Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan menggunakan Indikator EAFM
Kajian pada perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara
26 Mei 2012 James Abrahamsz (Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK, Universitas Pattimura) Jan Manuputty (WWF Indonesia)
Daftar Isi 1
Pendahuluan ............................................................................................................................. 4 1.1 Latar Belakang.................................................................................................................... 4 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi .................................................................................................. 7
2
Sekilas Kondisi Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara................................................ 8 2.1 Kecamatan Kei Kecil ........................................................................................................... 9 2.2 Kecamatan Kei Kecil Barat ................................................................................................ 10 2.3 Kecamatan Kei Kecil Timur ............................................................................................... 11 2.4 Kecamatan Kei Besar ........................................................................................................ 12 2.5 Kecamatan Kei BesarSelatan ............................................................................................ 13 2.6 Kecamatan Kei Besar Utara Timur .................................................................................... 14
3
Metode Penilaian Performa Indikator EAFM ............................................................................ 16 3.1 Pengumpulan data ........................................................................................................... 16 3.2 Analisa Komposit.............................................................................................................. 18
4
Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan................................................................................... 20 4.1 Perikanan Berbasis Wilayah Maluku Tenggara .................................................................. 20
5
4.1.1
Domain Habitat ........................................................................................................ 20
4.1.2
Domain Sumberdaya Ikan ......................................................................................... 32
4.1.3
Domain Teknologi Penangkapan Ikan ....................................................................... 40
4.1.4
Domain Sosial ........................................................................................................... 42
4.1.5
Domain Ekonomi ...................................................................................................... 44
4.1.6
Domain Kelembagaan ............................................................................................... 46
Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan ................................................................................ 48 5.1 Analisa menggunakan sistem Flag .................................................................................... 48 5.2 Analisa menggunakan sistem Multidimensional Scaling.................................................... 53
6
Pembahasan ............................................................................................................................ 54 6.1 Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan........................................................ 54 6.2 Performa perikanan yang dikaji ........................................................................................ 56
7
Kesimpulan dan Rekomendasi ................................................................................................. 60 7.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 60 7.1.1
Metode dan analisa indikator EAFM ......................................................................... 60
7.1.2
Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM .......................................................... 60
7.2 Rekomendasi ................................................................................................................... 61 7.2.1
Metode dan analisa indikator EAFM ......................................................................... 61
7.2.2
Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM .......................................................... 62
8
Referensi ................................................................................................................................. 63
9
Lampiran ................................................................................................................................. 64
1 Pendahuluan 1.1
Latar Belakang
Pembangunan perikanan Indonesia ditentukan oleh model pengelolaan perikanan yang dikembangkan. Pengertian pengelolaan perikanan dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 adalah: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”. Mengacu pada konsep tersebut, pengelolaan perikanan terkait erat dengan dua skala pengelolaan sebagaimana dikemukakan oleh Charles (2001) yakni: (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Kedua skala pengelolaan ini memberikan justifikasi tentang sangat dinamisnya pengelolaan perikanan. Dinamika pengelolaan perikanan menyebabkan adanya kebutuhan model pengelolaan sesuai dengan karakteristik kawasan dan sumber daya perikanan yang terdistribusi di setiap kawasan. Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengelolaan secara berkelanjutan. Untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan di dunia, FAO mengembangkan konsep pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach to fisheries/EAF), yaitu: “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB (2012) menyatakan sesuai dengan konsep itu, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan dimensi sumber daya perikanan dan ekosistem, dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan perikanan. Kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting (KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2012). KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB (2012) menginisiasi penerapan EAFM di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia dipilih sebagai pilot project salah satunya adalah di kawasan Kepulauan Kei yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Pilihan terhadap wilayah ini didasarkan pada eksistensi kawasan ini pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 714. Kabupaten Maluku Tengara memiliki 68 pulau kecil dengan panjang garis pantai 714,47 km, juga berpotensi mengelola perairan yang menjadi kewenangannya (0
mil) seluas 3.084,17
km2 Potensi wilayah ini, didukung dengan jumlah nelayan sebanyak 10.581 orang dengan jumlah rumah tangga perikanan sebanyak 4565 KK. Proporsi nelayan sebesar 19,35% dari total jumlah penduduk di wilayah ini masih tergolong rendah jumlahnya terkait orientasi pemanfaatan sumber daya perikanan. Namun demikian seluruh perairan di wilayah menjadi lokasi potensial pemanfaatan perikanan oleh masyarakat dari wilayah sekitar, ataupun oleh armada-armada perikanan yang berasal dari Maluku dan wilayah lain di Indonesia Timur. Terbukanya akses bagi masyarakat dari luar wilayah Maluku Tenggara, berimplikasi pada pemanfaatan sumber daya perikanan yang bersifat merusak. Sejak tahun 1990, aktivitas pemanfaatan sumber daya ikan dengan menggunakan potasium sianida dan bahan peledak telah dilakukan, terutama oleh nelayan-nelayan lokal maupun dari luar wilayah ini. Kondisi ini, secara perlahan telah mendapat perhatian pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara, namun upaya-upaya pengelolaannya secara integratif belum terlihat dengan baik. Kondisi seperti ini, membutuhkan suatu kerangka pengelolaan yang komprehensif dan berkelanjutan. Diharapkan dengan penerapan konsep EAFM pada perikanan di wilayah ini,
pengelolaan perikanan dapat ditata secara baik. Dengan demikian, langkah awal yang penting dilakukan adalah Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan menggunakan Indikator EAFM.
1.2
Tujuan dan Manfaat Studi
Kajian pada perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara ini dilakukan dengan tujuan: (1) melakukan monitoring dan/atau pengumpulan data yang terkait dengan indikator sumberdaya pada setiap domain pengelolaan perikanan; (2) menganalisis status indikator sumberdaya pada setiap domain pengelolaan perikanan; (3) menganalisis nilai komposit pengelolaan perikanan; (4) merumuskan rekomendasi pengembangan strategi penerapan metode dan analisis indikator EAFM.
2 Sekilas Kondisi Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara Dinamika pengelolaan perikanan sangat ditentukan oleh eksistensi sumber daya manusia pengelola. Dalam 24.19 %
konteks sistem perikanan komponen yang paling dekat
26.67 %
dengan pengelolaan perikanan adalah nelayan sebagai komponen utama dalam sub sistem manusia.
10.33 %
8.54%
Jumlah nelayan di Maluku Tenggara tahun 2011 9.44%
20.83 %
mencapai 10.948 orang, dengan distribusi tertinggi pada Kecamatan Kei Kecil, Kei Besar Utara Timur, dan Kei
Kei Kecil Kei Kecil Barat Kei Kecil Timur Kei Besar Kei Besar Selatan Kei Besar Utara Timur
Besar, dengan proporsi rata-rata
20% (Gambar atas).
Distribusi jumlah nelayan secara spasial hampir linier dengan jumlah rumah tangga perikanan (RTP). Dari jumlah RTP dalam tahun 2011 yang mencapai 4.704, jumlah terbanyak Kecamatan Kei Besar Utara Timur, Kei Besar dan Kei Kecil (Gambar
(1)
perikanan
pancing, yang terbatas batas pancing tegak, pancing ulur dan pancing
tonda;
serta
(2)
perikanan jaring insang meliputi
642
49
489
323
48
85
Gambar 2. Distribusi jumlah alat tangkap per jenis
jaring insang hanyut, jaring insang tetap dan jaring insang lingkar.
Sero Tancap
tangkap:
1,296 762
Pengumpul Teripang
alat
2,452
Pengumpul Kerang
Tenggara pada dua kelompok
3,509
Pancing Lainnya
perikanan tangkap di Maluku
3,373
Pancing Tonda
menerangkan konsentrasi usaha
4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 -
Pancing Ulur
Gambar
motorisasi, yakni pukat cincin, bagan dan pancing tonda.
Pancing Tegak
pada
yang telah mendapat tambahan sentuhan teknologi
Bubu
Hasil
digunakan oleh nelayan menunjukkan, tiga diantaranya
Jaring Insang Lingkar
22.85 % Gambar 1. Distribusi proporsi nelayan (atas) dan RTP (bawah)
identifikasi terhadap tiga belas alat tangkap yang umum
Jaring Insang Tetap
10.65 %
didominasi oleh usaha perikanan tradisional. Hasil
Jaring Insang Hanyut
11.37 %
bawah).
Perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara
Bagan
9.06%
Pukat Cincin
20.26 %
25.81 %
Tingginya orientasi aktivitas perikanan tangkap tradisional juga terbukti dari distribusi armada penangkapan ikan yang terfokus pada armada tanpa motor sebanyak 79,51% (Gambar 3). Secara parsial, kondisi perikanan tangkap di wilayah Maluku Tenggara dijelaskan per kecamatan.
Penjelasan
ini
meliputi
produksi,
daerah
penangkapan,
dan
peluang
pengembangannya. Kapal Motor 2.45%
Motor Tempel 18.04% 1400 1200
Tanpa Motor 79.51%
1000 800 600 400 200
Tanpa Motor
Kei Besar Utara Timur
Kei Besar Selatan
Kei Besar
Kei Kecil Timur
Kei Kecil Barat
Kei Kecil
0
Motor Tempel Kapal Motor
Gambar 3. Distribusi armada perikanan tangkap per kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara
2.1.
Kecamatan Kei Kecil
Produksi ikan di Kecamatan Kei Kecil berasal dari operasi penangkapan ikan yang dilakukan dengan menggunakan 13 jenis alat penangkap ikan dan alat tangkap lainnya. Kemampuan produksi ikan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya seperti penguasaan teknologi penangkapan ikan, jumlah, jenis, ukuran alat penangkap ikan dan jumlah trip penangkapan, serta musim penangkapan. Rata-rata produksi ikan dari Kecamatan Kei Kecil dapat mencapai 1.256,19 ton/tahun (Tabel 1). Kontribusi produksi ikan terbesar berasal dari alat tangkap Bagan dan pancing karena kedua jenis alat tangkap ini paling banyak dipergunakan oleh nelayan-nelayan di Kecamatan Kei Kecil. Umumnya nelayan Kecamatan Kei Kecil melakukan aktifitas penangkapan ikan di daerah penangkapan yang merupakan wilayah perairan sekitar Kecamatan Kei Kecil. Luas Perairan pada batas surut terendah hingga
mil laut di Kecamatan Kei Kecil adalah seluas 432,30 km2
namun kadangkala nelayan Kecamatan Kei Kecil juga melakukan aktifitas penangkapan hingga
pada perairan yang merupakan wilayah kelola Provinsi Maluku yakni pada batas wilayah perairan 4-12 mil laut yang memiliki luas perairan 116,20 km2
Dengan demikian, maka
perairan yang dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan Kecamatan Kei Kecil adalah seluas 548,50 km2 Perkiraan kemampuan produksi sumberdaya ikan dari daerah penangkapan ikan di Kecamatan Kei Kecil berdasarkan laju tangkap dan jumlah alat tangkap yakni sebesar 1.045,76 ton/tahun, maka tingkat pemanfaatan ikan di wilayah perairan 0-4 mil laut mencapai 33,53 yang tersedia atau 83,87 Tabel 1.
dari potensi
dari JTB.
Laju Tangkap dan Estimasi Produksi berdasarkan Alat Tangkap di Kecamatan Kei Kecil
Laju Tangkap (kg/trip) Est. Prod. (ton/tahun) Jumlah Trip/ (unit) tahun Min Max Rata2 Min Max Rata2 1. Pukat Cincin 6 64 60,00 1.000,00 300,00 23,04 384,00 115,20 2. Bagan 41 72 10,00 500,00 150,00 29,52 1.476,00 442,80 3. Jaring Insang Hanyut 268 80 3,00 25,00 5,00 64,32 536,00 107,20 4. Jaring Insang Lingkar 190 72 1,00 10,00 3,00 13,68 136,80 41,04 5. Jaring Insang Tetap 242 98 2,00 10,00 5,00 47,43 237,16 118,58 6. Bubu 87 72 0,50 5,00 2,00 3,13 31,32 12,53 7. Pancing Tegak 287 40 3,00 40,00 10,00 34,44 459,20 114,80 8. Pancing Ulur 414 96 2,00 60,00 5,00 79,49 2.384,64 198,72 9. Pancing Tonda 126 96 1,00 20,00 5,00 12,10 241,92 60,48 10. Pancing Lainnya 8 60 2,00 6,00 3,00 0,96 2,88 1,44 11. Pengumpul Kerang 11 96 1,00 8,00 3,00 1,06 8,45 3,17 12. Pengumpul Teripang 26 96 0,50 5,00 2,00 1,25 12,48 4,99 13. Lainnya 235 72 1,00 5,00 2,00 16,92 84,60 33,84 14. Sero Tancap 2 70 1,50 30,00 10,00 0,21 4,20 1,40 Jumlah 1.943 1.084 88,50 1.724,00 505,00 327,54 5.999,65 1.256,19 Sumber: Statistik Perikanan Kab. Maluku Tenggara dan Data Lapangan (2012), diolah No.
2.2.
Alat Tangkap
Kecamatan Kei Kecil Barat
Kemampuan produksi perikanan sangat tergantung selain dari jenis, jumlah dan dimensi alat tangkap, juga dari aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yakni frekuensi operasi penangkapan dan musim penangkapan. Kemampuan tangkap jenis alat penangkapan ikan di Kecamatan Kei Kecil Barat, ternyata sangat bervariasi yakni rata-rata berkisar antara kg/trip sampai 60 kg/trip. Hal ini disebabkan oleh penggunaan alat penangkapan ikan yang beragam dan masih tradisional dengan skala usaha yang juga masih kecil. Estimasi produksi berdasarkan jumlah alat tangkap dari jenis-jenis alat tangkap dan laju tangkapnya masingmasing di Kecamatan Kei Kecil Barat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Laju Tangkap dan Estimasi Produksi Berdasarkan Alat Tangkap di Kecamatan Kei Kecil Barat
Est. Prod. (ton/tahun) Jumlah Trip/ Laju Tangkap (kg/trip) (unit) tahun Min Max Rata2 Min Max Rata2 1. Jaring Insang Hanyut 51 88 3,00 25,00 5,00 13,46 112,20 22,44 2. Jaring Insang Lingkar 81 80 3,00 20,00 3,00 19,44 129,60 19,44 3. Jaring Insang Tetap 158 98 5,00 10,00 5,00 77,42 154,84 77,42 4. Bubu 9 64 1,00 5,00 2,00 0,58 2,88 1,15 5. Pancing Tegak 328 40 5,00 40,00 10,00 65,60 524,80 131,20 6. Pancing Ulur 316 96 3,00 60,00 5,00 91,01 1.820,16 151,68 7. Pancing Tonda 268 72 3,00 50,00 8,00 57,89 964,80 154,37 8. Pancing Lainnya 298 60 2,00 6,00 3,00 35,76 107,28 53,64 9. Pengumpul Kerang 9 96 1,00 8,00 3,00 0,86 6,91 2,59 10. Pengumpul Teripang 17 96 0,50 5,00 2,00 0,82 8,16 3,26 11. Lainnya 135 72 1,00 5,00 2,00 9,72 48,60 19,44 Jumlah 1.670 862 27,50 234,00 48,00 372,56 3.880,23 636,64 Sumber: Statistik Perikanan Kab. Maluku Tenggara dan Data Lapangan (2012), diolah No.
