-management dalam bidang perikanan tangkap Palabuhanratu memang penuh dinamika, ada yang mendukung pengelolaan, memberi peluang pengembangan, ada yang menghambat, dan bahkan ada yang memanfaatkan ketidakberdayaan pelaku perikanan lainnya. Pomeroy dan Williams (1994) menyatakan bahwa co-management perikanan harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan, pelibatan, dan pemanfaatan bersama, sehingga semua pihak terkait memperoleh kemajuan secara bersama-sama untuk mewujudkan kegiatan pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan. Bila mengacu kepada kepada hasil analisis Gambar 12, maka pelaksanaan co-management perikanan tangkap Palabuhanratu memang belum berada pada posisi terbaik. Co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, masih perlu pembenahan baik menyangkut aspek internal maupaun eksternal pengelolaan
71
selama ini. Menurut Rangkuti (2004), kondisi ideal pengelolaan (skor 4 untuk faktor internal maupun eksternal) memang sulit dicapai, tetapi hal tersebut harus tetap diupayakan untuk didekati, sehingga terjadi perbaikan yang terus-menerus dalam kegiatan pengelolaan. Hartoto et al. (2009) menyatakan bahwa upaya perbaikan terus-menerus harus menjadi tujuan dari pelibatan masyarakat dalam kegiatan perikanan, dan perbaikan tersebut hendaknya dimulai dari aspek yang vital yang menentukan keberlanjutan kegiatan perikanan. Mengacu kepada hal ini, maka aspek/variabel yang dominan mempengaruhi pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu (Tabel 8) harus menjadi fokus bagi perbaikan di masa datang. Sumberdaya manusia (SDM), modal, dan teknologi dapat dikatakan sebagai penggerak utama terjadinya kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di lokasi. Soenarno, et. al (2007) dalam penelitiannya menyatakan sumberdaya manusia menjadi penyebab utama keberhasilan dan kemunduran yang terjadi pada kegiatan perikanan. Banyak daerah yang tidak terlalu melimpah potensi sumberdaya, ikannya, tetapi karena kegiatan perikanan dikelola dengan baik, SDM handal dan dapat mengembangkan jalur bahan baku dan pasar yang baik, maka kegaitan perikanan tersebut tetap tumbuh berkembang dengan baik. Banyak
variabel
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
co-management
perikanan tangkap di Palabuhanratu. Mengacu kepada Kesteven (1993), BPS (1991), Hartoto
et
al. (2009), variabel pengelolaan yang menentukan
keberhasilan kegiatan perikanan tangkap termasuk dengan menerapkan comanagement adalah sumberdaya ikan (SDI), sumberdaya manusia (SDM), teknologi penangkapan, pasar, modal, prasarana pelabuhan, sarana transportasi produk, dan kegiatan usaha pendukung. Modal dan teknologi menjadi alat bagi SDM yang handal untuk menjalankan bisnis perikanan. Menurut Hanna (1995) dan Garrod dan Willis (1999), kekuatan modal akan menentukan skala usaha dan kestabilanya terhadap berbagai gangguan yang mengancam, sedangkan pemilihan teknologi yang tepat dengan melibatkan kemampuan dan keahlian yang ada di masyarakat dapat menumbuhkan kreativitas dan kemandirian kegiatan pengelolaan suatu kawasan. Terkait dengan ini, maka aspek sumberdaya manusia (SDM), modal, dan
72
teknologi akan dijadikan sebagai fokus dalam perancangan pola implementasi comanagement terpilih pada Bab 7 disertasi ini. Rancangan pola implementasi tersebut, nantinya diharapkan semakin menyempurnakan pelaksanaan comanagement perikanan tangkap di Palabuhanratu. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pelaksanaan co-management yang efektif sangat penting untuk menangkal akses negatif dari rezim dan era pengelolaan perikanan yang open access saat ini. Bila pelaksanaan co-management perikanan tangkap Palabuhanratu dilihat dari kondisi internal pengelolaan yang ada, maka pelaksanaannya sudah termasuk “cukup baik”. Total skor faktor internal sekitar 2,66 (pada skala 1-4) menunjukkan indikasi ini. Dalam kaitan dengan penyediaan modal mandiri, serta koordinasi dan kontrol internal yang lebih baik dapat meningkatkan kemandirian pengelolaan perikanan dan atas kesadaran sendiri, nelayan saling mengontrol satu sama lain untuk pengelolaan sarana penangkapan yang ramah lingkungan. Menurut Hou (1997) dan Garrod dan Willis (1999) menyatakan bahwa kekuatan modal menjadi hal penting untuk ekspansi usaha ekonomi dan kreativitas pelaku ekonomi lokal sangat menentukan ketahanan usaha ekonomi dalam menghadapai berbagai masalah krisis yang mungkin terjadi. 4.6
Kesimpulan Kondisi co-management yang terdapat di Palabuhanratu Kabupaten
Sukabumi dewasa ini termasuk dalam kategori cukup baik dengan pengaruh internal 2,66 pada skala 1-4 dan variabel dominan yang mempengaruhi comanagement tersebut adalah sumberdaya manusia (SDM), modal, dan teknologi. 4.7
Saran Penelitian yang dilakukan di Asia dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa
aspek kelembagaan dalam co-management merupakan hal yang penting, namun dalam disertasi ini peran kelembagaan khususnya koperasi rendah dikaitkan dengan peran koperasi sebagai lembaga keuangan menyediakan modal. Oleh karena itu disarankan untuk penelitian berikutnya mengkaji lebih dalam aspek kelembagaan yang ada di Palabuhanratu kemungkinan berpengaruh pada comanagement.
73
5 PENENTUAN USAHA PERIKANAN TANGKAP POTENSIAL
5.1
Pendahuluan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009
dinyatakan
bahwa
tujuan
pembangunan
perikanan
tangkap
adalah
(1)
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan (2) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Tujuan tersebut sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan bertanggung jawab sebagaimana dijelaskan dalam Kode Tindak Perikanan Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) yang menekankan keselarasan kegiatan pemanfaatan dengan kegiatan pelestarian. Dalam konteks pemanfaatan, menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2004), sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan perikanan tangkap pada akhir tahun 2009 adalah : (1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,472 juta ton; (2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan; (3) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar; (4) meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan (5) penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta orang. Kegiatan penentuan yang mencakup penentuan jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap yang potensial dianggap perlu dilakukan di Palabuhanratu untuk mendukung co-management bagi pengelolaan yang lebih baik pada kegiatan perikanan tangkap yang ada. Hal ini penting supaya model comanagement terpilih nantinya dapat diimplementasikan secara maksimal pada berbagai usaha perikanan tangkap dan dapat memenuhi berbagai kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap yanga ada. Terkait dengan ini, maka penentuan usaha perikanan tangkap potensial ini akan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria/aspek pengelolaan yang terkait, seperti aspek biologi, aspek teknologi, aspek ekonomi, serta aspek sosial dan budaya. Unit usaha perikanan tangkap yang selama ini beroperasi di Palabuhanratu, yaitu payang, pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, purse seine, gillnet, pancing tonda, dan longline.
75
Model co-management yang baik adalah model co-management yang relevan dengan kondisi pengelolaan perikanan tangkap saat ini yang mengakomodir
kriteria
pengelolaan
yang
ingin
dicapai,
namun
juga
memperhatikan kondisi pengelolaan yang ada. Di Palabuhanratu tentu terdapat beberapa kriteria pengelolaan yang ingin dicapai yang merupakan representasi kepentingan komponen dan stakeholders yang ada di sana. Model co-management yang dikembangkan di Palabuhanratu ke depan hendaknya telah melalui proses pertimbangan terkait kriteria pengelolaan, keterbatasan yang ada di lokasi, serta kepentingan komponen pengelolaan yang ada. Hal ini supaya model tersebut mempunyai dampak nyata bagi pengelolaan perikanan tangkap Palabuhanratu di masa datang. Realisasi model co-management umumnya terlihat dalam pelaksanaan beberapa usaha perikanan tangkap/operasi unit penangkapan yang ada di lokasi. Model co-management dapat diandalkan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap potensial. Supaya usaha perikanan tersebut berkelanjutan dan nantinya tidak ada konflik dalam pengelolaannya, maka jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap tersebut haruslah diketahui secara tepat. Usaha perikanan tangkap yang ada di Palabuhanratu sangat beragam jenisnya, belum diketahui secara persis mana saja yang potensial dikembangkan ke depan, berapa alokasi optimal pengembangannya, dan mana saja yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip comanagement. Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu tidak pernah lepas dari permasalahan yang menyangkut sumberdaya manusia yang terlibat, teknologi penangkapan yang digunakan, ketersediaan modal maupun kinerja usaha perikanan tangkap. Bila suatu model co-management dipilih untuk mengeliminir permasalahan yang ada sekaligus memotivasi partisipasi luas semua komponen pengelolaan, maka co-management haruslah dilengkapi dengan solusi dan panduan implementasinya. Solusi implementasi model co-management dapat dikatakan baik bila sinkron dengan dinamika usaha perikanan tangkap dan relevan dengan kebutuhan pemecahan masalah. Terkait dengan itu, maka solusi/pola implementasi minimal menyangkut dukungan pengembangan sumberdaya manusia, dukungan pengembangan teknologi penangkapan, dukungan penyediaan
76
modal, sehingga kinerja usaha perikanan tangkap menjadi lebih baik. Selanjutnya model co-management tersebut juga dikontrol garis tugas dan indikator keberhasilannya serta feedback kinerja usaha perikanan tangkap. Model comanagement yang dipilih dalam penelitian ini hendaknya menunjukkan ramburambu tersebut sebagai solusi terbaik dalam implementasinya pada usaha-usaha perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu. 5.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis dan alokasi usaha perikanan
tangkap potensial yang mendukung co-management terpilih. 5.3
Metode Penelitian
5.3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengumpulan data untuk penentuan jenis dan alokasi usaha perikanan tangkap potensial ini dilakukan pada bulan Juni – November 2010. Untuk mendukung relevansi dan keterwakilan data lokasi penelitian, maka penelitian ini dilakukan dibeberapa desa pesisir yang dominan aktivitas perikanannya, yaitu Cisolok, Citepus, dan sekitar pelabuhan. 5.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder.
Data primer dan data sekunder tersebut mencakup data ekonomi,
biologi, sosial budaya dan teknologi. Data ekonomi yang dikumpulkan sebagian besar terkait dengan finansial usaha seperti biaya investasi, biaya operasional usaha perikanan tangkap, jumlah dan nilai produksi, dan pendapatan. Data biologi yang dikumpulkan mencakup komposisi hasil tangkapan, musim ikan, dan musim tangkap. Data sosial budaya yang dikumpulkan antara lain mencakup tingkat kesejahteraan nelayan, pendidikan, dan tata nilai. Sedangkan data yang dikumpulkan terkait aspek teknologi mencakup ukuran kapal, mesin, BBM, material kapal dan alat tangkap serta peralatan pendukung operasi. Metode pengumpulan data primer terdiri dari identifikasi responden dan pengumpulan data responden. Responden merupakan perwakilan dari ketua
77
kelompok nelayan, nelayan pemilik usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Responden ini dipilih secara purposive sampling dari nelayan pemilik/ketua kelompok nelayan yang mengerti betul usaha perikanan tangkap yang dilakukannya. Jumlah responden ditetapkan sebanyak 40 orang dari 824 orang nelayan pemilik/ketua kelompok nelayan di Palabuhanratu. Jumlah responden ini cukup representatif karena berada dalam kisaran 5 – 10 % dari total populasi pemilik usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu (Gasperzs, 1992). Sedangkan data sekunder berasal dari buku statistik perikanan, laporan tahunan dinas perikanan, laporan PPN Palabuhanratu, dan hasil penelitian yang relevan.
5.3.3
Analisis data
5.3.3.1 Determinasi unit penangkapan ikan potensial Determinasi jenis usaha perikanan tangkap yang dianggap potensial dan mendukung model co-management terpilih dilakukan dengan pendekatan analisis skoring. Dalam analisis skoring, semua kriteria/aspek pengelolaan, seperti aspek ekonomi, biologi, sosial budaya, dan teknologi menjadi perhatian utama dalam analisis. Hasil skoring terkait tingkat dukungan aspek ekonomi, biologi, sosial budaya, dan teknologi dari setiap jenis usaha perikanan tangkap dominan merupakan gambaran dari prospek jenis usaha perikanan tangkap yang potensial dikembangkan ke depan terutama melalui penerapan model co-management terpilih. Tingkat dukungan semua aspek pengelolaan tersebut yang dinyatakan oleh segenap lapisan masyarakat baik sebagai nelayan, pengolah/pegadang ikan, pengusaha maupun aparat Pemerintah yang menangani bidang perikanan melalui kuesioner/wawancara merupakan cerminan tingkat dukungan terhadap prinsip comanagement pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Terkait dengan ini, maka penilaian pelaku perikanan tersebut terhadap setiap kriteria menjadi sangat penting dalam analisis skoring ini. Dengan mengacu kepada Martosubroto dan Malik (1989), BPS (1991) dan Jusuf (1999) adapun Parameter dari keempat aspek pengelolaan yang menjadi ukuran dalam penilaian usaha perikanan tangkap yang potensial dan mendukung co-management di desa pesisir, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi disajikan berikut ini :
78
1.
Penilaian aspek ekonomi Penilaian aspek ekonomi usaha perikanan tangkap yang potensial dan
mendukung co-management meliputi pendapatan kotor, pendapatan bersih, B/C ratio, internal rate of renturn (IRR), return of investment (ROI). Secara lengkap, Parameter yang dinilai pada aspek ekonomi tersebut disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Parameter Penilaian Aspek Ekonomi No.
Parameter ekonomi
1
Pendapatan kotor per tahun
2
Pendapatan kotor per trip
3
Pendapatan bersih (NPV)
4
Benefit Cost Ratio
5
Internal Rate of Renturn (IRR). Return of Investment (ROI)
6
2.
Uraian Pendapatan yang diterima setiap tahunnya dari usaha perikanan tangkap di desa pesisir, Palabuhanratu sebelumnya dikurangi biaya Pendapatan yang diterima setiap tripnya dari kegiatan perikanan tangkap di desa pesisir, Palabuhanratu sebelumnya dikurangi biaya Manfaat investasi kegiatan perikanan tangkap di desa pesisir yang merupakan jumlah nilai kini dari manfaat bersih Perbandingan pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan nelayan di desa pesisir, Palabuhanratu Tingkat keuntungan atas investasi bersih usaha perikanan tangkap di desa pesisir, Palabuhanratu Tingkat pengembalian investasi dari manfaat yang diterima pemilik usaha perikanan tangkap di desa pesisir, Palabuhanratu
Penilaian aspek biologi Penilaian aspek biologi usaha perikanan tangkap yang potensial dan
mendukung co-management meliputi jumlah hasil tangkapan utama, kesesuaian ukuran ikan tertangkap, musim ikan sasaran, dan musim penggunaan alat tangkap. Secara lengkap, Parameter penilaian aspek biologi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Parameter Penilaian Aspek Biologi No Parameter biologi 1
2 3
4
Uraian
Jumlah hasil tangkapan Jumlah jenis ikan yang menjadi target species dan utama jenis hasil tangkapan dari usaha perikanan tangkap tersebut Kesesuaian ukuran ikan Kemampuan alat tangkap menangkap ikan sesuai tertangkap sasaran ikan yang mau ditangkap Musim ikan sasaran Waktu ikan tertangkap oleh nelayan Palabuhanratu Musim penggunaan alat Waktu nelayan Palabuhanratu melakukan operasi tangkap penangkapan
79
3.
Aspek teknologi Penilaian aspek teknologi dari suatu usaha perikanan tangkap yang potensial
dan mendukung co-management di desa pesisir dapat mencakup komposisi ukuran kapal/perahu, jenis mesin, jenis penangkapan ikan, material
BBM yang digunakan, ukuran alat
alat penangkapan ikan, produksi per tahun, dan
produksi per trip bisa dilakukan bila menggunakan alat atau melakukan kegiatan perikanan tangkap tersebut. Secara lengkap, Parameter penilaian aspek teknologi tersebut disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Parameter Penilaian Aspek Teknologi No 1
Ukuran kapal / perahu
2
Jenis mesin
3
Jenis BBM yang digunakan
4
6
Ukuran alat penangkapan ikan Material alat penangkapan ikan Produksi per tahun
7
Produksi per trip
5
4.
Parameter teknologi
Uraian Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui panjang, lebar, dan tinggi kapal yang digunakan oleh nelayan. Hasil pengukuran ini berguna untuk identifikasi GT, jangkauan daerah penangkapan ikan dan kapasitas produksi. Perbedaan mesin yang digunakan oleh nelayan sebagai tenaga penggerak kapal. Jenis mesin ini bekaitan dengan kemudahan pengadaan material, harganya terjangkau, fasilitas pelayanan seperti bengkel serta daya tahan saat operasional penangkapan ikan dilaksanakan. Perbedaan bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan sangat tergantung dari jenis yang dipakai oleh nelayan, namun diharapkan BBM yang digunakan tersedia setiap waktu, harganya terjangkau dan membuat mesin menjadi tahan lama. Pengukuran alat penangkapan ikan seperti mesin (panjang dan lebar) dan pengukuran mata jaring. Berbagai jenis alat penangkapan ikan terbuat dari bermacam-macam material. Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit penangkapan ikan selama setahun. Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit penangkapan ikan pertrip, satu kali trip yaitu satu kali armada penangkapan ikan melakukan penangkapan ikan terhitung sejak armada penangkapan ikan meninggalkan fishing base lainnya untuk mendaratkan hasil tangkapanya.
Penilaian aspek sosial budaya Penilaian aspek sosiologi dari suatu usaha perikanan tangkap yang potensial
dan mendukung co-management di desa pesisir dapat mencakup tingkat kesejahteraan, pendidikan, kenyamanan, dan tata nilai yang dijunjung dalam melakukan kegiatan perikanan tangkap tersebut.
Secara lengkap, Parameter
penilaian aspek sosiologi tersebut disajikan pada Tabel 11.
80
Tabel 11 Parameter Penilaian Aspek Sosial Budaya Parameter sosial
No
Uraian
budaya
1
Kesejahteraan
Kemampuan masyarakat desa pesisir, Palabuhanratu untuk memenuhi berbagai kebutuhan pangan, papan, dan sandang
2
Pendidikan
Kemampuan masyarakat desa pesisir, Palabuhanratu untuk menyekolahkan anaknya
3
Kenyamanan
4
Tata nilai
Kenyamanan dan keamanan yang dirasakan masyarakat desa pesisir Palabuhanratu dalam menjalan aktivitasnya Tata nilai yang dijunjung tinggi masyarakat desa pesisir, Palabuhanratu
Selanjutnya nilai-nilai dari Parameter tersebut untuk jenis usaha perikanan tangkap yang dominan di desa pesisir, Palabuhanratu dianalisis lanjut menggunakan metode skoring (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985) dengan persamaan : V (X i ) = X i − X 0
X1 − X 0
n
V ( A) = ∑ V1 ( X i ) i =1
i = 1,2,3.............n Keterangan : V(X)
= Fungsi nilai dari Parameter X
Xi
= Nilai paremeter X yang ke-i yang dinilai
X1
= Nilai tertinggi pada Parameter X
X0
= Nilai terendah pada Parameter X
V (A) = Fungsi nilai dari alternatif A V1(X1) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i Dari hasil analisis skoring ini, kemudian dipilih 3-5 jenis usaha perikanan tangkap dengan total nilai skor tertinggi keterpaduan keempat aspek pengelolaan yang ada sebagai usaha perikanan tangkap potensial dan mendukung co-management di lokasi. Jenis usaha perikanan tangkap tersebut menjadi dasar untuk analisis selanjutnya terkait co-management dalam pengelolaan perikanan tangkap.
81
5.3.3.2 Kelayakan usaha penangkapan Analisis kelayakan usaha ini dilakukan untuk mendukung pemilihan jenis usaha perikanan tangkap yang potensial dan mendukung co-management pengelolaan perikanan tangkap dari aspek ekonomi. Menurut Gaspersz (1992), kelayakan finansial usaha bisnis dapat diukur dari Parameter Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI), dan BenefitCost Ratio (BCR). Adapun rumus perhitungan dari Parameter tersebut adalah : 1)
Net Present Value (NPV) merupakan Parameter untuk mengetahui selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Usaha perikanan tangkap layak dikembangkan bila mempunyai nilai NPV > 0 (nol). Perhitungan nilai NPV menggunakan rumus : n
NPV = ∑ t =1
Bt − Ct (1 + i )t
Keterangan :
Bt = Pendapatan (benefit) usaha perikanan tangkap pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) usaha perikanan tangkap pada tahun ke-t I = suku bunga t = 1, 2,3 ........, n n = umur ekonomis
2)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan Paramater untuk mengetahui suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV = 0, jadi dalam keadaan batas untung rugi. Usaha perikanan tangkap layak dikembangkan bila mempunyai nilai IRR > suku bunga bank yang berlaku. Perhitungan nilai IRR menggunakan rumus :
NPV1 IRR = i 1 + ( i 2 - i1 ) NPV1 - NPV2 Keterangan : i 1 = suku bunga yang menyebabkan NPV bernilai positif i 2 = suku bunga yang menyebabkan NPV bernilai negatif NPV 1 = NPV pada suku bunga i 1 NPV 2 = NPV pada suku bunga i 2
82
3)
Return of Investment (ROI) merupakan Parameter untuk mengetahui tingkat pengembalian investasi dari benefit (pendapatan) yang diterima pemilik. Usaha perikanan tangkap layak dikembangkan bila mempunyai nilai ROI > 1 (satu). Perhitungan nilai ROI menggunakan rumus : n
ROI =
∑ Bt t =1
I
Keterangan :
Bt = Pendapatan (benefit) usaha perikanan tangkap pada
tahun ke-t I = Investasi usaha perikanan tangkap t = 1, 2,3 ........, n n = umur ekonomis 4)
Benefit-Cost Ratio (B/C) merupakan paramater untuk mengetahui tingkat perbandingan antara NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif. Usaha perikanan tangkap layak dikembangkan lanjut bila mempunyai nilai B/C Ratio > 1 (satu). Perhitungan nilai ROI menggunakan rumus : n
(Bt - Ct) (Bt - Ct) > 0 t t = 0 (1 = i) B/C ratio = n (Ct - Bt) (Bt - Ct) < 0 ∑ t t =1 (1 + i)
∑
Keterangan : Bt = Pendapatan (benefit) usaha perikanan tangkap pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) usaha perikanan tangkap pada tahun ke-t i = suku bunga t = 1, 2,3 ........, n n = umur ekonomis 5.3.3.3 Alokasi Unit penangkapan Alokasi optimal dari usaha perikanan tangkap (unit penangkapan) yang potensial terpilih sesuai dengan evaluasi aspek biologi, teknologi, ekonomi dan sosial budaya dianalisis menggunakan Linier Goal Programming (LGP). Dalam melakukan analisis ini, model matematis LGP mempunyai variabel deviasional
83
dalam fungsi pembatasnya. Variabel deviasional tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan (deviasi) hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai. Tujuan akhir analisis LGP adalah alokasi yang menyebabkan pencapaian fungsi pembatas hingga mendekati ketersediaan/kapasitas pembatas yang ada dan akumulasi variabel deviasional menjadi minimum pada fungsi tujuan (Siswanto, 1990 dan Muslich 1993). Model linear goal programming untuk analisis alokasi optimum unit penangkapan ikan dan mendukung comanagement di lokasi terdiri dari fungsi tujuan dan fungsi pembatas yaitu : Fungsi tujuan : n
Z= ∑
(DB i + DA i )
jm1
Fungsi pembatas :
x +
22 2
x +
22 2
DB 2 - DA 1
21 1
DB 2 –DA 2 +
21 1
x +
23 3
x +......+
2n x n
– b1
x +
23 3
x +......+
2n x n
– b2
. . DB m – DA m +
x +
m2 2
x +
m2 2
x +...... +
m3 3
nn x n
- bm
Keterangan : Z = Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan. Total deviasi merupakan penjumlahan dari deviasi fungsi pembatas ke-1 sampai ke-n. Bila total deviasi rendah, berarti deviasi atau simpangan fungsi pembatas dari yang diinginkan juga rendah, dan hal ini lebih diinginkan. DB i = Deviasi bawah pembatas ke-i DA i = Deviasi atas pembatas ke-i bi
= Kapasitas /ketersediaan pembatas ke-i
a ij
= Parameter fungsi pembatas ke-i pada variabel keputusan ke-j
pembatas ke-i = pembatas berlangsungnya usaha perikanan tangkap, misalnya MSY, tenaga kerja, BBM, dan lain-lain X j = variabel putusan ke-j (usaha perikanan tangkap potensial ke-j) X j , DA i dan DB i > 0, untuk i = 1, 2,…., m dan j = 1, 2…., n
84
Fungsi Tujuan adalah alokasi optimum alat perikanan tangkap diperoleh rumus sebagai berikut : Fungsi tujuan : n
Z= ∑
(DB i + DA i )
jm1
Fungsi pembatas : BBM 13.140.000 = 55.800x1+41.280x2 72.000X3+90.000X4+DB 2 - DA 1 Es Balok 876.000=3.100X1+3.440X2+6000X3+7.5000X4+DB2-DA2 Pendapatan Kotor 10.119.271 = 1.416X1+1.504X2+1.601X3+9.717X4+DB3-DA3 Penggunaan umpan 1.746 = 30X3+42X4+DB4-DA4 Air tawar 365.000.000=21.700X1+30.100X2+16.800X3+105.000X4
Keterangan : DB i
= Deviasi bawah pembatas ke-i
DA i
= Deviasi atas pembatas ke-i
X1
= Payang
X2
= Gillnet
X3
= Pancing tonda
X4
= Longline
85
5.4
Hasil Penelitian
5.4.1 Penilaian setiap aspek pengelolaan 5.4.1.1 Penilaian aspek biologi Analisis aspek biologi ini berkaitan dengan daya dukung/ketersediaan sumberdaya ikan sebagai faktor utama dari berlangsungnya kegiataan pengelolaan perikanan tangkap termasuk melalui penerapan co-management. Tabel 12 menyajikan hasil penilaian aspek biologi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Tabel 12 Hasil penilaian aspek biologi usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap
X1
UP 1
X2
UP 2
X3
UP 3
X4
UP 4
Payang
85.5
4
80.3
2
10
2
10
2
Pancing Ulur
87.2
3
80.2
3
10
2
10
2
Jaring Rampus
67.0
7
56.2
7
7
4
6
4
Bagan Apung
78.2
5
45.2
8
10
2
10
2
Trammel Net
66.2
8
67.5
6
8
3
8
3
Purse Seine
65.3
9
77.2
4
12
1
12
1
Gillnet
75.2
6
68.2
5
12
1
10
2
Pancing Tonda
88.2
2
82.1
1
12
1
12
1
Longline
91.2
1
34.2
9
12
1
12
1
Keterangan : X 1 = jumlah hasil tangkapan utama (%) X 2 = kesesuaian ukuran ikan tertangkap (%) X 3 = musim ikan sasaran (bulan/tahun) X 4 = musim penggunaan alat tangkap (bulan/tahun)
Pancing tonda merupakan usaha perikanan tangkap yang menempati prioritas pertama pada kriteria kesesuaian ukuran ikan yang tertangkap X 2 , musim ikan sasaran X 3 , dan musim penggunaan alat tangkap X 4 . Longline menempati prioritas pertama pada kriteria jumlah hasil tangkapan utama X 1 , musim ikan sasaran X 3 , dan musim penggunaan alat tangkap X 4, (Tabel 12). Sedangkan untuk kriteria kesesuaian ikan yang tertangkap X 2 , longline menempati prioritas nilai paling rendah yaitu 34,2. Gillnet menempati prioritas pertama pada kriteria musim ikan sasaran X 3 dan purse seine menempati prioritas pertama pada kriteria musim ikan sasaran X 3 dan musim penggunaan alat tangkap X 4 . Pancing ulur dan payang tidak
86
menempati prioritas pertama pada kriteria manapun, tetapi semua kriteria dipenuhi dengan nilai yang baik (tidak ada yang nilainya sangat rendah). Hasil standarisasi penilaian aspek biologi setiap usaha perikanan tangkap berdasarkan kriteria jumlah hasil tangkapan utama, kesesuaian ikan yang tertangkap, musim ikan sasaran, dan musim penggunaan alat tangkap disajikan pada pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil standarisasi penilaian aspek biologi usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
V1
V2
V3
V4
VA
UP
0,780 0,846 0,066 0,498 0,035 0,000 0,382 0,884 1,000
0,962 0,960 0,459 0,230 0,695 0,898 0,710 1,000 0,000
0,600 0,600 0,000 0,600 0,200 1,000 1,000 1,000 1,000
0,667 0,667 0,000 0,667 0,333 1,000 0,667 1,000 1,000
3,009 3,073 0,525 1,994 1,263 2,898 2,759 3,884 3,000
3 2 9 7 8 5 6 1 4
Pancing tonda merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul (urutan prioritas 1) dari aspek biologi dalam mendukung co-management di Palabuhanratu, dengan skor VA = 3,884 (Tabel 13). Keunggulan alat tangkap ini dari aspek biologi lebih didukung oleh nilainya yang baik untuk kriteria jumlah hasil tangkapan utama (V 1 = 0,884), kesesuaian ikan yang tertangkap (V 2 = 1,000), musim ikan sasaran (V 3 = 1,000), dan musim penggunaan alat tangkap (V 4 = 1,000). Pancing ulur dan payang merupakan usaha perikanan tangkap unggulan urutan prioritas kedua dan ketiga dari aspek biologi yang dominan dipengaruhi oleh nilai yang baik untuk kriteria jumlah hasil tangkapan utama dan kesesuaian ukuran ikan yang tertangkap. Fungsi nilai untuk kriteria jumlah hasil tangkapan utama bagi pancing ulur dan payang masing-masing sekitar 0,846 dan 0,780, dan fungsi nilai untuk kriteria kesesuaian ikan yang tertangkap bagi pancing ulur dan payang masing-masing sekitar 0,960. Jaring rampus merupakan usaha perikanan tangkap yang urutan prioritas terakhir (VA = 0,525) terkait keunggulannya dari aspek biologi dalam mendukung co-management pengelolaan perikanan tangkap. Hal ini lebih dipengaruhi oleh nilainya yang umumnya rendah untuk semua kriteria yang dinilainya terkait aspek
87
biologi, bahkan kriteria musim ikan sasaran dan musim penggunaan mempunyai nilai capaian (fungsi nilai) sangat rendah, yaitu 0,000. 5.4.1.2 Penilaian aspek teknologi Kriteria yang dinilai terkait aspek teknologi usaha perikanan tangkap dalam mendukung
co-management
di
Palabuhanratu
adalah
rata-rata
ukuran
kapal/perahu (X 1 ), rata-rata ukuran mesin kapal (X 2 ), kelengkapan alat pendukung penangkapan (X 3 ), ukuran alat penangkapan ikan (X 4 ), kapasitas muat es (X 5 ), produksi per tahun (X 6 ), dan produksi per trip (X 7 ).
