Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
MEDIA KAMPANYE PILBUP KUDUS TAHUN 2013 DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ISLAM Primi Rohimi1 Abstract The media is used as a means of introduction to constituents and as a means of political campaigns. Of the phenomenon of mass media involvement in Kudus Regent Election 2013, especially in the campaign process interesting question arises about how Islam views the phenomenon of media in the election campaign. This question arises because the media is synonymous with dakwa media. In fact we can easily find the practice of political campaigns in dakwa activity. Media campaigns Kudus Regent Election less implementing Islamic etiquette in the campaign. Among them, sincere, obedience to all God's rules and regulations in force and the direction of the Party, show exemplary, honest, maintain brotherhood, educational, humble, and ishlah. Keywords: Media of campaign, Kudus Regent Election, Islamic Communication.
A. Pendahuluan Tren penggunaan media dalam Pilkada adalah hal menarik dalam komunikasi politik. Ini karena akhir-akhir ini banyak calon kepala daerah memanfaatkan berbagai media dalam proses Pilkada. Media digunakan sebagai sarana perkenalan dengan konstituennya dan sebagai sarana kampanye politik. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh masuknya praktek periklanan dan pemasaran dalam mengambil simpati pemilih. Media yang dimanfaatkan dalam proses Pilkada adalah media lini atas (above the line/ATL) maupun media lini bawah (below the line/BTL)2. Media lini atas dalam Pilkada berupa koran, majalah, radio, TV, dan internet. Media lini bawah dalam komunikasi politik berupa poster, spanduk, leaflet, sticker, dan event. Fakta di lapangan menunjukkan para calon kepala daerah umumnya memakai media lini bawah. Menjelang kampanye hingga masa kampanye banyak poster, spanduk, leaflet, sticker, dan event yang mempromosikan para calon kepala daerah tersebut. Sedangkan tren penggunaan media lini atas dalam proses kampanye adalah dengan internet dalam bentuk eksistensi pada sosial media seperti Facebook, Twitter, dan free blog lainnya. Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, el-Kasyf (Lembaga Kajian Agama, Sosial, Budaya dan Filsafat) melakukan penelitian yang salah satu variabelnya adalah 1 2
Penulis adalah Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus Meminjam istilah dari Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta : Erlangga
53
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
tentang peran media massa dalam Pilbup Kudus 2013. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan data tentang sumber pengetahuan responden berkaitan dengan Pilbup Kudus 2013. Responden mendapatkan informasi tentang Pilbup Kudus 2013 dari media massa sebesar 57%, sosialisasi KPU sebesar 8,2%, sosialisasi calon sebesar 7,1%, teman/saudara/tetangga sebesar 23,7%.3 Data tersebut menunjukkan besarnya fungsi media massa sebagai transmitter dan sender dalam komunikasi politik yang dalam hal ini adalah Pilbup Kudus 2013. Dari fenomena keterlibatan media massa dalam Pilbup Kudus 2013 khususnya dalam proses kampanye maka muncul pertanyaan menarik seputar bagaimana Islam memandang fenomena media kampanye dalam Pilkada. Pertanyaan ini muncul karena media kampanye identik dengan media dakwah. Bahkan kita bisa dengan mudah menemukan praktik kampanye politik dalam aktivitas dakwah. Kampanye politik dalam dakwah misalnya ketika calon bupati atau calon wakil bupati mengadakan acara pengajian atau bahkan menjadi da’i dalam acara pengajian. Pesan-pesan maupun persuasi politik mau tidak mau terjadi dalam praktik tabligh tersebut. Dalam kegiatan kampanye, para calon bupati Kudus 2013 hampir selalu memanfaatkan simbol yang dekat pada keseharian umat Islam, misalnya baju koko, kopiah, sarung, ungkapan, dan kegiatan islami. Pemanfataan cara-cara islami tersebut mampu menciptakan persepsi dan kedekatan calon bupati Kudus 2013 dengan konstituen mereka. Konstituen dikondisikan agar merasa bahwa para calbup adalah bagian integral dengan kepercayaan atau agama mereka. Tampilan para calbup mencerminkan bahwa mereka adalah individu yang dekat dengan nilai- nilai agama, dapat dipercaya, baik, dan jujur. Pemanfaatan cara-cara islami ini juga karena pertimbangan Kota Kudus yang islami. Banyak ulama besar, pesantren, jamaah fanatik ulama-ulama yang harus dilibatkan dalam proses kampanye. Dari latar belakang tersebut maka fokus dari artikel jurnal kali ini adalah media kampanye Pilbup Kudus tahun 2013 dalam perspektif Komunikasi Islam. Artikel ini merupakan hasil pengamatan di lapangan pada beberapa media kampanye lini atas (above the line/ATL) maupun media lini bawah (below the line/BTL). B. Signifikansi Penelitian Artikel ini adalah bagian dari kajian politik dan Komunikasi Islam yang sangat luas dan dinamis. Upaya untuk terus menggali berbagai aplikasi teori Komunikasi Politik dan Komunikasi Islam merupakan bagian dari proses demokrasi dan perubahan sosial.
3 Laporan hasil survei el-Kasyf Kudus tentang Sikap Masyarakat Kudus dan Elektabilitas Para Calon Bupati- Wakil Bupati dalam Pemilukada Kudus Tahun 2013
54
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Meskipun telah banyak kajian Komunikasi Politik dalam ranah politik lokal, namun aplikasinya dalam konteks Pilbup Kudus masih sangat sedikit. Kajian semacam ini bisa memberikan rekomendasi pada pihak terkait untuk menjadikan media massa berfungsi secara postif dalam dinamika politik lokal khususnya dinamika politik Kabupaten Kudus. C. Media Kampanye dalam Komunikasi Politik Lokal Kajian tentang penggunaan media dalam Komunikasi Politik dengan ruang lingkup politik lokal pernah ditulis oleh Monika Wutun.4 Monika meneliti tampilan citra Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya dalam berita politik di Surat Kabar Harian Pos Kupang dan Harian Pagi Timor Express dalam perspektif Public Relations politik. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis Wacana model Teun A.Van Dijk dengan paradigma kualitatif konstruktivisme. Monika menyimpulkan sebagian besar media massa di NTT memberitakan Gubernur dengan tampilan citra positif yang terwakilkan lewat surat kabar harian Pos Kupang dan harian pagi Timor Express. Penelitian lainnya ditulis oleh Ni Made Ras Amanda G. 5 Ni Made Ras Amanda meneliti pola penggunaan media massa dalam hal ini media cetak sebagai wadah komunikasi politik para calon kepala daerah dalam pemilihan umum kepala daerah di 5 (lima) kabupaten/kota di Bali pada tahun 2010. Penelitian tersebut berangkat dari keingintahuan mengenai dua hal. Pertama yakni bagaimana bentuk komunikasi politik yang digunakan para calon kepala daerah dalam berkampanye. Kedua, yakni bagaimana pola penggunaan media massa khususnya media cetak sebagai wadah komunikasi politik para pasangan calon kepala daerah. Lima kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilu kepala daerah yakni Denpasar, Tabanan, Bangli, Karangasem dan Badung. Sedangkan media cetak yang digunakan sebagai obyek penelitian yakni harian Bali Post, harian Nusa Bali dan harian Radar Bali. Hasil penelitian yakni bentuk komunikasi politik yang digunakan, hingga fluktuasi kuantitas komunikasi politik semasa masa kampanye. Salah satu hasil penelitian yang cukup menarik adalah adanya korelasi yang selaras antara tingginya kuantitas komunikasi politik pasangan calon kepala daerah dengan hasil pemilu kepala daerah. Sedangkan Benny Siga Butarbutar meneliti kinerja pers dalam meliput pemilihan kepala daerah di Depok pada tahun 2005.6 Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan ekonomi politik media. Teori-teori ekonomi politik Monika Wutun, “Analisis Berita Politik tentang Gubernur Nusa Tenggara Timur Di Media Massa Cetak (Studi Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk Pada Headline Pemberitaan Di Surat Kabar Harian Pos Kupang dan Harian Pagi Timor Express Dalam Perspektif Public Relations Politik Periode Agustus – September 2012)”, tesis, Universitas Padjajaran, 2013. 5 Ni Made Ras Amanda G., “Pola Penggunaan Media Massa sebagai Komunikasi Politik Calon Kepala Daerah (Studi Kasus:Pilkada 5 (Lima) Kabupaten/Kota Di Bali, 2010”, tesis, Universitas Udayana, 2013. 6 Benny Siga Butarbutar, “Dominasi Media Massa dalam Pemilihan Kepala Daerah: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pilkada Depok,” tesis, Universitas Indonesia, 2006. 4
55
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
mengarahkan penelitian tentang media pada analisis empiris struktur kepemilikan, kontrol media dan kekuatan pasar. Penelitian ini melihat pihak-pihak berkepentingan dalam pilkada mengkonstruksi realitas bagi kepentingannya masing-masing serta adanya saling mempengaruhi dari para kandidat dalam memperoleh akses ke media massa dan kepentingan pers dari kacamata ekonomi-politik. Sejauh ini, penelitian tentang dinamika politik lokal di Kabupaten Kudus lebih melihat dari sisi Islam dan kelompok marginal. Misalnya tesis yang ditulis oleh Zainuri yang mendiskripsikan konstruksi tradisi Islam lokal Kudus tentang partisipasi politik perempuan pada pemilu 2004 dan mendiskripsikan implikasi pemikiran tradisi Islam lokal Kudus terhadap kehidupan berpolitik perempuan di Kudus.7 Di antara hasil penelitian tersebut yakni Kudus merupakan kota religius. Dalam kehidupan, agama menjadi pilar dan pedoman sejak Sunan Kudus sampai saat ini. Oleh karena itu, kedudukan dan peran kiai pada masyarakat Kudus sangat tinggi dan strategis. Di samping itu, masyarakat Kudus selalu menaati dan mematuhi teks-teks kitab salaf (kitab kuning). Terjadi proses sosial masyarakat Kudus berupa pelonggaran terhadap kitab kuning sehingga perempuan dapat berperan dalam politik tetapi dengan syarat tetap memegang komitmen pada ajaran Islam untuk tetap menjaga etika Islam dalam bergaul dan berinteraksi dengan kaum laki-laki baik dalam etika berbicara, berpakaian atau lobi-lobi ataupun dalam melakukan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Penelitian tentang dinamika politik lokal di Kudus lainnya ditulis oleh Mohammad Sholihin.8 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku pemilih buruh rokok dalam pelaksanaan pilkada langsung di kabupaten Kudus. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor– faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih buruh rokok dalam Pilkada Kudus tahun 2008, adalah faktor juru kampanye atau tim sukses atau sabet, insentif atau hibah politik atau apapun namanya, identifikasi calon, isyu kampanye atau visi misi calon, identifikasi partai, dan pressure group atau kelompok penekan. D. Media Kampanye dalam Pilbup Kudus 2013 Kehidupan politik di Kabupaten Kudus cenderung stabil dan terkonsolidasi. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari hasil 2 pemilihan umum (pemilu) terakhir, yaitu Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pemilihan Umum Bupati Kudus 2013 dilaksanakan pada 26 Mei 2013 untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Kudus periode 2013-2018. Ada lima pasang kandidat peserta Pilbup Kudus 2013. Nomor urut 1 adalah pasangan kandidat Muhammad Tamzil Zainuri, “Partisipasi Politik Perempuan (Perspektif Tradisi Islam Lokal Kudus)” tesis, Universitas Diponegoro, 2007. 8 Mohammad Sholihin, “Perilaku Pemilih Buruh Rokok dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Kudus tahun 2008”, tesis, Universitas Diponegoro, 2009. 7
56
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
dan Asyrofi yang didukung oleh Partai Demokrat, PKNU, PIS. Nomor urut 2 adalah pasangan kandidat Badri Hutomo dan Sofiyan Hadi yang didukung oleh Partai Hanura, PKPB, PDK, PBR. Nomor urut 3 adalah pasangan kandidat Erdi Nurkito dan Anang Fahmi yang merupakan kandidat independen. Nomor urut 4 adalah pasangan kandidat Musthofa dan Abdul Hamid yang didukung oleh PDIP, PPP, Partai Gerindra, PPPI, Partai Pelopor, PAN, PKS. Nomor urut 5 adalah pasangan kandidat Budiyono dan Sakiran yang didukung oleh Partai Golkar, PDS, PNI Marhaenisme, PDP. Perolehan suara pasangan calon (paslon) Muhammad Tamzil dan Asyrofi sebanyak 140.402 (32%). Badri Hutomo dan Sofiyan Hadi 44.815 suara (10%). Erdi Nurkito dan Anang Fahmi sebanyak 11.639 suara (3%). Paslon Musthofa dan Abdul Hamid meraih 213.928 suara (48%). Budiyono dan Sakiran sebanyak 32.504 (7%). Masyarakat banyak mengetahui adanya pilkada, merupakan peran dari media massa, sosialisasi dari KPU, sosialisasi dari calon. Peran banner, spanduk, baliho dari para calon sebagai penyebar informasi pemilukada sangatlah berpengaruh pada masyarakat. Masyarakat Kudus mengenal beberapa calon Bupati-Wakil bupati melalui media massa baik itu lewat koran, banner, baliho maupun sosialisasi dari calon. Hal ini terlihat dari hasil penelitian El-Kasyf pada pertanyaan tersebut dan yang menjawab tahu sekitar 82 % sedangkan yang tidak tahu sekitar 15,9%.9 Tanda-tanda suatu daerah akan melaksanakan pemilihan umum adalah banyak ditemukannya berbagai spanduk, baliho, stiker para kandidat di setiap tempat. Model kampanye terselubung ini dilakukan oleh para kandidat agar dikenal oleh masyarakat luas. Inilah yang terjadi menjelang Pilbup Kudus dan Pilgub Jateng 2013. Publikasi tersebut setidaknya mengkondisikan masyarakat akan adanya momen pilkada. Ini dibuktikan dari hasil survey dari el-Kasyf atas pertanyaan apakah anda mengetahui tentang pilihan Kepala Daerah/Pilihan Bupati dan Wakil Bupati. Sebanyak 95,8% responden menyatakan mengetahui10. Fakta yang lebih menarik lagi dari survey tersebut adalah peran media massa baik cetak, audio, maupun audio visual. Sebesar 57% responden menyatakan bahwa pengetahuan mereka akan adanya pilkada bersumber dari media massa (cetak/ radio/tv, panflet/baliho).11 Tentu saja ketika masyarakat kemudian mengetahui akan adanya momen pilkada, masyarakat juga mengetahui calon-calon yang ada. Hasil survey membuktikan hal tersebut sebesar 82%.12 Popularitas calon Pilbup Kudus 2013 ternyata tidak sebanding dengan pengetahuan masyarakat atas program-program yang ditawarkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya 9
Survey el-Kasyf sebelum kampanye 2013 ibid 11 ibid 12 ibid 10
57
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
pertanyaan apakah anda tahu program-program yang dicanangkan oleh para Calon. Sebanyak 53,1% responden menyatakan tidak tahu. Ketidaktahuan masyarakat bisa jadi karena bentuk publikasi calon yang dilakukan adalah publikasi tokohnya atau dalam bahasa sekarang adalah popularitas dan pencitraan. Media dari calon dan media massa lainnya hanya mengcapture slogan dan foto wajah calon. Hampir tidak ada ruang dalam media promosi maupun media massa untuk menguraikan program para calon. Hal-hal tersebut merupakan ruang lingkup komunikasi politik. Komunikasi Politik dalam pemilihan umum harus disertai teknik-teknik Komunikasi Politik yang tepat dan baik agar pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Komunikasi politik termasuk di dalamnya adalah penggunaan media massa dan iklan politik. Sehubungan dengan kampanye oleh tim sukses dengan menggunakan media penyiaran, KPID sesuai kewenangannya, sudah mengatur hal yang wajib ditaati oleh semua lembaga penyiaran (LP) di Jateng. Terkait dengan proses hitung cepat (quick count), lembaga penyiaran dilarang menyiarkan hasil, sebelum proses pencoblosan dinyatakan selesai oleh penyelenggara pemilihan umum. Artinya, penghitungan cepat hasil pilkada baru boleh disiarkan atau ditayangkan setelah pukul 13.00. Media penyiaran adalah wahana pendidikan politik yang efektif bagi masyarakat. KPU Kudus menjalin kerja sama dengan enam stasiun untuk membantu sosialisasi Pemilu Bersama 2013. Keenam radio itu adalah Radio Pop FM Kudus, Radio Muria, Radio Yasika FM, Radio Suara Kudus, UMK Radio, dan Radio Buana Kartika (RBK). Bentuk sosialisasi melalui stasiun radio adalah degan cara talk show mengenai mekanisme penyelenggaraan Pemilukada. Sosialisasi yang telah dilakukan dengan beragam cara seperti talk show di sejumlah stasiun radio dapat menekan angka golput. KPU Kabupaten Kudus membuat aneka macam media sosialisasi. Seperti pulpen, gantungan kunci, baliho, korek api, dan tentunya stiker. Masing-masing media yang diproduksi mempunyai segmentasi. Korek misalnya, ditujukan untuk bapak-bapak. Sedangkan pulpen untuk pelajar. Dalam rangka sosialisasi tentang Pemilu Bersama 2013 kepada masyarakat, KPU Kudus memproduksi oneway atau stiker yang tembus pandang. Selain dipasang di mobil KPU, beberapa mobil angkutan kota juga ditempeli media sosialisasi itu. Media ini termasuk efektif, karena angkutan itu mobile (bergerak), sehingga menjangkau banyak orang. Isi pesan yang ada dalam media sosialisasi itu berupa ajakan memerangi politik uang dan mengingatkan tanggal hari H.
58
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
E. Media Kampanye Pilbup Kudus 2013 dalam Perspektif Islam Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu, untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.13 Kampanye adalah upaya mempropagandakan partai dan program-programnya dalam rangka menarik dukungan dan simpati masyarakat. Kampanye merupakan bagian penting dalam percaturan politik. Melalui kampanye, suatu partai dapat memperkenalkan programprogramnya, sekaligus dapat menarik simpati pemilih agar memberikan hak suara dan dukungan mereka kepada partai tersebut. Dari pemahaman tersebut, kampanye memiliki kesamaan dengan dakwah. Oleh karena itu, pelaksanaan kampanye perlu diatur agar sesuai dengan e tika Islam, dan tidak menyimpang dari garis-garis yang ditetapkan Syari'at Islam. Allah SWT berfirman dalam surat An Nahl ayat 125 yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik". Sedangkan hadits Nabi yang artinya: "Barang saipa yang menunjukkan pada kebaikan maka baginya mendapat pahala seperti orang yang melakukan kebaikan tersebut" (HR Muslim). Berkampanye harus sesuai dengan adab-adab Islam, di antaranya, pertama, ikhlas. Ikhlas dan membebaskan diri dari motivasi yang salah dan rendah. Kampanye dalam Islam merupakan bagian dari amal shaleh dan ibadah, maka dari itu perlu diperhatikan keikhlasan niat dan ketulusan motivasi setiap hati nurani para penyelenggara, peserta terutama da’i dan juru kampanye. Agar kampanye yang dilakukan tidak hanya berdampak pada masalah-masalah keduniaan, tetapi juga mendapat keridhaan dan keberkahan Allah SWT. serta pahala kebaikan di akhirat. Allah SWT. berfirman dalam surat Al Bayyinah ayat 5 yang artinya "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus". Pada saat kampanye, faktor-faktor yang merusak keikhlasan harus dijauhi. Arogansi atau kesombongan yang disebabkan oleh banyaknya pengikut atau kelebihan lain, juga harus dihindari. Allah SWT. berfirman dalam surat Al Anfal ayat 47 yang artinya "Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan". Adab kampanye yang ke dua, ketaatan. Taat kepada s eluruh aturan Allah, perundangan yang berlaku, dan arahan Partai. Pada saat kampanye, terkadang larut dalam berbagai acara dan pembicaraan yang membuat lupa atau mengabaikan ketaatan kepada Allah, seperti kewajiban shalat. Bagi seorang muslim, saat berkampanye jangan
13 Peraturan KPU No.17 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
59
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
sampai mengabaikan ketaatan kepada Allah apalagi sampai kepada tingkat melalaikan diri dan orang lain dari jalan Allah. Demikian halnya dengan ketaatan kepada aturan yang berlaku, dan arahan partai yang berkenaan dengan kampanye sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri, hendaknya diperhatikan. Adab kampanye ke tiga Uswah (Keteladanan). Menampilkan dan Menyampaikan Program-program Partai dengan Cara dan Keteladanan yang Terbaik (Ihsan). Di antara etika kampanye yang terbaik dan simpatik adalah mengedepankan keunggulan partai yang bersangkutan, tanpa perlu menjelekkan dan mengejek orang, partai atau golongan lain seperti black campaign. Partai yang baik dan program yang bagus juga harus disampaikan dengan cara yang bagus dan profesional. Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik-baiknya (ihsan) dalam segala sesuatu" (HR. Muslim). Di antara kampanye yang efektif adalah dengan cara memberi keteladanan yang terbaik. Bahasa perilaku sering lebih efektif daripada bahasa lisan. Kampanye adalah memikat dan menarik simpati orang. Rasulullah saw. Bersabda "Mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya" (HR. Abu Dawd, At Tirmidzi, Ahmad). Adab kampanye ke empat Shidq (Kejujuran). Jujur, Tidak Berdusta /Berbohong atau Mengumbar Janji Kejujuran merupakan salah satu kunci sukses berkomunikasi politik. Berbagai kebaikan akan menyertai kapan, dimana, dan siapa saja yang komitmen dengan kejujuran. Kampanye tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan luhur tidak boleh dirusak oleh cara yang kotor. Berbohong adalah perbuatan terlarang dalam Islam, apalagi yang dibohongi itu orang banyak, sudah tentu bahayanya lebih berat. Berbohong adalah menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Rasulullah SAW. Besabda "Berpeganglah kamu dengan kejujuran, karena jujur itu menujukkan (jalan) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan (jalan) ke sorga. Dan seseorang yang senantiasa jujur dan selalu menjaga kejujuran sampai dicatat disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan janganlah kamu berdusta, karena dusta mengantarkan pada kemaksiatan (kecurangan) dan kemaksiatan (kecurangan) itu mengantarkan ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta dan terus melakukan dusta sampai dicatat disisi Allah sebagai pendusta" (HR. Muslim). Kondisi yang tidak terkendali, juga bisa mengakibatkan seseorang larut dalam perilaku dan orasi yang cenderung mengumbar janji muluk yang tidak mungkin dilaksanakan. Hal ini harus diperhatikan oleh seorang da'i/ juru kampanye. Janji pasti akan dipertanggungjawabkan di Akhirat. Allah SWT. berfirman dalam surat Al Israa':34, artinya: "Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya". Adab kampanye ke lima Ukhuwwah (Persaudaraan). Tetap Menjaga Ukhuwah (Peraudaraan), Tidak Ghibah, Caci Maki, dan Cemooh. Kampanye bukanlah arena untuk memuaskan selera dan hawa nafsu. Perkataan yang diucapkan dan sikap yang ditampilkan harus senantiasa mencerminkan rasa ukhuwah Islamiyah. Tidak boleh 60
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
berprasangka buruk apalagi melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan, karena hal itu akan menimbulkan kerenggangan dan perseteruan yang mengganggu ukhuwah. Allah SWT berfirman dalam surat Al Hujuraat 10, artinya: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat". Rasulullah SAW. Bersabda "Janganlah saling hasad, saling membuka aib, saling benci, saling berpaling, dan janganlah kalian menjual dagangan saudaramu, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Muslim dengan sesamanya adalah saudara, tidak saling menzhalimi, saling menghina, meremehkan. Takwa letaknya ada disini (Rasulullah SAW menunjuk pada dadanya 3x ). Seorang sudah cukup dianggap jahat jika menghina saudaranya. Setiap muslim dengan sesamanya adalah haram; darah, harta dan kehormatannya"(HR. Muslim). Dalam kampanye juga tidak dibolehkan mengeluarkan kata-kata yang melukai harga diri dan martabat seseorang atau lembaga yang dihormati oleh Syari'at. Allah SWT berfirman di surat Al Hujuraat 11 dan 12, artinya: "Hai orangorang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelargelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". Rasulullah SAW. Bersabda "Mencaci maki seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya suatu kekafiran." (Muttafaqun 'alaihi). Adab kampanye ke enam Tarbawy (Edukatif). Komitmen dengan Nilai-Nilai Edukatif, Persuasif dan Tidak Memaksa atau Mengancam/Mengintimidasi, Tertib dan Tidak Menggangu, dan Menghindari Acara yang Kurang Bermoral. Kampanye adalah salah satu sarana pendidikan politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kesantunan, di samping sebagai sarana da’wah yang memiliki makna mengajak dengan cara persuasif, tidak memaksa atau mengintimidasi. Dalam kampanye tidak boleh memaksa dan memaksakan kehendak kepada orang lain. Termasuk mempengaruhi dan mempolitisir supaya menerima dan memberikan hak pilihnya kepada partai tertentu dengan berbagai cara yang bersifat memaksa atau terpaksa, seperti dengan cara politik uang. Dengan demikian, kampanye edukatif ini menuntut setiap partai dan juru 61
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
kampanye/da’i agar lebih inovatif, kreatif, dan proaktif. Massa pemilih mempunyai hak dan kebebasan memilih suatu partai sesuai dengan pilihan hati nurani. Sebagaimana dalam memeluk agama, manusia diberikan hak untuk beragama sesuai keyakinannya, apalagi dalam hal berpartai. Allah SWT. berfirman dalam surat Al Baqaarah: 256, artinya:" Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat". Saat kampanye, juga harus diperhatikan hak orang lain terutama hak jalan. Jika kampanye menggunakan cara pengerahan masa dan sejenisnya, maka harus dilakukan secara tertib dan terkendali. Hak pengguna jalan harus diberikan dan dilarang merusak atribut partai lain. Rasulullah SAW.bersabda “Jauhi oleh kamu duduk di (pinggir) jalan. Mereka berkata: Wahai Rasululah, kami tidak bisa menghindari duduk (di pinggir jalan) (saat) kami (perlu) bercerita. Maka Rasulullah SAW. bersabada (lagi): Jika kamu sekalian enggan (dan tetap harus duduk di) majelis (tersebut), maka berikanlah hak jalan. Mereka berkata: Apakah hak jalan itu? Beliau bersabda: menjaga pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam, dan ama ma’ruf serta nahyi munkar.” (HR. Muslim) Rasulullah SAW.bersabda Artinya: "Janganlah menimbulkan kerusakan pada diri sendiri dan orang lain" (HR, Malik, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Daruqutni). Demikian pula dengan acara atau hiburan yang tidak mendidik bahkan cenderung tidak moral. Karenanya harus dihindari hiburan yang menampilkan unsur pornografi-pornoaksi dan hal-hal yang dilarang oleh agama, aturan maupun adat. Rasulullah saw. Bersabda “Dan seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang Allah larang”. (HR. Bukhari). Adab kampanye ke tujuh Tawadlu’ (Rendah Hati). Rendah Hati, Tidak Menyombongkan Diri, dan Tidak Mudah Menuduh Orang Lain. Akhlak Islam mengharuskan agar suatu partai tidak menganggap dirinya paling baik apalagi paling benar, misalkan anggapan partainyalah yang paling Islami, sedang orang lain dan partai lain tidak ada yang benar. Juga tidak mudah menuduh kalangan lain melakukan suatu kesesatan atau perbuatan bid’ah. Cara ini bukan cara yang Islami. Menyampaikan keunggulan sendiri boleh saja, tetapi tidak harus mengklaim apalagi menyombongkan diri sebagai yang terbaik atau paling Islami. Mengakui keterbatasan diri sebagai manusia dan keterbatasan partai sebagai kumpulan komunitas manusia adalah bagian dari sifat rendah hati yang disukai siapapun. Selanjutnya menggantungkan rencana dan program pada Allah SWT. Tujuan berpolitik dalam Islam tidak lain adalah mencari ridha-Nya. Allah SWT. berfirman di surat An Najm 32, artinya: "Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa". Rasulullah saw. Bersabda ‘Barangsiapa yang rendah hati untuk Allah satu derajat, niscaya Allah mengangkatnya satu derajat sampai menjadikannya di kalangan orang-orang tertinggi, dan siapa saja yang menyombongkan diri terhadap Allah satu derajat, maka Allah akan menurunkannya satu derajat sampai menjadikannya di kalangan orang-orang paling rendah.’ (HR. Ahmad). 62
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Adab kampanye ke delapan Ishlah (Perbaikan). Memberikan Nilai Kemaslahatan, Solusi, dan Perbaikan bagi Seluruh Bangsa. Kampanye hendaknya dapat memberi kemaslahatan bagi bangsa baik material maupun spiritual, dan menghindari kampanye yang tidak berguna, sia-sia, apalagi menimbulkan dosa. Dalam hal pembuatan spanduk, stiker, atau perangkat kampanye lain, juga harus memuat pesan yang baik bagi masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda, "Di antara kebaikan Islam seseorang, (dia) meninggalkan apa-apa yang tidak berguna" (HR. Malik, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Kampanye yang mengarah langsung pada problem solving (pemecahan masalah) yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, seperti menggagas penyelamatan bangsa, shilaturrahim, aksi-aksi kepedulian sosial, advokasi, penyuluhan hukum, dan ceramah agama, lebih baik dari hanya sekedar slogan kosong. Rasulullah SAW. Bersabda "Wahai manusia sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah hubungan silaturahim, dan shalat malamlah ketika manusia tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat" (HR Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan Hakim dalam Mustadrak-nya mengatakan shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim). F. Penutup Media kampanye Pilbup Kudus kurang menerapkan adab berkampanye dalam Islam. Di antaranya, ikhlas; taat kepada s eluruh aturan Allah, perundangan yang berlaku, dan arahan Partai; menampilkan keteladanan; jujur; menjaga ukhuwah; edukatif); rendah hati; dan ishlah.
DAFTAR PUSTAKA Benny Siga Butarbutar, “Dominasi Media Massa dalam Pemilihan Kepala Daerah: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pilkada Depok,” tesis, Universitas Indonesia, 2006. Changara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada. Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta : Erlangga Laporan hasil survei el-Kasyf Kudus tentang Sikap Masyarakat Kudus dan Elektabilitas Para Calon Bupati- Wakil Bupati dalam Pemilukada Kudus Tahun 2013 Mohammad Sholihin, “Perilaku Pemilih Buruh Rokok dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Kudus tahun 2008”, tesis, Universitas Diponegoro, 2009.
63
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Monika Wutun, “Analisis Berita Politik tentang Gubernur Nusa Tenggara Timur Di Media Massa Cetak (Studi Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk Pada Headline Pemberitaan Di Surat Kabar Harian Pos Kupang dan Harian Pagi Timor Express Dalam Perspektif Public Relations Politik Periode Agustus – September 2012)”, tesis, Universitas Padjajaran, 2013. Ni Made Ras Amanda G., “Pola Penggunaan Media Massa sebagai Komunikasi Politik Calon Kepala Daerah (Studi Kasus:Pilkada 5 (Lima) Kabupaten/Kota Di Bali, 2010”, tesis, Universitas Udayana, 2013. Peraturan KPU No.17 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Refika Aditama. Steinberg, A., 1981. Kampanye Politik Dalam Praktek, PT Intermasa. Survey el-Kasyf sebelum kampanye 2013 Venus, Anatar. 2004. Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Bandung : Simbiosa Rekatama. Zainuri, “Partisipasi Politik Perempuan (Perspektif Tradisi Islam Lokal Kudus)” tesis, Universitas Diponegoro, 2007.
64
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
HAK POLITIK PEREMPUAN: Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah14 Abstract Efforts to build alliances and specialized cooperation is needed to change perceptions regarding women's leadership, especially with female leadership disseminate credible, effective, and better than men in various fields and at all levels of society. All women should know that as a leader, he must wrestle with the responsibility and priority to public world. As a person that women leaders also became parents and housewives, as well as women traders or businessmen. Humans, no matter men or women, plays different roles at different times. Women still tend to be more appreciative of his contributions in the private space and the role of voluntary (unpaid) rather than the aspects related to the social sphere. Keywords: political rights, women's, gender.
A. Pendahuluan “Kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali kalau perempuan telah dimerdekakan dari segala bentuk penindasan. Kita semua berangkat dari sini dan menegaskan bahwa tujuan program rekonstruksi dan pembangunan tidak akan terwujud kecuali kalau kita memandangnya dalam bentuk-bentuk praktis yang terlihat bahwa kondisi perempuan di Negara kita telah berubah secara radikal menjadi lebih baik dan bahwa mereka telah diberdayakan untuk berkiprah dalam segala aspek kehidupan yang sejajar dengan setiap anggota masyarakat lainnya”. (Nelson Mandela, 24 Mei 1994)15 Pernyataan dari seorang Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, dapat diambil kesimpulan bahwa belum merdeka perempuan ketika masih didiskriminasikan oleh kaum
14
Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Teknik UNISSULA Semarang dan Ketua PSG UNISSULA 15 Mavivi Myakayaka Manzini, Pemberdayaan Perempuan di Afrika Selatan dalam YJP: Perempuan di Parlemen: Bukan sekedar Jumlah, YJP, Jakarta: 1999, hal. 165
65
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
laki-laki dalam bentuk apapun dan masih juga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Oleh karenanya perempuan harus menjadi pemegang kebijakan untuk menjadikan perempuan yang lainnya merasakan hawa kebebasan dan kemerdekaan. Dan tidak mungkin semua perempuan menjadi pemegang kebijakan dalam sebuah Negara yang berkaitan dengan kepentingan kaum perempuan secara umumnya, jika kaum perempuan sendiri tidak turut andil dalam pemilihan wakil rakyat dari kaum perempuan. Oleh karenanya diperlukan pemilih-pemilih dari kaum perempuan untuk memilih perempuan sebagai wakil perempuan untuk mengutamakan kepentingan perempuan dan anak-anak. Perempuan, tidak akan mampu meraih hasil yang dicita-citakan dan memajukan kepentingan mereka, jika sejak awal mereka tidak mengorganisasikan diri mereka ke dalam kelompok-kelompok perempuan di dalam partai dalam arus multi partai. Mereka nantinya juga diuntungkan oleh komitmen dan tindakan-tindakan perempuan di parlemen. Mereka mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam organisasi-organisasi perempuan dan ornop di civil society. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki, karena koordinasinya lebih mudah, memobilisasinya juga mudah, wadahnya juga jelas, akan tetapi sering kali partisipasi dan kebutuhan serta kepentingannya sebagai perempuan tidak terakomodir, mengapa bisa terjadi demikian? Hal ini karena bargaining perempuan kurang kuat: posisi legislatif tidak banyak, sektor-sektor tertentu dalam eksekutif juga tidak banyak posisi strategis, perempuan dalam berpolitik cenderung jujur tapi jujur dalam berpolitik beda dengan yang dipersepsikan oleh perempuan. Hal ini ada kaitannya dengan bias gender dan politik Berbagai persepsi perempuan tentang pemilu baik pemilu presiden pemilu kepala daerah maupun pemilu legislatif, wakil rakyat atau wakil rakyat perempuan. Secara umum, perempuan memandang pemilu sebagai ajang memilih wakil rakyat. Wakil rakyat dipahami sebagai orang yang dapat dipercaya oleh rakyat, bisa menyampaikan suara rakyat dan mampu membawa kehidupan rakyat Indonesia kearah yang lebih baik. Pendapat perempuan tentang wakil rakyat yang menjabat saat ini adalah: sosok yang suka mengabaikan rakyat, tidak peduli dengan kemiskinan, OKB (orang Kaya baru), mereka cenderung tidak tahu malu, suka korupsi, suka pelesir ke luar negeri, suka janji-janji palsu dan orang yang tidak bisa dipercaya.16 Sebagai pemilih, selama ini perempuan belum secara independen memilih calon wakil rakyat, karena banyak alasan mereka memilih karena ikut pilihan kyai, pilihan suami, pilihan saudara, teman atau lingkungan. Mayoritas kaum perempuan belum mengerti urgensi keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif maupun legislatif. Bagi mereka tidak masalah presiden, gubernur, bupati, caleg laki-laki atau perempuan asal mau mengerti penderitaan rakyat. Namun kaum perempuan sepakat bahwa memilih perempuan sebagai 16
66
Jurnal perempuan Vol. 34, Maret 2004, YJP, Jakarta, hal. 8
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
pemimpin baik sebagai wakil rakyat maupun sebagai pemimpin daerah adalah sebuah keharusan karena perempuan lebih peka dan lebih tahu kebutuhan perempuan dan perempuan yang diinginkan bukan hanya berjenis kelamin perempuan tetapi perempuan disini adalah perempuan yang secara ideologis memiliki kemampuan intelektual dan emosional serta mau dan mampu memperjuangkan agenda perempuan. Perempuan yang seperti inilah yang akan menyadarkan perempuan-perempuan lainnya akan hak-hak politik perempuan yang harus diperjuangkan meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi termasuk kondisi perempuan itu sendiri. Pada tulisan ini akan kami sampaikan berbagai pengalaman penulis terhadap komunitas perempuan yang selama ini penulis amati dan kami dampingi, bagaimana harapan perempuan dalam menggunakan hak politiknya, sehingga diperoleh data dan sekaligus solusi yang penulis tawarkan berkaitan dengan hak politik perempuan karena bagaimanapun perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan laki-laki dan harus diperjuangkan.17 B. Pembahasan 1. Bias Gender dan Politik Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan, misalnya ketika ada pertanyaan mampukah bupati/ ketua DPRD perempuan memimpin masyarakat di suatu daerah? Mengapa pertanyaan ini dilontarkan hanya kepada perempuan, mengapa kepada bupati/ketua DPRD yang laki-laki tidak ada pertanyaan seperti itu. Jika di dunia kerja bias gender juga berarti perlakuan tidak setara dalam memberikan kesempatan kerja atau jabatan (promosi, upah atau gaji, keuntungan dan hak-hak istimewa) dan harapan-harapan terhadap sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang karyawan atau sekelompok karyawan. Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki baik secara sosial, politik dan ekonomi, seperti lembaga publik, partai politik, parlemen dan lainnya, sementara ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas, seperti keluarga, merawat suami, anak, aktivitas rumah tangga. Pembagian ruang ini menjadikan konsekuensi masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi perhatian dalam hubungan antar keluarga (suami-istri, orang tua-anak). Atas dasar itulah sehingga ketika perempuan masuk dalam ranah publik menempati sebagai kepala daerah ataupun parlemen dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya sehingga ketika gagal kesannya heboh tidak seperti laki-laki yang menjadi pemimpin yang mempunyai kapasitas sama dengan perempuan.18 17 UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003, hal. 54 18 . Jurnal perempuan No. 34, Maret 2004, YJP, Jakarta, 2004, hal.9
67
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
2.
Beberapa bentuk bias gender dalam politik Bias gender dalam politik terjadi karena ada beberapa pemikiran tentang politik yang menjadi teori dalam ilmu politik yang terhegemoni sampai detik ini. Diantaranya teori-teori tersebut adalah: Pembicaraan politik selalu berkaitan dengan “ the exercise of power” yang ada di pemerintahan atau institusi-institusi public lainnya. Harorld Laswell dalam bukunya “ What Gets What, When and How” (Siapa Dapat Apa, Kapan dan Bagaimana), definisi politik ini menunjuk pada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di ranah public milik laki-laki. Juga pendapat neo-evolusionis yang mempromosikan paradigma androsentris, “ man as the the hunter “menunjukkan bahwa semua perkembangan manusia dalam masyarakat bermula dari perburuan yang dilakukan laki-laki.19 Pemikiran politik modern yang menekankan pentingnya kewarganegaraan universal yang akan memperluas hak semua orang untuk teribat dalam partisipasi politik. Kelihatannya ada prinsip keadilan akan tetapi hakekat perluasan kewarganegaraan yang universal ini berasal dari pengalaman laki-laki yang berkarakter maskulin, militeristik, rasionalitas, kemandirian, keagresifan, kekuatan, kekompetitifan, tawar menawar yang diasosiasikan dengan laki-laki dan maskulinitas.20 Nuansa seksisme dalam teori-teori politik. Seksisme adalah hubungan social yang menyokong otoritas laki-laki terhadap perempuan. Para pemikir politik menganggap perempuan terlalu emosional, tidak rasional untuk membuat keputusan atau kebijakan yang penting dan strategis, ada kecenderungan mysogny (sikap yang tidak menyukai perempuan). Tetapi sungguh ironis sebagian besar akademisi maupun politisi mengamini dan merujuk pada pemikiran tersebut sebagai cerminan suara demokrasi padahal demokrasi tanpa suara perempuan di dalamnya bukanlah demokrasi sejati.21 Teori- teori politik yang konvensional yang ada tidak bisa memandang gender sebagai sebuah konstruksi atau kategori teoritis, konseptual dan analitis. Padahal ada tiga asumsi yang diungkapkan berkaitan dengan persoalan perempuan dan politik yaitu:22
19
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006, ibid, hal.
26 20
Ibid, hal.27 Ibid, hal.28 22 Ibid, hal. 30 21
68
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Politik apapun definisinya memiliki dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan Politik dalam proses-prosesnya sering mengubah hubungan gender antara lakilaki dan perempuan. Perempuan yang berpartisipasi sebagai subyek politik melakukan aktivitas politik yang berbeda dengan laki-laki. Dari gambaran tersebut, dapat dipahami sebenarnya politik adalah suatu tindakan kebijakan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga siapapun yang mampu dan berkesempatan dapat berperan dalam melakukan kebijakan tersebut, tidak hanya laki-laki, perempuan juga bisa. Tidak harus terpaku dengan umur dan usia, setiap orang yang mampu punya kesempatan yang sama. Hanya yang perlu dipahami, kebijakan yang dihadirkan politik adalah yang mempunyai ekses luas. Namun, catatan yang utama, permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia perempuan selama ini hanya bisa diselesaikan oleh perempuan dan laki-laki yang peduli pada perempuan. Yang terakhir inilah yang harus dicermati. 3.
Situasi Perempuan Jawa Tengah Secara kuantitatif jumlah perempuan di legislatif meningkat, secara kualitas masih dipertanyakan dan dapat dipastikan mereka akan learning by doing. Berdasarkan latar belakang dan profesi mereka yang sangat beragam mulai dari bidan, selebritis sampai politisi, dapat dipastikan lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 telah didominasi wajah baru, yaitu caleg perempuan yang baru pertama kali terpilih melalui dapil Jawa Tengah. Ada sebesar 88,89%, DPD sebesar 75% dan DPRD Jawa Tengah sebesar 71,43%. (Peta Suara Perempuan Jateng 2009; Ari Pradanawati) Di lain sisi secara umum para pemilih Jawa Tengah yang tidak menggunakan hak suaranya pun mengalami peningkatan. Dari catatan rekap suara per kabupaten /kota di Jawa Tengah dalam pilgub tahun 2008 dan 2013, terlihat bahwa angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai meningkat dari 41,55% pada tahun 2008 menjadi 44.27% pada tahun 2013. Secara spesifik, 5 kabupaten dan kota dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya bahkan sampai 50% atau lebih adalah (Kab. Jepara (56,20%), Kabupaten Pati (55,48%), Kabupaten Demak (55,99%) dan Kabpaten Brebes (50,96%)). Kabupaten Temanggung adalah wilayah dengan tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya paling rendah (17,11%) disusul oleh Kabupaten Kudus sebesar (20.48%) (Sumber: KPU Provinsi Jawa Tengah, Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2013, 4 Juni 2013). Angka ini memberikan gambaran bahwa partisipasi politik masyarakat (dan perempuan) terhadap pemilihan kepala daerah masih rendah. Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sistem perekrutan 69
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
pada partai politik belum memberikan ruang penuh kepada perempuan; kehidupan politik dalam anggapan masyarakat adalah kehidupan yang hanya cocok untuk perempuan; standar kehidupan politik masih menggunakan standar laki-laki; kurang percaya diri pada perempuan untuk memasuki wilayah politik; dan lemahnya dukungan kepada perempuan dalam berpolitik. Beberapa catatan mengenai hak politik perempuan baik sebagai calon legislatif maupun sebagai pemilih sebagai berikut akan dipaparkan. a. Sebagai Calon Anggota Legislatif Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah dan Kemitraan (Patnership for Governance Reform in Indonesia), dalam rangka memberikan pendidikan politik bagi calon legislative di Jawa Tengah, dimana kegiatan ini memberikan pemahaman mengenai strategi kampanye, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk menjaring suara tanpa melakukan money politic. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa profil beberapa anggota legislatif baik berdasarkan latar belakang, proses pencalegan, agenda yang diusung pada saat kampanye dan apa yang akan dilakukan pada saat terpilih nantinya. Walaupun apa yang dilakukan ini tidak mewakili seluruh Jawa Tengah namun gambaran ini akan memberikan perspektif mengenai caleg perempuan yang ada di Jawa Tengah dan menurut penulis secara kewilayahan dapat mewakili gambaran yang ada. 1. Latar Belakang Caleg a. Tingkat Pendidikan Terlihat bahwa potensi caleg perempuan Jawa Tengah yang mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh kemitraan dari sisi pendidikan yang diselesaikan tampak bahwa potensi caleg perempuan sangatlah luar biasa hal ini dapat terlihat dengan tingginya caleg perempuan yang menamatkan pendidikan strata 1 (S1) sebanyak 66.67 %, sedangkan jumlah mereka yang menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) sebasar 13 % dan sisanya adalah tamatan SMA, dengan potensi ini akan mempercepat peluang keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, paling tidak sebagai persiapan tahun 2014. b. Usia Dari sisi usia terlihat bahwa usia calon legislatif (caleg) perempuan rata-rata didominasi oleh caleg yang berusia 36-45 tahun (46.7%), serta caleg berusia antara 46-55 tahun (26.7%). Sedangkan Caleg termuda berusia 22 tahun dan caleg tertua berusia 63 tahun. Gambaran ini memberikan petunjuk dari sisi usia sebenarnya rentang antara usia caleg perempuan berada pada rentang usia produktif, dan dalam derajat tertentu dianggap sebagai usia matang dalam berpolitik, karena relatif telah bersentuhan dengan pengalaman dalam masyarakat maupun dalam politik. 2. Latar Belakang Politik Caleg 70
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Caleg perempuan relatif memiliki rekam jejak organisasi yang baik, ini dibuktikan dengan besarnya keterlibatan mereka (100%) sebagai eksponen organisasi partai politik, profesi, maupun sosial. Bahkan aktivitas di partai politik sangat dominan hampir seluruhnya caleg perempuan berasal dari organisasi politik (73%), organisasi sosial (83%), dan jumlah mereka yang berasal dari jumlah organisasi profesi juga cukup besar (41%). Sebagian besar caleg (62%) yang aktif di organisasi politik merupakan bagian dari jajaran induk partai. Namun situasi agak berbeda terjadi pada aktivitas di organisasi sosial, caleg perempuan yang memiki pengalaman di organisasi sosial jumlahnya jauh lebih besar, lebih dari setengah dari sisi kuantitasnya (90%), ini menunjukkan sebelum kran gender mainstreaming melalui tindakan khusus sementara untuk keterwakilan perempuan didunia politik dibuka, sebagian besar dari mereka memilih aktif di organisasi sosial. Informasi lain yang cukup bagus, adalah bahwa keterlibatan caleg perempuan didalam organisasi politik maupun sosial sebagian besar adalah pengurus organisasi. Untuk organisasi politik bahkan mereka hampir seluruhnya menjadi pengurus (100%), demikian juga organisasi sosial (93%). Sementara yang hanya menjadi anggota dalam organisasi baik sosial maupun politik berada direntang (14-17%). Termasuk dalam organisasi profesi mereka kurang dari separuh adalah pengurus organisasi tersebut. 3. Proses Pencalegan Banyaknya partai politik saat ini membuka peluang yang sangat besar untuk mendaftarkan diri sebagai caleg. Sebagian besar caleg perempuan di Jawa Tengah telah berpengalaman sebagai caleg lebih dari satu kali (53.3%), dan hanya (46,7%) yang belum pengalaman sebagai caleg (kali ini merupakan pengalaman pertama). Jumlah caleg yang berhasil menjadi anggota legislatif hanya 26,67%. Kemenangan pada pemilu 2009 ini bagi mayoritas dari mereka (83%) merupakan pengalaman yang pertama sebagai anggota legislatif dan 17% memiliki pengalaman kemenangan yang kedua. Sebagian besar caleg merasa kecewa terhadap sistem dan keadaan negara ini. Keinginan mereka untuk melakukan perubahan (67.67%) telah memotivasi mereka untuk menjadi caleg. Motivasi lain yang medorong mereka menjadi anggota legistaif antara lain karena adanya dorongan dari pihak lain (15%), ingin mencoba profesi/karier baru (10%), adanya keterwakilan perempuan (5%) dan hanya ingin coba-coba (3%). 4. Agenda dan Isu yang Diusung oleh Para Caleg Agenda dan isu yang diusung oleh para caleg memiliki porsi sangat besar dan dominan adalah isu yang berkaitan dengan perempuan dan ekonomi. Isu ini diagendakan oleh 79% caleg dan 41% menyatakan isu ini yang paling diminati. Isu pendidikan (71%), Keterwakilan politik perempuan (88%), serta sosialisasi tata cara pemberian suara (73%), sementara isu kekerasan dalam rumah tangga juga mendapat porsi meski tidak terlalu 71
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
dominan (41%) termasuk masalah kesehatan keluarga (56%). Namun dari beberapa isu yang dilontarkan caleg perempuan isu yang paling diminati adalah perempuan dan ekonomi (41%), hal ini memperlihatkan isu ekonomi dan kesejahteraan memang menjadi isu magnet dan mainstreaming karena janji perbaikan ekonomi sangat dekat dengan kalangan pemilih di pedesaan maupun perkotaan, disaat krisis ekonomi yang sedang mendera negeri ini. Data ini juga dapat diambil besaran kesimpulan bahwa majunya caleg perempuan tidak dengan kepala kosong, namun dengan agenda yang tertata. 5. Langkah yang Diambil Beberapa Caleg Setelah Terpilih Langkah pertama bagi seorang caleg perempuan terpilih adalah menepati janji dan berusaha semaksimal mungkin memperjuangkan tuntutan konstituen pemilih (40%), meski pekerjaan ini bukan perkara yang mudah. Seperti pada saat bekerja mereka akan terpenjara dalam kerangka kerja kekomisian yang kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan konstituen pendukung. Oleh karena bekerja sebaik mungkin (27%), dengan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada kaum perempuan. Bagi caleg perempuan, tampaknya kekalahan bukan berarti akhir segalanya, kekalahan bukan juga kiamat bagi masa depan dan karier politik mereka. Sebagian besar caleg perempuan justru menjadikan kekalahan sebagai bahan pembelajaran dan perenungan (39%), dan memulai bekerja serius dengan kembali melakukan penggalangan politik, termasuk mempersiapkan sedini mungkin ketersediaan finansial (23%). Semuanya dilakukan dengan cara memulai kembali aktif di ormas maupun partai politik sebagai lembaga pijakan untuk memasuki kembali pertarungan caleg tahun 2014. Setelah para caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD periode 2009-2014, kebutuhan mendesak yang mereka inginkan adalah pelatihan dalam rangka pengembangan kapasitas sebagai anggota DPR/DPRD yang baru (43%). Termasuk para caleg yang tak terpilih juga menginginkan adanya penambahan kualitas diri melalui berbagai pelatihan yang disediakan bagi dari dalam partai sendiri maupun lembaga-lembaga lain di luarnya. b. Sebagai Pemilih Kritis dan Cerdas Kondisi marginal perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari lemahnya pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif kurang mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan pendidikan Elektoral kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus sesuai karakteristik pemilih dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini komunitas perempuan marginal (ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, pekerja 72
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
migran, pembatu rumah tangga, lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif gender. Perempuan sebagai komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki. Tidak terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan menjadikan mereka komunitas yang dinomerduakan dalam pembangunan bangsa ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan masih berwajah perempuan. Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral menyebabkan mereka kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta memberikan suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi. (www.menegpp.org). Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain (PSG UKSW Salatiga, Yayasan Parahita Salatiga, Lappis Kudus) pada tahun 2009 terlihat bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif perempuan marginal yang menjadi wilayah sasaran adalah wilayah yang mempunyai tingkat partisipasi pemilu kepala daerah maupun pemilu gubernurnya rata-rata rendah. Sehingga wilayah yang terpilih akan merepresentasikan wilayah Jawa Tengah dengan tingkat partisipasi penduduk dalam pemilu tersebut rendah. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan terlihat bahwa, sebagian besar perempuan tersebut sangat kurang mendapatkan informasi terkait dengan pemilu sehingga mereka merasa bahwa pemilu ini tidak akan berdamapk bagi kehidupan mereka selanjutnya (masa bodoh). Selain itu tidak sedikit perempuan marginal tersebut tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf) dan ini juga berakibat pada meningkatnya apatisme mereka untuk mengikuti pemilu. Berikut ini beberapa hasil yang dilakukan oleh Penulis yang kebetulan aktif di KPI (koalisi Perempuan Indonesia) bekerjasama dengan L@PPis dan PSG UKDW Salatiga didalam membantu perempuan-perempuan marginal dalam melakukan pendidikan bagi pemilih dan Kepemiluan dengan sasaran perempuan marginal dengan tema: Suara Perempuan untuk Perubahan (menjadi Pemilih Cerdas yang Berwawasan Gender). Dalam pelatihan ini disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan Pemilu dan bagaimana menjadi pemilih yang cerdas yang memilih bukan karena iming-iming calon tetapi lebih mengedepankan program serta perbaikan-perbaikan kondisi masyarakat baik secara fisik maupun non fisik. Best practice dari kegiatan ini adalah peserta antusias menceritakan pengalamannya bertemu dengan caleg dari beberapa partai. Mereka menceritakan caleg mendatangi mereka dengan berbagai janji dan memberikan macam-macam barang, misalnya; kalender, sembako, dll. Mereka menjadi tahu mana yang disebut pelanggaran dalam kampanye (administratif dan pidana). Juga mereka mengungkapkan menjadi tahu pentingnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan mulai dari desa sampai dengan tingkat pusat. Beberapa peserta yang adalah buruh pabrik belajar bahwa kebutuhan untuk perlindungan pekerjaan dengan sistem perburuhan yang tidak adil bagi buruh, terutama 73
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
perempuan. Mereka juga baru tahu bahwa jika mereka bisa bersatu, mereka bisa menuntut keadilan upah bagi mereka. Selama ini upah minimum mereka sangat rendah dan tidak cukup untuk kehidupan sebulan. Mereka belajar bahwa dengan memilih caleg yang mampu memperjuangkan kebutuhan mereka ini, mereka berharap bahwa mereka akan memiliki kehidupan yang lebih baik, terutama caleg yang berkeadilan gender baik itu perempuan ataupun laki-laki. Dalam pelatihan ini juga disimulasikan bagaimana perempuan memilih di dalam TPS (tempat pemungutan suara) serta berapa menit waktu yang diperguanakan dalam mencoblos pilihan mereka supaya pada saat pemilihan tidak melakukan kesalahan atau kebingungan dalam memilih. Di wilayah ini ternyata masih banyak peserta yang Buta Aksara (16 orang). Mereka mengungkapkan kebingungan dalam melakukan pemilu mendatang karena mereka tidak bisa membaca dan belum pernah tahu seperti apa kartu suara yang digunakan. Dalam pelatihan ini, mereka pertama kali mengetahui seperti apa kartu suara dan bagaimana cara memberikan suara. Namun, mereka tetap ada kesulitan karena dalam kartu suara hanya ada nomor partai, gambar partai, nomor urut dan nama caleg. Dalam pelatihan ini juga mereka memperoleh informasi pentingnya suara perempuan dalam pemilu. Sebelumnya mereka tidak pernah menyadarinya. Seperti Ibu Siti (bukan nama sebenarnya yang berprofesi sebagai pengamen). Ia menjadi tulang punggung keluarga mencari uang karena suami hanya bermalas-malasan di rumah (tidur dan menunggu makan). Ia hidup di jalanan, mengamen, bekerja dengan waktu yang panjang (sampai malam), pendapatan tidak pasti, kerasnya hidup di jalan menjadi kesehariannya (dikejar petugas, diusili laki-laki, bahkan mengalami kekerasan), pulang di rumah juga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan termasuk memperoleh perlakuan kasar suami bila tidak dilayani. Dari pelatihan ini, Ia menyadari pentingnya memberikan suara kepada caleg yang peduli pada nasibnya sebagai perempuan marginal. C. Kesimpulan Permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan perempuan tersebut diatas tidak akan selesai ketika campur tangan perempuan diabaikan. Baik sebagai pendorong kebijakan maupun sebagai pemegang kebijakan. Berdasarkan kondisi dan pengalaman bekerja bersama dengan perempuan baik sebagai calon anggota legislatif maupun perempuan pemilih marginal, maka beberapa kesimpulan dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Langkah Publik Perlu dirumuskan kerangka waktu bagi pencapaian kesetaraan gender dalam representasi politik di tahun 2014. Tujuan yang tidak dibatasi oleh waktu akan membuat pemerintah, partai politik, para pelobi, dan kelompok perempuan kehilangan akuntabilitas. Affirmative Action di Badan Legislatif
74
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Affirmative action di dunia politik adalah langkah sementara yang diperlukan untuk memperoleh keadilan dalam jangka panjang bagi perempuan secara sosial dan ekonomi, di dunia privat maupun publik.23 Target minimum 30-33,3% tidaklah lebih dari masa kritis. Hal itu masih jauh dari kesetaraan. Sebagian suatu kesetaraan pun masih diragukan. Berbicara mengenai affirmative action, sebaiknya kita tengok kembali kutipan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1979. “Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi, tetap hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda; langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan kesempatan dan tindakan telah tercapai” (Pasal 4). Partai Politik dan Reformasi Sistem Pemilu Selama targetnya adalah di tingkat distrik ke atas, sistem partai telah lama menjadi kendala bagi kepemimpinan perempuan. Selain affirmative action di tingkat legislatif, partai politik harus memiliki komitmen terhadap kesetaraan dan menjamin bahwa jumlah perempuan mencapai 50% dari keanggotaan partai, pemimpin, pejabat komite, dan calon legislatif. 1. Pembentukan Aliansi Pengalaman di India, Afrika Selatan, Uganda, serta di negara-negara industri menunjukkan pentingnya membangun aliansi antar aktor di pemerintah lokal, nasional, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan. Proses pembangunan aliansi itu membutuhkan mitra untuk bekerjasama dalam berbagai isu di semua aspek pemerintahan. Peran negara adalah memperbaiki kebijakan, semacam affirmative action untuk mencapai kesetaraan gender di struktur pemerintahan. Kekuatan masyarakat sipil terletak pada langkah-langkah yang akan meningkatkan kualitas partisipasi politik perempuan, seperti pelatihan, lobi dan kerja lapangan. Keduanya mempengaruhi sektor swasta, perempuan sudah menempati posisi manajemen senior perusahaan. Mungkin yang lebih penting lagi adalah bahwa perempuan di seluruh dunia semakin banyak yang menjadi pengusaha, baik usaha kecil maupun usaha menengah, terutama pada bidang jasa dan retail yang modal awalnya lebih kecil daripada modal untuk membangun bisnis manufaktur atau bisnis lain, dan e-commerce menawarkan keuntungan tertentu. Hampir di semua negara dibutuhkan penciptaan hubungan yang positif antara politisi dan masyarakat sipil dan saling berbagi antara perempuan di berbagai bidang untuk membentuk strategi pelengkap. Di samping itu keterlibatan dengan kelompok-kelompok agama juga perlu untuk membangun dialog mengenai ketidaksetaraan gender dengan 23
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004, hal. 113
75
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
pemimpin agama, terutama bila menyangkut interpretasi ayat suci yang menghambat partisipasi perempuan. Secara keseluruhan, membangun aliansi menjadi mekanisme yang efektif untuk: Pertukaran informasi mengenai pengalaman perempuan dalam mengidentifikasi syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan diantara berbagai aktor pemerintahan. Dialog antar semua aktor untuk meningkatkan dampak dari partisipasi politik perempuan. Membangun akuntabilitas perempuan diantara berbagai konstituen. 2. Pembagian Peran Usaha membangun aliansi dan kerjasama khusus diperlukan untuk mengubah persepsi yang menyangkut kepemimpinan perempuan, terutama dengan menyebarkan informasi kepemimpinan perempuan yang kredibel, efektif, dan lebih baik daripada lakilaki di berbagai bidang dan di seluruh lapisan masyarakat. Semua perempuan harus mengetahui bahwa sebagai pemimpin, ia harus bergelut dengan tanggung jawab dan mengutamakan dunia publik. Sebagai pribadi bahwa pemimpin perempuan juga menjadi orang tua dan ibu rumah tangga, seperti halnya perempuan pedagang atau pengusaha. Manusia, tak peduli laki-laki maupun perempuan, memainkan peran berbeda pada saat yang berbeda. Perempuan masih cenderung lebih menghargai kontribusinya di ruang pribadi dan peran sukarela (tidak dibayar) daripada aspek-aspek yang terkait dengan lingkup sosial. Peran media massa juga menentukan. Diperlukan dialog proaktif dan terus menerus antara pemimpin perempuan dan lobi-lobi perempuan ke media massa. Hal itu tidak hanya untuk menyoroti kepemimpinan perempuan saja, tetapi juga untuk meliput isu-isu yang menyangkut ketimpangan gender, mulai dari perkawinan di bawah umur hingga alokasi anggaran reset kesehatan. Contoh lain adalah perhatian besar yang diberikan oleh media massa pada masalah perdagangan obat terlarang dalam skala nasional maupun internasional. Sebaiknya perhatian itu tidak hanya pada dampak negatifnya terhadap perempuan dan peranannya, tetapi juga pengalihan dana dari masalah pembangunan yang lebih vital. 3. Merangkul Generasi Muda Dapat disimpulkan bahwa upaya-upaya di atas masih menempatkan perempuan dewasa sebagai sasaran. Namun untuk melangkah ke masalah bias gender yang sudah terjadi selama dua milenium itu, kita tidak boleh melupakan pengkondisian awal. “Anak adalah bapak setelah dewasa”, kata penyair Inggris William Wordsworth. “Beri aku anak, hingga ia berumur enam tahun”, kata tokoh Jesuit Ignatius Loyola, “dan aku jadikan dia laki-laki”. Kedua pendapat itu berlaku pula untuk perempuan. Bila pendidikan politik dan 76
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
peranan perempuan diberikan setelah mereka dirancukan oleh peran perempuan yang lain, mengurus rumah dan kegiatan ekonomi (yang dibayar maupun tidak, di dalam atau di luar rumah), transformasi sistem politik akan tetap berjalan lambat, mungkin baru tercapai seabad atau satu milenium kemudian. 4. Ada perwakilan perempuan menjadi pemegang kebijakan baik yang duduk di legislatif maupun di eksekutif serta yudikatif. Ada perempuan yang menjadi wakil perempuan baik dalam legislatif maupun di eksekutif serta yudikatif sangat membantu kemajuan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender dan memberikan peran yang sangat penting dalam mendorong affirmative action dalam rangka menciptakan demokrasi yang sebenarnya.24 5. Menjadi pendorong kebijakan dengan memaksimalkan wadah-wadah yang ada untuk mengawal, memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak melalui penerapan anggaran yang responsif gender. Strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran dan menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran yang meliputi seperangkat alat/instrument dampak belanja dan penerimaan pemerintah terhadap gender. Berikut ini Kategori Anggaran Responsive Gender:25 i. Alokasi anggaran gender “ Spesific gender” → belanja yang diperlukan bagi perempuan atau laki-laki dalam komunitas untuk memenuhi kebutuhannya khususnya. Contoh : alokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi perempuan, alokasi anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi laki-laki, alokasi anggaran untuk pap smears, alokasi untuk kanker prostat, alokasi untuk sunnatan missal. ii. Alokasi anggaran gender untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan → sebagai affirmative action untuk mewujudkan kesempatan yang setara antar lakilaki dan perempuan terutama dalam lingkungan pemerintahan atau dunia kerja lainnya. Contoh: alokasi anggaran untuk pelatihan teknologi pertanian bagi perempuan, alokasi anggaran untuk fasilitas penitipan anak di tempat kerja. iii. Alokasi anggaran umum yang mainstreaming → alokasi anggaran umum yang menjamin agar pelayanan public dapat diperoleh dan dinikmati oleh semua anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan)→ alokasi anggaran untuk penyediaan fasilitas WC Umum yang proporsional terhadap jumlah pengguna (3 perempuan, 2
Sutjipto, Ani., 2000., “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita” (T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung, hal. 113 25 UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003 24
77
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
laki-laki), alokasi anggaran untuk gerbong terpisah bagi laki-laki dan perempuan, dll. 6. Proses partisipasi mulai dari need assessment (pemetaan kebutuhan masyarakat) sampai dengan advokasi) dengan melibatkan perempuan basis. Meskipun secara formal telah ada proses perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota kabupaten, namun pelaksanaannya hanya bersifat formalitas karena rendahnya tingkat akomodasi usulan masyarakat di APBD dengan alasan dana pemerintah terbatas.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik Tantangan Abad 21” United Nation Development Programme. 2003. Anonimous. Laporan Final Interim “Pendidikan Pemilih dan Pemilu: Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan di Jawa Tengah” PSG-UKSW Salatiga. 2009. Anonimous. “Survey Profil Caleg Perempuan Pemilu 2009” Patnership for Governance Reform in Indonesia Jakarta. 2009. Amartya Sen. “More than 100 Million are Missing”, New York Review of Books. 1990. Amartya Sen. “Development as freedom”, Alfred A Knopf, New York. Miriam Budiarjo. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai” Yayasan Obor Jakarta. 1999. Henrietta Moore. ” Feminism and Antropology” Cambridge Polity Press, Cambridge. 1988. Ani Sutjipto. “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita” (T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung. 2000. Romany Sihite. “Perempuan Kesetaraan dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender” Raja Grafindo Perkasa Jakarta. 2007. Heri Setiono. “Gender dan Demokrasi” Averroes Press Malang. 2008. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004. UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003. UNIFEM Kantor Regional Asia selatan & Centre for Womens Research (Cenwor), CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Agustus 2004.
78
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
POLITIK LOKAL KOTA SANTRI ( SEBUAH TELAAH KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM dan PERILAKU POLITIK SANTRI) Oleh : Mufatihatut Taubah26, Abstract In the midst of political and bawdy Indonesian civilization is getting worse and is more opaque guided by the Qur'an and the Hadith is the best alternative to clear up the nation's morality. Kota santri is an area in which there are many Islamic educational institutions, there are many kiai and students who recite and study the Qur'an and Sunnah. That then the teachings contained in the two books used as reference and a foundation in every work, including as a reference in choosing a leader, lead and politics. In Islam a leader chosen based on the requirements demanded by the welfare of a country depends on who is controlling it (the leader). Keywords: leadership, local polical, city students
A. Pendahuluan Kota santri adalah sebuah daerah atau kota yang di dalamnya terdapat banyak pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang dipimpin oleh seorang kiai. Sebagian besar masyarakat kota santri adalah santri atau murid dari madrasah-madrasah pada pondok pesentren di daerah tersebut ataupun di daerah lain yang ada di kota itu. Kiai27 adalah ikon dalam masyarakat yang menjadi panutan dalam setiap ucapan dan tingkah lakunya. Pada umumnya dalam pondok pesantren diajarkan segala bidang keilmuan Islam yang digali dari al Qur’an, Hadis dan Ijma’ para ulama salaf maupun kontemporer. Kiai adalah tokoh elit dalam sebuah masyarakat santri yang mengajarkan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sesuai dengat syari’at Islam berlandaskan pada al Qur’an dan Hadis dan semua keilmuan Islam.
26
Penulis adalah peneliti di El-kasyf kudus Kyai adalah elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan pendirinya. Pertumbuhan suatu pesantren semata mata bergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Menurut asal usulnya kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda yaitu : pertama sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap kermat, kedua gelar untuk orang-orang tua pada umumnya, ketiga gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab islam klasik kepada para santrinya. Lihat Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup kyai, LP3ES, tt, hal 55 27
79
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Dengan berkembangnya waktu santri di pondok pesantren tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu akhirat saja, tetapi mereka juga diberi pelajaran umum dan berbagai keterampilan praktis sebagai bekal mereka untuk terjun ke tengah masyarakat. Pesantren yang selama ini identik dengan sufisme, sebenarnya sudah melangkah maju menuju pesantren modern yang membuka kebebasan berfikir dan berpolitik.28 Yang seharusnya juga berlandaskan dan berpedoman pada al Qur’an dan Hadis karena Rosulullah bersabda “aku tinggalkan dua perkara yang apabila kamu berpegang teguh terhadap keduanya maka tidak akan tersesat, dua perkara tersebut adalah kitab al Qur’an dan Sunnah beliau. Al Qur’an dan hadis adalah pedoman hidup bagi umat Islam, segala tindakan perbuatan dan semua tatacara kehidupan umat Islam di atur di dalamnya sehingga umat Islam harus beracuan pada al Qur’an dan Sunnah. Di tengah carut marutnya politik dan peradaban bangsa Indonesia yang semakin terpuruk dan semakin buram ini berpedoman pada al Qur’an dan Hadis adalah merupakan alternatif terbaik untuk menjernihkan moralitas bangsa. Lewat pengamalan al Qur’an dan Sunnah secara sungguh-sungguh manusia akan terbimbing pada jalan yang lurus. Manusia yang taat menjalankan ajaran al Qur’an dan Hadis akan membersihkan dirinya dari perbuatan tercela. Sebab dalam alQur’an dan Hadis menuntut satunya kata dengan tindakan karena jika tidak maka kebencian Allah yang didapatkannya. Sebagaimana firman dalam al Qur’an Surat Shaff ayat 2-3 : ‘Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” Artinya kalau dalam al Qur’an dan Hadis mengajarkan perlunya keluhuran akhlaq, seorang muslim tidak cukup hanya dengan ucapan tapi yang lebih penting adalah perwujudan ucapan itu dalam sebuah tindakan. Jadi sangat memprihatinkan kalau ada seorang muslim yang begitu fasih dalam mengucapkan ajaran Islam, tetapi dia sendiri tidak bisa mewujudkan apa yang diucapkannya dalam sebuah tindakan. Dengan demikian kalau umat Islam sudah bisa mewujudkan satunya ucapan dengan tindakannya maka dengan sendirinya keluhuran moralitas di tengah masyarakat Islam pun akan bisa terwujud. Kesatuan ucapan dan tindakan yang diatur dalam al Qur’an dan Hadis tersebut menyangkut segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia termasuk diantaranya dalam berbangsa dan bernegara juga dalam berpolitik. Dibutuhkan adanya keserasian antara ucapan dan tindakan dalam berpolitik. Artinya seorang politikus muslim yang taat menjalankan ajaran al Qur’an dan Hadis akan membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan tercela dalam berpolitik. Sehingga sebuah negara atau birokrasi yang dipimpin oleh seorang birokrat yang selalu beracuan pada Qur’an dan Hadis dalam setiap aspek pemerintahannya maka terwujudlah sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana
28
80
Hamdan daulay, Dakwah ditengah Persoalan Budaya dan politik, LESFI,Yogyakarta 2001 hal 53
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
dengan menjunjung tinggi moralitas bangsa yang berdasarkan pada pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam Islam, seorang pemimpin dipilih berdasarkan pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki karena kesejahteraan sebuah negara bergantung kepada siapa yang mengendalikannya (pemimpinnya). Jika sang pemimpin punya komitmen kuat untuk membangun negaranya maka rakyatnyapun mudah untuk diatur dan diarahkan, tetapi bila sebaliknya maka sebaliknya pulalah yang akan terjadikan. Para pelajar, mahasiswa, masyarakat pada umumnya yang tumbuh dalam perlakuan penguasa yang tidak adil dan tiran atau dlolim akan diperbudak, akibatnya mereka akan kehilangan energy yang akhirnya membuat mereka malas dan mendorong mereka untuk berbohong. Tindakan dan perilaku mereka bertentangan dengan apa yang mereka pikirkan, karena mereka takut akan mendapatkan perlakuan yang kejam jika mereka mengatakan yang sebenarnya. Jadi mereka dibiasakan untuk berbohong dan melakukan tipu daya.29 Begitu juga pada sebuah daerah, kelurahan, kecamatan ataukah kabupaten, atau bahkan di sebuah lembaga pendidikan, di kampus misalnya, semuanya sama. Terlebih pada sebuah daerah yang kemudian disebut sebagai kota santri. Kota santri adalah sebuah daerah yang di dalamnya terdapat banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam, terdapat banyak kiai dan santri yang mengaji dan mengkaji al Qur’an dan Sunnah. Yang kemudian ajaran-ajaran yang terdapat dalam dua kitab tersebut dijadikan acuan dan landasan dalam setiap perbuatan, termasuk diantaranya sebagai acuan dalam memilih pemimpin, memimpin dan berpolitik sekalipun, maka sudah selayaknya dan bahkan wajar apabila rakyat di sebuah kota santri ketika memilih pemimpinnya berlandaskan dan beracuan pada al Qur’an dan Hadis dan penteladanan terhadap kiai karena hal itu merupakan bentuk komitmen terhadap ajaran yang mereka terima. Bentuk lain dari komitmen tersebut adalah bahwa masyarakat pada kota santri tidak akan melakukan GOLPUT dalam proses pemilihan pemimpinnya karena memilih atau memberikan suaranya pada seorang calon pemimpin adalah hak setiap orang dan sebuah bentuk perjuangan dalam merealisasikan konsep “cinta tanah air”. Akan tetapi sangat tidak wajar jika masyarakat kota santri memilih pemimpinnya tidak beracuan pada al Qur’an dan Hadis serta tidak menteladani kiai sehingga mereka tidak memiliki komitmen dalam memilih pemimpinnya. Tidak heran jika dalam pemilihan pemimpin banyak bermunculan masyarakat yang GOLPUT yang orientasinya BERJUANG. Kita tahu bahwa GOLPUT adalah GOLongan PUTih. Sebutan ini diberikan pada mereka yang tidak mau memihak atau tidak mau memberikan suaranya untuk calon pemimpinnya sehingga jumlah perolehan suara berkurang. Akan tetapi GOLPUT yang penulis maksud adalah GOLongan Pencari Uang Tunai yang orientasinya pada
29 Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari masa Nabi Hingga Masa Kini,PT Srambi Ilmu Semesta, Jakrta 2006, hal 330-331
81
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
BERJUANG = BERas baJU dan uANG artinya golongan ini adalah golongan masyarakat yang mau memilih seorang untuk menjadi pemimpinnya jika dia dibayar atau diberi uang tunai dari salah satu orang yang mencalonkan diri untuk dipilih menjadi pemimpin tersebut atau lebih memilih pemimpin mereka dengar ukuran berapa uang yang dibagi-bagikan, yang lebih banyak nominal pembagiannya dialah yang dipilih.30 Masyarakat tidak menyadari bahwa sebenarnya seorang pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dengan cara membayar masyarakatnya untuk memilihnya menjabat sebagai pemimpin maka besar kemungkinan dia akan mencari ganti rugi terhadap uang yang sudah digunakannya membayar penduduk atau warga untuk memilihnya. Hal itu ia lakukan pada saat ia berkuasa sehingga hal ini membuka peluang terjadinya korupsi. Ketika seseorang meminta suatu jabatan maka hal ini didasari adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi atau golongan terhadap jabatan tersebut. Sehingga dari latar belakang ini maka muncul beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini yang seharusnya menjadi acuan bagi masyarakat kota santri dalam memilih pepimpin-peminpin mereka dalam sebuah birokrasi. 1. Persyaratan-persyaratan apa yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga dia masuk dalam kriteria seorang pemimpin menurut Islam? 2. Bagaimana konsep perilaku politik santri yang seharusnya diterapkan dalam pemerintahan ? B. Pembahasan 1. Konsep pemimpin dalam islam Pemimpin dalam bahasa arab disebut imamah, khalifah, maupun sultan. Imamah dan ummah berasal dari akar kata yang sama amm berarti kehendak atau maksud. Selanjutnya dari akar kata ini terbentuk kata imam yang berarti orang yang diikuti dan imamah kekuasaan atau kekuatan yang ditaati dan diikuti. Sampai akhir abad dua hijriyah istilah imamah belum dipergunakan secara resmi dalam literatur maupun dalam percakapan sehari hari kecuali dalam arti ibadah seperti imam dalam shalat. Istilah ini kemudian muncul pada akhir abad kedua atau permulaan abad ketiga dalam buku fiqh karya al-Syafii dan Abu Yusuf. Sejak saat itu istilah ini menjadi sangat populer dan hampir secara eksklusi dalam kaitannya dengan politik untuk menyebut khalifah, sedang untuk menyebut pemimpin suatu lembaga lain, misalnya militer, dipergunakan istilah amir. 31 Kata khalifah terdapat dalam al Qur’an dengan konteks pengertian pewarisan, penerimaan pewarisan, atau pengganti bukan sebagai institusi politik. Sementara terdapat
30
Hal ini dibuktikan oleh adanya spanduk disuatu daerah pada salah satu kecamatan dikabupaten kudus yang memuat ungkapan “tidak ada uang tidak ada suara” 31 Lihat M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994, hal 21.
82
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
pula beberapa ayat al Qu’an32 yang menunjukkan arti sebagai “penguasa’ atau “pengatur” dengan demikian dipandang dapat berkaitan dengan institusi politik. Ayat al Qur’an tersebut adalah terdapat pada surat Al-An’am ayat 165: dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut fitrahnya sendiri manusia dengan sendirinya terdorong untuk membangun kekuasaan untuk kepentingan mengatur kehidupan politiknya. Secara historis tidak bisa dibantah bahwa setelah Nabi Muhammad wafat institusi politik yang dilembagakan secara formal disebut dengan istilah khalifah, walaupun pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai nama lembaga politik tertentu, tetapi lebih berarti sebagai penerimaan atau penggantian dari suatu kekuasaan terdahulu. Kata Sultan dan Sultah berasal dari akar kata yang sama dengan sallata berarti memberi kekuasaan, sultah berarti kekuasaan (dalam arti umum), sultanah lembaga kekuasaan politik yang dipimpin sultan. Khalifah merupakan simbol kekuasaan keagamaan yang sah, sementara sultan hanya pelaksana setelah mendapat pengesahan khalifah. Sehingga dengan demikian penguasa pada institusi politik tertinggi (pemerintahan) disebut khalifah. 2.
Syarat syarat pemimpin Ahmad Abdul Qodir Abu Fariz memberikan 12 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang kepala negara yaitu ; Islam, dewasa atau aqil baligh, berakal, merdeka, lakilaki, adalah (Kelayakan Moral), mempunyai kemampuan, berpengetahuan, tidak meminta Imaroh atau jabatan, berdiam di dalam negeri, sehat indra dan anggota badan, keturunan Quraisy. 33 Sementara menurut Sulaiman Rosyid dalam Fiqh Islam menjelaskan beberapa syarat menjadi seorang pemimpin adalah berpengetahuan tinggi, adil, kifayah atau bertanggung jawab, dan sejahtera panca indera dan anggotanya.34 Beberapa diantara Syarat-syarat ini menurut penulis bisa digunakan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pemimpin yang ada di lingkungan masyarakat Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim, bahkan di lingkungan kota santri. Syarat-syarat tersebut adalah : 2.1. Islam
Terdapat dalam al Qur’an 2;30, 10;14, 6;165, 7;69, 35;39, dan 27;62 Muhammad Abdul Qodir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Robbani Press, Jakarta 2000, hal 121 34 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta ; 1954, Hal 470 32 33
83
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Kepala negara atau pemimpin apapun dalam lingkungan masyarakat Islam harus beragama Islam. Orang kafir sehebat apapun tidak dibenarkan memegang jabatan penting ini secara mutlak. Masyarakat Islam akan berada pada sebuah ancaman yang besar ketika mereka mengangkat pemimpin dari golongan non Islam. Dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa orang-orang non Islam selamanya tidak akan pernah rela melihat orang Islam berada dalam kejayaan. Dalam al Qur’an surat al Baqoroh ayat 120 dijelaskan : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesunguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” 35(QS. Al Baqoroh ; 120) Sejarahpun mengatakan demikian. Mulai dari runtuhnya dinasti Abbasiyah oleh tentara Mongol sampai pada peperangan yang marak terjadi di negara Arab adalah bentuk nyata dari ketidakrelaan orang-orang atau negara non Islam terhadap kejayaan negara Islam. 2.2. Dewasa atau aqil baligh Seorang pemimpin ataupun kepala negara disyaratkan sudah baligh atau mencapai usia dewasa karena menjadi prasyarat beban agama atau taklif. Anak di bawah umur tidak dikenai kewajiban agama sedangkan imamah adalah taklif yang paling berat untuk diemban. Keharusan seorang pemimpin memiliki sifat dewasa bukan saja dewasa dalam segi usia tapi juga memiliki kedewasaan dalam segi berfikir dan bersikap. Kedewasaan berpikir dan bersikap dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk menghadapi kemungkinan persoalan yang akan muncul sehingga dia mampu menghadapinya dengan sikap yang tenang dengan pemikiran yang matang. 2.3. Berakal Akal juga perangkat taklif agama. Olehsebab itu tidak dibenarkan mengangkat orang yang tidak sempurna akalnya (gila) menjadi pemimpin, melainkan harus memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga memungkinkan baginya berpikir dan mencermati persoalan-persoalan umat serta menemukan jalan keluar yang tepat. Seorang calon pemimpin sudah selayaknya dilakukan tes oleh psikiater untuk mengetahui tingkat kewarasannya, ketahanan mentalnya dalam menghadapi kemungkinankemungkinan yang terjadi ketika dia menjabat sebagai seorang pemimpin. Atau dengan
35
84
Departemen agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV Diponegoro Bandung 2000, hal 15
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
kata lain tingkat stresnya dalam menghadapi permasalahan yang muncul pada masa kepemimpinannya. Gila di sini banyak macamnya, diantaranya gila harta sehingga bisa mengakibatkan seseorang menjadi koruptor. Gila jabatan yang bisa menyebabkan seseorang mempraktekkan money politik atau apapun namanya agar dia mendapatkan jabatan, walaupun dengan menghalalkan segala cara yang penting bisa menjabat. Demikian juga gila wanita yang mengakibatkan seorang pejabat melakukan perselingkuhan nasional, tidak cukup dengan satu istri tetapi memiliki banyak wanita simpanan sebagai tempat pencucian uang dengan mudah. Atau dengan kata lain gila harta, tahta dan wanita yang sekarang ini sedang marak dipraktikkan oleh para pejabat di Indonesia. Pemimpin yang berakal adalah seorang pemimpin yang tidak gila harta,jabatan dan wanita. Pemimpin yang berakal adalah seorang pemimpin yang bekerja dan berjuang demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya. Bukan pemimpin yang berakal namanya jika dia hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya dan kesenangan-kesenangan pribadinya, memburu kemewahan hidup akan tetapi dia adalah digolongkan pada pemimpin yang tidak waras atau gila. 2.4. Merdeka Syarat seorang pemimpin menurut Ahmad abdul qodir Abu Fariz adalah Bukan seorang hamba sahaya atau merdeka. Merdeka merupakan syarat mutlak yang harus juga dipenuhi oleh seorang pemimpin agar dia mempunyai kebebasan untuk mengurus urusan umat dan memiliki kewenangan atas orang lain dan dapat melakukan ibadah wajib dan sunnah secara bebas. Hal ini mengandung pengertian bahwa seorang pemimpin memiliki kebebasan penuh dalam mengatur dan menjalankan roda pemerintahannya. Dalam bernegara dan berpolitik seorang pemimpin seharusnya sudah tidak lagi tergantung pada partai manapun yang mengusungnya tetapi ketika dia menjabat maka dia milik semua rakyatnya. Tidak dibenarkan jika dalam kepemimpinnya, dalam memutuskan kebijakannya masih dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan partainya atau salah satu partai tertentu sehingga kebijakan yang diambilnya terkesan berat sebelah. 2.5. Laki-laki Para ulama salaf dan juga khalaf telah sepakat bahwasanya tidak dibenarkan perempuan memegang kepmimpinan negara Islam karena bertitik tolak pada sabda Rosulullah :”tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan.” Dan juga adanya firman Allah SWT ; “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita 85
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri 36 ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)37 wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya38, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya39. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An Nisa’ 34) Kalimat laki-laki adalah pemimpin bagi wanita inilah yang kemudian dijadikan sandaran hukum untuk mengangkat laki-laki sebagai pemimpin dalam segala hal. Oleh sebab itu laki-laki lebih didahulukan dari pada perempuan, dan pada umumnya laki-laki lebih berkemampuan dari pada perempuan. Ayat ini meskipun diturunkan khusus mengenai kepemimpinan dalam keluarga akan tetapi ungkapan ayat ini menyangkut keumuman lafadz bukan keumuman sebab. Oleh sebab itu ayat ini tetap berlaku bagi kepemimpinan laki-laki dalam sebuah negara atau organisasi. Karena juga laki-laki dipandang lebih kuat fisik maupun mentalnya serta lebih lurus pandangannya dibanding perempuan. Secara psikologis perempuan lebih gampang trenyuh dan lebih sensitif perasaannya. Akan tetapi pendapat ini banyak dibantah karena seorang wanitapun memiliki kemampuan untuk memimpin jika mereka diberi keleluasaan dan kesempatan. Sebagai bukti bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Meskipun demikian pendapat diatas tidak bisa sepenuhnya dipungkiri karena diakui atau tidak kepemimpinan perempuan memiliki banyak kekurangan walaupun kepemimpinan lakilakipun tidak jauh berbeda. 2.6. ‘Adalah (kelayakan moral) Yang dimaksud adil (layak moral) bagi calon kepala negara tidak berarti dia terpelihara dari kesalahan : ucapan, perbuatan dan sikap. Sebab sifat ma’shum hanya dimiliki oleh para rosul yang memang mendapat perlindungan dari Allah dari perbuatan dosa dan ma’siat. Yang dimaksud dengan layak moral di sini adalah bahwa seorang pemimpin yang melaksanakan kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun dalam rukun Islam dengan baik dan tetap menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa dosa kecil. Meskipun dosa-dosa kecil tidak menggugurkan kelayakan moralnya namun harus segera beristighfar dari perbuatan salah dan dosa kecil yang disadari dengan tetap berniat untuk memperbaiki 36
Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik. 38 Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. 39 Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. 37
86
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
diri. Bertutur kata yang jujur, tampak teguh memegang amanah, jauh dari meragukan, dapat mengendalikan diri saat gembira dan saat marah, tidak secara terang-terangan melakukan maksiat dan tidak bertindak dlalim dalam pemerintahan. Oleh sebab itu tidak dibenarkan mengangkat pemimpin yang fasik. Sebab orang fasik adalah orang yang meremehkan aturan agama, tidak peduli dengan perbuatan dosa, tidak menjauhi kedzaliman terhadap orang lain, dan sikap berat sebelah. Sementara itu seorang pemimpin memiliki tugas memerangi kemungkaran, menghukum orang-orang fasik dan pelanggar hukum. Jadi mana mungkin diangkat menjadi pemimpin seorang yang melakukan perbuatan-perbuatan buruk ? Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa : َّ ََحدَّثَنَا ُم َح َّمد ُ ْبنُ ب ص ب ِْن َّ عبَ ْي ِد ُ ار قَا َل َحدَّثَنَا يَحْ يَى َع ْن َّ اَّللِ قَا َل َحدَّثَنِي ُخبَيْبُ ْبنُ َع ْب ِد ٌ َار بُ ْند ِ ع ْن َح ْف َ الرحْ َم ِن ٍ ش اْل َما ُم َّ س ْبعَةٌ ي ُِظلُّ ُه ْم َّ صلَّى َ َ اص ٍم َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ سلَّ َم قَا َل َ اَّللُ َعلَ ْي ِه َو ِ َع َ ِ ع ْن النَّبِي ِ اَّللُ فِي ِظ ِل ِه يَ ْو َم ََل ِظ َّل إِ ََّل ِظلُّهُ إ ْ ْ َّ َ ِ َّ اج ِد َو َر ُج ََل ِن ت َ َحابَّا فِي اَّلل اجْ ت َ َمعَا َعلَ ْي ِه َوتَفَ َّرقَا َعلَ ْي ِه َ َا إلعَا ِد ُل َوشَابٌّ ن ِ س َ شأ فِي ِعبَادَةِ َربِ ِه َو َر ُج ٌل قَلبُه ُ ُمعَل ٌق فِي ال َم َ َ َ َ َو َر ُج ٌل صدَّقَ أ ْخفَى َحتَّى ََل ت َ ْعلَ َم ِش َمالُهُ َما ت ُ ْن ِف ُق ٍ ص ُ ب َو َج َما ٍل فَقَا َل ِإنِي أخ ِ طلَبَتْهُ ا ْم َرأة ٌ ذَاتُ َم ْن َ َاَّلل َو َر ُج ٌل ت َ َّ َاف ْ ض َّ يَ ِمينُهُ َو َر ُج ٌل ذَك ََر ُت َع ْينَاه َ اَّللَ خَا ِليًا فَفَا Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Bundar berkata, telah mencerit akan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepadaku Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya; pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan 'ibadah kepada Rabbnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang lakilaki yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wani :ta kaya lagi cantik lalu dia berkata, 'Aku takut kepada Allah', dan seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, serta seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri hingga kedua matanya basah karena menangis." Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa ada tujuh orang yang mendapatkan naungan Allah pada suatu masa dimana tidak ada naungan selain naungan Allah. Salah satu dari ketujuh orang itu adalah pemimpin yang adil disebut pertama kali dibanding ke enam orang lainnya. Pemimpin yang adil adalah seorang pemimpin yang menempatkan segala sesuatu, segala urusan ataupun segala permasalahan sesuai tempatnya, dan mengambil kebijakankebijakan yang tidak menyimpang dari kaidah adil tersebut. Dalam hadis lain diriwayatkan pula bahwa : ِ َّ سو ُل َّس َّل َم ِإ َّن أَ َحب َّ ص َّلى ُ س ِعي ٍد َقا َل قَا َل َر َ َض ْي ٌل َع ْن َع ِط َّية َ َُحدَّثَنَا َيحْ َيى ْبنُ آدَ َم َحدَّثَنَا ف َ اَّللُ َع َل ْي ِه َو َ ع ْن أ َ ِبي َ اَّلل ِ َّ اس إِلَى ِ َّ اس إِلَى َ َاَّلل يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َوأ ً ع َّز َو َج َّل يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َوأَ ْق َربَ ُه ْم ِم ْنهُ َمجْ ِل ُشدَّه ِ ََّض الن ِ َّالن َ اَّلل َ سا إِ َما ٌم َعا ِد ٌل َوإِ َّن أ َ ْبغ َعذَابًا إِ َما ٌم َجائِ ٌر 87
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam berkata; telah menceritakan kepada kami Fudhail dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah 'azza wajalla pada hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya dari-Nya adalah seorang pemimpin yang adil, sedangkan orang yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan paling keras siksanya adalah seorang pemimpin yang lalim." Juga diriwayatkan bahwa: َّ س ْع ٍد أَبِي ُم َجا ِه ٍد ال طائِي ِ َع ْن أَبِي ُم ِدلَّةَ َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َ ي َع ْن َ َحدَّثَنَا َو ِكي ٌع قَا َل َحدَّثَنَا ُّ ِس ْعدَا ُن ْال ُج َهن ْ َّ ِ َّ سو ُل ُ اْل َما ُم ال َعا ِد ُل ََل ت ُ َردُّ دَع َْوتُه َّ صلَّى ُ َر َ اَّللُ َعلَ ْي ِه َو َ اَّلل ِ ْ سل َم Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata; telah menceritakan kepada kami Sa'dan Al Juhani dari Sa'd Abu Mujahid Ath Tha`i dari Abu Mudillah dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Seorang pemimpin yang adil tidak akan ditolak doanya." Dari beberapa hadis di atas nampak jelas bahwa seorang pemimpin mendapatkan keutamaan di sisi Allah adalah pemimpin yang adil. Oleh sebab itu, hendaknya masyarakat santri dalam memilih pemimpinnya harus didasari pada tujuan untuk memilih pemimpin yang mampu bersikap adil dalam kepemimpinannya. Jika pemimpinnya adil maka masyarakatnya menjadi aman, nyaman dan tentram. Akan tetapi jika pemimpinnya dhalim maka masyarakatnya akan selalu dilanda konflik, kecemasan, penindasan dan kesewenangwenangan dari pemimpinnya. 2.7. Mempunyai kemampuan Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan diri pada kepentingan umat, berani dan tegar, memiliki daya nalar yang baik, memusatkan pikiran untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurusinya, menyingkirkan kerusakan, cerdik dalam berpolitik, memiliki kesadaran tinggi, tidak lengah, memahami kemampuan para pembantunya dan akhlaq mereka agar dapat memilih dan menempatkan mereka pada posisi yang tepat. Ibnu Khaldun berkata jika kepala negara tegas dalam menegakkan hukum pidana dan mendobrak peperangan, memahami politik hukum dan perang, mampu mengarahkan manusia kearah sana, mengetahui liku-liku persekongkolan, kuat menghadapi beratnya politik, maka dengan demikian ia mampu melindungi agama, memerangi musuh, menegakkan hukum, dan mengurus kepentingan. َل يصلح الناس فوضى َل سراة لهم وَل سراة إذا جهالهم سادوا “Manusia tidak akan beres tanpa pemimpin dan bukanlah seorang pemimpin jika orang yang bodoh yang memimpin” 2.8. Berpengetahuan Para ulama membuat persyaratan hendaknya seorang pemimpin memiliki ilmu pengetahuan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan. Sebagian mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang disyaratkan 88
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
adalah ijtihad. Alasannya adalah karena seorang pemimpin melihat persoalan-persoalan yang timbul yang ia hadapi. Apalagi jika ada perselisihan antara rakyat atau pejabatnya maka dia mampu berijtihad sehingga mampu membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Artinya bahwa seorang pemimpin harus cerdas dalam menghadapi permasalahanpermasalahan yang muncul dalam masa kepemimpinannya. Memiliki pengetahuan luas sehingga dia mampu mencari solusi atau ide-ide baru guna menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang muncul. Asy-Syahristani mengemukakan : “sekelompok ahlussunnah cenderung membolehkan imam yang bukan mujtahid, yang tidak menguasai masalah ijtihad. Akan tetapi harus didampingi para mujtahid untuk menjadikan rujukan yang dapat memberi fatwa mengenai halal dan haram. Syarat ijtihad dan keberanian bagi imam tidak berlaku disebabkan karena dua persyaratan itu sulit ditemukan pada diri seseorang.40 أطلب في الحياة العلم والمال تحر الرئاسة على الناس ألنهم بين خاص وعام فالخاصة تفضلك بالعلم والعامة 41تفضلك بالمال Sehingga dengan adanya ungkapan ini maka seorang pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan minimal tentang ketatanegaraan dan politik. Sedangkan untuk pengetahuan-pengetahuan bidang yang lain bisa dibantu oleh para menteri-menteri yang diangkatnya. 2.9. Tidak meminta imarah Tidak meminta imarah atau jabatan. Abu Faris menjelaskan bahwa Islam melarang seseorang meminta jabatan kepemimpinan sebab menurutnya hal itu merupakan pengakuan diri suci, lebih suci dibanding orang lain. Sehingga dia layak dipilih. Ini merupakan hal yang tercela karena dzat yang paling suci adalah Allah SWT.42 Dengan mengutip potongan ayat firman Allah dalam QS. An Najm ayat 32: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” Dalam sebuah hadispun dijelaskan bahwa Rosulullahpun melarang umat Islam untuk meminta jabatan atau memberikan jabatan kepada orang yang memintanya. Sebagaimana sabda beliau: “Dan kami, demi Allah sungguh tidak memberikan kepemimpinan ini kepada seseorang yang memintanya, dan tidak pula yang berambisi kepadanya. Dan pada kesempatan yang lain beliau juga bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah : “Hai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan, sebab jika kamu
40
Ibid, 126 Abdurrahman Tsanie, Mutiara Kehidupan Manusia, Ababil Pers Surabaya,2003, hal 38 42 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam,hal 127 41
89
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
diberi karena meminta kamu tidak akan dibantu, dan jika diberi bukan karena meminta, maka kamu akan dibantu.. Secara umum meminta kepemimpinan dalam agama ini dilarang. Nash-nash al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang jumlahnya cukup banyak menguatkan keharamannya atau setidaknya menunjukkan kemakruhannya. Apalagi meminta jabatan dengan memberikan uang kepada masyarakat agar masyarakat memilihya menjadi pemimpin. yang kemudian pemberian itu disebut money politik. Money politik bisa dihukumi sebagai suap. Suap adalah memberikan harta atau barang berharga kepada orang lain dengan tujuan-tujuan tertentu selain Allah berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi. Ini hukumnya haram. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Hadist Sunan Abu Daud, hadis no 3109 : َّ سلَ َمةَ َع ْن َع ْب ِد ََ اَّلِ ب ِْن َع ْم ٍر ََا ِ ار َّ ث ب ِْن َع ْب ِد ٍ ْس َحدَّثَنَا ا ْبنُ أ َ ِبي ِذئ َ الرحْ َم ِن َع ْن أَبِي ِ ب َع ْن ْال َح َ ُحدَّثَنَا أَحْ َمد ُ ْبنُ يُون َّ صلَّى َّ َُ سو الرا ِشي َ ْال ُم ْرتَشِي ُ لَعَنَ َر َّ سلَّ َم َ َ اَّلُ َعلَ ْي ِه َ ِاَّل “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin 'Amru ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melaknat orang yang memberi uang sogokan dan orang yang menerimanya." 2.10. Berdiam di dalam negeri Seorang pemimpin atau kepala negara harus warga negara yang bertempat tinggal di dalam negeri dan hidup bersama warganya dan ikut merasakan apa yang mereka hadapi. Karena tidak mungkin seorang pemimpin yang tidak tinggal di daerah atau wilayah kepemimpinannya bisa menangani masalah-masalah dan mengambil kebijakan politik dalam negeri dan luar negerinya dari jauh, dan diapun tidak ikut merasakan problemproblem yang dihadapi masyarakatnya di negaranya, tidak memiliki kepekaan dan mengambil kebijakan Allah SWT berfirman dalam surat An Anfal ayat 72 : “Sesungguhnya orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan kepada orang-orag muhajirin, mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atas kamu melindungi mereka hingga mereka itu hijrah. (al-Anfal 72).43 2.11. Sehat indra dan anggota badan Maksud persyaratan ini adalah sehat indra dan anggota badan yang tidak menyebabkan gangguan serius dalam kepemimpinan seperti tidak mempunyai daya 43
90
Departemen Agama, hal 148
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
penglihatan, wicara, pendengaran dan lain-lain yang member pengaruh terhadap penalaran dan analisis. Sedangkan cacat fisik adalah seperti tidak sempurna kedua tangan atau kakinya yang menyebabkan gangguan pada kelincahan dan gerakan serta kurang menarik pemandangan serta megurangi wibawa dimata umum. Tidak juga gila, buta,tuli dan pelat serta kekurangan-kekurangan fisik atau mental yang berdampak tidak dapat melaksanakan pekerjaan. Diisyaratkan bebas dari itu semua dikarenakan berdampak pada kesempurnaan pelaksanaan tugas. Di samping beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk kemudian bisa dipilih menjadi seorang pemimpin secara garis besar bisa kita simpulkan bahwa mereka juga harus memiliki ke empat sifat Rosulullah Muhammad SAW. Rosulullah Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang sempurna. Beliau selain memiliki syarat-syarat yang telah disebutkan di atas juga memiiki sifat-sifat yang utama yang dianugrahkan Allah kepada beliau. Sifat tersebut adalah tabligh, shiddiq, amanah, dan fathonah. Semuanya itu menggambarkan kesempurnaan pribadi Rosulullah SAW sebagai sosok panutan serta bagaimana kaum muslimin menyikapi dalam menteladani perilaku beliau.44 Kesempurnaan beliau sebagai seorang pemimpin negara sudah selayaknya dijadikan acuan oleh para pemimpin bangsa Indonesia dalam segala lini. Sehingga selain persyaratan di atas maka seorang pemimpin juga harus memiliki sifat tabligh, shiddiq, amanah, fatonah. Tabligh artinya menyampaikan. Dalam sebuah kepemimpinan seorang pemimpin harus transparan terhadap rakyatnya. Selalu menyampaikan segala sesuatu apa adanya tanpa harus ada yang ditutup tutupi, demi kelancaran kepemimpinannya dan kemaslahatan warganya. Sehingga terhindar dari perbuatan manipulasi dan pemalsuan data. Shiddiq bermakna benar. Seorang pemimpin sudah seharusnya menjunjung tinggi kebenaran dan menyatakan perang terhadap kedloliman. Dalam sebuah kepemimpinan, seorang pemimpin ditutut untuk berlaku benar baik dalam ucapan maupun perbuatan. Benar dalam ucapan adalah berkata benar atau jujur. menyampaikan segala sesuatu dengan benar, transparan tanpa ada aspek manipulasi.dengan memperhatikan sabda Rosul “katakanlah yang benar walaupun itu menyakikan.” Sedangkan benar dalam perbuatan adalah benar dalam bersikap, mengambil kebijakan kebijakan yang sifatnya untuk kemaslahatan umatnya/warganya Amanah adalah melaksanakan kepemimpinan dengan jujur, Bertanggung jawab terhadap segala persoalan-persoalan yang muncul pada masa kepemimpinannya dengan sebaik-baiknya, dengan segala daya upayanya. Mengatasi persoalan-persoalan dengan bijaksana. Menghindar bahkan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela yang dapat mencoreng nama baik dirinya dan kepemimpinannya. Seperti korupsi, kolusi dan H.Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002,cet 2, hal 127
91
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
nepotisme atau perbuatan khianat lainnya yang sangat merugikan kepemimpinannya dan bahkan rakyatnya. Fatonah artinya cerdas. Seorang pemimpin dituntut cerdas dalam berpikir, berucap dan bersikap. Cerdas dalam berfikir adalah seorang mampu memikirkan dan mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang muncul. Cerdas dalam berucap adalah selalu santun dan penuh tatakrama dalam berbahasa untuk menyampaikan ide-ide inovatifnya. Cerdas dalam bersikap adalah seorang pemimpin dituntut untuk bijaksana dan berusaha untuk selalu tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait permasalahan-permasalahan dalam kepemimpinannya. 3. Perilaku politik santri Martin Van Bruinessen menjelaskan tentang hubungan antara ulama dan umaro selalu bersifat ambivalen. Pendapat ini dikuatkannya dengan mengemukakan sebuah hadis yang mengatakan “seburuk buruk ulama adalah mereka yang menemui umara dan sebaikbaik umara adalah mereka yang menemui ulama”. Pendasaran ini disebabkan adanya pemikiran bahwa ulama senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekauasaan de facto. Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa kekuasaan itu selalu korup, dan berdekatan dengan mereka akan merusak harkat moral ulama dan integritas ajaran mereka,para ulama.45 Konsep politik dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hukum, sebab salah satu yang penting dalam hukum Islam mengharuskan adanya lembaga kekuasaan untuk menjalankan hukum itu.46 Konsep politik dalam Islam adalah politik tingkat tinggi yaitu politik yang berpegang pada politik kebangsaan, politik kerakyatan dan etika politik.47 Politik kebangsaan adalah sebuah politik yang konsisten dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final Negara bagi bangsa indonsia yang selama berratus-ratus tahun diperjuangkan oleh para pejuang bangsa Indonesia. Politik kerakyatan adalah politik yang aktif memberikan penyadaran tentang hakhak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenangwenang dari pihak manapun. Sehingga untuk itu semua etika politik harus ditanamkan pada para pejabat pada khususnya serta masyarakat dan bangsa pada umumnya agar tercipta kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara. Etika politik adalah sebuah sikap yang harus dijunjung tinggi, dihayati dan diamalkan. Menurut Frans Magnis Suseno etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politik kehidupan manusia merupakan bagian dari etika sosial yang menyangkut tentang tanggung jawab dan kewajiban manusia terhadap sesamanya yang tidak hanya 45
Martin Van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 1998,
hal 165 46 47
92
M.Ali Haidar, hal 97 Muhammadun, kiai Sahal,NU, dan Politik 2014, jawaps disi Sabtu 25 Januari 2014, hal 4
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia tetapi juga terhadap Yang Ilahi. 48 Etika politik yang harus diterapkan dalam pemerintahan di Indonesia pada umumnya adalah sebuah etika politik yang berlandaskan kepada pancasila. Dalam Filsafat Pancasila terkandung suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Sebagai suatu nilai, Pancasila merupakan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila diambil dari nilainilai al Qur’an dan hadis yang merupakan karakter politik pesantren dan seharusnya juga menjadi karakter politik bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan beberapa wilayah di dalamnya merupakan basis pesantren. Dengan demikian sudah seharusnyalah politik yang digunakan harus berkarakter pesantren. Menurut sejarah, sebagaimana yang dipaparkan Ainna Amalia, karakter politik pesantren sangat visioner, reformatif, dan reflektif dengan semangat perjuangan dan pemihakan bagi kepentingan masyarakat. Politik pesantren yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara lebih mengedepankan rasa optimisme dan selalu berfikir dan bertindak positif demi kepentingan rakyat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan itu semua maka butuhnya menjadikan nilai-nilai Qur’ani sebagai landasan atau roh bagi pembenahan sistem bernegara yang dimulai dari penataan mental manusianya. Nila- nilai qur’ani tersebut adalah : 1. Terciptanya sosok pemimpin yang mulia atau Al akrom. Yang diambil dari ayat alQur’an S. Al Hujurat ayat 13 : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dalam ayat ini dijelaskan manusia yang mulia disisi Allah itu adalah manusia yang memegang teguh ketakwaannya. Hal ini mengandung pengertian bahwa bentuk individu yang ideal adalah yang memiliki kesalehan yang transendental. Politikus akrom dipersonifikasikan dengan niat baik penuh keikhlasan. Bertindak hanya karena Allah, bukan semata mata kepentingan pribadi atau golongan.
48
Etika dibagi dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum adalah etika yang mempertanyakan tentang prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip prinsip tersebut dalam berbagai lingkup kehidupannya. Yang kemudian dibedakan antara etika individu, yang membahas tentang kewajiban manusia sebagai individu terhadap dirinya sendiri dan terhadap tuhannya, dengan etika social yang didalamnya tercakup juga etika politik yang menyangkut tentang kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap orang lain, lingkungannya dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhannya. lihat Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar KeNegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005 hal 13
93
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
2. Pemimpin yang solih atau al Sholih yang diambil dari QS. Al Anbiya’ ; 105. “dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur49 sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” Dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa individu dengan kesalihan horizontal adalah individu yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi, jujur, tawadu’ (humbleness), sederhana, santun dalam bertutur dan bertindak, istiqomah baik dalam bentuk kepatuhan terhadap aturan maupun ketaatan memenuhi tanggung jawab yang diemban. 3. Pemimpin yang teladan al Uswah al hasanah (memiliki keteladanan) yaitu individu yang memiliki sikap, pola pikir dan tutur sapa yang dapat dijadikan suri tauladan bagi masyarakatnya, dengan kata lain dapat menjadi role model bagi orang lain yang dikembangkan menjadi bentuk komunikasi yang terbuka, demokratis, serta siap memimpin sekaligus bersedia dipimpin. 4. Pemimpin yang tidak matre atau gila harta al Zuhd (tidak berorientasi pada materi). Individu dengan sifat Zuhd tidak akan memiliki orientasi hidup yang bersifat kebendaan dan jabatan. Sesuatu yang berupa materi hanya perantara untuk pencapaian yang lebih tinggi, yakni ridlo Allah SWT. Segala sesuatu yang dia lakukan di dunia bertujuan hanya untuk beribadah kepada Allah dalam rangka mewujudkan firman Allah : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56 ) 5. Pejuang al Kifah al Mawaddah (pemimpin yang memiliki daya juang). Individu yang memiliki daya juang akan berani melakukan sesuatu demi kemajuan masyarakat, bangsa, dan agama tanpa pamrih pribadi. Tidak takut dengan resiko yang dihadapi dengan selalu bertawakkal kepada Allah. 6. Independen al I’timad ala al Nafs (kemandirian), yakni yang menghindari ketergantungan kepada pihak lain. Karena itu, independensi sikap, prinsip, dan pandangan hidup tidak terkoyak oleh pihak lain. Seorang politikus ketika menjabat sudah seharusnya melepaskan diri dari ketergantungan atau keterikatan dengan partai yang mengusungnya. Hal ini karena dia adalah pemimpin semua rakyat, milik semua rakyat dengan kebijakan yang adil dan menyeluruh untuk semua rakyat bukan untuk partainya saja. Maka sudah seharusnyalah dalam segala kebijakannya harus menjaga independensi sikap dari ketergantungan, keberpihakan atau pengaruh partainya. Nilai-nilai tersebut bisa menjadi pegangan bagi tercapainya kehidupan bernegara yang adil dan sejahtera. Karena itu, sebenarnya tersemat harapan besar bagi kalangan pesantren yang terjun kedunia politik praktis atau politik di kalangan kota yang berbasis 49 Yang dimaksud dengan Zabur di sini ialah seluruh kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-nabiNya. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. dengan demikian Adz Dzikr artinya adalah kitab Taurat.
94
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
santri bahwa mereka dapat membawa missi pembenahan system demokrasi yang dianggap gagal.50 Hal ini semua bisa diwujudkan kalau para politikus muslim Indonesia tetap memposisikan sikap politiknya pada politik tingkat tinggi (high politics) bukan malah terhanyut pada pola permainan politik praktis/partai (low politics). Berkaitan dengan itu semua diharapkan kepada semua warga, masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Islam pada khususnya untuk memilih pemimpin mereka dengan memperhatikan beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tersebut yang sudah dipaparkan di muka. Hal ini diharapkan ketika pemimpin yang terpilih sesuai dengan persyaratannya maka akan terealisasi politik tingkat tinggi (high politics). Akan tetapi apabila masyarakat Indonesia masih membiarkan dirinya terbuai dengan kenikmatan money politik yang sifatnya hanya sesaat dan membiarkan mereka politikus-politikus rakus yang berperangai seperti tikus menjabat maka tidak akan terwujud baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur yang didamba-dambakan oleh pejuang bangsa. Karena jika benar itu dibiarkan terus terjadi maka bangsa akan mengalami kerugian dan kemunduran yang sangat drastis. Kalau tidak mau disebut pada akhirnya akan terjerembab pada kenistaan, karena korupsi dimana-mana, perselingkuhan merajalela dan menjadi trend pejabat bangsa. Maka masyarakatnyapun tak jauh berbeda….. na’uzubillah. Antony Black menyatakan bahwa salah satu sebab kenapa negara menjadi mundur adalah disebabkan adanya pengangkatan pejabat yang tidak cakap, dan kesalahan mengalokasikan tanah garapan militer. Solusinya adalah dengan penghapusan tradisi suap, mengangkat hanya orang yang layak, memberikan gaji yang memadai kepada para pejabat negara, dan menyusun peraturan untuk penetapan timer. Memberikan jabatan politik dan militernya kepada orang yang memiliki latar belakang dan pendidikan yang sesuai. Sebagaimana yang dikutip oleh antony black bahwa seorang penguasa harus jujur, teratur dan harus menghindari kemewahan. Pranata yang baik dalam pemerintahan dan agama dan restorasi kekuatan militer tergantung pada pelaksanaan syari’at. Hal ini tergantung pada ilmu agama dan karenanya sangat penting untuk mengangkat para ulama yang layak. Reformasi sitem pengangkatan pejabat agama khususnya syekhul islam dalam hal ini teramat dibutuhkan.51 C. Kesimpulan dan penutup 1. Kesimpulan Ahmad Abdul Qodir Abu Fariz memberikan 12 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang kepala negara yaitu ; Islam, dewasa atau aqil baligh, berakal, merdeka, lakilaki, adalah (Kelayakan Moral), Mempunyai Kemampuan, Berpengetahuan, tidak meminta
50 51
Ainna amalia F.N, Psantren dan Anas Urbaningrum, Jawa Pos, Rabu 22 Januari 2014, hal 4 Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari masa Nabi Hingga Masa Kini, hal 479-480
95
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Imaroh atau jabatan, berdiam di dalam negeri, sehat indra dan anggota badan, keturunan Quraisy. Sementara menurut Sulaiman Rosyid dalam Fiqh Islam menjelaskan beberapa syarat menjadi seorang pemimpin adalah berpengetahuan tinggi, Adil, kifayah atau bertanggung jawab, dan sejahtera pancaindara dan anggotanya. Politik ala pesantren adalah konsep politik yang diajarkan dalam Islam yaitu politik tingkat tinggi, politik yang berpegang pada dan menjunjung tinggi politik kebangsaan, politik kerakyatan dan etika politik. 2.
Penutup Dengan lantunan Alhamdulillahirobbil ‘alamin yang tak terhingga, akhirnya artikel ini selesai juga meskipun dalam waktu yang cukup lama. Pun demikian artikel ini memiliki banyak kekurangan sehingga kami mohon keluasan pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dan pengayaan penulis pada artikel-artikel selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, PT Srambi Ilmu Semesta, Jakarta 2006 Ainna amalia F.N, Psantren dan Anas Urbaningrum,Jawa Pos edisi Rabu 22 Januari 2014 Abdurrahman Tsanie, Mutiara Kehidupan Manusia, Ababil Pers Surabaya,2003 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005 Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, LESFI,Yogyakarta 2001 H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002, cet 2 Michael T.Gibbons, Tafsir Politik, CV. Qolam, Yogyakarta, 2002 M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Muhammad Abdul Qodir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Robbani Press, Jakarta 2000 Martin Van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 1998 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, tt
96
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Oleh Shofaussamawati52
Abstract In Islam, leadership is very strategic, Islam considers that the leaders fulfill their duty to realize the condition of the people who baldatun thoyyibatun warobbun ghafur. Namely the Islamic community life systems implement Islamic values so as to achieve the level of prosperity and well-being equitable with justice for all citizens. Therefore it becomes very important for us to uncover how exactly the Quran as a source of doctrine and way of life of Muslims speak (giving demands) on the establishment of the leadership in Islam. The term leadership in the Koran are found by various terms, including the caliph, ulil amri. Whereas Imamate and leadership principles according to the Qur'an is trustworthy, fair, deliberation, and amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur'an also suggests qualities must a leader among which are patient and steadfast, able to demonstrate a good path to his people, and good. Keywords: Leadership, Al-Quran, Islam
A. Pendahuluan Pada tahun 2014 ini Negara kita Indonesia mempunyai beberapa agenda politik, mulai dari pemilukada untuk memilih bupati, walikota dan gubernur di berbagai daerah, pemilu legislative untuk memilih para wakil rakyat baik DPRD TK II, DPRD TK I, DPR Pusat dan pemilu presiden untuk memilih capres dan cawapres sebagai pemimpin negara, sehingga banyak orang menyebut tahun ini adalah tahun politik. Dari deretan agenda itu pada intinya masyarakat Indonesia mempunyai tugas untuk memilih para pimpinan baik dari tingkat daerah, bupati dan gubernur maupun tingkat pusat yaitu presiden.Yang menjadi permasalahan adalah masyarakat dalam memilih seorang pemimpin kebanyakan atau bahhkan bisa dikatakan mayoritas berdasarkan subyektifitasnya masing-masing.Maka bagaimana sebetulnya sumber ajaran kita umat Islam memberikan tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Di sisi lain seorang pemimpin yang sudah dipilih oleh rakyat dia juga harus tahu apa itu kepemimpinan dan bagaimana seseorang pemimpin itu bisa menjadi pemimpin yang ideal, bisa memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu,dalam tulisan ini penulis berusaha untuk mengungkap apa itu kepemimpinan dan bagaimana kriteria seorang pemimpin dalam perspektif al-Qur’an.
52
Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus
97
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
B. Istilah Kepemimpinan Dalam kamus bahasa Indonesia istilah kepemimpinan berasal dari kata“pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata pemimpin itusendiri mempunyai makna “orang yang memimpin.” Jadi kepemimpinanadalah cara untuk memimpin.53Sedangkan kepemimpinan ditinjau dari segi bahasa, berasal dari kataleadership (kepemimpinan) yang berasal dari kata leader (pemimpin).Kataini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership munculkemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an, kajian tentangkepemimpinan didasarkan pada teori sifat.Teori ini terbatas hanya mencarisifat-sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin.Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejaklahir atau bakat bawaan.54 Jika kepemimpinan lebih memiliki arti luas, pemimpin merupakanspesifikasi dari kepemimpinan tersebut. Dengan demikian, pemimpin bisadiartikan sebagai individu yang menduduki suatu status tertentu di atasindividu yang lain di dalam kelompok, dapat dianggap seorang pimpinan ataupemimpin.55Hal ini memungkinkan bahwa dalam menduduki posisinyamelalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu. Di dalam Al-Qur’an kepemimpinan diungkapkan dengan berabagai macam istilah antara lainkhalifah, Imam, Uli al-Amri, dan masih banyak lagi yang lainnya. a. Khalifah Dalam Al-Qur’an kata yang berasal dari Kh-l-f ini ternyata disebut sebanyak 127 kali, dalam 12 kata kejadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja menggantikan, meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada juga yang artinya telah “menyimpang” seperti berselisih, menyalahi janji, atau beraneka ragam. 56Sedangkan dari perkataan khalf yang artinya suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, pengganti, penguasa – yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Qur’an – lahir kata khilafah.Kata ini menurut keterangan Ensiklopedi Islam, adalah istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam, yang bersinonim dengan kata imamah yangberarti kepemimpinan.57 Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah khalifah baik dalam bentuk mufrad maupun jamaknya, antara lain: َالوا أتجعل فيها من يفسد فيها يسفك الدماء نحن نسبح بحمدك،إذ َاَ ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة 03 : َاَ إني أعلم ما ال تعلمون البقرة،نقدس لك Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau 53
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4,1994, hlm. 967. Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 8. 55 Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 7. 56 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II, hlm: 349 57 Ibid, hlm: 357 54
98
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Quraish Shihab di dalam “Tafsir al-Mishbah” mengatakan bahwa ayatini merupakan penyampaian Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nyamenciptakan manusia di muka bumi ini. Penyampaian kepada mereka menjadisangat penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkutmanusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yangbertugas memelihara, ada yang membimbingnya.58Penyampaian ini bisa jadi merupakan bagian dari proses penciptaanalam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengannyaman. Maksud Allah ini kemudian didengar oleh malaikat dan malaikat lalubertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah(manusia) ini akan merusak dan menumpahkan darah.59Dugaan iniberdasarkan pada pengalaman mereka sebelumnya. Pertanyaan mereka jugabisa lahir penamaan Allah terhadap makhluk yang akan diciptakan itu dengankhalifah.60 Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama’ yang lain telahmenjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untukmenyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolongorang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanyakejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecualidengan adanya imam (pimpinan).61 أ عجبتم أن جاءكم ذكر من ربكم على رجل منكم لينذركم اذكر ا إذ جعلكم خلفاء من بعد َوم نوح زادكم في 96 :الخلق بصطة فاذكر ا آالء هللا لعلكم تفلحون (األعراف Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu?Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai 58 Dalam Tafsir al-Misbah katakhalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atauyang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ada juga yang memberikan makna yang “menggantikan Allah”, bukannya dia tidak mampu untuk menjadikan manusia menjadi Tuhan, akan tetapi ini merupakan ujian bagi manusia, dan memberinya penghormatan epada manusia. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (pesan dan Kesan Keserasian al-Qur’an), Jakarta:Lentera Hati, volume.I, cet. Ke-2, 2004, hlm. 140. 59 Dalam proses penciptaan manusia sebagai khalifah di Bumi (Adam), terjadi penolakan dari mahlukmahluk yang lain, yakni Malaikat. Mereka merasa dia lebih hebat banding dengan manusia, pada dasarnya, mereka beranggapan dengan adanya manusia, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi ini seperti pengalaman yang dulu. Malaikat beralasan bahwa mereka diciptakan dari Nur. Hal serupa ditandaskan oleh mahluk yang bernama Iblis, dia merasa lebih hebat dari manusia, dengan argumen dia di ciptakan dari api, sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Iblis sangat kecewa dengan kehadiran manusia, karena mereka tidak dianggap sebagai wakil-Nya untuk menjaga Bumi. Untuk itu, Iblis bersumpah kapada Allah, akan mengganggu manusia sepanjang zaman. Lihat Achmad Chodjim, Membangun Surga, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, cet, ke-1, 2004, hlm. 174. 60 M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 140. 61 M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999, hlm. 104.
99
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. إن ربك سريع العقاب، هو الذي جعلكم خالئف األرض رفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم في ما ءاتا كم 591 :إنه لغفور الرحيم (األنعام Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. إن الذين يضلون، يا دا د إنا جعلناك خليفة في األرض فاحكم بين الناس بالحق ال تتبع الهوى فيضلك عن سبيل هللا 69 :عن سبيل هللا لهم عذاب شديد العقاب (ص Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Allah menyuruh kepada Nabi Dawud, untuk menjadi khalifah, menjadihakim di antara manusia, karena beliau mempuyai kekuasaan.Untuk itu manusia wajib mendengarkan dan mentaatinya.Kemudian Allah menjelaskan kepada Nabi Dawud kaidahkaidah hukum untuk diajarkan kepada manusia.Pertama, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan dalil artinya hukumilah manusia dengan seadil-adinya sebagaimana berdirinya langit dan bumi.Ini merupakan kaidah-kaidah hukum yang paling utama dan penting dalam penegakan hukum.Kedua, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, artinya jangan condong dengan hawa nafsumu ketika memutuskan suatu perkara atau karena asanya kepentingan duninya ketika sedang menghukumi, maka sesunggunya mengikuti hawa hafsu akan lebih menjerumuskan ke api neraka sebagaimana Allah berfirman: “Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” artinyasesungguhnya mengikuti hawa nafsu menjadi sebab terjerumus kepadakesesatan dan melenceng dari kebenaran yang haqiqi dan akibatnya adalah,kedhaliman, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an “Sesungguhnyaorang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,karena mereka melupakan hari perhitungan.” artinya sesungguhnya merekayang melenceng dari jalan kebenaran dan keadilan, dan mereka akanmendapatkan siksa yang amat besar dan pedinya dihari kiyamat nanti.62 Ayat ini mengisyaratkan bahwa, salah satu tugas dan kewajiban utamaseorang khalifah (pemimpin) adalah menegakkan supremasi hukum secara adil (al haq).Artinya tidak membedakan golongan, dan juga seorang pemimpin tidak boleh menjalankan
62 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri Al- Ma’sir, jus 23, t.th, hlm. 187.
100
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Tugas kepemimpinan adalah tugas fisabilillah (jalan allah) dan karenanya mulia. ال يزيد، فمن كفر فعليه كفره ال يزيد الكافرين كفرهم عند ربهم إال مقتا، هو الذي جعلكم خالئف في األرض (39 الكافرين كفرهم إال خسارا (فاطر Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. Dari beberapa ayat tersebut di atas menjadi jelas, bahwa konsep khalifah dimulai sejak nabi Adam secara personil yaitu memimpin dirinya sendiri, dan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam juga mencakup memimpin dirinya sendiri yakni mengarahkandiri sendiri ke arah kebaikan.Disamping memimpin diri sendiri, konsep khalifah juga berlaku dalam memimpin umat, hal ini dapat dilihat dari diangkatnya nabi Daud sebagai khalifah. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.Dalam hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan; (2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu.Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26). Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti lita’zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi tetapi juga penguasa kerajaan (“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa penerima amanah, pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya kepada si pemberi amanah, yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia, dan “pengadilan” Allah swt di Padang Mahsyar nanti.Konsep khalifah di sini mempunyai syarat antara lain, tidak
101
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
membuat kerusakan di muka bumi, memutuskan suatu perkara secara adil dan tidak menuruti hawa nafsunya. Allah memberi ancaman bagi khalifah yang tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. b. Imamah Dalam Al-Qur’an kata imam terulang sebanyak 7 kali, sedangkan kata aimmahjamaknya kata imamterulang 5 kali.Kata imam dalam Al-Qur’an mempunyai beberapa arti yaitu, nabi, pedoman, kitab/buku/teks, jalan lurus, dan pemimpin.63 Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah imam antara lain: :الذين يقولون ربنا هب لنا من أز اجنا ذرياتنا َرة أعين اجعلنا للمتقين إماما (الفرَان Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteriisteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. :إذ ابتلى إبراهيم ربه بكلمات فأتمهن َاَ إني جاعلك للناس إماما َاَ من ذريتي َاَ ال يناَ عهد الظالمين (البقرة Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". Dalam Tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i juz 1 halaman. 273, dalam menjelaskan ayat di atas beliau menyebutkan sebuah riwayat yang diriwayatkan Imam Ja’far Ash-Shadiq as : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima Nabi Ibrahim as sebagai seorang hamba sebelum Dia mengangkatnya menjadi seorang mabi, mengangkatnya menjadi nabi sebelum Dia memilihnya menjadi rasul, mengangkatnya menjadi rasul sebelum Ia menjadikannya sebagai kekasih-Nya (Khalilullah), dan menjadikannya sebagai khalilullah sebelum mengangkatnya menjadi seorang imam. Dan setelah Allah menganugerahkan semua itu kepadanya, Dia berfirman: “Sungguh Aku telah mengangkatmu menjadi imam bagi seluruh manusia”. Karena imamah itu sangat agung baginya, maka beliau memohon kepada Allah: “Dan dari keturunanku juga!”. Kemudian Allah menjawab: “Janjiku ini (imamah) tidak akan dapat digapai oleh orang-orang yang zalim”. Selanjutnya Imam Ja’far berkata: “Orang yang bodoh tidak akan menjadi imam bagi orang yang bertakwa”. Allamah Thabathaba’i mengatakan berdasarkan riwayat di atas, yang dimaksud dengan “Kalimat” dalam ayat ini adalah imamah Nabi Ibrahim as, Ishak dan keturunannya yang kemudian ia menyempurnakannya dengan imamah Muhammad SAW dan para imam Ahlul Bayt a.s dari keturunan Nabi Ismail as Kemudian Allah memperjelas persoalan ini dengan firman-Nya: “Sungguh Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia.” Allah menguji Nabi Ibrahim dengan berbagai macam ujian, dimana ujian yang diberikan kepada beliau.Sebagai seorang Nabi, ujian yang diberikan kepada beliau tidaklah 63 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm: 197-199
102
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
ringan.Misalnya perintah untuk menyembelih anaknya.Padahal sudah bertahun-tahun beliau menginginkan anak, dan Allah mengabulkan permintaan beliau ketika usianya sudah lanjut.Maka betapa sulit kita bayangkan beratnya ujian yang beliau hadapi ketika anak yang sangat disayanginya masih muda belia tiba-tiba diminta untuk disembelih. Biasanya memang kalau kita menyenangi sesuatu ,maka Allah akan menguji apakah kesenangan terhadap sesuatu itu melengahkan ingatnya kepada Allah. Tentu saja memang kualitas ujian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Jika kita menyukai sesuatu dengan berlebihan maka Allah pasti akan menguji. Begitu pula ujian bagi Nabi Ibrahim saat ia diusir oleh bapaknya. Ia tidak lagi diakui anak oleh Azar sang bapak. Begitu pula saat ia menghadapi raja Namrudz. Semua berhala ia hancurkan dengan tangannya, kecuali yang paling besar. Dengan menyisakan patung yang paling besar, ia bermaksud untuk menyadarkan masyarakatnya melalui nalar mereka. Dalam Al-Qur'an juga memberitakan perjalanan Nabi Ibrahim dalam menemukan Tuhan yang pantas disembah dengan melihat jagad raya ini hingga ia mengagumi bulan, matahari dan sebagainya dan akhirnya ia menemukan bahwa hanya Allah lah Dzat yang pantas untuk disembah. Ia berkesimpulan bahwa semua benda-benda yang ia temukan tadi akan hancur dan lenyap, dan ada Dzat yang tidak hancur dan lenyap yakni Allah SWT. Begitu pula ujian yang ia terima untuk membangun Ka'bah dan meninggalkan istrinya, Hajar, sendirian di tanah yang tandus Makkah bersama anaknya, Ismail. Padahal saat itu ia berdomisili di Syiria. Nabi Ibrahim menjenguk anak istrinya ini hanya 3,5 tahun sekali, akibat jaraknya yang jauh. Ia betul-betul luarbiasa dalam bertawakkal kepada Allah SWT. Bahwasanya dalam surat Al Baqarah ayat 124 mengisyaratkan bahwa kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang zalim, yakni yang berlaku aniaya. Dalam surat ini menjelaskan salah satu perbedaan yang menunjukkan ciri pandangan islam tentang kepemimpinan dengan pandangan-pandangan yang lain. Islam menilai bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta ketaatan dari yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga harus terjalin hubungan harmonis antara yang diberi wewenang memimpin dengan Tuhan.Yaitu berupa janjin untuk menjalankan kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya. (janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim), menunjukkan bahwa perolehan kepemimpinan lebih banyak merupakan anugerah, bukan upaya manusia. itulah sebabnya ayat tersebut menyatakan “janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim”, dalam arti bahwa mereka yang aktif mencari kedudukan , tetapi justru “janji” yang menjadi pelaku (subyek). Janji itu yang tidak menemui atau mendapatkan mereka.
103
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Dari penafsiran QS Al Baqarah ayat 124 dapat dipahami bahwa kepemimpinan tergantung pada karakter pemimpinnya. Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik, dan kemampuan sosial. Dalam ayat ini juga diterangkan bahwa kepemimpinan dalam islam lebih kepada anugerah bukan kepada upaya manusia. Dan tidak mungkin Allah memilih seorang yang zalim sebagai seorang pemimpin.Karakter pemimpin haruslah baik yang meliputi aspek kepribadian dan kemapuan sosial.Kepribadian yang dimiliki seorang pemimpin yang dimaksud tentunya tidak zalim seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 124.Artinya ayat ini juga menekankan terhadap identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Identifikasi pribadi disini dapat diartikan pengetahuan yang dimiliki seorang pemimpin, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. :جعلناهم أئمة يهد ن بأمرنا أ حينا عليهم فعل الخيرات إَام الصالة إيتاء الزكاة كانوا لنا عابدين (األنبياء Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah 4 : نريد أن نمن على الذين استضعفوا في األرض نجعلهم أئمة نجعلهم الوارثون (القصص, Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) Konsep imam di sini, mempunyai syarat memerintahkan kepada kebajikan sekaligus melaksanakannya.Dan juga aspek menolong yang lemah sebagaimana yang diajarkan Allah, juga dianjurkan. c. Ulial- Amri Istilah Ulual-Amri oleh ahli Al-Qur’an, Nazwar Syamsu, diterjemahkan sebagai functionaries, orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam suatuorganisasi.64Hal yang menarik memahami uli al-Amri ini adalah keragaman pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang mempunyai akar kata yang sama dengan amr yang berinduk kepada kata a-m-r, dalm Al-Qur’an berulang sebanyak 257 kali. Sedang kata amr sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks ayatnya.65kata amr bisa diterjemahkan dengan perintah (sebagai perintah Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh Tuhan atau manusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa diartikan sebagaia tugas, misi, kewajiban dan kepemimpinan.66
64
M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hlm. 466 Ibid 66 Ibid 65
104
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Berbeda dengan ayat-ayat yang menunjukkan istilah amr, ayat-ayat yang menunjuk pada istilah ulial-Amri dalam Al-Qur’an hanya disebut 2 kali فإن تنازعتم في شيئ فرد ه إلى هللا الرسوَ إن، ياأيها الذين أمنوا أطيعوا هللا أطيعوا الرسوَ أ لى األمر منكم : ذلك خير أحسن تأ يال (النساء، كنتم تؤمنون باهلل اليوم األخر Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. لو رد ه إلى الرسوَ إلى أ لى األمر منهم لعلمه الذين، إذا جاءكم أمر من األمن أ الخوف أذاعوا به : لوال فضل هللا عليكم رحمته التبعتم الشيطان إال َليال (النساء، يستنبطونه منهم Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (diantaramu). Adapun maksud dari dua ayat di atas jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ulial-Amri adalah mereka yang mengurusi segala urusan umum, sehingga mereka termasuk orang-orang yang harus ditaati setelah taat terhadap perintah Rasul.Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan RasulNya, mka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.Apabila terjadi persilangan pendapat maka yang diutamakan adalah Allah dan Rasul-Nya. C. Prinsip-prinsip Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an juga menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain, amanah, adil, syura(musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al- munkar. a. Amanah Dalam Kamus Kontemporer (al-Ashr) Amanah diartikan dengan kejujuran, kepercayaan (hal dapat dipercaya).67 Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi Rasul.Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menurut Said Agil Husin Al-Munawwar, menyiratkan dua hal.Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah SWT. (delegationofauthority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat relative, yang 67 Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta, tt, hlm: 215
105
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.Kedua,karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip.Amanah dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai.68 Mengenai Amanah ini Allah berfirman: إنه كان ظلوما، إنا عرضنا األمانة على السما ات األرض الجباَ فأبين أن يحملنها أشفقن منها حملها اإلنسان :جهوال (األحزاب Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gununggunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif) syar’i, seperti sholat, puasa dan lainnya.Lebih jauh Az-Zuhaili menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS 33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis: kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua, golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun terangterangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu’minun, yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya. Amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu sedemikian berat, apalagi jika ditambah amanah keduniawian berupa kekuasaan.Sudah jelas bahwa dua golongan pertama, munafik dan musyrik, bukan saja gagal menerima amanah keagamaan namun harus dipandang tidak juga layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah berikut ini : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.” Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah, yaitu golongan mu’min.Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu’min yang layak menerima amanah itu sebagai Mu’min yang diterima tobatnya?Rupanya, Allah tahu bahwa seorang pemimpin tidak bebas dari kesalahan.Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah ternyata juga sempat melakukan perbuatan tercela.Namun mereka segera bertaubat (lihat Qs 7: 23 dan Qs 38: 25).Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia
68
106
Said Agil Husin Al-Munawar, Op.Cit., hlm. 200
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
mengakui kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan isitighfar pada Allah swt.sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri ketika berhadapan dengan Dzat Yang Maha Agung. Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26, “Hai Daud, sesungguhanya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Allah sebagai pemberi amanah dari “langit” menentukan bahwa pemimpin itu harus menegakkan hukum (law enforcement) dan keadilan serta menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa keadilan, yang berlaku adalah “hukum rimba”: siapa yang kuat, maka dialah yang menang. Hawa nafsu adalah godaan terus menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk menyimpang dari kebenaran.Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus memperkaya diri sementara rakyat makan tiwul. Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk “bumi” yang juga telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), “Berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat).” Pesan dari “langit” akan keadilan dan kebenaran rupanya juga cocok dengan kebutuhan penduduk “bumi”. Namun ada satu tambahan, yaitu, masyarakat juga menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan sawa’i al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat wa al-’Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada tujuan atau maksud-maksud yang benar.Ini berarti pemimpin tidak boleh memberi informasi yang keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh menyembunyikan informasi yang benar, layak, pantas dan harus diketahui oleh masyarakat.Pemimpin juga harus menjadi teladan agar yang dipimpin merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan masyarakat. Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus “meluruskan” dirinya terlebih dahulu إن هللا، إن هللا نع ّما يعظكم به،َإن هللا يأمركم أن تؤد ا األمانات إلى أهلها إذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعد :كان سميعا بصيرا (النساء Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dua ayat di atas jelas menunjukkan perintah Allah mengenai harus dilaksanakannya sebuah amanah.Manusia dalam melaksanakan amanah yang dikaitkan dengan tugas kepemimpinannya memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan dan hidayah dari Allah.Hal ini dapat dilihat firman Allah “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
107
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
sebaik-baiknya kepadamu”, pengajarannya bisa lewat hidayah yang merupakan anugrah dari Allah, juga bisa melalui ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an istilah Amanah juga diungkapkan dengan kata Risalah. :فتولى عنهم َاَ يا َومي لقد أبلغتكم رسالة ربي نصحت لكم لكن ال تحبون التاصحين (األعراف Maka Nabi Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat". Dalam ayat datas, kata risalah yang dimaknai amanat.Maksudnya disini Allah telah memberikan amanat kepada nabi Shaleh untuk menyampaikan ajaran Tuhan kepada umatnya dan Nabi disini juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya. b. Adil Kata Adil ini merupakan serapan dari bahsa arab ‘adl. Dalam Al-Qur’an istilah adil menggunakan tiga term yaitu ‘adl, qisth dan haqq.Dari akar kata ‘a-d-l sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al-Qur’an.Sedangkan kata qisth berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda. 69Sedangkan kata haqq dalam AlQur’an disebut sebanyak 251 kali. Adapun ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan antara lain: كما بدأكم تعود ن، أَيموا جوهكم عند كل مسجد ادعوه مخلصين له الدين،َل أمر ربي بالقسط (29:(األعراف Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadailan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah: (a) mengkonsentrasikan perhatian dalam shalat kepada Allah dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepadaNya.[22]Dari uraian tersebut dapat ditarik kepada aspek kepemimpinan, yaitu seorang pemimpin harus benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan juga orientasinya semata-mata karena Allah. Sehingga ketika dua hal tersebut sudah tertanam maka akan melahirkan suatu tingkah laku yang baik. إن هللا،إن هللا يأمركم أن تؤد ا األمانات إلى أهلها إذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدَ إن هللا نع ّما يعظكم به :كان سميعا بصيرا (النساء Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha 69
108
M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hlm. 369
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Melihat. Ayat di atas juga telah disinggung pada pembahasan amanah, karena ayat tersebut mengajarkan manusia tentang dasar-dasar pemerintahan yang baik dan benar yaitu menjalankan amanah dan menetapkan suatu hukum dengan adil. ما كان لرسوَ أن يأتي بأية إال،لقد أرسلنا رسال من َبلك منهم من َصصنا عليك منهم من لم نقصص عليك : فإذا جاء أمر هللا َضي بالحق خسر هنالك المبطلون (المؤمن،بإذن هللا Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil.Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batilAyat ini juga berisi tentang perintah berbuat adil, yang didalmnya digambarkan tentang keadilan yang dijalnkan oleh utusan Allah yang juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya. c. Musyawarah Musyawarah, apabila diambil dari kata kerja syawara-yusyawiru, atau syura, yang berasal dari kata syawara-yasyuru, adalah kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an. Yang pertama merujuk merujuk pada ayat 159 surat Alu Imran, sedangkan istilah syura merujuk kepada Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 38.70 Selain dua istilah di atas ada juga kata yang maknanya menunjukkan musyawarah yaitu kata i’tamir dalam surat ath-Thalaq ayat 6. Adapun ayat-ayat tersebut di atas yaitu: ّ لو كنت ف،فبما رحمة من هللا لنت لهم فاعف عنهم استغفر لهم شا رهم في،ظا غليظ القلب النفضوا من حولك : إن هللا يحب المتوكلين (اَ عمران، فإذا عزمت فتوكل على هللا،األمر Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Dari kata “wasyawirhum” yang terdapat pada ayat ini mengandung konotasi “saling” atau “berinteraksi”, antara yang di atas dan yang di bawah. Dari pemahaman tersebut dapat ditarik kesimpulan behwa pemimpin yang baik adalah yang mengakomodir pendapat bawahannya artinya tidak otoriter. :الذين استجابوا لربهم أَاموا الصالة أمرهم شورى بينهم مما رزَناهم ينفقون (الشورى Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
70
Ibid.,hlm. 441-442
109
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Jika pada ayat sebelumya menunjukkan adanya interaksi, maka pada ayat ini yakni istilah syura terkandung konotasi “berasal dari pihak tertentu”.Dari sini juga dapat ditarik pemahaman bahwa tidak selamanya pemimpin harus mendengarkan bawahannya, artinya pemimpin harus bisa memilih situasi dan kondisi kapan dia harus mendengarkan bawahannya dan kapan pula dia harus memutuskan secara mandiri.Jadi pemimpin yang baik adalah pemimpin yang situasional. c. Amr Ma’ruf Nahy Munkar Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, ada juga entry “amar makruf Nahi Munkar” yang diartikan sebagai “suruuhan untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan jahat.”Istilah itu diperlakukan dal satu kesatuan istilah, dan satu kesatuan arti pula, seolaholah keduanya tidak dapat dipisahkan.71 Istilah amrma’ruf nahy munkar - seperti ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhawna ‘an al-munkar - ternyata secara berulang disebut secara utuh, artinya tidak dipisahkan antara amr ma’ruf dan nahy munkar. Istilah tersebut berulang cukup banyak, 9 kali, sekalipun hanya dalam 5 surat.[26] Adapun ayat-ayat tersebut antara lain: : أ لئك هم المفلحون (اَ عمران،لتكن منكم أمة يدعون إلى الخير يأمر ن بالمعر ف ينهون عن المنكر Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orangorang yang beruntung. يأمر ن بالمعر ف ينهون عن المنكر يقيمون الصالة يؤتون الزكاة،المؤمنون المؤمنات بعضهم أ ليآء بعض )15 : إن هللا عزيز حكيم (التوبة، أ لئك سيرحمهم هللا،َيطيعون هللا الرسو Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana هلل عاَبة األمور (الحج،الذين إن مكناهم في األرض أَاموا الصالة أتوا الزكاة أمر ا بالمعر ف نهوا عن المنكر yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. Ketiga ayat di atas menunjukkan perintah amr ma’ruf dan nahy munkar. Dalam AlQur’an dan Terjemahnya yang disusun oleh Hasbi Ashshiddiqi dkk., ma'ruf diartikan sebagai segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.72 Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip kepemimpinan amr ma’ruf dan nahy munkar sangat ditekankan oleh Allah
110
71
Ibid.,hlm. 619
72
Hasbi Ashshiddiqi et.al., Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt, hlm: 93
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
karena dari prinsip ini akan melahirkan hal-hal yang akan membawa kebaikan pada suatu kepemimpinan. D. Sifat Pemimpin Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat AsSajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin.Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatanperbuatan. E. Penutup Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifatsifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".
111
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
DAFTAR PUSTAKA Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta, tt. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4, 1994. Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Hasbi Ashshiddiqi et.al.,Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt. M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II. M. Quraish Shihab, M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999. Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002. Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri Al- Ma’sir, Juz 23, t.th.
ANTARA POLITIK NEGARA DAN AGAMA (Sebuah Kajian Bibliograpi) Anisa Listiani73 73
112
Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Abstract Ideology is ideal hope claiming as a truth. Every the claim will declare that program achievement that brought will produce best social rule; a rule truth and the legitimization proved for everyone. Ideology aim often described with stipulating repeats something that ever there but in this time lose the triumph time, but he also can be in the form of a dreams realization and anspirasi only haunt in past. Ideology almost always integration with a few vast interpretation about cosmology nature, that is they related with thinking system according to various confirm that penomena that seen produced by material pure strength; by a dualism aim between good principle and bad, with intervention from individual mobile, or by tongue rule but has impersonal that appointed by lord. Hence, several ideology claims inclined be absolute. Keywords: ideology, truth, legitimization, power, intervention.
A. Pendahuluan Legitimasi adalah suatu yang fundamental dalam sebuah sistem social-politik. Ia adalah stempel ideology. Ideologi sendiri merupakan sebuah system yang hidup dimana distribusi kekuasaan, kekayaan, materi, dan status dirasa benar bagi kelompok tersebut. Dalam sebuah masyarakat yang stabil, yaitu sebuah masyarakat yang damai dan tidak dikacaukan oleh kekuatan luar, konsep yang digunakan untuk melegitimasi aturan yang ada biasanya tidak diekspresikan dalam bentuk proposisi yang abstrak. Namun, ia diwujudkan dalam bentuk seremonial, simbol-simbol visual dan mitos. Tetapi saat ‘aturan’ yang ada dirasa kacau, baik oleh ketidaksepakatan internal maupun kekuatan eksternal maka para pemangku aturan berusaha menjelaskan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Usaha-usaha tersebut sebagai bentuk definisi diri dengan menggunakan pernyataan umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah yang seharusnya ditetapkan. Cara yang dengannya ideologi yang disampaikan (seremonial umum, arsitektur, ukuran, pamplet, khotbah, dan sebagainya) dapat disebut propaganda. Dan lebih formal,kita dapat mendefenisikan ideologi sebagai sebuah kritik terhadap sistem sosial–politik yang ada baik untuk menggambarkan sistem tersebut maupun mengajak anggota-anggotanya untuk memegang teguh, memilih ataupun mengesampingkannya. Ideologi, pendeknya, adalah sebuah analisis dan sebuah panggilan untuk berbuat. B. Ideologi dan Propaganda dalam Pustaka Ideologi mempunyai sebuah retorika yang jelas, sesuatu yang secara simultan rasional dan mengharukan. Karena ideologi mencoba manghasut orang-orang untuk 113
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
berbuat, ia jarang ditampilkan secara sederhana sebagai sebuah rangkaian proposisi abstrak yang logis, tetapi mereka hampir selalu dikerangkakan dalam kekuatan, nilai bahasa yang berisi. Dan secara khusus, ideologi berakar pada simbol-simbol budaya untuk membawa pesannya. Simbol-simbol ini, pada gilirannya, menjadi semacam tangan pendek bagi ideologi memang mungkin untuk mengucapkannya secara rinci ide yang terdapat dibalik mereka, tetapi biasanya simbol-simbol ditangkap secara intuitif oleh pembicara dan pendengar. Karenanya tendensi ideologi tereduksi dalam nyanyian slogan-slogan. Dalam diskursus Islam, misalnya, seseorang biasanya menyerukkan untuk menjalankan syariah, mengikuti jalan yang digariskan para pendahulu (kaum salaf), dan aturan yang sesuai dengan al- Qur’an dan Sunah. Jika dipahami secara mendalam, seruan tersebut sungguh merupakan ungkapan-ungkapan yang belum jelas. Penafsiran tentang Syari’ah mana yang dimaksud dari seruan itu, para pendahulu (kaum salaf) yang mana yang dimaksud, dan pada bagian Al-Qur’an mana yang dituju? Tetapi dalam suatu mileu sosial dan politik yang sesuai, slogan-slogan tersebut akan hadir sebagai sebuah progam yang spesifik, dan nyata. Tak banyak kajian bibliografi yang memadahi tentang masalah ideology,, namun tulisan yang agak bombastik membahasnya adalah analisis dari Karl Mannheim, Ideology and Utopia ( terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils, 1936), dan sejumlah studi Clifford Geerts. Lihat secara khusus pada “ Ideology as a Cultural System” dalam The Interpretation of Cultures (1973), halaman 193-233. Begitu juga tulisan Edward Shils dan Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences, viii (1968), 66-85. Ideologi adalah sebuah tampilan penting dari kebenaran sejarah Islam dari luarnya. Al-Qur’an sendiri menegaskan adanya sebuah ideologi, suatu program tingkah laku sosial dan politik yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat yang berketuhanan. Bahkan dalam sejarahnya, karier Nabi Muhammad SAW sebagian besarnya dicurahkan untuk mewujudkan program tingkah laku yang diyakini sebagai artikulasi berketuhanan ini. Baru setelah Nabi Muhammad SAW, kebanyakan krisis internal ummat disimpulkan sebagi kumpulan besar dari ideologi-ideologi yang saling bertentangan. Banyak catatan sejarah tentang ideology ini, mulai dari Revolusi Abbasiyah, penggulingtan kekuasaan Karmatian dan Fatimiyah pada akhir abad 3 H/9 M-10 M, gerakan Almoravid dan Almohad di Maghrib, kemunculan Bani Safawi dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan pemerintahan seperti pemerintahan Bani Ayyub, yang aslinya didirikan tak lebih dengan kekuatan yang kejam, dengan cukup cepat mencoba membangun sejumlah ideologi yang menjadikan mereka diterima secara politis. Di sisi lain, propaganda pada masa pertengahan Islam, pada awalnya mencerminkan sebuah kompleksitas dari ideologi. Karena waktu itu tak ada mass media seperti yang ada masa ini, namun baik pemerintah maupun para oposisi mereka memiliki cara yang efektif. Seluruh kelompok bagaimanapun batasannya, mampu memberikan harapan dan sejumlah partisipasi langsung dalam membentuk dan memutuskan kebijakan 114
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
negara, atau bagi yang mampu mengorganisir cukup kekuatan mampu menjadikan diri mereka diperhitungkan. Kelompok-kelompok sosial yang termasuk dalam kriteria ini adalah banyak sekali tipenya; misalnya pemerintahan Mamluk, suku-suku nomad, persaudaraan sufi, orang-orang kota yang terhormat dan para ulama, dan lain sebagainya). Tak satu pun alat komunikasi dapat efektif diantara seluruh kelompok, dan sehingga tak ada propaganda harus ditargetkan.. Apakah instrumen propaganda itu verbal ataukah visual? Di antara instrumen verbal, perbedaan antara tulisan dan ucapan tidaklah seluruhnya terpisah dengan jelas, sebab mayoritas teks-teks yang ada dijadikan ungkapan ulang. Untuk memahami dengan baik teks-teks propaganda tersebut setidaknya perhatian yang diberikan tidak hanya pada kosa kata saja namun lebih pada seting dimana mereka harus dibaca. Karena itu Khutbah (khotbah resmi saat sholat Jum’at) disampaikan sebelum sekelompok orang melaksanakan sembahyang – pada prinsipnya yang hadir adalah seluruh laki-laki yang dewasa dari seluruh kota atau orang-orang yang bertempat tinggal di sana. Puisi akan dibacakan di antara sekumpulan teman (majlis) dalam rumah yang khusus atau di tempat yang lain. Teks-teks hadits ataupun teks-teks hukum maupun teologi juga dapat dipelajari dalam sebuah majlis tertentu, namun hal yang sama juga sepertinya disampaikan pada lingkaran murid dalam sebuah masjid ataupun madrasah. Beberapa aliran sejarah paling tidak dibawa dalam bentuk yang sama. Khotbah-khotbah informal juga disampaikan dalam masjid atau di berbagai tempat yang lain di mana kumpulan besar orang dapat dikumpulkan. Esei dan karya-karya selalu disusun untuk diucapkan ulang bagi para pendengar yang khusus, yang anggotanya dapat dikenal oleh penulis saat ia bekerja. Saling mempengaruhinya antara ucapan dan tulisan dalam sebuah masyarakat tradisional, masyarakat berbudaya semi tulis menulis seperti pada masa pertengahan Islam, butuh lebih banyak studi dari pada yang telah diterimanya; beberapa pemikiran yang berguna tentang persoaln tersebut, bersama-sama dengan rujukannya yang jauh, di sampaikan secara bersama dalam Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic poetry (1978). Pahatan-pahatan yang monumental, yang dipahat pada pintu gerbang atau sepanjang muka gedung-gedung umum, tentunya berbeda-beda; mereka tidak dimaksudkan sebagai jeritan bacaan juga tidak ditujukan untuk para pendengar pilihan. Sebaliknya, mereka dapat dibaca oleh bayak orang-orang marginal yang lewat yang tahu tulis menulis. Audensi tulisan-tulisan ini tentunya jauh lebih besar dibanding yang dapat kita bayangkan. Hampir seluruh anak laki-laki muslim dalam kota, bahkan meskipun yang tidak mampu tulis menulis kata menurut pemahaman kita, telah belajar mengucapkan al-Qur’an dan mampu menulisnya ulang; dalam cara ini mereka telah terbiasa dengan alpabet dan banyak kata-kata kunci. Semenjak seluruh tulisan mempunyai tata bahasa dan kamus dasar mereka – sebagian besarnya berisi nama-nama, nama tambahan dan slogan-slogan - mereka dengan serta merta dapat dipahami oleh setiap orang yang dapat menulis. Sebuah tulisan pahat dasar (misalnya, sebuah tulisan pahatan yang mengidentifikasi karakter monumen yang 115
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
ditempatinya, tanggal pembangunannya, dan nama orang yang menyebabkan dibangunnya monumen tersebut) karena itu ia dapat menjadi alat yang sangat jitu bagi propaganda (Untuk pembahasan umum tentang tulisan pahat dalam Islam lihat di atas). Hanya sedikit aliran-aliran tulis Islam pada masa pertengahan (puisi, pidato, cermin ratu dan polemik-polemik politik) yang terbuka menyatakn dirinya sebagai propaganda – yaitu sebagai medium untuk membawa dan memperkuat lagi sebuah ideologi. Dimensi ideologi dalam sebuah teks , agenda tersembunyi yang membentuk pilihan pengarang dalam menjamu pokok persoalannya, harus selalu dilihat diantara baris perbaris. Lebih jauh, sebuah teks ideologi yang benar dapat berbeda dari atau bahkan bertentangan dengan isi dan maksudnya yang nampak. Adalah mudah mengambil aturan ini begitu jauh, kita dapat mulai dengan melihat polong dimanapun kita lihat, mengurangi kebenran intensitas dan signifikansi budaya dari sebuah karya dalam sebuah kesurupan pencarian terhadap penyolong ideologinya. Begitu juga, dua buah resiko sederhana dan terlalu kritis hanya akan menaikkan kewaspadan dan sensitifas. Propaganda visual telah memunculkan persoalan tersendiri. Pada masa sebelum modern sangat sedikit masyarakat secara bersama melafalkan dalam istilah yang abstrak “makna” ritual mereka, upacara-upacara ,arsitek-arsitek, seni lukis dan plastik, dan lain sebagainya – mereka juga tidak dapat melakukan hal itu jika ditekan. Hingga kini secara ringkas segala hal ini adalah simbol yang sangat cepat dan begitu efektif, bagi identitas, solidaritas, legitimasi dalam masyarakat tradisional. Pada masa kita, tentunya tak seorang pun mampu menggambar sebuah gambar dengan tanpa menulis makna yang terkadung yang menjelaskan signifikansi sosial dari seninya. Pada masyarakat Islam masa pertengahan, kita menghadapi situasi yang begitu cepat. Ideologi, sebagaiman kita catat, adalah elemen penting dalam kehidupan politik dan karenanya memperoleh tampilan verbal yang hati-hati. Begitu juga seni dan arsitektur Islam selalu terasa ‘menyesuaikan’ ideologi era yang menghasilkannya, namun para pengarang muslim hampir-hampir tidak pernah mendiskusikan dimensi ideologis seni dan arsitektur ini. Itu hanya melalui penggunaan secara aktual dari segala hal ini. Kita dapat mendekati peranan mereka sebagai propaganda (sebagaimana adanya hal ini, banyak persoalan yang sama yang muncul pada akhir masa Romawi dan seni Eropa awal pertengahan; lihat E.B Smith, Architectural Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages [1956], h. 3, 10-12, di sana sini. Untuk pertimbangan yang jauh lebih umum, lihat Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols,” dalam The Interpretation of Cultures, 126-141). Seperti ritual dan seremonial dalam Islam, kita tahu banyak tentang ibadah formal, namun hal itu pada dasarnya tidaklah berubah, paling tidak setelah dekade pertama, dan karena itu ia dapat membawa makna ideologi ketika hal itu secara eksplisit dihubungkan dengan seringnya perubahan konteks dari isu-isu dan konflik politik yang terjadi. Tentang seremonial pemerintahan, kita memiliki sejumlah pengetahuan, dan itu tentunya adalah sifat dari ideologi sendiri, namun ia menampilkan ide-ide dan nilai-nilai politik hanya bagi 116
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
elit-elit politik. Sayangnya kita hanya tahu sangat sedikit tentang ritual dan upacara dari organisasi dan, yang dipandang menampilkan lebih dari sekedar orientasi yang populer. Para sarjana modern secara berlahan meneliti elemen-elemen ideologis dalam seni dan arsitektur Islam masa pertengahan, namun ada sejumlah esei yang bermanfaat dalam hal ini. Tentang penanggalan, Oleg Grabar telah mengembangkan sebuah pemikiran yang paling luas dan profokatif; semua itu terangkum secara bersama dalamThe Formation of Islamic Art (1973; edisi revisi, 1987). Dalam sebuah lapangan penelitian yang lebih sempit, simbolisme politik dari masjid-masjid pada masa Umayah dieksplorasi dalam tulisan Jean Sauvaget, La Mosquee Omeyude de Medine (1947), sebuah studi yang kesimpulannya kadang meragukan namun argumennya tidak kalah brilian dan terpadu. Usaha yang sama telah dilakukan oleh pengarang saat ini, dalam “The Expressive Intent of the Mamluk Architecture of Cairo: a Preliminary Essay,” SI, xxxv, (1972), 69-119. Di sisi lain, perangkap semacam analisis ini ditampilkan oleh kritik Jonathan Blomm terhadap penafsiran saya atas sebuah monumen dalam “The Mosque of baybar’s al-bunduq dari in Cairo,” AI, xviii (1982), 45-78 (Lihat khususnya halaman 51-52). Dalam budaya Barat, melukis adalah salah satu cara yang paling dipergunakan dan efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial-politik. Hal yang sama adalah kurang tepat untuk dunia Islam tentunya, bukan karena Islam tidak mempunyai lukisan namun karena melukis adalah (khususnya pada abad belakangan) utamanya sebuah seni buku, dan karena itu karakternya adalah bersifat privat dari pada publik. Buku-buku yang berilustrasi tidak dapat dihasilkan dalam jumlah yang sangat besar tentunya, dan itu hapir dengan pasti bahwa mereka dihasilkan bukan untuk dijual secara umum namun atas permintaan pelanggan yang khusus. Kecuali jika kita tahu pelanggannya atau paling tidak kelompok besar yang kita tuju (Raja-raja, para saudagar, dan lain sebagainya), kita bukan tidak pantas menafsirkan makna ideologis dari gambar. Hingga abad 5 H/ 11 M, gambar di gedung dan hiasan seni pahat sepertinya menjadi elemen yang sangat biasa dalam dekorasi keraton, namun hal ini dibuat untuk kesenangan para pegawai pemerintah dan para pegawai terdekatnya. Begitu juga, mereka menampilkan semi privat. Media hiasan lain –keramik, karya-karya dari logam, dan kaca-kaca bergambar – begitu beredar, tetapi ikonografi kebanyakan dari lembaran-lembaran ini adalah begitu sederhana dan dibentuk untuk membawa lebih dari sekedar konsep ideologi yang paling umum. Pengecualian terhadap aturan ini adalah juga lembaran-lembaran mutiara yang dikerjakan khusus untuk para Raja dan pegawai tinggi. Dalam isu ini, sejumlah pemikiran yang berguna beserta dengan sebuah bibliografi penting (meskipun sekarang ini kuno) dapat diketemukan dalam Oleg Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657. Upacara kerajaan dalam Islam akhir-akhir ini baru mulai memperoleh perhatian yang serius, meskipun lapangan tersebut tetap menyolok, Begitu juga, kebanyakan penilaian adalah bersifat deskriptif dari pada pendekatan yang interpretatif. Sebuah tinjauan istimewa diberikan oleh D. dan J. Sourdel dalam Bab 7, “Le Palais et l’entourage 117
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
souverain,” pada La Civilisation de l’Islam classique,” –nya (1968). Poin-poin khusus tercakup dalam beragam artikel dalam EI²: “Anaza,” “’Asa”, “Balat”, “Burda”, “Kadib”, “khil’a”. Banyak kutipan-kutipan yang penting, khususnya berfokus pada abad 4 H/10 M terangkum dalam bab IX dari Adam Mez, Die Renaissance des Islam (1922). Sumber-sumber dan studi-studi yang berhubungan dengan dinasti-dinasti tertentu sangat terpencar-pencar. Dinasti Umayah adalah yang paling baik dikerjakan dalam Oleg Grabar, “Notes sur les ceremonies umayyades,” dalam Miriam Rosen-ayalon (editor), Studies in Memory of Gaston Wiet (1977), 51-60. Tentang Abbasiyyah, lihat Dominique Sourdel, “Questions de ceremonial ‘abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148. Dua buah teks dasar tentang Abbasiyah yang sesuai dalam terjemahan adalah sebagai berikut: 1. Hilal al-Sabi’, Rusum dar el-khilafa, editor Mikha’il ‘Awad (1964); penerjemah Elic Salem dengan The Rules and Regulations of the Abbasid Court (1977). 2. Jahiz (gadungan), Kitab al-Taj, editor Ahmad Zaki (1914); diterjemahkan oleh Charles Pellat dengan Livre de la Couronne (1954); tentang pengarang dari karya ini, lihat G. Schoeler, “Versasser und Titel der dem Gahiz zugeschrie benen sog, Kitab al-Taj,” ZDMG, cxxx (1980), 217-225. Bani Fatimiyah telah dibahas oleh Marius Canard, “Le ceremonial fatimide et le ceremonial byzantin: essai de comparaison,” Byzantion, xxi (1951), 355-420; dan karyakarya yang berkelanjutan oleh Paula Sanders. Seraya menantikan publikasi dari disertasinya (1984); lihat “From Court Ceremony to Urban Language: Ceremonial in Fatimid Cairo and Fustat, dalam Essay in Honor of Bernard Lewis (1989),311-321. Upacara-upacara Buwaihi belum secara umum disampaikan, namun kejadian khusus yang penting telah di analisis dalam Heribert Busse, “The Revival of Persian Kingship under the Buyids,” dalam D.S. Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1130 (1973), hlm. 47-69. Rival mereka yang paling sengit di Timur Iran, yang mempunyai peran penting yang khusus dalam mengembangkan sebuah konsepsi pemerintahan Islam –Persia yang nyata, telah dijamu dalam C.E. Bosworth, The Ghaznavids: Their Empire inAfghanistan and Eastern Iran (1963) –lihat khususnya hlm. 129-141. Yang cukup aneh adalah Bani Seljuk yang telah diabaikan dari sudut pandang ini, selain dari pengaruhnya yang besar sebagai contoh dinasti dari masa pertengahan. Kaum Mamluk di Mesir dan Syria telah menarik sejumlah perhatian, meskipun banyak sisa yang harus dikerjakan; sebuah deskripsi umum tentang upacara mereka (analisis yang terlalu berfikir panjang) dapat diketemukan dalam M. Gaudefray-Demombynes, La Syrie a l’Epoque des Mamelouks, d’apres les Autereurs Arabes (1923); ada juga poin-poin penting dalam P.M Holt, “The Position and Power of the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-249. Berkaitan dengan upacara-upacara dan seni-seni visual, begitu juga dengan teks, adalah keliru untuk berpandangann bahwa saat kita mengidentifikasi sejumlah aspek ideologi dalam suatu objek, kita dengan demikian telah mengeluarkan maknanya yang benar. Kebanyakan gambar-gambar, objek dan ritual-ritual secara serentak membawa 118
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
signifikansi masing-masing pada berbagai level mereka. Untuk mempelajari dimendidimensi ideologisnya adalah bukan membuka sifat dan maksud-maksud riil mereka, namun cukup agak menempatkan mereka dalam sebuah konteks politik yang khusus. Ideologi dan propaganda tak diragukan lagi menyerap elemen-elemen dalam kehidupan politik Islam masa pertengahan., tetapi untuk kebenaran alasan ini mereka juga sukar untuk dimengerti. Pada poin ini, akan sangat berguna untuk memperhatikan waktu dan tempat yang khusus, dan menanyakan bagaimana sebuah ideologi difungsikan di sana baik sebagai ide pemikiran maupun juga sebagai refleksi atas milieu sosial politik yang khusus. Dari sudut pandang ini, awal-awal periode Seljuk sepertinya menawarkan serangkaian persoalan khusus yang menantang. Selama enam dekade sejak penyerbuan pertama mereka ke Khurasan pada tahun 1030 M hingga meninggalnya Malikshah pada tahun 485 H/1092 M, orang Seljuk menguasai usaha-usaha ideologis utama untuk menegakkan prinsip-prinsip kerajaan Iran dalam terma Islam. Ideologi yang dihasilkan, yang barangkali dapat kita sebut “Autokrasi Persia-Islam” pun pada masanya tidak memperoleh tempat yang mandiri. Sebaliknya, abad 5 H/ 11 M adalah masa yang menghasilkan definisi-definisi klasik otoritas khalifah, dan itu tampaknya bahwa definisi-definisi ini (yang dalam beberapa hal tetap normatif hingga masa sekarang ini) adalah paling tidak dibentuk sebagai bagian untuk menghambat dan memotong pertumbuhan sitesa Persia-Islam. Bahkan lebih dari itu, konsep politik Seljuk tetap sangat berpengaruh di sepanjang daerah dari Nil hingga Oxus sampai akhir abad 9 H/ 15 M. Sementara ideologi bukanlah sebuah jasad pemikiran yang mandiri, tetapi agak merupakan respon terhadap sebuah situasi sosial politik yang khusus. Kita ingin memulai dengan mendefinisikan situasi tersebut di Iran dan Irak selama abad 5 H/ 11 M. Pertanyaan-pertnyaan berikut, yang merefleksikan proses dimana dalam meraih kekuasaan menghasilkan ideologi, menunjukkan sebuah pendekatan terhadap pekerjaan tersebut: 1. Bentuk-bentuk politik apa (misalnya; negara, dinasti, konfedersi suku, dewan militer) yang terlibat dalam memperjuangkan otonomi ataupun kekuasaan tertinggi ? 2. Kelompok-kelompok apakah yang sesuai secara politik dengan bentuk ini? 3. Bagaimanakah kelompok-kelompok ini mendefinisikan identitas politik mereka, peranan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan konkret mereka ? 4. Konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan yang spesifik apakah yang mengharuskan kelompok-kelompok ini mengartikulasikan sebuah respon ideologis ? Tak ada yang lengkap dan panjang bagi studi komperhensif tentang politik Iran dan Irak pada abad 5 H/ 11 M, dan ternyata tak seorang pun dengan begitu jelas menggunakan serangkaian pertanyaan ini. Bagaimanapun, dalam Continuity and change in Medieval Persia (1988). AKS Lambton memberikan sebuah sebuah survei yang rinci tentang tentang institusi administrasi dan keuangan Iran pada abad 5 H/ 11 M. Meskipun institusi-intitusi ini selalu mengalami evolusi dan inovasi, mereka tentunya jauh lebih stabil 119
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
dibanding pemerintahan-pemerintahan yang memanfaatkannya. Mereka menentukan, begitu katanya, aturan-aturan permainan kerangka kerja abadi yang didalamnya perjuangan meraih kekuasaan dan kekuasaan tertinggi dijalankan (dimainkan). Tentang sejarah dinasti yang kompleks dan memusingkan pada periode tersebut, Lambton adalah pembimbing yang tak dapat ditinggalkan. Sejarah dinasti memperoleh reputasi yang tak dapat dicemburui diantara para sejarawan modern, namun bagaimanapun gersang dan antiknya hal itu terlihat, ia tak dapat ditinggalkan. Tak ada analisis serius tentang ideologi yang mungkin tanpa sebuah pengetahuan yang solid tentang 4 bentuk politik utama dari periode ini: khalifah, orang Buwaihi Irak dan Iran Barat, orang Ghaznawi Khurasan dan Afghanistan, dan orang-orang seljuk sendiri. Selain artikel dalam IE² (diantaranya tulisan Claude Cahen tentang orang Buwaihi adalah secara khusus penting) dan bab-bab yang sesuai dalam Cambridge History of Iran, vol.iv dan v, lihat studi-studi berikut : a) Tentang konfederasi diantara orang-orang Buwaihi, lihat Heribert Busse, Chalif und Grosskonig : die Buyiden in Iraq (945-1055) (1969), yang sekarang ini menjadi standar penilaian, dan Mafizullah Kabir, The Buwayhid Dinasty of Baghdad (1964). Kedua karya ini berfokus pada cabang keluarga Irak, meskipun pada waktu yang berbeda Shiraz dan Rayy adalah pusat politik yang lebih penting dalam konfederensi. R.P Mottahedeh, Leadership and Loyalty in an Early Islamic Society, (lihat diatas), adalah sangat mendasar, bagi pemahaman tentang aturan-aturan dengan nilai-nilai yang membentuk tingkah laku politik dalam lingkungan Buwaihi. b) Mengenai Ghaznawi, ada sebuah penilaian bersifat naratif yang terpercaya tentang yang paling terkenal diantara mereka, dengan menekankan kampanye spektakulernya di India. Muhammad Nazim, The Life – and Time of Sultan Mahmud of Ghazna (1931). Jauh lebih analitis dalam karakternya adalah studi dari C.E. Bosworth, The Ghaznavids : their Empire in Afghanistan and Eastern Iran (1931). Bosworth memiliki sebuah bab penting tentang kota-kota dan hubungan ambivalen mereka dengan pusat pemerintahan, juga sebuah pengujian yang hati-hati dalam Turkestan down to the Mongol Invasion (edisi asli, 1900 ; edisi ke-3, 1968, lihat khususnya h. 254-333) tentang orang-orang Ghaznawi dan Seljuknya harus dikonsultasikan – sebagaimana tentunya bagi setiap dinasti di timur Iran dan Transoxiana – sebab ia mengantisipasi banyak dari baris-baris penelitian yang paling produktif yang dikembangkan oleh Cahen dan kawan-kawan lebih kurang beberapa dekade belakangan. Ini adalah bacaan yang majemuk namun dibayar penuh dengan waktu yang dihabiskan. c) Tentang masa awal Seljuk. Literatur-literatur tersebut adalah sangat berserakan. Tak ada naratif panjang yang sempurna dalam bahasa Barat bahkan mengenai perang dan politiknya. Kebutuhan ini sebagaiannya telah dipenuhi oleh terjemahan dari Gary Leiser pada artikel panjang tentang dinasti dalam IA: A History of the Seljuks : Ibrahin 120
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Kafesouglu’s Interpretation and the Resulting Controversy (1988). A.K.S. Lambton telah menganalisis politik dan administrasi Seljuk dalam sebuah serial buku dan artikel yang panjang; ia menyampaikannya dengan ringkas namun hal itu bukan selalu sintesa yang terfokus dengan bagus dari padangannya dalam “The Internal Structure of the Seljuq Empire,” dalam Cambridge History of Iran, v (1968), 203-282. Calude Cahen juga telah menyumbang banyak kontribusi studi yang penting: pikiran-pikirannya yang paling bagus terangkum dalam “Turkish Invasion: The selchukids,” dalam K.M. Setton (editor), A History of the Crusader (1955: dicetak ulang pada tahun 1969), 135-176. Kebanyakan karya-karya yang terbaik tentang Seljuk adalah terdapat dalam bahasa Turki. Dan berikut ini adalah tulisan-tulisan yang bagus untuk mulai: 1) Ibrahim Kafesoglu, Sultan Maliksah derrinde buyk Selcuklu Imparatorlugu (1953). 2) M.A. Koymen, Bayuk Selcuku Imperatorlugu Tariki:Kurulus Derri (1979). 3) Osman Turan, Selcuklutar Tarihi ve Turk-Islam Medeniyeti (1965) d) Pada abad 5 H/11 M, khalifah tradisional dipandang sepele yang digambarkan sebagai sebuah institusi hantu yang tidak mempunyai manfaat praktis. Bagaimanapun, penafsiran ini dengan tajam dan efektif ditentang oleh George Makdisi, Ibn ‘Aqil et la resurgence de l’Islam tradisionaliste au xi siecle (1963), khususnya pada halaman 69164. Makdisi menegaskan bahwa khalifah mampu mengukir dirinya paling tidak pada peranan lokalnya di Baghdad dengan mengadu para amir yang bersaing dan ingin menjadi sultan, dan juga dengan memobilisasi segmen tertentu dari populasi Baghdad (khususnya para pengikut Hanbali) dalam dukungan mereka. Beberapa dari studi ini, khususnya Bosworth dan Makdisi, tidak hanya menggariskan perjuangan hegemoni inter-dinasti, namun juga menguji kompetisi kekuatan dan pengaruh diantara masing-masing sistem politik. Bagaimanapun, aturan yang menjadi acuan kompetisi ini tidak mudah dicampuri baik oleh data faktual maupun kalimat penafsiran yang terdapat dalam karya-karya ini. Konflik politik selalu datang melintang dalam wujud sebagai perjuangan diantara ambisi dan individu yang berprinsip. Pada poin yang lain, pemain permainan benar-benar telah membenamkan dirinya dalam kelompok, tetapi kelompok ini didefinisikan dalam beragam bentuk mengikuti kriteria perubahan yang cepat – dari sisi etnis (misalnya Turki vs Tajk), keyakinan (misalnya- Hanafi vs Syafi’I atau Hanbali vs Syiah), afiliadi kesukuan, tempat tinggal (misalnya kota dan bukan kota), atau bahkan asosiasi volentir (misalnya, kelompok futuwwa ataupun gang anak muda). Dalam menghadapi kebingungan tertentu, para sejarawan modern digoda untuk menyerukan bahwa seluruh kelompok ini harus benar-benar merefleksikan beberapa faktor tersembunyi, seperti bentuk penentangan ekonomi. Hal itu agaknya seperti melulu tipuan untuk menegaskan bahwa orang Hanbali menyerang orang Mu’tailah di Baghdad karena perbedaan doktri tentang hubungan kalam Tuhan dengan Dzat Tuhan. Begitu juga, konflik etnis dapat dilihat sebagai sebuah pergantian yang tidak rasional tentang kompetisi karena kekurangan sumber makanan. Tetapi untuk mengesampingkan nama-nama yang diberikan 121
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
kelompok untuk dirinya sendiri atau motif-motif yang mereka klaim sebagai tindakan mereka adalah sebuah kesalahan yang serius. Dalam kondisi yang seperti itu, kita akan meninjau bentuk-bentuk identitas solidaritas dan nilai sosial dalam bentuk dimana tindakan politis benar-benar dilakukan dan dikerjakan. Kemudian setelah itu, semuanya itu secara ringkas merupakan sebuah pemahaman pribadi tentang posisinya dalam sistem sosial dan politik yang mendasari usahanya untuk menciptakan sebuah ideologi. Pendeknya, supaya kita dapat memahami apa arti sebuiah ideologi bagi para pengikutnya, kita harus memahami istilah yang mereka gunakan untuk menganalisis masyarakat mereka sendiri; menentukan tujuan tindakan politis, dan mencoba membentuk diri mereka dalam sebuah kelopok yang efektif secara politik Usaha yang serius untuk menyajikan sejarah sosial periode awal Bani seljuk, dan untuk mengetahui kelompok apa yang diperhitungkan secara politik pada masa itu, adalah masih jarang dan analisisnya bersifat sementara. Kebanyakan judulnya, sebagaimana yang akan kita lihat, berkaitan dengan masyarakat perkotaan dan politik dan ada beberapa alasan dalam hal ini. Kaum pedesaan, yang merupakan mayoritas terbesar di sebagian besar wilayah, adalah hampir-hampir tidak pernah melakukan tindakan yang dipandang bersifay politik (dalam definisi yang kita berikan) meskipun pada tingkat yang paling lokal. Bahkan person mereka yang memiliki kekuatan politik adalah karena kepemilikan lahannya di kota. Para pendeta suku pada dasarnya adalah persoalan yang lain, namun mereka sering dikaitkan dengan para perampok ataupun pejuang, tidak sebagai kelompok sosial sebenarnya. Sebuah tinjauan terhadap persoalan ini disajikan oleh Claude cahen, “Tribes, Cities, and Social Organization,” dalam Cambridge History of Iran, iv (1975), hlm. 305-328. D.S. Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1150 (1973), adalah sebuah tulisan yang berisi lembaran-lmbaran yang sesuai. Tentang kependetaan suku dan pengaruh mereka dalam struktur sosial daerah dan kehidupan ekonomi, misalnya, dapat dilihat pada sajian yang hati-hati dan menawan dari Cahen , “Nomades et sedentaires dans le monde musulman du milieu du Moyen Age,” dan Lambton, “Aspects of saljuq Ghuzz settlement in Persia,” keduanya terdapat dalam tulisan Richard, 93-102, 105-125. (Yang pertama dicetak ulang dalam Cahen, Peuples musulmans dans l’histoire [1977],423-437). Kelompok etnis terbesar Bani Seljuk telah disurvei dalam sintesa dari Faruk Sumer, Oguzlar (Turkmenler); tarihieri, boy teskilan, destanlari (1972). Tentang kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat kota, studi perintis (sekarang masih sangat dibutuhkan) adalah tulisan Cahen, “Mouvements popularies et autonomisme urbain dans l’asie musulmane du Moyen Age,” Arabica, v (1958), 225-250; vi (1959), 25-56, 233-263. Ketetapan tentang perserikatan kota disampaikan oleh Cahen, “Ya-t-il eu des corporations professionelles dans le monde musulman classique,” dan oleh S.M. Stern, “The constitution of the Islamic City,” keduanya dalam A.H. Hourani dan S.M. Stern (editor), Middle Eastern Cities (1969), hlm. 47-79. 122
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Berdasar literatur ini, kita dapat membangun sebuah gambaran tentang perjuangan membangun hegemoni di Irak dan Iran. Empat prinsip kekuasaan dilibatkan, masingmasing menampilkan tipe yang sangat berbeda tentang bentuk politik khalifah. Karena prestisnya yang besar maka ia benar-benar kebal dari pemusnahan para orang yang berkompetensi. Di sisi lain, kekuatan riil miliknya begitu ramping dan tingkat pengaruhnya di wilayah Baghdad dan Sawadi dapat diatur dengan sangat baik dengan mempermainkan para pesaingnya dalam dan diantara para pemerintah Buwaihi dan seljuk. Satu-satunya dukungan panjang yang terpercaya yang sesuai dengan khalifah adalah segmen suni dari penduduk Baghdad. Seperti pada pemerintahan Buwaihi, pemerintahan mereka telah mulai menjadi sebuah pemerintahan diktator yang benar-benar bersifat militer, dan itu agaknya berdasar pada para tentara bayaran yang dengannya mereka dapat mencapai kekuasaan. Yaitu mereka berasal dari penduduk Daylami dan penduduk inilah yang merupakan tentara elit mereka, dan menjadi kafeleri Mamluk Turki mereka. Sebagai tambahan, sebagai Syiah dua belas mereka dapat mengumpulkan sejumlah dukungan populer dari mereka yang sealiran agama di Baghdad dan kota-kota lain tertentu semisal Qumm. Seperti Buwaihi, kelompok Ghaznawi adalah sebuah dinasti militer yang otoritasnya bertumpu terutama pada tentara profesional mereka yang luar biasa. Tetapi ada perbedaan yang sangat krusial. Pertama, pusat kekuatan mereka terletak di sebelah Timur Iran dan Afghanistan. Karena itu khalifah bukanlah saingan bagi mereka, tetapi cukup sebagai sebuah potensi sumber legitimasi. Kedua, para pendukung khalifah semuanya memperoleh kemudahan semenjak orang-orang Ghaznawi adalah orang-orang Suni yang militan. Fakta ini juga memberi kesempatan kepada mereka untuk menarik dukungan dari kelompok keagamaan suni yang berpengaruh dan terhormat dari Khurasan. Ketiga, orangorang Ghaznawi adalah orang Turki –sultan pertama mereka pada faktanya adalah mamluk- dan karenanya mereka menjadi kelompok militer utama pada saat itu. Orangorang Turki mereka tidak harus menjadikan mereka lebih dari sekedar ‘sekutu’ bagi daerah-daerah yang mereka perintah di banding orang buwaihi tentunya, sebab pendiri pemerintahan Ghaznawi adalah para pembantu dinasti Saman, sebuah dinasti asli Iran dan mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris sah kerajaan dan tradisinya. Sejak abad pertengahan ke depan, orang Seljuk menjadi kekuatan politik yang dominan di daerah tersebut. Para sultan bani Seljuk aslinya para panglima perang dari koalisi kelompok orang-orang Turki yang berasal dari suku Oguz yang hidup di sebelah timur laut Aral, dan mereka selalu kokoh, memaksakan diri, untuk mendapatkan status sebagai pemimpin dan patron bagi orang-orang Turki pengikut mereka. Sebagai tambahan tentunya, bani Seljuk harus memerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, dan tanggung jawab ini memerlukan dukungan elemen tertentu dari para penduduk asli. Rezim tersebut secara khusus terbagi ke dalam tiga kelompok yang secara fungsional sangat jelas namun yang mempunyai keanggotaan yang sebagiannya saling tumpang tindih; birokrasi 123
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
yang bersifat Irak dan Iran, orang-orang kota yang terhormat, dan elit keagamaan suni. Sebagai pemerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, bani Seljukmembutuhkan sebuah dukungan kekuatan militer yang terpercaya dan bukan berwatak penyamun dari orang-orang Turki, dan benar-benar mampu mengatasi orang-orang terakhir ini bila dibutuhkan. Kekuatan ini mereka peroleh dengan ukuran sewajarnya dari masa itu – yaitu dalam penjagaan Mamluk Turki, dan kelompok inilah yang dengan cepat menyediakan banyak pegawai militer senior (termasuk para gubernur provinsi) dalam negara. Mengenai khalifah, raja-raja seljuk menggambarkannya sebagi pembantu dan pelindungnya yang loyal, tetapi pada kenyataannya mereka harus bergelut dengannya sebagai rival yang gigih dan suka mengganggu, khususnya di Irak. Sketsa dahulu tersebut dengan jelas mengimplikasikan kelompok mana yang memiliki kepentingan politik dalam konflik-konflik di masa seljuk. Pertama, ada dua kelompok di tingkat pemerintahan ; birokrat sipil murni (Arab dan orang Iran), dan tentara profesional yang kokoh. Kedua, suku-suku Turki, yang menampilkan elemen sosial ekonomi yang berbeda di daerah maupun sebuah otonomi, dan kadang-kadang perselisihan militer. Ketiga, para elit asli kota; para pedagang, para pemilik lahan tanah, dan ulama yang rangking tinggi. Keempat, populasi urban di beberapa puat terbesar seperti Baghdad dan Nishapur, semua ini kadang diorganisasikan melalui madhahib (sekte teologis-hukum), kadang dalam bentuk geng-geng muda atau milisi yang bertetangga. Kadang kelompok yang besar ini berbuat sebagai kelas-kelas yang solid, masing-masingdengan tujuan dan kepentingan yang tentunya jelas. yang lebih sering lagi, masing-masing kelompok tersebut secara internal terbagi ke dalam kelompok-kelompok pesaing yang besar, dan kelompokkelompok ini akan berpihak dan menyesuaikan diri mereka satu sama lain dalam serangkaian gerakan koalisi yang memusingkan. Karena itu kita menyaksikan seorang amir dari kalangan tentara merekrut para pengikut dari suku-suku Turki dan Kurdi. Juga, Ulama suni di Baghdad yang merupakan para pengikut teologi al-‘Asy’ari akan mencari dukungan dari pemerintah Seljuk dalam menentang kolega kelompok tradisionalis mereka, sementara itu semua ini pada gilirannya ternyata adalah mencari dukungan khalifah. Setelah mengembangkan beberapa pengertian tentang lingkup politik yang kompleks dan encer pada masa ini, kita sekarang ini dapat berpaling pada ideologi yang muncul di dalamnya. Tidaklah mengejutkan bahwa ada banyak sekali tentang hal ini, tetapi kita tidak mengetahui seluruhnya secara sama. Bentuk sumber-sumber kita meyakinkan bahwa kita paling baik diberi tahu tentang ideologi-ideologi resmi, yang mengartikulasikan klaim-klaim yang berselisih bagi legitimasi beragam dinasti. Seperti ideologi protes, kita menemukan banyak jejak tentang hal ini dalam sumber kita, tetapi sedikit yang sampai dalam bentuknya yang lengkap. Tak ada survei umum tentang ideologi saja dalam periode Seljuk; yaitu, kita tidak memiliki studi yang luas yang tercurah tidak hanya untuk pemikiran politik pada masa itu, namun juga tentang retorika, simbolisme, dan propaganda. Sungguh, kita hanya memiliki 124
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
satu studi serius semacam ini bagi banyak porsi dari periode pertengahan, yaitu monografi terkenal dari Emmanuel Sivan, L’islam et la Croisade: Ideologie et propagande dans les reactions musulmanes aux croisades (1968). Buku Sivan jatuh di luar batas kronologi bab ini, tetapi fokusnya tentang negara penerus bani Seljuk menjadikannya sangat sesuai. Persoalan yang menghadang negara-negara ini (pendudukan orang kristen atas daerahdaerah orang muslim) adalah unik, tetapi respon ideologis mereka terhadapnya dikerangkakan dalam makna yang dikembangkan pada masa Seljuk. Lebih dari itu, ringkasan Sivan, -dokumentasinya yang luas, dan kewaspadaannya terhadap cara dimana perubahan verbal yang ramping mampu menerangi gerakan-gerakan utama dalam kebijakan, seluruhnya terkombinasikan untuk membuat studinya sebagai model bagi karya dalam lapangan ini. Begitulah adanya, kita harus puas memulai dengan analisis tentang pemikiran politik, yang benar-benar telah dikaji dengan baik, barangkali dari sana aspek-aspek lain dari ideologi sejauh yang diijinkan literatur akan dituju. Survei menyeluruh yang paling baik saat ini barangkali adalah A.K.S.. Lambton, State and Government in Medieval Islam (1981), yang secara bijak memfokuskan diri pada tradisi Syariah, yang akrab dengan hukum konstitusi kita. Penilaiannya dapat dikomparasikan dengan studi klasik dari Louis Gardet, la cite musulmane: vie sociale et politique (edisi asli, 1954; edisi revisi, 1961; lihat khususnya hlm. 147-188), yang menyajikan analisis yang luas tentang nilai-nilai dan konsep-konsep suni dalam sudut pandang atomis yang jelas. Studi-studi tersebut dapat ditambah dengan E.I.J. Rosenthal, Political thought in Medieval Islam (1958), yang gemuk dan banyak mengutip dari para ahli hukum syariah, tetapi mempunyai suatu yang berguna untuk disampaikan mengenai pembicaraan asli para filosof, sepeti al-farabi dan Ibn Sina. Tradisi Syariah aslinya terpusat pada institusi khalifah. Ungkapan klasik tentang keharusan religiusitas dalam kemuliaan politiknya tidak diragukan adalah karya dari Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah (diedit oleh R. Enger, 1853, dengan Constituones politicae, Kairo, 1929). Al-Mawardi adalah Kadi Baghdad yang bermadzhab Syafi’I dan kepercayaan khalifah al-Qadir (381 H-422 H/991 M-1031 M), yang padanya ia menyusun karya tersebut, barangkali kurang lebih tahun 420 H/1030 M. Tulisan itu memperoleh terjemahan yang bagus dari Emile Fagnan, Les Status gouvernementaux, ou regles de droit public et administratif (1915). Bagaimanapun, tulisan al-Mawardi bukanlah satu-satunya karya aliran ini pada masanya; kadi Baghdad bermadzhab Hanbali, Abu Ya’la b. al-Fara’ (w. 458 H/1066 M) menyusun sebuah buku dengan judul yang identik (edisi Kairo, 1357 H/1938 M), juga tampaknya atas permintaan khalifah. Jelasnya tulisan-tulisan ini menyajikan bukan teori-teori yang tidak berkepentingan, tetapi sebuah konser kampanye oleh Abbasiyah untuk memperkuat otoritas politik mereka. Karya Abu Ya’la, meskipun dipublikasikan setengah abad yang lalu, belum lama mendapat kajian yang serius. Al-Mawardi, sebaliknya, telah menarik perhatian yang 125
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
meyakinkan. Studi-studi perintis lainnya adalah oleh H.A.R. Gibb: (a) ‘Al-Mawardi’s Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302; (b) “Some Consideration on the Sunni Theory of The chaliphate,” Archives d’histoire du droit oriental, iii (1939) 401-410; (c) “Constitutional Law,” dalam M. Khadduri dan H. Liebesny (editor), Law in the Middle East (1947), 1-29. (Dua item pertama dicetak ulang dalam Gibb, Studies on the Civilization of Islam, 141-165). Analisis yang paling menyeluruh adalah dari Henri Laoust, “La pense et l’action politiques d’ al-Mawardi (364-450/974-1058), REI, xxxvi (1968),11-92, yang menguji teori pemerintahannya maupun konteks politik saat tulisan itu ditulis. Tulisan George Makdisi, Ibn’Aqil memperluas konteks dimana karya-karya formal seperti tulisan al-Mawardi mengenai makna ideologis yang seksama bagi kepercayaan agama harus ditafsirkan melalui analisisnya, yang seolah-olah bersifat teologis ketimbang berbentuk pernyataan politik. Bahasannya (hlm. 299-310) dapat dikomparasikan dengan penasehatnya tersebut, Laoust yang tidak dapat ditinggalkan, di akhir pendahuluan pada La profession de foi d’Ibn batta (1958) – sebuah karya oleh seorang ahli hukum Irak pada abad 4 H/ 10 M yang telah menulis ketika kejayaan tirani Buwaihi. Pada akhir abad ke 5 H/ 11 M, Abu Hamid al- Ghazali (400-505/1058-1111) menyampaikan ulang teori supremasi politik Khalifah, meskipun dengan beberapa konsesi yang agak jelas terhadap realitas yang ada dari dominasi militer Seljuk. Ia menyajikan bahasan persoalan ini dengan sangat lengkap dalam Kitab Fada’ih al-Batiniyya wa wafada’il al-Mustazhiriyya, diterbitkan dan dikaji oleh Iqnaz Goldziher dalam Die Streitscrift des Gazali gegen di’e Batiniy ya- sekte (1916). Sebuah pernyataan yang lebih ringkas diberikan dalam al-Iqtisad fi al- I’tiqad ( edisi Kairo, 1327/1909), dianalisis oleh Leonardo Binder dalam, “Al- Ghazali’s Theory of Islamic Government, “ Muslim World, xiv (1955), 229-241. Sebuah studi luas tentang pemikiran politiknya (yang didalamnya Kalifah dipandang hanya satu elemen) dapat diperoleh dalam Henri Laoust, La Politique de Ghazali (1970). Pada dekade paling belakangan, Carole Hillenbrand telah menerbitkan dengan hati-hatidan agak bersudut pandang revisiones tentang korpus politik al-Ghazali, “Islamic Orthodoxy or Realpolitik ? Al-Ghazali’s Views on Government, “ Iran , xxvi (1988), 81-94. Realitas politik fundamental yang menghadang khalifah tentunya adalah sebuah tindakan yang harus disertai dengan paksaann oleh sejumlah anggota diktator militer, beberapa keuntungan dari hal tersebut adalah sangat jauh, namun yang lainnya begitu dekat dengan Mamluk. Studi-studi yang dinukil di atas tentunya adalah mengenai persoalan tersebut, tetapi sebagai tambahan ada banyak yang lain yang seacara khusus dicurahkan terhadapnya. a. W. Barthold , “Kalif; Sultan,” Mis Islama, I (1912), 202-226, 345-400; dianalisis dalam C.H. Becker, “Barthold’s studien uber Kalif und sultan,” Islam, vi (1916), 350-412; terjemahan parsialnya dilakukan oleh N.S. Doniach dalam Islamic Querterly, vii (1963), 117-135. 126
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
b. A.H. Saddiqi, “caliphate and Kingship in Medieval Persia,” IC, ix (1935), 560-579; x (1936), 97-126, 260-279, 290-408; xi (1937), 37-59. (Secara esensi merupakan sebuah survei tentang kejadian-kejadian politik sejak masa Tahiri hingga akhir masa Seljuk). c. Emile Tyan, Institutions du droit publi musulman, II: sultanat et califat (1957). (Sebuah studi berguna, bahkan mencatat review yang sangat kritis dari Claude Cahen dalam arabica, v [1958], 70-76) Diantara para pemimpin diktator ini, Bani Buwaihi pastinya menampilkan persoalan yang paling akut, sejak mereka mengkontrol Baghdad dan daerah-daerah rendah Irak, dan lebih-lebih Syiah yang tidak menerima Abbasiyah sebagai pemimpin masyarakat yang benar. Di sisi lain, Bani Buwaihi mengeksploitasi Syiah mereka hanya pada level lokal, sebagaimana baru saja kita catat. Tidak hanya mereka menolak klaim Fatimiyah sebagai Imamah, mereka tidak pernah mencoba berbuat sebagai wakil bagi imam yang tersembunyi, spiritual tersebut ada jika kepala dari sekte dua belas mereka tidak hadir. Ketika Bani Buwaihi merasa butuh akan sejumlah sumber legitimasi di luar peperangan, mereka berharap mendapatkannya dari kekaisaran tradisi Iran kuno. Usaha ini sebagai revivalisasi budaya terkait secara khusus dengan ‘Abdud al-Dawla Fana-Khuraw yang luar biasa (338-372/949-983). Sebagai tambahan bagi tulisan Busse, “The Revival of Persian kinship under the Buyids,” (lihat di atas), lihat dua buah artikel berikut ini: 1. W. Madelung, “The Assumtion of the Tittle Shahanshah by the Buyid and the Reign of Daylam (Dawla al-Daylam),” JNES, xxviii (1969), 84-108, 168-183. 2. Lutz Richter-Bernburg, “amir Malik-Shahanshah: Adud al-dawla’s Titulature Reexamined,” Iran , xviii (1986), 83-102. Pengetahuan kita tentang ideologi kerajaan Buwaihi sebagian besarnya adalah berdasar pada judul-judul yang mereka klaim. Pastinya kita tidak mempunyai karya formal dari seorang yang sekaliber al-Jahiz, al-Ghazali, al-Mawardi, Nizam al-Mulk, dan lain-lain, yang menceritakan pemahaman Buwaihi tentang Iran. Sumber kita yang paling berguna barangkali adalah mata uang Buwaihi. Sebagai tambahan kita dapat memperoleh sejumlah data babad dan korespondensi negara (yang terakhir tidak terjaga dalam bentuk aslinya, tetapi hanya dalam koleksi insha’). Semua refernsi yang penting terdapat dalam J.C. Burgel, Die Hofkorrespondenz ‘Adud al-Dawla und ihr verhaltnis zu anderen historischen Quellen des fruhen Buyiden (1965). Revivalisasi Buwaihi atas kekaisaran Iran merupakan sesuatu yang tentatif, terutama karena terbatas pada upacara dan gelar kerajaan. Dalam generasi berikutnya, idealisme dan kriteria aturan pemerintahan dari model ini akan mendapat pernyataan yang lebih jelas dalam Shah-nameh yang luar biasa dari Firdawsi, disusun di keraton Saman di Bukhara tetapi pada ujungnya disampaikan untuk sultan Mahmud dari Ghazna. Berikutnya nilai-nilai dan sikap-sikap neo-sasanid akan melebur dalam setiap lembaran tulisan politik di Iran, pada setiap prasati dan mata uang, setiap upacara, hingga seluruh masa pertengahan. Untuk alasan ini, adalah berguna menyadari literatur pada masa sebelum 127
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
kekaisaran Islam di Iran. Survei standar adalah tulisan Athur Christensen, L’iran sous les Sassanides (1936; revisi kedua, 1944), lihat khususnya bab 8, mengenai monarkhi yang paling lengkap yang dapat dijadikan contoh bagi pemikiran Iran, Khusraw Nushirwan. Ada kekayaan materi di sini, tetapi itu harus digunakan dengan sangat hati-hati, sebab banyak data kita tentang sasanid berasal dari sumber-sumber yang ditulis pada masa Islam, dan pemahaman kritis Christensen kadang menggagalkannya. Persoalan tersebut juga telah dikaji oleh Geo. Widengren, “The sacral Kinship of Iran,” dalam The Sacral kinship (1959), 2420258. Sebuah artikel oleh R.N. Frye, “The Charisma of kingship in Anciebt Iran,” Iranica Antiqua, vi (1964), 36-54, mempunyai banyak poin yang menarik, tetapi ia tidak sesuai dengan judulnya. Seni Sasanid mengembangkan sebuah ikonografi kekaisaran yang kokoh. Bejana-bejana perak yang menyolok yang dibuat untuk kerajaan sekarang ini dikatalogkan dengan baik sekali dan dikaji dalam Prudence Harper, Silves Vessels of the sassanid Periode . Volume one : Royal Imagery (1981), yang mempunyai gambar-gambar yang istimewa dan sebuah bibliografi yang menyeluruh mengenai seluruh aspek seni sasanid. Relief karang yang mengagumkan untuk memperingati penobatan dari raja-raja pertama telah disurvei (sayangnya, tidak dapat dengan sangat mudah dipahami) dalam Roman Ghirshman, Iran : Parthes et Sassanides (1962), diterjemahkan oleh S. Gilbert dan J. Emmons dengan Iran Parthians and sassanians (1962). Yang monumental dalam skala tentunya dari semua ini adalah lembaran-lembaran yang benar-benar mengagumkan tentang propaganda dinasti. Transmisi tradisi Raja Sassanid kepada Islam adalah persoalan utama dalam dirinya, dan kita hanya dapat memberi sedikit referensi disini. C.E. Bosworth telah memberikan kontribusi sebuah esei yang ringkas, “ The Heritage of Rulerhip in Early Islamic Iran and the Search for Dynastic Connections with the Past, “Iran, xi (1973), 5162. Mengenai arsitektur dan daya khayal, ada banyak sugesti yang bermanfaat dalam Oleg Grabar, The Formation of Islamic Art, lihat khususnya halaman 141-178. Dari sisi literatur, banyak tema yang beredar melalui kontroversi Syu’ubiyah yang terkenal di akhir abad 2 H/ 8 M, melibatkan para pendukung budaya Iran disatu sisi dan penjaga kemuliaan Arab sebelumnya disisi lain. Ignaz Goldzeher membawa seluruh fakta utama dalam tulisannya Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-198). H.A.R Gibb menyiapkan penafsiran yang bersifat sosial politik ketimbang bersifat budaya bagi konflik ini dalam sebuah artikel terkenal, “ The sosial significance of the Shu’ubiyya, “ dalam Studi’a Orientalia Loanni Pedersen Dicta (1953), 105-114; dicetak ulang dalam Studies on the Civilization of Islam, 62-73; lihat juga R.P. Mottahedeh, “The Shu’ubiyah Controversi and the social History of Early Islamic Iran, “IJMES, vii (1976), 161-182. Teks-teks yang relevan adalah tak terhitung jumlahnya; bab pertama dan antologi terkenal Ibn Qautayba (w.276/889) akan menunjukkan bagaimana konsep politik Sassanid dapat diterima menjadi bahkan dalam lingkup Islam yang konservatif : “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar
128
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
(4 Volume, 1343-49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The book of Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27. Meskipun bangsa Turki dengan ras orang-orang Ghaznaw mencoba sekeras orangorang Buwaiki, ternyata mereka lebih berhasil dalam menghubungkan diri mereka dengan tradisi kekaisaran Iran. Kebalikan dari saingan mereka, tentunya, mereka berusaha juga menciptakan suatu sintesa antara bangsa Iran dan secara khusus Islam yang berasal dari pemerintahan mereka; Ghaznawi kenyataannya adalah pendiri sebenarnya model pemerintahan yang kita sebut dalam buku ini dengan autokrasi Persia – Islam. Menggunakan model ini, mereka menggambarkan diri mereka dengan prajurit pejuang yang mengembangkan dunia Islam, sebagai penjaga Suni dan penindas bid’ah, dan sebagai aliansi dan agen yang loyal dari Khalifah Abbasiyah. Dalam cara ini mereka secara simultan memproklamasikan nilai absolut dan konsep keadilan bangsa Iran. Sama dengan orang Buwaihi, judul yang digunakan oleh sultan-sultan Ghaznawi adalah sangat terbuka: lihat C.E . Bosworth, “ The Titulature of the Early Ghaznavids, “ Oriens, xv (1962), 210233. Mengenai seni arsitektur mereka, ada sebuah survei ringkas yang bagus (barusaja agak kuno) Oleh J. Sourdel. Thomine dalam EI2,ii, 1053-55. Ungkapan-ungkapan ideologi mereka yang terbaik barangkali adalah tulisan Bayhaqi Tarikh –I Mas’udi, tentangnya lihat analisis dalam Bab yang telah mendahului sebagai tambahan, siyasat-naweh dari nizam alMulk yang terkenal, meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah dari Nizam al-Mulk yang terkenal,meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah (465-485/1072-1092) secara dekat mencerminkan nilai-nilai dan pemikiran monarki dinasti Ghaznawi, dalam dinasnya Nizam al-Mulk mulai kariernya. Edisi dan terjemahan paling bagus terhadap hal itu adalah oleh Hubert Darke,The book of Government or Rules for kings (teks persia, 1960; edisi revisi tahun 1978). Beragam untaian ideologi yang dihasilkan oleh Khalifah bani Buwaihi dan Ghaznawi seluruhnya diwarisi oleh Bani Seljuk, yang menjadi, sebagaimana yang dicatat dahulu dalam bab ini , contoh negara Islam pada akhir masa pertengahan. Di sisi lain pengaruh dan prestis besar mereka, bagaimanapun, kita masih belum memiliki pennelitian umum tentang ideologi bani seljuk. Pendekatan yang paling dekat mengenai hal ini dapat diketemukan dalam sejumlah studi oleh A.K.S. Lambton tentang konsep-konsep kekaisaran Iran masa pertengahan, yang semuanya terdapat dalam Theory and Practice in Medieval Persian Government (1980). Diantara semua ini, dua buah artikel secara khusus telah banyak dikutip : (a) “Quis Custodiet custodes: Some Reflection on the Persian Theory of Government,” SI, v (1956),125-146; (b) “Justice in the Medieval Persian Theory of Kingship,” SI, xvii (1962), 91-119. Artikel-artikel ini penuh dengan pemikiran-pemikiran yang menarik. Di sisi lain mereka hanya mengenai aspek khusus dari keseluruhan pokok persoalan, dan sebagai tambahan mereka menco ba meliput seluruh dinasti utama Islam Iran, tidak hanya dinasti Seljuk saja.
129
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Karya Lambton berdasar pada teks-teks yang ditulis dengan jelas untuk menunjukkan kriteria pemerintahan yang benar. Diantara sejumlah karya yang penting dalam tipe ini yang dihasilkan pada masa dinasti seljuk, kita telah menunjukkannya dengan siyasat nameh dari Nizam al-mulk. Dalam karya ini (baik itu al-Ghazali ataupun yang lainnya) tidak memberi perhatian pada khalifah dan klaim-klaimnya; ia menulis secara khusus tentang pemerintahan seljuk di timur Iran. Hillenbrand (“Islamic Ortodoxy or Realpolitik ?” yang telah dinukil di atas hlm 161) menganggap lembaran-lembaran itu sebagai palsu. Dalam beberapa hal, nasihat mempunyai sebuah sejarah tekstual yang kompleks dan ia paling mudah dikonsultasikan dalam terjemahan oleh F.R.C. Bogley, Ghazali’s Book of Connsel for Kings (1964). Terakhir ada Qabur-nameh yang elok dari ratu kay ka’us b. Iskandar (475/1082), editor dan penerjemah Reuben Levy denganA Mirror for Princes (1951). Tiga karya ini berbagi konsep yang biasa tentang status dan peranan pemerintahan monarkhi, yang mereka sajikan baik dalam kerangka sasanid dan Islam, tetapi dalam nada dan etosnya mereka masing-masing sangat berbeda. Nizam al-Mulk menerima tanggung jawab sultan dengan realisme yang keras, baginya, sultan mampu meraih keadilan dan sentosa hanya dengan memaksakan keinginannya pada bawahannya, dan ini dapat dikerjakan hanya melalui kewaspadaan yang terus menerus dan ancaman yang konstan dan menghilangkan hubungan diantara kelas-kelas yang stabil. Karena aturan sosial yang adil ini adalah ditetapkan oleh Tuhan, berikutnya sultan harus berbuat dengan seluruh tenaganya untuk berpegang teguh pada agama yang benar dan menghilangkan bid’ah. Di sisi lain, Nizam al-Mulksepertinya menerima keadilan sebagai sesuatu yang secara rasional dapat diketahui dan diserukan oleh seluruh agama yang sesuai, tidak hanya Islam. Dari sudut pandang ini, hubungan antara pemerintah dan agama adalah hubungan fungsional. Penguasa mengemban agama yang telah ditetapkan karena agama tersebut melegitimasi dan memperkuat susunan sosial yang ada, bukan karena kebenaran nilai-nilai yang abstrak dari agama tersebut. Dalam nasihat al-Mulk, pengarang pertama kali ditarik perhatiannya dengan karakter dan motivasi dari penguasa. Ia secara implisit berargumen bahwa jika pemikiran dan tindakan diri penguasa adalah benar-benar telah dibentuk, maka kebijakannya akan di dengar dan pemerintahannya akan berkembang dengan baik. Baginya, bagaimanapun, kebenaran nilai agama adalah utama. Setiap aspek tingkah laku penguasa harus berhembus dari komitmen personal mengenai kebenaran ini. (Bandingkan dengan analisis Lambton dalam “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely, I [1954], 47-55) Qabus-nameh pastinya yang paling menarik dan paling harmonis dari teks ini, meskipun dari sudut pandang teoritis ia kurang begitu penting. Ia berisi nasehat tentang persoalan dunia dari sebuah dinasti yang saleh bagi putranya tentang bagaimana jalannya
130
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
di dunia yang berbahaya, dan bagaimana bertingkah laku pada setiap saat sebagai seorang raja. Tiga karya ini seluruhnya ditujukan bagimpara penguasa, dan semua karya tersebut adalah memorandum dan sekaligus juga dokumen umum. Dalam rangka merangkul kelompok-kelompok lain, ideologi bani Seljuk harus diekspresikan melalui karya-karya asli yang beragam. Kebanyakan historiografi bani seljuk yang bagus (sebuah tulisan yang paling langsung berhubungan dengan birokrasi) adalah terlalu berkarakter ideologis. Literatur ini belum pernah dipelajari secara memadai, namun Claude Cahen telah memberi dua kontribusi penting berkaitan dengan hal ini; (a) “Le Malik –Nameh et l’histoire des origines seljukides,” Oriens, ii (1949), 31-65; (b) “Historiography of the Seljukid Period,” dalam Lewis dan Holt, ditor, Historians of the Middle East, 59-78. Di kalangan Ulama dan para pengikutnya, peranan dinasti sebagai’ penjaga keyakinan’ dapat disimbolkan dengan perlindungannya terhadap institusi-institusi agama. Masjid-masjid dan madrasah pada masa bani Seljuk celakanya hidup hnaya dalam kepingan-kepingan, dan apa yang kita miliki benar-benar diabaikan oleh para sarjana modern. Mengenai tinjauan ringkas atas apa yang telah diketahui, liha Oleg Grabar , “The Visual Art,” dalam Cambridge Historyn of Iran, v,626-641. begitu juga, epigrafi bani seljukbelum pernah menjadi objek dari sebuah studi sintesa, meskipun nilainya bagi perkembangan ideologi tersebut adalah sudak terbukti. Sebuah indikasi atas apa yang dapat dipelajari dapat diketemukan dalam dua buah studi oleh Mikita Elliseeff tentang para raja penerus bani Seljuk di Syria abad 6 H/ 12 M, Nur al-Din Mahmud b. Zanji: (a) “La Titulature de nur ad-Din d’apresses inscription,” BEO, xiv (1952-1954), 155-196; (b) “Les Monumens de Nur ad-din,” BEO, xiii (1949-1951), 5-43. Penafsiran Elliseff begitu dekat dengan kerangka kerja yang dilakukan oleh Max van Berchem dalam CIA . Dan pernyatan dari yang terakhir tersebut mengenaio bani Seljuk adalah mudah dimengerti meskipunsangat berserakan. Sejauh ini kita telah berbicar seolah-olah bani Seljuk memandang dirinya sebagai autokrasi Persi-islam, dan sebagai penjaga dari Islam suni dan khalifah. Tetapi mereka juga para pemimpin orang-orang Turki, paling tidak pada permulaannya, dan sangat perlu menanyakan apa yang dimiliki dari fakta ini pada pmikiran politik mereka. Bahkan Nizam al-Mulk yangrealistik menyinggung segi identitas mereka ini hanya dengan cara sepintas lalu, ketika ia menasehati Malik shah untuk tidak mengabaikan ataupun melukai hati orang-orang Turki yang telah ikut membawa dinasti mencapai kekuasaan. Mengenai konsep politik dan nilai-nilai orang Turki, tentu ia katakan tidak dengan sebuah kata. Meskpun demikian jelas bahwa penduduk Turki Asia tengah mempunyai tradisi yang berurat akardengan tradisi aaslnya, beberapa diantaranya paling tidak telah mereka bawa saat emasuki wilayah di luar Oxus pada awal-awal abad 5 H/11 M. Contoh khusus yang penting tentang hal ini adalah ungkapan bahwa wilayah kedaulatan adalah hak milik bagi seorang individu namun untuk keseluruhan keluarga. 131
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Yaitu, anggota-anggota utama dari famili yang paling besar dalam sebuah kebijakan adalah diharuskan berbagi kekuasaan dengan mengakui porsi wilayahnya sebagai bagian yang otonom bagi anggota keluarganya yang lain Struktur politik semacam ini dapat dibri beragam nama; diantara nama – nama tersebbut dalam penggunaannya yang pantas adalah kedaulatan kolektif, “konfederasi Kekeluargaan,” dan negara bagian. Institusi tersebut pertama kali diidentifikasi oleh Barhold (Turkestan down to the Mongol Invasion, 268), tetapi pandangannya tidak diorbitkan hingga Claude Cahen mengadakan penelitian tentang bentuk tingkah laku ini dalam artikelnya tentang Bani Ayyub dan bani Buwaihi dalam EI2 Institusi tersebut paling sistematis diteliti dalm dua monografi belakangan: (a) R.S. Humphreys, From saladin to the Mongols: The Ayyubids of Damascus, 1193-1260 (1970); dan (b) John E. woods, The Aqquyunlu clan, confederation, Empire (1976). Tak ada pertanyaan tentang kode kedaulatan kolekstif yang sangat kuat membentuk tingkah laku politik Bani seljuk, tetapi tampatknya hla itu merupakan persoalan yang tidak dibicarakan – bentuk pemikiran dan nilai yang mempengaruhi hubungan merka satu sama lain dan dengan para pengikut orang-orang Turki mereka, tetapi yang tidak prnah menjadi bagian dari klain publik mereka untuk menguasai daerah dan penduduk muslim. Bani seljuk menetapkan kebanggaan besar mereka dengan bahasa Turki. Dan sebuah bukti kuat terdapat dalamawal-awal abad 5 H/11 M, Tafdil al-Atrak dan Ibn Hasul (teks Arab dan terjemahan Turkinya dikerjakan oleh S. Yaltkaya, studi oleh ‘abbas al‘azawi, Belleteni, iv [1940],235-266. Di sisi lain banii Seljuk tidak pernah mensponsori literatur dalam bahasa Turki, meskipun model hal ini telah dipersiapkan oleh Qara-Khanid dari Transoxiana pada pertengahan abad 5 H/11 M. Di bawah pattron mereka cermin bahasa Turki bagi para Raja kenyataannya disusun dengan penanggalan yang ramping tentang banyak teks Persi semcam ini yang ada, Kutadgu Biliq dari Yusuf Khass Hajib, diterjemahkannoleh Robert Dunkoff dengan The Wisdom of Royal Glory (1983) Bahkan yang lebih menarik lagi adalah Diwan al-Lughat al-turk yang sangat besar dari Mahmud al-Kashghari. Tetapi secara umum kita mulai melihat literatur Turki yang disponsori secara rresmi hanya pada paruh kedua abad 9 H/15 M. Telah disampaikan bahwa sejak masa awal bani Seljuk menganggap diri mereka sebagai penduduk yang memiliki mandat wahyu untuk mengatur dunia, meskipun saya menemukan tesis tersebut meragukan. Tema ini paling lengkap (meskipun cinta tanah airnya agak berlebihan) di gali oleh Osman Turan, Turk cihan Hakimiyeti Mefkuresi Tarihi (2 volume, 1969); pengarang yang sama jug memberikan pernyataan yang ringkas tentangnya dalam “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”SI, iv (1955), 77-90. Satu aspek dari tradisi kepemimpinan Turki digali dalam J.P. Roux, “L’origine celeste de la souverainete dans les inscriptions paleo-turques de mongolie et de Siberie,” dalam The Social Kingship, 231-241. Tentang penggunaan bani Seljuk ata simbol kekuatan raja bahasa Turki tua, tundukan dan anak panah, lihat Claude Cahen, “la tughra seljukide,’ JA, ccxxxiv (1943-45), 167-172. 132
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Kita seharusnya tidak usah melebih-lebihkan bisunya konsep dan simbol bahasa Turki dalam imaginasi umum yang dicoba direncanakan oleh Bani Seljuk. Tak diragukan semua ini penting bagi cara mereka dalam memahami diri mereka sendiri, tetapi mereka benar-benar telah mampu berbuat banyak dalam melegitimasi aturan pemerintahanSeljuk di kalangan orang-orang Iran, Arab dan penduduk Kurdi. Tentunya ide-ide tersebut dengan jelas sangat penting bagi Khans-II dan para penerus Turki Mongol mereka seperti kelompok Jalayirin, Qara-Qayunlu dan Timur Lank. Namun orang-orang Mongol memulai dominasi mereka di Irn dan Mesopotamia sebagai penduduk pagan, orang yang terpatri dengan tradisi Asia Tengah, dan sangat pelupa dengan ide-ide Persia-islam. Bagi bani Seljuk, sebaliknya, kriteria Islamsecara khusus dan neo-sasanid sepertinya telah mengontrol ungkapan politik umum mereka, dan bahkan pandangan tentang kekaisaran dan aturan sosial yang mereka anspirasikan. C. Penutup Jika kita kembali kebelakang pada kerangka perbandingan umum ideologi dan propaganda yang telah kita kembangkan pada awal bab ini, kita sekarang dapat mencoba melokasikan bani Seljuk di dalamnya pertama, mereka memauki dunia Islam pada saat kekacauan politik dan budaya yang mendalam disana. Dalam lingkungan tertentu mereka (atau lebih punya, para ahli kampanye asli mereka) tidak dapat menghindarkan diri dalam menjelaskan peranan dan maksud mereka.- Yaitu membangun sebuah ideologi yang memperkuat dominannya atau populasi muslim yang ada mereka adalah orang-orang Barbarian, barbarian yang berkeinginan melanggengkan, sejauh mungkin, susunan sosial masyarakat kota- agraris yang telah ada di Iran dan daerah bulan sabit yang subur. Sikap inimengharuskan mereka berpihak pada kelas-kelas asli mereka yang memegang teguh aturan tersebut. - Birokarasi kepemiliki lahan dan masyarakat kota yang terhormat (Ulama dan para pedagang). Karena alasan itu, ideologi bani Seljuk akan seacara pasti menjadi satu-satunya yang mencoba memastikan dan menjaga sesuatu sebagaimana adanya mereka. Pandangan konservatif ini diperkuat oleh keputusan para pedagang tak resmi untuk menjalin hubungan diri mereka dengan Khalifah Abbasiyah. Ketegangan dan konflik dibangun dlam aturan bani Seljuk tentang segala hal, dan para apologi mereka berharap dapat menyelesaikan hal ini dengan mengterangkan sepasang konseptual yang akan mempertegas harmoni dalam diantara elemen-elemen yang kelihatan bertentangan – bahkan penekanan mereka pada peranan kunci kelompok etnis tambahan (Turkidan Tajik)dan institusi politik (khalifah dan ksultanan). Dalam cara yang sama, mereka menampilkan pemerintahan bani Seljuk sebagai satu-satunya yang dapat menyesuaikan seluruh kriteria penguasa ideal yangmuncul pada masa-masa aawal Islam, Sassanid Iran dan Turki asia Tengah, bagaimanapun kontrdiksinya hal ini terlihat dari luarnya. Karena aturan yang ada dibawah tekanan dari berbagai jurusan, yang opaling terlihat adalah Syiah Ismailiyah, bani Seljuk yang konservatif adalah tak dapat tidak 133
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
militan dan bahkan menyayat dalam nada. Propaganda mereka adalah propaganda pada orang yang bebas berbicara dikalayak umum dn yang mengontrl sumber-sumber yang sangat luas. Para pendukung merka dapat mengajar di masjid dan madrasah, mengedarkan karyua-karya tertulis utama, dan membangun institusi agama yang indah. Apakah seluruh hal ini efektif ? Tentunya itu saja tidak dapat menyelamatkan pemerintahan bani Seljuk dari melemahnya strukturalnya. Tetapi ideologi lambat laun bekerja menuju secara jelas kebutuhan politik dinasti militer yang mencoba mengatur dalam kerangka nilai dan perilkaku Islam yuang telah ada. Lebih jauh, itu dapat memberikan kemampuan bagui generasi-generasi belakangan melihat ke belakang pada awal-awal bani Seljuk sebagai kesempatan memperbaiki keagunagn Islam, sebuah kesemnpatanmyang seharusnya mereka perj8angkan untuk merebut kembali bagi diri mereka.
DAFTAR PUSTAKA Clifford Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols,” dalam The Interpretation of Cultures, New York: Basic Book, 1973, {126-141). Dominique Sourdel, “Questions de ceremonial ‘abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148. Edward Shils dan Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences, viii (1968). E.B Smith, Architectural Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages, Princeton: Princeton University Press,[1956] E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam , Cambridge: Cambridge University Press,1958. H.A.R. Gibb: (a) ‘Al-Mawardi’s Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302. Ignaz Goldzeher, Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137198) Ibn Qautayba (w.276/889) “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar (4 Volume, 134349/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The book of Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27. Karl Mannheim, Ideology and Utopia (terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils), New York: Harcourt, Brace & Co., 1936. Lambton, “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely, I [1954], 47-55). Leonardo Binder, “Al- Ghazali’s Theory of Islamic Government, “ Muslim World, xiv (1955), 229-241. P.M Holt, “The Position and Power of the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237249
134
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Osman Turan, “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”Studia Islamica, iv (1955), 77-90. Oleg Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657
MEMPERTAHANKAN PILKADA LANGSUNG Hasyim Asy’ari74
74 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudarto, Kampus Undip Tembalang, Semarang Email:
[email protected]
135
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Abstract Local elections in Indonesia has a number of models. In there centera, the election models used are direct local elections through the election. Now the discussion is being carried legislation local elections offer the idea that the Governor was elected by Parliament and the Regent/Mayorelected by popular vote. This paper examines and recommends that local elections remain to be implemented directly through elections. Keywords: (1) Local Election, (2)Democracy, (3) Indonesia.
A. Pengantar Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai dibahas Pemerintah dengan DPR. Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pilkada akan diubah yang semula Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu, menjadi Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota tetap dipilih lewat pemilu. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu) atau dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung nampaknya dimaknai bahwa kepala daerah dipilih tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya. Tulisan ini hendak mengkaji beberapa model pengisian jabatan kepala daerah, dan diikuti dengan rekomendasi model pengisian jabatan kepala daerah ke depan. Tulisan mengarah kepada gagasan untuk mempertahankan pilkada langsung atau pemilihan kepala daerah melalui pemilu (pemilukada). B. Model Pilkada Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak langsung, melainkan hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta). Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya
136
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri untuk memilih Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur). Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh DPRD. Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan” oleh DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta). Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Argumentasi Mempertahankan Pilkada Langsung75 Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum Tata Negara (HTN).76 Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih Gagasan ini semula bersumber pada: Hasyim Asy’ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, artikel yang pernah diterbitkan Harian Kompas, 24 Maret 2011. Edisi revisi artikel tersebut disampaikan pada Seminar “Pilkada Langsung: Problematika dan Solusi”, diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UKSW Salatiga Kerja Sama dengan Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Selasa, 14 Juni 2011. 76 Tentang penafsiran dalam hukum tata Negara, baca: Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, terutama “Bab V Penafsiran Dalam Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hlm. 273-313. 75
137
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota (Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4). Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara demokratis”. Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis merupakan bagian Pemilu?. Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara materiil Pilkada adalah kegiatan Pemilu karena mekanisme dan tata cara mengadopsi Pemilu seperti yang diatur dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 bukan Pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu dalam UUD 1945 karena menempatkan Pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau peranserta KPU. Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti ini Pilkada bukan termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan mekanismenya mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari tumpang tindihnya pengaturan seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan Indonesia tidak memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan sistem Pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu. Problematik yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai macam mengenai ketidakefisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana diskusi berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur sedangkan bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah “dipilih secara demokratis” menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis. Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan mekanisme apa yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang memilih ini menjadi persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi, misalnya asas-asasnya dan konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sedangkan pada amandemen berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir dipilih melalui pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga 138
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undangundang keistimewaan, yaitu Yogyakarta. Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan ketentuan itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis.77 Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah Kepala Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei 2000. Pada initinya FPDIP mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal. Untuk mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan, FPDIP mengusulkan agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah Otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang”. Jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP pada sidang PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakhiri praktek pemilihan kepala daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek tekanan serta paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk memilih kepala daerah yang sedang berjalan. Rumusan dipilih secara demokratis usulan PDIP bukan substansi yang mengarah kepada kepala daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD. Namun ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara demokratis. Fraksi Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat daerah dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu bahwa demokrasi lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah yang kokoh. FPG mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan kekuatan kepada desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa didukung pelibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, di antaranya adalah melalui pemilihan kepada daerah secara langsung. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP mengusulkan tujuh item perubahan Pasal 18, yang salah satunya pada item ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang 77
Perdebatan seputar mekanisme pemilihan kepala daerah dalam perumusan naskah Perubahan UUD 1945, baca: Tim Penyusun Naskah KomprehensifProses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Edisi Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), terutama “Bab V Pembahasan Perubahan UUD 1945 Mengenai Pemerintahan Daerah”, hlm. 1107-1431 passim.
139
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung”. Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi sebelum memasuki tahap lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item keempatnya bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undangundang dan tata caranya nanti diatur dalam undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah”. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung sebagaimana tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden. Fraksi Persatuan Daulat Ummah (FPDU yaitu gabungan dari Partai Nahdlatul Ummah, Partai Kebangkitan Umat, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Syarikat Islam Indonesia). Di sisi lain pengaturan pemerintahan daerah cenderung melakukan penyeragaman, padahal dalam penjelasan Pasal 18 founding fathers menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dan sebagainya. Karena itu FPDU berpendapat bahwa Pasal 18 tidak dapat lagi mengatur secara keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata hubungan daerah dan pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan Pasal 18 yang berisi delapan item, antara lain pada item kedua “Setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu” dan item keempat “Setiap daerah memiliki kepala pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat”. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat yang diusulkan FPDU harusnya dipahami sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih oleh rakyat melalui pemilu, dengan demikian kepala daerah dipilih oleh rakyat adalah dipilih melalui pemilu. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesa (FKKI yaitu gabungan dari PKP, PDI, PNI Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan PNI Front Marhaenis). Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan kesepakatan bersama. Selama ini kita terjebak pada paradigma pusat dan daerah yang mempertentangkan pusat dan daerah. Selanjutnya untuk menjamin hak-hak rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan Pasal 18 yang antara lain berisi “berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang langsung, maka kami mengusulkan pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juga dipilih secara langsung”. Dengan demikian redaksi dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) menurut FKKI harus diartikan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB dari Partai Kebangkitan Bangsa), pada intinya menyampaikan pokok pikiran bahwa berdasar aspirasi yang berkembang di bawah nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur dan Walikota atau Bupati yang dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi. Selanjutnya dalam paparannya secara tegas 140
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
dinyatakan, “oleh karena itu kami mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti dengan kata-kata dipilih langsung”. Fraksi Utusan Golongan (FUG) menyoroti hampir keseluruhan isi perubahan Pasal 18 hasil PAH I BP MPR. Mengenai pemilihan kepala daerah, inti paparannya secara tegas menyatakan: “saya usulkan agar dipilih secara demokratis itu diganti dengan langsung atau bisa kompromi juga dipilih secara demokratis dan langsung”. Kepala Daerah dipilih secara langsung ini menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem pemilihan yang juga diusulkan beberapa fraksi, misalnya pemilihan Presiden secara langsung, itu juga diterapkan sampai di tingkat bawah. Fraksi Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan). Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggarisbawahi keberatan dengan pencantuman pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar “Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung”. Selanjutnya juga disampaikan: “karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas, karena demokratis itu seringkali tidak jelas”. Dari penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih secara langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E ternyata secara eksplisit pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4) yang merumuskan dipilih secara demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya amandemen keempat. Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik, pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum. Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan (pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat. Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis, bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan argumen konstitusi yang kuat. Argumentasi Konstitusional Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara yang dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi sebuah Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat [vide Pasal 1 ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E]. Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4) 141
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, maka kata “demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Dalam hal ini, sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik, kedaulatan di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya. Kedua, konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensil [vide Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah Presiden (pejabat eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih, yang membedakan dengan sistem parlementer di mana pimpinan eksekutif dipilih oleh parlemen berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam sistem parlemen sekali pemilu mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen, dan sekaligus pemenang dalam parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan eksekutif. Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu secara langsung, bukan oleh parlemen (DPRD). Argumentasi Politik Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi formula pemilihan anggota DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara terbanyak), untuk mengimbangi basis legitimasi DPRD maka sudah seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun lewat pemilu. Kedua, berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk menjaga stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik antara kepala daerah dan DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagai konsekuensinya adalah DPRD akan diberikan wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa jabatannya. Padahal sebagai salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah adanya masa jabatan tertentu (lima tahun) [fix term vide Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih dan diberhentikan oleh DPRD dikhawatirkan akan terjerumus kepada ketidakstabilan politik dan mengarah kepada sistem parlementer. Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 membuktikan hal ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah dan DPRD yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung. Ketiga, dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik sebagaimana pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis legitimasi Gubernur di hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu.
142
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Dalam rangka menjalankan tugas untuk mengkoordinir Bupati/Walikota, maka Gubernur harus memiliki legitimasi politik yang kuat. Keempat, dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih lewat pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat oleh Presiden, maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut adalah daerah provinsi merupakan daerah otonom, bukan daerah administratif, di mana daerah otonom memiliki wewenang mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat. Bila pengisian jabatan Gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom. Terhadap gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak lepas dari kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan dengan mahalnya biaya pemilukada, masih maraknya politik uang dan konflik kekerasan yang mewarnai pemilukada. Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan jawaban.78 Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal. Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara. Kedua, berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya. Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus 78
Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013.
143
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana. Ketiga, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel. Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan. Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif. Posisi Wakil Kepala Daerah79 Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal. Pertama, posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugas dan wewenang, sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Penilaian ini biasanya didasarkan kepada praktek yang terjadi di mana wakil kepala daerah menjalankan “tugas sisa” yang tidak dilakukan oleh kepala daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas yang “remeh-temeh”. Hal ini yang kemudian mendasari dilakukannya revisi UU No. 32 Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008 terutama berkaitan dengan penegasan tugas dan wewenang wakil kepala daerah. Kedua, dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala 79 Gagasan ini bersumber pada: Hasyim, Asy’ari, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2013.
144
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
daerah satu paket pasangan dengan kepala daerah yang kemudian dipilih langsung lewat pemilu, atau wakil kepala daerah cukup diisi dengan cara penunjukkan yang berasal dari PNS senior setelah kepala daerah terpilih lewat pemilu? Berkaitan dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih diperlukan. Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan cukup berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan pemerintahan didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan tertentu (pertahanan, keamanan, luar negeri, agama, dan keuangan fiskal dan moneter). Dengan demikian nampaknya masih diperlukan jabatan wakil kepala daerah dalam rangka membantu tugas kepala daerah dalam menjalankan urusan pemerintah daerah. Dengan demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan, maka yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan wewenang antara kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala daerah hanya “membantu” dan keputusan tetap berada di tangan kepala daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih pembagian tugas dan wewenang, tetap diperlukan pengaturan tugas dan wewenang di antara mereka dan pengaturan itu berada di tingkat undang-undang. Berkaitan dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja yang diubah, yaitu yang dipilih dalam mekanisme internal partai politik hanya calon kepala daerah saja, dan calon wakil kepala daerah dipilih sendiri oleh calon kepala daerah. Selama ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua daerah, yaitu calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan eksternal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya ekonomi yang kuat), dan calon wakil kepala daerah berasal dari internal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya politik yang kuat). Kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi politik di antara mereka tidak berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka jalan sendiri-sendiri, di sinilah letak persoalannya. Dengan asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme internal partai politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya sendiri alias tidak dipilihkan partai politik, sehingga loyalitas wakil kepala daerah hanya kepada kepala daerah dan bukan kepada partai politik. Selanjutnya pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah itu diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Formula pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun stabilitas pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pada saat terjadi kondisi darurat di mana kepala daerah tidak dapat melanjutkan tugas sebagai kepala
145
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
daerah, akan digantikan oleh wakil kepala daerah yang sama-sama memiliki basis legitimasi kuat yaitu sama-sama dipilih dalam pemilu. Apabila wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS senior, akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan dengan basis legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang dipilih langsung dalam pemilu. Demikian juga bila terjadi kondisi darurat, wakil kepala daerah model ini akan mengahadapi masalah basis legitimasi. Selain itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS senior. Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari. Demikian juga pada akhirnya kepala daerah yang merupakan jabatan politik akan serasa “dikepung” oleh kalangan PNS senior di jajaran birokrasi pemerintahan daerah. Oleh karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil kepala daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket pasangan. Bahkan untuk merealisasikan visi, misi dan program kerjanya, pasangan kepala dan wakil kepala daerah diperbolehkan membawa/merekrut sejumlah orang yang sejak awal terlibat membantu menyusun visi, misi dan program kerja untuk memastikan bahwa program kerjanya dapat dijalankan (political appointee). Bandingkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat merekrut para pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk mensukseskan visi, misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa program pembangunan jangka pendek lima tahunan adalah perwujudan dari visi, misi dan program kerja yang telah dikampanyekan dalam pemilu. Hal ini berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerah pada saat menduduki jabatannya hanya mereka berdua, dan selainnya adalah aparat birokrasi pemerintahan daerah yang secara politik biasanya memiliki “visi, misi dan program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerahnya. C. Penutup: Pelembagaan Politik Berdasarkan argumentasi historis pembentukan konstitusi, konstitusional dan politik tersebut, dalam rangka revisi UU Pilkada diajukan 3 rekomendasi berikut. Pertama, pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) berdasarkan argumentasi konstitusional dan politik sebagaimana diuraikan di atas, harus tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu.
146
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu.80 Pelembagaan waktu pemilu ini adalah menata pemilu menjadi dua jenis pemilu, yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada waktu yang bersamaan (dalam satu pemungutan suara ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden). Pemilu secara bersamaan waktu ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas politik, terutama relasi politik antara DPR dan Presiden, karena bangunan koalisi politik akan dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat setelah pemilu legislatif. Pada waktu berikutnya (2 atau 2,5 tahun berikutnya) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) dan sekaligus memilih Gubernur dan Bupati/Walikota. Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian ini, selain untuk membangun stabilitas politik, dan untuk meredam masyarakat agar tidak terfragmentasi secara terusmenerus, juga dalam rangka efisiensi biaya pemilu. Ketiga, karena partai politik sebagai aktor utama dalam pengisian jabatan politikkenegaraan, maka sudah saatnya partai politik didorong untuk segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekrutmen politik dan artikulasi kepentingan politik rakyat. Salah satu agenda utama demokratisasi Indonesia adalah mendemokratiskan partai politik.
DAFTAR PUSTAKA Hasyim Asy’ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, Harian Kompas, 24 Maret 2011. _____________, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2013. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi). Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013. Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Penjelasan lengkap seputar gagasan “pemilu serentak”, dapat dibaca: Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnerships-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia). Buku Serial Demokrasi Elektoral dapat diunduh di http://www.kemitraan.or.id. 80
147
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Indonesia). Tim Penyusun Naskah KomprehensifProses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 19992002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Edisi Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi). Hasyim Asy’ari adalah Dosen Bagian Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang. Menempuh pendidikan doktoral (Ph.D.) Sociology of Politics, University of Malaya, Kualalumpur, Malaysia, lulus 2012, menulis disertasi “Konsolidasi Menuju Demokrasi: Kajian tentang Perubahan Konstitusi dan Pemilu 2004 di Indonesia”. Magister Ilmu Politik (M.Si.) ditempuh pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus 1998, menulis tesis “Demokratisasi Melalui Civil Society: Studi tentang YLBHI dan Pemberdayaan Civil Society di Indonesia 1971-1996”, dan pendidikan hukum (S.H.) ditempuh pada Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jurusan Hukum Tata Negara dalam spesialisasi kajian Hukum dan Politik, lulus 1995, menulis skripsi “Pembreidelan Pers: Kajian tentang Politik Hukum Pembreidelan Majalah TEMPO Tahun 1994”. Dapat dihubungi melalui Email:
[email protected]
148
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
149