Alat Tangkap
Produksi ikan di Kecamatan Kei Kecil Barat dihasilkan oleh
(delapan) jenis alat tangkap dan
alat tangkap lainnya. Jumlah alat tangkap dan capaian trip penangkapan menentukan kemampuan produksi ikan, selain faktor-faktor lainnya seperti keterampilan dan pengetahuan nelayan, kecukupan bahan bakar, ketersediaan ikan, musim, dan sebagainya. Produksi ikan dari aktifitas penangkapan ikan oleh para nelayan dari Kecamatan Kei Kecil Barat dapat mencapai rata-rata 636,64 ton/tahun. Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Kei Kecil Barat mencakup perairan di sekitarnya pada batas wilayah 0-4 mil laut, dengan luas 847,96 km2 Namun, nelayan dari Kecamatan Kei Kecil Barat mengoperasikan alat penangkap ikan hingga di luar batas wilayah perairan tersebut hingga pada wilayah perairan 4-12 mil laut yang luasnya 1.236,96 km2 Dengan demikian, daerah penangkapan ikan bagi nelayan Kecamatan Kei Kecil Barat adalah perairan di sekitanya seluas 2.084,92 km2 Produksi ikan yang dihasilkan dari perairan sekitar Kecamatan Kei Kecil Barat, dapat mencapai 609,82 ton/tahun. Hal ini berarti pemanfaatan sumberdaya ikan dari aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan setempat baru mencapai 7,85 yang tersedia atau 19,63
2.3.
dari potensi ikan
dari JTB.
Kecamatan Kei Kecil Timur
Produksi ikan dari Kecamatan Kei Kecil Timur diperkirakan mencapai 648,33 ton/tahun melalui operasi penangkapan
jenis alat penangkap ikan, termasuk pengumpul kerang dan
teripang serta alat tangkap lainnya yang dipergunakan oleh para nelayan setempat (Tabel 3). Produksi rata-rata sebagian besar dihasilkan dari operasi penangkapan oleh para nelayan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Tabel 3.
Laju Tangkap dan Estimasi Produksi berdasarkan Alat Tangkap di Kecamatan Kei Kecil Timur
Est. Prod. (ton/tahun) Jumlah Trip/ Laju Tangkap (kg/trip) (unit) tahun Min Max Rata2 Min Max Rata2 1. Jaring Insang Hanyut 76 66 2,00 15,00 5,00 10,03 75,24 25,08 2. Jaring Insang Lingkar 93 72 1,00 10,00 3,00 6,70 66,96 20,09 3. Jaring Insang Tetap 129 90 1,00 20,00 3,00 11,61 232,20 34,83 4. Bubu 42 64 1,00 5,00 2,00 2,69 13,44 5,38 5. Pancing Tegak 424 50 4,00 40,00 7,00 84,80 848,00 148,40 6. Pancing Ulur 441 120 3,00 10,00 5,00 158,76 529,20 264,60 7. Pancing Tonda 180 72 3,00 50,00 10,00 38,88 648,00 129,60 8. Pengumpul Kerang 10 96 1,00 8,00 3,00 0,96 7,68 2,88 9. Pengumpul Teripang 13 96 0,50 5,00 2,00 0,62 6,24 2,50 10. Lainnya 104 72 1,00 5,00 2,00 7,49 37,44 14,98 Jumlah 1.512 798 17,50 153,00 42,00 322,54 2.290,25 648,33 Sumber: Statistik Perikanan Kab. Maluku Tenggara dan Data Lapangan (2012), diolah No.
Alat Tangkap
Perairan sekitar Kecamatan Kei Kecil Timur yang menjadi daerah penangkapan ikan bagi nelayan setempat pada wilayah 0-4 mil laut adalah seluas 158,39 km2. Nelayan-nelayan setempat ada kalanya juga mengoperasikan alat tangkap hingga pada wilayah 4-12 mil laut dengan luas 177,42 km2 Dengan demikian, sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan melalui aktifitas operasi penangkapan ikan pada daerah penangkapan ikan seluas 335,81 km2 Berdasarkan potensi dan produksi ikan, maka pemanfaatan sumberdaya ikan dari perairan sekitar Kecamatan Kei Kecil Timur adalah sebesar 45,39
dari potensi yang tersedia di wilayah
0-4 mil laut dengan JTB telah tercapai. Hal ini berarti sumberdaya ikan yang masih dapat dimanfaatkan, dapat dilakukan hanya dengan mengakses daerah penangkapan yang lebih jauh di perairan sekitarnya.
2.4.
Kecamatan Kei Besar
Nelayan Kei Besar berkemampuan untuk menghasilkan produksi ikan rata-rata sebanyak 2.026,66 ton/tahun, dengan menggunakan 10 jenis alat penangkap ikan utama dan pengumpul ikan lainnya, termasuk pengumpul kerang dan teripang. Kontribusi kemampuan produksi ikan terbanyak oleh alat tangkap pancing yang dapat menghasilkan ikan sebanyak 1.413,92 ton/tahun, kemudian oleh alat tangkap jaring insang sebanyak 419,97 ton/tahun (Tabel 4).
Luas daerah penangkapan ikan di sekitar Kecamatan Kei Besar pada wilayah perairan 0-4 mil laut adalah 781,38 km2 dan pada wilayah perairan 4-12 mil laut yang merupakan wilayah kelola Provinsi Maluku adalah 1.250,40 km2 Semua perairan ini dapat dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan-nelayan setempat sejalan dengan penerapan teknologi penangkapan ikan yang ada. Dengan demikian, mereka dapat mengakses daerah penangkapan ikan pada perairan seluas 2.031,78 km2 yang ada di sekitarnya. Tabel 4.
Laju Tangkap dan Estimasi Produksi berdasarkan Alat Tangkap di Kecamatan Kei Besar
Est. Prod. (ton/tahun) Jumlah Trip/ Laju Tangkap (kg/trip) (unit) tahun Min Max Rata2 Min Max Rata2 1. Bagan 8 120 10,00 500,00 150,00 9,60 480,00 144,00 2. Jaring Insang Hanyut 194 96 3,00 60,00 7,00 55,87 1.117,44 130,37 3. Jaring Insang Lingkar 160 72 2,00 20,00 5,00 23,04 230,40 57,60 4. Jaring Insang Tetap 290 160 1,00 15,00 5,00 46,40 696,00 232,00 5. Bubu 109 72 0,50 5,00 2,00 3,92 39,24 15,70 6. Pancing Tegak 1020 80 5,00 10,00 5,00 408,00 816,00 408,00 7. Pancing Ulur 1015 60 2,00 10,00 5,00 121,80 609,00 304,50 8. Pancing Tonda 705 96 5,00 20,00 10,00 338,40 1.353,60 676,80 9. Pancing Lainnya 114 72 2,00 20,00 3,00 16,42 164,16 24,62 10. Pengumpul Kerang 7 96 1,00 8,00 3,00 0,67 5,38 2,02 11. Pengumpul Teripang 10 96 0,50 5,00 2,00 0,48 4,80 1,92 12. Lainnya 395 72 0,50 2,00 1,00 14,22 56,88 28,44 13. Sero Tancap 2 70 1,50 30,00 5,00 0,21 4,20 0,70 Jumlah 4.029 1.162 34,00 705,00 203,00 1.039,03 5.577,10 2.026,66 Sumber: Statistik Perikanan Kab. Maluku Tenggara dan Data Lapangan (2012), diolah No.
Alat Tangkap
Potensi ikan yang tersedia di perairan 0-4 mil laut Kecamatan Kei Besar sebesar 5.048,58 ton/tahun dengan JTB sebesar 2.018,84 ton/tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan dari perairan ini mencapai 39,44
2.5.
dari potensi yang tersedia atau 98,63
dari JTB.
Kecamatan Kei Besar Selatan
Kemampuan rata-rata produksi ikan dari operasi penangkapan dengan menggunakan delapan jenis alat tangkap dan pengumpul ikan lainnya, termasuk pengumpul kerang dan teripang oleh para nelayan di Kecamatan Kei Besar Selatan adalah sebesar 871,52 ton/tahun (Tabel 5). Kontribusi produksi ikan terbesar di kecamatan ini dari hasil tangkapan pancing sebanyak 680,81 ton/tahun dan juga cukup besar dari jaring insang tetap sebanyak 165,38 ton/tahun. Luas perairan 0-4 mil laut di wilayah Kecamatan Kei Besar Selatan adalah 510,76 km2 sementara perairan 4-12 mil laut memiliki luas 848,44 km2 Dengan demikian, perairan sekitar Kecamatan Kei Besar Selatan yang dapat dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh
nelayan-nelayan setempat seluas 1.359,20 km2 Adanya kapal/ perahu penangkap ikan yang dilengkapi dengan tenaga mesin sebagai penggeraknya, memungkinkan nelayan-nelayan setempat dapat menjangkau semua perairan ini. Tabel 5.
Laju Tangkap dan Estimasi Produksi berdasarkan Alat Tangkap di Kecamatan Kei Besar Selatan
Est. Prod. (ton/tahun) Jumlah Trip/ Laju Tangkap (kg/trip) (unit) tahun Min Max Rata2 Min Max Rata2 1. Jaring Insang Hanyut 47 64 3,00 50,00 8,00 9,02 150,40 24,06 2. Jaring Insang Lingkar 70 60 1,00 10,00 5,00 4,20 42,00 21,00 3. Jaring Insang Tetap 188 80 2,00 10,00 8,00 30,08 150,40 120,32 4. Bubu 69 50 1,00 5,00 2,00 3,45 17,25 6,90 5. Pancing Tegak 507 75 2,00 20,00 5,00 76,05 760,50 190,13 6. Pancing Ulur 495 96 2,00 40,00 5,00 95,04 1.900,80 237,60 7. Pancing Tonda 408 60 20,00 50,00 10,00 489,60 1.224,00 244,80 8. Pancing Lainnya 69 40 2,00 6,00 3,00 5,52 16,56 8,28 9. Pengumpul Kerang 6 96 1,00 8,00 3,00 0,58 4,61 1,73 10. Pengumpul Teripang 12 96 0,50 5,00 2,00 0,58 5,76 2,30 11. Lainnya 200 72 0,50 2,00 1,00 7,20 28,80 14,40 Jumlah 2.071 789 35,00 206,00 52,00 721,32 4.301,08 871,52 Sumber: Statistik Perikanan Kab. Maluku Tenggara dan Data Lapangan (2012), diolah No.
Alat Tangkap
Total potensi ikan yang diperkirakan tersedia di perairan 0-4 mil laut Kecamatan Kei Besar Selatan adalah sebesar 3.207,51 ton/tahun dengan JTB sebesar 1.283,41 ton/tahun. Dengan teknologi penangkapan ikan pada saat ini, nelayan-nelayan setempat dapat memanfaatkan 850,71 ton/tahun (26,52 %) dari potensi ikan yang ada atau 66,29
dari JTB. Dengan
demikian, diperkirakan sedikitnya masih tersedia ikan sebanyak 432,7 ton/tahun yang dapat dieksploitasi.
2.6.
Kecamatan Kei Besar Utara Timur
Kemampuan rata-rata produksi ikan oleh nelayan-nelayan Kecamatan Kei Besar Utara Timur dengan menggunakan
jenis alat tangkap termasuk pengumpul kerang dan teripang serta alat
tangkap lainnya adalah sebesar 871,36 ton/tahun (Tabel 6). Kontribusi terbesar kepada produksi ikan di kecamatan ini berasal dari hasil tangkapan pancing sebanyak 602,86 ton/tahun dan jaring insang sebanyak 257,19 ton/tahun. Luas perairan yang dapat dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan-nelayan Kecamatan Kei Besar Utara Timur adalah 1.309,36 km2 terdiri dari 353,38 km2 luas perairan pada batas wilayah 0-4 mil laut dan 955,98 km2 untuk perairan 4-12 mil laut. Bila dikaji berdasarkan penggunaan teknologi penangkapan ikan oleh nelayan setempat, dapat dikatakan
bahwa semua wilayah perairan ini dapat diakses sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan dari beberapa desa yang memiliki kapal/perahu bertenaga mesin penggerak. Tabel 6.
Laju Tangkap dan Estimasi Produksi Berdasarkan Alat Tangkap di Kecamatan Kei Besar Utara Timur
Est. Prod. (ton/tahun) Jumlah Trip/ Laju Tangkap (kg/trip) (unit) tahun Min Max Rata2 Min Max Rata2 1. Jaring Insang Hanyut 126 80 5,00 50,00 10,00 50,40 504,00 100,80 2. Jaring Insang Lingkar 48 64 2,00 30,00 5,00 6,14 92,16 15,36 3. Jaring Insang Tetap 289 122 1,00 15,00 4,00 35,26 528,87 141,03 4. Bubu 7 60 1,00 5,00 3,00 0,42 2,10 1,26 5. Pancing Tegak 807 72 2,00 25,00 4,00 116,21 1.452,60 232,42 6. Pancing Ulur 828 90 2,00 10,00 3,00 149,04 745,20 223,56 7. Pancing Tonda 765 96 1,00 15,00 2,00 73,44 1.101,60 146,88 8. Pengumpul Kerang 5 96 1,00 8,00 3,00 0,48 3,84 1,44 9. Pengumpul Teripang 7 96 0,50 5,00 2,00 0,34 3,36 1,34 10. Lainnya 101 72 0,50 2,00 1,00 3,64 14,54 7,27 Jumlah 2.983 848 16,00 165,00 37,00 435,36 4.448,27 871,36 Sumber: Statistik Perikanan Kab. Maluku Tenggara dan Data Lapangan (2012), diolah No.
Alat Tangkap
Total potensi ikan yang diperkirakan tersedia di perairan 0-4 mil laut Kecamatan Kei Besar Utara Timur adalah sebesar 1.954,83 ton/tahun dengan JTB sebesar 782,34 ton/tahun. Dengan teknologi penangkapan ikan pada saat ini, nelayan-nelayan setempat dapat memanfaatkan 43,95
dari potensi ikan yang ada dan telah mencapai JTB.
3 Metode Penilaian Performa Indikator EAFM 3.1
Pengumpulan data
Lokasi pelaksanaan Pilot Tes EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara, dengan alokasi waktu pengambilan data mulai tanggal 19 28 Mei 2012. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara, dan hasil-hasil penelitian pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Pengumpulan data untuk penilaian domain habitat dan ekosistem, sumber daya ikan, teknik penangkapan dan kelembagaan bersumber dari hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasi. Hal ini terutama dalam bentuk laporan-laporan hasil kajian tentang data dan informasi kelautan dan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara. Pengumpulan data lapangan yang berkaitan dengan domain, sumber daya ikan, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan dilakukan dengan pendekatan wawancara semi terstruktur. Responden yang dipilih meliputi: nelayan, staf dinas kelautan dan perikanan serta Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara dan staf PPN Tual. Sampel responden nelayan dipilih pada nelayan yang ada pada wilayah kecamatan Kei Kecil sebanyak 53 orang yang terdistribusi di tiga lokasi, masing-masing dusun Selayar, Desa Namar dan Ohoider. Responden yang terkait dengan domain kelembagaan sebanyak 21 orang, baik dari Dinas Kelautan dan Perikanan dan Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara serta PPN Tual. Distribusi sumber data untuk setiap indikator digambarkan secara parsial untuk setiap domain sebagai berikut: (1) Domain Habitat dan Ekosistem Indikator Kualitas perairan
Sumber data Data sekunder kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2012 dan Citra MODIS April 2012
Status lamun
Data sekunder kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2012
Status Mangrove
Data sekunder: kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2012
Lanjutan Domain Habitat dan Ekosistem... Indikator Status Terumbu Karang
Sumber data Data sekunder: kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2012, Wawancara nelayan, staf WWF
Habitat unik/khusus (spawning ground nursery ground feeding ground, upwelling).
