Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
STRATEGI MENINGKATKAN KESETARAAN GENDER DALAM BIDANG POLITIK DI NUSA TENGGARA BARAT Siti Nurul Khaerani1 Abstrak: Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang politik perlu dilakukan seperti bidang-bidang lainnya. Selama ini peningkatan kesetaraan dan keadilan gender berjalan lambat dibandingkan dengan bidang yang lain. Peran serta salah satu jenis kelamin dalam hal ini perempuan sangat jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Banyak kendala antara lain anggapan bahwa politik itu keras, kotor, kejam dan lain-lain menyebabkan perempuan tidak pantas untuk berkiprah pada bidang politik. Hal ini karena adanya konstruksi sosial dari masyarakat tentang perempuan bahwa perempuan itu lemah. Akibatnya sulit untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang politik. Kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud jika akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan dalam bidang politik dapat diberikan pada semua jenis kelamin. Kata Kunci: Kesetaraan, gender, politik PENDAHULUAN Sudah bukan rahasia lagi bila jumlah keterwakilan perempuan di parlemen hampir semua Negara sangat sedikit. Hal ini tidak sesuai dengan populasi perempuan dimasing-masing Negara. Di beberapa Negara keterwakilan perempuan pada level pengambil keputusan merupakan posisi yang kritis bagi terlaksananya demokrasi di suatau negara. Selain masalah persentase, kualitas perempuan yang duduk dalam parlemen juga menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi peraturan-peraturan atau keputusan terkait perempuan. Banyak penyebab dari rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen misalnya adanya pemikiran bahwa tanggung jawab pengasuhan anak sepenuhnya pada perempuan. Pekerjaan pengasuhan anak ini berakibat pada banyaknya perempuan yang tinggal di rumah sehingga akibat jangka panjangnya adalah tidak banyak perempuan yang berinteraksi secara public (Heines, 1992). Seager (1997) mengatakan kalau laju dari keterwakilan perempuan di parlemen sangatlah lambat sehingga memperkirakan bahwa
1 Penulis adalah dosen tetap Fakultas syari’ah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Mataram
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
133
Siti Nurul Khaerani
dengan laju seperti ini keseimbangan antara laki-laki dan perempuan di parlemen baru akan bisa dicapai pada tahun 2490.2 Dalam Negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domistik dengan tanggung jawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang., dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik. 3 Bagaimanapun juga, perempuan mempunyai kebebasan untuk menempuh pendidikan tinggi, demikian juga untuk menjadi pemimpin sekalipun, termasuk dalam dunia politik. Dan sangat meyedihkan sekali ketika jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki tetapi yang terjun ke dunia politik hanya segelintir orang. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa politik itu kotor, keji dan kejam, sehingga kaum perempuan tidak boleh masuk ke ranah tersebut, diskriminasi yang dibuat oleh masyarakat patrilinial selama ini bahwa perempuan itu lemah membuat perempuan menjadi takut untuk masuk kedunia politik. Upaya meningkatkan peran perempuan merupakan pembangunan bidang politik dalam negeri yang menjadi area strategis bagi pencapaian kesetaraan gender. Sebelum memasuki era reformasi, politik dalam negeri tidak banyak mengalami perubahan. Pengambilan keputusan dan kontrol terhadap pembangunan sangat didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan dalam politik masih sangat minim perannya. Memasuki era reformasi, dorongan untuk meningkatkan peran perempuan bersama laki-laki dalam wilayah politik meningkat. Hal ini dikuatkan oleh dasar hukum pembangunan bidang politik karena pada tahun 2008, dengan dikeluarkannya UU No. 10 tentang pemilihan umum, kebijakan afirmatif diberlakukan dengan menetapkan kuota minimal 30 persen anggota legislatif terdiri dari perempuan. Dengan kuota 30 persen tersebut diharapkan pemikiran-pemikiran perempuan lebih terwakili di dalam parlemen Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2012, dikeluarkan UU.No 8 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menggantikan UU.No 10 tahun 2008 tentang hal yang sama. Dalam UU tersebut hal yang 2Sun,
2005 Pada Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2012, Kerjasama Kementrian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan BPS, Penerbit Kementrian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Tahun 2012,hal.15 - 16 3Khofifah Indar Parawansa, Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, www.idea.int/publications/upload/CS-Indonesia.pdf.
134
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
penting untuk diperhatikan adalah persyaratan yang mengharuskan setiap partai politik mengajukan 1 (satu) calon legislatif perempuan untuk setiap 3 (tiga) nama calon legislatif.4 Pada tingkat nasional tidak banyak perubahan keterwakilan perempuan di DPR selama periode 1992-1997 (pra-reformasi) dan periode 1999-2009, yaitu berkisar pada 9-12 persen. Namun, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 terjadi peningkatan keterwakilan perempuan menjadi 18,4 persen. Sementara itu pada tingkat DPRD I rata-rata keterwakilan perempuan mencapai 16 persen, dan DPRD II mencapai 12 persen. Semua DPRD Provinsi telah memiliki representasi perempuan kecuali Bali.5 Demikian halnya dengan Nusa Tenggara Barat, memiliki perwakilan di DPRD untuk perempuantapi tidak sampai 30%. Tulisan ini akan membahas Strategi Meningkatkan Kesetaraan Gender Dalam Bidang politik Di Nusa Tenggara Barat. Dalam hal ini menekankan kesetaraan gender dalam bidang legislatif. LEGISLATIF DI NUSA TENGGARA BARAT Perempuan di Nusa Tenggara Barat masih sangat minim dalam berperan aktif di bidang politik. Hal ini bisa dilihat dari keterwakilan perempuan di Legislatif dalam periode 2009 - 2014. Pada periode tahun 20092014 jumlah anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 55 orang, dimana jumlah anggota DPRD perempuan hanya 6 orang atau sekitar 10, 9 persen, sedangkan laki-laki 49 orang atau sekitar 89,1 persen. Dan jika dilihat dari sebaran partai politik, dari 15 partai politik anggota DPRD perempuan hanya ada pada 6 partai. Hal ini tidak sebanding dengan pemilih yang ternyata lebih banyak perempuan. Jumlah pemilih tetap (DPT) pada pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Nusa Tenggara Barat 2014 dari 3.468.251 orang, jumlah pemilih perempuan sebanyak 1.788.382 orang atau sekitar 51,5 persen. 6 Sedangkan untuk ketua partai, hanya ada satu perempuan yaitu dari Partai Persatuan Pembangunan . Ternyata banyaknya pemilih perempuan tidak sebanding dengan jumlah anggota dewan perempuan. Itu berarti pemilih perempuan belum tentu memilih calon legislatif perempuan. Dan ini menjadi tantangan sendiri bagi calon legislatif untuk berjuang merebut hati pemilih perempuan dengan berkompetisi dengan calon legislative laki-laki.. Pada tingkat kabupaten/kota seperti di kota Mataram untuk periode 2009 – 2014 dari 35 anggota legislatif di Mataram hanya 3 orang atau hanya 8.5% yang perempuan sisanya sebanyak 32 orang atau 9.5% adalah laki-laki. Anggota legislative tersebut berasal dari partai PDI-P, Demokrat dan PKPB. 7 Sedangkan untuk Kabupaten Lombok Barat secara kuantitatif untuk periode 2009 – 2014 dari 45 anggota legislatif hanya 2 orang perempuan atau hanya 4 Tim Penulis, Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (20152019), Bapenas, 2014 hal 62 5 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019), hal 62 6 NTB Dalam Angka 2013 7 Mataram Dalam Angka 2013 4
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
135
Siti Nurul Khaerani
persen, sedangkan laki-laki sebanyak 96 persen.8 Sedangkan Untuk Kabupaten Lombok Tengah pada periode 2009 - 2014 dari 45 anggota legislatif jumlah anggota legislatif perempuan hanya 4 orang atau 8 persen sedangkan laki-laki sebanyak 41 orang atau 92 persen. 9 Untuk kabupaten Lombok Timur, pada periode 2009-2014 jumlah anggota legislatif perempuan hanya 4 orang atau 8 persen dari 50 orang, sedangkan laki-laki 46 orang atau 92 persen. Akan tetapi yang menarik adalah ketua DPRD adalah perempuan. Di kabupaten Lombok Utara untuk periode 2009 – 2014 sebagai kabupaten termuda di Nusa Tenggara Barat yang terbentuk tahun 2009, maka pada pemilihan umum tahun 2009, masyarakat Lombok Utara masih bergabung dengan kabupaten Lombok Barat. Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten Lombok Utara baru terbentuk tahun 2010 dan di ketuai oleh Mariadi, S.Ag. Dari 25 Anggota dewan yang ada hanya 1 (satu) orang perempuan yang menjadi anggota DPRD dan berasal dari partai Demokrat (Dra. Ni Wayan Sri Pradianti). Hal ini menunjukkan terjadi perbedaan kesenjangan jumlah yang cukup jauh antara laki-laki dan perempuan dalam bidang legislative. Dan menyebabkan kiprah dari anggota DPRD perempuan menjadi terbatas di legislatife. Posisi anggota legislatif perempuan pada komisi ( komisi 1,2 dan 3) yang ada pun sedikit terbatas hanya sebatas menjadi anggota pada komisi 3 yang membidangi masalah pembangunan. 10 Sedangkan di pulau Sumbawa yang terdiri dari 5 wilayah dengan 4 kabupaten dan 1 kota, juga tidak jauh berbeda peran perempuannya dalam bidang legislatif dengan kabupaten Lombok Utara. Sebagai contoh untuk Kabupaten Sumbawa pada periode 2009-2014, anggota dewan perempuan hanya 1 (satu) orang dari 40 (empat puluh orang), atau hanya 2.5 persen sedangkan 9.75 persen atau 39 orang adalah laki-laki. Jika kita analisa dari peran permpuan di Nusa Tenggara Barat dalam kiprahnya dibidang politik, khususnya bidang legislatif, maka kita dapat melihat bahwa dari seluruh kabupaten bahkan sampai ditingkat kabupaten tidak ada yang sampai 30 persen. Walaupun pada salah satu Kabupaten yaitu Lombok timur ketua DPRD dipegang oleh perempuan. Akan tetapi pada daerah lain posisi perempuan di Legislatif sebatas menjadi anggota komisi, seperti yang ada di Lombok Utara, kecuali untuk tingkat Provinsi salah seorang anggota dewan ada yang menjadi ketua komisi. Dari anggota legislatif yang ada pada periode 2009-2014, legislatif perempuan dari latar belakang karena memiliki ikatan dengan organisasi terbesar yang ada didaerah, menjadi ketua partai sehingga dapat posisi no urut satu, atau karena latar belakang keluarga terpandang yang memiliki pengaruh di masyarakat.
Lombok Barat Dalam Angka 2013 Lombok Tengah Dalam Angka 2013 10 Sumber: Sekretariat DPRD KLU 8 9
136
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
KEDALA-KENDALA MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DALAM BIDANG POLITIK Rendahnya Partisipasi perempuan dalam bidang politik banyak disebabkan oleh persepsi tentang politik, dimana politik itu kejam, keras sehingga tidak cocok bagi kaum perempuan. Pada masyarakat kita konstruksi masyarakat yang dibangun tentang perempuan menyebabkan banyak ketidakadilan gender yang terjadi. Sehingga untuk meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik membutuhkan proses yang panjang, dan jika tidak diperjuangkan maka akan sulit mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang politik. Sebagaimana kita ketahui bahwa kesadaran akan kesetaraan gender telah menjadi wacana publik yang terbuka, sehingga hampir tidak ada sudut kehidupan manapun yang tidak tersentuh wacana ini. Gender telah menjadi prespektif baru yang sedang diperjuangkan untuk menjadi kontrol bagi kehidupan sosial, sejauh mana prinsif keadilan, penghargaan martabat manusia dan perlakuan yang sama dihadapan apapun antar sesama manusia termasuk laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil permbangunan tersebut. 11 Akan tetapi hal ini menjadi kendala karena konsep gender pada masyarakat sering dirancukan dengan jenis kelamin. Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘gender’. Jika dilihat dalam kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas dibedakan pengertian antara sex dan gender. 12. Karena itu penting sekali memahami perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Yang dimaksud jenis kelamin (sex) adalah perbedaan biologis hormonal dan patalogis antara perempuan dan lakilaki, misalnya laki-laki memilki penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, dan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak seorang pun dapat mengubahnya. Adapun yang dimaksud gender adalah seperangkap sikap, peran dan tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Sebagai contoh, laki-laki sering digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, berani, rasional dan tegar. Sebaliknya perempuan digambarkan dengan figur yang lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh dan lembut gemulai. Sehingga gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran11
2009),18.
