92
PETA PEMIKIRAN KEMUNCULAN MADHHAB, PERKEMBANGANNYA, LATAR BELAKANG DAN SETTING SOSIAL BUDAYA, PARA PENDIRI MADHHAB, PARA TOKOH YANG MENGEMBANGKAN, PARADIGMA DAN TEORITIK
Sam’un (Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Ampel Surabaya )
Abstract: This history process shown that the application of Islamic teachings, it is necessary logical analysis of the educated man, because the doctrines of Al-Quran and al-Sunnah is constant and does not change after the end Muhammad essay, while social dynamics have created themajor changes in society rules of the Muslims themselves. The process of application of Islamic teachings on a variety of ever-changing social phenomena this is demanded of Ijtihad studies. The scholars of the century 2, 3, and 4 hijriyah, has demonstrated the spirit of ijtihad which is very high, even beyond the boundaries of sociological needs, so born fatwas patterned iftiradhi law, ie the fatwas to reach theoretical projections of future . Yet it is precisely their passion to make the scholars afterwards be apathetic towards ijtihad, because it comes madhhab in fiqh. Thought of the madhhab scholars is very influential in later generations of scholars so that they are in the position of a madhhab trying to develop teacher thought in the wider society. Thus, those thoughts became public in decision-referral and prescription of law Kata Kunci :Madhhab, Setting Sosal, Pendiri, paradigma, teoritik.
Pendahuluan Fiqh dan Shari‟ah sering diterjemahkan dengan arti yang sama, yaitu “Hukum Islam”, sesungguhnya dua kata tersebut mempunyai makna yang tidak sama. Shari‟ah diartikan hokum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah, sedang fiqh diartikan dengan hukum yang disimpulkan dari shari‟ah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas oleh shari‟ah. Kedua, pengusiran umat Islam dari Spanyol; Ketiga, penemuan daratan benua Eropa.1 Dari ini dapat dipahami shari‟ah sudah pasti dan tidak bisa berubah, serta sebagian besar bersifat umum (meletakkan prinsipprinsip dasar), sementara fiqh berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dimana diterapkan dan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar shari‟ah bisa diaplikasikan sesuai dengan keadaan. Perubahan dan perkembangan fiqh sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh berbagai kondisi politik, budaya, pendidikan, pola pikir dan lain sebagainya. Secara tradisional perkembangan fiqh melalui beberapa tahap antara lain: Tahap fondasi, Tahap pembentukan dan pembangunan, Tahap perkembangan dan keemasan, Tahap stagnansi dan kemunduran, Tahap kebangunan kembali 2 Pada tahap perkembangan dan keemasan itulah perkembangan gerakan ilmiah dan kodifikasi ilmu dalam Islam, tharwah fiqhiyah mencapai puncak keemasan yang ditandai munculnya madhhab fiqh dalam Islam, yang hingga kini tetap menjadi rujukan umat Islam. 3 Dengan demikian dapat dipahami bahwa munculnya madhhab fiqh itu merupakan mata rantai yang cukup panjang dari dinamika fiqh sejak zaman nabi. 1Abu
Ameenah bilal Philip, The Evolution of Fiqh Islamic law and Madhabs. Terj. M. Fauzi Arifin (Bandung: Nusa Media. 2005), XVI 2 Ibid, XVIII 3 Mun im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti; 1995), 21
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
93 Kemunculan Madhhab Fiqh Dalam waktu tidak lebih dari dua puluh tahun beberapa bulan saja, Islam dinyatakan lengkap dan sempurna, dengan turunnya al-Qur‟an. Ditambah dengan penjelasan dari Rasulullah. Begitu Rasulullah hijrah ke Madinah, mulailah terbentuk suatu umat yang membutuhkan hukum dan perundang-undangan. Bersama dengan itu hukum Islampun mulai terbentuk menggantikan adapt istiadat jahiliyah. Wahyu sebagai sumber hukum, ayatayatnya yang menyangkut hukum, secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya. Dari jumlah yang terbatas itu, khusus masalah ibadah, meskipun pada umumnya disebut dalam alqur‟ah pokok-pokoknya saja, namun telah lengkap secara terinci dijelaskan dalam sunnah Rasulullah. Adapun dibidang muammalah, hanya sebagian kecil yang secara tegas terinci, sedangkan kebanyakannya berupa prinsip-prinsip dasar secara singkat yang dalam pelaksanaannya memerlukan aturan tambahan, dan berupa teks-teks tidak tegas yang mungkin menerima berbagai penafsiran. Serta pada umumnya dinyatakan atau diisyaratkan „illah atau hikmah hukumnya. Bentuk sumber hukum yang dibekalkan kepada umat sedemikian rupa bukanlah secara kebetulan tanpa tujuan. Karena andaikan al-qur‟an dan sunnah secara terinci telah memuat seluruh persoalan, maka akan membuat hukum Islam kaku dan mudah ketinggalan zaman. Oleh sebab itulah , justru pada watak sumber hukum yang singkat dan terbuka, serta cukup memuat pokok-poko pikiran dan mengandung makna yang mendalam itulah terletak dinamika hukum Islam. Oleh karena perkembangan hukum Islam itu sangat tergantung kepada aktivitas dan dinamika penganutnya, maka rasulullah dimasa hidupnya telah menyiapkan kader-kader dari kalangan sahabat untuk mengemban tugas mulia itu pada masa berikutnya. Sehingga ketika Rasulullah telah tiada, mereka telah siap untuk menjabarkan dan mengembangkan sumber-sumber hukum itu untuk menghadapi perubahan sosial yang mulai menimbulkan masalah baru dalam bidang muammalah. 4 Berbagai penafsiran lebih banyak bermunculan lagi, terutama ketika Islam berhadapan dengan budaya local, sebagai akibat dari meluasnya daerah Islam. Budaya lokal di Iraq yang tadinya dudukan Persia, berlainan dengan budaya lokal di mesir dan di Syam yang tadinya dudukan Roma. Dan keduanya sangat berlainan dengan kondisi sosial di Hijaz, yang dari sekian lama telah mendapat bimbingan dari al-Qur‟an, yang belum banyak dipengaruhi oleh budaya luar. Dalam menghadapi berbagai budaya lokal itu sumber hukum telah dikembangkan dan ditafsirkan secara luas, dan „urf setempat dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Disamping sifat sumber hukum itu sendiri yang pada umumnya memberi peluang yang amat luas untuk menerima berbagai kesimpulan, juga perbedaan metodologi dalam memahami wahyu, tingkat kemampuan yang berbeda dalam mengistimbatkan hukum. Ketidaksepakatan dalam menilai otentisitas suatu hadist, dan ditambah dengan latar belakang situasi dan kondisi dimana seorang mujtahid berada adalah menjadi alas an yang amat mendasar mengapa kesimpulan hukum yang bervariasi bisa terjadi. Dalam kondisi yang demikian, timbullah berbagai aliran fiqh yang dikenal dengan madhhab. Banyak aliran-aliran fiqh (madhhab) yang tumbuh dan berkambang dalam kondisi yang demikian, diantara yang berkembang selanjutnya adalah madhhab Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan Hambali. Diantara faktor-faktor yang tersebut di atas yang menyebabkan mengapa terjadi berbagai aliran fiqh, disatu sisi boleh jadi disebabkan oleh diri seorang mujtahid sendiri, sehingga seorang mujtahid bisa jadi menawarkan beberapa kesimpulan hukum bagi satu permasalahan. Aliran-aliran fiqh tersebut, kemudian dikembangkan oleh murid-murid dan para pengikutnya. Para murid dan pengikutnya itu tidak sedikit pula menyumbangkan buah pikirannya. Dalam pengembangan selanjutnya tidak jarang pula, para murid tersebut 4
Satria Effendi, Madhhab-Madhhab Fiqh Sebagai Alternatif (Jakarta: IIQ, 1990), 305
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
94 berbeda kesimpulan dengan pendiri madhhabnya, dan ditambah lagi dengan perbedaan kesimpulan diantara murid-murid dan pengikutnya yang dating kemudian dalam mennafsirkan madhhab aslinya. Buku-buku madhhab yang terasa terlalu panjang untuk dihafal dan dipelajari, lantas diringkas, kemudian periode berikutnya ringkasan itu dikomentari pula secara panjang lebar. Maka muncullah apa yang disebut syarah, hasyiyah, hamisy, ta‟liqat, dan taqrirat, yang semuanya itu memuat kesimpulan-kesimpulan yang berfariasi. Dengan demikian paling tidak, ada dua hal yang membuat legitimasi munculnya madhhab. Pertama, adanya gerakan kodifikasi ilmu dan pendapat-pendapat para ulama; kedua, adanya pegikut yang secara khusus menyebarkan pendapat ulama tersebut. Sehingga mendapatkan legitimasi dari generasi berikutnya. Yang pada perkembangan selanjutnya berkembang hingga saat ini, sementara yang tidak memperoleh legitimasi akan lenyap. Toha Jabir Fayyadh al-Ulwani berkesimpulan saat itu muncul tiga belas madhhab yang semuanya beratiliasi sebagai madhhab ahlu al sunnah tetapi hanya delapan atau sembilan yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka gunakan. 5 Dengan kata lain dari tiga belas madhhab yang muncul saat itu hanya sembilan yang masuk nominasi untuk memperoleh legitimasi dari generasi berikutnya. Qodi iyad dalam bukunya al-madarik, seperti dikutip oleh Muhammad ibnu hasan al-hajwi menyatakan bahwa proses seleksi sejarah tiga belas madhhab menjadi empat itu berlangsung hingga abad ke 6 H. sedang Suyuti menganalisis prose situ berlangsung selama 500 tahun sejak munculnya madhhab itu. 6 Meskipun tidak ada data yang pasti kapan proses seleksi itu berlangsung, tetapi yang sudah pasti bahwa madhhab itu berqumul secara amat ketat dalam suatu generasi dimana fiqh secara substansial mengalami kejumudan. Dalam situasi jumud dan stagnasi itu terjadi pewarisan pemikiran yang sangat kaku dari guru murid dan membentuk pengikut-pengikut secara khusus yang semakin menguat dari generasi berikutnya. Ditambah lagi adanya beberapa negara yang mengklaim madhhab tertentu sebagai madhhab resmi, sehingga lengkaplah fanatisme madhhab dikalangan umat Islam. 7 Latar Belakang dan Setting Sosial Budaya Sudah disadari bahwa nash dari wahyu sangat terbatas, sementara itu persoalan dan permasalahan yang timbulakan selalu berkembang. Lalu muncul pertanyaan apakah harus membiarkan hukum Islam secara ketat, sehingga membiarkan perkembangan dan perubahan sosial tanpa perlu ada upaya hukumnya? Atau , keadaan sosiokultural yang sudah sangat cepat dan banyak perubahannya itu harus diberi hukum yang sama dengan ketika hukum itu pertama kali ditemukan, baik oleh ulama perseorangan maupun oleh madhhab? Disinilah lalu muncul pembahasan mengenai reinterpretasi terhadap Nash wahyu, ijtihad kembali, redefinisi bermadhhab, dan semacamnya. Dengan kata lain, kebanyakan ulama dan pemikir Islam menghendaki tetap adanya hukum Islam yang mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial. Dan disini pula terjadi upaya melakukan ijtihad dimasa modern, termasuk metodologi apa yang biasanya dilakukan dalam masyarakat modern ini. 8 Inti yang hamper disepakati adalah bahwa hukum Islam pada hakekatnya untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia, yang harus selalu diperlukan Taha Jabir Fayyad al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, (Qatar: Ummah, 1405 H), 89-90 Muhammad Ibn Hasan al-Hajwi, Al-Fikr al-Sami, (Madinah: Maktabah Ilmiah, 1977), 67 7 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Muzhahib al-Fiqhiyyah. (Mesir: Dar al-Fikr alArabi), 67 8 Sebagai bahan Pembahasan dapat dibaca Norman Anderson, Law Reform In the Muslem World (London: The Athlone Press, 1076) 5 6
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
95 sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad dan ijtihad baru, jangankan perbedaan antara masa sekarang dengan masa lebih dari seribu tahun lalu; masa hidup Imam Al Syafi‟i saja memerlukan dua pendapat berbeda yang disebut dengan qawlqadim (pendapat Imam al syafi‟i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) dan qawljadid (pendapat Imam Al Syafi‟i ketika telah pindah ke Mesir) 9. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau beberapa kaidah fiqhiyyah juga telah ditulis sejak awal, seperti contoh yang sudah saya sebutkan diatas. Ini terutama sekali mengenai ‟urf (adat istiadat/kebiasaan) dan dengan kemungkinan perubahan hukum Islam inilah, maka sangat mungkin untuk terjadinya eklektisisme dngan sistem hukum yang lain, sebagaimana dalam pembahasan berikutnya. 10 Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaharuan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralisme sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan negara. Jika kita lihat keadaan yang ada dimasa yang sangat awal, seperti uraian diatas dengan mengambil contoh wilayah yang sekaligus dianggap sebagai madhhab, yakni Hijaz, Iraq, dan Syiria, maka jelaslah peran dan pengaruh elemen-elemen sosial budaya terhadap ulama untuk menentukan atau menemukan hukum Islam. Atau biasa dikatakan sebagai pengaruh sosial budaya terhadap hukum Islam. Tidak sedikit pula fuqaha memberi tafsiran beberapa ayat al-Qur‟an dalam bayangan keadaan sosial budaya. Para Pendiri Madhhab dan Para Toko Yang Mengembangkan, Paradigma dan Teoritik Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam perkembangannya terdapat dua aliran besar dalam pemikiran hukum Islam, yaitu aliran rasionalisme dan tradisionalisme. Dari dua aliran besar ini, telah melahirkan madhhab-madhhab fiqh Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum Islam, dikenal beberapa madhhab fiqh, yang secara umum terbagi dua, yaitu madhhab Sunni dan madhhab Si‟i. Dikalangan suni terdapat beberapa madhhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i, hambali, Dhahiri, madhhab Auza‟i, Tobari, dan Laits. Empat madhhab terakhir sudah tidak berkembang lagi, sementara empat pertama masih meiliki pengikut yang banyak dari masyarakat Islam di dunia ini. Sementara dikalangan Syi‟ah terdapat dua madhhab fiqh yaitu Zaidiyah dan Ja‟fariah namun yang masih berkembang kini hanyalah madhhab Ja‟fariah dari Syi‟ah imamiyah. 1. Madhhab-Madhhab Fiqh dari Golongan Suni a) Madhhab Hanafi Madhhab Hanafi merupakan madhhab fiqh Islam yang pertama kali muncul dari kalangan Suni, dan bercorak rasional yang berkedudukan di kufah. Madhhab fiqh ini oleh Nu‟man bin Tsabit bin Zutha (80-150 H), yang populer dengan nama Abu Hanifah. Gelarnya ini diberikan oleh masyarakat Kufah karena ketekunannya dalam beribadah, kejujuran serta kecenderungannya pada kebenarannya. Abu Hanifah merupakan salah seorah fiqh dari ras persiah, kakeknya yang bernama Zutha masuk Islam pada saat persia jatuh ke tangan Islam, kemudian dia masuk ke bawah perwalian bani Ta‟im bin Sa‟labah dari suku Quraisy namun berdomisili di Kufah. Dan Tsabit, ayah abu Hanifah mengembangkan usaha perdagangan, yang diwarisi oleh Abu Hanifah dengan jasa utama sebagai pedagang kain sutra Kendati besar dilingkungan keluarga pedagang, Abu Hanifah memiliki kecenderungan untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan dengan atensi yang amat tinggi, sehingga sejak dini dia telah menghafal al-Qur‟an dan mempelajari qiraah langsung dari
9
Qadri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Yogjakarta: Gama Media, 2002), 32 Ibid
10
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
96 Imam ‟ashim salah seorang tokoh dari qiraah Sab‟ah. 11 Kemudian mempelajari hadist-hadist Nabi dari para muhadist tabii‟in di Kufah dengan Sahal bin Saan saidy di Madinah, dan dari Amir bin Wailah di Mekah. Bahkan menurut Al Maraghi dia sempat berjumpa Anas bin Malik di mekah. Bahkan menurut al-Maraghi, dia sempat berjumpa Anas bin Malik di Kufah. 12 Informasi ini bisa diterima sejauh hanya perjumpaan belaka, pada saat Abu Hanifah berusia 10an tahun karena Anas bin Malik meninggal pada tahun92 H. 13 perjalanan Abu Hanifah menjumpai para ulama hadist dan mempelajari hdist-hadist nabi dari mereka, membuat dia menjadi seorang ulama hadist dengan karyanya musnat Abu Hanifah. 14 Disamping itu, abu hanifah juga mempelajari fiqh dengan teori-teori kajiannya dari Hammad bin Abu Sulaiman dari seorang ulama fiqh dari aliran rasionalis di Kufah. Dia belajar dengan Hammad dalam tempo yang tidak kurang dari 18 Tahun, sampai gurunya itu meninggal tahun 120 H. namun sebagaimana Abu Zahrah katakana, dia tidak mengkhususkan diri untuk belajar diseluruh waktunya. Sebagai pedagang, pada waktuwaktu tertentu, di mengurus dagangannya dan diwaktu-waktu lain dia belajar kemudian dia juga belajar dari ulama lain lewat dialog-dialog dan tukar pandangan, baik pada saat menunaikan ibadah haji, ataupun dalam kesempatan-kesempatan lainnya15. Dan bahkan pada tahun 130 H Abu Hanifah sempat mukim di kota mekah untuk beberapa tahun, dan mempelajarki hadist-hadist nabi serta ilmu-ilmu keagamaan lainnya dari tokoh-tokoh yang sempat ia jumpai. 16 Akan tetapi pengalamn-pengalaman dia dari luar Kufah hanya sekedar memperkaya koleksi hadist-hadiustnya, sementara metodologi kajian fiqhnya leih mencerminkan aliran madrsah rokyu yang ia pelajari dari Hammad dari al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum kesatu dan kedua kemudin, kalau keduanya tidak secara egas menyatakan ketentuan-ketentuan dari persoalan yang sedang dikajianya, dia mempelajarinya dari perkataan sahabat, baik dalam bentuk ijma‟ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara eksplisit ketentuan hukum persoalannya yang ditaatinya secara bersama-sama. Dengan kemampuannya merumuskan pedoman serta kaidah-kaidah dalam ijtihadnya ini. Abu hanifa dinilai oleh para ulama fiqh sebagai seorang mujtahid mustakil, yang mampu melakukan kajian-kajian fiqh secara mandiri, dan tercipta madhzab fiqh yang di nisbahkan pada dirinya. Seperti diakui Muhammad Abu Zahra. Kesulitan yang terbesar dalam mengkaji pemikiran Abu Khanifa terletak pada tidak adanya buku-buku yang secara substansial memuat pemikiran dan metodologi Abu Hanifa sendiri. Yang dapat kita ikuti dari pemikiran dan metodologi madhhab Hanafi yang ada saat ini adalah berupa periwayatan dari muruid-muridnya. Seperti yang ditulis Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan Alsyaibani, dua muridnya yang banyak memperjuangkan madhhab Hanafi. Kendati demikian, kegigihan pengikut madhhab hanafi terutama para ulama Irak seperti Ibnu Syibbrima, Ibnu Abilaila, dan Usman Al-batta. Berhasila mengungkapkan pemikiran dan kecemerlangan intelektual sang imam. Zamam Abu Hanifa tidak mau terlibat dalam masalah pemerintah. Akan tetapi kedua muridnya Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan yang punya hubungan dekat dengan pemerintahan daulah Abbasiyah berhasil memberi corak terhadap pemikiran hukum atau Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah …. 131. Lihat Pula Dede Rasyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: rajawali Press, 1993),140 12 Abdullah Mustafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi Taqabat al-Ushuliyyin (Muhammad Amin, Ramj, 1974) Jilid I, 101. 13 Ibnu Hajar al-‟Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Shadir,t. Th), Jilid I,71. 14 Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin..., Jilid II, 137 15 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah..., Jilid II, 137 16 Ibid, Jilid II, 161 11
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
97 minimal dalam masalah-masalah peradilan. Sebagai pejabat kehakiman, Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan berhasil memperjuangkan madhhab Hanafi sebagai madhhab pengadilan di Bagdad pada pemerintahan Daulah Abasyiyah. Bahkan pemerintahan Usmania juga menjadikan madhhab hanafi sebagai madhhab resmi negara.dari situlah madzah hanafi dianut sebagian besar negara Iran, Mesir, Syam, hingga orang-oarng muslim India, Pakistan, Afganistan, dan orang-orang muslim Cina. b) Madhhab Maliki Madhhab Maliki dibentuk oleh Imam Malik Bin Annas Bin Malik Bin Abi ‟Amir Bin ‟Amar (93-179 H). Beliau adalah seorang faqih kelahiran Madinah dari ras Arabiah selatan, karena kedua orang tuanya berasal dari Yaman. Ayahnya bernama Anas Bin Malik berasal dari kabilah Ashbah, sedang ibunya bernama Al‟aliyah dari kabilah Azad. Berbeda dengan Abu Hanifa yang berasal dari keluarga pedagang. Malik lahir dari keluarga pengrajin. Ayahnya seorang pengrajin tanah. Namun tidak ada seorangpun dari putranya yang meneruskan tradisi usaha ayahnya itu. Bahkan salah seorang dari putranya itu (saudara Malik) bergerak dalam sektor perdagangan, dan malik turut bekerjasama dengan saudaranya itu, hingga dia bisa mandiri sebagai pedagang kain sutra. Inilah mnurut alqosim (muruid Malik), yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. 17 Pada usia remaja, ia memulai menghafal al-qur‟an dan seorang hafid yang baik. Kemudian, karena gelora belajarnay tumbuh kuat, dia minta saran pada ibunya tentang apa yng harus segera ia pelajari, dan tanpa guru yang harus ia datangi. Kemudian, ibunya menyarankan agar Malik mempelajari fiqh aliran rasional dari Imam Rabi‟ah Al-Ra‟yu, yang juga berada di Madinah. Di Majlis Rabi‟ah inilah Malik untuk pertama kali memperoleh pertama kali pelajaran-pelajaran fiqh, yang ia perdalam terus dengan mempelajari berbagai metodologi kajian hukumnya. Kemudian ia mantapkan ilmunya itu dengan belajar di majlis Yahya Bin Said, juga seorang faqih rasional yang dimiliki Madinah. 18 Di samping mempelajari fiqh dan teori-teori kajian hukumnya iti Malik juga mempelajari hadis nabi, antara lain dengan Abdu Al-Rahman Ibnu Nurmuz, seorang ulama hadis dari kalangan Tabiin, Nafi‟ Maulana Ibnu Umar, Ibnu Syibah Al-Zuhri dan Said Ibnu Musyyab. Hadis-hadis yang ia terima dari guru-gurunya itu, di tuangkan dalam suatu karya besar yang bernama al-Muwathah yang di susun dengan sistimatika fiqh. Disamping hadishadis nabi, dalam karyanya itu, Malik memasukkan tradisi masyarakat Madinah, perkataan sahabat dan tabi‟in dan bahkan fatwa-fatwa sendiri. Kendati para ulama hadis yang ia temui itu tergolong kelompok ulama tradisional, ia menolak pemakaian akal dalam kajian hukum, namun pengaruh Rabi‟ah dan Yahya Bin Said tetap kuat pada corak kajian fiqhnya. Dan hal ini terlihat pada metodologi kajian hukum Malik, yang bersumber pada al-qur‟an dan sunnah, kemudian analisis terhadap tradisi lokal masyarakat Madinah, serta fatwa-fatwa sahabat. Kalau kesemuanya itu tidak menjawab terhadap berbagai persoalan furu‟iyah yang dihadapinya, Malik melakukan kajian analogis, Maslahah al- Mursalah, Istihsan dan Al-dariah. c) Madhhab al-Syafi’i Madhhab ini di bentuk oleh Muhammad Bin Idris Bin al-Abbas, Bin Ustman, Bin Syafi‟, Bin al-Saib, Bin Ubad, bin Abduyazid, Bin hasyim. Dan kemudian,ia popular dengan nama imam al-Syafi‟I yang di nisbahkan pada kakeknya yang bernama syafi‟i. al-Safi‟I merupakan seorang mujtahid mustaqil ras Arab asli dari keturunan quraisy dan berjumpa nasab dengan Rosulullah pada Abdu al-Manaf. Al-Safi‟I dilahirkan di Ghuzzah, suatu perkampungan di luar kota Mekkah pada tahun 150 H., dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H. tidak lama setelah kelahirannya, ayah alSyafi‟I meninggal dunia, dan ibunya membawa dia ke kota Mekkah, karena di samping kota 17 18
Ibid, 199 Ibid, Jilid II, 178
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
98 ini sanagt potensial untuk menembangkan kemampuan putranya, juga merupakan kota leluhurnya. Setelah cukup matang, al-syafi‟I mulai menghafal al-qur‟an dan telah sempurna menjadi seorang hafid pada usia 9 tahun. Kemudian beliau mempelajari bahasa Arab Fasokhah di perkampungan Banu Hudzail, karena di perkirakan masyarakat kabilah inilah yang masih memakai bahasa arab sebagaimana yang berkembang pada masa Nabi dan sahabat. Langkah ini dimaksudkan untuk keluarganya agar al-Syafi‟I kelak dapat mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dengan baik. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap al-qur‟an dan al-sunnah. Dia tinggal tidak kurang dari 3 tahun di perkampungan Banu Hudzail sambil menghafal syair-syair Arab, memahami ilmu bayan dan berbagai segi kebahasaan lainnya. Kemudian ia belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di masjid al-Haram dari dua orang mufti besar, muslim Bin khalid dan Sofyan Bin Uyainah sampai al-Syafi‟I matang dalam ilmu fiqh. Ketika usianya hamper 20 tahun Muslim Bin Khalid berkata kepadanya, “segenap pengetahuanku telah engkau pahami dengan baik dan kini engkau telah dapat berfatwa disini”. 19 Akan tetapi, al-Syafi‟I tidak tertarik untuk segera melakukan tugas yang dipercayakan kepadanya itu, bahkan berobsesi untuk memperoleh guru lain guna memperkaya pengalaman keilmuannya. Untuk itulah dia berangkat ke Madinah untuk belajar dengan Imam Malik, setelah sebelunya ia menghafal al-Muwatha karya guru barunya itu. Dengan diantar wwalikota Madinah atas rekomendasi Walikota Mekkah, al-Syafi‟I menemui Malik, dan diterima secara hormat di kediamannya. Kemudian dia belajar denagn malik sambil membantunya mengajar karena penguasaannya terhadap al-Muwatha sudah cukup baik. Namun pada tahun 179 H., Malik meninggal dunia, dan ia pulang ke yaman kampong halaman ibunya ini, al-Syafi‟I bekerja sebagai pegawai pemeintah dari dinasti bani Abbas. Akan tetapi, tidak lama kemudian, ia dituduh lekat dengan kelompok Alawy partai oposisi bani Abbas, sehingga al-Syafi‟I dikirim ke Bagdad untuk diintrogasi Harun al-Syafi‟I Khalifah bani Abbas saat itu. Namun berkat kepintarannya, al-Syafi‟I bebas dari tuduhan, bahkan oleh Harun al-Rasyid, dia diserahkan kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani, salah seorang qadhi yang beraliran hanafi. Dengan al-Syaibani inilah, al-Syafi,I mempelajari pokok-pokok aliran madhhab hanafi, sehingga lengkaplah pengetahuan fiqh beliau, dari aliran tradisional, rasionalisme Madinah dan Rasionalisme Iraq. Setelah itu, al-Syafi‟I mulai melakuakn kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqh, bahkan menyusun metodologi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisionalisme, serta mengkritik kajian rasional, baik aliran madinah maupun kufah. Dalam kontek kajian fiqhnya, al-Syafi‟I mengemukaakn pemikiran, bahwa hukum Islam itu harus bersumber pada Al-qur‟an dan al-Sunnah, serta ijma‟. Dan kalau ketiganya belum memapatkan ketentuan hukum yang jelas dan pasti mengenai persoalan-persoalan furu‟ yang dihadapinya, al-syafi‟I mempelajari perkataan-perkataan sahabat, dan baru terakhir melakukan qias dan istishab. d) Madhhab Hambali Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madhhab Hambali. Beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambali bin Hilal, kelahiran Baghdad tahun 164 H., dan meninggal tahun 241 H., jiga di Bagdad. Kedua orang tuanya keturunan Arab dari kabilah Syaiban, dan berjumpa nasab dengan Nabi pada Nazar. Kakeknya (Hambal) adalah seorang pejabat politik, ia sempat menjadi kepala pemerintah wilayah Sarkhas di Persia pada Zaman Amawy. Namun kemudian menjadi pendukung Abbasiyah, pada saat kekuatan politik Amawy mulai merosot, sehingga ayahnya (Muhammad Bin Hambal) dipercaya sebagai salah seorang pemimpin kompi
19
Abdullah Musthafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin...., 127
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
99 pasukan perang Abbasiyah, dan meninggal dunia pada usia 30 tahun karena terbunuh dalam peperangan, sehingga Ahmad tidak sempat mengenal ayahnya dengan baik. 20 Ahmad kemudian dibina atas pengawasan pamannya. Dan selayaknya para pelajar saat itu, Ahmad diarahkan untuk menghafal Al-Qur‟an, mempelajari bahasa Arab, hadisthadist Nabi, atsar sahabat dan tabi‟in. Ia mulai mempelajari hadist-hadist Nabi pada tahun 179 H., di Bagdad yang ia jalani kurang lebih tujuh tahun, kemudian kmelakukan perjalanan ke Bashrah tahun 186 H. Kemudian tahun berikutnya, ia pergi ke Kufah, lalu ke Hijaz, dan bahkan ke Yaman, yang kesemuannya itu ia lakukan dalam rangka mempelajari haditshadits Nabi. 21 Sementara itu, ilmu-ilmu fiqh beserta metodologi kajian hukumnya untuk pertama kali ia pelajari dari Abu Yusufdi Bagdad. Akan tetapi, teori-teori abu yusuf ini dimentahkan kembali oleh al-Syafi‟I, ketika ia belajar dengan tokoh aliran tradisional ini di Hijaz. 22 Dan kemudian dia mengembangkan fiqh tradisional dengan lebih banyak mempergunakan alSunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa-fatwa fiqhnya. Dua bidang ilmu, hadits dan fiqh inilah yang menjadi kesibukan utamnya, srhingga menurut muruid-muridnya, Ahmad hidup amat sederhana. Tidak mempunyai amat pencaharian tetap sebagai Abu Hanifah dan Malik, dan juga tidak memperoleh fasilitas dari pemerintah sebagaimana Imam Syafi‟i. Sumber keuangan yang sering mendatangkan hsil bagi dia adalah warisan rumah dan tanah serta peralaatn penyulaman yang sering ia sewakan pada orang-orang yang memerlukan. 23 Seluruh waktunya ia habiskan untuk melakukan analisis terhadap hadits-hadits Nabi yang disusunnya dalam sistematika isnad, sehingga lahir karya besarnya Musnad Ahmad bin Hambal, yang ditulis atas bantuan muridmuridnya terutama Abdullah putranya sendiri. Karya terbesar dia memang dalam bidang hadits, sehingga wajar kalau dia digolongkan sebagai ulama hadits. Akan tetapi, dia juga melahirkan fatwa-fatwa fiqh, dan mempunyai spesifikasi dalam kajian fiqhnya serta ada pengikut yang memperkembangkan teori-teori kajian hukumnya itu, sehingga terbentuk madhhab hambali, denagn nash-nash alQur‟an dan al-Sunnah sebagai sumber hukumnya, kemudian menerima dan menganalisis perkataan-perkataan sahabat, dan dalam keadaan-keadaan tertentu dia melakukan kajian analogis. e) Madhhad-Madhhab yang Tidak Berkembang Lagi selain empat madhhab di atas, di kalangan Sunni pernah muncul madhhab-madhhab lain yang kini sudah tidak berkembang lagi, yaitu madhhab dzahiri, Auza‟I dan Laits. Madhhab Dzahiri dipelopori oleh Daud bin Ali al-Asfahani (2002-207H). dia pernah mempelajari fiqh madhhab Syafi‟I di Bagdad, tapi kemudian ia mengkritik nadzhab fiqh yang ia pelajari itu, dan melahirkan teori-teori baru dalam kajian hukunmnya. Sasaran kritiknya adalah tradisi kajian ijtihad „aqli al-syafi‟I yang bertumpu pada qias dengan menolak istihsan. Dan karena itulah al-Syafi‟I dianggap tidak konsisten, sebab ia kritik istihsan tapi memakai qias, padahal menurutnya qias dan istihsan adalah sama. Kemudian Daud mengemukakan teori kajian hukum yang lebih menekankan pada pemahaman literalis untuk diaplikasikan pada kenyataan kehidupan mukallaf. Dan itulah menurutnya yang disebut sebagai istidlal. Dengan demikian menurutnya, sumber hukum itu adalah Al-Qur‟an dan al-Sunnah. Kemudian ijtihad menurutnya hanay dapat dilakukan untuk mengamplikasikan pesan ayat pada kehidupan dan perbuatan-perbuatan mukallaf.
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah...,, II,280 Ibid, Jilid II, 283 22 Ibid, Jilid II, 285 23 Ibid, Jilid II, 304 20 21
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
100 Ijtihad semacam ini biasa ia sebut dengan istidlal.24 Karena pendekatannya yang bertumpu pada makna dzahir ayat, madhhabnya ini popular dengan nama madhhab Dzahiri. Kemudian madhhab Auza‟I yang dibentuk oleh Abdu al-Rahman bin Muhammad alAuza‟I (88-157). Beliau mengembangkan madhhabnya di Syria bahkan sempat tembus ke Andalusia. Madhhab ini tergolong aliran tradisional sesuai dengan latar belakang Auza‟I sendiri sebagai seorang perawi hadits. Salah satu kelebihan Auza‟I adalah mengembalikan semua persoalan furu‟ dan hadits Nabi, tanpa melakukan kajian analogis. Dan tidak termasuk mujtahid yang menentang penggunaan qias. 25 Adapun Madhhab Laits adalah madhhab fiqh yang berkembang di Mesir, dan dikembangkan oleh Laits bin Sa‟ad (94-175 H) seorang putra Mesir asli. Menurut Muhammmad Bultaji, Laits tergolong ulama hadits tetapi cukup dinamis dalam berijtihad. Di samping merupakan hasil telaah terhadap al-Qur‟an dan al-Sunnah pemikiran-pemikiran fiqh Laits juga merupakan hasil telaah terhadap ijma‟ sahabat, fatwa sahabat, hasil kajian analogis, al-Dzari‟ah dan istishab. 26 Dia banyak mengkritik Malik terutama soal tradisis local masyarakat Madinah yang senantiasa dirujuknya sebagai ketentuan hukum. 2. Madhhab-Madhhab Fiqh dari Golongan Suni a) Madhhab Zaidiyah Madhhab Zaidiyah dikembangkan oleh zaid bin Ali Abidin, bin Husein, bin Ali bin Ani Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H., dan meninggal dalam peperangan melawan rezim Amawy pada tahun 122 H. Beliau mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari ayahnya sendiri Ali Zainal Abidin. Namun ketika ayahnya meninggal tahun 94 H., kemudian dia belajar dengan saudaranya albaqir bersama-sama dengan Ja‟far keponakannya sendiri. Tapi tidak lama kemudian, dia berangkat menuju Kufah dan berjumpa Wahil bin Atha seorang ulama Mu‟tazilah dan berjumpa para ulama tabi‟in lainnya di kota ini. 27 Kontak Zaid dengan para ulama Suni di luar keluarga keturunan Rosul (Alu al-baid), membuat sikap sdan pemikirannya memdekati pemikiran suni, termasuk dalam soal kajian fiqh. Pemikiran-pemikiran fiqhnya bersumber pada al-Qur‟an dan al-Sunnah (dari sanat keluarga Rosul), kemudian, kalau keduanya tidak menyatakan secara pasti ketentuanketentuan hukum bagi persoalan furu‟ yang dihadapinya, ia melakukan kajian qias sebagaimana para ulama suni. Dan terakhir menggunakan Ro‟yunya secara bebas, 28 yang dijamin kebenarannya berdasar pada doktrin kemaksuman imam. b) Madhhab Ja’fariyah Madhhab ja‟fariyah dikembangkan oleh Ja‟far al-Shodq Ibnu Muhammad al-Baqir (80148 H). Sebagaimana Zaid, ja‟far mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari kakeknya yaitu Ali Zainal Abidin. Namun setelah kakeknya meninggal dunia (94 H). Dia terus dibina oleh ayahnya sendiri Muhammad al-Baqir. Peluang untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dengan baik terbuka lebar, karena dia merupakan pusat kajian ilmu-ilmu keagamaan, yang di dukung oleh para ulama hadits yang sekaligus juga fuqoha. Kakeknya sebdiri (ayahibunya) yaitu Qasim bin Muhammad merupakan salah seorang dari tujuh serangkai ulama Madinah dan Ja‟far banyak mempelajari hadits-hadits Nabi serta giqh dari kakeknya itu. 29 Setelah Qasim meninggal (108 H) Ja‟far terus belajar dengan ayahnya sendiri sampai matang betul baik dalam hadits maupun fiqh. Ciri tradisionalisme dan Syi‟ismenya terlihat Ibid, Jilid II, 288 Khudari Bik, Tarikh Tasyri’ al Islam (Maktabaha Tiajariyah Qubra, 1977), 266. Lihat pula Dede Rasyada, Hukum Islam… 158 26 Muhammad Baljati, Manhaj al-Tasyiri al-Islami fi al-Qarni al-Tsani al-Hijri (Saudi Arabia:Univ. Islam bin Sa‟ud), Jilid II,539. Ibid 27 Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Shadir,t,th.)Jilid VIII,. 306 28 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah..., Jilid II 494 29 Ibid, Jilid II, 505 24 25
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
101 dalam pola kajian fiqh Ja‟far yang hanya bersumber pada Al-Qur‟an dan al-Sunnah serta pemikiran Imam sendiri yang berpijak pada maslahah. Akan tetapi, kalau Zaid menggunakan Qias sebaliknya Ja‟far menolaknya secara keras, bahkan menyatakan bahwa qias itu adalah tradisi Iblis. 30 Dia beragumentasi bahwa iblis membandingkan dirinya dengan Adam seperti terlihat pada ayat 76 surat Shad. Penutup Uraian di atas memperlihatkan bahwa umat Islam mewarisi dua hal penting, yaitu AlQur‟an dan al-sunnah sebagai sumber hukum ajaran, dan sejarah dinakima kajian hukum yang telah dilakukan para ulama tempo dulu, beserta seperangkat produk-produk pemikirannya dan toeri-teori kajian hukum mereka. Sejarah ini diperlihatkan bahwa peoses penerapan ajaran Islam itu, perlu analisis nalar kaum terdidik, karena doktrin-doktrin Al-Qur‟an dan al-Sunnah itu bersifat konstan dan tidak mengalami perubahan setelah habisnya masa risalah Muhammad, sementara dinamika sosial telah melahirkan perubahan-perubahan besar dalam tata kehidupan umat Islam sendiri. Proses aplikasi ajaran-ajaran Islam terhadap berbagai fenomina sosial yang senantiasa berubah inilah yang menuntut dilakukannya kajian-kajian ijtihad. Para ulama pada abad ke-2,3,dan 4 hijriyah, telah menunjukkan semangat ijtihad yang amat tinggi, bahkan melampaui batas-batas kebutuhan sosiologis, sehingga lahir fatwafatwa hukum yang bercorak iftiradhi, yakni fatwa-fatwa teoritis dengan jangkauan proyeksi masa depan.Namun justru semangat mereka itu membuat para ulama sesudahnya bersikap apatis terhadap ijtihad, karena itu muncullah madhhab dalam fiqh. Pemikiran para ulama madhhab ini sangat berpengaruh pada ulama generasi sesudahnya sehingga mereka yang berada pada posisi suatu madhhab berusaha mengembangkan pemikiran gurunyadi lingkungan masyarakat luas. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran itu menjadi rujukan masyarakat dalam pengambilan dan penetapan hukum. Daftar Rujukan Abdullah Mustafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi Taqabat al-Ushuliyyin, Muhammad Amin, Ramj, 1974, Jilid I.. Abu Ameenah bilal Philip, The Evolution of Fiqh Islamic law and Madhabs. Terj. M. Fauzi Arifin, Bandung: Nusa Media. 2005. Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Muzhahib al-Fiqhiyyah, Mesir: Dar alFikr al-Arabi. Dede Rasyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: rajawali Press, 1993. Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-tasyri’ al-Islami, Beirut: Dar al-Shadir,tt, Jilid VIII. Ibnu Hajar al-‟Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Beirut: Dar al-Shadir,tt. Khudari Bik, Tarikh Tasyri’ al Islam, Maktabaha Tiajariyah Qubra, 1977. Muhammad Baljati, Manhaj al-Tasyiri al-Islami fi al-Qarni al-Tsani al-Hijri, Saudi Arabia:Univ. Islam bin Sa‟ud, Jilid II. Muhammad Ibn Hasan al-Hajwi, Al-Fikr al-Sami, Madinah: Maktabah Ilmiah, 1977. Mun im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti; 1995. Norman Anderson, Law Reform In the Muslem World, London: The Athlone Press, 1076. Satria Effendi, Madhhab-Madhhab Fiqh Sebagai Alternatif, Jakarta: IIQ, 1990. Taha Jabir Fayyad al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, Qatar: Ummah, 1405 H. Qadri Azizy Elektisisme Hukum Nasional, Yogjakarta: Gama Media, 2002.
30
Ibid, Jilid II, 538
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014