Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
ISSN 2442 - 2606
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
B B
IOTEKNOLOGI & IOSAINS
KARAKTERISASI KARAKTERISASI ISOLAT ISOLAT BAKTERI BAKTERI FIBRINOLITIK FIBRINOLITIK WU WU 021055* 021055* ASAL ASAL PERAIRAN PERAIRAN PANTAI PANTAI PAPUMA, PAPUMA, JEMBER JEMBER Ajeng Ajeng Maharani Maharani Sri Sri Pananjung, Pananjung, Evi Evi Umayah Umayah Ulfa, Ulfa, Kartika Kartika Senjarini, Senjarini, Sattya Sattya Arimurti Arimurti
AKTIVITAS AKTIVITAS LIGNINOLISIS LIGNINOLISIS DARI DARI BASIDIOMYCETES BASIDIOMYCETES YANG YANG DAPAT DAPAT DIPAKAI DIPAKAI UNTUK UNTUK BIODEGRADASI BIODEGRADASI DIOKSIN DIOKSIN Nuki Nuki Bambang Bambang Nugroho Nugroho
PENICILLIN PENICILLIN PRODUCTION PRODUCTION BY BY MUTANT MUTANT OF OF Penicillium Penicillium chrysogenum chrysogenum Dudi Dudi Hardianto, Hardianto, Suyanto, Suyanto, Erwahyuni Erwahyuni E. E. Prabandari, Prabandari, Lira Lira Windriawati, Windriawati, Edy Edy Marwanta, Marwanta, Tarwadi Tarwadi
PENENTUAN PENENTUAN KOMBINASI KOMBINASI MEDIUM MEDIUM TERBAIK TERBAIK GALAKTOSA GALAKTOSA DAN DAN SUMBER SUMBER NITROGEN NITROGEN PADA PADA PROSES PROSES PRODUKSI PRODUKSI ETANOL ETANOL Rofiq Rofiq Sunaryanto Sunaryanto & & Berti Berti Hariasih Hariasih Handayani Handayani
THE THE COMBINATION COMBINATION OF OF GROWTH GROWTH HORMONES HORMONES INCREASED INCREASED THE THE IN IN VITRO VITRO SHOOTS SHOOTS MULTIPLICATION MULTIPLICATION ON ON SAGO SAGO PALM PALM (Metroxylon (Metroxylon sagu sagu Rottb.) Rottb.) Teuku Teuku Tajuddin, Tajuddin, Karyanti, Karyanti, Tati Tati Sukarnih, Sukarnih, Nadirman Nadirman Haska Haska
PRELIMINARY PRELIMINARY CYTOTOXIC CYTOTOXIC EVALUATION EVALUATION OF OF Andrographis Andrographis paniculata paniculata IN BREAST CANCER CELL LINES IN BREAST CANCER CELL LINES Tarwadi, Tarwadi, Churiyah, Churiyah, Olivia Olivia Bunga Bunga Pongtuluran, Pongtuluran, Fifit Fifit Juniarti, Juniarti, Fery Fery Azis Azis Wijaya Wijaya
Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT Center for Biotechnology Assessment - BPPT Membangun keunggulan bioteknologi industri, kesehatan, dan pertanian untuk meningkatkan daya saing industri dan pertumbuhan ekonomi Nasional
Balai Pengkajian Bioteknologi Center for Biotechnology Assessment
Kawasan PUSPIPTEK Gedung 630, Setu - Tangerang Selatan BANTEN – Indonesia Telp. +62 21 7563120, Fax +62 21 7560208
Fasilitas Laboratorium
Fasilitas Pilot Plant
Laboratorium Rekayasa Genetika Laboratorium Mikrobiologi Laboratorium Mikrobiologi Vitamin dan Enzim Laboratorium Teknologi Fermentasi Laboratorium Rekoveri dan Ekstraksi Senyawa Obat Laboratorium Analitik dan Kontrol Kualitas Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Laboratorium Bioteknologi Pakan Ternak Laboratorium Agromikrobiologi
Pilot plant fermentasi (bioreaktor : 75l L (3 buah), 500 L, dan 2.500 L) Pilot plant penapisan (recovery) Filtrasi membran mikro, ultra nano dan Reverse Osmosis Destilasi dan stripping Kristalisasi dan Pengeringan vakum Sentrifugasi dan Ekstraksi (padat/cair dan cair/cair) Pilot plant teknologi mikropropagasi tanaman (In Vitro) Pilot plant teknologi Ex Vitro Unit pengolah limbah Cair aerob/anaerob
Rekayasa Industri Berbasis Bioteknologi Teknologi Fermentasi & Proses Hilir
Rekayasa Genetika Terapan
Teknologi Mikropropagasi Tanaman
KOMPETENSI
Pelayanan Teknis Pengujian Teknologi Agromikrobiologi
BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI
Teknologi Ex-vitro Tanaman
Aplikasi Bioteknologi Pakan Ternak
CENTRE CENTERFOR FORBIOTECHNOLOGY BIOTECHNOLOGYASSESSMENT ASSESMENT
Balai Pengkajian Bioteknologi Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
JURNAL
ISSN 2442 - 2606
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
Indonesia KARAKTERISASI ISOLAT BAKTERI FIBRINOLITIK WU 021055* ASAL PERAIRAN PANTAI PAPUMA, JEMBER Ajeng Maharani Sri Pananjung, Evi Umayah Ulfa, Kartika Senjarini, Sattya Arimurti AKTIVITAS LIGNINOLISIS DARI BASIDIOMYCETES YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK BIODEGRADASI DIOKSIN Nuki Bambang Nugroho PENICILLIN PRODUCTION BY MUTANT OF Penicillium chrysogenum Dudi Hardianto, Suyanto, Erwahyuni E. Prabandari, Lira Windriawati, Edy Marwanta, Tarwadi PENENTUAN KOMBINASI MEDIUM TERBAIK GALAKTOSA DAN SUMBER NITROGEN PADA PROSES PRODUKSI ETANOL Rofiq Sunaryanto & Berti Hariasih Handayani THE COMBINATION OF GROWTH HORMONES INCREASED THE IN VITRO SHOOTS MULTIPLICATION ON SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska PRELIMINARY CYTOTOXIC EVALUATION OF Andrographis paniculata IN BREAST CANCER CELL LINES Tarwadi, Churiyah, Olivia Bunga Pongtuluran, Fifit Juniarti, Fery Azis Wijaya
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia terbit 2 kali setahun sejak Desember 2014 Penanggung Jawab Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi Ketua Dewan Redaksi Dr. Rofiq Sunaryanto Dewan Redaksi Drs. Tarwadi, M.Si Dr. Anis H Mahsunah, M.Sc Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc Juwartina Ida Royani, M.Si Dr. Yenni Bakhtiar, M.Ag.Sc Redaktur Pelaksana Endah Dwi Hartuti, S.Si, Apt Diana Dewi, M.Si Mitra Bestari Dr. Pudjono (Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada) Dr. Elok Zubaidah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya) Dr. Josephine Elizabeth Siregar, M.Sc (Eijkman Institute Indonesia) Dr. Mulyoto Pangestu, PhD (Monash Clinical School, Monash Universit, Australia) Marwan Diapari, PhD (London Research & Development Centre, Agriculture & Agri-Food, Canada) Desain Grafis & Informatika Dr. rer.nat. Catur Sriherwanto Sekretariat & Distribusi Siti Zulaeha, S.Si Imron Rosidi, M.Si Nuryanah, S.E. Alamat Redaksi Balai Pengkajian Bioteknologi, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – BPPT, Gedung 630 Kawasan Puspiptek Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314, Indonesia, Telp. +62 21 7563120, Fax. +62 21 7560208 E-mail:
[email protected]
[email protected]
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menerbitkan Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) Volume 2 Nomor 1. JBBI merupakan media publikasi ilmiah bagi para peneliti, perekayasa, praktisi, akademisi dan pengamat di bidang bioteknologi dan biosains. Edisi kali ini memuat 6 makalah ilmiah dari hasil penelitian, pengembangan teknologi dan kerekayasaan. Edisi ini menampilkan kajian karakterisasi bakteri yang memiliki aktivitas fibrinolitik, serta jamur dengan aktivitas pengurai lignin dan polutan lingkungan. Makalah selanjutnya menunjukkan jamur mutan yang menghasilkan antibiotik penisilin yang lebih tinggi. Berikutnya adalah produktivitas etanol oleh mikroba yang dapat dipengaruhi oleh kombinasi media tumbuh yang digunakan. Kombinasi hormon pada media tumbuh ternyata juga dapat meningkatkan perbanyakan tunas pada tanaman sagu. Makalah terakhir memaparkan ekstrak tanaman sambiloto yang berpotensi menghambat pertumbuhan sel kanker payudara. Kami menyadari bahwa penyusunan jurnal ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, baik dalam isi maupun penyajiannya. Harapan kami, semoga informasi dan naskah yang ditampilkan dalam JBBI edisi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Redaksi
i
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungannya untuk kelancaran penerbitan Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) ini. Penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada para penulis yang dengan semangat tinggi telah berkontribusi pada JBBI edisi Bulan Juni 2015.
Redaksi
ii
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
DAFTAR ISI Halaman: KATA PENGANTAR
i
UCAPAN TERIMA KASIH
ii
LEMBAR ABSTRAK
iv
KARAKTERISASI ISOLAT BAKTERI FIBRINOLITIK WU 021055* ASAL PERAIRAN PANTAI PAPUMA, JEMBER
47 – 54
Ajeng Maharani Sri Pananjung, Evi Umayah Ulfa, Kartika Senjarini, Sattya Arimurti
AKTIVITAS LIGNINOLISIS DARI BASIDIOMYCETES YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK BIODEGRADASI DIOKSIN
55 – 60
Nuki Bambang Nugroho
PENICILLIN PRODUCTION BY MUTANT OF Penicillium chrysogenum
61 – 65
Dudi Hardianto, Suyanto, Erwahyuni E. Prabandari, Lira Windriawati, Edy Marwanta, Tarwadi
PENENTUAN KOMBINASI MEDIUM TERBAIK GALAKTOSA DAN SUMBER NITROGEN PADA PROSES PRODUKSI ETANOL
66 – 72
Rofiq Sunaryanto & Berti Hariasih Handayani
THE COMBINATION OF GROWTH HORMONES INCREASED THE IN VITRO SHOOTS MULTIPLICATION ON SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)
73 – 79
Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska
PRELIMINARY CYTOTOXIC EVALUATION OF Andrographis paniculata IN BREAST CANCER CELL LINES
80 – 85
Tarwadi, Churiyah, Olivia Bunga Pongtuluran, Fifit Juniarti, Fery Azis Wijaya
INDEKS PENGARANG
86
INDEKS KATA KUNCI
87
iii
LEMBAR ABSTRAK KARAKTERISASI ISOLAT BAKTERI FIBRINOLITIK WU 021055* ASAL PERAIRAN PANTAI PAPUMA, JEMBER Characterization of Fibrinolytic Bacteria WU 021055* from Papuma Coast, Jember 1
1
2,
2
Ajeng Maharani Sri Pananjung , Evi Umayah Ulfa , Kartika Senjarini *, Sattya Arimurti 1 Fakultas Farmasi, Universitas Jember 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember, Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(1):47-54 ABSTRACT A blood clot (thrombus) in a blood stream is formed due to a circulatory system imbalance in the hemostasis which results in plug of blood vessels. The suppliy of nutrients and oxygen to the tissues is inhibited (ischemia) by the accumulation of thrombus and embolus in the blood vessel. This prosses is the main cause for further atherotrombotic diseases such as myocardial infraction and cerebral infraction. This disease could be overcome by thrombolytic therapy by using fibrinolytic protease enzyme. Fibrinolytic activity of protease enzymes have been studied from various species of bacteria. Bacterial isolate of WU 021055* obtained from Papuma coastal waters has demonstrated fibrinolytic activity. This research was aimed to identify the bacterial isolate through morphological characterization (colony and cell morphology), physiological characterization (indole test, carbohydrates fermentation test (glucose, lactose, sucrose and fructose), catalase test, starch hydrolysis test, and the pH effect test), and molecular identification using 16S rRNA. Based on those characterizations, the bacterial isolate of WU 021055* shows a high similarity to Bacillus aerius.
ABSTRAK Bekuan darah (trombus) dalam peredaran darah terbentuk akibat ketidakseimbangan sistem sirkulasi dalam hemostasis yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Akumulasi trombus dan embolus pada pembuluh darah mengakibatkan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan terhambat (iskemia) dan bahkan kematian jaringan (infark). Pembentukan ini merupakan etiologi dari penyakit aterotrombosis seperti infark miokard dan infark serebral. Penyakit akibat trombosis ini dapat diatasi dengan terapi trombolitik dengan enzim protease fibrinolitik. Aktivitas enzim protease fibrinolitik telah diteliti dari berbagai spesies bakteri. Isolat bakteri WU 021055* asal perairan pantai papuma tampak memiliki aktivitas fibrinolitik. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi isolat bakteri melalui karakterisasi morfologi (morfologi koloni dan sel), karakterisasi fisiologis (uji indol, uji fermentasi karbohidrat (glukosa, laktosa, sukrosa dan fruktosa), uji katalase, uji hidrolisis pati, dan uji pengaruh pH), dan identifikasi secara molekuler menggunakan 16S rRNA. Berdasarkan karakterisasi morfologi, fisiologi, dan marker 16S rRNA, isolat bakteri WU 021055* menunjukkan kemiripan yang tinggi dengan Bacillus aerius.
Keywords: Atherotrombosis, fibrinolytic, identification, characterization, bacteria
Kata Kunci: Aterotrombosis, fibrinolitik, identifikasi, karakterisasi, bakteri
AKTIVITAS LIGNINOLISIS DARI BASIDIOMYCETES YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK BIODEGRADASI DIOKSIN Ligninolytic Activity of Basidiomycetes Applicable for Dioxin Biodegradation Nuki Bambang Nugroho Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(1):55-60 ABSTRACT Chemical compounds belonging to dioxin group are known to be highly toxic environmental pollutant. Polychlorinated dibenzo-p-dioxin and polychlorinated dibenzofuran are produced during organic materials burning process. Pentachlorophenol, a compound similar to dioxin, is widely used as wood preservative, fungicide, bacteriocide, herbicide, algicide and insecticide. Some white-rot fungi have potential to produce lignin degrading enzyme and degrade dioxin compounds. The diversity of white-rot fungi in Indonesia provides potential source for environmental pollutant-degrading microorganisms. In this study, basidiomycetes were isolated from fruiting body and rotted wood samples which were collected from seven provinces in Indonesia. Three hundred seventy basidiomycete isolates were screened for dioxin degrading activity using dye-decolorization method. The result indicated that sixty isolates had dioxin degrading activity, three of which showed significant activity.
ABSTRAK Senyawa-senyawa kimia dalam kelompok dioksin telah diketahui sebagai polutan lingkungan yang sangat beracun. Dibenzo-p-dioksin terpoliklorinasi dan dibenzofuran terpoliklorinasi dihasilkan selama proses pembakaran bahanbahan organik. Pentaklorofenol, suatu senyawa mirip dioksin, banyak digunakan sebagai pengawet kayu, fungisida, bakterisida, herbisida, algisida dan insektisida. Beberapa jamur pelapuk putih memiliki potensi untuk menghasilkan enzim pengurai lignin dan mendegradasi senyawa-senyawa dioksin. Keanekaragaman jamur pelapuk putih di Indonesia yang tinggi merupakan sumber potensial mikroorganisme pengurai polutan lingkungan. Pada kajian ini, basidiomisetes diisolasi dari sampel-sampel tubuh buah dan kayu lapuk yang diambil dari tujuh provinsi di Indonesia. Tiga ratus tujuh puluh isolat basidiomisetes telah diseleksi aktivitasnya sebagai pendegradasi dioksin. Metode dye-decolorization digunakan pada seleksi ini. Hasil seleksi menunjukkan bahwa enam puluh isolat basidiomisetes memiliki aktivitas sebagai pendegradasi dioksin, tiga isolat di antaranya menunjukkan aktivitas tertinggi.
Keywords: Ligninolytic, basidiomycetes, biodegradation, dioxin, fungus
Kata Kunci: Ligninolisis, basidiomisetes, biodegradasi, dioksin, jamur
iv
LEMBAR ABSTRAK PENICILLIN PRODUCTION BY MUTANT OF Penicillium chrysogenum Produksi Penisilin oleh Mutan Penicillium chrysogenum Dudi Hardianto*, Suyanto, Erwahyuni E Prabandari, Lira Windriawati, Edy Marwanta, Tarwadi Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(1):61-65 ABSTRAK Penisilin adalah antibiotika yang pertama kali ditemukan dan digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Sejak ditemukan penisilin sebagai antibiotika oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, banyak usaha dilakukan untuk meningkatkan produktivitas Penicillium chrysogenum. Pemuliaan galur untuk meningkatkan produksi penisilin dapat menggunakan mutasi acak secara fisika dan kimia. Pada penelitian ini, radiasi sinar ultraviolet digunakan untuk mendapatkan mutan P. chrysogenum. Produksi penisilin ditentukan menggunakan HPLC dan produktivitas mutan dibandingkan dengan induk P. chrysogenum. Mutan M12 menghasilkan penisilin 1,23 kali lebih banyak dibandingkan dengan induk P. chrysogenum.
ABSTRACT Penicillin is the first antibiotic discovered and used for treatment of bacterial infections. Since the discovery of penicillin as antibiotic by Alexander Fleming in 1928, much effort has been invested to improve productivity of Penicillium chrysogenum. Strain improvement to increase the penicillin production can be carried out by physical and chemical random mutation. In this research, ultraviolet irradiation was used to obtain P. chrysogenum mutant. Penicillin production was determined by using HPLC and productivity of P. chrysogenum mutants was compared to the wild type. Mutant M12 produced 1.23 fold higher penicillin than the wild type did.
Kata Kunci: Penisilin, ultraviolet, mutan, radiasi
Keywords: Penicillin, Penicillium ultraviolet, mutant, radiation
Penicillium
chrysogenum,
chrysogenum,
PENENTUAN KOMBINASI MEDIUM TERBAIK GALAKTOSA DAN SUMBER NITROGEN PADA PROSES PRODUKSI ETANOL Determination of The Best Medium of Galactose and Nitrogen Sources on Ethanol Production 1,
2
Rofiq Sunaryanto * & Berti Hariasih Handayani Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjajaran. *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(1):66-72 1
ABSTRACT Ethanol is an important product for biotechnologybased industries. Ethanol can be produced from various raw materials and some types of microbes. Determination of the best combination of galactose with nitrogen sources on ethanol production using Saccharomyces cerevisiae has been done. Combination of galactose at the concentration of 3 g/L and 20 g/L with nitrogen sources (casein, peptone, and urea, each at the concentration of 10g/L) was used to obtain the best composition of fermentation medium. Fermentation was carried out for 60 hours at 30°C, 250 rpm, and working volume of 50 mL in a 250 mL erlenmeyer. The results showed that the galactose concentration of 20 g/L was able to improve the productivity of ethanol and the growth of S. cerevisiae cells. The combination of 20g/L galactose and 10 g/L casein produced the highest ethanol concentration (6% v/v), whereas 20 g/L galactose-10 g/L peptone and 20 g/L galactose10 g/L urea combinations produced 2.5% and 0.58% (v/v) ethanol, respectively. The use of 3 g/L galactose mixed with several nitrogen sources produced ethanol below 0.7% (v/v).
ABSTRAK Etanol merupakan salah satu produk penting bagi industri yang berbasis bioteknologi. Etanol dapat dihasilkan dari berbagai macam bahan baku dan beberapa jenis mikroba. Penentuan kombinasi terbaik antara galaktosa dengan sumber nitrogen pada produksi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae telah dilakukan. Konsentrasi galaktosa 3 g/L dan galaktosa 20 g/L yang dikombinasikan dengan sumber nitrogen dengan konsentrasi 10 g/L dalam hal ini kasein, pepton, dan urea digunakan sebagai perlakuan untuk mendapatkan kombinasi medium sumber karbon dan sumber nitrogen terbaik. Fermentasi untuk menghasilkan etanol dilakukan selama 60 jam pada suhu 30°C, agitasi 250 rpm dengan volume kerja 50 mL dalam erlenmeyer 250 mL. Hasil penelitian menunjukkan penambahan galaktosa dengan konsentrasi sampai dengan 20 g/L mampu memperbaiki produktivitas etanol dan pertumbuhan sel S. cerevisiae. Konsentrasi 20 g/L galaktosa dengan 10 g/L kasein menghasilkan produktivitas etanol paling tinggi yaitu 6%(v/v), konsentrasi galaktosa 20 g/L dengan 10 g/L pepton menghasilkan 2,5% (v/v) etanol dan konsentrasi galaktosa 20 g/L dengan 10 g/L urea menghasilkan 0,58%(v/v) etanol. Penggunaan konsentrasi galaktosa 3 g/L yang dikombinasikan dengan beberapa jenis sumber nitrogen menghasilkan etanol dibawah 0,7% (v/v).
