i
MODEL DINAMIKA SPASIAL SISTEM PERIKANAN: KASUS PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KABUPATEN MALUKU TENGAH
JAMES ABRAHAMSZ
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan: Kasus Pengembangan Kawasan Perikanan Pelagis Kecil di Kabupaten Maluku Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
James Abrahamsz NRP.C462070094/SPT
iv
v
ABSTRACT
JAMES ABRAHAMSZ. Spatial Dynamic Model of Fishery System: Case of Small Pelagic Fisheries Area Development at Central Mollucas Regency. Under Supervision of BUDY WIRYAWAN, MUSTARUDDIN and BAMBANG MURDIYANTO. Disparities of fisheries development in Central Mollucas regency were indicated by differences in fishery system dynamics. High potency and good access to the utilization of small pelagic fishes in the WPP-RI 714 and 715 do not guarantee the welfare of fishers in the region. This condition requires the touch of a fisheries development strategy based on the dynamics of fishery systems. The purpose of this research is to develop the model of spatial dynamics of the fishery system in the area development of small pelagic fisheries. Specially, to analyze spatial dynamics of fisheries system includes natural, human and management subsystems to determine fishing ground accessibilities as an instrument to develop the small pelagic fisheries area, to defining primary commodities, main fishing units and its optimal allocation to support small pelagic fisheries area development, and to determine effects of fishery management policies on small pelagic fisheries area development. The study produced Model of TipoSan, InSist and MoDiS that accommodate the dynamics of the fisheries system components to develop small pelagic fisheries area. Spatial dynamics of natural subsystems which configuration the dynamics of fishing ground accessibility, implications to determine the base of small pelagic fisheries area through nearest access, (2) primary commodities of pelagic fishes are Decapterus spp. Selaroides leptolepis, Elagastis bipinnulatus, Rastrelliger spp. and Stolephorus indicus; seleted fishing technologies are purse seine, boat/raft lift net, vertical hand line, and drift gill net with optimum allocation are 175 units of purse seine and 1,643 units of vertical hand line; and 31.263 fishers; (3) the spatial dynamics of management subsystems based on goverment policies is still weak to supporting the development of small pelagic fisheries area in Central Mollucas regency. Keywords:
small pelagic fisheries, fishery system, spatial dynamic model, TipoSan, InSist, MoDiS
vi
RINGKASAN
JAMES ABRAHAMSZ. Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan: Kasus Pengembangan Kawasan Perikanan Pelagis Kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN, MUSTARUDDIN and BAMBANG MURDIYANTO. Disparitas pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah diindikasikan dengan perbedaan-perbedaan dalam dinamika sistem perikanan. Potensi tinggi dan akses yang baik dalam pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WWP) 714 dan 715, tidak menjamin tingkat kesejahteraan nelayan di wilayah ini. Tujuan Penelitian ini untuk mengembangkan model dinamika spasial sistem perikanan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk: (1) mengkaji dinamika sub sistem alam dalam menentukan dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan sebagai salah satu instrumen pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil; (2) mengkaji dinamika spasial sub sistem manusia dalam menentukan komoditas unggulan dan alat tangkap pilihan serta alokasi unit penangkapan ikan dan tenaga kerja dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil; serta (3) mengkaji dinamika spasial sub sistem pengelolaan dalam menentukan pengaruh kebijakan pengelolaan perikanan yang berimplikasi pada pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Penelitian ini menghasilkan Model TipoSan, InSist dan MoDiS yang mengakomodasi dinamika komponen-komponen sistem perikanan untuk pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Secara khusus: (1) dinamika spasial sub sistem alam yang membentuk dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan, berimplikasi pada penentuan basis kawasan perikanan pelagis kecil melalui akses terdekat; (2) komoditas perikanan pelagis kecil unggulan adalah: ikan layang, selar, sunglir, kembung dan teri; unit penangkapan ikan pelagis kecil pilihan adalah pukat cincin, bagan apung, pancing tegak dan jaring insang hanyut dengan alokasi optimal pukat cincin 175 unit dan pancing tegak 1.643 unit; alokasi optimal tenaga kerja perikanan sebanyak 31.263 orang; (3) dinamika spasial sub sistem pengelolaan perikanan berbasis kebijakan pemerintah masih lemah dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Kata kunci: perikanan pelagis kecil, sistem perikanan, model dinamika spasial, TipoSan, InSist, MoDiS
vii
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya; a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
viii
ix
MODEL DINAMIKA SPASIAL SISTEM PERIKANAN: KASUS PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN PELAGIS KECIL DI KABUPATEN MALUKU TENGAH
JAMES ABRAHAMSZ
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
x
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si (Staf Pengajar FPIK IPB)
3.
2. Dr. Ir. Sugeng Hariwisudo, M.Si (Staf Pengajar FPIK IPB)
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, M.Sc (Wakil Menteri Perindustrian Repulik Indonesia, Guru Besar FPIK Unpatti) 2. Prof. Dr. Ir. Niete V. Huliselan, M.Sc (Guru Besar FPIK Unpatti)
xi
Judul Disertasi
: Model Dinamika Spasial Sistem Pengembangan Kawasan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah
Nama
: James Abrahamsz
NRP.
: C462070094/SPT
Perikanan: Kasus Pelagis Kecil di
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua
Dr. Mustaruddin, S.TP Anggota
Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Anggota
Mengetahui,
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 14 Agustus 2012
Tanggal Lulus:
xii
xiii
PRAKATA
Perencanaan dan pengembangan kawasan perikanan mulai menjadi perhatian pemerintah, salah satunya dengan pengembangan kawasan Minapolitan. Pembangunan perikanan berbasis kawasan masih relatif kurang dikembangkan melalui kajian-kajian berbasis ilmu wilayah. Padahal pendekatan ilmu wilayah memiliki spefisikasi yang kuat dalam mencermati dinamika sistem wilayah, seperti halnya sistem perikanan di suatu wilayah. Perbedaan dinamika sistem perikanan antar kawasan menunjukkan adanya disparitas pembangunan perikanan di wilayah itu. Kondisi ini ditemukan juga pada wilayah Kabupaten Maluku Tengah yang memiliki peluang akses sumber daya perikanan di wilayahnya. Distribusi penduduk miskin sekitar 83,68%, khususnya pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan masih ada persoalan yang harus dicermati. Salah satunya adalah melalui upaya-upaya untuk mereduksi disparitas pembangunan perikanan yang terjadi. Pendekatan analisis dinamika spasial terhadap sistem perikanan dalam rangka pengembangan kawasan perikanan menjadi dasar untuk mengembangkan penelitian ini. Tujuannya adalah mengembangkan model dinamika spasial sistem perikanan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk: (1) mengkaji dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan sebagai salah satu instrumen pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil melalui identifikasi dinamika spasial sub sistem alam; (2) menentukan komoditas unggulan dan alat tangkap pilihan serta alokasi spasial optimal unit penangkapan ikan dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil melalui identifikasi dinamika spasial sub sistem manusia; serta
(3)
mengkaji
pengaruh
kebijakan
pengelolaan
perikanan
dalam
pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Mantan Pembantu Rektor I, Prof. Dr. J. Ajawaila (Alm), atas nama Rektor Universitas Pattimutra, yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk mengikuti studi;
xiv
2. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ir. Dicky Sahetapy, M.Sc., dan ketua Program Studi Ilmu Kelautan, Program Pascasarjana Universitas Pattimura, Prof. Dr. Ir. N.V. Huliselan, M.Sc yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk mengikuti studi; 3. Prof. Dr. Ir. Daniel Monintja, M.Sc dan Dr. Ir. Victor P. H. Nikijuluw, M.Sc. yang telah merekomendasikan penulis untuk mengikuti studi; 4. Dr. Ir. Budy Wiryawan., Dr. Mustaruddin, S.TP., dan Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc., selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan mulai dari proses penyusunan proposal, penelitian dan penulisan sampai dengan penyusunan disertasi ini; 5. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku komisi pendidikan yang memberikan masukan konstruktif dalam penyusunan disertasi ini; 6. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; 7. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. Sugeng Hariwisudo, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; 8. Staf dosen Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana IPB; 9. Dr. Ir. R. Far-Far, M.Si untuk dukungan yang diberikan; 10. Nando, Eddy, Ois dan Vio untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini; Penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya para pengelolaan perikanan yang interest dengan konsep pembangunan perikanan berbasis kawasan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menuntun dan memberkati penulis untuk menyelesaikan disertasi ini akan melimpahi berkat bagi semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi penulis selama mengikuti pendidikan pada Pascasarjana IPB.
Bogor, Agustus 2012
James Abrahamsz
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Ambon, Provinsi Maluku, pada hari Senin tanggal 02 Juni 1969, dari ayah Librecht Abrahamsz (Alm.) dan ibu Adonia Abrahamsz. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Marces Jacoba Khouw, S.Pi dan dikaruniai tiga orang anak yakni Jodie Giovanna Abrahamsz, Jazzy Abrahamsz dan Jason Abrahamsz. Penulis memulai pendidikan formalnya pada jenjang Sekolah Dasar di SD Kristen Urimesing B3 pada tahun 1975. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama pada SMP Negeri 3 Ambon tahun 1981 dan lulus pada tahun 1984. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas pada SMA Negeri 1 Ambon dan lulus pada tahun 1987. Pendidikan tinggi diikuti pada Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan tahun 1987 dan lulus 1993. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah, Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado, dan lulus pada tahun 2000. Penulis memperoleh kesempatan untuk meneruskan pendidikan S3 pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri pada tahun 2008. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas sejak tanggal 01 Desember 2001. Beberapa tulisan ilmiah dari penulis yang telah diterbitkan baik pada jurnal nasional, internasional dan buku teks, berorientasi pada aspek spasial dari perencanaan dan pengelolaan perikanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bogor, Agustus 2012
James Abrahamsz
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR JUDUL …………………………………………...................
i
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ………………………………....
iii
ABSTRACT ..............................................................................................
v
RINGKASAN …………………………………………………………..
vi
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………....
xi
PRAKATA ………………………………………………......................
xiii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………
xvii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………...
xxiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………...
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………....
xxx
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ………………..…………….……
xxxi
PENDAHULUAN ………………..…………….………………….
1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………..
1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………...
8
1.3 Hipotesis Penelitian …………………………………………....
10
1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………....
10
1.5 Manfaat Penelitian ..………………………………………......
11
1.6 Kerangka Pikir Penelitian …………………………………......
12
1.7 Kebaruan …………………………………...............................
17
TINJAUAN PUSTAKA ……………………….………………......
19
2.1 Sistem Perikanan Berkelanjutan ……………………………...
19
2.1.1 Sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil …
19
2.1.2 Sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil ..................................................................................
32
2.1.3 Sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil …
41
1
2
2.2 Dinamika Sistem Perikanan …………………………………
43
2.3 Konsep dan Model Pengembangan Kawasan ……………….
45
xviii
3
4
5
2.4 Tinjauan Empiris Dinamika Spasial Sistem Perikanan ..............
49
2.4.1 Tipologi kawasan pengembangan perikanan ……….......
49
2.4.2 Indeks sentralitas sistem perikanan ……………………..
51
2.4.3 Model dinamika spasial sistem perikanan ……………...
52
METODE PENELITIAN ………………………………………….
59
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………….....
59
3.2 Data dan Metode Pengumpulan Data ………………………....
61
3.2.1 Jenis data ………………………………………………..
61
3.2.2 Metode pengumpulan data ……………………………...
61
3.3 Metode Analisis …………………………………………….....
68
3.3.1 Analisis dinamika sub sistem alam ………………….....
68
3.3.2 Analisis dinamika sub sistem manusia ………………...
72
3.3.3 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan …………….
77
3.3.4 Analisis tipologi kawasan perikanan …………………..
83
3.3.5 Analisis sentralitas sistem perikanan …………………..
87
TINJAUAN UMUM PERIKANAN MALUKU TENGAH ……...
91
4.1 Gambaran Umum Maluku Tengah …………………………....
91
4.1.1 Batasan wilayah ………………………………………..
91
4.1.2 Iklim dan musim ……………………………………….
92
4.2 Infrastruktur Wilayah ………………………………………....
93
4.2.1 Infrastruktur ekonomi ………………………………….
93
4.2.2 Infrastruktur perhubungan dan transportasi …………....
93
4.2.3 Telekomunikasi …………………………………….......
95
4.2.4 Air bersih ………………………………………………
95
4.2.5 Listrik …………………………………………………..
96
4.3 Eksistensi Sektor Perikanan dalam Perekonomian Daerah …...
96
4.4 Gambaran Umum Perikanan Maluku Tengah ………………...
98
4.4.1 Produksi perikanan ……………………………………..
98
4.4.2 Infrastruktur perikanan …………………………………
100
4.4.3 Pendapatan perkapita nelayan ………………………….
101
4.4.4 Perizinan perikanan …………………………………….
103
DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM ALAM …………………...
105
5.1 Pendahuluan …………………............................................
105
xix
5.2 Metodologi …………………....................................................
6
106
5.2.1 Analisis dinamika musiman suhu permukaan laut dan klorofil-a …………………...............................................
106
5.2.2 Analisis dinamika musiman DPI …………………..........
107
5.2.3 Analisis potensi DPI dan distribusi spasial ……………..
107
5.2.4 Analisis implikasi dinamika sub sistem alam bagi pengembangan kawasan perikanan …………………......
108
5.3 Dinamika Musiman Suhu Permukaan Laut ………………….
109
5.4 Dinamika Musiman Klorofil-a …………………………….......
116
5.5 Dinamika Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil …………...
125
5.5.1 DPI musim Barat …………………………………….....
125
5.5.2 DPI musim peralihan Barat - Timur …………………...
128
5.5.3 DPI musim Timur ……………………………………....
129
5.5.4 DPI musim peralihan Timur - Barat …………………...
132
5.6 Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Distribusi Spasial
136
5.7 Implikasi Dinamika Sub Sistem Alam Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan …………………………........................
143
5.8 Kesimpulan ……………………………....................................
154
DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM MANUSIA ……………....
155
6.1 Pendahuluan ………….........................................................
155
6.2 Metodologi …………...........................................................
156
6.2.1 Analisis dinamika nelayan dan rumah tangga perikanan .
156
6.2.2 Analisis dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan …................................................................
157
6.2.3 Analisis dinamika produksi ikan pelagis kecil ….............
158
6.2.4 Analisis dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan ..........................................................................
158
6.2.5 Analisis dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil ..................................................................................
159
6.2.6 Analisis implikasi dinamika sub sistem manusia bagi pengembangan kawasan perikanan ..................................
160
6.3 Dinamika Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan ……………
164
6.4 Dinamika Alat Penangkapan Ikan dan Upaya Penangkapan ......
170
6.4.1 Dinamika perkembangan alat penangkapan ikan pelagis kecil ……………………………………………………..
170
xx
6.4.2 Dinamika perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis kecil ……………………………………………
7
175
6.5 Dinamika Produksi Ikan Pelagis Kecil ……………………...
181
6.6 Dinamika Pengolahan Hasil Perikanan Pelagis Kecil ……….
188
6.7 Dinamika Distribusi dan Pemasaran Hasil Perikanan Pelagis Kecil …………………………………………………………...
194
6.8 Implikasi Dinamika Sub Sistem Manusia Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan ……………………………………………
200
6.8.1 Kapasitas dan upaya penangkapan standar …………….
201
6.8.2 Kelayakan usaha secara finansial ……………………….
204
6.8.3 Komoditas unggulan dan alat penangkapan ikan pilihan .
209
6.8.4 Alokasi spatial-optimal unit penangkapan ikan pelagis kecil ……………………………………………………..
219
6.9 Kesimpulan ........................................................................
227
DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM PENGELOLAAN ………
229
7.1 Pendahuluan ………...................................................................
229
7.2 Metodologi ..................................................................................
231
7.2.1 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Nasional ...........................................................
231
7.2.2 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Provinsi Maluku ..............................................
232
7.2.3 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Kabupaten Maluku Tengah ..............................
232
7.2.4 Analisis dinamika pengelolaan: Pendekatan model struktural ………………………………………………
233
7.3 Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Nasional ..................................................................................
236
7.3.1 Kebijakan umum pengelolaan perikanan ……………...
236
7.3.2 Kebijakan status eksploitasi sumber daya ikan di wilayah penelitian ……………………………………...
239
7.3.3 Kebijakan WPP-RI dan alokasi API di wilayah penelitian .........................................................................
240
7.3.4 Roadmap implementasi kebijakan pemerintah pusat ......
244
7.4 Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Provinsi Maluku ........................................................................................
247
7.4.1 Kebijakan umum pengelolaan perikanan di Maluku ...…
247
xxi
8
7.4.2 Rencana strategis pengelolaan perikanan Provinsi Maluku .............................................................................
249
7.4.3 Roadmap implementasi kebijakan pemerintah Provinsi ..
253
7.5 Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Kabupaten Maluku Tengah ........................................................
255
7.5.1 Kebijakan strategis pengelolaan perikanan di Maluku Tengah …………………………………………………..
255
7.5.2 Roadmap implementasi kebijakan di wilayah penelitian .
257
7.6 Implikasi Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan ………...
261
7.6.1 Implikasi dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan bagi pengembangan kawasan perikanan .........
261
7.6.2 Dinamika pengelolaan; Pendekatan model persamaan struktural ……………………………………………….
267
7.7 Kesimpulan ................................................................................
281
PEMBAHASAN ……………………………………………………
283
8.1 Rancang Bangun Model …………………………………....
284
8.1.1 Rancang bangun model TipoSan ……………………….
284
8.1.2 Rancang bangun model InSist ………………………….
287
8.1.3 Rancangan bangun model dinamika spasial sistem perikanan: MoDiS ……………………………………….
289
8.2 TipoSan dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan
290
8.2.1 Model TipoSan_1: Agregasi komponen sistem perikanan
290
8.2.2 Model TipoSan_2: Basis pengembangan komoditas unggulan ………………………………………………...
294
8.2.3 Aplikasi Model TipoSan bagi pengembangan kawasan perikanan ……………………………………………….
303
8.3 InSist dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan .
9
308
8.3.1 Model parsial: InSist_1 ………………………………….
308
8.3.2 Model agregat: InSist_2………………………………….
314
8.3.3 Aplikasi Model InSist bagi pengembangan kawasan perikanan ……………………………………………….
316
8.4 MoDiS dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan .
317
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..
327
9.1 Kesimpulan .................................................................................
327
9.2 Saran ............................................................................................
327
xxii
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….............
329
LAMPIRAN .............................................................................................
345
xxiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Distribusi volume dan nilai produksi perikanan laut per Kecamatan di Maluku Tengah Tahun 2010 ………………........
3
2 Komponen model dalam studi empiris terkait Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan ……………………………………......
56
3 Nilai parameter sistem yang diset dalam pengambilan data akustik ………………………………………………………......
63
4 Goodness-of-fit Index (kriteria uji kesesuaian dan uji statistik) ....
83
5 Pemetaan data, metode pengumpulan data dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian, komponen analisis dan metode analisis ………………………………………………………......
84
6 Distribusi Desa/Kelurahan pesisir dan non pesisir per kawasan pengembangan di Kabupaten Maluku Tengah …….....................
92
7 Distribusi dermaga laut di Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2010 …………………………………………………………......
94
8 Kontribusi sektor perikanan (%) terhadap PDRB Kabupaten Maluku Tengah per kawasan tahun 2003 – 2010 ……………......
97
9 Volume produksi 11 jenis utama komoditas perikanan laut di Kabupaten Maluku Tengah …………………………………......
100
10 Distribusi spasial infrastruktur perikanan di Kabupaten Maluku Tengah ………………………………………………...................
101
11 Perkembangan pendapatan perkapita nelayan Maluku Tengah (Rp) tahun 2006 – 2010 ……………………………………….....
102
12 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim Barat ….....
126
13 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim Peralihan Barat-Timur ………………………………………......................
128
14 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan musim Timur .................
131
15 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim peralihan Timur-Barat ……………………………………….......................
134
16 Distribusi nilai parameter estimasi potensi ikan pelagis kecil di Perairan Maluku Tengah …………………………………….......
140
17 Distribusi nelayan dan RTP tangkap per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 …..
165
xxiv
18 Distribusi alat penangkapan ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 …………………………………………....................
170
19 Distribusi upaya penangkapan ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 ………………………………...................................
176
20 Perkembangan upaya tangkap per jenis alat penangkapan ikan dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, Tahun 2001-2010 .
179
21 Distribusi volume produksi ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 …………………………………………....................
182
22 Perkembangan volume produksi ikan pelagis kecil tiap alat tangkap dominan (ton) di wilayah Selatan Maluku Tengah tahun 2001–2010 …………………………………………….................
184
23 Distribusi jumlah pengolah dan rumah tangga pengolah ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 ……………………......
189
24 Rata-rata tahunan volume produksi hasil olahan ikan pelagis kecil tiap kawasan pengembangan (ton) di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………………......
192
25 Kontribusi tiap kawasan terhadap tingkat distribusi dan pemasaran produk ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ...........................................................................................
197
26 Upaya penangkapan standar unit alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di perairan Maluku Tengah tahun 2001 – 2010 .............
203
27 Distribusi nilai kelayakan finansial unit penangkapan ikan pelagis kecil dominan di perairan Selatan Maluku Tengah ..........
208
28 Distribusi fungsi nilai dan rangking komoditas pelagis kecil unggulan di wilayah Selatan Maluku Tengah ...............................
210
29 Keragaan aspek teknis teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah ...............................
212
30 Keragaan aspek finansial teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah .......................
213
31 Keragaan aspek lingkungan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah .......................
217
32 Keragaan aspek sosial teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah ...............................
218
33 Jenis teknologi penangkapan ikan pelagis kecil pilihan di perairan Selatan Maluku Tengah ...................................................
218
xxv
34 Alokasi optimal alat penangkapan ikan pelagis kecil pilihan di wilayah Selatan Maluku Tengah ……………..............................
222
35 Alokasi spasial optimal alat penangkapan ikan pelagis kecil pilihan di wilayah Selatan Maluku Tengah ……………..............
223
36 Alokasi spasial optimal tenaga kerja ikan pelagis kecil pilihan di wilayah Selatan Maluku Tengah ……………..............
224
37 Distribusi kelompok dan jenis API dengan status penempatan per jalur penangkapan dan pada wilayah penelitian WPP 714 .....
243
38 Roadmap kebijakan pemerintah pusat terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian, 2006-2010 ………………….....
245
39 Roadmap kebijakan pemerintah provinsi terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian, 2006-2010 ………………….....
254
40 Roadmap kebijakan pemerintah kabupaten terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian, 2006-2010 …….........................
258
41 Dinamika implementasi kebijakan dalam mengakomodasi permohonan kelompok nelayan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………..................
262
42 Dinamika implementasi kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ……………………………………………………….......
263
43 Dinamika implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………......
266
44 Hasil pengujian nornalitas data dalam analisis structural equation modeling dengan Program Amos Profesional 4.00 ........
268
45 Hasil evaluasi kesesuaian model persamaan struktural terhadap kriteria goodness-of-fit yang dipersyaratkan ………………….....
270
46 Koefisien pengaruh (Kp) dan probabilitas (P) kebijakan pemerintah bagi pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah ……………………….......................................................
272
47 Koefisien pengaruh (Kp) dan probabilitas (P) pengembangan kawasan perikanan terhadap indikator pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah ……….............................................
277
48 Koefisien pengaruh (Kp) dan probabilitas (P) interaksi indikator perkembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah .................
279
49 Rataan nilai fungsi kapasitas kawasan perikanan (RFN_K) di wilayah Selatan Maluku Tengah …………………………….......
291
50 Rataan nilai fungsi produktivitas kawasan perikanan (RFN_P) di wilayah Selatan Maluku Tengah …………………………...........
292
xxvi 51 Distribusi nilai koefisien regresi (b) dan determinasi (R2) seluruh API pilihan dalam pemanfaatan komoditas pelagis kecil unggulan di wilayah Selatan Maluku Tengah …………...............
295
52 Basis pengembangan komoditas unggulan dan potensi teknologi penangkapan ikan pilihan untuk kawasan inti (pusat pengembangan) perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………………......
304
53 Distribusi indeks sentralitas sub sistem alam dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………………...................
308
54 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem alam ……………………………………………….......................
309
55 Distribusi indeks sentralitas sub sistem manusia dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………………................
311
56 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem manusia ………………………………………………..................
312
57 Distribusi indeks sentralitas sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………………......
313
58 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem pengelolaan …………………………………………....................
313
59 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem pengelolaan …………………………………………....................
315
60 Kriteria penilaian status kawasan perikanan pelagis kecil sesuai tingkat prioritas pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah …………………………………………...........................
319
xxvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Perbedaan wilayah ekologis di Kabupaten Maluku Tengah .........
2
2 Distribusi keluarga miskin dan proporsinya di wilayah P3K di Kab. Maluku Tengah (BKKBN dan BPS Kab.Maluku Tengah, 2010, diolah) ………………………………………......................
4
3 Kerangka pikir penelitian …………………………………….....
12
4 Daerah penangkapan dari unit-unit pancing tangan di Laut Banda dan Laut Seram (Sumber: Matakupan et al., 2006c) ….....
26
5 Peta lokasi penelitian ……………………………………….........
60
6 Rancangan path diagram kebijakan pengelolaan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah ………...
79
7 Distribusi nilai Location Quotient sektor perikanan pada tiap kawasan di Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2003 – 2010 .......
98
8 Distribusi spasial produksi perikanan laut di Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 …………………………………..................
99
9 Distribusi nilai maksimum, minimun dan rata-rata SPL di perairan Kabupaten Maluku Tengah, tahun 2010 …………….....
109
10 Distribusi SPL pada musim Barat di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2009-2010 …………………………....................
111
11 Distribusi SPL pada musim peralihan Barat-Timur di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 ……………………......
112
12 Distribusi kandungan suhu permukaan laut pada musim Timur di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 ………........
113
13 Distribusi kandungan suhu permukaan laut pada musim peralihan Timur-Barat di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 …………………………………………………........
115
14 Distribusi nilai maksimum, minimun dan rata-rata klorofil-a di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 ……………....
117
15 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim Barat di perairan Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2010 …………………….......
118
16 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim peralihan BaratTimur di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 .........
120
17 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim Timur di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 ……………………......
121
xxviii
18 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim peralihan TimurBarat di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 …......
123
19 Peta daerah penangkapan ikan pada musim barat di perairan Maluku Tengah bagian Selatan ……………………………….....
127
20 Peta daerah penangkapan ikan pada musim peralihan BaratTimur di perairan Maluku Tengah bagian Selatan ……………....
130
21 Peta daerah penangkapan ikan pada musim Timur di perairan Maluku Tengah bagian Selatan ……………………………….....
133
22 Peta daerah penangkapan ikan pada musim peralihan TimurBarat di perairan Maluku Tengah bagian Selatan …………….....
135
23 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Selat Seram
137
24 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Selatan Pulau Haruku ………………………………………………….....
138
25 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Timur Pulau Saparua …………………………………………………....
138
26 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Utara Pulau Saparua …………………………………………………..............
139
27 Peta distribusi kepadatan (densitas) ikan pada perairan Maluku Tengah bagian Selatan ……………………………………….......
142
28 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Kota Masohi dan Amahai ……………………………………......
145
29 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Saparua dan Haruku …………………………………………......
148
30 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Tehoru dan Nusalaut ………………………………………….....
149
31 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Leihitu dan Salahutu …………………………………………......
151
32 Dinamika temporal akses DPI pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah ………………………………………………......
152
33 Dinamika pertumbuhan nelayan tahunan di wilayah Selatan Maluku Tengah ………………………………………………......
167
34 Dinamika pertumbuhan rumah tangga perikanan tahunan di wilayah Selatan Maluku Tengah …………………………….......
168
35 Perkembangan alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 – 2010 ……….......
172
36 Perkembangan upaya tangkap ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 – 2010 ………………………………………………………….......
178
xxix
37 Perkembangan produksi ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 – 2010 ………………………………………………………….......
186
38 Distribusi spasial volume (a) dan nilai (b) produksi olahan ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah, 2010 ……........
191
39 Perkembangan produksi hasil olahan ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 – 2010 …………………………………………….....
193
40 Distribusi spasial pelaku usaha distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah, 2010 ………....
195
41 Perkembangan pemasaran produksi ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 – 2010 …………………………………………….....
199
42 Upaya tangkap per hasil penangkapan ikan pelagis kecil per tiap alat tangkap dominan di perairan Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 – 2010 ……………………...................................................
202
43 Hubungan CPUE dan upaya standar ikan pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah, Tahun 2001 – 2010 ……….....
204
44 WPP-RI 714: Teluk Tolo dan Laut Banda ……………………....
241
45 Model persamaan struktural pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah …………………........................
269
46 Distribusi kelompok kebijakan pemerintah pusat di Maluku Tengah ...........................................................................................
273
47 Distribusi kelompok kebijakan pemerintah provinsi di Maluku Tengah ...........................................................................................
274
48 Distribusi kelompok kebijakan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah ...........................................................................................
275
49 Tipologi kawasan berbasis agregasi komponen sistem perikanan pelagis di wilayah Selatan Maluku Tengah ……...........................
292
50 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan layang ......
296
51 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan selar …......
298
52 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan kembung ...
299
53 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan teri ….........
301
54 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan sunglir .......
302
55 Distribusi kawasan perikanan berdasarkan nilai komposit status prioritas pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah …...
321
xxx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Distribusi jumlah individu ikan per unit area hasil pada setiap report points hasil pengumpulan data stok ikan dengan scientific echosounding system BioSonic, bulan Oktober 2011 dan bulan Pebruari 2012 ................................................................................
345
2. Distribusi rata-rata jarak fisik basis perikanan tangkap tiap kawasan terhadap daerah penangkapan ikan per musim ...............
356
3. Hasil perhitungan fishing power index untuk lima alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah ...
357
4. Cash flow dan analisis finansial usaha perikanan di wilayah Selatan Maluku Tengah .................................................................
358
5. Hasil analisis optimasi dengan program LINDO ……..................
368
6. Hasil analisis Structural Equation Modeling dengan Program Amos 4.0 Profesional …................................................................
370
7. Hasil analisis InSist_2 ………………………………...................
374
xxxi
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN
AGFI
: Adjusted goodness of fit index yang analog dengan R2 dalam regresi berganda, tingkat penerimaan yang direkomendasikan ≥ 0,90 dan berfungsi sebagai salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM
AMOS
: Analysis of Moment Structure
API
: Alat Penangkapan Ikan
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional CFI
: Comparative fit index merupakan indeks yang menunjukkan tingkat fit-nya model yang dibangun. Berbeda dengan indeks lainnya, indeks ini tidak tergantung pada ukuran sampel dan berfungsi sebagai salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM
Chi-square : Ukuran fundamental dari overall fit atau kecocokan model secara menyeluruh yang menjadi salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM dan dinyatakan dalam model sebagai CMIN CMIN/DF
: pembagian X2 dengan degree of freedom yang menunjukkan tingkat fit-nya model dan berfungsi sebagai salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM
CTTP
: Capaian Tujuan Pembangunan Perikanan
DKP
: Dinas Kelautan dan Perikanan
DPI
: Daerah Penangkapan Ikan
GFI
: Goodness of fit index yang digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang varian dalam matriks kovarian sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarian populasi yang terestimasi. GFI mempunyai nilai antara 0 (poor fit) – 1 (perfect fit) dan berfungsi sebagai salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM
InSist
: Indeks Sentralitas Sistem Perikanan
JTB
: Jumlah Tangkapan yang dibolehkan
KKP
: Kinerja Kawasan Perikanan
K_PUS
: Kebijakan Pusat
K_PROV
: Kebijakan Provinsi
K_KAB
: Kebijakan Kabupaten
MoDiS
: Model Dinamika Spasial sistem perikanan
MODIS
: Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer, salah satu jenis data citra yang digunakan dalam mengekstraksi distribusi data suhu permukaan laut dan klorofil-a
MSY
: Maximum Sustainable Yield
xxxii
OECD
: Organization for Economic Development, sebuah organisasi di Eropa yang mengkaji kebijakan pengembangan kawasan di Eropa secara holistik dan secara parsial untuk setiap sektor
P3K
: Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
PKP
: Pengembangan Kawasan Perikanan
PPN
: Pelabuhan Perikanan Nusantara
PPI
: Pangkalan Pendaratan Ikan
Pro poor
: konsep strategis pembangunan yang diarahkan untuk mereduksi kemiskinan di masyarakat
Pro job
: konsep strategis pembangunan yang diarahkan untuk penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Pro growth : konsep strategis pembangunan yang diarahkan untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi di tingkat masyarakat dan wilayah dan/atau kawasan RMSEA
: The root mean square error of approximation adalah indeks yang digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Model yang dibangun dapat diterima bila mempunyai nilai RMSEA kurang dari atau sama dengan 0,08. berfungsi sebagai salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM
RTP
: Rumah Tangga Perikanan
SDI
: Sumber Daya Ikan
SEM
: Structural Equation Modeling (Model Persamaan Struktural) meruupakan gabungan dari dua metode statistik, yakni analisis faktor dan model persamaan simultan
SPL
: Suhu Permukaan Laut
Sustainable Fisheries System: Sistem Perikanan Berkelanjutan yang terdiri dari tiga sub sistem, masing-masing: sub sistem alam, manusia dan pengelolaan (berbasis kebijakan) TipoSan
: Tipologi Kawasan
TIS
: Tingkat Implementasi Strategi
TLI
: Tucker lewis index merupakan alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model dan berfungsi sebagai salah satu kriteria evaluasi model dalam analisis SEM
WPP-RI
: Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
ZEEI
: Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Maluku Tengah merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Maluku yang berhadapan langsung dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WWP) 714 dan 715. Keduanya memiliki potensi sumberdaya ikan (SDI) sebesar 278 ribu ton dan 595,6 ribu ton (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 45 Tahun 2011). Ketersediaan
potensi
itu
tidak
diikuti
dengan
kuatnya
kapasitas
dan
produktivitasnya. Salah satu dampaknya adalah masih banyaknya kantong kemiskinan di Maluku Tengah, sebanyak 83,68% masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil P3K berada pada kategori miskin (BPS Maluku Tengah, 2010; BKKBN Maluku Tengah, 2010). Dalam kondisi ekonomi yang terbatas, nelayan di wilayah ini lebih berorientasi pada perikanan skala kecil. Hal ini terbukti pada 72,29% dari total jenis armada yang digunakan adalah perahu tanpa motor (DKP Maluku Tengah, 2011). Disparitas wilayah juga disebabkan oleh aksesibilitas yang lemah terhadap infrastruktur wilayah dan distribusinya yang tidak merata juga menjadi (Rustiadi, et al., 2011; Arab et al., 2011), perbedaan inovasi yang mendukung produktivitas (Feldman, 2000), diversifikasi tingkat dan akses pelayanan ekonomi (Krugman, 2000), serta perbedaan aglomerasi ekonomi antar (Morrissey and O’Donoghue, 2012). Tingkat diversifikasi ekonomi suatu wilayah dan masyarakat di mana intervensi perikanan direncanakan, mempengaruhi motivasi nelayan untuk beraktivitas di sektor perikanan (Townsley, 1998), perilaku nelayan (Wiryawan et al., 2008) dan kemampuan mereka untuk menemukan alternatif sumber mata pencaharian (Townsley, 1998; Nunan, 2010). Di sisi lain, diversifikasi pendapatan nelayan dipengaruhi faktor lokasi dan karakteristik nelayan (Nunan, 2010; Olale and Henson, 2012). Pembeda antar kawasan tidak hanya tergantung pada faktorfaktor itu saja, namun eksistensi seluruh komponen sistem perikanan turut mempengaruhinya (Charles, 2001). Eksistensi ini menyebabkan disparitas antar kawasan (spatial disparities) dengan dinamika sistem perikanan yang berbeda.
2
Gambar 1 Perbedaan Wilayah Ekologis di Kabupaten Maluku Tengah
3
Masalah-masalah yang menyebabkan adanya disparitas spasial ini, antara lain: Pertama, perbedaan wilayah ekologis, secara makro ditunjukan dalam Rencana Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Maluku Tengah, membagi wilayah ini menjadi delapan wilayah ekologis (Gambar 1), meliputi : (1) WE Sapalewa-Pulau Tujuh; (2) WE Teluk Saleman; (3) WE Wahai; (4) WE Sepa-Tamilow; (5) WE Teluk Teluti; (6) WE Ambon-Lease; (7) WE Banda-TNS kepulauan; dan (8) WE Teluk Elpaputih (Gambar 1). Kedua, perbedaan potensi sumber daya perikanan dan orientasi pemanfaatan sumber daya perikanan. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tingkat produksi perikanan antar wilayah (Tabel 1). Tabel 1 Distribusi volume dan nilai produksi perikanan laut per Kecamatan di Maluku Tengah Tahun 2010 Kecamatan Seram Utara Tehoru Saparua Pulau Haruku Leihitu Banda Teon Nila Serua Amahai Nusalaut Kota Masohi Salahutu
Volume Produksi (ton) 2.687,2 10.862,0 8.797,0 5.473,4 12.409,5 10.191,7 98,6 9.165,7 2.100,1 10.297,6 10.888,3
Nilai Produksi (Rp. 000) 7.374.572 27.858.044 20.042.847 16. 951.384 43.792.272 24.349.254 76.933 24.065.174 9.605.864 26.488.341 31.129.290
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Maluku Tengah, 2011
Ketiga, masih meluasnya kantong kemiskinan yang tercipta di sepanjang kawasan P3K (Gambar 2). Gambar ini
menunjukkan bahwa pola distribusi
spasial penduduk miskin mengikuti pola distribusi penduduk di wilayah P3K. Keempat, tidak terfokusnya kawasan pengembangan berbasis potensi lokal menyebabkan dinamika pilihan pemanfaatan SDI sangat dipengaruhi tingkatan harga komoditas di pasar. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya spesialisasi wilayah terhadap komoditas unggulan kawasannya. Kelima, Maluku Tengah dengan perairan utama Laut Seram dan Laut Banda, yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia, belum dijadikan basis pengembangan secara optimal pada tingkat Provinsi
4
Maluku. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah (2010), sentuhan nilai tambah pada setiap produk perikanan, khususnya pelagis kecil, masih terbatas pada skala usaha rumah tangga. Orientasi ekspor hanya terbatas pada komoditas ikan layang. Sementara komoditas yang diperdagangkan antar pulau ialah ikan layang, ikan selar dan ikan terbang.
Gambar 2 Distribusi Keluarga Miskin dan Proporsinya di Wilayah P3K di Kab. Maluku Tengah (BKKBN dan BPS Kab.Maluku Tengah, 2010, diolah)
Keenam, program pemberdayaan masyarakat masih dipengaruhi oleh faktor politik, sementara arahan pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau kecil belum sepenuhnya berbasis pada kondisi sosial budaya dan kondisi ekonomi masyarakat. Ketujuh, lemahnya interaksi internal dan antar kawasan menyebabkan sempitnya orientasi aliran komoditas di Maluku Tengah. Kedelapan, kelemahan data/informasi perikanan dan dukungannya terhadap perencanaan dan evaluasi program-program pembangunan perikanan tangkap di tingkat daerah. Masalah lain terkait pembangunan perikanan di Maluku Tengah, khususnya pada masyarakat nelayan dan kebijakan pengelolaannya meliputi: pertama, walaupun kondisi wilayah dan distribusi pemukiman dominan di P3K, orientasi ekonomi tidak fokus pada pemanfaatan sumber daya perikanan. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya budaya subsistensi pada masyarakat P3K.
5
Kedua, rendahnya tingkat ekonomi masyarakat dan kendala musim yang tidak dapat diatasi secara maksimal, menjadi pembatas pemanfaatan sumber daya perikanan secara optimal. Ketiga, kegiatan ekonomi produktif direncanakan oleh pemerintah bagi masyarakat P3K, rendahnya alokasi program pembangunan perikanan bagi mereka, potensi konflik karena kebijakan perizinan, dan implementasi kebijakan penataan ruang wilayah yang kurang berorientasi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, belum menunjukkan integrasi pengelolaan perikanan. Keempat, akses yang lemah terhadap pengembangan ekonomi masyarakat karena eksistensi infrastruktur wilayah, termasuk infrastruktur perikanan. Disparitas yang terjadi semakin meluas karena distribusi infrastruktur yang berbeda antar kawasan. Kelima, secara makro teridentifikasi biased policy dari perencanaan sampai implementasi kebijakan pembangunan perikanan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini tergambar pada ketidaksesuaian pendaratan program di sektor kelautan dan perikanan, meliputi : (1) ketidaksesuaian secara keruangan berdasarkan potensi wilayah; (2) ketidaksesuaian dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat; dan (3) ketidaksesuaian kondisi ekonomi wilayah dan masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut. Keenam, sehubungan dengan kebijakan penataan ruang di provinsi Maluku, implementasi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, belum cukup optimal menjawab kebutuhan implementasi konsep Gugus Pulau dan Laut Pulau. Pengembangan Gugus Pulau diarahkan untuk meningkatkan interaksi internal wilayah dan optimalisasi pemanfataan sumber daya sesuai daya dukung lingkungan. Kebijakan ini belum sepenuhnya diimplementasi melalui keterkaitan internal wilayah, baik antar pusat maupun antara pusat dengan hinterland-nya. Dalam pembangunan perikanan, seharusnya keterkaitan ini dapat dibangun secara komprehensif mengingat adanya kawasan-kawasan tertentu di hinterland yang memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang cukup potensial. Ketujuh, orientasi ke luar wilayah yang diharapkan dapat dikembangkan dengan memanfaatkan kebijakan multy gate system yang membuka peluang interaksi antara Maluku dengan wilayah lain di sekitar seperti Maluku Utara dan Sulawesi Utara di bagian Utara, Papua dan Papua Barat di bagian Timur, Nusa
6
Tenggara Timur di bagian Barat Daya, dan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan di bagian Barat Laut, belum terakomodasi dengan baik. Kondisi ini juga menjadi fakta yang sementara dialami Kabupaten Maluku Tengah, dan tentunya sangat membutuhkan pengelolaan secara integratif. Kedelapan, kecenderungan biased policy menyebabkan adanya perbedaan orientasi kawasan pengembangan dan belum terfokusnya orientasi pusat wilayah dalam mengakomodasi potensi sumber daya wilayah. Berbagai masalah yang dikemukakan di atas mengisyaratkan adanya kebutuhan penataan ruang pengembangan perikanan dengan baik, khususnya dalam mendukung pengelolaan perikanan di Maluku Tengah secara berkelanjutan. Mengacu pada pandangan Charles (2001), konsep pengelolaan perikanan terkait erat dengan dua skala pengelolaan sebagaimana dikemukakan oleh yakni : (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Penjelasan tentang kedua skala pengelolaan ini memberikan justifikasi tentang adanya kebutuhan untuk mengakomodasi dinamisnya pengelolaan perikanan tangkap di wilayah ini. Untuk mengakomodasinya, dibutuhkan model pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik kawasan dan distribusi sumber daya perikanan di kawasan itu. Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tangkap sangatlah berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengembangan berbasis kawasan (Charles, 2001; BAPPENAS, 2004) Kawasan Pengembangan Perikanan Tangkap adalah sistem keruangan yang tidak dibatasi secara administratif, namun lebih pada skala ekonomi dan ekologi dengan lingkupan kawasan pengembangan sesuai pola interaksi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi, yang mendukung pemanfaatan sumber daya ikan pada kondisi tidak dalam keadaan dibudidayakan, dilakukan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah
dan/atau
mengawetkannya (UU No. 31 Tahun 2004 Jo. UU No. 45 Tahun 2009; Charles, 2001; BAPPENAS, 2004). Pemanfaatan SDI dalam sistem keruangan, tidak terlepas dari integrasi komponen sistem perikanan berkelanjutan sebagaimana dikemukakan oleh Charles (2001), meliputi: (1) sistem alam (natural system); (2) sistem manusia
7
(human system); dan (3) sistem pengelolaan (management system). Konsep ini memberikan gambaran pentingnya pengelolaan perikanan tangkap berbasis kawasan, salah satunya melalui pengembangan kawasan perikanan tangkap. Pengelolaan perikanan di Maluku Tengah seharusnya didekati dengan menggerakkan seluruh komponen sistem perikanan, baik sub sistem alam, manusia maupun pengelolaan. Dalam rencana tata ruang wilayahnya, Maluku Tengah belum memberikan rumusan struktur ruang pengembangan perikanan dengan baik. Hal ini disebabkan karena belum adanya penentuan kawasan pengembangan perikanan secara pasti. Konsekuensi tidak dilakukannya penentuan kawasan pengembangan perikanan dengan baik, yaitu: (1) tidak adanya spesialisasi kawasan pengelolaan dan pemanfaatan perikanan; (2) meningkatnya persaingan antar kawasan dalam pemanfaatan target species yang sama; (3) meningkatnya persaingan antar kawasan dalam memproduksi single product; (4) terjadi blooming produk perikanan tertentu di pasar dan menyebabkan tertekannya harga produk; (5) tidak adanya kejelasan struktur ruang pengembangan perikanan. Beberapa pendekatan yang telah digunakan secara parsial dalam menjawab kebutuhan pengembangan kawasan, antara lain: tipologi kawasan untuk membedakan tipe-tipe kawasan pengembangan (Stohr, 1999; Abrahamsz, 2000; Rahmalia, 2003; Lorentzen, 2009; Abrahamsz et al., 2010; Brezzi et al., 2011; Van Eupena et al., 2012), indeks sentralitas untuk menentukan hirarki kawasan (Sarma et al., 1984; Rondinelli, 1985; Abrahamsz, 2000; Shresta, 2004; Lee et al., 2012) Pengembangan kawasan perikanan tangkap berbasis komoditas, penting dilakukan untuk meningkatkan interaksi antara pusat dan hinterlandnya, juga antar pusat pengembangan. Dengan demikian, pengembangan kawasan perikanan dimaksudkan untuk meningkatkan interaksi intra dan antar kawasan yang mendukung dinamika pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah. Demikian halnya dengan upaya pengembangan perikanan sebagai sektor basis dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan perikanan berkelanjutan dan meningkatkan kontribusinya terhadap ekonomi wilayah. Oleh sebab itu, penelitian tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan: Kasus Pengembangan
8
Kawasan Perikanan Pelagis Kecil Di Kabupaten Maluku Tengah, menjadi penting untuk dilakukan. Pada penelitian ini, dipilih sistem perikanan pelagis kecil yang menjadi batasan ruang lingkup penelitian, dengan beberapa pikiran yang mendasarinya antara lain: Pertama, ikan pelagis kecil merupakan kelompok SDI yang tidak hanya menjadi tujuan tangkap nelayan industri, tetapi juga nelayan lokal/ tradisional. Kedua, sistem yang terbangun dalam perikanan pelagis kecil relatif dapat diidentifikasi dengan baik, terutama pada kegiatan produksi, distribusi dan pemasaran serta kebijakan pengelolaan. Ketiga, perikanan pelagis kecil merupakan kelompok produk perikanan dengan kontribusi yang cukup besar bagi nilai produksi perikanan di Maluku Tengah, yakni sebesar 21,23% atau 54,62 milyar rupiah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, 2010). Keempat, potensi ikan pelagis kecil pada WPP 714 dan 715 yang dapat diakses oleh nelayan Maluku Tengah memberikan kontribusi paling tinggi dibandingkan kelompok SDI lainnya, masing-masing 47,48% (132.000 ton) dan 63,71% (379.400 ton).
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini mengelaborasi dinamika spasial sistem perikanan dengan mengakomodasi komponen-komponen sistemnya. Dalam penelitian ini komponen sistem disebut sebagai sub sistem. Artinya, bila kita memandang perikanan tangkap sebagai suatu sistem maka di dalamnya ada tiga sub sistem, baik sub sistem alam, sub sistem manusia maupun sub sistem pengelolaan. Walaupun potensi SDI pelagis kecil yang tinggi dapat diakses oleh nelayan
Maluku
Tengah,
namun
tidak
menjamin
tingginya
peluang
pengembangan ekonomi masyarakat nelayan. Dalam konteks dinamika sistem perikanan, kondisi ini cenderung terjadi karena kepastian informasi tentang dinamika sub sistem sistem alam tidak menjadi basis informasi yang kuat bagi peningkatan aksesibilitas nelayan terhadap daerah penangkapan ikan. Nelayan hanya akan mengambil keputusan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap lokasi-lokasi penangkapan ikan tradisional. Padahal, pengetahuan yang baik tentang dinamika sub sistem alam
9
menjadi dasar bagi pengembangan kawasan perikanan karena nelayan akan mampu meningkatkan akses mereka terhadap DPI potensial. Tidak adanya spesialisasi kawasan terhadap komoditas pelagis kecil tertentu disebabkan karena lemahnya pewilayahan komoditas unggulan dan teknologi pilihan yang dikembangkan secara spasial yang diperuntukan bagi pengembangan perikanan pelagis kecil. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya blooming produksi dan fokus pengembangan pada jenis-jenis tertentu, seperti ikan layang. Demikian halnya dengan kebijakan alokasi alat penangkapan ikan secara optimal antar kawasan dan peluang alokasi tenaga kerja perikanan sebagai basis pengembangan, belum terencanakan dengan baik. Implementasi kebijakan pengelolaan perikanan di wilayah ini masih menunjukkan kecenderungan biased policy, karena tidak adanya kejalasan tentang peruntukan pembangunan perikanan berbasis kawasan. Integrasi kebijakan pemerintah dari berbagai level (nasional, provinsi dan kabupaten) juga belum terlihat secara jelas, terkait integrasi pembangunan perikanan berbasis kawasan. Secara agregat, seluruh masalah yang teridentifikasi memperkuat pertanyaan penelitian secara umum, yakni: bagaimana model pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Pertanyaanpertanyaan yang harus dijawab secara khusus sebagai batasan terhadap penelitian ini, meliputi: (1) Bagaimana dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan sebagai instrumen pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil melalui identifikasi dinamika spasial sub sistem alam? (2) Bagaimana komoditas unggulan dan alat tangkap pilihan serta alokasi spasial optimal unit penangkapan ikan dan tenaga kerja dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil melalui identifikasi dinamika spasial sub sistem manusia? (3) Bagaimana pengaruh kebijakan pengelolaan perikanan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil melalui identifikasi dinamika spasial sub sistem pengelolaan?
10
1.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang dirumuskan sebagai jawaban atas masalah penelitian dan menjadi simpulan awal dari penelitian ini, adalah: (1) Dinamika spasial sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil membentuk dinamika aksesibilitas DPI yang berbeda antara kawasan dan berimplikasi bagi pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. (2) Dinamika spasial sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil di tiap kawasan menunjukkan adanya disparitas pada distribusi nelayan, rumah tangga perikanan, metode penangkapan ikan dan kemampuan produksi ikan pelagis kecil, sektor pasca tangkap yang meliputi pengolahan hasil perikanan, kegiatan pemasaran dan distribusi produk serta implikasi pengembangan kawasan perikanan. (3) Sub sistem pengelolaan yang berbasis pada kebijakan menunjukkan adanya dinamika dalam pengembangan kawasan perikanan dan pengelolaannya pada level nasional, provinsi dan kebupaten, serta berdampak pada hasil pengembangan kawasan perikanan yang terukur dari capaian tujuan pengembangan, kinerja dan tujuan pembangunan perikanan. (4) Model pengembangan kawasan yang relevan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil adalah model dinamika spasial yang menunjukkan keterkaitan variabel-variabel pada sub sistem alam, sub sistem manusia, dan sub sistem pengelolaan serta teruji melalui kriteria pengembangan kawasan. Model kembar yang merupakan inti dari model dinamika spasial ini, baik tipologi kawasan pengembangan kawasan berbasis dinamika sistem perikanan pelagis kecil maupun indeks sentralitas sistem perikanan pelagis kecil.
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengembangkan model dinamika spasial sistem perikanan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk: (1) Mengkaji dinamika sub sistem alam dalam menentukan dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan sebagai salah satu instrumen pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil;
11
(2) Mengkaji dinamika spasial sub sistem manusia dalam menentukan komoditas unggulan dan alat tangkap pilihan serta alokasi unit penangkapan ikan dan tenaga kerja dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil; (3) Mengkaji dinamika spasial sub sistem pengelolaan dalam menentukan pengaruh
kebijakan
pengelolaan
perikanan
yang
berimplikasi
pada
pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diberikan melalui hasil penelitian tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan Dalam Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil Di Kabupaten Maluku Tengah ini, antara lain: (1) Mengembangkan model aksesibilitas daerah penangkapan ikan dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil untuk mereduksi peningkatan nilai ekonomi perikanan tangkap; (2) Memberikan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah tentang komoditas unggulan dan alat tangkap pilihan serta alokasi spasial optimal unit penangkapan ikan dan tenaga kerja dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil; (3) Memberikan pertimbangan fokus kebijakan pengelolaan perikanan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah; (4) Memberikan kontribusi akademik pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil melalui model dinamika spasial sistem perikanan pelagis kecil bagi pemerintah
dan
stakeholder perikanan
dalam
perumusan
kebijakan
pengembangannya di masa mendatang. Untuk kepentingan pengembangan penelitian lanjut, penelitian ini memberikan dukungan model konseptual dan aspek metodologis. Diharapkan keduanya memberikan kontribusi akademik dalam memperkaya kajian-kajian pembangunan perikanan berbasis kawasan.
12
1.6 Kerangka Pikir Penelitian Untuk mendukung pembatasan ruang analisis dalam penelitian ini, dikemukakan kerangka pikir penelitian sebagaimana diekspresikan dalam Gambar 3. Gambar ini menunjukkan integrasi komponen-komponen pembentuk kerangka pikir, antara lain: (1) masalah; (2) solusi; (3) kebutuhan data dan informasi; (4) analisis; dan (5) output. Penyusunan kerangka pikir penelitian dengan menggunakan pendekatan integrasi komponennya merupakan upaya untuk memberikan pelingkupan yang lebih spesifik dan membatasi ruang lingkup penelitian
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian
13
Masalah utama yang dibatasi dalam penelitian ini terbagi atas tiga kelompok masalah. Pertama, perbedaan akses nelayan terhadap DPI dan ketergantungan nelayan terhadap DPI tradisional yang selama ini diakses. Hal ini disebutkan terakhir ini berkaitan dengan masih lemahnya akses nelayan tehadap data dan informasi tentang DPI potensial yang dikembangkan oleh pemerintah. Data dan informasi yang dikembangkan pun belum menunjukkan adanya kesesuaian dengan DPI tradisional yang selama ini diakses untuk pemanfaatan SDI pelagis kecil. Kedua masalah utama ini merupakan batasan dalam mengembangkan penelitian yang terkait dengan dinamika sub sistem alam. Kedua, tidak ada spesialisasi kawasan terhadap komoditas unggulan dan teknologi penangkapan ikan pilihan serta belum adanya kepastian alokasi spasial optimalnya sebagai instrumen perencanaan pengembangan kawasan perikanan. Ketiga, adanya biased policy dalam implementasi pengembangan kawasan perikanan, khusus pemberdayaan nelayan. Kondisi ini tergambar pada alokasi program atau kegiatan yang tidak sesuai dengan peruntukan kawasan. Masalah lainnya adalah belum terintegrasinya kebijakan lintas lembaga dalam membangun kawasan perikanan. Seluruh lembaga yang berpotensi untuk mengembangkan kawasan perikanan belum menunjukkan adanya integrasi dalam membangun program pembangunan perikanan secara holistik. Oleh sebab itu, penelitian ini diarahkan untuk menyelesaikan ketiga kelompok masalah utama tersebut. Secara makro kerangka pikir ini menunjukkan adanya tiga tahapan analisis yang menghasilkan tiga kelompok output. Tahap analisis 1 dilakukan secara parsial yang menghasilkan output 1 untuk digunakan dalam tahap analisis 2. Output 1 merupakan hasil yang menunjukkan adanya dinamika sub sistem alam, manusia dan pengelolaan. Analisis 2 mulai menggunakan pendekatan analisis integratif untuk menghasilkan output 2. Output 2 merupakan hasil yang menunjukkan adanya perbedaan tipologi kawasan dan sentralitas kawasan. Seluruh hasil yang ditunjukkan dalam output 2 digunakan secara bersama untuk analisis 3 yang menghasilkan output 3. Output 3 merupakan hasil akhir yang mengekspresikan model akhir yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah penelitian.
14
Penelitian ini dibangun berdasarkan identifikasi masalah yang penting untuk ditangani, terkait dengan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah. Masalah umum yang harus direduksi dalam penelitian ini adalah lemahnya pengembangan kawasan perikanan pelagis dan tidak berbasis pada integrasi komponen sistem perikanan berkelanjutan. Beberapa masalah terkait masalah umum di atas, dapat difokuskan untuk dicermati dalam penelitian ini, meliputi: (1) ketidakpastian informasi tentang dinamika sub sistem alam yang berdampak pada perbedaan aksesibilitas terhadap DPI; (2) nelayan tegantung pada pengetahuan DPI tradisional; (3) tidak ada spesialisasi komoditas dan teknologi; (4) tidak adanya informasi yang pasti tentang alokasi spasial optimal (ASO) unit penangkapan ikan dan tenaga kerja perikanan; (5) biased policy pembangunan perikanan berbasis kawasan; (6) belum terintegrasinya pengembangan kawasan perikanan antar berbagai level kebijakan pemerintah. Solusi yang penting dikembangkan untuk penanganan masalah ini adalah melalui pengembangan model dinamika spasial sistem perikanan dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Integrasi dinamika spasial sub sistem alam, manusia dan pengelolaan merupakan solusi derivat dalam mencermati konsep pengembangan kawasan perikanan pelagis berbasis dinamika spasial sistem perikanan. Keragaan sistem perikanan pelagis kecil tergambar dari tiga sub sistemnya dan menunjukkan adanya perubahan-perubahan baik pada skala waktu maupun skala ruang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sub sistem alam dibatasi pendalamannya pada variabel SPL dan Klorofil-a musiman, DPI dan SDI pelagis kecil. Keempat variabel ini merupakan basis analisis yang menunjukkan adanya dinamika dalam sub sistem alam. Dinamika sub sistem manusia dipengaruhi oleh variabel-variabel nelayan dan rumah tangga perikanan, API dan upaya tangkap, tingkat produksi, serta pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan. Seluruh variabel pada sub sistem manusia berkaitan erat dengan aktivitas sumber daya manusia perikanan dalam kegiatan perikanan tangkap secara holistik.
15
Sub sistem pengelolaan yang berbasis pada kebijakan pengelolaan, ditinjau dari kebijakan pemerintah pada level nasional, provinsi dan kabupaten. Ketiga level kebijakan ini memberikan pengaruh terhadap implementasi strategi, kinerja dan capaian tujuan pengembangan kawasan perikanan. Ketiga variabel ini memberikan pengaruh terhadap dinamika pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Perubahan dalam konteks skala ruang dan waktu menunjukkan adanya dinamika yang terjadi pada seluruh variabel dalam tiap sub sistem. Oleh sebab itu, perubahan pada skala ruang menunjukkan adanya dinamika spasial. Tentunya dinamika yang terjadi secara spasial merupakan dampak dari adanya perubahan seluruh komponen sistem dan/atau sub sistem perikanan dari waktu ke waktu. Hal ini digunakan sebagai media justifikasi dalam pembuktian dinamika spasial sistem perikanan pelagis kecil. Dinamika dalam setiap sub sistem ditunjukan dengan kondisi dinamis sebagai berikut: (1) Sub sistem alam; (a) Dinamika musiman faktor lingkungan yang berpengaruh pada eksistensi SDI, meliputi: SPL dan Klorofil-a (b) Dinamika DPI secara musiman ataupun bulanan yang terdistribusi secara spasial melalui pembuktian lapangan berdasarkan distribusi rumpon dan titik-titik penangkapan yang diketahui oleh nelayan; (c) Potensi SDI pelagis kecil dan dinamikanya pada perairan yang diekspresikan secara spasial melalui pemetaan distribusi potensi hasil estimasi dengan metode akustik. (2) Sub sistem manusia; (a) Dinamika nelayan dan rumah tangga perikanan tangkap yang tergambar dari alokasi tenaga kerja per jenis alat tangkap dan distribusinya secara spasial-temporal. (b) Dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan, dimana dinamika
yang
ditunjukkan
oleh
perkembangan
secara
tahunan
memberikan justfikasi tentang eksistensinya pada setiap kawasan pengembangan perikanan.
16
(c) Dinamika produksi perikanan juga ditunjukkan dengan perkembangan secara tahunan yang dinyatakan dengan distribusi 10 jenis komoditas pelagis kecil unggulan. (d) Dinamika pengolahan hasil perikanan ditunjukan dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai produk (nilai tambah). Tentunya eksistensi produk olahan sangat tergantung pada sumber daya manusia pengolah yang dinyatakan dinamikanya secara spasial. (e) Dinamika pemasaran dan distribusi hasil perikanan tergambar pada sistem pemasaran dan pola distribusi hasil perikanan, umumnya tidak statis, namun dinamis lintas ruang (spasial). (3) Sub sistem pengelolaan; dengan representasi dinamika kebijakan pemerintah pada level nasional, provinsi dan kabupaten yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, kinerja dan capaian tujuan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil Dinamika yang ditunjukan oleh seluruh sub sistem perikanan pelagis kecil mengandung unsur dinamika waktu pengelolaan dan dinamika ruang pengelolaan. Hal inilah yang menjadi basis kajian tentang adanya dinamika spasial dalam sistem perikanan pelagis kecil. Dinamika seluruh sub sistem memberikan implikasi yang berbeda dalam pengembangan tiap kawasan perikanan. Pertama, dinamika sub sistem alam berimplikasi pada aksesibilitas DPI. Kedua, dinamika sub sistem manusia berimplikasi pada upaya tangkap standar, distribusi potensi SDI berbasis produksi, kelayakan finansial, komoditas unggulan dan API pilihan. Ketiga, dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan berimplikasi terhadap implementasi kebijakan pengelolaan dan dinamika pengelolaannya yang dijustifikasi dengan pendekatan model persamaan struktural. Berdasarkan model yang terbentuk sebagai susunan dari akumulasi dinamika spasial seluruh komponen sistem perikanan, maka pilihan-pilihan terhadap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil menjadi kuat melalui pelingkupan kawasan-kawasan pengembangannya. Model pelingkupan kawasan pengembangan perikanan pelagis mengacu pada dua model dinamika spasial yang dikembangkan secara bersama untuk pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, meliputi: (1) Model Tipologi Kawasan Pengembangan berbasis dinamika
17
sistem perikanan pelagis kecil (TipoSan); dan (2) Model Indeks Sentralitas Sistem Perikanan Pelagis Kecil (InSist). Secara parsial, Model TipoSan dielaborasi menjadi dua model turunan, yakni: TipoSan_1 untuk penentuan status tipologi kawasan, dan TipoSan_2 untuk penentuan basis komoditas unggulan tiap kawasan. Model InSist juga dielaborasi menjadi dua model turunan, InSist_1 untuk penentuan sentralitas sub sistem secara parsial yang menghasilkan status kekuatan pengembangan kawasan, dan InSist_2 untuk menjustifikasi sentralitas sistem perikanan secara agregat untuk menentukan hirarki dalam rangka perencanaan pengembangan kawasan perikanan. Integrasi Model TipoSan dan InSist merupakan tujuan umum penelitian, yang disebut sebagai Model Kembar atau Model Dinamika Spasial yang disingkat MoDiS. Model ini dikembangkan untuk menentukan prioritas pengembangan kawasan yang terbagi atas tiga tingkatan prioritas, masing-masing: primer, sekunder dan tersier.
1.7 Kebaharuan Kebaharuan dari disertasi tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan: Kasus Pengembangan Kawasan Perikanan di Kabupaten Maluku Tengah adalah: 1. Pendekatan metodologis yang mengaplikasikan aspek spasial untuk kajian pengembangan kawasan perikanan melalui identifikasi dinamika spasial sistem perikanan secara holistik. Integrasi komponen sub sistem alam, manusia dan pengelolaan berbasis kebijakan untuk mengkaji aspek dinamika spasial bagi pengembangan kawasan merupakan pendekatan metodologis yang menjadi unsur kebaruan dalam penelitian ini. 2. Proses penggabungan metode yang menghasilkan tipologi kawasan dan indeks sentralitas kawasan pengembangan perikanan. Oleh sebab itu, muncul dua metode baru: TipoSan dan InSist. Pertama, Model TipoSan dibagi menjadi dua model, masing-masing TipoSan_1 untuk menentukan status kawasan pengembangan, dan TipoSan_2 untuk menentukan kawasan-kawasan basis komoditas pelagis kecil unggulan sesuai tipologinya. Kedua, Model InSist
18
yang dikembangkan menjadi dua model, masing-masing InSist_1 untuk menentukan sentralitas setiap sub sistem perikanan, dan InSist_2 yang digunakan untuk menentukan hirarki kawasan pengembangan perikanan. 3. Metode analisis dinamika spasial sistem perikanan untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan yang disebut dengan MoDiS (Model Dinamika Spasial) mengakomodasi integrasi dua variabel utama TipoSan dan Insist. MoDis merupakan model baru yang dikembangkan untuk menentukan prioritas pengembangan kawasan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Perikanan Berkelanjutan Tinjauan teoritis tentang sistem perikanan berkelanjutan banyak mengacu pada pikiran-pikiran Charles (2001) dalam bukunya tentang Sustainable Fisheries System. Pikiran-pikiran ini juga dilengkapi dengan berbagai tinjauan tentang pendapat ilmiah dari beberapa penulis dan/atau peneliti yang mengembangkan tulisan dan penelitiannya untuk kepentingan pengelolaan perikanan. Dalam tinjauan ini, sistem perikanan difokuskan pada sistem perikanan pelagis kecil.
2.1.1 Sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil 2.1.1.1 Faktor-faktor lingkungan oseanografi (1) Suhu permukaan laut Ilahude (1999) menjelaskan bahwa salah satu parameter oseanografi yang mencirikan massa air laut di lautan ialah suhu. Massa air yang terdapat di laut berbeda–beda karakteristiknya dari suatu tempat ke tempat yang lain. Untuk menandai berbagai macam karateristik massa air laut tersebut dipakai parameter suhu sebagai indikator, karena itu karakter sebaran suhu dipakai untuk mengetahui adanya sebaran massa air. Sebaran suhu di perairan Indonesia menurut Nontji (1993), pada dasarnya dapat dibedakan menjadi menjadi tiga lapisan yaitu: 1. Lapisan hangat (homogenous layer) di lapisan atas merupakan lapisan yang memiliki suhu hangat (sekitar 18°C) yang homogen pada lapisan teratas sampai kedalaman 50-70 m. 2. Lapisan termoklin (discontinuity layer) di lapisan tengah merupakan lapisan dimana suhu menurun dengan cepat dan terdapat pada kedalaman 100-200 meter. 3. Lapisan dingin (deep layer) di lapisan dalam merupakan lapisan dengan suhu dingin, biasanya kurang dari 5°C pada kedalaman lebih dari 100 meter. Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi dan perubahan bentuk es
20
di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktivitas dan mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran, kelimpahan penggerombolan, maturasi, fekunditas, pemijahan, masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Perubahan suhu perairan di bawah suhu normal atau suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas gerak dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Menurut Gunarso (1985) fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor paling penting dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Laevastu dan Hayes (1981) mempelajari pengaruh faktor oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah penangkapan yang menunjukkan bahwa parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan pelagis ialah suhu dan arus. Selanjutnya dikemukakan bahwa banyaknya hasil tangkapan dan melimpahnya populasi ikan pelagis sangat terkait dengan perubahan suhu perairan. Menurut Hela dan Laevastu (1970), untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan: 1. Suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan; 2. Pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isotermal permukaan; 3. Perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan; Lebih lanjut dikemukakan, suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi ikan yangmempunyai kisaran suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini akan bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan, sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan.
21
Untuk kepentingan analisis daerah penangkapan ikan, Harsanugraha dan Parwati (1996) menyatakan data SPL dapat diperoleh melalui dua metode, yaitu: 1. Metode konvensional, dengan melakukan pengukuran secara langsung di lokasi pengamatan menggunakan alat-alat pengukur suhu di permukaan laut; 2. Metode estimasi data SPL, dengan cara memanfaatkan potensi dan kemampuan wahana satelit penginderaan jauh. Terkait dengan keterkaitan distribusi ikan pelagis kecil dengan SPL, Indrawatit (2000) menyatakan bahwa ikan pelagis kecil dari jenis lemuru (Sardinella lemuru) yang tertangkap di perairan Selat Bali berada pada kisaran suhu permukaan laut 25,01oC – 29,00oC. Nurdin et al. (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa salah satu ikan jenis pelagis kecil, kembung (R. kanagurta) memiliki kisaran SPL yang disukai antara 29,94 ± 0,230 oC.
(2) Klorofil-a Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi organisme yang ada di perairan. Ada tiga macam klorofil yang dikenali hingga saat ini dan dimiliki fitoplankton yaitu, klorofil-a, klorofil-b, dan klorofil-c. Di samping itu ada beberapa jenis pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton, oleh karena itu konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Parson et al., 1984). Kecepatan pembentukan bahan organik dalam proses fotosintesis pada satu luasan tertentu dari perairan dikenal dengan produktivitas primer perairan. Di lautan fitoplankton memegang peranan penting sebagai produsen primer. Oleh karena itu klorofil-a fitoplankton sering dinyatakan sebagai indeks produktivitas biologi di lingkungan oseanik yang dikaitkan dengan produksi ikan. Konsentrasi klorofil yang tinggi lebih dari 2.0 mg/m3 dapat menopang perkembangan perikanan komersial. Konsentrasi klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal, dimana hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti suhu permukaan laut, angin, arus dan lain-lain. Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan pengukuran secara langsung atau dengan menggunakan teknologi inderaja. Konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan
22
rona laut yang khas sehingga melalui metode inderaja yang menggunakan wahana satelit, konsentrasi pigmen tersebut bisa diduga. Klorofil-a merupakan parameter dasar yang digunakan bersama-sama dengan SPL untuk penentuan daerah penangkapan ikan potensial (Indrawatit, 2000; Hasyim, 2003; Nurdin et al., 2012). Keterkaitan distribusi kandungan klorofil-a dengan ikan pelagis kecil diterangkan oleh Nurdin et al. (2012), dimana kisaran kandungan klorofil-a yang disukai oleh ikan pelagis kecil dari jenis kembung (R. kanagurta) antara 0,31 ± 0,10 mg/m3. Jika dilihat dari kisaran kandungan klorofil-a ini, dan dibandingkan dengan distribusinya pada perairan Maluku Tengah, maka perairan ini berpotensi menjadi lokasi distribusi ikan pelagis kecil dari jenis kembung.
2.1.1.2 Daerah penangkapan ikan pelagis kecil (1) Pengertian dan syarat-syarat daerah penangkapan ikan Suatu perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis. Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumber daya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumber daya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan dikarenakan berbagai faktor, seperti keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya. Oleh sebab itu, daerah penangkapan ikan didefinisikan secara umum sebagai: segala tempat dimana banyak terdapat ikan dan alat penangkap dapat dioperasikan. Berdasarkan definisi ini, maka syarat-syarat umum untuk suatu daerah penangkapan ikan, antara lain: (1) ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan terdapat dalam jumlah yang besar; (2) alat penangkapan mudah dioperasikan; serta (3) ekonomis. Sementara syarat daerah penangkapan ikan yang baik adalah: (1) daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah sepanjang tahun; (2) alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna; (3) lokasinya tidak
23
jauh dari pelabuhan sehingga dapat dijangkau oleh kapal ikan; serta (4) daerahnya aman dari pelayaran dan pengaruh angin yang membahayakan. Suatu kawasan perairan disebut sebagai daerah penangkapan ikan, apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudahnya datang bersama-sama dalam kelompoknya, dan tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan tersebut. Kepadatan dari distribusi ikan tersebut berubah menurut musim, khususnya pada ikan pelagis. Kondisi yang diperlukan sebagai daerah penangkapan ikan harus dimungkinkan dengan lingkungan yang sesuai untuk kehidupan dan habitat ikan, dan juga melimpahnya makanan untuk ikan. Tetapi ikan dapat dengan bebas memilih tempat tinggal dengan kehendak mereka sendiri menurut keadaan dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu, jika mereka tinggal untuk waktu yang agak lebih panjang pada suatu tempat tertentu, tempat tersebut akan menjadi daerah penangkapan ikan. 2. Daerah tersebut harus merupakan tempat dimana mudah menggunakan peralatan penangkapan ikan bagi nelayan. Umumnya perairan pantai yang bisa menjadi daerah penangkapan ikan memiliki kaitan dengan kelimpahan makanan untuk ikan.
Para nelayan juga harus mengatasi kondisi buruk ini
dengan efektif menggunakan peralatan yang sesuai untuk menangkap ikan. 3. Daerah tersebut harus bertempat pada lokasi yang bernilai ekonomis, dimana pengelolaan
usaha
penangkapan
berkembang
pada
keseimbangan
antara jumlah investasi dan pendapatan. Jika daerah penangkapan tersebut terlalu jauh dari pelabuhan, akan memerlukan bahan bakar yang lebih banyak. Jika usaha perikanan tersebut benar-benar memiliki peluang yang besar, usaha yang dijalankan mungkin boleh menjangkau lokasi yang lebih jauh. Daerah Penangkapan Ikan diklasifikasi berdasarkan empat faktor yang paling berpengaruh terhadap kegiatan perikanan tangkap, meliputi: (1) menurut spesies ikan yang ditangkap; (2) macam alat penangkap yang digunakan; (3) perairan dimana diadakan operasi penangkapan; dan (4) laut dimana diadakan operasi
24
(2) Daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku berbasis alat tangkap Sesuai dengan berbagai definisi dan syarat dari suatu daerah penangkapan ikan yang baik, maka pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan daerah penangkapan ikan pelagis kecil adalah pendekatan jenis alat tangkap yang digunakan untuk penangkapannya. Berikut ini diberikan gambaran tentang daerah penangkapan ikan pelagis kecil yang selalu diakses oleh beberapa jenis alat tangkap. •
Daerah Penangkapan Ikan untuk alat tangkap bagan apung Pengoperasian bagan apung (boat/raft lift net) oleh nelayan dengan cara
menempatkan alat tangkap ini di perairan pesisir, yakni pada kedalaman perairan 50 meter hingga < 200 meter atau pada perairan < 4 mil laut dari batas surut terendah. Pemilihan daerah penangkapan untuk mengoperasikan bagan apung yang pantas dan efisien, menyenangkan dan penangkapannya bernilai ekonomi (Matakupan et al., 2006a). Selanjutnya dikemukakan bahwa metode pemilihan daerah penangkapan ikan, dibuat sebagai berikut: 1. Dianggap lingkungan perairannya memadai sesuai dengan tingkah laku ikan yang dimaksud sesuai dengan penggunaan data hasil penelitian kondisi eseanografi dan meteorologi. 2. Dianggap bahwa musim dan daerah penangkapan, dari diakumulasikannya berbagai pengalaman penangkapan setelah dilakukan operasi penangkapan ikan. 3. Pemilihan daerah penangkapan berdasarkan pertimbangan sejalan dengan prinsip ekonomi kepadatan kelompok ikan, kondisi meteorologis, dan sebagainya. Sudah sejak turun temurun para nelayan di Provinsi Maluku menggunakan mata dan tanda-tanda lain di perairan dan sekitarnya untuk menentukan lokasi penangkapan ikan. Adanya gelembung-gelembung udara di perairan, adanya jazad renik yang mengeluarkan cahaya alami dan lain-lain telah mengindikasikan adanya ikan yang digunakan oleh nelayan pada operasi penangkapan ikan dengan bagan apung. Hingga kini, pengetahuan nelayan di Provinsi Maluku berdasarkan pengalaman untuk menentukan lokasi dan musim penangkapan ikan masih tetap
25
digunakan; juga faktor oseanografis lainnya, seperti: arus, curah hujan, kondisi awan dan angin, warna perairan, suhu air dan lain-lainnya merupakan instrumen deteksi alami berdasarkan pengalaman dari para nelayan. Hampir semua wilayah perairan pesisir, terutama perairan teluk di Propinsi Maluku dapat dijadikan sebagai daerah penangkapan bagan apung (boat/raft lift net). Beberapa daerah penangkapan yang telah dikenal dioperasikan bagan apung oleh nelayan di Provinsi Maluku, seperti Teluk Saparua dan Teluk Waai di Kabupaten Maluku Tengah; Teluk Baguala, Teluk Ambon bagian Dalam (TAD) dan Teluk Ambon bagian Luar (TAL) di Kota Ambon; Teluk Kayeli di Kabupaten Buru; Teluk Ngilngof dan beberapa perairan teluk lainnya di Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. •
Daerah Penangkapan Ikan untuk alat tangkap jaring insang Daerah penangkapan ikan bagi jaring insang (gillnet) harus sesuai dengan
tingkah laku ikan tujuan tangkap yang menyebar secara horisontal atau vertikal dalam batasan areal yang pasti. Daerah penangkapan dapat juga berbeda sesuai dengan letak lintang dan bujur serta kedalaman perairan yang disukai ikan (Matakupan et al., 2006b). Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebab utama mengapa suatu spesies ikan tertentu berkumpul pada suatu area tertentu yakni : 1. Ikan memilih lingkungan hidup yang cocok dengan spesiesnya. 2. Mereka memburu sumber-sumber yang melimpah dengan makanan 3. Mereka mencari tempat menetap serupa yang pantas untuk bertelur dan berkembang-biak. •
Daerah penangkapan ikan untuk alat tangkap pancing tangan Daerah penangkapan dari unit-unit pancing tangan lebih sempit, hal ini
berkaitan dengan ukuran yang jauh lebih kecil dan daya jangkau yang lebih rendah dari kapal-kapal pancing tangan tersebut. Di Maluku, daerah penangkapan unit-unit pancing tangan terdapat di Selatan Pulau Ambon dan P.P. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru (Laut Banda) mulai dari 125o45’ - 130o01’ BT dan dari 03o30’ - 04o05’ LS. Di bagian utara P. Buru dan P. Seram (Laut Seram) mulai dari 125o45’ – 128o50’ BT dan dari 02o30’ – 02o00’ LS. Di bagian Tenggara
26
Pulau Seram mulai dari 130o40’ BT – 131o35’ BT dan dari 03o40’ – 04o25’ LS. Di sekitar Kepulauan Banda mulai dari 129o25’ – 130o25’ BT dan dari 04o10’ – 04o55’ LS (Gambar 4).
03o00’LS
Laut
Seram Skala
0 Buano
Piru
S e r a m
Namlea
Tel. Piru
Buru
04o00’LS
Elp ap uti h
Kelang Manipa
on Amb
Haruku
Bula
Masohi
50
100 km
LEGENDA : = Ibu Kota Kabupaten/Kota = D.P. Musim Barat = D.P. Musim Timur
Tel. Teluti
Saparua Nusalaut
Kep. Lease
Geser
Ambelau Gorom
Banda
ela atub
05o00’LS
.W Kep
Laut
Kep. Banda
126o00’BT
Gambar 4
127o00’BT
128o00’BT
129o00’BT
130o00’BT
131o00’BT
132o00’BT
Daerah penangkapan dari unit-unit pancing tangan di Laut Banda dan Laut Seram (Sumber: Matakupan et al., 2006c).
Musim penangkapan ikan juga berbeda-beda, sesuai dengan letak geografis daerah penangkapan dan kondisi perairan laut. Di perairan Laut Seram, di Utara Pulau Buru dan Pulau Seram, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan-bulan Mei – November, sedangkan di perairan Selatan Pulau Buru, Seram Ambon dan Kepulauan Lease terjadi pada bulan-bulan September – Maret. Musim penangkapan unit-unit pancing tangan di suatu kawasan perairan lebih banyak ditentukan keadaan cuaca dan kondisi laut setempat. Musim penangkapan yang baik adalah jika kondisi laut relatif tenang. Prospek usaha perikanan pancing tangan dewasa ini cukup baik karena jenis-jenis ikan yang merupakan tujuan penangkapan merupakan komoditi hasil laut andalan ekspor Provinsi Maluku.
2.1.1.3 Sumber daya ikan pelagis kecil dan estimasi potensi (1) Sumber daya ikan pelagis kecil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, mendefinisikan sumber daya ikan sebagai semua jenis ikan. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus
27
hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Pengelompokan sumber daya ikan menurut lingkungan penyebarannya terdiri atas: (1) ikan pelagis;
(2) ikan
demersal; dan (3) ikan karang dan hias. Ikan pelagis merupakan jenis ikan yang hidup atau memenuhi perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Pada daerah-daerah dimana saat terjadi proses penaikan massa air (upwelling) sumber daya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan pelagis umumnya senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya namun terdapat kecenderungan ikan pelagis bergerombol berdasarkan kelompok ukurannya. Sumber daya ikan pelagis yang dibagi berdasarkan ukuran, dapat dikelompokkan dalam dua kelompok (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009), yaitu: 1. Kelompok ikan pelagis besar seperti kelompok Tuna (Thunidae) dan Cakalang (Katsuwonus pelamis), kelompok Marlin (Makaira sp), kelompok Tongkol (Euthynnus spp) dan Tenggiri (Scomberomorus spp), dan lain-lain;
2. Kelompok ikan pelagis kecil seperti ikan Selar (Selaroides leptolepis) dan Sunglir
(Elagastis
bipinnulatus),
Teri
(Stolephorus
indicus),
Japuh
(Dussumieria spp.), Tembang (Sardinella fimbriata), Lemuru (Sardinella longiceps) dan Siro (Amblygaster sirm), dan kelompok Skrombroid seperti Kembung (Rastrelliger spp.). Merta et al. (1998) menyatakan sumber daya ikan pelagis kecil merupakan sumber daya neritik karena penyebarannya terutama di perairan dekat pantai dan membentuk biomasa yang sangat besar. Hidupnya mendekati lapisan permukaan perairan hingga kedalaman 200 meter sehingga pergerakannya mudah dideteksi ketika berada di dalam kolom air. Jenis pelagis kecil merupakan suatu sumber daya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton, sehingga kelimpahannya tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Dengan demikian kelimpahan sumber daya ini sangat tergantung pada lingkungan perairannya. Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai dekat pantai (Nontji 1993). Daerah
28
penyebaran ikan kembung mulai dari pulau Sumatera bagian Barat dan Timur, pulau Jawa bagian Utara dan Selatan, Nusa Tenggara, perairan Barat, Timur dan Selatan Kalimantan, Malaka, Sulawesi bagian Utara dan Selatan, Maluku dan Irian Jaya (Ditjenkan Deptan, 1997). Ikan layang (Decapterus spp.) hidup pada perairan dengan variasi salinitas yang sempit (stenohaline). Makanan utamanya adalah zooplankton, meskipun kadang-kadang juga makan ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp.) dan japuh (Dussumteria acuta). Ada lima jenis ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni Decapterus russeli, Decapterus macrosoma, Decapterus maruadsi, Decapterus lajang dan Decapterus kurroides. Akan tetapi dari kelima jenis yang ada, hanya Decapterus russeli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan pulau Masalembo. Decapterus maerosoma banyak dijumpai di selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu. Decapterus lajang menyukai perairan yang dangkal seperti di Laut Jawa (termasuk selat Sunda, selat Madura dan selat Bali), selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di Laut Banda. Ikan ini dapat tertangkap pada kedalaman 100 meter atau lebih (Nontji 1993). Jenis ikan selar (Selaroides spp.) yang tertangkap di perairan Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia adalah selar bentong (Selar crumenophthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis) (Nontji 1993). Kedua jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil, hidup secara bergerombol, dan umumnya di sekitar perairan pantai yang dangkal, khusus untuk selar bentong (Selar crumenophthalmus) hidup sampai kedalaman 80 meter. Daerah penyebaran ikan tembang (Sardinella sp.)meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke utara sampai ke Taiwan dan ke selatan sampai ke ujung utara Australia dan ke barat sampai laut Merah (Ditjenkan Deptan 1997). Ikan teri (Stolephorus spp.) terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia terutama di perairan Barat Sumatera, selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi dan timur Sumatera. Ikan teri termasuk ikan pelagis yang menghuni perairan pesisir dan
29
estuari. Pada umumnya hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk jenis-jenis ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu mereka dapat tertangkap dalam gerombolan kecil sekitar 100 – 200 ekor. Teri banyak memakan berbagai jenis plankton, walau komposisinya tidak selalu sama untuk tiap spesies. Pada ukuran 40 mm, teri umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan teri berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton berukuran besar (Nontji 1993). Ikan-ikan lemuru yang tertangkap di perairan Indonesia terdiri dari beberapa jenis yang di dalam Statistik Perikanan Indonesia digabung menjadi satu dengan nama lemuru. Jenis-jenis tersebut adalah Sardinella longiceps/sardinella lemuru, Sardinella aurita, Sardinella leoigaster dan Sardinellla elupeoides. Sebaran geografik ikan lemuru mulai dari utara Kalimantan sampai Filipina, India sampai ke pantai timur Afrika. Lemuru juga terdapat di Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Australia. Di Indonesia didapat dalam jumlah besar di selat Bali sampai Nusa Tenggara Timur. Gerombolan lemuru pada siang hari berada pada lapisan kedalaman 40m – 80m, dan berenang ke atas saat malam hari sampai saat matahari akan terbit lagi. Pada saat bulan purnama terlihat bahwa gerombolan ikan lemuru terpencar dipermukaan atau berada tetap di bawah (Dwiponggo 1982). Di Indonesia sumber daya perikanan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumber daya perikanan yang paling melimpah dan paling banyak ditangkap untuk kepentingan konsumsi masyarakat. Ikan pelagis kecil umumnya hidup di daerah neritik dan membentuk schooling (Merta et al., 1998). Lebih lanjut dinyatakan bahwa penyebaran ikan pelagis kecil di Indonesia merata di seluruh perairan, namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti lemuru (Sardinella longiceps) banyak tertangkap di Selat Bali, layang (Decapterus spp) di Selat Bali, Makassar, Ambon dan Laut Jawa, kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) di Selat Malaka dan Kalimantan, kembung perempuan (Rastreliger neglectus) di Sumatera Barat, Tapanuli dan Kalimantan Barat. Menurut data wilayah pengelolaan FKKPS, ikan layang banyak tertangkap di Laut Pasifik, teri di Samudera Hindia dan kembung di Selat Malaka.
30
Beberapa sifat ikan pelagis kecil (www.dkp.go.id) yaitu: (1) biasanya dapat ditemukan pada perairan pesisir (selat dan teluk) sampai dengan laut terbuka; (2) mampu melakukan migrasi atau ruaya dalam skala kecil sampai besar (bergerombol); (3) warna tubuh didominasi biru pada bagian punggung (dorsal) dan abu-abu pada bagian perut, berkaitan dengan kemampuan beradaptasi secara dominan pada daerah permukaan perairan dan menghindari pemangsaan; (4) bentuk tubuhnya agak bulat lonjong dan cenderung simetris bilateral dengan kemampuan renang yang cepat sehingga mudah melakukan migrasi; (5) telur yang dihasilkan pada saat pemijahan adalah sangat banyak dan dilepaskan langsung ke kolom air sehingga langsung terbawa oleh arus; (6) berukuran 5-50 cm.
(2) Estimasi potensi daya ikan pelagis kecil secara hidroakustik Estimasi potensi sumber daya ikan pelagis kecil dapat dilakukan dengan pendekatan hidroakustik. Langkah awal yang penting dilakukan adalah melakukan identifikasi hidroakustik terhadap kawanan ikan. Fauziyah (2005) menyatakan bahwa ikan dapat diidentifikasi dengan dua cara yakni identifikasi ikan secara ex situ dan in situ. Identifikasi ikan secara in situ atau secara hidroakustik adalah usaha untuk mengenali atau mengidentifikasi kawanan ikan dengan gelombang suara yang ada pada suatu waktu tertentu tanpa menyentuh kawanan ikan tersebut. Pengumpulan data lapangan dengan pendekatan metode hidroakustik, khususnya untuk deteksi gerombalan ikan multi spesies mengikuti transek paralel acak sebagaimana dianjurkan oleh Simmonds and MacLennan (2005) dan Latumeten (2010). Dalam pengumpulan data akustik, transducer dibenamkan sedalam 1,5 meter pada salah satu sisi kapal dan diseret dengan kecepatan ratarata 6 (enam) knot sepanjang jalur pengambilan data. Satuan jarak baku sampling (Elementary Sampling Distance Unit, ESDU) pada pengambilan data akustik di setiap lokasi sampling tersebut ditetapkan selama satu menit atau kira-kira sepanjang 185 meter. Penyesuaian posisi dan arah pelayaran kapal dengan posisi dan arah garisgaris transek yang telah didesain itu, dikontrol menggunakan GPS GRC standard marine survey (Simmonds and MacLennan, 2005). Posisi dan waktu perolehan data di tiap ESDU direkam secara simultan dan otomatis, sehingga luaran
31
echointegrator yang diperoleh telah dilengkapi dengan data posisi dan waktu perolehannya yang juga disimpan secara otomatis (automatically saved) di harddisk komputer . Simmonds
and
MacLennan
(2005)
menganjurkan
penggunaan
echosounder split-beam disebabkan karena echosounder tipe ini memiliki transduser yang dibagi dalam empat kuadran. Arah target ditentukan dengan membandingkan sinyal yang diterima masing-masing kuadran. Tranducer memiliki dua fungsi yaitu: pertama, mengubah energi listrik menjadi pulsa akustik yang ditransmisikan, kadang-kadang disebut dengan ping. Kedua, ketika target memantulkan ping, tranducer mengubah echo akustik ke sinyal elektrik. Pulsa transmisi digunakan untuk seluruh tranducer tetapi sinyal yang diterima oleh tiap kuadran diproses secara terpisah. Target strength (TS) merupakan kekuatan suatu objek atau target untuk memantulkan gelombang suara dimana data mengenainya (Ehrenberg, 1983). TS dapat dirumuskan seperti dianjurkan oleh Foote (1987): TS = 20 Log L – 71,9 (physostomes) Kepadatan ikan diestimasi dengan pendekatan FPUA (Fish Per Unit Area) yang merupakan hasil dari penjumlahan kepadatan mutlak dikalikan dengan ketebalan lapisan dikalikan dengan proporsi sampel yang melewati jendela pulsa. Secara matematis perhitungan ini dapat dinyatakan dengan formula (BioSonic Inc., 2004) sebagai berikut:
FPUA = ∑ ( ADi * ITi * % i / 100) Dimana i adalah strata index, dan FPUA adalah ikan per m2 yakni penjumlahan dari densitas absolut (Absolut Density/AD, fish per cubic meter/FPCM). FPCM diperoleh dengan formula: _
FPCM = Sv / σ BS FPCM adalah ikan per m3 (fish per cubic meter), Sv adalah volume backscattering strength dan
adalah backscattering cross section rata-rata atau nilai
penampang ikan yang terukur secara akustik. Nilai Sv diperoleh dengan formula:
∑ P Sv = 10 * log ρ c * ∑ samples
32
Dimana P adalah perolehan (gain) sampel-sampel intensitas suara yang terkoreksi dan
adalah konstanta skala sistem (System Scaling Constant) yang diperoleh
dengan:
ρc =
1
π * pw * c * (10 ( SL / 10 ) ) * (10 ( RS / 10 ) ) * E [b 2 ] 2
2
Dimana π = 3.14159..., pw = lebar pulsa (detik), c = kecepatan suara (m/detik), SL = tingkat sumber (dBµPa), RS = sensitivitas penerimaan dari transducer (dB), dan E[b2] faktor pola beam. Biomassa ikan (B) pelagis dihitung dengan formula yang dikembangkan sebagai berikut: B = FPUArata −rata * A FPUA adalah ikan per unit area, diestimasi dari jumlah ikan dalam kolom air. Nilai FPUA diekspresikan dalam jumlah ikan per m2 atau dapat dinyatakan dalam kg/m2 tergantung pada penampang hamburan balik dari seekor ikan (luas penampang tubuh seekor ikan yang terukur secara akustik) yang digunakan sebagai faktor skala untuk menghitung volume hamburan. Dimana A adalah luas perairan. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) diperoleh dengan formula: JTB = 0,4 * B
2.1.2 Sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil Manusia dalam sistem perikanan yang dijelaskan oleh Charles (2001) meliputi 9 (sembilan) komponen berikut: (1) nelayan; (2) tipologi metode penangkapan ikan; (3) kelompok pengumpul; (4) konsumen dan sektor pasca tangkap; (5) pemasaran dan distribusi; (6) pengolahan; (7) pasar; (8) konsumen; serta (9) rumah tangga dan masyarakat perikanan.
2.1.2.1 Nelayan dan rumah tangga perikanan Nelayan didefinisikan sebagai orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan (Widodo dan Suadi, 2006). Nelayan disebut sebagai inti dari sub sistem manusia dalam perikanan, umumnya dijelaskan berdasarkan orang yang mengoperasikan
33
armada untuk kepentingan penangkapan. Nelayan dimana pun juga, berada dalam empat kategori didasarkan pada sifat dan latar belakang aktivitas penangkapan yang dilakukan (Charles, 2001). Empat kategori yang dimaksudkan meliputi: 1. Nelayan subsisten, yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri; 2. Nelayan asli, yaitu nelayan yang sedikit banyak memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil; 3. Nelayan rekreasi, yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekadar untuk kesenangan atau untuk tujuan olah raga; 4. Nelayan komersial, yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. Kelompok nelayan ini terbagi dua, yaitu nelayan skala kecil (artisanal) dan nelayan skala besar (industry). Terkait penelitian ini, kategori nelayan yang dianalisis meliputi dua kategori pertama, yakni: nelayan subsistem dan nelayan asli. Hal ini sesuai dengan orientasi perikanan pelagis kecil yang terjadi di Kabupaten Maluku Tengah. Klasifikasi nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan menurut Satria (2002), yaitu: 1. Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan; 2. Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan; 3. Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Relevansi klasifikasi nelayan menurut waktu operasi penangkapan dalam penelitian ini, meliputi nelayan penuh dan nelayan sambilan. Catatan kegiatan produksi yang dilakukan untuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah lebih diarahkan pada produksi yang dilakukan oleh kedua kelompok nelayan ini. Nelayan sering dikelompokan sesuai dengan teknologi atau metode penangkapan yang digunakan. Sebagai contoh, sering dikenal nelayan purse seine, nelayan trawl, nelayan gill net, nelayan bubu, nelayan pancing, dan lain-lain.
34
Berdasarkan penggunaan metode penangkapan itu, dapat dicirikan orientasi nelayan sesuai armada dan daerah penangkapan ikan yang menjadi tujuan (Charles, 2001; Widodo dan Suadi, 2006). Satria (2002) menyatakan dari status penguasaan kapital (modal), nelayan dapat dibagi atas: (1) nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan; dan (2) nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sering disebut anak buah kapal (ABK). Charles (2001) mengemukakan bahwa eksistensi nelayan dan responsnya dalam aktivitas penangkapan ikan yang relatif beragam, dapat dipelajari dari variasi yang ditunjukan oleh aktivitas mereka, antara lain: (1) Pada beberapa kelompok nelayan ditemukan keragaman dalam aspek-aspek sosial dan demografi. Antar kelompok nelayan, relatif berbeda kohesi sosialnya di internal kelompok maupun hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat dimana mereka berada. (2) Dalam perikanan komersial, ditemukan keragaman dalam komitmen atau waktu kerja yang dialokasikan dan alokasi waktu aktivitas tangkap yang didasarkan pada jenis-jenis hasil tangkapan yang menjadi tujuan tangkap, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, dan sumber-sumber pendapatan yang didapat dari aktivitas perikanan maupun di luarnya. (3) Nelayan cenderung berbeda dalam motivasi dan perilaku dalam menjalankan usaha penangkapan. Sebagai contoh, sebagian nelayan masuk dalam aktivitas penangkapan untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi, namun sebagian kelompok nelayan justru beraktivitas dalam perikanan tangkap untuk mencukupi pendapatan sesuai kebutuhan rumah tangga mereka. Suatu rumah tangga perikanan merupakan salah satu komponen yang berperan dalam perikanan. Fokus dalam menjelaskan rumah tangga perikanan ialah pada peran anggotan keluarga nelayan dalam kegiatan perikanan. Perilaku usaha juga cukup berpengaruh terhadap aktivitas usaha yang dilakukan setiap anggota keluarga nelayan. Oleh sebab itu, dalam konteks rumah tangga nelayan, intensitas penangkapan ikan yang memberikan keuntungan maksimum menjadi
35
penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Tenaga kerja dalam rumah tangga nelayan berperan juga dalam pengamanan pendapatan (Charles, 2001). Tergantung pada motivasi rumah tangga nelayan yang mampu mengatasi tekanan terhadap sumber daya, maka anggota rumah tangga nelayan tidak hanya terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, tetapi juga sebagian bekerja pada kegiatan perikanan pasca tangkap. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari hilangnya kesempatan menambah pendapatan dari berbagai aktivitas yang terjadi. Dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat yang menjadi kebutuhan dalam sistem perikanan dunia, masyarakat perikanan juga menjadi salah satu komponen penting untuk dipelajari. Dalam konteks perikanan, dua hal penting yang selalu menjadi perdebatan menyangkut masyarakat perikanan ialah: (1) masyarakat berbasis kondisi geografi; dan (2) ketertarikan masyarakat terhadap aktivitas perikanan. Walaupun demikian, ada hal lain yang penting dilihat yakni aspek etnografi dan sosio ekonomi. Charles (2001) menyatakan beberapa komponen dari komunitas perikanan yang penting dijadikan basis dalam kajian, meliputi: 1. Fasilitas yang dibutuhkan untuk persiapan melaut; 2. Fasilitas yang dibutuhkan saat melakukan pendaratan ikan; 3. Failitas yang dibutuhkan untuk pemasaran, pengolahan dan distribusi hasil tangkapan; 4. Aktivitas ekonomi lain yang terkait dengan perikanan, seperti fasilitas perbaikan kapal; 5. Aktivitas non ekonomi lain seperti pertanian, wisata dan industri yang tergantung pada produksi hasil perikanan; 6. Fasilitas di tingkat masyarakat seperti sekolah, tempat ibadah dan tempat pertemuan; 7. Kelembagaan masyarakat seperti sistem legal dan sistem tata kelola di tingkat wilayah; 8. Infrastruktur lainnya yang dibutuhkan masyarakat seperti jalan, listrik, dan air; 9. Fasilitas sosial budaya, pusat perbelanjaan, pusat hiburan, dll; 10. Fasilitas-fasilitas lain yang menjadi tanggung jawab pemerintah, namun dibutuhkan oleh masyarakat seperti kantor pos, bank, dll.
36
2.1.2.2 Tipologi metode penangkapan ikan Pilihan terhadap metode penangkapan ikan sangatlah tergantung pada berbagai faktor. Tentu saja, dalam setiap sistem perikanan, nelayan akan mencoba berbagai kemungkinan untuk menemukan alat tangkap yang sesuai dengan tujuan aktivitas penangkapan mereka. Hal ini dilakukan dalam upaya menghasilkan jenis-jenis hasil tangkapan yang menjadi tujuan tangkap, dimana hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kapasitas sumber daya finansial dan teknologi yang dimiliki (Charles, 2001). Pilihan-pilihan
yang
dilakukan
nelayan
akan
mengarah
pada
keseimbangan faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat biologis dari ikan yang ditangkap, sifat ekonomi dari teknologi-teknologi penangkapan dan faktor sosial sesuai dengan kegiatan perikanan yang digeluti (Charles, 2001; Widodo dan Suadi, 2006). Berikut ini diberikan gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan nelayan, digambarkan secara keseluruhan untuk menemukan karakteristik metode penangkapan, meliputi: 1. Sesuai dengan karakter biologis, jenis-jenis ikan yang hidupnya secara sedentary di dasar perairan seperti lobster, cenderung ditangkap dengan alat tangkap bubu. Di sisi lain, flatfish yang juga hidup di dasar perairan dan memiliki pergerakan yang aktif, akan sulit ditangkap dengan bubu, oleh sebab itu pilihan alat tangkap yang dipilih adalah trawl. Demikian juga untuk jenisjenis ikan pelagis yang memiliki pergerakan yang aktif, akan ditangkap dengan berbagai jenis alat tangkap yang sesuai. 2. Realitas ekonomi menunjukkan bahwa ada kecenderungan penangkapan ikan yang memiliki nilai ekonomi yang rendah, namun ditangkap dengan metode penangkapan dengan biaya tinggi. Fokus terhadap orientasi manfaat jangka pendek dan jangka panjang juga memberikan pengaruh terhadap tingkatan kepedulian terhadap upaya-upaya konservasi. Sebagai contoh, penggunaan bahan peledak yang memiliki biaya yang rendah bisa mendapat hasil tangkapan bernilai ekonomi tinggi. 3. Faktor sosial juga merupakan faktor yang penting dalam mendukung pilihan nelayan dalam melakukan aktivitas. Sebagai contoh penggunaan alat tangkap perangkap yang ditarik berhubungan dengan dinamika sosial masyarakat
37
penggunanya dan memiliki keterkaitan dengan persepsi mereka tentang aspek ekologis.
2.1.2.3 Pengolahan hasil perikanan Secara historis, dalam mempelajari sistem perikanan, fokus para manajer, perencana, peneliti dan kelompok lain adalah pada sektor tangkap. Walaupun demikian, sektor pasca tangkap memiliki signifikansi kuat dengan upaya-upaya penangkapan ikan yang dewasa ini tidak memiliki nilai keberlanjutan dalam peningkatan upaya tangkap. Oleh sebab itu, agak krusial untuk fokus pada suatu tujuan dari maksimisasi manfaat bagi masyarakat melalui setiap sumber daya ikan yang dapat ditangkap secara berkelanjutan (Charles, 2001). Pendekatan pembangunan berkelanjutan memastikan bahwa kuantitas terbatas dari ikan yang tersedia dimanfaatkan secara efisien mungkin untuk memenuhi tujuan-tujuan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, serta pembangunan sosial ekonomi. Pikiran ini memiliki relevansi dengan sektor pasca tangkap, dan berimplikasi pada: (1) peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan hasil yang sesuai; (2) pengembangan dan/atau peningkatan sistem distribusi dan pemasaran; serta (3) memadukan perikanan ke dalam keseluruhan upaya-upaya pembangungan. Sebagai catatan, elemen penting yang menjadi langkah pertama untuk diperhatikan ialah mekanisme yang terjadi mulai pada bergeraknya ikan hasil tangkapan dari armada nelayan ke tingkat pengolahan, atau langsung memasuki pasar. Hal ini meliputi: (1) perhatian khusus terhadap proses pemasaran ikan, termasuk jaringan komunikasi antara produsen dan konsumen; (2) menemukan setiap peran pedagang perantara; dan (3) pertimbangan terhadap arti penting distribusi produk secara fisik. Langkah kedua, tingkatan kegiatan pengolahan yang beragam cenderung terjadi, terkait dengan proses pembelian dan penjualan di lokasi pasar. Langkah ketiga, ialah penjualan kepada konsumen beragam, baik secara individual untuk konsumsi keluarga, institusi dan perusahaan besar atau industri yang membeli langsung ikan atau produk perikanan untuk penggunaanpenggunaan secara khusus (Charles, 2001).
38
Pengolahan dalam kegiatan penangkapan meliputi setiap aktivitas yang dilakukan terhadap ikan hasil tangkapan sebelum akhirnya dijual ke pedagang atau pengecer. Hal ini dapat mencakup metode-metode umum seperti: (1) penanganan untuk dijual dalam bentuk segar; (2) pendinginan yang umum ditemukan pada ikan hasil tangkapan untuk tujuan industri; (3) pengasapan dan penggaraman; (4) pengalengan untuk beberapa jenis ikan seperti tuna, sardin, dll; serta (5) produksi tepung ikan (Charles, 2001). Seluruh metode yang dikemukakan di atas menurut Charles (2001), cenderung mengarah pada penggunaan tenaga kerja secara intensif, kecuali pengalengan dan produksi tepung yang tergantung pada penggunaan modal secara intensif. Beragam manfaat yang didapat dari kegiatan pengolahan, antara lain: 1. Pengolahan menunjukkan suatu industri sekunder dalam sistem perikanan, yang biasanya membutuhkan dukungan tenaga kerja perikanan berbasis wilayah, dan memberikan nilai tambah dari ikan yang didaratkan dari kapal penangkap. Tentu saja, hal ini tidak umum ditemukan, sesuai dengan aturan atau mekanisme yang berlaku, dimana nilai pasar dari produk ikan sesudah pengolahan dan pemasaran setidaknya sekitar dua kali nilai pendaratan ikan yang diterima nelayan dari hasil tangkapannya. 2. Pengolahan sangat berarti untuk mentransformasi ikan kedalam bentuk-bentuk yang mudah dikelola. 3. Pengolahan mentransformasikan ikan dalam bentuk yang mudah dipasarkan, sesuai preferensi pembeli dalam berbagai produk dan pilihan-pilihan kemasan yang beragam. 4. Peningkatan
kegiatan
pengolahan
dapat
menghasilkan
suatu
bentuk
pemanfaatan yang sangat baik terhadap ikan rucah dan pengembangan sumber daya produk baru, yang seringkali menunjang pengembangan ekonomi pada area yang terbatas.
2.1.2.4 Distribusi dan pemasaran Disamping nelayan sebagai bagian dalam sistem manusia, kelompok lain yang juga terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ikan pada habitatnya atau terintegrasi dalam kegiatan penangkapan ikan adalah para pengumpul dan
39
distributor hasil perikanan. Para pengumpul ini hanya merupakan sebagian kecil dari komponen manusia yang termasuk dalam perikanan (Charles, 2001). Untuk setiap nelayan komersial misalnya, teridentifikasi tiga kelompok orang yang menyeimbangkan dimensi manusia dalam setiap aktivitasnya: (1) keluarga nelayan dan masyarakat dalam konteks sosial atau politik; (2) kelompok orang yang terintegrasi dan tergantung pada aktivitas penangkapan, termasuk mereka yang beraktivitas di dermaga perahu, pasar-pasar yang menyediakan produk ikan dan fasilitas-fasilitas pelayanan; serta (3) kelompok distributor, pelaku pasar dan konsumen yang melakukan permintaan terhadap produk-produk hasil tangkapan (Charles, 2001). Pemasaran merupakan suatu aktivitas yang krusial dalam kegiatan perikanan. Dalam konteks komersial, hasil tangkapan yang baik hanya bisa bermanfaat jika produknya dapat dijual. Pemasaran merupakan aksi penempatan dan pengaturan sebuah pasar, khususnya pembeli, terhadap hasil tangkapan yang dihasilkan oleh seorang nelayan secara spesifik, koperasi, perusahaan atau masyarakat (Charles, 2001). Pemasaran hasil perikanan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa dari perikanan agar dapat memuaskan kebutuhan pembeli yang ada maupun potensial. Dengan demikian, pemasaran hasil perikanan laut, dapat dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang membawa atau menyampaikan barang dari produsen, dalam hal ini nelayan, sampai ke konsumen baik industri pengolahan ikan maupun rumah tangga (Widodo dan Suadi, 2006). Charles (2001) menyatakan pada perikanan skala kecil, nelayan bisa menangani dengan baik persoalan penjualan ikan oleh kelompok perempuan atau masyarakat untuk aktivitas pemasaran di tingkat lokal, atau dilanjutkan ke pengumpul untuk membawa ikan hasil tangkapan ke pasar. Sampai pada tingkat pedagang di pasar atau perusahaan yang membeli ikan hasil tangkapan, mekanisme distribusi menjadi penting untuk diperhatikan. Pada skala pasar secara makro, proses pemasaran mencakup juga kegiatan promosi, termasuk promosi konsumsi ikan secara umum maupun konsumsi ikan
40
secara khusus dari wilayah-wilayah asal produk perikanan ke wilayah-wilayah yang lebih jauh, bahkan pada tingkatan nasional. Upaya-upaya untuk mendukung pemasaran dan distribusi pada skala ini memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Perhatian terhadap mekanisme distribusi ikan juga menjadi penting. Suatu aktivitas penjualan hanya bisa sempurna bila ikan dapat diterima sampai pada tangan pembeli. Umumnya pada negara-negara berkembang, mekanisme distribusi ini sangat tergantung pada besarnya fraksi penduduk, seringkali mencapai 50% atau lebih, tidak mengkonsumsi ikan laut karena produk ikan tidak tersedia. Di beberapa negara, hal ini menyebabkan konsumsi ikan per kapita menjadi rendah karena tingginya harga ikan, akibat dari permintaan yang rendah terhadap produk ikan tersebut. Dalam banyak kasus, kajian terhadap jaringan pemasaran pasca tangkap menunjukkan ketergantung terhadap sejumlah tingkatan kapabilitas transportasi dan faktor-faktor eksternal lain di luar sistem perikanan (Charles, 2001). Proses dimana ikan benar-benar dibeli dan dijual disebut sebagai pasar (ikan). Istilah ini secara konseptual digunakan (karena pasar yang memutuskan harga) dan juga mengacu pada entitas fisik dimana kegiatan penjualan dan pembelian terjadi. Hal ini dapat terjadi pada tingkatan masyarakat atau pada pusat-pusat kota. Pasar pada tingkat lokal harus mencakup perantara yang independen atau anggota keluarga (khususnya kelompok perempuan) yang berperan dalam proses penjualan. Pasar yang besar melayani wilayah yang lebih luas, bahkan dapat mencapai proses pemasaran yang disebut ekspor (Charles, 2001; Widodo dan Suadi, 2006; Infofish, 2008). Teori
penawaran
dan
permintaan
merupakan
pengarah
dalam
mendikusikan pasar ikan. Sistem yang digunakan ialah pasar persaingan sempurna (Diei-Ouadi, 2005), dengan disadarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Jumlah pembeli dan penjual banyak, tidak ada kontrol individu yang cukup mampu untuk mempangaruhi harga sesuai yang diminta atau yang dijual, dan tidak ada kolusi antara penjual dan pembeli.
41
2. Untuk produk-produk yang diberikan, faktor-faktor yang menentukan harga adalah penawaran dan permintaan. Kesetimbangan harga bergerak sepanjang keseimbangan penawaran dan permintaan. 3. Pengetahuan penuh tentang informasi yang dibutuhkan terdistribusi pada seluruh pemain dalam perikanan. Kekuatan pasar dalam suatu sistem perikanan tergantung pada struktur sosial internal, seperti peran yang dimainkan oleh organisasi produsen dan koperasi pada domain nelayan, serta keterpaduan secara vertikal dan produsen pengolahan makanan pada domain pelaku pengolahan. Di sisi lain, tantangan para perantara, tidak hanya berperan sebagai pembeli tapi juga sebagai pemberi modal yang mendaratkan uang kepada nelayan yang setuju untuk menjual ikannya kepada mereka sebagai bentuk pengembalian dana yang dipinjam. Sering, nelayan memberikan keuntungan bagi pedagang atau pemebri modal yang berperan secara monopoli untuk menjual kekuatan kapital dan peralatan, dan monopoli juga dalam pembelian ikan. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi pasar tidak lagi didasarkan pada penawaran dan permintaan, tapi jaringan secara individual yang mengeksploitasi ketergatungan nelayan (Charles, 2001; Widodo dan Suadi, 2006).
2.1.3 Sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan pelagis kecil Sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan mencakup empat komponen utama yaitu: (1) kebijakan dan perencanaan perikanan; (2) pengelolaan perikanan; (3) pembangunan perikanan; dan (4) penelitian perikanan (Charles, 2001). Kebijakan dan perencanaan perikanan yang dimaksudkan, lebih difokuskan dalam konteks konsep pengelolaan strategis, sedangkan pengelolaan perikanan lebih difokuskan dalam konteks konsep pengelolaan taktis dan operasional. Kebijakan dan perencanaan perikanan dalam konteks pengelolaan strategis mencakup: (1) seluruh tujuan yang dicapai dalam sistem perikanan; (2) arahan kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; (3) legislasi yang berhubungan dengan pengelolaan dan regulasi perikanan; dan (4) keputusan tentang struktur sistem pengelolaan. Pembangunan perikanan Indonesia ditentukan oleh model pengelolaan perikanan yang dikembangkan. Pengertian pengelolaan perikanan dalam UU
42
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 adalah: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa permasalahan perikanan terkait dengan beberapa hal, antara lain: (1) kurangnya informasi tentang perikanan; (2) penurunan hasil tangkapan; (3) dukungan pemerintah yang masih terbatas; (4) pendidikan formal tentang lingkungan hidup; (5) upaya memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi; serta (6) penyuluhan dan ketrampilan petugas penyuluh. Oleh sebab itu, pelaksanaan pengelolaan perikanan dilakukan dalam rangka membangun perikanan dengan tujuan untuk: (1) mempertahankan kelestarian SDI dan kelanjutan kegiatan produksi; (2) meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan; serta (3) menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri perikanan. Pengelolaan perikanan dalam konteks taktis dan operasional meliputi: (1) portofolio
dari
ukuran-ukuran
pengelolaan
untuk
mengontrol
dampak
pemanfaatan terhadap stok ikan dan ekosistem; (2) setiap ukuran pengelolaan secara tahunan (contohnya: JTB); (3) keputusan harian untuk mencapai rencana operasional; dan (4) penelitian dan pengumpulan data untuk menyediakan basis pengetahuan yang baik (Charles, 2001; ). Pembangunan perikanan yang termasuk dalam sub sistem pengelolaan perikanan ini meliputi beberapa faktor sebagai berikut: (1) ukuran-ukuran untuk meningkatkan
infrastruktur
fisik,
kapabilitas
(kemampuan)
teknologi,
produktivitas institusi dan/atau manusia, baik nelayan, pengolah, dll; (2) ukuranukuran untuk meningkatkan aliran manfaat-manfaat yang berkelanjutan dari perikanan, termasuk pembangunan pasar, kontrol kualitas, dan peningkatan proses-proses distribusi; (3) pembangunan aktivitas perikanan yang baru, yang layak dan diinginkan (Charles, 2001; Widodo dan Suadi, 2006).
43
Penelitian perikanan dalam sub sistem pengelolaan perikanan meliputi: (1) ukuran-ukuran untuk mengumpulkan, menganalisa, dan mendesiminasi data yang relevan terhadap komponen-komponen yang beragam dalam sistem perikanan, untuk mendukung aktivitas pengelolaan dan pembangunan perikanan; (2) Ukuranukuran untuk mengkaji dan melindungi stok ikan; dan (3) Ukuran-ukuran untuk memahami sistem alam dan manusia dalam perikanan.
2.2 Dinamika Sistem Perikanan Dinamika sistem perikanan digambarkan oleh Charles (2001) dalam lima komponen. Namun dalam kaitan dengan pengembangan penelitian, akan dikaji empat komponennya, antara lain: (1) skala-skala waktu; (2) dinamika sistem alam; (3) dinamika sistem manusia; dan (4) dinamika sistem pengelolaan. Skala-skala waktu yang menunjukkan dinamika sistem perikanan meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1. Skala waktu yang cocok untuk analisis dinamika spasial ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tengah ialah skala waktu bulanan sampai musiman (monthly to seasonal time scale). 2. Dalam diskursus tentang suatu musim penangkapan, batasan temporal pasti terjadi. Sebagai contoh: migrasi stok ikan yang melintasi jangkauan stok, para manajer membuka dan menutup aktivitas perikanan pada kawasan yang sesuai, dan nelayan bergeser ke arah perikanan yang terbuka, atau barangkali merubah alat tangkap berdasarkan jenis yang menjadi tujuan tangkap. 3. Pada suatu basis musiman, nelayan dan aktivitasnya pasca tangkap akan bergeser, secara temporal meninggalkan dan masuk kembali dalam kegiatan perikanan akibat perubahan peluang-peluang. 4. Siklus alam dalam lingkungan biofisik (suhu, salinitas, dan arus yang bervariasi secara musiman) adalah krusial pada skala waktu ini, dan dengan baik dapat mendasari dinamika perikanan melalui pengaruhnya terhadap masing-masing faktor, seperti migrasi ikan dan perkembangan siklus hidup. Dinamika sistem alam yang dikemukakan dalam kaitan dengan pengembangan penelitian meliputi: (1) pergeseran stok ikan secara musiman; (2) pergeseran DPI tradisional secara musiman; dan (3) pergeseran DPI potensial
44
secara musiman berdasarkan distribusi faktor-faktor biofisik perairan. Dinamika sistem manusia, meliputi: (1) upaya tangkap; (2) tenaga kerja perikanan; (3) modal usaha perikanan; (4) teknologi; (5) armada penangkapan yang bergerak secara musiman; dan (6) masyarakat perikanan tangkap dan lingkungan sosial ekonomi. Dinamika sistem pengelolaan lebih menekankan pada aspek dinamika dari regulasi dalam sistem perikanan yang terdapat pada skala-skala yang bervariasi, antara lain: (1) perubahan-perubahan dalam sasaran yang hendak dicapai; (2) perubahan arah kebijakan; (3) perubahan-perubahan pada tingkat strategi pengelolaan; (4) perubahan-perubahan pada tingkat taktis pengelolaan; (5) perubahan-perubahan pada tingkat operasional; dan (6) perubahan-perubahan pada struktur kelembagaan pengelolaan perikanan Charles (2001). Dudley (2008) yang mengungkap konsep dasar untuk memahami dinamika sistem perikanan, khususnya untuk sub sistem pengelolaan, bahwa pengelolaan tidak hanya meliputi keputusan-keputusan di tingkat nelayan, namun juga melingkupi model populasi ikan yang cukup kompleks dan menjadi ukuran pengambilan
keputusan
dalam
pengembangan
aktivitas
perikanan
dan
pengelolaan. Nelayan akan melakukan aktivitas penangkapan ketika laju tangkap tinggi, ketika hasil tangkapan menurun nelayan akan meningkatkan efisiensi penangkapan. Di sisi lain, para pengelola cenderung memperhatikan aspek ketersediaan ikan, namun perumusan bersama implementasi pengelolaan perikanan tidak melibatkan nelayan dan pihak pengambil kebijakan, terutama dalam rangka pengendalian peningkatan upaya tangkap yang berdampak pada ketersediaan stok dan dampaknya terhadap lingkungan. Wiber et al. (2004) melaporkan tentang pengelolaan perikanan berbasis masyarakat akan menjadi efektif ketika: (1) adanya perhatian berbagai pihak terhadap penerapan mata pencaharian secara praktis dalam konteks kapan dan di mana kegiatan penangkapan ikan dilakukan dan seberapa besar intensitas upaya tangkapnya dapat dikendalikan; (2) isu-isu sosial, ekonomi dan politik haruslah menghindari adanya konflik antar regulasi dan teraksesnya kebijakan dan alokasi pengelolaan perikanan; serta (3) nilai dan etika yang menjadi dasar dalam pengembangan dan implementasi kebijakan.
45
Dinamika sistem perikanan dapat diukur dari dampak penetapan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) dan dampaknya terhadap penetapan kuota penangkapan ikan di perairan. Dampak yang terukur menjadi dasar dalam mengidentifikasi kawasan-kawasan dimana perubahan kebijakan dan peningkatan pengelolaan dapat berjalan secara efektif (Garitty, 2011). Garcia and Charles (2007) menerangkan ide mereka tentang sistem-sistem perikanan dan keterkaitannya, bahwa referensi untuk membuat adanya perubahan dalam pengelolaan perikanan dibutuhkan untuk mengungkap hubungan-hubungan antar ilmu pengetahuan, pengambilan keputusan dan eksistensi masyarakat perikanan, terutama dalam konteks mendalami sistem-sistem perikanan yang kompleks, baik antar sistem maupun lingkup implementasi. Keduanya menyimpulkan bahwa telah terjadi evolusi pada sistem perikanan secara global dan banyaknya masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan terkait dengan upaya membangunan keterkaitan antar ilmu pengetahuan, tata kelola dan masyarakat perikanan.
2.3 Konsep dan Model Pengembangan Kawasan Pengembangan kawasan adalah upaya untuk mempercepat pembangunan daerah. Tujuan utamanya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan itu dan di sekitarnya. Agar masyarakat mendapat manfaat dari upaya pengembangan kawasan maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan melalui pemenuhan kebutuhan mereka. Salah satu bentuk fasilitasi pemerintah yang sangat diperlukan masyarakat adalah membangun kelembagaan yang kuat, karena sukses tidaknya program ini sangat bergantung kepadanya (BAPPENAS, 2004). Pada perkembangan selanjutnya, kelembagaan masyarakat perlu dikaitkan dengan pihak lain, baik pemerintah maupun perusahaan swasta. Pengembangan kawasan merupakan suatu usaha yang sangat kompleks yang menyangkut organisasi, manajemen, sosial, ekonomi, keuangan, budaya, pemasaran, dan lainlain. Oleh karena masyarakat tidak mungkin menguasai semua bidang-bidang tersebut, maka perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah untuk membangun kelembagaan yang solid, dan membentuk
46
pola-pola kemitraan atau kerjasama antar lembaga tersebut atau antara suatu lembaga dengan pihak-pihak yang menguasai bidang-bidang yang tidak dikuasainya (BAPPENAS, 2004). Pengembangan kawasan merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar kawasan (BAPPENAS, 2004; Rustiadi, et al., 2011). Berbagai konsep pengembangan kawasan yang pernah diterapkan adalah: 1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya, yaitu: (a) pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (b) pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan; (c) pengembangan wilayah berbasis efisiensi; (d) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan. 2. Konsep pengembangan kawasan berbasis penataan ruang, yang membagi wilayah ke dalam: (a) pusat pertumbuhan; (b) integrasi fungsional; dan (c) desentralisasi. 3. Konsep pengembangan kawasan terpadu, menekankan kerjasama antarsektor untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
penanggulangan
kemiskinan di daerah-daerah tertinggal. 4. Konsep pengembangan kawasan berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (1997) mengidentifikasi karakteristik cluster wilayah yang berhasil, yaitu adanya spesialisasi, jaringan lokal, akses yang baik pada permodalan, institusi penelitian dan pengembangan dan serta pendidikan, mempunyai tenaga kerja berkualitas, melakukan kerjasama yang baik antara perusahaan dan lembaga lainnya, mengikuti perkembangan teknologi, dan tingkat inovasi yang tinggi. Konsep pengembangan kawasan setidaknya didasarkan pada prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi
47
dan desentralisasi (BAPPENAS, 2004). Selanjutnya dikemukakan, pengembangan suatu kawasan harus berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal, sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal meliputi pola-pola pengembangan SDM, informasi pasar, sumber daya modal dan investasi, kebijakan
dalam
investasi,
pengembangan
infrastruktur,
pengembangan
kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta berbagai kerjasama dan kemitraan. Faktor eksternal meliputi masalah kesenjangan antar kawasan dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, perdagangan bebas, serta otonomi daerah. Pengelolaan pengembangan kawasan andalan pada dasarnya adalah meningkatkan daya saing kawasan dan produk unggulannya. Idealnya pengelolaan kawasan dimulai dengan menentukan visi dan misi pengembangan kawasan andalan. Kemudian disusun strategi pengembangan, serta mengembangkan hubungan pemerintah dan dunia usaha. Dalam hal ini diperlukan beberapa kebijakan, meliputi: (1) kebijakan investasi, yang terkait dengan produk unggulan kawasan, insentif, dan promosi; (2) kebijakan pengembangan kawasan, yang dilaksanakan melalui identifikasi faktor penentu pengembangan industri, formulasi visi pengembangan industri daerah, dan identifikasi strategi pendukung yang sesuai; (3) kebijakan perdagangan, yang mengatur hubungan perdagangan antardaerah dan antarsektor, serta meminimalisasi hambatan-hambatannya; (4) kebijakan pengembangan infrastruktur fisik dan non fisik (SDM); serta (5) kebijakan pengembangan kelembagaan, yang mencakup mekanisme pengambilan keputusan di lingkungan pemerintah, penciptaan regulasi, dan sosial dan budaya masyarakat (Rustiadi, et al., 2011). Sesuai model diamond of advantage dari Porter (1998), suatu kawasan secara alamiah akan mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi dari perusahan-perusahan yang ada di dalamnya dan vitalitas ekonomi suatu wilayah merupakan hasil langsung dari persaingan industri yang ada di kawasan tersebut. Berbagai faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan kawasan diantaranya adalah: 1. Faktor Kondisi: yaitu tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, infrastruktur ekonomi yang tersedia, dan hambatan-hambatan tertentu.
48
2. Permintaan Sektor Rumah Tangga, yaitu pembeli lokal yang mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi. 3. Dukungan Industri Terkait, yaitu industri-industri pemasok setempat yang kompetitif yang memacu inovasi dan memungkinkan industri-industri untuk berkembang dengan baik. 4. Strategi, Struktur, dan Persaingan, yaitu tingkat persaingan antar industri lokal yang memberikan motivasi untuk bersaing, dan budaya lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam melakukan persaingan dan inovasi. Selain itu, Porter (1990) menyertakan peristiwa historis dan campur tangan pemerintah sebagai faktor yang juga berperan secara signifikan dalam perkembangan suatu kawasan. Oleh sebab itu, suatu kawasan mampu memberikan peran penting dalam perekonomian suatu wilayah. Pada beberapa kasus, suatu kawasan hanya terpusat di suatu wilayah kecil, seperti suatu desa atau kecamatan. Sementara yang lain meliputi beberapa kecamatan atau kabupaten/kota, dan mungkin lintas provinsi. Di dalam suatu kawasan terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi yang berinteraksi satu sama lain membentuk suatu klaster. Walaupun suatu kawasan secara fungsional ada, namun bisa saja perusahaan-perusahaan di dalamnya tidak bekerja bersama-sama atau tidak menunjukkan diri sebagai bagian dari sebuah klaster. Untuk bekerja secara efektif sebagai sebuah klaster, perusahaan-perusahaan yang ada di dalamnya harus memahami peran mereka dalam klaster yang lebih besar dan menyadari bahwa bekerja bersama akan menekan biaya (Rustiadi, et al., 2011). Strategi pembangunan ekonomi kawasan harus dapat mengarahkan secara efektif investasi dan subsidi sektor pemerintah dan swasta pada kawasan-kawasan strategis yang telah kuat dan mengakar di kawasan tersebut dan telah membentuk klaster-klaster industri. Pemerintah dapat mengarahkan sumber daya masyarakat yang terbatas menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dan menjadikan pertumbuhan industri yang tinggi pula. Hal ini ditandai dengan meningkatnya upah di kawasankawasan strategis yang secara signifikan memiliki tingkat perbedaan yang tinggi dibanding dengan upah rata-rata di wilayah tersebut.
49
2.4 Tinjauan Empiris Dinamika Spasial Sistem Perikanan 2.4.1 Tipologi kawasan pengembangan perikanan Tipologi kawasan pengembangan perikanan belum banyak dikembangkan karena metode ini lebih banyak digunakan terkait dengan pengembangan wilayah secara makro. Namun demikian hasil penelusuran pustaka menemukan beberapa studi yang memiliki keterkaitan dengan tipologi kawasan. Penelitian ini menggunakan istilah tipologi kawasan, walaupun istilah yang umum dipakai adalah tipologi wilayah. Rahmalia (2003) telah melakukan kajian tentang tipologi desa pesisir, yang menggunakan beberapa pendekatan seperti skalogram dan PCA untuk membandingkan hasil penentuan tipe desa pesisir dalam konteks pengembangan. Namun demikian, pendekatan ini masih belum mengakomodasi perbedaan desa pesisir sebagai suatu ruang (wilayah/kawasan) yang menunjukkan adanya kapasitas ruang dan keunggulannya. Demikian juga pemetaan desa/kawasan dalam belum diarahkan dalam konteks wilayah sebagai inti dan periferi. Hal ini seharusnya menjadi dasar untuk menentukan pada tipe pengembangan apa suatu desa atau kawasan sesuai kapasitasnya dalam menghasilkan produk di kawasan. Van Eupena et al. (2012) menggunakan konsep tipologi untuk mendukung kebijakan pengembangan wilayah pedesaan. Model yang dikembangkan memperkenalkan tiga aspek baru untuk memperkaya konsep tipologi, antara lain: (1) luasnya perbedaan (disparitas) geografis antar wilayah; (2) heterogenitas wilayah; dan (3) gradien spasial antar wilayah. Brezzi et al. (2011) yang mengembangkan tipologi wilayah untuk mencermati kinerja ekonomi wilayah dengan akses yang sangat lemah. Hal penting yang melatarbelakangi pengembangan tipologi wilayah ini adalah diparitas wilayah pada aspek ekonomi dan sosial. Pendekatan ini menghendaki adanya kebijakan untuk mereduksi disparitas wilayah melalui alokasi sumber daya yang diinisiasi oleh pemerintah. Model tipologi wilayah yang dikembangkan mengakomodasi komponen-komponen utama pembentuk struktur ruang, yaitu: aksesibilitas, distribusi sumber daya manusia, jaringan interaksi, pusat-pusat pengembangan, dan wilayah pelayanan.
50
Dalam
konteks
struktur
ruang,
khususnya
untuk
kepentingan
pengembangan suatu wilayah, ada perbedaan kondisi pembangunan yang terjadi antara wilayah inti dan periferi. Jika wilayah inti memiliki kapasitas yang kuat dan prospek pengembangan yang baik, maka wilayah periferi memiliki dua kondisi, yaitu: (1) lemah kapasitas tetapi memiliki potensi sumber daya yang kuat; dan (2) kapasitas lemah dan potensi sumber daya sangat kurang. Kondisi ini yang menyebabkan harus adanya integrasi antar wilayah untuk pengembangannya secara bersama, terutama dalam rangka menghindari disparitas wilayah yang semakin meluas (Lorentzen, 2009). Selanjutnya wilayah periferi dibagi atas empat kelompok: (1) wilayah periferi yang dekat dengan wilayah pusat; (2) periferi yang memiliki potensi sumber daya yang sangat kuat; (3) periferi dimana kegiatan pertanian yang cukup dominan; serta (4) periferi yang memiliki akses lemah dan potensi sumber daya yang kurang. Stohr (1999) membagi suatu wilayah pengembangan atas empat tipe, yang disebutnya sebagai tipologi wilayah. Pertama, wilayah inti yang memiliki kapasitas infrastruktur yang kuat dan potensi sumber daya alam yang banyak. Kedua, wilayah periferi aktif yang memiliki potensi sumber daya yang sedikit namun kapasitas pemanfaatannya cukup baik. Ketiga, periferi pasif merupakan wilayah dengan potensi sumber daya yang banyak namun pemanfaatan dan tingkat produksinya sangat sedikit. Keempat, periferi netral merupakan wilayah yang cenderung stagnan atau lambat perkembangannya, karena potensi sumber daya dan kapasitas lemah sementara produksinya sedikit. Penelitian ini mengakomodasi model yang dikembangkan oleh Stohr yang membedakan wilayah atas empat kelompok sesuai dengan hubungan antara kapasitas dan potensi dengan produksi dan output yang dihasilkan oleh suatu kawasan pengembangan perikanan. Pendekatan ini untuk menentukan kawasankawasan yang dapat menjadi inti maupun periferi, dimana hasil ini diperuntukan dalam membedakan kawasan pusat dan kawasan belakang (hinterland) sebagai suatu kesatuan ruang yang dibedakan berdasarkan struktur ruangnya. Penelitian ini menggunakan potensi sumber daya yang dipetakan bersamaan dengan produk yang dihasilkan dan kinerjanya.
51
2.4.2 Indeks sentralitas sistem perikanan Indeks
sentralitas
telah
banyak
dikembangkan
bagi
kepentingan
menentukan struktur wilayah untuk berbagai kepentingan. Penggunaan untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan belum dikembangkan, khususnya dengan menggunakan variabel dasar komponen-komponen sistem perikanan. Walaupun demikian, beberapa konsep dasar dari indeks sentralitas menjadi penting untuk digunakan dalam pengembangan struktur wilayah sebagai salah satu komponen dasar pada penataan ruang wilayah. Shresta (2004) menyatakan sangat sedikit metode yang dapat digunakan untuk menentukan hirarkhi dari suatu titik nodal. Skalogram dan indeks sentralitas merupakan dua metode yang sangat populer bagi para perencanaan wilayah. Skalogram merupakan teknik grafis dan indeks sentralitas merupakan suatu teknik kuantitatif untuk menentukan hirarki dari wilayah. Dalam studinya ini, diadopsi indeks sentralitas untuk menentukan hirarki titik-titik nodal dengan formula yang dikembangkan oleh Sarma et al. (1984). Formulasi indeks sentralitas merupakan akumulasi dari nilai atau fungsi wilayah dan bobot fungsinya. Hirarki suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan umum dimasing-masing wilayah. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas palayanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan, 2005). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pusatpusat aktivitas suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki wilayah yang dapat membantu untuk menentukan fasilitas yang harus ada atau perlu dibangun di tiap wilayah. Umumnya daerah dengan fasilitas pelayanan yang tinggi menjadi pusat aktivitas, baik sebagai pusat pelayanan maupun pertumbuhan suatu wilayah. Penggunaan fasilitas pada suatu pusat pelayanan merupakan fungsi dari aksesbilitas atau kemudahan dari titik permintaan ke titik penyediaan pelayanan. Lee et al. (2012) melakukan evaluasi sentralitas spasial dalam pengelolaan pariwisata secara terpadu dengan pendekatan indeks sentralitas. Dalam studi
52
mereka, tiga variabel utama yang dianalisis terkait dengan indeks sentralitas, yaitu: tingkatan wilayah, aksesibilitas dan wilayah pengaruh. Pendekatan analisis untuk ketiga variabel menghasilkan strategi pengembangan wilayah berbasis pada kegiatan pariwisata. Beberapa kajian pustaka ini menunjukkan bahwa penggunaan indeks sentralitas dalam pengembangan kawasan perikanan masih kurang bahkan jarang dilakukan. Oleh sebab itu pendekatan indeks sentralitas digunakan dalam penelitian ini dengan komponen utama analisis yang mencakup sub sistem alam, manusia dan pengelolaan perikanan.
2.4.3 Model dinamika spasial sistem perikanan Dalam model konseptual yang dibangun oleh Griffin (2003), GBSFM (General Bioeconomic Fishery Simulation Model) merupakan model yang dikembangkan berbasis multiple species dengan menggunakan analisis kohor dan mortalitas yang terjadi secara spontan. Model konseptual ini merepresentasikan proses dan keterkaitan antar komponen yang terjadi dalan suatu perikanan. GBSFM dirancang secara umum agar dapat digunakan untuk berbagai macam aktivitas perikanan sesuai dengan perbedaan dimensi yang dibutuhkan dalam analisis. Dalam laporannya ini Griffin mengembangkan dua sub model: 1. Sub model biologis, menggambarkan pergerakan ikan antar kompartemen yang beragam dalam suatu aktivitas perikanan (sungai, pantai dan lepas pantai). Pada sub model ini, rekrutmen dan mortalitas juga menjadi input. 2. Sub model ekonomi, meliputi: (a) Sektor
penangkapan
yang
menggambarkan
upaya
tangkap
dan
karakteristik armada, termasuk biaya operasional dan tingkat harga ikan. (b) Sektor kebijakan yang menggambarkan aliran informasi antar tiap aspek perikanan, seperti: pengendalian penangkapan (kawasan, jenis, kedalaman dan musim), perijinan, JTB, ukuran kantung pada trawl, ketentuan penggunaan TED, batas ukuran ikan yang ditangkap dan nilai fraksional dari perijinan dan alat tangkap.
53
Model dinamik sistem perikanan pada kelompok ikan karang yang diteliti oleh Wakeland et al., (2003), mengembangkan analisis dengan membagi model ini dalam enam sub model yaitu: 1. Dinamika kapal ikan yang dikonsepkan pada kapal trawl sebagai suatu komponen utama penangkapan ikan yang dapat bertambah atau berkurang jumlahnya dari waktu ke waktu; 2. Populasi ikan yang membedakan dua kelompok ikan menurut umur, ikan muda dan ikan dewasa; 3. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan secara biologis berbasis pada pengkajian stok ikan dan evaluasi pengelolaan perikanan; 4. Penangkapan yang mencakup sejarah penangkapan ikan termasuk faktor input dan faktor output kegiatan penangkapan; 5. Sektor ekonomi yang menterjemahkan aktivitas penangkapan dalam konteks penerimaan dan keuntungan dimana penerimaan yang dimaksud merupakan hasil akumulasi dari seluruh aktivitas penangkapan ikan; serta
6. Kondisi perairan yang menekankan pada dampak faktor-faktor eksternal terhadap kualitas perairan, seperti pencemaran, El Nino, dan lain-lain. Model AB (Agent Based) merupakan salah satu Model Dinamik yang dikembangkan untuk membantu mendisain dan mengevaluasi instrumeninstrumen pengelolaan dalam menentukan input control pada kegiatan perikanan (Chapman and Cao, 2003). Model ini merupakan model matematis yang mencakup empat sub model, yaitu: 1. Sub model biologis, yang menunjukkan hubungan stok ikan dengan rekrutmen; 2. Sub model perilaku penangkapan, yang terdiri dari komponen-komponen aktivitas penangkapan terkait dengan kapasitas penangkapan dan efektivitas upaya tangkap, serta dinamika ekonomi yang menunjukkan output NPV (Net Present Value) sebagai akumulasi dan penggunaan biaya variabel, biaya tetap dan adanya tingkat pengembalian dari usaha penangkapan ikan; 3. Sub model kerangka kerja pengawasan optimal, yang diformulasikan untuk menentukan jangkauan optimal musim penangkapan dan biaya tahun dari modal kapal yang ditmbah;
54
4. Sub model agen pengusaha perikanan tangkap, yang merepresentasikan kapalkapal yang dioperasikan oleh agen pengusaha perikanan tangkap dalam konteks individual maupun perusahaan. Pada sub model ini ditunjukan setiap agen berkompetisi dalam usaha perikanan, dimana tiap agen memaksimalkan pengembalian ekonomi tahunan bersih. Perbandingan dua Model Dinamik armada penangkapan ikan, IFD (Idea Free Distribution) dan AB, yang dilakukan oleh Wieckowski (2008), mengakomodasi tiga sub model, yaitu: 1. Sub model populasi ikan atau dinamika stok ikan, yang mencakup komponenkomponen kelimpahan stok, pergerakan ikan dan rekrutmen; 2. Sub model dinamika armada tangkap berbasis IFD, mengacu pada profitabilitas usaha penangkapan; 3. Sub model dinamika armada tangkap berbasis AB, dikembangkan dengan pendekatan RUM (Random Utility Model) yang digunakan untuk mengkaitkan keputusan penangkapan ikan dengan aspek ekonomi dan pengalaman nelayan. Analisis komparatif dua model ini dilakukan untuk membandingkan keunggulan IFD dan AB dalam menganalisis perilaku nelayan dalam memilih lokasi penangkapan ikan. Output yang menjadi pembanding keunggulan kedua metode ialah distribusi spasial upaya tangkap dan hasil tangkapan. Sparre (2008) yang membangun kerangka evaluasi untuk membandingkan rezim-rezim pengelolaan dengan menggunakan aplikasi marine protected area dan closed season pada perikanan Cod di perairan Baltic, mengembangkan model TEMAS (Technical Measures) yang didukung Model Dinamik mengakomodasi enam sub model dalam analisisnya. Keenam sub model yang dimaksud, meliputi: 1. Sub model pengelolaan, yang mensimulasikan peran kelembagaan yang memberikan arahan pengelolaan dan mencakup ukuran-ukuran pengelolaan; 2. Sub model biologis/teknis, yang menggambarkan bekerjanya parameter biologis, dan menentukan yield (produksi); 3. Sub model perilaku nelayan jangka pendek, yang menentukan jumlah trip penangkapan;
55
4. Sub model ekonomi, yang menunjukkan adanya aliran biaya, menghasilkan output penerimaan dan menentukan perilaku nelayan jangka pendek maupun jangka panjang; 5. Sub model perilaku nelayan jangka panjang, yang menentukan kapasitas penangkapan berdasarkan prediksi jumlah armada tangkap, baik yang baru diinvestasi dan disinvestasi (menarik investasi), armada yang berkurang karena umur teknis, dan armada yang berpindah keluar; 6. Sub model evaluasi kinerja sistem yang terkait dengan aspek politik dan kebijakan pengelolaan perikanan. Sub model ini tidak merupakan bagian dari Model TEMAS, tetapi diakomodasi dalam Model Dinamik. Dudley (2008) telah mengembangkan model dasar dengan pendekatan sistem dinamik untuk mempelajari dinamika pengelolaan perikanan. Komponen utama yang dimasukan dalam sistem adalah biomassa ikan eksisting yang dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan ikan, efisiensi alat penangkapan ikan dan laju pemanfaatannya, serta komponen laju kematian alami. Model dasar ini kemudian dikembangkan dengan memasukan aspek pengelolaan dalam sistem. Hal penting yang didiskusikan adalah isu perikanan yang kompleks yang dimasukan dalam sistem sangat membantu pengelola perikanan, ahli perikanan dan pengguna sumber daya perikanan dalam melakukan komunikasi lintas bidang ilmu untuk mengatasi permasalahan perikanan di masa mendatang. Pulu et al. (2010) mengembangkan model dinamik dengan dua komponen utama ikan dan upaya tangkap untuk menjawab peluang pengembangan perikanan tangkap. Model ini menggunakan pendekatan bionomi yang mampu mendalami peluang pengembangan perikanan tangkap, salah satunya melalui pengembangan armada penangkapan ikan. Model dinamik juga dikembangkan untuk kepentingan pengembangan usaha perikanan yang bersinergi dengan fungsi konservasi kawasan (Mustaruddin, 2010). Model ini mengakomodasi komponen utama pembentuk model yang terdiri dari hasil tangkapan dan alokasi alat tangkap tambahan yang mempertimbangkan daya dukung ikan sasaran tangkapan. Model ini menghasilkan kesesuaian alat tangkap yang akan dikembangkan dengan sifat raman lingkungan dari alat, potensi sumber daya ikan kebutuhan masyarakat, dan perangkat hukum.
56
Tinjauan terhadap beberapa hasil kajian empiris di atas, memberikan ruang analisis yang luas terkait dengan pengelolaan perikanan dan pengembangan kawasan perikanan di suatu wilayah dan/atau kawasan. Seluruh hasil kajian empiris ini dipetakan secara berdasarkan peneliti dan tahun terbit, model yang digunakan, materi penelitian dan komponen model yang memuat sub-sub model yang dielaborasi (Tabel 2). Hal ini dilakukan untuk membedakan pendekatan dasar dan komponen utama dalam sistem yang digunakan, implikasi untuk pengelolaan perikanan dan pengembangan kawasannya. Dengan demikian, dapat memahami konteks sistem yang dapat diaplikasikan dalam membangun suatu model dinamika berbasis sistem perikanan untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan. Tabel 2
Komponen model dalam studi empiris terkait Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan
Komponen Analisis Tipologi Kawasan
Peneliti (Tahun)
Model
Materi Penelitian
Komponen Model
Stohr (1999)
Tipologi wilayah
Tipe wilayah inti dan periferi
Wilayah inti, periferi aktif, periferi pasif, periferi netral
Rahmalia (2003)
Indeks Sentralitas
Skalogram, PCA
Van Eupena et al. (2012)
Tipologi wilayah
Lorentzen (2009)
Tipologi wilayah
Brezzi et al. (2011)
Tipologi wilayah
(Lorentzen, 2009)
Tipologi wilayah
Sharesta (2003) Lee et al. (2012)
Skalogram, indeks sentralitas Indeks sentralitas
Tipologi desa pesisir Tipologi pedesaan dan kebijakan pengembangan Struktur ruang
Eksistensi infrastruktur Disparitas geografis, heterogenitas wilayah, gradien spasial Disparitas inti-periferi
Strategi reduksi disparitas wilayah Penentuan hirarkhi
Aksesibilitas, distribusi sumber daya manusia, jaringan interaksi, pusat-pusat pengembangan, dan wilayah pelayanan. Potensi dan kapasitas wilayah, pembagian wilayah periferi Nilai/fungsi wilayah, bobot fungsi
Evakuasi sentralitas spasial
Tingkatan wilayah, aksesibilitas dan wilayah pengaruh
Disparitas sosial ekonomi
57
Tabel 2 Lanjutan .... Komponen Peneliti Analisis (Tahun) Model Griffin (2003) Dinamika Spasial Wakeland et al. (2003)
Chapman and Chao (2003)
Model
Materi Penelitian
Komponen Model
GBFSM & DM
Perikanan udang Teluk Meksiko
DM
Perikanan ikan karang perairan pantai Pasifik
AB
Disain dan evaluasi instrumen kelola dalam menentukan input control Komparasi dua model dinamika armada PI (IFD & AB)
Biologis dan ekonomi (sektor penangkapan dan kebijakan) Dinamika kapal, populasi ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan secara biologis, penangkapan, sektor ekonomi, dan kesehatan perairan Biologis, perilaku penangkapan ikan, kerangka kerja pengawasan, dan agen pengusaha perikanan tangkap Populasi ikan, dinamika armada tangkap berbasis IFD, dan dinamika armada tangkap berbasis AB Pengelolaan, biologis/teknis, perilaku nelayan, ekonomi, dan evaluasi kinerja sistem Biomassa ikan, penangkapan ikan, efisiensi API, laju tangkap kematian alami, dan kebijakan pengelolaan Potensi SDI dan upaya tangkap sebagai basis pengembangan perikanan Hasil tangkapan, alokasi API dan daya dukung ikan sasaran tangkapan
Wieckowski (2008)
IFD, AB, RUM
Sparre (2008)
TEMAS & DM
Dudley (2008)
Pengelolaan Dinamika perikanan pengelolaan perikanan
Pulu et al. (2010)
Mustaruddin (2010)
Bionomi dan sistem dinamik Sistem dinamik
Perikanan Cod di Perairan Baltic
Peluang pengembangan perikanan tangkap Sinergitas usaha perikanan dan fungsi konservasi kawasan
Penguatan dari tinjauan pustaka dan kajian empiris yang dilakukan di atas menunjukkan adanya unsur-unsur yang belum diteliti secara komprehensif dalam suatu penelitian. Oleh sebab itu, hasil pada Tabel 2 menjadi dasar dalam menentukan unsur-unsur kebaharuan dalam penelitian ini, baik secara
58
metodologis, pengembangan model dan juga subtansi analisis. Tiga model yang menunjukkan adanya unsur kebaharuan dalam penelitian ini, juga didukung dengan penggabungan alat-alat analisis dan komponen-komponen analisis yang selama ini dianalisis secara terpisah.
59
3 METODOLOGI
3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Maluku Tengah (Gambar 5) dengan waktu penelitian selama delapan bulan, dari bulan Juli 2010 sampai Februari 2011. Khusus untuk pendugaan stok ikan pelagis kecil di perairan Maluku Tengah dilakukan survey akustik pada bulan Oktober 2011 dan Februari 2012. Dalam pengembangan penelitian ini, dari 14 Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, dipilih 11 kecamatan yang dikelompokkan dalam sembilan kawasan pengembangan perikanan, masing-masing: (1) Tehoru; (2)
Amahai
(mencakup kecamatan Amahai dan Teluk Elpaputih); (3) Kota Masohi; (4) Teon Nila Serua daratan (tidak termasuk wilayah Kepulauan Teon Nila Serua); (5) Saparua; (6) Nusalaut; (7) Pulau Haruku; (8) Salahutu; serta (9) Leihitu (mencakup kecamatan Leihitu dan Leihitu Barat). Pemilihan terhadap sembilan kawasan ini menunjukkan bahwa wilayah Utara Kabupaten Maluku Tengah tidak termasuk dalam lingkup lokasi penelitian. Tidak dipilihnya kawasan utara terkait dengan eksistensi wilayah Maluku Tengah yang cukup luas, disamping arahan analisis yang difokuskan pada kawasan perikanan di Maluku Tengah yang memberikan kontribusi terhahadap pengelolaan perikanan pelagis kecil di Wilayah Pengelolaan Perikanan 714, Laut Banda. Dengan pertimbangan luasnya distribusi unit penangkapan ikan pelagis kecil di seluruh kawasan, maka penentuan lokasi sampel dilakukan secara bertingkat atau multistage sampling, dengan prosedur sebagai berikut: (1) Pemilihan kawasan secara menyeluruh terutama yang memiliki pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis kecil dengan kriteria mencakup tingkat pemanfaatan potensi sumber daya ikan pelagis kecil, distribusi alat tangkap, produksi ikan pelagis kecil dan prasarana perikanan yang ada; (2) Pemilihan desa/kelurahan dalam kawasan dengan aktivitas perikanan pelagis kecil yang sangat berkembang; dan (3) Pemilihan sampel secara random dari populasi alat tangkap yang masih aktif beroperasi saat penelitian dilakukan dan mengacu pada tujuan penelitian.
60
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
61
Sesuai dengan prosedur penentuan ini, dipilih sembilan kawasan sebagai lokasi sampel untuk pengambilan data primer karena kesembilan kawasan tersebut dianggap memenuhi kriteria yang digunakan.
3.2 Data dan Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Jenis data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini secara makro terbagi atas dua kelompok data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan langsung di lapangan dengan pendekatan metode survei dan wawancara. Untuk data sekunder lebih diarahkan pada data-data statistik perikanan dan berbagai laporan pada lembaga-lembaga yang terlibat dalam aktivitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan. Data yang dibutuhkan antara lain: data demografi dan ekonomi kawasan, data oseanografi (suhu permukaan laut/SPL dan Klorofil-a), nelayan dan rumah tangga perikanan, aktivitas perikanan di berbagai level baik pada aktivitas pra tangkap, kegiatan penangkapan, kegiatan pasca tangkap, distribusi dan pemasaran, pengolahan hasil perikanan serta data-data kebijakan pengelolaan perikanan tangkap (khususnya perikanan pelagis kecil).
3.2.2. Metode pengumpulan data 3.2.2.1 Data umum lokasi penelitian Data umum lokasi penelitian yang meliputi data gambaran umum wilayah, infrasruktur wilayah, eksistensi sektor perikanan dalam perekonomian wilayah, dan gambaran umum perikanan Maluku Tengah. Data merupakan data sekunder, baik dari statistik instansi pemerintah (Bappeda, BPS, dan DKP kabupaten).
3.2.2.2 Data sub sistem alam (1) Data lingkungan perairan dan daerah penangkapan ikan (DPI) Data lingkungan perairan yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang berasal dari data Citra MODIS untuk waktu satu tahun, mulai dari Desember 2009 sampai dengan November 2010. Kelompok data yang diambil meliputi: distribusi suhu permukaan (SPL) bulanan dan data distribusi Klorofil-a bulanan.
62
Data yang digunakan untuk melihat penyebaran kllorofil diperoleh dengan mengakses alamat Ocean Color Web (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/). Data klorofil yang tersedia diperoleh dari seluruh permukaan bumi dari satelit MODIS. Data Modis yang digunakan ialah data level 3 atau data yang berasal dari variabel geofisik yang disimpan/ dipetakan dalam ruang/waktu yang seragam. Citra (Level 3) yang akan diunduh berformat SMI-HDF (*.bz2) Data level 3 yang telah diunduh (berformat SMI-HDF (*.bz2)) kemudian diekstrak dan diolah menggunakan SEADAS. Masukan koordinat data dan kategori output yang diinginkan kemudian ekspor data hasil dalam bentuk ASCI (berformat sxc). Data hasil olahan juga dapat berupa gambar (JPEG) maupun histogram (JPEG). Khusus untuk data DPI dilakukan pengambilan titik langsung di lapangan untuk kawasan-kawasan di pulau Ambon dan Kepulauan Lease, serta bagian Selatan Pulau Seram. Pengambilan titik ini didasarkan pada sebaran lokasi rumpon sebagai lokasi penangkapan ikan dengan purse seine dan pancing tegak, serta lokasi penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan dan lokasi penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring insang permukaan (surface gill net).
(2) Data stok ikan pelagis kecil Pengumpulan data stok ikan pelagis kecil dilakukan dengan pendekatan metode akustik. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Satu unit purse seiner berukuran P x L x D = 21,0 x 2,8 x 0,8 m; (2) Satu set scientific echosounding system BioSonic dengan frekuensi operasional 38 kHz dan sudut beam (half power points, -3 dB) 10 derajat; (3) Satu unit global positioning system (GPS) receiver GRC standard marine survey; (4) Perangkat lunak Visual Acquisition untuk mengendali seluruh setting operasional dan fungsi-fungsi dari echosounder dan transducer yang terhubung ke sistem akustik tersebut (BioSonic Inc., 2003) dalam pengumpulan data akustik; (5) Perangkat lunak Visual Analyzer untuk mengestimasi kepadatan ikan dari hasil echo integration (BioSonic Inc., 2004);
63
(6) Satu unit laptop Panasonic Tough Book untuk menjalankan kedua perangkat lunak tersebut, menyimpan data akustik dan hasil analisa; Pengumpulan data stok ikan pelagis kecil dilakukan di perairan bagian Selatan Kabupaten Maluku Tengah pada tanggal 29-30 Oktober 2011 dan 17-18 Februari 2012. Batasan kawasan yang diberikan sebagai lingkup spasial adalah: 127o52’32,14” sampai dengan 129o49’5,96” BT dan 3o6’58,86” sampai dengan 3o47’34,72” LS. Pengumpulan data pada penelitian ini didesain mengikuti transek paralel acak sebagaimana dianjurkan oleh Simmonds and MacLennan (2005) dan Latumeten (2010). Dalam pengumpulan data akustik tersebut, transducer dibenamkan sedalam 1,5 meter pada salah satu sisi kapal dan diseret dengan kecepatan rata-rata 6 (enam) knot disepanjang jalur pengambilan data. Parameter sistem akustik yang diset untuk pengambilan data akustik pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai parameter sistem yang diset dalam pengambilan data akustik
Parameter Data Threshold Ping Rate Collection Range Pulse Width Absorption Coefficient Salinity Water Temperature Sound Velocity
Nilai -100.00 dB 2.00 ping per second 2 to 302 m 0.50 ms 0.00605 dB/m 34.00ppt 28.00 deg C 1540.20 m/s
Satuan jarak baku sampling (Elementary Sampling Distance Unit, ESDU) pada pengambilan data akustik di setiap lokasi sampling tersebut ditetapkan selama satu menit atau kira-kira sepanjang 185 meter. Penyesuaian posisi dan arah pelayaran kapal dengan posisi dan arah garisgaris transek yang telah didesain itu, dikontrol menggunakan GPS GRC standard marine survey. Posisi dan waktu perolehan data di tiap ESDU direkam secara simultan dan otomatis, sehingga luaran echointegrator yang diperoleh telah
64
dilengkapi dengan data posisi dan waktu perolehannya yang juga disimpan secara otomatis (automatically saved) di harddisk komputer. Pengambilan data akustik sebagaimana dijelaskan di atas, dilakukan mulai pagi hari (pukul 08.00 WIT) hingga sore hari (19.00 WIT), sementara data ikan untuk keperluan verifikasi jenis, ukuran dan berat ikan yang terdeteksi, diperoleh dengan teknik sampling acak sederhana (simple random sampling) terhadap hasil tangkapan pukat cincin dan bagan milik nelayan yang beroperasi di dalam kawasan perairan yang diteliti.
3.2.2.3 Data sub sistem manusia (1) Data nelayan dan rumah tangga perikanan Pengumpulan data potensi sumber daya nelayan meliputi: jumlah dan perkembangan nelayan dan RTP selama 10 tahun (2001-2010) pada setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Pengumpulan data ini diarahkan untuk dua jenis data, primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan langsung pada nelayan sampel untuk setiap jenis alat tangkap melalui wawancara terstruktur. Data sekunder dikumpulkan pada Dinas
Kelautan dan Perikanan
Maluku Tengah melalui identifikasi data statistik yang ada. Sampel
nelayan
dan
RTP
dipilih
dari
desa-desa
utama
yang
mengembangkan perikanan pelagis kecil. Untuk setiap kawasan dipilih dua sampai tiga desa, dengan jumlah pelaku usaha untuk setiap unit penangkapan sebanyak tiga sampai lima orang. Jumlah responden untuk nelayan mencapai 81 orang dari sembilan kawasan, dengan demikian jumlah responden nelayan ratarata sembilan orang per kawasan.
(2) Data API dan upaya penangkapan ikan Data ini meliputi jumlah API dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil per tiap jenis API di seluruh kawasan yang dikaji. Untuk menggali data tentang dinamikanya, maka pengumpulan data diarahkan pada data tahunan dari tahun 2001-2010. Data ini merupakan sekunder yang dikumpulkan pada DKP Maluku Tengah, namun demikian untuk mendukung kebutuhan analisis dilakukan konfirmasi lapangan dengan pendekatan wawancara semi terstruktur.
65
Sampel API pelagis kecil yang dipilih adalah lima jenis API yang dominan di wilayah penelitian dan memiliki tujuan penangkapan terhadap jenis-jenis ikan pelagis kecil. Distribusi jumlah responden per jenis API, masing-masing: (1) pukat pantai sebanyak 16 responden; (2) pukat cincin sebanyak 17 responden; (3) jaring insang hanyut sebanyak 16 responden; (4) bagan apung sebanyak 16 responden; dan (5) pancing tegak sebanyak 16 responden. Total jumlah responden untuk pengkajian produktivitas API dan perkembangan usahanya sebanyak 81 responden yang sesuai dengan jumlah sampel API yang dikumpulkan datanya.
(3) Data produksi ikan pelagis kecil Data ini meliputi volume dan nilai produksi ikan pelagis pada tiap kawasan pengembangan. Data dinamika produksi difokuskan pada perkembangan produksi dari tahun 2001-2010 untuk setiap jenis alat tangkap, komoditas dan distribusi di seluruh kawasan. Data ini adalah data sekunder dari DKP Maluku Tengah dan dilakukan konfimasi lapangan dengan pendekatan wawancara semi terstruktur.
(4) Data pengolahan hasil perikanan pelagis kecil Data ini meliputi distribusi spasial pelaku usaha pengolahan, rumah tangga pengolah, dan rata-rata produksi setiap jenis olahan. Data yang mendukung dalam mengekspresikan dinamika pengolahan dikumpulkan secara tahunan (2001-2010), khususnya untuk volume dan nilai produksi olahan setiap jenis komoditas pelagis kecil. Data ini juga merupakan data sekunder dari DKP Maluku Tengah, namun untuk kebutuhan pengembangan analisis, dilakukan konfimasi lapangan dengan pendekatan wawancara semi terstruktur. Sampel untuk pelaku usaha pengolahan hasil perikanan dipilih dari desadesa utama yang mengembangkan kegiatan pengolahan hasil perikanan. Jumlah responden pelaku usaha pengolahan tiap kawasan sebanyak lima orang, sehingga total jumlah pelaku usaha pengolahan hasil perikanan mencapai 45 orang.
(5) Data distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil Data ini meliputi pelaku usaha distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil,
66
distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil pada tiga ruang lingkup yaitu: lokal/antar kawasan dalam wilayah Maluku Tengah dan Maluku, antar pulau dan ekspor. Untuk mendukung analisis dinamikanya, dikumpulkan data tahunan produksi dan pemasaran porduksi ikan pelagis kecil yang dikeluarkan oleh setiap kawasan. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan desk study yang dilengkapi melalui konfirmasi lapangan, terutama pada pelaku usaha distribusi dan pemasaran. Sampel untuk pelaku usaha distribusi dan pemasaran hasil perikanan dipilih pusat-pusat kegiatan distribusi dan pemasaran yang terkonsentrasi pada pusat-pusat kawasan. Jumlah responden untuk pelaku usaha dan distribusi hasil perikanan, masing-masing lima orang per kawasan atau total jumlah responden pelaku usaha pengolahan mencapai 45 orang.
3.2.2.4 Data sub sistem pengelolaan (1) Data pengelolaan berbasis kebijakan Data ini meliputi seluruh kebijakan dan implementasinya dalam konteks pengelolaan perikanan di Maluku Tengah, baik kebijakan pusat, provinsi maupun kabupaten. Data alokasi program tahunan dikumpulkan untuk mencermati dinamikanya melalui pernyataan roadmap pengelolaan berbasis kebijakan pemerintah. Data yang terkait dengan ekspresi dinamika pengelolaan berbasis kebijakan dalam periode pembangunan perikanan 2006-2010. Pengumpulan data menggunakan pendekatan desk study terhadap dokumen-dokumen kebijakan, perencanaan dan laporan implementasinya dalam lima tahun terakhir.
(2) Data dinamika pengelolaan dengan pendekatan model struktural Data yang diambil meliputi data-data kebijakan dan persepsi responden tentang perkembangan kebijakan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah, baik kebijakan politik, sosial ekonomi serta lingkungan perairan dan SDI. Data yang terkait dengan komponen ini adalah data kuisioner model persamaan struktural yang didistribusikan pada responden sebanyak 176 orang, dengan komposisi responden meliputi: DKP Maluku Tengah 15 orang (termasuk staf pengelola UPTD PPI), Bappeda Maluku Tengah lima orang, politisi Maluku
67
Tengah lima orang, DKP Provinsi Maluku 10 orang dan Bappeda Provinsi Maluku tiga orang, nelayan di tiap kawasan kawasan penelitian 12 orang (total nelayan= 108), pelaku usaha pengolahan hasil perikanan pelagis kecil 13 orang, dan pelaku usaha distribusi dan pemasaran 12 orang, perusahaan perikanan lima orang. Dalam mendukung analisis pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, dikumpulkan informasi dari informan kunci di lokasi sampel seperti, pemilik alat tangkap bukan nahkoda, pejabat atau tokoh kelompok nelayan, pejabat dan petugas dinas kelautan dan perikanan, akademisi, pengusaha dan nelayan pada setiap jenis alat tangkap yang dianalisis. Pertanyaan yang disampaikan merupakan informasi mendalam terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan pelagis kecil dan kemungkinan pengembangannya, disamping efisiensi kebijakan dan regulasi di tingkat daerah yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap.
3.2.2.5 Data implikasi dinamika sistem perikanan pelagis kecil (1) Data kelayakan finansial Data-data dalam kategori ini meliputi unsur-unsur biaya, baik biaya tetap maupun biaya variabel. Umur teknis dan ekonomi untuk setiap alat tangkap utama juga dicatat sebagai dasar untuk pengembangan analisis. Data lain yang dikumpulkan meliputi, harga produk, sistem bagi hasil, penerimaan dan pengeluaran lain yang terkait dalam analisis ini. Pengumpulan
data ini
dilakukan
dengan
pendekatan
wawancara
terstruktur, penelusuran data statistik perbankan dan catatan nelayan atau pemilik unit penangkapan. Kombinasi teknik pengumpulan data ini untuk menemukan nilai aktual yang terjadi di lapangan.
(2) Data komoditas unggulan dan unit penangkapan ikan pilihan Data-data yang dimaksudkan meliputi nilai produksi, harga, wilayah pemasaran, nilai tambah, MSY, effort optimum, hasil tangkapan tahun 2010 dan tingkat pemanfaatannya. Data-data ini dikumpulkan dengan pendekatan teknik pengumpulan data statistik perikanan dan wawancara terstruktur.
68
Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara acak dengan stratifikasi jenis alat tangkap yang difokuskan pada pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap yang tersebar di lokasi penelitian. Obyek penelitian adalah unit penangkapan ikan yang dominan menangkap ikan pelagis kecil dan masih aktif beroperasi pada saat berlangsung penelitian. Secara keseluruhan, jumlah sampel alat tangkap disesuaikan dengan tujuan penelitian dan metode analisis yang digunakan. Sampel unit penangkapan yang dipilih antara lain: (1) pukat pantai; (2) pukat cincin; (3) jaring insang (4) bagan perahu; dan (5) pancing tegak. Data primer dikumpulkan dengan kuesioner melalui wawancara terstruktur terhadap responden utama yaitu: nelayan dan/atau anak buah kapal, juragan pemilik, dan juragan bukan pemilik alat tangkap. Data ini mencakup jumlah dan jenis alat tangkap, ukuran-ukuran utama kapal dan alat tangkap, lokasi penangkapan ikan, fishing base, lama operasi penangkapan, musim penangkapan, biaya investasi, biaya operasi penangkapan, jumlah nelayan per unit penangkapan, jenis dan jumlah ikan yang ditangkap (produksi per jenis ikan), harga ikan dan rantai pemasaran ikan, sistem pembagian hasil perikanan, pendapatan nelayan, data teknis alat tangkap dan kapal penangkap, serta kendala-kendala yang dihadapi dalam operasi penangkapan. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah terkait seperti: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, Departemen Kelautan dan Perikanan, Lembaga Swadaya Masyarakat perikanan, dan institusi non-pemerintah lainnya berupa informasi resmi dari berbagai publikasi ilmiah serta literatur penunjang.
3.3 Metode Analisis 3.3.1 Analisis dinamika sub sistem alam 3.3.1.1 Dinamika musiman SPL dan Klorofil-a Analisis kondisi perairan yang mencakup SPL dan klorofil-a didasarkan pada hasil ekspor dari SEADAS yang berformat sxc, dikonversikan menjadi data berformat txt sehingga dapat digunakan di ODV. Untuk kepentingan analisis didahului dengan mengoperasikan program ODV melalui langkah-langkah sebagai berikut:
69
1. Memasukan file baru dengan melakukan pilihan menu File > New > file collection baru 2. Masukkan (add variable) yang belum diidentifikasi oleh ODV, baik untuk SPL maupun klorofil-a. 3. Setelah selesai, buka file stasiun gabungan dengan type file (*.txt) yang disimpan sebelumnya. Untuk membuka file pilih menu Import > ODV Spreadsheet > type file (*.txt) 4. Associate variable latitude and longitude selanjutnya variabel yang di associate adalah komponen SPL maupun klorofil-a 5. Tampilan yang dihasilkan merupakan tampilan peta global, maka untuk memperjelas letak stasiun lakukan full domain, sehingga akan tampil peta stasiun. 6. Untuk menampilkan grafik surface pilih menu, Klik kanan grafik > window layout > klik kanan > use template > pilih banyaknya window yang ingin di tampilkan. 7. Melakukan diva griding dengan cara klik kanan > display option, atur X Scale – Leght dan Y Scale – Leght dan masuk ke Properties untuk memasukan komponen nilai-nilainya. 8. Bagian terakhir adala penyimpanan gambar dalam format png. Sesuai dengan cakupan data yang ada selama satu tahun, maka analisis lanjut dilakukan dengan statistik deskriptif dengan menampilkan nilai-nilai maksimum dan minimum untuk seluruh data. Hasil ini kemudian dipetakan untuk kepentingan analisis dinamika SPL dan klorofil-a secara spasial dan temporal.
3.3.1.2 Pemetaan DPI potensial dan analisis dinamika musimannya (1) Pemetaan DPI tradisional Daerah penangkapan ikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Daerah Penangkapan Ikan Tradisional (DPIT). DPIT dianalisis dengan pendekatan visual langsung di lapangan melalui plot titik-titik lokasi penangkapan nelayan tradisional dengan menggunakan GPS. Pengambilan titik daerah penangkapan ikan dilakukan pada lokasi-lokasi penangkapan ikan untuk jenisjenis unit penangkapan ikan pelagis kecil.
70
Hasil ini kemudian dipetakan pada peta laut atau peta navigasi laut. Sebagai konfirmasi dilakukan pemetaan partisipatif bersama sampel nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan pelagis kecil. Hasil ini kemudian dioverlay dengan peta DPI tradisional eksisting yang telah diambil di lapangan. Pemetaan
DPI menggunakan
program
ArcGIS
versi
9.3
untuk
mengoperasikan peta dasar (rupabumi) yang bersumber dari Bakosurtanal. Hasil plot titik DPI di lapangan yang telah dimasukkan ke dalam program excel kemudian dipanggil kedalam program ArcGIS versi 9.3, setelah dirubah menjadi decimal degree. Titik ini kemudian diberikan pengelompokkan berdasarkan kawasan-kawasan yang menjadi basis penelitian.
(2) Penentuan DPI potensial Penentuan DPI potensi (DPIP) dilakukan dengan pendekatan overlay petapeta SPL dan klorofil-a yang menunjukkan nilai kisaran preferensi dari ikan pelagis kecil, lokasi-lokasi DPIT eksisting yang selama ini diakses oleh nelayan dan distribusi titik-titik koordinat dengan konsentrasi densitas ikan pelagis kecil yang cukup tinggi sampai dengan densitas tinggi. Pemetaan DPI menggunakan program ArcGIS versi 9.3 dengan memanfaatkan peta dasar (rupabumi) yang bersumber dari Bakosurtanal, peta distribusi SPL bulanan dan klorofil-a bulanan dan peta DPIT. Hasil overlay ini kemudian dikelompokkan berdasarkan distribusi kriteria (SPL, klorofil-a dan DPIT) dengan pendekatan distribusi spasial terdekat (nearest spatial distribution).
(3) Dinamika musiman DPI Analisis ini dilakukan dengan didasarkan pada hasil pemetaan DPIP sesuai dengan kondisi exisiting dan hasil partisipatif yang dikelompokkan secara musiman. Hasil ini kemudian dianalisis perubahannya secara musiman untuk mengetahui dinamika daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Maluku Tengah bagian Selatan. Seluruh titik DPI yang dipetakan, dihitung distribusinya secara musiman dengan batasan nilai prosentase yang terfokus pada dua sumber, yaitu lokasi rumpon dan lokasi bagan apung. Analisis statistik deskriptif dilakukan melalui
71
ekspresi tabular. Untuk mengekspresikan dinamikanya secara spasial, dilakukan pemetaan untuk mengetahui tingkat konsentrasi DPI pada perairan setiap kawasan.
3.3.1.3 Dinamika akses DPI Analisis untuk komponen ini menggunakan analisis spasial yang dilakukan pasca pemetaan akses. Nilai aksesibilitas yang dinyatakan dengan rata-rata jarak dari basis penangkapan ke DPI ikan pelagis kecil. Hasilnya kemudian diekspresikan secara grafis.
3.3.1.4 Analisis potensi sumber daya ikan (1) Justifikasi penerimaan gema untuk ukuran panjang ikan pelagis kecil Analisis data potensi ikan pelagis kecil pada tahap awal dilakukan secara digital menggunakan perangkat lunak visual analyser. Untuk menjadi kriteria penerimaan dan penolakan target (khusus untuk ikan pelagis kecil) digunakan pendekatan Pulse window. Ada dua pendekatan pada pulse window yang digunakan: (1) amplitudo dari gema (echo amplitude); dan (2) durasi pulsa (pulse duration). Sesuai dengan panduan BioSonic Inc. (2004) dan pendekatan yang dikembangkan oleh Latumeten (2010), nilai echo threshold -60 dikonversikan ke panjang ikan sekitar 4 cm untuk rata-rata ukuran ikan paling kecil, sedangkan untuk ukuran ikan maksimum rata-rata menggunakan nilai echo threshold -41 sampai dengan -40 yang dikonversikan ke panjang ikan sekitar 35 sampai dengan 39 cm. Untuk kepentingan pendeteksian ukuran ikan pelagis kecil, maka digunakan data target strength (TS) ikan sebagaimana dikembangkan oleh Latumeten (2010) sesuai formula umum yang dikemukakan oleh Foote (1987), sebagai berikut: TS = 20 Log L – 71,9 (physostomes) dimana: L
: panjang ikan
F
: frekuensi echosounder yang digunakan
- 71,9 : konstanta
72
(2) Estimasi kepadatan dan biomassa Kepadatan ikan diestimasi dengan pendekatan FPUA (Fish Per Unit Area) yang merupakan hasil dari penjumlahan kepadatan mutlak dikalikan dengan ketebalan lapisan dikalikan dengan proporsi sampel melewati jendela pulsa. Secara matematis perhitungan ini dapat dinyatakan dengan formula (BioSonic Inc., 2004) sebagai berikut:
FPUA = ∑ ( ADi * ITi * % i / 100) Dimana i adalah strata index, dan FPUA adalah ikan per m2 yakni penjumlahan dari densitas absolut (Absolut Density/AD, fish per cubic meter/FPCM). FPCM diperoleh dengan formula: _
FPCM = Sv / σ BS FPCM adalah ikan per m3 (fish per cubic meter), Sv adalah volume backscattering strength dan
adalah backscattering cross section rata-rata atau nilai
penampang ikan yang terukur secara akustik. Nilai Sv diperoleh dengan formula:
∑ P Sv = 10 * log ρ c * samples ∑ Dimana P adalah perolehan (gain) sampel-sampel intensitas suara yang terkoreksi adalah konstanta skala sistem (System Scaling Constant) yang diperoleh
dan dengan:
ρc =
π * pw * c * (10
1
) * (10
( SL / 10 ) 2
) * E[b ]
( RS / 10 ) 2
2
Dimana π = 3.14159..., pw = lebar pulsa (detik), c = kecepatan suara (m/detik), SL = tingkat sumber (dBµPa), RS = sensitivitas penerimaan dari transducer (dB), dan E[b2] sebagai faktor pola beam.
3.3.2 Analisis dinamika sub sistem manusia 3.3.2.1 Dinamika nelayan dan rumah tangga perikanan Analisis ini dilakukan dengan pendekatan statistik deskriptif yang mengedepankan proporsi dan nilai relatif yang diekspresikan secara tabular dan
73
grafis. Analisis tidak hanya dilakukan untuk distribusi jumlah nelayan, namun juga untuk distribusi jumlah rumah tangga perikanan (RTP).
3.3.2.2 Dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan Analisis ini mencakup dua komponen yaitu alat penangkapan ikan (API) dan upaya penangkapan. Dinamika API dan upaya penangkapan ikan dianalisis dengan dua pendekatan: (1) pendekatan analisis tabular yang menunjukkan adanya proporsi distribusi spasial; dan (2) analisis grafis yang mengkespresikan dinamika tahunan untuk setiap jenis API pada seluruh kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil.
3.3.2.3 Dinamika produksi ikan pelagis kecil Analisis dinamika produksi perikanan pelagis kecil menggunakan tiga pendekatan: 1. analisis tabular yang menunjukkan proporsi distribusi spasial untuk tiap komoditas pelagis kecil; 2. analisis tabular yang menunjukkan perkembangan produksi untuk lima jenis API dominan; dan 3. analisis grafis yang mengkespresikan dinamika tahunan untuk setiap jenis API pada seluruh kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil.
3.3.2.4 Dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil Analisis dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil menggunakan dua pendekatan: (1) analisis tabular yang menunjukkan adanya proporsi distribusi spasial pelaku usaha pengolahan dan rumah tangga pengolah serta rata-rata setiap jenis olahan; (2) analisis grafis yang mengkespresikan dinamika tahunan untuk volume dan nilai produksi olahan setiap jenis komoditas pelagis kecil pada seluruh kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil, serta perkembangannya secara tahunan.
74
3.3.2.5 Dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil Analisis dinamika distribusi dan pemasaran hasil produksi perikanan pelagis kecil menggunakan tiga pendekatan: 1. analisis grafis untuk distribusi spasial pelaku usaha distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil; 2. analisis tabular untuk kontribusi spasial distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil pada tiga ruang lingkup, yaitu: lokal/antar kawasan dalam wilayah Maluku Tengah dan Maluku, antar pulau dan ekspor; 3. analisis grafis perkembangan tahunan pemasaran produksi ikan pelagis kecil pada tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil.
3.3.2.6 Analisis implikasi dinamika sistem bagi pengembangan kawasan perikanan (1) Standarisasi upaya tangkap Unit effort sejumlah armada penangkapan ikan dengan alat tangkap dan waktu tertentu dikonversi ke dalam satuan boat-days (trip), dengan pertimbangan: 1. Respon stock terhadap alat tangkap standar akan menentukan status sumber daya selanjutnya berdampak pada status perikanan alat tangkap lain; 2. Total hasil tangkap ikan per unit effort alat tangkap standar lebih dominan dibanding alat tangkap lain, dan 3. Daerah penangkapan alat tangkap standar meliputi dan atau berhubungan dengan daerah penangkapan alat tangkap lain. Prosedur standarisasi alat tangkap ke dalam satuan baku unit alat tangkap standar, dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Alat tangkap standar yang digunakan mempunyai CPUE terbesar dan memiliki nilai faktor daya tangkap (Fishing Power Index, FPI) sebagaimana dikembangkan oleh Gulland (1983); 2. Hasil perhitungan nilai FPI kemudian digunakan untuk menghitung total upaya standar.
75
(2) Analisis potensi sumber daya ikan berbasis produksi Estimasi potensi sumber daya ikan didasarkan atas jumlah hasil tangkapan ikan yang didaratkan pada suatu wilayah dan variasi alat tangkap per trip. Prosedur estimasi dilakukan dengan cara (Sparre dan Venema, 1999): 1. Menghitung hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE); 2. Mengestimasi parameter alat tangkap standar; 3. Mengestimasi effort optimum pada kondisi keseimbangan (equilibrium state); 4. Mengestimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) sebagai indikator potensi sumber daya perikanan tangkap yang berkelanjutan (lestari).
(3) Analisis finansial Suatu usaha atau kegiatan ekonomi dianggap dapat dilaksanakan, bila dapat diharapkan: (1) memberikan keuntungan untuk memenuhi setiap kewajiban jangka pendek (2) likuiditasnya terpelihara meskipun pada, saat-saat tertentu permasalahan dalam kesulitan (3) berkembang kemampuannya membiayai operasinya terutama dari modal sendiri dan bukan kredit pada suatu saat dan (4) dapat membayar semua beban pembiayaan. Dengan demikian, kelayakan finansial harus mengungkapkan secara terperinci apakah usaha atau kegiatan akan menguntungkan dalam suasana persaingan, resiko bisnis, kondisi perekonomian tidak stabil dan lain-lain. Menurut Kadariah (1986), untuk mengevaluasi kelayakan finansial dapat digunakan 3 (tiga) kriteria investasi yang penting, yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit - Cost Ratio dan Internal Rate of Return (IRR). Namun demikian untuk mengetahui kemampuan usaha juga dilakukan analisis usaha yang meliputi: profit (keuntungan usaha), imbangan penerimaan biaya dan waktu pengembalian investasi. Kriteria investasi yang digunakan untuk pengujian/evaluasi kelayakan usaha secara finansial didasarkan pada discounted criterion. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat (benefit) serta biaya-biaya (cost) selama umur ekonomis usaha (in the future) nilai-nilai saat ini (at present = to) diukur dengan nilal uang sekarang (present value), yaitu dengan menggunakan discounting factor. Kriteria investasi yang dimaksudkan meliputi: net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit cost ratio (Net B/C).
76
(4) Analisis komoditas unggulan dan unit penangkapan ikan pilihan Penentuan jenis komoditas unggulan dan teknologi penangkapan ikan pilihan, dilakukan dengan pendekatan metode skoring. Disamping itu dilakukan standarisasi nilai dengan menggunakan fungsi nilai (Kuntoro dan Listiarini, 1983; Haluan dan Nurani, 1998).
(5) Analisis spasial-optimal unit penangkapan ikan Dalam penelitian ini, model linear goal programming digunakan untuk menentukan alokasi unit penangkapan untuk jenis-jenis ikan unggulan yang merupakan salah satu komponen dari perikanan tangkap, yaitu komponen kapal dan alat penangkap ikan. Teknik ini digunakan untuk menganalisis kebutuhan optimum dari suatu kegiatan dengan tujuan ganda. Model linear goal programming merupakan perluasan dari model linear programing yang ditambah dengan sepasang variabel deviasional yang akan muncul di fungsi tujuan dan di fungsi kendala tujuan (goal constraint). Variabel deviasional berfungsi untuk menampung penyimpangan atau deviasi yang akan terjadi pada nilai ruas kiri suatu persamaan kendala terhadap nilai ruas kanannya. Bentuk umum persamaan matematis dari model ini menurut Lee et al., (1985) dan Muslich (1993), sebagai berikut: 1. Fungsi tujuan: Minimumkan Z =
Σ Wik Pk (d-i – d+j)
2. Fungsi kendala: Xaij Xj + d-i – d+i = bi Xj, d-i,
d+i
(i=l,2,3,...,m)
>0
Dimana, Pk Wik dan Wik d-i dan d+i aij Xj
= Urutan Prioritas (Pk >>> Pk + 1) = bobot untuk variabel simpangan i di dalam suatu tingkat prioritas k = deviasi negatif dan positif = koefisien teknologi = variabel keputusan
77
Setiap model goal programming paling sedikit terdiri atas tiga bagian, yaitu sebuah fungsi tujuan, kendala-kendala tujuan dan kendala non negatif. Selanjutnya, dalam model ini dikenal 3 macam fungsi tujuan, yaitu: 1. Minimumkan: Z= Σ d-i - d+i Fungsi tujuan ini digunakan jika variabel simpangan dalam suatu masalah tidak dibedakan menurut prioritas bobot. 2. Minimumkan: Z = ΣPk (d-i - d+i) (k= 1,2...., k) Fungsi tujuan ini digunakan dalam suatu masalah di mana urutan tujuan diperlukan tetapi variabel simpangan di dalam setiap prioritas memiliki kepentingan yang sama. 3. Minimumkan: Z = ΣWik Pk (d-i - d+i) (k= 1,2,..., k) Dalam fungsi ini, tujuan-tujuan diurutkan dan variabel simpangan pada setiap tingkat prioritas dibedakan dengan menggunakan bobot yang berlainan Wik.
3.3.3 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan 3.3.3.1 Dinamika pengelolaan berbasis kebijakan Analisis ini menggunakan pendekatan analisis isi (content analysis) yang dikombinasikan dengan analisis roadmap implementasi kebijakan pengelolaan perikanan. Analisis ini dilakukan pada empat tahap: (1) kebijakan nasional; (2) kebijakan provinsi; (3) kebijakan kabupaten; dan (4) dinamika kebijakan secara umum.
3.3.3.2 Dinamika pengelolaan; Pendekatan model persamaan struktural Analisis kebijakan pola pengelolaan kawasan perikanan menggunakan pendekatan metode Structural Equation Model (SEM), dengan langkah-langkah analisis berikut ini.
(1) Pengembangan model teoritis Model teoritis yang dikembangkan, diarahkan untuk penetapan konsep pengelolaan kawasan perikanan dalam bentuk model agar dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan suatu kebenaran ilmiah. Untuk mendukung pengembangan model, dilakukan telaah pustaka, data riil kondisi lapangan, hasil penelitian dan
78
analisis yang berkaitan, serta diskusi dengan kelompok pakar. Model ini menunjukkan interaksi antar tiap komponen kebijakan perikanan di tingkat nasional (X1), provinsi (X2), dan kabupaten (X3), strategi pengembangan kawasan (Y1), kinerja usaha perikanan (Y2), serta tujuan pembangunan perikanan (Y3).
(2) Pembuatan path diagram Pembuatan path diagram merupakan kegiatan penggambaran interaksi antar tiap komponen kebijakan perikanan di tingkat nasional (K_PUS), provinsi (K_PROV), dan kabupaten (K_KAB), tingkat implementasi strategi (TIS), kinerja kawasan perikanan (KKP), serta capaian tujuan pengembangan (CTP), yang dikembangkan secara teoritis menjadi konstruk penelitian. Dalam penggambaran ini, konstruk penelitian tersebut harus dilengkapi dengan dimensi-dimensi konstruk. Untuk pengembangan konstruk dan dimensi-dimensi konstruknya dengan tepat, telaah pustaka menjadi langkah awal yang penting dilakukan. Path diagram digambarkan menggunakan program AMOS Professional 4.0. Rancangan path diagram untuk pengelolaan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah terlihat pada Gambar 6. Berdasarkan gambaran ini, terdapat tujuh konstruk dengan indikator atau dimensi konstruknya, antara lain: (1) PKP adalah Pengembangan Kawasan Perikanan; (2) K_PUS adalah Kebijakan Pemerintah Pusat, dengan variabel masing-masing: a. X11: Kebijakan Politik (KP1) b. X12: Kebijakan Sosial Ekonomi (KSE1) c. X13: Kebijakan Lingkungan dan SDI (KL-SDI1) (3) K_PROV adalah Kebijakan Pemerintah Provinsi, dengan variabel masingmasing: a. X21: Kebijakan Politik (KP2) b. X22: Kebijakan Sosial Ekonomi (KSE2) c. X23: Kebijakan Lingkungan dan SDI (KL-SDI2) (4) K_KAB adalah Kebijakan Pemerintah Kabupaten, dengan variabel masingmasing:
79
a. X31: Kebijakan Politik (KP3) b. X32: Kebijakan Sosial Ekonomi (KSE3) c. X33: Kebijakan Lingkungan dan SDI (KL-SDI3)
Gambar 6
Rancangan path diagram kebijakan pengelolaan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah
(5) TIS adalah Tingkat Implementasi Strategi Pengembangan Kawasan, dengan variabel masing-masing: a. Y11: Pengembangan Infrastruktur dan Sarana Perikanan (INFRA) b. Y12: Pengembangan Kapasitas Nelayan (KAP)
80
c. Y13: Pengembangan Institusional (INST) (6) KKP adalah Kinerja Kawasan Perikanan, dengan variabel masing-masing: a. Y21: Kinerja Keuangan (KEU) b. Y22: Kinerja Pelayanan Terhadap Pelanggan (LAYANAN) c. Y23: Kinerja Proses Internal Kawasan (PROSES) (7) CTPP adalah Capaian Tujuan Pembangunan Perikanan, dengan variabel masing-masing: a. Y31: Pro Poor (POOR) b. Y32: Pro Job (JOB) c. Y33: Pro Growth (GROWTH)
3.3.3.3 Perumusan model pengukuran dan persamaan struktural Perumusan path diagram perlu dilakukan dalam persamaan matematis, agar dapat dilanjutkan dalam analisis SEM.
Persamaan-persamaan tersebut
meliputi persamaan pengukuran (measurement model) dan persamaan struktur (structural equation), dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Rumusan umum persamaan pengukuran (measurement model) tiap komponen kebijakan dalam kaitan dengan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah adalah: PKP = λ1 K_PUS + λ 2 K_POV + λ 3 K_KAB + z7 Persamaan spesifikasi model pengukuran: K_PUS
= λ11 KP1 + d11
K_PUS
= λ12 KSE1 + d12
K_PUS
= λ13 KL-SDI1 + d13
K_PROV = λ21 KP1 + d21 K_PROV = λ22 KSE1 + d22 K_PROV = λ23 KL-SDI1 + d23 K_KAB = λ31 KP1 + d31 K_KAB = λ32 KSE1 + d32 K_KAB = λ33 KL-SDI1 + d33 TIS
= γ1 PKP + z4
TIS
= γ11 INFRA + e11
81
TIS
= γ12 KAP + e12
TIS
= γ13 INST + e13
KKP
= γ1 PKP + γ2 TIS + z5
KKP
= γ21 LAYANAN + e21
KKP
= γ22 LAYANAN + e22
KKP
= γ23 INST + e23
CTTP
= γ1 PKP + γ2 TIS + γ3 KKP + z7
CTTP
= γ31 INFRA + e31
CTTP
= γ32 KAP + e32
CTTP
= γ33 INST + e33
3.3.3.4 Pemilihan matriks input dan estimasi model Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari matriks kovarian dan matriks korelasi. Dalam beberapa penelitian, matriks kovarian lebih sering digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda. Teknik estimasi yang digunakan dalam analisis Model Pengembangan Kawasan dipilih sesuai dengan ukuran sampel.
Dalam penelitian ini ukuran
sampel yang direncanakan 100 – 200 sampel, oleh sebab itu teknik estimasi yang digunakan matrix likelihood estimation. Teknik estimasi ini bisa berubah apabila kondisi lapangan menginginkan ukuran sampel yang lebih banyak. Adapun teknik estimasi model yang dapat digunakan sesuai dengan ukuran sampel adalah: •
Matrix likelihood estimation, bila ukuran sampel 100 – 200 dan asumsi normalitas dipenuhi.
•
Generalized least square estimation, bila ukuran sampel 200 – 500 dan asumsi normalitas dipenuhi.
•
Asymptotically distribution free estimation, bila ukuran sampel lebih dari 2500 dan asumsi normalitas kurang dipenuhi.
3.3.3.5 Evaluasi kriteria goodness-of-fit Tahapan ini merupakan kegiatan mengevaluasi kesesuaian Model Pengembangan Kawasan yang dibuat menggunakan berbagai kriteria goodness-of-
82
fit. Secara garis besar, tahapan ini dibagi dalam tiga jenis kegiatan yaitu evaluasi data yang digunakan apakah memenuhi asumsi-asumsi SEM atau tidak, uji kesesuaian dan uji statistik, dan effect analysis. Evaluasi asumsi SEM meliputi evaluasi ukuran sampel, normalitais, outliers dan lain-lain. Sedangkan uji kesesuaian dan uji statistik meliputi X2-Chisquare statistic, adjusted goodness of fit index (AGPI), CMIN/DF, comparative fot index (CFI), goodness of fit index (GPI), the root mean square error of approximation (RMSEA), dan tucker lewis index (TLI). Tingkat penerimaan model terkait dengan indeks-indeks evaluasi tersebut disajikan pada Tabel 4. Penjelasan rinci dari seluruh komponen yang termasuk dalam indeks evaluasi tersebut adalah: •
X2-Chi-square statistic. Uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau kesesuaian model yang dibangun dengan data yang ada.
•
Adjusted goodness of fit index (AGFI). AGFI analog dengan R2 dalam regresi berganda, dengan tingkat penerimaan yang direkomendasikan ≥ dari 0,9.
•
Comparative fit index (CFI).
CFI merupakan indeks yang menunjukkan
tingkat fit-nya model yang dibangun. Berbeda dengan indeks lainnya, indeks ini tidak tergantung pada ukuran sampel. •
CMIN/DF. CMIN/DF merupakan pembagian X2 dengan degree of freedom. Indeks ini menunjukkan tingkat fit-nya model.
•
Goodness of fit index (GFI).
GFI digunakan untuk menghitung proporsi
tertimbang varian dalam matriks kovarian sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarian populasi yang terestimasi. GFI mempunyai nilai antara 0 (poor fit) – 1 (perfect fit). •
The root mean square error of approximation (RMSEA). RMSEA adalah indeks yang digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Model yang dibangun dapat diterima bila mempunyai nilai RMSEA kurang dari atau sama dengan 0,08.
•
Tucker lewis index (TLI). TLI merupakan alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model.
83
Tabel 4 Goodness-of-fit Index ( kriteria uji kesesuaian dan uji statistik)
Goodness of fit Index X -Chi-squarey Significance Probability AGFI CFII CMIN/DF GFI RMSEA TLI 2
Cut-off Value Diusahakan kecil ≥ 0.05 ≥ 0.90 ≥ 0.95 ≤ 2.00 ≥ 0.90 ≤ 0.08 ≥ 0.95
Sumber : Ferdinand (2002)
Effect analysis dilakukan bila model interaksi yang dibuat telah lulus uji kesesuaian dan uji statistik. Effect analysis dimaksudkan untuk melihat tingkat pengaruh antar konstruk baik pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, maupun pengaruh total (total effect) dalam kaitannya dengan interaksi komponen pengembangan kawasan perikanan tangkap. Dari analisis ini dapat diketahui konstruk yang paling memberi pengaruh dalam hubungannya (konstruk strategis), sehingga dapat dijadikan pokok perhatian untuk penyusunan rekomendasi mekanisme interaksi komponen pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil.
3.3.4 Analisis tipologi kawasan perikanan Analisis tipologi kawasan mengacu pada model yang dikembangkan oleh Stohr (1999). Analisis ini mengakomodasi hubungan antara kapasitas kawasan dengan produktivitas yang dihasilkan oleh kawasan itu. Model ini dimodifikasi oleh Abrahamsz (2000) dalam menganalisis disparitas sub kawasan pada kawasan andalan dan Abrahamsz (2006) untuk tipologi desa pesisir. Untuk mengakomodasi aspek dinamika spasial, Abrahamsz et al. (2010) telah memodifikasi untuk menentukan struktur kawasan pengembangan perikanan. Pada penelitian ini, analisis tipologi kawasan diarahkan pada penentuan struktur kawasan dengan mengakomodasi komponen-komponen dinamika spasial sistem perikanan pada dua variabel yaitu: kapasitas kawasan (K) dan produktivitas kawasan (P). Model Tipologi Kawasan (TipoSan) yang dikembangkan dalam penelitian ini menganut fungsi dasar sebaga berikut:
84
n m TipoSan = f K , P 1 1 Analisis tipologi kawasan dalam penelitian ini diekspresikan dengan dua jenis pendekatan. Pertama, tipologi kawasan berbasis rataan fungsi nilai kapasitas kawasan dalam pengembangan perikanan (RFN_K) dan produktivitas kawasan (RFN_P). Tipologi ini mengekspresikan hubungan antara RFN_K (Sumbu-X) dengan RFN_P (Sumbu-Y). RFN_K merupakan rataan fungsi nilai dari komponen-komponen sistem perikanan, antara lain: JTB, upaya tangkap standar, nelayan, RTP, jumlah pengolah, rumah tangga pengolah, dan jumlah pedagang ikan. RFN_P merupakan rataan fungsi nilai dari produktivitas seluruh komponen sistem perikanan, meliputi: aksesibilitas DPI, total volume produksi komoditas unggulan, rata-rata volume hasil olahan, serta volume pemasaran lokal/antar kawasan, volume pemasaran antar pulau dan volume ekspor.
Kedua, tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan dan teknologi pilihan, yang diperuntukan dalam penentuan basis komoditas unggulan tiap kawasan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan keunggulan komparatif setiap kawasan. Pemetaan tipologi ini didasarkan pada hubungan kapasitas teknologi penangkapan ikan pilihan (sumbu-x) dengan volume produksi komoditas unggulan pada setiap kawasan (sumbu-y). Kapasitas teknologi penangkapan ikan pilihan dihitung dengan formula yang dikembangkan oleh Abrahamsz et al. (2010):
KTTP-ij = VPTTP-i * FPITTP-j dimana: VPTTP-i = Volume produksi teknologi penangkapan ikan pilihan FPITTP-j = FPI teknologi penangkapan ikan pilihan Pemetaan tipologi kawasan secara grafis menggunakan teknik penentuan luas kuadran sesuai nilai tengah mayor sumbu-x (MUS-X) dan sumbu-y (MUS-Y) (Abrahamsz et al., 2010): MUS _ X =
K max − K min P max − P min ; dan MUS _ Y = n n
dimana: n = jumlah interval yang digunakan untuk membentuk luas kuadran (dalam penelitian digunakan nilai n = 2)
85
3.3.5 Analisis sentralitas sistem perikanan Analisis ini mengacu pada model dasar yang dikembangkan oleh Rondinelli (1985) dan dimodifikasi oleh Abrahamsz (2000) untuk menentukan sentralitas suatu kawasan. Dalam penelitian ini, model dikembangkan dengan mengakomodasi dinamika sistem perikanan yang dinyatakan dengan formula: m
InSist = ∑ i =1
n
o
j =1
k =1
∑∑
SS ijk ∑ SS ijk
* K
dimana: InSist = Indeks Sentralitas Sistem Perikanan SS = Sub Sistem dalam Sistem Perikanan i,j,k = setiap sub sistem dalam sistem perikanan (i adalah sub sistem alam; j adalah sub sistem manusia; k adalah sub sistem pengelolaan) K = konstanta sentralitas maksimal yang memiliki nilai 100 Pemetaan data, metode pengumpulan data dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian, komponen analisis dan metode analisis ini memberikan arahan bagi pengembangan penelitian ini, dimana setiap tahapan analisis awal memiliki keterkaitan dengan tahapan analisis berikut. Hal ini diperuntukan untuk memperlihatkan keterkaitan antar sub sistem yang ada dalam sistem perikanan tangkap (Tabel 5).
86
Tabel 5 Pemetaan data, metode pengumpulan data dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian, komponen analisis dan metode analisis Tujuan
Menganalisis dinamika spasial sub sistem alam dan implikasinya dalam sistem perikanan pelagis kecil pada tiap kawasan di Kabupaten Maluku Tengah
Komponen Analisis
Metode analisis
Data
Dinamika Musiman SPL dan Klorofil-a
Analisis spasialtemporal dengan SEADAS dan ODV
Citra Modis Desember 2009 – November 2010
Metode pengumpulan data Mengunduh data Citra Modis level 3 pada ocean color web
Keluaran Peta distribusi SPL dan Klorofil-a musiman
Dinamika DPI
Analisis spasialtemporal
Distribusi DPI musiman pada setiap kawasan
Pengambilan titik lokasi penangkapan ikan pelagis kecil dengan GPS di lapangan
Potensi SDI
Justifikasi penerimaan gema untuk ukuran panjang ikan pelagis kecil dan estimasi kepadatan dan biomassa ikan
Kepadatan dan Biomasa ikan
Pengumpulan lapangan Jumlah Tangkapan dengan pendekatan yang diperbolehkan under water acoustic (JTB)
Implikasi Dinamika Sub Sistem Alam Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan
Analisis spasialtemporal dinamika akses DPI
Jarak rata-rata seluruh titik DPI pada setiap kawasan
Ekstraksi data jarak setiap titik DPI yang dipetakan
DPI
Nilai aksesibilitas DPI
87
Tabel 5 lanjutan ... Tujuan
Komponen Analisis Dinamika nelayan dan RTP Dinamika API dan upaya penangkapan
Menganalisis dinamika spasial sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil pada tiap kawasan di Kabupaten Maluku Tengah
Dinamika produksi ikan Dinamika produksi ikan
Metode analisis Analisis pertumbuhan dan statistik deskriptif Distribusi spasial API dan grafis perkembangan Analisis pertumbuhan dan statistik deskriptif Analisis pertumbuhan dan statistik deskriptif
Dinamika pengolahan hasil perikanan
Analisis pertumbuhan dan statistik deskriptif
Dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan
Analisis distribusi spasial dan statistik deskriptif
Data Jumlah nelayan dan RTP tahun 2001-2010
Metode pengumpulan data Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur
Keluaran Kontribusi spasial dan dinamika pertumbuhan,
Jumlah API dan upaya tangkap (trip) tahun 2001-2010 Volume dan nilai produksi ikan tahun 2001-2010 Volume dan nilai produksi ikan tahun 2001-2010 Jumlah kelompok pengolah serta volume dan nilai produksi hasil olahan tahun 2001-2010
Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur
Kontribusi spasial dan dinamika perkembangan
Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur
Kontribusi spasial dan dinamika pertumbuhan
Jumlah pelaku usaha, volume pemasaran dan orientasi pasar
Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur
Kontribusi spasial, status level orientasi dan dinamika perkembangan
Kontribusi spasial dan dinamika pertumbuhan Kontribusi spasial dan dinamika pertumbuhan
88
Tabel 5 lanjutan ... Tujuan
Komponen Analisis
Metode analisis
Keluaran
JTB per kawasan
Survey lapangan dan wawancara terstruktur
Kelayakan pengembangan usaha
Fungsi nilai
Keragaan teknis, lingkungan, sosial dan ekonomi
Pengumpulan data statistik perikanan, hasil analisis kelayakan usaha, wawancara terstruktur
Komoditas unggulan dan unit penangkapan pilihan di Kabupaten Maluku Tengah
Linear Goal Programming LGP
Volume produksi ikan dan JTB per kawasan, alokasi tenaga kerja per tiap API dan potensi SDM per kawasan, serta kebutuhan BBM per jenis API dan potensi alokasi BBM untuk usaha perikanan di tiap kawasan
Pengumpulan data statistik perikanan dan penduduk, hasil analisis JTB per kawasan serta distribusi BBM per kawasan
Nilai optimal unit penangkapan ikan unggulan
NPV, B/C & IRR, PP, ROI, R/C
Implikasi Dinamika Spasial Sub Sistem Manusia Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan
Distribusi produksi per jenis alat tangkap dominan pada tiap kawasan Biaya, umur teknis/ekonomis, tingkat bunga, harga produk, penerimaan dan pengeluaran lain
Metode pengumpulan data Pengumpulan data statistik perikanan, wawancara terstruktur
FPI, upaya dan CPUE standar
Menganalisis dinamika spasial sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil pada tiap kawasan di Kabupaten Maluku Tengah (lanjutan)
Data
89
Tabel 5 lanjutan ... Tujuan
Menganalisis dinamika spasial sub pengelolaan dalam sistem perikanan pelagis kecil yang berbasis pada kebijakan pengembangan kawasan dan pengelolaannya serta implikasi pengembangan kawasan perikanan Memformulasi model dinamika spasial sistem perikanan dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah.
Komponen Analisis
Metode analisis
Dinamika pengelolaan berbasis kebijakan pada setiap level pemerintahan (Nasional, Provinsi dan Kabupaten)
Analisis isi (content analysis) dan analisis roadmap implementasi
Dinamika pengelolaan; Pendekatan persamaan struktural
Tipologi kawasan perikanan Sentralitas sistem perikanan pelagis kecil Model dinamika spasial sistem perikanan
Analisis SEM
Tipologi kawasan Indeks sentralitas
Sistem dinamik
Data Rencana strategis dan implementasi program pengembangan perikanan tahun 20062010 Kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya pada level nasional, provinsi dan kabupaten, kinerja usaha perikanan, tujuan pembangunan perikanan, dan pola pengembangan kawasan Kapasitas dan produktivitas kawasan Dinamika seluruh sub sistem dalam sistem perikanan Hasil analisis tipologi kawasan dan indeks sentralitas
Metode pengumpulan data
Keluaran
Pengumpulan data kebijakan (termasuk regulasi), rencana strategis dan dokumen laporan tahunan
Dinamika pengelolaan berbasis kebijakan
Pengumpulan data statistik perikanan dan regulasi, wawancara terstruktur dan survei lapangan
Rekomendasi kebijakan dan mekanisme pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan
---
Model TipoSan
---
Model InSist
MoDiS
90
4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN MALUKU TENGAH
4.1 Gambaran Umum Maluku Tengah 4.1.1
Batasan wilayah Kabupaten Maluku Tengah merupakan wilayah yang berkarakteristik
kepulauan, terletak antara 126o30’– 132o32’ Bujur Timur dan 2o30’ – 7o38’ Lintang Selatan. Di sebelah Utara berbatasan langsung dengan Laut Seram, di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda dan Kepulauan Lease, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Seram Bagian Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Maluku Tengah adalah 147.480,55 km2, 92,30% adalah wilayah laut dan 7,70% merupakan wilayah daratan. Dari Luas total wilayah daratan 11.595,57 km2, 92,11% terdistribusi di pulau Seram dan pulau-pulau kecil sekitarnya, di pulau Ambon (3,31%), pulau Haruku (1,29%), pulau Saparua dan Nusalaut (1,80%) dan kepulauan Banda (1,48%). Secara administratif, Kabupaten Maluku Tengah terdiri dari 14 wilayah kecamatan pada tahun 2010. Jumlah ini bertambah sebanyak 5 kecamatan dari jumlah 9 kecamatan pada tahun 2004. Perkembangan jumlah wilayah kecamatan merupakan hasil dari pemekaran wilayah Maluku Tengah menjadi tiga kabupaten dan adanya kebutuhan pelayanan infrastruktur pada wilayah kecamatan baru. Berdasarkan letak geografisnya, distribusi desa/kelurahan di Maluku di kawasan P3K sebanyak 129 dari jumlah 173 yang ada (Tabel 6). Hal ini membuktikan sekitar 74,57% desa/kelurahan berpotensi mengakses sumber daya ikan sebagai bentuk dari implementasi mata pencaharian utama masyarakatnya. Kawasan yang memiliki jumlah desa/keluarahan bukan pesisir terbanyak adalah Teon Nilai Serua dan Seram Utara. Terkiat dengan posisi geografisnya, distribusi jumlah pulau di Kabupaten Maluku Tengah sebanyak 53 buah, 17 buah di antaranya berpenghuni, sedangkan yang tidak dihuni sebanyak 36 buah. Distribusinya secara spasial meliputi: 1. Pulau Seram dan sekitarnya terdapat 13 buah pulau. 2. Pulau Ambon dan sekitarnya terdapat 13 buah pulau. 3. Kepulauan Lease terdapat 6 buah pulau.
92
4. Kepulauan Banda 13 buah pulau. 5. Kepulauan Teon Nila Serua 8 buah pulau. Tabel 6 Distribusi Desa/Kelurahan Pesisir dan Non Pesisir Per Kawasan Pengembangan di Kabupaten Maluku Tengah Jumlah Desa/Kelurahan (buah) Pesisir/Tepi Laut Bukan Pesisir Banda 12 0 Tehoru 19 1 Amahai 15 3 Kota Masohi 4 1 Teon Nila Serua 0 17 Saparua 17 0 Nusalaut 7 0 Pulau Haruku 11 0 Salahutu 6 0 Leihitu 16 0 Seram Utara 22 22 Total 129 44 % 74,57 25,43 Sumber: BPS Maluku Tengah, 2010. Kawasan Pengembangan
4.1.2
Jumlah Desa/ Kelurahan (buah) 12 20 18 5 17 17 7 11 6 16 44 173 100,00
Iklim dan musim Iklim di Kabupaten Maluku Tengah termasuk iklim laut tropis. Musim
kemarau antara bulan April sampai Mei, dan memuncak bulan Juni sampai Agustus. Musim hujan dimulai bulan November atau Desember dengan angin barat dan barat laut yang berubah-ubah. Peralihan musim (pancaroba) terjadi bulan April dan Oktober, bulan basah lebih lama dibanding bulan kering. Rerata curah hujan selama 10 tahun terakhir sebesar 2.904 mm/tahun, dan jumlah hari hujan rata-rata 231 hari/tahun. Curah hujan bulanan tertinggi bulan Mei (rata-rata 584 mm/bulan) dalam 23 hari hujan. Curah hujan terendah di bulan Agustus (rata-rata 47 mm/bulan) dalam 16 hari hujan. Sesuai dengan klasifikasi data klimatologi spasial, maka pengelompokan wilayah curah hujan dalam bentuk zone Agroklimat untuk Kabupaten Maluku Tengah adalah sebagai berikut : •
Zone III.1 : Curah hujan tahunan 2000-2500 mm, tercakup di dalamnya zone C2 (5-6 B, 2-3 BK)menurut Oldeman. Termasuk zone ini adalah sebagian wilayah Tehoru, Amahai, PP.Banda, dan PP. TNS.
93 •
Zone III.3 : Curah hujan tahunan 3000-4500 mm, tercakup di dalamnya zone C2 (5-6 BB, 2-3 BK) menurut Oldeman. Zone ini meliputi sebagian Kecamatan Amahai dan PP. Lease.
•
Zone IV.1 : Curah hujan tahunan 3000-4000 mm, tercakup di dalamnya zone A2 (> 9 BB, < 2 BK) menurut Oldeman.
4.2 Infrastruktur Wilayah 4.2.1
Infrastruktur ekonomi Infrastruktur ekonomi utama di wilayah ini adalah perbankan dan pasar.
Bank yang beroperasi, 1 (satu) bank pemerintah yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), 1 (satu) kantor cabang di Kota Masohi dan 5 (lima) BRI unit di 5 (lima) kecamatan yaitu Kota Masohi, Amahai, Seram Utara, Saparua dan Salahutu. Di samping itu, telah beroperasi bank milik Pemerintah Provinsi Maluku yaitu kantor cabang Bank Maluku di ibukota kabupaten, dan 3 (tiga) unit bank swasta nasional yaitu Bank Danamon, Bank Modern Ekspres dan Bank Mandiri. Prasarana pasar telah tersedia hampir di sebagian besar ibukota kecamatan, umumnya terkonsentrasi pada pusat kawasan. Pada ibukota kabupaten, Kota Masohi, tersedia 1 (satu) unit pusat belanja tipe plaza yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat di seluruh kawasan, khususnya yang berada di pulau Seram.
4.2.2
Infrastruktur Perhubungan dan transportasi
4.2.2.1 Jalan Sampai akhir tahun 2010, total panjang jalan di Maluku Tengah telah mencapai 1.194,68 km, terdiri dari jalan nasional sepanjang 386,84 km, jalan provinsi sepanjang 281,01 km dan jalan kabupaten sepanjang 526,83 km. Seluruh ruas jalan negara telah berkonstruksi aspal, dengan kondisi sekitar 14 persen rusak ringan. Selanjutnya jalan provinsi yang telah berkonstruksi aspal sekitar 93 persen, konstruksi kerikil 4 persen dan konstruksi tanah sekitar 3 persen, dengan kondisi sekitar 64 persen rusak berat dan sekitar 7 persen rusak ringan. Sementara untuk jalan kabupaten, yang telah berkonstruksi aspal sekitar 46 persen, konstruksi kerikil sekitar 49 persen, dan konstruksi tanah sekitar 5 persen, dengan kondisi sekitar 20 persen rusak ringan dan sekitar 9 persen rusak berat.
94
4.2.2.2 Dermaga laut Distribusi dermaga laut di Maluku Tengah terbagi atas tiga kelompok, dermaga umum, khusus pertamina dan khusus perikanan. Dermaga laut umum sebanyak sembilan unit yaitu dermaga Tulehu (kawasan Salahutu), Haria (kawasan Saparua), Banda (kawasan Banda), Amahai (kawasan Amahai), Tehoru (kawasan Tehoru), Wahai dan Kobisadar (kawasan Seram Utara), Hitu (kawasan Leihitu), dan Kota Masohi (kawasan Masohi). Sesuai distribusinya, delapan di antaranya memiliki konstruksi beton dan satu unit lainnya berkonstruksi kayu yaitu dermaga Hitu (Tabel 7). Dari sembilan dermaga laut umum, lima dermaga belum memiliki kelas, sedangkan empat lainnya di Tulehu dan Banda termasuk dalam dermaga kelas IV serta Amahai dan Wahai merupakan dermaga kelas V. Tabel 7 Distribusi Dermaga Laut di Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2010 Konstruksi Dermaga
Milik
Kelas
Beton Beton Beton Beton Beton Beton Beton Kayu Beton
Dep. Perhubungan Dep. Perhubungan Dep. Perhubungan Dep. Perhubungan Dep. Perhubungan Dep. Perhubungan Pemda Pemda Pemda
Kls. IV Belum ada Kls Kls. IV Kls. V Belum ada Kls Kls. V Belum ada Kls Belum ada Kls Belum ada Kls
II. Khs. Pertamina 1. Masohi
Beton
Pertamina
Belum ada Kls
III. Khs. Perikanan 1. Amahai (PPI-Masohi) 2. Wahai 3. Hitu 4. Tulehu
Beton Kayu Beton Kayu
Pemda Perikani Perikani Perikani
Belum ada Kls Belum ada Kls Belum ada Kls Belum ada Kls
Nama Pelabuhan Lokal III. Umum 1. Tulehu 2. Haria 3. Banda 4. Amahai 5. Tehoru 6. Air Besar (Wahai) 7. Kobisadar 8. Hitu 9. Kota Masohi
Sumber: BPS Maluku Tengah, 2010.
Dermaga laut khusus Pertamina hanya satu unit terdapat di kota Masohi. Dermaga khusus perikanan sebanyak empat unit di Amahai yang merupakan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), Wahai, Hitu dan Tulehu. Ketiga dermaga
95
khusus perikanan yang disebutkan terakhir ini merupakan dermaga yang dikembangkan oleh pihak swasta. Secara keseluruhan, jumlah total luas dermaga mencapai 3.245,20 m2. Tiga unit diantaranya telah dilengkapi dengan fasilitas gudang yaitu dermaga Banda, Wahai dan Amahai dengan luas rata-rata mencapai 900 m2.
4.2.2.3 Bandar udara (Bandara) Jumlah bandara di Maluku Tengah sebanyak 3 (tiga) unit, di Amahai, Banda Neira dan Wahai. Ketiga bandara tersebut hanya dapat didarati oleh pesawat dengan jumlah penumpang tidak lebih dari 30 (tiga puluh) penumpang. Bandara di Amahai dan Wahai berkelas lapangan terbang ukuran berturutturut 1.050 x 23 m dan 750 x 23 m, sedangkan bandara di Banda Neira merupakan bandara kelas IV dengan ukuran 900 x 30 m. Keseluruhan bandara tersebut telah berkonstruksi aspal.
4.2.3
Telekomunikasi Sarana telekomunikasi dan informatika yang tersedia di Kabupaten
Maluku Tengah adalah layanan jasa pos dan telepon. Jasa pos secara khusus dilayani oleh PT Pos Indonesia, yang telah tersedia hampir di seluruh pusat kawasan, kecuali kawasan Tehoru, TNS dan Nusalaut. Untuk jasa telekomunikasi, saat ini telah tersedia fasilitas telepon tetap (fixed telephone) yang disediakan PT. Telkom, terdapat di kota Masohi, Amahai, Seram Utara, Salahutu dan Saparua. Pada kawasan-kawasan yang belum memiliki sambungan
telepon
tetap,
tersedia
fasilitas
komunikasi
melalui
radio
telekomunikasi daerah (ratelda). Fasilitas telepon seluler (telepon nirkabel) dengan operator Telkomsel dan Indosat, saat ini telah menjangkau sebagian besar wilayah Kabupaten Maluku Tengah, kecuali wilayah kecamatan Seram Utara, sebagian Tehoru, sebagian Amahai, sebagian TNS dan Banda.
4.2.4
Air bersih Pemenuhan kebutuhan akan air bersih dilakukan oleh Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Masohi, yang saat ini baru menjangkau 5 (lima) kawasan
96
yaitu Banda, Tehoru, Kota Masohi, Salahutu dan Seram Utara, itupun hanya terbatas di ibukota kecamatan. Jumlah pelanggan PDAM Masohi sampai dengan tahun 2010 sebanyak 4.862 pelanggan, dengan total produksi sebanyak 1.436.005 m3 dan distribusi sebanyak 1.380.307 m3. Kebutuhan air bersih pada wilayah-wilayah yang belum dijangkau oleh layanan PDAM Masohi, disediakan oleh pemerintah dengan membangun prasarana air bersih perdesaan dengan menggunakan sistem gravitasi dan pompa, namun masih belum menjangkau seluruh wilayah. Antara tahun 2004 – 2010, telah dibangun prasarana air bersih perdesaan di 70 (tujuh) puluh lokasi, yang diperkirakan sekitar 16 persen dari kebutuhan prasarana air bersih perdesaan.
4.2.5
Listrik Pemenuhan kebutuhan energi listrik di Maluku Tengah disediakan oleh
PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui produksi dan penjualan tenaga listrik pada unit produksi ranting dan sub ranting. Unit produksi ranting tersedia di 4 (empat) lokasi yaitu Masohi, Saparua, Pulau Haruku dan Banda, sedangkan unit produksi sub ranting tersedia di Wahai, Waipia, Nusalaut, Tehoru, Laimu, Lonthoir, Liang Awaya, dan Kobisonta. Total produksi tenaga listrik dari unit-unit produksi tersebut pada tahun 2010 mencapai 29.809.050 KWH dengan KWH terjual sebanyak 21.416.446 KWH senilai Rp. 11.569.706.340.
4.3 Eksistensi Sektor Perikanan Dalam Perekonomian Daerah Perekonomian daerah Maluku Tengah diukur dengan pendekatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan nilai PDRB tahun 2003 – 2010 menunjukkan ekonomi wilayah Maluku Tengah memiliki pertumbuhan yang positif, dengan nilai rata-rata pertumbuhan mencapai 4,79 %. Tinjauan secara spasial memberikan justifikasi bahwa kawasan Kota Masohi dan Amahai memiliki kontribusi rata-rata yang sangat tinggi, masingmasing 21,83% dan 21,04%, dikuti oleh kawasan Salahutu dengan kontribusi ratarata 12,40%. Tingginya kontribusi kawasan kedua kawasan itu disebabkan kedua Kota Masohi merupakan pusat wilayah Kabupaten Maluku Tengah dan Amahai sebagai kawasan yang paling dekat di dengan pusat wilayah. Eksistensi kedua
97
kawasan ini menyebabkan adanya diversitas kegiatan ekonomi wilayah yang cukup tinggi. Kawasan Salahutu merupakan pintu masuk dan keluar wilayah Maluku Tengah yang memiliki basis kegiatan ekonomi yang kuat pada transportasi laut dan perikanan tangkap. Oleh sebab itu, Salahutu memiliki peran yang cukup kuat untuk mendukung ekonomi wilayah Maluku Tengah. Eksistensi sektor perikanan dalam perekonomian wilayah Maluku Tengah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 5,53% (Tabel 8). Nilai ini masih jauh di bawah sektor tanaman pangan, sektor tanaman perkebunan, sektor
industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa, dengan kontribusi rata-rata di atas 10%. Kondisi ini menggambarkan sektor-sektor perkotaan memberikan dukungan yang kuat bagi perekonomian Maluku Tengah. Terdapat disparitas kontribusi sektor perikanan dalam perekonomian Maluku Tengah antar kawasan. Banda, Tehoru dan Salahutu merupakan kawasan yang berkontribusi cukup tinggi, yakni di atas 10%. Trend kenaikan secara agregat terjadi pada nilai kontribusi sektor perikanan, kecuali kawasan Banda yang memiliki trend turun yakni Banda. Kontribusi dan dinamika perkembangan yang ditunjukkan oleh sektor perikanan di Maluku Tengah menunjukkan posisi pentingnya bagi perekonomian wilayah. Namun demikian, eksistensi pada setiap kawasan sebagai basis ekonomi kawasan harus dibuktikan lebih lanjut. Tabel 8
No
Kontribusi sektor perikanan (%) terhadap PDRB Kabupaten Maluku Tengah per Kawasan tahun 2003 – 2010 Kawasan
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
RataRata
1
Banda
17,76
17,55
17,64
17,21
17,07
17,13
17,00
16,85
17,28
2
Tehoru
12,10
12,42
12,73
13,07
13,53
13,70
13,83
15,47
13,36
3
Amahai
1,32
1,29
1,27
1,30
1,27
1,30
1,35
1,44
1,32
4
Kota Masohi
2,08
2,04
1,94
1,85
1,78
1,75
1,71
1,74
1,86
5
Teon Nila Serua
0,33
0,33
0,33
0,33
0,33
0,33
0,33
0,35
0,33
6
Saparua
0,80
0,80
0,80
0,79
0,79
0,76
0,74
0,74
0,78
7
Nusalaut
2,67
2,69
2,72
2,69
2,71
2,72
2,76
2,87
2,73
8
Pulau Haruku
9
Salahutu
10 11
1,79
1,78
1,76
1,75
1,76
1,78
1,82
1,92
1,80
10,38
10,36
10,38
10,10
9,87
9,77
9,55
9,67
10,01
Leihitu
9,75
9,65
9,63
9,48
9,34
9,27
9,18
9,68
9,50
Seram Utara
7,14
7,25
7,29
7,27
7,41
7,54
7,72
7,97
7,45
5,66
5,62
5,58
5,51
5,47
5,43
5,39
5,59
5,53
Sektor Perikanan
Sumber: BPS Maluku Tengah, diolah
98
Untuk membuktikan eksistensi sektor perikanan sebagai sektor basis atau non basis di Maluku Tengah, distribusi secara spasialnya dihitung dengan pendekatan Location Quotient (LQ). Sesuai dengan kriteria sektor basis LQ ≥ 1,00 dan sektor non basis LQ < 1,00, ternyata lima kawasan memiliki sektor perikanan yang menjadi basis perekonomiannya, masing-masing Banda, Tehoru, Salahutu, Leihitu dan Seram Utara (Gambar 7).
2003
Gambar 7
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Distribusi nilai Location Quotient sektor perikanan pada tiap kawasan di Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2003 – 2010.
4.4 Gambaran Umum Perikanan Maluku Tengah 4.4.1 Produksi perikanan Produksi perikanan Maluku Tengah sampai dengan tahun 2010 mencapai 83.314,9 ton. Tingkat produksi ini menunjukkan adanya peningkatan dari tahun sebelumnya (2009) sebesar 14,73%. Namun, jika dibandingkan dengan tingkat produksi pada tahun 2008, terjadi penurunan volume produksi sebesar 20,41% di tahun 2010. Sesuai nilai produksinya, perikanan Maluku Tengah menghasilkan produksi sebesar Rp. 244.960.513.000,- yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (2009) sebesar 52,46%. Jika dibandingkan dengan nilai produksi tahun 2008, masih terjadi penurunan sebesar 24,72% di tahun 2010. Perkembangan produksi perikanan ini, sebagian besar merupakan kontribusi dari perikanan laut. Berdasarkan volume produksinya, kontribusi yang
99
diberikan perikanan laut sebesar 99,59%, sedangkan berdasarkan nilai produksi, berkontribusi sebesar 94,60%. Kontribusi ini terkait dengan aktivitas usaha perikanan terfokus pada perikanan laut, terutama perikanan tangkap. Secara spasial, distribusi produksi perikanan laut di Maluku Tengah bervariasi di tiap kawasan. Tujuh kawasan yang memiliki tingkat produksi paling tinggi, rata-rata kontribusi > 10,00%, meliputi: Leihitu, Salahutu, Tehoru, Kota Masohi, Banda, Amahai dan Saparua. Kawasan lainnya hanya berkontribusi di bawah 7,00% (Gambar 8). Kontribusi ini didukung dengan banyaknya aktivitas nelayan dalam kegiatan perikanan tangkap, dukungan infrastruktur perikanan dan potensi pasar lokal yang cukup baik.
Gambar 8
Distribusi spasial produksi perikanan laut di Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
Perkembangan produksi perikanan laut dalam lima tahun terakhir (2006 – 2010) menunjukkan adanya fluktuasi produksi untuk setiap jenis komoditas. Hasil identifikasi terhadap 11 jenis utama komoditas perikanan laut, Cakalang dan Tongkol dari kelompok ikan pelagis besar memiliki tingkat produksi yang tinggi, lebih dari 12.000 ton pada tahun 2009 atau rata-rata lima tahun terakhir lebih dari 11.600 ton. Pada kelompok ikan pelagis kecil tingkat produksi tertinggi pada komoditas layang dengan rata-rata produksi lebih dari 7.600 ton, serta teri dan lemuru lebih dari 4.000 ton (Tabel 9).
100
Tabel 9 Volume produksi 11 jenis utama komoditas perikanan laut Maluku Tengah, Tahun 2006 - 2010 No
Jenis komoditas
2006
2007
di Kabupaten
Volume produksi (ton) 2008 2009 2010
1 Cakalang 3,760.4 8,157.0 20,384.0 21,598.7 2 Tuna 2,112.8 4,041.7 5,870.4 6,586.2 3 Tongkol 3,854.0 6,957.2 15,897.3 19,613.4 4 Layang 5,130.4 7,475.5 9,786.9 10,048.2 5 Selar 3,678.8 2,718.2 2,580.0 2,927.4 6 Terbang 1,075.9 955.6 1,529.5 1,483.5 7 Kerapu 844.7 925.4 1,834.5 1,792.8 8 Lencam 2,118.7 2,204.2 3,068.3 3,672.5 9 Teri 2,771.8 4,691.1 4,515.8 4,471.7 10 Lemuru 199.4 216.4 7,733.4 9,055.5 11 Sunglir 224.2 259.4 562.5 569.5 Sumber: Laporan tahunan 2010, DKP Maluku Tengah (2011)
15,254.5 4,303.4 12,137.4 5,637.9 1,693.6 1,123.7 1,923.8 1,235.0 3,680.6 5,558.6 1,638.9
Rata-rata 13,830.9 4,582.9 11,691.9 7,615.8 2,719.6 1,233.6 1,464.2 2,459.7 4,026.2 4,552.7 650.9
Hasil identifikasi untuk seluruh jenis utama menunjukkan tiga jenis dari kelompok pelagis besar, tujuh jenis dari kelompok pelagis kecil dan 1 jenis dari kelompok demersal. Hasil ini memberikan gambaran bahwa orientasi produksi perikanan laut di Kabupaten Maluku Tengah cukup terkonsentrasi pada komoditas dari kelompok ikan pelagis kecil. Walaupun demikian, berdasarkan volume produksinya, kontribusi komoditas dari kelompok ikan pelagis besar cukup tinggi.
4.4.2 Infrastruktur perikanan Dinamika produksi perikanan di suatu kawasan ditentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukung infrastruktur perikanan. Hasil identifikasi distribusi infrastruktur perikanan di Kabupaten Maluku Tengah secara spasial menunjukkan eksistensinya hanya pada delapan kawasan saja, kawasan lain yang tidak memiliki infrastruktur perikanan yang memadai adalah kawasan Pulau Haruku (Tabel 10). Hasil identifikasi lapangan memberikan gambaran distribusi infastruktur di setiap kawasan, didominasi oleh investasi swasta. Sejumlah infrastruktur perikanan yang dikelola oleh pemerintah berada dalam kondisi rusak. Hal yang disebutkan terakhir menjadi kendala bagi pengembangan usaha perikanan di wilayah ini.
101
Tabel 10 Distribusi spasial infrastruktur perikanan di Kabupaten Maluku Tengah No
1
Kawasan
Amahai dan Kota Masohi
2
Tehoru
3
Seram Utara
4
Leihitu
5
Salahutu
6
Banda
7
Saparua
Jumlah (unit)
Kapasitas
Kepemilikan
Coldstorage
2
1000 ton
Swasta
Coldstorage mini
1
300 ton
Pemerintah
Katsuobushi
1
tad
Swasta
PPI Pabrik es Cold storage Pabrik es Coldstorage Hatchery Pabrik es Coldstorage-1
1 1 1 1 1 1 1 1
15 ton 500 ton 10 ton 500 ton 2 Ha 10 ton 500 ton
Pemerintah Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta
Coldstorage-2
2
15 ton
Swasta
TPI Pabriks es Cold storage Bangsal pengolahan
1 1 1 1
600 ton 500 ton
Pemerintah Swasta Swasta Pemerintah
Cold storage mini
1
300 ton
Swasta
TPI TPI
1 1
Jenis infrastruktur
Pemerintah Pemerintah
Kondisi actual 1 berfungsi, 1 rusak Rusak Tidak berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Berfungsi Tidak berfungsi Rusak Berfungsi Berfungsi Rusak Tahap pembangunan Rusak Rusak
Sumber: Hasil identifikasi lapangan, 2010
Infrastruktur yang umumnya dimiliki oleh kawasan-kawasan tersebut, antara lain: coldstorage, pabrik es, TPI dan PPI. Namun demikian, distribusinya tidak merata pada setiap kawasan. Kondisi ini memberikan gambaran adanya disparitas spasial eksistensi infrastruktur perikanan di Maluku Tengah. Kawasan dengan kelengkapan infrastruktur terbanyak, khususnya yang mendukung usaha perikanan tangkap adalah Amahai,
Leihitu dan Salahutu.
Kelengkapan infrastruktur perikanan tangkap di Amahai didukung kedekatan dengan pusat kabupaten dan eksistensi beberapa sub kawasan basis perikanan tangkap seperti Amahai dan Makariki. Leihitu dan Salahutu merupakan basis perikanan tangkap yang berkontribusi cukup baik. Salah satu kawasan basis perikanan tangkap lainnya adalah Tehoru, namun fasilitas pelabuhan belum ada.
4.4.3 Pendapatan perkapita nelayan Dinamika produksi perikanan di suatu kawasan memberikan dampak terhadap berbagai aspek, salah satu dampak langsungnya adalah pendapatan
102
nelayan. Kajian terhadap pendapatan nelayan dilakukan dengan pendekatan data pendapatan perkapita, setidaknya dari tahun 2006 sampai dengan 2010 (Tabel 11) yang menunjukkan perkembangnnya selama lima tahun. Tabel 11 Perkembangan pendapatan perkapita nelayan Maluku Tengah (Rp) tahun 2006 – 2010 r total Rank Rank r total Kawasan 2006 2010 tahunan No 2006 2010 (%) (%) 1 TNS 458.568,5 11 113.977 11 -75,15 -18,79 2 Banda 6.474.856,1 6 4.649.534 7 -28,19 -7,05 3 Saparua 3.347.095,5 9 4.417.938 8 31,99 8,00 4 P. Haruku 2.583.783,8 10 2.977.946 10 15,26 3,81 5 Leihitu 5.227.132,0 7 10.023.111 3 91,75 22,94 6 Salahutu 8.499.730,0 2 14.110.208 2 66,01 16,50 7 Amahai 6.836.767,0 3 6.732.516 5 -1,52 -0,38 8 Tehoru 3.736.479,3 8 4.238.853 9 13,45 3,36 9 Seram Utara 6.609.912,8 5 5.959.647 6 -9,84 -2,46 10 Nusalaut 6.760.952,6 4 7.193.331 4 6,40 1,60 11 K. Masohi 10.485.126,1 1 26.529.155 1 153,02 38,25 Sumber: DKP Maluku Tengah, 2007-2011
Pada tahun 2010, pendapatan perkapita nelayan tertinggi terdistribusi pada kawasan Kota Masohi, Salahutu dan Leihitu dengan rata-rata lebih dari 10 juta rupiah. Kawasan dimana nelayannya memiliki distribusi pendapatan perkapita terendah ialah TNS, tidak melebihi Rp. 115.000,-. Distribusi yang ditunjukan ini menggambarkan adanya disparitas pendapatan nelayan secara spasial. Terjadi perubahan rangking pendapatan perkapita nelayan hampir di seluruh kawasan selama lima tahun terakhir, kecuali Kota Masohi dan Salahutu dengan tingkat pendapatan yang tinggi serta TNS dengan tingkat pendapatan terendah. Perkembangan tahunan dari tahun 2006 dan 2010 menunjukkan pola peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita nelayan di Maluku Tengah selama lima tahun mencapai 23,92% atau rata-rata tahunan 5,98%. Walaupun secara umum untuk Maluku Tengah terjadi pola peningkatan, namun pada beberapa kawasan pengembangan perikanan terjadi pertumbuhan pendapatan per kapita nelayan yang negatif, antara lain: TNS (-18,79%), Banda (7,05%), Amahai (-0,38%), dan Seram Utara (-2,46%).
103
Pertumbuhan tahunan pendapatan per kapita nelayan yang sangat cepat terjadi pada kawasan Kota Masohi (38,25%), Leihitu (22,94%) dan Salahutu (16,50%). Tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita pada ketiga kawasan ini sangat didukung dengan peningkatan produksi perikanan tangkap dan aksesibilitas yang cukup baik terhadap pasar. Kondisi inilah yang menyebabkan pergerakan kegiatan ekonomi perikanan tangkap di kawasan bergerak dinamis.
4.4.4 Perizinan perikanan Upaya penumbuhan iklim usaha di sektor kelautan dan perikanan pada wilayah
kabupaten
Maluku
Tengah,
terutama
yang
diarahkan
untuk
mengakomodasi usaha perikanan rakyat, telah dikembangkan beberapa regulasi tentang perizinan di tingkat daerah dan sinkronisasi dengan regulasi di tingkat pusat. Beberapa regulasi di tingkat daerah yang berkaitan dengan sistem dan mekanisme perizinan meliputi: 1. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Pendaratan Ikan; 2. Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2003 tentang Izin Usaha Perikanan; 3. Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2003 tentang Retribusi Hasil Perikanan; 4. Keputusan Bupati Maluku Tengah Nomor 523-144 Tanggal 12 April 2005 tentang Harga Patokan Ikan. Dalam Tahun 2010, tercatat 275 buah izin yang diterbitkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. Seluruh izin ini dikelompok dalam empat komponen utama perizinan, masing-masing: 1. Surat Rekomendasi untuk usaha pengumpul dan pengangkutan sebanyak 17 buah; 2. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) untuk usaha penangkapan perpanjang 15 buah dan usaha penangkapan baru 26 buah; 3. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) untuk usaha penangkapan perpanjangan 52 buah, usaha penangkapan baru 76 buah, usaha budidaya perairan baru satu buah, usaha pengumpulan dan pengangkutan perpanjangan tiga buah, usaha pengumpulan dan pengangkutan baru 29 buah; 4. Surat Keterangan Asal (SKA) untuk usaha penangkapan sebanyak 56 buah.
104
Secara total, untuk masing-masing kategori rekomendasi dan perizinan yang diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dalam Tahun 2010 meliputi 17 buah rekomendasi untuk usaha pengumpulan dan pengangkutan ikan, 41 buah SIPI, 161 SIUP yang meningkat 143,94% dari tahun sebelum serta 56 buah SKA. Berdasarkan data perizinan ini, konsentrasi perizinan paling tinggi pada usaha perikanan tangkap. Hal ini tergambar dari distribusi perizinan usaha perikanan tangkap sebesar 81,82% dari total izin yang diterbitkan. Hasil ini membuktikan bahwa upaya pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tengah masih sangat tinggi. Namun demikian, perizinan yang diterbitkan juga harus didukung dengan informasi tentang daya dukung perairan Maluku Tengah terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Perizinan di tingkat pusat yang tersinkronisasi dengan kebijakan daerah Maluku Tengah adalah Izin Usaha Perikanan (IUP). Khusus untuk IUP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sampai dengan tahun 2010 mencapai 23 izin usaha. Dua puluh tiga izin usaha ini dikeluarkan untuk perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Maluku Tengah, dikategorikan dalam 23 pengusaha pengumpul/penangkapan ikan.
5 DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM ALAM
5.1 Pendahuluan Penjelasan tentang dinamika sistem perikanan dimulai dengan pertanyaan kritis tentang: (1) bagaimana komponen-komponen yang bervariasi dalam sistem berubah dari waktu ke waktu? (2) bagaimana interaksi satu dengan lainnya?. Jawaban terhadap kedua pertanyaan itu meliputi: pertama, skala waktu dimana perubahan terjadi dengan pengelompokkan lima skala waktu secara umum yaitu harian sampai mingguan, bulanan sampai musiman, tahunan, dan jangka yang panjang. Kedua, dinamika sistem per komponen, baik komponen pada sub sistem alam, sub sistem manusia maupun sub sistem pengelolaan (Charles, 2001). Penjelasan sub sistem alam dalam suatu sistem perikanan difokuskan pada struktur dan pendekatan untuk mengklasifikasi SDI berdasarkan jenisnya, ekosistem dan lingkungan fisik. Oleh sebab itu, sub sistem ini dinyatakan dalam enam bagian, meliputi: SDI, distribusi spasial SDI, ekosistem secara makro, eksosistem perikanan, tipologi ekosistem perikanan dan lingkungan fisik kimia. Model penentuan penyebab dinamika SDI di perairan laut menunjukkan faktor-faktor berpengaruh di antaranya SPL, kolorofil-a dan eksistensi biomassa ikan, disamping berbagai faktor lingkungan eksternal yang menyebabkan adanya tekanan terhadap eksistensi SDI (Verweij dan van Densen, 2010). Dinamika sub sistem alam dapat dijelaskan dengan pendekatan dinamika populasi dari ikan, dinamika ekosistem dan lingkungan biofisik (Charles, 2001; Dudley, 2008; Verweij dan van Densen, 2010), serta dinamika DPI (Hutton et al., 2004). Dinamika sub sistem alam yang dianalisis dalam penelitian ini difokuskan pada kondisi perairan DPI pelagis kecil dan potensi sumber daya ikan pelagis kecil. DPI existing dipetakan secara musiman untuk mengetahui lokasi potensial penangkapan ikan pelagis kecil. Di samping itu, pada sub sistem ini juga dilakukan estimasi potensi sumber daya ikan pelagis kecil. Analisis dinamika sub sistem alam diarahkan untuk memberikan justifikasi tentang dinamika musiman suhu permukaan laut dan klorofil-a, dinamika DPI pelagis kecil yang dijelaskan dengan dinamika musiman DPI dan potensi SDI pelagis kecil dan distribusi spasialnya.
106
Ketiga dinamika pada sub sistem alam menyebabkan adanya konsekuensi perubahan akses terhadap DPI. Dalam penelitian ini, perubahan akses ini disebut sebagai dinamika akses DPI. Dinamika aksesibilitas terhadap DPI yang terjadi tentunya memberikan implikasi bagi upaya-upaya pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah ini. Tujuan kajian tentang dinamika sub sistem alam bertujuan untuk: (1) menganalisis dinamika musiman suhu permukaan laut dan klorofil-a; (2) menganalisis dinamika musiman DPI; (3) menganalisis potensi SDI dan distribusi spasialnya; serta (4) menganalisis implikasi dinamika sub sistem alam bagi pengembangan kawasan perikanan.
5.2 Metodologi 5.2.1 Analisis dinamika musiman suhu permukaan laut dan klorofil-a Untuk kepentingan pengembangan analisis ini, maka pendekatan yang dilakukan meliputi: (1) Analisis grafis yang memetakan distribusi nilai maksimum, minimum dan rata-rata sepanjang tahun. Nilai maksimum dihitung berdasarkan formulasi maksimum X:
(
X max = MAX X i , ..., X n
)
Nilai minimum dihitung berdasarkan formulasi minimum X:
(
X min = MIN X i , ..., X n
)
Nilai rata-rata dihitung berdasarkan formulasi rata-rata X: _
(
X = AVG X i , ..., X n
)
Hasil perhitungan Xmax, Xmin dan X-rata-rata bulanan dipetakan dalam waktu satu tahun dan dipisahkan ruang analisisnya secara musiman, untuk musim Barat, peralihan Barat-Timur, Timur dan peralihan Timur-Barat. (2) Analisis spasial menggunakan pendekatan pemetaan distribusi nilai SPL dan klorofil-a setiap bulan yang dikelompokkan pada ruang analisis secara musiman. Seluruh nilai dipetakan dalam bentuk kontur untuk menggambarkan distribusi spasialnya. Kisaran nilai yang dijadikan pembatas untuk pemetaan
107
SPL pada interval nilai 22oC sampai dengan nilai maksimum 35oC, dengan distribusi kontur menurut warna sebagai berikut:
Kisaran nilai yang dijadikan pembatas untuk pemetaan klorofil-a pada interval nilai 0 mg/m3 sampai dengan 5 mg/m3, dengan distribusi kontur menurut warna sebagai berikut:
5.2.2 Analisis Dinamika Musiman DPI Dinamika DPI dikaji menggunakan dua pendekatan analisis, meliputi: (1) Analisis spasial distribusi DPI musiman setiap kawasan perikanan di wilayah Selatan Maluku Tengah, dilakukan dengan pemetaan DPI yang selalu diakses oleh nelayan. Dua parameter utama penentuan titik DPI adalah lokasi rumpon yang diperuntukan bagi penangkapan ikan dengan pukat cincin dan pancing tegak, serta lokasi penangkapan dengan bagan apung. Analisis dinamika spasial dikembangkan melalui analisis distribusi DPI secara musiman, baik musim Barat, peralihan Barat-Timur, Timur maupun peralihan Timur-Barat. (2) Analisis tabular yang menyatakan distribusi jumlah titik DPI yang diakses oleh nelayan di tiap kawasan. Analisis ini menunjukkan jumlah dan prosentase lokasi rumpon dan bagan yang ada di perairan pada setiap musim penangkapan. Formulasi matematik yang digunakan dalam analisis ini adalah: n
n
∑ DPI = ∑ DPI i =1
i
i =1
ir
+
n
∑ DPI i =1
ib
DPIi adalah jumlah titik DPI pada kawasan ke-i, yang merupakan hasil penjumlahan dari jumlah titik rumpon untuk kawasan ke-i (DPIir) dan jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bagan apung pada kawasan ke-i (DPIib).
5.2.3 Analisis potensi SDI dan distribusi spasial Analisis potensi SDI menggunakan pendekatan analisis biomassa ikan (B) pelagis, dihitung dengan formula sebagai berikut: B = FPUArata −rata * A
108
FPUA adalah ikan per unit area, diestimasi dari jumlah ikan dalam kolom air. Nilai FPUA diekspresikan dalam jumlah ikan per m2 atau dapat dinyatakan dalam kg/m2 tergantung pada penampang hamburan balik dari seekor ikan (luas penampang tubuh seekor ikan yang terukur secara akustik) yang digunakan sebagai faktor skala untuk menghitung volume hamburan. A merupakan luas perairan yang dianalisis. Hasil ini kemudian dikonversikan dengan pendekatan berat rata-rata ikan 20 ekor sama dengan satu kg (rata-rata untuk pelagis kecil). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) diperoleh dengan formula: JTB = 0,4 * B Hasil analisis setiap unit area dipetakan dengan pendekatan sistem kontur untuk menyatakan distribusi spasial potensi SDI yang ada di wilayah penelitian. Pemetaan ini bertujuan juga untuk memberikan gambaran tentang lokasi-lokasi potensial dimana SDI terdapat.
5.2.4 Analisis implikasi dinamika sub sistem alam bagi pengembangan kawasan perikanan Analisis ini didasarkan pada akumulasi dinamika lingkungan perairan, DPI musiman dan distribusi spasial potensi SDI. Akumulasi yang dimaksud membentuk tingkat aksesibilitas DPI yang berbeda untuk setiap kawasan. Oleh sebab itu, akses DPI dinyatakan melalui analisis spasial dengan memetakan hubungan titik-titik DPI terhadap pusat kawasan. Seluruh akses dihitung dengan pendekatan rata-rata nilai ekonomi jarak yang harus diakses nelayan terhadap suatu DPI. Formulasi matematiknya dapat dinyatakan sebagai berikut: n 1 n Ai =1 = AVG n ∑ RDPI −i i =1 ∑ DPI i i =1 n Dimana Ai =1 merupakan nilai akses DPI pada kawasan ke-i, DPIi adalah titik DPI pada kawasan ke-i, RDPI-i adalah jarak DPI dari kawasan ke-i. Seluruh hasil perhitungan diekspresikan secara grafis untuk menggambarkan dinamika musiman dari aksesibilitas DPI.
109
5.3 Dinamika Musiman Suhu Permukaan Laut Kondisi perairan Maluku Tengah yang ditunjukkan dengan informasi suhu permukaan laut (SPL) merupakan salah satu dasar untuk mengetahui perairan yang potensial untuk kegiatan penangkapan. Hal ini didasarkan pada parameter dasar yang digunakan untuk penentuan daerah penangkapan ikan potensial sebagaimana dikembangkan oleh Hasyim (2003). Distribusinya selama setahun menunjukkan SPL tertinggi dimulai bulan September (32,48oC) dan memuncak bulan Oktober (33,78oC). Distribusinya tetap pada kisaran itu sampai menurun sampai lagi di bulan April (32,55oC). Hal ini membuktikan bahwa bulan September sampai dengan April merupakan bulanbulan dimana SPL hangat (Gambar 9). Distribusi SPL terendah dimulai dari bulan Juni (27,62oC) dan terus menurun sampai titik terendah di bulan Agustus (25,68oC). Distribusi ini menunjukkan bahwa bulan-bulan dengan distribusi SPL yang agak dingin terjadi pada periode bulan Juni sampai dengan Agustus.
Gambar 9
Distribusi nilai maksimum, minimun dan rata-rata SPL di perairan Kabupaten Maluku Tengah, tahun 2010
Gambaran umum distribusi suhu sepanjang tahun menunjukkan adanya dinamika musiman SPL di perairan Maluku Tengah. Dinamika yang ditunjukkan, diekspresikan secara grafis untuk menunjukkan aspek temporal dan aspek spasial diekspresikan melalui pemetaan. Oleh sebab itu, dinamika yang ditunjukkan menggambarkan dinamika menurut waktu dan keruangan.
110
Pada Musim Barat rata-rata SPL di perairan ini sekitar 30,13oC. Suhu hangat berkisar antara 28 - 33oC di bagian Selatan kawasan Werinama sampai dengan Selatan kepulauan Banda. Suhu dingin sekitar 26oC terdapat di bagian Utara Seram Utara dan di perairan sekitar Kepulauan TNS (Gambar 10). Pergerakan masa air hangat dari perairan Selatan Maluku Tengah ke arah Utara, terjadi bulan Januari sampai Februari. Dalam bulan Maret, perairan Selatan kembali ditempati masa air dingin yang bergerak dari arah Selatan, masih terkonsentrasi masa air hangat di perairan Selatan kepulauan Banda sampai Barat Teon Nila Serua. Pola distribusi dengan konsentrasi masa air dingin yang muncul di antara masa air hangat memberikan ruang bagi distribusi sumber daya ikan. Oleh sebab itu, penangkapan ikan, khususnya pelagis kecil perlu diarahkan pada perairan ini. Gejala ini juga menunjukkan adanya potensi pengangkatan masa air yang cenderung terjadi di Laut Banda pada bulan-bulan tersebut. Rata-rata SPL pada musim peralihan Barat-Timur sekitar 30,29oC. Suhu perairan umumnya hangat (lebih dari 28oC) pada musim ini. Konsentrasi suhu hangat terdapat di bagian Timur Laut kawasan Seram Utara dan perairan sekitar kepulauan Banda. Kondisi ini bertahan dari Maret sampai dengan Mei. Namun, di bulan Mei masa air dingin mulai bergerak dari arah Selatan perairan Maluku Tengah, khususnya di perairan sekitar kepulauan Teon Nila Serua (Gambar 11). Perairan ini merupakan salah satu perairan yang cukup produktif sebagai daerah penangkapan ikan. Namun, jarang diakses oleh armada perikanan skala kecil yang dikembangkan masyarakat lokal. Hal ini disebabkan letak perairan yang agak jauh dari pulau-pulau utama yang menjadi basis perikanan tangkap. Pada musim Timur, rata-rata SPL sekitar 28oC. Suhu perairan hangat antara 28 - 31oC terdapat di bagian Utara kawasan Seram Utara, sedangkan suhu dingin antara 25 - 26oC umumnya terdistribusi di Selatan pulau Seram dan Pulau Ambon sampai perairan kepulauan Banda dan Teon Nila Serua (Gambar 12). Musim Timur merupakan puncak dimana distribusi suhu permukaan laut yang dingin di perairan Maluku Tengah, terutama di bagian Tenggara. Distribusi SPL sepanjang musim Timur berkaitan dengan waktu-waktu puncak penangkapan ikan, karena pada bulan Juni sampai dengan Agustus kegiatan penangkapan ikan pelagis intensif dilakukan oleh nelayan Maluku Tengah.
111
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Gambar 10 Distribusi SPL pada musim Barat di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2009-2010
112
Maret 2010
April 2010
Mei 2010
Gambar 11 Distribusi SPL pada musim peralihan Barat-Timur di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
113
Juni 2010
Juli 2010
Agustus 2010
Gambar 12 Distribusi suhu permukaan laut pada musim Timur di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
114
Rata-rata SPL musim peralihan Timur-Barat sekitar 29,12oC. Suhu hangat antara 28 - 33oC
terkonsentrasi di bagian Utara Seram Utara. Pada musim
peralihan Timur-Barat suhu cenderung hangat (lebih dari 28oC), kecuali pada bulan September yang mendekati 27oC. Distribusi suhu permukaan laut yang kurang dari 27oC ini pada bagian Selatan perairan Maluku Tengah (Gambar 13). Pada awal musim ini (bulan September), suhu dingin masih terdistribusi di perairan Selatan Maluku Tengah, diduga masih dipengaruhi pergerakan masa air dingin yang terjadi saat musim Timur. Distribusi suhu hangat memuncak bulan Oktober dan mengalami penurunan di bulan November. Musim peralihan TimurBarat merupakan waktu dimana distribusi SPL memiliki dinamika yang tinggi karena fluktuasi tajam antara ketiga bulan yang ada di musim ini. Hasil analisis distribusi SPL secara musiman menunjukkan adanya variasi secara spasial maupun temporal. Nontji (1993) mengatakan bahwa suhu permukaan perairan Indonesia berkisar antara 28 – 31oC, demikian halnya dengan pernyataan Tomascik et al. (1997) bahwa suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 – 30oC. Pada musim Barat, SPL cenderung hangat kecuali pada bulan Februari yang mendekati 26oC. Gradien suhu yang signifikan terjadi di musim ini, karena perbedaan suhu maksimun dan minimum mencapai 6,76oC. Distribusi nilai SPL ini mendekati pernyataan Ilahude and Gordon (1996) bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim Barat berkisar antara 29,6 – 30,3oC. Dalam musim peralihan Barat-Timur SPL cenderung hangat, hal ini ditunjukkan dengan distribusi SPL umumnya lebih dari 28oC. Perbedaan suhu maksimum dan minimum pada musim ini mencapai 4,35oC. Pada musim Timur terjadi perbedaan SPL yang cukup signifikan antara suhu hangat dan dingin, yakni sekitar 5,83oC. Musim ini memiliki distribusi suhu yang cenderung dingin antara 25 - 26oC. Distribusi suhu dingin ini terjadi sekitar dua per tiga musim terutama pada bulan Juli dan Agustus. Ilahude and Gordon (1996) menyatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim Timur berkisar antara 25,7 – 26,1oC.
115
September 2010
Oktober 2010
Nopember 2010
Gambar 13 Distribusi kandungan suhu permukaan laut pada musim peralihan TimurBarat di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
116
Berbeda dengan musim Timur, peningkatan SPL musim peralihan TimurBarat terjadi bulan September dan memuncak dalam bulan Oktober. Peningkatan dalam musim peralihan Timur-Barat menyebabkan perbedaan SPL bulanan cukup signifikan, sekitar 6,62oC. Bila di musim Timur SPL cenderung dingin, maka distribusinya di musim peralihan Timur-Barat cenderung hangat antara 28 - 33oC, kecuali bulan September dengan SPL minimum mendekati 27oC. Fenomena distribusi SPL pada perairan Maluku Tengah memberikan gambaran adanya kesesuaiannya dengan peluang distribusi ikan pelagis kecil. Hasil ini sesuai dengan temuan Indrawatit (2000) bahwa ikan pelagis kecil dari jenis lemuru (Sardinella lemuru) tertangkap di perairan Selat Bali berada pada kisaran suhu permukaan laut 25,01oC – 29,00oC. Nurdin et al. (2012) dalam penelitian menemukan bahwa saah satu ikan jenis pelagis kecil, kembung (R. kanagurta) memiliki kisaran SPL yang disukai antara 29,94 ± 0,230 oC.
5.4 Dinamika Musiman Klorofil-a Hasil ekstraksi data citra Modis untuk klorofil-a di wilayah penelitian menunjukkan nilai tertinggi 4,06 mg/m3 dan nilai terendah 0,05 mg/m3. Distribusi nilai ini menunjukkan bahwa distribusi tertinggi dimulai dari bulan Juni (2,28 mg/m3) dan memuncak di bulan Agustus (4,06 mg/m3) dan menurun lagi di bulan September (2,65 mg/m3). Hal ini membuktikan bahwa bulan-bulan dengan produktivitas perairan yang cukup tinggi adalah Juni sampai dengan September. Distribusi klorofil-a dengan konsentrasi terendah dimulai pada bulan Januari (0,06 mg/m3). Distribusi ini menurun sampai mencapai titik terendah di bulan Maret (0,05 mg/m3) dan meningkat lagi di bulan April (0,07 mg/m3). Hasil ini menunjukkan bahwa bulan-bulan dengan produktivitas terendah terjadi pada periode bulan Januari sampai dengan April. Bersama distribusi suhu permukaan laut, kandungan klorofil-a di perairan mendukung justifikasi kondisi perairan yang sesuai sebagai DPI potensial pada bulan Juni sampai September. Namun, gambaran dinamikanya harus dikaji lebih lanjut. Distribusi kandungan klorofil-a secara bulanan di perairan Maluku Tengah menunjukkan adanya dinamika secara temporal yang diekspresikan secara grafis seperti pada Gambar 14, sementara distribusi spasialnya diekspresikan melalui
117
pemetaan kandungan klorofil-a bulanan yang dikelompokkan per musim. Dinamika menurut waktu dan keruangan dibuktikan dengan distribusi klorofil-a yang bervariasi dari waktu ke waktu, juga dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Rata-rata kandungan klorofil-a yang terdistribusi di perairan ini selama musim Barat sekitar 0,16 mg/m3. Kandungan yang tinggi antara di berkisar antara 0,5 – 2,01 mg/m3 pada bulan Desember dan Januari. Kandungan klorofil-a terendah berkisar antara 0,06 sampai dengan 0,2 mg/m3.
Gambar 14 Distribusi nilai maksimum, minimun dan rata-rata klorofil-a di perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
Distribusi kandungan klorofil dengan konsentrasi yang tinggi di perairan Maluku Tengah terkonsentrasi pada bagian Utara kawasan Seram Utara, bagian Selatan kawasan Amahai, Kota Masohi dan Tehoru (terutama di perairan Teluk Elpaputih dan Teluk Tehoru), Utara kawasan Leihitu dan perairan antara pulau Ambon dan Pulau Haruku
(Gambar 15). Di sisi lain, pada bulan Februari
terbentuk kantong masa air dengan kandungan klorofil-a yang tinggi di hanya pada perairan Barat kepulauan Banda dan Selatan kepulauan Lucipara. Hasil penelusuran distribusi spasial selama musim Barat memperlihatkan distribusi kandungan klorofil-a terendah terkonsentrasi pada perairan terbuka di Selatan Pulau Seram, kepulauan Lease sampai bagian Utara dan Timur kepulauan Banda. Distribusi ini ditemukan di setiap bulan sepanjang musim Barat.
118
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Gambar 15 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim Barat di Perairan Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2010
119
Hasil ini menunjukkan bahwa variasi distribusi kandungan Klorofil-a di perairan Maluku Tengah secara bulanan (dalam satu musim) masih cenderung terjadi. Pada musim Barat, perairan pesisir dan teluk merupakan basis konsentrasi kandungan klorofil yang tinggi, sementara perairan terbuka umumnya memiliki kandungan klorofil-a yang rendah. Kondisi demikian diduga karena pengaruh dinamika perairan dan sumbangan klorofil-a yang berbeda secara bulanan, baik karena perbedaan waktu fotosintesis yang terjadi pada fitoplankton maupun karena sumbangan hara yang berbeda di perairan pesisir dan laut. Distribusi rata-rata kandungan klorofil-a pada musim peralihan BaratTimur sekitar 0,13 mg/m3. Kandungan klorofil-a yang tinggi sekitar 0,5 – 2,18 mg/m3, sementara distribusi kandungan klorofil-a terendah rata-rata kurang dari 0,2 mg/m3 (Gambar 16). Kandungan klorofil-a yang tinggi masih terkonsentrasi di bagian Utara kawasan Seram Utara, perairan teluk Elpaputih dan teluk Tehoru. Pada akhir musim ini (bulan Mei), terbentuk kantong masa air dengan kandungan klorofil-a yang tinggi di perairan sekitar pulau Ambon dan kepulauan Lease. Distribusi kandungan klorofil-a terendah (kurang dari 0,2 mg/m3) masih terkonsentrasi di perairan Selatan kepulauan Banda. Kondisi ini bertahan sepanjang musim peralihan Barat-Timur. Rata-rata kandungan klorofil-a yang terdistribusi dalam Musim Timur sekitar 0,4 mg/m3 yang mengindikasikan
tingginya kandungan di perairan
Maluku Tengah. Kandungan klorofil-a tertinggi antara 0,5 - 4,06 mg/m3, sedangkan kandungan klorofil-a yang rendah selama musim ini berkisar antara 0,08 - 0,2 mg/m3 (Gambar 17). Kandungan klorofil-a tertinggi terdistribusi hampir pada seluruh perairan Maluku Tengah, kecuali di Selatan kepulauan Banda dengan kandungan klorofil-a kurang dari 0,4 mg/m3. Puncak distribusi klorofil-a terjadi dalam bulan Agustus di bagian Barat Leihitu sampai dengan perairan Selatan pulau Buru, perairan teluk Elpaputih dan teluk Tehoru. Hasil identifikasi lapangan membuktikan perairan ini merupakan daerah tujuan penangkapan ikan terbanyak selama musim Timur.
120
Maret 2010
April 2010
Mei 2010
Gambar 16 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim peralihan Barat-Timur di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
121
Juni 2010
Juli 2010
Agustus 2010
Gambar 17 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim Timur di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
122
Kandungan klorofil-a yang rendah selama musim Timur terkonsentrasi di perairan Selatan kepulauan Banda. Kondisi ini ditemukan pada bulan Juni dan Juli, dimana pada bulan-bulan ini kegiatan penangkapan di perairan Selatan kepulauan Banda berkurang dan jarang dilakukan. Distribusi kandungan klorofil-a yang masih tinggi ini di musim Peralihan Timur Barat, berkisar antara 0,5 – 0,7 mg/m3. Di sisi lain, konsentrasi klorofil-a yang rendah umunya kurang dari 0,2 mg/m3. Kisaran kandungan klorofil-a yang tinggi diduga masih dipengaruhi oleh distribusinya pada musim Timur. Hampir seluruh perairan Selat dan Teluk memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi. Hal ini juga membuktikan bahwa perairan pesisir memberikan sumbangan kandungan klorofil yang cukup baik bagi perairan Maluku Tengah. Walaupun demikian, di akhir musim ini (bulan November), konsentrasi klorofil-a yang rendah mulai mendominasi perairan Selatan Maluku Tengah (Gambar 18). Hal ini disebabkan karena rendahnya curah hujan yang sehingga suplai unsur hara yang membantu pertumbuhan fitoplankton di perairan, menurun. Distribusi kandungan klorofil-a secara musiman juga menunjukkan adanya variasi secara temporal maupun secara spasial. Arinardi et al. (1997) menyatakan bahwa perairan Indonesia yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran sungai dan berlangsungnya proses penaikan masa air dari lapisan dalam ke permukaan. Klorofil-a di perairan laut akan lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, namun rendah di perairan laut lepas. Tingginya klorofil-a di perairan ini disebabkan karena adanya pasokan suplai nutrien melalui run-off sungai dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien secara langsung (Nybaken, 1992). Namun Valiela (1984) menyatakan pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik masa air dalam mengangkat nutrien lapisan dalam ke lapisan permukaan.
123
September 2010
Oktober 2010
Nopember 2010
Gambar 18 Distribusi kandungan klorofil-a pada musim peralihan Timur-Barat di Perairan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
124
Pada musim Barat, terjadi penurunan kandungan klorofil-a yang cukup tajam, dari bulan Desember sampai Februari penurunan mencapai 1,95 mg/m3. Distribusi kandungan klorofil-a pada musim peralihan Timur-Barat menunjukkan nilai rata-rata sekitar 0,25 mg/m3. Kandungan klorofil-a tertinggi berkisar antara 0,4 – 2,65 mg/m3 terdistribusi perairan Selatan pulau Seram termasuk teluk Elpaputih dan teluk Tehoru, perairan sekitar pulau Ambon serta kepulauan Lease. Kondisi ini sesuai dengan temuan Vosjan and Nieuwland (1987) bahwa distribusi konsentrasi klorofil-a di Laut Banda pada musim Barat sangat rendah. Penurunan di musim Barat terjadi sampai dengan awal musim peralihan Barat-Timur (bulan Maret). Fluktuasi kandungan klorofil-a dalam musim ini cukup dinamis karena terjadi peningkatan pada bulan April dengan kandungan klorofil-a tertinggi 2,18 mg/m3. Dalam bulan Mei terjadi penurunan kandungan klorofil tertinggi sampai pada 1,35 mg/m3. Walaupun di akhir musim terjadi penurunan, secara temporal distribusi kandungan klorofil-a dalam musim ini menunjukkan adanya tendensi kenaikan sebesar 2,13 mg/m3. Berbeda dengan musim Barat dan peralihan Barat-Timur, distribusi kandungan klorofil-a secara temporal dalam musim Timur menunjukkan tendensi kenaikan sangat signifikan dan memuncak pada akhir musim (bulan Agustus). Hal ini ditunjukkan dengan besaran gradien klorofil-a sejak awal musim sampai dengan akhir musim sebesar 2,38 mg/m3. Musim ini merupakan musim puncak kandungan klorofil-a di perairan Maluku Tengah. Mengacu pada temuan Vosjan and Nieuwland (1987) distribusi konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dengan konsentrasi tertinggi pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai di Musim Barat. Sediadi dan Edward (2000) menyatakan pada musim Timur kandungan rerata klorofil-a di perairan Selat Seram sekitar 1,23 mg/m3, dengan kisaran kandungan klorofil-a antara 0,53 – 2,14. Distribusi rerata klorofil-a di perairan Selatan kepulauan Lease sekitar sekitar 0,64 mg/m3, dengan kisaran kandungan klorofil-a antara 0,27 – 1,07 mg/m3. Keadaan ini ada kaitannya dengan proses upwelling yang terjadi di Laut Banda pada musim Timur. Distribusi kandungan klorofil-a dalam musim peralihan Timur-Barat mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan
125
kandungan klorofil-a sebesar 2,57 mg/m3. Edward dan Tarigan (1998) yang menganalisis perbandingan distribusi klorofil-a secara spasial membuktikan bahwa rerata kandungan klorofil-a di Laut Seram dalam bulan September sebesar 0,40 mg/m3. Berbeda dengan Laut Seram, distribusi rerata kandungan klorofil-a dalam bulan yang sama di Laut Banda sekitar 0,26 mg/m3. Penurunan tajam pada awal musim sampai pertengahan musim, sedangkan di pertengahan musim sampai akhir musim penurunan relatif kecil. Walaupun terjadi penurunan kandungan klorofil-a, namun distribusinya berada pada kisaran yang menunjukkan suburnya perairan Maluku Tengah, terutama bulan September. Nontji (1993) menyatakan distribusi klorofil-a di Laut Banda pada September menunjukkan konsentrasi klorofil tertinggi di bagian Timur Laut Banda. Hasil penelitian Nurdin et al. (2012) menunjukkan kisaran kandungan klorofil-a yang disukai oleh ikan pelagis kecil dari jenis kembung (R. kanagurta) antara 0,31 ± 0,10 mg/m3. Jika dilihat dari kisaran kandungan klorofil-a ini, dan dibandingkan dengan distribusinya pada perairan Maluku Tengah, maka perairan ini berpotensi menjadi lokasi distribusi ikan pelagis kecil dari jenis kembung.
5.5 Dinamika Musiman Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Dinamika DPI ditunjukkan dengan distribusinya secara musiman melalui pemetaan lokasi penangkapan ikan yang diakses nelayan. Pemetaan lokasi penangkapan yang dimaksudkan meliputi lokasi penangkapan ikan menggunakan dengan bagan perahu dan lokasi rumpon dimana aktivitas penangkapan dengan pukat cincin dan pancing tegak selalu mengaksesnya. Lokasi penangkapan dengan jaring insang hanyut yang cenderung terkonsentrasi di perairan dekat pantai.
5.5.1 DPI musim Barat Hasil identifikasi secara musiman menunjukkan sedikitnya terdapat 132 lokasi (titik) DPI yang selalu diakses nelayan Maluku Tengah pada saat musim Barat (Tabel 12). Sebanyak 81,82% lokasi yang teridentifikasi diakses nelayan pada titik rumpon untuk kepentingan penangkapan ikan dengan unit penangkapan pukat cincin dan pancing tegak, sedangkan 18,18% lainnya diakses untuk unit penangkapan bagan perahu.
126
Tabel 12 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim Barat
No.
Kawasan Pengembangan Perikanan
Rumpon
%
Bagan
1 2 3 4 5 6 7 8
Pulau Haruku 3 2,78 1 Salahutu 2 1,85 5 Saparua 4 3,70 Nusalaut 2 1,85 Kota Masohi 2 1,85 5 Amahai 2 1,85 5 Tehoru 24 22,22 Leihitu 69 63,89 8 Total 108 81,82 24 Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
%
Jumlah
%
4,17 20,83 0,00 0,00 20,83 20,83 0,00 33,33 18,18
4 7 4 2 7 7 24 77 132
3,03 5,30 3,03 1,52 5,30 5,30 18,18 58,33 100,00
Distribusinya secara spasial menunjukkan kawasan Leihitu dan Tehoru memiliki jumlah lokasi penangkapan paling banyak, 77 dan 24 titik. Kontribusi terbanyak untuk kedua kawasan perikanan adalah dari akses nelayan tangkap terhadap lokasi rumpon, masing-masing 63,89% dan 22,22%. Pemetaan 132 lokasi DPI pada musim Barat, menunjukkan konsentrasi akses DPI pada bagian Utara dan Timur setiap kawasan. Namun demikian, untuk kawasan Salahutu, DPI pada musim ini terdistribusi di bagian Selatan kawasan, sementara untuk kawasan Amahai dan Kota Masohi, DPI terkonsentrasi pada bagian Barat dan Selatan kawasan (Gambar 19). Kondisi yang ditemukan pada kawasan Salahutu,
Amahai dan Kota
Masohi, memiliki perbedaan posisi geografis dibandingkan dengan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan DPI pada ketiga kawasan ini terkonsentrasi pada perairan Teluk Baguala untuk kawasan Salahutu, serta Teluk Elpaputih untuk kawasan Amahai dan Kota Masohi. Eksistensi perairan Teluk pada ketiga kawasan ini memberikan perlindungan terhadap DPI dari pengaruh angin dan ombak yang bergerak dari arah Barat perairan Maluku Tengah bagian Selatan. Nelayan di Maluku Tengah cenderung memilih perairan yang agak tenang untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan, terutama untuk kelompok ikan pelagis kecil.
Gambar 19 Peta daerah penangkapan ikan pada musim barat di perairan Maluku Tengah bagian selatan
127
128
Berbagai penelitian tentang terkonsentrasinya kegiatan penangkapan pada perairan teluk menerangkan bahwa hal ini terkondisikan karena adanya produktivitas perairan yang sangat baik (Browder et al., 2005; Nurdin et al., 2012), sehingga spesies-spesies tertentu dari kelompok pelagis kecil cenderung tertangkap pada perairan seperti ini (Lanz et al., 2008; Nurdin et al., 2012). 5.5.2 DPI musim peralihan Barat-Timur Hasil identifikasi untuk musim Peralihan Barat-Timur menghasilkan 86 lokasi (titik) DPI yang selalu diakses nelayan Maluku Tengah (Tabel 13). Sebanyak 88,37% lokasi diakses nelayan pada titik rumpon untuk penangkapan ikan dengan unit penangkapan pukat cincin dan pancing tegak, sedangkan 11,63% lainnya diakses nelayan untuk kegiatan penangkapan dengan bagan perahu.
Tabel 13 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim Peralihan Barat-Timur
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kawasan Pengembangan Perikanan Haruku Salahutu Saparua Nusalaut Kota Masohi Amahai Tehoru Leihitu Total
Rumpon
%
Bagan
%
Jumlah
%
3 2 2 1 2 2 21 43 76
3,95 2,63 2,63 1,32 2,63 2,63 27,63 56,58 88,37
1 3
10,00 30,00 0,00 0,00 30,00 10,00 0,00 20,00 11,63
4 5 2 1 5 3 21 45 86
4,65 5,81 2,33 1,16 5,81 3,49 24,42 52,33 100,00
3 1 2 10
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
Jika dibandingkan distribusi jumlah lokasi DPI dengan musim Barat, telah terjadi penurunan. Hal ini disebabkan kondisi perairan yang cenderung berombak pada perairan bagian Selatan. Kondisi inilah yang menyebabkan kegiatan penangkapan ikan tidak dilakukan di perairan Selatan Kabupaten Maluku Tengah. Distribusi DPI yang dipetakan masih menggambarkan bahwa kawasan Leihitu dan Tehoru memiliki akses tertinggi terhadap lokasi penangkapan ikan
129
pelagis kecil, masing-masing 45 dan 21 titik. Kontribusi nilai akses yang tinggi adalah terhadap lokasi rumpon, masing-masing 56,58% dan 27,63%. Pemetaan 86 titik DPI pada musim Peralihan Barat-Timur menunjukkan terkonsentrasinya akses nelayan pada kawasan tertentu. Perairan Selat Seram merupakan basis konsentrasi akses nelayan terhadap DPI. Kelompok DPI lainnya terkonsentrasi di Teluk Elpaputih bagian Timur, umumnya diakses oleh nelayan dari Leihitu dan Tehoru serta Kota Masohi dan Amahai (Gambar 20). DPI pada kawasan Leihitu, Tehoru, Kota Masohi dan Amahai tidak mengelompok. Untuk Kota Masohi dan Amahai, DPI masih terkonsentrasi di Teluk Elpaputih. Hasil yang didapatkan pada musim Peralihan Barat-Timur dan musim Barat sebagaimana dikemukakan di atas, masih memberikan justifikasi tentang kuatnya peran perairan Teluk dan Selat sebagai basis-basis kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku Tengah. Hasil yang ditemukan pada kedua musim membuktikan bahwa pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah, memiliki kekuatan pada perikanan Teluk dan Selat. Namun demikian, eksistensi DPI yang mulai menyebar dan tidak terkonsentrasi merupakan dasar penting yang harus dicernati terkait dengan strategi nelayan untuk mengaksesnya. Pola distribusi DPI yang terkonsentrasi maupun menyebar pada perairan tertentu merupakan informasi penting bagi efisiensi usaha perikanan, terutama dalam penggunaan bahan bakar. Strategi pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah dapat dilakukan dengan berbasis pada potensi DPI lokal, sehingga pengembangannya tidak harus mengikuti trend, baik karena kebijakan pusat atau pun karena naiknya harga komoditas perikanan tertentu.
5.5.3 DPI musim Timur Hasil identifikasi secara musiman menunjukkan sedikitnya 144 lokasi (titik) DPI yang selalu diakses nelayan Maluku Tengah di musim Timur (Tabel 14). Distribusi lokasi penangkapan ikan yang diakses nelayan pada titik rumpon, untuk kepentingan penangkapan ikan dengan pukat cincin dan pancing tegak. Perhitungan proporsinya menunjukkan distribusi titik rumpon sebanyak 86,11%, dan 13,89% lainnya untuk unit penangkapan bagan perahu.
130
Gambar 20 Peta daerah penangkapan ikan pada musim peralihan barat-timur di perairan Maluku Tengah bagian selatan
131
Tabel 14 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim Timur
No.
Kawasan Pengembangan Perikanan
Rumpon
%
Bagan
1 2 3 4 5 6 7 8
Haruku 3 2,42 5 Salahutu 2 1,61 4 Saparua 5 4,03 Nusalaut 4 3,23 Kota Masohi 11 8,87 1 Amahai 20 16,13 2 Tehoru 7 5,65 Leihitu 72 58,06 8 Total 124 86,11 20 Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
%
Jumlah
%
25,00 20,00 0,00 0,00 5,00 10,00 0,00 40,00 13,89
8 6 5 4 12 22 7 80 144
5,56 4,17 3,47 2,78 8,33 15,28 4,86 55,56 100,00
Distribusi secara spasial menunjukkan kawasan Leihitu, Amahai dan Kota Masohi memiliki jumlah lokasi penangkapan ikan paling banyak, masing-masing 80, 22 dan 12 titik. Kontribusi jumlah lokasi penangkapan ikan terbanyak untuk ketiga kawasan masih didominasi oleh akses nelayan tangkap terhadap lokasi rumpon, masing-masing 58,06%, 16,13% dan 8,87%. Distribusi lokasi penangkapan ikan di Amahai dan Kota Masohi sulit dipisahkan eksistensinya karena: (1) konsentrasi penangkapan ikan berada pada perairan Teluk Elpaputih yang merupakan satu satuan wilayah ekologis; dan (2) aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari kedua kawasan cenderung mengarah pada lokasi-lokasi penangkapan ikan yang sama. Secara integratif, keadaan ini menunjukkan adanya kekuatan dalam pengelolaan perikanan di perairan Teluk. Namun demikian, keadaan ini pun berpotensi menimbulkan konflik apabila tidak dilakukan pengelolaan perikanan pelagis kecil di kedua kawasan secara integratif. Hasil lapangan membuktikan bahwa konflik pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Teluk ini berpotensi terjadi, terutama antara: (1) nelayan pukat cincin dengan nelayan bagan; dan (2) antara nelayan dari kawasan Kota Masohi dan Ahamai. Daerah penangkapan ikan dianggap masyarakat nelayan sebagai kawasan milik bersama dalam operasi penangkapan ikan, sehingga dapat dieksploitasi dan dikelola secara komunal (Ruddle, 1987, 1989; Salz, 1998). Oleh sebab itu,
132
dibutuhkan dua prinsip dasar yang mendorong sistem manajemen konflik yaitu pengelolaan kepemilikan laut dan kepemilikan komunal (Salz, 1998). Kedua sistem pengelolaan konflik itu bergantung pada fungsi teritorial manusia. Fungsi teritorial meliputi kelas perilaku lingkungan transaksi yang berurusan dengan masalah identitas pribadi dan kelompok, kekompakan, kontrol, akses, dan manajemen ekologi (Taylor, 1988). Pandangan-pandangan ini berkaitan dengan adanya kebutuhan dan pentingnya penguatan pengetahuan nelayan terhadap DPI. Hal ini diperuntukkan dalam mencapai efisisensi biaya dan pemanfaatan berkelanjutan, terutama yang didasarkan
pada
pengembangan
kawasan
perikanan
yang
berdekatan
(neighbourhood area development). Pemetaan yang dilakukan 144 lokasi DPI pada musim Timur, menggambarkan akses nelayan terhadap DPI menyebar ke perairan Selatan Pulau Maluku Tengah (Gambar 21). Perairan Selat Seram masih menjadi konsentrasi nelayan untuk aktivitas penangkapan. Di sisi lain, penyebarannya yang lebih luas terjadi pada perairan Selatan Amahai dan Tehoru, serta perairan Selatan Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Saparua dan Nusalaut). Khusus untuk bagian perairan Teluk Elpaputih, nelayan dari kawasan Kota Masohi dan Amahai masih memanfaatkannya sebagai DPI. Namun demikian, kegiatan penangkapan pada perairan ini terfokus pada perikanan bagan perahu. Kondisi perairan yang akomodatif, kurangnya ombak dan arus yang kuat membuka peluang bagi nelayan memperluas lokasi tujuan penangkapan, sehingga mendukungan bagi peningkatan pendapatan nelayan selama musim Timur.
5.5.4 DPI musim peralihan Timur-Barat Identifikasi
yang
dilakukan
untuk
musim
Peraihan
Timur-Barat
menghasilkan 154 lokasi (titik) DPI yang selalu diakses nelayan Maluku Tengah pada musim ini (Tabel 15). Sebanyak 90,91% lokasi yang teridentifikasi diakses nelayan pada titik rumpon dan 9,09% lokasi lainnya diakses untuk kegiatan penangkapan ikan dengan bagan perahu.
Gambar 21 Peta daerah penangkapan ikan pada musim timur di perairan Maluku Tengah bagian Selatan
133
134
Tabel 15 Distribusi jumlah lokasi (titik) penangkapan yang selalu diakses tiap kawasan pengembangan perikanan pada musim Peralihan Timur-Barat
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kawasan Pengembangan Perikanan
Rumpon
%
Bagan
Haruku 3 2,14 5 Salahutu 2 1,43 1 Saparua 9 6,43 Nusalaut 6 4,29 Kota Masohi 13 9,29 3 Amahai 22 15,71 3 Tehoru 16 11,43 Leihitu 69 49,29 2 Total 140 90,91 14 Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
%
Jumlah
%
35,71 7,14 0,00 0,00 21,43 21,43 0,00 14,29 9,09
8 3 9 6 16 25 16 71 154
5,19 1,95 5,84 3,90 10,39 16,23 10,39 46,10 100,00
Jumlah titik DPI pada musim ini lebih banyak dibandingkan ketiga musim lainnya, oleh sebab itu Peralihan Timur-Barat merupakan musim puncak penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku Tengah. Distribusi DPI menyebar meluas di seluruh perairan dan dapat diakses nelayan dari seluruh kawasan. Namun demikian, distribusi DPI yang diakses secara parsial oleh nelayan di masing-masing kawasan menunjukkan adanya perbedaan. Empat kawasan utama yang memiliki jumlah akses ke DPI yang paling tinggi adalah Leihitu (71 lokasi), Amahai (25 lokasi) serta Kota Masohi dan Tehoru masing-masing 16 lokasi. Kontribusi nilai akses yang tinggi adalah terhadap lokasi rumpon untuk Lehitu (49,29%) dan Tehoru (11,43), sedangkan akses yang tinggi untuk lokasi penangkapan dengan unit penangkapan bagan perahu adalah Kota Masohi dan Amahai, masing-masing 21,43%. Pada musim Peralihan Timur-Barat, distribusi DPI relatif menyebar luas dan mendapat akses yang seimbang untuk nelayan pukat cincin, pancing tegak dan bagan perahu. Hal ini tidak hanya ditemukan pada keempat kawasan, namun juga di empat kawasan lainnya, yakni Salahutu, Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Hasil pemetaan untuk 154 lokasi DPI pada musim Peralihan Timur- Barat, memberikan gambaran bahwa akses nelayan terhadap DPI tidak lagi terkonsentrasi pada kawasan tertentu. Dalam musim ini, seluruh perairan diakses oleh nelayan baik, perairan Teluk, Selat dan Laut Dalam (Gambar 22).
Gambar 22 Peta daerah penangkapan ikan pada musim peralihan timur-barat di perairan Maluku Tengah bagian Selatan
135
136
Secara holistik, gambaran distribusi DPI di perairan Maluku Tengah menggambarkan bahwa musim Peralihan Timur Barat merupakan musim puncak untuk perikanan pelagis kecil. Pada musim Timur dan Barat aktivitas penangkapan yang dilakukan berada pada kategori sedang. Di sisi lain, musim peralihan Barat-Timur merupakan musim yang kurang dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengakses DPI. Perubahan musiman pada akses nelayan ke DPI untuk kegiatan penangkapan ikan telah dikemukakan oleh Abdullah et al. (2011), dimana akses nelayan ke DPI berbeda untuk setiap musim. Perbedaan disribusi DPI yang terjadi setiap musim penting dicermati untuk membantu nelayan dalam melakukan pilihan yang efektif dalam menentukan DPI yang menjadi tujuannya secara musiman. Hutton et al. (2004) mengembangkan pemodelan pilihan nelayan terhadap DPI untuk perikanan multispesies memberikan menerangkan pentingnya informasi DPI secara musiman bagi nelayan untuk mempermudah mereka dalam membuat keputusan terhadap pilihan DPI. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nelayan akan berhasilkan menekan upaya penangkapan dan mencapai efisiensi pembiayaan oprasional penangkapan ketika mereka mengetahui tentang kepastian DPI. Implikasi bagi Maluku Tengah adalah bahwa nelayan hanya berpegang pada pengetahuan tradisional mereka tentang DPI. Namun demikian, kondisi ini tidak menjamin adanya efisiensi upaya tangkap karena kecenderungan pergeseran DPI yang terjadi dewasa ini. Oleh sebab itu, penguatan tentang informasi DPI di tingkat nelayan menjadi kebutuhan yang harus difasilitasi.
5.6 Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Distribusi Spasial Pengumpulan data stok ikan pelagis kecil dengan menggunakan unit purse seiner berukuran P x L x D = 21,0 x 2,8 x 0,8 m dalam dua waktu pengamatan ditampilkan dalam bentuk echogram. Hasil pendeteksian kawanan ikan ini diekspresikan dalam bentuk gambar dengan menggunakan perangkat lunak Visual Acquisition dan Visual Analyzer untuk mengestimasi kepadatan ikan dari hasil echo integration (BioSonic Inc., 2004), kemudian dijalankan dengan unit laptop Panasonic Tough Book, selanjutnya menyimpan data serta hasil analisa. Contoh hasil pendeteksian dalam bentuk echogram, dinyatakan pada Gambar 23– 26.
137
Gambar 23 menunjukkan ikan pelagis di perairan Selat Seram dalam bentuk kawanan terekam dalam kelompok yang besar pada kedalaman antara 20 – 50 meter dengan ping number antara 340 – 600, dan sebagian kecil pada kedalaman 15 – 30 meter, dengan ping number antara 300 – 320. Hasil rekaman dalam bentuk echogram untuk perairan Selatan Pulau Haruku (Gambar 24), kawanan ikan pelagis mengelompok dalam ukuran sedang pada kedalaman 20 – 45 meter dengan ping number antara 470 – 520. Untuk perairan Timur Pulau Saparua (Gambar 25), kawanan ikan pelagis berada pada kelompok-kelompok kecil di kedalaman 15 – 20 meter dengan ping number antara 120 – 140, kedalaman 10 – 20 meter dengan ping number sekitar 160, dan kedalaman 30 – 45 meter dengan ping number antara antara 325 – 400. Di sisi lain, hasil perekaman pada perairan Utara Pulau Saparua menunjukkan konsentrasi kawanan ikan dalam kelompok yang kecil pada satu lokasi yakni pada kedalam 20 – 40 meter, dengan ping number sekitar 220 – 225 (Gambar 26).
Gambar 23 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Selat Seram
138
Gambar 24 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Selatan Pulau Haruku
Gambar 25 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Timur Pulau Saparua
139
Gambar 26 Contoh echogram kelompok ikan pelagis di perairan Utara Pulau Saparua
Kehadiran kawanan ikan pelagis di perairan Maluku Tengah, baik Selat Seram, bagian Selatan Pulau Haruku, maupun bagian Timur dan Utara Pulau Saparua cenderung berada pada mix layer depth (MLD) dan sangat dekat dengan kedalaman termoklin seperti yang umumnya ditemukan pada perairan Laut Banda dan sekitarnya (±50 meter). Distribusinya kawanan ikan pada lapisan-lapisan kedalaman di perairan ini menunjukkan masih produktifnya perairan untuk mendukung eksistensi sumber daya ikan pelagis kecil. Sesuai dengan hasil rekaman tersebut, dipilih 152 titik echogram untuk pengambilan data bulan Oktober 2011 dan 234 titik echogram untuk pengambilan data bulan Pebruari 2012. Hasil perhitungan untuk bulan Oktober 2011 menunjukkan rata-rata nilai FPUA untuk ikan pelagis kecil sebesar 766.694 ikan/km2, sedangkan dalam bulan Pebruari 2012 nilai rata-rata FPUA sebesar 820.871 ikan/km2. Nilai rata-rata yang dihasilkan dari akumulasi nilai untuk kedua waktu pengambilan data menunjukkan FPUA untuk perairan Maluku Tengah mencapai 799.537 ikan/km2 (Lampiran 1 dan Tabel 16). Penggunaan rata-rata nilai berat ikan pelagis kecil 20 ekor per kg untuk menghitung rataan densitas ikan, menghasilkan distribusi nilai densitas ikan sesuai hasil pengukuran lapangan pada bulan Oktober 2011 sebesar 38,33 ton/km2 dan bulan Pebruari 2011 sebesar 41,04 ton/km2. Berdasarkan distribusinya pada
140
kedua waktu pengambilan data, maka nilai rata-rata yang dihasilkan sebagai akumulasinya menunjukkan nilai densitas ikan rata-rata untuk perairan Maluku Tengah mencapai 39,98 ton/km2. Tabel 16 Distribusi nilai parameter estimasi potensi ikan pelagis kecil di Perairan Maluku Tengah
No 1 2 3 4 5
Parameter Estimasi FPUA rata-rata Densitas ikan rata-rata Luas perairan Biomassa JTB
Satuan ikan/km2 ton/km2 km2 ton ton
Oktober 2011
Pebruari 2012
766.694 820.871 38,33 41,04 3.424,60 3.424,60 131.280,93 140.557,58 52.512,37 56.223,03
Maluku Tengah (Akumulasi) 799.537 39,98 3.424,60 136.698,60 54.761,84
Jika seluruh nilai densitas ikan yang terekam pada 386 echogram terpilih diekspresikan secara spasial, maka ditemukan adanya perbedaan kawasan konsentrasi densitas ikan pada perairan Maluku Tengah (Gambar 27). Hasil pemetaan menunjukkan konsentrasi densitas ikan pelagis kecil tertinggi di perairan Selatan Pulau Haruku dengan kisaran nilai di atas 45 ton/km2. Densitas ikan dengan kisaran nilai 20 – 30 ton/km2 terkonsentrasi di perairan Selatan Pulau Haruku, bagian Timur Pulau Nusalaut, serta bagian Selatan Amahai dan Tehoru. Distribusi densitas ikan pelagis kecil dengan kisaran nilai 10 – 25 ton/km2 merata di seluruh perairan Selatan Maluku Tengah, terutama perairan Selatan kawasan Pulau Haruku, bagian Timur Pulau Nusalaut, bagian Selatan Amahai dan Tehoru. Di sisi lain, distribusi konsentrasi densitas ikan pelagis kecil dengan nilai terendah (0 – 5 ton/km2) merata di seluruh perairan, khusus di perairan Utara Pulau Ambon dan Selat Seram. Distribusi densintas ikan pelagis kecil berdasarkan strata kedalaman menunjukkan adanya perbedaan antar setiap kawasan perairan (Lampiran 1): 1. Kawasan Selatan pulau Saparua dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 51,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 1 ton/km2, dengan kisaran 1,08 – 6,54 ton/km2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 2 – 11,99 meter;
141
2. Kawasan Utara perairan pulau Haruku dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 11,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan 1,43 ton/km2; 3. Kawasan Barat pulau Saparua dengan 15 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 51,99 – 81,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 0,3 ton/km2, dengan kisaran 0,37 – 0,44 ton/km2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 51,99 – 61,99 meter. 4. Kawasan perairan pulau Nusalaut dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 11,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan 1,39 ton/km2; 5. Kawasan Selatan pulau Haruku dengan 20 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 51,99 meter dan 121,99 – 141,99 memiliki rata-rata densitas ikan di atas 1 ton/km2, dengan kisaran 1,01 – 3,30 ton/km2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 11,99 – 21,99 meter. 6. Kawasan Utara pulau Saparua dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 61,99 – 91,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 0,4 ton/km2, dengan kisaran 0,40 – 0,49 ton/km2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 61,99 – 71,99 meter. 7. Kawasan Timur pulau Saparua dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 61,99 – 81,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 0,4 ton/km2, dengan kisaran 0,40 – 0,41 ton/km2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 61,99 – 71,99 meter. Hasil
ini
menunjukkan
bahwa
arahan
pengembangan
teknologi
penangkapan ikan pelagis kecil perlu diarahkan sesuai dengan strata kedalaman perairan yang memiliki densitas ikan pelagis yang tinggi. Rata-rata kedalaman perairan yang memiliki densitas ikan pelagis kecil yang tinggi antara 2 – 61,99 meter. Oleh sebab itu, kedalaman mata pancing atau alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring dapat diarahkan pada strata kedalaman ini. Terkonsentrasinya densitas ikan pelagis kecil pada beberapa kawasan perairan di Maluku Tengah memiliki hubungan yang kuat dengan posisi geografis dan topografi perairan. Umumnya densitas ikan dengan konsentrasi yang tinggi pada kawasan perairan yang memiliki perbedaan topografi yang cukup tajam.
Gambar 27 Peta distribusi kepadatan (densitas) ikan pada perairan Maluku Tengah bagian selatan
142
143
Kondisi tersebut diduga berhubungan dengan lokasi-lokasi terjadinya proses pengangkatan massa air akibat upwelling. Distribusi densitas ikan pelagis kecil akan mengikuti pola dimana produktivitas perairan sangat baik. Sesuai nilai densitas ikan pelagis kecil rata-rata dan luasan perairan yang diamati (perairan Maluku Tengah bagian Selatan), maka perhitungan biomassa ikan ikan pelagis kecil di perairan ini untuk waktu pengukuran lapangan bulan Oktober 2011 menghasilkan total bimassa ikan sebesar 131.280,93 ton. Perhitungan untuk waktu pengukuran lapangan bulan Pebruari 2012 menghasilkan total biomassa ikan pelagis kecil sebesar 140.557,58 ton. Berdasarkan distribusi nilai untuk kedua waktu pengukuran lapangan, dihitung nilai biomassa ikan pelagis kecil total di perairan Maluku Tengah sebesar 136.698,60 ton. Informasi hasil perhitungan biomassa ikan pelagis kecil di perairan Maluku Tengah membantu dalam mengestimasi jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB). Dengan pendekatan ini, nilai JTB ikan pelagis kecil untuk waktu pengambilan data bulan Oktober 2011 sebesar 52.512,37 ton, sedangkan untuk waktu pengambilan data Pebruari 2012 menghasilkan nilai JTB ikan pelagis kecil sebesar 56.223,03 ton. Akumulasi
untuk
kedua
waktu
pengamatan
secara
menyeluruh
menunjukkan bahwa nilai JTB ikan pelagis kecil pada perairan Maluku Tengah mencapai 54.761,84 ton. Nilai ini merupakan nilai yang menjadi dasar bagi batasan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Maluku. Dengan demikian, secara tahunan nilai jumlah tangkapan untuk ikan pelagis kecil di perairan Maluku harus dibatasi pada nilai 54.761,84 ton/tahun.
5.7 Implikasi Dinamika Sub Sistem Alam Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan Dinamika akses DPI didasarkan pada jarak fisik (mil laut) setiap basis perikanan tangkap pelagis kecil di wilayah ini. Ekspresi akses ini diperuntukan dalam mengkaji dinamika spasial-temporal yang ditunjukkan oleh setiap kawasan dalam menjangkau DPI. Seluruh kawasan memiliki jarak akses yang berbeda sepanjang tahun dan akses berbeda setiap musim.
144
Dinamika akses DPI secara spasial menunjukkan kawasan Kota Masohi memiliki pola akses yang jarang dan agak sempit. Konsentrasi DPI di perairan Teluk Elpaputih, dan sebagian kecil titik DPI terdistribusi di bagian luar perairan teluk sampai dengan perairan Selatan Pulau Seram, perbatasan kawasan Amahai dan Tehoru (Gambar 28a). Pola spasial di kawasan Amahai menggambarkan akses yang luas dan agak padat, baik pada perairan Teluk maupun di luar Teluk sampai dengan perairan terbuka. Konsentrasi tinggi pada kawasan teluk maupun perairan Selatan Pulau Seram, sampai di perairan Selatan Tehoru (Gambar 28b). Dinamika spasial untuk kedua kawasan ini terkait dengan eksistensi DPI yang berbasis pada alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan yang beroperasi. Untuk perairan teluk umumnya didominasi oleh alat tangkap bagan apung, sedangkan perairan di luar teluk sampai laut dalam merupakan lokasi-lokasi penebaran rumpon. Penempatan alat tangkap bagan apung di perairan teluk terkait dengan akses DPI yang terlindung dari pengaruh ombak dan arus yang keras. Di sisi lain penebaran rumpon pada perairan di luar teluk sampai perairan terbuka terkait dengan dinamika DPI yang diakses untuk kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pukat cincin dan pancing tegak. Hariyanto et al. (2008) yang melakukan penelitian di perairan Lampung Selatan menemukan perairan teluk merupakan basis DPI bagi nelayan perikanan pelagis kecil. Nelayan memiliki akses langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan Teluk Lampung. Perairan yang dangkal dan terlindung memungkinkan nelayan dengan perahu tanpa motor melakukan penangkapan ikan. Eksistensi rumpon sebagai DPI dijelaskan oleh Simbolon (2004) karena fungsi rumpon untuk memikat dan mengkonsentrasikan ikan, baik ikan yang berada di sekitar lokasi pemasangan rumpon maupun yang sedang beruaya. Dengan demikian, ikan berada lama di sekitar lokasi pemasangan rumpon, dan penangkapan ikan dapat dilakukan dengan lebih mudah, efektif dan efisien. Saparua dan Pulau Haruku merupakan kawasan pulau kecil yang masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Sesuai distribusi produksi ikan pelagis kecil, keduanya berkontribusi cukup baik bagi Maluku Tengah.
(b) Kawasan Amahai
Gambar 28 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Kota Masohi dan Amahai
(a) Kawasan Kota Masohi
145
146
Kawasan Saparua dengan dinamika akses DPI secara spasial menunjukkan pola akses yang jarang, namun memiliki penyebaran yang agak luas. Kawasan ini memiliki lima pola konsentrasi DPI: (1) perairan teluk yang terpusat di perairan Teluk Tuhaha; (2) perairan selat yang terpusat di perairan Selat Saparua; (3) perairan dangkal di bagian Timur Pulau Saparua; (4) perairan selatan teluk Elpaputih; dan (5) perairan terbuka yang mengarah ke Laut Banda (Gambar 29a). Kawasan Pulau Haruku memiliki pola akses yang mirip dengan Saparua, perairan selat, teluk, laut dangkal dan laut dalam menjadi basis DPI. Sesuai pola akses spasialnya, konsentrasi DPI menunjukkan empat pola: (1) perairan Selat terpusat di Selat Haruku dan Selat Seram; (2) perairan Teluk di sekitar Teluk Baguala; (3) perairan dangkal di antara Pulau Seram dan Pulau Haruku; serta (4) perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Banda (Gambar 29b). Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini terkait dengan eksistensi perairan sekitar kawasan yang tidak terlalu luas. Pola spasial yang ditunjukkan pada kawasan Saparua menunjukkan adanya akses spasial yang luas dan beragam. Beragamnya akses spasial ini sangat dipengaruhi oleh eksistensi perairan sekitar kawasan yang tidak luas sehingga nelayan berupaya mengakses DPI pada perairan yang lebih jauh. Selain perairan teluk, selat dan dangkal, perairan terbuka merupakan variasi spasial dari DPI untuk perikanan pelagis kecil. Chen et al. (2010) menyatakan perairan terbuka merupakan DPI alternatif untuk perikanan pelagis kecil nelayan tradisional dan semi moderen. Variasi distribusi spasial DPI bagi perikanan pelagis kecil di perairan terbuka terkonsentrasi pada perairan Selatan Laut Kuning dan perairan Utara Laut China Selatan. Kawasan Tehoru dan Nusalaut merupakan kawasan-kawasan yang memiliki posisi geografis yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka. Distribusi DPI pelagis kecil mengikuti pola penyebaran rumpon, sementara bagan apung sama sekali tidak berkembang di kedua kawasan, terutama di Nusalaut. Kawasan Tehoru memiliki dinamika akses DPI cukup dekat dan terkonsentrasi pada perairan sekitar Teluk Teluti. Terkonsentrasinya DPI di perairan ini disebabkan karena posisi kawasan yang berhadapan langsung dengan perairan Laut Banda yang cukup terbuka. Pola akses yang cukup jarang ini tidak
147
memiliki penyebaran luas, oleh sebab itu pola menunjukkan konsentrasi DPI perairan teluk yang agak terbuka (Gambar 30a). Berbeda dengan kawasan Tehoru, Nusalaut merupakan kawasan dengan luasan perairan yang sempit, sehingga memiliki pola akses yang padat dan menyebar luas. Eksistensinya sebagai kawasan pulau kecil dengan perairan sempit menjadi penyebab meluasnya DPI yang diakses. Sesuai dengan pola akses spasialnya, konsentrasi DPI menunjukkan empat pola: (1) perairan yang dekat dengan pulau, umumnya terkonsentrasi di sekitar pulau Nusalaut dan Saparua; (2) perairan dangkal di bagian Selatan kawaan Amahai;; (3) perairan terbuka di bagian Timur; serta (4) perairan terbuka di bagian Selatan yang berhadapan langsung dengan Laut Banda (Gambar 30b). Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini menunjukkan adanya pola yang berbeda, walaupun keduanya berhadapan langsung dengan perairan terbuka. Kawasan Tehoru dengan DPI yang terkonsentrasi di perairan teluk menunjukkan masih rendahnya akses, sedangkan kawasan Nusalaut dengan DPI yang padat dan menyebar luas menunjukkan tingginya akses. Kondisi tersebut sangat mungkin terjadi karena pola ketergantungan unit penangkapan ikan pelagis kecil terhadap DPI. Disamping itu, tingkat jelajah unit penangkapan sangat mempengaruhi aksesibilitas terhadap DPI. Kedua faktor ini menjadi penting untuk dicermati terkait dengan upaya pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis akses DPI. Dua kawasan perikanan pelagis kecil lainnya yang terdapat di pulau Ambon adalah Leihitu dan Salahutu. Kedua kawasan ini merupakan dua dari kawasan utama di Maluku Tengah yang memiliki produktivitas yang tinggi dalam perikanan pelagis kecil. Kedekatan kawasan ini dengan pusat wilayah Provinsi menyebabkan posisinya yang kuat untuk kepentingan pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis kawasan di wilayah Selatan Maluku Tengah. Kawasan Leihitu memiliki dinamika akses DPI dengan pola yang padat dan terpusat pada perairan Utara Pulau Ambon. Walaupun terkosentrasi pada perairan yang sempit, namun kawasan ini memiliki intensitas yang tinggi dalam mengakses DPI. Sesuai dengan akses pola ini, kawasan ini memiliki konsentrasi DPI utama perairan dangkal di bagian Utara Pulau Ambon (Gambar 31a).
148
(a) Kawasan Saparua
(b) Kawasan Pulau Haruku
Gambar 29 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Saparua dan Haruku
(a) Kawasan Tehoru
Gambar 30 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Tehoru dan Nusalaut
(b) Kawasan Nusalaut
149
150
Berbeda dengan Leihitu, kawasan Salahutu memiliki pola konsentrasi padat dan menyebar jarang. Terdapat tiga pola konsentrasi DPI: (1) perairan Teluk Haruku dengan pola terpusat padat; (2) perairan Teluk Baguala dengan pola menyebar jarang; serta (3) perairan dangkal di antara Pulau Seram dan Pulau Haruku dengan pola menyebar jarang (Gambar 31b). Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini terkait dengan eksistensi perairan sekitar kawasan yang tidak terlalu luas. Pola spasial yang terjadi di kawasan Lehitu menunjukkan adanya akses apasial yang sempit. Sempitnya akses spasial ini dipengaruhi oleh eksistensi perairan yang cukup produktif sepanjang tahun terkait dengan produksi yang dihasilkan. Pola akses spasial yang terjadi di kawasan Salahutu menunjukkan adanya akses spasial yang sedikit lebih luas. Esksistensi perairan yang sempit untuk kawasan ini menyebabkan adanya upaya untuk menjangkau DPI yang lebih jauh. Namun demikian, pola ini menunjukkan bahwa akses yang berkembang masih menyebar dengan tingkat kontrasi DPI yang jarang. Seluruh hasil analisis terhadap dinamika spasial akses DPI ini menerangkan tentang adanya dinamika yang berbeda untuk tiap kawasan. Pola yang terbentuk ada yang padat atau jarang, menyebar luas atau sempit, dan alokasi perairan teluk, selat, dangkal dan terbuka. Dinamika akses DPI secara temporal ditunjukkan secara grafis (Gambar 32) sesuai dengan distribusi jarak DPI musiman dari setiap basis perikanan pelagis kecil (Lampiran 2). Sesuai dengan hasil perhitungan akses berbasis jarak fisik untuk setiap DPI, kawasan yang tidak mengakses DPI di musim Timur adalah Tehoru. Hal ini disebabkan posisinya yang agak terbuka, dan kondisi perairan saat itu menyebabkan nelayan sama sekali tidak mengakses DPI. Distribusi akses ke DPI, kawasan-kawasan di wilayah Selatan Maluku Tengah dapat dikelompokkan atas tiga tingkatan akses. Pertama, kawasan dengan tingkat akses DPI terdekat, dimana untuk: (1) musim Timur adalah Haruku dan Salahutu; (2) musim peralihan Timur ke Barat adalah Salahutu, Kota Masohi dan Tehoru; (3) musim Barat hampir pada semua kawasan, kecuali Tehoru; serta (4) musim peralihan Barat ke Timur adalah kawasan Kota Masohi, Salahutu, Saparua, Amahai dan Haruku.
(a) Kawasan Leihitu
Gambar 31 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Leihitu dan Salahutu
(b) Kawasan Salahutu
151
Jarak fisik (mil laut)
152
Gambar 32
Musim Dinamika temporal akses DPI pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah
Kedua, kawasan dengan tingkat akses DPI sedang, dimana untuk: (1) musim Timur adalah Leihitu, Saparua dan Amahai; (2) musim peralihan Timur ke Barat adalah Saparua, Leihitu dan Haruku; (3) musim Barat pada kawasan Tehoru; serta (4) musim peralihan Barat ke Timur adalah Tehoru. Ketiga, kawasan yang tingkat akses DPI-nya jauh, dimana untuk: (1) musim Timur adalah Musalaut dan Kota Masohi; (2) musim peralihan Timur ke Barat adalah Kota Masohi dan Amahai; (3) musim Barat tidak ada kawasan yang memiliki akses terjauh; serta (4) musim peralihan Barat ke Timur adalah Amahai dan Leihitu. Akses terdekat umumnya terjadi di musim Barat dan peralihan Barat ke Timur. Akses sedang dan terjauh terkonsentrasi pada musim Timur dan peralihan Timur ke Barat. Musim Barat dan peralihan Barat ke Timur merupakan musimmusim dimana peluang nelayan untuk mengeluarkan biaya operasi semakin kecil. Di sisi lain, musim Timur dan peralihan Timur ke Barat merupakan musim-musim dimana nelayan berpeluang mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Studi Forcada et al. (2009) tentang struktur dan dinamika spasial-temporal perikanan artisanal menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aksesibilitas terhadap DPI, yaitu: musim, eksistensi armada penangkapan, ikan tujuan tangkap dan pilihan nelayan terhadap usaha penangkapan secara musiman. Terkait dengan dinamika akses terhadap DPI pada wilayah penelitian, dari empat
153
faktor tersebut, dua di antaranya yang berkaitan dengan aksesibilitas terhadap DPI, yaitu: musim dan eksistensi armada yang dikembangkan oleh nelayan. Hutton et al. (2004) menyatakan bahwa masalah kompleksitas spasial seringkali tidak dijadikan dasar dalam perencanaan kawasan perikanan. Distribusi usaha penangkapan diasumsikan akan selalu bergerak mencari DPI yang terbaik (Maury dan Gascuel, 1999) atau dengan tujuan mencapai tingkat tangkapan terbesar. Dalam konteks ini, faktor jarak atau akses dari basis penangkapan penting diperhatikan dengan tujuan mencapai keuntungan terbesar dengan alokasi biaya operasional yang efisien (Chakravorty dan Nemato, 2001). Nelayan memaksimalkan keuntungan per trip karena penyesuaian terhadap distribusi DPI dan/atau kelimpahan SDI per musim penangkapan. Pilihan ini mencerminkan upaya menekan biaya operasional, sekaligus mencapai pendapatan yang optimum. Oleh karena itu, pilihan nelayan terhadap DPI memberikan pengaruh bagi dinamika usaha penangkapan ikan (Chin dan Fu, 1999). Pemilihan DPI oleh nelayan dijelaskan secara kualitatif oleh Prellezo et al. (2009). Mereka mengembangkan model acak pemanfaatan SDI berbasis DPI untuk menetapkan faktor-faktor penentu yang paling penting dalam pemilihan DPI. Hasil yang ditemukan adalah terdapat empat variabel penentu yaitu: panjang kapal, hak penangkapan ikan, biaya bahan bakar dan risiko operasi penangkapan. Untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah ini, dinamika spasial sub sistem alam ditunjukkan dengan beberapa faktor penentu. Pertama, kompleksitas spasial-temporal disebabkan faktor musim, penggunaan teknologi penangkapan, jarak dan aksesibilitas terhadap DPI. Kedua, dinamika spasial-temporal menyebabkan nelayan berupaya mencapai efisiensi biaya operasional dan meningkatkan keuntungan optimum usaha. Ketiga, dinamika spasial berkonsekuensi pada peningkatan kapasitas upaya penangkapan melalui kualitas teknologi penangkapan ikan, namun disertai pendekatan efisiensi biaya operasional secara bersamaan dengan reduksi resiko usaha. Ketiga rumusan ini juga menunjukkan bahwa dinamika sub sistem alam dalam sistem perikanan tangkap memberikan implikasi bagi pentingnya pengembangan sistem informasi DPI bagi nelayan. Hal ini sangat dibutuhkan nelayan untuk menetapkan pilihan terhadap teknologi penangkapan ikan yang
154
dapat mereka kembangkan. Arti penting sistem informasi DPI juga pada upaya efisiensi dan efektivitas pembiayaan operasional penangkapan ikan. Dalam konteks pengembangan kawasan perikanan, kawasan-kawasan yang memiliki akses terdekat terhadap DPI seharusnya mendapat perhatian serius terkait dengan potensinya sebagai basis-basis perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Jika kawasan-kawasan dengan akses tertinggi disepakati sebagai basis perikanan pelagis kecil, maka arahan pengembangannya juga diperuntukan untuk memperkuat kapasitas kawasan baik dari aspek infrastruktur maupun sumber daya manusia perikanan yang ada dalam kawasan.
5.8 Kesimpulan Kajian dinamika sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Distribusi SPL dan klorofil-a secara musiman menunjukkan adanya variasi spasial-temporal, dan SPL bulan Maret dan Mei di perairan Selatan, bulan Juni sampai Agustus di perairan Tenggara serta konsentrasi klorofil-a di perairan teluk, selat dan bagian Selatan dalam bulan Mei sampai dengan Agustus merupakan aspek spasial-temporal yang berpeluang dimanfaatkan sebagai DPI pelagis kecil potensial; 2. Dinamika musiman DPI ditunjukkan dengan perubahan DPI potensial pada musim Barat dan peralihan Barat-Timur di perairan Leihitu dan Tehoru, musim Timur dan peralihan Timur Barat di perairan Leihitu dan Amahai; 3. Jumlah tangkapan SDI pelagis kecil yang diperbolehkan sesuai hasil estimasi dengan teknis akustik sebesar 54.761,84 dan konsentrasi densitas ikan tertinggi pada perairan Selatan kepulauan Lease, Utara Pulau Ambon dan Selat Seram; 4. Dinamika sub sistem alam berimplikasi pada perbedaan akses terhadap DPI, dengan akses temporal terdekat umumnya terjadi musim Barat dan peralihan Barat ke Timur, sedangkan akses sedang dan terjauh terkonsentrasi pada musim Timur dan peralihan Timur ke Barat menyebabkan adanya peluang yang berbeda antar kawasan dalam pengembangan basis-basis perikanan pelagis kecil.
155
6 DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM MANUSIA
6.1 Pendahuluan Sub sistem manusia yang digambarkan oleh Charles (2001) sebagai bagian dari sistem perikanan berkelanjutan, meliputi: nelayan, komponen pelaku usaha pasca produksi, RTP dan lingkungan sosial ekonomi. Oleh sebab itu, diberikan gambaran tentang struktur sub sistem manusia yang dikelompok dalam tiga kelompok besar, meliputi: (1) nelayan yang dibagi atas dua komponen penting, masing-masing nelayan dan kelompok nelayan serta teknologi penangkapan ikan; (2) masyarakat dan rumah tangganya; serta (3) pasca penangkapan ikan yang mencakup pengolahan, distribusi, pasar sampai dengan konsumen. Untuk mencermati sub sistem manusia dalam suatu sistem perikanan, khususnya perikanan tangkap, Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa komponen manusia dalam perikanan laut (perikanan tangkap) secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi nelayan rumah dan komunitasnya, pengolah (pascapanen) dan pedagang (pemasaran), serta lingkungan sosial ekonomi. Komponen-komponen tersebut, menurut mereka, saling berinteraksi dalam mempengaruhi pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. Dalam rangka pengembangan analisis tentang sub sistem manusia terkait dengan model pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil ini, maka dielaborasi komponen-komponen yang meliputi: nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP), alat penangkapan ikan pelagis kecil dan upaya penangkapan, produksi ikan pelagis kecil, pengolahan hasil perikanan pelagis kecil, distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil, konsumen serta aspek finansial. Hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam mengkaji dinamika sistem perikanan adalah dinamika nelayan dan komponen lainnya dalam sub sistem manusia (Charles, 2001). Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam memahami perubahan sub sistem manusia dalam skala waktu, harus didiskusikan mengenai dinamika pada upaya penangkapan, tenaga kerja perikanan, teknologi, armada perikanan, komunitas perikanan dan lingkungan sosial ekonomi. Pandangan Charles (2001) ini menjadi dasar dalam pengkajian dinamika sub sistem manusia untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis
156
kecil di Maluku. Oleh sebab itu, struktur yang dikaji dalam konteks dinamika sub sistem manusia pada perikanan pelagis kecil, meliputi dinamika: (1) nelayan dan rumah tangga perikanan; (2) alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan; (3) produksi ikan pelagis kecil; (4) produksi hasil pengolahan ikan pelagis kecil; dan (5) infrastruktur pengembangan perikanan pelagis kecil. Kelima komponen dinamika pada sub sistem manusia ini menjadi dasar untuk mengkaji dampak dinamika sistem perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Dampak yang dimaksudkan menunjukkan adanya implikasi bagi pengembangan kawasan perikanan, baik pada kapasitas dan upaya penangkapan standar, kelayakan usaha secara finansial, komoditas unggulan dan alat penangkapan ikan pilihan maupun alokasi spasial. Tujuan kajian dinamika sub sistem manusia pada sistem perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah, adalah: (1) menganalisis dinamika nelayan dan RTP; (2) menganalisis dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan; (3) menganalisis dinamika produksi ikan pelagis kecil; (4) menganalisis dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil; (5) menganalisis dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil; serta (6) menganalisis implikasi dinamika sub sistem manusia bagi pengembangan kawasan perikanan.
6.2 Metodologi 6.2.1 Analisis dinamika nelayan dan rumah tangga perikanan Analisis yang mengedepankan dinamika nelayan dan RTP menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi nelayan dan RTP di tiap kawasan, menggunakan formula: Ni
%Ni =
n
* 100% ; dan % RTPi =
∑N i =1
Ni adalah jumlah nelayan di kawasan ke-i dan
RTPi n
* 100%
∑ RTP i =1 n
∑ N merupakan
total jumlah
i =1
nelayan pada wilayah kajian. RTPi adalah jumlah rumah tangga perikanan di n
kawasan ke-i dan
∑ RTP merupakan total jumlah rumah tangga perikanan pada i =1
wilayah kajian.
157
Kedua, perhitungan tingkat pertumbuhan tahunan pada setiap kawasan, dengan formula: rN i =
(N t − N t −1 ) N t −1
* 100% ; dan rRTPi =
(RTPt − RTPt −1 ) RTPt −1
* 100%
rNi merupakan nilai pertumbuhan nelayan tahunan di kawasan ke-i, Nt dan Nt-1 merupakan jumlah nelayan tahun t dan t-1. rRTPi adalah nilai pertumbuhan tahunan rumah tangga perikanan pada kawasan ke-i, sedangkan RTPt dan RTPt-1 masing-masing merupakan jumlah rumah tangga perikanan pada tahun t dan t-1 (sebelum). Hasil pertumbuhan tahunan nelayan dan RTP diekspresikan secara grafis untuk menunjukkan dinamika tahunan di setiap kawasan.
6.2.2 Analisis dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan Analisis
dinamika API menggunakan
dua
pendekatan: pertama,
perhitungan nilai proporsi pada tiap kawasan, menggunakan formula:
% API i =
API i
* 100%
n
∑ API i =1
n
APIi adalah jumlah alat penangkapan ikan di kawasan ke-i dan
∑ API merupakan i =1
total jumlah alat penangkapan ikan pada wilayah kajian. Kedua, analisis grafis dilakukan dengan memetakan jumlah API selama 10
tahun, sejak tahun 2001 sampai dengan 2010. Analisis grafis diperuntukan untuk menggambarkan dinamika pada setiap jenis API melalui perkembangan jumlahnya secara tahunan pada setiap kawasan. Analisis dinamika upaya penangkapan ikan atau effort (E) menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi per setiap kawasan, dengan formula: % Ei =
Ei n
* 100%
∑E i =1
n
Ei adalah jumlah upaya tangkap di kawasan ke-i dan
∑ E merupakan total jumlah i =1
upaya tangkap pada wilayah kajian.
158
Kedua, analisis perkembangan upaya tangkap untuk setiap jenis API pada tiap kawasan yang dinyatakan secara grafis, dan perkembangan total jumlah upaya tangkap setiap jenis API yang dinyatakan secara tabular.
6.2.3 Analisis dinamika produksi ikan pelagis kecil Analisis dinamika volume produksi menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi per setiap kawasan, menggunakan formula: %VPi =
VPi n
* 100%
∑VP i =1
n
VPi adalah volume produksi ikan di kawasan ke-i dan
∑ VP merupakan
total
i =1
jumlah volume produksi pada wilayah kajian. Kedua, analisis perkembangan total jumlah volume produksi setiap jenis
API yang dinyatakan secara tabular dan perkembangan volume produksi untuk setiap jenis API pada tiap kawasan yang dinyatakan secara grafis.
6.2.4 Analisis dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil Analisis dinamika pengolahan diarahkan pada pelaku usaha dan produksinya, menggunakan tiga pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi pengolah dan rumah tangga pengolah di tiap kawasan, dengan formula: % Poi =
Poi n
* 100% ; dan % RTPoi =
∑ Po i =1
Poi adalah jumlah pengolah di kawasan ke-i dan
RTPoi n
* 100%
∑ RTPo i =1 n
∑ Po merupakan total jumlah i =1
pengolah pada wilayah kajian. RTPoi adalah jumlah rumah tangga pengolah di n
kawasan ke-i dan
∑ RTPo merupakan total jumlah rumah tangga pengolah pada i =1
wilayah kajian. Kedua, analisis grafis terhadap perkembangan volume dan nilai produksi
olahan ikan. Analisis ini menggunakan perkembangan data produksi dalam waktu lima tahun (2006 – 2010).
159
Ketiga, perhitungan nilai proporsi volume produksi olahan kering dan olahan asap, menggunakan formula: %VOki =
VOki
* 100% ; dan %VOai =
n
∑ VOk
VOai n
* 100%
∑VOa
i =1
i =1
n
VOki adalah volume olahan kering di kawasan ke-i dan
∑ VOk merupakan total i =1
oalhan kering pada wilayah kajian. VOai adalah volume olahan asap di kawasan n
ke-i dan
∑ V Oa merupakan total volume olahan asap pada wilayah kajian. i =1
Kedua, analisis grafis terhadap perkembangan volume produksi olahan
kering maupun asap. Analisis ini menggunakan perkembangan data volume asapan dalam waktu 10 tahun (2001 – 2010).
6.2.5 Analisis dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan Analisis dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan menggunakan tiga pendekatan: pertama, analisis grafis untuk menentukan distribusi spasial pelaku usaha distribusi dan pemasaran. Kedua, perhitungan kontribusi tiap kawasan terhadap tingkatan distribusi dan pemasaran, menggunakan formula: %VPsrl −i =
VPsrl −i
* 100% ; %VPsrap−i =
n
n
* 100% ; dan
∑ VPsr
∑ VPsr i =1
VPsrap−i
l
i =1
VPsre−i
%VPsre−i =
ap
* 100%
n
∑ VPsr i =1
e
VPsrl-i, VPsrap-i, dan VPsre-i masing-masing adalah volume pemasaran untuk
tingkatan pasar lokal (l), antar pulau (ap) dan ekspor (e) untuk kawasan ke-i dan n
n
∑ VPsrl , i =1
n
∑ VPsrap , dan i =1
∑ VPsr i =1
e
masing-masing merupakan total jumlah
volume pemasaran untuk tingkatan pasar lokal (l), antar pulau (ap) dan ekspor (e) pada wilayah kajian. Ketiga,
analisis
grafis
perkembangan
volume
pemasaran
untuk
menggambarkan dinamika pemasaran pada setiap kawasan. Analisis ini menggunakan distribusi data volume pemasaran selama 10 tahun (2001 – 2010).
160
6.2.6 Analisis implikasi dinamika sub sistem manusia bagi pengembangan kawasan perikanan 6.2.6.1 Standarisasi upaya tangkap Standarisasi alat tangkap dilakukan dengan pendekatan analisis sebagai berikut: (1) Perhitungan nilai FPI menggunakan persamaan: CPUEr = Catchr / Effortr , r = 1, 2, 3, ..., P (untuk alat tangkap yang distandarisasi) CPUEs = Catchs/Efforts , s = 1, 2, 3, ..., Q (alat tangkap standar) FPI = CPUEr/CPUEs , i = jenis alat tangkap ; 1, 2, 3, ..., K dimana: CPUEr = total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap r yang akan distandarisasi (ton/trip). CPUEs = total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap s yang dijadikan standar (ton/trip). FPIi = fishing power index dari alat tangkap i (yang distandarisasi dan alat tangkap standar) (2) Perhitungan total upaya standar menggunakan formula: E = ∑FPIi * Ei dimana: E = total effort atau jumlah upaya tangkap dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip) Ei = effort dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip)
6.2.6.2 Analisis potensi sumber daya ikan berbasis produksi Analisis potensi SDI berbasis produksi dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: (1) Analisis hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE), melalui persamaan: CPUEn = Catchn/En , n = tahun 1, 2, 3, . . ., dimana: CPUEn = total hasil tangkapan per upaya penangkapan yang telah distandarisasi dalam tahun n (ton/trip) Catchn = total hasil tangkapan dari seluruh alat dalam tahun n (ton) En = total effort atau jumlah upaya tangkap dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar dalam tahun n (trip).
161
(2) Estimasi alat tangkap standar dengan menggunakan model Schaefer berikut: CPUEn = α – βEn atau Catchn = αEn – βEn2 dimana : CPUEn = total hasil tangkapan per upaya setelah distandarisasi pada tahun n (ton/trip) En = total effort standar pada tahun n (trip/tahun) α dan β = konstanta dan koefisien parameter dari model Schaefer Pembentukan persamaan ini didahului dengan perhitungan nilai α dan β menggunakan metode regresi linear sederhana (Ordinary Least Square, OLS). (3) Estimasi effort optimum pada kondisi keseimbangan (equilibrium state), dengan menggunakan persamaan: Eopti = ½ α/β (4) Estimasi maximum sustainable yield (MSY) sebagai indikator potensi sumber daya perikanan tangkap berkelanjutan atau lestari melalui persamaan: MSY = ¼ α2/β (5) Estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan melalui persamaan: JTB = 0,8 * MSY
6.2.6.3 Analisis finansial Pada analisis ini, terdapat dua tahap analisis, yaitu: analisis usaha dan kelayakan usaha. Analisis usaha dianalisis dengan pendekatan: (1) Perhitungan Profit (keuntungan usaha): π = TR – TC dimana: π adalah keuntugan usaha, TR merupakan penerimaan total dan TC adalah biaya total. (2) Perhitungan Revenue-Cost Ratio (R/C, imbangan penerimaan – biaya): R/C =
TR TC
dimana: R/C adalah imbangan penerimaan - biaya, TR adalah penerimaan total dan TC adalah biaya total. (3) Perhitungan payback period (PP, waktu pengembalian investasi):
162
PP =
Investasi x1tahun Keuntungan
PP adalah waktu pengembalian investasi, Investasi adalah total nilai investasi usaha, dan keuntungan adalah nilai keuntungan usaha setelah dikurangi dengan biaya-biaya. Pendekatan analisis kelayakan finansial yang menggunakan kriteria investasi meliputi: (1) Perhitungan Net Present Value (NPV) n
NPV =
Bt − Ct
∑ (1 + i )
t
t =1
dimana: Bt Ct i n t
= = = = =
Benefit pada tahun ke- t Biaya pada tahun ke-t tingkat bunga (%) umur ekonomis 1,2,3......n
Kriteria: NPV > 0, usaha1ayak/menguntungkan NPV = 0, usaha mengembalikan sebesar biaya yang dikeluarkan NPV < 0, usaha tidak layak / rugi (2) Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) IRR = i1 +
NPV1 (i2 − i1 ) NPV1 − NPV2
dimana: il i2 NPV1 NPV2
= = = =
Tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif Tingkat bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV pada tingkat bunga i1 NPV pada tingkat bunga i2
Kriteria : Apabila IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang berlaku, maka usaha layak untuk dilaksanakan. (3)
Perhitungan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) n
Bt − Ct
∑ (1 + i )
t
Net B / C =
t =1 n
Ct − Bt
∑ (1 + i )
t
t =1
,
(untuk Bt-Ct > 0)
,
(untuk Bt-Ct < 0)
Kriteria : B/C > 1 = usaha layak untuk dilaksanakan (feasible) B/C = 1 = usaha layak dalam kondisi break event point B/C < 1 = usaha tidak layak untuk dilaksanakan
163
6.2.6.4 Analisis komoditas unggulan dan unit penangkapan ikan pilihan Analisis komoditas unggulan dan unit penangkapan ikan pilihan menggunakan pendekatan perhitungan fungsi nilai dengan formula sebagai berikut: V (x ) =
X − Xo Xi − Xo
V ( A) =
∑ Vi (Xi )
dimana: i = V(x) = X = Xo = V(A) = Vi (Xi) = Xi =
1,2,3, n Fungsi nilai dari variabel x; Variabel x; Nilai terburuk kriteria x; Fungsi nilai dari alternatif A; Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i Kriteria ke-i
6.2.6.5 Analisis alokasi spasial-optimal unit penangkapan ikan Analisis ini menggunakan pendekatan model linear goal programming (LGP), didukung dengan program LINDO. Sesuai distribusi data, maka persamaan optimasi yang dapat dibangun untuk setiap kawasan sebagai berikut: (1) Fungsi tujuan: Z = Min DB1 + DA1 + DB2 + DA3 (2) Fungsi kendala: a. Mengoptimalkan hasil tangkapan total sesuai jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB): ai1 X1 + ai2 X2 + ai3 X3 + ai4 X4 + DB1 - DA1 = b1 b. Mengoptimalkan jumlah tenaga kerja (nelayan) sesuai potensi tiap kawasan: aj1 X1 + aj2 X2 + aj3 X3 + aj4 X4 + DB2 >= b2 c. Mengoptimalkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM): ak1 X1 + ak2 X2 + ak3 X3 + ak4 X4 - DA3 <= b3 Z merupakan fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan, DB adalah deviasi bawah pembatas, DA adalah deviasi atas pembatas, aijk adalah parameter
164
fungsi pembatas pada variabel keputusan i (target produksi), j (tenaga kerja) dan k (penggunaan BBM), bijk merupakan kapasitas atau ketersediaan pembatas pada variabel keputusan i, j dan k, serta X1234 adalah empat jenis alat tangkap ikan pilihan, masing-masing: pukat cincin, bagan apung, pancing tegak dan jaring insang hanyut.
6.3 Dinamika Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009). Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Nelayan adalah orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan (Widodo dan Suadi, 2006). Nelayan disebut sebagai inti dari sub sistem manusia dalam perikanan, yang umumnya dijelaskan berdasarkan orang yang mengoperasikan armada untuk kepentingan penangkapan (Charles, 2001). Dinamika nelayan sebagaimana dijelaskan Charles (2001) adalah dinamika yang ditunjukkan oleh perubahannya dalam skala waktu. Penelitian ini menunjukkan dinamika nelayan berbasis pada perubahan waktu secara tahunan, dimulai dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Pandangan-pandangan tentang nelayan memberikan makna pentingnya nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. Pemanfaatan yang dilakukan oleh nelayan, diarahkan sumber daya ikan melalui kegiatan penangkapan ikan. Makna penting ini menjadi dasar untuk mencermati eksistensi nelayan pada wilayah Kabupaten Maluku Tengah, terutama yang berorientasi pada perikanan pelagis kecil. Distribusi nelayan secara spasial di Kabupaten Maluku Tengah menunjukkan adanya perbedaan jumlah per kawasan pengembangan perikanan. Secara total jumlah nelayan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah dalam Tahun 2010 mencapai 22.050 orang (Tabel 17).
165
Tabel 17 Distribusi nelayan dan RTP tangkap per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
1
Kawasan Pengembangan TNS
2
Saparua
2.939
13,33
1.554
14,57
3
Pulau Haruku
3.611
16,38
1.684
15,79
4
Leihitu
5.887
26,70
2.762
25,90
5
Salahutu
1.361
6,17
720
6,75
6
Amahai
2.369
10,74
1.460
13,69
7
Tehoru
4.248
19,27
1.500
14,07
8
Nusalaut
848
3,85
619
5,80
9
Kota Masohi
649
2,94
287
2,69
Total
22.050
100,00
10.664
100,00
% dari Maluku Tengah
76,42
No
Jumlah Nelayan (orang) 138
0,63
Jumlah RTP (rumah tangga) 78
0,73
%
%
75,47
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
Hasil pada Tabel 17 menggambarkan distribusi spasial jumlah nelayan terbanyak pada kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil, antara lain: Leihitu dan Tehoru, dengan distribusi nelayan rata-rata di atas 4.000 orang atau memberikan kontribusi tertinggi terhadap jumlah nelayan di atas 19%. Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi masyarakat untuk mata pencaharian nelayan terfokus pada kawasan-kawasan ini. Hal ini sesuai dengan dinamika kegiatan perikanan yang ditunjukkan melalui distribusi jumlah alat tangkap produksi perikanan pelagis kecil yang akan dibahas pada bagian berikut. Kawasan lain juga menunjukkan distribusi jumlah nelayan yang cukup banyak, kecuali TNS yang proporsi di bawah satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa TNS merupakan kawasan yang masyarakatnya memiliki orientasi yang kurang dibanding kawasan lain terhadap kegiatan perikanan tangkap, khususnya untuk perikanan pelagis kecil. KKP (2011) memberikan definisi RTP Tangkap sebagai rumah tangga yang melakukan kegiatan penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air dengan
tujuan
sebagian/seluruh
hasilnya
untuk
dijual.
Charles
(2001)
166
mempertegas pengertian tentang RTP adalah satuan dimana terdapat paling tidak satu anggota keluarga yang dilibatkan dalam kegiatan perikanan tangkap. Oleh sebab itu, dalam konteks ini RTP dipandang sebagai rumah tangga yang dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budanyanya memiliki sifat dan karkateristik yang unik, yang dipengaruhi oleh usaha perikanan tangkap yang mereka lakukan. Distribusi jumlah nelayan pada tiap kawasan pengembangan perikanan seimbang dengan distribusi jumlah RTP. Leihitu merupakan kawasan yang memiliki jumlah RTP terbanyak (2.762 KK), dan kawasan lain seperti Saparua, Haruku, Amahai dan Tehoru memberikan kontribusi yang cukup besar bagi jumlah RTP di wilayah Selatan Maluku Tengah, rata-rata di atas 13,5%. Di sisi lain, kontribusi RTP oleh kawasan TNS masih berada di bawah satu persen. Perbedaan jumlah nelayan dan RTP untuk tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil menunjukkan adanya perbedaan orientasi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku tengah terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan. Hasil identifikasi lapangan memberikan gambaran bahwa walaupun adanya kelompok masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang cukup besar jumlahnya, namun tidak diikuti dengan kegiatan ekonomi produktif dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang ada di sekitarnya. Masyarakat Maluku Tengah dengan kapasitas ekonomi yang rendah cenderung memilih kegiatan ekonomi produktif yang tidak membutuhkan investasi yang besar. Oleh sebab itu, masih tinggi ketergantungan mereka terhadap sumber daya darat yang tidak membutuhkan biaya pemanfaatan yang besar. Hasil perhitungan rata-rata perubahan yang dinyatakan dalam nilai pertumbuhan nelayan selama enam tahun ini, menunjukkan bahwa pertumbuhan tertinggi adalah pada kawasan Leihitu sebesar 6,81% pertahun dan terendah pada kawasan Nusalaut dengan sebesar 1,00% per tahun. Pertumbuhan ini diduga berkaitan dengan dua faktor yang berpengaruh: (1) adanya pertumbuhan penduduk; dan (2) pengaruh kebijakan peningkatan kuantitas nelayan oleh Pemerintah Maluku Tengah. Dinamika nelayan yang ditunjukkan selama periode enam tahun pembangunan perikanan di Maluku Tengah menggambarkan adanya perbedaan laju perubahan pada setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Hasil
167
analisis menunjukkan hampir seluruh kawasan memiliki pertumbuhan nelayan yang seragam dari tahun ke tahun, yakni antara 0,00 – 4,00%. Namun demikian, beberapa kawasan menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat, terutama pada tahun-tahun tertentu. Perkembangannya secara tahunan menunjukkan dinamika pada tiap kawasan (Gambar 33). Pertama, pada periode 2005-2006, pertumbuhan nelayan paling tinggi terjadi pada kawasan Amahai sebesar 10,18%. Kedua, pada periode 2006-2007, pertumbuhan nelayan paling tinggi adalah Amahai (9,08%) dan Leihitu (7,90%). Ketiga, pada periode 2007-2008, pertumbuhan yang tinggi juga terjadi pada kawasan Amahai dan Leihitu, masing-masing 9,88% dan 16,55%. Keempat, periode 2008-2009, pertumbuhan yang tinggi adalah kawasan Leihitu (7,48%), Pulau Haruku (10,02%), dan Salahutu (16,42%). Kelima, pada periode 2009-2010 pertumbuhan rata-rata di bawah 1,00%, kecuali kawasan Kota Masohi
Tingkat pertumbuhan (%)
yang memiliki pertumbuhan 3,34%.
Periode perkembangan (tahun) Gambar 33 Dinamika pertumbuhan nelayan tahunan di wilayah Selatan Maluku Tengah
Hasil ini menunjukkan bahwa kawasan-kawasan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi di setiap periode pembangunan perikanan di Maluku
168
Tengah, meliputi kawasan Leihitu dan Amahai. Kedua kawasan ini merupakan kawasan dengan basis kegiatan ekonomi produktif pada perikanan tangkap, khussusnya perikanan pelagis kecil. Kawasan lain seperti Salahutu dan Pulau Haruku yang memiliki pertumbuhan tinggi pada periode 2008-2009 merupakan dampak dari adanya kebijakan Pemerintah Maluku Tengah dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia perikanan tangkap. Dalam tataran implementasi, program yang dikembangkan adalah mengupayakan peningkatan jumlah dan mutu nelayan, pengolah ikan, pelaku pasar ikan dan buruh nelayan. Kondisi demikian juga terjadi pada dinamika yang ditunjukkan oleh perkembangan rumah tangga perikanan (RTP). Dinamika RTP yang ditunjukkan selama enam tahun pembangunan perikanan di Maluku Tengah menggambarkan
Tingkat pertumbuhan (%)
adanya perbedaan laju perubahan pada setiap kawasan (Gambar 34).
Periode perkembangan (tahun) Gambar 34 Dinamika pertumbuhan rumah tangga perikanan tahunan di wilayah Selatan Maluku Tengah
Hasil
analisis
menunjukkan
hampir
seluruh
kawasan
memiliki
pertumbuhan RTP yang juga seragam dari tahun ke tahun, yakni antara 0,00 – 4,00%. Perkembangannya secara tahunan menunjukkan dinamika RTP pada tiap
169
kawasan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 38. Pertama, pada periode 20052006, pertumbuhan RTP paling tinggi terjadi pada kawasan Nusalaut (2,46%). Kedua, pada periode 2006-2007, pertumbuhan nelayan paling tinggi adalah Amahai (3,97%). Ketiga, pada periode 2007-2008, pertumbuhan yang tinggi juga terjadi pada kawasan Tehoru (3,12%) dan Nusalaut (3,01%). Keempat, periode 2008-2009, pertumbuhan yang tinggi adalah kawasan Pulau Haruku (4,68%), dan Salahutu (4,65%). Kelima, pada periode 2009-2010 pertumbuhan paling tinggi adalah kawasan Kota Masohi dengan pertumbuhan 2,50%. Secara umum, dinamika yang ditunjukkan oleh perubahan jumlah nelayan dan RTP tahunan di setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil pada wilayah Selatan Maluku Tengah menunjukkan adanya perkembangan kebutuhan tenaga kerja pada usaha perikanan pelagis kecil. Kebijakan pemerintah Maluku Tengah yang memihak pada peningkatan jumlah nelayan juga berdampak pada perkembangan nelayan. Di sisi lain, perkembangan yang ditunjukkan pada RTP, memiliki keterkaitan dengan perkembangan umur anggota keluarga nelayan, sehingga terjadi pembentukan RTP baru. Hasil wawancara lapangan menemukan adanya pertumbuhan positif pada jumlah nelayan juga disebabkan karena pilihan masyarakat pulau kecil dan pesisir terhadap mata pencaharian di sektor perikanan. Variasi pilihan mata pencaharian yang sempit sesuai dengan ketersediaan sumberdaya di sekitar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menyebabkan masyarakat di kawasan ini terkonsentrasi pada pengembangan usaha perikanan pelagis kecil. Stevenson et al. (2011) dalam kajiannya tentang pengaruh perilaku nelayan terhadap produktivitas usaha penangkapan menerangkan perkembangan jumlah nelayan terjadi ketika kepuasan nelayan untuk memasuki sektor perikanan dan mengembangkan usaha perikanannya karena ketersediaan sumberdaya perikanan untuk dimanfaatkan. Perkembangan jumlah nelayan dan RTP juga disebabkan
masyarakat
pesisir
dan
pulau
kecil
mempertahankan
dan
mengembangkan usaha perikanannya karena mata pencaharian sebagai nelayan memberikan manfaat ekonomi. Nelayan di sekitarnya akan mengembangkan usaha perikanan karena keberhasilan nelayan lain dalam meningkatkan pendapatan mereka dari sektor perikanan (Pollnac and Poggie, 2006; 2008).
170
6.4 Dinamika Alat Penangkapan Ikan dan Upaya Penangkapan 6.4.1 Dinamika perkembangan alat penangkapan ikan pelagis kecil Sebagai dampak dari perbedaan jumlah nelayan dan RTP, distribusi jumlah alat penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku Tengah juga berbeda untuk tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Sesuai dengan hasil identifikasi terhadap alat tangkap yang diperuntukan untuk penangkapan ikan pelagis kecil, ditemukan lima jenis alat tangkap utama, masing-masing: pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, bagan perahu dan pancing tegak (Tabel 18). Tabel 18 Distribusi alat penangkapan ikan pelagis kecil (unit) per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
1
Kawasan Pengembangan TNS
2
Saparua
25
15
461
26
408
935
20,56
3
Pulau Haruku
3
20
149
8
272
452
9,94
4
Leihitu
15
16
121
10
374
536
11,79
5
Salahutu
8
11
103
15
184
321
7,06
6
Amahai
33
4
146
9
127
319
7,02
7
Tehoru
3
9
188
2
986
1.188
26,13
8
Nusalaut
54
7
317
149
527
11,59
9
Kota Masohi
2
20
71
15
125
233
5,12
Total
143
102
1.575
85
2.642
4.547
100,00
% tiap alat
3,14
2,24
34,64
1,87
58,10
100,00
No
Pukat Pukat Jaring Bagan Pancing Jumlah Pantai Cincin Insang Perahu Tegak 19 17 36
% 0,79
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
Penggunaan alat tangkap untuk kepentingan penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku Tengah masih tergolong tradisional sampai dengan semi moderen. Hal ini tergambar dari distribusi jumlah untuk tiap jenis alat tangkap, dimana proporsi tertinggi adalah pada alat tangkap pancing tegak (58,10%). Jenis alat tangkap lainnya hanya memiliki proporsi di bawah 5 %, kecuali jaring insang yang mencapai proporsi 34,64 %. Distribusi spasial jumlah total seluruh jenis alat tangkap utama memperlihatkan kawasan Tehoru memiliki proporsi yang paling tinggi (26,13%)
171
dengan kontribusi tertinggi pada alat tangkap pancing tegak. Di sisi lain, kawasan lain yang memberikan kontribusi cukup tinggi adalah Saparua, Leihitu dan Nusalaut. Walaupun masih didominasi oleh alat tangkap tradisional seperti pancing tegak, namun pada kawasan-kawasan ini telah berkembang jenis alat tangkap semi moderen seperti pukat cincin dan bagan perahu. Dinamika alat penangkapan ikan (API) yang dikaji dalam penelitian ini adalah perkembangan jumlahnya pada tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Alat penangkapan ikan yang digunakan dalam analisis ini meliputi lima jenis alat penangkapan ikan pelagis kecil yang dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, masing-masing: pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak. Kriteria analisis untuk menentukan kelima API ini adalah: (1) memiliki distribusi jumlah yang dominan; dan (2) memberikan kontribusi yang cukup besar dalam produksi ikan pelagis kecil. Pada tahap ini dilakukan koreksi terhadap data yang tersedia, baik dari identifikasi lapangan maupun melalui kajian kontribusi setiap jenis alat tangkap. Analisis
ini
dilakukan
dengan
pendekatan
ekspresi
grafis
dari
perkembangan jumlah kelima API secara parsial sebagaimana dipetakan pada Gambar 35. Hasil pemetaan perkembangan API menunjukkan adanya dua gejala utama, yaitu (1) peningkatan jumlah; (2) tidak terjadi peningkatan (statis); dan (3) penurunan jumlah. Secara total, dalam kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 2010, terjadi peningkatan pukat pantai sebanyak 19,17%, pukat cincin 50,00%, jaring insang 79,79%, bagan apung 84,78%, dan pancing tegak 1,11%. Hasil ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun pembangunan perikanan Maluku Tengah, terjadi peningkatan jumlah API. Namun demikian, jika dipelajari perkembangan secara parsial dan tahunan, terdapat dinamika yang sangat tinggi terkait dengan perubahan jumlah API.
Jumlah API (unit)
Jumlah API (unit)
172
(b) Pukat cincin
Jumlah API (unit)
Jumlah API (unit)
(a) Pukat pantai
(c) Jaring insang
Jumlah API (unit)
(d) Bagan apung
(e) Pancing tegak Gambar 35
Perkembangan alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Analisis secara parsial menunjukkan perkembangan yang berbeda untuk kelima jenis API. Pertama, perkembangan pukat pantai menunjukkan adanya pola
173
perubahan tidak terlalu dinamis karena umunnya menunjukkan pola yang statis, kecuali untuk kawasan Nusalaut yang menunjukkan peningkatan, kemudian terjadi penurunan mulai tahun 2007 sampai dengan 2010. Pola lain yang ditunjukkan untuk kawasan Tehoru dimana selama lima tahun pertama terjadi penurunan jumlah, yang diikuti dengan pola statis pada periode 2006-2010. Pola perkembangan jenis API pukat pantai yang cenderung statis dan pada beberapa kawasan terjadi penurunan, menunjukkan tidak ada upaya nelayan untuk pengembangan usaha perikanan pukat pantai. Hasil lapangan memberikan justifikasi tentang kondisi ini yang sangat terjadi akibat beberapa hal sebagai berikut: (1) tingginya biaya operasional yang tidak diikuti dengan tingkat keuntungan yang baik; (2) kondisi pada butir (1) terjadi karena produksi yang didapatkan semakin menurun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; yang disebabkan oleh (3) berkurangnya stok ikan di perairan. Ketiga kondisi ini diduga merupakan dampak dari penggunaan ukuran mata jaring yang relatif kecil, sehingga ikan-ikan berumur muda dari kelompok ikan yang menjadi tujuan tangkap tidak memiliki peluang untuk beregenerasi. Oleh sebab itu, sejak tahun 2008, DKP Kabupaten Maluku Tengah tidak lagi mengakomodasi perizinan terkait pengembangan perikanan pukat pantai. Kedua, perkembangan pukat cincin yang menunjukkan pola yang sangat dinamis, dan secara total terjadi peningkatan yang signifikan untuk kawasan Kota Masohi, Pulau Haruku, Saparua, Tehoru, Salahutu dan Nusalaut. Namun demikian, Kawasan Leihitu dan
Amahai cenderung menunjukkan pola yang
statis, terutama untuk lima tahun terakhir. Pola peningkatan yang terjadi untuk pukat cincin disebabkan karena: (1) meningkatnya investasi yang dilakukan oleh nelayan untuk pengembangan usaha; (2) adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha melalui peningkatan jumlah armada. Khusus untuk kawasan Leihitu, pada tiga tahun awal sempat terjadi penurunan jumlah, hal ini disebabkan oleh kondisi keamanan yang tidak terjamin untuk pengoperasian, sehingga beberapa unit dijual kepada nelayan-nelayan di luar Maluku Tengah. Kawasan Amahai memiliki perkembangan yang sangat lambat dan dominan statis sepanjang sembilan tahun terakhir. Pola perkembangan ini terjadi
174
karena: (1) tidak berkembangnya investasi oleh nelayan dalam kawasan untuk pengembangan usaha pukat cincin; (2) jumlah nelayan yang memiliki ketrampilan dalam pengoperasian pukat cincin sangat terbatas; sehingga (3) terjadi pembatasan alokasi bantuan alat tangkap oleh pemerintah. Ketiga, perkembangan untuk jaring insang maupun bagan apung pola peningkatan yang lambat. Kawasan Tehoru menunjukkan peningkatan yang signifikan pada tahun 2008 karena dukungan kebijakan peningkatan jumlah jaring insang oleh pemerintah. Kawasan Tehoru juga menunjukkan perkembangan jumlah bagan apung yang menurun dengan cepat. Hasil lapangan memberikan justifikasi tentang kondisi ini, dimana penurunan jumlahnya disebabkan perubahan orientasi nelayan dari perikanan bagan apung ke perikanan pukat cincin dan jaring insang. Faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan orientasi ini adalah kondisi musim yang tidak menjamin pengoperasian bagan apung. Letak geografis kawasan yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka (Laut Banda) menyebabkan bagan apung dewasa ini hanya dapat dioperasikan dengan baik selama tiga sampai empat bulan. Keempat, pola perkembangan API pancing tegak cenderung statis untuk seluruh kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Pola ini sangat didkung dengan tidak adanya upaya pengembangan usaha dengan skala yang lebih besar di kalangan pelaku usaha perikanan pancing tegak. Dewasa ini, pola operasional pancing tegak cenderung mengikuti penyebaran rumpon dan bagan apung. Sementara untuk setiap kawasan hanya bulan-bulan tertentu saja yang menunjukkan adanya peningkatan produksi ikan pelagis kecil. Charles (2001) dalam tulisannya tentang dinamika kapital terkait dengan dinamika pada sub sistem manusia, menjelaskan bahwa API sebagai salah satu input manusia pada usaha perikanan akan mengalami perubahan. Perubahan ini mencerminkan dua hal: keputusan nelayan untuk berinvestasi dan perubahan dan/atau peningkatan pengetahuan tentang teknologi penangkapan ikan. Lebih lanjut dijelaskan perubahan-perubahan yang menunjukkan dinamika pada API, selain dipengaruhi oleh perilaku investasi oleh nelayan, juga karena implementasi kebijakan dan/atau regulasi oleh pemerintah. Dinamika pada API
175
juga disebabkan karena nelayan berupaya untuk meningkatan upaya penangkapan. Oleh sebab itu, analisis tentang dinamika API juga perlu disesuaikan dengan dinamika upaya tangkap.
6.4.2 Dinamika perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis kecil Perbedaan distribusi jumlah jenis alat tangkap juga memberikan pengaruh terhadap besaran jumlah upaya (trip) penangkapan ikan pelagis kecil yang dilakukan oleh nelayan Maluku Tengah. Distribusinya untuk kelima alat tangkap utama menunjukkan bahwa jumlah upaya penangkapan yang cukup tinggi adalah pada alat tangkap pancing tegak, 15.957 trip. Namun demikian, walaupun hanya memberikan
kontribusi jumlah sebesar 2,24%, pukat cincin memiliki upaya
penangkapan yang tinggi untuk wilayah Selatan Maluku Tengah, 17.466 trip. Dstribusi trip secara spasial untuk setiap alat tangkap menunjukkan perbedaan, masing-masing: (1) untuk pukat pantai jumlah tertinggi pada kawasan Nusalaut (2.373 trip) dan terendah di Kota Masohi sebanyak 88 trip; (2) jumlah trip tertinggi untuk pukat cincin di kawasan Pulau Haruku dan Kota Masohi sebanyak 3,425 trip dan terendah pada kawasan Amahai (685 trip); (3) untuk jaring insang jumlah tertinggi pada kawasan Leihitu (2.652 trip) dan terendah pada kawasan Kota Masohi (148 trip); (4) alat tangkap bagan perahu, jumlah terbanyak pada kawasan Saparua dan paling sedikit pada kawasan Tehoru; serta (5) untuk alat tangkap pancing tegak, jumlah paling banyak pada kawasan Tehoru dan terendah pada kawasan TNS (Tabel 19). Perbedaan spasial distribusi upaya penangkapan yang ditunjukkan di wilayah Selatan Maluku Tengah ini, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penentu. Pertama, perbedaan distribusi jumlah alat tangkap. Semakin tinggi jumlah alat berkontribusi pada tingginya upaya penangkapan, demikian sebaliknya. Kedua, peluang setiap jenis alat tangkap untuk mengakses DPI sepanjang tahun. Semakin tinggi aksesibilitas terhadap DPI dan kurang dipengaruhi oleh faktor musim, maka setiap jenis alat tangkap memiliki peluang yang tinggi untuk melakukan operasi penangkapan ikan.
176
Tabel 19 Distribusi upaya penangkapan ikan pelagis kecil (trip) per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
1
Kawasan Pengembangan TNS
Pukat Pantai -
Pukat Cincin -
Jaring Insang 1.260
2
Saparua
1.098
2.569
1.922
503
2.464
8.556
16,48
3
Pulau Haruku
132
3.425
729
155
1.643
6.084
11,72
4
Leihitu
659
2.740
2.652
194
2.259
8.504
16,38
5
Salahutu
351
1.884
928
290
1.111
4.564
8,79
6
Amahai
1.450
685
597
174
767
3.673
7,08
7
Tehoru
132
1.541
1.657
39
5.955
9.324
17,96
8
Nusalaut
2.373
1.199
663
-
900
5.135
9,89
9
Kota Masohi
88
3.425
148
290
755
4.706
9,07
Total
6.283
17.466
10.556
1.645
15.957
51.909
100,00
% tiap alat
12,10
33,65
20,34
3,17
30,74
No
Bagan Pancing Jumlah Perahu Tegak 103 1.363
% 2,63
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
Hasil ini juga memberikan justifikasi bahwa berdasarkan jumlah upaya penangkapan, basis kegiatan perikanan pukat pantai adalah kawasan Nusalaut, pukat cincin di kawasan Kota Masohi dan Pulau Haruku, jaring insang di kawasan Lehitu, bagan perahu di kawasan Saparua, serta pancing tegak di kawasan Tehoru. Masing-masing kawasan pengembangan memiliki spesifikasi
dan konsentrasi
kegiatan penankapan ikan pelagis kecil. Sesuai dengan justifikasi ini, identifikasi awal menunjukkan bahwa kawasan-kawasan utama pengembangan perikanan pelagis di wilayah Selatan Maluku Tengah adalah Nusalaut, Kota Masohi, Pulau Haruku, Leihitu, Saparua, dan Tehoru. Masing-masing kawasan pengembangan memiliki spesifikasi dan konsentrasi kegiatan penankapan ikan pelagis kecil. Hasil identifikasi ini masih harus dibuktikan dengan analisis terhadap distribusi produksi ikan pelagis secara spasial untuk tiap kawasan pengembangan. Bila identifikasi awal yang dilakukan di atas menggunakan pendekatan input produksi, analisis ini diarahkan untuk menggunakan hasil produksi sebagai output dari seluruh upaya yang ada, sebagaimana dianalisis pada bagian berikut ini. Dinamika upaya penangkapan ikan ditunjukkan dengan perkembangan jumlahnya trip penangkapan untuk lima jenis API dominan di wilayah ini. pada
177
tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Alat penangkapan ikan yang digunakan dalam analisis ini meliputi lima jenis alat penangkapan ikan pelagis kecil yang dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, masing-masing: pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak. Basis analisis untuk kelima API ini adalah: (1) memiliki distribusi jumlah yang dominan; dan (2) memberikan kontribusi yang cukup besar dalam produksi ikan pelagis kecil. Pemetaan perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah dikespresikan secara grafis pada Gambar 36. Hasil ini menerangkan adanya trend menurun untuk setiap jenis API, terutama pada dua tahun terakhir. Khusus untuk kawasan TNS, hanya dua jenis API saja yang dikembangkan sehingga tampilan grafis hanya menunjukkan trend untuk jaring insang dan pancing tegak. Sementara itu, di kawasan Nusalaut, jenis API yang tidak dikembangkan adalah bagan apung. Perkembangan yang ditunjukkan oleh seluruh kawasan memberikan gambaran tentang adanya penurunan kegiatan penangkapan oleh nelayan di wilayah Selatan Maluku Tengah. Hasil wawancara lapangan memberikan jawaban tentang beberapa hal yang memberikan pengaruh terhadap jumlah trip penangkapan ikan pelagis kecil, antara lain: (1) kondisi perairan yang tidak menentu untuk setiap musim; (2) DPI yang mulai bergeser menyebabkan nelayan harus memiliki kepastian DPI untuk melalukan kegiatan penangkapan; (3) beberapa jenis API yang menunjukkan penurunan trip penangkapan berpengaruh terhadap upaya tangkap; dan (4) perbedaan perubahan antar kawasan perikanan merupakan dampak dari adanya persaingan antar kawasan dalam pengembangan unit-unit penangkapan ikan pelagis. Pergeseran daerah penangkapan ikan dan/atau stok ikan dari suatu perairan menyebabkan perubahan pada upaya penangkapan ikan. Hal ini menyebabkan peluang interaksi alat tangkap (dibaca: operasionalisasi alat tangkap) semakin kecil, dan sangat mempengaruhi produktivitas dari setiap unit penangkapan (Maunder et al., 2006; McCluskey and Lewison, 2008).
Tahun
Tahun
(d) Leihitu
Upaya tangkap (trip)
Tahun
Tahun
Upaya tangkap (trip)
(f) Amahai
Upaya tangkap (trip)
Tahun
(h) Nusalaut
Tahun
Upaya tangkap (trip)
(g) Tehoru
Tahun
Upaya tangkap (trip)
(c) Pulau Haruku
(e) Salahutu
Tahun
Upaya tangkap (trip)
(b) Saparua
Upaya tangkap (trip)
(a) TNS
Upaya tangkap (trip)
Upaya tangkap (trip)
178
(i) Kota Masohi
Tahun
Gambar 36 Perkembangan upaya tangkap ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
179
Quirijns et al. (2008) menjelaskan bahwa dinamika yang ditunjukkan akibat perubahan upaya penangkapan, terkait dengan perbedaannya secara spasial untuk tiap kawasan, memberikan justifikasi tentang adanya dominasi dari unit penangkapan ikan tertentu dan menjadi bukti dari adanya persaingan. Secara total, perkembangan upaya tangkap untuk seluruh jenis API menunjukkan trend menurun dengan tingkat penurunan yang lambat. Pada dua terakhir hampir seluruh jenis API menunjukkan adanya penurunan upaya penangkapan, kecuali pukat cincin (Tabel 20). Distribusinya secara tahunan menunjukkan nilai rata-rata upaya tangkap dari tahun 2001 sampai dengan 2010 tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada pukat pantai. Kondisi ini menerangkan bahwa pukat cincin merupakan jenis API yang memiliki tingkat operasional yang tinggi dibandingkan API lainnya.
Tabel 20
Perkembangan upaya tangkap (trip) per jenis alat penangkapan ikan dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, Tahun 2001-2010
Tahun
Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring Insang
Bagan apung
Pancing Tegak
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
5.843 5.909 5.967 6.000 5.936 5.924 5.891 5.879 5.833 5.760
20743 20807 20891 20950 20888 20894 20878 20874 20270 20340
11085 11176 11281 11364 11286 11318 11274 11227 11113 10840
15.168 15.168 15.210 15.270 15.185 15.146 15.110 15.068 15.012 14.745
12315 12389 12476 12567 12482 12447 12297 12214 12138 11940
Hasil lain yang dapat diekstraksi dari dinamika upaya penangkapan ikan ini adalah perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah terkonsentrasi pada perikanan pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak. Hal tersebut dibuktikan dari distribusi upaya penangkapan yang tinggi dari ketiga jenis perikanan ini, dengan nilai rata-rata di atas 10.000 trip per tahun.
180
Poos et al. (2010) menerangkan tentang terjadinya penurunan upaya tangkap yang ditunjukkan oleh penurunan trip penangkapan disebabkan: (1) pilihan nelayan untuk melakukan operasi penangkapan karena pengaruh faktor kehadiran stok ikan di perairan secara musiman; (2) perbedaan secara spasial untuk kawasan-kawasan pengembangan perikanan akibat kesempatan untuk melakukan operasi penangkapan; (3) penurunan upaya penangkapan pada jenisjenis alat penangkapan tertentu; disamping (4) perubahan biaya operasional. Kondisi ini memberikan pembenaran tentang perkembangan di wilayah penelitian, dimana perbedaan spasial akan cenderung terjadi karena persoalan kesempatan yang tidak sama dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Yew and Heaps (1996) menjelaskan tentang dinamika upaya penangkapan ikan cenderung menurun pada perikanan tertentu, sementara untuk perikanan lain terjadi peningkatan. Penjelasannya tentang dinamika upaya penangkapan ikan memiliki empat substansi penting. Pertama, nelayan berupaya meningkatkan upaya tangkap ketika terjadi penurunan produksi. Produksi yang cenderung menurunkan menyebabkan nelayan berinisiatif meningkatkan produksinya melalui peningkatan upaya penangkapan dengan langkah strategis peningkatan jumlah alat tangkap. Kedua, nelayan mengalihkan kegiatan perikanannya berbasis pada unit penangkapan yang lebih menguntungkan, terutama dalam konteks peningkatan produksi. Ketiga, nelayan meningkatkan jumlah hari operasi penangkapan sebagai bentuk peningkatan upaya dari aspek trip penangkapan. Keempat, sebagai dampak dari ketiga substansi ini, nelayan berupaya melakukan investasi untuk pengembangan usaha mereka. Beberapa komponen penting yang dikemukakan Poos et al. (2010) dan Yew and Heaps (1996) juga ditemukan pada wilayah penelitian. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap dinamika upaya penangkapan ikan intra dan antar kawasan, antara lain: (1) peningkatan upaya penangkapan untuk jenis API pukat cincin merupakan dampak dari adanya inisiatif nelayan untuk berinvestasi terhadap unit penangkapan yang menjamin peningkatan produksi; (2) peralihan ke kegiatan
perikanan
yang
lebih
menguntungkan
menyebabkan
nelayan
meninggalkan usaha yang sebelumnya dikembangkan; (3) pengaruh faktor musim yang menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan,
181
sehingga menurunkan jumlah upaya tangkap secara tahunan; serta (4) adanya dukungan pemerintah terhadap peningkatan kapasitas produksi nelayan melalui subtitusi alat tangkap baru dan dukungan pembiayaan operasional penangkapan untuk tahap awal pengoperasian.
6.5 Dinamika Produksi Ikan Pelagis Kecil Produksi perikanan tangkap yang didefinisikan oleh KKP (2011) adalah semua hasil penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang ditangkap dari sumber perikanan alami baik yang diusahakan oleh perusahaan perikanan maupun rumah tangga perikanan. Sesuai dengan definisi ini, gambaran tentang distribusi produksi ikan pelagis kecil didasarkan pada statistik perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tengah. Distribusi produksi perikanan yang dianalisis berbasis pada tingkat produksi 10 jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting, baik untuk volume produksi maupun nilai produksinya. Sepuluh jenis ikan pelagis kecil yang dimaksudkan meliputi: layang, selar, kembung,julung-julung, terbang, sunglir, tembang, teri, lemuru dan japuh. Total volume produksi ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah sebesar 22.145,79 ton. Distribusinya per jenis menunjukkan Layang, Selar, Sunglir, Tembang dan Teri merupakan jenis-jenis ikan pelagis kecil yang memiliki volume produksi paling tinggi, yakni di atas 1.000 ton per tahun. Layang merupakan jenis yang memberikan kontribusi tertinggi (38,49%), sementara lemuru dan japuh memberikan kontribusi terendah sekitar 0,7% (Tabel 21). Distribusi produksi secara spasial menunjukkan setiap kawasan memiliki spesialisasi per jenis ikan pelagis kecil, sebagai berikut: (1) Produksi ikan layang tertinggi di kawasan Saparua, Leihitu, Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi dengan kisaran produksi antara 1.200 – 1.600 ton per tahun; (2) Produksi ikan selar tertinggi di kawasan Leihitu dengan tingkat produksi 535,7 ton per tahun; (3) Produksi ikan kembung tertinggi di kawasan Saparua dengan tingkat produksi 95,2 ton per tahun;
182
Tabel 21 Distribusi Volume Produksi Ikan Pelagis Kecil per Kawasan Pengembangan di Wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
No
Kawasan Pengembangan
1
TNS
2
Saparua
3
Pulau Haruku
4
Volume produksi (ton) Layang
Selar
%
Kembung
JulungJulung
Terbang
Sunglir
Tembang
Teri
Lemuru
Japuh
Jumlah
6,9
1,5
6,0
-
53,7
0,7
26,9
-
0,2
-
95,9
0,39
1.516,4
229,1
95,2
123,3
118,6
49,8
456,2
32,3
30,6
37,4
2.688,8
10,97
462,7
115,7
34,9
32,9
36,2
101,3
442,2
20,1
13,3
8,6
1.268,0
5,17
Leihitu
1.255,0
535,7
59,9
9,1
134,1
439,8
1.124,1
1.266,0
19,3
17,6
4.860,7
14,28
5
Salahutu
1.604,0
261,7
47,4
1,5
52,3
89,6
957,4
690,1
15,0
17,7
3.736,7
15,25
6
Amahai
646,9
230,1
58,2
-
69,8
107,9
827,9
415,2
20,6
27,7
2.404,4
6,51
7
Tehoru
1.203,6
143,2
35,4
115,7
74,8
225,4
161,7
139,3
15,2
3,5
2.117,9
8,64
8
Nusalaut
320,1
62,9
67,6
24,6
98,5
1,2
151,7
22,9
26,9
32,8
809,2
3,30
9
Kota Masohi
1.507,6
313,8
40,1
5,0
1,9
1.075,1
1.192,4
14,3
14,0
4.164,2
16,99
Total
8.523,20
1.893,70
444,65
643,07
1.017,60
5.223,20
3.778,30
155,54
159,44
22.145,79
100,00
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
307,10
183
(4) Produksi ikan julung-julung tertinggi di kawasan Saparua dan Tehoru dengan tingkat produksi di atas 115 ton per tahun; (5) Produksi ikan terbang tertinggi di kawasan Saparua dan Leihitu dengan tingkat produksi di atas 118 ton per tahun; (6) Produksi ikan sunglir tertinggi di kawasan Leihitu dengan tingkat produksi 439,8 ton per tahun; (7) Produksi ikan tembang tertinggi di kawasan Leihitu dan Kota Masohi dengan tingkat produksi di atas 1.000 ton per tahun; (8) Produksi ikan teri tertinggi di Leihitu dan Kota Masohi dengan tingkat produksi di atas 1.100 ton per tahun. Jenis ikan lemuru dan japuh memiiki tingkat produksi yang sangat kecil, rata-rata di bawah 40 ton per tahun. Hal ini menunjukkkan bahwa kawasan-kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah tidak dapat mengandalkan kedua jenis ini sebagai basis komoditas utama. Distribusi spasial produksi ikan pelagis kecil membuktikan bahwa Saparua, Leihitu, Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi merupakan kawasankawasan pengembangan perikanan pelagis utama di wilayah Maluku Tengah, dengan spesialisasi komoditas masing-masing. Hal ini juga ditunjukkan dengan kontribusi total produksi, dimana seluruh kawasan memberikan kontribusi di atas 10% terhadap produksi ikan pelagis kecil di Maluku Tengah, kecuali kawasan Tehoru yang memberikan kontribusi 8,64%. Analisis terhadap tingkat produksi ini memberikan masukan penting terhadap tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil pada wilayah penelitian. Jika pemanfaatan ikan existing di perairan Selatan Maluku Tengah sebesar 22.145,79 ton/tahun dibandingkan batasan nilai jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB), maka tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil existing di perairan ini mencapai 40,44%. Hasil ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya ikan pelagis yang belum termanfaatkan di perairan Selatan Maluku Tengah sampai saat ini sebesar 59,56% atau 32.616,05 ton/tahun, atau dapat dikatakan bahwa potensi sumber yang masih dapat dimanfaatkan secara optimal sebesar 59,56% dari total JTB. Analisis dinamika produksi ikan pelagis kecil untuk setiap API dominan di Maluku Tengah didasarkan perkembangan volume produksinya dari tahun 2001
184
sampai dengan 2010. Secara agregat, perkembangan volume produksi API dominan pada periode tersebut menunjukkan adanya dinamika produktivitas. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan produksi dari waktu ke waktu yang tidak selalu meningkat, kecuali pukat cincin yang meningkat volume produksinya dari tahun 2001 sampai dengan 2006, sedangkan volume produksi bagan apung meningkat pada tahun 2001 sampai dengan 2004 (Tabel 22). Tabel 22 Perkembangan volume produksi ikan pelagis kecil tiap alat tangkap dominan (ton) di wilayah Selatan Maluku Tengah tahun 2001–2010
6.062,3
Jaring Insang 1.119,3
Bagan apung 4.457,0
Pancing Tegak 674,6
2.049,4
7.198,7
911,4
5.067,6
657,2
2003
1.866,6
8.428,5
933,2
5.776,4
546,9
2004
2.016,1
8.750,0
973,2
6.152,8
661,3
2005
1.810,5
9.713,8
1.029,3
6.017,8
799,2
2006
1.860,7
10.821,5
771,5
6.432,3
573,6
2007
1.900,0
10.670,8
1.188,9
6.064,3
1.024,1
2008
1.953,5
10.939,9
1.509,4
6.334,9
1.101,0
2009
1.959,6
9.703,4
1.651,2
6.058,1
1.179,8
2010
1.959,6
9.064,3
1.507,2
5.537,5
1.509,3
Tahun
Pukat Pantai
Pukat Cincin
2001
1.725,8
2002
Hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan volume produksi menunjukkan dinamika yang positif, namun terdapat perbedaan untuk setiap jenis API. Pukat pantai memiliki rata-rata pertumbuhan 1,74%, pukat cincin 5,03%, jaring insang 5,62%, bagan apung 2,74% dan pancing tegak 12,81%. Walaupun distribusi seperti ini, rata-rata tingkat produksi menunjukkan dinamika yang berbeda. Sesuai dengan distribusi nilai rata-rata volume produksi, pukat pantai memberikan kontribusi rata-rata 10,12% (1.910,2 ton/tahun), pukat cincin 48,42% (9.135,3 ton/tahun), jaring insang 6,15% (1159,4 ton/tahun), bagan apung 30,69% (5.789,9 ton/tahun) dan pancing tegak 4,63% (872,7 ton/tahun). Pertumbuhan dan kontribusi yang diberikan ini membuktikan adanya dinamika pada level perkembangan produksi dan dinamika pada kontribusi volumen produksi. Pertama, Pertumbuhan produksi yang lambat dan cenderung
185
menurun pada tahun terakhir menjadi acuan penting untuk meningkatkan pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Maluku Tengah, khususnya pada kawasan-kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan. Kedua, kontribusi produksi yang berbeda di tiap kawasan menunjukkan setiap kawasan memiliki kapasitas yang berbeda dalam melakukan kegiatan produksi ikan pelagis kecil. Demikian juga basis kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil yang mengarah pada dominasi perikanan pukat cincin. Pembuktian terhadap kedua kondisi ini dapat dilakukan dengan mencermati perkembangan produksi per setiap API dominan pada setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Ekspresinya secara grafis menunjukkan bahwa setiap kawasan memiliki perkembangan produksi yang berbeda untuk setiap jenis API (Gambar 37). Kawasan TNS dua jenis alat tangkap ikan pelagis kecil utama menunjukkan produksi tertinggi pada jaring insang, rata-rata 69,78 ton/tahun. Produksinya meningkat pada periode 2001- 2006, dan menurun pada periode 2007-2010. Perkembangan produksi pada pancing tegak menunjukkan adanya pola statis pada periode 2001- 2006, dan meningkat pada periode 2007-2010. Pada kawasan Saparua, produksi tertinggi pada pukat cincin, rata-rata 1.461,5 ton/tahun. Peningkatan terjadi pada periode 2001- 2006, dan menurun pada periode 2007-2010. Bagan apung yang memberikan kontribusi yang sedang menunjukkan pertumbuhan produksi yang fluktuatif dari waktu ke waktu. Dalam tahun terakhir, produksi bagan apung cenderung menurun. Pada kawasan Pulau Haruku, produksi tertinggi pada pukat cincin, ratarata 816,7 ton/tahun, dengan pola pertumbuhan yang fluktuatif. Periode 20012003 menunjukkan adanya peningkatan, namun turun lagi pada dua tahun sesudahnya (2004-2005). Dalam tahun 2006 terjadi peningkatan lagi, namun pergerakannya statis sampai tahun 2008, dan turun di tahun 2009-2010. Bagan apung memiliki dua periode perkembangan produksi, tahun 2001-2005 meningkat dan menurun lagi di tahun 2006-2010.
Volume produksi (ton)
Volume produksi (ton)
186
Tahun
(b) Saparua
Tahun
(d) Leihitu
Tahun
Tahun
Volume produksi (ton)
(f) Amahai
Volume produksi (ton)
Tahun
(h) Nusalaut
Tahun
Volume produksi (ton)
(g) Tehoru
Tahun
Volume produksi (ton)
Volume produksi (ton)
(c) Pulau Haruku
(e) Salahutu
Tahun
Volume produksi (ton)
Volume produksi (ton)
(a) TNS
(i) Kota Masohi
Gambar 37
Tahun
Perkembangan produksi ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
187
Pukat cincin yang memberikan kontribusi produksi tertinggi di kawasan Leihitu, rata-rata 1.846,4 ton/tahun, yang berfluktuasi produksi selama 10 tahun. Peningkatan dari tahun 2001 ke 2002, diikuti dengan pola turun naik sampai dengan tahun 2010. Bagan apung yang juga memberikan kontribusi produksi yang di tinggi, terutama di tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan selama delapan tahun (2001-2008), namun terjadi penurunan produksi di dua tahun terahkhir. Kawasan Salahutu memiliki kontribusi produksi tertinggi pada perikanan pukat cincin, rata-rata 1.872,8 ton/tahun, yang menunjukkan adanya dua periode perubahan produksi. Periode pertama tahun 2001-2008 dengan pola peningkatan, dan kedua periode fluktuatif di dua tahun terakhir. Bagan apung bertumbuh secara fluktuatif, cenderung statis pada empat tahun pertama dan fluktuatif di enam tahun terakhir. Kawasan Amahai memiliki tiga jenis alat tangkap yang berkontribusi tinggi adalah pukat cincin (rata-rata 976,0 ton/tahun) dan bagan apung (rata-rata 964,7 ton/tahun). Peningkatan tajam terjadi dari tahun 2002-2006 dan turun lagi di empat tahun terakhir. Bagan apung memberikan pola pertumbuhan yang fluktuatif, dan pukat pantai cenderung menurun dari tahun 2002 sampai dengan 2010. Kawasan Tehoru memiliki kontribusi produksi ikan pelagis kecil terbanyak juga dari pukat cincin (rata-rata 754,5 ton/tahun), yang meningkat dari tahun 2001-2006, kemudian turun sampai dengan tahun 2010. Pancing tegak dan bagan apung di kawasan ini memiliki kontribusi produksi yang sedang, dengan pola perkembangan yang fkuktuatif. Kawasan Nusalaut juga mendapat kontribusi produksi tertinggi dari pukat cincin (rata-rata 596,1 ton/tahun), yang menunjukkan peningkatan yang lambat di tahun 2004-2008, namun mengalami penurunan di dua tahun terakhir. Pukat pantai dan jaring insang dengan kontribusi produksi sedang menunjukkan penurunan yang lambat di empat tahun terakhir. Kawasan Kota Masohi termasuk salah satu basis perikanan pukat cincin dan bagan apung yang memberikan kontribusi terbesar bagi produksi ikan pelagis kecil, masing-masing memiliki rata-rata produksi sebesar 811,2 ton/tahun dan
188
rata-rata 833,0 ton/tahun. Keduanya memiliki perkembangan yang fluktuatif sepanjang 10 tahun. Tiga API lainnya memberikan kontribusi produksi yang sangat rendah dan memiliki pola perkembangan yang statis. Hasil ini memberikan gambaran tentang adanya pengelompokkan produksi berbasis API di tiap kawasan. Pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis API di wilayah Selatan Maluku Tengah menunjukkan: (1) basis perikanan pukat cincin terdistribusi di seluruh kawasan kecuali, kawasan TNS; (2) basis produksi perikanan bagan apung hanya di tiga kawasan, yaitu Leihitu, Amahai dan Kota Masohi; (3) kawasan TNS memiliki konsentrasi perikanan pelagis kecil berbasis jaring insang, namun demikian dari tingkat produksi, kawasan ini tidak dapat dipastikan sebagai basis perikanan jaring insang karena kawasan lain seperti Saparua, Leihitu, Tehoru dan Nusalaut memiliki tingkatan produksi yang lebih tinggi.
6.6 Dinamika Pengolahan Hasil Perikanan Pelagis Kecil Pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, tidak hanya berdasarkan pada kapasitas kawasan untuk menghasilkan produksi ikan mentah, namun juga perlu didukung dengan kemampuannya dalam melakukan produksi pasca penangkapan ikan melalui kegiatan pengolahan. Pengolahan ikan menurut KKP (2011) adalah semua hasil olahan dari hasil penangkapan ikan untuk semua jenis alat penangkapan ikan, baik hasil penangkapan ikan untuk perikanan industri maupun perikanan rakyat. Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan yang dilakukan di Maluku Tengah hanya melalui dua proses, yaitu: pengolahan ikan kering dan pengolahan ikan asap. Hasil memberikan gambaran bahwa kegiatan pengolahan untuk tujuan industri yang besar masih belum dikembangkan di Maluku Tengah, sehingga kegiatan pengolahan ikan hanya terbatas pada kegiatan pengolahan skala kecil. Gambaran tentang pengolahan hasil perikanan pelagis kecil di Maluku dimulai dengan potensi sumber daya manusia (pengolah) yang mendukung kegiatan pengolahan ikan tersebut. Jumlah pengolah ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah mencapai 1.250 orang (Tabel 23).
189
Tabel 23 Distribusi jumlah pengolah dan rumah tangga pengolah ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kawasan Pengembangan TNS Saparua Pulau Haruku Leihitu Salahutu Amahai Tehoru Nusalaut Kota Masohi Total
Jumlah Pengolah Ikan (orang)
%
66 78 147 312 231 438 297 476 105 2.150
3,07 3,63 6,84 14,51 10,74 20,37 13,81 22,14 4,88 100,00
Jumlah RT. Pengolah Ikan (rumah tangga) 22 26 64 179 77 110 100 238 45 861
% 2,56 3,02 7,43 20,79 8,94 12,78 11,61 27,64 5,23 100,00
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 (diolah)
Secara spasial, distribusi jumlah pengolah ikan di wilayah Selatan Maluku Tengah tertinggi di kawasan Amahai dan Nusalaut, dengan kontribusi produksi di atas 20%, dan kawasan yang kegiatan pengolahan ikan paling rendah adalah dari kawasan TNS, Saparua dan Kota Masohi, yakni di bawah 5%. Dengan demikian, berdasarkan distribusi potensi sumber daya manusia, maka kawasan Amahai dan Nusalaut berpotensi menjasi basis kegiatan produksi di wilayah ini terkonsentrasi di. Namun demikian, hal ini juga harus dibuktikan dengan distribusi produksi hasil pengolahan ikan, baik dalam volume maupun nilai produksinya. Sebelum memberikan pembuktian terhadap perbedaan spasial distribusi produksi hasil olahan ikan, perlu juga diketahui potensi rumah tangga yang berorientasi kegiatan ekonomi produktif berbasis pada hasil pengolahan ikan pelagis kecil. Hasil perhitungan pada Tabel 23 menunjukkan jumlah total rumah tangga pengolah ikan pelagis kecil sebanyak 861 rumah tangga. Distribusinya secara spasial memberikan gambaran bahwa kawasan Nusalaut dan Leihitu memberikan kontribusi terbanyak terhadap distribusi jumlah rumah tangga pengolahan ikan, dengan kontribusi di atas 20%. Hasil perhitungan lain tentang distribusi jumlah pengolah dalam tiap rumah tangga pengolah ratarata tiga orang per rumah tangga pengolah.
190
Pembuktian tentang basis kegiatan pengolahan ikan pelagis kecil dapat dilakukan melalui pencermatan terhadap distribusi produksi hasil pengolahannya. Hasil penelusuran data produksi hasil pengolahan memberikan gambaran tentang perbedaan distribusi spasial hasil olahan ikan. Walaupun distribusi jumlah pengolah dan rumah tangga pengolah terkonsentrasi di Nusalaut, Amahai dan Leihitu, namun berdasarkan volume produksinya, kawasan-kawasan yang menjadi basis produksi pengolahan ikan adalah Saparua, Leihitu, Salahutu dan Kota Masohi dengan rata-rata produksi di atas 87 ton per tahun. Hal ini juga didukung distribusinya berdasarkan nilai produksi, dimana keempat kawasan cenderung menjadi basis pengolahan ikan pelagis kecil dengan rata-rata nilai produksi di atas Rp. 233 juta (Gambar 38). Beberapa kondisi yang terkait dengan pengembangan berbasis komoditas, meliputi: (1) hasil pengolahan ikan layang berbasis di kawasan Saparua, Salahutu dan Kota Masohi; (2) olahan ikan selar berbasis di kawasan Leihitu; (3) olahan ikan kembung berbasis di kawasan Saparua dan Nusalaut; (4) olahan ikan sunglir berbasis di kawasan Leihitu dan Tehoru; serta (5) olahan ikan teri berbasis di kawasan kawasan Leihitu dan Kota Masohi. Analisis terhadap dinamika pengolahan hasil perikanan dikembangkan dari alokasi produksi hasil olahan ikan pelagis kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengolah di wilayah Selatan Maluku Tengah. Kegiatan pengolahan ikan pelagis kecil utama yang dilakukan di wilayah ini dan tercatat sebagai salah pembentuk ekonomi masyarakat nelayan dan RTP adalah olahan kering dan asapan. Hasil perhitungan rata-rata perkembangan produksi olahan menunjukkan konsentrasi olahan di wilayah ini lebih diarahkan pada produk olahan kering. Hal ini ditunjukkan dari total volume produksinya sebesar 406,7 ton per tahun, sedangkan produk olahan asap hanya mencapai 201,6 ton per tahun (Tabel 24). Basis pengolahan ikan pelagis kecil terkonsentrasi pada enam kawasan. Untuk produksi olahan kering, enam kawasan menunjukkan kontribusi di atas 50 ton per tahun, masing-masing Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi. Untuk produksi olahan asap, lima kawasan memberikan kontribusi di atas 25 ton per tahun yang meliputi lima kawasan di atas, kecuali Kota Masohi yang memiliki tingkat produksi di bawah 17 ton per tahun.
191
(a) Volume produksi (ton)
(b) Nilai produksi (Rp. 000)
Gambar 38 Distribusi spasial volume (a) dan nilai (b) produksi olahan ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah, 2010
Sesuai distribusi secara spasial, kawasan-kawasan yang memiliki produksi olahan tertinggi, baik untuk olahan kering maupun asapan adalah Amahai dan Leihitu yang memberikan kontribusi masing-masing 17,59% dan 16,58%. Di sisi
192
lain, kawasan yang memberikan kontribusi paling kecil adalah TNS dengan ratarata kontribusi 0,61% untuk olahan kering dan 1,62% untuk olahan asap. Tabel 24 Rata-rata tahunan volume produksi hasil olahan ikan pelagis kecil kawasan pengembangan (ton) di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan Pengembangan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rata-Rata Tahunan Olahan Kering Volume (ton) %
tiap
Rata-Rata Tahunan Olahan Asap Volume (ton) %
TNS Saparua Pulau Haruku Leihitu Salahutu Amahai Tehoru Nusalaut Kota Masohi
2,5 36,4 29,4 64,7 50,7 66,0 49,2 56,8 51,1
0,61 8,94 7,22 15,91 12,47 16,21 12,11 13,97 12,56
3,3 16,5 13,7 33,4 25,1 35,5 28,0 29,5 16,7
1,62 8,17 6,79 16,58 12,43 17,59 13,88 14,65 8,29
Total
406,7
100,0
201,6
100,0
Gambaran distribusi spasial juga menerangkan tentang adanya dinamika tahunan yang diberikan oleh setiap kawasan. Dinamika tahunan yang ditunjukkan dengan pemetaan distribusi produk olahan secara grafis menerangkan dinamika yang berbeda untuk kedua jenis produk olahan (Gambar 39). Gambar ini memberikan dua pola dinamika yang berbeda untuk masingmasing produk olahan. Pertama, dinamika produk olahan kering menunjukkan adanya dua pola perkembangan. Periode pertama pada tahun 2001-2005 adalah periode dengan pola pertumbuhan positif, dan periode kedua pada tahun 20062010 adalah periode dengan pola pertumbuhan negatif. Namun demikian, kondisi ini diberlaku untuk seluruh kawasan karena empat kawasan di antaranya menunjukkan pola perkembangan positif, yakni Leihitu, Kota Masohi, Tehoru dan Saparua. Identifikasi terhadap pola perkembangan negatif menghasilkan beberapa faktor penyebabnya, yaitu: perkembangan produksi ikan segar yang semakin menurun dan akses terhadap pasar yang sangat lemah. Sebaliknya untuk pola perkembangan positif disebabkan karena perkembangan produksi ikan segar yang
193
meningkat dan akses pasar yang sangat baik untuk mengakomodasi produk olahan yang dikembangkan kelompok-kelompok pengolah yang ada.
(a) Hasil olahan kering (ton)
(b) Hasil (ton) Gambar 39 Perkembangan produksi hasil olahan ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
194
Kedua, dinamika produk olahan asap hanya menunjukkan kecenderungan menurun, bukti adanya pola perkembangan yang negatif. Identifikasi lapangan terhadap fenomena ini menghasilkan beberapa faktor yang menjadi penyebabnya: (1) konsentrasi produksi untuk permintaan lokal; (2) daya tahan produk yang tidak lama; dan (3) permintaan yang sangat kurang di tingkat pasar lokal. Justifikasi tentang kondisi ini adalah bahwa produk olahan asap merupakan produk yang kurang memiliki daya tahan yang lama sehingga produksi yang dilakukan umumnya diarahkan pada pemasaran lokal. Oleh sebab itu jangkauan pasar yang lebih jauh tidak akan mampu diakses oleh produk ini. Di sisi lain, permintaan pasar terhadap produk olahan asap hanya terkonsentrasi pada pasar lokal yang sangat rendah sehingga upaya peningkatan produk dari para pengolah menjadi melemah. Diei-Ouadi (2005) menjelaskan tentang peluang pengembangan produk olahan yang baik adalah kemampuan produk olahan tersebut untuk memasuki pasar lintas kawasan. Kondisi yang ditemukan di wilayah penelitian menunjukkan bahwa kapasitas tiap kawasan terkait distribusi produksi olahan untuk menjangkau pasar lintas kawasan masih sangat lemah. Kawasan-kawasan yang memiliki kecenderungan pola perkembangan positif pada produksi olahannya hanya mampu menjangkau pasar dengan akses terdekat. Lebih lanjut, Diei-Ouadi (2005) menyatakan dinamika pada produk olahan di suatu wilayah sangat tergantung pada orientasi dan target produk akhir. Bila pandangan ini dikaitkan dengan kondisi wilayah penelitian, maka orientasi dan konsentrasi target produk akhir perikanan pelagis kecil hanya terfokus pada produk ikan segar.
6.7 Dinamika Distribusi dan Pemasaran Hasil Perikanan Pelagis Kecil Distribusi dan pemasaran hasil perikanan sangat tergantung pada pelaku distribusi dan pemasarannya. Hasil penelusuran terhadap pelaku ini menunjukkan adanya perbedaan distribusinya sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 40.
195
Kawasan pengembangan Gambar 40 Distribusi spasial pelaku usaha distribusi dan pemasaran ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah, 2010
Kota Masohi merupakan basis pedagang ikan di wilayah ini. Posisinya sebagai pusat Kabupaten dengan eksistensi pusat pasarnya menjadi penyebab tinggi jumlah pedagang ikan. Eksistensi pusat pasar ini juga yang menyebabkan kawasan lain seperti TNS melakukan pembelian ikan pelagis kecil di kawasan ini, sedangkan kawasan lain seperti Amahai dan Tehoru memberikan kontribusi produk ikan pelagis kecil untuk dijual pada pasar Kota Masohi. Kawasan-kawasan lain yang juga memiliki jumlah pedagang ikan yang cukup tinggi adalah Saparua, Leihitu, Salahutu dan Amahai. Distribusi pedagang ikan pada keempat kawasan sangat berkaitan dengan berperannya pasar ikan pada yanga ada di kawasan. Saparua merupakan pusat kecamatan yang memiliki pasar dengan fungsi mengakomodasi kebutuhan ikan di kawasan sekaligus menjadi lokasi distribusi ikan pelagis kecil dari kawasan lain seperti Nusalaut dan sebagian Pulau Haruku. Produk perikanan dari Maluku Tengah tidak hanya didistribusi dan dipasarkan pada tingkat lokal wilayah, namun juga dilakukan melalui kegiatan ekspor dan perdagangan antar pulau. Khusus untuk produk ikan pelagis kecil, tidak ada kegiatan ekspor yang dilakukan di dalam wilayah. Sementara kegiatan antar pulau lebih banyak dilakukan dalam wilayah Provinsi Maluku, baik ke Kota
196
Ambon maupun Kabupaten Seram Bagian Barat yang merupakan wilayahwilayah yang memiliki akses terdekatan dengan Maluku Tengah. Dalam Tahun 2010, tidak terdapat distribusi produk ikan pelagis kecil untuk kepentingan ekspor, hanya perdagangan antar pulau. Kegiatan perdagangan ikan pelagis antar pulau hanya dilakukan untuk jenis ikan layang. Dalam Tahun 2010, volume perdagangannya mencapai 148.403,3 Kg atau hanya sebesar 0,67% dari total produksi ikan pelagis kecil di Maluku Tengah. Seluruh kawasan memberikan berkontribusi terhadap perdagangan antar pulau, kecuali kawasan TNS. Dinamika yang tinggi pada proses distribusi dan pemasaran produk perikanan memiliki hubungan kuat dengan kapasitas wilayah penghasil produk perikanan untuk menjangkau pasar yang lebih luas (Diei-Ouadi, 2005; dan Mensah, 2005). Dinamika dalam pembangunan perikanan tangkap secara substansial sangat tergantung pada kreasi pelaku usaha perikanan, namun dalam perkembangannya sering terjadi peningkatan maupun penurunan aktivitas produksi pasca tangkap, sehingga memberikan pengaruh terhadap distribusi dan pemasaran produk perikanan (Diei-Ouadi, 2005). Pendapat yang diberikan di atas menjadi dasar untuk mengkaji dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah. Wilayah ini memiliki tiga tingkatan distribusi dan pemasaran produk perikanan: (1) lokal dan antar kawasan; (2) antar pulau; dan (3) ekspor. Hasil perhitungan secara agregat berdasarkan volume pemasaran tahunan menemukan kontribusi distribusi dan pemasaran produk perikanan pelagis kecil di wilayah ini terkonsentrasi pada tingkatan pasar lokal/antar kawasan dalam wilayah Maluku Tengah sebesar 71,92% atau mencapai 13.568,6 ton per tahun. Dua orientasi pasar lain, perdagangan antar pulau memberikan kontribusi 15,47% atau pada volume perdagangan 2.918,7 ton per tahun, dan ekspor berkontribusi 12,62% atau pada volume perdagangan 1.718,4 ton per tahun (Tabel 25). Kontribusi terbesar pada tingkat pemasaran lokal dan antar kawasan dimungkinkan adanya permintaan di dalam wilayah. Namun demikian, kondisi akan berubah apabila terjadi peningkatan produksi di masa mendatang, dimana tingkat permintaan lokal berkembang tetap sementara produksi memiliki
197
perkembangan yang lebih cepat. Kontribusi yang rendah pada tingkat perdagangan antar pulau dan ekspor sangat dipengaruhi oleh ketergangungan setiap kawasan terhadap jalur distribusi dan pemasaran produk perikanan pelagis kecil. Tabel 25 Kontribusi tiap kawasan terhadap tingkatan distribusi dan pemasaran produk ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah
-
Ekspor (kg) 0,0
154,5
5,29
0,0
-
9,37
153,1
5,25
0,0
-
4.241,9
28,28
218,1
7,47
0,0
-
Salahutu
3.372,2
17,06
199,1
6,82
1.031,5
43,34
6
Amahai
2.598,2
12,60
77,7
2,66
1.009,5
42,41
7
Tehoru
1.681,0
9,45
90,0
3,08
339,2
14,24
8
Nusalaut
992,7
3,68
469,6
16,09
0,0
-
9
K. Masohi
1.786,8
1,62
1.556,4
53,33
0,0
-
Total
14.230,4
100,0
2.918,7
100,0
2.380,2
100,0
%
71,92
No.
Kawasan
Lokal/Antar Kawasan (ton) 86,4
0,61
Antar Pulau (ton) 0,0
%
1
TNS
2
Saparua
2.622,2
17,34
3
P. Haruku
1.486,3
4
Leihitu
5
%
15,47
% -
12,62
Hasil ini juga memberikan justifikasi tentang dinamika tiap kawasan dalam melakukan distribusi dan pemasaran. Kegiatan distribusi dan pemasaran pada tingkat lokal/antar kawasan di Maluku Tengah dilakukan oleh seluruh kawasan, pada tingkat antar pulau hampir semua kawasan (kecuali TNS), serta tingkat ekspor hanya dilakukan oleh kawasan Salahutu, Amahai dan Tehoru. Beberapa hal yang memberikan pengaruh terhadap perbedaan orientasi pemasaran produk perikanan pelagis kecil, antara lain: (1) perbedaan kapasitas tiap kawasan untuk menjangkau tiap tingkatan pasar; (2) ketersediaan infrastruktur pendukung perikanan seperti pelabuhan perikanan; (3) tingkatan produksi; dan (4) ketersediaan jaringan pasar. Dinamikanya secara spasial diekspresikan dengan pendekatan grafis, khusus untuk tingkatan perdagangan antar pulau dan ekspor. Gambaran ini dikemukakan untuk menunjukkan kapasitas kawasan dalam melakukan distribusi dan pemasaran produk perikanan pelagis kecil yang lebih luas.
198
Dinamika yang ditunjukkan pada tingkatan perdagangan antara pulau, teridentifikasi
dua
pola
perkembangan
(Gambar
41a).
Pertama,
pola
perkembangan positif, dimana peningkatan volume distribusi pada periode 20012008 dengan peningkatan yang tajam pada tahun 2006. Kedua, pola perkembangan negatif karena terjadi penurunan yang sangat tajam, terutama pada periode tahun 2009 dan 2010. Dinamika distribusi dan pemasaran untuk orientasi ekspor menununjukkan tiga pola perkembangan (Gambar 41b): (1) pola pertumbuhan positif yang lambat pada periode 2001-2004; (2) pola pertumbuhan positif dengan cepat di tahun 2005-2007; serta (3) sama sekali tidak ada volume ekspor yang dintunjukkan pada periode 2009-2010. Dinamika yang ditunjukkan pada pola pertama dikondisikan dengan faktor ketersediaan pasar dengan permintaan yang meningkat lambat. Selama empat tahun pertama peninngkatan yang terjadi karena adanya perkembangan ekspor ke Jepang dan China. Pola kedua didukung dengan kondisi wilayah yang sangat kondusif (pasca konflik sosial) untuk megakomodasi permintaan pasar ekspor sehingga terjadi peningkatan permintaan. Peningkatan yang tajam pada pola kedua ini juga didukung bertambahnya satu negara tujuan ekspor yakni Thailand. Pola ketiga merupakan kondisi di mana kegiatan ekspor sama sekali tidak dilakukan. Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa tidak adanya aktivitas ekspor terkait dengan dua faktor utama, yaitu: (1) tidak adanya kelanjutan permintaan ikan pelagis kecil dari ketiga negara tujuan ekspor; dan (2) aktivitas perusahaan asing yang melakukan kegiatan pengapalan ikan di ketiga kawasan telah menghentikan aktivitas mereka sejak awal tahun 2009. Dinamika distribusi dan pemasaran di wilayah ini, pada tingkat lokal dan antar kawasan, antar pulau serta ekspor, berkaitan erat dengan kapasitas wilayah dalam mengakomodasi prosesnya. Pertama, produksi yang tinggi akan menuntut pelaku usaha perikanan ekpansi dalam distribusi dan pemasaran produknya. Kedua, dukungan investasi terkait dengan penyiapan infrastruktur perikanan yang mendukung proses penampungan dan penyimpanan produk.
199
(a) Volume pemasaran antar Pulau (kg)
(a) Volume ekspor (kg) Gambar 41. Perkembangan pemasaran produksi ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Ketiga, kemampuan menarik investasi ke dalam wilayah untuk penyiapan infrastruktur perikanan yang dikembangkan swasta sebagai media dalam menjembatani hasil produksi dari nelayan ke eksportir. Keempat, kebijakan
200
pemerintah dalam mengakomodasi kerjasama ekspor dan pengembangan infrastruktur perikanan internal wilayah. Beberapa pandangan berikut memberikan pembenaran dinamika distribusi dan pemasaran produk perikanan yang terjadi di Maluku Tengah. Studi Infofish (2008) pada tiga negara di Asia menemukan dua tingkatan tujuan distribusi dan pemasaran, pasar lokal dan ekspor. Pasar tingkat lokal akan cenderung mengakomodasi produk dari seluruh kawasan perikanan yang dengan berbagai kapasitasnya, sedangkan tingkatan ekspor mengakomodasi produk dari kawasan yang memiliki kapasitas produksi yang tinggi. Dinamika distribusi dan pemasaran produk perikanan ditentukan oleh batasan-batasan ruang yang dapat dijangkau oleh suatu kawasan perikanan. Jaringan pemasaran menjadi syarat berkembang tidaknya suatu proses distribusi produk perikanan. Penguasaan terhadap jalur dan akses yang terbuka terhadap pemasaran menjadi penentu naik turunnya distribusi (Diei-Ouadi, 2005). Dukungan pemerintah melalui kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan seperti pelabuhan perikanan dan coldstorage serta sistem perizinan perdagangan produk perikanan, menjadi basis untuk meningkatkan dinamika distribusi dan pemasarannya. Implementasi kebijakan dan pengawasan intensif dalam mendukung aktivitas perikanan tangkap di tingkat basis merupakan hal mendasar untuk tetap mempertahankan keberlanjutan distribusi dan pemasaran produk perikanan (Diei-Ouadi, 2005; Mensah, 2005; dan Infofish, 2008).
6.8 Implikasi Dinamika Sub Sistem Manusia Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan Dinamika yang terjadi pada seluruh sub sistem manusia di Wilayah Selatan Maluku Tengah memberikan dampak terhadap seluruh kegiatannya di wilayah ini. Penelitian ini mengemukakan beberapa kondisi penting yang dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Beberapa kondisi yang dimaksudkan terkait dengan implikasinya bagi pengembangan kawasan meliputi: (1) dampak terhadap kapasitas dan upaya penangkapan; (2) kelayakan finansial; (3) pendapatan per kapita nelayan; (4) alat tangkap pilihan; dan (5) komoditas unggulan.
201
6.8.1 Kapasitas dan upaya penangkapan standar Dinamika yang ditunjukkan baik pada perkembangan volume produksi maupun upaya penangkapan sangat berpengaruh terhadap pembentukan nilai upaya tangkap per hasil penangkapan ikan pelagis kecil (CPUE). Analisis terhadap perkembangan CPUE merupakan pengantar untuk menghitung indeks kapasitas tangkap (FPI) dari setiap jenis unit penangkapan ikan dominan (Lampiran 3). Sesuai dengan hasil perhitungan CPUE, teridentifikasi CPUE tertinggi ialah pada pukat cincin dengan nilai rata-rata 0,4402 ton per trip, kategori sedang pada unit penangkapan bagan apung dan pukat pantai dengan nilai rata-rata masing-masing 0,3833 ton/trip dan 0,3241 ton/trip, sementara kedua alat penangkapan lainnya teridstribusi pada kategori rendah dengan nilai rata-rata masing-masing jaring insang 0,1038 dan pancing tegak 0,0711 ton/trip. Fluktuasi distribusi nilai CPUE yang ditunjukkan dalam Gambar 42 mengindikasikan dinamikanya secara temporal. Pertama, pukat cincin memiliki pola perkembangan yang menurun secara lambat pada periode tahun 2001 - 2005, namun mengalami perkembangan relatif tetap tahun 2007 dan 2008, selanjutnya pada dari tahun 2009 dan 2010. Kedua, bagan apung menunjukkan peningkatan nilai CPUE pada periode tahun 2001 – 2005, namun pada tahun 2006 - 2008 mengalami fluktuasi yang tidak terlalu jauh, sedangkan pada periode selanjutnya menunjukkan penurunan. Ketiga, pukat pantai menunjukkan fluktuasi pada periode tahun 2001 – 2005, berkembang sangat lambat pada periode 2006 – 2010. Keempat, pancing tegak dan merupakan alat-alat penangkapan ikan yang menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan ketiga alat tangkap dominan lainnya. Perkembangan sangat datar sejak tahun 2001 – 2006, dan meningkat lambat pada periode 2007 -2010. Secara umum perkembangan yang ditunjukkan oleh kelima alat tangkap mengalami perkembangan yang lambat di tahun 2001 – 2005. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi wilayah Maluku Tengah yang tidak akomodatif terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil.
CPUE (ton/trip)
202
Tahun Gambar 42 Upaya tangkap per hasil penangkapan ikan pelagis kecil tiap alat tangkap dominan di perairan Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Alat tangkap pukat cincin dan bagan mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir (2008 – 2010). Kondisi ini disebabkan peningkatan jumlah alat tangkap yang cepat, tidak diikuti dengan peningkatan produksi yang signifikan. Di sisi lain, alat tangkap pukat cincin, jaring insang dan pancing tegak menunjukkan peningkatan pada tahun 2006 – 2010 karena ketiga alat penangkapan ini menjadi pilihan aletrnatif bagi nelayan miskin di wilayah Selatan Maluku Tengah. Hasil perhitungan indeks kapasitas penangkapan (FPI) seperti pada menunjukkan pukat cincin merupakan alat tangkap dominan dengan nilai FPI 1,0000. Capaian nilai tersebut disebabkan karena alat tangkap ini memiliki nilai CPUE yang paling tinggi, sehingga menjadi alat tangkap standar untuk perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Di sisi lain, nilai FPI keempat alat tangkap lainnya masing-masing: pukat pantai 0,7363, jaring insang 0,2358, bagan 0,8707, dan pancing tegak 0,1616. Berdasarkan capaian nilai FPI, ditentukan upaya standar yang hasilnya dinyatakan pada Tabel 26, dimana terdapat beberapa perkembangan yang berbeda untuk setiap alat penangkapan ikan. Pertama, pukat pantai menunjukkan
203
peningkatan upaya standar sampai tahun 2004 dan turun sejak tahun 2005 sampai 2010. Tabel 26 Upaya penangkapan standar unit alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di perairan Maluku Tengah tahun 2001 – 2010
2001
Pukat pantai (trip) 4.302
2002
4.351
20.807
2.635
13.206
2.002
2003
4.394
20.891
2.660
13.243
2.016
2004
4.418
20.950
2.679
13.295
2.031
2005
4.371
20.888
2.661
13.221
2.017
2006
4.362
20.894
2.668
13.187
2.012
2007
4.338
20.878
2.658
13.156
1.987
2008
4.329
20.874
2.647
13.119
1.974
2009
4.295
20.270
2.620
13.070
1.962
2010
4.241
20.340
2.556
12.838
1.930
Tahun
Pukat cincin (trip) 20.743
Jaring insang (trip) 2.613
Bagan apung (trip) 13.206
Pancing tegak (trip) 1.990
Kedua, pukat cincin menunjukkan peningkatan pada tahun 2001 – 2004, turun pada tahun 2005 – 2009, dan ditahun terakhir meningkat lambat. Ketiga, jaring insang mengalami perkembangan yang fluktuatif dimana sejak tahun 2001 sampai 2005, dan menurun sampai dengan tahun 2010. Keempat, bagan menunjukkan peningkatan pada tahun 2001 – 2004, turun lambat sampai dengan tahun 2009, dan meningkat lambat di tahun 2010. Sementara pancing tegak menunjukkan perkembangan sangat flat pada tahun 2001- 2005, kemudian turun lambat tahun 2006 – 2009 dan meningkat lagi di tahun 2009. Hasil standarisasi yang memberikan perubahan pada nilai CPUE dan upaya penangkapan, tentunya memberikan konsekuensi terhadap perubahan hubungannya. Oleh sebab itu, analisis terhadap hubungan keduanya menjadi penting untuk dilakukan, dimana pendekatan OLS digunakan untuk menunjukkan hubungan tersebut melalui analisis regresi. Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien α sebesar 1,764 dan β sebesar -3,09E-05. Dengan demikian persamaan regresi yang menyatakan hubungan CPUE dan upaya standar dapat ditulis dengan ht = 1,764 – 0,0000309Et.
204
Hubungan secara grafis ditunjukkan pada Gambar 43, yang menggambarkan terjadinya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan. Hasil ini membuktikan bahwa CPUE yang menjadi indikator produktivitas unit penangkapan dipengaruhi oleh intensitas penangkapan yang bersifat negatif.
Gambar 43 Hubungan CPUE dan upaya standar ikan pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Kondisi yang ditemukan ini diduga kuat berhubungan dengan faktor lingkungan dan faktor eksternal lainnya. Faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah kondisi perairan yang tidak akomodatif karena musim ombak dan arus yang kuat, perkembangan produksi yang semakin menurun dan dukungan pasar untuk mengakomodasi distribusi produk semakin kecil. Kondisi yang dikemukakan terakhir terkait dengan distribusi dan pemasaran produk ikan pelagis kecil hanya terbatas pada perdagangan lokal dan antar pulau. Peluang distribusi dan pemasaran dalam lingkup ekspor sama sekali tidak terakomodasi pada dua sampai dengan tahun terakhir.
6.8.2 Kelayakan usaha secara finansial Analisis kelayakan finansial dilakukan terhadap kelima jenis unit penangkapan ikan dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, untuk mengetahui
205
manfaat secara finansial dalam rangka pengembangan jenis unit penangkapan ikan pelagis di wilayah ini. Kriteria-kriteria kelayakan finansial yang dianalisis meliputi: net present value (NPV), benefit-cost ratio (B/C), internal rate of return (IRR), return of investment (ROI), dan revenue-cost ratio (R/C). Sebelum seluruh analisis finansial dilakukan, terlebih dahulu dikemukakan keragaan usaha dari seluruh jenis unit penangkapan ikan. Keragaan usaha yang dimaksudkan meliputi: komponen pembiayaan, distribusi trip, produksi dan harga serta tingkat penerimaan tahunan (Lampiran 4).
6.8.2.1 Keragaan usaha Seluruh
jenis
unit
penangkapan
memiliki
distribusi
komponen
pembiayaan, trip dan produksi serta pendapatan tahunan yang berbeda. Pertama, unit penangkapan ikan pukat pantai memiliki tingkat investasi Rp. 68.900.000,-; biaya tetap tahunan Rp. 14.204.500,-; biaya tidak tetap tahunan Rp. 50.812.500,-; 150 trip penangkapan selama setahun; kisaran produksi antara 105 – 255 kg per trip, kisaran harga Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-; dan tingkat penerimaan tahunan Rp. 106.200.000,-. Kedua, unit penangkapan ikan pukat cincin memiliki tingkat investasi Rp. 747.187.000,-; biaya tetap tahunan Rp. 161.939.750-; biaya tidak tetap tahunan Rp. 272.000.000,-; 160 trip penangkapan selama setahun; kisaran produksi antara 450 – 1.250 kg per trip, kisaran harga Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-; dan tingkat penerimaan tahunan Rp. 902.400.000,-. Ketiga, unit penangkapan ikan jaring insang hanyut memiliki tingkat investasi Rp. 11.497.500,-; biaya tetap tahunan Rp. 2.484.000, -; biaya tidak tetap tahunan Rp. 8.192.000,-; 266 trip penangkapan selama setahun; kisaran produksi antara 8,25 – 31.50 kg per trip, kisaran harga Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-; dan tingkat penerimaan tahunan Rp. 17.260.000,-. Keempat, unit penangkapan ikan bagan apung memiliki tingkat investasi Rp. 131.208.250,-; biaya tetap tahunan Rp. 32.602.625,-; biaya tidak tetap tahunan Rp. 40.717.500,-; 183 trip penangkapan selama setahun; kisaran produksi antara 85 – 575 kg per trip, kisaran harga Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-; dan tingkat penerimaan tahunan Rp. 150.075.000,-.
206
Kelima, unit penangkapan ikan pancing tegak memiliki tingkat investasi Rp. 9.410.000,-; biaya tetap tahunan Rp. 2.039.500,-; biaya tidak tetap tahunan Rp. 19.717.500,-; 165 trip penangkapan selama setahun; kisaran produksi antara 17,5 – 63,5 kg per trip, kisaran harga Rp. 3.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-; dan tingkat penerimaan tahunan Rp. 24.457.500,-. Hasil ini menerangkan tentang tingginya nilai yang dimiliki oleh pukat cincin disebabkan karena tingginya kapasitas ekonomi yang dimiliki dalam usaha. Hal tersebut dibuktikan dari tingkat keuntungan yang paling tinggi dimiliki oleh pukat cincin yakni sebesar Rp. 238.830.125,-. Besarnya keuntungan sangat ditentukan oleh hasil tangkapan yang diperoleh dan biaya usaha yang dikeluarkan. Jaring insang hanyut dan pancing tegak yang termasuk dalam kategori alat penangkapan ikan tradisional memiliki kapasitas secara ekonomi yang rendah, dengan tingkat keuntungan masing-masing Rp. 3.292.000,- dan Rp. 2.432.000,-. Namun demikian, kedua unit penangkapan ikan pelagis kecil ini menjadi pilihan utama bagi nelayan miskin di wilayah Selatan Maluku Tengah. Hal ni disebabkan karena tingkat investasinya tidak besar dan dapat diakomodasi pada tingkat RTP secara mandiri. Kisaran nilai perimbangan penerimaan dan biaya (R/C) antara 1,04 sampai dengan 1,24, dimana nilai tertinggi adalah pada pukat cincin dan terendah pada pancing tegak. Nilai ini menunjukkan setiap pengeluaran Rp. 1,00 akan memperoleh penerimaan antara Rp. 1,04 sampai dengan Rp. 1,24. Kisaran nilai Payback Period (PP) untuk kelima unit penangkapan ikan dominan ini berkisar antara 3,13 sampai dengan 3,49 tahun. Nilai PP yang paling tinggi adalah jaring insang dan terendah pada pukat cincin. Nilai yang tinggi menunjukkan tingkat pengembalian lambat, dan nilai yang rendah menunjukkan tingkat pengembalian cepat. Hasil ini menerangkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan biaya investasi antara tiga tahun dua bulan sampai dengan tiga tahun enam bulan. Tinggi dan rendahnya nilai PP ini juga memberikan gambaran tentang adanya kapasitas ekonomi antara tiap unit penangkapan ikan. Perbedaan kapasitas ekonomi yang diberikan oleh seluruh jenis unit penangkapan ikan menunjukkan adanya dinamika untuk setiap jenisnya. Oleh
207
sebab itu, dinamika ekonominya akan turut memberikan dampak terhadap tingkat kelayakan usaha dari tiap unit penangkapan ikan pelagis kecil.
6.8.2.2 Kelayakan finansial Analisis kelayakan finansial dimulai dengan menghitung prakiraan cash flow yang membantu dalam menganalisis kriteria invetsasi. Analisis kelayakan finansial untuk kelima unit penangkapan ikan dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah menggunakan discount factor 11% dalam jangka waktu umur proyek delapan tahun. Penggunaan tingkat suku bunga ini merupakan nilai rata-rata suku bunga bank yang berlaku di Maluku awal tahun 2010. Pengembangan analisis kelayakan finansial pada usaha perikana tangkap, menurut Garrod dan Willis (1999) sebagaimana diacu oleh Dahlan et al. (2011) merupakan dasar untuk mengetahui jenis usaha perikanan tangkap yang sesuai dan dapat dijadikan unggulan dalam pembanguan perikanan di setiap kawasan. Oleh sebab itu, analisis ini disebut sebagai analisis kesesuaian yang dilakukan dengan membandingkan semua penerimaan dari kegiatan investasi dengan semua pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi. Lebih lanjuut dikemukakan bahwa untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, maka penerimaan dan pengeluaran tersebut dinyatakan dalam nilai uang dan harus dihitung selama periode operasi atau waktu proyek yang sama. Untuk menganalisis kelayakan dan kemungkinan pengembangan usaha penangkapan dan aspek finansial digunakan kriteria investasi yaitu NPV, Net B/C, dan IRR. NPV merupakan jumlah manfaat yang diperoleh selama umur proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini. Net B/C merupakan perbandingan nilainilai gabungan sekarang dari penerimaan yang bersifat positif dengan nilai-nilai gabungan sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif. IRR adalah nilai keuntungan internal dari inbestasi yang ditanamkan (Sutisna, 2007; Garrod dan Willis, 1999 dalam Dahlan et al. (2011). Hasil analisis kelayakan finansial berdasarkan kriteria investasi adalah: (1) kisaran nilai NPV antara Rp. 4.487.104,- sampai dengan Rp. 481.862.142,-, tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada pancing tegak (2) nilai B/C berkisar antara 1,48 sampai dengan 1,64, tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada
208
pancing tegak; (3) distribusi nilai IRR antara 11,12 sampai dengan 14,72%, tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada pancing tegak; serta (4) nilai ROI berkisar antara 5,89 sampai dengan 13,38, teringgi pada pancing tegak dan terendah pada bagan apung (Tabel 27). Tabel 27 Distribusi nilai kelayakan finansial unit penangkapan ikan pelagis kecil dominan di perairan Selatan Maluku Tengah Jenis Unit Penangkapan Ikan Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring Insang Hanyut
Bagan apung
Pancing Tegak
Hasil
analisis
Kriteria Investasi NPV IRR ROI Net B/C NPV IRR ROI Net B/C NPV IRR ROI Net B/C NPV IRR ROI Net B/C NPV IRR ROI Net B/C
untuk
Satuan
Hasil Analisis
Rp %
38.153.163,63 12,75 7,93 1,55 458.189.977,56 14,05 6,22 1,61 5.579.383,23 11,28 7,73 1,49 66.286.754,62 11,73 5,89 1,51 4.487.104,52 11,12 13,38 1,48
Rp %
Rp %
Rp %
Rp %
seluruh
unit
penangkapan
Keputusan
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
ikan
dominan
memperlihatkan nilai kriteria investasi NPV > 0; BC ratio > 1; IRR > discount factor; dan ROI > 1. Hasil ini menunjukkan bahwa seluruh jenis alat tangkap dominan berada pada kategori keputusan layak untuk dikembangkan. Artinya, seluruh jenis unit penangkapan ikan sehat secara keuangan dan secara finansial layak untuk dilanjutkan pengembangannya. Mustaruddin et al. (2011) menyatakan karena seluruh parameter kelayakan dipenuhi dengan baik oleh seluruh usaha perikanan tangkap, maka layak dikembangkan di lokasi pengembangannya. Kisaran nilai untuk setiap kriteria investasi sangat dipengaruhi oleh produksi setiap unit penangkapan ikan dan itngkatan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pengembangan usaha (Sutsina, 2007). Seluruh hasil analisis ini
209
menjadi dasar yang kuat dan sangat membantu dalam menentukan teknologi penangkapan ikan dominan. Dahlan et al. (2011) menerangkan hasil perhitungan kesesuaian usaha berdasarkan kriteria investasi yang layak memberi panduan untuk pemilihan usaha perikanan tangkap yang tepat, dan hal ni sangat berguna terutama untuk mengembangkan potensi dan komoditas unggulan pada perikanan daerah secara secara berkelanjutan.
6.8.3 Komoditas unggulan dan alat penangkapan ikan pilihan 6.8.3.1 Komoditas pelagis kecil unggulan Penentuan komoditas pelagis kecil unggulan yang dilakukan dengan pendekatan skoring yang diikuti dengan standarisasi nilai melalui pendekatan fungsi nilai mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Kuntoro dan Listiarini (1983) dan Haluan dan Nurani (1998). Batasan terhadap kriteria fungsi mengacu pada hasil yang dikembangkan oleh Sutisna (2007), yang melakukan seleksi komoditas unggulan menggunakan variabel-variabel: nilai produksi (Rp), tingkatan harga (Rp/kg), wilayah pemasaran, dan nilai tambah. Sesuai dengan pendekatan ini, setiap variabel memberikan distribusi nilai berbeda untuk tiap jenis ikan (Tabel 28). Hasil analisis nilai produksi ikan pelagis kecil secara total tahun 2010 menunjukkan total nilai produksi mencapai Rp. 49.246.175,-. Capaian nilai produksi ini merupakan akumulasi dari distribusi harga untuk setiap jenis ikan pelagis kecil dominan dengan total volume produksi dalam tahun 2010 sebesar 22.145,79 kg. Distribusinya selama tahun 2010 untuk 10 jenis ikan dominan dinyatakan dalam tabel analisis komoditas unggulan. Harga rata-rata untuk setiap jenis ikan menunjukkan nilai tertinggi pada ikan sunglir sebesar Rp. 10.000,- dan terendah pada ikan terbang dan tembang Rp. 3.000,-. Jenis lainnya memiliki kisaran harga antara Rp. 4.000,- sampai dengan Rp. 7.000,-.
210
Tabel 28 Distribusi fungsi nilai dan rangking komoditas pelagis kecil unggulan di wilayah Selatan Maluku Tengah
Nilai produksi (Rp)
Fungsi nilai
Harga (Rp/kg)
Fungsi nilai
Wilayah pemasaran
Fungsi nilai
Nilai Tambah (ANP)
Fungsi nilai
Rataan fungsi nilai
Rank
Layang
25.569.600
1,000
6.000
0,429
3
1,000
108
1,000
0,857
1
Selar
6.627.950
0,259
7.000
0,571
2
0,500
37
0,311
0,410
2
Kembung
1.556.259
0,060
7.000
0,571
1
0,000
48
0,417
0,262
4
921.300
0,036
6.000
0,429
1
0,000
15
0,097
0,140
7
Terbang
1.286.139
0,050
3.000
0,000
2
0,500
16
0,102
0,163
6
Sunglir
5.088.000
0,199
10.000
1,000
1
0,000
15
0,092
0,323
3
10.379
0,000
3.000
0,000
1
0,000
50
0,432
0,108
8
7.556.600
0,295
4.000
0,143
1
0,000
31
0,252
0,173
5
311.074
0,012
4.000
0,143
1
0,000
9
0,039
0,048
9
Japuh 318.874 0,012 4.000 0,143 Keterangan: Sistem skoring untuk wilayah pemasaran, meliputi:
1
0,000
5
0,000
0,039
10
Komoditas pelagis kecil
Julung-julung
Tembang Teri Lemuru
Skor 1 = wilayah pemasaran lokal Skor 2 = wilayah pemasaran antar pulau Skor 3 = wilayah pemasaran ekspor
211
Dari sepuluh jenis ikan dominan diproduksi di perairan Selatan Maluku Tengah, ikan layang merupakan satu-satunya komoditas yang memiliki jangkau pasar yang paling luas yaitu pasar ekspor. Hal ini dipengaruhi oleh adanya ketersediaan pasar luar negeri terhadap komoditas ini yang meningkat dari waktu ke waktu. Dua komoditas lain yang memiliki jangkau pasar dengan kategori pasar antar pulau adalah ikan selar dan ikan terbang. Tujuh komoditas lainnya hanya memiliki pasar lokal kabupaten dan provinsi. Identifikasi terhadap jenis ikan yang diolah untuk meningkatkan nilai tambah menggunakan pendekatan akumulasi nilai proporsional (ANP) dari produksi komoditas ikan pelagis kecil untuk setiap jenis olahan. Sesuai dengan hasil perhitungan ini, ikan layang memiliki ANP yang paling tinggi yang sebesar 108, sedangkan ANP terendah pada komoditas lemuru dan japuh masing-masing sebesar sembilan dan lima. Seluruh hasil dipetakan secara tabular untuk distandarisasi dan dibuat perangkingan keunggulannya. Tingkatan fungsi nilai dari keempat variabel yang dianalisis. Dengan pendekatan lima rangking teratas, terseleksi lima komoditas unggulan masing-masing dengan rataan fungsi nilainya: ikan layang (0,857), selar 0,410), sunglir (0,323), kembung (0,262) dan teri (0,173).
6.8.3.2 Unit penangkapan ikan pelagis kecil pilihan Seleksi terhadap unit penangkapan ikan (UPI) pelagis kecil pilihan untuk dikembangkan di wilayah Maluku Tengah, didasarkan pada empat aspek penentu pada teknologi penangkapan ikan eksisting, masing-masing: teknis, finansial, lingkungan dan sosial. Analisis ini mengacu Sutisna (2007) dan dikembangkan sesuai kebutuhan perluasan analisis, dan untuk penelitian ini analisis dilakukan terhadap teknologi penangkapan ikan pelagis kecil yang dominan. Mengacu pada seluruh hasil analisis keragaan sistem perikanan pelagis kecil, dinamika dan dampak, seleksi terhadap UPI pelagis kecil pilihan dapat dilakukan. Pertama, pada aspek teknis terdapat empat variabel yang dianalisis, meliputi: (1) rata-rata nilai CPUE untuk kelima UPI dominan berkisar antara 0,0711 – 0,4402 ton/trip, tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada pancing tegak; (2) sesuai dengan tingkat produktivitasnya, kisaran rata-rata produksi setiap
212
UPI antara 0,57 – 88,87 ton/tahun tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada pancing tegak; serta (3) jarak jangkauan penangkapan untuk pukat pantai dan bagan apung pada wilayah perairan empat mil dari pantai, alat tangkap jaring insang dan pancing tegak dapat menjangkau perairan di atas empat mil namun tidak menjangkau wilayah 12 mil, sedangkan pukat cincin dapat mencapai perairan di atas 200 mil tergantung pada distribusi rumpon sebagai daerah tujuan tangkap. Gambaran aspek teknis ini memberikan justifikasi tentang rangking keragaan aspek teknis. UPI yang masuk dalam dalam tiga rangking teratas untuk aspek teknis adalah pukat cincin, bagan apung dan pukat pantai (Tabel 29). Tabel 29 Keragaan aspek teknis teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah
CPUE (ton/trip)
Fungsi Nilai
Prod./ tahun (ton)
Fungsi Nilai
Jarak jangkau tangkap
Fungsi Nilai
Rataan Fungsi Nilai
Rank
Pukat pantai
0,3241
0,69
13,70
0,15
1
0,00
0,28
3
Pukat cincin
0,4402
1,00
88,87
1,00
3
1,00
1,00
1
Jaring insang hanyut
0,1038
0,09
0,96
0,00
2
0,50
0,20
4
Bagan apung
0,3833
0,85
65,15
0,73
1
0,00
0,53
2
Pancing tegak
0,0711
0,00
0,57
0,00
2
0,50
0,17
5
Jenis Teknologi
Keterangan: Sistem skoring untuk jarak jangkau penangkapan: Skor 1 = sekitar perairan pantai, maksimum 4 mil dari pantai Skor 2 = dapat mencapai perairan teritorial 12 mil dari pantai Skor 3 = dapat mencapai perairan lebih dari 200 mil dari pantai
Kedua, penilaian aspek finansial mengacu pada hasil analisis dampak dinamika sistem perikanan terhadap kelayakan usaha perikanan pelagis kecil untuk lima UPI dominan. Tiga jenis UPI dengan rangking teratas masih didominasi oleh pukat cincin, bagan apung dan pukat pantai (Tabel 30). Dominasi ketiga UPI pada aspek teknis diikuti dengan dominasinya pada aspek finansial. Ketiga, aspek lingkungan dianalisis dengan pendekatan hasil studi empiris dan hasil lapangan untuk membuktikan kebenaran hasil studi empiris. Monintja (2000) dalam Wiryawan et al. (2008) menyatakan ada sembilan kriteria suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan, dan untuk penelitian ini digunakan
213
empat kriteria, masing-masing: mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, dan by catch rendah. Tabel 30 Keragaan aspek finansial teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah
Jenis Teknologi
NPV (Rp. 000)
Fungsi Nilai
Net B/C
Fungsi Nilai
IRR (%)
Fungsi Nilai
Profit (Rp. 000 per unit)
Fungsi Nilai
Rataan Fungsi Nilai
Rank
Pukat pantai
38,153
0,07
1,55
0,44
12,75
0,45
20,591
0,08
0,26
3
Pukat cincin
481,862
1,00
1,64
1,00
14,72
1,00
238,830
1,00
1,00
1
Jaring insang hanyut
5,579
0,00
1,49
0,06
11,28
0,04
3,292
0,00
0,03
4
Bagan apung
66,286
0,13
1,51
0,19
11,73
0,17
38,377
0,15
0,16
2
Pancing tegak
4,487
0,00
1,48
0,00
11,12
0,00
2,700
0,00
0,00
5
Pilihan terhadap keempat kriteria ini didasarkan pada penggunaan faktor yang berpengaruh langsung tehadap lingkungan perairan dan sumber daya ikan, disamping tujuan tangkap tidak diarahkan untuk jenis-jenis yang dilindungi dan tidak dilakukannya pengukuran terhadap tingkat kematian dan kerusakan habitat. Untuk pengembangan analisis ini, diberikan gambaran tentang karakteristik kelima alat tangkap ikan pelagis kecil dominan terkait dengan aspek lingkungan. Pukat pantai (beach seine) adalah salah satu jenis alat tangkap yang masih tergolong kedalam jenis alat tangkap pukat tepi, memiliki kantong dan bersayap atau kaki. Dengan eksistensi kantungnya yang memiliki ukuran mata jaring yang kecil mebuka peluang untuk memperoleh hasil tangkapan dari berbagai jenis. Jenis utama yang menjadi tujuan penangkapan dengan pukat pantai di wilayah ini adalah ikan teri yang diupayakan untuk mendukung perikanan pole line. Jenisjenis ekonomis yang sering tertangkap selain teri adalah beloso, manyung, sembilang, krepa, kerong-kerong, gerot-gerot, biji nangka, kapas-kapas, petek, ikan lidah dan sebelah, dan jenis-jenis udang. Berdasarkan jenisnya, hasil ini menunjukkan capaian produksi pukat pantai berasal dari berbagai ukuran. Dalam operasi penangkapannya, setelah jaring dilingkarkan pada sasaran kemudian dengan tali panjang (tali hela) ditarik menelusuri dasar perairan dan pada akhir penangkapan hasilnya didaratkan ke pantai. Sesuai dengan sifatnya
214
yang ditarik menyusur dasar terutama di perairan pasang surut, bersentuhan langsung dengan habitat di dasar perairan. Walaupun pada beberapa lokasi di wilayah ini pengoperasiannya dilakukan pada perairan bersubstrat pasir dan lumpur, namun dominan dilakukan pada sebagian terumbu karang sampai dengan lamun. Pengoperasian cenderung memberikan tekanan terhadap eksistensi lamun dan sebagian terumbu karang. Walaupun memiliki keragaman hasil tanggkapan yang tinggi, jenis ikan teri merupakan jenis yang paling diminati dalam kondisi hidup terutama dalam memenuhi permintaan perikanan pole and line terhadap ikan umpan. Untuk kepentingan itu, ikan teri hidup biasanya ditampung dalam media gogona untuk sampai dengan waktu pemanfaatannya pada perikanan pole and line.
Hasil
tangkapan secara total dari pukat pantai di wilayah ini juga meliputi jenis-jenis yang tidak ekonomis seperti buntal durian, ikan gete-gete, dan lain-lain., sehingga berpotensi dalam meningkatkan by catch. Prinsip menangkap ikan dengan pukat cincin (purse seine) adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, dengan demikian ikan-ikan terkumpul di bagian kantong. Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup gerak ikan. Ikan-ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding penghadang, dan bukan sebagai pengerat ikan. Nelayan di Provinsi Maluku yang menggunakan pukat cincin (purse seine) melakukan kegiatan operasi penangkapan dengan tujuan menangkap ikan pelagis kecil, namun kadangkala turut tertangkap pula ikan pelagis besar dan bahkan cumi-cumi. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap dengan pukat cincin perairan Maluku terdiri dari ikan layang, selar, tongkol, dan ikan kembung, yang umumnya merupakan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomis. Ini dapat dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman, seperti adanya perubahan warna permukaan air laut karena gerombolan ikan berenang dekat dengan permukaan air. Hal ini tidak berpotensi memberikan dampak terhadap kerusakan habitat. Walaupun hasil tangkapan ikan dengan alat tangkap ini tidak dalam bentuk hidup, namun eksistensi palka yang dilengkapi dengan es digunakan untuk mempetahankan tingkat kesegaran ikan.
215
Gill net yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis, yaitu jenis jaring insang hanyut (drift gill net). Sifat utama alat tangkap ini adalah menjebak ikan yaitu dengan mata jaring yang disesuaikan sehingga ketika ikan mencoba melaluinya, maka ikan akan terjerat pada mata jaring. Metode pengoperasiannya yaitu dengan memasang jaring dengan posisi melawan arus, posisi jaring diupayakan membentang sempurna dari permukaan sampai ke dasar perairan. Pengoperasiannya di permukaan perairan tidak memberikan resiko terhadap habitat yang ada di dasar perairan, baik lamun maupun terumbu karang. Hasil tangkapannya yang dijual biasanya dalam bentuk segar. Sesuai dengan peruntukannya terhadap ikan pelagis, dan dengan pendekatan ukuran mata jaringnya, jaring insang hanyut dapat diarahkan untuk melakukan penangkapan ikan pelagis kecil seperti kembung, layang, selara, terbang dan lain-lain. Jenisjenis ini merupakan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomis. Pengusahaan bagan apung (boat/raft lift net) untuk menangkap ikan oleh nelayan di Maluku Tengah pada umumnya masih dilakukan secara tradisional. Upaya penangkapan ikan terutama ditujukan untuk menangkap ikan pelagis kecil, baik untuk konsumsi maupun untuk dijadikan sebagai umpan hidup pada penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pole and line. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya tertangkap pada operasi penangkapan ikan dengan menggunakan bagan apung di perairan Maluku terdiri dari ikan tembang, teri, japuh/lompa, layang, selar, kembung, dan lain sebagainya. Seluruh jenis ini merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis. Jenis ikan teri merupakan jenis yang paling dicari dalam kondisi hidup sebagai ikan umpan untuk mendukung perikanan pole and line. Pancing tegak (vertical hand lines/multiple vertical hand lines) merupakan jenis alat tangkap yang diperuntukan untuk penangkapan ikan pelagis kecil tergantung pada ukuran mata pancing yang digunakan. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan dan kolom air tanpa menggunakan joran. Jenis-jenis pelagis kecil yang paling umum tertangkap adalah selar dan kembung. Dengan penggunaan mata jaring, alat inilah yang merupakan jenis alat penangkapan ikan pelagis kecil yang palung selektif karena hanya jenis-jenis yang
216
menjadi tujuan penangkapan saja yang tertangkap. Hasil penangkapannya umumnya dalam kondisi mati namun sangat segar untuk dijual. Setiap kriteria memiliki sub kriteria dengan tingkat skor masing-masing dikembangkan dari Monintja (2000) dalam Wiryawan et al. (2008), meliputi: (1) mempunyai selektivitas yang tinggi: a. menangkap lebih dari tiga spesies ikan dengan variasi ukuran yang berbeda jauh (Skor 1); b. menangkap tiga spesies ikan atau kurang dengan variasi ukuran yang berbeda jauh (Skor 2); c. menangkap lebih dari tiga spesies ikan dengan variasi ukuran yang berbeda jauh (Skor 3); d. menangkap lebih dari tiga spesies ikan dengan variasi ukuran yang berbeda jauh (Skor 4). (2) tidak merusak habitat: a. menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas (Skor 1); b. menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit (Skor 2); c. menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit (Skor 2); d. aman bagi habitat (Skor 4); (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi: a. ikan mati dan busuk (Skor 1); b. ikan mati, segar, cacat fisik (Skor 2); c. ikan mati dan segar (Skor 3); d. ada sebagian ikan hidup (Skor 4). (4) by catch rendah: a. by cacth ada beberapa spesies dan tidak laku dijual di pasar (Skor 1); b. by cacth ada beberapa spesies dan ada jenis yang laku di pasar (Skor 2); c. by cacth kurang dari tiga spesies dan laku di pasar (Skor 3); d. by cacth ada beberapa spesies dan mempunyai harga yang tinggi (Skor 4). Sesuai dengan kriteria/sub kriteria dan sistem skoring, maka seleksi berdasarkan aspek lingkungan dapat dilakukan dengan hasil penilaian secara
217
menyeluruh pada Tabel 31. Hasil ini menunjukkan jaring insang hanyut, pancing tegak, pukat cincin dan bagan apung memiliki rangking teratas. Tabel 31 Keragaan aspek lingkungan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah Jenis Teknologi Pukat pantai Pukat cincin Jaring insang hanyut Bagan apung Pancing tegak
Tingkat selektif
Fungsi Nilai
Dampak lingk.
Fungsi Nilai
Kualitas hasil
Fungsi Nilai
By cacth
Fungsi Nilai
Rataan Fungsi Nilai
Rank
1
0,00
1
0,00
4
1,00
2
0,00
0,33
5
3
0,67
3
0,67
3
0,00
3
0,50
0,44
4
3
0,67
4
1,00
3
0,00
4
1,00
0,56
3
2
0,33
3
0,67
4
1,00
3
0,50
0,67
1
4
1,00
4
1,00
3
0,00
4
1,00
0,67
2
Keempat, aspek sosial dari teknologi penangkapan ikan pelagis kecil meliputi: jumlah tenaga kerja per unit, tingkat penguasaan teknologi dan dampak sosial. Ketiga kriteria ini dinilai sebagai dasar untuk menentukan tingkat pilihan yang berbasis pada aspek sosial. Distribusi jumlah tenaga kerja pada alat tangkap pukat pantai di wilayah penelitian ini antara 12 sampai dengan 22 orang (rata-rata 17 orang), untuk pukat cincin 18 sampai dengan 20 orang (rata-rata 19 orang), jaring insang tiga orang, bagan apung enam orang, dan pancing tegak dua orang. Sesuai dengan tingkat penguasaan teknologi, pancing tegal memiliki tingkat penguasaaan yang paling mudah, diikuti dengan jaring insang. Sementara pukat cincin dan bagan apung memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pukat pantai. Secara sosial, pengoperasian alat tangkap pukat pantai memiliki resiko paling tinggi untuk berkonflik dengan nelayan lain di sekitar lokasi. Hal ini disebabkan pengoperasiannya dalam bentuk melingkupi ruang yang tidak boleh dimasuki oleh kegiatan-kegiatan lain. Pada beberapa perairan teluk, lokasi dimana dilakukan pengoperasiannya sering bersinggungan dengan nelayan pembudidaya. Pukat cincin memiliki sedikit peluang untuk bersinggungan dengan bagan apung, namun potensinya sangat kecil. Alat tangkap jaring insang hanyut sesekali
218
bermasalah dengan pelaku usaha transportasi laut. Bagan apung kurang memiliki potensi bersinggungan dan pancing tegak sama sekali tidak berpotensi konfik dengan alat tangkap lain. Kondisi ini menunjukkan adanya perbedaan nilai setiap kriteria pada aspek sosial. Hasil perhitungannya pada Tabel 32 menunjukkan pancing tegak memiliki tingkat penilaian teratas dan diikuti dengan dengan pukat pantai dan pukat cincin. Tabel 32 Keragaan aspek sosial teknologi penangkapan ikan pelagis kecil eksisting di perairan Selatan Maluku Tengah Jumlah tenaga kerja per unit (orang)
Fungsi Nilai
Tingkat penguasaan teknologi
Fungsi Nilai
Dampak sosial
Fungsi Nilai
Rataan Fungsi Nilai
Rank
Pukat pantai
17
0,88
3
0,50
2
0,00
0,46
2
Pukat cincin
19
1,00
2
0,00
2
0,00
0,33
4
Jaring insang hanyut
3
0,06
3
0,50
4
0,67
0,41
3
Bagan apung
6
0,24
2
0,00
3
0,33
0,19
5
Pancing tegak
2
0,00
4
1,00
5
1,00
0,67
1
Jenis Teknologi
Secara agregat hasil seleksi teknologi penangkapan ikan pelagis kecil pilihan dengan tiga nilai teratas adalah: pukat cincin dengan nilai 0,69, bagan apung dengan nilai 0,39 (Tabel 33). Dengan demikian, pukat cincin merupakan jenis teknologi penangkapan ikan pelagis kecil yang paling direkomendasikan di wilayah Selatan Maluku Tengah.
Tabel 33 Jenis teknologi penangkapan ikan pelagis kecil pilihan di perairan Selatan Maluku Tengah Aspek Teknis
Aspek Finansial
Aspek Lingkungan
Aspek Sosial
Rataan Fungsi Nilai
Rank
Pukat pantai
0,28
0,26
0,33
0,46
0,33
4
Pukat cincin
1,00
1,00
0,44
0,33
0,69
1
Jaring insang hanyut
0,20
0,03
0,56
0,41
0,30
5
Bagan apung
0,53
0,16
0,67
0,19
0,39
2
Pancing tegak
0,17
0,00
0,67
0,67
0,38
3
Jenis Teknologi
219
Bagan apung dan pancing tegak merupakan dua jenis teknologi yang memiliki konteks pengembangan yang berbeda namun menjadi prioritas pengembangan di wilayah ini. Jika bagan apung diarahkan untuk pengembangan perikanan dengan tujuan peningkatan ekonomi nelayan yang berbasis pada nelayan pemodal kuat, maka pancing tegak merupakan jenis teknologi yang dikembangkan dan berkembang pada nelayan miskin. Jaring insang hanyut masih dikategorikan dalam teknologi penangkapan ikan pilihan disebabkan distribusinya yang sangat banyak di tiap kawasan pengembangan perikanan, dan menjadi teknologi alternatif ketika kondisi perairan tidak mendukung untuk pengoperasian pukat cincin dan bagan apung.
6.8.4 Alokasi spatial-optimal unit penangkapan ikan pelagis kecil Hasil penentuan komoditas unggulan dan seleksi teknologi penangkan piihan sangat membantu dalam penilaian alokasi spasial-optimal komoditas dan teknologi penangkapan ikan. Pendekatan alokasi spasial-optimal digunakan untuk memberikan pembeda antar tiap kawasan terkait dengan upaya pengembangan kawasan
berbasis
komoditas
maupun
teknologi.
Selanjutnya
dilakukan
pengalokasian yang optimum dari unit penangkapan ikan terpilih. Sutisna (2007) menyebutnya sebagai upaya yang dilakukan agar kegiatan perikanan tangkap dengan komoditas pelagis kecil dimanfaatkan secara optimal. Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis pada teknologi penangkapan ikan pilihan adalah: (1) Mengoptimumkan produksi perikanan (pelagis kecil) dalam rangka menjawab kebutuhan pengentasan kemiskinan di tingkat nelayan (pro poor); (2) Mengoptimumkan penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan perikanan pelagis kecil (pro job); (3) Mengoptimumkan penggunaan bahan bakar minyak (pro sustainability). Oleh sebab itu, analisis apasial-optimum diarahkan untuk mengetahui nilai optimum dari seluruh komponen yang dianalisis pada setiap kawasan pengembangan perikanan yang ada di wilayah Selatan Maluku Tengah. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui kapasitas kawasan terkait dengan peluang
220
pengembangannya ke depan, terutama dalam meningkatkan produktivitas kawasan dalam konteks pengembangan perikanan pelagis kecil. Untuk kepentingan analisis beberapa informasi penting untuk diakomodasi adalah: (1) distribusi rata-rata hasil tangkapan tiap unit penangkapan ikan pilihan; (2) jumlah tangkapan ikan pelagis kecil yang diperbolehkan untuk setiap setiap kawasan pengembangan; (3) distribusi jumlah tenaga kerja untuk pada setiap unit penangkapan ikan pilihan; (4) distribusi potensi tenaga kerja yang dapat diakomodasi dalam usaha perikanan; (5) tingkat penggunaan bahan bakar minyak (BBM ) pada seluruh unit penangkapan ikan pilihan; dan (6) ketersediaan stok BBM yang dapat digunakan untuk mendukung usaha perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah berbasis pada unit penangkapan ikan pilihan. Mengacu pada data produksi setiap alat tangkap, maka dapat dikemukakan bahwa distribusi hasil tangkapan rata-rata untuk setiap unit penangkapan ikan pelagis kecil pilihan, masing-masing: (1) pukat cincin (X1) sebanyak 273.600 kg/tahun; (2) bagan apung sebanyak (X2) sebanyak 109.125 kg/tahun; (3) pancing tegak (X3) 4130 kg/tahun; dan (4) jaring insang hanyut (X4) sebanyak 11.538 kg/tahun. Sesuai dengan distribusinya, pukat cincin dan bagan apung memiliki jumlah tangkapan rata-rata per tahun yang paling tinggi. Sebagai batasan dalam pemanfaatan SDI pelagis kecil, digunakan nilai JTB yang merupakan hasil dari analisis potensi berdasarkan survei akustik. Hasil ni menunjukkan nilai JTB untuk perairan Selatan Maluku tengah sebesar 54.761,84 ton/tahun. Untuk mendukung operasionalisasi alat tangkap, tentunya setiap alat tangkap memiliki alokasi tenaga kerja yang berbeda sesuai dengan tingkat kebutuhan tenaga kerja. Alat tangkap pukat cincin membutuhkan tenaga kerja rata-rata 20 orang, alat tangkap bagan apung sebanyak enam orang, pancing tegak dua orang dan jaring insang hanyut tiga orang. Untuk mendukung program pemerintah provinsi dan kabupaten melalui Dinas Kelautan dan Perikanannya, diharapkan tenaga kerja perikanan dapat ditingkatkan jumlah untuk mendukung alokasi tenaga kerja pada sektor perikanan dalam optimalisasi pemanfaatan SDI. Penelusuran terhadap potensi tenaga kerja produktif yang menjadi tujuan perluasan lapangan kerja melalui sektor perikanan, menghasilkan alokasi potensi
221
tenaga kerja di masing-masing kawasan sebagai berikut: (1) TNS sebanyak 354 orang; (2) Saparua sebanyak 4.166 orang; (3) Pulau Haruku sebanyak 4.793 orang; (4) Leihitu sebanyak 8.991 orang; (5) Salahutu sebanyak 3.471 orang; (6) Amahai sebanyak 7.377 orang; (7) Tehoru sebanyak 5.860 orang; (8) Nusalaut sebanyak 992 orang; dan (9) Kota Masohi sebanyak 2.412 orang. Dengan demikian total jumlah tenaga kerja mencapai 38.416 orang. Potensi tenaga kerja yang dapat diarahkan untuk mengisi lapangan kerja melalui pemanfaatan pelaku usaha baru di sektor perikanan dan kelautan. Sesuai dengan hasil analisis kelayakan usaha, dalam operasionalisasi setiap unit penangkapan ikan pelagis kecil pilihan memiliki tingkat kebutuhan BBM kategori premium yang berbeda. Pukat cincin rata-rata membutuhkan 8.000 liter per tahun, bagan apung sebanyak 3.660 liter per tahun, pancing tegak sebanyak 937,5 liter per tahun dan jaring insang hanyut 1.500 liter per tahun. Namun demikian untuk pemanfaatannya dibutuhkan upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan. Oleh sebab itu, ketersediaan stok BBM lokal juga menjadi penting untuk diperhitungan. Kajian lapangan membuktikan bahwa rata-rata alokasi BBM kategori premium secara tahunan berbeda di tiap kawasan. Ketersediaan stok BBM untuk wilayah TNS terkait dengan peruntukannya bagi usaha perikanan mencapai 147.000 liter per tahun, Saparua sebanyak 342.000 liter per tahun, Pulau Haruku sebanyak 252.000 liter per tahun, Leihitu sebanyak 378.000 liter per tahun, Salahutu sebanyak 504.000 liter per tahun, Amahai sebanyak 360.000 liter per tahun, Tehoru sebanyak 324.000 liter per tahun, Nusalaut sebanyak 324.000 liter per tahun, dan Kota Masohi sebanyak 312.000 liter per tahun. Dengan demikian tingkat kebutuhan BBM di wilayah ini yang menjadi batasan adalah 2.943.000 liter per tahun. Sesuai distribusi data seperti ini, maka persamaan optimasi yang dapat dibangun adalah: MIN DB1 + DA1 + DB2 + DA3 SUBJECT TO: 273600 X1 + 109125 X2 + 4130 X3 + 11538 X4 + DB1 - DA1 = 547618400 20 X1 + 6 X2 + 2 X3 + 3 X4 + DB2 >= 38416 8000 X1 + 3660 X2 + 937.5 X3 + 1500 X4 - DA3 <= 2943000
222
Berdasarkan persamaan itu, maka program LINDO dioperasikan untuk menemukan nilai optimum tujuan untuk seluruh kawasan. Pendekatan tersebut dalam penelitian ini disebut sebagai Alokasi Spasial-Optimal (ASO). Hasil pengoperasian LINDO menemukan nilai ASO berbeda untuk setiap lokasi (Lampiran 5 dan Tabel 34). Tabel 34 Alokasi optimal alat penangkapan ikan pelagis kecil pilihan (unit) di wilayah Selatan Maluku Tengah
Jenis API pilihan Pukat cincin Bagan apung Pancing tegak Jaring insang
Jumlah API (unit) Eksisting Optimal 102 85 2641 1575
175 0 1643 0
Hasil analisis menunjukkan untuk optimalisasi pemanfaatan SDI pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah, maka secara totalitas tidak ada rekomendasi untuk mengembangkan alat tangkap bagan apung dan jaring insang. Namun demikian, dalam kebijakan operasional, perlu juga dipertimbangkan pengembangan jaring insang sebagai basis pengembangan untuk nelayan yang masih ingin mengembangkan usaha perikanan jaring insang. Dengan menggunakan proporsi nelayan di setiap kawasan, maka alokasi spasial optimal untuk menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan pada beberapa kawasan utama seperti Leihitu, Amahai dan Tehoru untuk alat tangkap pukat cincin, dan kawasan Amahai untuk alat tangkap pancing tegak (Tabel 35). Hasil ini menunjukkan jenis alat tangkap yang paling direkomendasikan untuk meningkatkan produksi adalah pukat cincin. Jika kondisi ini menjadi solusi paling ideal, maka perikanan pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah terfokus pada perikanan pukat cincin. Pancing tegak merupakan jenis alat tangkap yang masih harus dipertahankan untuk mencapai kondisi optimal pemanfaatan SDI pelagis kecil. Walaupun terjadi penurunan alokasi jumlah pada setiap kawasan namun pancing tegak masih tetap menjadi kegiatan alternatif bagi nelayan pelagis kecil.
223
Tabel 35 Alokasi Spasial-Optimal (ASO) alat penangkapan ikan pelagis kecil pilihan (unit) di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan perikanan TNS Saparua Pulau Haruku Leihitu Salahutu Amahai Tehoru Nusalaut Kota Masohi
Pukat cincin (X1) Ex Opt 0 2 15 19 20 22 16 41 11 16 4 34 9 27 7 5 20 11
Bagan apung (X2) Ex Opt 0 0 26 0 8 0 10 0 15 0 9 0 2 0 0 0 15 0
Pancing tegak (X3) Ex Opt 17 15 408 178 272 205 374 385 184 148 126 316 986 251 149 42 125 103
Jaring insang hanyut (X4) Ex Opt 19 0 461 0 149 0 121 0 103 0 146 0 188 0 317 0 71 0
Keterangan: Ex adalah kondisi eksisting; Opt adalah kondisi optimal
Hasil ini menunjukkan beberapa kondisi yang menarik untuk dikaji dan memberikan dukungan terhadap keputusan untuk pengembangan. Pertama, alokasi alat tangkap pukat cincin yang semakin meningkat memberikan konsekuensi pada peralihan usaha yang harus dilakukan nelayan yang dewasa ini mengembangkan usaha dengan ketiga alat tangkap yang lain. Kedua, hasil ini mendukung kebijakan pemerintah pusat tentang pengoperasian alat tangkap bagan apung yang cenderung memberikan dampak terhadap penurunan stok ikan di perairan karena penggunaan mata jaring yang berukuran kecil. Kebijakan pemerintah untuk menekan peningkatan penggunaan alat tangkap bagan apung bersesuaian dengan hasil analisis optimasi ini, dimana diupayakan adanya pengalihan usaha dari bagan apung menuju pukat cincin. Ketiga, tidak adanya alokasi pada alat tangkap jaring insang merupakan kesempatan bagi nelayan lokal untuk melakukan restrukturisasi armada penangkapannya, untuk mencapai peningkatan produksi yang tentunya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Namun demikian kondisi ini akan mendapat kesulitan dalam implementasi mengingat kapasitas ekonomi nelayan jaring insang hanyut yang relatif rendah. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah terhadap pengembangan armada pukat cincin sangat dibutuhkan disamping penjaringan kerjasama dengan pihak swasta untuk kepentingan investasi pada usaha perikanan pukat cincin. Keempat, pancing tegak yang masih teralokasi melalui optimasi spasial ini membuktikan bahwa pemanfaatan SDI pelagis kecil dengan teknologi masih
224
menjadi pertimbangan untuk mempertahankan keberlanjutannya, baik pada domain usaha ekonomi maupun pada domain SDI. Namun demikian, produktivitas alat tangkap ini yang rendah tidak menjamin bertahannya nelayan dalam mengembangkan usahanya. Diduga kondisi hanya akan bertahan pada nelayan yang memiliki kapasitas ekonomi yang lemah. Kondisi optimal yang juga terekam melalui ASO ini adalah alokasi optimal tenaga kerja pada tiap kawasan perikanan (Tabel 36). Hasil ini menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi optimal dalam pengalokasian tenaga kerja pada usaha perikanan pelagis kecil, potensi penyerapan tenaga kerja di tiap kawasan mencapai 81,38%. Tabel 36 Alokasi Spasial-Optimal (ASO) tenaga kerja perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan perikanan TNS Saparua Pulau Haruku Leihitu Salahutu Amahai Tehoru Nusalaut Kota Masohi
Potensi Tenaga Kerja 354 4.166 4.793 8.991 3.471 7.377 5.860 992 2.412
Penambahan tenaga kerja optimal 354 4.166 4.793 8.991 3.471 7.377 5.860 992 2.412
Nilai alat tangkap dan potensi tenaga optimal memberikan peluang bagi skenario pengembangan perikanan pelagis kecil di setiap kawasan perikanan yang ada di wilayah Selatan Maluku Tengah. Secara parsial beberapa skenario dapat dikembangkan pada setiap kawasan perikanan pelagis kecil, bila hasil optimasi ini menjadi basis kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Pertama, untuk kawasan TNS, enam tenaga kerja pada usaha pancing tegak dapat diserap pada usaha jaring insang hanyut karena alokasi optimal usaha jaring insang hanyut 75 unit membutuhkan tenaga kerja sekitar 162 orang. Jumlah ini masih bisa mengakomodasi potensi tenaga yang bisa diserap sebanyak 100 orang. Hal ini membuktikan bahwa masih tersisa 62 tenaga yang harus diserap
225
dalam usaha perikanan. Beberapa rekomendasi dapat diberikan terkait dengan kondisi ini, dimana potensi tenaga kerja ssebanyak 26 orang ini dapat terintegrasi usaha perikanan pelagis kecil, namun tidak dalam kegiatan penangkapan. Potensi tenaga kerja ini dapat diarahkan pada pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan pelagis kecil. Kedua, kawasan Saparua dalam kondisi optimal dalam kondisi optimal hanya mampu mengakomodasi penambahan 500 tenaga sebagai dampak dari penambahan pukat cincin sebanyak 25 unit. Pengurangan jumlah tenaga kerja pada ketiga unit penangkapan ikan yang lain sebanyak 2307 orang, dan jika diakomodasi dalam usaha pukat cincin, masih tertinggal 1807 nelayan. Sebagai solusi alternatif terhadap kondisi ini, maka kebijakan yang harus diambil adalah redistribusi nelayan pada usaha lain di luar perikanan pelagis kecil. Untuk kawasan ini, usaha perikanan yang cukup baik untuk direkomendasikan adalah perikanan demersal yang belum banyak dikembangkan atau pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan. Ketiga, untuk kawasan Pulau Haruku, dengan bertambahnya sembilan unit pukat cincin, hanya mampu mengakomodasi penambahan tenaga kerja sebanyak 180 orang, sementara masih tertinggal 999 tenaga kerja yang harus melakukan ekspansi pada usaha lain di luar perikanan pelagis kecil. Kawasan ini memiliki peluang yang kuat untuk mengembangkan usaha perikanan pelagis besar. Kawasan ini memiliki lokasi penangkapan ikan pelagis besar yang sangat potensial karena berhadapan langsung dengan perairan Laut Banda. Keempat, pada kawasan Leihitu, kondisi optimal menghendaki adanya penambahan pukat cincin sebanyak 11 unit. Hal ini berarti tenaga kerja yang bisa terakomodasi sebanyak 220 orang, sementara nelayan yang harus beralih usaha sebanyak 823 orang. Dengan demikian 603 orang nelayan masih harus diperhatikan pengembangan usahanya. Kawasan ini merupakan kawasan potensial bagi perikanan demersal dan pelagis besar. Oleh sebab itu, alokasi nelayan yang tersisa dapat diarahkan pada usaha perikanan demersal dan pelagis besar. Kelima, penambahan pukat cincin sebanyak 38 unit menyebabkan kawasan ini bisa mengakomodasi nelayan yang beralih dari perikanan bagan apung, pancing tegak dan jaring insang hanyut. Bahkan kuota tenaga kerja yang
226
masih dibutuhkan sebanyak 233 orang. Hal ini berarti kawasan Salahutu masih mampu mengakomodasi kebutuhan tenaga kerja perikanan dari kawasan-kawasan perikanan yang ada di sekitarnya seperti Leihitu dan Pulau Haruku. Keenam, kawasan Amahai dengan peningkatan jumlah pukat cincin sebanyak 35 unit mampu mengakomodasi tenaga kerja sebanyak 700 orang. Pada kondisi optimal ini, sebanyak 638 nelayan dapat diakomodasi pada perikanan pukat cincin, bahkan masih ada peluang untuk menyerap tenaga kerja atau nelayan sebanyak 62 orang. Nelayan dari kawasan Kota Masohi dan Tehoru berpeluang memasuki usaha pukat cincin lintas kawasan. Ketujuh, walaupun terjadi alokasi optimal pukat cincin sebanyak 29 unit di kawasan Tehoru, namun belum mampu menampung nelayan yang harus memasuki usaha perikanan sebanyak 2506 orang. Hal ini berarti pemerintah Maluku Tengah masih mengembangkan kebijakan untuk mengakomodasi nelayan sebanyak 1926 orang. Sesuai dengan kondisi wilayah dan potensi perikanan yang berpeluang
dikembangkan,
maka
kawasan
ini
direkomendasikan
untuk
mengembangkan perikanan pelagis besar. Hal ni sangat dibutuhkan dalam rangka mengakomodasi 1926 nelayan yang beralih dari perikanan pelagis kecil. Kedepan, kawasan Nusalaut yang memiliki alokasi optimal melalui penambahan pukat cincin sebanyak 20 unit. Denagn demikian sekitar 400 nelayan masih dapat diserap melalui usaha perikanan ini. Namun demikian, sebanyak 613 nelayan yang harus dialihkan usaha perikanannya. Kawasan yang berhadapan langsung dengan Laut Banda ini memiliki peluang untuk mengembangkan usaha perikanan pelagis besar. Oleh sebab itu, kebijakan yang harus diambil adalah mengakomodasi 613 nelayan Nusalaut pada usaha perikanan di luar perikanan pelagis kecil. Kesembilan, Kota Masohi merupakan kawasan yang dekat dengan pusat Kabupaten memiliki peluang untuk mengakomodasi nelayan sebanyak 613 orang sebagai dampak dari alokasi optimal unit penangkapan pukat cincin. Jumlah pukat cincin optimal yang harus ditambahkan pada kawasan ini hanya sebanyak sembilan unit. Dengan demikian hanya 180 nelayan masih bisa diserap, sementara 195 nelayan lainnya harus beralih pada usaha perikanan lain.
227
Usaha pengolahan hasil perikanan merupakan jenis usaha yang penting mendapat perhatian masyarakat pesisir dan pulau-kecil serta pemerintah. Hal ini terkait posisi wilayah Selatan Maluku Tengah yang masih sangat lemah dalam berkontribusi terhadap produksi hasil olahan.
6.9 Kesimpulan Kajian dinamika sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan beberapa kesimpulan: 1. Perkembangan jumlah nelayan dan RTP membuktikan adanya dinamika secara
spasial,
pertama,
distribusi
jumlah
nelayan
dan
RTP
dan
pertumbuhannya berbeda antar kawasan yang menunjukkan preferensi yang berbeda dalam usaha perikanan tangkap, serta kedua, kawasan dengan proporsi nelayan dan RTP tertinggi adalah Leihitu dan terendah di TNS; 2. Dinamika spasial API dan upaya penangkapan menunjukkan: pertama, distribusi API pelagis kecil terkonsentrasi pada jaring insang dan pancing tegak, kedua, terbanyak pada kawasan Tehoru dan Saparua, ketiga pertumbuhan cepat pada pukat cincin dan pertumbuhan lambat pada jaring insang dan bagan apung, serta keempat, distribusi upaya penangkapan terkonsentrasi perikanan pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak; 3. Distribusi spasial produksi menunjukkan setiap kawasan memiliki spesialisasi per jenis, pertama, produksi ikan layang tertinggi di kawasan Saparua, Leihitu, Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi (1.200 – 1.600 ton/tahun), selar di Leihitu (535,7 ton/tahun), kembung di Saparua (95,2 ton/tahun); julung-julung di Saparua dan Tehoru (115 ton/tahun), ikan terbang di Saparua dan Leihitu (118 ton/tahun), sunglir di Leihitu (439,8 ton/tahun), tembang di Leihitu dan Kota Masohi (> 1.000 ton/tahun), teri di Leihitu dan Kota Masohi (> 1.100 ton/tahun), serta kedua, rata-rata pertumbuhannya menurut jenis API dominan menunjukkan pukat pantai 1,74%, pukat cincin 5,03%, jaring insang 5,62%, bagan apung 2,74% dan pancing tegak 12,81%; 4. Dinamika spasial pengolahan hasil perikanan pelagis kecil ditunjukkan dengan, pertama, distribusi jumlah pengolah ikan tertinggi di Amahai dan
228
Nusalaut (kontribusi > 20%), dan terendah di TNS, Saparua dan Kota Masohi (kontribusi < 5%), kedua, Nusalaut dan Leihitu memberikan kontribusi terbanyak jumlah rumah tangga pengolahan ikan (> 20%), ketiga, basis produksi pengolahan ikan di Saparua, Leihitu, Salahutu dan Kota Masohi (> 87 ton/tahun, keempat, basis pengolahan ikan layang di Saparua, Salahutu dan Kota Masohi, olahan ikan selar berbasis di Leihitu, kembung berbasis di Saparua dan Nusalaut, sunglir di Leihitu dan Tehoru, dan teri di Leihitu dan Kota Masohi, kelima, dua jenis kegiatan olahan yang dikembangkan yakni olahan kering dan asapan; 5. Dinamika spasial distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil dipengaruhi oleh pelaku usaha dan tingkatan pemasarannya, pertama, kawasan Kota Masohi, Saparua, Leihitu, Salahutu dan Amahai merupakan basis pedagang ikan, kedua, terdapat tiga tingkatan distribusi dan pemasaran masing-masing lokal/antar kawasan, antar pulau, dan ekspor, ketiga, terkonsentrasi pada tingkatan pasar lokal/antar kawasan (71,92%), antar pulau 15,47% dan ekspor 12,62%, keempat, distribusi dan pemasaran lokal/antar kawasan dilakukan seluruh kawasan, antar pulau oleh hampir semua kawasan (kecuali TNS, dan ekspor oleh Salahutu, Amahai dan Tehoru; 6. Dinamika spasial sub sistem manusia berimplikasi bagi pengembangan kawasan perikanan, melalui: pertama, hubungan CPUE dan upaya standar adalah ht = 1,764 – 0,0000309Et artinya terjadinya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan, kedua, kelayakan finansial menunjukkan pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan apung dan pancing tegak layak dikembangkan, ketiga, lima jenis komoditas pelagis kecil unggulan adalah ikan layang, selar, kembung, sunglir dan teri, sedangkan API pilihan adalah pukat cincin, bagan apung, dan pancing tegak serta jaring insang hanyut sebagai alternatif bagi nelayan ekonomi lemah, keempat, alokasi optimal API pelagis kecil untuk pukat cincin sebanyak 175 unit dan pancing tegak 1643 unit, dengan alokasi tenaga kerja optimal sebanyak 31.263 orang.
7 DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM PENGELOLAAN
7.1 Pendahuluan Sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan mencakup empat komponen utama yaitu: (1) kebijakan dan perencanaan perikanan; (2) pengelolaan perikanan; (3) pembangunan perikanan; dan (4) penelitian perikanan (Charles, 2001). Kebijakan dan perencanaan perikanan yang dimaksudkan, lebih difokuskan dalam konteks konsep pengelolaan strategis, sedangkan pengelolaan perikanan lebih difokuskan dalam konteks konsep pengelolaan taktis dan operasional. Kebijakan dan perencanaan perikanan dalam konteks pengelolaan strategis mencakup: (1) seluruh tujuan yang dicapai dalam sistem perikanan; (2) arahan kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; (3) legislasi yang berhubungan dengan pengelolaan dan regulasi perikanan; dan (4) keputusan tentang struktur sistem pengelolaan. Pembangunan perikanan yang termasuk dalam sub sistem pengelolaan perikanan ini meliputi beberapa faktor sebagai berikut: (1) ukuran-ukuran untuk meningkatkan
infrastruktur
fisik,
kapabilitas
(kemampuan)
teknologi,
produktivitas institusi dan/atau manusia, baik nelayan, pengolah, dan lain-lain; (2) ukuran-ukuran untuk meningkatkan aliran manfaat-manfaat yang berkelanjutan dari perikanan, termasuk pembangunan pasar, kontrol kualitas, dan peningkatan proses-proses distribusi; (3) pembangunan aktivitas perikanan baru, yang layak dan dibutuhkan. Untuk memberikan gambaran tentang keragaan pengelolaan perikanan di MalukuTengah, dikaji eksistensi pengelolaan yang berbasis pada kebijakankebijakan strategis pengembangan kawasan perikanan di wilayah ini. Dukungan kebijakan terhadap dinamika sub sistem pengelolaan perikanan di wilayah ini berasal dari tiga tingkatan kebijakan, yakni kebijakan Nasional, Provinsi Maluku dan daerah otonom (Kabupaten Maluku Tengah). Sub sistem pengelolaan yang diarahkan untuk kepentingan pengembangan kapasitas masyarakat akan menjadi efektif ketika: (1) adanya perhatian berbagai pihak terhadap penerapan mata pencaharian secara praktis dalam konteks kapan dan di mana kegiatan penangkapan ikan dilakukan dan seberapa besar intensitas
230
upaya tangkapnya dapat dikendalikan; (2) isu-isu sosial, ekonomi dan politik haruslah menghindari adanya konflik antar regulasi dan teraksesnya kebijakan dan alokasi pengelolaan perikanan; serta (3) nilai dan etika yang menjadi dasar dalam pengembangan dan implementasi kebijakan (Wiber et al., 2004) Dinamika sub sistem pengelolaan dalam suatu sistem perikanan tidak hanya meliputi keputusan-keputusan di tingkat nelayan, namun juga melingkupi aspek lingkungan perairan yang bersifat kompleks dan menjadi ukuran pengambilan keputusan pengelolaan. Para pengelola cenderung memperhatikan aspek ketersediaan SDI, namun perumusan bersama implementasi pengelolaan perikanan seringkali tidak melibatkan nelayan dan pihak pengambil kebijakan (Dudley, 2008). Dampak yang terukur dari dinamika sub sistem pengelolaan menjadi dasar dalam mengidentifikasi kawasan-kawasan dimana perubahan kebijakan dan peningkatan pengelolaan dapat berjalan secara efektif (Garitty, 2011). Referensi untuk membuat adanya perubahan dalam pengelolaan perikanan dibutuhkan untuk mengungkap
hubungan-hubungan
antar
ilmu
pengetahuan,
pengambilan
keputusan dan eksistensi masyarakat perikanan, terutama dalam konteks mendalami sistem-sistem perikanan yang kompleks, baik antar sistem maupun lingkup implementasi (Garcia and Charles, 2007). Evolusi pada sistem perikanan secara global dan banyaknya masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan terkait dengan upaya membangunan keterkaitan antar ilmu pengetahuan, tata kelola dan masyarakat perikanan, salah satunya disebabkan karena adanya perubahan pada dinamika sub sistem pengelolaan (Wiber et al., 2004; Garcia and Charles, 2007; Garitty, 2011). Justifikasi tentang dinamika sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan di suatu wilayah seperti Maluku Tengah merupakan salah kebutuhan dalam memberikan dukungan terhadap pengembangan kawasan perikanan. Berbagai kebijakan pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan seperti penetapan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), potensi SDI dan status pemanfaatannya,
pemberdayaan
masyarakat
nelayan
dan
pengembangan
infrastruktur perikanan merupakan wujud dari upaya peningkatan dinamika sistem perikanan.
231
Kajian tentang dinamika sub sistem pengelolaan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan pengelolaan yang berbasis pada kebijakan pada setiap level pemerintahan. Oleh sebab itu, dalam penelitian diekspresikan dinamika pengelolaan berbasis pada kebijakan Nasional, provinsi dan wilayah otonom (kabupaten), baik pada kebijakan umum maupun implementasinya. Implikasinya bagi pengembangan kawasan perikanan menjadi bagian penting untuk membuktikan efektivitas pengelolaan. Kajian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Nasional; (2) menganalisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Provinsi Maluku; (3) menganalisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan daerah otonom (kabupaten) Maluku Tengah; dan (4) menganalisis implikasi dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan bagi pengembangan kawasan perikanan.
7.2 Metodologi 7.2.1 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Nasional Pendekatan analisis isi pada sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan nasional yang digunakan diarahkan pada ekspresi deskpritif terhadap kebijakan umum pengelolaan perikanan, kebijakan status eksploitasi sumber daya ikan di wilayah penelitian, kebijakan WPP-RI dan alokasi alat penangkapan ikan di wilayah penelitian; serta roadmap implementasi kebijakan pengembangan perikanan di wilayah penelitian. Keempat kelompok kebijakan ini dikaji berdasarkan pada arahan kebijakan secara umum untuk nasional dan implementasi dalam konteks operasional di wilayah penelitian. Aspek dinamika yang dikaji dalam implementasi kebijakan nasional dikembangkan untuk satu periode perencanaan pembangunan (lima tahun) dengan pendekatan analisis tabular. Analisis ini dilakukan dalam rangka memetakan kebijakan dan bentuk pengelolaan perikanan. Dalam penelitian ini, analisis yang dikembangkan ini disebut sebagai kajian roadmap kebijakan pemerintah pusat terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian.
232
7.2.2 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Provinsi Maluku Pendekatan analisis isi juga digunakan pada tahap analisis ini, dimana penelusuran dokumen (desk study) dikembangkan terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan yang dieksekusi pemerintah Provinsi Maluku pada wilayah penelitian. Fokus analisis pada bagian ini meliputi tiga kelompok kebijakan: (1) kebijakan umum pengelolaan perikanan di Maluku; (2) rencana strategis pengelolaan perikanan Provinsi Maluku; (3) roadmap kebijakan pengembangan perikanan di wilayah penelitian. Keempat kelompok kebijakan ini dikaji berdasarkan pada arahan kebijakan secara umum untuk nasional dan implementasi dalam konteks operasional di wilayah penelitian. Aspek dinamika yang dikaji juga dalam konteks implementasi kebijakan, namun pada level pemerintah Provinsi. Analisis ini dilakukan pada satu periode perencanaan pembangunan (lima tahun) dengan pendekatan analisis tabular. Pemetaan kebijakan dan bentuk pengelolaan perikanan dikembangkan melalui kajian roadmap kebijakan pemerintah Provinsi juga dilakukan terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian.
7.2.3 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Kabupaten Maluku Tengah Kedekatan
kebijakan
pemerintah
Maluku
Tengah
dengan
ruang
implementasinya menyebabkan alokasi kebijakan pembangunan perikanan lebih bersifat operasional. Dalam konteks pengkajian pengelolaan perikanan berbasis kebijakan pemerintah Maluku Tengah, diekspresikan dua komponen kajian kebijakan, yakni: (1) kebijakan strategis pengelolaan perikanan di Maluku Tengah; dan (2) roadmap implementasi kebijakan di wilayah penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan analisis isi dengan dukungan proses desk study terhadap dokumen perencanaan dan evaluasi pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah. Kajian roadmap kebijakan juga dikembangkan untuk satu periode perencanaan pembangunan (lima tahun) dengan pendekatan analisis tabular, melalui proses pemetaan kebijakan dan bentuk pengelolaan perikanan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah di wilayah penelitian.
233
7.2.4 Analisis dinamika pengelolaan; Pendekatan model persamaan struktural 7.2.4.1 Pengembangan model teoritis Pengembangan model teoritis dilakukan untuk mendukung analisis tentang Dinamika Kebijakan Pengembangan Kawasan Perikanan Pelagis Kecil dengan pendekatan Structural Equation Modelling (SEM). Pendekatan ini menghendaki dukungan referensi tentang variabel-variabel yang berkaitan dengan analisis. Dua komponen utama dalam pengembangan model ini, meliputi: (1) hasil penelusuran referensi terkait dengan analisis dinamika kebijakan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil; dan (2) rangkuman variabel dalam analisis kebijakan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil dengan SEM. Hasil pada komponen pertama menjadi basis teori dan hasil pada komponen kedua merupakan variabel yang digunakan dalam analisis kebijakan menggunakan SEM. Kebijakan pengelolaan perlu diupayakan untuk menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir pengelolaan. Kebijakan pengelolaan suatu sumberdaya akan selalu berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain. Kekhasan sifat tersebut, dalam pengelolaan, terbagi atas tiga sifat utama, yaitu ekskludabilitas, substraktabilitas, dan indivisibilitas. Sifat yang dimiliki kebijakan pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya (ekskludabilitas) (Nikijuluw, 2002). Pada tingkat wilayah Kabupaten, pengembangan kawasan perikanan sebagai bentuk pengelolaannya dipengaruhi oleh tiga tingkatan kebijakan, masingmasing: (1) kebijakan pemerintah pusat (K_PUS); (2) kebijakan pemerintah provinsi (K_PROV); dan (3) kebijakan pemerintah kabupaten (K_KAB). Ketiga tingkatan kebijakan ini menjadi dasar yang kuat dalam menjustifikasi pentingnya kebijakan pemerintah dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan di tingkat daerah otonom (Nikijuluw, 2002; Kohar et al., 2008; Mustaruddin, 2009). Ekskludabilitas kebijakan pemerintah pada setiap tingkatan pemerintahan dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok: (1) kebijakan politik; (2) kebijakan sosial dan ekonomi; dan (5) kebijakan lingkungan dan sumber daya ikan. Ketiga kelompok kebijakan ini memberikan pengaruh terhadap pengelolaan kawasan
234
perikanan di suatu wilayah (Townsley, 1998; Payne, 2000; Kusumatanto, 2002; Nikijuluw, 2002; Copes and Charles, 2004; Olson, 2005; dan Bromley, 2009). Hasil studi empiris tentang ekskludabilitas kebijakan pemerintah ini menunjukkan komponen-komponen penting dari setiap kelompok kebijakan. Pertama, pengelolaan perikanan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis kebijakan politik memiliki komponen-komponen: (a) pemanfaatan wilayah pengelolaan laut; (b) keberpihakan pada nelayan lokal; (c) penguatan kapasitas aparatur perikanan; (d) akses perijinan; (e) pengembangan industri perikanan tangkap; (f) pengembangan infrastruktur perikanan (Weimer and Viwing, 1999; Olson, 2005). Kedua, pengelolaan berbasis kebijakan sosial ekonomi memiliki komponen-komponen, antara lain: (a) pengembangan kapasitas usaha; (b) akses pasar, harga produk dan input produksi; (c) pajak dan retribusi; (d) kendali mutu & pengembangan produk; (e) peningkatan pengetahuan dan ketrampilan; (f) peningkatan peran kelembagaan perikanan lokal; (g) peningkatan partisipasi nelayan lokal; dan (h) peningkatan kesadaran masyarakat/nelayan (Townsley, 1998; Weimer and Viwing, 1999; Copes and Charles, 2004; Olson, 2005). Kebijakan sosial dan ekonomi sulit dipisahkan mengingat implementasinya untuk kepentingan sosial memiliki hubungan yang kuat dengan upaya peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat nelayan. Ketiga, kebijakan pengelolaan lingkungan dan SDI memiliki komponenkomponen penting seperti: (a) kuota (pembatasan) hasil tangkapan; (b) konservasi lingkungan perairan sumber daya ikan ; (c) pengendalian penangkapan ikan yang merusak; dan (d) monitoring dan pengawasan kegiatan perikanan (Charles, 2001; Mous et al., 2005; Olson, 2005; Widodo dan Suadi, 2006). Kebijakan ini diarahkan untuk mendapatkan bentuk pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan mampu berkontribusi terhadap ekonomi wilayah maupun masyarakatnya. Berkembangnya kawasan perikanan sangat tergantung pada sejauhmana strategi pengembangan kawasan dapat diimplementasikan dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan kawasan perikanan sangat ditentukan oleh Tingkat Implementasi Strategi (TIS). Komponen-komponen penting yang menentukan dinamisnya pengembangan kawasan perikanan meliputi tingkat
235
implementasi strategi: (1) pengembangan infrastruktur dan sarana perikanan; (2) pengembangan kapasitas nelayan; (3) pengembangan institusional (Porter, 1990; Porter, 1998; Direktorat Kawasan Khusus dan Tertinggal BAPPENAS. 2004; Dirjen PT DKP, 2005; Kohar et al., 2008; Mustaruddin, 2009). Perkembangan suatu kawasan perikanan sangat ditentukan dari kinerja usaha pada kegiatan perikanan yang dikembangkan di kawasan itu. Tiga komponen besar dalam mengkaji kinerja suatu aktivitas adalah: (1) kinerja keuangan; (2) kinerja pelayanan terhadap pelanggan/konsumen; dan (3) kinerja proses internal (Kaplan and Norton, 1996; Ayibotele, 2006).
Kriteria ini
diakomodasi dalam analisis Kinerja Kawasan Perikanan pelagis kecil (KKP), sebagaimana dikembangkan dalam konteks analisis kinerja usaha dan kinerja industri oleh Kohar et al., (2008) dan Mustaruddin (2009). Dinamika yang berkembang baik pada kawasan perikanan berkaitan erat dengan capaian tujuan dari pembangunan perikanan di kawasan tersebut. Dirjen PT DKP (2005) dan Biro Perencanaan DKP menyatakan tujuan pembangunan perikanan pada suatu wilayah atau kawasan pengembangan perikanan meliputi: (1) pengentasan kemiskinan sebagai langkah strategis penerapan konsep pro poor; (2) penyediaan lapangan kerja terkait dengan konsep pro job; serta (3) pertumbuhan ekonomi di tingkat masyarakat dan wilayah dan/atau kawasan untuk konsep pro growth. Ketiga tujuan pengembangan kawasan perikanan ini diakomodasi untuk menganalisis Capaian Tujuan Pembangunan Perikanan (CTPP) kawasan perikanan pelagis kecil. Kohar et al. (2008) mengembangkan analisis ini untuk menjawab tujuan pembangunan perikanan yang dikaitkan dengan pengaruh lingkungan usaha dan kebijakan pemerintah. Kajian teoritis yang dilakukan diarahkan pada pembentukan model kebijakan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten memberikan pengaruh pada pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah, dimana
variabel-variabel
pengembangan
kawasan
terdiri
dari
tingkat
implementasi strategi pengembangan kawasan, kinerja pengembangan kawasan dan capaian tujuan pengembangannya.
236
Hasil pada bagian model teoritis, memberikan dukungan dalam penyusunan Model Persamaan Struktural Pengembangan Kawasan Perikanan Pelagis Kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Mustaruddin (2009) menyatakan model persamaan struktural yang disusun menggunakan model teoritis penting dilakukan agar model yang dikembangkan ini mendapat keabsahan ilmiah.
7.2.4.2 Analisis Integrasi dengan roadmap kebijakan pengelolaan Analisis untuk komponen ini dilakukan secara bersamaan dengan analisis SEM. Artinya, hasil analisis roadmap digunakan sebagai instrumen untuk memberikan justifikasi terhadap kesesuaian model dan interaksi antar komponen di dalam model. Roadmap kebijakan pengelolaan merupakan input dalam mengembangkan analisis SEM. Hal ini didukung dengan deskripsi kebijakan umum pengelolaan perikanan yang diarahkan pada pengembangan kawasan perikanan, khususnya perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Deskripsi ini mengakomodasi seluruh tingkatan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan perikanan di Maluku Tengah.
7.3 Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Nasional 7.3.1 Kebijakan umum pengelolaan perikanan Untuk
mendukung
implementasi
pengelolaan
perikanan
secara
berkelanjutan di Indonesia, KKP (2010a) memberikan landasan kebijakannya untuk menjawab visi pembangunan kelautan dan perikanan, yakni untuk mencapai Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan visi pembangunan kelautan dan perikanan tersebut, maka misi yang diemban adalah mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan. Landasan
tersebut
membukan
peluang
pengelolaan
perikanan
berkelankutan melalui tujuan pembangunannya yang meliputi: (1) memperkuat kelembagaan dan sumber daya manusia secara terintegrasi; (2) mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan; (3) meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan; serta (4) memperluas akses pasar domestik dan internasional. Tujuan ini memiliki empat kata kunci untuk mendukung
237
pengelolaan perikanan berkelanjutan, yaitu: integrasi, berkelanjutan, produktivitas dan daya saing serta aksesibilitas. Sasaran yang diharapkan dalam kebijakan ini dikelompokkan sesuai tujuannya. Pertama, memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi melalui: (1) pengembangan dan penerapan peraturan perundang-undangan di bidang kelautan dan perikanan sesuai kebutuhan nasional dan tantangan global serta diimplementasikan secara sinergis lintas sektor, pusat dan daerah; (2) seluruh perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan terintegrasi, akuntabel dan tepat waktu berdasarkan data yang terkini dan akurat; serta (3) SDM kelautan dan perikanan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan. Kedua, mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara berkelanjutan agar dapat dicapai beberapa kondisi antara lain: (1) sumber daya kelautan dan perikanan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan; (2) konservasi kawasan dan jenis biota perairan yang dilindungi dikelola secara berkelanjutan; (3) pulau–pulau kecil dikembangkan menjadi pulau bernilai ekonomi tinggi; (4) Indonesia bebas Illegal, Unreported & Unregulated (IUU) Fishing serta kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Ketiga, meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan untuk mencapai: (1) seluruh kawasan potensi perikanan menjadi kawasan Minapolitan dengan usaha yang bankable; (2) seluruh sentra produksi kelautan dan perikanan memiliki komoditas unggulan yang menerapkan teknologi inovatif dengan kemasan dan mutu terjamin; serta (3) sarana dan prasarana kelautan dan perikanan mampu memenuhi kebutuhan serta diproduksi dalam negeri dan dibangun secara terintegrasi. Keempat, memperluas akses pasar domestik dan internasional untuk mencapai: (1) seluruh desa memiliki pasar yang mampu memfasilitasi penjualan hasil perikanan; dan (2) Indonesia menjadi market leader dunia dan tujuan utama investasi di bidang kelautan dan perikanan. Arah kebijakan nasional dalam pembangunan perikanan adalah pro poor, pro job, pro growth dan pro sustainability. Untuk itu, strategi yang dilakukan untuk
melaksanakan
keempat
arah
kebijakan
tersebut,
meliputi:
(1)
pengembangan minapolitan; (2) enterpreneurship; (3) networking; (4) technology
238
and innovation; (5) empowering; serta (6) penguatan kelembagaan kelompok masyarakat. Kebijakan dasar yang mengetengahkan sasaran yang penting dicapai dalam pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan arah kebijakan membuktikan adanya keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan perikanan. Namun demikian, sangat dibutuhkan kebijakan yang lebih operasional terkait dengan pengelolaan perikanan, khususnya perikanan tangkap. Dalam konteks kebijakan yang lebih operasional, secara nasional ditetapkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap dengan tujuan meningkatkan produktivitas perikanan tangkap dengan sasaran peningkatan hasil tangkapan dalam setiap upaya tangkap. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kebijakan operasional yang penting adalah: (1) pengelolaan sumberdaya ikan; (2) pelayanan usaha perikanan tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan; (3) pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala kecil; (4) pembinaan dan pengembangan kapal perikanan, alat penangkap ikan, dan pengawakan kapal perikanan; serta (5) pengembangan, pembangunan, dan pengelolaan pelabuhan perikanan. Untuk mendukung dinamisnya kegiatan pembangunan pada perikanan tangkap, maka kebijakan lain yang menjadi penting untuk dikemukakan adalah peningkatan daya saing produk perikanan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, nilai tambah produk perikanan, investasi, serta distribusi dan akses pemasaran hasil perikanan, dengan sasaran peningkatan volume dan nilai ekspor hasil perikanan serta peningkatan volume produk olahan. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kebijakan operasional pentingnya adalah: (1) fasilitasi pengembangan usaha industri pengolahan hasil perikanan; (2) fasilitasi pengembangan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; (3) fasilitasi penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri hasil perikanan; (4) fasilitasi penguatan dan pengembangan pemasaran
luar
negeri
hasil
perikanan;
(5)
fasilitasi
pembinaan
dan
pengembangan sistem usaha perikanan; serta (6) fasilitasi pengembangan usaha industri pengolahan hasil perikanan.
239
Keberlanjutan usaha perikanan tangkap tidak terlepas dari upaya-upaya pengendalian. Oleh sebab itu, kebijakan nasional yang dikembangkan adalah pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkat ketaatan dan ketertiban dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan sasaran perairan Indonesia bebas Illegal, Unreported & Unregulated (IUU) fishing serta kegiatan yang merusak sumberdaya kelautan dan perikanan. Uutuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, kebijakan operasional yang ditetapkan meliputi: (1) peningkatan operasional pengawasan sumberdaya perikanan; (2) peningkatan operasional pengawasan sumberdaya kelautan; (3) peningkatan operasional dan pemeliharaan kapal pengawas; (4) pengembangan sarana dan prasarana pengawasan dan pemantuan kapal perikanan; serta (5) penyelesaian tindak pidana kelautan dan perikanan. Implementasi strategi pertama dalam upaya menterjemahkan arah kebijakan pembangunan perikanan, Kabupaten Maluku Tengah ditetapkan sebagai salah satu wilayah pengembangan minapolitan. Kabupaten Maluku Tengah merupakan salah satu dari 223 wilayah di Indonesia, dan satu dari enam wilayah di Provinsi maluku yang ditetapkan sebagai wilayah pengembangan minapolitan (KKP, 2011a).
7.3.2 Kebijakan status eksploitasi sumber daya ikan di wilayah penelitian Kebijakan ini didasarkan pada hasil estimasi potensi sumber daya ikan (SDI) dan tingkat pemanfaatan di tiap WPP-RI, dimana untuk WPP-RI 714 hasil estimasi menunjukkan potensi: (1) ikan pelagis besar sebesar 104,1 ribu ton/tahun; (2) ikan pelagis kecil sebesar 132,0 ribu ton/tahun; (3) ikan demersal sebesar 9,3 ribu ton/tahun; (4) ikan karang konsumsi sebesar 32,1 ribu ton/tahun; (5) lobster sebesar 0,4 ribu ton/tahun; dan (6) cumi-cumi sebesar 0,1 ribu ton/tahun. Estimasi potensi sumber daya ikan ini dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan alokasi sumber daya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan status tingkat eksploitasi sumber daya ikan di masing-masing WPP. Dalam kebijakan ini, status tingkat eksploitasi SDI pada WPP yang mencakup wilayah penelitian menunjukkan: (1) ikan demersal secara umum telah
240
mencapai tingkat fully-exploited (F); (2) ikan pelagis kecil secara umum telah mencapai tingkat fully-exploited (F), kecuali untuk dua jenis dari kelompok ikan layang yaitu D. macrosoma dan D. ruselli yang berada pada tingkat moderate to fully-exploited (M-F); (3) ikan pelagis besar dengan status yang berbeda tiap jenis, seperti cakalang dengan status moderate (M), madidihang dengan status fullyexploited (F), dan tuna mata besar dengan status over-exploited (O); serta (4) cumu-cumi dengan status moderate (M). Hasil estimasi dan status eksploitasi yang dikemukakan, jika dibandingkan dengan hasil estimasi yang dilakukan pada wilayah penelitian ini, maka khusus untuk kelompok ikan pelagis kecil, hasil estimasi potensinya memiliki kedekatan nilai dengan rata-rata biomass ikan pada wilayah penelitian (135.283,08 ton). Hal ini memberikan penguatan tentang eksistensi status yang telah ditetapkan melalui kebijakan
pemerintah
pusat,
agar
mendapat
perhatian
dalam
konteks
pemanfaatannya secara berkelanjutan berbasis pada status eksploitasi. Kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan dengan tujuan tangkap ikan pelagis kecil masih terus dilakukan, bahkan wilayah perairan Selatan Maluku Tengah yang termasuk dalam WPP 714 merupakan wilayah menjadi basis DPI untuk perikanan pelagis kecil. Bila hal ini dikaitkan dengan kebijakan tersebut di atas, maka relevansinya dengan kondisi riil di lapangan masih harus ditinjau kembali.
7.3.3 Kebijakan WPP-RI dan alokasi API di wilayah penelitian Secara nasional, perairan Indonesia dengan peruntukan pengelolaan perikanan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan Nomor 01 Tahun 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). perairan Indonesia dibagi atas 11 wilayah pengelolaan perikanan, dan tiga di antaranya meliputi perairan Laut di Provinsi Maluku, masing-masing: WPP-RI 714, WPPRI 715 dan WPP-RI 718. Wilayah penelitian ini termasuk dalam WPP-RI 714 yang meliputi Teluk Tolo dan Laut Banda (Gambar 44). Secara astronomis, WPP ini memiliki 107 titik batas, dengan pembagian batas wilayah pengelolaan Utara 18 titik, Timur 31 titik, Selatan 54 titik dan Barat hanya lima titik.
241
Pembagian wilayah ini merupakan upaya pemerintah pusat untuk mempermudah pembagian ruang kelola perikanan. perikanan. Kebijakan operasional dikembangkan oleh pemerintah pusat melalui: (1) pembagian jenis, penggunaan, serta alokasi ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6 Tahun 2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan di WPP-RI; serta (2) pembagian alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan berdasarkan jalur penangkapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP-RI.
Gambar 44 WPP-RI 714: Teluk Tolo dan Laut Banda
Dalam kebijakan itu, ditetapkan alat penangkapan ikan (API) di WPP-RI
menurut jenisnya yang terdiri dari 10 kelompok yaitu: (1) jaring lingkar (surrounding nets); (2) pukat tarik (seine nets); (3) pukat hela (trawls); (4) penggaruk (dredges); (5) jaring angkat (lift nets); (6) alat yang dijatuhkan (falling gears); (7) jaring insang (gillnets and entangling nets); 8. perangkap (traps); (9) pancing (hooks and lines); dan (10) alat penjepit dan melukai (grappling and
242
wounding). Sepuluh kelompok API ini kemudian dibagi secara spesifik berdasarkan jenisnya, didukung alokasi alat bantu penangkapan ikan (ABPI). Kebijakan ini menetapkan WPP-RI 714 yang mencakup wilayah penelitian ini, termasuk dalam kelompok WPP dengan karakteristik perairan dalam dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Terkait dengan alokasi API dan ABPI, kebijakan penempatannya pada jalur penangkapan ikan memperhatikan eksistensi tiga jalur yang ditetapkan, masing-masing: (1) Jalur Penangkapan Ikan I terdiri dari: jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah dan jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut; (2) Jalur Penangkapan Ikan II meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah; serta (3) Jalur Penangkapan Ikan III meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. Hasil penelusuran pada kebijakan ini menunjukkan adanya kebijakan terhadap API yang diperbolehkan (√) dan yang dilarang untuk dioperasikan (DL), khususnya untuk penangkapan ikan pelagis kecil, dikelompokkan dalam Tabel 37. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 10 kelompok yang ditetapkan, tujuh di antaranya merupakan kelompok API yang dioperasikan dengan tujuan tangkap ikan pelagis kecil. Empat jenis API untuk tujuan tangkap ikan pelagis kecil di larang untuk dioperasikan pada wilayah penelitian. Namun demikian, kebijakan ini berbeda dengan kondisi riil di lapangan, karena tiga jenis alat tangkap dari kelompok jaring lingkar yang ada merupakan basis kegiatan ekonomi produktif untuk perikanan pelagis kecil di wilayah penelitian. Terkait dengan status penempatan per jalur penangkapan ikan, walaupun pada jalur penangkapan ikan IB dan II diperbolehkan untuk pengoperasian jaring insang, namun pada jalur IA tidak diperbolehkan pengoperasiannya. Kebijakan ini berbeda dengan keadaan lapangan di mana jalur IA merupakan basis kegiatan nelayan pelagis kecil dengan jaring insang. Keadaan yang sama juga diperuntukan bagi alat tangkap jaring lingkar seperti pukat cincin untuk pelagis kecil.
243
Tabel 37 Distribusi kelompok dan jenis API dengan status penempatan per jalur penangkapan dan pada wilayah penelitian WPP 714
No 1
Kelompok dan Jenis API
Jaring lingkar tanpa tali kerut
DL
DL
DL
√
√
DL
DL
√
√
√
DL
√ DL DL DL
DL √ √ DL
DL √ √ √
DL √ √ √
√ √ √ DL
DL
DL
DL
√
DL
DL DL √
DL DL √
DL √ DL
√ DL DL
√ √ √
DL √
DL DL
DL DL
√ DL
√ √
DL DL DL √
√ √ √ DL
√ √ √ DL
√ √ DL DL
√ √ √ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
Jaring Insang: Jaring insang tetap Jaring insang hanyut Jaring insang lingkar Jaring insang berpancang
7
√
Alat yang Dijatuhkan/Ditebar: Jala jatuh berkapal Jala tebar
6
√
Jaring Angkat: Anco Bagan perahu Bagan tancap
5
√
Pukat Hela: Pukat hela pertengahan (ikan)
4
DL
Pukat Tarik: Pukat tarik pantai Dogol Payang Cantrang
3
Status Penempatan Pada Wilayah Penelitian (WPP 714)
Jaring Lingkar: Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal Pukat cincin grup pelagis kecil
2
Status Penempatan per Jalur Penangkapan IA IB II III
Pancing: Pancing ulur Pancing tegak
Keterangan: √ = diperbolehkan; DL = dilarang Sumber: Kepmen KP No. 2 Tahun 2011
Kedua kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada kebutuhan untuk mengatur pengelolaan khusus untuk kawasan perairan di WPP 714, khususnya di perairan Maluku. Hal ini penting untuk dikaji kembali mengingat: pertama, kedalaman perairan di wilayah penelitian (WPP 714) relatif berbeda dengan prairan lain di Indonesia sehingga sentuhan terhadap dasar pwerairan haruslah
244
dibedakan untuk perairan lain di Indonesia yang relatif dangkal. Kedua, orientasi usaha perikanan pelagis kecil dengan kapasitas investasi dari nelayan yang rendah tidak akan mampung mengaakomodasi keingginan kebijakan. Ketiga, API yang umumnya dilarang pengoperasiannya merupakan basis kegiatan ekonomi produktif untuk nelayan yang mengembangkan usaha perikanan pelagis kecil.
7.3.4 Roadmap implementasi kebijakan pemerintah pusat Kajian terhadap roadmap kebijakan pengelolaan perikanan di Maluku Tengah yang berbasis pada kebijakan pemerintah pusat menghadirkan 10 kelompok kebijakan operasional, masing-masing: (1) pembinaan usaha perikanan; (2) penguatan kapasitas staf pengelola perikanan; (3) perizinan usaha; (4) pembinaan dan pengendalian lingkungan; (5) penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan; (6) peningkatan kapasitas penyuluhan; (7) pengembangan sistem informasi perikanan; (8) pengembangan infrastruktur perikanan; (9) pengembangan pengolahan hasil perikanan; dan (10) pengembangan distribusi dan pemasaran produk perikanan (Tabel 38). Sepuluh kelompok kebijakan ini merupakan upaya mengimplementasikan kebijakan operasionalnya untuk kepentingan pembangunan perikanan di Maluku Tengah. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa keberpihakan kebijakan pemerintah pusat terhadap pembangunan perikanan tangkap di Maluku Tengah terfokus pada implementasi kebijakan dengan sasaran ruang ekonomi, sosial dan politik. Namun demikian, secara makro alokasi kebijakan masih terfokus pada ruang politik yang dibungkus dengan ruang sosial dan ekonomi. Hal ini tergambar dari tingginya alokasi pembiayaan pada sarana tangkap dan infrastruktur pendukung perikanan tangkap. Pola implementasi seperti ini menunjukkan masih ada kebutuhan terhadap pemahaman kebutuhan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah sebagai dasar untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Maluku Tengah masih membutuhkan integrasi kebijakan perikanan tangkap, baik dalam konteks kebijakan politik, sosial dan ekonomi maupun pengelolaan SDI dan lingkungan perairan.
245
Tabel 38 Roadmap kebijakan pemerintah pusat terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian, 2006-2010 No. I 1
2 3 4 5 6 II 1 2 3 4 5
6 7 8 9
10 III 1 IV 1 2 3 4 5
Kebijakan dan Bentuk Pengelolaan Perikanan Pembinaan usaha perikanan: Perguliran DEP kepada KMP melalui Program PEMP, ditangani Koperasi LEPP – M3 Pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, pelaku usaha perikanan tangkap Pengadaan sarana perikanan tangkap Pengembangan sarana dan prasarana tangkap Dana pendamping pengadaan sarana perikanan tangkap Operasionalisasi pengadaan sarana perikanan tangkap Penguatan kapasitas staf pengelola perikanan: Manajemen usaha penangkapan Pelatihan GIS penangkapan ikan Pelatihan PPNS Pelatihan manajemen PPI Pelatihan Perencanaan Teknik Pembangunan, Pengawasan dan Pengendalian Pelaksanaan Konstruksi Pelabuhan Perikanan Temu Teknis Pengawas Perikanan Pengembangan Sistim Rantai Dingin Cool Change System (CCS) Pengembangan Produk Nilai Tambah Tinggi Operasional Standarisasi (Perumusan Standar, Monitoring dan Sosialisasi Penerapan SNI) Magang Mekanisme Pelelangan Ikan Perizinan usaha: Izin Usaha Perikanan untuk usaha penangkapan ikan Pembinaan dan pengendalian lingkungan: Pengawasan ketaatan kapal di PPI Pembinaan POKWASMAS Pengawasan Terumbu Karang di Lokasi Rawan Ekosistem Pengawasan mangrove dan pantai di lokasi rawan ekosistem Peningkatan kapasitas pengawasan
Tahun 2008 2009
2006
2007
2010
√
√
√
---
---
---
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √ √ √
---------
---------
---------
----√ ---
---
√
---
---
---
---
√
---
---
---
---
√
√
---
---
---
√
√
---
---
---
√
√
---
---
√
√
√
√
√
√
---
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ ---
√ ---
√
√
√
---
---
√
√
√
---
---
---
√
---
---
---
246
Tabel 38 Lanjutan... Kebijakan dan Bentuk Pengelolaan Perikanan V Penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan: 1 Pembinaan usaha kecil perikanan tangkap 2 Pendidikan dan pelatihan nelayan tangkap 3 Pengembangan Sistim Rantai Dingin Cool Change System (CCS) 4 Pengembangan Produk Nilai Tambah Tinggi VI Peningkatan kapasitas penyuluhan: 1 Operasionalisasi Penyuluh Perikanan 2 Pelatihan dasar penyuluh terampil 3 Pelatihan dasar penyuluh ahli VII Pengembangan sistem informasi perikanan: 1 Inventarisasi dan Identifikasi Potensi Kelautan dan Perikanan 2 Pengembangan sistem data dan informasi statistik perikanan tangkap 3 Pembinaan dan evaluasi statistik perikanan tangkap VIII Pengembangan infastruktur perikanan: 1 Rehabilitasi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 2 Pembangunan SPDN 3 Evaluasi kegiatan SPDN 4 Pembangunan Gedung dan Instalasi Pabrik Es 5 Pembangunan tambatan kapal ikan/jeti 6 Pengembangan Fasilitas PPI 7 Pengadaan peralatan dan mesin bengkel UPTD PPI 8 Pengadaan freezer di PPI 9 Pembangunan Ruang Ice Cooler 1 unit yang dialokasikan pada PPI 10 Pengembanhgan fasilitas TPI IX Pengembangan pengolahan hasil perikanan: 1 Pengembangan sentra pengolahan X Pengembangan distribusi dan pemasaran produk perikanan: 1 Pengembangan sentra pemasaran Keterangan: √ = ada; --- = tidak ada No.
Tahun 2008 2009
2006
2007
2010
√
√
√
√
√
---
√
√
√
√
---
√
√
---
---
---
√
√
---
---
√ -----
√ -----
√ √ √
√ -----
√ -----
√
---
---
---
---
√
√
√
√
√
---
√
√
---
---
√
---
---
---
---
√ ---
--√
-----
-----
-----
√
---
---
---
---
-----
√ √
√ ---
√ ---
√ √
---
---
√
---
---
---
---
√
---
---
---
---
---
√
---
---
---
---
---
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
247
7.4 Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Provinsi Maluku 7.4.1 Kebijakan umum pengelolaan perikanan di Maluku Mous et al. (2006) memberikan beberapa argumentasi terhadap kebijakan dinamisasi pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka pemulihan stok SDI dan usaha perikanan tangkap, sebagai berikut: (1) pergeseran kebijakan perikanan, dari pengelolaan yang berorientasi pada perluasan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan; (2) pengelola perikanan memahami bahwa prinsip ‘sumber daya tidak akan pernah habis’, sudah tidak berlaku atau dengan kata lain, ’perluasan usaha penangkapan yang tanpa kontrol tidak akan menguntungkan lagi’; (3) pengelola perikanan menyadari bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah lainnya akan memberikan kontribusi terhadap kolapsnya perikanan tangkap setempat, dan; (4) pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY menuju pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, dimana Kawasan Perlindungan Laut akan memainkan peran cukup penting. Untuk mendukung pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di Provinsi Maluku, dirumuskan kebijakan pengelolaan perikanan daerah yang diekspresikan dalam bentuk rencana pengelolaan perikanan. Beberapa substansi penting yang diatur terkait dengan pengelolaan perikanan di Provinsi Maluku meliputi: 1. Ketentuan Umum yang memuat tentang pengertian, dan asas dan tujuan 2. Substansi ini memberikan justifikasi tentang berbagai pengertian yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Disamping itu, aspek asas dan tujuan pengelolaan perikanan juga dikemukakan untuk memberikan dasar bagi upaya-upaya pengelolaan perikanan. 3. Ruang Lingkup, memberikan batasan tentang ruang lingkup pengelolaan perikanan, meliputi wilayah pengelolaan perikanan daerah dan pelaku usaha perikanan. 4. Pengelolaan Perikanan, mengakomodasi konsepsi pengelolaan perikanan yang penting diatur dalam suatu regulasi di tingkat daerah, baik untuk kegiatan perikanan tangkap, pembudidayaan ikan, pengolahan dan penanganan serta distribusi hasil perikanan.
248
5. Usaha Perikanan Tangkap, mengedepankan bagian penting dari pengelolaan perikanan dalam konteks pemanfaatan untuk sub sektor perikanan tangkap. 6. Usaha Perikanan Budidaya, mengedepankan bagian penting dari pengelolaan perikanan dalam konteks pemanfaatan untuk sub sektor perikanan budidaya atau budidaya perairan. 7. Usaha Pengolahan Hasil Perikanan,
mengedepankan bagian penting dari
pengelolaan perikanan dalam konteks pemanfaatan untuk sub sektor pengolahan hasil perikanan. 8. Konservasi Sumber Daya Ikan, memberikan justifikasi tentang usaha yang dilakukan terkait dengan konservasi sumber daya ikan yang menjadi bagian penting dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan perikanan. 9. Manajemen Informasi dan Data Statistik Perikanan, mengatur tentang sistem informasi dan data statistik perikanan yang harus dibangun sebagai basis untuk mendukung upaya-upaya pengelolaan perikanan. 10. Pungutan Perikanan, mengatur tentang sistem pungutan perikanan yang diarahkan untuk mendukung pengelolaan perikanan. 11. Penelitian dan Pengembangan Perikanan, ini mengatur tentang pentingnya kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan dalam mendukung pengelolaan perikanan. 12. Pendidikan,
Pelatihan
dan
Penyuluhan
Perikanan,
mengatur tentang
pentingnya kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan untuk mendukung pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang mendukung pengelolaan dan pemanfaatan perikanan. 13. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia Perikanan, mengatur tentang upaya-upaya pemebrdayaan masyarakat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan. 14. Pengawasan Perikanan, mengatur tentang mekanisme pengawasan yang terkait dengan pemantauan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan. 15. Ketentuan Pidana, mengatur tentang tindakan pidana yang harus dilakukan dalam mendukung pengelolaan perikanan.
249
16. Ketentuan Peralihan, menunjukkan pentingnya waktu penerapan peraturan daerah ini. 17. Ketentuan Penutup, mengatur tentang bagian penutup dari upaya-upaya pengelolaan perikanan. Walaupun rumusan ini telah diselesaikan, namum penggunaannya sebagai alat kontrol terhadap pembangunan perikanan di daerah belum dilakukan. Hal ini disebabkan belum adanya kesepakatan implementasinya dan persetujuan secara menyeluruh melalui pengujian publik. Kondisi inilah yang menyebabkan masih adanya kelemahan Provinsi dalam mengeksekusi kebijakan yang terkait dengan pengaturan perikanan dan dukungan aspek legal bagi pembangunan perikanan di Maluku.
7.4.2 Rencana strategis pengelolaan perikanan Provinsi Maluku Untuk mendukung pengembangan perikanan di Maluku, maka beberapa kebijakannya yang terkait dengan pembangunan perikanan tangkap di Maluku Tengah terdiri dari lima kelompok kebijakan. Pertama, kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan tangkap, meliputi: (1) mendorong upaya pembangunan prasarana pengolahan hasil perikanan, laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil perikanan, serta pasar higienis dan pusat jaringan usaha dan investasi; (2) mendorong upaya pembangunan dan peningkatan prasarana pendidikan dan diklat di bidang perikanan dan kelautan. Kedua, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia perikanan tangkap, meliputi: (1) mengupayakan peningkatan jumlah dan mutu nelayan, pengolah ikan, pelaku pasar ikan dan buruh nelayan; (2) mendukung sepenuhnya upaya peningkatan jumlah dan mutu tenaga kerja pada sektor usaha perikanan. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Kabupaten Maluku untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap. Ketiga, kebijakan pengembangan perikanan tangkap, meliputi: (1) peningkatan dan pengembangan jumlah armada, alat tangkap maupun alat bantu penangkapan ikan untuk daerah penangkapan di pantai dan lepas pantai terutama bagi wilayah pengelolaan perikanan yang masih memungkinkan; (2) Optimalisasi
250
usaha perikanan skala kecil berupa Optikapi, Optihankan dan Optisarkan yang didukung dengan kaji terap teknologi untuk menunjang pengembangan kegiatan perikanan tangkap. Kedua kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan dinamika pada kegiatan usaha perikanan tangkap di Maluku Tengah. Keempat, kebijakan pengembangan pasca panen hasil perikanan, meliputi: (1) peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pasca panen; (2) peningkatan dan pengembangan teknologi pasca panen menyangkut pengkemasan dan pemasaran; serta (3) menetapkan dan menerapkan manajemen mutu terpadu di sentra produksi perikanan tangkap. Kebijakan ini diarahkan untuk peningkatan nilai tambah dan akses terhadap distribusi produk perikanan tangkap. Kelima, kebijakan peningkatan pengawasan sumberdaya perikanan, melelaui: (1)
optimalisasi pengawasan dan pengendalian IUU Fishing dan
pengrusakan ekosistem laut melalui penegakan hukum dan sistem penagwasan melekat; (2) pembinaan dan pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat; (3) peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengawasan. Kebijakan ini terkait dengan upaya pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan dan pencapaian keberlanjutan usaha di tingkat nelayan. Kelima kelompok kebijakan ini secara operasional diterjemahkan melalui elaborasi kebijakan strategis yang terkait dengan pengembangan perikanan tangkap di Maluku. Khusus untuk Maluku Tengah, kebijakan yang lebih operasional diarahkan dengan beberapa strategi berikut ini. Strategi penguatan kapasitas SDM perikanan dan kelautan serta kelembagaannya. Pertama, pengembangan sumberdaya manusia melalui: (a) pengidentifikasian karakteristik nelayan berdasarkan pendekatan gugus pulau; (b) peningkatan potensi sumberdaya nelayan sesuai karakteristik perikanan tiap kawasan; serta (c) pengkoordinasian perencanaan pengembangan sumberdaya manusia perikanan secara terpadu dengan seluruh lembaga pendidikan yang menunjang pengembangan SDM perikanan dan kelautan. Kedua, penguatan kapasitas aparatur perikanan dan kelautan melalui: (a) mengikutsertakan aparatur perikanan dan kelautan pada pendidikan penjenjangan; (b) peningkatan strata pendidikan aparatur perikanan dan kelautan; (c) serta mengikutsertakan aparatur perikanan dan kelautan dalam pendidikan dan
251
pelatihan profesional. Ketiga, peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan melalui: (a) pelatihan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau kecil; serta (b) penyusunan modul pelatihan berbasis masyarakat yang mendukung upaya pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumberdaya perikanan/kelautan. Strategi optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Pertama, pengembangan penangkapan penyusunan rencana
ikan melalui: (a)
pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan dengan
segala keunggulan di setiap kawasan baik sentra potensi maupun sentra produksi; (b) koordinasi intensif lintas Provinsi dikawasan Timur Indonesia dalam rangka pengelolaan bersama potensi perikanan dan kelautan pada daerah penangkapan yang saling berhubungan; (c) koordinasi intensif lintas untuk menyelaraskan program pengelolaan sumberdaya dengan tetap menjaga keseimbangan pengelolaan lintas wilayah; (d) penetapan/ pengalokasian basis usaha penangkapan ikan; serta (e) pemanfaatan data satelit untuk mendukung penangkapan ikan terutama bagi perikanan rakyat. Kedua, pengembangan pasca panen dan pemasaran melalui: (a) pendayagunaan fungsi dan peran laboratorium pengujian mutu hasil perikanan pada semua komoditas terutama produk-produk bernilai eksport; (b) peningkatan profesionalisme dan kesehatan analis uji mutu hasil perikanan; (c) pengembangan teknologi dan diversifikasi pengolahan dengan standar mutu baku bagi usaha pengolahan tradisional; (d) penerapan program manajemen mutu terpadu pada pasca panen perikanan; (e) palkanisasi perahu/kapal ikan, pemasyarakatan penggunaan es, perbaikan wadah pengumpulan dan pengangkutan ikan, penyediaan air bersih, pemasyarakatan penggunaan bahan pengawet serta pengembangan kemitraan yang lebih menguntungkan; (f) pengembangan pasar produk perikanan dan kelautan; (g) pengembangan pasar-pasar higienis. Strategi ekstensifikasi dan diversifikasi produk perikanan dan kelautan. Pertama, pengembangan energi dan kekayaan laut lainnya melalui: (a) input teknologi bagi pengembangan energi listrik tenaga ombak, angin dan arus laut untuk kepentingan desa nelayan; serta (b) pengembangan produksi garam untuk kegiatan pasca panen. Kedua, perwujudan otonomi daerah dalam sektor kelautan
252
dan perikanan melalui: (a) identifikasi komoditas unggulan berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan pada setiap gugus pulau; (b) pengelolaan dan pengembangan produk-produk unggulan; serta (c) promosi dan pemasaran produk-produk unggulan. Ketiga, pengembangan jasa perikanan dan kelautan melalui: (a) penyiapan
perangkat
hukum
pelayanan
jasa
perikanan dan
kelautan; (b) pelayanan jasa pengujian mutu ekspor perikanan dan kelautan; serta (c) pelayanan jasa umum perikanan dan kelautan. Strategi optimalisasi pengawasan dan penegakan hukum melalui desentralisasi kewenangan yang lebih besar. Untuk kepentingan implementasi di lapangan ditetapkan kebijakan yang sangat operasional yakni pengawasan dan pengendalian sumberdaya melalui: (a) rasionalisasi perbandingan jumlah kapal penangkap ikan dengan jumlah tangkapan yang di bolehkan (JTB); (b) intensifikasi pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan melalui pelaksanaan MCS, pendayagunaan PPNS dan pengawasan sumberdaya ikan serta koordinasi dengan kelembagaan pengawasan terkait untuk menjamin ketersedian potensi dan kesinambungan produksi perikanan; (c) pengawasan, pengendalian dan perlindungan ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil; (d) pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara SISWASMAS; serta (e) penerbitan izin usaha perikanan dan kelautan. Strategi integrasi investor, stakeholders dan lembaga kemitraan. Pertama, peningkatan investasi untuk pembangunan infrastruktur, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup melalui: (a) penggalangan partisipasi masyarakat pesisir dan dunia usaha untuk membangun kemitraan usaha; (b) pengembangan kemitraan usaha perikanan dan pengembangan kelembagaan keuangan dan pemerhati usaha perikanan lain untuk mendukung pengembangan perikanan rakyat; (b) penggalangan kemitraan maupun investor dan koordinasi lintas mitra nasional maupun internasional; serta (c) pembentukan
jaringan kerjasama
antara
lembaga pemerintah, LSM, Dunia Usaha dan Akademisi yang berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau kecil. Kedua, revitalisasi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional melalui: (a) identifikasi dan optimalisasi peran potensi kelembagaan lokal dan kearifan tradisional yang
253
berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan; (b) penguatan kelembagaan lokal; serta (c) penguatan kelembagaan ekonomi nelayan. Strategi pengembangan infrastruktur dan sistem informasi perikanan dan kelautan. Untuk mendukungnya pada tingkat implementatif, kebijakan operasional yang ditetapkan adalah peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur perikanan dan kelautan melalui: (a) pendayagunaan sarana dan Prasarana Perikanan dan kelautan untuk mendukung operasionalisasi penangkapan ikan dan ekspor hasil
perikanan dan kelautan; (b) peningkatan
sarana
dan
fasilitas untuk
mendukung kegiatan budidaya perairan; (c) peningkatan sarana dan fasilitas untuk mendukung kegiatan pasca panen; (d) penyediaan sarana/ fasilitas untuk mendukung pemusatan data/informasi perikanan dan kelautan.
7.4.3 Roadmap implementasi kebijakan pemerintah provinsi Implementasi kebijakan strategis pemerintah Maluku dalam pembangunan perikanan tangkap Maluku Tengah tergambar pada roadmap kebijakan pengelolaan perikanannya. Dibandingkan implementasi kebijakan pemerintah pusat melalui pembiayaannya, kebijakan pemerintah Maluku di Maluku Tengah relatif sedikit, hanya mencapai enam kelompok kebijakan operasional, masingmasing: (1) pembinaan usaha perikanan; (2) penguatan kapasitas staf pengelola perikanan; (3) pembinaan dan pengendalian lingkungan; (4) penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan; (5) peningkatan kapasitas penyuluhan; serta (6) pengembangan sistem informasi perikanan (Tabel 39). Keenam kelompok kebijakan menunjukkan adanya upaya pemerintah provinsi Maluku untuk mengimplementasikan kebijakan operasionalnya di Maluku Tengah, khususnya pada ruang kebijakan sosial dan politik. Kondisi ini sangat dipicu oleh adanya konsentrasi pemerintah provinsi terhadap pembangunan perikanan di 10 wilayah lain di Maluku. Namun demikian, sesuai dengan ruang kebijakan yang diimplementasi, upaya-upaya peningkatan kapasitas ekonomi perikanan tangkap yang didukung dengan ruang kebijakan budaya belum menunjukkan optimalnya implementasi kebijakan strategisnya. Implementasi kebijakan operasional seperti ini juga dipengaruhi oleh adanya prioritas wilayah terkait dengan pendaratan kebijakannya. Oleh sebab itu,
254
diduga kinerja pembangunan perikanan di Maluku Tengah haruslah didukung dengan optimalisasi impelemntasi kebijakan pemerintah otonomnya. Tabel 39 Roadmap kebijakan pemerintah provinsi terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian, 2006-2010 Kebijakan dan Bentuk Pengelolaan Perikanan I Pembinaan usaha perikanan: 1 Pengembangan sarana dan prasarana tangkap 2 Pendampingan pada nelayan perikanan tangkap II Penguatan kapasitas staf pengelola perikanan: 1 Pelatihan Statistik Perikanan 2 Karantina Ikan 3 Teknisi Pengolahan Hasil Perikanan 4 Penataran Motor Perahu 5 Apresiasi Data statistik Perikanan Tangkap 6 Pelatihan PMMT bagi Pengawasan Mutu 7 Forum Validasi Perikanan Tangkap 8 Pelatihan Cek Fisik dan Dokumen Kapal Perikanan 9 Pelatihan Pengolahan Hasil Perikanan 10 Pelatihan Teknik Penangkapan Ikan 11 Sosialisasi dan evaluasi pemanfaatan kesehatan ikan dan lingkungan III Pembinaan dan pengendalian lingkungan: 1 Pengawasan sentra-sentra produksi IV Penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan: 1 Pelatihan/Ketrampilan Penangkapan 2 Pelatihan pengolahan hasil perikanan V Peningkatan kapasitas penyuluhan: 1 Temu teknis penyuluh 2 Temu teknis dan informasi penyuluhan perikanan 3 Pelatihan Dasar Penyuluh Terampil VI Pengembangan sistem informasi perikanan: 1 Pengembangan sistem data dan informasi statistik perikanan tangkap 2 Pembinaan dan evaluasi statistik perikanan tangkap Keterangan: √ = ada; --- = tidak ada No.
Tahun 2008 2009
2006
2007
2010
√
√
√
---
---
---
---
---
√
√
√ √ √ √ √
----√ √
---------
---------
---------
√
---
---
---
√ √ √
√ √
√ ---
√ ---
--√
√
√
---
---
√ √
√ √
-----
-----
--√
---
---
---
---
√
---
√
---
---
---
-----
-----
√ √
-----
√ √
---
√
√
---
---
---
√
√
---
---
---
---
---
---
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
255
7.5 Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Kabupaten Maluku Tengah 7.5.1 Kebijakan strategis pengelolaan perikanan di Maluku Tengah Kebijakan pemerintah otonom (Kabupaten Maluku Tengah) terkait dengan pengelolaan perikanan yang mendukung pengembangan kawasan perikanan, khusus kawasan perikanan pelagis kecil, berbasis pada kebijakan strategisnya. Kebijakan strategis pengelolaan perikanan di Maluku Tengah bertujuan untuk: (1) memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan; (2) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Daerah serta meningkatkan kecukupan gizi masyarakat dari hasil perikanan; (3) meningkatkan kesejahteraan nelayan; (4) meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha; (5) menurunkan tingkat konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya perikanan; (6) menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan dan kerusakan sumberdaya perikanan; (7) meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM perikanan; (8) menyediakan teknologi data dan informasi perikanan dalam menunjang pembangunan daerah; serta (9) meningkatkan kapasitas kelembagaan perikanan. Hasil yang diharapkan dapat dicapai melalui implementasi kebijakan strategis ini adalah adanya peningkatan pada beberapa komponen sasaran antara lain: (1) produksi perikanan tangkap; (2) jumlah nelayan; (3) ketersediaan data dan informasi perikanan tangkap secara akurat; (4) konsumsi ikan per kapita; (5) pendapatan asli daerah sebagai kontribusi dari perikanan tangkap; (6) ekspor dan/ atau distribusi antar pulau hasil perikanan tangkap; (7) peningkatan pendapatan nelayan; (8) kemitraan dengan stakeholders untuk pemberdayaan nelayan dan pengembangan industri perikanan tangkap; (9) jumlah armada dan alat tangkap. Disamping itu, dari seluruh kebijakan strategis yang ada, sebagai dampak capaiannya dan untuk keberlanjutan pemanfaatan, diharapkan juga penurunan tingkat pelanggaran pemanfaatan dan kerusakan sumberdaya perikanan. Sebagai bagian dari kebijakan operasional, maka untuk mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan perikanan tangkap di Maluku Tengah, dikembangkan langkah-langkah strategis yang dikelompokkan dalam lima kelompok kebijakan operasional. Pertama, kebijakan pembangunan infrastruktur perikanan melalui: (1) pengembangan pelabuhan perikanan; dan (2) pembangunan prasarana
256
pengolahan hasil perikanan, dan laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil perikanan. Kedua, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia melalui: (1) peningkatan jumlah dan mutu aparatur kelautan dan perikanan; (2) pembentukan dan pengembangan UPTD yang terkait dengan pembangunan perikanan tangkap; (3) pengembangan sumberdaya manusia pengelola dan nelayan; (4) peningkatan jumlah dan mutu tenaga kerja perikanan. Ketiga, kebijakan pengembangan perikanan tangkap, meliputi: (1) peningkatan dan pengembangan jumlah armada, alat tangkap maupun alat bantu penangkapan ikan untuk daerah penangkapan di pantai dan lepas pantai terutama bagi nelayan pengelolaan perikanan yang memungkinkan; serta (2) optimalisasi usaha perikanan skala kecil berupa OPTIKAPI yang didukung oleh kajian terapan teknologi untuk menunjang pengembangan kegiatan Perikanan tangkap. Keempat, kebijakan pasca panen dan pemasaran melalui: (1) penerapan sistim program manajemen mutu terpadu yang merupakan mekanisme pengawasan mutu dengan metode hazard analysis critical control point; (2) peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pasca panen menyangkut pengkemasan dan pemasaran. Kelima, kebijakan operasional yang menjadi kontrol untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap, yakni kebijakan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan, melalui: (1) pengendalian penangkapan dalam rangka mengoptimalkan sumberdaya kelautan dan perikanan; (2) peningkatan pengawasan dan pengendalian melalui penerapan sistem monitoring, controling, dan surveillance; (3) pembinaan dan pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat; serta (4) peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana pengawasan. Seluruh aspek kebijakan strategis dari pemerintah Maluku Tengah menunjukkan adanya upaya untuk mendukung pembangunan perikanan, khusus perikanan tangkap dalam kerangka sistem perikanan yang terintegrasi. Namun demikian, kinerja kebijakan ini haruslah didukung dengan implementasinya di tingkat lapangan. Oleh sebab itu, pada bagian beriktu ini dikaji peta jalan implementasi di wilayah penelitian.
257
7.5.2 Roadmap implementasi kebijakan di wilayah penelitian Sebagai basis pengembangan perikanan di Maluku Tengah, maka kebijakan pemerintah kabupaten yang bersifat lebih operasional menunjukkan adanya 10 kelompok kebijakan sesuai roadmap kebijakannya dalam tahun 20062010 (Tabel 40). Sepuluh kelompok yang dimaksud meliputi: (1) pembinaan usaha perikanan; (2) penguatan kapasitas staf pengelola perikanan; (3) peningkatan pendapatan daerah dan stabilisasi harga; (4) perizinan usaha; (5) pembinaan dan pengendalian lingkungan; (6) penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan; (7) peningkatan kapasitas penyuluhan; (8) pengembangan sistem informasi perikanan; (9) pengembangan pengolahan hasil perikanan; dan (10) pengembangan distribusi dan pemasaran produk perikanan. Sepuluh kelompok kebijakan ini merupakan dasar untuk mengkaji implementasi kebijakan operasionalnya untuk kepentingan pembangunan perikanan di Maluku Tengah. Hasil kajian roadmap kebijakan membuktikan bahwa keberpihakan kebijakan pemerintah otonom pembangunan perikanan tangkap di Maluku Tengah lebih lebar jangkauannnya. Hal ini tergambar dari fokus implementasi kebijakan pada ruang ekonomi, sosial dan budaya, yang menunjukkan bahwa implementasi kebijakan didasarkan pada kebutuhan masyarakat di dalam wilayah. Charles (2006) menerangkan tentang dua elemen kunci pembangunan perikanan berkelanjutan dalam konteks pengembangan dimensi sumber daya manusia perikanan, pertama, adanya kebutuhan pengembangan perikanan yang diarahkan pada pencapaian sasaran sosial. Jika fokus pengembangan hanya diarahkan hanya pada aspek ekologi dan ekonomi, maka aspek lain yang mencakup keberlanjutan sosial dalam masyarakat nelayan akan terabaikan. Kedua, adanya kebutuhan pengembangan pasar kerja dalam sektor perikanan. Pengembangan perikanan harus juga mencakup kompensasi yang diberikan bagi nelayan dan peningkatan dinamika tenaga kerja di sektor ini. Kedua elemen ini menjadi penting diperhatikan terkait dengan eksekusi kebijakan pembangunan perikanan pada level Kabupaten. Hal ini disebabkan pencapaian keberlanjutan pembangunan perikanan memiliki multi sasaran dalam pengambilan keputusan dalam implementasi kebijakan perikanan. Hasil yang ingin dicapai adalah sejauhmana terdapat efisiensi dalam implementasi kebijakan.
258
Tabel 40 Roadmap kebijakan pemerintah kabupaten terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian, 2006-2010 No. I 1 2 2 4 II 1 2 3 4 5 6 7 III 1 2 3 4 IV 1 2 3 4 5 6 7 V 1 2
Kebijakan dan Bentuk Pengelolaan Perikanan Pembinaan usaha perikanan: Bantuan sarana dan prasarana penangkapan kepada kelompok nelayan Pendampingan kelompok nelayan Pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya, pelaku usaha perikanan tangkap Pengembangan sarana dan prasarana tangkap Penguatan kapasitas staf pengelola perikanan: Pelatihan revitalisasi pranata sosial sasi Kursus mesin kapal ikan Pelatihan PPNS Pelatihan manajemen PPI Pelatihan metodologi statistik perikanan Pelatihan penerapan manajemen mutu terpadu Pelatihan Disain Kapal Peningkatan pendapatan daerah dan stabilisasi harga: Retribusi tempat pendaratan ikan Retribusi hasil perikanan Harga patokan ikan Pengembangan peluang usaha dan investasi perikanan tangkap Perizinan usaha: Rekomendasi untuk usaha pengumpulan/pengangkutan Keterangan Asal untuk usaha penangkapan ikan Izin Penangkapan Ikan untuk usaha penangkapan ikan Izin Usaha Perikanan perpanjangan untuk usaha penangkapan ikan Izin Usaha Perikanan baru untuk usaha penangkapan ikan Izin Usaha Perikanan baru untuk usaha pengumpulan/pengangkutan Penataan sistem perizinan Pembinaan dan pengendalian lingkungan: Pembinaan pencegahan usaha penangkapan ikan yang merusak. Pemantauan dan penanggulangan pencemaran lingkungan perairan
Tahun 2008 2009
2006
2007
2010
√
√
√
√
---
---
√
√
√
√
---
---
√
√
√
---
---
√
√
√
√ √ √ √ ---
--√ -------
-----------
-----------
--------√
---
---
---
---
√
---
---
√
---
---
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
---
---
---
---
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
---
√
---
√
√
---
---
---
√
√
√
√
---
√
√
√
√
---
---
√
259
Tabel 40 Lanjutan... Kebijakan dan Bentuk Pengelolaan Perikanan 3 Pembinaan dan pengendalian kerusakan ekosistem bakau 4 Pembinaan dan pengendalian kerusakan terumbu karang 5 Peningkatan Sarana Penunjang Operasionalisasi Pengawasan 6 Pengembangan Sarana dan Prasarana Pengawasan 7 Peningkatan Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) VI Penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan: 1 Pelatihan pasca panen 2 Sosialisasi dana perguliran pemberdayaan ekonomi nelayan 3 Pelatihan/ketrampilan penangkapan ikan 4 Temu usaha nelayan perikanan tangkap 5 Pelatihan operasional standarisasi (standar, monitoring dan sosialisasi penerapan SNI) 6 Sosialisasi peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan usaha perikanan 7 Penguatan kemandirian nelayan dalam penanggulangan kemiskinan VII Peningkatan kapasitas penyuluhan: 1 Temu teknis penyuluh 2 Temu teknis dan informasi penyuluhan perikanan VIII Pengembangan sistem informasi perikanan: 1 Pengembangan sistem data dan informasi statistik perikanan tangkap 2 Validasi data statistik perikanan tangkap 3 Pembinaan dan evaluasi statistik perikanan tangkap 4 Kajian optimalisasi pengolahan dan pemasaran produksi perikanan IX Pengembangan pengolahan hasil perikanan: 1 Pengembangan sentra pengolahan X Pengembangan distribusi dan pemasaran produk perikanan: 1 Pengembangan sentra pemasaran Keterangan: √ = ada; --- = tidak ada No.
Tahun 2008 2009
2006
2007
2010
√
---
√
√
√
√
---
√
√
√
√
---
---
---
√
√
---
---
---
---
---
√
√
√
---
√
√
√
√
√
√
√
---
---
---
√ √
√ √
-----
-----
-----
---
√
---
---
---
---
---
---
---
√
---
---
---
---
√
√
√
√
√
---
√
---
√
---
---
√
√
√
√
√
---
---
---
√
√
√
√
√
√
√
---
---
---
---
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
260
Di sisi lain, alokasi kebijakan politik kurang menjadi basis perhatian pemerintah otonom. Hal ini tergambar dari implementasi kebijakan terkait dengan pengembangan infrastruktur pendukung pengelolaan perikanan sama sekali tidak muncul. Hal ini sangat dipengaruhi oleh lemahnya pembiayaan daerah otonom terkait dengan pembangunan infrastruktur perikanan. Masyarakat nelayan akan mengalami perubahan struktural ketika ada kebijakan restrukturisasi yang mendasari modernisasi dan perkembangan teknologi. Keberlanjutan usaha nelayan menjadi fokus perhatian politik dan pusat implementasi strategi pengembangan perikanan. Oleh sebab itu, tujuan menyeluruh dari kebijakan perikanan adalah sektor perikanan yang berkelanjutan dan menguntungkan dan mendukung komunitas lokal yang kuat, dikelola secara efektif sebagai bagian integral dari kebijakan yang koheren dengan upaya-upaya perlindungan lingkungan perairan dan SDI. Pertanyaan kritis yang muncul adalah ada apa dengan masyarakat nelayan yang memiliki aset yang kuat namun rentan dalam pengembangan usaha perikanan di masa depan? Nelayan dengan identitas sosial mereka membutuhkan pengembangan usaha perikanan yang didukung dengan eksistensi infrastruktur pendukungnya (Symes and Phillipson, 2009). Rudd (2004) menyatakan bahwa modal fisik dalam usaha perikanan merupakan saham dari aset yang dapat digunakan dari waktu ke waktu. Modal fisik mencakup pasar peralatan, fasilitas, teknologi dan perangkat lunak yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas atau efisiensi dalam proses transformasi sumber daya, termasuk SDI, ke dalam komoditas yang berkontribusi terhadap kesejahteraan nelayan. Model fisik juga mencakup infrastruktur fisik yang dibutuhkan masyarakat nelayan untuk mendukung pengembangan produksi. Sesuai pandangan Symes and Phillipson (2009) dan Rudd (2004), keberpihakan kebijakan politik yang lemah, khususnya dalam pengembangan infrastruktur perikanan yang merupakan salah satu bagian penting dari modal fisik yang harus dimiliki oleh masyarakat nelayan, akan melemahkan dinamika pembangunan perikanan di suatu wilayah. Dengan demikian, untuk wilayah penelitian ini masih dibutuhkan perhatian serius terhadap upaya-upaya pengembangan infrastuktur perikanan melalui kebijakan politik yang memihak pada kebutuhan masyarakat nelayan.
261
7.6
Implikasi Dinamika Sub Sistem Pengelolaan Berbasis Kebijakan Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan
7.6.1 Dinamika implementasi kebijakan pengembangan kawasan perikanan Dinamika pengelolaan yang menjadi bagian penting dalam analisis ini adalah perkembangan dari kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan perikanan di Maluku Tengah, khususnya pada kawasan-kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah. Implementasi kebijakan yang diarahkan terkait dengan pengembangan perikanan pelagis di wilayah ini dianalisis secara agregat dan juga secara parsial per setiap kawasan. Analisis ini dikembangkan berdasarkan dinamika kebijakan pengelolaan yang diimplementasikan selama lima tahun terakhir (2006-2010), yang berhubungan langsung dengan perikanan pelagis kecil. Tiga komponen utama dinamika kebijakan yang dianalisis meliputi: perkembangan implementasi kebijakan dalam mengakomodasi permohonan kelompok nelayan, perkembangan kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan pelagis kecil, dan perkembangan kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan. Pemerintah Maluku Tengah melalui Dinas Kelautan dan Perikanannya (DKP), setiap tahun menghadapi peningkatan permohonan kelompok nelayan. Dalam waktu lima tahun terakhir, permohonan kelompok nelayan mencapai 10.249 buah, sekitar 73,36% permohonan yang belum difasilitasi. Hal ini tekait dengan keterbatasan anggaran yang dialokasikan setiap tahun pada sektor ini. Kondisi ini selalu diantisipasi dengan sinkronisasi kebijakan penganggaran dengan pemerintah Provinsi Maluku maupun pemerintah pusat. Namun masih sulit untuk mengakomodasi seluruh permohonan kelompok nelayan. Dalam rangka pemenuhan permohonan nelayan ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku merealisasikannya sesuai hasil kajian kawasan yang berpotensi dibantu. Sesuai dengan kapasitas anggaran yang dimiliki, alokasi bantuan untuk memenuhi permohonan kelompok nelayan bervariasi dari waktu ke waktu. Hasil penelusuran terhadap tingkat realisasi tahunan menunjukkan realisasi pada tahun 2006 untuk 197 kelompok, tahun 2007 untuk 122 kelompok, tahun 2008 untuk 109 kelompok, tahun 2009 untuk 219 kelompok dan tahun 2010 sebanyak 115 kelompok (Tabel 41).
262
Tabel 41 Dinamika implementasi kebijakan dalam mengakomodasi permohonan kelompok nelayan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah No.
Kawasan
2006
2007
2008
2009
2010
1
TNS
2
Saparua
18
-
-
23
5
3
P. Haruku
16
11
-
75
12
4
Leihitu
21
12
-
70
8
5
Salahutu
12
18
-
40
-
6
Amahai
26
54
-
4
48
7
Tehoru
68
18
80
-
3
8
Nusalaut
21
9
5
2
-
9
K. Masohi
15
-
24
-
39
197
122
109
219
115
Total
5
Hasil ini menggambarkan kawasan-kawasan yang sering (empat tahun) terealisasi permohonannya antara lain: Pulau Haruku, Leihitu, Amahai, dan Nusalaut. Kawasan lainnya menerima realisasi selama tiga tahun, kecuali TNS yang hanya difasilitasi pada tahun 2009. Perkembangan ini menunjukkan adanya dinamika tahunan dalam konteks implementasi kebijakan dalam mengakomodasi permohonan nelayan. Sesuai dengan hasil lapangan, dinamika ini terbentuk karena kebijakan diarahkan pada ruang sosial dan ekonomi. Pertama, ruang sosial yang dimaksudkan adalah tujuan implementasi kebijakan diarahkan pada upaya mempertahankan dan meningkatan jumlah nelayan sebagai salah satu komponen dari tenaga kerja di sektor perikanan. Kedua, ruang ekonomi yang menjadi tujuan implementasinya adalah pada upaya peningkatan pendapatan nelayan dan sebagai dampaknya akan diikuti dengan peningkatan pendapatan daerah. Untuk menggerakkan kedua ruang tujuan implementasi kebijakan, DKP Maluku Tengah mengakomodasi berbagai upaya pengembangan perikanan pelagis kecil di wilayah, tidak hanya melalui dukungan kebijakan pemerintah Kabupaten, tetapi juga dari Provinsi dan Pusat. Upaya pengembangan ini tergambar dari adanya alokasi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis kecil selama lima tahun periode pembangunan perikanan, tahun 2006-2010.
263
Hasil penelusuran dinamika implementasi kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan menunjukkan alokasi yang berbeda, baik antar kawasan maupun secara tahunan. Pertama, dinamika antar kawasan, menunjukkan kawasan yang memiliki jumlah alokasi bantuan armada penangkapan ikan terbanyak selama lima tahun terakhir adalah Pulau Haruku (114 unit), Leihitu (114 unit), Tehoru (113 unit) dan Amahai (95 unit). Kawasan lain hanya mendapat alokasi armada penangkapan ikan di bawah 43 unit, kecuali kawasan Salahutu yang mendapat alokasi sebanyak 62 unit (Tabel 42). Tabel 42 Dinamika implementasi kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah No.
Kawasan
2006
2007
2008
2009
2010
-
-
-
-
-
Jumlah (2006-2010) -
1
TNS
2
Saparua
18
-
-
23
-
41
3
P. Haruku
16
11
-
75
12
114
4
Leihitu
21
12
-
76
4
113
5
Salahutu
12
18
-
32
6
Amahai
26
54
-
2
13
95
7
Tehoru
8
18
88
-
-
114
8
Nusalaut
21
9
5
2
-
37
9
Kota Masohi
15
-
24
-
4
43
137
122
117
210
33
619
Total
62
Dinamika antara kawasan juga ditunjukkan implementasi kebijakan tahunan: (1) kawasan TNS sama sekali tidak mendapat alokasi armada penangkapan; (2) kawasan Saparua hanya dialokasikan selama dua tahun; (3) kawasan Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi dialokasikan selama tiga tahun; serta (4) kawasan Pulau Haruku, Leihitu, Amahai dan Nusalaut dialokasi selama empat tahun. Kedua, tahunan menunjukkan selama tahun 2006 dialokasi sebanyak 137 unit, tahun 2007 sebanyak 122 unit, tahun 2008 sebanyak 117 unit, tahun 2009 sebanyak 210 unit, dan tahun 2010 sebanyak 33 unit. Dinamika tahunan ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan penganggaran di tingkat Kabupaten, Provinsi dan
264
Pusat, dimana pada periode 2006 sampai dengan 2009, alokasi bantuan armada perikanan paling banyak didukung oleh kebijakan pemerintah pusat dan provinsi. Di sisi lain, pada tahun 2010, implementasi kebijakan yang paling dominan adalah dari pemerintah Kabupaten. Dinamika pengelolaan perikanan berbasis kebijakan terkait dengan implementasinya melalui pengembangan armada penangkapan oleh pemerintah Kabupaten dan dukungan kebijakan, mengindikasikan adanya persoalan dalam melakukan eksekusi kebijakan, kehati-hatian dalam pengambilan keputusan dan beragamnya program yang harus difasilitasi. Tantangan dalam pengelolaan perikanan terkait dengan kecenderungan implementasi kebijakan oleh pemerintah, menurut Bavinck and Salagrama (2008) beberapa hal penting. Pertama, regulasi (dibaca: kebijakan) perikanan tidak difokuskan pada pengelolaan sumber daya. Hal ini terjadi karena implementasi kebijakan diarahkan pada upaya pengembangan perikanan dari skala kecil ke semi industri. Kedua, kapasitas institusi perikanan yang terbatas dalam untuk mengimplementasi berbagai hal terkait dengan sistem perikanan. Ketiga, institusi perikanan sering diperhadapkan dengan persoalan-persoalan dimana nelayan tidak memahami tentang pentingnya implementasi kebijakan yang terkait dengan upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Kondisi ini sangat berhubungan dengan kesulitan dalam mendisain program, konektivitas kebijakan antar level pemerintahan, partisipasi pemerintah pada tiap level, kesulitan dalam pengambilan keputusan
terkait dengan
pembiayaan program, dan perubahan dukungan kebijakan. Keempat persoalan ini dapat dijawab secara empiris, antara lain: Pertama, dinamika implementasi kebijakan pengelolaan perikanan seringkali diperhadapkan dengan kesulitan untuk mendesian program perikanan yang efektif ketika terjadi perubahan pada partisipasi nelayan dalam aktivitas penangkapan ikan (Curtis, 2006). Kedua, dinamika ini juga muncul karena lemahnya koherensi kebijakan antar level pemerintahan sehingga sulit dicapai program yang sinkron antar level kebijakan. Ketiga, adanya faktor kebutuhan pemerintah dalam mengimplementasi kebijakan pada suatu kegiatan sehingga fokus pada kegiatan perikanan lain (seperti perikanan tangkap) akan berkurang (Charles, 2006).
265
Keempat, dukungan kebijakan pemerintah seringkali harus berubah karena pengaruh perilaku tiga pelaku utama pengelolaan perikanan, yaitu: nelayan secara individual, masyarakat perikanan dan pemerintah sebagai pengarah dalam pengelolaan (Riseski, 2006). Pada tingkatan individual, nelayan yang memiliki banyak keterbatasan harus berupaya meningkatkan kapasitas, sementara perkembangannya sangat lambat pada perkembangan produksi. Kondisi ini memberikan adanya keraguan bagi pemerintah untuk tetap mengalokasikan bantuan armada penangkapan ikan bagi nelayan. Untuk level masyarakat nelayan, faktor pendapatan keluarga nelayan yang rendah dan keterbatasan model fisik menyebabkan peluang untuk terkoneksi dengan dinamika perikanan yang lebih luas seperti industri perikanan semakin sempit. Kondisi ini menyebabkan pemerintah harus memberikan pilihan yang teepat terhadap kelompok masyarakat yang membutuhkan alokasi bantuan armada dalam rangkan peningkatan porduksi dan memiliki kemampuan terkoneksi dengan dinamika perikanan yang lebih luas. Di sisi lain, pada level pemerintah, perangkat program yang banyak, namun keterbatasan penganggaran menyebabkan pemerintah harus melakukan pengambilan keputusan yang tepat dalam alokasi bantuan armada perikanan. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh terhadap naik-turunnya alokasi bantuan armada perikanan bagi nelayan/masyarakat nelayan adalah aspek politik. Kebijakan politik yang mengutamakan adanya keseimbangan antar ruang dalam alokasi armada perikanan dan diikuti dengan keputusan politis parlemen di daerah terhadap konstituennya sangat mempengaruhi sistem implementasi kebijakan yang telah direncanakan oleh DKP sebagai lembaga teknis. Dinamika kebijakan pengelolaan perikanan juga dikaji dari perkembangan implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan yang mendukung perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Periode waktu implementasinya yang dianalisis dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 (Tabel 43). Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan antar kawasan dan tahunan. Dinamika antar kawasan adanya perbedaan jumlah infrastruktur antar kawasan dimana kawasan yang memiliki jumlah infrastruktur terbanyak adalah Amahai dan Salahutu. Berkembangnya infrastruktur pada kedua kawasan ini terkait
266
dengan eksistensi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Walaupun demikian, ada juga kawasan yang memiliki TPI namun tidak memiliki perkembangan infrastruktur perikanan yang berarti, seperti di Leihitu dan Saparua. Tabel 43 Dinamika implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan (unit) di wilayah Selatan Maluku Tengah No 1
Kawasan Amahai
2
Tehoru
3
Salahutu
4
Leihitu
5 6
Saparua Kota Masohi
Jenis Prasarana Cold Storage Katsuobushi PPI Pabrik Es Ice cooler Cold Storage Pabrik Es Pabriks Es TPI Cold Storage Bangsal pengolahan Cold Storage TPI TPI Cold Storage Mini
2006 1 1 1 1
2007 2 1 1 1
2008 2 1 1 1
1
1 1 1 1 1 1 2 1 1 1
1 1 1 1 1 1 2 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1
2009 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1
2010 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1
Berkembangnya kawasan Amahai karena adanya kebijakan pengembangan PPI oleh pemerintah Pusat dan Provinsi. Hal inilah yang menyebabkan adanya inisiatif pemerintah Kabupaten untuk mendukung pengembangannya melalui peningkatan pemeliharaan sampai dengan tahun 2010 dan jumlah infrastuktur di tahun tahun 2009 dengan pengadaan ice cooler. Pada tahun 2007, melalui kerjasama dengan swasta, kawasan ini bertambah satu unit coldstorage. Perkembangan di kawasan Salahutu didukung penuh dengan investasi dari pihak swasta untuk pengembangan pabrik es, TPI, coldstorage dan bangsal pengolahan. Sebagaimana jelaskan sebelumnya bahwa kedua kawasan ini merupakan pintu keluar utama untuk distribusi produk perikanan pelagis kecil dari wilayah Selatan Maluku Tengah. Eksistensi infrastruktur perikanan sangat membantu posisi keduanya sebagai pintu keluar produk perikanan pelagis kecil dari wilayah ini.
267
Dua kawasan lain, Tehoru dan Leihitu memiliki infrastruktur perikanan yang didukung oleh investasi dari pihak swasta. Oleh sebab itu, dukungan kebijakan pemerintah untuk kedua kawasan ini tidak sebesar yang dilakukan pada kawasan Amahai. Kawasan Saparua dan Kota Masohi merupakan kawasan lain yang dikembangkan untuk mendukung pengelolaan perikanan di Maluku Tengah. Namun demikian, pengembangannya ini dilakukan untuk memposisikan kedua kawasan sebagai kawasan pendukung, baik untuk Amahai maupun untuk Salahutu. Dinamika tahunan menunjukkan bahwa tahun 2007 merupakan waktu dimana alokasi pengembangan infrastuktur paling dinamis. Hal ini tergambar dari penambahan coldstorage di Amahai, pabrik es di Tehoru, bangsal pengolahan di Salahutu dan coldstorage di Leihitu.
7.6.2 Dinamika pengelolaan; Pendekatan model persamaan struktural 7.6.2.1 Model persamaan struktural kebijakan pengembangan kawasan perikanan Langkah awal yang dilakukan sebelum melakukan analisis SEM lebih lanjut adalah penilaian model struktural. Untuk kepentingan estimasi dengan maximum likelihood, variabel observed harus memiliki normalitas multivariate (Ghozali, 2008). Wijaya (2009) mengemukakan bahwa data dikatakan normal apabila cr multivariate (critical ratio) memenuhi syarat -2,58 < cr < 2,58. Hasil pengujian terhadap kenormalan data dalam penelitian ini menunjukkan pada kolom cr untuk multivariate nilainya adalah 1,293 (Tabel 44). Nilai ini termasuk dalam kisaran pemenuhan syarat data normal karena berada di antara ±2,58. Ghozali (2008) menyatakan capaian nilai dalam kisaran ini menunjukkan tidak terdapat bukti bahwa distribusi data variable observed tidak normal atau terbukti bahwa data berdistribusi normal. Langkah kedua dalam analisis ini adalah pengukuran model struktural yang dikembangkan, dengan menganalisis kesesuaian model melalui pengujian kriteria goodness-of-fit. Ghozali (2008) menerangkan penilaian goodness-of-fit merupakan tujuan utama dalam persamaan struktural yaitu mengetahui sampai seberapa jauh model yang dihipotesiskan fit atau cocok dengan sampel data.
268
Tabel 44 Hasil pengujian nornalitas data dalam analisis structural equation modeling dengan Program Amos Profesional 4.00 Variabel
Min
max
skew
c.r.
kurtosis
c.r.
X11
2,833
3,429
1,023
5,539
0,721
1,952
X12
2,750
4,250
1,197
6,482
0,014
0,039
X13
2,833
4,000
0,361
1,954
0,933
2,526
X21
2,500
4,500
0,781
4,23
0,004
0,011
X22
2,833
4,000
0,136
0,739
-0,419
-1,133
X23
2,000
4,000
-0,474
-2,568
0,031
0,084
X31
3,000
4,333
0,915
4,957
0,343
0,929
X32
3,000
4,857
-0,305
-1,652
-0,518
-1,402
X33
2,000
4,500
0,275
1,49
0,333
0,901
Y11
2,500
4,500
0,451
2,44
-0,782
-2,118
Y12
2,833
4,000
0,832
4,504
0,761
2,061
Y13
3,500
4,000
1,509
8,172
0,277
0,75
Y21
3,000
4,250
0,751
4,066
-0,632
-1,713
Y22
2,000
4,500
0,447
2,419
-0,573
-1,552
Y23
3,000
4,000
-1,545
-8,368
0,651
1,762
Y31
3,000
4,429
0,713
3,859
0,564
1,529
Y32
2,500
5,000
-0,436
-2,359
-0,837
-2,267
Y33
3,000
4,500
-0,839
-4,547
-0,616
-1,667
0,252
1,293
Multivariate
Keterangan: skew = nilai skewness; c.r. = critical ratio; kurtosis = nilai multivariate kurtosis
Hasil yang ditunjukkan pada Lampiran 6 menginformasikan beberapa hal penting tentang model yang dikembangkan dengan menggunakan 176 sampel: (1) analisis yang berkembang didasarkan pada 171 sample moments; (2) terdapat 65 parameter yang terestimasi; dan (3) hasil subtraksi menunjukkan derajat bebas adalah 65. Hasil ini juga menunjukkan kriteria minimum diterima sebagai suatu solusi konvergen pada kondisi dimana Chi-square (X2) sebesar 162,051. Capaian nilai indeks tersebut menunjukkan sensitivitas model statistik terhadap ukuran sampel. Namun demikian, penggunaan nilai X2 kurang membantu dalam menentukan fit tidaknya model. Hal inilah yang menjadi alasan untuk menggunakan indeks lain untuk pengambilan keputusan terhadap fit tidaknya
269
model. Byrne (2010) menyatakan indeks primer dari hasil AMOS adalah nilai CFI
dan RMSEA. Ferdinand (2002) menganjurkan indeks yang dibutuhkan untuk mendampingi X2 adalah Probability, CMIN/DF, RMSEA, GFI, AGFI, TLI dan CFI. Pemodelan persamaan struktural dengan program AMOS Profesional 4.00 diekspresikan pada Gambar 45. Seluruh hasil ini dibandingkan secara tabular dengan kriteria yang sesuai dalam sebuah model persamaan struktural.
Gambar 45 Model persamaan struktural pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah
Hasil evaluasi kesesuaian model persamaan struktural terhadap kriteria
goodness-of-fit yang dipersyaratkan dipersyaratkan dinyatakan dalam Tabel 45. Hasil ini menunjukkan semua kriteria ini dipenuhi oleh model persamaan struktural yang dikembangkan. Hasil ini menerangkan bahwa model mencerminkan data variable
270
observed dan tidak ditemukan adanya perbedaan antara matriks kovarian data dengan matriks yang diestimasi. Tabel 45 Hasil evaluasi kesesuaian model persamaan struktural terhadap kriteria goodness-of-fit yang dipersyaratkan Kriteria goodness-of-fit
Chi-square (X2) Probability CMIN/DF RMSEA GFI AGFI TLI CFI
Cut of value
Hasil model
Keterangan
Sekecil mungkin
162,051
Baik
≥ 0,05
0,002
Baik
≤ 2,00
1,422
Baik
≤ 0,08
0,049
Baik
≥ 0,90
0,908
Baik
≥ 0,90
0,863
Cukup Baik
≥ 0,95
0,856
Cukup Baik
≥ 0,95
0,893
Cukup Baik
Nilai X2 yang dipersyaratkan adalah sekecil mungkin dan hasil model menunjukkan nilai 162,051, masuk dalam kategori baik. Nilai probablilty 0,002 juga termasuk dalam kategori baik. Tiga kriteria yang termasuk dalam kategori cukup baik adalah AGFI, TLI dan CFI. Hasil ini menurut Byrne (2010) dan Wijanto (2008), jika model persamaan struktur memiliki batasan yang cukup baik dan dapat diterima maka model dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi yang diteliti. Nilai CMIN/DF, RMSEA, dan GFI masuk dalam kisaran nilai yang disyarakatkan, sehingga pada indeks-indeks ini dinyatakan baik. Hasil seperti ini memberikan justifikasi bahwa model persamaan struktural yang dibangun dapat diterima (fit). Model yang dapat diterima atau dinyatakan fit, menurut Mustaruddin (2009), dapat digunakan untuk menjelaskan tujuan yang ingin dicapai dalam analisis. Terkait dengan penelitian ini, interaksi antar komponen dalam pengembangan kawasan perikanan dapat dijelaskan secara komprehensif, terutama pengaruh variabel-variabel kebijakan (pengelolaan) terhadap pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Demikian halnya dengan interaksi variabel-variabel yang mengindikasikan adanya capaian dari upaya pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil.
271
7.6.2.2 Dinamika pengelolaan melalui pengembangan kawasan perikanan Analisis tentang pengembangan kawasan perikanan, khususnya untuk perikanan pelagis kecil merupakan representasi dari upaya atau dinamika pengelolaan perikanan.
Pendekatan persamaan struktural yang mengandung
komponen utama kebijakan pengembangan kawasan perikanan diarahkan pada pengelolaan perikanan melalui implementasi program-program yang terkait dengan aspek politik, sosial ekonomi serta lingkungan perairan dan SDI. Pembuktian terhadap adanya dinamika pengelolaan berbasis kebijakan tergambar dari hasil analisis ini. Hasil analisis dengan pendekatan persamaan struktural menunjukkan adanya tiga kelompok dinamika, masing-masing: (1) dinamika kebijakan pemerintah dalam pengembangan kawasan perikanan; (2) dinamika indikator perkembangan kawasan perikanan; dan (3) interaksi indikator perkembangan kawasan perikanan.
(1) Dinamika kebijakan pemerintah Implementasi kebijakan pengembangan pada level Nasional, Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah sangat dibutuhkan untuk mendorong dinamika kawasan perikanan, khusus untuk perikanan pelagis kecil yang menjadi basis kegiatan ekonomi produktif bagi nelayan di pesisir dan pulau kecil. Pada tataran implementatif tergambar adanya pengaruh yang berbeda untuk setiap komponen di ketiga level kebijakan. Hasil pada Tabel 46 menunjukkan secara holistik seluruh level kebijakan memberikan pengaruh yang positif terhadap pengembangan kawasan perikanan (PKP). Namun demikian, ketiga level kebijakan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan PKP di Maluku Tengah. Kebijakan pemerintah pusat secara langsung berpengaruh signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi (X12) dengan koefisien pengaruh (Kp) 5,895. Kebijakan pemerintah Kabupaten juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi (X32) dengan nilai Kp sebesar 3,842. Pengaruh signifikan yang diberikan, ditunjukkan dengan distribusi nilai probabilitas (P) di bawah 0,05 sebagai batas maksimum yang disyaratkan.
272
Tabel 46 Koefisien pengaruh (Kp) dan probabilitas (P) kebijakan pemerintah bagi pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah Interaksi
Kp
SE
C.R.
P
PKP
<--
K_PUS
3.689
Fix
X11
<--
K_PUS
1,274
0,723
1,762
0,078
X12
<--
K_PUS
5,895
2,935
2,008
0,045
X13
<--
K_PUS
1.000
Fix
PKP
<--
K_PROV
2.019
Fix
X21
<--
K_PROV
1,000
Fix
X22
<--
K_PROV
0,545
0,474
1,150
0,250
X23
<--
K_PROV
2,185
1,276
1,713
0,087
PKP
<--
K_KAB
3.192
Fix
X31
<--
K_KAB
1,000
Fix
X32
<--
K_KAB
3,842
1,488
2,582
0,010
X33
<--
K_KAB
0,167
0,719
0,232
0,816
Mengacu pada roadmap kebijakan pemerintah pusat terhadap pengelolaan perikanan di Maluku Tengah, dari 10 kelompok kebijakan pemerintah pusat yang diimplementasikan dalam lima tahun terakhir, lima di antaranya lebih berorientasi pada kebijakan politik, masing-masing: (1) penguatan staf pengelola perikanan; (2) perizinan usaha; (3) peningkatan kapasitas penyuluhan; (4) pengembangan sistem informasi perikanan; dan (5) pengembangan infrastruktur perikanan. Empat kelompok kebijakan lainnya yang berorientasi pada kebijakan sosial dan ekonomi adalah: (1) pembinaan usaha perikanan; (2) penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan; (3) pengembangan pengolahan hasil perikanan; serta (4) pengembangan distribusi dan pemasaran produk perikanan. Satu-satunya kelompok kebijakan yang berorientasi pada kebijakan lingkungan dan SDI adalah pembinaan dan pengendalian lingkungan. Distribusi program menurut kelompok kebijakan pada level pemerintah pusat dalam pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah menunjukkan rata-rata jumlah tahunan yang sama pada kelompok kebijakan politik dan sosialekonomi, rata-rata 10 program. Kelompok kebijakan lingkungan dan SDI sangat kecil dibandingkan kedua kelompok kebijakan yang lain, rata-rata tiga program
273
per tahun. Distribusi jumlah program tahunan yang dinyatakan dalam Gambar 46 memberikan gambaran periode tahun 2006 - 2008 merupakan periode dengan perkembangan jumlah program yang tinggi, karena di dua tahun terakhir terjadi penurunan jumlah program. 14 13
12
12
12 12
12
Jumlah Program
10
9
8
9 8
8
Kebijakan Politik Kebijakan Sosial dan Ekonomi
6 6
Kebijakan Lingkungan dan SDI
5
4
4
4 2
1 0
1
2006
2
2007
3
2008 Tahun
1 4
2009
5
2010
Gambar 46 Distribusi kelompok kebijakan pemerintah pusat di Maluku Tengah
Kelompok kebijakan politik yang terdistribusi dengan jumlah yang lebih banyak ternyata tidak diikuti dengan pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah. Di sisi lain, kelompok kebijakan lingkungan dan SDI dengan distribusi jumlah yang sedikit juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Roadmap kebijakan pemerintah provinsi dalam rangka pengelolaan perikanan di Maluku Tengah, menunjukkan dari enam kelompok kebijakan yang ada, tiga antaranya berorientasi pada kebijakan politik, masing-masing: (1) penguatan kapasitas staf pengelola perikanan; (2) peningkatan kapasitas penyuluhan; dan (3) pengembangan sistem informasi perikanan. Dua kelompok kebijakan pemerintah provinsi yang berorientasi pada aspek sosial dan ekonomi, meliputi: (1) pembinaan usaha perikanan; dan (2) penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan. Satu kelompok kebijakan lainnya adalah pembinaan dan pengendalian lingkungan, yang menunjukkan adanya orientasi pengelolaan lingkungan dan SDI.
274
Rata-rata jumlah program menurut kelompok kebijakan pada level pemerintah provinsi terkait dengan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah, untuk kelompok kebijakan politik sebanyak tujuh program per tahun, untuk kelompok kebijakan sosial-ekonomi dua program per tahun, dan kelompok kebijakan lingkungan dan SDI sama sekali tidak dikembangkan, kecuali pada tahun 2007 terdapat satu program. Distribusinya secara tahunan dinyatakan dalam Gambar 47. 12
11
11
10
Jumlah Program
8
Kebijakan Politik
6 4 2
3 1
1
0 2006 1
2
2007
3
Kebijakan Sosial dan Ekonomi 3
1 1
0
6
6
0 3
2008 Tahun
0 2009 4
Kebijakan Lingkungan dan SDI
0 5
2010
Gambar 47 Distribusi kelompok kebijakan pemerintah provinsi di Maluku Tengah
Distribusi program selama lima tahun (2006 – 2010) memberikan gambaran bahwa kebijakan politik lebih banyak dibanding kebijakan sosial dan ekonmi serta lingkungan dan SDI. Kebjiakan politik menunjukkan perkembangan menurun selama empat tahun pertama dan di tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Kebijakan sosial dan ekonomi fluktuatif sepanjang periode analisis, sedangkan kebijakan lingkungan dan SDI sangat lemah. Dinamika pengelolaan perikanan berbasis kebijakan pemerintah otonom (Kabupaten Maluku Tengah) yang ditunjukkan dengan roadmap kebijakannya, menggambarkan distribusi kelompok kebijakan yang hampir sama dengan kebijakan pemerintah pusat. Dari 10 kelompok kebijakan pemerintah otonom yang diimplementasikan, empat di antaranya lebih berorientasi pada kebijakan politik, masing-masing: (1) penguatan staf pengelola perikanan; (2) perizinan usaha; (3) peningkatan kapasitas penyuluhan; dan (4) pengembangan sistem informasi perikanan. Lima kelompok kebijakan lainnya yang berorientasi pada
275
kebijakan sosial dan ekonomi adalah: (1) pembinaan usaha perikanan; (2) peningkatan pendapatan daerah dan stabilisasi harga; (3) penguatan kapasitas nelayan dan keluarga nelayan; (4) pengembangan pengolahan hasil perikanan; serta (5) pengembangan distribusi dan pemasaran produk perikanan. Satu-satunya kelompok kebijakan yang berorientasi pada kebijakan lingkungan dan SDI adalah pembinaan dan pengendalian lingkungan. Distribusi rata-rata jumlah program menurut kelompok kebijakan pada level pemerintah otonom menunjukkan kelompok kebijakan politik sebanyak tujuh program per tahun, kelompok kebijakan sosial-ekonomi 13 program per tahun, dan kelompok kebijakan lingkungan dan SDI sebanyak empat program per tahun. Distribusinya secara tahunan dinyatakan dalam Gambar 48. 16
15
15
14 12 Jumlah Program
12 10
13
11 10 9
Kebijakan Politik
9 Kebijakan Sosial dan Ekonomi
8 6 4
6 4
5 5
Kebijakan Lingkungan dan SDI
4 3
2 0
1
2006
2
2007
3 3
2008 Tahun
4
2009
5
2010
Gambar 48 Distribusi kelompok kebijakan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah
Distribusi program selama lima tahun (2006 – 2010) menggambarkan kebijakan sosial dan ekonomi memiliki jumlah terbanyak, kebijakan politik pada posisi sedang dan terendah untuk kebijakan lingkungan dan SDI. Kebjiakan sosial dan ekonomi cukup fluktuatif, namun dalam dua tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan walaupun di tahun sebelumnya terjadi penurunan. Pada tahun 2009, kebijakan politik menunjukkan penurunan yang tajam, sedangkan peningkatan yang lambat terjadi pada kebijakan lingkungan dan SDI. Dalam tahun 2009 dan 2010 distribusi jumlah program cukup seimbang pada kedua kelompok kebijakan.
276
Kondisi yang berbeda antara kebijakan pusat dan provinsi dengan kabupaten menunjukkan bahwa kedekatan level kebijakan lebih menunjukkan adanya keberpihakan kebijakan yang lebih kuat dibanding level kebijakan yang lebih jauh. Kondisi ini juga turut memberikan pengaruh terhadap dinamika pengelolaan perikanan yang diinsiasi melalui implementasi kebijakannya. Kelompok kebijakan politik yang terdistribusi dengan jumlah yang banyak pada level kebijakan pemerintah provinsi, juga tidak diikuti dengan pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah. Demikian juga kebijakan sosial dan ekonomi yang tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan. Sementara itu, kelompok kebijakan lingkungan dan SDI yang sangat lemah sama sekali tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Kegagalan kebijakan yang lebih berorientasi pada aspek politik adalah karena dalam implementasinya, kurang terjadi terintegrasi dengan kelompok kebijakan lain seperti sosial dan ekonomi serta lingkungan (Charles, 2006). Oleh sebab itu, integrasi antar kelompok kebijakan menjadi penting untuk dikembangkan di wilayah ini. Kurangnya
orientasi
kebijakan
pemerintah
terhadap
pengendalian
lingkungan dan SDI menyebabkan pengaruhnya tidak signifikan terhadap dampak dari upaya-upaya pengendalian itu. Kegagalan kebijakan dalam pengendalian lingkungan dan SDI disebabkan berbagai faktor, antara lain: lemahnya pengaturan waktu-waktu tangkap (Da-Rocha et al., 2011), kurangnya pengendalian upaya tangkap (Charles, 2001; Widodo dan Suadi, 2006; Dunn et al., 2010), dan lemahnya pengawasan pemanfaatan SDI dan pengelolaan perikanan berkelanjutan (Bavinck and Salagrama, 2008; Laxe, 2010). Implementasi kebijakan pemerintah yang memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi disebabkan karena adanya perhatian terhadap pengembangan kapasitas sosial maupun ekonomi masyarakat nelayan. De Young et al. (2008) menyatakan suksesnya suatu kebijakan pemerintah berkaitan erat dengan fokus implementasinya. Sasaran peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan merupakan bentuk dari implementasi kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas sosial dan ekonomi.
277
Sesuai dengan hasil analisis menyeluruh pada wilayah penelitian ini, maka kebijakan pemerintah yang berorientasi politik serta lingkungan dan SDI masih harus didorong lebih baik lagi dan diimplementasikan secara integratif dengan kelompok kebijakan lainnya. Dampak kebijakan pemerintah pusat dan kabupaten yang cukup baik untuk kondisi sosial dan ekonomi harus tetap dipertahankan serta dikembangkan untuk mencapai sasaran pembangunan perikanan berkelanjutan.
(2) Dinamika indikator perkembangan kawasan perikanan Indikator perkembangan kawasan meliputi tingkat implementasi strategi (TIS), kinerja kawasan perikanan (KKP) dan capaian tujuan pembangunan perikanan (CTPP). Analisis terhadap dinamika indikator pengembangan kawasan perikanan didasarkan pada dampak dari pengembangan kawasan perikanan terhadap ketiga indikatornya. Hasil analisis yang diekspresikan secara tabular pada Tabel 47 menunjukkan PKP berpengaruh positif terhadap seluruh indikator perkembangan kawasan perikanan. Namun demikian, pengaruh yang diberikan baik terhadap tingkat implementasi strategi (TIS), kinerja kawasan perikanan (KKP) maupun capaian tujuan pembangunan perikanan (CTPP), tidak signifikan. Tabel 47
Koefisien pengaruh (Kp) dan probabilitas (P) pengembangan kawasan perikanan terhadap indikator perkembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah Interaksi
Kp
SE
C.R.
P
TIS
<--
PKP
0.716
Fix
KKP
<--
PKP
0,152
Fix
CTPP
<--
PKP
0,343
Fix
Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan kawasan perikanan tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi ketiga indikator perkembangan kawasan. Kabupaten Maluku Tengah membutuhkan sentuhan kebijakan yang lebih intensif dan integratif bagi pengembangan kawasan perikanan. Soemokaryo (2006) menjelaskan integrasi kebijakan pengembangan kawasan dalam pembangunan perikanan di Indonesia merupakan strategi yang sangat penting dilakukan dengan
278
mencermati faktor-faktor yang terkait di dalamnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor-faktor yang saling terkait antar lingkungan usaha perikanan (internal, industri dan eksternal), kebijakan pemerintah (pusat dan daerah), kinerja sektor perikanan (termasuk kinerja usaha perikanan tangkap dan kinerja industri pengolahan) serta tujuan pembangunan perikanan. Secara agregat, hasil ini juga membuktikan tiga hal penting dalam pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah. Pertama, dalam konteks tingkatan implementasi strategi, upaya pengembangan kawasan perikanan belum memberikan pengaruh terhadap pengembangan infrastruktur dan sarana perikanan, pengembangan kapasitas nelayan dan pengembangan institusional. Kedua, dalam konteks kinerja kawasan perikanan, upaya pengembangan kawasan perikanan tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan yang mendukung pengelolaan perikanan, kinerja pelayanan terhadap nelayan sebagai pelanggan utama pengelolaan perikanan di tingkat lokal, dan kinerja proses internal pengelola perikanan di daerah. Wahab (2004) menyatakan kondisi ini sangat mungkin terjadi,
ketika implementasi kebijakan pemerintah dilakukan
dengan pendekatan acak untuk menyeimbangkan program antar daerah atau karena kebetulan kebijakan diarahkan sesuai keinginan daerah. Artinya, kinerja kawasan perikanan tidak akan meningkat apabila implementasi kebijakan pengembangan kawasan perikanan tidak sesuai dengan rencana yang dibangun secara sistematis. Ketiga, dalam konteks capaian tujuan pembangunan perikanan, upaya pengembangan kawasan perikanan belum memberikan pengaruh terhadap pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi di tingkat masyarakat dan wilayah. Soemokaryo (2006) menerangkan capaian tujuan pembangunan perikanan sebagai dampak dari pengembangan kawasan perikanan akan berjalan efektif dan memberikan pengaruh yang signifikan ketika faktorfaktor pendorong dinamika kawasan seperti kebijakan pemerintah di berbagai tingkatan memiliki keterkaitan yang kuat. Artinya, integrasi kebijakan menjadi penting untuk diterapkan sebagai langkah pendapaian tujuan pembangunan perikanan.
279
(3) Interaksi indikator perkembangan kawasan perikanan Interaksi antara indikator perkembangan kawasan perikanan terkait dengan upaya pengembangan kawasan menunjukkan dinamika yang berbeda untuk tiap indikator. Hasil analisis sebagaimana diekpresikan pada Tabel 48 menunjukkan bahwa ketiga indikator perkembangan kawasan memberikan pengaruh positif terhadap seluruh variabelnya. Demikian juga, interaksi antar indikator menunjukkan hubungan yang positif. Namun, tidak seluruhnya memiliki pengaruh yang signifikan. Tabel 48 Koefisien pengaruh (Kp) dan probabilitas (P) perkembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah Interaksi
interaksi
indikator
Kp
SE
C.R.
P
KKP
<--
TIS
0,252
0,317
0,795
0,427
CTPP
<--
TIS
0,775
0,723
1,762
0,078
Y11
<--
TIS
1.000
Y12
<--
TIS
1,279
0,431
2,966
0,003
Y13
<--
TIS
0,242
0,103
2,344
0,019
CTPP
<--
KKP
0,016
Fix
Y21
<--
KKP
1,000
Fix
Y22
<--
KKP
0,321
0,496
0,647
0,517
Y23
<--
KKP
4,018
1,613
2,491
0,013
Y31
<--
CTPP
0,336
0,353
0,952
0,341
Y32
<--
CTPP
1,901
0,907
2,095
0,036
Y33
<--
CTPP
1,000
Fix
Fix
Tingkat implementasi strategi belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kawasan perikanan dan capaian tujuan pembangunan perikanan di Maluku Tengah. Demikian juga kinerja kawasan perikanan belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap capaian tujuan pembangunan perikanan. Secara parsial, indikator-indikator perkembangan kawasan perikanan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beberapa variabel pembentuknya. Pertama,
TIS
hanya
memberikan
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
280
pengembangan kapasitas nelayan (Y12) dan pengembangan institusional (Y13). Hasil ini membuktikan bahwa tingkat implementasi strategis pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah belum memberikan pengaruh terhadap pengembangan infrastruktur dan sarana perikanan. Sebagai konsekuensi dari hasil ini, upaya-upaya pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah masih harus meningkatkan fokus pengembangan pada infrastruktur dan sarana perikanan. Kedua, KKP hanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja proses internal (Y23). Hasil ini membuktikan kinerja kawasan perikanan masih harus didorong lebih baik lagi pada upaya peningkatan kinerja keuangan dan pelayanan terhadap nelayan dan pelaku usaha perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Kinerja kawasan perikanan akan memberikan pengaruh yang signifikan ketika lingkungan usaha berkembang dengan baik (Kohar et al., 2008; Mustaruddin, 2009), dan mendapat dukungan yang kuat dari kebijakan pemerintah pusat maupun daerah (Kohar et al., 2008). Ketiga, CTPP hanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyediaan lapangan kerja (Y32). Dengan demikian, capaian tujuan pembangunan perikanan belum memberikan dampak bagi pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di tingkat masyarakat dan wilayah. Oleh sebab itu, arahan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah harus juga mengakomodasi upaya-upaya untuk mereduksi tingkat kemiskinan nelayan dan pertumbuhan ekonomi. Wahab (2004) menyatakan kebijakan suatu pemerintah memiliki implikasi antara lain, pertama, kebijakan pemerintah pusat lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan dibanding sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak atau kebetulan. Kedua, kebijakan terdiri dari tindakan-tindakan yang saling terkait. Ketiga, kebijakan mungkin bersifat positif mungkin pula negatif. Pandangan ini menerangkan kebijakan pusat merupakan tindakan yang memiliki tujuan dan terarah, sehingga kebijakan pada level pemerintah ini masih dibutuhkan untuk menentukan keberhasilan suatu program di tingkat nasional dan juga daerah.
281
Walaupun demikian, eksistensi kebijakan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten juga menjadi penting sebagai tindakan yang terarah dan memiliki hubungan yang kuat terhadap pengembangan kawasan perikanan di daerah. Hal ini sesuai dengan kedekatannya upaya pengembangan kawasan perikanan di tingkat lokal daerah. Pemerintah daerah otonom (kabupaten) menjadi ujung tombak implementasi kebijakan yang sesuai dengan persoalan yang harus direduksi. Seluruh hasil analisis pengelolaan dengan pendekatan persamaan struktural menghendaki
adanya peningkatan
perhatian pemerintah, baik
pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten, dalam mendukung peningkatan dinamika pembangunan perikanan di daerah. Lemahnya implementasi strategi akan berdampak pada melemahnya kinerja kawasan dan upaya pencapaian tujuan pembangunan perikanan. Implementasi kebijakan pembangunan kawasan perikanan menurut Charles (2006), setidaknya dilakukan dengan dua pendekatan, pertama, melalui kebijakan reduksi kapasitas, tidak hanya diarahkan pada sasaran sosial, namun juga pada instrumen kebijakan, dan dampak potensialnya adalah pada aspek ekonomi, sosial, kesesuaian pengelolaan dan perlindungan lingkungan perairan dan SDI. Kedua, kebijakan diversifikasi ekonomi melalui tiga tingkat diversifikasi, meliputi (1) dorongan untuk perikanan multi-spesies, (2) mendorong beberapa sumber mata pencaharian bagi nelayan, dan (3) diversifikasi perekonomian di tingkat nelayan. Beberapa pendekatan untuk diversifikasi ekonomi: (1) menciptakan alternatif pekerjaan berbasis pada potensi sumberdaya lokal yang dimiliki; (2) mengatasi kendala makro pada pembangunan daerah, dan pengaturan kelembagaan pemerintahan lokal yang bertanggung pada pengelolaan perikanan secara efektif.
7.7
Kesimpulan Kajian dinamika sub sistem pengelolaan yang berbasis pada kebijakan
pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan beberapa kesimpulan:
282
1. Dinamika kebijakan pengelolaan berbasis kebijakan Nasional menunjukkan penurunan pada seluruh kelompok kebijakan, baik sosial dan ekonomi maupun lingkungan dan SDI, sedangkan kelompok kebijakan politik mulai meningkat di tahun terakhir, secara agregat membutuhkan peningkatan implementasinya melalui keseimbangan antar kelompok kebijakan; 2. Dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Provinsi Maluku relatif fluktuatif dan meningkat di tahun terakhir, khususnya pada kebijakan politik serta sosial dan ekonomi, sedangkan kebijakan lingkungan dan SDI tidak mendapat perhatian dalam tiga tahun terakhir, yang memberikan konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan terhadap keseimbangan antar kelompok kebijakan yang dimplementasikan; 3. Dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan daerah otonom (kabupaten) Maluku Tengah dalam pengembangan kawasan perikanan pelagis cenderung meningkat di tahun terakhir untuk kelompok kebijakan politik, sosial dan ekonomi serta lingkungan dan SDI, yang memberikan konsekuensi pada kebutuhan untuk mempertahankan kinerja implementasi kebijakan dan keseimbangan antar kelompok kebijakan; 4. Dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan bagi pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah berimplikasi pada: pertama, perbedaan alokasi kelompok kebijakan pada setiap kawasan; kedua, kebijakan pemerintah pusat dan kabupaten berpengaruh signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi; ketiga, secara agregat pengembangan kawasan perikanan belum memberikan pengaruh signifikan bagi tingkat implementasi strategi, kinerja kawasan perikanan dan capaian tujuan pembangunan perikanan; keempat, secara parsial tingkat implementasi strategi berpengaruh signifikan terhadap pengembangan kapasitas nelayan dan pengembangan institusional, kinerja kawasan perikanan berpengaruh signifikan terhadap kinerja proses internal kawasan perikanan, serta capaian tujuan pembangunan perikanan berpengaruh signifikan penyediaan lapangan kerja; kelima, pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah membutuhkan integrasi antara kebijakan pengembangan dalam konteks politik, sosial dan ekonomi, maupun lingkungan dan SDI.
8 PEMBAHASAN
Seluruh dinamika dan dampaknya yang ditunjukkan pada seluruh kawasan pengembangan perikanan di wilayah Selatan Maluku Tengah memberikan konsekuensi adanya kawasan yang memiliki dinamika yang berbeda dengan kawasan lainnya. Dalam konteks perencanaan wilayah, kondisi ini memberikan justifikasi tentang adanya disparitas pembangunan perikanan antar kawasan. Disparitas yang terjadi dalam suatu wilayah perlu dicermati dengan benar untuk merencanakan dan mengembangkan kawasan strategis perikanan pelagis kecil sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Kondisi ini menyebabkan setiap kawasan perikanan memiliki tipologi berbeda karena kapasitasnya tidak sama dan berdampak pada produktivitasnya. Kajian tipologi kawasan masih terfokus pada ilmu wilayah. Aplikasinya untuk kawasan perikanan jarang ditemukan. Padahal kajian tentang sumberdaya alam, seperti perikanan, dan analisis wilayah sangat terkait (Copes, 1984; 1991). Stohr (1999) mengembangkan konsep dasar tipologi kawasan secara kualitatif dengan empat tipe: inti, periferi aktif, periferi pasif dan periferi netral. Abrahamsz (2006) mengaplikasikannya untuk mengkaji tipologi desa pesisir dan Abrahamsz et al. (2010) mengembangkannya sebagai model dasar penentuan kawasan minapolitan berbasis komoditas unggulan. Untuk memberikan dukungan bagi perencanaan dan pengembangannya, penelitian ini mengelaborasi tiga model pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Pertama, Tipologi Kawasan Pengembangan berbasis Sistem Perikanan Pelagis Kecil yang disebut dalam penelitian ini sebagai TipoSan. Model TipoSan mengekspresikan hasil pemetaan tipologi tiap kawasan sesuai hubungan kapasitas komponen sub sistem perikanan pelagis dengan distribusi hasil yang dicapai karena eksistensi kapasitasnya. Model ini menghasilkan kondisi dimana setiap kawasan berada pada peta tipologinya baik sebagai kawasan inti, kawasan periferi aktif, kawasan periferi pasif maupun kawasan periferi netral. Kedua, Indeks Sentralitas Sistem Perikanan yang disebut sebagai InSist. Model ini mengakomodasi perkembangan seluruh subsistem dalam membentuk dinamika sistem perikanan pelagis kecil di tiap kawasan. Model ini menghasilkan
284
nilai indeks sentralitas yang sangat membantu dalam menentukan struktur ruang di wilayah Selatan Maluku Tengah sesuai tiga hirarki kawasan perikanan pelagis kecil, masing-masing hirarki I, II dan III. Ketiga, integrasi dari kedua model di atas menjadi dasar untuk membangun model dinamika spasial yang disebut dengan MoDiS. Model ini mengakomodasi model TipoSan dan Insist untuk menentukan prioritas pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Dalam pembahasan umum ini diberikan integrasi antara dinamika sub sistem alam, manusia dan pengelolaan, yang dimulai dengan rancang bangun model dinamika spasial sistem perikanan secara bertahap.
8.1 Rancangan Bangun Model 8.1.1 Rancangan bangun Model TipoSan Analisis ini dikembangkan melalui hasil rancang bangun model, dimana model yang disebut dengan nama TipoSan ini didasarkan pada konsep dasar penentuan tipologi kawasan sesuai kapasitas dan produktivitasnya. Dua model yang dikembangkan dalam menganalisis tipologi kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah, meliputi: pertama, Model TipoSan_1 yang menunjukkan agregasi seluruh variabel yang terkait dengan dinamika sistem perikanan dan diperuntukan bagi penentuan status kawasan. Kedua, Model TipoSan_2 untuk menentukan kawasan-kawasan basis komoditas pelagis kecil unggulan sesuai tipologinya. Pengembangan model agregat mengakomodasi komponen-komponen sistem perikanan, sedangkan model parsial memberikan justifikasi tentang kapasitas kawasan yang ditunjukkan dengan nilai kapasitas penangkapan dan produktivitas kawasan ditunjukkan dari nilai ekonomi setiap komoditas produk perikanan pelagis kecil. Hasil dari kedua pendekatan digunakan untuk menjelaskan implikasi model TipoSan terhadap pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Dua komponen utama pembentuk TipoSan adalah kapasitas kawasan yang diekstraksi dari beberapa komponen dinamika sub sistem, dan produktivitas
285
kawasan merupakan hasil dari kinerja setiap sub sistem dalam mendukung dinamika pengembangan kawasan perikanan berbasis komoditas pelagis kecil. Untuk memberikan gambaran awal tentang Model TipoSan_1, dibangun model konseptual untuk memberikan pemahaman alur pembentukan model. Pembentuk utama model pada sumbu-X adalah kapasitas kawasan (K1), yang dinyatakan dengan model konseptual:
K1 = f (Us, N , Po, Pd , Ptk ) Us adalah upaya standar pada setiap kawasan yang sangat menentukan tingkata pemanfaatan SDI secara lestari; N adalah kapasitas sumber daya manusia yang ditunjukkan dengan jumlah nelayan pada setiap kawasan sebagai menjadi pelaku utama pemanfaatan SDI; Po adalah pelaku usaha pengolahan ikan sebagai potensi kawasan yang bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah di setiap kawasan; Pd adalah pelaku usaha perdagangan; dan Ptk adalah potensi tenaga kerja lebih (hasil analisis optimasi spasial) untuk peningkatan jumlah pelaku usaha perikanan. Ptk merupakan nilai proporsi potensi SDM optimal yang dibandingkan dengan jumlah penduduk di tiap kawasan. Proses perhitungan RFN_P sama dengan RFN_K, namun komponen pembentuknya berbeda. Perhitungan RFN_P mengakomodasi komponen sistem perikanan yang menunjukkan adanya produktivitas dari suatu kawasan perikanan. Pembentuk utama model pada sumbu-Y adalah produktivitas kawasan (P1), yang dinyatakan dengan model konseptual:
P1 = f ( Adpi, Vp,Vo, Psr ) Adpi adalah tingkat aksesibitas nelayan terhadap DPI; Vp merupakan volume produksi ikan pelagis kecil; Vo adalah volume produksi hasil olahan; dan Psr yang menyatakan produktivitas setiap kawasan dalam distribusi dan pemasaran hasil perikanan. Nilai Psr dinilai dengan pemberian skor terhadap produktivitas kawasan pada jangkauan pemasaran, dimana pasar lokal dan antar kawasan dengan skor satu (1); pasar antar pulau dengan skor dua (2) dan pasar ekspor dengan skor tiga (3). Nilai skor ini kemudian diakumulasikan melalui penjumlahan hasil perkalian terhadap tingkatan pasarnya.
286
Model Tiposan_2 dibangun berdasarkan model konseptual dengan komponen pertama yaitu kapasitas kawasan (K2). K2 adalah nilai kapasitas penangkapan alat penangkapan ikan pelagis kecil yang terdistribusi pada setiap kawasan pengembangan perikanan. Oleh sebab itu, kapasitas kawasan yang diwakili oleh kapasitas penangkapan ikan dinyatakan dengan model konseptual sebagai berikut:
K 2 = f (VPij , FPI kj )
VPij adalah volume produksi jenis komoditas ikan pelagis ke-i pada wilayah ke-j. Dalam penelitian ini nilai i adalah satu (1) sampai dengan lima (5) karena analisis dilakukan terhadap lima komoditas pelagis kecil unggulan. FPIkj merupakan nilai fishing power index untuk jenis alat tangkap ke-k pada wilayah ke-j. Model ini disebut sebagai model dasar (basic model), karena komponen FPIkj masih bisa diturunkan berdasarkan dua komponen pembentuknya. Dua komponen pembentuk FPIkj meliputi: CPUEr yang merupakan hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap r yang akan distandarisasi (ton/trip) dan CPUEs adalah total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap s yang dijadikan standar (ton/trip). Dengan demikian, model dasar K2 dapat dikembangkan menjadi model yang diperluas sebagai berikut: K 2 = f (VPij , CPUEr −kj , CPUEs−kj ) Komponen kedua dalam Model Tiposan_2 adalah P2, yang merupakan representasi dari nilai ekonomi produksi ikan pelagis kecil. Model konseptual untuk adalah:
P2 = f (VPij , H i )
dimana: Hi adalah tingkatan harga untuk jenis ikan ke-i Untuk menunjukkan hubungan antara kapasitas kawasan (K1 dan K2) dan produktivitasnya (P1 dan P2), digunakan analisis regresi sederhana dengan pendekatan ordinary least square (OLS) untuk menyatakan nilai determinasi, koefisien regresi dan signifikansinya. Hasil analisis ini bermanfaat untuk
287
membuktikan
sejauhmana
hubungan
antara
kapasitas
kawasan
dan
produktivitasnya.
8.1.2 Rancangan bangun Model InSist Analisis ini dikembangkan melalui hasil rancang bangun model, dengan pendekatan Indeks Sentralitas Sistem. Pendekatan ini dikembangkan untuk menentukan sruktur ruang pengembangan perikanan pelagis kecil dalam wilayah kajian. Mengacu pada konsep dasar yang dikembangkan Rondinelli (1985), indeks sentralitas merupakan dasar penentuan hirarki kawasan, yang merepresentasikan eksistensi sistem dalam pengembangan suatu kawasan. Model konseptual untuk pengembangan Indeks Sentralitas Sistem Perikanan yang disebut dalam penelitian ini sebagai Model InSist, mengacu juga pada konsep dasar sistem perikanan berkelanjutan (SP) merupakan fungsi dari tiga sub sistem, masing-masing: sub sistem alam (A), sub sistem manusia (M) dan sub sistem pengelolaan (P). Dengan demikian model konseptual untuk Indeks Sentralitas Sistem Perikanan (InSist_SP) dapat dinyatakan sebagai berikut:
(
InSist _ SP = f InSist _ A, InSist _ M , InSist _ P
)
Sesuai dengan model konseptual ini, maka pada bagian analisis dikemukakan model parsial untuk seluruh sub sistem yang disebut dengan Model InSist_1, dan model agregat yang disebut dengan Model InSist_2. Model InSist_1 dikembangkan untuk memberikan justifikasi tentang sentralitas sub sistem perikanan pada setiap kawasan. Hasil ini juga menjadi dasar untuk mengetahui kekuatan sentralitas sub sistem yang dimiliki setiap kawasan, sehingga penentuan status kekuatan pengembangan kawasan dapat dilakukan dengan pendekatan ini. Model InSist_2 dikembangkan untuk memberikan justifikasi tentang sentralitas sistem perikanan secara agregat pada setiap kawasan. Hasil ini bermanfaat untuk menentukan hirarki dan status kawasan terkait dengan perencanaan pengembangan kawasan. Model InSist_1 dalam penelitian terdiri dari tiga sub model yang dibedakan untuk setiap sub sistem perikanan, baik sub sistem alam, manusia maupun pengelolaan. Pertama, untuk sub sistem alam terdapat dua variabel
288
analisis, masing-masing aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (DPI) dan jumlah tangkap ikan pelagis kecil yang diperbolehkan (JTB). Oleh sebab itu, Model InSist_1untuk sub sistem alam dinyatakan sebagai berikut:
InSist _ 1A
1 Eks _ Aij = x K m m ∑ Eks _ Aij i =1
Kedua, untuk sub sistem manusia terdapat 10 variabel, masing-masing: (1) potensi nelayan optimal (Nopt); (2) proporsi RTP terhadap rumah tangga total di tiap kawasan (RTP); (3) proporsi API terhadap API total (API); (4) upaya penangkapan ikan standar (U); (5) volume produksi tangkap (Vt); (6) proporsi jumlah pengolah terhadap nelayan (O); (7) proporsi rumah tangga pengolah terhadap RTP (RTo); (8) volume produksi olah (Vo); (9) pelaku usaha pemasaran dan distribusi (PD); dan (10) produktivitas produksi dan pemasaran (ProdPD). Formulasi Model InSist_1 untuk sub sistem manusia, sebagai berikut:
InSist _ 1M
1 Eks _ M ij = x K n n ∑ Eks _ M ij i =1
Ketiga, untuk sub sistem pengelolaan terdapat empat variabel analisis, masing-masing: (1) kebijakan realisasi permohonan nelayan (KR); (2) kebijakan pengembangan armada perikanan (KPar); (3) nilai relatif pengembangan infrastruktur (KPinfra); dan (4) rata-rata alokasi pembiayaan program per kawasan (KPprog). Formulasi Model InSist_1 untuk sub sistem pengelolaan, adalah:
InSist _ 1P
1 Eks _ Pij = x K o o ∑ Eks _ Pij i =1
InSist_1 = Indeks Sentralitas Sistem Perikanan Parsial Eks
= eksistensi sub sistem pada setiap kawasan pengembangan perikanan
A,M,P
= komponen sistem perikanan (A adalah sub sistem alam; M adalah sub sistem manusia; P adalah sub sistem pengelolaan)
289
i,j
= variabel sub sistem dalam sistem perikanan ke-i untuk kawasan ke-j
m.n.o
= jumlah variabel pada setiap sub sistem (m untuk sub sistem alam sebanyak dua variabel; n untuk sub sistem manusia sebanyak 10 variabel; dan o untuk sub sistem pengelolaan sebanyak empat variabel)
K
= konstanta sentralitas sistem yang memiliki nilai 100 Model InSist_2 merupakan akumulasi dari seluruh komponen sistem yang
ada pada InSist_1A, InSist_1M, dan InSist_1P. Dengan demikian jumlah variabel sistem adalah sebanyak 16 variabel. Oleh sebab itu, Model InSist_2 sebagai model agregat untuk sistem perikanan pelagis kecil dapat dinyatakan sebagai berikut:
InSist _ 2
SPij 1 = x K p p ∑ Eks _ Aij i =1
InSist_2 = Indeks Sentralitas Sistem Perikanan Agregat p
= jumlah variabel pada setiap sub sistem (m untuk sub sistem alam; n untuk sub sistem manusia; dan o untuk sub sistem pengelolaan)
8.1.3 Rancangan bangun model dinamika spasial sistem perikanan: MoDiS Aplikasi model kembar pengenbangan kawasan yang disebut dengan Model Dinamika Spasial atau disingkat MoDis, dengan model umum sebagai berikut: 10
MoDiSij = ∑ i =1
9
∑ (S * B ) j =1
ij
MoDiSij merupakan nilai komposit indikator prioritas pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil untuk indikator ke-i pada kawasan ke-j, dan dihasilkan dari perkalian skor (S) dan bobot (B) pada setiap indikator. Nilai i dari 1 sampai dengan 10 menunjukkan jumlah IPP yang dianalisis, dan nilai j dari 1 sampai dengan 9 menunjukkan jumlah kawasan yang dianalisis. Analisis ini dikembangkan
untuk menentukan prioritas kawasan
pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Penelitian ini membagi tingkat prioritas atas tiga status, yaitu: prioritas primer, sekunder dan tersier. Oleh
290
sebab itu, penentuan prioritas didasarkan pada n selang kelas dimana Nilai Selang Kelas (Nsk) dihitung dengan formula sebagai berikut: Nsk =
1 ((MoDiS )max − (MoDiS )min ) n
Jumlah selang kelas dinotasikan dengan n, dalam penelitian ini n = 3. (MoDiS)max dan (MoDiS)min masing-masing adalah nilai komposit maksimum dan minimum. Dengan demikian persamaan Nsk di atas dapat diperluas menjadi: 1 ((S * B )max − (S * B )min ) n Nilai S untuk indikator TipoSan meliputi: S=1 untuk periferi netral, S=2 Nsk =
untuk periferi pasif, S=3 untuk periferi aktif, dan S=4 untuk inti. Nilai S untuk indikator InSist meliputi: S=1 untuk kategori lemah, S=2 untuk kategori sedang, S=3 untuk kuat. Nilai B sebesar 8,75% yang terdistribusi sama untuk setiap indikator, kecuali pada indikator TipoSan_1 dan InSist_2 dengan nilai B sebesar 15%. Nilai B yang besar untuk kedua indikator ini disebabkan karena pembentukannya merupakan agregasi dari seluruh variabel yang digunakan untuk menganalisis tipologi kawasan maupun indeks sentralitas sistem perikanan. Hasil perhitungan nilai komposit (Nk) untuk setiap kawasan, kemudian dipetakan secara grafis dan tabular untuk menggambarkan posisi setiap kawasan dalam konteks prioritas: primer, sekunder dan tersier. Untuk kepentingan pemetaan prioritas, digunakan fungsi IF sebaga berikut:
= IF ((MoDiS ij ) < ((MoDiS )min + Nsk );"Tersier";
IF (MoDiS ij ) < ((MoDiS )min + 2 Nsk + 0,01);" Sekunder"; IF (MoDiS ij ) < ((MoDiS )max ); " Pr imer" )))
8.2 TipoSan dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan 8.2.1 Model TipoSan_1: Agregasi komponen sistem perikanan Berdasarkan model konseptual ini, nilai RFN_K dapat dihitung menggunakan data-data komponen pembentuknya yang telah dianalisis pada bagian sebelum. Nilai RFN_K menunjukkan enam kawasan lebih dari nilai tengah
291
(0,41), yaitu Leihitu, Amahai, Tehoru, Kota Masohi, Saparua dan Pulau Haruku. Kawasan yang memiliki nilai RFN_K terendah adalah TNS (Tabel 49). Tabel 49 Rataan nilai fungsi kapasitas kawasan perikanan (RFN_K) di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan
Us
FN
746
0,0000
Saparua
4567
P. Haruku
7038
Leihitu Salahutu
FN
Po
FN
Pd
FN
138
0,0000
66
0,0000
12
0,0000
1,51
0,5696
2.939
0,4872
78
0,0293
86
0,6981
10,22
0,5263
0,4621
0,9380
3.611
0,6041
147
0,1976
49
0,3491
4,38
0,1737
0,4525
6504
0,8584
5.887
1,0000
312
0,6000
89
0,7264
17,25
0,9513
0,8272
3359
0,3895
1.361
0,2127
231
0,4024
96
0,7925
4,82
0,2002
0,3995
Amahai
4952
0,6270
2.369
0,3881
438
0,9073
85
0,6887
16,68
0,9168
0,7056
Tehoru
5479
0,7056
4.248
0,7149
297
0,5634
67
0,5189
18,06
1,0000
0,7006
Nusalaut
3953
0,4781
848
0,1235
476
1,0000
15
0,0283
4,17
0,2310
0,3582
K. Masohi
7454
1,0000
649
0,0889
105
0,0951
118
1,0000
5,28
0,2923
0,4824
TNS
N
Ptk
FN
RFN_K
0,0000
0,0000
Hasil ini telah memberikan gambaran awal tentang esksistensi kawasan dengan kapasitasnya dalam mendukung pembangunan perikanan di wilayah ini. Namun demikian, nilai ini belum dapat dijadikan dasar untuk memberikan justifikasi tentang kuatnya kapasitas kawasan. Oleh sebab itu, RFN_K harus dipetakan bersama dengan RFN_P yang menjadi indikator kekuatan suatu kawasan perikanan. Hasil perhitungan pada Tabel 48 menunjukkan bahwa nilai RFN_P tertinggi pada kawaan Leihitu
dan terendah pada kawasan TNS. Kawasan-
kawasam lain yang juga memiliki nilai RFN_P yang tinggi adalah Salahutu dan dan Amahai. Hal ini membuktikan bahwa kawasan Leihitu, Salahutu, Amahai dan Kota Masohi berpotensi menjadi kawasan yang bertipologi sebagai kawasan inti. Sesuai dengan distribusi nilai RFN_K dan RFN_P yang ada, maka pemetaan tipologi kawasan perikanan pelagis kecil dapat dilakukan dengan pendekatan grafis. Dengan demikian, model agregat untuk tipologi kawasan perikanan pelagis di Maluku Tengah dapat diekspresikan untuk membedakan kapasitas dan produktivitasnya. Hubungan kapasitas kawasan dan produktivitasnya (Gambar 49) menunjukkan nilai Significance F (p-value) sebesar 0,01 dan R2 (koefisien determinasi) sebesar 0,6636. Pada α = 0,05, kapasitas kawasan berpengaruh signifikan terhadap produktvitasnya. Nilai R2 membuktikan secara agregat
292
determinasi variasi produktivitas kawasan dapat dijelaskan oleh kapasitasnya sebesar 66,36%. Determinasi RFN_K terhadap RFN_P seperti ini menunjukkan tidak semua memiliki pola distribusi kapasitas yang berpengaruh terhadap terhadap produktivitas kawasan. Tabel 50 Rataan nilai fungsi produktivitas kawasan perikanan (RFN_P) di wilayah Selatan Maluku Tengah Adpi
FN
Vp
FN
Vo
FN
Psr
FN
RFN_P
TNS
1,20
0,0000
95,90
0,0000
5,8
0,0000
86,4
0,0000
0,0000
Saparua
7,45
0,4464
2688,80
0,5442
52,9
0,4922
2931,2
0,4197
0,4756
Kawasan
P. Haruku
6,67
0,3906
1268,00
0,2460
43,1
0,3898
1792,5
0,2517
0,3195
Leihitu
10,13
0,6383
4860,70
1,0000
98,1
0,9645
4678,1
0,6774
0,8201
Salahutu
4,36
0,2260
3736,70
0,7641
75,8
0,7315
6864,9
1,0000
0,6804
Amahai
10,97
0,6980
2404,40
0,4845
101,5
1,0000
5782,1
0,8403
0,7557
Tehoru
9,47
0,5907
2117,90
0,4244
77,2
0,7461
2878,6
0,4119
0,5433
Nusalaut
15,19
1,0000
809,20
0,1497
86,3
0,8412
1931,9
0,2723
0,5658
K. Masohi
8,08
0,4917
4164,20
0,8538
67,8
0,6479
4899,6
0,7101
0,6759
A
L
Keterangan: TNS = Teon Nila Serua
SL
KM
S T
PH = Pulau Haruku L
N S
PH
= Saparua
= Leihitu
SL = Salahutu A
= Amahai
T
= Tehoru
N
= Nusalaut
KM = Kota Masohi
TNS
Gambar 49
Tipologi kawasan berbasis agregasi komponen sistem perikanan pelagis di wilayah Selatan Maluku Tengah
Hasil analisis menunjukkan tidak semua kawasan memiliki pengaruh kapasitasnya yang kuat terhadap produktivitasnya. Nilai b (koefisien regresi)
293
sebesar 0,8448 yang
menjelaskan tentang perananan kapasitas terhadap
produktivitas kawasan, dimana setiap peningkatan kapasitas sebesar satu unit akan meningkatkan produktivitas sebesar 0,8448 unit. Prinsip dasar tipologi kawasan adalah: (1) kawasan dengan kapasitas tinggi menghasilkan produktivitas yang tinggi (kawasan inti) di kuadran kanan atas; (2) kawasan dengan kapasitas rendah namun menghasilkan produktivitas yang tinggi (kawasan periferi aktif) di kuadran kiri atas; (3) kawasan dengan kapasitas tinggi namun menghasilkan produktivitas yang rendah (kawasan periferi pasif) di kuadran kanan bawah; dan (4) kawasan dengan kapasitas rendah menghasilkan produktivitas yang rendah (kawasan periferi netral/stagnan)di kuadran kiri bawah. Pertama, lima kawasan berada pada kuadran kanan atas, masing-masing Leihitu (L), Tehoru (T), Amahai (A), Kota Masohi (KM), dan Saparua (S). Secara teoritis, kawasan yang terpetakan dalam kuadran kanan atas dinyatakan sebagai kawasan inti (core region). Secara agregat, kelima kawasan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan inti pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Kedua, kawasan Salahutu (SL) dan Nusalaut (N) merupakan kawasankawasan yang terpetakan dalam kuadran kiri atas. Eksistensi kedua kawasan ini menunjukkan keduanya cukup aktif melakukan kegiatan produktif di kawasan terkait dengan pemanfaatan SDI pelagis kecil, walaupun kapasitasnya tergolong rendah. Oleh sebab itu, kedua kawasan ini disebut sebagai kawasan periferi aktif. Stohr
(1999)
menyatakan
kawasan
periferi
merupakan
kawasan
pendukung terhadap kawasan inti. Namun dengan eksistensi kawasan periferi aktif membuktikan dengan mengalokasikan kapasitas yang kecil, produktivitasnya cukup baik. Bila dicermati posisi kedua kawasan secara grafis, keduanya juga berpotensi untuk didorong sebagai kawasan inti. Hal ini akan mendapat pembuktian lebih lanjut tentang statusnya berdasarkan produktivitas yang berbasis pada pengelolaan dan pemanfaatan komoditas unggulan. Ketiga, kawasan Pulau Haruku sebagai periferi pasif, dimana walaupun memiliki kapasitas yang tinggi namun tidak diikuti dengan produktivitas yang tinggi. Keempat, kawasan TNS merupakan kawasan dengan kapasitas rendah dan
294
tingkat produktivitas yang rendah. Oleh sebab itu, TNS memiliki status sebagai kawasan periferi netral atau stagnan. Eksistensi kawasan periferi aktif dan periferi netral menunjukkan adanya kebutuhan dalam wilayah kajian untuk meningkatkan interaksi antar kawasan. Kawasan inti dan periferi aktif diharapkan memfasilitasi aliran inovasi teknologi dan pengetahuan ke kawasan periferi pasif dan periferi netral (Borgatti and Everett, 1999; Muniz and Karvajal, 2006).
8.2.2 Model TipoSan_2: Basis pengembangan komoditas unggulan Analisis ini dilakukan terhadap kapasitas dan produktivitas kawasan terkait dengan pemanfaatan teknologi pilihan dalam pemanfaatan komoditas pelagis kecil unggulan. Hasil perhitungan nilai K2 dan P2 untuk tiap kawasan menunjukkan adanya perbedaan kapasitas dan produktivitasnya (Lampiran 7). Perbedaan antara kawasan yang terjadi menerangkan bahwa setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah relatif berbeda sehingga berdampak pada produktivitasnya. Sesuai dengan hasil analisis pada Lampiran 7, dilakukan pemetaan tipologi yang dikelompokkan berdasarkan jenis komoditas pelagis kecil unggulan. Hasil pemetaan secara umum menunjukkan bahwa setiap jenis teknologi penangkapan ikan di seluruh kawasan memiliki kapasitas yang berbeda, demikian juga produktivitasnya. Hasil analisis menunjukkan distribusi nilai b dan R2 berbeda pada setiap alat tangkap pilihan untuk masing-masing komoditas pelagis kecil unggulan. Tabel 51 memberikan gambaran secara menyeluruh tentang distribusi nilai b dan R2. Distribusi p-value signifikan pada α = 0,05, kecuali komoditas ikan layang dengan penggunaan alat tangkap bagan apung. Pengembangan perikanan pelagis kecil untuk komoditas ikan layang di wilayah ini tidak dapat mengandalkan sepenuhnya bagan apung. Sesuai distribusi nilai b, pancing tegak memiliki peningkatan produktivitas sangat cepat ketika terjadi kenaikan kapasitas. Pancing tegak dengan nilai investasi rendah, mampu memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan produktivitas, demikian juga distribusinya yang tinggi di setiap kawasan turut
295
berpengaruh. Rata-rata nilai b pada pancing tegak sebesar 51.653,5 membuktikan dengan peningkatan kapasitas satu kg/trip di tiap kawasan akan menaikan produktivitas rata-rata sebesar Rp. 51.653,5. Tabel 51 Distribusi nilai koefisien regresi (b), determinasi (R2) dan nilai p seluruh API pilihan dalam pemanfaatan komoditas pelagis kecil unggulan di wilayah Selatan Maluku Tengah R2
b
Pukat cincin
0,9275
5852,92
p-value (α = 0,05) 0,00
Bagan apung
0,4145
4043,97
0,06
tidak signifikan
Pancing tegak
0,4629
40494,14
0,04
siginifikan
Pukat cincin
0,9809
6453,91
0,00
signifikan
Bagan apung
0,5915
4260,88
0,02
signifikan
Pancing tegak
0,4802
91737,62
0,04
signifikan
Pukat cincin
0,9776
7485,94
0,00
signifikan
Jaring insang hanyut
0,4555
8684,02
0,05
signifikan
Bagan apung
0,4568
4800,31
0,05
signifikan
Pancing tegak
0,4056
37346,66
0,04
signifikan
Teri
Bagan apung
0,6322
2322,65
0,01
signifikan
Layang
Pukat cincin
0,9657
7542,45
0,00
signifikan
Bagan apung
0,5939
5407,16
0,02
signifikan
Pancing tegak
0,5083
69852,34
0,03
signifikan
Komoditas unggulan Layang
Selar
Kembung
API pilihan
Keterangan signifikan
Alat tangkap yang memiliki nilai R2 paling tinggi adalah pukat cincin dengan nilai rata-rata 0,9629 dan terendah adalah jaring insang hanyut dan pancing tegak. Hasil ini membuktikan bahwa kapasitas penangkapan ikan pelagis kecil dengan pukat cincin rata-rata mampu menderteminasi kapasitas seluruh kawasan dalam penangkapan ikan pelagis kecil sebesar 96,29%. Pukat cincin yang menghasilkan nilai ekonomi cukup tinggi bagi pemilik maupun nelayan, berkontribusi terhadap produktivitas perikanan pelagis kecil dari jenis layang, selar, kembung dan sunglir. Jika hasil ini disesuaikan dengan kondisi spasial optimal yang telah dianalisis, maka wilayah Selatan Maluku Tengah dapat dijadikan basis perikanan pelagis kecil dengan teknologi pilihan pukat cincin. Upaya peningkatan produktivitas kawasan untuk komoditas pelagis kecil dapat didorong melalui pengembangan perikanan pukat cincin. Jika hasil ini disesuaikan dengan kondisi spasial optimal yang dianalisis pada bagian sebelum, maka wilayah Selatan Maluku Tengah dapat dijadikan basis
296
perikanan pelagis kecil dengan teknologi pilihan pukat cincin. Upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas seluruh kawasan dalam memproduksi komoditas pelagis kecil dapat didorong melalui pengembangan perikanan pukat cincin.
8.2.2.1 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan layang Analisis
tipologi
kawasan
untuk
komoditas
ikan
layang
hanya
mengakomodasi tiga jenis API yaitu pukat cincin, bagan perahu dan pancing tegak. Hal ini disebabkan karena dari empat API pelagis kecil pilihan, hanya ketiga jenis ini yang menghasilkan produk ikan layang (Gambar 50). KM
S Produktivitas (Rp)
Produktivitas (Rp)
PH L S
SL T
N A
KM
SL A
L
PH T
TNS
N TNS Kapasitas (ton/trip)
Kapasitas (ton/trip) T
Produktivitas (Rp)
S
L
PH SL N A
KM
TNS Kapasitas (ton/trip)
Gambar 50 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan layang
Pertama, untuk pukat cincin, empat kawasan memiliki status inti, Pulau Haruku, Kota Masohi, Leihitu, dan Saparua. Keempatnya memiliki peluang kuat sebagai pusat utama perikanan layang dengan konsentrasi teknologi pukat cincin. Status periferi aktif di kawasan Salahutu menunjukkan walaupun kapasitas yang digunakan relatif kecil untuk pemanfaatan ikan layang, namun produktivitasnya tinggi. Salahutu merupakan kawasan yang berpotensi mendukung pengembangan industri perikanan layang di kawasan inti. Kawasan dengan status periferi pasif
297
adalah Tehoru, Nusalaut, Amahai dan TNS. Kawasan dengan status ini hanya diarahkan untuk memenuhi konsumsi lokal kawasan dan kawasan terdekat. Kedua, kawasan inti pengembangan perikanan layang dengan teknologi penangkapan bagan apung adalah Kota Masohi. Kapasitas dan produktivitas yang tinggi membuktikan Kota Masohi menjadi basis pengembangan industri perikanan layang dengan teknologi penangkapan bagan apung. Dua kawasan yang termasuk dalam kawasan periferi aktif adalah Salahutu dan Saparua. Keduanya merupakan kawasan yang memiliki produktivitas tinggi untuk mendukung pengembangan perikanan layang dengan bagan apung. Jika ditingkatkan keterkaitan antar kawasan, maka keduanya menjadi kontributor utama perikanan layang bagi Kota Masohi. Enam kawasan lainnya termasuk dalam kawasan dengan tipologi periferi netral. Perikanan bagan apung merupakan jenis usaha yang tidak memberikan manfaat secara ekonomi bagi keenam kawasan ini. Oleh sebab itu, perikanan pukat cincin untuk tujuan komoditas ikan layang tidak dapat dikonsentrasikan pengembangannya di kawasan-kawasan ini. Ketiga, kawasan inti perikanan layang dengan alat tangkap pancing tegak adalah Pulau Haruku, Tehoru dan Leihitu. Kawasan Saparua memiliki posisi sebagai kawasan periferi aktif, sedangkan lima kawasan lainnya merupakan kawasan periferi netral. Sesuai dengan eksistensi tipologi kawasan untuk setiap jenis API, maka berdasarkan rata-rata statusnya, kawasan-kawasan yang memiliki peluang yang tinggi untuk menjadi pusat pengembangan perikanan layang adalah: Leihitu, Kota Masohi dan Pulau Haruku. Kawasan yang menjadi pendukung utama pengembangan perikanan layang adalah Saparua dan Salahutu.
8.2.2.2 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan selar Untuk komoditas ikan selar, juga terakomodasi tiga jenis API yaitu pukat cincin, bagan perahu dan pancing tegak. Hal ini disebabkan karena dari empat API pelagis kecil pilihan, hanya ketiga jenis ini yang menghasilkan produk ikan layang (Gambar 51).
298
Pertama, untuk pukat cincin, lima kawasan termasuk dalam kawasan inti masing-masing Saparua, Pulau Haruku, Leihitu, Saluhutu dan Kota Masohi. Kelima kawasan ini memiliki peluang yang cukup kuat untuk menjadi pusat utama perikanan selar dengan konsentrasi teknologi pukat cincin. Empat kawasan lainnya memiliki kapasitas dan produktivitas yang lemah dalam memproduksi komoditas selar, sehingga terkelompokkan dalam periferi netral.
PH
Produktivitas (Rp)
Produktivitas (Rp)
KM S SL L T N A
S KM
SL L A PH T N
TNS
TNS Kapasitas (ton/trip)
Kapasitas (ton/trip)
Produktivitas (Rp)
PH L S
A SL N T
KM TNS Kapasitas (ton/trip)
Gambar 51 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan selar
Kedua, usaha perikanan selar dengan bagan apung menunjukkan Kota Masohi sebagai kawasan inti. Salahutu dan Saparua termasuk dalam kawasan bertipologi periferi aktif. Kawasan lainnya termasuk dalam kelompok yang bertipologi periferi netral. Ketiga, pada usaha penangkapan dengan pancing tegak, Leihitu dan Pulau Haruku merupakan kawasan inti. Kawasan yang termasuk dalam kelompok periferi aktif adalah Saparua dan Tehoru. Lima kawasan lainnya yang memiliki kapasitas yang lemah dan produktivitas yang rendah untuk kategori ini. Berdasarkan distribusi tipologi seperti itu, maka pusat pengembangan perikanan selar dapat dialokasi pada tiga kawasan inti yang meliputi: Kota
299
Masohi, Pulau Haruku dan Leihitu. Kawasan pendukung utamanya dalam pengembangan perikanan selar Saparua.
8.2.2.3 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan kembung Untuk komoditas ikan kembung, keempat jenis API pilihan memberikan kontribusi terhadap produksinya. Distribusi tipologi kawasan sesuai kapasitas dan produktivitasnya pada perikanan kembung menunjukkan adanya perbedaan tipologi kawasan (Gambar 52). Pertama, untuk pukat cincin, lima kawasan termasuk dalam kawasan inti masing-masing Kota Masohi, Pulau Haruku, Leihitu, Saparua dan Salahutu. Kelima kawasan ini berpeluang menjadi pusat utama perikanan kembung dengan konsentrasi teknologi pukat cincin. Empat kawasan lainnya termasuk dalam kelompok kawasan bertipologi periferi netral karena memiliki kapasitas dan produktivitas yang lemah dalam memproduksi komoditas kembung.
Produktivitas (Rp)
PH
S KM
SL
Produktivitas (Rp)
L S
T N
T PH
L A SL KM TNS
A
TNS
N
Kapasitas (ton/trip)
Kapasitas (ton/trip) S
KM A SL
L
PH
Produktivitas (Rp)
Produktivitas (Rp)
S
T
L
PH SL N A
KM
T N
TNS
TNS Kapasitas (ton/trip)
Kapasitas (ton/trip)
Gambar 52 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan kembung
Kedua, untuk usaha perikanan ikan kembung dengan teknologi penangkapan jaring insang hanyut, kawasan yang termasuk dalam kawasan inti
300
adalah Nusalaut, sementara untuk kawasan Saparua yang terletak berdekatan dengan Nusalaut merupakan kawasan bertipologi periferi aktif. Tujuh kawasan lainnya termasuk dalam kelompok kawasan periferi netral. Ketiga, perikanan kembung yang dikembangkan melalui teknologi penangkapan ikan bagan apung menunjukkan Kota Masohi sebagai kawasan inti. Salahutu merupakan kawasan bertipologi periferi aktif, sedangkan tujuh kawasan lainnya merupakan kawasan periferi netral. Keempat, Pulau Haruku, Leihitu dan Tehoru merupakan kawasan inti dalam usaha penangkapan ikan kembung dengan pancing tegak. Kawasan periferi aktif adalah Saparua yang berpotensi menjadi pendukung utama kawasan inti dalam pengembangan perikanan ikan kembung. Lima kawasan lainnya merupakan kawasan periferi netral. Agregasi hasil pemetaan tipologi untuk perikanan kembung, menunjukkan Pulau Haruku Leihitu dan Kota Masohi merupakan pusat-pusat pengembangan utama. Kapasitas yang kuat dan produktivitas yang tinggi menyebabkan posisi ketiga kawasan ini menjadi basis perikanan kembung di Maluku Tengah. Saparua dengan agregasi tipologi sebagai kawasan periferi aktif merupakan kawasan pendukung pengembangan industri perikanan kembung di ketiga kawasan inti.
8.2.2.4 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan teri Bagan apung merupakan satu-satunya teknologi penangkapan ikan pelagis yang
berkontribusi
terhadap
peningkatan
produktivitas
perikanan
teri.
Distribusinya secara spasial membuktikan bahwa satu-satunya kawasan inti untuk perikanan teri adalah kawasan Kota Masohi (Gambar 53). Kawasan ini memiliki kapasitas yang kuat untuk mencapai produktivitas yang tinggi dalam memproduksi ikan teri. Hanya satu kawasan yang bertipologi periferi aktif, yaitu Salahutu. Usaha bagan apung yang kembangkan di kawasan ini menyebabkannya menjadi pendukung utama kawasan inti dalam pengembangan industri perikanan teri. Tujuh
kawasan
lainnya
yang
memiliki
kapasitas
lemah
dalam
memproduksi ikan teri pada teknologi penangkapan bagan apung menyebabkan posisinya berada pada kelompok kawasan periferi netral. Posisinya ini
301
menyebabkan pengembangan usaha perikanan teri di ketujuh kawasan tidak dapat diupayakan untuk mendukung industrialisasi teri maupun pemasaran hasil pada pasar yang lebih jauh. Oleh sebab itu, kegiatan produksi ikan teri di ketujuh kawasan hanya dapat diperuntukan bagi konsumsi internal kawasan. KM SL Produktivitas (Rp)
S L A PH
T N
TNS Kapasitas (ton/trip)
Gambar 53. Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan teri
8.2.2.5 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan sunglir Perikanan sunglir di Maluku Tengah berpeluang dikembangkan dengan dukungan teknolologi penangkapan ikan pilihan pukat cincin, bagan apung dan pancing tegak (Gambar 54). Hasil ini menunjukkan dukungan teknologi penangkapan pukat cincin cukup kuat untuk pengembangan komoditas sunglir. Determinasi kapasitas kawasan secara menyeluruh terhadap produktivitas pada usaha pukat cincin sangat baik. Capaian koefisien determinasi sebesar 0,9657, artinya rata-rata kapasitas kawasan pada usaha pukat cincin mampu menerangkan produktivitas perikanan sunglir sebesar 96,57%. Namun demikian, sesuai dengan distribusi nilai kapasitas dan produktivitas kawasan, pancing tegak menunjukkan kapasitas yang cukup baik dalam menghasilkan produktivitas. Pemetaan tipologi kawasan yang berbasis pada komoditas sunglir menunjukkan beberapa kondisi sesuai alat tangkapnya. Pertama, perikanan sunglir dengan dukungan usaha pukat cincin menggambar lima kawasan termasuk dalam kelompok kawasan dengan tipologi kawasan inti, masing-masing Kota Masohi, Pulau Haruku, Leihitu, Saparua dan Salahutu. Tiga kawasan lainnya
302
terkelompokkan pada tipologi kawasan periferi netral, sementara TNS sama sekali tidak mengembangkan usaha ini.
L
SL Produktivitas (Rp)
Produktivitas (Rp)
KM PH
SL S T N
KM L
A PH
S
T TNS
A
N TNS
Kapasitas (ton/trip)
Kapasitas (ton/trip) T
Produktivitas (Rp)
S
L
PH SL N A
KM TNS
Kapasitas (ton/trip)
Gambar 54 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan sunglir
Kedua, usaha bagan apung yang memberikan kontribusi produktivitas yang lebih kecil dibanding pukat cincin dan pancing tegak menunjukkan tipologi kawasan inti hanya berada pada kawasan Salahutu. Kawasan Saparua, Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu dan Amahai merupakan kelompok kawasan periferi aktif, sedangkan kawasan Tehoru dan Kota Masohi termasuk dalam kelompok kawasan periferi netral. Kawasan TNS dan Nusalaut yang tidak mengembangkan teknologi penangkapan ikan bagan apung tidak menunjukkan adanya kapasitas kawasan untuk melakukan produksi untuk komoditas ini. Ketiga, kawasan inti pada usaha pancing tegak dalam perikanan sunglir adalah Tehoru, Leihitu dan Pulau Haruku. Hanya satu kawasan yang termasuk dalam periferi aktif, yaitu Saparua, sedangkan lima kawasan lainnya merupakan kawasan periferi netral. Agregasi pemetaan tipologi untuk perikanan sunglir menunjukkan Pulau Haruku, Leihitu dan Salahutu merupakan pusat-pusat pengembangan utama.
303
Kapasitas yang kuat dan produktivitas yang tinggi menyebabkan posisi ketiga kawasan ini menjadi basis perikanan sunglir di Maluku Tengah. Saparua yang memiliki agregasi tipologi sebagai kawasan periferi aktif merupakan kawasan pendukung pengembangan industri perikanan kembung di ketiga kawasan inti.
8.2.3 Aplikasi Model TipoSan bagi pengembangan kawasan perikanan Hasil analisis dengan menggunakan Model TipoSan_1 dan TipoSan_2 memberikan implikasi yang kuat bagi pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Karakter kawasan yang ditunjukan dengan kapasitas dan produktivitas menempatkan seluruh kawasan pada tipologi yang berbeda. Model TipoSan_1 diaplikasikan untuk penentuan status tipologi kawasan pengembangan karena model ini mengakomodasi dinamika komponen-komponen sistem perikanan pada aspek kapasitas maupun produktivitas. Model TipoSan_2 berimplikasi pada justifikasi fungsi kawasan sebagai basis pengembangan komoditas unggulan yang didukung dengan teknologi penangkapan ikan pilihan. Status tipologi kawasan menunjukkan adanya: (1) lima kawasan inti, masing-masing Kota Masohi, Leihitu, Saparua, Tehoru dan Amahai; (2) dua kawasan periferi aktif yaitu Salahutu dan Nusalaut; (3) satu kawasan periferi pasif yaitu Pulau Haruku; dan (4) satu kawasan periferi netral yaitu TNS (Tabel 52). Hasil ini membuktikan Maluku Tengah merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan perikanan pelagis kecil. Hal ini terjawab dari eksistensi lima kawasan intinya yang berpotensi dikembangkan sebagai pusat industri perikanan pelagis kecil. Namun demikian, setiap kawasan memiliki basis pengembangan komoditas unggulan dengan potensi teknologi penangkapan ikan pilihan. Peluang pengembangan untuk kelima kawasan inti yang dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan perikanan pelagis kecil. Pertama, kawasan Saparua dengan empat basis komoditas unggulan ikan layang, selar, kembung dan sunglir. Kebutuhan utama teknologi penangkapan ikan pilihan untuk kepentingan pengembangan komoditas unggulan tersebut adalah pukat cincin. Kedua, kawasan Leihitu merupakan salah satu kawasan inti yang berpotensi menjadi pusat utama perikanan pelagis kecil. Kawasan ini juga memiliki empat basis komoditas unggulan, yakni ikan layang selar, kembung dan
304
sunglir. Potensi teknologi penangkapan ikan pilihan untuk kawasan ini adalah puka cincin dan pancing tegak. Tabel 52 Basis pengembangan komoditas unggulan dan potensi teknologi penangkapan ikan pilihan untuk kawasan inti (pusat pengembangan) perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan inti (pusat pengembangan)
Basis pengembangan komoditas unggulan
Saparua
Ikan layang Ikan selar Ikan kembung Ikan sunglir Ikan layang Ikan selar
Leihitu Ikan kembung Ikan sunglir Amahai Tehoru
Ikan sunglir Ikan layang Ikan kembung Ikan sunglir Ikan layang Ikan selar
Kota Masohi Ikan kembung Ikan teri Ikan sunglir
Potensi teknologi penangkapan ikan pilihan Pukat cincin Pukat cincin Pukat cincin Pukat cincin Pukat cincin Pancing tegak Pukat cincin Pancing tegak Pukat cincin Pancing tegak Pukat cincin Pancing tegak Bagan apung Pancing tegak Pancing tegak Pancing tegak Pukat cincin Bagan apung Pukat cincin Bagan apung Pukat cincin Bagan apung Bagan apung Pukat cincin
Ketiga, kawasan Amahai merupakan satu-satunya kawasan inti yang memiliki satu komoditas unggulan, yaitu ikan sunglir. Potensi teknologi penangkapan ikan pilihan pada kawasan ini hanya terfokus pada bagan apung. Keempat, Tehoru yang termasuk dalam kelompok kawasan inti memiliki potensi perikanan pelagis kecil yang berbasis pada tiga komoditas unggulaan, yaitu: ikan layang, kembung dan sunglir. Seluruh komoditas unggulan di kawasan ini didukung dengan teknologi penangkapan ikan pancing tegak.
305
Kelima, kawasan Kota Masohi merupakan kawasan inti dengan variasi komoditas pelagis kecil unggulan yang paling banyak. Hal ini terbukti dari basis pengembangannya untuk seluruh komoditas unggulan yang direkoendasikan pengembangannya di kawasan ini. Komoditas pelagis kecil yang dimaksudkan meliputi: ikan layang, selar, kembung, teri dan sunglir. Hasil pemetaan tipologi kawasan menunjukkan dua kawasan sebagai periferi aktif, masing-masing: Salahutu dan Nusalaut. Pertama, Salahutu merupakan kawasan periferi aktif yang memiliki variasi komoditas pelagis kecil terbanyak, meliputi: (1) ikan selar, kembung dan sunglir yang didukung dengan potensi terknologi penangkapan ikan pukat cincin; (2) ikan teri yang didukung dengan potensi teknologi bagan apung. Eksistensi Salahutu sebagai periferi aktif dengan variasi komoditas unggulan yang banyak berpotensi menjadi pendukung utama pengembangan perikanan pelagis kecil untuk seluruh kawasan inti. Kedua, kawasan Nusalaut hanya memiliki satu jenis komoditas pelagis kecil unggulan, ikan kembung. Dukungan terhadap pengembangan perikanan kembung di kawasan ini berasal dari teknologi penangkapan ikan jaring insang. Nusalaut merupakan satu-satunya kawasan yang direkomendasikan untuk menggunakan jaring insang sebagai alternatif teknologi penangkapan ikan pilihan. Pulau Haruku merupakan kawasan tunggal yang berstatus sebagai periferi pasif. Kawasan ini memiliki peluang untuk mendukung kawasan inti melalui pengembangan perikanan pelagis kecil dengan basis komoditas unggulan: (1) ikan layang yang didukung dengan potensi teknologi penangkapan ikan pilihan pukat cincin; serta (2) ikan selar, kembung dan sunglir yang mendapat dukungan dari teknologi penangkapan ikan pilihan pukat cincin dan pancing tegak. Kawasan periferi netral adalah kawasan dengan kapasitas yang sangat lemah dan produktivitasnya paling rendah. Kawasan yang teridentifikasi sebafai periferi netral di wilayah ini adalah TNS. Sesuai dengan keterbatasannya, maka basis komoditas unggulannya hanya terbatas pada ikan layang dengan teknologi pilihan pancing tegak. Abrahamsz et al. (2010) menyatakan eksistensi keempat kelompok tipologi kawasan ini menunjukkan: (1) kawasan inti (core area) memiliki kapasitas produksi kuat dengan potensi ekonnomi perikanan yang tinggi; (2)
306
kawasan periferi aktif (resource frontier area) dengan kapasitas produksi rendah sampai sedang, namun potensi ekonomi perikanan sedang sampai tinggi; (3) kawasan periferi pasif dengan kapasitas produksi sedang sampai tinggi, namun potensi ekonomi perikanan rendah sampai sedang (depressed area); dan (4) kawasan periferi netral dengan kapasitas produksi maupun potensi ekonomi perikanan yang rendah sampai sedang (slowly developing to stagnating area). Keempat kelompok kawasan menghadapi berbagai implikasi dalam konteks pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil. Pertama, pengembangan kawasan inti dapat dilakukan melalui upaya mempertahankan dan peningkatan kapasitas kawasan dalam mendukung kegiatan perikanan pelagis kecil serta peningkatan kinerja ekonomi perikanan pelagis kecil unggulan. Kedua,
pengembangan
kawasan
periferi
aktif
melalui
kebijakan
peningkatan kapasitas penangkapan ikan pelagis kecil unggulan. Peningkatan kapasitas ini dapat mendorong posisi kawasan periferi aktif menjadi kawasan inti, itupun apabila kawasan inti berkembang lambat. Ketiga, pengembangan kawasan periferi pasif melalui kebijakan peningkatan kinerja ekonomi perikanan pelagis kecil unggulan. Peningkatan kinerja ini berdampak pada berkembangnya posisi kawasan ini menjadi kawasan inti, tentunya dalam konteks perkembangan kawasan ini yang lambat. Namun, integrasi kedua skenario sangat dibutuhkan untuk mendukung kawasan inti menjalankan peran menggerakkan ekonomi wilayah dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, kawasan periferi netral dikembangkan baik melalui kebijakan peningkatan kapasitas penangkapan dan kinerja ekonomi perikanan pelagis kecil unggulan. Dalam posisiini, kawasan periferi netral memiliki peran kuat untuk pemenuhan konsumsi lokal. Sesuai skenario-skenario tersebut di atas, kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah dapat dilakukan dengan pendekatan tiga variabel utama, yaitu: (1) peningkatan kapasitas teknologi penangkapan ikan pelagis kecil pilihan; (2) peningkatan kinerja ekonomi perikanan pelagis kecil berbasis komoditas unggulan; dan (3) peningkatan integrasi sub sistem pembentuk kawasan perikanan pelagis kecil dan optimalisasi pengembangannya termasuk (sub sistem alam, manusia dan pengelolaan). Variabel yang disebutkan terakhir ini
307
penting dalam memadukan pelaku dan instititusi yang berkepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan pelagis kecil. Peningkatan kapasitas terhadap teknologi penangkap ikan pelagis kecil pilihan, tidak hanya dilakukan melalui pendekatan teknis saja seperti CPUE, produktivitas, dan akses penangkapan, juga membutuhkan pendekatan kelayakan finansial.
Untuk
mendukung
keberlanjutan
pemanfaatannya,
pendekatan
lingkungan menjadi perhatian khusus baik pada selektivitas alat tangkap maupun minimalisasi dampak operasionalnya terhadap lingkungan perairan. Demikian juga dalam pendekatan sosial melalui alokasi tenaga kerja perikanan, peningkatan penguasaan teknologi di tingkat nelayan dan penguatan positive backward linkages terhadap kehidupan sosial masyarakat. Peningkatan kinerja ekonomi perikanan pelagis kecil berbasis komoditas unggulan dilakukan dengan pendekatan peningkatan nilai produksi. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika volume produksi dioptimalkan, pengendalian harga komoditas yang berpihak pada nelayan, peningkatan akses pemasaran komoditas, dan peningkatan nilai tambah. Kapasitas dan produktivitas tiap kawasan semakin diperkuat ketika interaksi antara inti dan periferi yang berbeda secara kapasitas dan produkstivitas berjalan dengan baik (Markey et al., 2000). Perbedaan ini disebut Rustiadi et al. (2011) sebagai disparitas antar kawasan yang terjadi karena: (1) perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi; (2) akumulasi berbagai faktor yang terkait; (3) kapasitas untuk memancarkan produk (spread effect) dan penarikan input produksi (backwash effect); serta (4) keterbatasan spesialisasi kawasan. Peningkatan integrasi sub sistem yang menjadi pembentuk kawasan perikanan pelagis kecil dan optimalisasi pengembangan kawasan penting dilakukan guna membangun keterkaitan antara kawasan inti, periferi, aktif, periferi pasif dan periferi netral. Integrasi kegiatan usaha penangkapan membutuhkan partisipasi institusi yang terkait dengan perikanan pelagis kecil. Sedangkan untuk integrasi pelaku usaha, dibutuhkan keterkaitan masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
telah
menyusun
tujuan
pengembangan kawasan perikanan yaitu: (1) meningkatkan produktivitas dan
308
kualitas produksi perikanan; (2) meningkatkan pendapatan nelayan dan pelaku usaha yang adil dan merata; (3) meningkatkan kesempatan kerja; dan (4) kawasan perikanan merupakan pusat pertumbuhan dan penggerak ekonomi (Direktorat PUPI-KKP, 2010). Tujuan-tujuan tersebut telah dijawab secara makro melalui penelitian ini, oleh sebab itu konsepsi model dasar pada penelitian ini dapat digunakan dalam penentuan kawasan perikanan berbasis komoditas.
8.3 InSist dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan 8.3.1 Model Parsial: InSist_1 8.3.1.1 Indeks sentralitas sub sistem alam Hasil analisis menggunakan model Model InSist_1 untuk sub sistem alam menunjukkan distribusi nilai yang berbeda pada tiap kawasan (Lampiran 8 dan Tabel 53). Hasil ini memberikan gambaran bahwa kawasan yang memiliki indeks sentralitas sub sistem alam yang paling tinggi adalah Leihitu dan terendah adalah TNS. Hasil ini menunjukkan kekuatan sentralitas yang tinggi berpoetnsi menjadi basis pengembangan, sedangkan terendah tidak dapat digunakan. Tabel 53 Distribusi indeks sentralitas sub sistem alam dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah Eks_Aij
TNS
S
PH
L
SL
A
T
N
DPI
1,63 10,13
9,07
13,78
JTB
1,08 12,85
9,41
16,96 16,19 12,64 12,23
9,09
9,55
1,36 11,49
9,24
15,37 11,06 13,78 12,55 14,88
10,27
InSist_1A
5,93 14,92 12,88 20,67
KM 10,99
Keterangan: TNS = Teons Nila Serua; S = Saparua; PH = Pulau Haruku; L = Leihitu; SL = Salahutu; A = Amahai; T = Tehoru; N = Nusalaut; KM = Kota Masohi.
Untuk penentuan status kawasan dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, ditentukan tiga status berdasarkan nilai interval sebesar 4,67. Selang kelas indeks sentralitas kawasan berstatus pengembangan lemah adalah 1,36 - 6,03, kawasan berstatus pengembangan sedang adalah 6,04 10,70; dan status pengembangan kuat adalah 8,37 sampai dengan 13,22.
309
Pengelompokkan kawasan pengembangan perikanan perikanan kecil di Maluku Tengah berdasarkan sentralitas sub sistem alam menunjukkan terdapat enam kawasan yang memiliki kekuatan sentralitas sub sistem alam dalam selang kelas tertinggi, masing-masing Saparua, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut. Kekuatan sentralitas sub sistem alam pada keenam kawasan menunjukkan status pengembangan kuat (Tabel 54). Tabel 54 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem alam
TNS
1,36
Selang Kelas InSist_1A 1,36 - 6,03
Saparua
11,49
10,71 - 15,37
Kuat
Pulau Haruku
9,24
6,04 - 10,70
Sedang
Leihitu
15,37
10,71 - 15,37
Kuat
Salahutu
11,06
10,71 - 15,37
Kuat
Amahai
13,78
10,71 - 15,37
Kuat
Tehoru
12,55
10,71 - 15,37
Kuat
Nusalaut
14,88
10,71 - 15,37
Kuat
Kota Masohi
10,27
6,04 - 10,70
Sedang
Kawasan Perikanan
InSist_1A
Status pengembangan Lemah
Hasil ini juga menerangkan eksistensi dua kawasan yang memiliki sentralitas sub sistem alam dalam selang kelas sedang, masing-masing Pulau Haruku dan Kota Masohi. Dengan demikian kedua kawasan ini termasuk dalam kelompok kawasan yang memiliki status pengembangan sedang. Satu-satunya kawasan yang memiliki sentralitas sub sistem alam dalam selang kelas rendah adalah TNS. Eksistensi sentralitas ini menyebabkan TNS termasuk dalam kawasan yang memiliki status pengembangan lemah. Dalam konteks dinamika sub sistem alam pada sistem perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah, kawasan dengan status pengembangan kuat memiliki potensi untuk menjadi pusat pengembangan perikanan. Aksesibilitas terhadap DPI yang cukup kuat dengan potensi SDI pelagis yang tinggi menyebabkan kawasankawasan ini berpotensi menjadi pusat pengembangan industri perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Peluang untuk menjadi pusat industri perikanan pelagis
310
kecil perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur pendukung yang mengarah pada industrialisasi perikanan pelagis kecil. Kawasan dengan status pengembangan sedang merupakan kawasan pendukung untuk mengalirkan produksi perikanan pelagis kecil ke kawasan dengan status pengembangan kuat. Dalam perspektif perencanaan pembangunan wilayah, kawasan ini menjadi hinterland utama dalam mensuplai produksi perikanannya ke kawasan-kawasan pusat. Untuk kepentingan itu, maka setiap kawasan membutuhkan peningkatan aksesibilitas terhadap DPI. Peluang untuk mendukung kegiatan perikanan pelagis kecil untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya perlu didukung dengan progam restruktrisasi armada dan/atau pengembangan kapasitas penangkapan ikan. Kawasan dengan status pengembangan lemah tidak dapat dijadikan pendukung bagi industri perikanan pelagis kecil yang berpotensi dikembangkan di kawasan-kawasan pusat. Produksi yang dilakukan hanya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan konsumsi lokal, bahkan pada kawasan ini peningkatan ekonomi masyarakat dapat diarahkan melalui pengembangan ekonomi perikanan alternatif seperti pengolahan hasil perikanan yang memanfaatkan produksi dari kawasan pusat dan kawasan pendukung.
8.3.1.2 Indeks sentralitas sub sistem manusia Analisis terhadap sentralitas sub sistem manusia menunjukkan bahwa kawasan yang memiliki indeks sentralitas sub sistem manusia yang paling tinggi adalah: (1) Nusalaut yang memiliki keunggulan pada nilai sentralitas ekspansi potensi pengolahan dan rumah tangga pengolah; dan (2) Leihitu memiliki keunggulan pada teknologi penangkapan ikan serta distribusi dan pemasaran. dan terendah adalah TNS (Tabel 55). Dalam penentuan status kawasan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, maka dengan ditentukan tiga status berdasarkan nilai interval sebesar 3,21. Selang kelas indeks sentralitas untuk kawasan berstatus pengembangan lemah adalah 4,78 - 7,99; kawasan dengan status pengembangan sedang adalah 8,00 - 11,21; dan status pengembangan kuat adalah 11,22 - 14,42.
311
Tabel 55 Distribusi indeks sentralitas sub sistem manusia dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah Eks_Mij
TNS
S
PH
L
SL
A
T
Nopt
0,47 12,90
9,23
27,66
7,14 17,52 18,39
RTP
1,65 12,84 16,82
13,41
API
0,79 20,56
9,94
U Vt
N
KM
2,11
4,57
4,41
9,65 13,37 25,88
1,98
11,79
7,06
7,02 26,13 11,59
5,12
1,55 10,55 15,14
14,77
7,83 11,42 12,45
0,43 12,14
21,95 16,87 10,86
5,73
17,21
3,65
18,80
4,00 32,15
9,27
6,43 37,05
15,11
9,56
O
27,39
1,52
2,33
3,04
RTo
12,34
1,61
3,66
6,24 10,30
Vo
0,95
8,69
7,08
16,12 12,46 16,68 12,69 14,18
11,14
PD
1,94 13,94
7,94
14,42 15,56 13,78 10,86
2,43
19,12
ProdPD
0,27
5,63
14,69 21,56 18,16
6,07
15,39
9,20
9,72 10,59
9,07
7,26
9,04
InSist_1M 4,78 10,40 8,35 14,41 11,29 12,29 12,29 14,42 11,77 Keterangan: TNS = Teons Nila Serua; S = Saparua; PH = Pulau Haruku; L = Leihitu; SL = Salahutu; A = Amahai; T = Tehoru; N = Nusalaut; KM = Kota Masohi.
Pengelompokkan kawasan pengembangan perikanan perikanan kecil di Maluku Tengah berdasarkan sentralitas sub sistem manusia menunjukkan terdapat enam kawasan yang memiliki kekuatan sentralitas sub sistem manusia dalam selang kelas tertinggi, masing-masing Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi. Kekuatan sentralitas sub sistem manusia pada keenam kawasan menunjukkan status pengembangan kuat (Tabel 56). Dua kawasan memiliki sentralitas sub sistem manusia dalam selang kelas sedang, masing-masing Saparua dan Pulau Haruku. Kedua kawasan ini termasuk dalam kelompok kawasan yang memiliki status pengembangan sedang. TNS tetap memiliki sentralitas sub sistem manusia dalam selang kelas rendah, sehingga masih termasuk dalam kawasan yang memiliki status pengembangan lemah. Dinamika sub sistem manusia pada sistem perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah menghendaki kawasan dengan status pengembangan kuat berpotensi sebagai pusat pengembangan perikanan. Potensi sumber daya manusia perikanan, tingkatan produksi dan potensi distribusi dan pemasaran yang tinggi menyebabkan kawasan-kawasan ini berpotensi menjadi pusat pengembangan industri perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Peluang untuk menjadi pusat
312
industri perikanan pelagis kecil juga perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur perikanan. Tabel 56 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem manusia
TNS
4,78
Selang Kelas InSist_1M 4,78 - 7,99
Saparua
10,40
8,00 - 11,21
Sedang
Pulau Haruku
8,35
8,00 - 11,21
Sedang
Leihitu
14,41
11,22 - 14,42
Kuat
Salahutu
11,29
11,22 - 14,42
Kuat
Amahai
12,29
11,22 - 14,42
Kuat
Tehoru
12,29
11,22 - 14,42
Kuat
Nusalaut
14,42
11,22 - 14,42
Kuat
Kota Masohi
11,77
11,22 - 14,42
Kuat
Kawasan Perikanan
InSist_1M
Status pengembangan Lemah
Kawasan dengan status pengembangan sedang dipersiapkan untuk melayani kebutuhan produk perikanan di internal wilayah dan/atau antara kawasan. Posisinya juga dapat didorong sebagai hinterland untuk kawasan pusat pengembangan perikanan. Di sisi lain, Kawasan dengan status pengembangan rendah memiliki kapasitas sumber daya manusia dan kemampuan produksi yang kurang. Oleh sebab itu kawasan dengan kategori ini menjadi perhatian untuk memenuhi kebutuhan lokal (internal) kawasan.
8.3.1.3 Indeks sentralitas sub sistem pengelolaan Sentralitas sub sistem pengelolaan yang dihasilkan menunjukkan bahwa kawasan yang memiliki indeks sentralitas sub sistem pengelolaan yang paling tinggi adalah: (1) Amahai yang memiliki keunggulan pada nilai sentralitas kebijakan pengembangan infrasttuktur; (2) Tehoru memiliki keunggulan pada repson kebijakan terhadap pemberdayaan nelayan; dan (3) Leihitu yang memiliki keunggulan pada kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan (Tabel 57). Status kawasan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil ditentukan melalui penetapan tiga status berdasarkan nilai interval
313
sebesar 6,55. Selang kelas indeks sentralitas untuk kawasan dengan status pengembangan lemah adalah 0,27 - 6,82; kawasan dengan status pengembangan sedang adalah 6,83 - 13,37; dan status pengembangan kuat adalah 13,38 -19,65. Tabel 57 Distribusi indeks sentralitas sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah Eks_Mij
TNS
S
PH
L
SL
A
T
N
KM
KR
0,66
6,04 14,96
14,57
9,19 17,32 22,18
4,86
10,24
KPar
0,00
6,45 18,55
18,55
9,68 15,32 18,55
5,65
7,26
KPinfra
0,00
5,88
17,65 23,53 35,29 11,76
0,00
5,88
KPprog
0,43 12,83 12,83
13,19 13,19 11,73 11,27 11,27
13,28
0,00
InSist_1M 0,27 7,80 11,58 15,99 13,90 19,92 15,94 5,44 9,16 Keterangan: TNS = Teons Nila Serua; S = Saparua; PH = Pulau Haruku; L = Leihitu; SL = Salahutu; A = Amahai; T = Tehoru; N = Nusalaut; KM = Kota Masohi.
Kawasan pengembangan perikanan perikanan kecil di Maluku Tengah yang dikelompok berdasarkan sentralitas sub sistem pengelolaan menunjukkan terdapat empat kawasan yang memiliki kekuatan sentralitas sub sistem pengelolaan, masing-masing Leihitu, Salahutu, Amahai, dan Tehoru, sehingga keempat kawasan memiliki status pengembangan kuat (Tabel 58).
Tabel 58 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem pengelolaan
TNS
0,27
Selang Kelas InSist_1P 0,27 - 6,82
Saparua
7,80
6,83 - 13,37
Sedang
Pulau Haruku
11,58
6,83 - 13,37
Sedang
Leihitu
15,99
13,38 - 19,65
Kuat
Salahutu
13,90
13,38 - 19,65
Kuat
Amahai
19,92
13,38 - 19,65
Kuat
Tehoru
15,94
13,38 - 19,65
Kuat
Nusalaut
5,44
6,83 - 13,37
Sedang
Kota Masohi
9,16
6,83 - 13,37
Sedang
Kawasan Perikanan
InSist_1P
Status pengembangan Lemah
314
Dua kawasan yang memiliki sentralitas sub sistem pengelolaan dalam selang kelas sedang, masing-masing Saparua, Pulau Haruku, Nusalaut, dan Kota Masohi. Oleh sebab itu, keempat kawasan ini termasuk dalam kelompok kawasan yang memiliki status pengembangan sedang. TNS tetap memiliki sentralitas sub sistem pengelolaan dalam selang kelas rendah, sehingga tetap termasuk dalam kawasan yang memiliki status pengembangan lemah. Kebijakan dan strategi pengelolaan yang menyebabkan adanya dinamika pengelolaan menunjukkan kawasan dengan status pengembangan kuat merupakan kawasan
dimana
terkonsentrasi
kebijakan
pengelolaan.
Dalam
konteks
keseimbangan kawasan yang terkait denganpengelolaan harus diarahkan pada distribusi kebijakan pengelolaan secara merata di seluruh kawasan. Namun demikian pilihan untuk implementasi kebijakan biasanya diarahkan kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan. Kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan dan infrastruktur perikanan merupakan pemicu dinamika pengelolaan di setiap kawasan. Demikian halnya dengan implementasi program dalam mendukung pengelolaan perikanan dan pengembangan kawasannya, menjadi bagian terpenting dalam menunjang dinamika sub sistem pengelolaan pada sistem perikanan pelagis kecil. Kawasan dengan status pengembangan sedang juga membutuhkan kebijakan pengelolaan untuk mendorong dinamika pengelolaannya. Eksistensi kawasan ini merupakan pendukung utama untuk menggerakkan pengelolaan kawasan perikanan. Di sisi lain kawasan dengan status pengembangan rendah menjadi perhatian serius untuk mendapat dukungan kebijakan pengelolaan.
8.3.2 Model Agregat: InSist_2 Hasil pada Lampiran 8 juga merepresentasikan analisis dengan menggunakan Model InSist_2. Hasil ini menunjukkan akumulasi nilai seluruh komponen sistem yang menunjukkan adanya perbedaan hirarki tiap kawasan, terkait dengan eksistensi dalam mendukung pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Distribusi nilai sentralitas menunjukkan: (1) kawasan TNS sebesar 3,05; (2) Saparua sebesar 9,76; (4) Pulau Haruku sebesar Leihitu; (5) Salahutu sebesar
315
12,03; (6) Mahai sebesar 14,71; (7) Tehoru sebesar 13,40; (8) Musalaut sebesar 11,83; dan (9) Kota Masohi sebesar 10,83. Hasil ini mebuktikan bahwa Leihitu dan Amahai secara agregat merupakan kawasan yang memiliki sentralitas paling tinggi, sementara TNS merupakan kawasan yang paling rendah indeks sentralitasnya (Tabel 59). Dalam berbagai referensi tentang pengembangan wilayah, kawasan dengan tingkatan hirarki I, hirarki II dan hirarki III. Dengan pendekatan ini, maka setiap kawasan dapat dikelompokkan sesuai hirarki dan statusnya. Tabel 59 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem pengelolaan Kawasan Perikanan
InSist_2
Selang Kelas InSist_2
Hirarki
TNS
3,05
3,05 - 7,03
III
Saparua
7,76
7,04 - 11,01
II
Pulau Haruku
9,41
7,04 - 11,01
I
Leihitu
14,99
11,02 - 14,99
I
Salahutu
12,03
11,02 - 14,99
I
Amahai
14,71
11,02 - 14,99
I
Tehoru
13,40
11,02 - 14,99
I
Nusalaut
11,83
11,02 - 14,99
I
Kota Masohi
10,83
11,02 - 14,99
I
Secara agregat, tujuh kawasan utama menjadi pusat pengembangan pelagis kecil, yaitu Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi. Oleh sebab itu, kawasan-kawasan ini dalam konteks struktur ruang menjadi kawasan yang termasuk dalam hirarki I. Dua kawasan yang termasuk dalam kategori hirarki II adalah Saparua dan Pulau Haruku. Di sisi lain, TNS yang memiliki posisi yang sangat lemah merupakan satu-satunya kawasan yang termasuk dalam kawasan dengan hirarki III. Untuk kepentingan penataan ruang wilayah pengembangan perikanan, eksistensi kawasan dengan struktur atau hirarki yang jelas menjadi dasar untuk menentukan arahan pengembangan wilayah dan pengelolaan ruang. Kawasankawasan yang termasuk dalam hirarki I yang berpotensi menjadi pusat
316
pengembangan perikanan juga harus diuji dengan tipologi yang terpetakan untuk setiap kawasan, demikian halnya dengan kwasan hirarki II dan III. Kawasan dengan hirarki II merupakan hinterland aktif sedangkan kawasan dengan hirarki dua merupakan hinterland pasif. Pembedaan hirarki yang dihasilkan di atas, memperlihatkan adanya disparitas sistem perikanan. Hal ini mebuktikan terdapat kesenjangan spasial melakukan fungsi sistem perikanan, baik secara internal di tingkat lokal kawasan maupun secara agregat dengan pelayanan eksternal terhadap kawasan lain. Implikasi potensi peran dan fungsi setiap kawasan juga menjadi dasar` dalam pembagian kawasan atas tiga kelompok. Pertama, kawasan pertumbuhan terkonsentrasi pada hirarki I yang berfungsi sebagai pendukung pertumbuhan kawasan baik dari aspek produksi maupun kontribusi ekonomi bagi wilayah Maluku Tengah. Kedua, kawasan pengembangan yang terkonsentrasi pada hirarki II membutuhkan sentuhan kebijakan pengembangan karena eksistensinya dibutuhkan untuk mendukung kawasan hirarki I. Ketiga, kawasan perantara yang mengembangakan usaha perikanan skala kawasan, namun juga mendapat suplai produksi perikanan dari kawasan hirarki I dan II.
8.3.3 Aplikasi Model InSist bagi pengembangan kawasan perikanan Kawasan dengan status pengembangan kuat berbasis sentralitas sub sistem alam merupakan kawasan yang membutuhkan pengembangan kapasitas akses dalam pemanfaatan SDI. Peningkatan akses ini tentunya dpat didukung dengan peningkatan kapasitas penangkapan agar dapat ditingkatkan upaya tangkapnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kegiatan produktif yang terjadi akibat dampak pengenbangan kawasan sebagai pusat kegiatan industri perikanan. Terkait dengan eksistensi kawasan yang memiliki status pengembangan yang kuat berbasis sub sistem manusia, upaya penetapannya sebagai basis indutri perikanan juga diarahkan untuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Pada kawasan ini juga kegiatan industri perikanan pelagis kecil diharpkan dapat dijalankan dengan baik karena dinamika pada sub sistem manusia bermanfaat untuk meningkatkan produksi komoditas pelagis kecil.
317
Dinamika sub sistem pengelolaan yang ditunjukkan dengan konsentrasi nilai sentralitas yang tinggi pada empat kawasan merupakan kekuatan untuk tetap dipertahankan dalam rangka meningkatan produkvitas kawasan terkait dengan pengembangan usaha perikanan. Kawasan Leihitu, Salahutu, Amahai dan Tehoru juga harus mempertahankan eksistensi status pengembangan kawasan yang berbasis pada dinamika sub sistem pengelolaan, agar penyebarannya ke kawasan dapat dikembangkan dari keempat kawasan ini. Dalam kerangka pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah, hasil analisis dengan Model InSist juga memberikan ruang bagi pengembangan fungsi kawasan. Pertama, fungsi kawasan hirarki I sebagai pusat pertumbuhan dan pelayanan usaha perikanan bagi internal kawasan maupun secara bersamaan melalui keterkaitan antar kawasan. Kedua, fungsi kawasan hirarki I dan II sebagai pusat pengembangan ekonomi produktif yang berbasis pada komoditas pelagis kecil unggulan dan penggunaan teknologi penangkapan pilihan. Hal ini diharapkan dapat memberikan dukungan kegiatan perikanan produktif di tingkat wilayah Maluku Tengah, dengan menempatkannya basis ekonomi strategis dan potensial. Pelayanan komersial untuk mengakomodir hasil industri kecil rumah tangga serta pemasokan hasil-hasil perikanan dan kegiatan perikanan produktif lainnya. Ketiga, kawasan perantara pengembangan perikanan pelagis kecil yang diarahkan untuk memperkuat interaksi antar kawasan, baik untuk menggerakkan pertumbuhan dan pelayanan kawasan hirarki III maupun pengembangan kegiatan produktif. Eksistensi komponen sistem perikanan di setiap kawasan menjadi kekuatan dalam memanfaatkan peluang yang diberikan melalui penetapan hirarki kawasan pengembangan. Oleh sebab itu pengakomodasian keterkaitan antar kegiatan unggulan kawasan dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan industri pengolahan sebagai upaya peningkatan nilai tambah (value added) terhadap produk perikanan pelagis kecil yang dihasilkan.
8.4 MoDiS dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan Model kembar yang dimaksudkan adalah kombinasi antara hasil analisis TipoSan dan InSist. Kombinasi ini merupakan dua kekuatan yang dapat
318
diaplikasikan dalam rangka perencanaan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Bila TipoSan mengelompokkan kawasan dalam konteks tipologinya dan InSist mengelompokkan kawasan dalam konteks struktur ruang dan fungsinya, maka secara bersamaan keduanya dapat memberikan justifikasi
yang
kuat
tentang
peruntukan
kawasan
dalam
mendukung
pengembangan perikanan pelagis kecil. Aplikasi kedua model ini dianalisis secara bersamaan termasuk seluruh komponen yang ada dalam model, untuk mendapatkan nilai komposit dari seluruh komponen. Pengembangan analisis yang disebut Model Dinamika atau disingkat MoDiS ini, dilakukan untuk menentukan kawasan mana yang memiliki status sebagai kawasan primer, sekunder maupun tersier. Pembagian ketiga kelompok kawasan ini untuk mengalokasi prioritas pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Upaya mencapai suatu nilai komposit didukung dengan pengembangan beberapa kriteria yang dibangun pada masing-masing indikator seperti dinyatakan dalam Tabel 60. Kriteria yang dibangun ini mengacu pada hasil analisis di bagian sebelum, baik untuk tipologi kawasan maupun indeks sentralitas sistem perikanan. Sesuai dengan distribusi skor dan bobot untuk seluruh indikator dan kriterianya, dibagi tiga interval nilai untuk mendeskripsikan prioritas pengembangan kawasan, masing-masing: (1) kawasan tersier antara 100,00 – 197,92; (2) kawasan sekunder antara 197,93 – 295,83; dan (3) kawasan primer antara 295,84 – 393,75. Penggunaan fungsi IF pada Program Excel dilakukan untuk membantu memberikan batasan terhadap status prioritas pengembangan. Formula fungsi IF yang digunakan sesuai dengan nilai interval yang ditentukan untuk tiga kelas berdasarkan nilai minimum 100 dan maksimum 393,75. Dengan demikian formula fungsi IF yang dirumuskan adalah: =IF(MoDiSij)<197,93;"Tersier";IF(MoDiSij)<295,84;"Sekunder";IF(MoDiSij)<393,75; "Primer")))
Hasil analisis komposit dinyatakan secara menyeluruh pada Lampiran 9, dan cuplikan hasilnya dinyatakan dalam Gambar 55. Hasil ini menunjukkan tiga kelompok prioritas pengembangan kawasan, masing-masing: (1) kawasan dengan prioritas primer meliputi Leihitu dan Kota Masohi; (2) kawasan dengan prioritas
319
sekunder adalah Saparua, Pulau Haruku, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut; serta (3) kawasan dengan prioritas tersier adalah TNS. Tabel 60 Kriteria penilaian status kawasan perikanan pelagis kecil sesuai tingkat prioritas pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah Indikator 1. TipoSan_1
Kriteria 1 = periferi netral
Skor
Bobot (%)
1-4
15
1-4
8,75
2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 2. TipoSan_2-1
1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral
1-4
2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral
1-4
2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 2. TipoSan_2-2
4. TipoSan_2-3
1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti
1-4
8,75
1-4
1-4
1-4
1-4
1-4
8,75
320
Tabel 60 Lanjutan ... Indikator
5. TipoSan_2-4
6. TipoSan_2-5
7. InSist_1A
Kriteria 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = periferi netral 2 = periferi pasif 3 = periferi aktif 4 = inti 1 = lemah, selang kelas InSist_1A: 1,36 - 6,03
Skor
Bobot (%)
1-4
1-4
8,75
1-4
8,75
1-4
1-4
1-3
8,75
1-3
8,75
1-3
8,75
1-3
15
2 = sedang, selang kelas InSist_1A: 6,04 - 10,70 3 = kuat, selang kelas InSist_1A: 1,36 - 6,03 8. InSist_1M
1 = lemah, selang kelas InSist_1M: 4,78 - 7,99 2 = sedang, selang kelas InSist_1M: 8,00 - 11,21 3 = kuat, selang kelas InSist_1M: 11,22 - 14,42
9. InSist_1P
1 = lemah, selang kelas InSist_1P: 0,27 - 6,82 2 = sedang, selang kelas InSist_1P: 6,83 - 13,37 3 = kuat, selang kelas InSist_1P: 13,38 - 19,65
10. InSist_2
1 = lemah, selang kelas InSist_2: 3,05 - 7,03 2 = sedang, selang kelas InSist_2: 7,04 - 11,01 3 = kuat, selang kelas InSist_2: 11,02 - 14,99
Kota Masohi dengan status prioritas primer memiliki nilai komposit 301,88 dan Leihitu 298,96. Nilai terendah pada kawasan TNS adalah 110 sehingga kawasan ini memiliki status prioritas tersier. Hasil ini berimplikasi pada kebijakan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah harus memperhatikan tingkat prioritas pengembangannya, walaupun sebenarnya kawasan dengan tingkatan hirarki I mencapai tujuh kawasan.
321
Kawasan TNS Saparua Pulau Haruku Leihitu Salahutu Amahai Tehoru Nusalaut Kota Masohi
Gambar 55
Nilai Komposit 100,00 271,56 227,71 298,96 264,27 227,50 257,40 210,31 301,88
Deskripsi Prioritas Tersier Sekunder Sekunder Primer Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder Primer
Distribusi kawasan perikanan berdasarkan nilai komposit status prioritas pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah
Hasil ini sangat membantu dalam pengambilan keputusan untuk mengembangkan suatu kawasan perikanan. Dengan pendekatan model kembar yang dianalisis secara bertingkat ini, mempermudah pemerintah daerah atau stakeholder lain yang akan melakukan pengembangan program pembangunan perikanan pelagis kecil berbasis kawasan. Beberapa hal penting terkait dengan analisis ini, secara holistik, untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan meliputi: Pertama, tipologi kawasan memberikan justifikasi tentang kawasan yang menjadi inti atau periferi, demikian juga basis komoditas dan teknologi penangkapan ikan yang direkomendasikan. Kedua, indeks sentralitas sangat membantu dalam memberikan justifikasi tentang kekuatan sentralitas seluruh sub sistem dalam sistem perikanan pelagis kecil di kawasan, demikian juga sentralitas sistem perikanan secara agregat.
322
Pendekatan ini sangat membantu dalam menentukan hirarki dan status pengembangan kawasan. Ketiga, aplikasi model kembar yang mengakomodasi kedua model di atas menunjukkan sejauhmana prioritas yang harus ditentukan dalam pengembangan kawasan perikanan di suatu wilayah. Prioritas primer menunjukkan pusat utama pengembangan perikanan, prioritas sekunder menggambarkan pendukung pengembangan perikanan dan pusat utama, serta prioritas tersier dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kapasitas lokal. Untuk kepentingan aplikasinya, beberapa arahan pengembangan kawasan perikanan penting dikemukakan dan membutuhkan perhatian yang serius, antara lain: 1. Pembangunan kawasan perikanan tidak hanya diperuntukan bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat nelayan dalam melakukan pengembangan usaha maupun pengelolaan perikanan di kawasannya; 2. Pembangunan kawasan perikanan pada tingkat perencanaan wilayah dan perencanaan sektor, secara khusus harus bertumpu pada integrasi antara komponen-komponen sistem perikanan; 3. Kebijakan pembangunan kawasan perikanan perlu juga diarahkan pada pengembangan kapasitas setiap kawasan untuk meningkatkan distribusi investasi pada usaha perikanan. Peningkatan kapasitas setiap kawasan dapat didukung melalui integrasi stakeholder dalam proses alokasi sumber daya manusia perikanan, teknologi penangkapan ikan pilihan, maupun komoditas unggulan. Hasil analisis dengan pendekatan model dinamika spasial sistem perikanan dalam perencanaan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah menunjukkan adanya struktur ruang yang terbentuk. Dirjen Penataan Ruang-DPU (2008) menyatakan pembentukan struktur ruang wilayah mengambarkan susunan hirarki pusat-pusat pengembangannya. Dengan demikian, hasil ini memberikan implikasi kuat bagi proses penataan ruang wilayah pengembangan perikanan di Maluku Tengah.
323
Unsur fisik penataan ruang mencakup pengaturan unsur fisik wilayah yang merupakan pertimbangan dalam penataan ruang untuk perumusan kebijakan bagi: (1)
pengaturan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat
aktivitas sosial-ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur (Rustiadi et al., 2011). Pandangan ini memberikan penguatan pada hasil analisis dengan menggunakan model dinamika spasial yang dapat diplikasikan untuk pengembangan kawasan perikanan, juga penentuan struktur kawasan pengembangan. Dalam teori pembangunan kawasan ada tiga proses yang dapat disumbangkan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan dengan sasaran peningkatan kapasitasnya, antara lain: (1) Impuls dari dalam kawasan yang timbul karena adanya spesialisasi, diversifikasi dan pembentukan modal untuk melakukan investasi terhadap sarana dan prasarana perikanan. Adanya investasi di antara kegiatan-kegiatan ekonomi produktif dalam kawasan berbasis perikanan menyebabkan munculnya pusat-pusat pemasaran. Kondisi ini akan diikuti dengan pertukaran informasi yang selanjutnya menimbulkan kekuatan integrasi sistem perikanan sebagai potensi untuk melakukan inovasi dalam teknologi perikanan dan peningkatan pengetahuan nelayan di tiap kawasan. (2) Impuls dari luar kawasan merupakan impuls yang timbul karena adanya permintaan dari luar terhadap SDI dan tingkat ketrampilan nelayan serta pelaku usaha perikanan dalam kawasan. Hal ini juga perlu didukung dengan peningkatan akses terhadap pasar, bahan mentah dan komoditi-komoditi lain dari luar. Kemampuan kawasan dalam menginternalisasi keuntungan ekonomi dari luar, turut membangun struktur kawasan yang mampu memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada di dalam kawasan. (3) Dinamika sistem perikanan yang bermanfaat untuk mentransfer inovasi teknologi dan informasi perikanan serta fungsi-fungsi setiap komponen sistem perikanan. Bersama dengan faktor-faktor produksi dan komoditas unggulan yang dihasilkan, peningkatan peran sistem perikanan ditujukan untuk memfasilitasi interaksi antara determinan-determinan ekonomi, sosial, politik serta memfasilitasi keuntungan spasial, sehingga terbentuk harga-harga yang
324
rendah atau tingkat efisiensi yang memadai dalam setiap kegiatan produktif di kawasan. Khusus untuk kawasan-kawasan berstatus sebagai hinterland atau periferi terutama yang menjadi prioritas sekunder dan tersier, membutuhkan strategi pengembangan khusus, antara lain: (1) Pendekatan holistik untuk mengembangkan perikanan pelagis kecil di dalam kawasan berbasis pada peningkatan dinamika seluruh komponen yang ada dalam suatu sistem perikanan. (2) Pengembangan kawasan perikanan lebih difokuskan dan berorientasi pada peningkatan kapasitas nelayan dan pelaku usaha perikaan lainnya secara integratif.
Untuk
pengembangan
kawasan-kawasan
kawasan
perikanan
dengan
kapasitas
diarahkan
pada
yang
lemah,
pencapaian
self
management, self-reliance dan self-sufficient. (3) Endogenitas, dimana pengembangan kawasan perikanan didukung dengan kebijakan yang mengarah pada upaya-upaya untuk mengakomodasi kapasitas kawasan dalam pengembangan usaha berbasis potensi lokal. (4) Unit-unit produksi kecil yang penting untuk self sufficiently, perlu dikembangkan untuk menghindari ketergantungan yang tinggi terhadap produksi kawasan lain. (5) Dalam hubungannya dengan inovasi teknologi perikanan pelagis kecil, maka teknologi yang diintrodusir dan disubtitusi sebaiknya bersifat family employing technology. Hal ini penting untuk mengakomodasi tendensi perbaikan dan peningkatan produktifitas kerja, terkendalinya pengoperasian teknologi perikanan dan mendorong self-reliance dan inovasi. Secara agregat, kajian model dinamika spasial dari sistem perikanan dalam perencanaan dan pengembangan kawasan yang diaplikasikan pada perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah menghasilkan beberapa hasil sebagai berikut: 1. Pengembangan analisis tipologi kawasan menghasilkan dua model, pertama Model TipoSan_1 menunjukkan lima kawasan berstatus inti (Kota Masohi, Leihitu, Saparua, Tehoru dan Amahai), dua kawasan periferi aktif (Salahutu dan Nusalaut), Pulau Haruku sebagai periferi pasif dan TNS sebagai periferi netral; kedua, Model TipoSan_2 menunjukkan pusat pengembangan perikanan
325
pelagis kecil berbasis komoditas dan teknologi penangkapan ikan pilihan, meliputi: Pusat pengembangan Saparua Leihitu Amahai Tehoru
Basis komoditas unggulan layang, selar, kembung, sunglir layang, selar, kembung, sunglir sunglir layang, kembung, sunglir layang, selar, kembung
Kota Masohi
teri sunglir
Teknologi penangkapan ikan pilihan pukat cincin pukat cincin dan pancing tegak bagan apung pancing tegak pukat cincin dan bagan apung bagan apung pukat cincin
2. Pengembangan analisis sentralitas sistem perikanan menghasilkan dua model, pertama, Model InSist_1 menunjukkan kawasan dengan status pengembangan kuat pada sub sistem alam adalah Saparua, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, pada sub sistem manusia adalah Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, serta pada sub sistem pengelolaan adalah Leihitu, Salahutu, Amahai, dan Tehoru; kedua, Model InSist_2 menunjukkan kawasan dengan hirarki I adalah Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, hirarki II adalah Saparua dan Pulau Haruku dan hirarki III adalah TNS. 3. Analisis dinamika spasial dengan pendekatan model kembar pengembangan kawasan perikanan, MoDiS, menghasilkan kawasan prioritas pengembangan primer adalah Leihitu dan Kota Masohi, prioritas sekunder pada kawasan Saparua, Pulau Haruku, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, serta TNS sebagai kawasan dengan prioritas pengembangan tersier. Ketiga hasil menjadi penting untuk direkomendasikan bagi pemerintah, baik pusat, Provinsi Maluku maupun Kabupaten Maluku Tengah, dalam rangka mengembangkan perencanaan pembangunan kawasan perikanan di Maluku Tengah yang berbasis pada kajian dinamika spasial sistem perikanan ini. Pentingnya hasil ini adalah untuk mengembangan pola pewilayahan komoditas perikanan dan pembentukan struktur ruang pengembangan kawasan perikanan.
326
Basis-basis perikanan pelagis kecil yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dijadikan pusat-pusat pengembangan perikanan berbasis komoditas pelagis kecil. Pola interaksi antara kawasan inti dengan periferi harus dikembangkan melalui peningkatan akses antar kawasan dan antara kawasan dengan DPI untuk mencapai integrasi wilayah pengembangan perikanan di Maluku Tengah.
327
9 KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Penelitian tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan Dalam Pengembangan Kawasan Perikanan Pelagis Kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan Model Dinamika Spasial (MoDiS), terbentuk dari dua model kembar TipoSan dan InSist yang dapat menentukan status kawasan (inti, periferi aktif, periferi pasif dan periferi netral), basis komoditas dan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil, kuat-lemah kapasitas kawasan, struktur wilayah berbasis hirarki kawasan, serta prioritas
pengembangan kawasan perikanan
pelagis kecil (primer, sekunder dan tersier). Pembentukan model dinamika spasial merupakan akumulasi dari dinamika sistem perikanan pelagis kecil yang secara khusus disampailkan sebagai berikut: 1. Dinamika spasial sub sistem alam yang membentuk dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan, berimplikasi pada penentuan basis kawasan perikanan pelagis kecil melalui akses terdekat 2. Komoditas perikanan pelagis kecil unggulan adalah: ikan layang, selar, sunglir, kembung dan teri; unit penangkapan ikan pelagis kecil pilihan adalah pukat cincin, bagan apung, pancing tegak dan jaring insang hanyut dengan alokasi optimal pukat cincin 175 unit dan pancing tegak 1.643 unit; alokasi optimal tenaga kerja perikanan sebanyak 31.263 orang; 3. Dinamika spasial sub sistem pengelolaan perikanan berbasis kebijakan pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil dalam lingkup dan interaksi indikatornya, meliputi capaian implementasi strategi, kinerja kawasan dan capaian tujuan pembangunan perikanan.
9.2 Saran Secara umum penelitian ini merekomendasikan perlu adanya sinkronisasi antara penataan ruang wilayah, pengelolaan perikanan dan pengelolaan pesisir terpadu. Hal ini penting diupayakan untuk mengatasi gap yang terjadi selama ini antara ketiga komponen perencanaan spasial tersebut.
328
Secara khusus pengembangan kawasan perikanan pelagis keci di Maluku Tengah dapat dilakukan dengan memperhatikan, beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam konteks perencanaan, hendaklah mempertimbangkan dinamika sistem perikanan secara integratif, baik pada sub sistem alam, sub sistem manusia maupun sub sistem pengelolaan; 2. Prioritas primer pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah adalah Leihitu dan Kota Masohi, prioritas sekunder pada kawasan Saparua, Pulau Haruku, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, serta TNS sebagai kawasan dengan prioritas pengembangan tersier; 3. Dalam rangka penataan ruang pengembangan perikanan pelagis kecil kawasan dengan hirarki I adalah Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, hirarki II adalah Saparua dan Pulau Haruku dan hirarki III adalah TNS; 4. Kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis sistem perikanan diarahkan pada status kekuatan pengembangan kawasan sesuai kapasitasnya, dimana kawasan dengan status pengembangan kapasitas yang kuat pada sub sistem alam di Saparua, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, pada sub sistem manusia di Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, sub sistem pengelolaan di Leihitu, Salahutu, Amahai, dan Tehoru; 5. pusat pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis komoditas dan teknologi penangkapan ikan pilihan, meliputi: Pusat pengembangan Saparua Leihitu Amahai Tehoru Kota Masohi
Basis komoditas unggulan layang, selar, kembung, sunglir layang, selar, kembung, sunglir sunglir layang, kembung, sunglir layang, selar, kembung, teri, sungir
6. Lima kawasan berstatus inti pengembangan adalah Kota Masohi, Leihitu, Saparua, Tehoru dan Amahai, dua kawasan periferi aktif (Salahutu dan Nusalaut), Pulau Haruku sebagai periferi pasif dan TNS sebagai periferi netral, perlu dikembangkan sesuai status yang dihasilkan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, R.M., S.H. Wisudo., D.R. Monintja., dan M.F.A. Sondita. 2011. Analisis perikanan tangkap di Kota Ternate. Buletin PSP. Vol.XIX, No.1: 81-95. Abrahamsz, J. 2000. Disparitas dan integrasi pada Kawasan Andalan Pulau Seram. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. Manado. 179 hal. Abrahamsz, J. 2006. Pendekatan tipologi wilayah dalam pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku, Jurnal Penelitian Manajemen Sumberdaya Perairan: Triton, Vol. 2(6): 34-41. Abrahamsz, J., B. Wiryawan., Mustaruddin dan B. Murdiyanto. 2010. Model Dasar penentuan kawasan minapolitan berbasis komoditas unggulan: Kajian spasial ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Ichthyos, Vol. 9 (1): 17-25. Apel, J.R. 1997. Principle of Ocean Physics. Chapter Nine. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Arab, A., M.B. Hooten, and C.K. Wikle. 2011. Hierarchical spatial models. Department of Statistics, University of Missouri, Columbia. 8 pp. Ayibotele, N.B. 2006. Water governance scorecard in Ghana. Global Water Partneship. Ghana. 33 pages. Babcock, E. A., and E.K. Pikitch. 2000. A dynamic programming model of fishing strategy choice in a multispecies trawl fishery with trip limits. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 57: 357-370. Babcock, E.A., E.K. Pikitch., M.K. McAllister., P. Apostolaki, and C. Santora. 2005. A perspective on the use of spatialized indicators for ecosystembased fishery management through spatial zoning. ICES Journal of Marine Science, 62: 469-476. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Maluku Tengah. 2010. Rekapitulasi tingkat kesejahteraan keluarga di Kabupaten Maluku Tengah. Masohi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah. 2010. Maluku Tengah Dalam Angka 2009. Masohi. BAPPENAS. 2004. Tata cara perencanaan pengembangan kawasan untuk percepatan pembangunan daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal. Jakarta. 400 hal.
330
Barnes, H. 1988. Oceanography and Marine Biology, An Annual Review, Vol. 22. Aberdeen University Press. Aberden. Bavinck, M and V. Salagrama. 2008. Assessing the gonernability of capture fisheries in the Bay of Bengal: A conceptual enquiry. The Journal of Trandisciplinary Environmental Studies. Vol. 7(1):1-13. BioSonic Inc., 2004. Visual Analyzer 4. User Guide. BioSonics, Seattle, Washington. Biro Perencanaan Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Indonesian Fisheries Book 2009. Ministry of Marine Affairs and Fisheries and Japan International Cooperation Agency. Jakarta. 84 pp. Booth, A.J. 2000. Incorporating the spatial component of fisheries data into stock assessment models. ICES Journal of Marine Science, 57: 858-865. Borgatti, S.P., and M.G. Everett. 1999. Models of core/periphery structures. Journal of Social Networks 21 (1999): 375–395. Brezzi, M., L. Dijkstra and V. Ruiz. 2011. OECD extended regional typology: The economic performance of remote rural regions. OECD Regional Development. Working Papers, 2011/06, OECD Publishing. 21 pp. Bromley, D.W. 2009. Abdicating responsibility: The deceits of fisheries policy. Fisheries, 34 (6): 280-302. Browder, J.A., R. Alleman., S. Markley., P. Ortnenr, and P.A. Pitts. 2005. Biscayne bay conceptual ecological model. J. Wetlands, Vol. 25, No. 4. December 2005. Page: 854-869. Byrne, B.M. 2010. Structural equation modeling with AMOS: Basic concepts, applications, and programming, 2nd ed. Taylor and Francis Group. LLC. New York. 396 pages. Chakravorty, U., and K. Nemato. 2001. Modelling the effects of area closure and tax policies: a spatial-temporal model for the Hawaii longline fishery. Marine Resource Economics, 15: 179-204. Chapman, L and L. Cao. 2003. An agent–based bioeconomic model of a fishery with input controls. Paper; Conference Program-MODSIM 2003, July 14– 17, 2003. Modelling and Simulation Society of Australia and New Zealand Inc. Townsville, Australia. 6 pp. Charles, A.T. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science Ltd. Victoria. 370 pp. Charles, A. 2006. The human dimension of fisheries adjustment: An overview of key issues and policy challenges. Paper in: Expert Meeting on the Human Side od Fisheries Adjusment. Paris, 19 October 2006. 19 pages.
331
Chen, J., Z. Xu and X. Chen. 2010. The spatial distribution pattern of fishing ground for small yellow croaker in China Seas. Journal of Fisheries of China. (34) 2: 236-244. Chin, H., and S.C. Fu. 1999. Fleet dynamic analysis of the taiwan offshore trawl fishery: an application of the sea surface temperature measures Journal of Marine Science and Technology, Vol. 7, No. 2, pp. 101-109. Copes, P., and A. Charles. 2004. Socioeconomics of individual transferable quotas and community-based fishery management. Agricultural and Resource Economics Review. Vol. 33, No. 2 (October 2004: 171-181. Copes, P. 1984. Introduction: Regional science and fisheries analysis in the Canadian Context. Canadian Journal of Regional Sciences, VII (2): 145151. Copes, P. 1991. Fisheries analysis: A marine dimension for regional sciences. Canadian Journal of Regional Sciences, XIV (2): 291-297. Curtis, R. 2006. US. social security and fishermen’s exit decisions. Paper in: Expert Meeting on the Human Side od Fisheries Adjusment. Paris, 19 October 2006. 15 pages. Dahlan, M.N., B. Wiryawan., B. Muryanto., A. Fauzi dan M.S. Baskoro. 2011. Analisis kesesuaian alat tangkap dengan kewilayahan dan dalam menunjang pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Buletin PSP. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Vol. XIX No. 1, Edisi April 2001. Hal. 39-51. Da-Rocha, J.M., M.D. Garza-Gil., and M.M. Varela-Lafuente. 2011. A model of fishing periods applied to the European sardine fishery. Fisheries Research 109 (2011): 16–24. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009. Deskripsi kategori spesies pelagis kecil dan deskripsi kategori spesies demersal besar. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan. http://www.pipp.dkp.go.id/. Download: 3 Maret 2009. De Young, C., A. Charles., and A. Hjort. 2008. Human dimensions of the ecosystem approach to fisheries: an overview of context, concepts, tools and methods. FAO Fisheries Technical Paper 489. Rome. 152 pages. Diei-Ouadi, Y. 2008. Dynamics of exports of traditional fish products in Côte D’ivoire and Ghana. Part I, In: Improving livelihoods through exporting artisanally processed fish. FAO Fisheries Circular No. 998. Rome. Pp. 116. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2002. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2001. Masohi. 65 hal.
332
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2003. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2002. Masohi. 66 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2004. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2003. Masohi. 68 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2006. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2005. Masohi. 67 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2007. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2006. Masohi. 68 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2008. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2007. Masohi. 68 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2009. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2008. Masohi. 68 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2010. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2009. Masohi. 75 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2011. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2010. Masohi. 76 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 2006. Tata ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Maluku Tengah. Ambon. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 2007. Statistik Perikanan Provinsi Maluku 2007. Ambon. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Strategi pengelolaan kawasan perikanan terpadu di sentra-sentra kegiatan nelayan. Buletin Kawasan, Edisi 13, 2005. Publikasi: Direktorat Kewilayahan II, Deputi Deputi Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas. Halaman: 17 – 19. Direktorat Jenderal Penataan Ruang-DPU. 2008. Modul terapan: Pedoman teknik, analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi serta sosial budaya dalam penyusunan rencana tata ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Hal. 213. Direkatorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. 1997. Potensi dan penyebaran dan penyebaran ikan laut di perairan Indonesia. Jakarta. Direktorat Kawasan Khusus dan Tertinggal. 2004. Tata cara pengembangan kawasan untuk percepatan pembangunan daerah. BAPPENAS. Jakarta. 400 halaman. Dudley, R.G. 2008. A basic for understanding fishery management dynamics. System Dynamic Review, Vol. 24 (1): 1-29.
333
Dunn, D.C., K. Stewart., R.H. Bjorkland., M. Haughton., S. Singh-Renton., R. Lewison., L. Thorne., and P.N. Halpin. 2010. A regional analysis of coastal and domestic fishing effort in the wider Caribbean. Fisheries Research 102 (2010): 60–68. Dwipongo, A. 1982. Beberapa aspek biologi ikan lemuru, Sardinella spp. Prosiding Seminar Ikan Lemuru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Fauziyah. 2005. Identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur spesies kawanan ikan pelagis berdasarkan metode deskriptor akustik. Disertasi: Institut Pertanian Bogor. Bogor 172 hal. Fledman, M.P. 2000. Location and inovation: The new economic geography of innovation, spillovers and agglomeration. In: Economic geography. Oxford. Chapter 19: 373-394. Ferdinand, A. 2002. Structural equation modeling dalam penelitian manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang. Foote, K.G. 1987. Fish target strengths for use in echo integrator surveys. J. Acoust. Soc.Am. 82 (3), 981–987. Forcada, A., C. Valle., J.L. Sa´nchez-Lizaso., J.T. Bayle-Sempere., and F. Corsi. 2010. Structure and spatio-temporal dynamics of artisanal fisheries around a Mediterranean marine protected area. ICES Journal of Marine Science, 67: 191–203. Garcia, S.M and A. Charles. 2007. Fishery system and linkages: form clockworks to soft watches. ICES Journal of Marine Science, 64: 580-587. Garrity, E.J. 2011. System dynamics modeling of individual transferable quota fisheries and suggestions for rebuilding stocks. Journal Sustainability, 3: 184-215. Ghozali, I. 2008. Model persamaan struktural: Konsep dan aplikasi dengan program AMOS 16.0. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 364 halaman. Gordon, H. 1954. The economic theory of a common property resource: the fishery. Journal Political Economics, 62: 124-142. Griffin, W.L. 2003. A general bioeconomic fisheries simulations model: description, calibration, validation and application. Report: The National Marine Fisheries Service Grants and Sea Grant FAO. Texas. USA. 34 pp. Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment: A manual of basic methods. Willey and Son. Rome. 223pp.
334
Gunarso W. 1985. Tingkah laku ikan hubungannya dengan alat, metode dan teknik penangkapan. Diktat Kuliah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan IPB. Bogor. 143 halaman. Haluan, J dan T. Nurani. 1998. Penerapan metode skoring dalam penelitian teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk dikembangkan di suatu wilayah perairan. Buletin Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Vol. II (1): 3-16. Haluan, J., T. Nurani., S.H. Wisudo., E.S. Wiyono dan Mustaruddin. 2004. Manajemen Operasi; Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 236 hal. Handoko, T.H. 2001. Manajemen personalia dan sumberdaya manusia. BPFE. Yogyakarta. 260 hal. Hariyanto, T., M.S. Baskoro., J. Haluan, dan B.H. Iskandar. 2008. Pengembangan teknologi penangkapan ikan berbasis komoditas potensial di teluk lampung. Jurnal Saintek Perikanan Vo. 4 No. 1 Tahun 2008 : 16 – 24 16. Harsanugraha W.K dan E. Parwati. 1996. Aplikasi model-model estimasi suhu perrnukaan laut berdasarkan data NOAA-AVHRR. Warta Inderaja Vol VIII. No.2 : P23-35, November 1996. MAPIN/ISRS. Jakarta. Hasyim, B. 2003. Kajian daerah penangkapan ikan dan budidaya laut berdasarkan data penginderaan jauh dan SIG di wilayah Situbondo. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 136 hal. Hela, I dan T. Laevastu. 1970. Fisheries oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London. P. 123. Hilborn, R. 1985. Fleet dynamics and individual variation: why some people catch more fish than others. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 42: 2-13. Hutton, T., S. Mardle., S. Pascoe., and R.A. Clark, 2004. Modelling fishing location choice within mixed fisheries: English North Sea beam trawlers in 2000 and 2001. ICES Journal of Marine Science, 61: 1443-1452. Ilahude AG. 1999. Pengantar Oseanografi Fisika. LP30 L1PI. Jakarta. Halaman 235. Indrawatit, A. 2000. Studi tentang hubungan suhu permukaan laut hasil pengukuran satelit terhadap hasil tangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Kadariah. 1986. Evaluasi proyek; Analisa ekonomis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. 184 hal.
335
Kahraman, M. 2007. Modelling functional dynamical systems by piecewise linear systems with delay. In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Science in The Department of Scientific Computing. A Thesis Submitted To The Graduate School of Applied Mathematics. Middle East Technical University. 130 pp. Kaiser, M.J., J.S. Collie., S.J. Hall., S. Jennings and I.R. Poiner. 2001. Impacts of fishing gear on marine benthic habitats. Reykjavik Conference on Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem. Reykjavik, Iceland, 1-4 October 2001.19 pp. Kaplan, R.S and D.P. Norton. 1996. The balanced scorecard: Translating strategy into action. Harvard Business School Press. Boston, Massachusetts, USA. 323 pages. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2010a. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06 Tahun 2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014. Jakarta. 80 hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2010b. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06 Tahun 2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta. 30 hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2011a. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kelautan Nomor 32 Tahun 2010 Tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. Jakarta. 9 hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2011b. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta. 7 hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011c. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. 134 hal. Kirchner, C. H., and M.K. McAllister. 2001. A new improved method to compute swept area estimates of biomass from commercial catch rate data: application to Namibian orange roughly (Hoplostethus atlanticus). Fisheries Research, 56: 69-88. Kohar, A., M.S. Baskoro., B. Sanim., S. Soemokaryo dan S.H. Wisudo. 2008. Pengaruh lingkungan usaha dan kebijakan pemerintah terhadap kinerja dan tujuan pembangunan perikanan Jawa Tengah. Buletin PSP, Vol. XVII, No.2, Agustus 2008. Hal. 258-266. Krugman, P. 2000. Ehere in the world is the ‘new economic geography’?. In: Economic geography. Oxford. Chapter 3: 50-60.
336
Kuntoro, M dan T. Listriani. 1983. Analisa keputusan; Pendekatan sistem dalam manajemen usaha dan proyek. Baskara. Bandung. 271 hal. Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari Di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1981. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News Books Ltd. England. 199 pp. Lanz, E., M.O. Nevares-Martines, J. Lopez-Martines, and J.A. Dworak. 2008. Spatial distribution and species composition of small pelagic fishes in the Gulf of California. International Journal of Tropical Biology, Vol. 56(2): 575-590. Latumeten, J. 2010. Modul praktikum akustik kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattumura. Ambon. 68 halaman. La Violette, P.E. 1994. Lecture notes on the application of satellite remote sensing to oceanographic analysis. LPIU-MSEP, IPB. Bogor. 70 pp. Laurs R.M, P.C. Fiedler, and D.R. Montgomery. 1984. Albacore tuna catch distribution relative to environmental featured observed from satellites. Deep-Sea Research, Vol. 31. NO.9. P 1085-1099. Pergamon Press Ltd. Great Britain. Laxe, F.G. 2010. Dysfunctions in common fishing regulations. Marine Policy 34 (2010): 182–188. Lee, S.M., L.J. Moore and B.W. Taylor III. 1990. Management science. Allyn and Bacon, Needham Heights. Lee, S.H., J.Y. Choi., S.H. Yoo and Y.G. Oh. 2012. Evaluating spatial centrality for integrated tourism management in rural areas using GIS and network analysis. Journal of Tourism Management, 2012: 1 – 11. Lorentzen, A. 2009. Space and place in the experience economy. A proactive approachi. RSA Annual Conference 2009-01-07 Understanding and Shaping Regions: Spatial, social and economic futures 6th-8th April 2009, Leuven, Belgium. 28 pages. Mahevas, S., and D. Pelletier. 2004. ISIS-Fish, a generic and spatially explicit simulation tool for evaluating the impact of management measures on fisheries dynamics. Ecological Modeling, 171: 65-84. Markey, S., J.T. Pierce, and K. Vodden. 2000. Resources, people and the environment: A regional analysis of the evolution of resource policy in Canada. Canadian Journal of Regional Science, XXIII (3): 427-454. Matakupan, H., J. Latumeten., D. Noija., A. Haris., dan C. Johanis. 2006a. Kajian prototip bagan apung di Provinsi Maluku. 35 hal.
337
Matakupan, H., J. Latumeten., D. Noija., A. Haris., dan C. Johanis. 2006b. Kajian prototip jaring insang di Provinsi Maluku. 48 hal. Matakupan, H., J. Latumeten., D. Noija., A. Haris., dan C. Johanis. 2006c. Kajian prototip pukat cincin di Provinsi Maluku. 54 hal. Maunder, M.N., S.J. Harley., and J. Hampton. 2006. Including parameter uncertainty in forward projections of computationally intensive statistical population dynamic models. ICES Journal of Marine Science, 63: 969979. Maury, O., and D. Gascuel. 1999. SHADYS (‘simulateur halieutique de dynamiques spatiales’), a GIS based numerical model of fisheries. Example application: the study of a marine protected area. Aquatic Living Resources, 12: 77-88. McCluskey, S.M., and R.L. Lewison. 2008. Quantifying fishing effort: a synthesis of current methods and their applications. Fish Fish. 9, 188–200. McMillin, L.M. and D.S. Crosby. 1984. Theory and validation of the multiple windows sea surface temperature technique. Journal of Geophysical Research 89:3655-3661. Mensah, E.M., and Y. Diei-Ouadi. 2005. Processing for export of traditional fishery along the Vota Lake in Ghana. Part II, In: Improving livelihoods through exporting artisanally processed fish. FAO Fisheries Circular No. 998. Rome. Pp. 17-35. Merta, I.G.S, N. Subhat dan J. Widodo. 1998. Sumberdaya perikanan pelagis kecil. dalam: potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan indonesia. Editor: J. Widodo, A.Z. Kiagus, E.P. Bambang. G.H. Tampubolon, N. Nursali dan A. Djamali. Jakarta. Halaman: 89-106. Monintja, D.R. 2001. Pelatihan untuk pelatih pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Prosiding Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Muniz, A.S.G., and C.R. Carvajal. 2006. Core/periphery structure models: An alternative methodological proposal. Journal of Social Network, 28 (2006): 442-448. Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan sumber daya perikanan pantai. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 200 hal. Muslich, M. 1993. Metode kuantitatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta.
338
Mustaruddin. 2009. Pola pengembangan industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu menggunakan pendekatan analisis persamaan struktural. Buletin PSP, Vol. XVIII, No. 2, Agustus 2009. Hal: 103-112. Mustaruddin. 2010. Model pengembangan usaha perikanan yang bersinergi dengan fungsi konservasi kawasan; Status kasus pengelolaan sero berkentong di perairan Teluk Tiworo, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 10, No. 1, maret 2010. Hal: 3139. Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. P3R. Jakarta. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 368 hal. Nunan, F. 2010. Mobility and fisherfolk livelihoods on Lake Victoria: Implications for vulnerability and risk. Geoforum, Vol. 41 (2010): 776785. Nurani, T.W., J. Haluan., S. Saad dan E. Lubis. 2007. Model pengembangan perikanan di perairan Selatan Jawa. Buletin PSP, Vol. XVI, No.2, Agustus 2007. Hal. 317-344. Nurdin, S., T. Lihan and A.M. Mustapha. 2012. Mapping of potential fishing grounds of Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1816) in the archipelagic waters of Spermonde Indonesia using satellite images. Malaysia Geospatial Forum, 6-7 March 2012, Holiday Inn Malaka. 9 pages. Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut; Suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. Hal. 86. Olale, E and S. Henson. 2012. Determinants of income diversification among fishing communities in Western Kenya. Fisheries Research, Vol. 125-126 (2012): 235-242. Olson, J. 2005. Re-placing the space of community: A story of cultural, politics, policies, and fisheries management. Anthropological Quarterly. Vol. 78, No. 1. Pp. 247-268. Organization for Economic Development (OECD). 2005. Glossary of statistical terms; Capture fisheries definition. http://stats.oecd.org/glossary /index.htm. Download: 14 Nopember 2008. Parsons, T.R., M.Takahashi., and B. Harggrave. 1984. Biological oceanography process. Third edition. Pergamon Press. New York. Pathfinder, K.P.G. 2001. Overview of the NOAA-AVHRR. pathfinder sea surface temperature algortihm and matchup data base. J. Geography, Res. 106 pp.
339
Payne, I. 2005. The changing role of fisheries in development policy. Natural Resource Perspectives. No. 59, June 2000. Pelletier, D., S. Mahevas., B. Poussin., J. Bayon., P. Andre., and J.C. Royer. 2001. A conceptual model for evaluating the impact of spatial management measures on the dynamics of a mixed fishery. In Spatial Processes and Management of Marine Populations, pp. 53-66. Ed. by G. H. Kruse, N. Bez, A. Booth, M. W. Dorn, S. Hills, R. N. Lipcius, D. Pelletier, C. Roy, S. J. Smith, and D. Witherell. University of Alaska Sea Grant, Fairbanks. 720 pp. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta. Pollnac, R. B., and Poggie, J. J. 2006. Job satisfaction in the fishery in two southeast Alaskan towns. Human Organization, 65: 329–339. Pollnac, R. B., and Poggie, J. J. 2008. Happiness, well-being and psychocultural adaptation to the stresses associated with marine fishing. Human Ecology Review, 15: 194–200. Poos, J. J., Bogaards, J. A., Quirijns, F. J., Gillis, D. M., and Rijnsdorp, A. D. 2010. Individual quotas, fishing effort allocation, and over-quota discarding in mixed fisheries. ICES Journal of Marine Science, 67: 323– 333. Porter, M. E. 1990. The competitive advantage of nations. New York, Free Press. Porter, M. E. 1998. Cluster and new economics of competition, Harvard Business Review. Prellezo, R., I. Lazkano., M. Santurtún., and A. Iriondo. 2009. A qualitative and quantitative analysis of selection of fishing area by Basque trawlers. Fisheries Research 97 (2009) 24–31. Pulu, J., M.S. Baskoro., D.R. Monintja., B.H. Iskandar dan A. Fauzi. 2010. Pendekatan bionomi pada peluang pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Talaud. Marine Fisheries 1 (2): 159-168. Quirijns, F. J., J.J. Poos and A.D. Rijnsdorp. 2008. Standardizing commercial cpue data in monitoring stock dynamics: accounting for targeting behaviour in mixed fisheries. Fisheries Research, 89: 1–8. Rahmalia, E. 2003. Analisis tipologi dan pengembangan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung. Tesis: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Borgor. Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Laut (Tidak Dipublikasi).
340
Reilly, O; J.E.S. Maritorena; B.G. Mitchell; D.A. Siegel; K.L. Carder; M. Kahru; and C. McClain. 1998. Ocean Color Algorithma for SeaWifs. Journal Geographycal Research; 103: 24,937-24,953. Robinson, I.S. 1985. Satellite of oceanography. Ellis Horwod. Series In Marine Technology. New York. Robinson, I.S. 1991. Satellite of oceanography: an introduction for oceanographers and remote sensing scientist. Ellis Ltd England. p.89-100. Rondinelli, D. A., 1985. Applied methods of regional analysis: The spatial dimensions of development policy. Westview Press Inc. Colorado, USA. 260 pp. Ruddle, K. 1987. Administration and conflict management in Japanese coastal fisheries. FAO Fisheries Technical Paper, (273): 93. Ruddle, K. 1989. Solving the common-property dilemma: Village fisheries rights in Japanese coastal waters, in Common property resources: Ecological and community-based sustainable development. Edited by Fikret Berkes. Belhaven Press, London. Ruseski, G. 2006. Canada’s fisheries labour programming and othe measures: The learning experience (1992-2003). Paper in: Expert Meeting on the Human Side od Fisheries Adjusment, OECD. Paris, 19 October 2006. 9 pages. Rustiadi, E., S. Saefulhakim., dan D.R. Panuju. 2011. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Penerbit: Crestpent press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. 514 hal. Sanchirico, J.N., and J.E. Wilen. 1999. Bioeconomics of spatial exploitation in a patchy environment. Journal of Environmental Economics and Management, 37: 129-150. Sanchirico, J.N., and J.E. Wilen. 2001. A bioeconomic model of marine reserve creation. Journal of Environmental Economics and Management, 42: 257276. Sarma, P.K., J.K.Routray., and D,K. Singh. 1984. Spatial analysis of hierarchy of market centres and domestic market potential surface of Central Assam (India). The Indian Journal of Marketing Geography 2 (1), 45–64. Satria, A. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Cidesindo. Jakarta. Schaefer, M. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of the commercial marine fisheries. Journal of Fisheries Research Board of Canada, 14 (5): 669-681. Seijo, J.C., O. Defeo and S. Salas. 1998. Fisheries Bioeconomics: Theory, modelling and management. FAO Fisheries Technical Paper, Rome.
341
Shrestha, C.B. 2004. Developing a computer-aided methodology for district road network planning and prioritization in Nepal. International Journal of Transport Management 1 (2004): 157–174. Simbolon, D. 2004. Suatu studi tentang potensi pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Buletin PSP. Departemen PSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Vol. XIII, No. 1: 48-67. Simmonds, E.J., and D.N. MacLennan. Fisheries acoustics. Champman and Hall. London. 325 pp. Singarimbun, M dan S. Effendi. 1989. Metode penelitian survei. PT Pustaka LP3ES. Jakarta. 336 hal. Soemokaryo, S. 2006. Manajemen industri perikanan Indonesia dalam era liberalisasi perdagangan dan otonomi daerah. Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa dalam Bidang Ilmu Manajemen Industri Perikanan pada Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 53 hal. Sparre, P. dan S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Kerjasama FAO dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Sparre, P.J. 2008. Evaluation frame for comparison of alternative management regimes using MPA and closed seasons applied to Baltic Cod. Institute of Aquatic Resources. Technical University of Denmark. Charlottenlund, Denmark. 301pp. Sparx Systems. 2004. The dynamic model: UML tutorials. Enterprise Architect. P.1-5. Stevenson, T.C., B.N. Tissot., and J. Dierking. Fisher behaviour influences catch productivity and selectivity in West Hawaii’s aquarium fishery. ICES Journal of Marine Science (2011), 68(5), 813–822. Stohr, W. 1999. Regional development; Experiences and prospects in Latin America. Vol. 3. United Nations Research Institute For Social Development. Geneva. 186p. Susanto, D. 2000. El Nino dan perpindahan lokasi ikan. Harian Kompas; 23 Juli 2000. Jakarta. Sutisna, D. H. 2007. Model pengembangan perikanan tangkap di pantai Selatan Provinsi Jawa Barat. Disertasi (tidak dipublikasi), Institut Pertanian Bogor. Bogor. 147 hal. Syahilatua, A. 2003. Fenomena upwelling dan sumberdaya ikan. Lokasi penangkapan vs lokasi pemijahan, www.kompas.com. Minggu 20 Juli 2003.
342
Symes, D., and J. Phillipson. 2009. Whatever became of social objectives in fisheries policy? Fisheries Research 95 (2009): 1–5 Tarigan R. 2005. Perencanaan pembangunan wilayah. Edisi Revisi. Jakarta, PT. Bumi Aksara. Taylor, R.B. 1988. Human territorial functioning. Cambridge University Press. Townsley, P. 1998. Social issues in fisheries. FAO Fisheries Technical Paper, No. 375. Rome, Italy. 93p. Van Eupena, M., M.J. Metzgera., M. Perez-Sobaa., P.H. Verburgc., A. van Doorna and R.G.H. Buncea. 2012. A rural typology for strategic European policies. Journal of Land Use Policy, 29: 473-482. Wahab, A.S. 2004. Analisis kebijakan dari formula ke implementasi kebijakan negara. Bumi Aksara. Jakarta 123 hal. Wakeland, W., O. Cangur., G. Rueda., and A. Scholz. 2003. A system dynamics model of the Pacific Coast rockfish fishery. Presentation Material, International System Dynamics Conference. July 20-24, 2003. New York, USA. 37pp. Walters, C. J., and R. Bonfil. 1999. Multispecies spatial assessment models for the British Columbia groundfish trawl fishery. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 56: 601-628. Walters, C. J., D. Pauly., and V. Christensen. 1999. Ecospace: prediction of mesoscale spatial patterns in trophic relationships of exploited ecosystems, with emphasis on the impacts of marine protected areas. Ecosystems, 2: 539-554. Watson, R. & D. Pauly. 2001. Systematic distortions in world fisheries catch trends. Nature, 414: 534-536. Weimer, D.L and A.R. Vining. 1999. Policy analysis; Consepts and practice. Third Edition. Prentice Hall. New Jersey. 486 pages. Wiadnya, D. G. R. R., Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, Peter J. Mous, Jos Pet, dan L. Pet-Soede. 2007. Kajian kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di indonesia: Menuju pembentukan kawasan perlindungan laut. Makalah. Jakarta. 23 halaman. Wiber, M., F. Berkes., A. Charles and J. Kearney. 2004. Participatory research supporting community-based fishery management. Marine Policy 28 (2004) 459–468 Widodo, J dan Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 halaman.
343
Wieckowski, K.M. 2008. A comparative analysis of two fleet dynamic models. Thesis; School of Resource and Environmental Management. Simon Fraser University. Burnaby, BC, Canada. 98pp. Wijaya, T. 2009. Analisis structural equation modeling untuk penelitian menggunakan AMOS. Penerbit Universitas Atma Jaya, Yoyakarta. 196 halaman. Wilen, J. E., M.D. Smith., D. Lockwood., and L.W. Botsford. 2002. Avoiding surprises: incorporating fisherman behavior into management models. Bulletin of Marine Science, 70: 553-575. Wiryawan, B., S.H. Wisudo dan M.S. Baskoro. 2008. Permasalahan dalam implementasi konsep pengembangan perikanan terpadu. Buletin PSP. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Vol. XIX No. 1, Edisi Agustus 2008. Hal. 231-240. Wyrtki K 1961. Physical oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 p. Yew, T.S, and T. Heaps. 1996. Effort dynamics and alternative management policies for the small pelagic fisheries of Northwest Peninsular Malaysia. Journal of Marine Resource Economics, Vol. 11: 85-103.
344
345
Lampiran 1. Distribusi jumlah individu ikan per unit area hasil pada setiap report points hasil pengumpulan data stok ikan dengan scientific echosounding system BioSonic, bulan Oktober 2011 dan bulan Pebruari 2012 REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
1
10/29/11 07:58:45
3° 34.8900' S
128° 35.8400' E
2,34E+00
2.339.760
2
10/29/11 07:59:44
3° 34.9200' S
128° 35.8200' E
1,99E+00
1.985.681
3
10/29/11 08:00:44
3° 34.9600' S
128° 35.8100' E
1,82E+00
1.822.111
4
10/29/11 08:01:44
3° 34.9800' S
128° 35.7700' E
1,79E+00
1.794.604
5
10/29/11 08:02:44
3° 34.9600' S
128° 35.8200' E
1,84E+00
1.844.167
6
10/29/11 08:03:44
3° 34.9700' S
128° 35.8800' E
1,98E+00
1.980.602
7
10/29/11 08:04:44
3° 34.9400' S
128° 35.8800' E
2,12E+00
2.119.529
8
10/29/11 08:05:44
3° 34.8800' S
128° 35.8300' E
1,85E+00
1.851.066
9
10/29/11 08:06:44
3° 34.8200' S
128° 35.7700' E
1,70E+00
1.700.762
10
10/29/11 08:07:45
3° 34.7600' S
128° 35.7100' E
1,75E+00
1.746.769
11
10/29/11 08:20:37
3° 34.8700' S
128° 35.8900' E
2,12E+00
2.122.460
12
10/29/11 08:21:36
3° 34.9600' S
128° 35.9000' E
1,99E+00
1.988.628
13
10/29/11 08:22:36
3° 35.0700' S
128° 35.9300' E
1,84E+00
1.837.649
14
10/29/11 08:23:36
3° 35.1900' S
128° 35.9700' E
1,78E+00
1.780.774
15
10/29/11 08:24:36
3° 35.3200' S
128° 35.9900' E
1,62E+00
1.620.230
16
10/29/11 08:25:36
3° 35.4400' S
128° 36.0200' E
1,52E+00
1.519.266
17
10/29/11 08:26:36
3° 35.5600' S
128° 36.0500' E
1,63E+00
1.632.087
18
10/29/11 08:27:36
3° 35.6800' S
128° 36.0800' E
1,47E+00
1.468.506
19
10/29/11 08:28:36
3° 35.8000' S
128° 36.1000' E
1,31E+00
1.310.204
20
10/29/11 08:29:36
3° 35.9200' S
128° 36.1100' E
1,35E+00
1.350.805
21
10/29/11 08:30:36
3° 36.0400' S
128° 36.1400' E
2,02E+00
2.018.429
22
10/29/11 08:31:45
3° 36.1700' S
128° 36.1800' E
1,52E+00
1.522.133
23
10/29/11 08:32:55
3° 36.3100' S
128° 36.2200' E
1,42E+00
1.417.709
24
10/29/11 08:34:04
3° 36.4500' S
128° 36.2600' E
1,43E+00
1.431.030
25
10/29/11 08:35:14
3° 36.5700' S
128° 36.3400' E
4,28E-01
428.010
26
10/29/11 08:51:13
3° 36.7900' S
128° 36.6300' E
8,65E-01
864.983
27
10/29/11 08:52:28
3° 36.7800' S
128° 36.7300' E
9,38E-01
938.201
28
10/29/11 08:53:43
3° 36.7500' S
128° 36.8400' E
9,53E-01
953.105
29
10/29/11 08:54:59
3° 36.7000' S
128° 36.9500' E
7,91E-01
791.021
30
10/29/11 08:56:14
3° 36.6600' S
128° 37.0500' E
9,64E-01
963.670
31
10/29/11 09:17:28
3° 37.3300' S
128° 37.7000' E
7,13E-01
713.368
32
10/29/11 09:18:38
3° 37.4400' S
128° 37.7900' E
7,45E-01
745.074
33
10/29/11 09:19:48
3° 37.5600' S
128° 37.8800' E
7,66E-01
766.422
34
10/29/11 09:20:58
3° 37.6800' S
128° 37.9600' E
6,34E-01
634.150
35
10/29/11 09:22:08
3° 37.8100' S
128° 38.0300' E
5,71E-01
571.280
36
10/29/11 09:23:18
3° 37.9100' S
128° 38.1300' E
7,75E-01
774.662
37
10/29/11 10:27:28
3° 36.5400' S
128° 40.3600' E
2,57E-01
256.521
38
10/29/11 10:28:18
3° 36.4400' S
128° 40.3700' E
2,93E-01
292.719
39
10/29/11 10:29:08
3° 36.3400' S
128° 40.3700' E
2,51E-01
250.852
40
10/29/11 10:29:58
3° 36.2400' S
128° 40.3800' E
2,70E-01
269.838
346
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
41
10/29/11 10:30:48
3° 36.1400' S
128° 40.3900' E
3,25E-01
324.575
42
10/29/11 10:31:38
3° 36.0400' S
128° 40.3800' E
2,29E-01
229.274
43
10/28/11 14:29:27
3° 35.7800' S
128° 23.9500' E
3,72E-01
371.960
44
10/28/11 14:30:24
3° 35.7900' S
128° 23.8900' E
3,81E-01
381.154
45
10/28/11 14:31:23
3° 35.7900' S
128° 23.8700' E
3,81E-01
381.245
46
10/28/11 14:32:21
3° 35.8200' S
128° 23.8700' E
3,39E-01
338.738
47
10/28/11 14:33:19
3° 35.8000' S
128° 23.9300' E
2,96E-01
296.395
48
10/28/11 14:34:17
3° 35.7300' S
128° 23.9500' E
3,96E-01
396.456
49
10/28/11 14:35:15
3° 35.7100' S
128° 23.9000' E
3,79E-01
378.564
50
10/28/11 14:36:13
3° 35.7500' S
128° 23.9100' E
3,37E-01
337.162
51
10/28/11 14:37:12
3° 35.8000' S
128° 23.9200' E
3,08E-01
307.837
52
10/28/11 14:38:10
3° 35.7700' S
128° 23.9800' E
3,03E-01
302.725
53
10/28/11 14:59:56
3° 35.9500' S
128° 23.4000' E
6,27E-01
626.734
54
10/28/11 15:00:55
3° 35.9600' S
128° 23.3700' E
6,46E-01
646.203
55
10/28/11 15:01:56
3° 35.9900' S
128° 23.3800' E
5,87E-01
586.724
56
10/28/11 15:02:56
3° 36.0300' S
128° 23.4000' E
7,21E-01
721.373
57
10/28/11 15:03:57
3° 36.0500' S
128° 23.3900' E
6,62E-01
661.518
58
10/28/11 15:04:57
3° 36.0000' S
128° 23.3500' E
6,25E-01
624.909
59
10/28/11 15:05:57
3° 35.9300' S
128° 23.3600' E
6,26E-01
625.558
60
10/28/11 15:06:56
3° 35.9100' S
128° 23.3800' E
6,18E-01
617.870
61
10/28/11 15:07:56
3° 35.8900' S
128° 23.3900' E
5,50E-01
550.355
62
10/28/11 15:08:55
3° 35.8800' S
128° 23.4000' E
5,45E-01
544.860
63
10/28/11 15:19:55
3° 35.9200' S
128° 23.5100' E
6,89E-01
688.591
64
10/28/11 15:20:55
3° 35.9200' S
128° 23.5400' E
6,52E-01
651.727
65
10/28/11 15:21:55
3° 35.9300' S
128° 23.5500' E
6,24E-01
624.362
66
10/28/11 15:22:54
3° 35.9500' S
128° 23.5500' E
4,93E-01
493.213
67
10/28/11 15:23:54
3° 35.9800' S
128° 23.5300' E
5,84E-01
583.728
68
10/28/11 15:24:55
3° 36.0000' S
128° 23.4900' E
5,85E-01
585.371
69
10/28/11 15:25:55
3° 36.0000' S
128° 23.4400' E
5,69E-01
568.969
70
10/28/11 15:26:55
3° 36.0200' S
128° 23.3900' E
5,14E-01
513.828
71
10/28/11 15:27:55
3° 36.0400' S
128° 23.3300' E
4,95E-01
494.838
72
10/28/11 15:28:55
3° 36.0400' S
128° 23.2500' E
4,47E-01
446.663
73
10/28/11 15:44:25
3° 35.9300' S
128° 23.3100' E
7,39E-01
738.722
74
10/28/11 15:45:25
3° 36.0100' S
128° 23.3700' E
6,35E-01
635.337
75
10/28/11 15:46:25
3° 36.0800' S
128° 23.4300' E
5,76E-01
576.256
76
10/28/11 15:47:25
3° 36.1500' S
128° 23.4900' E
6,51E-01
650.577
77
10/28/11 15:48:25
3° 36.2200' S
128° 23.5600' E
5,99E-01
599.432
78
10/28/11 15:49:25
3° 36.2800' S
128° 23.6400' E
5,02E-01
502.232
79
10/28/11 15:50:25
3° 36.3100' S
128° 23.7400' E
5,18E-01
518.185
80
10/28/11 15:51:25
3° 36.3300' S
128° 23.8400' E
5,00E-01
500.263
81
10/28/11 15:52:25
3° 36.4100' S
128° 23.8500' E
4,35E-01
435.194
82
10/28/11 15:53:25
3° 36.4900' S
128° 23.8200' E
4,54E-01
453.563
347
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
83
10/28/11 16:11:11
3° 36.3000' S
128° 23.9000' E
4,09E-01
409.024
84
10/28/11 16:12:11
3° 36.3800' S
128° 23.9000' E
3,76E-01
375.523
85
10/28/11 16:13:11
3° 36.4400' S
128° 23.8900' E
3,37E-01
337.437
86
10/28/11 16:14:11
3° 36.5100' S
128° 23.8500' E
3,19E-01
318.508
87
10/28/11 16:15:12
3° 36.5700' S
128° 23.8300' E
2,72E-01
271.942
88
10/28/11 16:16:12
3° 36.6400' S
128° 23.8700' E
1,92E-01
191.744
89
10/28/11 16:17:11
3° 36.7200' S
128° 23.8700' E
2,16E-01
216.421
90
10/28/11 16:18:12
3° 36.8000' S
128° 23.8600' E
1,94E-01
193.927
91
10/28/11 16:19:12
3° 36.8800' S
128° 23.8500' E
1,72E-01
171.932
92
10/28/11 16:20:11
3° 36.8800' S
128° 23.8100' E
1,05E-01
104.989
93
10/28/11 18:02:43
3° 38.1900' S
128° 26.3600' E
4,19E-01
419.136
94
10/28/11 18:14:39
3° 38.0100' S
128° 26.8800' E
7,06E-01
706.445
95
10/28/11 18:15:40
3° 37.9900' S
128° 26.9600' E
8,06E-01
806.068
96
10/28/11 18:16:40
3° 37.9500' S
128° 27.0600' E
4,48E-01
448.463
97
10/28/11 18:17:41
3° 37.8900' S
128° 27.1500' E
1,71E-01
170.927
98
10/28/11 18:18:41
3° 37.8400' S
128° 27.2400' E
2,39E-01
239.225
99
10/28/11 18:19:41
3° 37.7900' S
128° 27.3400' E
1,01E-01
100.965
100
10/28/11 18:20:42
3° 37.7300' S
128° 27.4300' E
5,66E-02
56.649
101
10/28/11 18:21:42
3° 37.6700' S
128° 27.5200' E
8,50E-02
85.035
102
10/28/11 18:22:42
3° 37.6100' S
128° 27.6200' E
7,88E-01
787.695
103
10/28/11 18:23:42
3° 37.5500' S
128° 27.7100' E
8,23E-01
822.507
104
10/28/11 18:24:42
3° 37.4900' S
128° 27.8100' E
3,58E-01
357.987
105
10/28/11 18:25:42
3° 37.4400' S
128° 27.9100' E
3,70E-01
369.984
106
10/28/11 18:26:43
3° 37.4000' S
128° 28.0200' E
3,75E-02
37.478
107
10/28/11 18:27:43
3° 37.3700' S
128° 28.1300' E
2,07E-01
207.050
108
10/28/11 18:28:42
3° 37.3500' S
128° 28.2500' E
1,02E+00
1.022.707
109
10/28/11 18:29:42
3° 37.3400' S
128° 28.3600' E
1,01E+00
1.009.361
110
10/28/11 18:30:43
3° 37.3300' S
128° 28.4800' E
9,55E-01
955.063
111
10/28/11 18:31:43
3° 37.2700' S
128° 28.5100' E
8,95E-01
894.694
112
10/28/11 18:32:42
3° 37.2500' S
128° 28.4300' E
6,84E-01
683.599
113
10/28/11 18:33:42
3° 37.2400' S
128° 28.3400' E
7,09E-01
709.197
114
10/28/11 18:34:42
3° 37.2500' S
128° 28.2400' E
8,19E-01
819.474
115
10/28/11 18:35:42
3° 37.2700' S
128° 28.1400' E
7,17E-01
716.639
116
10/28/11 18:36:42
3° 37.2900' S
128° 28.0100' E
7,93E-01
793.182
117
10/28/11 18:37:42
3° 37.3300' S
128° 27.8800' E
7,14E-01
714.165
118
10/28/11 18:38:42
3° 37.3700' S
128° 27.7500' E
7,01E-01
700.955
119
10/28/11 18:39:42
3° 37.4200' S
128° 27.6400' E
7,37E-01
736.547
120
10/28/11 18:40:42
3° 37.4800' S
128° 27.5100' E
6,27E-01
626.765
121
10/28/11 18:41:43
3° 37.5300' S
128° 27.3800' E
8,35E-01
835.345
122
10/28/11 19:47:32
3° 37.8200' S
128° 27.4000' E
9,06E-01
905.628
123
10/28/11 19:49:18
3° 37.9000' S
128° 27.4700' E
9,13E-01
913.209
124
10/28/11 19:51:05
3° 37.9500' S
128° 27.6700' E
9,14E-01
913.706
348
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
125
10/28/11 19:52:52
3° 37.9500' S
128° 27.8800' E
1,20E+00
1.196.085
126
10/28/11 19:54:38
3° 37.9600' S
128° 28.0800' E
9,52E-01
952.023
127
10/28/11 19:56:25
3° 37.9100' S
128° 28.2800' E
9,18E-01
917.911
128
10/28/11 19:58:12
3° 37.8200' S
128° 28.4400' E
7,64E-01
764.302
129
10/28/11 19:59:58
3° 37.7200' S
128° 28.4100' E
8,20E-01
819.955
130
10/28/11 20:01:45
3° 37.6000' S
128° 28.4200' E
8,15E-01
814.505
131
10/28/11 20:03:32
3° 37.5900' S
128° 28.4400' E
9,04E-01
903.804
132
10/28/11 19:05:18
3° 38.4100' S
128° 25.8500' E
1,42E+00
1.419.047
133
10/28/11 19:08:16
3° 38.3800' S
128° 25.8300' E
1,54E+00
1.541.772
134
10/28/11 19:11:15
3° 38.3900' S
128° 25.8200' E
1,21E+00
1.214.223
135
10/28/11 19:14:14
3° 38.4700' S
128° 25.8500' E
1,22E+00
1.215.197
136
10/28/11 19:17:13
3° 38.4400' S
128° 26.1300' E
1,33E+00
1.333.637
137
10/28/11 19:20:12
3° 38.3900' S
128° 26.4600' E
1,35E+00
1.354.820
138
10/28/11 19:23:10
3° 38.2700' S
128° 26.7000' E
1,17E+00
1.165.220
139
10/28/11 19:26:09
3° 38.1100' S
128° 26.8800' E
1,12E+00
1.122.635
140
10/28/11 19:29:08
3° 37.9900' S
128° 27.1100' E
1,16E+00
1.160.041
141
10/28/11 19:32:07
3° 37.9000' S
128° 27.3400' E
9,70E-01
970.325
142
10/29/11 13:47:01
3° 33.1800' S
128° 44.4200' E
1,06E-01
105.692
143
10/29/11 13:48:41
3° 32.9800' S
128° 44.4200' E
1,08E-01
107.548
144
10/29/11 13:50:21
3° 32.7800' S
128° 44.3900' E
1,18E-01
117.804
145
10/29/11 13:52:01
3° 32.5700' S
128° 44.3600' E
1,15E-01
115.346
146
10/29/11 13:53:41
3° 32.3800' S
128° 44.3100' E
1,27E-01
127.255
147
10/29/11 14:14:00
3° 30.0700' S
128° 43.5100' E
1,57E-01
156.860
148
10/29/11 14:15:10
3° 29.9600' S
128° 43.4100' E
1,90E-01
190.094
149
10/29/11 14:16:20
3° 29.8700' S
128° 43.2900' E
1,86E-01
185.777
150
10/29/11 14:17:30
3° 29.7800' S
128° 43.1700' E
1,60E-01
160.194
151
10/29/11 14:18:40
3° 29.7000' S
128° 43.0300' E
1,26E-01
126.248
152
10/29/11 14:19:50
3° 29.6100' S
128° 42.9000' E
1,90E-01
189.801
153
02/18/12 16:23:21
3° 38.1300' S
128° 38.3000' E
4,20E-02
42.014
154
02/18/12 16:24:21
3° 38.1300' S
128° 38.3100' E
5,73E-02
57.259
155
02/18/12 16:25:21
3° 38.1500' S
128° 38.2500' E
7,89E-02
78.923
156
02/18/12 16:26:21
3° 38.0600' S
128° 38.1900' E
6,81E-02
68.085
157
02/18/12 16:27:21
3° 37.9500' S
128° 38.1700' E
6,44E-02
64.387
158
02/18/12 16:28:21
3° 37.8500' S
128° 38.1400' E
5,89E-02
58.869
159
02/18/12 16:29:21
3° 37.7800' S
128° 38.1000' E
6,00E-02
60.021
160
02/18/12 16:30:21
3° 37.7000' S
128° 38.0300' E
7,74E-02
77.413
161
02/18/12 16:31:21
3° 37.6100' S
128° 37.9600' E
7,37E-02
73.665
162
02/18/12 16:32:21
3° 37.5200' S
128° 37.8800' E
6,84E-02
68.438
163
02/18/12 16:33:21
3° 37.4200' S
128° 37.8000' E
5,98E-02
59.757
164
02/18/12 16:34:21
3° 37.3300' S
128° 37.7200' E
4,59E-02
45.894
165
02/18/12 16:35:21
3° 37.2400' S
128° 37.6400' E
5,38E-02
53.766
166
02/18/12 16:36:21
3° 37.1500' S
128° 37.5600' E
6,50E-02
64.995
349
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
167
02/18/12 16:37:21
3° 37.0600' S
128° 37.4800' E
5,02E-02
50.198
168
02/18/12 16:38:21
3° 37.0100' S
128° 37.4400' E
4,94E-02
49.423
169
02/18/12 16:39:21
3° 37.0000' S
128° 37.4300' E
5,06E-02
50.573
170
02/18/12 16:40:21
3° 37.0000' S
128° 37.4300' E
7,53E-01
753.146
171
02/18/12 16:41:21
3° 37.0000' S
128° 37.4300' E
8,60E-02
85.981
172
02/18/12 16:42:21
3° 37.0000' S
128° 37.4400' E
3,93E-02
39.337
173
02/18/12 16:43:21
3° 37.0100' S
128° 37.4400' E
4,97E-02
49.658
174
02/18/12 16:44:21
3° 37.0100' S
128° 37.4500' E
4,57E-02
45.660
175
02/18/12 16:45:21
3° 37.0100' S
128° 37.4500' E
4,50E-02
44.990
176
02/18/12 16:46:21
3° 37.0100' S
128° 37.4400' E
7,42E-02
74.236
177
02/18/12 16:47:21
3° 36.9500' S
128° 37.3900' E
8,18E-02
81.768
178
02/18/12 16:48:21
3° 36.8400' S
128° 37.3100' E
7,38E-02
73.824
179
02/18/12 16:49:21
3° 36.7400' S
128° 37.2300' E
8,64E-02
86.359
180
02/18/12 16:50:21
3° 36.6500' S
128° 37.1400' E
7,95E-02
79.471
181
02/18/12 16:51:21
3° 36.5500' S
128° 37.0600' E
7,26E-02
72.552
182
02/18/12 16:52:21
3° 36.4500' S
128° 36.9700' E
8,99E-02
89.912
183
02/18/12 17:03:21
3° 35.4200' S
128° 36.2000' E
1,17E-01
116.628
184
02/18/12 17:04:21
3° 35.3100' S
128° 36.2100' E
9,91E-02
99.144
185
02/18/12 17:05:21
3° 35.2000' S
128° 36.1800' E
5,71E-02
57.094
186
02/18/12 17:06:21
3° 35.1400' S
128° 36.0700' E
7,50E-02
75.043
187
02/18/12 17:07:21
3° 35.0600' S
128° 35.9800' E
1,04E-01
104.423
188
02/18/12 17:08:21
3° 34.9700' S
128° 35.9000' E
7,44E-02
74.398
189
02/18/12 17:09:21
3° 34.8600' S
128° 35.8400' E
5,64E-02
56.366
190
02/18/12 17:10:21
3° 34.8400' S
128° 35.8200' E
5,98E-02
59.788
191
02/18/12 17:11:21
3° 34.8400' S
128° 35.7900' E
5,31E-02
53.105
192
02/18/12 17:12:21
3° 34.8400' S
128° 35.7900' E
1,16E+00
1.155.940
193
02/18/12 16:03:21
3° 38.5000' S
128° 39.4100' E
1,23E-01
123.132
194
02/18/12 16:04:21
3° 38.4500' S
128° 39.3000' E
1,05E-01
105.047
195
02/18/12 16:05:21
3° 38.4100' S
128° 39.2000' E
9,59E-02
95.889
196
02/18/12 16:06:21
3° 38.3600' S
128° 39.1000' E
1,08E-01
108.367
197
02/18/12 16:07:21
3° 38.3100' S
128° 39.0000' E
1,09E-01
108.913
198
02/18/12 16:08:21
3° 38.2700' S
128° 38.9100' E
1,02E-01
101.884
199
02/18/12 16:09:21
3° 38.2200' S
128° 38.8100' E
9,34E-02
93.401
200
02/18/12 16:10:21
3° 38.1800' S
128° 38.7100' E
8,66E-02
86.630
201
02/18/12 16:11:21
3° 38.1400' S
128° 38.6100' E
8,29E-02
82.885
202
02/18/12 16:12:21
3° 38.1100' S
128° 38.5400' E
6,66E-02
66.567
203
02/18/12 16:23:21
3° 38.1300' S
128° 38.3000' E
4,20E-02
42.014
204
02/18/12 16:24:21
3° 38.1300' S
128° 38.3100' E
5,73E-02
57.259
205
02/18/12 16:25:21
3° 38.1500' S
128° 38.2500' E
7,89E-02
78.923
206
02/18/12 16:26:21
3° 38.0600' S
128° 38.1900' E
6,81E-02
68.085
207
02/18/12 16:27:21
3° 37.9500' S
128° 38.1700' E
6,44E-02
64.387
208
02/18/12 16:28:21
3° 37.8500' S
128° 38.1400' E
5,89E-02
58.869
350
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
209
02/18/12 16:29:21
3° 37.7800' S
128° 38.1000' E
6,00E-02
60.021
210
02/18/12 16:30:21
3° 37.7000' S
128° 38.0300' E
7,74E-02
77.413
211
02/18/12 16:31:21
3° 37.6100' S
128° 37.9600' E
7,37E-02
73.665
212
02/18/12 16:32:21
3° 37.5200' S
128° 37.8800' E
6,84E-02
68.438
213
02/18/12 16:33:21
3° 37.4200' S
128° 37.8000' E
5,98E-02
59.757
214
02/18/12 16:34:21
3° 37.3300' S
128° 37.7200' E
4,59E-02
45.894
215
02/18/12 16:35:21
3° 37.2400' S
128° 37.6400' E
5,38E-02
53.766
216
02/18/12 16:36:21
3° 37.1500' S
128° 37.5600' E
6,50E-02
64.995
217
02/18/12 16:37:21
3° 37.0600' S
128° 37.4800' E
5,02E-02
50.198
218
02/18/12 16:38:21
3° 37.0100' S
128° 37.4400' E
4,94E-02
49.423
219
02/18/12 16:39:21
3° 37.0000' S
128° 37.4300' E
5,06E-02
50.573
220
02/18/12 16:40:21
3° 37.0000' S
128° 37.4300' E
7,53E-01
753.146
221
02/18/12 16:41:21
3° 37.0000' S
128° 37.4300' E
8,60E-02
85.981
222
02/18/12 16:42:21
3° 37.0000' S
128° 37.4400' E
3,93E-02
39.337
223
02/18/12 16:43:21
3° 37.0100' S
128° 37.4400' E
4,97E-02
49.658
224
02/18/12 16:44:21
3° 37.0100' S
128° 37.4500' E
4,57E-02
45.660
225
02/18/12 16:45:21
3° 37.0100' S
128° 37.4500' E
4,50E-02
44.990
226
02/18/12 16:46:21
3° 37.0100' S
128° 37.4400' E
7,42E-02
74.236
227
02/18/12 16:47:21
3° 36.9500' S
128° 37.3900' E
8,18E-02
81.768
228
02/18/12 16:48:21
3° 36.8400' S
128° 37.3100' E
7,38E-02
73.824
229
02/18/12 16:49:21
3° 36.7400' S
128° 37.2300' E
8,64E-02
86.359
230
02/18/12 16:50:21
3° 36.6500' S
128° 37.1400' E
7,95E-02
79.471
231
02/18/12 16:51:21
3° 36.5500' S
128° 37.0600' E
7,26E-02
72.552
232
02/18/12 16:52:21
3° 36.4500' S
128° 36.9700' E
8,99E-02
89.912
233
02/18/12 08:35:18
3° 28.1900' S
128° 40.5300' E
6,04E-03
6.036
234
02/18/12 08:36:18
3° 28.2000' S
128° 40.6300' E
6,28E-03
6.279
235
02/18/12 08:37:18
3° 28.2700' S
128° 40.7100' E
4,77E-03
4.774
236
02/18/12 08:38:18
3° 28.2900' S
128° 40.7600' E
4,07E-03
4.074
237
02/18/12 08:39:18
3° 28.2800' S
128° 40.7700' E
4,97E-03
4.969
238
02/18/12 08:40:18
3° 28.2800' S
128° 40.7600' E
7,81E-03
7.815
239
02/18/12 08:41:18
3° 28.2700' S
128° 40.7500' E
2,61E-01
260.967
240
02/18/12 08:42:18
3° 28.2700' S
128° 40.7500' E
8,28E+00
8.280.744
241
02/18/12 08:43:18
3° 28.2700' S
128° 40.7400' E
1,14E-01
113.623
242
02/18/12 08:44:18
3° 28.2700' S
128° 40.7300' E
1,70E-01
169.629
243
02/18/12 08:45:17
3° 28.2700' S
128° 40.7300' E
7,82E-01
782.404
244
02/18/12 08:46:17
3° 28.2800' S
128° 40.7200' E
7,32E-01
731.728
245
02/18/12 08:47:17
3° 28.2800' S
128° 40.7100' E
9,94E-01
994.244
246
02/18/12 08:48:17
3° 28.2800' S
128° 40.7000' E
3,34E-01
333.685
247
02/18/12 08:49:17
3° 28.2900' S
128° 40.7000' E
1,68E-01
168.315
248
02/18/12 08:50:17
3° 28.2900' S
128° 40.6900' E
1,95E-01
195.331
249
02/18/12 08:51:17
3° 28.2900' S
128° 40.6900' E
1,65E-01
164.704
250
02/18/12 08:52:17
3° 28.2900' S
128° 40.6800' E
1,50E-01
150.163
351
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
251
02/18/12 08:53:17
3° 28.3000' S
128° 40.6700' E
9,55E-02
95.498
252
02/18/12 08:54:17
3° 28.3000' S
128° 40.6700' E
1,01E-01
100.821
253
02/18/12 08:55:17
3° 28.3000' S
128° 40.6600' E
3,26E-01
325.993
254
02/18/12 08:56:17
3° 28.3000' S
128° 40.6500' E
2,65E-01
264.977
255
02/18/12 08:57:17
3° 28.3100' S
128° 40.6500' E
1,51E-01
151.157
256
02/18/12 08:58:17
3° 28.3100' S
128° 40.6400' E
9,35E-01
934.910
257
02/18/12 08:59:17
3° 28.3100' S
128° 40.6300' E
1,71E+00
1.709.879
258
02/18/12 09:00:17
3° 28.3100' S
128° 40.6300' E
1,03E+00
1.034.511
259
02/18/12 09:01:17
3° 28.3100' S
128° 40.6200' E
1,74E+00
1.736.486
260
02/18/12 09:02:17
3° 28.3100' S
128° 40.6100' E
2,19E-01
218.577
261
02/18/12 09:03:17
3° 28.3200' S
128° 40.6100' E
4,22E-02
42.237
262
02/18/12 09:04:17
3° 28.3200' S
128° 40.6000' E
3,47E-02
34.681
263
02/18/12 09:05:17
3° 28.3200' S
128° 40.6000' E
5,87E-02
58.670
264
02/18/12 09:06:17
3° 28.3200' S
128° 40.5900' E
5,85E-02
58.502
265
02/18/12 09:07:17
3° 28.3200' S
128° 40.5900' E
6,94E-02
69.370
266
02/18/12 09:08:17
3° 28.2600' S
128° 40.5700' E
9,31E-02
93.127
267
02/18/12 09:09:17
3° 28.1900' S
128° 40.6600' E
1,00E-01
100.424
268
02/18/12 09:10:17
3° 28.0800' S
128° 40.6900' E
8,82E-02
88.236
269
02/18/12 09:11:17
3° 27.9700' S
128° 40.7300' E
9,20E-02
91.961
270
02/18/12 09:12:17
3° 27.8800' S
128° 40.7900' E
7,08E-02
70.761
271
02/18/12 09:13:17
3° 27.7900' S
128° 40.8600' E
5,14E-02
51.353
272
02/18/12 09:14:17
3° 27.7000' S
128° 40.9300' E
6,90E-02
69.004
273
02/18/12 09:15:17
3° 27.5800' S
128° 40.9300' E
4,94E-02
49.412
274
02/18/12 09:15:46
3° 27.5400' S
128° 40.9400' E
6,62E-02
66.215
275
02/18/12 09:16:15
3° 27.4900' S
128° 40.9500' E
6,40E-02
64.043
276
02/18/12 09:16:45
3° 27.4400' S
128° 40.9600' E
5,30E-02
53.025
277
02/18/12 09:17:14
3° 27.4200' S
128° 41.0100' E
7,67E-02
76.655
278
02/18/12 09:17:43
3° 27.4500' S
128° 41.0500' E
5,91E-02
59.078
279
02/18/12 09:18:12
3° 27.4900' S
128° 41.0900' E
5,39E-02
53.922
280
02/18/12 09:18:41
3° 27.5400' S
128° 41.1200' E
8,73E-02
87.331
281
02/18/12 09:19:11
3° 27.5900' S
128° 41.1500' E
6,26E-02
62.562
282
02/18/12 09:19:40
3° 27.6300' S
128° 41.1700' E
6,59E-02
65.879
283
02/18/12 09:20:39
3° 27.7300' S
128° 41.2300' E
5,53E-02
55.337
284
02/18/12 09:21:39
3° 27.8300' S
128° 41.2900' E
5,84E-02
58.416
285
02/18/12 09:22:39
3° 27.9300' S
128° 41.3500' E
5,22E-02
52.188
286
02/18/12 09:23:39
3° 28.0200' S
128° 41.4200' E
5,02E-02
50.243
287
02/18/12 09:24:39
3° 28.1200' S
128° 41.4900' E
4,67E-02
46.653
288
02/18/12 09:25:39
3° 28.2100' S
128° 41.5600' E
4,68E-02
46.774
289
02/18/12 09:26:39
3° 28.3100' S
128° 41.6300' E
4,65E-02
46.537
290
02/18/12 09:27:39
3° 28.4000' S
128° 41.7000' E
5,35E-02
53.478
291
02/18/12 09:28:39
3° 28.4900' S
128° 41.7700' E
5,14E-02
51.389
292
02/18/12 09:29:39
3° 28.5900' S
128° 41.8400' E
5,17E-02
51.747
352
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
293
02/18/12 12:50:46
3° 42.0400' S
128° 46.2100' E
3,44E-01
344.221
294
02/18/12 12:51:46
3° 42.0400' S
128° 46.1800' E
7,22E-02
72.181
295
02/18/12 12:52:46
3° 42.0400' S
128° 46.1700' E
2,02E-01
201.698
296
02/18/12 12:53:46
3° 42.0500' S
128° 46.1500' E
4,97E-01
497.239
297
02/18/12 12:54:46
3° 42.0500' S
128° 46.1300' E
6,36E-01
635.799
298
02/18/12 12:55:46
3° 42.0500' S
128° 46.1100' E
1,50E-01
150.281
299
02/18/12 12:56:46
3° 42.0600' S
128° 46.1000' E
4,63E-02
46.313
300
02/18/12 12:57:46
3° 42.0600' S
128° 46.1000' E
4,78E-02
47.804
301
02/18/12 12:58:46
3° 42.0600' S
128° 46.0800' E
8,03E-02
80.330
302
02/18/12 12:59:46
3° 42.0500' S
128° 46.0200' E
8,30E-02
82.983
303
02/18/12 13:00:45
3° 41.9600' S
128° 45.9300' E
7,11E-02
71.127
304
02/18/12 13:01:45
3° 41.8500' S
128° 45.8600' E
6,52E-02
65.159
305
02/18/12 13:02:45
3° 41.7500' S
128° 45.7900' E
5,95E-02
59.489
306
02/18/12 13:03:45
3° 41.6600' S
128° 45.7200' E
5,31E-02
53.074
307
02/18/12 13:04:45
3° 41.5700' S
128° 45.6300' E
6,62E-02
66.213
308
02/18/12 13:05:45
3° 41.5200' S
128° 45.5200' E
7,28E-02
72.755
309
02/18/12 13:06:45
3° 41.4600' S
128° 45.4100' E
5,66E-02
56.589
310
02/18/12 13:07:45
3° 41.3800' S
128° 45.3200' E
4,92E-02
49.168
311
02/18/12 13:08:45
3° 41.2900' S
128° 45.2300' E
6,90E-02
69.011
312
02/18/12 13:09:45
3° 41.1800' S
128° 45.1900' E
5,34E-02
53.413
313
02/18/12 13:20:45
3° 39.8900' S
128° 44.8400' E
8,22E-02
82.216
314
02/18/12 13:21:45
3° 39.7700' S
128° 44.7900' E
7,51E-02
75.088
315
02/18/12 13:22:45
3° 39.6400' S
128° 44.7400' E
8,64E-02
86.428
316
02/18/12 13:23:45
3° 39.5200' S
128° 44.6900' E
7,31E-02
73.067
317
02/18/12 13:24:45
3° 39.4000' S
128° 44.6300' E
7,72E-02
77.242
318
02/18/12 13:25:45
3° 39.3100' S
128° 44.5400' E
8,20E-02
81.987
319
02/18/12 13:26:45
3° 39.2200' S
128° 44.4800' E
7,11E-02
71.128
320
02/18/12 13:27:45
3° 39.1100' S
128° 44.4300' E
6,12E-02
61.209
321
02/18/12 13:28:45
3° 39.0200' S
128° 44.3700' E
6,50E-02
64.985
322
02/18/12 13:29:45
3° 38.9200' S
128° 44.3000' E
8,54E-02
85.431
323
02/18/12 13:30:45
3° 38.8200' S
128° 44.2400' E
8,03E-02
80.255
324
02/18/12 13:31:45
3° 38.7200' S
128° 44.1700' E
7,47E-02
74.688
325
02/18/12 13:32:45
3° 38.6200' S
128° 44.1000' E
7,30E-02
73.038
326
02/18/12 13:33:45
3° 38.5200' S
128° 44.0200' E
8,11E-02
81.080
327
02/18/12 13:34:45
3° 38.4300' S
128° 43.9300' E
6,45E-02
64.510
328
02/18/12 13:35:45
3° 38.3400' S
128° 43.8500' E
6,50E-02
64.985
329
02/18/12 13:36:45
3° 38.2400' S
128° 43.8000' E
6,55E-02
65.451
330
02/18/12 13:37:45
3° 38.1300' S
128° 43.7700' E
5,41E-02
54.134
331
02/18/12 13:38:45
3° 38.0300' S
128° 43.7100' E
7,61E-02
76.085
332
02/18/12 13:39:45
3° 37.9400' S
128° 43.6600' E
8,88E-02
88.760
333
02/18/12 13:40:45
3° 37.8400' S
128° 43.6700' E
7,92E-02
79.188
334
02/18/12 13:41:27
3° 37.7600' S
128° 43.6600' E
7,79E-02
77.939
353
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
335
02/17/12 17:17:41
3° 38.1800' S
128° 24.3000' E
1,69E-01
169.302
336
02/17/12 17:19:21
3° 38.2000' S
128° 24.5000' E
1,52E-01
151.502
337
02/17/12 17:21:02
3° 38.1900' S
128° 24.7000' E
1,49E-01
148.840
338
02/17/12 17:22:43
3° 38.2000' S
128° 24.8900' E
1,82E-01
181.651
339
02/17/12 17:24:24
3° 38.2100' S
128° 25.0900' E
9,54E-02
95.404
340
02/17/12 17:26:05
3° 38.2100' S
128° 25.2900' E
8,14E-02
81.384
341
02/17/12 17:27:46
3° 38.2600' S
128° 25.4800' E
7,93E-02
79.257
342
02/17/12 17:29:27
3° 38.3500' S
128° 25.6600' E
5,40E-02
54.013
343
02/17/12 17:31:08
3° 38.4100' S
128° 25.7800' E
1,44E-02
14.390
344
02/17/12 17:32:49
3° 38.4300' S
128° 25.8400' E
1,73E-02
17.313
345
02/17/12 17:34:41
3° 38.4200' S
128° 25.8400' E
2,15E-01
214.673
346
02/17/12 17:37:41
3° 38.4200' S
128° 25.8400' E
3,74E-01
373.706
347
02/17/12 17:40:41
3° 38.4200' S
128° 25.8300' E
1,98E-01
197.841
348
02/17/12 17:43:41
3° 38.4300' S
128° 25.8300' E
6,05E-02
60.460
349
02/17/12 17:46:41
3° 38.4300' S
128° 25.8200' E
4,88E-02
48.765
350
02/17/12 17:49:41
3° 38.4300' S
128° 25.8100' E
1,88E-01
188.351
351
02/17/12 17:52:41
3° 38.4300' S
128° 25.8000' E
4,21E-01
420.546
352
02/17/12 17:55:41
3° 38.4200' S
128° 25.7900' E
1,92E-01
192.078
353
02/17/12 17:58:41
3° 38.4100' S
128° 25.7800' E
4,12E-02
41.231
354
02/17/12 18:01:41
3° 38.4100' S
128° 25.7700' E
6,04E-02
60.425
355
02/17/12 18:04:40
3° 38.2700' S
128° 25.9400' E
4,28E-02
42.830
356
02/17/12 18:07:40
3° 38.1300' S
128° 26.1900' E
5,37E+01
53.655.940
357
02/17/12 18:10:40
3° 38.0300' S
128° 26.4600' E
8,67E+01
86.700.300
358
02/17/12 18:13:40
3° 37.9600' S
128° 26.7500' E
1,35E+01
13.475.510
359
02/17/12 18:16:40
3° 37.8200' S
128° 27.0100' E
4,56E-02
45.632
360
02/17/12 18:19:40
3° 37.7800' S
128° 27.0700' E
2,05E-01
205.213
361
02/17/12 18:22:40
3° 37.7700' S
128° 27.0800' E
7,48E-01
747.668
362
02/17/12 18:25:40
3° 37.7700' S
128° 27.0900' E
1,74E-01
173.882
363
02/17/12 18:28:40
3° 37.7700' S
128° 27.0900' E
5,22E-02
52.221
364
02/17/12 18:31:40
3° 37.7700' S
128° 27.1000' E
6,55E-02
65.521
365
02/18/12 10:23:59
3° 31.2600' S
128° 44.0300' E
1,08E-01
108.241
366
02/18/12 10:24:36
3° 31.3200' S
128° 44.0400' E
5,73E-02
57.320
367
02/18/12 10:25:14
3° 31.4000' S
128° 44.0500' E
5,65E-02
56.543
368
02/18/12 10:25:52
3° 31.4800' S
128° 44.0500' E
7,48E-02
74.810
369
02/18/12 10:26:29
3° 31.5600' S
128° 44.0600' E
4,45E-02
44.536
370
02/18/12 10:27:07
3° 31.6400' S
128° 44.0600' E
1,28E-02
12.751
371
02/18/12 10:27:45
3° 31.7200' S
128° 44.0700' E
6,77E-03
6.770
372
02/18/12 10:28:22
3° 31.7900' S
128° 44.0500' E
3,21E-03
3.207
373
02/18/12 10:29:37
3° 31.9000' S
128° 43.9900' E
2,52E-02
25.247
374
02/18/12 11:30:41
3° 37.8000' S
128° 44.8800' E
2,36E-02
23.584
375
02/18/12 11:31:55
3° 37.8700' S
128° 44.7300' E
3,11E-02
31.132
376
02/18/12 10:40:02
3° 32.3600' S
128° 44.1200' E
9,08E-03
9.082
354
Lampiran 1. Lanjutan... REPORT POINTS
TIME AND DATE
Latitude
Longitude
FPUA (ikan/m2)
FPUA (ikan/km2)
377
02/18/12 10:41:04
3° 32.4800' S
128° 44.1700' E
1,25E-02
12.480
378
02/18/12 10:42:07
3° 32.6000' S
128° 44.2000' E
1,29E-02
12.890
379
02/18/12 11:30:41
3° 37.8000' S
128° 44.8800' E
2,36E-02
23.584
380
02/18/12 11:31:55
3° 37.8700' S
128° 44.7300' E
3,11E-02
31.132
381
02/18/12 11:33:08
3° 38.0300' S
128° 44.6400' E
3,82E-02
38.239
382
02/18/12 11:34:11
3° 38.1700' S
128° 44.5500' E
4,07E-02
40.692
383
02/18/12 11:35:14
3° 38.3100' S
128° 44.4600' E
4,47E-02
44.700
384
02/18/12 11:36:17
3° 38.3600' S
128° 44.3100' E
4,43E-02
44.256
385
02/18/12 11:37:19
3° 38.3900' S
128° 44.1500' E
2,84E-02
28.411
386
02/18/12 11:38:22
3° 38.3700' S
128° 44.0700' E
2,72E-02
27.238
8,21E-01
799.537
Rata-Rata
Rataan Densitas
=
39,98 ton/km2
Luas Perairan
=
3.424,60 km2
Biomassa
=
136.904,60 ton
JTB
=
54.716,84 ton
355
Lampiran 1 Lanjutan ... Densitas ikan per kawasan perairan (ton/km2) No.
Strata kedalaman
Selatan P. Saparua
Utara P. Haruku
Barat P. Saparua
P. Nusalaut
Selatan P. Haruku
Utara P. Saparua
Timur P. Saparua
1
1,98
-
11,97
6,54
1,43
0,00
1,39
2,70
0,00
0,00
2
11,97 -
21,99
3,65
0,84
0,00
0,09
3,30
0,00
0,15
3
21,99 -
31,99
2,17
0,77
0,00
0,07
2,57
0,00
0,12
4
31,99 -
41,99
1,54
0,69
0,00
0,32
1,63
0,00
0,09
5
41,99 -
51,99
1,08
0,57
0,19
0,55
1,01
0,35
0,08
6
51,99 -
61,99
0,72
0,49
0,44
0,57
0,65
0,00
0,18
7
61,99 -
71,99
0,51
0,44
0,42
0,53
0,49
0,49
0,41
8
71,99 -
81,99
0,39
0,36
0,37
0,41
0,39
0,47
0,40
9
81,99 -
91,99
0,27
0,30
0,28
0,29
0,33
0,40
0,31
10
91,99 -
101,99
0,22
0,25
0,19
0,21
0,26
0,33
0,24
11
101,99 -
111,99
0,14
0,15
12
111,99 -
121,99
0,11
0,06
13
121,99 -
131,99
0,08
2,47
14
131,99 -
141,99
0,08
1,74
15
141,99 -
152,00
0,07
0,86
16
152,00 -
161,99
0,47
17
161,99 -
171,99
0,29
18
171,99 -
181,98
0,20
19
181,98 -
191,99
0,15
20
191,99 -
201,98
0,13
356
Lampiran 2 Distribusi rata-rata jarak ekonomi basis perikanan tangkap tiap kawasan terhadap daerah penangkapan ikan per musim
No.
Kawasan
Timur
Jarak ekonomi (Rp) Peralihan Timur Ke Barat Barat
Peralihan Barat Ke Timur
Rata-rata
1
Leihitu
2.010.723
2.882.789
1.043.424
4.196.075
2.533.253
2
Salahutu
1.254.972
1.334.911
764.755
1.007.525
1.090.541
3
Haruku
680.205
3.317.970
1.115.764
1.552.354
1.666.573
4
Saparua
2.296.765
2.487.851
1.465.448
1.197.387
1.861.863
5
Nusalaut
4.850.595
4.799.291
1.830.216
3.714.113
3.798.554
6
Amahai
2.435.785
5.420.866
1.609.190
1.502.073
2.741.979
7
Kota Masohi
4.027.332
1.825.894
1.541.058
687.162
2.020.362
8
Tehoru
-
1.848.972
2.730.276
2.520.320
1.774.892
357
Lampiran 3.Hasil perhitungan fishing power index untuk lima alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah Pukat Pantai Effort CPUE (trip)
Pukat Cincin Effort CPUE (trip)
Jaring Insang Hanyut Catch Effort CPUE (ton) (trip)
Bagan Perahu Catch Effort CPUE (ton) (trip)
Pancing Tegak Effort CPUE (trip)
Tahun
Catch (ton)
2001
1.725,8
5.843
0,2954
6.062,3
20743
0,2923
1.119,3
11085
0,1010
4.457,0
15.168
0,2938
674,6
12315
0,0548
2002
2.049,4
5.909
0,3468
7.198,7
20807
0,3460
911,4
11176
0,0815
5.067,6
15.168
0,3341
657,2
12389
0,0530
2003
1.866,6
5.967
0,3128
8.428,5
20891
0,4035
933,2
11281
0,0827
5.776,4
15.210
0,3798
546,9
12476
0,0438
2004
2.016,1
6.000
0,3360
8.750,0
20950
0,4177
973,2
11364
0,0856
6.152,8
15.270
0,4029
661,3
12567
0,0526
2005
1.810,5
5.936
0,3050
9.713,8
20888
0,4650
1.029,3
11286
0,0912
6.017,8
15.185
0,3963
799,2
12482
0,0640
2006
1.860,7
5.924
0,3141
10.821,5
20894
0,5179
771,5
11318
0,0682
6.432,3
15.146
0,4247
573,6
12447
0,0461
2007
1.900,0
5.891
0,3225
10.670,8
20878
0,5111
1.188,9
11274
0,1055
6.064,3
15.110
0,4013
1.024,1
12297
0,0833
2008
1.953,5
5.879
0,3323
10.939,9
20874
0,5241
1.509,4
11227
0,1344
6.334,9
15.068
0,4204
1.101,0
12214
0,0901
2009
1.959,6
5.833
0,3360
9.703,4
20270
0,4787
1.651,2
11113
0,1486
6.058,1
15.012
0,4036
1.179,8
12138
0,0972
2010
1.959,6
5.760
0,3402
9.064,3
20340
0,4456
1.507,2
10840
0,1390
5.537,5
14.745
0,3756
1.509,3
11940
0,1264
Rataan
1.910,2
5.894
0,3241
9.135,3
20.754
0,4402
1.159,44
11.196
0,1038
5.789,9
15.108
0,3833
872,70
12.327
0,0711
FPI
0,7363
Catch (ton)
1,0000
0,2358
0,8707
Catch (ton)
0,1616
358
Lampiran 4 Cash flow dan analisis finansial usaha perikanan di wilayah Selatan Maluku Tengah (1) Pukat pantai Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
-
-
-
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0,00
106.200.000,00
106.200.000,00
106.200.000,00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi Kapal Pukat pantai
15.000.000,00
Alat Tangkap Pukat pantai
28.000.000,00
Mesin Induk 40 PK
21.500.000,00
Lampu Gas, 4 buah
1.400.000,00
Tali
2.500.000,00
Benang Sub-Jumlah
500.000,00 68.900.000,00
2.2 Biaya Operasional Minyak tanah
6.000.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
Bensin
15.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
Oli
2.812.500,00
2.812.500,00
2.812.500,00
2.812.500,00
2.812.500,00
2.812.500,00
2.812.500,00
2.812.500,00
Ransum
27.000.000,00
27.000.000,00
27.000.000,00
27.000.000,00
27.000.000,00
27.000.000,00
27.000.000,00
27.000.000,00
Sub-Jumlah
50.812.500,00
50.812.500,00
50.812.500,00
50.812.500,00
50.812.500,00
50.812.500,00
50.812.500,00
50.812.500,00
2.3 Biaya perawatan Perawatan Kapal
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
Perawatan Alat Tangkap
1.250.000,00
1.250.000,00
1.250.000,00
1.250.000,00
1.250.000,00
1.250.000,00
1.250.000,00
1.250.000,00
Perawatan Mesin
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
Perawatan Lampu Gas Sub-jumlah
512.000,00
512.000,00
512.000,00
512.000,00
512.000,00
512.000,00
512.000,00
512.000,00
3.762.000,00
3.250.000,00
3.250.000,00
3.250.000,00
3.250.000,00
3.250.000,00
3.250.000,00
3.250.000,00
359
Lampiran 4 Lanjutan... 2.4 Biaya penyusutan Kapal Pukat pantai
1.875.000,00
1.875.000,00
1.875.000,00
1.875.000,00
1.875.000,00
1.875.000,00
1.875.000,00
1.875.000,00
Alat Tangkap Pukat Pantai
5.600.000,00
5.600.000,00
5.600.000,00
5.600.000,00
5.600.000,00
5.600.000,00
5.600.000,00
5.600.000,00
Mesin Induk 40 PK
2.687.500,00
2.687.500,00
2.687.500,00
2.687.500,00
2.687.500,00
2.687.500,00
2.687.500,00
2.687.500,00
Lampu Gas, 4 buah
280.000,00
280.000,00
280.000,00
280.000,00
280.000,00
280.000,00
280.000,00
280.000,00
10.442.500,00
10.442.500,00
10.442.500,00
10.442.500,00
10.442.500,00
10.442.500,00
10.442.500,00
10.442.500,00
65.017.000,00
64.505.000,00
64.505.000,00
64.505.000,00
64.505.000,00
64.505.000,00
64.505.000,00
64.505.000,00
41.183.000,00
41.695.000,00
41.695.000,00
41.695.000,00
41.695.000,00
41.695.000,00
41.695.000,00
41.695.000,00
13.590.390,00
13.759.350,00
13.759.350,00
13.759.350,00
13.759.350,00
13.759.350,00
13.759.350,00
13.759.350,00
68.900.000,00
78.607.390,00
78.264.350,00
78.264.350,00
78.264.350,00
78.264.350,00
78.264.350,00
78.264.350,00
78.264.350,00
68.900.000,00
20.591.500,00
20.847.500,00
20.847.500,00
20.847.500,00
20.847.500,00
20.847.500,00
20.847.500,00
20.847.500,00
0,81
0,73
0,66
0,59
0,53
0,48
0,43
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 33,33 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
68.900.000,00 68.900.000,00
Keuntungan Usaha (∏) DF (11%)
97.624.000,00 1,00
0,90
11,00% PB
0,00
95.675.675,68
86.194.302,41
77.652.524,69
69.957.229,45
63.024.531,04
56.778.856,79
51.152.123,24
46.082.993,91
PC
68.900.000,00 68.900.000,00
70.817.468,47
63.521.102,18
57.226.218,18
51.555.151,52
46.446.082,45
41.843.317,52
37.696.682,45
33.960.975,18
18.550.900,90
16.920.298,68
15.243.512,32
13.732.893,98
12.371.976,56
11.145.924,83
10.041.373,72
9.046.282,63
PV R/C PP
1,16 3,35
NPV
38.153.163,63
IRR
12,75%
ROI
7,93
B/C
1,55
360
Lampiran 4 Lanjutan .... (2) pukat cincin Uraian
Tahun Usaha 0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
-
-
-
-
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0,00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi Kapal Purse Seine
285.000.000,00
Alat Tangkap Jaring
155.000.000,00
Mesin Induk, 4 buah
137.000.000,00
Mesin Lampu 450 Watt
35.000.000,00
Balon lampu
3.437.000,00
Roller
32.500.000,00
HP Palka/Fiber 1,5 ton sebanyak 2 buah Jerigen 20 liter sebanyak 40 buah
300.000,00 23.000.000,00
Body rumpon, 9 buah
20.250.000,00
Tali rumpon
39.000.000,00
Jangkar
4.500.000,00
2.800.000,00
Lampu gas. 34 buah
7.650.000,00
Perahu lobe
1.750.000,00
Sub-Jumlah
747.187.000,00
902.400.000,00
902.400.000,00
361
Lampiran 4 Lanjutan... 2.2 Biaya Operasional Minyak Tanah
112.000.000,00
112.000.000,00
112.000.000,00
112.000.000,00
112.000.000,00
112.000.000,00
112.000.000,00
112.000.000,00
Bensin
40.000.000,00
40.000.000,00
40.000.000,00
40.000.000,00
40.000.000,00
40.000.000,00
40.000.000,00
40.000.000,00
800.000,00
800.000,00
800.000,00
800.000,00
800.000,00
800.000,00
800.000,00
800.000,00
Oli
20.000.000,00
20.000.000,00
20.000.000,00
20.000.000,00
20.000.000,00
20.000.000,00
20.000.000,00
20.000.000,00
Es Balok
96.000.000,00
96.000.000,00
96.000.000,00
96.000.000,00
96.000.000,00
96.000.000,00
96.000.000,00
96.000.000,00
Air Tawar
-
-
-
-
-
-
-
-
3.200.000,00
3.200.000,00
3.200.000,00
3.200.000,00
3.200.000,00
3.200.000,00
3.200.000,00
3.200.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
272.000.000,00
Kapal Purse Seine
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
Alat Tangkap Jaring
6.500.000,00
6.500.000,00
6.500.000,00
6.500.000,00
6.500.000,00
6.500.000,00
6.500.000,00
6.500.000,00
Mesin Induk, 4 buah
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
9.000.000,00
Mesin Lampu 450 Watt
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
Body rumpon, 17 buah
8.500.000,00
8.500.000,00
8.500.000,00
8.500.000,00
8.500.000,00
8.500.000,00
8.500.000,00
8.500.000,00
Lampu gas, 34 buah
3.400.000,00
3.400.000,00
3.400.000,00
3.400.000,00
3.400.000,00
3.400.000,00
3.400.000,00
3.400.000,00
Perahu lobe
12.500.000,00
12.500.000,00
12.500.000,00
12.500.000,00
12.500.000,00
12.500.000,00
12.500.000,00
12.500.000,00
Sub-jumlah
50.400.000,00
50.400.000,00
50.400.000,00
50.400.000,00
50.400.000,00
50.400.000,00
50.400.000,00
50.400.000,00
Kapal Purse Seine
35.625.000,00
35.625.000,00
35.625.000,00
35.625.000,00
35.625.000,00
35.625.000,00
35.625.000,00
35.625.000,00
Alat Tangkap Jaring
31.000.000,00
31.000.000,00
31.000.000,00
31.000.000,00
31.000.000,00
31.000.000,00
31.000.000,00
31.000.000,00
Mesin Induk, 4 buah
17.125.000,00
17.125.000,00
17.125.000,00
17.125.000,00
17.125.000,00
17.125.000,00
17.125.000,00
17.125.000,00
Mesin Lampu 450 Watt
4.375.000,00
4.375.000,00
4.375.000,00
4.375.000,00
4.375.000,00
4.375.000,00
4.375.000,00
4.375.000,00
Balon lampu
1.718.500,00
1.718.500,00
1.718.500,00
1.718.500,00
1.718.500,00
1.718.500,00
1.718.500,00
1.718.500,00
Roller
4.062.500,00
4.062.500,00
4.062.500,00
4.062.500,00
4.062.500,00
4.062.500,00
4.062.500,00
4.062.500,00
37.500,00
37.500,00
37.500,00
37.500,00
37.500,00
37.500,00
37.500,00
37.500,00
2.875.000,00
2.875.000,00
2.875.000,00
2.875.000,00
2.875.000,00
2.875.000,00
2.875.000,00
2.875.000,00
Solar
Ransum Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan
2.4 Biaya penyusutan
HP Palka/Fiber 1,5 ton sebanyak 2 buah
362
Lampiran 4 Lanjutan... Jerigen 20 liter sebanyak 40 buah
560.000,00
560.000,00
560.000,00
560.000,00
560.000,00
560.000,00
560.000,00
560.000,00
Body rumpon, 17 buah
4.050.000,00
4.050.000,00
4.050.000,00
4.050.000,00
4.050.000,00
4.050.000,00
4.050.000,00
4.050.000,00
Tali rumpon
7.800.000,00
7.800.000,00
7.800.000,00
7.800.000,00
7.800.000,00
7.800.000,00
7.800.000,00
7.800.000,00
Jangkar Lampu gas, 34 buah Perahu lobe Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 33,33 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
747.187.000,00 747.187.000,00
747.187.000,00 747.187.000,00
Keuntungan Usaha (∏) DF (11%)
562.500,00
562.500,00
562.500,00
562.500,00
562.500,00
562.500,00
562.500,00
562.500,00
1.530.000,00
1.530.000,00
1.530.000,00
1.530.000,00
1.530.000,00
1.530.000,00
1.530.000,00
1.530.000,00
218.750,00
218.750,00
218.750,00
218.750,00
218.750,00
218.750,00
218.750,00
218.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
111.539.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
433.939.750,00
468.460.250,00
468.460.250,00
468.460.250,00
468.460.250,00
468.460.250,00
468.460.250,00
468.460.250,00
468.460.250,00
154.591.882,50
154.591.882,50
154.591.882,50
154.591.882,50
154.591.882,50
154.591.882,50
154.591.882,50
154.591.882,50
588.531.632,50
588.531.632,50
588.531.632,50
588.531.632,50
588.531.632,50
588.531.632,50
588.531.632,50
588.531.632,50
234.230.125,00
234.230.125,00
234.230.125,00
234.230.125,00
234.230.125,00
234.230.125,00
234.230.125,00
234.230.125,00
0,81
0,73
0,66
0,59
0,53
0,48
0,43
1.126.654.000,00 1,00
0,90
11,00% PB
0,00
812.972.972,97
732.408.083,76
659.827.102,49
594.438.831,07
535.530.478,44
482.459.890,49
434.648.549,99
391.575.270,26
PC
747.187.000,00 747.187.000,00
530.208.677,93
477.665.475,61
430.329.257,31
387.684.015,59
349.264.878,91
314.653.044,06
283.471.210,87
255.379.469,25
211.018.130,63
190.106.423,99
171.267.048,64
154.294.638,42
139.004.178,75
125.228.989,87
112.818.909,79
101.638.657,47
3
tahun
2
bulan
PV R/C PP
1,23 3,19
NPV
458.189.977,56
IRR
14,05%
ROI
6,22
B/C
1,61
363
Lampiran 4 Lanjutan ... (3) jaring insang Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
-
-
-
-
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
36.495.000,00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0,00
-
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi Kapal Gill Net Alat Tangkap Jaring Gill Net
7.500.000,00 1.825.000,00
Mesin Induk 15 PK
1.900.000,00
Lampu Jalan
70.000,00
Tali
90.000,00
Benang Sub-Jumlah
112.500,00 11.497.500,00
2.2 Biaya Operasional Minyak tanah
10.640.000,00
10.640.000,00
10.640.000,00
10.640.000,00
10.640.000,00
10.640.000,00
10.640.000,00
10.640.000,00
Bensin
-
-
-
-
-
-
-
-
Oli
-
-
-
-
-
-
-
-
Es balok
-
-
-
-
-
-
-
-
Ransum
5.320.000,00
5.320.000,00
5.320.000,00
5.320.000,00
5.320.000,00
5.320.000,00
5.320.000,00
5.320.000,00
Sub-Jumlah
15.960.000,00
15.960.000,00
15.960.000,00
15.960.000,00
15.960.000,00
15.960.000,00
15.960.000,00
15.960.000,00
2.3 Biaya perawatan Perawatan kapal penangkapan
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
Perawatan alat tangkap
300.000,00
300.000,00
300.000,00
300.000,00
300.000,00
300.000,00
300.000,00
300.000,00
Perawatan mesin
110.000,00
110.000,00
110.000,00
110.000,00
110.000,00
110.000,00
110.000,00
110.000,00
Perawatan Lampu Jalan
64.000,00
64.000,00
64.000,00
64.000,00
64.000,00
64.000,00
64.000,00
64.000,00
Sub-jumlah
874.000,00
810.000,00
810.000,00
810.000,00
810.000,00
810.000,00
810.000,00
810.000,00
364
Lampiran 4 Lanjutan... 2.4 Biaya penyusutan Kapal Gill Net Alat Tangkap Jaring Gill Net
937.500,00
937.500,00
937.500,00
937.500,00
937.500,00
937.500,00
937.500,00
937.500,00
365.000,00
365.000,00
365.000,00
365.000,00
365.000,00
365.000,00
365.000,00
365.000,00
Mesin Induk 15 PK
237.500,00
237.500,00
237.500,00
237.500,00
237.500,00
237.500,00
237.500,00
237.500,00
Lampu Jalan Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
70.000,00
70.000,00
70.000,00
70.000,00
70.000,00
70.000,00
70.000,00
70.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
1.610.000,00
11.497.500,00
18.444.000,00
18.380.000,00
18.380.000,00
18.380.000,00
18.380.000,00
18.380.000,00
18.380.000,00
18.380.000,00
-11.497.500,00
18.051.000,00
18.115.000,00
18.115.000,00
18.115.000,00
18.115.000,00
18.115.000,00
18.115.000,00
18.115.000,00
9.025.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
27.469.500,00
27.437.500,00
27.437.500,00
27.437.500,00
27.437.500,00
27.437.500,00
27.437.500,00
27.437.500,00
9.025.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
9.057.500,00
0,81
0,73
0,66
0,59
0,53
0,48
0,43
11.497.500,00 -11.497.500,00
Keuntungan Usaha (∏) DF (11%)
60.930.500,00 1,00
0,90
11,00% PB
0,00
32.878.378,38
29.620.160,70
26.684.829,46
24.040.386,90
21.658.006,22
19.511.717,31
17.578.123,71
15.836.147,48
PC
11.497.500,00
24.747.297,30
22.268.890,51
20.062.063,52
18.073.931,10
16.282.820,81
14.669.207,94
13.215.502,65
11.905.858,24
PV
-11.497.500,00
8.131.081,08
7.351.270,19
6.622.765,94
5.966.455,80
5.375.185,40
4.842.509,37
4.362.621,06
3.930.289,24
1
tahun
3
bulan
R/C PP
1,23 1,27
NPV
35.084.678,08
IRR
60,24%
ROI
16,33
B/C
46.582.178,08
4,05
365
Lampiran 4 Lanjutan ... (4) bagan apung Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
-
-
-
-
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
284.375.000,00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0,00
284.375.000,00
284.375.000,00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi Kapal Bagan Apung Alat Tangkap Jaring Bagan Apung
75.000.000,00 26.500.000,00
Tali
11.500.000,00
Jangkar
7.500.000,00
Kapal Transport
25.000.000,00
Mesin Transport 40 PK
25.500.000,00
Mesin Lampu 3000 Watt
9.500.000,00
Balon Lampu
1.332.000,00
Kabel Lampu Standar
1.000.000,00
Alat Komunikasi Mini Container 30 Kg, 65 buah Jerigen 20 Liter, 10 buah Sub-Jumlah
800.000,00 3.250.000,00 650.000,00 187.532.000,00
2.2 Biaya Operasional Minyak Tanah
23.400.000,00
23.400.000,00
23.400.000,00
23.400.000,00
23.400.000,00
23.400.000,00
23.400.000,00
23.400.000,00
Bensin + Oli
126.750.000,00
126.750.000,00
126.750.000,00
126.750.000,00
126.750.000,00
126.750.000,00
126.750.000,00
126.750.000,00
Solar
7.020.000,00
7.020.000,00
7.020.000,00
7.020.000,00
7.020.000,00
7.020.000,00
7.020.000,00
7.020.000,00
Oli
4.680.000,00
4.680.000,00
4.680.000,00
4.680.000,00
4.680.000,00
4.680.000,00
4.680.000,00
4.680.000,00
Ransum
9.750.000,00
9.750.000,00
9.750.000,00
9.750.000,00
9.750.000,00
9.750.000,00
9.750.000,00
9.750.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
171.600.000,00
Sub-Jumlah
366
Lampiran 4 Lanjutan... 2.3 Biaya perawatan Perawatan Kapal
5.500.000,00
5.500.000,00
5.500.000,00
5.500.000,00
5.500.000,00
5.500.000,00
5.500.000,00
5.500.000,00
Perawatan Alat Tangkap
4.000.000,00
4.000.000,00
4.000.000,00
4.000.000,00
4.000.000,00
4.000.000,00
4.000.000,00
4.000.000,00
Perawatan Kapal Transport
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
Perawatan Mesin Transport
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
2.000.000,00
Perawatan Mesin Lampu
1.800.000,00
1.800.000,00
1.800.000,00
1.800.000,00
1.800.000,00
1.800.000,00
1.800.000,00
1.800.000,00
Sub-jumlah
15.300.000,00
15.300.000,00
15.300.000,00
15.300.000,00
15.300.000,00
15.300.000,00
15.300.000,00
15.300.000,00
Penyusutan Kapal
9.375.000,00
9.375.000,00
9.375.000,00
9.375.000,00
9.375.000,00
9.375.000,00
9.375.000,00
9.375.000,00
Penyusutan Alat Tangkap
5.300.000,00
5.300.000,00
5.300.000,00
5.300.000,00
5.300.000,00
5.300.000,00
5.300.000,00
5.300.000,00
Penyusutan Jangkar Penyusutan Mesin Transport 40 PK Penyusutan Mesin Lampu 3000 Watt
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
1.500.000,00
3.187.500,00
3.187.500,00
3.187.500,00
3.187.500,00
3.187.500,00
3.187.500,00
3.187.500,00
3.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
1.187.500,00
Penyusutan Balon Lampu
1.332.000,00
1.332.000,00
1.332.000,00
1.332.000,00
1.332.000,00
1.332.000,00
1.332.000,00
1.332.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
400.000,00
Penyusutan Container Penyusutan Jerigen 20 Liter, 10 buah
1.625.000,00
1.625.000,00
1.625.000,00
1.625.000,00
1.625.000,00
1.625.000,00
1.625.000,00
1.625.000,00
130.000,00
130.000,00
130.000,00
130.000,00
130.000,00
130.000,00
130.000,00
130.000,00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
24.037.000,00
24.037.000,00
24.037.000,00
24.037.000,00
24.037.000,00
24.037.000,00
24.037.000,00
24.037.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
210.937.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
73.438.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
247.656.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
36.719.000,00
0,81
0,73
0,66
0,59
0,53
0,48
0,43
2.4 Biaya penyusutan
Alat Komunikasi
187.532.000,00 187.532.000,00
187.532.000,00 187.532.000,00
Keuntungan Usaha (∏) DF (11%)
106.220.000,00 1,00
0,90
367
Lampiran 4 Lanjutan... PB
0,00
256.193.693,69
230.805.129,45
207.932.549,06
187.326.620,77
168.762.721,42
152.038.487,76
136.971.610,60
123.397.847,38
PC
187.532.000,00 187.532.000,00
223.113.513,51
201.003.165,33
181.083.932,73
163.138.678,13
146.971.782,10
132.407.010,90
119.285.595,41
107.464.500,37
33.080.180,18
29.801.964,13
26.848.616,33
24.187.942,64
21.790.939,31
19.631.476,86
17.686.015,19
15.933.347,02
PV R/C PP
1,00 5,11
NPV
1.428.481,66
IRR
0,19%
ROI
7,80
B/C
188.960.481,66
1,01
368
Lampiran 4 Lanjutan ... (5) pancing tegak Uraian
Tahun Usaha 4
0
1
2
3
5
6
7
8
0
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
-
-
-
-
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
14.400.000,00
Bensin
4.687.500,00
4.687.500,00
4.687.500,00
4.687.500,00
4.687.500,00
4.687.500,00
4.687.500,00
4.687.500,00
Oli
2.025.000,00
2.025.000,00
2.025.000,00
Ransum
3.000.000,00
3.000.000,00
3.000.000,00
2.025.000,00
2.025.000,00
2.025.000,00
2.025.000,00
2.025.000,00
3.000.000,00
3.000.000,00
3.000.000,00
3.000.000,00
Sub-Jumlah
9.712.500,00
9.712.500,00
3.000.000,00
9.712.500,00
9.712.500,00
9.712.500,00
9.712.500,00
9.712.500,00
9.712.500,00
Kapal/Perahu
250.000,00
Alat Tangkap Pancing
100.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
Mesin 6,5 PK, 1 buah
100.000,00
350.000,00
350.000,00
350.000,00
350.000,00
350.000,00
350.000,00
350.000,00
350.000,00
Sub-jumlah
700.000,00
700.000,00
700.000,00
700.000,00
700.000,00
700.000,00
700.000,00
700.000,00
Kapal/Perahu
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
Alat Tangkap Pancing
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
Mesin 6,5 PK, 1 buah Jerigen 5 liter sebanyak 1 buah
281.250,00
281.250,00
281.250,00
281.250,00
281.250,00
281.250,00
281.250,00
281.250,00
7.000,00
7.000,00
7.000,00
7.000,00
7.000,00
7.000,00
7.000,00
7.000,00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0,00
-
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi Kapal/Perahu
4.000.000,00
Alat Tangkap Pancing
200.000,00
Mesin 6,5 PK, 1 buah
2.250.000,00
Jerigen 5 liter 1 buah Sub-Jumlah
35.000,00 6.485.000,00
2.2 Biaya Operasional
2.3 Biaya perawatan
2.4 Biaya penyusutan
369
Lampiran 4 Lanjutan... Sub-jumlah
Jumlah Pengeluaran Keuntungan Tahunan Keuntungan Usaha (∏) DF (11%) PB PC PV R/C PP NPV IRR ROI B/C
888.250,00
6.485.000,00 -6.485.000,00 1,00 0,00 6.485.000,00 -6.485.000,00
11.300.750,00 3.099.250,00 18.309.000,00 0,90 12.972.972,97 10.180.855,86 2.792.117,12 1,15 2,09 9.464.120,97 30,99% 11,43 15.949.120,97
888.250,00
888.250,00
888.250,00
888.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
888.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
11.300.750,00 3.099.250,00
0,81 11.687.363,04 9.171.942,21 2.515.420,83
0,73 10.529.155,89 8.263.011,00 2.266.144,89
0,66 9.485.726,03 7.444.154,06 2.041.571,97
0,59 8.545.699,12 6.706.445,10 1.839.254,03
0,53 7.698.828,04 6.041.842,43 1.656.985,61
0,48 6.935.881,12 5.443.101,29 1.492.779,83
0,43 6.248.541,55 4.903.694,85 1.344.846,69
2,46
888.250,00
888.250,00
370
Lampiran 5. Hasil analisis optimasi dengan program LINDO MIN DB1 + DA1 + DB2 + DA3 SUBJECT TO 273600 X1 + 109125 X2 + 4130 X3 + 11538 X4 + DB1 - DA1 = 54761840 20 X1 + 6 X2 + 2 X3 + 3 X4 + DB2 >= 38416 8000 X1 + 3660 X2 + 937.5 X3 + 1500 X4 - DA3 <= 2943000 END LP OPTIMUM FOUND AT STEP 4 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 31623.23 VARIABLE DB1 DA1 DB2 DA3 X1 X2 X3 X4 ROW 2) 3) 4)
VALUE 0.000000 0.000000 31623.228516 0.000000 175.354141 0.000000 1642.844727 0.000000
REDUCED COST 1.000012 0.999988 0.000000 0.997921 0.000000 2.952518 0.000000 0.260671
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000
NO. ITERATIONS=
DUAL PRICES 0.000012 -1.000000 0.002079
4
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE DB1 DA1 DB2 DA3 X1 X2 X3 X4
CURRENT COEF 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ALLOWABLE INCREASE INFINITY INFINITY 479.972900 INFINITY 7.567130 INFINITY 0.183119 INFINITY
ALLOWABLE DECREASE 1.000012 0.999988 1.000000 0.997921 112.493942 2.952518 815.041626 0.260671
RIGHTHAND SIDE RANGES ROW 2 3 4
CURRENT ALLOWABLE RHS INCREASE 54761840.000000 45888764.000000 38416.000000 INFINITY 2943000.000000 9487806.000000
ALLOWABLE DECREASE 41796944.000000 31623.228516 1341776.625000
371
Lampiran 6. Hasil analisis Structural Equation Modeling dengan Amos 4.0 Profesional
Variable Summary Your model contains the following variables X12 X13 X21 X22 X23 X31 X32 X33 Y33 Y32 Y31 Y23 Y22 Y21 Y11 Y13 X11 Y12
observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed
endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous
K_PROV K_KAB TPKP KPKP SPKP K_PUS PKP
unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved
endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous
d12 d13 d21 d22 d23 d31 d32 d33 e33 e32 e23 e22 e21 e13 d11 e12 e11 e31 z1 z2
unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved
exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous
372
Lampiran 6. Lanjutan... z7 z3 z4 z5 z6
unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved
exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
50 18 32 25 25
Notes for Group: The model is recursive. Sample size = 176
Notes for Model: Computation of degrees of freedom Number of distinct sample moments Number of distinct parameters to be estimated Degrees of freedom Minimum was achieved
= 171 = 65 = 171 - 65 = 106
373
Lampiran 6. Lanjutan...
Fit Measures: Fit Measure Discrepancy Degrees of freedom P Number of parameters Discrepancy / df
Default model 166.238 111 0.001 65 1.498 CMINDF
Saturated Independence 0.000 601.108 0 153 0.000 171 18 3.929
Macro CMIN DF P NPAR
RMR GFI Adjusted GFI Parsimony-adjusted GFI
0.013 0.907 0.857 0.589
0.000 1.000
0.025 0.702 0.667 0.628
RMR GFI AGFI PGFI
Normed fit index Relative fit index Incremental fit index Tucker-Lewis index Comparative fit index
0.723 0.619 0.887 0.830 0.877
1.000
1.000
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
NFI RFI IFI TLI CFI
Parsimony ratio Parsimony-adjusted NFI Parsimony-adjusted CFI
0.725 0.525 0.636
0.000 0.000 0.000
1.000 0.000 0.000
PRATIO PNFI PCFI
55.238 24.550 93.899 0.950 0.316 0.140 0.537 0.053 0.036 0.070 0.358
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
448.108 376.504 527.277 3.435 2.561 2.151 3.013 0.129 0.119 0.140 0.000
NCP NCPLO NCPHI FMIN F0 F0LO F0HI RMSEA RMSEALO RMSEAHI PCLOSE
296.238 312.071 690.194 567.319 1.693 1.517 1.914 1.783
342.000 383.654 1378.406 1055.153 1.954 1.954 1.954 2.192
637.108 641.493 746.204 712.177 3.641 3.231 4.093 3.666
AIC BCC BIC CAIC ECVI ECVILO ECVIHI MECVI
Noncentrality parameter estimate NCP lower bound NCP upper bound FMIN F0 F0 lower bound F0 upper bound RMSEA RMSEA lower bound RMSEA upper bound P for test of close fit Akaike information criterion (AIC) Browne-Cudeck criterion Bayes information criterion Consistent AIC Expected cross validation index ECVI lower bound ECVI upper bound MECVI Hoelter .05 index Hoelter .01 index
144 157
1.000
54 58
HFIVE HONE
374
Lampiran 7 Hasil analisis InSist_2 Kawasan Pengembangan Perikanan Komponen Dinamika Sistem Perikanan
TNS
Saparua
P. Haruku
Leihitu
Salahutu
Amahai
Tehoru
Nusalaut
K. Masohi
Total
1. Aksesibilitas DPI
1,20
7,45
6,67
10,13
4,36
10,97
9,47
15,19
8,08
73,52
2. Potensi SDI (JTB)
926,61
11019,68
8070,34
14546,20
13886,78
10845,29
10487,91
7798,26
8193,23
85774,30
1. Potensi nelayan optimal
238
6528
4672
13993
3613
8864
9305
1070
2311
50594
2. Proporsi RTP terhadap RT total
2,55
19,79
25,92
20,66
6,80
14,87
20,60
39,88
3,05
154,12
3. Proporsi API terhadap API total
0,79
20,56
9,94
11,79
7,06
7,02
26,13
11,59
5,12
100,00
4. Upaya Tangkap Standar existing
666
4523
6494
6334
3357
4899
5340
3890
7378
42881
5. Volume produksi pelagis kecil
95,9
2688,8
1268
4860,7
3736,7
2404,4
2117,9
809,2
4164,2
22145,80
6. Proporsi jumlah pengolah terhadap nelayan
47,83
2,65
4,07
5,3
16,97
18,49
6,99
56,13
16,18
174,61
7. Proporsi RT pengolah terhadap RTP
12,81
1,67
3,8
6,48
10,69
7,53
6,67
38,45
15,68
103,78
8. Volume poduksi olahan rata-rata
5,8
52,9
43,1
98,1
75,8
101,5
77,2
86,3
67,8
608,50
9. Pelaku usaha pemasaran dan distribusi ikan
12
86
49
89
96
85
67
15
118
617
86,4
2931,2
1792,5
4678,1
6864,9
5782,1
2878,6
1931,9
4899,6
31845,30
1. Realisasi permohonan nelayan
1
9,2
22,8
22,2
14
26,4
33,8
7,4
15,6
152,4
2. Pengembangan armada penangkapan ikan
0
8
23
23
12
19
23
7
9
124
3. Nilai relatif pengembangan infrastruktur 4. Rata-rata pembiayaan program tahunan (Rp.000)
0
5,88
0
17,65
23,53
35,29
11,76
0
5,88
99,99
23.900
710.750
710.750
730.750
730.750
649.990
624.350
624.350
735.750
5.541.340
A. Sub Sistem Alam
B. Sub Sistem Manusia
10. Produktivitas distribusi dan pemasaran ikan C. Sub Sistem Pengelolaan
375
Lampiran 7 Lanjutan ... Komponen Sistem dan Sub Sistem Perikanan A. Sub Sistem Alam 1. Aksesibilitas DPI 2. Potensi SDI (JTB) Indeks Sentralitas SSA B. Sub Sistem Manusia 1. Potensi nelayan optimal 2. Proporsi RTP terhadap RT total 3. Proporsi API terhadap API total 4. Upaya Tangkap Standar existing 5. Volume produksi pelagis kecil 6. Proporsi jumlah pengolah terhadap nelayan 7. Proporsi RT pengolah terhadap RTP 8. Volume poduksi olahan rata-rata 9. Pelaku usaha pemasaran dan distribusi ikan 10. Produktivitas distribusi dan pemasaran ikan Indeks Sentralitas SSM C. Sub Sistem Pengelolaan 1. Realisasi permohonan nelayan 2. Pengembangan armada penangkapan ikan 3. Nilai relatif pengembangan infrastruktur 4. Rata-rata alokasi pembiayaan program tahunan Indeks Sentralitas SSP Indeks Sentralitas Sistem Perikanan (InSist)
TNS 1,63 1,08 1,36
S 10,13 12,85 11,49
Kawasan Pengembangan Perikanan PH L SL A T 9,07 13,78 5,93 14,92 12,88 9,41 16,96 16,19 12,64 12,23 9,24 15,37 11,06 13,78 12,55
N 20,67 9,09 14,88
KM 10,99 9,55 10,27
0,47 1,65 0,79 1,55 0,43 27,39 12,34 0,95 1,94 0,27 4,78
12,90 12,84 20,56 10,55 12,14 1,52 1,61 8,69 13,94 9,20 10,40
9,23 16,82 9,94 15,14 5,73 2,33 3,66 7,08 7,94 5,63 8,35
27,66 13,41 11,79 14,77 21,95 3,04 6,24 16,12 14,42 14,69 14,41
7,14 4,41 7,06 7,83 16,87 9,72 10,30 12,46 15,56 21,56 11,29
17,52 9,65 7,02 11,42 10,86 10,59 7,26 16,68 13,78 18,16 12,29
18,39 13,37 26,13 12,45 9,56 4,00 6,43 12,69 10,86 9,04 12,29
2,11 25,88 11,59 9,07 3,65 32,15 37,05 14,18 2,43 6,07 14,42
4,57 1,98 5,12 17,21 18,80 9,27 15,11 11,14 19,12 15,39 11,77
0,66 0,00 0,00 0,43 0,27 3,23
6,04 6,45 5,88 12,83 7,80 9,88
14,96 18,55 0,00 12,83 11,58 9,27
14,57 18,55 17,65 13,19 15,99 14,92
9,19 9,68 23,53 13,19 13,90 11,91
17,32 15,32 35,29 11,73 19,92 14,38
22,18 18,55 11,76 11,27 15,94 13,24
4,86 5,65 0,00 11,27 5,44 12,23
10,24 7,26 5,88 13,28 9,16 10,93