Data sekunder: kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2012, Wawancara nelayan
Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
Data sekunder: kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2012
Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Wawancara, Data sekunder: WWF (2010) dan kajian data dan informasi kelautan dan perikanan Kabupaten Maluku Tenggara FPIK Unpatti dan DKP Maluku Tenggara (2010)
(2) Domain Sumber Daya Ikan Indikator CPUE Baku (Standarize CPUE)
Sumber data Statistika Perikanan Kab. Maluku Tenggara 2001 – 2010 dan Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Ukuran Ikan
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile) yang ditangkap
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Komposisi Spesies
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
"Range Collapse" sumberdaya Ikan
Statistik Perikanan Maluku Tenggara 2001 - 2010 dan Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Spesies ETP
Statistik Perikanan Maluku Tenggara 2001 - 2010 dan Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
(3) Domain Teknik Penangkapan Ikan Indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
Sumber data Statistika Perikanan Kab. Maluku Tenggara 2001 – 2010 dan Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Fishing capacity dan Effort
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Selektivitas penangkapan
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
Statistik Perikanan Maluku Tenggara 2001 2010 dan Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Wawancara (DKP Maluku Tenggara dan PPN Tual)
(4) Domain Sosial Indikator Partisipasi pemangku kepentingan
Sumber data Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Konflik perikanan
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
(5) Domain Ekonomi Indikator Kepemilikan aset
Sumber data Wawancara (DKP Maluku Tenggara dan Nelayan)
Nilai Tukar Nelayan (NTN)
Data PUSDATIN Tahun 2011
Pendapatan rumah tangga (RTP)
Wawancara (Nelayan)
Saving rate
Wawancara (DKP Maluku Tenggara dan Nelayan)
(6) Domain Kelembagaan Indikator Kepatuhan terhadap prinsipprinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
Sumber data
Wawancara (DKP Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Wawancara (DKP dan Bappeda Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Mekanisme Kelembagaan
Wawancara (DKP dan Bappeda Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Rencana pengelolaan perikanan
Wawancara (DKP dan Bappeda Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Kapasitas pemangku kepentingan
3.2
Wawancara (DKP dan Bappeda Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan) Wawancara (DKP dan Bappeda Maluku Tenggara, PPN Tual dan Nelayan)
Analisa Komposit
Analisis komposit menggunakan pendekatan Teknis Flag Modeling. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit menurut Adrianto et al (2005) dalam KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB (2012), dengan formulasi sebagai berikut:
(1) Tentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (habitat, sumberdaya ikan, teknis penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan) (2) Kaji keragaan masing-masing WPP untuk setiap indikator yang diuji (3) Berikan skor untuk setiap keragaan indikator pada masing-masing WPP (skor Likert berbasis ordinal 1,2,3) (4) Tentukan bobot untuk setiap indikator (5) Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek untuk setiap WPP dengan model fungsi: CAi
(CAni….n=1,2,3…..m)
(6) Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM pada masing-masing WPP dengan model fungsi sebagai berikut C-WPPi
(CAiy……y 1,2,3……z;
11)
Seluruh indikator yang dinilai, dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian diekspresikan dalam bentuk model bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Nilai Skor Komposit
Model Bendera
Deskripsi
100-125
Buruk
126-150
Kurang Baik
151-200
Sedang
201-250
Baik
256-300
Baik Sekali
Sumber: KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB (2012)
4
Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan
4.1 Perikanan Berbasis Wilayah Maluku Tenggara 4.1.1
Domain Habitat
(1) Indikator 1: Kualitas Perairan Indikator ini dijelaskan dalam tiga komponen, masing-masing: eksistensi limbah termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3), tingkat kekeruhan terkait laju sedimentasi di perairan dan eutrofikasi. Ketiga komponen ini menjadi dasar dalam penentuan tingkat kualitas perairan. Pertama tingkat ketercemaran lingkungan perairan di wilayah ini tidak diukur. Namun demikian, dalam identifikasi visual yang dilakukan pada beberapa lokasi potensial, perairan di wilayah ini tidak memperlihatkan gejala tercemar berat maupun sedang. Di sisi lain, hasil penelusuran data sekunder menemukan beberapa parameter kualitas perairan yang berbasis pada kriteria bakunya seperti di pada Tabel 8. Data ini menunjukkan kisaran nilainya berada dalam kriteria Kelas I, sehingga termasuk dalam kriteria tidak tercemar Tabel 8. Beberapa parameter kualitas air sesuai kriteria baku mutu air (PP. N0. 82/2001) Perairan Kecamatan Parameter
Kei Kecil
Kei Kecil Barat
Kei Kecil Timur
Kei Besar
Kei Besar Selatan
Kei Besar Utara Timur
pH
7,16 7,34
7,27 7,29
7,81 8,08
7,61 8,06
7,97
7,65 7,83
DO
5,50 – 6,50
4,69 – 5,11
5,50 – 6,50
4,12 - 5,18
4,32 – 5,09
4,67 – 5,50
Khrom
0,000 - 0,0001
0,000 - 0,0001
0,000 - 0,0002
tad
tad
Tad
Tembaga
0,0001 - 0,001
0,0001 - 0,001
0,0001
tad
tad
Tad
Nitrit
0,0001 - 0,003
0,0001- 0,002
0,001- 0,005
tad
0,001 – 0,013
0,000 – 0,005
Besi
tidak terdeteksi
tad
tad
0,01 – 0,25
tad
tad
Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012), diolah
Kedua
distribusi tingkat
kekeruhan perairan
30
dinyatakan secara spasial untuk enam wilayah kecamatan. Kisaran nilai kekeruhan di perairan ini antara 3,33 6,33
mg/m3
nilai terendah di perairan
Kecamatan Kei Besar dan tertinggi di Kecamatan Kei Kecil.
20
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat
10
kekeruhan di wilayah ini masih berada dalam kriteria kurang dari 10 mg/m konsentrasi rendah
atau dalam
0
Kei Kecil, 6.33
Kei Besar Kei Selatan, Besar 3.95 Utara Kei Kecil Kei Timur, Barat, Besar, 4.03 5.29 3.33 Kei Kecil Timur, 5.76
Gambar 4. Distribusi tingkat kekeruhan di perairan Maluku Tenggara per kecamatan
Ketiga eutrofikasi yang ditunjukkan dengan
distribusi
kandungan
klorofil-a di perairan diakomodasi secara spasial melalui pendeteksian dengan menggunakan sensor satelit Citra MODIS liputan April 2012 (Gambar 5). Hasil liputan citra MODIS memperlihatkan kandungan
Gambar 5. Distribusi kandungan klorofilMaluku Tenggara
di perairan
klorofil-a
di
perairan
Ttenggara
cukup
Maluku
tinggi
kisaran nilai antara 1,5
dengan
mg/m3
Cuplikan pada perairan Kei Kecil menunjukkan nilai rata-rata klorofil-a sebesar 3,25 mg/m3 di perairan Kecil Barat 3,25 mg/m3 dan di Kei Kecil Timur sekitar 3,20 mg/m3 Konsentrasi yang tinggi dijumpai pada perairan pesisir Barat dan Utara termasuk teluk dan selat sementara konsentrasi klorofil-a sedikit menurun pada perairan sekitar outlet Selat Rosenberg sampai di tengah Selat Nerong. Hasil ini termasuk dalam kategori dimana perairan berpotensi terjadi eutrofikasi (2) Indikator 2: Status Lamun Penilaian status lamun dilakukan dengan pendekatan dua parameter, yaitu: tingkat tutupan dan keanekaragaman. Kedua parameter ini dikaji pada beberapa lokasi dengan wilayah contoh pada kecamatan Kei Kecil. Hal ini dilakukan untuk membuktikan adanya perbedaan distribusi secara spasial. Pertama hasil survei yang dilakukan pada perairan pantai Desa Ohoililir menemukan sebanyak tujuh jenis lamun. Jenis-jenis tersebut yaitu E. acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, H. minor, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis C. rotundata, T. hemprichii dan H. uninervis merupakan jenis-jenis dengan jumlah tegakan terbanyak (di atas 100 tegakan) yaitu masingmasing 130 tegakan, 113 tegakan dan 107 tegakan. Jenis C. rotundata, T. hemprichii dan H. uninervis memiliki kerapatan yang tertinggi yaitu 11,82 tegakan/m2 10,27 tegakan/m2 dan 9,72 tegakan/m2 serta terendah diwakili oleh jenis H. minor sebanyak 0,36 tegakan/m2(Tabel 9). Frekuensi kehadiran jenis lamun tertinggi diwakili oleh jenis C. rotundata, T. hemprichii dan E. acoroides dengan nilai frekuensi kehadiran sebesar 0,91. Sementara nilai frekuensi kehadiran terendah diwakili oleh jenis H. pinifolia dan H. minor sebesar 0,09. E. acoroides memiliki nilai
tutupan yang sangat besar yakni 75
dan terendah pada H. minor dengan nilai sebesar 15%.
Keberadaan jenis E. acoroides dengan persen tutupan tertinggi disebabkan morfologinya yang memungkinkannya untuk memiliki persen tutupan yang besar. Sementara jenis H. minor memiliki persen tutupan terendah karena sifat penyebarannya yang biasanya bersifat individual/tidak mengelompok dan tidak merata. Tabel 9. Jenis, kerapatan, frekuensi kehadiran dan persen tutupan lamun di Kecamatan Kei Kecil No.
Jenis
Lokasi 1: Desa Ohoililir 1 Cymodocea rotundata 2 Thalassia hemprichii 3 Enhalus acoroides 4 Halodule pinifolia 5 Halophila ovalis 6 Halodule uninervis 7 Halophila minor Rata-Rata di Desa Ohoililir Lokasi 2 Pulau Ngaf 1. Cymodocea rotundata 2. Thalassia hemprichii 3. Halophila ovalis 4. Halodule uninervis 5. Thalassodendron ciliatum Rata-Rata di Pulau Ngaf Lokasi 3 Tanjung Lajuun 1 Halophila decipiens 2 Thalassia hemprichii 3 Enhalus acoroides 4 Halodule pinifolia 5 Halophila ovalis 6 Halodule uninervis 7 Syringodium isoetifolium Rata-Rata di Tanjung Lajuun Lokasi 4 Pulau Ohoiwa 1. Cymodocea rotundata 2. Thalassia hemprichii 3. Enhalus acoroides 4. Halodule pinifolia 5. Halophila ovalis 6. Halodule uninervis 7. Syringodium isoetifolium Rata-Rata di Desa Ohoililir Rata-Rata seluruh lokasi
Jumlah Tegakan
Kerapatan
Frekuensi Kehadiran
Tutupan
130 113 72 43 64 107 4
11,82 10,27 6,55 3,91 5,82 9,72 0,36
0,91 0,91 0,91 0,09 0,64 0,64 0,09
65 65 75 55 60 65 15 57,14
468 378 83 74 297
18,72 15,12 3,32 2,96 11,88
0,88 0,76 0,28 0,16 0,4
65 65 60 65 70 65,00
43 245 50 55 77 232 128
4,3 24,5 5 5,5 7,7 23,2 12,8
0,2 0,8 0,5 0,2 0,3 0,9 0,4
45 75 75 45 55 70 75 62,86
344 391 235 41 103 35 137
20,24 23 13,82 2,41 6,06 2,06 8,06
0,88 0,82 1 0,06 0,47 0,06 0,35
75 75 75 50 65 45 60 63,57 62,14
Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012), diolah
Sekitar lima jenis lamun yang ditemukan pada habitat perairan pulau Ngaf yaitu jenis H. uninervis, H. ovalis, Thalassodendron ciliatum, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis C. rotundata merupakan jenis yang ditemukan dengan jumlah tegakan paling tinggi yaitu 468 tegakan sementara untuk jenis dengan jumlah tegakan terendah diwakili oleh jenis Halodule uninervis
dengan jumlah tegakan sebanyak 74 tegakan. Sementara masih senada dengan kondisi jumlah tegakan, kerapatan lamun tertinggi diwakili juga oleh jenis C. rotundata dengan jumlah kerapatan sebanyak 18,72 tegakan/m2 sedangkan yang terendah ditemukan juga pada jenis H. uninervis dengan jumlah kerapatan sebanyak 2,96 tegakan/m2 Frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh jenis C. rotundata dengan nilai frekuensi kehadiran sebesar 0,88 diikuti oleh jenis T. hemprichii dengan nilai 0,76. Sementara frekuensi kehadiran terendah diwakili oleh jenis H. uninervis dengan nilai frekuensi kehadiran sebesar 0,16. Persen tutupan lamun tertinggi ditemukan pada jenis T. ciliatum dengan nilai persen tutupan sebesar 70%. Tipe substrat yang terdiri dari pasir dan patahan karang merupakan tipe substrat yang disenangi oleh jenis lamun ini untuk tumbuh dan berkembang. Penyebarannya yang berkelompok dan ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lamun jenis ini memiliki persen tutupan yang tinggi. Potensi lamun di perairan pantai Tanjung Lajuun sebanyak tujuh jenis. Kondisi perairan yang agak terlindung menjadi penyebab jenis lamun di lokasi ini lebih banyak daripada yang ditemukan di lokasi sebelumnya (Pulau Ngaf). Padahal secara geografis, letak kedua lokasi ini cukup berdekatan. Ketujuh jenis lamun tersebut yaitu E. acoroides, H. decipiens, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium dan T. hemprichii Jumlah tegakan terbanyak ditemukan pada jenis T. hemprichii yaitu sebanyak 245 tegakan sedangkan jumlah tegakan terendah pada jenis H. decipiens yaitu sebanyak 43 tegakan. Hal yang sama berlaku juga pada kondisi kerapatan lamun dimana T. hemprichii memiliki kerapatan tertinggi yaitu 24,5 tegakan/m2 sedangkan yang terendah diwakili oleh jenis H. decipiens dengan kerapatan jenis 4,3 tegakan/m2 Frekuensi kehadiran tertinggi ternyata ditemukan pada jenis H. uninervis dengan nilai 0,9. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi substrat perairan ini yang terdiri dari pasir dan patahan karang yang memang merupakan preferensi dari jenis lamun ini untuk hidup, berkembang dan membentuk koloni tunggal. Sementara frekuensi kehadiran terendah ditemukan pada jenis H. decipiens Persen tutupan tertinggi ditemukan pada jenis S. isoetifolium sebanyak 75% sementara H. decipiens dan Halodule pinifolia merupakan jenis dengan persen tutupan terendah. Pulau Ohoiwa merupakan salah satu pulau yang agak unik dibandingkan lokasi-lokasi lain yang dijadikan titik pengambilan sampel lamun. Hal ini dikarenakan pada pulau ini tekanan antropogenik manusia cukup tinggi dan juga karena perairannya dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara. Dari hasil survei ditemukan sebanyak tujuh jenis lamun yang ditemukan. Jenis-jenis tersebut yaitu E. acoroides, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium, C.
rotundata dan T. hemprichii Dua jenis lamun yang disebutkan terakhir merupakan jenis lamun dengan jumlah tegakan tertinggi yaitu masing-masing 344 dan 391 tegakan. Sementara jenis H. uninervis memiliki jumlah tegakan terendah yaitu 35 tegakan. Sejalan dengan kondisi jumlah tegakan, nilai kerapatan lamun pada lokasi ini didominasi oleh jenis T. hemprichii dengan nilai kerapatan 23 tegakan/m2 sementara yang terendah oleh jenis H. uninervis yaitu sebanyak 2,06 tegakan/m2 Frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada jenis E. acoroides walaupun dilihat dari jumlah tegakan, jenis ini bukan merupakan jenis dengan jumlah tegakan yang dominan. Hal ini dikarenakan jenis ini hampir selalu ditemukan pada setiap kotak pengamatan. Jenis substrat yang agak berlumpur, memang menjadi lokasi yang ideal bagi lamun jenis ini. Sementara jenis H. pinifolia sekalipun merupakan jenis lamun pioner, merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran paling rendah. Sementara untuk persen tutupan, yang paling tinggi tetap didominasi oleh E. acoroides sedangkan yang terendah diwakili oleh jenis H. uninervis Dari seluruh lokasi yang disurvey, lokasi pertama menunjukkan rata-rata persen penutupan lamun sebesar 57,14%, lokasi kedua 65,00%, lokasi ketiga 62,86%, dan lokasi keempat 63,57%. Dengan demikian, rata-rata persen tutupan lamun untuk kecamatan Kei Kecil mencapai 62,14%. Hasil ini berada pada kriteria persen tutupan lamun yang tinggi karena lebih dari 50% Kedua distribusi nilai keanekaragaman lamun dikaji dari distribusi nilainya pada keempat lokasi survey di wilayah contoh, Kecamatan Kei Kecil. Hasil perhitungannya menunjukkan distribusi nilai keenakeragaman lamun di perairan ini rata-rata lebih dari satu dan kurang dari tiga. Kisaran nilai keenakeragaman lamun antara 1,4031 sampai dengan 1,7601 (Tabel 10). Distribusi nilai ini termasuk dalam kategori sedang karena nilai H’ berada di antara satu dan tiga Tabel 10. Distribusi nilai keanekagaraman lamun pada empat lokasi di Kecamatan Kei Kecil No.
Jenis
Lokasi 1: Desa Ohoililir 1 Cymodocea rotundata 2 Thalassia hemprichii 3 Enhalus acoroides 4 Halodule pinifolia 5 Halophila ovalis 6 Halodule uninervis 7 Halophila minor
Jumlah Tegakan
Pi
ln pi
130 113 72 43 64 107 4 533
0,2439 0,2120 0,1351 0,0807 0,1201 0,2008 0,0075
-1,4110 -1,5511 -2,0019 -2,5173 -2,1196 -1,6057 -4,8922 H’
pi ln pi 0,3441 0,3289 0,2704 0,2031 0,2545 0,3223 0,0367 1,7601
Tabel 10. Lanjutan No.
Jenis
Lokasi 2: Pulau Ngaf 1 Cymodocea rotundata 2 Thalassia hemprichii 3 Halophila ovalis 4 Halodule uninervis 5 Thalassodendron ciliatum Lokasi 3: Tanjung Lajuun 1 Halophila decipiens 2 Thalassia hemprichii 3 Enhalus acoroides 4 Halodule pinifolia 5 Halophila ovalis 6 Halodule uninervis 7 Syringodium isoetifolium
Jumlah Tegakan
Pi
ln pi
468 378 83 74 297 1300
0,3600 0,2908 0,0638 0,0569 0,2285
-1,0217 -1,2352 -2,7513 -2,8661 -1,4764 H’
0,3678 0,3592 0,1757 0,1631 0,3373 1,4031
43 245 50 55 77 232 128 830
0,0518 0,2952 0,0602 0,0663 0,0928 0,2795 0,1542
-2,9602 -1,2202 -2,8094 -2,7141 -2,3776 -1,2747 -1,8694 H’
0,1534 0,3602 0,1692 0,1798 0,2206 0,3563 0,2883 1,7278
-1,3187 -1,1906 -1,6997 -3,4457 -2,5246 -3,6039 -2,2393 H’
0,3527 0,3620 0,3106 0,1099 0,2022 0,0981 0,2386 1,6740
Lokasi 4: Pulau Ohoiwa 1 Cymodocea rotundata 2 Thalassia hemprichii 3 Enhalus acoroides 4 Halodule pinifolia 5 Halophila ovalis 6 Halodule uninervis 7 Syringodium isoetifolium
344 0,2675 391 0,3040 235 0,1827 41 0,0319 103 0,0801 35 0,0272 137 0,1065 1286 Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012), diolah
pi ln pi
(3) Indikator 3: Status Mangrove Penilaian status mangrove dilakukan dengan pendekatan empat parameter, yaitu: tingkat kerapatan, keanekaragaman, perkembangan luasan mangrove dan distribusi Indeks Nilai Penting (INP). Keempat parameter ini dikaji pada beberapa lokasi dengan wilayah contoh pada kecamatan Kei Kecil. Hal ini juga dilakukan untuk membuktikan adanya perbedaan distribusi secara spasial. Kabupaten Maluku Tenggara memiliki hutan Mangrove yang cukup baik terutama pada daerah teluk. Daerah-daerah pada kabupaten ini memiliki beragam sumberdaya alam laut yang potensial, sumberdaya-sumberdaya ini merupakan aset pemerintah daerah yang juga harus mendapat perhatian dan satu diantaranya adalah sumberdaya mangrove, dengan demikian informasi data base sumberdaya mangrove merupakan bagian penting dari suatu daerah disamping sumberdaya-sumberdaya yang lain. Hasil identifikasi jenis mangrove baik yang dijumpai pada area transek maupun hasil koleksi bebas pada seluruh Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara adalah sebanyak 17 jenis dan famili Rhizophoraceae memiliki jumlah jenis yang lebih dibandingkan famili lainnya (Tabel 11).
Kondisi mangrove pada Kecamatan Kei kecil menunjukkan anakan mangrove dari jenis Aegiceras corniculatum tumbuh baik pada substrat lumpur. Tabel 11. Spesies-spesis Mangrove yang Dijumpai pada Lokasi Survei No 1
Famili Rhizophoraceae
No
Spesies
Gambar
1
Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Sonneratiaceae Sonneratia alba Myrsinaceae Aegiceras corniculatum Euphorbiaceae Exoecaria agallocha Acanthaceae Acanthus ilicifolius A. ebracteatus Sterculiaceae 10 Heritiera littoralis Arecaceae 11 Nypa fruticans Verbenaceae 12 Avicennia officinalis Pteridaceae 13 Acrostichum aureum 10 Meliaceae 14 Xylocarpus granatum 15 Xylocarpus molucensis 11 Bombacaceae 16 Camptostemon sp 12 Lythraceae 17 Phemphis acidula Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012)
Komunitas mangrove Kecamatan Kei Kecil terletak pada koordinat 05o53’36,9” LS dan 132o43’24,1” BT dan hasil interpretasi data citra memperoleh luas ekosistem mangrove sebesar 5,1567 km2 Hasil transek dan koleksi bebas yang dilakukan, menjumpai beberapa jenis mangrove yaitu S. alba, R. apiculata, R. stylosa, B. gymnorrizha, A. officinalis, E. agaloca Pada daerah ini mangrove tumbuh dan berkembang pada substrat lumpur berpasir maupun lumpur. Mangrove dari famili Rhizophoraceae merupakan famili yang menduduki urutan pertama dalam jumlah spesies, sedangkan untuk tipe sapihan jenis A. corniculatun merupakan jenis yang dominan. Jenis mangrove yang mendominasi daerah ini untuk tingkat katagori pohon didominasi oleh S. alba (INP
113,85%; kerapatan 229 tegakan/ha) dan R. apiculata sebagai kodominan (INP=
93,90%; kerapatan 163 tegakan/ha) diikuti jenis B. gymnorrhiza (INP= 61,85%; kerapatan 27 tegakan/ha) terendah adalah jenis E. agaloca Pada tingkat kategori sapihan jenis mangrove yang mendominasi daerah ini adalah
A. corniculatum (INP
120,59 %; kerapatan 111
tegakan/ha) dan S. alba sebagai kodominan (INP= 93,04%; kerapatan 91 tegakan/ha) diikuti jenis R. apiculata (INP= 86,38%; kerapatan 76 tegakan/ha) (Tabel 12).
Tabel 12. Kerapatan Relatif (KR=%), Frekuensi Relatif (FR=%), Dominasi Relatif (DR=%) Nilai Penting (INP) dan Kerapatan (Tegakan/ha) Mangrove di Kecamatan Kei Kecil No
Jenis Mangrove
KR
FR
DR
INP
Kerapatan Ha
Kategori pohon: 1.
Sonneratia alba
48,02
31,26
34,58
113,85
229
2.
Rhizophora apiculata
33,29
42,10
18,51
93,90
163
3.
Bruguiera gymnorrizha
6,88
15,79
41,18
61,85
27
4.
Rhizophora stylosa
5.55
11,22
19,13
25,90
21
5.
Avicennia officinalis
3,92
5,26
1,58
10,76
18
6.
Exocaria agaloca
5,88
5,26
5,50
16,65
27
Kategori sapihan: 1.
Sonneratia alba
30,77
30,00
32,27
93,04
91
2.
Rhizophora apiculata
19,24
40,00
27,14
86,38
76
3.
Aegiceras corniculatum
50,00
30,00
40,59
120,59
111
Rata-rata
69,21
Total
763
Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012), diolah
Hasil ini menunjukkan rata-rata kerapatan mangrove sebesar 763 pohon/ha yang termasuk dalam kategori rendah dan INP sebesar 69,21yang berada dalam kategori rendah. Berdasarkan distribusi nilai ini, perhitungan terhadap nilai keanekaragaman (H’
dapat dilakukan.
Perhitungannya menghasilkan nilai H’ sebesar 1,8785 yang termasuk dalam kategori sedang. Di sisi lain, penilaian terhadap tingkat perkembangan luasan hutan mangrove ditunjukkan melalui pernyataan responden. Hal ini dilakukan untuk menggali pengetahuan masyarakat tentang perkembangan luasan hutan mangrove yang ada di sekitar mereka. Hasil interview menghasilkan: (1) 89,29% menyatakan luasan mangrove berkurang dan (2) 10,71% lainnya menyatakan luasan mangrove tetap. (4) Indikator 4: Status Terumbu Karang Penilaian status terumbu karang dilakukan dengan pendekatan dua parameter, yaitu: persen tutupan dan keanekaragaman. Dari kedua parameter ini, hanya parameter tutupan terumbu karang saja yang dikaji pada beberapa lokasi dengan wilayah contoh pada kecamatan Kei Kecil. Hasil analisis data citra satelit yang dikonfirmasi dengan pengecekan lapangan menunjukkan luas terumbu karang Kecamatan Kei Kecil
88,46 km2 Pada Kecamatan ini, pengambilan data
terumbu karang dilakukan di perairan pesisir Ngaf, Tanjung Nadiun, Ohoiwa, Ngurbloat dan Pulau Nai. Terumbu karang perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil memiliki kekayaan taksa karang tertinggi, yaitu ditemukan 124 jenis (spesies) karang batu yang termasuk dalam 49 genera (marga) dan 16 famili (suku). Ternyata suku karang dengan jumlah spesies yang menonjol adalah Acroporidae (33 spesies) dan Faviidae (30 spesies), Poritidae (12 spesies) dan Fungiidae (11 spesies). Sekitar 60,78% dari spesies karang yang tersebar di areal terumbu Kabupaten Maluku Tenggara bisa ditemukan di terumbu karang Kecamatan Kei Kecil ini. Pertumbuhan dan perkembangan karang batu dari bentuk tumbuh Acropora masih tergolong baik di perairan pesisir Ohoiwa, Tanjung Nadiun dan Pulau Nai. Spesies karang yang umum ditemukan di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil adalah Acropora microphthalma, A. tenus, A. humilis, A. cytherea, A. palifera, Porites lutea, P. cylindrica, P. solida, Diploastrea heliopora, Favia pallida, Gonisatrea pectinata, Fungia repanda dan Millepora intricara Sebaliknya, sebanyak
spesies karang batu
memiliki kehadiran tergolong terbatas atau hanya bisa ditemukan di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil, yaitu Acropora cuneta, Montipora digitata, M. echinata, Favites paraflexuosa, Leptoria phyrygia, Oulophyllia crispa, Pectinia alcicornis, P. paeonia, Pavona cactus dan Millepora tenella Persen tutupan komponen biotik di dasar terumbu lebih tinggi (66,42%) dari komponen abiotik (33,58%) di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil (Tabel 13). Komponen biotik dengan nilai persen tutupan yang tinggi adalah karang batu (karang hidup). Karang batu bentuk tumbuh Non-Acropora memiliki kontribusi persen tutupan yang menonjol (40,84%) terhadap persen tutupan karang batu dibanding karang batu bentuk tumbuh Acropora Tabel 13. Kekayaan Spesies, Persen Tutupan Karang Batu dan Komponen Penyusun Terumbu Karang di Perairan Pesisir dan Pulau Kecil Kecamatan Kei Kecil Lokasi Terumbu
Jumlah Jenis
Karang Batu
Tutupan Komponen Penyusun Terumbu (%) Non Fauna Komponen Acropora Algae Acropora Lain Abiotik
Ngaf
43
30,90
14,90
16,00
21,18
0,40
47,52
Tg. Nadiun
76
75,94
39,08
36,86
4,46
4,56
15,04
Ohoiwa
87
90,56
2,22
88,34
1,18
0,00
8,26
Ngurbloat
41
22,72
2,76
19,96
4,58
2,62
69,42
Pulau Nai
74
66,96
23,90
43,06
4,26
0,98
27,64
Kec. Kei Kecil
117
57,42
16,57
40,84
7,13
1,71
33,58
Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012)
Distribusi spasial menunjukkan kontribusi karang batu Non-Acropora yang besar terhadap persen tutupan karang batu terjadi di areal terumbu Ohoiwa, Pulau Nai dan Ngurbloat. Sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Acropora terhadap persen tutupan karang batu relatif tinggi pada areal terumbu Tanjung Nadiun. Berdasarkan nilai persen tutupan komponen biotik, persen tutupan komponen fauna bentik lain sangat tinggi dibanding persen tutupan karang batu dan komponen biota bentik lainnya di areal terumbu Ngaf. Terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil dengan persen tutupan karang batu yang tinggi adalah Ohoiwa dan Tanjung Nadiun. Nilai persen tutupan karang yang tinggi itu sekaligus menegaskan bahwa kondisi terumbu karang pada perairan pesisir Ohoiwa dan Tanjung Nadiun termasuk kategori Sangat Baik (Excellent). Selain itu, persen tutupan karang batu pada areal terumbu Pulau Nai termasuk tinggi, sementara kondisi terumbu karangnya termasuk kategori Baik (Good). Akan tetapi, persen tutupan karang batu di areal terumbu perairan pesisir Ngaf tergolong rendah dengan kondisi terumbu termasuk kategori Rusak (Fair serta persen tutupan karang batu pada areal terumbu Ngurbloat termasuk sangat rendah dengan kondisi terumbu karang tergolong kategori Sangat Rusak (Poor). Sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Non-Acropora sangat tinggi terhadap persen tutupan karang batu dibanding bentuk tumbuh Acropora Karang batu Non-Acropora dari bentuk tumbuh karang masif (CM) memiliki persen tutpan yang tinggi (27,32%) di areal terumbu Ngaf dan Ngurbloat (12,17%), karang batu bentuk tumbuh sub-masif (CS) sebesar 84,98% pada areal terumbu Ohoiwa, dan bentuk tumbuh karang bercabang (CB) sebesar 27,156% di areal terumbu Pulau Nai. Pada bagian lain, karang batu bentuk tumbuh Acropora bercabang (ACB) memiliki persen tutupan dasar terumbu yang tinggi di perairan pesisir Tanjung Nadiun, yaitu 37,78%. Terumbu karang perairan pesisir Ngurbloat dan Ngaf dengan persen tutupan karang batu yang rendah itu, ternyata memiliki persen tutupan komponen abiotik yang tinggi. Patahan karang mati (Rubble memberi sumbangan yang besar (39,88%) terhadap persen tutupan komponen abiotik di perairan pesisir Ngaf dan 7,28% untuk perairan pesisir Ngurbloat. Hal yang sama ditemukan di perairan pesisir Pulau Nai, dimana sumbangan nilai persen tutupan patahan karang mati relatif lebih menonjol terhadap persen tutupan komponen abiotik. Hasil analisis dan pengamatan lapangan menunjukkan kerusakan terumbu karang di Ngaf dan Ngurbloat dengan indikasi persen tutupan patahan karang mati yang tinggi itu disebabkan oleh tekanan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan terumbu karang dengan peralatan dan metode tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Berdasarkan distribusinya pada lima lokasi di Kecamatan Kei Kecil (wilayah contoh), ditemukan rata-rata tutupan karang keras hidup mencapai 38,28% Nilai tutupan ini termasuk dalam kisaran kategori tutupan sedang (5) Indikator 5: Habitat Khusus/Unik Penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada hasil pandangan responden sesuai dengan pengetahuan mereka tentang eksistensi habitat khusus/unik. Hasil interview menghasilkan: (1) 92,86% menyatakan tahu tentang eksistensi habitat khusus/unik dan (2) 7,14% menyatakan tidak. Pandangan yang dikemukakan adalah pengetahuan responden tentang lokasi-lokasi: (1) feeding ground untuk kerapu, kerapu, kakap dan penyu; serta (2) lokasi bertelur penyu. Namun demikian belum seluruhnya dikelola dengan baik, terutama untuk kerapu dan kakap. Sementara untuk penyu hanya beberapa lokasi yang telah dikelola secara formal oleh Pemda/DKP dan non formal oleh masyarakat adat. Sebagai penguatan terhadap informasi dari masyarakat, berikut ini diberikan dukungan data tentang lokasi peteluran penyu secara umum, lokasi peteluran penyu hijau dan lokasi makan penyu belimbing sebagaimana dipublikasi oleh WWF Marine (Gambar 6,
dan 8). Hasil ini
menunjukkan adanya berbagai habitat khusus atau unik untuk hewan laut yang dilindungi seperti penyu.
Gambar 6. Rute peteluran penyu di Indonesia dan sekitarnya, termasuk Maluku Tenggara, lokasi nomor 29 (Sumber: WWF)
Gambar 7. Lokasi pengamatan penyu hijau di Maluku Tenggara, Desember 2006 Oktober 2007 (Sumber: WWF Marine)
Gambar 8. Lokasi pengamatan penyu belimbing di Maluku Tenggara, tahun 2006 –2007 (Sumber: WWF Marine)
(6) Indikator 6: Status dan Produktivitas Estuari dan Perairan Sekitarnya Di wilayah Maluku Tenggara tidak terdapat perairan estuari karena eksistensi sungai hampir tidak ada. Namun demikian, produktivitas perairan tergambar dari distribusi klorofil-a. Di perairan Kei Kecil= 3,25 mg/m3 Kei Kecil Barat= 3,25 mg/m3 dan Kei Kecil Timur= 3,20 mg/m3 Nilai yang tinggi umumnya ditemukan pada perairan selat dan perairan teluk yang ada di wilayah ini. Distribusi nilai ini menunjukkan produktivitas perairan sekitar termasuk dalam kategori produktivitas tinggi (7) Indikator 7: Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Perairan dan Habitat Kajian secara khusus tentang dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat di perairan Maluku Tengah sama sekali belum dilakukan Hasil penelitian WWF (2010) dan FPIK (2010) menunjukkan bahwa gejala-gejala perubahan kondisi perairan atau habitat seperti gejala coral bleaching, tidak ditemukan
4.1.2
Domain Sumberdaya Ikan
(1) Indikator 1: CPUE baku Penentuan nilai CPUE baku didahului dengan perhitungan nilai Fishing Power Index (FPI). Untuk wilayah Maluku Tenggara, perhitungan FPI berdasarkan nilai rata-rata CPUE untuk 10 jenis alat penangkapan ikan utama, masing-masing: sero tancap, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan apung, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bubu, pancing ulur dan dan pancing tonda. Hasil perhitungan menunjukkan nilai CPUE paling tinggi adalah alat tangkap pukat cincing, 0,7218 ton/trip. Oleh sebab itu, pukat cincin merupakan alat standar dalam perhitungan FPI. Perhitungan ini menghasilkan nilai FPI tertinggi pada pukat cincin (1,0000) dan terendah pada alat tangkap bubu (0,0058). Secara rinci hasil perhitungan CPUE dan FPI dinyatakan dalam Lampiran 1. Hasil standarisasi yang memberikan perubahan pada nilai CPUE dan upaya penangkapan (Tabel 14), tentunya memberikan konsekuensi terhadap perubahan hubungannya. Oleh sebab itu, analisis terhadap hubungan keduanya menjadi penting untuk dilakukan, dimana pendekatan OLS digunakan untuk menunjukkan hubungan tersebut melalui analisis regresi.
Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien
sebesar 1,2413 dan
sebesar -0,8E-03. Dengan
demikian persamaan regresi yang menyatakan hubungan CPUE dan upaya standar dapat ditulis dengan ht
1,2413
0,0008Et Hubungan tersebut secara grafis ditunjukkan pada Gambar 9,
yang menggambarkan terjadinya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan. Hasil ini membuktikan bahwa CPUE yang menjadi indikator produktivitas unit penangkapan dipengaruhi oleh intensitas penangkapan yang bersifat negatif. Hal ini ditunjukkan juga dengan laju penurunan sebesar -3,08% yang termasuk dalam kategori laju penurunan yang lambat
1.2000 1.0000
-0,0008x 1,2413
0.8000
CPUE
Tabel 14. Upaya dan CPUE Standar Upaya CPUE Tahun Catchi Standar Standar 2001 321,30 363 0,8848 2002 345,03 351 0,9821 2003 365,36 421 0,8669 2004 387,76 388 0,9997 2005 402,70 527 0,7639 2006 417,63 666 0,6266 2007 432,56 806 0,5368 2008 454,96 772 0,5892 2009 473,29 842 0,5619 2010 495,00 831 0,5960
0.6000 0.4000 0.2000 0.0000 0
200
400 600 800 Upaya Standar
1000
Gambar 9. Hasil OLS: hubungan Upaya dan CPUE Standar
(2) Indikator 2: Ukuran ikan Pengukuran terhadap indikator ini didasarkan pada hasil interview terhadap nelayan yang sebagai pelaku utama pemanfaatan sumber daya ikan. Jumlah responden yang dikumpulkan dalam kajian ini sebanyak 28 orang. Sesuai dengan empat pilihan pertanyaan yang diberikan, terdapat pilihan yang berbeda. Pertama 10,71% responden menyatakan ukuran ikan yang tertangkap semakin besar. Pernyataan ini didasarkan pada perubahan alat tangkap yang digunakan dewasa ini, dimana kecenderungan ikan yang tertangkap semakin besar dengan jangkauan daerah penangkapan yang semakin jauh. Beberapa nelayan pancing tonda dan pancing tegak yang melakukan ekspansi daerah penangkapan ikan menemukan hasil tangkap dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan pada perairan di sekitar desa mereka. Kedua 57,14% responden menyatakan menyatakan ukuran ikan yang tertangkap masih relatif sama selama mereka melakukan usaha penangkapan ikan. Pernyataan ini terkait dengan jenis
alat tangkap yang sama sekali tidak berubah sejak mereka beraktivitas sebagai nelayan. Pernyataan ini umumunya diberikan oleh nelayan bagan perahu, pancing tonda, pancing tegak. Ketiga 25,00% responden menyatakan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Pernyataan ini umumnya pada nelayan pancing dasar dengan tujuan tangkapnya pada ikan-ikan demersal dan ikan karang. Keempat Tidak Paham 7,14%
Semakin besar 10,71%
Semakin kecil 25,00%
7,14%
responden
menyatakan
tidak
memahami dengan baik terhadap perubahan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Hal ini dinyatakan oleh
responden
yang
melakukan
aktivitas
penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing tegak dan jaring insang. Pernyataan diberikan karena keraguan mereka terhadap adanya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan. Relatif sama 57,14%
Berdasarkan hasil interview ini, secara makro dapat diberikan simpulan bahwa pernyataan terbanyak responden (57,14%) mengarah pada tidak adanya
perubahan ukuran ikan hasil tangkapan. Hasil ini sesuai dengan kriteria dimana trend ukuran relatif sama (3) Indikator 3: Proporsi ikan yuwana (juvenile yang ditangkap Pengukuran terhadap indikator juga didasarkan pada hasil interview terhadap 28 nelayan Pilihan jawaban yang diberikan sesuai dengan tiga kriteria pengukuran dalam indikator ini, ditambah dengan satu pilihan untuk mengetahui pengetahuan nelayan terhadap penangkapan ikan yuwana. Pertama tidak satu responden pun yang menyatakan tertangkapnya ikan yuwana di bawah 30%. Kedua rata-rata proporsi ikan yuwana yang tertangkap 30-60% dinyatakan oleh 57,14% responden. Pernyataan ini umumnya diberikan oleh nelayan pancing dasar dengan tujuan penangkapan ikan demersal dan ikan karang, serta nelayan pancing tonda yang melakukan penangkapan dengan tujuan tangkap ikan tuna. Dua contoh yang ditemukan di lapangan, antara lain: (1) Untuk nelayan pancing dasar, ikan dari kelompok kerapu yang sebelumnya tertangkap dengan ukuran yang besar antara 3,00 Kg sampai dengan 5,00 Kg, dewasa ini agak sulit ditemukan. Hasil tangkap yang ditemukaan saat ini rata-rata berukura di antara 1,5 Kg, bahkan mencapai ukuran di bawah kisaran tersebut.
2,00
(2) Untuk nelayan pancing tonda, sejak lima tahun terakhir agak sulit untuk menemukan ikan tuna dari jenis yellow fin tuna di atas 10 Kg. Kelompok ukuran dari jenis ini yang sering tertangkan rata-rata berukuran 3,5 5,00 Kg, Ketiga 42,86% responden menyatakan rata-rata proporsi ikan yuwana yang tertangkap di atas 60%. Hasil ini tidak dapat dibuktikan secara detail karena responden yang memilih jawaban ini sulit memberikan justifikasi tentang adanya peningkatan jumlah produksi tangkapan yang mencakup ikan-ikan yuwana. (4) Indikator 4: Komposisi spesies Jenis-jenis alat tangkap utama yang digunakan nelayan seperti pancing tonda, pancing dasar, jaring insang hanyut dan bagan apung, rata-rata tidak memiliki spesies non target. Hasil tangkapan rata-rata dari alat-alat tangkap utama ini umumnya merupakan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomis karena dapat dipasarkan atau diperuntukan bagi konsumsi keluarga nelayan. Hasil diskusi kelompok dengan nelayan membuktikan bahwa dari sembilan jenis alat tangkap dominan, sebagai berikut: Alat tangkap Pukat cincin Jaring insang hanyut Bagan perahu Pancing tegak Jaring insang lingkar Jaring insang tetap Bubu Pancing ulur Pancing tonda
Jenis ikan target cakalang, tongkol, layang, selar, kembung, tembang, lemuru, sunglir kembung, julung-julung, terbang, tembang, belanak layang, selar, kembung, tembang, lemuru, sunglir, teri, japuh layang, selar, kembung, kerapu, lencam, kakap, lemuru, sunglir layang, selar, tembang, lemuru, japuh, belanak, sunglir layang, selar, ekor kuning, lencam, lemuru, sunglir kerapu, lencam, kakap, kurisi, kerapu, lencam, kakap, kuwe tuna, cakalang, tongkol Rata-rata
Sumber: Hasil Lapangan (2012), diolah
Jumlah
Jenis ikan non target
Jumlah
Non target
---
100,00
buntal durian
83,33
---
100,00
---
100,00
buntal durian
87,50
buntal durian,
85,71
kepe-kepe
80,00
---
100,00
---
100,00 92,95
Empat di antaranya yang cenderung memiliki hasil tangkapan ikan non target. Sesuai dengan hasil pemetaan bersama hasil tangkapan utama dan jenis non target yang sering tertangkap, rata-rata proporsi ikan target yang tertangkap sebanyak 92,95%. Jika hasil ini diperhadapkan dengan kriteria yang ada maka nilai ini termasuk dalam kategori proporsi ikan target lebih banyak (5) Indikator 5: Spesies ETP Beberapa aktivitas penangkapan ikan yang berpotensi menghasilkan spesies ETP antara lain: penangkapan ikan dengan pancing ulur yang dapat menjangkau spesies napoleon, dan penangkapan langsung di lokasi peteluran atau lokasi mahan dari penyu hijau, penyu sisik dan penyu belimbing. Namun demikian, hasil tangkapan ikan napoleon sangat sedikit dan jarang ditemukan. Dalam tahun, hanya
sampai
ekor tertangkap dalam waktu satu sampai dua bulan. Penyu hijau
tertangkap 1-2 ekor dalam waktu dua sampai dengan bulan ketika akan bertelur. Penyu sisik ditangkap ketika ada penyelaman, dimana hasil tangkapannya hanya satu ekor dalam waktu 1bulan. Sementara penyu belimbing untuk kebutuhan upacara adat (satu ekor per tahun).
(6) Indikator 6: Range Collapse Pencarian daerah penangkapan ikan oleh nelayan di Maluku Tenggara dilakukan atas dasar dua hal: (1) karena pengalaman nelayan yang bersangkutan; atau (2) informasi yang diberikan oleh nelayan lain. Lokasi-lokasi perairan laut dalam merupakan lokasi dimana aktivitas pancing tonda dioperasikan. Di sisi lain, lokasi dangkal dan daerah terumbu karang merupakan lokasi penangkapan ikan karang dengan pancing ulur, jaring insang lingkar, jaring insang tetap dan bubu. Hasil interview tentang perkembangan hasil tangkapan menunjukkan: (1) 71,43% menyatakan responden menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan; (2) 21,43% responden menyatakan relatif sama; (3) 7,14% responden menyatakan tidak tahu. Hasil ini membuktikan adanya gelaja tekanan terhadap sumber daya ikan di wilayah ini. Terkait dengan lokasi fishing ground hasil interview menunjukkan: (1) 35,71% responden menyatakan fishing ground sangat jauh; (2) 39,29% responden menyatakan jauh; (3) 25,00% responden lainnya menyatakan relatif tetap. Pernyataan tentang fishing ground yang sangat
jauh umumnya ditemukan pada nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan pancing tonda untuk tujuan tangkap ikan tuna dan pancing ulur untuk tujuan tangkap ikan kerapu. (7) Indikator 7: Densitas/biomassa karang dan invertebrata a. Ikan karang Pengambilan data ikan karang pada perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Kecamatan Kei Kecil dilakukan pada 11 lokasi pengamatan, dimana
lokasi pengamatan di Pulau Kei Kecil dan
lokasi pengamatan di tiga pulau kecilnya. Perairan karang Kecamatan Kei Kecil memiliki 272 spesies ikan karang dari 111 marga dan 37 suku (Tabel 15). Suku ikan karang dengan kelimpahan spesies yang tinggi di terumbu karang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Kecamatan Kei Kecil adalah Pomacentridae (54 spesies), Labridae (40 spesies), Chaetodontidae (24 spesies), Acamthuridae (20 spesies), Scaridae (17 spesies) dan Serranidae (14 spesies). Tabel 15. Komposisi dan Kelimpahan Taksa, serta Kepadatan Ikan Karang di Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kecamatan Kei Kecil Lokasi Terumbu Karang
Kekayaan Taksa Ikan Karang
Kepadatan (Ind/m2
IH
IK
Total
Marga
Suku
IH
IK
Total
Kolser
22
15
37
28
16
1,72
4,80
6,52
Kelanit
25
38
63
40
20
1,22
5,25
6,47
Ohoidertawun
65
51
116
65
30
1,43
1,88
3,31
Tanjung Nadiun
53
40
93
57
23
1,72
1,60
3,32
Pulau Ngaf
64
59
123
64
25
1,84
3,62
5,46
Ohoililir
45
45
90
50
21
1,59
22,01
23,60
Ngurbloat
77
58
135
76
30
1,20
3,51
4,71
Pulau Nai
46
28
74
46
18
8,09
2,07
10,16
Pulau Ohoiwa
47
44
91
59
23
3,26
1,53
4,79
KEI KECIL
148
124
272
111
37
2,27
4,55
6,81
Keterangan IH Ikan Hias); IK (Ikan Konsumsi) Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012)
Kelimpahan spesies ikan karang tertinggi ditemukan di terumbu karang Ngurbloat dan Ngaf, sementara terendah dijumpai pada terumbu karang Kolser. Pada tingkat marga dan suku, ternyata kelimpahan tertinggi ditemukan di terumbu karang Ngurbloat, sedangkan kelimpahan taksa terendah di terumbu karang Kolser. Hasil analisis menunjukkan secara keseluruhan jumlah spesies ikan karang kategori ikan hias lebih tinggi dari jumlah spesies ikan karang kategori ikan konsumsi. Hampir seluruh areal terumbu karang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Kecamatan Kei Kecil juga
memperlihatkan hal yang sama, kecuali di terumbu karang lokasi Kelanit dengan jumlah spesies ikan karang kategori ikan hias lebih rendah dari ikan karang kategori ikan konsumsi, sementara di lokasi Ohoililir memiliki jumlah spesies ikan karang kategori ikan konsumsi dan ikan hias yang berimbang. Kepadatan ikan karang rata-rata di terumbu karang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Kecamatan Kei Kecil sebesar 6,81 ind/m2 dimana kepadatan ikan karang tertinggi berada di terumbu karang Ohoililir dan terendah di terumbu karang Ohoidertawun. Berdasarkan kriteria pemanfaatan, maka secara keseluruhan kepadatan ikan karang kategori ikan konsumsi lebih tinggi dari ikan karang kategori ikan hias. Kepadatan ikan karang kategori ikan konsumsi di areal terumbu karang Ohoililir tergolong sangat tinggi dibanding terumbu karang lain di Kecamatan Kei Kecil. Kepadatan ikan karang kategori ikan konsumsi juga lebih tinggi dari ikan hias, kecuali pada terumbu karang Tanjung Nadiun, Pulau Nai dan Pulau Ohoiwa yang memiliki kepadatan ikan karang kategori ikan hias lebih tinggi dibanding kepadatan ikan karang kategori ikan konsumsi. Nilai sediaan cadang ikan karang kategori ikan konsumsi lebih besar dibanding ikan karang kategori ikan hias di terumbu karang Kecamatan Kei Kecil. Hasil perhitungan menunjukkan total sediaan cadang sumberdaya ikan karang pada areal terumbu Kecamatan ini tergolong besar. Dengan menggunakan nilai konstanta yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian Stok Ikan Nasional, maka hasil perhitungan dalam Tabel 16 menunjukkan potensi ikan karang kategori ikan konsumsi di terumbu karang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Kei Kecil tergolong tinggi (± 615 ton), dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) juga termasuk besar (± 146 ton). Tabel 16. Sediaan Cadang dan Potensi Ikan Karang di Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kecamatan Kei Kecil Sumberdaya Ikan
Sediaan Cadang (Individu)
Potensi (Ton)
Besar Sumber
MSY
JTB
Ikan Hias
1.226.810
613.405
490.724
Ikan Konsumsi
2.460.507
1.230.253
984.203
3.687.316
1.843.658
1.474.927
Besar Sumber
MSY
JTB
615,13
307,56
246,05
Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012)
Hasil analisis menunjukkan terumbu karang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Kecamatan Kei Kecil selain memiliki potensi atau keragaman spesies ikan karang yang besar, juga memiliki sediaan cadang ikan karang kategori ikan konsumsi dan ikan hias yang besar, serta potensi
sumberdaya ikan karang kategori ikan konsumsi yang juga tergolong besar. Dalam hal ini peluang pemanfatan dan/atau pengusahaan sumberdaya ikan karang di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kecamatan ini tergolong potensial. b. Invertebrata Sumberdaya bentik yaitu sumberdaya yang terdiri dari populasi-populasi yang ciri hidupnya di atas permukaan substrat, di dalam substrat dengan cara menggali, dengan mobilitas yang sangat minim/terbatas di daerah habitatnya saja. Sumberdaya bentik terdiri atas filum moluska (kelas gastropoda dan bivalvia), dan ekinodermata. Variasi jumlah jenis dan kepadatan sumberdaya bentik pada setiap lokasi sangat ditentukan oleh luas serta heterogenitas ekosistem pantainya. Inventarisasi sumberdaya bentik di kecamatan Kei Kecil dilakukan pada
titik pengamatan
yaitu di Desa Kolser, Ohoililir dan Pulau Nai. Hasil inventarisasi menemukan sebanyak 19-23 jenis sumberdaya bentik yang ada pada perairan kecamatan ini. Di antaranya ada juga jenisjenis ekonomis seperti terlihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jenis dan Kepadatan Sumberdaya Bentik Ekonomis di Kecamatan Kei Besar No.
Jenis
Kepadatan (ind/m2
1 Gafrarium tumidum (B) 3,27 2 Isognomon isognomon (B) 1,82 3 Modiolus micropterus (B) 0,73 4 Holothuria scabra (E) 0,30 5 Lambis lambis (G) 0,50 6 Tridacna gigas (B) 1,38 7 Stichopus horens (E) 0,50 8 L. scorpio (G) 0,36 9 Melo melo (G) 0,73 10 Tripeneustus gratilla (E) 2,18 Keterangan: B= Bivalvia; E Ekinodermata; G Gastropoda Sumber: FPIK Unpatti dan DKP Kab. Maluku Tenggara (2010, 2012)
Dari data terlihat bahwa kelompok bivalvia menjadi penyumbang jenis ekonomis tertinggi dengan sumbangan masing menyumbang
jenis. Diikuti oleh kelompok gastropoda dan ekinodermata yang asingjenis. Jenis Gafrarium tumidum menjadi jenis ekonomis penting dengan
kepadatan tertinggi sementara jenis dengan kepadatan terendah diwakili oleh jenis Holothuria
scabra Hasil ini menunjukkan nilai rata-rata biomass invertebrata mencapai satu sampai dua individu per m2 Hasil penilaian terhadap biomass ikan menunjukkan kriteria rendah, baik untuk ikan karang maupun invertebrata. Dengan demikian, keduanya menunjukkan skor yang sangat kecil dalam konteks penilaiannya.
4.1.3
Domain Teknologi Penangkapan Ikan
(1) Indikator 1: Metode Penangkapan Ikan yang Bersifat Destruktif Sesuai dengan informasi masyarakat yang diterima oleh tenaga pengawas di DKP Maluku Tenggara, dalam tahun 2011 terdapat penggunaan bahan peledak dan
kali kegiatan penangkapan yang merusak. Satu kali
kali menggunakan bius. Informasi menunjukkan bahwa
frekuensi pelanggaran dalam tahun 2011 termasuk kategori rendah (2) Indikator 2: Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Untuk indikator ini tidak dilakukan pengukuran. (3) Indikator 3: Fishing Capacity Perhitungan fishing capacity menggunakan data tahun dasar tahun 2001 dan tahun terakhir tahun 2010. Sebagai wilayah contoh untuk Maluku Tenggara digunakan data pada Kecamatan Kei Kecil. Hasil perhitungan FC untuk tahun terakhir (2010) menunjukkan nilai 9.503.264,00 (Tabel 18) dan nilai FC untuk tahun dasar (2001) sebesar 2.626.111,30 (Tabel 19). Dengan distribusi kedua nilai FC, maka nilai distribusi nilai
untuk wilayah ini mencapai 0,28 yang menunjukkan
1
Tabel 18. Nilai FC tahun terakhir (2010) V E Jumlah unit Trip 1. Pukat Cincin 6 512 2. Bagan 41 576 3. Jaring Insang Hanyut 268 640 4. Jaring Insang Lingkar 190 576 5. Jaring Insang Tetap 242 784 6. Bubu 87 576 7. Pancing Tegak 287 320 8. Pancing Ulur 414 672 9. Pancing Tonda 126 768 10 Sero Tancap 2 560 FC Tahun Terakhir (2010) Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2011), diolah No
Jenis API
C Rata-rata Produksi 300 150 5 3 5 2 10 5 5 10
VCE 921.600,00 3.542.400,00 857.600,00 328.320,00 948.640,00 100.224,00 918.400,00 1.391.040,00 483.840,00 11.200,00 9.503.264,00
Tabel 19. Nilai FC tahun dasar (2001) V E Jumlah unit Trip 1. Pukat Cincin 2 231 2. Bagan 18 192 3. Jaring Insang Hanyut 215 533 4. Jaring Insang Lingkar 163 411 5. Jaring Insang Tetap 198 588 6. Bubu 93 432 7. Pancing Tegak 194 240 8. Pancing Ulur 359 480 9. Pancing Tonda 98 576 10 Sero Tancap 4 702 FC Tahun Dasar (2001) Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2002), diolah No
Jenis API
C Rata-rata Produksi 178 97 4 2,5 4,5 2,2 8,9 2,5 1,2 20,5
VCE 82.236,00 335.232,00 458.380,00 167.482,50 523.908,00 88.387,20 414.384,00 430.800,00 67.737,60 57.564,00 2.626.111,30
(4) Indikator 4: Selektivitas Penangkapan Perhitungan nilai selektivitas penangkapan ikan untuk Maluku Tenggara dimulai dengan menghitung nilai T, dimana hasil perhitungannya menunjukkan angka 1708. Hasil penelusuran terhadap jenis alat tangkap yang tidak selektif menunjukkan sero tancap termasuk jenis alat tangkap yang paling tidak selektif dibandingkan 13 jenis alat tangkap lainnya. Oleh sebab itu, nilai S’ adalah 2, sehingga nilai PS’ mencapai 0,12% (Tabel 20). Nilai ini termasuk dalam kategori tinggi untuk suatu nilai selektivitas. Tabel 20. Perhitungan nilai selektivitas penangkapan di Maluku Tenggara No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 14.
Alat Tangkap
Pukat Cincin (Purse Seine Bagan (Lift Net Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net Jaring Insang Lingkar (Encircling Gill Net Jaring Insang Tetap (Bottom Gill Net Bubu (Traps Net Pancing Tegak (Vertical Line Pancing Ulur (Hand Line Pancing Tonda (Troll Line Pancing Lainnya Pengumpul Kerang Pengumpul Teripang Sero Tancap (Set Net Total Sumber: Hasil analisis (2012)
S'
PS'
41 268 190 242 87 287 414 126 11 26 1708
0,12
(5) Indikator 5: Kesesuaian Fungsi Ukuran Kapal Ikan Dengan Dokumen Ilegal Hasil penelusuran terhadap dokumen dan kesesuainnya dengan sejumlah armada penangkapan yang ada di wilayah Kei Kecil menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi, dimana pada
beberapa lokasi sama sekali tidak ditemukan penyimpangan, kecuali pada lokasi-lokasi perikanan yang sangat berkembang seperti di Selayar dan Langgur yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian, dimana dari 20 dokumen terdapat empat dokumen yang tidak sesuai. Oleh sebaba itu, hasil perhitungan menunjukkan kisaran nilai ketidaksesuaian sebesar
sampai
dengan 20%. Dengan demikian tingkat kesesuaiannya termasuk dalam kategori tinggi (6) Indikator 6: Sertifikasi Awak Kapal Sesuai Perikanan Sesuai Dengan Peraturan Sertifikasi awak kapal perikanan pada tingkat nelayan lokal, hanya terjadi pada unit penangkapan ikan pukat cincin dan bagan apung. Jika kategori ini termasuk dalam kategori yang harus memiliki kelengkapan dokumen, maka dalam penelusurannya, tidak satupun armada yang tidak memiliki sertifikasi, terutama pada pimpinan armada (tanase). Namun demikian, dalam interview di lapangan tingkat kepemilikan sertifikat dari awak kapal menunjukkan
dari
kapal yang memiliki awak dengan kepemilikan sertifikat yang lengkap,
sehingga kisaran nilai ini mencapai 80%. Hal ini berarti kriteria penilaian untuk indkator ini termasuk dalam kriteria kepemilikan sertfikat lebih dari 75%
4.1.4
Domain Sosial
(1) Indikator 1: Partisipasi Pemangku Kepentingan Hasil inteview terkait dengan penilaian tentang partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan menghasilkan: (1) 7,14% responden menyatakan kurang dari 50% pemangku kepentingan berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan; dan (2) 92,86% responden menyatakan antara 50-100% pemangku kepentingan berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan. Hasil ini membuktikan adanya pandangan yang cukup baik dari masyarakat tentang partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Beberapa alasan yang terkait dengan hal ini adalah: (1) adanya pembiayaan pembangunan perikanan; (2) adanya alokasi dana pemberdayaan bagi masyarakat nelayan; (3) adanya perhatian pemerintah daerah dalam mengakomodasi pengelolaan kawasan konservasi. (2) Indikator 2: Konflik Perikanan Pengukuran untuk indikator ini dilakukan melalui pendekatan interview terhadap responden yang meliputi nelayan maupun beberapa orang yang mewakili pemangku kepentingan. Hasil interview menunjukkan: (1) 10,71% responden menyatakan
tahun sekali terjadi konflik; dan
(2) 89,29% responden lainnya menyatakan tidak ada konflik. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkatan konflik di Maluku Tenggara kurang dari dua kali per tahun. Dengan demikian hasil ini termasuk dalam kategori baik. (3) Indikator 3: Pemanfaatan Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Pengukuran indikator ini dilakukan melalui pendekatan interview dimana dari seluruh resonden yang diwawancarai, seluruh (100 %) responden menyatakan ada pemanfaatan pengetahuan lokal, namun dinilai tidak efektif dalam mendukung pengelolaan karena masih bersifat insidentil. Pengetahuan lokal yang digunakan adalah alokasi daerah penangkapan ikan untuk kepentingan fishing sport Namun hal ini tidak diakomodasi secara berkelanjutan karena sangat insidentil. Demikian juga kearifan lokal “sasi” masih dipandang sebagai suatu komoditas ekonomi yang menjadi pemasukan daerah dalam waktu-waktu buka sasi. Artinya, kegiatan buka dan tutup “sasi” dilakukan dengan tujuan untuk mengeksploitasi sumber daya yang di-“sasi”.
4.1.5
Domain Ekonomi
(1) Indikator 1: Kepemilikan Aset Hasil interview terhadap responden yang seluruhnya adalah nelayan, menunjukkan: (1) 12,82% responden menyatakan nilai aset berkurang; (2) 61,54% responden menyatakan aset tetap; dan (3) 25,64% responden menyatakan aset bertambah. Hasil ini sesuai dengan kondisi usaha yang berlaku di tingkat nelayan. Pertama responden yang menyatakan aset berkurang merupakan kelompok responden yang tidak memiliki kapasitas ekonomi usaha yang tinggi sehingga alokasi usaha hanya terbatas pada perikanan pancing, tidak termasuk pancing tonda. Aset yang umumnya berkurang pada kelompok ini adalah alat tangkap dan mesin. Kedua responden yang menyatakan aset tetap umumnya pada nelayan yang mengembangkan usaha perikanan jaring insang yang hanya mampu mengalokasi hasil produksinya secara ekonomis untuk membiayai usaha tapi tidak dalam konteks pengembangan armada atau alat tangkap. Kelompok ini belum banyak mengalokasikan pembiayaan untuk pengembangan aset mereka dalam mendukung usaha perikanannya. Ketiga responden yang menyatakan aset bertambah umumnya ditemukan pada nelayan yang melakukan usaha pada perikanan pukat cincin, bagan apung dan pancing tonda, Tingkat pendapatan yang cukup baik menyebabkan nelayan pada kelompok ketiga ini mampu meningkatkan asetnya. (2) Indikator 2: Nilai Tukar Nelayan Angka Nilai Tukar Nelayan sesuai dengan data PUSDATIN tahun 2011 menunjukkan bahwa NTN untuk Provinsi Maluku mencapai 106,24 Nilai ini meningkat dari tahun 2010 sebesar 105,55 Dengan demikian NTN rata-rata untuk Maluku ternasuk Maluku Tenggara melebihi nilai 100. (3) Indikator 3: Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Nilai UMR untuk Maluku khususnya pada sub sektor pemeliharaan hasil laut, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Maluku No. 2981 Tahun 2005 yang masih diberlakukan sampai dengan tahun 2012 adalah Rp. 980.000,-. Nilai UMR ini juga diberlakukan untuk wilayahwilayah kabupaten/kota yang menjadi basis perikanan tangkap di Maluku seperti Kabupaten Maluku Tenggara.
Hasil perhitungan pendapatan bulanan pada tingkat nelayan menunjukkan: (1) nelayan pukat cincin memiliki pendapatan rata-rata Rp. 1.500.000,-; (2) nelayan bagan apung Rp. 1.200.000,-; (3) nelayan jaring insang Rp. 650.000,-; (4) nelayan pancing Rp. 450.000,-; (5) nelayan bubu Rp. 450.000,-. Jika nilai-nilai ini dirata-ratakan, maka dicapai tingkat pendapatan rata-rata nelayan mencapai Rp. 850.000,-. Jika nilai rata-rata pendapatan nelayan dibandingkan dengan UMR untuk sub sektor pemeliharaan hasil laut, maka nilai ini masih mendapat selisih Rp. 140.000,-. Artinya pendapatan nelayan lokal rata-rata Rp. 140.000 masih berada di bawah nilai UMR perikanan. (4) Indikator 4: Saving Rate Hasil perhitungan rata-rata pendapatan dan pengeluaran untuk lima jenis usaha perikanan di Maluku Tenggara menunjukkan distribusi pendapatan antara Rp. 450.000,- sampai dengan Rp. 1.500.000,-, sedangkan kisaran rata-rata pengeluaranya antara Rp. 400.000,- sampai dengan Rp. 1.350.000,- (Tabel 21). Tabel 21. Perhitungan nilai saving rate nelayan di Maluku Tenggara Usaha Perikanan Pukat Cincin Bagan Apung Jaring Insang Pancing Bubu
Rata-rata pendapatan 1.500.000 1.200.000 650.000 450.000 450.000
Rata-rata Sumber: Hasil lapangan (2012), diolah
Rata-rata Pengeluaran 1.350.000 1.100.000 600.000 400.000 400.000
SR 10,00 8,33 7,69 11,11 11,11 9,65
Rata-rata ratio tabungan terhadap income mencapai 9,65% dimana nilai ini masih dibawah nilai bunga kredit jika menggunakan pendekatan tingkat bunga kredit sebesar 10%.
4.1.6
Domain Kelembagaan
(1) Indikator 1: Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab Hasil penelusuran data tentang tingkat kepatuhan melalui catatan pelanggaran yang pernah dilakukan dalam kegiatan perikanan menunjukkan, adanya catatan dua kali pelanggaran yang dilakukan selama tahun 2011: (1) pelanggaran perijinan yang tidak lengkap pelanggaran daerah penangkapan
kali; dan (2)
kali. Di sisi lain, informasi yang didapat oleh DKP
Kebupaten Maluku Tenggara, tahun 2011, sebanyak
kali: (1) penggunaan bahan peledak
(bom) informasi; dan (2) penggunaan bius (potasium sianida) kali. Kedua data ini menjadi dasar dalam penilaian kepatuhan dimana untuk pelanggaran hukum dalam kategori sedang, dan secara non formal juga termasuk dalam kategori sedang (2) Indikator 2: Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan Maluku Tenggara memiliki kelengkapan regulasi pengelolaan perikanan yang meliputi: perijinan usaha, operasionalisasi penangkapan ikan, konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir, serta pengelolaan pesisir dan pulau kecil. Eksistensi regulasi ini telah diakomodasi sejak tahun 2004, khusus untuk penataan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil baru dikembangkan tahun 2010. Penegakan aturan selalu dilakukan, dimana hal ini tergambar dari adanya proses hukum yang dilakukan terhadap pelanggaran armada penangkapan yang ijin operasionalnya tidak lengkap dan pelanggaran daerah penangkapan ikan. Namun demikian, capaian ini masih dianggap tidak efektif, karena masih adanya informasi pelanggaran yang tidak terjangkau penegakan hukum. Armada pengawasan hanya
unit (speedboat dan jumlah pengawas hanya
orang sementara
wilayah pengelolaan perikanan cukup luas. Teguran yang langsung diikuti dengan proses hukum terhadap pelanggaran yang ada, telah dilakukan. Sebagai contoh adanya usulan proses hukum terhadap pelaku. (3) Indikator 3: Mekanisme Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan bersifat kolaboratif dengan melibatkan lembaga lain: (1) untuk perijinan usaha, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD dan HNSI; (2) untuk operasionalisasi penangkapan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD, HNSI dan Perguruan Tinggi; (3) untuk konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir
PP. kecil, dilakukan
bersama KSDA, Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI dan LSM. Mekanisme ini dijalankan secara reguler sesuai dengan usulan yang masuk.
Keputusan selalu diambil dengan pendekatan regulasi yang ada, dan dijalankan sepenuhnya (sesuai dengan mekanisme). (4) Indikator 4: Rencana Pengelolaan Perikanan RPP khusus untuk Maluku Tenggara Belum ada. (5) Indikator 5: Tingkat Sinergitas Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Ada koordinasi yang berjalan dengan baik antara DKP dengan lembaga lain: (1) perijinan usaha, dengan Kesyahbadaran, BPMD dan HNSI; (2) operasionalisasi penangkapan, dengan Kesyahbadaran, BPMD, HNSI dan Perguruan Tinggi; (3) konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir
PP. kecil, dilakukan bersama KSDA, Bapedalda, Perguruan Tinggi. LIPI dan LSM.
Kondisi ini didukung dengan kebijakan daerah tentang integrasi kelembagaan dalam pengelolaan SDA lokal. Tidak ada kebijakan yang bertentangan karena adanya kebijakan pengelolaan berbasis integrasi kelembagaan dan sistem perijinan satu pintu. (6) Indikator 6: Kapasitas Pemangku Kepentingan Upaya peningkatan kapasitas yang diikuti dalam tahun 2011: (1) workshop konservasi; (2) studi banding transplantasi karang. Hasil ini diimplementasikan dalam bentuk pengembangan kawasan konservasi dan program transplantasi karang di kawasan Pulau Sepuluh. Namun demikian, upaya ini tidak diikuti dengan implementasi secara efektif di lapangan. (7) Indikator 7: Keberadaan Otoritas Tunggal Pengelolaan Perikanan Sama sekali tidak ada single authority. DKP merupakan lembaga yang berkontribusi langsung terhadap pengelolaan perikanan, namun lembaga lain juga memiliki peran masing-masing sesuai tugas dan fungsinya.
5 5.1
Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan Analisa menggunakan sistem Flag
Analisis dengan menggunakan sistem Flag menunjukkan adanya distribusi nilai yang bervariasi untuk setiap indikator pada seluruh domain yang dianalisis. Hasil analisis secara parsial untuk setiap domain dieksrepsikan secara tabular sebagai berikut: (1) Domain Habitat: INDIKATOR 1. Kualitas perairan
KRITERIA 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3
1= 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah
3
Satuan NTU 1= konsentrasi klorofil 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi 2. Status lamun
3. Status mangrove
SKOR
BOBOT (%) 20
RANKING
NILAI
1
53,33
15
2
37,50
15
2
22,5
2
1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' 3,2 atau H' 1) kanekaragaman sedang (3,20
9,97 atau H’>3)
3
1= kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2= kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3= kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75% 1= keanekaragaman rendah (H' 3,2 atau H' 1); 2= kanekaragaman sedang (3,209,97 atau H’>3) 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal INP rendah; INP sedang; INP tinggi
1
2
2
1
2
Domain Habitat (Lanjutan...) INDIKATOR 4. Status terumbu karang
KRITERIA 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50% 1=keanekaragaman rendah (H' 3,2 atau H' 1);
SKOR 2
BOBOT (%) 15
RANKING
NILAI
2
15
0
kanekaragaman sedang (3,209,97 atau H’>3) 5. Habitat unik/ khusus (spawning ground nursery ground feeding ground, upwelling). 6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
1= tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2= diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3= diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik 1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
2
15
3
30
3
10
4
30
State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
1
10
5
20
3
RERATA 2,00
TOTAL 100,00
TOTAL 208,33
(2) Domain Sumber Daya Ikan: INDIKATOR 1. CPUE Baku
2. Ukuran ikan
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
KRITERIA menurun tajam menurun sedikit stabil atau meningkat trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; trend ukuran relatif tetap; trend ukuran semakin besar banyak sekali (> 60%) banyak (30 - 60%) sedikit (<30%)
2
BOBOT (%) 40
2
20
2
40
2
15
3
30
SKOR
RANKING
NILAI
(Killer Indicator)
80
Domain Sumber Daya Ikan (Lanjutan...) INDIKATOR 4. Komposisi spesies
5. Spesies ETP
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
7. Densitas/ Biomassa untuk ikan karang invertebrata
proporsi target lebih sedikit proporsi target sama dgn nontarget proporsi target lebih banyak
3
BOBOT (%) 10
1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; tidak ada spesies ETP yang tertangkap semakin sulit; relatif tetap; semakin mudah fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
2
5
6
10
1
8
5
12
KRITERIA
jumlah individu 10 ind/m3; jumlah individu 10 ind/m3; jumlah individu 10 ind/m3
SKOR
RANKING
NILAI
4
30
2
1
2
2
RERATA 1,88
TOTAL 100,00
TOTAL 204,00
(3) Domain Teknik Penangkapan Ikan: INDIKATOR 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. 3. Fishing capacity dan Effort 4. Selektivitas penangkapan
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai peraturan.
KRITERIA 1= frekuensi pelanggaran 10 kasus per tahun =frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun =frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun =lebih dari 50 ukuran target spesies Lm 2 =25-50% ukuran target spesies 75%) sedang (50-75%) tinggi (kurang dari 50%) alat tangkap yang tidak selektif kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal Kepemilikan sertifikat <50%; Kepemilikan sertifikat 50-75%; Kepemilikan sertifikat >75%
3
BOBOT (%) 30
0
25
2
0
1
15
3
15
3
15
4
45
3
10
5
30
3
5
6
15
RERATA 2,17
TOTAL 100,00
SKOR
RANKING
NILAI
(Killer Indicator)
90
TOTAL 195,00
(4) Domain Sosial: INDIKATOR
KRITERIA
1. Partisipasi pemangku kepentingan 2. Konflik perikanan
kurang dari 50%; 50-100%; 100 % lebih dari kali/tahun; 2- kali/tahun; kurang dari kali/tahun tidak ada; ada tapi tidak efektif; ada dan efektif digunakan
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge
2
BOBOT (%) 40
3
35
2
105
2
25
3
50
RERATA 2,33
TOTAL 100,00
SKOR
RANKING
NILAI
1
80
TOTAL 235,00
(5) Domain Ekonomi: INDIKATOR 1. Kepemilikan Aset
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN) 3. Pendapatan Rumah Tangga (RTP) 4. Saving rate
KRITERIA nilai aset berkurang (lebih dari 50%) nilai aset tetap (kurang dari 50%); nilai aset bertambah (di atas 50%) kurang dari 100, 100, lebih dari 100 1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, rata-rata UMR kurang dari bunga kredit pinjaman; sama dengan bungan kredit pinjaman; lebih dari bunga kredit pinjaman
2
BOBOT (%) 35
3
30
2
90
1
20
3
20
1
15
4
15
RERATA 1,75
TOTAL 100,00
SKOR
RANKING
NILAI
1
70
TOTAL 195,00
(6) Domain Kelembagaan: INDIKATOR 1. Kepatuhan prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang ditetapkan baik secara formal maupun nonformal (Alat)
KRITERIA 1= lebih dari kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2- kali terjadi pelanggaran hukum; kurang dari kali pelanggaran hukum Non formal 1= lebih dari informasi pelanggaran, 2= lebih dari informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
SKOR 2
2
BOBOT (%) 25
RANKING
NILAI
1
50
Domain Kelembagaan (Lanjutan) INDIKATOR 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
3. Mekanisme pengambilan keputusan
4. Rencana pengelolaan perikanan 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
6. Kapasitas pemangku kepentingan 7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
KRITERIA tidak ada; ada tapi tidak lengkap; ada dan lengkap Elaborasi untuk poin 2: 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah 1= tidak ada penegakan aturan main; 2= ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3= ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang; 2= ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman 1= tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3= ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 1= belum ada RPP; 2= ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3= ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2=komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3=sinergi antar lembaga berjalan baik 1=terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2=kebijakan tidak saling mendukung; 3=kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; ada tapi tidak difungsikan; ada dan difungsikan 1= tidak ada single authority lebih dari satu authority; ada single authority
SKOR
BOBOT (%) 22
RANKING
NILAI
2
52,8
18
3
54
1
15
4
15
3
11
5
33
2
5
6
10
1
4
7
4
RERATA 2,87
TOTAL 100,00
3 2
2
2
3
3
3
3
TOTAL 218,80
(7) Nilai Komposit/Agregat: Domain Sumberdaya Ikan Habitat ekosistem Teknik Penangkapan Ikan Sosial Ekonomi Kelembagaan Aggregat 5.2 ---
Nilai Komposit 204,00 208,33 195,00 235,00 195,00 218,80
Deskripsi Baik Baik Sedang Baik Sedang Baik
209,36
Baik
Analisa menggunakan sistem Multidimensional Scaling
6 Pembahasan 6.1
Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan
Sesuai dengan tahapan proses kajian ini, maka ditemukan beberapa catatan terkait dengan metode dan analisis yang digunakan: (1) Domain Habitat a. Indikator kualitas perairan: Limbah yang seharusnya disampling dan dimonitor sedikitnya empat kali dalam satu tahun, sulit dilakukan untuk waktu kajian yang pendek. Walaupun demikian, solusinya adalah melalui pendekatan visual pada lokasi berpotensi tercenar dan penelusuran data sekunder. Dalam kajian ini, pendekatan data sekunder digunakan untuk kualitas air sesuai dengan kriteria baku mutu air menurut PP. No. 82 Tahun 2001. Tingkat kekeruhan dapat dinilai, walaupun data yang digunakan adalah data sekunder. Eutrofikasi dapat dinilai, data yang digunakan berasal dari hasil cuplikan data Citra MODIS. b. Indikator status lamun: Seluruh komponen dalam indikator ini dapat dinilai dengan baik. c. Indikator status mangrove: Seluruh komponen dalam indikator ini dapat dinilai dengan baik. d. Indikator status terumbu karang: Seluruh komponen dalam indikator ini dapat dinilai dengan baik. e. Indikator habitat khusus/unik: Penilaiannya membutuhkan kajian lebih mendalam. Solusi yang digunakan adalah dengan mengandalkan pengetahuan masyarakat nelayan dan staf pengelola perikanan di daerah tentang eksistensi habitat khusus/unik berdasarkan spesies indikator yang mudah diketahui. Walaupun dapat dilakukan pendekatan untuk penilaian, namun pengetahuan masyarakat tentang habitat khusus/unik ini belum sepenuhnya
menjawab
kebutuhan
kajian
pengelolaan
perikanan
dengan
pendekatan ekosistem, khususnya dari aspek kualitas dan kuantitas data/informasi;
f.
Indikator status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya: Penilaiannya secara khusus untuk perairan estuari sulit dilakukan untuk wilayah kajian ini, karena tidak terdapat perairan estuari, kecuali beberapa kawasan yang berciri estuari. Data yang digunakan berasal dari hasil cuplikan data Citra MODIS
g. Indikator perubahan iklim terhadap kondisi ekosistem dan habitat: Penilaiannya juga membutuhkan kajian lebih mendalam. Solusi yang digunakan adalah dengan mengandalkan pengetahuan masyarakat nelayan dan staf pengelola perikanan di daerah tentang eksistensi dampak perubahan iklim dan strategi adaptasi dan mitigasi. Hasil penilaiannya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan kajian pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem secara komprehensif terkait persoalan dampak perubahan iklim (2) Domain Sumber Daya Ikan a. Ada dualisme untuk pengukuran CPUE, berbasis pelabuhan perikanan dan berbasis nelayan lokal. Skala yang berbeda menyebabkan integrasi analisis sulit dilakukan. b. Dalam uji coba ini, proses untuk indikator
membutuhkan waktu yang panjang,
sehingga kurang terakomodasi dengan baik. (3) Domain Teknologi Penangkapan a. Sertifikasi awak kapal cenderung sesuai dengan peraturan dapat diukur untuk nelayan skala besar dan nelayan yang melakukan pengurusan perijinan usaha di DKP, namun sulit diukur untuk nelayan kecil karena umumnya kepemilikan alat dan armada tidak tercatat dalam dokumen legal; (4) Domain Sosial a. Seluruh indikator dapat dinilai dengan baik. (5) Domain Ekonomi b. Seluruh indikator dapat dinilai dengan baik. (6) Domain Kelembagaan a. Tingkat kepatuhan hendaknya dapat dinilai dari berbagai aspek, tidak hanya pada catatan pelanggaran, tetapi juga pada aspek teknis (termasuk dampak teknologi) yang tentunya memberikan dampak terhadap lingkungan perairan.
6.2
Performa perikanan yang dikaji
Sesuai dengan distribusi nilai yang terakumulasi untuk setiap domain, maka hasil analisis menunjukkan performa perikanan yang dikaji sebagai berikut: (1) Domain Habitat dan Ekosistem memiliki nilai komposit sebesar 208,33 dengan Status Baik yang mengindikasikan kondisi perairan dan ekosistem masih mampu memberikan dukungan terhadap pengelolaan perikanan berkelanjutan di Maluku Tenggara. Hal ini masih harus dikembangkan dengan pengaturan yang lebih operasional dalam rangka pemuliaan habitat dan ekosistem utama di perairan. Secara parsial, dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat, status terumbu karang dan mangrove memiliki distribusi nilai indeks keberlanjutan yang rendah (Gambar 10), mengindikasikan adanya kebutuhan yang serius dalam pengelolaan indikator-indikator tersebut. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
20.00
Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
30.00
Habitat unik/khusus
30.00
Status terumbu karang
15.00
Status mangrove
22.50
Status lamun
37.50
Kualitas perairan
53.33 0
10
20
30
40
50
60
Gambar 10. Distribusi nilai indikator pada Domain Habitat (2) Domain Sumber Daya Ikan memiliki nilai komposit sebesar 204,00 dengan Status Baik merupakan kondisi yang diharapkan untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan perikanan. Namun demikian masih ada faktor-faktor yang harus dikelola dengan baik, karena secara parsial, nilai indeks untuk indikator komposisi spesies, spesies ETP dan range collapse sangat rendah (Gambar 11). Hasil ini menunjukkan masih ada masalah yang harus dikelola dengan baik, terutama pada faktor selektifitas alat tangkap, pengawasan dan penanganan serius pada pemanfaatan jenis-jenis ETP, serta pengendalian unit penangkapan ikan sebagai faktor input dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Pada kondisi ini, aspek regulasi untuk pengendalian menjadi penting untuk dikembangkan dan diterapkan lebih komprehensif.
Range collapse
2.00
Spesies ETP
12.00
Komposisi spesies
10.00
Proporsi ikan yuwana yang ditangkap
30.00
Ukuran ikan
30.00
Status lamun
40.00
CPUE Baku
80.00 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Gambar 11. Distribusi nilai indikator pada Domain Sumber Daya Ikan (3) Domain Teknik Penangkapan Ikan memiliki nilai komposit sebesar 195,00 dengan Status Sedang merupakan warning dalam mengakomodasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Hal ini penting diperhatikan terkait dengan operasionalisasi teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan. Secara parsial, nilai indeks untuk indikator sertifikasi awak kapal perikanan dan fishing capacity sangat rendah. Bahkan modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan berada pada nilai indeks nol (Gambar 12). Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai…
15.00
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal…
30.00
Selektivitas penangkapan
45.00
Fishing capacity dan Effort
15.00
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat… 0.00 Metode penangkapan ikan yang bersifat… 0
90.00 20
40
60
80
100
Gambar 12. Distribusi nilai indikator pada Domain Teknik Penangkapan Ikan Persoalan kepemilikan sertifikat di kalangan awak kapal, kapasitas penangkapan dan upaya serta upaya-upaya modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan harus dicermati dengan baik. Beberapa solusi yang terkait persoalan ini meliputi: peningkatan pengawasan kepemilikan sertifikat di kalangan awak kapal, peningkatan nilai konteks kapasitas tangkap dan aktivitas penangkapan, serta
dalam
pengawasan terhadap
teknologi penangkapan ikan yang dimodifikasi. Di tingkat daerah, aspek regulasi dan dinamisasi pengawasan menjadi penting untuk dilakukan.
(4) Domain Sosial memiliki nilai komposit sebesar 235,00 dengan Status Baik merupakan bukti pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara masih mengakomodasi nilai-nilai sosial yang berkembang di masyarakat (Gambar 13). Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan masih perlu didorong lebih dinamis sebagai langkah strategis dalam meningkatkan perannya dalam mendukung pengelolaan sumber daya ikan. Peningkatan peran masyarakat dengan partipasi mereka melalui pengetahuan lokal penting diperhatikan untuk mencapai keseimbangan pelaku pengelolaan di tingkat pemerintah daerah maupun nelayan. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam…
50.00
Konflik perikanan
105.00
Partisipasi pemangku kepentingan
80.00 0
20
40
60
80
100
120
Gambar 13. Distribusi nilai indikator pada Domain Sosial (5) Domain Ekonomi memiliki nilai komposit sebesar 195,00 dengan Status Sedang masih menjadi dilematis bagi pengembangan usaha perikanan yang bertujuan untuk meningkatan lapangan kerja (pro job dan juga peningkatan pendapatan masyarakat nelayan maupun pendapatan daerah (pro growth). Indikator pendapatan rumah tangga nelayan dan saving rate masih membutuhkan perhatian serius dalam meningkatkan kapasitas ekonomi nelayan (Gambar 14). Pemberdayaan ekonomi melalui peningkatan kapasitas usaha dan peningkatan pemahaman tentang budaya menabung menjadi penting untuk dikelola secara baik, baik oleh pemerintah maupun partisipasi swasta. Saving rate
15.00
Pendapatan rumah tangga
20.00
Nilai Tukar Nelayan
90.00
Kepemlikan aset
70.00 0
20
40
60
80
100
Gambar 14. Distribusi nilai indikator pada Domain Ekonomi (6) Domain Kelembagaan memiliki nilai komposit sebesar 218,80 dengan Status Baik merupakan bukti masih tingginya partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan, disamping upaya-upaya pemangku kepentingan dalam peningkatan kepatuhan nelayan dan/atau pengusaha/pemilik usaha perikanan dalam mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Indikator rencana pengelolaan perikanan, kapasitas pemangku kepentingan dan eksistensi otoritas pengelolaan memiliki distribusi nilai indeks yang rendah (Gambar 15). Hal ini membuktikan masih dibutuhkannya upaya-upaya peningkatan kapasitas daerah terkait dengan penyusunan rencana pengelolaan perikanan di tingkat kabupaten, peningkatan kapasitas pengelola perikanan di daerah dan pengembangan otoritas pengelolaan perikanan. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan…
4.00
Kapasitas pemangku kepentingan
10.00
Tingkat sinergisitas kebijakan dan…
33.00
Rencana pengelolaan perikanan
15.00
Mekanisme pengambilan keputusan
54.00
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan…
52.80
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip…
50.00
0
10
20
30
40
50
60
Gambar 15. Distribusi nilai indikator pada Domain Kelembagaan Agregasi dari seluruh nilai indeks pada setiap domain menunjukkan capaian nilai indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku sebesar 209,36 Hasil ini menunjukkan status pengelolaan nerada baik kisaran penilaian Baik Walaupun demikian, kajian terhadap seluruh domain menunjukkan masih adanya upaya peningkatan ataupun pengembangan terkait
dengan eksistensi
indikator-indikator penilaian
keberlanjutan
pengelolaan perikanan. Setidaknya beberapa indikator yang dibahas sebelumnya perlu mendapat perhatian serius untuk ditingkatkan.
7 Kesimpulan dan Rekomendasi 7.1
Kesimpulan
7.1.1
Metode dan analisa indikator EAFM
Secara umum metode dan analisis indikator EAFM dapat digunakan secara efektif untuk menentukan status atau tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan berbasis kawasan. Seluruh indikator dapat diinterpretasi dengan baik dan dapat digunakan dalam penilaian sesuai dengan ketersediaan data. Secara khusus, untuk beberapa metode dan analisis indikator EAFM masih membutuhkan pengkajian mendalam, terutama untuk variabel-variabel kajian yang terkait dengan penggunaan data lapangan secara musiman atau tahunan serta distribusi data tahunan. 7.1.2
Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM
Secara agregat, sesuai nilai komposit, status pengelolaan sumber daya ikan di Kabupaten Maluku Tenggara termasuk dalam kategori Baik Keberlanjutan pengelolaannya dapat dipertahankan dengan performa pengelolaan yang ada sekarang, namun masih membutuhkan pengembanganya pada beberapa domain, terutama indiktor-indikator pentingnya. Secara parsial, domain teknik penangkapan ikan dan ekonomi masih membutuhkan peningkatan kinerja. Beberapa indikator yang membutuhkan upaya peningkatan kapasitas dan strategi pengembangan meliputi: (1) status mangrove, status terumbu karang dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat pada domain habitat dan ekosistem; (2) komposisi spesies, spesies ETP dan range collaps pada domain sumber daya ikan; (3) modifikasi alat penangkapan ikan, kapasitas dan upaya penangkapan ikan, serta sertifikasi awak kapal pada domain teknik penangkapan ikan; (4) pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan pada domain sosial; (5) pendapatan rumah tangga dan saving rate pada domain ekonomi; (6) rencana pengelolaan perikanan, kapasitas pemangku kepentingan dan keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan.
Rekomendasi
7.2 7.2.1
Metode dan analisa indikator EAFM
Implementasi metode dan analisis indikator EAFM dapat diterapkan untuk seluruh daerah di Maluku, baik berbasis spesies maupun kawasan. Hal ini penting dilakukan sebagai langkah strategis dalam mendukung implementasi Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Perikanan di Maluku yang sementara dipersiapkan penetapannya dalam tahun 2012. Khusus untuk beberapa indikator yang membutuhkan pengkajian mendalam dengan skala waktu kajian yang panjang, perlu menjadi perhatian dalam implementasi metode dan analisis indikator EAFM. Hal ini menjadi penting untuk mendapat skala penilaian tingkat keberlanjutan yang sesuai dengan kondisi pengelolaan sumber daya ikan di tiap wilayah. 7.2.2
Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM
Beberapa rekomendasi yang penting menjadi perhatian dalam pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di Kabupaten Maluku Tenggara, antara lain: (1) Domain Habitat dan Ekosistem: a. Pengaturan yang lebih operasional dalam rangka pemuliaan habitat dan ekosistem utama di perairan; b. Peningkatan kepekaan dan upaya pengelolaan dampak iklim terhadap kondisi perairan dan habitat; c. Peningkatan status terumbu karang dan mangrove melalui upaya-upaya rehabilitasi dan pengelolaan berbasis masyarakat. (2) Domain Sumber Daya Ikan: a. Peningkatan pengawasan terhadap selektifitas alat tangkap; b. Peningkatan pengawasan dan penanganan pola-pola pemanfaatan jenis-jenis ETP; c. Pengendalian kuantitas dan kualitas unit penangkapan ikan; d. Pengembangan regulasi pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan yang tidak ramah lingkungan di tingkat daerah (3) Domain Teknik Penangkapan Ikan: a. Peningkatan pengawasan kepemilikan sertifikat di kalangan awak kapal; b. Peningkatan nilai
dalam konteks kapasitas tangkap dan aktivitas penangkapan,
c. Peningkatan pengawasan terhadap teknologi penangkapan ikan yang dimodifikasi. d. Pengembangan regulasi pengawasan alat penangkapan ikan di tingkat daerah.
(4) Domain Sosial: a. Peningkatan upaya-upaya pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan; b. Peningkatan partispasi masyarakat dalam mendukung implementasi pengetahuan lokal terkait pengelolaan sumber daya ikan. (5) Domain Ekonomi: a. Peningkatan kapasitas usaha yang berbasis pada pengembangan teknik penangkapan ikan ramah lingkungan; b. Peningkatan pemahaman nelayan tentang pentingnya budaya menabung. (6) Domain Kelembagaan: a. Peningkatan kapasitas daerah terkait dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan di tingkat kabupaten, b. Peningkatan kapasitas pengelola perikanan di daerah c. Pengembangan otoritas pengelolaan perikanan.
8 Referensi Charles, A. 2001. Sustanable Fishery Sistems. Blackwell Science Ltd. Victoria. 370 pp. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. 2002. Statisk Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2001. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. 2011. Statisk Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2010. Fakulas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. 2010. Kajian Data dan Informasi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. Fakulas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. 2012. Kajian Data dan Informasi Kawasan Konservasi Kabupaten Maluku Tenggara. KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB. 2012. Penilaian Indikator Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management): Modul Training. Bogor. 178 hal. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Perikanan.
9 Lampiran Lampiran 1. Hasil perhitungan CPUE dan FPI alat tangkap dominan di Kabupaten Maluku Tenggara Sero Tancap Tahun
Catch (ton)
Effort (trip)
2001
20,5
2002 2003 2004 2005 2006
Pukat Cincin
Jaring Insang Hanyut
CPUE
Effort (trip)
CPUE
702
0,0292
178,0
231
0,7706
21,2
684
0,0310
193,3
195,9
0,9866
21,8
669
0,0326
206,3
246,1
19,5
650
0,0300
222,7
18,0
637
0,0283
16,5
625
0,0264
2007
15,0
612
2008
12,7
2009
11,3
2010
10,0
560
0,0179
300,0
512
0,5859
5
512
0,0098
150,0
576
0,2604
Rataan
16,7
631
0,0261
239,0
372
0,7214
4,50
372
0,0126
123,5
384
0,3434
FPI
CPUE
Catch (ton)
Effort (trip)
CPUE
231
0,0173
97,0
192
0,5052
4,1
266
0,0155
103,6
240
0,4318
0,8385
4,2
296
0,0143
109,3
281
0,3888
187,5
1,1874
4,4
334
0,0131
116,4
333
0,3500
233,6
310,2
0,7530
4,5
359
0,0124
121,1
367
0,3302
244,4
432,8
0,5648
4,5
384
0,0118
125,9
401
0,3138
0,0245
255,3
555,5
0,4597
4,6
409
0,0113
130,6
435
0,2999
593
0,0215
271,7
496,9
0,5467
4,8
447
0,0107
137,7
487
0,2828
578
0,0196
284,8
547,1
0,5204
4,9
477
0,0102
143,4
528
0,2715
0,0362
1,0000
Catch (ton)
Effort (trip)
Bagan Perahu
Catch (ton)
0,0175
0,4761
Lampiran 1. Lanjutan .... Jaring Insang Lingkar Tahun
Catch (ton)
Effort (trip)
2001
2,5
2002 2003
Jaring Insang tetap
CPUE
Catch (ton)
Effort (trip)
411
0,0061
4,5
2,6
432
0,0059
2,6
449
0,0058
Bubu
CPUE
Catch (ton)
Effort (trip)
588
0,0077
2,2
4,6
613
0,0074
4,6
634
0,0073
Pancing Ulur CPUE
Catch (ton)
Effort (trip)
432
0,0051
2,5
2,2
450
0,0048
2,2
465
0,0046
Pancing Tonda
CPUE
Catch (ton)
Effort (trip)
CPUE
480
0,0052
1,2
576
0,0021
2,8
504
0,0056
1,7
600
0,0028
3,1
525
0,0059
2,1
621
0,0034
2004
2,7
471
0,0057
4,7
660
0,0071
2,1
485
0,0044
3,4
550
0,0062
2,6
646
0,0040
2005
2,7
486
0,0056
4,7
677
0,0070
2,1
498
0,0042
3,6
567
0,0064
2,9
663
0,0044
2006
2,8
501
0,0055
4,8
695
0,0069
2,1
510
0,0041
3,9
585
0,0066
3,3
681
0,0048
2007
2,8
516
0,0055
4,8
712
0,0068
2,1
523
0,0040
4,1
602
0,0068
3,6
698
0,0052
2008
2,9
538
0,0054
4,9
739
0,0066
2,0
543
0,0038
4,4
627
0,0070
4,1
723
0,0057
2009
4,9
760
0,0065
2,0
558
0,0036
4,7
648
0,0072
4,5
744
0,0061
2,9
555
0,0053
2010
3,0
576
0,0052
5,0
784
0,0064
2,0
576
0,0035
5,0
672
0,0074
5,0
768
0,0065
Rataan
2,75
494
0,0056
4,75
686
0,0070
2,10
504
0,0042
3,75
576
0,0064
3,10
672
0,0045
FPI
0,0078
0,0096
0,0058
0,0089
Lampiran 2. Matriks analisis EAFM Kabupaten Maluku Tenggara (File Excel)
0,0062