Nilai yang
digunakan dalam penilaian setiap kriteria merupakan nilai yang diperoleh secara kuantitatif diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan lapang, atau perhitungan data kuantitatif yang kemudian distandarkan. Hal ini karena tidak semua kriteria mempunyai nilai kuantitatif yang dapat langsung diperbandingkan. Tabel 14, menyajikan hasil penilaian aspek teknologi usaha perikanan tangkap dalam mendukung co-management di Palabuhanratu. Tabel 14 Hasil penilaian aspek teknologi usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline Keterangan : X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
= = = = = = =
X 1 UP 1 X 2 UP 2
X3
UP 3
X 4 UP 4 X 5
UP 5
X6
UP 6
X7
UP 7
6 2
5 7
15 10
5 6
3 1
2 4
80 50
4 5
10 2
6 9
222,50 61,53
7 8
1,11 0,31
5 8
5
6
15
5
3
2
80
4
9
7
1242,24
4
1,08
6
2 2 30 15
7 7 2 3
2 10 60 30
7 6 2 3
3 2 4 4
2 3 1 1
150 50 350 150
3 5 2 3
40 4 100 80
4 8 2 3
1826,54 22,94 8361,28 332,79
3 9 2 6
3,65 0,14 5,57 2,47
3 9 2 4
8 50
4 1
20 120
4 1
3 4
2 1
80 800
4 1
15 625
5 1
993.75 6434,88
5 1
0,75 44,69
7 1
rata-rata ukuran kapal/perahu (GT) rata-rata ukuran mesin kapal (PK) kelengkapan alat pendukung penangkapan ukuran alat penangkapan ikan (meter, pics) kapasitas muat es (balok/trip) produksi per tahun (ton/tahun) produksi per trip (ton/trip)
Penilaian aspek teknologi ini penting untuk menyeleksi sifat keandalan teknologi dari usaha perikanan tangkap sebagai bagian dari pengelolaan perikanan
88
tangkap dalam mendukung co-management di Palabuhanratu. Penilaian keunggulan usaha perikanan tangkap dari aspek teknologi ini memperlihatkan bahwa usaha perikanan tangkap longline menempati prioritas pertama pada kriteria rata-rata ukuran kapal/perahu (X 1 ), rata-rata ukuran mesin kapal (X 2 ), kelengkapan alat pendukung penangkapan (X 3 ), ukuran alat penangkapan ikan (X 4 ), kapasitas muat es (X 5 ), produksi per tahun (X 6 ), dan produksi per trip (X 7 ). Keunggulan longline ini lebih karena pengusahaannya dalam skala besar, sehingga aplikasi teknologi dan hal-hal yang bersifat teknis penangkapan dapat dipenuhi secara maksimal. Usaha perikanan tangkap purse seine menempati prioritas pertama untuk kelengkapan alat pendukung penangkapan (X 3 ) dan produksi per tahun (X 6 ). Payang menempati prioritas pertama untuk kriteria kelengkapan alat pendukung penangkapan (X 3 ), dan kriteria lainnya meskipun menempati prioritas pertama tetapi juga seperti rata-rata ukuran kapal / perahu (X 1 ) dan rata-rata ukuran mesin kapal (X 2 ). Untuk pancing ulur dan trammel net, skala pengusahaannya umumnya relatif lebih rendah daripada tujuh usaha perikanan tangkap lainnya, dan adopsi teknologi tidak banyak dilakukan. Kondisi ini menyebabkan kedua usaha perikanan tangkap ini kurang unggul dari aspek teknologinya terutama untuk mendukung pengelolaan perikanan tangkap yang menerapkan model comanagement. Untuk mengetahui fungsi nilai dan urutan prioritas semua usaha perikanan tangkap yang ada terkait aspek teknologi ini, maka hasil standarisasi penilaian aspek teknologi setiap usaha perikanan tangkap berdasarkan kriteria rata-rata ukuran kapal/perahu, rata-rata ukuran mesin kapal, kelengkapan alat pendukung penangkapan, ukuran alat penangkapan ikan, kapasitas muat es, produksi per tahun, dan produksi per trip disajikan pada Tabel 15. Longline merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul dari aspek teknologi dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan co-management di Palabuhanratu, dengan skor VA = 6,769 (Tabel 15). Hal ini karena longline mempunyai nilai yang sangat baik untuk kriteria rata-rata ukuran kapal/perahu (V 1 = 1,000), rata-rata ukuran mesin kapal (V 2 = 1,000), kelengkapan alat pendukung penangkapan (V 3 = 1,000), ukuran alat penangkapan ikan (V 4 = 1,000), kapasitas muat es (V 5 = 1,000), dan produksi per trip (V 7 =
89
1,000). Usaha perikanan tangkap purse seine merupakan usaha perikanan tangkap unggulan urutan prioritas kedua (VA = 3,754) dari aspek teknologi, dominan karena mempunyai nilai yang baik untuk rata-rata ukuran kapal/perahu (V 1 =0,583), rata-rata ukuran mesin kapal (V 2 =0,492), kelengkapan alat pendukung penangkapan (V 3 = 1,000), dan ukuran alat penangkapan ikan (V 4 = 0,400). Tabel 15 Hasil standarisasi penilaian aspek teknologi usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap
V1
V2
V3
V4
V5
V6
V7
VA
UP
Payang
0,083 0,110
0,667
0,040 0,013 0,024 0,022
0,959
7
Pancing Ulur
0,000 0,068
0,000
0,000 0,000 0,005 0,004
0,076
9
Jaring Rampus
0,063 0,110
0,667
0,040 0,011 0,146 0,021
1,058
6
Bagan Apung
0,000 0,000
0,667
0,133 0,061 0,216 0,079
1,156
4
Trammel Net
0,000 0,068
0,333
0,000 0,003 0,000 0,000
0,404
8
Purse Seine
0,583 0,492
1,000
0,400 0,157 1,000 0,122
3,754
2
Gillnet
0,271 0,237
1,000
0,133 0,125 0,037 0,052
1,856
3
Pancing Tonda
0,125 0,153
0,667
0,040 0,021 0,116 0,014
1,135
5
Longline
1,000 1,000
1,000
1,000 1,000 0,769 1,000
6,769
1
Gillnet dan bagan apung menduduki urutan prioritas ketiga dan keempat dari aspek teknologi, dimana masing-masing mempunyai fungsi nilai (VA) 1,856 dan 1,156. Gillnet mempunyai nilai yang baik untuk rata-rata ukuran kapal/ perahu (V 1 = 0,271), rata-rata ukuran mesin kapal (V 2 = 0,237), dan kelengkapan alat pendukung penangkapan (V 3 = 1,000). Usaha perikanan tangkap pancing ulur merupakan usaha perikanan tangkap yang menempati urutan terakhir (VA = 0,076) terkait keunggulannya dari aspek teknologi ini. Usaha perikanan tangkap kurang mendukung dihampir semua kriteria, kecuali untuk kriteria ratarata ukuran mesin kapal (V 2 =0,068). Untuk rata-rata ukuran kapal/perahu, kelengkapan alat pendukung penangkapan, ukuran alat penangkapan ikan, dan kapasitas muat es, fungsi nilainya bernilai 0,000. 5.4.1.3 Penilaian aspek ekonomi Penilaian aspek ekonomi ini dimaksudkan untuk pengembangan aspek komersial usaha perikanan tangkap yang melibatkan nelayan dan masyarakat
90
pesisir di Palabuhanratu. Penilaian aspek ekonomi ini dilakukan melalui analisis terhadap kriteria terkait, yaitu pendapatan kotor per tahun, pendapatan kotor per trip, pendapatan bersih/NPV, benefit cost ratio (B/C ratio), internal rate of renturn/IRR, dan return of investment/ROI. Analisis aspek ekonomi ini sangat berkaitan dengan kelayakan dan kemungkinan usaha perikanan tangkap untuk dikembangkan secara komersial dengan menerapkan co-management. Tabel 16, menyajikan hasil penilaian aspek ekonomi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hasil analisis detail setiap kriteria yang dinilai terkait aspek ekonomi ini disajikan pada Lampiran 57 – Lampiran 65. Tabel 16 Hasil penilaian aspek ekonomi usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
X1
UP 1
1.416.005.000 628.440.000 851.180.000 410.260.000 427.480.000 2.720.010.000 1.504.107.000
5 7 6 9 8 2 4
1.600.500.000 9.716.820.000
3 1
X2
UP 2
X3
9.135.516 5.611.071 16.060.000 17.837.391 2.590.788 75.555.833 34.979.233
7 8 5 4 9 2 3
2.788.217.521 1.031.152.048 1.723.442.900 626.758.526 176.327.017 5.918.116.318 2.781.284.082
13.337.500 809.735.000
6 1
UP 3 X 4 UP 4
X5
UP 5
X6
UP 6
3 7 5 8 9 2 4
1,47 1,36 1,49 1,33 1,07 1,55 1,43
3 6 2 7 8 1 4
163,5 93,1 97,5 88,1 25,3 120,6 99,2
1 7 7 8 9 3 5
31,19 20,38 17,30 20,45 18,55 20,35 19,24
2 5 9 4 8 6 7
2.717.182.381 6 20.905.263.140 1
1,36 1,38
6 5
129,9 112,5
2 4
28,25 39,52
3 1
Keterangan : X1 = pendapatan kotor per tahun (Rp/tahun) X2 = pendapatan kotor per trip (Rp/trip) X 3 = pendapatan bersih/NPV (Rp) X 4 = benefit cost ratio (B/C ratio) X 5 = internal rate of renturn/IRR (%). X 6 = return of investment/ROI
Longline merupakan usaha perikanan tangkap yang menempati prioritas pertama pada kriteria pendapatan kotor per tahun (X 1 ), pendapatan kotor per trip (X 2 ), pendapatan bersih/NPV (X 3 ), dan return of investment/ROI (X 6 ). Purse seine menempati prioritas pertama pada kriteria benefit cost ratio (X 4 ). Sedangkan untuk payang menempatai prioritas pertama pada kriteria internal rate of renturn/IRR (X 5 ). Pancing tonda tidak menempati prioritas pertama pada kriteria manapun, tetapi umumnya kriteria yang ada dipenuhi dengan baik, seperti benefit cost ratio (X 4 ), internal rate of renturn/IRR (X 5 ), dan return of investment/ROI (X 6 ), (Tabel 16). Hasil standarisasi penilaian aspek ekonomi
91
setiap usaha perikanan tangkap berdasarkan kriteria pendapatan kotor per tahun, pendapatan kotor per trip, pendapatan bersih/NPV selama penggunaan, benefit cost ratio/B/C ratio, internal rate of renturn/IRR, dan return of investment/ROI disajikan pada pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil standarisasi penilaian aspek ekonomi usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
V1 0,108 0,023 0,047 0,000 0,002 0,248 0,118 0,128 1,000
V2
V3
0,008 0,004 0,017 0,019 0,000 0,090 0,040 0,013 1,000
0,126 0,041 0,075 0,022 0,000 0,277 0,126 0,123 1,000
V4 0,839 0,614 0,881 0,544 0,000 1,000 0,753 0,614 0,651
V5 1,000 0,491 0,522 0,454 0,000 0,690 0,535 0,757 0,631
Longline merupakan usaha perikanan tangkap
V6
VA
UP
0,625 0,138 0,000 0,142 0,056 0,137 0,087 0,493 1,000
2,706 1,312 1,542 1,181 0,058 2,443 1,658 2,128 5,282
2 7 6 8 9 3 5 4 1
yang paling unggul
(urutan prioritas 1) dari aspek ekonomi dalam mendukung co-management di Palabuhanratu, dengan skor VA = 5,282 (Tabel 17). Keunggulan longline dari aspek ekonomi ini lebih didukung oleh nilainya yang baik untuk semua kriteria terutama kriteria pendapatan kotor per tahun (V 1 = 1,000), pendapatan kotor per trip (V 2 = 1,000), pendapatan bersih/NPV (V 3 = 1,000), dan return of investment/ROI (V 6 =1,000). Payang dan purse seine merupakan usaha perikanan tangkap unggulan urutan prioritas kedua dan ketiga dari aspek ekonomi yang dominan dipengaruhi oleh nilai yang baik untuk benefit cost ratio (X 4 ) dan internal rate of renturn/IRR (X 5 ). Fungsi nilai untuk kriteria benefit cost ratio (X 4 ) bagi payang dan purse seine masing-masing sekitar 0,839 dan 1,000, dan fungsi nilai untuk kriteria internal rate of renturn/IRR (X 5 ) bagi payang dan purse seine masing-masing sekitar sekitar 1,000 dan 0,960. Trammel net merupakan usaha perikanan tangkap yang urutan prioritas terakhir (VA = 0,058) terkait keunggulannya dari aspek ekonomi dalam mendukung co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hal ini lebih dipengaruhi oleh nilainya yang umumnya rendah untuk semua kriteria yang dinilainya terkait aspek ekonomi, bahkan kriteria pendapatan kotor per trip, NPV selama penggunaan, B/C Ratio, IRR mempunyai nilai capaian (fungsi nilai) sangat rendah, yaitu 0,000. Bagan apung juga mempunyai nilai 92
capaian (fungsi nilai) untuk kriteria yang dinilai terkait aspek ekonomi ini, kecuali untuk kriteria B/C ratio (V 4 = 0,544) dan IRR (V 5 = 0,454). 5.4.1.4 Penilaian aspek sosial dan budaya Aspek sosial dan budaya yang dilihat pada co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu meliputi kesejahteraan, pendidikan, kenyamanan, dan tata nilai. Analisis terhadap kriteria sosial dan budaya ini
diperlukan untuk
menyeleksi tingkat penerimaan masyarakat di Palabuhanratu. Tabel 18 menyajikan hasil penilaian aspek sosial dan budaya pengelolaan unit usaha payang, pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, purse seine, gillnet,
pancing tonda, dan longline dengan menerapkan co-management di
Palabuhanratu. Tabel 18 Hasil penilaian aspek sosial dan budaya usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
X1
UP 1
X2
UP 2
X3
UP 3
X4
UP 4
4 2 2 3 1 3 4 3
1 3 3 2 4 2 1 2
4 1 1 3 2 2 4 3
1 4 4 2 3 3 1 2
4 2 2 3 3 3 4 3
1 3 3 2 2 2 1 2
4 4 2 4 2 2 4 3
1 1 3 1 3 3 1 2
4
1
4
4
2
3
2
3
Keterangan : X1 X2 X3 X4
= kesejahteraan = pendidikan = kenyamanan = tata nilai
Dari aspek sosial dan budaya ini, payang dan gillnet merupakan usaha perikanan tangkap yang menempati prioritas pertama dari sisi kriteria kesejahteraan, pendidikan, kenyamanan, dan tata nilai. Bagan apung menempati prioritas pertama untuk kriteria tata nilai dan kriteria yang lainnya juga dipenuhi dengan baik (kesejahteraan, pendidikan, dan kenyamanan). Tidak ada kriteria terkait aspek sosial dan budaya ini yang dipenuhi dengan nilai sangat baik (prioritas pertama) oleh pancing tonda, tetapi semua kriteria yang ada dipenuhi dengan nilai baik (nilai 3 pada skala 1-4). Pancing tonda banyak melibatkan
93
nelayan dam masyarakat setempat, sehingga banyak anggota masyarakat yang merasakan manfaatnya, meskipun tidak berpengaruh sangat tinggi bagi kesejahteraan, pendidikan, kenyamanan, dan tata nilai. Jaring rampus, trammel net, purse seine, dan longline lebih rendah manfaatnya bagi kehidupan sosial dan budaya nelayan dan masyarakat. Untuk trammel net dampak terhadap kesejahteraan nelayan rendah. Sedangkan tiga lainnya lebih karena kenyamanan dan pelibatan masyarakat lokal yang rendah (terutama longline). Tabel 19 menyajikan hasil standarisasi penilaian aspek sosial dan budaya dari kesembilan usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu berdasarkan kriteria kesejahteraan, pendidikan, kenyamanan, dan tata nilai perairan terkait penerapan co-management. Tabel 19 Hasil standarisasi aspek sosial dan budaya usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
V1
V2
V3
V4
VA
UP
1,000 0,333 0,333 0,667 0,000 0,667 1,000 0,667 1,000
1,000 0,000 0,000 0,667 0,333 0,333 1,000 0,667 1,000
1,000 0,000 0,000 0,500 0,500 0,500 1,000 0,500 0,000
1,000 1,000 0,000 1,000 0,000 0,000 1,000 0,500 0,000
4,000 1,333 0,333 2,833 0,833 1,500 4,000 2,333 2,000
1 6 8 2 7 5 1 3 4
Payang dan gillnet memupunyai fungsi nilai (VA) aspek sosial dan budaya yang paling tinggi, yaitu masing-masing 4,000 (Tabel 19). Hal ini karena kedua usaha perikanan tangkap ini mempunyai fungsi nilai yang sangat baik untuk setiap kriteria yang dinilai terkait aspek sosial dan budaya ini, yaitu kriteria kesejahteraan (V 1 = 1,000), pendidikan (V 2 = 1,000), kenyamanan (V 3 = 1,000), dan tata nilai (V 4 = 1,000). Usaha perikanan tangkap urutan prioritas kedua, ketiga, dan keempat yang unggul dari aspek keberlanjutan berturut-turut adalah bagan apung, pancing tonda, dan longline. Usaha perikanan tangkap bagan apung mempunyai fungsi nilai (VA) sekitar 2,833, pancing tonda mempunyai fungsi nilai (VA) sekitar 2,333, dan longline mempunyai fungsi nilai (VA) sekitar 2,000.
94
Trammel net dan jaring rampus merupakan dua usaha perikanan tangkap yang paling rendah keunggulannnya dari aspek sosial dan budaya ini, yaitu dengan nilai VA masing-masing 0,833 dan 0,333. Bila usaha perikanan tangkap mempunyai nilai VA tinggi untuk aspek sosial dan budaya ini, maka usaha perikanan tangkap tersebut diindikasikan mempunyai tingkat penerimaan dan manfaat yang tinggi bagi nelayan dan masyarakat sekitar, sedangkan bila sebaliknya maka usaha perikanan tangkap tersebut belum dirasakan perannya di lokasi. 5.4.2 Penilaian gabungan aspek pengelolaan Hasil penilaian dari gabungan aspek pengelolaan ini akan menjadi dasar dalam menentukan jenis usaha perikanan tangkap yang potensial dikembangkan untuk mendukung model co-management terpilih. Usaha perikanan tangkap ini nantinya diharapkan dapat menjadi usaha perikanan unggulan dalam mengelola potensi perikanan tangkap yang terdapat di perairan Palabuhanratu dan sekitarnya. Selama ini, kegiatan perikanan telah menjadi aktivitas ekonomi utama di Palabuhanratu dan sebagian besar masyarakat pesisir di lokasi menggantungkan hidup pada kegiatan perikanan yang ada. Pemilihan usaha perikanan tangkap yang terandalkan dari aspek teknik, teknologi, keberlanjutan diharapkan dapat menjadi solusi terbaik dalam mendukung model co-management terpilih untuk pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Supaya dapat direalisasikan dan diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar, maka peran Pemerintah dan stakeholders terkait lainnya sangat diharapkan, karena pengembangan usaha perikanan tangkap unggulan tersebut adalah untuk kebaikan masyarakat dan keberlanjutan pengelolaan potensi perikanan yang menjadi sandaran hidup nelayan dan masyarakat pesisir Palabuhanratu selama ini. Hasil penilaian payang, pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, purse seine, gillnet, pancing tonda, dan longline berdasarkan gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya disajikan pada Tabel 20.
95
Tabel 20 Hasil penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya dari usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
X1
UP 1
X2
UP 2
X3
UP 3
X4
UP 4
3,009
3
0,959
7
2,706
2
4,000
1
3,073
2
0,076
9
1,312
7
1,333
6
0,525
9
1,058
6
1,542
6
0,333
8
1,994
7
1,156
4
1,181
8
2,833
2
1,263
8
0,404
8
0,058
9
0,833
7
2,898 2,759
5 6
3,754 1,856
2 3
2,443 1,658
3 5
1,500 4,000
5 1
3,884
1
1,135
5
2,128
4
2,333
3
3,000
4
6,769
1
5,282
1
2,000
4
Keterangan : X1 X2 X3 X4
= = = =
aspek biologi aspek teknologi aspek ekonomi aspek sosial budaya
Hasil penilaian gabungan tersebut memberi ilustrasi tentang kelebihan dan kekurangan suatu usaha perikanan tangkap dibandingkan dengan usaha perikanan tangkap lainnya dalam mendukung model co-management terpilih untuk pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Supaya bisa ditentukan urutan prioritas setiap usaha perikanan tangkap berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya, maka perlu dilakukan standarisasi penilaian. Tabel 21 menyajikan hasil standarisasi penilaian gabungan aspek gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya dari payang, pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, purse seine, gillnet, pancing tonda, dan longline di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
96
Tabel 21 Standarisasi penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya dari usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap Payang Pancing Ulur Jaring Rampus Bagan Apung Trammel Net Purse Seine Gillnet Pancing Tonda Longline
V1 0,739 0,758 0,000 0,437 0,220 0,706 0,665 1,000 0,737
V2 0,132 0,000 0,147 0,161 0,049 0,550 0,266 0,158 1,000
V3 0,507 0,240 0,284 0,215 0,000 0,457 0,306 0,396 1,000
V4 1,000 0,273 0,000 0,682 0,136 0,318 1,000 0,545 0,455
VA 2,378 1,271 0,431 1,496 0,405 2,031 2,237 2,100 3,191
UP 2 7 8 6 9 5 3 4 1
Longline merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul (prioritas pertama) dari penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya (Tabel 21). Usaha perikanan tangkap tersebut mempunyai nilai fungsi (VA) sekitar 3,191 dari penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial
dan
budaya.
Payang
merupakan
usaha
perikanan
tangkap
unggulan/potensial kedua dari penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya untuk dikembangkan di Palabuhanratu (VA = 2,378). Gillnet dan pancing tonda merupakan usaha perikanan tangkap unggulan/potensial ketiga dan keempat dari gabungan penilaian aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Gillnet dan pancing tonda mempunyai nilai fungsi (VA)
gabungan masing-masing 2,237 dan 2,100. Jaring rampung dan trammel net merupakan dua usaha perikanan tangkap dengan keunggulan paling rendah (prioritas terakhir) dari penilaian gabungan penilaian aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Mengacu kepada fungsi nilai (VA) gabungan tersebut, maka payang, longline, gillnet, dan pancing tonda terpilih sebagai usaha perikanan tangkap potensial untuk mendukung penerapan model co-management terpilih dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Untuk memudahkan realisasi pengembangan, alokasi yang tepat dan optimal dari keempat usaha perikanan tangkap tersebut perlu diketahui. Hal ini penting untuk penyesuaian pengembangan dengan daya dukung lokasi sehingga
97
terjadi keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di masa datang terutama dengan menerapkan model co-management sebagai pilihan pola pengelolaan.
5.4.3 Alokasi optimal usaha perikanan tangkap 5.4.3.1 Hasil perancangan formula linear goal programming Hasil analisis alokasi optimal ini akan menjadi acuan dalam pengembangan usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline dalam mendukung penerapan model co-management terpilih di Palabuhanratu. Jumlah usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline saat ini di Palabuhanratu masing-masing sekitar 81 unit, 31 unit, 50 unit, dan 23 unit. Berdasarkan hasil identifikasi lapang, paling tidak ada lima hal yang menjadi pembatas atau penentuan kesesuaian pengembangan dengan daya dukung lokasi, yaitu kemampuan penyediaan BBM oleh SPBU, penyediaan es balok oleh pabrik es, pendapatan usaha yang diinginkan, penggunaan umpan, dan kapasitas kolam pelabuhan. Kelima pembatas tersebut menjadi sasaran atau hal penting yang perlu dioptimalkan dari pengembangan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline di Palabuhanratu.
Mengacu akan hal ini, maka sasaran pengembangan usaha
perikanan tangkap potensial adalah mengoptimalkan penggunaan BBM, mengoptimalkan penggunaan es balok, mengoptimalkan penggunaan umpan, mengoptimalkan pendapatan usaha, dan mengoptimalkan pemanfaatan kolam pelabuhan. Analisis optimalisasi ini menggunakan menggunakan metode linear goal programming aplikasi LINDO. Untuk memudahkan analisis, keempat usaha perikanan tangkap potensial disimpulkan sebagai berikut : payang (X 1 ), gillnet (X 2 ), pancing tonda (X 3 ), dan longline (X 4 ). Sedangkan formula linear goal programming (LGP) penentuan alokasi optimal payang, gillnet, pancing tonda, dan longline di Palabuhanratu dengan mengakomodir lima sasaran yang ada adalah : Fungsi tujuan : Z = Min DA1+DA2+DA3+DB4+DA5 Fungsi kendala : Mengoptimalkan penggunaan BBM
98
DA1+55800X1+41280X2+72000X3+90000X4 <=13140000 Mengoptimalkan penggunaan es balok DA2+3100X1+3440X2+600X3+7500X4 <= 876000 Mengoptimalkan penggunaan umpan DA3+30X3+42X4 <= 1746 Mengoptimalkan pendapatan usaha DB4+1416X1+1504X2+1601X3+9717X4 >= 10119271 Mengoptimalkan pemanfaatan kolam pelabuhan DA5+300X4 <= 6000 X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , dan X 5 kemudian menjadi variabel keputusan dalam analisis alokasi optimal usaha perikanan tangkap potensial. Penentuan nilai koefisien dari setiap variabel keputusan dan nilai sisi kanan untuk setiap formula disajikan pada Lampiran 66. 5.4.3.2 Penentuan alokasi optimal usaha perikanan tangkap Dalam menentukan alokasi optimal dari payang, gillnet, pancing tonda, dan longline akan dikembangkan konsep optimalisasi bertahap sesuai dengan kelompok urgensi/kepentingan setiap sasaran. Hal ini lebih akomodatif terutama pada kondisi infrastruktur perikanan yang terbatas, sementara sasaran optimalisasi perlu dicapai. Mengacu kepada hal ini, kelima sasaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu ; Kelompok I : 1)
Mengoptimalkan penggunaan BBM (solar)
2)
Mengoptimalkan penggunaan umpan
3)
Mengoptimalkan pemanfaatan kolam pelabuhan
Kelompok II : 1)
Mengoptimalkan penggunaan es balok
2)
Mengoptimalkan pendapatan usaha Mengacu kepada konsep tersebut, hasil analisis alokasi optimal payang,
longline, gillnet, dan pancing tonda disajikan pada Tabel 22. Pada Tabel 22 tersebut juga diperlihatkan jumlah saat ini dari setiap usaha perikanan tangkap sebagai bahan perbandingan. Sedangkan tampilan detail olahan LINDO disajikan pada Lampiran 67.
99
Tabel 22 Hasil analisis alokasi optimal usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan
Jumlah Saat Ini
Jumlah/Alokasi
Penambahan (+)
Tangkap
(unit)
Optimal (unit)
Pengurangan (-)
Payang
81
141
+60
Gillnet
31
31
0
Pancing Tonda
50
30
-20
Longline
23
20
-3
Alokasi optimal dari usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline berurut-turut adalah 141unit, 31 unit, 30 unit, dan 20 unit (Tabel 22). Untuk mendukung penerapan model co-management pengelolaan perikanan tangkap, maka keempat usaha perikanan tangkap ada yang dapat ditambah, dikurangi, dan ada yang jumlahnya tetap. Bila jumlah payang saat ini sekitar 81 unit, maka dapat ditambah lagi sekitar 60 unit. Gillnet jumlahnya tetap dipertahankan 31 unit. Pancing tonda dan longline perlu dikurangi masing-masing sekitar 20 unit dan 3 unit. Bila jumlah alat tangkap yang ada dapat diatur sehingga sesuai dengan alokasi optimal tersebut, maka sasaran mengoptimalkan penggunaan BBM, mengoptimalkan penggunaan es balok, mengoptimalkan penggunaan umpan, dan mengoptimalkan pemanfaatan kolam pelabuhan dapat dicapai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai DA1, DA2, DA3, dan DA4 yang bernilai 0 (nol) (Lampiran 67). Nilai DA = 0 (nol) menunjukkan bahwa simpangan dari pencapaian sasaran yang ditetapkan “tidak ada” atau dengan kata lain sasaran tercapai. Sasaran mengoptimalkan pendapatan usaha kurang dapat dicapai dalam penentuan lokasi optimalnya (DB4 = 9.629.820). Hal ini bisa jadi karena pendapatan usaha tidak semata-mata ditentukan oleh kegiatan penangkapan tetapi juga tergantung pada dinamika harga jual dan trend permintaan yang terjadi di pasaran. Namun demikian, alokasi optimal tersebut merupakan jumlah atau komposisi usaha perikanan tangkap terbaik yang dapat dikembangkan untuk pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan di Palabuhanratu terutama dengan menerapkan model co-management kooperatif yang mengedepankan keterlibatan dan kebersamaan dari semua stakeholders perikanan di Palabuhanratu.
100
5.5
Pembahasan Pemilihan usaha perikanan tangkap merupakan tahapan penting dalam
pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu kawasan. Usaha perikanan perikanan tangkap yang bersesuaian dengan aspek pengelolaan yang ada akan membawa manfaat lebih banyak, baik bagi nelayan pelakunya, masyarakat, kelestarian sumberdaya ikan, maupun lingkungan sekitar. Dalam kaitan ini, maka pemilihan dengan pertimbangan yang multi aspek, seperti aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya yang dikembangkan dalam penelitian ini relevan dengan maksud tersebut. Menurut Herman (2006) dalam disertasinya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat pesisir akan lebih dapat diterapkan dan lebih terjamin keleberlanjutan di suatu kawasan. Bila kondisi ini terjadi, berbagai program pengembangan lebih mudah diimplementasikan, termasuk dengan menerapkan model co-management pada kegiatan perikanan tangkap. Bila ditinjau dari aspek biologi, pancing tonda merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul (urutan prioritas 1). Hal ini karena jumlah hasil tangkapan dari pancing tonda yang relatif stabil setiap bulannya dan juga hasil tangkapannya sesuai dengan ukuran mata pancing dan jenis umpan. Menurut PPN Palabuhanratu (2010), frekuensi pendaratan ikan oleh pancing tonda setiap bulannya rata-rata 78 kali dan nilai ini berfluktuasi dari 27 – 126 kali. Di samping long line, frekuensi pendaratan ikan tersebut termasuk yang paling stabil karena jumlah hasil tangkapan yang didapat nelayan pancing tonda umumnya lebih baik dapat diperoleh sepanjang tahun. Dalam kaitan ini, maka musim penggunaan alat tangkapnya menjadi lebih lama (12 bulan setiap tahunannya). Pancing ulur dan payang juga mempunyai fungsi nilai yang baik untuk aspek biologi ini. Hal ini juga karena jumlah hasil tangkapan yang didapat setiap kali melaut cukup banyak dan ikan yang ditangkap seperti cakalang, tongkol, dan kembung termasuk ikan yang potensial dan banyak dibutuhkan di pasar. Menurut Simbolon (2011) dan Nikijuluw (2002), stabilnya jumlah hasil tangkapan merupakan salah satu indikasi dari kestabilan stock ikan yang terdapat suatu fishing ground, dan kesesuaian ikan tersebut dengan permintaan pasar merupakan indikasi dari keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Sedangkan menurut Ditjen
101
P2HP (2010), selain dibutuhkan dalam keadaan segar, ikan tongkol dan kembung juga banyak dipasarkan dalam bentuk kering (ikan asin), sedangkan ikan cakalang juga banyak dipasarkan sebagai ikan asap. Jaring rampus mempunyai dukungan atau fungsi nilai yang paling rendah dari aspek biologi, yang dominan karena musim ikan sasaran dan musim penggunaannya yang pendek. Jaring rampus ini umumnya menangkap ikan pelagis kecil, sementara jenis ikan ini berumur pendek dan umumnya hanya muncul pada bulan-bulan tertentu.
Menurut PPN Palabuhanratu (2010),
jaring rampus efektif dioperasikan selama enam bulan setiap tahunnya, yaitu pada Januari – April dan bulan November – Desember. Sedangkan menurut Suman et al. (1993), hasil tangkapan optimal dari jaring rampus di perairan Selatan Jawa terjadi pada bulan Februari – Maret. Dalam kaitan dengan aspek teknologi, longline merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan co-management terpilih di Palabuhanratu. Ukuran kapal, mesin, alat tangkap, dan alat pendukung penangkapan yang lebih modern dan berukuran besar menjadi penyebab utama longline ini lebih unggul daripada usaha perikanan tangkap lainnya. Hamdan et al. (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usaha perikanan yang berukuran besar seperti longline dan purse seine lebih stabil dalam pengoperasian penangkapan dan dapat dilakukan sepanjang tahun. Hal ini karena teknologi alat tangkap dan kapasitas kapal yang digunakan umumnya lebih baik dan dapat menjangkau perairan yang luas. Sebagai contoh misalnya, meskipun banyak usaha perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu yang tidak beroperasi pada musim paceklik, tetapi longline dapat terus dioperasikan dengan mencari fishing ground alternatif di perairan yang lebih luas. Sedangkan menurut DKP Propinsi Jawa Barat (2010), usaha perikanan longline, purse seine, dan gillnet menjadi penyumbang utama produksi perikanan laut (70 – 85%) dari Propinsi Jawa Barat, dan karenanya pengusaha besar umumunya lebih tertarik mengembangkan usaha perikanan tangkap tersebut, dimana teknologi dan metode operasi yang digunakan dapat dikembangkan dalam skala industri. Untuk purse seine dan gillnet, berdasarkan Tabel 15, keduanya merupakan usaha perikanan tangkap unggulan kedua dan ketiga dari aspek teknologi.
102
Hasil survei lapang menunjukkan bahwa purse seine di Pelabuhan mempunyai alat pendukung penangkapan yang baik seperti echosounder, kompas, roller, mesin lampu, dan pelampung permanen, sehingga mendukung operasinya sepanjnag tahun. Sedangkan untuk gillnet, juga termasuk handal pada alat pendukung penangkapannya, dimana alat pendukung minimalnya dapat terdiri dari kompas, radio HT, dan mesin lampu. Kondisi ini sangat mendukung kinerja usaha perikanan tangkap selama operasi di Palabuhanratu. Menurut PPN Palabuhanratu (2010), usaha perikanan gillnet di atas 10 GT telah dilengkapi dengan alat pendukung yang baik, sehingga setiap bulan dapat dioperasikan secara intensif (4 -5 trip). Gillnet dan purse seine mempekerjakan ABK cukup banyak untuk setiap trip penangkapannya, dimana untuk gillnet dapat mencapai 7 – 10 orang, dan purse seine dapat mencapai 11-15 orang, sehingga bila dibina dengan baik melalui co-management kooperatif, akan menjadi potensi besar untuk pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, maka program bimbingan teknis, praktek teknologi penangkapan baru, dan pelatihan dapat secara aktif melibatkan ABK langsung, sehingga mereka dapat menerapkannya pada kegiatan teknis perikanan tangkap yang dilakukannya. Menurut Nikijuluw (2005), pelibatan pelaku langsung perikanan dalam berbagai program co-management dapat menciptakan kondisi bisnis perikanan yang kondusif dan secara jangka panjang menjadi kekuatan ekonomi daerah yang diperhitungkan. Dalam kaitan dengan co-managemnet, Pemerintah Daerah dapat mengambil peran penting untuk mendukung transfer teknologi penangkapan bagi nelayan dan masyarakat pesisir di Palabuhanratu, karena secara jangka panjang dapat memperkuat ekonomi pesisir di kawasan. PEMDA Kabupaten Sukabumi perlu mengambil peran aktif untuk membina, melatih, dan mengayomi masyarakat nelayan sekitar, dan harus menjadi penengah dalam setiap konflik pengelolaan yang ada. Hendriwan et al. (2008) dalam penelitiannya memperlihatkan keberhasilan PEMDA Kota Lampung dalam menyelesaikan konflik perikanan pasca pemindahan basis perikanan ke PPI Lempasing, Teluk Lampung. PEMDA Kota Bandar Lampung dengan didukung PEMDA Propinsi Lampung aktif menyelesaikan masalah kesulitan hasil tangkapan, konflik fishing ground
103
nelayan besar dengan nelayan kecil, dan konflik perumahan nelayan. Peran aktif tersebut direspon sangat positif oleh stakeholders perikanan yang bertikai, dimana Pemerintah Daerah memberikan perhatian penuh pada masa depan usaha perikanan dan kehidupan keluarga mereka. Hal seperti ini tentu sangat baik dicontoh dalam penerapan co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Namun bila melihat lebih jauh terkait dengan aspek ekonomi ini dikaitkan dengan kinerja usaha perikanan yang ada, maka longline, payang, dan purse seine menjadi usaha perikanan tangkap yang paling baik prospek bisnisnya (Tabel 17). Aspek ekonomi ini penting dalam pemilihan usaha perikanan yang mendukung co-management karena terkait dengan jaminan kelangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Longline mempunyai pendapatan kotor yang fantastis mencapai Rp.9.716.820.000 per tahun atau Rp 809.735.000 per trip. Longline juga mempunyai tingkat penggembalian usaha yang mencapai 39,52 kali dari nilai investasi awalnya. Syarifin (1993) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendapatan yang didapatkan secara langsung setelah nelayan pulang melaut sangat berpengaruh secara psikologis dan menentukan kinerja nelayan dalam operasi penangkapan ikan
berikutnya.
Kondisi
ini
sangat
mempengaruhi
pendapatan
usaha
penangkapan secara jangka panjang. Sedangkan tingkat pengembalian investasi sangat menentukan keberlanjutan usaha di masa yang akan datang. Hal ini harus menjadi
perhatian
penting
dalam
berbagai
kegiatan
pembinaan
dan
pengembangan usaha perikanan dalam konteks co-management di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Payang mempunyai internal rate of return (IRR) yang sangat baik, mencapai 163,5 %, dan purse seine mempunyai benefit-cost ratio (B/C ratio) yang paling tinggi dibandingkan usaha perikanan lainnya yaitu mencapai 1,47. Nilai IRR payang ini memberi indikasi bahwa pengelolaan usaha perikanan payang relatif lebih baik dalam membawa manfaat bagi investasi yang dikeluarkan. Setiap 100 satuan nilai investasi yang dikeluarkan dapat membawa manfaat sebesar 163,5 satuan setelah usaha perikanan ini dilakukan. Soenarno et al. (2007) menyatakan usaha perikanan yang memberi manfaat
104
banyak lebih dapat menggerakan semua lapisan masyarakat pesisir untuk berpartisipasi mendukungnya termasuk dari kalangan gender dan anak nelayan. Hal ini tentu sangat baik bagi pengembangan co-management terpilih dalam pengelolaan. Nilai B/C ratio dan kriteria ekonomi lainnya, juga menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan usaha perikanan dengan orientasi bisnis. Dalam kaitan ini, maka pertimbangan semua kriteria menjadi penting dalam penilaian aspek ekonomi semua usaha perikanan tangkap yang di Palabuhanratu. Usaha perikanan trammel net merupakan usaha perikanan tangkap yang paling tidak unggul dari aspek ekonominya di Palabuhanratu. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha perikanan ini mempunyai nilai yang rendah untuk pendapatan kotor per tahun (Rp.427.480.000 per tahun), pendapatan kotor per trip (Rp.2.590.788 per trip), NPV (Rp.176.327.017), B/C ratio (1,07), dan IRR (25,3%). Dalam kaitan dengan pengembangan co-management yang bersifat mendorong partisipasi nelayan dan masyarakat pesisir, maka usaha perikanan dengan kinerja ekonomi yang rendah kurang baik dijadikan fokus pengembangan. Menurut Brown et al. (2005) menyatakan fokus utama dalam penerapan comanagement adalah menawarkan alternatif pengelolaan yang baik, integratif, dan membawa manfaat lebih bagi masyarakat sasaran. Hal ini tentunya didukung oleh program-program yang tepat guna dan teruji kehandalan atau dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat sasaran. Pemilihan usaha perikanan tangkap yang mendukung co-management terpilih juga dilihat dari aspek sosial dan budayanya. Usaha perikanan tangkap yang memberi pengaruh positif pada kehidupan sosial masyarakat dan dalam operasinya tidak bertentangan dengan tata nilai dan budaya sangat diperhitungkan. Hal ini penting supaya pengelolaan perikanan tangkap dengan konsep co-management dapat diterima dengan baik dan mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat Palabuhanratu. Payang dan gillnet merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul dari aspek sosial dan budaya ini. Kedua usaha perikanan tangkap ini dianggap sebagai usaha perikanan yang paling diandalkan dalam mensejahterakan keluarga nelayan dan mendukung pendidikan anak. Hal ini bisa jadi karena menyerap tenaga kerja yang banyak dan kegiatan
105
operasinya cukup stabil setiap tahun (rata-rata 10 bulan operasi per tahun). Menurut PPN Palabuhanratu (2010), penerapan tenaga kerja perikanan tangkap di Palabuhanratu cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dengan peningkatan signifikan terjadi pada usaha perikanan payang, gillnet, dan pancing tonda. Pada tahun 2000, jumlah nelayan Palabuhanratu sekitar 2.354 orang, dan pada tahun 2009,
jumlah
mereka
diperkirakan
sudah
mencapai
5.234
orang
(PPN Palabuhanratu, 2010). Payang, gillnet, dan pancing tonda juga tergolong dari aspek ekonomi dalam pengelolaannya (Tabel 17), sehingga kebutuhan hidup keluarga nelayan, pendidikan anak, dan rasa tentram juga dapat dipenuhi dan dinikmati oleh selama bekerja pada usaha perikanan tangkap tersebut. Musick et al. (2008) menyatakan bahwa sistem proteksi pengelolaan perikanan tidak hanya diupayakan pada pelestarian stock sumberdaya ikan, tetapi juga perlu untuk perlindungan mata pencaharian dan kehidupan keluarga nelayan sekitar. Hal ini penting untuk menggerakkan partisipasi masyarakat lokal dalam setiap program pengelolaan yang berkelanjutan di suatu kawasan perairan. Longline juga mempunyai kontribusi yang baik dari aspek sosial dan budaya ini, namun sedikit di bawah payang dan gillnet terutama dalam memberikan kenyaman secara sosial. Hal ini bisa jadi karena operasi setiap trip penangkapan gillnet bisa memakan waktu 1-2 bulan, sehingga kurang nyaman terutama bagi keluarga yang ditinggalkan. Di samping itu, lamanya di laut cenderung membuat nelayan lepas kontrol saat kembali ke daratan. Hasil penelitian Purba (2009) di Indaramayu menunjukkan bahwa setelah nelayan kembali dari melaut selama 30-45 hari, banyak diantara yang mengadakan pesta minuman keras untuk menghilangkan kepenatan selama di laut, dan bahkan ada yang meninggal karena kelebihan dosis. Bila model co-management pengelolaan perikanan tangkap dikembangkan di Palabuhanratu, hal-hal seperti ini perlu menjadi fokus pembinaan sehingga usaha perikanan yang ada lebih bermanfaat bagi kehidupan nelayan dan ekonomi daerah. Tabel 20 dan Tabel 21 menggabungkan semua aspek pengelolaan dalam menilai payang, pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, purse seine, gillnet, pancing tonda, dan longline di Palabuhanratu. Dari penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial
106
dan budaya, terpilih longline, payang, gillnet, dan pancing tonda sebagai usaha perikanan tangkap potensial untuk mendukung penerapan model co-management kooperatif pada pengelolaan perikanan tangkap. Longline menjadi usaha perikanan tangkap paling unggul/potensial dari penilaian gabungan aspek pengelolaan lebih karena usaha perikanan tangkap ini handal dari aspek teknologi dan ekonomi, sementara aspek lainnya seperti biologi, sosial dan budaya juga sangat baik walaupun tidak paling tingggi. Menurut Ruddle et al. (1992) menyatakan pengelolaan perikanan harus memberikan dampak yang baik bagi semua elemen pengelolaan meskipun tidak harus sama. Hal ini penting supaya tidak terjadi ketimpangan dalam pengelolaan yang bisa berdampak pada kelangkaan sumberdaya, konflik sosial, dan kerusakan lingkungan. Bila memperhatikan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa longline dapat memenuhi dengan sangat baik semua aspek pengelolaan sehingga tepat dipilih sebagai usaha perikanan tangkap paling potensial dalam mendukung model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Payang, gillnet, dan pancing tonda umumnya handal dari aspek biologi dan aspek sosial dan budaya. Bila mengacu kepada hal ini, maka ketiga usaha perikanan tangkap dapat diandalkan untuk kegiatan pemanfaatan yang ramah lingkungan, pelibatan masyarakat secara luas pada kegiatan perikanan, dan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan nelayan. Hasil penelitian Karyana (1993) dan Gandhi (2008) menunjukkan bahwa pancing tonda dan gillnet banyak digunakan di perairan Kalimantan Barat dan menurut Pemerintah Daerah lebih sesuai untuk perairan yang tidak terlalu dalam dan kaya biota perairannya. Menurut DKP Kabupaten Sukabumi (2006), secara sosial, payang termasuk usaha perikanan tangkap yang banyak menyerap tenaga kerja, dimana dalam setiap trip operasi penangkapannya membutuhkan ABK sekitar 12-18 orang. Bila usaha perikanan payang saat ini jumlahnya mencapai 81 unit, maka setiap operasi penangkapannya membutuhkan ABK sekitar 972-1377 orang. Sedangkan menurut PPN Palabuhanratu (2010), operasi penangkapan ikan menggunakan payang dapat berlangsung selama 10-12 bulan dalam setahun. Operasi pada bulan-bulan tertentu biasanya dihentikan bila ada doking saja, dan bukan karena misalnya ikan target menipis di perairan. Payang, gillnet, dan pancing tonda juga handal dari aspek
107
teknologi dan ekonomi, walaupun dengan nilai fungsi tidak terlalu tinggi. Bila melihat hasil analisis Tabel 20, maka ketiga usaha perikanan tangkap tersebut memenuhi semua persyaratan kelayakan usaha , seperti NPV >1, B/C ratio >1, IRR > 6,25 %, dan ROI > 1. Menurut Gaspersz (1992), bila usaha bisnis memenuhi semua persyaratan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa usaha bisnis tersebut akan memberi manfaat bagi kesejahteraan pelakunya dan pertumbuhan ekonomi kawasan. Mengacu kepada hal tersebut, maka longline, payang, gillnet, pancing tonda dapat dikatakan lebih tepat mendukung pengelolaan perikanan tangkap terutama dengan menerapkan model co-management dibandingkan lima usaha perikanan tangkap lainnya. Hasil penilaian gabungan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya yang lebih rendah untuk pancing ulur, jaring rampus, bagan apung, trammel net, dan purse seine memberi indikasi hal ini. Namun demikian, bila kondisi pengelolaan yang ada mengalami ketimapangan, misal pencemaran serius di perairan, sehingga pengelolaan difokuskan pada aspek tertentu saja, maka pilihan usaha perikanan tangkap yang bisa saja berubah. Menurut Garrod dan Willis (1999), aspek biologi dan lingkungan menjadi prioritas utama penanganan pada kawasan yang terdegradasi, dan bila hal ini tidak ditangani segera, maka nilai ekonomi pemanfaatan kawasan akan berkurang. Untuk mengoptimalkan peran longline, payang, gillnet dan pancing tonda dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap terutama dengan menerapkan model co-management, maka jumlah usaha perikanan tangkap tersebut harus sesuai dengan kebutuhan optimal pengelolaan perikanan tangkap Palabuhanratu. Hasil analisis pada Tabel 22 menunjukkan bahwa alokasi optimal dari usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan gillnet di Palabuhanratu masingmasing sekitar 141 unit, 31 unit, 30 unit, dan 20 unit. Bila dibandingkan dengan jumlah saat ini, payang perlu ditambah 60 unit, gillnet tetap, pancing dan longline perlu dikurangi 30 unit dan 3 unit. Alokasi optimal tersebut merupakan jumlah yang paling tepat atau ideal untuk keempat usaha perikanan tangkap pada kondisi sumberdaya, pola pengelolaan, dan infrastruktur seperti saat ini. Dahuri (2001) menyatakan penggalian potensi perikanan dan kelautan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat dan kelangsungan
108
pemanfaatan. Supaya hal ini bisa terjadi, maka potensi stock sumberdaya, dan kesiapan infrastruktur perikanan, dan mekanisme pengelolaan diidentifikasi dan dipersiapkan dengan biak. Dalam kaitan ini, maka dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management kooperatif, harus sebisa mungkin dapat mengupayakan alokasi payang, gillnet, pancing tonda di Palabuhanratu sesuai dengan rekomendasi optimal tersebut. Alokasi alokasi payang dapat menjadi substitusi/pengganti lima jenis usaha perikanan tangkap lainnya yang tidak terpilih sebagai usaha perikanan tangkap unggulan/potensial. Substitusi ini dapat dilakukan dengan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah atau pihak lainnya yang dianggap berkomponen. Hartoto et al. (2009) menyatakan Pemerintah Daerah dapat menjadi penggerak sekaligus penengah bagi kegiatan perubahan ke arah yang lebih baik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian perlu mendukung Pemerintah Daerah dalam program tersebut, terutama terkait dengan pengembangan teknologi perikanan, penyuluhan, dan bimbingan teknis usaha perikanan. Usaha perikanan pancing tonda dan longline yang diminta dikurangi dapat dilakukan secara bertahap, misalnya dengan mengoperasikan usaha perikanan tangkap tersebut sampai umur teknisnya habis dalan lainnya. Hal ini penting untuk menghindari penolakan dari masyarakat nelayan, sehingga kegiatan pengelolaan dengan menerapkan model co-management dapat dilakukan secara optimal. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kekuatan utama dalam pelaksanaan co-management pada kegiatan perikanan adalah bagaimana meningkat peran masyarakat nelayan dalam semua kegiatan pengelolaan baik yang bersifat pemanfaatan maupun yang bersifat pelestarian/konservasi. 5.6
Kesimpulan Alokasi optimal untuk payang, gillnet, pancing tonda, dan longline tersebut
di Palabuhanratu masing-masing adalah 141 unit, 31 unit, 30 unit, dan 20 unit. Bila dihubungkan dengan jumlah yang ada saat ini, maka payang perlu penambahan 60 unit, gillnet tetap, pancing tonda perlu pengurangan 20 unit, dan longline perlu pengurangan 3 unit.
109
5.7
Saran Kebijakan pertambahan atau pengurangan alokasi unit usaha (perahu/kapal)
maupun alat tangkap dengan tujuan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya disarankan tidak menjadi perhatian utama bagi pengambil kebijakan di Kawasan Pelabuhanratu karena nelayan sangat mudah dipengaruhi dalam hal merubah atau mengganti alat tangkap yang dimiliki. Fluktuasi jumlah alokasi unit usaha dan alat tangkap di Palabuhanratu cukup besar dari tahun ke tahun sebagaimana dapat dilihat pada Bab 2.
110
6 PEMILIHAN MODEL CO-MANAGEMENT PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP
6.1
Pendahuluan Kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang melibatkan
banyak anggota masyarakat dari kelas ekonomi bawah bagian terbesar dari penduduk negeri ini. Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu juga tidak lepas dari permasalahan sumberdaya manusia, permodalan, teknologi maupun kinerja usaha perikanan tangkap. Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu dapat dikatakan baik apabila memperhatikan harmonisasi kegiatan pengelolaan dengan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Aspek biologi yang dimaksud dalam kegiatan pengelolaan perikanan tangkap dapat mencakup jenis hasil tangkapan, tingkat pemanfaatan, dan musim ikan, sedangkan yang terkait dengan aspek teknologi di antaranya ukuran kapal, teknologi alat tangkap, jenis alat pendukung penangkapan, jenis BBM dan lainnya. Aspek teknologi yang terpenting dalam kegiatan pengelolaan perikanan tangkap dapat mencakup ukuran armada/kapal, jenis mesin, ukuran alat tangkap, tingkat produksi, dan mekanisme operasi penangkapan yang dipilih. Model co-management yang baik juga memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di lokasi penelitian, di antaranya mencakup pendapatan, perimbangan penerimaan dengan pengeluaran, ketersediaan sarana dan prasarana, tingkat kesejahteraan, tata nilai yang berkembang, dan kenyamanan hidup bagi pelaku perikanan dan masyarakat sekitar. Terkait dengan hal ini, maka dari penelitian ini diharapkan dapat menemukan model co-management yang tepat yang dapat mengakomodir secara optimal semua aspek tersebut bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu. 6.2
Tujuan Penelitian Menentukan model co-management yang tepat bagi pengelolaan perikanan
tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
111
6.3
Metode Penelitian
6.3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sedangkan pengumpulan data untuk mendapatkan model co-management yang tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2010. Selama kurun waktu tersebut diharapkan dapat dikumpulkan berbagai data terkait kepentingan aspek pengelolaan, pembatas pengelolaan, dan kepentingan setiap alternatif model co-management yang ada. 6.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada jenis data primer yang merupakan hasil dari penilaian/pertimbangan stakeholders terkait di lokasi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini juga terdiri dari data sumberdaya ikan dan lingkungan, data teknis (alat tangkap, armada penangkapan ikan, dan alat pendukung penangkapan), data ekonomi perikanan (sumber investasi, jumlah modal, pengeluaran dan pendapatan), sosial (sarana/prasarana perikanan dan lainnya) dan budaya (wilayah penangkapan tradisional, kewenangan lokal, dan tata nilai yang dianut masyarakat), informasi tentang model co-management untuk pengelolaan perikanan tangkap, dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara dengan responden. Tahapan pengumpulan data terdiri penentuan kelompok sampling (kelompok stakeholders yang ditanya), identifikasi responden, dan pengumpulan data responden (Bungin, 2004). Jumlah responden untuk pengumpulan data terkait penentuan model co-management menggunakan analitycal hierarchy process (AHP) adalah 22 orang. Jumlah ini sesuai dengan keterwakilan populasi dan ketentuan AHP menurut Saaty (1991) untuk pengambilan data sosial kualitatif, yaitu sekitar 20-25 orang. Responden berasal dari beberapa tokoh perwakilan semua kelompok sampling (kelompok stakeholders), yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap, mengetahui betul kondisi kelompoknya, dan terlibat dalam pelaksanaan co-management di lokasi. Hal ini karena analisis pemilihan co-management ini bersifat strategis dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, sehingga data tersebut harus berasal dari responden yang paham betul tentang kondisi perikanan tangkap dan kelompoknya. 112
Kelompok sampling ini dapat berasal dari
nelayan (pemilik kapal),
pengolah/pedagang ikan, pengusaha perikanan, pengelola pelabuhan perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM, dan masyarakat pesisir. Tabel 23 Keperluan data responden untuk AHP No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelompok Responden Nelayan (pemilik) Pengolah/Pedagang Ikan (pemilik) Pengusaha Pengelola Pelabuhan Perikanan DKP Kab. Sukabumi LSM Tokoh Masyarakat Total
Sampling (orang) 10 4 2 2 2 1 1 22
Jumlah 10 orang untuk responden nelayan pemilik merupakan 5% (sesuai Gasperzs, 1992) dari jumlah nelayan pemilik/ketua kelompok yang mengetahui betul dan aktif menyuarakan aspirasi kelompok nelayan (200 orang). Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010), dari 824 nelayan pemilik hanya sekitar 25% (sekitar 200 orang) yang berperan aktif dan mengetahui betul tentang kondisi kelompok nelayan di Palabuhanratu. Jumlah responden pengolah/pedagang ikan, pengusaha perikanan, pengelola pelabuhan perikanan, dan DKP Kabupaten Sukabumi pada Tabel 23 merupakan 5-10 % dari populasi pengolah/pedagang ikan (102 orang), pengusaha perikanan (20 orang), pengelola pelabuhan perikanan dan DKP Kabupaten Sukabumi (35 orang). Jumlah responden untuk LSM dan masyarakat lebih sedikit daripada stakeholders lainnya (masing-masing hanya 1 orang), karena tidak berkaitan langsung dengan kegiatan teknis perikanan. Untuk memudahkan pengertian responden terhadap pertanyaan yang diajukan, maka digunakan pendekatan contingent value method (CVM). CVM dilakukan dengan menciptakan kondisi pasar hipotesis, sehingga responden seakan-akan merasakan apa yang diilustrasikan enumerator, dan kemudian dapat menjawab dengan baik apa yang ditanyakan enumerator.
113
6.3.3 Analisis data Dalam melakukan identifikasi komponen-komponen yang berinteraksi dalam kegiatan pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu digunakan analisis teoritis. Kegiatan pengelolaan tersebut mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya dan teknologi di bidang perikanan tangkap. Soenarno et al. (2007) menyatakan, pengembangan usaha perikanan tangkap di suatu wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh upaya perluasan lapangan kerja dan pengembangan teknologi perikanan tertentu. Sedangkan menurut Simbolon (2011) dan Imron (2003), pengembangan usaha perikanan tangkap harus melibatkan unsur masyarakat sebagai unsur pengembangan dan perlu diarahkan dengan baik sehingga menunjang tujuan-tujuan umum pembangunan perikanan. Untuk meningkatkan kesesuaian komponen pemilihan model co-management dengan kebutuhan lokasi, maka hasil analisis teoritis ini perlu di-crosscheck dengan kondisi nyata yang terjadi di lapangan. Analytical hierarhcy process (AHP) merupakan suatu analisis dengan pendekatan organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. Dalam penelitian ini, analisis hierarki digunakan untuk memilih model paling tepat (dalam skala prioritas) diantara beberapa alternatif model co-management yang dapat ditawarkan, dimana pendekatan secara sistemik merupakan gambaran kedalaman analisis pemilihan model tersebut. Terkait dengan ini, maka pertimbangan terhadap semua kriteria/aspek pengelolaan yang dipersyaratkan, pembatas pengelolaan, serta kepentingan stakeholders dalam pengelolaan menjadi input penting dalam analisis AHP terkait pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap. Secara umum, tahapan analisis hierarki menggunakan AHP dalam pemilihan model co-management ini mengacu kepada Mustaruddin et al. (2011) dan Saaty (1991). Dalam pemilihan ini, tahapan tersebut adalah : 1)
Identifikasi dan pendefinisian
2)
Penyusunan struktur hierarki
3)
Penetapan skala banding
4)
Proses input data
5)
Simulasi dan uji statistik
6)
Interpretasi hasil (interpretasi model co-management kooperatif)
114
1.
Identifikasi dan pendefinisian Kegiatan ini mencakup identifikasi komponen yang terkait dengan suatu
model co-management baik berupa permasalahan maupun solusi pengembangan model co-management dan kemudian mendefinisikannya secara hierarki. Hal ini penting untuk memastikan bahwa komponen terkait baik yang menjadi kriteria maupun pembatas yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan model comanagement dapat diakomodir dengan baik.
2.
Penyusunan struktur hierarki Penyusunan struktur hierarki merupakan kegiatan menetapkan komponen
yang telah didefinisikan ke dalam struktur hierarki AHP. Secara umum, komponen tersebut akan terbagi menjadi level 1 memuat tujuan/goal, level 2 memuat kriteria/aspek pengelolaan yang ingin dicapai, level 3 memuat keterbatasan pengelolaan, dan level paling bawah memuat alternatif model comanagement yang ditawarkan. Pemilihan komponen penyusun struktur hierarki ini ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi lapang dan studi literatur terkait komponen-komponen yang berpengaruh terhadap pengelolaan perikanan tangkap, baik yang menjadi kriteria, pembatas, maupun alternatif pola pengelolaan. Selanjutnya struktur hireraki yang digunakan dalam analisis akan dibangun menggunakan Program Expert Choice 9.5.
3.
Penetapan skala banding Skala
banding
sangat
dibutuhkan
untuk
membandingkan
setiap
kriteria/aspek pengelolaan yang ingin dicapai dari penerapan setiap alternatif model co-management yang ditawarkan, membandingkan setiap keterbatasan pengelolaan bila suatu model alternatif model co-management dipilih, dan membandingkan secara individu setiap alternatif model co-management tersebut. Skala perbandingan ini dibuat berdasarkan tingkatan kualitatif dari setiap komponen di setiap level hierarki yang dikuantitatifkan.
115
Tabel 24 Skala Banding Berpasangan Intensitas Pentingnya 1 3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting ketimbang yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan sangat penting dibanding elemen dengan kuat menyokong satu yang lainnya elemen atas elemen lainnya Suatu elemen jelas lebih penting dari Suatu elemen dengan kuat elemen lainnya disokong, dan dominanya terlihat dalam praktik Suatu elemen mutlak lebih penting Bukti yan menyokong elemen ketimbang elemen yang lain yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara dua pertimbangan Kompromi diperlukan antara dua yang berdekatan pertimbangan Jika satu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Sumber : Saaty (1991)
Kuantifikasi bertujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar beberapa komponen yang diperbandingkan. Pemberian nilai skala banding berpasangan tersebut mengacu kepada Saaty (1991) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 24. 4.
Proses input data Proses input ini merupakan kegiatan mengintegrasikan data hasil banding
berpasangan komponen ke dalam struktur hierarki. Data tersebut berasal dari jawaban
responden
yang
mewakili
kelompok
sampling/stakeholders
yang
berkepentingan dengan pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Input data juga dilakukan menggunakan Program Expert Choice 9.5 karena struktur hierarki dibuat dengan program yang sama, sedangkan data yang di input disiapkan menggunakan program MS Excell.
116
5.
Simulasi dan uji statistik Simulasi dilakukan setelah data terkait diinput ke dalam program. Uji statistik
yang dilakukan dalam analisis AHP ini ada dua jenis, yaitu uji konsistensi dan uji sensitifitas. Bila dari hasil simulasi diperoleh rasio inconsistency 0,1 atau lebih berarti data yang digunakan tidak konsistensi dan harus dilakukan pengambilan ulang. Sedangkan untuk uji sensitifitas disukai hasil simulasi yang tidak terlalu sensitif. Bila hasil simulasi terlalu sensitif berarti prioritas strategi yang dipilih terlalu labil terhadap dinamika yang berkembang pada kegiatan perikanan tangkap. Kriteria uji statistik disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Kriteria Uji Statistik AHP Uji statistic
Kriteria
Rasio inconsistency Sensitivity test
< 0,1 Diharapkan tidak terlalu sensitif
Sumber : Expert Choice 9.5
6.
Interpretasi hasil analisis Interpretasi hasil analisis merupakan tahapan penggunaan hasil analisis AHP
untuk menjelaskan dan memberikan rekomendasi prioritas model co-management yang tepat dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. 6.4
Hasil Penelitian
6.4.1 Kriteria pengelolaan perikanan tangkap Kriteria yang menjadi pertimbangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat termasuk
dengan
menggunakan model co-management ini adalah pemenuhan semua aspek yang menjadi perhatian dalam pengelolaan perikanan. Dalam analisis hierarki menggunakan AHP, hasil penilaian setiap aspek/kriteria pengelolaan ditunjukkan oleh tingkat kepentingannya terkait pengelolaan perikanan di Palabuhanratu dengan mengaplikasikan suatu model co-management. Struktur hierarki strategi pemilihan co-management tersebut ditunjukkan pada Gambar 15 dibawah ini.
117
Gambar 16 Struktur Hierarki Strategi Pemilihan Co-Management.
Gambar 17 Hasil analisis kepentingan dan uji banding berpasangan kriteria. Aspek biologi merupakan aspek pengelolaan yang paling penting dengan penerapan model co-management dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, yaitu dengan rasio kepentingan (RK) 0,346 pada inconsistency terpercaya 0,07 (Gambar 16). Sedangkan batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah tidak lebih dari 0,1. Tingginya rasio kepentingan nelayan ini terlihat dari hasil uji banding berpasangan (format AHP) antar aspek pengelolaan terkait seperti ditunjukkan pada Gambar 17.
118
Aspek biologi lebih penting dua kali daripada aspek teknologi dan aspek ekonomi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu (Gambar 17). Aspek biologi sama penting dengan aspek sosial budaya, dan tidak ada aspek/kriteria yang lebih penting daripada aspek biologi. Aspek ekonomi merupakan merupakan aspek/kriteria pengelolaan yang berkepentingan kedua terhadap penerapan model co-management dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, yaitu dengan rasio kepentingan (RK) 0,286 pada inconsistency terpercaya 0,07. Pada Gambar 17, meskipun aspek ekonomi tidak seurgen aspek biologi, tetapi aspek ekonomi ini lebih penting dua kali daripada aspek teknologi dan aspek sosial budaya. Aspek
sosial
budaya
merupakan
aspek/kriteria
pengelolaan
yang
berkepentingan urutan ketiga terkait pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management di Palabuhanratu, yaitu dengan rasio kepentingan 0,205 pada inconsistency terpercaya 0,07. Hasil uji banding berpasangan (Gambar 17) menunjukkan bahwa aspek sosial budaya ini hanya kalah penting daripada aspek ekonomi, sedangkan dengan aspek biologi dan aspek teknologi sama penting.
Aspek teknologi merupakan aspek/kriteria
pengelolaan yang berkepentingan urutan keempat (terakhir) terkait pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management di Palabuhanratu, yaitu dengan rasio kepentingan 0,163 pada inconsistency terpercaya 0,07. 6.4.2 Faktor pembatas (limit factors) pengelolaan perikanan tangkap Selain aspek pengelolaan yang cenderung berupa harapan ke depan, kegiatan pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu juga dihadapkan pada berbagai keterbatasan yang ada. Model co-management yang baik merupakan model co-management yang dapat mengakomadir secara maksimal aspek pengelolaan dengan memperhatikan berbagai faktor pembatas (limit factors) yang ada di lokasi. Hal ini penting untuk menjamin kelestarian potensi perikanan dan keberlanjutan pemanfaatannya yang berbasis pada kekuatan lokal. Hasil analisis terkait untuk setiap faktor pembatas (limit factors) yang ada dalam pemenuhan aspek pengelolaan terkait penerapan model co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Gambar 18 dibawah ini.
119
Gambar 18
Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait aspek biologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap.
Dalam upaya mencari model co-management yang tepat untuk pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu, maka faktor pembatas yang terdiri dari ketersediaan sumberdaya (SD), sumber dan jumlah modal (modal), kondisi sarana dan prasarana (SAR-PRA), lingkup kewenangan (WEWENANG), dan tata ruang kewilayahan (T-RUANG) perlu dipertimbangkan, karena faktor pembatas tersebut akan menentukan tingkat upaya yang bisa dilakukan. Dalam kaitan dengan aspek biologi, maka ketersediaan sumberdaya menjadi faktor pembatas paling penting (RK = 0,336 pada inconsistency terpercaya 0,08) yang perlu diperhatikan bila model co-management diterapkan pada kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dari lima model co-management yang ditawarkan, tentu ada yang lebih sesuai dan dapat mengakomodir lebih baik aspek biologi ini dan faktor pembatasnya yang dominan (ketersediaan sumberdaya) tersebut. Tata ruang kewilayahan merupakan faktor pembatas yang penting kedua terkait aspek biologi dalam pengelolaan perikanan termasuk dengan menerapkan model co-management. Pada Gambar 18, faktor pembatas ini mempunyai rasio kepentingan (RK) 0,234 pada inconsistency terpercaya 0,08 terkait aspek biologi. Lingkup kewenangan merupakan faktor pembatas paling rendah kepentingannya
120
terkait aspek biologi, yaitu dengan rasio kepentingan (RK) 0,128 pada inconsistency terpercaya 0,08 Dalam pemenuhan aspek teknologi, ketersediaan sumberdaya juga menjadi faktor pembatas paling penting dan perlu menjadi perhatian bila suatu model comanagement akan diterapkan di bidang perikanan tangkap. Hasil analisis pada Gambar 19 menunjukkan hal ini, dimana ketersediaan sumberdaya mempunyai rasio kepentingan 0,284 pada inconsistency terpercaya 0,03.
Gambar 19
Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait aspek teknologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap.
Kondisi sarana dan prasarana (SAR-PRA) menjadi faktor pembatas yang berkepentingan kedua terkait aspek teknologi bila suatu model co-management diterapkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, yaitu dengan rasio kepentingan 0,262 pada inconsistency terpercaya 0,03. Kondisi sarana dan prasarana sangat menentukan jenis teknologi perikanan yang dapat dikembangkan di lokasi, seperti teknologi penangkapan dan usaha pendukung. Bila sarana dukung tidak memadai, maka kapal dan alat tangkap yang canggih lebih sulit dalam pemeliharaannya dan hal ini harus menjadi perhatian dalam pengembangan co-management. Model co-management yang baik tentu dapat memecahkan berbagai keterbatasan tersebut. Kegiatan pendukung di pabrik es, pusat kesehatan
121
juga tidak dapat berkembang baik bila instalasi air PDAM dan jaringan listrik tidak memadai. Sumber dan jumlah modal serta tata ruang kewilayahan menjadi faktor pembatas ketiga dan keempat yang berkepentingan terkait aspek teknologi dalam pengelolaan perikanan tangkap termasuk dengan model co-management di Palabuhanratu. Sumber dan jumlah modal mempunyai rasio kepentingan 0,215 pada inconsistency terpercaya 0,03, sedangkan tata ruang kewilayahan mempunyai rasio kepentingan 0,141 pada inconsistency terpercaya 0,03. Lingkup kewenangan merupakan faktor pembatas yang paling rendah kepentingannya terkait aspek teknologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap (RK = 0,099 pada inconsistency terpercaya 0,03). Gambar 20 menyajikan hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait aspek ekonomi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Gambar 20 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait aspek ekonomi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap. Dalam pemenuhan aspek ekonomi, sumber dan jumlah modal menjadi faktor pembatas paling penting dan perlu menjadi perhatian bila suatu model co-management akan diterapkan di bidang
perikanan tangkap (Gambar 20).
Sumber dan jumlah modal ini mempunyai rasio kepentingan 0,273 pada inconsistency terpercaya 0,06. Faktor pembatas ketersediaan sumberdaya (SD)
122
dan kondisi sarana dan prasarana (SAR-PRA) menjadi faktor pembatas urutan kedua paling penting dan perlu diperhatikan dari aspek ekonomi dalam penerapan suatu model co-management di Palabuhanratu. Faktor pembatas ketersediaan sumberdaya (SD) dan kondisi sarana dan prasarana (SAR-PRA) mempunyai rasio kepentingan masing-masing 0,217 pada inconsistency terpercaya 0,06. Faktor pembatas lingkup kewenangan menjadi faktor pembatas paling rendah kepentingannya terkait aspek ekonomi ini, yaitu dengan rasio kepentingan 0,143 pada inconsistency terpercaya 0,06. Dalam pemenuhan aspek sosial dan budaya, sumber dan jumlah modal menjadi faktor pembatas paling penting dan perlu menjadi perhatian bila suatu model co-management akan diterapkan di bidang perikanan tangkap. Gambar 21 menyajikan hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait aspek sosial dan budaya ini dalam penerapan model co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Gambar 21 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengelolaan terkait aspek sosial dan budaya ini dalam penerapan model co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Ketersediaan
sumberdaya
(SD)
menjadi
faktor
pembatas
yang
berkepentingan pertama terkait aspek sosial dan budaya bila suatu model comanagement diterapkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu,
123
yaitu dengan rasio kepentingan 0,259 pada inconsistency terpercaya 0,09 (Gambar 21). Ketersediaan sumberdaya terutama dari jenis ikan ekonomis penting sangat menentukan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di lokasi, serta pola interaksi atau tata nilai yang dipilih nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Model co-management yang baik tentu dapat mengakomodir pola interaksi secara sosial dan budaya dari nelayan dan masyarakat pesisir yang ada di Palabuhanratu. Tingkat kepentingan faktor pembatas tersebut menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan model co-management yang tepat di lokasi. Tata ruang kewilayahan (T-Ruang) menjadi menjadi faktor pembatas urutan kedua yang berkepentingan terkait aspek sosial dan budaya dalam pengelolaan perikanan tangkap termasuk dengan model co-management di Palabuhanratu. Tata ruang kewilayahan mempunyai rasio kepentingan 0,221 pada inconsistency terpercaya 0,09. Sumber dan jumlah modal menjadi faktor pembatas berkepentingan ketiga terkait aspek sosial dan budaya dalam penerapan model comanagement perikanan tangkap di lokasi (RK = 0,196 pada inconsistency terpercaya 0,07). Hal ini karena modal akan mempengaruhi pola jenis alat dan metode yang dipilih oleh nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Semakin mampu dalam pemodalan, maka nelayan nelayan dapat memilih jenis alat tangkap dan metode penangkapan yang lebih modern, teknik tradisional bisa tidak digunakan lagi. Lingkup kewenangan merupakan merupakan faktor pembatas yang paling rendah kepentingannya terkait aspek sosial dan budaya bila suatu model co-management diterapkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Faktor pembatas ini mempunyai rasio kepentingan 0,147 pada inconsistency terpercaya 0,09.
6.4.3 Model co-management perikanan tangkap 6.4.3.1 Penentuan model co-management Pemilihan opsi model co-management ditentukan melalui pertimbangan bertingkat dari semua aspek pengelolaan dan faktor pembatas dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Aspek pengelolaan (4 buah) dan faktor pembatas dalam pengelolaan (5 buah) telah dianalisis pada bagian sebelumnya,
124
dan semuanya hasil analisisnya mempengaruhi pemilihan model co-management dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Mengacu kepada jumlah aspek pengelolaan (4 buah) dan faktor pembatas dalam pengelolaan (5 buah) tersebut, maka jumlah pertimbangan untuk setiap opsi model co-management yang ditawarkan ada sekitar 20 pertimbangan. Kombinasi pertimbangan yang menyeluruh ini memberi indikasi bahwa model co-management yang dipilih akan lebih dapat mengakomodir semua kepentingan, kondisi, dan keterbatasan yang ada untuk pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik di Palabuhanratu. Dalam analisis hierarki menggunakan program AHP ini, ada 5 (lima) opsi model co-management yang ditawarkan, yaitu : 1)
Model co-management Instruktif (INSTRUKT)
2)
Model co-management Konsultatif (KONSULT)
3)
Model co-management Kooperatif (KOOPERAT)
4)
Model co-management Advokatif (ADVOKAT)
5)
Model co-management Informatif (INFORMAT) Hasil analisis pemilihan model co-management pengelolaan perikanan
tangkap di Palabuhanratu tersebut setelah diolah menggunakan sofware Team EC ditunjukkan pada Gambar 22 dibawah ini.
Gambar 22 Hasil analisis pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap (berdasarkan urutan prioritas).
125
Opsi model co-management kooperatif (KOOPERAT) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi dibandingkan empat opsi model co-management lainnya, yaitu sekitar 0,259 pada inconsistency terpercaya 0,07 (Gambar 22). Sedangkan secara statistik, batas inconsistency yang diperbolehkan adalah tidak lebih dari 0,1.
Terkait dengan ini, maka model co-management kooperatif
merupakan model co-management yang paling tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu (prioritas pertama). Model co-management konsultatif (KONSULT) menjadi model comanagement prioritas kedua dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu. Model co-management konsultatif ini dapat menjadi back-up teknik pengelolaan untuk memajukan kegiatan perikanan tangkap di lokasi, terutama bila banyak kendala untuk mengembangkan kerjasama (cooperation) dalam pengelolaan.
Gambar 23 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait aspek biologi. Tingginya rasio kepentingan opsi model co-management kooperatif (KOOPERAT) ini sudah terlihat dari interaksi beberapa faktor pembatas, seperti interaksi faktor pembatas ketersediaan sumberdaya terkait aspek biologi (Gambar 23) dan interaksi pembatas lingkup kewenangan terkait aspek ekonomi 126
(Gambar 20). Opsi model co-management kooperatif 2 (dua) kali lebih penting daripada model co-management instruktif, model co-management konsultatif, dan model co-management informatif dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait aspek biologi (Gambar 23). Hal ini menunjukkan bahwa untuk mensiasati kondisi sumberdaya yang terbatas, model co-management kooperatif dianggap lebih tepat sebagai teknik untuk pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Model co-management kooperatif ini hanya sama penting dengan model co-management advokatif.
Gambar 24
Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait aspek ekonomi.
Opsi model co-management kooperatif 2 (dua) kali lebih penting daripada model co-management konsultatif dan model co-management informatif dalam mengakomodir
pembatas
lingkup
kewenangan
terkait
aspek
ekonomi
(Gambar 24). Hal ini menunjukkan bahwa model co-management kooperatif lebih dapat diandalkan daripada model konsultatif dan informatif dalam melakukan koordinasi pada kondisi wewenang terbatas di antara stakeholders terkait (terutama aparat Pemerintah tingkat bawah) untuk memperoleh manfaat ekonomi yang lebih baik bagi kawasan Palabuhanratu dari kegiatan perikanan
127
tangkap yang ada. Model co-management instruktif dan advokatif sama penting dengan model co-management kooperatif dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait aspek ekonomi. Namun demkian, tidak ada model comanagement yang lebih baik daripada model co-management kooperatif dalam mengakomodir faktor pembatas dan kriteria pengelolaan tersebut.
6.4.3.2 Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif Hasil analisis sebelumnya menunjukkan model co-management kooperatif kooperatif sebagai model co-management prioritas (paling tepat) bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu.
Untuk lebih jauh mengetahui
keunggulan model co-management ini dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, maka perlu dilakukan analisis sensitivitas. Hasil analisis sensitivitas ini juga memberi petunjuk tentang hal-hal yang harus diperhatikan terutama terkait kriteria pengelolaan yang ada, sehingga model co-management tersebut tetap bertahan sebagai model co-management yang paling tepat dalam pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Tabel 26 menyajikan hasil analisis sensitivitas model co-management kooperatif. Tabel 26 Hasil analisis sensitivitas model co-management kooperatif Aspek Rasio Kepentingan Sensitivitas No. Pengelolaan (RK) Awal Range RK Range RK Stabil Sensitif 1 Biologi 0,346 0–1 Tidak Ada 2 Teknologi 0,163 0–1 Tidak Ada 3 Ekonomi 0,286 0 – <0,971 0,971 – 1 4 Sosial dan Budaya 0,205 0-1 Tidak Ada Sumber : Hasil analisis sensitifitas AHP (2011)
Intervensi kepentingan tersebut ditunjukkan oleh tuntutan pemenuhan terhadap berbagai kriteria pengelolaan perikanan tangkap yang ada (Tabel 26). Hal ini cukup wajar karena kriteria-kritera tersebut merupakan penentu atau ukuran keberhasilan dari suatu kegiatan pengelolaan termasuk dengan menerapkan model co-management. Pada Tabel 26, model co-management kooperatif stabil terhadap intervensi atau dinamika perubahan yang terjadi terkait kriteria biologi, teknologi, serta sosial dan budaya. Hal ini ditunjukkan oleh rasio kepentingan (RK) stabil model co-management kooperatif ini yang berada pada 128
range 0 – 1, yang berarti juga tidak ada RK sensitif untuk model co-management ini meskipun tuntutan pemenuhan terkait kriteria biologi, teknologi, serta sosial dan budaya terjadi secara ekstrim. Hal ini karena model co-management kooperatif dianggap sebagai model atau teknik pengelolaan perikanan tangkap yang tepat, baik pada kondisi biologi, teknologi, serta sosial dan budaya yang sangat buruk maupun sangat baik. Namun untuk intervensi terkait pemenuhan kriteria ekonomi, model comanagement kooperatif mempunyai range RK stabil antara 0 - <0,971. Hal ini berarti bahwa pemenuhan kriteria ekonomi yang terjadi saat ini 28,6 % (RK awal = 0,286) dari total pemenuhan aspek pengelolaan yang ada, dari dikurangi pemenuhannya hingga menjadi 0 % dan dapat ditingkatkan pemenuhan hingga menjadi <97,1 %. Namun bila perhatian pengelolaan terlalu difokuskan kepada hal-hal yang bernuasa ekonomi (hasil tangkapan melimpah, keuntungan berlebih, dan lainnya) hingga 97,1 % atau lebih dari total kepentingan kriteria pengelolaan yang ada, maka model co-management kooperatif tidak lagi menjadi model pengelolaan perikanan tangkap terbaik di lokasi. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam aplikasi model co-management kooperatif, sehingga manfaat dan kehandalannya tetap terus dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. 6.5
Pembahasan Dalam pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap ini,
aspek pengelolaan menjadi pertimbangan penting karena kegiatan pengelolaan termasuk dengan menerapkan model co-management akan terkait dengan semua aspek pengelolaan yang ada yang satu sama lainnya akan saling mempengaruhi. Aspek biologi menjadi penentu terkait subur tidaknya perairan sehingga kegiatan perikanan tangkap dapat dilakukan. Menurut Bjorndal dan Zug (1995), perhatian terhadap aspek biologi menjadi faktor penting bagi kelangsungan suatu kegiatan pemanfaatan ikan dan biota laut lainnya. Perlindungan terhadap kawasan yang menjadi habitat ikan dan ruaya ikan, pelestarian terhadap ekosistem, pengaturan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap, penyesuaian alat tangkap dengan musim ikan dan lainnya menjadi hal penting bagi kelangsungan pemanfaatan sumberdaya sumberdaya ikan di suatu lokasi. Terkait dengan ini, maka aspek biologi ini
129
menjadi salah kriteria penting dalam pemilihan model co-management yang tepat guna mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Aspek teknologi juga menjadi kriteria pengelolaan yang penting untuk dijadikan perhatian dalam pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap. Suatu model co-management yang dalam implementasinya dapat menggerakkan inovasi dalam teknologi penangkapan ikan, mendorong penggunaan teknologi alat tangkap dan bahan pendukung yang ramah lingkungan, tentu akan sangat membantu bagi pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Pemilihan model co-management yang dapat mengakomodir hal ini dengan baik, tentu menjadi indikasi positif bagi pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal namun tetap berkelanjutan hingga anak cucu. Menurut Monintja (2002), pemilihan teknologi penangkapan ikan yang tepat dapat meminimalisir by cacth, mengurangi destruksi terhadap lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem perairan, dan lebih menjamin pemanfaatan sumberdaya di masa yang akan datang. Sedangkan menurut Bengen (2004), aspek teknologi harus selalu menjadi pertimbangan penting dalam suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya sehingga terjadi keselarasan antara komponen alam dengan manfaat yang diterima pelaku pemanfaatan. Model co-management yang baik juga harus dapat memberi menggerakkan perekononiman nelayan dan masyarakat pesisir, namun tetap menghormati tata nilai sosial dan budaya yang baik yang diikuti oleh masyarakat selama ini. Menurut Sultana dan Abeyasekera (2008), kesejahteraan hanya dapat ditingkatkan bila kondisi ekononomi masyarakat lebih baik dan interaksi sosial budaya yang terjadi lebih bijaksana dan adanya rasa saling menghargai antar anggota masyarakat. Model co-management yang kooperatif haruslah yang dapat mengakomodir dengan baik atau memberi jalan bagi pemenuhan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat sekitar. Tata nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi dan mengedepankan kearifan dengan alam harus dibiarkan tumbuh dan berkembang di lokasi. Namun demikian, dalam penerapan suatu model co-management, semua aspek pengelolaan tersebut mungkin tidak bisa dipenuhi secara maksimal karena berbagai keterbatasan yang ada. Terkait dengan ini, maka aspek pengelolaan
130
tersebut harus dikembangkan secara proporsional berdasarkan kebutuhan dan urgensi yang ada yang di lokasi. Hasil analisis pada Gambar 12 menunjukkan bahwa aspek biologi merupakan aspek pengelolaan yang paling penting untuk diakomodir dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hal ini bisa jadi karena aspek biologi menjadi aspek penentu ada tidaknya kegiatan perikanan di suatu kawasan. Menurut Bengen (2004) dan Hartoto et al. (2009), pengelolaan perikanan yang baik dan menjamin keberlanjutannya haruslah memperhatikan harmonisasi kegiatan pengelolaan dengan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Secara detail, aspek biologi yang dimaksud dapat mencakup jenis hasil tangkapan, tingkat pemanfaatan, dan musim ikan, sedangkan yang terkait dengan aspek teknologi diantaranya ukuran kapal, teknologi alat tangkap, jenis alat pendukung penangkapan, jenis BBM dan lainnya. Aspek ekonomi dapat mencakup pendapatan, perimbangan penerimaan dengan pengeluaran, tingkat pengembalian investasi, sedangkan aspek sosial dan budaya dapat mencakup kesejahteraan, tata nilai yang berkembang, dan kenyamanan hidup. Di samping itu, perairan selatan Jawa yang menjadi fishing ground perikanan
tangkap
Palabuhanratu
termasuk
perairan
yang
padat
penanagkapannya, sehingga kelestarian komponen biologi sudah menjadi perhatian penting pihak terkait dalam beberapa tahun terakhir ini. Menurut PPN Palabuhanratu (2010) dan Budiono (2005), beberapa tahun terakhir ini aktivitas penangkapan ikan di perairan selatan Jawa meningkat dratis. Dimana banyak nelayan dari utara Jawa, seperti Cirebon, Tegal, dan Pekalongan memilih menangkap ikan di kawasan dan kemudian mendaratkannya pada pelabuhan perikanan terdekat. Pemerintah Kabupaten Sukabumi (2006) menyatakan bahwa pantai selatan Jawa termasuk di sekitar Palabuhanratu sudah mengalami degradasi dari aspek biologi perairan, dimana ikan-ikan potensial seperti tuna dan cakalang jarang dapat ditangkap yang berukuran ekonomis. Baby tuna telah menjadi bagian penting dari hasil tangkapan nelayan selama ini, sehingga hanya laku di pasarpasar lokal. Kondisi ini juga menjadi penyebab penting mengapa secara ekonomi kehidupan nelayan di lokasi belum membaik, meskipun hasil tangkapan ikan yang didapat relatif stabil. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa nelayan akan
131
membawa pulang ikan dengan ukuran berapapun yang mereka tangkap, karena bila dilepas kembali maka dapat mengurangi penghasilan mereka dan ekonomi keluarga tidak dapat dibantu. Brown et al. (2005) dan Budiono (2005) menyatakan bahwa bila kebutuhan dan ekonomi keluarga belum tercukupi, maka nelayan cenderung akan melakukan apa saja untuk mendapatkan hasil tangkapan, dan bila hal ini tidak dilakukan, maka kebutuhan hidup sehari-hari keluarga akan terlantar dan hutang mereka akan semakin banyak di tengkulak. Terkait dengan ini, maka model co-management yang kooperatif nantinya juga haruslah evaluasi keberhasilannya dari aspek ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hasil analisis AHP menunjukkan aspek ekonomi termasuk prioritas kedua (RK = 0,286 pada IR = 0,07) setelah aspek biologi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dalam
kaitan
dengan
faktor
pembatas
pengelolaan,
ketersediaan
sumberdaya menjadi faktor pembatas paling penting yang harus diperhatikan untuk mendukung aspek biologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap (Tabel 13). Hal ini bisa jadi karena sumberdaya ikan menjadi penciri utama eksistensi komponen biologi perairan, dimana kehidupan laut terutama yang berpengaruh langsung bagi kehidupan manusia dan keseimbangan ekosistem laut ditentukan oleh keberadaan berbagai jenis sumberdaya ikan potensial. Menurut Brown (2005), kehidupan biologi di laut ditentukan oleh interaksi sumberdaya ikan dengan ikan lainnya (mangsa dan pemangsa) dan dengan komponen lingkungan sekitarnya (70 – 85 %). Sisanya merupakan interaksi antar komponen biota laut yang tidak berpindah tempat. Terkait dengan ini, maka kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia, termasuk dengan mengambangkan suatu teknologi penangkapan ikan, sangat ditentukan oleh keberadaan pembatas berupa sumberdaya ikan ini (Tabel 15). Pengembangan teknologi ini selalu dilakukan dengan mempertimbangkan jenis sumberdaya ikan yang ditangkap, kemudian baru mempertimbangkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Meskipun aspek teknologi bukan kriteria utama (prioritas keempat) dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management, tetapi pengembangan teknologi yang bersesuaian harus diperhatikan karena setiap sumberdaya ikan sasaran
132
mempunyai tingkah laku dan pola migrasi tersendiri. Hendriwan et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan optimasi perikanan tangkap sangat ditentukan oleh pemilihan strategi yang tepat dalam penangkapan ikan, sedangkan aspek kesesuaian teknologi dan unit penangkapan dengan sumberdaya ikan sasaran menjadi kunci utama untuk keberhasilannya. Dalam pemenuhan aspek ekonomi sebagai salah satu kriteria yang diperhitungkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu termasuk dengan menerapkan model co-management, faktor pembatas berupa sumber dan jumlah modal merupakan yang paling krusial. Hal ini memberi indikasi bahwa bahwa perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakat nelayan harus diawali dengan perbaikan manajemen pengelolaan usaha terutama terkait dengan siklus pemodalan. Bila dilihat lebih jauh, pemodalan inilah yang menjadi penyebab nelayan tidak bisa menjangkau fishing ground yang lebih potensial, dan pemodalan juga yang menjerat nelayan terlilit hutang-piutang berbunga tinggi. Dalam hal ini, maka model co-management kooperatif hendaknya yang dapat mengatasi masalah pemodalan ini. Menurut Hanna (1995), pengelolaan kegiatan ekonomi perikanan harus melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir, sehingga mereka lebih terampil dalam pengelolaan usaha ekonominya, dapat memahami permasalahan
masing-masing,
dan
mengambil
pemecahan
berdasarkan
kemampuan bersama. Dengan kebersamaan ini, maka lembaga keuangan formal lebih tertarik bermitra dalam pemodalan karena selain jumlahnya banyak juga karena masyarakatnya saling mendukung, dan bermitra atas kesadaran sendiri. Dalam kaitan dengan aspek sosial dan budaya, faktor pembatas berupa ketersediaan sumberdaya dan tata ruang kewilayahan menjadi faktor pembatas penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management. Hal ini bisa jadi karena ketersediaan sumberdaya terutama ikan potensial sangat mempengaruhi hasil yang didapat nelayan setiap kali berangkat melaut, dan kondisi ini menentukan tingkat kesejahteraan dan kondisi kehidupan sosial nelayan. Sedangkan tata ruang dapat menghindari konflik yang terjadi diantara anggota msayarakat termasuk dari kalangan nelayan, sehingga kehidupan sosial di kawasan lebih tenteram. Model co-management yang baik harus dapat mengakomodir kepentingan sosial yang
133
ada di masyarakat sekitar. Hartoto et al. (2009) menyatakan bahwa pelibatan lokal dan kondisi kehidupan sosial yang baik merupakan komponen kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis co-management. Bila mereka merasa nyaman, maka berbagai bentuk pengelolaan yang diintroduksi di kawasan dapat diterima dengan baik. Kooperatifnya model co-management kooperatif sebagai model comanagement prioritas pertama (Gambar 22) untuk pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu lebih didasari oleh konsep-konsep yang ditawarkan oleh model co-management memberi ruang dan akomodasi yang lebih bagi masyarakat sekitar.
Secara umum, model co-management kooperatif dianggap lebih
memperhatikan aspek pengelolaan yang dipersyaratkan dan faktor pembatas pengelolaan yang secara nyata ada di lokasi. Menurut Nikijuluw (2002), model co-management kooperatif merupakan model pengelolaan sumberdaya atau suatu kawasan yang mengedepankan kerjasama, komunikasi dua arah, dan pelibatan masyarakat lokal pada berbagai aktivitas pengelolaan sehingga mampu memecahkan setiap masalah yang dihadapi dan hasilnya membawa manfaat bagi semua pihak. Konsep pengelolaan ini membantu menggerakkan potensi lokal yang ada, sehingga mencapai kemandiriannya. Bila dibandingkan dengan model co-management konsultatif (prioritas kedua), maka model co-management kooperatif lebih baik dalam memenuhi aspek biologi, teknologi, serta sosial dan budaya. Model co-management konsultatif hanya sedikit lebih baik dalam memenuhi aspek ekonomi (Lampiran 31). Model co-management kooperatif lebih dapat memenuhi aspek biologi, diduga karena model co-management menerapkan konsep kebersamaan termasuk dalam aplikasi perlindungan komponen biologi perairan. Keikutsertaan langsung Pemerintah dan stakeholders terkait baik dalam bentuk pengiuktsertaan personil maupun pendanaan dalam kegiatan lapang konservasi seperti penanaman bakau, pelepasan bibit ikan, dan pengurangan pencemaran industri di laut lebih dapat mengerakkan kesadaran nelayan dan masyarakat untuk ikut memelihara komponen biologi perairan dan menghindari penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Menurut Hartoto et al. (2009) harmonisasi pelibatan nelayan, Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan
134
tangkap
dan
komponen
pendukungnya
merupakan
penerapan
konsep
co-managemnet yang baik yang melanggengkan pengelolaan sumberdaya perikanan hingga masa mendatang. Model co-management kooperatif juga lebih dapat mengakomodir aspek teknologi dan aspek sosial dan budaya, karena adopsi teknologi dan mekanisme pemanfaatan yang baru dengan melibatkan nelayan dari awal dan dilakukan secara bersama-sama lebih dapat menjamin penerapannya secara luas di masyarakat. Hal ini sangat penting terutama untuk mendukung penerepan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Secara sosial, pelibatan nelayan dan masayarakt lokal juga lebih dapat menciptakan harmonisasi program dengan masyarakat sekitar, dan bila ada pertentangan dengan tata nilai budaya lebih dapat dengan mudah dipecahkan. Sedangkan model co-management konsultatif menurut Nikijuluw (2002) lebih terkesan satu arah sehingga tata nilai sosial dan budaya yang ada di masyarakat kurang dapat diakomodir. Model co-management konsultatif dalam menjadi back-up, bila model co-management kooperatif menemuai masalah yang serius dalam penerapannya terutama terkait dengan pemenuhan aspek ekonomi. Menurut Liana et al. (2001), pengarahan yang jelas dan konsultatif yang intensif terkadang lebih sukses dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan pesisir untuk tujuan komersial. Hal ini karena setiap rencana dan aksi dapat dilakukan ditentukan secara cepat dan jelas. Sedangkan menurut Mamuaya et al. (2007), usaha perikanan yang dikelola dengan manajemen yang kuat dan mempunyai pola komunikasi yang jelas bagi pekerjanya lebih dapat berkembangkan dan menguntungkan secara ekonomi. Bila dibandingkan dengan model co-management informatif, model advokati, dan instruktuf, maka model co-management kooperatif lebih unggul dalam memenuhi semua aspek pengelolaan yang ada. Hal ini bisa jadi karena perhatian yang lebih baik terhadap perlindungan biologi perairan, penerapan teknologi yang ramah lingkungan, peningkatan ekonomi, serta kehidupan sosial yang lebih baik bagi masyarakat akan lebih dapat dilakukan bila ada kebersamaan, keterbukaan, dan kelibatan bersama dalam menyukseskannya. Rossiter (2007) dan Hamdan et al. (2006) menyatakan bahwa keberlanjutan pengelolaan perikanan sangat dipenuhi oleh keseriusan Pemerintah, masyarakat, pihak terkait
135
lainnya dalam mengakomodir kaidah-kaidah pengelolaan yang baik mulai dari pengelolaan stock, penerapan teknologi penangkapan ramah lingkungan, pemberdayaan ekonomi nelayan, dan masyarakat sekitar, perlindungan terhadap tata nilai lokal, dan perhatian terhadap kehidupan nelayan kecil yang terdapat di kawasan perikanan. Untuk mendukung implementasi model co-management kooperatif sebagai model co-management kooperatif, maka tingkat kestabilan model co-management ini dalam mengakomodir aspek pengelolaan yang ada perlu diketahui. Informasi ini menjadi acuan penting bagi operasional pengelolaan, sehingga model comanagement kooperatif tetap terandalkan dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Nilai RK stabil pada Tabel 26, memberi indikasi bahwa model co-management kooperatif akan stabil terhadap perubahan apapun yang terjadi terkait dengan aspek biologi, teknologi, serta sosial dan budaya yang terjadi kawasan. Perubahan terkait aspek biologi bisa berupa sumberdaya ikan menjadi langka, pencemaran biota perairan atau
perubahan menjadi positif seperti, kegiatan konservasi terumbu karang,
pelepasan bibit ikan (restocking) diintensifkan dan lainnya. Bila hal ini terjadi, maka tetap model co-management kooperatif yang paling baik sebagai tindakan pengelolaan. Hanna (1995), bila suatu konsep pengelolaan sumberdaya dapat menyelesaikan krisis pengelolaan terberat yang ada, maka kehandalan konsep tersebut tidak diragukan lagi. Nilai RK stabil model co-management kooperatif yang berkisar 0 - 1 terhadap perubahan aspek teknologi serta sosial dan budaya, juga memberi indikasi bahwa perubahan apapun yang terjadi dalam pengembangan teknologi penangkapan dan kehidupan sosial dan budaya masyarakat nelayan di Palabuhanratu baik itu perubahan positif maupun perubahan negatif tidak akan menggantikan model co-management kooperatif sebagai cara penyelesaian atau penanganannya. Budiono (2005) dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi (2006) menyatakan bahwa budaya dan kebiasaan yang kurang baik/negatif yang masih diikuti oleh nelayan Palabuhanratu, ada kebiasaan mengutang kepada tengkulak tidak hanya untuk keperluan melaut, tetapi juga untuk keperluan pesta pernikahan, biaya anak sekolah dan lainnya. Hal ini sangat memberatkan nelayan terutama
136
bila hasil tangkapan kurang baik dan hal ini cukup sering terjadi di lokasi. Beberapa kali pernah terjadi konflik antara nelayan dan tengkulak (bakul) yang menjurus kepada konflik massal. Bila mengacu kepada hasil analisis Tabel 26, maka model co-management kooperatif dapat diandalkan untuk memecahkan masalah ini dan permasalahan lainnya yang terjadi dalam interaksi teknis perikanan tangkap di lokasi. Arahan implementasi terkait model co-management kooperatif ini sebagai model co-management kooperatif akan disajikan lebih detail pada Bab 7. Namun secara umum, model co-management kooperatif ini dapat menjadi pilihan untuk pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik di lokasi, baik pada saat terjadinya konflik sosial, penggunaan teknologi penangkapan destruktif, maupun pada saat terjadinya kelangkaan pada sumberdaya ikan potensial yang biasa ditangkap nelayan. Dalam aplikasinya, model co-management kooperatif ini stabil terhadap intervensi atau dinamika perubahan yang ekstrim pada keriteria/aspek biologi (SDI dan lainnya), teknologi (alat tangkap, kapal, dan alat pendukung penangkapan), serta sosial dan budaya (range RK stabil 0 – 1, atau RK sensitif tidak ada). Namun demikian, model co-management kooperatif sensitif terhadap perhatian berlebihan pada aspek ekonomi yang ditunjukkan oleh adanya range RK sensitif 0,971 – 1. Fokus yang berlebihan pada aspek ekonomi tersebut dapat berupa peningkatan jumlah kapal dan intensitas penangkapan hanya untuk mengejar hasil tangkapan banyak dan keuntungan berlebih, sehingga melupakan kelestarian sumberdaya dan merusak lingkungan sekitar. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam aplikasi model co-management kooperatif, sehingga manfaat dan kehandalannya tetap terus dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Provinsi Jawa Barat.
6.6
Kesimpulan Model co-management kooperatif merupakan model yang paling tepat bagi
pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu dengan rasio kepentingan (RK) sekitar 0,259 pada inconsistency terpercaya 0,07.
137
6.7
Saran Disarankan mengintegrasikan co-management kooperatif dengan konsep
minapolitan di Palabuhanratu.
Co-management kooperatif perikanan tangkap
merupakan pengelolaan yang memberi peran seimbang pada Pemerintah dan komunitas nelayan.
Program minapolitan menekankan bahwa pengelolaan
kawasan Palabuhanratu dikoordinasikan dan diintegrasikan
oleh pemegang
otoritas pelabuhan, sehingga semua stakeholders berkonstribusi guna mencapai optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap namun peran seimbang tidak terlihat maka co-management yang disarankan menyeimbangkan peran tersebut.
138
7 POLA IMPLEMENTASI CO-MANAGEMENT TERPILIH 7.1
Pendahuluan Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu tidak lepas dari permasalahan
sumberdaya manusia, permodalan, teknologi maupun kinerja usaha perikanan tangkap. Pola implementasi model co-management dikatakan baik bila sinkron dengan dinamika usaha perikanan tangkap dan relevan dengan kebutuhan pemecahan masalah. Pola implementasi co-management minimal menyangkut dukungan pengembangan sumberdaya manusia, dukungan pengembangan teknologi, ketersediaan modal sehingga kinerja usaha perikanan tangkap menjadi lebih baik. Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia diantaranya data perikanan, kemisikinan nelayan, armada perikanan lemah, illegal fishing dan penegakan hukum (Baskoro, 2008). Disamping itu tenaga penyuluh perikanan di Indonesia sangat terbatas sehingga tidak terjadi transformasi knowledge dan teknologi kepada nelayan. Jika pun ada SDM penyuluh perikanan kinerja dan kapabilitasnya rendah. Bukan hanya itu biaya penyuluh dikontrak Pemerintah dan dipekerjakan per tahun by project, sehingga tanggung jawab dan kontinyuitas pengabdian mereka terbatas. Disamping penyuluhan, SDM pengawasan juga diperlu ditingkatkan untuk mengurangi pencurian ikan khususnya di ZEE (Budiono, 2005). Pengembangan SDM merupakan langkah peningkatan kualitas SDM baik dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial, maupun aspek gizi. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan dan mesti diteruskan adalah pelatihan kredit mikro system greemen bank. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan manajerial organisasi masyarakat
pesisir serta untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas kelompok nelayan dan penyediaan modal usaha. Kegiatan ini diharapkan meningkatkan kualitas masyarakat pesisir dalam berorganisasi, mengakses modal usaha dan pengelolaan modal dalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan (Dahuri, 2001). Hasil analisis pada Bab 6 menunjukkan bahawa co-management kooperatif terpilih sebagai model co-management terbaik untuk mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Model co-management kooperatif ini dapat 139
mengakomodir dengan semua kriteria/aspek pengelolaan yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan perikanan tangkap di lokasi, yaitu aspek biologi, teknologi ekonomi dan sosial budaya. Di samping itu, model co-management ini juga secara umum lebih dapat memperhatikan berbagai keterbatasan yang ada dan beberapa diantaranya dominan mempengaruhi keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Pembatas dalam pengelolaan tersebut diantaranya ketersediaan sumberdaya, sumber dan jumlah modal, kondisi sarana dan prasarana, lingkup kewenangan, dan tata ruang kewilayahan. Hasil analisis pada Bab 4, menunjukkan sumberdaya manusia, modal, dan teknologi sangat dominan mempengaruhi keberhasilan
co-management
perikanan
tangkap.
Model
co-management
kooperatif ini juga termasuk stabil terhadap berbagai intervensi dan perubahan terkait pemenuhan aspek pengelolaan yang ada baik yang dilakukan oleh nelayan, Pemerintah, pengusaha, maupun stakeholders lainnya. Terkait dengan ini, maka co-management kooperatif dianggap lebih tepat untuk dipikirkan solusi atau pola implementasinya sehingga dapat diterapkan secara nyata dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Model co-management terpilih ini, akan mengakomodir pengembangan usaha perikanan tangkap potensial hasil analisis Bab 5. Berdasarkan Bab 5 telah terindentifikasi empat usaha perikanan tangkap yang dapat dikembangkan guna mendukung model co-management terpilih, yaitu payang, gillnet, pancing tonda, dan longline. Pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara optimal sehingga manfaat dari implementasi co-management terpilih (kooperatif) lebih terasa bagi kehidupan nelayan dan perekonomian kawasan.
Hasil analisis linear goal
programming pada Bab 5 menunjukkan bahwa alokasi optimal pengembangan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline di Palabuhanratu berturut-turut adalah 141 unit, 31 unit, 30 unit, dan 20 unit. 7.2
Tujuan Penelitian Merumuskan pola implementasi co-management terpilih dalam mendukung
pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
140
7.3
Metode Penelitian
7.3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Pengumpulan
data
untuk
pengembangan
pola
implementasi
co-management terpilih (kooperatif) ini dilakukan pada bulan Juni – November 2010. 7.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dan data sekunder tersebut dapat mencakup data program pemberdayaan berbasis
co-management di lokasi, pengembangan
SDM
(penyuluhan/pelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis), pengembangan teknologi penangkapan, seperti teknologi alat tangkap, teknologi kapal/armada, dan teknologi pendukung penangkapan, data permodalan usaha mencakup permodalan mandiri nelayan, permodalan dari lembaga keuangan, dan permodalan yang berasal dari hibah Pemerintah. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan responden. Tahapan pengumpulan data terdiri penentuan kelompok sampling (kelompok stakeholders), identifikasi responden, dan
pengumpulan data responden
(Bungin, 2004). Kelompok sampling/stakeholders terdiri dari nelayan, pengusaha perikanan, pengelola pelabuhan perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM, dan masyarakat pesisir. Jumlah responden untuk pengumpulan data terkait pola implementasi co-management terpilih ini sekitar 183 orang (Tabel 27). Tabel 27 Keperluan data responden untuk analisis SEM No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelompok Responden Nelayan (pemilik) Pengolah/Pedagang Ikan (pemilik) Pengusaha Pengelola Pelabuhan Perikanan DKP Kab. Sukabumi LSM Tokoh Masyarakat Total
Jumlah Sample (orang) 153 15 4 4 3 2 2 183
141
Penentuan jumlah responden pada Tabel 27 tersebut dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan : (a) populasi kelompok stakeholders dan (b) keterkaitan langsung dengan pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Jumlah responden 183 orang tersebut sudah mengakomodir
kebutuhan estimasi maximum likelihood sebagai metode estimasi yang digunakan untuk pengembangan pola implementasi menggunakan analisis structural equation modelling (SEM) dalam penelitian ini, Menurut Ferdinand (2002), maximum likelihood membutuhkan sampel sekitar 100 – 200 sampel. Untuk memudahkan pengertian responden terhadap pertanyaan yang diajukan, akan digunakan pendekatan contingent value method (CVM), sehingga responden seakan-akan merasakan apa yang diilustrasikan dalam wawancara. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelusuran laporan kegiatan, hasil studi, dan data lainnya terkait program pemberdayaan masyarakat menggunakan konsep co-management di lokasi.
7.3.3 Analisis data Model co-management terpilih berdasarkan hasil analisis AHP merupakan model co-management yang akan dirumuskan pola implementasinya dalam analisis menggunakan SEM ini.
Dalam analisis SEM, data primer dan data
sekunder (terutama hasil kajian teoritis) diolah sedemikanrupa sehingga memberi informasi yang berarti tentang pola pengelolaan yang bisa diikuti bagi sukses implemntasi co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Pola tersebut ditunjukkan oleh nilai pengaruh, signifikansi pengaruh, dan sifat pengaruh suatu komponen terhadap komponen lainnya baik langsung (direct effect) maupun tidak langsung (indirect effect). Adapun tahapan yang dilakukan dalam analisis SEM ini adalah : 1)
Penyusunan model teoritis
2)
Perancangan path diagram
3)
Perumusan measurement model dan structural equation
4)
Penetapan matriks input dan estimasi model
5)
Evaluasi kriteria goodness-of-fit
6)
Interpretasi model (hasil analisis SEM)
142
1.
Penyusunan model teoritis Penyusunan model teroritis dilakukan supaya konsep-konsep interaksi di
antara komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih mendapat justifikasi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan utama untuk membuat model teoritis ini adalah informasi substantif yang diperoleh dari berbagai pustaka, kondisi nyata hasil justifikasi awal di lapangan, dan hasil penelitian yang relevan. 2.
Perancangan path diagram Perancangan path diagram merupakan kegiatan mendeskripsikan interaksi
di antara komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih hasil kembangan model teoritis. Komponen yang dalam interaksinya memegang peran penting / posisi sentral menjadi konstruk penelitian, sedangkan komponen yang memperjelas interaksi komponen utama menjadi dimensi konstruk penelitian ini. Path diagram tersebut dirancang menggunakan program AMOS Professional 4.0. Rancangan path diagram implementasi model co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Gambar 25. d11
1d12
d13
X11
X12
X13
1 1
SDM UPT
1
1
Z2
Tugas Co-Manag
Z1
Z5
1
1
Co-Manag Terpilih
Kinerja UPT
1
Y1 Y2 Y3
1 1 1
e1 e2 e3
Indikator Co-Manag
1
Z3
X21
1
d21
Teknologi UPT X22
1
d22
1 X23
1
d23
Z4
1
X31
1
d31
Modal UPT X32
1
d32
1 X33
1
d33
Gambar 25 Rancangan Path Diagram Implementasi Model Co-management Terpilih.
143
Rancangan path diagram pada Gambar 25 dibangun dengan konsep dimana co-management akan berperan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap (UPT) yang mencakup pengembangan sumberdaya manusia (SDM), pengembangan teknologi penangkapan, dan penyediaan modal usaha perikanan tangkap. Peran terkait
pengembangan SDM dapat mencakup peran co-management dalam
penyuluhan/pelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis. Peran terkait pengembangan teknologi penangkapan dapat mencakup peran co-management dalam pengembangan teknologi alat tangkap, armada, dan penentuan fishing ground. Sedangkan peran terkait penyediaan modal dapat mencakup peran comanagement untuk penyediaan dana mandiri nelayan, akses perbankan, dan akses hibah. Kegiatan pengembangan tersebut kemudian mempengaruhi kinerja usaha perikanan tangkap, dan selanjutnya kinerja usaha perikanan tangkap memberi impact balik pada penataan konsep co-management yang lebih baik. Comanagement itu sendiri juga dikontrol oleh tugas dan indikator keberhasilan yang telah digariskan. Adapun makna dari dimensi konstruk yang digunakan adalah : 1)
X 11 = penyuluhan/pelatihan
2)
X 12 = pendampingan
3)
X 13 = bimbingan teknis
4)
X 21 = teknologi alat tangkap
5)
X 22 = teknologi kapal/armada
6)
X 23 = teknologi pendukung pennagkapan terutama terkait dengan penentuan fishing ground
7)
X 31 = permodalan mandiri nelayan
8)
X 32 = permodalan dari lembaga keuangan (bank dan koperasi)
9)
X 33 = bantuan hibah Pemerintah
10)
Y 1 = hasil tangkapan
11)
Y 2 = kesejahteraan nelayan
12)
Y 3 = kelestarian sumberdaya dan lingkungan
3.
Perumusan measurement model dan structural equation Perumusan measurement model dan structural equation merupakan kegiatan
penyusunan persamaan matematis yang mewakili interaksi di antara komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih. Persamaan tersebut 144
terdiri dari persamaan pengukuran (measurement model) dan persamaan struktur (structural equation). Persamaan pengukuran (measurement model) merupakan persamaan yang mencerminkan interaksi komponen yang menjadi konstruk dengan dimensi konstruk penelitian, sedangkan persamaan struktur (structural equation) mencerminkan interaksi di antara komponen yang menjadi konstruk penelitian (antar konstruk). Persamaan matematis tersebut digunakan untuk operasi AMOS, dan data SEM yang dikumpulkan dari responden diolah dengan program SPSS, Microsoft Excel, MS Access, atau program lain yang sesuai. 4.
Penetapan matriks input dan estimasi model Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari matriks
kovarian dan matriks korelasi. Matriks kovarian merupakan matriks yang berisi varian dan kovarian dari semua komponen yang berinteraksi, sedangkan matriks korelasi merupakan matriks yang berisi koefisien korelasi dari semua komponen yang berinteraksi. Dalam analisis solusi atau pola implementasi model comanagement ini, matriks kovarian akan lebih banyak digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda. Sedangkan teknis estimasi yang digunakan dalam analisis model interaksi komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih adalah maximum likelihood estimation. Teknik estimasi ini cocok karena ukuran sampel penelitian terkait sekitar 183 orang, dan maximum
likelihood estimation
mensyaratakan sampel berukuran 100 – 200 orang dipenuhi. 5.
Evaluasi kriteria goodness-of-fit Kegiatan evaluasi kesesuaian model analisis solusi atau pola implementasi
model co-management ini dilakukan menggunakan kriteria goodness-of-fit menurut Ferdinand (2002). Secara rinci, indeks evaluasi tersebut mencakup : 1)
Chi-square statistic. Uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau kesesuaian model yang dibangun dengan data yang ada.
2)
Adjusted goodness of fit index (AGPI). AGPI analog dengan R2 dalam regresi berganda, dengan tingkat penerimaan yang direkomendasikan sama atau lebih besar dari 0,9.
145
3)
Comparative fot index (CFI). CFI merupakan index yang menunjukkan tingkat fitnya model yang dibangun. Berbeda dengan indeks lainnya, index ini tidak tergantung pada ukuran sampel.
4)
CMIN/DF. CMIN/DF merupakan pembagian X2 dengan degree of freedom. Indeks ini menunjukkan tingkat fitnya model.
5)
Goodness of fit index (GFI). GFI digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang varian dalam matriks kovarian sampel yang dijelakan oleh matriks kovarian populasi yang terestimasi. GPI mempunyai nilai antara 0 (poor fit) – 1 (perfect fit).
6)
The root mean square error of approximation (RMSEA). RMSEA adalah indeks yang digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Model yang dibangun dapat diterima bila mempunyai nilai RMSEA lebih kecil atau sama dengan 0,08.
7)
Tucker Lewis index (TLI). TLI merupakan alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model.
Tabel 28 menyajikan kriteria goodness of fit tersebut lengkap dengan nilai yang dipersyaratkannnya. Tabel 28 Kriteria Goodness-of-Fit Goodness-of-fit Index Chi-square Significance Probability AGFI CFI CMIN/DF GFI RMSEA TLI
Nilai Yang Dipersyaratkan Sekecil mungkin ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≤ 2,00 ≥ 0,90 ≤ 0,08 ≥ 0,95
Sumber : Ferdinand (2002)
6.
Interpretasi model (hasil analisis SEM) Interpretasi model ini merupakan kegiatan menginterpretasikan koefisien
pengaruh antar konstruk dalam menjelaskan pola hubungan diantara komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih pada pengelolaan
146
perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Pola hubungan tersebut merupakan
representasi dari hal-hal yang mendukung, tidak mendukung atau mengganggu, hal-hal yang dukungannya signifikan dan tidak signifikan, mendukung langsung dan tidak langsung dari setiap proses implementasi model co-management terpilih di lokasi.
7.4 Hasil Penelitian 7.4.1 Hasil kajian teoritis model Hasil kajian teroritis ini memberi informasi untuk penyusunan pola implementasi model co-management kooperatif sebagai model co-management terpilih untuk pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hasil kajian ini juga penting untuk memperkuat landasan penyusunan model/pola implementasi sehingga tidak ada keraguan terhadap struktur model dan interaksi yang dikembangkannya. 7.4.2 Desain model implementasi co-management terpilih Pengembangan model impelementasi co-management terpilih dilakukan melalui pendekatan pemodelan menggunakan metode SEM.
Pada tahap ini,
rancangan path diagram SEM yang dirancang pada metodologi digunakan untuk analisis interaksi komponen terkait dalam model implementasi. Modifikasi model akan dilakukan untuk mengakomodasikan pola data lapangan dan membuat model menjadi fit (sesuai) sehingga model dapat dipercaya dan koefisien pengaruh yang mencirikan pola interaksi dapat dibaca. Pola interaksi ini memberi arahan tentang pola implementasi co-management terpilih (co-management kooperatif). Hasil analisis SEM terhadap rancangan path diagram penelitian yang selanjutnya disebut sebagai model implementasi co-management kooperatif (terpilih) disajikan pada Gambar 26 dibawah ini.
147
d21
d22
.13
d23
.16 1
1 X21
X22
Chi-Square = 135.087 Sig. Probability = .000 AGFI = .860 CFI = .964 CMIN/DF = 1.801 GFI = .912 RMSEA = .066 TLI = .950
.28 1 X23
1.00 .63 SDM UPT
.99 .05
1
Z2
.10
.18
d11
Tugas Co-Manag
1
.30
.00
.00
X11
1834.35
Z5
1.00
1
Z1
1
148531.43
Co-Manag Kooperatif
-7723.92
Kinerja UPT
-.01 .11
.13 1.00 3.38 2.08
3.82 .28 -59.04
Y1 Y2
e1
1 1
.02 e2 .02 .18
Y3
1
e3
.30
.00
-.08
Z3
1
.50
Z4
.12 Modal UPT 1
Teknologi UPT
.26
-1.14
Indikator Co-Manag
7.69 4.74 -.85
.27
1.00
1.00
.28
X31
X32
X33
X41
X42
X43
1
1
1
1
1
1
.17
d32
d31
.22
.27
.16
d42
d41
d33
.13
-.01
.00 d43
.18
Gambar 26 Model implementasi co-management kooperatif. Pada model implementasi co-management kooperatif sebagai model comanagement terpilih di Gambar 26, yang dimaksud dengan simbol : 1)
X 11 adalah kebijakan co-management, dan menjadi dimensi untuk konstruk co-management kooperatif sebagai co-management terpilih.
2)
X 21 ,
X 22 ,
dan
X 23
berturut-turut
adalah
penyuluhan/pelatihan,
pendampingan, dan bimbingan teknis. Ketiganya merupakan dimensi untuk konstruk sumberdaya manusia usaha perikanan tangakap (SDM UPT). 3)
X 31 , X 32 , dan X 33 berturut-turut adalah teknologi alat tangkap, teknologi kapal/armada,
dan
teknologi
pendukung
penangkapan.
Ketiganya
merupakan dimensi dari konstruk teknologi usaha perikanan tangkap (Teknologi UPT). 4)
X 41 , X 42 , dan X 43 berturut-turut adalah permodalan mandiri nelayan, permodalan dari lembaga keuangan, dan permodalan yang berasal dari
148
hibah Pemerintah. Ketiganya merupakan dimensi untuk konstruk modala usaha perikanan tangkap (Modal UPT). 5)
Y 1 , Y 2 , dan Y 3 berturut-turut adalah hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan, dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Ketiganya merupakan dimensi untuk konstruk kinerja usaha perikanan tangkap (kinerja UPT). Untuk mengukur apakah model tersebut sudah fit (sudah baik untuk
mewakili kondisi aktual) atau belum, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan pola interaksi komponen terkait dalam implementasi co-management kooperatif untuk pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, maka terhadap model tersebut perlu dilakukan analisis kesesuaiannya menggunakan kriteria goodness of fit. Tabel 29, menyajikan hasil uji kesesuaian model implementasi co-management kooperatif dengan kriteria goodness of fit tersebut. Tabel 29 Hasil uji kesesuaian model implementasi co-management kooperatif Goodness-of-fit Index
Standard Value
Model Value
Keputusan
Sekecil mungkin
135,087
Baik
Significance Probability
≥ 0,05
0,000
Kurang baik
AGFI
≥ 0,90
0,860
Cukup baik
CFI
≥ 0,95
0,964
Baik
CMIN/DF
≤ 2,00
1,801
Cukup baik
GFI
≥ 0,90
0,912
Baik
RMSEA
≤ 0,08
0,066
Baik
TLI
≥ 0,95
0,950
Baik
Chi-square
Berdasarkan Tabel 29, ternyata nilai chi-square, CFI, GFI, RMSEA, dan TLI dari model implementasi co-management kooperatif yang dikembangkan sudah baik dan dapat memenuhi standar kriteria goodness of fit yang dipersyaratkan. Hal ini berarti bahwa model sudah mencerminkan data (kondisi nyata) yang ada. Sekalipun untuk nilai significance probability 0,000, AGFI 0,860, dan CMIN/DF 1,801 masih di bawah nilai yang dipersyaratkan, namun dari
149
evaluasi kriteria goodness of fit terhadap model secara keseluruhan, ternyata tidak ada pelanggaran kritis, bahkan untuk AGFI dan CMIN/DF mendekati sempurna. Terkait dengan ini, maka model relatif sesuai dengan data (kondisi nyata), sehingga dapat diterima untuk menjelaskan pola implementasi co-management kooperatif dalam dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. 7.4.3 Pola implementasi co-management terpilih 7.4.3.1 Pola pengembangan konseptual co-management kooperatif Pola ini merupakan pola implementasi co-manangement terpilih dilihat dari komponen-komponen penting yang perlu dipersiapkan sebelum co-management kooperatif diterapkan secara nyata pada berbagai kegiatan perikanan tangkap yang terdapat di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini perlu diketahui lebih awal, sehingga penerapan tersebut lebih efektif dan berhasil baik. Berdasarkan model Gambar 26, ada tiga hal konseptual yang terkait dengan penerapan/implementasi co-mamagement yang perlu dipersiapkan, yaitu apa tugas co-management yang perlu dilakukan, apa indikator co-management yang digunakan, dan apa kebijakan yang mendukung pelaksanaan co-management tersebut. Dari ketiganya, kebijakan menjadi dimensi untuk konstruk co-management ini, karena implementasi co-management identik dengan pelaksanaan suatu kebijakan, sedangkan tugas dan indikator co-management menjadi perangkat pendukungnya. Hasil analisis SEM terkait ketiga komponen tersebut disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen konseptual Komponen Indikator Co-Manag Tugas Co-Manag Kebijakan pendukung (X 11 )
KP S.E. -59.036 13212.13 1834.347 408487 1.000
C.R. -0.004 0.004
P 0.996 0.996 fix
Indikator co-management berpengaruh negatif terhadap implementasi comanagement kooperatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien pengaruh (KP) -
150
59,036.
Nilai KP ini menunjukkan bahwa semakin ideal indikator yang
dipersyaratkan, maka semakin sulit implementasi co-management kooperatif pada kegiatan perikanan tangkap (Tabel 30). Hal ini bisa jadi karena indikator yang terlalu sulit dan banyak, terkadang membatasi suatu kegiatan pengembangan karena kondisi lapang yang mungkin belum siap dengan indikator atau syarat keberhasilan yang ditetapkan. Namun bila melihat nilai probabilitas pengaruh (P) 0,966 yang melebihi nilai probabilitas pengaruh yang dipersyaratkan (< 0,05), maka pengaruh negatif tersebut tidak signifikan, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Tugas co-management berpengaruh positif terhadap implementasi comanagement kooperatif dengan koefisien pengaruh (KP) 1834,347. Nilai KP termasuk sangat besar, dan hal ini menunjukkan bahwa penyiapan lingkup tugas yang baik sangat memudahkan implementasi co-management kooperatif. Bila melihat nilai probabilitas (P) 0,996 yang melebihi nilai probabilitas pengaruh yang dipersyaratkan, maka pengaruh positif tersebut tidak signifikan memberi dampak yang baik bagi implementasi co-management. Hal ini bisa jadi karena model co-management ini mengutamakan keterlibatan semua pihak (terutama nelayan, pengolah, dan pedagang ikan) yang mana mereka umumnya berkontribusi menurut kemampuan dan kesanggupan masing-masing, bukan menurut pembagian tugas yang secara konspetual telah dibuat. Kebijakan pendukung berpengaruh positif terhadap implementasi comanagement kooperatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien pengaruh (KP) -1,000 dengan probabilitas sangat besar (fix). Mengacu kepada hal ini, maka penyiapan kebijakan/perangkat pendukung memang lebih baik untuk legalitas pelaksanaan suatu kegiatan pengembangan, tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak bagi implementasi co-management kooperatif yang mengedepankan kontribusi semua pelaku perikanan tangkap secara alamiah. 7.4.3.2 Pola implementasi makro co-management kooperatif Pola implementasi ini dikembangkan untuk memberi arahan tentang hal-hal makro yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan tangkap, sehingga implementasi co-management kooperatif berjalan efektif. Bila mengacu kepada model Gambar 25, maka hal/komponen yang makro tersebut dapat mencakup
151
pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan sumber permodalan, dan pengembangan teknologi perikanan tangkap. Pengembangan komponen turunan (dimensional) dari setiap komponen tersebut dianggap sebagai kegiatan pengembangan mikro dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Pengembangan komponen sumberdaya manusia, permodalan, dan teknologi ini dapat dikatakan sebagai gambaran ringkas hasil penelitian ini dari kegiatan implementasi co-management kooperatif dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap. Arahan terkait pengembangan ketiga komponen ini merupakan cerminan dari upaya yang dapat dilakukan untuk keberhasilan implementasi comanagemnet kooperatif perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hasil analisis SEM terkait ketiga komponen makro tersebut disajikan pada Tabel 31 dibawah ini. Tabel 31 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen makro Komponen Sumberdaya manusia usaha perikanan tangkap (SDM UPT) Permodalan usaha perikanan tangkap (Modal UPT) Teknologi perikanan tangkap (Teknologi UPT)
KP
S.E.
C.R.
P
0,301
0,127
2,371
0,018
3,817
0,939
4,064
0
0,279
0,144
1.937
0,053
Implementasi co-management kooperatif berpengaruh positif terhadap pengembangan SDM perikanan tangkap yang ditunjukkan oleh nilai koefisien pengaruh (KP) 0,301 (Tabel 31). Pengaruh ini bersifat siginifikan karena mempunyai probabilitas 0,018.
Sedangkan nilai probalilitas interaksi yang
dipersyaratkan < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa co-management kooperatif bila nantinya dikembangkan akan secara nyata dapat meningkatkan kualitas nelayan, pengolah, pedagang ikan, serta pelaku kegiatan pendukung perikanan tangkap di lokasi. Terkait dengan ini, maka program-program pembinaan SDM dapat menjadi fokus penting selama implementasi co-management kooperatif di Palabuhanratu. 7.4.3.3 Pola implementasi teknis co-management kooperatif Pola implementasi teknis ini dikembangkan untuk memberi arahan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan pada setiap komponen makro (sumberdaya
152
manusia, permodalan, dan teknologi) yang telah dijelaskan pada bagian 7.4.2. Hal ini penting supaya pengembangan sumberdaya manusia, permodalan, dan teknologi perikanan tangkap dapat dilakukan secara efektif dan efisien, dimana hanya komponen turunan yang berpengaruh signifikan yang menjadi perhatian. Selanjutnya interaksi setiap komponen turunan (dimensi konstruk) dengan komponen sumberdaya, permodalan dan teknologi perikanan tangkap akan dijelaskan pada bagian berikut ini. 1.
Interaksi pengembangan sumberdaya manusia Interaksi pengembangan ini memuat arahan tentang hal-hal yang perlu
diperhatikan dan tidak perlu diperhatikan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) perikanan tangkap yang lebih baik menggunakan model comanagement kooperatif. Hasil kajian teoritis pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa ada tiga komponen turunan/dimensi yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan
sumberdaya
manusia
perikanan
tangkap,
yaitu
penyuluhan/pelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis. Hasil analisis SEM terkait pengaruh ketiga komponen ini dalam pengembangan sumberdaya manusia disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas dalam interaksi pengembangan SDM Komponen Penyuluhan/pelatihan (X 21 ) Pendampingan (X 22 ) Bimbingan teknis (X 23 )
KP 1,000 0,634 0,989
S.E. 0,261 0,395
C.R. 2,423 2,505
P fix 0,015 0,012
Penyuluhan/pelatihan mempunyai pengaruh positif terhadap pengembangan SDM perikanan tangkap, yaitu dengan koefisien pengaruh (KP) 1,000 (Tabel 32). Hal ini menunjukkan semakin banyak kegiatan penyuluhan/pelatihan, maka semakin lebih baik kualitas SDM perikanan tangkap. Namun bila melihat nilai probabilitasnya yang sangat besar (fix), sementara probabilitas pengaruh yang dipersyaratkan <0,05 maka pengaruh positif kegiatan penyuluhan dan pelatihan belum terlihat nyata bagi peningkatan kualitas SDM perikanan tangkap. Hal ini memberi arahan bahwa pelaksanaan teknis co-management kooperatif nantinya di
153
Palabuhanratu tidak harus difokuskan pada kegiatan penyuluhan atau pelatihan di kelas. Anggaran untuk kegiatan ini dapat dialihkan pada kegiatan lainnya yang secara nyata/signifikan dapat meningkatkan kualitas SDM perikanan tangkap. Pendampingan mempunyai juga pengaruh positif terhadap pengembangan SDM perikanan tangkap (KP = 0,634), dan bila dibandingkan dengan kegiatan penyuluhan, maka pendampingan ini berpengaruh siginfikan bagi peningkatan kualitas SDM perikanan tangkap (P = 0,015, tidak melebihi persyaratan). Terkait dengan ini, maka dalam implementasi teknis co-management nantinya harus benar-benar memperhatikan kegiatan pendampingan, terutama bila nelayan dan masyarakat pesisir mengalami kesulitan dalam menjalan usaha perikanan tangkapnya. Pendampingan ini merupakan kegiatan melibatkan secara langsung dari pelaksana program co-management kooperatif pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara teknis oleh nelayan dan masyarakat. Manfaat dari kegiatan ini lebih terasa dibandingkan hanya melalui penyuluhan/ceramah di kelas. Terkait ini juga, maka anggaran program yang dilakukan untuk pelatihan dapat dialihkan untuk
meningkatkan
intensitas
pendampingan
usaha
bagi
yang
membutuhkannnya. Bimbingan teknis juga mempunyai pengaruh positif (KP = 0,989) yang siginifikan (P = 0,012) terhadap peningkatan kualitas SDM perikanan tangkap. Oleh bimbingan teknis ini dapat menjadi alternatif pengembangan SDM selain pendampingan bila co-management kooperatif nantinya diimplementasikan dalam pengelolaan perikanan tangkap Palabuhanratu. Seperti halnya pendampingan, bimbingan teknis juga merupakan kegiatan terlihat dalam praktek pengelolaan teknis, dimana metode dan sarana perikanan tangkap baru tidak hanya diinformasikan,
tetapi
juga diuji
coba dan
nelayan
dibimbing
dalam
penggunaannya. Bila melihat analisis lebih lanjut hasil analisis SEM ini, implementasi co-management kooperatif ini lebih manfaat nyata bila pelaku program terlibat langsung pada kegiatan nelayan, serta nelayan dan masyarakat sekitar dilibatkan secara aktif pada berbagai program co-management kooperatif terutama yang terkait dengan pengembangan SDM. Pelatihan/penyuluhan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar masyarakat dan stakeholders semakin
154
terampil dan mampu dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik sesuai dengan standar, selain itu juga untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dan stakeholders sesuai dengan perubahan teknologi, meningkatkan kemampuan di bidang kerja, sehingga dapat mengurangi stres dan menambah rasa percaya diri. Adanya tambahan informasi tentang program yang diperoleh dari pelatihan/penyuluhan
dapat
dimanfaatkan
sebagai
proses
penumbuhan
intelektualitas sehingga kecemasan menghadapi perubahan di masa-masa mendatang dapat dikurangi. Pendampingan merupakan suatu interaksi yang terus menerus antara pendamping dengan anggota kelompok atau masyarakat hingga terjadinya proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh anggota kelompok atau masyarakat yang sadar diri dan terdidik. Pendampingan juga memiliki tujuan memperkuat kelembagaan nelayan sehingga organisasi nelayan dapat menjadi salah satu lembaga
penggerak
ekonomi
di
Palabuhanratu,
mengembangankan
dan
menumbuhkan usaha perikanan alternatif sebagai sumber pendapatan yang handal, membangun mekanisme pengambilan keputusan secara partisipatif dalam semua aspek pengelolaan sumberdaya kelompok. Maksud dilakukannya kegiatan bimbingan teknis (bimtek) terhadap masyarakat dan stakeholders di Palabuhanratu adalah memberikan bimbingan atau berbagi ilmu dengan cara pemaparan tentang pengembangan sumberdaya manusia perikanan tangkap di Palabuhanratu, Pemerintah, LSM dan juga pihak dari Universitas. 2.
Interaksi pengembangan teknologi Interaksi pengembangan ini memuat arahan tentang hal-hal yang perlu
diperhatikan dan tidak perlu diperhatikan untuk pengembangan teknologi pada usaha perikanan tangkap potensial menggunakan model co-management kooperatif. Hasil analisis Bab 5 menunjukkan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline merupakan usaha perikanan tangkap yang paling potensial di Palabuhanratu.
Hasil kajian teoritis menunjukkan kehandalan teknologi dari
usaha perikanan tangkap tersebut dapat dilihat dari teknologi yang diterapkan pada alat tangkapnya, kapal/armada, dan teknologi peralatan pendukung penangkapan.
Hasil analisis SEM terkait pengaruh teknologi alat tangkap,
155
teknologi kapal/armada, dan teknologi peralatan pendukung penangkapan ini bagi pengembangan teknologi perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas dalam interaksi pengembangan teknologi Komponen Teknologi peralatan pendukung penangkapan (X 33 ) Teknologi kapal/armada (X 32 ) Teknologi alat tangkap (X 31 )
KP
S.E.
C.R.
1,000 4,738 7,688
P fix
2,456 4,053
1,929 1,897
0,054 0,058
Teknologi alat tangkap, teknologi kapal/armada, dan teknologi peralatan pendukung penangkapan berpengaruh positif bagi pengembangan mempunyai teknologi perikanan dengan koefisien pengaruh masing-masing 7,688, 4,738, dan 1,000 (Tabel 33). Teknologi alat tangkap dan kapal/armada mempunyai pengaruh yang lebih besar. Hal ini cukup wajar mengingat kemajuan teknologi suatu usaha perikanan tangkap selalu identik dengan kehandalan alat tangkap dalam menangkap ikan sasaran dan kapal dalam mengarungi perairan yang lebih luas. Terkait dengan ini, maka implementasi teknis co-management kooperatif ke depan harus memperhatikan pemenuhan aspek teknologi pada alat tangkap dan kapal yang digunakan nelayan. Meskipun pengaruh pemenuhan ini tidak signifikan, tetapi paling tidak hal ini sangat membantu dan relatif terasa manfaatnya dalam pengembangan usaha perikanan. Nilai probabilitas pengaruh teknologi alat tangkap dan kapal mendekati 0,05, yaitu masing-masing 0,054 dan 0,058 memberi indikasi ini. Hal ini dapat dilakukan pada payang, gillnet, pancing tonda, dan longline sebagai usaha perikanan tangkap potensial dikembangkan.
yang
Teknologi peralatan pendukung penangkapan masih belum
terlalu nyata berpengaruh (P fix), sehingga tidak perlu menjadi perhatian utama dalam implementasi co-management kooperatif secara teknis pada perikanan tangkap di Palabuhanratu. 3.
Interaksi pengembangan permodalan Interaksi terkait pengembangan permodalan memuat arahan teknis tentang
sumber-sumber permodalan yang efektif dapat dimanfaatkan dalam menjalankan
156
usaha payang, gillnet, pancing tonda, dan longline sebagai usaha perikanan tangkap terpilih (Bab 6) di Palabuhanratu. Hal ini penting supaya usaha perikanan tangkap dapat memanfaatkan sumber-sumber permodalan yang wajar bisa diperoleh dan tidak mengganggu kontinyuitas usaha perikanan tangkap yang dijalankan. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa sumber permodalan usaha perikanan tangkap dapat berasal dari modal mandiri nelayan, modal dari lembaga keuangan dalam bentuk kredit dan lainnya, dan modal yang berasal dari hibah Pemerintah. Hasil analisis SEM terkait pengaruh ketiga sumber permodalan ini bagi pengembangan permodalan usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas dalam interaksi pengembangan permodalan Komponen Permodalan yang berasal dari hibah Pemerintah (X 43 ) Permodalan dari lembaga keuangan (X 42 ) Permodalan mandiri nelayan (X 41 )
KP
S.E.
C.R.
1,000 0,277 0,273
P fix
0,066 0,075
4,167 3,668
0 0
Modal mandiri nelayan berpengaruh positif terhadap pengembangan permodalan, yaitu dengan koefisien 0,273. Pengaruh positif ini menunjukkan semakin baik kemampuan nelayan dalam menyediakan model usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline, maka semakin aman permodalan usaha tersebut (Tabel 34). Hal ini berdampak signifikan dalam permodalan usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu yang ditunjukkan oleh
probabilitasnya
sekitar 0,000 (persyaratan P < 0,05). Terkait dengan ini, maka implementasi comanagement kooperatif pada teknis penyediaan modal usaha harus memberi perhatian penting pada kemampuan nelayan untuk menyediakan model secara mandiri. Program-program pembinaan yang dilakukan implementasi comanagement kooperatif ini harus dapat mendidik nelayan untuk berkembang atas kemampuan sendiri. Modal dari lembaga keuangan dapat menjadi back-up bila permodalan secara mandiri tidak mampu menutupi kekurangan modal yang ada. Hasil analisis pada Tabel 33 tentang pengaruh model dari lembaga keuangan ini yang positif
157
(KP = 0,277) dan bersifat signifikan (P = 0,000) memberi indikasi tentang prospektifnya model dari lembaga keuangan ini. Terkait dengan ini,maka bila usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, atau longline kekurangan modal, maka dapat memanfaatkan kredit permodalan yang disediakan oleh perbankan dan koperasi yang terdapat di Palabuhanratu.
Implementasi teknis co-
management kooperatif juga harus memberi perhatian khusus bagi permodalan dari lembaga keuangan ini. Konsep keterlibatan dan kerjasama yang menjadi landasan dari model co-management ini harus dikembangkan sehingga terjadi kemitraan antara pelaku usaha perikanan tangkap dengan lembaga keuangan. Permodalan dari hibah Pemerintah tidak berpengaruh signifikan (P fix) mendukung permodalan usaha perikanan tangkap, sehingga dalam implementasi co-management kooperatif terkait pengembangan permodalan, sumber modal dari hibah ini dapat diabaikan. Hibah Pemerintah hanya terjadi pada waktu tertentu dan tidak bisa diprediksi, sehingga kurang bagus diandalkan sebagai sumber permodalan usaha yang beroperasi secara kontinyu. 7.4.3.4 Pola evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap Pola evaluasi kerja ini dikembangkan untuk memberi arahan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan sehingga kinerja usaha perikanan tangkap potensial lebih baik. Kinerja usaha perikanan tangkap yang lebih baik akan menjadi progress positif bagi implementasi co-management kooperatif. Terkait ini, maka hal-hal yang signifikan mempengaruhi kinerja usaha perikanan tangkap harus ditangani dengan baik dalam implementasi co-management terpilih ini. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa kinerja usaha perikanan tangkap dapat dinilai dari jumlah hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan, dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Hasil tangkapan dapat dievaluasi setiap kali usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline kembali dari melaut, sedangkan kesejahteraan nelayan dapat dievaluasi dari kesejahteraan nelayan ABK dan pemilik dari usaha perikanan tangkap tersebut.
Kelestarian sumberdaya dan lingkungan dapat
dievaluasi dari kondisi sumberdaya ikan dan kualitas lingkungan perairan lokasi penangkapan ikan bagi usaha perikanan tersebut.
Hasil analisis SEM terkait
jumlah hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan, dan kelestarian sumberdaya dan 158
lingkungan sebagai bahan evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap Komponen Hasil tangkapan (Y 1 ) Kesejahteraan nelayan (Y 2 ) Kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Y 3 )
KP 1,000 3,385
S.E.
C.R.
0,771
4,389
P fix 0
2,083
0,519
4,013
0
Hasil tangkapan berpengaruh positif terhadap kinerja usaha perikanan tangkap, yaitu dengan koefisien 1,000. Namun bila melihat probabilitasnya (P fix), maka pengaruh positif tersebut tidak siginfikan dalam memperbaiki kinerja usaha perikanan tangkap (Tabel 35). Terkait dengan ini, maka dalam implementasi comanagement kooperatif, jumlah hasil tangkapan tidak harus menjadi tujuan mutlak pengelolaan usaha perikanan tangkap. Bila hasil tangkapan kualitasnya kurang baik dan tidak kontinyu produksinya tidak akan dapat memperbaiki kinerja, meskipun jumlah hasil tangkapan yang didapat banyak. Hal ini harus menjadi perhatian dalam setiap kegiatan teknis penerapan co-management terpilih. Kesejahteraan nelayan berpengaruh positif terhadap kinerja usaha perikanan tangkap, yaitu dengan koefisien 3,385, dan bila melihat probabilitasnya (P = 0,0000), maka pengaruh tersebut bersifat signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan kesejahteraan nelayan menjadi ukuran serius dari perbaikan kinerja usaha perikanan. Hal ini harus menjadi perhatian dalam implementasi co-management kooperatif, dimana setiap upaya pembinaan pada usaha perikanan tangkap harus diupayakan sebisa mungkin dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan pelakunya. Kelestarian sumberdaya dan lingkungan juga berpengaruh positif terhadap kinerja usaha perikanan tangkap (KP = 2,083). Seperti halnya pada kesejahteraan nelayan, pengaruh komponen ini juga bersifat signifikan (P = 0,000, tidak melebihi persyaratan). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan dan lingkungan yang lestari serius mempengaruhi kinerja usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline yang dikembangkan di lokasi. Terkait ini,
159
maka dalam implementasi co-management kooperatif pada operasional usaha perikanan, potensi sumberdaya ikan dan kualitas lingkungan dikontrol dan dikendalikan terus. Pengontrolan dan pengendalian ini dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa kelaikan alat tangkap yang dioperasikan nelayan, memeriksa ukuran dan jenis hasil tangkapan, pemeriksaan sampel air secara periodik dan lainnya. 7.5
Pembahasan Menurut Nikijuluw (2002), implementasi co-management harus memiliki
empat komponen utama, yaitu pengelolaan sumberdaya, pengembangan masyarakat dan ekonomi, pengembangan kapasitas, dan dukungan kelembagaan. Sedangkan isu lain yang juga penting dan harus diperhatikan dalam implementasi co-management adalah gender, budaya, etnis, skala ekonomi dan legitimasi. dalam kaitan ini, maka dalam pengembangan konsep co-management kooperatif sebagai co-management terpilih perlu mengakomodir hal tersebut terutama dengan
indikator
dan
lingkup
tugas
co-management.
Selain
itu
juga
pengembangan sumberdaya manusia dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu penyuluhan, pendampingan, dan bimbingan teknis. Sedangkan menurut Jentoft (1989), kegiatan pendidikan, pelatihan, dan praktek teknis yang intensif dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia suatu organisasi hingga pada level optimal. Terkait dengan ini, maka penyuluhan/pelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis dapat diterima sebagai dimensi untuk konstruk sumberdaya manusia usaha perikanan tangkap (SDM UPT). Hasil pada Tabel 29, menunjukkan bahwa indikator yang digunakan dalam implementasi co-management cenderung berdampak negatif terhadap kegiatan implementasi. Hal ini memberi pengertian, bahwa indikator yang digunakan dalam mengukur kondisi sumberdaya, pengembangan ekonomi dan masyarakat, kapasitas usaha perikanan, serta kelembagaan, cenderung memberatkan dan bahkan menghambat pelaksanaan co-management yang direncanakan. Terkait dengan ini, maka indikator capaian co-management kooperatif ini perlu dibuat lebih lugas, dinamis, dan akomodatif, tidak harus mengacu kepada hal yang ideal, tetapi mengacu kepada hal-hal yang secara nyata bisa dicapai melalui penerapan co-management. Hal yang secara nyata tersebut diantaranya lebih efektifnya 160
kegiatan lelang, terbangunnya kemitraan dengan koperasi dan perbankan, dan lainnya. Ini lebih realistis menjadi indikator keberhasilan co-management karena di Palabuhanratu sudah ada tempat lelang, dan koperasi maupun perbankan juga aktif beroperasi. Menurut ICOFE (2000), persyaratan operasi perikanan perlu didasarkan pada kondisi lingkungan yang ada di sekitar kawasan perikanan. Hal ini penting supaya kebutuhan operasi terpenuhi dan mendapat dari masyarakat kawasan. Hal yang sama juga perlu diperhatikan dalam merumuskan hal-hal yang menjadi tugas/lingkup kerja dari co-management. Pelaksanaan tugas comanagement harus dilaksanakan sesuai kemampuan dan kondisi yang ada di masyarakat. Menurut Nikijuluw (2002), tugas co-management dapat mencakup delapan hal, yaitu : pengenalan masyarakat, penelitian secara partsipatif, identifikasi kebutuhan masyarakat, pendidikan dan pengembangan informasi, pembentukan organisasi masyarakat, penetapan tujuan, strategi, dan perumusan rencana, implementasi rencana program, dan evaluasi. Bila melihat hasil analisis Tabel 29, tugas co-management mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses implementasi, meskipun tidak signifikan.
Terkait dengan ini, maka
pelaksanaan delapan tugas co-management tersebut dalam pengelolaan perikanan Palabuhanratu tidak perlu dipaksakan semua atau harus dilaksanakan sekaligus. Setiap program terutama yang berasal dari dukungan Pemerintah perlu disertai dengan
acuan/perangkat
penyimpanan
dalam
kebijakan
pelaksanaan,
pendukung, yang
justru
sehingga menganggu
tidak
terjadi
kondusifitas
pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dalam kaitan dengan perikanan tangkap, implementasi co-management paling tidak perlu diarahkan pada tiga hal, yaitu pengembangan sumberdaya manusia, permodalan, dan pengembangan teknologi. Menurut Liana et al. (2003), pengembangan ekonomi pesisir dengan basis perikanan sangat ditentukan oleh potensi sumberdaya manusia (SDM), kekuatan modal, dan teknologi yang diterapkan. Potensi SDM akan menentukan pola interaksi bisnis perikanan, perluasan pasar, dan kemampauan dalam menangani masalah internal perikanan. Sedangkan modal dan teknologi mendukung mereka dalam merealisasi ide dan
161
keinginan mereka terkait pengelolaan perikanan dan pengembangan ekonomi pesisir. Mengacu kepada hal ini, maka dalam implementasi model co-management kooperatif, pembinaan SDM baik melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan pelibatan langsung pada berbagai program co-management harus menjadi perhatian penting. Tabel 30 menunjukkan bahwa co-management berpengaruh signifikan terhadap pengembangan SDM perikanan, yang berarti bahwa pembinaan SDM tersebut menjadi hal perlu, dibutuhkan, dan terasa manfaatnya bila dapat direalisasikan. SDM perikanan tersebut dapat mencakup nelayan, pengolah, pedagang ikan, serta pelaku kegiatan pendukung perikanan tangkap di sekitar Palabuhanratu. Menurut Bengen (2004) dan Pomeroy dan Williams (1994), pembinaan atau pengembangan SDM yang baik dapat membantu terjalinnya komunikasi, kerjasama, konsultasi, tukar informasi, dan kontrol masyarakat pada setaip kegiatan pengelolaan perikanan. Permodalan juga dipengaruhi positif signifikan oleh implementasi model co-management kooperatif (Tabel 30), yang berarti bahwa program-program yang terkait dengan kemitraan, kredit, dan
simpan pinjam perlu digerakkan dan
menjadi program unggulan dari co-management pengelolaan perikanan tangkap. Bila hal ini dapat dilakukan, maka kesulitan model yang menyebabkan nelayan tidak melaut, bunga pinjaman tinggi dari tengkulak, dan lainnya dapat dihindari sehingga usaha perikanan tangkap dapat berkembang lebih baik untuk mendukung perekonomian Palabuhanratu dan sekitarnya. Usaha perikanan tangkap potensial, seperti payang, gillnet, pancing tonda, dan longline (Bab 5) harus diperkuat permodalan melalui program kemitraan dan kerjasama sehingga dukungannya terhadap co-management lebih optimal. DKP (2005) menyatakan pengembangan usaha perikanan tangkap yang potensial dan sesuai dengan daya dukung dapat meningkatkan produksi perikanan suatu kawasan, namun tidak melebihi JTB yang ditetapkan. Diantara program pembinaan SDM yang ada, implementasi co-management kooperatif perlu memberi khusus pada program yang bersifat pendampingan dan bimbingan teknis. Hal ini karena kedua program ini menekankan interaksi langsung dalam pembinaan, dan hal ini sangat bersesuaian dengan prinsip
162
kooperatif yang menekankan keterlibatan dan kerjasama. Menurut Nikijuluw (2002), co-management kooperatif merupakan prinsip pengelolaan yang menekankan pada keterlibatan bersama stakeholders dalam berbagai program pengelolaan.
Dalam implementasinya, prakarsa dan motivator program dapat
ditunjuk LSM atau lembaga pengabdian di perguruan tinggi. Pelibatan LSM dalam mengerakkan program co-management melalui pendampingan dan bimbingan teknis oleh LSM ini pernah dilakukan di Pulau San-Salvador, Filipina tahun 1989 (Katon et al. 1999). Pada tahap awal, LSM tersebut membentuk sistem pengelolaan berbasis masyarakat yang mana beberapa orang anggota masyarakat dibina dan dididik, sehingga menjadi contoh dan dapat membantu memotivasi rekannya. Kelompok masyarakat tersebut dibimbing tata cara
pengembangan
teknologi
penangkapan
ikan
ramah
lingkungan,
pengembangan jaringan pasar, tata cara penyelesaian konflik yang terjadi di antara mereka. Hal ini berhasil baik dan dipraktekkan terus oleh masyarakat Pulau San-Salvador, yang kemudian mendapat simpati dan tanggapan positif dari Dewan Kota Masinloc dengan mengeluarkan Ordinasi Nomor 30-89 untuk melindungi kegiatan mereka dan kawasan perikanan di sekitarnya. Implementasi co-management di Palabuhanratu melalui berbagai program pembianan nantinya diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian nelayan dan masyarakat sekitar bagi pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk aspek teknologi, secara umum teknologi kapal, alat tangkap, dan alat pendukung penangkapan sudah baik di Palabuhanratu, terutama untuk usaha perikanan tangkap unggulan (payang, gillnet, pancing tonda, dan longline). Hasil survei menunjukkan bahwa keempat usaha perikanan tangkap tersebut umumnya sudah memiliki peralatan pendukung seperti kompas, GPS, dan radio HT dalam operasinya dan kapal yang digunakan umumnya berjenis kapal motor. Menurut PPN Palabuhanratu (2010), kapal gillnet, pancing tonda, dan longline yang digunakan nelayan Palabuhanratu semuanya merupakan jenis kapal motor, perahu motor tempel hanya digunakan pada pancing ulur, trammel net, bagan, dan jaring rampus. Hasil analisis Bab 5 menunjukkan bahwa gillnet, pancing tonda, dan longline merupakan usaha perikanan tangkap yang paling tepat dikembangkan
163
untuk
mendukung
co-management
pengelolaan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu. Oleh karena secara teknologi sudah baik, maka pengembangan usaha perikanan tangkap ini tidak harus lagi difokuskan pada pengembangan teknologi penangkapan, tetapi bisa pada aspek lainnya, seperti manajemen usaha usaha dan sistem permodalan. Arahan Tabel 32 yang menunjukkan hubungan tidak signifikan pengembangan melalui co-management terhadap teknologi kapal, alat tangkap, dan peralatan pendukung penangkapan memperkuat argumen tersebut. DKP Kabupaten Sukabumi (2006) menyatakan bahwa teknologi perikanan di Palabuhanratu relatif lebih berkembang dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini lebih ini karena Palabuhanratu cukup DKI Jakarta, sehingga lebih mudah mencari peralatan penangkapan yang dibutuhkan. Dalam kaitan dengan permodalan, implementasi co-management kooperatif harus dapat mengembangkan jaringan kemitraan usaha dengan lembaga keuangan seperti koperasi, bank, pegadaian, dan lainnya.
Hal ini karena pengaruh
permodalan dari lembaga keuangan tersebut sangat besar dampaknya bagi pengembangan usaha perikanan tangkap potensial (payang, gillnet, pancing tonda, dan longline) dan prinsip pelibatan dan kerjasama yang dikembangkan dalam comanagement kooperatif juga berpengaruh signifikan bagi pengembangan kemitraan tersebut (Tabel 33). Setiawan et al. (2007) dalam penelitiannnya menyatakan bahwa pengembangan kemitraan usaha perikanan dengan lembaga keuangan dapat membantu daerah dalam mengatasi permasalahan permodalan yang banyak dihadapi nelayan. Penurunan produksi perikanan banyak terjadi di musim paceklik, dimana tidak sepenuhnya disebabkan oleh ketiadaan ikan. Bila modal selalu tersedia dengan baik, pada musim paceklik, nelayan longline, purse seine dan gillnet dapat mengarungi perairan yang lebih jauh untuk mencari fishing ground alternatif. Dalam implementasi co-management kooperatif ini, kemitraan/permodalan dari lembaga keuangan tersebut dapat dilakukan bentuk kredit, kerjasama pengeloalan, atau bentuk lainnya yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun lembaga keuangan. Dalam kaitan pengembangan usaha, masalah permodalan ini perlu menjadi perhatian penting co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Selama ini nelayan, sering meminjam modal kepada tengkulak,
164
dengan persyaratan hasil tangkapan harus dijual kepada mereka. Pada kondisi ini, harga jual tergantung kepada tengkulak dan nelayan tidak nelayan dapat menjualnya lagi kepada pembeli lain meskipun dengan harga lebih baik. Sistem permodalan seperti ini tentu kurang baik, dan secara jangka panjang dapat menghambat
perkembangan
usaha
perikanan
tangkap.
Siamat
(2001)
mennyatakan bahwa kegiatan bisnis yang tidak menguntungkan salah satu pelaku bisnis terkait tidak akan membawa perkembangan ekonomi di lokasi bisnis, karena ketiadaan kepuasan salah satu pelakunya. Bila ada masalah, maka lebih gampang meledak menjadi konflik massal. Di samping pengembangan kemitraan dengan lembaga keuangan, pelaksanaan co-management kooperatif di Palabuhanratu harus menumbuhkan kemandirian nelayan lokal dalam membiayai usaha perikanan tangkap yang dilakukan. Melalui co-management, nelayan dapat membentuk kelompok kerja baik sesama nelayan satu usaha, maupun nelayan satu keluarga. LSM atau perguruan
tinggi
dengan
didukung
Pemerintah
daerah
dapat
mengimplementasikan hal ini. Partisipasi yang dapat dikembangkan dalam kelompok kerja ini dapat berupa setiap anggota menabung secara rutin sehingga terkumpul modal bersama, setiap anggota saling bersepakat untuk membantu satu sama lain bila kesulitan modal, anggota secara bersama-sama mengembangkan kegiatan bisnis yang usaha perikanan tangkap yang dilakukannya, seperti kios perbekalan, pabrik es, dan lainnya.
Pearce dan Robinson (1997), penguatan
internal hanya menjadi tujuan utama dari pengembangan kegiatan bisnis. Hal ini karena dari kegiatan bisnis, setiap pelaku akan memikir kondisinya bila terjadi krisis, kemitraan umumnya hanya berjalan pada kondisi normal, dimana pelakunya merasa diuntungkan. Kemandirian nelayan dalam permodalan juga dapat dilakukan sendirisendiri dalam keluarga nelayan. Hal ini dapat dipilih oleh pelaku usaha kecil yang
membutuhkan
penangkapannya.
modal
tidak
terlalu
besar
dalam
setiap
operasi
Untuk pengusaha perikanan dengan jumlah armada yang
banyak dan stabil operasinya juga dapat mengembangkan pola permodalan seperti ini. Dalam implementasi co-management, pengembangan usaha pada kekuatan modal mandiri perlu diberi perhatian, karena kestabilan dan keberlanjutan usaha
165
pada dasarnya tergantung siklus keuangan dan permodalan yang mandiri. Bengen, (2004) menyatakan bahwa keberlanjutan usaha perikanan sangat ditentukan oleh perilaku sosial yang melekat pada masyarakat pesisir, dimana bila mereka gemar menabung dan mengembangkan kegiatan bisnis pada kekuatan diri sendiri, maka akan lebih tahan terhadap berbagai kesulitan usaha yang dihadapi. Dalam implementasinya, tingkat keberhasilan co-management koopeatif perlu dievaluasi. Hal ini penting untuk mengukur apakah berbagai program comanagement baik terkait dengan pengembangan SDM, pengembangan teknologi, permodalan usaha perikanan berhasil baik atau tidak di lokasi.
Menurut
Nikijuluw (2002), kegiatan evaluasi program dapat dilakukan setiap akhir pelaksanaan program harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari implementasi program. Tabel 34 memberi arahan tentang hal-hal yang perlu tentang hal-hal yang perlu dievaluasi sehingga program co-management berhasil baik dalam mendukung
pengelolaan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu.
Tingkat
kesejahteraan nelayan yang menjadi pelaku usaha perikanan tangkap potensial (payang, gillnet, pancing tonda, dan longline) dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan selama pelaksanaan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap dapat menjadi bahan evaluasi dari keberhasilan program co-management. Pengaruh kedua komponen tersebut bersifat signifikan sehingga dapat dipercaya sebagai komponen evaluasi keberhasilan co-management. Bila kesejahteraan nelayan meningkat, maka kinerja usaha perikanan tangkap potensial menjadi lebih baik, yang berarti pula kegiatan pengembangan SDM, teknologi, pengembangan permodalan usaha, dan lainnya yang dilakukan program co-management kooperatif berhasil baik. Tingkat kesejahteraan ini dapat diukur dari pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja yang bisa diperoleh oleh nelayan di Palabuhanratu.
Menurut BPS (2001), pengukuran
tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari sebelas parameter, yaitu pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, keadaan fisik tempat tinggal, keadaan peralatan pendukung tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari petugas medis, kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan pekerjaan/kesempatan kerja,
166
kehidupan beragama, rasa aman dari gangguan kejahatan, dan kemudahan berolah raga. Kelestarian sumberdaya dan lingkungan, juga menjadi ukuran penting dari keberhasilan co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Komponen ini dapat diukur dari trend jumlah hasil tangkapan, komposisi hasil tangkapan, potensi stock ikan, tingkat pencemaran perairan dari aktivitas penangkapan, frekuensi konflik penangkapan, dan lainnya.
Kuperan (1994)
menyatakan bahwa kelestarian sumberdaya ikan sangat dipengaruhi perilaku nelayan dan alat tangkap yang digunakan nelayan dalam melakukan penangkapan. Bila nelayan terbina dengan baik, menyadari pentingnya penggunaan alat tangkap, dan tidak kesulitan dalam operasional, maka nelayan akan cenderung menangkap ikan dengan cara-cara yang bijak dan bertanggung jawab. Hasil penelitian Hendriwan et al. (2008) di perairan Teluk Lampung menunjukkan bahwa berkurangnya konflik fishing ground, penggunaan bahan peledak, pencemaran perairan oleh aktivitas penduduk memberi pengaruh positif pada peningkatan hasil tangkapan nelayan maupun kualitas lingkungan perairan. Terkait dengan ini, maka dalam implementasinya, co-management kooperatif perlu menggunakan pendekatan kedua komponen tersebut (kesejahteraan nelayan dan kelestarian SDA dan lingkungan) dalam evaluasi keberhasilan programnya dalam pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik Palabuhanratu. Pengaruh yang signifikan (P = 0 pada Tabel 34) memberi indikasi kedua komponen tersebut penting dan serius untuk diperhatikan sebagai ukuran dari keberhasilan comanagement kooperatif di Palabuhanratu. Model co-management kooperatif (terpilih) untuk mendukung pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik di Palabuhanratu dapat diimplementasikan dengan mengikuti pola berikut : (a) Program-program co-management yang digagas Pemerintah dan lainnya (melalui APBN, APBD, hibah, dan seed fund) perlu difokuskan pada pengembangan sumberdaya manusia dan permodalan, sedangkan pengembangan teknologi perikanan tangkap dapat dilakukan di tahap berikutnya; (b) Pengembangan sumberdaya manusia sebaiknya dilakukan dalam bentuk pendampingan dan bimbingan teknis, sedangkan pelatihan/pendidikan di kelas dapat dikurangi; (c) Untuk permodalan usaha dalam konteks co-
167
management ini, sumbernya sebaiknya diprioritaskan pada permodalan mandiri nelayan, dan modal dari lembaga keuangan (bank atau koperasi) dapat menjadi back-up bila tidak mencukupi.
Modal dari lembaga keuangan yang bisa
dimanfaatkan diantaranya kredit usaha rakyat (KUR), kredit usaha mikro, dan kredit investasi. Permodalan dari bantuan hibah sebaiknya diabaikan (tidak jadi fokus perhatian). (d) Secara periodik, kinerja pelaksanaan co-management pada usaha perikanan perlu dievaluasi. Evaluasi kinerja ini perlu difokuskan pada perbaikan kesejahteraan nelayan dan perlindungan kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Evaluasi tersebut dapat digagas oleh Pemerintah (misalnya PEMDA Kabupaten Sukabumi) dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai dari evaluator. Monintja (2001) menyatakan bahwa kehandalan teknologi suatu usaha perikanan tangkap (UPT) dapat dilakukan pada alat tangkap, kapal/armada penangkapan ikan, dan peralatan pendukung penangkapan ikan. Terkait dengan ini, maka kehandalan teknologi payang, gillnet, pancing tonda, dan longline sebagai usaha perikanan terpilih untuk dikembangkan akan diukur dari teknologi alat tangkap, teknologi kapal/armada, dan teknologi peralatan pendukung penangkapan. Ketiganya dapat diterima sebagai dimensi dari konstruk/komponen utama teknologi usaha perikanan tangkap (UPT). Untuk mendukung pelaksanaan co-management pengelolaan perikanan tangkap, maka modal menjadi hal yang utama yang harus dipersiapkan. Tanpa modal, operasional usaha perikanan tangkap dalam mendukung co-management terpilih tidak terealisasi dengan baik. Sedangkan menurut Mashuri (1993), modal bagi usaha perikanan tangkap dapat dipenuhi dari modal mandiri dan bantuan dari koperasi atau perbankan. Sedangkan menurut Dahuri (2001) dan Mamuaya et al. (2008), bila ada program Pemerintah di suatu kawasan perikanan, biasanya dilakukan pemberdayaan nelayan dan pada tahap awal diberikan hibah atau bantuan modal kepada kelompok nelayan yang baru dibina. Hal ini biasanya dilakukan, supaya muatan keterampilan dalam pelatihan dan pemberdayaan dapat diaplikasikan secara langsung pada operasional usaha perikanan tangkap. Melihat hal ini, maka permodalan usaha perikanan tangkap dapat berasal dari modal mandiri nelayan, modal dari lembaga keuangan dalam bentuk kredit dan lainnya, dan modal yang berasal dari hibah Pemerintah. Ketiga jenis sumber
168
modal ini menjadi dimensi dari konstruk/komponen utama modal UPT dalam mendukung implementasi co-management terpilih. Kinerja usaha perikanan tangkap menjadi hal penting dalam pengelolaan perikanan tangkap karena kinerja merupakan tolak ukur dari maju mundurnya kegiatan perikanan yang dilakukan. Parameter kinerja penting untuk menunjukkan performance atau posisi bisnis perikanan yang dipelopori oleh usaha perikanan tangkap yang terdapat di Palabuhanratu. Menurut Senge (1990), kinerja usaha dapat ditunjukkan oleh jumlah hasil produksi, jumlah uang yang didapat, dan pertumbuhan usaha. Sedangkan menurut Makino et al. (2009), kinerja kegiatan perikanan dapat dilihat dari kontinyuitas produksi, tingkat kesejahteraan nelayan pelaku, dan keamanan/kelestarian bagi faktor produksi (sumberdaya ikan) dan lingkungan. Jumlah hasil tangkapan ikan dan kesejahteraan nelayan merupakan parameter utama untuk menggerakkan peran nelayan dalam mendukung comanagement, sedangkan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dapat menjamin keberlanjutan usaha perikanan tangkap di kemudian hari. Terkait hal ini, maka dalam pengembangan pola implementasi co-management terpilih, hasil tangkapan ikan, kesejahteraan nelayan, dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dipilih sebagai dimensi dari konstruk kinerja usaha perikanan tangkap (UPT). Oleh karena rancangan path diagram yang dirancang dalam metodologi tidak memuat komponen yang bertentangan dengan hasil kajian teoritis ini, maka rancangan path diagram tersebut dapat digunakan secara utuh untuk pengembangan solusi/pola implementasi co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
7.6
Kesimpulan Implementasi co-management mengikuti pola pembangunan sumberdaya
manusia (SDM) melalui pendampingan dan bimbingan teknis, permodalan mandiri dan lembaga keuangan seperti KUR dan pengembangan teknologi unit usaha juga alat tangkap. Secara periodik kinerja pelaksanaan co-management perlu di evaluasi oleh Pemerintah bersama dengan masyarakat.
169
7.7
Saran Disarankan
dalam
implementasi
co-management
kooperatif
peran
stakeholders seimbang dalam melakukan pengelolaan. Keseimbangan dapat terjadi jika ada kelembagaan independen yang mengontrol seperti di Afrika selatan ada Fisheries Co-management advisory yang mengontrol keseimbangan peran masyarakat dan Pemerintah dalam pengelolaan perikanan
170
8 PEMBAHASAN UMUM Rancangan
model
perikanan
tangkap
berbasis
co-management
di
Palabuhanratu, dibuat dengan urutan sebagai berikut : 1)
Mengetahui kondisi kini pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu
2)
Menganalisis
keberadaan
co-management
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu. 3)
Menemukan variabel-variabel dominan yang berpengaruh terhadap comanagement di Palabuhanratu.
4)
Memformulasikan pola implementasi co-management perikanan tangkap dan variabel yang berpengaruh.
5)
Menganalisis variabel-variabel berpengaruh terhadap co-management perikanan tangkap Kondisi kini Co-Management SWOT QSPM
NO Co-management
SDM Modal Teknologi Kinerja
Alasan reject : - Tidak ada minimum resources yang menunjukan ada kolaborasi
Dikelola secara Kolaborasi
Analisis Variabel Turunan yang Mempengaruhi Co-management Formulasi & Analisis Strategi Pengembangan Co-management
SDM Penyuluhan Bimtek
Modal
Kinerja
Teknologi
- Modal Sendiri - Lembaga keuangan
- Kapal - alat tangkap - alat pendukung
- Pemerintah - Masyarakat - Stakeholders
Kelembagaan Mengkoordinasikan kelembagaan yang ada menjadi lebih kuat
Kolaborasi setara (Ko-manajemen kooperatif)
Lembaga keuangan, Nelayan, Pemerintah, NGO, Universitas
Gambar 27 Rancangan model pengembangan perikanan tangkap berbasis co-management di Palabuhanratu.
171
Rancangan model co-management perikanan tangkap diperoleh melalui pengamatan kondisi kini co-management yang ada disuatu kawasan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Faktor yang berpengaruh terhadap co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu adalah SDM, modal, teknologi dan kinerja. Faktor yang mempengaruhi kinerja berasal dari internal stakeholders dan eksternal stakeholders. Keberadaan co-management perikanan tangkap ditandai dengan adanya kerjasama yag seimbang pada faktor-faktor pokok tersebut. Dari sisi SDM pelaksanaan co-management perikanan tangkap harus memperhatikan pembinaan SDM dari aspek bimbingan teknis dan pelatihan. Nelayan dan stakeholders terkait lebih mudah menerima materi bimbingan teknis dan pelatihan pengelolaan perikanan tangkap. Dari sisi permodalan sebaiknya permodalan berasal dari modal mandiri, maupun dari bank. Permodalan yang berasal dari hibah membuat masyarakat semakin manja dan selalu mengharapkan bantuan. Disamping itu permodalan yang berasal dari hibah juga menyebabkan konflik dengan nelayan lain yang tidak mendapatkan dana hibah. Fasilitator yang mendampingi dana hibah sering menjadi bulan-bulanan nelayan yang tidak mendapatkan dana hibah. Umumnya dana hibah berasal dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang disalurkan ke masyarakat dianggap sebagai tanggung jawab Pemerintah terhadap pemberdayaan masyarakat dan tidak ada tanggungjawab masyarakat untuk mengembalikan atau menggulirkan dana tersebut kepada masyarakat lain. Oleh karena itu pemberian dana hibah kepada masyarakat sering membuat masalah di masyarakat karena masyarakat yang tidak mendapatkan dana hibah akan protes kriteria nelayan yang diberikan dana hibah. Biasanya dana hibah ini terkait aspek politik dalam mengimplementasikan program sehingga tidak murni program untuk memberdayakan nelayan dan stakeholders terkait. Modal yang berasal dari nelayan sendiri maupun dari lembaga keuangan seperti bank, nelayan biasanya akan mengelola dengan baik karena terikat perjanjian dan tanggung jawab agar dana yang digunakan berhasil guna. Dana yang dipakai diupayakan menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan menghasilkan margin yang signifikan.
172
Umumnya nelayan lebih senang menggunakan modal mandiri dari kumpulan uang keluarganya karena pengguna dana merasa tidak mendapatkan sanksi yang berat seperti penyitaan jika usaha perikanan tangkap yang mereka laksanakan tidak berhasil. Nelayan lebih suka menggunakan dana dari lembaga keuangan yang sifatnya non formal yang dapat diperoleh dengan cepat tanpa persyaratan yang ketat. Umumnya nelayan tidak ingin terbebani tanggung jawab apalagi penyitaan karena bagi mereka penyitaan aset oleh bank karena tidak mampu membayar hutang adalah aib bagi dia dan keluarganya. Berbeda halnya kalau uang itu adalah kumpulan dari keluarga mereka atau pinjaman dari tengkulak kalau usaha mereka gagal dan bangkrut tidak ada beban sosial yang tinggi bagi nelayan tersebut.
Istilah mereka sudah gagal dan nama jelek di
masyarakat. Oleh karena itu, nelayan umumnya menghindari meminjam uang dari lembaga keuangan formal walaupun bunga uang pinjaman lebih murah dibandingkan tengkulak atau ijon.
Tengkulak dan ijon akan merahasiakan
hutang-hutang nelayan kalau nelayan itu gagal karena force majeure sehingga nelayan merasa lebih aman. Kalau nelayan menggunakan uang sendiri atau kumpulan uang keluarga jika usaha gagal mereka tetap merasa nyaman dan keluarga menutupi kegagalan itu. Walaupun demikian sisi kurang baik biasanya hubungan kekeluargaan menjadi renggang kalau usaha gagal. Demikian juga kalau usaha berhasil diantara mereka juga sering berselisih dalam hal pembagian hasil usaha. Umumnya nelayan di Palabuhanratu suka hidup individual dari berbagai hal. Mereka bangga kalau usahanya berhasil dan dibiayai oleh uang pribadi atau meminjam kepada tengkulak dengan tanggung jawab pribadi. Jika usaha gagal nelayan bertanggung jawab dan meminta bantuan kepada keluarganya, tetapi jika pihak keluarga sudah membantu dan tetap gagal hal tersebut umumnya akan menyebabkan keretakan hubungan kekeluargaan mereka. Kemitraan permodalan yang terbangun dengan pengusaha yang berasal dari luar Palabuhanratu seperti Tegal, Pasuruan, dan lainnya juga memperlihatkan co-management yang terbangun dalam pengelolaan perikanan tangkap. Namun karena nelayan lokal hanya sebagai tenaga kerja, maka co-management ini belum
173
maksimal untuk memberikan manfaat bagi kemandirian kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Kerjasama yang terbangun dengan pemilik kapal atau pemodal dari luar terkadang tidak berlangsung lama bila tidak dikelola dengan baik. Usaha penangkapan ikan tuna pada suatu kawasan misalnya, pada bulan-bulan tertentu mungkin berkembang dengan baik, tetapi bila hasil tangkapan sudah berkurang dan nelayan lokal yang terlibat tidak terlalu terampil, maka dapat saja tidak diikutsertakan bila lokasi penangkapan pindah kedaerah lain. Aspek teknologi juga menjadi kriteria pengelolaan yang sangat penting untuk dijadikan perhatian dalam pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Suatu model co-management yang dalam implementasinya dapat menggerakan inovasi dalam teknologi penangkapan ikan, mendorong penggunaan alat tangkap dan bahan pendukung yang ramah lingkungan tentu akan sangat membantu bagi pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang tepat juga juga dapat meminimalisir by cacth, mengurangi destruksi terhadap lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem perairan, dan lebih menjamin pemanfaatan sumberdaya di masa yang akan datang. Faktor teknologi yang berpengaruh terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu adalah armada kapal, alat tangkap dan alat pendukung. Armada kapal perikanan yang digunakan baik berupa perahu motor tempel maupun kapal motor yang beroperasi di Palabuhanratu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah kapal yang mendaratkan ikan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah frekuensi masuk kapal. Hal ini disebabkan karena jumlah kapal tuna longline yang melakukan aktifitas penangkapan ikan berkurang tetapi digantikan dengan kapal pengangkut ikan jenis lain. usaha penangkapan beralih fungsi menjadi usaha transportasi Apabila ditinjau dari aspek biologi alat tangkap, pancing tonda merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul dibandingkan dengan alat tangkap lain. Hal ini karena jumlah hasil tangkapan yang relatif stabil setiap bulanya dan juga hasil tangkapannya sesuai dengan ukuran mata pancing dan jenis umpan.
174
Akan tetapi jika ditinjau dari aspek teknologi, maka longline merupakan alat tangkap yang paling unggul dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan co-management terpilih di Palabuhanratu. Ukuran kapal, mesin, alat tangkap dan alat pendukung penangkapan yang lebih modern dan berukuran besar menjadi penyebab utama longline ini lebih unggul dibandingkan dengan alat tangkap yang lainnya. Sedangkan payang dan gillnet, jika ditinjau dari aspek sosial dan budaya alat tangkap ini merupakan usaha perikanan tangkap yang paling unggul. Kedua usaha perikanan tangkap ini dianggap sebagai usaha perikanan yang paling diandalkan dalam mensejahterakan keluarga nelayan dan mendukung pendidikan anak di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dalam kaitan dengan co-management, Pemerintah Daerah dapat mengambil peran penting untuk mendukung transfer teknologi penangkapan bagi nelayan dan masyarakat pesisir di Palabuhanratu, karena secara jangka panjang dapat memperkuat ekonomi pesisir dikawasan tersebut. Pemerintah Daerah juga perlu mengambil peran aktif untuk membina, melatih, dan mengayomi masyarakat nelayan sekitar, dan harus menjadi penengah dalam setiap konflik pengelolaan yang ada. Dari sisi alat pendukung
penangkapan perikanan seperti echosounder,
kompas, mesin lampu, radio HT dan pelampung permanen berpengaruh terhadap co-management perikanan tangkap. Dengan adanya alat pendukung penangkapan tersebut maka hasil tangkapan yang diperoleh nelayan menjadi lebih banyak. Disamping itu jika nelayan memiliki alat bantu yang di share kepada nelayan lain dalam penentuan fishing ground juga mempererat kerjasma nelayan di laut menangkap ikan. Kelembagaan juga merupakan unsur yang penting di dalam co-management, hal ini terlihat beberapa penelitian di Asia dan Afrika selatan menunjukkan bahwa efektifitas pelaksanaan co-management selalu didampingi kelembagaan. Di Afrika Selatan maupun di Australia dikenal Fisheries Co-management Advisory yang berwenang mengatur peran stakeholders dalam implementasi co-management, termasuk menyelesaikan konflik antara stakeholders. Kemitraan antar sesama nelayan dalam pelaksanaan co-management kooperatif di Palabuhanratu menumbuhkan kemandirin nelayan lokal dalam
175
membiayai usaha perikanan tangkap yang dilakukan. Melalui co-management, nelayan dapat membentuk kelompok kerja baik sesama nelayan satu usaha, maupun nelayan satu keluarga. LSM atau perguruan tinggi dengan didukung Pemerintah Daerah dapat membantu menfasilitasi terbentuknya kemitraan dalam memperoleh permodalan. Kelembagaan keuangan khususnya koperasi di Palabuhanratu tidak memberikan konstribusi yang signifikan pada co-management perikanan tangkap. Walaupun demikian dalam rancangan model co-management perikanan tangkap kelembagaan tetap dijadikan variabel berpengaruh. yang penting
Kelembagaan adalah hal
sebagai regulator implementasi co-management pada beberapa
pelaksanaan co-management Co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu saat ini tidak membutuhkan kelembagaan formal. Permasalahan dan keluhan nelayan umumnya ditangani individu bersama tokoh-tokoh informal. Kalau permasalahan yang terjadi sulit diselesaikan tokoh-tokoh informal melaporkan kepada Kepala Pelabuhan yang ada di Palabuhanratu atau ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Lembaga keuangan seperti koperasi nelayan tidak berkembang baik di Palabuhanratu. Koperasi tidak berperan signifikan dalam penyediaan modal, penyelesaian konflik nelayan dan peran kelembagaan lainnya. Koperasi yang ada dianggap sebelah mata oleh nelayan karena koperasi tidak dikelola sebagaimana mestinya. Integritas dan kapabilitas pengelola koperasi diragukan oleh anggota koperasi sehingga koperasi tidak berkembang dengan baik. Berbeda halnya dengan Koperasi perikanan yang ada di Jepang benar-benar berfungsi untuk membiayai keuangan nelayan, dalam hal pemasaran perikanan memiliki otoritas yang sangat tinggi karena didukung oleh legitimasi anggota yang kuat. Di Teluk Lasongko Kabupaten Buton pernah ada kelembagaan yang dinamai Lembaga Pengelola Kawasan Teluk Lasongko. Kelembagaan ini diinisiasi
pembentukannya
oleh
Direktorat
Jenderal
KP3K
untuk
mengintegrasikan pengelolaan dana dari 13 Kementerian dalam pembangunan pesisir di Teluk Lasongko secara terintegrasi. Kelembagaan ini hanya bersifat ad-hoc setelah proyek selesai pada tahun 2009 kelembagaan juga bubar dan wewenang pembinaan, monitoring evaluasi program dikembalikan lagi ke Kementerian masing-masing pasca proyek.
176
9 KESIMPULAN DAN SARAN 9.1
Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah :
1)
Pelaksanaan co-management perikanan tangkap saat ini di Palabuhanratu masih dalam pertumbuhan yang stabil (kuadran V matrik IE). Total skor faktor internal co-management perikanan tangkap Palabuhanratu sekitar 2,66 (cukup baik), sedangkan total skor faktor eksternalnya sekitar 2,46 (cukup baik). Variabel dominan yang mempengaruhi pelaksanaan comanagement perikanan tangkap tersebut adalah sumberdaya manusia (SDM), modal, dan teknologi.
2)
Jenis usaha perikanan tangkap potensial yang mendukung co-management perikanan tangkap terpilih adalah payang, gillnet, pancing tonda, dan longline. Alokasi optimal untuk payang, gillnet, pancing tonda, dan longline tersebut di Palabuhanratu masing-masing adalah 141 unit, 31 unit, 30 unit, dan 20 unit.
3)
Model co-management yang paling tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu adalah model co-management kooperatif.
4)
Pola implementasi co-management terpilih (kooperatif) dapat dijelaskan : (a) Program-program co-management yang digagas pemerintah dan atau stakeholders lainnya perlu difokuskan pada pengembangan sumberdaya manusia dan pemodalan, sedangkan pengembangan teknologi perikanan tangkap dapat dilakukan ditahap berikutnya. (b) Pengembangan sumberdaya manusia sebaiknya dilakukan dalam bentuk pendampingan dan bimbingan teknis, sedangkan pelatihan/pendidikan di kelas dapat dikurangi. (c) Untuk pemodalan usaha dalam konteks co-management ini, sumbernya sebaiknya diprioritaskan pada pemodalan mandiri nelayan, dan modal dari lembaga keuangan (bank atau koperasi) dapat menjadi back-up bila tidak mencukupi. Pemodalan yang berasal dari bantuan hibah sebaiknya diabaikan (tidak jadi fokus perhatian). (d) Secara periodik, kinerja pelaksanaan co-management pada usaha perikanan perlu evaluasi. Evaluasi kinerja ini perlu difokuskan
177
pada perbaikan kesejahteraan nelayan dan perlindungan kelestarian sumberdaya dan lingkungan. 9.2
Saran Adapun saran yang bisa diberikan terkait hasil-hasil yang dicapai dalam
penelitian ini adalah : 1)
Dalam mendukung co-management perikanan tangkap, optimalisasi alokasi payang, pancing tonda, dan longline dapat dilakukan secara bertahap dengan sistem pengolahan/substitusi. Setiap pancing tonda dan longline yang tidak layak lagi dioperasikan (umur teknis habis), maka langsung digantikan dengan payang hingga ketiganya mencapai jumlah optimal yang direkomendasikan.
Pembinaan keahlian kepada nelayan ABK dapat
dilakukan sebelum pengalihan/substitusi tersebut terjadi (1 -2 bulan sebelumnya). Pengurangan dan penambahan unit alat tangkap sudah menjadi hal biasa di Palabuhanratu lihat Bab 2. 2)
Supaya
model
co-management
terpilih
(kooperatif)
dapat
diimplementasikan dengan efektif, maka fokus pembenahan perlu diarahkan pada hal-hal yang pengaruhnya kritis/serius bagi pengelolaan.
178
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS). 1998. Relevansi Program Pembangunan Dalam Meningkatkan Kesejahtaraan Masyarakat. BAPPENAS Baskoro. 2008. Alat Penangkap Ikan Berwawasan Lingkungan. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap Yang Bertanggung Jawab. Kenangan Purnabhakti Prof. Daniel R. Monintja. IPB. Bogor. Bengen, D. 2004. Menuju Pembangunan Pesisir and Laut Berkelanjutan Berbasis EkoSosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. Berkes, F. 1994. Property Rights and Coastal Fisheries, p. 51-62. In Pomeroy, R.S. (ed.) Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pasific: concepts,methods and exeriences. ICLARM Conf. Proc. 45, 189 p Bintoro, G. 1995. Tuna Resources In Indonesia’s Waters : Status, Possible Management Plan, and Recommendations for The Regulation of Fishing Effort. Hull University. Hull England. M.Sc Thesis. Unpublished. Biro Pusat Statistik (BPS). 1991. Metode Indikator Kesejahteraan Masyarakat. Biro Pusat Statistik Jakarta. Bjorndal, K. A., and G. R. Zug. 1995. Growth and age of sea turtles. In K. A. Bjorndal, editor. Biology and conservation of sea turtles. Smithsonian Institution Press, Washington, D.C. Brown, D., Staples D., and Funge-Smith. 2005. Mainstreaming Fisheries Comanagement in the Asia Pacific. FAO Regional Office for Asia and The Pacific. Bangkok. Dari website www.fao.org Budiono, A. 2005. Keefektifan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. Disertasi PPS IPB. Bogor. Clark, C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto Canada. 291 p. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 233 hal. Dahuri, R. 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa Indonesia yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Makalah Pada Acara Temu Akrab CIVA-FPIK, tanggal 25 Agustus 2001. Bogor.
179
David, F.R. 2002. Manajemen Strategis, edisi ke-7. Prenhallindo. Jakarta. 456 hal. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2005. Studi Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Untuk pengelolaan Penangkapan di Wilayah Perikanan Lokal dan Evaluasinya Terhadap Angka JTB. Co-Fish DKP dan Unibraw. Malang Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Propinsi Jawa Barat. 2010. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Jawa Barat 2009. PEMDA Jawa Barat. Bandung Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi. 2006. Analisa Potensi Usaha Kelautan dan Perikanan. Sukabumi. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2007. Statistik Perikanan Tahun 2007 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu. Pelabuhan Ratu. Sukabumi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Ensiklopedia Indonesia. 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/data Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sintesis dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Fauzi A. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang. Garrod, G. dan K. G. Willis. 1999. Economic Valuation on the Environment, Method and Case Studies. Edward Elgar, Massachusetts, USA. Gaspersz V. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Tarsito Press. Bandung. Hamdan, Monintja, DR., Purwanto J., Budiharsono S., dan Purbayanto A. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XV. 3 : 86-101. 180
Hanna, S. 1995. Efficiencies of User Participation in Nautral Resource Management. In Hanna, S. and M. Munasinghe (eds.) In Property Rights and the Environment Social and Ecological Issues. Biejer International Institute of Ecological Economics and The World Bank. Washington, D.C. Hanafiah dan Saefuddin. A. M. 1986. Tata Niaga Perikanan. UI Press. Jakarta. Hartoto, D., I., Adrianto, L.; Kalikoski, D.; Yunanda, T. (eds) (2009). Building capacity for mainstreaming fisheries co-management in Indonesia. Course book. FAO/Jakarta, DKP/Jakarta: Rome, dari website : ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/012/i0989e/i0989e.pdf Hendriwan, M. F. A. Sondita, J. Haluan, dan B. Wiryawan. 2008. Analisis Optimasi Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Strategi Pengembangannya di Teluk Lampung. Buletin PSP Volume XVII No.1 April 2008. Hal 44-70. Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor Hou, W. C. 1997. Practical Marketing: An Asia Prespective. Pemasaran Praktis Cara Asia. Penerbit Mega Asia. Imron, M. 2003. Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan. Jurnal Masyarakat dan Budaya, PMB-LIPI 7 : 88 – 92. International co-operation on fisheries and Environment (ICOFE). 2000. Regional CoOperation In Fisheries and Environment (edited by Line Kjelstrup et.al.). Page 37 -41. Jentoft, S. 1989. Fisheries Co-management : Delegating Goverment Responsibility to Fishermen’s Organizations. Journal of Butterwords & Co. 18 hal. Jentoft, S. 2004. Fisheries co-management as empowerment. Norwegian College of Fishery Science, Department of Social Science, University of Tromso, Breivika, Tromso 9037, Norway. Marine Policy 29 (2005) 1–7 Jesper Raakjær Nielsena, Poul Degnbol, K. Kuperan Viswanathan, Mahfuzuddin Ahmed, Mafaniso Hara, Nik Mustapha Raja Abdullah. 2003. Fisheries co management-an institutional innovation? Lessons from South East Asia and Southern Africa. Marine Policy 28 (2004) 151–160 Jusuf N. 2005. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Disertasi telah di publikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 8 hal.
181
Karyana, B. 1993. Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis di Perairan Pantai Barat Kalimantan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 72 tahun 1993 : 33 – 41. Katon, B.M, R.S. Pomeroy, L.R. Garces, and A.M. Salamanca. 1999. Fisheries Management of San Salvador Island. A Shared Responsibility. ICLARM, Manila. Philipina. Kearney, R.E.. 2002. Co-management: the resolution of conflict between commercial and recreational fishers in Victoria, Australia. School of Resource, Environmental and Heritage Sciences, University of Canberra. Ocean & Coastal Management 45 (2002) 201–214 Kesteven, G.L (1974) dalam Purbayanto (2008). Karakteristik Perikanan Tangkap. Makalah Mata Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Kawasan Industri Perikanan Tangkap. IPB. Bogor. Kesteven, G. L. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. An Introduction of Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No. 118. Rome. 43 hal. Kotler, P. dan Armstrong G. 1997. Dasar-Dasar Pemasaran. Principle of Marketing 7 e. Jilid I. Simon & Schuster (Asia) Pte. LTd. Kuperan, K. 1994. Status of the Fisheries Sector in Malaysia, Illegal Fishing and the Economics of Enforcement. Paper Presented at a Conference on the Contribution of the Marine Sector to the National Economy, Organized by the Malaysian Institute of Maritime Affairs, Kuala Lumpur, 30 November 1994, 25p. Liana, T. M, M.F. Elmer, P. C. Lenore, and G. C. Alan. 2001. The Bolinao CommunityBased Coastal Resource Management Project. Jurnal of Community Organizer, Haribon Foundation. Makino, M, Matsuda, H, dan Sakurai, Y. 2009. Expanding Fisheries Co-management to Ecosystem-Based Management : A case in the Shiretoko World Natural Heritage Area, Japan. Journal of Matine Policy. P 207 – 2014. Mamuaya GE., Haluan J, Wisudo SH, dan Astika IW. 2007. Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai : Penelaahan Kasus di Kota Manado. Buletin PSP Vol. XVI. 1 : 146-160. Manetsch, P. G. W. and Park. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Science. Michigan State University Mashuri. 1993. Pasang Surut Usaha Perikanan laut: Tinjauan Sosial Ekonomi Kenelayanan Jawa dan Madura 1850 — 1940, Masyarakat Indonesia. LIPI. Jakarta. 182
Moeljanto. 1996. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Swadaya. Jakarta. Monintja, D.R. 2002. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monintja, D.R. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah Disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta. Hal 1-12. Musick, J. A., S. A. Berkeley, G. M. Cailliet, M. Camhi, G. Huntsman, M. Nammack, and M. L. Warren. 2008. Protection of Marine Fish Stocks at Risk of Extinction. Fisheries of Jr. Maret 2008. Muslich M. 1993. Metode Kuantitatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 445 hal. Mustaruddin. 2010. Pola Pengembangan Industri perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu Menggunakan Pendekatan Analisis Persamaan Struktural. Buletin PSP 18 (2) : 103-112 Mustaruddin, Nurani, T.W, Wisudo, S.H, Wiyono, E.S, dan Haluan, J. 2011. Pendekatan Kuantitatif Untuk Pengembangan Operasi Industri Perikanan. CV. Lubuk Agung, Bandung Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta. Nikijuluw, V. P. H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. FERACO. Jakarta. Nurhakim S, 2007. Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan. Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN – The World Conservation Union. London, UK. Pearce D dan Robinson. 1997. Manajemen Strategik. Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jilid Satu. Alih Bahasa Terbitan Pertama Bina Aksara. Jakarta. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu. 2010. Satitistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusatara Pelabuhanratu tahun 2009.
183
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu. 2008. Satitistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusatara Pelabuhanratu tahun 2007. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu. 2008. Laporan Tahunan Tingkat Operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu tahun 2007. Pemerintah Kabupaten Sukabumi. 2006. Profil Perikanan Kabupaten Sukabumi. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sukabumi#Administratif PMB. 2004. Swamitra Mina Sumber Pembiayaan Alternatif Bagi Masyarakat Pesisir, http://www.dkp.go.id/content.php?c=1326 Pomeroy, R.S and M.J. Williams. 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale Fisheries : A Policy Brief. ICLARM, Manila. 15 p. Pomeroy, R.S and F. Berkes. 1997. Two to Tango : The Role of Government if Fisheries Co-Management. Marine Policy, 21(5):465-480 Purba, C. B. 2009. Model Pengembangan Kemitraan Usaha Perikanan Tangkap dengan Lembaga Keuangan di Pesisir Utara Propinsi Jawa Barat. Pascasarjana-IPB. Bogor. 216 hal. Purbayanto. 2008. Potensi dan Permasalahan sumberdaya Kelautan dan Perikanan dalam Kerangka Kerjasama Pengelolaan Teluk Tomini PT. Usaha Mina. 2000. Bersama Nelayan Tradisional Membangun Perikanan. Jakarta. Persero. Rangkuti F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Rifqi M. 2002. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir Kabupaten Padang Pariaman. IPB. Bogor Rossiter, W.W. 1997. Fisheries Conservation Crisis in Indonesia: Massive Destruction of Marine Mammals, Sea Turtles and Fish Reported from Trap Nets In Pelagic Migratory Channels. This information is taken from internet: William Rossiter, President Cetacean Society International and Steve Morris. Ruddle, K., E. Hviding, and R. E. Johannes. 1992. Marine Resource Management In The Context Of Customary Tenure. Marine Resource Economics, (7), pp. 249-273. Saaty, T. L. 1991. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindi. Jakarta.
184
Setiawan, I. 2007. Kinerja Pengembangan Perikanan Tangkap : Suatu Analisis Program Pemberdayaan Nelayan Kecil. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Setiawan, I, Monintja, D.R., Nikijuluw, V.P.H, dan Sondita, M.F.A. 2007. Analisis Ketergantungan Daerah Perikanan sebagai Dasar Pelaksanaan Program Pemberdayaan Nelayan : Studi Kasus di Kabupaten Cirebon dan Indramayu. Buletin PSP Vol. XVI. 2 : 188-200. Siamat D. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan (Edisi III). Universitas Indonesia. Jakarta.
Fakultas Ekonomi
Simbolon, D. 2011. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pendeteksian Beberapa Parameter Oseanografi dalam Pendugaan Daerah Penangkapa Ikan. Buku I New Paradigm in Marine Fisheries. Departemen PSP-FPIK, IPB. Bogor Siswanto. 1990. Sistem Komputer Manajemen LINDO. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta. 242 hal. Suman, A., Rijal, M., dan Subani, W. 1993. Status Perikanan Udang Karang di Perairan Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 81 : 1 -7. Sultana, P. dan Abeyasekera, S. 2008. Effectiveness of Participatory Planning of Community Management of Fisheries in Banglandesh. Journal of Environmental Management. p 201-2013. Soenarno, S. M., Monintja, D. R., Tarumengkeng, R. C., Hubeis, A. V. S. 2007. Analisis Gender Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai Kabupaten Subang, Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XVI. 1 : 105-119. Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap Di Kawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 174 hal. Syarifin, N. 1993. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan (unpublished). Program Pascasarjana IPB Bogor. hal 23. Tomascik, T., A.J. Mah., A. Nontji, and K.M. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas – Part One and Two. The Ecology Journal of Indonesia Series Vol. 8. Peripcus, Singapore (belum diterbitkan) Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009, Perubahan dari Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Wiadnya, D.G.R, R, dkk. 2006. Anaysis Of The Management Of Indonesian Marine Capture Fisheries: Toward development of Marine Protected Areas. TNC. Bali. Indonesia.
185
Widodo, J. dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Widodo, J., Aziz, K. A., Priyono, B. E., Tampubolon, G. H., Naamin, N., Djamali, A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 251 hal Wiyono, E.S. 2004. Optimalisasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
186
Lampiran 1 Penentuan faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan co-management perikanan tangkap Faktor Internal Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Pembinaan nelayan muda di masyarakat Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Penyelesaian konflik antar nelayan Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal
Pengaruh (+) (-)
Keterangan
18
2
S
13
7
S
8
12
W
11
9
S
4
16
W
14
6
S
3
17
W
16
4
S
8
12
W
9
11
W
14
6
S
Keterangan : S = Strength (kekuatan) W = Weakness (kelemahan)
187
Lampiran 2 Penentuan faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman comanagement perikanan tangkap Faktor Eksternal Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Pencemaran lingkungan Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Keterangan : O = Opportunity (peluang) T = Threat (ancaman)
188
Pengaruh (+) (-)
Keterangan
18
2
O
7 6 9 16 13 5 12 8
13 14 11 4 7 15 8 12
T T T O O T O T
16
4
O
Lampiran 3
Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel sumberdaya ikan (SDI) terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap
Faktor Strategi Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat
N
TN
RN
NP
20 20 20
65 48 50
3,3 2,4 2,5
3 2 3
20 20
51 45
2,6 2,3
3 2
20
60
3,0
3
Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan
20
48
2,4
2
20 20 20 20
65 47 46 45
3,3 2,4 2,3 2,3
3 2 2 2
Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT
20 20 20 20 20
54 70 45 60 57
2,7 3,5 2,3 3,0 2,9
3 4 2 3 3
Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
20 20 22 20 20
47 46 62 44 48
2,4 2,3 2,8 2,2 2,4
2 2 3 2 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
189
Lampiran 4
Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel sumberdaya manusia (SDM) terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi
Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
N
TN
RN
NP
20 20 20
66 61 63
3,3 3,1 3,2
3 3 3
20 20
72 72
3,6 3,6
4 4
20
50
2,5
3
20
62
3,1
3
20 20 20 20
56 72 70 45
2,8 3,6 3,5 2,3
3 4 4 2
20 20 20 20
53 45 59 48
2,7 2,3 3,0 2,4
3 2 3 2
20
55
2,8
3
20 20 22 20 20
53 68 52 59 48
2,7 3,4 2,4 3,0 2,4
3 3 2 3 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
190
Lampiran 5
Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel teknologi terhadap internaleksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi N TN RN NP
Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
20 20
61 53
3,1 2,7
3 3
20
57
2,9
3
20 20
57 59
2,9 3,0
3 3
20
57
2,9
3
20
62
3,1
3
20 20 20 20
54 45 65 40
2,7 2,3 3,3 2,0
3 2 3 2
20 20 20 20
53 42 65 43
2,7 2,1 3,3 2,2
3 2 3 2
20
67
3,4
3
20 20 22 20 20
51 65 45 57 45
2,6 3,3 2,0 2,9 2,3
3 3 2 3 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
191
Lampiran 6 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel pasar terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi N TN RN NP Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan local 20 54 2,7 3 Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan 20 45 2,3 2 Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional 20 67 3,4 3 Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan 20 54 2,7 3 Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal 20 48 2,4 2 Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat 20 43 2,2 2 Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan
20
44
2,2
2
20 20 20 20
47 56 58 43
2,4 2,8 2,9 2,2
2 3 3 2
Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT
20 20 20 20 20
74 40 67 56 44
3,7 2,0 3,4 2,8 2,2
4 2 3 3 2
Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
20 20 22 20 20
46 43 48 23 45
2,3 2,2 2,2 1,2 2,3
2 2 2 1 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
192
Lampiran 7
Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel modal terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi N TN RN NP Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal 20 56 2,8 3 Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan 20 75 3,8 4 Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional 20 68 3,4 3 Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan 20 53 2,7 3 Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal 20 67 3,4 3 Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat 20 42 2,1 2 Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan
20
56
2,8
3
20 20 20 20
57 47 67 61
2,9 2,4 3,4 3,1
3 2 3 3
Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT
20 20 20 20 20
65 56 56 56 50
3,3 2,8 2,8 2,8 2,5
3 3 3 3 3
Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
20 20 22 20 20
47 51 56 65 42
2,4 2,6 2,5 3,3 2,1
2 3 3 3 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
193
Lampiran 8
Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel pelabuhan terhadap internaleksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi
N
TN
RN
NP
Ketersediaan SDM perikanan local
20
45
2,3
2
Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan
20
51
2,6
3
Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan
20
45
2,3
2
20
63
3,2
3
Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal
20
48
2,4
2
Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat
20
40
2,0
2
Pembinaan nelayan muda di masyarakat
20
43
2,2
2
Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap
20
46
2,3
2
Penyelesaian konflik antar nelayan
20
65
3,3
3
Tukar informasi fishing ground
20
44
2,2
2
Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan
20
65
3,3
3
Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor
20
51
2,6
3
Intensitas program riset dan konservasi SDI
20
45
2,3
2
Adanya promosi potensi perikanan
20
46
2,3
2
Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar
20
45
2,3
2
Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT
20
47
2,4
2
Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu
20
46
2,3
2
Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis
20
45
2,3
2
Ide pembagian zona pemanfaatan perairan
22
58
2,6
3
Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat
20
25
1,3
1
Pencemaran lingkungan
20
45
2,3
2
Kekuatan :
Kelemahan :
Peluang :
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
194
Lampiran 9 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel transportasi terhadap internaleksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi N TN RN NP Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal 20 45 2,3 2 Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan 20 43 2,2 2 Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional 20 46 2,3 2 Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan 20 72 3,6 4 Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal 20 45 2,3 2 Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat 20 46 2,3 2 Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan
20
47
2,4
2
20 20 20 20
56 23 45 46
2,8 1,2 2,3 2,3
3 1 2 2
Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT
20 20 20 20 20
72 38 45 45 42
3,6 1,9 2,3 2,3 2,1
4 2 2 2 2
Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
20 20 22 20 20
34 45 28 45 34
1,7 2,3 1,3 2,3 1,7
2 2 1 2 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
195
Lampiran 10 Hasil perhitungan nilai pengaruh variabel usaha pendukung terhadap internal-eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap Faktor Strategi N TN RN NP Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal 20 67 3,4 3 Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan 20 56 2,8 3 Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional 20 42 2,1 2 Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan 20 53 2,7 3 Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal 20 42 2,1 2 Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat 20 47 2,4 2 Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan
20
42
2,1
2
20 20 20 20
43 42 22 63
2,2 2,1 1,1 3,2
2 2 1 3
Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT
20 20 20 20 20
56 34 47 45 48
2,8 1,7 2,4 2,3 2,4
3 2 2 2 2
Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan
20 20 22 20 20
56 42 45 52 45
2,8 2,1 2,0 2,6 2,3
3 2 2 3 2
Keterangan : N= jumlah responden, TN = total nilai, RN = rata nilai, dan NP = nilai pengaruh
196
Lampiran 11 Hasil analisis QSPM penentuan pengaruh variabel pengelolaan Faktor Strategi Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan local Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan TNPV
Bobot
SDI NP TNP
SDM NP TNP
Teknologi NP TNP
0,14
3
0,42
3
0,42
3
0,42
0,09
2
0,18
3
0,27
3
0,27
0,12
3
0,36
3
0,36
3
0,36
0,07
3
0,21
4
0,28
3
0,21
0,04
2
0,08
4
0,16
3
0,12
0,1
3
0,3
3
0,30
3 0,285
0,14
2
0,28
3
0,42
3
0,42
0,07 0,11 0,04
3 2 2
0,21 0,22 0,08
3 4 4
0,21 0,44 0,16
3 2 3
0,21 0,22 0,12
0,08
2
0,16
2
0,16
2
0,16
0,18
3
0,54
3
0,54
3
0,54
0,09 0,08
4 2
0,36 0,16
2 3
0,18 0,24
2 3
0,18 0,24
0,10
3
0,3
2
0,20
2
0,2
0,08
3
0,24
3
0,24
3
0,24
0,15
2
0,3
3
0,45
3
0,45
010 0,07
2 3
0,2 0,21
3 2
0,30 0,14
3 2
0,3 0,14
0,05 0,10
2 2
0,1 0,2 5,11
3 2
0,15 0,20 5,82
3 2
0,15 0,2 5,44
Keterangan : NP = nilai pengaruh, TNP = total nilai pengaruh, dan TNPV = total nilai pengaruh variabel
197
Lampiran 11 (lanjutan) Faktor Strategi Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan local Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan TNPV
Bobot
Pasar NP TNP
Modal NP TNP
Pelabuhan NP TNP
0,14
3
0,42
3
0,42
2
0,28
0,09
2
0,18
4
0,36
3
0,27
0,12
3
0,36
3
0,36
2
0,24
0,07
3
0,21
3
0,21
3
0,21
0,04
2
0,08
3
0,12
2
0,08
0,10
2
0,20
2
0,20
2
0,2
0,14
2
0,28
3
0,42
2
0,28
0,07 0,11 0,04
2 3 3
0,14 0,33 0,12
3 2 3
0,21 0,22 0,12
2 3 2
0,14 0,33 0,08
0,08
2
0,16
3
0,24
3
0,24
0,18
4
0,72
3
0,54
3
0,54
0,09 0,08
2 3
0,18 0,24
3 3
0,27 0,24
2 2
0,18 0,16
0,10
3
0,30
3
0,30
2
0,2
0,08
2
0,16
3
0,24
2
0,16
0,15
2
0,30
2
0,30
2
0,3
0,10
2
0,20
3
0,30
2
0,2
0,07
2
0,14
3
0,21
3
0,21
0,05 0,10
1 2
0,05 0,2 4,97
3 2
0,15 0,20 5,63
1 2
0,05 0,2 4,55
Keterangan : NP = nilai pengaruh, TNP = total nilai pengaruh, dan TNPV = total nilai pengaruh variabel
198
Lampiran 11 (lanjutan) Faktor Strategi Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal Kerjasama pemodalan di masyarakat nelayan Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan local Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat Kelemahan : Pembinaan nelayan muda di masyarakat Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap Penyelesaian konflik antar nelayan Tukar informasi fishing ground Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Intensitas program riset dan konservasi SDI Adanya promosi potensi perikanan Trend kerjasama pemodalan dengan pihak luar Bimbingan teknis introduksi teknologi baru dari PT Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga oleh kelompok tertentu Pendampingan dan hibah yang bernuansa politis Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Pengawasan eksternal yang lemah dari aparat Pencemaran lingkungan TNPV
Bobot
Transportasi NP TNP
Usaha Pendukung NP TNP
0,14
2
0,28
3
0,42
0,09
2
0,18
3
0,27
0,12
2
0,24
2
0,24
0,07
4
0,28
3
0,21
0,04
2
0,08
2
0,08
0,10
2
0,20
2
0,20
0,14
2
0,28
2
0,28
0,07 0,11 0,04
3 1 2
0,21 0,11 0,08
2 2 1
0,14 0,22 0,04
0,08
2
0,16
3
0,24
0,18
4
0,72
3
0,54
0,09 0,08
2 2
0,18 0,16
2 2
0,18 0,16
0,10
2
0,20
2
0,20
0,08
2
0,16
2
0,16
0,15
2
0,30
3
0,45
0,10 0,07
2 1
0,20 0,07
2 2
0,20 0,14
0,05 0,10
2 2
0,10 0,20 4,39
3 2
0,15 0,20 4,72
Keterangan : NP = nilai pengaruh, TNP = total nilai pengaruh, dan TNPV = total nilai pengaruh variabel
199
Lampiran 12 Format AHP hierarki pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhanratu
200
Lampiran 13 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek biologi
201
Lampiran 14 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasaran terkait kriteria/aspek biologi
202
Lampiran 15 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek biologi
203
Lampiran 16 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas tata ruang kewilayahan terkait kriteria/aspek biologi
204
Lampiran 17 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek teknologi
205
Lampiran 18 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek teknologi
206
Lampiran 19 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasarana terkait kriteria/aspek teknologi
207
Lampiran 20 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek teknologi
208
Lampiran 21 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas tata ruang kewilayahan terkait kriteria/aspek teknologi
209
Lampiran 22 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek ekonomi
210
Lampiran 23 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah model terkait kriteria/aspek ekonomi
211
Lampiran 24 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasarana terkait kriteria/aspek ekonomi
212
Lampiran 25 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas tata ruang kewilayahan terkait kriteria/aspek ekonomi
213
Lampiran 26 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek sosial dan budaya
214
Lampiran 27 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas sumber dan jumlah modal terkait kriteria/aspek sosial dan budaya
215
Lampiran 28 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas kondisi sarana dan prasarana terkait kriteria/aspek sosial dan budaya
216
Lampiran 29 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait kriteria/aspek sosial dan budaya
217
Lampiran 30 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model comanagement dalam mengakomodir pembatas ketersediaan sumberdaya terkait kriteria/aspek sosial dan budaya
218
Lampiran 31 Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management konsultatif dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap
219
Lampiran 32 Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management informatif dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap
220
Lampiran 33 Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management lainnya dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap
221
Lampiran 34 Perbandingan kontribusi model co-management kooperatif dengan model co-management instruktif dalam mengakomodir empat kriteria/aspek pengelolaan perikanan tangkap
222
Lampiran 35 Perbandingan kontribusi kelima model co-management dalam mengakomodir empat kriteria/aspek biologi dan teknologi (bentuk 2-D plot)
223
Lampiran 36 Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif (terpilih) terhadap intervensi kepentingan pemenuhan kriteria/aspek biologi (RK biologi = 1,00)
224
Lampiran 37 Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif (terpilih) terhadap intervensi kepentingan pemenuhan kriteria/aspek ekonomi (RK ekonomi = 0,971)
225
Lampiran 38 Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif (terpilih) terhadap intervensi kepentingan pemenuhan kriteria/aspek sosial dan budaya (RK sos-bud = 0,00)
226
Lampiran 39 Pembiayaan usaha perikanan payang No. 1
2 2.1
2.2
3
Uraian
Nilai (Rp)
Investasi 1.1 Kapal Payang 1.2 Alat Tangkap Jaring Payang 1.3 Mesin Kapal 1.4 Mesin Lampu 1.5 Kompas 1.6 Radio HT 1.7 Cooler Box (2 buah) 1.8 Jerigen air (4 buah) Jumlah
160.000.000 65.000.000 45.000.000 5.000.000 750.000 1.700.000 1.500.000 200.000 279.150.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Penyusutan Kapal 2.1.2 Penyusutan Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Kompas 2.1.6 Radio HT 2.1.7 Coller Box 2.1.8 Jerigen air Jumlah
20.000.000 10.833.333 5.625.000 625.000 93.750 212.500 187.500 66.667 37.643.750
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.3 Perawatan Alat Tangkap 2.2.2 Perawatan Mesin Jumlah
25.000.000 20.000.000 18.000.000 63.000.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Ransum Jumlah Total Biaya
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500 448.541.250
227
Lampiran 40 Pembiayaan usaha perikanan pancing ulur No. 1
2 2.1
2.2
3
228
Uraian Investasi 1.1 Kapal 1.2 Alat Tangkap PU 1.3 Mesin Kapal 1.4 Peralatan Lampu 1.6 Radio HT 1.7 Cooler box (1 buah) 1.8 Jerigen air (4 buah) Jumlah
Nilai (Rp) 125.000.000 20.000.000 40.000.000 2.000.000 1.700.000 750.000 200.000 189.650.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Peralatan Lampu 2.1.6 Radio HT 2.1.7 Cooler box (1 buah) 2.1.8 Jerigen air Jumlah
15.625.000 10.000.000 5.000.000 250.000 212.500 93.750 66.667 31.247.917
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
15.000.000 9.500.000 12.000.000 36.500.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Umpan 3.8 Ransum Jumlah Total Biaya
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000 252.855.917
Lampiran 41 Pembiayaan usaha perikanan jaring rampus No. 1
2 2.1
2.2
3
Uraian Investasi 1.1 Kapal 1.2 Alat Tangkap JR 1.3 Mesin Kapal 1.4 Mesin Lampu 1.5 Kompas 1.6 Cooler box (2 buah) 1.7 Jerigen air (4 buah) Jumlah
Nilai (Rp) 175.000.000 70.000.000 50.000.000 5.000.000 750.000 1.500.000 200.000 302.450.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Kompas 2.1.6 Cooler box (2 buah) 2.1.7 Jerigen air Jumlah
21.875.000 11.666.667 6.250.000 625.000 93.750 187.500 66.667 40.764.583
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
35.000.000 22.000.000 25.000.000 82.000.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Ransum Jumlah Total Biaya
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500 225.028.083
229
Lampiran 42 Pembiayaan usaha perikanan bagan apung No. 1
2 2.1
2.2
3
230
Uraian Investasi 1.1 Bagan (Rangka & Rumah) 1.2 Alat Tangkap Jaring 1.3 Drum Pelampung 1.4 Mesin Lampu 1.5 Kompas 1.6 Cooler box/Bak Fiber 1.7 Jerigen Air (32 buah) Jumlah
Nilai (Rp) 70.000.000 20.000.000 15.000.000 8.000.000 750.000 8.000.000 1.600.000 123.350.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap 2.1.3 Drum Pelampung 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Kompas 2.1.6 Cooler box/Bak Fiber 2.1.7 Jerigen air Jumlah
8.750.000 4.000.000 3.000.000 1.000.000 93.750 1.000.000 533.333 18.377.083
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Bagan & Pelampung 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin lampu Jumlah
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Ransum Jumlah Total Biaya
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750 180.050.833
Lampiran 43 Pembiayaan usaha perikanan trammel net No. 1
2 2.1
2.2
3
Uraian Investasi 1.1 Kapal 1.2 Alat Tangkap Tramel Net 1.3 Mesin Kapal 1.4 Mesin Lampu 1.5 Echosounder 1.6 Kompas 1.7 Cooler box (1 buah) 1.8 Jerigen air (4 buah) Jumlah
Nilai (Rp) 75.000.000 30.000.000 25.500.000 5.000.000 4.500.000 750.000 750.000 200.000 141.700.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Penyusutan Kapal 2.1.2 Penyusutan Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Echosounder 2.1.6 Kompas 2.1.7 Cooler box 2.1.8 Jerigen air Jumlah
9.375.000 6.000.000 3.187.500 625.000 562.500 93.750 93.750 66.667 20.004.167
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
20.000.000 17.000.000 12.000.000 49.000.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Ransum Jumlah Total Biaya
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750 340.387.917
231
Lampiran 44 Pembiayaan usaha perikanan purse seine No. 1
2 2.1
2.2
3
232
Uraian
Nilai (Rp)
Investasi 1.1 Kapal Purse Seine 1.2 Alat Tangkap Jaring 1.3 Mesin Kapal 1.4 Mesin Lampu 1.5 Echosounder 1.6 Roller 1.7 Kompas 1.8 Cooler box/bak fiber 1.9 Jerigen air (20 buah) 1.10 Pelampung Permanen Jumlah
500.000.000 185.000.000 90.000.000 20.000.000 4.500.000 10.000.000 750.000 8.000.000 1.000.000 2.500.000 821.750.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Penyusutan Kapal 2.1.2 Penyusutan Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Induk 2.1.4 Mesin Lampu 450 Watt 2.1.5 Echosounder 2.1.6 Roller 2.1.7 Kompas 2.1.8 Cooler box/bak fiber 2.1.9 Jerigen air 2.1.10 Pelampung Permanen Jumlah
62.500.000 30.833.333 11.250.000 2.500.000 562.500 1.250.000 93,750 1.000.000 333.333 833.333 111.156.250
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
75.000.000 65.500.000 70.000.000 210.500.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Ransum Jumlah Total Biaya
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000 617.756.250
Lampiran 45 Pembiayaan usaha perikanan gillnet No. 1
2 2.1
2.2
3
Uraian Investasi 1.1 Kapal 1.2 Alat Tangkap Jaring 1.3 Mesin Kapal 1.4 Mesin Lampu 1.5 Kompas 1.6 Radio HT 1.7 Cooler Box (3 buah) 1.8 Jerigen air (20 buah) Jumlah Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Kompas 2.1.6 Radio HT 2.1.7 Cooler Box (2 buah) 2.1.8 Jerigen air Jumlah
Nilai (Rp) 250.000.000 150.000.000 65.000.000 10.000.000 750.000 1.700.000 2.250.000 1.000.000 480.700.000
31.250.000 25.000.000 8.125.000 1.250.000 93.750 212.500 281.250 333.333 66.545.833
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
50.000.000 40.000.000 25.000.000 115.000.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Ransum Jumlah Total Biaya
10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000 492.435.833
233
Lampiran 46 Pembiayaan usaha perikanan pancing tonda No. 1
2 2.1
2.2
3
234
Uraian Investasi 1.1 Kapal 1.2 Alat Tangkap pancing Tonda 1.3 Mesin Kapal 1.4 Radio HT 1.5 Cooler box (2 buah) 1.6 Jerigen air (4 buah) Jumlah
Nilai (Rp) 240.000.000 45.000.000 60.000.000 1.700.000 1.500.000 100.000 348.300.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Radio HT 2.1.5 Cooler box 2.1.6 Jerigen air Jumlah
30.000.000 22.500.000 7.500.000 212.500 187.500 33.333 60.433.333
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
35.000.000 18.500.000 24.000.000 77.500.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.6 Umpan 3.87 Ransum Jumlah Total Biaya
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000 641.993.333
Lampiran 47 Pembiayaan usaha perikanan longline No. 1
2 2.1
2.2
3
Uraian Investasi 1.1 Kapal 1.2 Alat Tangkap Longline 1.3 Mesin Kapal 1.4 Mesin Lampu 1.5 Echosounder 1.6 Roller 1.7 Kompas 1.8 Radio HT 1.8 Cooler box/bak fiber 1.9 Tangki/tong air (4 buah) 1.10 Tangki BBM Jumlah
Nilai (Rp) 1.000.000.000 150.000.000 250.000,.000 50.000.000 4.500.000 20.000.000 750.000 1.700.000 20.000.000 10.000.000 5.000.000 1.511.950.000
Biaya Tetap Biaya Penyusutan 2.1.1 Penyusutan Kapal 2.1.2 Penyusutan Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Echosounder 2.1.6 Roller 2.1.7 Kompas 2.1.8 Radio HT 2.1.8 Cooler box/bak fiber 2.1.9 Tangki/tong air 2.1.10 Tangki BBM Jumlah
125.000.000 50.000.000 31.250.000 6.250.000 562.500 2.500.000 93.750 212.500 2.500.000 2.000.000 1.000.000 221.368.750
Biaya Perawatan 2.2.1 Perawatan Kapal 2.2.2 Perawatan Alat Tangkap 2.2.3 Perawatan Mesin Jumlah
225.000.000 35.500.000 90.000.000 350.500.000
Biaya Tidak Tetap 3.1 Minyak Tanah 3.2 Bensin 3.3 Solar 3.4 Oli 3.5 Es Balok 3.6 Air Tawar 3.7 Umpan 3.8 Ransum Jumlah Total Biaya
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000 700.800.000 1.272.668.750
235
Lampiran 48 Penerimaan usaha perikanan payang
Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Musim Sedang
Harga (Rp) 20.000
20 287 114.800.000
Trip
Puncak
Harga (Rp) 17.000
65 501 553.605.000
Trip
Harga (Rp) 15.000
70 712 747.600.000
1.416.005.000
Lampiran 49 Penerimaan usaha perikanan pancing ulur
Penerimaan Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
236
Musim Sedang
Paceklik
17 180 61.200.000 628.440.000
Harga (Rp) 20.000
Trip 45 316 241.740.000
Puncak
Harga (Rp) 17.000
Trip 50 434 325.500.000
Harga (Rp) 15.000
Lampiran 50 Penerimaan usaha perikanan jaring rampus
Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Musim Sedang
Harga (Rp)
5 545 54.500.000
20.000
Trip 24 885 361.080.000
Puncak
Harga (Rp) 17.000
Trip
Harga (Rp)
24 1.210 435.600.000
15.000
851.180.000
Lampiran 51 Penerimaan usaha perikanan bagan apung
Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Musim Sedang
3 650 39.000.000
Harga (Rp) 20.000
Trip
Harga (Rp) 10 17.000 938 159.460.000
Puncak Trip 10 1.412 211.800.000
Harga (Rp) 15.000
410.260.000
237
Lampiran 52 Penerimaan usaha perikanan trammel net
Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Musim Sedang
20 87 34.800.000
Harga (Rp) 20.000
Trip 70 122 145.180.000
Puncak
Harga (Rp) 17.000
Trip 75 220 247.500.000
Harga (Rp) 15.000
427.480.000
Lampiran 53 Penerimaan usaha perikanan purse seine
Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
238
Musim Sedang
5 1.596 159.600.000 2.720.010.000
Harga (Rp) 20.000
Trip 15 4.230 1.078.650.000
Harga (Rp) 17.000
Puncak Trip 16 6.174 1.481.760.000
Harga (Rp) 15.000
Lampiran 54 Penerimaan usaha perikanan gillnet Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Musim Sedang (Agustus-Desember)
Harga (Rp)
6 1.019 122.280.000
20.000
Trip
Harga (Rp)
17 2.043 590.427.000
17.000
Puncak Trip
Harga (Rp)
20 2.638 791.400.000
15.000
1.504.107.000
Lampiran 55 Penerimaan usaha perikanan pancing tonda Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Musim Sedang
20 475 190.000.000
Harga (Rp) 20.000
Trip 50 725 616.250.000
Puncak
Harga (Rp) 17.000
Trip 50 1.059 794.250.000
Harga (Rp) 15.000
1.600.500.000
239
Lampiran 56 Penerimaan usaha perikanan longline
Penerimaan
Paceklik Trip
Total berat (kg) Penerimaan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
240
Musim Sedang
1 30.374,00 607.480.000 9.716.820.000
Harga (Rp) 20.000
Trip 5 45.200,00 3.842.000.000
Puncak Harga (Rp) 17.000
Trip 6 58.526 5.267.340.000
Harga (Rp) 15.000
Lampiran 57 Hasil analisis kelayakan usaha payang Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Payang 2.1.2 Alat Tangkap Payang 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.6 Kompas 2.1.7 Radio HT 2.1.8 Cooler box (2 buah) 2.1.9 Jerigen air Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah
0
1
0 0
2
1.416.005.000 1.416.005.000
Tahun Operasi 4
3
1.416.005.000 1.416.005.000
1.416.005.000 1.416.005.000
5
1.416.005.000 1.416.005.000
6
1.416.005.000 1.416.005.000
1.416.005.000 1.416.005.000
7
8
1.416.005.000
1.416.005.000
1.416.005.000
1.416.005.000
160.000.000 65.000.000 45.000.000 5.000.000 750.000 1.700.000 1.500.000 200.000 279.150.000
65.000.000
0
0
200.000 200.000
0
0
200.000 65.200.000
0
0
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
3.720.000 4.185.000 251.100.000 1.937.500 43.400.000 930.000 42.625.000 347.897.500
42.625.000 347.897.500
2.3 Biaya perawatan
241
2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
242
25.000.000
25.000.000
25.000.000
25.000.000
25.000.000
25.000.000
25.000.000
25.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
20.000.000 18.000.000 63.000.000
279.150.000
410.897.500
410.897.500
411.097.500
410.897.500
410.897.500
476.097.500
410.897.500
410.897.500
-279.150.000
1.005.107.500
1.005.107.500
1.004.907.500
1.005.107.500
1.005.107.500
939.907.500
1.005.107.500
1.005.107.500
502.553.750
502.553.750
502.553.750
502.553.750
502.553.750
469.953.750
502.553.750
502.553.750
279.150.000
913.451.250
913.451.250
913.451.250
913.451.250
913.451.250
946.051.250
913.451.250
913.451.250
-279.150.000
502.553.750 3.708.580.000 0,94
502.553.750
502.453.750
502.553.750
502.553.750
469.953.750
502.553.750
502.553.750
0,89
0,83
0,78
0,74
0,70
0,65
0,62
1.332.710.588 859.718.823 472.991.765 2.788.217.521 163,47 % 31,19 1,47
1.254.315.848 809.147.128 445.168.720
1.180.532.563 761.633.609 418.898.954
1.111.089.471 716.753.165 394.336.305
1.045.731.2676 674.591.214 371.140.052
984.217.663 657.568.547 326.649.116
926.322.506 597.561.768 328.760.738
871.832.947 562.411.076 309.421.871
1 0 279.150.000 -279.150.000
Lampiran 58 Hasil analisis kelayakan usaha pancing ulur Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap PU 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Peralatan Lampu 2.1.5 Radio HT 2.1.6 Cooler Box (1 buah) 2.1.7 Jerigen air (4 buah) Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Umpan 2.2.8 Ransum Sub-Jumlah
0
1
0 0
2
628.440.000 628.440.000
125.000.000 20.000.000 40.000.000 2.000.000 1.700.000
628.440.000 628.440.000
3
628.440.000 628.440.000
20.000.000
Tahun Operasi 4
628.440.000 628.440.000
5
6
628.440.000 628.440.000
20.000.000
628.440.000 628.440.000
7
8
628.440.000
628.440.000
628.440.000
628.440.000
20.000.000
20.000.000
750.000 200.000 189.650.000
0
20.000.000
200.000 200.000
20.000.000
0
200.000 20.200.000
0
20.000.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.688.000 2.520.000 126.000.000 700.000 25.088.000 672.000 13.440.000 14.000.000 185.108.000
2.3 Biaya perawatan
243
2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
244
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
15.000.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
9.500.000 12.000.000 36.500.000
189.650.000
221.608.000
241.608.000
221.808.000
241.608.000
221.608.000
241.808.000
221.608.000
241.608.000
-189.650.000
406.832.000
386.832.000
406.632.000
386.832.000
406.832.000
386.832.000
406.832.000
386.832.000
203.416.000
193.416.000
203.316.000
193.416.000
203.416.000
193.316.000
203.416.000
193.416.000
189.650.000
425.024.000
425.024.000
425.124.000
435.024.000
425.024.000
435.124.000
425.024.000
435.024.000
-189.650.000
203.416.000 1.397.478.000 1
193.416.000
203.316.000
193.416.000
203.416.000
193.316.000
203.416.000
193.416.000
1
1
1
1
1
1
1
591.472.941 400.022.588 191.450.353 1.031.152.047 93,12 % 20,38 1,36
556.680.415 385.349.979 171.330.436
523.934.508 354.428.639 169.505.869
493.114.831 341.348.078 151.766.753
464.108.077 313.883.698 150.224.379
436.807.602 302.440.123 134.367.479
411.113.037 278.042.307 133.070.730
386.929.917 267.843.868 119.086.049
1 0 189.650.000 -189.650.000
Lampiran 59 Hasil analisis kelayakan usaha jaring rampus Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Jaring Rampus 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Kompas 2.1.6 Cooler box (2 buah) 2.1.7 Jerigen air Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
0
1 0 0
2
851.180.000 851.180.000
3
851.180.000 851.180.000
851.180.000 851.180.000
Tahun Operasi 4
5
851.180.000 851.180.000
6
851.180.000 851.180.000
175.000.000 70.000.000 50.000.000 5.000.000 750.000 1.500.000 200.000 302.450.000
851.180.000 851.180.000
7
8
851.180.000
851.180.000
851.180.000
851.180.000
70.000.000
0
0
200.000 200.000
0
0
200.000 70.200.000
0
0
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
1.272.000 1.431.000 71.550.000 662.500 11.130.000 318.000 15.900.000 102.263.500
35.000.000
35.000.000
35.000.000
35.000.000
35.000.000
35.000.000
35.000.000
35.000.000
22.000.000
22.000.000
22.000.000
22.000.000
22.000.000
22.000.000
22.000.000
22.000.000
245
2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
246
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
25.000.000 82.000.000
302.450.000
184.263.500
184.263.500
184.263.500
184.263.500
184.263.500
254.463.500
184.263.500
184.263.500
302.450.000
666.916.500
666.916.500
666.716.500
666.916.500
666.916.500
596.716.500
666.916.500
666.916.500
333.458.250
333.458.250
333.358.250
333.458.250
333.458.250
298.358.250
333.458.250
333.458.250
302.450.000
517.721.750
517.721.750
517.821.750
517.721.750
517.721.750
552.821.750
517.721.750
517.721.750
-302.450.000
333.458.250 2.330.016.000 0,94
333.458.250
333.458.250
333.458.250
333.458.250
333.458.250
333.458.250
333.458.250
0,89
0,83
0,78
0,74
0,70
0,65
0,62
801.110.588 487.267.529 313.843.058 1.723.442.890 97,46% 17,30 1,49
753.986.436 458.604.734 295.381.702
709.634.293 431,711.356 277.922.937
667.891.099 406.238.104 261.652.995
628.603.387 382.341.745 246.261.643
591.626.718 384.247.888 207.378.830
556.825.145 338.683.344 218.141.801
524.070.725 318.760.795 205.309.930
1 0 302.450.000 302.450.000
Lampiran 60 Hasil analisis kelayakan usaha bagan apung Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0
1 0 0
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Bagan (Rangka & 70.000.000 Rumah) 2.1.2 Alat Tangkap Jaring 20.000.000 2.1.3 Drum Pelampung 15.000.000 2.1.4 Mesin Lampu 8.000.000 2.1.5 Kompas 750.000 2.1.6 Cooler Box/Bak Fiber 8.000.000 2.1.7 Jerigen Air (32 buah) 1.600.000 Sub-Jumlah 123.350.000 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum 123.350.000 Biaya ABK Keuntungan Tahunan -123.350.000 Sebelum Biaya ABK
2
410.260.000 410.260.000
3
410.260.000 410.260.000
410.260.000 410.260.000
Tahun Operasi 4 410.260.000 410.260.000
5 410.260.000 410.260.000
6 410.260.000 410.260.000
7
8
410.260.000
410.260.000
410.260.000
410.260.000
20.000.000 15.000.000
0
0
1.600.000 1.600.000
0
35,000,000.00
1.600.000 1.600.000
0
0
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
3.312.000 49.680.000 414.000 143.750 51.520.000 1.104.000 23.000.000 129.173.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 161.673.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 161.673.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 163.273.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 161.673.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 196.673.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 163.273.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 161.673.750
18.000.000 12.500.000 2.000.000 32.500.000 161.673.750
248.586.250
248.586.250
246.986.250
248.586.250
213.586.250
246.986.250
248.586.250
248.586.250
247
Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
248
124.293.125
124.293.125
124.293.125
124.293.125
106.793.125
123.493.125
124.293.125
124.293.125
123.350.000
285.966.875
285.966.875
286.766.875
285.966.875
303.466.875
286.766.875
285.966.875
285.966.875
-123.350.000
124.293.125 851,895,000.00 0,94
124.293.125
123.493.125
124.293.125
106.793.125
123.493.125
124.293.125
124.293.125
0,89
0,83
0,78
0,74
0,70
0,65
0,62
386.127.059 269.145.294 116.981.765 626.758.526 88,08 % 20,45 1,33
363.413.702 253.313.218 110.100.484
342.036.426 239.079.406 102.957.020
321.916.636 224.388.179 97.528.457
302.980.363 224.112.768 78.867.596
285.157.989 199.322.053 85.835.936
268.383.990 187.073.882 81.310.108
252.596.696 176.069.536 76.527.160
1 0 123.350.000 -123.350.000
Lampiran 61 Hasil analisis kelayakan usaha trammel net Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Jaring Tramel Net 2.1.3 Mesin Induk 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Echosounder 2.1.6 Kompas 2.1.7 Cooler Box 2.1.8 Jerigen Air Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
0
1 0 0
75.000.000 30.000.000 25.500.000 5.000.000 4.500.000 750.000 750.000 200.000 141.700.000
2
427.480.000 427.480.000
3
427.480.000 427.480.000
427.480.000 427.480.000
Tahun Operasi 4
5
427.480.000 427.480.000
427.480.000 427.480.000
6 427.480.000 427.480.000
7
8
427.480.000
427.480.000
427.480.000
427.480.000
30.000.000
0
0
200.000 200.000
0
30.000.000
200.000 200.000
0
0
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
3.960.000 2.227.500 163.350.000 1.031.250 46.200.000 990.000 53.625.000 271.383.750
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
17.000.000
17.000.000
17.000.000
17.000.000
17.000.000
17.000.000
17.000.000
17.000.000
249
2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
250
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
12.000.000 49.000.000
141.700.000
320.383.750
320.383.750
320.383.750
320.383.750
320.383.750
320.383.750
320.383.750
320.383.750
-141.700.000
107.096.250
107.096.250
107.096.250
107.096.250
107.096.250
107.096.250
107.096.250
107.096.250
53.548.125
53.548.125
53.448.125
53.548.125
38.548.125
53.448.125
53.548.125
53.548.125
141.700.000
373.931.875
373.931.875
374.031.875
373.931.875
388.931.875
374.031.875
373.931.875
373.931.875
-141.700.000
53.548.125 271.485.000 1
53.548.125
53.448.125
53.548.125
38.548.125
53.448.125
53.548.125
53.548.125
1
1
1
1
1
1
1
402.334.118 351.935.882 50.398.235 176.327.017 25,27 % 18,55 1,07
378,667,405 331.233.772 47.433.633
356,392,853 311.832.803 44.560.049
335,428,566 293.411.230 42.017.336
315,697,474 287.229.369 28.468.105
297,127,034 259.977.032 37.150.002
279,648,974 244.618.848 35.030.126
263,199,034 230.229.504 32.969.530
1 0 141.700.000 -141.700.000
Lampiran 62 Hasil analisis kelayakan usaha purse seine Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Purse Seine 2.1.2 Jaring 2.1.3 Mesin Induk 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Echosounder 2.1.6 Roller 2.1.7 Kompas 2.1.8 Cooler Box/Fiber 2.1.9 Jerigen air 2.1.10 Pelampung Permanen Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan
0
1
0 0
2
2.720.010.000 2.720.010.000
3
2.720.010.000 2.720.010.000
500.000.000 185.000.000 90.000.000 20.000.000 4.500.000 10.000.000 750.000 8.000.000 1.000.000 2.500.000 821.750.000
2.720.010.000 2.720.010.000
Tahun Proyek 4
5
2.720.010.000 2.720.010.000
6
2.720.010.000 2.720.010.000
2.720.010.000 2.720.010.000
7
8
2.720.010.000
2.720.010.000
2.720.010.000
2.720.010.000
185.000.000
1.000.000
1.000.000
0
0
1.000.000
0
0
186.000.000
0
0
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
17.280.000 19.440.000 162.000.000 2.700.000 50.400.000 1.080.000 43.200.000 296.100.000
251
2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK 821.750.000 Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK -821.750.000.00 Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK 821.750.000 Keuntungan Tahunan Pemilik -821.750.000 Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 1 6,25% PB 0 PC 821.750.000 PV -821.750.000 NPV IRR ROI B/C
252
75.000.000
75.000.000
75.000.000
75.000.000
75.000.000
75.000.000
75.000.000
75.000.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
65.500.000 70.000.000 210.500.000
506.600.000
506.600.000
507.600.000
506.600.000
506.600.000
692.600.000
506.600.000
506.600.000
2.213.410.000
2.213.410.000
2.213.410.000
2.213.410.000
2.213.410.000
2.027.410.000
2.213.410.000
2.213.410.000
1.106.705.000
1.106.705.000
1.106.205.000
1.106.705.000
1.106.705.000
1.013.705.000
1.106.705.000
1.106.705.000
1.613.305.000
1.613.305.000
1.613.305.000
1.613.305.000
1.613.305.000
1.706.305.000
1.613.305.000
1.613.305.000
1.106.705.000 7.938.390.000 1
1.106.705.000
1.106.205.000
1.106.705.000
1.106.705.000
1.013.705.000
1.106.705.000
1.106.705.000
1
1
1
1
1
1
1
2.560.009.412 1.518.404.706 1.041.604.706 5.918.116.318 120,64% 20,35 1,55
2.409.420.623 1.429.086.782 980.333.841
2.267.689.998 1.345.439.707 922.250.291
2.134.296.469 1.265.903.862 868.392.606
2.008.749.618 1.191.438.929 817.310.688
1.890.587.875 1.185.995.472 704.592.403
1.779.376.824 1.055.392.269 723.984.554
1.674.707.599 993.310.371 681,397,228
Lampiran 63 Hasil analisis kelayakan usaha gillnet Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap Jaring 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Kompas 2.1.6 Radio HT 2.1.7 Cooler Box (3 buah) 2.1.8 Jerigen air (20 buah) Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah
0
0. 0
1
2
1.504.107.000 1.504.107.000
3
1.504.107.000 1.504.107.000
1.504.107.000 1.504.107.000
Tahun Operasi 4
5
1.504.107.000 1.504.107.000
6
1.504.107.000 1.504.107.000
1.504.107.000 1.504.107.000
7
8
1.504.107.000
1.504.107.000
1.504.107.000
1.504.107.000
250.000.000 150.000.000 65.000.000 10.000.000 750.000 1.700.000
150.000.000
2.250.000 1.000.000 480.700.000
0 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
0 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
1.000.000 1.000.000 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
0 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
0 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
1.000.000 151.000.000 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
0 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
0 10.320.000 11.610.000 185.760.000 2.150.000 48.160.000 1.290.000 51.600.000 310.890.000
2.3 Biaya perawatan
253
2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
254
50.000.000
50.000.000
50.000.000
50.000.000
40.000.000 25.000.000 115.000.000
40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
480.700.000
425.890.000
425.890.000
426.890.000
-480.700.000
1.078.217.000
1.078.217.000
539.108.500 480.700.000
964.998.500
-480.700.000
539.108.500 3.756.168.000 0,94
539.108.500
538.608.500
539.108.500
0,89
0,83
1.415.630.118 908.233.882 507.396.235 2.781.284,082 99,21 % 19,24 1,43
1.332.357.758 854.808.360 477.549.398
1.253.983.772 804.942.368 449.041.404
1. 0 480.700.000 -480.700.000
50.000.000
40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
425.890.000
425.890.000
1.078.217.000
1.078.217.000
1.078.217.000
539.108.500
539.108.500
539.108.500
539.108.500
964.998.500
964.998.500
964.998.500
964.998.500
50.000.000 40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
50.000.000
50.000.000
40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
40.000.000 25.000.000 115,000,000.00
576.890.000
425.890.000
425.890.000
927.217.000
1.078.217.000
1.078.217.000
539.108.500
539.108.500
539.108.500
1.040.498.500
964.998.500
964.998.500
539.108.500
463.608.500
539.108.500
539.108.500
0,78
0,74
0,70
0,65
0,62
1.180.220.021 757.200.485 423.019,536
1.110.795.314 712.659.280 398.136.034
1.045.454.413 723.215.668 322.238,746
983.957.094 631.282.961 352.674.134
926.077.265 594.148.669 331.928.596
Lampiran 64 Hasil analisis kelayakan usaha pancing tonda Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap Pancing Tonda 2.1.3 Mesin Induk 2.1.4 Radio HT 2.1.5 Cooler Box (2 buah) 2.1.6 Jerigen air (4 buah) Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Umpan 2.2.8 Ransum Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin
0
1 0 0.
2
1.600.500.000 1.600.500.000
Tahun Operasi 4
3
1.600.500.000
1.600.500.000 -
1.600.500.000
1.600.500.000 -
1.600.500.000
5
6
1.600.500.000
1.600.500.000
1.600.500.000
7
8
1.600.500.000
1.600.500.000
1.600.500.000
1.600.500.000
1.600.500.000
1.600.500.000
240.000.000 45.000.000 60.000.000 1.700.000 1.500.000 100.000 348.300.000
45.000.000
45.000.000
45.000.000
45.000.000
0
45.000.000
100.000 100.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
45.000.000
0
100.000 45.100.000
0
45.000.000 8.640.000 16.200.000 324.000.000 4.500.000 84.000.000 720.000 30.000.000 36.000.000 504.060.000
35.000.000 18.500.000 24.000.000
255
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
256
77.500.000
77.500.000
77.500.000
77.500.000
77.500.000
77.500.000
77.500.000
77.500.000
348.300.000
581.560.000
626.560.000
581.660.000
626.560.000
581.560.000
626.560.000
581.560.000
626.560.000
-348.300.000
1.018.940.000
973.940.000
1.018.840.000
973.940.000
1.018.940.000
973.840.000
1.018.940.000
973.940.000
509.470.000
486.970.000
509.420.000
486.970.000
509.470.000
486.920.000
509.470.000
486.970.000
348.300.000
1.091.030.000
1.113.530.000
1.091.080.000
1.113.530.000
1.091.030.000
1.113.580.000
1.091.030.000
1.113.530.000
-348.300.000
509.470.000 3.637.360.000 0,94
486.970.000
509.420.000
486.970.000
509.470.000
486.920.000
509.470.000
486.970.000
0,89
0,83
0,78
0,74
0,70
0,65
0,62
1.506.352.941 1.026.851.765 479.501.176 2.717.182.381 129,91 % 28,25 1,38
1.417.743.945 986.379.516 431.364.429
1.334.347.242 909.640.480 424.706.762
1.255.856.228 873.747.944 382.108.283
1.181.982.332 805.734.573 376.247.759
1.112.453.959 774.012.171 338.441.788
1.047.015.491 713.730.279 333.285.212
985.426.345 685.599.374 299.826.971
1. 0 348.300.000 -348.300.000
Lampiran 65 Hasil analisis kelayakan usaha longline Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap Longline 2.1.3 Mesin Kapal 2.1.4 Mesin Lampu 2.1.5 Echosounder 2.1.6 Roller 2.1.7 Kompas 2.1.8 Radio HT 2.1.8 Cooler Box/Bak Fiber 2.1.9 Tangki/Tong Air 2.1.10 Tangki BBM Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin 2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok 2.2.6 Air tawar 2.2.7 Umpan 2.2.8 Ransum
0
1 0 0
2
9.716.820.000 9.716.820.000
3
9.716.820.000 9.716.820.000
9.716.820.000 9.716.820.000
Tahun Operasi 4
5
9.716.820.000 9.716.820.000
9.716.820.000 9.716.820.000
6 9.716.820.000 9.716.820.000
7
8
9.716.820.000
9.716.820.000
9.716.820.000
9.716.820.000
1.000.000.000 150.000.000 250.000.000 50.000.000 4.500.000 2.000.0000 750.000 1.700.000 20.000.000 10.000.000 5.000.000 1.511.950.000
150.000.000
150.000.000
0
0
150.000.000
0
10.000.000 5.000.000 15.000.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
150.000.000
0
0
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
10.800.000 13.500.000 405.000.000 7.500.000 105.000.000 4.500.000 42.000.000 112.500.000
257
Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6,25%) 6,25% PB PC PV NPV IRR ROI B/C
258
700.800.000
700.800.000
700.800.000
700.800.000
700.800.000
700.800.000
700.800.000
700.800.000
225.000.000
225.000.000
225.000.000
225.000.000
225.000.000
225.000.000
225.000.000
225.000.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
65.500.000 70.000.000 360.500.000
1.511.950.000
1.061.300.000
1.061.300.000
1.211.300.000
1.061.300.000
1.076.300.000
1.211.300.000
1.061.300.000
1.061.300.000
-1.511.950.000
8.655.520.000
8.655.520.000
8.655.520.000
8.655.520.000
8.655.520.000
8.655.520.000
8.655.520.000
8.655.520.000
4.327.760.000
4.327.760.000
4.252.760.000
4.327.760.000
4.320.260.000
4.252.760.000
4.327.760.000
4.327.760.000
1.511.950.000
5.389.060.000
5.389.060.000
5.464.060.000
5.389.060.000
5.396.560.000
5.464.060.000
5.389.060.000
5.389.060.000
-1.511.950.000
4.327.760.000 32.952.630.000 0,94
4.327.760.000
4252760000.00
4.327.760.000
4.320.260.000
4.252.760.000
4.327.760.000
4.327.760.000
0,89
0,83
0,78
0,74
0,70
0,65
0,62
9.145.242.353 0 0 20.905.263.140 112,48% 39,52 2.01
8.607.286.920 4.773.700.208 3.833.586.713
8.100.975.925 4.555.422.300 3.545.553.625
7.624.447.929 4.228.606.412 3.395.841.517
7.175.950.992 3.985.403.670 3.190.547.322
6.753.836.228 3.797.885.150 2.955.951.078
6.356.551.744 3.525.416.622 2.831.135.122
5.982.636.936 3.318.039.174 2.664.597.762
1 0 1.511.950.000 -1.511.950.000
Lampiran 66 Nilai peubah dan sisi kanan untuk formula LGP
Variabel
Payang Gillnet
Pancing Longline Tonda 72.000 90.000
SK
1. BBM (Solar)(lt/thn)
55.800
41.280
13.140.000
2. Es Balok (Balok/th))
3.100
3.440
6.000
7.500
876.000
1.416
1.504
1.601
9.717
10.119.271
0
0
30
42
1.746
5. Pendapatan Kotor (Rp000000/thn) 3. Penggunaan Umpan (Rp000000/thn)
365.000.00 4. Air Tawar(ltr/thn) 6. Kolam pelabuhan dalam (m2)
21.700
30.100
16.800
105.000
0
300
6.000
259
Lampiran 67 Hasil analisis LGP penentuan alokasi usaha perikanan tangkap potensial Analisis LGP tahap I Min DA1+DA2+DA3+DB4+DA5 ST DA1+55800X1+41280X2+72000X3+90000X4 <=13140000 DA3+30X3+42X4 <= 1746 DA5+300X4 <= 6000
LP OPTIMUM FOUND AT STEP
0
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
0.0000000E+00
VARIABLE DA1 DA2 DA3 DB4 DA5 X1 X2 X3 X4
ROW 2) 3) 4)
VALUE 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 222.034882 30.200001 20.000000
REDUCED COST 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
NO. ITERATIONS=
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE COEF DA1 DA2 DA3 DB4 DA5
260
OBJ COEFFICIENT RANGES CURRENT ALLOWABLE INCREASE 1.000000 INFINITY 1.000000 INFINITY 1.000000 INFINITY 1.000000 INFINITY 1.000000 INFINITY
ALLOWABLE DECREASE 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000
X1 X2 X3 X4
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
INFINITY 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 INFINITY
RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 2 13140000.000000 INFINITY 9165600.000000 3 1746.000000 3818.999756 906.000000 4 6000.000000 6471.429199 6000.000000
ROW
Analisis LGP tahap II Min DA1+DA2+DA3+DB4+DA5 ST 55800X1+41280X2+72000X3+90000X4 =13140000 30X3+42X4 = 1746 300X4 = 6000 DA2+3100X1+3440X2+6000X3+7500X4 <= 876000 DB4+1416X1+1504X2+1601X3+9717X4 >= 10119271
LP OPTIMUM FOUND AT STEP
2
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
9629820.
VARIABLE VALUE REDUCED COST DA1 0.000000 1.000000 DA2 0.000000 1.398080 DA3 0.000000 1.000000 DB4 9629820.000000 0.000000 DA5 0.000000 1.000000 X1 141.290329 0.000000 X2 31.046511 0.000000 X3 30.200001 0.000000 X4 20.000000 0.000000
ROW 2) 3) 4) 5) 6)
SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 0.000000 0.003261 0.000000 -34.075195 0.000000 26.230295 0.000000 0.398080
0.000000
-1.000000
261
NO. ITERATIONS=
2
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE DA1 1.000000 INFINITY 1.000000 DA2 1.000000 INFINITY 1.398080 DA3 1.000000 INFINITY 1.000000 DB4 1.000000 INFINITY 1.000000 DA5 1.000000 INFINITY 1.000000 X1 0.000000 INFINITY 617.023193 X2 0.000000 456.464508 INFINITY X3 0.000000 INFINITY INFINITY X4 0.000000 INFINITY INFINITY RIGHTHAND SIDE RANGES CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 2 13140000.000000 640800.000000 2628000.250000 3 1746.000000 533.999939 906.000000 4 6000.000000 6471.429199 6000.000000 5 876000.000000 219000.000000 35600.000000 6 10119271.000000 INFINITY 9629820.000000
ROW
262
Lampiran 68 Output antara pada analisis model SEM implementasi co-management kooperatif Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
38 15 23 20 18
The model is nonrecursive. Sample size = 183 Computation of degrees of freedom Number of distinct sample moments = 120 Number of distinct parameters to be estimated = 39 Degrees of freedom = 120 - 39 = 81 Minimum was achieved Chi-square = 837.531 Degrees of freedom = 81 Probability level = 0.000 This solution is not admissible. Regression Weights Estimate S.E. C.R. P Co-Manag_Terpilih <-Indikator Co-Manag 0.069 Co-Manag_Terpilih <-Tugas Co-Manag -0.536 Kinerja_UPT <-Modal UPT 0.524 0.182 2.880 X21 <-SDM UPT 1.000 X22 <-SDM UPT 0.709 0.337 2.101 0.036 X23 <-SDM UPT 1.060 0.507 2.089 0.037 X33 <-Teknologi_ UPT 1.000 X32 <-Teknologi_ UPT 11.682 13.366 0.874 X31 <-Teknologi_ UPT 10.335 11.828 0.874 Y1 <-Kinerja_UPT 1.000 Y2 <-Kinerja_UPT 3.460 1.041 3.322 0.001 Y3 <-Kinerja_UPT 1.686 0.518 3.253 0.001 X43 <-Modal UPT 1.000 X42 <-Modal UPT 0.344 0.078 4.431 0.000 X41 <-Modal UPT 0.336 0.085 3.932 0.000 X11 <-Co-Manag_Terpilih 1.000 Kinerja_UPT <-SDM UPT 0.085 0.068 1.248 SDM UPT <-- Co-Manag_Terpilih 0.067 0.088 Teknologi_ UPT <-- Co-Manag_Terpilih 0.104 0.119
Label 0.048 1.435 0.151 par-8 0.080 -6.669 0.000 par-9 0.004 par-12 par-1 par-2 0.382 par-3 0.382 par-4 par-5 par-6 par-10 par-11 0.212 par-13 0.756 0.450 par-14 0.876 0.381 par-15
263
Co-Manag_Terpilih <-Kinerja_UPT 3.576 1.161 3.081 0.002 par-16 Kinerja_UPT <-- Teknologi_ UPT -4.078 4.889 -0.834 0.404 par-17 Standardized Regression Weights Estimate Co-Manag_Terpilih <-Indikator Co-Manag 0.112 Co-Manag_Terpilih <-Tugas Co-Manag -0.783 Kinerja_UPT <-Modal UPT 2.094 X21 <-SDM UPT 0.523 X22 <-SDM UPT 0.385 X23 <-SDM UPT 0.418 X33 <-Teknologi_ UPT 0.068 X32 <-Teknologi_ UPT 0.567 X31 <-Teknologi_ UPT 0.557 Y1 <-Kinerja_UPT 0.248 Y2 <-Kinerja_UPT 0.964 Y3 <-Kinerja_UPT 0.353 X43 <-Modal UPT 0.915 X42 <-Modal UPT 0.332 X41 <-Modal UPT 0.296 X11 <-Co-Manag_Terpilih 0.630 Kinerja_UPT <-SDM UPT 0.212 SDM UPT <-Co-Manag_Terpilih 0.085 Teknologi_ UPT <-Co-Manag_Terpilih 0.959 Co-Manag_Terpilih <-Kinerja_UPT 1.122 Kinerja_UPT <-Teknologi_ UPT -1.409 Covariances Estimate S.E. C.R. Tugas Co-Manag <--> Indikator Co-Manag e3 <--> Indikator Co-Manag 0.173 0.019 e3 <--> d43 -0.005 0.004 -1.473 0.141
P Label 0.085 0.011 8.106 0.000 par-7 9.229 0.000 par-18 par-19
Correlations Estimate Tugas Co-Manag <--> Indikator Co-Manag 0.413 e3 <--> Indikator Co-Manag 0.858 e3 <--> d43 -0.079 Variances Estimate Tugas Co-Manag Indikator Co-Manag Z4 0.135 0.021
Z2 Z5
264
S.E. 0.184 0.230 6.440
C.R. 0.019 0.021 0.000
P Label 9.539 0.000 par-20 10.931 0.000 par-21 par-22
0,052 0,029 1,765 0,078 par-23 0,002 0,004 0,490 0,624 par-24
Z1 Z3 d21 d22 d23 d33 d32 d31 e1 e2 e3 d43 d42 d41 d11
0,064 0,000 0,141 0,153 0,280 0,220 0,291 0,241 0,129 0,008 0,176 0,026 0,130 0,159 0,131
0,018 0,001 0,030 0,021 0,042 0,023 0,033 0,027 0,014 0,007 0,019 0,013 0,014 0,017 0,016
3,651 -0,437 4,657 7,241 6,641 9,536 8,928 8,972 9,504 1,178 9,444 2,029 9,447 9,468 8,120
0,000 0,662 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,239 0,000 0,042 0,000 0,000 0,000
par-25 par-26 par-27 par-28 par-29 par-30 par-31 par-32 par-33 par-34 par-35 par-36 par-37 par-38 par-39
Squared Multiple Correlations Estimate Modal UPT 0,0 Co-Manag_Terpilih 0,252 Kinerja_UPT 0,768 Teknologi_ UPT 1.375 SDM UPT 0,023 X11 0,397 X41 0,088 X42 0,110 X43 0,837 Y3 0,090 Y2 0,928 Y1 0,062 X31 0,310 X32 0,322 X33 0,005 X23 0,175 X22 0,148 X21 0,274
265
Lampiran 69 Modification indices untuk penyempurnaan model Covariances: Z4 d11 d41 d43 e2 e1 e1 d31 d31 d31 d32 d32 d32 d32 d33 d22 d22 d21 d21 d21
<--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <--> <-->
M.I.
Par Change
Tugas Co-Manag 41,952 0,048 Z2 7,601 0,025 Z2 7,325 -0,028 Tugas Co-Manag 14,337 0,015 d42 4,925 -0,009 Z1 8,121 0,021 d42 161,136 0.122 Z1 4,219 0,020 d42 6,553 0,034 e1 7,154 0,036 Z2 7,047 -0,037 d41 4,826 0,036 d42 4,999 -0,033 e1 6,034 -0036 d41 4,706 0,030 d42 9,210 -0,033 e1 5,390 -0,025 d42 6,008 0,028 e1 5,649 0,027 d32 5,601 -0,041
Variances:
Regression Weights:
M.I.
Par Change
M.I.
Par Change
Modal UPT <-Indikator Co-Manag 32,510 0,336 Modal UPT <-Tugas Co-Manag 125,235 0,738 Kinerja_UPT <-Indikator Co-Manag 9,523 0,051 Teknologi_ UPT <-Indikator Co-Manag 6,233 -0,009 X11 <-Indikator Co-Manag 15,864 0.220 X11 <-SDM UPT 7,385 0,469 X11 <-Y3 15,897 0,240 X11 <-X22 4,144 0,127 X11 <-X21 5,766 0,145 X41 <-SDM UPT 6.426 -0.490 X41 <-X33 4,755 0,138 X41 <-X23 5,118 -0,115 X41 <-X22 5,128 -0.159 X42 <-Y1 148,945 0.882 X42 <-X31 4,597 0,097 X42 <-X22 8,017 -0,179 X43 <-Tugas Co-Manag 27.084 0,188 X43 <-Kinerja_UPT 6.964 0.453
266
X43 X43 Y2 Y1 Y1 Y1 Y1 X31 X31 X31 X31 X32 X32 X32 X32 X32 X32 X32 X32 X33 X33 X33 X22 X22 X21 X21
<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<--
Y2 6.765 0.122 X32 4.209 -0.048 X42 4.500 -0.063 X11 4.348 0.119 X42 147.142 X31 6.495 0.115 X22 4.919 -0.139 Indikator Co-Manag X42 5.604 0.230 Y3 17.068 -0.348 Y1 5.881 0.242 Indikator Co-Manag SDM UPT 7.297 X41 4.467 0.206 X42 4.307 -0.222 Y3 12.575 0.328 Y1 5.580 -0.260 X22 5.743 -0.230 X21 7.491 -0.254 Indikator Co-Manag X41 4.271 0.172 Y3 4.407 0.166 X42 7.998 -0.226 Y1 5.347 -0.190 X42 5.908 0.199 Y1 5.732 0.202
0.848
12.170 -0.269
12.617 0.302 -0.717
5.012 0.162
267
Lampiran 70 Output akhir pada analisis model SEM implementasi co-management kooperatif (setelah modifikasi) Your model contains the following variables X21 X22 X23 X33 X32 X31 Y1 Y2 Y3 X43 X42 X41 X11
observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed
endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous
Tugas Co-Manag observed Indikator Co-Manag observed
exogenous exogenous
SDM UPT unobserved endogenous Teknologi_ UPT unobserved endogenous Kinerja_UPT unobserved endogenous Co-Manag_Kooperatif unobserved endogenous Modal UPT unobserved endogenous d21 d22 d23 d33 d32 d31 Z2 e1 e2 e3 Z5 d43 d42 d41 Z1 d11 Z3 Z4
unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved
exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous
Number of variables in your model: 38
268
Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
15 23 20 18
Summary of Parameters Weights Covariances Fixed 23 0 0 0 Labeled 0 0 0 Unlabeled 19 6 20 Total 42 6 20 0
Variances 0 23 0 0 0 0 0 68
Means Intercepts
Total
0 45
The model is nonrecursive. Sample size = 183 Computation of degrees of freedom Number of distinct sample moments = 120 Number of distinct parameters to be estimated = 45 Degrees of freedom = 120 - 45 = 75 Minimum was achieved Chi-square = 135.087 Degrees of freedom = 75 Probability level = 0.0 This solution is not admissible. The implied covariance matrix for the following variables is not positive definite. Indikator Co-Manag Tugas Co-Manag d43 e3 The implied covariance matrix for the following variables is not positive definite. Z3 Z2 Stability index for the following variables is 426.258 Modal UPT Co-Manag_Kooperatif Kinerja_UPT Teknologi_ UPT SDM UPT Minimization History
269
Iteration Discrepancy 0 1898.270 1 1554.133 2 1403.549 3 1370.451 4 1149.069 5 1045.813 6 948.173 7 883.586 8 774.479 9 618.708 10 473.258 11 387.938 12 340.320 13 272.133 14 241.318 15 216.538 16 197.782 17 193.080 18 174.246 19 166.899 20 158.667 21 150.894 22 145.252 23 143.819 24 141.011 25 139.770 26 138.464 27 138.021 28 137.366 29 136.625 30 136.310 31 136.082 32 135.917 33 135.780 34 135.688 35 135.589 36 135.560 37 135.444 38 135.413 39 135.332 40 135.319 41 135.277 42 135.260 43 135.243 44 135.228 45 135.214
270
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
135.203 135.192 135.184 135.175 135.170 135.162 135.157 135.152 135.148 135.143 135.140 135.136 135.133 135.130 135.128 135.126 135.123 135.121 135.119 135.117 135.116 135.114 135.113 135.112 135.110 135.109 135.108 135.107 135.106 135.105 135.105 135.104 135.103 135.102 135.102 135.101 135.101 135.100 135.099 135.099 135.098 135.098 135.098 135.097 135.096 135.096 135.096 135.095
271
94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141
272
135.095 135.095 135.094 135.094 135.094 135.094 135.093 135.093 135.093 135.093 135.092 135.092 135.092 135.092 135.092 135.091 135.091 135.091 135.091 135.091 135.091 135.090 135.090 135.090 135.090 135.090 135.090 135.090 135.090 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.089 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088
142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174
135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.088 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087 135.087
Regression Weights Estimate S.E. C.R. P Co-Manag_Kooperatif <-Indikator Co-Manag -0.004 0.996 par-8 Co-Manag_Kooperatif <-Tugas Co-Manag 0.004 0.996 par-9 Modal UPT <-Indikator Co-Manag -1.137 0.370 X21 <-SDM UPT 1.0 X22 <-SDM UPT 0.634 0.261 2.423 0.015 X23 <-SDM UPT 0.989 0.395 2.505 0.012 X33 <-Teknologi_ UPT 1.000 X32 <-Teknologi_ UPT 4.738 2.456 1.929 X31 <-Teknologi_ UPT 7.688 4.053 1.897
Label -59.036
13212.134
1834.347
408487.010
-3.075 0.002 par-25 par-1 par-2 0.054 par-3 0.058 par-4
273
Y1 <-Kinerja_UPT 1.000 Y2 <-Kinerja_UPT 3.385 0.771 4.389 0.000 par-5 Y3 <-Kinerja_UPT 2.083 0.519 4.013 0.000 par-6 X43 <-Modal UPT 1.000 X42 <-Modal UPT 0.277 0.066 4.167 0.000 par-10 X41 <-Modal UPT 0.273 0.075 3.668 0.000 par-11 X11 <-Co-Manag_Kooperatif 1.000 X31 <-Indikator Co-Manag -0.848 0.176 -4.806 0.000 Kinerja_UPT <-Modal UPT 0.304 0.071 4.280 0.000 Kinerja_UPT <-SDM UPT 0.001 0.023 0.030 0.976 SDM UPT <-Co-Manag_Kooperatif 0.301 0.127 14 Co-Manag_Kooperatif <-Kinerja_UPT -7723.918 0.004 0.996 par-15 Kinerja_UPT <-Teknologi_ UPT -0.082 0.100 -0.819 Modal UPT <-Co-Manag_Kooperatif 3.817 0.939 20 Teknologi_ UPT <-Co-Manag_Kooperatif 0.279 0.053 par-21
par-23 par-12 par-13 2.371 0.018 par1720075.600 0.413 par-16 4.064 0.000 par0.144 1.937
Standardized Regression Weights Estimate Co-Manag_Kooperatif <--
Indikator Co-Manag -103.967
Co-Manag_Kooperatif
Tugas Co-Manag
<--
2743.478
Modal UPT <-Indikator Co-Manag -1.429 X21 <-SDM UPT 0.552 X22 <-SDM UPT 0.363 X23 <-SDM UPT 0.413 X33 <-Teknologi_ UPT 0.154 X32 <-Teknologi_ UPT 0.553 X31 <-Teknologi_ UPT 1.000 Y1 <-Kinerja_UPT 0.298 Y2 <-Kinerja_UPT 0.941 Y3 <-Kinerja_UPT 0.487 X43 <-Modal UPT 1.000 X42 <-Modal UPT 0.293 X41 <-Modal UPT 0.263 X11 <-Co-Manag_Kooperatif 0.670 X31 <-Indikator Co-Manag -0.770 Kinerja_UPT <-Modal UPT 1.095 Kinerja_UPT <-SDM UPT 0.002 SDM UPT <-Co-Manag_Kooperatif 0.355 Co-Manag_Kooperatif <-Kinerja_UPT -3008.773 Kinerja_UPT <-Modal UPT <--
274
Teknologi_ UPT -0.053 Co-Manag_Kooperatif 2.724
Teknologi_ UPT
<--
Co-Manag_Kooperatif
1.106
Covariances Estimate S.E. C.R. Tugas Co-Manag <--> Indikator Co-Manag Z2 <--> Z3 -0.005 0.003 -1.600 0.110 e3 <--> Indikator Co-Manag 0.176 0.019 e3 <--> d43 -0.008 0.002 -3.520 0.000 e1 <--> d42 0.123 0.013 9.261 0.000 d32 <--> e2 0.019 0.006 3.044 0.002
P Label 0.108 0.016 6.896 0.000 par-7 par-22 9.198 0.000 par-17 par-18 par-19 par-24
Correlations Estimate Tugas Co-Manag <--> Indikator Co-Manag 0.498 e3 <--> Indikator Co-Manag 0.823 e3 <--> d43 -1.952 e1 <--> d42 0.944 d32 <--> e2 0.274 Variances Estimate Tugas Co-Manag Indikator Co-Manag Z2 0.052 0.026 Z5 0.002 0.001 Z1 148531.430 Z3 -0.001 0.001 Z4 0.495 0.228 d21 0.135 0.027 d22 0.156 0.020 d23 0.282 0.039 d33 0.216 0.023 d32 0.267 0.030 d31 0.174 0.034 e1 0.128 0.013 e2 0.019 0.003 e3 0.180 0.019 d43 0.000 0.006 d42 0.132 0.014 d41 0.163 0.017 d11 0.101 0.013
S.E. C.R. P Label 0.184 0.019 9.539 0.000 par-26 0.256 0.025 10.337 0.000 par-27 2.025 0.043 par-28 2.318 0.020 par-29 66150775.000 0.002 0.998 par-30 -0.853 0.394 par-31 2.175 0.030 par-32 4.905 0.000 par-33 7.923 0.000 par-34 7.294 0.000 par-35 9.511 0.000 par-36 8.813 0.000 par-37 5.106 0.000 par-38 9.509 0.000 par-39 5.766 0.000 par-40 9.216 0.000 par-41 0.013 0.990 par-42 9.548 0.000 par-43 9.546 0.000 par-44 7.691 0.000 par-45
Squared Multiple Correlations Estimate Modal UPT -2.063 Co-Manag_Kooperatif Kinerja_UPT 0.875
-1802629.000
275
Teknologi_ UPT 1.214 SDM UPT 0.122 X11 0.449 X41 0.069 X42 0.086 X43 0.999 Y3 0.213 Y2 0.885 Y1 0.089 X31 0.438 X32 0.306 X33 0.024 X23 0.170 X22 0.132 X21 0.305
Sample covariance Matrix Determinant 2.77E-15 Condition number 131.613 Eigenvalues 0.898 0.433 0.394 0.294 0.239 0.231 0.196 0.141 0.129 0.110 0.085 0.032 0.018 0.008 0.007 Sample correlation Matrix Condition number 110.816 Eigenvalues 4.410
276
2.148 1.584 1.292 1.056 0.956 0.910 0.762 0.617 0.520 0.376 0.172 0.110 0.047 0.040
Total Effects - Estimates Indikator Co-Manag Tugas Co-Manag Modal UPT CoManag_Kooperatif Kinerja_UPT Teknologi_ UPT SDM UPT Modal UPT -0.003 0.795 -1.020 0.000 -3.350 0.275 -0.002 Co-Manag_Kooperatif 0.297 0.208 -0.267 -1.000 -0.878 0.072 -0.001 Kinerja_UPT -0.008 0.237 0.000 0.000 -1.000 0.000 0.000 Teknologi_ UPT 0.083 0.058 -0.074 0.000 -0.244 0.020 0.000 SDM UPT 0.089 0.063 -0.080 0.000 -0.264 0.022 0.000 X11 0.297 0.208 -0.267 0.000 -0.878 0.072 -0.001 X41 -0.001 0.218 -0.005 0.000 -0.916 0.075 -0.001 X42 -0.001 0.220 -0.005 0.000 -0.928 0.076 -0.001 X43 -0.003 0.795 -0.020 0.000 -3.350 0.275 -0.002 Y3 -0.016 0.495 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Y2 -0.026 0.804 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 Y1 -0.008 0.237 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 X31 -0.211 0.446 -0.572 0.000 -1.880 7.842 -0.001 X32 0.392 0.275 -0.353 0.000 -1.158 4.833 -0.001 X33 0.083 0.058 -0.074 0.000 -0.244 1.020 0.000 X23 0.088 0.062 -0.080 0.000 -0.261 0.021 0.989 X22 0.057 0.040 -0.051 0.000 -0.167 0.014 0.633 X21 0.089 0.063 -0.080 0.000 -0.264 0.022 1.000
Direct Effects - Estimates Indikator Co-Manag Tugas Co-Manag Modal UPT CoManag_Kooperatif Kinerja_UPT Teknologi_ UPT SDM UPT Modal UPT -1.137 0.000 0.000 3.817 0.000 0.000 0.000 Co-Manag_Kooperatif -59.036 1834.347 0.000 0.000 -7723.918 0.000 0.000 Kinerja_UPT 0.000 0.000 0.304 0.000 0.000 -0.082 0.001 Teknologi_ UPT 0.000 0.000 0.000 0.279 0.000 0.000 0.000 SDM UPT 0.000 0.000 0.000 0.301 0.000 0.000 0.000
277
X11 X41 X42 X43 Y3 Y2 Y1 X31 X32 X33 X23 X22 X21
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.848 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000 0.273 0.277 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000 0.000 0.000 0.000 2.083 3.385 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.688 4.738 1.000 0.000 0.000 0.000
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.989 0.634 1.000
Indirect Effects - Estimates Indikator Co-Manag Tugas Co-Manag Modal UPT CoManag_Kooperatif Kinerja_UPT Teknologi_ UPT SDM UPT Modal UPT 1.134 0.795 -1.020 -3.816 -3.350 0.275 -0.002 Co-Manag_Kooperatif 59.333 -1834.138 -0.267 -1.000 7723.041 0.072 -0.001 Kinerja_UPT -0.008 0.237 -0.304 0.000 -1.000 0.082 -0.001 Teknologi_ UPT 0.083 0.058 -0.074 -0.279 -0.244 0.020 0.000 SDM UPT 0.089 0.063 -0.080 -0.301 -0.264 0.022 0.000 X11 0.297 0.208 -0.267 -1.000 -0.878 0.072 -0.001 X41 -0.001 0.218 -0.279 0.000 -0.916 0.075 -0.001 X42 -0.001 0.220 -0.283 0.000 -0.928 0.076 -0.001 X43 -0.003 0.795 -1.020 0.000 -3.350 0.275 -0.002 Y3 -0.016 0.495 0.000 0.000 -2.082 0.000 0.000 Y2 -0.026 0.804 0.000 0.000 -3.384 0.000 0.000 Y1 -0.008 0.237 0.000 0.000 -1.000 0.000 0.000 X31 0.636 0.446 -0.572 0.000 -1.880 0.154 -0.001 X32 0.392 0.275 -0.353 0.000 -1.158 0.095 -0.001 X33 0.083 0.058 -0.074 0.000 -0.244 0.020 0.000 X23 0.088 0.062 -0.080 0.000 -0.261 0.021 0.000 X22 0.057 0.040 -0.051 0.000 -0.167 0.014 0.000 X21 0.089 0.063 -0.080 0.000 -0.264 0.022 0.000
Modification Indices Covariances: d41 <--> d42 <--> e2 <--> d23 <--> d22 <--> Variances:
278
M.I. Z2 d41 d11 Z1 d42
6.619 4.697 4.515 4.973 4.421
Par Change
-0.027 0.008 -0.008 38.727 -0.008 M.I. Par Change
Regression Weights: X11 X41 X41 X41 X41 X41 X42 X31 X32 X32 X22 X22 X21 X21
<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<--
Y1 4.575 SDM UPT X32 6.009 X33 4.660 X23 5.156 X22 4.955 X41 4.377 X22 4.021 Y1 4.846 X22 4.807 X42 8.563 Y1 5.757 X42 4.994 Y1 4.597
M.I.
Par Change
0.140 5.434 -0.409 0.118 0.137 -0.116 -0.157 0.045 0.163 -0.225 -0.198 -0.235 -0.195 0.181 0.177
Fit Measures Fit Measure Default model Saturated Independence Macro Discrepancy 135.087 0.000 1775.203 CMIN Degrees of freedom 75 0 105 DF P 0.000 0.000 P Number of parameters45 120 15 NPAR Discrepancy / df 1.801 16.907 CMINDF RMR 0.016 0.000 0.053 RMR GFI 0.912 1.000 0.461 GFI Adjusted GFI 0.860 0.384 AGFI Parsimony-adjusted GFI 0.570 0.404 Normed fit index 0.924 1.000 0.000 Relative fit index 0.893 0.000 Incremental fit index 0.965 1.000 0.000 Tucker-Lewis index 0.950 0.000 Comparative fit index 0.964 1.000 0.000
PGFI NFI RFI IFI TLI CFI
Parsimony ratio 0.714 0.000 1.000 PRATIO Parsimony-adjusted NFI 0.660 0.000 0.000 PNFI Parsimony-adjusted CFI 0.689 0.000 0.000 PCFI Noncentrality parameter estimate NCP lower bound 31.444 0.000 NCP upper bound 96.570 0.000 FMIN 0.742 0.000 9.754 F0 0.330 0.000 9.177 F0 lower bound 0.173 0.000
60.087 0.000 1670.203 1537.310 NCPLO 1810.482 NCPHI FMIN F0 8.447 F0LO
NCP
279
F0 upper bound 0.531 RMSEA 0.066 RMSEA lower bound RMSEA upper bound P for test of close fit 0.069
0.000 9.948 F0HI 0.296 RMSEA 0.048 0.284 RMSEALO 0.084 0.308 RMSEAHI 0.000 PCLOSE
Akaike information criterion (AIC) 225.087 240.000 1805.203 AIC Browne-Cudeck criterion 233.761 263.133 1808.095 BCC Bayes information criterion 491.376 950.104 1893.966 BIC Consistent AIC 414.514 745.138 1868.345 CAIC Expected cross validation index 1.237 1.319 9.919 ECVI ECVI lower bound 1.079 1.319 9.189 ECVILO ECVI upper bound 1.437 1.319 10.689 ECVIHI MECVI 1.284 1.446 9.935 MECVI Hoelter .05 index Hoelter .01 index
130 144
Execution time summary Minimization Miscellaneous Bootstrap Total
280
: : : :
0.203 0.266 0.000 0.469
14 15
HFIVE HONE
Lampiran 71 Dokumentasi penelitian
Papan Nama Kantor PPN Palabuhanratu
Palabuhanratu menjadi kawasan inti minapolitian di tahun 2010
Perbankan, dapat mendukung pemodalan dalam co-management perikanan tangkap
Puskesmas yang memberi pelayanan kesehatan bagi nelayan dan masyarakat sekitar
Kantor Syahbandar
TPI, salah satu fasilitas perikanan pendukung co-management
281
Alat tangkap gillnet, melibatkan banyak nelayan dalam operasi penangkapan
Kapal perikanan di Palabuhanratu
Pelatihan, salah satu bentuk pembinaan nelayan dan masyarakat (oleh PT, LSM) untuk mendukung co-management
282
Pelayanan es balok bagi kegiatan perikanan tangkap
Fasilitas SPBU untuk kegiatan perikanan tangkap
Kantor DKP Kab. Sukabumi mendukung dalam regulasi dan pengembangan masyarakat
Ikan cucut (pelagis besar) yang didaratkan di Palabuhanratu
Ikan ekor kuning (pelagis kecil) yang didaratkan di Pa Longline dibantu Kapal dan Pelampung saat disetting
labuhanratu
Cumi-cumi yang didaratkan di Palabuhanratu
Usaha sampingan RTN (ikan asin) yang perlu diberdayakan di Palabuhanratu
Gambar Longline Pada Umumnya dibantu Kapal dan Pelampung saat disetting (Sumber Google/Longline)
Ikan Tuna saat memakan Umpan dari Longline (Sumber Google/Longline)
283
Payang dengan alat bantu mengumpulkan ikan
Payang pada proses pelingkaran ikan
Payang saat pelingkaran ikan (Sumber Foto Google/Payang)
Proses pengangkatan ikan yang tertangkap Payang ke atas kapal (Sumber Foto Google/Payang
E D
Gambar Pancing tonda
284
A : Penggulung tali pancing B : Tali utama C : Swivel D : Tali atas E: Keterangan Gambar Pancing Tonda