Penilaian Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara
Oleh:
James Abrahamsz Frederik W. Ayal
30 April 2015
Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dengan WWF-Indonesia
1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan dinyatakan sebagai sebuah kewajiban seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikannya, UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kewajiban pengelolaan perikanan ini didasarkan pada pengertian tentang perikanan yang dirumuskan dalam peraturan perundangan itu, yaitu: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan perikanan Indonesia ditentukan oleh model pengelolaan perikanan yang dikembangkan dalam suatu sistem yang dinamis. Oleh sebab itu, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumber daya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumber daya ikan itu sendiri. Dalam konteks sistem, pengelolaan perikanan menurut Charles (2001), terkait dengan dua skala pengelolaan yakni: (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Kedua skala pengelolaan ini memberikan jastifikasi tentang sangat dinamisnya pengelolaan perikanan. Dinamika pengelolaan perikanan menyebabkan adanya kebutuhan model pengelolaan sesuai dengan karakteristik kawasan dan sumber daya perikanan yang terdistribusi di setiap kawasan. Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengelolaan secara berkelanjutan. Untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan di dunia, FAO (2003) mengembangkan konsep pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach to fisheries/ EAF), yaitu:
“An ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. yang diterjemahkan sebagai: “Suatu pendekatan yang berusaha untuk menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang terdapat pada sumber daya biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen ekosistem dan interaksi mereka dan menerapkan pendekatan yang terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti”. Secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan (KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2014). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan dimensi sumber daya perikanan dan ekosistem, dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan perikanan. Kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumber daya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting. Implementasi EAFM di Indonesia menggunakan pendekatan indikator yang digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh
stakeholders (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan. Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pertama kali diinisiasi di Indonesia pada tahun 2010, dengan kerjasama antara Direktorat Sumber Daya Ikan dan Perikanan; Pusat Kajian Perikanan dan Lautan
Kementerian Kelautan
Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), dan
WWF-Indonesia (WWF-ID). Dalam perkembangannya, EAFM diperkenalkan kepada beberapa sekolah tinggi/ universitas yang memiliki jurusan kelautan dan perikanan, untuk kemudian bersama-sama menjadi tim penilai performa perikanan di lokasi/ wilayah dimana institusi mereka berada. Tim penilai ini kemudian bersama-sama dengan kelompok kecil penginisiasi membangun kelompok kerja EAFM yang bertujuan selain melakukan penilaian EAFM di lokasi mereka berada serta menjadi pusat pembelajaran terkait EAFM (learning center). Pasca pelatihan penilaian Indikator EAFM pada Januari tahun 2012 di Bogor, WWF-ID bekerjasama dengan Universitas Pattimura, untuk melakukan penilaian pengelolaan perikanan menggunakan indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penilaian yang dilakukan di Maluku Tengara ini juga menjadi salah satu komponen dalam penilaian Indikator EAFM di WPP 714, saat itu. Setelah dua tahun hasil penilaian itu, WWF-ID berinisiatif melakukan penilaian kembali terhadap indikator EAFM yang sebelumnya telah dinilai, dengan substansi penilaian yang sesuai dengan Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem, versi terbaru (NWG-EAFM, Direktor SDI-KKP, 2014). Kegiatan ini dilakukan melalui kerjasama WWF-ID dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Kerjasama ini diarahkan untuk melihat seberapa besar perubahan yang terjadi dalam komponen yang menjadi indikator, dan diharapkan kegiatan ini juga dapat menjadi tolok ukur pengelolaan perikanan. Dalam waktu dua tahun berbagai langkah telah dilakukan terkait dengan upaya-upaya yang mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. Pertama pengembangan kawasan konservasi di perairan Barat Kei Kecil (Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Maluku Tenggara) dengan luas kawasan 150.000 ha merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi yang cukup baik dalam perbaikan pengelolaan perikanan di wilayah ini. Kedua pengembangan sistem zonasi pada kawasan konservasi perairan tersebut di atas menjadi dasar untuk meningkatkan pemahaman di tingkat stakeholder maupun masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meningkatnya pemahaman di tingkat stakeholder
maupun masyarakat ini sangat mungkin terjadi ketika proses-proses inisiasi sampai dengan sosialisasi tentang eksistensi dan status kawasan konservasi perairan yang dimaksud. Ketiga perubahan orientasi pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis pada kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan juga memberikan kontribusi cukup kuat dalam implementasi seluruh kebijakan perikanan di wilayah ini. Sosialisasi tentang pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan semakin meningkat, terutama dengan dukungan berbagai program pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara maupun program-program yang diinsiasi oleh WWF-ID. Keempat pengembangan mekanisme pengawasan di tingkat masyarakat lokal dan peningkatan aktivitas pengawasan di wilayah pesisir dan laut, baik oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara maupun yang didukung oleh PSDKP merupakan upaya-upaya untuk membangun partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. DKP Kabupaten Maluku Tenggara juga memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat pengawas melalui programprogram bidang pengawasan, dimana langkah ini sangat dibutuhkan pada tingkat pengguna kawasan yang paling dekat dengan lingkungan dan sumber daya di kawasan ini. Kelima pelatihan-pelatihan bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan dan peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, telah dilakukan dalam dua sampai tiga tahun terakhir. Perubahan pola pikir akan sangat berpengaruh terhadap bentuk dan pola pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Keenam pelatihan-pelatihan bagi stakeholder terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan, peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, serta pendalaman proses zonasi kawasan konservasi perairan merupakan upaya-upaya dalam peningkatan kapasitas stakeholder terkait perikanan dalam mencermati persoalan dan kerangka strategis pengembangan perikanan secara berkelanjutan. Ketujuh upaya-upaya pengembangan program mata pencaharian alternatif merupakan langkah strategis untuk mengantisipasi tekanan yang diberikan oleh para pengguna kawasan, terkait dengan pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan pemahaman tentang kegiatan ekonomi produktif yang tidak bersifat ekstraktif dan mendukung perikanan berkelanjutan termasuk dalam target utama setiap kegiatan yang terkait dengan mata pencaharian alternatif.
Hasil analisis terhadap perubahan yang diduga terjadi pada beberapa komponen dalam indikator EAFM, sebagai akibat intervensi program dan kegiatan di atas, mesti diketahui oleh seluruh stakeholder perikanan terkait di Kabupaten Maluku Tenggara. Langkah strategisnya adalah melalui proses desiminasi yang diarahkan untuk melihat secara bersama tentang kemajuan (atau kemunduran) pengelolaan perikanan di wilayah ini.
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi Kajian evaluatif terhadap indikator EAFM pada perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara dilakukan untuk mengimplementasi Fungsi Kunci “Melakukan Evaluasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem”, dengan tujuan sesuai fungsi utamanya, meliputi: (1) Fungsi utama “Melakukan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM”, dengan tujuan: a. Menyiapkan data untuk menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator EAFM; b. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sumber daya ikan; c. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain habitat; d. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain teknik penangkapan; e. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sosial; f.
Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain ekonomi;
g. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain kelembagaan. (2) Fungsi utama “Melakukan Desiminasi Laporan Evaluasi EAFM” dengan tujuan: a. Melaporkan kesimpulan evaluasi agregat/ komposit semua domain EAFM; b. Merekomendasikan saran tindak lanjut EAFM. Manfaat pelaksanaan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara adalah dapat diketahuinya perubahan status pengelolaan yang terjadi dalam waktu dua tahun terkahir. Diseminasi hasil kajian ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman stakeholder tentang pentingnya melakukan penilaian untuk mendukung pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di wilayah ini.
1.3
Keluaran
Sesuai dengan tujuan yang berbasis pada fungsi kunci dan fungsi utamanya, kajian evaluatif ini dilakukan untuk menghasilkan beberapa luaran sebagai berikut:
(1) Laporan Penilaian Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara; (2) Laporan pelaksanaan workshop diseminasi hasil penilaian indikator EAFM; (3) Adanya komitmen dari Kabupaten Maluku Tenggara untuk melanjutkan hasil penilaian indikator EAFM (4) Hasil penilaian EAFM menjadi dasar kajian kademik dalam mendukung pembuatan peraturan daerah untuk pengelolaan perikanan.
2 Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara Gambaran tentang perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara dalam periode evaluasi ini tidak dapat diberikan seperti pada periode analisis sebelum dalam Tahun 2012. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem penanganan data perikanan tangkap. Jika pada periode sebelum, perkembangan data perikanan tangkap dapat diekstraksi untuk setiap wilayah kecamatan, maka pada periode evaluasi ini tidak dapat dilakukan karena beberapa faktor sebagai berikut: (1) adanya perubahan sistem penanganan dan pengolahan data akibat perubahan staf di tingkat dinas; (2) adanya perubahan jumlah kecamatan yang tidak dapat diantisipasi dalam penanganan dan pengolahan data; serta (3) diduga peran tenaga lapangan dalam penanganan data semakin menurun. Kondisi tersebut di atas menyebabkan pendekatan deskripsi dan analisis dilakukan secara agregat. Data yang digambarkan dan diolah seluruhnya pada bagian ini, menggunakan pendekatan data total untuk Kabupaten Maluku Tenggara.
2.1 Perkembangan Nelayan Dalam dokumen penilaian kinerja pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012 telah disebutkan bahwa dinamika pengelolaan perikanan sangat ditentukan oleh eksistensi sumber daya manusia pengelola. Dalam konteks sistem perikanan berkelanjutan, komponen sistem manusia yang paling dekat dengan pengelolaan perikanan adalah nelayan (Abrahamsz dan Manuputty, 2012). Eksistensi nelayan dalam sistem ini sering disebut sebagai aktor utama pengelolaan perikanan. Perkembangan jumlah nelayan di wilayah ini
Pertumbuhan (%)
ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan
2.00
dari tahun 2007 sampai dengan 2014 sebesar
0.00
-1,84%. Hasil ini menunjukkan secara agregat,
-4.00
agregat ini terkait dengan perkembangan
-8.00
indikator
dalam
perkembangannya di wilayah ini.
mencermati
2
3
-1.08
-6.00
menjadi
1
-2.00
orang. Pertumbuhan yang ditunjukkan secara jumlah nelayan pada tahun-tahun utama, dan
(2012-2013)
0.12
terjadi penurunan jumlah nelayan sejak tahun 2007 sampai dengan 2014 sebanyak 1.570
(2010-2011)
-10.00
(2008-2009)
4
0.02
5
6
7
0.04
0.01
(2011-2012)
(2013-2014)
-2.88 (2007-2008)
-9.11 (2009-2010)
Gambar 2 Pertumbuhan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2007-2014
Pertama pada periode tahun 2009 sampai dengan 2010 terjadi penurunan yang cukup tajam, yakni sebesar 9,11%. Pada periode ini perkembangan usaha budidaya rumput laut meningkat cukup tajam, dan menyebabkan beralihnya usaha ekonomi produktif nelayan ke pembudidaya. Kecenderungan ini dimulai sejak tahun 2006 dan 2007, sejak meningkatnya harga rumput laut dan dukungan kebijakan budidaya rumput laut oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara melalui Dinas Kelautan dan Perikanannya. Kedua pada periode tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi peningkatan jumlah nelayan yang cukup lambat, berkisar antara 0,01% sampai dengan 0,12%. Pertumbuhan yang lambat ini terjadi karena bertambahnya jumlah nelayan dari rumah tangga perikanan tangkap yang masih mengembangkan usaha penangkapan ikan. Jika evaluasi dilakukan untuk periode pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2011 sampai dengan 2014 (sesuai periode evaluasi EAFM), rata-rata pertumbuhan nelayan sebesar 0,02% atau terjadi peningkatan jumlah nelayan sebanyak tujuh orang. Perkembangan jumlah nelayan pada periode ini, sesuai dengan alasan kedua yang dikemukakan di atas, dan beberapa penyebab sebagaimana ditemukan dalam hasil penelusuran data untuk tahun 2013 dan 2014. Pertama dinamika yang ditunjukkan melalui perkembangan jumlah nelayan juga disebabkan karena adanya perekrutan tenaga kerja pada perikanan tangkap akibat kebijakan pengembangan alat penangkapan ikan. Pada tahun 2013 dan 2014, dua jenis usaha perikanan tangkap yang berkembang cukup cepat yakni perikanan bagan dan mini purse seine Kedua jenis usaha perikanan ini memiliki kecenderungan perekrutan tenaga kerja yang cukup tinggi, untuk usaha bagan antara empat sampai enam orang, sedangkan usaha mini purse seine antara 15 25 orang. Kedua pada periode tahun 2013-2014, terjadi peningkatan jumlah nelayan ditunjukkan pada usaha perikanan pancing, yang dikembangkan untuk mendukung perikanan usaha ekonomi produktif berbasis perikanan kerapu. Sebagian nelayan pancing yang masih eksis pada perikanan tangkap mulai meningkatkan pendapatan mereka berbasis pada perikanan kerapu.
2.2 Perkembangan Alat Penangkapan Ikan 18,000
Distribusi jumlah alat penangkapan ikan di
16,719
16,000
14,371 14,913
14,171
14,000
14,359
13,500
12,000
wilayah ini menunjukkan adanya perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ditunjukkan
14,781 13,559
dengan
10,000
penurunan
penangkapan
8,000
ikan.
jumlah Dalam
unit
alat
periode
6,000
pembangunan kelautan dan perikanan tahun
4,000
2007 sampai dengan 2014, penurunan yang Alat Tangkap (unit)
2,000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
ditunjukkan secara agregat sebesar 1,80%. Laju
penurunan
ini
disebabkan
oleh
Gambar 2 Perkembangan alat penangkapan penurunan jumlah alat penangkapan ikan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara, yang bersifat tradisional, seperti alat Tahun 2007-2014 pengumpul kerang, alat pengumpul teripang, jaring insang lingkar, dan jaring insang tetap, serta bubu. Kelompok-kelompok alat penangkapan ikan ini mulai ditinggal dengan alasan dikembangkannya alat penangkapan ikan yang lebih produktif, peningkatan pendapatan dan adanya pilihan terhadap pengembangan produk untuk komoditas-komoditas utama seperti kerapu hidup. Dalam periode evaluasi (tahun 2012
2014) dengan menggunakan perkembangan data dari
tahun 2011-2014, terjadi peningkatan jumlah alat penangkapan ikan sebesar 0,01%. Kontribusi pertumbuhan positif pada periode ini disebabkan meningkatnya jumlah alat tangkap pada tahun 2012. Pada tahun 2013 dan 2014 jumlah alat tangkap cenderung menurun, namun laju penurunan ini masih di bawah peningkatan jumlah pada tahun 2012. Sejauhmana pengaruhnya terhadap produksi tergambar dalam perkembangan produksi yang disampaikan berikut ini. Hal ini sesuai dengan penurunan dan atau peningkatan jenis alat penangkapan ikan.
2.3 Perkembangan Produksi Perkembangan produksi perikanan tangkap pada periode analisis (2007
2014) juga
menunjukkan adanya fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Laju penurunan yang sangat tajam terjadi pada periode 2007 2008 dan periode 2009 2010, masing-masing sebesar 44,64% dan 52,03%.
mulai
120,000
berkembang lagi setelah kurang lebih tiga
100,000
tahun sebelumnya menurun akibat peralihan
80,000
perikanan
tangkap
perhatian pada kegiatan ekonomi produktif untuk kegiatan perikanan budidaya.
60,000 40,000 20,000 0
Pada periode tahun 2011
66,835.71
kegiatan
61,995.10
140,000
63,546.90
sepanjang periode analisis ini. Tahun 2011
64,696.10
160,000
38,350.00
180,000
peningkatan produksi yang sangat tinggi
Produksi (ton)
79,941.90
peningkatan sebesar 68,70% dan termasuk
88,341.90
2011, terjadi
159,573.00
Pada periode tahun 2010
2014, kurang ada
1
2
3
4
5
6
7
8
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 3 Perkembangan volume produksi ikan di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2007-2014 periode ini sebesar 1,20%. Pertumbuhan fluktuasi.
Rata-rata
pertumbuhan
pada
positif pada periode ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan produksi pada tahun 2014, padahal sejak tahun 2011 terjadi penurunan produksi yang lambat sampai dengan tahun 2013.
3
Evaluasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem
3.1 Domain Sumber Daya Ikan 3.1.1
CPUE Baku
CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CPUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CPUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CPUE dominan. Penentuan nilai CPUE baku dalam evaluasi pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara ini juga dilakukan melalui perhitungan nilai Fishing Power Index (FPI), sebagai langkah awal. Perhitungan FPI berdasarkan nilai rata-rata CPUE dilakukan untuk juga dilakukan 10 jenis alat penangkapan ikan utama seperti analisis sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2012. Sepuluh jenis alat tangkap utama yang dimaksudkan, masing-masing: sero tancap, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan apung, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bubu, pancing ulur dan dan pancing tonda. Perhitungan
rata-rata nilai
CPUE yang belum
distandarisasi
(bukan
CPUE baku)
menggambarkan adanya variasi antar setiap jenis alat tangkap. Nilai rata-rata CPUE tertinggi sebesar 0,7021 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,7218 ton/trip per tahun) pada alat tangkap pukat cincin mini, dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar 0,0040 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,0058 ton/trip per tahun). Hasil ini memberikan gambaran tentang adanya pergeseran nilai CPUE untuk setiap jenis alat penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil perhitungan tersebut memberikan arahan bahwa pukat cincin mini merupakan alat penangkapan ikan standar yang harus digunakan dalam perhitungan FPI. Sesuai dengan distribusi rata-rata nilai CPUE tersebut, maka nilai FPI tertinggi pada pukat cincin sebesar 1,0000 dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar 0,0057. Rincian perhitungan rata-rata nilai CPUE dan FPI dinyatakan dalam Lampiran 1. Hasil perhitungan rata-rata nilai CPUE dan FPI menjadi referensi untuk melakukan standarisasi upaya tangkap. Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai upaya tangkap standar yang beragam (Lampiran 2).
Sesuai dengan hasil standarisasi untuk upaya tangkap, terjadi perubahan pada nilai CPUE yang disebut sebagai CPUE Baku. Hasil perhitungan CPUE Baku dinyatakan dalam Tabel 14 dan memberikan gambaran tentang adanya tendensi perubahan yang berkonsekuensi terjadi pada hubungan CPUE Baku dengan upaya standar sesuai hasil perhitungan. Tabel 14 Upaya dan CPUE Standar
(a)
1.2000 1.0000
-0,0008x 1,2413
CPUE
0.8000 0.6000 0.4000 0.2000 0.0000 0
500 Upaya Standar
1000
(b)
1.2000 1.0000
-0.0006x 1.1287
CPUE
0.8000 0.6000 0.4000 0.2000 0
ht
Catchi
Upaya Standar
CPUE Standar
2001
321,30
357
0,9003
2002
345,03
344
1,0029
2003
365,36
413
0,8841
2004
387,76
379
1,0243
2005
402,70
517
0,7788
2006
417,63
656
0,6370
2007
432,56
794
0,5447
2008
454,96
759
0,5991
2009
473,29
829
0,5711
2010
495,00
816
0,6067
2011
500,82
797
0,6281
2012
518,76
842
0,6163
2013
578,27
871
0,6641
2014
601,31
885
0,6798
Hasil analisis regresi menunjukkan nilai
0.0000
Gambar
Tahun
500 Upaya Standar
1000
koefisien
sebesar 1,1287 (tahun 2012:
1,2413) dan
sebesar -0,8E-03
(tahun 2014: -0,6E-03). Hubungan Hasil OLS Hubungan Upaya dan CPUE Standar (a) penilaian tahun 2012; dan CPUE dan upaya standar dalam analisis (b) penilaian tahun 2014 ini membentuk persamaan regresi yang
1,1278
0,0006Et (tahun 21012: ht
1,2413
0,0008Et). Hubungan tersebut dapat
dinyatakan secara grafis seperti pada Gambar 9, yang menunjukkan terjadi sedikit perubahan pada periode analisis tahun 2001
2011 (gambar “a”) ke periode analisis tahun 2001
2014
(gambar “b”). Perubahan tersebut ditunjukkan dengan pergeseran garis ke arah atas. Artinya, laju pertumbuhan mengarah ke arah semakin mendatar. Walaupun demikian, pola yang ditunjukkan masih memberikan gambaran tentang adanya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan. Jika pada periode tahun 2001-2011 terjadi penurunan dengan laju sebesar 3,08%, maka pada periode analisis tahun 2001-2014 juga terjadi penurunan dengan laju
sebesar 1,38%. Walaupun terjadi peningkatan pada periode tahun 2012 sampai dengan 2014, namun secara agregat CPUE baku masih menunjukkan laju penurunan yang lambat 3.1.2
Ukuran ikan
Dalam evaluasi ini, tren ukuran yang dimaksudkan adalah perubahan ukuran panjang ikan yang tertangkap dalam dua tahun terkahir (tahun 2013 dan 2014). Perubahan ukuran panjang ikan ini dibandingkan dengan panjang ukuran ikan pada tahun-tahun sebelum waktu evaluasi ini. Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan dengan asumsi adanya data poor fisheries Dengan demikian pengkuran dilakukan berdasarkan pada hasil interview kepada responden yang berpengalaman dalam kegiatan perikanan, terutama untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan. Empat pilihan pertanyaan yang diberikan kepada responden meliputi: (a) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; (b) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap relatif tetap; (c) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin besar; serta (d) tidak tahu atau tidak memperhatikan tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap. Sesuai
dengan
empat
pilihan
pertanyaan
yang
diberikan, terdapat pernyataan berbeda sesuai pilihanpilihan yang diberikan. Pertama pilihan responden terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap
Tidak tahu 2.50%
Semakin besar 7.50%
Semakin kecil 27.50%
semakin kecil sebanyak 27,50%. Alasan yang diberikan sesuai pilihan tersebut antara lain: (1) semakin meningkatnya jumlah alat tangkap yang beroperasi, khususnya untuk penangkapan ikan kerapu hidup menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap semakin
Relatif sama 62.50%
kecil; (2) adanya dugaan perubahan ukuran alat penangkapan ikan seperti pada ukuran mata jaring untuk alat tangkap bagan; dan (3) hadirnya alat penangkapan ikan seperti mini purse seine menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap, baik pada jaring isang maupun bagan semakin kecil. Kedua pilihan responden terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama sebanyak 62,50%. Alasan yang sama pada kajian kinerja pengelolaan perikanan tahun 2012 masih diberikan terkait dengan pola ini, yakni: penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang sama sekali tidak berubah sejak mereka beraktivitas sebagai nelayan, nelayan bagan perahu, pancing tonda, pancing tegak merupakan penyebab utama tidak berubahnya ukuran ikan. Walaupun demikian, ada juga responden yang memberikan alasan lain, yakni: sesuai dengan target ukuran
ikan yang diperdagangkan, seperti pada perikanan kerapu hidup. Syarat ini menyebabkan nelayan harus melakukan kegiatan penangkapan ikan pada lokasi yang lebih jauh untuk menemukan ukuran ikan yang sesuai dengan permintaan perusahaan yang menampung ikan kerapu hidup. Batasan ukuran ikan yang layak dibeli adalah yang berukuran berat lebih dari atau sama dengan 0,5 dan/atau 0,6 ons. Ketiga pilihan terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap semakin besar, dinyatakan oleh 7,50% responden. Pernyataan seperti ini masih ditemukan pada nelayan yang menjalankan usaha perikanan pancing tonda dan pancing tegak. Dengan bantuan motorisasi, kelompokkelompok nelayan dari jenis perikanan tersebut dapat mengakses darerah penangkapan ikan yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan semakin jauhnya daerah penangkapan ikan dengan ukuran yang lebih besar. Pandangan bahwa ukuran ikan semakin besar, diikuti dengan adanya jarak daerah penangkapan ikan yang jauh menunjukkan adanya suatu range collaps yang semakin meningkat. Kondisi ini belum disadari sebagai dampak dari tekanan terhadap eksistensi sumber daya ikan. Keempat masih ada responden yang memberikan pernyataan bahwa tidak tahu bahkan belum memahami secara baik tentang adanya perubahan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini dinyatakan oleh sekitar 2,50% responden yang umumnya menjalankan usaha perikanan pancing tegak dan jaring insang. Alasan yang diberikan terkait dengan pilihan tersebut adalah adanya keraguan nelayan terhadap adanya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan. Hasil penelusuran data menunjukkan kelompok nelayan yang memberikan pernyataan ini juga termasuk dalam kelompok nelayan baru saja menggeluti pekerjaannya sebagai nelayan, ratarata usaha baru dijalankan dalam waktu tiga sampai dengan lima tahun. Penentuan nilai pada kriteria yang diberikan sesuai dengan pilihan-pilihan responden tersebut di atas, mengacu pada distribusi nilai tertinggi. Dalam periode evaluasi ini, pilihan terbanyak adalah pada ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama. Hal ini tergambar dari tingginya pilihan responden, yakni sebesar 62,50%. Hasil tersebut memberikan dasar penetapan kriteria yang terpilih adalah tren ukuran relatif sama Jika hasil penilaian ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012, sebanyak 57,14% responden, maka ada indikasi peningkatan jumlah responden yang memiliki kriteria itu. Perubahan ini diduga terjadi karena adanya pergeseran jumlah pilihan akibat distribusi jumlah responden yang berbeda, dimana pada penilaian tahun 2012 jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 28 responden, sedangkan dalam periode evaluasi ini, jumlah
responden sebanyak 40 orang. Perubahan jumlah responden inilah yang turut memberikan pergeeseran jumlah pilihan responden. Walaupun demikian, kisaran penilaiannya masih berada dalam konteks pilihan terhadap kriteria tren ukuran relatif sama 3.1.3
Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile yang Ditangkap
Penilaian terkait dengan indikator ini, dilakukan untuk mengetahui persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity). Penilaian ini dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pendekatan wawancara dengan pertimbangan masih adanya data poor fisheries pada perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara, dan pengukuran spesimen ikan yang dominan tertangkap.
30% 22.73%
60% 4,54%
Hasil interview terhadap 40 responden menunjukkan hanya 55,00% responden yang tahu tentang adanya penangkapan ikan yuwana. Berdasarkan hasil ini, maka penilaian tertangkapnya ikan yuwana dilakukan pada 22 responden yang tahu. Pertama sebanyak 22,73% responden menyatakan tertangkapnya ikan yuwana kurang dari 30%. Pilihan ini umumnya dinyatakan oleh
30 60% 72.73%
nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan spesies target ikan kerapu dan ikan tenggiri.
Kedua proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak yang dinyatakan dengan kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%, dinyatakan oleh 72,73% responden. Ketiga sebanyak 22,73% menyatakan proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak sekali yang dinyatakan dengan kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 60%. Untuk membuktikan hasil wawancara yang Tabel 15 Distribusi proporsi ikan yuwana disampaikan itu, dilakukan juga pengukuran terhadap spesimen ikan dari lima kelompok jenis ikan yang dominan tertangkap, masingmasing: layang, tembang, teri, kerapu dan tenggiri
(Tabel
15).
Hasil
penilaian
ini
Kelompok Jenis Ikan Layang
Jumlah spesimen yang diukur (ekor) 100
Jumlah ikan yuwana (ekor) 51
Proporsi ikan yuwana (%) 51,00
Tembang
200
117
58,50
Teri
200
93
46,50
merupakan hasil perbandingan dengan ukuran
Kerapu
30
23
76,67
ikan yang pertama kali matang gonad atau
Tenggiri
30
0
0,00
disebut sebagai Length of Maturity (Lm) dari
Rata-rata proporsi ikan yuwana (%)
setiap kelompok jenis ikan.
46,53
Hasil pengukuran menunjukkan untuk setiap jenis ikan yang dominan tertangkap, masing-masing: (1) ikan layang sebanyak 51,0% dari 100 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 16,21 cm; (2) ikan tembang sebanyak 58,5% dari 200 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 11,95 cm; (3) ikan tenggiri sebanyak 0% dari 30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 40-45 cm; (4) ikan teri sebanyak 46,5% dari 200 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari
cm; serta (5) ikan kerapu sebanyak 76,7% dari
30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 39 cm. Agregasi pengukuran panjang ikan yang dominan tertangkap menghasilkan nilai rata-rata sebanyak 46,53% kurang dari umur dewasa. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai rata-rata yang masih masuk dalam kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%. Artinya jumlah ikan yuwana yang tertangkap, khususnya pada jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap termasuk dalam kriteria banyak 3.1.4
Komposisi Spesies
Komposisi spesies yang dimaksudkan dalam penilaian kinerja pengelolaan perikanan adalah spesies target yang dimanfaatkan, serta spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan. Penilaian ini didasarkan pada hasil wawancara terhadap responden yang berpengalaman dalam kegiatan penangkapan ikan, dan didukung dengan hasil observasi. Untuk membantu penilaian pada indikator ini, dipetakan distribusi spesies target dan non target per jenis alat tangkap. Penilaian dilakukan terhadap sembilan jenis alat penangkapan ikan utama yang digunakan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, meliputi: pukat cincin mini, jaring insang hanyut, bagan perahu, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bubu, pancing ulur dan pancing tonda (Tabel 16). Penilaian ini merupakan lanjutan dari proses yang dilakukan pada tahun 2012, dan ditemukan adanya perubahan untuk beberapa jenis alat tangkap pada tahun 2014. Perubahan yang terjadi terutama pada jumlah jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan ikan yang dominan digunakan oleh nelayan.
Tabel 16 Distribusi jenis dan jumlah jenis ikan target dan non target yang tertangkap Jenis ikan non target 2012
Jenis ikan non target 2014
Non target 2012
Non target 2014
cakalang, tongkol, layang, selar, kembung, tembang, lemuru, sunglir
---
---
100,00
100,00
Jaring insang hanyut
kembung, julungjulung, terbang, tembang, belanak
buntal durian
---
0
83,33
100,00
Bagan perahu
layang, selar, kembung, tembang, lemuru, sunglir, teri, japuh
---
---
0
100,00
100,00
Pancing tegak
layang, selar, kembung, kerapu, lencam, kakap, lemuru, sunglir
---
---
0
100,00
100,00
Jaring insang lingkar
layang, selar, tembang, lemuru, japuh, belanak, sunglir
buntal durian
---
0
87,50
100,00
Jaring insang tetap
layang, selar, ekor kuning, lencam, lemuru, sunglir
buntal durian,
---
0
85,71
100,00
Bubu
kerapu, lencam, kakap, kurisi,
kepe-kepe
---
0
80,00
100,00
Pancing ulur
kerapu, lencam, kakap, kuwe
---
---
100,00
100,00
Pancing tonda
tuna, cakalang, tongkol
---
---
100,00
100,00
92,95
100,00
Alat tangkap
Jenis ikan target
Pukat cincin
Jumlah
Jumlah 2012
Jumlah 2014
Rata-rata
Sumber: Hasil Lapangan (2012, 2014), diolah
Jika pada penilaian tahun 2012, lima alat tangkap tidak menunjukkan adanya tangkapan spesies non target, maka pada penilaian tahun 2014 sesuai hasil wawancara sama sekali tidak terdapat jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan ikan. Dua jenis ikan non target yang tidak muncul lagi dalam evaluasi ini. Faktor-faktor yang diduga menyebabkan tidak adanya kedua ikan non target antara lain: (1) khusus untuk ikan buntal durian, observasi lapangan pada saat evaluasi ini bukan merupakan waktu atau musim dimana ikan jenis ini hadir dalam jumlah banyak dan umumnya sudah sulit ditemukan dalam setiap operasi penangkapan ikan; (2) ikan kepe-kepe mulai jarang ditemukan pada alat tangkap bubu, karena jumlah bubu yang dioperasikan mulai berkurang disamping perubahan daerah penangkapan pada perairan tubir yang lebih dalam dari biasanya juga diduga menjadi penyebab tidak hadirnya ikan jenis ini dalam operasi penangkapan ikan.
Seluruh jenis ikan dikelompokkan sebagai ikan target oleh nelayan didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis-jenis tersebut termasuk dalam jenis-jenis ikan ekonomis penting, dan memiliki harga jual di pasar dan dikonsumsi oleh masyarakat, baik keluarga nelayan maupun konsumen yang membeli di pasar. Hasil observasi lapangan yang dilakukan untuk beberapa jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti mini purse seine pancing tonda, pancing dasar, jaring insang hanyut dan bagan, juga menunjukkan tidak hadirnya ikan non target pada hasil tangkapan. Seluruh hasil tangkapan dapat dimanfaatkan, baik untuk konsumsi maupun dijual sehingga Hasil tersebut menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata proporsi ikan target yang tertangkap sebanyak 92,95% pada penilaian tahun 2012 menjadi 100,00% pada evaluasi tahun 2014. Sesuai dengan kriteria penilaian pada indikator ini maka, hasil evaluasi ini termasuk dalam kriteria proporsi ikan target lebih banyak 3.1.5
Range Collapse
Range collapse yang dimaksudkan range collapse sumber daya ikan yang dinyatakan dengan pergeseran daerah penangkapan ikan yang semakin jauh. Penilaian terhadap indikator ini masih menggunakan eksistensi data poor fisheries sehingga proses pengumpulan dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik, digunakan pendekatan pemetaan partisipatif untuk beberapa jenis usaha perikanan tangkap, seperti bagan, mini purse seine dan pancing kerapu hidup. Relatif tetap 17.50%
Semakin mudah 0.00%
Penilaian awal untuk menemukenali range collaps sumber daya ikan adalah melalui penilaian tingkat kesulitan untuk mendapatkan hasil tangkapan sesuai target spesies yang menjadi target penangkapkan. Hasil evaluasi menunjukkan
Semakin sulit 82.50%
adanya pergeseran pada penilaian perkembangan hasil
tangkapan. Pertama responden yang menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan sebanyak 82,50%. Hasil ini menunjukkan peningkatan dari penilaian pada tahun 2012 sebesar 71,43%. Kedua responden yang menyatakan relatif tetap untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan, sebanyak 17,50%. Hasil ini menunjukkan adanya penurunan dari penilaian pada tahun 2012, sebesar 21,43%. Ketiga responden yang menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan, sebanyak 00,00%. Artinya dalam mencapai hasil tangkapan yang diharapkan, sesuai dengan target spesies, tidak semudah yang didapatkan pada lima sampai dengan sepuluh tahun lalu. Jika pada hasil penilaian tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa ada indikasi gejala tekanan terhadap sumber daya ikan di wilayah ini, maka pada hasil evaluasi ini (tahun 2014) dapat diberikan gambaran bahwa upaya pencapaian target spesies yang menjadi tujuan penangkapan terdapat kesulitan. Hal ini disebabkan karena dua faktor: (1) adanya dugaan semakin berkurangnya ikan pada daerah penangkapan ikan yang selama ini menjadi target operasi penangkapan; dan (2) semakin jauhnya daerah penangkapan ikan untuk menghasilkan target spesies yang menjadi tujuan penangkapan. Kedua faktor ini jugalah yang diduga menjadi indikator adanya tekanan terhadap target spesies yang menjadi tujuan tangkap. Evaluasi terhadap range collaps sumber daya ikan juga dilakukan melalui penilaian indikator aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing ground). Hasil evaluasi ini juga memberikan gambaran tentang adanya perubahan dibanding penilaian tahun 2012. Perubahan pola pikir nelayan, diduga memberikan pengaruh terhadap penilaian dalam evaluasi ini. Beberapa pendapat dari nelayan yang sebelumnya dinilai pada tahun 2012, memberikan penilaian yang berbeda sehingga menunjukkan adanya pergeseran pemahaman secara makro tentang adanya range collaps sumber daya ikan. Evaluasi range collaps sumber daya ikan pada indikator aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing
Tetap 5.00%
ground menghasilkan beberapa hasil penilaian sesuai degan kategori yang telah ditentukan. Pertama daerah penangkapan ikan sangat jauh dinyatakan oleh 37,50% responden. Hal ini dibuktikan dengan adanya pergeseran daerah penangkapan ikan yang harus dijangkau dari periode sebelum tahun 2012 ke tahun 2013 dan 2014.
Jauh 57.50%
Sangat jauh 37.50%
Kedua sebanyak 57,50% responden menyatakan bahwa daerah penangkapan ikan sangat jauh. Hal ini dibuktikan dengan jarak tempuh yang dapat dijangkau dalam waktu antara satu setengah sampai dengan empat jam, sebagaimana dikemukakan dalam hasil pemetaan partisipatif. Pernyataan pertama dan kedua lebih banyak diekspresikan oleh nelayan yang menjalankan usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap mini purse seine bagan, pancing tonda dan usaha pancing ikan kerapu hidup. Ketiga jenis usaha perikanan ini merupakan kegiatan perikanan tangkap yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap produksi perikanan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Kontribusi yang tinggi ini memberikan konsekuensi adanya peningkatan produksi dari waktu ke waktu, sehingga tekanan pada daerah-daerah penangkapan ikan tertentu akan semakin meningkat, dan menyebabkan semakin bertambahnya range collaps Ketiga responden yang menyatakan daerah penangkapan ikan tetap atau tidak berubah sebanyak 5,00%. Pernyataan ini umumnya diberikan oleh nelayan-nelayan yang menjalankan usaha penangkapan ikan dengan bantuan alat tangkap jaring insang, pancing tegak dan pancing ulur, dengan kondisi armada penangkapan ikan yang hanya menggunakan mesin ketinting, bahkan menggunakan dayung. Ketiga hasil penilaian perspektif terhadap range collaps di atas membutuhkan justifikasi yang kuat, sehingga pendekatan pemetaan partisipatif menjadi dasar untuk memberikan gambaran tentang kondisi yang dinyatakan dan dipersepsikan oleh nelayan di wilayah kajian ini. Pemetaan partisipatif dilakukan untuk tiga kelompok usaha perikanan, masing-masing: perikanan bagan, mini purse seine dan usaha pancing kerapu hidup (Gambar 17). Pertama daerah penangkapan ikan untuk perikanan bagan pada periode sebelum tahun 2012 terkonsentrasi di kawasan perairan Timur Kei Kecil, khususnya di perairan Selat pada wilayah petuanan desa Sathean sampai dengan Ibra dan perairan sekitarnya. Daerah penangkapan ikan untuk perikanan bagan bergeser sesudah tahun 2012, dengan distribusinya yang bervariasi mulai dari bagian Tengah perairan Selat Nerong, antara Kei Kecil dan Kei Besar, sampai dengan perairan Barat Kecamatan Kei Besar dan Kei Besar Selatan. Di sisi lain, pada musim Timur, teridentifikasi dua pemilik bagan menempatkan alat tangkap bagan pada perairan antara Pulau Er dan Pulau Ngodan, di bagian Barat Laut Pulau Kei Kecil.
Gambar 17 Peta Partisipatif Range Collaps Sumber Daya Ikan Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2014
Hasil ini membuktikan bahwa range collaps pada perikanan bagan ditunjukkan dengan pergeseran waktu pencapaian atau aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan antara satu sampai dengan empat jam. Dalam konteks jarak secara fisik, range collaps yang digambarkan ini mencapai jarak yang lebih jauh dengan kisaran pergeseran antara .... sampai dengan .... mil laut. Kedua untuk perikanan mini purse seine daerah penangkapan ikan pada periode sebelum tahun 2012 tersebar di kawasan perairan Timur Pulau Dullah serta perairan Timur Kei Kecil dan Kei Kecil Timur. Hasil evaluasi untuk periode sesudah tahun 2012 menunjukkan adanya pergeseran daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan ini. Pergeseran daerah penangkapan ikan cenderung mengelompok ke arah Selatan Selat Nerong, pada bagian Barat perairan Kecamatan Kei Kecil Selatan Barat. Daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan mini purse seine tidak terbatas pada perairan ini saja, namun meluas dan mengelompok pada perairan bagian Timur Kecamatan Kei Besar Selatan. Hasil pemetaan partisipatif memberikan gambaran range collaps untuk perikanan mini purse seine bergeser cukup cepat. Dalam waktu dua sampai dengan tiga tahun, range collaps mencapai jarak fisik antara .... sampai dengan .... mil laut Pergeseran range collaps ini menyebabkan waktu tempuh dalam satu trip penangkapan mencapai waktu tiga sampai dengan lima jam. Ketiga pergeseran daerah penangkapan ikan pada perikanan kerapu hidup juga menunjukkan adanya pergeseran range collaps Kawasan Barat perairan pulau-pulau kecil, sebelum tahun 2012 merupakan daerah penangkapan ikan kerapu yang cukup potensial. Pada periode sebelum tahun 2012, Daerah tubir dan terumbu karang di bagian Barat perairan pulau Er merupakan lokasi paling Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan kerapu yang sering dikunjungi. Daerah penangkapan ikan kerapu lainnya yang teridentifikasi dalam periode penangkapan ikan sebelum tahun 2012, meliputi: daerah tubir dan terumbu karang di bagian Barat Pulau Nai, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Tangwain dan Labulin, Pulau Warbal, Pulau Ur dan Witir, Pulau Nuhuta dan Far, serta daerah tubir dan terumbu karang di perairan Barat Laut dan Selatan Pulau Tanimbar Kei. Dalam tahun 2012 sampai dengan 2014, daerah penangkapan ikan kerapu mulai bergeser ke daerah tubir dan terumbu karang di perairan pulau-pulau kecil yang termasuk dalam wilayah adinistrasi Kota Tual. Kawasan pulau-pulau kecil yang sering disebut sebagai kepulauan Tam Tayando ini, sekarang menjadi lokasi alternatif penangkapan ikan kerapu hidup bagi masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya nelayan di pesisir Barat pulau
Kei Kecil. Konsentrasi daerah penangkapan ikan tidak hanya terbatas pada satu sisi perairan kepulauan Pulau Tam Tayando, namun menyebar pada seluruh bagian perairan, khususnya di daerah tubir dan terumbu karang. Pergeseran yang ditunjukkan pada hasil pemetaan tentang daerah penangkapan ikan kerapu pada periode sebelum tahun 2012 dan setelahnya, memberikan justifikasi adanya perubahan range collaps pada perikanan kerapu. Pergeseran ini ditunjukkan melalui perubahan akses secara fisik oleh nelayan di pesisir Barat Kei Kecil antara .... sampai dengan .... mil laut Hal ini memberikan konsekuensi terhadap adanya perubahan waktu tempuh dalam satu trip penangkapan, yakni mencapai waktu satu setengah sampai dengan empat jam. Hasil penilaian melalui perspektif nelayan dan hasil pemetaan partisipatif terhadap pergeseran daerah penangkapan ikan dalam tiga tahun terakhir memberikan gambaran tentang range collaps rata-rata untuk kegiatan penangkapan ikan di wilayah Maluku Tenggara. Sesuai dengan hasil penilaian ini, kisaran pergeseran daerah penangkapan ikan termasuk dalam kategori daerah penangkapan ikan jauh, tergantung pada spesies target 3.1.6
Spesies ETP
Penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada eksistensi spesies ETP yang tertangkap dalam suatu kegiatan penangkapan ikan. Spesies ETP adalah kelompok-kelompok spesies ikan yang termasuk dalam kategori Endangered, Threatened dan Protected Hal ini disesuaikan dengan kriteria yang dibangun oleh CITES. Pengembangan penilaian untuk indikator ini masih menggunakan pendekatan asumsi data poor fisheries Sebagai konsekuensi dari asumsi ini, maka penilaian dilakukan berdasarkan perspektif nelayan terhadap eksistensi spesies ETP. Hal inilah yang menyebabkan proses penilaian harus dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman dalam menjalankan usaha mereka. Hasil wawancara menunjukkan hanya dua kelompok sumber daya ikan yang meliputi empat spesies merupakan spesies ETP. Dua kelompok sumber daya ikan yang dimaksudkan adalah: ikan napoleon dan penyu. Jika pada kelompok ikan napoleon yang teridentifikasi hanya satu jenis, maka pada kelompok penyu teridentifikasi tiga spesies ETP, masing-masing: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
Hasil identifikasi memberikan gambaran tentang adanya spesies ETP yang tertangkap melalui kegiatan penangkapan ikan, namun frekuensi kehadirannya semakin kecil dibanding lima sampai sepuluh tahun lalu. Pertama hasil tangkapan ikan, khususnya ikan napoleon sangat sedikit dan jarang ditemukan. Sebagian besar nelayan pada perikanan kerapu
mulai
menerapkan proses rilis untuk hasil tangkapan napoleon. Proses ini mulai diterapkan oleh nelayan di pesisir Barat Kei Kecil, dalam tiga tahun terakhir. Diduga, pemahaman nelayan tentang status ikan napoleon sebagai ikan yang dilindungi menjadi pemicu dilakukanya proses tersebut. Hal ini juga didukung dengan adanya pengembangan kawasan konservasi di bagian Barat Kei Kecil, sehingga proses-proses sosialisasi tentang pentingnya konservasi kawasan maupun konservasi sumber daya ikan. Kedua sebagian besar upaya pelepasan penyu hijau dan sisik yang tertangkap telah dilakukan oleh nelayan di pesisir Barat Pulau Kei Kecil. Hasil tangkapan untuk kedua jenis penyu dengan menggunakan jaring insang dasar maupun pancing dasar atau pancing tegak. Pengetahuan tentang perlindungan kedua spesies penyu ini, semakin meningkat di kalangan nelayan karena adanya berbagai aktivitas yang memberikan penguatan terhadap konservasi jenis sumber daya ikan tertentu. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud, antara lain: adanya pelatihan dan penguatan kapasitas masyarakat yang dilakukan oleh WWF Indonesia selama empat tahun terakhir, serta kegiatan atau aksi konservasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara melalui perlindungan daerah-daerah peteluran penyu dan perlindungan terhadap tukik penyu. Ketiga
penyu belimbing masih digunakan untuk kebutuhan upacara adat, namun
pemanfaatannya sangat terbatas. Untuk kepentingan upacara adat, dibutuhkan satu ekor penyu belimbing per tahun. Di sisi lain, penangkapan penyu belimbing tidak pernah lagi dilakukan oleh masyarakat atau nelayan di Maluku Tenggara. Hal ini ini disebabkan semakin sulitnya menemukan spesimen penyu belimbing karena kehadirannya semakin sedikit di perairan ini, disamping semakin sedikitnya aktivitas penangkapan ikan pada kawasan-kawasan potensial yang menjadi feeding ground dari penyu belimbing. Bulan Oktober merupakan waktu di mana potensi hadirnya penyu belimbing di perairan Maluku Tenggara sebagai akibat tingginya populasi atau blooming-nya ubur-ubur. Waktu-waktu ini telah dipahami sebagai waktu-waktu dimana kegiatan penangkapan ikan dengan jaring insang hanyut harus dikurangi. Hasil penilaian melalui pendekatan perspektif masyarakat atau nelayan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara memberikan justifikasi tentang status domain ini. Dengan perilaku yang sering melepaskan spesies-spesies ETP tersebut di atas pada saat kegiatan penangkapan ikan, dan meningkat pemahaman tentang pentingnya perlindungan terhadap spesies-spesies ETP,
maka dalam konteks penilaian pada indikator ini, kriteria yang terpenuhi adalah terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi dilepas
3.2 Domain Habitat Ekosistem 3.2.1
Kualitas Perairan
Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan melalui penilaian pada tiga parameter, masingmasing: (1) eksistensi limbah termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3); (2) tingkat kekeruhan dan padatan suspensi total; serta (3) eutrofikasi. Ketiga parameter yang dinilai ini menjadi dasar dalam penentuan status domain kualitas perairan. a. Limbah yang teridentifikasi Komponen pertama dalam penilaian indikator ini adalah limbah yang teridentifikasi, baik secara secara klinis, audio dan atau visual, contohnya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Pendekatan untuk melakukan perbandingan kondisi perairan melalui kualitas perairan ini, menggunakan parameter dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran 3. Dalam evaluasi ini, tidak dilakukan sampling terhadap tingkat ketercemaran lingkungan perairan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sehingga tidak dilakukan pengukuran secara klinis maupun audio. Untuk menjawab kebutuhan penilaian atau evaluasi pada komponen ini, maka penilaian dilakukan dengan pendekatan visual. Secara umum, seluruh perairan pesisir dan laut di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara tidak menunjukkan adanya gejala tercemar ringan sampai dengan berat. Beberapa lokasi yang diduga memiliki tingkat ketercemaran yang sangat rendah adalah pusat-pusat aktivitas perhubungan laut. Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ini, lokasi-lokasi seperti pelabuhan laut Ohoijang yang melayani bongkar muat dan distribusi orang antar pulau dikunjungi untuk membuktikan tingkat ketercemaran secara visual. Hasil pemantauan lapangan menunjukkan perairan sekitar pelabuhan ini tidak menunjukkan adanya indikasi tercemar minyak. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena flushing di Selat Rosenberg cukup baik sehingga tidak terdapat konsentrasi bahan cemar di kawasan ini. Hasil pantauan pada lokasi lain seperti pelabuhan laut di desa Debut juga tidak memberikan gambaran ketercemaran perairan sekitarnya. Hasil ini memberikan gambaran bahwa perairan Kabupaten Maluku Tenggara secara umum berada pada kondisi tidak tercemar Sedikitnya aktivitas industri di wilayah ini, tidak memberikan kontribusi yang berarti terhadap ketercemaran perairan. Temuan pada kegiatan
evaluasi tahun 2014 ini menunjukkan belum adanya perubahan yang berarti jika dibandingkan dengan hasil pada tahun 2012. b. Tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total Komponen penilaian kedua untuk kualitas perairan adalah tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total. Pengukuran dalam kegiatan evaluasi ini hanya dilakukan pada dua lokasi yang diasumsikan mewakili dua Kecamatan, masing-masing: pada perairan Pulau Ngaf untuk Kecamatan Kei Kecil dan perairan Dian Pulau untuk Kecamatan Kei Kecil Barat. Hasil pengukuran tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total dalam kegiatan evaluasi ini dibandingkan dengan baku mutu air
laut yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dengan acuan penilaian sesuai distribusi nilai Baku Mutu Air Laut pada Lampiran II untuk Wisata bahari dan pada Lampiran III untuk Biota Laut (Tabel ..) Hasil pengukuran ini menunjukkan adanya perbedaan yang tidak terlalu besar antara tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada kedua lokasi pengamatan. Tabel .. Distribusi tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada perairan Kei Kecil dan Kei Kecil Barat Parameter
Baku Mutu Air Laut
Tahun 2014
Kesesuaian Kriteria
Kei Kecil
Kei Kecil Barat
0,8
1,02
Di Bawah Baku Mutu
0,08
0,98
Di Bawah Baku Mutu
Tingkat kekeruhan (ntu) a.
Wisata Bahari
b.
Biota Laut
5 5
Padatan Tersuspensi Total (mg/l) a.
Wisata Bahari
20
b.
Biota Laut di Terumbu Karang
20
c.
Biota Laut di Mangrove
80
d.
Biota Laut di Lamun
20
Hasil pengukuran pada tabel ini menunjukkan nilai kedua parameter di perairan Kei Kecil masih di bawah perairan Kei Kecil Barat. Kondisi ini didukung dengan distribusi lokasi perairan Dian Pulau pada Kecamatan Kei Kecil Barat sangat dipengaruhi perairan sekitar yang cukup didominasi oleh ekosistem mangrove yang umumnya memiliki substrat dasar pasir berlumpur. Walaupun lokasi ini masih agak jauh dari lokasi ekosistem mangrove, namun dinamika perairan pantai yang cukup tinggi sangat mempengaruhi distribusi partikel tersuspensi. Di sisi lain, lokasi perairan Pulau Ngaf termasuk perairan yang memiliki tingkat kekeruhan yang sangat
rendah karena flushing di kawasan ini sangat cepat, sementara subtrat yang doniman di wilayah ini adalah pasir dan patahan karang. Distribusi nilai tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total seperti ini masih termasuk dalam kisaran baku mutu air laut yang sesuai dengan kriteria baku mutu air laut untuk wisata bahari maupun biota laut. Bahkan kisaran nilai ini jauh di bawah tetapan nilai maksimum yang ada. Dengan demikian, untuk penilaiannya sesuai kriteria yang ditetapkan yakni Kurang dari Baku Mutu Air Laut Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 c. Eutrofikasi Komponen penilaian lainnya yang terkait dengan indikator kualitas perairan adalah tingkat eutrofikasi. Dalam penilaian ini, tingkat eutrofikasi dinilai dengan pendekatan distribusi kandungan klorofil-a. Beberapa pendapat memberikan penjelasan bahwa tingginya distribusi kandungan klorofil-a menunjukkan terjadinya eutrofikasi di suatu perairan. Dalam evaluasi ini, penilaian eutrofikasi dilakukan dengan pendekatan distribusi temporal dari kandungan klorofil-a di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Distribusi temporal yang dimaksudkan adalah distribusi klorofil-a secara musiman, dengan cuplikan data pada empat bulan yang mewakili setiap musim. Sesuai hasil ekstraksi dari Citra MODIS, ditemukan adanya variasi distribusi kandingan klorofilsecara musiman (Gambar 5). Pertama untuk cuplikan bulan April 2014 yang mewakili musim Peralihan Barat ke Timur, kisaran kandungan klorofil-a antara 0,05 g/l sampai dengan 2,34 g/l. Rata-rata kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,10 g/l, dengan standar deviasi sebesar 0,06 (Tabel ..) Pada musim ini, konsentrasi kandungan klorofil-a tertinggi ditemukan pada perairan pulau sepuluh di bagian Barat Kei Kecil. Distribusi nilai ini menunjukkan bahwa pada musim Peralihan Barat ke Timur, perairan Maluku Tenggara memiliki kandungan klorofilyang cukup tinggi, dibandingkan musim-musim lainnya, kecuali pada Musim Timur yang memiliki distribusi kandungan klorofil-a yang sangat tinggi. Kondisi demikian terjadi karena masih ada pengaruh dinamika musim Barat yang terakumulasi pada bagian perairan yang agak tertutup di kawasan ini. Di sisi lain, kandungan klorofil-a pada kawasan perairan ini juga berasal dari kontribusi hutan mangrove yang terdistribusi di pesisir Barat Kei Kecil. Kedua cuplikan bulan Agustus 2014 yang mewakili musim Timur menggambarkan distribusi kandungan klorofil-a yang mencapai nilai maksimum dari seluruh musim. Nilai minimum kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,26 g/l, sedangkan nilai maksimumnya sebesar
4,00 g/l. Sesuai distribusi kandungan klorofil-a secara agregat yang dapat ditangkap melalui cuplikan pada musim ini, nilai rata-rata kandungannya mencapai 0,80 g/l, dimana standar deviasi untuk hasil cuplikan ini sebesar 0,41. -5.3
April 2014
-5.5
-5.5
Lintang Selatan
Bujur Timur
Agustus 2014
-5.3
-5.7
-5.7
-5.9
-5.9
-6.1 132.3
132.5
132.7
132.9
133.1
-6.1 132.3
133.3
132.5
Bujur Timur
-5.3
133.1
133.3
Pebruari 2015
-5.3
-5.5
-5.5
Lintang Selatan
Lintang Selatan
132.9
Bujur Timur
November 2014
-5.7
-5.9
-6.1 132.3
132.7
-5.7
-5.9
132.5
132.7
132.9
133.1
133.3
-6.1 132.3
132.5
Bujur Timur
132.7
132.9
133.1
133.3
Bujur Timur
g/l) Gambar 5. Distribusi kandungan klorofil-a di perairan Maluku Tenggara Pemetaan
hasil
cuplikan
kandungan Tabel .. Distribusi nilai klorofil- secara musiman di perairan Maluku Tenggara
klorofil-a ini menunjukkan seluruh perairan cenderung
memiliki
nilai
yang
tinggi.
Kisaran kandungan klorofil-a yang cukup tinggi disebabkan adanya upwelling yang selalu terjadi pada musim ini. Di samping itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan
Indikator Nilai
Distribusi nilai musiman
g/l)
Apr-14
Agust-14
Nop-14
Min Max Rerata
0,05 2,34 0,10
0,26 4,00 0,80
0,06 0,59 0,21
0,08 0,40 0,13
Std
0,06
0,41
0,08
0,03
adanya sumbangan unsur hara terhadap peningkatan kandungan klorofil-a di perairan.
Feb-15
Ketiga distribusi kandungan klorofil-a pada musim Peralihan Timur ke Barat yang diwakili oleh cuplikan data pada bulan Nopember 2014 memiliki variasi yang cukup kecil dibanding kedua musim lainnya, Peralihan Barat ke Timur dan musim
Timur. Nilai minimum kandungan
klorofil-a sebesar 0,06 g/l, sedangkan nilai maksimum sebesar 0,59 g/l dengan rata-rata sebesar 0,21
g/l. Standar deviasi untuk seluruh hasil cuplikan pada musim sebesar 0,08.
Distribusi kandungan klorofil-a seperti ini tidak didukung dengan adanya peningkatan kandungannya di perairan baik akibat upwelling maupun karena sumbangan hara yang tinggi ke perairan. Keempat pola yang mirip dengan musim Peralihan Timur ke Barat juga ditemukan pada musim Barat yang diwakili oleh cuplikan data pada bulan Pebruari 2015. Walaupun terindikasi pola distribusi yang mirip, namun musim ini menunjukkan distribusi kandungan klorofil-a dengan variasi nilai yang sangat kecil. Hal ini terbukti dari kandungan klorofil-a minimum sebesar 0,08 g/l dan maksimum hanya sebesar 0,40 g/l. Sesuai dengan distribusi secara agregat, maka nilai rata-rata kandungan klorofil-a pada musim ini hanya sebesar 0,13 g/l, dengan standar deviasi 0,03. Pola distribusi dengan kandungan klorofil-a yang rendah tidak didukung dengan proses upwelling maupun sumbangan unsur hara. Hasil analisis distribusi kandungan klorofil-a untuk setiap musim secara agregat pada perairan Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa tingkat eutrofikasi di wilayah ini termasuk rendah Tingkat eutrofikasi dalam kategori sedang, berpeluang terjadi pada musim Peralihan Barat ke Timur dan musim Timur. 3.2.2
Status Ekosistem Lamun
Status lamun juga menjadi salah satu indikator evaluasi EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara. Evaluasi status lamun dilakukan melalui pendekatan dua parameter yaitu tingkat tutupan dan keanekaragaman. Lokasi-lokasi awal yang menjadi titik penilaian EAFM Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012, juga dijadikan sebagai lokasi sampel evaluasi status lamun di kawasan ini. Hal ini dilakukan agar evaluasi yang dilakukan dapat menjawab kebutuhan pengelolaan. a. Tutupan Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan adanya perbedaan tutupan lamun antar lokasi pengamatan. Walaupun demikian, secara agregat distribusi lamun di Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan pola tutupan yang hampir seragam, kecuali pada beberapa jenis
tertentu. Distribusinya secara spasial pada keempat lokasi pengamatan dinyatakan dalam Tabel 9 Tabel 9. Jenis, kerapatan, frekuensi kehadiran dan persen tutupan lamun di Kecamatan Kei Kecil No
Jenis
Lokasi 1: Desa Ohoililir 1 Cymodocea rotundata 2 Thalassia hemprichii 3 Enhalus acoroides 4 Halodule pinifolia 5 Halophila ovalis 6 Halodule uninervis 7 Halophila minor Rata-Rata Lokasi 2: Pulau Ngaf 1. Cymodocea rotundata 2. Thalassia hemprichii 3. Halophila ovalis 4. Halodule uninervis 5. Thalassodendron ciliatum Rata-Rata Lokasi 3: Tanjung Najun 1 2 3 4 5 6 7
Halophila decipiens Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halophila ovalis Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Rata-Rata Lokasi 4: Pulau Ohoiwa 1. Cymodocea rotundata 2. Thalassia hemprichii 3. Enhalus acoroides 4. Halodule pinifolia 5. Halophila ovalis 6. Halodule uninervis 7. Syringodium isoetifolium Rata-Rata Rata-Rata seluruh lokasi
2012
2014
2012
2014
Frekuensi Kehadiran 2012 2014
130 113 72 43 64 107 4
124 115 69 41 62 105 5
11,82 10,27 6,55 3,91 5,82 9,72 0,36
11,36 10,45 6,54 3,63 5,45 9,54 0,45
0,91 0,91 0,91 0,09 0,64 0,64 0,09
468 378 83 74 297
462 353 81 75 281
18,72 15,12 3,32 2,96 11,88
18,4 14 3,2 3 11,2
43 245 50 55 77 232 128
41 224 41 59 81 239 119
4,3 24,5 5,0 5,5 7,7 23,2 12,8
344 391 235 41 103 35 137
340 380 221 38 101 35 128
20,24 23,0 13,82 2,41 6,06 2,06 8,06
Jumlah Tegakan
Kerapatan
Persen Tutupan 2012
2014
0,88 0,93 0,91 0,06 0,60 0,60 0,07
65 65 75 55 60 65 15 57,14
64 65 75 54 57 65 15 56,43
0,88 0,76 0,28 0,16 0,4
0,80 0,68 0,28 0,16 0,37
65 65 60 65 70 65,00
63 60 58 65 66 62,4
4,1 22,4 4,1 5,9 8,1 23,9 11,9
0,2 0,8 0,5 0,2 0,3 0,9 0,4
0,2 0,56 0,5 0,3 0,3 0,95 0,3
45 75 75 45 55 70 75 62,86
44 68 72 50 55 70 73 61,71
34 38 22,1 3,8 10,1 3,5 12,8
0,88 0,82 1 0,06 0,47 0,06 0,35
0,86 0,76 0,80 0,06 0,47 0,06 0,40
75 75 75 50 65 45 60 63,57 62,14
74 70 70 48 65 45 56 61,14 60,42
Sumber: Laporan Penilaian EAFM 2012, Data Lapangan 2014, diolah
Pertama pengambilan sampel lamun tahun 2014 yang dilakukan pada perairan pantai Desa Ohoililir masih menemukan sebanyak tujuh jenis lamun, meliputi E. acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, H. minor, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis-jenis yang hadir dengan
jumlah tegakan terbanyak (lebih dari 100 tegakan), masing-masing: C. rotundata
sebanyak 124 tegakan, T. hemprichii 115 tegakan dan H. uninervis 105 tegakan. Sesuai dengan tingginya jumlah tegakan ketiga jenis itu, cukup berpengaruh terhadap tingginya tingkat
kerapatan jenis, masing-masing: 11,36 tegakan/m2 untuk C. rotundata, 10,45 tegakan/m2 pada T. hemprichii dan H. uninervis 9,54 tegakan/m2 Hasil ini juga menunjukkan bahwa H. minor merupakan satu-satunya jenis yang tingkat kerapatan jenis yang terendah, yakni 0,45 tegakan/m2 Sesuai dengan hasil analisis itu, maka teridentifikasi juga frekuensi kehadiran jenis lamun yang tertinggi pada jenis T. hemprichii sebesar 0,93, sedangkan frekuensi kehadiran terendah pada jenis H. minor dengan nilai sebesar 0,07. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa E. acoroides tetap memiliki nilai tutupan yang sangat besar yakni 75 %, sedangkan tutupan terendah pada jenis H. minor (15%). Keberadaan jenis E. acoroides dengan persen tutupan tertinggi disebabkan morfologinya yang memungkinkannya untuk memiliki persen tutupan yang besar. Sementara jenis H. minor memiliki persen tutupan terendah karena sifat penyebarannya yang biasanya bersifat individual atau tidak mengelompok dan distribusinya tidak merata. Secara agregat, rata-rata nilai persen tutupan lamun di perairan ini sebesar 56,43%, yang berarti bahwa nilai persen tutupan lamun pada tahun 2014 telah menurun hampir 1% dibandingkan tahun 2012. Kedua pengambilan data lamun pada perairan pulau Ngaf dalam tahun 2014 ini, juga menemukan sebanyak lima jenis lamun pada habitat yaitu jenis H. uninervis, H. ovalis, T. ciliatum, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis C. rotundata masih merupakan jenis dengan jumlah tegakan paling tinggi yaitu 462 tegakan, sedangkan H. uninervis merupakan jenis lamun dengan jumlah tegakan terendah (75 tegakan). Sebagaimana dikemukakan pada lokasi pertama, distribusi jumlah tegakan diikuti oleh tingkat kerapatan lamun, dimana kerapatan tertinggi pada jenis C. rotundata sebanyak 18,4 tegakan/m2 sedangkan H. uninervis dengan tingkat kerapatan terendah, sebanyak
tegakan/m2
Jenis
C.
rotundata memiliki frekuensi kehadiran tertinggi sebesar 0,80, diikuti jenis T. hemprichii sebesar 0,68, sedangkan frekuensi kehadiran terendah pada jenis H. uninervis sebesar 0,16. Persen tutupan lamun tertinggi pada lokasi pengamatan ini pada jenis T. ciliatum sebesar 66%. Tipe substrat yang terdiri dari pasir dan patahan karang merupakan tipe substrat yang disenangi oleh jenis lamun ini untuk tumbuh dan berkembang. Penyebarannya yang
berkelompok dan ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lamun jenis ini memiliki persen tutupan yang tinggi. Secara umum, nilai rata-rata persen tutupan lamun pada lokasi pengamatan ini sebesar 62,4% yang berarti berkurang sekitar 2,6% dari tahun 2012. Menurunnya tutupan lamun dalam kurun waktu evaluasi dua tahun ini belum dapat dikemukakan sebagai adanya tekanan yang terjadi pada ekosistem ini karena hal ini bisa saja terjadi akibat proses pengamatan lapangan pada titik yang sedikit berbeda. Ketiga
pengamatan potensi lamun di perairan pantai Tanjung Najun menunjukkan
distribusinya diwakili oleh tujuh jenis. Kondisi perairan yang agak terlindung menjadi penyebab jenis lamun di lokasi ini lebih banyak daripada yang ditemukan di lokasi sebelumnya (Pulau Ngaf). Padahal secara geografis, letak kedua lokasi ini cukup berdekatan. Ketujuh jenis lamun tersebut yaitu E. acoroides, H. decipiens, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium dan T. hemprichii Jumlah tegakan terbanyak ditemukan pada jenis H. uninervis yaitu sebanyak 239 tegakan, sedangkan jumlah tegakan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides yaitu sebanyak 41 tegakan. Distribusi jumlah tegakan seperti ini turut memberikan pengaruh terhadap tingkat kerapatan lamun dimana H. uninervis memiliki kerapatan tertinggi yaitu 23,9 tegakan/m2 sedangkan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides dengan kerapatan jenis masing-masing 4,1 tegakan/m2 Frekuensi kehadiran tertinggi ternyata ditemukan pada jenis H. uninervis dengan nilai 0,95. Hal ini diduga masih dipengaruhi oleh kondisi substrat perairan ini yang terdiri dari pasir dan patahan karang yang memang merupakan preferensi dari jenis lamun ini untuk hidup, berkembang dan membentuk koloni tunggal. Di sisi lain, frekuensi kehadiran lamun terendah ditemukan pada jenis H. decipiens Persen tutupan tertinggi pada jenis S. isoetifolium sebanyak 73%, sedangkan dua jenis lainnya H. decipiens dan H. pinifolia memiliki persen tutupan terendah. Hasil perhitungan nilai persen tutupan lamun rata-rata pada perairan ini sebesar 61,71%. Keempat Pulau Ohoiwa merupakan salah satu pulau yang agak unik dibandingkan lokasi-lokasi lain yang dijadikan titik pengambilan sampel lamun. Hal ini dikarenakan pada pulau ini terjadi tekanan antropogenik manusia cukup tinggi dan juga karena perairannya dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara. Sesuai hasil survey, ditemukan sebanyak tujuh jenis lamun pada lokasi ini, masing-masing: E. acoroides, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium, C. rotundata
dan T. hemprichii Dua jenis lamun yang disebutkan terakhir merupakan jenis lamun dengan jumlah tegakan tertinggi yaitu masing-masing 340 dan 380 tegakan. Sementara jenis H. uninervis memiliki jumlah tegakan terendah yaitu 35 tegakan. Sesuai dengan distribusi jumlah tegakan, nilai kerapatan lamun pada lokasi ini didominasi oleh jenis T. hemprichii dengan nilai kerapatan 38 tegakan/m2 sementara yang terendah oleh jenis H. uninervis yaitu sebanyak 3,5 tegakan/m2 Jenis E. acoroides merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada walaupun dilihat dari jumlah tegakan, jenis ini bukan merupakan jenis dengan jumlah tegakan yang dominan. Hal ini dikarenakan jenis ini hampir selalu ditemukan pada setiap kotak pengamatan. Jenis substrat yang agak berlumpur, memang menjadi lokasi yang ideal bagi lamun jenis ini. Sementara jenis H. pinifolia sekalipun merupakan jenis lamun pioner, merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran paling rendah. Sementara untuk persen tutupan, yang paling tinggi tetap didominasi oleh E. acoroides sedangkan yang terendah diwakili oleh jenis H. uninervis Hasil penilaian secara agregat pada tahun 2014 memberikan gambaran variasi yang rata-rata persen penutupan lamun yang tidak terlalu berbeda jauh dari hasil penilaian pada tahun 2012. Variasi secara spasial juga tidak memberikan perbedaan yang berarti antar lokasi pengamatan, kecuali pada pesisir desa Ohoililir yang lebih rendah dibanding ketiga lokasi pengamatan lainnya. Agregasi untuk seluruh persen penutupan menunjukkan bahwa perairan Kabupaten Maluku Tenggara memiliki nilai tutupan lamun rata-rata sebesar 60,42%. Hasil penilaian ini menunjukkan status lamun sesuai parameter tutupan lamun kriteria persen tutupan tinggi karena atau
60%
b. Keanekaragaman Penilaian keanekaragaman sebagai salah satu parameter status lamun yang dimaksudkan adalah keanekaragaman spesies lamun yang didasarkan pada hasil perhitungan yang menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun di perairan ini memiliki variasi yang tidak terlalu besar. Distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun yang didapat dalam survey tahun 2014 ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan hasil survey tahun 2012.
Hasil tersebut terbukti dari distribusi nilai keanekeragaman spesies lamun secara spasial untuk keempat lokasi survey, masing-masing: Ohoilir sebesar 1,764, Pulau Ngaf 1,406, Tanjung Najun 1,726, dan Pulau Ohoiwa 1,669. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai keanekeragaman spesies lamun antara 1,406 sampai dengan 1,764 (Tabel 10). Kisaran nilai ini termasuk dalam kategori sedang karena nilai H’ berada di antara satu dan tiga Tabel 10. Distribusi nilai keanekagaraman lamun pada empat lokasi di Kecamatan Kei Kecil No.
Jenis
Lokasi 1: Desa Ohoililir Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halophila ovalis Halodule uninervis
Jumlah Tegakan
Pi
ln pi
124 115 69
0,238 0,221 0,132
-1,435 -1,511 -2,022
0,342 0,333 0,268
41 62 105
0,079 0,119 0,202
-2,542 -2,129 -1,602
0,200 0,253 0,323
0,010
-4,646
0,045
H’
1,764
-0,997 -1,266 -2,738 -2,815
0,368 0,357 0,177 0,169
-1,494
0,335
H’
1,406
Halophila minor 521 Lokasi 2: Pulau Ngaf Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii
462
Halophila ovalis Halodule uninervis
75
0,369 0,282 0,065 0,060
Thalassodendron ciliatum
281
0,224
353 81
1252 Lokasi 3: Tanjung Najun Halophila decipiens Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halophila ovalis Halodule uninervis Syringodium isoetifolium
41 224 41 59 81 239
0,051 0,279 0,051 0,073 0,101 0,297
-2,976 -1,278 -2,976 -2,612 -2,295 -1,213
0,152 0,356 0,152 0,192 0,231 0,361
119
0,148
-1,910
0,283
H’
1,726
804 Lokasi 4: Pulau Ohoiwa Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Halodule pinifolia Halophila ovalis Halodule uninervis Syringodium isoetifolium
340 380 221 38
0,274 0,306 0,178 0,031
-1,296 -1,185 -1,727 -3,488
0,355 0,362 0,307 0,107
101 35
0,081 0,028
-2,510 -3,570
0,204 0,101
128
0,103
-2,273
0,234
H’
1,669
1243 Sumber: Data lapangan (2014), diolah
pi ln pi
Di sisi lain, hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan perpesktif lain dari masyarakat yang biasanya memiliki akses ke kawasan ini. Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa keberadaan ekosistem lamun di kawasan ini berada dalam kondisi yang baik dan relatif terjaga atau terhindar dari berbagai aktivitas destruktif. Hal ini terbukti dari pernyataan 100% responden yang diwawancarai dan berkeyakinan bahwa kondisi ekosistem lamun sangat baik. 3.2.3
Status Ekosistem Mangrove
Sesuai dengan perubahan pada manual EAFM, telah terjadi pengurangan jumlah parameter yang diukur terkait dengan penilaian status ekosistem mangrove. Jika pada tahun 2012 penilaian status ekosistem mangrove dilakukan melalui pengukuran pada empat parameter (tingkat kerapatan, keanekaragaman, perkembangan luasan mangrove dan distribusi Indeks Nilai Penting), maka dalam evaluasi di tahun 2014 ini hanya digunakan dua parameter, persentase tutupan dan kerapatan. a. Persentase Tutupan Pendekatan analisis dengan sistem informasi geografis menunjukkan kawasan hutan mangrove yang dicuplik dalam kajian ini, di Kecamatan Kei Kecil Barat, memiliki total luasan 1.576,58 ha. Hasil analisis menunjukkan luas tutupan mangrove mencapai 935,35 ha, sehingga tingkat tutupan mangrove hanya mencapai 59,33% (Gambar 17). Hasil pada Gambar 17 menunjukkan bahwa kawasan mangrove yang dekat dengan pemukiman cenderung mendapat tekanan pemanfaatan yang sangat kuat. Sebaliknya pada kawasan yang agak jauh dari pemukiman kurang mendapat tekanan akibat pemanfaatan. Hasil analisis menunjukkan adanya tujuh kelas Tabel .. Distribusi kelas tutupan mengrove di Kecamatan Kei kepadatan mangrove yang terdistribusi di Kecamatan Kecil Barat Kei Kecil Barat (Tabel ..) Kelas tutupan yang paling Kelas tutupan Deskripsi Ha luas adalah Kelas Tutupan 7, yang menunjukkan tingkatan tutupan paling rendah cukup mendominasi distribusi tingkat tutupan mangrove di wilayah ini. Sesuai dengan hasil analisis tersebut, maka tingkat tutupan mangrove pada lokasi kajian yang dipilih ini berada pada kisaran
50
75% Dengan demikian,
Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Kelas Luas Total
Tinggi
Rendah
137,18 94,07 92,70 131,31 156,38 31,20 192,51 935,35
tingkatan tutupan mangrove pada Kecamatan Kei Kecil Barat termasuk dalam kategori Tutupan Sedang Kondisi ini terjadi karena adanya tekanan akibat pemanfaatan kayu untuk kepentingan bahan bangunan dan kayu bakar.
Gambar 17 Peta Distribusi Tutupan Mangrove di Kecamatan Kei Kecil Barat, Cuplikan Citra Lansat 8, tanggal 8 Oktober 2014
b. Kerapatan Pilihan lokasi survey untuk tingkat kerapatan Tabel 12 Tingkat Kerapatan Mangrove di Kecamatan Kei Kecil Barat mangrove di wilayah kajian adalah pada Kecamatan Kei Kecil Barat, yakni pada kawasan
No
hutan mangrove di Teluk Hoat-Sorbay dengan
Kategori pohon:
contoh pengamatan difokuskan pada lokasi sekitar desa Warwut. Hasil invetarisasi bebas menemukan
sebanyak
tujuh
jenis,
masing-
masing: Sonneratia alba Rhizopora apiculata Bruguiera Avicenia
gymnorrizha officinalis
Rhizophora
Exocaria
stylosa
agaloca
dan
Jenis Mangrove
Kerapatan (pohon/ha)
Sonneratia alba Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrizha Rhizophora stylosa Avicennia officinalis
235 161 30 19 21
Exocaria agaloca
29
Kategori sapihan:
Aegiceras corniculatum (Tabel 12).
Sonneratia alba Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Total
93 81 108 777
Hasil perhitungan terhadap tingkat kerapatan mangrove di lokasi ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat kerapatan antar jenis. Hasil ini memberikan gambaran jenis-jenis utama dengan tingkat kerapatan yang tinggi adalah Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata sedangkan jenis-jenis dengan tingkat kerapatan paling rendah antara lain: Bruguiera gymnorrizha Rhizophora stylosa Avicennia officinalis dan Exocaria agaloca Sesuai dengan distribusi tingkat kerapatan seluruh jenis yang teridentifikasi, kelompok mangrove untuk kategori pohon memiliki tingkat kerapatan sebanyak 495 pohon/ha, sedangkan kelompok mangrove untuk kategori sapihan sebanyak 282 pohon/ha. Perbandingan kedua kelompok mangrove ini memberikan gambaran bahwa walaupun kelompok dengan kategori sapihan memiliki tingkat kerapatan rata-rata per jenis mencapai 94 pohon/ha, lebih banyak dibandingkan dengan kelompok dengan kategori pohon dengan rata-rata 83 pohon/ha. Kondisi ini sesuai dengan distribusi jumlah individu kelompok sapihan lebih banyak dibandingkan dengan kelompok pohon. Secara agregat, tingkat kerapatan pada lokasi contoh menunjukkan tingkat kerapatan yang tidak terlalu tinggi. Hal ini terbukti dari tingkat kerapatan yang hanya mencapai 777 tegakan/ha. Jika hasil analisis tingkat kerapatan ini dibandingkan dengan kriteria penilaian dalam keriteria EAFM, maka distribusi nilainya termasuk dalam kriteria tingkat Kerapatan Rendah karena berada dalam kisaran <1000 pohon/ha Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa tingkat kerapatan rendah pada lokasi contoh ini sangat dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat di sekitar lokasi
ini. Rata-rata pemanfaatan kayu mangrove dilakukan dengan tujuan untuk mengakomodasi kebutuhan bahan bangunan dan memenuhi kebutuhan kayu bakar. Kondisi demikian
menunjukkan
pengendalian
melalui
adanya
kebutuhan
pengembangan
untuk
pola-pola
pengelolaan yang berkelanjutan, dan mengakomodasi kepentingan ekonomi masyarakatnya. Untuk mendukung peningkatan luasan dan tingkat kerapatan mangrove sebagai langkah strategis penerapan pengelolaan berkelanjutan di wilayah ini, telah dilakukan upaya penanaman mangrove melalui pengembangan Rehabilitasi Hutan Mangrove pada lokasi Ohoi Dian Darat, Kecamatan Kei Kecil. Program ini
dikembangkan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Maluku Tenggara pada Tahun 2013.
Dalam program ini, dilakukan penanaman mangrove dari kelompok genus Rhizopora dengan jarak tanam 1m
3m. Program ini dibiayai dengan anggaran Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Batu Merah Tahun 2013.
3.2.4
Status Terumbu Karang
Dalam penilaian status terumbu karang ditetapkan dua indikator, meliputi: persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan atas live form Penilaian ini dilakukan berdasarkan hasil survey kesehatan terumbu karang di perairan Kei Kecil bagian Barat oleh WWF Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh Syukur dkk (2014). a. Persentase Tutupan Syukur dkk
(2014) melaporkan kondisi Tabel 13 Distribusi tutupan karang keras pada 15 stasiun pengamatan di perairan kesehatan terumbu karang di perairan Kei Kei Kecil bagian Barat Kecil bagian Barat relatif beragam antar lokasi pengamatan. Sesuai hasil pengamatan pada 15 lokasi, distribusi tutupan karang keras terendah di perairan sekitar Madwear dan Pulau Witir, dengan tingkat tutupan 0,67%. Lain halnya dengan lokasi perairan sekitar Pulau Liek dengan tutupan tertinggi 74,00% (Tabel 13). Jika
dilakukan
pengelompokkan
secara
spasial, maka lokasi-lokasi dengan perairan yang memiliki tingkat tutupan karang keras terendah (<25%), meliputi: Madwear, Pulau Warbal, Pulau Witir, dan Somlain. Kondisi
Stasiun Tutupan Karang Pengamatan Keras (%) Madwear 0,67 Ohoi Lairngangas 55,33 Ohoi Ngilngof 43,33 Pulau Hoat 56,00 Pulau Lea 61,00 Pulau Liek 74,00 Pulau Manir 2,00 Pulau Ngaf 56,00 Pulau Ohoieu 49,67 Pulau Ohoitir 64,67 Pulau Ohoiwa 69,33 Pulau Warbal 1,00 Pulau Witir 0,67 Somlain 24,00 Ur Pulau 29,33 Min 0,67 Max 74,00 Rata-Rata 39,13 Sumber Syukur dkk (2014), diolah
Status rendah tinggi sedang tinggi tinggi tinggi rendah tinggi sedang tinggi tinggi rendah rendah rendah sedang rendah tinggi SEDANG
yang menyebabkan pola tutupan karang seperti ini sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Lokasi-lokasi dimana perairannya memiliki tingkat tutupan karang sedang
25
50%),
masing-masing: Ohoi Ngilngof, Pulau Ohoieu, dan Ur Pulau. Di sisi lain, lokasi-lokasi dengan perairannya yang memiliki tingkat tutupan karang keras tinggi
50%), meliputi: Ohoi
Lairngangas, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Liek, Pulau Ngaf, Pulau Ohoitir, dan Pulau Ohoiwa. Sesuai laporan Syukur dkk. (2014), persentase karang keras lebih tinggi dibandingkan dengan kategori yang lainnya dan termasuk dalam kondisi sedang. Tingginya persentase karang keras juga diimbangi dengan adanya karang mati sebesar 21,38%. Selain banyak ditemukan karang keras dan karang mati, di beberapa stasiun juga ditemukan karang lunak yang cukup tinggi bahkan hampir tidak ditemukan karang keras. Tingginya tutupan karang lunak pada beberapa stasiun juga didukung dengan substrat dasar yang berupa batuan datar atau biasa masyarakat
Kepulauan Kei menyebutnya sebagai batu papan, hal itu yang menyebabkan persentase abiotik tidak berbeda jauh dari karang lunak. Hanya satu stasiun saja yang memiliki komposisi yang lengkap dari kedelapan kategori tersebut yaitu di Pulau Manir. Kategori yang muncul di semua stasiun hanya pada kategori karang keras dan spons, itu menandakan bahwa di semua stasiun pengamatan masih dapat ditemukannya karang keras dan spons walaupun jumlahnya sedikit. Bentuk pertumbuhan karang keras yang ditemukan saat pengambilan data cukup beragam dengan jumlah bentuk pertumbuhan 10 jenis. Berdasarkan hasil rata-rata bentuk pertumbuhan di Perairan Kei Kecil Bagian Barat yang paling dominan adalah pertumbuhan Acropora branching atau Acropora bercabang dengan jumlah 28,95%. Pertumbuhan lainnya yang ditemui yaitu Coral Encrusting (mengerak) Coral Branching (bercabang) Coral Massive (padat) Coral Foliose (lembaran) Acropora Encrusting (Acropora merayap) Coral Mushroom (jamur) Acropora Tabulate (Acropora meja) Coral Submassive (submasif) dan Coral Millepora (karang api), dan kelompok yang paling sedikit ditemui adalah karang api yang hanya mencapai 0,27%. Genera yang ditemui pada daerah ini sedikitnya mencapai 55 genera karang keras. Sembilan genera tertinggi dapat dilihat pada gambar diagram batang di atas. Genus Acropora adalah genus yang sangat mendominasi diantara genus yang lain, sebesar 36%. Kedua yaitu genus Porites memiliki persentase sebesar 19,93%, sedangkan genera yang lainnya tersebar cukup merata. Stasiun Ohoi Lairngangas merupakan stasiun dimana ditemukannya genus karang terbanyak, yakni sebanyak 32 genera. Jumlah genera pada perairan Ohoi Ngilngof tidak beda jauh, sebanyak 31 genera. Jumlah genera paling sedikit ditemukan pada stasiun Pulau Witir yakni sebanyak dua genera karang keras. Sesuai hasil survey itu, maka rata-rata tutupan karang keras hidup pada perairan Maluku Tenggara yang diwakili oleh wilayah contoh yang disurvey, perairan Kei Kecil Bagian Barat, hanya mencapai 39,13% Hasil ini menunjukkan distribusi tutupan terumbu karang yang ditunjukkan dengan tutupan karang keras hidup termasuk dalam kriteria sedang Hasil survey yang dilaporkan Syukur dkk (2014) juga memberikan gambaran tentang adanya pembentukan variasi kondisi tutupan karang keras antar lokasi, antara lain: (1) dominannya karang keras pada beberapa lokasi didukung oleh pola tumbuh Acropora bercabang dan lembaran dengan tingkat tutupan yang cukup tinggi; (2) morfologi dasar yang turut berkontribusi terhadap pola sebaran, dimana pada lokasi yang landai dengan tingkat tekanan yang rendah memberikan kesempatan yang baik bagi pertumbuhan karang keras, demikian juga lokasi-lokasi dengan kecenderungan distribusi tutupan karang keras yang tinggi di daerah
tubir (slope yang kurang mendapat tekanan pemanfaatan yang merusak; (3) lokasi-lokasi yang mendapat tekanan yang tinggi akibat pemanfaatan bahan peledak untuk pemanfaatan ikan karang; serta (4) lokasi-lokasi yang menunjukkan adanya pemutihan karang walaupun persentasenya kecil, namun ditemukan pada 10 lokasi survey. b. Keanekaragaman Penilaian status ekosistem terumbu karang dengan pendekatan keanekaragaman tidak dapat dilakukan dalam evaluasi ini. Penelusuran data sekunder tentang nilai keanekaragaman terumbu karang di wilayah ini, dalam periode tahun 2012 sampai dengan 2014 tidak ditemukan untuk mendukung penilaian ini. 3.2.5
Habitat Unik/Khusus
Hal-hal yang terkait dengan habitat unik/khusus meliputi: luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground nursery ground feeding ground upwelling dan nesting beach Dua indikator yang dinilai dalam evaluasi ini meliputi spawning ground dan upwelling Pertama penilaian terhadap habitat unit/khusus untuk indikator daerah pemijahan ikan didasarkan pada hasil identifikasi terhadap spawning ground yang dilakukan melalui survey SPAGs (Spawning Aggregations yang dilakukan WWF Indonesia di perairan Kei Kecil bagian Barat. Hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak lima titik yang teridentifikasi sebagai lokasi SPAGs, dan seluruhnya terkonsentrasi pada kawasan terumbu karang daerah tubir di bagian Barat Pulau Lea dan Hoat (Gambar 18). Sesuai dengan hasil ini, diduga daerah tubir pada bagian terluar terumbu karang di perairan Kei Kecil bagian Barat merupakan lokasi-lokasi potensial SPAGs, namun demikian hal ini masih harus dibuktikan melalui survey secara reguler. Kedua penilaian indikator upwelling yang dilakukan melalui kajian terhadap pola distribusi suhu, memberikan gambaran tentang adanya lokasi-lokasi potensial upwelling yang umumnya terkonsentrasi pada busur dalam Laut Banda, mulai dari perairan Selatan Sersam Timur sampai dengan perairan Barat Kei Kecil. Bagian Timur Laut Banda yang terletak pada busur dalam Banda seperti perairan Barat Kei Kecil merupakan lokasi efektif dimana terjadi upwelling Kondisi topografi perairan yang relatif dangkal dengan pulau-pulau kecil yang berada pada kawasan ini, saat bertiup angin Muson Tenggara, arus permukaan bergerak ke arah Barat dan menyebabkan massa air permukaan berkurang. Kurangnya massa air permukaan menyebabkan massa air laut dalam terangkat ke permukaan. Sebaran rerata mingguan suhu permukaan di perairan sekitar busur Banda menunjukkan bahwa upwelling lebih intensif terjadi pada Minggu III dan IV (Gambar 19).
Gambar 18 Peta Distribusi Lokasi SPAGs di Perairan Barat Keci Kecil (Sumber: WWF-ID, Tahun 2014)
-3.5 32.18 -4.0 30.18
-5.0
28.18
-5.5 26.18
Lintang Selatan
-4.5
-6.0 24.18 -6.5
13-20 Agustus 2014 -7.0 130.5
22.18 131.0
131.5
132.0
132.5
133.0
Lintang Selatan
Bujur Timur
Gambar 19 Lokasi-lokasi upwelling (indikasi sebaran rerata suhu permukaan laut mingguan periode 28 Juli September 2014 Penilaian terhadap kedua indikator habitat unit ini memberikan gambaran tentang posisi strategis perairan Kabupaten Maluku Tenggara dalam mendukung kekayaan perairan, demikian juga dapat berimplikasi pada upaya-upaya pengembangan kawasan konservasi. Informasi dan pengetahuan tentang kedua habitat unik/khusus ini masih belum mendapat perhatian secara khusus terkait pengelolaannya, walaupun sebenarnya telah dilakukan penetapan zona sesuai sistem zonasi dalam dokumen Rencana Zonasi Kawasan Konservasi, terutama untuk lokasi-
lokasi SPAGs. Demikian halnya dengan kawasan-kawasan yang berpotensi terjadi upwelling di perairan ini juga belum terakomodasi dalam suatu sistem pengelolaan yang akomodatif. Hasil penilaian untuk indikator ini secara menyeluruh menunjukkan beberapa habitat unik/ khusus telah diketahui dengan baik, namun belum mendapat perhatian melalui suatu sistem pengelolaan yang komprehensif. Dengan demikian, hasil penilaiannya masih berada pada kriteria diketahui adanya Habitat Unik/Khusus tapi tidak dikelola dengan baik 3.2.6
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Perairan dan Habitat
Kajian terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian indikator ini meliputi: (1) state of knowledge level yang menunjukkan kajian tentang dampak perubahan iklim; dan (2) state of impact dengan key indicator menggunakan terumbu karang. a. State of Knowledge Level Penelusuran terhadap berbagai kajian terkait dengan kondisi perairan dan habitat sebagai dampak dari perubahan iklim, khususnya dampak terhadap terumbu karang, menemukan adanya satu kajian yang menjelaskan hal-hal terkait. Satu-satunya kajian yang didapat dalam penelusuran itu adalah kajian yang dihasilkan melalui Survei Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan Kei Kecil Barat oleh WWF Indonesia Tahun 2014 sebagaimana dilaporkan oleh Syukur dkk (2014). Sesuai hasil survei itu, telah diketahui adanya dampak perubahan iklim yang dinyatakan melalui adanya suatu gejala coral bleaching Secara visual juga telah tergambar adanya gejala dampak perubahan iklim terhadap naiknya muka air laut dan diduga berdampak pada semakin sempitnya luasan pantai pada beberapa pulau kecil di kawasan Barat Kei Kecil. Walaupun demikian, upaya-upaya dalam rangka menerapkan strategi adaptasi dan mitigasi secara komprehensif belum dilakukan dengan baik. Hasil inilah yang memberikan gambaran bahwa sudah ada kajian tahun 2014, namun belum ada penerapan strategi adaptasi dan mitigasi secara komprehensif. Dengan demikian, hasil penilaian ini memberikan gambaran bahwa dalam konteks state of knowledge level diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
b. State of Impact State of impact yang dimaksudkan adalah status dampak perubahan iklim yang didasarkan pada hasil penilaian dampak dengan indikator kunci terumbu karang. Dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat yang dinilai dengan indikator kunci terumbu karang menggunakan kriteria tingkatan tutupan karang yang memutih atau coral bleaching Hasil survey kesehatan terumbu karang yang Tabel 14 Distribusi lokasi coral bleaching pada 15 stasiun pengamatan di perairan dilaporkan Syukur, dkk., (2014) menunjukkan Kei Kecil bagian Barat rata-rata coral bleaching untuk seluruh lokasi pengamatan mencapai 0,91%. Distribusi nilai rata-rata ini terbentuk karena distribusi coral bleaching antara 0,00 4,33% (Tabel 14). Lokasi-lokasi dengan tingkat coral bleaching 0,00% meliputi Madwear, Pulau Liek, Warbal, Witir, dan Somlain. Hasil ini menggambarkan habitat terumbu karang pada kelima lokasi sama
sekali
belum
mengalami
dampak
perubahan iklim. Habitat terumbu karang pada lokasi-lokasi lainnya telah mengalami dampak perubahan iklim, dengan tingkatan dampak yang masih
Stasiun Coral Bleaching Pengamatan (%) Madwear 0,00 Ohoi Lairngangas 0,67 Ohoi Ngilngof 2,00 Pulau Hoat 4,33 Pulau Lea 0,33 Pulau Liek 0,00 Pulau Manir 0,67 Pulau Ngaf 2,33 Pulau Ohoieu 1,33 Pulau Ohoitir 0,67 Pulau Ohoiwa 0,67 Pulau Warbal 0,00 Pulau Witir 0,00 Somlain 0,00 Ur Pulau 0,67 Min 0,00 Max 4,33 Rata-Rata 0,91 Sumber Syukur dkk (2014), diolah
Status rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah RENDAH
rendah. Walaupun demikian, lokasi habitat terumbu karang yang harus mendapat perhatian yang serius berada perairan sekitar Pulau Hoat. Tingkatan coral belaching sebesar 4,33% merupakan kondisi serius dimana pengelolaan terumbu karang di wilayah ini penting dilakukan. Strategi adaptasi dan mitigasi menjadi perhatian semua pihak terkait pengelolaan ekosistem terumbu karang khusus maupun pengelolaan kawasan konservasi secara umum. Secara agregat, hasil survey itu menunjukkan bahwa pada beberapa lokasi memang ditemukan coral bleaching namun masih terjadi secara patchy dan masih sangat sedikit dengan kisaran tingkatan coral bleaching
5% Hasil ini membuktikan bahwa habitat terumbu karang yang
terkena dampak perubahan iklim dengan indikator penilaian coral bleaching, masih termasuk dalam kategori rendah
3.3
Domain Teknologi Penangkapan Ikan
3.3.1
Metode Penangkapan Ikan yang Bersifat Destruktif
Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dikaji berdasarkan hasil identifikasi terhadap penggunaan alat dan metode penangkapan merusak dan atau tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Identifikasi yang dilakukan untuk indikator ini mengacu pada data yang dikumpulkan oleh Bidang Pengawasan dan Konservasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara, tahun 2012 sampai dengan 2014 (Tabel 14). Tabel 14 Distribusi lokasi penangkapan ikan destruktif menurut metode penangkapan dan proses penanganannya di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2012-2014 Tahun
Lokasi
Posisi
Metode
Proses Penanganan
2012
Perairan Pulau Ngaf
5037'13" 132035'57"
Bore Racun Ikan dan Bom Ikan
Pembinaan dan Penyitaan Barang Bukti
2012
Perairan Teluk Sorbai Ohoililir
5038'06" 132037'51"
Bom Ikan
Terima Laporan dari Kepala Desa dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2012
Perairan Pulau Nai
5042'29" 132033'30"
Pembantaian Penyu Hijau hasil tangkapan di Pantai Berpasir
Terima Laporan dari Pokmaswas Vatleroa dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2013
Perairan Pulau Nai
5043'04" 132032'44"
Bom Ikan
Terima Laporan dari Pokmaswas Nuhuvut dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2013
Perairan Pulau Hoat
5043'40" 132033'49"
Pengambilan Tukik Penyu Hijau
Terima Laporan dari Pokmaswas Nuhuvut dan melakukan “Cross Check” di lapangan dan tindakan penertiban, pembinaan diikuti proses penebaran 200 tukik penyu hijau
2013
Perairan Ur Pulau
5050'10" 132031'45"
Bom Ikan
Terima Laporan dari Kepala Desa dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2013
Perairan Pulau Warbal
5050'03" 132034'33"
Bom Ikan
Terima Laporan dari Pokmaswas Baul Bal dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2014
Perairan Pulau Nuhuta
5053'08" 132027'48"
Bom Ikan
Terima Laporan dari Pokmaswas Masbait dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2014
Perairan Pulau Nuhuta
5053'11" 132027'40"
Bom Ikan
Terima Laporan dari Pokmaswas Masbait dan melakukan “Cross Check” di lapangan serta tindakan penertiban.
2014
Perairan Pulau Nuhuta
5053'20" 132027'48"
Bom Ikan
Penangkapan Pelaku Pemboman Ikan beserta Alat Bukti oleh Masyarakat dan Pokmaswas Masbait selanjut dilakukan penindakan sesuai peraturan yang berlaku.
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Hasil identifikasi sesuai Data Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara, memberikan beberapa gambaran yang penting untuk diungkap terkait dengan pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem di Kabupaten Maluku Tenggara. Pertama lokasi-lokasi yang umum ditemukan adanya pelanggaran penangkapan ikan yang destruktif, antara lain: perairan Pulau Ngaf, Teluk Sorbai Ohoililir, pulau Nai, Pulau Hoat, Ur Pulau, Pulau Warbal, dan Pulau Nuhuta. Sesuai data yang ada, perairan yang paling sering mendapat tekanan adalah perairan Pulau Nai dan Pulau Nuhuta. Intensifnya pelanggaran pada kedua lokasi ini disebabkan karena tidaknya adanya penduduk di pulau atau pilihan lokasi yang agak jauh dari lokasi pemukiman, khususnya di Pulau Nai. Kedua frekuensi pelanggaran secara tahunan ditunjukkan dengan intesitas pelanggaran yang terjadi sebanyak tiga sampai empat kali dalam setahun. Dalam tahun 2012 teridentifikasi tiga pelanggaran, pada tahun 2013 pelanggaran sebanyak empat kali, sedangkan dalam tahun 2014 pelanggaran sebanyak tiga kali. Ketiga metode penangkapan ikan yang destruktif yang teridentifikasi terkonsentrasi pada empat hal, masing-masing: penangkapan ikan dengan obat bius (bore), penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom ikan), pembantaian penyu khususnya penyu hijau, dan pengambilan tukik penyu. Penggunaan bahan peledak atau bom ikan merupakan metode yang paling sering ditemukan dalam operasi pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas penangkapan ikan yang destruktif di Kabupaten Maluku Tenggara. Keempat beberapa mekanisme penanganan persoalan penangkapan ikan destruktif teridentifikasi dengan baik sesuai proses yang dilakukan selama tiga tahun (2012 2014).
Seluruh
terkelompokkan
proses dalam
penanganan
dua
tingkatan
inisiatif, masing-masing: (1) inisiatif DKP Kabupaten
Maluku
Tenggara
yang
melakukan pengawasan secara reguler; dan (2)
inisiatif
masyarakat
ohoi
melalui
pelaporan kepala ohoi dan kelompok masyarakat pengawas kepada DKP Kabupaten Maluku Tenggara serta tindakan langsung yang dilakukan melalui penerapan peraturan ohoi. Pada tingkatan inisiatif DKP Kabupaten Maluku Tenggara, pengawasan dilakukan secara reguler dan sangat tergantung pada ketersediaan biaya pengawasan. Pada tingkatan ini, dilakukan
kunjungan lapangan, dan jika ditemukan adanya kegiatan penangkapan ikan yang destruktif, akan dilakukan penyitaan barang bukti, yang diikuti dengan proses pembinaan. Tingkatan inisiatif ini dianggap berbagai kalangan, kurang memiliki nilai efektivitas dalam suatu proses pengawasan. Di sisi lain, pada tingkatan inisiatif masyarakat ohoi, integrasi dengan DKP Kabupaten Maluku Tenggara terjadi ketika adanya pelaporan Kepala ohoi atau Pokmaswas. Pasca pelaporan ini, pengecekan lapangan dilakukan langsung oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara bersama masyarakat ohoi, terutama dari pokmaswas. Pada proses pengawasan ini, umunya dilakukan penertiban terhadap para pelaku. Tindakan langsung yang dilakukan oleh masyarakat ohoi merupakan proses lain yang biasanya dilakukan oleh beberapa ohoi yang telah memiliki aturan di tingkat ohoi. Tindakan langsung yang dimaksudkan adalah penangkapan pelaku perikanan destruktif dan penyitaan barang bukti. Pada beberapa ohoi, tindakan hukum dilakukan dengan menerapkan aturan-aturan yang dikembangkan di tingkat ohoi. Salah satu tindakan pembinaan atau penertiban yang pernah dilakukan secara bersama antara DKP Kabupaten Maluku Tenggara dengan masyarakat ohoi (pokmaswas) adalah dengan pemberian pemahaman pentingnya perlindungan tukik penyu. Langkah strategis yang dilakukan adalah penebaran tukik penyu ke perairan yang dilakukan juga oleh para pelaku perikanan destruktif. Hasil identifikasi secara keseluruhan menunjukkan frekuensi pelanggaran 3-4 kasus penangkapan ikan destruktif per tahun Informasi dari masyarakat bahwa kegiatan pemboman ikan yang dilakukan dewasa ini cenderung memiliki wakatu subuh dan/atau menjelang malam. Pilihan waktu–waktu tersebut diarahkan untuk menghindari pemantauan oleh pengawas atau masyarakat sekitar. Hal ini sangat efektif untuk menghindari penangkapan oleh pengawas, dan berimplikasi pada penurunan kinerja pengawasan terhadap perikanan destruktif. 3.3.2
Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan
Penilaian indikator ini dilakukan melalui pengukuran hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Alat tangkap yang menjadi sampel dalam penilaian ini adalah pukat cincin mini dan bagan. Pilihan terhadap kedua alat penangkapan ini terkait dengan hasil survey lapangan yang menunjukkan adanya perubahan pada ukuran mata jaring. Perubahan ukuran mata jaring pada kedua alat penangkapan ikan ini, umumnya pada bagian kantong, khususnya untuk alat tangkap bagan.
Modifikasi yang terjadi pada kedua alat penangkapan ikan ini dilakukan oleh pemilik usaha sebagai bagian dari antisipasi menurunnya hasil tangkapan. Umumnya tujuan hasil tangkapan yang menjadi target utama adalah kelompok ikan dari jenis teri dan tembang. Sesuai dengan jenis ikan target, maka upaya modifikasi yang dilakukan dengan pendekatan perubahan ukuran mata jaring pada alat tangkap lebih diarahkan untuk menghindari lolosnya ikan yang berukuran lebih kecil dari jeratan jaring. Pengukuran
yang
dilakukan
untuk
tiga Tabel 16 Proporsi kelompok ikan Lm yang tertangkap akibat perubahan alat kelompok jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ikan tangkap utama pukat cincin mini dan bagan, Proporsi Jumlah Jumlah meliputi ikan layang, tembang dan teri (Tabel 16). Kisaran proporsi jumlah ikan dengan
Kelompok Jenis Ikan
Lm (cm)
sampel (ekor)
ikan Lm (ekor)
ikan Lm (%)
Layang
16,21
100
51
51,00
ukuran kurang dari Lm berkisar antara 51,00
Tembang
11,95
200
117
58,50
sampai dengan 58,50%. Walaupun dalam
Teri
6,00
200
93
46,50
pengukuran di bulan Januari tahun 2015
Rata-rata proporsi ikan
Lm
52,00
menunjukkan kelompok jenis ikan teri masih mencapai 46,50%, namun sesuai hasil wawancara dengan nelayan pukat cincin mini dan bagan, dinyatakan bahwa untuk musim-musim tertentu seperti pasca musim Timur, ditemukan juga proporsi hasil tangkapan ikan teri sangat dominan. Secara menyeluruh, untuk indikator ini rata-rata proporsi ikan dengan ukuran kurang dari Lm sebesar 52,00% Hasil ini membuktikan aktivitas penangkapan ikan, khususnya untuk perikanan pukat cincin mini dan bagan di Kabupaten Maluku Tenggara telah mencapai tingkatan dimana lebih dari 50% ukuran target spesies kurang dari Lm 3.3.3
Fishing Capacity and Effort
Penilaian terhadap inidikator ini diarahkan untuk mengetahui tingkat intensitas penangkapan ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah perairan. Penilaian terhadap fishing capacity (FC) and effort yang dimaksudkan adalah perhitungan kapasitas perikanan dan upaya penangkapan sebagai representasi dari besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan. Perhitungan ini menghendaki adanya data tahun dasar dan tahun terakhir. Pilihan tahun dasar adalah tahun 2010 untuk tujuan evaluasi terhadap perkembangan yang telah dilakukan pada tahun 2012, dimana data tahun 2010 merupakan data tahun akhir pada penilaian pada tahun itu. Data yang digunakan dalam
evaluasi ini adalah data perikanan untuk tingkatan Kabupaten Maluku Tenggara, tahun 2010 dan 2014 (Tabel 18 dan 19). Tabel 18 Nilai FC tahun terakhir (2014) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Jenis API Pukat Cincin Bagan Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Bubu Pancing Tegak Pancing Ulur Pancing Tonda Sero Tancap
V Jumlah unit 14 149 1080 714 947 323 308 2896 2600 4
E Trip 569 606 497 561 793 581 878 668 759 527
C Rata-rata Produksi 403,2 154,5 4,9 2,89 5,94 2,07 10 4,96 4,97 9,21
FC Tahun Terakhir (2014) Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2014), diolah
VCE 3.211.891,20 13.950.423,00 2.630.124,00 1.157.601,06 4.460.767,74 388.462,41 2.704.240,00 9.595.258,88 9.807.798,00 19.414,68 47.925.980,97
Tabel 19 Nilai FC tahun dasar (2010) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Jenis API Pukat Cincin Bagan Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Bubu Pancing Tegak Pancing Ulur Pancing Tonda Sero Tancap
V Jumlah unit 6 57 1005 682 917 308 3708 2757 2491 4
E Trip 512 576 512 576 784 576 320 672 768 560
FC Tahun Dasar (2010) Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2011), diolah
C Rata-rata Produksi 300 150 5 3 5 2 10 5 5 10
VCE 921.600,00 4.924.800,00 2.572.800,00 1.178.496,00 3.594.640,00 354.816,00 11.865.600,00 9.263.520,00 9.565.440,00 22.400,00 44.264.112,00
Perhitungan fishing capacity untuk tahun 2010 sebagai awal menunjukkan kapasitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara mencapai 44.264,11 ton. Pada tahun tahun 2014 sebagai tahun akhir dalam analisis, nilai kapasitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 47.925,98 ton. Distribusi nilai fishing capacity untuk kedua tahun analisis ini menunjukkan adanya peningkatan kapasitas penangkapan sebesar 8,27% atau mengalami peningkatan rata-rata tahunan sebesar 2,07%.
Distribusi distribusi kedua nilai FC, tahun 2010 dan 2014, memberikan konsekuensi adanya perbandingan fishing capacity yang menghasilkan nilai nilai sebesar 0,92. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai
1 dalam periode pembangunan perikanan tahun 2010 sampai dengan 2014.
Bila hasil ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012 yang menunjukkan distribusi nilai
sebesar 0,28 (R
1), maka arah pengelolaan perikanan di wilayah ini
menunjukkan adanya perbaikan selama kurun waktu empat tahun terakhir. Hasil yang dicapai dalam tahun 2014 juga menunjukkan sudah mulai dilakukan pengendalian input perikanan. Input perikanan seperti armada penangkapan ikan yang mulai dikendalikan akan berdampak terhadap mulai tereduksinya degradasi sumber daya ikan di wilayah ini. Walaupun demikian, fishing capacity dan effort masih menunjukkan adanya peningkatan, yang masih memberikan konsekuensi terhadap masih adanya tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan. Sesuai dengan perkembangan nilai
ini, upaya-upaya untuk mewujudkan perikanan tangkap yang
berkelanjutan dan lestari atau bertanggungjawab (responsible fisheries mulai berkembang dengan baik di Kabupaten Maluku Tenggara. 3.3.4
Selektivitas Penangkapan
Indikator selektivitas penangkapan menunjukkan aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan.
Pemilihan indikator ini dilakukan
karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Selektivitas penangkapan dapat diidentikan dengan sifat keramahan lingkungan, maksudnya adalah bahwa alat tangkap ikan memiliki selektivitas penangkapan yang baik atau tinggi berarti pula alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap ramah lingkungan. Pengelolaan perikanan yang menyangkut aspek teknis umumnya juga akan mencakup pengaturan tentang jenis alat penangkapan ikan, pembatasan daerah penangkapan ikan dan musim penangkapannya. Ketiga hal ini tentunya sangat berkaitan dengan selektivitas penangkapan.
Hal ini terkait dengan spesifikasi jenis alat penangkapan ikan dalam hal
hubungannya terhadap keragaman hasil tangkapan dan bycatch (hasil tangkapan sampingan), luasnya wilayah yang menjadi daerah penangkapan ikan, dan lamanya waktu aktivitas penangkapan ikan dalam setahun. Penilaian terhadap indikator ini pada Kabupaten Maluku Tenggara dimulai dengan menghitung jumlah keseluruhan alat tangkap yang beroperasi di perairan ini (T). Total jumlah alat tangkap
yang teridentifikasi sebanyak 9.599 unit yang terkelompokkan dalam 13 jenis alat tangkap (Tabel 20). Identifikasi terhadap jenis alat tangkap yang tidak selektif (S’ menemukan jenis alat tangkap sero tancap dibandingkan dengan 12 jenis alat tangkap lainnya. Tabel 20 Perbandingan selektivitas penangkapan di Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2014 No.
Alat Tangkap
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pukat Cincin (Purse Seine Bagan (Lift Net Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net Jaring Insang Lingkar (Encircling Gill Net Jaring Insang Tetap (Bottom Gill Net Bubu (Traps Net Pancing Tegak (Vertical Line Pancing Ulur (Hand Line Pancing Tonda (Troll Line Pancing Lainnya Pengumpul Kerang Pengumpul Teripang Sero Tancap (Set Net Total Sumber: Hasil analisis (2012, 2014)
S'
PS'
14 149 1080 714 947 323 308 2896 2600 431 48 85 9599
0,04
Sesuai dengan distribusi jumlah alat tangkap yang tidak selektif dan selektif seperti pada Tabel 20 maka perhitungan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS’
menghasilkan nilai sebesar 0,04%. Hasil ini membuktikan sangat
rendahnya komposisi jenis alat tangkap tidak selektif dibandingkan dengan alat tangkap yang selektif. Sesuai dengan kriteria penilaian untuk indikator ini, dimana nilai 0,04% termasuk dalam kriteria kurang dari 50% penggunaan alat tangkap yang tidak selektif Hal ini membuktikan bahwa selektivitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara termasuk dalam kategori tinggi Hasil ini berimplikasi pada penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan yang diindikasikan dengan tingginya tingkat selektivitas penangkapan di wilayah ini.
Artinya, pengelolaan perikanan dianggap berhasil, bila tingkat selektivitas
penangkapan tinggi. Kondisi demikian dapat dicapai karena tingginya orientasi pengembangan usaha perikanan tangkap dengan mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan. Walaupun demikian, kondisi ini masih harus mendapat pengawal secara serius di masa mendatang.
3.3.5
Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Ikan Dengan Dokumen Legal
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal yang dimaksudkan adalah sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal. Penilaian indikator ini dilakukan melalui perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Penilaian yang dilakukan untuk kegiatan perikanan yang dikembangkan nelayan lokal menunjukkan bahwa eksistensi dokumen dan kesesuaiannya pada sejumlah armada penangkapan yang ada di wilayah Kei Kecil menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil lapangan yang menunjukkan tidak ditemukan penyimpangan, terutama pada lokasi-lokasi basis perikanan tangkap seperti Selayar, Sathean dan Dian Pulau. Dari ketiga lokasi ini, ditemukan hanya dua dokumen dari 24 sampel yang dipilih, menunjukkan adanya ketidaksesuaian ukuran tidak sesuai dengan dokumen legal. Kedua temuan ini adalah pada alat tangkap mini purse seine pada lokasi Sathean, dimana ukuran kapalnya ada yang tidak sesuai dengan ukuran yang tertera dalam dokumen. Hasil ini menunjukkan besaran kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal sekitar 91,67% atau sekitar 8,33% yang tidak sesuai. Hasil ini termasuk dalam kriteria penilaian dimana kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal Walaupun tingkat kesesuainnya tinggi, namun pantauan terhadap armada juga menjadi penting untuk dilakukan mengingat adakan adanya upaya-upaya peningkatan produksi oleh nelayan, yang bisa saja menjalankan berbagai cara untuk untuk pencapaian targetnya. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal juga dapat menentukan kelestarian sumber daya ikan. Bila dokumen legal yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan fakta lapangan tentang fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan yang ada, maka dapat menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi bias atau tidak tepat, yang diakibatkan oleh kesalahan data atau informasi yang diterima. Bila ada masih terdapat ketidaksesuaian antara dokumen legal dengan faktanya, sudah dapat dipastikan akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries).
3.3.6
Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai Dengan Peraturan
Indikator ini merepresentasikan jumlah awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat kecakapan tertentu untuk bekerja di atas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal perikanan. Dengan demikian, penilaian terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas). Hasil survey lapangan terhadap 24 pelaku usaha perikanan tangkap menemukan hanya sembilan nelayan yang memiliki sertifikat awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Jumlah ini umumnya ditemukan pada usaha perikanan mini purse seine, sedangkan awak kapal untuk jenis usaha perikanan tangkap lainnya tidak memiliki sertifikat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya program yang kuat dalam meningkatkan pemahaman nelayan tentang pentingnya pemilikan sertifikat dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Sesuai dengan hasil survey tersebut, maka jumlah awak kapal perikanan yang memiliki sertifikat sebanyak 37,50% dari total jumlah nelayan atau awak kapal yang disurvey. Jika kepemilikan sertifikat pada tingkat awak kapal perikanan menjadi indikator kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan, maka hanya 37,50% awak kapal yang memiliki kualifikasi yang baik dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Walaupun demikian, usaha-usaha perikanan berskala sangat kecil, masih banyak yang belum disentuh dengan sistem sertifikasi. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya kepemilikan sertifikat pada awak kapal perikanan adalah (1) kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemilikan sertifikat tersebut; dan (2) tidak adanya program sertifikasi awak kapal perikanan (khususnya untuk skala sangat kecil) yang dikembangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan proporsi jumlah awak kapal perikanan yang memiliki sertifikat sebesar 37,50% termasuk dalam kriteria penilaian kepemilikan sertifikat <50% atau termasuk dalam kategori sangat rendah. Hasil ini akan berimplikasi pada potensi pemanfaatan sumber daya ikan belum sesuai dengan kaidah-kaidah kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Kondisi ini, dinilai akan berdampak secara tidak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada. Dengan demikian, kondisi ini akan menjadi kendala dalam mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries).
Domain Sosial
3.4 3.4.1
Partisipasi Pemangku Kepentingan
Indikator partisipasi pemangku kepentingan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah keterlibatan pemangku kepentingan atau frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya ikan. Penilaian untuk indikator ini dilakukan untuk contoh kasus pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Penilaian dilakukan untuk delapan tahapan pengelolaan yang teridentifikasi melalui proses yang dibangun dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan konservasi yang disebutkan di atas. Delapan tahapan pengelolaan yang dimaksudkan meliputi: (1) kegiatan inisisasi; (2) pertemuan untuk input kajian; (3) pelatihan zonasi; (4) pertemuan untuk input rencana zonasi; (5) sosialisasi rencana zonasi; (6) penyusunan rencana pengelolaan; (7) pengalokasian program dalam pengelolaan; dan (8) monitoring pada kawasan rencana (Tabel 21). Tabel 21 Partisipasi pemangku kepentingan menurut tahapan pengelolaan untuk contoh kasus pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara
Inisiasi
11
91,67
Input kajian Pelatihan zonasi Input rencana zonasi Sosialisasi rencana zonasi Perencanaan pengelolaan Alokasi program
12
100,00
1
1
1
1
75,00 1
12
1
100,00
Rata-Rata
Jumlah
Kepala Ohoi
Kepala Adat
Camat
PT
PSDKP
LIPI
BAKORLUH
DISHUB
INDAGKOP
DISPAR
DKP
Tahapan Kegiatan Pengelolaan
Bappeda
Pemangku Kepentingan
66,67
1
1
1
1
10
83,33
10
83,33 66,67
Monitoring 80
Jumlah 100,0
100,0
75,0
62,5
75,0
87,5
75,0
62,5
75,0
87,5
100,0
100,0
Rata-Rata
Sumber: Survey lapangan (2014)
Hasil identifikasi ini menggambarkan adanya partisipasi yang kuat pada beberapa tahapan, sementara pada tahapan-tahapan tertentu partisipasi pemangku kepentingan masih lemah. Proses inisiasi, pertemuan untuk input kajian dan pertemuan input rencana zonasi merupakan
83,33
tahapan atau proses yang mendukung pengelolaan paling tinggi partisipasinya. Di sisi lain, tahapan atau proses yang mendukung pengelolaan paling rendah partisipasi dari pemangku kepentingan adalah sosialisasi rencana zonasi yang dilakukan sampai pada tingkat ohoi. Tingkat partisipasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan partisipasi antar pemangku kepentingan pada tahapan-tahapan tertentu. Partisipasi pemangku kepentingan pada delapan tahapan pengelolaan juga bervariasi. Pemangku kepentingan yang menunjukkan partisipasi yang paling tinggi adalah Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala adat dan kepala ohoi. Kondisi ini ditunjukkan dengan partisipasi yang menyekuruh pada seluruh tahapan pengelolaan oleh keempat pemangku kepentingan itu. Penyebab perbedaan partisipasi pemangku kepentingan adalah karena persepsi tentang pentingnya seluruh tahapan pengelolaan relatif berbeda antar pemangku kepentingan, disamping keterlibatan mereka pada setiap tahapan pengelolaan juga sangat membutuhkan dorong ataupun inisiatif dari pemangku kepentingan yang menjadi koordinator utama suatu tahapan pengelolaan. Hasil penilaian secara menyeluruh menunjukkan rata-rata tingkat partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan, dengan contoh kasus pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 83,33% Nilai ini termasuk dalam kriteria tingkat partisipasi antara 50-100% Hasil pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini menunjukkan keaktifan pemangku kepentingan pada seluruh tahapan kegiatan pengelolaan sumber daya ikan cukup baik. Walaupun keaktifan ini belum mencapai tingkat partisipasi yang sempurna, namun tingkat keaktifan pemangku kepentingan seperti ini cukup menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumber daya ikan di masa mendatang. Untuk mencapai tingkat pengelolaan yang sangat baik, maka upaya-upaya untuk peningkatan partisipasi pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mencapai tingkat keberhasilan pengelolaan sumber daya ikan yang semakin tinggi. 3.4.2
Konflik Perikanan
Indikator ini dimaksudkan untuk mengungkap pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan fishing ground (resources conflict dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor.
Hasil identifikasi terhadap kejadian konflik di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan adanya dua kejadian konflik dalam dalam dua tahun terakhir, taun 2013 dan 2014. Pertama pada tahun 2013 terjadi karena adanya tabrakan kapal terhadap alat tangkap bagan yang sementara beroperasi di Teluk Nerong. Konflik ini menunjukkan adanya konflik dalam pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan jalur transportasi dan aktivitas perikanan bagan. Konflik ini termasuk dalam kategori konflik antar sektor. Kedua pada tahun 2014, terjadi satu kali konflik antara aktivitas nelayan mini purse seine dalam penempatan rumpon dengan nelayan yang mengembangkan usaha perikanan bagan. Kejadian konflik ini juga terjadi pada kawasan perairan Selat Nerong, yang juga menunjukkan adanya konflik pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan sumber daya ikan. Jenis konflik termasuk dalam kategori konflik pemanfaatan sumber daya ikan (resources conflict maupun konflik alat tangkap (fishing gear conflict). Kategori resources conflict terjadi akibat adanya pemanfaatan sumber daya ikan yang sama dimana masing-masing alat tangkap memanfaatkan alat bantu penangkapan ikan melalui bantuan cahaya. Kategori fishing gear conflict berkaitan dengan polapola pemanfaatan ruang perairan sebagai daerah penangkapan ikan. Sesuai dengan hasil identifikasi lapangan, maka rata-rata konflik yang terjadi terkait dengan pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, setiap tahun sebanyak satu kali. Hasil ini masuk dalam kriteria penilaian indikator kurang dari dua kali per tahun atau skala konfliknya masih termasuk dalam tingkatan yang rendah. Walaupun demikian, konflik perikanan yang teridentifikasi ini dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap polapola pemanfaatan ruang lintas sektor, antar alat tangkap maupun pada konflik pemanfaatan sumber daya ikan. Tingginya range collaps juga diduga dapat menjadi pemicu munculnya kedua konflik yang disebutkan terakhir. Walaupun tingkatan konflik di wilayah ini rendah, namun potensi kontra produktif dan tumpang tindih pengelolaan yang berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya ikan sangat mungkin terjadi bila tidak dikendalikan melalui mekanisme pengelolaan yang baik. Jika potensi konflik ini tidak dikendalikan maka frekuensi konflik perikanan berpeluang semakin tinggi, dan kondisi akan berdampak pada semakin sulitnya pengelolaan sumber daya perikanan. Dengan demikian, upaya-upaya manajemen konflik menjadi kebutuhan mendasar dalam mereduksi potensi konflik perikanan di wilayah ini. Pengelolaan ruang pemanfaatan sumber daya perikanan melalui sistem zonasi yang akomodatif
terhadap berbagai kepentingan. Tereduksinya konflik perikanan sangat membantu dalam mengimplementasi pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan. 3.4.3
Pemanfaatan Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan
Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah indikator yang memberikan gambaran tentang ukuran-ukuran keberadaan dan keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumber daya ikan. Eksistensi pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti dengan penerapannya dengan baik menjadi modal bagi keberlanjutan pengelolaan. Dalam tiga tahun terakhir, penggunaan pengetahuan lokal terutama pengetahuan lokal tentang aspek-aspek ekologis (tradisional ecological knowledge/TEK) telah dilakukan, dan berbasis pada pengalaman masyarakat tentang kaidah-kaidah pengelolan yang telah berkembang sejak lama. Beberapa fakta memberikan gambaran tentang pemanfaatan TEK dalam pengelolaan sumber daya ikan. Pertama pengetahuan dalam implementasi sistem sasi baik kawasan tertentu maupun untuk jenis tertentu seperti teripang, lola dan batulaga. Kedua pengetahuan tentang lokasi potensial untuk penangkapan ikan seperti daerah tubir, kawasan met dan daerah skaru (tubur), yang dipahami sebagai lokasi-lokasi potensial penangkapan ikan demersal (Gambar 21, 22 dan 23). Sebagai contoh, Soselisa dkk (2013) memberikan gambaran tentang pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan met meliputi berbagai jenis kutya (bia/siput), seperti ngen (bia berjari), hanoat (kima), sav (bia mancadu), ikan-ikan karang seperti fo (Lethrinus sp.), hatmor (Lutjanus sp.), nyis (ikan bibi dan samandar (Siganus sp.). Selain itu juga mereka mengambil karit (gurita), yaran (belut), tir (Tripneustes gratilla) dan ravravut (Diadema setosum), serta berbagai jenis sik (kepiting). Komoditi yang dicari di kawasan met untuk tujuan pasar luar adalah eb (teripang), khususnya teripang gosok, yang banyak ditemukan di daerah ubun (lamun). Ketiga pengetahuan tentang lokasi-lokasi yang tidak boleh disentuh atau dilarang secara adat ternyata mengandung makna ekologis yang cukup kuat, baik untuk pulau-pulau kecil tertentu maupun untuk kawasan perairan tertentu. Keempat artikulasi lokal yang diungkap untuk menunjukkan sistem zonasi berbasis (adat) lokal telah dikemas dalam dokumen Bat Batang Vit Roa Vit Nangan (Jaga Pintu Laut dan Pintu Darat), dimana sebagiannya telah diungkap pada Gambar 21, 22 dan 23.
Gambar 21 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Somlain, Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)
Gambar 22 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Wab, Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)
Gambar 23 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Ohoira, Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013) Keempat TEK yang diungkap di atas juga turut memperkaya dan membantu proses yang dibangun dalam pengembangan kawasan konservasi "Taman Wisata Pulau Kecil" pada perairan Kei Kecil bagian Barat. Pengetahuan-pengetahuan lokal ini menjadi dasar dalam pengumpulan data sampai dengan perencanaan zonasi kawasan konservasi ini. Dalam proses delineasi kawasan konservasi ini, potensi TEK seperti itu merupakan salah satu pendukung utama penentuan zona dan sub zona, dan dinilai cukup efektif dalam mendukung sistem zonasi kawasan. Hasil ini memberikan gambaran tentang posisi penting TEK dalam pengelolaan sumber daya ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Sesuai gambaran tersebut di atas, maka kriteria yang dinilai sesuai dengan kondisi tersebut adalah pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan, ada dan efektif digunakan Hasil ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Maluku Tenggara, keberadaan dan keefektifan penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan sangat baik. Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal ini juga yang diharapkan dapat mendukung pencapaian keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ini. Hal tersebut sesuai dengan padangan bahwa semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan.
Domain Ekonomi
3.5 3.5.1
Kepemilikan Aset
Indikator ini merepresentasikan perubahan nilai/jumlah aset usaha rumah tangga perikanan (RTP), yakni aset usaha perikanan atau aset rumah tangga yang didapatkan dari usaha perikanan. Indikator kepemilikan aset mengekspresikan perbandingan jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produktif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti pertanian. Untuk mengakomodasi pandangan di atas, penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada perspektif para pelaku usaha perikanan terhadap kepemilikan dan perkembangan aset mereka. Variabel aset yang dinilai untuk indikator ini meliputi perahu (kapal), mesin dan alat tangkap Tabel 22 Tabel 22 Perkembangan kepemilikan aset pada pelaku usaha perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara Variabel Aset
Nilai Aset Berkurang Jumlah
Nilai Aset Tetap Jumlah
Nilai Aset Bertambah Jumlah
Perahu (kapal)
22,50
25
62,50
15,0
Mesin
20,00
26
65,00
15,0
Alat tangkap
0,00
31
77,50
22,5
Rata-Rata
14,17
68,33
17,25
Wawancara dilakukan pada 40 sampel pelaku usaha perikanan tangkap, menunjukkan adanya variasi antar pelaku usaha maupun variasi antar variabel aset. Pertama untuk variabel aset perahu (kapal), proporsi tertinggi ditunjukkan pada tetapnya nilai aset (62,50%). Sekitar 22,50% responden menunjukkan nilai aset berkurang, sedangkan 15,0% lainnya menyatakan nilai aset bertambah. Kedua untuk variabel aset mesin, proporsi tertinggi pada tetapnya nilai aset sebesar 65,00%. Di sisi lain, nilai aset berkurang dinyatakan oleh 20,00% responden, sedangkan pernyataan nilai
aset bertambah dinyatakan 15,0% responden lainnya. Ketiga untuk variabel aset alat tangkap, tetapnya nilai aset memiliki proporsi tertinggi sebagaimana dinyatakan oleh sekitar 77,50%. Dalam wawancara ini, tidak satupun responden yang menyatakan tentang berkurangnya nilai, sementara pernyataan tentang bertambah nilai aset alat tangkap disampaikan oleh 22,5% responden lainnya. Hasil tersebut membuktikan adanya kelompok pelaku usaha yang tersegregasi menurut perkembangan kepemilikan aset. Hasil analisis untuk kondisi ini merupakan kondisi yang belum cenderung berubah sejak tahun 2012, dimana ketiga kelompok pelaku usaha terkelompokkan menurut kapasitas usaha mereka, disamping sistem pengelolaan usaha di tingkat rumah tangga nelayan. Pertama kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset berkurang merupakan kelompok dengan kapasitas ekonomi usaha yang terbatas dan usaha yang dikembangkan hanya terbatas pada perikanan pancing, kecuali untuk usaha pancing tonda. Namun pada hasil, nilai aset yang cenderung berkurang pada kelompok ini adalah perahu (kapal) penangkap ikan dan mesin penggerak yang dimiliki. Kedua kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset tetap ditemukan pada nelayan jaring insang. Kelompok nelayan yang mengembangkan usaha perikanan jaring insang hanya mampu menghasilkan produksi dengan peruntukan pengeluaran lebih banyak diarahkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, khususnya untuk pengeluaran yang cukup besar di luar usaha perikanan, sementara hanya sebagian kecil saja yang mengalokasikan pengeluaran untuk usaha perikanan. Hal ini menyebabkan upaya pengembangan perahu (kapal), mesin maupun alat tangkap belum dapat dilakukan dengan baik. Kondisi demikian membuktikan kapasitas mereka dalam mengalokasikan pengeluaran dalam rangka pengembangan aset mereka masih rendah. Ketiga kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset bertambah pelaku usaha perikanan mini purse seine bagan apung dan pancing tonda. Kelompok ini memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dan melebihi nilai rata-rata pendapatan secara agregat. Tingginya pendapatan kelompok nelayan ketiga ini berimplikasi pada adanya upaya-upaya peningkatan nilai aset, jika dibutuhkan dalam pengembangan usaha mereka. Sesuai dengan hasil penilaian ini, maka pilihan penilaian adalah pada nilai tertinggi yang dinyatakan oleh nelayan atau pelaku usaha perikanan tangkap. Rata-rata nilai tertinggi sebesar
68,33% yang menyatakan nilai aset tetap Hasil ini menunjukkan kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya, harus didorong dengan sistem pengelolaan usaha yang lebih baik untuk mendukung keberkelanjutan usaha mereka. 3.5.2
Pendapatan Rumah Tangga Perikanan
Penilaian indikator pendapatan rumah tangga perikanan dilakukan untuk seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Ukuran pendapatan adalah rupiah per kepala keluarga per bulan. Penilaian ini indikator ini dilakukan dengan membandingkan pendapatan rumah tangga dengan tetapan upah minimum regional (UMR). Hal ini dibutuhkan untuk menggambarkan kapasitas ekonomi pelaku usaha perikanan di wilayah ini. Penilaian ini dilakukan untuk pelaku usaha dari empat jenis usaha yang cukup berkembang di Kabupaten Maluku Tenggar, masing-masing: jaring insang hanyut (JIH), pancing kerapu, bagan, dan mini purse seine
Secara parsial, hasil survey menunjukkan distribusi pendapatan RTP
(Tabel 23), masing-masing: (1) perikanan JIH rata-rata sebesar Rp. 676.500,- dengan kisaran Rp. 495.000,- sampai dengan 870.000; (2) perikanan pancing kerapu rata-rata sebesar Rp. 3.407.000,- dengan kisaran Rp. 2.900.000,sampai dengan 3.600.000,-; (3) perikanan bagan rata-rata sebesar Rp. 3.328.000,- dengan kisaran Rp. 2.280.000,- sampai dengan 7.520.000,-; dan (4) perikanan mini purse seine rata-rata sebesar Rp. 6.300.800,- dengan kisaran Rp. 4.240.000,sampai dengan 14.600.000. Distribusi pendapatan yang variasinya cukup tajam adalah pada usaha perikanan bagan dan mini purse seine Perbedaan yang tajam ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapatan antara anak buah kapal dan pemilik. Walaupun demikian pelaku usaha pada kedua jenis perikanan ini menunjukkan potensi ekonomi yang tinggi berdasarkan tingkat pendapatan usaha perikanan tangkap. Sesuai dengan distribusi nilai pendapatan seperti ini, maka perhitungan rata-rata pendapatan secara agregat untuk keempat jenis usaha perikanan tangkap mencapai Rp. 3.428,075,-. Jika nilai rata-rata agregat ini dibandingkan dengan nilai UMR untuk daerah Maluku tahun 2014 (Rp. 1.415.000,-), maka secara umum,
rata-rata pendapatan rumah tangga perikanan di
Kabupaten Maluku Tenggara lebih dari UMR
Tabel 23 Distribusi pendapatan rumah tangga perikanan jaring insang hanyut, pancing kerapu, bagan dan mini purse seine di Kabupaten Maluku Tenggara No. Resp.
Usaha Perikanan
Status
Penerimaan
Pengeluaran
Pendapatan (I)
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.320.000
825.000
495.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.500.000
900.000
600.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.620.000
840.000
780.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.740.000
870.000
870.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.500.000
900.000
600.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.620.000
840.000
780.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.620.000
840.000
780.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.740.000
870.000
870.000
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.320.000
825.000
495.000
10
Jaring insang hanyut
Pemilik
1.320.000
825.000
495.000
11
Pancing Kerapu
Pemilik
4.950.000
1.350.000
3.600.000
12
Pancing Kerapu
Pemilik
4.500.000
1.600.000
2.900.000
13
Pancing Kerapu
Pemilik
4.750.000
1.750.000
3.000.000
14
Pancing Kerapu
Pemilik
4.725.000
1.350.000
3.375.000
15
Pancing Kerapu
Pemilik
4.815.000
1.350.000
3.465.000
16
Pancing Kerapu
Pemilik
4.905.000
1.350.000
3.555.000
17
Pancing Kerapu
Pemilik
4.725.000
1.350.000
3.375.000
18
Pancing Kerapu
Pemilik
4.950.000
1.350.000
3.600.000
19
Pancing Kerapu
Pemilik
4.950.000
1.350.000
3.600.000
20
Pancing Kerapu
Pemilik
4.950.000
1.350.000
3.600.000
21
Bagan
Pemilik
18.000.000
9.000.000
6.000.000
22
Bagan
Pemilik
21.000.000
9.720.000
7.520.000
23
Bagan
ABK
5.400.000
1.200.000
2.800.000
24
Bagan
ABK
4.800.000
1.260.000
2.360.000
25
Bagan
ABK
4.860.000
1.260.000
2.400.000
26
Bagan
ABK
4.920.000
1.500.000
2.280.000
27
Bagan
ABK
5.400.000
1.200.000
2.800.000
28
Bagan
ABK
4.800.000
1.260.000
2.360.000
29
Bagan
ABK
4.800.000
1.260.000
2.360.000
30
Bagan
ABK
4.860.000
1.260.000
2.400.000
31
Mini purse seine
Pemilik
30.000.000
9.000.000
14.000.000
32
Mini purse seine
Pemilik
30.600.000
8.700.000
14.600.000
33
Mini purse seine
ABK
8.940.000
2.460.000
4.320.000
34
Mini purse seine
ABK
8.700.000
2.340.000
4.240.000
35
Mini purse seine
ABK
8.880.000
2.364.000
4.344.000
36
Mini purse seine
ABK
8.940.000
2.460.000
4.320.000
37
Mini purse seine
ABK
8.700.000
2.340.000
4.240.000
38
Mini purse seine
ABK
8.700.000
2.340.000
4.240.000
39
Mini purse seine
ABK
9.060.000
2.520.000
4.360.000
40
Mini purse seine
ABK
8.880.000
2.364.000
4.344.000
Rata-Rata (Agregat)
Sumber: Survey lapangan (2014)
3.428.075
Rata-Rata (Parsial)
676.500
3.407.000
3.328.000
6.300.800
Walaupun demikian, secara parsial, masih ada kelompok usaha yang memiliki tingkat pendapatan yang kurang dari UMR. Kelompok yang dimaksud adalah kelompok nelayan jaring insang. Tingkatan produksi dan harga pasar untuk setiap produk perikanan karing insang merupakan penentu tingkatan pendapatan, disampimg tingkat pengeluaran untuk kepentingan usaha perikanan tangkap. Kondisi demikian memberikan gambaran bahwa masih ada kelompok nelayan yang harus ditingkatkan kapasitas ekonominya. Hasil penilaian ini juga memberikan gambaran bahwa ketergantungan rumah tangga terhadap sumberdaya perikanan cukup tinggi. Namun demikian, kelompok RTP yang mengembangkan usaha perikanan jaring insang masih membutuhkan strategi pengembangan kesejahteraan nelayan melalui pengembangan mata pencaharian alternatif. Di sisi lain, tingginya pendapatan pada beberapa RTP lainnya juga masih harus dikendalikan pola konsumsi agar dapat memberikan ruang bagi alokasi pendapatan untuk tujuan pengembangan usaha, atau sedikitnya dapat mendukung peningkatan nilai aset usaha perikanan. Kondisi yang dikemukakan terakhir ini dapat dibuktikan melalui rasio tabungan yang berpotensi mendukung pengembangan usaha sebagaimana dijelaskan pada indikator berikut. 3.5.3
Rasio Tabungan (Saving Ratio
Indikator rasio tabungan atau saving ratio (SR) mengekspresikan perbandingan selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pendapatan rumah tangga nelayan yang dimaksudkan adalah seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, dan bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Di sisi lain, pengeluaran rumah tangga nelayan merupakan seluruh pengeluaran rumah tangga, yang terdiri dari pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Survey lapangan membuktikan adanya variasi nilai saving ratio antar rumah tangga perikanan dan antar jenis usaha perikanan tangkap. Secara parsial, hasil survey menunjukkan distribusi saving ratio (Tabel 24), masing-masing: (1) perikanan JIH rata-rata sebesar 6,15% dengan kisaran 0% sampai dengan 12,82%; (2) perikanan pancing kerapu rata-rata sebesar 9,61% dengan kisaran 0% sampai dengan 14,81%; (3) perikanan bagan rata-rata sebesar 11,39% dengan kisaran 0% sampai dengan 23,33%; dan (4) perikanan mini purse seine rata-rata sebesar 12,97% dengan kisaran 11,47 sampai dengan 18,84%.
Tabel 24 Distribusi nilai saving ratio rumah tangga perikanan jaring insang hanyut, pancing kerapu, bagan dan mini purse seine di Kabupaten Maluku Tenggara No. Resp.
Usaha Perikanan
Status
Pendapatan (I)
Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut
Pemilik Pemilik
495.000 600.000
Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut
Pemilik Pemilik Pemilik Pemilik
780.000 870.000 600.000 780.000
10
Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut Jaring insang hanyut
Pemilik Pemilik Pemilik Pemilik
780.000 870.000 495.000 495.000
11 12 13 14
Pancing Kerapu Pancing Kerapu Pancing Kerapu Pancing Kerapu
Pemilik Pemilik Pemilik Pemilik
3.600.000 2.900.000 3.000.000 3.375.000
15 16 17 18
Pancing Kerapu Pancing Kerapu Pancing Kerapu Pancing Kerapu
Pemilik Pemilik Pemilik Pemilik
3.465.000 3.555.000 3.375.000 3.600.000
19 20
Pancing Kerapu Pancing Kerapu
Pemilik Pemilik
3.600.000 3.600.000
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Bagan Bagan Bagan Bagan Bagan Bagan Bagan Bagan Bagan Bagan
Pemilik Pemilik ABK ABK ABK ABK ABK ABK ABK ABK
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine Mini purse seine
Pemilik Pemilik ABK ABK ABK ABK ABK ABK ABK ABK
Rata-Rata Tabungan (S)
Saving Ratio (S/I)
100.000 100.000
12,82 11,49
100.000 100.000 100.000
12,82 12,82 11,49
400.000
11,11
500.000 500.000 500.000
14,81 14,43 14,06
500.000 500.000 500.000
13,89 13,89 13,89
6.000.000 7.520.000 2.800.000 2.360.000 2.400.000 2.280.000 2.800.000 2.360.000 2.360.000 2.400.000
1.400.000 1.500.000 300.000
23,33 19,95 10,71
500.000
20,83
500.000
17,86
500.000
21,19
14.000.000 14.600.000 4.320.000 4.240.000 4.344.000 4.320.000 4.240.000 4.240.000 4.360.000 4.344.000
2.500.000 2.750.000 500.000 500.000
17,86 18,84 11,57 11,79
500.000 500.000 500.000 500.000
11,51 11,57 11,79 11,79
500.000 500.000
11,47 11,51
Rata-Rata atau (S/I) Agregat Sumber: Survey lapangan (2014)
10,03
(S/I) Parsial
6,15
9,61
11,39
12,97
Pola distribusi seperti ini memberikan gambaran adanya pengaruh sejumlah RTP pada setiap jenis usaha perikanan tangkap yang memiliki saving ratio yang rendah, sehingga secara parsial tiga jenis usaha perikanan tangkap memiliki nilai saving ratio kurang dari bunga kredit pinjaman di Maluku akhir tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015 (11,52%). Hasil analisis menunjukkan: (1) pada RTP jaring insang hanyut, sebanyak 50,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 20,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman; (2) pada RTP pancing kerapu, sebanyak 30,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 10,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman; (3) pada RTP bagan, sebanyak 40,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 10,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman; (4) pada RTP jaring insang hanyut, sebanyak 30,00% memiliki saving ratio kurang dari bunga kredit pinjaman. Kondisi demikian menunjukkan adanya dinamika ekonomi yang berkembang pada setiap RTP pada masing-masing jenis usaha perikanan. Jika tingkat pendapatan rendah secara umum menjadi penyebab rendahnya saving ratio pada sejumlah RTP, maka faktor lain yang diduga memberikan pengaruh terhadap saving ratio, antara lain: rendahnya budaya menabung atau masih tingginya budaya konsumtif yang berkembang di kalangan RTP. Dinamika ekonomi antar RTP dan jenis usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan di atas, turut memberikan pengaruh terhadap capaian nilai saving ratio secara agregat untuk wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Jika penilaian untuk indikator ini menggunakan hasil penilaian agregat, maka hasil yang ditemukan melalui agregasi nilai saving ratio sebesar 10,03%. Hasil ini masih kurang dari bunga kredit pinjaman sebesar 11,52% untuk daerah Maluku pada akhir tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015. Seluruh hasil penilaian indikator rasio tabungan (SR) menggambarkan kondisi dimana potensi rumah tangga perikanan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya, masih sangat rendah di Kabupaten Maluku Tenggara, walaupun sebenarnya sebagian RTP (52,50%) telah menunjukkan potensi tabungan yang cukup baik. Untuk tujuan peningkatan kesejahteraan nelayan dan rumah tangga perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, masih sangat dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengoptimalkan gerakan menabung sambil mereduksi budaya konsumtif melalui penguatan kapasitas nelayan.
3.6
Domain Kelembagaan
3.6.1
Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab
Indikator ini difokuskan pada tingkat kepatuhan (compliance seluruh pemangku kepentingan terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal. Kepatuhan yang dimaksudkan adalah kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan. Penilaiannya dilakukan untuk mengetahui frekuensi pelanggaran terhadap peraturan dan aturan dalam pengelolaan perikanan. a. Formal Penilaian ini diarahkan pada frekuensi terjadinya pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan. Pelanggaran hukum yang dimaksudkan adalah pelanggaran hukum formal yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil identifikasi terhadap pelanggaran hukum formal memberikan gambaran adanya dua pelanggaran utama yang selalu terjadi di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, antara lain: (1) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak atau sering disebut dengan Bom Ikan; dan (2) pengambilan tukik penyu (Tabel 25). Tabel 25 Jenis pelanggaran, bentuk penindakan dan kategorinya (formal), tahun 2013 dan 2014 Tahun
Pelanggaran
Jenis Pelanggaran
Penindakan
Kategori
2013
Bom Ikan
Pelanggaran operasional pada cara penangkapan
Penertiban
Berat
2013
Pengambilan Tukik Penyu Hijau
Pelanggaran operasional pada cara penangkapan
Penertiban dan Pembinaan
Berat
2013
Bom Ikan
Pelanggaran operasional pada cara penangkapan
Penertiban
Berat
2013
Bom Ikan
Pelanggaran operasional pada cara penangkapan
Penertiban
Berat
2014
Bom Ikan
Pelanggaran operasional pada cara penangkapan
Penertiban
Berat
2014
Bom Ikan
Pelanggaran operasional pada cara penangkapan
Penertiban
Berat
2014
Bom Ikan
Pelanggaran operasional pada cara Penertiban penangkapan Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Berat
Seluruh pelanggaran termasuk dalam jenis pelanggaran operasional khususnya pada cara penangkapan ikan. Seluruh pelanggaran tersebut ditindak dengan pendekatan Penertiban yang sifatnya mengarah pada pembinaan. Khusus untuk pelanggaran melalui Pengambilan Tukik Penyu penertiban dan pembinaan dilakukan dengan mengajak pelaku pelanggaran terlibat dalam proses penebaran tukik penyu sekitar 200 ekor.
Fakta yang menjadi bukti adanya pelanggaran adalah terdokumentasikannya lokasi-lokasi pelanggaran, masing-masing: (1) Lokasi pemboman ikan pada perairan sekitar Pulau Nai Kecamatan Kei Kecil dengan posisi 5043'04" dan 132032'44"
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(2) Lokasi pengambilan tukik penyu pada pantai berpasir di Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil dengan posisi 5043'40" dan 132033'49" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(3) Lokasi pemboman ikan di sekitar perairan Ur Pulau Kecamatan Kei Kecil Barat dengan posisi 5050'10" dan 132031'45" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(4) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Warbal Kecamatan Kei Kecil Barat dengan posisi 5050'03" dan 132034'33"
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(5) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan posisi 5053'08" dan 132027'48"
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(6) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan posisi 5053'11" dan 132027'40" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(7) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan posisi 5053'20" dan 132027'48" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Hasil identifikasi sesuai data pelanggaran yang dikompilasi oleh Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara tahun 2013 dan 2014 memberikan gambaran bahwa pelanggaran masih terjadi pelanggaran dalam dua tahun terakhir, dimana dalam tahun 2013 tercatat empat kali pelanggaran, dan pada tahun 2014 pelanggaran sebanyak tiga kali. Hasil ini termasuk dalam kriteria dua sampai dengan empat kali terjadi pelanggaran hukum dalam satu tahun. b. Non Formal Indikator pelanggaran non-formal merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan lokal atau kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun di kalangan masyarakat.
Pelanggaran yang
bersifat non formal ini dibagi menjadi dua, masing-masing: aturan adat dan persepsi masyarakat terhadap aturan formal yang ada. Namun demikian, pelanggaran non formal yang dinilai ini lebih diarahkan pada keaktifan masyarakat dalam pelaporan atau pemberian informasi tentang pelanggaran. Mekanisme pemberian informasi atau pelaporan yang teridentifikasi terkait dengan pelanggaran yang dilakukan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, dapat dibedakan atas empat kelompok mekanisme, sesuai dengan hasil identifikasi seperti pada Tabel 26 Empat
kelompok mekanisme pemberian informasi atau pelaporan yang dimaksudkan meliputi: (1) pelaporan oleh Kelompok Masyarakat Pengawas; (2) pelaporan oleh kepala ohoi; (3) tindakan langsung masyarakat yang diikuti dengan pelaporan kepala ohoi; dan (4) tindakan langsung oleh masyarakat bersama Kelompok Masyarakat Pengawas yang diikuti dengan pelaporan Kelompok Masyarakat Pengawas. Tabel 26 Jenis pelanggaran dan mekanisme informasinya (informal), tahun 2013 dan 2014 Tahun
Pelanggaran
Mekanisme informasi pelanggaran
2013
Bom Ikan di perairan sekitar Pulau Nai
Pelaporan oleh Pokmaswas Nuhuvut kepada Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013
Pengambilan Tukik Penyu Hijau di pesisir Pulau Hoat
Pelaporan oleh Pokmaswas Nuhuvut kepada Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013
Bom Ikan di perairan sekitar Ur Pulau
Pelaporan kepala ohoi Ur Pulau Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013
Bom Ikan di perairan sekitar Pulau Warbal
Pelaporan oleh Pokmaswas Bau Bal kepada Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013
Bom Ikan di perairan sekitar Tanimbar Kei
Penanganan langsung oleh pemerintah ohoi Tanimbar Kei dengan melakukan penyitaan kapal dan memberlakukan aturan ohoi tentang “Denda Pelanggaran di wilayah petuanan Tanimbar Kei. Informasi kepada Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP MalukuTenggara disampaikan setelah ada tindakan dan pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran.
2014
Bom Ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta
Pelaporan oleh Pokmaswas Masbait kepada Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2014
Bom Ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta
Pelaporan oleh Pokmaswas Masbait kepada Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP MalukuTenggara
2014
Bom Ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta
Penangkapan pelaku pelanggaran dan penyitaan barang bukti oleh masyarakat dan Pokmaswas Masbait, informasi disampaikan kepada oleh Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP MalukuTenggara Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup proaktif untuk melaporkan pelanggaran yang terindikasi atau yang terjadi pada perairan sekitar, khusus oleh Pokmaswas. Hasil ini menunjukkan pada tahun 2013 sebanyak lima informasi pelanggaran, dan dalam tahun 2014 sebanyak tiga informasi pelanggaran. Hasil memberikan gambaran intensitas informasi pelanggaran termasuk dalam kategori sedang sesuai dengan kriteria penilaian lebih dari tiga informasi pelanggaran Hasil penilaian terhadap indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab menunjukkan bahwa untuk pencapaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara,
masih harus dilakukan upaya-upaya peningkatan kepedulian dan kapasitas para pemangku kepentingan perikanan.
Peningkatan kepedulian dan kapasitas yang dimaksudkan adalah
dalam konteks mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dan mengakomodasinya dengan baik dalam pengembangan dan pengelolaan usaha perikanan tangkap di wilayah ini. Fakta lapangan membuktikan bahwa pelanggaran terhadap peraturan terkait dengan pengelolaan perikanan, dan penggunaan alat tangkap terlarang masih ditemukan dalam praktek perikanan di wilayah ini. Kondisi demikian dikuatirkan dapat berdampak pada semakin meningkatnya ketidakpatuhan terhadap peraturan baik formal maupun informal yang berlangsung di masyarakat, dan berimplikasi pada ancaman bagi perikanan berkelanjutan di wilayah ini. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah aturan dan norma yang ada tidak akan berlaku efektif. Dengan demikian, efektifitas kelembagaan di wilayah ini mesti ditingkatkan agar dapat memberikan jaminan bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan dan kelestarian sumberdaya ikan. 3.6.2
Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan
Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dinilai untuk mengetahui tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam pengelolaan perikanan. Secara teoritis, peraturan yang lengkap akan menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Namun demikian, kelengkapan peraturan tidak secara otomatis dapat terimplementasi dengan baik, karena harus diikuti dengan penegakan aturan tersebut. Dengan demikian ketersediaan aturan saja tidak cukup dan menjamin terlaksananya aturan dengan baik, namun harus diikuti dengan penegakan hukum yang nyata, agar aturan yang ditetapkan itu bisa bersifat fungsional. Pada setiap daerah dan wilayah pengelolaan perikanan, dibutuhkan kesiapan regulasi yang mencukupi terkait dengan penggunaan alat, operasi penangkapan, kewenangan wilayah pengelolaan, perijinan, jalur-jalur penangkapan dan kewenangan pengelolaan. Meskipun faktanya masih seringkali terlihat banyak pelanggarannya, sebagaimana dianalisis dan dibahas pada indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab di atas. Penilaian terhadap indikator dari kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dibagi menjadi dua bagian, meliputi: kelengkapan regulasi serta penegakan aturan dan efektivitasnya
(a) Kelengkapan regulasi Pada bagian ini, penilaian dilakukan pada sejauhmana kelengkapan aturan main yang dinilai berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan aturan main. Hal ini dapat dibuktikan dari sejauhmana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara, belum ada regulasi daerah yang secara khusus mengatur tentang seluruh domain secara holistik. Dua regulasi daerah yang ditetapkan, dan dipandang memiliki keterkaitan kuat dengan pengelolaan perikanan, terutama setiap domain EAFM, meliputi: (1) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara; dan (2) Surat Keputusan Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 162 Tahun 2013 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Kabupaten Maluku Tenggara. Kedua regulasi di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara ini, tidak menunjukkan dan mengatur secara khusus tentang domain-domain dalam EAFM, namun demikian keterkaitannya sangat kuat dengan domain kelembagaan. Hasil ini memberikan gambaran tentang kondisi dimana eksistensi regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan masih harus dikembangkan. Sesuai dengan kriteria penilaian, maka kondisi yang ditemukan di Maluku Tenggara termasuk dalam kriteria penilaian dimana tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain Kondisi yang dinilai tersebut, jika dibandingkan dengan penilaian pada tahun 2012, yang memanfaatkan kondisi eksisting sebelum tahun 2012, maka telah ada dua regulasi daerah yang ditetapkan dan bertambah. Kondisi ini termasuk dalam kriteria penilaian regulasi daerah ada dan jumlahnya bertambah Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan belum lengkap, namun telah ada upaya-upaya untuk memperhatikan pengelolaan perikanan di tingkat daerah. Walaupun demikian, regulasi yang ada ini belum menjawab kebutuhan pengelolaan perikanan secara holistik, karena belum seluruh domain EFM yang terakomodasi dalam pengaturan di tingkat daerah. Kebutuhan utama pengembangan regulasi di
daerah ini adalah bagaimana mengakomodasi seluruh domain EAFM dalam berbagai peraturan daerah atau regulasi lainnya setingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara. (b) Penegakan aturan dan efektivitasnya Bagian ini dikembangkan untuk menilai sejauhmana tingkat penegakan aturan mainnya, yang dibuktikan dengan ada atau tidaknya penegakan aturan main dan efektivitasnya. Untuk mengetahui ada dan tidaknya penegakan aturan main dapat dilihat dari dua hal yaitu ketersediaan alat dan orang serta keberadaan bentuk dan intensitas penindakan. Di sisi lain, untuk melihat bentuk dan intensitas penindakan maka unit yang digunakan adalah ada atau tidaknya teguran dan hukuman. Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa penegakan aturan main masih menggunakan regulasi nasional. Sesuai dengan laporan Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara (2014), dua regulasi nasional yang dimanfaatkan sebagai dasar dalam penegakan aturan main antara lain: (1) UU No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan acuan pasal 21 ayat (2) dan pasal 40 ayat (2). Pemberlakuan aturan main ini pernah digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus Pengambilan Tukik Penyu Hijau pada perairan sekitar Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil, dalam tahun 2013; (2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU No. 45 Tahun 2009, dengan acuan pasal
ayat (1) dan (2) serta pasal 84 ayat (1) dan (2). Pemberlakuan
aturan main ini digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom ikan) dalam tahun 2013 dan 2014. Acuan-acuan penegakan aturan main yang dikemukakan di atas merupakan fakta tentang masih digunakannya regulasi nasional di tingkat lokal, dan berjalan cukup efektif. Namun demikian, aturan turunan di tingkat daerah masih belum dikembangkan sesuai kebutuhan dan kearifan lokal di daerah. Hal ini menjadi kebutuhan di tingkat Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya dalam pengembangan regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan, yang dapat mengakomodasi domain-domain EAFM. Di sisi lain, pada tingkat ohoi (desa) telah berkembang aturan ohoi seperti yang ditemukan pada ohoi Tanimbar Kei yang menerapkan penegakan aturan main di tingkat lokal ohoi. Hal ini terbukti dengan adanya penegakan aturan main untuk pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahwan peledak (bom ikan). Pemberlakuan aturan tingkat ohoi ini merupakan manifestasi kepedulian masyarakat lokal terhadap pengelolaan perikanan berbasis kearifan
lokal. Penegakan aturan yang menjadi inisiatif masyarakat lokal ini sangat membutuhkan dukungan stakeholder pengelolaan perikanan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan, sekaligus menghindari adanya penegakan hukum yang berlawanan dengan aturan formal di tingkat nasional maupun daerah. Walaupun demikian, penegakan aturan di wilayah ini dinilai cukup efektif. Catatan Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara menunjukkan adanya: (1) tindakan penertiban; dan (2) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku. Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana ada penegakan aturan main dan efektif Penilaian terhadap ketersediaan alat pengawasan dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah pengawas perikanan dan kelompok masyarakat pengawas perikanan. Hasil identifikasi menemukan beberapa hasil terkait ketersediaan dalat pengawasan, antara lain: (1) Pada tingkat DKP Kabupaten Maluku Tenggara, terdapat tiga orang yang bersertifikasi Pengawas Perikanan. (2) Untuk mendukung pekerjaan pengawasan perikanan, DKP Kabupaten Maluku Tenggara membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) pada enam ohoi dalam tahun 2014. Keanggotaan Pokmaswas pada setiap ohoi berjumlah 10 orang, dengan demikian total jumlah tenaga pengawas perikanan di tingkat ohoi sebanyak 60 orang. (3) Eksistensi Stasiun Pengawasan PSDKP Tual juga berpotensi mendukung proses pengawasan perikanan di wilayah ini. (4) Masyarakat ohoi yang telah mengembangkan aturan ohoi seperti pada ohoi Tanimbar Kei telah memberikan perhatian yang baik dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikaan di wilayah mereka. Beberapa tindakan teridentifikasi dengan baik melalui peran alat-alat pengawasan ini, antara lain: (1) tindakan penertiban; (2) tindakan penetiban diikuti dengan proses pembinaan; (3) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku oleh pengawas DKP Maluku Tenggara; (4) penangkapan pelaku dan alat bukti diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku di tingkat ohoi oleh masyarakat dan pemerintah ohoi.
Hasil penilaian ini menggambarkan adanya kelengkapan alat pengawasan dan selalu diikuti dengan tindakan-tindakan. Sesuai krietria penilaian, hasil penilaian menunjukkan kondisi dimana ada alat dan orang serta ada tindakan Sejalan dengan ketersediaan alat pengawasan dan efektfitasnya, maka ada proses teguran dan hukuman yang diberkakukan, walaupun sebenarnya teguran dan hukuman yang diberikan belum dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggaran. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, eksistensi aturan tidak cukup jika tidak ada penegakan hukum. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa perlu juga dilihat sejauhmana tingkat penegakan hukumnya dilaksanakan dengan baik, terutama jika diharapkan adanya efek jera pada diri setiap pelaku pelanggaran. Hasl ini sesuai dengan hasil lapangan yang membuktikan bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tertentu yang umumnya menjadi pelaku pelanggaran adalah mereka yang juga pernah melakukan pelanggaran yang sama. Keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan terkait dengan indikator kelengkapan aturan main yang dapat diindikasikan dengan keberadaan aturan dan perkembangannya, mesti ditingkatkan efektivitasnya, terutama dalam proses penerapan aturan dan pemberian hukum. Tindakan tegas masih sangat dibutuhkan untuk menimbulkan efek jera di tingkat pelaku pelanggaran. 3.6.3
Mekanisme Pengambilan Keputusan
Indikator mekanisme pengambilan keputusan yang dimaksudkan adalah mekanisme yang menunjukkan adanya metode/prosedur kelembagaan dalam masyarakat, baik yang diatur dalam peraturan formal maupun informal, dimana pengaturannya mempengaruhi perilaku masyarakat. Mekanisme kelembagaan juga berkenan dengan sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. Kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural, dimana aspek kulturalnya mencakup norma-norma dan nilai-nilai, sedangkan aspek struktural mencakup pelbagai peranan sosial. Pandangan-pandangan tersebut di atas memberikan pentingnya jastifikasi tentang suatu mekanisme kelembagaan yang terkait dengan bagaimana prosedur peraturan/norma/aturan main dibangun/dibuat khususnya dalam pengelolaan perikanan. Beberapa komponen penting yang terkait penilaian indikator ini, antara lain: (1) mekanisme kelembagaan sebagai metode/tehnik organisasi sosial dalam pengelolaan perikanan terbentuk;
(2) prosedur dan tata cara yang jelas dalam membangun aturan main, yang secara ideal sudah terbangun menjadi sebuah sistem dan tata nilai yang terimplementasi dalam aspek pengelolaan perikanan dan dikawal dengan sanksi bagi yang melanggaranya; (3) mekanisme kelembagaan sebagai hasil negosiasi antara berbagai pihak/pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Secara teoritis, ukuran keberhasilan suatu mekanisme kelembagaan adalah mana kala dapat terimplementasi menjadi sebuah sistem dan berjalan efektif, dimana ukurannya adalah pengelolaan perikanan berjalan dengan prinsip-prinsip yang bertanggungjawab. Hal inilah yang menyebabakan pentingnya unit analisis dalam indikator ini yang meliputi ada tidaknya keputusan dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, pengukuran terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan. Hasil identifikasi pada beberapa stakeholder memberikan gambaran tentang pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara bersifat kolaboratif. Makna kolaboratif ini tergambar dari partisipasi berbagai lembaga antara lain: (1) Untuk perijinan usaha perikanan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD dan HNSI dengan koordinasi BAPPEDA. Pada proses ini, mekanisme kelembagaan telah terumuskan dengan baik dan dikelola oleh lembaga daerah yang menurus khusus tentang perijinan melalui sistem Perjinan Satu Pintu. (2) Untuk operasionalisasi penangkapan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD, HNSI dan Perguruan Tinggi dengan koordinasi BAPPEDA. Pada proses ini, mekanisme kelembagaan hanya terbatas pada kesepakatan antar lembaga, dan belum terumuskan secara tertulis melalui suatu SOP dengan baik. (3) Untuk konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir dan Pulau-Pula Kecil, dilakukan DKP bersama KSDA, Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI dan LSM dengan koordinasi BAPPEDA. Mekanisme kelembagaan ini dijalankan secara reguler sesuai dengan substansi yang membutuhkan keputusan secara bersama, namun masih harus didukung dengan pembuatan dan penetapan SOP-nya Walaupun sebagian besar mekanisme kelembagaan yang bersifat kolaboratif ini belum terakomodasi melalui SOP yang baik, namun sampai dengan identifikasi lapangan, mekanismenya masih berjalan dengan baik. Hal ini tergambar dari adanya proses yang berjalan secara reguler sesuai dengan kebutuhan setiap lembaga.
Hasil penilaian ini memberikan gambaran tingkat efektivitas pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tengara cukup baik. Hal ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana ada mekanisme dan berjalan efektif Walaupun belum ada SOP yang holistik dan menjawab tahapan proses secara menyeluruh, namun eksistensi mekanisme kelembagaan yang terbangun di Kabupaten Maluku Tenggara telah memberikan gambaran pengelolaan telah tersedia. Demikian halnya dengan prosedur baku yang belum ditetapkan, hanya kesepakatan-kesepakatan antar lembaga yang memberikan dukungan terhadap pencapaian efektifitas pengambilan keputusan. Kondisi tersebut di atas, juga masih harus didukung dengan sistem tata kelola perikanan yang benar dan menganut prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab. Sesuai dengan kriteria penilaian yang ada, keputusan selalu diambil dengan pendekatan regulasi yang ada, dan dijalankan sepenuhnya, sesuai mekanisme yang disepakati. Dengan demikian kriteria penilaian yang sesuai dengan kondisi ini adalah ada keputusan dijalankan sepenuhnya 3.6.4
Rencana Pengelolaan Perikanan
Penilaian indikator ini mengarah pada ada atau tidaknya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) untuk wilayah pengelolaan perikanan. Penilaian ini berkenaan dengan pentingnya pengelolaan perikanan yang memperhatikan kaidah-kaidah perikanan yang bertanggungjawab, agar tidak memberikan dampak dan mengancam keberlanjutan pasokan pangan nasional dan internasional serta keberlanjutan stok sumberdaya ikan. UU No.31/2004 tentang perikanan sebagaimana diubah dalam UU No,45/2009 tentang perikanan pasal
ayat
huruf
memberikan penjelasan dukungan kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan berbasis rencana pengelolaan perikanan (RPP). RPP merupakan pedoman dan acuan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengawasi kegiatan perikanan, serta dapat dibangun berbasis kawasan perairan atau berbasis komoditas perikanan. Hasil identifikasi tentang eksistensi RPP untuk wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, belum dikembangkan dan ditetapkan di tingkat daerah. Kondisi ini memberikan bukti tentang peluang-peluang
berkembangnya
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
yang
tidak
berkelanjutan. Berbagai kondisi yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa tidak adanya RPP berimplikasi kuat terhadap meningkatnya ancaman terhadap semakin menipisnya potensi sumber daya ikan di beberapa daerah.
Mengacu pada fakta itu, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara masih dibutuhkan petunjuk pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan, seperti RPP, yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan kegiatan perikanan. Dengan demikian, kondisi yang ada sesuai dengan kriteria penilaian dimana pada Kabupaten Maluku Tenggara belum ada RPP 3.6.5
Tingkat Sinergitas Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan
Indikator ini mengandung maksud adanya keterpaduan gerak dan langkah antar lembaga dan antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak memunculkan adanya konflik kepentingan dan benturan kebijakan. Keberhasilan pengelolaan perikanan ditentukan oleh sejauh mana terjadi sinergisitas antara lembaga pengelola perikanan. Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik. Demikian halnya, semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik. Hasil identifikasi lapangan memberikan gambaran bahwa sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan terakomodasi melalui koordinasi yang berjalan dengan baik, dan banyak mendapat dukungan di bawah koordinasi BAPPEDA. BAPPEDA sebagai lembaga koordinasi memberikan peran yang cukup dinamis dalam mengakomodasi berbagai kebijakan dan kelembagaan terkait pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara. Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana sinergi antar lembaga berjalan baik Walaupun demikian, perhatian khusus tentang pemahaman tingkat sinergitas kebijakan dan lembaga terkait perijinan, operasional pengelolaan perikanan, serta konservasi dan pemulihan. Dua unsur penting yang berjalan dengan baik di Maluku Tenggara meliputi: sistem perijinan serta konservasi dan pemulihan. Sistem perijinan yang dikembangkan di wilayah ini adalah melalui “Sistem Pelayanan Satu Pintu”. Di sisi lain, sinergitas pada unsur konservasi dan pemulihan masih berjalan dengan baik, sebagaimana tergambar dari perkembangannya selama tiga tahun terakhir untuk kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Maluku Tenggara seluas 150.000 ha di kawasan Barat Kei Kecil Pendekatan koordinasi yang diinisiasi oleh BAPPEDA Maluku Tenggara memberikan penguatan pada alokasi kebijakan yang tidak tumpang tindih antar lembaga di daerah. Hal inilah yang memberikan dukungan kuat dalam memberikan pernyataan strategis dimana tidak ada kebijakan yang bertentangan karena adanya kebijakan pengelolaan berbasis integrasi kelembagaan dan sistem perijinan satu pintu.
Sesuai dengan kondisi yang berkembang di wilayah ini, hasil penilaian memiliki kesesuaian dengan kriteria penilaian yang menyatakan kebijakan saling mendukung Walaupun demikian, upaya-upaya untuk mendukung penguatan alokasi dan implementasi kebijakan pengelolaan perikanan yang sinergis harus dirumuskan dan dikembangkan sesuai kebutuhan lokal. Terkait dengan implementasi kebijakan pada seluruh lembaga di Kabupaten Maluku Tenggara, maka inisiator dan komando sinergitas kebijakan pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara masih dikendalikan secara baik oleh BAPPEDA Provinsi Maluku. Kondisi ini tidak serta merta memberikan jaminan tentang tingginya kinerja pengelolaan perikanan. Hal ini disebabkan pencapaian sinergitas yang tinggi juga harus dicermati dengan baik, agar langkah-langkah strategis untuk meningkatkan integrasi kelembagaan dapat diposisikan sebagai substansi penting dalam mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan. Langkah strategis yang dimaksudkan ini sangat dibutuhkan untuk menhindari tumpang tindih kebijakan, baik lintas bidang maupun lintas sektor. Kondisi ideal yang diharapkan dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara adalah semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga, maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik. 3.6.6
Kapasitas Pemangku Kepentingan
Kapasitas pemangku kepentingan termasuk dalam salah satu indikator yang sangat menentukan. Penilaian indikator ini diarahkan pada eksistensi kapasitas pemangku kepentingan yang sesuai dengan upaya-upaya konstruktif peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pemangku perikanan (stakeholder merpresentasikan pada pihak yang nmemiliki keterkaitan langsung dengan pengelolaan perikanan. Pemangku perikanan dapat berasal dari birokrasi pemerintah (pusat dan daerah), swasta, masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan organisasi masyarakat pesisir. Penilaian terhadap indikator ini juga sangat penting dalam rangka mengetahui upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam kerangka EAF. Upaya-upaya tersebut merupakan langkah untuk meminimalisir kesalahan dalam mengimplementasikan pengelolaan perikanan.
Penilaian terhadap indikator memberikan hasil dimana upaya peningkatan kapasitas yang diikuti terkait dengan pengelolaan perikanan dalam tahun 2013 dan 2014 meliputi: (1) workshop/ pelatihan konservasi; (2) studi banding transplantasi karang; (3) studi banding pengelolaan kawasan konservasi; (4) workshop/ pelatihan terkait zonasi WP3K secara umum dan pengelolaan kawasan konervasi secara khusus. Hasil ini diimplementasikan dalam bentuk pengembangan berbagai program dan kegiatan pengelolaan. Namun demikian, alokasi peran belum banyak diperhatikan terkait kapasitas masing-masing. Sesuai kriteria penilaiannya, maka indikator ini termasuk dalam kategori kapasitas pemangku kepentingan ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) Hasil ini membuktikan bahwa pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara masih harus didukung dengan upaya-upaya yang sistematis dalam peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam mengelola perikanan. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa kapasitas pemangku kepentingan menentukan baik buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam pengelolaan perikanan. Pemangku kepentingan yang diharapkan dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan perikanan di wilayah ini tidak hanya terbatas pada instansi pemerintah, namun juga lembaga/organisasi masyarakat dan perorangan. Jika seluruh komponen pengelola perikanan memiliki kapasitas yang baik sesuai kompetensinya, maka sistem pengelolaan perikanan yang baik dapat dicapai pada seluruh tahapan pengelolaan, mulai dari aspek perencanaa, pemanfaatan dan pengawasan.
4 4.1
Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan Analisa menggunakan sistem Flag
Analisis dengan menggunakan sistem Flag menunjukkan adanya distribusi nilai yang bervariasi untuk setiap indikator pada seluruh domain yang dianalisis. Hasil analisis secara parsial untuk setiap domain dieksrepsikan secara tabular sebagai berikut: (1) Domain Habitat: INDIKATOR 1.
Kualitas perairan
KRITERIA 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar 1= Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004 1= konsentrasi klorofil < µg/l; 2= konsentrasi klorofil 2- µg/l; 3= konsentrasi klorofil
2. Status ekosistem lamun
µg/l
1=tutupan rendah, 30%; 2=tutupan sedang, 30 - 60%; 3=tutupan tinggi, 60% 1=keanekaragaman rendah (H' 3,2 atau H' 1), jumlah spesies kanekaragaman sedang (3,209,97 atau H’>3), jumlah spesies
DATA ISIAN
SKOR
Tidak dilakukan sampling, identifikasi visual secara umum pada perairan ini tidak menunjukkan gejala-gejala tercemar, seperti minyak dan B3. Hasil pengukuran di perairan Kei Kecil, rata-rata nilai kekeruhan 0,8 NTU dan nilai padatan tersuspensi total 0,08 mg/l. Sementara di perairan Kei Kecil Barat, rata-rata nilai kekeruhan 1,02 NTU dan nilai padatan tersuspensi total mencapai 0,98 mg/l. Nilai-nilai tersebut masih berada di bawah nilai kisaran toleransi Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan untuk Biota Laut Hasil cuplikan citra MODIS menunjukkan rata-rata musim: (1) musim Peralihan Barat ke Timur 0,10 g/l; (2) musim Timur 0,80 g/l; (3) musim Peralihan Timur ke Barat 0,21 g/l; dan (4) musim Barat 0,40 g/l.
3
Hasil pengamatan pada lokasi Oholilir sebesar 56,43%, Pulau Ngaf 62,40%, Tanjung Najun 61,71%, dan Pulau Ohoiwa 61,14%, ratarata persen tutupan 60,42 %.
3
Distribusi nilai keanekaragaman lamun di Oholilir 1,764 (7 spesies), Pulau Ngaf 1,406 (5 spesies), Tanjung Najun 1,726 (7 spesies), dan Pulau Ohoiwa 1,669 (7 spesies). Rata-rata nilai keanekaragaman lamun berada pada kriteria 1
2
3
1
INDIKATOR 3. Status ekosistem mangrove
KRITERIA 1=tutupan rendah, 50%; 2=tutupan sedang, 50 - 75%; 3=tutupan tinggi, 75 %
4. Status ekosistem terumbu karang
1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha); kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha); kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha) 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25 - 50%;
5. Habitat unik/khusus
3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' 3,2 atau H' 1); kanekaragaman sedang (3,209,97 atau H’>3) 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik
6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) RERATA
DATA ISIAN
SKOR
Total luasan mangrove di Kecamatan Kei Kecil Barat 1.576,58 ha, tutupan mangrove mencapai 935,35 ha, sehingga tingkat tutupan mangrove 59,33%
2
Pada lokasi contoh Desa Warwut, Kecamatan Kei Kecil Barat tingkat kerapatan mangrove sebanyak 777 pohon/ha
1
Di Kei Kecil dengan wilayah contoh yang disurvey perairan Kecil Barat, rata-rata tutupan karang mencapai 39,13%.
2
Tidak dilakukan Pengukuran
1
Hasil survey WWF-ID tahun 2014 menemukan adanya lokasi SPAGs. Lokasi upwelling ditemukan pada busur dalam Banda yang dekat dengan perairan terluar terumbu karang di bagian Barat Kei Kecil. Habitat unik/khusus ini belum dikelola dengan baik melalui suatu sistem tata kelola yang komprehensif.
2
Sudah ada kajian tahun 2014, namun belum ada strategi adaptasi dan mitigasi secara komprehensif.
2
Hasil survei Kesehatan Karang yang dilakukan oleh WWF, pada beberapa spot memang ditemukan pemutihan karang namun masih terjadi secara patchy dan masih sangat sedikit atau 5%
3
(2) Domain Sumber Daya Ikan: INDIKATOR 1. CpUE Baku
KRITERIA menurun tajam (rerata turun 25% per tahun) menurun sedikit (rerata turun 25% per tahun)
2. Tren ukuran ikan
stabil atau meningkat trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; trend ukuran relatif tetap;
trend ukuran semakin besar 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
banyak sekali (> 60%)
banyak (30 - 60%)
sedikit (<30%)
4. Komposisi spesies hasil tangkapan
proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume)
proporsi target sama dgn nontarget (16-30% dari total volume)
31
proporsi target lebih banyak (> dari total volume)
DATA ISIAN
SKOR
Hasil analisis CPUE Baku menunjukkan rata-rata laju penurunan CPUE Baku sebesar 1,38%. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah: -0,0006X 1,1287. Penurunan lebih lambat dari hasil analisis tahun 2012 (-3,08%)
2
Hasil interview menunjukkan: (1) 7,50% menyatakan semakin besar; (2) 62,50% menyatakan relatif sama; (3) 27,50% menyatakan semakin kecil; dan (4) 2,50% menyatakan tidak tahu. Pernyataan ini diikuti dengan pendapat bahwa ukuran ikan yang menjadi target semakin jauh untuk ditangkap (range collaps)
2
Hasil interview terhadap 55% responden yang tahu tentang adanya penangkapan ikan yuwana, 22,73% menyatakan sedikit (<30%), 72,73% menyatakan banyak (30 60%) dan 4,55% lainnya menyatakan banyak sekali (> 60%). Sebagai pembanding, pengukuran sampel untuk: (1) layang, 51,0% umur dewasa (16,21 cm); (2) tembang, 58,5% umur dewasa (11,95 cm); (3) tenggiri, 0% umur dewasa (40-45 cm); (4) teri, 46,5% umur dewasa (6 cm); serta (5) kerapu 76,7% umur dewasa (39 cm), dengan rata-rata 46,53% umur dewasa Pengamatan pada seluruh alat tangkap yang umum digunakan (mini purse seine, pancing tonda, pancing dasar, jaring insang hanyut dan bagan, tidak ada ikan non target yang tertangkap karena seluruh hasil tangkapan dimanfaatkan untuk konsumsi dan/atau dijual.
2
3
INDIKATOR 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan
KRITERIA semakin sulit, tergantung spesies target relatif tetap, tergantung spesies target
DATA ISIAN
SKOR
Hasil interview: (1) 82,50% semakin sulit; (2) 17,50% relatif tetap; (3) 0,00% semakin mudah.
1
Hasil interview: (1) 37,50% sangat jauh; (2) 57,50% jauh; (3) 5,00% tetap. Sebagai pembanding: (1) perikanan bagan di pesisir Timur Kei Kecil bergeser ke tengah Teluk Nerong, saat musim Timur sampai perairan Pulau Er dan Pulau Ngodan (2-4 jam); (2) perikanan mini purse seine bergeser ke Selatan Selat Nerong sampai perairan Timur Kei Besar (3-5 jam); (3) perikanan kerapu bergeser ke perairan terluar pulau-pulau 10 sampai di perairan Tam-Tayando (1,5 jam)
2
ETP yang tertangkap meliputi ikan napoleon dan penyu: (1) hasil tangkapan Napoleon sangat sedikit dan jarang ditemukan. Sebagian besar nelayan pada perikanan kerapu mulai menerapkan "release" untuk hasil tangkapan napoleon; (2) sebagian besar upaya pelepasan penyu hijau dan sisik yang tertangkap telah dilakukan; (3) penyu belimbing masih digunakan untuk kebutuhan upacara adat (1 ekor per tahun).
2
semakin mudah, tergantung spesies target fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target
2= fishing ground jauh, tergantung spesies target
3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target
6. Spesies ETP
1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas;
tertangkap tetapi dilepas
tidak ada individu ETP yang tertangkap
RERATA
(3) Domain Teknik Penangkapan Ikan: INDIKATOR 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif
KRITERIA 1=frekuensi pelanggaran 10 kasus per tahun
frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun
frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
lebih dari 50% ukuran target spesies Lm 25-50% ukuran target spesies Lm Lm
3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort)
1; 1;
<25% ukuran target spesies Rasio kapasitas penangkapan Rasio kapasitas penangkapan Rasio kapasitas penangkapan
4. Selektivitas penangkapan
rendah (> 75%) sedang (50-75%)
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); kesesuaiannya sedang (3050% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal Kepemilikan sertifikat <50%;
Kepemilikan sertifikat 50-75%; Kepemilikan sertifikat >75%
DATA ISIAN
SKOR
Data Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara: (1) terjadi pelanggaran kali dalam setahun; (2) pelanggaran umumnya pada kegiatan penangkapan ikan dengan bius/racun dan bahan peledak/bom; (3) penangkapan hampir tidak ditemukan, kecuali satu kali temuan pada pengambilan tukik penyu; (4) lokasi-lokasi pelanggaran meliputi: perairan P. Ngaf, Teluk Sobai (Ohoililir), P. Nai, P. Hoat, Ur Pulau, P. Warbal dan P. Nuhuta. Info tambahan: kegiatan pemboman ikan dilakukan pada saat subuh dan menjelang malam untuk menghindari pemantauan oleh pengawas atau masyarakat sekitar. Hal ini melemahkan proses pengawasan. Hasil pengukuran sampel ikan: (1) layang, 51,0% Lm (16,21 cm); (2) tembang, 58,5% Lm (11,95 cm); (3) tenggiri, 0% Lm (11,95 cm); (4) teri, 46,5% Lm (6 cm); serta (5) kerapu 76,7% Lm (39 cm). Rata-rata 46,53% Lm Hasil perhitungan total untuk Maluku Tenggara: (1) FC-2010 (tahun dasar) sebesar 45.248,78 ton; (2) FC-2014 sebesar 44.264,11 ton; (3) nilai sebesar 0,98 (R 1)
3
Hasil perhitungan nilai selektivitas dengan pendekatan alat tangkap sero tancap yang memiliki nilai selektivitas yang rendah, sebesar 0.04%
3
Hasil survey: dari 24 pelaku usaha perikanan, 22 di antaranya menunjukkan adanya kesesuaian dokumen legal dengan fungsi dan ukuran kapal, atau sekitar 91,67% yang sesuai, atau 8,33% tidak sesuai
3
Hasil survey: dari 24 pelaku usaha perikanan, hanya orang yang memiliki sertifikat awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan, atau sekitar 37,50% yang memiliki sertifikat kecakapan awak kapal perikanan
1
2
2
(4) Domain Sosial: INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan
KRITERIA 50%;
50-100%;
100 %
2. Konflik perikanan
lebih dari kali/tahun; 2- kali/tahun; kurang dari kali/tahun
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
tidak ada;
ada tapi tidak efektif;
ada dan efektif digunakan
RERATA
DATA ISIAN
SKOR
Dalam tiga tahun terakhir, partisipasi pemangku kepentingan meningkat sangat tajam. Kondisi ini didukung dengan berkembangnya perspektif. Contoh kasus: pengembangan kawasan konservasi "Taman Wisata Perairan Pulau Kecil", mulai dari inisiasi, identifikasi, pencadangan, penetapan kawasan, dan perencanaan zonasi. Keberlibatan pemangku kepentingan di tingkat lokal juga semakin kuat, baik Kepada Adat Kawasan maupun Kepala Ohoi Hasil identifikasi: (1) tahun 2013, satu kali konflik antara pemanfaatan jalur transportasi dan perikanan bagan di Teluk Nerong; (2) Tahun 2014, satu kali konflik antara nelayan mini purse seine dalam penempatan rumpon dengan perikanan bagan.
2
Dalam tiga tahun terakhir, telah digunakan TEK dalam pengelolaan perikanan. Beberapa fakta pemanfaatan TEK dalam pengelolaan sumber daya ikan: (1) pengetahuan dalam implementasi sistem sasi kawasan tertentu dan jenis tertentu seperti teripang, lola dan batulaga; (2) pengetahuan lokasi potensial penangkapan ikan (daerah tubir, kawasan met dan daerah skaru/tubur untuk tujuan tangkap ikan demersal; (3) pengetahuan tentang lokasi-lokasi yang tidak boleh disentuh atau dilarang secara adat yang mengandung makna ekologis; serta (4) artikulasi lokal yang diungkap untuk mendukung sistem zonasi berbasis (adat) lokal. Keempat TEK ini cukup efektif penggunaannya.
3
3
(5) Domain Ekonomi: INDIKATOR 1. Kepemilikan Aset
KRITERIA
DATA ISIAN
nilai aset berkurang (berkurangnya lebih dari 50%);
Hasil survey Nilai aset: (1) perahu, 22,50% berkurang, 62,50% tetap, dan 15,00% bertambah; (2) mesin, 20,00% berkurang, 65,00% tetap, dan 15,00% bertambah; (3) alat tangkap, 0,00% berkurang, 77,50% tetap, dan 22,50% bertambah; (4) Rata-rata tertinggi, 68,33% nilai aset tetap
nilai aset tetap (berkurangnya 50%);
SKOR
nilai aset bertambah (meningkat 50%) 2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)
1= kurang dari rata-rata UMR,
2= sama dengan rata-rata UMR,
Secara parsial, hasil survey menunjukkan rata-rata pendapatan RTP: (1) JIH 676.500; (2) pancing kerapu 3.407.000; (3) bagan 3.328.000; dan (4) mini purse seine 6.300.800. Rata-Rata agregat 3.428,075, dan UMR (1.415.000)
rata-rata UMR
3. Rasio Tabungan (Saving ratio)
kurang dari bunga kredit pinjaman;
sama dengan bunga kredit pinjaman;
Hasil perhitungan saving ratio rata-rata di RTP: (1) JIH 6,15%; (2) pancing kerapu 9,61%; (3) bagan 11,39%; dan (4) mini purse seine 12,97%. Rata-rata agregat 10,03% suku bunga kredit pinjaman akhir tahun 2014 sampai awal tahun 2015 (11,52%)
lebih dari bunga kredit pinjaman
RERATA
2
(6) Domain Kelembagaan: INDIKATOR
KRITERIA
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun nonformal
1= lebih dari kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2- kali terjadi pelanggaran hukum; kurang dari kali pelanggaran hukum Non formal 1= lebih dari informasi pelanggaran, 2= lebih dari informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
DATA ISIAN
SKOR
Pelanggaran masih terjadi dalam dua tahun terakhir: (1) Tahun 2013, kali pelanggaran; (2) Tahun 2014, kali pelanggaran
2
Masyarakat cukup proaktif untuk melaporkan pelanggaran yang terindikasi/terjadi pada perairan sekitar, khususnya oleh Pokmaswas. Hasil identifikasi lapangan: tahun 2013 sebanyak informasi pelanggaran, dan dalam tahun 2014 sebanyak tiga informasi pelanggaran.
2
INDIKATOR 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
KRITERIA tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain; tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk domain; tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari domain Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap;
DATA ISIAN
SKOR
Dua regulasi daerah yang ditetapkan sesudah penilaian tahun 2012 yang memanfaatkan kondisi eksisting sebelum tahun 2012, masing-masing: (1)PERDA No. 12/2012 tentang RTRW Kabupaten Maluku Tenggara; dan (2) SK Bupati No. 162/2013 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Kabupaten Maluku Tenggara. Hanya domain yang terkait dengan eksistensi regulasi daerah ini, yaitu: domain kelembagaan.
1
Mengacu pada penilaian tahun 2012, telah ada dua regulasi daerah yang ditetapkan dan bertambah sebagaimana dijelaskan pada kriteria di atas.
3
Walaupun menggunakan regulasi nasional, namun penegakan aturan cukup efektif.
3
Alat pengawasan: (1) pengawas di DKP Maluku Tenggara; (2) Pokmaswas dengan 60 tenaga pengawas; (3) eksistensi Stasiun Pengawasan PSDKP Tual; dan (4) masyarakat ohoi dengan aturan ohoi. Beberapa tindakan: (1) penertiban; (2) penetiban diikuti pembinaan; (3) penangkapan dan hukuman oleh pengawas DKP Maluku Tenggara; serta (4) penangkapan pelaku dan alat bukti oleh masyarakat dan pemerintah ohoi.
3
Teguran dan hukuman dijalankan tergantung pada tingkatan dan pelaku pelanggaran
3
3= ada dan jumlahnya bertambah 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif 1= tidak ada alat dan orang;
2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan;
3= ada alat dan orang serta ada tindakan
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman
INDIKATOR 3. Mekanisme pengambilan keputusan
KRITERIA 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan;
2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;
DATA ISIAN
SKOR
Pengambilan keputusan bersifat kolaboratif dengan melibatkan lembaga lain: (1) untuk perijinan usaha, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD dan HNSI dengan koordinasi BAPPEDA; (2) untuk operasionalisasi penangkapan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD, HNSI dan Perguruan Tinggi dengan koordinasi BAPPEDA; (3) untuk konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir PP. kecil, dilakukan bersama KSDA, Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI dan LSM dengan koordinasi BAPPEDA. Mekanisme ini dijalankan secara reguler sesuai dengan substansi yang membutuhkan keputusan secara bersama, namun masih harus didukung dengan pembuatan dan penetapan SOPnya
3
Keputusan selalu diambil dengan pendekatan regulasi yang ada, dan dijalankan sepenuhnya (sesuai dengan mekanisme).
3
Belum ada Rencana Pengelolaan Perikanan di Tingkat Kabupaten
1
Adanya koordinasi yang berjalan dengan baik, dan banyak mendapat dukungan di bawah koordinasi BAPPEDA
3
Tidak ada kebijakan yang bertentangan karena adanya kebijakan pengelolaan berbasis integrasi kelembagaan dan sistem perijinan satu pintu.
3
3=ada mekanisme dan berjalan efektif
4. Rencana pengelolaan perikanan
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya 1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); komunikasi antar lembaga tidak efektif; sinergi antar lembaga berjalan baik 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; kebijakan tidak saling mendukung; kebijakan saling mendukung
INDIKATOR 6. Kapasitas pemangku kepentingan
KRITERIA 1=tidak ada peningkatan;
ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya)
DATA ISIAN
SKOR
Upaya peningkatan kapasitas yang diikuti dalam tahun 2013 dan 2014: (1) workshop/ pelatihan konservasi; (2) studi banding transplantasi karang; (3) studi banding pengelolaan kawasan konservasi; (4) workshop/ pelatihan terkait zonasi WP3K secara umum dan pengelolaan kawasan konervasi secara khusus. Hasil ini diimplementasikan dalam bentuk pengembangan berbagai program dan kegiatan pengelolaan. Namun demikian, alokasi peran belum banyak diperhatikan terkait kapasitas masing-masing.
2
ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya)
(7) Nilai Komposit/Agregat: Domain Sumber daya Ikan Habitat ekosistem Teknik Penangkapan Ikan Sosial Ekonomi Kelembagaan Aggregat
Nilai Komposit 65,00 61,11 61,67 46,67 100,00 65,27
Deskripsi Baik Baik Baik Sedang Baik Sekali Baik
209,36
Baik