Keywords: Ethanol, galactose, Saccharomyces cerevisiae
Kata Kunci: Etanol, galaktosa, Saccharomyces cerevisiae
peptone,
casein,
pepton,
kasein,
v
LEMBAR ABSTRAK THE COMBINATION OF GROWTH HORMONES INCREASED THE IN VITRO SHOOTS MULTIPLICATION ON SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) Kombinasi Hormon Tumbuh Meningkatkan Perbanyakan Tunas In Vitro pada Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Teuku Tajuddin*, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(1):73-79 ABSTRAK Pohon sagu (Metroxylon sagu Rottb.) mempunyai banyak keunggulan dibanding dengan tanaman-tanaman penghasil pati lainnya, khususnya karena memiliki produktivitas yang tinggi, tumbuh di area bantaran sungai dan rawa, yang merupakan lingkungan tidak sesuai bagi pertumbuhan tanaman-tanaman lain. Dalam rangka membangun suatu perkebunan sagu di area yang luas, maka sangat dibutuhkan anakan-anakan sagu yang ukurannya seragam dalam jumlah yang besar. Namun demikian, terbatasnya jumlah anakan yang seragam telah menjadi kendala bagi pengembangan perkebunan sagu. Sebagai alternatif, perbanyakan in vitro dengan induksi tunas langsung dilakukan untuk mendapatkan bibit-bibit sagu dengan genotip unggul secara masal. Anakan sagu yang diperoleh dari Propinsi Maluku digunakan sebagai sumber eksplan. Eksplan dikultur pada media MS dan B5 yang mengandung kombinasi hormon auksin dan sitokinin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan BAP 2.0 ppm dan NAA 2.0 ppm menghasilkan jumlah tunas terbanyak.
ABSTRACT Sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) has many advantages over other starch-producing crops especially for its higher yield, ability to grow along riverbanks and on swampy areas not suitable for other crops. With the purpose of establishing large-scale plantations, a large amount of uniform sago palm suckers are required. However, limited availability of uniform suckers has hindered the mass propagation and development of cultivated Sago palm. Alternatively, in vitro cultures were performed in order to obtain a large-scale of mass clonally propagation of superior genotypes of sago palm. The young suckers obtained from areas of Maluku Province were used as explants. In vitro culture was carried out through direct shooting. The explants were cultured on two kinds of media, which were MS and B5 media containing various growth hormones of auxins and cytokinins. The results showed that the treatment with BAP 2.0 ppm and NAA 2.0 ppm produced the highest number of shoots.
Kata Kunci: Auksin, sitokinin, in vitro, sagu, inisiasi tunas
Keywords: Auxin, cytokinin, in vitro, sago palm, shoot initiation
PRELIMINARY CYTOTOXIC EVALUATION OF Andrographis paniculata IN BREAST CANCER CELL LINES Uji Pendahuluan Sitotoksik Andrographis paniculata pada Sel Kanker Payudara 1,
2
2
2
3
Tarwadi *, Churiyah , Olivia Bunga Pongtuluran , Fifit Juniarti , Fery Azis Wijaya Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Centre for Pharmaceutical and Medical Technology BPPT, Building 610, PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 3 PT Biogen Scientific, Rukan Tanjung Mas Raya –Jl Raya Lenteng Agung Blok B1/21, Jakarta Selatan. *E-mail:
[email protected] J Bioteknol Bios Indon 2(1):80-85 1
ABSTRAK Sambiloto (Andrographis paniculata) banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Dalam studi ini, ekstrak metanol dan etanol sambiloto yang diperoleh dari B2PTO Tawangmangu telah diuji terhadap sel lini kanker payudara T47D dan MCF-7 dan sel lini normal fibroblast HFL-1 menggunakan reaksi enzimatik 3-(4,5-dimethylthiazoyl-2-yl) 2,5-diphenyltetrazoliumbromide (MTT). Uji in vitro terhadap sel lini normal fibroblast HFL-1 menunjukkan bahwa 50 ppm ekstrak metanol sambiloto tidak menghambat pertumbuhan sel. Tetapi, ekstrak metanol dan etanolnya menghasilkan IC50 yang relatif rendah pada sel lini kanker payudara, yaitu 111 ppm dan 122 ppm pada sel lini MCF-7 dan 70 ppm dan 197 ppm pada sel lini T47D. Selain itu, campuran ekstrak sambiloto yang mengandung 25% ekstrak Thyponium divaricatum dan Anredera cordifolia memberikan daya hambat pertumbuhan pada sel kanker payudara MCF-7 yang lebih besar, dengan nilai IC50 masingmasing adalah 68 ppm dan 34 ppm. Kesimpulannya, total ekstrak metanol atau etanol sambiloto yang diperoleh dari Tawangmangu memiliki potensi sebagai sumber senyawa anti-kanker serta perlu kajian lebih lanjut.
ABSTRACT Sambiloto (Andrographis paniculata) is widely used as medicine to treat various diseases in Indonesia and other Asian countries. In this study, methanolic and ethanolic extracts of sambiloto collected from B2PTO Tawangmangu have been tested againts breast cancer cell lines of T47D and MCF-7 and normal fibroblast cell line of HFL-1 using enzymatic reaction of 3-(4,5-dimethylthiazoyl-2-yl) 2,5-diphenyltetrazoliumbromide (MTT). In vitro assay performed on normal fibroblast of HFL-1 cell line showed that 50 ppm of methanolic extract of sambiloto did not inhibit cell growth. However, methanolic and ethanolic extracts of sambiloto gave relatively low of IC50 on breast cancer cell lines which were 111 ppm and 122 ppm on the MCF-7 cell lines and 70 ppm and 197 ppm on the T47D cell lines, respectively. In addition, the mixture of sambiloto extract containing 25% of Thyponium divaricatum and Anredera cordifolia extracts confered greater growth inhibition on breast cancer cell line of MCF-7, where IC50 values were 68 ppm and 34 ppm, respectively. In conclusion, the total methanolic or ethanolic extract of sambiloto collected from Tawangmangu has potency as a source of anti-cancer compounds and needs further study.
Kata Kunci: Ekstrak Andrographis paniculata, MTT, sel lini normal, sel lini kanker, aktivitas anti kanker
Keywords: Andrographis paniculata extract, MTT, normal cell line, cancer cell lines, anti-cancer activity
vi
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
KARAKTERISASI ISOLAT BAKTERI FIBRINOLITIK WU 021055* ASAL PERAIRAN PANTAI PAPUMA, JEMBER Characterization of Fibrinolytic Bacteria WU 021055* from Papuma Coast, Jember 1
1
2,
2
Ajeng Maharani Sri Pananjung , Evi Umayah Ulfa , Kartika Senjarini *, Sattya Arimurti 1 Fakultas Farmasi, Universitas Jember 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember, Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 *E-mail:
[email protected]
ABSTRACT A blood clot (thrombus) in a blood stream is formed due to a circulatory system imbalance in the hemostasis which results in plug of blood vessels. The suppliy of nutrients and oxygen to the tissues is inhibited (ischemia) by the accumulation of thrombus and embolus in the blood vessel. This prosses is the main cause for further atherotrombotic diseases such as myocardial infraction and cerebral infraction. This disease could be overcome by thrombolytic therapy by using fibrinolytic protease enzyme. Fibrinolytic activity of protease enzymes have been studied from various species of bacteria. Bacterial isolate of WU 021055* obtained from Papuma coastal waters has demonstrated fibrinolytic activity. This research was aimed to identify the bacterial isolate through morphological characterization (colony and cell morphology), physiological characterization (indole test, carbohydrates fermentation test (glucose, lactose, sucrose and fructose), catalase test, starch hydrolysis test, and the pH effect test), and molecular identification using 16S rRNA. Based on those characterizations, the bacterial isolate of WU 021055* shows a high similarity to Bacillus aerius. Keywords: Atherotrombosis, fibrinolytic, identification, characterization, bacteria ABSTRAK Bekuan darah (trombus) dalam peredaran darah terbentuk akibat ketidakseimbangan sistem sirkulasi dalam hemostasis yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Akumulasi trombus dan embolus pada pembuluh darah mengakibatkan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan terhambat (iskemia) dan bahkan kematian jaringan (infark). Pembentukan ini merupakan etiologi dari penyakit aterotrombosis seperti infark miokard dan infark serebral. Penyakit akibat trombosis ini dapat diatasi dengan terapi trombolitik dengan enzim protease fibrinolitik. Aktivitas enzim protease fibrinolitik telah diteliti dari berbagai spesies bakteri. Isolat bakteri WU 021055* asal perairan pantai papuma tampak memiliki aktivitas fibrinolitik. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi isolat bakteri melalui karakterisasi morfologi (morfologi koloni dan sel), karakterisasi fisiologis (uji indol, uji fermentasi karbohidrat (glukosa, laktosa, sukrosa dan fruktosa), uji katalase, uji hidrolisis pati, dan uji pengaruh pH), dan identifikasi secara molekuler menggunakan 16S rRNA. Berdasarkan karakterisasi morfologi, fisiologi, dan marker 16S rRNA, isolat bakteri WU 021055* menunjukkan kemiripan yang tinggi dengan Bacillus aerius. Kata Kunci: Aterotrombosis, fibrinolitik, identifikasi, karakterisasi, bakteri
47
Karakterisasi Isolat Bakteri Fibrinolitik... Ajeng Maharani Sri Pananjung et al.
PENDAHULUAN Penyakit atherotrombosis seperti infark miokard dan infark serebral merupakan penyakit yang terjadi akibat sumbatan bekuan darah (trombus) pada pembuluh darah (arteri). Pada tahun 2004, penyakit tersebut merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia (World Health Organization 2008). Salah satu penyebab dari infark miokard dan infark serebral adalah trombosis yang diakibatkan oleh ruptur dari plak aterosklerosis pada dinding pembuluh darah sehingga menghasilkan bekuan darah. Bekuan darah terbentuk disebabkan karena sistem sirkulasi yang tidak seimbang dalam hemostasis sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah. Derajat sumbatan bekuan darah dan ukuran infark ditentukan oleh derajat dan lokasi proses pembentukan bekuan darah (Prasad et al. 2007). Trombus yang menyumbat pembuluh darah tersebut dapat dihancurkan dengan mekanisme trombolisis (fibrinolisis). Fibrinolisis bekerja dengan mengaktifkan plasminogen menjadi enzim proteolitik plasmin. Plasmin akan mengubah bentuk trombus dan membatasi perkembangan trombosis dengan mencerna proteolitik fibrin (Kumada et al. 1994). Mekanisme kerja enzim fibrinolitik adalah dengan menghidrolisis fibrin yang menyebabkan bekuan darah menjadi produk terlarut yang dapat dibuang dari peredaran darah sehingga membebaskan pembuluh darah dari bekuan darah dan memulai proses penyembuhan dinding pembuluh darah (Escobar et al. 2002). Agen fibrinolitik dapat diperoleh dari tanaman, hewan, atau mikroba. Penggunaan mikroba khususnya bakteri telah banyak diteliti sebagai penghasil agen fibrinolitik. Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, sekitar dua pertiga wilayah negara ini berupa lautan. Review riset mengenai diversitas biota laut dari perairan Indonesia mengindikasikan bahwa potensi biota laut Indonesia sebagai penghasil senyawa bioaktif dalam pengembangan obat sangat besar (Chasanah 2009). Hasil penelitian Setiawan (2013), menunjukkan bahwa bakteri asal perairan pantai Papuma yaitu
48
isolat dengan kode WU 021055* memiliki aktifitas fibrinolitik. Isolat telah diuji aktivitas fibrinolitiknya menggunakan metode fibrin plate assay dengan indeks aktivitas enzim fibrinolitik sebesar 11. Karena potensi yang dimiliki isolat bakteri tersebut sebagai penghasil enzim fibrinolitik maka karakterisasi terhadap bakteri tersebut sangatlah penting. Salah satu karakterisasi yang dapat dilakukan yaitu identifikasi isolat bakteri. Identifikasi isolat bakteri dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode molekuler. Metode konvensional didasarkan pada identifikasi fenotip diantaranya pemeriksaan morfologi, fisika, kimia, biokimia. Identifikasi mikroorganisme secara molekuler menggunakan penanda molekul tertentu, seperti 16S rRNA atau gen pengkodenya. Metode molekuler ini didasarkan pada teknik polymerase chain reaction (PCR) yang merupakan teknik penggandaan in vitro. Sekuen 16S rRNA juga digunakan sebagai penanda molekuler karena molekulnya bersifat ubiquitous (terdapat di semua makhluk hidup) dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme. Penggunaan molekul 16S rRNA menjadi pilihan yang banyak digunakan untuk melacak filogeni bakteri. Selain itu informasi genetik dari sekuen 16S rRNA cukup lengkap pada data base Gene Bank sehingga lebih mudah untuk melihat kekerabatan bakteri. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah satu isolat bakteri dari Perairan Pantai Papuma Jember koleksi Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember yang memiliki aktivitas fibrinolitik yaitu WU 0210155*. Alat yang digunakan adalah mikroskop elektron Olympus BX53F dan mesin polymerase chain reaction (PCR) Techne TC-312. Peremajaan Isolat Bakteri Isolat bakteri dalam stok gliserol (-80°C) diremajakan dengan cara bakteri ditumbuhkan pada media NB (Nutrient Broth) cair dan digoyangkan pada suhu ruang selama 18 jam. Hasil peremajaan dimurnikan koloninya untuk mendapatkan koloni tunggal (single colony) dengan cara streak pada media NB padat dan diinkubasi pada inkubator dengan suhu ruang
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
selama 48 jam. Koloni tunggal hasil peremajaan dibiakkan kembali dalam media NB cair selama 18 jam. Pewarnaan Gram Isolat Bakteri Pewarnaan Gram dilakukan dengan membuat usapan tipis suspensi dari isolat bakteri berumur 24 jam pada gelas objek yang bersih, kemudian dikeringanginkan. Setelah kering, difiksasi dengan cara melewatkan bagian bawah gelas objek di atas api bunsen. Selanjutnya hapusan bakteri ditetesi dengan larutan Kristal violet selama 1 menit. Dibilas dengan air kran mengalir. Kemudian ditetesi dengan larutan iodine dan dibiarkan selama 1 menit. Dibilas dengan air kran mengalir. Dibilas dengan alkohol 96% selama 20 detik. Dibilas kembali dengan air kran mengalir. Ditetesi dengan safranin selama 45 detik. Terakhir dibilas dengan air kran mengalir, dan diletakkan di atas kertas serap. Hasil pewarnaan Gram isolat bakteri diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x. Untuk memperjelas morfologi sel, cover glass di atas suspensi bakteri ditetesi dengan minyak imersi dan perhitungan koloni bakteri dengan menggunakan koloni counter. Sel bakteri Gram positif akan berwarna ungu hingga biru, sedangkan bakteri Gram negatif akan berwarna merah. Karakterisasi Biokimia Karakterisasi isolat bakteri WU 021055* yang dilakukan meliputi uji indol, uji fermentasi karbohidrat (glukosa, laktosa, sucrosa dan fruktosa), uji katalase, uji hidrolisis pati, dan uji pengaruh pH. Uji indol dilakukan dengan inokulasi isolat bakteri ke dalam medium NB padat pada tabung reaksi secara aseptik, di inkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam, kemudian ditetesi dengan reagen Kovac’s. Uji fermentasi karbohidrat (glukosa, laktosa, sucrosa dan fruktosa) dilakukan dengan menambahkan medium NB cair dengan brom tymol blue (BTB) sebagai indikator dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan gula yang di fermentasikan 1-2%. Isolat diinokulasi dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam (Cappuccino & Sherman 1987). Uji katalase dilakukan dengan cara isolat diberi 2 tetes reagen hidrogen peroksida (H2O2) 3%. Pada uji hidrolisis pati,
isolat bakteri digoreskan pada media pati dan diinkubasi selama 24 jam. Permukaan koloni ditetesi dengan iodin. Uji pengaruh pH dilakukan dengan menumbuhkan satu ose isolat bakteri dari suspensi biakan dalam larutan media NB cair dibuat dalam suasana pH yang berbeda yaitu pH 3, 5, 7 dan diinkubasi selama 24 jam. Isolasi DNA Kromosom Isolat Bakteri Kultur bakteri sebanyak 1000 µl disentrifugasi 13.000 x g selama 5 menit pada suhu 4°C sehingga didapatkan pelet dan diulang sebanyak tiga kali. Isolasi DNA dilakukan mengikuti prosedur Wizard® Genomic DNA Purification Kit. PCR DNA Pengkode 16S rRNA Isolat bakteri yang terlihat pita DNA genomnya diamplifikasi dengan menggunakan primer DNA pengkode 16S rRNA yaitu 27F (5’ AGA GTT TGA TCM TGG CTC AG 3’), 533F (5’ GTG CCA GCM GCC GCG GTA A 3’) dan 907R (5’ CCG TCA ATT CMT TTG AGT TT 3’), 1492R (5’ GGT TAC CTT GTT ACG ACT T 3’) (Lane,1991). PCR dilakukan dengan mereaksikan 15 µl aquabidest steril, 25 µl 2x PCR Master mix (Qiagen Kit), 1,25µl forward primer (10 pmol/µl, konsentrasi akhir 0,25 pmol/µl), 1,25 µl reverse primer (10 pmol/µl, konsentrasi akhir 0,25 pmol/µl) dan 2 µl ekstrak DNA. Suhu denaturasi 98°C dalam 5 menit dan 95°C dalam 35 detik; annealing dengan suhu 55°C selama 35 detik dan elongasi pada suhu 72°C dalam 90 detik. Total siklus 35 kali. Purifikasi DNA Hasil PCR Purifikasi hasil PCR dilakukan melalui pemotongan gel agarosa yang mengandung pita DNA hasil PCR. Produk PCR dimurnikan pada 1% gel agarosa mengikuti prosedur PCR clean-up Gel Extraction Nucleospin® Extract II. Produk purifikasi DNA hasil PCR diukur dengan menggunakan NanoDrop spektrofotometer. Analisis Data Sekuen DNA Penentuan urutan DNA murni (sequencing) dilakukan dengan mengirimkan DNA hasil purifikasi dari produk PCR ke 1st BASE Singapura. Bioedit software (Tom Hall, Ibis Theraupetics) digunakan untuk analisis data kasar hasil sequencing. Setelah
49
Karakterisasi Isolat Bakteri Fibrinolitik... Ajeng Maharani Sri Pananjung et al.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri WU 021055* Karakteristik Bentuk Koloni Bentuk Tepian Koloni Warna koloni
Hasil Bulat Bergerigi Putih
Bentuk Sel
Basil
Warna Sel
Ungu
Gram (+/-)
+
diketahui alignment sekuen DNA pengkode 16S rRNA dari masing-masing isolat maka sekuen dibandingkan dengan database gen pengkode 16S rRNA menggunakan BLAST online software (www.ncbi.nlm.nih.gov.) untuk menentukan spesies dari isolat dan hubungan kekerabatan dengan spesies bakteri lainnya HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi secara fenotip dilakukan sebagai tahap awal sebelum identifikasi lebih lanjut. Identifikasi fenotip meliputi morfologi isolat bakteri yaitu, bentuk koloni, bentuk tepian koloni, warna koloni dan juga morfologi sel isolat bakteri pada (Tabel 1). Koloni isolat bakteri merupakan sekumpulan dari masa sel yang dapat dilihat secara langsung dengan mata. Semua sel dalam koloni itu sama dan dianggap semua sel tersebut merupakan keturunan (progeny) dari satu mikroorganisme dan mewakili sebagai biakan murni. Penampakan koloni isolat bakteri WU 021055* berbentuk bulat, tepi bergerigi dan berwarna putih. Semua koloni dalam media tumbuh menunjukkan warna dan bentuk koloni yang homogen sehingga dapat disimpulkan bahwa isolat bakteri WU 021055* pada (Gambar 1) dalam media tumbuh tersebut murni. Pengamatan pewarnaan Gram menunjukkan isolat bakteri WU 021055* bersifat Gram positif dengan bentuk sel basil yang dibandingkan dengan kontrol negatif E. coli dan kontrol positif B. subtilis. Menurut Jawetz et al (2008) bakteri dibagi dalam golongan Gram positif dan Gram negatif berdasarkan reaksinya terhadap pewarnaan Gram. Bakteri dikatakan Gram negatif apabila sel bakteri berwarna merah dan termasuk Gram positif apabila sel bakteri berwarna ungu. Hasil pewarnaan
50
isolat bakteri WU 021055* pada Gambar 2 menunjukkan Gram positif dan berbentuk basil. Disimpulkan bahwa isolat bakteri WU 021055* termasuk dalam Genus Bacillus. Karakterisasi fisiologis isolat bakteri WU 021055* diamati berdasarkan pengamatan uji biokimia. Hasil uji biokimia isolat bakteri WU 021055* menunjukkan hasil positif pada pengujian hidrolisis pati yang ditandai dengan perubahan warna pada media uji. Uji katalase positif ditandai dengan adanya gelembung pada media uji. Isolat bakteri WU 021055* dapat tumbuh optimal pada pH 7. Hal ini ditandai dengan keruhnya media uji pada kondisi pH 7. Pada pengujian fermentasi karbohidrat menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak terbentuknya gelembung pada tabung durham. Uji pembentukan indol memberikan hasil negatif ditandai dengan tidak terbentuknya cincin merah pada media uji. Teori dari identifikasi bakteri dengan teknik konvensional adalah membandingkan bakteri yang sedang diidentifikasi dengan bakteri yang telah teridentifikasi sebelumnya. Bila tidak terdapat bakteri yang ciri-cirinya 100% serupa, maka dilakukan pendekatan terhadap bakteri yang memiliki ciri-ciri yang paling menyerupai. Oleh karena itu teknik identifikasi dengan metode konvensional akan selalu menghasilkan suatu bakteri tertentu yang sudah teridentifikasi sebelumnya dan tidak akan dapat menemukan spesies baru (Cowan 1974). Menurut Claus & Barkeley (1986) genus Bacillus mempunyai sifat fisiologis yang menarik karena tiap-tiap jenis mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Genus Bacillus ditemui di berbagai lingkungan termasuk udara, tanah, perairan, dan makanan fermentasi. Sravankumar et al. (2010) juga mengemukakan bahwa bakteri
aa
bb
Gambar 1. (a) Morfologi koloni isolat bakteri WU 021055* pada cawan petri dan (b) Morfologi satu koloni isolat bakteri WU 021055* pada pembesaran 1000 x.
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
B. aerius memiliki bentuk basil, gram positif, dan hasil uji biokimia (Tabel 2). Hasil karakterisasi fisiologis menunjukkan kesamaan isolat bakteri WU 021055* dengan B. aerius yang diteliti sebelumnya. Pada penelitian Setiawan (2013) isolat bakteri WU 021055* menunjukkan aktivitas fibrinolitik ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang diuji pada media fibrin agar. Enzim fibrinolitik merupakan kelompok enzim protease yang mampu mendegradasi fibrin atau fibrinogen. Enzim fibrinolitik dapat diaplikasikan pada penderita trombosis karena enzim ini dapat menghancurkan fibrin dalam bekuan darah menjadi produk degradasinya yang lebih larut dalam darah (Sajuthi et al. 2010). Dilaporkan dalam penelitian Zhang et al (2012), bahwa B. aerius memiliki protein dengan aktivitas trombolitik, antikoagulan, dan hemolisis. Hal ini menunjukkan bahwa isolat bakteri WU 021055* memiliki kesamaan aktivitas fibrinolitik dengan B. aerius. Karakterisasi secara molekuler menggunakan sekuen 16S rRNA sebagai kunci identifikasi. Analisis 16S rRNA
a
dengan umur kultur 24-48 jam pada pembesaran 1000 x Tabel 2.Hasil Uji Biokimia Isolat Bakteri WU 021055*
Pengujian
Karakteristik B. aerius (Sravankumar 2010)
Hasil (+/-) pengamatan
Hidrolisis pati Katalase Fermentasi karbohidrat::
+ +
+ +
a. sukrosa b. fruktosa c. glukosa d. laktosa Pengaruh pH: a. pH 3 b. pH 5 c. pH 7 d. pH 9 Pembentukan indol
-
-
-
+ + -
Keterangan: 1. Hidrolisis pati (+) terdapat perubahan warna 2. Katalase (+) terdapat gelembung 3. Fermentasi karbohidrat:
4. Pengaruh pH a. pH 3 (-) tidak terjadi perubahan warna b. pH 5 (-) tidak terjadi perubahan warna
a. sukrosa (-) tidak ada gelembung
c. pH 7 (+) larutan terjadi kekeruhan
b. fruktosa (-) tidak ada gelembung
d. pH 9 (+) larutan terjadi kekeruhan
c. glukosa (-) tidak ada gelembung
5. Pembentukan Indol (-) tidak terdapat cincin merah
d. laktosa (-) tidak ada gelembung
b
c
Gambar 2. Hasil pewarnaan Gram (a) Isolat Bakteri WU 021055*(+); (b) Kontrol (-) E.coli; (c) Kontrol (+) B. Subtilis. Pewarnaan Gram
menggunakan prinsip PCR yaitu melibatkan beberapa siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai cetakan DNA, penempelan (annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (elongasi) primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase. Dalam proses PCR diperlukan DNA kromosom sebagai template yaitu sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru melalui isolasi DNA kromosom. Hasil isolasi DNA kromosom pada Gambar 3 menunjukkan adanya satu pita di atas 10.000 bp jika dibandingkan dengan marker 1 kb. Pada umumnya ukuran DNA kromosom bakteri berukuran lebih dari 10.000 bp. Ukuran DNA kromosom yang tidak dapat ditentukan, namun ukuran tersebut dapat diindikasikan bahwa pita DNA
51
Karakterisasi Isolat Bakteri Fibrinolitik... Ajeng Maharani Sri Pananjung et al.
Tabel 3. Beberapa organisme yang memiliki kemiripan terdekat dengan isolat bakteri WU 021055* berdasarkan urutan nuklotida DNA pengkode 16S rRNAnya. Description
Max score
Total score
Query cover
E value
Ident.
Bacillus aerius strain 24K 16S ribosomal RNA gene, partial sequence
1482
1482
100%
0.0
99%
Bacillus stratosphericus strain 41KF2a 16S ribosomal RNA gene, partial sequence
1482
1482
100%
0.0
99%
Bacillus altitudinis strain 41KF2b 16S ribosomal RNA gene, partial sequence
1482
1482
100%
0.0
99%
Bacillus stratosphericus strain 41KF2a 16S ribosomal RNA gene, partial sequence
1478
1478
99%
0.0
99%
Bacillus safensis strain NBRC 100820 16S ribosomal RNA gene, partial sequence
1459
1459
100%
0.0
98%
Bacillus pumilus strain NBRC 12092 16S ribosomal RNA gene, partial sequence
1459
1459
100%
0.0
98%
Gambar 3. Elektroforegram hasil isolasi DNA kromosom isolat bakteri asal perairan pantai Papuma, Jember.
tersebut merupakan DNA kromosom bakteri dan bukan merupakan plasmid atau DNA organel. DNA organel misalnya DNA mitokondria atau DNA kloroplas tidak terdapat dalam sel bakteri karena sel bakteri tidak memiliki organel tersebut sehingga dapat dipastikan DNA tersebut adalah DNA kromosom. Amplifikasi dengan PCR 16S rRNA dilakukan menggunakan primer universal yang dapat mengamplifikasi keseluruhan gen pada bakteri berdasarkan daerah konservatif dari gen pengkode 16S rRNA. Hasil amplifikasi DNA pengkode 16S rRNA menunjukkan bahwa pita DNA hasil PCR dengan pasangan primer yang pertama 27F dan 907R tampak sejajar dengan pita DNA marker yang berukuran 900 bp. Hal ini relevan dengan hasil yang diharapkan yaitu fragmen DNA berukuran 873 bp yang berkisar
52
Gambar 4. Elektroforegram hasil pemurnian produk PCR DNA pengkode 16S rRNA isolat WU 021055* melalui elektroforesis gel agarosa.
di pita DNA marker tersebut. Pita DNA hasil PCR dengan pasangan primer yang kedua yaitu 533F dan 1492R berada pada kisaran fragmen marker yang berukuran 1000 bp. Hasil ini sesuai dengan ekspektasi ukuran hasil PCR menggunakan primer tersebut yaitu 959 bp. Selanjutnya, untuk mendapatkan produk PCR yang murni dan tidak terkontaminasi oleh sisa-sisa PCR perlu dilakukan pemurnian produk PCR. Pemurnian ini penting dilakukan agar proses sequencing DNA berlangsung dengan baik dan mendapatkan kualitas yang baik pula. DNA sampel yang memiliki kualitas kemurnian yang baik yaitu memiliki nilai 1,72,0 dari perbandingan A260/A280 (Oswald 2007). Nilai pengukuran kemurnian hasil purifikasi produk PCR termasuk dalam rentang murni yaitu antara 1,7-2,0. Konsentrasi sampel DNA dapat dihitung
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
dengan membandingkan intensitas pita DNA sampel dengan konsentrasi masingmasing pita DNA marker (Oswald 2007). Hasil PCR Amplifikasi DNA pengkode 16S rRNA yang telah dimurnikan dan diukur konsentrasinya melalui NanoDrop Spektrofotometri dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil amplifikasi PCR gen 16S rRNA yaitu 873 bp pada pasangan primer yang pertama 27F dan 907R serta pasangan primer yang kedua 533F dan 1492R yaitu 959 bp kemudian dilakukan sequencing. Proses sekuensing dilakukan dengan menggunakan jasa 1 st BASE. Hasil pembacaan fragmen DNA berupa untai tunggal. Pada penelitian ini data sequencing yang diperoleh berupa sekuen utuh DNA pengkode 16S rRNA isolat WU 021055* yang telah diolah secara manual menggunakan software BioEdit menjadi input program BLAST. Hasil sekuen utuh 16S rRNA pada penelitian didapatkan 835 bp, panjang urutan basa nukleotida tersebut cukup mampu mengidentifikasi isolat hingga tingkat genus dan pembacaan tingkat spesies dalam gen pengkode 16S rRNA untuk
mengidentifikasi isolat bakteri. Hasil analisis sekuen DNA pengkode 16S rRNA menunjukkan blast sekuen WU 021055* dengan data 16S rRNA di Gene Bank. Beberapa organisme yang memiliki homologi tertinggi (99%) dengan isolat bakteri WU 021055* dapat dilihat pada (Tabel 3). Menurut Drancourt (2000) berdasarkan data urutan gen pengkode 16S rRNA, homologi dengan nilai ≥99% menunjukkan bahwa spesies yang dibandingkan merupakan spesies yang sama, sedangkan homologi dengan nilai ≥97% dinyatakan bahwa isolat yang dibandingkan berada pada genus yang sama dan homologi antara 89-93% menunjukkan famili yang berbeda. Tetapi hal ini perlu ditelusuri melalui analisis filogenetik dengan melihat percabangan yang dibentuk oleh isolat melalui pengamatan posisi yang ditempati diantara spesies yang lain atau spesies pembandingnya. Pohon filogeni pada Gambar 5 menunjukkan bahwa isolat WU 021055* terletak sejajar dengan B. aerius yang berarti bahwa isolat WU 021055* merupakan B. aerius.
Gambar 5. Pohon filogeni yang menunjukkan hubungan kedekatan isolat WU 021055* dengan bakteri yang terdapat di Gene Bank
53
Karakterisasi Isolat Bakteri Fibrinolitik... Ajeng Maharani Sri Pananjung et al.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hasil pemeriksaan morfologi bakteri dan uji biokimia menujukkan bahwa isolat bakteri WU 021055* memiliki ciri yang sama dengan Bacillus aerius. Berdasarkan hasil analisis sekuen dengan menggunakan program BLAST pada sekuen utuh hasil editing produk sequencing DNA pengkode 16S rRNA, isolat bakteri WU 021055* merupakan Bacillus aerius dengan presentase kemiripan 99%. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada DIPA Universitas Jember yang telah membiayai penelitian ini melalui program Fundamental Nasional 2014 DIKTI. DAFTAR PUSTAKA Cappucino JG & N Sherman (1987) Microbiology, A Laboratory Manual. California. Menko Park The Benjamin/ Cummins Publishing Company, Menlo Park, California. Chasanah E (2009) Marine biodiscovery research In Indonesia: challenges and rewards. J Coastal Dev 12(1):1-12. Claus D & CW Berkeley (1984) EndosporeForming Rods and Cocci. Dalam: NR Krieg & JG Jolt (ed.), Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. Williams and Wilkins, Baltimore: 529–551. Cowan ST (1974) Manual for the Identification of Medical Bacteria. Cambridge University Press, London. Drancourt M, C Bollet, A Carlioz, R Martelin, JP Gayral, D Raoult (2000) 16S ribosomal DNA sequence analysis of a large collection of environmental and clinical unidentifiable bacterial isolates. J Clin Microbiol 38(10):3623-3630. Escobar CE, DM Harmaening, VL Simmons, Smith, KM Moore, J Wyrick-Glatzel (2002) Introduction to Hemostasis. Dalam: DM Harmening (ed.), Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis. (Edisi Keempat) FA Davis, Philadelphia.
54
Jawetz M & Adelberg (2008) Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa oleh Huriwati Hartanto. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta. Lane DJ, B Pace, GJ Olsen, DA Stahl, ML Sogin, NR Pace (1985) Rapid determination of 16S ribosomal RNA sequences for phylogenetic analyses. Proc Natl Acad Sci USA 82(20):6955–6959. Sravankumar G, YVK Durgaprasad, T Ramana, Hasasreeramulu, CSLV Devi (2010) Isolation and identification of bacteria from marine biofilm on the artificial plat forms (iron panels) from Visakhapatham coast, India. Indian J Mar Sci 43(6):955-959. Kumada K, T Onga, H Hoshino (1994) The effect of natto possessing a high fibrinolytic activity in human plasma. Igaku to Seibutsugaku 128(3):117-119. Oswald N (2007) Quick reference: Determining DNA Concentration and Purity. [online] http://bitesizebio.com/13501/dnaconcentration-purity/ diakses 17 Desem-ber 2015. Prasad S, RS Kashyap, JY Deopujari, HJ Purohit, GM Taori, HF Daginawala (2007) Effect of Fagonia Arabica (Dhamasa) on in vitro Thrombolysis. BMC Complem Altern Med 7(1):36. Setiawan A (2013) Skrining Agen Fibrinolitik Isolat Bakteri dari Perairan pantai papuma kabupaten jember. Skripsi fakultas kesehatan masyarakat Universitas Jember. Sajuthi, Suparto, Yanti, Praira (2010) Purifikasi dan Pencirian Enzim Protease Fibrinolitik dari Ekstrak Jamur Merang. Makara Sains 14(2):145-150. World Health Organization (2008) The World Health Report 2008: Primary Health Care Now More Than Ever. Geneva: WHO Library Cataloguing-in-Publication. Zhang X, Yuan Hongshui, Xin Xin Zhu Baocheng (2012) Enzymological Properties and Thrombolysis Effect in Vitro of Fibrinolytic Enzyme S-7FE-1. J Chin Ins Food Sci Tech 10:013. Jurnal online http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDT OTAL-ZGSP201210013.htm diakses 12 Juli 2015.
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
AKTIVITAS LIGNINOLISIS DARI BASIDIOMYCETES YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK BIODEGRADASI DIOKSIN Ligninolytic Activity of Basidiomycetes Applicable for Dioxin Biodegradation Nuki Bambang Nugroho Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Chemical compounds belonging to dioxin group are known to be highly toxic environmental pollutant. Polychlorinated dibenzo-p-dioxin and polychlorinated dibenzofuran are produced during organic materials burning process. Pentachlorophenol, a compound similar to dioxin, is widely used as wood preservative, fungicide, bacteriocide, herbicide, algicide and insecticide. Some white-rot fungi have potential to produce lignin degrading enzyme and degrade dioxin compounds. The diversity of white-rot fungi in Indonesia provides potential source for environmental pollutant-degrading microorganisms. In this study, basidiomycetes were isolated from fruiting body and rotted wood samples which were collected from seven provinces in Indonesia. Three hundred seventy basidiomycete isolates were screened for dioxin degrading activity using dye-decolorization method. The result indicated that sixty isolates had dioxin degrading activity, three of which showed significant activity. Keywords: Ligninolytic, basidiomycetes, biodegradation, dioxin, fungus ABSTRAK Senyawa-senyawa kimia dalam kelompok dioksin telah diketahui sebagai polutan lingkungan yang sangat beracun. Dibenzo-p-dioksin terpoliklorinasi dan dibenzofuran terpoliklorinasi dihasilkan selama proses pembakaran bahan-bahan organik. Pentaklorofenol, suatu senyawa mirip dioksin, banyak digunakan sebagai pengawet kayu, fungisida, bakterisida, herbisida, algisida dan insektisida. Beberapa jamur pelapuk putih memiliki potensi untuk menghasilkan enzim pengurai lignin dan mendegradasi senyawa-senyawa dioksin. Keanekaragaman jamur pelapuk putih di Indonesia yang tinggi merupakan sumber potensial mikroorganisme pengurai polutan lingkungan. Pada kajian ini, basidiomisetes diisolasi dari sampel-sampel tubuh buah dan kayu lapuk yang diambil dari tujuh provinsi di Indonesia. Tiga ratus tujuh puluh isolat basidiomisetes telah diseleksi aktivitasnya sebagai pendegradasi dioksin. Metode dye-decolorization digunakan pada seleksi ini. Hasil seleksi menunjukkan bahwa enam puluh isolat basidiomisetes memiliki aktivitas sebagai pendegradasi dioksin, tiga isolat di antaranya menunjukkan aktivitas tertinggi. Kata Kunci: Ligninolisis, basidiomisetes, biodegradasi, dioksin, jamur
55
Aktivitas Ligninolisis dari Basidiomycetes… Nuki Bambang Nugroho
PENDAHULUAN Jaringan kayu terdiri atas tiga biopolimer utama; selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignin merupakan polimer aromatik sangat tidak beraturan yang disintesis pada tanaman oleh reaksi polimerisasi phidroksisinamil alkohol tersubstitusi. Reaksi polimerisasi ini dikatalisis oleh enzim peroksidase. Beberapa mikroorganisme, khususnya jamur pelapuk putih, dapat mendegradasi polimer lignin yang kompleks. Phanerochaete chrysosporium merupakan jamur pelapuk putih yang sering dipakai pada penelitian biodegradasi lignin (ligninolisis). Ligninolisis hanya terjadi jika ada substrat lain yang dapat didegradasi (Field et al. 1993). Setelah pertumbuhan awal P. chrysosporium berhenti karena keterbatasan karbon, nitrogen atau belerang, ligninolisis mulai terjadi. Ligninolisis merupakan proses tidak spesifik. Senyawa yang memiliki struktur aromatik (seperti senyawa xenobiotic) sangat mudah didegradasi oleh enzim ligninolisis. Senyawa-senyawa kimia dalam kelompok dioksin telah diketahui sebagai polutan lingkungan yang sangat beracun. Dibenzo-pdioksin terpoliklorinasi (polychlorinated dibenzo-p-dioxin / PCDD) dan dibenzofuran terpoliklorinasi (polychlorinated dibenzofuran / PCDF) dihasilkan pada proses pembakaran bahan-bahan organik (Valli et al. 1992; Wittich 1998). Pentaklorofenol (pentachloro-phenol / PCP), suatu senyawa mirip dioksin, banyak digunakan sebagai pengawet kayu, fungisida, bakterisida, herbisida, algisida dan insektisida. Banyak senyawa xenobiotic, seperti PCDD, PCDF, polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), fenol terklorinasi, polychlorinated biphenyl (PCB), pestisida dan senyawa-senyawa pewarna, dapat dioksidasi pada kultur jamur pelapuk putih (Kamei & Kondo 2005; Mori & Kondo 2002a, 2002b, 2002c, Field & SierraAlvarez 2008). Jamur dapat mendegradasi PCDD/PCDF pada kondisi aerob. Jamur menggunakan enzim (lignin peroksidase atau mangan peroksidase) untuk mengoksidasi molekul dari senyawa PCDD / PCDF (Urbaniak 2013). Selain jamur, bakteri yang diisolasi dari tanah terkontaminasi dioksin dapat mendegradasi fenol, dan hal ini menunjukkan juga kemampuan mendegradasi PCDD/PCDF (Bui et al. 2012). Beberapa enzim terlibat pada
56
ligninolisis terutama lignin peroksidase (LiP) dan mangaan peroksidase (MnP). Beberapa jamur pelapuk putih (white-rot fungi) diketahui menghasilkan enzim LiP, salah satu enzim pengurai lignin (Buckley et al. 1998). Enzim LiP yang dimurnikan dapat mengoksidasi beberapa senyawa PAH menjadi PAH kinon, PCP menjadi tetrakloro-p-benzokinon, dan memecah diklorodibenzo-p-dioksin (dichlorodibenzo-p-dioxin / DCDD). Proses penguraian dioksin tidak hanya dilakukan oleh LiP, tetapi juga dibantu oleh MnP dan laccase (Lac). Beberapa jamur pelapuk putih, tetapi bukan P. Chrysosporium, juga menghasilkan enzim Lac. Enzim ini merupakan enzim yang bekerja pada o-kinol, p-kinol dan amino fenol. Lac berperan pada polimerisasi fenol dan oksidasi senyawa aromatik bukan fenol. Enzim dehalogenase dapat mendegradasi PCDD yang memiliki lebih dari empat subtituen klorin (Sakaki & Munetsuna 2010). Metode seleksi enzim oksidase, khususnya Lac dan peroksidase, biasanya berdasarkan reaksi pembentukan atau penghilangan warna sehingga pendeteksiannya mudah dilakukan. Penghilangan warna pada senyawa pewarna merupakan indikator terjadinya oksidasi awal senyawa-senyawa xenobiotic dan lignin (Pasti & Crawford 1991). Jamur pelapuk putih dapat mendegradasi senyawasenyawa dioksin karena struktur kimia dioksin mirip dengan sebagian struktur lignin. Enzim peroksidase dihasilkan oleh jamur pelapuk putih mengkatalisis oksidasi lignin dan senyawa aromatik menyerupai lignin. Senyawa pewarna seperti Remazol Brilliant Blue R, Poly B-411, Poly R-478, Poly R-481, Poly S-119, Poly T-128 dan Poly Y-606 dapat mengalami penghilangan warna oleh jamur pendegradasi lignin (Glenn & Gold 1983; Platt et al. 1985; Pasti & Crawford 1991; Ollikka et al. 1993). BAHAN DAN METODE Sampel Sampel kayu lapuk dan tubuh buah basidiomisetes diambil dari 7 provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali dan Lombok. Sampel untuk isolasi basidiomisetes adalah kayu lapuk dan tubuh buah basidiomisetes.
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
Seleksi Basidiomisetes sebagai pengurai dioksin dilakukan dengan metode dye decolorization. Basidiomisetes yang menunjukkan aktivitas pengurai dioksin selanjutnya diisolasi dengan metode single mycelium transfer. Metode Seleksi Metode seleksi awal (primary screening method) mengadopsi metode dye decolorization sebagaimana diuraikan oleh Sato et al. (2002). Senyawa pewarna Remazol brilliant blue R (RBBR) mengalami pengurangan / penghilangan warna oleh jamur pendegradasi lignin, sehingga penghilangan warna ini merupakan indikator yang baik untuk mengetahui oksidasi awal senyawa xenobiotic dan lignin (Pasti & Crawford 1991). Seleksi awal dilakukan dengan menginokulasikan sampel langsung ke permukaan media pewarna yang terdiri atas dua lapis. Lapis atas: 0,5% malt extract (Difco Laboratories, detroit, MI, USA), 1% agar dan 1% RBBR. Lapis bawah: Czapek Dox agar (Difco Laboratories, detroit, MI, USA). Benomyl 20 mg/L (Aldrich Chemical Co. Inc., Milwaukee, WI, USA) ditambahkan ke lapis atas media untuk menghambat pertumbuhan jamur-jamur yang tidak diinginkan. Isolat yang terseleksi dengan dye decolorization diseleksi lanjut mengikuti secondary screening method (Gambar 1) (Sato et al. 2002). Setiap isolat yang terseleksi dengan dye decolorization ditransfer ke dalam empat labu Erlenmeyer 50 mL bertutup gelas berisi 5 mL medium rendah nitrogen (Tien & Kirk 1988), dan dipreinkubasi pada 25oC selama 10 hari. Setelah preinkubasi, 20 µl 2,7-DCDD (AccuStandard Inc., New Haven, CT, USA. dilarutkan dalam N,N-dimethylformamide / DMF) ditambahkan ke dalam dua labu sampai konsentrasi akhir 2,7-DCDD 10 µM (kultur inkubasi 15 hari: A). Tutup labu Erlenmeyer dilapis rekat dengan pita Teflon setelah penambahan 2,7-DCDD. Selama 15 hari inkubasi pada 25oC, 250 µl larutan glukosa 20% (konsentrasi akhir 1%) ditambahkan dua kali dan oksigen ditambahkan empat kali ke dalam kultur (Gambar 1). Dua puluh mikroliter DMF (tanpa 2,7-DCDD) ditambahkan ke dalam dua labu lainnya (kultur kontrol: B), kemudian diperlakukan (inkubasi, penambahan glukosa
dan penambahan oksigen) seperti kultur A. Satu hari sebelum akhir masa inkubasi, 2,7DCDD ditambahkan ke dalam kultur B, DMF ditambahkan ke dalam kultur A. Setelah inkubasi selesai, dilakukan perbandingan jumlah 2,7-DCDD tersisa dalam kultur A dan B. Untuk mengambil 2,7-DCDD yang tersisa dalam kultur, dilakukan mengikuti Sato et al. (2002). Asam sulfat pekat sebanyak 5 mL ditambahkan sebelum ekstraksi dengan n-heksana (tiga bagian masing-masing 10 mL) (Takada et al. 1996). Fraksi n-heksana dikumpulkan dan dicuci dengan aquades. Fraksi dikeringkan dalam desikator dengan penyerap air natrium sulfat kemudian dipekatkan sampai 0,1 mL. Konsentrasi 2,7-DCDD ditentukan dengan GC-MS mengikuti kondisi yang dijelaskan oleh Sato et al. (2002). Antrasena digunakan sebagai internal standar. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari isolasi ini diperoleh 370 isolat basidiomisetes, 60 di antaranya menunjukkan aktivitas penghilangan warna senyawa RBBR (Tabel 1). Perbandingan jumlah isolat aktif penghilang warna RBBR terhadap total isolat pada setiap lokasi sampel berkisar dari 6% sampai 38%. Isolat-isolat aktif penghilang warna RBBR diseleksi lebih lanjut menggunakan secondary screening method. Persentase 2,7-DCDD yang tersisa dalam kultur A dan B ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari 60 isolat yang diseleksi menggunakan secondary screening method diperoleh 12 isolat dengan kemampuan degradasi dioksin. Sebagian besar isolat ini menunjukkan laju recovery 2,7-DCDD yang mirip untuk kedua perlakuan Tabel 1. Aktivitas penghilangan warna RBBR oleh isolat basidiomisetes Lokasi peng-ambilan sampel Sumatera Barat Jawa Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Bali Lombok Total
Jumlah isolat basidiomisetes isolat isolat persentase dikoleksi aktif isolat aktif 62 15 24% 34 2 6% 71 6 8% 105 11 10% 39 11 28% 26 10 38% 33 5 15% 370
60
16%
57
Aktivitas Ligninolisis dari Basidiomycetes… Nuki Bambang Nugroho
(A dan B). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar isolat hanya memiliki kemampuan kecil dalam mendegradasi dioksin, kecuali isolat KT-BS, KT-BB dan SS-MN. Isolat KT-BS dan KT-BB diisolasi dari sampel asal Bukit Suharto dan Bukit Bangkirai Kalimantan Timur, sedangkan isolat SS-MN berasal dari sampel Malino Sulawesi Selatan. Perbedaan recovery 2,7-DCDD ditunjukkan isolat KT-BS (23%), KT-BB (27%) dan SS-MN (18%). Perbedaan recovery 2,7-DCDD oleh ketiga isolat ini menunjukkan kemampuan degradasi dioksin yang nyata. Kemampuan ketiga isolat pendegradasi dioksin ini lebih besar dibandingkan galur pendegradasi dioksin, Phanerochaete sordida YK-624 (5%) (Sato et al. 2002).
Tabel 2. Recovery 2,7-DCDD dari kultur inkubasi 15 hari dan 1 hari (kontrol) Recovery 2,7-DCDD Isolat SB-7 SB-13 JB-17 KT-BS KT-BB2 SS-MN SU-12 SU25 BL-11 BL-18 LB-18 LB-24 YK-624*
inkubasi 15 hari (A)
inkubasi 1 hari = kontrol (B)
perbedaan (B-A)
100% 88% 78% 76% 64% 82% 75% 67% 71% 56% 39% 38%
98% 92% 79% 99% 91% 100% 76% 73% 69% 66% 39% 30%
-2% 3% 2% 23% 27% 18% 1% 6% -2% 10% 0% -8% 5%
*data dari Sato et al. (2002)
Gambar 1. Seleksi lanjutan (secondary screening method)
58
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
Gambar 2. Recovery 2,7-DCDD dari kultur inkubasi 15 hari dan 1 hari (kontrol)
KESIMPULAN Metode dye-decolorization dapat digunakan pada seleksi basidiomisetes pendegradasi dioksin. Seleksi dengan metode dye-decolorization menunjukkan 60 isolat basidiomisetes yang menunjukkan aktivitas sebagai pendegradasi dioksin. Seleksi lanjutan dengan metode perbandingan degradasi dioksin pada kultur lima belas hari dengan kontrol menunjukkan ada 3 isolat yang menunjukkan aktivitas degradasi dioksin yang nyata. DAFTAR PUSTAKA Buckley KF & DW Dobson (1998) Extracellular ligninolytic enzyme production and polymeric dye decolorization in immobilized cultures of Chrysosporium lignorum CL1. Biotechnol Lett 20(3):301-306. Bui HB, LT Nguyen, LD Dang (2012) Biodegradation of Phenol by Native Bacteria Isolated From Dioxin Contaminated Soils. J Bioremed Biodeg 3(11):1-6. doi:10.4172/21556199.1000168. Field JA, E de Jong, G Feijoo-Costa, de Bont JAM (1993) Screening for ligninolytic fungi applicable to the biodegradation of xenobiotics. Trends Biotechnol 11(2):44-49. Field JA & R Sierra-Alvarez (2008) Microbial transformation and degradation of polychlorinated biphenyls. Environ
Pollut 155(1):1-12. Glenn JK & MH Gold (1983) Decolorization of several polymeric dyes by the lignindegrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbiol 45(6):1741-1747. Ollikka P, K Alhonmäki, V Leppänen, T Glumoff, T Raijola, I Suominen (1993) Decolorization of azo, triphenyl methane, heterocyclic, and polymeric dyes by lignin peroxidase isoenzymes from Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbiol 59(12):40104016. Kamei I & R Kondo (2005) Biotransformation of dichloro-, trichloro-, and tetrachlorodibenzo-p-dioxin by the white-rot fungus Phlebia lindtneri. Appl Microbiol Biotechnol 68(4):560-566. Mori T & R Kondo (2002a) Degradation of 2,7-dichlorodibenzo-p-dioxin by woodrotting fungi, screened by dioxin degrading ability. FEMS Microbiol Lett 213(1):127-131. Mori T & R Kondo (2002b) Oxidation of chlorinated dibenzo-p-dioxin and dibenzofuran by white-rot fungus, Phlebia lindtneri. FEMS Microbiol Lett 216(2):223-227. Mori T & R Kondo (2002c) Oxidation of dibenzop-dioxin, dibenzofuran, biphenyl, and diphenyl ether by the white-rot fungus Phlebia lindtneri. Appl Microbiol Biotechnol 60(1-2):200-205. Pasti MB & DL Crawford (1991) Relationships between the abilities of streptomycetes to decolorize three anthron-type dyes and to degrade lignocellulose. Can J Microbiol 37(12):902-907. Platt MW, Y Hadar, I Chet (1985) The decolorization of the polymeric dye Poly-Blue (polyvinalamine sulfonateanthroquinone) by lignin degrading fungi. Appl Microbiol Biotechnol 21(6):394-396. Sakaki T & E Munetsuna (2010) Enzyme systems for biodegradation of polychlorinated dibenzo-p-dioxins. Appl Microbiol Biotechnol 88(1):23-30. Sato A, T Watanabe, Y Watanabe, K Harazono, T Fukatsu (2002) Screening for basidiomycetous fungi capable of degrading 2,7-dichlorodibenzo-p-dioxin. FEMS Microbiol Lett 213(2):213-217.
59
Aktivitas Ligninolisis dari Basidiomycetes… Nuki Bambang Nugroho
Takada S, M Nakamura, T Matsueda, R Kondo, K Sakai (1996) Degradation of polychlorinated dibenzo-p-dioxins and polychlorinated dibenzofurans by the white rot fungus Phanerochaete sordida YK-624. Appl Environ Microbiol 62(12):4323-4328. Tien M & TK Kirk (1988) Lignin peroxidase of Phanerochaete chrysosporium YK-624. Methods Enzymol 161:238-249. Urbaniak M (2013) Biodegradation of PCDDs/PCDFs and PCBs. Di dalam: R
60
Chamy and F Rosenkranz (Ed.) (2013) Biodegradation-Engineering and Technology, Intech Publisher. Valli K, H Wariishi, MH Gold (1992) Degradation of 2,7-dichlorodibenzo-pdioxin by the lignin-degrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. J Bacteriol 174(7):2131-2137. Wittich RM (1998) Degradation of dioxin-like compounds by microorganisms. App Microbiol Biotechnol 49(5):489-499.
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
PENICILLIN PRODUCTION BY MUTANT OF Penicillium chrysogenum Produksi Penisilin oleh Mutan Penicillium chrysogenum Dudi Hardianto*, Suyanto, Erwahyuni E Prabandari, Lira Windriawati, Edy Marwanta, Tarwadi Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penisilin adalah antibiotika yang pertama kali ditemukan dan digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Sejak ditemukan penisilin sebagai antibiotika oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, banyak usaha dilakukan untuk meningkatkan produktivitas Penicillium chrysogenum. Pemuliaan galur untuk meningkatkan produksi penisilin dapat menggunakan mutasi acak secara fisika dan kimia. Pada penelitian ini, radiasi sinar ultraviolet digunakan untuk mendapatkan mutan P. chrysogenum. Produksi penisilin ditentukan menggunakan HPLC dan produktivitas mutan dibandingkan dengan induk P. chrysogenum. Mutan M12 menghasilkan penisilin 1,23 kali lebih banyak dibandingkan dengan induk P. chrysogenum. Kata Kunci: Penisilin, Penicillium chrysogenum, ultraviolet, mutan, radiasi ABSTRACT Penicillin is the first antibiotic discovered and used for treatment of bacterial infections. Since the discovery of penicillin as antibiotic by Alexander Fleming in 1928, much effort has been invested to improve productivity of Penicillium chrysogenum. Strain improvement to increase the penicillin production can be carried out by physical and chemical random mutation. In this research, ultraviolet irradiation was used to obtain P. chrysogenum mutant. Penicillin production was determined by using HPLC and productivity of P. chrysogenum mutants was compared to the wild type. Mutant M12 produced 1.23 fold higher penicillin than the wild type did. Keywords: Penicillin, Penicillium chrysogenum, ultraviolet, mutant, radiation
61
Penicillin Production by Mutant… Dudi Harianto et al.
INTRODUCTION Penicillin is the first antibiotic discovered and used for treatment of bacterial infections. The structure of βlactam penicillin consists of a bicyclic nucleus formed by a β-lactam ring and a thiazolidine ring containing a sulfur atom and an acyl side chain bound to the amino group present at C-6 (Liras & Martin 2006). Although some bacteria are resistant to penicillin, this antibiotic is still widely used today. Penicillin is used in treatment of many gram-positive bacterial infections, such as Staphylococcus pyogenes (strep throat) and Streptococcus pneumoniae (respiratory tract infection, otitis media) (Christensen et al. 2000; Rayamajhi et al. 2000). Bacterial cell wall synthesis is inhibited by penicillin. Penicillin binds to the enzyme transpeptidase that link the peptidoglycan molecules in bacterial cell wall. Penicillin industrially is produced by the filamentous fungus Penicillium chrysogenum and commercial production of penicillin began in 1941 (Newbert et al. 1997). The production of penicillin by the submerged fed-batch fermentation in stainless tank reactors of 30,000-100,000 galon capacity is important for several decades (Elander 2003) and optimization of penicillin production is very important for the penicillin companies (Thykaer & Nielsen 2003). Since the discovery of the production of antibiotics by Alexander Fleming in 1929, much effort has been invested in selection and synthesis of strains with improved productivity (Harris et al. 2009). Classical strain improvement with random mutation and screening has been used to obtain overproducing strains. The UV irradiation is the one of techniques for strain improvement and its technique is very effective for mutation because the bases DNA absorb the UV irradiation. The effect of the absorbed UV irradiation is the formation of thymine dimers and cross links in the same strand (Parekh et al. 2000). Mutants are unstable, mutagenic events are random and do not necessarily affect only the genes involved in antibiotic synthesis. Reisolation of mutants, since prolonged
62
storage of high producing strains is needed to know stability of mutants. The increase in penicillin fermentation productivity and high recovery yield (>90%) has led to significant cost reduction fispite increasing labor, energy, and raw materials costs. In 1953, the bulk cost for penicillin production was ~$300/kg. In 1980, the bulk price for penicillin was ~$35/kg. In the late 1990s, bulk penicillin cost ranged from $10 to 20/kg and bulk marketed costs for 6-APA have been estimated to range from $ 35 to 40/kg (Elander 2000). The aim of this research was obtained P. chrysogenum mutant that produces higher amount of penicillin than wild type. MATERIALS AND METHODS
Microorganism Strain of P. chrysogenum in this study was obtained from Biotech Center Culture Collection, Agency for the Assessment and Application of Technology. Mutation by UV Irradiation Czapek Dox Agar was used to select P. chrysogenum mutants. A conidial from 10 days old culture of P. chrysogenum was suspended in striled water and ajusted to about 10 3 conidia/mL. Conidial suspension was irradiated by short wave UV irradiation of 254 nm and the time of irradiated variated from 5-30 minutes with interval 5 minutes. 50 µL conidial suspension of the growth of P. chrysogenum mutants were inoculated, spreaded into Czapek Dox Agar plates, and the inoculated plates were incubated for 10 days at 28 oC. Isolation and Selection Mutants After 10 days, mutant colonies were separated by inoculation each mutant colony on Czapek Dox Agar plates. The inoculated plates were incubated for 10 days at 28 oC. Production of Penicillin One of mutants colony was inoculated in seed medium (6.1% corn steep liquor, 2.0 % sucrose, 0.5% CaCO3) and incubated in shaker for 36 hours at 28oC. Ten percent
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
suspension of inoculum was inoculated in fermentation medium (4.2% corn step liquor, 13% lactose, 0.40% KH2PO4, (NH4)SO4·7H2O 0.45%, 0.15% Na2SO4, 0.1% CaCO3 pH 5.9) and incubated in shaker for 10 days at 28oC. Analysis of Penicillin Broth of fermentation was centrifugated at 15000 g, and supernatant was filtered through filter 0.45 µm. 10 µL sample was injected to HPLC mechine from Waters with C18 column (Symmetry), mobile phase: 5 mM KH2PO4 and 6 mM H3PO4 : Acetonitrile (60 : 40), flow rate 1.0 mL/min, and ultraviolet detector λmax: 210 nm.
In P. chrysogenum the biosynthesis of penicillin and lysine have several steps in common (Figure 2). It should be possible to increase penicillin production by the disrupsion of lys2 gene (Casqueiro et al. 1999). The poor result of penicillin of mutants may be caused by mutation in penicillin biosynthesis genes. The mutation of biosynthesis of penicillin gene may cause decrease enzymes activity for penicillin production. Table 1. Penicillin production of mutants
P. chrysogenum
Concentration of Penicillin (ppm)
Wild type
3711
M1
2534
M2
3193
M3
2674
M4
2068
M5
2482
M6
2638
M7
3193
M8
2859
M9
2650
M10
1635
M11
2087
M12
4594
M13
3067
M14
2548
M15
4404
M16
4216
M17
3663
M18
4138
M19
4272
RESULTS AND DISCUSSION
The survivals of P. chrysogenum mutants were selected and tested for penicillin production. Penicillin yield of Mutants varied from 1635 to 4594 ppm. Mutant M12 produced 1.23 fold (4594 ppm) compared to wild type (3305 ppm) (Table 1.). The hyperproduction of mutant may be caused mutation of one or more biosynthesis of penicillin gene or the disrupsion of the lys2 gene (gene for lysine biosynthesis). The mutation of biosynthesis of penicillin gene may increase enzymes activity for penicillin production or disruption of the lys2 gene increase aminoadipic acid (precursor for penicillin biosynthesis). 120 Survivals 100
Survivals (%)
80 60 40 20 0 0
5
10 15 20 25 Exposure time (min)
30
35
Figure 1. Effect of UV exposure time on P. chrysogenum and mutants from 50% and above survivals were selected and used for production of penicillin
63
Penicillin Production by Mutant… Dudi Harianto et al.
Figure 2. Biosynthesis pathway of penicillin and lysine in P. chrysogenum (Casqueiro et al. 1999)
CONCLUSION The penicillin yield of mutants varied from 1635 to 4594 ppm and mutant M12 from 30 minutes-irradiated produced 1.23 fold compared to wild type. REFERENCES Casqueiro J, S Guteirrez, O Banuelos, MJ Hijarrubia, JF Martin (1999) Gene targeting in Penicillium chrysogenum: disruption of the lys2 gene leads to penicillin Overproduction. J Bacteriol
64
181(4):1181-1188. Christensen B, J Thykaer, J Nielsen (2000) Metabolic characterization of high- and low-yielding strains of Penicillium chrysogenum. Appl Microbiol Biotechnol 54(2):212-217. Elander RP (2003) Industrial production of βlactam antibiotics. Appl Microbiol Biotechnol 61(5-6):385-392. Harris DM, ZA van der Krogt, P Klaassen, LM Raamsdonk, S Hage, MA van den Berg, RAL Bovenberg, JT Pronk, J Daran (2009) Exploring and dissecting genome-wide gene expression re-
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
sponses of Penicillium chrysogenum to phenylacetic acid consumption and penicillinG production. BMC Genom: 10(1):75. Irum W & T Anjum (2012) Production enhancement of cyclosporin ‘A’ by Aspergillus terreus throug mutation. Afr J Biotechnol 11(7):1736-1743. Liras P & JF Martin (2006) Gene Cluster for β-lactam Antibiotics and Control of Their Expression: Why Have Clusters Evolved, and from Where did They originate? Int Microbiol 9(1):9-19. Newbert RW, B Barton, P Greaves, J Harper, G Turner (1997) Analysis of a commercially improved Penicillium chrysogenum strain series: involvement of recombinogenic regions in
amplification and deletion of the penicillin biosynthesis gene cluster. J Ind Microbiol Biotechnol 19(1):18-27. Parekh S, VA Vinci, RJ Strobel (2000) Improvement of Microbial Strain and Fermentation Processes. Appl Microbiol Biotechnol 54(3):287-301. Ravalat J, T Douki, J Cadet (2001) Direct and Indirect Effect of UV Radiation on DNA and its Components. J Photochemist Photobiol: 63(1-3):88102. Rayamajhi N, SB Cha, HS Yoo (2000) Antibiotics resistances: past, present and future. J Biomed Res 11(2):65-80. Thykaer & J Nielsen (2003) Metabolic engineering of β-lactam production. Metab Eng 5(1):56-69.
65
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
PENENTUAN KOMBINASI MEDIUM TERBAIK GALAKTOSA DAN SUMBER NITROGEN PADA PROSES PRODUKSI ETANOL Determination of The Best Medium of Galactose and Nitrogen Sources on Ethanol Production 1,
2
Rofiq Sunaryanto * & Berti Hariasih Handayani Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Gedung 630 Kawasan PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjajaran. *E-mail:
[email protected] 1
ABSTRACT Ethanol is an important product for biotechnology-based industries. Ethanol can be produced from various raw materials and some types of microbes. Determination of the best combination of galactose with nitrogen sources on ethanol production using Saccharomyces cerevisiae has been done. Combination of galactose at the concentration of 3 g/L and 20 g/L with nitrogen sources (casein, peptone, and urea, each at the concentration of 10g/L) was used to obtain the best composition of fermentation medium. Fermentation was carried out for 60 hours at 30°C, 250 rpm, and working volume of 50 mL in a 250 mL erlenmeyer. The results showed that the galactose concentration of 20 g/L was able to improve the productivity of ethanol and the growth of S. cerevisiae cells. The combination of 20g/L galactose and 10 g/L casein produced the highest ethanol concentration (6% v/v), whereas 20 g/L galactose-10 g/L peptone and 20 g/L galactose-10 g/L urea combinations produced 2.5% and 0.58% (v/v) ethanol, respectively. The use of 3 g/L galactose mixed with several nitrogen sources produced ethanol below 0.7% (v/v). Keywords: Ethanol, galactose, peptone, casein, Saccharomyces cerevisiae ABSTRAK Etanol merupakan salah satu produk penting bagi industri yang berbasis bioteknologi. Etanol dapat dihasilkan dari berbagai macam bahan baku dan beberapa jenis mikroba. Penentuan kombinasi terbaik antara galaktosa dengan sumber nitrogen pada produksi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae telah dilakukan. Konsentrasi galaktosa 3 g/L dan galaktosa 20 g/L yang dikombinasikan dengan sumber nitrogen dengan konsentrasi 10 g/L dalam hal ini kasein, pepton, dan urea digunakan sebagai perlakuan untuk mendapatkan kombinasi medium sumber karbon dan sumber nitrogen terbaik. Fermentasi untuk menghasilkan etanol dilakukan selama 60 jam pada suhu 30°C, agitasi 250 rpm dengan volume kerja 50 mL dalam erlenmeyer 250 mL. Hasil penelitian menunjukkan penambahan galaktosa dengan konsentrasi sampai dengan 20 g/L mampu memperbaiki produktivitas etanol dan pertumbuhan sel S. cerevisiae. Konsentrasi 20 g/L galaktosa dengan 10 g/L kasein menghasilkan produktivitas etanol paling tinggi yaitu 6%(v/v), konsentrasi galaktosa 20 g/L dengan 10 g/L pepton menghasilkan 2,5% (v/v) etanol dan konsentrasi galaktosa 20 g/L dengan 10 g/L urea menghasilkan 0,58%(v/v) etanol. Penggunaan konsentrasi galaktosa 3 g/L yang dikombinasikan dengan beberapa jenis sumber nitrogen menghasilkan etanol dibawah 0,7% (v/v). Kata Kunci: Etanol, galaktosa, pepton, kasein, Saccharomyces cerevisiae
66
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
PENDAHULUAN Formulasi media komposisi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam suatu proses fermentasi, baik fermentasi untuk produksi metabolit primer maupun fermentasi untuk mendapatkan metabolit sekunder. Disamping sebagai media tumbuh biomassa mikroorganisme, media fermentasi juga berperan sebagai media induksi untuk mendapatkan metabolit yang diharapkan secara maksimal (Stanbury 1984; Christi 1999). Dengan demikian komposisi media fermentasi harus menyediakan seluruh komponen senyawa yang dibutuhkan untuk proses metabolisme sel mikroorganisme. Komponen utama yang harus dipenuhi dalam media fermentasi adalah sumber karbon dan sumber nitrogen. Dua komponen ini merupakan komponen utama untuk berlangsungnya metabolisme sel mikroorganisme baik untuk pertumbuhan sel untuk menghasilkan metabolit tertentu. Selain sumber karbon dan sumber nitrogen dalam medium fermentasi juga terkandung elemen kecil (trace element) seperti Fe, Zn, Cu, Mn, Co (Deesuth 2012). Perbandingan jumlah sumber karbon dengan sumber nitrogen (C/N) juga berpengaruh terhadap proses metabolisme sel. Namun demikian dalam pemilihan media komplek, perbandingan komposisi C/N tidak dapat ditentukan dengan tepat. Setiap mikroorganisme memiliki karakteristik tersendiri dalam pemilihan jenis sumber karbon maupun sumber nitrogen (Schnierda et al. 2014). Sumber karbon dan nitrogen yang dibutuhkan untuk metabolisme mikroorganisme di alam biasanya tersedia dalam bentuk senyawa komplek. Yeast mampu menggunakan bermacam-macam senyawa komplek yang tersedia di alam. Hal ini disebabkan adanya enzim yang dapat membantu mendegradasi dan mencerna untuk dimetabolisme oleh sel mikroba (Miranda et al. 2012). Beberapa komponen seperti beet, cane molases telah banyak digunakan untuk media fermentasi produksi etanol (Gendy et al. 2013; Fadel et al. 2013). Molasses banyak mengandung gula seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, dan maltotriosa, serta beberapa mineral, ion logam, asam nukleat, asam amino dalam jumlah yang relatif sedikit. Namun demikian untuk
keperluan penelitian terutama untuk mengetahui pengaruh sumber karbon atau nitrogen maka perlu digunakan media definitif untuk memudahkan pengamatan. Pada proses fermentasi khususnya produksi etanol, penambahan glukosa yang terlalu besar justru akan menurunkan produktivitas etanol atau biasa disebut katabolit represi (Arshad et al. 2014). Pada katabolit represi ini metabolisme sel akan menggunakan gula sederhana seperti glukosa yang mudah dicerna terlebih dahulu, selanjutnya menghidrolisis gula rantai yang lebih panjang. Untuk menghidrolisis gula rantai panjang dibutuhkan beberapa enzim guna membantu proses pencernaan. Adanya glukosa berlebih maka tidak dibutuhkan lagi enzim untuk degradasi gula. Salah satu alternatif sumber karbon yang dapat digunakan untuk produksi etanol yang dapat mencegah terjadinya katabolit represi adalah sumber karbon galaktosa. Menurut Duvnjak et al. (1987) penggunaan galaktosa sebagai sumber karbon untuk produksi etanol memberikan rendemen pertumbuhan sel yang paling kecil dibandingkan dengan sumber karbon lainnya seperti glukosa dan laktosa namun demikian galaktosa menunjukkan produktivitas etanol yang paling tinggi dibandingkan sumber karbon lainnnya. Menurut Kim et al. (2014) penggunakan galaktosa sebagai sumber karbon untuk produksi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae mampu memperbaiki produktivitas etanol. Konsentrasi galaktosa 20g/L merupakan konsentrasi paling optimum untuk produksi etanol. Nitrogen merupakan salah satu makromolekul di dalam sel mikroorganisme yang memiliki peran yang sangat besar dalam penyusunan struktur sel dan fungsinya (Wang et al. 2012). Mikroorganisme memiliki mekanisme yang mengontrol penyediaan suplai nitrogen secara kontinyu. Menurut Miranda et al. (2012) amonium, asparagin, glutamin, dan glutamat dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada media pertumbuhan yeast. Seperti halnya gula, sumber nitrogen juga mengalami mekanisme katabolit represi. Pada saat sumber nitrogen primer tidak ada maka sumber nitrogen yang lain seperti nitrit, nitrat, amida, dan asam amino maupun peptida akan digunakan. Penggunaan sumber nitrogen sekunder memerlukan enzim spesifik dalam
67
Penentuan Kombinasi Medium… Rofiq Sunaryanto et al.
Preparasi Inokulum Galur yang digunakan dalam studi ini adalah S. cerevisiae yang merupakan kultur koleksi Laboratorium Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT. Inokulum disiapkan dengan mensuspensikan S. cerevisiae dari agar miring ke dalam medium perbanyakan sel dengan komposisi pepton 3 g/L, yeast extract 3 g/L, KH2PO4 1 mg/L, malt extract 3 g/L, glukosa 5 g/L, dan sukrosa 5 g/L. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30°C selama 15 jam dengan pH awal sebesar 6,2. Kultur perbanyakan sel diperoleh minimal 5x106 sel/mL. Inokulum siap ditransfer ke medium fermentasi etanol. Media dan Proses Fermentasi Media fermentasi yang digunakan meliputi media dasar dengan komposisi glukosa 5 g/L, yeast extract 1,7 g/L, KH2PO4 1 mg/L, MgSO4 5 mg/L, dan media perlakuan yaitu galaktosa dengan dua variasi perlakuan konsentrasi yaitu 3 g/L dan 20 g/L, yang dikombinasikan dengan perlakuan penambahan sumber nitrogen 10 g/L dimana ada 3 jenis sumber nitrogen yang digunakan yaitu kasein, urea, dan pepton. Larutan gula disterilisasi secara terpisah dengan media lain dan dicampurkan kembali sebelum inokulasi dilakukan. pH awal medium diatur sebesar 6,2. Selanjutnya inokulum yang telah disiapkan sebelumnya diinokulasikan ke dalam media fermentatif sebanyak 3% (v/v) dan diinkubasi dalam inkubator shaker pada suhu 30°C kecepatan pengadukan 250 rpm. Fermentasi dilakukan selama 60 jam dan dilakukan pengambilan sampel setiap 6 jam
68
HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentasi dilakukan dengan variasi konsentrasi galaktosa dan variasi jenis sumber nitrogen. Hasil fermentasi menggunakan konsentrasi galaktosa 3 g/L dan kasein 10 g/L sebagai sumber nitrogen disajikan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat bahwa produksi etanol berasosiasi dengan pertumbuhan biomassa sampai jam ke-30. Konsentrasi etanol dan biomassa secara terus bertambah secara simultan, dilain pihak konsentrasi gula terus berkurang. Setelah jam ke-30 terjadi penurunan konsentrasi etanol secara tajam. Konsentrasi gula menjadi minimum, pertumbuhan biomassa juga berhenti atau stasioner. Turunnya konsentrasi etanol diduga karena digunakannya etanol untuk proses metabolisme sel, terlihat pada jam yang sama konsentrasi gula mencapai kondisi minimum. Karena tidak adanya sumber karbon yang siap dimetabolisme seperti halnya glukosa atau galaktosa maka sel berusaha mendegradasi sumber karbon lainnya dalam hal ini etanol. Pada saat konsentrasi gula minimum pertumbuhan biomassa juga mengalami penurunan namun demikian viabilitas sel masih tetap tidak berubah. 100
1
80
0,8
60
0,6
40
0,4
20
0,2
0
etanol (%), biomassa (mg/ml) x 10
BAHAN DAN METODE
sekali. Fermentasi dilakukan dalam flask 250 mL dengan volumer kerja 50 mL.
gula (%), Viabilitas (%)
penggunaanya (Magasanik & Kaiser 2002). Menurut Fernandez et al. (2012) enzim nitrat reduktase mempengaruhi konversi nitrat menjadi ion amonium yang direpresi oleh adanya amoniak. Sehingga amoniak atau ion amonium lebih disukai untuk digunakan sebagai sumber nitrogen. Pemilihan sumber nitrogen sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi galaktosa dengan sumber nitrogen (urea, pepton, kasein) terbaik untuk menghasilkan produktivitas etanol tertinggi menggunakan S. cerevisiae.
0 0
10
20 30 Waktu (Jam)
40
50
60
gula(%)
viabilitas(%)
biomassa (mg/ml)x10
etanol (%)
Gambar 1. Pola pertumbuhan dan produksi etanol pada proses fermentasi menggunakan S. cerevisiae dengan media galaktosa 3 g/L dan kasein 10 g/L
0
10
20
30
Waktu (Jam) gula(%) biomassa (mg/ml)x10
40
50
100
60
viabilitas(%) etanol (%)
Gambar 2. Pola pertumbuhan dan produksi etanol pada proses fermentasi menggunakan S. cerevisiae dengan media galaktosa 3 g/L dan pepton 10 g/L
Pola yang sama ditunjukkan dalam percobaan menggunakan media sumber karbon galaktosa 3 g/L dan pepton 10 g/L. Hasil fermentasi menggunakan konsentrasi galaktosa 3 g/L dan pepton 10 g/L disajikan pada Gambar 2. Pola pertumbuhan dan produktivitas etanol dengan menggunakan media pepton memiliki pola yang sama dengan media galaktosa dan kasein. Namun demikian pada media pepton kecepatan metabolisme sel untuk mengkonsumsi gula lebih tinggi dibandingkan pada media kasein. Terbukti pada jam ke 24 konsentrasi gula yang tersisa pada media pepton sebesar 10 % dan pada media kasein sebesar 20%. Demikian pula dengan pertumbuhan selnya. Pada jam ke-24 biomassa pada media pepton menunjukkan 7,8 mg/mL dan pada media kasein mencapai 6,1 mg/mL. Namun demikian kecepatan metabolisme dan pertumbuhan biomassa pada media pepton ini tidak dibarengi dengan produksi etanol. Terlihat produktivitas maksimum etanol pada media pepton hanya mencapai 0,6%, dan pada media kasein mencapai 0,7%. Hasil fermentasi menggunakan konsentrasi galaktosa 3 g/L dan urea sebagai sumber nitrogen disajikan pada Gambar 3. Penggunaan urea sebagai sumber nitrogen memberikan produk fermentasi yang rendah dibandingkan dengan pepton dan
0,6
90 0,5
80 70
0,4
60 50
0,3
40 0,2
30 20
0,1
10 0
0 0
10
20 30 Waktu (Jam)
gula(%) biomassa (mg/ml)x10
40
50
60
viabilitas(%) etanol (%)
Gambar 3. Pola pertumbuhan dan produksi etanol pada proses fermentasi menggunakan S. cerevisiae dengan media galaktosa 3 g/L dan urea 10 g/L
kasein. Terlihat pada Gambar 3 pertumbuhan biomassa dan produktivitas etanol lebih kecil dibandingkan pepton dan kasein. Demikian juga dengan viabilitas sel mikroba juga mengalami penurunan dari waktu ke waktu hingga mencapai 50% sampai dengan akhir fermentasi. Dibandingkan dengan media pepton dan kasein kecepatan konsumsi gula dengan media urea masih rendah, hal ini berakibat juga pada pertumbuhan biomassa yang tertinggal. Pada percobaan selanjutnya dilakukan penambahan konsentrasi galaktosa menjadi 20 g/L dengan kombinasi sumber nitrogen seperti dalam perlakuan sebelumnya. Gambar 4 menunjukkan hasil fermentasi menggunakan konsentrasi galaktosa 20 g/L dan kasein 10 g/L. Gambar 4 terlihat bahwa penambahan konsentrasi galaktosa dapat memperbaiki pertumbuhan yeast serta meningkatkan produktivitas etanol. Terlihat produktivitas etanol meningkat menjadi 6% (v/v) dan pertumbuhan biomassa mencapai 15 mg/mL. Jika dibandingkan dengan Gambar 1 konsentrasi galaktosa 3 g/L dengan sumber nitrogen yang sama, produktivitas etanol hanya mencapai 0,7% dan pertumbuhan sel mencapai 8 mg/mL. Penambahan konsentrasi galaktosa 20 g/L terlihat tidak mengakibatkan penurunan kadar etanol seperti yang terjadi pada
69
etanol (%), biomassa (mg/ml)x10
1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
gula (%), Viabilitas (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
etanol (%), biomassa (mg/ml)x10
gula (%), Viabilitas (%)
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
gula(%), viabilitas (%)
90
6
80 70
5
60
4
50 40
3
30
2
20
1
10 0
0 0
10
gula (%) etanol (%)
20 30 40 Waktu (Jam)
50
60
viabilitas (%) biomassa (mg/ml)x10
100
3,0 2,5
80
2,0 60 1,5 40 1,0 20
0,5
0
etanol (%), biomassa (mg/ml)x10
7
gula(%), viabilitas (%)
100
etanol (%), biomassa (mg/ml)x10
Penentuan Kombinasi Medium… Rofiq Sunaryanto et al.
0,0 0
10
gula (%) etanol (%)
20 30 40 Waktu (Jam)
50
60
viabilitas (%) biomassa (mg/ml)x10
Gambar 4. Pola pertumbuhan dan produksi etanol pada proses fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dengan media galaktosa 20 g/L dan kasein 10 g/L
Gambar 5. Pola pertumbuhan dan produksi etanol pada proses fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dengan media galaktosa 20 g/L dan pepton 10 g/L
media galaktosa 3 g/L. Hal ini menunjukkan bahwa proses metabolisme sel sepenuhnya menggunakan gula yang tersedia dalam media dan tidak menghidrolisis etanol yang merupakan produk fermentasi. Terlihat pada akhir fermentasi konsentrasi gula yang masih masih tersisa sebesar 11%. Setelah jam ke-36 kecepatan pertumbuhan biomassa menurun, hal ini disebabkan karena pada fase tersebut sel mulai memasuki fase stasioner, pada saat itu produksi etanol meningkat tajam. Kecepatan konsumsi gula tetap tinggi disebabkan karena adanya konversi gula menjadi etanol. Pola yang sama terjadi pada media galaktosa 20 g/L dengan kombinasi pepton 10 g/L. Gambar 5 menunjukkan hasil fermentasi menggunakan konsentrasi galaktosa 20 g/L dan pepton 10 g/L. Dari Gambar 5. terlihat bahwa produktivitas tertinggi etanol pada fermentasi menggunakan media galaktosa 20 g/L dan pepton 10 g/L mencapai 2,5% (v/v), namun demikian dibandingkan dengan media sumber nitrogen kasein masih terlihat lebih rendah. Dibandingkan dengan media galaktosa 3 g/L dengan sumber nitrogen yang sama (Gambar 2) ternyata media galaktosa 20 g/L masih jauh lebih tinggi. Penambahan konsentrasi galaktosa ini mampu
memperbaiki produktivitas etanol dan pertumbuhan sel. Gambar 5 terlihat tidak terjadi penggunaan etanol sebagai sumber karbon seperti halnya yang terjadi pada Gambar 2. Kecepatan konsumsi gula terlihat lebih lambat jika dibandingkan dengan media kasein, terlihat pada akhir fermentasi konsentrasi gula sisa sebesar 40%. Namun demikian pada akhir fermentasi, pertumbuhan sel dengan media pepton terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan media kasein. Dugaan awal bahwa ada kemungkinan konsumsi gula pada media pepton lebih banyak terkonversi menjadi biomassa jika dibandingkan dengan media kasein, hal ini menunjukkan bahwa media kasein memberikan pengaruh lebih kuat untuk memproduksi etanol dibandingkan dengan media pepton. Berbeda halnya dengan media dengan penambahan konsentrasi galaktosa 20 g/L dengan kombinasi urea 10 g/L. Hasil fermentasi menggunakan konsentrasi galaktosa 20 g/L yang dikombinasikan dengan urea 10 g/L disajikan pada Gambar 6. Pertumbuhan biomassa dan produksi etanol masih tertinggal jauh dibandingkan dengan dua sumber nitrogen lainnya. Viabilitas sel terlihat mengalami penurunan, kecepatan konsumsi gula masih lambat. Terlihat pada akhir fermentasi viabilitas sel sebesar 64% dan konsentrasi gula sisa
70
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
0,8
100 0,6 80 60
0,4
40 0,2 20 0
0 0
10
gula (%) etanol (%)
20 30 40 Waktu (Jam)
50
60
etanol (%), biomassa (mg/ml)x10
gula(%), viabilitas (%)
120
viabilitas (%) biomassa (mg/ml)x10
Gambar 6. Pola pertumbuhan dan produksi etanol pada proses fermentasi menggunakan S. cerevisiae dengan media galaktosa 20 g/L yang dikombinasikan dengan urea10 g/L
sebesar 75%, yang artinya ada sebagian besar gula yang tidak dapat dimetabolisme, sehingga pertumbuhan sel, biomassa, dan viabilitas sel berkurang, yang pada akhirnya produktivitas etanol menjadi berkurang. Namun demikian jika dibandingkan dengan media galaktosa 3 g/L dengan sumber nitrogen yang sama maka masih terjadi sedikit peningkatan. Dari pola pertumbuhan biomassa dan produksi etanol terlihat tidak mengalami kekurangan sumber karbon, justru terjadi keterlambatan metabolisme sel. Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa sumber nitrogen urea kurang baik untuk pertumbuhan S. cerevisiae dan produksi etanol dibandingkan dengan kasein maupun pepton. KESIMPULAN Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; pada konsentrasi galaktosa 20 g/L mampu memperbaiki produktivitas etanol dan pertumbuhan S. cerevisiae. Komposisi media galaktosa 20 g/L yang dikombinasikan dengan kasein 10 g/L menghasilkan produktivitas etanol tertinggi sebesar 6% (v/v). Media dengan konsentrasi galaktosa 20 g/L yang dikombinasikan dengan pepton 10 g/L menghasilkan etanol 2,5% (v/v), dan media
dengan konsentrasi galaktosa 20 g/L dikombinasikan dengan urea 10 g/L menghasilkan etanol 0,58% (v/v). Media dengan konsentrasi galaktosa 3 g/L menunjukkan produktivitas etanol tidak lebih dari 0,7% (v/v). DAFTAR PUSTAKA Arshad M, S Ahmed, MA Zia, MI Rajoka (2014) Kinetics and thermodynamics of ethanol production by Saccharomyces cerevisiae MLD10 using molasses. Appl Biochem Biotechnol 172(5):2455-64. Cristi Y (1999) Fermentation (industrial): Basic considerations. In Encyclopedia of Food Microbiology. Robinson R, Batt C and Patel P, editor, Academic Press. Pp. 663-674. Deesuth O, P Laopaiboon, P Jaisil, L Laopaiboon (2012) Optimization of Nitrogen and Metal Ions Supplementation for Very High Gravity Bioethanol Fermentation from Sweet Sorghum Juice Using an Orthogonal Array Design. Energies 5(9):31783197. Duvnjak Z, C Houle, KL Mok (1987) Production of ethanol and biomass from various carbohydrates by Kluyveromyces fragilis. Biotechnol Lett 9(5):343-6. Fadel M, AA Keera, FE Mouafi, T Kahil (2013) High Level Ethanol from Sugar Cane Molasses by a New Thermotolerant Saccharomyces cerevisiae Strain in Industrial Scale. Biotechnol Res Int 2013:1-6. Fernandez J, JD Wright, D Hartline, C Quispe, N Madayiputhiya, RA Wilson (2012) Principles of Carbon Catabolite Repression in the Rice Blast Fungus: Tps1, Nmr1-3, and a MATE–Family Pump Regulate Glucose Metabolism during Infection. PloS Genet 8(5):e1002673. Gendy NSE, HR Madian, SSA Amr (2013) Design and Optimization of a Process for Sugarcane Molasses Fermentation by Saccharomyces cerevisiae Using Response Surface Methodology. Int J Microbiol 2013:1-9. Kim JH, J Ryu, IY Huh, SK Hong, HA Kang,
71
Penentuan Kombinasi Medium… Rofiq Sunaryanto et al.
YK Chang (2014) Ethanol production from galactose by a newly isolated Saccharomyces cerevisiae KL17. Bioprocess Biosyst Eng 37(9):1871-8. Magasanik B & CA Kaiser (2002) Nitrogen regulation in Saccharomyces cerevisiae. Gene 290(1):1-18. Miranda MJ, JE Oliveira, M Batistote, JR Ernandes (2012) Evaluation of Brazilian ethanol production yeasts for maltose fermentation in media containing structurally complex nitrogen sources. J Inst Brew 118(1):82–88. Schnierda T, FF Bauer, B Divol, E Van
72
Rensburg, JF Gorgens (2014) Optimization of carbon and nitrogen medium components for biomass production using non-Saccharomyces wine yeasts. Lett Appl Microbiol 58(5):478-85. Stanbury PF & A Whitaker (1984) Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. OxfordOX3 OBX. England. Wang K, Z Mao, C Zhang, J Zhang, H Zhang, L Tang (2012) Influence of nitrogen sources on ethanol fermentation in an integrated ethanolmethane fermentation system. Bioresour Technol 120:206-11.
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
THE COMBINATION OF GROWTH HORMONES INCREASED THE IN VITRO SHOOTS MULTIPLICATION ON SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.) Kombinasi Hormon Tumbuh Meningkatkan Perbanyakan Tunas In Vitro pada Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Teuku Tajuddin*, Karyanti, Tati Sukarnih, Nadirman Haska Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pohon sagu (Metroxylon sagu Rottb.) mempunyai banyak keunggulan dibanding dengan tanaman-tanaman penghasil pati lainnya, khususnya karena memiliki produktivitas yang tinggi, tumbuh di area bantaran sungai dan rawa, yang merupakan lingkungan tidak sesuai bagi pertumbuhan tanaman-tanaman lain. Dalam rangka membangun suatu perkebunan sagu di area yang luas, maka sangat dibutuhkan anakan-anakan sagu yang ukurannya seragam dalam jumlah yang besar. Namun demikian, terbatasnya jumlah anakan yang seragam telah menjadi kendala bagi pengembangan perkebunan sagu. Sebagai alternatif, perbanyakan in vitro dengan induksi tunas langsung dilakukan untuk mendapatkan bibit-bibit sagu dengan genotip unggul secara masal. Anakan sagu yang diperoleh dari Propinsi Maluku digunakan sebagai sumber eksplan. Eksplan dikultur pada media MS dan B5 yang mengandung kombinasi hormon auksin dan sitokinin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan BAP 2.0 ppm dan NAA 2.0 ppm menghasilkan jumlah tunas terbanyak. Kata Kunci: Auksin, sitokinin, in vitro, sagu, inisiasi tunas
ABSTRACT Sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) has many advantages over other starch-producing crops especially for its higher yield, ability to grow along riverbanks and on swampy areas not suitable for other crops. With the purpose of establishing large-scale plantations, a large amount of uniform sago palm suckers are required. However, limited availability of uniform suckers has hindered the mass propagation and development of cultivated Sago palm. Alternatively, in vitro cultures were performed in order to obtain a large-scale of mass clonally propagation of superior genotypes of sago palm. The young suckers obtained from areas of Maluku Province were used as explants. In vitro culture was carried out through direct shooting. The explants were cultured on two kinds of media, which were MS and B5 media containing various growth hormones of auxins and cytokinins. The results showed that the treatment with BAP 2.0 ppm and NAA 2.0 ppm produced the highest number of shoots. Keywords: Auxin, cytokinin, in vitro, sago palm, shoot initiation
73
The Combination of Growth Hormones… Teuku Tajuddin et al.
INTRODUCTION Sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) as one of the Indonesian original plants is growing in almost all islands in Indonesia. However natural sago forest in large area (1.2 million hectares or 90%) can be found in Maluku and Papua Provinces (Flach 1997). Sago palm has many advantages over other starch-producing crops especially for its higher yield. The palm grows along riverbanks and in swampy areas which are not suitable for other crops. Sago palm was recognized as the mankind's oldest food plant with the starch contained in the trunk used as a staple food for local people who lives in Southeast Asia (Jong 1995). Its utilization has diversed into various products and materials for industries, such as noodles, snacks, raw materials for beer and glutamate fermentation, and also biodegradable plastics (Okazaki et al. 2005). There are wide genetic diversities of sago palm found in Maluku and Papua areas. The basis of diversities are on types of sago palm, morphology, starch productivity, chemical content and starch harvesting time (Setyabudi & Widyaningtyas 2008). There are two types of sago palm grown in Sentani area, Papua. These are spiny type (Metroxylon rumphii Martius) and spineless type (Metroxylon sagu Rottbol). The spiny types are varied into several kinds, which are known as local name as Para Habou/Para Hundsai, Rondo, Munggin, Pui, Manno, Eubesung, Ruruna and Yaghalobe. While the spineless types are Yepha Hundsai/Yepha Hembokluw/Yepha Ebung, Osoghulu, Follo, Pane, Wanni, Ninggih, Yukulen, Hopolo, Yakhe, Hilli, Fikhela and Henambo. In Seram Island, Maluku, Tuni and Ihur are recognized as a spiny type; whereas Red Molat and White Molat are a spineless type. From those varieties, there are 6 potential types that could be developed as high carbohydrate resource sago palms in future. These are Osoghulu (spineless type) with the starch production of 207.5 kg/tree, Eubesung (spiny type) with 207 kg/tree, Yepha (spineless type) 191.5 kg/tree, Follo (spineless type) 176 kg/tree, Wanni (spineless type) 160.5 kg/tree, and
74
Yaghalobe (spiny type) 155.5 kg/tree. Instead of these six types, there is another type which has specific characteristic. The starch content of this type can be eaten directly without any additional processing. The type is known as Rondo (spiny) with the starch production of 127 kg/tree (Miftahorrachman & Novarianto 2003). Sago palm is propagated generatively by seed and vegetatively by suckers. Seedlings grow into a rosette stage of leaves, and trunk is only formed after 4 – 6 years of planting. Nevertheless, suckers are the most popularly used planting material for establishing sago palms in gardens and plantations. Continuous suckering multiplies the palm, then forming a cluster around the mother palm. With the purpose of establishing large-scale plantations, a large amount of uniform suckers are required. However, limited availability of uniform suckers has hindered the mass propagation and development of cultivated sago palm. One of the vegetative propagation, which is in vitro culture method, is performed in order to avoid above problems, as well as to provide vigor and qualified planting materials. In vitro propagation of sago palm has been conducted by other laboratories (Alang et al. 1991; Hisajima et al. 1991; Tahardi et al. 2002; Sumaryono et al. 2007). Moreover, somatic embryogenesis derived from callus has potential for producing an abundant supply of elite planting materials (Handley 1995; Riyadi et al. 2005; Sumaryono et al. 2012). Unfortunately the somatic embryos obtained were heterogeneous with different size, colors and developmental stage (Kasi & Sumaryono 2006). Moreover, the in vitro propagation of sago palm has encountered some difficulties. Such difficulties are including weak, slow growing, low survival rate (Sumaryono et al. 2009) and browning on the tissue which end up with dying of explants. The purposes of our study were to solve the browning problem on explants and develop the propagation system of sago palm via in vitro culture through direct shoots derived from suckers as explants sources. Additionally to develop the base medium for initiation, multiplication, and elongation on sago palm with high survival rate when planting in the field.
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
MATERIALS AND METHODS
Multiplication Media a. Experiment 1
Plant Materials and Culture Conditions Research activity was performed in Plant Tissue Culture Laboratory, Biotech Center which is located in PUSPIPTEK Area Serpong, South Tangerang, Banten. For the purpose of in vitro propagation, samples of sago suckers, as long as 7 – 10 cm, were taken from Seram Island, Maluku Province. The sucker sterilization was conducted as described by Tajuddin et al. (2014). The culture conditions of sago palm in vitro propagation were shown in Table 1.
The purpose of this experiment was to obtain an optimal medium inducing the highest multiplication rate of sago shoots. The shoots grow directly from explant, which was from buds at the base of stem or from leaves, as adventitious shoots. There were two factors used as treatments for a low concentration of growth hormones combinations, i.e. growth hormone of cytokinin (BAP) at the concentration of 0, 0.5, 1.0 and 2.0 ppm, and auxin (NAA) at the concentration of 0, 1 and 2 ppm. The basic medium was B5, while the explants used were shoots derived from young suckers. For a high concentration of growth hormone combinations, BAP concentrations were 3, 5, 10 ppm, whereas NAA were 3 and 4 ppm. All treatments were repeated for 44 times. Observation was carried out for every four weeks on the percentage of culture growth, the growth of leaves, shoots initiation and the growth of plantlets.
Table 1. Culture conditions
Medium - Basal component: - MS (Murashige and Skoog 1962) - B5 (Gamborg et al. 1976) - Sugar: 30 g/L - Solidifying Agent: 8 g agar/L - pH: 5.8 before autoclaving - Volume: 10 mL/tube Culture Room o
- Air temperature: 26 ± 2 C - Light intensity: 1.500 – 2.000 Lux - Light source: cool-white fluorescent lamp 40 watt - Photoperiod: 12 hours/day
Preliminary Experiment This experiment was accomplished in order to choose the initiation media for sago explants. In this experiment, the basic medium used was B5 with the addition of growth hormone combinations of BAP (Benzyl Amino Purine) (0.1 and 0.5 ppm) and NAA (Naphthalene Acetic Acid) (0.5 and 1.0 ppm). The first observation was carried out at 10 days after planting on the percentage of sterile culture. Then the subsequent observation was done every month on the growth response. The treatments repetition was 44 times.
b. Experiment 2 Similar to the first experiment, the purpose of this treatment was to obtain an optimal medium inducing for the highest multiplication rate of sago shoots. Two treatments were conducted on kinds of cytokinins, which were BAP and Kinetin. The concentrations of both growth hormones were 5, 10, 15, 20, 25 and 30 ppm. The explants used were derived from preliminary experiment after culturing for 10 days. The explants were cut at the basal end in order to increase the surface layer which contact to the medium. Variables were observed on the fifth week after culture over the tissue response and development, changing of color and condition. All treatments were repeated for 7 times.
Sub Culturing Sub culturing was carried out in order to transfer the culture into a fresh media. The problem arose when explants were sub cultured into the media with the same composition. Most of sub cultured explants were browning and died. In order to reduce this problem, the experiment was conducted on the sub culture media. The purpose of the treatment was to decrease the auxin concentrations. In this experiment, the basic
75
The Combination of Growth Hormones… Teuku Tajuddin et al.
Table
2.
Response of the growth hormone combination of BAP and NAA in producing shoots on sago explants after 12 weeks incubation
Hormone Combination BAP 0.1 – NAA 0.5
Explant with Shoots
% Shoot
4/44
9%
BAP 0.1 – NAA 1.0
9/44
20%
BAP 0.5 – NAA 0.5
20/44
45%
BAP 0.5 – NAA 1.0
21/44
47%
Table 3. The effect of multiplication medium with low concentration of hormones BAP (ppm)
NAA (ppm) 0
1
2
0
18.2% (8/44)
4.5% (2/44)
15.9% (7/44)
0.5
27.3% (12/44)
9.1% (4/44)
31.8% (14/44)
1.0
15.9% (7/44)
15.9% (7/44)
40.9% (18/44)
2.0
29.5% (13/44)
18.1% (8/44)
40.9% (18/44)
Figure 1. The sago explants development and producing shoot
Figure 2. The shoots initiation on BAP 2 ppm + NAA 2 ppm treatment
media employed were MS, B5 and MS modified. The hormones used were NAA, IBA and IAA (Indole-3-Acetic Acid), with the concentration applied was 0.02 and 0.2 ppm, for each hormone. The explants utilized in this trial were derived from previous experiment. Some of the explants were already producing shoots. Observation was made on the number and percentage of survival explants, and their conditions (color and freshness). Treatment repetition was set for 5 times.
produced low percentage of shoot. After 4 to 5 weeks of culture, the white tissue of explant was slowly changed in color into greenish red (Figure 1). Then the apical tissue was breaking and new shoots sprouted out from the inside after incubation for 6 to 8 weeks. Well developed shoot was being sub cultured into fresh media at 12 weeks of culture. This experiment revealed that the shoots were successfully induced on sago explants after more than 3 months in culture room.
RESULTS AND DISCUSSION Preliminary Experiment
Multiplication Media a. Experiment 1
The purpose of the preliminary experiment was to estimate the amount of growth hormones required for sago culture in vitro. The culture media used was chosen that normally applied for palm trees, while the growth hormones are those for common used in tissue culture media and cheaper in prices, i.e. BAP and NAA. The results are displayed in Table 2. It showed that the combination of BAP 0.5 ppm with NAA 0.5 or 1.0 ppm gave higher percentage of shooting. On the other hand, the treatments of lower BAP (0.1 ppm)
In the multiplication media, low concentration of growth hormones combination was used. The results of multiplication medium on the growth of shoots are exhibited in Table 3. The data were obtained after the culture was maintained for 3 month in the culture room. It showed that the treatment of BAP 1.0 or 2.0 ppm combined with NAA 2.0 ppm produced the highest number of shoots (18 shoots or 40.9%) compared to other treatments. The lowest number of shoots was found in the medium of BAP 0 ppm and NAA 1.0 ppm, which was 2
76
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
Table 4. The effect of multiplication medium with higher concentration of hormones NAA (ppm)
BAP (ppm)
3
4
3
11.4% (5/44)
15.9% (7/44)
5
9.1% (4/44)
9.1% (4/44)
10
4.5% (2/44)
15.9% (7/44)
Table 5. Effect of higher concentration of growth hormones on sago explants after 3 months Growth Hormone
Explant with Shoot
Explant without Shoot
Browning & Died
BAP 5
57.1% (4/7)
42.9% (3/7)
0
BAP 10
0
42.9% (3/7)
57.1% (4/7)
BAP 15
0
28.6% (2/7)
71.4% (5/7)
BAP 20
0
28.6% (2/7)
71.4% (5/7)
BAP 25
0
14.3% (1/7)
85.7% (6/7)
BAP 30
0
14.3% (1/7)
85.7% (6/7)
Kinetin 5
0
100% (7/7)
0
Kinetin 10
0
100% (7/7)
0
Kinetin 15
-
100% (7/7)
-
Kinetin 20
-
100% (7/7)
-
Kinetin 25
-
-
100% (7/7)
Kinetin 30
-
14.3% (1/7)
85.7% (6/7)
Figure 3. Shoot was developed on sago explants on BAP 3 ppm + NAA 4 ppm treatment
shoots or 4.5%. It shows in Table 3 that the highest the concentration of hormone level, the highest the number of shoot obtained. Figure 2 displays the shoot formation on sago explants after treated with BAP 2 ppm and NAA 2 ppm. The results obtained from this experiment had given an idea to increase the concentration of hormone level. Higher concentration of growth hormone in the multiplication media also influenced the formation of shoots (Table 4). The experiment was conducted for six months. It needed more than 4 months for the culture to induce shoots (Figure 3). Nevertheless, the results demonstrated some variation on shoot number. There was no significant difference on the number of shoots. The treatment of BAP 3 ppm + NAA 4 ppm has the same number of shoots with BAP 10 ppm + NAA 4 ppm. While at NAA 3 ppm, increasing the concentration of BAP reduced the number of shoot drastically. It seems that higher concentration of BAP had
negative effect to the number of shoots of sago. b. Experiment 2 High concentration of cytokinins (BAP and Kinetin), were used for shoots induction on sago explants. The consequence of high concentration of growth hormone however may increase the vitrification on some kind of plants, especially horticulture plants (Yusnita 2004), so the color of explants can be changed to transparantly white. Nevertheless, such a case was not appeared to sago explants in our study. They did not show any vitrification under higher level of growth hormones. The results were showed in Table 5 below. It revealed that treatment of BAP 5 ppm gave rise to better results. From 7 explants treated with BAP 5 ppm, 4 explants showed positive response. It has swollen structure at the basal end, with many small shoot-like structure emerged from inside.
77
The Combination of Growth Hormones… Teuku Tajuddin et al.
Figure 4. Positive response on explants induced with BAP 5 ppm
Since the experiment was still 3 months old, it may need more time to see whether these structures may transform to shoot or other organs. On other treatments, there were no significant responses confirmed, and some of the explants turn to yellowish brown in color and then died. These results verified that BAP at the concentration of 5 ppm induced shoots and maintained the freshness of explants (Figure 4). Another finding showed that different explants on BAP 5 ppm treatment exhibited different structures. Their responses probably depend on physiological or autogenetic property of the explants (Yusnita 2004), as it may develop into callus, rooting or multiplication shoots as expected. Above that concentration (BAP 10 ppm or over), the explants became brownish in color and died. For the growth hormone of kinetin, up to the concentration of 20 ppm, it still maintained the freshness of the explants during 3 months of incubation; even no shoot initiation was obtained. Above that concentration, it displayed that the explants changed to yellowish brown in color, dried and died. Sub Culturing After culturing the explants in the tube and keeping it in culture room for 2 to 3 months, the medium used would be dried out, and all of the nutrition inside the medium would be absorbed by cell or tissue. In such case, the explants should be transferred into new media to maintain the growth with full support for nutrition. This process in plant tissue culture is known as sub culture. For sago explants, the problems arise after sub culturing. Almost all explants or shoots become yellowing in color 78
Figure 5. Sago shoots freshness were maintained after sub culturing into media with lowering auxin concentration
and died after sub culturing was completed into the media with the same composition. It subsequently revealed that it should be transferred into media with lowering auxin concentration. In this experiment, three kinds of auxin (NAA, IBA and IAA) with concentration of 0.02 and 0.2 ppm were added into three different basic media (MS, B5 and the modified MS). It showed that all treatments gave the same outcome. The percentage of shoots reached 100% for all parameters (the results not shown). The growth of shoots could be maintained steadily up to the end of experiment period (for 6 months) with fresh tissues and green in color (Figure 5). This confirms that lowering the auxin content is better for sub culturing the sago shoots, regardless of kinds of media used previously. Since the B5 medium had already been used for initiation and multiplication, hence for sub culturing the B5 medium was also used. CONCLUSION From our research activities it can be concluded that the number of shoots tends to increase with increasing the concentration of growth hormone cytokinins up to middle level. The combination of BAP 0.5 ppm with NAA 0.5 and 1.0 ppm resulted in higher percentage of shoot. The combination of growth hormone BAP 2 ppm and NAA 2 ppm produced the highest number of shoots (18 shoots or 40.9%). Conversely, at higher concentration of hormone in multiplication medium, increasing the concentration of BAP had negative effect, which reduced the number of shoots and turned the
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
explants to browning, and then died. While BAP 5 ppm induced shoots and maintained the freshness of explants. Almost all explants or shoots become yellowing in color and died after the sub culturing was done into fresh media with the same composition. Lowering the auxin content is better for sub culturing the sago shoots, regardless of kinds of media used before. ACKNOWLEDGMENTS This work was supported by research collaboration between PT Sampoerna Bio Energi and Biotech Center BPPT on the Establishment of Tissue Culture System of Sago Palm. REFERENCES Alang ZC, B Krishnapillay, SF Pilus, S Hisajima (1991) Embryo culture and nursery establishment of sago palm (Metroxylon spp.) plantlets. Proceedings of the Fourth International Sago Symposium, August 6-9, 1990, Kuching, Serawak, Malaysia. Flach M (1997) Sago Palm, Metroxylon sagu Rottb. Promoting the Conservation and use of Underutilized and Neglected Crops, 13. International Plant Genetic Resource Institute (IPGRI) Italy and IPK Germany, 71pp. Gamborg OL, T Murashige, TA Thorpe, IK Vasil (1976) Plant tissue cultura media. In Vitro 12:473-478. Handley LW (1995) Future uses of somatic embryogenesis in woody plantation species. In:S. Jain (ed) Somatic Embryogenesis in Woody Plants Vol 1:415-434. Hisajima S, FS Jong, Y Arai, ES Sim (1991) Propagation and breeding of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) plant in vitro:1. Embryo culture and induction of multiple shoots from sago embryos in vitro. Jap J Trop Agric 35(4):259-267. Jong FS (1995) Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. PhD Thesis, Wageningen University 139pp. Kasi PD & Sumaryono (2006) Keragaman morfologi selama perkembangan embrio somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb). Menara Perkebunan 74(1):44-52.
Miftahorrachman & H Novarianto (2003) Jenisjenis sagu potensial di Sentani Irian Jaya. Dalam Prosiding Seminar Ketahanan Pangan. Manado 6 Oktober 2003. Murashige T & F Skoog (1962) A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15(3):473-497. Okazaki M, S Tadenuma, M Ohmi (2005) Diverse utilization and industrial development of sago biomass. Proceeding Abstract p 2. In YP Karafir, VE Fere and Y Toyoda (Eds). The Eight International Sago Symposium, August 4-6, 2005, Manokwari. The Japan Society for Promotion of Science. Riyadi I, JS Tahardi, Sumaryono (2005) The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) on solid media. Menara Perkebunan 73(2):35-43. Setyabudi A & N Widyaningtyas (2008) Sagu (Metroxylon spp.) sebagai Sumber Energi Bioetanol Potensial. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Sumaryono, I Riyadi, PD Kasi (2007) Perbanyakan klonal tanaman sagu unggul melalui kultur jaringan. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. Pusat Litbang Perkebunan, Batam 25-26 Juli 2007. Sumaryono, I Riyadi, PD Kasi (2009) Clonal propagation of sago palm (Metroxylon sagu Rottb) through tissue culture. J Appl Ind Biotechnol Trop Reg 2(1):1-4. Sumaryono, W Muslihatin, D Ratnadewi (2012) Effect of carbohydrate source on growth and performance of in vitro sago palm (Metroxylon sagu Rottb) plantlets. Hayati J Biosci 19(2):88-92. Tahardi JS, NF Sianipar, I Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). In:K Kaimuna, M Okazaki, Y Toyoda, JE Cecil (eds) New Frontiers of Sago Palm Studies p75-81. Universal Academic Press, Inc. Tokyo, Japan. Tajuddin T, Karyanti, T Sukarnih, N Haska (2014) A revised method for sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) sucker explants sterilization to support the in vitro propagation. J Biotek Bios Indon 1(1):21-26. Yusnita (2004) Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta.
79
VOLUME 2 NOMOR 1 JUNI 2015
ISSN 2442 - 2606
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA Homepage: http://ejurnal.bppt.go.id
PRELIMINARY CYTOTOXIC EVALUATION OF Andrographis paniculata IN BREAST CANCER CELL LINES Uji Pendahuluan Sitotoksik Andrographis paniculata pada Sel Kanker Payudara 1,
2
2
2
3
Tarwadi *, Churiyah , Olivia Bunga Pongtuluran , Fifit Juniarti , Fery Azis Wijaya Biotech Center BPPT, Building 630 PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 2 Centre for Pharmaceutical and Medical Technology BPPT, Building 610, PUSPIPTEK Area, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 3 PT Biogen Scientific, Rukan Tanjung Mas Raya –Jl Raya Lenteng Agung Blok B1/21, Jakarta Selatan. *E-mail:
[email protected] 1
ABSTRAK Sambiloto (Andrographis paniculata) banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Dalam studi ini, ekstrak metanol dan etanol sambiloto yang diperoleh dari B2PTO Tawangmangu telah diuji terhadap sel lini kanker payudara T47D dan MCF-7 dan sel lini normal fibroblast HFL-1 menggunakan reaksi enzimatik 3-(4,5-dimethylthiazoyl-2-yl) 2,5diphenyltetrazoliumbromide (MTT). Uji in vitro terhadap sel lini normal fibroblast HFL-1 menunjukkan bahwa 50 ppm ekstrak metanol sambiloto tidak menghambat pertumbuhan sel. Tetapi, ekstrak metanol dan etanolnya menghasilkan IC50 yang relatif rendah pada sel lini kanker payudara, yaitu 111 ppm dan 122 ppm pada sel lini MCF-7 dan 70 ppm dan 197 ppm pada sel lini T47D. Selain itu, campuran ekstrak sambiloto yang mengandung 25% ekstrak Thyponium divaricatum dan Anredera cordifolia memberikan daya hambat pertumbuhan pada sel kanker payudara MCF-7 yang lebih besar, dengan nilai IC50 masing-masing adalah 68 ppm dan 34 ppm. Kesimpulannya, total ekstrak metanol atau etanol sambiloto yang diperoleh dari Tawangmangu memiliki potensi sebagai sumber senyawa anti-kanker serta perlu kajian lebih lanjut. Kata Kunci: Ekstrak Andrographis paniculata, MTT, sel lini normal, sel lini kanker, aktivitas anti kanker
ABSTRACT Sambiloto (Andrographis paniculata) is widely used as medicine to treat various diseases in Indonesia and other Asian countries. In this study, methanolic and ethanolic extracts of sambiloto collected from B2PTO Tawangmangu have been tested againts breast cancer cell lines of T47D and MCF-7 and normal fibroblast cell line of HFL-1 using enzymatic reaction of 3-(4,5dimethylthiazoyl-2-yl) 2,5-diphenyltetrazoliumbromide (MTT). In vitro assay performed on normal fibroblast of HFL-1 cell line showed that 50 ppm of methanolic extract of sambiloto did not inhibit cell growth. However, methanolic and ethanolic extracts of sambiloto gave relatively low of IC50 on breast cancer cell lines which were 111 ppm and 122 ppm on the MCF-7 cell lines and 70 ppm and 197 ppm on the T47D cell lines, respectively. In addition, the mixture of sambiloto extract containing 25% of Thyponium divaricatum and Anredera cordifolia extracts confered greater growth inhibition on breast cancer cell line of MCF-7, where IC50 values were 68 ppm and 34 ppm, respectively. In conclusion, the total methanolic or ethanolic extract of sambiloto collected from Tawangmangu has potency as a source of anti-cancer compounds and needs further study. Key words: Andrographis paniculata extract, MTT, normal cell line, cancer cell lines, anti-cancer activity
80
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
INTRODUCTION The genus Andrographis is a widely distributed in South Asia and medicinally important member of Acanthaceae, consisting of approximately 40 species. Andrographis paniculata Nees (known as “Sambiloto” in Indonesia) is an herb well known in the South East Asian as traditional medicine and its beneficial actions are many and varied. Over the century, mostly the leaves and the roots have been used traditionally not only in Asia but also in Europe as folklore remedy for wide spectrum of ailments or supplements for health support as listed in Table 1 (Jarukamjorn & Nemoto 2008). Phytochemical studies resulted in isolation of flavonoid and andrographolides from A. paniculata (Rao et al. 2004). Furthermore, three new compounds of entlabdane diterpenoids, namely 19norandrographolides A–C (compounds 1– 3), were also isolated from the ethanolic extract of A. paniculata. (Zhang et al. 2006). Recent studies demonstrated that of A. paniculata has a potency as an antimicrobial activity (Sule et al. 2010). Previous research also reported that A. paniculata has anticancer and immunostimulatory effect (Kumar et al. 2004), anti-
hyperglycemic and renal protective activities (Rao 2006). A. paniculata are the most common traditional herbal that is used to achieve lower blood glucose in diabetic pasients by exhibits insulin-releasing actions (Wibudi et al. 2008). Hydroalcoholic extract of A. paniculata was reported as antioxidant, antilipid peroxidative and antiischemic activity and was used in ischemic heart diseases (Ojha 2009). In addition, leaf extract of A. paniculata has ability to suppress arsenic -provoked toxicity in human peripheral lymphocyte culture (Ghopalkrisnan & Rao 2008). In this present study, we evaluated the methanolic and ethanolic extracts of A. paniculata, collected from Medicinal Plant Research Centre, Tawangmangu, Central Java, againts breast cancer cell lines of T47D and MCF-7 and normal fibroblast cell line of HFL-1 using enzymatic reaction of 3-(4,5-dimethylthiazoyl-2-yl) 2,5 diphenyltetrazolium bromide (MTT). In addition, we also tested the mixture extract of A. paniculata Ness with Thyponium divaricatum (known as Keladi tikus) as well as with Anredera cordifolia (known as Binahong).
Table 1. Traditional Uses of A. paniculata Country
Native Names
Traditional Uses
Traditional Chinese Medicine (TCM)
Chuan-Xin-Lian Chunlianqialio Yiqianxi Si-Fang-Lian Zhanshejian
Fever, Common cold Laryngitis, Pharyngitis, Tonsilitis Pneumonia Respiratory infections Hepatitis
Traditional Indian Medicine
Kalmegh Kiryato Maha-tikta Bhunimba
Diabetes Dysentrery, Enteritis Helminth infection Herpes, peptic ulcer, skin infection (topical use), snake- bites (topical uses)
Traditional Thai Medicine
Fah Thai Lai Nam Rai Pangpond
Fever, Commond cold Non-infectious diarrhea
Malaysia
Hempedubumi Sambiloto
Diabetes Hypertension
Japan
Senshinren
Fever, Common cold
Scandinavian
Green Chiretta
Fever, Common cold
81
Preliminary Cytotoxic Evaluation … Tarwadi et al.
MATERIALS AND METHODS Reagents Unless stated otherwise, all reagents used in this experiment were purchased from Sigma Aldrich (USA). RPMI-1640 medium, heat-inactivated fetal bofine serum (FBS), EDTA-trypsin was purchased from Gibco BRL (NY, USA). MTT powder (3-(4,5dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) was purchased from Promega (USA). Extract Preparation The aerial parts (stems and leaves) of A. paniculata Nees, T. divaricatum and leaves of A. cordifolia used in this study were collected from Medicinal Plant Research Centre, Tawangmangu, Central Java, Indonesia. The plant samples were dried at room temperature and finely powdered. Suitable amounts of the powdered materials were soaked in 95% ethanol or methanol (1 L per 100 g), and the solvent was evaporated at 40°C to dry up under reduced pressure using a rotary evaporator to produce crude extracts. The extract was then collected and stored at 20°C for further testing. The High Performance Liquid Chromatography (HPLC) analysis HPLC profile of A. paniculata Ness was carried out to detect the presence of active compound of Andrographolide (C18 volumn, λ = 223 nm, flowrate = 0.5-1 mL/min, 20 minutes). Cell Culture The human breast adenocarcinoma cells (MCF-7 and T-47D) and the human normal lung fibroblast cell lines (HFL-1) were used to determine the cytotoxicity of the extract. Cells were cultured in T-flask containing RPMI 1640 medium supplemented with 10% heat inactivated foetal bovine serum (FBS), 50 IU/mL penicillin and 50 μg/mL streptomycin. The cells were maintained in the CO2 incubator at 37ºC in a 5% CO2 with 95% humidity. After reaching the confluency of approximately 70-80%, exponentially growing of the cells were washed twice with magnesium and calcium free phosphate buffer saline (PBS). The buffer solution was decanted and cells were detached with 0.025% trypsin-EDTA solution by incubating the cells at 37ºC in a 5% CO2 with 95% hu-
82
midity for couple of minutes, then cell culture growth medium were added to a volume of 5 mL. The cell suspension was then transferred to the falcon tube and the cell pellet was obtained by centrifugation (1000 g, 5 min). The cells were then resuspended in 10 mL of medium to make single cell suspension. The viable cells were counted by trypan blue exclusion assay in haemocytometer. Cytotoxicity Assay Cells were seeded in 96-well plate in 100 µl of cell culture growth medium to a final concentration of 5x103 cells/well and incubated to allow for cell attachment. After 24 h incubation, a partial monolayer was formed (confluency of 70-80%) then 100 μL of the medium containing the plant extract (initially dissolved in DMSO, those were: 250, 100, 50, 20 and 10 μg/mL) were added to the cells (normal and cancerous cell lines) and re-incubated for the next 24 h. After incubation with the plant extracts for overnight (24 hours), 100 µl of the media was aspirated and the MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)2,5-diphenyltetrazolium bromide) (Promega, USA) solution ( 5 µg) in culture media of 100 µl was added. The incubation time for cellsMTT solution was 4 hours in which blue crystal were formed, then 100 μL of the stop solution (SDS 10%) were added and cells were then incubated further for the next 24 h. Reduced MTT was assayed at 550 nm using a microplate reader. Culture medium containing 0.1% DMSO was used as a solvent control and untreated cells were used as a negative control. RESULTS AND DISCUSSION High Performance Liquid Chromatography (HPLC) analysis of the ethanolic extract of A. paniculata Ness shows that the extracts containing the active compound of Andrographolide. The andrographolide concentration was various depend on the solvent composition. Apparently, the retention time (RT) was 2.422 minutes and the maximum concentration of andrographolide was achieved when sample was extracted using ethanol 70% (Figure 1). The andrographolide content was calculated based on the amount of extract being injected (1000 ppm) and the values are listed in Table 2.
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
Table 2. Andrographolide content of samples extracted using various solvent compositions Solvent Composition
Area under curve
[Andrographolide, ppm]
% Andrographolide
96% ethanol
490398
15.97
1.6
Ethanol : H2O = 70 : 30
3851355
96.25
9.6
Ethanol : H2O = 50 : 50
1469925
69.85
7
H2O (100%)
2032409
6.75
0.7
Note: Sample extract injected: 1000 ppm at λ= 223 nm
A
B
C
D
Figure 1. HPLC profile of Andrographis paniculata Ness extracts containing andrographolide; A. ethanolic extract of 96%, B. etahnolic extract of 70%, C. ethanolic extract of 50% and D. Decoction (H 2O extract)
In vitro cytotoxicity assay performed on normal fibroblast of HFL-1 cell line showed that 50 ppm of methanolic and ethanolic extract of A. paniculata did not inhibit cell growth, where the cell viability was about 101% on the methanolic extract and 94% on the methanolic extract. In this regards, we could simply assume that the extract has no cytotoxic effect on normal cell line of HFL-1. However, methanolic and ethanolic extracts of the sample gave IC50 relatively low on breast cancer cell lines of
MCF7 which were 122 ppm and 111 ppm, respectively. The growth inhibition of the extract in MCF7 was dose dependent manner. As shown in Figure 2, the proliferative inhibition activity indicated that increasing extract concentration resulted in an increasing the percent proliferative inhibition. Furthermore, cytotoxicity of the methanolic and ethanolic extracts on other breast cancer cell line of T-47D showed an IC50 value of and 70 ppm and 197 ppm respectively. The proliferative inhibition
83
Preliminary Cytotoxic Evaluation … Tarwadi et al.
activity pattern of the extracts on T-47D cell line similar with the proliverative inhibition activity on MCF-7 cell line, done dependent manner, where increasing of the extract concentration treated followed with an increased the proliferative inhibition activity (Figure 3). Our present study on A. paniculata Ness extract was in agrement with the results from previous researcher using another cell line, which reported that 10 ug/mL methanolic extract of A. paniculata inhibited proliferation of HT-29 (colon cancer cell) by 50%. In addition, the petroleum ether and dichlormethan extracts inhibited the proliferation of HT-29 cell with IC50 value of 46 ug/mL and 10ug/mL, respectively (Kumar et al. 2004). Furthemore, from the ethanolic extract of the aerial parts of A. paniculata resulted in the isolation of 14 compounds including flavonoids and labdane diterpenoids, where the compound 6 was rich source for the active compound of andrographolide. The bioactivity assays showed that metabolites 1-4 and 6-8 exhibited moderate cytotoxic activity against Jurkat, PC-3 and Colon 205 cell lines, where compound 6 had IC50 values of 0.05, 0.07 and 0.05 mm, respectively. Further, among these effective compounds, 3 and 6 selectively blocked the cell cycle progression at G0/G1, while 1, 2, 4, 7 and 8 metabolites blocked the same at G2/M phase of the Jurkat cell line (Geethangili et al. 2008). Subsequently, the mixture of 75% A. paniculata extract with 25% of T. divaricatum confered greater proliferative inhibition on MCF-7 cell with gave IC50 values of 68 ppm.
Moreover, the combination of 75% A. paniculata extract with 25% A. cordifolia extracts resulted in lowest IC50 value of 34 ppm. The pattern of proliverative inhibition of the mixture of A. paniculata with T. divaricatum and A. cordifolia was shown on Figure 4. This result revealed possibility any synergistic action between the constituents resulted from the A. paniculata and from the T. divaricatum or the A. cordifolia. This result was also supported with previous study which reported that several fractions of the hexane and dichloromethane extracts of T. divaricatum were found to inhibit the growth of NCI-H23 non-small cell lung carcinoma cell line significantly, with IC50<15μg/mL, and several fractions from this extract were also found to inhibit the growth of nontumorigenic BALB/c 3T3 mouse fibroblast cell line. This particular fraction was not only less cytotoxic to the non-tumorigenic cells, where the IC50 was 48.6 μg/mL compared to IC50 7.5 μg/mL for NCI-H23, but it was also found to induce apoptosis in the cancer cell line. GC–MS analysis revealed that D/F21 contains hexadecanoic acid, 1-hexadecene, phytol and a derivative of phytol (Lai et al. 2008). Subsequent studies reported that purification of the chemical constituents was guided by the antiproliferative activity using MTT. reagent on NCI-H23 (lung cancer) and HS578T (breast cancer) cell lines. Four pheophorbide related compounds, namely pheophorbide-a, pheophorbide-a′, pyropheophorbide-a and methyl pyropheophorbide-a were identified in the most active fraction, D/F19. These constituents exhibited
A
A B
B
A
A
B
B
Figure 2. Effect of A. paniculata methanolic and ethanolic extract on proliferation of MCF-7 cancer cell line
84
Figure 3. Effect of A. paniculata methanolic and ethanolic extract on proliferation of T-47D cancer cell line
J Bioteknol Bios Indon - Vol 2 No 1 Thn 2015
REFERENCES
A B
A B
Figure 4. Effect of the mixture of A. paniculata with T. divaricatum and A. cordifolia ethanolic extract on proliferation of MCF-7 cancer cell line. AP : A. paniculata, AC: Anredera cordifolia, TD: T. divaricatum
antiproliferative activity against cancer cells and the activity increased following photoactivation. The inhibitory effect of the fractions was apoptotic in the absence of light. Other chemical constituents that have been identified in this study include hexadecanoic acid, oleic acid, linoleic acid, linolenic acid, campesterol, stigmasterol and β-sitosterol (Lai et al. 2010). CONCLUSIONS The total methanolic or ethanolic extract of medicinal plant A. paniculata collected from Tawangmangu, Central Java have potency as a source of anti cancer compounds and need to be further studied to understand the mechanism of action of the extracts against cancer cell. ACKNOWLEDGEMENT The authors would like to kindly acknowledge to the Centre for Pharmaceutical and Medical Technology-Deputy for Agroindustry and Biotechnology-BPPT for the funding of this research.
Gopalkrishnan A & MV Rao (2008) Suppression of arsenic-provoked toxicity by Andrographis paniculata leaf extract. Asian J Tradit Med 3(3):104-109. Jarukamjorn K & N Nemoto (2008) Pharmacological Aspects of Andrographis paniculata on Health and Its Major Diterpenoid Constituent Andrographolide. J Health Sci 54(4):370-381. Kumar RA, K Sridevi , NV Kumar, S Nanduri, S Rajagopal (2004) Anticancer and immunostimulatory compounds from Andrographis paniculata. J Ethnopharmacol 92(2):291–295. Ojha SK, M Nandave, S Kumari, DS Arya (2009) Antioxidant Activity of Andrographis paniculata in Ischemic Myocardium of Rats. Global J Pharmacol 3(3):154-157. Rao NK (2006) Anti-hyperglycemic and renal protective activities of Andrographis paniculata roots chloroform extract. Jordan J Pharmacol Terapeutic 5(1):47-50. Sule A, QU Ahmed, OA Samah, MN Omar (2010) Screening for Antibacterial Activity of Andrographis paniculata Used in Malaysian Folkloric Medicine: A Possible Alternative for the Treatment of Skin Infections. Ethnobot Leaflets 2010(4):8. Wibudi A, B Kiranadi, W Manalu, A Winarto, S Suyono (2008) The Traditional Plant, Andrographis paniculata (Sambiloto) Exhibits Insulin-Releasing Actions in Vitro. Acta Med Indones-Indones J Intern Med 40(2):63-68. Zhang XQ, GC Wang, WC Ye, Q Li, GX Zhou, XS Yao (2006) New diterpenoids from Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees. J Integr Plant Biol 48(9):1122−1125.
85
INDEKS KATA KUNCI
inisiasi tunas ............................................73 A aktivitas anti kanker..................................... 80 Andrographis paniculata ............ 80, 81, 83, 85 anti-cancer activity........................................ 80 Aterotrombosis ......................................... 47 Atherotrombosis ....................................... 47 Auksin ...................................................... 73 Auxin ........................................................ 73 B bacteria ........................................ 47, 54, 62 bakteri . 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 56, 61 basidiomisetes ....................... 55, 56, 57, 59 basidiomycetes ........................................ 55 biodegradasi ...................................... 55, 56 biodegradation ................................... 55, 59
J jamur ............................................ 55, 56, 57 K karakterisasi ................................. 47, 48, 51 kasein .............................. 66, 68, 69, 70, 71 L Ligninolisis ......................................... 55, 56 Ligninolytic ...............................................55 M MTT ........................................ 80, 81, 82, 84 mutan .......................................................61 mutant .................................... 61, 62, 63, 64
C cancer cell lines ............................... 80, 81, 83 casein ....................................................... 66 characterization ................................. 47, 64 cytokinin ............................................. 73, 75 D dioksin ............................. 55, 56, 57, 58, 59 dioxin ..................................... 55, 56, 59, 60 E
N normal cell line....................................... 80, 83 P P. chrysogenum .................... 61, 62, 63, 64 Penicillin ....................................... 61, 62, 63 Penicillium chrysogenum ........ 61, 62, 64, 65 Penisilin....................................................61 pepton .............................. 66, 68, 69, 70, 71 peptone.....................................................66
Ekstrak................................................ 54, 80 Etanol ...................................................... 66 Ethanol ................................... 66, 71, 72, 83 extract .............. 57, 68, 80, 81, 82, 83, 84, 85
radiasi ......................................................61 radiation ...................................................61
F
S
fibrinolitik ...................................... 47, 48, 51 fibrinolytic ........................................... 47, 54 fungus .................................... 55, 59, 60, 62
galactose ............................................ 66, 72 galaktosa ................... 66, 67, 68, 69, 70, 71
S. cerevisiae ........................... 66, 68, 69, 71 Saccharomyces cerevisiae ....... 66, 67, 71, 72 sago palm .............................. 73, 74, 75, 79 sagu ............................................. 73, 74, 79 sel lini kanker..............................................80 sel lini normal .............................................80 shoot initiation .................................... 73, 78 sitokinin ....................................................73
I
U
identification ....................................... 47, 54 identifikasi .............................. 47, 48, 50, 51 in vitro ............. 48, 54, 73, 74, 75, 76, 79, 80
ultraviolet............................................ 61, 63
G
86
R
INDEKS PENGARANG
Karyanti .............................................. 73, 79 A Ajeng Maharani Sri Pananjung ..................47
L Lira Windriawati .......................................... 61
B Berti Hariasih Handayani ...........................66
N Nadirman Haska ....................................... 73
C
Nuki Bambang Nugroho ............................ 55
Churiyah ....................................................80 C Dudi Hardianto............................................61
E Edy Marwanta ............................................61
O Olivia Bunga Pongtuluran ......................... 80
R Rofiq Sunaryanto ...................................... 66
Erwahyuni E Prabandari ..............................61 Evi Umayah Ulfa........................................47
S Sattya Arimurti .......................................... 47
F
Suyanto ..................................................... 61
Fery Azis Wijaya ........................................80 Fifit Juniarti ................................................80
T Tarwadi ................................................ 61, 80
K Kartika Senjarini ........................................47
Tati Sukarnih ............................................. 73 Teuku Tajuddin .......................................... 73
87
PETUNJUK UNTUK PENULIS
menyisipkan kotak dengan tinggi 4 cm untuk penempatan logo Jurnal
JUDUL ARTIKEL DALAM DWI BAHASA (HURUF BESAR, TEBAL, TENGAH, ARIAL 14, tidak lebih dari 15 kata) Article Title (Capitalized each word, Arial 12, Center) Penulis Pertama (Huruf awal kapital, tanpa gelar, center, Arial bold 10) Apabila nama penulis lebih dari satu maka alamat korespondensi diberi tanda bintang (*). Alamat Instansi (tengah, tidak tebal, arial 10) E-mail:
[email protected] ABSTRACT (Arial Bold 10, 1 cm from left and right margin) Abstract should be written in Indonesian and English using Arial font, size 10 pt, italic, single spasing. Abstract should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and 150 words in English. If the article is written in English, the first abstract is in Bahasa, and vise versa. Keywords: 5 keywords (Arial 10) ABSTRAK (Arial Bold 10, 1 cm dari margin kiri dan kanan) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Arial, ukuran 10, italic, spasi tunggal. Abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan 150 kata dalam bahasa Inggris. Jika artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka abstrak pertama dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya. Kata kunci: 5 kata kunci (Arial 10)
ATURAN UMUM Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 2.5 cm, margin bawah 2,5 cm, margin kiri 2,5 cm dan kanan 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm, ukuran huruf 11 arial. Indent kalimat pertama dalam setiap paragraf adalah 1 cm. Panjang naskah maksimal 8 halaman, termasuk lampiran. Jarak antar baris dan antar paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah disusun dalam 4 subjudul yaitu:
PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN. Subjudul ditulis dengan huruf kapital. UCAPAN TERIMA KASIH (jika ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (jika ada) ditulis berurutan setelah kesimpulan dan di awal kata tidak diberi nomor. Subjudul untuk naskah bahasa Inggris sebagai berikut: INTRODUCTION, MATERIALS AND METHODS, RESULTS AND DISCUSSION, CONCLUSION. ACKNOWLEDGEMENT (jika ada), REFERENCES dan APPENDIX
(jika ada) ditulis berurutan setelah Conclusion. Sub-subjudul (jika ada) ditulis tanpa penomoran, dengan huruf kapital di awal setiap kata, bold, indent 1 cm. Penggunaan catatan kaki tidak diperkenankan. Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu bisa ditulis kata singkatnya. PENDAHULUAN (ARIAL KAPITAL, BOLD)
11,
HURUF
Pendahuluan mencakup hal -hal berikut ini: latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, dan hipotesis (jika ada). BAHAN DAN METODE HURUF KAPITAL, BOLD)
(ARIAL
11,
Bahan (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Alat dan bahan yang dipakai dalam penelitian harus ditulis dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Metode (Arial 11, Huruf awal kapital, Bold) Demikian juga dengan metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah. HASIL DAN PEMBAHASAN (ARIAL 11 BOLD, HURUF KAPITAL) Hasil dan pembahasan hanya berisi hasil penelitian yang relevan dengan tema kajian. Tabel hanya menggunakan garis horizontal, ditulis dengan arial ukuran 9 dan berjarak satu spasi dari judul tabel. Judul tabel ditulis dengan arial ukuran 9 dan ditempatkan di atas tabel. Kata tabel dan Tabel 1. Hasil etanol pada percobaan dan perkiraan pada keadaan optimum
Variabel
Nilai Optimum
Sugar (g/L)
206,01
Urea (g/L)
3,16
Inokulum (%v/v)
23,05
Hasil Etanol Optimum (g/L) Percobaan
Perkiraan
58,97
59,77
Gambar 1. Bioasay Transforman U dan W Penicilin A. Nidulans G191 dan pXBG1. Baris bawah diperlukan dengan penicilinase.
nomor tabel ditulis bold. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1,2,…..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Gambar diletakkan setelah disebutkan dalam naskah, gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman dan tidak boleh diapit kalimat. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab (1,2,…..). Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf arial berukuran 9, diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Kata gambar dan nomor gambar ditulis bold. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Gambar yang telah dipublikasikan penulis lainnya harus disebutkan sumbernya dalam keterangan gambar. Grafik ditampilkan dengan cara penyajian yang sederhana tanpa warna latar atau garis. KESIMPULAN Kesimpulan bisa berupa kesimpulan khusus dan kesimpulan umum. Kesimpulan khusus merupakan hasil analisa data atau hasil uji hipotesa tentang fenomena yang diteliti. Kesimpulan umum sebagai hasil generalisasi atau keterkaitan dengan publikasi terdahulu. DAFTAR PUSTAKA Penulisan daftar pustaka dengan urutan pengutipannya
sesuai dalam
Guo Q, G Daosen, B Zhao, J Xu, R Li (2007) Two cyclic dipeptides from Pseudomonas Fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro. J Nematol 39(3):243-247. Salehizadeh H & SA Shojaosadati (2003) Removal of metal ions from aqueous solution by polysaccharide produced from Bacillus firmus. Water Res 37(17):4231-4235. Buku Moore-Landecker E (1990) Fundamentals of the Fungsi. Ed. Ke-3 Prentice Hall, Inc., New Jersey
Gambar 2. Internal temperature and pH of fermented GSP at optimized conditions for 7 days (top); Amylase, FPase and CMCase activities in fermented GSP at different source of nitrogen, 55 ml liquid/50 gm substrate moisture, 30 °C incubation temperature and initial pH of 6.0 (bottom).
naskah dibuat sejajar dalam dua kolom. Jumlah sumber acuan dalam satu tulisan paling sedikit sepuluh sumber acuan, dengan 80% merupakan sumber acuan primer dan 80% merupakan terbitan 5 tahun terakhir. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk dalam sumber acuan sekunder. Format daftar pustaka yang digunakan mengacu pada model APA yang dikembangkan oleh American Psychological Association, seperti contoh berikut ini: Jurnal Andrews JM (2001) Determination of minimum inhibitory concentration. J Antimicrob Chemother 48 (suppl.1): 5-16.
Bab dalam buku: Weiss R (1984) Experimental biology and assay of RNA tumor viruses, hlm. 209260. Di dalam: R Weiss, N. Teich, H. Varmus & J. Coffin (ed.), RNA Tumor Viruses, vol. 1. Cold Spring Harbor Laboratory. Cold Spring Harbor, New York. Prosiding: Raffiudin R, D Nandika, M Amir, N Si (1991) Populasi flagelata pada usus rayap Coptotermes curvignatus Holmgren dengan Pemberian pakan tiga jenis kayu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional: Biologi Ketahanan Bangsa Melalui Perbaikan Mutu Pangan, Kesehatan, dan Lingkungan11: 482-487. Artikel dari internet: WHO (World Health Organization) (2009) Dengue and dengue haemorrhagic fever. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/index.html, diakses 6 Mei 2014.
ALAMAT PENGIRIMAN NASKAH Redaksi JBBI Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT Gedung 630 – Kawasan Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten, 15314 E-mail:
[email protected]
Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT Center for Biotechnology Assessment - BPPT PELAYANAN TEKNIS PENGUJIAN DAN JASA HPLC-MS (Liquid Chromatography – Mass Spectrometry ) LC -MS untuk analisa senyawa berdasarkan berat molekul. Sampel harus larut dalam air/ metanol / acetonitril. Sampel harus berupa senyawa (bukan elemen) dengan berat molekul lebih besar dari 100 dalton. Sampel murni hanya 1 senyawa dapat langsung dianalisa dengan LC MS dengan direct infusion tanpa melalui HPLC. Untuk sample campuran/ ekstrak harus dianalisa melalui HPLC dan keberhasilan analisa ditentukan oleh pemisahan senyawa menggunakan HPLC. LC-MS juga dapat menganalisa asam amino esensial, vitamin dan lain-lain. HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Bahan pengawet kuantitatif (asam benzoat, boraks, asam salisilat), pemanis buatan kuantitatif (sakarin, siklamat, aspartam), pewarna makanan kuantitatif, antibiotik (penisilin, tetrasiklin, eritromisin, siklosporin, sepalosporin, statin (lovastatin, simvastatin), vitamin ( B12, C), pola fitokimia, alkohol, metanol, etanol, asam lemak, asam linoleat, asam oleat, asam arachidonat, glukosa, manosa, ramnosa, hormon (IAA, IBA, adenin, hemisulfat, kinetin, zeatin), dan lain-lain. Spektrofotometri, Gravimetri dan Analisa Proksimat SNI • Karbon-organik, kalsium, fosfor, magnesium, besi, klorida, nitrat, nitrit, sulfat, gula pereduksi dan gula total. • neutral detergent fibre (NDF), acid detergent fibre (ADF) dan lignin, selulosa, hemiselulosa. • Kadar air, abu total, bobot jenis, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar.
• • • •
Biologi Molekuler (16s rRNA, 28s rRNA, ITS dan GMO serta SDS-page) Sequensing DNA, identifikasi bakteri, jamur dan yeast secara molekuler. Deteksi Genetically Modified Organism (GMO) . Amplifikasi DNA, PCR (Ploymerase Chain Reaction) dan SDS Page. Transformasi pada Escherichia coli.
Mikrobiologi (Cemaran Mikroba Makanan dan Minuman) • Uji Escherichia coli, coliform, Salmonella sp., Clostridium perfringens, enterococci, Staphylicoccus aureus, Vibrio cholerae • Uji angka lempeng total, uji kapang dan khamir. Produksi Bibit Tanaman dan Pupuk Hayati • Uji zona bening. • Bibit tanaman kehutanan, perkebunan, hortikultura, tanaman hias dan angrek. • Uji efektivitas sanitizer, sabun dan toiletries lainnya. • Pupuk hayati (mikoriza, penambat nitrogen, penghasil zat tumbuh dan pelarut fosfat). • Uji mikrobiologi lainnya • Pakan dan suplemen pakan ternak ruminansia, unggas dan ikan. • Dekomposer.
• • • •
Praktikum dan Pelatihan Bioteknologi Dasar-dasar mikrobiologi dan pengujian mikrobiologi. Kultur jaringan tanaman in vitro dan kultur ex vitro. Dasar-dasar teknologi gen/DNA dan identifikasi secara molekuler. Teknologi fermentasi dan proses hilir. Kontak Person: Bioteknologi Industri : Bioteknologi Pertanian : Kerjasama : Jasa Pengujian :
BALAI PENGKAJIAN BIOTEKNOLOGI
Dr. Edi Marwanta, M.Eng Ahmad Riady, M.Si Danang Waluyo, M.Eng Imron Rosidi
CENTRE CENTERFOR FORBIOTECHNOLOGY BIOTECHNOLOGYASSESSMENT ASSESMENT
(0858 838 16566) (0815 808 8442) (0858 143 55173) (0856 745 1933)