Volume 15 Nomor 1 Mei 2014
ISSN: 1411-8823
Pertumbuhan Kristal Dan Analisis Elemen Permukaan Material Multiferroic BiFeO3 Suharno, Bambang Soegiyono, Muhammad Hikam, Dwinanto Sifat Optik Film Tipis GaAs Yang Ditumbuhkan Dengan Teknik MOCVD Vertikal Menggunakan TMGa And TDMAAs Andi Suhandi, Yuyu R. Tayubi dan Pepen Arifin Sifat Optik Film Tipis GAN Yang Dideposisi Dengan Teknik Spincoating Di Atas Substrat Sapphire Yuyu R. Tayubi dan Andi Suhandi Batas Fasa Struktur Mesoskopik Superkonduktor Hibrid PB/AL Elistia Liza Namigo , Nele Schildermans Optimalisasi Sintesis Kitosan Dari Cangkang Kepiting Sebagai Adsorben Logam Berat Pb (II) Nurul Asni, M. Arif Saadilah , Djonaedi Saleh Pengaruh Medan Induksi Pada Sifat Magnet Material Nano Komposit BSHF / BST Novizal, Musfira. C F. Elda Rayhana Studi Pembalikan Polarisasi Dan Model Histerisis Pada Material Lapisan Tipis Barium Stronsium (Ba0,5Sr0,5TiO3) Didadah Pb, Mg dan Cu Teguh Yoga Raksa, Muhammad Hikam dan Yofentina Iriani Kajian Perovskite LA0,73CA0,27MN1-XCUXO3 Dengan 0 < X < 0,19 Sebagai Katoda Bahan Oksida Padat Y. E. Gunanto, K. Sinaga, A. Purwanto, B. Kurniawan, S. Poertadji, E. Steven, J. S. Brooks. Pengamatan Strukturmikro Permukaan Baja yang Diirradiasi Ion Titanium Menggunakan TEM Dwi Gustiono Menentukan Peluang dan Periode Ulang Gempa dengan Magnitude Tertentu Berdasarkan Model Guttenberg - Ritcher Tati Zera Efek Variasi Radius Nukleon Terhadap Persamaan Keadaan Bintang Neutron Suparti, A.Sulaksono, T.Mart
SPEKTRA
JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA Volume 15 Nomor 1 Mei 2014
ISSN: 1411 – 8823
__________________________________________________________________________________________________________________
Pertumbuhan Kristal Dan Analisis Elemen Permukaan Material Multiferroic BiFeO3 Suharno, Bambang Soegiyono, Muhammad Hikam, Dwinanto Sifat Optik Film Tipis GaAs Yang Ditumbuhkan Dengan Teknik MOCVD Vertikal Menggunakan TMGa And TDMAAs Andi Suhandi, Yuyu R. Tayubi dan Pepen Arifin Sifat Optik Film Tipis GAN Yang Dideposisi Dengan Teknik Spincoating Di Atas Substrat Sapphire Yuyu R. Tayubi dan Andi Suhandi Batas Fasa Struktur Mesoskopik Superkonduktor Hibrid PB/AL Elistia Liza Namigo , Nele Schildermans Optimalisasi Sintesis Kitosan Dari Cangkang Kepiting Sebagai Adsorben Logam Berat Pb (II) Nurul Asni, M. Arif Saadilah , Djonaedi Saleh Pengaruh Medan Induksi Pada Sifat Magnet Material Nano Komposit BSHF / BST Novizal, Musfira. C F. Elda Rayhana Studi Pembalikan Polarisasi Dan Model Histerisis Pada Material Lapisan Tipis Barium Stronsium (Ba0,5Sr0,5TiO3) Didadah Pb, Mg dan Cu Teguh Yoga Raksa, Muhammad Hikam dan Yofentina Iriani Kajian Perovskite LA0,73CA0,27MN1-XCUXO3 Dengan 0 < X < 0,19 Sebagai Katoda Bahan Oksida Padat Y. E. Gunanto, K. Sinaga, A. Purwanto, B. Kurniawan, S. Poertadji, E. Steven, J. S. Brooks. Pengamatan Strukturmikro Permukaan Baja yang Diirradiasi Ion Titanium Menggunakan TEM Dwi Gustiono
1-5
6–9
10 – 13
14 – 17
18– 25
26 - 30
31 - 35
36 – 39
40 – 43
Menentukan Peluang dan Periode Ulang Gempa dengan Magnitude Tertentu Berdasarkan Model Guttenberg - Ritcher Tati Zera Efek Variasi Radius Nukleon Terhadap Persamaan Keadaan Bintang Neutron Suparti, A.Sulaksono, T.Mart
Diterbitkan oleh:
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
44-48 49-54
SPEKTRA JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA Volume 15 Nomor 1 Mei 2014
ISSN: 1411 – 8823
__________________________________________________________________________________________________________________
Penanggung jawab Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
Dewan Redaksi Ketua Sekretaris Anggota
: Prof. Dr. Agus Setyo Budi, M.Sc : Teguh Budi Prayitno, M.Si : Hadi Nasbey, M.Si Drs. Anggoro Budi Susilo, M.Si Dr. I Made Astra, M.Si Dr. Sunaryo, M.Si
Penyunting ahli
: Dr. Erlan Rosyadi (BPPT) Dr. Artoto Arkundato (UNEJ) Dr. Yudiakto Pramudya (UAD) Dr. Supriyanto (UI) Dr. Yoga Divayana (NTU) Prof. Agus Setyo Budi, M.Sc (UNJ) Dr. Mangasi A. Marpaung, M.Si (UNJ) Dr. rer nat. Bambang Heru Iswanto, M.Si (UNJ) Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc (UNJ) Dr. Esmar Budi (UNJ) Dr. Erfan Handoko (UNJ)
Penyunting pelaksana
: Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc Teguh Budi Prayitno, M.Si
Sekretariat
: Umiatin, M.Si
Pengantar redaksi Spektra merupakan jurnal Fisika dan aplikasinya terbit setahun dua kali dan dibuat untuk mewadahi dan mempublikasikan hasil riset dan review yang belum pernah dipublikasikan di terbitan lain.
Penerbit: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta Kampus B Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun Jakarta 13220 Telp. 021-29266285
PENGANTAR REDAKSI Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 15 Nomor 1 Mei 2014 dapat diterbitkan. Spektra diterbitkan dua kali dalam setahun dan berisi artikel-artikel ilmiah di bidang Fisika antara lain teori, material, medis, geofisika, optik, instrumentasi serta hasil-hasil penelitian lain yang berhubungan dengan fisika. Kehadiran Spektra merupakan wadah publikasi hasil penelitian di bidang ilmu fisika dan aplikasinya yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi perkembangan di bidang fisika. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh penulis artikel sehingga Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor 1 Mei 2014 dapat diterbitkan.
Dewan redaksi
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
PERTUMBUHAN KRISTAL DAN ANALISIS ELEMEN PERMUKAAN MATERIAL MULTIFERROIC BiFeO3 Suharno1,2, Bambang Soegiyono1, Muhammad Hikam1, Dwinanto3 1
Ilmu Material Departemen Fisika Universitas Indonesia, Depok Indonesia 16424 Telp.021-7872610, Fax.021-7863441 2 Jurusan Fisika, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia 55161 Telp.0274-563515, Fax.0274-564604 3 Departemen Fisika, Universitas Nasional Chungbuk, Cheongju, Korea Selatan 361-763 Email:
[email protected]
ABSTRAK Sintesis material BiFeO3 doping Yttrium dibuat dengan metode sol-gel. Pertumbuhan kristal BiFeO3 pada temperature 600°C memperlihatkan adanya fasa BiFeO3 dan fasa kedua Bi25FeO39 dan Bi2Fe4O9 sebagai impuritas. Bertambahnya temperatur sintering, impuritas fasa Bi25FeO39 berkurang disertai hilangnya impuritas fasa Bi2Fe4O9. Morphologi material BiFeO3 memiliki ukuran butir 700.1 nm. Analisis elemen permukaan material BiFeO 3 dengan spektroskopi photoelectron sinar X pada pengukuran energi binding 0 – 1400 eV memperlihatkan munculnya elemen permukaan Bi pada orbital 4f7/2 dan 4f5/2 dengan energi binding 158 eV dan 164 eV, elemen permukaan Fe orbital 2p 3/2 dan 2p1/2 dengan energi binding 710 eV dan 724 eV, elemen permukaan O orbital 1s dengan energi binding 528 eV, dan elemen permukaan C orbital 1s sebagai elemen impuritas yang memiliki energi binding 284,5 eV. Kata kunci : BiFeO3, Sol-gel, kristal, morphologi, photoelectron sinar X, sintering, impuritas, energi binding
ABSTRACT Synthesis material BiFeO3 doping Yttrium by sol-gel combustion method. Crystal growth BiFeO3 material at 600°C show single phase BiFeO3 and secondly phase is Bi25FeO39, Bi2Fe4O9 as impurity. Increased sinter, second phase Bi25FeO39 decreased he follow loss pahse impurity Bi2Fe4O9. Morphology BiFeO3 material have grand size at 700.1 nm . The analysis surface element BiFeO3 at binding energy 0 – 1400 eV with XPS show peak element surface Bi 4f7/2 at binding energy 158 eV and 4f5/2 at binding energi 164 eV, furthermore there is peak element surface Fe 2p3/2 at binding energy 710 eV and 2p1/2 at binding energy 724 eV, element surface O1s at binding energy 528 eV, and element surface C1s as impurity element at binding energy 284,5 eV. Key words : BiFeO3, sol-gel, crystal, morphology, XPS, sinter, impurity, binding energy
1. Pendahuluan Material multiferroic adalah senyawa yang memperlihatkan sifat ferroic atau antiferroic, seperti ferromagnetic dan ferroelektrik pada fasa tunggal. Dengan kata lain material multiferroic di sini memiliki sifat ferroelektrik (antiferroelektrik) dan ferromagnetic (antiferromagnetik) atau disebut juga material magnetoelektrik. Sifat kopling material magnetoelektrik membuat sangat penting tidak hanya diterapkan di dunia industry tetapi juga untuk mendalami sifat fisika[1,2]. Material multiferroic memiliki sifat ferroic pada temperatur ruang atau di atas temperatur ruang. Salah satu contoh material multiferroic adalah Bismuth ferrite (BiFeO3). Bismuth ferrite memperlihatkan antiferromagnetik type G di bawah temperature Neel TN = 643 K dan ferroelektrik di bawah 1103 K [3,4]. BiFeO3 dalam bentuk bulk memperlihatkan magnetisasi yang lemah [5].
Perubahan sifat magnetik dan sifat elektrik pada fasa tunggal BiFeO3 diperoleh dengan adanya doping pada site A (Bi) seperti unsur tanah jarang valensi 3+ seperti (La, Y, Gd) dan unsur alkali tanah valensi 2+ seperti Ca, Ba, Sr) sedangkan doping pada site B (Fe) adalah anggota logam transisi seperti (Cr, Mn, Zn, Ni)[6]. BiFeO3 doping Gd menunjukkan semakin besar material doping memperkecil ukuran butir dan tidak mempengaruhi energy binding elemen atom BiFeO3 tetapi muncul elemen baru dari material doping[7]. BiFeO3 disintesis dengan beberapa tehnik seperti solgel dan solid state reaction[8], sucrose, glycine nitrat combustion[9]. Nanopartikel BiFeO3 tidak hanya untuk memahami gejala magnetoelektrik tetapi juga diterapkan pada cahaya tampak fotokatalis, absorbsi gelombang mikro[10], dan sensor gas. Pertumbuhan kristal BiFeO3 ke arah fasa tunggal disertai dengan fasa kedua Bi25FeO39 dan Bi2Fe4O9 sebagai fasa impuritas[11].
1
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 2. Eksperimen Sintesis material BiFeO3 dibuat dengan metode combustion menggunakan logam nitrat dan asam citric (sebagai fuel). Bismuth nitrat Bi(NO3)3.5H2O dan Ferri nitrat Fe(NO3)3.9H2O dibuat dalam bentuk larutan dengan penambahan asam citric C6H8O7 dicampur secara stoikiometri ke dalam gelas kimia dan dipanaskan pada suhu 80-90°C di atas hot-plate selama beberapa jam sampai diperoleh gel. Selanjutnya dikeringkan pada temperature 150°C selama 2 jam menjadi berwarna coklat. Perkusor digrounded menjadi powder menggunakan mortar dan postel. Perkusor powder dilakukan annealing pada suhu 750°C selama 3 jam ke dalam furnace dengan heating rate 40°C per jam dan secara perlahan didinginkan pada temperatur ruang Karakterisasi Powder yang sudah dipanaskan pada 750°C selama 3 jam dipress diameter 12 mm ketebalan 3 mm tekanan 7 ton selama 1 menit dan dikarakerisasi dengan difraksi sinar X (XRD) Cu-Kα λ = 1.54053 A type Philips. Studi Morphologi material menggunakan Scaning electron microscopy (SEM) menggunakan type Hitachi S-3400N. Studi komposisi material menggunakan EDAX TSL AMATEX-Advance microanalysis solution. Studi Elemen permukaan BiFeO3 menggunakan analisis XPS type A VG ESCALAB 220i-XL.
Gb.1. Interaksi Foton dan Elektron pada photoelektron sinar X XPS digunakan untuk memeriksa permukaan lapisan dan permukaan senyawa oksida. Pemeriksaan dengan XPS dengan binding energi 1 eV – 1200 eV. Komposisi elemen suatu material dapat dihitung dengan : ( ∑
) ( )
(2)
Dimana adalah elemen atom, = area di bawah puncak elemen pada spectrum dan = faktor sensivitas elemen. Evaluasi grafik spectrum menggunakan Surface Science Instrumen Software.
3. Hasil dan Pembahasan Spektroskopi Photoelektron sinar X Pertumbuhan kristal Tehnik spektroskopi photoelectron sinar X adalah menembakkan foton ke permukaan atom dan energy dari energi dari photoelectron dideteksi dan diukur. Permukaan atom ditembak dengan energi rendah Kα sinar X dari sebuah sumber aluminium dan magnesium. Pada proses photoelectron sinar X permukaan atom ditembak foton dengan energy dan electron masuk dari suatu electron valensi atau sebuah inti electron. Energi injeksi electron diberikan : (1) dimana adalah frekuensi foton yang dating = binding energy electron dan = fungsi kerja spectrometer (3 – 4 eV). Pengukuran dan energy photoelectron diketahui maka binding energi dapat dihitung. Aplikasi dengan tehnik ini adalah studi reaksi kimia dimana dapat terjadi pada lapisan atom suatu material. Spektroscopy photoelectron sinar X (XPS) adalah sangat baik untuk mendeteksi elemen atom dari pengukuruan binding energi. Gambar 1 memperlihatkan interaksi electron ditembak oleh foton pada proses photoelectron sinar X (XPS).
Gambar 2, hasil studi difraksi sinar X memperlihatkan pertumbuhan kristal BiFeO3 murni dengan perbedaan calsinasi. Pada temperatur 650°C sudah mulai muncul fasa BiFeO3 tetapi fasa kedua Bi25FeO39 sebagai fasa impuritas juga ditemukan dalam jumlah yang banyak dan satu fasa impuritas lain yaitu Bi2Fe4O9. Pada temperatur 700°C menunjukkan kenaikan intensitas puncak fasa BiFeO3 yaitu pada sudut 22.473° dan fasa impuritas Bi25FeO39 juga masih ditemukan tetapi menunjukkan penurunan intensitas puncak difraksi, pada temperature ini juga memperlihatkan fasa impuritas Bi2Fe4O9 hilang. Pada temperatur 750°C terjadi penurunan intensitas puncak baik pada fasa BiFeO3 dan fasa impuritas Bi25FeO39. Morphologi BiFeO3 Karakterisasi dengan SEM seperti ditunjukkan pada gambar 3 memperlihatkan bentuk dan ukuran butir BiFeO3. Ukuran butir BiFeO3 diamati 700.6 nm dengan lama penggerusan 30 menit. Penurunan ukuran butir mungkin akan tercapai dengan penggerusan yang lebih lama.Karena semakin kecil ukuran butir akan mempenaruhi sifat magnetik maupun sifat elektrik suatu material.
2
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Gb.4. Komposisi BiFeO3 dengan EDS Gb.2.Pertumbuhan kristal BiFeO3 dengan difraksi sinar X BiFeO3 ( ), Bi25FeO39 ( ), Bi2Fe4O9 ( )
Analisis Elemen Permukaan BiFeO3 dengan Photoelektron sinar X (XPS)
Komposisi BiFeO3
Senyawa kimia dan oksidasi dari Bi, Fe, O dianalisis dengan XPS pada interval spectrum 0 – 1400 eV seperti diperlihatkan pada gambar 5. Pada gambar 6, diamati adanya dua puncak dengaan energi binding 158 eV dan 164 eV berhubungan dengan elemen permukaan Bi4f7/2 dan Bi4f7/2. Pada gambar 7 ditemukan dua puncak pada energi binding 710 eV dan 724 eV dengan elemen permukaan Fe3+ 2p3/2 dan 2p1/2. Pada proses ini, ketika sampel ditembak terjadi photoelectron dari sel 2p dan energy kinetik photoelectron telah berkurang selama elektron bergerak dari orbital 3d ke orbital 4s yang kosong dan hasilnya di sini sebuah puncak berhubungan dengan energy loss. Tidak ada tambahan puncak yang berhubungan oksidasi Fe2+ melalui studi XPS. Pada gambar 8 puncak elemen permukaan O1s diamati pada 528 eV dalam bentuk oksida O2- dalam jumlah 13.35%. Hasil spectrum XPS dari campuran Bi, Fe, dan O ditemukan adanya atom C sebagai impuritas. Hal ini memperlihatkan BiFeO3 menyerap carbon meskipun dalam jumlah yang kecil. Puncak spectrum elemen permukaan C1s seperti diperlihatkan pada gambar 9 meskipun sebagai fasa impuritas memiliki komposisi 4.06% dari BiFeO3 diamati pada 284,5 eV. Selanjutnya tidak puncak elemen yang lain sebagai impuritas atau sebagai fasa kedua dari spektrum BiFeO3.
Hasil karakterisasi BiFeO3dengan EDS seperti ditunjukkan pada tabel 1. Kandungan berat Bi pada BiFeO3 dominan yaitu sebesar 70.88% sedangkan kandungan berat Fe hanya 11.71%. Hal ini menunjukkan material BiFeO3 sifat elektriknya lebih kuat atau dominan dibanding sifat magnetinya, hal ini dikarenakan atomBi bersifat diamagnetik dan atom Fe bersifat ferromagnetik. Namun pada material BiFeO3 muncul unsur diluar campuran yang dibuat yaitu unsur carbon meskipun hanya 4.06%. Munculnya unsur Carbon dikarenakan alat pembuat pellet terdapat unsur carbon dan BiFeO3 bersifat menyerap unsur carbon tersebut. Pada peper ini, sifat magnetik dan elektrik tidak dilaporkan. Komposisi unsur pembentuk material BiFeO3 diperlihatkan pada gambar 4.
Gb.3. Morphologi BiFeO3
3
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Gb.5. Analisis spektrum BiFeO3 dengan XPS
Gb. 6. Elemen permukaan Bi4f
4.
Kesimpulan
Pertumbuhan Kristal BiFeO3 dipengaruhi oleh temperatur. Semakin tinggi temperature pemanasan fasa tunggal BiFeO3 muncul secara dominan dan hilangnya fasa impuritas sebagai fasa kedua. Perlu dilakukan pemanasan lebih tinggi sampai ditemukan hilangnya fasa impuritas. Jumlah komposisi unsur pembentuk BiFeO3 mempengaruhi sifat magnetik dan elektrik. Penambahan
doping pada BiFeO3 dimungkinkan akan mempengaruhi perubahan spektrum dan puncak elemen permukaan Bi, Fe, dan O.
