1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kepulauan Kei (Nuhu Evav / Tanat Evav) adalah salah satu kepulauan yang
ada di Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku dengan jumlah pulau 66 buah pulau kecil. Tiga belas pulau telah berpenghuni, sedangkan 53 buah pulau lainnya
tidak berpenghuni. Kepulauan Kei terletak di bagian selatan Laut
Arafura, di bagian barat Laut Banda dan Kepulauan Tanimbar, Papua bagian selatan dan wilayah Kota Tual di bagian utara Laut Banda dan bagian utara Kepulauan Tanimbar di bagian barat daya, serta Kepulauan Aru di bagian timur. Ada tiga bahasa rumpun Austronesia yang dituturkan di Kepulauan Kei, yaitu bahasa Kei, bahasa Kur, dan bahasa Banda. Bahasa Kei (veveu Evav) adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan bahasa Kur (veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, sedangkan bahasa Kei digunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (veveu Wadan) digunakan di Desa Banda Eli (Wadan El) dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan timur laut Pulau Kei Besar (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DPK), 2007:25). Bahasa Kei merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Kei di Kabupaten MalukuTenggara karena bahasa Kei digunakan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat. Bahasa merupakan alat komunikasi sehingga seseorang dapat menyampaikan maksud
2
dan keinginan kepada orang lain. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya, yaitu merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, religius, filosofi, sosiobudaya, dan ekologis masyarakat setempat. Seperti halnya makhluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Berdasarkan hal itu, bahasa berkaitan sangat erat dengan lingkungannya. Bahasa tersebut dapat hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya musnah. Sebaliknya, apabila lingkungan (ekosistem) terjaga dengan baik, maka leksikon yang berhubungan dengan lingkungan tersebut akan terekam, terlihat, dan tergambar dengan jelas dalam bahasa. Artinya, harus ada keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Penggunaan bahasa juga tergantung pada kekayaan leksikon yang sesuai dengan lingkungan. Jika lingkungan tersebut punah, penggunaan leksikon yang berhubungan dengan lingkungan itu akan turut punah. Oleh sebab itu, melalui kajian ekolinguistik, dapat dipahami secara mendalam hubungan antara bahasa dan
lingkungan.
Ekolinguistik
merupakan
ilmu
bahasa
interdisipliner,
menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1). Dalam lingkup kajian ekolinguistik dinyatakan bahwa bahasa merekam kondisi lingkungan ragawi dan sosial. Hal ini berhubungan dengan perangkat leksikon yang menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur dan lingkungannya, flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Fill dan Muhlhauster, 2001:14). Keberagaman leksikon kekhasan daerah menandakan lingkungan ragawi yang terjaga kelestariannya. Seperti halnya bahasa daerah lain,
3
bahasa Kei memegang peranan penting dalam pergaulan sehari-hari sebagai alat komunikasi bagi masyarakat pemakainya. Selain itu, berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain, penelitian tentang ekologi bahasa Kei yang berhubungan dengan kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei belum pernah dilakukan. Padahal, unsur leksikon merupakan salah satu aspek atau subsistem kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa itu di samping aspek-aspek yang lain. Banyaknya jumlah penutur bahasa Kei tidak menjamin bahwa bahasa ini dapat bertahan dari ancaman kepunahan. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup, sebagaimana dinyatakan oleh Saussure dan Barker dalam Mbete (2009:4,6) bahwa bahasa itu harus kokoh berada dalam kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan mendalam dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian, perlu diadakan penelitian yang mendasar secara sungguh-sungguh supaya dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian ekolinguistik. Kecilnya perhatian terhadap lingkungan merupakan salah satu penyebab ekosistem itu bertambah krisis dan pada akhirnya leksikon pada ekosistem itu pun menjadi punah. Lebih dari itu, ekosistem akan bertambah kritis sebagai akibat keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang hilang, pelbagai kerusakan terjadi, baik fisik, biologis, maupun sosiologis terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan (Al Gayoni, 2010:1). Hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Oleh sebab itu, kajian multidisipliner seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu alam sangat besar berperan dan diperlukan untuk mengupas persoalan-persoalan yang ada.
4
Dalam hal ini, kajian ekolinguistik mencoba untuk menyertakan diri dalam pengkajian
lingkungan
dalam
perspektif
linguistik
karena
perubahan
sosioekologis sangat besar memengaruhi penggunaan bahasa serta perubahan nilai budaya dalam sebuah masyarakat (Al Gayoni, 2010:1). Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari guyub tutur Kei tergambar bahwa penggunaan bahasa Kei oleh generasi muda agak berkurang. Hal ini terlihat jelas dengan jarang digunakannya leksikon bahasa Kei dibandingkan dengan bahasa Melayu Ambon. Hal ini dikhawatirkan akan mengikis, bahkan memunahkan leksikon-leksikon bahasa Kei, khususnya leksikon kelautan. Selain itu, dengan adanya perubahan budaya dari budaya tradisional ke budaya modern atau perubahan suatu kawasan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan menyebabkan hilangnya ikon leksikal. Demikian juga ada beberapa jenis ikan laut yang jarang ditemukan karena banyaknya pengeringan, pendangkalan laut, penggunaan bom ikan yang menyebabkan karang laut menjadi rusak dan tidak digunakannya alat-alat tangkap tradisional karena pengaruh alat tangkap modern. Sejalan dengan perubahan alat-alat tangkap dan biota-biota laut yang berada pada suatu ekosisitem menyebabkan lahirnya kata-kata/istilah baru yang menggantikan,
bahkan
menggeser
posisi
kata/istilah
lama
sehingga
keberlangsungan ini secara terus-menerus akan mengakibatkan kepunahan leksikon, khususnya leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan. Misalnya, jenis ikan yang dulunya hidup pada suatu ekosistem sulit ditemukan karena sudah berpindah ke ekosistem lain, bahkan menjadi punah, alat tangkap dan umpan yang digunakan juga tidak akan digunakan oleh generasi sekarang. Hal ini akan
5
menyebabkan
hilangnya
beberapa
ikon
leksikal
(Adisaputra,
2010:11).
Penyusutan atau kepunahan unsur alam dan unsur budaya akan berdampak pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu. Sejalan dengan pendapat Adisaputra, Lauder (2006:6) menyebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, termasuk di dalamnya berbagai kearifan mengenai lingkungan. Bahasa Kei merupakan salah satu bahasa daerah yang masih hidup dan masih dipakai oleh etnik Kei /Evav di Provinsi Maluku, terutama di Kabupaten Maluku Tenggara, yakni di Kei Kecil dan Kei Besar. Bahasa Kei perlu dipelihara dan dibina sehingga akan berfungsi sesuai dengan kedudukannya selaku bahasa daerah. Fungsi umum bahasa Kei ialah sebagai alat komunikasi dalam upacara adat, keluarga, dan masyarakat Kei untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendak. Selain itu, tentu juga berfungsi sebagai lambang identitas dan kebanggaan daerahnya. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya (Mbete, 2009:2). Selanjutnya, Rahardjo (2004:159) mengatakan bahwa waktu dan usaha manusialah yang menentukan kelestarian sebuah bahasa daerah. Apa pun yang digunakan oleh generasi tua hanya semata-semata untuk mempertahankan bahasa lestari dari
daerahnya
agar
tetap
ancaman kepunahan. Dengan merujuk pada beberapa kerangka
pandang yang diulas di atas sebagai latar pikir, bahasa yang diteliti dalam penelitian ini adalah bahasa Kei terkait dengan kebertahanan leksikon bahasa Kei
6
dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei untuk memeroleh data dan deskripsi terhadap bahasa Kei.
1.2 Rumusan Masalah Masalah dan batas-batas lingkup kajian setiap penelitian yang akan dikaji harus dinyatakan secara jelas agar dapat lebih mudah dipahami. Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Bagaimanakah satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei? 2) Bagaimanakah pemahaman dan kebertahanan leksikon penutur bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei? 3) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi kebertahanan leksikon kelautan bahasa Kei?
1.3 Tujuan Penelitian Menurut rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan penelitian itu diuraikan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasikan leksikon-leksikon dalam lingkungan kelautan pada komunitas tutur bahasa Kei di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara sebagai dokumentasi kebahasaan dan pelestarian terhadap bahasa Kei. Temuan penting yang diupayakan untuk dicapai adalah pengadaan kamus kecil leksikon kelautan
7
agar generasi muda komunitas tutur bahasa Kei mengakrabi kembali bahasa, budaya, dan lingkungan tempat mereka hidup.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Tujuan khusus tersebut diuraikan sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei. 2) Mendeskripsikan tingkat pemahaman dan kebertahanan bahasa dan budaya Kei serta kelestarian lingkungan kelautan di Kepulauan Kei. 3) Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan leksikon kelautan bahasa Kei.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ada dua macam, yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis. Kedua manfaat itu diuraikan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi khazanah pengetahuan ilmu bahasa, khususnya dalam kajian ekolinguistik. Selanjutnya, temuan-temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan bahasa lokal serta mampu membedah fungsi ideologis, sosiologis, dan biologis tentang bahasa lokal, khususnya bahasa Kei.
8
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mendeskripsikan, mengidentifikasikan, dan mendokumentasikan leksikon-leksikon kelautan yang merekam
dan
menggambarkan
hubungan
penutur
bahasa
Kei
dengan
lingkungannya. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan yang merupakan kekayaan alam, sosial, dan budaya sebagai ciri kekhasan yang terealisasikan melalui bahasa. Selain itu, dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi para peneliti lain ataupun pengguna bahasa Kei khususnya tentang hubungan bahasa dengan ekologi.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini berturut-turut disajikan kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model penelitian. Keempat hal itu diuraikan satu per satu berikut ini.
2.1 Kajian Pustaka Kajian ekolinguistik sebagai bidang kajian linguistik boleh dikatakan merupakan bidang kajian linguistik yang usianya relatif muda. Disiplin ini lahir sekitar tahun 1990-an kendatipun konsep dan benih teoretisnya sudah berkembang sejak 1921 dengan rintisan Edward Sapir (1884--1939). Kemudian, Haugen (1972) dan dikembangkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001). Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa berdasarkan survei pustaka dan keterangan lainlain, ternyata penelitian tentang ekologi bahasa Kei yang berkaitan dengan kajian ekolinguistik, khususnya kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, dianggap perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas kajian ekolinguistik. Berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang membantu dalam penelitian ini, antara lain dapat menjadi bahan acuan dan membuka wawasan penulis tentang topik yang diteliti. Mbete dan Adisaputra (2009) dalam tulisan yang berjudul “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat, Langkat” menunjukkan bahwa dari hasil tes penguasaan leksikon responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu
10
Langkat (BML) tergolong rendah. Rendahnya pemahaman itu dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML,melainkan dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan di atas. Pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada 150 leksikon yang diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat peringkat keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian dapat dijelaskan dengan memparafrasakan situasi penggunaan leksikon tersebut yang dikaitkan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di Stabat. Penelitian Mbete dan Adisaputera bermanfaat bagi penulis dalam memahami penyebab perubahan pemahaman leksikon penutur Kei serta sebagai wawasan penulis dalam membahas masalah nomor dua. Persamaan penelitian Mbete dan Adisaputera dengan penelitian ini adalah menelusuri pemahaman dan penggunaan leksikon. Perbedaannya adalah objek penelitiannya adalah bahasa Melayu Langkat, khususnya pada komunitas remaja, sedangkan penulis meneliti kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei yang berlokasi di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara.
11
Selain itu, pengujian leksikon yang dilakukan Mbete dan Adisaputera hanya pada komunitas remaja, sedangkan komunitas pemuda dan orang tua belum dikaji dalam penelitian ini. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap komunitas pemuda dan orang tua sehingga hasil penelitian tentang leksikon itu dapat terangkum lebih komprehensif. Selanjutnya, dalam pengujian leksikon kepada remaja secara nyata dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Mbete (2002:174--186) dalam tulisan yang berjudul “Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan”. Penelitian ini menguak warisan budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores berupa ungkapanungkapan verbal yang memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup. Ungkapan-ungkapan budaya verbal tersebut diperinci sebagai berikut. Pertama, ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta, terutama dengan Sang Khalik dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang
mendukung
lingkungan.
Ketiga,
ungkapan
yang
mengamanatkan
pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut. Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial. Hasil penelitian Mbete (2002:174--186) menginspirasi peneliti untuk mengungkap kandungan makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan kelautan di kalangan penutur bahasa Kei. Selain itu, dalam penelitian ditemukan bahwa merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian lingkungan yang disebabkan
12
oleh kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi bahan pembanding bagi peneliti dalam merumuskan simpulan. Suparwa (2009) mengadakan penelitian berjudul “Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu Loloan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur dengan penutur lainnya, dan hubungan penutur dengan Sang Penciptanya. Berdasarkan faktor pertama, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur memengaruhi perkembangan BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir sungai serta profesi nelayan menyebabkan banyak penutur BM Loloan sangat akrab dengan kata-kata tentang laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun, pengaruh faktor alam, seperti penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan sungai memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi penutur bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan ditinggalkan dan diganti dengan profesi pedagang, buruh, dan tukang. Di pihak lain rumah panggung digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan kayu. Sejalan dengan perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru bermunculan yang mengakibatkan istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Dalam kaitannya dengan penelitian kebertahanan leksikon bahasa Kei dalam lingkungan kelautan di Kepulauan Kei, faktor pertama pada penelitian Suparwa, yaitu
13
hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya dapat menjadi acuan bagi peneliti dalam menganalisis hubungan bahasa dan lingkungannya. Sinar (2010:70--83) menulis makalah berjudul “Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan”. Makalah ini membahas dampak degradasi lingkungan pada bahasa Melayu Serdang di wilayah komunitas pantai masyarakat Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Dampak degradasi itu ditandai dengan semakin langka dan kurang dikenalnya sejumlah leksikon tumbuhan yang terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun, pepatah, dan jargon. Latar belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa daerah di Indonesia karena ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional. Tulisan ini memperkuat penulis dalam menulis subbab Teori Ekolinguistik dalam Bab Kajian Pustaka penelitian ini. Di samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai pelestarian lingkungan dalam sastra lisan pantun dan pepatah menginspirasi peneliti untuk lebih kritis dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki penutur bahasa Kei terkait dengan upaya pelestarian lingkungan alam kelautan di perairan Kei. Rasna (2010) menulis artikel berjudul “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan, Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Data menunjukkan sebagai berikut. Pertama, pengetahuan leksikal para remaja tentang tumbuhan dan tanaman obat untuk (a) remaja desa: 28 orang (37,33%) tergolong cukup, 47 orang (82,66%) tergolong kurang, sedangkan (b) remaja kota : 9 orang (18%)
14
tergolong cukup, 38 orang (76%) tergolong kurang, dan 3 orang (6%) tergolong rendah. Secara ekolinguistik, hal ini dibuktikan dengan adanya penyusutan bentuk leksikal tumbuhan/tanaman obat pada para remaja sehingga para remaja tidak lagi mengenal bentuk leksikal buu, sekapa (gadung), kusambi, nagasari, kundal, antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat adanya perubahan sosiokultural, perubahan sosiokologis secara fisik, dan faktor sosioekonomis. Perubahan ini membawa dampak penyusutan leksikal yang dogolongkan
ke
dalam
ekolinguistik.
Kedua,
sikap
remaja
terhadap
tanaman/tumbuhan obat meliputi sikap bangga, sikap sadar, dan sikap setia. Hal ini terlihat dari 40% remaja tidak setuju dengan anggapan kampungan, terbelakang, dan rendah pada pengguna tanaman dan tumbuhan sebagai obat. Rasna dan Binawati (2012) menulis artikel berjudul “Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Kajian Semantik Ekolinguistik”. Data menunjukkan bahwa bentuk leksikal tanaman obat untuk mengobati penyakit anak menurut usada rare „Ilmu Penyakit Anak‟ berjumlah 119 jenis tanaman obat tradisional. Artinya, terdapat sebanyak 119 bentuk leksikal jenis tanaman obat untuk penyakit anak, yang terbagi atas dua kategori, yaitu (1) kategori material khusus, seperti padang gulung, daun pipis, urang-aring dan (2) kategori umum, seperti bawang, kesuna „bawang putih‟, inan kunyit „induk kunir‟. Jenis-jenis tanaman obat ini mempunyai arti penting, baik dari segi sosiokultural, ekologi, linguistik, maupun ekolinguistik.
15
Persamaan penelitian ini dengan dua penelitian di atas, yaitu Rasna (2010) serta Rasna dan Binawati (2012) sama-sama meneliti lingkungan dari aspek linguistik tentang tanaman obat tradisional, sedangkan penelitian ini meneliti lingkungan, khususnya lingkungan kelautan di Kepulauan Kei. Data utama dalam penelitian ini yang dijadikan pedoman adalah data lontar Usada Rare (lontar ilmu penyakit anak) sehingga semua leksikon tanaman obat tradisonal belum terungkap secara jelas. Sumarsono (1990:27) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali” menguraikan bahwa konsentrasi wilayah permukiman adalah salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa. Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan bahasanya jika konsentrasi wilayah permukiman dapat dipertahankan sehingga terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Secara umum, penelitian ini cukup menarik, terutama tentang faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa, tetapi penjelasan mengenai bagaimana upaya-upaya pemertahanan kelestarian sebuah bahasa masih sangat kurang. Namun, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang bagaimana pemertahanan sebuah bahasa serta penggunaan dan penguasaan leksikon dengan menggunakan teori ekolinguistik sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini. Relevansinya dengan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan ekolinguistik dalam mengkaji pemertahanan bahasa. Perbedaan penelitian ini adalah bahan kajiannya, yaitu bahasa Melayu
16
Loloan, sedangkan penulis mengkaji bahasa Kei. Selain itu, uraian tentang konsentrasi wilayah permukiman memberikan inspirasi bagi penulis untuk membahas dan menggambarkan kebertahanan leksikon kelautan bahasa Kei. Kajian yang terakhir adalah sebuah tesis yang ditulis oleh Sukhrani (2010) dengan judul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik”. Data menunjukkan bahwa terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan pada tiap kecamatan dan kelompok usia. Pada kelompok usia di atas 46 tahun pemahamannya masih tinggi, lalu menurun pada kelompok usia 21--45 tahun, hingga tergolong rendah pada kelompok usia 15--20 tahun. Perbedaan pemahaman tersebut berkaitan dengan (1) perbedaan kontur alam danau, (2) perluasan kota, (3) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, dan (4) introdusi biota dari luar. Namun, leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan lut tawar masih dikenal dan digunakan oleh 80,6% penutur Gayo dalam berkomunikasi. Beberapa faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (1) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (2) penutur dari tiap-tiap kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (3) penutur dari setiap kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina dan pengujian pemahaman leksikon pada penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penulis dalam membahas masalah nomor dua dan tiga yang tersaji pada rumusan masalah. Selain itu, penelitian ekolinguistik yang dilakukan Sukhrani hanya mencakup jenis kata nomina, jenis-jenis kata yang lain, yaitu verba dan adjektiva belum dikaji dalam
17
penelitian ini. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai verba dan adjektiva sehingga hasil penelitian tentang leksikon itu dapat terangkum lebih komprehensif. Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek dalam penelitian-penelitian di atas tidak sama dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis, penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberikan banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan pengetahuan dan pemertahanan leksikon dengan menggunakan teori Ekolinguistik dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah pengaruh antara lingkungan dan bahasa.
2.2 Konsep Sebelum mengacu pada uraian teori yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dijelaskan konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut diuraikan berikut ini.
2.2.1 Kebertahanan Bahasa dan Pemertahanan Bahasa Konsep kebertahanan bahasa berawal dari pemahaman tentang kata tersebut. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1375) dikemukakan bahwa makna kata kebertahanan adalah „ihwal bertahan‟, sedangkan makna kata bertahan adalah „tetap pada tempatnya (kedudukannya dan sebagainya); tidak beranjak. Konsep kebertahanan diartikan sebagai „proses, cara, perbuatan
18
mempertahankan‟. Di dalam konsep „pemertahanan‟ ada proses yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan pada konsep „kebertahanan‟ tercakup proses-proses disengaja atau tidak disengaja karena keduanya tercakup dalam „ihwal bertahan‟. Dengan demikian, penelitian ini mengacu pada konsep kebertahanan karena mencermati kebertahanan leksikon bahasa Kei secara alami atau apa adanya yang masih digunakan di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara hingga saat ini. Kebertahanan bahasa berkenaan dengan persoalan apakah sebuah bahasa masih bertahan atau tidak. Masih bertahan berarti masih digunakan dalam interaksi komunikasi sehari-hari oleh penuturnya. Kebertahanan bahasa terjadi secara alamiah karena terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa. Dalam pengembangan bahasa yang berlangsung secara alami tersebut ada dua proses yang disebabkan oleh perilaku penuturnya, yaitu proses pemertahanan bahasa (maintenance) dan proses pergeseran bahasa (language shift). Menurut Garvin dan Martinet (dalam Adisaputra, 2010:43), proses tersebut terjadi karena adanya fungsi bahasa sebagai alat menyatukan (unifying) atau memisahkan (separatist) diri dari kelompok lain. Sementara itu, Fasold (1986:181) menyatakan bahwa orang mempertahankan bahasanya secara tidak sadar. Menurut Fasold, bahasa memiliki fungsi sebagai contrastive self identification „identifikasi diri yang konstratif‟, yaitu bahasa berfungsi sebagai alat menyatukan atau memisahkan diri dari kelompok lain. Kebertahanan bahasa terkait dengan faktor-faktor sosial dan psikologis, seperti kekuatan ikatan etnis, sistem nilai, pola permukiman, agama, sistem
19
kekeluargaan, jenis kelamin, dan ekonomi (Suhardi, 1990:195). Faktor lain yang berpengaruh terhadap kebertahanan bahasa adalah jabatan, status sosial, kedudukan sosial, usia, dan etnisitas. Selain faktor sosial, faktor situasional, seperti interlocutor (mitra wicara), topik, dan situasi komunikasi juga turut menentukan (Fishman, 1968:244--267; Holmes, 1996:20--31). Berdasarkan konsep tersebut, dapat dikatakan penelitian ini hanya mengkaji faktor-faktor sosial yang diungkapkan di atas dengan melihat dari segi jenis kelamin dan usia. Selanjutnya, pembahasan pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal, maka bahasa itu perlahan-lahan akan menjadi punah (Sumarsono dalam Damanik, 2009:9). Kemampuan bahasa untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65) dalam Gunarwan (2006:101-102) dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu (1) status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya, (2) besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan (3) seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional.
2.2.2 Leksikon Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna. Sejalan dengan itu, leksikon didefinisikan sebagai kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (KBBI, 2008: 805). Di pihak lain Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata. Meurut Sibarani, “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa, seperti perilaku semantis, sintaksis,
20
morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.” Selanjutnya, menurut Booij (2007:16) „the lexicon specifies the properties of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties, and its meaning.‟ Ia memberikan contoh leksikon swim dan swimmer a. /swιm/
/swιmər/
b. [x]V
[[x]V er]N
c. SWIMACTIVITY
PERSON PERFORMING
SWIMACTIVITY
Contoh a merupakan bentuk fonologi leksem swim. Contoh b merupakan struktur morfologi internal. Contoh c merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil. Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon „takut‟ dan „penakut‟. a. /takut/
/penakut/
b. [x]A
[[x]A peN-]N
[[x]A peN-]A
c. tidak berani
orang yang takut
mudah takut
Contoh a merupakan bentuk fonologi leksem „takut‟. Contoh b merupakan struktur morfologi internal. Contoh c merupakan makna.
Untuk mencatat leksikon suatu bahasa disusunlah kamus. Kegiatan penyusunan kamus disebut leksikografi. Biasanya sebuah kamus tersusun dengan leksem atau gabungan leksem sebagai judul yang diterangkan dengan berbagai cara. Judul itu disebut lema. Ada lema yang berupa leksem atau kata tunggal, ada yang berupa gabungan leksem atau gabungan kata. Bila keterangannya berupa
21
bahasa yang sama dengan lemanya, kamus ini disebut kamus ekabahasa atau kamus monolingual. Bila keterangan itu dalam bahasa lain, kamus itu merupakan kamus dwibahasa atau kamus bilingual. Dari paparan di atas, dapat diartikan bahwa leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa, seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.
2.3 Landasan Teori Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar (pijakan, pedoman, tuntutan) suatu ilmu pengetahuan. Menurut Snelbecker (dalam Moleong, 2008: 57), teori berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Dengan kata lain, teori merupakan landasan fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap (Atmadilaga dalam Gurning, 2004:9). Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum berpijak pada perspektif ekolinguistik yang merupakan paduan antara teori linguistik dan ekologi. Menurut Mbete (2009:2), “dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya.
22
2.3.1 Teori Ekolinguistik Ekolinguistik merupakan bidang linguistik yang mengkaji interaksi bahasa dengan ekologinya. Mackey dalam Fill dan Muhlhausler (2001:67) dalam bukunya yang berjudul “The Ecology of Language Shift” menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill, 2001:43). Ekolinguistik adalah ilmu pengetahuan antardisiplin yang merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000: 40) bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi, yaitu “Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology”. Demikian pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University menyebutkan seperti di bawah ini. Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (P.2). th
Selanjutnya, dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6 Edition, dijelaskan bahwa ecolinguistics (n.) adalah sebagai berikut. In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology in biological studies-in which the interaction between language and the cultural
23
environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace (Crystal , 2008: 161162). Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Kajian ekolinguistik melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia untuk mengkodekan secara verbal dan berkomunikasi dengan lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (Al-Gayoni, 2010:31). Terkait dengan adanya hubungan antara
perubahan
ragawi lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya, Mühlhäusler (hal.3) dalam tulisannya Language and Environment, memungkinkan hubungan antara
menyebut
bahasa
ada
empat
hal
dan lingkungan. Keempat
yang hal
yang dimaksud adalah (1) language is independent and self-contained (Chomsky, Cognitive Linguistics); (2) language is constructed by the world (Marr); (3) the world is constructed by language (structuralism and post structuralism); dan (4) language is interconnected with the world – it both constructs and is constructed by it but rarely independent (ecolinguistics). Menurut Haugen dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1), kajian ekolinguistik memiliki parameter, yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan), environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya), and diversity (keberagaman
24
bahasa dan lingkungan). Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11--12) menyatakan bahwa ada sepuluh ruang kajian ekolinguistik, yaitu (1) linguistik historis komparatif, (2) linguistik demografi, (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik, (5) dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik preskriptif, (8) glotopolitik, (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural (cultural linguistics), dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Berdasarkan pembagian Haugen di atas, penelitian ini berhubungan dengan ruang kaji ekolinguistik berdasarkan pada pembagian Haugen di atas, Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosialbudaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “perubahan bahasa merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon. Alasannya, kelengkapan leksikon suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya. Fill dan Muhlhausler (2001:2) juga menambahkan bahwa lingkup ekolinguistik adalah hubungan antara bahasa dan lingkungan pada ranah leksikon saja, bukan pada tataran fonologi atau morfologi „this interrelation exists merely
25
on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology.‟ Selanjutnya, menurut Lindø dan Bundegaard (2000: 10--11), dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi. Pertama, dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat, misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi, ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat. Kedua, dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna. Ketiga, dimensi biologis, yaitu berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem. Di samping itu, dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dan yang lain, yaitu ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami. Leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan (Mbete dan Abdurahman, 2009). Sehubungan dengan itu, penutur bahasa akan menggunakan
26
leksikon yang ada dalam konseptual mereka jika didukung dengan lingkungan ragawi yang ada. Sebaliknya, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah jika adanya perubahan lingkungan ragawi. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.
2.3.2 Teori Semantik Leksikal Dalam studi semantik, konsep makna telah dikembangkan oleh pakar filsafat dan linguistik yang pada dasarnya mempersoalkan makna dalam bentuk hubungan antara bahasa (ujaran, pikiran, dan realitas di alam). Pateda (2001:74) mengatakan bahwa pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat. Dengan demikian, untuk menggambarkan hubungan antarkata dalam suatu bidang tertentu dapat diungkapkan melalui komponen makna yang tercakup dalam kata-kata pada suatu bidang tertentu. Komponen makna menunjukkan bahwa makna setiap kata terbentuk dari beberapa unsur atau komponen. Misalnya, kata-kata yang menggambarkan kekerabatan, seperti „ayah‟, “ibu‟, „adik‟, dan „kakak‟. Dalam semantik leksikal diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem bahasa tersebut. Makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Dalam studi semantik, leksem adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan satuan bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat
27
dipadankan dengan istilah kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis yang lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Hal ini senada dengan Djajasudarma (1993: 13) menyatakan bahwa semantik leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal memiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal juga dapat diartikan makna yang sesuai dengan acuannya, makna yang sesuai dengan hasil observasi panca indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Lebih lanjut, Lyons (1995:47) menyatakan bahwa “The noun „lexeme‟ is of course related to the words „lexical‟ and „lexicon‟, (we can think of „lexicon‟ as having the same meaning as vocabulary or dictionary” Hubungan antara kata dan konsep atau makna kata tersebut serta benda atau hal yang dirujuk oleh makna itu berada di luar bahasa. Hubungan antara ketiganya disebut dengan hubungan referensial, yang biasanya digambarkan dalam bentuk segi tiga makna yang diperkenalkan oleh Ogden dan Richard (1972), yang lebih dikenal dengan istilah kata (symbol), konsep/pikiran (reference), dan acuan (referent) seperti tampak pada segi tiga di bawah ini.
(b) Konsep (reference)
(a) Kata (symbol)
(c) Acuan (referent)
28
Simbol adalah kata-kata yang merujuk kepada benda, orang, kejadian, peristiwa melalui pikiran. Simbol harus bebas atau bersifat impersonal dan harus diverifikasi dengan fakta atau bahasa yang sesuai dengan fakta atau bahasa kefaktaan (Parera, 2004:29). Reference adalah sesuatu yang ada dalam pikiran penutur tentang objek yang ditunjuk oleh lambang atau simbol. Referent atau acuan adalah objek, peristiwa, atau fakta yang ada di dalam pengalaman manusia. Reference
berhubungan
dengan
konteks
psikologi,
sedangkan
referent
berhubungan dengan konteks sosial. Berdasarkan beberapa pandangan yang telah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini mengkaji semantik leksikal berdasarkan makna dan referensial (acuan) atau korespondensi, yaitu teori yang melihat hubungan antara kata dan acuan yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa, baik berupa kata, frasa maupun kalimat. Dengan demikian, kajian makna dan referensial lebih ditekankan pada hubungan langsung antara kata dan acuannya yang ada di alam nyata (Parera, 2004:45).
29
2.4
Model Penelitian Model pada penelitian ini tampak pada skema berikut.
Bahasa Kei
Leksikon Lingkungan Kelautan
Satuan-satuan Lingual Ekoleksikal Kelautan BK
Pemahaman dan Kebertahanan Leksikon Kelautan
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebertahanan LKBK
Kualitatif Teori Ekolinguistik
Metode Kuantitatif
Teori Semantik leksikal
HASIL PENELITIAN
Bagan I Model Penelitian
Keterangan: hubungan langsung yang digunakan saling berhubungan
30
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan Penelitian Pendekatan utama yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma, 2006: 11). Pendekatan kualitatif yang dilakukan di dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif mengutamakan teknik analisis data dengan kekuatan deskripsi yang mendalam. Dalam penelitian ini juga diterapkan dengan pendekatan kuantitatif untuk melihat kuantitas pengetahuan dan pemahaman leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei oleh kelompok pria dan wanita usia di atas 46 tahun, kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun, dan kelompok pria dan wanita usia 15--24 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif yang didukung analisis kuantitatif.
3.2
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah kekayaan bahasa Kei yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Ohoi Warbal pada berbagai situasi dan kondisi penggunaan bahasa dengan pelbagai indikator. Selain itu, data kualitatif berupa informasi lisan dari informan utama tentang
kebertahanan
dan
faktor-faktor
yang
memengaruhi
dinamika
perkembangan leksikon kelautan bahasa Kei. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka yang ditabulasikan secara statistik sederhana. Data kuantitatif
31
bersumber dari hasil TKL informan, berupa rata-rata kompetensi informan terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah komunitas tutur (speech community) di Ohoi Warbal, ditinjau dari kelompok umur dan jenis kelamin. Secara fungsional, data kuantitatif digunakan untuk mendukung dan menjelaskan konsisitensi gejala pengetahuan yang dimiliki oleh
informan,
sedangkan, data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan secara deskriptif sebagai dasar untuk mengetahui kebertahanan dan faktor-faktor yang memengaruhi dinamika perkembangan leksikon kelautan bahasa Kei. Di
samping
itu,
berdasarkan
cara
memerolehnya,
penelitian
ini
menggunakan data primer dan data sekunder. Secara keseluruhan, baik data kualitatif maupun kuantitatif merupakan data primer. Menurut Bungin (2005:122), data primer adalah data yang langsung diperoleh dari lokasi penelitian atau objek penelitian, sedangkan data sekunder adalah data data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan. Dengan demikian, untuk mendukung data primer diperlukan data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang bersumber dari keterangan masyarakat dan sumber-sumber tertulis. Pemilihan desa Warbal sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan bahwa masyarakat desa Warbal pada umumnya adalah penutur asli bahasa Kei. Di samping itu, penggunaan bahasa Kei masih sangat aktif dalam komunikasi seharihari dan letak geografisnya di pesisir pantai sehingga pada umumnya masyarakatnya adalah nelayan.
32
Untuk mendapatkan sumber data lisan dan respons dari informan maka digunakan teknik purposive sampling, yaitu penentuan informan berdasarkan pertimbangan peneliti sendiri. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut. 1) Berjenis kelamin pria dan wanita. 2) Berusia 15--65 tahun. 3) Orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di Ohoi Warbal. 4) Menetap di Ohoi Warbal minimal selama sepuluh tahun. 5) Menguasai pertanyaan dalam bahasa Kei. 6) Dapat berbahasa Indonesia. 7) Untuk informan tua, pendengarannya baik dan tidak pikun.
3.3
Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian adalah peneliti sehingga instrumennya
adalah orang atau manusia (human instrument) (Sugiyono, 2009:2). Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat adalah peneliti itu sendiri karena sebagai human instrument atau instrumen manusia bertugas untuk menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat simpulan atas temuannya (Sugiyono, 2009:59). Oleh karena itu,dalam penelitian ini peneliti adalah instrumen utama karena peneliti sendiri adalah penutur bahasa Kei sehingga peneliti bersikap independen untuk menghindari subjektivitas dalam penelitian ini. Selanjutnya, instrumen yang digunakan untuk memeroleh data kuantitatif adalah kuesioner (angket) yang diwujudkan dalam daftar tanyaan yang jawabannya disimbolkan dalam angka-angka. Angka-angka yang digunakan
33
merupakan indikator-indikator pengetahuan leksikon informan. Data yang dijaring melalui kuesioner merupakan data utama (primer). Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman leksikon bahasa Kei tentang lingkungan kelautan oleh responden digunakan tes kompetensi leksikon. Tes ini berupa sebaran leksikon (kuesioner) lingkungan kelautan sesuai dengan lingkungan alamiah masyarakat dari kelompok pria dan wanita usia di atas 46 tahun, kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun, dan kelompok pria dan wanita usia 15--24 tahun kumunitas Kei di Ohoi Warbal, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Kompetensi leksikon ini dapat dipakai sebagai tolok ukur bagaimana hubungan antara partisipan dan lingkungannya serta untuk menentukan masih adanya referen leksikon itu. Oleh karena itu, pada tiap kelompok leksikon diajukan empat pilihan jawaban. Contoh:
1. Ikan tuna
(jawab/isi dalam leksikon bahasa Kei)
(a) Tahu, kenal, dan referennya masih banyak. (b) Tahu,kenal, dan referennya sedikit/langka. (c) Tahu,kenal, dan referennya sudah hilang/ punah. (d) sama sekali tidak kenal. Model pertanyaan di atas ada 131 pertanyaan setiap jawaban “A” (Tahu, kenal, dan referennya masih banyak) dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia, yang kemudian mendapatkan hasil presentasi dengan rumus di bawah ini.
x 100 =KL
x 100 =83,3
34
Keterangan : JJA
= jawaban “A” (Tahu, kenal, dan referennya masih banyak)
JI
= jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia
KL
= kompetensi leksikon per kelompok jenis kelamin dan usia
Untuk setiap jawaban “D” (sama sekali tidak kenal) dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia, yang kemudian mendapatkan hasil persentasi dengan rumus berikut:
x 100 = KL
x 100 =83,3
Keterangan : JJD
= jawaban “D” (sama sekali tidak kenal)
JI
= jumlah informan per kelompok jenis kelamin dan usia
KL
= kompetensi leksikon per kelompok jenis kelamin dan usia
Untuk mendapatkan perhitungan rata-rata pengetahuan leksikon informan tentang kelautan, maka jumlah jawaban “A” dan “D” dijumlahkan dan dibagikan dengan jumlah informan sehingga didapatkan skor rata-rata dengan rumus berikut.
x 100 =Hasil “A”
x 100 =77,8
x 100 =Hasil “D”
x 100 =22,2
35
Selain itu, untuk menentukan pengetahuan leksikon kelautan informan itu sangat baik, baik, cukup baik, kurang dan sangat kurang, digunakan kriteria nilai kompetensi leksikon pada tabel berikut berikut. Tabel 3.1 Kriteria Nilai Pengetahuan Leksikon Kelautan NO SKOR PREDIKAT 1 85--100 Sangat baik 2 70--84 Baik 3 55--69 Cukup baik 4 45--55 Kurang 5 -44 Sangat kurang (Renjaan, 2014)
3.4
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian merupakan suatu cara kerja untuk memahami objek yang
menjadi sasaran yang bersangkutan. Dengan menggunakan metode yang tepat akan diperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan sebab metode penelitian merupakan petunjuk yang memberikan arah, corak, dan tahapan kerja suatu penelitian. Dalam penelitian ini pengumpulan data dititikberatkan pada natural setting atau kondisi yang alamiah. Dalam pengumpulan data ada beberapa tahapan yang dilakukaan, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi pribadi dan resmi, foto, gambar, dan percakapan informal. Data yang terkumpul merupakan data kualitatif (Emzir, 2010:37). Dalam penelitian ini, diambil teknik yang umum dan ditambah dengan kebutuhan khusus kajian penelitian, yaitu sebagai berikut. 1. Tes kompetensi leksikon,yaitu tes untuk menguji tingkat pengetahuan leksikonleksikon dalam lingkungan kelautan berdasarkan angket yang diberikan.
36
2. Observasi ( pengamatan ), yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan terhadap situasi alam sekitar laut, misalnya mengamati tumbuhan, hewan, benda-benda mati yang terdapat di sekitar laut. Di samping itu, juga berbagai kegiatan, perilaku, dan tindakan penutur bahasa Kei di kawasan laut secara intensif, sebagaimana dijelaskan Basrowi dan Suwandi (2008:94) bahwa “...observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam yang lain.” 3. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab antara peneliti dan objek penelitian untuk mendapatkan data serta pandangan yang relevan dengan tujuan penelitian. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur sehingga dalam melakukan wawancara, peneliti telah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis dan pilihan jawaban yang sama kepada setiap informan. Menurut Sugiyono (2009:73), wawancara terstruktur digunakan apabila telah diketahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Metode ini digunakan untuk memeroleh penggunaan dan pengalaman informan tentang bentuk leksikon kelautan dengan bantuan kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas : (1) leksikon biota-biota kelautan. (2) istilah-istilah tradisional alat penangkapan, alat dan bahan pengolahan hasil kelautan. (3) kondisi lingkungan ekologis kelautan. 4. Dokumentasi, yaitu dengan penerapan teknik rekam yang berfungsi untuk mendapatkan data dalam bentuk leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei. Di
37
pihak lain teknik pencatatan dilakukan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting pada saat proses perekaman atau untuk mencatat apabila ada hal-hal yang muncul di luar data-data yang diperlukan, tetapi masih ada kaitannya dengan topik penelitian. Hasil catatan ini dipakai sebagai pedoman dan keterangan tambahan ketika analisis data dilakukan.
3.5
Metode dan Teknik Analisis Data Analisis data sebagai “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema ....” (Moleong, 2002:103). Data yang diperoleh dari hasil wawancara, tes kompetensi leksikon, observasi, dan dokumentasi (dengan penerapan teknik rekam dan teknik pencatatan) dipisahkan per kelompok leksikon dan dijabarkan ke dalam unit-unit, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami. Selanjutnya, data akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan penerapan analisis kualitatif, diharapkan dapat memaparkan pengetahuan dan pemahaman leksikonleksikon kelautan di Kepulauan Kei sesuai dengan realitasnya. Aanalisis data juga menggunakan metode kuantitatif, yaitu jawaban setiap informan disimbolkan dalam bentuk angka dalam tabel untuk setiap kelompok jenis kelamin dan usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan dan diubah ke dalam bentuk persen lalu ditabulasikan untuk setiap kelompok jenis kelamin dan usia sehingga akan terlihat kecenderungan-kecenderungan tertentu.
38
3.6
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal.
Metode informal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian hasil analisis data juga menggunakan teknik deduktif dan induktif dengan tujuan pemaparannya tidak monoton. Teknik deduktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat umum kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat khusus sebagai penjelas. Teknik induktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat khusus kemudian dikemukakan hal-hal yang bersifat umum (Hadi, 2004: 47).
39
BAB IV GAMBARAN UMUM KEPULAUAN KEI
4.1
Kabupaten Maluku Tenggara
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang Pemekaran Kota Tual, maka Kabupaten Maluku Tenggara dimekarkan menjadi Kota Tual dengan pemerintahan tersendiri. Sebagai konsekwensi dari pemekaran Kota Tual tersebut, maka pada tangal 14 Juli 2009 ditetapkan Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) tentang penetapan Kota Langgur sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang ditindaklanjuti dengan PERDA penetapan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, maka telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011 tentang pemindahan ibukota Maluku Tenggara dari wilayah Kota Tual ke wilayah Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara yang selanjutnya disebut Kota Langgur. yang mencakup wilayah dari delapan Ohoi ( Desa / Dusun ) dan satu Kelurahan Yakni : Ohoingur, Ohoi Wearlilir, Ohoi Faan, Ohoi Ohoiluk, Ohoi Ngayub, Ohoi Loon, Ohoi Gelanit, Ohoi Kolser dan Kelurahan Ohoijang Watdek. Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara teridiri dari enam Kecamatan yakni : Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Selatan, dan Kecamatan Kei Besar Utara Timur. Kecamatan Kei Kecil Barat terdiri dari delapan Ohoi yaitu Ohoi Warbal, Ohoi Madwaer, Ohoi Somlain, Ohoi Ohoiren, Ohoi Ohoira, Ohoi Ur Pulau, Ohoi Tanimbar Kei, dan Ohoi Ohoidertutu. Ibu kota kecamatan Kei Kecil Barat terletak di Ohoi Ohoira.
40
Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas 66 buah pulau kecil dengan ibu kota Langgur. Penduduk asli kabupaten ini adalah suku Kei di samping orangorang asal daerah lain yang menetap di kabupaten ini, misalnya orang asal Jawa, Bugis, Makasar, dan Buton yang menetap sebagai pedagang. Beberapa tahun lalu Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas 119 buah pulau, namun kini hanya terdapat 66 buah pulau setelah dimekarkan menjadi lima kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya, dan Kota Tual. Menurut peta Geologi Indonesia (1965), Kepulauan di Maluku Tenggara terbentuk / tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak tiga jenis tanah dan lima jenis batuan. Berdasarkan klasifikasi agroklimate menurut Oldeman, Irsal, dan Muladi (1981), di Maluku Tenggara terdapat zone agroklimat, zone C2 bulan basah 5 -- 6 bulan dan kering 4 -- 5 bulan (Diperkomin Malra, 2010) Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara sekitar 192.953 jiwa. Secara astronomi Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 5º sampai dengan 6,5º Lintang Selatan dan 131º sampai dengan 133,5º Bujur Timur. Secara goeografis, Kabupaten Maluku Tenggara terletak di Laut Arafura di bagian selatan, Laut Banda dan Kepulauan Tanimbar di bagian barat, Papua bagian selatan dan wilayah Kota Tual di bagian utara, Laut Banda dan bagian utara Kepulauan Tanimbar di bagian barat daya, dan kepulauan Aru di bagian timur. Luas wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ± 7.856,70 km², dengan luas daratan ± 4.676,00 km² dan luas perairannya ± 3.180,70 km². Kepulauan Kei terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen, Kei Kecil atau Nuhu
41
Roa atau Nusyanat, Tanimbar Kei atau Tnebar Evav, Kei Dulah atau Du, Dulah Laut atau Du Roa, Kuur, Taam, dan Tayandu atau Tahayad
4.2
Kepulauan Kei Kepulauan Kei (atau Kai) di Indonesia berada di bagian tenggara Kepulauan
Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku. Kepulauan Kei merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam, baik dari lempeng Benua Asia maupun Australia. Gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan luas seluruhnya 722,62 km² dan Pulau Kei Besar dengan luas 550,05 km². Jumlah pulau adalah sebanyak 66 buah. Secara topografi Pulau Kei Kecil berketinggian ± 100 m di atas permukaan laut. Beberapa bukit rendah di tengah dan utara mencapai 115 m. Pulau Kei Besar berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan ketinggian ratarata 500 -- 800 m dengan Gunung Dab sebagai puncak tertinggi. Di pihak lain dataran rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai. Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav") adalah sebutan untuk Kepulauan Kei. Ada beberapa pendapat tentang asal usul nama Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"). Pertama, Aivav (dari kata Ai yang artinya pohon kayu dan kata Vav yang artinya babi hutan), artinya bahwa gugusan pulau dengan pohon-pohon kayu yang besar dan rindang serta terdapat banyak hewan babi hutan. Kedua, Havav (artinya sebelah utara), artinya bahwa gugusan pulau yang terletak di bagian utara. "Kai" atau “Kai” sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama.
42
Menurut penduduk setempat, nama “Kei” atau “Kai” muncul setelah kedatangan bangsa Portugis di Kepulauan Maluku, yaitu kira-kira pada abad 16. Disebutkan bahwa nama Kai atau Kei berasal dari perkataan kayos (bahasa Portugis) yang artinya keras atau kuat. Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah serta dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian masyarakat Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Sebagian besar masyarakat Kei hidup dari bertani dan nelayan. Permukaaan tanah di Kepulauan Kei agak kering dengan tingkat ketebalan humus sekitar 10 cm dan cepat kehilangan kesuburan. Para petani sering berpindah-pindah lahan pertanian. Ladang dibersihkan dan ditanami selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian lahan itu ditinggalkan hingga memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun untuk mengembalikan kesuburannya dan bisa dipakai lagi. Hasil pertanian bervariasi seperti singkong, enbal, jagung, ubi, pisang, kelapa, dan mangga. Akan tetapi, Kepulauan Kei kaya dengan hasil laut. Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, ikan, lola, teripang, dan hasil laut lainnya yang bernilai ekonomis. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang, cerukceruk pantai pada saat air laut surut, dan menggunakan bagan. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebagian hasil panen atau tangkapannya kepada
43
para tengkulak atau di pasar-pasar Kota Langgur dan Kota Tual. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (trochus niloticux) dan usaha dagang eceran. Ada beberapa metode penangkapan ikan yang masih dipakai oleh masyarakat Kei sampai saat ini, tetapi ada pula yang telah ditinggalkan dengan alasan kurang praktis. Beberapa metode penangkapan ikan yang diterapkan oleh masyarakat Kei adalah sebagai berikut. 1. Swarut 2. Fahu
: memancing dengan menggunakan tali senar dan kail. : menangkap ikan dengan menggunakan kalawai (sejenis tombak), biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan lampu petromaks.
3. Bore
: menangkap ikan dengan menggunakan akar tuba.
4. Strom
: menangkap ikan dengan menggunakan jaring (biasanya dilepas selama 1--2 jam).
5. Kular
: menangkap ikan dengan menggunakan daun kelapa yang di anyam berbentuk “U”.
6. Ail
: memancing dengan menggunakan tali dari akar kayu. Selain potensi perikanan, ada beberapa objek wisata yang dapat dijadikan
tempat untuk berlibur dan menikmati keindahan pantai dan alam yang sangat indah. Objek wisata di Kepulauan Kei adalah Pantai Ngurtavur di desa Warbal, Pantai Ngurbloat di Desa Ngilngof, Pantai Daftel di Desa Ohoilim, Pantai Difur di Desa Dullah, Goa Hawang di Desa Letvuan, Mata Air Evu dan Pemandian Alam
44
di Desa Evu, Taman Ziarah Uskup M.G.R. Johanis Aerts, M.Sc. di Desa Langgur, Desa Budaya Tanimbar Kei, dan Pulau Kapal di sebelah Desa Sathean.
4.3
Sejarah Lisan Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis.
Sebaliknya, mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keautentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat itu dibumbui dongeng-dongeng atau lambang-lambang. Akan tetapi, dianggap sepenuhnya benar secara harfiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya. Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bali, wilayah kerajaan Majapahit di kawasan barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari Pulau Bali, masing-masing dinakhodai oleh Hala‟ai Deu dan Hala‟ai Jangra. Setibanya di Kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Hala‟ai Jangra menepi di Desa Ler-Ohoilim Pulau Kei Besar, sedangkan perahu rombongan Hala‟ai Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan Pulau Kei Kecil. Letvuan dijadikan pusat pemerintahan dan tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei Kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Balsorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu berlabuh. Hala‟ai Jangra dan Hala‟ai Deu adalah gelar bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala‟ai Deu adalah Esdeu. Ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu atau Sadewa atau Dewa. Selain Bali, orang Kei yakin
45
bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Temat (Jailolo dan Ternate). Ada 22 ratschaap di seluruh kepulauan ini. Kepala wilayah adat (ratschaap) di Kepulauan Kei adalah rat (raja). Ada 3 ratschaap yang berkedudukan dalam wilayah administratif Kota Tual dan 19 ratschaap berkedudukan dalam wilayah administratif
Kabupaten
Maluku
Tenggara.
Secara
struktural, rat
membawahi orang kai atau Kepala desa. Orang Kai membawahi kapala soa (kepala dusun) atau kapala saniri (marga). Selain itu, rat juga memiliki perangkat kerja lain, seperti kapitan yang berfungsi menjaga keamanan desa (ohoi). Secara genealogis, 10 ratschaap adalah dalam „Rumpun Lima‟ (Loor Lim), sementara 10 Ratschaap lainnya adalah dalam „Rumpun Sembilan‟ (Ur Siuw), dan 2 Ratschaap lebihnya masuk dalam „Rumpun Netral‟ (Lor Lebai) yang secara tradisional berfungsi sebagai penengah konflik sosial (jika terjadi) dari dua rumpun besar utama tadi (Selengkapnya, lihat: Rahail, J.P. 1994).
4.4
Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei Agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur animisme, magi,
dan totemisme (Ohoitimur, 1996). Animisme berasal dari bahasa Latin, anima artinya “nyawa”. Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi, animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animism peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture (1871) (dalam Ohoitimur, 1996). Baginya
46
bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, di samping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian di antara para dewata itu salah satu di antaranya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi. Sistem kepercayaan masyarakat Kei mengakui bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh tersebut dianggap menetap dalam segala benda. Roh dalam bahasa Kei disebut duan. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, duan kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi
duad,
yang
lebih
bermakna
Tuhan
Allah
–
yang
mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud animisme dalam masyarakat Kei sampai sekarang masih dapat diamati dalam bentuk pemberian persembahan (buk mam) berupa daun sirih, buah pinang, tembakau, dan uang logam yang diisi dalam piring dan diletakkan di bawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap keramat. “Magi” dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup, yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai perseorangan. Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usahausaha manusia menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut keyakinan orang, kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam suatu pertalian yang erat antara pelaku magi itu dan roh-roh halus (duan, setan atau dewa-dewa). Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang Kei
47
percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk memengaruhi roh manusia / makhluk lain. Pengaruh manusia terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak kelihatan, tetapi menggunakan benda-benda duniawi. Misalnya seseorang menggunakan sebuah batu (atau suatu benda tertentu), yang memengaruhi orang lain sampai sakit, bahkan sampai meninggal dunia. Selanjutnya, dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model ”totemisme”. Totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang. Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini ikan puring sebagai totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkan fam atau marga tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya bahwa ada hubungan khusus antara objek-objek tertentu, seperti ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan dunia Ilahi. Berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Obyek suci itu harus dihormati. Dengan demikian, jelas bahwa masuknya agama-agama dunia di Kepulauan Kei tidak serta merta menghilangkan kepercayaan atau agama suku masyarakat Kei. Namun, praktek hubungan antara dunia nyata dan dunia Ilahi dalam kehidupan orang Kei masih terpelihara dengan baik sampai sekarang.
4.5
Hukum Adat Masyarakat Kei ”LARVUL NGABAL” Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan
lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakan masyarakat Kei yang secara struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya, yaitu hukum ”Larvul Ngabal”. Hukum ”Larvul Ngabal” adalah hukum adat yang merupakan hukum yang
48
dijunjung tinggi dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat Kei. “Larvul Ngabal” berasal dari kata Larvul “ Lar ” artinya darah dan “ Vul “ artinya merah. Ngabal : “ Nganga “ artinya tombak dan “ Bal “ artinya dari Bali. Jadi "Larvul Ngabal" berarti darah merah tombak dari Pulau Bali. Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bali, yaitu wilayah kerajaan Majapahit di kawasan barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari Pulau Bali, masingmasing dinakhodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di Kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa LerOhoilim, Pulau Kei Besar, sedangkan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil. Hukum adat Evav yang disebut Larvul Ngabal itu terdiri atas tujuh pasal, yaitu (1) Ud entauk atvunad (kepala kita bertumpu pada leher kita) maknanya bahwa atasan (yang tertinggi, pemimpin, orang tua) melindungi bawahan (manusia, rakyat, anak) menjunjung atasan, (2) Lelad ain fo mahiling (leher kita diluhurkan) bermakna, hidup manusia diluhurkan, (3) Ul nit envil atumud (kulit membungkus tubuh kita) maknanya adalah harkat martabat manusia dihormati, (4) Lar nakmot ivud (darah berdiam di perut kita) bermakna, keselamatan manusia dilindungi, (5) Rek fo mahiling (ambang batas kamar diluhurkan) makna, yaitu batas-batas kesusilaan (kehormatan wanita) diluhurkan, (6) Moryain fo kelmutun (tempat tidur keluarga dimurnikan) maknanya bahwa perkawinan (kehormatan rumah tangga) dimurnikan, dan (7) Hira ni tub fo ni, it did tub fo it did (miliknya tetap menjadi miliknya, milik kita tetap menjadi milik kita) maknanya, yaitu hak milik seseorang (kaum) diakui dan dihormati.
49
Pasal 1, 2, 3, dan 4 disebut juga hukum adat Navnev (hukum kehidupan), pasal 5 dan 6 disebut juga hukum adat Hanilit (hukum kesusilaan), dan pasal 7 disebut hukum adat Hawear Balwirin (hukum keadilan sosial). Ketiga tema hukum itu (Navnev, Hanilit dan Hawear Balwirin) masing-masing dilengkapi dengan tujuh pasal larangan hukum adat, yang disebut Sa Sor Fit (tujuh lapis kesalahan/pelanggaran). Cerita Larvul Ngabal memiliki karakteristik sebagai bentuk cerita human endogeonik, cerita kosmogonik, dan cerita transformasi. Cerita itu merupakan produk budaya yang menyampaikan sejumlah pesan budaya berkaitan dengan filosofi, sistem kepercayaan, dan norma–norma hukum komunitas Kei. Secara substantif, cerita Larvul Ngabal merupakan suatu genre sastra lisan, yakni cerita rakyat yang dianggap sakral oleh orang Kei dan diyakini benar-benar terjadi pada waktu lampau. Cerita tersebut memiliki bentuk, makna, fungsi, dan pemertahanan yang dituturkan
secara unik dan spesifik. Makna cerita Larvul Ngabal
mencerminkan pandangan hidup orang Kei yang mengandung konsepsi mendalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan mengenai hubungan manusia dengan alam, baik secara vertikal antara manusia dan Tuhan, hubungan horizontal antar manusia, dan hubungan sirkular harmonis antara manusia dan alam sebagai suatu totalitas dari sikap hidup orang Kei yang tercermin dalam makna filosofis, makna religius, makna kosmologis, dan makna mistis. Fungsi cerita Larvul Ngabal mengarah pada fungsi sosiologis, fungsi pedagogis, dan fungsi yuridis. Fungsi sosiologis diimplementasikan sebagai sarana pengungkap asal usul, pengungkap struktur sosial masyarakat Kei, dan
50
sarana untuk memperkenalkan sistem pemerintahan baru. Fungsi pedagogis mengukuhkan cerita Larvul Ngabal sebagai model pendidikan etis moral, ajaran tentang pembaruan, mengajarkan bahasa simbolik. Di pihak lain fungsi yuridis, cerita Larvul Ngabal merupakan hukum yang mengatur ketentuan, baik tentang masalah pidana maupun perdata. Pemertahanan hukum Larvul Ngabal sampai sekarang masih dijaga dan dipertahankan melalui jalur keluarga, jalur masyarakat, dan jalur pemerintah lokal. Selanjutnya, peran pemertahanan yang terakumulasi dalam kehidupan orang Kei, yaitu (a) pemertahanan jati diri orang Kei yang dilakukan melalui bahasa yang sama dan hukum adat yang sama, struktur pemerintahan yang akomodatif, ikatan persaudaraan, dan politik masyarakat Kei, (b) menghadapi tantangan perubahan zaman akibat pengaruh agama, pendidikan, pengaruh ekonomi, perubahan di bidang sosial budaya, dan pengaruh politik. Dengan demikian, cerita Larvul Ngabal sebagai representasi budaya masyarakat Kei karena merupakan intisari pengalaman orang Kei yang transsendental, reflektif, dan relevan dengan kebudayaan manusia pada umumnya. Cerita Larvul Ngabal mampu merangkum, memproyeksikan, dan mengukuhkan pandangan hidup dan norma-norma tradisi orang Kei.
51
BAB V SATUAN-SATUAN LINGUAL EKOLEKSIKAL KELAUTAN BAHASA KEI
5.1
Klasifikasi Bunyi Leksikon Kelautan Bahasa Kei Leksikon kelautan bahasa Kei mempunyai sejumlah bunyi yang dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu (1) vokoid, (2) kontoid, dan (3) diftong. Uraian yang lebih rinci dapat dilihat pada sub bab berikut ini. 5.1.1 Vokoid Ada sembilan buah vokoid leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu [i], [I], [u], [U], [e], [ɛ], [o], [ɔ], dan [a]. Bunyi-bunyi leksikon kelautan bahasa Kei dapat dilihat pada contoh distribusi berikut ini. Ada enam buah bunyi berdistribusi lengkap, yaitu [i], [u], [e], [o], [ɔ], [a] dan tiga buah bunyi berdistribusi tak lengkap, yaitu [I], [U], [ɛ].
Tabel 5.1 Vokoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei Cara Artikulasi Tinggi Atas
Depan
Tengah
i
Belakang u
Tinggi Bawah
U I
Tengah Atas
Rendah
e
o
ɛ
ɔ a
52
(1) Vokoid [i] Vokoid [i] ditemukan di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Oleh karena itu, vokoid [i] berdistribusi lengkap. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah
: [iwar] : [ŋilŋilan]
„ikan mata bulan‟ „lola‟
Akhir
: [riʔiʔ]
„alang-alang‟
(2) Vokoid [I] Vokoid [I] hanya dapat menempati satu posisi, yaitu di tengah kata dasar. Hal ini berarti bahwa vokoid [I] berdistribusi tak lengkap. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Tengah
: [kasIl] [sIt]
„cicak‟ „kucing‟
(3) Vokoid [u] Vokoid [u] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [ubUn] : [vur] : [yahau]
„lamu-lamu‟ „padang lamun‟ „anjing‟
(4) Vokoid [U] Vokoid [U] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Tengah
: [kaʔbUr] [sIlbUkʔ]
„lalat‟ „cicak tanah
53
(5) Vokoid [e] Vokoid [e] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [ekʔ] : [yew] : [falbe]
„ikat‟ „ikan hiu‟ „bagaimana‟
(6) Vokoid [ɛ] Vokoid [ɛ] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Tengah
: [yɛr watʔ] [wɛw]
„karang‟ „ketapang‟
(7) Vokoid [a] Vokoid [a] berdistribusi lengkap karena vokoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal
: [arat]
„ikan lumba-lumba‟
Tengah Akhir
: [haʔrun] : [harara]
„udang batu‟ „ubur-ubur‟
(8) Vokoid [o] Vokoid [o] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya menempati dua posisi, yaitu di tengah dan di akhir kata dasar. Vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah
: [ohoy] : [tom]
‟kampung‟ „kunyit‟
Akhir
: [hɔho]
„kalawai‟
54
(9) Vokoid [ɔ] Vokoid [ɔ] berdistribusi tak lengkap karena vokoid ini hanya ditemukan di tengah dan di akhir kata dasar. Keberadaan vokoid ini dibuktikan dengan data berikut. Tengah
„kalawai‟
: [hɔho]
Tabel 5.1.1 Distribusi Vokoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei VOKOID POSISI AWAL POSISI POSISI AKHIR TENGAH [i] + + + [I] + [u] + + + [U] + [e] + + + + [ɛ] [a] [o]
+ + -
[ɔ]
+ + +
+ + +
5.1.2 Kontoid Ada tujuh belas buah kontoid leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu [p], [b], [t], [d], [k], [f], [s], [m], [n], [l], [r], [v], [ŋ], [?], [h], [w], dan [y]. Dua belas buah bunyi di antaranya berdistribusi lengkap, sedangkan lima buah bunyi lainnya berdistribusi tak lengkap. Tabel 5.1.2 Kontoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei Cara Artikulasi Tempat Artikulasi Bilabial LabioDental- Palatal- Velar Glotal dental alveolar Alveolar Hambat / TBs p t k ʔ Plosive Bs b d Frikatif / Fricative Nasal Lateral Getar/trill Semivokoid
TBs Bs Bs Bs Bs Bs
f v m
w
s
h ŋ
n l r y
55
(1) Kontoid [p] Kontoid [p] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Tengah : [watʔ apuŋ] „batu apung‟ (2) Kontoid [b] Kontoid [b] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal
: [bib]
„kepiting kecil‟
Tengah Akhir
: [sIlbUkʔ] : [tabowb]
„cicak tanah‟ „penyu belimbing‟
(3) Kontoid [t] Kontoid [t] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [taʔnir] : [sadutil] : [arat]
„ikan tuna‟ „sejenis bia laut‟ „ikan lumba-lumba‟
(4) Kontoid [d] Kontoid [d] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah
: [dan sawɛl] „bia jala‟ : [widan] „udang batu‟
Akhir
: [vɛd]
„menjual‟
(5) Kontoid [k] Kontoid [k] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut.
56
Awal
: [kUstəl]
„pepaya‟
Tengah Akhir
: [faʔkikIk] : [suk]
„semut‟ „cumi-cumi‟
(6) Kontoid [f] Kontoid [f] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di awal dan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah
: [faʔn] : [lafetar]
„cacing‟ „bunga lafetar‟
(7) Kontoid [s] Kontoid [s] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [sIlbUkʔ] : [sirsir] : [kUs]
„cicak tanah‟ ‟sejenis karang‟ „kus-kus‟
(8) Kontoid [m] Kontoid [m] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [mu:uʔ] : [kamaʔtIl] : [tom]
„pisang‟ „tomat‟ „kunyit‟
(9) Kontoid [n] Kontoid [n] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal
: [nadan]
„ikan sembilan‟
Tengah Akhir
: [inahaʔ] : [rwin]
„ikan bulana‟ „ikan duyung‟
57
(10) Kontoid [l] Kontoid [l] berdistribusi lengkap karena kontoid ini ditemukan di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [lor] : [ŋilŋilan] : [kasIl]
„ikan paus‟ „lola‟ „cicak‟
(11) Kontoid [r] Kontoid [r] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [rubay] : [taʔrut] : [vur]
„ular‟ „burung „padang lamun‟
(12) Kontoid [v] Kontoid [v] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [ven] : [iva:n] : [vuv]
„penyu‟ „rumput laut‟ „bubu‟
(13) Kontoid [ŋ] Kontoid [ŋ] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah Akhir
: [ŋarun] : [taŋaŋnan] : [ŋɛŋ]
„bia mata tujuh‟ ‟bintang laut‟ „akar bahar‟
58
(14) Kontoid [ʔ] Kontoid [?] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Tengah
: [taʔrut]
„burung pombo‟
Akhir : [kahuʔ] „ikan morea‟ (15) Kontoid [h] Kontoid [h] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di awal dan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah
: [harara] : [yahau]
„ubur-ubur‟ „anjing‟
(16) Kontoid [w] Kontoid [w] berdistribusi lengkap karena kontoid ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal Tengah
: [widan] : [rwin]
„udang batu‟ „ikan duyung‟
Akhir
: [wɛw]
„ketapang‟
(17) Kontoid [y] Kontoid [y] berdistribusi tak lengkap karena kontoid ini hanya ditemukan di tengah kata dasar. Keberadaan kontoid ini dibuktikan dengan data berikut. Awal
: [yew] [yahau]
„ikan hiu‟ „anjing‟
Tabel 5.1.3 Distribusi Kontoid Leksikon Kelautan Bahasa Kei KONTOID POSISI AWAL POSISI TENGAH POSISI AKHIR + [p] + + + [b] + + + [t] + + + [d] + + + [k] + + [f] + + + [s]
59
[m] [n] [l] [r] [v] [ŋ] [ʔ] [h] [w] [y]
+ + + + + + -
+ + + + + + +
+ + + + + + +
+ + +
+ + -
+ -
5.1.3 Diftong Diftong termasuk dalam pengklasifikasian bunyi rangkap. Marsono (2008:19) mengatakan bahwa bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam satu suku kata (silabel). Diftong itu sendiri merupakan bunyi rangkap vokal. Dengan kata lain, diftong adalah pelafalan dua vokal secara serentak yang pada waktu dibunyikan satu sama lain berbeda, tetapi masih dalam kesatuan waktu sehingga terjadi proses luncuran. Dua vokal yang digabungkan itu mempunyai puncak kenyaringan yang berbeda. Dalam sistem penulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Pada umumnya diftong dibedakan atas dua, yaitu (1) diftong naik, yaitu jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada pertama. Karena lidah semakin naik, strukturnya semakin menutup sehingga diftong menutup atau pembunyian pada vokal yang kedua lebih tinggi daripada pembunyian vokal yang pertama dan (2) diftong turun, yaitu jika posisi lidah yang kedua diucapkan lebih rendah daripada yang pertama. Dalam leksikon kelautan bahasa Kei ditemukan tiga buah diftong, yaitu [ai], [ou], dan [au]. Ketiga diftong ini merupakan diftong naik karena vokal yang
60
kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada yang pertama. Posisi lidah semakin naik sehingga strukturnya semakin tertutup. Sehubungan dengan itu, disebut juga sebagai diftong tertutup. Diftong [ai], [ou], dan [au] hanya ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda). Distribusi bunyi diftong adalah adanya kemungkinan kedudukan bunyi diftong pada suatu kata dalam posisi tertentu. Posisi itu bisa di awal kata, di tengah kata, dan di akhir kata. Dalam bahasa Kei, diftong /ai/ berdistribusi lengkap karena vokal ini dapat menempati tiga posisi, yaitu di awal, di tengah, dan di akhir kata dasar, diftong /au/ berdistribusi tidak lengkap karena vokal ini hanya menempati posisi di akhir kata dasar, dan diftong /ou/ berdistribusi tidak lengkap karena vokal ini hanya menempati posisi di tengah kata dasar. Hal ini dibuktikan dengan data di bawah ini. (1) Diftong [ai] Diftong [ai] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak kenyaringan pada [a]. Contoh: [ayl] [rubay] [mahayn]
„tali dari akar kayu untuk menangkap ikan‟ ‟ular‟ „bia garu‟
(2) Diftong [au] Diftong [au] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak kenyaringan pada [a]. Contoh: [yew] [faw] [yahaw]
„ikan hiu‟ „mangga‟ „anjing‟
61
(3) Diftong [ou] Diftong [ou] merupakan diftong naik atau diftong menutup dengan puncak kenyaringan pada [o]. Contoh: [tabowb] [amowr] [towb]
„penyu belimbing‟ „tongke‟ „alat tangkap tradisional‟
Tabel 5.1.4 Distribusi Diftong Leksikon Kelautan Bahasa Kei DIFTONG POSISI AWAL POSISI TENGAH POSISI AKHIR [ai] [au] [ou] 5.2
+ -
+ +
+ + -
Pola Persukuan Leksikon Kelautan Bahasa Kei Pada umumya setiap kata yang diucapkan oleh manusia dibangun oleh
bunyi-bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal, konsonan, maupun berupa bunyi semi konsonan. Kata yang dibangun tadi dapat terdiri atas satu segmen atau lebih. Di dalam kajian fonologi segmen tersebut disebut suku. Suku kata merupakan bagian atau unsur pembentuk suku kata. Setiap suku paling tidak harus terdiri atas sebuah vokal atau merupakan gabungan antara vokal dan konsonan. Bunyi vokal di dalam sebuah suku kata merupakan puncak penyaringan atau sonority, sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku. Sebuah suku hanya memiliki sebuah puncak suku dan puncak ini ditandai dengan bunyi vokal. Lembah suku yang ditandai dengan bunyi konsonan bisa berjumlah lebih dari satu. Bunyi konsonan yang berada di depan bunyi vokal disebut tumpu suku, sedangkan bunyi konsonan yang berada di belakang bunyi vokal disebut koda suku. Jumlah suku di dalam sebuah kata dapat dihitung dengan melihat jumlah bunyi vokal yang ada dalam kata itu.
62
Selanjutnya, jika ada kata yang mempunyai dua buah bunyi vokal, maka dapat ditentukan bahwa kata itu terdiri atas dua suku kata saja. Misalnya, kata yabar „kelelawar‟, [ya?bar] adalah kata yang terdiri atas dua suku, yaitu [yA] dan [bAr]. Tiap-tiap suku mengandung sebuah bunyi vokal, yaitu bunyi [ A ]. Dari uraian kata atas suku-sukunya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jika sebuah konsonan diapit dua vokal, maka konsonan tersebut ikut vokal di belakangnya. Misalnya: uwe menjadi U – we. Kedua, jika dua konsonan diapit dua vokal, maka kedua vokal tersebut harus diceraikan. Misalnya:
silbuk,
menjadi sil – buk, dan manwer, menjadi man – wer. Dari uraian di atas, maka ada lima pola suku kata leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu suku kata berpola V, VK, KV, KVK, dan KKV. (1) Suku kata berpola V, suku kata ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal saja sebagai puncak. Contoh : ahot amor arat aat ail
a.hot a.mor a.rat a.at a.il
[a.hɔt] [a.mɔr] [a.rat] [a.at] [a.il]
uva uwe ubun ivan iwar
u.va u.we u.bun i.van i.war
[u.vaʔ] [u.wə] [u.bUn] [i.van] [i.war]
(2) Suku kata berpola VK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi vokal sebagai puncak dan sebuah bunyi konsonan sebagai koda. Contoh : inaha alihin
in.aha al.ihin
[in.ahaʔ] [al.ihIn]
63
(3) Suku kata berpola KV, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan sebagai tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak. Contoh : kiker tabob kahu bisuk
ki.ker ta.bob ka.hu bi.suk
[ki.kər] [taʔ.boub] [ka.hU] [bi.sUk]
niru nadan mahain
ni.ru na.dan ma.hain
[ni.rUʔ] [na.dan] [ma.hayn]
siru harun kari tanir karit sadutil lain widan harara kasil
si.ru ha.run ka.ri ta.nir ka.rit sa.du.til la.in wi.dan ha.ra.ra ka.sil
[si.ʔrU] [ha.rUn] [ka.ri] [ta.nir] [ka.rIt] [sa.dU.til] [la.yn] [wI.dan] [ha.ra.ra] [ka.sIl]
ya.ha rubai
ya.ha ru.bai
[ya.haʔ] [ru.bai]
karu
ka.ru
[ka.ʔru]
kabur
ka.bur
[kaʔ.bUr]
yabar
ya.bar
[yaʔ.ba:r]
wakat lalahar karin waren tananan lafetar
wa.kat la.la.har ka.rin wa.ren ta.na.nan la.fe.tar
[wa.kaʔt] [la.la.har] [ka.rIn] [wa.rən] [ta.na.nan] [la.fe.tar]
kamatil silar ramunil
ka.ma.til si.lar ra.mu.nil
[ka.maʔ.tIl] [sI.lar] [ra.mU.nIl]
tarut
ta.rut
[taʔ.rut]
bunan kular
bu.nan ku.lar
[buʔ.nan] [ku.lar]
64
(4) Suku kata yang berpola KVK, suku ini dibangun oleh sebuah bunyi konsonan sebagai tumpu suku, sebuah bunyi vokal sebagai puncak, dan sebuah bunyi konsonan sebagai koda suku. Contoh : kotbubun
kot.bu.bun
[kɔt.bu.bUn]
kalbuban
kal.bu.ban
[kalʔ.bU.ban]
kamdii
kam.dii
[kam.diʔiʔ]
dansawel sikngol
dan.sa.wel sik.ngol
[dan.sa.wɛl] [sik.ŋɔl]
karluk
kar.luk
[kar.luʔ]
yerwat silbuk mantirun kustel manwer
yer.wat sil.buk man.ti.run kus.tel man.wer
[yɛr.watʔ] [sil.bUk] [man.ti.rUn] [kUs.təl] [man.wər]
mankaba kilwar
man.ka.ba kil.war
[man.ka.baʔ] [kIl.war]
mansiwak
man.si.wak
[man.si.wakʔ]
(5) Suku kata yang berpola KKV, suku ini dibangun oleh dua buah bunyi konsonan sebagai tumpu suku dan sebuah bunyi vokal sebagai puncak suku. Contoh: blalang brisan
5.3
bla.lang bri.san
[blaʔ.laŋ] [bri.san]
Morfologi Bahasa Kei Morfologi ialah bagian ilmu bahasa yang membicarakan atau yang
mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan kata dan arti kata. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-
65
perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 1985:19). Menurut Halle (1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan yang dinamakan intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya, tetapi juga mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah (1) list of morphemes (daftar morfem/DM), (2) word formation rules (kaidah /aturan pembentukan kata/APK atau KPK), dan (3) filter (saringan, penapis, tapis) (Halle, 1973:3--8). Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam DM (daftar morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat (Dardjowidjojo, 1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya, morfem terikat adalah bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain, dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Pembentukan kata baru menurut Bauer (1983: 201) dapat dibagi menjadi sepuluh, yaitu (1) compounding, (2) prefixation, (3) suffixation, (4) conversion, (5) back formation, (6) clipping, (7) blends, (8) acronyms, (9) word manufacture, dan (10) mixed formation. Sesuai dengan pembagian pembentukan kata di atas, maka pembentukan kata dalam bahasa Kei berupa pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Menurut Ramlan (1985:45), bentuk dasar adalah satuan, baik
66
tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar. Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberikan afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses pemajemukan. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 2003:159).
5.3.1 Pengimbuhan Pengimbuhan yang ditemukan dalam bahasa Kei meliputi prefiks (awalan) yang berpola prefiks pronominal pemarkah subjek, yaitu {u-}, {mu-},{na-},{ma-}, {mi-} dan {ra-} yang mengawali bentuk dasar verba. Dengan kata lain verba dalam bahasa Kei selalu berubah bentuk sesuai dengan pronominal persona pengisi fungsi subjek yang mendahuluinya. Hal itu dapat diperhatikan pada contoh di bawah ini. (1) u +bah u + wurik
u-bah u-wurik
„saya pergi‟ „saya mencuci‟
Pemarkah u- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang pertama tunggal (Yaa „saya‟ ) dalam bahasa Kei. (2) mu +bah mu-bah „kamu pergi‟ mu + wurik mu-wurik „kamu mencuci‟ Pemarkah mu- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang kedua tunggal (O „kamu‟) dalam bahasa Kei. (3) na +bah na + wurik
na-bah na-wurik
„dia pergi‟ „dia mencuci‟
Pemarkah na- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang ketiga tunggal (I „dia‟) dalam bahasa Kei.
67
(4) ma +bah ma + wurik
ma-bah ma-wurik
„kami pergi‟ „kami mencuci‟
Pemarkah ma- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang pertama jamak (Am „kami‟) dalam bahasa Kei. (5) mi +bah mi + wurik
mi-bah mi-wurik
„kalian pergi‟ „kalian mencuci‟
Pemarkah mi- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang kedua jamak (Im „kalian‟) dalam bahasa Kei. (6) ra +bah ra + wurik
ra-bah ra-wurik
„mereka pergi‟ „mereka mencuci‟
Pemarkah ra- adalah pemarkah penunjuk pelaku untuk orang ketiga jamak (Hir „mereka‟) dalam bahasa Kei. Pada prinsipnya, jika diperhatikan contoh di atas, tampak dengan jelas adanya konsistensi pola prefiks pronominal pemarkah subjek {u-}, {mu-}, {na-}, {ma-}, {mi-}, dan {ra-} yang mengawali bentuk dasar verba /bah/ „pergi„ dan /wurik/ „mencuci„. Pemunculan prefiks pronominal tersebut dapat dikatakan berlaku mutlak (bukan opsional) atau dengan kata lain tidak dapat digantikan dengan pronomina persona secara leksikal. Misalnya, bentuk-bentuk (leksikal) pronomina persona /Yaa/ „saya„, /O/ „kamu„, /I/ „dia„, /Am/ „kami„, /Im/ „kalian„, /Hir/ „mereka„ tidak dapat berdiri sendiri di depan verba sebagai konstituen pronominal persona. Itulah sebabnya dalam bahasa Kei untuk menyatakan /kamu pergi/ tidak dapat dinyatakan dengan /O bah/, tetapi harus mengambil bentuk /O mu-bah/ „kamu pergi„. Begitu eratnya hubungan persesuaian tersebut sehingga sebagian penutur beranggapan bahwa verba bahasa Kei tidak dapat dilafalkan sebelum dilekati prefiks pronominal persona sebagai pemarkah subjek.
68
5.3.2 Pengulangan Pengulangan adalah proses pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya atau sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, serta hasil pengulangannya disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 2001). Dalam bahasa Kei ditemukan kata ulang utuh atau murni dan kata ulang sebagian dari bentuk dasar. 1) Kata Ulang Utuh atau Murni Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian perulangannya sama dengan bentuk dasar yang diulangnya. Dengan kata lain, kata ulang utuh atau murni terjadi apabila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan seutuhnya. Contoh : rahan-rahan bok-bok kot-kot
„rumah-rumah‟ „baik-baik‟ „kecil-kecil‟
2) Kata Ulang Sebagian Kata ulang sebagian adalah kata ulangi yang pengulangannya terjadi hanya sebagian dari bentuk dasar atau leksem yang diulang. Sebagian dari bentuk dasar tersebut bisa pengulangan hanya pada bagian depan ataupun bagian belakang. Contoh : fik-fikir balo-lot sim-simer
„pikir-pikir‟ „(yang) panjang-panjang‟ „pagi-pagi‟
5.3.3 Pemajemukan Pemajemukan termasuk dalam proses morfologis yang juga terdapat dalam bahasa Kei. Verhaar (2004:154) mengemukakan bahwa pemajemukan adalah
69
proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (pradasar) menjadi satu kata yang disebut “kata majemuk” atau “kompaun”. Dalam bahasa Kei juga ditemukan proses pemajemukan yang terjadi karena adanya penggabungan dua kata dasar yang berbeda. Pemajemukan dalam bahasa Kei berasal dari jenis kata yang sama dan juga dari jenis kata yang berbeda. Berdasarkan jenis kata pembentuknya, struktur kata majemuk bahasa Kei terbentuk dari formasi KB-KB, KB-KS, KK-KK, KK-KS, dan KS-KS. Berikut dipaparkan tiap-tiap formasi tersebut. 1) KB-KB sab ihin kusteil ron vuut beb
sab + ihin kusteil + ron vuut + beb
„daging sapi‟ „daun pepaya‟ „tulang ikan‟
2) KB-KS rahan laai nger balot sapat wihian
rahan+ laai nger + balot sapat + wihian
„rumah besar‟ „parang panjang‟ „sepatu using‟
3) KK-KK maba masnang leik batar mufla do
ma-ba + masnang leik + batar mu-fla + do
„kami-pergi berenang‟ „jatuh bangun‟ „kamu-lari datang‟
4) KK-KS mubah fana‟ai mutaha karatat
mu-bah + fana‟ai mu-taha + karatat
„kamu-jalan pelan-pelan‟ „kamu-pegang tinggi‟
5) KS-KS ballot ngalawar kub keit rumun kot
ballot + ngalawar kub + keit rumun + kot
„panjang lebar‟ „gemuk pendek‟ „badan kecil‟
5.4
Klasifikasi Bentuk-Bentuk Leksikon Kelautan secara Morfologi Kridalaksana (1996:126) membedakan istilah kata dan leksem. Di dalam
tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan
70
dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksemlah merupakan “bahan
yang
dasar”
yang
telah
mengalami
“pengolahan
gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika. Lyons (1995:23) menyatakan “lexemes are the words that a dictionary would list under a separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem WALK „berjalan‟ akan dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked, walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena katakata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem WALK. Huruf kapital digunakan untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij, 2007:3). Dengan demikian, menurut Matthews (1974:22), leksem dan kata dapat dibedakan, yaitu leksem sebagai unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan unit konkret yang digunakan dalam kalimat dan sebagai satuan yang memiliki makna dan terdiri atas satu morfem atau lebih. Dengan demikian, secara morfologi diketahui bahwa satuan lingual leksikon kelautan bahasa Kei di Ohoi Warbal berupa kata, yang terbagi menjadi kata monomorfemis, bentuk ulang, dan kata majemuk. Berikut dijelaskan leksikon-leksikon tersebut.
5.4.1 Leksikon Kelautan yang Berwujud Kata Monomorfemis Ada 81 leksikon yang berwujud kata monomorfemis atau kata dasar. Adapun leksikon kelautan yang berwujud kata monomorfemis adalah sebagai berikut.
71
Tabel 5.4.1 Leksikon Kelautan Bahasa Kei Berwujud Monomorfemis Kategori Kategori Kata No Leksikon Gloss Lingkungan Biotik Abiotik N V Adj 1 uva ikan kulit pasir + + 2 iwar ikan mata bulan + + 3 kiker ikan garopa + + 4 mon ikan kakatua + + 5 kahu ikan morea + + 6 tabob penyu belimbing + + 7 rwin ikan duyung + + 8 ahot ikan layar + + 9 ye‟e ikan hiu + + 10 lor ikan paus + + 11 arat lumba-lumba + + 12 bisuk ikan balobo + + 13 aat ikan lema + + 14 niru ikan tembang + + 15 nadan ikan sembilan + + 16 kon kapas-kapas + + 17 inaha ikan bulana + + 18 ngam ikan kepala batu + + 19 tanir ikan tuna + + 20 harun udang batu + + 21 siru ikan serui + + 22 kari ikan samandar + + 23 mahain bia garu + + 24 kamdii bia jalar + + 25 bib keraka kecil + + 26 suk cumi-cumi + + 27 sadutil sejenis bia laut + + 28 karit gurita + + 29 far ikan pari + + 30 hangar karang cincin + + 31 ven penyu + + 32 widan udang batu + + 33 lain ikan suanggi + + 34 uwe buaya + + 35 kasil cicak + + 36 yaha anjing + + 37 vav babi + + 38 kus kus-kus + + 39 rubai ular + + 40 sit kucing + + -
72
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
karu fan kabur yabar ngeng ivan vur ubun wakat amor talumur kawuka nur karin waren rii lafetar dab muu kustel barisan kamatil silar tom fa‟a wew kat sum tarut ngur bunan wat snar alihin tob vuv ven Ail
79
lot
80 81
sawilat kular
tikus cacing lalat kelelawar akar bahar rumput laut padang lamun lamu-lamu bakau tongke bunga jamur buah kawuka kelapa daun tikar sejenis rumput alang-alang bunga lafetar bunga lidi pisang pepaya cabai tomat jagung kunyit mangga ketapang burung camar burung pombo burung bangau pasir lumpur batu tasi kail tombe bubu sero tali dari akar kayu untuk menangkap ikan kail dan senar yang dipasang besi jala daun kelapa yang disusun berbentuk U untuk menjebak ikan
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
-
-
-
+
+
-
-
-
+ +
+ +
-
-
73
Semua leksikon di atas berwujud kata monomorfemis karena leksikon tersebut hanya dibentuk oleh satu morfem. Sebagai contoh, leksikon tanir, ven, ramunil, yer wat, dan kat tidak bisa diuraikan lagi menjadi bentuk morfologis yang lebih kecil karena keenam leksikon tersebut memang hanya memuat satu morfem. Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei, keenam leksikon tersebut dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun contoh tuturannya sebagai berikut. (1) Mu-na tanir i do vo u-livan pp2T-ambil ikan tuna itu datang untuk 1T-goreng „Ambillah ikan tuna itu untuk saya goreng‟ (2) Hir ravur ven vel naa tahait 3J memotong penyu sana di pantai „Mereka memotong penyu di pantai‟ (3) Yance ni rinan na-waik mahain hof ramunil Yance punya mama pp3T-masak bia garu dengan serei „Ibu Yance memasak bia garu dengan serei‟ (4) Yer wat naa tahait vel tang bi-tai haid karang di pantai sana jangan pp2J-injak jangan „Janganlah menginjak karang di laut‟ (5) Iden yaa yoot kat ain Kemarin 1T dapat burung camar satu „Saya mendapat seekor burung camar‟ Pada leksikon yang berwujud kata monomorfemis (kata dasar) di atas, hanya ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda). Adanya keseragaman kategori sebagai nomina dapat dipahami karena seluruh leksikon tersebut mengacu pada nama-nama ikan, tumbuhan, dan burung di laut dan di sekitarnya. 5.4.2 Leksikon Kelautan yang Berwujud Bentuk Ulang Bentuk ulang sebenarnya bukan bentuk dari proses pengulangan, tetapi menyerupai kata ulang karena bentuk dasarnya mirip dengan kata ulang karena
74
bentuk ini tidak mempunyai bentuk dasar (Kridalaksana, 1996). Dengan perkataan lain, kata yang menurut bentuknya tergolong kata ulang, tetapi sebenarnya bukan kata ulang sebab tidak ada bentuk dasar yang diulang. Misalnya, kupu-kupu, kurakura, ubur-ubur, laba-laba, dan paru-paru. Dengan demikian, bentuk ulang merupakan kata dasar, bukan hasil dari proses pengulangan. Dalam leksikon kelautan bahasa Kei ditemukan lima leksikon kelautaan yang berwujud bentuk ulang utuh pada kata dasar yang maknanya hanya dalam tataran leksikon. Adapun leksikon kelautan yang berwujud bentuk ulang adalah sebagai berikut. Tabel 5.4.2 Leksikon Kelautan Bahasa Kei yang Berwujud Bentuk Ulang No Leksikon Gloss 1 bin-bin ikan biji nangka 2 saf-saf sejenis bia yang berbentuk kapak 3 kan-kan nyamuk 4 fan-fan panahan ikan 5 tuk-tuk alat tangkap teripang Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei leksikon bin-bin, saf-saf, kankan, fan-fan, dan tuk-tuk dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun contoh tuturannya adalah sebagai berikut. (1) Mu-war fan-fan vel do vo ta-ba ta-van vuut pp2T-bawa panahan ikan sana datang untuk pp1J-pergi pp1J-panah ikan „Bawalah panahan itu kemari untuk kita pergi memanah ikan‟ (2) Kan-kan naa rahan i kasar li Nyamuk di rumah ini banyak sekali „Nyamuk di rumah ini banyak sekali‟ (3) I naot tub yaa nung tuk-tuk naa danbe? 3T buat taruh 1T punya alat tangkap teripang di mana? „Di mana dia meletakkan alat tangkap teripang saya?‟
75
5.4.3 Leksikon Kelautan yang Berwujud Kata Majemuk . Kata majemuk berasal dari penggabungan unsur-unsur yang menjadi satu dan membentuk makna baru, yang merupakan hasil dari proses pemajemukan (Verhaar, 2004). Misalnya, lalu lintas, rumah sakit, dan meja hijau dalam bahasa Indonesia; bluebird, greenhouse, dan blackboard dalam bahasa Inggris. Tata bahasa struktural menyatakan bahwa pemajemukan disebut sebagai kata majemuk apabila di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat disisipkan apa-apa tanpa merusak pemajemukan tersebut. Ada delapan leksikon kelautan yang berwujud kata majemuk. Leksikon tersebut berwujud kata majemuk karena merupakan gabungan dua kata atau lebih. Leksikon eb sus, eb nawai, eb kurungur, dan sawel, yer wat, manwut tahait, bung ler, dan daun nas merupakan gabungan beberapa kata yang kemudian membentuk kata majemuk. Leksikon eb sus terbentuk dari kata eb dan kata sus; eb nawai terbentuk dari kata eb dan kata nawai; eb kurungur terbentuk dari kata eb dan kata kurungur; dan sawel terbentuk dari kata dan dan kata sawel; yer wat terbentuk dari kata yer dan kata wat; manwut tahait terbentuk dari kata manwut dan kata tahait; bung ler terbentuk dari kata bung dan kata ler ; dan daun nas terbentuk dari kata daun dan kata nas. Adapun leksikon-leksikon tersebut adalah sebagai berikut.
No
1 2 3
Tabel 5.4.3 Leksikon Kelautan Bahasa Kei yang Berwujud Kata Majemuk Leksikon Gloss Unsur Pembentuk Unsur Pewatas Kategori Inti eb sus teripang susu N sus Nomina eb nawai teripang gosok N nawai Nomina eb kurungur teripang pasir N kurungur Nomina
76
4 5 6 7 8
dan sawel manwut tahait yer wat bung ler daun nas
bia jala bunga karang karang batu bunga matahari daun nasi
N N N N N
sawel tahait wat ler nas
Nomina Nomina Nomina Nomina Nomina
Pada tabel di atas, kata eb, dan, daun, yer, bung, dan manwut merupakan unsur inti atau induk, sedangkan kata sus, nawai, nas, sawel, tahait, wat, ler, dan kurungur merupakan pewatas. Dalam tuturan lisan guyub tutur bahasa Kei, leksikon-leksikon tersebut dapat berdistribusi secara bebas dalam kalimat. Adapun contoh tuturannya adalah sebagai berikut. (1) Dan sawel bias ra-tub naa wat tinan Bia jala biasa pp3J-tidur di batu bawah „Bia garu biasanya terletak di bawah batu‟ (2) Am mana daun nas vel fo ma-waik kukat 1J ambil daun nasi sana untuk pp1J-masak nasi „Kami mengambil daun nasi untuk memasak nasi‟ (3) Koko kikot ra-na eb sus naa hot raan vel Anak-anak kecil pp3J-ambil teripang susu di teluk dalam sana „Anak-anak mengambil teripang susu di dalam teluk‟ (4) Vuut kasar li naa manwut tahait Ikan banyak sekali di bunga karang „Banyak ikan di bunga karang‟ (5) Tang bi-fan vuut naa yer wat haid Jangan pp2J-panah ikan di karang batu jangan „Janganlah menangkap ikan di karang batu‟ Pada leksikon yang berwujud kata majemuk di atas, hanya ditemukan satu kategori, yaitu kategori dalam bentuk nomina (kata benda). Adanya keseragaman kategori sebagai nomina dapat dipahami karena seluruh leksikon tersebut mengacu pada nama-nama ikan, tumbuhan, dan burung di laut dan di sekitarnya.
77
BAB VI PEMAHAMAN DAN KEBERTAHANAN LEKSIKON KELAUTAN GUYUB TUTUR KEI
6.1
Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan Masyarakat Ohoi Warbal Tingkat pengetahuan tentang leksikon kelautan bahasa Kei masyarakat Ohoi
Warbal dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap lingkungan (ekologi) tersebut. Sehubungan dengan itu, masyarakat Ohoi Warbal sebagai pemilik dan pengguna tentunya telah berinterelasi dan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga memiliki pengetahuan, konsep, dan ideologi yang lahir dan terbangun dalam komunitas lingkungannya pula, yaitu secara khusus pengetahuan leksikonleksikon kelautan. Hal ini senada dengan pendapat Sapir (dalam Fill, 2001) bahwa “kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya merupakan gambaran tentang kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alam lewat leksikon-leksikon yang dihasilkan. Pandangan Sapir ini menjadi alasan untuk mengadakan tes kompetensi. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat Ohoi Warbal tentang leksikon kelautan. Kondisi lingkungan ragawi turut memengaruhi kekayaan alam dan tingkat pengetahuan masyarakat Ohoi Warbal tentang objek atau benda yang ditemukan. Pengenalan, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam adalah fakta interaksi, interelasi, dan interdepedensi masyarakat Ohoi Warbal sebagai penutur bahasa Kei dengan lingkungan kelautan itu dikodekan secara lingual dalam wujud leksikon-leksikon kelautan. Ada 131 jenis leksikon kelautan yang diujikan kepada informan. Semua jenis leksikon tersebut terbagi atas tujuh kelompok yang sering digunakan dalam
78
keperluannya sesuai dengan kekayaan guyub tutur (speech community). Tujuan pengujian adalah untuk mendapat gambaran yang lebih deskriptif tentang tingkat pengetahuan leksikon kelautan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia yang ada di Ohoi Warbal. Ada empat pilihan jawaban yang diajukan kepada informan untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, yaitu sebagai berikut. (A) Tahu, kenal, dan referennya masih banyak ditemukan (B) Tahu, kenal, dan referennya sedikit/langka (C) Tahu, kenal, tetapi referennya sudah hilang/punah (D) Sama sekali tidak kenal Informan yang diuji dalam penelitian ini berjumlah sembilan puluh orang yang bermukim di pesisir pantai Ohoi Warbal. Informan terdiri atas kelompok pria dan wanita usia di atas 46 tahun (KPW usia di atas 46 tahun), kelompok pria dan wanita usia 25--45 tahun (KPW usia 25--45 tahun), dan kelompok pria dan wanita usia 15--24 tahun (KPW usia 15--24 tahun). Tiap kelompok jenis kelamin dan usia berjumlah tiga puluh informan. Penentuan tingkat pemahaman leksikon kelautan masyarakat Ohoi Warbal didasarkan pada pilihan jawaban “D” (sama sekali tidak kenal) dan jawaban “A” (tahu, kenal, dan referennya masih banyak ditemukan) yang diajukan kepada informan. Istilah kenal bermakna informan dapat mendeskripsikan ciri-ciri leksikon, pernah melihat, mendengar, dan menggunakan leksikon tersebut. Untuk lebih jelasnya, pada grafik di bawah ini digambarkan tingkat pemahaman informan terhadap tujuh kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal.
79
Chart Title 1 Ikan dan Hewan Lain di Dasar Laut 2 Hewan di Sekitar Laut 3 Tumbuhan di Dasar Laut 4 Tumbuhan di Tepi Laut 5 Burung di Sekitar Laut 6 Benda Mati di Dalam dan Tepi Laut 7 Alat Penangkap Ikan Tradisional
Pada grafik di atas, digambarkan kelompok leksikon yang sangat tinggi atau sering digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut. Hal ini dibuktikan dengan semua atau 100 % informan tahu, kenal, digunakan dalam keseharian, dan menyatakan referennya masih banyak ditemukan, kemudian diikuti oleh kelompok leksikon ikan dan hewan lain di dasar laut 93 %, kelompok leksikon hewan di sekitar laut 87 %, kelompok benda mati di dalam dan tepi laut 83,3 %, alat penangkap ikan tradisional 83,3 %,
dan
kelompok leksikon tumbuhan di sekitar laut 82,1 %. Di pihak lain, kelompok leksikon yang rendah atau jarang digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon burung di sekitar laut, yaitu sebanyak 43 %. Tingkat pemahaman kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut oleh informan sangat tinggi karena kelompok leksikon ini digunakan oleh masyarakat
80
Ohoi Warbal dalam keseharian, misalnya leksikon ivan „rumput laut‟ diolah menjadi bahan makanan dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Selain itu, leksikon ubun „lamu-lamu‟ digunakan untuk membersihkan sampan dan perahu. Di pihak lain, referen kelompok leksikon tumbuhan di dasar laut masih banyak ditemukan dan sering di gunakan dalam keseharian sehingga terkonsep dalam pikiran masyarakat Ohoi Warbal, sedangkan tingkat pemahaman yang rendah atau jarang digunakan oleh informan adalah kelompok leksikon burung di sekitar laut, hal ini dipengaruhi oleh perluasan lahan untuk perumahan dan pertanian serta tingginya aktivitas petani budidaya rumput laut di laut menyebabkan referen leksikon-leksikon tersebut sudah jarang ditemukan karena lingkungan tempat hidupnya jauh dari pemukiman.
6.1.1 Pemahaman Ikan dan Hewan Lain di dalam Laut Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang ikan dan hewan lain di dalam laut, diujikan 57 leksikon kepada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal. Leksikon ngilngilan /ŋilŋilan/ „lola‟ adalah sejenis hewan laut yang berbentuk cangkang. Hewan ini memiliki nilai gizi yang sangat tinggi. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya, leksikon ngilngilan /ŋilŋilan/ dikenal oleh semua informan, bahkan, 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari ke-30 informan, 80 % informan menjawab „D‟ dan 13,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, ditemukan 13,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan, 80 % informan menjawab „A‟.
81
Hasil tes kompetensi Leksikon kotbubun /kɔtbubun/ „japing-japing‟. terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun menunjukan bahwa tidak ada yang menjawab „D‟ atau leksikon kotbubun dikenal oleh semua informan. Bahkan, 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari ke-30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan ditemukan 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan, 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon uva /u:vaʔ/ „ikan kulit pasir‟ adalah jenis ikan yang kulitnya seperti pasir. Jenis ikan ini paling sering dikonsumsi oleh masyarakat Ohoi Warbal di samping dijual di pasar. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1 diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon uva, bahkan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon uva, bahkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon eb sus /ebʔ sUs/ „teripang susu‟ adalah jenis teripang yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Teripang jenis ini biasanya dibeli oleh pengusaha-pengusaha di kota Langgur dan Tual. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon eb sus, bahkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 13,3 %
82
informan menjawab „D‟ sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, 10 % informan menjawab „D‟ sedankan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon eb nawai /ebʔ naway/ ‟teripang gosok‟ adalah jenis teripang yang hampir sama dengan teripang susu. Teripang ini juga memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Biasanya teripang ini merupakan bahan makanan pengusaha Cina. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon eb nawai, bahkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal eb nawai, dan 90 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon berikutnya adalah iwar /iwar/ „ikan mata bulan‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon iwar sedangkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon iwar sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, yang menjawab „D‟ sebanyak 10 %, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon lainnya adalah foo /fɔ:/ „ikan sakuda‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.1, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan
83
menjawab „D‟, dan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal
leksikon
foo,
sedangkan
informan
yang
menjawab
„A‟
ditemukan sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 6,7 %
informan
menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan yang menjawab
„A‟. Leksikon kiker /kIkɛr/ „ikan garopa‟ adalah jenis ikan batu yang banyak digemari oleh masyarakat Ohoi Warbal. Selain itu, juga biasanya dibeli oleh orang Taiwan, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kiker, bahkan yang menjawab „A‟ sebanyak 90 % informan. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟ sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk
KPW
usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kiker, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon mon /mon/ „ikan kakatua‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon mon, bahkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon mon dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan ada 1 orang (3,3 %) informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟.
84
Leksikon kahu /kahU/ „ikan morea‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kahu, bahkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon leksikon kahu dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Leksikon taboub /tabowb/ „penyu belimbing‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon taboub, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon leksikon taboub dan 100% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon taboub dan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon rwin /rwIn/ „ikan duyung‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan
menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30
informan, 36,7 % informan menjawab „D‟ dan 43,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 90 % informan menjawab „D‟ dan 10 % informan menjawab „A‟. Leksikon ahot /ahɔt/ „ikan layar‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
85
informan mengenal leksikon leksikon ahot dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon ahot dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon ahot, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon yee /yeʔ/ „ikan hiu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon yee dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon yee, dan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon yee, dan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Leksikon loor /lo:r/ „ikan paus‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon loor, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan ditemukan 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan, 86,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon loor, bahkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon arat /arat/ „ikan lumba-lumba‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua
86
informan mengenal leksikon arat, bahkan informan yang menjawab „A‟ ditemukan sebanyak 90 %. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ ditemukan sebanyak 70 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 13,3 % informan
menjawab „D‟, sedangkan, 73,3 % informan
menjawab „A‟. Leksikon bisuk /bisUk/ „ikan balobo‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahu 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 73,3 %. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon bisuk, bahkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak
96,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan,
diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, dan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon aat /aʔat/ „ikan lema‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan
menjawab
„A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui, 6,7 %
informan menjawab „D‟ , sedangkan, 96,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 13,3 %
informan
yang
menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Leksikon niru /nirUʔ/ „ikan tembang‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ , sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui
87
tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon kalbuban /kalʔbuban/ „ikan hias‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 63,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon bin-bin /binʔbin/ „ikan biji nangka‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, sedangakan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon bin-bin dan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon ngam /ŋam/ „ikan kepala batu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 46,7 % informan menjawab „D‟ dan 53,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 46,7 % informan menjawab „D‟ dan 50 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15-24 tahun, diketahui 70 % informan menjawab „D‟, sedangkan 20 % informan menjawab „A‟.
88
Leksikon kon /kɔn/ „ikan kapas-kapas‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kon, bahkan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon inaha /inahaʔ/ „ikan bulana‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon inaha, bahkan 70 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon inaha, bahkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon inaha dan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon nadan /nadan/ „ikan sembilan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nadan, bahkan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nadan, bahkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nadan dan 86,7 % informan menjawab „A‟.
89
Leksikon mahain /mahayn/ „bia garu‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon mahain dan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ , sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon lanuran /lanuran/ „ikan bubara‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon lanuran, dan 86,7 informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟diketahui 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon lanuran, dan 80 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon tanir /taʔnir/ „ikan tuna‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan, diketahui bahwa tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon tanir dan 93,3 informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 3,3, % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 90 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon tanir dan 90 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon harun /harUn/ „udang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan
90
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun, sedangkan informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun, sedangkan, 76,7 % informan yang menjawab „A‟ berjumlah 86,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon harun, bahkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon siru /siʔrU/ „ikan serui‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon siru, sedangkan 76,7 informan yang menjawab „A‟ berjumlah 76,7 %. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan, 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 66,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Leksikon kari /kariʔ/ ikan samandar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari, dan 86,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 90 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon kari dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon ngarun /ŋarun/ „bia mata tujuh‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada
91
yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon ngarun, bahkan 93,3 informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15-24 tahun, dari 30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 63,3 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon kamdii /kamdiʔiʔ/ „bia jalar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 13,3 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, ditemukan 23,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 76,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan ditemukan 36,7 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 60 %. Leksikon saf-saf /saf-saf/ „bia mancadu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon saf-saf, bahkan 90 informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon safsaf, sedangkan informan yang menjawab „D‟ diketahui sebanyak 83,3 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ , sedangkan 80 %) informan menjawab „A‟. Leksikon bib /bIb/ „keraka kecil‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon bib dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk
92
KPW 25--45 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon dansawel /dansawɛl/ „bia jala‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon dansawel dan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon dansawel dan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon dansawel dan 90 % informan menjawab „A‟. Leksikon suk /sUk/ „ikan sontong‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon suk dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon suk dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon karit /karIt/ „gurita‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun,
93
diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon sadutil /sadUtil/ „sejenis bia laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun diketahui 10% informan yang menjawab „D‟ dan 70 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon sik ngol /sik ŋɔl/ „keraka‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 %) informan menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon karluk /karluʔ/ „kuda laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 10% informan yang menjawab „D‟ dan 70 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal leksikon karluk dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 6,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon bwin /bwIn/ „sejenis bia laut‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan menjawab „D‟
94
dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon vuut dom /vuʔut dom/ „ikan tuna‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon vuut dom dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon far /far/ „ikan pari‟. Pada tabel 6.1.1tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui bahwa tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 %) informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada informan menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon far dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon lain /layn/ „ikan suanggi‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 10 % informan yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 13,3 % informan menjawab „D‟ dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 33,3 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan yang menjawab „A‟.
95
Leksikon ven /vən/ „penyu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon eb kurungur /eb kuruŋur/ „teripang pasir‟. Pada tabel 6.1.1 tergambar bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, ditemukan 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui dari 30 informan, 20 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 26,7 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon widan /wIdan/ „udang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 10 % yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Leksikon hangar /haŋar/ „karang cincin‟ Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon hangar dan 90 % informan menjawab „A‟.
96
Leksikon sirsir /sirsir/ „karang piring‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon yer wat /yer wat/ „karang batu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan
73,3 % informan
menjawab „A‟. Leksikon hangarten /haŋartɛn/ „sejenis karang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon harara /harara/ „ubur-ubur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟.
97
Leksikon nguran /ŋuran/ „udang merah‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 26,7 % menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon ngaran /ŋaran/ „udang putih‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon rawrawut /rawrawUt/ „duri babi‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 16,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon tangangnan /taŋaŋnan/ „bintang laut‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW 25--45 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
98
6.1.2 Pemahaman Hewan di Sekitar Laut Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang hewan di sekitar laut, diujikan lima belas leksikon yaitu uwe /uwə/ „buaya‟, kasil /kasIl/ „cicak‟, silbuk /sIlbUkʔ/„cicak tanah‟, yaha /yahaʔ/ „anjing‟, vav /vav/„babi‟, kus/kUsʔ/ „kus-kus‟, rubai/rubai/ „ular‟, sit/sIt/„kucing‟, karu /kaʔru/ „tikus‟, fan /faʔn/ „cacing‟, fakikik /faʔkiʔkIk/„semut‟, kankan /kankan/ „nyamuk‟, blalang /bla:lang/ „belalang‟, kabur /kaʔbUr/ „lalat‟, dan yabar /yaʔba:r / „kelelawar‟. Kelima belas leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, KPW di atas 46 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 53,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 40 % informan menjawab „D‟ dan 46,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 86,7 % informan menjawab „D‟ dan 13,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon kasil /kasIl/ „cicak‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % menjawab „D‟,sedangkan informan yang menjawab „D‟ diketahui sebanyak 80 %.
99
Leksikon silbuk /sIlbUkʔ/ „cicak tanah‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke30 informan diketahui 10 % informan yang menjawab „D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 16,7 %) menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 76,7 %. Leksikon yaha /yahaʔ/ „anjing‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon vav /vav/ „babi‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan yang menjawab „A‟. Leksikon kus /kUsʔ/ „kus-kus‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30
100
informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 86,7 % menjawab „D‟, sedangkan 10 % informan menjawab „A‟ Leksikon rubai /rubay/ „ular‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon sit /sIt/ „kucing‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Leksikon karu /kaʔru/ „tikus‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 13,3 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon fan /faʔn/ „cacing‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2 diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟,
101
sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon fakikik /faʔkikIk/ „semut‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon kankan /kankan/ „nyamuk‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon blalang /blaʔlang/ „belalang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
102
Leksikon kabur /kaʔbUr/ „lalat‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 23,3 % menjawab „D‟, sedangkan70 % informan menjawab „A‟. Leksikon yabar /yaʔbar/ „kelelawar‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.2, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „D‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 13 % menjawab „D‟, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟.
6.1.3 Pemahaman Tumbuhan di Dasar Laut Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang tumbuhan di dasar laut, diujikan enam leksikon, yaitu ngeng /ŋeŋ/ „akar bahar‟, ivan /iva:n/ „rumput laut‟, vur /vur/ ‟padang lamun‟, babat /ba:bat/ „bunga karang‟, manwut tahait / manwut tahait/ „bunga karang daun‟, dan ubun /ubUn/ „lamu-lamu‟. Enam leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal. Leksikon ngeng /ŋeŋ/ „akar bahar‟ adalah sebutan untuk tumbuhan yang berupa ranting kayu berwarna hitam yang biasanya dibuat gelang tangan dan hiasan dinding (setelah dipanaskan). Berdasarkan data pada tabel 6.1.3, diketahui
103
bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon ngeng, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon ivan /iva:n/ „rumput laut‟ merupakan sejenis rumput laut yang hidupnya di laut dangkal. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „D‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 13,3 % menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon vur /vur/ „padang lamun‟ adalah sejenis tumbuhan di dasar laut. Berdasarkan data pada tabel 6.1.3 diketahui semua informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan, diketahui 3,3 informan yang menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon babat /ba:bat/ „bunga karang‟ adalah sejenis karang berbentuk bunga yang biasanya sebagai tempat hidup sekumpulan ikan. Berdasarkan data pada tabel 6.1.3 diketahui bahwa semua informan KPW di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia
104
25--45 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 66,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon manwut tahait /manwut tahayt/ adalah sejenis karang berbentuk daun yang biasanya sebagai tempat hidup sekumpulan ikan. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari ke-30 informan, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan informan menjawab „A‟ diketahu sebanyak 56,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon ubun /ubUn/ „lamu-lamu‟ adalah sejenis rumput laut yang tumbuh di dasar laut yang berlumpur. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Banyaknya jumlah informan yang mengenal leksikon tumbuhan di dasar laut menandakan tingginya interaksi manusia dengan alam. Di samping itu, juga menunjukkan bahwa kondisi ekologi kelautan di Ohoi Warbal belum banyak mengalami perubahan.
105
6.1.4 Pemahaman Tumbuhan di Tepi Laut Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang tumbuhan di tepi laut, diujikan dua puluh delapan leksikon, yaitu wakat /wakaʔt/ „bakau‟, talumur /taʔlumur/ „bunga jamur‟, lalahar /lalahar/ „sejenis buah‟, amor /amo:r/, „tongke‟, kawuka /kawUkaʔ/ „buah kawuka‟, nur /nUr/ „kelapa‟, karin /karIn/ „daun tikar‟, warbanglu /warbaŋlU/ „sejenis bunga mawar‟, waren /warən/ „rumput pisau‟, kabutbutur /kabutbUtur/ „rumput duri babi‟, rii /ri:iʔ/ „alang-alang‟, lafetar /lafetar/ „bunga lafetar‟,
tananan /tananan/
„bunga kupu-kupu‟, dab /dabʔ/
„bunga lidi‟, bung ler /bUŋ lɛr/ „bunga matahari‟, bung mawar /bUŋ mawar/ „bunga mawar‟, bung sapat /bUŋ sapat/ „bunga sepatu‟, mantirun /mantirUn/ „terong‟, muu /muuʔ/ „pisang‟, kustel /kUstel/ ‟pepaya‟, barisan /barIsan/ „cabai‟, kamatil /kamaʔtIl/ „tomat‟, silar /sIlar/ „jagung‟, tom /tœm/ „kuning‟, daun nas /daun nasʔ/ „daun nasi‟, ramunil /ramUnIl/ „daun serai‟, fau /faw/ „mangga‟, dan wew /wɛw/ „ketapang‟. Dua puluh delapan leksikon ini diujikan pada 30 informan untuk tiap kelompok jenis kelamin dan usia di Ohoi Warbal. Leksikon wakat /wakaʔt/ „bakau‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30
106
informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7% informan menjawab „A‟. Leksikon talumur /taʔlumur/ „bunga jamur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 43,3% informan menjawab „D‟ dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 50 % informan menjawab „D‟ dan 30 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan ditemukan 50 % menjawab „D‟ sedangkan informan yang menjawab „A‟ diketahui sebanyak 30 %. Leksikon amor /amo:r/ „tongke‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal leksikon amor dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon lalahar /lalahar/ „buah kira-kira‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟.
107
Leksikon kawuka /kawUkaʔ/ „buah kawuka‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.4, diketahui dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟ dan 93,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Leksikon nur /nUr/ „kelapa‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon nur, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Leksikon karin /karIn/ „daun tikar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 23,3 % menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „D‟ ditemukan sebanyak 66,7 %. Leksikon warbanglu /warbaŋlU/ „sejenis bunga mawar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
108
51,7 % informan menjawab „D‟ dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 63,3 % menjawab „D‟ dan 30 % informan menjawab „A‟. Leksikon waren /warən/ „rumput pisau‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟ dan 66,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 23,3 % yang menjawab „D‟, sedangkan 63,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon kabutbutur /kabutbUtur/ „rumput duri babi‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 26,7 % informan menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 73,3 % menjawab „D‟ dan 23,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon rii /ri:iʔ/ „alang-alang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 10 % yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
109
Leksikon lafetar /lafetar/ „bunga lafetar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon tananan /tananan/ „bunga kupu-kupu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon dab /dabʔ/ „bunga lidi‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan informan menjawab „A‟ adalah sebanyak 80 %. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ adalah sebanyak 76,7 %. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon bung ler /bUŋ lɛr/ „bunga matahari‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,
diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
3,3 % informan menjawab „D‟ dan 83,3 % informan yang menjawab „A‟. Untuk
110
KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % menjawab „D‟ sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon bung mawar /bUŋ mawar/ „bunga mawar‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „D‟. Leksikon bung sapat /bUŋ sapat/ „bunga sepatu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon mantirun /mantirUn/ „terong‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % yang menjawab „D‟, dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟.
111
Leksikon muu /muuʔ/ „pisang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon kustel /kUstel/ ‟pepaya‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 10 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon barisan /barIsan/ „cabai‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahwa 86,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon kamatil /kamaʔtIl/ „tomat‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4,diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 %
112
informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon silar /sIlar/ „jagung‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon tom /tœm/ „kuning‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.4, diketahui bahwa dari 30 informan KPW di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon daun nas /daun nasʔ/ „daun nasi. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % informan yang menjawab „D‟ dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan ditemukan 6,7 % menjawab „D‟ dan 80 % informan menjawab „A‟. Leksikon ramunil /ramUnIl/ „daun serai‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--
113
45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon fau /faw/ „mangga‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 %) informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon wew /wɛw/ „ketapang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan ditemukan 3 orang (10 %) menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟.
6.1.5 Pemahaman Burung di Sekitar Laut Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang burung di sekitar laut, diujikan tujuh leksikon, yaitu kat /katʔ/ „burung camar‟, manwer /manwer/ „bebek laut‟, sum /sUm/ „burung bangau‟, mansiwak /mansiwaʔ/ „burung gereja‟,
114
tarut /taʔrut/ „burung pombo‟, kilwar /kilwar/ „burung ciu‟, mankaba /mankabaʔ/ „burung laut‟ Leksikon kat /katʔ/ „burung camar‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 6,7 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon manwer /manwer/ „bebek laut‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 10 % informan menjawab „D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 10 % menjawab „D‟ , sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon sum /sUm/ „burung bangau‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.5, diketahui dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon sum, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ atau semua informan mengenal leksikon sum, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟. Artinya, semua informan mengenal leksikon sum dan 76,7 % informan menjawab „A‟.
115
Leksikon mansiwak /mansiwaʔ/ „burung gereja‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.5, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 53,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 36,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 60 % informan menjawab „D‟, dan 36,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon tarut /taʔrut/ „burung pombo‟. Berdasarkan tabel 6.1.5, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon tarut, dan 86,7 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 56,7 % informan menjawab „D‟, dan 33,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon kilwar /kilwar/ „burung ciu‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon kilwar, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟.
Untuk KPW usia 25--45 tahun, 10 % informan
menjawab „D‟ dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 20 % informan menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon mankaba /mankabaʔ/ „burung laut‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 23,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan informan yang menjawab „A‟ sebanyak 46,7 %. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 50 % informan
116
menjawab „D‟ dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 53,3 % menjawab „D‟, dan 13,3 % informan menjawab „A‟.
6.1.6 Pemahaman Benda Mati (Abiotik) di Dalam dan Tepi Laut Lingkungan biotik dan lingkungan abiotik memiliki keterkaitan yang sangat erat untuk mendukung kehidupan suatu ekosistem dapat berjalan dengan baik. Lingkungan abiotik adalah bagian tak hidup dari suatu sistem, sehingga dalam interaksinya sudah pasti mempengaruhi lingkungan biotik. Dengan demikian, dalam penggunaan bahasa tergantung juga pada leksikon lingkungan abiotik yang berada di sekitar masyarakat. Untuk mengetahui tingkat pemahaman informan tentang benda mati (abiotik) di dalam dan tepi laut, diujikan enam leksikon, yaitu ngur /ŋur/ „pasir‟, yerwat /yɛrwatʔ/ „karang‟, bunan /buʔnan/ „lumpur‟, wat /watʔ/ „batu‟, wat apung /watʔ apuŋ/ „batu apung‟, karet ihin /karət ihΙn/ „kulit bia‟ Leksikon ngur /ŋur/ „pasir‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟ dan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Leksikon yerwat /yɛrwatʔ/ „karang‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100
117
% informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Leksikon bunan /buʔnan/ „lumpur‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 16,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui 23,3 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon wat /watʔ/ „batu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Leksikon wat apung /watʔ apuŋ/ „batu apung‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari ke-30 informan diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟ , sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon karet ihin /karət ihΙn/ „kulit bia‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.6 diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui
118
tidak ada menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 10 % informan menjawab „D‟, sedangkan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 56,7 % informan menjawab „D‟, dan 26,7 % informan menjawab „A‟.
6.1.7 Pemahaman Alat Penangkap Ikan Tradisional di Lingkungan Kelautan Kondisi geografis Ohoi Warbal yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat Ohoi Warbal adalah nelayan. Oleh karena itu, pekerjaan penangkapan
ikan sangat berkembang dan alat-alat penangkap ikan yang
digunakan juga sangat berkembang dan beranekaragam, walaupun alat-alat penangkap ikan modern yang mencapai efektivitas tinggi, tetapi alat-alat penangkap ikan tradisional masih tetap digunakan oleh masyarakat Ohoi Warbal. Leksikon snar /snar/ „tasi‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.7, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, bahkan 100 % informan menjawab „A‟. Leksikon alihin /alihin/ „kail‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui 3,3 % informan menjawab „D‟, sedangkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 6,7 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟.
119
Leksikon tob /tɔb/ „tombe‟. Berdasarkan data pada Tabel 6.1.7 diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan diketahui 6,7 % informan menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari 30 informan diketahui 60 % informan menjawab „D‟, sedangkan 33,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon fanfan /fanfan/ „panahan ikan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 13,3 % informan menjawab „D‟ dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon hoho /hohɔ/ „kalawai‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, dari ke-30 informan diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon sawilat /sawilat/ „jala‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 6,7 % informan yang menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan yang menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, dari 30 informan, diketahui 16,7 % menjawab „D‟,
120
sedangkan 73,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 3,3 % menjawab „D‟, sedangkan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon tuktuk /tUktuk/ „alat tangkap teripang‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, dan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 6,7 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, 10 % menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon vuv /vuv/ „bubu‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon vuv, sedangkan 90 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, dan 86,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, dan73,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon ven /vən/ „sero‟. Berdasarkan data pada tabel 6.1.7, diketahui bahwa dari 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, sedangkan 96,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25-45 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, atau semua informan mengenal leksikon ven, sedangkan 80 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui tidak ada yang menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Leksikon ail /ayl/ „alat pancing ikan‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 10 % informan menjawab „D‟, dan 73,3 % informan menjawab „A‟.Untuk KPW usia 25--45
121
tahun, 1,3 % menjawab „D‟, dan 63,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, 50 % menjawab „D‟, dan 43,3 % informan menjawab „A‟. Leksikon lot /lot/ „pemberat pancing‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, tidak ada yang menjawab „D‟, dan 83,3 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 3,3 % menjawab „D‟, dan 76,7 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, diketahui 20 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Leksikon kular /kular/ „alat tangkap ikan tradisional‟. Dari hasil tes kompetensi leksikon terhadap 30 informan KPW usia di atas 46 tahun, diketahui bahwa 26,7 % menjawab „D‟, dan 70 % informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 25--45 tahun, 56,7 % menjawab „D‟, dan 30 informan menjawab „A‟. Untuk KPW usia 15--24 tahun, 76,7 % menjawab „D‟, dan 16,7 % informan menjawab „A‟. Adanya sejumlah alat tangkap ikan yang tidak dikenal oleh informan usia 25--45 tahun dan usia 15--24 tahun membuktikan bahwa perubahan kondisi lingkungan ragawi laut, faktor ekonomi, dan kepraktisan ternyata telah menyebabkan disfungsi alat-alat tradisional pada komunitas Kei di lingkungan Ohoi Warbal. Dengan menggunakan alat tangkap tradisional, ikan yang diperoleh lebih sedikit dan dibutuhkan keahlian khusus untuk menggunakan alat-alat tersebut.
122
6.1.8 Tabel Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia di Ohoi Warbal No
Kelompok Leksikon
Jumlah
1
Ikan dan hewan lain di dalam laut
57
2
Hewan di sekitar laut
15
3
Tumbuhan di dasar laut Tumbuhan di tepi laut
6
4
28
Nama leksikon yang sama sekali tidak dikenal untuk tiap kelompok gender dan usia (jumlah dalam %) Pria dan Pria dan Wanita Usia Pria dan Wanita Usia Wanita Usia 25--45 15--24 di atas 46 3 atau 5,3 %, yaitu rwin 3 atau 5,3 %, yaitu „ikan duyung‟ (53,3 %), rwin„ikan duyung‟ (50 ngilngilan „lola‟ (30 %), ngam „ikan puri‟ %), aat „ikan lema‟ (50 (70 %), ngilngilan %) „lola‟ (36,7%) 1 atau 6,7 % ,yaitu uwe 2 atau (13,3 %), yaitu „buaya‟(40 %) uwe„buaya‟ (96,7 %), kus „kus-kus‟ (33,3 %) 2 atau 7,1 (%), yaitu Talumur „bunga jamur‟ (33,3 % ), Warbanglu „sejenis bunga‟ (56,7 % ). 1 atau 14,3 %, yaitu mansiwak „burung gereja‟( 6,7 %).
3 atau 10,7 % , yaitu waren „ sejenis rumput‟ (26,7 % ), talumur „bunga jamur‟ (43,3 % ), warbanglu „sejenis bunga‟ (40 % ).
5
Burung di sekitar laut
7
6
Benda mati di dalam dan tepi laut Alat penangkap ikan tradisional
6
-
-
12
-
2 atau 16,7 %, yaitu kular „alat tangkap ikan tradisional ‟(56,7 %), ail„alat tangkap ikan tradisional‟(13,3 %)
7
3 atau 42,9 %, yaitu mansiwak „burung gereja‟ (80%), kilawar „burung laut‟(56,7 %), mankaba „burung laut‟ (13,3 %)
5 atau 17,9 %, yaitu talumur „bunga jamur‟ (36,7 %), tananan ‟bunga kupu-kupu‟ (13,3 %), warbanglu „sejenis bunga‟ (6,7 %), kabutbutur „rumput duri babi‟ (23,3 %), lalahar „buah kira-kira‟(10 %) 4 atau 57,1 %, yaitu mansiwak „burung gereja‟ ( 60 %), tarut „burung pombo‟ ( 56,7 %), kilwar„burung laut‟ (20 %), mankaba „burung laut‟ ( 80%) 1 atau 16,7 %, yaitu karet ihin „kulit bia‟ ( 56,7 %), 2 atau 16,7 %, yaitu ail „alat tangkap ikan tradisional‟ (50%), kular „alat tangkap ikan tradisional‟(76,7 %)
123
Tabel di atas menggambarkan bahwa terjadi penurunan tingkat pemahaman pada sebagian kecil kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal. Artinya, semakin muda usia informan penutur Kei, semakin sedikit leksikon kelautan yang dikenal, didengar, dan digunakan.
6.1.9 Tabel Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei berdasarkan Pilihan Jawaban “D” (Penutur Sama Sekali Tidak Kenal)
No % Pengamatan 1 76 - 100
Daftar Leksikon ail, kular, kus,silbuk,uwe, tangangnan
% x100 % = 4,6 %
2
3
4
51 - 75
26 - 50
0 - 25
karet ihin, kilwar, talumur, warbanglu, ngam,lanuran,rwin,karluk,widan, ngaran vuut dom hangarten,yerwat,sirsir,hoho arat, karit,sik ngol, tanir, harara, fakikik, yabar, kawuka, karin, dab, mantirun, manwer, wat apung, sawilat,tob, wat, mansiwak, aat, kalbuban, inaha, kamdii, sit, belalang, tom, barisan, ven snar,lot, fanfan, tuktuk, vuv, ven, alihin, ngur,bunan,kat,sum,taru,mankaba,wakat, amor, lalahar,nur,rii, lafetar, tananan, bung matahari, bung mawar, bung sapat, muu,ketapang,kamatil,silar,daun nas,foo, fa‟a,ramunil,kustel,mon,ngeng, ubun,vur, babat,manwut tahait, suk,ivan, kasil, vav, yaha, rubai,karu, fan ,kankan, kabur, ngilngilan, kotbubun, uva, eb sus, eb nawai, iwar, kiker, kahu, tabob, ahot,yee, loor,bisuk, niru, bin-bin, kon, nadan, harun, siru, kari, mahain, ngarun, safsaf, bib, dansawel, sadutil, bwin, far, lain, eb kurungur, hangar, nguran, rawrawut
x100 % = 11,5 %
x100 % = 19,8 %
x100 % = 64,1 %
124
Pada tabel di atas digambarkan bahwa leksikon kelautan yang sama sekali tidak dikenal oleh informan sebanyak 6 (4,6 %) leksikon dan leksikon kelautan yang dikenal dan referennya masih banyak dikenal oleh informan sebanyak 84 (64,1 %) leksikon.
6.1.10 Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Leksikon Kelautan di Ohoi Warbal No
1
Ikan dan hewan lain di dalam laut
57
Jumlah leksikon yang sama sekali tidak dikenal (dalam %) 4 (7 %)
2
Hewan di sekitar laut
15
2 (13 %)
3
Tumbuhan di dasar laut Tumbuhan di tepi laut
6
-
4
Kelompok Leksikon
Jumlah Leksikon
28
5 (17,9 %)
5
Burung di sekitar laut
7
4 (57 %)
6
Benda mati di dalam dan tepi laut Alat penangkap ikan tradisional
6
1 (16,7 %)
12
2 (16,7 %)
7
Nama leksikon yang sama sekali tidak dikenal (dalam %) rwin „ikan duyung‟ (50 %), ngam„ikan puri‟ (70 %), ngilngilan „lola‟ (36,7 %), aat „ikan lema‟ (50 %) uwe „buaya‟ (87,8 %), kus„kus-kus‟ (75,6 % ) talumur „bunga jamur‟ (36,7 %), warbanglu „sejenis bunga‟ (6,7 %), kabutbutur „rumput duri babi‟ (23,3 %), tananan „bunga kupu-kupu‟ (13,3 %), lalahar „buah kirakira‟ (10 %) mansiwak „burung gereja‟ (60 %), tarut „burung pombo‟ ( 56,7 %), kilwar „burung laut‟ (20 %), mankaba „burung laut‟ ( 80%) karet ihin „kulit bia‟(60 %) ail „alat tangkap ikan tradisional‟ (50%), kular „alat tangkap ikan tradisional‟ (76,7 %),
125
Tabel di atas menggambarkan bahwa leksikon kelautan yang jarang digunakan dan didengar penutur bahasa Kei adalah kelompok leksikon tumbuhan di tepi laut, yaitu 5 (17,9 %), diikuti kelompok leksikon burung di sekitar laut, yaitu 4 (57 %), serta Ikan dan hewan lain di dalam laut 4 (7 %). Selanjutnya, berdasarkan tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa untuk pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, maka dari 90 informan ditemukan 18 orang (20 %) informan dari semua kelompok sama sekali tidak kenal dan menggunakan leksikon
kelautan, sedangkan 72 orang (80 %)
informan dari semua kelompok menyatakan mengenalnya dan referennya masih banyak ditemukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 72 orang (80 %) dari 90 informan yang tinggal di pesisir pantai Ohoi Warbal dalam kesehariannya masih mengenal dan menggunakan leksikon kelautan dalam bahasa Kei.
6.2 Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei dan Kelestarian Lingkungan Kelautan di Kepulauan Kei Bahasa itu seperti makhluk hidup yang lain. Artinya, bahasa dapat berkembang dan berubah setiap saat. Di samping itu, bahasa juga mempunyai kemungkinan untuk mati. Bahasa perlu tempat atau lingkungan untuk hidup, termasuk bahasa Kei, yaitu penutur sebagai bagian dari guyub tutur dan ekosistem yang senantiasa dimaknai melalui media bahasa. Peran dan pengaruh bahasa Kei terhadap keberlangsungan dan keseimbangan lingkungan perlu dijaga dan dipelihara karena perubahan berbagai bentuk dan fungsi lingkungan dapat juga diamati dan direkam dalam bahasa. Dengan demikian, bahasa akan selalu hidup,
126
terpakai, terpelihara dan terwariskan dengan baik melalui penggunaan leksikon yang berhubungan dengan lingkungan kelautan secara aktif dan ungkapanungkapan bahasa Kei dalam menjaga kelestarian lingkungan alam di Ohoi Warbal.
6.2.1 Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei Perubahan selalu terjadi, baik zaman, peradaban, maupun segalanya berubah. Tidak ada yang dapat menyalahkan perubahan, hanya tergantung individu yang mengalami perubahan itu, apakah ia dapat menyikapinya dengan bijak atau tidak. Perubahan harusnya tidak diterima sepenuhnya dan tidak berarti meninggalkan kebiasaan yang lama. Kebiasaan lama biasanya sudah berakar kuat dan selaras menyatu dengan lingkungan sekitar dan menjadi bagian dari adat budaya. Kondisi geografis Ohoi Warbal yang dikelilingi oleh laut menyebabkan sebagian besar masyarakat Ohoi Warbal berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sehubungan
dengan
itu,
masyarakat
Ohoi
Warbal
pada
umumnya
menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam sekitarnya, baik ikan dan hasil laut maupun tumbuhan dan hewan di sekitarnya yang bermanfaat sebagai bahan makanan, obat-obatan, bahan baku membuat rumah, dan sebagainya. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mengenal dan mengakrabi jenis-jenis ikan, hewan (baik di darat maupun di sekitar laut), tumbuhan dan alat tangkap ikan yang memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan mereka dan akhirnya leksikon-leksikon itu terkonsep ke dalam kognisi atau pikiran. Dengan demikian, tumbuh perilaku konservatif atau protektif terhadap lingkungan, khususnya lingkungan kelautan di Ohoi Warbal yang
127
memang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat secara turun temurun. Hal ini seperti yang dinyatakan Mbete (2010) bahwa perilaku konservatif sebagai “perilaku atau tindakan yang menjaga, merawat, juga menggunakan secara terukur agar tidak punah dan tetap awet. Perilaku tersebut dapat dilihat pada cara penangkapan ikan di Ohoi Warbal, seperti yang dituturkan Bapak Pit Tawaerubun (hal. 171) berikut ini. 11. P : Semua ikan apa saja bisa tangkap kapan-kapan saja, cuma skarang karena ikan di dalam teluk ini su kurang dan masih kecil-kecil jadi dong su atur bagaimana pi tangkap ikan, supaya skarang pi tangkap atau pancing di luar teluk saja. Biar dapat ikan yang besar saja to..! Apabila dikaitkan dengan penangkapan ikan, sebenarnya orang Kei dulu sudah memiliki satu petuah yang menjadi rambu-rambu bagi mereka sendiri. seperti yang dikatakan Bapak Pit Tawaerubun (hal. 171). 11. P : Begini…sekarang itu katong su jaga ketat orang pancing deng jaring ikan. Jadi Raynold to, skarang dong bilang seng boleh pancing di sini, seng boleh pancing di sana , seng boleh pake alat ini, seng boleh pake alat itu, par tangkap ikan, karena katong pung anak cucu masih ada lai. Itu kan berhubungan dengan orang tatua dong punya fangnanan (nasihat) kaya begini. Teten rasib ne (orang tua berpesan) tabatang nuhu met if o did koko famur. Kita pelihara hasil darat dan laut ini untuk anak cucu kita. Data seng boleh pancing di sini, seng boleh pancing di sana, seng boleh pake alat ini, seng boleh pake alat itu, (tidak boleh pancing di sini, tidak boleh pancing di sana, tidak boleh pakai alat ini, tidak boleh pakai alat itu), antara lain berkaitan dengan, larangan pemanfaatan sumber daya laut dengan memanfaatkan peralatan, semisal pukat harimau, atau bom, atau racun ikan (bore), atau ghost net yang berlebihan karena dapat merusak biota laut. Peribahasa atau ungkapan tabatang nuhu met i fo did koko famur “Peliharalah alam ini untuk anak cucu kita”
128
mengandung makna menjaga keseimbangan lingkungan darat dan laut agar tetap lestari untuk generasi berikutnya. Perilaku konservatif guyub tutur terhadap lingkungan yang menyiratkan kedekatan dan keakraban dengan lingkungan alam sehingga tumbuh rasa hormat dan takut turun-temurun. Selain itu, dalam mengolah alam warga guyub tutur seharusnya juga memperhitungkan keseimbangan alam karena keseimbangan menjadi pendukung kelestarian alam dan isinya. Kadang-kadang persahabatan manusia dengan alam membuahkan keuntungan bagi manusia itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui kisah berikut (hal. 172). 12. P: Oh iya, jadi burung gereja itu seng perna terbang sampe di laut. Jadi, kalau dong ada pancing, lalu ada sekumpulan burung gereja ada terbang bermain di atas laut, maka pasti dong dapa ikan banyak. Pokoknya kuat tarik ikan saja. Itu dong pung rejeki sudah. Berkaitan dengan perilaku konservatif, yang perlu dipertahankan adalah tidak boleh menyombongkan diri atau kerendahan hati. Contohnya ada hal-hal tertentu yang sebaiknya dihindari seperti penuturan Bapak Pit Tawaerubun (hal. 172). 13. R : Om, kalau mau pi pancing atau sementara pancing di laut, ada kata-kata yang tabu yang seng boleh katong bilang ka senga? Kalau ada, apa itu? P : Kayaknya seng ada, yang penting jangan beribut saja. Kalau dalam katong pung bahasa itu tang bivir kawit haid (tidak boleh ribut). R : Oh iya om, lalu kalau beta di tengah laut apa yang tidak boleh beta bilang? Mungkin seng boleh bilang nama ikan apa ka? Atau nama tumbuhan apakah begitu? P : O… kalau itu seng ada, Cuma inga minta permisi untuk penguasa tempat itu. kalo di sini biasa di tiap tempat di laut sana ada dong punya penjaga. Jadi katong minta permisi saja, itu pasti katong dapa ikan banyak. Ada satu lai ini, katong seng boleh berbangga diri, dengan seng bole berbahasa yang kasar atau bernada keras, dan menunjukkan kebolehan.
129
Jadi, dengan laut pun penutur bahasa Kei harus bertutur secara lembut dan ramah, tidak boleh dikasari, atau tidak boleh bising jikalau ada di laut itu. Kebisingan berarti menyebabkan adanya pencemaran bunyi atau juga berarti mengusik ketenangan suasana, khususnya akan mengganggu penjaga tempat itu. Perilaku tak boleh sombong juga menjadi tanda ihwal bersahabat dan sikap rendah hati dengan alam laut khususnya yang memberikan mereka hidup berupa protein ikan dan kehidupan rohaniah dalam arti luas. Selain itu, referen tumbuhan, hewan dan alat tangkap itu masih banyak ditemui dan hidup atau tumbuh di sekitar lingkungannya, bahkan leksikon-leksikon tersebut sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hingga saat ini masyarakat Ohoi Warbal masih sangat akrab dengan leksikon tumbuhan, hewan, dan alat tangkap, baik yang berhubungan dengan tumbuhan dan hewan maupun alat tangkap tradisional tersebut. Sikap setia dan bangga menggunakan bahasa daerah merupakan perilaku positif yang harus ditanamkan kepada penutur bahasa, dalam hal ini penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal baik generasi muda maupun tua. Hal ini dapat dilihat dari sikap penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal yang lebih menghargai orang yang menggunakan bahasa Kei dalam percakapan dibandingkan dengan yang menggunakan bahasa Indonesia, walaupun lawan bicaranya adalah masyarakat setempat. Hal lainnya adalah nelayan di Ohoi Warbal juga memiliki rasa empati terhadap ikan tangkapannya. Untuk mendapatkan ikan (semua jenis) yang banyak, mereka bisa dikatakan menghindari apa yang dikatakan sebagai pantangan, yaitu
130
tidak boleh membawa bekal (makan dan minum) jika ingin melaut. Berikut penuturan Pit Tawaerubun (hal. 172). 15.
P: …Kalau mau pi pancing ka atau biking jaring ka atau mau pi cari apa saja di laut sana seng boleh bawa bekal atau makanan (enbal, nasi, roti) dan minuman (air). Karena kalau bawa itu pasti katong seng dapa ikan atau hasil, karena ikan ini dong mangkali seng mau dapa dong gampang-gampang saja kaapa? Lalu, karena katong pi ini par mencari bukan pi peknik. Jadi katong betul-betul mau berusaha. Katong susahsusah dolo to baru dapa barang bai te. P : Oh iya, satu lai ini, keadaan rumah harus tenang dan kalau ada orang datang jangan berikan.
6.2.2 Kebertahanan Ungkapan-Ungkapan Bahasa Kei dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Kelautan Kehidupan sosialbudaya etnik Kei terjaring secara lingual dalam bahasa Kei yang digunakan secara teratur. Artinya bahasa Kei digunakan, baik secara interpersonal maupun secara transaksional (Brown dan Yule, 1996:1), niscaya bahasa Kei dan masyarakt etnik Kei secara keseluruhan menandai dan „mengikat‟ keberadaan mereka sebagai suatu entitas masyarakat dan kebudayaan yang membedakannya dari etnik lain. Dalam pelbagai ranah kebudayaan itulah bahasa Kei termasuk sejumlah ungkapan yang idiomatik dan metaforik “menjalankan” fungsi sosialnya baik untuk menjalin dan memelihara keserasian hubungan antarpenutur maupun untuk mewarisi dan menanamkan nilai-nilai antargenerasi. Sejumlah ungkapan dimaksud dijabarkan sebagai berikut. 1) Vel bi-yoot hasil walein, mu-sikol mu-yanan Kalau 2J-dapat hasil banyak, 1T-sekolah POSS3T2T-anak “Kalau dapat hasil banyak, sekolahkan anakmu” 2) Tang bi-na afa naa hot ran ro haid Jangan 2J-ambil barang Prep teluk dalam sana jangan “Janganlah ambil hasil di dalam teluk itu”
131
3) Ta-batang nuhu met i fo it-did 1J-jaga kampung meti ini untuk POSS1J “Peliharalah alam ini untuk anak cucu kita” 4) Yaha na-efken ni-duan Anjing 3T-kenal POSS3T-tuan “Anjing mengenal tuannya” 5) Ulnit na-vil a-tumud Kulit pp3T-bungkus 1J-tubuh “Kulit membungkus tubuh kita”
koko famur anak-anak belakang
Secara umum ungkapan-ungkapan budaya verbal etnik Kei di atas mengandung makna dan fungsi melestarikan lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun sosial serta hubungan manusia dengan manusia lainnya. Selain itu, ada ungkapan yang berhubungan dengan alam semesta, baik dalam hubungan dengan Tuhan pencipta alam semesta yang keagungan dan kekuasaan-Nya disimbolkan dengan bumi dan langit maupun hubungan dengan leluhur mereka. Hierarki kepercayaan mereka dengan Tuhan di jenjang tertinggi dan leluhur di jenjang bawahnya tampak pada ungkapan berikut 1) Ud na-tauk at vunad Kepala 3t-bertumpuh pada leher “Kepala kita bertumpu pada leher kita” 2) Duad i na-dok naa ler ratan Tuhan 3T 3T-duduk Prep matahari atas “Tuhan duduk di atas matahari” 3) Duan nit hir rir tanat i Roh orang mati 3J POSS3J tanah ini “Tanah ini milik leluhur dan orang tua-tua” Ungkapan di atas dimaksudkan bahwa Tuhan yang menempati tempat tertinggi di alam raya hendaknya disembah dan dimuliakan. Sementara itu, para leluhur yang secara genetis melahirkan mereka, yang dalam masyarakat etnis Kei dikenal sebagai duan nit hendaknya dihormati pula.
132
Hal lain yang juga menarik dalam kaitan dengan pelestarian hasil laut, khususnya ngilngilan „lola‟ dan eb „teripang‟ adalah kekuatan hawer. Hawer adalah tanda yang bermakna pelarangan, yaitu tidak boleh menyentuh, mengambil, apalagi mencuri hasil laut, biasanya hasil laut seperti lola dan teripang. Tanda hawer biasanya berupa daun kelapa muda yang ditancapkan dengan kain merah. Pelanggarannya berakibat fatal, yakni pelaku akan secara perlahan-lahan menderita dan pada akhirnya meninggal jika tidak diakui oleh pelaku dan meminta tua-tua adat untuk mengobati secara adat. Pengobatan secara adat oleh tua-tua adat ini biasanya dengan berdoa dan mempersembahkan „buk mam‟ berupa mas adat Kei, sirih pinang, tembakau, dan uang koin. Dengan melakukan upacara ini maka dipercaya pelaku dapat sembuh. Akan tetapi, jarang sekali masyarakat melanggar aturan ini karena mereka masih sangat kuat percaya kepada leluhur mereka. Berikut ini ungkapan tentang penjagaan hasil laut dengan hawer tersebut. 1) Ler i nuhu met roa i hawear Matahari ini kampung meti laut ini sasi “Hari ini laut disasi (dilarang mengambil hasil laut)” 2) Ta-batang nuhu met roa i fo did 1J-jaga kampung meti laut ini untuk POSS2J “Jagalah laut dan darat harus untuk anak cucu”
yanat ubun anak cucu
Paralelisme semantik memang nyata pada kedua ungkapan ini dan di dalamnya tersirat makna yang sama, yakni agar laut dan darat menjadi lestari. Larangan hawer ini menjadi norma yang harus ditaati, bahkan tidak boleh ditawar-tawar. Di samping itu, larangan hawer lebih dimaksudkan agar
133
masyarakat tidak diperkenankan untuk mengambil hasil laut dan darat secara sembarangan agar tetap terjaga kelestariannya. Selanjutnya, ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan pemeliharaan keserasian hubungan dengan sesama warga etnik Kei. Selain norma dan nilai pelestarian lingkungan alami, pemeliharaan lingkungan sosial juga terungkap secara verbal. Hal itu tampak pada ungkapan berikut.
1) Manut anmehe ni tilur, vuut anmehe ni ngivun Ayam satu POSS3T telur, ikan satu POSS3T telur “Kita semua bersaudara/sama” 2) Ain ni ain Satu POSS3T satu “Kita semua bersaudara” 3) Voing fokut ain mehe, nevaw fo banglu vatu Kumpul jadi satu sendiri, kawin untuk senjata satu “Kita semua bersaudara” Secara metaforik dan paralelisme semantik memang nyata pada kedua ungkapan ini sebab di dalamnya tersirat makna yang sama yakni agar laut dan darat menjadi lestari. Ungkapan di atas memiliki daya ungkap dan daya semantik yang sangat kuat bagi masyarakat penutur bahasa Kei. Ungkapan ini bermakna bahwa semua manusia sama dan hubungan manusia dan alam harus menjaga keseimbangan antara satu dan yang lain. Selain itu, ungkapan ini mengamanatkan bahwa masyarakat dan alam semuanya „bersaudara‟ dan pentingnya kebersamaan dan kekompakan, keserempakan gerak dalam bekerja, kesatuan dan kebersamaan.
134
6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kebertahanan Leksikon Kelautan Bahasa Kei Bahasa merupakan gambaran identitas, merekam kearifan lokal, konsepkonsep kolektif, nilai-nilai historis, religius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, yang diperlukan masyarakat penutur bahasa bukan hanya sebuah kognisi atau pengetahuan, melainkan juga sebuah kompetensi dan performansi yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis (Halliday, 1978:10). Bahasa dapat hidup atau mati tergantung pada penggunaan dan berkembang atau tidaknya suatu bahasa. Berkembang dan menyusutnya suatu bahasa tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini disebabkan oleh bahasa hidup dalam lingkungan sosial suatu masyarakat penutur untuk berinteraksi, interdepedensi, dan interelasi dengan lingkungan. Suatu bahasa tetap bertahan dan hidup jika penuturnya selalu menggunakan bahasa tersebut. Dengan demikian, bahasa itu akan terjaga dan tetap berada dalam pikiran atau kognisi penuturnya. Sebaliknya, jika penuturnya jarang atau tidak pernah menggunakan bahasanya, maka suatu saat bahasa itu akan bergeser, menyusut, dan akhirnya mati atau punah dari masyarakat pendukungnya Berdasarkan kondisi ini, maka sesungguhnya suatu leksikon dapat bertahan dan atau menyusut, bergeser, bahkan hilang atau punah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di dalam masyarakat. Setelah dicermati dengan baik, dalam penelitian ini ditemukan faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan dan pemahaman leksikon kelautan bahasa Kei di Ohoi Warbal, sebagai berikut.
135
1) Faktor-faktor bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei Secara umum ada dua faktor yang menyebabkan bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial. a. Lingkungan Alam (1) Kondisi alam yang masih terjaga dengan baik sehingga referen tumbuhan, hewan dalam lingkungan kelautan, dan alat tangkap tradisional pada umumnya masih ada dan banyak ditemukan serta hidup atau tumbuh di lingkungan guyub tutur. (2) Kondisi geografis yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat Ohoi Warbal adalah nelayan, sehingga penutur sangat akrab dengan tumbuhan dan hewan yang berada di sekitar lingkungan kelautan. b. Lingkungan Sosial (1) Sumber Penghidupan Masyarakat Ohoi Warbal Masyarakat Ohoi Warbal pada umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam sekitarnya termasuk lingkungan kelautan, baik ikan maupun hasil laut (tumbuhan dan hewan) lainnya yang bermanfaat sebagai bahan makanan, obat-obatan, bahan baku membuat rumah, dan sebagainya. Kondisi ini menyebabkan masyarakat memahami hewan, tumbuhan, dan alat tangkap ikan yang memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan mereka dan akhirnya leksikon-leksikon itu terkonsep ke dalam kognisi atau pikiran.
136
(2) Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) Sikap setia dan bangga menggunakan bahasa daerah merupakan perilaku positif yang harus ditanamkan kepada penutur bahasa dengan tujuan pelestarian bahasa tersebut, dalam hal ini penutur bahasa Kei di Ohoi Warbal, baik generasi muda maupun tua. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sosial penutur Kei di Ohoi Warbal yang selalu menggunakan bahasa Kei dalam keseharian dan lebih menghargai orang yang menggunakan bahasa Kei dalam percakapan dibandingkan dengan yang menggunakan bahasa Indonesia walaupun lawan bicaranya adalah masyarakat setempat. (3) Perilaku Konservatif Guyub Tutur Terhadap Lingkungan Kelautan Perilaku konservatif sebagai “perilaku atau tindakan yang menjaga dan merawat, lingkungan agar tidak punah dan tetap awet menyiratkan kedekatan dan keakraban dengan lingkungan alam sehingga tumbuh rasa hormat dan takut turun-temurun. Selain itu, dalam mengolah alam warga guyub tutur juga memperhitungkan keseimbangan alam, karena keseimbangan menjadi pendukung kelestarian alam dan isinya.
2) Faktor-faktor penyebab menyusutnya leksikon kelautan bahasa Kei Penyusutan dan berkurangnya leksikon-leksikon kelautan dalam bahasa Kei juga dipengaruhi oleh lingkungan alam dan lingkungan sosial, seperti berikut ini. a. Lingkungan Alam (1) Perubahan Ekologi Kelautan Perubahan ekologi di Ohoi Warbal dapat dilihat dengan adanya perubahan lingkungan, baik secara alamiah maupun pembangunan fisik. Hal ini terlihat
137
jelas dengan adanya beberapa jenis ikan laut yang jarang ditemukan karena banyaknya pengeringan, pembangunan beton di sepanjang pesisir pantai sehingga ada jenis ikan yang hidup di laut dangkal seperti ikan gete-gete sulit ditemukan. Hal ini terjadi karena biota laut itu sudah berpindah ke ekosistem lain, bahkan menjadi punah. Selain itu, pembuangan sampah di pesisir pantai yang berlebihan juga menyebabkan pencemaran dan pendangkalan laut. (2) Lingkungan Tumbuh atau Lingkungan Hidup yang Berbeda Lingkungan hidup hewan dan tumbuhan tertentu berada jauh dari perkampungan atau tempat tinggal penduduk. Kondisi ini membuat penutur terutama sebagian generasi muda kurang bahkan ada yang belum pernah sama sekali berinteraksi dengan tumbuhan dan hewan itu, pada akhirnya penutur tidak mengenali dan mengakrabi tumbuhan dan hewan itu dengan baik terutama generasi muda. b. Lingkungan Sosial (1) Sistem Kepercayaan Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada dasarnya kepercayaan guyub tutur Kei adalah animisme, namun masuknya agama Kristen maka kepercayaan animisme perlahan-lahan ditinggalkan termasuk leksikon-leksikon yang digunakan dalam ritual keagamaan seperti tembakau dan daun siri sudah tidak dugunakan lagi, khususnya generasi muda di Ohoi Warbal. (2) Kurangnya Partisipasi Partisipasi berbahasa daerah yang kurang oleh penutur khususnya pelajar yang bersekolah di ibu kota Kabupaten Langgur dan sekitarnya juga ikut
138
mengurangi integritas bahasa Kei. Sebagian pelajar mengakui bahwa kurangnya partisipasi mereka dalam bahasa Kei diakibatkan oleh intensitas dan kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia terlebih lagi bahasa Melayu Ambon di kota sehingga mereka merasa malu untuk berbahasa Kei. (3) Kurangnya proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda Maksudnya adalah leksikon-leksikon dan referen tumbuhan, hewan, dan alat tangkap tradisional yang tidak ditransfer atau diteruskan dari generasi tua ke generasi muda sehingga leksikon-leksikon tersebut tidak terkonsep dalam pikiran generasi muda. Keadaan itu dapat menyebabkan referen-referen tersebut dapat menyusut, bahkan bisa hilang dari pikiran penutur terutama generasi muda. Selanjutnya, karena banyak pelajar yang bersekolah di ibu kota Kabupaten Langgur dan sekitarnya, ada pelajar yang tidak tahu sebagian leksikon kelautan walaupun referenya masih ada, khususnya tumbuhan dan hewan di dasar laut, seperti ngilngilan „lola‟, iwar „ikan mata bulan‟, dan babat „bunga karang‟. (4) Dominannya Pemakaian Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ambon Perubahan
global
yang
sangat
pesat
termasuk
komponen
bahasa
menyebabkan pertumbuhan dan pemeliharaan bahasa daerah yang satu dan bahasa daerah yang lain berbeda-beda. Hal ini terjadi karena ada bahasa yang terawat dengan baik atau secara aktif digunakan dan ada juga bahasa yang tidak diperhatikan kebertahanannya atau tidak aktif digunakan. Dengan demikian, bahasa-bahasa daerah akan terpinggirkan karena adanya persaingan antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Dalam konteks
139
persaingan ini, umumnya bahasa daerah berada dalam posisi lemah. Hal ini ditandai secara alami dengan merosotnya jumlah penutur karena adanya persaingan bahasa daerah, desakan bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu Ambon. Di samping itu, juga semakin berkurangnya loyalitas penutur terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan simbol identitas masyarakat penutur, antara lain sebagai berikut. (a) Tidak ada bahan pembelajaran bahasa Kei dalam pelajaran muatan lokal di sekolah, baik tentang alam, sosial, budaya, maupun bahasa. Selain itu, pelajar diharuskan menggunakan bahasa Indonesia di sekolah. (b) Leksikon dalam bahasa Kei yang sudah digantikan dengan leksikon dalam bahasa Indonesia. Contoh leksikon warat dan tali. Masyarakat Ohoi Warbal lebih mengenal dan menggunakan leksikon tali daripada leksikon warat.
140
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Umumnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kei masa silam senantiasa berupaya mendapatkan berbagai informasi dari lingkungan untuk dapat mengelola lingkungan secara tepat. Berbagai informasi/pengetahuan lingkungan tersebut biasanya diwariskan dari leluhurnya secara berkelanjutan dengan menggunakan bahasa ibu. Misalnya, nama-nama biota sekitar lingkungan laut dalam bahasa Kei dan istilah-istilah dalam teknologi tradisional perikanan. Selanjutnya hasil penelitian menyangkut pemahaman leksikon kelautan bahasa Kei yang berhubungan dengan lingkungan kelautan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, satuan-satuan lingual ekoleksikal kelautan bahasa Kei berupa suku kata yang berpola V, VK, KV, KVK, dan KKV. Selain itu, satuan lingual leksikon kelautan bahasa Kei secara morfologi berupa kata, yang terbagi menjadi kata monomorfemis, bentuk ulang, dan kata majemuk. Kedua, saat ini sebagian besar penutur bahasa Kei, baik pria maupun wanita dari tiap-tiap kelompok usia di Ohoi Warbal masih mengenal, sering mendengar, dan menggunakan leksikon kelautan bahasa Kei. Pemahaman itu juga didukung dengan pengetahuan mereka tentang lokasi tempat referen leksikon tersebut ditemukan. Untuk jenis ikan, mereka mengenal tempat hidup ikan tersebut apakah di laut dangkal atau di laut dalam. Untuk jenis alat tangkap ikan tradisional, mereka bisa menyebutkan semua alat tangkap tradisional dan jenis-jenis ikan yang
141
biasanya ditangkap dengan alat tersebut. Dari alat-alat tangkap tradisional itu hanya ada dua alat tangkap yang sama sekali tidak dikenal oleh kelompok pria dan wanita usia 25--45 dan 15--24 tahun, yaitu kular dan ail. Hal ini terjadi karena sudah tidak ada alat itu lagi, sedangkan, untuk kelompok pria dan wanita usia di atas 46 tahun masih kenal dan pernah menggunakan alat tersebut serta masih terekam dalam ingatan mereka. Selain itu, pada tabel 6.1.8 digambarkan bahwa ada penurunan tingkat pemahaman pada sebagian kecil kelompok leksikon kelautan di Ohoi Warbal. Artinya, semakin muda usia informan penutur Kei, semakin sedikit leksikon kelautan yang dikenal, didengar dan digunakan. Di pihak lain, tabel 6.1.9 digambarkan bahwa leksikon kelautan yang jarang digunakan dan didengar penutur Kei adalah kelompok leksikon tumbuhan di tepi laut diikuti kelompok leksikon burung di sekitar laut. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa untuk pemahaman informan tentang leksikon kelautan di Ohoi Warbal, maka dari 90 informan ditemukan 18 orang (20 %) informan dari semua kelompok yang sama sekali tidak kenal dan menggunakan leksikon rwin, ngilngilan, arat, ngam, uwe , kus, waren, talumur , warbanglu ,tananan, lalahar, mansiwak ,kilawar, mankaba ,tarut, karet ihin, kular, dan ail. Di pihak lain, ada 72 orang (80 %) informan dari semua kelompok menyatakan mengenalnya dan referennya masih banyak ditemukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 72 orang (80 %) dari 90 informan yang tinggal di pesisir pantai Ohoi Warbal dalam kesehariannya masih mengenal dan menggunakan leksikon kelautan bahasa Kei.
142
Ketiga, leksikon kelautan bahasa Kei dalam lingkungan kelautan sebagian besar masih dikenal dan digunakan dalam keseharian. Secara umum, ada dua faktor yang menyebabkan bertahannya leksikon kelautan bahasa Kei, yaitu lingkungan alam, yaitu kondisi alam yang masih terawat dan terjaga dengan baik serta kondisi geografis yang dikelilingi lautan sehingga sebagian besar masyarakat Ohoi Warbal adalah nelayan, dan lingkungan sosial, yaitu (1) sumber penghidupan masyarakat Ohoi Warbal, (2) kesetiaan berbahasa (language loyalty), (3) perilaku konservatif guyub tutur terhadap lingkungan kelautan, dan (4) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Kei dalam keseharian. Di pihak lain, penyusutan dan berkurangnya leksikon-leksikon kelautan bahasa Kei dipengaruhi oleh lingkungan alam, yaitu perubahan ekologi kelautan dan lingkungan tumbuh atau lingkungan hidup yang berbeda, dan lingkungan sosial, yaitu (1) sistem kepercayaan, (2) kurangnya partisipasi, (3) kurangnya proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda, dan (4) dominannya pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon
7.2 Saran Sebagai satu bahasa daerah di Indonesia, bahasa Kei merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia dan merupakan jati diri masyarakat Kei yang perlu dipelihara, dibina, dan dikembangkan. Leksikon budaya dari bahasa Kei dapat memperkaya bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Kei perlu dilestarikan melalui upaya dan tindakan nyata yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya lingkungan kelautan yang melibatkan semua masyarakat, terutama generasi muda.
143
Upaya ini penting untuk mempertahankan leksikon kekhasan daerah yang merupakan cerminan sejarah adanya lingkungan alam (ragawi) dan sosial budaya yang hidup pada zamannya. Tujuannya adalah agar setiap masyarakat ikut berperan aktif mendukung eksistensi bahasa Kei melalui pemakaian bahasa Kei dalam berkomunikasi sehari-hari. Khusus bagi sektor perikanan, peternakan, dan pertanian, temuan penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan penelitian dan konservasi sumber daya hayati. Dengan begitu, diharapkan dapat menumbuhkan perilaku penjagaan, pemeliharaan, dan pelestarian lingkungan ragawi. Untuk melestarikan bahasa Kei dan lingkungannya, diharapkan ada penelitian lanjutan, misalnya leksikon bahasa Kei yang berhubungan dengan alatalat pertanian, rumah tangga, dan nama-nama tempat, leksikon verba dan leksikon ajektiva. Dengan demikian, upaya pelestarian melalui penelitian dapat mengantisipasi ancaman kepunahan bahasa ini. Harapan peneliti bahwa penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk diaplikasikan dalam upaya revitalisasi bahasa dan pelestarian lingkungan.
144
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputra, Abdurahman. 2010. “Ancaman terhadap Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat”. (disertasi). PPS Universitas Udayana. Denpasar . Al Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Mengenal Ekolinguistik”. http.Ekolinguistik Diunduh 12 Juni 2012. Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Bauer, Peter Thomas. 1983. English Word Formation. City of Cambridge: Cambridge University Press. Beatley, T. Brower. D.J. and Schwab. A.K. 1994. An Introduction To Coastal Zone Management. Washington, DC. Island Press. Booij, Geert. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Linguistic Morphology. Great Britain: Oxford University. Brown, Gillian George Yule. 1996. Analisis Wacana. Discourse Analysis. Terjemahan E Koeswara dkk. Bandung : Eresco. Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta. Kencana Prenda Media. Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2003. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2003. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Crystal, David. 2003. Language Death. UK: Cambridge University. th
Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6 Edition, Damanik, Ramlan. 2009. “Pemertahanan Bahasa Simalungun di Kabupaten Simalungun. Medan”: USU. Tesis tidak dipublikasikan. Djajasudarma, Hj. T. Fatimah.1993 Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco.
145
Djajasudarma, Hj. T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama. Djardjowidjojo, Soenjono. 1998. Morfologi Generatif:Teori & Permasalahannya. Jakarta : Lembaga Bahasa Atmajaya. Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Press. Fasold, Ralph. 1986. The Sociolinguistic of Society. New York: Basil Blackwell. Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum. Fishman, J.A. 1968. The Sociology of Language. Massachusett: Newbury House Plublication. Gunarto Suhardi, 1990. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Citra Aditya Bakti: Bandung Gunarwan, Asim. 2006. “Bebebrapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa: Implikasinya pada Pembinaan Bahasa Lampung”. Makalah pada Seminar Nasional Pembinaan Bahasa, Sastra dan Budaya Daerah. Bandar Lampung, 29--30 Oktober 2001. Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Penerbit Andi. Halle, Morris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation in English”. Linguistic Inquiry, Vol. IV, No.1 Halliday , M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1978. Bahasa, Konteks dan Teks: AspekAspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan: Asruddin Barori Tou dari Judul Asli:Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. Stanford ,California: Stanford University Press. Holmes, Janet. 2001. Introduction to Sociolinguistics. (Ed. Kedua). Harlow, Essex: Longman. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Edisi Keempat. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
146
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Lauder, H. 2006. „Globalization and Social Change‟. (Paperback) Lindø, Anna Vibeke dan Jeppe Bundsgaard (eds). 2001. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: University of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology. Lindø, Anna Vibeke dan Simon S. Simonsen. 2000. The Dialectics and Varieties of Agency-the Ecology of Subject, Person, and Agent. Dialectical Ecolinguistics. Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: University of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology. Lyons, J. 1995. Pengantar Teori Linguistik (Terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Maluku Tenggara, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. 2007. Profile Wisata Kabupaten Maluku Tenggara, Tual : Maluku Tenggara. Marsono, 2008. Fonetik: Seri Bahasa. Jogyakarta. Gadjah Mada University Press Matthews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to the Theory of Word Structure. London: Cambridge University Press. Mbete, Aron Meko. 2002.“Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan”. Linguistika. Vol.9: No. 17. Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana, September 2002. Mbete, Aron Meko. 2008. Ekolinguistik : “Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif”“. Bahan Kuliah Matrikulasi Program Magister Linguistik PPS Universitas Udayana. Mbete, Aron Meko. 2009. “Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Budaya Etnik III, Diselenggarakan oleh USU, Medan 25 April 2009. Mbete, Aron Meko dan Abdurahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat”, Langkat.
147
Mbete, Aron Meko. 2010. “Sekilas tentang Linguistik Kebudayaan”. Bahan Sederhana untuk Berbagi Pengalaman dengan Mahasiswa Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 7 Mei 2010. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ogden, C.K. dan Richard, F.A. 1972. The Meaning of Meaning. London: Routledge dan Kegau Paul Ltd. Ohoitimur, Y. 1996. Hukum Adat dan Sikap Hidup Orang Kei. Seminari Tinggi Pineleng. Manado. Oldeman, R.L. Irsal Las, and Muladi. 1981. The Agro-climatic Maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara Contrib. No.60. Centr. Res. Inst. Agrc. Bogor. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Peter, D.F. 1996. Reflections of a Social Ecologist. New York: Harpercollins. Rahardjo, Mudjia. 2004. Language And Power: A Close Look At Critical Sociolinguistics. Retrieved June 14, 2010, www.mudjiarahardjo.com. Ramlan, M. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono. Rasna, I Wayan. 2010. “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”.Jurnal Bumi Lestari, Vol. 10 No. 2, Agustus 2010. hlm.321 – 332. Rasna dan Binawati. 2012 . “Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Kajian Semantik Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 1, Februari 2012, hlm. 173 – 187. Renjaan, M. Raynold. 2014. Leksikon Bahasa Kei dalam Lingkungan Kelautan: Kajian Ekolinguistik. Linguistika. Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana. Ricklefs, E. Robert .1976. The Economy of Nature, Fifth Edition.
148
Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: Penerbit Universitas Sumatera Utara. Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan. Seminar Language, Literature,and Culture in Southeast Asia”. Diselenggarakan oleh Prodi Linguistik USU dan Phuket Rajabhat University Thailand, Thailand Juni 2010. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV Alfabeta. Sukhrani, Dewi. 2010. “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar” (”tesis”). Medan. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Sumarsono, 1990. “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali”. Disertasi Doktor, Tidak Diterbitkan. Denpasar : Program Studi S3 Linguistik PPS Universitas Udayana. Suparwa, I Nyoman. 2009. “Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”. Fakultas Sastra Universitas Udayana. Tardas, Gurning. 2004. “Sistem Tatakrama Berbahasa Batak Toba pada Upacara Adat Perkawinan Medan”.Universitas Sumatera Utara. Undang-Undang No. 31, Tahun 2007, 10 Juli 2007 tentang Pemekaran Kota Tual, Kabupaten Maluku Tenggara, 2007 Verhaar, J.W.M. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.