Elfi Muawanah, Pendidikan Gender Dan Hak Asasi Manusia,Cet I,(Yogyakarta: Teras,
12 Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik: Studi Tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Cet I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2008),18.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
137
Siti Nurul Khaerani
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman. 13 Pemahaman gender sebagai sebuah konstruksi sosial tentang relasi lakilaki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem dimana keduanya berada pada kenyataannya dikonstruksikan oleh kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi sosial, kultural, bahkan fiskal karena sebagaimana halnya kenyataan kekuasaan adalah identik dengan kepemimpinan.14 Perubahan peran gender seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya juga dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Di Inggris sendiri pada abad ke XIX ada anggapan bahwa kaum perempan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tapi pandangan yang lebih kemudian menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempaun kelas menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (sex) biologis tertentu.15 Dari pengertian dan kosep gender diatas kita bisa menyimpulkan bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin dan gender bisa berbeda tergantung waktu, tempat dan masyarakat yang mengalami. Sehingga perbedaan gender seharusnya tidak menjadi penghalang bagi salah satu jenis kelamin untuk ikut serta aktif di masyarakat. Karena gender merupakan bentukan masyarakat yang juga bisa berubah seiring dengan perkembangan zaman. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal biasa sepajang tidak mengakibatkan ketidakadilan gender. Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan perbedaan gender melahirkan berbagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.Sehingga timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan gender terjadi semakin luas dan menyelimuti hampir semua kelompok perempuan? Sejumlah faktor ditenggarai sebagai penyebab dan yang paling mengemuka adalah tiga faktor utama: pertama dominasi budaya patriarkal. Seluruh elemen pembentuk kebudayaan kita memiliki watak yang memihak pada atau didominasi oleh kepentingan lakilaki. Kedua, interprestasi ajaran agama sangat didominasi oleh pandangan yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarkal. Ketiga, hegemoni Negara yang begitu kuat. 16 Ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam bentuk marjinalisasi, kekerasan, subordinasi, stereotip dan beban ganda telah terjadi di berbagai tingkatan masyarakat. Pertama wujud dari ketidakadilan gender terjadi di tingkat Negara, baik pada suatu Negara maupun organisasi antar Negara. Banyak kebijakan Siti Musdah Mulia dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender( Perspektif Islam), Cet II (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender,2001),vii-ix. 14 Nugroho, Gender…,19. 15 Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Cet V (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s), 14 16 Mulia, Islam…57-58 13
138
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
dan hukum negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari wujud ketidakadilan gender. Kedua, wujud dari ketidakadilan ini juga terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, dan kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Ketiga, dalam adat istiadat di banyak kelompok etnik masyarakat, kultur suku-suku maupun dalam tafsiran keagamaan wujud ketidakadialan gender ini pun terjadi. Keempat, ketidakadilan gender juga terjadi dilingkungan rumah tangga. Mulai dari proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interaksi antara anggota keluarga, di dalam banyak rumah tangga seharihari asumsi bias gender ini masih digunakan. Dan Kelima adalah ketidakadilan gender yang sudah mengakar di dalam suatu keyakinan dan menjadi idiologi bagi kaum perempuan maupun laki-laki, hal seperti ini sudah sangat sulit diubah. 17 Dan hal tersebut diatas juga menyebabkan kendala mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang politik, karena banyak ketidakadilan yang terjadi pada salah satu jenis kelmin, yaitu perempuan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif:18 Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa Negara, termasuk Indonesia, dimana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membanguan opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Selain hal hal tersebut ada beberapa hal yang menjadi penghalang yaitu: kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan wanita sehingga sering dirasakan sulit merekrut perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik memadai cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran non partisan. Selain itu factor keluarga, dimana wanita berkeluarga sering mengalami hambatan17 18
Nugroho, Gender…48-49 Khofifah Indar Parawansa, Hambatan,..
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
139
Siti Nurul Khaerani
hambatan tertentu, khususnya persoalan izin dari pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pandangan mereka dan aktifitas mereka diluar rumah.Sedangkan kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi dan penyediaan waktu dan uang yang besar, dan banyak perempuan sering memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara financial. Terakhir sistem multi partai yaitu besarnya jumlah partai politik yang ikut bersaing di pemilihan untuk memenangkan kursi di parlemen mempengaruhi tingkat representasi perempuan, karena setiap partai bisa berharap untuk memperoleh sejumlah kursi di parlemen. Ada kecenderungan untuk membagi jumlah kursi yang terbatas diantara laki-laki, yang mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkat representasi perempuan. Pada masyarakat Nusa Tenggara Barat yang menganut paham patrilinial, kondisi ini juga terjadi. Karena politik diidentikkan dengan kejam dan keras, sedangkan perempuan selama ini dikonstruksikan sebagai perempuan yang lemah, maka para perempuan Nusa tenggara Barat yang memiliki potensi lebih banyak memilih profesi lain yang dianggap lebih aman. Seperti menjadi pegawai administrasi, guru, tenaga kesehatan dll. Keluarga sebisa mungkin menghindari agar anak ataupun keluarga perempuannya berkiprah dipolitik. Kesetaraan gender dalam pembangunan bidang politik dapat tercapai jika akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari pembangunan bidang politik dapat terwujud. Artinya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk aktif, berpartisipasi dan membuat keputusan sendiri dalam masalah politik. Misalnya tidak ada halangan secara konstruksi sosial terkait peran gender di masyarakat untuk menyebabkan salah satu jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki untuk menjadi aggota partai politik, menjadi panitia pemilihan umum dan hal lainnya yang terkait bidang politik apakah itu tingkat lokal maupun regional. Sehingga setiap warga Negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara menggunakan hak politiknya Dalam hal akses antara laki-laki dan perempuan tetap saja ada perkecualiannya. contohnya akses untuk aktif di organisasi politik baik laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama akan tetapi hal ini juga tergantung dari tingkat pendidikan yang diperoleh oleh laki-laki dan perempuan tersebut. Atau semuanya mendapatkan kesempatan yang sama tergantung kompetensi atau kemampuan dari laki-laki dan perempuan tersebut. Jika dilihat dari kondisi pendidikan perempuan saat ini, dimana tingkat pendidikan dari perempuan sangat terbatas artinya perempuan secara umum dari segi pendidikan masih sangat jauh dari laki-laki maka kesetaraan dalam bidang politik dapat dipaksakan dengan adanya appairmatif action dari masyarakat sendiri untuk mendorong perempuan untuk terlibat dalam pembangunan bidang politik. Saat ini akses perempuan menjadi terbatas karena tidak diimbangi oleh tingkat pendidikan yang tinggi akibatnya partisipasi perempuanpun dalam bidang politik rendah dibandingkan laki-laki. 140
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
Selain itu ada anggapan bahwa perempuan cukup mendengarkan sedangkan lak-laki yang lebih banyak memberi saran. Di tingkat lokal perempuan lebih banyak aktif di posyandu atau organisasi perempuan. Sedangkan dibidang lainnya perempuan partisipasinya kurang misalnya menjadi panitia pemilihan (KPPS). Dalam pengambilan keputusan untuk aktif atau tidak dibidang politik sebagian pada masyarakat patrilinial biasanya ditentukan dan perlu persetujuan kepala keluarga yaitu suami, ayah atau lakilaki dalam keluarga. Adapun kendalanya untuk aktif di politik seperti menjadi anggota dewan yaitu biaya yang tinggi selain itu kebebasan juga menjadi kendala, karena perempuan dibatasi aktifitasnya terkait peran domistik perempuan. Jika kita telaah dari uraian diatas maka kita dapat melihat bahwa konstruksi sosial dari peran gender dimana perempuan hanya pantas menjadi pendengar akan membentuk konstruksi sosial yang menjadikan perempuan tidak pantas untuk didengarkan. Apalagi untuk aktif dalam politik. Sehingga keputusan pun untuk menentukan pilihan politik pun harus menjadi pendengar dari orang lain dalam hal ini adalah kepala keluarga. Konstruksi sosial atas peran kepala keluarga adalah laki-laki. Sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri hak politiknya. STRATEGI MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DALAM BIDANG POLITIK Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. 19 Pengintegrasian perspektif gender melalui pendekatan tentang Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat yang setara dan adil dengan menggunakan analisis gender yang prinsipnya terkandung dalam (1) Cedaw (prinsip nondiskriminasi, persamaan substasi dan kewajiban negara; (2) mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek-aspek sosial budaya/budaya yang masih patriarki, terutama terhadap perempuan dalam pemenuhan dan penikmatan yang adil dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang dimaksud dengan akses (access) adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memiliki otoritas untuk memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode pendayagunaan sumber daya tersebut. Jika berbicara tentang sumber daya, maka ada yang berbentuk fisik seperti uang, sawah,kebun, peralatan atau perabot dan ada yang nonfisik seperti 19
Nugroho, Gender….60
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
141
Siti Nurul Khaerani
