Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
MODEL KEMITRAAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (KPEL) SOLUSI PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Nor Hadi Abstract This article explain shortly model of local development that suitable to the era of area otonomy which is called with Development Partnership of Area Economic Development (Kemitraan Pembangunan Ekonomi Daerah (KPEL)). KPEL is an approach to push economic activities through form society partnership, private and government which focused on development economic cluster activities, so built linkage between economic actors in a region (villages/cities/district/regency/province) with market (local market, national and international market). KPEL approach built based on partisipation and partnership from every stakeholder (private, government, and NGO). Stakeholder cooperate to formulate problem and arrange partnership formation and partner in executing KPEL strategy. In practice level, KPEL designed in two strategies form that is (1) to facilitate partnership forum in every government level with involving all stakeholder (public, governmnet, private), to discuss about economic development; (2) to push partnership forum to stimulate economic claster activities as a media to create chances to increase income and employment chance. To implement those two strategies then be brokendown into three phases that is 1) phase initiation; (2) phase implementation; and (3) phase institutionalize. Key Words: Partnership, Partisipatif, Initiation, Implementation.
A. PENDAHULUAN Gong otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999 berarti kurang lebih 15 Tahun telah berlalu. Tepat 25 April tahun 2013 ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Otonomi Daerah ke-15. Otonomi daerah resmi memiliki kekuatan yuridis sejak disahkan Undangundang Nomor 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat, yang kemudian mengalami perbaikan dengan diterbitkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kendati otonomi daerah sudah 15 tahun telah berlalu, tetapi masih banyak harapan yang belum terwujud. Otonomi daerah yang diharapkan dapat mempercepat proses perubahan (reformasi) serta demokratisasi di tingkat lokal di sektor politik, ekonomi, keuangan, dan pemanfaatan sumber-sumber daya daerah masih sebatas wacana. Otonomi masih berupa harapan, atau bahkan terkadang kosong terhadap penguatan pembangunan
1
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
lokal. Masyarakat akar rumput (grass rooth) masih meratapi hidup dengan kemiskinan, sementara korupsi justru menyebar dari berbagai lini dan level pemerintahan. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07%, atau lebih dari separuh
jumlah keluarga di Indonesia. Hal itu
mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 %, dibandingkan Maret 2013 meningkat 480 ribu orang. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebagian besar dialami oleh petani yaitu sebanyak 70%. Fakta tersebut menunjukkan bahwa masih terjadi distorsi distribusi pembangunan yang beralnjut pada tidak terdistribusi secaca adil kemakmuran. Akibatnya, kantong kemiskinan banyak terjadi di pedesaan yang sebagian besar adalah berprofesi sebagai petani. Menurut Tjokrowinoto, Moeljarto (1996) bahwa distorsi pembangunan khususnya terkait dengan percepatan penyerapan pembangunan sampai akar rumput di pedesaan sebagaimana harapan otonomi daerah, salah satunya dipicu oleh pola pembangunan yang dijadikan pijakan pelaksanaan pembangunan. Pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan sebagaimana selama ini yang diacu oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam mengejar ketertinggalannya dari negara-negara kapitalis maju, atau yang lebih dikenal dengan paradigma pertumbuhan sering memberikan angka-angka fantastis dengan meninggalkan problematika grass rooth. Pola pertumbuhan, lebih memitikberatkan pada dimensi-dimensi makro, sehingga sering melupakan sektor mikro yang justru merupakan sebagian besar pelaku ekonomi. Pembangunan berbasis pertumbuhan menjadikan distorsi ekonomi yaitu semakin panjang barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, semakin beratnya beban hutang luar negeri yang harus ditanggung, masifikasi, undimendionalisasi, degradasi kualitas lingkungan hidup secara terus menerus, dan proses dehumanisasi tersamar yang nyaris tidak terkontrol (Tjokrowinoto, 1996; Tjokrowinoto, 1998). Pola ini, sering memunculkan eliminasi peran masyarakat disatu sisi dan dominasi negara di sisi lain. Fakta tersebut 2
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
akhirnya memunculkan tawaran pola pembangunan baru yang melibatkan partisipasi masyarakat sebagai wacana sentral pembangunan sebagai paradigma pembangunan yang lebih manusiawi, tercerahkan dan menyentuh nilai-nilai mendasar dari pembangunan (Tatag Wiranto dan Antonius Tarigan, 2002). Munculnya upaya perombakan paradigma pembangunan serta implikasi-implikasi praktis yang mengikutinya selama beberapa dekade terkahir ini tidak terlepas deadlock-nya sistem lama yang tidak cukup mujarab untuk mengatasi problem ekonomi baik secara lokal, nasional maupun global. Bahkan, memunculkan dis-legitimasi terhadap ilmu ekonomi dengan memberikan satu simbol the dead of economic. Tawaran baru sebagai cara sistem pemberdayaan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi lokal di era otonomi daerah tidak lepas dari berfungsinya social agent oleh masyarakat dan lembaga-lembaga non govermental, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelompok tersebut menjadi aktor pembangunan alternatif dengan mengangkat eksistensi masyarakat dalam bentuk ekonomi partisipatif dan pemberdayaan (empowering). Isu tersebut sesungguhnya ada sejak lama, dan sejalan makin majunya pola pikir baru akhirnya mengemuka berbagai tawatan ekonomi yang lebih humanis seperti konsep tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara good governance (Grindle, 1998) atau human governance (Falk, 1997). Human empowering yang dianggap pola ekonomi alternatif di era otonomi daerah mendudukkan manusia tidak hanya dilihat sebagai tujuan atau objek utama pembangunan, tetapi juga menjadi aktor sentral yang peran dan kontribusinya menentukan masa depan pembangunan. Disini, kapasitas manusia mendapat prioritas utama, dan oleh karenanya dijadikan semacam moral bencmark. Konsetrasi pembangunan ditujukan pada proses pengembangan kapasitas personal dan institusional untuk dapat memobilisasi dan mengelola sumberdaya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
(Korten, 1990). Cara pandang ini menciptakan People-
Centered Development atau Capacity Building pada setiap agen pembangunan. Tawaran pergeseran model pembangunan lokal dengan fokus pada pemberdayaan tersbut diatas bukan tanpa masalah dan kendala. Persoalan tersebut berkaitan dengan tiga peran dalam setiap pembangunan, yaitu (1) bagaimana peran dan kontribusi perekonomian lokal terhadap perekonomian nasional; (2) bagaimana melakukan upaya optimalisasi atas 3
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
peran dan kontribusi; dan (3) bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh masyarakat, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001). Untuk menjawab kegalauan efektifitas tawaran baru pembangunan tersebut dapat dijawab dengan sejauhmana konstruksi empowering yang dilakukan. Kekuatan mapping dan konstruksi empowering akan mendudukkan setiap alokasi sumberdaya dalam kerangka kontribusi baik secara makro maupun mikro. Karena itu, dalam tawaran pola baru pembangunan lokaal berbasis community empowering, harus mampu menjawab persoalan: (1) siapa atau kelompok mana yang harus diberdayakan?; (2) apa yang mau diberdayakan?; dan (3) bagaimana atau dengan cara apa pemberdayaan dilakukan ?
Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Krisis moneter serta krisis global dengan kekuatannya mengguncang iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi yang imun. Paradigma pembangunan pemberdayaan tidak memutlakkan dasar pertumbuhan dengan peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat layak untuk dipertimbangkan. Keputusan politik pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, merupakan babak baru yang menawarkan sejuta harapan. Kondisi tersebut telah membawa implikasi yang luas dan serius bagi pranata ekonomi lokal diharapkan lebih mandiri dan menyentuh hajat grass rooth. Otonomi Daerah merupakan keputusan politis yang menggeser tata penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah Kabupaten dan Kota untuk lebih mandiri mengurusi segala kepentingan pembangunan di daerahnya. Disini, diharapkan terjadinya kreatifitas baru dalam pembangunan yang lebih manusiawi untuk mendukung pembangunan lokal yang selama ini masih didominasi dalam 4
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
bentuk sistem ekonomi pertumbuhan. Fakta pergeseran tersebut membutuhkan motor ekonomi berbasis kerakyatan agar sejalan dengan prinsip dan pola otonomi daerah, seperti pembangunan ekonomi daerah dengan berbasis kemitraan. Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan bagian dari pembangunan daerah, yang difokuskan pada pembangunan daerah yang memperhatikan kekhasan, keberagaman, keunggulan dan potensi daerah. PEL dikonstruksi dengan memperhatikan kearifan lokal dan peran serta stakeholder yang tinggi mulai dari perencanaan sampai pada implementasi (empoweiung). Edward J. Blakely (1994) mendefenisikan Local Economic Development “ = f (natural resources, labor, capital, investment, entrepreneurships, transport, communication,
industrial
composition,
technology,
size,
export
market,
international economic situation, local government capasity, national dan state government spending and development supports). All of these factors may be important. However, the economic development practitioner is never certain which factor has the greatest weight in any given situation”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “..... The central feature of locally based economic development is in the emphasis on endogenous development using the potensial of local human and physical resources to create new employment opportunities and to stimulate new, locally based economic activity”. Batasan tersebut diatas cukup jelas tentang aktor dan posisi aktor dalam pembangunan ekonomi lokal, serta dimensi garapan yang dilakukan dalam local economic development. Pembangunan ekonomi lokal lebih ditujukan untuk mendorong pembangunan sumberdaya manusia lokal dan sumberdaya fisik untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja serta menjadi stimulan pada aktivitas ekonomi lokal. Ekonomi lokal didasarkan pada pemanfaatan sektor industri lokal berbasis partisipasi. Pembangunan Ekonoi Lokal (PEL) merupakan proses dimana pemerintah lokal dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan. The World Bank (2001) mendefinisikan “.....Local Economi Development (LED) is the process by which public, business and non governmental sector partners work collectively to create better conditions for economic growth and employment 5
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
generation”. The aim is to improve the quality of life for all. Practicing local economic development means working directly to build the economic strength of all local area to improve its economic future and the quality of life of its inhabitats. Prioritizing the local economy is crucial if communities today depends upon them being able to adopt to the fast changing and increasingly competitive market environment”. Nampaknya definisi World Bank tersebut mempertegas batasan sebelumnya bahwa pembangunan ekonomi lokal yang harus dilaksaakan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat, dunia bisnis dan lembaga non govermental secara kolektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi lokal harus dapat meningkatkan kualitas taraf hidup dimasa datang. Pembangunan ekonomi lokal harus memupuk kekuatan ekonomi lokal secara keseluruhan untuk pengembangan dimasa datang, serta meningkatkan daya saing daerah. Menurut World Bank tersebut Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) sebagai proses yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, usahawan, dan organisasi non pemerintah untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di tingkat lokal. Menurut. A. H. J. Helming berpendapat Pembanguan Eekonomi Lokal merupakan suatu proses dimana kemitraan yang mapan antara pemerintah daerah, kelompok berbasis masyarakat, dan dunia usaha mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang (pertumbuhan) ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Pembangunan Ekonomi Lokal menekankan pada kontrol lokal, dan penggunaan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik lokal. Bertolak dari berbagai definisi tersebut, Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) pada hakekatnya merupakan proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan para stakeholder termasuk sektor swasta dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia maupun kelembagaan secara lebih baik melalui pola kemitraan dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi daerah dan menciptakan pekerjaan baru. Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan 6
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi. (Blakely, 1989). Pengembagan ekonomi
lokal
hartus dilakkukan secara sistematis
untuk
membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usahanya guna membangun kesejahteraan dan kuaitas hidup. Muatan kesejahtaeraan disi harus didudukkan dalam artian khusus yaitu menjamin keselamatan terpeliharannya kearifan lokal, adat istiadat, agama dan kebiasan bagi harga dirinya sebagai mausia. Dengan demikian, pembangunan ekonomi lokal harus mampu memberdayakan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman (Haeruman, 2001). Konsep pembangunan didasarlan pada kearifan lokal erat kaitannya dengan pemberdayaan sumberdaya manusianya, lembaganya dan lingkungan sekitarnya. Pengembangan ekonomi lokal dapat dilakukan dengan pengembangan lembaga kemitraan semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat) dengan demikian membutuhkan kemampuan komunikasi diantara semua lembaga yang bersangkutan yang menjamin kesinambungan mitra kerja dan mitra usaha.
Kemitraan (Partnership) Nomenklatur kemitraan sesungguhnya adalah nomenklatur asli Indonesia yang bersumber dari kaidah gotong-royong. Essensi kemitraan banyak sesuai dengan esensi gotong-royong, yaitu adanya muatan yang sama seperti pelibatan para pemangku kepentingan dalam satu aktus.
Kemitraan dibentuk atas hubungan antar pelaku yang
bertumpu pada ikatan usaha yang saling menunjang (interdependen) dan saling menguntungkan serta saling menghidupi berdasarkan asas kesetaraan dan kebersamaan (Haeruman, 2001). Pembangunan berbasis kemitraan mendudukkan human sebagai satu agen pembangunan yang secara aktif patisipatif teribat didalamnya. Struktur aktor ekonomi tidak memposisikan negara (pemerintah) sebagai penentu sentral melainkan keterlibatan semua pemangku kepentingan dengan mengedepankan kearifan lokal sebagai sumber kekuatan. 7
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
Edward J. Blakely (1994) menguraikan Public-Private-Partnerships : “No matter what organizational structure is selected, public agencies and private firms have to enter into new relationships to make the development process work. This approach is much more than the public sector merely offering cooperation to the private sector to facilitate economic activities for private gain; it is far more than occaional meetings between the municipal
council and local business
organizations, such as the chamber of commerce. Although these activities are important, and perhaps integral to good business/government relations, they do not constitute true partnerships among the sectors. Partnerships are shared commitments to pursue common economic objectives jointly determined by public, private, and community sectors and instituted as joint actions. Batasan tersebut diatas sangat jelas bahwa kemitraan melibatkan masyarakat (pubic agencies) dan perusahaan dalam proses pembangunan. Pendekatan ini mendudukkan keberadaan sektor publik dan sektor private (perusahaan) memfasilitasi masyaraat dan organisasi non govermental dalam aktivitas ekonomi. Mereka membentuk komitmen bersama untuk bersama dalam melaksanakan pembangunan. Menurut pengalaman praktik kemitraan selama ini, keikutsertaan sektor swasta dan wakil dari masyarakat ternyata menentukan dalam peningkatan dinamika suatu kemitraan. Komitmen kerjasama saling menigisi para member lebih leluasa menyampaikan berbagai masalah atau tantangan dalam mencari solusi percepatan pembangunan daerah Rachmat (2004) memberikan batasan bahwa kemitraan merupakan hubungan kerjasama usaha diberbagai pihak yang strategis, bersifat sukarela, dan berdasar prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan UKM oleh usaha besar. Herman Haeruman (2001) menyatakan kemitraan sebagai suatu proses, dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana itu diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta dievaluasi terus-menerus oleh pihak yang bermitra. Sebagai satu proses, keberhasilan diukur dari pencapaian nilai tambah yang didapat oleh pihak yang bermitra baik dari segi material maupun non-material. Kemitraan dapat dikembangkan dengan cara meningkatkan sensitifitas, komitmen dan empati masing-masing partner dalam menjalankan mitra. Keharusan setiap anggota 8
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
untuk sensitif terhadap apa yang menjadi tujuan forum kemitraan, tujuannya sendiri, serta tujuan individual identik dengan mencabut akar kemitraan itu sendiri (The Peter F. Drucker Foundation, 1996; Austin, 2000; The Jean Monnet Program, 2001). Tujuan dilakukannya jejaring (kemitraan) adalah terwujudnya sinergi kegiatan yang saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama. Secara lebih rinci pelaksanaan jejaring dan kemitraan, diharapkan dapat: 1.
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
2.
Peningkatan Mutu dan Kompetensi
3.
Mensinergikan Program
4.
Meningkatkan perbolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan.
5.
Meningkat pemeran dan pemberdayaan masyarakat.
6.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional.
7.
Memperluas kesempatan kerja.
Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) merupakan pendekatan untuk mendorong aktivitas ekonomi melalui pembentukan kemitraan masyarakat, swasta dan pemerintah yang memfokuskan pada pembangunan aktivitas kluster ekonomi, sehingga terbangun keterkaitan (linkage) antara pelaku-pelaku ekonomi dalam satu wilayah atau region (perdesaan/kota/kecamatan/kabupaten/propinsi) dengan market (pasar lokal, nasional dan pasar internasional) (UNDP, UN-HABITAT & BAPPENAS, 2002). Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) dikonstruksi lewat linkage sinergis setara antar para pemangku kepentingan dalam satu agen pembangunan kedaerahan. Ini sangta penting khususnya dalam era otonomi daerah, yang mana, daerah dituntut kemandriannya lewat penggarapan potensi. Berbekal dari pola kemitraan, pembangunan dibangun atas dasar buttom up agar dapat mnyentuh grass rooth. Pada pendekatan kemitraan pembangunan lokal, pola penting yang harus dilakukan adalah bagaimama desain kemitraan diarahkan untuk mendukung terciptanya: (1) pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya lokal; (2) peningkatan pendapatan dan penciptaan peluang lapangan kerja; (3) perencanaan yang terintergrasi baik 9
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
vertikal dengan horizontal maupun sektoral dan regional (daerah); dan (4) terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance).
Strategi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) Konsep pembangunan ekonomi lokal yang didasarkan partisipatif dan kemitraan secara konseptual dianggap bagus, karena dibangun atas dasar sumberdaya lokal serta memiliki potensi pada pengangkatan sektor mikro. Ini dapat menumbuhkan pertumbuhaan yang riil, karena capaian ekonomi tidak hanya dilihat dari dimensi makro saja. Kendati demikian, konsep kemitraan pembangunan ekonomi lokal harus didesain rapi, terintegrasi serta benar-benar terjadi pelibatan pemangku kepentingan (masyarakat, swasta, sektor publik dan lembaga-lembaga non govermental yang ada). Jika tidak, pembangunan ekonomi lokal sulit tercapai. Artinya, Kemitraan pembangunan ekonomi lokal harus dipilih dengan strategi yang efektif. Pelaksanaan Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL), secara konseptual terdapat dua strategi, antara lain (Tatag Wiranto dan Antonius Tarigan, 2002): 1. Memfasilitasi forum kemitraan pada setiap jenjang kepemerintahan dengan melibatkan semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, swasta, NGO), untuk berdialog mengenai pembangunan ekonomi. Melalui forum ini, seluruh stakeholder diberi ruang untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan keputusan, monitoring dan evaluasi. Disni, dilakukan pembentukan kelembagaan sehingga muncul kesepakatan, konvensi, serta aturan main. Kelembagaan dapat berupa suatu aturan yang dikenal dan diikuti secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan dapat tertulis secara secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, juda dapat berupa tidak ditulis secara formal seperti pada aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi (predictable) dan cukup stabil, serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang Kelembagaan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh 10
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain (kebolehan atau liberty), bagaimana mereka dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif (kemampuan atau hak), dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya (ketidakmampuan atau exposure) (Commons, 1968). 2.
Mendorong forum kemitraan untuk menstimulasi kegiatan kluster ekonomi sebagai suatu sarana untuk menciptakan kesempatan peningkatan pendapatan dan peluang lapangan kerja. Hal itu dapat dicapai melalui identifkasi pasar serta pengembangan, diversifikasi dan pemasaran dari cluster komoditas terpilih (UNDP, UN-Habitat & Bappenas, 2002). Disni, dilakukan upaya secara sistematis mendorong kerangka kelembagaan yang terbentuk untuk melakukan kluster aktivitas ekonomi yang terencana, jelas, dan terarah. Kriteria untuk pemilihan kluster aktivitas ekonomi yang dapat diterapkan pada pengembangan ekonomi lokal dengan basis atau pendekatan kemitraan adalah sebagai berikut (Arifin, 2001): a. Penggalian informasi dan indentifikasi potensi permintaan. b. Anaisis kemampuan untuk tumbuh tinggi di atas rata-rata, sustainable, competituve advantage dan comparative. c. Peibatan usaha kecil-menengah dan keluarga. d. Menciptakan lapangan kerja produktif bagi kelompok rumah tangga miskin.
Desain Metodologi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) Pada sub diatas dinyatakan bahwa terdapat dua strategi yang lazim dipergunakan untuk mengeksekusi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL), yang mana, secara operasional harus diturunkan kedalam tahapan program. Cara untuk menurunkan kedua strategi tersebut dalam tahapan kegiatan sering disebut Desain Metodologi Kemitraan. Desain tersebut dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan strategi KPEL (strategi 1 dan 2) yang disusun atas dasar fenomena (fakta empiris) dimana program tersebut akan dilaksanakan. Desain Metodologi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) terdiriri dari 13 langkah metodologi yang dapat dijadikan sebagai guideline oleh stakeholder dalam 11
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
suatu region yang terlibat. Dari ketiga belas langkah tersebut dikelompokkan kedalam 3 phase (tahapan), antara lain: (1) phase initiation; (2) phase implementation; dan (3) phase institutionalize. Keterkaitan phase tersebut tidak bersifat linear dan sequen sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kontektual daerah (UNDP, UN-Habitat dan Bappenas, 2002).
Gambar 1 Desain Metodologi KPEL
Sosialisasi Program KPEL Seleksi dan pelatihan kader PEL Indentifikasi dan Pemilihan Kluster
Phase Initiation
Deseminasi informasi pasar Fasilitasi input dan umpan balik bagi kebijakan dan perencanaan. Mobilisasi sumber daya. Branding. Membangun/memperkuat kemitraan di tingkat Propinsi (ProPLED).
Phase Implementation
Melembagakan/melegalisasikan forum kemitraan.
Phase Institutionalise
Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota (K-PLED). Mengadakan penelitian baseline survey Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Fasilitasi dukungan teknis
Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota (K-PLED). Mengadakan penelitian baseline survey Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Fasilitasi dukungan teknis
Sumber: Kosneptualisasi dari Meta Analisis Referensi Gambar sebagaimana tersebut diatas menjelaskan tentang tahapan metodologis program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) yang dapat dijadikan guidance pada daerah yang akan melaksanakan pembangunan berbasis kemitraan. Gambar tersebut menjelaskan tiga step (phase) kegiatan yang bersifat hirakhis metodologis mulai awal sampai akhir program. Untuk memberikan gambaran singkat dijelaskan sebagai berikut: 12
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
Phase 1: Initiation Phase ini menjelaskan tentang tahap awal untuk melakukan satu program kemitraan dalam rangka pembangunan ekonomi lokal. Pada phase ini memuat tiga tahapan kegiatan, yang semuannya bersifat inisiasi. Adapun tiga tahapan tersebut, antara lain: Sosialisasi Program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal. Disni merupakan tahapan penting untuk memperoleh apresiasi dan dukungan serta sekaligus media brainstrming kepada semua pihak yang akan terlibat dalam program. Pada tahap ini akan diperoleh data awal apakah satu program kemitraan bisa dilaksanakan
atau
tidak
bisa
dilaksanakan.
Sosialisasi
dimaksudkan
untuk
memperkenalkan dan menjelaskan Program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal kepada stakeholder, tentang: (a) apa yang menjadi tujuan dan sasarannya; (b) siapa yang akan dilibatkan; (c) bagaimana mekanisme pelaksanaannya; dan (d) apa manfaat yang diperoleh baik bagi masyarakat, swasta mupun pemerintah. Seleksi dan pelatihan kader Pembangunan Ekonomi Lokal. Phase ini diambil setelah phase pertama memperoleh kepastian bahwa program fisible. Pelatihan kader dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kader tentang program karena akan menjadi agen implementasi (agent of implementation), fasilitasi, dan prime mover berjalannya Program Kemitraan Pembangunan Eekonomi Lokal di daerah. Selaku change of agent, kader diharapkan dapat membantu mempercepat proses transformasi, perubahan, dan reformasi sesuai dengan kebutuhan semua stakeholder. Indentifikasi dan Pemilihan Kluster. Disini merupakan tahap penting dan krusial. Pada tahap ini menentukan kualitas program yang akan didesain dan dilaksanakan serta akan menjadi matter program. Identifikasi dan pemilihan kluster dimaksudkan untuk menemukan berbagai kegiatan yang relevan dalam satu objek, memilih dari berbagai bentuk kegiatan yang ditemukan, serta memfokuskan pengembangan kegiatan ekonomi melalui kluster terpilih sebagai starting point. Tahapan yang dilakukan adalah mengidentifikasi sejumlah cluster potensial, menemukan berbagai cluster, memilih cluster yang akan dikembangkan sesuai dengan kesepakatan dan kesesuaian dari stakeholder daerah.
13
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
Phase II, Implementation. Phase kedua merupakan tahap eksekusi atas program yang telah terseleksi dan didesain dengan melibatlkan seperangkat analisis, baik pilihan cluster maupun kesuaian dengan stakeholder. Artinya, pada phase ini menjelaskan bagaimana mengimplementasikan program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal. Disini terdapat sembilan (9) langkah, antara lain: Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang berusaha dekat dan memahami stakeholder. Membangun dan memperkuat kemitraan harus dilakukan secara intensif sehingga mempercepat proses pemahaman karaker stakeholder, seperti: tokoh yang berperan, kebiasaan, adat, sumberdaya lokal, keunggulan lokal, agama, keyakinan, serta demografi dan karakter lainnya. Bukan hanya itu, kegiatan ini juga untuk melakukan identifikasi stakeholder (pemerintah, masyarakat dan swasta). Pemahaman stakeholder tersebut untuk memudahkan membangun linkage dan diajak secara bersama-sama membangun kemitraan sehingga berfungsi sebagai forum dialog, penyusunan strategi dan pengambilan keputusan, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal. Mengadakan penelitian baseline survey. Disini dimaksudkan untuk memperoleh dan mengumpulkan data dan informasi guna membantu forum kemitraan dalam membuat keputusan-keputusan, seperti: potensi pasar bagi kluster aktivitas ekonomi; pengembangan diversifikasi komoditas yang akan dikembangkan; menemukan kendala dan kekuatan dalam pengembangan kluster dan produk, serta untuk kepentingan lainnya. Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatan kapasitas, potensi, dan keahlian kolektif dari masyarakat produsen. Proses pemberdayaan ini harus mempertimbangkan kebutuhan riil UKM dan unit ekonomi keluarga, sehingga pemberdayaan lewat kemitraan benar-benar memberkan manfaat jangka panjang, tidak sekedar life service. Kelompok ini merupakan kelompok relatif terlemah dalam forum kemitraan. Fasilitasi dukungan teknis. Disini lebih bersifat pengauatan sarana dan keahlian produksi. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan mutu, perbaikan proses produksi dan meningkatkan nilai jual 14
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
dalam pengembangan kluster bagi kemitraan di daerah. Dukungan teknis dapat berasal dari semua stakeholder, seperti: Bappeda, Dinas, Departemen Teknis, BUMN/BUMD, Swasta, Pengusaha, Konsultan, CSR, serta instansi terkait lainnya. Deseminasi informasi pasar. Disini dimaksudkan untuk membangun jaringan pasar dan market share bagi para UKM binaan. Untuk mencapai harapan tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi pasar agar semua anggota forum kemitraan, khususnya kelompok produsen memperoleh akses yang sama terhadap informasi pasar (harga, peluang, transaksi), stakeholder dan kluster. Fasilitasi input dan umpan balik bagi kebijakan dan perencanaan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan dan mendayagunakan forum kemitraan untuk memberikan masukan bagi kebijakan perekonomian daerah, perencanaan infrasruktur ekonomi dan proses-proses pembangunan lainnya. Artinya, pemerintah dalam mengembangkan dan merumuskan kebijakan sekarag dan masa datang benar-benar didasarkan pada realitas bukan hanya sekedar asumsi sehingga program benar-benar sampai pada sasarannya. Mobilisasi sumber daya. Disini merupakan tahapan penting, karena dilakukan mobilisasi resources. Pada tahap ini sangat menentukan jaminan keberlanjutan dan kelangsungan forum kemitraan di daerah. Karena itu, mobilisasi sumber daya baik sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya keuangan, aset pengalaman, teknologi dalam konteks kerjasama sektoral dan daerah secara terencana, sistematis, dan lewat analisis yang fisible. Sumberdaya tersebut dapat berasal dari pemerintah, lembaga donor, pihak swasta, pengusaha lokal, dan masyarakat. Branding. Cara yang dapat ditempuh adaah dengan melakukan identifikasi peluang, akses pemasaran, ancaman, opportunity, potensi constrain, dan meningkatkan nilai jual komoditas dengan mempromosikan bran atau produk ekonomi lokal yang dihasilkan. Branding juga dapat dilakukan dengan pola mitra swasta yang telah mapan dan memiliki jaringa luas guna mempercepat sosialisasi dan menekan cost. Membangun/memperkuat kemitraan di tingkat Propinsi (Pro-PLED).
Kemitraan di
tingkat propinsi mempunyai posisi kunci dan peran penting yaitu menstimulasi 15
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
pertumbuhan ekonomi regional dan sebagai aliansi strategis untuk mendorong terciptanya lingkage antar satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, kabupaten dengan propinsi, propinsi dengan dengan propinsi lainnya, propinsi dengan nasional dan dunia internasional. Phase III. Institutionalise Tahap ini merupakan tahap terbentuknya format yang baku sebagai sarana melaksanakan program, yaitu phase untuk meformalkan institusi yang terbentuk sebagai pranata pembangunan. Pola yang dapat dilakukan adalah dengan “melembagakan/melegalisasikan forum kemitraan”. Pelembagaan forum kemitraan dimaksudkan untuk memperkuat peran dan posisi yang dilakukan oleh forum kemitraan, pusat koordinasi dan transformasi informasi mitra, serta keberlanjutannya. Bentuk forum kemitraan dapat benrbentuk: (1) dalam koordinasi dan legalisasi pemerintah; (2) dapat berdiri sendiri dan merupakan suatu lembaga yang independen; (3) berada dalam suatu lembaga pelaksana tertentu seperti misalnya LSM atau organisasi masyarakat lainnya.
PENUTUP Pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan kendatipun memiliki landasan dan kajian teori yang telah mapan namun ternyata tidak cukup efektif mengantarkan kesejahteraan sampai pada grass roooth. Itu karena, parameter pembangunan yang digunakan lebih didasarkan pada aspek pertumbuhan, khususnya parameter makro ekonomi, sehingga ketercapaian pertumbuhan terkadang mencerminkan kondisi grass rooth. Pengalaman sejarah tersebut akhirnya memunculkan hipotesis sistem pembangunan ekonomi alternatif, yang salah satunya adalah sistem Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL). Kemitraan Pembangtunan Ekonomi Lokal merupakan model pembangunan alternatif dalam ekonomi lokal yang didasarkan pada kemitraan dan partisipatif, sehingga dalam desainya melibatkan para pemangku kepentingan. Pola strategi ini nampaknya memiliki karakter dan kecocokan dalam era otonomi daerah. Otonomi daerah yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah, meningkatkan daya saing daeraah dengan mengedepankan kualitas layanan masyarakat 16
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
dengan terobosan pembangunan sampai level grass rooth. Karakter tersebut sangat berdekatan dengan pola Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal, yang dalam desainnya berkolabirasi antara pemerintah, swasta, masyarakat dan non govermental organization (NGO). Stakehoder tersebut berkolaborasi secara sinergis dan terlembagan sehingga dapat dijadikan wahana untuk perencanaan sampai pada implementasi dan evaluasi pembangunan ekonomi daerah. Pada tataran praktis, pelaksanaan Program KPEL, terdapat dua strategi antara lain: (1) memfasilitasi forum kemitraan pada setiap jenjang kepemerintahan dengan melibatkan semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, swasta) , untuk berdialog mengenai pembangunan ekonomi; (2) mndorong forum kemitraan untuk menstimulasi kegiatan kluster ekonomi sebagai suatu sarana untuk menciptakan kesempatan peningkatan pendapatan dan peluang lapangan kerja
17
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
DAFTAR PUSTAKA Aronso, J.R. and Schwartz, E. 1996. Management Policies in Local Governance Finance, Washinton. D,C: The International City Management Association Adi, Isbandi Rukminto, 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: Dasar-dasar Pemikiran, Rajawali Pres, Jakarta Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2001. Asian Development Bank dan Kelompok Kerja Pengembangan UKM. Lokakarya Penguatan UKM Mempercepat Agenda Reformasi Kebijakan. Hotel Borobudur, 17 April 2002. Biro Pusat Statistik, 2013, Financial Statistics of The Second Level Local Governance, Jkarta Indonesia Berartha, Inyoman, 1982, Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa. Ghalia Indnesia, Jakarta Berman, Evan M, 1995. “Empowering Employess in State Agency : a Survey of Recent Progress”, :International Jurnal of Public Administration, Vol. 18, No. 5, Pp. 833850. Blakely, Edward. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second Edition. Sage Publications, Inc. 1994. Bromley, Daniel. 1989. Economic Interests and Institutions. New York : Basil Blackwell. Clark, John, 1991. Democratizing Development: The Role of Voluntary Organizations Connecticur, Kumaria Press Inc. Commons, John R. Institutional Economic : Its Place in Political Economy. Madison : University of Wisconsion Press. 1934. Fakih, Mansour, 1996. Masyarakat Sipil Menuju Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Lembaga Administrasi Negara dan BPKP, 2000. Akuntailitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) 18
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
Korten, David. 1990. Getting to 21 st Century : Voluntary Action and the Global Agenda, Connecticut : Kumarin Press. Haeruman, Herman. Js. “Pengembangan Ekonomi Lokal Melalui Pengembangan Lembaga Kemitraan Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat”. Sosialisasi Nasional Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal. Hotel Indonesia, 2001. Indra Ismawan, 2002. Ranjau-ranjau Otonomi Daerah, Amanah, Jakarta Isbandi Rukminto Adi, 2003. Pemberdayaan,Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penerbit UI, Jakarta. Martaamidjaja, Soedradjat. A. Agriculture System in Indonesia. The Agency for Agricultural Education and Training. 1993/4. Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Mnajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta Prijono, Onny S. dan A.M.W. Pranarka, ed. (1996). Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta : CSIS. Rubin & Rubin, 1986, Organization Theory : Structure, Design and Applications, New Jersey : Prentice Hall. Tatag Wiranto dan Antonius Tarigan, 2002. Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal
(KPEL)
Paradigma
Perencanaan
Pembangunan
Ekonomi
Berbasis
PermintaannSolusi Alternatif Atas Program-Program Pemberdayaan Bernuansa Karitatif, C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 28\Bahan Final\Tatag W dan Antonius T.doc Tjokrowinoto, Moeljarto, 1996. Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tjokrowinoto, Moeljarto, 1998. Macro-Optimism and Micro-Scepticism : Two Dimensions of Indonesian Poverty Alleviation Politics, Tokyo : ILCAA. The World Bank Urban Development Unit. Local Economic Development, LED Quick Reference Guide. October 2001. The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging Partnership”, Report. 19
Kasyf el Fikr
Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
UNDP, UN-Habitat & Bappenas. KPEL’s 13 Steps to Local Economic Development. July 2002.
20