Penghargaan Terima kasih Pengelola Laboratorium Departemen Fisika Universitas Indonesia dan Laboratorium Departemen
4
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Fisika Universitas National Chungbuk, Cheongju Korea Selatan
Daftar Referensi [1] Fiebig,M. J.Phys.D:Appl.Phys,2005,38, R 123, DOI : 10.1088/0022-3727/38/8/R01 [2] Van Aken,B.B., Rivera,J., Schmid,H. Nature, 2007, 449,702. DOI : 10.1038/nature06139 [3] Kiselev, S.V., Ozerov, R.P., Zhandanov,G.S. Sov Phys Dokl. 1963,7,742 [4] Michel,C.,Moreau,J.M.,Achenback,G.D., Gerson,R., James,W.J., Solid State Commun, 1969, 7,701 [5] Cai, S. Bismuth-Containing Multiferroic; Synthesis, struktur and Magnetiic Properties, Chalmers University of Technology, Gothenburg Sweden, 2013 [6] Madhu,C., Bellakki,M.B., Mannivannan,V. Synthesis and Characterization of Cation-doped BiFeO3 material for photocatalytic applications, Indian Journal of Engineering and Material Sciences, vol.17(20100, pp.131-139 [7] Lotey,G.S., Verma,N.K, Structural, Magnetic, and Electric Properties of Gd-doped BiFeO3 nanoparticle with Reduced particle size, J Nanopart Res (2012)14:742. DOI 10.1007/1s11051-012-0742-7 [8] Suresh,P., Srinath,S., A Comparative study of sol-gel and Solid state solution Prepared La3+ doped Multiferroic BiFeO3, Advanced Materials Letters, 2013, Hyderabad 500046, India, DOI : 10.5185/amlett.2013.fdm.34 [9] Layek,S., Vera,H.C., Magnetic and Dielectric properties of multiferroic BiFeO3 nanoparticles synthesized by a novel citrate combustion method, Adv.Mat.Lett.2012,3(6),533-538. DOI : 10.5185/amlett.2012.icnano.242 [10] Zhi-Ling, H., Hai-Feng,Z., Yu-Qing,K., Enhanced Ferromagnetism and Microwave Dielectric properties of Bi0.95Y0.05FeO3 Nanocrystal, Chin.Phys.Lett.vol.28, No.3, 2011, 037702 [11] Bernado,M.S., Jardiel,T., Villegas,M., Sintering And microstructural characterization of W, Nb, and Ti Irron-substituted BiFeO3, Departement of Electroceramics, 2010, Madrid Spain
5
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
SIFAT OPTIK FILM TIPIS GaAs YANG DITUMBUHKAN DENGAN TEKNIK MOCVD VERTIKALMENGGUNAKAN TMGa AND TDMAAs Andi Suhandi1*, Yuyu R. Tayubi1 dan Pepen Arifin2 1. Prodi Fisika FPMIPA UPI, Jl. Dr. Setiabudhi No. 229, Bandung, 40154. 2. Prodi Fisika FMIPA ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung * e-mail:
[email protected] Abstrak Telah dilakukan studi eksperimen untuk meneliti pengaruh penggunaan sumber metalorganik baru yakni trimethylgallium (TMGa) dan trisdimethylaminoarsenic (TDMAAs) yang dikombinasi dengan variasi temperatur penumbuhan terhadap sifat optik film tipis GaAs yang ditumbuhkan dengan teknik vertical-metalorganic chemical vapor depositions (MOCVD-Vertikal) di atas substrat SI-GaAs. Pengukuran photoluminescence pada suhu ruang (RT-PL) telah dilakukan untuk menginvestigasi sifat optik film tipis GaAs hasil penumbuhan. Puncak spektrum PL pada suhu ruang untuk film tipis GaAs di atas substrat SIGaAs terjadi pada panjang gelombang eksitasi sekitar 8725 Å. Panjang gelombang eksitasi ini bersesuaian dengan nilai celah pita energi optik (optical bandgap, Eg) GaAs hasil penumbuhan sekitar 1,43 eV. Puncak intensitas spektrum PL nilainya bervariasi terhadap temperatur penumbuhan. Dalam rentang temperatur penumbuhan yang digunakan dalam studi ini, puncak intensitas spektrum PL tertinggi terjadi pada film tipis GaAs yang ditumbuhkan dengan temperatur 580oC. Temperatur penumbuhan optimum ini lebih kecil dibanding temperatur penumbuhan optimum untuk film tipis GaAs yang ditumbuhkan dengan menggunakan sumber-sumber metalorganik konvensional. Hasil ini menunjukkan keefektifan penggunaan TDMAAs dalam mereduksi temperatur untuk penumbuhan film tipis GaAs dengan teknik MOCVD-Vertikal. Kata Kunci: Sifat Optik, Film Tipis GaAs, MOCVD Vertikal, Temperatur Penumbuhan
Abstract Experimental studies to examine the effect of using the new metalorganic sources trimethylgallium (TMGa) and trisdimethylaminoarsenic (TDMAAs ) in combination with variations in growth temperature on the optical properties of GaAs thin films are grown using a vertical - metalorganic chemical vapor depositions (vertical-MOCVD) technique on SIGaAs substrate have been conducted. Photoluminescence measurements at room temperature (RT-PL) has been carried out to investigate the optical properties of grown GaAs thin films. PL spectrum peaks at room temperature for GaAs thin films on SI-GaAs substrate occurs at an excitation wavelength of about 8725 Å. This excitation wavelength corresponds to the value of the optical band gap (Eg ) of grown GaAs around 1.43 eV. The peak intensity of the PL spectrum value varies with the growth temperature. In the range growth temperature used in this study, the highest peak intensity of the PL spectrum was for GaAs thin films grown by temperature 580oC. The optimum growth temperature is lower than the optimum growth temperature for GaAs thin films grown using conventional metalorganic sources. These results indicate the effectiveness of the use of TDMAAs in reducing the growth temperature for GaAs thin films by Vertical-MOCVD technique. Keywords : Optical Properties , GaAs Thin Film , Vertical-MOCVD, Growth Temperature
1. Pendahuluan GaAs dan paduan ternary-nya merupakan marterial yang sangat potensial untuk aplikasi divais elektronik maupun optoelektronik. Bahan GaAs memiliki struktur celah pita energi dengan transisi langsung (direct bandgap) yang besarnya sekitar 1,42 eV. Kondisi ini membuat material GaAs berpotensi memiliki efisiensi konversi energi paling tinggi dibanding dengan bahan lain ketika dibuat divais sel surya [1]. Dan karena bahan ini juga memiliki ketahanan radiasi yang tinggi, maka sel surya dari bahan GaAs telah mendominasi untuk pemakaian di ruang angkasa sebagai sumber energi bagi satelit-satelit[2]. Untuk aplikasi divais-divais kuantum, material ini juga sangat kompatibel dibentuk dalam struktur hetero dengan material lain. Struktur sumur kuantum berbasis GaAs
potensial untuk aplikasi laser yang dapat mengemisikan panjang gelombang IR (infrared). Sumur kuantum AlGaAs/GaAs/AlGaAs telah diaplikasikan pada divais laser yang dapat mengemisikan panjang gelombang 827 nm [3], sumur kuantum GaAs/GaAsSb/GaAs memiliki potensi untuk aplikasi laser dan fotodetektor yang dapat beroperasi pada daerah panjang gelombang 1,3 - 1,55 m yang sangat dibutuhkan dalam sistem komunikasi yang menggunakan serat optik [4], sedangkan laser dengan struktur sumur kuantum InGaAs/GaAs dapat beroperasi pada panjang gelombang 1,2 m [5]. Disamping itu bahan GaAs juga dapat menunjukkan sifat magnetik ketika didadah dengan unsur-unsur magnetik seperti Mn yang dapat diaplikasikan untuk divais spintronik. Bahan (GaAs:Mn) menunjukkan sifat magnetik dengan temperatur Currie (T c) tertinggi sekitar 110
6
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
K [6]. Sperlattice GaMnAs/GaAs memiliki sifat feromegnetik dengan temperatur currie 60 K[7]. Dalam bentuk film tipis, bahan GaAs dapat ditumbuhkan dengan berbagai metode, seperti Chemical Beam epitaxy (CBE) [8], Metalorganic Molecular Beam Epitaxy (MOMBE) [9], Molecular Beam Epitaxy (MBE) [10], maupun Metalorganic Chemical Vapour Deposition (MOCVD) [11]. Berbagai sumber metalorganik yang biasa digunakan dalam penumbuhan film GaAs dengan metode MOCVD antara lain adalah TMGa dan TEGa sebagai sumber Ga (golongan III) dan TMAs, TEAs, TBAs serta Arsine (AsH3) sebagai sumber As (golongan V) [12]. Terdapat kemajuan yang begitu pesat dalam pengembangan sumber-sumber metalorganik baru untuk mengganti sumber-sumber metalorganik konvensioanal, terutama bahan-bahan hidrida golongan V yang sangat beracun seperti arsin (AsH3). Trisdimethylaminoarsenic (TDMAAs) telah dilaporkan jauh lebih aman dibanding arsin. Temperatur dekomposisi bahan ini jauh lebih rendah dari temperatur dekomposisi arsin, ditambah lagi bahan ini memiliki tingkat kontaminasi karbon yang cukup rendah karena pada bahan ini tidak terdapat ikatan langsung antara As dengan C. Dengan menggunakan bahan TDMAAs, rentang temperatur penumbuhan dapat diperlebar hingga rentang 275-600oC. Temperatur dekomposisi dan nukleasi yang relatif rendah sangat menguntungkan untuk fabrikasi struktur nano dengan MOCVD [13]. TDMAAs dapat melepaskan atom-atom As pada temperatur yang cukup rendah (300-450oC) [14]. Hasil-hasil proses dekomposisi TDMAAs terdiri atas As, kelompok amino reaktif seperti N(CH3)2 dan aziridine (HN(CH2)2) serta atom-atom hidrogen. Kelompok amino yang sangat reaktif akan bereaksi dengan hidrokarbon reaktif yang lain (misalnya dari trimethylgallium TMGa atau dari triethylgallium TEGa) membentuk molekulmolekul volatile yang secara signifikan akan mereduksi kandungan ketakmurnian karbon yang terinkorporasi dalam film GaAs [9]. Untuk aplikasi piranti optoelektronik, film tipis semikonduktor harus memiliki sifat optik yang memadai. Salah satu sifat optik yang paling penting yang merupakan penciri material semikonduktor adalah celah pita energi optik (optical bandgap = Eg). Paper ini memaparkan sifat optik film tipis GaAs hasil penumbuhan dengan teknik MOCVDVertikal menggunakan sumber-sumber metalorganik TDMAAs dan TMGa dengan variasi pada temperatur penumbuhan. Dalam metode MOCVD, temperatur penumbuhan memegang peranan yang sangat penting karena sebagai suplai energi yang akan mengendalikan proses ikatan reaktan-reaktan pada permukaan substrat. Sifat optik yang ditinjau difokuskan pada nilai Eg hasil pengukuran spektrum photoluminescence (PL) pada temperatur ruang.
2. Metode Penelitian Film tipis GaAs telah ditumbuhkan dengan metode MOCVD tipe vertikal pada basis tekanan reaksi sekitar 50 Torr. Melalui pipa-pipa stainless-steel reaktan-reaktan golongan III dan V dasalurkan secara terpisah, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya reaksi parasitik. Sebagai gas pembawa digunakan hidrogen (H2) yang sebelumnya telah dimurnikan dengan cara didifusikan melalui membran palladium. Untuk mengontrol tekanan uap sumber-sumber metalorganik, TMGa dan TDMAAs disimpan dalam bubbler-bubbler yang temperaturnya dikontrol secara ketat, TMGa dikontrol pada temperatur -10oC hingga - 12oC , sedangkan TDMAAs pada temperatur 24oC. Sebagai media tumbuh digunakan substrat Semi-Insulating GaAs (SI-GaAs) dengan orientasi (100). SI-GaAs dipilih sebagai substrat selain karena memiliki kecocokan parameter kisi dengan film GaAs yang ditumbuhkan juga sifat insulatingnya diperlukan pada saat karaketrisasi sifat listriknya. Sebelum dipergunakan, terlebih dahulu substrat dibersihkan dari debu dan lemak dengan cara dicuci menggunakan aseton, metanol, dan DI-Water, masing-masing 10 menit. Selanjutnya dilakukan pengetsaan menggunakan larutan H2SO4 : H2O2 : DI-Water dengan perbandingan 3 : 1 : 1 selama 2 menit. Setelah itu dibilas kembali dengan DI-Water dan dikeringkan dengan cara menyemprotkan gas nitrogen, kemudian dengan segera substrat dimasukan ke dalam tabung reaktor MOCVD agar terhindar dari oksidasi.Adapun paramter-parameter penumbuhan yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter penumbuhan film Tipis GaAs Sampel #1
Temperatur penumbuhan 570oC
Rasio As/Ga 4,8
Dilusi H2 dan N2 300 sccm
#2
580oC
4,8
300 sccm
#3
590oC
4,8
300 sccm
Rasio As/Ga dipilih tinggi (4,8) dengan tujuan mereduksi kontaminasi karbon (C) pada film GaAs yang bersumber dari TMGa. Pyrolisis TMGa akan menghasilkan radikal-radikal methyl yang dapat teradsorpsi pada permukaan substrat, dan jika spesies As jumlahnya kurang maka dekomposisi dari radikal-radikal ini akan menghasilkan spesies carbene (=CH2) yang memiliki ikatan kuat pada permukaan, sebagai akibatnya karbon akan terinkorporasi pada film dan berperilaku sebagai dopan tipe-p. Untuk mereduksi tingkat inkorporasi karbon ini dapat dilakukan dengan cara memperbesar rasio As/Ga [15]. Efek temperatur penumbuhan terhadap kualitas kristal dan sifat optik film tipis GaAs hasil
7
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
penumbuhan diinvestigasi melalui karakterisasi struktur kristal menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) dan pengukuran nilai celah pita energi optik (Eg) menggunakan sistem Photoluminiscence (PL).
3. Hasil dan Pembahasan Gambar 1 menunjukkan pola difraksi sinar-X untuk sampel film tipis GaAs yang ditumbuhkan di atas substrat SI-GaAs pada temperatur penumbuhan 580oC. Tampak bahwa film tipis GaAs yang ditumbuhkan dengan temperatur penumbuhan 580oC memiliki orientasi kristal tunggal yaitu pada bidang (200) dan (400) sesuai dengan orientasi kristal substrat SI-GaAs (100). Hal ini menunjukkan bahwa film tipis GaAs hasil penumbuhan merupakan lapisan yang epitaksial.
Gambar 1. Pola XRD film tipis GaAs yang ditumbuhkan pada temperatur 580oC Gambar 2 menunjukkan spektrum Photoluminescence dari film tipis GaAs hasil pengukuran pada temperatur ruang (300K). Tampak bahwa puncak spektrum PL terjadi pada panjang gelombang 8725 Å. Panjang gelombang ini bersesuaian dengan energi sebesar 1,43 eV. Hal ini menunjukkan bahwa film tipis GaAs hasil penumbuhan memiliki lebar celah pita energi sebesar 1,43 eV. Hasil ini sesuai dengan hasil-hasil pengukuran PL yang dilaporkan pada referensi [16]. Pada Gambar 2 tampak bahwa puncak intensitas spektrum PL meningkat ketika temperatur penumbuhan ditingkatkan dari 570oC menjadi 580oC, dan menurun kembali ketika temperatur penumbuhan ditingkatkan lagi menjadi 590oC. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat temperatur penumbuhan optimum untuk menghasilkan puncak intensitas spektrum PL film tipis GaAs yang ditumbuhkan dengan MOCVD vertikal menggunakan sumber-sumber TMGa dan TDMAAs yaitu 580oC.
Gambar 2. Spektrum PL pada temperatur ruang untuk film tipis GaAs yang ditumbuhkan pada temperatur penumbuhan 570oC, 580oC dan 590oC Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan software Macrocal Origin, diperoleh nilai Full Width at Half Maximum (FWHM) untuk setiap puncak intensitas spektrum PL untuk setiap temperatur penumbuhan seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Tampak bahwa nilai FWHM puncak intensitas spektrum PL nilainya menurun ketika temperatur deposisi ditingkatkan dari 570oC menjadi 580oC, dan meningkat kembali ketika temperatur penumbuhan ditingkatkan lagi menjadi 590oC. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat temperatur penumbuhan optimum untuk penumbuhan film tipis GaAs dengan teknik MOCVD-Vertikal. Temperatur optimum ini lebih rendah dibanding dengan temperatur optimum penumbuhan film tipis GaAs dengan teknik MOCVD menggunakan sumber-sumber metalorganik konvensional seperti arsine (AsH3), TEAs maupun TMAs. Ini menunjukkan keefektifan penggunaan TDMAAs dalam mereduksi temperatur penumbuhan film tipis GaAs dengan teknik MOCVD-Vertikal.
Gambar 3. FWHM Spektrum Photoluminescence (PL) untuk Film Tipis GaAs Yang Ditumbuhkan pada Temperatur 570oC, 580oCdan590oC
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengukuran spektrum Photoluminescence (PL) pada suhu ruang diperoleh nilai celah pita energi optik (Eg) film tipis GaAs hasil penumbuhan MOCVD-Vertikal sekitar 1,43
8
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
eV. Nilai Eg sebesar ini cukup memadai untuk film tipis GaAs. Kualitas kristal film tipis GaAs meningkat ketika temperatur penumbuhan ditingkatkan dari 570oC menjadi 580oC dan menurun kembali ketika temperatur penumbuhan ditingkatkan lagi menjadi 590oC. Menunjukkan bahwa terdapat temperatur penumbuhan optimum untuk menumbuhkan film tipis GaAs dengan teknik MOCVD-Vertikal. Temperatur optimum ini lebih rendah dibanding penggunaan sumber-sumber metalorganik konvensional seperti arsine (AsH3), TEAs maupun TMAs. Ini menunjukkan keefektifan penggunaan TDMAAs dalam mereduksi temperatur penumbuhan film tipis GaAs dengan teknik MOCVD-Vertikal.
Daftar Acuan [1] Gerardo L. Araujo, Compound Semiconductor Solar Cells, dalam Antonio Luque, Solar Cells and Optics for Photovoltaic Concentration, IOP Publishing Ltd, england, 1989. [2] M. Meyer and R. A. Metzger, The Comercial Satelite Industry Convert to Compound Semiconductor Solar Cells, Compound Semiconductor, Nov/Dec. 1996. [3] A. J. Stecki, P. Chen, X. Cao, H. E. Jackson, M. Kumar, J. T. Boyd, GaAs quantum well distributed Bragg reflection laser with AlGaAs/GaAs superlattice gratings fabricated by focused ion beam mixing, Appl. Phys. Lett. 67(2), 10, 1995. [4] D. S. Jiang, L. F. Bian, X. G. Liang, K. Chang, B. Q. Sun, S. Johnson, Y. H. Zhang, Structural and optical properties of GaAsSb/GaAs heterostructure quantum wells, Journal of Crystal Growth 268, 2004, 336 - 341. [5] T. K. Sharma, M. Zorn, F. Bugge, R. Huselwede, G. Elbert, M. Weyers, HighPower Highly Strained InGaAs Quantum Well Lasers Operating at 1,2 m, IEEE Photonics Technology Letters, vol. 14, no. 7, 2002. [6] H. Onno, A. Shen, F. Matsukura, A. Oiwa, A. Endo, S. Katsumoto, and Y. Iye, Appl. Phys. Lett. 69, 363 (1996). [7] J. Sadowski, R. Mathieu, P. Svedlindh, M. Karlsteen, J. Kanski, Y. Fu, J. T. Domagala, W. Szuskiewicz, B. Hennion, D. K. Maude, R. Airey, G. Hill, Ferromagnetic GaMnAs/GaAs superlattices-MBE growth and magnetic properties, Thin Solid Film 412 (2002) 122-128. [8] N. Putz, H. Heinecke, M. Heyen, P. Balk, M. Weyers, H. Luth, J. Crystal Growth, 1986, 74, 292.
[9] D. Marx, H. Asahi, X. F. Liu, M. Higashiwaki, A. B. Villaflor, K. Miki, K. Yamamoto, S. Gonda, S. Shimomura, S. Hiyamizu, Low temperature etching and improved morfology of GaAs grown by metalorganic molecular beam epitaxy using trisdimethylaminoersenic and triethylgallium, Journal of Crystal Growth 150 (1995) 551-556. [10] T. Nishinaga, A. Yamashiki, Recent understanding of elementry growth processes in MBE of GaAs, Thin Solid film, 343-344 (1999) 495-499. [11] S. P. Watkins, G. Haacke, Appl. Phys. Lett., 1991, 59, 2263. [12] A. C. Jones, P. O‟Brien, CVD of Compound Semiconductors, VCH, 1997. [13] H. Kuramochi, J. Cui, M.Ozeki, H. Uchida, H. Akinaga, H. Yoshida, N. Sanada, Y. Fukuda, Decomposition of TDMAAs and As Nucleation on GaAs (001)-2x4 at Low temperature, Appl. Phys. Lett., vol 81(1),2002, 132-134. [14] K. Yamamoto, H. Asahi, T. Hayashi, K. Hidaka, S. Gonda, Selective area etching of III-V semiconductors using TDMAAs and TDMASb in metalorganic molecular beam epitaxy chamber, Journal of Crystal Growth 175/176 (1997) 12361241. [15] C. R. Abernathy, S. J. Pearton, F. A. Baiocchi, T. Ambrose, A. S. Jordan, D. A. Bohling, G. T. Muhr, J. Crystal Growth 1991, 110, 547. [16] O. Madelung, Semiconductors-Basic Data, 2nd revised edition, Springer-Verlag, BerlinHeidelberg, 1996.
9
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
SIFAT OPTIK FILM TIPIS GAN YANG DIDEPOSISI DENGAN TEKNIK SPINCOATING DI ATAS SUBSTRAT SAPPHIRE Yuyu R. Tayubi* dan Andi Suhandi Prodi Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jl. Dr. Setiabudhi No. 229, Bandung, 40154 *e-mail:
[email protected] Abstrak Telah dilakukan studi sifat optik film tipis Galium Nitrida (GaN) hasil deposisi dengan teknik spincoating di atas substrat sapphire menggunakan sumber gel gallium-citrate-amine dan gas Nitrogen. Sifat optik yang ditinjau mencakup penentuan celah pita energi optik melalui pengukuran spektroskopi UV-Vis dan spektrum fotoluminisensi pada suhu ruang (RT-PL). Hasil perhitungan dengan menggunakan metode Tauc-Plot yang didasarkan data pengukuran spektroskopi UV-Vis menghasilkan nilai celah pita energi optik film tipis GaN hasil deposisi sekitar 3,46 eV. Sedangkan dari pengukuran spektrum PL pada suhu ruang dihasilkan puncak intensitas spektrum PL untuk film tipis GaN terjadi pada panjang gelombang eksitasi sekitar 3617 nm. Panjang gelombang eksitasi ini bersesuaian dengan nilai celah pita energi (Eg) GaN sekitar 3,44 eV. FWHM dari puncak intensitas spektrum PL nilainya bervariasi terhadap temperatur deposisi. Dalam rentang temperatur deposisi yang digunakan, nilai FWHM puncak intensitas spektrum PL nilainya makinkecil ketika temperatur deposisi ditingkatkan hingga 1223 K. Kata Kunci: Sifat Optik, Film Tipis GaN, Spincoating, Temperatur Deposisi
Abstract Studies of optical properties of gallium nitride (GaN) thin films deposited by spincoating technique on sapphire substrates using the sources of gallium-citrate-amine gel and nitrogen gas have been done. Optical properties that are reviewed include the determination of the optical band gap by UV-Vis spectroscopy and photoluminescence spectrum at room temperature (RT-PL) measurements. The calculations results using the Tauc–Plot method based on UV - Vis spectroscopy data yield values of optical band gap of deposited GaN thin film about 3.46 eV. While the measurement of PL spectra at room temperature resulting peak intensity of PL spectra for GaN thin films at excitation wavelengths around 3617 Å. This excitation wavelength corresponds to the value of the optical band gap (Eg) of GaN thin film around 3.44 eV. FWHM of the peak intensity of the PL spectrum value varies with deposition temperature. In a deposition temperature range used in this work, the value of FWHM of the peak intensity of the PL spectrum decreased when the deposition temperature increased up to 1223 K. Keywords : Optical properties , GaN Thin Films, Spincoating , Deposition Temperature
1. Pendahuluan Galium Nitrida(GaN) merupakan bahan semikonduktor yang memiliki celah pita energi lebar (Eg = 3,45 eV pada temperatur ruang) dengan struktur celah pita energi langsung (direct) [1]. GaN dan aloy-nya (seperti AlGaN dan InGaN) telah banyak digunakan untuk fabrikasi piranti elektronik dan optoelektronik berefisiensi tinggi. GaN sangat potensial untuk aplikasi piranti optoelektronik yang beroperasipada daerah spektrum biru dan ultraviolet (UV). Penggunaan piranti optoelektronik yang dibuat dari bahan berbasis GaN telah sangat luas mulai dari pirantipiranti pada sistem satelit komunikasi hingga piranti-piranti pada sistem peralatan untuk survey kebumian yang tidak dapat diakses,displayblue light emitting diode (Blue LED) berintensitas
tinggi, detektor UV, dan unit penyimpan data optik dengan kapasitas penyimpanan jauh lebih tinggi dari yang telah difabrikasi sebelumnya. Selain itu, piranti optoelektronik yang dibuat dari bahan berbasis grup III-nitrida dapat dioperasikan padatemperatur yang lebih tinggi dibanding piranti sejenis yang dibuat dari bahan lain baik semikonduktor elemental maupun dari bahan paduan II-IV atau bahan paduan III-V lainnya, hal ini dikarenakan ikatan kimia unsur-unsurnya lebih kuat dan adanya sifat relative chemical inertness dari bahan ini [2, 3, 4, 5, 6, 7]. Film tipis GaN berkualitas tinggi telah berhasil dideposisi di atas berbagai substrat dengan menggunakan berbagai teknik deposisi. Beberapa diantaranya adalah teknik metalorganic vapor phase epitaxy di atas substrat GaN [8], teknik plasma-assisted molecular beam epitaxy di atas
10
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 substrat Al2O3 [9], teknik metalorganic chemical vapor deposition di atas substrat Al2O3 dan substrat Silikon [10, 5, 11], teknik sputtering di atas substrat Al2O3 [12], teknik pulsed laser ablation deposition diatas substrat Al2O3 [7], teknik nebulized spray pyrolysis dan sol-gel spincoating di atas substrat Al2O3 dan Silikon [13]. Meskipun, kualitas film tipis GaN hasil deposisi dengan teknik spincoating tidak bisa dibandingkan dengan hasil deposisi dengan MOCVD and MBE, terurama dalam hal morfologi permukaan dan homogenitasnya, tetapi teknik ini sangat sederhana dan murah biaya operasionalnya. Melalui proses optimalisasi kondisi dan parameter deposisi dimungkinkan untuk mendapatkan film tipis berkualitas baik dengan menggunakan teknik ini. Untuk aplikasi piranti optoelektronik, film tipis semikonduktor harus memiliki sifat optik yang memadai. Salah satu sifat optik yang paling penting yang merupakan penciri material semikonduktor adalah celah pita energi optik (optical bandgap = Eg). Paper ini memaparkan sifat optik film tipis GaN hasil deposisi dengan teknik spincoating pada temperatur yang bervariasi. Sifat optik yang ditinjau difokuskan pada nilai Eg hasil pengukuran transmisi spektrum UV-Vis dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis dan pengukuran spektrum fotoluminisensi (PL) pada temperatur ruang.
2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini film tipis GaN dideposisi dengan teknik spin-coating menggunakan gel gallium-citrate-aminedan gas Nitrogen. Kristal gallium-citrate-aminememiliki formula kimia (NH4)3[Ga(C6H5O7)2]4H2O. Kristal ini dipreparasi dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Sardar [13]. Serbuk kristal dilarutkan dalam ethylenediamine (1:3, w/v) untuk mendapatkan larutan bening, yang dapat bertahan hingga lebih dari 200 hari. Larutan ini digunakan untuk deposisi film tipis GaN dengan teknik spincoating di atas substrat kristal tunggal Al2O3 (0001). Substrat sapphire (Al2O3) diletakkan di atas spincoater. Satu hingga dua tetes larutan ditempatkan di atas substrat sapphire dan kemudian substrat diputar pada laju putaran 1500 rpm selama 2 menit. Lapisan gel yang terbentuk kemudian dikeringkan pada suhu 373-423 K di atas hot plate, setelah itu dilakukan proses dekomposisi pada 673 K untuk mengeliminasi komponen-komponen organik pada lapisan. Film hasil dekomposisi kemudian ditempatkan pada programmable furnace untuk proses deposisi. Temperatur furnace dinaikkan secara perlahan hingga mencapai 1123 K dari suhu ruang dengan laju peningkatan suhu 10 K/min, selama proses peningkatan suhu furnace kedalamnya dialirkan nitrogen ultra high purity (UHP) dengan laju aliran yang konstan. Suhu
furnace ditahan 1123 K selama 3 jam untuk deposisi film tipis GaN. Setelah itu suhu furnace diturunkan kembali hingga mencapai suhu ruang untuk mendapatkan film tipis zat padat Galium Nitrida (GaN). Untuk melihat pengaruh temperatur deposisi terhadap sifat optik film tipis GaN hasil deposisi, maka temperatur deposisi divariasikan : 1123K, 1173K, dan 1223K. Struktur kristal film tipis GaN dikarakterisasi dengan X-ray diffraction (XRD) sementara sifat optik film GaN diinvestigasi dengan spektroskopi transmitansi UV-Vis dan Photoluminescence (PL) pada temperatur ruang untuk menentukan celah pita energi (Eg) film tipis GaN hasil deposisi.
3. Hasil dan Pembahasan Gambar 1 menunjukkan pola difraksi sinar-X untuk film tipis GaN hasil deposisi pada temperatur 1123K, 1173K dan 1223K. Dapat dilihat bahwa film tipis GaN hasil deposisi memiliki orientasi polikristal, yakni dalam arah bidang (1010), (0002), (1011), and (1120). Kualitas kristal film GaN meningkat ketika temperatur deposisi ditingkatkan, hal ini ditunjukkan oleh makin tingginya puncak intensitas orientasi bidang (0002) ketika temperatur deposisi ditingkatkan. Ketika temperatur deposisi ditingkatkan orientasi kristal film GaN mengarah pada kristal tunggal yaitu dalam arah (0002). Hal ini menunjukkan bahwa ketika temperatur deposisi ditingkatkan, energi yang disediakan untuk dekomposisi nitrogen dan untuk pembentukan ikatan antar unsur film GaN dan ikatan unsur GaN dengan substrat menjadi lebih memadai. Sehingga kualitas kristal film tipis GaN hasil deposisi makin meningkat.
Gambar 1. Pola Difraksi Sinar-X untuk Film Tipis GaN yang Dideposisi pada Temperatur: a. 1123 K b. 1173 K c. 1223 K Gambar2 menunjukkan spektrum transmisi cahaya tampak-ultraviolet pada film tipis GaN yang dideposisi pada temperatur 1223K hasil
11
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 pengukuran spektroskopi UV-Vis. Berdasarkan data spektrum tersebut dapat ditentukan nilai celah pita energi film tipis GaN dengan metode TauchPlot. Dengan metode ini diperoleh bahwa film tipis GaN hasil deposisi memiliki lebar celah pita energi sebesar 3,46 eV, hampir sama dengan nilai celah pita energi untuk bahan GaN yang tertera dalam buku-buku referensi.
Gambar 2. Spektrum Transmisi dari Film Tipis GaN Gambar3 menunjukkan spektrum Photoluminescence dari film tipis GaN hasil pengukuran pada temperatur ruang. Tampak bahwa puncak spektrum PL terjadi pada panjang gelombang 3617 Å. Panjang gelombang ini bersesuaian dengan energi sebesar 3,44 eV. Hal ini menunjukkan bahwa film tipis GaN hasil deposisi memiliki lebar celah pita energi sebesar 3,44 eV, hampir sama dengan nilai celah pita energi hasil pengukuran dengan spektroskopi UV-Vis. Pada Gambar 3 tampak bahwa puncak intensitas spektrum PL meningkat ketika temperatur deposisi ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan hasil-hasil pengukuran PL yang dilaporkan pada referensi [14, 15, 16].
temperatur deposisi seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Tampak bahwa nilai FWHM puncak intensitas spektrum PL nilainya bertambah kecil ketika temperatur deposisi ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika temperaturdeposisi ditingkatkan hingga 1223K, kualitas kristal film tipis GaN hasil deposisi bertambah baik.
Gambar 4. FWHM Spektrum Photoluminescence (PL) untuk Film Tipis GaN yang Dideposisi pada Temperatur: a. 1123 K b. 1173 K c. 1223 K
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengukuran spektrum transmisi UV-Vis dan pengukuran spektrum Photoluminescence (PL) pada suhu ruang diperoleh nilai celah pita energi optik (Eg) film tipis GaN hasil spincoating sekitar 3,44 eV. Nilai Eg sebesar ini cukup memadai untuk film tipis GaN. Kualitas kristal film tipis GaN semakin meningkat ketika temperatur deposisi ditingkatkan dari 1123 K hingga 1223K, hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan orientasi bidang kristal yang mengarah kepada orientasi kristal tunggal dan semakin tingginya puncak intensitas spektrum PL ketika temperatur deposisi ditingkatkan.
Daftar Acuan
Gambar 3. Spektrum Photoluminescence (PL) pada Suhu Ruang untuk Film Tipis GaN yang Dideposisi pada Temperatur: a. 1123 K b. 1173 K dan c. 1223 K Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan software Macrocal Origin, diperoleh nilai Full Width at Half Maximum (FWHM) untuk setiap puncak intensitas spektrum PL untuk setiap
[1] O. Madelung, Semiconductor Basic Data, 2nd edition, 1996. [2] S. Nakamura, M. Senoh, T. Mukai, 1991,High-Power GaN P-N Junction BlueLight-Emitting Diodes,Jpn. J. Appl. Phys., 30 (1991) L1998. [3] M. Razeghi and Rogalski, Seniconductor ultraviolet detectors, A., J. Appl. Phys. 79 (1996) 10. [4] E. Monroy, F. Calle, F, J. L. Pau, E. Munoz, F. Omnes, B. Beaumont, P. Gibart, Application and performance of GaN based UV detector, Phys. Stat. Sol. (a),185 (2001) 91. [5] S. Nakamura, Y. Harada, M. Senoh, Novel metalorganic chemical vapor deposition system for GaN growth Appl. Phys. Lett., 58(18) (1997) 2021.
12
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 [6] M. A. Khan, J. N. Kuznia, A. R. Bhattarai, D. T. Olson, High electron mobility transistor based on a GaN‐AlxGa1−xN heterojunction Appl. Phys. Lett., 9 (1993) 1214. [7] D. Rusdiana, A. Suhandi, S. Karim, Sukirno, M. Budiman, M. Barmawi, Growth of GaN thin films by pulsed laser deposition and its application on ultraviolet detectors, ISTEC Journal, VI (2004) 35-44. [8] T. Detchprohm, K. Hiramatsu, N. Sawaki, I. Akasaki, 1991, The homoepitaxy of GaN by metalorganic vapor phase epitaxy using GaN substrate, J. Cryst. Growth, 137 (1991) 171 [9] S. Yoshida, S. Misawa, S. Gonda, Improvements on the electrical and luminescent properties of reactive molecular beam epitaxially grown GaN films by using AlN‐coated sapphire substrates, Appl. Phys. Lett., 42 (1983) 427. [10] Sugianto, R. A. Sani, P. Arifin, M. Budiman, M. Barmawi, 2000, Growth of GaN films on aplane sapphire substrate by plasma assisted MOCVD, J. Cryst. Growth, 221 (2000) 311. [11] T. Takeuchi, H. Amano, K. Hiramatsu, N. Sawaki, I. Akasaki, 1991, Growth of single crystalline GaN film on Si substrate using 3CSiC as an intermediate layer, J. Cryst. Growth, 115 (1991) 634. [12] H. Okano, N. Tanaka, Y. Takahashi, T. Tanaka, K. Shiabata, S. Nakano, Preparation of aluminum nitride thin films by reactive sputtering and their applications to GHz-band surface acoustic wave devices,Appl. Phys. Lett., 64 (1994)166. [13] K. Sardar, A. R. Raju, G. N. Subbanna, Epitaxial GaN films deposited on sapphire substrates prepared by the sol-gel method, Solid states communications, 125 (2003) 355358. [14] C. W. Lee, S. T. Kim and K. S. Lim, Photoluminescence Studies of GaN and InGaN/GaN Quantum Wells, Journal of the Korean Physical Society, 35 (1999), 280-285. [15] J. Cao, D. Pavlidis,a) and A. Eisenbach, A. Philippe, C. Bru-Chevallier, and G. Guillot, Photoluminescence properties of GaN grown on compliant silicon-on-insulator substrates, Appl. Phys. Lett., 71 (26) (1997) 3880-3882. [16] D. K. Kim and C. B. Park, Photoluminescence Studies of GaN Films on Si(111) Substrate by Using an AlN Buffer Control, Journal of the Korean Physical Society, 47 (2005)1006-1009.
13
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
BATAS FASA STRUKTUR MESOSKOPIK SUPERKONDUKTOR HIBRID PB/AL Elistia Liza Namigo 1*, Nele Schildermans2 1
Jurusan Fisika Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis Padang 25163 2 INPAC, KU Leuven, Celestijnenlaan 200D Leuven, Belgium, 3001 *)Email:
[email protected] Abstrak
Pengukuran dilakukan untuk menentukan batas fasa superkonduktor/normal pada struktur makroskopik dan struktur mikroskopik superkonduktor hibrid Pb/Al. Struktur terdiri lapisan Al setebal 50 nm dan 50 nm lapisan Pb yang (dideposisi di atas lapisan Al), diantara kedua lapisan dideposisikan Ge setebal 10 nm untuk memastikan bahwa Al dan Pb hanya terkopling secara magnetik. Istilah „makroskopik‟ dan „mesoskopik‟ didefinisikan masing-masing untuk struktur dengan diameter 4 μm dan 1,5 μm. Teknik deposisi yang digunakan adalah bi-layerlift-off e-beam lithography. Pengukuran dilakukan di dalam 3He bath cryostat dengan range temperatur berkisar mulai dari di bawah 1K sampai di bawah nilai Tc dari Pb yaitu 7.19 K. Arus sebesar 5μA diterapkan pada sampel pada saat melakukan pengukuran R(T) pada medan magnet konstan. Pengukuran dilakukan untuk beberapa nilai medan magnet dengan step 0.1 mT. Sebagai acuan, dilakukan juga pengukuran untuk sampel Al dengan radius 4 μm dan 1,5 μm dan ketebalan 50nm.. Batas fasa superkonduktor/normal dari struktur hibrid Pb/Al bergeser ke arah Pb yang mengindikasikan bahwa medan pada Al didominasi oleh Pb dan menunda munculnya vortex. Nilai Tc untuk sampel-sampel mesoskopik mengalami penurunan dibandingkan sampel-sampel makroskopik, hal ini mengindikasikan bahwa nukleasi superkonduktivitas dalam bahan sangat dipengaruhi oleh ukuran permukaan batas sampel.
Abstract Investigation of the phase boundary of superconducting Pb/Al hybrid macroscopic and mesoscopic structures is conducted and reported. The structures consists of 50 nm thin Al circular disk with 50 nm Pb disk deposited on top of it and 10 nm Ge deposited in between as insulation layer. Radius of the disk is 4 μm for macroscopic and 1,5 μm for mesoscopic structures. Deposition process was carried out with bi-layer lift-off electronic beam lithography technique. The measurements are performed in a 3He bath cryostat with temperature range from below 1 K to less than 7.19 K (T c of Pb). Current of 5μA is applied to the sample and the R(T) measurement is performed for constant magnetic field H. Measurements are done for several values of magnetic field with a step of 0.1 mT. Field cooled measurements on macroscopic Al disk with diameter 4 μm and 1,5 μm and 50 nm thickness were carried out for reference. Results indicates that Pb strongly screened the field of Al for both macroscopic and mesoscopic samples with Little-Parks oscillation observed for mesoscopic disk. Tc values of macroscopic and mesoscopic samples show that superconductivity nucleation is strongly dependant on samples‟ boundary surface. Keywords: Coherence Length, Phase-Boundary, Little-Parks Oscillations.
1. Pendahuluan Potensi pemanfaatan bahan superkonduktor untuk aplikasi mikro dan nano-elektronik telah menstimulasi banyaknya penelitian dibidang ini pada tiga dasawarsa terakhir. Karakteristik dari bahan superkonduktor (temperatur kritis T c, medan magnet kritis Hc, arus kritis Ic, energi permukaan, kestabilan termal, dll) berubah secara dramatis ketika satu atau lebih dimensi ukur dari bahan tersebut lebih kecil dari panjang karakteristiknya (coherence length (0) dan London penetration depth λL) sebagai contoh : film tipis (2D)[1], nanowires (1D)[2] dan butir/granular (0D)[3]. Perubahan karakteristik ini terutama disebabkan oleh terbatasnya gerak elektron pada bahan akibat terbentuknya level-level energi diskret seiring
berkurangnya panjang dimensi dari bahan (electronic confinement)[4]. Fenomena ini dikenal dengan istilah superconducting size-effect [5]. Superconducting proximity effect juga merupakan fenomena yang menarik pada superkonduktor dengan dimensi pada orde panjang karakteristiknya. Teori proximity-effect ini menyatakan bahwa jika suatu bahan superkonduktor (S) berada dekat atau kontak dengan bahan non-superkonduktor (N) , bahan isolator (I) ataupun bahan superkonduktor lain dengan Tc yang lebih rendah (S‟) maka akan terjadi induksi superkonduktivitas pada bahan N/I/S‟ akibat penetrasi fungsi gelombang S ke dalam bahan N/I/S‟ dan supresi Tc pada bahan S akibat pecahnya Cooper-pair (pair-breaking effect of Cooper pairs) [6,7]. Proximity-effect ini merupakan
14
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 dasar dari prinsip kerja Josephson tunnel junction yang merupakan sistem S-I-S atau S-N-S[8]. Supresi Tc pada kurva H-T batas fasa (phase boundary) superkonduktor yang berada dalam pengaruh medan magnet luar juga disebabkan oleh kuantisasi fluxoid (medan magnet yang terperangkap di dalam superkonduktor terkuantisasi dalam satuan ) yang pada gilirannya akan menyebabkan osilasi periodik resistansi sebagai fungsi medan magnet yang diterapkan. Osilasi periodik dari resistansi/Tc ini disebut dengan osilasi Little-Parks [9]. Efek kuantisasi fluxoid telah diamati secara eksperimen untuk struktur mesoskopik Al dengan berbagai macam bentuk seperti cincin, piringan dan kawat. Batas fasa H-T berbeda-beda untuk sampel dengan bentuk yang berbeda, Osilasi R hanya teramati pada temperature sekitar Tc sangat bergantung pada bentuk sampel karena permukaan batas dari bentuk sampel menentukan „confinement geometry‟ Periode supresi Tc mengecil seiring pertambahan medan [10,11].
2. Metode Penelitian Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi struktur makroskopik dan mesoskopik superkonduktor hibrid S/S‟ - Pb/Al (yang terkopling secara magnetik) untuk melihat pengaruh Pb terhadap batas fasa Al sebagai basis untuk memahami mekanisme superkonduktivitas pada superkonduktor temperatur tinggi (High-Tc Superconductor) yang dapat diasumsikan merupakan stack S-N , S-I, atau S-S‟. Istilah „makroskopik‟ merujuk pada sampel berbentuk piringan dengan jari-jari 4 μm dan „mesoskopik‟ untuk piringan dengan jari-jari 1,5 μm. Sebagai bahan perbandingan dibuat sampel Al berbentuk piringan dengan jari-jari 4 μm dan 1.5 μm dengan ketebalan 50nm.
2.1 Persiapan sampel Sample disiapkan melalui teknik liftoffbilayer maskselectronic beam lithography. Substrat Si (single crystalline) dilapisi dengan lapisan isolasi termal setebal 500 nm. Dua lapisan PMMA (polymethyl metaclyrate) setebal 180 nm dan 150 nm dideposisi di atas substrat dengan teknik spin-coating. Lapisan PMMA tersebut sebagai resist kemudian secara lokal dipapar terhadap electron beam sesuai dengan pola yang dikehendaki dan kemudian di- develop di dalam campuran larutan isopropyl alcohol dan methyl isobutyl ketone. Lapisan PMMA yang kedua larut lebih cepat menghasilkan profil overhang. Film tipis Al setebal 50 nm dideposisi di atas lapisan resist. Lapisan resist dan Al kemudian diangkat
melalui teknik lift-off. Proses ini diulang untuk mendeposisikan lapisan Pb setebal 50nm di atas Al dengan terlebih dahulu menambahkan lapisan Ge di antara kedua lapisan tersebut untuk memastikan Al dan Pb hanya terkopling secara magnetik namun terisolasi secara kelistrikan. Struktur akhir hasil deposisi dapat dilihat pada Gambar 1 dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Struktur Al/Pb dengan empat kontak (a)Mikrograf SEM (b)Skema lapisan Tabel 1. Spesifikasi sampel Al Radius Makro : 4 µm Meso : 1.5 µm
Hibrid Pb/Al Radius Makro : 4 µm Meso : 1.5 µm
Ketebalan : 50nm Makro ξ(0) = 178 nm Tc = 1.29 K Meso ξ(0) = 153 nm Tc = 1.02 K
Ketebalan : Pb : 50nm Ge : 10nm Al : 50nm
Pb (Bulk) ξ(0) = 83nm,
Tc =7.19K
2.2. Teknik pengukuran Sebagai langkah awal dilakukan pengukuran transport elektron (electron transport measurement) yang merupakan langkah standar untuk melihat performa sistem secara umum dan untuk menentukan parameter-parameter yang relevan (seperti range medan magnet, ukuran yang tepat, dll) untuk karakterisasi dan untuk optimisasi lebih lanjut. Pengukuran dilakukan pada kriostat 3 He dengan range temperatur berkisar mulai dari di bawah 1K sampai di bawah nilai T c dari Pb yaitu 7.19 K. Temperatur yang sangat rendah diperoleh dengan mengurangi tekanan gas dalam kriostat secara bertahap. Pengukuran transport dilakukan untuk menentukan batas fasa dari sampel superkonduktor hibrid Pb/Al. Arus sebesar 5 A diterapkan pada sampel pada pengukuran resistansi sebagai fungsi temperatur R(T) pada medan magnet konstan. Kemudian dilakukan pengukuran R untuk beberapa nilai medan magnet dengan step 0.1 mT.
3. Hasil dan Pembahasan
15
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 3.1 Sampel Makroskopis Dari hasil pengukuran, diperoleh plot batas fasa H-T untuk sampel makro hibrid Pb/Al yang dibandingkan dengan sampel Al berdimensi sama sebagai berikut (Gambar 2)
fluktuasi Tc akibat masuknya vortex sekaligus bersamaan pada batas struktur
3.2 Sampel Mesoskopis Seperti telah dibahas sebelumnya, pada sampel mesoskopis diharapkan osilasi Little-Park akan terlihat. Osilasi terlihat untuk kedua sampel Pb/Al dan Al (Gambar 4).
Gambar 2. Plot batas fasa sampel makroskopik Pb/Al dibandingkan dengan Al. Dari plot terlihat bahwa batas fasa Pb/Al bergeser ke arah Pb. Dari slop plot diperoleh Tc = 7 Kdan ξ(0) = 42 nm untuk struktur hibrid Pb/Al (untuk Al Tc = 1.29 K dan ξ(0) = 178 nm). Terjadi kenaikan Tc untuk Al sedangkan untuk Pb nilai T c tetap. Fenomena ini merupakan perwujudan efek proximity (kopling magnetik) dimanamedanPb sebagai superkonduktor kopling kuat akan mendominasi (screening) medan pada Al yang merupakan superkonduktor kopling lemah dan mencegah masuknya vortex. Osilasi T c terlihat jelas untuk sampel Pb/Al mulai T=1.5 mT. Dari pengukuran magnetoresistansi pada beberapa nilai medan magnet terlihat bahwa resistansi berubah seiiring perubahan medan magnet (Gambar 3).
Gambar 4. Plot batas fasa sampel mesoskopik Pb/Al dibandingkan dengan Al. Untuk piringan Al mesoskopik, osilasi LittlePark terjadi dengan perioda 0,5 mT. Untuk Pb/Al terlihat osilasi terjadi pada periode yang jauh lebih besar 2mT. Hal ini disebabkan terjadinya delay/penundaan masuknya vortex (vortex entrance) karena Pb masih mendominasi (screening) medan Al dengan kuat. Periode osilasi terlihat berkurang dengan kenaikan medan. Dari slop plot diperoleh Tc = 6.4 Kdan ξ(0)= 52 nm untuk struktur hibrid Pb/Al (untuk Al meso T c = 1.02 K dan ξ(0) = 153 nm). Nilai Tc untuk sampelsampel mesoskopik mengalami penurunan dibandingkan sampel-sampel makroskopik, hal ini mengindikasikan bahwa nukleasi superkonduktivitas dalam bahan sangat dipengaruhi oleh ukuran permukaan batas sampel. Magnetoresistansi sebagai fungsi dari medan magnet untuk sampel mesoskopik prilakunya sama dengan sampel makroskopik. Nilai resistansi bervariasi seiring perubahan nilai medan magnet. Untuk H=4.95 mT profil transisi resistif lebar dengan jenjang-jenjang, hal ini kemungkinan disebabkan oleh medan kritis untuk kontak lebih besar dibandingkan dengan piringan (Gambar 5)
Gambar 3. Transisi resistif sampel makroskopik Al/Pb pada beberapa nilai H. Untuk nilai H yang tinggi, kurva transisi terlihat lebih lebar dan terjadi pada beberapa jenjang, hal ini merupakan gambaran nukleasi superkonduktivitas yang pada awalnya terjadi terjadi pada kontak kemudian diikuti oleh nukleasi pada piringan. Untuk H=2.41 mT terlihat jelas
16
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Gambar 5. Transisi resistif sampel makroskopik Al/Pb pada beberapa nilai H.
4. Kesimpulan Telah dilakukan penentuan karakteristik transport elektron untuk struktur mesoskopik Al/Pb yang terkopling secara magnetik untuk melihat pengaruh Pb sebagai superkonduktor kopling kuat terhadap batas fasa Al yang merupakan superkonduktor kopling lemah. Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa medan Pb mendominasi medan Al dengan kuat baik untuk sampel makro maupun mesoskopik. Osilasi LittlePark diamati dengan jelas pada sampel mesoskopik dengan penundaan masuknya vortex untuk sampel mesoskopik. Dengan membandingkan hasil pengukuran sampel makroskopik dan mesoskopik disimpulkan bahwa untuk sampel-sampel yang ukurannya berada pada orde yang mendekati (comparable) panjang karakteristiknya, superkonduktivitas sangat bergantung pada topologi sampel (dalam hal ini jari-jari piringan) karena kondisi batas yang ditentukan oleh bentuk sampel menentukan geometri quantum-confinement dari elektron Investigasi lebih lanjut diperlukan (magnetisasi, pengukuran Hall dan visualisasi vortex untuk memahami apa yang terjadi pada level mikroskopik.
[4]
T.C. Chiang. Superconductivity in thin films, Science. 306 (2004), p.1900-1. [5] Bose, Sangita. Size Effects in Nanostructured Superconductors. Ph.D. Thesis. Tata Institute of Fundamental Research : Mumbai (2007). [6] P. G. de Gennes, Boundary Effects in Superconductors, Rev. Mod. Phys. 36, (1964). P. 225-237 [7] N. R. Werthamer, Theory of the Superconducting Transition Temperature and Energy Gap Function of Superposed Metal Films. Phys. Rev. 132, (1963). P.2440-45. [8] Golubov et al.,Proximity effect in superconductor-insulator-superconductor Josephson tunnel junctions: Theory and experiment, Phys. Rev. B 51, 1073, (1995), p.1073-89. [9] W.A. Little, R.D.Parks, Observation of Quantum Periodicity in the Transition Temperature of a Superconducting Cylinder Phys. Rev. Lett. 9, (1962), p.9-12. [10] Y.Terai et al., Superconducting transition in nanoscale aluminum structures, Physica B 298 (2001),p. 536-40. [11] A. Kanda et al., Suppression of the LittleParks oscillation in a mesoscopic superconducting ring, Physica B 284 (2000) , p.1870-71.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Alejandro Silhanek dan Prof. V. Moshchalkov atas kesempatan penelitian dan diskusi ilmiahnya,
Daftar Acuan [1] Y. Guo et al., Superconductivity Modulated by Quantum Size Effects, Science 306, (2004), p.1915-17. [2] A. Bezryadin et al., Quantum suppression of superconductivity in ultrathin nanowires. Nature, 404, (2000), p.971-74. [3] W. H. Li et al., Quantum size effects on the superconducting parameters of zerodimensional Pb nanoparticles, Phys. Rev. B 68, (2003), p.184507
17
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
OPTIMALISASI SINTESIS KITOSAN DARI CANGKANG KEPITING SEBAGAI ADSORBEN LOGAM BERAT Pb (II) Nurul Asni1; M. Arif Saadilah2; Djonaedi Saleh2 1
Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara Departemen Fisika Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected] 2
Abstrak Material Kitosan dibuat dari cangkang kepiting menggunakan metode kimia dengan demineralisasi HCL 1M selama 1 jam, deproteinasi NaOH 1M selama 2 jam dan variasi deasetilasi NaOH 30%, 40%, 50%, 60%, dan 70% selama 45 menit. Dari analisis FTIR didapat Derajat Deasetilasi kitosan terbaik pada NaOH 50%. Waktu reaksi terbaik untuk mendapatkan Derajat Deasetilasi maksimum dalah 30 menit. Hasil kitosan cangkang kepiting merupakan kitosan murni sesuai dengan database program Match!. Adsorbsi Pb dari larutan Pb(NO3)2 dilakukan pada konsentrasi Pb 10, 50, dan 100 ppm dengan pengadukan selama 30 menit. Dalam suasana asam Kitosan menyerap seluruh Pb untuk konsentrasi 10 ppm dan tidak menyerap Pb pada konsetrasi 50 dan 100 ppm. Sedangkan dalam suasana netral konsentrasi Pb 25 ppm terserap semua, pada konsetrasi 50 ppm terserap 44,77 ppm dan pada konsentrasi Pb 100 ppm terserap 97,04 ppm.
Abstract Chitosan has been made from the crab shells with a chemical method with 1M HCl demineralization for 1 hour, deproteination 1M NaOH for 2 hours and variations of deacetylation 30% NaOH, 40%, 50%, 60%, and 70% for 45 minutes. An analytical methode from FTIR showed that the best chitosan deacetylation degree obtained at 50% NaOH, and the best reaction time to get the best Chitosan is 30 minutes.Chitosan product from crab shells is a real chitosan agreed with database Match! program. Chitosan is known best Pb adsorption from Pb(NO 3)2 solution with concentrations of 10, 50, and 100 ppm acid dilution and neutral dilution of 25, 50, and 100 ppm for 30 minutes and tested variations chitosan residual liquid. Chitosan absorbed around 10 ppm Pb acid dilution and 25 ppm neutral dilution. No adsorption at 50 and 100 ppm Pb in acid dilution. Absorption of 44.77 ppm at 50 ppm and 97.04 ppm to 100 ppm.. Keywords: Chitosan,Adsorption, Pb
1. PENDAHULUAN Populasi manusia di dunia semakin banyak sehingga memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi lingkungan. Pertambahan jumlah manusia turut mendorong pertumbuh industriindustri besar untuk memberikan lapangan pekerjaan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat. Diantara limbah industri baik berbentuk cair maupun asap mengandung Pb (timbal). Selain pada asap sisa pembakaran akibat penggunaan bahan bakar bernilai oktan rendah, timbal juga muncul dalam industri logam dalam limbah tailing atau limbah dari pemurnian batuan tambang (ore). Hingga saat ini Pb merupakan salah satu jenis logam kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun) [1]. Pb sedikit demi sedikit apabila masuk kedalam tubuh manusia akan memberikan efek buruk. Karena logam Pb tidak dibuang apabila sudah masuk ke dalam tubuh akan terjadi akumulasi. Salah satu gangguan kesehatan pada penderita adalah penurunan pada sistem saraf, ginjal, darah, bahkan reproduksi [2].
Beberapa tahun terakhir, telah dilakukan penelitian untuk menggunakan bahan polimer alam (biopolymer) yang mampu menjadi pengikat logam Pb untuk mengurangi kandungan di dalam limbah industri. Salah satu bahan polimer alam untuk keperluan tersebut adalah biopolimer Kitosan [3]. Kitosan merupakan biopolimer berasal dari pengolahan Kitin kandungan cangkang luar Crustaceae, serangga, dan beberapa jenis jamur [4]. Kitosan mempunyai berbagai sifat, salah satunya sebagai absorben, atau pengikat ion. Kepiting (Brachyura)merupakan salah satu jenis Crustaceae sebagai sumber Kitin. Kepiting merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia berasal dari produksi perairan. Dari data di Kementrian Kelautan dan Perikanan pada JanuariAgustus 2011, nilai ekspor Kepiting mencapai US$ 172 juta. Peningkatan terus terjadi dari tahun-ke tahun, terlihat dari data pada sepanjang tahun 2010 ekspor kepiting hanya mencapai US$ 208 juta [5]. Keuntungan dari hasil perairan berupa kepiting tersebut memunculkan masalah yaitu semakin banyak limbah kepiting yang dihasilkan. Limbah tersebut berupa cangkang kepiting yang semakin menumpuk dari tahun ke tahun.
18
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Limbah cangkang kepiting menjadi masalah karena limbah tersebut dapat menimbulkan pencemaran tanah dan udara. Selain bau busuk dari tumpukan cangkang kepiting tersebut dapat mengganggu kesehatan yaitu penyakit ISPA, juga dapat merusak lingkungan karena limbah cangkang kepiting dapat meningkatkan kadar BOD (Biological Oxygen Demand), dan COD (Chemical Oxygen Demand) [7]. Selama ini, limbah cangkang kepiting di Indonesia terutama di beberapa tempat hanya dilakukan pengolahan dengan memanfaatkan sebagai pupuk atau pakan ternak dengan nilai yang rendah. Di beberapa daerah, cangkang kepiting sudah mulai diekspor sebagai Kitin kotor. Dari data menyebutkan bahwa cangkang kepiting mempunyai sekitar 14-35% (berat kering) kandungan kitin. Di pasar dunia, harga kitin kering mencapai US$ 10 tiap kilogram [5]. Kandungan organik dari cangkang kepiting berbentuk kristalin terdiri dari kitin, material anorganik dan protein. Secara umum cangkang kepiting memiliki protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40 %) dan kitin (18,70% - 32,20%). Kandungan tersebut ditentukan oleh jenis kepiting dan tempat hidup kepiting [8]. Berbeda dengan kelas crustaceae lainnya, kandungan anorganik dari kepiting laut tidak mengandung kalsium karbonat (CaCO3), namun kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) [9]. Sehingga diperlukan metode tertentu untuk mengekstraksi kitin dari cangkang kepiting yaitu dengan penghilangan protein (deproteinasi), penghilangan pigmen warna (depigmentasi), dan penghilangan mineral (demineralisasi). Untuk meningkatkan kembali nilai jual dari cangkang kepiting selain dikeringkan dan dijual sebagai kitin, cangkang kepiting juga bisa diolah menjadi Kitosan. Kitosan merupakan rekayasa dari kandungan kitin pada cangkang kepiting. Kitosan selama ini digunakan sebagai bahan utama di dunia farmasi, kosmetik, bahkan penjernih air. Untuk nilai ekonomi, Kitosan berharga sekitar US$ 15700 setiap kilogram tergantung jenis dan kualitas. Kitin merupakan salah satu kandungan organik yang penting pada binatang orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematode. Selain terdapat pada cangkang dan kerangka, kitin biasa terdapat pada trakea, insang, dinding usus, dan pada bagaian dalam cangkang pada cumi-cumi [10].
Gambar 1.1 Struktur kimia Kitin [13]
Gambar 1.2 Sutruktur kimia Kitosan [13] Kitin mempunyai struktur poli-β-N-asetil-Dglukosamin berbentuk serupa dengan selulosa. Kitin memiliki monomer tersambung dengan ikatan glukosida pada posisi β (1-4), dan pada gugus karbon nomor dua digantikan oleh gugus asetamida (-NHCOCH3) [11] dan mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) berupa zat padat berkristal (amorphous). Kitin termasuk jenis asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, tak larut dalam air namun larut dalam asam mineral pekat [12]. Demineralisasi dilakukan bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam mineral dalam cangkang kepiting, yaitu kalsium fosfat (Ca3(PO4)2).[6] Secara singkat, tahap demineralisasi dituliskan sebagai: CaCO2(s) + 2HCl → CaCl2(aq) + H2(g) + CO2(g) Ca3(PO4)2(s) + 4HCl(aq) → 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)(aq) Deproteinasi adalah proses penghilangan protein yang terkandung dalam cangkang kepiting.[6] Kitin juga berkonjugasi dengan protein dalam cangkang kepiting dimurnikan dengan tahap deproteinasi. Saat dilakukan proses deproteinasi, protein akan ter-denaturasi. Denaturasi adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi karena ikatan hidrogen [14]. Denaturasi dapat terjadi akibat perubahan temperatur dan pH [6]. Seperti pada demineralisasi, deproteinasi juga dapat dilakukan dalam dua cara, secara kimiawi, atau secara biologis (enzim). Secara kimia, cangkang kepiting di campur dengan basa kuat dan dinaikkan temperaturnya hingga ke titik tertentu. Pada sebagian besar peneliti, basa kuat yang digunakan adalah NaOH. Namun ada beberapa juga menggunakan basa kuat KOH [15]. Cangkang kepiting dan Pb memang tidak memiliki suatu korelasi apapun selain sesama limbah dengan jumlah besar dan membahayakan lingkungan. Namun mengetahui Kitosan, hasil olahan cangkang kepiting, memiliki kemampuan untuk menyerap ion Pb merupakan hal sangat menggembirakan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengoptimalisasi Kitosan tersebut agar dapat memaksimalkan hasil kinerja. Kitosan (formula umum [C6H11O4N]n) adalah senyawa turunan dari kitin, yaitu merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-aminodeoksi-glukosa). Kitosan terbentuk dari proses deasetilasi kitin [16]. Lebih mudahnya, perbedaan Kitin dan Kitosan terletak pada penggantian gugus
19
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 asetamida (-NHCOCH3) menjadi gugus amida (NH2) [11].
Gambar 1.3 Mekanisme Perubahan Kitin menjadi Kitosan [3] Terdapat suatu istilah dalam proses deasetilasi, yaitu derajat deasetilasi (DD). Derajat deasetilasi adalah jumlah gugus amino bebas pada cincin polisakarida. Semakin tinggi prosentase derajat deasetilasi kitosan maka semakin baik kitosan tersebut. Deasetilasi kitin secara kimiawi dilakukan dengan cara mencampurkan kitin dengan basa kuat, proses deasetilasi dilakukan harus pada suhu lebih dari 65˚C. Telah dilakukan berbagai macam metode dan konsentrasi basa kuat terutama NaOH yang diberikan. [3]. Penggunaan konsentrasi NaOH dibawah 45% (b/v) tidak akan menghasilkan kitin yang terdeasetilasi [17]. Ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif amida dengan molekul PbNO3 dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi asam-basa Lewis yang kemudian menghasilkan senyawa kompleks pada permukaan padatan [18]. Jika mengikuti teori ini maka proses pengikatan Pb2+ dari cairan PbNO3 oleh gugus –NH2 menjadi: 2+
+
[NH2] + Pb → [NHPb] + H
Ada dua tipe adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan kimia. Adsorpsi kimia terjadi dari hasil interaksi kimia antara permukaan adsorben dan adsorbat. Sedangkan adsorpsi fisika terjadi akibat adanya gaya Van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul adsorbat dan atom penyusun adsorben [22]. Pada pH asam, kitosan dapat terprotonasi dan berasosiasi dengan polianion untuk membentuk kompleks [24]. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pH optimum untuk kitosan menjadi adsorben adalah dengan menggunakan pH larutan sebesar 4,5 [20]. Adsorpsi merupakan proses eksotermis, sehingga temperatur reaksi, terutama temperatur adsorbat sangat mempengaruhi jumlah adsorbat yang dapat diserap itu sendiri. Semakin rendah suhu adsorbat, maka akan semakin banyak adsorbat yang dapat diserap. Hal ini sesuai dengan prinsip Le‟chatelier bahwa pada reaksi fisika kenaikan temperatur dapat menurunkan tingkat adsorpsi. Sedangkan untuk perubahan tekanan, semakin tinggi tekanan akan meningkatkan tingkat adsorbsi.
Dengan qe merupakan konsentrasi adsorbat terserap, KF merupakan konstanta Freund, dan Ce konsentrasi Pb pada saat kesetimbangan dipangkatkan dengan konstanta energi isothermal adsorpsi. Persamaan ini menunjukkan bahwa kitosan akan tetap bisa menyerap Pb dalam konsentrasi yang tinggi sekalipun. Namun dikarenakan penyerapan Pb di kitosan terjadi seperti pada logam berat lainnya yaitu hanya pada gugus amida (-NH2) pada permukaan, maka jumlah logam berat terserap akan berhenti pada konsentrasi tertentu [6]. Hal ini ditunjukkan pada nilai konsentrasi kesetimbangan yang mana nilainya akan berbanding lurus dengan nilai konsentrasi awal Pb.
2. METODE PENELITIAN
+
Dalam teori lain menyebutkan situs aktif pada permukaan padatan dapat disebut sebagai ligan pengikat logam secara selektif [19]. Beberapa faktor dalam mempengaruhi daya adsorpsi. Jenis adsorbat, sifat adsorben, temperatur, tekanan reaksi, dan pH adsorben [20]. Kitosan untuk dijadikan adsorben, haruslah memiliki derajat deasetilasi hingga lebih dari 60%. [21]. Demi menjaga kualitas kitosanpemakaian suhu dan konsentrasi terlampau tinggi dapat merusak kitosan karena akan berubah struktur kimia kitosan tersebut. Selain itu suhu tinggi dan waktu lama akan menaikkan derajat deasetilasi namun mengecilkan ukuran molekul dan viskositas kitosan. [6].
Persiapan Cangkang kepiting sebanyak 500 gr didapat dari limbah hasil olahan rumah tangga dari kepiting yang telah dikukus tanpa campuran bahan atau bumbu apapun. Kepiting tersebut merupakan jenis Portunus pelagicus atau yang biasa disebut rajungan.dipisahkan dari sisa-sisa daging yang masih menempel. Kemudian dicuci dengan air, dikeringkan pada suhu 110˚C dan dihaluskan sehingga didapatkan serbuk berukuran 25 mesh. Demineralisasi
20
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Bubuk cangkang kepiting dipisahkan antara larutan
mineral dan crude kitin menggunakan cairan HCl 1M , dengan waktu reaksi 1 jam, pada suhu 60˚C. Hasil crude kitin dicuci menggunakan aquades hingga pH netral, dan dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam. 1.1 Deproteinasi Deproteinasi crude kitin dilakukan menggunakan NaOH 1M, dengan waktu reaksi 2 jam pada suhu 70˚C. Hasil saringan kitin dicuci menggunakan aquades bersuhu 60˚C hingga pH netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam. 1.2 Deasetilasi Deasetilasi dilakukan dengan dua variasi, optimalisasi konsentrasi NaOH dan optimalisasi waktu reaksi. Perbandingan sample dan NaOH sebesar 1:15 (b:v), temperatur reaksi 100˚C, dan kecepatan stirring 500 rpm dibuat konstan untuk semua variasi konsentrasi larutan dan waktu reaksi. Konsentrasi larutan dan lama waktu reaksi divariasikan sebagai berikut ; a) Variasi konsentrasi larutan NaOH, yaitu pada 30%, 40%, 50%, 60 % dan 70% (b/v) dengan lama waktu 45 menit. b) Variasi lama waktu reaksi yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Hasil saringan kitosan dicuci dengan menggunakan aquades bersuhu 70˚C hingga pH netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam. 1.3 Uji Unsur dengan XRD Analisis unsur dilakukan untuk membandingan kandungan unsur antara cangkang, kitin dan kitosan. Analisis unsur dilakukan dengan menggunakan XRD secara kontinyu (continous scan) denagn kecepatan 0.02˚/detik dimulai dari sudut 20˚ hingga 50˚.
reaksi dengan kecepatan 50 rpm dengan waktu kontak selama 30 menit dan kemudian disaring. Kedua Pb dengan konsentrasi 25, 50 dan 100 ppm melalui proses pelarutan dengan aquabidestilasi. Dilakukan proses pengadukan dengan kitosan hasil variasi lama reaksi dengan kecepatan 50 rpm dengan waktu kontak selama 30 menit dan kemudian disaring. Sisa hasil reaksi yang lolos saring kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan AAS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini telah menghasilkan kitosan dari cangkang kepiting. Cangkang kepiting terbukti memiliki kandungan mineral berupa kalsium fosfat yang berarti berasal dari limbah hasil laut. Hasil pola diffraksi gambar 3.1 terlihat jelas bahwa cangkang kepiting masih mengandung mineral Ca4O7P2 atau Ca4(PO3)2O. Mineral ini harus dihilangkan untuk mengambil kitin yang terdapat pada cangkang tersebut. Gambar 3.2 terlihat pada pola difraksi muncul puncak baru pada sudut lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kristalinitas. Pada sudut difraksi tersebut merupakan penunjuk adanya gugus kitin atau kitosan [25]. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil deproteinasi berhasil mengurangi gugus protein pada cangkang kepiting. 3.1.1 Optimasi Konsentrasi NaOH Optimasi kitosan dilakukan pada proses deasetilasi. Pada proses tersebut variasi Na dilakukan setelah variasi waktu reaksi. Untuk menentukan berat Na optimal sebelum melakukan variasi waktu reaksi, dilakukan pengukuran derajat deasetilasi dengan menggunakan alat analisis FTIR. Hasil analisis pengaruh NaOH terhadap derajat deasetilasi kitosan dapat dilihat pada gambar 3.7.
1.4 Uji Deasetilasi dengan FTIR Pengukuran derajat deasetilasi dilakukan dengan menggunakan FTIR. Shimadzu IR Prestige-21. Derajat deasetilasi pada kitosan dilihat dari absorpsi gelombang IR pada gelombang A1 yaitu 1655m-1 dan A2 3450 m-1. Kemudian dimasukkan pada persamaan Domzy dan Robert : %DD = 100 –[(A1/A2) x (100/1,33)] 1.5 Reaksi Adsorbsi Pb Proses adsorpsi dilakukan dengan mencampurkan cairan Pb(NO3)2 melalui dua tahap. Pertama Pb dengan konsentrasi 10, 50 dan 100 ppm melalui proses pelarutan dengan asam pekat HNO3 65% hingga 1000 ppm kemudian diencerkan menggunakan HNO3 0,5 M. Dilakukan proses pengadukan dengan kitosan hasil variasi lama
Gambar 3.1 Hasil pengolahan pola diffraksi sinar X cangkang kepiting.
21
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Gambar 3.2 Pola difraksi XRD (a)Kitosan, (b)Kitin, dan (c)Cangkang
Gambar 3.3 Hasil FTIR variasi konsentrasi NaOH pada 3450m-1
dan 3450 m-1dengan menggunakan persamaan Domszy dan Robert. Pada grafik Derajat deasetilasi nilai yang didapatkan semua bernilai lebih besar dari 60%.. Sehingga dapat disimpulkan semua kitosan tersebut telah siap digunakan sebagai adsorben. Pada gambar 3.7 terlihat bahwa penggunaan NaOH 50% mendapatkan hasil terbaik dalam grafik DD yang cenderung bersifat polinomial. Untuk DD pada konsentrasi NaOH 60% dan 70% dikarenakan terjadi kerusakan gugus amida pada kitosan tersebut dikarenakan konsentrasi NaOH terlalu tinggi. Hal ini sangat mugin terjadi karena NaOH dapat memecah NH2 karena sifat NH2 yang mudah berikatan dengan unsur lain. Dengan tingginya kadar NaOH bisa saja amida yang sebelumnya telah terbentuk berbalik menyerap NaOH tersebut dengan melepas salah satu gugus H dan mengikat Na. kemudian H+ yang reaktif ini diikat oleh OHyang sebelumnya telah kehilangan ion Na. Variasi waktu reaksi dilakukan pada konsentrasi 50% Pada gambar 3.8 menunjukkan penurunan nilai DD setelah waktu reaksi 30 menit. Hal ini terjadi dikarenakan kembali terpecahnya gugus NH2 dan terikat dengan ion Na dari NaOH berlebih. Hasil reaksi 30 menit pada kitosan 50% dibandingkan dengan kitin terlihat kemiripan pada pola difraksi gambar 3.9 dan terjadi pergeseran puncak sudut difraksi
Gambar 3.4 Hasil FTIR variasi konsentrasi NaOH pada 1645m-1
Gambar 3.7 Kurva Pengaruh %NaOH terhadap Derajat Deasetilasi Tabel 3.1 Jarak antar atom dan sudut difraksi Kitin dan Kitosan
Gambar 3.5 Hasil FTIR variasi waktu reaksi pada 3450m-1
Kitin 2theta d (Å) 21.94 33.78 36.92
4.70 3.08 2.83
Kitosan 2theta d (Å) 22.22 4.64 34.02 3.06 37.18 2.81
. Gambar 3.6 Hasil FTIR variasi waktu reaksi 1645 m-1 Derajat deasetilasi (DD) diukur dari nilai absorpsi gelombang IR pada panjang gelombang 1655 m-1
22
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 tersebut, maka dilakukan penambahan konsentrasi untuk dapat menyerap Pb lebih banyak. Hasil adsorbsi pada konsentrasi Pb 50 dan 100 ppm menunjukkan tidak adanya Pb terserap pada reaksi tersebut. Hal ini dikarenakan untuk konsentrasi besar dibutuhkan energi besar untuk terserap kitosan. Hal ini dikarenakan konsentrasi Pb dalam suasan asam yang lebih bersar membuat larutan tersebut lebih stabil. Energi untuk adsorbsi ini teralihkan menjadi energi pembentukan protoinasi yaitu berikatannya ikatan amida dengan molekul H+ dari larutan HNO3 tersebut. Gambar 3.8 Kurva Pengaruh %NaOH terhadap Derajat Deasetilasi
3.2.2 Adsorpsi Pb pada Konsentrasi 25, 50, dan 100 ppm Pengenceran Netral Akibat tingkat keasaman larutan mempengaruhi hasil adsorbsi Pb maka diakukan reaksi adsorbsi lain dengan menggunakan cairan dengan pH lebih tinggi. Hal ini memberikan hasil positif seperti terlihat pada tabel 3.8. Disini terlihat bahwa seluruh Pb terserap pada konsentrasi 25 ppm. Sedangkan pada konsentrasi 50 ppm terserap sekitar 45 ppm, dan pada 100 ppm terserap sekitar 93 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa gugus amida yang terbentuk telah aktif sehingga dapat menyerap Pb. Hal ini juga mendukung teori sebelumnya bahwa tingkat keasaman tinggi membuat kitosan tersebut kehilangan kemampuan adsorbsi karena telah terprotonasi.
Gambar 3.9 Pola difraks XRD (a)Kitin dan (b)Kitosan.50% dengan waktu reaksi 30 menit Perbedaan pada sudut puncak difraksi tersebut mengindikasikan ada perbedaan jarak antar bidang kisi (d) (tabel 3.2). Pergeseran sudut puncak pada pola difraksi disin mengindikasikan adanya perbedaan pada ion penyusun material tersebut. Kitin dan kitosan memiliki perbedaan jumlah ion C, O dan H yaitu pada perbedaan gugus – NCOCH. Hal inilah yang membuat perbedaan pada besar jarak antar atom. Walaupun memiliki struktur yang sama, perbedaan jumlah ion yang banyak membuat Kristal menyusut sehingga mengurangi nilai jarak antar atom. Terlihat bahwa memang kitosan memiliki jarak antar atom lebih kecil daripada yang dimiliki oleh kitin. Data pada tabel diatas juga dapat mengindikasikan bahwa kitin tersebut telah sukses disintesis menjadi kitosan. 3.2 Optimasi adsorbsi Pb 3.2.1 Konsentrasi Pb dalam suasana asam Adsorsi Pb pada konsentrasi 25 ppm dapat terserap oleh kitosan (gambar 3.10). Hal ini menunjukkan bahwa ikatan amida pada kitosan tersebut telah aktif dan juga bisa menyerap lebih banyak ion Pb. Untuk mengetahui konsentrasi Pb maksimum yang dapat diserap oleh kitosan
Gambar 3.10 Hasil serapan AAS pada sisa absorpsi Pb Tabel 3.2Hasil Uji AAS Pengenceran Netral Konsentrasi
Absorpsi
Konsentrasi
Awal (ppm)
(x100%)
Akhir (ppm)
25
-0,0111
-1,12353
50
0,0859
4,235
0,0332
1,482 x 2
(pengenceran
= 2,964
100
2 kali)
23
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Terdapat perbedaan bahwa kitosan dapat menyerap lebih banyak Pb pada konsentrasi 100 ppm daripada 50 ppm. Hal ini sejalan dengan persamaan Freundlich menunjukkan bahwa nilai konsentrasi terserap sebanding lurus dengan konsentrasi awal Pb.
4. KESIMPULAN Penelitan adsorbsi Pb menggunakan kitosan hasil ekstrasi dari limbah cangkang kepiting dapat disimpulkan sebagai berikut. Cangkang kepiting terdeteksi memiliki kandungan Ca4O9P2 atau Ca4(PO4)2O menunjukkan bahwa kepiting yang dipergunakan berasal dari hasil laut. Kitosan dari cangkang kepiting dibuat dari reaksi demineralisasi dengan HCl 1 M dan deproteinasi dengan NaOH 1 M untuk menghasilkan kitin. Deasetialsi kitin divariasikan dengan konsentrasi 30, 40, 50, 60, dan 70 %. Dengan menggunakan FTIR pada gelombang 1655 m-1 dan 3450 m-1 semua kitin telah terdeasetilasi dengan derajat deasetilasi diatas 60%. Namun derajat tertinggi ada pada konsentrasi NaOH 50%. Hal ini diambil untuk memvariasikan lama reaksi pada 30, 45, 60, 90, dan 120 menit. Nilai tertinggi ada pada menit ke-30. Pada adsorbs Pb dalam suasana asam 10 ppm kesemua Pb terserap namun pada Pb 50 dan 100 ppm tidak ada Pb yang terserap. Sedangkan adsorpsi Pb pada suasana netral pada 25, 50 dan 100ppm. Pada 25 ppm seluruh Pb terserap, penyerapan tertinggi ada pada 100 ppm yaitu hingga 97 ppm, sedangkan pada 50 ppm hanya sebesar 45 ppm. Keadaan tersebut sesuai dengan persamaan Freundlich yang menyatakan konsentrasi Pb kesetimbangan sebanding dengan konsentrasi awal Pb.
5. SARAN Penelitian yang dilakukan di atas masih belum sempurna sehingga penulis menyarankan kepada penelitian selanjutnya melakukan beberapa analisis morfologi dan radikal bebas pada kitosan. Keadaan ini dipergunakan untuk mengetahui hubungan antara adsorbsi kitosan terhadap Pb dengan perubahan morfologi mikroskopis dan jumlah radikal bebas pada kitosan.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami sampaikan kepada staf academika Akademi Kimia Analis Caraka Nusantara Kelapa Dua Depok dan staf academika Departemen Fisika FMIPA-UI yang telah memberikan izin menggunakan Laboratorium.
DAFTAR ACUAN [1] BAPEDAL (1995). Tata Cara dan Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun BAPEDAL, Jakarta. [2] Kawatu PAT (2008). Kadar timbal darah, hipertensi, dan perasaan kelelahan kerja pada petugas stasiun pengisian bahan baker umum di kota Manado [Tesis]. Yogjakarta: Universitas Gajah Mada. [3] Herwanto, Bimbing et al (2006) Adsorpsi Ion Logam Pb(II) Pada Membran SelulosaKhitosan Terikat Silang Akta Kimindo Vol. 2 No. 1 Oktober 2006: 9-24. [4] Roberts GAF. Structure of chitin and chitosan. In: Roberts GAF, editor. Chitin chemistry. Houndmills Macmillan; 1992. p. 1–53. [5] Kharisma, Wilujeng (2011, Desember). Meski Cangkang Rajungan, Pasar Ekspor Menanti. Pikiran Rakyat http://www.pikiranrakyat.com/node/170052. [6] Utami D, Wiwiek (2006). Optimasi sintesis kitosan dan studi awal pemanfaatannya sebagai adsorben logam Cu (II) pada air limbah. [Skripsi]. Program Studi Teknik Kimia UI. [7] Krissetiana, Henny (2005, Maret). “Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang”. Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/ 31/ragam4.htm. [8] Focher, B. et al (1992). Structural Differences Between Chitin Polymorphs and Their Precipitates from Solution Evidence from CP-MAS 13 C-NMR, FT-IR and FT-Raman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer. 17 (2) : 97 – 102. [9] Yamaguchi, Isamu et al (2002). The Chitosan Prepared from Crab Tendon I: The Characterization and The Mechanical Properties Biomaterials 24 (2003) 20312036. [10] Neely, M.C.H and William (1969). Chitin and Its Derivates in Industrial. Gums Kelco Company California. 193 – 212. [11] Marguerite, Rinaudo. (2006). Chitin and Chitosan: Properties and applications. Prog Polym. Sci. (31): 603-632. [12] Marganof (2003) Potensi limbah udang sebagai penyerap logam berat (Pb, Cd, dan Cu) di perairan. Makalah Pribadi. Pengantar ke Falsafah Sains. Program S3 IPB Bogor. [13] J.C.Y. Ng, W.H. Cheung, G. McKay Equilibrium studies for the sorption of lead from effluents using chitosan Chemosphere 52 (2003) 1021–1030.
24
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 [14] Fessenden, R.J dan Fessenden J.S (1995) Kimia Organik, Jilid 2, edisi 3. Erlangga. Jakarta. [15] Bough, W.A., Salter, W.L., Wu, A.C.M., & Perkins, B.E. (1978). Influence of Manufacturing Variables on the Characteristics and Effectiveness of Chitosan Products. I Chemical Composition, Viscosity and Molecular Weight Distribution of 106 P. M. O. ODOTE ET AL. Chitosan Products. Biotechnology Bioengineering.20: 19311942. [16] Knorr, D. (1984). Use of chitinous polymers in food.Food Technology, 38(1), 85–97. [17] Alimuniar, A. dan R. Zainuddin (1992). An. Economical Technique for Product Chitosan. In : ”Advances in Chitin and Chitosan”, Brine, C.J. P.A. Sanford J.P. Zikakis (Eds). Elsevier Applied Sciences, London, PP. 627-638. [18] Terada K., Matsumoto, K. & Kimura, H. (1983). Sorption of Copper (II) by some complexing agents loaded on various support. Anal. Chim. Acta 153: 273-247. [19] Pearson, R.G.1963. Hard and soft acids and bases. J. Am. Soc. 85:3533-3539. [20] Guibal, Eric (2004). Interactions of metal ions with chitosan-based sorbents: a review. Separation and Purification Technology 38 (2004) 43–74. [21] Suhardi (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta: UGM. [22] Treybal, Robert. E (1980). Mass-transfer operations. Mc Grawhill Inc. New York. [23] Yang, T. C. dan Zall, R. R. (1984). Adsorption of Metals by Natural Polymers Generated from Sea Food Processing Waste, Ind. Eng. Chem. Prod. Res. Dev., 23, pp. 168-172. [24] Widyanti, Adelina Putri (2009). Pemanfaatan kitosan dari cangkang rajungan pada proses adsorpsi logam nikel dari larutan NiSO4. Makalah Pribadi. Skripsi. Program Sarjana Teknik Kimia UI. [25] Hirano, S., Ohe, Y., & Ono, H. (1976). Selective N-acetylation of chitosan. Carbohydrate Research, 47, 315–320. [26] Ming-Tsung Yen, Joan-Hwa Yang, Jeng-Leun Mau (2009) Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers 75 (2009) 15–21
25
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
PENGARUH MEDAN INDUKSI PADA SIFAT MAGNET MATERIAL NANO KOMPOSIT BSHF / BST 1
Novizal, 2Musfira. C F. 3Elda Rayhana
1,2,3
Jurusan Fisika Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta e-mail :
[email protected] ABSTRAK
Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan material nano komopsit hasil pencampuran 50 wt % material BSHF dan 50 wt % material BST dengan menggunakan metoda mekanikal alloying dan sonikasi. Material di milling selama 80 jam, dilanjutkan dengan pemanasan sampai 1100oC selama 4 jam. Material yang sudah dalam bentuk Kristal di milling lagi selama 20 jam dan dilanjutkan dengan proses sonikasi selama 6 jam untuk mendapatkan material nano komposit.setelah pengeringan, dilakukan pembuatan bulk dan dilanjutkan dengan karakterisasi XRD dan Fermagraph.. Material kedua dilakukan proses pembuatan bulk sambil diinduksi magnet dari luar sebesar 5 mT. dan dilanjutkan dengan Fermagraph. Hasilnya memperlihatkan terjadi perubahan sifat magnet dari material nano komposit. di indikasikan dengan perubahan nilai remanen dan nilai koersivitas dari material.. Pengaruh induksi magnet pada material nano komposit BSHF / BST mengakibatkan perubahan nilai remanen sebesar 15 % dan nilai koersivitas 30 %. Kata kunci :, Mechanical Alloying , sonikasi induksi magnet remanen, dan koersivitas
ABSTRACT In this research, manufacture nano composite materials result of mixing 50 wt % BSHF and 50 wt % BST materials using mechanical alloying method and sonication. Materials in milling for 80 hours, followed by heating to 1100 oC for 4 hours. That materials have been in the form of crystals in milling again for 20 hours and followed by the sonication for 6 hours to get nano composite materials. Once that is done the bulk manufacture, characterization and Fermagraph XRD. Both the process of making a bulk material with magnetic induced from outside by 5 mT. and continued with Fermagraph. The results show a change in the magnetic properties of the nanocomposite material. indicated by changes in the value of remanence and coercivity values of the material. The influence of the magnetic induction at the nano composite material BSHF / BST resulted in changes in the value of remanent and coercivity is about of 15% and 30%. Keywords:, Mechanical Alloying, sonication, magnetic induction ,remanent and coercivity.
1. PENDAHULUAN Barium Strontium Hexaferrite (BSHF) dikenal sebagai salah satu material terpenting dari oksida ferromagnetik, atau ferrite yang memiliki tipe M[1]. Barium Strontium Hexaferrite memiliki kepentingan yang besar bagimasyarakat modern karena material ini adalah komponen dari berbagaiperangkat elektronik yang digunakan dalam alat perekamanmagnetik,komunikasi, pembangkit dan distribusi energy listrik, otomotif dan peralatan medis, selain material ini digunakan sebagai dinamo dalam pemurni air, menghilangkan logam pengotor tertentu[2]. Senyawa material BariumStrontium Titanate yang sering disingkat BST dengan rumus struktur BaSrTiO3 diperkenalkan pada tahun 1960-an[3] yang memiliki struktur kubik perovskite dengan 2. EKSPERIMEN/PENELITIAN Bahan dasar berupa powder Barium carbonat (BaCO3), strontium carbonat (SrCO3), Fe2O3, dan TiO2 digunakan untuk membuat material BSHF
(Barium Strontium Heksaferrit) dan BST (Barium Strontium Titanat dengan menggunakan metoda milling selama 80 jam. Komposisi untuk BSHF dikode dengan B7S3HF dan juga komposisi untuk space group Pm3m dan lattice parameter a = 0.3905 nm yang terdapat di dalam JCPDS (File No. 35734)[4]. Material komposit merupakan rekayasa material yang terbuat dari dua atau lebih dari material tertentu dengan sifat fisik atau sifat kimia secara signifikan berbeda dan tetap terpisah dan berbeda pada tingkat macrospace sampai pembentukan struktur selesai[5]. Material komposit magnetoelectric dapat dibuat dengan menggabungkan material yang berfasa ferromagnetik dengan material yang berfasa ferroelektrik[6]. Material komposit magnetoelectric merupakan material yang akan mengeluarkan sifat magnet bila dikenakan listrik dan sebaliknya akan mengeluarkan sifat elektrik bila material tersebut dikenakan medan magnet[7]. BST dikode dengan B7S3T. Selanjutnya powder dari hasil milling pembuatan B7S3HF dan dan
26
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
B7S3T dilanjutkan lagi milling selama 20 jam untuk membentuk material komposit B7S3HF/B7S3T. Material komposit hasil campuran di furnish selama 4 jam pada temperature 1100oC untuk terjadinya pembentukan Kristal, sebagian dari material ini dibentuk menjadi bulk untuk di karakterisasi XRD dan di Fermagraph. Selama proses milling dilakukan pengambilan powder setiap 20 jam untuk diukur partikelnya dengan PSA dan ukuran kristalnya dari hasil XRD di analisa dengan persamaan Debey Scherer.
Material hasil milling berupa material pembentuk masing-masing BSHF dan BST, dan juga komposit BSHF/BST dibentuk menjadi bulk dan hasil Sebagian lagi dari material hasil pemanasan dilanjutkan dengan milling selama 4 jam dan kemudian disonikasi selama 6 jam untuk mendapatkan ukuran partikel mendekati ukuran Kristal dalam ukuran nano pemanasan pada temperature 1100oC dikarakterisasi dengan XRD, hasilnya ditampilkan pada gambar 1. dan 2 dan dan matrial komposit di tampilkan pada gambar 3.Sifat fisis dari material diperlihatkan pada Tabel 1.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN .
Gambar 2.
Pola difraksi hasil GSAS dari
material B7S3T (BSTO0703) Tabel 4.1 Informasi Fisis dari Hasil Gsas dan Space Group Material
a (Å)
b (Å)
c (Å)
BHF SHF BTO B7S3T B7S3HF
5.862075 5.879469 4.005325 3.970087 5.868766
5.862075 5.879469 4.005325 3.970087 5.868767
23.109932 23.057240 4.005325 3.970087 23.105951
Volume (cm3) 687.725 690.262 64.179 45.870 680.825
Density (g/cm3) 12.577 17.911 18.748 14.605 13.105
Space group P 63/m m c P 63/m m c P -3m m P4mm P 63/m m c
Tabel 2. Informasi Fisis dari Hasil Gsas dan Chi. Material BHF SHF
WRp 0.568 0.624
Rp 0.0448 0.0476
WRp 0.0499 0.0761
Rp 0.0428 0.074
Chi 1.249 1.968
Keterangan
27
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
BTO B7S3T B7S3HF
0.735 0.938 0.746
0.0585 0.0730 0.0581
0.0772 0.1125 0.0839
0.0698 0.0963 0.0638
1.285 1.092 1.320
Dari hasil perhitungan pengukuran diameter partikel dan kristal tidak signifikan untuk perubahan ukuran partikel dari material yang dibuat menjadi komposit seperti yang diperlihatkan pada tabel 3. jadi harus dilakukan metoda lain untuk mendapatkan ukuran partikel yang lebih kecil mendekati ukuran nano, dengan ultrasonik Tabel 3. Daftar ukuran Partikel dan Kristal dari Komposit B 7S3T/B7S3HF , Miling selama 80 jam, dengan sinter 1100oC selama 4 jam
Waktu
Ukuran Kristal B7S3HF
Ukuran Kristal B7S3T
Ukuran partikel B7S3T/B7S3HF
Milling
D(nm)
D(nm)
D(µm)
80
14
17
15
60
15
21
18
30
20
23
19
10
43
30
10
. ukuran partikel dan kristal (µm,nm) 70
ukuran kristal (nm)
40 25 10 -5
0
20
40
60
80
Time Milling (s) Gambar 4.
100
1
ukuran partikel (µm)
10
55
Grafik ukuran partikel dan Kristal dari matrial komposit B7S3T-B7S3HF
Hasil Fermagraph material komposit B7S3HF-
0.148 T, dan tidak mengalami perubahan pada nilai
B7S3T dengan komposisi x = 0.3, di induksi magnet
koersivitasnya yaitu 282.140 kA/m.
sebesar 5 mT
saat pembuatan bulk pada gaya
tekanan 70 N. Sifat magnet dari komposit B 7S3HFB7S3T
yang
diinduksi
magnet
mengalami
perubahan pada nilai remanen 0.1153 T menjadi
28
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
J[T]
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05
H[kA/m]
0 -2000 -1500 -1000 -500 0 -0.05
500
1000
1500
2000
-0.1 -0.15 -0.2 Komposit 0703M -0.25
Gambar 5
Komposit 0703
Pola hysteresis dari komposit 0703 yang tidak dan di induksi magnet 5 mT
Tabel. 4.. Sifat fisis dari material Komposit 0703 TDM dan Komposit 0703M
Material
Mr [T]
Hcj [kA/m]
Induksi magnet
Komposit0703M
0.148
282.140
5 mT
Komposit0703TDM
0.115
282.140
-
Hasil sonikasi dari komposit B7S3HF/B7S3T selama 6 jam diperlihatkan pada gamabar 6 diproleh nilai ukuran partikel dari komposit B7S3HF/B7S3T sebesar 197.3 nm. Untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil lagi dilakukan penambahan jam untuk sonikasi menjadi 12 jam, diperoleh ukuran partikel 45 nm. .
45 nm
197.3 nm
Gambar 6. Grafik hasil sonikasi selama 6 jam dengan pengukuran PSA. 4.
KESIMPULAN
Dari hasil pembuatan material komposit B7S3HF/B7S3T dengan metoda milling dan sonikasi selama 6 jam diperoleh ukuran partikel mengalami perubahan dari 15 µm menjadi ukuran nano yaitu 197.3 nm dengan menambah jam sonikasi maka diperoleh ukuran partikel 45 nm mendekati ukuran Kristal 30-43 nm. dan pembuatan bulk yang di induksi dengan magnet ternyata mengalami perubahan nilai sifat magnet dari material komposit
tersebut dengan perubahan nilai nilai remanen 0.1153 T menjadi 0.148 T, dan tidak mengalami perubahan pada nilai koersivitasnya yaitu 284.901 kA/m
29
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Daftar Acuan [1]. Kools, F.X.N.M., dan Stopples, D., 1993, Kirk-Othmer Encyclopedia of Chemistry Technology.,Fourth Edition 10, 381-413. [2]. G. Li, G.G. Hu, H.D. Zhou, X.J. Fan, X.G. Li, Attractive microwave absorbing properties of La1-x SrxMnO3 mananite powders. Mater. Chem. Phys. 75(1–3), 101– 104, 2002). [3]. Yonghui Xing, Hui Liang, Xiaolei Li, dan Liuqi Si., 2009,High-frequency dielectric properties of BSTO ceramic prepared with hydrothermal synthesized SrTiO3 and BaTiO3 powders.Particuology. 7, .pp414–418. [4]. Jacob, K.T., dan Rajitha, G., 2011, Thermodynamic properties of strontium: Sr2TiO4, Sr3Ti2O7, Sr4Ti3O10, and SrTiO3.J. Chem. Thermodynamics. 43, pp. 51–57.
[5]. Maria Teresa Buscaglia, Vincenzo Buscaglia, Massimo Viviani, Giovanni Dondero, Serge Röhrig, Andreas Rüdiger and Paolo Nanni, 2008, Ferroelectric hollow particles obtained by solid-state reaction, Nanotechnology 19 (2008) 225602 (7pp). [6]. Srinivasan, G., 2010, Magnetoelectric composites, Annu. Rev. Mater. Res. 40, pp. 153–78. [7]. Eerenstein, W., Mathur, N. D., dan Scott, J. F., 2006, Reviews multiferroic and magnetoelectric materials, Nature, Vol. 442, pp.759-765. [8].
Sherif El-Eskandarany, M., 2001, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced Engineering Materials, Noyes Publications/William Andrew Publishing, Norwich, New York, USA.
30
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
STUDI PEMBALIKAN POLARISASI DAN MODEL HISTERISIS PADA MATERIAL LAPISAN TIPIS BARIUM STRONSIUM (Ba0,5Sr0,5TiO3) DIDADAH Pb, Mg dan Cu Teguh Yoga Raksa1*), Muhammad Hikam 1**)dan Yofentina Iriani2 1
Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia, Depok 1624, Indonesia Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta57126, Indonesia
2
*) Email: teguh,
[email protected] **)Email:
[email protected] Abstrak Fenomena pembalikan polarisasi pada material film tipis BST akan dipelajari dengan menggunakan pendekatan seperti pada material ferroelektrik bulk. Pendekatan statis dan dinamis akan dilakukan dengan menggunakan persamaan energi bebas Landau – Devonshire (LD) dan persamaan Landau – Kalatnikov (LK) untuk memperlihatkan hasil minimum dan maximum dari arus pembalikan. Model histerisis material lapisan tipis BST diperlihatkan menggunakan pendekatan respons medan listrik yang bersifat sinusoidal dengan memvariasikan frekuensi dan amplitudo dari medan listrik yang diberikan.
Abstract Switching phenomenon inBIST thin film will be studiedusing bulk ferroelectric material approach. Static and dynamic approach will be formulated by combination of Landau – Devonshire (LD) and Landau – Kalatnikov (LK) equation to determined maximum and minimum of switching current. Hysteresis loop was developed using sinusoidal electrical field response by variation in frequency and amplitude of electrical field to describe hysteresis model of BST.
Keywords: Switching Phenomenon , Hysterisis Model, Landau Theory,BST
1. Pendahuluan Fenomena switching atau polarisasi pembalikan pada material ferroelektrik sangat penting karena aplikasinya pada ferroelektrik memori [1]. Teori avrami sangat sering sekali digunakan untuk menggambarkan fenomena ini, dimana teori ini memberikan gambaran mengenai hubungan antara arus listrik baik tergantung waktu maupun tidak, pada sifat histerisis material ferroelektrik. Hal yang menarik bahwa fenomena ini berhubungan dengan pemutaran polarisasi pada material ferroelektrik [2]. Sifat pemutaran polarisasi pada ferroelektrik film tipis membuat penggunaan material ini terus berkembang khususnya pada bidang material bahan memory (non-volatile memories) dan sumber untuk emisi elektron. Pada awal perkembangannya fenomena polarisasi pembalikan menunjukan proses tidak homogen, seperti terlihat pada kristal tunggal barium titanat berdasarkan pada domain nukleasi yang tidak sejajar, dimana pertumbuhannya dibawah pengaruh medan listrik [2]. Sementara hasil lain menunjukan pada keramik barium titanat bahwa pengaruh dimensi grain sangat berpengaruh pada sifat feroelektrik material. Semua pendekatan avrami yang digunakan pada fenomena polarisasi pembalikan tidak bergantung pada ukuran akan tetapi tergantung pada kenaikan temperatur Curie,
sementara pengaruh batas sistem ferroelektrik pada polarisasi pembalikan hanya tergantung pada bentuk geometrinya saja. Pada perkembangan selanjutnya, teori landau menjadi metode standar untuk melihat pemutaran polarisasi tidak seragam diantara dua fase transisi, beberapa simulasi menunjukan prediksi tentang fenomena polarisasi pembalikan sesuai dengan hasil eksperimen. Hal penting yang lain pada material ferroelektrik adalah hubungan antara medan listrik yang diberikan dengan polarisasi yang terjadi (loop histerisis) [3]. Fenomena ini berhubungan dengan struktur domain dari material dan harus terdapat pada komponen material yang digunakan. Hal yang mendasar bahwa loop histerisis merupakan besaran yang sangat menentukan dalam material ferroelektrik, sementara pada level sistem histerisis dapat menghasilkan energi, dalam aktuator dapat menyebabkan panas yang keluar dari sistem yang terisolasi [3]. Pada dasarnya model histerisis pada material ferroelektrik dikategorikan secara mikroskopik, semi mikroskopik dan makroskopik berdasarkan penurunannya apakah itu kuantum mekanik, magnetoelestic, thermodynamic relation atau prinsip fenomenologis [4]. Paper ini akan memfokuskan pada pemodelan interaksi material dengan melihat fenomena polarisasi pembalikan dan model histerisis pada material film tipis BST.
31
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Hasil sementara ekperimen menunjukan adanya perbedaan pola polarisasi pembalikan dan loop histerisis pada material film tipis BST tergantung jumlah doping yang diberikan. Fenomena ini menunjukan interaksi domain pada material tersebut sehingga diperlukan penelusuran interaksi yang mungkin terjadi pada material. Pendekatanpendekatan keadaan sistem pada material akan dilakukan dengan menggunakan informasi pada saat pembuatan dan perlakuan pada material film tipis BST yang dibuat, diharapkan dengan menggunakan model ini dapat digunakan untuk mempelajari interaksi yang terjadi pada material film tipis BST.
2. Metode Penelitian Pendekatan model yang digunakan adalah model statis dan dinamis. pada model statis menggunakan persamaan Landau – Devonshire(LD),sementara pada model dinamis menggunakan persamaan Landau – Kalatnikov(LK) dikombinasikan dengan model statis [8], seperti ditunjukan pada persamaan 1 dan 2.
G
a ( 0 ) 2 B 4 C 6 P P P EP (1) 2 2 0 4 0 6 03
a, B, C adalah konstanta, adalah temperatur dan E, P adalah medan listrik dan polarisasi, selanjutnya dibuat simulasi untuk range temperatur dengan membuat titik kritis pada sistem tersebut.
dP G d P
posisi atom Ti, selanjutnya vacancy ini ditempati oleh atom Indium Tabel 1. Perhitungan Momen Dipol Lapisan Tipis BSTdi doping dengan Pb No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Atom Ba/Sr Ba/Sr Ba/Sr Ba/Sr Ba/Sr Ba/Sr Ba/Sr Ba/Sr Pb O O O O O O
x 0 1 1 0 0 0 1 1 0,5 0,5 0,5 1 0 0,5 0,5
z 0 0 0 0 1 1 1 1 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0 1
q 0,25e 0,25e 0,25e 0,25e 0,25e 0,25e 0,25e 0,25e 3e -1e -1e -1e -1e 0 -1e
Jika Ps adalah Polarisasispontan, q adalah muatan listrik dan r adalah jarak antar atom pada unit cell maka polarisasi spontan BIST1%, dapat diperoleh dengan menghitung interaksi dipol listrik seperti dilihat pada terlihat pada tabel 2 dan tabel 3. Tabel 2 Polarisasi sponstan teoritis untuk material film tipis BST Murni Polarisasi No
Sampel
Parameter Kisi (Å)
(2)
parameter menunjukan kecepatan untuk pembalikan polarisasi. Dengan menggabungkan persamaan 1 dan persamaan 2 akan dibuat model dengan analisa numerik untuk penyelesaian persamaan differensial tersebut. Pada tahap penyelesaian persamaan akan digunakan metode range kuta [5]. Sebelum pemodelan dilakukan terlebih dahulu penentuan polarisasi spontan material dengan menghitung interaksi dipol listrik dalam satu unit sel dan dijadikan parameter awal untuk memahami pembalikan polarisasi dan loop histerisis dari material lapisan tipis BST.
Posisi Atom y 0 0 1 1 1 0 0 1 0,5 0 1 0,5 0,5 0,5 0,5
Spontan, Ps (C/cm2)
1
BST - Si
3.9465
72.63957
2
BST - Pt
3.9535
72.38312
Tabel 3 Polarisasi sponstan teoritis untuk material film tipis BST dengan didadah 1 % bahan Polarisasi Spontan, Ps (C/cm2)
No
Sampel
Dopan
Parameter Kisi (Å)
3. Hasil dan Pembahasan
1
BST – Si
Cu
3.8879
74.84549
Perhitungan awal untuk proses pemodelan dilakukan dengan melakukan perhitungan polarisasi spontan untuk BIST, dengan menggunakan asumsi proses hard doping dimana secara acak terjadi kekosongan atom (vacancy) di
2
BST - Pt
Cu
3.9390
72.9159
3
BST – Si
Mg
3.9450
72.51329
4
BST - Pt
Mg
3.9553
72.31795
5
BST – Si
Pb
3.9505
72.49468
32
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 6
BST - Pt
Pb
3.9490
72.5484
Hubungan antara arus pembalikan polarisasi dengan waktu Material film Tipis 5 4
t
4aC ( 0 ) B2
(3)
3 2
J (Arus Pembalikan Polarisasi
nilai perhitungan polarisasi spontan akan digunakan acuan untuk penetuan nilai Pmax untuk setiap material film tipis, dengan menggunakan definisi t sebagai fungsi yang tergantung pada suhu sesuai dengan persamaan 3 :
1 0 -1 -2 -3 -4
Persamaan 1 dapat dimodifikasi dan kondisi maksimum diperoleh nilai t tertentu dari nilai polarisasi yang diperoleh secara teori, seperti terlihat pada persamaan 4.
0
1
3
4
5
6
7
Model energi bebas material film tipis BSTSI & BCSI 10 e= 0
(4)
e= 0
e = 0.5
e = 0.5
e= 1
8
e= 1
8
e = 1.5
e = 1.5
6
Tabel 4. Nilai Parameter t Teoritis Untuk Material
6
G/G1o
Nilai t secara teoritis dapat diperoleh dengan memasukan nilai asumsi nilai polarisasi spontan dari setiap material tipis yang murni maupun yang sudah didadah seperti terlihat pada tabel 4.
8
Gambar 1. Arus Polarisasi Material Film Tipis Pada BST-Si 10
2
tr (waktu)
G/G1o
3 5t P 2 1 1 5 9
-5
4
4
2
2
0
0
Film Tipis BST -2 -2
No
Sampel
Dopan
t
1
BST - Si
-
1.7738
2
BST - Pt
-
1.7710
3
BST – Si
Cu
1.7921
2
4
BST - Pt
Cu
1.7767
1.5
5
BST – Si
Mg
1.7725
1
6
BST - Pt
Mg
1.7703
7
BST – Si
Pb
1.7723
8
BST - Pt
Pb
1.7729
-1
0
1
-2 -2
2
-1
0
P/Po
2
Gambar 2. Pemodelan Energi Bebas Untuk BST Si dan BST Setelah didadah Oleh Cu Model Histerisis Loop Material Film Tipis BST
P/Po
0.5
0
-0.5 BSTSI BCSI
-1
Nilai – nilai parameter t digunakan untuk membuat model interaksi dari material lapisan tipis BST, sehingga diperoleh arus pembalikan polarisasi,model energi bebas dan model histerisis dari material seperti terlihat pada gambar 1 -5.
1
P/Po
-1.5
-2 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
E/E0
Gambar 3. Model Loop Histerisis Material Film Tipis Pada BST-Si
33
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 didadah dan sesudah didadah tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan, walaupun sebetulnya diharapkan dengan adanya doping diharapkan ada perubahan pada polarisasi pembalikan yang signifikan.
Model Histerisis Loop Material Film Tipis BST 2
1.5
1
P/Po
0.5
4. Kesimpulan
0 t=0.375
-0.5
t=1.2 -1
-1.5
-2 -1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
E/E0
Gambar 4. Simulasi Pemodelan Loop Histerisis Pada Nilai t Berbeda
Pemodelan statis dan dinamis secara umum dapat memperlihatkan proses pembalikan polarisasi dan model histerisis pada material film tipis yang diamati dengan pendekatan formulasi pada material bulk. Interaksi pada struktur kristal material digambarkan melalui proses pendadahan terjadi pada material film tipis BST dimana penambahan pendadah Pb/Cu/Mg akan menggantikan posisi dari ion Ba/Sr. Model dinamis dapat memperlihatkan polarisasi maksimum dan polarisasi remanen pada material film tipis. Model yang diharapkan tidak begitu sesuai dengan hasil eksperimen yang diperoleh, akan tetapi prinsip pendekatan proses pendadahan yang terjadi dan interaksi yang diusulkan secara umum sudah mendekati gejala yang terjadi pada hasil pengukuran.
Ucapan Terimakasih
Gambar 5. Model Loop Histerisis Material Film Tipis Pada Hasil Pemodelan Dengan Hasil Pengukuran Hasil pemodelan untuk material BST dan material BST yang sudah didadah menunjukan hasil yang agak berbeda dengan hasil pengukuran, akan tetapi memperlihatkan model yang hampir mirip, nilai medan koersif menunjukan hasil yang hampir sama. Pada pemodelan interaksi dipol digambarkan proses pendadahan dimana Penambahan pendadah Pb/Cu/Mg akan menggantikan posisi dari ion Ba/Sr, pergantian ini didasarkan pada besar atau kecilnya jari-jari atom dari material doping. Karena muatan Pb2+ / Mg2+/ Cu2+ lebih kecil daripada Ti4+ sebesar dua muatan positif dan terjadi fenomena elektrostatik antara Mg2+ dengan Ti4+, maka mengakibatkan terlepasnya ion O2-, Semakin banyak pendadahan yang diberikan maka akan semakin banyak O2yang terlepas. Pemberian pendadahan ion donor Pb2+/Mg+2/Cu+2 ke dalam BST berfungsi untuk membuat cacat kristal dalam ion oksigen. Dari hasil pemodelan interaksi secara umum sudah memperlihatkan pendekatan model statis dan dinamis bisa memperlihatkan interaksi secara umum terkait polarisasi pembalikan dan model histerisis. Model statis menunjukan keadaan dimana nilai ekstrim untuk material sebelum
Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia, sebagian dana riset ini berasal dari Proyek Hibah Penelitian SINas dengan No. Kontrak 17/SEK/INSINAS/PPK/I/2014.
Daftar Acuan [1]
[2]
[3]
[4]
[5].
Tan, Eng –Kian dan Tilley , Theory of switching in bulk first –order ferroelectric material, phys. stat. sol. (b) 228, No. 3(2001) p.765–776 Richinshci, Dan, Papusoi, Hargagea, Tura dan Mitoseriu, Model for switching in finite ferroelectric media as a landau phase transition and comparison with experiment,ANALELE ŞTIINŢIFICE ALE UNIVERSITĂŢII "AL.I.CUZA" DIN IAŞI Tomul XLIII-XLIV, s.I.b.fasc.2 Fizica Solidelor - Fizică Teoretică, (1997-1998). R.C. Smith and C.L. Hom, Domain wall theory for ferroelectric hysteresis, Journal of Intelligent Material Systems and Structures, 10(3), 1999, p. 195-213. R.C. Smith and C.L. Hom, A domain wall model for ferroelectric hysteresis, Proceedingsof the SPIE, Smart Structures and Materials, Volume 3667 (1999), p. 150161. Dautray, Robert dan Jacques–Louis Lions, Mathematical analysis and num numerical
34
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
[6]
[7]
[8]
methods for science and technology, Vol. 6, Springer – Verlag (2000). Hikam, M., Soegijono, B., Anggraini, P. W. K., Sumardi, T, Sunandar, T, Yogaraksa, T, Development of barium strontium titanate (BST) thin film doped by Fe. One Day Workshop on Materials & Metalurgy [Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia (UI) & Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)] (2006). Hikam, M, Anggraini , P.W.K dan Sumardi, T, Ferroelectric and crystallographic studies of barium strontium titanate thin films doped by Nb2O5 , dipresentasikan di konferensi internasional Tecnological Advance of Thin Films & Surface Coatings – THINFILMS (2006) M.E. Lines dan A.M. Glass, Principles and applications of ferroelectric and related materials, Clanrendon Press, Oxford (1997)
35
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
KAJIAN PEROVSKITE LA0,73CA0,27MN1-XCUXO3 DENGAN 0 <X< 0,19 SEBAGAI KATODA BAHAN BAKAR OKSIDA PADAT Y. E. Gunanto1*, K. Sinaga1, A. Purwanto2, B. Kurniawan3, S. Poertadji3, E. Steven4, J. S. Brooks4. 1
2
Faculty of Education, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang,15811, Indonesia Centre of Technology for Nuclear Industrial Material, National Nuclear Energy Agency (BATAN), Serpong, Tangerang, 15341, Indonesia 3 Material science study program, Department of Physics, University of Indonesia, Depok, 16424 4 Department of Physics, National High Magnetic Field Lab., Tallahassee, Florida, USA *) Email:
[email protected] Abstract We have performed the synthesis and characterization of materials La0.73Ca0.27Mn1-xCuxO3 for 0 <x< 0.19 using neutron scattering diffraction (HRPD) and SQUID.All the samples are already in phase with the crystal structure orthorombic and space group P nma. Parameters of the Mn-O bond length obtained from the charactyerization HRPD. From the parameters of Mn-O bond length can be determined the value of Jahn-Teller distortion. The greater x will result in an average radius of position B (
) increasing and the tolerance factor t decreasing. From the characterization of the SQUID was found that the maximum value of conductivity for Cu-doped samples will be lower when compare to the sample without doping, except for Cu=0.10. If the value of the conductivity is getting smaller, the activation energy will be higher.
Keywords: Jahn-Teller distortion, factor tolerance, conductivity, activation energy
1.
Pendahuluan
Penelitian terhadap material perovskite sebagai bahan katoda pada sel bahan bakar oksida padat sangat intensif dilakukan [1-6]. Hal ini dilakukan karena material perovskite tersebut memiliki sifatsifat dan karakterisasi yang menarik untuk dikembangkan sehingga dapat diklasifikasikan misalkan konduktivitas, aktivitas katalis, kompatibilitas dan stabilitasnya. Konduktivitasnya bisa karena ionik atau listrik atau campuran keduanya, ionik dan listrik [1-4]. Stabilitasnya dipengaruhi oleh strukturnya yang bergantung pada komposisi dan sifat bahannya. Hal yang mempengaruhi strukturnya adalah toleransi faktor yang menggambarkan stabilitas perovskite, jari-jari kritis dan volume kisi [6],. Pengklasifikasian bahan Perovskite ABO3 seperti perilaku konduksi listriknya sebagai pendekatan struktur untuk mencari bahan katoda baru berdasarkan perovkites yang lebih komplek dengan mensubtitusi atom A dan atau atom B [2,5,6]. Beberapa hasil penelitian mendapatkan bahwa bahan dengan struktur perovskite dengan simetri orthorombik menunjukkan perilaku katoda yang sangat baik [7-9], contohnya La1-xSrxMnO3-δ, La1 xSrxFeO3-δ atau La1-xSrxCoO3-δ dan campuran Fe dan Co, La1-xSrxCo1-yFeyO3-δ. Untuk La1-xSrxMnO3 δ mempunyai konduktivitas elektronik yang sangat baik, sekitar 200-300 S/cm pada suhu 9000C [10]. Sedangkan La1-xSrxFeO3-δ konduktivitas maksimu mnya sekitar 350 S/cm terjadi pada x = 0,5 pada suhu 5500C dan dengan naiknya temperatur, maka konduktivitasnya akan menurun [11].
Dalam penelitian ini, akan ditentukan pengaruh subtitusi Cu (x) pada atom Mn terhadap : besarnya distorsi yang terjadi pada kisi (Jahn-Teller distortion), faktor toleransi dengan menggunakan difraksi hamburan neutron dan besarnya konduktivitas elektronik sebagai fungsi temperatur dengan SQUID untuk sampel La0,73Ca0,27Mn1xCuxO3 dengan 0 <x< 0,19. 2. Metode Penelitian Sampel disiapkan dengan reaksi padatan (solid state reaction) dari bahan-bahan La2O3, CaCO3, MnO2dan CuO dengan kemurnian di atas 99%. Campuran dari bahan-bahan tersebut mula-mula dimilling selama 5 jam, lalu dipanaskan dengan suhu 1350oC selama 6 jam. Kemudian dimilling lagi 10 jam dan dipanaskan kembali dengan suhu 1100oC selama 24 jam. Untuk mengetahui apakah sampel yang terbentuk sudah sefase atau belum digunakan XRD. Dari hasil XRD didapatkan bahwa semua sampel sudah sefase. Langkah berikutnya dilakukan o
eksperimen menggunakan HRPD (λ=1,8223 A ) di Laboratorium Neutron Scattering BATAN, Serpong, Tangerang. Sampel dimasukkan ke dalam silinder vanadium yang diletakkan dalam Cryostat helium. Pengambilan data dilakukan pada sudut hamburan 2,5o – 157o dengan interval 0,05o. Pengukuran resistivitas sebagai fungsi temperatur menggunakan SQUID. Dari nilai resistivitas ini akan didapatkan nilai konduktivitas elektroniknya sebagai fungsi temperatur. Nilai
36
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 konduktivitas ini akan menentukan besarnya energi aktivasinya. 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil karakterisasi terhadap pola difraksi XRD pada temperatur kamar, semua sampel menunjukkan sefase dengan struktur kristal orthorombik dan space group Pnma. Untuk memastikan hasil pengukuran ini, sampel dikarakterisasi lagi dengan menggunakan difraksi hamburan neutron beresolusi tinggi/High Resolution Powder Diffraction (HRPD). Ternyata hasil HRPD yang diolah dengan program fullprof sesuai dengan hasil XRD 12. Panjang ikatan Mn-O, rata-rata panjang ikatan Mn-O () dan parameter distorsi Sd(Jahn-Teller Distortion) dari sampel La0,73Ca0,27Mn1-xCuxO3 dengan 0 <x< 0,19 dapat dilihat pada Tabel 1, ∑ dimana dan [ ∑(
) ]
⁄
menunjukkan besarnya faktor toleransi t untuk beberapa nilai x. Tampak bahwa semakin bertambah nilai x, maka akan memperbesar jari-jari rata-rata rB sehingga nilai faktor toleransi t akan semakin mengecil/berkurang. Dalam sampel ini Cu2+ mensubtitusi Mn3+. Hasil yang sama didapatkan oleh Jorg Richter et al6 , dimana pensubtitusian Mg2+ pada Ga3+ untuk sampel La1xSrxGa1-yMgyO3-δ akan mengurangi faktor toleransi. Tabel 2. Toleransi Faktor t untuk La0,73Ca0,27Mn1-xCuxO3 dengan 0 <x< 0,19 x
0
√ (
)
(1)
1
0 ,0 6
1
0
0
1
0 ,946 5
0 ,647 3
1 ,33 0
0 ,951 2
,639 6
,33 0 0
,1 9
0
1
0
0 ,958 5
,629 4
,33 0
,1 3
t
0 ,614 0
,33 0
,1 0
< rB>
,33 0
. Untuk x = 0,06 dan 0,19
nilai Jahn-Teller distorsinya lebih besar jika dibandingkan dengan x = 0, sedangkan untuk x = 0,10 dan 0,13 didapatkan nilai yang lebih kecil. Dalam senyawa ini data difraksi neutron menunjukkan bahwa beberapa ion Cu memiliki keadaan Cu3+. Subtitusi Mn oleh Cu mempengaruhi panjang ikatan Mn-O yang dihasilkan dari minimalisasi distorsi octahedron MnO613. Cu dalam keadaan Cu2+ (6 koordinasi) berjari-jari 0,73 Å, jauh lebih besar dari jari-jari Mn3+ (0,645 Å) dan Mn4+ (0,53 Å)14. Subtitusi Mn oleh Cu2+ akan memperbesar unit sel, sehingga akan memperbesar volume selnya juga. Data yang diperoleh menunjukkan tidak semua sampel volumenya bertambah besar12. Oleh karena itu penurunan volume sel sampel yang disubtitusi dengan Cu pada suhu kamar menunjukkan bahwa beberapa ion Cu berada dalam keadaan Cu3+ (0,54 Å) yang lebih kecil Mn3+ namun lebih besar dari Mn4+ (0,53 Å). Hasil yang sama diperoleh M. S. Kim et al 15, yang menjelaskan bahwa ada campuran antara Cu2+ dan Cu3+ dimana Cu2+ lebih dominan. Stabilitas perovskite relatif terhadap struktur yang lain (dalam hal ini terhadap struktur kubik), sering didefinisikan sebagai faktor toleransi Goldschmidtt yang dituliskan dengan persamaan :
< rA>
0 ,942 9
0 ,662 6
0 ,935 9
Faktor toleransinya untuk struktur perovskite yang stabil antara 0,77
dimana rA, rB dan rO adalah jari-jari kation-A, jarijari kation-B dan jari-jari ion oksigen 4. Tabel 2
37
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Tabel 1. Panjang ikatan Mn-O (Ǻ), sudut Mn-O (0), Panjang ikatan rata-rata Mn-O (Ǻ) dan Jahn-Teller distorsi Sd untuk La0,73Ca0,27Mn1-xCuxO3 dengan 0 <x< 0,19. No 1 2 3
Mn - O (2) Mn - O (1) Mn - O (2) Sudut Mn – O (0) (Ǻ) Sd
4 5 6
x = 0,06 1.9567 1.9730 1.9811
90 1.9690 7.5214E-06
90 1.9703 1.3262E-05
90 1.9757 2.0565E-06
x = 0,13 1.9687 1.9710 1.9759 90 1.9719 1.1593E-06
x = 0,19 1.9414 1.9830 2.0023 90 1.9756 8.2729E-05
x = 0.00
2.0
σ (1/ohm)
Panjang Ikatan (Ǻ) x = 0,10 1.9729 1.9814 1.9729
x=0 1.9744 1.9582 1.9744
1.5 1.0 0.5 0.0 0.0
100.0
200.0 T (K)
300.0
(a) σ (1/ohm)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
x=0.10
0
100
200
300
400
T (K) (b) Gambar 1. Konduktivitas sebagai fungsi temperatur T : (a) untuk nilai x = 0 dan (b) x = 0,10.
Untuk menganalisis besarnya energi aktivasi digunakan persamaan (2) di bawah ini 6. (
)
(
)
(2)
dimana σ merupakan konduktivitas listrik, C = faktor pre-eksponensial yang berisi antara lain konsentrasi muatan-carrier, T = suhu mutlak, k=konstanta Boltzmann, Ea = energi aktivasi, sedangkan eksponen smasing-masing sama dengan 1 atau 3/2 untuk proses adiabatik atau non-
adiabatik. Dalam kasus ini, diambil s=3/2 (nonadiabatik). Dari persamaan (2), dapat diplot grafik Ln(σT) terhadap 1/T. Dengan mencari gradiennya, didapatkan besarnya energi aktivasi Ea. Gambar 2 di bawah untuk sampel dengan nilai x =0,19. Perilaku linear berarti bahwa konduktivitas elektronik dikarenakan mekanisme lompatan kecil dari polaron yang terjadi di perovskit sepanjang rantai logam transisi-oksigen-logamtransisi (misalnya Mn3+-O-Mn4+)18. Konduktivitas maksimum dapat dilihat pada Tabel 3.
38
Ln(σT) (K/ohm)
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 0.000
0.005
0.010
0.015
1/T (K-1) Gambar 2. Ln(σT) terhadap 1/T untuk sampel dengan nilai x = 0,00
Sedangkan besarnya energi aktivasi dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 3. Konduktivitas elektronik maksimum untuk La0,73Ca0,27Mn1-xCuxO3 dengan 0 <x< 0,19. x σmax (Ω-1) 0 1,710 0,06 1,464 0,10 1,952 0,13 0,238 0,19 1,124 Tabel 4. Energi aktivasi untuk La0,73Ca0,27Mn1xCuxO3 dengan 0 <x< 0,19. x Ea(x 10-20 J) 0 2,03 0,06 2,63 0,10 2,76 0,13 3,11 0,19 3,09
4.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya nilai x akan : 1. Semakin bertambahnya Jahn-Teller distortion S d. 2. Faktor toleransi t akan semakin berkurang. 3. Konduktivitas σ akan semakin berkurang, kecuali untuk x = 0,10. 4. Energi aktivasi Ea semakin bertambah.
5.
2. Rainer Kungas, John M. Vohs, and Raymond J. Gorte, , Journal of The Electrochemical Society, 158(6), B743-B748, 2011. 3. S. Ghosh and S. Dasgupta, Materials Science Poland, Vol. 28, No. 2, 2010. 4. L. M. Ushkalov, O. D. Vasylyev, Ye. G. Pryschepa, A. V. Samelyuk and V. G. Melakh, ECS Transaction, 25(2) 2421-2426, 2009. 5. Jung Hyun Kim, mark Cassidy, John T. S. Irvine, and Joongmyeon Bae, Journal of The Electrochemical Society, 156(6), B682-B689, 2009. 6. J ̈ rg Richter, Peter Holtapples, Thomas Graule, Tetsuro Nakamura, and Ludwig J. Gauckler, Monatsh Chem, 140, 985-999, 2009. 7. C. Frontera, J. L. Garcia-Munoz, A. Llobet, L. manosa, and M. A. G. Aranda, J. Solid State Chem., 171, 349-352, 2003. 8. A. Chang, S. J. Skinner, and J. A. Kilner, , Solid State Ionics, 177, 2009, 2006. 9. G. Kim, S. Wang, A. J. Jacobson, L. Reimus, P. Brodersen, and C. A. Mims, J. Mater. Chem., 17, 2500-2505, 2007. 10. Jiang SP, , Solid State Ionics 146, 1–22, 2002. 11. Bongio EV, Black H, Raszewski FC, Edwards D, McConville CJ, Amarakoon VRWJournal of Electroceramics, 14, 193 – 198, , 2005. 12. Y. E. Gunanto, A. Purwanto, B. Kurniawan, S. Poertadji, A. Fajar, H. Mugirahardjo, and A. A. Adi, AIP Conf. Proc. The 4th Nanoscience and Nanotechnology Symposium, 1415, 148-151, 2011. 13. M.S.Kim, J.B.Yang, P.E. Parris, Q.Cai, X.D.Zhou, W.J.James, W.B.Yelon, D.Buddhikot, and S.K.Mali, J.Appl.Phys. 97, 10H714, 2004. 14. R. D. Shannon, Acta Crystallogr., Sect. A: Cryst. Phys., Diffr., Theor. Gen. Crystallogr. 32, 751 (1976). 15. M.S.Kim, J.B.Yang, J.Medvedeva, W.B.Yelon, and P.E.Paris, J.Phys.:Condens.Matter 20 , 255228 (2008). 16. Vyshatko, N.P.; Kharton, V.; Shaula, A.L.; Naumovich, E.N.; Marques, F.M.B., Mater. Res. Bull., 38, 185-193, 2003. 17. Inoue IH, Semicond Sci Technol 20:S112– S120, 2005.
Daftar Pustaka
1. D. Radhika and A. S. Nesaraj, Int. Journal of Renewable Energy Development 2 (2), 87-95, 2013.
39
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
PENGAMATAN STUKTUR MIKRO PERMUKAAN BAJA YANG DIIRRADIASI ION TITANIUM MENGGUNAKAN TEM Dwi Gustiono*) Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Puspitek, Serpong - Banten 15310 *) Email: [email protected] Abstrak Telah dilakukan pengamatan mikrostruktur permukaan material baja yang diiradiasi ion titanium pada suhu ruang menggunakan mikroskop elektron transmisi (transmission electron microscope/TEM). Pada dosis irradiasi rendah, mikrostruktur permukaan baja banyak dipenuhi oleh cacat titik, cacat bidang dan dislokasi. Seiring dengan meningkatnya dosis irradiasi terjadi perubahan mikrostruktur pada beberapa bagian atau daerah permukaan material baja yang semula kristalnya berstruktur kubus berpusat muka (face centered cubic/ fcc) menjadi kubus berpusat badan (body centered cubic/ bcc). Bagian permukaan yang mengalami perubahan struktur kristal karena proses irradiasi ion titanium ini memiliki bentuk melingkar seperti partikel dan memiliki ukuran luas yang beragam dari skala nano hingga mikron. Pengamatan penampang lintang memperlihatkan bahwa daerah bcc terinduksi irradiasi ini hanya terjadi pada daerah dekat permukaan sekitar 150 nm dari permukaan material baja. Keywords: Perubahan struktur kristal, irradiasi-ion, implantasi-ion, baja, mikroskop elektron.
1. Pendahuluan Material baja adalah material yang memeiliki peranan penting baik dalam dunia industri, transportasi, infrastruktur, dan lain sebagainya. Walaupun konsumsi baja di Indonesia masih rendah dibanding dengan negara ASEAN lainnya tapi tingkat konsumsi baja nasional per kapita per tahun sudah mencapai 40 kilogram (kg)per-tahun [1]. Penelitian dan pengembangan material baja untuk meningkatkan kualitas dan kehandalan dalam lingkungan operasinya serta mengurangi biaya produksinya merupakan aktivitas strategis yang harus selalu dilakukan. Selama beberapa tahun terakhir para peneliti manca negara telah melaporkan berbagai hasil penelitian terkait dengan peningkatan pemahaman dasar (teori) terhadap fenomena sifat permukaan baja maupun peningkatan kualitas permukaan baja untuk mendapatkan sifat-sifat yang lebih unggul dari sebelumnya seperti ketahanan terhadap lingkungan yang sangat ekstrim [2,3]. Para peneliti telah memahami perubahan sifat baja dari struktur kristal fcc ke struktur kristal bcc dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya dengan perlakuan penurunan suhu yang sangat cepat (quenching) , perlakuan penaikan tekanan secara hidrostatik, perlakukan pemuatan gas hidrogen dan perlakuan mekanik (cold working) [4-12]. Sejak tiga dasawarsa terakhir para peneliti mengetahui bahwa perlakuan irradiasi atau implantasi ion terhadap permukaan baja bisa menginduksi perubahan struktur kristal [13-26].
Pengamatan sifat permukaan bahan dengan metode irradiasi melalui pengendalian jenis ion, besarnya energi atau kecepatan ion, suhu lingkungan operasional dan pemberian perlakuan target bahan sebelum proses irradiasi telah dilakukan para peneliti menggunakan berbagai metode analisis seperti glancing angleX-ray diffraction (XRD), Rutherford backscattering (RBS), Mossbauer spectroscopy, and Transmission electron microscopy (TEM) [13-26]. Pengamatan struktural yang dilakukan menggunakan TEM selain menguatkan pembuktian perubahan struktural yang terjadi pada daerah terinduksi irradiasi yang telah dilakukan dengan metode analisis lainnya, juga memberikan informasi baru yang lebih akurat terkait dengan bentuk dan ukuran daerah terinduksi irradiasi serta sumber penyebab terjadinya fase terinduksi irradiasi [19-23]. Namun hingga saat ini para peneliti masih terus melakukan pengamatan yang lebih detil terhadap faktor penyebab utama terjadi perubahan struktur kristal terinduksi irradiasi guna pembuktian terhadap teori yang telah disusun oleh para peneliti terdahulu maupun koreksi atau penyusunan teori yang baru. Pada makalah ini akan dilaporkan hasil pengamatan yang dilakukan menggunakan TEM terhadap bahan baja stainless jenis SUS301 yang diiradiasi oleh ion Titanium (Ti+) pada suhu ruang. Tujuannya adalah untuk memberikan bukti yang lebih akurat terhadap faktor utama terjadinya perubahan struktur kristal yang diinduksi oleh irradiasi ion dan karakteristik dari daerah terinduksi irradiasi.
40
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
2. Metode Penelitian Baja stainless tipe SUS301 ditetapkan sebagai objek penelitian karena sifatnya yang metastabil dimana perubahan struktur kristal akan lebih mudah teramati. Sifat metastabil tersebut diketahui dari hasil penelitian para peneliliti terdahulu yang ditampilkan melalui komposisi kimia SUS301 pada Tabel-1 dan diagram fasa Schafeler pada Gambar1. Tabel1. Komposisi kimiawi Baja tipe SUS301
Gambar 2. Ilustrasi profil penampang lintang dari peralatan akselerator bertegangan tinggi yang digunakan dalam penelitian ini.
3. Hasil dan Pembahasan Gambar 3 memperlihatkan kondisi struktur mikro permukaan spesimen sebelum diberikan perlakuan irradiasi ion. Profil struktur mikro tersebut terlihat bebas dari defects dan tak ada endapan atau fasa baru yang berbeda dengan struktur kristal fasa induknya, yakni fcc yang dapat dibuktikan dari pola difraksi electron pada Gambar 1. Hal ini membuktikan bahwa specimen telah dipreparasi dengan baik.
Gambar 1. Diagram fasa ’Schaeffler’ yang memperlkihatkan posisi bahan baja SUS301 berdasarkan komposisi kimiawi.. Pembuatan spesimen TEM berbentuk cakram didahului dengan pembentukan sampel berdiamter 3 mm dan tebal 0.3 mm. Untuk menghilangkan kerusakan struktur yang diakibatkan oleh proses pemotongan dan penipisan maka sampel diberi perlakuan pemanasan (annealing) pada suhu 1050°C. Selanjutnya bagian tengah sampel ditipiskan kembali dengen metode elektromikiawi menggunakan peralatan Jet-Electropolishing bermerek Strue menggunakan campuran larutan asam asetat 95% dan asam perklorik 5% pada suhu 25°C. Untuk pengamatan penampang lintang, specimen TEM dibuat dengan menggunakan metode Focused ion beam (FIB), pemotongan dan penipisan bagian permukaan dengan berkas ion Galium berenergi 30 keV. Spesimen diirradiasi dengan ion Titanium berenergi 300 keV pada suhu ruang menggunakan peralatan akselerator ion berenergi tinggi. Dosis irradiasi diberikan dari 0.8x1020 ions/m2 sampai dengan 30x1020 ions/m2. Pengamatan structural dilakukan menggunakan TEM bertipe H-700, JEM-2000FX dan JEM-2010F buatan JEOL yang dioperasikan pada tegangan 120 dan 200 kV.
Gambar 3. Citra TEM dari struktur mikro permukaan spesimen sebelum diberi perlakuan irradiasi ion Titanium. Gambar 4 memperlihatkan citra TEM dari specimen yang telah diberikan perlakuan irradiasi ion Titanium pada dosis rendah dan yang lebih tinggi. Struktur mikro permukaan yang diiradiasi pada dosis rendah mengandung banyak cacat titik dan cacat planar seperti dislokasi. Belum terlihat adanya fasa baru terinduksi irradiasi dari hasil pengamatan pola difraksi electron yang diambil dari beberapa daerah yang mengalami kerusakan karena proses irradiasi.
41
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Gambar 4. Citra TEM dari spesimen yang diberi perlakuan irradiasi ion Titanium pada dosis 0.8x1020 ions/m2. Peningkatan dosis irradiasi selain menimbulkan penimgkatan kerusakan permukaan seperti adanya poin defects dan dislokasi tapi juga menyebabkan munculnya endapan seperti partikel berbentuk melingkar dengan berbagai ukuran sepeti yang terlihat pada Gambar 5 citra TEM dari specimen yang telah diiradiasi ion Titanium pada dosis yang lebih tinggi, yakni sekitar 3x1020 ions/m2. Ukuran partikel ini sem akin membesar dengan kenaikan dosis irradiasi hingga pada dosis tinggi tertentu, sekitar 10x1020 ions/m2 seluruh permukaan specimen dipenuhi oleh partikel yang sangat besar atau dengan kata lain struktur mikro spesimen berubah menjadi seperti partikel,
Gambar 5. Citra TEM dari spesimen yang diberi perlakuan irradiasi ion Titanium pada dosis 3x1020 ions/m2. Pola difraksi electron dari endapan seperti partkel yang terlihat pada Gambar 5 membuktikan bahwa partikel yang dihasilkan setelah perlakuan proses irradiasi adalah bagian daerah permukaan specimen
yang mengalami perubahan struktur kristal dari fcc ke bcc. Pada dosis irradiasi tertinggi yakni sekitar 3x1020 ions/m2, hamper seluruh permukaan specimen telah mengalami perubahan structural yang diinduksi irradiasi ke struktur Kristal baru, bcc. Perubahan struktur kristal dari fcc ke bcc pada suhu ruang atau yang lebih rendah dimana sedikit sekali kemungkinan adanya intervensi proses diffuse, sering dikenal dengan istilah prubahan structural Martensite. Para peneliti terdahulu menganalisis penyebab utama (driving force) terjadinya transformasi martensit yang diinduksi irradiasi baik secara teori maupun hasil eksperimental yakni 1) kerusakan selama proses irradiasi dan berbagai cacat titik dan planar yang dihasilkannnya, 2) efek sekunder dari proses irradiasi yaitu disperse dari ion-ion irradiasi dan endapan, 3) efek pemaduan atau perubahan komposisi mkimiawi yang disebabkan ion-ion terirradiasi. [24-26] Pengamatan yang dilakukan para peneliti terhadap irradiasi ion tipe unsur penstabil (stabilizer) struktur matriks maupu tipe ion dari unsur penyusun (constituent) bahan baja mendapatkan bahwa tidak adanya struktur sekonder hasil pemaduan unsure kimia local maupun unsur ion terirradiasi. Mereka mendapatkan struktur baru terinduksi irradiasi (bcc) yang memiliki komposisi kimiawi yang sana dengan indusknya atau struktur specimen sebelum irradiasi (fcc). Hal ini dikuatkan dengan pengamatan pada specimen yang diiradiasi dengan ion-ion gas mulia seperti Argon dan Xenon dimana tidak dimungkinkan terjadinya fasa sekunder dari proses pemaduan [15,19, 22]. Struktur baru bcc terinduksi rradiasi ion gas mulia memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dnegan ion gas metal baik tipe konstituen maupun penstabil. Ini menguatkan analkisis yang pertana dimana akumulasi stress yang dihasilkan selama proses irradiasi ion diduga menjadi driving force perubahan struktur kristal fcc menjadi bcc. Gambar 6 memperlihatkan citra TEM penampang lintang specimen yang diiradiasi dengan ion Titanium pada dosis 5x1020 ions/m2. Hasil pengamatan penampang lintang ini mengkonfirmasi posisi terjadinya struktur baru terinduksi irradiasi terletak dekat permukaan dan awal terjadinya perubahan struktur dimulai dari permukaan dan berlanjut hingga kebagian dalam. Menurut hasil perhitungan dengan menggunakan software TRIM code, permukaan memiliki gradient konsentrasi stress tertinggi dan konsentrasi defects berada lebih dekat permukaan disbanding dengan konsentrasi ion terirradiasi. Fakta eksperimen ini dan hasil perhitungan perangkat lunak TRIM sangat bersesuaian dan menguatkan analisis awal terjadinya perubahan struktur dimulai dari permukaan yang disebabkan oleh akumulasi stress terinduksi irradiasi ion. Fakta penelitian ini juga menguatkan bahwa TEM merupakan metode
42
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
analisis yang sangat potensial atau penting dalam mengidentifikasi sumber perubahan struktural berskala nano.
[3]
[4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] Gambar 6. Citra TEM dari spesimen penampang lintang yang diberi perlakuan irradiasi ion Titanium pada dosis 5x1020 ions/m2.
[14]
4. Kesimpulan
[16] [17]
Perubahan struktur kristal fcc ke bcc telah diamati pada baja stainless tipe SUS301 yang diiradiasi dengan ion Titanium pada suhu ruang. Luas daerah berstruktur bcc terinduksi irradiasi semakin meluas dengan meningkatnya dosis irradiasi. Perubahan struktur ini dimulai dari permukaan hingga bagian dalam yang disebabkan oleh akumulasi stress yang sangat tinggi karena kerusakan radiasi dan bukan karena konsentrasi dispersi ion terirradiasi atau adanya efek sekunder pemaduan dari ion terirradiasi dengan unsur penyusun lokal.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam baik kepada Pemerintah Indonesia, BPPT maupun kepada Prof. Takahasi beserta staf Center for Advanced Research of Energy Technology – Hokkaido University yang telah memberikan dukungan dan bimbingan selama penelitian dilakukan.
[15]
[18]
[19] [20]
[21] [22] [23]
[24]
[25]
Daftar Acuan [1] [2]
http://www.kemenperin.go.id/artikel Mary P. Ryan, David E. Williams, Richard J. Chater, Bernie M. Hutton & David S. McPhail, Nature 415 (2002) 770-774
[26]
H.V.Atkinson and G. Shi, Progress in Materials Science, Vol 48, Issue 5 (2003) 457–520 Z. Nishiyama, K. Shimizu, and K. Sugino: Acta Metall. 9 (1961) 620-622. R. P. Reed: Acta Metall. 10 (1962) 865-877. J. Dash and H.M. Otte: Acta Metall. 11 (1963) 1169-1178. R. Lagneborg: Acta metall. 12 (1964) 823843. H. M. Otte: Acta Metall. 5 (1957) 614-627. B. Cina: Acta Metall. 6 (1958) 748-762. J. A. Venables: Philos. Mag. 7 (1962) 35-44. P. Bentley and G. C. smith: Metall. Trans. A 17A (1986) 1593-1599. P. Rozenak and D. Eliezer: Acta Metall. 35 (1987) 2329-2340. A. Ali, W. A. Grant, and P. J. Grundy: Philos. Mag.B 37 (1978) 353-376. R. M. Boothby and T. M. Williams: J. Nucl. Mat. 96 (1981) 64-70. M. Song, K. Mitsui, M. Takeguchi, K. Furuya, T. Tanabe, and T. Noda: J. Nucl. Mater. 307-311 (2002) 971-975. T. Laursen, J. Whitton, and G. Dearnaley: Mater. Sci. Eng. A116 (1989) 97-101. S. Raud, H. Garem, A, Naudon, J. P. Villain and P. Moine: Mater. Sci.Eng. A115 (1989) 245-251. E. Johnson, T. Wohlenberg, and W. A. Grant: Phase Trans. 1 (1979) 23-34. E. Johnson, A. Johansen, L. SarholtKristensen, H. Roy-Poulsen, and A. Christiansen: Nucl. Instrum. Meth. B7/8 (1985) 212-218. E. Johnson, U. Littmark, and A. Johansen: Philos. Mag. A 45 (1982) 803-821. G. Xie, M. Song, K. Mitsuishi, and K. Furuya: J. Nucl. Mater. 281(2000) 80-83. E. Johnson, A. Johansen, L. SarholtKristensen, L. Graabaek, N. Hayashi and I. Sakamoto: Nucl. Instrum. Meth. B19/20 (1987) 171-176. N. Hayashi, E. Johnson, A. Johansen, L. Sarholt-Kristensen and I.Sakamoto: Proc. The International Conference on Martensitic Transformations JIM, Nara-Japan (1986) 539544. N. Hayashi, I. Sakamoto, and E. Johnson: Proc 12 th Symp. On ISIAT‟89 Tokyo (1989) 495-500. A. Johansen, E. Johnson, L. SarholtKristensen, S. Steenstrup, E.Gerrritsen, C.J.M. Denissen, H. Keetels, J. Politiek, N. Hayashi and I. Sakamoto: Nucl. Instrum. Meth. B50 (1990) 119-126
43
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
MENENTUKAN PELUANG DAN PERIODE ULANG GEMPA DENGAN MAGNITUDE TERTENTU BERDASARKAN MODEL GUTTENBERG - RITCHER Tati Zera Prodi Fisika, FST UIN Syarif Hidayatullah, Jln. Ir. H. Juanda no. 95 Ciputat, Jakarta email: [email protected]
Abstrak Salah satu model sederhana prediksi gempa bumi yang dibangun berdasarkan hubungan magnitudo (kekuatan gempa) dengan frekuensi komulatif kejadiannya adalah model yang mengacu pada persamaan Guttenberg - Richter. Telah dilakukan pengujian terhadap model tersebut dengan suatu simulasi penentuan peluang dan periode ulang gempa dengan kekuatan tertentu. Eksekusi model terhadap 204 data gempa bumi dengan magnitudo 5 SR dan kedalaman pusat gempa < 100 Km yang terjadi selama Januari 1910 sampai Januari 2010 di wilayah Barat pulau Jawa dengan batas Geografis 6 o–8o LS dan 105o–109o BT, menunjukkan bahwa gempa dengan kekuatan yang lebih kecil mempunyai periode ulang yang lebih singkat dan peluang terjadinya lebih besar. Sedangkan gempa dengan kekuatan lebih besar mempunyai periode ulang lebih panjang dan peluang terjadinya lebih kecil. Pengujian terhadap data tersebut juga menghasilkan nilai indeks seismisitas a = 0.06 - 1.38 dan nilai kerentanan batuan b sebesar 0.63 - 1,19 yang menggambarkan resistensi daerah tersebut terhadap kejadian gempa. Periode ulang (100 tahun) terbesar = 99,9% berada pada wilayah 3 dengan periode ulang 19 tahun dan indeks seismisitas gempa terbesar terbesar 1,38
Abstract A simple model of earthquake prediction can be constructed based on Magnitude and cumulative frequenty relation by Guttenberg - Richter equation. It is carried out a probability determinated simulation and quake repetition period with a certain magnitude to examine the model. Executing the model to 204 earthquakes data with > 5 RS of magnitude and > 100 km hypocentre which occured in January 1910 to January 2010 in West Java region at 6 0 – 80 N and 1050 – 1090 W, shown that the earthquake with low magnitude has shorter repetition period and bigger probability to occur. On the other hand the earthquake with higher magnitude has longer repetition period and has small probability to occur. By conducting the model test, it is obtained the seismicity index, a = 9,46 and the rock resistance, b = 1.265, which is showing the resistance of that region to a quake. The highest repetition periods (100 years) = 99,9% is in 3rd area with 19 year and seismicity index for highest quake is 1.38. Keywords: Earthquake Prediction, Guttenberg-Ritcher, seismicity index, rock resistance.
44
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 1. Pendahuluan Bagian Barat pulau Jawa yang terbentang pada wilayah 60-80 LS dan 1050-1090 BT merupakan bagian wilayah kepulauan Indonesia yang terletak pada lempeng tektonik Samudera Hindia-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 70 mm pertahun dan menunjam di bawah bagian lempeng tektonik Benua Eurasia. Lokasi ini menjadi daerah dengan tingkat aktivitas gempabumi yang cukup tinggi. Dalam kerangka geotektonik, wilayah ini dikelompokkan menjadi empat zona utama patahan. Zona-zona patahan tersebut adalah zona patahan Cimandiri dan zona patahan Lembang yang berjurus Timur Laut-Barat Daya serta zona patahan Baribis dan zona patahan CilacapKuningan yang berjurus Barat Laut-Tenggara. Berdasarkan fakta yang ada, di bagian Barat pulau Jawa Barat memiliki sejarah panjang gempabumi merusak, diantaranya adalah gempabumi Kuningann tahun 1875, gempabumi Tasikmalaya tahun 1979, gempabumi Majalengka tahun 1990, gempabumi Sukabumi tahun 2000, 633, gempabumi Gunung Halu 2005, gempabumi dan Tsunami Pangandaran tahun 2006. Dari tinjauan tektonik dan distribusi kegempaan dapat dilihat secara umum wilayah Jawa bagian Barat mempunyai peluang terjadinya gempabumi tektonik yang tinggi, namun dengan metode statistik akan dapat diketahui secara numerik tingkat kegempaan, indeks seismisitas, probabilitas terjadinya gempabumi, dan periode ulang kejadian gempabumi untuk magnitude tertentu. Peluang terjadinya gempabumi dengan kekuatan yang sama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu juga dapat diperkirakan, sehingga dapat diminimalisir kerusakan yang mungkin terjadi.
Gambar 1. Zona patahan aktif di wilayah Jawa bagian Barat Berdasarkan formulasi Gutenberg-Richter (1) suatu daerah dapat dikatakan memiliki tingkat aktivitas gempabumi yang tinggi jika nilai b nya kecil. Nilai b berkaitan langsung dengan karakteristik tektonik dari setiap wilayah dan
menunjukkan parameter seismotektonik pada daerah tersebut yang berhubungan dengan kerentanan batuan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan indeks seismisitas a, nilai b, peluang terjadinya gempa dengan magnitude tertentu serta periode ulangnya berdasarkan persamaan Gutenberg-Richter dengan dukungan fakta dan data historis kejadian gempa bumi merusak sejak Januari 1910 sampai Januari 2010 (100 tahun).
2. Metode Penelitian Parameter seismotektonik suatu wilayah dapat diketahui dari relasi Gutenberg-Richter atau hubungan magnitude-frekuensi (Gutenberg and Richter, 1942) yang dituliskan sebagai Log N(M) = a-bM
(1)
dimana N(M) adalah jumlah gempabumi dengan magnitude M, a dan b adalah konstanta, dimana nilai a merupakan parameter seismik atau indeks seismisitas yang besarnya bergantung pada banyaknya gempa dan untuk wilayah tertentu. Nilai b merupakan parameter tektonik yang menunjukkan karakteristik seismotektonik wilayah tersebut. Data yang digunakan pada penelitian adalah data gempabumi yang terjadi di wilayah dengan batas geografis 60-80 LS dan 1050-1090 BT dengan magnitude ≥ 5 dan kedalaman pusat gempabumi ≤100 km, (gempa dangkal) yang berjumlah sebanyak 204 kejadian gempa. Agar lebih spesifik dan teperinci maka wilayah penelitian tersebut dibagi menjadi 7 wilayah. Gambaran seismisitas dan pembagian wilayah penelitian di tunjukkan pada gambar 2
Gambar 2. Seismisitas dan pembagian wilayah penelitian Dua parameter seismotektonik yang sering digunakan dalam menganalisa berbagai hal menyangkut gempa bumi adalah indeks seismisitas a yang menunjukkan intensitas kejadian gempa bumi di suatu daerah tertentu dan nilai b
45
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 yang menunjukkan nilai kerentanan batuan. Dalam formulasi Guttenberg – Ritcher, nilai a dan b merupakan konstanta dalam hal ini ditentukan dengan metode likelihood maksimum yang telah diformulasikan oleh Utsu (1967), yaitu
bˆ
log e M M0
2)
Dimana e = 2,71828, M adalah magnitude ratarata dan M0 adalah magnitude minimum. Selanjutnya perhitungan nilai indeks seismisitas a, ditentukan dengan menggunakan formula berikut : a log N ( M M 0 ) log( bˆ ln 10) M 0 bˆ
3) Perhitungan probabilitas (peluang) terjadinya gempa ( P ) dengan magnitude M untuk beberapa nilai waktu T yaitu 10 tahun, 30 tahun, 50 tahun dan 100 tahun dengan formula berikut :
P( M , T ) (1 e N1 ( M )T )
4)
Sedangkan perhitungan periode ulang (Q) kejadian gempabumi merusak didapatkan dengan menggunakan formula :
Tabel 1. Menunjukkan bahwa a mempunyai nilai dalam rentang 5,45 – 7.88 dan nilai b berkisar 0.63 - 1.19. Harga b berhubungan dengan sifat kerentanan batuan. Nilai b besar berarti kondisi batuan di daerah tersebut rentan terhadap resiko gempa bumi. Dan sebaliknya jika nilai b kecil berarti bahwa batuan di daerah tersebut kurang rentan terhadap resiko gempa bumi. Dari tabel 1.nilai terendah b terdapat pada wilayah 3 dengan nilai 0.63 yang berarti bahwa wilayah 3 lah yang mempunyai kerentanan batuan terendah dibanding wilayah lainnya dan berarti bahwa wilayah 3 mempunyai resiko kerentanan batuan yang terrendah. Dan nilai terbesar b (1.19) berada pada wilayah 4 dan 6. Artinya wilayah 4 dan 6 adalah wilayah yang mempunyai tingkat stress yang tinggi dan yang mempunyai potensi resiko gempa yang tinggi juga di banding wilayah lainnya. Namun jika dilihat dari data pada tabel 2, wilayah ini memiliki frekuensi gempa yang paling kecil di banding wilayah lainnya. Hal ini dimungkinkan karena nilai b yang diperoleh pada penelitian ini tidak bergantung pada aktifitas kegempaan pada daerah pengamatan karena nilai b yang rendah pada wilayah tersebut disebabkan oleh akumulasi stress yang belum dilepaskan. 3.2. Indeks Seismisitas
1 N, M
5)
dengan N adalah jumlah kejadian gempa bumi deengan magnitude M.
3. Hasil dan Pembahasan Dengan menggunakan metode Likelihood Maksimum sebagaimana yang telah dibahas dan diuraikan diatas, diperoleh nilai a (indeks seismisitas) dan b untuk ke tujuh grid wilayah sebagaimana pada gambar 2, diperoleh hasil sebagai berikut; Tabel 1. Hasil pernilai indeks seismisitas a dan b.
Untuk menghitung jumlah rata-rata gempabumi pertahun dengan magnitude tertentu digunakan nilai indeks seimisitas (a). Nilai a untuk distribusi kumulatif ditentukan dengan metode likelihood maksimum dengan menghitung indeks seismisitas gempa bumi dengan . Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2. Perbandingan parameter aktifitas seismik dan indeks seismisitas tiap wilayah (
Wilayah
̂
̂
̂
1
4.34
6.05
4.05
0.63
2
4.45
6.11
4.11
0.20
3
3.45
5.29
3.29
1.38
4
5.22
6.79
4.79
0.06
Wilayah
̂
̂
1
6.34
0.85
5
5.86
7.43
5.43
0.33
2
6.45
0.96
6
5.88
7.45
5.45
0.31
3
5.45
0.63
7
3.99
5.68
3.68
0.15
4
7.22
1.19
5
7.86
1.18
6
7.88
1.19
7
5.99
0.90
3.1. Nilai b (kerentanan batuan)
Indeks seismisitas merupakan normalisasi dari jumlah gempabumi pertahun. Daerah dengan indeks seismisitas tinggi merupakan rawan bencana gempa bumi. Hasil perhitungan indeks seismisitas pertahun untuk 7 wilayah berkisar antara 0.06 s/d 1.38, dimana untuk wilayah 3 memiliki indeks seismisitas lebih tinggi dibandingkan wilayah
46
)
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 lainnya yaitu sebesar 1.38. Sedangkan wilayah 4 memiliki indeks seismisitas lebih kecil dibandingkan wilayah lainnya yaitu sebesar 0.06. 3.3. Probabilitas Kejadian Gempabumi Untuk menghitung besar peluang terjadinya gempabumi diambil periode T=10, 30, 50, dan 100. Sedangkan magnitude yang dipilih adalah SR dengan asumsi gempa tersebut berpotensi merusak. Parameter yang dihitung sebagai indeks seismisitas akan memberikan kemudahan bagi kita untuk mengetahui kemungkinan terjadinya paling sedikit satu kali terjadi gempa besar (merusak) di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 4 (besarnya peluang) dan 5 (periode ulang), untuk masing –masing wilayah dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Probabilitas kejadian gempa untuk periode T (tahun) dan nilai rata-rata periode ulang gempa merusak pada tiap wilayah
4. Kesimpulan Dari hasil analisa data gempa dari periode Februari 1910 s/d September 2010 dengan menggunakan metode likelihood maksimum untuk daerah Jawa bagian Barat dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil perhitungan nilai b untuk 7 wilayah dengan SR nilainya berkisar antara 0.63 - 1.19 dengan indeks seismisitas pertahun 0.06 - 1.38. 2. Peluang terbesar kejadian gempa berada pada wilayah 3 untuk periode 100 tahun sebesar 99.9% dengan periode ulang gempa tercepat yaitu 19 tahun. Periode ulang yang pendek biasanya berkorelasi dengan wilayah dengan aktifitas kegempaan yang relatif tinggi, dan sebaliknya. 3. Probabilitas terkecil kejadian gempa bumi berada pada wilayah 4, 5 dan 6 dengan periode ulang terbesar 250 tahun.
DAFTAR PUSTAKA Jurnal
Periode ulang yang pendek mengindikasikan seringnya kejadian gempa bumi pada suatu wilayah dan sebaliknya periode ulang yang panjang menunjukkan gempa bumi jarang sekali terjadi. Periode ulang yang pendek ini akan berkorelasi dengan harga indeks seismisitas yang tinggi dan mengindikasikan tingginya frekuensi kejadian gempa bumi di daerah tersebut. Demikian juga sebaliknya. Hasil perhitungan pada semua wilayah memperlihatkan bahwa periode ulang paling singkat adalah 19 tahun pada wilayah 3 dengan nilai indeks seismisitas 0.054 (tertinggi) dan paling lama 250 tahun pada wilayah 4, 5, dan 6 dengan indeks seismisitas 0,004 (terendah). Peluang terjadinya gempa merusak tertinggi berada pada periode ulang T = 100 tahun dengan peluang 99.6 % yang artinya dalam waktu seratus tahun pasti terjadi gempa bumi merusak. Dengan memperhatikan harga peluang terjadinya gempa bumi yang tinggi pada wilayah 4 dan harga indeks seismisitasnya yang tertinggi, dapat dikatakan bahwa daerah paling beresiko mengalami gempa bumi merusak adalah wilayah 4.
[1] Welkner, Peter. Stastical Analysis of Eartquake Occurance in Japan 1926 – 1952. BUSBE, Vol 2 Hal 1-27. 1945 [2] Soehaimi, A. Seismotektonik dan Kegempaan Wilayah Jawa. Jurnal Geologi Indonesia, Vol.3 Hal 227-240. 2008. [3] Rohadi, Supriyanto. Grandis, Hendra. A. Ratag, Mezak. Studi Potensi Seismotektonik sebagai Precursor Tingkat Kegempaan di Wilayah Sumatera. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol.9 No.2 November 2008. BMKG. Jakarta. 2008. [4] Rohadi, Supriyanto. Grandis, Hendra. A. Ratag, Mezak. Studi Variasi Seismisitas Zona Subduksi Jawa. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol.8 No.1 Juli 2007. BMKG. Jakarta.2007. [5] Rohadi, Supriyanto. Distribusi Spasial dan Temporal Seismotektonik Wilayah Subduksi Jawa. Jurnal Megasains 1 (4) Hal 180-188. BMKG. Jakarta. Buku [1] Prawirodikromo, Widodo, Seismologi Rekayasa Kegempaan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta (2012), ISBN 978-602-229-110-7, p. 232-237
47
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 [2] P.Utomo, Edi. Tohari, Adrin. Soebowo, Eko. Subardyanto. Studi Kebijakan IPTEK, Zona Resiko Bencana Geologi Jawa Barat. Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI. Bandung. 2003. Prosiding [1] Sulaiman, Rasyidi. T. Gunawan, Mohamad. Pasaribu, Robert. Analisis Statistik Keaktifan Gempabumi di Indonesia Tahun 1900-1998. Jurnal Prosiding.
48
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
EFEK VARIASI RADIUS NUKLEON TERHADAP PERSAMAAN KEADAAN BINTANG NEUTRON Suparti*, A.Sulaksono, T.Mart Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia *Email: [email protected]
Abstrak Parameter isoskalar SNM dan parameter isovektor PNM untuk berbagai nilai radius nukleon serta efek fitting pada prediksi daerah medium density dan low density PNM, dengan menggunakan nilai jangkauan parameter β = 0.0005 dan β = 0.01 serta radius nukleon 0, 0.66 fm, 0.76 fm, 0.83 fm, dan 0.99 fm telah berhasil diperoleh. Parameter isoskalar hasil fit menghasilkan nilai yang cocok dengan perhitungan DBHF untuk semua radius nukleon yang digunakan, kecuali untuk radius 0.99 fm yang tidak memenuhi prediksi EOS SNM, menurut hasil eksperimen tumbukan ion berat. Sementara itu, efek fitting untuk parameter-parameter di luar daerah fitting window tidak sesuai dengan jangkauan eksperimen Danielewicz, dkk. Hal ini kemungkinan diakibakan oleh keterbatasan jangkauan parameter (nilai β) dan radius nukleon yang digunakan.
Abstrak Effects of the Nucleon Radius Variation on the Equation of State of Neutron Star The isoscalar parameter of SNM and the isovector parameter of PNM from various nucleon sizes as well as the effects of the fitting on medium density and low density prediction regimes of PNM have been investigated. To this end, we have chosen the cut-off parameter β = 0.0005 and β = 0.01, with the nucleon radii of 0, 0.66, 0.76, 0.83, and 0.99 fm. The obtained isoscalar parameters are in a good agreement with the result of the DBHF calculation for all nucleon radii used, except for rN = 0.99 fm, which does not fulfill the SNM EOS prediction based on the result of heavy ion collision. On the other hand, the effect of fitting of the parameters outside the upper and lower bounds leads to a disagreement with the experimental result of Danielwicz et al. It is suspected that this could happen due to the limitation of the parameter range β, as well as the nucleon radius. Keywords: nucleon radius, parameter, equation of state
1. Pendahuluan
akhir lebih besar dari massa Chandrasekhar (≥1.4 M⊙ ) akan menjadi bintang neutron [6].
Ide teori dari bintang neutron yang pertama datang dari Baade dan Zwicky pada tahun 1934. Dia mengemukakan pendapat bahwa bintang neutron terbentuk dari sisa ledakan supernova, di mana sebagian besar energinya dilepaskan oleh bintang dan intinya kolaps [7,10]. Hasil akhir dari kolapsnya bintang tersebut di akhir hidupnya bergantung pada massa bintang semula. Bintang dengan massa inti lebih kecil dari massa Chandrasekhar, yaitu 1,4 M⊙ akan menjadi katai putih (white dwarf). Bintang dengan massa inti
Keadaan materi bintang neutron dengan kerapatan yang sangat tinggi akibat gaya gravitasi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori relativitas umum [1]. Banyak model teori yang dikembangkan untuk menjelaskan materi nuklir bintang neutron. Salah satu model yang cukup baik mengakomodasi efek ralativistik adalah model relativistik dengan pendekatan medan rata-rata (relativistic mean field/RMF). Model ini digunakan jika diasumsikan bahwa bintang neutron tersusun
49
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
dari nukleon dan lepton, sehingga persamaan keadaan bintang neutron bagian dalam dapat ditentukan [1]. Penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan persamaan keadaan bintang neutron menjadi topik yang masih menarik untuk dipelajari sampai saat ini. Untuk itu, kami mempelajari bagaimana persamaan keadaan bintang neutron pada berbagai variasi radius nukleon. Dalam model relativistik diperlukan konstanta-konstanta kopling untuk menentukan kekuatan interaksi antarpartikel yang ada di dalam materi. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu parameter untuk menggambarkan sifat materi nuklir bintang neutron. Parameter konstanta kopling diperoleh dari fitting model terhadap data eksperimen. Beberapa parameter set telah dikenalkan, diantaranya paramater set IUFSU, IUFSU*, NL3, FSUGold, dan lain-lain [8]. Untuk model RMF kami menggunakan parameter set awal yang diperoleh dari IUFSU dan IUFSU* [3,9]. Dalam penelitian ini kami mendapatkan parameter dengan memfitting model parameter dengan hasil perhitungan DBHF [11]. Hasil parameter terbaik diindikasikan dengan nilai 2, yang mana menunjukkan perbandingan model dengan hasil perhitungan paling minimum.
6.
7.
parameter set awal IUFSU. Hasil terbaik yang diperoleh pada tahap 3 dan 4, selanjutnya digunakan untuk menghitung parameter isovektor PNM (g, g4) yaitu dengan cara parameter yang sudah diperoleh pada tahap 3, 4, 5 dibuat tetap pada EOS PNM. Menggunakan parameter isoskalar dan isovektor yang diperoleh untuk menghitung EOS Neutron Star Matter (NSM), yaitu hubungan tekanan dengan energi densitas.
3. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dibatasi pada persamaan keadaan dari materi bintang neutron, yaitu hubungan antara tekanan materi bintang neutron di dalam bintang neutron terhadap kerapatan jumlah nukleon untuk persamaan keadaan SNM, PNM, dan NSM. EOS dari SNM, yaitu bintang neutron diasumsikan tersusun dari neutron dan proton dalam jumlah yang sama yang saling berinteraksi. EOS PNM, artinya bintang neutron dianggap tersusun dari 100% neutron yang saling berinteraksi, sedangkan jika EOSnya dipilih EOS dari NSM, artinya bintang neutron tersusun dari neutron, proton, muon, dan elektron yang saling berinteraksi yang komposisinya ditentukan berdasarkan kondisi kesetimbangan β dan netralitas.
2. Metode Penelitian 1.
2.
3.
4.
5.
Menerjemahkan persamaan keadaan (EOS) untuk kasus symmetric nuclear matter (SNM), EOS untuk kasus pure neutron matter (PNM), dan EOS untuk kasus neutron star matter (NSM) yang diprediksi oleh model yang digunakan ke dalam bahasa numerik untuk program Fortran. Mengkompilasi data hasil perhitungan berdasarkan pendekatan Dirac Brueckner Hartree Fock (DBHF). Data ini akan digunakan untuk mem fitting parameter dari data yang digunakan. Fiting parameter model dengan hasil perhitungan DBHF dengan menggunakan program minuit. Hasil terbaik ditandai dengan nilai 2 yang paling minimum. Memplot hasil yang diperoleh dari fitting data dengan menggunakan Gnuplot kemudian membandingkan hasilnya dengan penelitian yang sudah ada. Tahap 3 dan 4 adalah proses yang dikerjakan untuk menghitung parameter isoskalar SNM, yaitu meliputi g, g, b2, b3, c1 dengan
Fit parameter isoskalar untuk SNM meliputi g, g, b2, b3, dan c1. Parameter dikerjakan dengan memakai nilai β = 0.0005 dan β = 0.01. Variasi radiasi nukleon yang digunakan yaitu rN = 0, 0.66 fm, 0.76 fm, 0.83 fm, 0.99 fm untuk masing-masing β. Dalam perhitungan ini kita menggunakan paramater set IUFSU sebagai inisial awal untuk mendapatkan parameter isoskalar. Hasil parameter isoskalar pada β = 0.01 dan β = 0.0005 ditunjukkan pada Tabel 1. Gambar 1 menunjukkan perbandingan antara data hasil perhitungan DBHF dengan hasil fitting. Data hasil perhitungan DBHF diindikasikan dengan garis merah penuh. Gambar (a) dan (d) adalah kurva dengan menggunakan parameter IUFSU pada nilai β = 0.0005 dan β = 0.01. Sedangkan gambar (b) dan (c) adalah kurva hasil perhitungan dengan parameter hasil fitting, masing-masing untuk nilai β = 0.0005 dan β = 0.01$. Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa model yang digunakan mampu menunjukkan kesesuaian dengan data hasil perhitungan DBHF yang diindikasikan dengan garis putus-putus berimpit dengan garis merah penuh.
50
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014
Tabel 1. Parameter terbaik isoskalar hasil fit pada β = 0.0005 dan β = 0.01. β
0.0005
0.01
rN
g
g
b2
b3
c1
2
Ket
0
11.950
15.512
-4343.9
-24.998
400.00
0.8
Set*
0.66
11.953
14.633
-9108.6
-17.5
1475.2
0.5
Set 1
0.76
9.7676
11.515
-6116.4
-90
286.22
1
Set 2
0
11.949
15.512
-4342.6
-24.972
400.02
0.8
Set 5
0.66
11.166
14.248
-4193.1
-48.045
257.76
1
Set 6
0.76
11.262
14.399
-4188.2
-53.174
270.94
0.9
Set 7
0.83
11.687
15.01
-4517.2
-60
347.65
0.9
Set 8
0.99
3.263
17.33
-5882.5
-80.242
784.03
0.9
Set 9
Gambar 1. Hubungan binding energy (E/A) terhadap kerapatan (ρ) pada pendekatan DBHF. (a) Parameter IUFSU dengan nilai β= 0.0005 . (b) (Fitting) parameter memakai nilai β = 0.0005. (c) (Fitting) parameter model memakai nilai β = 0.01. (d) Parameter IUFSU dengan nilai β = 0.01.
Gambar 2. Hubungan binding energy (E/A) terhadap kerapatan (ρ) dalam kerapatan saturasi (ρ0) pada pendekatan DBHF berdasarkan hasil fitting data dan pada parameter IUFSU.
51
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 Perbandingan antara parameter IUFSU dengan parameter isoskalar hasil fitting pada hubungan binding energy E/A dalam MeV fm-3 terhadap kerapatan jumlah barion ρ yang dinyatakan dalam kerapatan saturasi ρ0 ditunjukkan oleh Gambar 2. Kerapatan saturasi ρ0 yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0.153 fm-3 [1]. Kurva ini merupakan ekstrapolasi dari hasil pada Gambar 1, yaitu untuk mengetahui sejauh mana efek fitting pada prediksi daerah kerapatan tinggi. Gambar 2 (b) dan (d) menunjukkan ekstrapolasi dari hasil Gambar 1 dengan menggunakan parameter IUFSU dengan nilai β masing-masing 0.0005 dan 0.01. Gambar 2 (a) dan (c) menunjukkan ekstrapolasi dari hasil Gambar 1 dengan menggunakan fitting parameter model hasil perhitungan DBHF. Pada nilai β = 0.0005 dengan variasi rN = 0, 0.66 fm, dan 0.76 fm mendapatkan hasil yang sesuai. Namun, hasil yang kurang akurat ditunjukkan pada gambar (c) pada kurva dengan nilai β = 0.01 dan radiasi nukleon 0.99 fm, di mana pada rasio kerapatan terhadap kerapatan saturasi (ρ/ρ0) ≥ 6 kurva tidak lagi berimpit dengan hasil perhitungan DBHF. Dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa efek fitting pada prediksi kerapatan tinggi dapat diterima dengan baik. Kesimpulannya bahwa parameter set yang diperoleh dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya.
berdasarkan hasil tumbukan ion berat Daniel ditunjukkan pada Gambar 3. Kurva ini menunjukkan bahwa parameter Set 9 tidak memenuhi jangkauan dari data ini. Artinya parameter ini tidak dapat mereproduksi data perhitungan dengan sempurna. Selanjutnya akan dibahas bagaimana hasil fitting parameter isovektor gρ dan g4 PNM pada medium density dan low density. Fitting parameter ini didasarkan pada parameter isoskalar yang sudah diperoleh pada SNM. Inisial awal yang digunakan pada penelitian ini adalah parameter set IUFSU*. Prosedur sama dilakukan seperti menghitung parameter set isoskalar, hanya saja pada perhitungan parameter ini, nilai parameter set isoskalar yang dibuat tetap. Tahap-tahap setiap iterasi dalam mendapatkan parameter isovektor medium density untuk nilai β = 0.0005 dengan rN = 0.66 fm dan 0.76 fm serta untuk nilai β = 0.01 dengan rN = 0.66 fm, 0.76 fm, dan 0.83 digambarkan dalam plot. Tujuannya supaya kita dapat melihat pada fit ke berapa parameter telah menunjukkan hasil yang sesuai dengan daerah yang diijinkan berdasarkan hasil eksperimen tumbukan ion berat [2], hal ini karena pada nilai 2 paling minimum tidak menjamin hasil yang realistis (sesuai dengan standar). Untuk menyingkat penulisan, daerah EOS dari PNM yang diijinkan berdasarkan hasil eksperimen tumbukan ion berat kita namakan "standar". Tabel 2. Parameter isovektor hasil fitting pada nilai β = 0.0005 dan β = 0.01 untuk PNM. β
Gambar 3. Kesesuaian parameter set isoskalar hasil fitting terhadap persamaan keadaan SNM yang diekstraksi dari hasil tumbukan ion berat Danielwicz [2]. Parameter yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Tabel 1 tidak dapat diterima begitu saja, namun dilakukan uji kesesuaian dengan persamaan keadaan SNM yang diekstraksi dari tumbukan ion berat oleh Danielewicz [2]. Perbandingan parameter hasil fitting terhadap prediksi SNM EOS
rN
gρ
g4
2
Ket
4395.1
17.5
fit ke-27
0.0005
0.66
11
0.01
0.66
12.21
4500
45.5
Fit ke-10
0.01
0.76
9.9122
5000
70.7
Fit ke-9
Parameter isovektor terbaik hasil fitting setelah melalui beberapa tahap disajikan dalam Tabel 2. Dari sejumlah iterasi, hanya beberapa nilai saja yang memenuhi standar. Beberapa indikasi yang menyebabkan ketidaksesuaian hasil fitting dengan standar, antara lain keterbatasan fitting parameter, sebagaimana diketahui pada penelitian ini fitting parameter isovektor hanya 2 konstanta kopling. Selain itu, nilai β dan radius nukleon yang terbatasi
52
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 menjadi salah satu faktor ketidaksesuaian dengan standar. Artinya, parameter isovektor terkorelasi kuat terhadap β dan rN (radius nukleon). Selain pada daerah medium density, efek fitting juga ditinjau pada daerah low density. Untuk menggambarkan apakah ekstrapolasi mendapatkan hasil yang baik atau tidak, maka setiap iterasi fitting parameter dibuat plot sehingga setiap tahap iterasi dapat diketahui fit ke berapa yang ekstrapolasinya konsisten dengan model yang dikembangkan oleh Schwenk dan Pethick [3,5]. Dari hasil plot, diperoleh bahwa yang konsisten dengan model Schwenk hanya pada nilai β = 0.01 dan radiasi nukleon 0.66 fm, yaitu pada fit ke-13 dan ke-14. Hasil yang hampir lolos model Schwenk pada β = 0.01 dengan radius nukleon 0.76 fm pada fit ke-13. Hasil ini bertentangan dengan parameter isovektor PNM pada daerah medium density, yang justru pada fit tersebut hasilnya tidak konsiten (ditunjukkan dengan grafik ke bawah). Kesimpulan yang diperoleh bahwa ekstrapolasi gagal pada daerah low density, dugaan sementara diakibatkan keterbatasan parameter, nilai β, dan rN. Gambar 4 (a) menunjukkan plot parameter isovektor terbaik dari hasil iterasi pada daerah medium density. Plot ini merupakan seleksi dari beberapa fit hingga diperoleh fitting parameter yang lolos standar [2]. Pada gambar diperlihatkan perbandingan antara kurva sebelum (B1R6-iufsu*) dan setelah fitting.
Dari kurva terlihat bahwa semakin minimum nilai 2 hasilnya semakin tidak konvergen. Sedangkan Gambar 4 (b) merupakan kurva ekstrapolasi fitting parameter pada daerah low density. Poin bintang (B1R6-f13) dan poin kuning (B1R7-f13) masingmasing menunjukkan hasil fit ke-13 pada β = 0.01 rN = 0.66$ fm dan fit ke-13 untuk β = 0.01 rN = 0.76 fm. Kurva ini merupakan hasil fitting yang lolos model Schwenk [3,5]. Garis putus-putus biru (B1R6-fO) merupakan fit ke-27, di mana pada fit ini lolos standar Daniel, namun pada model Schwenk menunjukkan kurva yang jauh dari daerah seleksi. Demikian pula untuk garis putus-putus pink (B1R6fO) dan hijau (B5R6-fO), masing-masing fit ke-10 dan ke-9 pada radius 0.66 fm dan 0.76 fm. Pada fit ini, hasil bertentangan antara daerah medium density dan low density. Gambar 5 menunjukkan hubungan tekanan materi nuklir P dalam MeV fm-3 terhadap kerapatan energi ε dalam MeV fm-3 menggunakan model EOS NSM dengan parameter Set 1, Set 6, dan Set 7 serta sebagai pembanding digunakan paramater set IUFSU*. Garis putus-putus biru menunjukkan EOS NSM pada β = 0.0005 rN = 0.66, garis putus-putus tosca dan magenta masing-masing untuk nilai β = 0.01 rN = 0.66 dan rN = 0.76. Kurva poin bintang pink dan tosca pada Gambar 5 masing-masing menunjukkan EOS NSM untuk nilai β = 0.01 rN = 0.66 fit ke-13 dan rN = 0.76 fit ke-13, sebagaimana diketahui bahwa pada fitting parameter ini, pada medium density hasilnya tidak konvergen, dan sebaliknya pada low density mendapatkan hasil yang baik, demikian pula pada NSM hasilnya soft. Dari gambar tersebut menginformasikan bahwa semakin besar rapat energinya, semakin besar pula tekanannya, di mana tekanan materi nuklir pada pusat bintang neutron untuk parameter Set 1 paling stiff dan pada parameter Set 7 paling soft. Seiring dengan kenaikan rapat energi, tekanan ketiga parameter menjadi berbeda. Perbedaan yang signifikan terjadi pada parameter Set 1 dengan tekanan maksimum 283 MeV fm-3, sedangkan parameter Set 6 paling besar mencapai 624 MeV fm3 .
Gambar 4. (a) Persamaan keadaan tekanan terhadap rasio kerapatan terhadap saturasi untuk medium density PNM. (b) Binding energy sebagai fungsi momentum Fermi untuk low density PNM.
53
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1 Mei 2014 [2]
[3]
[4]
Gambar 5. Hubungan tekanan materi nuklir P dalam Mev fm-3 terhadap kerapatan energi ε dalam MeV fm-3 menggunakan model EOS NSM dengan parameter Set 1, Set 2, Set 6, dan Set 7.
[5]
[6]
4.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini telah dihasilkan parameter isoskalar dan isovektor. Parameter isoskalar yang diperoleh telah sesuai dengan hasil perhitungan DBHF sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya. Parameter isoskalar pada variasi β = 0.0005 pada radius 0 fm, 0.667 fm, 0.76 fm dengan 2 masing-masing sebesar 0.9, 0.5, 1.0 telah memenuhi daerah standar yang disarankan. Sedangkan pada variasi β = 0.01 dengan radius 0 fm, 0.667 fm, 0.76 fm, 0.83 fm, dan 0.99 fm, hasil terkonstrain pada radius 0.99 fm, yaitu tidak memenuhi standar. Parameter isovektor pada variasi β = 0.0005 hanya nilai radius 0.667 fm dengan 2 = 17.5 yang memenuhi standar, sedangkan pada variasi β = 0.01 yang terpenuhi adalah radius 0.667 fm dan 0.76 fm dengan 2 masing-masing sebesar 45.5 dan 70.7. Parameter isovektor tidak mendapatkan hasil yang sempurna ketika diesktrapolasi pada daerah kerapatan rendah, sehingga dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa radius nukleon dan nilai β sangat terbatas.
[7]
[8]
[9] [10]
[11]
ed. P. Danielewicz, R. Lacey, and W. G. Lynch, Determination of the Equation of State of Dense Matter, Science 298, 1592 (2000). A. Schwenk and C. J. Pethick, Resonant Fermi Gases with a Large Effective Range, Phys. Rev. Lett. 95, 160401 (2005). A. W. Steiner, J. M. Lattimer, and E. F. Brown, The Equation of State from Observed Masses and Radii of Neutron Stars, Astrophys. J. 722, 33 (2010). F.J. Fattoyev, C. J. Horowitz, J. Piekarewicz, and G. Shen, Relativistic effective interaction for nuclei, giant resonances, and neutron star, Phys. Rev. C 82, 055803 (2010). H. Karttunen, P. Kroger, H. Oja, M. Poutanen, and K. J. Donner (Eds), Fundamental Astronomy (Springer, New York, 2006). J. P. Diener and Willem, Relativistic MeanField Theory Applied to the Study of Neutron Star Properties (Thesis, Stellenborsch University, 2008). S. B. Ruster, M. Hempel, and J. SchaffnerBielich, Outer Crust of Nonaccreting Cold Neutron Stars, Phys. Rev. C 73, 035804 (2006). T. Mart and A. Sulaksono, Nonidentical Protons, Phys. Rev. C 87, 025807(2013). M. Urbanec, Equations of State and Structure of Neutron Stars (Disertation, Silesian University, 2010). E. N. E. van Dalen and H. Muther, Spinodal Instabilities in Asymmetric Nuclear Matter Based on Realistic NN Interactons, Phys. Rev. C 87, 024317 (2013).
Ucapan Terimakasih Penelitian dari A.S. dan T.M. sebagian didanai dari Program Hibah Klaster Riset UI dengan nomer kontrak 1709/H2.R12/HKP.05.00/2014.
Daftar Acuan [1]
K. Glendenning, Compact Stars: Nuclear Physics, Particle Physics, and General Relativity (Springer, New York, 2000), 2nd
54