pendidikan, waktu atau kesempatan, kepemimpinan, struktur hukum, representasi (perwakilan), dan lain sebaginya. Adapun faktor kontrol merupakan kemampuan atau otoritas untuk memutuskan penggunaan produk atau hasil bahkan juga menentukan metode pendayagunaannya, sehingga memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya tersebut. Sedangkan maksud dari faktor partisipasi dalam konteks analisis gender adalah usaha aktif seseorang untuk ikut serta menjadi bagian dari komunitas dalam proses pengambilan keputusan untuk menggunakan atau mendayagunakan sumber daya yang ada. Dan faktor manfaat adalah sesuatu yang baik untuk didapatkan atau diterima oleh seseorang dari proses pendayagunaan atau mendayagunakan sumber daya. Perolehan manfaat dari sebuah sumber daya akan sangat ditentukan oleh faktor akses, kontrol dan partisipasi seseorang. Semakin besar akses, kontrol dan partisipasi seseorang, semakin besar pula kemungkinannya untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari sebuah sumber daya.20 Ada beberapa cara untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang politik antara lain dengan cara:21 Yaitu dengan membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perempuan, meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi partai-partai politik: mengupayakan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam partai seperti: jabatan ketua dan sekretaris, karena hal ini berperan dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan partai, melakukan advokasi para pemimpin partai politik: ini perlu dalamupaya menciptakan kesadaran tentang pentingnya mengakomodasi perempuan di parlemen, terutama mengingat kenyataan bahwa mayoritas pemilih di Indonesia adalah wanita, membangun akses ke media: Hal ini perlu mengingat media cetak dan elektronik sangat mempengaruhi opini para pembuat kebijakan partai dan masyarakat umum, meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan melalui pendidikan dan pelatihan dan ini perlu untuk meningkatkan rasa percaya diri perempuan pada kemampuan mereka sendiri untuk bersaing dengan laki-laki dalam upaya menjadi anggota parlemen. Pada saat yang sama, juga perlu disosialisasikan konsep bahwa arena politik terbuka bagi semua warganegaranya, dan bahwa politik bukan arena yang penuh konflik dan intrik yang menakutkan. Meningkatkan kualitas perempuan, karena bagaimanapun juga keterwakilan perempua di parlemen menuntut suatu kapasitasyang kualitatif, mengingat bahwa proses rekrutmen politik sepatutnya dilakukan atas dasar merit sistem. Peningkatan kualias perempuan dapat dilakukan, antara lain dengan meningkatkan akses terhadap fasilitas ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dan yang terakhir memberika kuota untuk meningkatkan jumlah anggota parlemen perempuan.
20 Wawan Djunaedi dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, Cet I, (Jakarta: Pustaka STAINU bekerjasama dengan LP3M STAINU Jakarta dan European Union, 2008), 21 Khofifah Indar Parawansa, Hambatan…,
142
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 1, 2014
PENUTUP Strategi mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender merupakan sebuah keharusan bagi peningkatan peran serta salah satu jenis kelamin, dalam hal ini perempuan.Saat ini peran aktif perempuan dalam bidang politik sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan laki-laki. Mulai dari tingkat Provinsi sampai Kabupaten tidak ada yang sampai 30 (tigapuluh) persen. Bahkan dibeberapa tempat legislatif perempuan hanya satu orang, akibatnya kiprah merekapun sangat terbatas. Beberapa kendala dalam mewujudkan kesetaraan gender salah satunya yaitu faktor tradisi, karena itu perlu mereformasi tradisi untuk menetapkan kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan dan lakilaki. Hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama antara tokoh agama, tokoh masyarakat dan juga pemerintah untuk memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang sama. Hal ini penting dilakukan karena dalam beberapa hal, tradisi masih berpihak pada salah satu jenis kelamin saja.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
143
Siti Nurul Khaerani
DAFTAR PUSTAKA Sun, 2005 Pada Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2012, Kerjasama Kementrian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan BPS, Penerbit Kementrian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Tahun 2012. Khofifah Indar Parawansa, Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, www.idea.int/publications/upload/CS-Indonesia.pdf. Tim Penulis, Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019), Bapenas, 2014. NTB Dalam Angka 2013, BPS NTB. Mataram Dalam Angka 2013,BPS Mataram. Lombok Barat Dalam Angka 2013,BPS Lombok Barat. Lombok Tengah Dalam Angka 2013, BPS Lombok Tengah. Elfi Muawanah, Pendidikan Gender Dan Hak Asasi Manusia,Cet I,Yogyakarta: Teras, 2009. Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik: Studi Tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Cet I ,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2008 Siti Musdah Mulia dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender( Perspektif Islam), Cet II, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender,2001 Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Cet V,Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s. Wawan Djunaedi dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, Cet I, Jakarta: Pustaka STAINU bekerjasama dengan LP3M STAINU Jakarta dan European Union, 2008.
144
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram