Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
IMPLIKASI HUKUM KEPUTUSAN MK NO. 46/PUU-VIII/2010 TENTANG HUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH TERHADAP EKSISTENSI WALI NIKAH Ani Wafiroh1 Abstrak: Keluarnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang anak di luar nikah memberikan hubungan nasab bagi anak di luar nikah kepada ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan Ipteks berupa tes DNA. Hal ini memberikan dampak bahwa ayah atau orang tua biologisnya memiliki hak dalam hal hubungan nasab seperti warisan dan perwalian (menjadi wali nikah). Dalam putusan tersebut, MK nampak menyamakan antara anak yang lahir dari kawin sirri atau anak yang lahir dari hubungan zina. Hal ini sangat berbeda dengan substansi yang ada dalam Hukum Islam. Dalam Hukum Islam, pernikahan sah jika memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan sirri adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat sehingga anak-anak yang dilahirkan hasil pernikahan sirri mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya, berhak mendapat warisan, dan dapat dinikahkan oleh ayahnya. Sedangkan perzinaan tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Anak di luar nikah (anak yang lahir dari hasil perzinaan) tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya karena nasab adalah nikmat dan pelaku jarimah tidak berhak mendapat nikmat. Dalam hal warisan, mereka tidak saling mewarisi. Jika seorang ayah ingin memberi harta kepada anaknya bisa melalui hibbah atau wasiat. Demikian juga dalam hal pernikahan, ayah biologis tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah karena tidak mempunyai hubungan nasab. Hubungan nasab anak di luar nikah hanya pada ibunya sehingga pernikahan dapat dilangsungkan hanya dengan wali hakim Kata Kunci : Hukum Keputusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, Eksistensi Wali Nikah
LATAR BELAKANG Persoalan yang sangat krusial dari keluarnya putusan MK tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah adalah ketika putusan ini disamakan dengan hubungan nasab bagi anak di luar nikah. Itu artinya ada keberanjakan dari putusan itu yang hanya menetapkan hubungan 1 Penulis adalah dosen tetap Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Mataram
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
187
Ani Wafiroh
keperdataan saja kemudian menimbulkan asumsi seolah ayah atau orang tua biologisnya memiliki hak dalam hal hubungan nasab seperti warisan dan perwalian (menjadi wali nikah). Dua hal yang terakhir sangat bertentangan dengan konsep hukum Islam yang menegaskan bahwa ayah biologis tidak berhak mengawinkan anaknya meskipun sudah ada pengakuan dari ibu dan ayah biologis dari anak yang bersangkutan. Mestinya harus dibedakan antara anak yang lahir di luar nikah yang sah secara hukum positif (misalnya karena kawin sirri) dengan anak yang lahir dari hasil perzinahan. Karena memang pengajuan yudisial review perkara ini diajukan oleh Machica Mukhtar yang nota benenya adalah isteri sirri dari Moerdiono. Terkait anak luar nikah akibat perzinahan dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda: “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami sedangkan pezina hanya akan mendapat sial dan batu hukuman.” Dari hadis ini dapat diketahui bahwa anak juga bernasab (hubungan darah) dengan lelaki yang memiiki tempat tidur yang sah sebab ia adalah seorang suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, menurut hukum Islam, perzinahan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab kepada bapak dan ibunya. Sedangkan perzinahan anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina hanya bernasab kepada ibunya. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa anak yang lahir akibat nikah sirri (di bawah tangan) tetap memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.2 Dengan adanya putusan MK terkait pasal 43 ayat 1 UU perkawinan seolah-olah MK mendobrak doktrin hadis sahih ini dengan menyatakan bahwa menurut hukum anak yang lahr di luar nikah mmpunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya termasuk hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya. Langkah berani MK mengubah redaksi pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan karena dianggap tidak sesuai dengan perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan kondisi sosial yang makin kompleks. Terkait dengan hal ini hadis Riwayat Turmuzi yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya yang artinya: “Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW besabda, setiap oang yang menzinahi peremuan baik, merdeka maupun budak maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan.” (Sunan Turmuzi, hadis No. 1717). Sementara, penjelasan yang agak lengkap disampaikan oleh Wahbah az-Zuhaili pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 2Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) Cet. IV, Jilid 10, 16.
188
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
tanggal 25-29 Desember 2010 yang berjudul “Al-Ahkam al-Aulad al-Natijin an-al-Zina”, pada intinya meneangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijmak ulama yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinahinya, melainkan kepada suami dari bunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terkat pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut Jumhur Ulama mazhab delapan, anak tersbut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinahinya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diprintahkan menutup pintu keharaman (sadd alzari’ah) dalam rangka menjaga kesucian nasab.3 Jika ayah biologis menjadi wali tetap dipaksakan maka akan terjadi hubungan yang tidak harmonis antara hukum Islam dan putusan MK tersebut walaupun sesungguhnya yang terjadi adalah penafsiran terhadap putusan tersebut. Yang tersurat dan tersirat dalam putusan tersebut adalah hubungan keperdataan, yang bisa diartikan pada kewajiban orang tua biologis setelah dibuktikan oleh IPTEK dengan cara tes DNA misalnya, untuk memberikan nafkah, biaya sekolah, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam menunjang perkembangan seorang anak. Dalam beberapa nash yang ada dan dari amar putusan fatwa MUI pusat tidak ada secara eksplisit disebutkan tetang hubungan perwalian (ayah biologis sebgai wali). Hanya saja jika diperhatikan dari makna hadis yang mengatakan bahwa anak zina hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya, maka dapat disimpulkan bahwa ayah biologisnya tidak berhak menjadi wali nikah jika anak hasil zina tersebut perempuan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa sangat perlu melakukan penelitian yang lebih fokus lagi pada persoalan hubungan sebagai wali nikah dan yang akan dinikahkan. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul: “Implikasi Hukum Keputusan MK tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah terhadap Eksistensi Wali Nikah” RUMUSAN MASALAH 1. Apa makna dari putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah? 2. Bagaimana analisis hukum keluarga Islam dan Fatwa MUI terhadap penafsiran putusan tersebut sebagai hubungan nasab (khususnya hubungan perwalian) antara ayah biologis dengan anak yang lahir di luar nikah?
3Majelis Fatwa MUI Pusat, “Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya”, 10-11.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
189
Ani Wafiroh
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Untuk mengetahui makna dari putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah. 2. Untuk mengetahui analisis hukum keluarga Islam dan Fatwa MUI terhadap penafsiran putusan tersebut sebagai hubungan nasab (khususnya hubungan perwalian) antara ayah biologis dengan anak yang lahir di uar nikah. Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai manfaat atau kegunaan, baik secara teoritis maupun praktis: 1. Manfaat Toritis Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, wawasan, serta gambaran bagi peneliti tentang implikasi hukum putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan sebagai bahan kajian berikutnya jika meneliti masalah yang berkaitan dengan persoalan wali dan pernikahan. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna dan menjadi masukan untuk berbagai elemen masyarakat pada umumnya, serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan analisis lebih mendalam tentang persoalan wali nikah khususnya terkait dengan implikasi keputusan MK tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah. TELAAH PUSTAKA (PENELITIAN TERDAHULU) Dalam telaah pustaka ini, akan dilakukan pelacakan terhadap penelitian terdahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah dan adapula yang membahas tentang Wali Nikah bagi anak yang lahir di luar nikah. Di antara referensi tersebut antara lain: Supriyadi, dalam tesisnya yang berjudul “Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah dalam Perpektif Hukum Keluarga Islam (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak Luar Nikah)”, membahas tentang status hukum anak luar nikah dalam prespektif hukum Islam sebagai akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012. 4 4 Supriyadi, Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah dalam Perpektif Hukum Keluarga Islam (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak Luar Nikah), Tesis Program Pascasarjana (S-2), IAIN Mataram, 2014. Tidak dipublikasikan
190
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
Ayu Yulia Sari, dalam tesisnya, “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” menjelaskan bahwa ada perbedaan kriteria terhadap anak luar nikah antara Kompilsi Hukum Nikah dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.5 Indah Setia Rini, dalam tesisnya yang berjudul, “Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar kawin Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus terhadap perkara Nomor: 74/pdt.p/2005/pn.tng di Pengadilan Tangerang)”, menjelaskan bahwa akibat hukum pengesahan anak luar kawin menurut KUHP Perdata adalah dalam hal orang tuanya kawin maka anak yang disahkan itu berlaku ketentuan-ketentuan undangundang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan (Pasal 277 KUHPerdata).6 Rahman Musthofa, dalam bukunya “Anak Luar Nkah Status dan Implikasi Hukumnya”, memfokuskan pada status anak di luar nikah beserta implikasi hukumnya, termasuk nasabnya.7 M. Thohir dalam makalahnya yang berjudul “Anak Luar Nikah dan Teknologi Modern” lebih memfokuskan pada status anak luar nikah bila dikaitkan dengan teknologi modern.8 Dengan demikian, penelitian tentang “Respons Tokoh Agama tentang Implikasi Hukum Keputusan MK tentang Hubungan Keperdataan Anak Di Luar Nikah Terhadap Eksistensi Wali Nikah” sejauh pengamatan penulis, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. METODE PENELITIAN 1. Jenis penelitian Penelitian dalam penelitian ini jika dilihat dari sumber data termasuk kategori penelitiankepustakaan (library research). Ditinjau dari sifat-sifat data, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif (qualitative research). Deddy Mulyana9 mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik. Pembicaraan yang sebenarnya, Yulia Sari, Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2011. Tidak dipublikasikan. 6Indah Setia Rini, Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar kawin Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus terhadap perkara Nomor: 74/pdt.p/2005/pn.tng di Pengadilan Tangerang), Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2009. Tidak dipublikasikan. 7Rahman Musthofa, Anak Luar Nkah: Status dan Implikasi Hukumnya (Jakarta: Atmaja, 2003) 8M. Thohir, Anak Luar Nikah dan Teknologi Modern, makalah, 2011 9Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2004), 150. 5Ayu
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
191
Ani Wafiroh
isyarat dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mentah untuk analisis kualitatif. Meskipun penelitian kualitatif dalam banyak bentuknya sering menggunakan jumlah penghitungan, penelitian ini tidak menggunakan nilai jumlah seperti yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data, dalam eksperimen dan survey. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik. Dari penelitian deskriptif ini ditelaah fenomena-fenomena sosial dan budaya dalam suasana yang berlangsung secara wajar.10 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.11 Pendekatan kualitatif dipergunakan dalam penelitian ini disebabkan data yang akan diperoleh tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah terhadap eksistensi wali nikah ini lebih bersifat verbal dan bukan dalam bentuk angka-angka, serta lebih mudah dijelaskan secara deskriptif. 3. Sumber Data Data dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari putsan MK tentang status anak di luar nikah dan keputusan MUI. Sementara, data sekunder adalah data yang diperoleh dari referensi lain yang berbicara tentang tema penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik studi dokumentasi.12 Teknik ini gunakan untuk mengetahui data-data tentang putusan MK tersebut dan data mengenai nasab anak dan wali nikah. Data yang dihimpun melalui teknik studi dokumenter ini adalah data outentik yang tersimpan dalam dokumentasi, baik di perpustakaan, perpustakaan pribadi yang berkaitan tentang Implikasi Hukum Keputusan MK tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah Terhadap Eksistensi Wali Nikah.”
Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Malang: YA3, 1990), 43. Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), 20-21. 12Metode dokumenter adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip buku, majalah, prasasti, notulen rapat, dan sebagainya (Arikunto, 1983: 188). 10Sanafiah 11Burhan
192
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
5. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data yang berhubungan tentang “Implikasi Hukum Keputusan MK tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah Terhadap Eksistensi Wali Nikah”, peneliti menggunakan metode diskriptif-analitik. Diskriptif berarti memaparkan secara utuh konsep paradigma wakaf produktif. Analitik berarti menelaah secara kritis terhadap setiap persoalan yang berkaitan dengan penelitian. Setelah data-data terkumpul dan terjaring melalui studi dokumenter dan wawancara mendalam, kemudian dianalisis secara logis dan kritis sehingga dapat ditentukan beberapa kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan kemudian menyampaikan rekomendasi berdasarkan tema penelitian ini. Setiap data yang diperoleh lewat dokumentasi akan peneliti catat dan koleksi untuk kepentingan analisa selanjutnya. Akhirnya, berbagai data yang ada dikomparasikan antara satu dengan yang lain, digeneralisasikan, serta diambil konklusinya menggunakan cara berpikir mondar-mandir antara induktif-deduktif.13 Selanjutnya, dapat dirumuskan dengan jelas, baik (1) makna dari putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah; (2) analisis hukum keluarga Islam dan Fatwa MUI terhadap penafsiran putusan tersebut sebagai hubungan nasab (khususnya hubungan perwalian) antara ayah biologis dengan anak yang lahir di uar nikah. KONSEP NASAB DAN WALI NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Bab ini meurpakan kajian teoritik. Berdasarkan jumlah variabel dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan elaborasi pada tiga hal, yakni (1) dasar keabsahan anak al-Qur’an dan kompilasi Hukum Islam; (2) konsep dan sebab-sebab nasab dalam fiqh klasik; (3) anak di luar nikah dalam hukum positif; (4) teori wali nikah dalam hukum keluarga Islam. A. DASAR KEABSAHAN ANAK DALAM AL-QUR’AN Asal usul anak dapat diketahui dari asal dan penyebab kejadian anak. Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) antara anak tersebut dengan ayahnya.14 Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa unsur utama penciptan manusia berasal dari tanah sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-An’am (6):2. 13Istilah mondar-mandir dipetik dari Noeng Muhadjir, “Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodoligik: Metodologi Kualitatif”, dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.), 1989: 64). 14Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1997), 220.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
193
Ani Wafiroh
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).”15 Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang berarti bahwa makanannya banyak bersumber dari tanah. Penciptaan manusia dari tanah dalam arti asal usul penciptaan manusia yaitu Adam AS. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa adanya hubungan dan persamaan antara Adam AS dengan anak cucu keturunannya. Adam AS sebagai manusia mempunyai naluri kemanusiaan, dan ini juga dimiliki oleh anak cucu keturunannya. Demikian juga halnya bahwa Adam AS diciptakan dari tanah maka seluruh manusia juga diciptakan dari tanah.16 Istilah lain yang menunjukkan bahwa asal kejadian manusia berasal dari tanah adalah at-turab (tanah gemuk) (Qs. al-Haj: 5),17 alardl (tanah/bumi), at-thin al-lazib (tanah lempung yang pekat) (Qs. As-Shaffat: 11)18 salsal min hama’ masnun (tanah lempung dari lumpur yang dicetak) dan salsal ka al-fakhkhar (tanah lempung seperti tembikar) (Qs. Ar-Rahman: 14).19 Ayat-ayat di atas yang menyatakan bahwa kejadian manusia dari tanah menunjukkan penciptaan Adam as. Sedangkan keturunannya (anak cucu Adam) berasal dari air sebagaimana firman Allah swt dalam Qs. As-Sajadah (32): 7-8.
