Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
MENAKAR KONTEKSTUALISASI KONSEP JILBAB DALAM ISLAM Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini.1 Abstrak: Perbincangan tentang jilbab memang tidak pernah berhenti. Seolah mengalami metamorfosis, jilbab di Indonesia berkembang setahap demi setahap. Metamorfosis jilbab di Indonesia ini tidak terlepas dari beberapa hal yang mempengaruhinya antara lain: budaya, tafsir agama, kultur sosial ekonomi dan trend globalisasi. Di Indonesia, jilbab seringkali disamaartikan dengan hijab. Pengertian umum yang berlaku saat ini mengenai hijab adalah pakaian muslimah; kerudung (simple headscarf); atau pakaian longgar yang tak tembus cahaya. Sedangkan ketika berbicara mengenai jilbab, seseorang biasanya mengacu kepada kerudung yang diikatkan pada kepala, dan biasanya dikenakan perempuan muslimah. Oleh karena itu, tulisan ini dihadirkan tidak hendak memerintahkan perempuan menggunakan jilbab, dan melepaskan jilbab, namun, tulisan ini hendak menegaskan bahwa Jilbab adalah budaya yang telah menjadi ketentuan hukum pada saat itu, dengan kondisi yang lain dengan saat ini, oleh karena pada asalnya adalah sebuah budaya, maka keberadaannya selalu dinamis sesuai dengan ruang dan waktu. Kata Kunci: Jilbab, kontroversi, mode PENGANTAR Jilbab di dunia Islam termasuk Indonesia merupakan salah satu topik yang sangat menarik bagi para peneliti. Di dalam setting sosial Eropa, kebanyakan peneliti cenderung mengaitkan jilbab dengan konflik sosial yang berhubungan dengan diskursus publik tentang kependudukan, immigran dan kajian hukum. Sebaliknya, di dalam konteks Timur-Tengah, isu jilbab biasanya ditekankan pada aspek simbolik, budaya dan politik. Namun, untuk konteks Indonesia kebanyakan peneliti asing mengkaitkan jilbab dengan modernitas, identitas dan kontestasi makna ’jilbab’. Secara umum dapat dikatakan bahwa substansi jilbab adalah penutup tubuh wanita, khususnya rambut, telinga dan leher, yang terbuat dari bahan-
1 Masnun Tahir adalah Dosen Tetap IAIN Mataram, NTB, Indonesia. Zusiana Elly Triantini adalah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
1
Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini
bahan tertentu yang cukup kuat dengan berbagai versinya. 2 Pemerhati dan pemakainya bisa datang dari berbagai profesi atau ahli. Pandangan mereka terhadap jilbab juga beragam, seorang disainer memperhatikan jilbab tentunya dari sudut disain dan mode yang senantiasa up to date. Dari perspektif sosial politik, wacana jilbab menjadi issu kampanye politik yang cukup produktif terutama bagi penghayat politik islamisasi di Indonesia. Berjilbab identik dengan simbol wanita solihah yang taat beragama, walaupun sering melahirkan kontroversi. Untuk memperkuat wacana ini, menarik untuk mengingat sebuah cerita yang cukup populer di kalangan feminis dan aktifis NGO. Suatu hari Abdurahman Wahid , yang biasa dipanggil Gus Dur, seorang tokoh agama Islam yang juga mantan presiden tersebut, dalam suatu acara televisi dan radio3 ditanya mengenai pendapatnya tentang gempa Jogjakarta4 . Gus Dur, yang juga anak pendiri organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), itu menjawab penuh makna, “Ya gempa itu kan karena Nyi Roro Kidul5 marah dipaksa mengenakan Jilbab oleh Habib Rizieq.” Sontak para penonton siaran langsung itu tertawa terbahak mendengar lelucon yang sarat dengan sindiran tersebut. Tak pelak, lelucon sindiran terhadap Habib Rizieq dan kelompok gerakan Islam pimpinannya, Front Pembela Islam (FPI), tersebut berbuah demontrasi. Bahkan kelompok FPI di Jogjakarta menyikapi lelucon tersebut dengan menuntut penutupan tayangan radio dan televisi tersebut. Cerita peristiwa “Nyi Roro Kidul dipaksa berjilbab” ini memberikan gambaran besar tentang esksalasi pertarungan dan perebutan makna di kalangan Islam khususnya dan nasionalis pada umumnya tentang menguatnya arus formalisasi syariat Islam di berbagai daerah di Indonesia. Dimana salah satu dampak, formalisasi syariat Islam (regulasi berbasis agama) tersebut adalah adanya kewajiban dan himbauan berbusana muslimah bagi perempuan Muslim dan non-Muslim untuk berjilbab, mengunakan baju kurung atau busana lain 2 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshori Umar Sitanggal (Semarang: Asy-Syifa, 1986), hlm. 34. 3Acara diskusi radio dan televisi tersebut berjudul “Kongkow Bareng Gus Dur” yang diselenggarakan secara khusus oleh Radio Utan Kayu, salah satu jaringan radio nasional yang independen. Radio ini --bersama dengan KBR 68H, ISAI, Teater Utan Kayu, Jurnal Kalam, Islam Liberal-- bernaung dalam Komunitas Utan Kayu. Acara ini sendiri banyak dimotori oleh aktivis Islam Liberal dan aktivis muda Nahdlatul Ulama. Saat ini Radio Utan kayu berganti nama “Green Radio” dengan tetap menyiarkan acara “Kongkow Bareng Gus Dur.” 4Gempa Jogjakarta dan sebagian Jawa Tengah terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 dengan kekuatan 6.2 Richter dengan korban mencapai 150.000 meninggal. Waktu itu penulis lagi menyelesaikan S3 di UIN Yogyakarta. 5Nyi Roro Kidul atau Nyi Loro Kidul yang dalam bahasa Indonesia disebut Ratu Pantai Selatan adalah tokoh mitologi Jawa dan dipercaya oleh masyarakat Sunda, Jawa hingga Bali sebagai penguasa Samudera Hindia Selatan. Dalam mitologi Jawa, seperti dalam Babad Tanah Jawi,Nyi Roro Kidul juga dikenal sebagai istri para raja kesultanan Jogjakarta atau generasi penerus Mataram Islam. Pertalian hubungan raja kesultanan Jogjakarta yang bergelar “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah” atau pemimpin kekalifahan Islam di Tanah Jawa tersebut menunjukan sikretisme Islam dan tradisi jawa atau tepatnya terjadinya pribumisasi Islam.
2
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
yang sesuai Islam (menutupi aurat). Persoalan wajib jilbab pun akhirnya menjadi persoalan yang meruncing dan rumit , apakah jilbab diletakkan begitu saja sebagai kewajiban agama dan moralitas kelompok atau jilbab adalah urusan pribadi dan kebebasan masing-masing individu. Bagi sebagian kalangan, pengaturan negara lewat regulasi berbasis agama Islam ini berpontensi meminggirkan kelompok minoritas, non dominan, non Islam dsb; arus penguatan formalisasi syariat Islam juga dipandang sangat meminggirkan dan melanggar kebebasan berpekpresi perempuan. Jilbab pada dasarnya bukanlah budaya asli Indonesia. Hanya karena ajaran Islam yang datang dengan lemah lembut dan kasih sayang serta toleransi yang cukup tinggi terhadap ajaran sebelumnya (animisme, Hindu, Budha, dan tradisi lainnya) sehingga seolah-olah jilbab menjadi budaya bangsa. Busana nasional yang ditetapkan pemerintah (Orde Baru) adalah kebaya yang dilengkapi dengan selendang. Mungkin selendang itu sendiri merupakan representasi dari jilbab dengan model yang berbeda dari model Arab.6 Tradisi berbusana di Nusantara tidak bisa dipungkiri dipengaruhi oleh berbagai tradisi yang masuk ke Indonesia. Beberapa tradisi tersebut sebut saja India, China dan Melayu. Namun budaya Eropa dan Islam lah yang paling berpengaruh dalam pembentukan busana lokal di berbagai daerah di Nusantara. Dalam catatan-catatan para etnografer pada masa awal masuknya imperialisme Eropa dan menguatnya Islam di Nusantara, busana yang di gunakan oleh penduduk Nusantara cenderung terbuka. Bahkan dalam berbagai bukti-bukti rekaman fotografis dan video pada pertengahan abad IX dan awal XX di berbagai daerah di Jawa, Sunda, dan Bali masih beberapa ditemukan foto perempuan bertelanjang dada, hanya menggunakan kain penutup, kemben, kemben kebaya atau sarung dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mereka di ruang domestik dan publik.7 Pengenaan busana muslim yang begitu tertutup dengan jilbab yang menutup leher, kepala, rambut dan kaus kaki, pakain besar yang hampir menutup rapat seluruh tubuh perempuan adalah fenomena baru dalam praktik berbusana Muslim di Indonesia. Bukti rekaman foto dalam keluarga pesantren di berbagai daerah di Jawa menunjukan bahwa pada tahun 1970-an dan 1980an para perempua pesantren baik dari kalangan ulama perempuan, istri dan santri perempuan cenderung terbuka, longgar, menampakkan leher dan sedikit rambut dengan kaki dan tubuh yang dibalut jarit dan kebaya. Jauh dari gambaran jilbab yang populer dan diotorisasi sebagai jilbab halal dewasa ini Pemakaian jilbab mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 1970-an dengan ditandainya beberapa syair gubahan Ainun Najib yang berjudul lautan jilbab. Sesungguhnya sebelum jilbab banyak digunakan, perempuan Indonesia lebih ramah atau lebih terbiasa dengan kerudung (penutup kepala yang tidak 6 Ainurrofiq Dawam,” Jilbab dalam Perspektif Sosial Budaya” dalam Jurnal Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007. 7 Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1976), hlm. 67.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
3
Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini
menutup leher dan tidak menutup rambut secara keseluruhan). Inspirasi dari Lautan Jilbab ini, maka para aktifis waktu itu terus memperjuangkan kebebasan berjilbab di Indonesia misalnya di kawasan institusi pendidikan. Keberhasilan perjuangan mereka ditandai dengan terbitnya SK 100/C/Kep/D/91 yang memperbolehkan penggunaan jilbab di lingkungan sekolah. Bahkan perjuangan ini juga membuahkan hasil dengan kemunculan program pesantren kilat yang diadakan di sekolah-sekolah negeri pada bulan Ramadhan untuk membina ahlak para pelajar muslim di tanah air.8 Greg Fealy dalam Voices of Islam in Southeast Asia mencatat bahwa gerakan pembaharuan untuk mengenakan jilbab muncul di Indonesia pada tahun 1920-an. Enam puluh tahun kemudian, jilbab menjadi demikian populer ketika ia dianggap sebagai simbol kesalehan seseorang. Hal ini terjadi di Indonesia pada sekitar tahun 1980-an. Sebagai perbandingan dengan Malaysia, gerakan Muslimah untuk mengenakan jilbab dimulai dengan munculnya kebangkitan Islam pada tahun tujuh puluhan di negara itu. Namun demikian, kepopuleran jilbab di Indonesia pada era 1980-an ini bukannya tidak menimbulkan masalah. Gerakan mengenakan jilbab yang dimulai oleh para remaja puteri ini pada awalnya dianggap sebagai fenomena politik oleh pemerintah Orde Baru. Bahkan jilbab juga dianggap sebagai bagian dari gerakan Islam yang akan merongrong kewibawaannya.9 Beberapa kasus jilbab satu persatu muncul hingga akhirnya berlanjut ke meja hijau. Noorsy (1991) mengungkapkan bahwa alasan jilbab disikapi secara politis karena jilbab dianggap sebagai “barang impor” dari keberhasilan Revolusi Iran pada tahun 1979. Selain itu, jilbab juga dianggap sebagai akibat dari pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir melalui dua tokoh berpengaruh yaitu Sayyid Quthub dan Hasan Albanna. Gairah pemuda Islam untuk menjalani kehidupan yang Islami ini terlihat dari penggunaan hijab atau jilbab bagi para Muslimah. Keadaan ini memicu kekhawatiran bahwa jilbab adalah simbol dari aliran politik tertentu. JILBAB : ANTARA MODE DAN KETENTUAN SYAR’I Diskursus tentang jilbab memang tidak pernah berhenti. Seolah mengalami metamorfosis, jilbab di Indonesia berkembang setahap demi setahap. Jika pada masa Orde Lama perempuan yang menggunakan jilbab dianggap kolot, terbelakang, tidak modern dan lain sebagainya, lain halnya pada masa Orde Baru perempuan yang menggunakan jilbab justru dianggap berwibawa dan terhormat, bahkan pada masa ini pula tepatnya pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan kebijakan diperbolehkannya memakai jilbab di sekolah. Sekarang, di masa Orde Reformasi perempuan memakai jilbab adalah Mustafa Kamal, Gerakan Wanita Islam 1980-an di Indonesia. 2000. Greg Fealy and Virginia Hooker (Ed.), Voices of Islam in Southeast Asia: A contemporary sourcebook (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), hlm. 326 8 9
4
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
pilihan mode bahkan trend yang bisa digunakan sewaktu-waktu, bahkan beberapa perempuan memilih memakai jilbab hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Sejumlah institusi belakangan secara terbuka memberikan tempat bagi mereka yang berkeinginan untuk berjilbab sembari berkiprah dalam dunia kerja maupun dalam menuntut ilmu. Banyak publik figure, mulai dari artis, pejabat papan atas, dan pesohor lainnya mengenakan jilbab dan tak ragu lagi berbusana muslim dalam berbagai acara di ruang publik. Fenomena ini muncul seiring dengan kian banyaknya berbagai organisasi, komersial maupun non komersial, yang ramai-ramai melembagakan diri di bawah label institusi keislaman. Selain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jilbab merupakan isu yang menarik. Kontroversi jilbab selama ini sudah menjadi perdebatan yang tidak kunjung berakhir. Di kalangan sebagian muslim, jilbab diyakini sebagai perintah Allah dalam kitab suci Al-Qur’an (bahkan seringkali dianggap sebagai kewajiban). Sementara sebagian muslim lain (termasuk non-muslim-khususnya dari barat) menganggap jilbab sebagai praktik yang “menggelikan” bahkan tidak beradab. Bila kita menilik ke berbagai belahan dunia, terdapat tidak adanya keseragaman dalam pemakaian jilbab, seperti istilah purdah di Mesir dan Maroko, chador di Iran, burqa di Pakistan. Istilah jilbab sendiri sebenarnya merujuk pada “pakaian longgar” yang biasa dipakai oleh bangsa Arab tradisional. Membincangkan jilbab pada masa sekarang bukan hanya berbicara tentang konsep syar’i namun juga membincangkan konsep mode sebagai salah satu pengaruh perkembangan zaman dan pergeseran budaya yang terjadi di masyarakat. Apabila model jilbab sebagaimana yang digambarkan oleh Al Qur’an diseragamkan, maka akan timbul banyak permasalahan, terutama di kalangan masyarakat yang kaum perempuannya belum terbiasa memakai pakaian seperti ketentuan tersebut, apalagi jika dibenturkan oleh adat istiadat atau budaya suatu tempat. Oleh karena itu, konsep jilbab di setiap negara maupun daerah akan selalu berbeda-beda sebagaimana perbedaan pandangan tentang ketentuan lainnya dalam Islam karena unsur ijtihadiyah yang selalu melekat dalam pemikiran Islam. Menarik untuk menyimak sebuah diskusi aktifis rohis (rohani Islam) dengan temannya non-rohis di salah satu kampus Islam di NTB: Coba kita bandingkan jilbab dengan segala aturannya yang ada dalam Al-Qur’an dengan jilbab yang kalian pakai saat ini. Sudah syar’i kah jilbab kalian? Kebanyakan muslimah saat ini lebih mementingkan mode trend terkini dibandingkan dengan yang sudah diatur dalam Al-Qur’an. Apa yang dimaksud jilbab gaul? Jilbab gaul itu yang sering dipakai kebanyakan muslimah saat ini. Entah mungkin karena mereka belum mengetahui bagaimana aturan menggunakan jilbab atau mereka sudah tahu tapi enggan melakukannya. Jilbab gaul itu jilbab yang dililit, dengan pakaian yang ketat memperlihatkan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
5
Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini
bentuk tubuh, yang penting asal panjang dan menutupi tangan dan kaki. Padahal sudah tertera dalam Al-Qur’an jilbab itu bukan dililit, tetapi diulurkan. Dan yang dimaksud jilbab syar’i adalah jilbab yang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa jilbab itu seperti baju kurung. Tanda itu tidak ketat. Misalnya seperti gamis, ataupun atasan yang longgar dan menggunakan rok. Bukan seperti pada kenyataan saat ini. Para muslimah menggunakan jilbab dililit dengan baju dan celana yang ketat. Hal itu sangat bertolak belakang dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an.10 Dalam perkembangan terkini, kelas menengah Indonesia yang makin banyak jumlahnya, sebagian yang cukup besar adalah umat Islam yang makin sadar akan keislaman mereka. Di antara mereka adalah para Muslimah yang menjadi artis, kalangan profesional, dan akademisi, yang mengenakan jilbab. Tentu mereka ingin tampil dengan baik saat mengenakan jilbab dan berbusana Muslimah. Dengan sendirinya maka muncullah para perancang busana Muslimah Indonesia yang mungkin akan membuat Indonesia menjadi salah satu pusat mode busana Muslimah di dunia. Mode dan disain jilbab di Indonesia memang terus berkembang secara dinamis dan menjadi bagian dari gaya hidup kaum muslimah di Indonesia, dengan alasan untuk menutup aurat. Jilbab adalah busana muslim yang menyejukkan kalbu. Komitmen keagamaan, keimanan dan ketakwaan, dan keindonesiaan barangkali perlu dikembangkan khususnya bagi kaum muslimah Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan misalnya pemberian teladan dari para tokoh muslimah yang memiliki pengaruh kuat terhadap pemakaian dan tradisi jilbab atau busana muslimah lainnya. Dengan teladan dari para pimpinan, rakyat biasa akan semakin sadar akan arti pentingnya menutupi aurat yang memang seharusnya ditutupi. Sikap ini perlu, karena al-Qur’an tidak memberikan rincian dan bentuk yang konkrit tentang model pakaian sebagai penutup aurat. Bentuk pakaian merupakan kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya, dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Tidak ada ketentuan harus memakai kebaya atau baju kurung, sebagaimana tidak ada larangan memakai gaun atau rok. Yang ditentukan oleh agama adalah pakaian sopan dan menghindari pakaian ‘tabarruj’.11 Dasar hukum yang biasa digunakan untuk membahas tentang pakaian perempuan adalah Qur’an surat Al Ahzab ayat 59 : “ Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh Rekaman penulis di kampus Islam di Mataram, akhir 2013 ketika mendengarkan dialog beberapa mahasiswi tentang trend jilbab kontemporer. 11 Rusydi dan Afif (ed), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm 168: Lihat juga dalam Jajat Burhanudin dan Oman Fathurahman (ed), Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 72-72. 10
6
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Disebutkan dalam sebab-sebab turunnya ayat yang diriwayatkan dari Aisyah : “Saudah pergi keluar untuk memenuhi kebutuhannya setelah diwajibkannya hijab atas isteri-isteri Nabi (perempuan saat itu memenuhi kebutuhannya dengan jalan keluar kota pada sore hari). Sebagai (mantan) isteri Jasimah, saudah tidak dapat berpaling dari orang yang mengenalnya. Maka, ketika Umar melihat Saudah, ia kemudian berkata: “Wahai Saudah, apa yang kau sembunyikan dari kami? Maka telitilah bagaimana engkau berpakaian untuk pergi keluar.” Kemudian Saudahpun kembali pulang . pada saat itu Rasulullah berada di rumahku untuk makan malam dan di tangannya terdapat segenggam ‘irq (daging yang masih melekat pada sepotong tulang). Saudah berkata kepada Rasulullah: “wahai rasul, ketika aku pergi keluar untuk memenuhi sebagian kebutuhanku Umar berkata kepadaku seperti ini dan seperti ini,” Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah, maka ia mengangkat tangannya sementara dalam genggamannya masih terdapat ‘irq. Rasulullah berkata: “sesungguhnya Allah mengizinkan kalian (para perempuan) untuk keluar memenuhi kebutuhan kalian. 12 Oleh karena itu, ayat tersebut mengandung satu aspek yang sangat penting, yaitu bahwa ayat tersebut berbicara kepada Rasulullah dalam wilayah nubuwwah, karena ayat tersebut diturunkan berdasarkan berdasarkan kondisikondisi obyektif yang berlaku pada masa Nabi. Oleh karena itu, ayat ini berfungsi sebagai ayat pengajaran (ta’limiyyah) bukan sebagai ayat penetapan hukum (tasyri’iyyah). Untuk konteks saat ini pemberlakuan ayat tersebut dapat berupa tata cara berpergiannya perempuan yang didasarkan pada kebiasaan setempat, dengan catatan dapat menghindarkannya dari gangguan sosial. 13 Selain itu, jika melihat pesan yang sesungguhnya hendak disampaikan oleh ayat ini adalah “mudah dikenal” dan “tidak diganggu”. Dengan kata lain maksud dari ayat ini tidak lain adalah perlindungan terhadap perempuan muslim pada waktu itu dan bukan pada konteks perintah menutup aurat sebagaimana perintah aturan menutup aurat ketika hendak melaksanakan shalat. Ayat lain yang juga menjadi rujukan tentang aurat perempuan adalah Surat An-Nur ayat 31 yang artinya berbunyi: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-
490.
12
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta, ElSAQ, 2004), hlm.
13
Ibid.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
7
Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini
putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anakanak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Dengan memahami kedua ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pesan yang sejatinya hendak disampaikan adalah menutup aurat, bukan memakai jilbab. Jadi apabila aurat telah tertutup maka model pakaian tidak menjadi persoalan, apakah model pakaian sebagaimana yang dipakai bangsa Arab atau model baju kurung seperti gadis-gadis minang, Sumatra barat, maupun model kebaya panjang perempuan Jawa dan lain sebagainya. 14 Lalu bagaimana sejatinya konsep batas aurat perempuan dalam Islam? Pembahasan mengenai aurat dalam kitab-kitab klasik dimuat dalam bab-bab mengenai syarat-syarat melaksanakan ibadah shalat, karena menutup aurat bagi mayoritas ulama fiqh termasuk salah satu syarat sah bagi ibadah shalat. Abu Hanifah dan Syafi’i mengatakan bahwa menutup aurat termasuk dalam kewajiban-kewajiban sembahyang, sementara Imam Malik mengatakan bahwa menutup aurat dalam shalat adalah sunnah. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan persepsi dalam memahami perintah menghias diri ketika pergi beribadah. Bagi yang melihat perintah ini sebagai kewajiban, maka menutup aurat dalam ibadah adalah wajib. Sementara bagi yang tidak memahami demikian, maka menutup aurat dalam ibadah itu tidak wajib.15 MEMAHAMI JILBAB SECARA KONTEKSTUAL Menempatkan doktrin agama dalam bentuknya yang kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah suatu hal yang harus dilakukan terus menerus. Sebab, agama pada dasarnya harus terus menemukan maknanya maknanya sepanjang zaman. Dan untuk menemukan makna yang berguna pada perubahan sosial itu, maka penafsiran ulang dan penyegaran pemahaman keagamaan mutlak dilakukan. Terlebih lagi, pada dasarnya sebuah teks tidak bisa terlepas dari konteks sosial dan sejarah yang melingkupinya. Dialektika antara wahyu, akal, dan realitas sosial yang banyak dikenal dalam metode hermeneutika, bisa dipertimbangkan dalam menafsirkan ulang paham keagamaan, termasuk masalah jilbab atau hijab. 16 Kontekstualitas penafsiran ini harus dilakukan untuk melawan otoritas tunggal penafsiran yang baku dan bertumpu pada masa lalu. Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al Ra’yi Upaya penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 119 – 123. 15 Husain Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta : LKIS, 2001), hlm. 51. 16 Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. vii 14
8
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
Di Indonesia, jilbab seringkali disama artikan dengan hijab. Pengertian umum yang berlaku saat ini mengenai hijab adalah pakaian muslimah; kerudung (simple headscarf); atau pakaian longgar yang tak tembus cahaya. Sedangkan ketika berbicara mengenai jilbab, seseorang biasanya mengacu kepada kerudung yang diikatkan pada kepala, dan biasanya dikenakan perempuan muslimah. Menurut Mohamad Guntur Romli ada empat alasan perempuan Indonesia menggenakan Jilbab yaitu : Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik. Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas, berbeda dengan model pertama. Ketiga, jilbab alasan modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acaraacara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui persoalan agama. Keempat, jilbab alasan politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun akan dipaksakan ke ruang publik. Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi di Aceh dan di beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan syariat Islam. 17 Pada masalah jilbab atau kerudung yang terdapat pada Surat Al-Ahzab Ayat (59), Agus Salim mengisyaratkan pemahaman yang lebih kontekstual dengan memperhitungkan sebab turunnya (asbabul-nuzul) ayat tersebut. Kondisi semacam ini bertolak belakang dengan nuansa Islam yang tergambar dalam fikih yang normatif, formal, dan rigid sehingga kehilangan spirit pemberdayaan yang aktif. Agus Salim hendak menggeser pandangan klasik tentang tabir dengan mengetengahkan semangat zaman dan konteks kultural dari eksistensi tabir di rumah Rasulullah yang sebenarnya hanya masalah 17
Http://oedin02.blogspot.com
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
9
Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini
kepantasan sosial semata.Dalam pidatonya tentang cadar dan harem, Agus Salim juga menekankan bahwa kaum laki-laki diwajibkan untuk memelihara rasa malu dan kesuciannya, seperti yang juga diperintahkan kepada kaum perempuan. Mereka juga tidak berkewajiban atau berwewenang untuk bertindak sebagai pelindung kesucian kaum perempuan. "Hanya keangkuhan mereka (laki-laki) yang berlawanan dengan jiwa dan makna hukum Ilahi saja yang dapat menimbulkan pandangan yang keliru ini," ujarnya. 18 Dengan demikian, sebenarnya pesan moral Islam adalah bagaimana laki-laki bias “menundukkan pandangan” sehingga menahan diri dari berbagai bentuk pemanjaan fantasi seksualnya, dan mengarahkan perempuan agar tidak sekadar menjadikan dirinya sebagai objek seksualitas dengan cara berpakaian sesuaidengan standar kepantasan masyarakat. Ini merupakan bentuk perlindungan Islam kepada perempuan sehingga perempuan tidak diperlakukan sebagai obyek pelecehan, baik karena seksualitas maupun status sosialnya. Dalam masalah aurat perempuan, Syahrur memandang bahwa surat alAhzab :59 bukan sebagai ayat yan mengandung hudud, melainkan ayat yang mengandung ajaran (anjuran) yang bersifat informatif (nubuwwah) untuk menolak penyakit. Oleh karena itu, hal ini berimplikasi pada manusia boleh mengikuti dan boleh juga tidak, sesuai dengan kondisi situasi lingkungannya.19 Secara sosiologis sejarah pemakaian jilbab merupakan tanda untuk membedakan antara orang yang merdeka dan yang budak, di tengah masyarakat Arab pada masa diturunkannya ayat al-Qur’an. Perbedaan ini sangat terkait dengan interpretasi fras “illa ma zahara minha” (kecuali apaapa yang biasa nampak daripadanya), sebagaimana ayat di atas. Pendapat Muhammad As’ad yang dikutip oleh Ashgar cukup menarik untuk membuka ruang munculnya makna baru dan kontekstual tentang perintah jilbab. Interpretasi mengenai kata “secara pantas” merefleksikan interpretasi frase illa ma zahara minha oleh beberap sarjana Islam dan khususnya oleh alQaffal (dikutip oleh Razi) sebagai “yang seorang manusia biasa secara terbuka pertunjukkan sesuai dengan tradisi yang berlaku (al-‘adah al-jariyah). Walaupun contoh tradisional hokum Islam selama beberapa abad cenderung membatasi defenisi “apa yang biasa nampak dari padanya” terhadap muka, tangan, dan kaki perempuan- dan kadang-kadang kurang dari itu- kita dengan aman bias mengasumsikan bahwa makna illa ma zahara minha lebih luas, dan bahwa ketidakjelasan yang disengaja dari frase ini membiarkan waktu selama mengikat perubahan-perubahan yang diperlukan untuk perkembangan moral dan social laki-laki. Klausul penting dalam perintah di atas merupakan tuntutan, ditujukan dalam pengertian-pengertian yang identik bagi laki-laki dan juga perempuan, Http://id.shvoong.com/social-sciences Sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani, Fiqh Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 289. Dari Muhammad Syahrur, Al Kitab wa Al Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-ahali li ath-thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi, 1992). 18 19
10
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
untuk menundukkan pandangannya dan sadar akan kesuciannya; dan ini meniscayakan tingkat, pada waktu tertentu secara absah –sesuai dengan prinsip moralitas social al-Qur’an—yang dianggap “sopan” atau “tidak sopan” dalam penampilan luar seseorang.20 SUMBANG SARAN DAN KESIMPULAN Tidak bisa dipungkiri, trend pengenaan busana muslim di Indonesia dan dunia pada umunya juga berjalin kelindan dengan pemilik modal yang ada. Terbukti sejak tahun 1990an awal, ketika keluarga Soeharto mulai menampakkan keramahan terhadap Islam dan bahkan putri tertua mereka mengenakan jilbab, banyak media bernuansa Islam, bank Islam mulai tumbuh. Demikian pula dengan industri mode Islam. Lewat media dan industri fashion, gairah berjilbab yang mulai nampak saat itu mulai dimanfaatkan sebagai pasar, terlebih saat itu, pemerintah Orde Baru dan keluarga Soeharto mencoba menunjukan Islam dan simbol Islam seperti jilbab adalah penanda kesalehan sosial dan religi. Sosialisasi pengenaan jilbab kian marak, tidak hanya lewat ikon mbak Tutut tetapi juga artis-artis terkenal yang pada pertengahan 1990an banyak mewarnai media. Sebut saja, Yesi Gusman, Yeni Rahman, Mediana Hutomo, Inneke Koesherawati dan sebagainya. Fenomena jilbab, adalah hal yang asing pada tahun 1980-an. Saat itu, hampir mustahil untuk mendapati perempuan berjilbab di Indonesia bekerja sebagai sekertaris di perusahaan multinasional, manajer hotel bintang lima atau news anchor dan reporter di televisi. Situasi itu kini berbalik 180 derajat. Jilbab diterima bahkan menjadi trend fashion. Ia tak hanya dipakai oleh kalangan santri namun juga oleh para artis, selebritis dan perempuan kelas menengah ke atas. Pengenaan jilbab di kalangan Islam kontemporer dan urban sendiri dimaknai sebagai 'kepatutan' menjaga aurat atau seksualitas seseorang dari jangkauan lawan jenis yang bukan muhrim. Dengan mengenakan jilbab, seseorang dianggap, selain menegaskan identitasnya, telah penuh dan lengkap berkomitmen menjalani kewajiban dan prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh Islam. Namun bila kita toleh tradisi busana muslim yang berkembang di kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul ulama, terdapat keragaman memaknai aurat, identitas dan keislaman para perempuan muslim. Terlihat jelas konvesi tentang pengenaan busana muslim seperti kerudung dan jilbab yang begitu fleksibel, karena Islam adalah sumber inspirasi kasih, kesetaraan, keadilan, perdamaian, dan membebaskan.
20
Jurnal Perempuan Vol. 31, September 2003, hlm.147.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
11
Masnun Tahir dan Zusiana E Triantini
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis, Jakarta: Kompas, 2004. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1976) Greg Fealy and Virginia Hooker (Ed.), Voices of Islam in Southeast Asia: A contemporary sourcebook ,Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006. Husain Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta : LKIS, 2001. Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshori Umar Sitanggal, Semarang: Asy-Syifa, 1986. Jajat Burhanudin dan Oman Fathurahman (ed), Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan,(Jakarta: Gramedia, 2004. Jurnal Perempuan Vol. 31, September 2003. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta, ElSAQ, 2004. Muhammad Syahrur, Al Kitab wa Al Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus: al-ahali li ath-thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi, 1992. Muhyar Fanani, Fiqh Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKIS, 2009. Mustafa Kamal, Gerakan Wanita Islam 1980-an di Indonesia. 2000. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan umat, Bandung: Mizan, 1997. Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al Ra’yi Upaya penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Rusydi dan Afif (ed), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Http://oedin02.blogspot.com Http://id.shvoong.com/social-sciences
12
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram