s
JURNAL Eduka
erambi i
Volume 2 Nomor 2, September 2014
ISSN 2338-9397
Politics of Education Irsyadillah
1-6
Mewujudkan Good Governance dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah guna
Memperkuat Integrasi Nasional 7-12
Erna Hayati Pengembangan Karakter Bangsa melalui Pendekatan Terpadu di Sekolah guna Memperkuat Integrasi Nasional Maimun
13-18
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Penelitian Kepada Guru-Guru
SMAN 7 Banda Aceh) 19-26
Nurhayati Ahmad
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar 27-36
Martahadi, Khairul Aswadi, Eka Marlina
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Sistem Manajemen Pendidikan Sekolah 37-44
Siraj
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya 45-55
Yenni Agustina
Jurnal Serambi Edukasi
Volume 2
Nomor 1
Halaman 1-37
Banda Aceh Maret 2014
ISSN 2338-9397
ISSN 2338-9397
Volume 2 Nomor 2, September 2014
Jurnal Serambi Edukasi merupakan media informasi dan referensi ilmiah dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Jurnal ini memuat artikel dan hasil penelitian para akademisi, praktisi dan masyarakat yang menaruh minat terhadap permasalahan pendidikan. Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (Maret dan September)
Penanggung Jawab Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Pemimpin Redaksi Martahadi Wakil Pemimpin Redaksi Khairul Aswadi Redaktur Pelaksana Azhari Marlina Zakaria Yenni Agustina Mitra Bestari Sanusi (Universitas Syiah Kuala) Bustamam (Universitas Syiah Kuala) Abubakar (Universitas Serambi Mekkah) Murtala (Universitas Malikussaleh) Anwar (Universitas Serambi Mekkah) Budi Azhari (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry) Tata Usaha Khairul Rizal Alamat Redaksi: Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah Jl. Tgk. Imum Lueng Bata, Bathoh-Banda Aceh 23245 Telp. (0651) 26160, Faks. (0651) 22471 http://jurnal.serambimekkah.ac.id/ e-mail:
[email protected] Jurnal Serambi Edukasi diterbitkan sejak September 2013 oleh Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh Redaksi menerima sumbangan naskah ilmiah populer yang belum pernah dimuat dalam media lain. Naskah diketik pada kertas HVS ukuran A4 dan diketik spasi ganda dengan panjang naskah 10-20 halaman, dengan format seperti tercantum pada panduan penulisan. Dicetak pada CV. Zoom, Jl. T. Nyak Arif No. 344 Darussalam-Banda Aceh (Isi diluar tanggungjawab percetakan)
Volume 2 Nomor 2, September 2014
ISSN 2338-9397
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol. 2 No. 2 Tahun 2014
SALAM REDAKSI Alhamdulillah, Jurnal Serambi Edukasi Volume 2 Nomor 2 September 2014 di penghujung tahun ini hadir dengan tujuh judul hasil penelitian dan kajian literatur. Ketujuh karya tersebut merupakan sumbangan tulisan dari dosen dan mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yakni dari Universitas Syiah Kuala, Universitas Serambi Mekkah, dan Universitas Almuslim.
tetapi juga menekankan pada pentingnya manusia memiliki karakter yang baik. Proses ini dapat dilakukan dalam berbagai langkah dan fase, salah satunya adalah melalui pendekatan terpadu di sekolah. Dengan karakter yang nasionalis, Indonesia akan menjadi negara yang utuh dan berdaulat dengan kemajuan dari berbagai aspek sebagai wujud dari pengembangan sumber daya manusia.
Penelitian pertama ditulis oleh Irsyadillah mengenai isu politik dalam dunia pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau literatur tentang politik, pendidikan dan buku paket. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa pendidikan telah digunakan sebagai sebuah sarana untuk mensosialisasi dan mengindoktrinasi pengetahuan Barat yang berdasarkan pada nilai-nilai dan ideologi kapitalis/liberal. Dalam hal ini, buku paket yang digunakan di sekolah telah memainkan peran sangat penting sebagai upaya dalam mempromosikan pengetahuan, nilai-nilai dan budaya Barat
Selanjutnya tulisan keempat ditulis oleh Nurhayati Ahmad tentang cara-cara yang dilakukan guru-guru SMAN 7 Banda Aceh dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian menemukan bahwa, cara-cara yang dilakukan tersebut meliputi, pendekatan, membangkitkan motivasi belajar siswa, tanya jawab (pancingan), membagi-bagi tugas kelompok belajar, mengaitkan materi pelajaran dengan agama, Memberikan motivasi bagi siswa yang malas mengikuti latihan olah raga, menyuruh buat makalah kemudian dipresentasikan, mengadakan konfirmasi dengan guru-guru lain, dan menuntun bagi siswa yang hanya dapat membaca saja tapi tidak faham apa arti dan maksud materi ajar.
Tulisan kedua ditulis oleh Erna Hayati mengenai isu good governance dalam memperkuat integrasi nasional. Hasil kajian menyimpulkan bahwa salah satu prinsip yang harus dianut dalam upaya mewujudkan pemerintahan daerah yang baik adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Salah satu tujuan penerapan prinsip dimaksud yaitu untuk mewujudkan integrasi bangsa. Integrasi bangsa dimulai dari daerah yang didorong oleh adanya pengelolaan pemerintahan daerah yang baik.
Masih terkait dengan upaya peningkatan prestasi belajar siswa, yang ditempatkan pada urutan kelima ditulis oleh Martahadi, Khairul Aswadi dan Eka Marlina. Kajian tersebut menguraikan tentang model pembelajaran kooperatif tipe group investigation. Peran guru dalam model ini adalah sebagai fasilitator di kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa .
Masih terkait dengan kajian di atas, tulisan ketiga ditulis oleh Maimun mengenai pengembangan karakter bangsa melalui pendekatan terpadu di sekolah guna memperkuat integrasi nasional. Hasil kajian mengungkapkan bahwa Sumber Daya Manusia yang handal merupakan salah satu syarat terpenting untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan. Hal ini, sebagaimana yang dimanatkan oleh Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana sistem pendidikan nasional bukan hanya mewujudkan kemampuan manusia dalam bidang teknologi,
Terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem manajemen pendidikan di sekolah, diulas dalam tulisan keenam oleh Siraj. Hasil kajian mengemukakan bahwa penerapan TIK di sekolah merupakan solusi yang paling tepat untuk menunjang peningkatan mutu sekolah termasuk keberhasilan penerapan Kurikulum 2013 dan pencapaian standar nasional pendidikan. Dengan pemanfaatan TIK, tenaga
i
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol. 2 No. 2 Tahun 2014
kependidikan dan stakeholders lainnya dapat meningkatkan manajemen sekolah dan aliran informasi yang efisien untuk mendukung pencapaian standar nasional pendidikan dan proses desentralisasi pendidikan di Indonesia.
akan menghambat pencapaian tujuan pembelajaran IPS itu sendiri yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial dalam mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya).
Isu terakhir dalam jurnal ini terkait dengan pelaksanaan pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan permasalahannya. Tulisan ini ditulis oleh Yenni Agustina. hasil kajian menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran IPS di SMP/MTs sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masingmasing (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi) tanpa ada keterpaduan didalamnya. Hal ini
Demikian ulasan singkat redaksi pada edisi September 2014 ini. Semoga hasil kajian yang dimuat di edisi penghujung tahun ini dapat menjadi referensi bagi pembaca.
Banda Aceh, September 2014 Salam Redaksi
iii
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol. 2 No. 2 Tahun 2014
DAFTAR ISI SALAM REDAKSI DAFTAR ISI
i iii
Politics of Education Irsyadillah
1-6
Mewujudkan Good Governance dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah guna
Memperkuat Integrasi Nasional 7-12
Erna Hayati Pengembangan Karakter Bangsa melalui Pendekatan Terpadu di Sekolah guna Memperkuat Integrasi Nasional Maimun
13-18
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Penelitian Kepada Guru-Guru
SMAN 7 Banda Aceh) 19-26
Nurhayati Ahmad
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar Martahadi, Khairul Aswadi, Eka Marlina
27-36
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Sistem Manajemen Pendidikan Sekolah 37-44
Siraj
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya 45-55
Yenni Agustina
INDEKS PENGARANG ................................................................................. PANDUAN PENULISAN ................................................................................