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.”20
Demikian juga firman Allah swt Qs al-Mu’minun (23): 12-14, yang artinya: Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PPMQ, 1990), 186. Shihhab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, Cetakan III, 2005), 10. 17 Depag RI, al-Qur’an dan ...,512. 18 Ibid., 718. 19 Ibid., 886. 20 Ibid., 661. 15
16Quraish
194
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”21 Definisi anak sah menurut Al-Qur’an adalah ditentukan saat terjadinya pembuahan sperma terhadap ovum di dalam rahim seorang perempuan yang kemudian terjadi kehamilan. Maka anak sah harus didasarkan kepada saat pertama kali seorang perempuan itu hamil. Konsep kehamilan dalam Islam sangat jelas, sebagaimana firman Allah swt dalam Qs Al-Ahqaf ayat 15 yang berbunyi:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ".22 Demikian juga firman Allah dalam Qs. Luqman ayat 14 yang berbunyi:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”23
Ibid., 527. Ibid., 824. 23 Ibid., 654. 21 22
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
195
Ani Wafiroh
B. KONSEP DAN SEBAB-SEBAB NASAB DALAM FIQH KLASIK Nasab adalah hubungan pertalian keluarga. Menurut Wahbah azZuhaili, nasab adalah suatu pondasi yang kokoh bagi bangunan keluarga yang berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian yang lainnya. Seorang anak adalah bagian dari ayahnya demikian juga sebaliknya bahwa seorang ayah adalah bagian anaknya. Dengan kata lain, nasab berarti pengakuan secara syar’i bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga sang anak menjadi salah seorang anggota keluarganya dan berhak mendapat hakhak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Dalam Ensiklopedi Indonesia, nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman, dan lain-lain).24 Para ulama fiqh sepakat bahwa anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Sebagaimana hadis Nabi saw yang artinya: “Dari Abu Hurairah sesungghnya Rasulullah saw bersabda: Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri istrinya) dan bagi pezina hanya berhak mendapatkan batu hukuman.” (HR. Muslim) Dalam menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi syarat antara lain:25 1. Suami memungkinkan mampu memberikan keturunan (baligh dan mempunyai alat kelamin) 2. Anak tersebut lahir setelah enam bulan perkawinan (batas minimal). Dengan syarat suami istri tersebut telah melakukan hubungan badan. Jika kurang dari enam bulan ada indikasi bahwa wanita tersebut telah hamil sebelum akad nikah. Nasab anak tidak dapat dibentuk berdasarkan hasil perzinaan. 3. Suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan logika. Oleh karena itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak diperkirakan bertemu dengan suaminya maka anak yang dikandungnya dapat dinasabkan kepada suaminya.26 Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan bahwa kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri dapat bertemu secara nyata, empiris, dan
24Ensiklopedi
h. 80-81.
25Nurul
Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 2337. Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam,cet. 1 (Jakarta: Azmah, 2012),
26Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah,cet. 1,Jilid 5 h. 105. Wahbah Zuhaili, AlFiqh wa Adilatuhu, Juz VII, h. 682
196
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
konkret serta pertemuan itu memungkinkan mereka melakukan hubungan badan.27 Dalam Islam, seorang ayah tidak boleh mengingkari nasab anaknya, seorang ibu menisbatkan anaknya kepada orang yang bukan ayah kandungnya, dan seorang anak juga tidak boleh menisbatkan dirinya kepada orang yang bukan ayah kandungnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Al-Ahzab (33): 4-5 yang artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anakanak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.”28 Ayat ini turun untuk merubah tradisi masyarakat Arab saat itu. Ketika Nabi Muhammad saw. mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya, orang-orang Arab saat itu menyebutnya dengan nama Zaid bin Muhammad, sehingga Nabi melarang keras dan beliau bersabda: “Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga.”29 Berkaitan dengan penentuan nasab seseorang, ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah. Sehingga anak zina tidak boleh dihubungkan nasabnya dengan ayahnya meskipun secara bilologis laki-laki tersebut yang menzinai ibunya. Alasannya, karena nasab merupakan karunia dan nikmat sedangkan zina adalah perbuatan tindak pidana (jarimah) yang tidak layak mendapatkan nikmat. Nasab seseorang kepada ibunya terjadi
27
661.
An-Nawawi, Raudah Ath-Thalibin, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tth), jilid 6, h. RI, al-Qur’an dan..., 666. al-Bukhari, Shahih Bukhari (Dar al-Fikr, 1981).
28Depag 29Imam
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
197
Ani Wafiroh
karena kehamilan yang disebabkan hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik dengan akad pernikahan ataupun tidak.30 Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa penetapan nasab seseorang kepada ibunya bersifat alamiah, sedangkan kepada ayahnya karena ada hubungan hukum, yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya berupa pernikahan.31 Adapun sebab-sebab penentuan nasab kepada ayah adalah a) melalui pernikahan yang sah; b) nasab yang ditetapkan melalui pernikahan fasid; c) nasab yang disebabkan karena wathi’subhat. Implikasi dari tidak adanya hubungan nasab antara anak dengan ayah akan sangat berkaitan dengan beberapa aspek yuridis, lelaki yang secara biologis adalah ayah kandungnya itu berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak wajib memberi nafkah, tidak ada hubungan waris mewarisi bahkan seandainya anak tersebut perempuan ayah tersebut tidak dapat berduaan dengannya, tidak bisa menjadi wali untuk anaknya.32 Ayah biologisnya tidak bisa menjadi wali baginya maka wali dalam akad nikahnya adalah wali hakim. Berkaitan dengan status anak zina, Ibnu Hazm berpendapat bahwa anak zina tidak bisa dinasabkan dengan ayahnya melainkan ia mempunyai garis nasab dengan ibunya, alasannya adalah tindakan Rasulullah saw yang menghubungkan nasab anak dengan ibunya yang telah dilian oleh suaminya, bukan kepada ayahnya sebab kelahiran yang dialami oleh wanita baik halal maupun haram tetap sebagai sebab timbulnya nasab.33 Oleh sebab itu, keberatan ulama terhadap keputusan MK tentang anak luar nikah bisa dipahami. Putusan MK itu dikeluarkan pada hari Jum’at tanggal 17 Februari 2012 atas uji materi UU Perkawinan khususnya pasal 43 ayat 1 yang menyatakan bahwa anak yang lahir diluar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu kandungnya dan keluarga ibunya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayah. Ulama Syi’ah Islamiyyah, mereka berpendapat bahwa anak zina tidak mewarisi dan tidak pula mewariskan baik dari ayah dan kerabatnya maupun dari ibu dan kerabatnya. Wali nikah bagi perempuan anak zina adalah wali hakim. Perempuan anak zina digolongkan di dalam mar’ah dani’ah (perempuan martabat rendah).34 az-Zuhaili, al-Fiqh..., 675. Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 198. 32Al-Jaziri, Al-Fiqh....jilid 5 h. 116. 33 Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi Al-Atsar (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tth), jilid 10. H. 142. 34 Ensiklopedi Islam, h. 239. 30Wahbah 31Amir
198
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
C. ANAK DI LUAR NIKAH DALAM HUKUM POSITIF Menurut Undang-undang Perkawinan, pasal 42 menyebutkan bahwa: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Artinya anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah sebagai akibat perkawinan yang sah atau tidak. Hal ini juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 bahwa Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pada point b pasal 99 tersebut juga menyatakan bahwa anak hasil inseminasi termasuk anak sah. Sedangkan anak yang lahir di luar pernikahan diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal 43 yang berbunyi: (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 juga menyebutkan bahwa: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Pada Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 100 yang menyebutkan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an. Dalam KUHP, pasal 5a menyebutkan bahwa: Anak-anak sah seperti pun anak-anak tidak sah namun telah diakui oleh bapak mereka, memakai nama keturunan si bapak; anak-anak tak sah yang tidak diakui si bapak, memakai nama keturunan ibu mereka. Dalam hal pembuktian asal-usul anak, maka dapat dibuktikan dengan akte nikah, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang perkawinan pasal 55 yang berbunyi: (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan Berkaitan dengan perwalian secara umum terhadap anak, dalam KUHP pasal 345 menjelaskan bahwa “Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
199
Ani Wafiroh
yang belum dewasa demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama sekadar ini tidak.” Pasal 353. Seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian bapaknya yang telah dewasa atau ibunya yang telah dewasa pula dan yang masing-masing telah mengakuinya kecuali sekiranya si bapak atau si ibu telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan hak mereka menjadi wali atau selama bapak atau ibu belum dewasa atau wali in mendapat tugas itu sebelum anak diakui. Pasal 354. Jika orang yang melakukan perwalian terhadap anaknya luar kawin yang telah ia akui, hendaknya akan menjadi sah, bolehlah ia memajukan permintaan kepada pengadilan, supaya diperkenankan meneruskan perwaliannya. Pengadilan mengambil ketetapannya setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan orang tua yang lain sekiranyaini telah mengakui anak itu, pula akan wali pengawas. D. TEORI WALI NIKAH DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM Secara bahasa, wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Secara istilah, wali adalah pertanggungjawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaannya. Sebagian ulama, terutama kalangan Hanafiyah membagi wali menjadi 3 yaitu al-walayah ala nafs, al-walayah ala maal, dan al-walayah ala ma’an. Berkaitan dengan Wali Nikah, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa, sah nikah wanita yang berakal tanpa adanya wali, wanita dapat menjadi wali dalam nikahnya maupun wanita lain, dengan syarat calon suami sekufu, maharnya tidak kurang dari yang berlaku di masyarakat. Jumhur Ulama (Syafi’i, Maliki, Hambali), nikah tidak sah tanpa adanya wali, perempuan tidak boleh menikahkan dirinya atau orang lain. Sehingga menikah tanpa wali tidak sah. Dalam perkawinan juga dikenal dengan hak ijbari bagi wali dalam menentukan calon suami bagi anak perempuan. Kata ijbar secara bahasa adalah al-qahru (memaksa), al-ilzamu (pemaksaan). Secara istilah adalah hak memilih dan menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Pengertian fiqh, bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan (perempuan yang masih gadis, janda yang hilang keperawanannya bukan karena hubungan seksual) Hak istimewa memaksa bisa berlaku jika: 1) tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan perempuan yang akan dinikahkan, 2) tidak ada permusuhan antara calon suami dengan si perempuan, 3) keduanya sekufu, 4) harus ada mahar yang pantas. Menurut As-Syafi’i, syarat wali mujbir boleh menggunakan hak ijbar apabila calon suami yang akan dijodohkan itu sekufu/kafa’ah baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi atau kalau perlu keturunan 200
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
agar ada keharmonisan diantara mereka berdua. Walaupun demikian, tergantung kepada wali dan anak perempuannya, jika mereka setuju maka perkawinan tetap sah walaupun tanpa kafa’ah. Adapun dasar kebolehan bapak atau kakek menikahkan tanpa persetujuan si perempuan tersebut adalah Berkaitan dengan wali menjadi syarat sahnya perkawinan atau bukan, Imam Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa wali merupakan syarat sahnya pernikahan. Perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak derhak menjadi wali. Meskipun ada ijin dari wali tetap tidak boleh karena pernyataan perempuan tidak sah dalam akad nikah baik ijab maupun qabul. Dasar hukum yang dipakai adalah QS. AlBaqarah 232, yang berbunyi:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Asbabun Nuzul ayat ini berkaitan dengan kasus Ma’qal bin Yasar yang bersumpah tidak akan menikahkan saudaranya kepada mantan suami yang menceraikannya. Menurut Ad-Dimasyqi, ayat ini bertujuan, menunjukkan keharusan adanya wali dalam perkawinan sekaligus larangan perempuan menjadi wali. Imam Abu Hanifah, Asy-Sya’by, dan Az-Zuhri mengatakan bahwa, jika seorang perempuan melakukan akad nikah dengan tanpa wali sedang antara ia dan suaminya itu se-kufu’ maka hukumnya boleh. Sedangkan Imam Dawud, wali menjadi syarat bagi perawan, tidak bagi janda. Berkaitan dengan pernikahan di bawah umur menurut Ibnu Syibrimah adalah tidak sah demi kemaslahatan yang bersangkutan. Sehingga perkawinan itu hendaknya mencapai taraf kematangan (maturitas) baik secara fisik biologis maupun mental psikologis. 35 35
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh wa Adilatuhu, Juz VII, hal. 192-193.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
201
Ani Wafiroh
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan wali nikah adalah: 1. Wali itu harus beragama Islam baik wali itu adalah bapak, kakek dsb. 2. Adil. Pengertian adil di sini adalah tidak pernah dosa besar, seperti: zina, mabuk, judi, tidak shalat, tidak puasa dll. Apabila walinya fasik, maka hak walinya berpindah ke urutan berikutnya 3. Wali tersebut tidak terus menerus melakukan dosa kecil, seperti kencing di jalan-jalan (tempat terbuka) 4. Balig 5. Berakal 6. Tidak cacat yang mengganggu pertimbangan-pertimbangan (keputusannya) 7. Tidak sedang dilarang bertransaksi 8. Wali tersebut tidak sedang ihram haji atau umrah.36 IMPLIKASI HUKUM KEPUTUSAN MK TENTANG HUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH TERHADAP EKSISTENSI WALI NIKAH A. MAKNA DARI PUTUSAN MK NO. 46/PUU-VIII/2010 TENTANG HUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH Hubungan nasab merupakan sesuatu yang bersifat sunnatullah. Hal ini dapat dilihat dari pngertian nasab menurut Wahbah az-Zuhaili. Baginya, nasab adalah suatu pondasi yang kokoh bagi bangunan keluarga yang berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian yang lainnya. Nasab terjadi karena adanya hubungan darah. Artinya persoalan nasab ini tidak bisa dibuat-buat oleh manusia. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, keputusan MK tentang hubungan nasab di luar nikah memang wajar menimbulkan pro-kontra dari umat Islam, khususnya MUI. Dalam Ensiklopedi Indonesia, nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman, dan lain-lain).37 Para ulama fiqh sepakat bahwa anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Sebagaimana hadis Nabi saw yang artinya: “Dari Abu Hurairah sesungghnya Rasulullah saw bersabda: Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri istrinya) dan bagi pezina hanya berhak mendapatkan batu hukuman.” (HR. Muslim).
36 37
202
Safwan Hakim (Fiqh Praktis)…. Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 2337. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
Dalam menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi syarat antara lain:38 1. Suami memungkinkan mampu memberikan keturunan (baligh dan mempunyai alat kelamin) 2. Anak tersebut lahir setelah enam bulan perkawinan (batas minimal). Dengan syarat suami istri tersebut telah melakukan hubungan badan. Jika kurang dari enam bulan ada indikasi bahwa wanita tersebut telah hamil sebelum akad nikah. Nasab anak tidak dapat dibentuk berdasarkan hasil perzinaan. 3. Suami istri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan logika. Oleh karena itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak diperkirakan bertemu dengan suaminya maka anak yang dikandungnya dapat dinasabkan kepada suaminya.39 Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan bahwa kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami istri dapat bertemu secara nyata, empiris, dan konkret serta pertemuan itu memungkinkan mereka melakukan hubungan badan.40 Dengan demikian, makna yang dapat ditangkap dari keluarnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang anak di luar nikah adalah memberikan hubungan nasab bagi anak di luar nikah kepada ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan Ipteks berupa tes DNA. Hal ini memberikan dampak bahwa ayah atau orang tua biologisnya memiliki hak dalam hal hubungan nasab seperti warisan dan perwalian (menjadi wali nikah). Dalam putusan tersebut, MK nampak menyamakan antara anak yang lahir dari kawin sirri atau anak yang lahir dari hubungan zina. Hal ini sangat bertentangan dengan Hukum Islam. Sementara menurut Undang-undang Perkawinan, pasal 42 menyebutkan bahwa: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Artinya anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah sebagai akibat perkawinan yang sah atau tidak. Sah dalam hal ini adalah sah menurut hukum Islam. Yang dalam hal ini termasuk juga nikah sirri yang telah memenuhi rukun dan syaratnya dalam hukum Islam. Hal ini juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 bahwa Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan 38
h. 80-81.
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam,cet. 1 (Jakarta: Azmah, 2012),
39 Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah,cet. 1,Jilid 5 h. 105. Wahbah Zuhaili, AlFiqh wa Adilatuhu, Juz VII, h. 682 40 An-Nawawi, Raudah Ath-Thalibin, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tth), jilid 6, h. 661.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
203
Ani Wafiroh
dilahirkan oleh isteri tersebut. Pada point b pasal 99 tersebut juga menyatakan bahwa anak hasil inseminasi termasuk anak sah. Sedangkan anak yang lahir di luar pernikahan diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal 43 yang berbunyi: (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 juga menyebutkan bahwa: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Pada Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 100 yang menyebutkan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an. Dalam KUHP, pasal 5a menyebutkan bahwa: Anak-anak sah seperti pun anak-anak tidak sah namun telah diakui oleh bapak mereka, memakai nama keturunan si bapak; anak-anak tak sah yang tidak diakui si bapak, memakai nama keturunan ibu mereka. Putusan MK ini menjadi digugat oleh sebagian umat Islam dalam hal ini odiwakili oleh MUI adalah karena terkesan menyamakan status anak luar nikah yang disebabkan karena zina dan anak yang lahir di luar nikah secara resmi (pernikahan sirri). B. ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP PUTUSAN MK TENTANG ANAK DI LUAR NIKAH SEBAGAI HUBUNGAN NASAB (KHUSUSNYA HUBUNGAN PERWALIAN) ANTARA AYAH BIOLOGIS DENGAN ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH Keluarnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 memberikan hubungan nasab bagi anak di luar nikah kepada ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan Ipteks berupa tes DNA. Hal ini memberikan dampak bahwa ayah atau orang tua biologisnya memiliki hak dalam hal hubungan nasab seperti warisan dan perwalian (menjadi wali nikah). Dalam putusan tersebut, MK nampak menyamakan antara anak yang lahir dari kawin sirri atau anak yang lahir dari hubungan zina. Hal ini sangat bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam Hukum Islam, pernikahan sah jika memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan sirri adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat sehingga anak-anak yang dilahirkan hasil pernikahan 204
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
sirri mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya, berhak mendapat warisan, dan dapat dinikahkan oleh ayahnya. Sedangkan perzinaan tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Anak di luar nikah (anak yang lahir dari hasil perzinaan) tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya karena nasab adalah nikmat dan pelaku jarimah tidak berhak mendapat nikmat. Dalam hal warisan, mereka tidak saling mewarisi. Jika seorang ayah ingin memberi harta kepada anaknya bisa melalui hibbah atau wasiat. Demikian juga dalam hal pernikahan, ayah biologis tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah karena tidak mempunyai hubungan nasab. Hubungan nasab anak di luar nikah hanya pada ibunya sehingga pernikahan dapat dilangsungkan hanya dengan wali hakim. Di satu sisi, upaya yang dilakukan oleh MK tersebut memiliki argumen yang menurut mereka sangat kuat, yakni berusaha membela hak asasi setiap manusia. Kira-kira jalan berpikirnya adalah kalaupun anak tersebut lahir di luar nikah seperti hasil dari nikah sirri ataupun hasil dari anak zina, bukankah hal itu merupakan perbuatan ibu dan bapaknya (bapak biologisnya). Anak yang lahir tersebut tetap suci bersih sebagaimana putihnya kertas yang mencerminkan mereka lahir tanpa dosa sedikit pun, termasuk dosa turunan dari orang yang menyebabkan dia lahir ke dunia ini. Hanya saja satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengesahkan kedudukan anak di luar nikah yang memiliki hubungan nasab kepada ayah biologisnya setelah dilakukan tes DNA tentu memiliki implikasi yang sangat luas pada persoalan lain, seperti hubungan keperdataan (kewarisan) dan hubungan perwalian. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ayah biologis yang telah diuji validitasnya dengan Ipteks lewat tes DNA dapat menjadi wali bagi anak perempuan yang lahir di luar nikah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dilihat kembali pada makna wali nikah dan hubungan nasab dalam hukum Islam. Tulisan ini harus dirujuk berdasarkan hukum Islam yang cendrung melihat persoalan ini secara hitam putih. Di awal tulisan ini telah dijelaskan bahwa wali nikah hanya dapat dilakukan oleh ayah kandung dari sang anak yang dihasilkan dari perkawinan sah. Tentu saja sah dalam hal ini adalah sah dalam hukum Islam yang masuk juga dalam kategori ini adalah nikah sirri karena sudah dianggap sah perkawinannya secara hukum Islam.41 41Nikah
sirri adalah nikah yang telah dilakukan sesuai dengan hukum Islam dan belum dilakukan pencatatan perkawinan. Dalam amar keputusan MK ini pada halaman 33 dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentulan sahnya perkawinan dan pencatatn merupakn kewajiban administrasi sesuai perundang-undangan. Hal ini berdasarkan penjelasan UU No. 1/1974 yang berbunyi “Bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
205
Ani Wafiroh
Maka dilihat dari sisi bahwa secara hukum, perkawinan sirri telah diakui keabsahannya oleh negara, maka sangat wajar kalau kemudian negara dalam hal ini lewat legitimasi yang sangat kuat bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri tersebut baik dalam konteks hubungan keperdataan maupun hubungan perwalian.42 Harus pula dipertimbangkan dengan sangat luas bahwa anak zina jelas berbeda dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri. Dalam hal ini, menentukan boleh tidaknya anak di luar nikah untuk dinikahkan oleh ayah biologisya tidak bisa menggunakan pendekatan hak asasi atau prinsip keadilan.43 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis hukum Islam yang nota benenya telah dijelaskan oleh Rasulullah sendiri dalam beberapa hadisnya. Ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah. Sehingga anak zina tidak boleh dihubungkan nasabnya dengan ayahnya meskipun secara biologis laki-laki tersebut yang menzinai ibunya. Alasannya, karena nasab merupakan karunia dan nikmat sedangkan zina adalah perbuatan tindak pidana (jarimah) yang tidak layak mendapatkan nikmat. Nasab seseorang kepada ibunya terjadi karena kehamilan yang disebabkan hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik dengan akad pernikahan ataupun tidak. 44 Putusan MK di atas kelihatan berupaya menggeneralisasi persoalan anak di luar nikah, baik yang terjadi lewat nikah sirri maupun perzinaan. Sekali lagi yang menjadi argumentasinya adalah prinsip keadilan dan hak asasi manusia sebagaimana tercermin dalam 28 B ayat (2) yang menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selanjutnya dalam pasal 28D ayat (1) juga dijelaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. dilakukan mnurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat...” 42 Nikah sirri dianggap sah karena telah memenuhi persyaratan sebagaimana perkawinan sah dalam Islam, yakni adanya wali, kedua mempelai, saksi, dan akad. 43Prinsip hak asasi manusia ini terlihat jelas digunakan oleh para hakim MK dalam memutuskan perkara yudicial review terhadap pasal 43 ayat 1 UU No. 1/1974 yang diajukan oleh Machica Mukhtar. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dimaksud (1) secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan anatara ovum dan spermatozoa, (2) Tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya, (3) Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubunga seksual dan menyebabkan kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak, (4) Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak smata-mata karena adanya ikatan perkawinan, tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubunga darah antara anak dan laki-laki tersbut sebagai bapaknya. 44 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh..., 675.
206
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
Menurut hemat peneliti, proses yang terjadi juga akan mempengaruhi perlakuan setelahnya. Oleh karena itu, jika prosesnya melalui fakta hukum yang tidak sah seperti perzinaan, maka wajar jika ayah biologis anak yang dilahirkan itu tidak bisa bertindak sebagai walinya. Tentu saja hal ini terjadi karena menggunakan pendekatan yuridis hukum Islam yang hitam putih. Sementara, pendekatan hak asasi manusia dan prinsip keadilan di atas akan lebih cocok jika diterapkan pada pemberian hak hidup atau pemberian nafkah kepada anak di luar nikah tersebut. Demikain juga, hak keperdataan lainnya berupa pemberian warisan akan lebih tepat jika menggunakan model hibah (pemberian) atau wasiat. Perlakuan adil dan menyejajarkan hak asasi manusia tidak harus dengan pemberian istilah yang sama persis dengan istilah bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Perlakuan adil dan pemberian hak dapat pula diberikan dengan mengedepankan substansinya, bukan “istilah atau nama” semata. Jika hal ini dilakukan, maka akan dapat mengakomodasi semangat hukum Islam yang diwakili oleh pemahaman MUI dan semangat UUD 1945 yang pemahamannya diwakili oleh para hakim MK yang memutuskan perkara yudicial review Machica Mukhtar yang nota benenya adalah pernah kawin sirri dengan Murdiono, mantan Mensesneg era Soeharto. Melihat konteksnya, maka wajar jika keputusan MK ini dikembalikan pada kasus kawin sirri saja, bukan pada anak hasil zina, apalagi jika dikaitkan dengan urusan perwalian. A. KESIMPULAN 1. Keluarnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang anak di luar nikah memberikan hubungan nasab bagi anak di luar nikah kepada ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan Ipteks berupa tes DNA. Hal ini memberikan dampak bahwa ayah atau orang tua biologisnya memiliki hak dalam hal hubungan nasab seperti warisan dan perwalian (menjadi wali nikah). Dalam putusan tersebut, MK nampak menyamakan antara anak yang lahir dari kawin sirri atau anak yang lahir dari hubungan zina. Hal ini sangat berbeda dengan substansi yang ada dalam Hukum Islam. 2. Dalam Hukum Islam, pernikahan sah jika memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan sirri adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat sehingga anak-anak yang dilahirkan hasil pernikahan sirri mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya, berhak mendapat warisan, dan dapat dinikahkan oleh ayahnya. Sedangkan perzinaan tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Anak di luar nikah (anak yang lahir dari hasil perzinaan) tidak dapat Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
207
Ani Wafiroh
dinasabkan kepada ayah biologisnya karena nasab adalah nikmat dan pelaku jarimah tidak berhak mendapat nikmat. Dalam hal warisan, mereka tidak saling mewarisi. Jika seorang ayah ingin memberi harta kepada anaknya bisa melalui hibbah atau wasiat. Demikian juga dalam hal pernikahan, ayah biologis tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah karena tidak mempunyai hubungan nasab. Hubungan nasab anak di luar nikah hanya pada ibunya sehingga pernikahan dapat dilangsungkan hanya dengan wali hakim. B. SARAN-SARAN 1. Bagi umat Islam, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, wawasan, serta gambaran bagi peneliti tentang implikasi hukum putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak di Luar Nikah. 2. Bagi peneliti berikutnya, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan sebagai bahan kajian awal bagi penelitian berikutnya jika meneliti masalah yang berkaitan dengan persoalan wali dan pernikahan. 3. Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan, hasil dari penelitian ini diharapkan berguna dan menjadi masukan, serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan analisis lebih mendalam tentang persoalan wali nikah khususnya terkait dengan implikasi keputusan MK tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah jika akan dijadikan sebagai sebuah peraturan atau perundang-undangan.
208
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1997). Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2002). Ayu Yulia Sari, Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2011. Tidak dipublikasikan. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998). Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam No.I, Cet.I (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve,1997). Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994). Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari (Dar al-Fikr, 1981). Indah Setia Rini, Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar kawin Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus terhadap perkara Nomor: 74/pdt.p/2005/pn.tng di Pengadilan Tangerang), Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2009. Tidak dipublikasikan. JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj. Machnun Husein (Surabaya: Amar Press, 1990). M. Thohir, Anak Luar Nikah dan Teknologi Modern, makalah, 2011. Majelis Fatwa MUI Pusat, “Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya”. S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah) (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003). Noeng Muhadjir, “Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodoligik: Metodologi Kualitatif”, dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.), 1989. M. Quraish Shihhab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, Cetakan III, 2005). Rahman Musthofa, Anak Luar Nkah: Status dan Implikasi Hukumnya (Jakarta: Atmaja, 2003) Sanafiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Cetakan Keenam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999). Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
209
Ani Wafiroh
____________, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Malang: YA3, 1990), 43. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Cet.11 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998). Supriyadi, “Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah dalam Perpektif Hukum Keluarga Islam (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Hubungan Keperdataan Anak Luar Nikah)”, Tesis Program Pascasarjana (S-2), IAIN Mataram, 2014. Tidak dipublikasikan Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) Cet. IV, Jilid 10.
210
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram