MODE EL PENG GEMBA ANGAN N PERIK KANAN N PEL LAGIS DI PER RAIRAN N MALU UKU
STIAN NA ALBERT TH CHRIS ANLOHY Y
SEKO OLAH PA ASCASAR RJANA BOGOR INSTIT TUT PERT TANIAN B BOG GOR 20011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku“ adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor Februari 2011
Alberth Christian Nanlohy NIM C461070011
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU
ALBERTH CHRISTIAN NANLOHY NIM: C461070011
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT
ALBERTH CHRISTIAN, NANLOHY. Development of Fisheries Pelagic Model in Maluku Waters. Supervised by MULYONO S. BASKORO, BUDHI H. ISKANDAR, DOMU SIMBOLON.
Pelagic fish resources are potential enough in Maluku so the development of fisheries in this area is a strategic effort. Based on this consideration, this research was conducted. The objective of the research is to establish a conceptual development of fisheries pelagic model in Maluku waters. The analysis of potential resource showed that exploitation rate and utilization rate a pelagic fishery in Maluku water has not been maximum yet. Analysis based on CCRF evaluation criteria showed that pole and line fishing unit became the main alternative gear for the development of sustainable and environmentally safety fisheries in spite of pole and line, surface gill net, and trawler. Analysis of scoring method based on biology, technic, social and economy showed that pole and line (743.87) got the priority to be developed followed by pole and line (57.83), surface gill net (16.73) and purse seine (10.78). Analysis of AHP displayed that optimum allocation of fishing gear included purse seine (257), beach seine (260), boat lift net (1419), pole and line (1457), troll line (40940) and surface gillnet (30000). Compared to actual allocation, there will be a decrease in purse seine (15), beach seine (175) and boat lift net (240). It was proposed to develop a kite from fiber glass for pole and line fishing boat as long as 2.75 m, with boat dimension of length 15.26, width 3.64, and height 2.672 m. The pole and line used circle-shaped hook No. 1 (No. 1000-1500). The propose pole and line boat dimension was l x b x d = 8.50 x 1.85 x 0.72 m using wood or fiberglass as main material, engine (2 x 15 HP or 1 x 40 HP), carosenne fuel, using compass and lifejacket. The use of styrofoam in modification of pole and line boat deck aimed to produce skipjack loin which was an export commodity. Fishing technology using a kite line pole made method could save exploitation cost. Modification and construction of pole and line boat that was proposed to be developed was 20.7 m long, 3.1 m wide, 2.20 m high, using four units of 40 HP motor boat. Technology design of wings at trawler boat was very helpful in fishing process. Analysis of strategic environment (LINSTRA) on fisheries development in Maluku showed that cooperation between the government, community, and enterpreneur is required for the successfull policy implementation in the region, to support the development of fishing gear in Maluku. Keywords: pelagic fisheries, technology, skipjack loin, winch technology, conceptual model
RINGKASAN
ALBERTH CHRISTIAN NANLOHY. Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, BUDHI H.ISKANDAR, DOMU SIMBOLON. Sumberdaya ikan pelagis cukup potensial di Maluku sehingga pengembangan perikanannya merupakan upaya strategis. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap di perairan Maluku. Metode analisis data untuk menentukan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku dilakukan dengan menggunakan analisis aspek biologi sesuai pendekatan Gordon Schaefer. Metode analisis data untuk mendapatkan jenis armada penangkapan yang mempunyai keragaan ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode skoring. Metode analisis data untuk menyeleksi unit penangkapan ikan tertentu sesuai aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan mengacu pada CCRF. Untuk mengkaji jumlah alokasi optimal alat tangkap dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku dilakukan dengan teknik linear goal programming (LGP). Strategi kebijakan perikanan tangkap di Maluku dirumuskan dengan menggunakan analisis lingkungan strategi (LINSTRA). Metode deskriptif digunakan untuk memodifikasi prototipe alat penangkapan ikan di perairan Maluku. Analisis data untuk menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku dilakukan dengan menggunakan metode SWOT dan AHP mengacu pada Saaty (1991). Analisis potensi sumberdaya menunjukkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil adalah ikan tembang 86,58%, selar 59,10%, teri 58,61%, layang 56,87 %, kembung 45,72%, komu 23,81%. Tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil adalah ikan teri 79,79%, tembang 75,60%, kembung 55,45%, selar 47,01%, komu 54,06%, dan layang 45,50%. Tingkat pemanfaatan ikan tuna 51,10%, tongkol 22,23%, cakalang 13,03%, tenggiri papan 2,12%, layur 2,00%, dan tenggiri 0,88%, dengan tingkat pengupayaan adalah ikan tenggiri 89,98%, layur 30,12%, tongkol 24,16%, tuna 21,69%, tenggiri papan 19,36%, dan cakalang 14,21%. Hasil analisis berdasarkan kriteria penilaian CCRF menunjukkan bahwa unit penangkapan pancing tonda menjadi opsi pengembangan utama disamping huhate, jaring insang permukaan, dan pukat cincin berdasarkan aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan. Hasil skoring berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi menunjukkan bahwa alat tangkap huhate (743,87) di prioritaskan untuk dikembangkan kemudian diikuti oleh pancing tonda (57,83), jaring insang permukaan (16,73), dan pukat cincin (10,78). Analisis AHP menunjukkan bahwa untuk memenuhi fungsi tujuan yaitu meminimalkan fungsi deviasi, maka alokasi optimal alat tangkap pukat cincin (257), pukat pantai (260), bagan (1419), huhate (1457), pancing tonda (40940), dan jaring insang permukaan (30000). Dibandingkan alokasi faktual, terjadi pengurangan pada alat tangkap pukat cincin (15), pukat pantai (175), dan bagan (240). Pengurangan tersebut
sangat berdampak pada nelayan, ditinjau dari aspek tenaga kerja. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa permasalahaan sosial, sehingga kebijakan pengurangan alat tangkap didahului dengan penyediaan lapangan kerja alternatif yang efektif bagi nelayan yang telah bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Diusulkan untuk dikembangkan modifikasi joran pancing dari fiberglass pada kapal huhate dengan panjang 2,75 m sedangkan ukuran panjang kapal 15,26; lebar 3,64; dan tinggi 2,62 meter, sedangkan pancing tonda menggunakan mata kail tipe kail circle-shaped No.1 (Nomor 1000-1500). Kapal pancing tonda yang diusulkan untuk dikembangkan berukuran (p x l x d = 8,50 x 1,85 x 0,72 m) menggunakan bahan utama kayu susun atau fibreglass, mesin (2 x 15 HP atau 1 x 40 HP), bahan bakar kerosene, serta menggunakan kompas dan lift jacket. Modifikasi penggunaan bahan styrofoam pada palka kapal huhate bertujuan untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan produk ekspor. Teknologi penangkapan dengan menggunakan metode layang-layang mempunyai beberapa kelebihan antara lain: (1) menghemat BBM 30-50%, (2) konstruksi layang-layang terdiri dari bambu dan plastik dengan ukuran tinggi 1 meter, lebar 0,75 meter serta diameter bambu 1 cm, (3) biaya eksploitasi kecil. Modifikasi konstruksi kapal pukat cincin yang diusulkan pengembangannya adalah berukuran panjang 20,7 meter, lebar 3,1 meter, tinggi geladak 2,20 meter dan tinggi garis muat 0,45 meter, dengan menggunakan tenaga penggerak mesin motor tempel berkekuatan 40 HP sebanyak 4 buah. Modifikasi winch pada kapal pukat cincin mempunyai keuntungan antara lain: (1) membantu nelayan pada saat penarikan jaring sehingga dapat mempercepat proses operasi penangkapan, (2) lebih efektif. Perumusan strategi pengembangan perikanan tangkap didasarkan pada pendekatan analisis lingkungan strategis (LINSTRA) terhadap informasi status sumberdaya ikan, dan alokasi unit penangkapan. Strategi-SO (2,90) meliputi pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan, penerapan CCRF segera dilaksanakan agar sumberdaya tetap lestari, Strategi-ST (1,85) menerapkan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi alat tangkap, menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai, memaksimalkan potensi sumberdaya dan penentuan tempat galangan kapal perikanan pada desa nelayan produktif, Strategi-WO (1,65) peningkatan investasi dari luar daerah untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil, menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan, Strategi-WT (1,20) menerapkan adanya basic desain pada armada kapal perikanan yang akan dibangun, modifikasi alat tangkap, teknologi tepat guna dan menerapkan ukuran mata jaring yang selektif. Diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang berlaku di daerah dalam menunjang pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku.
Kata kunci: perikanan pelagis, teknologi, skipjack loin, winch technology, model konseptual.
© Hak cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul disertasi : Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Nama : Alberth Christian Nanlohy NIM : C 461070011 Program Studi : Teknologi Perikanan Tangkap. Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro. M.Sc Ketua
Dr. Ir. Budhi H. Iskandar. M.Si
Dr.Ir. Domu Simbolon. M.Si
Anggota
Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto. M.Sc
Tanggal ujian: 01 Februari 2011
Dr. Ir. Dahrul Syah.M,Agr.Sc
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku”. Pada kesempatan ini juga penulis secara tulus mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc; Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si; Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah membuka wawasan penulis tentang permasalahaan dan perkembangan perikanan tangkap, secara intensif membimbing penulis dalam mempertajam masalah, meningkatkan kualitas dan penyajian hasil penelitian. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ketua Departemen PSP-FPIK IPB, Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap IPB, serta Dosen Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
yang telah
membekali ilmu kepada penulis selama kuliah S3. Rektor Universitas Pattimura dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan Program Doktor (S3) pada Institut Pertanian Bogor. Bapak Ir. Romelus Far-Far, M.Si selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat I Maluku atas data dan informasi mengenai pengelolaan perikanan tangkap di Maluku. Bapak Direktur Yayasan Toyota Astra Jakarta yang telah memberikan bantuan untuk penelitian. Bapak Direktur Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) serta Bapak Direktur Yayasan Tahija di Jakarta yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian. Bapak DIRJEN Perguruan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis selama mengikuti studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih
dan penghormatan kepada kedua orang tuaku Bapak B. Nanlohy dan Ibu M. Nitalessy (almarhumah) atas doa dan pengorbanan dalam membesarkan, mendidik dan memberi teladan yang baik kepada penulis. Teman-teman mahasiswa/i PERMAMA (Persekutuan Mahasiswa Maluku), teman-teman kost Perwira 12
yang selalu
bersama. Ucapan terima kasih yang sama juga kepada teman-teman seangkatan 2007,Yopi Novita, Meliansari, Mohamad Sharial Ramang, Danial Sultan, Karnan, Joyce Kumaat dan teman-teman lain Yan Manalu, Plagelmo Seran, Chateriin Paulus yang selalu memberikan dorongan serta motivasi. Terakhir, paling utama dan khusus secara tulus penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada istriku tersayang Ellen Pudinaung SE, dan ketiga anak tercinta: Brandon Billy Mario, Benjamin Frangklin, Denaya Ketsy Nanlohy, serta saudara-saudaraku Renny ,Hilda, Barbalina, Donny Nanlohy, yang selama ini menjadi sumber inspirasi dan memberi semangat bagi penulis. Untuk kalian semua inilah persembahan yang tak ternilai dan sekaligus sebagai motivasi hidup. Penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah maupun peneliti yang peduli terhadap pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku. Menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan
maka
penulis
berharap
agar
penelitian
lain
dapat
menyempurnakannya. Terima kasih.
Bogor, Februari 2011
Alberth Christian Nanlohy
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Ambon, Provinsi Maluku pada tanggal 29 Juli 1962 dari pasangan Benonie Nanlohy dan Maria Nitalessy. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri I Lateri tahun 1968, tamat tahun 1974, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Lateri 1974, tamat tahun 1977, dan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) tahun 1977, tamat tahun 1980. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh pada tahun 1981 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Pattimura Ambon dan tamat pada tahun 1987. Pada Tahun 1991 penulis diangkat menjadi staf pengajar pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi Magiter Sains (S2) pada jurusan Ilmu Perairan, Universitas Sam Ratulangi Manado dan disponsori oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) dengan tesis berjudul: “Perbandingan Karakterstik Teknis Kapal Pole and Line Buatan Bitung dan Ambon”. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Doktor (S3) pada Institut Pertanian Bogor pada jurusan Teknologi Perikanan Tangkap (TPT) dengan bantuan biaya dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) dengan status tugas belajar. Disamping sebagai dosen, penulis juga aktif pada Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Pattimura, melakukan penelitian di bidang perikanan pada Lembaga Penelitian Universitas Pattimura, dan Pemerintah Provinsi Maluku. Dalam rangka penyelesaian tugas akhir Program Doktor, penulis telah berhasil mempublikasikan karya ilmiah berjudul ”Desain Prototipe Teknologi Kapal Penangkap di Perairan Maluku” dan akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 1, No 1 Bulan Maret 2011 (ISSN 2087-4871), dan
“Evaluasi Alat Tangkap Ikan Pelagis yang ramah Lingkungan di Perairan Maluku dengan menggunakan Prinsip CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries)” yang akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 1. No 2. Bulan Mei Tahun 2011 (ISSN 2087-4871).
NOVELTY
Pengembangan model teknologi penangkapan ikan terkait dengan sumberdaya perikanan tangkap khususnya perikanan pelagis di perairan Maluku merupakan informasi penting dalam pengelolaan sumberdaya. Modifikasi teknologi joran pancing dari fibreglass, modifikasi palka, modifikasi kapal huhate, dan kapal pukat cincin merupakan modifikasi yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan Penggunaan teknologi metode layang-layang dan modifikasi cool box dengan styrofoam pada kapal tonda merupakan suatu bentuk terobosan baru dalam penangkapan pancing tonda di perairan Maluku. Modifikasi winch sebagai alat bantu penangkapan pada kapal pukat cincin merupakan teknologi sederhana yang perlu dikembangkan karena daerah Maluku mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis yang cukup besar sehingga dengan modifikasi teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xvi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................
xvii
1
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1.1 Latar belakang ................................................................................... 1.2 Perumusan masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan penelitian ............................................................................... 1.4 Manfaat penelitian ............................................................................. 1.5 Kerangka pemikiran ..........................................................................
1 1 11 13 13 14
2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
19
2.1
19 19 20 20 21 22 23 23 24 25 27 29 30 33 38 39 42 42 42 43 44 45
Unit penangkapan ikan ...................................................................... 2.1.1 Alat tangkap............................................................................. 2.1.1.1 Alat tangkap ikan pelagis kecil ................................... (1) Pukat cincin (purse seine) .................................... (2) Bagan (liftnet) ..................................................... (3) Pukat pantai (beach seine) ................................... 2.1.1.2 Alat tangkap ikan pelagis besar................................... (1) Jaring insang permukaan (drift gillnet) ................ (2) Huhate (pole and line) ........................................ (3) Pancing tonda (troll line) ..................................... 2.1.1.3 Perahu/kapal penangkap ikan ........................................ 2.1.1.4 Nelayan .......................................................................... 2.2 Produksi perikanan ............................................................................. 2.3 Pengembangan usaha perikanan tangkap ........................................... 2.4 Teknologi penangkapan ikan tepat guna ............................................ 2.5 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) .......................... 2.6 Teori system ........................................................................................ 2.7 Analisis SWOT .................................................................................... 2.8 Analytical Hierarchy Process (AHP) .................................................. 2.9 Linear Goal Programming (LGP) ....................................................... 2.10 Kondisi umum perairan Maluku ......................................................... 2.11 Daerah penangkapan ikan ...................................................................
3.
4
METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................
51
3.1 3.2
51 52 53
Tempat dan waktu penelitian............................................................ Metode pengumpulan data penelitian .............................................. 3.2.1 Pengumpulan data aspek tepat guna ....................................... 3.2.2 Pengumpulan data aspek penangkapan bertanggung jawab sesuai CCRF ............................................................................ 3.3 Analisis Data ...................................................................................... 3.3.1 Analisis potensi sumberdaya ikan .......................................... 3.3.2 Teknologi penangkapan ikan tepat guna................................ (1) Aspek biologi ............................................................... (2) Aspek teknis . ............................................................... (3) Aspek sosial..................................................................... (4) Aspek ekonomis ............................................................. 3.3.3 Analisis aspek berkelanjutan ................................................. 3.3.4 Analisis aspek ramah lingkungan ........................................... 3.3.5 Alokasi unit penangkapan ikan ............................................. 3.3.6 Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan .......................... 3.3.7 Strategi pengembangan perikanan tangkap ........................ 3.3.7.1 Analisis SWOT .................................................................. 3.3.7.2 Analisis hierarki proses (AHP) .......................................... 3.3.8 Analisis diskriptif antar faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan pelagis.................................. HASIL .........................................................................................................
4.1
4.2
4.3 4.4 4.5 4.6 4.7
Status pemanfaatan sumberdaya ikan ............................................. 4.1.1 Produksi ikan pelagis kecil ................................................... 4.1.2 Produksi ikan pelagis besar ..................................................... 4.1.3 Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan ........................ Teknologi penangkapan tepat guna . ................................................ 4.2.1 Penilaian dan standardisasi aspek biologi ............................ 4.2.2 Penilaian dan standardisasi aspek teknis .............................. 4.2.3 Penilaian dan standardisasi aspek sosial ................................... 4.2.4 Penilaian dan standardisasi aspek ekonomi .............................. Aspek berkelanjutan ......................................................................... Aspek ramah lingkungan ................................................................... Opsi pengembangan unit penangkapan ikan pilihan .......................... Alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku ........................ Modifikasi prototipe alat tangkap di perairan Maluku .................... 4.7.1 Alat tangkap huhate (pole and line) ........................................ 4.7.1.1 Joran pancing huhate .................................................... 4.7.1.2 Kapal huhate ................................................................... 4.7.1.3 Modifikasi palka kapal huhate yang diusulkan pengembangannya ....................................................... 4.7.2 Alat tangkap pancing tonda (troll line) ................................. 4.7.2.1 Alat pancing tonda ......................................................
54 54 55 57 58 59 61 62 63 64 65 68 69 69 72 74 77 77 80 78 84 85 85 86 87 89 90 92 93 94 103 103 103 105 109 111 111
4.7.2.2 Kapal pancing tonda ......................................................... 4.7.2.3 Modifikasi cool box kapal pancing tonda .................. 4.7.2.4 Teknologi penangkapan ikan tuna dengan menggunakan metode “layang-layang” ...................... 4.7.3 Alat tangkap pukat cincin ...................................................... 4.7.3.1 Kapal pukat cincin ........................................................ 4.7.3.2 Modifikasi palka kapal pukat cincin ............................. 4.7.3.3 Modifikasi winch kapal pukat cincin ............................ Strategi pengembangan teknologi perikanan tangkap .......................
123 127 127 132 135 138
PEMBAHASAN .........................................................................................
151
4.8 5
114 118
5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku ......................................................................................... 5.2 Teknologi penangkapan tepat guna dan alokasi unit penangkapan optimum.… ........................................................................................ 5.2.1 Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi ............................................................................ 5.2.2 Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek teknis ............................................................................... 5.2.3 Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek sosial ................................................................................... 5.2.4 Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek ekonomi.......................................................................... 5.2.5 Seleksi pemilihan teknologi penangkapan ikan berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi ................................................................... 5.2.6 Aspek berkelanjutan berdasarkan CCRF .................................. 5.2.7 Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF ........................... 5.3 Kendala pengembangan perikanan tangkap di Maluku ........................ 5.4 Strategi pengembangan perikanan pelagis di Maluku ......................... 5.4.1 Kriteria dan sasaran pengembangan perikanan pelagis …. 5.4.2 Faktor kepentingan pembatas (limiting factor) dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku ........................................................ ........ 5.5 Kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Maluku……………. 5.6 Peluang pengembangan perikanan pelagis di Maluku………………. 5.7 Model konseptual perikanan pelagis di Maluku ……………………...
190 206 209 220
6
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
231
6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 6.2 Saran ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
231 231 233 247
151 157 158 159 161 162
163 165 167 175 178 184
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia ............................
7
2
Kerangka pemikiran penelitian .................................................................
16
3
Diagram alir penelitian ..............................................................................
17
4
Kapal pukat cincin (purse seine) di Maluku ............................................
21
5
Bagan rakit (raft liftnet) dan bagan perahu (boat liftnet). ..........................
22
6
Alat tangkap pukat pantai (beach seine) ....................................................
23
7
Kapal huhate dengan sistem motor tempel (rurehe) .................................
24
8
Kapal huhate yang beroperasi di perairan Maluku ...................................
25
9 Kapal pancing tonda yang beroperasi di perairan Maluku ........................
26
10
Umpan buatan menyerupai (1) ikan tongkol, (2) ikan layang, (3) ikan terbang, (4) cumi-cumi ..............................................................
27
11
Sistem agribisnis perikanan tangkap .........................................................
38
12
Daerah penangkapan ikan umpan di Kabupaten Pulau Buru, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah dan Kota Ambon .....................................
46
13
Pusat-pusat perikanan huhate di Provinsi Maluku ..................................
46
14
Daerah penangkapan kapal huhate di utara Laut Banda dan Laut Seram .
47
15
Pusat-pusat usaha perikanan pancing tonda di Pulau Buru, Kota Ambon, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur ...........................................................................................
48
Daerah penangkapan dari unit-unit pancing tonda di Laut Banda dan Laut Seram ................................ ................................................................
49
17
Lokasi penelitian
.................................................................................
51
18
Grafik kurva lestari ikan selar ...................................................................
77
19
Grafik kurva lestari ikan layang ................................................................
78
20
Grafik kurva lestari ikan tembang ...........................................................
78
21
Grafik kurva lestari ikan teri ....................................................................
79
22
Grafik kurva lestari ikan komu .................................................................
79
16
23
Grafik kurva lestari ikan kembung ...........................................................
80
24
Grafik kurva lestari ikan tuna ...................................................................
81
25
Grafik kurva lestari ikan tenggiri .............................................................
81
26
Grafik kurva lestari ikan tenggiri papan ..................................................
82
27
Grafik kurva lestari ikan tongkol ..............................................................
82
28
Grafik kurva lestari ikan cakalang ............................................................
83
29
Grafik kurva lestari ikan layur .................................................................
83
30
Joran pancing huhate saat ini ....................................................................
104
31
Modifikasi joran pancing yang akan dikembangkan pada kapal huhate
104
32
Desain kapal huhate (pandangan samping) saat ini
107
33
Desain kapal huhate (pandangan atas) saat ini
34
Kapal huhate (pandangan dari samping) yang akan dikembangkan ........
107
35
Kapal huhate (pandangan atas) yang akan dikembangkan .......................
108
36
Desain palka kapal huhate saat ini ............................................................
110
37
Modifikasi palka yang akan dikembangkan pada kapal huhate ................
109
38
Desain pancing tonda yang dioperasikan nelayan saat ini di perairan Maluku ..................................................................................
113
Modifikasi pancing tonda yang diusulkan untuk dikembangkan menangkap ikan tuna di perairan Maluku ................................................
113
40
Desain kapal pancing tonda (pandangan samping) saat ini di Maluku .....
115
41
Desain kapal pancing tonda (pandangan atas) saat ini di Maluku ………
115
42
Bentuk dan dimensi utama prototype kapal tonda sistem outboard engine yang diusulkan untuk dikembangkan .........................................
117
43
Desain cool box kapal pancing tonda ........................................................
118
44
Kerangka cool box ....................................................................................
120
45
Penutup dinding palka dengan tripleks .....................................................
122
46
Pemasangan stryrofoam ............................................................................
122
47
Pelapisan fiberglass bagian dalam ............................................................
122
48
Coll box yang sudah siap dipergunakan ..................................................
123
49
Teknologi penangkapan ikan tuna dengan penggunaan metode layang-layang sistem 1 pancing ..............................................................
125
39
...............................
......................................
50 Teknologi penangkapan ikan tuna dengan penggunaan metode layang-layang sistem 2 pancing ................................................................
125
51 Penangkapan ikan tuna saat ini ...................................................................
126
52
Desain kapal pukat cincin saat ini .............................................................
129
53
Modifikasi kapal pukat cincin (pandangan dari samping) yang diusulkan untuk dikembangkan ................................................................................
130
Modifikasi kapal pukat cincin (pandangan dari atas) yang diusulkan untuk dikembangkan ................................................................................
130
Kondisi palka kapal pukat cincin saat ini...................................................
133
56 Modifikasi palka yang diusulkan pengembangannya pada kapal pukat cincin ...............................................................................................
133
54
55
57
Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat pelingkaran alat tangkap pukat cincin ......................................................
135
Ilustrasi kemungkinan ikan yang meloloskan diri pada saat penarikan tali kolor alat tangkap pukat cincin ..........................................
136
59
Desain winch yang dioperasikan pada kapal pukat cincin ......................... (a) Tampak samping desain winch ............................................................ (b) Tampak atas desain winch ..................................................................
137 137 137
60
Struktur hierarki model pengembangan perikanan pelagis di Maluku ......
187
61 Hasil hierarki model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku pada setiap kriteria ..........................................................................
188
58
62
Posisi kriteria pengembangan pada level kedua (setelah goal) pada aplikasi Progam AHP . ....................................................................................
189
Rasio kepentingan kriteria dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (insconsistency 0,05)..........................
190
64
Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada nelayan ...............
191
65
Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada nelayan dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) ............................................................................. …
193
Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada pengusaha perikanan tangkap (PPT) ............................................................................
194
63
66 67
Rasio kepentingan pembatas sesuai
dengan perhatian pada
pengusaha perikanan tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08) ............ ...
195
Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada selektivitas alat tangkap (SAT) ..................................................................................
196
Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada selektifitas alat tangkap dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) .................................. ...
197
70 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja..................................................................... ....
197
68
69
71
Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,05) ......................................
198
72 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada pendapatan asli daerah ..................................................................................................
199
73
Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada pendapatan asli daerah dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,08) .....................................
200
74 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada BBM....................
201
75 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada bahan bakar minyak dalam upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku (inconsistency 0,04) ......................................
202
76 Urutan prioritas pengembangan terhadap ketiga alternatif alat penangkapan ikan di perairan Maluku (incosistency 0,06)........... ….
203
77 Perbandingan alat tangkap huhate dengan alat tangkap pancing tonda untuk semua kriteria ............................................................................. ...
204
78
Perbandingan alat tangkap huhate dengan jaring insang untuk semua Kriteria ......................................................................................
79 Model pengembangan perikanan pelagis di Maluku ............................. ....
205 226
DAFTAR LAMPIRAN
Hal 1
Hasil analisis maximum sustainable yield (MSY) dan effort optimal sumberdaya ikan pelagis kecil .................................................................... 247
2
Hasil analisis maximum sustainable yield (MSY) dan effort optimal sumberdaya ikan pelagis besar ......................................................................
259
Penentuan fungsi persamaan dari analisis LGP dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumberdaya ikan pelagis kecil ............
271
3
4
Penentuan fungsi persamaan dari analisis LGP dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumberdaya ikan pelagis besar ..............
273
5
Output analisis linear goal programming (LGP) dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumberdaya ikan pelagis ..................... 276
6 7 1
Perhitungan hasil tangkapan (catch) per upaya penangkapan (effort) masingmasing alat tangkap ikan pelagis kecil di perairan Maluku…….............................................. 232
2
Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin ………………………………………………………………… 237
3
Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai ………………………………………………………………… 238
4
Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap bagan ………………………………………………………………………………… 239
5
Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis kecil ……………………………………... 240
6
Perhitungan standarisasi upaya penangkapan alat tangkap ikan pelagis kecil ……… 241
7
Perhitungan analisis Anova untuk mengetahui Intercept (a), dan Slope (b) pada upaya penangkapan optimum dan Maximum Sustainable Yield ikan pelagis kecil… 242
8
Perhitungan hasil tangkapan (catch) per upaya penangkapan (effort) masingmasing alat tangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku ………………………………… 243
9
Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap huhate ……………………………………………………………………………….. 244
10 Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda ………………………………………………………………………... 245 11 Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar dengan menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan …………………………………………………………….. 246 12 Perhitungan MSY dan fopt ikan pelagis besar …………………………………….. 247 13 Perhitungan standarisasi upaya penangkapan alat tangkap ikan pelagis besar ……… 248 14 Perhitungan analisis Anova untuk mengetahui Intercept (a), dan Slope (b) pada upaya penangkapan optimum dan Maximum Sustainable Yield ikan pelagis besar ... 249 15 Perhitungan upaya penangkapan optimum, Maximum Sustainable Yield (MSY), CPUE optimum, tingkat pengupayaan (effort) dan tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil .................................................................................................................. 250 16 Perhitungan upaya penangkapan optimum, Maximum Sustainable Yield (MSY), CPUE optimum, tingkat pengupayaan (effort) dan tingkat pemanfaatan ikan pelagis besar ................................................................................................................ 251 17 Kriteria kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan …………………………… 252
18 Kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan ……………………… 253 19 Hasil Analisis Linear Programming alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku ……………………………………………………………………………… 254
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Potensi JBT di Laut Banda ......................................................................
3
2
Potensi JBT di Laut Seram dan Teluk Tomini ........................................
4
3
Potensi JBT di Laut Arafura ....................................................................
5
4
Luas wilayah perairan pada setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku hingga 12 mil laut ......................................................................
6
5
Perkembangan alat tangkap di Provinsi Maluku tahun 1998-2007 .........
20
6
Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis ukuran di Maluku tahun 1998 – 2007 ...................................................................................
29
Perkembangan nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Provinsi Maluku tahun 2002-2006 ...........................................................
30
Produksi hasil perikanan laut menurut jenis ikan di Maluku tahun 2003 - 2007 .............................................................................................
32
Produksi perikanan laut menurut komoditi non ikan pada Kabupaten/ Kota tahun 2007 .......................................................................................
32
Musim penangkapan cakalang di Perairan Utara Laut Banda dan Maluku Tengah .......................................................................................
48
11
Jenis dan sumber data serta metode pengumpulannya.............................
53
12
Matriks metode analisis data ...................................................................
55
13
Skor kriteria CPUE .................................................................................
56
14
Skor kriteria lama trip penangkapan .......................................................
58
15
Skor kriteria komposisi hasil tangkapan .................................................
59
16
Skor kriteria ukuran hasil tangkapan ......................................................
59
17
Skor kriteria metode pengoperasian alat tangkap ...................................
59
18
Skor kriteria daya jangkau operasi penangkapan ikan ............................
60
19
Skor kriteria pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap ....................................................................................................
60
7
8
9
10
20
Skor kriteria selektivitas teknologi penangkapan ikan ............................
60
21
Skor kriteria tingkat penggunaan teknologi .............................................
61
22
Skor kriteria penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap baru ............................................................................................
61
23
Skor tingkat pendidikan ..........................................................................
61
24
Ada tidaknya konflik antar nelayan .........................................................
61
25
Skor kriteria pengalaman kerja sebagai nelayan .....................................
62
26
Skor kriteria jumlah tenaga kerja .............................................................
62
27
Skor kriteria pendapatan nelayan ............................................................
62
28
Skor kriteria penerimaan kotor per trip/alat tangkap ...............................
62
29
Skor kriteria penerimaan kotor per jam operasi/alat tangkap ..................
62
30
Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/bulan ...........................
63
31
Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/tahun ...........................
63
32
Skor kriteria penerimaan kotor per tenaga kerja per hari ........................
63
33
Kriteria dan skor analisis aspek berkelanjutan unit penangkapan ikan di perairan Maluku ..................................................................................
64
34
Kriteria dan skor analisis ramah lingkungan unit penangkapan ikan .......
65
35
Model matrik analisis SWOT . ................................................................
72
36
Skala perbandingan berpasangan berdasarkan taraf relatif pentingnya ...
73
37
Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 ....................................................................................
74
Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, dan tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil di perairan Maluku .......................................................................................
84
Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, serta tingkat pengupayaan ikan pelagis besar di perairan Maluku .......................................................................................
84
Standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan di Perairan Maluku ...................................................................................
86
Standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan di Perairan Maluku ..................................................................................................
87
38
39
40 41
42
Standardisasi aspek sosial unit penangkapan ikan di Perairan Maluku . ..
88
43
Standardisasi aspek ekonomi unit penangkapan ikan di Perairan Maluku ..................................................................................................
89
44
Rangkuman standarisasi penilaian aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi unit penangkapan ikan di Perairan Maluku .. 90
45
Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan.......................
91
46
Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah lingkungan ............................................................................................
92
Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan di Maluku ..................................................................................................
93
Alokasi alat tangkap dan solusi optimal perikanan pelagis dan desain alat tangkap di Perairan Maluku ................................................
102
Spesifikasi modifikasi joran pancing saat ini dan arahan penyempurnaannya yang akan dikembangkan ......................................
103
47
48
49
50
Perbandingan karakteristik joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass………………………………………………………………….. 105
51
Perbandingan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass ......................................................
106
Spesifikasi kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan ........................................................................................
110
Spesifikasi modifikasi palka kapal huhate saat ini dan arahan Penyempurnaannya ................................................................................
111
54
Spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda ................................
112
55
Perbandingan keunggulan alat pancing tonda saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan ........................................................ 113
56
Spesifikasi dan kondisi positif yang diharapkan kapal pancing tonda di perairan Maluku ................................................................................
116
Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan di perairan Maluku ..............................................
119
58 Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda ..................
121
52
53
57
59
Bahan pembuatan cool box pada kapal pancing tonda ..........................
122
60
Perbandingan teknik pengoperasian pancing tonda saat ini dan teknik penggunaan layang-layang ........................................................
126
61
Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya .............
128
62
Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin ...........................................................................................
131
Kebutuhan alat dan bahan lainnya untuk pembuatan kapal pukat cincin............................................................................................
132
Perbandingan penggunaan winch dan tanpa menggunakan winch dalam operasi penangkapan dengan alat tangkap pukat cincin ............
137
65
Matrik faktor strategi Internal pengembangan perikanan pelagis .... ...
144
66
Matrik faktor strategi Eksternal pengembangan perikanan pelagis. . ..
145
67
Strategi pengembangan perikanan pelagis dan di perairan Maluku ... .
146
68
Prioritas strategi pengembangan perikanan pelagis di Maluku ...........
147
69
Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis kecil tahun 2007 dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, Fopt dan CCRF (80%) .........................................................................................
155
Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis besar tahun 2007 dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, Fopt dan CCRF (80%) .........................................................................................
155
Usulan alokasi optimal dari unit-unit penangkapan terpilih yang dikembangkan di perairan Maluku.......................................................
206
Matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku ..............................................................................................
220
63 64
. 70
71
72
DAFTAR ISTILAH
ABK AHP
: Anak Buah Kapal : Analisis pendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, alokasi sumberdaya, penentuan bobot, serta prioritas strategi/kebijakan. Unit penangkapan ikan : Suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, nelayan dan alat tangkap By-catch : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapat pada saat operasi penangkapan dan bukan dari tujuan utama penangkapan (non target spesies) Cool box : Tempat penyimpanan hasil tangkapan pada kapal yang telah dilapisi styrofoam dan ditambahkan es sehingga berfungsi untuk menjaga mutu hasil tangkapan CCRF (Code of Conduct for : Kode tindak perikanan bertanggung jawab yang Responsible Fisheries) menjadi acuan dari FAO CPUE (Catch per Unit Effort) : Jumlah atau berat hasil tangkapan per upaya penangkapan, digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif Fishing ground : Daerah penangkapan ikan Fishing base : Pangkalan kapal perikanan FKPPS : Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya Ikan GPS : Global Positioning System yang merupakan suatu alat navigasi pada kapal yang digunakan untuk menentukan posisi kapal IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Illegal fishing : Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan tanpa memiliki ijin yang berlaku di suatu wilayah /daerah Inconsistency : Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak Jaring bobo : Nama lokal untuk alat tangkap pukat cincin (purse seine) di Maluku TAC (Total Allowable Catch) : Jumlah tangkapan ikan yang dibolehkan KM : Kapal Motor
KOMNASJISKANLUT limiting factor LGP MSY Over fishing
PAD PTM PMT Prototype Perikanan tangkap Pengembangan
PPI RTP Real transfer of technology SIUP SIKPI Stakeholder SWOT Skipjack loin TPI WPP
: Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut : Faktor pembatas : Linear Goal Programming : Maksimum Sustainable Yield : Suatu kondisi dimana jumlah ikan hasil tangkapan melebihi jumlah stok ikan yang tersedia : Pendapatan Asli Daerah : Perahu Tanpa Motor : Perahu Motor Tempel : Suatu rancangan baru yang dibuat untuk menggantikan bentuk aslinya : Kegiatan untuk memperoleh ikan di suatu perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan : Pangkalan Pendaratan Ikan : Rumah Tangga Perikanan : Suatu perubahan yang terjadi dalam teknologi : Surat Ijin Usaha Perikanan : Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan : Pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait pada suatu kegiatan (pemangku kepentingan) : Strength Weaknness Oportunity and Threat : Komoditi cakalang yang merupakan produk untuk ekspor : Tempat Pelelangan Ikan : Wilayah Pengelolaan Perikanan
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat 4.320.241 ton per tahun (DKP RI 2006). Angka-angka tersebut menunjukkan tingkat pemanfaatan pada tahun 2004 telah mencapai 76,5% per tahun. Berdasarkan tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) yang diterbitkan oleh FAO, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC) adalah sebesar 80% dari Maximum Sustainable Yield, (MSY) (FAO 1995). Mengacu pada TAC tersebut, maka produksi minimum lestari di perairan Indonesia yang diperbolehkan dapat diestimasi adalah sekitar 5,12 juta ton per tahun. Provinsi kepulauan adalah sebuah provinsi yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugus pulau laut, diantara gugus pulau yang secara alamiah berhubungan antara satu dengan yang lain sedemikian erat sehingga merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, sosial budaya serta pertahanan keamanan. Maluku termasuk diantara tujuh provinsi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai Provinsi kepulauan selain, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Riau, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kebijakan modernisasi perikanan rakyat melalui pengembangan kapal motor dan perbaikan teknologi alat penangkapan ikan telah dilakukan sejak tahun 1967. Modernisasi menurut Choliq (1996)
diacu oleh Masyahoro (2004),
perkembangan produksi perikanan laut sebesar 4,19% per tahun. Ciri khas perikanan Indonesia adalah dominasi perikanan rakyat, artisanal dan skala kecil. Dari satu sisi, ciri ini adalah kekuatan dimana rakyat dalam jumlah besar dapat ikut serta dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dari sisi lain, ciri ini adalah kelemahan yang menunjukkan ketidakmampuan Indonesia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang dimilikinya. Indonesia memiliki sekitar 600.000 armada perikanan, dari jumlah armada perikanan tersebut, sekitar 43% adalah
2
Perahu Tanpa Motor (PTM), (223.831 buah), 28% armada perikanan yang menggunakan Perahu Motor Tempel (PMT) (156.388 buah) sedangkan sisanya adalah sekitar 29% atau 127.000 unit adalah Kapal Motor (KM) (Nikijuluw 2008). Besarnya perkiraan potensi sumberdaya ikan di seluruh perairan Indonesia adalah sekitar 4.391.589 ton per tahun dan perairan ZEE Indonesia 2.323.780 ton/ tahun. Potensi sumberdaya ikan pelagis di Ambon mencapai 236.100 ton/tahun, nilai itu terdiri dari ikan pelagis besar 104.100 ton/tahun dan ikan pelagis kecil 132.000 ton/tahun. Melihat realitas di atas maka sebenarnya Maluku adalah salah satu provinsi yang mempunyai sektor perikanan dan kelautan yang menimpah, hal ini
merupakan
kekayaan
bagi
pengembangan
pembangunan.
www.easycomputing.com. Sampai saat ini penyediaan data potensi sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkesinambungan di Indonesia termasuk Maluku masih merupakan permasalahan,hal ini disebabkan oleh belum terfokusnya kegiatan pengkajian stok ikan secara nasional, apalagi regional dan lokal. Secara nasional, laut di provinsi Maluku memiliki peranan penting dan strategis bagi kegiatan perikanan laut nasional, hal ini disebabkan karena sekitar 25% potensi perikanan tangkap Indonesia berada di wilayah perairan laut provinsi Maluku. Potensi tersebut menyebar di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu : WPP Laut Banda, WPP Laut Arafura dan WPP Laut Seram sampai Teluk Tomini, yang secara kumulatif mengandung potensi sumberdaya ikan sebesar 1,640 juta ton/tahun. Dari keseluruhan potensi sumberdaya ikan seperti disebutkan diatas tingkat pemanfaatannya baru mencapai sekitar 42% (DKP RI 2006). Pada tahun 2001 Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian Pengembangan Oceanologi LIPI melakukan suatu riset dan pengkajian terhadap kelimpahan stok ikan di perairan Indonesia. Pengkajian yang dilakukan diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, dan untuk Laut Banda diperoleh hasilnya adalah 248.400 ton/tahun (Tabel 1)
3
Tabel 1 Potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) di Laut Banda No 1
2 3 4
5 6 7
Kelompok Sumberdaya Ikan Pelagis besar Tuna Cakalang Paruh panjang Tongkol Tenggiri Pelagis kecil Demersal Udang Penaeid Udang karang Cumi-cumi Ikan karang TOTAL Ikan hias
Laut Banda Potensi (ton) 104.100 21.200 38.400 4.500 22.200 17.800
JBT (ton) 83.300 17.000 30.700 3.600 17.800 14.200
132.000 9.300 400 -400 100 2.500 248.400 226.100
105.600 7.400 300 -300 100 2.000 198.700 180.900
Sumber : DKP Maluku 2007.
Hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa telah terjadi aktifitas lebih tangkap (over fishing) di WPP Laut Banda terutama jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi–cumi, sehingga peluang pengembangan di WPP Laut Banda hanya dapat dilakukan pada sumberdaya perikanan pelagis besar sedangkan sumberdaya ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi–cumi sudah menunjukkan tingkat pemanfaatan yang tinggi atau melampaui potensi lestari.
Pengkajian
potensi sumberdaya ikan di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini menunjukkan tingkat pemanfaatan yang baik kecuali komoditas udang penaeid yang telah melampaui kapasitas atau telah terjadi over fishing sehingga perlu dibatasi aktifitas penangkapannya. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh daerah memang terdapat keuntungan, tetapi juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab daerah dalam pengendalian dan pengolahannya, seperti: over eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran dan keamanan maupun keselamatan pelayaran. Dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya dan perikanan. Artinya sumberdaya kelautan dan perikanan tidak semata-mata untuk dieksplotasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya yang tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan PAD, tetapi yang penting adalah untuk kesejahteraan nelayan. Hasil yang diperoleh dari kajian potensi tersebut di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini ini adalah 587.000 ton/tahun (DKP Maluku 2007).
4
Tabel 2 Potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) di Laut Seram dan Teluk Tomini No 1
2 3 4
5 6 7
Kelompok Sumberdaya Ikan Pelagis besar Tuna Cakalang Paruh panjang Tongkol Tenggiri Pelagis kecil Demersal Udang Penaeid Udang karang Cumi-cumi Ikan karang TOTAL Ikan hias
Laut Seram dan Teluk Tomini Potensi (ton) JBT (ton) 106.000 85.300 15.900 19.900 44.000 55.500 3.000 3.700 12.000 15.000 10.000 12.500 378.800 83.800 1.200 900 300 7.100 9.500 587.000 270.400
303.000 67.000 900 700 200 5.700 7.600 469.500 216.300
Sumber: DKP Maluku 2007
Hasil yang diperoleh dari kajian potensi tersebut di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini ini adalah 587.000 ton/tahun (DKP Maluku 2007). Sedangkan WPP Laut Arafura pengkajian yang dilakukan menunjukkan adanya ketersediaan potensi sumberdaya ikan sebesar 792.100 ton/tahun (Tabel 3). Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dilihat bahwa hanya terdapat peluang untuk pengembangan penangkapan ikan pelagis kecil, sedang untuk sumberdaya ikan lainnya telah mendekati tingkat kejenuhan sehingga memerlukan tindakan pengelolaan secara terbatas. Kegiatan penangkapan ikan di laut akhir-akhir ini semakin berkembang dengan ditandai dengan berkembangnya jumlah kapal serta semakin jauhnya daerah operasi penangkapan, namun juga banyak kapal ikan baik berbendera Indonesia maupun asing yang melakukan pelanggaran dalam aktifitas mereka dalam melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku. Aktifitas yang dilakukan oleh armada asing maupun nelayan dari Maluku sangat merugikan nelayan setempat dengan kemampuan teknologi yang terbatas. Kondisi laut di perairan wilayah timur khususnya di perairan Maluku dan sekitarnya memiliki potensi kekayaan besar serta merupakan jalur lalu-lintas kapal-kapal internasional sehingga berpeluang besar terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hukum di laut (DKP Maluku 2005).
5
Tabel 3 Potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) di Laut Arafura No 1
2 3 4
5 6 7
Kelompok Sumberdaya Ikan Pelagis besar Tuna Cakalang Paruh panjang Tongkol Tenggiri Pelagis kecil Demersal Udang Penaeid Udang karang Cumi-cumi Ikan karang TOTAL Ikan hias
Laut Arafura Potensi (ton) JBT (ton) 50.900 40.700 7.200 9.000 14.000 17.500 2.700 3.400 12.300 15.400 4.500 5.600 468.700 246.800 21.500 21.400 100 3.400 800 792.100 9.200
375.000 197.400 17.200 17.200 100 2.700 600 633.600 7.400
Sumber: DKP Maluku 2007
Sebagai provinsi kepulauan dengan tiga kawasan laut pulau yang juga sekaligus sebagai WPP, aktifitas usaha penangkapan ikan telah dilaksanakan di ketiga WPP dimaksud dan produksi yang dihasilkan dari usaha penangkapan ikan tahun 2006 adalah sebesar 484.401,2 ton. Jumlah ini baru 29,5% dibanding potensi sumberdaya ikan yang tersedia namun karena ketiga WPP tersebut dikelola juga oleh Provinsi lain. Daerah penangkapan ikan di perairan Indonesia, terkait dengan wilayah pengelolaan perikanan yang dinyatakan dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Wilayah pengelolaan perikanan laut Indonesia tersebut menurut kesepakatan Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya Ikan (FKPPS)-Direktorat Jenderal Perikanan, sebanyak 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu : (571) Selat Malaka, Laut Andaman, (572) Samudera Hindia Barat Sumatera dan Selat Sunda, (573) Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, (711) Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, (712) Laut Jawa, (713) Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali, (714) Laut Banda, (715) Laut Aru, Laut Arafura, Laut Timor, (716) Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram, (717) Laut Sulawesi, Laut Halmahera, dan (718) Samudera Pasific (Komnasjiskanlut, 2008). Perairan provinsi Maluku mencakup WPP 714, WPP 715 dan WPP 716, seperti diperlihatkan pada Gambar 1
6
Sumber: KO OMNASJISKA ANLUT (20088)
Gambar 1 Peta wilay yah pengeloolaan perikaanan (WPP)) Indonesia.. Berddasarkan baatas wilayahh pengelolaaan oleh kabbupaten/kotaa yaitu 0 – 4 mil laut dan provinsi p yaiitu 4 sampaai 12 mil laaut, diukurr dari batass surut terendah, maka luass perairan prrovinsi Malluku pada w wilayah ini adalah a 152.9950,2 km2. Pada Tabel 4, dikemukaka d an luas perrairan yang merupakann daerah peenangkapann ikan pada kabuupaten/kota di Provinsi Maluku. Tabel 4 L Luas perairaan pada setiiap kabupatten/kota di provinsi p M Maluku hinggga 12 mil m laut L Luas perairaan (km2) No.
Kab bupaten 0-4 mil
4-12 mil m
Jum mlah
1.268,7
3.8599,5
5.128,2
16.254,0
31.281 1,0
47.5535,0
3.743,0
7.261,0
11.0004,0
4. Kabupaaten Malukuu Tenggara
15.364,0
19.659 9,0
35.0023,0
5. Kabupaaten Malukuu Tenggara Barat B
17.740,0
36.520 0,0
54.2260,0
1. Kota Ambon A 2. Kabupaaten Malukuu Tengah
*)
3. Kabupaaten Buru *)
Sumber: Daata Dan Informaasi Spasial Sum mberdaya Perikaanan dan Kelau utan Provinsi Maluku M (2003) Keterangan: *) Sebelum pem mekaran kabupaten
Murrdiyanto (20007) mengaatakan bahw wa arah penggembangan IPTEK dann seni dalam perrikanan tanggkap sangatt berkaitan dengan pen nyelenggaraaan pemanffaatan sumberday ya perikanaan yang meliputi m sum mberdaya allam (ekosisstim habitatt dan biota laut)) dan sumbeerdaya man nusia. Pengeembangan teknologi t peenangkapann ikan mengarah pada peneemuan (ino ovasi) yang menghasillkan modifiikasi, konsttruksi
7
serta alat dan bahan yang ramah lingkungan (tidak merusak habitat, sumberdaya ikan, efektif, efisien, praktis serta memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan nelayan) Pemanfaatan dan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Maluku bertujuan untuk: 1) memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan, 2) meningkatkan penerimaan devisa bagi negara dari ekspor perikanan dan kelautan, 3) meningkatkan kesejahteraan nelayan, 4) meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia perikanan, 5) meningkatkan kecukupan gizi masyarakat dari hasil perikanan, 6) meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, 7) menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DKP Maluku 2005). Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan perikanan dan kelautan Maluku sampai tahun 2008 yang adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan armada penangkapan sebesar 39.881 buah yang terdiri dari PTM 37.349 buah, PMT 1.773 buah, dan KM 759 buah, 2) penyerapan nelayan perikanan tangkap sebesar 121.791 orang, 3) produksi perikanan tangkap minimal sebesar 441.172 ton, 4) ekspor produksi perikanan minimal 338.599 ton, 5) PAD minimal mencapai Rp 11,4 milyar, 6) meminimalisir tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DKP Maluku, 2005). Armada perikanan tangkap yang terdapat di Maluku masih bersifat tradisional, hal ini disebabkan karena :1) daerah penangkapan (fishing ground) dekat dengan pantai; 2) keterbatasan dana dari nelayan untuk membuat kapal penangkapan; 3) sumberdaya manusia rendah. Teknologi mendesain kapal penangkapan pada daerah ini juga masih bersifat tradisional karena mereka masih mengandalkan kemampuan untuk merancang kapal yang diturunkan secara turuntemurun. Hasil tangkapan utama yang didapatkan dari perairan Maluku adalah jenis ikan pelagis kecil dan pelagis besar serta demersal. Jika ukuran dan dimensi teknologi berubah, maka secara langsung berdampak pada jumlah, jenis, dan ukuran ikan yang tertangkap. Teknologi penangkapan yang dipergunakan di Maluku sebagian besar masih mempergunakan teknologi sederhana, karena masih rendahnya modal usaha yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang
8
seharusnya dikelola oleh nelayan setempat tidak dapat dilakukan secara optimal mengingat keterbatasan jumlah alat tangkap, perahu, dan teknologi yang digunakan masih tradisional, akibatnya sumberdaya ikan yang ada banyak dimanfaatkan oleh nelayan dari luar daerah maupun dari negara lain. Penguasaan dan pengembangan teknologi untuk menghasilkan produk adalah merupakan persyaratan utama untuk membangun suatu industri nasional yang berkelanjutan dan kompetitif sebab itu, pemerintah Indonesia merumuskan empat langkah transfer teknologi menurut BPIS (1989), antara lain: (1)
Memanfaatkan teknologi yang ada untuk menghasilkan produk yang tersedia di pasaran dengan menggunakan lisensi teknologi
(2)
Mengintegrasikan teknologi yang ada untuk mendesain dan menghasilkan produk baru
(3)
Mengembangkan teknologi untuk menciptakan teknologi baru yang diarahkan pada hasil desain dan produk masa depan
(4) Melaksanakan riset dasar skala besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permodelan adalah terjemahan bebas dari istilah modelling dan dari terminologi penelitian operasional didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual (Eriyanto, 1988). Selanjutnya dikatakan pula bahwa model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung secara kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Rau dan Wooten (1980) memandang bahwa model merupakan suatu penampakan dari suatu sistem yang sebenarnya. Model-model suatu ekosistem umumnya lebih sederhana dari kondisi yang sebenarnya. Proses kegiatan yang menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan istilah ”modelling”. Nasenda dan Anwar (1985) menyatakan bahwa penggunaan modelling memiliki tujuan antara lain: 1) Menganalisa dan mengidentifikasi pola hubungan antara input-output dengan parameter kualitas lingkungan yang diamati
9
2) Menyusun suatu bentuk strategi optimal dalam sistem pengendaliannya 3) Mengidentifikasi kondisi-kondisi mana suatu alternatif kebijakan dapat diterima. Menurut Siswosudarmo et al. (2001), model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dalam suatu perubahan kurun waktu yang tidak ditentukan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri dan dapat mewakili nilai numerik serta sudah merupakan bagian dari dirinya. Pengembangan sub sektor perikanan tangkap yang baik dan ideal harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap komponen atau sub-sistemnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sub sektor perikanan tangkap di perairan Maluku tersebut secara optimal harus mengacu pada pola yang tepat, jelas dan komprehensip. Selanjutnya, berdasarkan pola yang diperoleh ini diharapkan dapat dirumuskan suatu model untuk pengembangan perikanan tangkap yang optimal agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sumberdaya ikan di perairan Maluku merupakan aset yang harus dimanfaatkan secara bijaksana. Meskipun sumberdaya tersebut bersifat dapat pulih (renewable), namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat saja tidak seimbang dengan laju pemanfaatannya. Untuk itu, dalam memanfaatkan sumber daya tersebut perlu dikaji faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadapnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut terutama adalah aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai macam alat penangkapan ikan. Armada perikanan tangkap di Maluku pada tahun 2007 didominasi oleh perahu tanpa motor (PTM) sebanyak 39.124 unit; perahu motor tempel (PMT) 3781 unit; kapal motor (KM) < 5GT 533 unit; 10-20 GT 276 unit; 30-50 GT 34 unit; 50-100 GT 16 unit, serta >200 GT sebanyak 20 unit (DKP Maluku 2007). Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku perlu dikembangkan, hal ini didasarkan pada letak
10
geografis Provinsi Maluku yang sebagian besar wilayahnya adalah laut mengandung kekayaan sumberdaya hayati laut yang cukup banyak, baik dari keanekaragamannya maupun jumlahnya hingga saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal karena kondisi armada perikanan yang masih didominasi oleh perahu tanpa motor. Teknologi alat penangkapan ikan telah mengalami perkembangan dan menjadi penting seiring dengan meningkatnya kegiatan dan usaha manusia dalam memajukkan industri perikanan di bidang usaha penangkapan ikan. Setiap pengoperasian unit penangkapan ikan akan berdampak baik terhadap sumberdaya ikan yang ditangkap maupun lingkungannya, sehingga perlu dikaji sampai sejauh mana dampaknya dan bagaimana meminimalkan dampaknya. Praktisi teknologi penangkapan ikan sudah memulai mengembangkan alat tangkap yang dimaksud, baik dengan melakukan modifikasi atau membuat rancangan alat tangkap yang ramah lingkungan. Disamping teknologi itu sendiri, adalah penting bagi pemanfaatan sumberdaya ikan untuk memahami pengelolaan penangkapan ikan yang meliputi perencanaan, pengoperasian, dan optimalisasi pemanfaatan ikan. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan aspek-aspek kondisi sumberdaya ikan yang ada, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Perairan Maluku memiliki potensi sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis kecil dan besar yang cukup besar, namun diduga tingkat pemanfaatannya masih belum optimal. Pemanfaatan dan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Maluku bertujuan untuk: 1) memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan, 2) meningkatkan penerimaan devisa bagi negara dari ekspor perikanan dan kelautan, 3) meningkatkan kesejahteraan nelayan, 4) meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia perikanan, 5) meningkatkan kecukupan gizi masyarakat dari hasil perikanan, 6) meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, 7) menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DKP Maluku 2005).
11
Upaya pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku membutuhkan identifikasi permasalahaan serta pemecahannya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendekatan penyusunan model pengembangan perikanan pelagis yang merupakan salah satu dasar pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Maluku.
1.2
Perumusan Masalah Sumberdaya perikanan tangkap di perairan Maluku memiliki potensi yang
cukup besar namun pemanfatannya belum dilakukan secara optimal. Hal ini berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia dan kemampuan manejerial yang relatif rendah, keterbatasan modal sehingga menyebabkan produktifitas nelayan dan produktifitas alat tangkap rendah. Agar pelaksanaan pengembangan perikanan pelagis di perairan ini dapat berjalan efektif, efisien, dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan kajian tentang model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap yang lebih komprehensif. Hal ini penting dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Teknologi yang dipergunakan pada armada perikanan tangkap yang ada di Maluku sangat bervariasi, hal ini tergantung pada alat tangkap serta penggunaannya. Tangkai pancing (joran) yang digunakan pada penangkapan dengan alat tangkap huhate terbuat dari bambu, tetapi sekarang ini bambu sulit ditemukan di alam akibat pembangunan yang terus dilakukan oleh manusia. Palka sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan pada kapal penangkapan ikan belum dibuat secara baik sehingga hasil tangkapan sulit untuk diekspor, padahal permintaan skipjack loin sangat dibutuhkan di pasaran internasional. Teknologi penangkapan dengan alat tangkap pancing tonda perlu diperbaharui mengingat permintaan ikan tuna dipasaran internasional cukup tinggi. Teknologi yang digunakan pada alat tangkap pukat cincin (purse seine) belum efektif sehingga sering terjadi kegagalan pada saat operasi penangkapan. Armada pole and line
yang beroperasi di perairan Maluku
masih belum
menggunakan teknologi yang lebih modern untuk menemukan gerombolan ikan seperti Global Possition System (GPS), radar, dan lain-lain, dan masih menggunakan cara-cara tradisional untuk menemukan gerombolan ikan. Alat tangkap pancing tonda (troll line), nelayan belum menggunakan cool box yang
12
baik dan efisien sesuai dengan ukuran kapal/perahu yang gunakan untuk menyimpan hasil tangkapan. Berkaitan dengan program pemerintah bidang perikanan tangkap khususnya di Provinsi Maluku, model pengembangan perikanan pelagis di perairan ini menghadapi kendala dan permasalahaan utama yang perlu dianalisis dan dijawab. Secara spesifik permasalahaan pokok dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah: (1) Bagaimana teknologi alat perikanan tangkap di Provinsi Maluku (2) Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan pelagis di Maluku (3) Bagaimana fasilitas-fasilitas pendukung perikanan tangkap. Berdasarkan potensi sumberdaya ikan serta armada perikanan tangkap yang ada diharapkan akan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat menguntungkan bagi pembangunan perekonomian di daerah Maluku, namun masih terdapat beberapa kendala dalam permasalahaan perikanan tangkap yang antara lain : 1) terbatasnya armada penangkapan, 2) rendahnya penguasaan teknologi, 3) jangkauan operasi penangkapan ikan dekat dengan pantai, 4) sumberdaya manusia terbatas, 5) kurang kemiteraan, 6) pendapatan nelayan rendah, 7) kurangnya modal, 8) implementasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah kurang tepat sasaran, dan 9) desain teknologi alat tangkap sederhana. Memperhatikan
permasalahaan
yang
dihadapi
maka
pembangunan
perikanan tangkap di Maluku perlu ditingkatkan mengingat sektor perikanan merupakan primadona di ibu kota seribu pulau ini karena ini adalah merupakan bagian integral untuk meningkatkan perekonomian pendapatan daerah (PAD) secara terpadu dan tepat sasaran. Salah satu cara atau strategi yang sangat penting dilakukan adalah dengan membuat model pengembangan perikanan pelagis di daerah ini. Pada prinsipnya model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku memerlukan suatu acuan yang komprehensif dan jelas, oleh karena itu maka penulis merasa sangat penting untuk meneliti sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan permasalahaan yang ada, maka perlu dilakukan pengkajian yang sistematis untuk mengetahui hal sebagai berikut: 1) apakah sumberdaya ikan
13
pelagis kecil maupun besar di perairan Maluku sudah melebihi batas MSY atau belum?, 2) jenis teknologi penangkapan tepat guna yang bagaimana yang tepat dikembangkan dalam perikanan pelagis, 3) apakah jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis sudah optimal?, 4) apakah penggunaan teknologi dalam penangkapan ikan pelagis dengan kapal huhate, pancing tonda, pukat cincin perlu diganti?, 5) apakah strategi pengembangan perikanan pelagis sudah baik?, dan 6) apakah model pengembangan perikanan pelagis sudah ada?. Berdasarkan uraian di atas, pendugaan terhadap potensi sumberdaya ikan pelagis seperti tingkat pemanfaatan dan potensi lestari perlu dilakukan. Unit penangkapan ikan pelagis perlu dievaluasi berdasarkan pertimbangan berbagai aspek seperti aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Evaluasi tersebut diperlukan untuk menentukan unit penangkapan ikan unggulan. Dengan diketahuinya besar potensi sumberdaya, unit penangkapan tepat guna dan alokasinya maka model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat diformulasikan dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
1.3 Tujuan Penelitian (1) Mengkaji tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Maluku (2) Menentukan jenis teknologi tepat guna (3) Menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan tepat guna (4) Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan tepat guna (5) Mengkaji strategi pengembangan teknologi alat penangkapan ikan (6) Menyusun model konseptual pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi : 1) bahan dan informasi
untuk pengembangan IPTEK dalam bidang perikanan tangkap, 2) pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota di Maluku sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Maluku, 3) peneliti dan akademisi, diharapkan hasil studi ini
14
dapat merupakan bahan referensi bagi pengembangan perikanan pelagis, 4) bahan masukan pengembangan industri perikanan tangkap di daerah Maluku. 1.5
Kerangka Pemikiran Potensi sumberdaya perikanan di perairan Maluku belum seluruhnya
dimanfaatkan secara optimal. Potensi sumberdaya perikanan di perairan Maluku sebesar 1.640 juta ton/tahun, tingkat pemanfaatannya mencapai 42% (DKP Maluku 2007). Belum optimalnya pemanfaatan potensi ini disebabkan karena minimnya sarana dan prasarana penangkapan yang tersedia, kurangnya modal usaha, sumberdaya manusia rendah, penguasaan teknologi masih sederhana, belum terciptanya kemitraan, jangkauan operasi armada penangkapan ikan dekat pantai, peran serta pemerintah daerah masih kurang, pendapatan nelayan rendah serta kebijakan pemerintah dalam menerapkan program dan strategi dinilai kurang tepat sasaran. Kegiatan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan semakin meningkat perannya dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Untuk itu, diperlukan adanya pengkajian secara menyeluruh, baik aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Aspek biologi terkait erat dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan. Aspek teknis berhubungan erat dengan teknologi dan armada penangkapan. Aspek sosial terkait erat dengan tenaga kerja (nelayan) dan kesejahteraan serta kemungkinan adanya dampak negatif yang diderita oleh nelayan. Sedangkan aspek ekonomi yang menyangkut efektivitas dan efisiensi biaya operasional yang berdampak pada pendapatan usaha nelayan. Secara teoritis kerangka pemikiran dirancang untuk melihat perikanan tangkap saat ini, dan berdasarkan kinerja yang ada dapat dilakukan berbagai strategi untuk perbaikan di masa depan atau berbagai alternatif pemecahannya. Secara teknis operasioanal, kerangka penelitian dibangun berdasarkan pada issu pengelolaan perikanan di wilayah penelitian. Untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, maka dibutuhkan strategi pengelolaan perikanan yang tepat. Dilihat dari perspektif pengelolaan keberlanjutannya, belum ada kajian komprehensif yang sekaligus mencakup berbagai dimensi berkelanjutan yaitu dimensi biologi, ekonomi, sosial, teknologi dan pemasaran, padahal kondisi
15
dimensi tersebut dapat menggambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap dan dijadikan pertimbangan pembangunan perikanan ke depan. Kondisi perikanan yang bersifat kompleks di perairan Maluku, maka dibutuhkan suatu pendekatan sistem agar dapat mengkaji berbagai dimensi yang terkait secara komprehensif dan terintegrasi. Kajian dibatasi pada perikanan pelagis dengan tujuan untuk mengetahui potensi sumberdaya ikan pelagis, teknologi tepat guna yang akan diterapkan dan jumlah alokasi unit penangkapan yang optimum serta memodifikasi strategi pengembangannya. Potensi sumberdaya diperoleh melalui analisis Schaefer dan outputnya dapat digunakan untuk menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan sumberdaya ikan pelagis. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis dibutuhkan teknologi penangkapan tepat guna dan dianalisis melalui pendekatan teknologi, biologi dan sosial ekonomi dengan menerapkan metode multi criteria analysis (MCA). Salah satu karakterisitik sumberdaya ikan pelagis kecil adalah milik bersama (common property), yang berimplikasi terhadap tingkat pemanfaatan yang berlebih (overfishing), oleh karena itu teknologi penangkapan tepat guna yang sudah diperoleh harus diatur alokasi optimumnya dan untuk tujuan tersebut dapat diterapkan analisis linear goal programming (LGP). Langkah selanjutnya untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan adalah menentukan kebijakan strategis untuk itu, dibutuhkan pendekatan sistem, faktor-faktor yang berpengaruh, yang selanjutnya dianalisis dengan Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil dari analisis ini akan digunakan untuk membuat/merancang suatu model konseptual yang merupakan gambaran hasil kajian kondisi saat ini diharapkan dapat dirumuskan kedalam suatu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Maluku pada perikanan tangkap yang bertanggungjawab dan berkesinambungan secara konsisten. Kerangka pikir dalam menyusun kebijakan model pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap di perairan Maluku disajikan pada Gambar 2, sedangkan alur tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.
16
Kebijakan Armada Perikanan Tangkap saat ini
Masalah Terbatasnya armada penangkapan ikan Kurangnya modal Jangkauan operasi daerah penangkapan dekat pantai Sumberdaya manusia terbatas Rendahnya penguasaan teknologi Kurangnya kemitraan Implementasi kebijakan pemerintah kurang tepat sasaran Pendapatan nelayan rendah Desain teknologi alat tangkap masih sederhana
Analisis : (1) Potensi Sumberdaya Ikan Produksi Upaya penangkapan (2) Kajian teknologi tepat guna (3) Kajian alokasi unit penangkapan (4) Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan (5) Strategi pengembangan perikanan pelagis
Model Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Sumber: data penelitian 2009 Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian.
17
ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN MALUKU
Unit penangkapan 1 Pukat cincin (purse seine) 2 Pukat pantai (beach seine) 3 Bagan (liftnet) 4 Huhate (pole and line) 5 Pancing tonda (troll line) 6 Jaring insang permukaan (drift gillnet)
Aspek Biologi :
-Hasil tangkapan -Komposisi jenis -Musim -Fishing ground
MSY dan CCRF
Teknologi tepat guna
CCRF Teknik skoring
Alokasi Unit penangkapan tepat guna
LGP
Modifikasi Prototipe unit penangkapan ikan tepat guna
Deskriptif komparatif
Strategi model pengembangan perikanan pelagis
SWOT AHP
18
Rekomendasi Model Pengembangan Perikanan Pelagis di perairan Maluku Sumber: data penelitian 2009 Gambar 3 Diagram alur tahapan penelitian.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Unit Penangkapan Ikan Armada penangkapan merupakan sekelompok kapal-kapal yang teroganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Dirjen Perikanan Tangkap 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Unit penangkapan merupakan suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari perahu/kapal penangkap, alat tangkap (Dirjen Perikanan Tangkap 2002). Monintja (2001) menyatakan bahwa suatu armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan.
2.1.1 Alat tangkap Alat tangkap merupakan sarana dan perlengkapan untuk menangkap ikan. Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia Tahun 2005, alat penangkapan ikan (API) di Indonesia dikelompokkan kedalam beberapa jenis yaitu: pukat tarik (trawl), pukat kantong (seine net), pukat cincin (purse seine), jaring angkat (liftnet), pancing (hook and lines), perangkap, alat pengumpul dan penangkap, dan alat lainnya (DKP RI 2006). Pengelompokkan alat tangkap tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai tipe alat tangkap ikan (API) yang dioperasikan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Statistik Perikanan Provinsi Maluku tahun 2006, alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku dapat dikelompokkan kedalam 12 jenis alat tangkap ikan. Jenis dan jumlah alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan di Maluku bervariasi sesuai dengan sasaran yang menjadi tujuan penangkapan. Beberapa macam alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di perairan Maluku adalah jaring insang (gillnet), pukat pantai (beach seine), bagan apung (liftnet), huhate (pole and line), pukat cincin (purse seine), pancing tonda (troll line), pancing tangan (handline) dan alat penangkapan ikan lainnya. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2002, penggunaan alat tangkap oleh nelayan di provinsi
20
Maluku mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena dampak kerusuhan yang terjadi di daerah ini. Jumlah alat tangkap ikan di Provinsi Maluku pada tahun 2006 adalah 46832 buah dan pada tahun 2007 adalah 46725 buah. Perkembangan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Provinsi Maluku dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5 Perkembangan alat tangkap di Provinsi Maluku tahun 1998 – 2007 No
Jenis alat tangkap
Tahun 1998 179
1999 179
2000 2
2001 164
2002 154
2003 47
2004 39
2005 35
2006 53
2007 49
0
125
125
206
210
175
0
0
0
0
1
Pukat udang
2
Payang
3
Pukat tarik
0
0
0
0
0
0
140
135
138
143
4
Pukat pantai
770
608
146
339
344
339
370
419
425
435
5
Pukat cincin
540
639
91
192
192
223
246
245
251
272
6
Jaring insang Bagan
9882
10197
4337
7637
9614
11406
11305
12688
12843
12661
3637
3226
638
1230
1336
2082
1936
1672
1717
1659
21209
19328
9345
18144
21564
26418
25289
23679
24152
27471
9
Pancing tonda Huhate
737
496
104
267
226
193
224
216
244
404
10
Rawai
4653
3268
742
1666
229
279
308
950
992
1083
11
Perangkap
3549
3368
2162
3161
5663
6198
6344
5962
6017
2548
Jumlah
45615
41441
17692
33006
39539
47365
47551
46001
46832
46725
7 8
Sumber : DKP Maluku (2007)
2.1.1.1 Alat tangkap ikan pelagis kecil (1)
Pukat cincin (purse seine) Pukat cincin (purse seine) adalah alat tangkap ikan yang terbuat dari jaring
yang umumnya berbentuk empat persegi panjang tanpa kantong dengan cincin di bagian bawahnya dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan. Disebut pukat cincin karena dilengkapi dengan cincin untuk menarik tali cincin (purse line) saat operasi penangkapan dilakukan. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang cukup banyak dioperasikan di perairan Maluku untuk penangkapan jenis-jenis ikan pelagis. Jenis alat ini tersebar disebelah timur dan barat pulau Ambon, daerah penangkapannya adalah sekitar laut Seram, laut Banda. Pukat cincin (purse seine) terdiri dari beberapa bagian, yaitu sayap (wing), perut (body), bahu (shoulder), dan kantong (bunt). Adapun Gambar kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 4
21
Gambaar 4 Kapal pukat p cincinn (purse seinne) di Malukku Pukaat cincin yaang digunakkan oleh nelayan di perairan Malu uku, berdasarkan konstruksiinya terdiri dari pukat cincin tipe satu kapal.. Operasi peenangkapann ikan dengan menggunakan m n pukat cin ncin, bila mengejar m geerombolan ikan terdirii dari beberapa tahap t sebaggai berikut: 1) menemuukan gerom mbolan ikann, 2) pelingkkaran jaring, 3) penarikan tali kolor; 4) penarikaan tubuh jaaring; 5) peengambilan hasil s unit puukat cincin dengan d kappasitas 10 saampai tangkapann. Di perairaan Maluku satu 15 GT jum mlah awak berkisar b 16 sampai 25 orang. o (2)
Bag gan apung (lift net) Alatt tangkap bagan merrupakan saalah satu jaring j angkkat, yang dapat
dibedakann atas bagann tetap dann bagan perahu atau bagan b apunng. Penangkkapan dengan allat ini dilaakukan padaa malam hari h dengann bantuan cahaya c (ligghting fishing) sebagai pennarik ikan agar a dapat berkumpull pada suattu areal terrtentu d muddah ditangkap. sehingga dengan Keg giatan penanngkapan dillakukan deengan menyyalakan lam mpu pada seekitar pukul 18.000, kemudiian menurun nkan jaringg yang diatu ur dengan penarik p ”rooller”. Penangkap pan dilakukkan dengan menyalakaan lampu di d sisi kiri dan d kanan untuk u menarik gerombolan g n ikan. Seteelah ikan terkumpul, t maka cahaaya lampu disisi tengah baagan dikuraangi dengann cara memadamkan lampu unntuk menguurangi pantulan cahaya ke permukaann air, dan jaring dituurunkan, kemudian k lampu dinyalakan n lagi untukk menarik ikan berkum mpul di dallam jaring untuk dilakkukan penangkappan. Bersam maan dengaan itu jaringg ditarik perrlahan-lahann agar ikan tetap berkumpu ul dibagian tengah t bagaan dan dipinndahkan deengan ”scoop op net” ke dalam d wadah peenampungann sementarra (gogona) untuk peenangkapann ikan cakkalang dengan menggunak m kan kapal huhate (ppole and line). Beerdasarkan cara pengoperaasiannya, baagan apung di perairann Maluku dikelompokk d kan dalam jaring j angkat (lif iftnet), dan berdasarkaan konstrukksinya terdirri dari bagan perahu (boat
22
liftnet) daan bagan raakit (raft lifftnet). Baggan yang dioperasikan oleh nelayyan di perairan Maluku M terlihat pada Gambar G 5
Bagan rakit (raft liftneet) dan baggan perahu (boat liftneet) di Gaambar 5 B p perairan Maaluku (3)
Puk kat pantai (beach ( sein ne) Pukaat pantai (beach ( seinne) adalah salah satuu jenis alaat tangkap yang
dioperasikkan di peraiiran pantai. Di Malukuu, pukat pan ntai disebutt dengan “jjaring redi”, tujuuan utama penangkapa p annya adalahh jenis-jenis ikan yangg dapat dijadikan sebagai um mpan hidupp pada perikkanan pole and line. Alat A tangkaap ini terdirri dari dua buah sayap yanng panjanggnya sama dan variassi ukuran umumnya sama kat pantai teerbuat dari bahan b tergantungg pada lokasi penangkaapan. Bahann jaring puk nylon dann konstrukssi pukat paantai antaraa lain : bag gian tengah h (bunt), bbagian utama, baagian pinggir jaring (w wing), pepettan (selvedgge), pelamppung (float)), tali pelampungg, tali ris atas, a pembeerat (sinkerr), tali pem mberat (sinkker line), taali ris bawah dan n tali penariik. Alatt tangkap ini i biasanyya dioperassikan di seekitar bakaau dengan dasar perairan pasir p dan lum mpur. Alat tangkap inii termasuk salah s satu alat tangkap yang tidak ramaah lingkunggan karena menangkap m semua jenis ukuran ikkan. Ukuran mata jaring (meesh size) padda alat tanggkap pukat pantai p ini ad dalah 0,25 inci i dan 0,55 inci. Operasi penangkapann dengan menggunaka m an pukat paantai membu utuhkan neelayan sebanyak 10-13 oranng, dengan n pembagiaan tugas seebagai berikkut: 1) nakkhoda m 1 orang o yang tugasnya memberi m komando k daalam operasi, 2) (fishing master) nelayan perahu lamppu sebanyakk 2-3 orang yang bertuugas untuk menggiringg ikan ke area penangkapann, 3) nelayaan biasa (m masnait) sebbanyak 7 sampai s 12 orang o
23
yang bertuugas untuk menarik jarring. Gambbar kapal daan alat tangkkap pukat pantai p dapat kita lihat pada Gambar G 6
Gambar 6 Alat tangkaap pukat panntai (beach seine) di peerairan Maluuku Opeerasi penanngkapan paada waktu siang harri dilakukaan dengan cara melingkarri areal terttentu yang diduga meerupakan teempat beraddanya kelom mpok ikan dengan jaring paada daerah yang agak jauh j dari gaaris pantai (100 ( sampaai 200 u dengan perahu meter), seedangkan paada malam hari operassi penangkaapan dibantu lampu seb bagai penguumpul ikan. Penangkappan ikan denngan pukat pantai dilakkukan pada daerrah yang teerdapat kom munitas bakkau dan aliiran sungai sehingga dapat dikategoriikan sebagaai daerah esstuaria denggan dasar perairannya p lumpur, luumpur berpasir dan d berpasiir. Musim penangkappan terbaik terjadi padda musim barat (Oktober sampai s Aprril) dimana nelayan cennderung unttuk melaut, sedangkann pada musim tim mur (Mei sampai September) terjaddi ombak dan gelombaang. Berdasarkan hasil pen nelitian yanng diperoleeh menunjuukkan bahhwa jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap oleh pukatt pantai terrdiri dari: ikan teri (SStolephoruss sp), ( sp), selar (Selaroides ( tembang (Sardinella spp), sertaa ikan pelaggis kecil lainnya. Sistem pembagian haasil pada un nit penangkkapan pukat pantai di Kota K Ambonn dan Kabupatenn Maluku Tengah T adalaah pembagiian hasil lanngsung yaitu u 50% : 50% %.
2.1.1.2 Alat A tangkaap ikan pelaagis besar (1)
Jarring insang permukaa an (drift gilllnet) Jarinng insang bberbentuk empat e perseegi panjang g, ukuran mata m jaring sama
pada selurruh tubuh jaring, j lebaar jaring lebbih pendek dari pada ukuran pannjang. Alat tangkkap ini meruupakan alatt tangkap yaang pasif. Ju umlah pemb berat pada jaring j insang perrmukaan lebbih sedikit dan ringan bila dibanddingkan denngan pelamppung,
24
sehingga terbentuk dua gaya yang berlawanan arah pada tubuh jaring yaitu gaya apung lebih besar dari gaya tenggelam, setelah jaring ditaburkan selama 3 sampai 4 jam, kemudian dilakukan penarikan. Tertangkapnya ikan-ikan dengan gillnet ialah dengan cara ikan-ikan tersebut terjerat pada mata jaring ataupun terbelit pada tubuh jaring. Tujuan tangkap dengan jaring insang permukaan yang berukuran mata jaring 4,0 sampai 7,0 inchi di perairan Maluku umumnya terdiri dari: ikan tongkol (Euthynnus affinis), cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus albacares),
layar (Isthioporus orientalis), lemadang (Coryphaena
hyppurus), dan lain sebagainya. (2)
Huhate (pole and line) Huhate (pole and line) adalah alat tangkap ikan yang sangat sederhana,
bagian-bagiannya terdiri dari
tangkai pancing (joran), tali pancing kait dan
umpan buatan. Joran pancing terbuat dari bambu berukuran panjang 3 sampai 4 m dengan diameter 2,5 sampai 3,0 cm. Tali pancing terbuat dari tali senar monofilamen diameter 3,0 mm, No 800 dari bahan polyamida yang panjangnya kurang lebih sama dengan panjang tiang pancing. Kail terbuat dari baja putih tanpa pengait pada mata pancing dan umpan buatan terbuat dari bulu ayam, bulu kambing dan serat plastik. Di Maluku, kapal huhate dapat digolongkan dalam dua jenis, yakni rurehe dan motor ikan. Rurehe adalah kapal huhate berukuran kecil yang menggunakan sistem motor tempel (outboard engine system) dimana ruang para pemancing terdapat di bagian buritan kapal (Gambar 7), sedangkan motor ikan adalah kapal huhate berukuran lebih besar yang menggunakan motor dalam (inboard engine system) dan ruang para pemancing berada di bagian haluan kapal (Gambar 8)
(a)
Ruang Jangkar
Palka Umpan
Palka Ikan
Palka BBM
Ruang ABK
Ruang Pemancingan
Gambar 7 Kapal huhate dengan sistem motor tempel (rurehe). (a) pandangan samping, (b) pandangan atas
Mesin
(b)
25
Jum mlah nelayann yang terd dapat dalam m satu rurehhe antara 7 sampai 8 orang o yang terdiiri dari satuu orang tan nase (fishinng master), 2 orang ju uru mesin dan d 4 sampai 5 nelayan pem mancing, seedangkan juumlah nelay yan pada saatu kapal huhate h o yang terdiri dari : satu orangg fishing master, satu orang o antara 11 sampai 25 orang jurumudi, satu orangg jurumesinn, satu oranng oliman, satu s orang penawur um mpan hidup (boii-boi) dan 8 sampai 144 nelayan ppemancing
Gambar 8 Kapal huhaate yang beroperasi di perairan Maaluku Jenis-jenis ikann pelagis keccil yang biaasanya digunnakan sebaggai umpan hidup h adalah ikaan teri (Stoolephorus sp.), s ikan kembung k (R Rastrelligerr spp.) dan ikan layang (D Decapterus sp.), s ikan tembang t (SSardinella sp.) sp dan ikaan pisang-ppisang (Caesio sppp.) yang baanyak terdap pat di Maluuku. (3)
Pan ncing tondaa (troll line) Panccing tonda (troll ( line) adalah a alat tangkap t ikaan yang terddiri dari tali,, kail,
umpan dann penggulunng tali. Unttuk tali, awaalnya nelayaan pancing tonda di Maluku menggunaakan tali yaang terbuat dari bahan manila hennep berdiam meter 2 sam mpai 3 mm, tetappi sekarang mereka telaah menggunnakan senarr monofilam men yang teerbuat dari bahann polyamidda berdiameeter 2,0 mm m. Alat pancing tonda dalam opperasi penangkappan ikan disseret atau ditonda d (trolled) dimanna posisi alaat tersebut selalu s berada di belakang kapal/perahhu. Umpann buatan teelah mengallami perubbahan, t darii bahan bullu ayam, buulu itik, keemudian settelah beredarnya awalnya terbuat serat-seratt plastik dii pasaran, nelayan menggunakan m nnya sebaggai bahan untuk u membuat umpan buaatan. Keaddaan ini terrus berkemb bang dengaan diciptakaannya umpan buuatan berbeentuk ikan, udang atauu cumi-cum mi yang terrbuat dari bahan b
26
kayu, plasstik atau darri bahan fiberglass. Guulungan tali juga mengalami perubbahan terutama pada p bahannnya, diman na sebelum mnya nelayaan membuaatnya dari bahan b yang kayu, tetaapi sekaranng diganti dengan bahan dari fiberglass. fi P Perubahan dilakukan nelayan terhadap t deesain teknoologi alat tangkap saangatlah peenting mengingatt teknologi saat ini berkembang terus dari hari ke haari dengan tetap memperhaatikan damppak yang diitimbulkan akibat peng ggunaan tekknologi terssebut. yang Perubahan n ini juga diidasari deng gan memperrhatikan fakktor-faktor lingkungan l mempengaaruhinya. Gambar G kapaal pancing tonda t dapat dilihat pada Gambar 9. 9
n Maluku Gaambar 9 Kappal pancingg tonda yangg beroperasii di perairan Beberapa hal poositip dari penggunaan p n alat pancin ng dalam peenangkapann ikan mit, 2) dengaan modal ukecil u (Ayodhyooa 1981), addalah : 1) strukturnyaa tidak rum usaha dappat dijalankaan, 3) syaraat daerah peenangkapannnya dapat memilih deengan bebas, 4) pengaruh cuaca dann keadaan laut relatiff kecil, dann 5) ikan yang p seekor deemi seekor. Bentuk um mpan buatann yang dibuuat oleh neelayan tertangkap menyerupai 1) ikan tongkol, t 2) layang, 3) terbang, daan 4) cumi-cumi. Tingginya d neelayan terseebut merupaakan upayaa atau teknologi umpan buaatan yang dimiliki menyesuaikkan umpan buatan yanng digunakkan oleh neelayan alternatif untuk: 1) m n dimangsa yang terdappat di dengan keesukaan makan ikan tuuna terhadapp jenis ikan daerah penangkapan,, 2) mahaln nya jenis um mpan buataan yang tersedia di paasaran lokal yakn ni sebandingg dengan pendapatan rrata-rata usaaha penangkkapan.
27
1
3
2
4
Gambar 10 Umpan buuatan menyyerupai (1) iikan tongkool, (2) ikan layang, (3) ikan i terbang, (4) ( cumi-cum mi
p ikan 2.1.2 Perahu/kapal penangkap Kap pal ikan adaalah kapal yang y digunakan untukk usaha menngumpulkann dan menangkaap sumberddaya perairran atau kegiatan k yang y berhuubungan deengan penelitian, kontrol, suurvey dan sebagainya s (Boxton 19957). Pengeertian kapal yang disebutkann oleh Iskanndar dan No ovita (1997)) yang diacuu oleh Nandda (2004) adalah a suatu benttuk bangunnan yang daapat terapuung dan berrfungsi sebaagai wadahh atau tempat unntuk melakuukan aktifittas dan meerupakan saarana transpportasi. Akttifitas yang dilaakukan olehh sebuah kapal k ikan sangat beerbeda deng gan kapal-kapal lainnya. Fungsi F atau peruntukann sebuah kappal ikan ak kan menunju ukkan perbeedaan dalam mendesain konnstruksi kappal tersebutt. Sebuah kaapal ikan dirancang d deengan o jenis ikann yang akaan ditangk kap, ukurann alat melihat jaangkauan operasinya, tangkap seerta tingkahh laku ikan target t penanngkapan. Kap pal ikan haruus memilikki kapasitas muat yang memadai serta s mempuunyai fasilitas yang y cukupp antara lain: l palka, ruang peendingin, pembekuan p n dan penyimpann es. Kom mponen inilaah yang membedakan m n kapal ikaan dengan kapal lainnya dan d komponnen inilah yang dapaat berpengaaruh terhadap suatu desain d konstruksii kapal ikann. (Nomura dan d Yamazaki 1977; Fyson F 1985)). Sem mua kapal yaang beroperrasi di peraiiran Indonessia harus memenuhi m krriteria yang telahh ditetapkann oleh Depaartemen Perrhubungan laut, baik itu i kapal baarang, kapal ikann, kapal peenumpang, dan lain-laain. Persyarratan yang telah ditetaapkan bagi setiaap kapal yaang telah beroperasi b sesuai denngan kegiattannnya maasingmasing diigambarkann dengan model/desai m in kapal seesuai kebuttuhan. Bebberapa
28
persyaratan yang harus ditaati oleh kapal ikan yang walaupun penggunaannya tidak sama dengan kapal lainnya, seperti: kemampuan berlayar yang cukup aman dalam kondisi apapun, memiliki bentuk yang memberikan gambaran kestabilan dan daya apung yang cukup efisien hal ini dilihat dari ukuran, tenaga, biaya, produk dan tujuan penggunaannya. Persyaratan ini semuanya harus dipenuhi sebelum desain dasar dimulai atau ditentukan guna perencanaan kapal yang layak laut (Brown 1957). Pada umumnya kategori dan ukuran kapal/perahu di Indonesia berdasarkan Statisti Kelautan dan Perikanan Tahun 2005 terdiri dari 3 kategori utama (DKP RI, 2006) yaitu: (1) Perahu Tanpa Motor, (2) Motor Tempel, dan (3) Motor Tempel, yang terbagi menurut ukuran GT yaitu: ukuran ,<5GT, 5-10GT, 1020GT,
20-30GT,
30-50GT,
50-100GT,
100-200GT,
dan
>200GT.
Pengelompokkan kategori kapal tersebut tentunya didasarkan pada tenaga penggerak yang digunakan. Fungsi kapal perikanan seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 meliputi: (1) kapal penangkap ikan, (2) kapal pengangkut ikan, (3) kapal pengolah ikan, (4) kapal latih perikanan, (5) kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan (6) kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku untuk tahun 2007 secara keseluruhan tercatat sebanyak 44.430 buah, yang terdiri dari perahu tanpa motor (PTM) 39.124, perahu motor tempel (PMT) 3.781 buah, dan kapal motor (KM) 1.525 buah. Jika dibandingkan dengan Tahun 2006 sebesar 34.372 buah maka untuk Tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 10.058 buah atau 11,58 %. Namun, armada penangkapan di Maluku masih didominasi oleh perahu berukuran kecil yaitu perahu tanpa motor (PTM), yang mencakup jukung, perahu papan kecil, sedang dan besar. Jumlah armada penangkapan ikan PTM rata-rata mencapai 90% dari total keseluruhan armada penangkapan, sedangkan selebihnya merupakan perahu tanpa motor (PMT) 7,96%, dan kapal motor (KM) 2,34% (DKP Maluku 2006). Perkembangan jumlah armada terlihat mengalami penurunan pada Tahun 2000 dan Tahun 2001. Hal ini disebabkan akibat dampak kerusuhan sosial Maluku yang terjadi pada saat itu, akan tetapi setelah itu pada Tahun 2002 sampai Tahun 2007 jumlah armada penangkapan mulai meningkat
29
secara signifikan. Secara lengkap ukuran kapal yang digunakan masyarakat nelayan di perairan Maluku dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6 Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis/ukuran di Maluku tahun 1998 – 2007 Kategori Besarnya Usaha Perahu Tanpa Motor Tahun
Jumlah
Jukung
Perahu
Perahu Papan Kecil
Sedang
Kapal Motor
Motor Besar
Tempel
<5 GT
5 -10 10- 20 20 -30 GT GT GT
30-50 50-100 GT GT
100-200 >200 GT GT
1998
36629
24896
5643
2210
211
2396
423
206
238
133
42
45
132
54
1999
35343
23584
5509
1491
271
2090
1226
228
140
370
144
14
113
163
2000
29275
20646
3565
1262
194
1529
1079
187
103
241
115
36
155
163
2001
26211
20709
1621
1033
117
968
932
146
66
113
86
59
197
164
2002
37295
29897
3118
995
178
2285
215
54
56
57
51
198
165
26
2003
39838
29372
5762
1162
321
1738
744
245
134
75
40
30
170
45
2004
38301
28978
5378
1216
272
1792
225
119
65
37
3
44
149
23
2005
43601
30834
6285
1609
627
3251
418
266
99
40
12
35
125
0
2006
34372
24704
4364
1422
610
2894
338
204
102
32
8
9
20
25
2007
44430
30000
6563
1826
735
3781
533
428
276
90
34
16
128
20
Sumber : DKP Maluku (2007)
2.1.3 Nelayan Nelayan merupakan salah satu faktor penting dari unit penangkapan ikan yang sangat berperan dalam mengadakan kegiatan penangkapan ikan. UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk melakukan operasi penangkapan ikan, maka nelayan dapat diklasifikasikan dalam: 1) nelayan penuh; nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk kegiatan penangkapan ikan, 2) nelayan sambilan utama; nelayan yang sebagian waktunya dialokasikan untuk melakukan operasi penangkapan, 3) nelayan sambilan tambahan: yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan. Nelayan yang ada di perairan Maluku melakukan pekerjaan operasi penangkapan sebagai nelayan penuh dan nelayan sambilan utama. Perkembangan jumlah nelayan di Provinsi Maluku pada tahun 2006 tercatat 114.630 orang, dengan armada penangkapan sebanyak 34.372 unit, selain itu pendapatan nelayan yang dicapai pada tahun 2006 sebesar Rp 4.038.329 per tahun, sementara konsumsi ikan mencapai 54,3 per kapita per tahun, sedangkan
30
rumah tangga perikanan (RTP) pada tahun yang sama berjumlah 37.505 (DKP Maluku 2007). Perkembangan nelayan meningkat selama periode 2002–2006. Peningkatan jumlah nelayan pada tahun 2005 menjadi 114.156 orang atau sekitar 29% dibandingkan dengan tahun sebelumnya adalah seirama dengan peningkatan RTP pada tahun yang sama yaitu sebesar 37.434 atau sekitar 13%. Perkembangan RTP di Maluku dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7 Perkembangan nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP) di Maluku Tahun 2002-2006 No
Uraian
Tahun 2002
1 2
Nelayan laut RTP Laut
perikanan
2003
*
105.660
31.026#
31.472#
74.012
2004 *
2005
2006
*
114.156
114.630+
33.016#
37.434#
37.505#
88.236
+
Sumber : * DKP RI (2006); + DKP Maluku (2007); # DKP Maluku (2003; 2005; 2007a)
2.2
Produksi Perikanan Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan.
Produksi tersebut sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan ikan, kemampuan atau ketrampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor lainnya ternasuk infrastruktur pendudkung seperti pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Menurut Naamin dan Badrudin, 1992 diacu dalam Ihsan 2000), secara umum sumberdaya hayati laut dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok antara lain: (1) Sumberdaya ikan pelagis kecil (2) Sumberdaya ikan pelagis besar (3) Sumberdaya ikan demersal (4) Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya. Produksi sangat ditentukan oleh oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan, kemampuan/ketrampilan nelayan, manajemen, serta beberapa faktor lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Produksi hasil perikanan berdasarkan Statistik Perikanan Provinsi Maluku tahun 2007 yang terdiri dari komoditi cakalang, tuna,
31
udang, kembung, layang, teri, selar, julung, serta komoditi lain-lain relatif meningkat selama periode 2002-2006. Kenaikan tersebut adalah seiring dengan peningkatan jumlah RTP, kapal penangkap, alat tangkap, serta nelayan pada periode yang sama. Rata-rata volume produksi ikan pelagis kecil seperti kembung dan layang sejak tahun 2002 hingga 2006 meningkat, sedangkan ikan selar, julung dan teri berfluktuasi pada periode tahun yang sama. Produksi ikan pelagis terbanyak pada tahun 2006 secara berurutan adalah ikan layang (35.129,8 ton), kembung (32.880,7 ton), selar (13.454,4 ton), teri (8.215,6 ton), dan julung (2.335,6 ton). Jika dibandingkan dengan tahun 2005 maka produksi ikan pelagis kecil dimaksud mengalami peningkatan produksi lebih besar dari 35% untuk masing-masing jenis ikan. Kecenderungan peningkatan produksi ikan pelagis kecil cukup intensif, walaupun demikian, total produksi, perubahan produksi hasil perikanan di Maluku tahun 2006 terhadap 2005 hanya meningkat sekitar 0,5%. Sementara produksi ikan pelagis besar didominasi oleh ikan cakalang (20.719,2 ton), serta ikan tuna (6.293,0 ton). Jenis non ikan yang dominan adalah udang, lola, teripang, siput mutiara, rumput laut dan lain-lain yaitu sebesar 238.980,6 ton dari Kabupaten Maluku Tenggara. Produksi hasil perikanan yang dihasilkan di perairan Maluku menurut komoditi tercantum pada Tabel 8. Jumlah produksi ikan menurut komoditi jenis ikan tahun 2002 hanya sekitar 240.314 ton dan terus meningkat hingga tahun 2006 mencapai 488.090 ton. Hal ini disebabkan pada tahun 2002 nelayan lebih terfokus pada profesinya akibat pada tahun sebelumnya terjadi konflik sosial yang terjadi di daerah ini. Upaya peningkatan produksi tidak hanya berkaitan langsung dengan bertambahnya nelayan, tetapi perlu dukungan terhadap nelayan melalui modernisasi alat tangkap dan kapal penangkap. Hal ini disebabkan karena 905 kapal penangkap masih merupakan PTM dengan jangkauan yang terbatas, selain itu juga perlu dukungan finansial dan IPTEK perikanan bagi nelayan PTM dan kapal motor untuk lebih memperluas jangkauan operasi penangkapan ke wilayah perairan yang rendah tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Peningkatan produksi hasil perikanan berhubungan langsung dengan kondisi pasar untuk memberikan nilai tambah produk perikanan. Pemasaran hasil-hasil
32
perikanan Maluku mempunyai peluang besar untuk keperluan konsumsi lokal maupun internasional. Peluang pasar eksport akhir-akhir ini terus meningkat, hal ini disebabkan karena: 1) jumlah penduduk dunia terus meningkat, 2) kesadaran manusia akan gizi ikan mulai meningkat, 3) semakin bertambahnya industri makanan dan minuman dengan bahan dasar dari biota laut. Komoditi perikanan Maluku dalam realisasi ekspor 2006 meliputi komoditi udang, ikan tuna, ikan campur, kepiting beku, dan ikan hidup. Sementara pasar dalam negeri mengarah pada produk ikan asin, ikan asap, abon ikan, kerupuk udang, serta kerupuk ikan. Produksi hasil perikanan menurut komoditi terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Produksi hasil perikanan di Maluku Tahun 2002-2006 Komoditi
Volume (ton)
2002 2003 Udang 4348,2 5.748,9 Cakalang 6981,9 6.253,0 Tuna 4973,6 4.112,3 Kembung 3746,7 3.415,9 Layang 6828,7 8.914,4 Selar 4272,9 6.149,4 Julung 1201 1.150,6 Teri 4131 6.186,8 Lain-lain 203556 331.839 Ikan darat 274 111,3 Jumlah 240314 373.882 Sumber: DKP Maluku (2006)
2004 6.776,7 3.862,5 3.792,6 9.205,3 15.518,6 7.324,2 1.094,2 5.678,8 370.431 520,1 428.204
Perubahan 2005-2006 (%) 2005 928,8 11.777,8 4.913,7 11.487,7 19.098,6 8.652,4 1.539,3 5.970,9 417.958 3.328,2 485.657
2006 3.838,1 20.719,2 6.293,0 32.880,7 35.129,8 13.454,4 2.335,6 8.215,6 361,538 3.689,4 488.090
312,8 75,9 28,1 186,2 83,9 55,5 51,7 37,6 -13,5 10,85 0,5
Tabel 9 Produksi perikanan laut menurut komoditi non ikan pada Kabupaten/Kota Tahun 2007 Kabupaten/Kota
Udang
Lola Teripang
Ambon Maluku Tengah
1576,6 33,3
12,8
7,5 35,8
Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Buru Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Kepulauan Aru Jumlah
Siput Mutiara
Rumput Laut
Lainlain
Jumlah (ton)
40,5
11,8
2,1
1440,9 340,2
77063,0 91341,4
7,7 -
67,6 -
6,8 -
18,4 -
153,4 5,1
15509,1 7593,5
4,8 1734,9 -
447,2 70,1
9,8 40,9 318,8
13,5 -
50,5 89,1
104,9 3346,9 483,6
33558,4 238980,6 14434,1
661,0 4044,9
537,8
25,4 493,0
137,7 169,8
23,3 183,4
1179,1 7054,1
10548,3 489018,4
Sumber: DKP Maluku (2007)
33
2.3 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pengertian proses, cara atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk
meningkatkan
produksi
dibidang
perikanan
dan
sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989).
Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau sebuah lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga penilaian kebijakan (Abidin 2004). Kebijakan yang dilakukan akan bertolak pada dasar hukum serta peraturan yang berlaku. Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat, pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional, baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat (Tara 2001 diacu oleh Jusuf 2005). Kebijakan pengelolaan mengacu pada upaya yang merupakan suatu bentuk tindakan yang sedemikian rupa untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. De Coning (2004) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah bagian dari kebijakan pengelolaan yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan dianggap resmi oleh pemerintah merupakan suatu bentuk dari suatu kebijakan yang sah dan mempunyai kewenangan dan memaksa kehendaknya untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan, syarat-
34
syarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003), yaitu: 1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak, 2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan, 3) menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein, 4) mendapatkan jenis ikan komoditi eksport atau jenis ikan yang bisa diekspor, 5) tidak merusak kelestarian sumberdaya. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut dimasa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), tetapi dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi itu pula diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya, dan ekonomi (Barus et al. 1991). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut
bersifat
menguntungkan.
Pengembangan
jenis-jenis
teknologi
penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syaratsyarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia haruslah dapat: (1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak (2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi (4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor (5) Tidak merusak kelestarian SDI Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada dasarnya adalah merupakan penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik yang digunakan termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu penangkapan ikan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah,
35
namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan (net income) nelayan. Oleh karena itu introduksi teknikteknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan yang intensif dengan hasil yang meyakinkan (Wisudo et al 1994). Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan di bidang perikanan tangkap antara lain: 1) usaha perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil, 2) tidak ada kepastian dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku, 3) maraknya IUU fishing baik oleh nelayan asing maupun nelayan domestik, sehingga beberapa jenis alat tangkap produktivitasnya menurun, 4) rendahnya kepastian hukum, 5) kurangnya insentif investasi, 6) keamanan kegiatan penangkapan di berbagai wilayah kurang kondusif, 7) banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha, baik yang resmi maupun tidak resmi (unpredictable), 8) bidang perikanan tangkap dipandang tidak bankable, 9) rendahnya kualitas SDM, 10) sarana dan prasarana daerah tertentu belum memadai, dan 11) tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah, terutama terkait dengan pungutan, restribusi, dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT 2004). Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni: 1) masyarakat atau sumberdaya manusia (SDM), 2) sarana produksi, 3) usaha penangkapan, 4) prasarana pelabuhan, 5) unit pengolahan, dan 6) unit pemasaran (Monintja dan Yusfiandayani 2001). Pembangunan perikanan tangkap dinilai cerah karena potensi dan prospek yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu : 1) luasnya perairan yang dimiliki (laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya), 2) potensi lestari ikan laut yang belum dikelola secara optimal, 3) potensi SDM yang melimpah yang belum dioptimalkan, 4) prospek pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk perikanan laut, 5) permintaan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk, dan 6) kesadaran masyarakat akan pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan
36
bebas kolestrol sehingga masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi white-meat (DJPT 2004). Monintja (2001) menyatakan bahwa apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan dengan lainnya atau saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Komponen perikanan tangkap antara lain: 1) masyarakat, 2) sarana produksi, 3) usaha penangkapan, 4) prasarana pelabuhan, 5) unit pengolahan, 6) unit pemasaran (Monintja 2001) terlihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 dijelaskan tentang komponen dalam kompleksitas penangkapan ikan terdiri dari: (1) Sumberdaya manusia Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikasnan tangkap sangat dibutuhkan sumberdaya manusia yang cukup tangguh, handal, dan profesional. Untuk memperoleh tenaga yang terampil dalam penguasaan teknologi maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap sumberdaya manusia (2) Sarana produksi Sarana produksi tersebut antara lain: penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar, listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (3) Usaha penangkapan/ proses produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat tangkap, dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya terdiri spesies, habitat, dan lingkungan fisik (4) Prasarana pelabuhan Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuhnya kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan. serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data
37
(5) Unit pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling, processing dan packaging, bertujuan untuk mempertahankan kualitas mutu hasil tangkapan (6) Unit pemasaran Pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil sekitar 85%, dan hanya sekitar 15% dilakukan oleh usaha perikanan skala besar (Ditjen Perikanan Tangkap 2004). Pengembangan perikanan tangkap dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan nelayan setidaknya harus memperhatikan berbagai faktor, antara lain: 1) potensi dan penyebaran sumberdaya ikan, komposisi ukuran hasil tangkapan, 2) jenis dan jumlah unit penangkapan ikan termasuk fasilitas penanganan dan pendaratan ikan, 3) nelayan dan kelembagaan, 4) pemasaran dan rente ekonomi sumberdaya ikan , dan 5) kelestarian sumberdaya ikan (Kesteven 1973; Charles 2001). Pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles (2001) harus mengandung empat aspek penting yaitu: (1)
Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) yaitu: memelihara keberlanjutan stok ikan sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem;
(2)
Keberlanjutan sosial
ekonomi
(socioeconomic sustainability) yaitu:
mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan individu dan masyarakat; (3)
Keberlanjutan komunitas (community sustainability) yaitu: mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat; dan
(4)
Keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yaitu: memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat dan merupakan prasyarat terhadap ketiga aspek keberlanjutan sebelumnya.
38
MASYARAKAT Membangun Membuat Menyelenggarakan
Konsumen Modal Teknologi Pembinaan
Ekspor Devisa
Domestik SARANA PRODUKSI Galangan kapal Pabrik alat Diklat tenaga kerja
PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN Kapal Alat tangkap Nelayan
dijual Membayar
PRASARANA PELABUHAN
UNIT PEMASARAN Distribusi Penjualan Segmen pasar
Produk dijual oleh Diolah
UNIT PENGOLAHAN ASPEK LEGAL
Handling Processing Packaging
Sistem Informasi
UNIT SUMBERDAYA Spesies Habitat Musim/lingkungan fisik
Menangkap
Hasil tangkapan didaratkan
Gambar 11 Sistim agribisnis perikanan tangkap (Kesteven 1973 dimodifikasi oleh Monintja 2001). 2.4
Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna Definisi teknologi tepat guna (TTG) berdasarkan Undang-Undang (UU)
Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah, hal ini berarti teknologi yang diciptakan dapat memenuhi kebutuhan manusia, menjaga kelangsungan serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia sebagai pengguna teknologi.
39
Penerapan teknologi tepat guna disuatu wilayah harus benar-benar memperhatikan kondisi lingkungan setempat serta penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan dimana teknologi tepat guna tersebut diterapkan. Aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah aspek lingkungan yang terkait dengan aspek teknis, aspek biologi, aspek ekonomis, dan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Pemilihan suatu jenis teknologi penangkapan ikan di suatu wilayah perairan sangat tergantung pada faktor alam yang merupakan faktor penentu utama yaitu 1) jenis, kelimpahan, 2) penyebaran sumberdaya ikan, dan 3) luas areal, lokasi dan keadaan
fisik
lingkungan
daerah
penangkapan
ikan.
Monintja
(1987)
mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan, tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan nelayan, produk domestik bruto (PDB), devisa negara, gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, tanpa mengganggu atau merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan usaha perikanan yakni aspek biologi, teknis (teknologi), ekonomis dan sosial budaya. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu kawasan konservasi antara lain: (1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan SDI, penyebarannya, komposisi, ukuran hasil tangkapan dan jenis spesies. (2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat. (3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak terhadap nelayan. (4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak terhadap pendapatan bagi stakeholders.
2.5
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan
Perikanan yang Bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan
40
menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahaan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lain- lainnya. Eksploitasi yang berlebihan terhadap stok ikan penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata, dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konservasi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. Perikanan yang bertanggungjawab tidak membolehkan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan melebihi rata–rata pertumbuhan stok ikan, jika tidak maka sumberdaya tersebut akan berkurang seiring berjalannya waktu, mempengaruhi keanekaragaman genetik suatu stok atau populasi, dan bila ditinjau dari aspek ekonomi akan mempengaruhi rata–rata keuntungan optimal menjadi lebih rendah. Sebaliknya, apabila sumberdaya perikanan dipandang sebagai stok modal yang dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan akan menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penangkapan ikan yang ramah lingkungan adalah (Direktorat Produksi Ditjen Perikanan 2000): (1) Kriteria penangkapan ikan ramah lingkungan Menentukan alat penangkapan ikan yang dalam operasinya produktif dan hasil tangkapannya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Pengoperasian alat tersebut tidak merusak lingkungan dan kelestarian sumberdayanya tetap terjaga, oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : 1) selektivitas alat penangkapan ikan, 2) tidak merusak sumberdaya dan lingkungan, dan 3) meminimumkan discard (ikan buangan). (2) Fishing ground (daerah penangkapan ikan) Pembagian daerah penangkapan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan, perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan dilapangan, dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara kelompok nelayan, baik antar nelayan tradisional maupun dengan pemilik kapal besar. (3) Pemanfaatan
41
Sumberdaya perikanan harus dikelola secara wajar, agar kontribusinya terhadap nutrisi, ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk dapat ditingkatkan. (4) Peraturan Perlu diperhatikan adanya peraturan-peraturan yang mengatur jalannya operasi penangkapan ikan yang menuju ramah lingkungan dan bertanggungjawab. Salah satu peraturan tersebut adalah mengatur jalur-jalur penangkapan ikan.
2.6 Teori Sistem Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan entitas atau komponen yang saling berhubungan dan terorganisasi membentuk suatu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan (Manethsch and Park 1979; Wetherbe1988). Menurut Eriyanto (1998), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Wilson (1990) mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen yang saling berkaitan dan terorganisir menghasilkan satu set tujuan. Proses analisa sistem mencakup 6 tahap kegiatan, yaitu: (1) Definisi masalah: definisi kebutuhan, penentuan input, output dan hubungan antar elemen sistem serta definisi batasan sistem. (2) Penentuan tujuan sistem (3) Sintesa sistem: penentuan alternatif dan fungsi sistem, perencanaan sub sistem dan penggunaan kreatifitas (4) Analisa sistem: penentuan cara dan metode analisis sistem yang digunakan (5) Seleksi sistem optimum: pendefinisian kriteria keputusan, evaluasi akibat dan meranking sistem (6) Penerapan sistem Djojonegoro (1993) diacu dalam Nurani (1996) mengemukakan, pada umumnya suatu sistem terdiri dari berbagai elemen yang sangat kompleks, sehingga untuk analisis perlu disederhanakan dengan jalan menuangkannya dalam
42
bentuk fungsi matematik atau abstraksi lain yang disebut model. Penggunaan model menguntungkan dalam analisis sebab: (1) Model dapat dilakukan analisis dan percobaan dalam situasi yang kompleks dengan mengubah nilai atau bentuk relasi antar variabel yang tidak mungkin dilakukan pada sistem nyata. (2) Model memberikan penghematan dalam mendiskripsikan suatu keadaan nyata. (3) Menghemat waktu, tenaga dan sumberdaya lainnya (4) Dapat memfokuskan perhatian lebih banyak pada karakteristik yang penting dari masalah.
2.7 Analisis SWOT Penentuan strategi pengembangan perikanan tangkap dilakukan dengan survey PRA (Participatory Rural Appraisal), dengan menggali sebanyak mungkin informasi yang berbasis pada masyarakat. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportuniti), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threat). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan, dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT ( Rangkuti 2005).
2.8 Analytical Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi. Penyebab lainnya adalah banyaknya faktor yg berpengaruh terhadap pilihan yang ada, beragamnya kriteria pemilihan dan jika pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan itu adalah
43
beragamnya kriteria, maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik untuk membantu menyelesaikan masalah ini (Mulyono 2002). Dalam perkembangannya, AHP tidak saja digunakan untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria, tetapi penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah, seperti memilih portofolio, analisis manfaat biaya, peramalan dan lain-lain. AHP menawarkan penyelesaian masalah keputusan yang melibatkan seluruh sumber kerumitan seperti yang diidentifikasikan diatas, hal ini dimungkinkan karena AHP cukup mengandalkan intuisi sebagai input utamanya, namun intuisi harus datang dari pengambilan keputusan yang cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi (Mulyono 1991). AHP adalah suatu hirarki fungsional dengan memanfaatkan persepsi dari key person yang terkait dengan masalah yang diteliti. Metode ini mempunyai kelebihan karena prosedurnya yang sederhana dan tidak memerlukan asumsi. Karena itulah metode ini sering digunakan dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks dengan permasalahaan yang tidak terstruktur, termasuk dalam penyelesaian masalah yang bersifat strategis dan makro, seperti pengolahan perikanan tangkap.
2.9
Linear Goal Programming (LGP) Linear goal programming (LGP) merupakan pengembangan linear
programing (LP). Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Dalam LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan apakah satu atau beberapa digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukkan dengan mengekspresikan tujuan ini dalam bentuk sebuah kendala (goal constrain), memasukkan suatu variabel simpangan (deviational variabel) dalam kendala itu untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan dicapai dan menggabungkan variabel simpangan dalam fungsi tujuan. Dalam LP tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi,
sementara
dalam
LGP
tujuannya
adalah
meminimumkan
penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimisasi (Mulyono 2004).
44
Penyimpangan dari tujuan-tujuan itu diminimumkan sehingga sebuah model LGP dapat menangani aneka ragam tujuan dengan dimensi atau satuan ukuran yang berbeda. Jika terdapat banyak tujuan, prioritas atau urutan ordinalnya dapat ditentukan, dan proses penyelesaian LGP itu akan berjalan sedemikian rupa sehingga tujuan dengan prioritas tertinggi dipenuhi sedekat mungkin sebelum memikirkan tujuan dengan peristiwa lebih rendah. Jika LP berusaha mengidentifikasi solusi optimum dari suatu himpunan solusi layak, LGP mencari titik yang paling memuaskan dari sebuah persoalan dengan beberapa tujuan, sekali lagi LGP ingin meminimumkan penyimpangan dari tujuan dengan mempertimbangkan hirarki prioritas.
2.10 Kondisi Umum Perairan Maluku Provinsi Maluku adalah provinsi kepulauan dengan luas wilayahnya 712.479,69 km2, terdiri dari 93,5% luas perairan (666.139,85 km2 ) dan 6,5% luas daratan (46.339,80 km2). Total jumlah pulau yang teridentifikasi di Maluku adalah 1.340 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 10.630,10 km. Secara geografis wilayah ini berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara di sebelah Utara, Negara Timor Leste dan Australia di sebelah selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Barat, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi Maluku terletak antara 230` - 830` Lintang Selatan dan 124 sampai 13530` Bujur Timur, dengan luas wilayah 712.479,69 km2. Batas-batas wilayah Maluku adalah sebagai berikut: bagian Utara berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara, bagian Selatan berbatasan dengan Negara Timor Leste, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Irian Jaya Barat. (DKP Maluku, 2007). Secara administrasif Provinsi Maluku terdiri 8 Kabupaten/Kota, 62 Kecamatan, dan 886 Desa/Kelurahan yang sebagian besar terletak di pesisir pantai (BPS Maluku, 2007). Wilayah perairan Maluku merupakan laut dalam seperti Laut Banda dan Laut Seram, sedangkan Laut yang dangkal adalah Laut Arafura. Wilayah perairan Laut Banda merupakan wilayah laut dari Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram
45
Bagian Timur, Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, serta sebagian kecil dari perairan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Perairan Laut Seram merupakan bagian wilayah perairan Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tengah, dan Provinsi Maluku Utara. Perairan laut Arafura merupakan bagian wilayah perairan dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Kepulauan Aru, dan Provinsi Papua Barat. Jumlah penduduk di Provinsi Maluku pada tahun 2006 tercatat 1.313.022 jiwa, dengan pertambahan penduduk sangat bervariasi menurut Kabupaten/Kota. Pertambahan penduduk tertinggi terdapat di Kota Ambon (4,98%) bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Lapangan pekerjaan yang utama adalah sektor pertanian (termasuk perikanan, kehutanan, dan perkebunan) sebesar 60,99% (BPS Maluku 2007). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Maluku pada tahun 2006 mencapai sekitar 60%, sedangkan jumlah nelayan perikanan laut pada tahun 2004 di Provinsi Maluku tercatat 88.236 orang (DKP RI 2006). Iklim di kepulauan Maluku termasuk iklim tropis dan iklim musim, karena wilayah ini sebagian besar dikelilingi oleh laut sehingga iklim di daerah ini sangat dipengaruhi oleh lautan seirama dengan iklim musim yang berlaku (BPS Maluku, 2007). Berdasarkan datangnya angin musim, pada daerah ini dikenal adanya 2 (dua) musim yaitu musim barat dan musim timur yang diselingi oleh musim pancaroba yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Oktober, sedangkan musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai Maret. 2.11 Daerah Penangkapan Ikan Armada penangkapan di perairan Maluku dapat menjangkau daerah penangkapan yang jauh, maka sumberdaya perikanan pelagis masih dapat dimanfaatkan di daerah lain, hal ini disebabkan karena wilayah ini berdekatan dengan wilayah lainnya yang berpotensi sebagai daerah penangkapan. Daerah penangkapan jenis-jenis ikan untuk dijadikan umpan hidup pada perikanan huhate tersebar di Teluk Ambon, Teluk Baguala, Teluk Tulehu di Pulau Ambon, Teluk Tuhaha dan Teluk Haria di Pulau Saparua, Teluk Kayeli, Teluk Leksula dan Pasir Putih di Pulau Buru, Teluk Piru, Teluk Elpaputih,
46
perairan Pelita Jaya, Teluk Kawa dan Teluk Teluti di Pulau Seram dapat disajikan
02o00’ LS
pada Gambar 12
Sanana Skala
Laut Seram
0
50
100 km
Buano
Pelita Jaya
S e r a m h
Kelang Manipa
Pasir Putih
uti
03o00’ LS
LEGANDA : Pusat Perikanan Huhate
04o00’ LS
b Am
ap
Tehoru
Elp
Buru
Tel. Piru
Namlea
Tel. Teluti
Saparua
on
Haruku
Nusalaut Geser
Ambelau
Gorom
Laut Banda
Kep
Neira
bela atu
05o00’ LS
.W
Kep. Banda
126 o 00’ BT
127 o 00’ BT
128 o00’ BT
129 o00’ BT
130 o 00’ BT
131 o 00’ BT
132 o00’ BT
Sumber: DKP Maluku (2006)
Gambar 12 Daerah penangkapan ikan umpan di Kabupaten Pulau Buru, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah dan Kota Ambon Fishing base unit penangkapan huhate yang ada di Maluku tersebar di Kota Ambon, Desa Tulehu, Desa Haria, Desa Nolloth dan di Kota Kecamatan Tehoru (Maluku Tengah), Desa Hitu, Desa Luhu dan Desa Eti khususnya di Dusun Pelita Jaya (Kabupaten SBB), di Namlea (Kabupaten Buru), di Kota Tual (Kabupaten Maluku Tenggara) dan di Kota Saumlaki (Kabupaten MTB) ditampilkan pada
02o00’ LS
Gambar 13
Sanana Skala
Laut Seram
0
50
100 km
Daerah Penangkapan Ikan Umpan Buano
Pelita Jaya
S e r a m
Buru
Tel. Piru b Am
04o00’ LS
Leksula
on
ap
Namlea
uti h
Kelang Manipa
Pasir Putih
Elp
03o00’ LS
LEGANDA :
Tehoru
Tel. Teluti
Saparua Haruku
Nusalaut Geser
Ambelau
Gorom
la tube Wa
05o00’ LS
Neira
. Kep
Laut Banda
Kep. Banda
126o00’ BT
127o00’ BT
128o00’ BT
129o00’ BT
130o00’ BT
131o00’ BT
132o00’ BT
Sumber: DKP Maluku (2006)
Gambar 13 Pusat perikanan huhate di Provinsi Maluku. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dari perairan Maluku lebih banyak dilakukan oleh nelayan dari pulau Ambon dan sebagian dari wilayah pulau Seram. Hal ini disebabkan karena produksi ikan pelagis besar dari wilayah laut
47
Seram cukup banyak akan tetapi jumlah armada dari wilayah ini sedikit sehingga hal ini menyebabkan banyak armada dari luar pulau Seram memanfaatkan potensi tersebut. Pada kenyataannya nelayan mengadakan operasi penangkapan di daerah penangkapan lebih dari batas 4 mil laut, bahkan di beberapa wilayah perairan hingga 12 mil laut dari batas surut terendah. Daerah penangkapan dari unit-unit huhate di Maluku terdapat di selatan Pulau Ambon dan P.P. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru (Laut Banda) mulai dari 125o30’ BT – 129o40’ BT dan dari 3o30’ LS - 4o30’ LS. Di bagian utara P. Buru dan P. Seram (Laut Seram) mulai dari 126o 00’ BT – 129o07’ BT dan dari 02o30’ LS – 02o00’ LS, sedangkan bagi perikanan huhate yang terdapat di sekitar Kota Tual, daerah penangkapannya terdapat di bagian selatan dan utara hingga ke arah timur di perairan Pulau Kei Besar. Di perairan Laut Seram di utara Pulau Buru dan Pulau Seram, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Mei hingga November, sedangkan di perairan selatan Pulau Buru, Seram, Ambon dan Kepulauan Lease musim penangkapan terjadi pada bulan September hingga Maret. Daerah penangkapan ikan cakalang di perairan Maluku disajikan pada
02o00’ LS
Gambar 14
Sanana Skala
0
50
100 km
03o00’ LS
LEGANDA : = D.P. Huhate di Laut Seram Buano
S e r a m
= D.P. Huhate di Laut Banda
Buru
Tel. Piru
Tel. Teluti
Saparua on Amb
04o00’ LS
Elp ap uti
h
Kelang Manipa
Haruku
Nusalaut Geser
Ambelau
Gorom
ela atub
05o00’ LS
.W Kep
Kep. Banda
126o00’ BT
127o00’ BT
128o00’ BT
129o00’ BT
130o00’ BT
131o00’ BT
132o00’ BT
Sumber: DKP Maluku (2006)
Gambar 14 Daerah penangkapan kapal huhate di utara Laut Banda dan Laut Seram. Musim penangkapan ikan cakalang di perairan Maluku yang dilakukan dalam satu tahun dirinci menurut bulan, diuraikan pada Tabel 10 berikut ini:
48
Tabel 10 Musim penangkapan cakalang di perairan utara laut Banda dan Maluku Tengah No
Bulan
Musim Penangkapan di Perairan utara L. Banda 1 Januari Normal 2 Februari Normal 3 Maret Normal 4 April Puncak 5 Mei Puncak 6 Juni Paceklik 7 Juli Paceklik 8 Agustus Normal 9 September Normal 10 Oktober Puncak 11 November Puncak 12 Desember Normal Sumber: DKP Maluku (2007)
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Musim Penangkapan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Normal Normal Normal Puncak Puncak Paceklik Paceklik Normal Normal Puncak Puncak Normal
Pusat-pusat penangkapan ikan tuna dengan pancing tonda terdapat di beberapa desa di Pulau Ambon, di bagian utara Kabupaten Seram Bagian Barat, di Kabupaten Maluku Tengah terdapat di beberapa desa di bagian selatan Pulau Seram hingga Kecamatan Tehoru, sebagian di Kepulauan Lease, di bagian utara dan selatan Kabupaten Pulau Buru, di Geser, Gorom dan di Neira Kepulauan Banda disajikan pada Gambar 15
03o00’LS
Laut Seram
Sk ala
0 Kawa
Waeprea Kelang Manipa Telaga
Wamlana Bara
Namlea
Buru
Luhu Asilulu
Seram Tehoru
100 km
Tel. Teluti
bon Oma Haria Am Kep. Lease
Latuhalat
Ambelau
Hutumuri
04o00’LS
Leksula
Tel. Piru
50
LEGENDA : = Pusat-Pusat Perikanan Pancing Tonda
Taniwel
T.E lpa pu tih
Buano
Geser Gorom
05o00’LS
Neira
ela atub .W Kep
Laut Banda
Kep. Banda
126o00’BT
127o00’BT
128o00’BT
129o00’BT
130o00’BT
131o00’BT
132o00’BT
Sumber: DKP Maluku (2006)
Gambar 15 Pusat usaha perikanan pancing tonda di Pulau Buru, Kota Ambon, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur. Perairan Laut Seram, di utara Pulau Buru dan Pulau Seram, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Mei sampai November, sedangkan di perairan selatan Pulau Buru, Seram, Ambon dan Kepulauan Lease terjadi pada
49
bulan September sampai Maret. Di Maluku, daerah penangkapan unit-unit pancing tonda terdapat di selatan Pulau Ambon dan P.P. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru (Laut Banda) mulai dari 125o45’ - 130o01’ BT dan dari 03o30’ 04o05’ LS. Di bagian utara P. Buru dan P. Seram (Laut Seram) mulai dari 125o45’ – 128o50’ BT dan dari 02o30’ – 02o00’ LS. Di bagian tenggara Pulau Seram mulai dari 130o40’ BT – 131o35’ BT dan dari 03o40’ – 04o25’ LS. Di sekitar Kepulauan Banda mulai dari 129o25’ – 130o25’ BT dan dari 04o10’ – 04o55’ LS (Gambar 16)
03o00’LS
Laut Seram
Skala
0 Buano
Piru
S e r a m
Tel. Piru
Buru
04o00’LS
Elp ap uti h
Kelang Manipa
Namlea
on Amb
Haruku
Masohi
Bula
50
100 km
LEGENDA : = Ibu Kota Kabupaten/Kota = D.P. Musim Barat = D.P. Musim Timur
Tel. Teluti
Saparua Nusalaut
Kep. Lease
Geser
Ambelau
Gorom
05o00’LS 126o00’BT
127o00’BT
128o00’BT
129o00’BT
ela atub .W Kep
Laut Banda
Kep. Banda
130o00’BT
131o00’BT
132o00’BT
Sumber: DKP Maluku (2006)
Gambar 16 Daerah penangkapan dari unit pancing tonda di Laut Banda dan Laut Seram.
3 MET TODOLO OGI PEN NELITIAN N
3.1
Tem mpat dan Waktu W Peneelitian Peneelitian dilaaksanakan di perairann Maluku pada 17 lokasi sam mpel.
Kabupatenn Maluku Tengah T ditetapkan sebaanyak 10 lookasi peneliitian: Desa Hitu, Hila, Asillulu, Waai,, Tulehu,
Tehoru, Masohi, M Ban nda, Aru, dan d
Piru. Kota
Ambon mencakup m 5 Kecamataan antara laain: Desa Latuhalat, L S Seri (Kecam matan Teluk Am mbon Luarr), Desa Hukurila H (K Kecamatan Leitimur Selatan), S D Dusun Toisapu (Kecamatan ( n Baguala), Kelurahaan Lateri (Kecamatan ( n Teluk Am mbon Dalam), Desa D Galalla (Teluk Ambon A Daalam), sedaangkan Kabbupaten Maluku Tenggara mencakup Kota K Tual dan d sekitarnnya. Peta lokasi penelittian dapat dilihat d pada Gam mbar 17. Peenelitian inii dilakukann selama deelapan bulaan dari Aggustus
0°N
2008 samppai dengan April 2009
2°S
L LA AU UT TS SE ER RA AM M A U T S E R A M L A U T S E R A M L A U T S E R A M L L A U T S E R A M
P.SERAM P.SERAM P.SERAM P.SERAM P.SERAM P.SERAM
P.AMBO P.AMBO ON ON P.AMBO ON P.AMBO P.AMBO ON ON
P.BANDA P.BANDA P.BANDA P.BANDA P.BANDA P.BANDA L A U T B A L LA A AU U UT T TB B BA A AN N ND D DA A A N D A L A U T B A L L A U T B A N D A
L L LA A AU U UT T TA A AR R RU U A U T A R U L L L A U T A R U U
6°S
LINTANG LINTANG SELATAN SELATAN
4°S
P.BURU P.BURU P.BURU P.BURU P.BURU P.BURU
KEP.KAI KEP.KAI KEP.KAI KEP.KAI KEP.KAI KEP.KAI
P.ARU P.ARU P.ARU P.ARU P.ARU P.ARU
P.WETAR P.WETAR P.WETAR P.WETAR P.WETAR P.WETAR
8°S
KEP KEP KEP P.LETI P.LETI P.LETI KEP KEP KEP P.LETI P.LETI P.LETI
P.Y P.Y YAMDENA YAMDENA P.Y YAMDENA P.Y P.Y YAMDENA YAMDENA
10°S
LA AU UT TA A AR R RA A AF F FU U UR R RA A A L L A U T A R A F U R A L A U T L A U T A R A F U R A
124°E
126°E
128°E
130°E
132°E
134°E
BUJUR BUJUR TIMUR TTIMUR T
Ket :
L Lokasi penelitiian
Gam mbar 17 Lookasi penelittian.
136°E
1 138°E
52
3.2
Metode Pengumpulan Data Pengambilan data penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan
stratifikasi jenis alat tangkap yang difokuskan pada pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap yang tersebar di lokasi penelitian. Populasi unit penangkapan ikan tersebar sangat luas di wilayah penelitian, maka penentuan lokasi sampel dilakukan secara bertingkat atau multistage sampling bertahap (Soetrisno dan Hanafie, 2007), melalui prosedur sebagai berikut: 1) pemilihan kabupaten secara random yaitu pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis dengan kriteria mencakup tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis, distribusi alat tangkap, produksi ikan pelagis dan prasarana perikanan yang terdapat di kabupaten, 2) pemilihan kecamatan-kecamatan dari kabupaten berdasarkan intensitas kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis, 3) pemilihan desa/kelurahan dalam kecamatan dengan aktifitas perikanan yang berkembang, dan 4) pemilihan sampel secara purposive sampling dari populasi alat tangkap yang masih aktif beroperasi saat penelitian dilakukan dan mengacu pada tujuan penelitian. Objek penelitian adalah unit penangkapan ikan yang dominan menangkap ikan pelagis dan masih aktif beroperasi pada saat berlangsung penelitian. Sampel unit penangkapan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 194 buah, yang terdiri dari: pukat cincin 57 unit, pukat pantai 5 unit, bagan 13 unit, huhate 33 unit, pancing tonda 50 unit, dan jaring insang permukaan 36 unit. Data primer diperoleh di lokasi penelitian. Sebelum pengumpulan data, masing-masing nelayan diberi pemahaman singkat untuk menguasai pertanyaan
yang akan
diberikan di dalam kuesioner untuk menyamakan persepsi mengenai setiap pertanyaan. Data primer dikumpulkan dengan pengisian kuesioner melalui teknik wawancara yang terstruktur secara langsung terhadap responden utama yaitu juragan pemilik alat tangkap. Untuk menunjang
analisis pengembangan
perikanan pelagis, juga dikumpulkan informasi kunci dilokasi penelitian seperti: pemilik alat tangkap bukan nahkoda 26 orang, pejabat instansi perikanan 2 orang, pengusaha perikanan tangkap 6 orang, akademisi 1 orang, nelayan pukat cincin 32 orang, pukat pantai 3 orang, bagan 5 orang, huhate 15 orang, pancing tonda 23 orang, jaring insang permukaan 12 orang. Data sekunder berupa data produksi
53
ikan tahunan (time series data), gambaran umum perikanan di Provinsi Maluku dan data nelayan yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Kantor Statistik Provinsi Maluku serta instansi lain, serta berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka) yang berkaitan dengan objek penelitian Adapun data yang dikumpulkan dan metodenya disajikan pada Tabel 11. Data sekunder mengenai peraturan perundang-undangan, kelembagaan, sosial budaya, kemampuan SDM, informasi lain yang berkaitan dengan perikanan tangkap diperoleh dengan pengisian kuesioner dari instansi, seperti: Pemda Tingkat I Maluku, Pemda Tingkat II, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Statistik, dan lain-lain. Tabel 11 Jenis dan sumber data serta metode pengumpulannya No A
B
Jenis data
Metode Pengumpulan Data Kuesioner
Sumber Data
Jumlah responden
Nelayan
90
> Nelayan
Kuesioner
Nelayan
90
> Kapal penangkap
Kuesioner
Nelayan
90
> Potensi Sumberdaya
Survei
Hasil Pengamatan
-
> Kondisi perairan
Survei
Hasil Pengamatan
-
Kuesioner
Instansi terkait
2
Kuesioner
Instansi terkait
6
Kuesioner
Instansi terkait
11
Kuesioner
Instansi terkait
26
Survei
Hasil Pengamatan
-
> Alat tangkap
Survei
Hasil Pengamatan
-
> Kondisi perairan
Survei
Hasil Pengamatan
-
> Alat tangkap
>Peraturan dan perundang- undangan > Kelembagaan
C
>Sosial budaya dan kemampuan SDM >Informasi lainnya yang berkaitan dengan perikanan tangkap > Kapal Penangkapan
Keterangan: A, B, C sesuai dengan tujuan penelitian
3.2.1 Teknologi tepat guna Data yang dikumpulkan untuk masing-masing aspek kajian (aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi) adalah sebagai berikut; (1) Aspek biologi, beberapa parameter yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup jumlah trip, CPUE, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan hasil tangkapan.
54
(2) Aspek teknis, mencakup pengoperasian alat, jangkauan operasi pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi dari setiap unit penangkapan. (3) Aspek sosial, mencakup parameter jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan ikan, penerimaan unit penangkapan baru oleh masyarakat, tingkat pendidikan, ada tidaknya konflik antar nelayan, pengalaman kerja, serta jumlah tenaga kerja setiap unit tangkap. (4) Aspek ekonomi, meliputi penerimaan kotor per trip, penerimaan kotor per jam operasi, penerimaan kotor per unit tangkap per bulan, penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per tenaga kerja. 3.2.2 Aspek penangkapan bertanggung jawab sesuai CCRF Pengumpulan data yang dilakukan berkaitan dengan aspek ramah lingkungan dilakukan terhadap unit penangkapan ikan yang dioperasikan di perairan Maluku dan mengacu pada FAO (1995) kemudian dikembangkan oleh Monintja (2001). Adapun data unit penangkapan ikan yang dikumpulkan adalah terkait dengan aspek ramah lingkungan antara lain: (1) Data selektifitas alat tangkap (2) Data tentang kerusakan habitat oleh unit penangkapan ikan (3) Data kualitas ikan hasil tangkapan (4) Data tingkat bahaya bagi konsumen dari konsumsi hasil tangkap (5) Data by-catch dari unit penangkapan ikan yang dioperasikan (6) Data yang berkaitan dengan biodiversity dari operasi alat tangkap (7) Data berkaitan dengan bahaya operasi unit penangkapan ikan terhadap ikan-ikan yang dilindungi (8) Data operasi penangkapan ikan yang diterima secara sosial di masyarakat 3.3
Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) analisis aspek
potensi sumberdaya, menggunakan metode Schaefer (1975), 2) analisis aspek teknologi tepat guna menggunakan metode skoring, 3) analisis aspek ramah lingkungan dari unit penangkapan ikan, mengacu pada FAO (1995) yang
55
dikembangkan oleh Monintja (2001), 4) alokasi unit penangkapan ikan, menggunakan Linear Goal Programming (LGP), 5) modifikasi prototipe alat penangkapan ikan, menggunakan metode deskriptif komparatif, 6) strategi pengembangan perikanan tangkap, menggunakan SWOT dan AHP, seperti terlihat pada Tabel 12. Tabel 12 Matriks metode analisis data No 1 2
3
4
5
6 7
Tujuan
Analisis
Expected Output
Untuk mengetahui status SDI seperti: potensi, tingkat pemanfaatan dan pengupayaan unit penangkapan ikan Untuk mendapatkan jenis armada penangkapan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek teknis, biologi, ekonomi dan sosial
Aspek biologi, menggunakan Shaefer (1957) Metode skoring
Menyeleksi unit penangkapan ikan tertentu yang dapat menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya ikan dan pemanfaatannya Menyeleksi apakah unit penangkapan ikan memiliki sifat destruktif atau tidak terhadap SDI, ekosistem, lingkungan dan masyarakat. Menentukan jumlah alokasi unit penangkapan ikan, berapa besar ketercapaian tujuan yang dikehendaki sesuai target yang ditetapkan, berapa besar sumberdaya yang dimanfaatkan dalam mencapai tujuan Modifikasi prototipe alat penangkapan ikan
Aspek keberlanjutan, mengacu pada CCRF, Monintja (2001)
Menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan di Maluku
dengan metode
Sumberdaya ikan dapat diketahui tingkat pemanfaatannya Mendapatkan armada yang efektif dan cocok untuk pengembangan selanjutnya dimasa akan datang. Unit penangkapan ikan terpilih dari aspek berkelanjutan
Aspek ramah lingkungan mengacu pada CCRF, Monintja (2001)
Unit penangkapan ikan terpilih
Linear Goal Programming (LGP)
Mengoptimalkan alokasi alat penangkapan ikan
Metode deskriptif komparatif Metode SWOT dan AHP mengacu pada Saaty (1991)
Modifikasi teknologi alat penangkapan ikan Prioritas pengembangan unit penangkapan ikan terpilih.
Sumber: Data olahan (2009)
3.3.1 Analisis potensi sumberdaya ikan Untuk mendapatkan data pendugaan potensi sumberdaya ikan dilakukan dengan cara mengolah data hasil tangkapan dari semua jenis alat tangkap yang dioperasikan dan upaya penangkapannya di Maluku. Dinamika sumberdaya ikan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan ”Model Surplus Produksi” yang dikemukakan oleh (Schaefer 1957 vide Clark 1985) yaitu dengan memplotkan hasil tangkapan per satuan upaya (HTSU) yang telah distandardisasi (c/f) dalam satuan kg/trip dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (f) dalam satuan trip kemudian dihitung dengan model regresi linier, sehingga diperoleh nilai konstanta regresi (b) dan intersep (a). Nilai intersep (a) dan konstanta regresi (b)
56
kemudian digunakan untuk menentukan beberapa persamaan yang diperlukan, yaitu: (1) Hubungan antara HTSU dan upaya penangkapan standar (f): HTSU = a – bf atau HTSU = c/f (2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dan upaya penangkapan: 2
c = af – bf
(3) Upaya penangkapan optimum (F ) diperoleh dengan cara menyatakan opt
turunan pertama hasil tangkapan upaya penangkapan sama dengan nol: 2
C = af –bf , c’ = a – 2bf = 0 F
opt
= a/2b
(4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya penangkapan optimum kedalam persamaan (2) di atas: 2
C
max
2
= a(a/2b) – b(a /4b ) 2
MSY = a /4b Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemanfataan sumberdaya ikan diperoleh dari rasio jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu dengan nilai produksi maksimum lestari (MSY): Ci Tingkat Pemanfaatan = x 100% MSY Keterangan: Ci = jumlah hasil tangkapan ikan pada tahun ke-1 MSY = maximum sustainable yield Penggunaan metode ini, sebagaimana metode yang lain memiliki kelemahan, karena dipengaruhi keberadaan dan keakuratan data dan informasi stok biomassa. Data yang dikumpulkan berorientasi pada data sekunder yang meliputi total tangkapan (ton) dan jumlah upaya tangkapan (trip/unit). Selanjutnya spesies yang dideteksi adalah spesies unggulan yang secara tepat dapat dikenali, oleh karena itu didalam penggunaan metode ini beberapa asumsi dasar yang harus diperhatikan adalah: (1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal dan sama sekali tidak berpedoman pada struktur populasinya.
57
(2) Stok ikan selalu ada dalam keadaan yang cenderung menuju situasi steady state sesuai model pertumbuhan biomas seperti kurva logistik. (3) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan data yang bersifat random. (4) Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari perairan Maluku dan tidak ada hasil tangkapan yang didaratkan di luar kawasan. (5) Teknologi penangkapan tidak ada perubahan secara signifikan. 3.3.2
Teknologi penangkapan ikan tepat guna Tujuan determinasi teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk
mendapatkan
jenis
armada
penangkapan
yang
mempunyai
keragaan
(performance) yang baik ditinjau dari aspek teknis, biologi, ekonomi dan sosial sehingga akan merupakan armada yang efektif dan cocok untuk pengembangan selanjutnya dimasa akan datang. Metode
skoring
digunakan
untuk
menentukan
jenis
teknologi
penangkapan ikan yang layak untuk dikembangkan. Setelah diperoleh nilai dengan menggunakan metode skoring terhadap semua kriteria (biologi, teknis, sosial, dan ekonomi), maka dilakukan standardisasi nilai dengan menggunakan metode fungsi nilai yang dikemukakan oleh Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) dengan rumus sebagai berikut:
X X0 V(X ) X1 X 0
V ( A)
0
V j 1
1
( X i ), ( i 1 , 2 , 3 , 4 .......... ......... n )
dimana:
V(X) = Fungsi nilai dari variabel X X
= Nilai variabel X
X1
= Nilai tertinggi pada kriteria X
X0
= Nilai terendah pada kriteria X
V(A)
= Fungsi nilai dari alternatif A
V1(Xi) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i. i
= 1,2,3,............,
Urutan alat tangkap yang sesuai untuk digunakan ditetapkan dari alternatif yang mempunyai fungsi nilai tertinggi ke alternatif dengan fungsi nilai terendah.
58
(1)
Aspek biologi Aspek biologi dianalisis untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang
digunakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan pelagis kecil merusak sumberdaya yang ada atau tidak. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis kecil dititikberatkan pada empat kriteria yaitu CPUE (catch per unit effort), jumlah trip, komposisi hasil tangkapan, dan ukuran ikan yang tertangkap. Kriteria penilaian didasarkan pada hasil pengisian kuesioner dan wawancara dengan responden. Kriteria pertama yang dijadikan bahan penilaian aspek biologi adalah CPUE. Prioritas masing-masing unit penangkapan ikan pelagis kecil ditentukan berdasarkan nilai CPUE tertinggi, semakin tinggi CPUE maka prioritasnya semakin besar. Skor kriteria CPUE disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Skor kriteria CPUE Selang nilai 1 3 5
Keterangan Prioritas rendah Prioritas sedang Prioritas tinggi
CPUE Rendah Sedang Tinggi
Kriteria ke-2 adalah jumlah trip selama satu tahun yang digunakan sebagai indikator mutu hasil tangkapan, artinya semakin lama trip penangkapan maka mutu hasil tangkapan yang diperoleh akan semakin buruk. Urutan prioritas ditentukan berdasarkan jumlah trip atau semakin banyak jumlah trip dalam satu tahun, maka nilai prioritas suatu unit penangkapan ikan semakin tinggi dan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Skor kriteria lama trip penangkapan Selang nilai 1 3 5
Jumlah trip 1-3 4-7 >8
Keterangan Jumlah trip sedikit Jumlah trip sedang Jumlah trip banyak
Kriteria ke-3 adalah komposisi hasil tangkapan setiap unit penangkapan. Prioritas ditentukan berdasarkan jumlah komposisi hasil tangkapan yang diperoleh, semakin beragam jenis ikan yang tertangkap oleh alat tangkap maka nilai prioritasnya semakin buruk. Hal ini didasarkan pada tingkat selektivitas unit penangkapan ikan, semakin sedikit jumlah komposisi ikan yang diperoleh maka
59
tingkat selektifitas alat semakin baik. Tabel 15 menyajikan skor kriteria komposisi hasil tangkapan. Tabel 15 Skor kriteria komposisi hasil tangkapan Selang nilai 1 3 5
Komposisi hasil tangkapan Buruk Sedang Baik
Keterangan Hasil tangkapan beragam Hasil tangkapan kurang beragam Hasil tangkapan seragam
Kriteria terakhir dari penilaian aspek biologi adalah ukuran hasil tangkapan. Penilaian dilakukan dengan metode skoring, dengan skor tertinggi 3 dan terendah 1. Skor 1 digunakan untuk unit penangkapan yang menangkap ikan dengan ukuran kecil, dimana tidak layak tangkap secara biologi, skor 3 digunakan untuk ukuran besar dimana layak tangkap secara biologi. Selang skor yang ditetapkan disajikan pada Tabel 16 Tabel 16 Skor kriteria ukuran hasil tangkapan Selang nilai 1 3
(2)
Ukuran Kecil Besar
Keterangan Tidak layak tangkap secara biologi Layak tangkap secara biologi
Aspek teknis Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas alat tangkap
untuk digunakan (pukat cincin, bagan dan jaring insang). Kriteria teknis yang meliputi pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi, pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi. Penilaian dilakukan dengan cara skoring dengan rentang skor 1 hingga 5 untuk semua kriteria kecuali daya jangkau operasi. Kriteria pertama penilaian/skoring metode penangkapan didasarkan pada tingkat kemudahan operasi penangkapan. Skor 1 menunjukkan sulit, skor 3 sedang dan 5 merupakan skor yang menunjukkan tingkat pengoperasian cukup mudah dan mudah. Selang skor yang ditetapkan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Skor kriteria metode pengoperasian alat tangkap Selang nilai 1
Metode pengoperasian Sulit
3
Sedang
5
Mudah
Keterangan Nelayan mengalami kesulitan dalam pengoperasian alat tangkap Nelayan mengalami kesulitan tetapi masih dapat mengoperasikan alat tangkap Nelayan mudah mengoperasikan alat tangkap
60
Kriteria ke-2 adalah daya jangkau operasi penangkapan ikan, penilaian dilakukan berdasarkan daya jangkau (mil) unit penangkapan dimana semakin jauh maka nilainya semakin baik dan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Skor kriteria daya jangkau operasi penangkapan ikan Selang nilai 1 3 5
Daya jangkau operasi ≤ 1 mil 1 mil – 5 mil ≥ 5 mil
Keterangan Dekat Sedang Jauh
Kriteria ke-3 adalah pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap. Penilaian dilakukan dengan metode skoring dimana skor 1 menunjukkan bahwa lingkungan fisik berpengaruh, skor 3 cukup berpengaruh, dan skor 5 menunjukkan tidak berpengaruh. Adapun selang nilai penetapan pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat penangkapan ikan disajikan pada Tabel 19 Tabel 19 Skor kriteria pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap Selang nilai 1
Pengaruh lingkungan fisik Berpengaruh
3
Cukup berpengaruh
5
Tidak berpengaruh
Keterangan Arus dan gelombang menjadi kendala Arus dan gelombang menjadi kendala tetapi masih bisa diatasi oleh nelayan Arus dan gelombang tidak ditemukan
Kriteria ke-4 adalah selektivitas alat penangkapan. Penilaian untuk masingmasing unit penangkapan dilakukan dengan cara skoring, dimana skor 1 menunjukkan sangat tidak selektif, skor 3 selektif sedang, dan skor 5 selektif, yang disajikan pada tabel dibawah ini: Tabel 20 Skor kriteria selektivitas teknologi penangkapan ikan Selang nilai 1
Selektivitas Tidak selektif
3
Selektivitas sedang
5
Selektif
Keterangan Desain, konstruksi alat tangkap dan hasil tangkapan tidak dapat terseleksi Desain, konstruksi alat tangkap dan hasil tangkapan hanya menyeleksi ikan-ikan tertentu Desain, konstruksi alat tangkap dan hasil tangkapan dapat terseleksi
Kriteria terakhir dari aspek teknis adalah tingkat penggunaan teknologi. Skoring dilakukan untuk menilai kriteria ini, dimana skor 1 menunjukkan tingkat
61
penerapan teknologi rendah, skor 3 sedang dan skor 5 tinggi. Selang nilai tingkat penggunaan teknologi disajikan pada Tabel 21 Tabel 21 Skor kriteria tingkat penggunaan teknologi
(3)
Selang nilai
Tingkat penggunaan teknologi
Keterangan
1
Teknologi rendah
3
Teknologi sedang
5
Teknologi tinggi
Tidak menggunakan alat bantu penangkapan ikan Menggunakan alat bantu penangkapan sederhana Menggunakan teknologi alat bantu penangkapan yang lengkap
Aspek sosial Kriteria aspek sosial ditinjau dari penilaian dan penerimaan masyarakat
terhadap jenis alat tangkap yang digunakan, tingkat pendidikan, ada tidaknya konflik antar nelayan, pengalaman kerja, dapat memberikan kesempatan kerja kepada nelayan setempat atau tidak, banyaknya tenaga kerja yang diserap serta upah yang diterima oleh nelayan. Tabel 22 Skor kriteria penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap baru Selang nilai 1
Penilaian dan penerimaan masyarakat Berbahaya
3
Berbahaya sedang
5
Tidak terbahaya
Keterangan Berbahaya dan menimbulkan konflik dalam masyarakat Masih dapat ditoleransi oleh nelayan sekitar Dapat diterima oleh seluruh nelayan
Tabel 23 Skor tingkat pendidikan Selang nilai
Tingkat pendidikan
Keterangan
1
SD
Tidak terlalu trampil
3
SMP
Cukup trampil
5
SMA
Lebih trampil
Tabel 24 Ada tidaknya konflik antar nelayan Selang nilai
Konflik nelayan
1
Sering
3
Ada
5
Tidak ada
Keterangan Berbahaya dan menimbulkan konflik antar nelayan Masih dapat ditoleransi oleh nelayan sekitar Dapat diterima oleh seluruh nelayan
62
Tabel 25 Skor kriteria pengalaman kerja sebagai nelayan Selang nilai 1 3 5
Pengalaman kerja Kurang Sedang Banyak
Keterangan Pengalaman kerja hampir tidak ada Belum terlalu berpengalaman kerja Cukup berpengalaman
Tabel 26 Skor kriteria jumlah tenaga kerja Selang nilai 1 3 5
Jumlah tenaga kerja 1-5 5 - 10 > 10
Keterangan Cukup baik Baik Sangat baik
Penilaian terhadap kriteria penyerapan tenaga kerja dilakukan dengan melihat jumlah nelayan yang dipekerjakan dalam satu unit penangkapan ikan. Untuk kriteria pendapatan nelayan dilihat dari pendapatan bersih yang diterima seorang nelayan dalam satu tahun, penilaian terhadap kriteria pendapatan nelayan per unit per orang per tahun didapatkan dari perhitungan analisis ekonomi. Tabel 27 Skor kriteria pendapatan nelayan Selang nilai 1 3 5
4)
Pendapatan nelayan ≤ Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 – Rp. 3.000.000 ≥ Rp. 3.000.000
Keterangan Dibawah UMR Hampir sama dengan UMR Diatas UMR
Aspek ekonomis Kriteria aspek ekonomis meliputi penerimaan kotor per trip/alat tangkap
yang disajikan pada Tabel 28, penerimaan kotor per jam operasi disajikan pada Tabel 29, penerimaan kotor per alat tangkap/bulan disajikan pada Tabel 30 dan penerimaan kotor per alat tangkap/tahun yang disajikan pada Tabel 3, serta penerimaan kotor/tenaga kerja/hari pada Tabel 32. Tabel 28 Skor kriteria penerimaan kotor per trip/alat tangkap Selang nilai 1 3 5
Penerimaan kotor per trip ≤ Rp. 200.000 Rp. 200.000 - Rp. 1.000.000 > Rp. 1.000.000
Keterangan Rendah Sedang Tinggi
Tabel 29 Skor kriteria penerimaan kotor per jam operasi/alat tangkap Selang nilai 1 3 5
Penerimaan kotor per jam operasi ≤ Rp. 5.500 Rp. 5500 – Rp. 25.000 ≥ Rp. 25.000
Keterangan Rendah Sedang Tinggi
63
Tabel 30 Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/bulan Selang nilai
Penerimaan kotor per alat tangkap per bulan
Keterangan
1 3 5
≤ Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 – Rp. 3.000.000 ≥ Rp. 3.000.000
Rendah Sedang Tinggi
Tabel 31 Skor kriteria penerimaan kotor per alat tangkap/tahun Selang nilai
Penerimaan kotor alat tangkap per tahun
Keterangan
1 3 5
≤ Rp. 15.000.000 Rp. 15.000.000-Rp. 20.000.000 ≥ Rp. 20.000.000
Rendah Sedang Tinggi
Tabel 32 Skor kriteria penerimaan kotor per tenaga kerja per hari Selang nilai
Penerimaan kotor per tenaga kerja per tahun
Keterangan
1 3 5
≤ Rp. 11.000 Rp. 11.000 – Rp. 150.000 ≥ Rp. 150.000
Rendah Sedang Tinggi
Pendapatan kotor per tahun untuk masing-masing alat tangkap berbeda nilainya sesuai dengan tingkat produktivitas alat tangkap tersebut. Alat tangkap pukat cincin dan huhate yang produktivitas hasil tangkapannya lebih besar maka pendapatannya juga lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap ikan pelagis kecil lainnya. Nilai-nilai yang tercantum di dalam tabel diatas merupakan hasil wawancara dengan nelayan menyangkut pendapatan baik per alat tangkap maupun per tenaga kerja. 3.3.3 Analisis aspek berkelanjutan Analisis
aspek berkelanjutan
dimaksudkan
untuk
menyeleksi
unit
penangkapan ikan tertentu yang dalam operasinya dapat menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya ikan dan keberlanjutan pemanfaatannya. Kriteria yang digunakan mengacu pada kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Nilai skor yang diberikan untuk menilai setiap kriteria terkait aspek berkelanjutan menggunakan metode rating dengan kisaran 1 sampai 4 (Rangkuti, 2004). Secara spesifik, skor yang diberikan untuk setiap kriteria dari aspek keberlanjutan menurut CCRF ini mengacu pada Tabel 33
64
Tabel 33 Kriteria dan skor analisis aspek berkelanjutan unit penangkapan ikan di perairan Maluku skor 1
Menerapkan teknologi ramah lingkungan Subkriteria: 1 Memenuhi 2 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 2 Memenuhi 3 – 5 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 3 Memenuhi 5 – 7 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 4 Memenuhi seluruh kriteria alat tangkap ramah lingkungan 2 Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC 1 Hasil tangkapan 75 – 100% dari TAC 2 Hasil tangkapan 50 – 75% dari TAC 3 Hasil tangkapan 25 – 50% dari TAC 4 Hasil tangkapan lebih kecil dari 25% dari TAC 3 Menguntungkan 1 Keuntungan lebih kecil dari Rp 500.000 per bulan 2 Keuntungan antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 per bulan 3 Keuntungan antara Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000 per bulan 4 Keuntungan lebih besar dari Rp 1.500.000 per bulan 4 Investasi rendah 1 Investasi lebih besar dari Rp 2.000.000 per unit 2 Investasi antara Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 per unit 3 Investasi antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 per unit 4 Investasi lebih kecil dari Rp 500.000 per unit 5 Penggunaan BBM rendah 1 Penggunaan BBM lebih besar dari 15 liter per trip 2 Penggunaan BBM antara 10 – 15 liter per trip 3 Penggunaan BBM antara 5 – 10 liter per trip 4 Penggunaan BBM lebih kecil dari 5 liter per trip 6 Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku: 1) CCRF, 2) Undang -Undang No 31/2002 tentang perikanan, 3) Peraturan Daerah, dan 4) Hukum adat 1 Alat tangkap memenuhi 1 dari 4 kriteria yang ada 2 Alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 3 Alat tangkap tersebut memenuhi 3 dari 4 kriteria 4 Alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada Sumber: Monintja (2001), disesuaikan dengan kondisi di Maluku
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 2 3 4
3.3.4 Analisis aspek ramah lingkungan Analisis aspek ramah lingkungan dilakukan untuk menyeleksi sifat destruktif dari unit penangkapan ikan terhadap sumberdaya ikan, ekosistem, lingkungan sekitar, dan masyarakat (Monintja 2001). Rentang nilai skor yang digunakan untuk pemberian nilai kriteria terkait dengan aspek ramah lingkungan ini adalah dengan kisaran nilai 1 – 4 (Rangkuti 2005). Secara spesifik setiap kriteria dari aspek ramah lingkungan unit penangkapan ikan ini mengacu pada Tabel 34
65
Tabel 34 Kriteria dan skor analisis ramah lingkungan unit penangkapan ikan di Maluku skor 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mempunyai selektifitas yang tinggi, dengan subkriteria: 1 Menangkap lebih dari 3 speies ikan dengan variasi ukuran yang berbeda jauh 2 Menangkap 3 spesies ikan atau kurang dengan variasi ukuran yang berbeda jauh 3 Menangkap kurang dari 3 spesies ikan dengan ukuran yang relatif seragam 4 Menangkap 1 spesies ikan dengan ukuran yang relatif seragam
1 2 3 4
Tidak merusak habitat; 1 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas 2 Menyebabkan kerusakan pada wilayah yang sempit 3 Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit 4 Aman bagi habitat
1 2 3 4
Menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 1 Ikan mati dan busuk 2 Ikan mati, segar, cacat fisik 3 Ikan mati dan segar 4 Ikan hidup
1 2 3 4
Tidak membahayakan nelayan; 1 Bisa berakibat kematian pada nelayan 2 Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan 3 Hanya bersifat gangguan kesehatan yang bersifat sementara 4 Aman bagi nelayan
1 2 3 4
Produksi tidak membahayakan konsumen; 1 Berpeluang besar menyebabkan kematian pada konsumen 2 Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen 3 Relatif aman bagi konsumen 4 Aman bagi konsumen
1 2 3 4
By-catch rendah; 1 By-catch pada beberapa spesies dan tidak laku dijual di pasar 2 By-catch pada beberapa spesies dan ada jenis yang laku terjual di pasar 3 By-catch kurang dari 3 spesies dan laku terjual di pasar 4 By-catch kurang dari 3 spesies dan mempunyai harga yang tinggi
1 2 3 4
Dampak ke biodiversity; 1 Menyebabkan kematian pada semua makhluk hidup dan merusak habitat 2 menyebabkan kematian pada beberapa spesies dan merusak habitat 3 Menyebabkan kematian pada beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat 4 Aman bagi biodiversity
1 2 3 4
Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi 1 Ikan yang dilindungi sering tertangkap 2 Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap 3 Ikan yang dilindungi pernah tertangkap 4 Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
1 2 3 4
Dapat diterima secara sosial:1 investasi murah ,2 menguntungkan,3sesuai dengan Budaya setempat, 4 sesuai dengan peraturan yang ada Peringkat : 1 Alat tangkap memenuhi kriteria 1 dari 4 kriteria diatas 2 Alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 3 Alat tangkap tersebut memenuhi kriteria 3 dari 4 kriteria 4 Alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada
1 2 3 4
Sumber: Monintja (2001), disesuaikan dengan kondisi di Maluku
3.3.5 Alokasi unit penangkapan ikan Untuk menganalisis alokasi optimal unit penangkapan ikan tepat guna di perairan Maluku, dilakukan dengan metode Linear Goal Programming (LGP).
66
Metode ini digunakan untuk menentukan jumlah alat tangkap yang optimal dengan batasan sumberdaya perikanan serta faktor-faktor teknis dari armada tersebut. Model goal programming terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala. Variabel tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai. Dalam proses pengolahan model tersebut, jumlah variabel deviasional akan diminimumkan dalam fungsi tujuan (Siswanto 1993). Model linier goal programming yang dipakai menggunakan model matematik : Fungsi tujuan :
m
Z ( DBi DAi ) i 1
Fungsi kendala-kendala: a1 1 x1 + a1 2 x2 + .........+ a1n xn + DB1 - DA1 = b1 a2 1 x1 + a2 2 x2 + ……..+ a2n xn + DB2 – DA2 = b2 a3 1 x1 + a3 2 x2 + ……..+ a2n xn + DB2 – DA2 = b3 a4 1 x1 + a4 2 x2 + ……..+ a2n xn + DB2 – DA2 = b4 dimana : Z
= Fungsi tujuan yang akan diminimumkan
DBi
= Deviasi bawah kendala ke- i
DAi
= Deviasi atas kendala ke- i
Cj
= Parameter fungsi tujuan ke- j
b1
= Kapasitas kendala ke i
b2
= Kapasitas kendala ke 2
b3
= Kapasitas kendala ke 3
b4
= Kapasitas kendala ke 4
aij
= Parameter fungsi kendala ke- i pada variabel keputusan ke- j
Kendala ke-i = Target produksi, MSY, keuntungan, tingkat konsumsi, penyerapan tenaga kerja, pendapatan asli daerah, serta penerimaan devisa negara Xj
= Variabel putusan ke- j ( jumlah armada penangkapan)
Xj, DAi, DBi > 0, untuk i = 1, 2,….........., m dan j = 1, 2, ............., n
67
Sebelum melakukan analisis optimasi terlebih dahulu dilakukan perhitungan CPUE yang digunakan dalam analisis perhitungan fungsi produksi lestari. Standardisasi upaya penangkapan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan catch per unit effort (CPUE), yaitu dengan cara membandingkan hasil tangkapan per upaya penangkapan masing-masing unit penangkapan. Unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power index) sama dengan satu. perhitungan FPI adalah sebagai berikut: FEs CPUEs = HTs FEi CPUEi = HTi Upaya standardisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut yaitu: SE = FPI x FE 1
1
dimana: CPUEi = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-i; CPUEs = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan distandarisasi; HTs
= Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i;
HT
= Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan
FEs
distandarisasi pada tahun ke-i; = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan
1
yang
dijadikan standar pada tahun ke-i; FE1
= Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang dijadikan standarisasi pada tahun ke-i;
FPIs
= Fishing Power Index atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan standar pada tahun ke-i
FPIi
= Fishing Power Index atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandardisasi pada tahun ke-i
SE
= Upaya penangkapan (effort) hasil standardisasi pada tahun ke-i
68
3.3.6 Modifikasi prototipe unit penangkapan ikan Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang jelas secara sistematis akurat tentang kondisi yang terjadi serta hubungan antar fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, sehingga ini merupakan suatu metode deskriptif komparatif yang perlu di kaji untuk melihat sejauhmana perkembangan teknologi saat ini. Kebijakan pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk mendorong
tingkat
kesejahteraan
nelayan
kita.
Beberapa
faktor
yang
menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain: 1) rendahnya tingkat penguasaan teknologi penangkapan, 2) kecilnya skala usaha 3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan 4) status nelayan yang sebagian besar adalah buruh, oleh karenanya pembangunan infrastruktur dan bantuan alat penangkapan ikan tepat guna serta pemasaran hasil tangkapan adalah mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan penangkapan bagi kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus ada undang-undang yang mengatur batas wilayah kita dengan batas wilayah teritotial negara lain. Tujuan ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas unit penangkapan yang meliputi kapal, alat tangkap dan alat bantu melalui sentuhan teknologi tepat guna sesuai kondisi lingkungan perairan dan jenis sumberdaya ikan. Kegiatan yang dilaksanakan adalah: 1) penyusunan rancang bangun dan spesifikasi teknis kapal ikan, 2) standardisasi unit penangkapan, 3) pengembangan dan perekayasaan teknologi penangkapan ikan. Pendekatan yang akan dilakukan melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berdasarkan karakteristik daerah penangkapan, jenis dan ketersediaan sumberdaya ikan, kemampuan nelayan, sosial dan budaya masyarakat lokal serta penerapan teknologi tepat guna ramah lingkungan. Upaya ini dilakukan melalui bantuan modernisasi perahu, alat penangkapan ikan dan sarana penangkapan lainnya agar nelayan yang selama ini menggunakan peralatan tradisional mampu menjangkau wilayah perairan potensial yang lebih jauh. Penerapan iptek tersebut seyogyanya dilakukan sesuai keragaman dan karakteristik wilayah baik dari segi lingkungan maupun ekonomi, serta tingkat
69
kemampuan masyarakat setempat dalam mengadopsinya. Iptek juga berarti kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagai hasil daya cipta dan daya kreatif manusia. Disinilah relevansi peranan gagasan tekonologi baru untuk menumbuhkan budaya iptek yang bermuara pada tumbuhnya dinamika dalam menciptakan rakitan teknologi yang kompatibel dengan keunikan dari masingmasing wilayah. Berkembangnya iptek yang spesifik lokasi tersebut, pada gilirannya akan menghasilkan
suatu pola pengembangan teknologi tepat guna
yang dilandaskan pada keunggulan kompetitif wilayah, sebagai warna dan nuansa dari pengembangan perikanan tangkap di Indonesia. Sebagai komponen tentunya hanya akan berarti manakala berada dalam tatanan tertentu yang memberikan nilai tambah bagi perubahan dimensi kehidupan nelayan sehingga menjadi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat nelayan, hal ini berarti dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan perikanan dapat menghantarkan perikanan kepada kondisi yang tangguh, maju dan efisien. Desain teknologi tepat guna yang akan diterapkan dapat meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. 3.3.7 Strategi pengembangan perikanan tangkap 3.3.7.1 Analisis SWOT Penentuan strategi pengembangan teknologi perikanan tangkap dilakukan dengan survei PRA (Participatory Rural Appraisal), dengan menggali sebanyak mungkin informasi yang berbasis masyarakat, pemerintah, dan swasta. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi model pengembangan perikanan pelagis yang sesuai dengan kemauan stakeholder perikanan tangkap. Penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dimana SWOT adalah lingkungan internal yang terdiri dari Strength dan Weakness serta lingkungan eksternal terdiri dari Opportunity dan Threat. Untuk mengetahui strategi dan kebijakan yang akan kita peroleh, maka dilakukan analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal dan
70
eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian membandingkan antara faktor internal, yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat). Analisis ini dilakukan dengan merujuk kepada kekuatan pengendali internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang diperoleh dari studi pustaka dan informasi dari instansi terkait dan pelaku usaha perikanan melalui langkah sebagai berikut : (1)
Evaluasi faktor internal (internal factor evaluation-IFE) Langkah yang dilakukan dalam penentuan faktor internal dan pembobotan adalah dengan membuat daftar kekuatan dan kelemahan, kemudian setiap kekuatan dan kelemahan diberi bobot (tidak penting > 0 sampai sangat penting = 1,0) sehingga total bobot adalah 1,0, selanjutnya diberikan rating 1 sampai dengan 4 pada setiap kekuatan dan kelemahan (1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan kecil, 3 = kekuatan kecil, 4 = kekuatan utama), selanjutnya menentukan weigth score dengan mengalikan bobot dan rating.
(2)
Evaluasi faktor eksternal (eksternal factor evaluation-EFE) Langkah yang dilakukan dalam penentuan faktor eksternal dan pembobotan adalah dengan membuat daftar peluang dan ancaman, kemudian setiap peluang dan ancaman diberi bobot (tidak penting > 0 sampai sangat penting = 1,0) sehingga total bobot adalah 1,0, selanjutnya diberikan rating 1 sampai dengan 4 pada setiap peluang dan ancaman (1 = peluang utama, 2 = peluang kecil, 3 = ancaman kecil, 4 = ancaman utama), selanjutnya menentukan weigth score dengan mengalikan bobot dan rating menurut Kearns (1992) dan David (1989) diacu dalam Salusu (1988). Dari evaluasi faktor internal dan eksternal maka akan dapat diketahui
peluang dan ancaman yang harus diberi respon paling besar, serta kekuatan yang akan dioptimalkan dan kelemahan yang akan diminimalisir. Setelah dilakukan evaluasi faktor eksternal dan internal, dilakukan analisis dengan matriks internaleksternal (I-E). Faktor-faktor starategis internal dan eksternal yang diperoleh dari evaluasi faktor internal dan eksternal yang telah didapat ditentukan kekuatan (strength),
71
kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threat), disusun ke dalam matrik SWOT untuk dilakukan pencocokan untuk penentuan strategi, yaitu strategi S-O, S-T, W-O dan strategi W-T, seperti terlihat pada tabel 35. Salah satu model analisis SWOT dapat ditampilkan dalam matrik kotak, dua yang paling atas adalah kotak faktor eksternal peluang dan ancaman/tantangan, sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah kotak faktor internal, yaitu kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan. Empat kotak lainnya adalah merupakan kotak issu strategi yang timbul sebagai hasil kontak antara faktor eksternal dan faktor internal. Adapun issu strategi antara lain: 1) Comparative Advantage, 2) Mobilization, 3) Investment/Disvestment, dan 4) Damage Control (Kearns 1992 yang diacu dalam Salusu 1988) David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988) yang menggunakan istilah TOWS, yaitu ingin mendahulukan analisis ancaman dan peluang untuk melihat sejauh mana kapabilitas internal sesuai dan cocok dengan faktor eksternal. Dalam analisis TOWS ada empat strategi yang ditampilkan. Strategi SO dipakai untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dalam lingkungan eksternal. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi ST digunakan untuk menghindari, paling tidak memperkecil dampak dari ancaman yang datang dari luar. Strategi WT adalah taktik yang diarahkan pada usaha memperkecil kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi suatu wilayah. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot (nilai), unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh berapa alternatif strategi. Alternatif-alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya untuk menghasilkan ranking dari tiap-tiap strategi alternatif. Strategi dengan ranking tertinggi merupakan merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan pengembangan (Rangkuti 2005). Model analisis SWOT menurut Kearns (1992) dan David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988) disajikan pada Tabel 35
72
Tabel 35 Model Matrik Analisis SWOT Faktor Internal STRENGTHS (Kekuatan)
WEAKNESSES (Kelemahan)
☼ Comparative Advantage (SWOT) ☼ Strategi SO (TOWS)
☼ Mobilization (SWOT) ☼ Strategi WO (TOWS)
☼ Investment Divestment (SWOT) ☼ Strategi ST (TOWS)
☼ Damage Control (SWOT) ☼ Strategi WT (TOWS)
Faktor Eksternal
OPPORTUNITIES (Peluang)
THREATS (Ancaman)
Sumber: Kearns(1992), David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988)
3.3.7.2 Analisis hierarki proses (AHP) Proses Analisis Hirarki (The Analitycal Hierarchi Process) dikembangkan pertamakali oleh L. Saaty pada tahun 1971, yang merupakan pakar matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat. Metode ini adalah salah satu dari ilmu pengambilan keputusan (Saaty1991). Dalam menggunakan AHP, berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengembangan unit penangkapan ikan akan dikelompokkan ke dalam beberapa level/hirarki, misalnya level goal (tujuan), level kriteria, level pembatas (limitting factor), dan level opsi pengembangan. Secara rinci tahapan analisis AHP adalah sebagai berikut: (1)
Penyusunan hierarki Penyusunan struktur hierarki merupakan kegiatan menusun interaksi komponen atau variabel yang telah didefinisikan ke dalam bentuk struktur hierarki AHP yang dimulai dari tujuan umum (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2), level pembatas/limit faktor (level 3), dan opsi pengembangan unit penangkapan ikan pada tingkatan paling bawah hierarki (level 4).
(2)
Penetapan skala perbandingan Penetapan skala perbadingan diperlukan untuk menganalisis kepentingan setiap kriteria pengembangan yang perlu dicapai dalam pengembangan
73
unit penangkapan ikan, menganalisis kepentingan setiap pembatas pengembangan
yang
perlu
diperhatikan
untuk
setiap
kriteria
pengembangan yang perlu dicapai, dan menganalisis kepentingan setiap unit penangkapan ikan yang menjadi opsi pengembangan untuk setiap pembatas pengembangan pada setiap kriteria. Skala perbandingaan ini ditetapkan berdasarkan tingkatan kualitatif dari setiap level yang dikuantitatifkan dengan tujun untuk mendapatkan skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar beberapa alternatif, seperti terlihat pada Tabel 36 Tabel 36 Skala perbandingan berpasangan (pairwise comparations) berdasarkan taraf relatif pentingnya Intensitas pentingnya 1
Definisi Kedua elemen mempunyai sifat yang sama
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dibandingkan elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
2,4,6,8 Kebalikan
Nilai-nilai antara dua pertimbangan dua yang berdekatan Jika satu aktifitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan j
Penjelasan Dua elemen menyumbangkan sifat sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas lainnya Suatu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan antara pertimbangan
Sumber: Saaty (1991)
(3)
Formulasi data Setelah data skala perbandingan terkumpul, dilakukan formulasi data
menggunakan program Microsoft Excell, kemudian dihitung nilai eigen value, menggunakan program Expert Choise 9,5. Dengan demikian dapat ditentukan prioritas keputusan yang akan diperolehnya. Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsistensi memiliki dua makna yaitu: pertama, objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency ratio : CR). Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungkin
74
salah dan perlu diperbaiki. Nilai Indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai dengan 10 yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) tercantum pada Tabel 37 Tabel 37 Nilai random consistensy index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 (Saaty 1991) N 1 2 3 4 5 Sumber: Saaty (1991)
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12
N 6 7 8 9 10
RI 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
3.3.8 Analisis diskriptif antar faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan pelagis Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif ditujukkan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai kondisi lapang yang bersifat tanggapan dan pandangan terhadap pelaksanaan program perkuatan serta kondisi sumberdaya dan daerah sampel. Hasil analisis kualitatif berupa perbandingan kondisi riil di lapangan yang diperoleh dari pendapat berbagai unsur yang terlibat dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Model konsep ini adalah merupakan tindak lanjut dari penggalian issu yang terjadi pada saat ini dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan suatu kebijakan. Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal di Maluku dapat dilakukan dengan
mengusahakan unit penangkapan ikan yang tepat guna.
Penggunaan alat tangkap tersebut harus ditunjang dengan berbagai sarana dan prasarana penangkapan serta teknologi alat tangkap ikan yang digunakan. Berkaitan dengan program pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku, maka perlu dipilih jenis teknologi sederhana maupun modern yang tepat guna sehingga dapat sesuai dengan yang diharapkan. Pemilihan jenis teknologi harus memenuhi beberapa kriteria dari beberapa aspek penilaian yaitu aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Haluan dan Nurani (1988) mengatakan bahwa dari
75
segi biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak sumberdaya ikan, dari segi teknis alat tangkap tersebut harus efektif dalam penggunaannya, dari segi sosial dapat diterima oleh nelayan, dan dari segi ekonomi alat tangkap itu bersifat menguntungkan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan pelagis adalah 1) modal, 2) sumberdaya manusia, 3) sumberdaya perikanan, dan 4) pemasaran. Penerapan jenis teknologi disuatu daerah harus benar-benar memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya dan disesuaikan dengan teknologi yang diterapkan. Pemilihan suatu jenis teknologi alat penangkapan ikan di suatu wilayah perairan sangat tergantung pada faktor alam sebagai faktor penentu utama yaitu 1) jenis, kelimpahan dan penyebaran sumberdaya ikan, 2) luas areal, lokasi dan keadaan fisik lingkungan daerah penangkapan ikan. Pengembangan jenis teknologi alat penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan perikanan, syaratsyarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003) adalah : 1) menyediakan lebih banyak kesempatan kerja 2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan 3) menjamin jumlah produksi ikan yang tinggi untuk penyediaan protein 4) mendapatkan jenis ikan komoditi eksport 5) tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan Hasil dari penelitian yang dilakukan ini mencoba menggali issu yang ada dan terjadi dengan berbagai macam permasalahaan yang dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perikanan tangkap yang ada di Provinsi Maluku dengan melihat kembali kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, apakah seimbang dengan jalannya roda pembangunan perikanan tangkap di daerah ini.
126
4 HASIL 4.1
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
4.1.1 Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis kecil selama 5 tahun terakhir (Tahun 2001-2005) cenderung bervariasi, hal ini disebabkan karena pengoperasian alat tangkap ikan pelagis dilakukan secara trus menerus di perairan Maluku. Kurva hubungan antara produksi (catch), catch per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan (effort) serta kondisi aktual selama kurun waktu 5 tahun untuk masing-masing jenis ikan pelagis kecil disajikan pada Gambar 18 sampai Gambar 23. Hasil analisis produksi lestari ikan menggunakan model Schaefer, yang menunjukkan upaya penangkapan optimal (f
MSY
) dan hasil tangkapan optimum (C
).
MSY
MSY = 5.839,47 6,000 2
R = 0,8993 2001 2006
5,000
0,50
2005 4,000
Produksi (ton)
0,60
2004
2003
0,40
3,000 0,30
2,000
2002
1,000
0,20
0,10
fopt = 24.165,00 0
0,00
0
20,000
40,000
Effort (trip)
Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar.
60,000
86
MSY = 11.895,00
13.000
1,20 2005
12.000
2
11.000
R = 0,8665
1,00
10.000
Produksi (ton)
9.000
2004
0,80
8.000 2002
7.000
0,60
2003
6.000 5.000 4.000
0,40
2001
3.000
0,20
2.000
fopt = 24.387,50
1.000
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
Effort (trip)
Gambar 19 Grafik kurva lestari ikan layang.
10.000 0,70
2
R = 0,8899
2005
MSY = 8.176,74
9.000
2003
8.000
0,60
7.000
0,50
Produksi (ton)
2004 6.000 2002
0,40
5.000 0,30
4.000 2001 3.000
0,20
2.000 0,10
1.000
fopt = 28.595,00 0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
Effort (trip)
Gambar 20 Grafik kurva lestari ikan tembang.
50.000
60.000
85
6.000
MSY = 4.983,32
0,35
2
R = 0,8553 2005
2003
5.000
0,30
0,25
Produksi (ton)
4.000 2004
0,20
2002 3.000
0,15
2001 2.000
0,10 1.000
0,05
fopt = 31.570,00 0
0,00 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
Effort (trip)
Gambar 21 Grafik kurva lestari ikan teri. 2
R = 0,7979
MSY = 1.493,82 1.500
0,09
1.400
0,08
1.300 1.200
2006 2001
2005
1.100
0,07
Produksi (ton)
1.000
0,06
900
0,05
800 700
2003
2002
0,04
600 2004
500
0,03
400
0,02
300 200
0,01
fopt = 38.650,00
100
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Effort (trip)
Gambar 22 Grafik kurva lestari ikan komu.
70.000
80.000
86
2001 2004
2,200
2006 2
0,14
R = 0,8747 MSY = 1.818,05
2,000
0,12 1,800
2002
2005
Produksi (ton)
1,600
0,10 2003
1,400
0,08
1,200 1,000
0,06
800
0,04
600 400
0,02
fopt = 30.150,00
200
0,00
0 0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
Effort (trip)
Gambar 23 Grafik kurva lestari ikan kembung.
Berdasarkan Gambar 18 sampai Gambar 23, memperlihatkan bahwa ikan layang memiliki tingkat MSY tertinggi sebesar 11.895 ton per tahun dengan effort optimal sebesar 24.387 trip per tahun sedangkan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu 1.493 ton per tahun dengan effort optimal 38.650 trip per tahun. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu 38.650 trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar 24.165 trip per tahun.
4.1.2
Produksi ikan pelagis besar Produksi ikan pelagis besar selama 5 tahun terakhir (tahun 2001-2005)
cenderung bervariasi dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Kurva hubungan antara produksi (catch), catch per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan (effort) serta kondisi aktual selama kurun waktu 5 tahun (20012005) untuk masing-masing jenis ikan pelagis besar disajikan pada Gambar 24 sampai Gambar 29. Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai nilai MSY tertinggi yaitu sebesar 49.133 ton per tahun dengan effort optimum 49.565 trip per tahun. Ikan layur mempunyai MSY terendah 250,00 ton per tahun dengan effort optimal 500.000 trip per tahun. Hasil analisis produksi lestari ikan
85
menggunakan model Schaefer, yang menunjukkan upaya penangkapan optimal (f
MSY
) dan hasil tangkapan optimum (C
MSY
10,000
). 2
R = 0,7663
MSY = 9.313,04
0,40
9,000 0,35
8,000
Produksi (ton)
0,30
2000
7,000 6,000
0,25
5,000
0,20
4,000
2003 0,15
2002 3,000
2001
0,10
2,000 2004
2005
fopt = 55.716,67
1,000
0,05 0,00
0 0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
Effort (trip)
Gambar 24 Grafik kurva lestari ikan tuna. 0,01
2
R = 0,6064
700 2007
0,01
2002
600
2005
500
0,00
Produksi (ton)
MSY = 406,13 400
0,00
2001
300
2006 2003 0,00
2004
200
0,00
100
fopt = 142.500,00 0,00
0 0
40.000
80.000
120.000
160.000
200.000
240.000
Effort (trip)
Gambar 25 Grafik kurva lestari ikan tenggiri.
280.000
320.000
86
2
180
R = 0,8186
MSY = 160,00
160 2001 0,0009
140
0,0008
Produksi (ton)
120 2004 100
0,0007
2005 2000
2003
2002
0,0006
80
0,0005
60
0,0004 0,0003
40 0,0002
20
fopt = 400.000,00
0,0001
0
0,0000
0
100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000
Effort (trip)
Gambar 26 Grafik kurva lestari ikan tenggiri papan.
0,40 2
R = 0,6336
8.000
MSY = 7.030,82
7.000
2005
0,35
2000
0,30
6.000
Produksi (ton)
0,25 5.000
0,20
4.000
0,15
3.000
2002
0,10
2.000
2001
2004
0,05
1.000 2003 fopt = 41.925,00
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
Effort (trip)
Gambar 27 Grafik kurva lestari ikan tongkol.
80.000
90.000
85
2,50 2
60.000
R = 0,8058
2001
MSY = 49.133,78
2,00
50.000
Produksi (ton)
40.000
1,50 2002
30.000
fopt = 49.565,00 1,00
2000
20.000
2004
2005
10.000
0,50
2003
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
100.000
Effort (trip)
0,0012
Gambar 28 Grafik kurva lestari ikan cakalang. 2005 1998
250
2
MSY = 250,00
R = 0,9417
0,0010
2002
Produksi (ton)
200
0,0008
150
0,0006
2003 1999
100
0,0004 2001
50
2000 2004
0,0002
fopt = 500.000,00
0,0000
0 0
100.000 200,000 100,000 200.000 300,000 300.000 400,000 400.000 500,000 500.000 600,000 600.000 700,000 700.000 800,000 800.000 900,000 900.000 1,000,000 1.000.000 1,100,000 1.100.000
Effort (trip) Gambar 29 Grafik kurva lestari ikan layur.
86
4.1.3
Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan Berdasarkan nilai maximum sustainable yield (MSY) dan produksi aktual
tahun 2005 dari jenis ikan pelagis kecil dan besar maka tingkat pemanfaatan sumberdaya dapat diketahui. Kemudian dari nilai effort optimal dan effort aktual tahun 2005 untuk masing-masing jenis ikan pelagis, maka dapat dihitung tingkat pengupayaan yang terjadi. Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan masingmasing jenis ikan pelagis kecil dan besar disajikan pada Tabel 38 dan Tabel 39 berikut. Tabel 38 Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, dan tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil di perairan Maluku No
Jenis ikan
Produksi aktual (ton) 3451,2
Tingkat MSY (ton) 5.839
Tingkat pemanfaatan (%) 59,10
Effort aktual (trip) 8.711
Effort optimal (trip) 24.165
Tingkat pengupayaan (%) 37,01
6765,5
11.895
56,87
9.801
24.387
41,50
708
8.176
86,58
21.619
28.595
75,60
292
4.983
58,61
25.192
31.570
79,79
1
Ikan selar
2
Ikan layang
3 4
Ikan tembang Ikan teri
5
Ikan komu
355,7
1.493
23,81
20.895
38.650
54,06
6
Ikan kembung
831,3
1.818
45,72
16.718
30,150
55,45
Sumber: data olahan 2009 Tabel 39 Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, serta tingkat pengupayaan ikan pelagis besar di perairan Maluku No
Jenis ikan
9.313
Tingkat pemanfaatan (%) 51,10
Effort aktual (trip) 120.859
Effort optimal (trip) 55.716
Tingkat pengupayaan (%) 21,69
40,613
406,13
0,88
128.228
142.500
89,98
Produksi aktual (ton) 93.130
Tingkat MSY (ton)
1
Ikan tuna
2
Ikan tenggiri
3
140
160,00
2,12
77.471
400.000
19,36
4
Ikan tenggiri papan Ikan tongkol
7.030
7.030
22,23
101.330
41.925
24,16
5
Ikan cakalang
49.133
49.133
13,03
70.445
49.565
14,21
6
Ikan layur
25.00
250,00
2,00
156,046
500.000
30,12
Sumber: data olahan 2009
85
Berdasarkan pada Tabel 38, tingkat pemanfataan ikan pelagis kecil terutama jenis ikan selar, tembang, teri, komu dan kembung di perairan Maluku masih dibawah produksi lestari (MSY). Tingkat pemanfaatan ikan tembang mencapai 86,58% merupakan yang tertinggi diikuti oleh ikan selar (59,10%), ikan teri (58,61%), ikan layang (56,87%), ikan kembung (45,72%) dan yang terakhir adalah ikan komu (23,81%). Sementara itu tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil terlihat bahwa ikan teri dengan tingkat pengupayaannya melebihi jenis ikan lain (79,79%) diikuti oleh ikan tembang (75,60%), ikan kembung (55,45%), ikan komu (54,06%), ikan layang (41,50%), dan ikan selar (37,01%). Pada Tabel 39 terlihat bahwa jenis ikan tuna menempati urutan pertama dengan tingkat pemanfaatan sebesar 51,10%, kemudian ikan tongkol 22,23%, ikan cakalang 13,03%, ikan tenggiri papan 2,12%, ikan layur 2,00%, dan ikan tenggiri 0,88%. Ikan tenggiri (89,98%) merupakan jenis ikan pelagis besar dengan tingkat tingkat pengupayaan pada urutan pertama diikuti oleh ikan layur 30,12%, ikan tongkol (24,16%), ikan tuna (21,69%), ikan tenggiri papan (19,36%), dan ikan cakalang (14,21%).
4.2. Teknologi Penangkapan Tepat Guna 4.2.1. Penilaian dan standardisasi aspek biologi Analisis terhadap aspek biologi dilakukan untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Provinsi Maluku merusak sumberdaya atau tidak. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis dititik beratkan pada empat kriteria yaitu CPUE (catch per unit effort), jumlah trip, komposisi hasil tangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap. Hasil penilaian dari aspek biologi disajikan pada Tabel 40 yang memperlihatkan penilaian dan standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis. Berdasarkan pertimbangan aspek biologi, pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan dan pancing tonda lebih diprioritaskan, diikuti pukat cincin, pukat pantai dan bagan.
86
Tabel 40 Standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan di perairan Maluku No 1 2 3 4 5 6
Alat Tangkap Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan
W1 0,873 0,955 0,715 0,946 0,057
Biologi W2 W3 30.81 3 225,24 3 14.76 5 58.909 2 393,72 2
0,083
720,34
2
W4 1 1 1 3 3
V(W1) 0.000 0.000 0.000 0.600 1.000
Hasil Standarisasi V(W2) V(W3) 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.750 0.500 1.000 1.000
V(W4) 0.000 1.000 1.000 0.000 1.000
Ratarata 35,288 4,41 31,201 3,90 22,978 2,87 5891,69 736,46 402,78 50,34
3
0.800
1.000
1.000
727,23
1.000
Total
90,90
Sumber: data penelitian 2009 Keterangan: W1 = CPUE (tahun) W2 = Jumlah trip (tahun) W3 = Komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) W4 = Ukuran ikan yang tertangkap (skor) UP = Urutan prioritas V(W1) = CPUE yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W2) = Jumlah trip yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W3) = Komposisi hasil tangkapan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W4) = Ukuran ikan yang tertangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai
Penilaian secara keseluruhan dari hasil analisis skoring parameter biologi, alat tangkap huhate urutan pertama dengan nilai sebesar 736,46, jaring insang permukaan prioritas dengan nilai 90,90, dan pancing tonda diurutan ketiga dengan nilai 50,34.
4.2.2 Penilaian dan standardisasi aspek teknis Analisis unit penangkapan pada aspek teknis sangat berkaitan dengan pengoperasian alat tangkap ikan, apakah termasuk efektif atau tidak untuk dioperasikan. Penilaian pada aspek teknis dilakukan untuk melihat tingkat efektifitas alat tangkap untuk digunakan. Kriteria pada aspek teknis meliputi pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi, pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi. Hasil penilaian dan standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan pelagis kecil disajikan pada Tabel 41. Penilaian dan hasil standardisasi aspek teknis menunjukkan bahwa alat tangkap pancing tonda (2,21) menduduki urutan pertama, diikuti jaring insang permukaan (2,16) diurutan kedua, dan huhate (1,94) pada posisi ketiga.
UP 4 5 6 1 3 2
85
Tabel 41 Standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan di perairan Maluku No 1 2 3 4 5 6
Alat Tangkap Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan
Teknis
Total
Ratarata
UP
0.750
15,25
1,52
4
0.000 1.000
0.000
10
1
6
0.000 0.750 1.000
0.500 1.000 0.500 0.000 1.000 1.000
0.000 0.600 1.000
14,5 1,45 19,45 1,94 22 2,21
5 3 1
1.000
1.000 1.000
0.800
21,6
2
Hasil Standarisasi
X1
X2
X3
X4
X5
V(X1)
V(X2)
V(X3)
V(X4)
1
5
3
1
3
1.000
0.500
0.000 0.000
1
1
5
1
1
0.000
0.000
3 3 3
3 5 5
3 1 1
1 3 3
3 5 5
0.000 0.600 1.000
3
5
1
5
3
0.800
V(X5)
2,16
Sumber: data penelitian 2009
X1 = Pengoperasian alat tangkap (skor) X2 = Daya jangkau operasi penangkapan (skor) X3 = Pengaruh lingkungan fisik (skor) X4 = Selektivitas (skor) X5 = Penggunaan teknologi (skor) UP = Urutan prioritas V(X1) = Metode pengoperasian alat yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X2) = Daya jangkau unit penangkapan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X3) = Pengaruh lingkungan fisik terhadap alat tangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X4) = Selektivitas yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X5) = Penggunaan teknologi yang distandardisasi dengan fungsi nilai
4.2.3 Penilaian dan standardisasi aspek sosial Analisis aspek sosial terhadap ke-enam unit penangkapan ikan pelagis yang melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku meliputi kriteria penilaian respon terhadap penerimaan alat tangkap baru (Y1), tingkat pendidikan (Y2), ada tidaknya konflik antar nelayan (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (Y4), jumlah tenaga kerja (Y5). Nilai pada kriteria penyerapan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja pada setiap unit penangkapan yang melakukan operasi penangkapan. Nilai-nilai yang diperoleh dari nelayan dari masing-masing alat tangkap dihitung berdasarkan jawaban yang dipilih dengan cara memberikan skor pada saat wawancara (Tabel 42). Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial, alat tangkap huhate (2,7) dan pukat cincin (2,4) mempunyai keunggulan sebagai prioritas utama dan kedua. Keunggulan kedua alat tangkap tersebut sebagai prioritas utama
86
dari beberapa kriteria yaitu huhate pada seluruh kategori penilaian berdasarkan wawancara, sedangkan alat tangkap pukat cincin mengalami kelemahan pada penilaian tingkat pendidikan (Y2), dan konflik antar nelayan (Y3) serta pancing tonda menduduki urutan ketiga (2,38). Setelah dilakukan standardisasi secara keseluruhan terhadap ke-enam jenis alat tangkap ikan pelagis yang melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku, maka keunggulan yang diperoleh dari unit penangkapan ikan ditinjau dari aspek sosial adalah alat tangkap huhate (2,7), pukat cincin (2,4), dan pancing tonda (2,38) dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 42 Tabel 42 Standardisasi aspek sosial unit penangkapan ikan di perairan Maluku No 1 2 3 4 5 6
Alat Tangkap Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan
Sosial Y1
5 5
Y2
3 1
Total
Ratarata
UP
1.000
24
2,4
2
0.500 1.000
0.444
17,61 1,76
5
Hasil Standarisasi
Y3
Y4
Y5
V(Y1)
V(Y2) V(Y3)
V(Y4)
1
5
5
1.000 1.000
1.000 1.000
3
1
5
0.667 0.000
V(Y5)
5 5 5
1 5 5
3 5 5
3 5 5
1 5 1
0.333 0.000 1.000 0.000 0.000 0.333
0.000 0.000 0.000 1.000 0.500 1.000
0.111 0.000 1.000
13,44 27 23,83
1,34 2,7 2,38
6 1 3
5
5
5
5
1
0.667 0.000
0.500 0.000
0.000
22,16
2,21
4
Sumber: data penelitian 2009
Keterangan: Y1 = Respon penerimaan alat tangkap baru (skor) Y2 = Tingkat pendidikan (skor) Y3 = Ada tidaknya konflik antar nelayan (skor) Y4 = Pengalaman kerja sebagai nelayan (skor) Y5 = Jumlah tenaga kerja per unit alat (skor) UP = Urutan prioritas V(Y1) = Respon penerimaan alat tangkap baru distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y2) = Tingkat pendidikan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y3) = Ada tidaknya konflik antar nelayan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y4) = Pengalaman kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y5) = Jumlah tenaga kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai
85
4.2.4 Penilaian dan standardisasi aspek ekonomi Keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek ekonomi menggunakan kriteria penilaian yaitu penerimaan kotor per trip operasi (Z1), penerimaan kotor per jam operasi (Z2), penerimaan kotor per unit alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4) dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Hasil penilaian untuk alat tangkap unggulan dari aspek ekonomi menempatkan alat tangkap pancing tonda sebagai unit penangkapan ikan prioritas utama. Alat tangkap pancing tonda unggul pada 5 kriteria penilaian yaitu pada kriteria (Z1), (Z2), (Z3), (Z4), dan (Z5) (Tabel 43). Alat tangkap huhate menduduki urutan kedua (2,77) dan jaring insang menduduki urutan ketiga (2,46) berdasarkan penilaian dan standarisasi aspek ekonomi. Tabel 43 Standardisasi aspek ekonomi unit penangkapan ikan di perairan Maluku No
Alat Tangkap
1
3
Pukat cincin Pukat pantai Bagan
4 5
2
6
Ekonomi
Hasil Standarisasi
Total
Rata -rata
UP
2,45
4
0,5
6
Z1 5
Z2 3
Z3 5
Z4 5
Z5 V(Z1) V(Z2) 3 1.000 0.556
V(Z3) 0.778
V(Z4) 0.750
V(Z5) 0.444
24,528
1
1
1
1
1
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5,0
1
3
1
3
3
0.556
0.333
0.222
0.250
0.444
12,805
1,28
5
Huhate
5
5
5
5
5
0.667
0.556
0.665
0.500
0.333
27,721
2,77
2
Pancing tonda Jaring insang permukaan
5
5
5
5
5
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
29,0
2,9
1
1
5
5
5
5
0.667
0.778
0.778
0.750
0.667
24,64
2,46
3
Sumber: data penelitian 2009
Keterangan: Z1 = Penerimaan kotor/trip operasi (Rp) Z2 = Penerimaan kotor/jam operasi (Rp) Z3 = Penerimaan kotor/alat tangkap/bulan (Rp) Z4 = Penerimaan kotor/tahun (Rp) Z5 = Penerimaan kotor/tenaga kerja (Rp) V(Z1) = Penerimaan kotor per trip yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z2) = Penerimaan kotor per jam yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z3) = Penerimaan kotor per alat tangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z4) = Penerimaan kotor per tahun yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z5) = Penerimaan kotor per tenaga kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai
86
Berdasarkan rangkuman keunggulan berdasarkan aspek biologi (W1), teknis (X2), sosial (Y3), dan ekonomi (Z4) unit penangkapan merupakan cakupan keseluruhan aspek yang menjadi faktor penilaian. Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keunggulan secara menyeluruh dari aspek-aspek tersebut sehingga cocok untuk dikembangkan di suatu daerah. Hasil analisis skoring yang dilakukan terhadap 6 unit usaha armada penangkapan ikan yang dioperasikan di perairan Maluku disajikan pada Tabel 44. Hasil standardisasi menunjukkan bahwa alat tangkap huhate sebagai unit penangkapan prioritas utama dan diikuti oleh pancing tonda, jaring insang permukaan, serta pukat cincin. Tabel 44 Rangkuman standardisasi penilaian aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Unit penangkapan
Aspek biologi 4,41 3,90 2,87 736,46 50,34 90,90
Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan Sumber: data olahan 2009
4.3
Kriteria penilaian Aspek Aspek teknis sosial 1,52 2,4 1 1,76 1,45 1,34 1,94 2,7 2,21 2,38 2,16 2,21
Aspek ekonomi 2,45 0,5 1,28 2,77 2,9 2,46
Total
Rata-rata
UP
10,78 7,16 6,94 743,87 57,83 16,73
2,69 1,79 1,73 185,96 14,45 4,18
4 6 5 1 2 3
Aspek berkelanjutan Keberhasilan suatu operasi penangkapan sangat membutuhkan suatu acuan
yang jelas sehingga dalam pelaksanaannya harus didukung dari berbagai macam aspek yang saling berpengaruh terhadapnya. Aspek keberlanjutan merupakan suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan karena berbagai macam faktor didalamnya yang harus dilaksanakan seperti: menerapkan teori yang ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi yang diperbolehkan, penggunaan bahan bakar minyak rendah, menguntungkan, investasi rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Hasil seleksi aspek berkelanjutan yang dilakukan terhadap semua jenis unit penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Maluku dapat disajikan pada Tabel 45
85
Tabel 45 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan No
Unit Kriteria Unit Penangkapan Ikan yang Berkelanjutan penangkapan A B C D E F ikan 1 Pukat cincin 2 3 4 3 3 3 2 Pukat pantai 1 2 1 3 3 1 3 Bagan 2 3 2 2 3 3 4 Huhate 4 4 4 3 3 4 5 Pancing 4 4 4 3 4 4 tonda 6 Jaring insang 4 3 3 3 2 3 permukaan 7 Pukat udang 2 2 2 2 2 2 8 Payang 3 2 3 2 2 3 9 Pukat tarik 2 2 2 2 2 2 10 Rawai 4 2 2 2 2 2 11 Perangkap 3 4 2 4 4 2 Sumber: data olahan 2009
Total skor
Ratarata
18 11 15 22 23
3 1,83 2,5 3,66 3,83
18
3
12 15 12 14 18
2 2,5 2 2,33 3
Keterangan: A = menerapkan teknologi ramah lingkungan, B= Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, C= menguntungkan, D= investasi rendah, E= penggunaan BBM rendah, F= memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
Analisis aspek berkelanjutan dilakukan dengan cara mengolah data yang diperoleh dari jawaban responden sesuai dengan kriteria dan sub kriteria yang terdapat pada acuan analisis aspek berkelanjutan. Masing-masing alat tangkap diberi skor berdasarkan jawaban responden, kemudian skor tersebut dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Kemudian dari keseluruhan nilai rata-rata tersebut diambil nilai rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk memperoleh nilai cutting off sebagai nilai terendah yang diambil untuk menentukan hasil seleksi unit penangkapan ikan. Nilai rata-rata tertinggi adalah
3,83 (pancing tonda) dan nilai rata-rata
terendah adalah 1,83 (pukat pantai) sehingga diperoleh nilai cutting off sebesar 2,83 yang berarti nilai rata-rata terendah yang meperhatikan aspek berkelanjutan adalah 2,83. Berdasarkan Tabel 45, unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek berkelanjutan di perairan Maluku adalah pancing tonda, huhate, jaring insang
permukaan,
perangkap,
bagan,
rawai,
sedangkan
yang
tidak
memperhatikan aspek berkelanjutan adalah pukat pukat cincin, pukat udang, pukat pantai, dan pukat tarik.
86
4.4
Aspek ramah lingkungan Hasil seleksi terhadap aspek ramah lingkungan dari setiap unit penangkapan
ikan pelagis kecil dan besar yang mengadakan operasi di perairan Maluku disajikan pada Tabel 46 Tabel 46 Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah lingkungan Kriteria Unit Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan Unit penangkapan A B C D E F G H I ikan 1 Pukat cincin 1 2 3 3 3 3 3 2 3 2 Pukat pantai 1 1 2 2 2 2 2 2 1 3 Bagan 2 3 3 3 3 3 3 2 3 4 Huhate 4 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 4 4 4 3 3 3 3 5 Pancing tonda 6 Jaring insang 4 3 3 4 3 3 3 3 3 permukaan 7 Pukat udang 1 2 2 2 1 2 2 2 2 8 Payang 2 2 3 3 3 3 3 3 2 9 Pukat tarik 1 1 2 2 2 2 2 2 2 10 Rawai 3 3 2 3 3 3 3 2 3 11 Perangkap 3 2 2 2 2 3 2 2 3 Sumber: Olahan data lapangan (2009) No
Total skor
Ratarata
23 16 25 29 32
2,55 1,78 2,78 3,22 3,55
29
3,22
16 24 16 25 21
1,78 2,67 1,78 2,78 2,33
Keterangan: A= selektivitas tinggi, B= tidak destruktif terhadap habitat, C= hasil tangkapan berkualitas tinggi, D= tidak membahayakan nelayan, E= produknya tidak membahayakan konsumen, F= by-catch dan discard minim, G= tidak menangkap species yang hampir punah, H= dampak minimum terhadap biodiversity, I= dapat diterima secara sosial.
Analisis aspek ramah lingkungan dilakukan dengan cara mengolah data yang diperoleh dari jawaban responden sesuai dengan kriteria dan sub kriteria yang terdapat pada acuan analisis aspek ramah lingkungan. Masing-masing alat tangkap diberi skor berdasarkan jawaban responden, kemudian skor tersebut dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Kemudian dari keseluruhan nilai ratarata tersebut diambil nilai rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk memperoleh nilai cutting off sebagai nilai terendah yang diambil untuk menentukan hasil seleksi unit penangkapan ikan. Nilai rata-rata tertinggi adalah
3,55 (pancing tonda) dan nilai rata-rata
terendah adalah 1,78 (pukat pantai, pukat udang, pukat tarik) sehingga diperoleh nilai cutting off sebesar 2,66 yang berarti nilai rata-rata terendah yang meperhatikan aspek berkelanjutan adalah 2,66. Berdasarkan Tabel 46, unit
85
penangkapan ikan yang memperhatikan aspek ramah lingkungan di perairan Maluku adalah pancing tonda, jaring insang permukaan, huhate, rawai, payang dan perangkap, sedangkan yang tidak memperhatikan aspek berkelanjutan adalah pukat pukat cincin, pukat udang, pukat pantai, dan pukat tarik.
4.5 Opsi pengembangan unit penangkapan ikan pilihan Unit penangkapan ikan yang dipilih sebagai opsi pengembangan di perairan Maluku adalah unit penangkapan ikan yang memenuhi lebih baik dan lengkap dari aspek aspek pengembangan, baik aspek biologi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Analisis opsi pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu nilai unit penangkapan ikan dari hasil analisis masing-masing aspek, kemudian nilai tersebut dijumlahkan. Selanjutnya nilai tertinggi dan terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk menentukan nilai cutting off. Nilai tertinggi adalah 8,38 (pancing tonda) dan nilai terendah adalah 4,61 (pukat pantai). Nilai cutting off sebesar 6,49 yang artinya nilai terendah yang diambil menjadi opsi pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku adalah 6,49. Berdasarkan Tabel 47, unit penangkapan ikan yang menjadi opsi pengembangan di Maluku adalah
pancing tonda, huhate, jaring insang
permukaan, sedangkan unit penangkapan yang bukan menjadi opsi pengembangan adalah pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, perangkap, pukat cincin. Tabel 47 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan di Maluku No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Unit penangkapan ikan Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan Pukat udang Payang Pukat tarik Rawai Perangkap
Biologi
Aspek Seleksi Berkelanjutan
Keterangan
1 1 1 1 1 1
2 1,83 2,66 3,66 3,83 3
Ramah lingkungan 2,33 1,78 2,78 3,22 3,55 3,22
1 1 1 1 1
2 2,5 2 2,33 2,66
1,78 2,67 1,78 2,67 2,33
Sumber: Olahan data lapangan (2009)
5,33 4,61 6,44 7,88 8,38 7,22 4,78 6,17 4,78 6 5,99
86
4.6
Alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Tujuan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku adalah mengoptimalkan
produksi sumberdaya hayati perikanan mencapai potensi lestari, serta dalam pengembangannya tidak terlepas dari ketersediaan potensi sumberdaya, tenaga kerja dan faktor penunjang seperti infrastruktur, institusi dan sebagainya. LGP digunakan untuk menentukan jumlah alokasi unit penangkapan, devisiasi tujuan pengelolaan perikanan tangkap dan pemakaian sumberdaya. Pencapaian tujuan pembangunan perikanan tangkap yang sifatnya kontradiktif membutuhkan suatu pendekatan yang tepat untuk menyerasikan tujuan yang telah ditentukan, sehingga memudahkan pengambil kebijakan untuk mengatasi permasalahan mengenai pengalokasian sumberdaya. Pendekatan optimalisasi alokasi alat penangkapan ikan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik linear goal programming (LGP), yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahaan eksploitasi sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi LGP yang diperoleh akan meperlihatkan jumlah alokasi alat tangkap, deviasi tujuan pengelolaan perikanan tangkap dan pemakaian sumberdaya. Target tersebut didasarkan pada tujuan pembangunan perikanan Daerah Maluku, yang mencakup beberapa alat tangkap yang dioperasikan nelayan di Maluku antara lain pukat cincin (purse seine), pukat pantai (beach seine), bagan (liftnet), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), serta jaring insang permukaan (drift gillnet). Pengalokasian sumberdaya perikanan tangkap dapat dilakukan berdasarkan manajemen kapasitas yaitu untuk menyelaraskan kapasitas produktif sumberdaya dengan kemampuan armada demi keberlanjutannya. Untuk itu digunakan target hasil tangkapan maksimum (MSY) sebagai basis, dengan demikian diperlukan hasil estimasi kapasitas alat tangkap saat ini dan kapasitas yang seharusnya dialokasikan serta hasil tangkapannya. LGP terdiri dari persamaan fungsi tujuan, fungsi kendala dan variabel keputusan. Persamaan fungsi tujuan mengekspresikan variabel deviasional dari kendala tujuan yang harus diminimumkan. Variabel deviasional pada fungsi tujuan bermanfaat unuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian diatas sasaran dan variabel deviasional yang berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian
85
di bawah sasaran. Variabel deviasional tersebut akan merubah kendala menjadi sarana untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Penerapan LGP pada hakekatnya akan memberikan informasi penting dalam pengalokasian sumberdaya perikanan tangkap secara optimal, yaitu: 1) berapa alokasi optimal alat tangkap yang digunakan, 2) berapa besar ketercapaian tujuan yang dikehendaki sesuai target yang ditetapkan, dan 3) berapa besar sumberdaya yang dimanfaatkan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan target kebijakan pengembangan dan variabel keputusan, maka sasaran yang ingin dicapai dalam optimalisasi alokasi armada penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku adalah: (1)
Mengoptimumkan ketersediaan sumberdaya ikan (SDI) Sumberdaya ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Maluku adalah
selar, layang, tembang, teri, komu, dan kembung, sedangkan sumberdaya ikan pelagis besar adalah tuna, tenggiri, tenggiri papan, tongkol, cakalang, dan layur. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan SDI tersebut didasarkan atas nilai TAC (total allowable catch) dan kemampuan masing-masing alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil. Adapun perhitungan nilai TAC, kemampuan menangkap alat untuk menyusun persamaan kendala tujuan dapat dilihat pada Lampiran 1. 1)
Ikan pelagis kecil
(i)
Ikan selar (Selaroides spp) Potensi lestari (MSY) ikan selar 5839,47 ton/tahun dengan TAC sebesar
4671,58 ton/tahun/unit. Ikan selar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan selar adalah sebesar 10753,3 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1472,6 ton/tahun/unit, serta bagan 3138,2 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan selar adalah : 10753,3 X1 + 1472,6 X2 + 3138,2 X3 + DB1 - DA1 <= 4671,58 (ii)
Ikan layang (Decapterus russelli) Potensi lestari (MSY) ikan layang 11895 ton/tahun dengan TAC sebesar
9516 ton/tahun/unit. Ikan layang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap
86
ikan layang adalah sebesar 21.104,8 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 2782,6 ton/tahun/unit, serta bagan 4673,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan layang adalah : 21.104,8 X1 + 2782,6 X2 + 4673,3 X3 + DB2 - DA2 <= 9516 (iii) Ikan tembang (Sardinella fimbriata) Potensi lestari (MSY) ikan tembang 8176,74 ton/tahun dengan TAC sebesar 6541,40 ton/tahun/unit. Ikan tembang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan tembang adalah sebesar 3347,6 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 15443,5 ton/tahun/unit, serta bagan 14817,4 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tembang adalah : 3347,6 X1 + 15443,5 X2 + 14817,4 X3 +DB3 - DA3< = 6541,40 (iv)
Ikan teri (Stolephorus indicus) Potensi lestari (MSY) ikan teri 4983,32 ton/tahun dengan TAC sebesar
3986,65 ton/tahun/unit. Ikan teri ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan alat tangkap pukat cincin untuk menangkap ikan teri adalah sebesar 1353,5 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 8722 ton/tahun/unit, serta bagan 9569 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan teri adalah : 1353,5 X1 + 8722 X2 + 9569 X4 +DB4 - DA4 <= 4983,32 (v)
Ikan komu (Auxiss thazard) Potensi lestari (MSY) ikan komu 1493,82 ton/tahun dengan TAC sebesar
1195,5 ton/tahun/unit. Ikan komu ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan komu adalah sebesar 1070,1 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1359,4 ton/tahun/unit, serta bagan 1110,2 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan komu adalah : 1070,1 X1 + 1359,4 X2 + 1110,2 X3 + DB5 - DA5 <= 1195,5 (vi)
Ikan kembung (Rastreliger kanagurta) Potensi lestari (MSY) ikan kembung 1818,05 ton/tahun/unit dengan TAC
sebesar 1454,44 ton/tahun/unit. Ikan kembung ditangkap dengan menggunakan
85
alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan kembung adalah sebesar 4525,1 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1955,4 ton/tahun/unit, serta bagan 1593,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan kembung adalah : 4525,1 X1 + 1955,4 X2 + 1593,3 X3 +DB6 - DA6 <= 1818,05 2)
Ikan pelagis besar
(i)
Ikan tuna (Thunnus sp) Potensi lestari (MSY) ikan tuna 9313,04 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar
7450,72 ton/tahun/unit. Ikan tuna ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tuna adalah sebesar 4715,4 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 4453 ton/tahun/unit, serta jaring insang 3345,3 ton/tahun/unit. Adapun perhitungan nilai TAC, kemampuan menangkap alat untuk menyusun persamaan kendala tujuan dapat dilihat pada Lampiran 2. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tuna adalah : 4715,4 X1 + 4453 X2 + 3345,3 X3 + DB7 – DA7 <= 7450,72 (ii)
Ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni) Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri 406,13 ton/tahun/unit dengan TAC
sebesar 324,90 ton/tahun/unit. Ikan tenggiri ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat tangkap huhate untuk menangkap ikan tenggiri adalah sebesar 18,8 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 893,2 ton/tahun/unit, serta jaring insang 637,4 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tenggiri adalah : 18,8 X1 + 893,2 X2 + 637,4 X3 + DB8 – DA8 <= 324,90 (iii) Ikan tenggiri papan (Scomberomorus gutatus) Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri papan 160 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 128 ton/tahun/unit. Ikan tenggiri papan ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tenggiri papan adalah sebesar 17,5 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar
86
557,1
ton/tahun/unit.
Persamaan
kendala
tujuan
untuk
mengoptimalkan
ketersediaan sumberdaya ikan tenggiri papan adalah : 17,5 X1 + 557,1 X2 + DB9 – DA9 <= 128 (iv) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) Potensi lestari (MSY) ikan tongkol 7030,82 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 5624,65 ton/tahun/unit. Ikan tongkol ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tongkol adalah sebesar 5850,3 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 3710,2 ton/tahun/unit, dan jaring
insang sebesar 2212,8 ton/tahun/unit. Persamaan
kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tongkol adalah : 5850,3 X1 + 3710,2 X2 + 2212,8 X3 + DB10 – DA10 <= 5624,65 (v)
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Potensi lestari (MSY) ikan cakalang 49133,78 ton/tahun/unit dengan TAC
sebesar 39307,02 ton/tahun/unit. Ikan cakalang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan
alat
tangkap huhate untuk menangkap ikan cakalang adalah sebesar 100983,7 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 8534,7 ton/tahun/unit, dan jaring permukaan
sebesar 7183,7 ton/tahun/unit.
insang
Persamaan kendala tujuan untuk
mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan cakalang adalah : 100983,7 X1 + 8534,7 X2 + 7183,7 X3 + DB11 – DA11 <= 39307,02 (vi)
Ikan layur (Istiophorus oriental) Potensi lestari (MSY) ikan layur 250 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar
200 ton/tahun/unit. Ikan layur ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan pancing tonda untuk menangkap ikan layur adalah sebesar 210,1 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 124,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan layur adalah : 210,1 X2 + 124,3 X3 + DB12 – DA12 <= 200 3)
Memaksimumkan alat tangkap Meminimumkan alat penangkapan ikan dimaksudkan untuk menentukan
alokasi optimal dari enam alat penangkapan ikan antara lain: pukat cincin (purse
85
seine), pukat pantai (beach seine), bagan (liftnet), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), serta jaring insang permukaan (drift gillnet) yang saat ini beroperasi di perairan Maluku. Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku tercatat jumlah armada perikanan tangkap untuk kelima alat tersebut sampai tahun 2007 adalah 42902 unit. Namun, dengan pertimbangan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdaya ikan, maka pengalokasian alat penangkapan ikan adalah pukat cincin 272, pukat pantai 435, bagan 1659, huhate 404, pancing tonda 27.471, serta jaring insang permukaan 12.661 unit. Dengan demikian maka model persamaan adalah: DB13 + 272 X1 + 435 X2 + 1659 X3 + 404 X4 + 27471 X5 + 12661X6 +DB13- DA13>= 42902 dimana: X1 X2 X3 X4 X5 X6
= alat tangkap pukat cincin = alat tangkap pukat pantai (unit) = alat tangkap bagan (unit) = alat tangkap huhate (unit) = alat tangkap pancing tonda (unit) = alat tangkap jaring insang permukaan (unit) Berdasarkan hasil analisis dengan program Lindo, target sasaran untuk
mengoptimalkan upaya pengembangan alat penangkapan dapat tercapai. Hal ini di tunjukkan oleh nilai DB13= 0. 4)
Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja Mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja merupakan target untuk dicapai
melalui pengalokasian optimum alat tangkap di perairan Maluku. Optimalisasi alokasi armada seyogianya dapat menyerap tenaga kerja nelayan pada jumlah tertentu yang tetap menghasilkan efisiensi teknis penangkapan yang lebih tinggi. Sasaran mengoptimalkan jumlah tenaga kerja merupakan bagian dari kebutuhan penangkapan yang berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan. Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengamatan di lokasi penelitian, rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan untuk masing-masing alat tangkap pukat cincin 25 orang, pukat pantai 14 orang, bagan 4 orang, huhate 28 orang, pancing tonda 2 orang, dan jaring insang permukaan 3 orang. Total sumberdaya manusia nelayan di Maluku berdasarkan data Statistik Perikanan dan Kelautan Maluku tahun 2006 tercatat 114.130 orang. Diasumsikan nelayan pelagis yang
86
beroperasi di perairan Maluku sekitar 80%, maka jumlah nelayan penuh 91.304 orang. Hal ini tentunya berhubungan dengan erat dengan alokasi upaya penangkapan serta target produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan sehingga diharapkan penyerapan tenaga kerja ditetapkan sesuai dengan alokasi rata-rata nelayan pada setiap alat tangkap. Dengan demikian model persamaan penyerapan tenaga kerja adalah sebagai berikut: 25X1+ 14X2+ 4X3 + 28X4 + 2X5 + 3X6 + DB14+DA14<= 91304 dimana: X1 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pukat cincin (orang/unit) X2 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pukat pantai (orang/unit) X3 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan bagan (orang/unit) X4 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan huhate (orang/unit) X5 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pancing tonda (orang/unit) X6 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan jaring insang permukaan (orang/unit) Hasil analisis dengan program LINDO menunjukkan bahwa target sasaran mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja dapat tercapai yang ditunjukkan oleh nilai DB14 = 0. 5)
Memaksimumkan penerimaan asli daerah (PAD) Memaksimumkan PAD adalah merupakan target untuk dicapai melalui
pengalokasian alat penangkapan ikan pelagis. Kontribusi setiap alat tangkap dianggap sebagai PAD dari kegiatan perikanan pelagis di perairan Maluku. PAD yang diperoleh dari pungutan hasil perikanan dari setiap alat tangkap dapat ditetapkan 2,25% nilai total penjualan sesuai dengan peraturan yang berlaku di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan yang kami temui bahwa setiap kilogram ikan pelagis kecil dijual dengan harga Rp 5000, maka kontribusi pukat cincin sebesar Rp 17.042.005, pukat pantai Rp 2.185.428, bagan Rp 2.010.420, huhate Rp 22.000.000, pancing tonda Rp 8.750.000, jaring insang permukaan Rp 3.000.000. Pungutan yang diperoleh melalui hasil perikanan pelagis
di perairan Maluku pada saat kondisi hasil
tangkapan maksimum lestari (MSY) yang diestimasi sebesar Rp 1.237.226.693, sehingga model persamaannya dapat dirumuskan sebagai, 17.042.005X1+2.185.428X2+2.010.420X3+22.000.000X4+8.750.000X5+3. 000.000X6 + DB15 + DA15<=1.237.226.693
85
dimana: X1 X2 X3 X4 X5 X6
= rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi
PAD oleh pukat cincin (Rp/unit) PAD oleh pukat pantai (Rp/unit) PAD oleh bagan (Rp/unit) PAD oleh huhate (Rp/unit) PAD oleh pancing tonda (Rp/unit) PAD oleh jaring insang permukaan (Rp/unit)
Hasil analisis dengan program LINDO, memperlihatkan bahwa target sasaran mengoptimalkan PAD dari pungutan hasil perikanan ikan pelagis dapat tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai DB 15 = 0. 6)
Meminimumkan penggunaan BBM Berdasarkan hasil analisis data lapangan, jenis BBM untuk kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan di perairan Maluku terdiri dari bersin, solar, dan minyak tanah. Total alokasi BBM untuk kegiatan perikanan sekitar 5000 liter/trip dan penggunaan ini merupakan patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi terhadap pembengkakan biaya BBM yang menyebabkan armada tidak bisa beroperasi. Kenaikan harga dan pengurangan subsidi BBM berdampak pada pola operasi penangkapan, karena BBM merupakan komponen terbesar biaya operasi yang harus ditanggung oleh nelayan. Kebijakan kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi tentunya merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha penangkapan. Penggunaan BBM rata-rata dari armada penangkapan yang mengadakan operasi menunjukkan bahwa pukat cincin sekitar 200 liter/trip, pukat pantai 10 liter/trip, bagan 20 liter/trip, huhate 3000 liter/trip, pancing tonda 100.5 liter/trip, serta jaring insang permukaan 75 liter/trip. Alat tangkap pukat pantai, bagan, adalah merupakan alat tangkap yang menggunakan bahan bakar pada lampu sebagai sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan penggunaan BBM dalam pengembangan alat penangkapan ikan di perairan Maluku adalah: 200X1 + 10X2 + 20X3 + 3000X4 + 100.5X5 + 75X6 + DB16-DA16<= 5000 dimana: X1 = penggunaan BBM oleh kapal pukat cincin (liter/trip) X4 = penggunaan BBM oleh kapal huhate (liter/trip)
86
X5 = penggunaan BBM oleh kapal pancing tonda (liter/trip) X6 = penggunaan BBM oleh kapal jaring insang permukaan (liter/trip) Tabel 48 memperlihatkan tentang alokasi optimal unit-unit penangkapan ikan pelagis yang diharapkan dapat direkomendasikan penambahan atau pengurangan alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku. Tabel 48 Alokasi alat tangkap dan solusi optimal perikanan pelagis di perairan Maluku No
Jenis Armada Aktual (unit)
1 2 3 4 5 6
Pukat cincin (X1) Pukat pantai (X2) Bagan (X3) Huhate (X4) Pancing tonda (X5) Jaring insang (X6)
272 435 1659 404 27471 12661
Solusi optimal Basis (unit) 257 260 1419 1457 40940 30000
Hasil Optimalisasi Penambahan /pengurangan -15 -175 -240 +1053 +13469 +17339
Keterangan
Upaya yang di tempuh untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku adalah dengan penambahan unit tangkap dan perluasan daerah penangkapan
Sumber: data penelitian 2009 Hasil analisis LGP terhadap unit penangkapan ikan pelagis terlihat bahwa pengembangan berdasarkan solusi optimal untuk pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan masing-masing 257 unit, 260 unit, 1419 unit, 1457 unit, 40940 unit, dan 30000 unit. Kenaikan jumlah alat tangkap untuk dikembangkan, antara lain: huhate (1053 unit), pancing tonda (13469 unit), dan jaring insang (17339 unit). Pengurangan terjadi pada jumlah alat tangkap pukat cincin (15 unit), pukat pantai (175 unit), serta bagan (240 unit). Pengurangan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil (pukat cincin, bagan, dan pukat pantai) disebabkan karena alat tangkap ini dianggap tidak ramah lingkungan sehingga kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti akan mempengaruhi stok sumberdaya yang ada di perairan Maluku. Kenaikan jumlah alat tangkap ikan pelagis besar sangat berpengaruh pada sumberdaya sehingga pengelolaan dilakukan akan tetap berkelanjutan. Upaya yang ditempuh dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah dengan penambahan jumlah armada penangkapan, perbaikan alat tangkap dengan penggunaan teknologi tepat guna, serta perluasan daerah penangkapan dengan memperhatikan aturan yang berlaku sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pendapatan asli daerah. Kebijakan yang ditempuh berdasarkan solusi optimal basis pengembangan perikanan pelagis di
85
perairan Maluku dalam pencapaian sasaran pengembangan yang dilakukan secara bertahap.
4. 7 Modifikasi Prototipe Alat Tangkap di Perairan Maluku Desain armada penangkapan harus sesuai dengan fungsinya seperti ukuran kapal, alat tangkap, mesin yang digunakan diharapkan akan berpengaruh terhadap pengelolaan potensi sumberdaya perikanan. Di Maluku, pengoperasian ketiga alat tangkap antara lain: huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pengembangan perikanan di daerah ini. Namun, masih terdapat berberapa kelemahan dari alat-alat tangkap ini dan perlu dikaji serta diusulkan
prototipe sehingga akan diperoleh bentuk yang akan
dikembangkan dimasa datang, yang adalah sebagai berikut:
4.7.1 Alat tangkap huhate (pole and line) 4.7.1.1 Joran pancing huhate Konstruksi dari joran pancing huhate yang digunakan nelayan di Maluku umumnya sudah cukup sempurna ditinjau dari segi teknis. Dari segi teknis, suatu kelemahan pada alat huhate terdapat pada joran pancing, yang mana sampai sekarang nelayan masih menggunakan batang bambu. Pengembangan alat tangkap ini dapat dilakukan dengan mempergunakan modifikasi joran pancing yang lebih kokoh (kuat), lentur, ringan dan tahan lama. Karakteristik joran pancing saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan disajikan pada Tabel 49 Tabel 49 Spesifikasi joran pancing saat ini dan arahan penyempurnaannya yang akan dikembangkan Spesifikasi 1. Joran
Kelemahan 1 Joran pancing masih menggunakan bambu 2Tidak tahan benturan keras 3 Mudah lapuk
terhadap
4 Jenis bambu tersebut sukar diperoleh di alam 5 Bambu yang digunakan cukup berat
Arahan penyempurnaan Menggunakan bahan fiber glass dengan tulang dari bahan stainless steel
Kondisi yang diharapkan 1 Lebih ringan
2 Tidak menguras tenaga pemancing 3 Lebih kuat 4 Tahan terhadap benturan keras 5 Umur pakai panjang 6 Tidak mudah lapuk 7 Tidak mudah patah
Sumber: data penelitian 2009
86
m prototipe p jooran baru, karena k Dasaar pertimbaangan untukk membuat modifikasi dalam opeerasi penanggkapan cak kalang dengan mengguunakan kapaal huhate saaat ini bahwa terrlihat bahwaa ukuran jooran (3 metter) dianggaap terlalu panjang p sehingga mengakibaatkan pemaancing menngalami kesulitan pad da saat panncing, ikan hasil tangkapann seringkalii melewati bagian decck kapal seehingga meenyebabkan ikan hasil tangkkapan jatuhh kelaut. Suattu kelemahhan dari modifikasi prototipe alat huh hate ini adalah a memerluk kan biaya yaang lebih beesar. Meskippun demikiaan, dengan umur u pakai yang panjang dan d meningkkatnya efisiensi penanngkapan meerupakan faaktor yang dapat mengkomp mpensasikan kelemahann tersebut sehingga s dapat dipertimbangan untuk u dikembanggkan di masa m yang akan dataang. Modiffikasi yangg diusulkann ini diharapkann dapat meembantu neelayan khussusnya nelaayan yang mengoperaasikan alat tangkkap huhate dengan tetaap memperrhatikan asppek-aspek lingkungan l yang dapat berppengaruh terhadap t peengelolaan sumberdayya perikanaan dan kelaautan. Gambar desain d tanggkai pancinng yang seekarang diggunakan olleh nelayann dan modifikasi baru, dapaat dilihat paada Gambar 30 dan Gam mbar 31
G Gambar 30 Joran panciing huhate saat s ini.
Gambar 31 Modifikasi joran panncing yang aakan dikem mbangkan paada kapal huuhate.
85
Perbandingan hasil tangkapan yang diperoleh antara joran pancing yang terbuat bambu dengan joran pancing modifikasi dari fiberglass dapat disajikan pada Tabel 50 Tabel 50 Perbandingan karakteristik joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass
1 2
Joran pancing bambu
Joran pancing fiberglass
Berat ikan hasil tangkapan yang diangkat dengan joran ini dapat mencapai 9,2 kg Waktu yang dibutuhkan dalam 30 menit untuk 1 orang pemancing dalam mengangkat ikan hasil tangkapan mencapai 25 ekor
Berat ikan hasil tangkapan yang diangkat dengan joran fiberglass mencapai >10,5 kg Jumlah hasil tangkapan dapat mencapai 35 ekor
Sumber: data penelitian 2009 4.7.1.2 Kapal huhate Di Maluku, kapal huhate (pole and liner) dapat digolongkan dalam dua jenis, yakni rurehe dan motor ikan. Rurehe adalah kapal huhate berukuran kecil yang menggunakan sistem motor tempel (outboard engine system) dimana ruang para pemancing terdapat di bagian buritan kapal, sedangkan motor ikan adalah kapal huhate berukuran lebih besar dari rurehe yang menggunakan motor dalam (inboard engine system) dan ruang para pemancing berada di bagian haluan kapal. Pengembangan perikanan huhate di Maluku ditinjau dari sisi peningkatan upaya penangkapan kaitannya dengan potensi sumberdaya ikan, khususnya dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang, masih memiliki peluang yang cukup besar. Umumnya pembangunan kapal huhate (pole and line) di Maluku masih dilakukan di galangan kapal rakyat tanpa menggunakan acuan yang jelas sebagai indikator untuk membuat sebuah kapal yang layak, padahal dengan menggunakan desain dan perhitungan-perhitungan yang matang maka sebuah kapal akan layak untuk dibuat. Sekarang ini proses pembuatan kapal ikan yang digunakan untuk tujuan penangkapan, masyarakat masih menggunakan teknik-teknik tersendiri sesuai keahlian yang mereka miliki sehingga kadang-kadang mereka salah dalam perhitungan dan menyebabkan kapal akan mengalami gangguan pada saat operasi di laut. Proses pembuatannya dilakukan tanpa perencanaan desain dan konstruksi, tetapi pada pola kapal huhate yang dibangun terlebih dahulu harus berdasarkan
86
spesifikasinya yang diinginkan pembeli. Hasil dari proses pembangunan kapal tersebut memang dapat digunakan untuk melakukan operasi penangkapan, tetapi pemenuhan standar kelayakan pengoperasian kapal belum diketahui. Kapal yang dibuat oleh desainer kapal yang ada di daerah Maluku secara keseluruhan hampir mempunyai ukuran yang hampir sama. Kelemahannya yaitu terletak pada ukuran panjang dan lebar kapal terlalu kecil sehingga stabilitas tidak berfungsi dengan baik. Beberapa daerah di Maluku yang melakukan pembangunan kapal huhate antara lain: Desa Tulehu, Waai, Negeri Lima, Hila. Operasi penangkapan ikan dari unit-unit perikanan huhate yang dilakukan di perairan Maluku adalah dengan sistem sistem one-day-fishing. Artinya bahwa pada saat menjelang pagi nelayan setelah memperoleh ikan umpan, kemudian mereka menuju ke daerah penangkapan yang dianggap sebagai tempat operasi penangkapan, setelah mendapatkan hasil tangkapan dan pada saat itu juga nelayan kembali ke fishing base. Hasil tangkapan yang diperoleh kadang-kadang langsung dijual kepasar ataupun disimpan di cold storage. Umumnya rata-rata waktu operasi penangkapan mulai dari pelayaran dari pangkalan pendaratan, pencarian kelompok ikan, pemancingan kelompok ikan hingga kembali ke pangkalan pendaratan dari unit-unit huhate di Maluku adalah 10 jam. Karakteristik kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 51 Tabel 51 Spesifikasi kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang dikembangkan Spesifikasi 1. Ukuran panjang 14,83, Lebar 3,24, tinggi 2,50 m 2 Flyng deck 2,00 m
akan
Arahan penyempurnaan
Kondisi yang diperoleh
Modifikasi kapal yang lebih panjang dan lebar
1 Ukuran panjang 15,26, lebar 3,64, tinggi 2,62 m 2 Flyng deck 1,40 m
3 Palka ikan 1,00m3 (2 buah),1,2m3(2buah), 1,5m3 (2buah), palka umpan hidup 1.50 m 3 (2 buah)
3 Volume palka ikan 1,2m3(2bh); Volume 1,5m3(2bh); Volume 1,7 m3 (2 bh), palka es 2,3m3(2bh), palka umpan hidup1,75 m3 (3 bh), palka air tawar Volume 500 liter (2 buah)
4 Jumlah pancing 30 buah dengan bahan dari bambu
4 Jumlah Joran pancing dengan bahan fiber glass (30 bh) dengan panjang 2,75 m 5 Peralatan navigasi kompas, life jacket, hand GPS, SSB, peta laut.
5 Peralatan navigasi belum lengkap (kompas, SSB, peta laut) 6 Menggunakan bahan kayu yang di laminating dengan fiberglass 7 Mesin listrik 2 kWh
Sumber: data penelitian 2009
6 Menggunakan bahan fiberglass 7 Mesin listrik Merk Yanmar 5 kWh
85
Keterangan: 1 Baak penampungan hasil tan ngkapan 2 Baak umpan 3 Ru uang kemudi 4 Ru uang ABK 5 WC 6 Teempat pemantauaan gerombolan ikan
2,50 m
Gambar 32 Deesain kapal huh hate (pandangan n samping) saat ini di perairan Maluku M
1
1
2
1
3 1
4 4
5
2
Gambar 33 Desain kapal hu uhate (pandang gan atas) saat inii di perairan Maaluku
86
Keterangan: 1 Bak penam mpungan hasil tangkapan 2 Bak umpaan 3 Ruang kem mudi 4 Ruang AB BK 5 Tempat peemantauan 6 Ruang tem mpat penyimpanan n peralatan tangkap 7 WC p 8 Tempat pemancingan 9 Ruang m mesin
9
K huhate (pandangan dari ssamping) yang akan a dikembangkan di Maluku u Gambar 34 Kapal
7
6
4
2
1
1
2
1
8
3
K huhate (pandangan atas) yang akan dikeembangkan di perairan p Maluku u Gambar 35 Kapal
126
Gambar 32 dan Gambar 33 memperlihatkan desain kapal huhate saat ini di perairan Maluku. Desain kapal huhate saat ini dimodifikasi sehingga didapatkan suatu bentuk desain kapal yang lebih efektif dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Maluku. Modifikasi kapal huhate (Gambar 34 dan Gambar 35) dilakukan hanya dengan merubah ukuran panjang, lebar, tinggi serta memodifikasi palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka. Dibandingkan dengan desain kapal huhate yang dimiliki nelayan di Maluku, hanya satu keunggulan dari modifikasi prototipe kapal huhate yang diusulkan dengan sistem motor dalam ini adalah dapat memproduksikan skipjack loin. Kesesuaian ukuran kapal ataupun model kapal dengan ukuran alat, jenis ikan target, kebutuhan bahan bakar akan mempengaruhi kondisi kapal pada saat beroperasi yang berdampak pada keselamatan pelayaran secara umum. Hal ini didukung oleh pendapat Unus et al (2005) yang mengatakan bahwa suatu operasi penangkapan dapat optimal apabila dapat memperhatikan faktor keselamatan, pelayaran di laut, karena operasi penangkapan ikan merupakan aktifitas yang beresiko tinggi, selanjutnya dikatakan juga bahwa unsur kecelakaan sering terjadi laut pada kapal-kapal ukuran < 12 meter dan presentase kecelakaannya 54%, jenis kecelakaan tenggelam sebesar 40,66%. 4.7.1.3 Modifikasi palka kapal huhate yang diusulkan pengembangannya Terdapat kelemahan pada sebagian besar pole and liner yang ada di Maluku antara lain: pada kapal dengan inboard engine, desain palka hanya menghasilkan produk untuk pasaran lokal dan belum dimodifikasi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu bentuk produk ekspor. Hanya ada satu hal yang diusulkan untuk penyempurnaan konstruksi modifikasi palka dirubah agar dapat berfungsi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu bentuk produk eksport yang belakangan ini permintaan akan produk tersebut sangat tinggi. Gambar 36 menunjukkan bentuk desain palka kapal huhate saat ini serta
Gambar
37
menunjukkan
pengembangannya di perairan Maluku
modifikasi
palka
yang
diusulkan
86
Gambar 36 Desain palka p kapall huhate saatt ini ubahan benntuk palka dengan d carra penambaahan bahan styrofoam pada Peru dinding palka p dengaan tujuan dapat mem mperlambat proses peembusukan yang terjadi paada hasil taangkapan. Hal H ini seppendapat deengan IPPT TP DKI Jaakarta (1998) meenyatakan bahwa b unttuk memperrtahankan kualitas k ikan pasca tanngkap adalah den ngan mengggunakan buusa (styrofooam) pada peti p atau palka. Spesifikasi desain pallka kapal huhate h saat ini dan araahan penyeempurnaannnya dapat dilihat d pada Tabeel 52 Tabel 522 Spesifikaasi desainn palka kapal k huhaate saat in ni dan arrahan penyem mpurnaannyaa Spesiffikasi
Kelemah han
1 Desain palka hanya terbuat dari lapisan fiberglass
Tidak m memproduksi loin
dapat skipjack
2 Tidak mennggunakan Styrofoam pada dinding pallka 3 Desain palka hanya untuk kebutuhan pasar lokall
Kualitas hasil tangkapan K t t tidak baik
Arahan naan penyempurn
Kondisi yang diperoleh
M Modifikasi palkaa kapal deengan penam mbahan styyro foam pada diinding palka
1Penambahan styrrofoam padda palka kapal hhuhate
2 Mo odifikasi palka dengan d kettebalan styrofoaam 515 cm 3Biay ya pembuatan mo odifikasi palka cukup c bessar tetapi dapat diimbangi dengann hasil tanngkapan yang dip peroleh 4 Meemperlambat prroses pem mbusukan padaa hasil tan ngkapan 5 Meenghasilkan prooduk skippjack loin
Sumber: data d penelitiian 2009
m styrofoam pada Moddifikasi pallka ini hannya diubahh dengan menambah dinding palka p tanpa merubah bentuk palka yang adda. Modifikkasi palka yang dibuat ini mempunyaai beberapa kelebihan k b dibandinngkan denggan kondisi palka bila kapal huhate saat ini antara lain:: 1) mempeerlambat prooses pembusukan padaa hasil
85
tangkapann, 2) mutu hasil h tangkap apan merupaakan suatu bentuk b prodduk skipjackk loin yang siap untuk di ekkspor yang akhir-akhirr ini permin ntaannya seemakin tinggi, 3) modifikasi palka inni mempun nyai ketebaalan styroffoam 5-15 cm, 4) biaya n modifikassi palka inii cukup bessar tapi dap pat diimban ngi dengan hasil pembuatan tangkapann ikan pellagis besarr yang di peroleh dari d kapal huhate. Upaya U memperolleh perubahhan perbanddingan desaain palka kaapal huhatee saat ini deengan modifikasi yang dibuuat untuk dikembangk d kan di perairan Malukku adalah seeperti terlihat paada Tabel 533 Tabel 53 Perbandinga P an desain paalka saat inii dengan moodifikasi paalka kapal huhate h di d perairan Maluku M Desain palka saat in ni
Modifikasi M palka
1
Dapat menampungg 450 ekor/palkka
M Menampung 6775 ekor/palka
2
Daya tahan hasil tangkapan di d dalam palkaa mencapai 7 jam Konddisi es dalam m palka menccair lebih cepat
Daya tahan haasil tangkapann dapat mencapai D 122 jam K Kondisi es dalaam palka lambbat mencair
3
Sumber: data d penelittian 2009 Stryro foa am pada palka dengan keteb balan 5-15 cm
Dindinng palka dari fiberglass f
Gamb bar 37 Modiifikasi palkaa yang akann dikembanggkan pada kapal k huhatee. 4.7.2 Alat tangkap pancing p ton nda (troll liine) 4.7.2.1 Allat pancing tonda Padaa alat tangkkap pancing tonda (trolll line) yangg digunakan n oleh nelayyan di Maluku, pada p umum mnya ditem mukan bebeerapa kelem mahan padaa konstrukssinya, yakni: 1) ukuran u senaar yang diguunakan nom mor 800 term masuk kateggori ukuran senar
86
yang kecil untuk menangkap ikan tuna. Diameter senar yang kecil efektif untuk memperdayai ikan agar tidak melihat dan terusik oleh senar yang digunakan, akan tetapi hanya mampu menangkap ikan tuna dengan berat 50 – 60 kg, tapi itu pun memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh ikan yang telah terkait. Sementara terhadap ikan tuna yang beratnya di atas 60 kg, sering terjadi putusnya senar tersebut, 2) tidak digunakannya bahan pelindung senar pada bagian dekat mata pancing dapat menyebabkan putusnya senar karena tidak tahan terhadap gesekan gigi ikan sewaktu penarikan ikan yang sudah terkait pada mata pancing, 3) tidak menggunakan swivel sehingga menyebabkan kusutnya senar, serta 4) kail yang digunakan masih berbentuk/tipe “J” (J-shaped) yang mana sering terbukanya mata pancing pada saat penarikan ikan tuna yang telah terkait pada mata pancing menyebabkan lolosnya ikan, sehingga gagal tangkap. Kelemahan-kelemahan pada konstruksi alat pancing tonda dapat di atasi bila menggunakan ukuran senar yang lebih besar misalnya nomor 1000 sampai 1500 dengan tipe kail circle-shapped No.1, yang dilengkapi dengan swivel, bahan pelindung pada bagian senar dekat mata pancing.
Tabel spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda serta
kondisi yang diharapkan dapat disajikan pada Tabel 54 Tabel 54 Spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda. Spesifikasi lama 1. Ukuran senar terlalu kecil (N0 800)
Arahan penyempurnaan Modifikasi prototipe alat pancing tonda untuk dikembangkan di perairan Maluku
Kondisi yang diharapkan 1 Ukuran senar besar (No 1000-1500)
2 Type kail “J” shapped
2 Type kail cyrcle shapped No 1
3 Tidak menggunakan bahan pelindung dekat senar
3 Menggunakan bahan pelindung dekat senar
4 Tidak menggunakan swivel
4 Menggunakan swivel dekat mata pancing 5 Ikan yang terkait sukar untuk terlepas
5 Ikan yang terkait pada mata pancing mudah terlepas 6 Menggunakan satu mata pancing
6 Dapat dioperasikan lebih dari 1 unit pancing
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 54 menunjukkan perbandingan spesifikasi alat tangkap pancing tonda saat ini dengan kondisi yang diharapkan. Pada kondisi ini diharapkan modifikasi yang diusulkan dapat membantu nelayan dalam meningkatkan pendapatan. Gambar desain alat tangkap pancing tonda yang dioperasikan oleh nelayan saat ini serta gambar modifikasi prototipe alat pancing tonda yang diusulkan
85
untuk dikkembangkan di perairaan Maluku dapat disaj ajikan pada Gambar 388 dan Gambar 39
Monofilaamen Horsehaair/ Maize
Rubber
Plastic/Bone
p tondda yang diooperasikan nelayan n saaat ini di perrairan Gambar 38 Desain pancing Maluku.
u Gambaar 39 Moddifikasi prottotipe alat pancing toonda yang diusulkan untuk dikem mbangkan menangkap m ikan tuna di d perairan Maluku. M Hasiil perbandinngan keungggulan panccing tonda saat ini deengan modifikasi yang diussulkan
seesuia hasil tangkapann yang dipperoleh padda saat opperasi
penangkappan dilakukkan di perairran Malukuu dapat disajjikan pada Tabel 55 beerikut ini. Tabel 55 Perbandinggan keungggulan alat pancing p tonnda saat inii dan modifikasi yang diusuulkan untuk dikembangkan Panccing tonda saat s ini
Modiifikasi yang g diusulkan
1
Hasil tangkkapan relatiif sedikit ((11 Relatiff lebih ekor/trip) ekor/triip)
2
Berat ikan hasil tangkaapan 0,8 kg--35 Berat ik kan dapat mencapai m > 455 kg kg
Sumbeer: data pennelitian 2009 9
b banyak
(166
86
4.7.2.2 Kapal pancing tonda Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang memiliki prospek sangat baik untuk dapat dikembangkan di Provinsi Maluku pada saat ini adalah pancing tonda (troll line). Pengembangan perikanan pancing tonda di Maluku dilihat dari sisi peningkatan upaya penangkapan kaitannya dengan potensi sumberdaya ikan, khususnya dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang dan tuna besar yang tersedia, memiliki peluang yang cukup besar. Kapal tonda adalah kapal penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan ekonomis penting seperti cakalang, tuna besar dan tenggiri yang memiliki kecepatan renang yang tinggi. Metode penangkapan pancing tonda adalah mengejar kelompok ikan-ikan , maka diperlukan kecepatan kapal yang tinggi dan ruang dek yang luas. Berdasarkan Gambar 40 dan Gambar 41 terlihat bahwa kapal tonda yang dimiliki nelayan di Maluku dengan daerah penangkapan yang luas dan jauh dari tempat pendaratan memiliki beberapa kelemahan lain seperti: 1) ukuran kapal yang relatif kecil (p x l x d = 7 sampai 8 x 0,80 x 1,05 m) dengan daya tampung hasil tangkapan sebesar 0,5 ton, 2) kapal tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi maupun peralatan keselamatan kerja di laut, 3) mesin yang digunakan berbahan bakar bensin, 4) kapal tidak dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil tangkapan (cool box) yang memadai sehingga penanganan hasil tangkapan tidak efisien akibat ukuran kapal terlalu kecil, 5) sering terjadi kecelakaan di laut, serta 6) kapal tidak laik laut pada saat laut berombak/bergelombang. Keunggulan kapal pancing tonda yang dioperasikan di perairan Maluku saat ini belum dapat mengatasi kelemahan
yang ada sehingga perlu
pengembangan lanjutan tentang modifikasi kapal dengan keunggulan yang sangat membantu nelayan sehingga dapat meningkatkan produktifitas. Ukuran kapal yang lebih besar disamping lebih laik laut dan daya tampung hasil tangkapan yang lebih besar, juga dapat meningkatkan kenyamanan kerja. Sedangkan perlengkapan kompas dan life-jacket dapat digunakan untuk menghindari tersesatnya nelayan di laut khususnya pada waktu cuaca berkabut atau pada jarak dimana tidak lagi terlihat pulau sebagai objek baringan, serta jika terjadi kecelakaan di laut, nelayan dapat menggunakannya sebagai tindakan penyelamatan pertama.
126
Keteraangan: 1 Tem mpat mesin 2 Tem mpat duduk nelayan n 3 Tem mpat cool box
1,05 m
Desain kapal paancing tonda (paandangan sampiing) saat ini di Maluku. M Gambar 40 D
3
2
1,05 m
1,05 m
Desain kapal paancing (pandang gan atas) tonda saat s ini di Maluuku. Gambar 41 D
1
126
Berdasarkan pada kelemahan, maka diusulkan modifikasi prototipe kapal tonda untuk dikembangkan di perairan Maluku dengan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 56 Tabel 56 Spesifikasi dan kondisi positif yang diharapkan kapal pancing tonda di perairan Maluku Spesifikasi lama
Kelemahan
Spesifikasi baru
Kondisi positif yang diperoleh
1 Ukuran kapal kecil
Pekerjaan pelaksanaan Operasi penangkapan tidak efektif
1 Ukuran kapal diperbesar
Pelaksanaan operasi penangkapan dapat berjalan dengan lancar
2 Daya tampung 0,5 ton
Hasil tangkapan maksimal
2 Daya tampung 0,8 ton
Hasil tangkapan dapat lebih banyak ditampung
tidak
3 Tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi atau peralatan keselamatan kerja di laut
Dapat menyebabkan hilangnya nelayan di laut
3 Dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti life jacket dan kompas
Dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut
4 Menggunakan bahan bakar bensin
Biaya operasional besar
4 Menggunakan bahan bakar minyak tanah
Dapat menekan biaya operasional sehingga dapat menguntungkan nelayan
5 Tidak dilengkapi dengan peralatan penanganan hasil tangkapan yang efektif
Hasil tangkapan hanya untuk konsumsi lokal
5 Dilengkapi dengan modifikasi cool box yang baru
Produk tangkapan eksport
6 Jumlah ABK 2 orang
Operasi penangkapan tidak efektif
6 Jumlah ABK > 2 orang
Dapat menambah lapangan pekerjaan
7 Mesin 25 PK
Kecepatan kapal lebih lambat karena disesuaikan dengan ukuran kapal
7 Mesin 40 PK
Kecepatan kapal lebih besar sehingga olah gerak kapal lebih baik
hasil dapat di
Sumber: data penelitian 2009 Sasaran yang dicapai pada kajian prototipe pancing tonda (troll line) adalah: 1) tersedianya konsep tentang teknologi penangkapan ikan pada perikanan pancing tonda (troll line) serta informasi lainnya yang berguna bagi nelayan maupun investor yang ingin menanamkan modal pada jenis usaha perikanan ini, 2) terjadinya peningkatan
produktifitas, 3) tercapainya peluang pemanfaatan
optimal sebesar jumlah tangkapan yang diperbolehkan khususnya terhadap sumberdaya ikan madidihang dan cakalang yang merupakan spesies target utama, melalui peningkatan jumlah unit penangkapan pancing tonda, 4) bertambahnya lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran, 5) tercapainya kualitas produksi yang tinggi sehingga memperbesar peluang ekspor, 6) meningkatnya pendapatan nelayan. Deskripsi bentuk dimensi utama modifikasi kapal pancing tonda sistem outboard engine yang akan dikembangkan di perairan Maluku disajikan pada Gambar 42
126
Keteraangan: 1 Tem mpat mesin 2 Tem mpat duduk nelayan n 3 temp pat cool box 4 Tem mpat penyimpanan peraalatan tangkap 5 Tem mpat jangkar haluan n
Tinggi 0,72 0 m Panjang 8,,50 m
1
Lebar 1,85 m
2
3
4
5
8,50 m
B dan dim mensi utama modifikasi prototip pe kapal tonda sistem s outboard d engine yang diusulkan d untuk dikembangkan n. Gambar 42 Bentuk
86
pal pancingg tonda 4.7.2.3 Moodifikasi coool box kap Kebberadaan coool box paada kapal pancing to onda yang dioperasikaan di perairan Maluku M selaama ini mem mpunyai beeberapa kellemahan yaang perlu diiatasi. Hal ini kaalau tidak dicarikan sollusinya makka akan berrdampak paada kualitas hasil tangkapann yang merrupakan prroduk ekspoort dengan n nilai jual yang tingggi di pasaran domestik d m maupun internasional.. Cool bo ox pada kaapal penanngkap merupakann salah saatu faktor yang y sangaat berpengaaruh terhaddap keberhaasilan operasi penangkapann, hal ini tentunya kalau k tidak k diperhatikkan maka akan berdampakk pada kebeerhasilan ussaha perikannan tangkap p. Bebeerapa kapall penangkap apan untuk ukuran 10--30 GT muulai menem mukan keuntungaan penggunnaan cool box. b Dari hasil h survey y dan tanya jawab deengan pemilik kapal k serta pelaku ussaha penangkapan dipperoleh kessimpulan bahwa b dengan meenggunakann cool box dapat d meninngkatkan peendapatan seecara siginiffikan. Hal dikareenakan merreka dapat mengubah pola operaasional dari one day fiishing menjadi leebih panjang hingga 4 sampai satuu minggu operasional sehingga s deengan jangka waaktu operasiional lebih lama l maka volume pro oduksi juga lebih meninngkat dengan mutu m yang masih m bisa diterima d paasar dan konsumen (D DKP Proboliinggo 2008). Desaain cool boxx pada kapaal pancing tonda t di perairan Malu uku dapat diatasi d dengan membuat m moodifikasi barru yang lebbih efektif dengan d tanppa menggunnakan biaya yang g cukup bessar sehinggaa diharapkaan dapat meenguntungk kan bagi nellayan. Kondisi cool box panncing tondaa saat ini merupakan m suatu s hambaatan yang cukup c berarti sehhingga perluu dicari soluusi sehingga penangannan hasil tanngkapan di kapal ini lebih baik. b Kondisi desain konstruksi k c cool box kaapal pancin ng tonda saaat ini dapat disaj ajikan pada Gambar G 43
Gambar 43 Desain co ool box kapaal pancing tonda t di Maaluku.
85
Kelemahan cool box pada kapal pancing tonda di perairan Maluku adalah terletak pada bahan pembuat cool box, ukuran species target, serta kualitas cool box tersebut. Desain cool box dengan kualitas yang kurang baik, tidak sebanding dengan ukuran kapal, daya tampung sedikit, harga relatif murah, tidak sebanding dengan ikan target, serta kualitas hasil tangkapan tidak baik adalah ciri-ciri dari cool box di Maluku. Akibat kemajuan teknologi secara langsung berdampak pada jangkauan wilayah penangkapan (fishing area) yang semakin jauh dan lama waktu tempuh (trip), untuk itu dibutuhkan fasilitas palka ikan sebagai sarana penyimpanan ikan diatas kapal yang dapat menunjang sehingga mampu mempertahankan mutu dan kesegaran ikan hasil tangkapan. Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan pada kapal pancing tonda dapat disajikan pada Tabel 57 Tabel 57 Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan di perairan Maluku Desain cool box saat ini
Modifikasi yang diusulkan
1 2 3
Harga cool box Rp 650.000 Nilai jual ikan Rp 25.000 Daya tampung sedikit (4-8 ekor)
4
Kualitas cool box kurang baik
Harga cool box Rp 2.250.000 Nilai jual ikan Rp 60.000 Daya tampung lebih banyak (8-12 ekor) Kualitasnya cukup baik
Sumber: data penelitian 2009 Sebagai komoditas yang mudah cepat membusuk, ikan memerlukan penanganan yang cepat dan cermat dalam mempertahankan mutunya sejak diangkat dari dalam air. Penyebab utama pembusukan adalah kegiatan bakteri yang menyebabkan kegiatan pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan itu sendiri, lingkungan tempat hidupnya di air, dan yang berasal dari sumber yang kontak dengan ikan antara lain tangan manusia, wadah, peralatan, air pencuci,dan lain-lain. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan pembusukan. Pembusukan lebih cepat pada suhu tinggi dan sebaliknya pembusukan dapat dihambat pada suhu yang rendah. Pendinginan adalah merupakan perlakuan yang paling umum dalam mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan terutama pada saat penanganan. Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhu tetap rendah diperlukan suatu wadah yang tanpa penahan (insulator) menyebabkan panas dari
86
luar merembet dengan cepat untuk mencairkan es yang berakibat suhu ikan naik dan akhirnya memacu proses pembusukan. Oleh karena itu salah satu alternatif untuk mengatasi penanganan ikan hasil tangkapan di atas kapal agar mutu ikan dipertahankan adalah dengan peti berinsulansi atau disebut dengan cool box. Gambar modifikasi kerangka cool box dapat disajikan pada Gambar 44
Gambar 44 Kerangka cool box. Keterangan: -
Panjang Lebar Tinggi Tebal dinding
: 120 cm : 70 cm : 65 cm : 6 cm
- Bahan insulasi - Lapisan cool
: styrofoam : fiberglass
Cool box yang ideal konstruksi adalah mampu menghemat penggunaan es karena daya insulasinya besar, kuat, tahan lama, pelapis bahan cool box dari bahan yang halus permukaannya, tahan karat, kedap air, dan mudah dibersihkan. Konstruksi cool box berinsulasi terdiri dari 3 bagian pokok, antara lain: 1) rangka peti, yang terdiri dari tulang rangka dari balok kayu dengan dinding peti dari papan atau kayu lapis sebagai penunjang kekuatan dasar sebuah peti, 2) lapisan insulator, terbuat dari styrofoam yang tidak menyerap uap air yang berfungsi untuk menahan penyerapan panas, 3) lapisan penutup, dinding peti terbuat dari fiberglass atau bahan lain. Bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan cool box yaitu: 1) Bahan (kerangka cool box), 2) insulator (styrofoam), 3) lapisan fiberglass (resin, katalis, serat glass), 4) peralatan (perkakas tukang kayu, peralatan pengecatan, gerinda). Teknik pembuatan cool box fiberglass dilakukan dengan tahapan-tahapan: 1) Pembuatan desain, 2) kerangka cool box, 3) lapisan insulator, 4) lapisan fiberglass
85
Pembuatan modifikasi cool box dibuat persegi dengan penutup dibagian atas. Cool box dibuat sedemikian rupa agar dapat dipasang dan dibongkar pada kedudukannya didalam kapal. Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda dapat disajikan pada Tabel 58 Tabel 58 Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda Spesifikasi cool box -Panjang (120 cm) -Lebar
(70 cm)
-Tinggi
(65 cm)
-Tebal dinding (6 cm) -Bahan Insulasi (styrofoam) -Lapisan coolbox (fiberglass)
Kerangka cool box
Pemasangan insulasi
- Kayu kaso ukuran 4x6x400 cm - Kayu dihaluskan dan digabungkan pada setiap ruas sehingga berebntuk kerangka cool box - Rangka cool box diperkuat/ditutup bagian dalam dengan papan tipis atau kayu lapis (tripleks) yang berfungsi sebagai dinding - Pertemuan kayu yang masih ada ditutup dengan dempul duco - Dempul yang telah kering dihaluskan dengan kertas amplas - Dasar cool box dibuat lubang air yang terbuat dari pipa paralon (PVC) dengan diameter 1 inchi
- Insulasi dipasang antara kedua dinding tripleks atau kayu papan - Insulasi polyurethane terdiri dari 2 jenis yaitu polyurethane A (berwarna coklat) dan polyurethane B (berwarna hitam). Kedua cairan ini kemudian dicampurkan (1:1) - Untuk mendapatkan lapisan fiberglass yang tebal, maka pekerjaan penempelan matte bisa diulang/ditambah lalu dilakukan penguasan kembali dengan larutan yang sama - Tutup cool box dilakukan dengan cara yang sama seperti dalam pembuatan dinding cool box - Setelah kering, seluruh permukaan cool box yang dilapisi fiberglass dihaluskan dengan menggunakan gerinda dan amplas. Untuk permukaan yang lubang, didempul dan selanjutnya dilapisi kembali dengan larutan yang ditambah sedikit talk agar diperoleh permukaan cool box yang halus dan rata.
Sumber: data penelitian 2009 Setelah modifikasi cool box dibuat maka, proses selanjutnya adalah cara penggunaannya yang adalah sebagai berikut: 1) bersihkan cool box sebelum dan sesudah dipakai, 2) lapisi dasar cool box dengan es balok yang telah dihaluskan dengan ketebalan 5-6 cm, 3) susun ikan secara berlapis-lapis dengan es, 4) lapisan paling atas es dengan ketebalan 5 cm, 5) tutup cool box dengan rapat dan jangan sering dibuka, kecuali pada saat penambahan es. Manfaat penggunaan
desain cool box yang dibuat sangat penting bagi
pengembangan pengelolaan sumberdaya perikanan, antara lain: 1) menghemat penggunaan es dan daya awet ikan akan lama, 2) meningkatkan harga jual ikan karena mutunya lebih terjamin, 3) waktu penangkapan lebih lama, 4) menekan tingkat kerusakan ikan hasil tangkapan, 5) memperluas jangkauan pemasaran
86
termasuk untuk kepperluan ekssport dan, 6) dapat meningkattkan pendaapatan nelayan. Untuk U mem mbuat cool box dengann ukuran paanjang (1200 cm), lebaar (70 cm), tingggi (65 cm), tebal dindinng (6 cm), jenis j insulaasi (styrofoaam), tebal laapisan styrofoam (3 cm) dipeerlukan bahhan-bahan adalah a dapatt dilihat padda Tabel 59 Tabel 59 Bahan B pembbuatan cooll box pada kapal k pancin ng tonda Kerangka K kaayu
I Insulasi
1 Kayu kasso ukuran 4x66x40 cm (4 batang)) 2 Rep ukuraan 4x3x400 cm m (2 batang) 3 Tripleks ukuran u 80x1200x60mm (5 lembarr) 4 Paku timaah ukuran 6, 7, 7 10 cm (2 kg) 5 Paku biassa ukuran 4 daan 7 cm (3 kg)) 6 Amplas No N 1 dan 2 (100 lembar) 7 Kuas No 4 dan 5 (10 buuah) 8 Ember plaastic (5 buah)
1 Styrofoaam ukuran 200x1000x5 cm (4 lembar) 2 Plastik ukuran u 0,8 mll (25 meter)
Lap pisan fibergl glass 1 Matte 405 (30 kgg) N 2 Ressin 157 BQTN (25 kg) 3 Kattalis (2 kg) 4 Pigmen biru (25 kg) 5 Talk (2 kg)
Sumber: data d penelitiian 2009 Prosses pembuattan cool boox ini dilakuukan secaraa sederhanaa sehingga dapat diproduksi dalam jum mlah yang cukup c banyyak,adapun proses pem mbuatan coool box ajikan pada Gambar G 45,, 46, 47, dann 48 dapat disaj
Gambaar 45 Penuttup dinding cool box Gambar 46 Pemasangaan styrofoam m
Gaambar 47 Peelapisan fibeerglass bagiian dalam
126
Gambbar 48 Cool box yang suudah siap dipergunakan d n
4.7.2.4 Teknologi penangkap p an ikan tuna dengaan menggu unakan meetode laayang-layaang Teknnologi yangg digunakann dalam pem manfaatan sumberdaya s a ikan tuna harus disesuaikaan dengan tingkah t lakuu ikan sasarran yang menjadi m tujuaan penangkkapan. Kawasan perairan dapat d dikataakan sebaggai daerah penangkapan ikan appabila terjadi inteeraksi antarra sumberdaaya ikan yanng menjadi tujuan penaangkapan deengan teknologi penangkappan ikan daalam hal inni jenis alatt tangkap yang y digunnakan. Sumberdaaya ikan daalam aktivittasnya sanggatlah dinaamis dan keeadaan ini yang menyebabbkan penyebaran sumbberdaya ikaan tidak merata m di laaut. Dinam misnya pergerakann ikan dissebabkan oleh o prosess adaptasi ikan terhaadap perubbahan lingkungaan perairann yang merupakan m habitatnya,, hal ini terjadi kkarena sumberday ya ikan berddasarkan ko ondisi fisiologinya sanggat bergantuung pada koondisi lingkungaannya. Akibbatnya jika akan menngembangkaan suatu kaawasan perrairan perlu menngetahui karakteristik k k perairan dan poten nsi sumberddaya ikan yang menjadi tujuan t penaangkapan. Disamping D faktor sum mberdaya ikkan dan koondisi lingkungaan perairan,, jenis teknnologi penaangkapan ikan i yang akan digunnakan adalah fakktor yang saangat meneentukan dalaam keberhaasilan operrasi penangkkapan ikan. Peng ggunaan teeknologi peenangkapan ikan akan n berhasil jika j disesuuaikan dengan jeenis ikan yang y tertanggkap dan ddi lokasi mana m alat tangkap t terrsebut digunakann. Sebagai contoh adaalah pengooperasian allat tangkapp pancing tonda t dengan mengunakan m layang-lay yang untuk menangkap ap jenis ikaan pelagis besar, b khususnyaa jenis ikann tuna. Keb berhasilan operasi o pen nangkapan ikan i dengann alat tangkap pancing p tondda sangat ditentukan d o oleh pengettahuan akann lapisan reenang
86
ikan, dimana lapisan renang ikan ini sangat dipengaruhi oleh struktur suhu ke arah vertikal. Pengetahuan tentang lapisan renang ikan juga akan menentukan seberapa dalam alat tangkap pancing tonda diturunkan kedalam perairan untuk menangkap jenis ikan yang menjadi target penangkapan. Pembentukan daerah penangkapan ikan juga didasarkan pada jenis alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan yang digunakan, hal ini dikarenakan setiap jenis alat tangkap mempunyai tujuan penangkapan ikan yang berbeda. Operasi penangkapan diharapkan posisi umpan selalu berada di permukaan air dengan dibantu pelampung kecil sehingga yang dihubungkan dengan tali layangan. Angin sangat berpengaruh pada operasi penangkapan karena akan memberikan efek gerakan pada umpan akibat pengaruh layang-layang. Kajian prototipe dari teknologi penangkapan ikan tuna dengan layanglayang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas usaha pada perikanan pancing tonda. Aspek-aspek yang dikaji mencakup efisiensi dan efektifitas operasi penangkapan ikan, termasuk biaya operasional, suasana kerja yang baik yang dapat mengurangi kecelakaan di laut. Penggunaan teknologi baru ini sangat membantu nelayan dalam mengadakan operasi penangkapan ikan. Prinsip kerja metode layang-layang ini sangat sederhana yaitu dengan menaikkan layang-layang yang dilengkapi dengan tali yang dihubungkan dengan umpan yang telah disediakan dan diturunkan ke permukaan air. Tali dari layang-layang tersebut dihubungkan dengan salah seorang nelayan yang ada di perahu. Layang-layang yang ada di udara akan bergerak sesuai dengan keadaan angin yang bergerak ke arahnya. Kecepatan kapal pada saat operasi penangkapan diharapkan 1 mil/jam. Konstruksi layang-layang tersebut terbuat dari bambu dengan tinggi 1,00 meter dan lebar 0,75 cm, dengan bahan plastik serta diameter bambu sebagai rangkanya 1 cm. Sistem teknologi penggunaan metode layang-layang dalam penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap pancing tonda menggunakan 1 umpan maupun 2 umpan untuk pengoperasian alat tangkap pancing tonda adalah sama (Gambar 49 dan Gambar 50)
126
Gambar 49 Teknologi T penaangkapan ikan tu una dengan pen nggunaan metod de layang-layan ng sistem 1 pancing
Gambar 50 Teknologi T penaangkapan ikan tu una dengan pen nggunaan metod de layang-layan ng sistem 2 pancing
K Keterangan: T Tinggi rangka layan ng-layang :1 m L Lebar: 0,75 m B Bahan: plastik dan rotan r D Diameter rangka: 1 cm
126
Perb bandingan jumlah j hassil tangkapaan yang diiperoleh paada saat opperasi penangkappan dilakukkan terhadap p teknik pennangkapan saat ini den ngan pengguunaan metode lay yang-layangg dalam pennangkapan ikan tuna dengan d alat tangkap panncing tonda di perairan Malluku disajikkan pada Tab abel 60 Tabel 60 Perbandinggan teknik pengoperassian pancin ng tonda saaat ini dan teknik penggunaann layang-layyang Penngoperasiann pancing toonda saat inni 1 2 3 4
Hassil tangkapan relatif r sedikit (9 ekor/trip) Tidak efektif Biayya eksploitasii Rp 650.000 Biayya alat tangkaap Rp 750.0000
Teeknik layang g-layang Hasil tanggkapan 14 ekkor/trip Lebih efeektif Biaya ekssploitasi Rp 3000.000 Biaya alatt tangkap Rp 255.000 2
Sumber: data d penelitiian 2009 ggunaan meetode layangg-layang paada penangkkapan ikan tuna dengaan alat Peng tangkap pancing tonda t merrupakan bentuk teknnologi barru yang perlu t dikembanggkan di perrairan Maluuku menginngat selamaa ini nelayaan pancing tonda masih meenggunakann cara yangg lama yaittu dengan menggunak m kan kapal/perahu dengan keecepatan 3 sampai 5 mil/jam m mem motong arahh ruaya ikaan tuna sehingga penangkappan dapat dilakukan. d K Kelemahan d penggu dari unaan metod de layang-laayang dalam pen nangkapan ikan i tuna addalah angin. Hal ini disebabkan kaarena tanpa angin maka layaang-layang tidak dapat dioperassikan sehinngga hasil tangkapan yang diperoleh tidak akann berhasil. Kelebihan dari peng ggunaan meetode ini adalah a n baiik dari seggi investasi maupun teknik praktis, dapat dijanggkau oleh nelayan m yangg lama mem mbutuhkan biaya b eksplloitasi pengoperaasiannya.Penggunaan metode yang besaar bila dibanndingkan deengan pengggunaan meto ode layang--layang (Gaambar 51)
mbar 51 Pennangkapan ikan tuna dengan alat tangkap t pan ncing tonda Gam di peerairan Malu uku
85
4.7.3 Alat tangkap pukat cincin (purse seine) 4.7.3.1 Kapal pukat cincin Jumlah dan perkembangan pukat cincin di provinsi Maluku selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,92 %. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan ialah dengan mengunakan alat-alat penangkapan yang dalam pengoperasiannya dapat menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Alat tangkap yang memiliki karakteristik demikian adalah pukat cincin (purse seine). Pukat cincin (purse seine) ini merupakan jaring yang dioperasikan dengan jalan melingkari gerombolan ikan yang bergerombol yang menjadi tujuan penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui kegiatan penangkapan ikan dengan pukat cincin (purse seine) ditujukan untuk menangkap ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Dengan demikian pengembangan jenis alat tangkap ini, selain dengan mempertimbangkan penerapan teknologi penangkapan ikan berupa desain dan konstruksi unit penangkapan, daerah penangkapan, dan kesiapan sumberdaya manusia (nelayan), harus pula sesuai dengan ketersediaan potensi sumberdaya ikan yang ada. Nelayan-nelayan di Kota Ambon yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan operasi penangkapan dengan pukat cincin (purse seine) yang tujuan utama penangkapannya adalah ikan pelagis kecil. Armada-armada pukat cincin ini beroperasi di perairan Teluk Ambon Bagian Luar dan Pesisir Selatan Pulau Ambon ini bukan seluruhnya adalah milik nelayan-nelayan dari desa-desa yang ada di Kota Ambon, tetapi sebagian besar adalah milik pengusaha atau nelayan yang memiliki modal besar yang menitipkan unit penangkapannya untuk dikelola oleh nelayan-nelayan ini. Armada-armada penangkapan yang ada sekarang ini berkemampuan jelajah yang relatif rendah yakni hanya dapat melakukan kegiatan operasi penangkapan dalam rentang waktu sehari atau setiap trip penangkapannya hanya dapat dilakukan maksimal dalam waktu satu hari (one day fishing). Pukat cincin yang digunakan oleh nelayan di perairan Maluku berdasarkan konstruksinya terdiri dari pukat cincin tipe Jepang satu kapal. Desain pukat cincin di Maluku dengan panjang antara 250 sampai 350 meter dan lebar jaring 50
86
sampai 75 meter digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan kapal yang digunakannya dianggap belum cocok dengan ukuran jaring yang digunakan sehingga perlu diperbaharui modifikasi, ukuran, alat bantu penangkapan, serta peralatan navigasi pada kapal tersebut. Hal ini disebabkan karena kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan Maluku mempunyai ukuran panjang dengan lebar yang seimbang dengan ukuran jaring yang dipakai sehingga pada saat operasi penangkapan perlu ada penyeimbangan di sebelah sisi kiri atau kanan kapal untuk mengimbangi ABK yang menarik jaring. Pada saat ini kapal pukat cincin juga sangat diminati oleh nelayan di daerah ini karena disamping menguntungkan juga membutuhkan tenaga kerja yang banyak sehingga perlu penanganan yang serius sehingga sumberdaya yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya dapat ditunjukkan pada Tabel 61 Tabel 61 Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya Spesifikasi lama
Kelemahan
Spesifikasi baru
Kondisi positif yang diharapkan
1 Ukuran kapal kecil (P = 18,25 m, L = 2,75 m, T = 1,95m)
Pekerjaan pelaksanaan 1 Ukuran kapal diperbesar (P = Operasi penangkapan 20,07 m, L = 3,01 m, T = tidak efektif 2,02m)
Pelaksanaan operasi penangkapan dapat berjalan dengan lancar
2Tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi atau peralatan keselamatan kerja di laut 3 Tidak dilengkapi dengan peralatan penanganan hasil tangkapan yang efektif 4 Mesin 40 PK (3 buah)
Dapat menyebabkan hilangnya nelayan di laut
3 Dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti life jacket dan kompas
Dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut
Hasil tangkapan hanya 4Dilengkapi dengan untuk konsumsi lokal modifikasi palka yang baru
Produk hasil tangkapan dapat di eksport
Kecepatan kapal lebih lambat karena tidak sesuai dengan ukuran kapal
Kecepatan kapal lebih besar sehingga oleh gerak kapal lebih baik
4 Mesin 40 PK (4 buah)
Sumber: data penelitian 2009 Pembuatan kapal pukat cincin (purse seiner) di Maluku dirancang dan dibuat sendiri oleh nelayan setempat pada galangan kapal rakyat. Hal ini perlu sejalan dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal harus disesuaikan dengan kegunaan kapal tersebut serta harus memperhitungkan proposional dimensi utama. Desain kapal pukat cincin saat ini di perairan Maluku dapat dilihat dan modifikasi kapal pukat cincin yang diusulkan untuk dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 52, Gambar 53, dan Gambar 54
126 6
Keterangan: K 1 Tempat operasii penangkapan 2 Ruangan tempaat penyimpangan alat tangkap 3 Palka 4 Ruangan penyimpanan BBM 5 Tempat mesin 6 WC 7 Tempat pemanttauan gerombolan ikaan 8 Ruangan tempaat jangkar haluan
7
1 8 T: 1,95 m P: 18,25 m
5
4
2
3
8
L: 2,75 m
P P: 18,25 m
Gambar 52 2 Desain kapal pukat p cincin saaat ini di Malukuu
86
8 6
7
2
T: 2,20
P: 20,7 7 m
G Gambar 53 Mod difikasi prototippe kapal pukat cincin c (pandang gan dari samping g) yang diusulk kan untuk dikem mbangkan Keterrangan: L:3,1 m
4
3
1
2
1
1
2
1
5
1 Tem mpat penampungann hasil tangkapan 2 Tem mpat peralatan alat tangkap 3 Tem mpat penyimpanan bahan bakar 4 Tem mpat mesin 5 Tem mpat winch 6 WC C 7 Tem mpat kegiatan operrasi penangkapan 8 Tem mpat pemantauan ggerombolan ikan
Gambar 54 4 Modifikasi prototipe kapal pu ukat cincin (pan ndangan dari ataas) yang diusulkkan dikembang gkan
126
Pekerjaan yang pertama dilakukan adalah pemilihan material yang akan digunakan. Ada beberapa jenis kayu yang biasanya digunakan pada pembangunan kapal pukat cincin di Maluku sesuai dengan peruntukannya, antara lain: kayu jati (Tectona grandis), gofasa (Vitex cotassus Reinw), dan kayu merbau (Instia spp). Rancangan kapal harus memperhatikan platform perencanaannya (tujuan dan proses penangkapan) serta rancangan umum yang menampilkan tataletak kapal secara lengkap. Iskandar (1990), mengatakan bahwa tujuan pembuatan gambaran umum adalah guna penentuan ruang kapal secara umum. Gambar
ini terdiri dari
beberapa bagian yakni gambar tampak samping, tampak atas, tampak depan, serta tampak belakang. Gambar tampak samping menunjukkan tata ruang kapal dari buritan hingga bagian bawah dek, yang terdiri dari ruang mesin, ruang palka ikan, ruang peralatan dan dapur sedangkan tampak atas menunjukkan tata ruang diatas dek yang terdiri dari ruangan dibagian buritan yang berfungsi sebagai ruang kemudi dan ruang akomodasi dan tampak belakang dan depan untuk menentukan bentuk badan kapal. Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin disajikan pada Tabel 62 Tabel 62
Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin (purse seiner) No 1 2
Peruntukan Lunas Pondasi motor
Ukuran (PxLxT) 20,07m x 22 cm x 18 cm 10 cm x 90 cm x 3 cm
3 4 5 6 7
Papan rata Senta Siweng Papan putar Papan putar
3,5 cm x 20 cm x 3 cm 7 cm x 18 cm x 22 cm 18 cm x 25 cm x 6 m 10 cm x 20 cm x 2 m 10 cm x 20 cm c 1,5 m
4 m3 4,5 m3 1 potong 1 m3 5 m3
8
Papan tindis
8 cm x 25 cm x 3 m
1 m3
9
Papan dek
3,5 cm x 25 cm x 3 m
3 m3
10
Rangka poro
6 cm x 15 cm x 3 m
1 m3
11
Rangka poro
6 cm x 15 cm x 3,5 m
1 m3
12
Tiang gawang
10 cm x 20 cm x 4 m
1 m3
13
Papan les
8 cm x 25 cm x 12 m
1 m3
14
Papan rumah
2,5 cm x 25 cm x 3 m
1 m3
15
Kayu gading
Sesuai Bentuk
6 m3
16
Gading + tajong
10 cm x 10 cm
3 m3
Sumber: data penelitian 2009
Jumlah 1 potong 1 potong
86
Selain material kayu di atas, dibutuhkan juga bahan dan alat lainnya sebagai perlengkapan dalam pembuatan kapal pukat cincin (purse seine), sebagaimana ditampilkan pada Tabel 63 Tabel 63 Kebutuhan alat dan bahan lainnya untuk pembuatan kapal pukat cincin (purse seine) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alat dan bahan Lampu gas (buterfly) Senter 6 batere Katrol besar (dia. 17 cm) Kikir (limar) bundar Baut 3/8 Baut 1/2 Besi 8 mm Paku putih 5 cm Paku putih 7 cm Paku putih 10 cm Paku putih 15 cm Paku biasa 5 cm Paku biasa 7 cm Paku biasa 10 cm Kaca riben 5mm (20 cm x 25 cm) Dempul glasik Dempul damar Pisau dempul (scaaper 4,5 cm) Cat minyak (Glotex) Tinner Kuas putih besar Kuas putih sedang Kertas amplas no. 3 Kertas amplas no. 2,5
Kebutuhan 20 1 2 6 600 600 6 10 15 10 10 6 6 6 24 300 25 1 200 100 6 6 5 5
Satuan Buah Buah Buah Buah Buah Buah Staft Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Potong Kaleng Kaleng Lusin Kaleng Kaleng Buah Buah Lusin Lusin
Sumber: data penelitian 2009
4.7.3.2 Modifikasi palka kapal pukat cincin Teknologi alat bantu penangkapan yang diusulkan adalah winch, mesin listrik, alat navigasi, lifejacket, dan modifikasi palka yang telah di lapisi dengan styrofoam. Desain palka saat ini berukuran kecil, tidak efektif, dibuat secara sederhana, menggunakan fiberglass dengan kualitas kurang baik, kualitas hasil tangkapan kurang baik. Melihat kelemahan yang ada pada kapal pukat cincin saat ini, maka diusulkan modifikasi palka dengan mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: ukuran palka besar, lebih efektif, palka dilengkapi dengan styrofoam, kualitas hasil tangkapan cukup baik sehingga dapat dieksport. Kondisi palka kapal pukat cincin saat ini dan modifikasi yang diusulkan pengembangannya dapat disajikan pada Gambar 55 dan 56
85
Gam mbar 55 Kondisi palka kapal pukat cincin saaat ini
S Stryrofoam paada palka denggan ketebalan 5-10 cm
Dindingg palka darii fiberglass
bar 56 Moddifikasi palkka yang diuusulkan penngembangannnya pada kapal Gamb pukatt cincin K (20005), mem mpunyai kriiteriaPerssyaratan paalka ideal menurut Kuncoro kriteria anntara lain: 1) Persyarratan tekniss antara lainn: 1) dindinng palka diiisolasi, 2) tidak memaasang alat-alaat yang terbbuat dari loggam melalui dinding paalka, 3) konndisi peneraangan dalam palka p memaadai, dan 4) membatasii awak kapaal keluar maasuk palka. 2) Persyarratan ekonom mis Ukuuran ruangg palka disesuaikan d dengan kemampuann kapal dalam d beroperasii dan menaangkap ikaan. Adanyaa sistem reffrigerasi paalka disesuuaikan dengan lam manya operrasi penangkkapan. 3) Persyarratan sanitassi dan higieene
86
Palka harus mempunyai sistem sanitasi dan higiene yang baik. Palka harus mudah dibersihkan pada saat sebelum maupun sesudah penyimpanan ikan dan tidak terbuat dari bahan yang korosif sehingga ikan yang disimpan di dalamnya aman dari pencemaran bakteri 4) Persyaratan biologis Palka dibuat dengan drainase yang baik untuk mengeluarkan air, lelehan es, lendir, dan darah yang terkumpul di dasar palka. 5) Persyaratan biaya Jenis palka yang biasa dipakai kapal perikanan terdiri dari :1) palka yang tidak diisolasi (digunakan pada kapal yang berukuran kecil dan lama operasinya hanya 1-2 hari), 2) palka yang diisolasi (digunakan pada kapal berukuran sedang dan lama operasinya 1 minggu, 3) palka yang diisolasi dan direfrigerasi (digunakan pada kapal berukuran besar dan beroperasi selama 1 bulan atau lebih). Desain palka pada kapal pukat cincin di perairan Maluku dari segi konstruksi belum dapat mengatasi keberadaan hasil tangkapan, hal ini disebabkan karena konstruksi palka yang dibuat masih bersifat tradisional yaitu dengan menggunakan cool box yang terbuat dari fiberglass tanpa menggunakan styrofoam sebagai lapisan dinding pada fiberglass tersebut. Kelemahan dari desain palka tersebut dapat mempengaruhi mutu hasil tangkapan. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu dibuat modifikasi teknologi baru untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan merancang modifikasi palka yang dilapisi dengan styrofoam sebagai dinding pada palka sehingga dapat diharapkan mutu hasil tangkapan yang diperoleh dapat lebih baik. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan kondisi sumberdaya ikan, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pembuatan kapal pukat cincin (purse seiner) yang dibuat sendiri oleh nelayan di Maluku pada galangan kapal rakyat. Hal ini sejalan dengan pendapat Ayodhyoa, (1972) bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal disesuaikan dengan kegunaan kapal tersebut serta harus memperhatikan proporsional dimensi utama. Spesifikasi alat bantu penangkapan pada kapal pukat cincin yang diusulkan adalah dilengkapi dengan mesin listrik, kompas, radio komunikasi, winch dan lifejacket.
85
Palka tem mpat penamppungan hasiil tangkapann juga dilenngkapi denggan penambbahan styrofoam pada dindinng palka sehhingga dihaarapkan hasil tangkapan n akan terjaamin.
M winch pad da kapal pu ukat cincin n 4.7.3.3 Modifikasi Disebut pukat cincin kareena dilengkkapi dengan n cincin un ntuk menariik tali cincin (puurse line) attau tali keruut untuk meenarik jaringg saat operaasi penangkkapan. Pukat cinccin (purse seine) s terdirri dari bebeerapa bagian n, yaitu sayyap (wing), perut (body), baahu (shouldder), dan kaantong (bunnt) yang tiddak menonjool. Pada bbagian sedangkan pada atas jaringg terdapat tali ris atas, tali pelamppung dan pelampung, p bagian baw wahnya terddapat tali riis bawah, taali pemberatt, cincin, brridle, beckett, dan tali kolor. Prinsip meenangkap ikkan dengan pukat cincin, ialah deengan melinngkari sesuatu geerombolan ikan dengaan jaring, setelah s itu jaring pada bagian bawah b dikerucutkkan dengann demikiann ikan-ikan akan terkum mpul pada bagian kanntong. Dengan perkataan lain ialah denngan mempperkecil ruaang lingkupp gerak darii ikan t dapat melarikan diri d dan akhhirnya tertanngkap (Ayoddhyoa 19722). sehingga tidak Padaa waktu meelingkari gerrombolan ikkan, kapal dijalankan d secepat s munngkin dengan tuujuan agarr gerombollan ikan akan a segerra terkepunng.
Pada saat
pelingkaraan alat tanggkap, arah, kecepatan k d posisi kapal dan k harus sedemikiann rupa supaya ikaan tidak lollos dari alaat tangkap, seperti diiluustrasikan pada p Gambbar 57 berikut inii.
Suumber: Purbaayanto.A, Riyyanto.M, Fittri.A.D.P. (20010)
Gam mbar 57 Iluustrasi kemu ungkinan ikan yang meeloloskan diiri pada saatt peelingkaran alat a tangkapp pukat cincin Pelingkaran jaaring dilakuukan sampaai kedua teppi jaring berrtemu, kemuudian d makksud untukk mencegahh ikan agar tidak dilakukan penarikan tali kolor dengan h bawah jaaring. Nellayan di Maluku M meleengkapi kappal pukat cincin c lari kearah
86
d k katrol (blocck) untuk memudahkan m n penarikann tali dengan tiaang yang dipasangi kolor dari dua sisi. Antara A keduua tepi jarinng sering tiidak tertutup p rapat sehingga memungkkinkan menjjadi tempat ikan untukk melarikan n diri (Gam mbar 58). U Untuk mencegah h hal ini biaasanya diguunakan pem mberat atau dengan men ngerak-geraakkan galah sehiingga ikan takut dan larri ke arah teersebut.
Sum mber: Purbayaanto.A, Riyaanto.M, Fitri..A.D.P. (2010)
Gambar 58 Ilustrasi kemungkin nan ikan yanng meloloskkan diri padda saat penaarikan tali koloor pada alatt tangkap puukat cincin
w yang agak Prosses penangkkapan pada alat tangkaap ini membbutuhkan waktu lama sehingga apabiila tidak diilakukan secara tepat, ikan yang menjadi tuujuan penangkappan akan kkeluar menninggalkan jaring, un ntuk itu diibutuhkan suatu teknologi baru yang dapat d memb bantu menggatasi masalah ini. Teknnologi ini saangat u nelayan pukat p cincin n dalam meengadakan operasi pennangkapan ikan. membantu Pada prinssipnya alat ini hanya dimodifikas d si sedemikiaan rupa sehhingga ujungg tali cincin diliilitkan di sebelah kiri dari as moobil dan ujung u tali cincin lainnyya di sebelah kaanan, kemuddian mesin hand traktoor yang telaah dihubunggkan dengann belt yang telaah dilekatkaan pada as a roda beelakang kem mudian meesin dihiduupkan sehingga akan a menariik tali cincinn. Peng ggunaan teeknologi seederhana inni sangat membantu m nelayan dalam d menarik tali cincin sehingga s ik kan yang menjadi m tujuan penangkkapan akan sulit lolos. Mo odifikasi teeknologi yaang dirancaang ini san ngat sederhhana dan dapat d dijangkau oleh nelayyan. Hal inii dapat dituunjukkan paada Gambarr 59. Modiffikasi winch padda kapal puukat cincinn mempunyyai keuntunngan adalah h: 1) membbantu nelayan paada saat pennarikan jaring sehinggaa dapat mem mpercepat proses p penaarikan
85
sehingga ikan i yang menjadi m targ get sulit untuk lolos, 2) 2 menggunnakan bahann dari as belakaang mobil truk, 3) harganya murah, m 4) lebih efekktif, 5) mudah m dioperasikkan. Perbaandingan penggunaan p n modifikaasi winch dengan tanpa t menggunaakan winch yang diguunakan nelaayan pukat cincin saatt ini di perrairan Maluku daapat disajikan pada Tab bel 64 Tabel 64 Perbandinggan penggunnaan winch dan tanpa menggunak kan winch dalam d operasi peenangkapan dengan allat tangkapp pukat cinncin di perrairan Maluku unakan win nch Menggu 1 2
Wakktu yang dibutuhkan meenarik tali pursse line 25 – 355 menit Jum mlah ABK paada kapal puukat cincin lebiih sedikit (15 oorang)
Tanpa menggunak m kan winch Waktu yang dibutuhkan d 555 menit Dibutuhkan ABK A 20-25 orrang
Sumber: data d penelitiian 2009
a
b
Gambbar 59 Moddifikasi wincch yang diopperasikan pada p kapal pukat p cincinn a) b)
tampak saamping tampak attas
86
4.8 Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap dengan pendekatan analisis SWOT yang meliputi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (treaths). Analisis ini mengacu
pada
logika
bahwa
organisasi/institusi
yang
berwenang
dan
bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya selalu berada dalam satu sistem yang selalu berhubungan dan saling mempengaruhi dengan demikian, untuk menghasilkan suatu rencana pengelolaan, maka organisasi perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategis berdasarkan analisis (LAN RI 2007). Analisis ini bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasi kegiatan yang dibuat oleh organisasi. Pencermatan lingkungan strategik dalam pengelolaan pengembangan armada perikanan tangkap pada hakekatnya digunakan untuk mengetahui kondisi teknologi armada perikanan tangkap saat ini di perairan Maluku. Hal tersebut dilakukan untuk mencermati kondisi di dalam dan di luar institusi pengelolaan berupa kelemahan dan kekuatan sebagai lingkungan internal, serta peluang dan tantangan sebagai lingkungan eksternal (LAN RI 2007). Dalam upaya memberikan arahan strategi pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Maluku, dilakukan analisis SWOT dengan melihat faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Ketersediaan potensi sumberdaya ikan pelagis dan dukungan sarana dan prasarana perikanan (kapal, alat tangkap, nelayan dan pusat-pusat pendaratan ikan), serta jumlah nelayan, kelompok usaha maupun usaha perikanan tangkap skala besar merupakan suatu kekuatan dalam rangka pengembangan perikanan skala kecil. Masih rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan nelayan, modal usaha, diversifikasi usaha penangkapan ikan pelagis dan manajemen yang lemah merupakan unsur kelemahan dalam rangka meningkatkan produktifitas usaha penangkapan. Sementara unsur peluang meliputi pengaturan kegiatan perikanan tangkap disentralisasi, semakin berkembangnya teknologi tepat guna untuk penangkapan ikan pelagis, perluasan daerah penangkapan ikan yang produktif,
85
dan dukungan pemerintah daerah melalui instansi terkait dalam rangka memberikan pembinaan yang bersifat teknis dan non teknis kepada nelayan. Unsur ancaman meliputi belum diterapkannya selektifitas alat tangkap, pengaturan kegiatan penangkapan belum terarah, masih terjadi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan bahan peledak. Hasil identifikasi berdasarkan LINSTRA sebagai berikut: (1)
Strength (kekuatan) 1) Produksi SDI di perairan Maluku dengan kapal 30 GT cukup tinggi 2) Bahan baku pembuatan kapal dengan fiberglass cukup tersedia 3) SDM untuk ABK armada penangkapan cukup tersedia 4) Di daerah ini cukup banyak tersedia alat tangkap, sumberdaya ikan, serta rumpon sebagai alat pengumpul ikan. 5) Galangan kapal rakyat juga tersedia di daerah ini 6) Penerapan CCRF perlu dilakukan agar sumberdaya tetap terjaga
(2)
Weakness (kelemahan) 1) Tidak tersedianya basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan 2) Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap 3) Penghasilan nelayan dari sub sektor perikanan tangkap belum memadai dan lebih rendah dari pada upah minimum regional subsektor perikanan di Maluku 4) Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) 5) Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan anak buahnya. 6) Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal
(3)
Peluang (opportunity) 1) Permintaan akan ikan meningkat, baik untuk kebutuhan pasar lokal, regional, dan eksport 2) Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate
86
3) Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri 4) Perlu adanya pengadaan cold storage 5) Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan 6) Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan (4)
Ancaman (threats) 1) Penetapan batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan oleh pemerintah 2) Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku 3) Selektivitas alat tangkap belum diterapkan sesuai dengan CCRF 4) Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional 5) Pemakaian bahan peledak oleh beberapa nelayan untuk menangkap ikan 6) Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring dari alat tangkap yang digunakan Sasaran kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang ditempuh
pemerintah daerah Maluku saat ini adalah memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara optimal dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Hal ini mengacu pada kebijakan pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan. Secara ringkas, tujuan dirumuskan sebagai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dalam rangka peningkatan devisa, kecukupan gizi, penyerapan tenaga kerja, perbaikan teknologi alat tangkap dalam rangka pijakan strategis bagi pengembangan perikanan tangkap ke depan. Sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis besar di perairan Maluku cukup banyak sehingga perlu dikelola dengan baik dan perlu armada perikanan tangkap yang lebih efektif dalam mengelolanya. Dalam konteks perikanan tangkap, keberadaan kapal penangkap huhate 30GT dalam mengelola sumberdaya perikanan pelagis besar di daerah ini cukup banyak sekitar 404 unit. Dari sisi teknologi, mereka cukup berpengalaman dan menguasai teknologi penangkapan sehingga memudahkan proses penangkapan.
85
Kapal huhate yang digunakan memiliki beberapa kelemahan yang perlu di tangani secara serius sehingga hasil tangkapan dapat optimal. Bahan baku fiberglass untuk pembuatan kapal huhate tersedia cukup banyak sehingga memungkinkan nelayan dapat membuat kapal huhate secara baik walaupun masih belum begitu sempurna. Ketersediaan tenaga kerja nelayan berkaitan dengan produksi cukup banyak, mengingat nelayan yang mengadakan operasi penangkapan di perairan Maluku sebagian besar berasal dari lulusan SMA untuk alat tangkap pancing tonda (35%) , huhate sebagian besar lulusan SD (67%). Faktor yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ikan adalah kapal penangkap. Di daerah ini ada beberapa daerah yang biasanya kapal penangkap dibuat oleh nelayan dan tersebar di daerah-daerah tertentu seperti: Tulehu, Asilulu, Negerilima dan beberapa daerah lain di Maluku. Galangan kapal yang dibuat di daerah ini cukup sederhana dalam pembuatan kapal perikanan. Hal ini dilakukan karena semakin banyaknya permintaan akan kapal penangkap. Pembuatan kapal ini dilakukan tanpa adanya perhitungan-perhitungan tentang kelayakan kapal dan bersifat tradisional sehingga hal ini merupakan sebuah hambatan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design" kapal penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua dasar, yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang digunakan. Dalam membuat basic design kapal penangkapan ikan, diawali dengan survei yang antara lain meliputi pengukuran terhadap kapalkapal penangkapan ikan yang sudah ada dan dioperasikan oleh para nelayan. Dan hasil pengukuran akan dilakukan kajian dan analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan, baik ditinjau dari aspek fisik kapal dan aspek ekonomi. Khususnya hasil analisis aspek fisik kapal, akan dijadikan acuan untuk membuat rancanganrancangan basic design pada pekerjaan ini. Tanpa pengawasan yang efektif akan
86
menyulitkan pemerintah untuk menerapkan pentingnya basic desain dalam pembuatan kapal ikan. Mengingat selama ini dalam mendesain kapal ikan, nelayan masih menggunakan cara-cara tradisional yang diturunkan secara turun temurun oleh pendahulu mereka. Permasalahan utama yang sering dihadapi adalah ketersediaan modal. Ini dicerminkan antara lain berupa keterbatasan kredit dengan persyaratan yang relatif mudah untuk usaha agribisnis perikanan. Minimnya lembaga keuangan di daerah kabupaten dan kecamatan, menjadi penyebab terhambatnya usaha perikanan di daerah. Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kurangnya modal merupakan kendala yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam proses pembuatan kapal ikan dibutuhkan dana yang cukup besar sehingga hal ini menjadi kendala bagi nelayan di Maluku. Peran pemerintah dalam memberikan bantuan kepada nelayan merupakan salah satu tanggungjawab yang harus dilaksanakan mengingat keterbatasan dana pada nelayan. Salah satu cara yang efektif adalah pinjaman melalui bank kepada nelayan dengan bunga yang rendah sehingga nelayan dapat memanfaatkan itu dengan baik. Investasi berperan dalam pengadaan dan perbaikan kapal dan unit penangkapan. Hal ini dibutuhkan nelayan karena pada umumnya mereka memiliki keterbatasan modal untuk pengembangan usaha. Modal investasi diperuntukan bagi pengembangan pukat cincin, huhate, pancing tonda. Dengan demikian, investasi merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan dalam pengembangan perikanan tangkap. Klasifikasi nelayan tersebut atas dasar teknik kepemilikan alat produksi itu masih dibedakan berdasarkan kegiatan menjadi nelayan penuh, nelayan sebagai sambilan utama, dan nelayan sebagai sambilan tambahan. Sampai dengan tahun
85
2000, jumlah total nelayan Indonesia sekitar 2.486.456 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,21% dibandingkan tahun 1999 dan dalam kurun waktu 19902000 telah mengalami peningkatan sebesar 5 % per tahun. Nelayan berprofesi penuh pada tahun 2000 berjumlah 1.212.195 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,06 % dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang menjadi nelayan sambilan utama pun mengalami kenaikan 5,06 % dibanding tahun sebelumnya atau berjumlah 911.163 orang pada tahun 2000. Melihat laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, mengakibatkan perlunya tambahan lapangan kerja yang cukup besar sehingga sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja tersebut (DKP Maluku 2007). Kondisi cuaca yang tidak menentu akan berpengaruh pada fluktuasi hasil tangkapan, sehingga perlu diantisipasi dalam operasi penangkapan ikan. Fluktuasi produksi mempengaruhi pendapatan nelayan, yang diperoleh melalui sistem bagi hasil perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Maluku tergolong rendah dan belum memadai (Rp 450.000/bulan) jika dibandingkan dengan upah minimum regional sektor perikanan Maluku tahun 2005 sebesar Rp 615.000/bulan. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh nelayan di Maluku masih bersifat tradisional. Hal ini disebabkan kemampuan dana yang dimiliki oleh nelayan, dan oleh sebab itu perlu ada dukungan dari pemerintah atau swasta untuk membantu nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah ini. Peran serta pihak stakeholder ini sangat diharapkan sehingga dapat merubah struktur pengelolaan sumberdaya yang ada. Sistem bagi hasil yang selama ini dilakukan antara pihak pemilik kapal dengan ABK tidak merata. Hasil tangkapan yang diperoleh dibagi dengan sistem 60 : 40 artinya bahwa nelayan pemilik kapal 60% dan ABK 40% dari total harga hasil tangkapan. Hal ini tentunya meresahkan ABK karena jumlah yang diperoleh relefan dengan hasil yang mereka peroleh. Oleh sebab itu sebaiknya total harga hasil tangkapan dibagi 50% : 50% antara pemilik kapal dengan ABK. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian dilakukan pembobotan, ranking, dan skor dari masing-masing unsur SWOT dapat disajikan pada Tabel 65 dan Tabel 66
86
Tabel 65 Matrik faktor strategi internal pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kode
Unsur SWOT Faktor Internal KEKUATAN
K1
Produksi SDI di Perairan Maluku cukup besar serta penggunan kapal huhate 30 GT cukup tinggi Bahan baku untuk pembuatan kapal huhate dengan fiber glass cukup tersedia SDM untuk semua ABK kapal cukup banyak tersedia
Bobot
Rating
A
B
Skor AxB
0,10
4
0,40
0,10
4
0,40
0,05
3
0,15
Tersedianya alat tangkap, umpan, dan alat pengumpul ikan (rumpon)
0,10
3
0,30
K5
Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan
0,05
4
0,20
K6
Penerapan Perikanan berwawasan lingkungan bertanggungjawab (CCRF) Sub-total
0,10
3
0,30
K2
K3 K4
L1
L2
yang dan
KELEMAHAN Tidak tersedianya basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap
1,75
0,10
2
0,20
0,10
1
0,10
L3 L4
Pendapatan nelayan masih rendah Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana)
0,05 0,10
1 1
0,05 0,10
L5
Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan anak buahnya. Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal Sub-total TOTAL SKOR
0,05
2
0,10
0,10
2
0,20
L6
1,00
0,75 2,50
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 65 diatas menunjukkan adanya pengelompokkan alternatif strategi internal sebagai kekuatan menjadi menjadi beberapa peringkat, dan ini menghasilkan alternatif produksi SDI di perairan Maluku cukup besar serta penggunaan kapal huhate 30GT cukup tinggi (rating 4) sementara kelemahan yang terjadi sebagai akibat pendapatan nelayan rendah (rating 1). Hal ini menunjukkan bahwa dengan kekuatan yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan pendapatan yang diterima nelayan.
85
Tabel 66 Matrik faktor strategi eksternal pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kode
P1 P2 P3
P4 P5 P6
A1 A2 A3 A4 A5 A6
Unsur SWOT Faktor Eksternal PELUANG Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal, regional dan luar negeri Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate (pole and line) Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri Perlu adanya pengadaan cold storage Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan Sub-total ANCAMAN
Bobot A
Rating B
Skor AxB
0,10
4
0,40
0,10
3
0,30
0,05
3
0,15
0,10 0,05
3 4
0,30 0,20
0,10
4
0,40
Batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku Selektifitas alat tangkap belum diterapkan Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional Pemakaian bahan peledak oleh beberapa sebagian nelayan Belum dibatasinya selektifitas ukuran mata jaring dari alat tangkap yang digunakan Sub-total TOTAL SKOR
0,10
4
0,40
0,10
3
0,30
0,05 0,10
3 3
0,15 0,30
0,05
4
0,20
0,10
4
0,40
1,75
1,75 3,50
1,00
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 66 diatas menunjukkan adanya pengelompokkan alternatif strategi eksternal menjadi menjadi beberapa peringkat yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Peluang akibat permintaan akan ikan di pasaran domestik maupun pasaran internasional merupakan peluang yang sangat berpengaruh terhadap alternatif strategi guna mengatasi ancaman yang terjadi (rating 4). Ancaman yang terjadi akibat beroperasinya kapal-kapal ilegal di perairan Maluku (rating 3) merupakan ancaman yang cukup serius sehingga perlu pengawasan dari instansi terkait sehingga potensi sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan.
Alternatif
strategi
dengan
memanfaatkan
peluang
dalam
pengelolaan sumberdaya merupakan langkah konkrit yang harus diantisipasi oleh pihak pemerintah dalam menangani masalah ini merupakan suatu terobosan sehingga dapat mengantisipasi ancaman yang kemungkinan akan terjadi. Strategi yang akan dibuat dijabarkan dan dilaksanakan untuk diimplementasikan pada
86
masyarakat dan stakeholder lainnya dapat dilakukan secara maksimal, hal ini tertuang dalam Tabel 67 berikut ini Tabel 67 Strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku FAKTOR
INTERNAL
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
> Produksi SDI di Perairan Maluku cukup banyak serta penggunaan kapal huhate 30 GT cukup tinggi > Bahan baku untuk pembuatan kapal huhate dengan fiber glass cukup tersedia > SDM untuk semua ABK kapal cukup banyak tersedia > Tersedianya alat tangkap, umpan, dan alat pengumpul ikan (rumpon) > Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan > Penerapan Perikanan yang berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF)
> Tidak tersedianya Basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan > Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap > Pendapatan nelayan masih rendah > Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) > Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan ABK > Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal
PELUANG (O) > Permintaan ikan meningkat, baik pasar lokal, regional dan luar negeri > Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate (pole and line) > Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri > Perlu adanya pengadaan cold storage > Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan > Perlu adanya kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan
Strategi SO > Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan > Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari
Strategi WO > Peningkatan investasi dari luar untuk usaha perikanan skala kecil > Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan.
ANCAMAN (T) > Batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan > Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku > Selektifitas alat tangkap belum diterapkan > Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional > Pemakaian bahan peledak oleh sebagian nelayan
Strategi ST > Melakukan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masing-masing alat tangkap dan menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai > Memaksimalkan potensi perikanan dan penentuan galangan kapal perikanan pada daerah desa nelayan yang dianggap produktif.
Strategi WT > Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun/ dan sekaligus design alat tangkap dan teknologi tepat guna > Menerapkan ukuran mata jaring yang sesuai dengan selektifitas alat tangkap
FAKTOR EKSTERNAL
Sumber: data penelitian 2009
85
Analisis pilihan strategi dikembangkan berdasarkan matriks internaleksternal (LAN RI 2007). Analisis ini menyatakan bahwa apa yang harus dicapai dalam pengelolaan, serta kegiatan spesifik apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam hal ini, pengalokasian sumberdaya perlu dilakukan untuk menjelaskan berbagai kemungkinan strategi pengembangan perikanan ikan pelagis dan desain alat tangkap di Maluku. Pemilihan strategi ini dilakukan ini untuk menjelaskan berbagai macam kemungkinan strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Setelah diberi bobot/nilai unsur-unsur SWOT dihubungkan dengan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO,WT). Kemudian alternatif-alternatif tersebut dijumlah bobot/nilainya untuk menentukan peringkat masing-masing. Strategi dengan peringkat tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan. Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dijabarkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk meraih peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), penggunaan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan penggurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Prioritas strategi pengembangan didasarkan pada skor masing-masing faktor yang disusun berdasarkan Tabel IFAS (internal strategic factor analysis summary) dan Tabel EFAS (external strategic factor analysis summary) penentuan prioritas strategi dilakukan dengan instrumen analisis SWOT (Rangkuti 2000). Tabel 68 Priorias strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
IFAS
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
1,75
0,75
Peluang (O)
Strategi SO
Strategi WO
1,75
2,90
1,65
Ancaman (T)
Strategi ST
Strategi WT
1,75
1,85
1,20
EFAS
Sumber: data penelitian 2009
86
Berdasarkan IFAS (internal strategic factor analysis summary) prioritas strategi pengembangan perikanan pelagis hasil analisis SWOT (Tabel 68) terlihat bahwa penggunaan unsur-unsur strategi kekuatan (S) (1,75) mempunyai peluang besar untuk mengalahkan kelemahan (0,75). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di perairan Maluku cukup banyak serta penggunaan kapal huhate untuk penangkapan ikan pelagis cukup tersedia walaupun terdapat beberapa kelemahan yang dihadapi seperti kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap, teknologi masih sederhana, tidak tersedianya basic design. Untuk menunjang kekuatan yang ada dengan melihat kelemahan yang terjadi maka perlu pengembangan teknologi tepat guna seperti perbaikan teknologi, SDM ditingkatkan, modal, sehingga pengelolaan sumberdaya dapat maksimal. Berdasarkan EFAS (external strategic factor analysis summary) terlihat bahwa strategi kekuatan (SO) (2,90) berupa pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada penangkapan dan penerapan CCRF merupakan kekuatan besar untuk menindaklanjuti peluang (O) (1,75) sebagai proses untuk mengantisipasi permintaan akan ikan meningkat pada pasaran domestik maupun internasional. Strategi (WO) (0,165) berupa peningkatan investasi dari luar untuk skala usaha perikanan skala kecil, penyediaan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna merupakan strategi yang sangat membantu dalam mengantisipasi kekuatan penambahan armada tangkap. Strategi (ST) (1,85) menegaskan tentang penetapan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masing-masing alat tangkap mengalahkan ancaman (T) (1,75) mengingat penetapan batas-batas penangkapan sampai saat ini belum ditetapkan oleh instansi yang berkepentingan untuk menetapkan kebijakan ini. Hal ini sangat didukung dengan strategi (WT) (1,20) dengan menerapkan adanya basic design serta penggunaan ukuran mata jaring yang selektif sehingga sumberdaya dapat berkelanjutan. Berdasarkan matrik skor strategi, maka prioritas kebijakan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah sebagai berikut: 1)
Strategi – SO, kebijakannya: (1) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada
85
kapal ikan (2) Penerapan CCRF segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari 2)
Strategi – ST, kebijakannya: (1) Menerapkan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masingmasing alat tangkap dan menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai (2) Memaksimalkan potensi sumberdaya yang ada dan penentuan galangan kapal perikanan di daerah-daerah yang dianggap sebagai desa nelayan produktif
(3)
Strategi – WO, kebijakannya: (1) Peningkatan investasi dari luar daerah untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil (2) Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan
4)
Strategi – WT, kebijakannya: (1) Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap dan teknologi tepat guna (2) Menerapkan ukuran mata jaring yang sesuai sesuai selektifitas alat tangkap. Tahapan
ini merupakan
kegiatan analisis secara terpadu semua
pertimbangan berkaitan dengan empat unit alat tangkap yang dijadikan opsi, menentukan kriteria pembatasnya dan menentukan prioritas pengembangannya. Untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengembangan teknologi alat penangkapan ikan akan dijadikan sebagai kriteria pembatas (limitting factor) pengembangan dan selanjutnya dianalisis secara struktur menggunakan AHP. Strategi pengembangan perikanan tangkap merupakan suatu bentuk kegiatan untuk menentukan prioritas yang tepat dari tujuh alternatif armada yang bisa dikembangkan berdasarkan hasil analisis Linear Goal Programming (LGP), hanya akan dipilih beberapa alat tangkap untuk dikembangkan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat maka berbagai komponen yang berinteraksi
86
dengan pengembangan teknologi alat penangkapan ikan akan dijadikan sebagai komponen yang berinteraksi dengan pengembangan armada serta dijadikan kriteria dan pembatas (limitting factor) pengembangan serta analisis dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan AHP (Analysis Hierarky Process). Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap menurut Baruadi, Yuniarti (2002), dan Saaty (1986) dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria pengembangan teknologi armada perikanan tangkap di daerah ini adalah: (1)
(2)
Kriteria pengembangan perikanan pelagis (level II) antara lain: (1)
Nelayan (NLY)
(2)
Pengusaha Perikanan Tangkap (PPT)
(3)
Selektifitas Alat Tangkap (SAT)
(4)
Produktifitas Tenaga Kerja (PTK)
(5)
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
(6)
Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM)
Kriteria pembatas (limiting factor) pengembangan perikanan pelagis (level
III), antara lain: (1)
Potensi sumberdaya ikan (PSDI)
(2)
Potensi teknologi (PT)
(3)
Sumberdaya manusia (SDM)
(4)
Teknik operasi penangkapan ikan (OPI)
(5)
Kondisi perairan (KP)
(6)
Peluang pasar (PP).
Unit penangkapan yang termasuk dalam opsi pengembangan (level IV) adalah pukat cincin, huhate, pancing tonda. Adapun penyusunan sistem pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 60. Hasil analisis rasio kepentingan setiap pengembangan, kriteria pembatas dan opsi pengembangan setelah diolah menggunakan program AHP ditunjukkan pada Gambar 61.
155
5
PEMBAHASAN
5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Penangkapan
ikan
pada
dasarnya
merupakan
aktifitas
eksploitasi
sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis secara optimal dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut dengan meningkatkan efisiensi eksploitasi yaitu pengoperasian alat tangkap yang efektif (teknologi), pengetahuan tentang sumberdaya ikan yang ditangkap (jenis, penyebaran, dan perkiraan jumlah), oleh karena itu informasi tentang keberadaan sumberdaya suatu perairan laut sangat penting untuk diketahui. Pemanfaatan sumberdaya perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi tangkap lebih. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui besarnya potensi sumberdaya (stok). Menurut Azis (1989) dan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan enam metode pendekatan, yaitu sensus/transek, sweept area, akustik, production surplus, tagging, dan ekstra/intra-polasi. Diantara ke-enam metode pendekatan tersebut, metode surplus production adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Faktor penentu keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan antara lain data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Informasi tentang status potensi sumberdaya yang tersedia perlu diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan (overfishing). Suyasa et al (2007) menyatakan bahwa potensi ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dimana sekitar 73,43 persen atau 4,7 juta ton diantaranya adalah dari kelompok ikan pelagis, baik itu ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil. Potensi ikan pelagis diperkirakan sekitar 3,6 juta ton per tahun atau 56,25 persen dari potensi ikan secara keseluruhan, dan baru dimanfaatkan sekitar 49,50 persen. Hasil analisis produksi
156
sumberdaya ikan pelagis kecil dengan menggunakan model surplus produksi Schaefer menunjukkan bahwa nilai MSY ikan pelagis kecil yang tertinggi di perairan Maluku adalah ikan layang sebesar 11.895 ton per tahun dengan effort optimal sebesar 24.387 trip per tahun dan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu 1493 ton per tahun dengan effort optimal 38650 trip per tahun. Penyebaran kurva yang tidak normal pada tahun 2001 disebabkan karena faktor non teknis akibat konflik horizontal menyebabkan keamanan tidak terjamin sehingga jumlah nelayan melaut berkurang sementara stok ikan konstan sehingga hasil tangkapan meningkat terhadap jumlah armada yang sedikit. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu 38.560 trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar 24.165 trip per tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Maluku dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2001 sampai 2005) belum mencapai titik maximum sustainable yield (MSY). Hasil analisis dengan model surplus produksi Schaefer terhadap ikan pelagis besar menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai MSY tertinggi sebesar 49.133,78 ton/tahun dengan effort optimal 49.565 trip per tahun. Sedangkan ikan layur mempunyai MSY terendah sebesar 250,00 ton/tahun dengan effort optimal 500.000 trip per tahun dan sekaligus merupakan effort yang tertinggi sedangkan ikan tuna sebesar 55.716,67 trip per tahun. Kondisi tersebut memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi, mengingat pada batas yang melebihi potensi lestari belum tercapai sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly (1979) dan Panayotou (1982) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003), menggunakan MSY sebagai titik sasaran acuan pengelolaan perikanan terutama ketidakpastian sehubungan dengan kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum sustainable yield (MSY) menurut Cunningham (1981) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003) hanya digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka waktu yang pendek. Secara umum sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis di perairan Maluku tingkat pemanfaatannya masih dibawah MSY. Hal ini disebabkan karena teknologi penangkapan masih bersifat tradisional berdampak pada produksi yang rendah
155
akibat produktifitas yang rendah. Berbeda seperti yang dilaporkan Atmaja dan Nugroho (2001), tentang perikanan pelagis di Laut Jawa yang telah mengalami kelebihan kapasitas dan kondisi stok ikan pelagis yang menurun drastis maka, perikanan pelagis kecil di perairan Maluku dapat dikatakan underutilized. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan dengan memperbesar armada penangkapan serta penggunaan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien (Solihin 2003). Wisudo (2008) mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu daerah penangkapan (fishing ground) diupayakan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang boleh dimanfaatkan. Apabila tingkat pemanfaatan di suatu wilayah penangkapan ikan melebihi nilai optimumnya, maka akan terjadi penurunan efisiensi usaha penangkapan ikan, bahkan akan menyebabkan fenomena tangkap lebih (overfishing). Sebaliknya, bila tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya tidak optimal tentu akan merugikan, karena kelimpahan sumberdaya ikan yang ada hanya disia-siakan mati secara alamiah (natural mortality) atau bahkan dimanfaatkan oleh para nelayan asing, sehingga tidak memberikan manfaat yang optimal untuk masyarakatnya. Tujuan konsep MSY
adalah
pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
sederhana
yakni
mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumberdaya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas (Hermawan 2006). Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku perlu ditingkatkan hingga batas optimum. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa bila tingkat pemanfaatan dibawah angka MSY, akan terjadi tingkat pemanfaatan yang belum optimal, artinya walaupun tidak membahayakan ketersediaan stok ikan tetapi sumberdaya ikan tersebut masih kurang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Bila dilakukan perbandingan terhadap dua keadaan diatas sebagai konsekuensi dari upaya tangkap yang berlebih,
maka
penurunan
produktifitas
unit
penangkapan
lebih
besar
dibandingkan dengan peningkatan hasil tangkapan. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat jumlah nelayan terus meningkat secara tidak langsung akan
156
berdampak terhadap jumlah alat tangkap. Seperti yang dikatakan Gulland (1983) meningkatnya jumlah kapal maka bagian yang diperoleh dari masing-masing kapal (produktifitas) akan semakin kecil. Meski demikian jika kita cermati baik produksi yang telah dicapai maupun upaya tangkap yang telah dilakukan sudah mendekati batas lestari. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat trend jumlah penduduk pesisir (nelayan) semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan. Mengacu kepada kondisi aktual tersebut, maka sangat diperlukan kehatihatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, mengingat perikanan tangkap di perairan Maluku memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Aktualisasi dari upaya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Maluku yaitu dilakukannya tatalaksana mengenai sikap dan perilaku praktek yang bertanggungjawab dalam kegiatan perikanan tangkap. Upaya konkritnya dapat dilakukan dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian (precautionary) sebagaimana yang tertuang dalam Code of Conduct of Responsible Fisheries (CCRF) (FAO 1995). Inti dari prinsip tersebut terdapat pada penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80% dari MSY. Perhatian terhadap CCRF berimplikasi terhadap kebijakan pengembangan perikanan dimana target produksi ikan pelagis kecil di perairan Maluku menjadi 6180 ton/tahun
dari jenis ikan selar dengan upaya penangkapan 1138,64
trip/tahun dan merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan jenis ikan
kembung 1320 ton/tahun dengan upaya penangkapan
sebesar 1056 trip/tahun. Sementara untuk jenis ikan pelagis besar menempatkan jenis ikan tuna dengan target produksi sebanyak 4315,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 862,4 trip/tahun. Jenis ikan tongkol dengan target produksi sebesar 975,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 1950,4 trip/tahun dan sekaligus merupakan yang terendah dibandingkan dengan jenis ikan pelagis besar lainnya. Walapun ketentuan yang tercantum dalam CCRF bersifat tidak mengikat, akan tetapi karena bangsa Indonesia (khususnya di Maluku) yang merupakan bagian dari masyarakat dunia seyogyanya tidak mengabaikan prinsip yang termuat dalam CCRF. Selain karena memuat prinsip pengelolaan, juga mengandung nilainilai keberlanjutan, baik sumberdaya ikan maupun usaha penangkapan ikan. Oleh
155
karena itu pada masa yang akan datang target produksi dan upaya penangkapan dapat ditetapkan tidak melebihi dari kondisi tersebut. Perbandingan tingkat pemanfaatan dan pengupayaan pada kondisi lestari dan batas pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pelagis besar sebagaimana dalam CCRF dapat terlihat pada Tabel 69 dan Tabel 70 Tabel 69 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, Fopt dan CCRF (80%) Jenis Ikan Aktual pelagis kecil Produksi Tingkat /ton MSY/ton Selar
3451,2
5.839
Effort aktual (trip) 8.711
Layang
6765,5
11.895
Tembang
708
Teri
Estimasi CCRF (80%) Effort MSY/ton Fopt/trip optimal (trip) 24.165
6180
1138,4
9.801
24.387
898,4
1797,6
8.176
21.619
28.595
1124,8
899,8
292
4.983
25.192
31.570
1227,2
981,7
Komu
355,7
1.493
20.895
38.650
2587,2
2069,7
Kembung
831,3
1.818
16.718
30,150
1320
1056
Kondisi
Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 70 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis besar dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, Fopt dan CCRF (80%) Jenis Ikan pelagis besar Tuna
93.130
9.313
Estimasi Effort Effort aktual optimal (trip) (trip) 120.859 55.716
Tenggiri
40,613
406,13
128.228
Tenggiri papan Tongkol
140
160,00
7.030
Cakalang Layur
Produksi /ton
Aktual Tingkat MSY/ton
CCRF (80%) MSY/ton Fopt/trip
4315,2
862,4
142.500
2820,8
5642,4
77.471
400.000
2128,8
4257,6
7.030
101.330
41.925
975,2
1950,4
49.133
49.133
70.445
49.565
1246,4
2488,8
25.00
250,00
156,046
500.000
3023,2
3023,2
Kondisi
Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing
Sumber: data penelitian 2009 Perbandingan kondisi aktual terlihat bahwa terjadi kenaikan terhadap tingkat MSY, effort optimal pada ikan pelagis. Fenomena yang terjadi adalah pemanfaatan yang dilakukan baik pada ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku belum mengalami tangkap lebih pada perairan tersebut, besarnya laju pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dan besar di perairan Maluku diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut dilakukan
156
setiap hari oleh kapal-kapal dengan peralatan teknologi modern yang datang dari luar daerah ini untuk mengeksploitasi potensi sumberdaya. Secara garis besar faktor yang menyebabkan semakin besarnya tekanan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di perairan Maluku terbagi atas dua yaitu: faktor internal, dan faktor eksternal, antara lain: (1)
Faktor internal: 1) Sumberdaya manusia 2) Teknologi penangkapan dominan sederhana 3) Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada kecil 4) Rendahnya produktifitas unit penangkapan
(2)
Faktor eksternal: 1) Peningkatan jumlah nelayan 2) Fishing ground 3) Peningkatan jumlah unit penangkapan yang datang dari luar daerah Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya
ikan pelagis kecil dan besar telah melampaui batas pemanfaatan dalam prinsip kebijakan pemanfaatan (CCRF) alternatif sehingga perlu dilakukan beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengganti unit penangkapan ikan yang tidak produktif dengan alat tangkap yang produktif (2) Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas/daya dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut (3) Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan dan dilakukan oleh instansi terkait (4) Melakukan ekspansi fishing ground (out shore) Pengembangan usaha perikanan tangkap ikan pelagis di perairan Maluku diarahkan pada peningkatan faktor biologi, teknik, ekonomi, dan sosial dalam sub sistem potensi sumberdaya ikan, sub sistem teknologi, sub sistem mutu, sub sistem pemasaran, sub sistem kelayakan usaha dan sub sistem infrastruktur. Hal tersebut dimaksud agar sistem usaha perikanan tangkap ikan pelagis yang ada dapat menguntungkan bagi pelaku usaha dan berkelanjutan. Peningkatan yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi dengan tetap menjaga kelestarian
155
sumberdaya, peningkatan pendapatan, kesejahteraan nelayan serta para pelaku yang terlibat dalam sistem usaha tersebut.
5.2
Teknologi Penangkapan Tepat Guna dan Alokasi Unit Penangkapan Optimum Tujuan pemilihan teknologi penangkapan tepat guna adalah untuk
mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik, ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan aktifitas penting di Maluku. Ikan yang ditangkap selama 5 tahun terakhir sangat beragam. Jumlah spesies ikan yang tertangkap sejak tahun 1998 hingga 2007 mencapai 97 spesies yang terdiri dari pelagis kecil (30 species), pelagis besar (22 species), demersal kecil (25 species), dan demersal besar (10 species). Sumberdaya ikan pelagis kecil didominasi oleh 6 spesies yaitu ikan teri (Stolephorus sp), kembung (Rastrelliger sp), tembang (Sardinella sp), layang (Decapterus sp), selar (Selaroides spp) dan lemuru (Sardinela lemuru). Sedangkan ikan pelagis besar didominasi oleh 6 species antara lain: cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus sp), tenggiri (Scomberomorus sp) tongkol (Auxis thazard), layur (Istiophorus sp), (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2008). Alat penangkapan ikan yang dominan di Maluku yakni pukat cincin, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan. Menurut Monintja et al. (2001), bahwa alat tangkap sebagai komponen teknologi yang dijadikan standar perbandingan untuk kepentingan keberlanjutan perikanan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang
156
diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah, dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
5.2.1 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan ditinjau dari segi biologi adalah dalam upaya konservasi stok ikan untuk menghindari tangkap lebih (King and Ilgorm 1989 dalam Hermawan 2006). Dengan kata lain bahwa untuk keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan upaya agar tidak terjadi tangkap lebih melalui konservasi stok ikan. Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi terhadap jenis unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Maluku menghasilkan pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan, pancing tonda sebagai prioritas utama, kedua, dan ketiga diikuti oleh purse seine, bagan dan pukat pantai pada posisi berikutnya. Alat tangkap huhate memiliki CPUE lebih besar bila dibandingkan dengan alat tangkap lain, begitu pula jumlah trip (58.909,2) lebih unggul dari jaring insang permukaan (720,49) dan pancing tonda (393,27). Sedangkan untuk kategori komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) menempatkan bagan (skor 5) pada urutan pertama dan diikuti oleh pukat cincin (skor 3) dan pukat pantai (skor 3). Kelemahan dari huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan adalah hanya menangkap ikan tertentu dengan ukuran yang hampir seragam, seperti cakalang, tuna. Sementara untuk ukuran ikan yang layak tertangkap secara biologi menempatkan alat tangkap ikan pelagis besar seperti huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3) dan jaring insang permukaan (skor 3) sebagai yang terbaik dibandingkan dengan alat tangkap ikan pelagis kecil yang hampir menangkap semua jenis ukuran ikan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan sumberdaya ikan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriawan (2008) di perairan Kabupaten Pandeglang yang menempatkan pukat cincin sebagai prioritas utama pengembangan, dan jaring insang menempati urutan kedua. Perbedaan ini disebabkan karena untuk daerah Pandeglang untuk komposisi hasil tangkapan menduduki urutan pertama, sedangkan Provinsi Maluku, huhate menduduki urutan utama.
155
Semakin kecil nilai prioritasnya untuk komposisi hasil tangkapan, mengakibatkan semakin buruk nilai prioritasnya. Hal ini disebabkan karena alat tangkap ikan pelagis kecil dengan ukuran mata jaring yang hampir sama (0,25 mm) untuk pukat pantai dan bagan akan sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan pelagis kecil dari faktor biologi. Hal ini berbanding terbalik dengan alat tangkap ikan pelagis besar yang sebagian besar sebagai alat tangkap ramah lingkungan. Khususnya untuk jaring insang permukaan dengan ukuran mata jaring (4 sampai 7 inchi) khususnya menangkap jenis ikan pelagis besar yang sesuai dengan ukuran mata jaring. Sementara untuk alat huhate dan pancing tonda, walaupun komposisi hasil tangkapan yang diperoleh tidak sebanyak alat tangkap pukat cincin namun dari aspek biologi lebih baik dibandingkan pukat cincin karena ikan yang tertangkap mempunyai ukuran yang sama serta sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan. 5.2.2 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek teknis Seleksi berdasarkan aspek teknis, memprioritaskan pancing tonda sebagai prioritas dan diikuti oleh jaring insang permukaan, huhate, pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda lebih
diprioritaskan karena lebih mudah
dioperasikan dan memiliki selektivitas yang tinggi dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Aspek teknis ini sama dengan hasil penelitian Heriawan (2008) di perairan Pandeglang, dimana prioritas pertama berdasarkan aspek teknis di perairan tersebut yang layak untuk dikembangkan adalah untuk alat tangkap pancing sedangkan pukat cincin menempati urutan prioritas kedua. Menurut Widodo dan Suadi (2006), dalam suatu usaha penangkapan atas suatu stok ikan maka tertangkap pula stok lainnya sebab usaha penangkapan dilakukan pada perikanan multi jenis akan terdapat adanya tangkapan sampingan (bycatch). Pada aspek biologi, pukat pantai dan bagan sebagai prioritas akhir dan merupakan unit penangkapan yang tergolong tidak selektif, namun dari berbagai data dan informasi belum ditemukan tingkat kerusakan sumberdaya di perairan Maluku sebagai akibat dari pengoperasian alat tangkap tersebut. Di Maluku penangkapan ikan dengan pukat cincin menggunakan alat bantu penangkapan
156
berupa rumpon, sedangkan pada malam hari menggunakan alat bantu lampu (light fishing). Pengoperasian alat tangkap (X1) untuk jenis alat huhate, pancing tonda, jaring insang sangat sulit namun nelayan masih mampu mengatasinya sehingga unggul dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan. huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3), jaring insang (skor 3) unggul dalam pengoperasian alat tangkap sedangkan sedangkan daya jangkau operasi penangkapan alat tangkap juga mempunyai skor yang sama masing-masing skor 5. Hal ini disesuaikan dengan hasil skoring sesuai jawaban nelayan responden terhadapnya. Sedangkan untuk daya jangkau pengoperasian alat tangkap ikan pelagis besar pada umumnya lebih jauh (>5mil) bila dibandingkan dengan alat tangkap pelagis kecil yang pengoperasiannya di daerah pantai (<5mil). Lingkungan fisik sangat berpengaruh terhadap semua jenis alat tangkap terutama pada alat tangkap ikan pelagis besar dengan daerah penangkapan yang jauh memungkinkan kapal penangkap harus laik laut. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif karena tujuan penangkapannya adalah ikan-ikan yang sifatnya bergerombol. Walaupun produktifitasnya lebih tinggi daripada jaring insang tetapi dari teknik pengoperasian alat, jaring insang merupakan alat tangkap yang lebih mudah dioperasikan dan lebih ramah lingkungan karena selektivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan pukat cincin. Bagan juga merupakan alat tangkap yang produktif tetapi tidak selektif dan pengoperasiannya lebih sulit daripada jaring insang. Alat tangkap bagan di perairan Maluku menggunakan lampu petromaks sebagai sumber cahaya karena ikan umpan bersifat phototaxis positif sehingga dengan adanya sumbercahaya maka ikan akan berkumpul dan proses penangkapan dapat dilakukan. Alat tangkap huhate, pukat cincin, pancing tonda menggunakan teknologi alat bantu penangkapan yang lengkap bila dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Pukat pantai didalam pengoperasiannya menggunakan tenaga manusia sebanyak 12 orang untuk menarik alat tangkap tersebut, sementara alat tangkap bagan
dalam pengoperasiannya, saat seting maupun hauling hanya
membutuhkan tenaga 2 sampai 3 orang.
155
5.2.3 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek sosial Pada aspek sosial, menempatkan huhate dan pukat cincin sebagai prioritas pertama dan kedua dalam pengembangan disusul pancing tonda, jaring insang, pukat pantai dan bagan. Hal ini disebabkan karena huhate dan pukat cincin menyerap lebih banyak tenaga kerja, kesempatan kerja lebih besar serta memberikan upah yang lebih besar bagi tenaga kerja dibandingkan dengan jaring insang, pukat cincin, jaring insang, bagan. Huhate unggul untuk semua kriteria penilaian baik itu respon penerimaan alat baru, tingkat pendidikan, konflik antar nelayan, pengalaman kerja, serta jumlah tenaga kerja. Sering terjadi konflik nelayan antar alat tangkap pukat cincin di daerah penangkapan. Penyebab terjadinya konflik adalah keberadaan alat bantu penangkapan (rumpon) yang terdapat di fishing ground. Sementara alat tangkap pukat pantai walaupun unggul dalam penyerapan tenaga kerja, tetapi kelemahannya terdapat pada tingkat pendidikan (skor1) tidak terlalu trampil serta pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 1). Pancing tonda dan jaring insang unggul pada empat kriteria penilaian respon penerimaan alat tangkap baru (skor 5) (Y1), tingkat pendidikan (skor 5) (Y2), konflik antar nelayan (skor 5) (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 5) (Y4) sementara Y5 (jumlah tenaga kerja) (skor 5) alat tangkap ini hanya membutuhkan 2 sampai 3 orang nelayan. Walaupun alat tangkap bagan unggul pada kriteria penerimaan alat tangkap baru, justru nelayan yang mengoperasikan alat ini hampir seluruhnya lulusan sekolah dasar. Di perairan Pandeglang, purse seine juga menempati urutan prioritas pengembangan dan bagan menempati urutan berikutnya (Heriawan 2008). Satu hal yang perlu mendapat perhatian sebagaimana dikatakan Panayotou (1992) diacu dalam Suyasa et al. (2007), bahwa pada umumnya di negara sedang berkembang khususnya pada perikanan skala
kecil,
peluang
untuk
mendapatkan
pekerjaan
lain
(employment
opportunities) bagi nelayan tidak ada. Hal ini mengakibatkan upaya penangkapan yang beroperasi di perairan cenderung lebih besar sehingga jumlah nelayan yang terlibat juga semakin besar. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup nelayan adalah dengan menjaga kelangsungan hidup dengan meningkatkan efisiensi serta mengganti
156
kapal dengan ukuran yang lebih besar. Cara tersebut selain dapat menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih juga dapat meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Karunia et al. (2008), mengatakan bahwa arah pembangunan nasional harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan, yakni dengan cara: 1) modal usaha untuk mengembangkan kewirausahaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3) penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, oleh karena itu model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil menggunakan ketiga indikator tadi. 5.2.4 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek ekonomi Pancing tonda menempati prioritas pertama pengembangan setelah dilakukan seleksi berdasarkan aspek ekonomi. Prioritas kedua adalah huhate, jaring insang permukaan pada posisi ketiga, kemudian yang terakhir adalah pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda dan huhate unggul pada semua kriteria penilaian penerimaan kotor per trip (Z1),
penerimaan kotor per jam
operasi (Z2), penerimaan kotor per alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4), dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Penerimaan kotor per trip pancing tonda Rp 3.750.000, huhate Rp 15.000.000, sedangkan penerimaan per bulan pancing tonda Rp 56.250.000, huhate Rp 192.000.000. Hal ini disebabkan karena pada kedua alat ini penerimaan yang diterima, baik penerimaan kotor/trip operasi, penerimaan kotor/jam, penerimaan kotor alat tangkap/bulan, penerimaan kotor/tahun melampaui hasil penerimaan yang diterima dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan dan jaring insang permukaan. Penerimaan kotor per trip pukat cincin (Rp3.600.000), pukat pantai (Rp 150.000), bagan (Rp 180.000), penerimaan per bulan pukat cincin (Rp 49.000.000), pukat pantai (Rp 2.400.000), dan bagan (Rp 3.750.000). Pukat pantai merupakan alat tangkap yang menduduki urutan paling rendah dalam memenuhi semua kriteria penilaian. Modal yang dibutuhkan untuk 1 unit pukat pantai adalah Rp. 65.000.000. Hal ini tentunya membutuhkan kerja keras dari nelayan, apabila hal ini tidak tercapai maka tentunya nelayan akan mengalami kerugian yang besar. Alat tangkap bagan walaupun tidak unggul pada penerimaan kotor/trip,
155
penerimaan kotor/bulan (skor 1) namun alat ini unggul pada penerimaan kotor/tahun, penerimaan kotor/tenaga kerja (skor 3). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pukat cincin merupakan alat tangkap yang efektif dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Cina Selatan tidak terlepas dari perkembangan alat tangkap pukat cincin pasca pelarangan alat tangkap trawl memperlihatkan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif, efektif dan efisien (Atmaja, Wiyono dan Nugroho 2001). Suyasa et al. (2007) mengatakan bahwa alat tangkap pukat cincin merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan pelagis kecil sehingga dipergunakan sebagai alat tangkap baku dalam mengevaluasi status perikanan pelagis kecil di perairan Laut Jawa 5.2.5 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Penentuan prioritas pengembangan kegiatan perikanan di suatu daerah tidak hanya dilihat dari satu atau dua aspek tetapi dari berbagai macam aspek yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kegiatan tersebut. Demikian pula pada kegiatan pengembangan perikanan pelagis
di perairan Maluku, ditentukan
dengan menganalisis semua aspek yakni biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Setelah menganalisa keempat aspek tersebut maka hasil yang diperoleh adalah prioritas pertama pengembangan pada unit penangkapan huhate. Hal ini disebabkan karena huhate unggul pada aspek biologi (736,46), sosial (2,7). Sementara pancing tonda pada urutan kedua dan unggul pada aspek teknis (2, 21) dan aspek ekonomi (2,9) serta jaring insang permukaan menduduki prioritas ketiga dalam pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku. Sejalan dengan tujuan strategis pengembangan perikanan pelagis di Provinsi Maluku yang memprioritaskan peningkatan jumlah hasil tangkapan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka prioritas pengembangan pancing tonda, huhate, jaring insang, serta pukat cincin merupakan suatu alternatif yang paling efektif untuk mendukung tujuan strategis tersebut. Haluan dan Nurani (1988) menyatakan bahwa pukat cincin adalah unit penangkapan ikan pelagis yang paling produktif. Demikian pula, Yuliansyah (2002) menyatakan bahwa
156
pukat cincin merupakan unit penangkapan yang tepat dikembangkan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Heriawan (2008) dalam menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Pandeglang juga memprioritaskan purse seine sebagai yang pertama. Tujuan pengembangan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan pada dasarnya dengan tidak mengabaikan faktor keberlanjutan dan faktor ramah lingkungan. Faktor keberlanjutan tersebut berkaitan dengan perikanan tangkap yang bertanggungjawab, karena bila hanya mementingkan keinginan saat ini dengan melakukan penangkapan berlebih (over exploited) dan eksploitasi yang hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya ditakutkan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, bahkan penurunan hasil tangkapan. Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang menyangkut beberapa aspek, seperti ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat subsidi, kontribusi perikanan, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch. Kesteven (1973) dan Monintja (2000) diacu dalam Wisudo (2008) mengemukakan bahwa komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut
sangat
menentukan
upaya
mewujudkan
perikanan
tangkap
bertanggungjawab. Pengembangan perikanan bertanggungjawab pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, memenuhi kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya.
155
5.2.6 Aspek berkelanjutan berdasarkan CCRF Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek kelanjutan di perairan Maluku adalah pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, pukat udang, payang, pukat tarik, rawai, perangkap. Pancing tonda berpotensi untuk dapat dikembangkan di perairan Maluku setelah dianalisis berdasarkan aspek berkelanjutan sumberdaya ikan serta pemanfaatannya. Untuk kriteria memenuhi ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, pancing tonda memiliki skor 4 karena sesuai dengan persyaratan CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum adat yang selalu mengedepankan pelestarian sumberdaya. Pancing tonda memiliki memiliki keunggulan pada lima (5) kriteria penilaian penangkapan berkelanjutan dengan total skor tertinggi 23, nilai rata-rata 3,83 dan memperoleh skor 4 pada menerapkan kriteria teori ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, menguntungkan, penggunaan BBM rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kriteria yang menjadi kekurangan dari alat tangkap ini adalah investasi rendah (skor 3). Hal ini disebabkan karena untuk membuat 1 unit pancing tonda (kapal, alat tangkap, mesin) dibutuhkan biaya Rp 36.500.000. Huhate didalam pengoperasiannya, dilakukan di lautan bebas sehingga tidak mempengaruhi lingkungan sekitarnya serta memperoleh keuntungan yang cukup besar (Rp 25.000.000 sampai Rp 50.000.000/bulan), oleh karena itu alat tangkap ini dianggap menguntungkan. Selain itu alat tangkap ini juga tidak dioperasikan pada daerah karang sehingga tidak mempengaruhi ekosistim di daerah ini sehingga hal ini sangat berhubungan erat dengan kaidah pemanfaatan sumberdaya laut menurut CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum laut. Huhate mempunyai skor 22 dan jaring insang permukaan dengan skor 18 dianggap sebagai alat tangkap yang menduduki ranking kedua dan ketiga sebagai alat tangkap berkelanjutan. Pada alat tangkap jaring insang permukaan mempunyai kekurangan hanya terjadi pada penggunaan bahan bakar (skor 2) karena pada kapal/perahu yang digunakan hanya menggunakan mesin 25PK bila dibandingkan dengan kapal huhate ( mesin inboard) maupun pancing tonda 40 PK sehingga membutuhkan biaya bahan bakar yang besar.
156
Perangkap/bubu dengan hasil skor 18 dengan nilai tinggi (skor 4) untuk kriteria jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, investasi rendah, serta penggunaan bahan bakar rendah (BBM). Pada prinsipnya operasi penangkapan bubu dilakukan hanya pada satu tempat dengan ukuran ikan yang tertangkap relatif tidak terlalu besar dan hasil tangkapannya sedikit. Kriteria investasi rendah karena dapat dibuat dengan biaya yang relatif kecil (
155
maupun besar yang ada di sekitar wilayah pantai. Biaya investasi (skor 2) yang dibutuhkan oleh pukat tarik di perairan Maluku diperkirakan sekitar Rp 1.000.000 sampai Rp 2.000.000.
5.2.7 Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF Hasil seleksi aspek ramah lingkungan terhadap alat tangkap yang beroperasi di perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, rawai, payang, pukat cincin, perangkap, dan bagan. Sedangkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan adalah pukat pantai, pukat tarik, pukat udang. Pancing tonda merupakan alat tangkap yang cukup sempurna (skor 3,55) dalam penilaian terhadap alat tangkap ramah lingkungan karena alat tangkap ini dapat mewakili semua kriteria-kriteria penilaian terhadap aspek ramah lingkungan. Huhate termasuk dalam alat tangkap ramah lingkungan karena alat ini memenuhi kriteria selektifitas tinggi dan produknya tidak membahayakan konsumen (skor 4). Hal ini disebabkan karena alat ini hanya juga menangkap jenis ikan tertentu saja sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan serta produk hasil tangkapan juga tidak membahayakan konsumen. Alat tangkap ini termasuk bersama dengan jenis pancing lainnya seperti pancing tonda, handline, multiple handline yang dikategori sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan Jaring insang permukaan (skor 3,22) merupakan alat tangkap yang sangat ramah lingkungan karena alat ini juga cukup mendukung terhadap aspek ramah lingkungan. Alat ini mempunyai selektivitas yang tinggi dan tidak berpengaruh terhadap nelayan (skor 4). Hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat tangkap ini hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Jaring insang yang dipergunakan adalah berukuran mata 4 sampai 7 inci sehingga hanya untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pukat cincin termasuk alat tangkap yang harus diperhitungkan terhadap penilaian kriteria ramah lingkungan karena alat ini hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3), serta by catch dan discard minim (skor 3). Produk dari pukat cincin tidak destruktif, by catch rendah serta jenis ikan hasil tangkapan alat ini berupa jenis ikan pelagis kecil (kembung, layang, selar, teri dan
156
lain-lain). Hasil tangkapan dari alat ini mendominasi 60 % semua pasar lokal di daerah Maluku, khususnya kota Ambon. Produk rawai dipastikan aman bagi konsumen, hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat ini tidak menggunakan bahan berbahaya seperti: potasium, bahan peledak untuk memperoleh hasil tangkapan sehingga dapat dikatakan aman bagi konsumen, sedangkan skor 3 untuk kriteria dapat diterima secara sosial di masyarakat karena pengusahaan rawai hanya membutuhkan biaya kecil, menguntungkan, serta tidak bertentangan dengan budaya serta memenuhi peraturan perikanan yang berlaku. Bagan juga memiliki kriteria penilaian tidak destruktif terhadap habitat (skor 3), hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), serta produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3). Alat tangkap bagan ini dalam pengoperasiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap habitat di sekelilingnya karena pengoperasiannya di laut lepas. Hasil tangkapan yang diperoleh cukup berkualitas tinggi dari jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan teri, kembung, layang. Di daerah Maluku khususnya pengoperasian bagan sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat tangkap huhate karena ikan umpan yang diperoleh dari alat tangkap ini dipergunakan sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan cakalang. Harga ikan pelagis kecil yang dipergunakan sebagai ikan umpan untuk penangkapan cakalang sekitar Rp 40.000/ember. Pukat pantai merupakan unit penangkapan yang cenderung merusak lingkungan dibandingkan dengan alat tangkap lainnya di perairan Maluku. Jenis alat tangkap pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, merupakan alat tangkap yang cenderung merusak lingkungan dengan skor masing-masing 16. Pukat pantai mempunyai selektifitas yang terendah dan kurang diterima di masyarakat (skor 1). Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini mempunyai ukuran mata jaring yang cukup kecil (0,25 inci) tentunya semua jenis ikan dari fase pertumbuhan sampai dewasa akan tertangkap oleh alat ini. Pukat tarik, pukat pantai mempunyai sifat destruktif yang tinggi (skor 1) terhadap habitat karena semua habitat biota laut yang terperangkap dalam alat tangkap ini minimal akan mengalami rusak (jika tidak tertangkap) pada saat jaring ini tidak ditarik.
155
Hasil analisis linear goal programming memperlihatkan terjadi penurunan jumlah alat penangkapan ikan pelagis seperti: pukat cincin, bagan, pukat pantai di perairan Maluku. Hal ini disebabkan karena jumlah ketiga alat tangkap ini tidak memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada keberlanjutan sumberdaya yang ada. Hasil analisis liniear goal programming memperlihatkan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap alat tangkap yang menangkap ikan pelagis. Alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan mengalami penurunan masing-masing: 15, 175, dan 240 unit untuk mencapai alokasi optimal, sedangkan huhate, pancing tonda dan jaring insang mengalami penambahan sebesar 1053 unit, 13469 unit, dan 17339 unit. Implikasi yang terjadi akibat penambahan jumlah alat tangkap di perairan Maluku berpengaruh terhadap potensi sumberdaya ikan, jumlah tenaga kerja, sedangkan implikasi akibat pengurangan jumlah alat tangkap dilakukan mengingat jenis alat-alat tangkap ini dalam pengoperasiannya tidak mengikuti aturan-aturan sesuai dengan kriteria penangkapan ikan berkelanjutan yang telah ditetapkan.
Dalam
perspektif
pengelolaan
sumberdaya
berkelanjutan,
pengurangan terhadap jumlah alat tangkap adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan perbaikan teknologi tepat guna dari masing-masing alat tangkap sehingga keberadaan stok sumberdaya yang ada dapat berkelanjutan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Perbaikan teknologi tepat guna yang dilakukan ini didasarkan pada keberlanjutan usaha yang dilakukan seperti: 1) menangkap ikan dengan ukuran jaring yang sesuai, 2) tidak merusak ekosistim perairan, 3) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, 4) penggunaan teknologi penangkapan sesuai jenis ikan yang ditangkap, 5) serta dapat diterima secara sosial. Hasil analisis goal programming tidak merekomendasikan pukat cincin untuk dikembangkan berdasarkan solusi optimal basis, sehingga perlu pengurangan jumlah armada sebanyak 15 unit dari jumlah alokasi aktual (272 unit). Hal ini dilakukan karena alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pada kondisi ini perlu perhatian serius dari
stakeholder sehingga potensi sumberdaya tersebut dapat dikelola secara
156
optimal. Pengurangan jumlah pukat cincin ini perlu dilakukan dengan memperhatikan perubahan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan Maluku. Pada kondisi access capacity yang bersifat jangka pendek, unit penangkapan tersebut secara individual tidak menerapkan prinsip penangkapan berwawasan lingkungan, akan tetapi nelayan ingin memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya dalam penangkapan ikan tanpa memperhatikan stok ikan yang ada. Disisi lain walaupun terjadi pengurangan jumlah alat tangkap, namun diusulkan solusi untuk pengembangan untuk alat tangkap ini berupa desain teknologi tepat guna yang dapat memabntu nelayan dalam mengelola sumberdaya antara lain: 1) perubahan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 2) ukuran kapal diperbesar, 3) serta penggunaan “winch” sebagai alat bantu penangkapan. Perubahan ini dilakukan sehingga sumberdaya dapat dikelola secara optimal mengingat selama ini nelayan pukat cincin Hasil analisis juga menunjukkan terjadi pengurangan terhadap jumlah alat tangkap pukat pantai sebesar 175 unit dari jumlah aktual 435 unit. Pengurangan terhadap alat tangkap ini dilakukan karena alat ini merupakan alat tangkap yang tidak efektif dan efisien mengingat alat ini merusak sumberdaya yang ada. Solusi yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan “boouke ami”. “Boouke ami” adalah jenis alat tangkap yang menggunakan sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan umpan dan digunakan pada pengoperasian alat tangkap huhate. Alat tangkap ini dapat dipakai pada kapal huhate sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pukat pantai dapat terhindari. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap bagan sebanyak 240 unit dari hasil analisis berdasarkan solusi optimal basis (1659 unit) adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan menempatkan bagan pada jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh instansi terkait. Kebijakan pengurangan terhadap alat tangkap bagan dilakukan sangat perlu dilakukan karena selama ini nelayan bagan dalam penempatan alat ini dilakukan pada daerahdaerah yang mengganggu alur pelayaran. Kebijakan yang dilakukan terhadap pengurangan jumlah armada dapat menimbulkan dampak bagi nelayan dan harus
155
mendapat perhatian serius, ditinjau dari aspek sosial dan tenaga kerja, dimana sebagian nelayan bagan akan kehilangan pekerjaan. Apabila terjadi pengurangan jumlah nelayan terhadap alat tangkap tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap untuk mencegah terjadinya konflik nelayan. Disamping itu, perlu penanganan yang lebih serius oleh instansi terkait dalam penyediaan lapangan pekerjaan alternatif yang efektif bagi nelayan yang bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan jumlah alat tangkap huhate sebanyak 1053 unit dari kondisi aktual 404 unit sehingga untuk mencapai hasil berdasarkan solusi optimal basis sebanyak 1457 unit. Solusi yang dilakukan terhadap pengembangan alat tangkap huhate ke depan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap dan perbaikan desain teknologi alat tangkap dan kapal, serta perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Perbaikan teknologi penangkapan ikan seharusnya sudah dimulai dari sekarang sehingga produk yang dihasilkan dapat di eksport keluar negeri. Pengembangan alat tangkap ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan seperti: 1) ukuran kapal diperbesar, 2) perbaikan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 3) serta perubahan teknologi penangkapan. Perubahan terhadap alat tangkap ini dilakukan sehingga dapat mengelola sumberdaya ikan pelagis besar secara efektif dan berkesinambungan. Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan alat tangkap huhate berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, antara lain: 1) sumberdaya ikan pelagis kecil cukup potensial, 2) teknologi penangkapan lebih baik dikuasai oleh nelayan lokal, 3) armada dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh dari basis penangkapan, 4) lebih produktif, 5) penyerapan tenaga kerja lebih besar. Solusi yang dilakukan mengingat pengembangan alat tangkap ini sangat efektif dilakukan bila ditinjau dari faktor lingkungan dan aspek sumberdaya, karena pada prinsipnya ikan yang tertangkap dengan alat ini sangat efektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan di lokasi sampel, ukuran mata kail yang digunakan nelayan berukuran 1000 terutama dilakukan khusus untuk menangkap ikan pelagis besar.
156
Kebijakan penambahan berdasarkan hasil analisis terhadap alat pancing tonda sebanyak 13469 unit dari alokasi aktual 27471 unit untuk mencapai solusi optimal basis 40940 unit. Hal ini perlu dilakukan karena alat ini merupakan jenis alat tangkap yang mempunyai selektifitas tinggi, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat, serta menguntungkan. Beberapa solusi yang dilakukan terhadap alat ini adalah dengan perbaikan teknologi dalam proses penangkapan seperti: 1) penggunaan metode “layang-layang” dalam penangkapan ikan, 2) perbaikan desain cool box yaitu dengan penggunaan styrofoam, 3) perbaikan ukuran kapal (ukuran kapal di perbesar). Hal ini perlu dilakukan karena akhir-akhir ini semakin banyak permintaan akan ikan pelagis besar di pasaran domestik maupun internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah alat tangkap jaring insang permukaan di perairan Maluku sebesar 17339 unit dari kondisi aktual 12661 untuk mencapai solusi aktual basis sebanyak 30000 unit. Pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan mengingat alat tangkap ini merupakan salah satu diantara alat tangkap ikan pelagis besar yang tidak merusak lingkungan. Kebijakan penambahan ini dilakukan agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring insang permukaan sangat selektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis besar adalah 4 sampai 7 inchi, terutama untuk menangkap ikan cakalang, ikan tongkol, serta ikan tuna. Namun, tingkat penyerapan tenaga kerja nelayan dan produktifitas pada alat tangkap ini tergolong rendah. Solusi pengembangan jaring insang permukaan ke-depan dapat dilakukan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap, perbaikan desain kapal, perbaikan teknologi alat tangkap yang produktif, dan perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku memerlukan suatu kondisi pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan berkesinambungan dari berbagai stakeholder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif
155
kabupaten/kota di Maluku. Dalam rangka pengembangan potensi sumberdaya ikan ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupaten/kota cenderung menentukan sendiri besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan, tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari suatu perairan ke perairan lainnya sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Penambahan unit penangkapan dapat dilakukan dengan memperbesar armada penangkapan dan perluasan daerah penangkapan ikan. Armada penangkapan yang lebih besar dibutuhkan agar dapat menjangkau daerah penangkapan ikan di luar zona pantai, karena selama ini daerah penangkapan ikan terbatas hanya pada daerah pantai. Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengendalian dan pengawasan tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap. Kebebasan
pemanfaatan
dan
kesulitan
pengawasan
terhadap
unit
penangkapan yang mengelola sumberdaya perikanan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) pelagis kecil maupun besar secara terpadu oleh kabupaten/kota yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan akan memberikan arah yang jelas, terorganisir sehingga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dapat dimanfaatkan. Penyususan RPP seharusnya melibatkan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola sumberdaya. Keterlibatan seluruh stakeholder dalam proses penyusunan dengan sendirinya
mendorong
proses
peningkatan
“rasa
memiliki”
secara
bertanggungjawab untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan (Martosubroto 2007). Pembangunan perikanan di Maluku pada dasarnya mengacu pada kebijakan perikanan nasional tahun 2005 sampai 2009 dengan inti kebijakan tersebut adalah: 1) menjadikan perikanan tangkap sebagai andalan perekonomian dengan
156
membangkitkan industri perikanan nasional, 2) rasionalisasi, nasionalisasi, dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dan keberpihakan pada nelayan lokal maupun perusahan nasional, 3) mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih proaktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkelanjutan. Intinya pada tingkat provinsi, kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan adalah termanfaatkan potensi secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program pembangunan yang dikembangkan sesuai tujuan pembangunan perikanan di Maluku. Perkembangan
teknik
penangkapan
modern,
terutama
semenjak
diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern. Berdasarkan teknik dan alat penangkapan nelayan tradisional adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang efektif, cenderung bersifat subsistem, dan secara geneologi telah menekuni aktifitas tersebut secara turun temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi citra satelit. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan yang dilakukan, namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan sehingga tanpa adanya perubahan tersebut maka modernisasi dan peningkatan kapasitas penangkapan menjadi kontraproduktif.
155
Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi juga perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Teknologi yang relefan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif.
5.3 Kendala pengembangan perikanan tangkap di perairan Maluku Pengembangan
teknologi
alat
penangkapan
ikan
dalam
rangka
pemberdayaan masyarakat nelayan di perairan Maluku menghadapi beberapa kendala yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, antara lain: (1)
Pendidikan Eksistensi sumberdaya manusia (SDM) dalam pengelolaan perikanan tidak
dapat diabaikan. SDM memiliki multiflyer effect yang besar terhadap berbagai bidang dalam praktek kehidupan manusia berupa sikap, mental, manajerial dan keterampilan, sehingga kualitas SDM sangat menentukan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan perikanan di daerah tersebut. Pada tahun 2006 jumlah nelayan di Provinsi Maluku berjumlah 114.630 orang dengan struktur pendidikan yang beragam, yang paling dominan adalah tamatan Sekolah Dasar bahkan banyak nelayan juga yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dampak dari struktur pendidikan yang demikian adalah pada tingkat kemampuan nelayan untuk menerima teknologi baru, apalagi sampai tingkat teknologi modern selain itu juga mempengaruhi kemampuan dalam mengatur pendapatan sehingga nelayan terus terbelenggu dalam kemiskinan secara permanen khususnya kemiskinan struktural.
156
Konsekuensi
lain
rendahnya
tingkat
pendidikan
nelayan
adalah
menyebabkan rendahnya pengetahuan nelayan tentang pelestarian lingkungan pesisir dan laut, sehingga kadang-kadang berperilaku negatif dan tidak bertanggung jawab. Hal ini demikian kemudian menyebabkan kerusakan terus meningkat. Pendidikan pada hakekatnya merupakan human investment dan sosial capital bagi kepentingan pembangunan di daerah. Pengembangan SDM seharusnya sudah dimulai dari sekarang serta dijadikan sebagai program utama pemerintah. Sebagaimana yang diamanatkan dalam CCRF tentang pentingnya peningkatan SDM bahwa setiap negara harus mengakui dan menyadari bahwa nelayan dan pembudidaya patut mendapatkan pemahaman yang benar tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw 2002). Peningkatan kualitas SDM nelayan dapat dilakukan melalui tiga hal utama, yaitu 1) peningkatan kualitas sumberdaya anak buah kapal (ABK); 2) pemberian pelatihan teknologi dan pengelolaan usaha perikanan skala kecil dan menengah; 3) pemberian intensif modal usaha bagi kegiatan perikanan rakyat yang prospek lebih baik (Dahuri 2001). (2)
Teknologi penangkapan Pemanfaatan sumberdaya ikan pada tingkat optimum dibutuhkan dukungan
teknologi penangkapan yang modern, akan tetapi teknologi penangkapan yang digunakan di perairan Maluku masih bersifat turun temurun dan dalam operasi penangkapan lebih dominan menggunakan insting, sehingga produktifitas hasil tangkapan sangat terbatas. Operasi armada penangkapan terjauh yang dilakukan di perairan Maluku pada jarak >10 mil kearah laut itupun masih dilakukan oleh armada huhate, pukat cincin, serta pancing tonda dengan jumlah sangat terbatas. Peningkatan hasil tangkapan dilakukan dengan perbaikan teknologi sehingga mampu menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Beberapa teknologi yang dapat membantu dalam pengoperasian alat tangkap pukat cincin seperti penggunaan alat bantu wings sebagai alat penarik tali kolor pada pukat cincin. Penggunaan desain cool box pada kapal pancing tonda dan desain palka dengan penambahan styrofoam pada kapal huhate sangat membantu nelayan dalam penanganan hasil tangkapan karena belakangan ini permintaan ikan ekspor semakin besar. Demikian pula teknologi sederhana lain yang dapat dikembangkan
155
pada alat tangkap pancing tonda, adalah penggunaan layang-layang dalam proses penangkapan ikan tuna. Hal ini sangat membantu nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap tersebut karena dengan menggunakan metode ini lebih efektif karena tidak terpengaruh oleh suara bising yang diakibatkan oleh mesin pendorong. (3)
Pelabuhan perikanan Fasilitas perikanan pada prinsipnya berperan sebagai fasilitas penunjang
untuk
meningkatkan
produksi
perikanan.
Pendukung
kegiatan
operasi
penangkapan ikan keberadaannya sangat penting dalam mendukung usaha perikanan tangkap. Fungsi
dari pelabuhan perikanan
maupun pangkalan
pendaratan ikan (PPI) diantaranya sebagai tempat mendaratkan hasil tangkapan serta tempat berlabuhnya armada penangkapan ikan. Bila ditinjau dari faktor geografis maka keberadaan PPN di Tantui serta PPI di desa Eri di Kota Ambon memiliki arti yang strategis karena berada di zona pemukiman masyarakat pantai serta aktifitas perdagangan yang merupakan bagian dari perkembangan desa. (4)
Ketersediaan bahan bakar minyak Bahan bakar minyak (BBM) merupakan input produksi yang sangat vital
bagi nelayan baik skala kecil maupun skala industri yang ada pada suatu daerah. Ketergantungan nelayan terhadap ketersediaan BBM sangat tinggi, hal ini dapat dipahami oleh adanya kenyataan bahwa biaya operasional melaut terbebani oleh kebutuhan BBM. Kebutuhan BBM di perairan Maluku selama ini dipasok dari Depot Pertamina Waiyame serta SPBU di Kota Ambon. Jarak yang ditempuh angkutan BBM sampai ke desa-desa pesisir di pulau Ambon cukup jauh mengakibatkan harga jual BBM jauh melebihi harga eceran resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebanyakan tidak memiliki uang tunai untuk membeli BBM langsung di SPBU, sehingga mereka membeli dan meminjamkan uang dari dari para punggawa dengan harga Rp 5000 sampai Rp 5.500/liter. Harga yang sudah berlaku ini makin diperparah dengan kenaikan harga BBM sehingga dapat mempengaruhi nelayan dalam mengelola usaha pada bidang perikanan tangkap. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan campur tangan pihak pemerintah dalam menangani masalah yang dihadapi oleh nelayan, yaitu dengan solusi
156
pembangunan depot minyak pada desa yang masyarakatnya didominasi oleh nelayan.
5.4
Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis didasarkan pada
pendekatan analisis lingkungan strategis (LINSTRA) yang meliputi: kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Analisis LINSTRA pengembangan perikanan pelagis
mengacu pada logika
bahwa institusi atau organisasi yang berwenang bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya serta selalu berada dalam satu sistem yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain sehingga untuk menghasilkan rencana pengelolaan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan maka perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategi berdasarkan analisis (LAN-RI 2007). Analisis tersebut bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasikan kegiatan yang dibuat organisasi. Hasil kajian berdasarkan analisis LINSTRA dapat memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat digunakan sebagai acuan pengembangan perikanan pelagis di daerah Maluku. Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya ikan pelagis di Provinsi Maluku, antara lain: 1. Strategi strength-opportunity (SO), menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada menempati urutan pertama dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan bertujuan untuk mengupayakan optimalisasi pengembangan usaha perikanan tangkap, khususnya untuk ikan pelagis besar. Penambahan armada huhate sebanyak 1053 unit, pancing tonda 13459 unit, dan jaring insang 17339 unit.
155
Penambahan jumlah armada ini tentunya di sesuaikan dengan kondisi sumberdaya perikanan di daerah ini, sedangkan perubahan teknologi pada alat tangkap ini tentunya diharapkan untuk menambah income bagi nelayan sehingga dalam pengelolaan sumberdaya diharapkan dapat optimal. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar
lokal, maupun regional, yang didukung dengan
produksi sumberdaya ikan pelagis di Maluku yang tinggi dan dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap, umpan dan alat pengumpul ikan (rumpon). Kebijakan 2: Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) atau ketentuan perikanan yang bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukkan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lainlainnya. Adanya eksploitasi yang berlebihan stok ikan penting, modifikasi ekosisitim, kerugian ekonomi yang nyata dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konversi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. 2 Strategi strength-threats (ST) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari ancaman merupakan prioritas kedua dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Melakukan aturan sesuai dengan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon Kebijakan dalam menerapkan aturan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai untuk perikanan skala kecil (pelagis kecil) bertujuan untuk mengupayakan kepemilikkan wilayah dari nelayan pelagis kecil
156
yang melakukan penangkapan pada wilayahnya, yaitu menetapkan hak kepemilikan dari nelayan skala kecil pada alat pengumpul ikan (rumpon) yang dipasang pada suatu perairan. Hal ini perlu karena harus disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Kep.30/Men/2004 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon. Untuk menerapkan kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengurangi kelemahan dan mengeliminasi ancaman dan menghasilkan kebijakan antara keterkaitan pengelolaan usaha perikanan yang masih rendah dengan batas-batas daerah penangkapan yang belum diterapkan. Perijinan pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan aturan Pasal 3 Kep. 30/Men/2004 yang menyatakan bahwa ijin diberikan oleh: 1) Bupati/Walikota untuk pemasangan rumpon di wilayah perairan 2 sampai 4 mil laut, 2) Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang perikanan untuk pemasangan rumpon pada 4 mil – 12 mil laut, dan 3) Direktorat Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk diatas 12 mil sampai ZEE Indonesia. Output yang diharapkan adalah pemasangan dan pemanfaatan rumpon sesuai dengan Kep 30/Men/2004 dengan harapan pemasangan diperairan Maluku harus teratur, tertata dan terdata dengan baik, pemasangan rumpon memberikan dampak efektifitas khususnya nelayan kecil, kepastian penangkapan sehingga menurunkan biaya operasional sehingga keuntungan meningkat. Penerapan kebijakan ini ditujukkan kepada nelayan yang memiliki perizinan dan diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, sehingga penambahan alat pengumpul ikan dan penangkapan ikan hanya ditujukkan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini dilakukan agar nelayan-nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah tersebut tidak melakukan penangkapan. Selain itu juga penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan sumber konflik antar nelayan. Dalam pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan Pasal 10. Kep/Men/ 2004 tentang posisi penempatan rumpon. Penempatan rumpon harus mengikuti aturan yang mengatakan bahwa orang atau perusahan perikanan dalam pemasangan rumpon harus dengan syarat: 1) tidak mengganggu alur pelayaran, 2) jarak antara satu rumpon dengan rumpon lain tidak kurang dari 10 mil laut, 3)
155
tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zigzag); 4) ketentuan teknik pemasangan pemasangan rumpon selanjutnya harus ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. Kebijakan 2: Memaksimalkan galangan kapal perikanan sebagai sarana pengembangan armada perikanan tangkap Didalam era perdagangan bebas ini dimana terjadi persaingan yang cukup tinggi, maju mundurnya suatu industri manufaktur seperti industri galangan kapal ikan sangat ditentukan oleh produk atau kapal ikan yang dihasilkannya baik dari segi kualitas, harga maupun waktu penyerahan kapal, tanpa memenuhi ketiga kriteria tersebut pihak perusahan akan sulit survive atau berkembang. Demikian pula dialami oleh industri perkapalan nasional, meskipun didalam proses pembuatan kapal sekarang ini tidak kalah dengan industri perkapalan dari luar negeri, akan tetapi menurut para pemakai (domestik) selama ini kapal yang dibuatnya terkesan harganya cukup tinggi dan delivery time sering terlambat, belum lagi masalah bahan baku pembuatan kapal ikan. Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Maluku, khususnya di Tulehu dan beberapa tempat lain bersifat tradisional, terlihat kesan belum profesional dan salah satu penyebabnya adalah kegiatan pengelolaannya belum berjalan dengan baik terutama dalam hal pengawasan, baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan, pengamanan maupun cara mendistribusi ke bengkel-bengkel produksi. Kurang baiknya pengelolaan persediaan peralatan pada galangan kapal tradisional memang perlu dimaklumi, karena sebagian besar dari galangan tersebut dalam pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern secara baik. Dengan kondisi seperti itu tentu akan memberikan dampak negatif terhadap galangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan sulitnya mendapat pesanan, padahal kontinyutas pesanan tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama untuk kapal perikanan. 3 Strategi prioritas ketiga adalah strategi weakness-opportunity (WO), yaitu memanfaatkan peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan yang ada dengan kebijakannya antara lain:
156
Kebijakan 1: Investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil Penguatan struktur industri pengolahan perikanan adalah peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri perikanan tuna dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak dimana aktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama ikan tuna sesuai dengan dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran-mutu, dan jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpanan/cold storage, melakukan pembinaan penanganan mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah, maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap yaitu tuna dan cakalang, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan bisnis yang konsisten, dan yang terakhir; Peran Pemerintah : pemerintah pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutui sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan bisnis perikanan. Kebijakan investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan pelagis bertujuan untuk lebih memajukkan usaha perikanan tangkap. Dengan adanya investor dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang selama ini kurang
memperhatikan
nelayan
di
Maluku,
maka
diharapkan
mampu
meningkatkan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan di Maluku. Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada
155
permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan. Investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki berasal dari nelayan itu sendiri. Adapun pemberian modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi. Kebijakan 2: Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan Pengadaan cold storage ditujukkan untuk menampung ikan-ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Waai, Seri, dan Galala yang mempunyai alat jumlah armada penangkapan pukat cincin, pancing tonda, huhate yang cukup besar. Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna pada armada penangkapan ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung hasil tangkapan. Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan pelagis besar khususnya ikan cakalang dan tuna. Hal ini perlu ditindaklanjuti sehingga hasil tangkapan ikan pelagis yang dipasarkan akan meningkatkan kesejahteraan nelayan disamping menambah devisa bagi daerah maupun negara. 4 Strategi kebijakan prioritas terakhir adalah strategi weakness-threats (WT), yaitu kebijakan yang dilakukan untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari berbagai ancaman dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang ”basic design” kapal
156
penangkapan ikan sehingga memperoleh hasil maksimal diharapkan mengacu pada dua hal dasar yang penting yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Kapal dapat laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang akan diterapkan, terlebih dahulu diketahui jenis ikan yang akan menjadi target penangkapan, mengetahui sifat biologis ikan, sifat migrasi, habitat serta fishing ground dimana ikan itu akan ditangkap. Penerapan teknologi, penggunaan dan penentuan jenis serta ukuran alat tangkap ikan sangat berpengaruh terhadap rancang bangun kapal yang akan digunakan. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jenis dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang akan diterapkan pada saat pengopersian alat tangkap akan berpengaruh langsung kepada rancangan ”basic design” kapal penangkapan ikan. Kebijakan 2: Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan selektifitas alat tangkap Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan bertujuan
untuk
lebih
mengoptimalkan
penangkapan
dengan
lebih
memperhatikan ukuran minimal mata jaring agar ikan hasil tangkapan sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan sumberdaya ikan di perairan Maluku, agar tidak terjadi kelebihan tangkap dalam masa proses pertumbuhan (growth over fishing). Pembangunan sektor perikanan juga tidak terlepas dari dukungan dan keterkaitannya dengan sektor lain. Salah satu infrastuktur yang terkait dengan pengembangan perikanan khususnya perikanan laut adalah Pelabuhan Perikanan (PP), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan berbagai sarana dan prasarana pendukungnya.
Fungsi
pokok
PP/PPI
dalam
dukungannya
terhadap
pengembangan perikanan tangkap diantaranya adalah: (1)
Penyediaan fasilitas distribusi dan pemasaran (dermaga, Tempat Pelelangan Ikan)
155
(2)
Penyediaan fasilitas pengolahan/penanganan pasca panen (cold storage, cool room, kawasan industri perikanan seperti industri pengalengan, industri tepung ikan)
(3)
Penyediaan fasilitas perbekalan melaut (BBM, air bersih, pabrik es/ice storage)
(4)
Penyediaan fasilitas perbaikan unit penangkapan (docking, perbengkelan, perbaikan jaring). Penyediaan infrastuktur tersebut harus terintegrasi dengan kegiatan
penangkapan ikan dan pengolahan dalam arti harus memberikan dukungan yang signifikan terhadap peningkatan output produksi perikanan baik secara kuantitas maupun kualitas. Di samping itu, pembangunan infrastuktur perikanan juga harus diintegrasikan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah dimana aktifitas perikanan tersebut berada. Hal ini dimaksudkan di samping untuk mengoptimalkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat, juga untuk menghindari adanya konflik kepentingan akibat penggunaan lahan oleh berbagai kegiatan dan adanya kepastian berusaha. Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang memiliki mempunyai hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis dan adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku dengan ancaman dari selektifitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada ikan pelagis kecil. Upaya untuk mencapai manfaat maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Optimalisasi penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan bilamana nelayan dan alat penangkapan ikan di perairan ini juga dalam kondisi jumlah optimal. Dari kedelapan strategi yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa arahan strategi ini jika dapat kita capai dan diwujudkan demi pengembangan perikanan pelagis di Maluku maka pendapatan, kesejahteraan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat. Mengutip pendapat Nielsen (1996) yang diacu dalam Satria et al (2002), perlu adanya perspektif co-management sebagai sebuah kelembagaan yang merupakan proses untuk mengintegrasikan dan merelokasikan tanggung jawab manajemen dan kompetensi (kekuatan hukum) diantara pelaku dengan jalan
156
membagi biaya perumusan dan implementasi regulasi kepada kelompok pengguna (user). Selain strategi dan kebijakan yang disampaikan diatas, Satria et al (2002) juga
mengedepankan
program-program
alternatif
yang
berusaha
untuk
mengurangi kemiskinan dalam masyarakat nelayan antara lain: (1) Perbaikan kapal dan alat penangkapan (2) Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca-panen (3) Subsidi kepada nelayan (4) Pembentukan koperasi atau organisasi lainnya (5) Pengembangan sumber pendapatan alternatif. Adapun empat alternatif pertama diciptakan untuk mecapai sasaran, yaitu: (1) Meningkatkan produktifitas nelayan (kuantitas penangkapan) (2) Meningkatkan harga yang diterima oleh nelayan (3) Menekan biaya yang harus ditanggung para nelayan. 5.4.1 Kriteria dan sasaran pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria model pengembangan perikanan pelagis di daerah ini adalah: 1) nelayan (NLY), 2) pengusaha perikanan tangkap (PPT), 3) selektifitas alat tangkap (SAT), 4) produktifitas alat tangkap (PTK), 5) pendapatan asli daerah (PAD), dan 6) penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Gambar 59 memperlihatkan posisi kriteria-kriteria
tersebut pada tingkat II dan juga
ditunjukkan hasil analisis kepentingan setiap kriteria setelah diolah dengan program AHP.
155
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU
Tingkat 1 FOKUS
Tingkat 2 AKTOR
Tingkat 3 FAKTOR
Nelayan
Potensi Sumberdaya
Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN
Pengusaha Perikanan Tangkap
Potensi Teknologi
Huhate
Selektifitas Alat Tangkap
Penyerapan Tenaga Kerja
Pendapatan Asli Daerah
Sumberdaya Manusia
Operasi Penangkapan Ikan
Kondisi Perairan
Pancing Tonda
Penggunaan Bahan Bakar Minyak
Peluang Pasar
Jaring Insang Permukaan
Gambar 60 Struktur hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
156
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU
Tingkat 1 FOKUS
Tingkat 2 AKTOR
Tingkat 3 FAKTOR
Nelayan (0,347)
Potensi Sumberdaya (0,129)
Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN
Pengusaha Perikanan Tangkap (0,157)
Potensi Teknologi (0,061)
Huhate (0,512)
Selektifitas Alat Tangkap (0,113)
Penyerapan Tenaga Kerja (0,168)
Pendapatan Asli Daerah (0,099)
Sumberdaya Manusia (0,043)
Operasi Penangkapan Ikan (0,039)
Kondisi Perairan (0,037)
Pancing Tonda (0,266)
Penggunaan Bahan Bakar Minyak (0,117)
Peluang Pasar (0,038)
Jaring Insang Permukaan (0,223)
Gambar 61 Hasil hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
155
Padda Gambar 60, terlih hat bahwaa dalam penentuan p prioritas model m pengembaangan perikkanan pelag gis dan dessain alat taangkap di perairan p Maluku dengan diilakukan peertimbangann terhadap 6 (enam) kriteria yanng akan diicapai dalam upaya pengem mbangan armada, setiiap kriteriaa dilakukann pengembaangan terhadap enam jenis pembatas limiting l facttor di bidan ng perikanan n tangkap, setiap s mbatas padaa setiap kriiteria. armada allternatif dippertimbangkkan untuk setiap pem Untuk meengakomodiir semua keepentingan,, maka perttimbangan tersebut dim minta melalui kuesioner k k kepada sem mua stakehholders yan ng terkait dalam akttifitas perikanan tangkap di d perairan Maluku, seperti: nelaayan, penguusaha perikkanan tangkap, Dinas D Kelaautan dan Perikanan, P Pemerintah h Daerah, serta s masyaarakat umum. Bahasan berikut menguuraikan tenntang kepen ntingan kritteria-kriteriaa dan pembatas dalam hubuungannya dengan d opsii pengembaangan perikkanan tangkkap di daerah Maaluku
6 Posisi kriteria k penggembangann pada levell kedua (settelah goal) pada Gambar 62 aplikasi Progam AH HP d Dalaam kaitannnya dengaan rasio kepentingaan peranann aktor dalam mewujudk kan tujuan pengembaangan periikanan pelaagis di peerairan Maaluku, rasio Gambar 62 6 menunjuukkan bahw wa peran akktor nelayann (NLY) mempunyai m kepentingaan yang paaling penting bila dibbandingkann dengan peran p lima aktor lainnya yaaitu 0,347 pada p inconsistency terppercaya 0,055. Batas incconsistency yang diperbolehhkan secarra statistikk adalah maksimum m 0,1. Pennyerapan teenaga merupakann kriteria dengan rasio r kepeentingan yaang keduaa dalam upaya u pengembaangan perikanan pelagis di perairan p M Maluku yaiitu 0,168 pada
156
inconsistency terperccaya 0,05. Aktor ketigga yang meempunyai raasio kepentingan adalah penngusaha perrikanan tanggkap (PPT)) dengan nillai 0,157 paada inconsisstency terpercayaa 0,05. Akto or keempatt yang mem mpunyai rassio kepentin ngan dalam m pengembaangan perikanan pelagis di perairan Maluku M adaalah penggu unaan bahaan bakar miinyak (BBM) deengan nilai 0,117 padda inconsistency terperrcaya 0,05. Selektifitass alat tangkap (SAT) ( meruupakan aktoor kelima yaang pentingg dalam mew wujudkan tuujuan pengembaangan alat penangkapa p an ikan yanng ditandaii dengan raasio kepentingan sebesar 0,113 pada innconsistencyy terpercaya 0,05. Kritteria yang mempunyai m rasio kepentingaan terendahh adalah peendapatan asli a daerah (PAD) denngan nilai 0,099 0 pada inconnsistency teerpercaya 0,,05. Berdasaarkan rasio kepentingaan maka, neelayan mempunyai peranann yang sanngat strategis dalam mengelolaa suatu pootensi ya sehinggaa dalam uppaya pengem mbangan peerikanan pellagis diakom modir sumberday alat tangkaap huhate sebagai s yanng terbaik untuk dikem mbangkan deengan skor 0,504 0 diikuti oleeh pancing tonda 0,2622 dan terakkhir jaring innsang 0,2355 dengan tinngkat inconsistency terperccaya 0,05. Hal ini diitunjukkan dengan raasio kepentingan seperti terlihat pada Gambar G 63
6 Rasio kepentingan k n kriteria daalam upayaa pengembaangan perikkanan Gambar 63 pelagis di d perairan Maluku (inssconsistency cy 0,05) 5.4.2 Faktor pembatas (lim miting facttor) dalam m upaya pengembaangan perikanan peelagis di perrairan Malluku Beberapa hal yang menjjadi pembaatas dalam pengembaangan perikkanan pelagis di perairan Maluku M antaara lain: pottensi sumbeerdaya ikann (PSDI), pootensi mberdaya manusia m (SD DM), teknik k operasi peenangkapann ikan teknologi (PT), sum
155
(OPI), kon ndisi perairran (KP), serta s peluanng pasar (P PP). Pembattas-pembataas ini merupakann faktor koreksi k daalam memeenuhi kriteeria-kriteria pengembaangan perikanan tangkap. Bahasan berikut b ini akan dibah has mengen nai kepentingan y sesuai pada setiapp kriteria yaang digunak kan dalam upaya u pembatas--pembatas yang pengembaangan perikaanan pelagis di perairaan Maluku. Gambar G 64 memperlihhatkan pembatas yang berkkepentingann setiap krriteria yangg menjadi perhatian pada nelayan setelah diolaah dengan menggunakkan program m Softwaree Expert Choise C AHP.
Gambbar 64 Pembbatas yang berkepenting b gan dengan n perhatian pada p nelayaan Dalaam kaitan dengan d perh hatian terhadap kriteriaa nelayan (N NLY), ada enam hal yang berpengaruh b h atau berk kepentingan yaitu poten nsi sumberddaya ikan (SDI), potensi tek knologi (PT T), sumberddaya manussia (SDM), operasi kappal penangkkapan ikan (OPII), kondisi perairan (K KP), dan peluang p passar (PP). Pembatas pootensi sumberday ya ikan (P PSDI), sum mberdaya manusia m (S SDM), sertaa operasi kapal penangkappan ikan (O OPI), meruppakan pem mbatas yang secara tekknis berpenggaruh terhadap kegiatan k peenangkapan ikan, sedaangkan konddisi perairaan (KP), peluang pasar (PP P), dan pootensi teknnologi (PT)) berpengaaruh secaraa biologis bagi perkembanngan nelayaan. Keb beradaan neelayan akaan menentuukan seberrapa besar produksi hasil tangkapann dari pemaanfaatan sum mberdaya ikkan tersebuut. Potensi sumberdaya s a ikan (PSDI) (00,182) meruupakan kriteeria dengann rasio kepeentingan yaang utama dalam d upaya peengembangaan teknolog gi alat peenangkapan ikan pad da inconsisstency terpercayaa 0,09. Padda Gambar 65 terlihat bahwa pem mbatas poteensi sumberrdaya ikan (PSD DI) mempunnyai rasio kepentingan k n yang palinng tinggi, yaitu y 0,371 pada
156
inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan sangat berpengaruh dominan (25,4%) terhadap keberadaan nelayan yang mengadakan operasi penangkapan ikan di perairan Maluku. Dalam kaitan ini, diharapkan dengan potensi sumberdaya ikan yang melimpah maka diusahakan nelayan dapat memanfaatkan secara maksimal dengan mengikuti aturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa didalam mengadakan operasi penangkapan ikan khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan berbagai jenis alat tangkap, masih banyak nelayan yang belum menerapkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab (CCRF), padahal itu harus sudah mulai dari sekarang. Berdasarkan rasio kepentingan tersebut, maka diharapkan masyarakat khususnya nelayan sadar akan hal ini sehingga potensi sumberdaya itu akan tetap lestari. Penggunaan teknologi modern maupun sederhana sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan karena teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kepentingan yang diperoleh sebesar 0,176 pada inconsistency terpercaya 0,09 dan berada pada urutan kedua. Sebagai contoh penggunaan teknologi sederhana berupa desain cool box merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap nilai jual ikan hasil tangkapannya. Apabila hasil tangkapan memiliki nilai kualitas baik maka nilai jual ikan tersebut dipasaran sangat memuaskan. Aktor ketiga yang sangat berpengaruh dalam perhatian pada nelayan adalah sumberdaya manusia (0,123) pada inconsistency terpercaya 0,09. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku,
serta wawasan IPTEK,
kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat dibutuhkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar
155
dan tata ruang kaw wasan pesisir. Faktor pembatas operasi peenangkapan ikan merupakann aktor keeempat yangg mempunyai rasio keppentingan terhadap t neelayan dengan nilai 0,113 paada inconssistency terppercaya 0,009. Hal ini mengindika m asikan kapan ikan yang dilakkukan oleh nelayan sangat bahwa baahwa operaasi penangk ditentukan n oleh pottensi sumb berdaya maanusia dalaam memannfaatkan pootensi teknologi untuk menggelola sumbberdaya ikann secara maaksimal. Pem mbatas peluang pasar (PP) meruupakan pem mbatas kelim ma yang sangat s berpengarruh terhadaap nelayan, hal ini ditunjukkan d dengan nilai n 0,109 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal H ini mennunjukkan bahwa b operasi penangkkapan ikan yangg dilakukann oleh nelay yan sangat menentukaan peluang pasar yangg ada, baik pasarr domestik maupun pasar internassional. Hasiil tangkapann yang dipeeroleh nelayan sangat s ditenntukan oleh kualitas hasil tang gkapan yanng diperolehnya. Pembatas peluang paasar (PP) adalah a meruupakan fakttor pembataas yang straategis serta mem mpunyai berkepentinggan pada nelayan n kaarena keberrhasilan opperasi penangkappan ikan saangat menenntukan peluuang pasar yang ada. Faktor F pem mbatas kondisi peerairan (KP P) mempunyyai nilai raasio kepentiingan terak khir dengan nilai 0,107 pad da inconsisteency terperccaya 0,09. Hal ini berarti bahwa kondisi perrairan (KP) turutt berpengaruuh terhadapp nelayan yyang mengadakan operasi penangkkapan ikan. Dallam kaitann ini, diharrapkan arm mada perikkanan tangkap yang akan dikembanggkan sebaiiknya dapatt menjaga kondisi peerairan dann tidak meerusak ekosistim perairan.
p nelayaan Gambar 65 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada dalam upaaya pengem mbangan perrikanan pelaagis di perairan Malukuu (inconsisttency 0,09)
156
Pem mbatas potennsi sumberrdaya ikan (SDI), pootensi sumb berdaya maanusia (SDM), kondisi k peraairan (KP), serta s peluanng pasar (PP P) adalah merupakan m faaktorfaktor pem mbatas yangg berkepenttingan pada kriteria penngusaha perrikanan tanggkap Kep pentingan daari faktor pembatas p suumberdaya ikan sebaggai faktor utama u dalam upaaya nelayann mengelolaa sumberdaaya perairan n, ketersediiaan sumberrdaya manusia berkepentin b ngan sebaggai calon tenaga kerja yang produktif, koondisi perairan berkepentinngan sangaat membantuu nelayan dalam d men ngadakan opperasi kan, serta peluang pasar dan kebeeradaan daan kelimpaahan sumbberdaya ik berkepentiingan dalam m menjaga harga pasaar selalu staabil sehingg ga nelayan dapat memasarkkan hasil tanngkapan deengan baik. Rasio kepeentingan keeempat pem mbatas tersebut seeperti terlihat pada Gam mbar 66
Gambar 666 Pembataas yang beerkepentingaan dengan perhatian pada penguusaha perikanann tangkap (P PPT) Padaa Gambar 66 6 terlihat bahwa b pembbatas poten nsi sumberddaya ikan (P PSDI) mempunyai rasio kepentingan k terhadap pengusahaa perikanann tangkap yang tertinggi, yaitu 0,5322 pada incoonsistency tterpercaya 0,08. Sumbberdaya maanusia (SDM) meenempati urrutan keduaa dengan nillai 0,221 paada inconsisstency terpeercaya 0,07. Hal ini menunjjukkan bahwa potensi sumberdayya ikan sanngat berpenggaruh terhadap keberadaan pengusahaa perikanan tangkap (P k PPT) di suaatu daerah dalam d menjalankkan usaha di bidang perikanan tangkap. Pembatas P k kondisi perrairan berada paada urutan ketiga denngan nilai 0,166 pad da inconsisttency terpeercaya 0,08.Peluaang pasar (0,082) paada inconsistency terrpercaya 0,,08 pada posisi p terakhir. Hal H ini mennunjukkan bahwa b peluang pasar cukup c berpeengaruh terhhadap
155
keberhasillan pengussaha perikkanan tanggkap dalam m menjalaankan usahhanya walaupun faktor ini berada b padaa urutan terrakhir, akann tetapi sanggat berhubuungan dengan keberhasilan k n nelayan dalam meengoperasikaan alat tan ngkap di suatu perairan. Peluang paasar juga sangat s ditenntukan olehh kualitas hasil tangkkapan nelayan sehingga s haal ini sang gat berpenggaruh terhaddap nilai jualnya. Appabila kualitas hasil h tangkaapan baik maka, m nilai jual akan semakin mahal m dan sangat s menguntuungkan nelayyan atau pen ngusaha perrikanan tang gkap
Gambar 67 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada p penguusaha perikanann tangkap daalam upaya pengemban ngan perikaanan pelagiss di perairan Maluku M (incconsistency 0,08) mbatas yangg berkepenttingan denggan perhatiaan pada kriiteria selekttifitas Pem alat tangkaap meningkkat adalah potensi p sumbberdaya ikaan (PSDI), potensi p teknnologi (PT), opeerasi kapal penangkapan ikan (OPI), seerta peluanng pasar (PP). Kepentinggan dari peembatas-pem mbatas tersebut adalahh potensi sumberdaya s a ikan berkepentiingan dalam m menentukkan keberaddaan ukuran n ikan yang layak ditanngkap, potensi teeknologi beerkepentingaan dalam menentukan m n ukuran alat tangkap serta ukuran maata jaring yang y selektiif dan sesuaai dengan taarget operaasi, operasi kapal penangkappan ikan berkepentin b ngan dalam m upaya proses p penangkapan, serta peluang pasar p sangaat menentukkan untung ruginya seebuah usahha. Ukuran mata jaring yan ng selektif merupakan m acuan bagi nelayan kaarena dengaan menggunnakan ukuran maata jaring seperti s ini maka m ukurann ikan hasil tangkapan n dapat diseeleksi sehingga sumberdaya s a akan lebihh berkelanjuutan.
156
mbar 68 P Pembatas yang berkkepentingann dengan perhatian pada Gam s selektifitas a tangkaap tangkap (SAT) alat ( mbatas dari selektifitass alat Pottensi sumbeerdaya ikan merupakann faktor pem tangkap menempati m u urutan perttama (0,4588) pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini mengindikas m sikan bahwa keberadaaan sumberddaya manuusia yang hhandal dalam meengelola pottensi sumbeerdaya akann berpeluan ng untuk memperoleh m hasil tangkapann optimal sehingga akkan membukka peluangg pasar yan ng menjanjikkan. Potensi teeknologi (PT) (0,240) pada inconnsistency teerpercaya 0,05 berada pada urutan ked dua sebagaii faktor pem mbatas yanng berkepen ntingan terhhadap selekttifitas alat tangkaap. Peluangg pasar (PP) mendudukki urutan kettiga dengan nilai 0,185 pada inconsistency terpercaya 0,05. Potensi P teknnologi sangaat berhubunngan erat deengan peluang pasar p karenna apabila dalam d pengggunaan tekknologi sed derhana maaupun modern tiidak dilakuukan secaraa efektif maka m akan berpengaruh b h terhadap hasil tangkapann. Hal ini saangat berpenngaruh terhhadap peluan ng pasar yaang ada sehingga kalau hall ini tidakk ditindakllanjuti makka sistem yang ada tidak berrjalan sebagaimaana yang dihharapkan. Pelu uang pasar sangat s saat ini cukup menjanjikan m n terutama untuk jeniss ikan pelagis besar sepertti: ikan tuuna, cakalanng, tongkool, dan jennis-jenis lainnya sehingga ini merupaakan suatu motivasi m baagi nelayann untuk meengusahakann alat kanan. tangkap daalam rangkaa pengelolaaan sumberddaya kelautaan dan perik
155
Gambar 69 Rasio keppentingan pembatas p seesuai dengann perhatian pada selekttifitas alat tanggkap dalam upaya penggembangan perikanan pelagis p di perairann Maluku (in nconsistency cy 0,05) mbatas yangg berkepentiingan dengan perhatiaan pada kritteria penyerrapan Pem tenaga kerrja (PTK) aadalah potensi teknoloogi (PT), suumberdaya manusia m (SDM), operasi kapal k penaangkapan ikan i (OPI) (Gambarr 70). Pootensi teknnologi berkepentiingan terhaadap kemam mpuan darii tenaga keerja untuk mengoperaasikan teknologi tersebut, sumberday ya manusiia dan op perasi pen nangkapan ikan berkepentiingan terhadap tenagga kerja yang y tramppil sesuai dengan bidang keahlianny ya, serta opperasi kapal penangkappan ikan berrkepentingaan sebagai sarana yang diduukung oleh tenaga t kerjaa yang tram mpil dalam mengelola m arrmada perikkanan tangkap. Dalam D mem mproduksi ikan i sebagian petani nelayan n mennggunakan caracara lamaa, baik daalam usahaa perikanann tangkap (perikanan n laut) maaupun budidaya, akibat kuurangnya neelayan mennguasai tekknologi denngan cara baru, sehingga nelayan n kurrang trampill.
Gam mbar 70 P Pembatas yang berkkepentingann dengan perhatian pada p penyerapan tenaga kerrja
156
Poteensi teknoloogi berkepeentingan terrhadap kem mampuan dari d tenaga kerja untuk meengoperasikkan teknoloogi tersebuut, sumberddaya manussia dan opperasi penangkappan ikan berkepenting b gan terhadaap tenaga kerja yang g trampil sesuai s dengan bid dang keahliiannya, sertta operasi kaapal penanggkapan ikann berkepentingan sebagai saarana yang didukung oleh o tenagaa kerja yang g trampil dalam d menggelola armada peerikanan taangkap. Dallam memprroduksi ikaan sebagiann petani neelayan menggunaakan cara-ccara lama, baik b dalam m usaha perrikanan tangkap (perikkanan laut) mauppun budidaaya, akibat kurangnya nelayan menguasai m teeknologi deengan cara baru, sehingga nelayan n kuraang trampil.. Meeningkatkann ketrampillan petani nelayan n merrupakan lan ngkah yang tidak dapat ditu unda terutam ma dalam mengantisipa m asi degradassi sumberdaaya manusia dan lingkungaan. Selain reendahnya penguasaan p teknologi penangkapa p an dan budiidaya, penguasaaan terhadapp teknologii pascapaneen juga saangat rendaah.
Penguasaan
teknologi baik teknollogi sederhaana maupunn modern merupakan m s suatu acuan yang t keeberhasilan operasi penangkapan ikan karenna hal sangat berrpengaruh terhadap ini sangat didukung oleh o besarnyya potensi sumberdaya di perairan n ini.
p penyerrapan Gambar 71 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada tenaga keerja dalam upaya u pengeembangan perikanan p peelagis di perrairan Maluku (iinconsistenccy 0,05) Pem mbatas poteensi teknolo ogi (PT) dan d potensii sumberdaaya ikan (P PSDI) mempunyai rasio kepentingan k yang meenempati urrutan pertaama dan kedua k terhadap penyerapann tenaga kerja (PT TK), yaitu 0,661 daan 0,288 pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal H ini menuunjukkan bahwa b dalam m memanfaaatkan potensi suumberdaya ikan diharrapkan kem mampuan armada a pennangkapan untuk u
155
mengoperrasikan alat tangkap hanya h untukk menangkaap sumberd daya ikan sesuai s dengan uk kuran dan jeenis tertentuu sesuai denngan spesiffikasinya daan tetap meenjaga kondisi perairan. Opperasi penaangkapan ikkan (OP) (0,131) meenduduki urutan u ketiga deengan tingkkat inconsiistency terppercaya paada 0,05. Hal ini sangat berpengarruh terhadapp pemanfaaatan sumberrdaya yang ada karenaa dengan addanya operasi peenangkapann ikan makka sumberdaaya akan diperolehnya d a asalkan sesuai s dengan kaidah-kaidaah yang teertuang dalaam CCRF supaya su umberdaya tetap berkelanju utan. Pem mbatas yangg berkepentiingan denggan perhatiaan pada kritteria pendaapatan asli daeraah adalah potensi p sum mberdaya ikan i (PSDII), potensi teknologi (PT), sumberday ya manusia (SDM), opperasi kapal penangkapan ikan, serrta peluang pasar (PP) (Gaambar 72). Hasil peengamatan lapangan dapat dijeelaskan rataa-rata pendidikann nelayan/ppetani ikan di wilayahh pesisir um mumnya sanngat rendahh dan bahkan adda yang tidak sekolah.. Kondisi ini menyebbabkan aksees terhadap ilmu maupun teknologi t s sangat terbaatas.
Umuumnya nelaayan hanyaa menganddalkan
pengetahuuan dari gennerasi sebelumnya, daari lingkunggan dan tidaak ada kem mauan untuk men nambah penngetahuan yang y sebennarnya diperrlukan untu uk meningkkatkan keahlianny ya terutam ma yang beerkaitan deengan matta pencaharriannya seebagai nelayan/peetani ikan.
7 Pembattas yang beerkepentingaan dengan perhatian pada p pendaapatan Gambar 72 asli daerrah Kep pentingan pembatas terrhadap kriteeria tersebutt adalah potensi sumberrdaya ikan yang sangat mem mbantu terh hadap volum me usaha peenyumbangg pendapatan asli
156
daerah, pootensi teknnologi berkeepentingan dalam pennciptaan meesin kapal yang hemat terhhadap bahann bakar min nyak, sumbberdaya man nusia berkep pentingan dalam d menyediak kan calon tenaga kerjja yang terrampil dann siap pakaai, operasi kapal penangkappan ikan saangat berkeepentingan dalam men ningkatkan hasil tangkkapan secara maaksimal, serrta peluang pasar berkkepentingan dalam men njaga mutuu ikan hasil tangkkapan tetap segar sehin ngga hargannya tetap staabil. Padaa Gambar 73, terlihatt bahwa peembatas sum mberdaya ikan (PSDI)) dan potensi tek knologi (P PT) menemppati urutan pertama daan kedua deengan nilai rasio 0,395 dann 0,202 padaa inconsisteency terperccaya 0,08. Hal H ini men nunjukkan bahwa b dengan pootensi sumbberdaya yang melimpahh serta denggan menggu unakan teknnologi modern akan mem mbantu usaaha di biidang periikanan tanngkap sehingga menghasillkan hasil tangkapan yang y berkuaalitas untuk k kebutuhann pasar dom mestik maupun pasar internaasional. Pem mbatas poteensi teknollogi (PT) dan pemb batas peluaang pasar (PP) mempunyai rasio keppentingan yang y menem mpati urutan n ketiga dann keempat, yaitu n 0,135 paada inconsiistency terppercaya 0,0 08 dengan perhatian pada 0,156 dan pendapataan asli daeerah.
Raasio dengann kepentinngan yang diinginkann ini
dimungkinnkan oleh sumberdayaa manusia yang tersediaa adalah calon-calon teenaga kerja yangg siap pakaai dengan kemampuann serta keaahlian yang g dimiliki dalam d mengelolaa sumberdaaya sehingga pengembbangan penggelolaan peerikanan tanngkap dapat mak ksimal dan berkelanjuta b an dengan mematuhi m atturan-aturann yang berlaaku.
Gambar 73 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada p pendappatan asli daeraah dalam upaya pengem mbangan perrikanan pelaagis di peraairan Maluku (iinconsistenccy 0,08)
155
Fakttor pembattas yang menempati m urutan terrakhir adallah sumberrdaya manusi (S SDM). Hal ini menunj njukkan bahhwa dengann potensi suumberdaya yang melimpah serta dengaan menggunnakan teknoologi moderrn akan membantu usaaha di bidang perikanan p ttangkap seehingga menghasilka m an hasil tangkapan t yang berkualitaas untuk kebbutuhan pasaar domestikk maupun paasar internaasional. Fakttor pembataas yang berk kepentingann bagi pengggunaan bahan bakar minyak adalah pootensi sumbberdaya ikann (PSDI), potensi tekknologi (PT T), operasi kapal penangkappan ikan (OPI), seerta kondisi perairann (KP). Pembatas P yang berkepentiingan denggan perhatiaan pada pennggunaan BBM B rendah h adalah pootensi sumberday ya ikan beerkepentingaan dalam penentuan p daerah pennangkapan yang berhubung gan secara langsung dengan pennggunaan bahan b bakaar minyak pada armada hiingga kembbali ke fishiing base. Potensi P teknnologi berkkepentingan pada penciptaann mesin kappal yang hem mat bahan bakar b minyaak.
4 Pembatass yang berkeepentingan dengan perhhatian padaa BBM Gambar 74
Keb berhasilan peningkatan p n pendapaatan (ekonoomi) akan mempenggaruhi kegiatan usaha u yang dikembangkkan di masaa yang akan n datang. Keegiatan usahha itu sendiri akkan dipengaaruhi oleh kondisi suumberdaya laut dan pesisir yangg ada, teknologi yang terseddia, serta ku ualitas SDM M yang akan mengelolan nya. Hal terrsebut penting untuk u diperrhatikan daan dikembaangkan dalaam rangkaa pengembaangan ekonomi yang melipputi manajeemen usahha, kemitraaan dan kellembagaan yang ya. dikelolany
156
Gambar 75 7 Rasio kepentingan k pembatas sesuai den ngan perhattian pada bahan b bakar minyak m dalaam upaya pengemban ngan perikanan pelaggis di perairann Maluku (in nconsistencyy 0,04) umberdaya ikan Padaa Gambar 75 terlihaat bahwa pembatas potensi su mempunyai peranan yang cukupp besar dallam hubung gannya denngan pengguunaan bahan bakkar minyak dan sekaliggu menduduuki urutan pertama p dengan nilai 0,371 0 pada tinggkat inconssistency terrpercaya 0,,04. Potenssi teknologgi (PT), koondisi perairan (K KP), dan opperasi penanngkapan ikaan (OPI) meenduduki urrutan 2, 3, dan d 4. Keempat faktor pembbatas ini mempunyai m s saling keterrgantungan yang cukupp erat sehingga apabila a salaah satu fakto or mempunyyai kendala maka faktoor yang lain tidak dapat dilaakukan denngan baik. Hal H ini meenunjukkan bahwa pennggunaan bahan b bakar minnyak sangatt dipengaruuhi oleh koondisi perairan karena dengan koondisi perairan yang tidakk bersahabbat, fishingg ground yang jau uh akan sangat mempengaaruhi armaada penangkkapan dalaam penggunnaan bahann bakar minyak. rasio Pembatas potensi tekknologi (PT T) dan konndisi perairran (KP) mempunyai m masing 0,2883 dan 0,1883 pada incconsistency terpercaya 0,04. kepentingaan masing-m Semakin jauh daeerah penanngkapan akkan memp pengaruhi armada dalam d penggunaaan bahan baakar minyakk. Pem mbatas operrasi penanggkapan ikaan (OPI) menempati m urutan terrakhir dengan niilai rasio kepentingann k nya adalahh 0,163 pad da inconsisttency terpeercaya 0,04. Hal ini menunjuukkan bahw wa dengan kemampuan k penguasaann teknologi yang dimiliki oleh o tenaga--tenaga yanng terampill akan mam mpu meninggkatkan kuualitas hasil tangkkapan.
155
Prio oritas tujuann model pen ngembangann perikanan pelagis di perairan Maluku ditentukan n secara teerstruktur dengan d meempertimbanngkan sem mua aktor/ppelaku beserta faaktor-faktor yang berpeeran didalam m mewujud dkan tujuann pengembaangan perikanan pelagis. Pertimbanggan tersebuut ditunjuk kkan dalam m bentuk rasio kepentingaan kriteria, rasio kepeentingan peembatas, seerta rasio kepentingan k n opsi (alternatiff armada yaang akan dikembangk d kan). Urutann prioritas terhadap ketiga k alternatif alat penanggkapan ikann yang akaan dikembaangkan di perairan p Maluku dapat dilihhat pada Gaambar 76
Gambar 76 7 Urutan prioritas p preesentase penngembangaan terhadap ketiga alteernatif alat penanngkapan ikaan di perairaan Maluku (incosistenc ( cy 0,06) wa bahwa alat tangkap huhate h (polle and Berddasarkan Gaambar 76 teerlihat bahw line) mem mpunyai nillai rasio keepentingan pengembaangan yang tertinggi, yaitu 39,3%, paancing tondda 32,6 %, dan jaringg insang 288,1%. Hal ini menunjuukkan bahwa huuhate mendduduki priooritas utam ma untuk dikembangk d kan di perrairan Maluku. Terpilihnyaa alat tan ngkap huhate sebagaai prioritass utama dalam d pengembaangan perikkanan pelaagis karenaa huhate leebih mengakomodir enam kriteria yaang perlu diicapai dalam m pengembbangan perikkanan pelag gis dalam bidang perikanan tangkap yang y telah dianalisis sebelumnya. Hal ini diidukung oleh pendapat yang disaampaikan oleh o Yulistyyo (2006) yang men nyatakan bahwa b I b bagian timu ur yang paada kegiatann operasi penangkapa p annya perairan Indonesia masih dido ominasi oleeh armada dengan d skala kecil sertaa sasaran taarget adalahh jenijenis ikan pelagis baikk pelagis beesar maupunn kecil. k nellayan (NLY Y) dan pootensi Padaa Gambar 77 terlihaat bahwa kriteria teknologi
(PT) diakkomodir paada pengem mbangan huh hate masingg-masing seekitar
p pengeembangan alat a tangkapp pancing tonda. t 9,5% dan 8,2% dibaandingkan pada
156
Hal ini berarti b kebeeradaan jum mlah nelayyan pada huhate h lebih h dominann jika dibandingkan dengaan nelayan pada panccing tondaa. Kriteria nelayan (N NLY) (0,347), penyerapan tenaga keerja (PT ) (0,168), serta p s penguusaha perikkanan tangkap (PPT) (0,157) masiing-masing merupakaan kriteriaa dengan rasio kepentingaan tertinggii dan ini menunjukka m an bahwa nelayan n mem megang perranan penting dalam d penngelolaan sumberdayaa perairan serta diddukung deengan penyerapaan tenaga keerja sehinggga memunngkinkan peengusaha peerikanan tanngkap mengusah hakan alat tangkap sebanyak s m mungkin s sehingga d dapat menggelola sumberday ya secara beerkelanjutann.
P PSDI PT OPI PP Ovver all
Gambar 77 Perbanddingan alat tangkap t huhhate dengann alat tangkaap pancing tonda t untuk seemua kriteriia Perb bandingan
akomodir
kriteria
pada
penngembangann
huhate
dan
pengembaangan jaringg insang (G Gambar 78)) menunjukkkan bahwaa sebagian besar kriteria diaakomodir leebih tinggi pada p pengeembangan huuhate. Kriteeria dengan rasio kepentingaan tertinggii adalah nelayan (NLY Y), serta pennyerapan tennaga kerja (P PTK) diakomoddir pada peengembangaan teknologgi alat
taangkap huhhate di perrairan
Maluku, masing-mas m sing lebih tinggi 9,7 % dan 8,,5 %
dib bandingkan pada
155
pengembaangan jaringg insang. Disamping D itu, kriteriia peluang pasar (PP)) dan penggunaaan bahan baakar minyakk diakomoddir sedikit leebih rendah (masing-m masing 3,5% dann 3,4%) padda pengembbangan huhhate diband dingkan padda jaring innsang permukaann. Hal ini disebabkan d karena disaamping rasiio kepentingan yang tiinggi, nilai ini teentu sangat tinggi dibaandingkan yang y dapat diakomodirr lebih pada alat tangkap jaaring insangg permukaaan. Selain ittu juga dipeerlukan alteernatif kebij ijakan pengembaangan alat penangkapa p an ikan yangg memiliki produktivittas penangkkapan yang tingggi, serta tidaak memerluukan pengguunaan BBM M yang tingg gi. Sesuai deengan kondisi di lapangan bahwa b armaada huhate ddan pancing g tonda mellakukan keggiatan penangkappannya di perairan p lep pas yang masih m potensial sehinggga jarak tem mpuh dari fishinng base ke fishing f grouund relatif jaauh. Hal deemikian mennyebabkan biaya operasionaal khususnyya penggun naan BBM untuk kedu ua jenis alaat penangkkapan tersebut cuukup besar.
PSDI P PT O OPI PP Ovver all
u Gambarr 78 Perbaandingan allat tangkapp huhate deengan jarinng insang untuk semua kriteria Hasiil skor darri beberapaa kriteria yang y ada diperoleh beberapa b u urutan alternatif prioritas dalam d modeel pengembbangan perrikanan pelaagis di perrairan Maluku, dimana d terddapat tiga allat penangkkapan yang akan dikem mbangkan antara a lain, huhatte (pole andd line ) men ndapat priorritas utama dengan skoor 0,512, panncing tonda (tro oll line) mennempati uruutan kedua dengan skoor 0,266, serta jaring innsang
156
permukaann (gillnet) pada p urutan ketiga denggan nilai skkor 0,223. Dari D hasil annalisis ini menun njukkan baahwa alat penangkapa p an ikan yanng dapat dikembangkaan di perairan Maluku M dissesuaikan dengan d kriteria-kriteriia yang daapat menduukung kegiatan operasi o pennangkapan pada saat ini. Ketiga alat tanggkap yang akan dikembanggkan diannggap cocook untuk dikembang gkan, hal tersebut dapat ditunjukkaan pada Tabbel 71 Tabel 71
Skor alteernatif dalaam kebijakkan model pengemban ngan pelagis dii perairan Maluku M
Akttor
Skor
NL LY
0,3477
Faktor
PSDI PT SDM OPI KP PP PT 0,1577 PSDI PP SDM KP PP PSDI SA AT 0,113 PT GOAL OPI PP TK 0,168 PT PT SDM OPI PA AD 0,0999 PSDI PT SDM OPI PP BBM PSDI 0,1177 PT OPI KP
Skor 0,129 0,061 0,043 0,039 0,037 0,038 0,039 0,039 0,039 0,039 0,062 0,027 0,013 0,021 0,111 0,035 0,022 0,039 0,02 0,011 0,013 0,015 0,043 0,033 0,019 0,021
Alternnatif Prioritass
perikkanan
Skor
Priioritas
Huhhate
0,512
1
Pancing tonda
0,266
2
Jaring insangg permukaan
0,223
3
d penelitiian 2009 Sumber: data
5.5
Keb bijakan Pen ngembangaan Perikanaan Tangkap di Maluk ku
Berttitik-tolak pada p matriiks skoringg keterkaitaan antara tiap unsur dari pedoman Code of Coonduct for Responsible R Fisheries (CCRF), ( den ngan setiap jenis alat tangkkap yang beroperasi di wilayah peerairan Maluuku, maka dapat ditenttukan
155
beberapa strategi kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya untuk ikan pelagis di provinsi Maluku, adalah sebagai berikut:
1)
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap huhate (pole and line) Alat tangkap huhate perlu dikembangkan di perairan Maluku mengingat alat
tangkap ini cukup sempurna dapat mewakili 13 kriteria yang ditetapkan dalam aspek ramah lingkungan dan aspek berkelanjutan. Hal ini merupakan suatu terobosan yang perlu diperhatikan dalam mengelola potensi sumberdaya perikanan di Maluku. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab, sehingga diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk pengembangan perikanan tangkap secara bertanggungjawab di provinsi Maluku. Permintaan pasar lokal maupun regional akan ikan pelagis besar, sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku yang cukup melimpah (1,640 juta ton/tahun), sumberdaya manusia dengan kemampuan teknologi dalam mengelola sumberdaya perikanan, serta tersedianya armada huhate adalah merupakan faktor-faktor yang berhubungan secara langsung dalam menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya perairan. Pengembangan jenis alat tangkap huhate ini tentunya didasari atas pertimbangan bahwa alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pengembangan alat tangkap ini memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan alat tangkap lain, antara lain: 1) jumlah hasil tangkapan lebih besar, 2) membutuhkan tenaga kerja lebih banyak (20 sampai 25 orang), 3) ikan hasil tangkapan kualitas eksport sehingga dapat menambah devisa bagi Negara. Disisi lain pengembangan alat tangkap ini dilakukan dengan penambahan teknologi tepat guna yang cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan. Penggunaan teknologi harus didasari dengan penggunaan modal yang besar sehingga perlu tindak lanjut pemerintah dalam mengantisipasi kekurangan modal nelayan.
156
2)
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap pancing tonda (troll line) Seperti halnya perikanan tangkap dengan alat tangkap huhate maka alat
tangkap pancing tonda ini menempati urutan kedua. Alat tangkap pancing tonda ini menggunakan mata pancing No 1000 sehingga memiliki selektifitas yang tinggi. Pengembangan terhadap alat tangkap ini berupa perubahan pada desain type kail dari type ”J” shaped menjadi ”cyrcle shaped ”, ukuran kapal diperbesar, desain ”cool box”, sehingga hasil tangkapan lebih optimal dengan memperhatikan faktor-faktor pendukungnya. Berdasarkan hasil skoring, alat tangkap ini termasuk dalam alat tangkap yang cukup baik dalam seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan penangkapan ikan yang bertanggungjawab, hal ini disebabkan karena alat tangkap ini dapat mewakili semua kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam CCRF dengan cukup baik dalam aspek ramah lingkungan maupun aspek berkelanjutan. Hasil tangkapan dari alat tangkap ini adalah jenis ikan pelagis besar seperti: 1) ikan tuna, 2) cakalang, 3) tongkol, 4) tenggiri, 5) serta jenis-jenis ikan pelagis besar lainnya. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan dari alat tangkap ini merupakan jenis-jenis ikan eksport yang permintaannya di pasaran internasional cukup besar sehingga perlu dikelola dan dikembangkan secara efektif guna menambah devisa bagi daerah maupun negara. Penangkapan dengan alat tangkap pancing tonda ini dapat memenuhi kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), sehingga diharapkan perikanan tangkap dengan alat tangkap ini dapat dikembangkan di perairan Maluku. Melihat kompleksitasnya pengembangan perikanan tangkap di Maluku, maka perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang handal dan oleh sebab itu untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia khususnya dalam bidang perikanan tangkap maka perlu peran serta pihak pemerintah dalam mengadakan pelatihan-pelatihan, kursus, seminar. Peran serta pemerintah dalam mengatasi masalah ini sangat berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap di masa akan datang.
155
3)
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap jaring insang permukaan (drift gillnet) Pengembangan alat tangkap jaring insang permukaan dengan pertimbangan
bahwa alat tangkap ini dengan cukup baik mewakili 12 kriteria yang telah ditetapkan dalam aspek ramah lingkungan dan aspek berkelanjutan. Alat tangkap ini ditujukkan untuk menangkap ikan pelagis besar. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan dari alat tangkap ini adalah ikan cakalang, tuna, tongkol, tenggiri dan ikan pelagis besar lainnya. Ukuran mata jaring dari alat tangkap ini adalah 4 sampai 7 inchi yang merupakan suatu ukuran mata jaring yang sangat subjektif bagi pengembangan perikanan secara bertanggungjawab. Alat tangkap ini juga perlu ditangani secara serius dengan tetap memperhatikan faktor-faktor lingkungan sehingga potensi yang ada di perairan Maluku tetap berkelanjutan. Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam perikanan yang bertanggung jawab maka alat ini dapat sesuai dengan kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengembangan dari ketiga alat tangkap ini dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan adalah merupakan tanggung jawab yang harus diperhatikan dan dilaksanakan bersama, baik masyarakat maupun pemerintah.
5.6
Peluang pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Penentuan
unit penangkapan ikan unggulan terpilih antara lain huhate
(185,96), pancing tonda (14,45), jaring insang permukaan (4,18), masing-masing sebagai prioritas pertama, kedua, ketiga sebagai alternatif pengembangan armada perikanan tangkap di perairan Maluku (Tabel 32). Berdasarkan trend dan tingkat produktifitas rata-rata, alat tangkap huhate lebih tinggi dari alat tangkap lain. Keberadaan unit penangkapan huhate di perairan Maluku mendapat respon posistif dari masyarakat nelayan. Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (1986), aspek terpenting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu alat tangkap adalah
penerimaan
oleh
nelayan
yang
dalam
pengoperasiannya
tidak
menimbulkan friksi keresahan pada nelayan. Oleh karena itu keempat alat tersebut paling tepat untuk menjadi pilihan dalam pengembangan alat penangkapan ikan.
156
Peningkatan produksi perikanan tangkap di perairan Maluku tidak dilakukan dengan menambah unit-unit penangkapan, akan tetapi yang tepat adalah mengganti unit-unit armada penangkapan yang tidak produktif dengan unit-unit penangkapan yang produktif. Bila kondisi demikian terjadi, menurut Dahuri (2003) adalah dengan mengendalikan intensitas dan teknis penangkapan sesuai dengan potensi
lestarinya agar keseimbangan stok dan tingkat pemanfaatan
terjaga. Dalam rangka orientasi model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, untuk ikan pelagis besar dilakukan dengan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan sedangkan untuk target species ikan pelagis kecil dengan alat tangkap pukat cincin. Jika ditinjau berdasarkan urutan prioritas masing-masing aspek dan kriteria, sangat beragam dan tidak didominasi oleh satu alat tangkap. Unit penangkapan unggulan tidak dapat dilihat secara parsial, akan tetapi keunggulan dari semua aspek dan kriteria. Hasil tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil standarisasi secara keseluruhan terhadap semua aspek yang menjadi indikator penilaian. Adapun unit penangkapan unggulan yang dapat dikembangkan adalah unit-unit penangkapan yang menjadi prioritas pertama, kedua, dan ketiga. Berdasarkan hasil standarisasi seluruh aspek, alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan masing-masing sebagai alternatif prioritas pengembangan. Pengembangan alat tangkap huhate seharusnya disertai dengan peningkatan kapasitas teknologi alat penangkapan sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan radius yang cukup jauh dan tidak terfokus pada perairan pantai. Hal
ini mengingat jumlah alat penangkapan huhate di Maluku cukup tinggi
walaupun membutuhkan biaya investasi alat tangkap ini cukup besar akan tetapi dengan prospek pasar yang cukup baik memungkinkan nelayan mengusahakan alat tangkap ini. Tingkat produktifitas unit penangkapan huhate tertinggi diikuti oleh pancing tonda, jaring insang permukaan, serta pukat cincin. Hal ini disebabkan tingkat harga komoditi yang dihasilkan sebanding dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. Keberadaan unit penangkapan huhate di perairan Maluku mendapat respon positif dari masyarakat nelayan, hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (1986) yang mengatakan bahwa aspek terpenting yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan suatu alat tangkap adalah penerimaan
155
oleh nelayan dan dalam pengoperasiannya tidak menimbulkan friksi keresahan nelayan, oleh karena itu keempat alat tangkap tersebut paling tepat untuk menjadi pilihan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Dalam rangka orientasi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku sebaiknya menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan untuk penangkapan ikan pelagis besar, sedangkan untuk ikan pelagis kecil menggunakan alat tangkap pukat cincin. Jika ditinjau berdasarkan urutan prioritas masing-masing aspek dan kriteria, sangat beragam dan tidak didominasi oleh hanya oleh satu jenis alat tangkap saja. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing alat tangkap memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Berdasarkan hasil standardisasi seluruh aspek,
alat tangkap huhate, pancing
tonda, pukat cincin, dan jaring insang permukaan masing-masing sebagai alternatif prioritas pengembangan ke depan di perairan Maluku. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2005 tentang Otonomi Daerah dimana batas kewenangan pengelolaan provinsi sejauh 4 mil laut. Bertolak dari batas kewenangan tersebut masyarakat nelayan masih memungkinkan untuk melakukan ekspansi penangkapan tidak hanya terbatas pada daerah pantai disekitar Teluk Ambon yang hanya berjarak 2 mil. Ikan merupakan sumberdaya yang memiliki keunikan serta karakteristik khusus dibanding sumberdaya lainnya yaitu sebagai sumberdaya milik bersama dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja (open acces), oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan oleh nelayan tidak hanya terbatas disekitar pulau Ambon, akan tetapi dapat dilakukan diluar pulau Ambon sampai di Laut Seram dan Laut Banda. Kontribusi sumberdaya ikan pelagis besar terutama ikan tuna dan cakalang di perairan pulau Ambon sangat besar dalam memenuhi cadangan lokal maupun pasar internasional. Ikan pelagis besar ditangkap oleh nelayan menggunakan kapal kayu dengan alat tangkap pancing tonda, huhate dan jaring insang dengan fasilitas teknologi yang terbatas. Sedangkan sumberdaya ikan pelagis kecil, nelayan menggunakan alat tangkap pukat cincin, bagan. Masalah yang dihadapi oleh nelayan ialah sulitnya mendapatkan material pembuatan kapal karena umur kapal yang terbatas waktu penggunaannya di laut. Selain itu ukuran kapal dan bentuk kapal yang kurang memadai, tidak adanya sarana pengawetan ikan hasil
156
tangkapan, akibatnya hasil tangkapan terbatas, cenderung menurun, mutu ikan hasil tangkapan rendah, dan operasional kapal untuk melaut terbatas. Kapal huhate merupakan kapal penangkap ikan pelagis yang banyak digunakan di perairan Maluku, namun dalam pengoperasiannya masih terdapat beberapa kendala yang harus diperhitungkan dan sering menjadi hambatan dalam pengelolaan potensi sumberdaya ikan. Kendala-kendala tersebut antara lain: 1) tangkai pancing terbuat dari bambu, 2) desain palka kurang efektif, ukuran kapal tidak memadai. Untuk mengatasi masalah tersebut diusulkan beberapa modifikasi untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena bahan pembuat joran pancing terbuat dari fiberglass lebih baik dibandingkan dari bambu. Ukuran joran pancing bambu yang panjang (3,00 m) banyak menguras tenaga pemancing saat mengangkat ikan dari dalam air dibandingkan joran pancing fiberglass yang lebih pendek (2,75 m). Hal ini disebabkan karena ikan hasil tangkapan pada saat proses pemancingan tidak jatuh pada deck kapal melainkan akan jatuh ke air. Bambu yang sekarang ini masih digunakan sebagai bahan pembuat joran pancing huhate sangat berpengaruh terhadap operasi penangkapan. Hal ini disebabkan karena: 1) mudah patah, 2) mudah lapuk, 3) sukar didapatkan di alam akibat semakin banyaknya penggusuran lahan bambu dan dijadikan sebagai perumahan rakyat oleh pemerintah. Modifikasi joran pancing ini mempunyai kelebihan antara lain: lebih kuat, tahan lama, tidak mudah patah. Walaupun harganya mahal (Rp 1.500.000) tentunya dapat diimbangi dengan hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap tersebut, hal ini tentunya sangat menguntungkan pihak pengelola armada perikanan tangkap. Modifikasi joran pancing ini tentunya sangat diharapkan oleh nelayan sehingga operasi penangkapan sangat menguntungkan. Perbandingan hasil tangkapan yang diperoleh dengan joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass menunjukkan hasil yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan kapal huhate. Hal ini disebabkan karena modifikasi joran pancing fiberglass lebih elastis dan fleksibel dalam pengangkatan hasil tangkapan ke kapal, waktu yang dibutuhkan hanya 4,5 detik untuk penangkatan ikan ke kapal bila dibandingkan dengan joran pancing bambu 6,2 detik.
155
Ukuran kapal huhate saat ini dengan P x L x T (14,83; 3,24; 2,50 m) merupakan ukuran yang dijumpai di daerah Maluku. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan karena jangkauan fishing ground semakin jauh dan jumlah armada semakin banyak sehingga memungkinkan operasi penangkapan akan terganggu. Modifikasi prototipe yang diusulkan untuk dikembangkan ini
dengan ukuran kapal P x L x T (15,26; 3,64; 2,62 m)
merupakan modifikasi baru yang dapat membantu nelayan dalam mengelola sumberdaya. Alasan diusulkannya modifikasi ukuran kapal lebih panjang mengingat fishing ground cukup jauh sehingga dibutuhkan kapal yang dapat mengelola sumberdaya secara maksimal. Perubahan modifikasi kapal yang diusulkan diharapkan dapat membantu nelayan dalam mengelola sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Perubahan modifikasi ukuran kapal diikuti dengan perubahan modifikasi palka, hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha penangkapan ikan. Desain palka saat ini masih belum memenuhi standar untuk menyimpan hasil tangkapan dan hasil tangkapan dijual pasaran lokal saja dan belum dimodifikasi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu produk eksport. Melihat kelemahan yang ada maka, diusulkan suatu bentuk modifikasi palka yang dapat menghasilkan produk eksport yang akhir-akhir ini permintaannya sangat tinggi baik di pasaran domestik maupun pasaran internasional. Teknologi modifikasi
palka yang diusulkan untuk dikembangkan tanpa
merubah bentuk palka saat ini, akan tetapi hanya dengan penambahan lapisan styrofoam pada dinding palka. Spesifikasi styrofoam dengan ketebalan 5-15 cm, dengan kondisi dinding palka terbuat dari fiberglass. Hal ini disebabkan karena palka yang terbuat dari fiberglass tanpa dilapisi oleh styrofoam tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil tangkapan. Kelebihan modifikasi palka dengan penambahan lapisan styrofoam ini antara lain: 1) dapat memperlambat proses pembusukan, 2) mutu hasil tangkapan lebih baik. Kelemahan dari desain palka ini hanya biaya pembuatan lebih besar tetapi tentunya dapat diimbangi dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Desain palka kapal huhate saat ini hanya dapat menampung 450 sampai 500 ekor/palka sedangkan kapal yang telah dimodifikasi palka dapat menampung > 500
156
ekor/palka, sedangkan daya tahan ikan hasil tangkapan yang diperoleh di daerah penangkapan sampai ke fishing base mencapai 12 jam pada palka yang telah dilapisi styrofoam dan untuk palka saat ini hanya mencapai 7 jam. Kondisi es pada palka kapal saat ini mencair lebih cepat bila dibandingkan dengan kondisi paka yang telah dimodifikasi dengan styrofoam. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan styrofoam proses pencairan es lebih lambat dibandingkan dengan tanpa styrofoam. Peralatan navigasi pada kapal huhate saat ini belum memenuhi stándar berlayarnya sebuah kapal karena peralatan tersebut hanya berupa kompas, SSB, peta laut. Diusulkannya penambahan peralatan navigasi seperti life jacket, hand GPS. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap keselamatan kapal pada saat operasi penangkapan, mengingat selama ini kapal huhate yang beroperasi di perairan Maluku belum dilengkapi dengan semua peralatan keselamatan di laut yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan. Alat tangkap pancing tonda merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tuna di perairan Maluku. Alat ini cukup efektif untuk mengelola sumberdaya perikanan, hal ini disebabkan karena alat ini termasuk alat tangkap ramah lingkungan dan hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan. Kelemahan alat ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan. Beberapa kelemahan alat ini antara lain: 1) ukuran senar No 800 termasuk ukuran kecil untuk menangkap ikan tuna, 2) kail yang digunakan masih berbentuk “J“ (J-shaped), 3) tidak digunakannya bahan pelindung dekat senar. Kelemahan dari alat ini dapat diatasi dengan diusulkan modifikasi alat tangkap yang baru yang mempunyai spesifikasi: 1) ukuran senar No 1000, 2) kail berbentuk circle shapped, 3) menggunakan swivel dekat mata pancing. Modifikasi prototipe alat pancing tonda yang diusulkan ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan yang dimiliki nelayan adalah sebagai berikut :1) senar tidak mengalami kekusutan pada waktu rontaan ikan yang terkait pada mata pancing karena telah dilengkapi dengan swivel, 2) dapat menangkap ikan tuna dengan berat di atas 60 kg tanpa putusnya senar, 3) pengangkatan (penarikan) ikan yang sudah terkait pada mata pancing, dapat dilakukan dalam
155
kurun waktu yang lebih pendek dibandingkan pada penggunaan ukuran senar yang lebih kecil, 4) senar terlindung terhadap gesekan gigi atau gigitan ikan, 5) ikan yang telah terkait pada mata pancing sukar terlepas, 6) dapat mengoperasikan lebih dari dua unit pancing dalam satu kapal tanpa terbelit satu sama lain disaat kapal melakukan manuver, 7) peluang untuk memperoleh ikan lebih dari satu ekor pada satu unit pancing lebih besar karena menggunakan lebih dari satu mata pancing. Keunggulan dari modifikasi alat ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan. Perairan
Maluku dengan potensi sumberdaya ikan
pelagis besar
membutuhkan kapal pancing tonda yang efektif untuk mengelola potensi tersebut. Kapal pancing tonda yang saat ini beroperasi di perairan Maluku memiliki beberapa kelemahan yang perlu diatasi dan diperbaiki sehingga operasi bisa optimal baik dari segi kapal maupun teknologi yang digunakan untuk pengelolaan potensi sumberdaya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: 1) ukuran kapal kecil (panjang: 7-8 m; lebar: 0,80 m; tinggi: 1,05 m) mengakibatkan pekerjaan pelaksanaan operasi penangkapan tidak efektif, 2) daya tampung 0,5 ton diakibatkan ukuran kapal kecil, 3) kapal tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi, 4) menggunakan bahan bakar minyak bensin mengakibatkan biaya operasional semakin besar, 5) tidak dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil tangkapan yang memadai sehingga penanganan hasil tangkapan tidak efisien. Kelemahan-kelemahan yang ada pada kapal tonda ini dapat diatasi dengan modifikasi kapal baru memiliki kelebihan antara lain: 1) ukuran kapal lebih besar (panjang 8,50; lebar 1,85; tinggi 1,15 m, 2) daya tampung 0,8 ton, 3) menggunakan fiberglass, 4) kekuatan mesin (40 PK) menggunakan bahan bakar kerosene, 5) menggunakan desain cool box yang dilapisi dengan styrofoam, 6) dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti kompas dan lifejacket yang fungsinya dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut. Modifikasi baru yang diusulkan untuk dikembangkan ini tentunya dibuat dengan berbagai pertimbangan yang mendasar dan sangat berguna bagi kepentingan pengelola sumberdaya perikanan. Kelebihan lain adalah volume palka dan bak umpan lebih besar, ruang kerja lebih luas.
156
Salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan operasi penangkapan kapal pancing tonda adalah cool box. Keberadaan cool box sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan hasil tangkapan. Cool box kapal pancing tonda saat ini sangat memprihatinkan akibatnya hasil tangkapan yang diperoleh hanya untuk konsumsi lokal dengan harga yang jauh lebih rendah. Modifikasi palka yang diusulkan untuk dikembangkan diharapkan dapat membantu nelayan sehingga pengelolaan sumberdaya pelagis besar dapat maksimal. Hal ini disebabkan karena modifikasi cool box mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cool box saat ini antara lain: 1) menggunakan bahan fiberglass, 2) menggunakan bahan styrofoam pada dinding cool box, 3) harganya dapat dijangkau oleh nelayan, 4) kualitas hasil tangkapan baik untuk dieksport. Keunggulan modifikasi ini diusulkan untuk dikembangkan sehingga dapat membantu nelayan. Hal ini disebabkan karena setiap pengusaha perikanan tangkap
mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang
dikelolanya. Harga jual ikan tuna saat ini dengan desain palka yang sederhana adalah Rp 25.000/kg jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jual dengan modifikasi cool box dengan bahan lapisan styrofoam sebesar Rp 60.000/kg. Nilai jual yang tinggi tentunya sangat diharapkan oleh nelayan sehingga hal ini merupakan suatu acuan jelas sehingga perlu pengembangan yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena kualitas dari desain cool box saat ini tidak terlalu baik sehingga menyebabkan nilai jualnya jauh lebih rendah dibandingkan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan. Dalam pemanfaatan potensi sumberdaya pelagis besar dengan alat tangkap pancing tonda sangat dibutuhkan teknologi yang dapat membantu nelayan. Salah satu teknologi baru yang sederhana diusulkan untuk dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan metode layang-layang. Penggunaan metode layang-layang sangat praktis sehingga dapat dilakukan oleh nelayan. Dalam pengoperasian alat tangkap dengan menggunakan metode ini, mesin kapal dimatikan serta kapal dibiarkan hanyut sesuai arah arus sehingga hal ini memungkinkan biaya eksploitasi dapat dikurangi sekitar 50%. Penggunaan metode ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan cara lama yang digunakan oleh nelayan antara lain:
155
(1)
Dapat menghemat BBM sampai 35-50%
(2)
Penggunaan teknologi sangat sederhana
(3)
Kecepatan kapal relatif kurang lebih 1 mil/jam
(4)
Konstruksi layang-layang terbuat dari bambu dan plastik dengan ukuran tinggi 1,00 m dan lebar 0,75 m, diameter bambu 1 cm. Penggunaan teknologi ini merupakan terobosan baru dan dapat dijangkau
oleh nelayan sehingga dapat menekan biaya operasi penangkapan. Kelebihan dari teknologi sederhana ini adalah dapat menghemat
BBM hingga 50%.
Dibandingkan dengan metode penangkapan ikan yang digunakan saat ini, penggunaan metode yang baru ini diharapkan akan memberikan respon positif bagi nelayan. Perbandingan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dari teknik penangkapan
ikan
saat
ini
dengan
penggunaan
metode
layang-layang
menunjukkan bahwa penggunaan metode ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi nelayan. Hal ini disebabkan karena penggunaan metoda layang-layang tidak membutuhkan biaya eksploitasi yang besar (Rp 350.000) bila dibandingkan dengan penangkapan ikan saat ini (Rp 650.000). Melihat kondisi yang ada saat ini, diharapkan perubahan yang terjadi akibat transfer teknologi yang dilakukan akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Maluku. Pukat cincin (purse seine) merupakan alat penangkapan ikan yang sudah lama dikenal oleh nelayan yang mendiami pesisir pantai di perairan Maluku. Di Maluku, pukat cincin (purse seine) dikenal dengan nama “jaring bobo” dan digunakan untuk menangkap ikan pelagis, terutama ikan pelagis kecil. Ukuran kapal pukat cincin di daerah ini dikategorikan sebagai ukuran kecil (panjang 18,25m; lebar 2,75m; tinggi 1,75m), hal ini mengakibatkan pekerjaan pada saat operasi tidak efektif karena sebagian ABK harus berada disisi kiri kapal untuk mengimbangi kestabilan kapal. Pada sisi lain pada kapal ini juga tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi dan peralatan penanganan
hasil tangkapan yang
memadai sehingga hal ini sangat berpengaruh pada saat operasi penangkapan. Melihat kelemahan yang ada maka, diusulkan modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan pengoperasian alat ini. Modifikasi prototipe kapal yang diusulkan mempunyai panjang 20,07; lebar 3,01; dan tinggi 2,02 meter, dengan
156
menggunakan mesin 40 PK (4 buah). Modifikasi ini tentunya memiliki kualitas dalam pembuatan kapal ikan, dilengkapi dengan peralatan navigasi, serta memiliki modifikasi palka yang dilapisi dengan lapisan styrofoam sehingga diharapkan kualitas ikan hasil tangkapan akan lebih baik. Desain palka saat ini belum dapat mengatasi keberadaan hasil tangkapan, hal ini disebabkan karena desain pada kapal ini masih bersifat tradisional walaupun terbuat dari bahan fiberglass dengan kualitas kurang baik. Hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap ini juga kadang-kadang dibiarkan diatas deck kapal sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan. Program palkanisasi harus dilaksanakan secara memadai yang berfungsi agar tetap menjaga kualitas ikan hasil tangkapan. Kapal-kapal penangkap ikan yang tidak berpalka optimal tidak mampu menjaga kualitas ikan sehingga hasil tangkapan hanya laku sekitar Rp 5.000 per kg. Padahal dengan penanganan yang baik, ikan tangkapan pada saat didaratkan masih berkualitas A atau B dengan harga jual rata-rata Rp 20.000 per kg. Teknologi alat bantu penangkapan pada armada ini belum begitu baik karena pada saat operasi penangkapan sering mengalami kegagalan, oleh sebab itu diusulkan suatu teknologi sederhana baru yang diharapkan dapat membantu nelayan mengatasi masalah ini. Salah satu teknologi sederhana baru adalah modifikasi “winch”. Winch merupakan alat bantu penangkapan untuk meringankan beban pada saat penarikan jaring dilakukan (Gambar 59). Penggunaan teknologi winch ini diharapkan dapat membantu nelayan untuk menarik tali cincin yang tujuannya agar ikan-ikan yang menjadi tujuan target sulit lolos. Winch ini terbuat dari as belakang mobil truk bekas, belt (tali kipas), mesin hand tracktor type Kubota Rb 85DI-TI. Biaya yang dikeluarkan untuk mesin hand tractor sebesar Rp 6.000.000, sedangkan biaya as truck bekas sebesar Rp 500.000. Walaupun biaya yang dikeluarkan cukup besar untuk pengadaan alat ini tetapi tentunya dapat diimbangi dengan nilai jual hasil tangkapan ikan pelagis. Penggunaan teknologi baru ini sangat diperlukan oleh pengusaha perikanan tangkap sehingga hasil yang diperoleh dapat maksimal. Desain yang diusulkan untuk dikembangkan ini merupakan terobosan teknologi sederhana yang mampu meningkatkan pendapatan nelayan. Dari aspek sosial pengunaan teknologi winch
155
ini hanya memerlukan jumlah nelayan yang relatif kecil (10 sampai 15 orang) bila dibandingkan dengan jumlah nelayan tanpa menggunakan winch pada kapal pukat cincin yang jauh lebih besar (20 sampai 25 orang). Dari aspek ekonomi modifikasi winch ini dalam pembuatannya memerlukan biaya yang relatif besar, akan tetapi ini dapat diimbangi dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Sedangkan dari aspek teknis, pengoperasian winch ini sangat praktis dan dalam pengoperasiannya dapat dikendalikan dengan mudah sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan baik. Penggunaan waktu yang dibutuhkan dengan modifikasi teknologi baru ini dalam penarikan alat tangkap pukat cincin adalah 25 sampai 35 menit sedangkan tanpa menggunakan winch adalah 55 menit. Kecepatan waktu yang dibutuhkan oleh alat ini sangat tergantung pada jumlah tenaga yang dihasilkan mesin yang digunakan pada alat winch. Alat tangkap huhate, pancing tonda, pukat cincin, merupakan unit penangkapan unggulan yang perlu dikembangkan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wisudo et al. (2003)
bahwa untuk meningkatkan produksi dibidang
perikanan adalah dengan penerapan teknologi modern pada sarana dan teknis digunakan, dalam hal ini termasuk unit penangkapan. Peningkatan produksi tidak selalu akan memberikan hasil atau pendapatan yang tinggi akan tetapi perlu dibutuhkan pula strategi dalam pemasaran produk yang dihasilkan. Kebijakan untuk menggantikan unit penangkapan yang kurang produktif di perairan Maluku perlu dilakukan secara hati-hati karena akan berdampak pada struktur sosial dari masyarakat nelayan. Keberhasilan perikanan tangkap tidak hanya dilihat dari aspek produksi, akan tetapi bagaimana produk yang dihasilkan tersebut dapat dipasarkan dengan baik serta dengan harga yang layak. Faktor pendukung lain yang dapat menunjang keberhasilan pengembangan perikanan tangkap di Maluku adalah adanya pabrik es. Es merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi usaha penangkapan ikan sebab es sangat menentukan kualitas komoditi ikan yang dipasarkan. Kualitas ini pula selanjutnya menentukan besar kecilnya tingkat harga yang ditawarkan serta penerimaan dari hasil penjualan. Keberadaan desain cool box sangat dipengaruhi oleh es karena es merupakan bahan yang dapat membantu nelayan dalam menghasilkan kualitas eksport ikan hasil tangkapannya. Kebutuhan akan es pada kapal penangkapan
156
sangat ditentukan oleh besarnya palka dan besarnya kapal yang dipakai sebagai kapal penangkap. Kapal huhate pada umumnya membutuhkan es balok sebanyak 20 sampai 30 balok es. Balok-balok es itu kemudian dihancurkan menjadi kepingan-kepingan kecil dan dimasukan ke dalam palka. Sedangkan pada kapal pancing tonda hanya membutuhkan 2 sampai 3 balok es dan pada kapal pukat cincin digunakan es sebanyak 5 sampai 10 balok. Kristal-kristal es yang telah dihancurkan tadi mempunyai fungsi yang sama juga pada kapal pancing tonda dan pukat cincin. Adapun matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku disajikan pada Tabel 72 Tabel 72 Matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku No 1
Alat tangkap/kapal/teknologi Huhate - Pancing - Kapal
3
Pengembangan teknologi
- Bahan bambu - Ukuran kapal kecil
- Bahan fiberglass - Ukuran kapal diperbesar
- Tidak efisien dalam penyimpanan hasil tangkapan
- Lebih efisien dengan menggunakan styrofoam pada dinding palka
- Ukuran snar kecil (No 800) - Type kail “J” shapped
- Ukuran snar lebih besar (No 1000) - Type kail cyrcle shapped
- Kapal
- Ukuran kapal kecil
- Ukuran kapal diperbesar
- Modifikasi cool box
- Tidak efektif dalam penyimpanan - Menggunakan styrofoam hasil tangkapan
- Modifikasi palka
2
Kondisi saat ini
Pancing tonda - Alat tangkap
- Teknologi penangkapan ikan tuna - Teknologi penangkapan secara dengan menggunakan metode layang- manual layang Pukat cincin - Kapal - Ukuran kapal kecil - Modifikasi palka
- Modifikasi winch
- Menggunakan layanglayang sebagai alat bantu penangkapan - Ukuran kapal diperbesar
- Tidak efisien dalam penyimpanan - Lebih efisien dengan hasil tangkapan menggunakan bahan styrofoam pada dinding palka - Hauling jaring menggunakan tenaga manusia - Menggunakan winch sebagai alat bantu pada waktu hauling
Sumber: Hasil penelitian (2009) 5.7 Model Konseptual Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku Model konsep ini adalah merupakan tindak lanjut dari penggalian issu yang terjadi pada saat ini dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat
155
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan suatu kebijakan.
Suatu
kebijakan
akan
selalu
mengutamakan
tujuan
tanpa
memperhatikan masalah yang terjadi di lapangan, hal ini yang menyebabkan tidak optimalnya suatu kebijakan. Hasil dari penelitian yang dilakukan ini mencoba menggali issu yang terjadi dengan berbagai macam permasalahaan yang lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku dengan melihat kembali kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, apakah seimbang dengan jalannya roda pembangunan perikanan tangkap di daerah ini. Setelah mencoba menganalisis faktor-faktor tersebut, ternyata hasil yang diperoleh lebih cenderung dan mengarah pada ketidakseimbangan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan permasalahaan pada masyarakat. Kebijakan yang diharapkan yaitu dapat mampu merubah penggunaan teknologi yang selama ini dalam mengelola sumberdaya dengan penggunaan tekonolgi baru sehingga pengelolaannya dapat diimplementasikan dengan tepat sasaran serta rasional. Hal ini didukung oleh pendapat Nugroho (2003) yang menjelaskan bahwa sebuah kebijakan yang selalu diutamakan adalah tujuan mengamati masalah yang ada. Permasalahaan internal perikanan tangkap yang selama ini terjadi di provinsi Maluku antara lain: 1) keterbatasan akses terhadap informasi dan sistem data base, 2) pendanaan, 3) infrastruktur (sarana dan prasarana), 4) sumberdaya manusia, 5) over fishing dan kerusakan lingkungan, 6) serta belum adanya aturanaturan yang mengatur potensi sumberdaya alam. Masalah eksternal, baik makroekonomi, politik, hukum dan kelembagaan adalah 1) illegal fishing akibat penegakan hukum dan pengawasan di laut yang lemah, 2) perizinan, 3) kebijakan sektoral sangat menonjol, 4) belum ada implementasi tata ruang laut provinsi, 5) instrumen monoter belum mendukung pengembangan bisnis perikanan, 6) politik dan keamanan. Permasalahaan yang selama ini terjadi di Provinsi Maluku adalah sangat kompleks dan hasil analisis menyatakan bahwa posisi teknologi alat penangkapan ikan di perairan Maluku berada pada phase pertumbuhan, hal ini membuktikan bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan di daerah harus dilakukan
156
secara bersama-sama dan disepakati oleh semua unsur yang terkait didalamnya dengan mempunyai suatu komitmen bersama berdasarkan ketersediaan potensi sumberdaya, alokasi unit penangkapan, penerapan alat penangkapan tepat guna, pengembangan unit penangkapan, serta strategi pengembangan perikanan pelagis. Permasalahaan tersebut dapat bermanfaat bagi nelayan, menambah PAD, kelestarian sumberdaya, serta berguna bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pelaksanaan UU No 32 tahun 2004 itu minimal memiliki dua implikasi terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal pewilayahan daerah penangkapan ikan, yaitu: 1) Pemerintah Provinsi harus dengan lebih pasti mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai dengan daerahnya, 2) Pemerintah Provinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil dari 12 mil laut berada dibawah wewenangnya kepada kota/kabupaten yang selanjutnya dikelola pemanfaatannya (Nikijuluw et al. 2007). Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pembangunan perikanan dapat berjalan dengan baik dengan memperhatikan
aspek-aspek
seperti
lingkungan
strategis,
potensi,
dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan, permasalahaan yang ada dalam sistem produksi, IPTEK dan SDM, hukum dan kelembagaannya. Dua komponen utama dalam bidang pengelolaan sektor perikanan adalah sumberdaya perikanan sebagai objek yang dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, serta sumberdaya manusia sebagai pengelola dengan dua pihak penting didalamnya yaitu pihak pengelola yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan sektor perikanan, dan pihak pengguna sektor perikanan yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan tersebut. Pemerintah dan masyarakat adalah merupakan mitra yang setara dalam kerjasama untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Menurut Jentoft (1989) yang diacu oleh Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan alasan efisiensi dalam hal ini dikarenakan sumberdaya ikan merupakan sumberdaya bersama (common property) sehingga dampak eksternalitasnya dapat dikurangi
tidak
melebihi kapasitas yang berakhir dengan efisiensi, terwujudnya keadilan dalam
155
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya antara nelayan skala kecil dengan nelayan skala besar, kemampuan otoritas pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat berjalan baik dengan memperhitungkan batasan kewenangan, luasnya daerah dan kompleksitas masalah dapat teratasi dengan mudah sehingga secara tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi. Permasalahaan yang dialami oleh nelayan sekarang ini di Maluku adalah kurangnya dana yang disiapkan oleh pemerintah, swasta sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Solusi yang diperlukan untuk maksud ini adalah pinjaman modal oleh pemerintah dengan bunga yang rendah sehingga nelayan dapat memilikinya bunga rendah dari pemerintah dan berpengaruh secara langsung terhadap pengembangan perikanan pelagis yang akan dikembangkan. Bentuk kerjasama serta partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam mengoptimalkan suatu aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan akan mencapai sasaran apabila kerjasama tersebut dapat diwujudkan melalui suatu proses. Hal ini dibuktikan oleh pendapat Suharyanto et al. (2005) yang mengatakan bahwa bentuk ko-management yang berbasis pada masyarakat akan sangat membantu untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan yang bersifat berkelanjutan. Salah satu pola kemitraan yang dapat dikembangkan adalah dengan sistim pola inti rakyat dimana pemerintah sebagai pembina utama, pengusaha sebagai mitra pembina dan nelayan sebagai mitra binaan. Program kemitraan seperti ini, dipandang dapat dikembangkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina. Dalam mengembangkan program kemitraan seperti ini, pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakkan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama sehingga dapat berkembang dengan baik. Pengembangan model perikanan pelagis yang akan dikembangkan dengan berbagai pertimbangan diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pemanfaatan pengelolaan sumberdaya ikan di Maluku.
156
Pengelolaan sumberdaya ikan yang baik akan selalu melibatkan semua unsur terkait yang berkompeten dalam pemanfaatan potensi sumberdaya. Untuk mewujudkan
suatu
keberhasilan
dalam
proses
pengelolaan
yang
bertanggungjawab dan lestari maka dibutuhkan suatu kerjasama. Setiap pihak yang berkepentingan menjalankan dan mematuhi kesepakatan yang berlaku dan ditetapkan bersama baik itu formal maupun non formal untuk mencapai suatu tujuan, maka dengan mudah suatu sistem industri perikanan yang ada dapat digerakkan dan diarahkan. Menurut Nikijuluw (2002), bentuk ko-manajemen adalah suatu bentuk pendistribusian tanggungjawab dan kewenangan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan antara pemerintah dan masyarakat (nelayan maupun swasta). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi model teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan-nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan. Namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan-perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan. Tanpa adanya perubahan-perubahan tersebut, maka
modernisasi
dan
peningkatan
kapasitas
penangkapan
menjadi
kontraproduktif. Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi
155
apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologiteknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Bentuk teknologi yang relatif aman dikembangkan adalah teknologi yang bersifat skala netral (neutral scale). Teknologi jenis ini dapat digunakan pada skala usaha mana saja maupun dalam kondisi ketenagakerjaan dengan tingkat pengangguran maupun rendah dengan sama efektifnya. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. Pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam hubungan pelaku pembangunan perikanan yang pada hakekatnya adalah cara untuk memperkenalkan atau melembagakan sistem pengambilan keputusan yang dilakukan bersama-sama dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya. Kerjasama yang baik dalam suatu komitmen yang tepat guna mencapai tujuan dengan menekan permasalahaan-permasalahaan yang ada maka dengan sendirinya terjadi kompetisi yang sehat dalam suatu usaha akan tercipta. Nikijuluw (2002), mengatakan bahwa setiap perilaku yang melalui komanajemen akan menciptakan status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien serta lebih adil dan merata. Sumberdaya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat proses pembangunan termasuk pembangunan perikanan tangkap. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan teknologi hingga produktivitas meningkat, oleh karena itu pengembangan sumberdaya manusia seharusnya mendapat prioritas dalam pembangunan perikanan tangkap. Pengembangan sumberdaya manusia perikanan dapat ditempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, pendidikan dan latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Model yang dibangun ini diharapkan akan memberikan arti penting dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku yang akan diatur dan dirancang secara intern sesuai kekuatan yang ada dengan tujuan dan masalah keseimbangan sumberdaya serta teknologi dalam merumuskan kebijakan.
227 1 Pemerintah 2 Masyarakat 3 Swasta Potensi lestari ikan pelagis Alokasi unit penangkapan ikan KONDISI PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU SAAT INI
GOAL Jaminan Keselamatan sumberdaya
Penerapan alat penangkapan tepat guna
Prioritaskan unit penangkapan ikan
Kesejahteraan nelayan
Strategi pengembangan perikanan pelagis
PAD
Gambar 79 Model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
227
Gambar 79 menunjukkan bahwa implementasi optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan melalui instrumen perijinan dari pemegang otoritas sumberdaya lokal, sesuai dengan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu dikelola dengan pertimbangan kapasitas sumberdaya yang tersedia. Optimalisasi alokasi unit penangkapan di perairan Maluku membutuhkan suatu stakeholeder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif kabupaten/kota di Maluku. Dalam rangka pengembangan perikanan pelagis ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupaten/kota cenderung menentukan besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari satu perairan ke perairan lain sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Selain itu, sumberdaya bersifat common property resourches dan pengelolaannya bersifat open access. Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengawasan dan pengendalian tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap sehingga pengawasan oleh pemegang otoritas manajemen sumberdaya semakin sulit diimplementasikan. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan sumberdaya ikan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) ikan pelagis secara terpadu oleh kabupaten/kota yang memanfaatkan sumberdaya secara langsung di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan dapat memberikan arah pengelolaan yang lebih jelas, terorganisir, dan transparan bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis. Penyusunan RPP sebaiknya melibatkan para stakeholders perikanan seperti nelayan, pedagang ikan, pemasok alat tangkap, pemerintah, masyarakat dan swasta. Keterlibatan seluruh stakeholders dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong peningkatan ”rasa memiliki”
155
dan ”rasa tanggung jawab” untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan ( Martosubroto 2007). Seperti di Indonesia, pengelolaan sumberdaya perikanan di Maluku dilakukan dalam akses terbuka dan pengendalian ijin penangkapan. Bentuk pengelolaan pertama dapat menimbulkan inefiensi alokasi dan degradasi sumberdaya. Kondisi pengelolaan akses terbuka masih terus berlangsung hingga saat ini. Bentuk pengelolaan kedua menghasilkan efisiensi alokasi sumberdaya. Secara teoritis, bentuk pengelolaan kedua dapat dilakukan pada titik maximum economic yield. Dengan demikian, penerapan alat penangkapan tepat guna di perairan Maluku harus dilakukan secara kehati-hatian dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena implementasi penerapan pengembangan alat tangkap tepat guna belum maksimal karena 75%
alat penangkapan ikan berukuran kecil dan bersifat tradisional.
Namun, intensifikasi modal dan modifikasi teknologi tepat guna masih sangat dibutuhkan baik bagi peningkatan kemampuan armada penangkapan. Misalnya, untuk menjangkau daerah penangkapan di ketiga wilayah WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) yang ada di Maluku dibutuhkan kemampuan kapal pukat cincin (purse seine) yang dilengkapi dengan peralatan navigasi, alat bantu penangkapan, dan alat deteksi ikan (echosounder) untuk meningkatkan efektifitas operasi penangkapan. Pendekatan
yang
dilakukan
di
Provinsi
Maluku
terhadap
model
pengembangan perikanan pelagis tidak hanya didekati dari satu segi, namun harus dari beberapa segi yang dianggap penting untuk mendapatkan pemecahan yang objektif. Pendekatan integratif sangat penting diperlukan untuk mengkaji seluruh faktor guna mendapatkan pemecahan masalah yang terjadi secara optimal. Berdasarkan
lingkup
kajian
meliputi
segala
mempengaruhi pengembangan perikanan pelagis
aspek
manajemen
yang
di Maluku, maka dalam
penelitian ini digunakan pendekatan sistem terhadap alat penangkapan ikan dari berbagai hubungan yang kompleks. Pendekatan cluster dalam pengembangan sumberdaya perikanan pelagis dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan
156
efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Cluster dapat berupa kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas dan bahkan bisa berupa sebuah wilayah lintas negara. Pengembangan sumberdaya perikanan dengan pendekatan cluster dimana sekelompok usaha/industri yang saling terkait dari berbagai aspek usaha dan beroperasi dalam wilayah yang saling berdekatan diyakini mampu untuk tumbuh dan berkembang. Dengan pendekatan cluster tersebut dapat mengurangi biaya transaksi, meningkatkan daya saing dan efisiensi produksi. Mengingat sebagian besar komoditas perikanan Indonesia di ekspor dalam bentuk produk primer, maka dengan pendekatan cluster diharapkan terbangun suatu industri pengolahan hasil perikanan yang kuat dengan dukungan subsistemsubsistem lainnya sehingga nilai tambah suatu produk dapat ditingkatkan dan memperkuat daya saing komoditas ekspor Indonesia. Pelaku utama dalam pengembangan cluster perikanan adalah pelaku yang terlibat
pada
usaha
tersebut
baik
yang
bersifat
individu
maupun
lembaga/perusahaan. Dengan keterlibatan yang aktif dari para pelaku tersebut dimungkinkan cluster tersebut dapat semakin besar dan kuat. Keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis membutuhkan strategi yang jelas dan tepat sehingga potensi sumberdaya dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan. Model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat diterapkan jika ditunjang oleh beberapa asumsi yaitu: 1) pendapatan meningkat, 2) dapat meningkatkan PAD, 3) kelestarian sumberdaya terkendali, dan 4) peran pemerintah, masyarakat, dan swasta dapat menunjang pelaksanaan pengelolaan sumberdaya.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan (1) Tingkat pemanfaatan ke-enam jenis ikan pelagis kecil di perairan Maluku
masih dibawah tingkat potensi lestari dengan tingkat pengupayaannya masih normal. Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan ke-enam jenis ikan pelagis besar di perairan Maluku masih dibawah tingkat potensi lestari sehingga perlu pengembangan secara berkelanjutan. (2) Teknologi tepat guna untuk alat tangkap yang dapat dikembangkan di
perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan (3) Alokasi optimum unit penangkapan perikanan pelagis adalah pukat cincin
257 unit, pukat pantai 260 unit, bagan 1419 unit, huhate 1457 unit, pancing tonda 40940 unit, dan jaring insang permukaan 30.000 unit. (4) Modifikasi prototipe unit penangkapan yang dilakukan di perairan Maluku
dapat meningkatkan sumberdaya ikan. (5) Strategi penerapan
pengembangan perikanan pelagis di Maluku adalah
dengan penambahan armada,
penerapan CCRF dan aturan batas
penangkapan, optimalisasi potensi SDI, peningkatan investasi, pengadaan cold storage, penerapan teknologi tepat guna dan penerapan ukuran mata jaring yang selektif. (6) Model konseptual pengembangan perikanan pelagis di Maluku dirancang berdasarkan potensi sumberdaya sehingga dapat meningkatkan produktifitas. 6.2
Saran
(1) Kebijakan yang sudah dihasilkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah. (2) Untuk melestarikan sumberdaya, maka Pemerintah Daerah segera membuat aturan yang sesuai sehingga sumberdaya tetap berkelanjutan. (3) Untuk meningkatkan efisiensi penangkapan maka teknologi tepat guna sangat dibutuhkan bagi pengembangan perikanan tangkap.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin SZ, 2004. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah Jakarta. Hal 63-76. Andarto E, Sutedjo D. 1993. Proses Perencanaan Kapal Tuna Long Line. Surabaya. Halaman 76-89. Adhuri DL,Wahyono A, Indrawasih R. 2005. Fishing In, Fishing Out: Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMBLIPI). Jakarta. Atmaja SB, Haluan J. 2003. Perubahan Hasil Tangkapan Lestari Ikan Pelagis di Laut Jawa dan Sekitarnya. Buletin PSP Vol XII No. 2. Hal 31-40. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Atmaja SB, Wiyono ES, Nugroho D. 2001. Karakteristik Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Laut Cina Selatan dan Perkembangan Eksploitasinya. Buletin PSP Vol X No. 1. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Halaman 51-64. Arif S. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. 135 hal. Arif S. 2007. Konflik Nelayan dan Pengkavlingan Laut http://groups.yahoo.com/group/ppi-kyushu/message/1801. 18-01-2010
Tanggal
Ayodhyoa 1972. Craft and Gear. Corespondence Course Center. Jakarta. Bahari R, 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Jakarta. 18-19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. 125 hal. Baruardi ASR. 2002. Model Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Gorontalo. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 167 hal. Barus H, Badrudin, Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan. Prossiding Forum II Perikanan, Sukabumi, 18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 170 hal. Mulyono S, 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 247 hal.
234
Baskoro MS, Sondita MFA, Solihin I. 2006. Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Di dalam: Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja. M.Sc. Bogor: FPIK. 7-18 hal. [BPIS]
Badan Pengembangan Industri Strategis 1989. Peraturan Konstruksi Kapal Niaga. Jakarta 113 hal.
[BKI]
Biro Klasifikasi Indonesia 1996. Buku Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut-Peraturan Kapal Kayu. Jakarta. 75 hal.
Boer M, Azis KA, Widodo J, Djamali A, Gofar A, Kurnia R. 2001. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya ikan Laut di Perairan Indonesia. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 44 hal. Boxton K.1957. Enginering Economics and Ships Design. School of Marine Technology University of Newcastle. Upon Tyne. UK. 45 hal. [BPS Maluku] Badan Pusat Statistik Maluku. 2007. Maluku Dalam Angka. Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Maluku. 606 hal. Briguglio L, 1995. Small Island States and Their Economics Vulnerabilities. World Development, 23.p1615-1632. Brown K, 1957. Kapal-Kapal Kayu untuk Perikanan Laut. Jawatan Perikanan Laut. Jakarta.57 hal. Charles AT. 2001. Sustainability Fisheries System. Blackwell Science Ltd. Oxford.370p. Choliq A, Sofwan O, Wirasasmita RA. 1993. Evaluasi Proyek (Suatu Pengantar). Bandung. Pionir Jaya.89 hal Clark CW, 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley & Sons, New York .300 p. Cochrane KL, 2002. A Fishery Managers Guidebook. Management Measures and Their Application. Senior Fishery Recources Officer. Fishery Recources Division, FAO Fisheries Departement. Rome. 231 p Cunningham S, 1981. The Evolution of Objectives of Fisheries Management during the 1970’S. Ocean Management., (1): 7-12. Dahuri R. 2002, Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. Jakarta. 157 hal.
235
De Coning CB. 1995. The Nature and Role of Public Policy, Chapter 1 [DEPDIKBUD] (1990) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1090 hal. Direktorat Produksi. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Petunjuk Teknis Penangkapan Ikan Ramah lingkungan. Jakarta. 88 hal. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. DKP RI. 2007. Teknologi Tepat Guna Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. 129 hal. Desentralisasi Kelautan dan Kesejahteraan Nelayan (2008). http://web.ipb.ac.id/~pkspl/index.php?option=com_content&task=vie w&id=40&Itemid=49 Tanggal 18-01-2011 [DJPT]
Ditjen Perikanan Tangkap. 2004. Strategi Pengelolaan Kawasan Perikanan Terpadu di Sentra-Sentra Kegiatan Nelayan. Buletin Kawasan (13). Halaman 17-19.
[DKP]
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku 1997. Maluku Dalam Angka.
[DKP]
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku 2007. Pokok-pokok dalam pengaturan Perikanan Tangkap. Makalah ini disampaikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku pada Kegiatan Bimbingan dan Sosialisasi Ketentuan Penanaman Modal Kerjasama BKPM dan BKMPD Provinsi Maluku. Tanggal 16 Agustus 2007. 2003. Data Spasial Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Provinsi Maluku. 267 hal. 2004 Laporan Tahunan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 105 hal 2005 Laporan Tahunan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 110 hal. 2006 Laporan Tahunan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 121 hal 2007. Laporan Tahunan. Dinas Perikanan Maluku. 125 hal.
[DKP]
dan Kelautan Provinsi
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 2007a.Ground Chek Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 134 hal
236
[DKP]
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2006. Data Statistik Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 356 hal.
[DKP]
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku 2008. Pemetaan Sumberdaya Ikan di Provinsi Maluku. 245 hal.
[DKP]
Departemen Kelautan dan Perikanan RI 2006. Perikanan Tangkap Indonesia (Suatu Pendekatan Fisiologis dan Analisis Kebijakan) tanggal 25 Juli 2006. http://www.dkp.go.id.,Tanggal 18-01-2011.
[DKP]
Departemen Kelautan dan Perikanan Probolinggo 2008. Penggunaan Cool Box bagi Operasi Penangkapan Ikan. 5 hal.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2002. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2000. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktur Jenderal Perikanan tangkap. Jakarta. 2004. Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap. Disampaikan Pada Rapat Koordinasi Relokasi Nelayan Tingkat Nasional Tahun 2004 Tanggal 9 – 10 Desember 2004 di Hotel Ibis Mangga Dua. Jakarta. Dirjen Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 4 Hal. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press. 147 hal. [FAO] Food Agriculture Organization 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome. 59 hal. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. Fauzi A, Suzy, A. 2005. Pendekatan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama. 343 hal. Fyson J. 1985. Desain of Small Fishing Vessels. Fishing News Book Ltd. Farm. Survey. England. Hal 35-37. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment : A Manual of Basic Methods. New York: John Wiley & Sons. 223p. Haluan J, Nurani TW. 1988. Penerapan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Bulletin PSP Vol II, No1. Hal 3-16 Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Hanafiah, Saefudin AM.1986. Tata Niaga Hasil Perikanan. UI Press.Jakarta. 69 hal.
237
Heriawan Y. 2008. Alokasi Unit Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Pandeglang Banten: Menuju Perikanan Tangkap yang Terkendali. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 114 hal. Hermawan M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 389 hal. Ihsan. 2000. Kajian Model Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Rangka Pengelolaan Laut secara Optimal di Daerah Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Thesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 106 hal. [IPPTP] Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. 1998. Pembuatan Peti Palka Berinsulasi. Brosur. DKI Jakarta. 5 hal. Jusuf N. 2005. Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Disertasi telah dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 8 hal Kadariah, Karlina, Gray. (1999) Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. LPEM. FEUI.181 hal Karunia RL, Haluan J, Monintja DR, Ratnawati A. 2008. Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. (Analysis on Property of Fisherman in Kepulauan Seribu Adminitration Regency). Buletin PSP Vol XVII No. 1. Hal 4470. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Kebijakan perikanan dan Kelautan . 2006. Issu, Sintesis dan Gagasan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,. Jakarta 10270. www.gramedia.com.Tanggal 18-01-2011. Kesteven GL.1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No 118. 43 p King M. 1995. Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing News Book, Farnham Surrey. England. 342 p. [KOMNASKAJIKANLUT].Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut 2008. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakata: Kerjasama Komnaskajikanlut dan FPIK IPB. 39 hal. Kuncoro, W. 2005. Penanganan Hasil Tangkap Sistem Pembekuan. Pusat Pengembangan dan pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian. Cianjur. 75 hal.
238
Kusumastanto T. 1996. Dampak Sosial Ekonomi Pelarangan “Pukat Harimau” Trawl: Tinjauan Kebijakan Sumberdaya Perikanan. Makalah pada Diskusi Ilmiah Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEEI dan Permasalahan Pukat Harimau di Indonesia. Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan Jaringan Kerja Teknologi Penangkapan Ikan di Indonesia. [LAN RI] Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2007. Kajian Manajemen Strategik, LAN RI. Jakarta.216 hal. Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Laboratorium Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 66 hal. Manggabarani H. 2003. Kebijakan Perikanan Tangkap dalam Kaitannya dengan Pengamanan Sumberdaya Ikan. Lokakarya Nasional Hukum Laut. Penegakan Kedaulatan dan Hukum di laut Yuridiksi Negara Kesatuan RI ditinjau dari Aspek Pengamanan Batas Wilayah dan Sumberdaya Nasional. 115 hal. Mangkusubroto K, Trisnadi CL. 1985. Analisa Keputusan. Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. 79 hal. Manetsch TJ, Park GL. 1976. System Analysis and Simulation With Application to Economic System. Part I. Chapter II. Michigan State University. USA. p. 1-49. Manurung VT, Pranadji T, Mintoro A, Kirom MN, Isetiaji, A. Murtiningsih, Sugiarto. 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi Desa Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian. 230 hal. Monintja DR. (1987) Beberapa Teknik Pilihan Untuk Memanfaatkan Sumber Daya Hayati Laut di Indonesia. Buletin PSP (1). Halaman 14-25. Monintja DR. 2000. Prossiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal Monintja DR. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 156 hal. Monintja DR, Yusfiandayani R. 2001. Pemanfaatan sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Proceeding Pelatihan Untuk Pelatih
239
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Halaman 56-65. 2003. Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Kerakyatan. Riau. 12 hal. 2005. Makalah Seminar Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Martosubroto P. 2007. Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEE. (Materi Kuliah). Program Studi TKL, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasi). Masyahoro A. 2004. Model Pengembangan Perikanan Purse Seine yang Berkelanjutan di Perairan Kabupaten Parigi Moutong, Teluk Tomini. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 263 hal. Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 247 hal. Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Pantai. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelaolaan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: COFISH Project. 200 hal. Murdiyanto B. 2007. Persepsi Terhadap Perubahan Perikanan Global dan Arah Penelitian (Global Fisheries Change and Research Needed). Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Perikanan Tangkap Departemen PSP FPIK.IPB. 5 Desember 2007. Nanda A. 2004. Pengukuran dan Penggunaan GT Kapal Ikan di Indonesia. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 115 hal. Nasenda B.D dan A. Anwar. 1985. Program Liniear dan Variasinya. PT Gramedia. Jakarta. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Perikanan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 54 Hal. 2005. Politik Ekonomi Perikanan, Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. PT. Fery Agung Corporation (FERACO). Jakarta. Hal 78-79. Nikijuluw VPH, Abrahams J, Dangeubun FDW. 2007. Kajian Data Base. Perikanan dan Kelautan Maluku untuk Kelayakan Investasi.Hal.57-59
240
Nomura M, Yamazaki. 1977. Fishing Techniques. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. 65 hal. Nurani TW. 1987. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan yang dapat Dikembangkan di Cilacap. Jawa Tengah. Skripsi (Tidak Dipublikasikan) Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 101 hal Nurani TW. 1996. Usaha Perikanan Longline Tuna Beku Sashimi dan Kemungkinan Pengembangannya.[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 171 hal. Nurhakim S, Nikijuluw VPH, Nugroho D, Prisantoso BI. 2007. Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan. Informasi dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. 125 hal. Pasaribu BP. 1985. Prossiding Seminar Pengembangan Kapal Ikan di Indonesia dalam rangka Implementasi Wawasan Nusantara. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 37-38 Pengakuan Hak Nelayan Tradisional (2008). Jakarta. http://groups.google.com/group/petanionline/browse_thread/thread/1ff 7af064b8b 1911. Tanggal 18-01-2011 Pollnac RB, Morrissey. 1989. Aspect of Small Scale Fisheries Development. International Center for Marine Resource development at University of Rhode Island. Hal 78 Purbayanto A, Riyanto M, Fitri A.D.P. 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada Perikanan Tangkap.Hal 53 Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Penenrbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 125 hal. Rau. J.G and D.C. Wooten. 1980. Environmental Impact Analysis Handbook. Mc Graw Hill Book Company. [RPPK] Revitalisasi, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 2005. 4 hal http://www.litbang.deptan.go.id/special/rppk/files/L2J1.pdf 18-01-2011
Tanggal
Riyanto B. 1991. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi 3. Cetakan ke empat belas. Yayasan badan Penerbit Gajah Mada. Yogjakarta.317 hal. Rumajar T, Haluan J, Mawardi W. 2002. Pendekatan Sistem untuk Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Karang dengan Alat Bantu
241
Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. MARITEK. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol 2 No.1. Hal 69-99. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process. Mc. Graw-Hill Book Co. hal 87-89 Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT Pustaka Binaman Perssindi. Jakarta. 270 hal. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan oleh Liana. 177 hal. Saaty TL. 1986. Decision Making for Leader. Edisi Bahasa Indonesia. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. 270 hal. Sainsbury JC. 1996. Commercial Fishing Method an Introduction to Vessel and Gear. Third Edition. Cambridge Marston Book Service Ltd. 359 p Satria A.
2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Diterbitkan atas Kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia, dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Salusu J. 1988. Pengambilan Keputusan Stratejik. Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Penenrbit PT. Grasindo. Jakarta. Hal 23. Schaefer 1957. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto. Canada. 291 p. Siswanto. 1990. System Komputer Managemen LINDO. Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta. 242 hal. Siswosudarmo, M.E. Annimulla, B. Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi dan Manajemen. Penerbit. UMJ Press. Jakarta. 415 hal. Siswanto. 1993. Goal Programming dengan menggunakan LINDO. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. 242 hal. Soekarwati. 1995. Pembangunan Pertanian. Raja Grafindo, Jakarta. 174 halaman. Soekarsono NA. 1995. Pengantar Bangunan Kapal dan Ilmu Kemaritiman. PT Pamator Pressindo. Jakarta. 380 hal. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Jakarta: Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 438 hal
242
Suharyanto, Jaya I, Sondita MFA, Haluan J, Moninjta DR. 2005. Evaluasi Kapasitas Masyarakat untuk Berpartisipasi Dalam Manajemen Perikanan Parsipatif. Buletin PSP, Volume XIV. No.2 Hal. 24-35. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sunarto N. 1985. Motor Serba Guna. Pragnya Paramita. Jakarta. Hal 98 . Sutojo S. 2002. Studi Kelayakan Proyek. Konsep, Teknik dan Kasus, Seni Manajemen Bank. No 66. PT. Damar Mulia Pustaka. Penerbit Buku Manajemen Terapan dan Perbankan. Jakarta. 225 Hal. Solihin I. 2003. Masalah dan Upaya Optimalisasi Usaha Perikanan Tangkap: Suatu Tinjauan Kebijakan. Konsep Pengembangan Sektor Perikanan dan Kelautan di Indonesia. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. IPB. Hal 18-40 Suyasa IN, Sondita MFA, Nikijuluw VPH, Monintja DR. 2007. Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil dan Faktor Penentu Efisiensi Usaha Perikanan di Perairan Pantai Utara Jawa. Buletin PSP Vol XVI No. 2. Hal 232-245. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004. Tentang Perikanan. Hal 57. Unus F, Darmawan, Novita Y. 2005. Analisis Kebijakan Internasional Mengenai Keselamatan Nelayan Kapal Ikan. Buletin PSP, Volume XIV. No 1 Hal 46-63. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah. CV Citra Utama 2004. Jakarta. 404 hal. Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gajah Mada Press. 252 hal. Wilson B. 1990. Systems, Concepts, Methodologies and Application. New York: John Willy and Sons. 168p. Wisudo SH, Nurani TW, Zulkarnain. 1994. Teknologi Penangkapan Ikan yang layak Dikembangkan di Labuan, Jawa Barat. (Tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. IPB. 136 hal
Wisudo HS. 2008. Pengembangan Perikanan Tangkap Bertanggungjawab di Provinsi Nangroe Aceh Darusallam. Buletin PSP Vol XVII No.1. Hal 1-28. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB.
243
Yulistyo. 2006. Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab di Ternate, Maluku Utara. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 163 hal. Yuliansyah H. 2002. Pengembangan Perikanan Tangkap Untuk Pemberdayaan Nelayan di Kepulauan Riau dalam Prespektif Otonomi Daerah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 153 hal
244
LAMPIRAN
245
LAMPIRAN