iii
56 57
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 1 – 6
ISSN 2338-9397
POLITICS OF EDUCATION Irsyadillah Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala e-mail:
[email protected]
Abstrak Pendidikan telah digunakan sebagai sarana transformasi masyarakat. Selain itu, pendidikan juga telah menjadi cara yang paling penting untuk mengamankan dominasi kolonial, apalagi sekarang, kontrol politik negara-negara lain tidak lagi jelas seperti di masa lalu di era kolonial, tetapi upaya negara-negara Barat untuk mendominasi masyarakat bukan Barat terus berlanjut. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau literatur tentang politik, pendidikan dan buku paket. Setelah meninjau literatur, penelitian ini menyimpulkan bahwa pendidikan telah digunakan sebagai sebuah sarana untuk mensosialisasi dan mengindoktrinasi pengetahuan Barat yang berdasarkan pada nilai-nilai dan ideologi kapitalis/liberal. Dalam hal ini, buku paket yang digunakan di sekolah telah memainkan peran sangat penting sebagai upaya dalam mempromosikan pengetahuan, nilai-nilai dan budaya Barat. Kata Kunci: Politik, Pendidikan, Buku Paket
INTRODUCTION Education has been used as a means of transformation of societies (Zajda and GeoJaja, 2010). Through education, Japan had transformed its society from medieval feudalism to global power, taking place from 1868 until Pearl Harbour in 1941 (Zajda and Geo-Jaja, 2010). In Russia, social changes were also the consequences of education which transformed the country from a rather backward agrarian country to a global super power (Zajda and Geo-Jaja, 2010). Both Japan and Russia have further transformed their countries into having market economies, introducing private enterprise, which is in line with the global ruling powers. It is argued that the capitalist economy in Japan and Russia is the result of the implementation of knowledge obtained from the US and European educational institutions (Dore, 2007). This paper aims to review literature in relation to politics, education and textbooks. RESEARCH METHOD This paper is a literature review research. The researcher used a descriptive analysis which is a method by way of collecting data, classify and analyze in the following stages: collecting references related to the problem under study; having collected the references then the
analysis of the problems being researched is performed. References were collected through the help of google scholar. RESULTS AND DISCUSSION The purpose of this section is to present and discuss the findings from reviewing the body of literature related to politics of education and textbooks. The section begins by outlining the politics of school knowledge highliting the dominant ideology of global education. The section is then followed by the discussion of the role of textbooks as political and social teaching media. POLITICS OF SCHOOL KNOWLEDGE Western knowledge, values, and cultures are now not only presented at the US or European institutions but they have spread all over the world and have become the dominant and ruling ideology in the global education system (Brienza, 2010; Zajda and Geo-Jaja, 2010). In most developing countries, Western values, ideologies and cultures have overwhelmingly dominated educational system (Altbach, 2004). However, the Western educational system is promoting a ‘global world model’ which is based on neo-liberal values, ideologies and cultures (Barret and Meaghan, 2006; Lipman, 2011; Helliar, 2013, p.514). This tradition was
1
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
typically initiated by the colonial rulers but it has been continued in the era of globalisation (Altbach, 2004; Rizvi et al., 2006). In this sense, education is an area in which colonial legacies and the contemporary process of globalisation is intertwined (Rizvi et al., 2006). For example, in the case of accounting education, the extant literature has highlighted the strong tendency for teaching students with particular values coming from the perspective of neo-classical economics (Puxty et al., 1994; Collison, 2003; Ferguson et al., 2005). More importantly, the Anglo-American perspective and literature has dominated learning in accounting in developing countries (Ferguson et al., 2005). Anglo-American textbooks have served as important sources for training global accountants (Ferguson et al., 2005; Gordon, 2011; Maatoug, 2014). In the developing world, this situation was shaped by Western colonial domination by means of relationships between centre and periphery. In an era of globalisation, the power relation is no longer traceable by means of colonial relations between coloniser and colonised, but it involves more complex flows and networks of power (Rizvi, 2006). This means accounting education in developing countries is at present not only influenced by former colonial masters but it is shaped by more complicated global power relations. Therefore, this phenomenon becomes more pivotal and critical in the present neo-colonial apparatus (Apple and Christian-Smith, 1991; Rizvi, 2006). Neoliberal consensus, in which its values and approaches have proliferated and become entrenched, has been established globally (Barrett and Meaghan, 2006; Crawford, 2003). As a result, although some argue the identity of the education system has become hybrid (Apple and Christian-Smith, 1991; Lebrun et al., 2002; Rizvi et al., 2006), the fact remaining that local values, ideologies and cultures have been continuously downgraded (Youdell, 2011; Helliar, 2013). In other words, education in developing countries has again been forced to embrace a position of colonial subordination at the expense of degrading indigenous traditions (Annisette, 2000). Thus, for example, the purpose of education all over the globe coercively becomes more homogenous (Zajda and Geo-Jaja, 2010). The institution is mainly mandated to develop efficient, creative and problem-solving learners and workers for 2 Irsyadillah
a globally competitive economy (Ferguson et al., 2011). Nonetheless, it has been argued that the espousing of neo-liberal and neo-conservative ideology in education in the global world has created considerable discontent and conflict (Zajda and Geo-Jaja, 2010). Critical scholars have questioned ‘whose knowledge is of most worth’ and how it is assessed (Apple and Christian-Smith, 1991). Evidence from studies that focused on school education (Davies and Bansel, 2007; Macdonald, 2011; Ferguson et al., 2011) has strongly suggested that particular knowledge (neoliberalism) has officially become legitimised in schools. This is in line with Apple’s (2004) opinion that ‘it is naive to think of the school curriculum as neutral knowledge’ (p.181). The significant domination of certain knowledge in global education is the result of the larger unequal power relation and history of social movement (Apple, 2004). In the case of ex-colonial countries, while extending and legitimising their position, they also have to deal with the legacy of colonisation in their education system (Foulds, 2013); yet, the dominant groups control the content and knowledge of global education in order to maintain their hegemony and domination (Crawford, 2003). Freire (1998, p.91) contended that: ‘…education is a political act…[therefore] education never was, is not, and never can be neutral or indifferent in regard to the reproduction of the dominant ideology or the interrogation of it.’ Additionally, he said that ‘washing one’s hands of the conflict between the powerful and the powerless means to side with the powerful, not to be neutral’ (Freire, 1985, p.122). As Bourdieu and Passeron (1977) have argued, education systems are employed to recreate the culture of the ruling class in order for them to establish themselves and maintain their hold. Therefore, it is not an accident when we see the reality that global education systems carry the stamp of neoliberalism (Macdonald, 2011). Thus, it is utterly logical when Apple (2004) explained that ‘if we were to point to one specific defining political/economic paradigm of the age in which we live, it would be neoliberalism’ (p.14). It has become the official knowledge of the developed and developing world (Barrett and Meaghan, 2006;
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Lipman, 2011), especially those states which were previously controlled directly by Western colonial powers (Altbach, 2004; Ferguson et al., 2011). It is clear that the politics of knowledge really exists in education although some people consider it as merely neutral territory (Apple, 1993). In this sense, we should not be oblivious to the politics of knowledge that is used as a social power that privilege some and exploit others. It is because ‘knowledge is power, and the circulation of knowledge is part of the social distribution of power’ (Apple, 2004, p.180; see also Weiler, 2011). It could be argued that the control over knowledge’s construction, production and circulation could be maintained through textbooks. It could be a way to promote and install monocultures of the mind/knowledge in education. More importantly, textbooks are the principal source of information that dominates what students learn (Apple, 2004; Ferguson et al., 2005). The role of textbooks is discussed further in the following section. THE ROLE OF TEXTBOOKS Students are nurtured with learning experiences in schools (Jackson et al., 1994; Dixon et al., 1999). In other words, school is the vehicle through which content knowledge and skills are transmitted to students (Apple, and Christian-Smith, 1991; Kalmus, 2004; Pinto, 2007). In this respect, textbooks play a crucial role in the school system because they have been considered as ‘the primary means of communicating information and instruction to students’ across disciplines. They are the devices that convey concepts and principles, for example, how to land a plane or conduct a medical operation (Crawford, 2003) and thus they are uncritically viewed as an authorised or legitimated source of society’s valid knowledge (Kuhn, 1962). Indeed, textbooks are at the heart of the education system since they are able to provide students with a rich array of new and potentially interesting facts, and open the door to a world of fantastic experience. Within textbooks, there exists a set of standards of knowledge; they are viewed as source of facts detailing concepts and generalisations that can be learned by students across parts of the nation and beyond (Foster, 2011). Thus, it is
logical when Lebrun et al. (2002) explained that ‘textbooks are conceived as tools enabling the unfolding learning and teaching process’ (p.61). In this sense, textbooks also act as teaching media that can be used by teachers in the classroom. This notion aligns with the definition of textbooks proposed by Johnsen (2001) that they can be considered as a subset of an increasingly used term, teaching media. This kind of situation signifies that textbooks are a crucially important educational apparatus for transferring legitimated knowledge so that their role cannot be ignored in any education system (Apple, 1991; Lebrun et al., 2002). However, Snook (2010) explained that school is where the socialization of the ideology of the ruling class takes place (Ferguson et al., 2011). We might similarly conceptualise this as indoctrination (Snook, 2010). In this respect, textbooks produced for use in schools should not only be considered as a delivery system of facts (Apple, 1991), but they are also ‘crucial organs in the process of constructing legitimated ideologies and beliefs’ which are ‘a reflection of the history, knowledge and values considered important by powerful groups in the society’ (Crawford, 2003, p.5). Thus, for example, we know from history that the act of book burning is powerful, both symbolically and absolutely when done during or as a result of regime change. Indeed, Kalmus (2004) explained that textbooks are often the agents of change and yet textbooks can be conceived as a focal element in processes of cultural transmission. Furthermore, according to Agger (2013, p.5556) (i) textbooks play a political role in society; (ii) through textbooks scholarship that is not categorised as part of the mainstream will often be dismissed as unsuitable or it will be processed through a referee system to conform with respect to mainstream empiricist criteria of validity and worth; (iii) textbooks are the instruments that contribute to forming individuals’ attitudes through orienting them to the preservation of the present relations of production and reproduction, instead of innovating action and social alteration. From such a perspective people are, in essence, forced to take part in the present social order instead of trying to alter it; and (iv) if discursive scholarship incorporation takes place, this process will be mostly a symbolic gesture in order to settle the dissenting voices,
Politics of Education 3
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
and it is conducted to neutralise their political impact transformative potential. To this end, textbooks should be recognised as both the media for transferring academic knowledge as well as socialising cultures and ideologies (Apple, and Christian-Smith, 1991; Apple, 1992; Lebrun et al., 2002; Crawford, 2003. This study is particularly concerned with textbooks as cultural and ideological vector. Pinto (2007, p.104) explained that ‘if textbooks tend to perpetuate ideologies (dominant or not), they are surely a potential tool of indoctrination’ (see also Kalmus, 2004; Ferguson et al., 2011). Therefore, it is necessary to consider textbooks in a broader context because they exist in a political context, as do the schools in which they are used. Moreover, this reality suggests that we should not take for granted the school textbooks (Apple, 1991; Lebrun et al., 2002; Crawford, 2003). Teachers should play a significant role in encouraging students to assess the rational status of claims made in the text (Pinto, 2007). Students need to be continuously reminded to read the school textbooks with a critical eye. More importantly, as pointed out by Crawford (2003, p.6), identification, analysis and criticism of the process of creating a curriculum ‘by investigating the work of authors, editors, publishers, teachers and students as they struggle to create meanings’ is required. This is because indoctrination happens when individuals interacting with textbooks only take information from the texts at face value (Apple, 1991). Nonetheless, in the case of young learners facing this situation the role of teachers becomes even more crucial in selecting and setting the knowledge. CONCLUSION This paper has been concerned with reviewing extant literature on politics, education and textbook, set within the context that Western knowledge based on capitalist/neo-liberal values and ideology dominates the global education system. This is caused by complex power relations and the route of social movement and, thus, education is not neutral and can be seen as ‘a political act’ (Freire, 1998, p.91), which always promotes particular cultural values and ideology in terms of hegemony and domination. Textbooks, in this respect, play a significant role as the most 4 Irsyadillah
important and justifiable means of promoting ‘legitimated’ knowledge, values and cultures (Crawford, 2003; Kalmus, 2004). Indeed, textbooks not only provide manual instructions, concepts, generalisations and facts for teachers and students involved in the teaching and learning process, but they also play a part as political agents in society ( Crawford, 2003). Therefore, it could be argued that the group who decide to include and not to include matters within textbooks tend to be the ruling class who has power to control society. In this sense, textbooks could be regarded as media for socialisation and indoctrination. This has been empirically revealed in textbook related research across disciplines including economics, management and accounting (Scapens et al., 1984; Puxty et al., 1994; Ferguson et al., 2005; Gordon, 2011). REFERECES Agger, B. (2013). A critical theory of public life: Knowledge, discourse and politics in an age of decline. New York: Routledge. Altbach, P. G. (2004). Education and neocolonialism. In B. Ashcroft, G. Griffiths & H. Tiffin (Eds.), The Postcolonial Studies Reader. London: Routledge. Annisette, M. (2000). Imperialism and the professions: the education and certification of accountants in Trinidad and Tobago. Accounting, Organizations and Society, 25(7), 631659. Apple, M. W. (1991). The culture and commerce of the textbook. In M. W. Apple & L. K. Christian-Smith (Eds.), The politics of the textbook. London: Routledge. Apple, M. W. (1992). The text and cultural politics. Educational Researcher, 21(7), 4-19. Apple, M. W. (2004). Cultural politics and the text. Sociology of Education, 179-195. Apple, M. W., & Christian-Smith, L. K. (1991). The politics of the textbook. In M. Apple & L. Christian-Smith (Eds.), The politics of the textbook (pp. 1–22). London: Routledge.
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Barrett,
R., & Meaghan, D. (2006). Globalization, education, work and the ideology of the “self-evident natural Laws” of capitalist production. College Quarterly, 9(2), n2.
Brienza, C. (2010). Producing comics culture: a sociological approach to the study of comics. Journal of Graphic Novels and Comics, 1(2), 105-119. Collison, D. J. (2003). Corporate propaganda: its implications for accounting and accountability. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 16(5), 853886. Davies, B., & Bansel, P. (2007). Neoliberalism and education. International Journal of Qualitative Studies in Education, 20(3), 247-259. Dixon, C. N., Frank, C. R., & Green, J. L. (1999). Classrooms as Cultures: Understanding the Constructed Nature of Life in Classrooms. Primary Voices K-6, 7(3), 4-8. Dore, R. (2007). Shareholder capitalism comes to Japan. Journal of Japanese Law, 23, 207. Ferguson, J., Collison, D., Power, D., & Stevenson, L. (2005). What are recommended accounting textbooks teaching students about corporate stakeholders?. The British Accounting Review, 37(1), 23-46. Foster, S. (2011). Dominant Traditions in International Textbook Research and Revision. Education Inquiry, 2(1). Foulds, K. (2013). The continua of identities in postcolonial curricula: Kenyan students’ perceptions of gender in school textbooks. International Journal of Educational Development, 33(2), 165-174. Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Rowman & Littlefield. Gordon, I. M. (2011). Lessons to be learned: An examination of Canadian and US financial accounting and auditing textbooks for ethics/governance coverage. Journal of Business Ethics, 101(1), 29-47.
Helliar, C. (2013). The global challenge for accounting education. Accounting Education, 22(6), 510-521. Jackson, R., Francis, L., Kay, W. K., & Campbell, W. S. (1996). Ethnographic research and curriculum development. Research in Religious Education, 145. Johnsen, E. B. (2001). Textbooks in the kaleidoscope: A critical survey of literature and research on educational texts. Oslo: Scandinavian University Press. Kalmus, V. (2004). What do pupils and textbooks do with each other?: Methodological problems of research on socialization through educational media. Journal of Curriculum Studies, 36(4), 469-485. Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions: Chicago: University of Chicago Press. Lebrun, J., Lenoir, Y., Laforest, M., Larose, F., Roy, G. R., Spallanzani, C., & Pearson, M. (2002). Past and current trends in the analysis of textbooks in a Quebec context. Curriculum Inquiry, 32(1), 51-83. Lipman, P. (2011). The new political economy of urban education: Neoliberalism, race, and the right to the city. New York: Taylor & Francis. Maatoug, A. G. (2014). Accounting Education in Libya: An Institutional Perspective. (PhD), University of Dundee. Macdonald, D. (2011). Like a fish in water: Physical education policy and practice in the era of neoliberal globalization. Quest, 63(1), 36-45. Pinto, L. E. (2007). Textbook publishing, textbooks, and democracy: A case study. Journal of Thought, 99-121. Puxty, A., Sikka, P., & Willmott, H. (1994). (Re) forming the circle: education, ethics and accountancy practices. Accounting Education, 3(1), 77-92. Rizvi, F., Lingard, B., & Lavia, J. (2006). Postcolonialism and education: Negotiating a contested terrain. Pedagogy, Culture & Society, 14(3), 249-262.
Politics of Education 5
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Scapens, R. W., Otley, D. T., & Lister, R. J. (1984). Management accounting, organisational theory and capital budgeting. London: McMillan Press. Seth, S. (2009). Putting knowledge in its place: science, colonialism, and the postcolonial. Postcolonial Studies, 12(4), 373-388. Snook,
I. A. (2010). Concepts of Indoctrination (International Library of the Philosophy of Education Volume 20): Philosophical Essays: Routledge.
Youdell, D. (2011). School trouble: Identity, power and politics in education. London: Routledge. Zajda, J. I., & Geo-JaJa, M. A. (2010). The politics of education reforms. Springer.
6 Irsyadillah
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 7 – 12
ISSN 2338-9397
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN PEMERINTAHAN DAERAH GUNA MEMPERKUAT INTEGRASI NASIONAL Erna Hayati Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala
Abstrak Pemerintah daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Sejak berlakunya undangundang otonomi daerah ini, maka terbukalah kesempatan bagi daerah untuk mengelola pemerintahannya dengan baik. Salah satu prinsip yang harus di anut dalam upaya mewujudkan pemerintahan daerah yang baik adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Salah satu tujuan penerapan prinsip dimaksud yaitu untuk mewujudkan integrasi bangsa. Dengan asumsi bahwa pemerintah daerah merupakan salah satu unsur yang bertanggungjawab mewujudkan integrasi. Integrasi dimulai dari daerah, sehingga menjadikan integrasi nasional. Jadi, integrasi nasional ditentukan oleh integrasi di daerah yang didorong oleh adanya pemerintahan daerah yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Kata Kunci: Pemerintahan Daerah, Good Governance, Integrasi Nasional
PENDAHULUAN Pemerintahan yang baik (good Governance) merupakan terma terpenting yang dibicarakan oleh semua kalangan di era globalisasi dan era demokratisasi. Konsepsi pemerintahan yang baik, menjadi acuan dalam penyelenggaraan setiap negara manapun yang ingin berkembang dan maju. Seeiring dengan perubahan tatanan kenegaraan yang dilandasi adanya semangat reformasi telah mewarnai pemberdayaan seluruh aparatur negara untuk mewujudkan administrasi yang mampu mendukung keterpaduan pelaksanaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good governance sebagai sebuah gerakan juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk memperkuat institusi yang ada di negara dunia ketiga. Banyaknya persepsi berbeda dalam menyikapi konsep good governance akan melahirkan berbagai pandangan tentang beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik good governance, diantaranya: Pertama, good governance harus memberi ruang kepada aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan, sehingga memungkinkan adanya sinergitas antara aktor dan lembaga pemerintah dan non
pemerintah. Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai penguatan agar lebih efektif bekerja mewujudkan kesejahteraan bersama. Implementasi dari good governance di era reformasi ditandai adanya kelembagaan dalam pemerintah, yang melibatkan secara aktif keberadaan komponen; negara, sektor swasta dan masyarakat yang saling berinteraksi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Negara menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sedangkan sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan. Adapun masyarakat memfasilitasi interaksi sosial, budaya dan politik, menggerakkan kelompok masyarakat untuk ambil bagian dalam kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara kepemerintahan moderen dengan pola pemerintahan tradisional adalah terletak pada tuntutan yang sedemikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peran masyarakat termasuk dunia usaha dan LSM semakin ditingkatkan (Zudan, 2006) Sekarang kita simak Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan mengusung semangat reformasi yang menempatkan
7
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
masyarakat sebagai pilar utama pemerintah daerah. Keberadaan Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan serta peran serta masyarakat. Hal ini juga dibarengi adanya Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang membawa dampak terhadap perubahan dalam hal keuangan. Sehingga dengan demikian memberi ruang gerak lebih luas terhadap pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dan elit politik dalam melakukan kajian, analisis dan kebijakan daerah sehingga apa yang dibutuhkan secara mikro dari setiap daerah terkecil dapat dipantau dan diketahui. Uraian tersebut merupakan rambu-rambu pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah otonom dengan segala aspeknya, namun kenyataan yang terjadi bahwa sekitar 11 tahun perjalanan otonomi daerah yang paling menonjol tentang perluasan daerah otonom terutama di daerah kab/kota dan provinsi. Kondisi ini nampaknya disadari atau tidak, berdasarkan pengamatan penulis, secara politis akan menambah elit-elit daerah sebagai penguasa lokal yang kadang kala kurang menghiraukan kepentingan negara yang lebih luas. Demikian juga, masih terjadi beberapa daerah otonom yang belum mandiri secara finansial, terbukti masih banyaknya daerah otonom yang bersaing untuk mendapatkan anggaran pembangunan berupa DAU, dana dekonsentrasi dan dana pembantuan atau DIPA dari APBN. Pelaksanaan Undang-undang No. 32 tahun 2004 di era reformasi membawa semangat yang sama yakni penyelenggaraan pemerintah daerah secara partisipasif. Tetapi kenyataannya arogansi dan penyalahgunaan kewenangan daerah masih muncul. KKN tidak terkendali, kekuasaan berada pada kelompokkelompok tertentu. Patologi sosial bermunculan dengan corak budaya berbeda, sehingga pemberdayaan masyarakat masih sering dimarjinalkan. Demikian juga pemerintah dituntut untuk terbuka dan menjamin akses stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijakan publik, alokasi anggaran serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan juga belum dapat dilaksanakan dengan baik. 8 Erna Hayati
Tulisan ini berupa untuk menjelaskan keterkaitan antara konsep Good Governance dengan integrasi nasional secara teoritis.
PEMBAHASAN Pelaksanaan Good Governance di Daerah Otonom Secara etimologi otonomi berasal dari auto dan nomos, artinya mengatur sendiri. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Bab I Pasal 1 angka 5, menyebutkan bahwa otonomi daerah “sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Sedangkan daerah otonom adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance (Rosidin 2010:32). UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan. Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 (tujuh) elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu: Urusan Pemerintahan, Kelembagaan, Personil, Keuangan, Perwakilan, Pelayanan Publik dan Pengawasan Mardiasmo (2004:11) Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar di atas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan. Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan di dalam masyarakat pemerintah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuah negara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah sampai kepada perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Sementara itu, dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa: “sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat”. Sistem akuntabilitas semacam ini lebih bagus karena, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999, dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat lebih terjaga. Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: “Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah”, dan Informasi serta pendapat tersebut dapat disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi terkait (Santosa Pandji, 2008:43). Kemudian, menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi tentang perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menjadi instrumen yang diharapkan dapat berfungsi sebagai ujung tombak pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di setiap daerah Indonesia. Realitas Pelaksanaan Otonomi Daerah Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah, menyangkut kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian, karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku “pinggiran”. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pada masa lalu, eksploitasi potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih tertentu. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan otonomi daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa
Mewujudkan Good Governance dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah guna Memperkuat Integrasi Nasional
9
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
mengubah keadaan menguntungkan tersebut.
yang
tidak
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan otonomi daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerahdaerah tersebut tidak sabar ingin agar otonomi daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika otonomi daerah pertama kali diberlakukan. Selain karena kurangnya kesiapan daerahdaerah yang tidak kaya akan sumber daya, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan hak otonomi tersebut.
pemerintah daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif atau kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam. Kemudian praktik korupsi yang terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar barang tersebut.
Menurut Yeremias (2003), bahwa ”keterbatasan sumber daya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar”. Hal tersebut memaksa pemerintah daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akan menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Kemudian, penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol, hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan.
Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui penerapan prinsip Good Governance dalam memperkuat Integritas Nasional Good governance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma dari konsep goverment (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan paradigma goverment berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan penyedia layanan bagi masyarakat. Dimana, awalnya birokrat melayani “kepentingan kekuasaan” menjadi birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik. Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita menelaah kiat-kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
Selanjutnya rusaknya sumber daya alam, yang disebabkan karena adanya keinginan dari pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana
Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi
10 Erna Hayati
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklim investasi yang kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan yang miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad governance). Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stakeholder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran proses pembangunan. Pelaksanaan otonomi yang seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pelaksana otonomi tersebut. Penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan otonomi di suatu daerah, yaitu: 1) Manusia selaku pelaksana dari otonomi harus merupakan manusia yang berkualitas. 2) Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan otonomi daerah harus tersedia dengan cukup. 3) Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai. 4) Organisasi dan manajemen harus baik. Semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang berkualitas” adalah faktor yang paling penting, karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor kuliatas manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, sebab inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi di suatu wilayah otonom. Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah harus ditempuh berbagai cara, seperti: pertama, Memperketat mekanisme pengawasan kepala daerah. Hal ini dilakukan agar kepala daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol tindakannya sehingga tidak akan bertindak sewenangwenang dalam melaksanakan tugasnya. Dan Kedua, memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota dewan. Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan pada konsep good governance akan lebih dapat menekan adanya konflik dan sikap radikal yang timbul dari personal maupun kelompok tertentu. Secara konseptual, bahwa pelaksanaan otonomi daerah dengan baik akan mampu membangun integritas nasional secara perlahan, hal ini didasari pada kebijakan daerah yang bersifat pluralis, atau dengan kata lain setiap kebijakan pemerintah daerah harus mengacu pada konsep keadilan dan persamaan. Keadilan dan persamaan dengan tidak memandang pada perbedaan etnik dan perbedaan suku serta budaya. Tetapi kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam era otonomi harus mengacu pada kosep pemerataan dengan menghindari marjinalisasi atas kelompok minoritas. Sebab, integrasi nasional hanya dapat dicapai melalui sistem pemerintahan yang adil dan merata, dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh daerah yang memiliki otonom, dibandingkan dengan pemerintah pusat yang hanya memiliki sedikit kemampuan dalam mengawal integrasi, maka, pemerintah daerah sebagai perpajangan tangan pemerintah pusat harus dapat mewujudkan integrasi nasional melalui kebijakan dalam era otonomi yang adil dan merata. Jadi, integrasi nasional harus dibangun di daerah dengan menghargai kearifan daerah yang ada. Oleh karena itu, pemerintahan yang baik (good governance) sebagai kerangka konseptual yang dapat dijalankan dengan optimal oleh pemerintah di wilayah otonom,
Mewujudkan Good Governance dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah guna Memperkuat Integrasi Nasional
11
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
sehingga pelayanan yang diberkan kepada masyarakat serta kesenjangan yang ada dalam masyarakat dapat dikikis secara perlahan, dan secara perlahan pula kesadaran hidup bernegara menjadi tumbuh dan berkembang, terlebih lagi daerah yang baru saja pulih dari konflik, yang mana kala pemerintah daerah tidak mampu memberikan keadilan dan pemerataan dalam pembangunan, atau sebaliknya lebih menujukkan kesenjangan, maka akan muncul sikap radikal dari masyarakat secara individu maupun kelompok. Dengan adanya kewenangan yang besar yang diberikan melalui UU no.32 tahun 2004, maka pemerintah daerah dapat mengatur daerahnya tersebut dengan baik berdasarkan pada konsepsi good governace dan kearifan lokal yang ada. Karena, hal tersebut akan memberikan dorongan kuat bagi terwujudnya kesadaran integrasi bangsa secara lebih maksimal.
KESIMPULAN Mau tidak mau, mampu ataupun tidak mampu, dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance, karena prinsip tersebut telah menjadi paradigma baru didalam menyelenggarakan kepemerintahan yang digunakan secara universal. Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancangan undangundang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan, sehingga integrasi nasinal dapat diwujudkan dengan maksimal melalui daerah otonom.
DAFTAR RUJUKAN Mardiasmo (2004). Otnonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Republik Indonesia (1999). Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Republik Indonesia (2004). Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
12 Erna Hayati
Rosidin
(2010). Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia.
Santosa Pandji (2008). Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance. PT Refika Aditama. Yeremias T Keban, (2003). Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik, Bahan Ajar. Jakarta: Badan Diklat Depdagri. Zudan Arif Fakrulloh (2006). Internalisasi Nilai-Nilai Birokrasi Sebagai Prasyarat Merubah Pola Pikir Aparatur dalam Menunjang Pelayanan Publik. Jakarta: Yayasan Obor.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 13 – 18
ISSN 2338-9397
PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDEKATAN TERPADU DI SEKOLAH GUNA MEMPERKUAT INTEGRASI NASIONAL Maimun Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala e-mail:
[email protected]
Abstrak Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang telah melakukan berbagai upaya untuk membangun agar menjadi negara maju. Salah satunya dengan memperkuat Sumber Daya Manusia. Pembangunan Indonesia dari berbagai sektor harus dilandasi pada tatanan nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakatnya, sehingga menjadi negara yang memiliki identitas. Dengan demikian, harus diakui bahwa Sumber Daya Manusia yang handal merupakan salah satu syarat terpenting untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan. Sumber Daya Manusia yang dimaksud harus ditopang oleh karakter menusia yang baik, hal ini sebagaimana yang dimanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana sistem pendidikan nasional bukan hanya mewujudkan kemampuan manusia dalam bidang teknologi, tetapi juga sangat ditekankan pada manusia yang berkarakter. Proses ini dapat dilakukan dalam berbagai langkah dan fase, salah satunya adalah melalui pendekatan terpadu di sekolah. Dengan karakter yang nasionalis, Indonesia akan menjadi negara yang utuh dan berdaulat dengan kemajuan dari berbagai aspek sebagai wujud dari adanya pengembangan sumber daya manusia yang optimal. . Kata Kunci: Karakter Bangsa, Pendekatan Terpadu, Integrasi Nasional PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang luas dan strategis letaknya, memiliki jumlah penduduk di atas 236 juta jiwa, dengan keragaman budaya, multi-etnis, beragam agama dan kepercayaan. Indonesia adalah negara besar dan plural yang dipersatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa (founding fathers) yang mengkonseptualisasikan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa, amat sadar akan realitas pluralisme dan multikulturalisme bangsa ini. Pancasila merupakan konsensus nasional, identitas nasional, faktor pemersatu bangsa (common denominator), dan inspirasi menghadapi dan mengakhiri multikrisis bangsa. Situasi kehidupan bangsa yang masih dilanda multikrisis dewasa ini, apalagi sejak era reformasi bergulir pada 1998, Pancasila terkesan tidak lagi dijadikan “rujukan utama” (main literature) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu diperlihatkan dari berbagai gejala dan indikasi disintegrasi saat ini. Perilaku masyarakat, terutama para penyelenggara
negara, merasa tidak malu memperlihatkan praktek-praktek korupsi, kolusi, suapmenyuap, dan perilaku sejenisnya yang merupakan wujud penyimpangan nilai-nilai substansial dari Pancasila. Dalam aspek realitas sosial, sering diperlihatkan gejala yang mengarah pada diingkarinya realitas kemajemukan (pluralisme/multikulturalisme) bangsa, mengedepannya primordialisme, dan merosotnya sikap toleran dan menghargai perbedaan.Merosotnya kesadaran kolektif atas realitas kemajemukan bangsa sangat berpengaruh terhadap integrasi bangsa. Kesadaran kolektif tersebut merupakan modal dasar dan modal sosial (social capital) dan character and nation building guna memperkokoh integrasi bangsa. Munculnya sejumlah konflik di negeri ini lebih sebabkan akibat dari lunturnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila di dalam masyarakat. Nilai-nilai Pancasila merupakan produk sosial kolektif atau nilai-nilai luhur yang diwariskan dan terkonstruksi dalam masyarakat di mana negara hanya membingkainya, sehingga tafsirnya pun tidak boleh menjadi monopoli suatu kelompok atau kekuasaan tertentu. Yang
13
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
terpenting dalam konteks ini adalah nilai-nilai Pancasila dan idealistis itu, harus menjadi penyaring dari segala kehendak, kecenderungan praktik, dan nilai yang buruk. Di sini, negara berperan sebagai pemelihara nilai-nilai itu, dan sekaligus membentengi masyarakat agar tidak terasuki oleh nilai-nilai yang merusak tatanan idealistic itu melalui proses edukasi yang holistic dan integral (Koesoema, 2002) Uraian di atas dapat mengabarkan bahwa Pancasila telah mengalami marjinalisasi. Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang sangat strategis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila harus direaktualisasikan sebagai sumber inspirasi yang implementatif (tidak sekadar normatif) bagi pembangunan dan proses demokrasi bangsa. Pancasila juga harus disegarkan kembali sebagai jati diri, karakter, sekaligus pemersatu bangsa. Namun membutuhkan pendekatan yang tidak elitis dan tidak indoktrinatif seperti di masa lalu, tetapi lebih pada metode partisipatif, implementatif, dan produktif seiring proses internalisasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri khususnya dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Dalam UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di rumuskan fungsi dan tujuan pendidikan Nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia pasal 3 UU Sikdiknas dalam pasal 3 menyebutkan bahwa: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" maka kita dapat memahami bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk insan yang beriman dan berakhlak mulia.” Tujuan Pendidikan Nasional merupakan rumusan mengenai kualitas manusia modern yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh sebab itu rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter bangsa. 14 Maimun
Pendidikan Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter warga negara yang berazaskan pada nilai-nilai dasar pancasila. Dalam hal ini, menurut Budimansyah (2011: 75) Nilai-nilai dasar pancasila itu harus terimplimetasi dalam kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa, karsa dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (integrasi nasional). Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tulisan ini menguraikan tentang optimalisasi pembentukan karakter bangsa melalui pendekatan terpadu di sekolah. tulisan ini dibatasi hanya pada domen konsepsi pengembangan karakter bangsa, pendekatannya dan huubungan pendidikan karakter bangsa. PEMBAHASAN Konsepsi Pengembangan Karakter Bangsa Karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum, adat istiadat, dan estetika sesuatu bangsa. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan pesertadidik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga pesertadidik berperilaku sebagai sesuai dengan nilai-nilai bangsa yang dianutnya.Karakter tersebut terevaluasi menurut hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, sesama dan lingkungan, dan bangsa dan negara. Hubungan manusia dengan Tuhannya terevaluasi menurut sikap religius. Hubungan manusia dengan diri sendiri dapat dievaluasi berdasarkan sikap jujur, bertanggung jawab, bergaya hidup sehat,disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, kreatif, inovatif,mandiri, dan mempunyai rasa ingin tahu. Hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya dinilai berdasarkan sikap sadarterhadap hak dan kewajiban, patuh pada aturan sosial, menghargai karya orang lain, santun dan demokratis, dan peduli lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Sedangkan hubungan manusia dengan bangsa dan
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
negaranya dinilai berdasarkan sikap nasionalisme dan menghargai keberagaman dan pemahaman terhadap budaya bangsa (Lickona, 1993: 6-11) . Sumber-sumber nilai karakter bangsa berasal dari agama, Pancasila, UUD1945, NKRI, dan kearifan lokal. Sumber-sumber nilai karakter bangsa tersebut diinternalisasikan pada para siswa melalui berbagai kegiatan di sekolah, diantaranya penerapan kurikulum, OSIS, tata krama dan tata tertib, kepramukaan, upacara bendera, pendidikan berwawasan kebangsaan, kewirausahaan, serta upaya-upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba/miras, rokok, dan penyimpangan seksual. Hasil yang diharapkan adalah agar para generasi muda ini dapat berkarakter innovatif, kreatif, sidiq, amanah, fathonah, tabligh,disiplin, percaya diri, kompetitif, kooperatif, leadership, imaginatif, bersih,sehat, peduli, adaptif, toleransi, dan suka menolong (Budimansyah, 2011). Menurut Dirjen Dikti dalam tulisan Barnawi dan M. Arifin (2012), pendidikan karakter bangsa “dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan seharihari dengan sepenuh hati”. Selain itu, Pendidikankarakter bangsa adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilainilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan bermoral tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ellen (Zainal Aqib, 2011) yaitu pembangunan karakter adalah “tujuan luar bisa dari sistem pendidikan yang benar. Jadi pendidikan bukan merupakan sekedar sarana transfer ilmu pengetahuan saja, melainkan sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai”. Kemudian menurut Syaiful Anam yang dikutip Barnawi dan M. Arifin (2012), bahwa: “siswa harus mendapatkan pendidikan yang mencakup tiga aspek yaitu; (1) Afektif, yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia,termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensiestetis (2), Kognitif, yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitasuntuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu
pengetahuandan teknologi, (3), Konatif, yang tercermin pada kemampuan mengembangkanketerampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Dengan memberikan ketiga aspek tersebut, karakter siswa akan terbentuk sehingga menjadi seseorang yang memiliki pribadi yang berkarakter”. Pelaksanaan pendidikan karakter bangsa sebagai upaya meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan dengan pengembangan nilainilai kebangsaan. Menurut Elmubarok dan Zuriah (2011:56) bahwa: “Ada empat hal yang dapat kita jadikan rujukan dalam pelaksanaan pendidikan karakter bangsa pada implimentasinya, yaitu; (1) olah hati (spiritual and emotional development) yaitu mengembangkan asset yang berkaitan dengan nilai religi sehingga bisa bekerja dan berbuat dengan ikhlas, (2) olah rasa (affective and creativity develomment ) yaitu mengembangkan asset yang berhubungan dengan manusia sesama manusia. sehingga mampu menjalin cinta kasih terhadap sesama baik secara pribadi, sosial maupun bermasyarakat, (3), olah pikir (intellectual development) yaitu mengembangkan asset yang berhubungan dengan akal, sehingga dapat berpikir dengan jernih dan cerdas, (4) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development) yaitu mengembangkan asset fisik agar selalu sehat dan mampu bekerja dengan keras”. Pelaksanaan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa, terutama guru sebagai pengawal garda terdepan dalam pendidikan. Pendidikan karakter yang diterapkan dalam satuan pendidikan menjadikan sarana pembudayaan dan pemanusiaan manusia sesuai dengan subtansi utama yaitu membangun pribadi dengan karakter mulia sebagai individu, masyarakat dan bangsa (Koesoema, 2007: 114). Dengan pendekatan tersebut di atas maka sasaran didik akan terbentuk bangsa yang bersifat; (1) keteraturan interior, dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai dan nilai menjadi pedoman normative setiap tindakan, (2) koherensi,yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko dan koherensi
Pengembangan Karakter Bangsa melalui Pendekatan Terpadu di Sekolah guna Memperkuat Integrasi Nasional
15
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
merupakan dasar yang membangun rasa saling percaya satu sama lain, (3), otonomi, yang berarti seseorang memiliki kebebasan untuk menginternalisasikan nilai- nilai dalam mengambil keputusan pribadi tanpa intervensi orang lain, (4), keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mencapai sesuatu yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.Adanya peningkatan wawasan, perilaku, dan keterampilan sehingga dapat menjadi siswa yang berilmu dan berkarakter.Karakter yang diharapkan tidak melenceng dari budaya asliIndonesia (pancasila) sebagai perwujudan integrasi bangsa atau nasionalisme. Pendekatan Terpadu dalam Pengembangan Karakter Bangsa Pendidikan karakter bangsa secara terintegrasi atau terpadu di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilainilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku. Integrasi pendidikan karakter bangsa di dalam proses pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan mengembangkan beberapa prinsip pendekatan, diantaranya adalah integrasi semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah, prinsip pendekatan yyangg bekelanjjutan, prinsip pendekatan nilai-nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan, dan dan prinsip pendekatan bahwa proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenanggkan (Muchsin,2010:54) Pendekatan dalam pengembangan karakter bangsa dapat dilakukan di sekolah melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah.Dalam pembelajaran di kelas pengembangan karakter bangsa tidak dimasukkan hanya dalam mata pelajaran atau bahasan terttentu, tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah.Oleh karena itu, guru dan
16 Maimun
sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada (Winataputra, 2011). Prinsip pendekatan pengembangan pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Beberapa prinsip pendekatan yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa adalah (1), melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolahyaitu mensyaratkan proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, (2) berkelanjutan; yaitu proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dilakukan melalui proses panjang; dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai perrgguruan tinggi (3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan, hal itu mengandung makna bahwa materi nilai karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, dan keterampilan. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa. Selain itu, guru tidak harus
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan konatif.Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian.Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka.Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai itu. (4) Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; prinsip pendekatan ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan, maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah. Memperkuat Integrasi Nasional Melalui Pendidikan Karakter Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Bhenika Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi sekarang. Proses yang terjadi saat ini, dapat memberikan pengajaran yang berarti bagi masyarakat Indonesia dalam mencari jati diri bangsa. Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masingmasing menyatakan dirinya sebagai bagian bangsa, dan lalu mencari unsur-unsur
yangdapat dipakai sebagai pangkal tolak nation Indonesia (Anonim, 2010). Nation Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Inilah yang menjadi harapan pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki jati dirinya. Bila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antar komunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya, berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainya atau masyarakat internasional.Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara. Karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan aturan yang jelas. Dalam hal ini pendidikan karaker bangsa berperan penting membangun persamaan persepsi antar komunitas sehingga terjalin komunitas yang memiliki karakter yang jelas dan kuat. Jika pendidikan pendidikankarakter bangsa gagal dalam membangun persepsi antar komunitas maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan serta akan memudarkan nilai-nilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya rasa kesatuan bangsa. Dari banyak literatur ada bukti, perilaku masyarakat amat erat kaitannya dengan kualitas pendidikannya.Teori keterkaitan perilaku masyarakat dengan tingkat pendidikan menjadi tidak sepenuhnya berlaku, tapi yang bisa dijadikan instrumen untuk menjelaskannya adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa (character building). Sudah lebih dari setengah abad kita merdeka, bahwa pembentukan karakter bangsa dalam arti yang sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestiny (Megawangi, 2003). Dalam konteks memahami fenomena itu, menarik apa yang disarankan Unesco bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih
Pengembangan Karakter Bangsa melalui Pendekatan Terpadu di Sekolah guna Memperkuat Integrasi Nasional
17
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Unsur-unsur itu menjadi amat penting dalam pembangkitan rasa nasionalisme, penanaman etika berkehidupan bersama,dan termasuk berbangsa dan bernegara, pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungannya. Hal itu merupakan beberapa unsur dari pendidikan karakter melalui belajar untuk hidup bersama (Sukardjo dan Komarudin, 2009). Reorientasi pendidikan perlu segera dilakukan yaitu dengan melakukan tinjauan atas pelaksanan pendidikan dan pembelajaran selama ini, pendidikan kita berjalan apa adanya dengan output seadanya pula. Sehinga dalam pembelajaran tidak terjadi internalisaisi ilmu dan sikap dalam kehidupan sehari-hari (Zurinal & Wahdi, 2006). Terjadinya parsialisasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan pendidikan kurang bermakna. Banyak energi dan waktu yang tebuang percuma, tapi kebermanfaatan dan kebermaknaan ilmu yang diajarkan tidak memberikan dampak yang berarti bagi penanaman nilai-nilai dalam berbangsa. Terjadinya pemisahan apa yang diajarkan di sekolah dengan realita kehidupan membuat pendidikan kita, kehilangan roh atau tidak memiliki karakterbangsa dan terkesan paradoxs. Untuk itu paradigma pendidikan karakter bangsa secara tepadu dan terintegrasi perlu digalakkan yaitu dengan memadukan antara teori dan praktek, antara teks dan konteks, antara kognitif dan afektif. Pemisahan ini menyebabkan pemahaman menjadi parsial dan tepisah-pisah dan pelajaran hanya di pahami sebatas formalitas saja. Sehingga tidak ada pengaruh yang berarti ketika orang belajar tentang budi pekerti atau belajar tentang pancasila. Karena nilai yang diajarkan hanya sebatas normatif saja. Pengoptimalisasi pendidikan karakter secara terpadu dan integral merupakan sesuatu yang harus diperhatikan dan dilaksanankan secara maksimal, sehingga pendidkan kita dapat menjawab tangtangan diisintegrasi bangsa kita. KESIMPULAN Pendidikan yang hakiki merupakan ikhtiat untuk memperoleh nilai hidup, bukan nilai angka sebagaimana lazimnya saat ini, tetapi menghasilkan makna dari setiap pengetahuan
18 Maimun
yang dipelajarinya. Pemerolehan makna menjadi ukuran dari setiap proses pembelajaran. Tak ada proses belajar, bila belum menghasilkan rekonstruksi makna baru yang dapat memberikan pencerahan bagi si pembelajar. Dunia pendidikan kita lebih sering menggunakan tes yang mengukur ranah pengetahuan ketimbang untuk mengukur ranah afektif. Soal-soal pada saat ulangan atau ujian nasional pun lebih banyak menuntut kemampuan kognitif daripada mengukur ranah afektif, akibatnya produk pendidikannya, output atau outcome, kurang memiliki moralitas yang baik. Tidak malu melakukan korupsi, tidak takut berbuat dosa dan kesalahan, serta tidak resah bila berbuat kezaliman. Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman. DAFTAR RUJUKAN Barnawi dan M.Arifin (2012). Pendidikan Karakter untuk Generasi Bangsa Indonesia. Insan Media: Jakarta. Dasim Budimansyah (2011). Pendidikan Karakter; Nilai Inti bagi upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widaya Aksara Press. Muchsin, M. Bashori, Moh Sulthon, dan Abdul Wahid (2010). Pendidikan Islam Humanistik. Bandung: Refika Aditama. Megawangi, Ratna (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation. Sukardjo dan Komarudin (2009). Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Thomas Lickona. 1993. ‘‘The Return of Character Education.’’ Educational Leadership, Vol. 51. Winataputra. 2010. Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Whana Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), Bandung: Program Pascasarjana UPI. Zurinal & Wahdi Sayuti. 2006. Ilmu Pendidikan Pengantar & DasarDasar Pelaksanaan Pendidikan. Jakarta: UIN Press. Elmubarok dan Zuriah, 2011 Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik. Jakarta: Bumi Aksara.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 19 – 26
ISSN 2338-9397
CARA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA (Penelitian Kepada Guru-Guru SMAN 7 Banda Aceh) Nurhayati Ahmad Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala
Abstrak Agar prestasi belajar siswa selalu memuaskan dalam proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, maka guru-guru perlu meningkatkan kemampuan belajar siswanya, karena hal ini sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara dimasa-masa yang akan datang. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan siswa tidak dapat meraih prestasi belajar yang memuaskan di sekolah. (2) Ingin mengetahui pernahkah guru-guru SMAN 7 Banda Aceh berusaha meningkatkan prestasi belajar siswa. (3) Ingin memperoleh informasi tentang cara-cara yang dilakukan guru-guru SMAN 7 Banda Aceh sehubungan meningkatkan prestasi belajar siswa. Dari hasil pengolahan data dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu : faktor-faktor yang menyebabkan siswa SMAN 7 Banda Aceh tidak mampu meraih prestasi belajar yang memuaskan adalah: (1) Siswanya malas belajar. (2) Diberi tugas tidak mau mengerjakan. (3) Siswa tidak memiliki buku pelajaran. (4) Sarana dan prasarana kurang tersedia. (5) Siswanya tidak disiplin, inovatif dan kreatif. (6) Ada guru yang tidak memperhatikan kemajuan belajar siswa. (7) Perbedaan kepribadian dan tingkat kecerdasan siswa. (8) Tidak ada perhatian dari orang tua. Guru-guru pernah membangkitkan prestasi belajar siswa. Setelah diadakan evaluasi baru jelas mana siswa yang maju prestasinya, mana siswa yang tidak ingin maju. Selanjutnya siswa yang belum dapat meraih prestasi dipanggil, lalu dituntun dibina dan diarahkan. Cara-cara yang dilakukan guru SMAN 7 Banda Aceh dalam neningkatkan prestasi belajar siswa yaitu: (1) Dengan cara pendekatan. (2) Membangkitkan motivasi belajar mereka. (3) Dengan cara tanya jawab (pancingan). (4) Dengan cara membagi-bagi tugas kelompok belajar. (5) Dengan cara mengaitkan materi pelajaran dengan agama. (6) Diberikan support bagi siswa yang malas mengikuti latihan olah raga. (7) Dengan cara menyuruh buat makalah kemudian dipresentasikan. (8) Mengadakan konfirmasi dengan guru-guru lain. (9) Dengan cara menuntun bagi siswa yang hanya dapat membaca saja tapi tidak faham apa arti dan maksudnya. Kata Kunci: Guru, Prestasi Belajar, Siswa PENDAHULUAN Semua manusia yang menempuh liku-liku hidup di alam ini, selalu menginginkan hal-hal yang baik dalam dirinya, mereka berlombalomba dengan rasa haru dan gembira baik secara pribadi maupun kelompok agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan dari setiap usahanya. Apa saja yang mereka kerjakan dengan tak henti-hentinya berharap semoga mendapat hasil yang tinggi, sukses dalam segala segi kehidupan di permukaan bumi ini. Demikian juga bagi guru-guru yang melaksanakan tugas mengajar mencerdaskan peserta didik di sekolah agar dapat menjadi manusia yang sempurna, bisa membantu dirinya, masyarakat, bangsa dan negara kelak.
Sudah sepantasnyalah seorang guru harus selalu berusaha dengan bermacam cara dalam menempa setiap peserta didik supaya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal, serta kecakapan, yang sangat diperlukan dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini seperti yang dinyatakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984: 3) yaitu: (1) Mendidik para siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila; dan (2) Memberikan bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa belajar merupakan persiapan bagi para
19
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
siswa sebagai generasi penerus bangsa yang dapat membangun negara yang lebih maju lagi dibandingkan dengan masa lalu. Kemajuan bangsa dan negara kelak sangat dipengaruhi oleh keadaan pendidikan siswa masa kini. Oleh karena itu, pendidikan bagi setiap manusia terutama bagi anak-anak muda (siswa) saat ini sangat diperlukan, jadi siswa-siswa sekarang tidak bisa melepaskan diri dari pendidikan, karena dengan pendidikanlah siswa dapat hidup layak dengan memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketentraman di manapun ia berada. Agar para siswa dapat menjadi manusia yang cerdas, tangkas dan bijaksana kelak, sekarang peran guru di sekolah sangat diperlukan. Seorang siswa bisa meraih prestasi belajar, bukanlah suatu hal yang mudah diperolehnya, tapi banyak liku-liku dengan bersusah payah yang harus dilalui, walaupun mereka selalu belajar siang dan malam tanpa henti-hentinya, belum tentu para siswa dapat memperoleh prestasi tinggi, karena mereka tidak tahu tentang cara-cara belajar yang sebenarnya agar dapat memperoleh prestasi seperti yang diinginkan. Guru dituntut harus berperan sebagai perancang bagi keberhasilan siswa dalam meraih prestasi belajar yang tinggi di sekolah, guru harus sanggup mengatur, mengarahkan dan menggerakkan para siswa agar ia tahu tentang cara-cara belajar yang semestinya supaya memperoleh hasil yang sangat memuaskan. Kalau guru-guru tidak mau peduli tentang keadaan siswa belajar, sudah pasti semua pekerjaan yang dilakukan para siswa akan menjadi sia-sia belaka, karena bukan prestasi tinggi yang diperoleh, tetapi kegagalan yang didapat. Tugas guru di sekolah bukan hanya mengajar semata-mata, tetapi juga harus bisa mendidik para siswa supaya menjadi manusia pembangunan sebagai warga negara yang berbudi pekerti luhur berjiwa Pancasila, berkarakter, agamis, berakhlakul karimah, memiliki moral yang terpuji, sikap yang santun, sumber daya manusia yang berkualitas. Di samping itu, guru dapat memberi bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Bila nilai akhirnya (UN) sangat rendah maka siswa tersebut tidak bisa diterima di Perguruan Tinggi manapun, betapa ruginya 20 Nurhayati Ahmad
semua pihak kalau hal seperti ini bisa terjadi, makanya seorang guru tidak boleh menyianyiakan tugasnya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Agar para siswa dapat memperoleh prestasi yang tinggi, tugas guru dalam meningkatkan prestasinya mutlak diperlukan, karena sebelumnya siswa tidak tahu bagaimana cara belajar yang sebenarnya untuk meraih prestasi, di sinilah guru harus berperan sebagai motivator, membangkikan motivasi belajar siswa, seperti yang dikatakan Ihsan (2005:45) ”Tugas pendidikan sekolah yang utama sekarang ialah mengajarkan bagaimana cara belajar, menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus-menerus”. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sekolah berkewajiban meningkatkan prestasi belajar siswa, dengan cara membimbing, mengajar, melatih, menuntun mengarahkan, dan menggerakkan atau membangkitkan semangat belajar mereka. Semua hal ini harus sungguh-sungguh dilakukan oleh guru-guru dengan memperhatikan keaktifan belajarnya, walaupun dalam situasi dan kondisi kapanpun harus tetap dijalani oleh guru-guru di sekolah. Agar semua siswa tidak mengalami kegagalan belajar untuk mencari bekal dalam kehidupannya sehingga dapat hidup mandiri dalam lingkungan masyarakat. Siswa itu pun akan dicintai dan disayangi karena berilmu pengetahuan dan memiliki SDM. Kalau guruguru mau menerapkan semua kegiatan yang berhubungan dengan cara-cara meningkatkan prestasi belajar siswa, niscaya siswa pun akan dapat memperoleh hasil belajar yang sangat memuaskan. Sungguh diperlukan dalam membangun bangsa dan tanah air. Guru-guru dapat menuntun, menanam dalam diri siswa agar mereka selalu mencintai tanah airnya sendiri, dapat bergaul dengan masyarakat bersama-sama saling tolong-menolong dengan penuh keakraban antara satu dengan lainnya demi kemajuan daerah atau bangsanya. Guruguru janganlah membiarkan siswanya menjadi anak nakal, berkeliaran entah kemana-mana, bolos pada saat jam belajar bisa mengganggu tata tertib, peraturan-peraturan sekolahnya dan masyarakat sekitarnya tempat ia berdomisili baik siang maupun malam. Atas dasar pijakan itulah penulis tergugah ingin membuat penelitian ini dengan rumusan judul ”Cara Meningkatkan Prestasi Belajar
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Siswa (Penelitian Terhadap Guru-Guru SMAN 7 Banda Aceh)”, karena kalau kejadian seperti ini terus dibiarkan, suatu masa kelak siswa sekarang akan dapat mengganggu ketenteraman masyarakat dan bangsa nanti.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena informasi yang dibutuhkan berada dalam kondisi yang berlaku sekarang. Surachmad (1985:39) mengatakan: “Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang”. Karena penelitian terfokus kepada banyak ragam masalah-masalah yang sedang berjalan pada masa kini dan bermanfaat juga pada masa-masa yang akan datang hasil penelitian ini. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, sebagai pertimbangan yang mana tugas-tugas guru salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, guru harus berusaha dengan bermacam-macam cara dalam meningkatkan hasil prestasi belajar siswa di sekolah. Karena siswa-siswa yang dapat meraih prestasi tinggi sekarang, suatu saat kelak akan memimpin bangsa sebagai generasi penerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nasution (1988:5) mengatakan tentang penelitian kualitatif, “Penyelidikan kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati dulu lingkungan kehidupannya kemudian berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan taksiran mereka tentang dunia sekitarnya. Untuk itu peneliti harus ke lapangan dan berada di sana dalam waktu cukup lama”. Berdasarkan uraian di atas peneliti sudah melakukan penelitian ini dengan cara peneliti sendiri yang terjun langsung ke lapangan sebagai instrumen penelitian atau alat peneliti utama. Kemudian peneliti berusaha mengumpulkan data yang sebanyak-banyaknya untuk dapat diisi dalam catatan-catatan yang kemudian di analisis satu persatu untuk mengetahui hasil penelitian (laporan) disusun sesuai dengan data yang dikumpulkan, menganalisisnya sejak awal penelitian ini peneliti lakukan. Selanjutnya Moleong (2000:11) juga menjelaskan “Mengenai penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai
kebutuhan mengandalkan manusia sebagai alam penelitian, memanfaatkan metode kualitatif dan mengadakan analisis data secara induktif.” Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa, penelitian kualitatif harus peneliti sendiri yang terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mencari sumber datanya, kemudian dalam pengolahan data lebih difokuskan pada teori-teori yang relevan dengan masalah-masalah yang diteliti, jadi hasil analisisnya berupa uraian-uraian yang sangat bermakna disusun secara sistematis sesuai dengan data yang ada. Berarti penelitian kualitatif sangat mengutamakan proses dari pada hasil. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Banda Aceh, khususnya di SMAN 7 dalam jangka waktu 3 bulan, mulai bulan Januari sampai dengan Maret 2014, karena SMAN 7 sekarang merupakan salah satu sekolah favorit di Kota Banda Aceh, sehingga sudah menjadi sekolah unggul. Jumlah guru-guru semuanya di SMAN 7 Banda Aceh sebanyak 63 orang, tetapi yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah 6 orang guru yang terdiri dari: guru mata pelajaran Fisika 1 orang, guru mata pelajaran Matematika 1 orang, guru mata pelajaran Kimia 1 orang, guru mata pelajaran Sejarah 1 orang, guru mata pelajaran Geografi 1 orang dan guru mata pelajaran Olahraga 1 orang. Karena semua guru-guru mata pelajaran tersebut terdiri dari 3 orang guru IPS dan 3 orang guru mata pelajaran IPA. Kesemua mata pelajaran ini baik IPS maupun IPA merupakan mata pelajaran yang sangat susah bagi siswa dalam meraih prestasi yang sangat memuaskan. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Selanjutnya untuk lebih cermat dalam pengumpulan data digunakan alat bantu (instrumen) yaitu pedoman observasi, pedoman wawancara dan studi dokumentasi. Setelah data terkumpul semuanya diolah dengan tiga tahap yaitu: 1. Reduksi data, 2 display data 3 kesimpulan dan vertifikasi. Karena menurut Nasution (2004:106) tentang analisis data ”Tidak ada suatu cara tertentu yang dapat dijadikan pegangan bagi semua penelitian. Salah satu cara yang dapat
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
21
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
dianjurkan ialah mengikuti langkah-langkah berikut, yaitu reduksi data, display data, menyimpulkan dan verifikasi”. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam uraian berikut ini akan dibahas hasil temuan di lapangan yang menyangkut tentang sebab-sebab siswa tidak bisa meraih prestasi belajar di sekolah, guru-guru pernah atau tidaknya meningkatkan prestasi siswa di sekolah serta cara-cara yang dilakukan guru dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa.
Informasi-informasi yang akan dibahas nanti adalah berdasarkan data yang diperoleh melalui teknik observasi dan teknik wawancara dengan guru-guru yang mengajar matapelajaran IPS dan IPA semuanya berjumlah 6 orang. 1.
Sebab-Sebab Siswa Tidak Bisa Meraih Prestasi Belajar di SMAN 7 Banda Aceh Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak semua siswa mengalami kegagalan dalam meraih prestasi belajar di sekolah, tetapi ada juga siswa yang dapat meraih prestasi belajar yang tinggi, hasil pengamatan peneliti pada saat mengadakan observasi, peneliti mengamati keadaan siswa baik sikapnya dan karakternya, moral dan tingkah lakunya semuanya dalam keadaan menyenangkan, mereka mengikuti proses belajar mengajar (PBM) dan latihan-latihan yang dibimbing oleh guru, semua siswa pada saat peneliti amati dalam keadaan aktif, rajin dan patuh terhadap tata tertib, peraturan-peraturan yang telah diatur oleh guru-guru, semua siswa dapat melaksanakan dan mengikutinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran, tidak ada yang melenceng dan bolos. Pada saat jam istirahat peneliti memperhatikan banyak siswa yang tidak membuang-buang waktu, dimana mereka sambil istirahat ada yang belajar sambil membaca buku, ada juga yang menjumpai guru-guru di kantor dalam rangka mengkonsultasi tentang masalah-masalah yang mereka hadapi. Peneliti memperhatikan guru dan siswa saling terbuka dan penuh keakraban, tidak ada siswa yang takut berbicara dengan gurunya, semua masalah-masalah yang dihadapi, mereka berani mencurahkan
22 Nurhayati Ahmad
langsung kepada gurunya, guru sebagai tempat curahan hati bagi siswa. Walaupun ada siswa yang sanggup meraih prestasi tinggi di SMAN 7 Kota Banda Aceh. Namun demikian masih terdapat beberapa orang siswa yang belum memperoleh prestasi yang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti yang dikatakan oleh guru yang mengajar mata pelajaran IPS dan IPA, yaitu pada saat peneliti wawancara mengenai sebab-sebab siswa yang menurun prestasinya, guru-guru menyatakan sebagai berikut: a. Siswa sendiri malas belajar, artinya tidak ada kemauan untuk belajar; b. Kalau diberi tugas tidak mau mengerjakan, karena tidak disiplin; c. Siswa tidak memiliki buku pelajaran; d. Sarana dan prasarana kurang tersedia di sekolah; e. Siswa sendiri tidak kreatif dan inovatif; f. Kadang-kadang dari guru juga kurang memperhatikan kemajuan belajar siswa; g. Perbedaan tingkat kecerdasan siswa, ada sangat pintar dan kurang pintar. h. Tidak ada perhatian dari orang tua siswa di rumah; Karena orang tua beranggapan gurulah yang harus bertanggung jawab terhadap prestasi belajar anak di sekolah, karena pikirannya seperti itulah maka orang tua siswa tidak mau tahu tentang pendidikan anak-anaknya lagi, bagus atau tidak prestasi anaknya itu semuanya sudah diserahkan pada guru, padahal orang tua sangat perlu memperhatikan semangat belajar anaknya di rumah, agar anak-anaknya dapat memperoleh keinginan dalam belajar, sehingga berhasil meraih prestasi belajar yang sangat memuaskan. Sulaiman (1988:145) menjelaskan, “Di Indonesia pendidikan di sekolah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua dan masyarakat”. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dalam rangka mendidik siswa berhasil meraih prestasi belajar yang sangat memuaskan di sekolah, bukanlah tugas guru semata-mata tetapi juga orang tua siswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam membimbing dan membina anakanaknya dalam rumah tangga supaya menjadi anak yang berhasil, sukses dalam pendidikan.
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Di samping itu masyarakat juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan di sekolah. Jadi pendidikan menjadi tanggung jawab bersama baik di pihak guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya. 2.
Guru-Guru SMAN 7 Banda Aceh Pernah Melakukan Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa, para guru SMAN 7 Banda Aceh, baik guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPS, maupun guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPA mereka sering melakukan peningkatan prestasi terhadap siswa, seperti yang mereka katakan pada peneliti, yaitu: Kami selalu memperhatikan kemampuan belajar siswa, kami dapatkan ada siswa yang sangat maju pendidikannya, ada juga siswa yang sangat sulit memperoleh kemajuan baik dalam segi pendidikan, maupun pada saat PBM berlangsung dan waktu mengikuti latihan-latihan yang kami berikan kepada mereka. Hal ini semua dapat kami ketahui setelah kami mengadakan evaluasi terhadap kinerja belajar mereka, pertama evaluasi proses, kedua evaluasi sikap, ketiga evaluasi keterampilan dan keempat evaluasi materi. Dari hasil evaluasi tersebut jelaslah diketahui mana siswa yang bagus prestasinya dan mana yang belum bagus, kemudian baru kami panggil mereka untuk dibina dan diarahkan. Dari hasil wawancara di atas menunjukkan, guru-guru SMAN 7 Banda Aceh, berarti selalu memperhatikan keadaan kemajuan belajar siswanya, karena ini merupakan tugas dan tanggung jawab guru dalam mendidik dan mengajar serta melatih siswanya, guru-guru tidak boleh menyia-nyiakan tugasnya, tidak mau tahu tentang keadaan siswanya rajin belajar atau tidak, prestasinya memuaskan ataupun tidak. Hal ini bisa membuat siswa tidak sadar diri tentang pentingnya belajar secara terus-menerus supaya menjadi siswa yang cerdas. Hal ini sesuai dengan penjelasan Budi Raharjo (2002:26) ”Faktor kunci keberhasilan peningkatan mutu pendidikan adalah guru pengelola proses pembelajaran sebagai penyelenggara dalam kelas”. Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti yang mana gurulah yang memegang peranan penting sebagai pengelola pembelajaran dalam kelas untuk menumbuhkan kesadaran siswa
mengenai pentingnya belajar secara terusmenerus supaya meraih prestasi. Seiring dengan hal demikian Mulyasa (2005:85) menyatakan: “(1) Menumbuhkan kesadaran siswa tentang pentingnya belajar dalam kehidupan, apa yang harus direncanakan dan dikelola secara sistematis; (2) memberikan kemudahan belajar kepada siswa, agar mereka dapat belajar dengan tenang dan menyenangkan”. Kesemua hal tersebut guru-guru harus dapat melaksanakannya pada saat berinteraksi dengan siswa dalam menjalankan PBM di ruangan kelas, ini penting dilakukan oleh guru-guru memberi kesadaran belajar bagi siswa bahwa pendidikan dan pembelajaran sangat diperlukan dalam meniti jalannya kehidupan di alam ini. Sebagai seorang guru harus dapat memberikan kemudahan belajar kepada siswa, karena dengan cara seperti ini guru dan siswa bisa terjalin suasana yang penuh keakraban dan antusias, jadi sahabat karib dalam pergaulan antara guru dan siswa, sehingga siswa pun bisa belajar dengan tenang dan damai. 3. Cara-Cara yang Dilakukan Guru SMAN 7 Banda Aceh Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Hasil penelitian membuktikan bahwa, kepada siswa-siswa yang belum mampu meraih prestasi tinggi karena ada beberapa faktor yang menyebabkannya, seperti siswa sendiri yang malas belajar, tidak mau mengerjakan tugas, siswa tidak punya buku pelajaran, sarana dan prasarana kurang tersedia di sekolah, siswa sendiri tidak punya motivasi, tidak inovatif dan kreatif, guru juga kurang memperhatikan kemajuan belajar siswa, perbedaan kepribadian dan tingkat kecerdasan siswa, tidak ada perhatian dari para orang tua siswa di rumah terhadap pendidikan anak-anaknya. Kesemua siswa-siswa yang bermasalah ini, guru-guru tidak membiarkan begitu saja tetapi tetap berusaha dengan bermacam cara dan daya upaya menurut kemampuan dan kesanggupan guru masing-masing, agar kesemua siswa tersebut bisa menjadi siswa yang pandai dalam kelas sama seperti siswasiswa lain yang memiliki intelektual dan kecerdasan yang berprestasi tinggi, siswa tersebut selalu dibina dan diarahkan, supaya hasil belajarnya lebih maju lagi dari
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
23
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
sebelumnya. Hal ini sesuai seperti yang dijelaskan oleh Sardiman (2006:13) adalah : Guru dibutuhkan untuk membimbing, memberi bekal yang berguna. Ia sebagai guru harus dapat memberikan sesuatu secara didaktis. Dengan tugasnya menciptakan situasi interaksi edukatif, guru tidak cukup hanya mengetahui bahan ilmu pengetahuan yang akan dijabarkan dan diajarkan pada siswa, tetapi juga harus mengetahui dasar filosofis dan didaktiknya, sehingga mampu memberikan motivasi di dalam proses interaksi dengan anak didik dan harus memahami metodologi. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, disamping guru menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan pada siswa, guru juga harus tahu tentang cara-cara membangkitkan motivasi belajar siswa, juga harus dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai dengan materi. Mengenai cara-cara yang dilakukan oleh guruguru yang mengajar mata pelajaran IPA dan IPS dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa adalah seperti yang diperoleh dari hasil penelitian, menunjukkan: a. Dengan cara pendekatan diberikan kepada anak yang bermasalah ini melebihi anakanak lainnya, akhirnya siswa tersebut lebih bersemangat dalam belajar dan percaya diri (PD) dalam mengeluarkan pendapat baik dalam diskusi kelompok maupun dalam metode bermain berperan (drama) sesama teman, yang disertai bimbingan dari guru-guru. b. Membangkitkan motivasi belajar dengan cara-cara tertentu mulai saat membuka pelajaran seperti menarik minat dan perhatian terhadap pokok bahasan dan tujuan yang ingin dicapai dalam PBM, menggunakan media dan metode yang serasi, kemudian dalam menutup pelajaran siswa mengambil kesimpulan terhadap materi yang sudah dipelajari bersamasama dengan guru. c. Dengan cara pancingan terlebih dahulu yaitu dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan, kemudian dari tanya jawab ini siswa dapat meraih prestasi tinggi. d. Dengan cara membagi-bagi kelompok belajar, tiap-tiap kelompok diberi tugas yang berbeda-beda dalam ruangan kelas, akhirnya bisa mereka kerjakan dengan 24 Nurhayati Ahmad
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
memperoleh hasil yang sangat memuaskan. Dengan cara menyuruh membuat makalah, tiap-tiap siswa satu makalahnya kemudian maju harus dipresentasikan. Bahannya dicari sendiri melalui internet dan bukubuku bacaan, juga materinya disesuaikan berbasis lingkungan, akhirnya siswa bisa meraih prestasi. Dengan cara membuat kondisi kelas yang nyaman. hal ini seperti penjelasan Hadiyanto (2004:152) yaitu: “Kalau guru Indonesia ingin meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat dimulai dengan memperbaiki iklim kelasnya”. Kemudian juga Hadiyanto (2004:159) menyatakan: “Bahwa iklim kelas ikut mempengaruhi prestasi belajar peserta didik”. Dengan cara memberi sanksi ringan kalau terdapat siswa yang tidak mau membuat tugas, supaya siswa tersebut merasa malu sehingga mau berusaha meraih prestasi, kemudian baru memberi pujian atas keberhasilannya. Mengadakan konfirmasi dengan guru-guru lain, karena pengaruh guru sangat besar dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Seperti yang dijelaskan oleh Rohani, dkk (1991:108), yaitu: “Guru dan para peserta didik menunjukkan sebagai dua sabjek pengajaran yang sama-sama menepati status yang penting”. Berarti guru dan peserta didik saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Guru tidak bisa mengajar tanpa ada murid, demikian juga murid tidak bisa belajar kalau tidak ada guru. Dengan cara menuntun dan mengarahkan bagi anak-anak yang hanya bisa membaca buku tapi tidak mengerti apa yang sudah dibacanya. Dengan cara mengaitkan materi pelajaran dengan agama (Qur’an dan Hadis) sesuai dengan Syariat Islam, membuat siswa sadar dan insaf bahwa belajar itu wajib. Bagi siswa yang malas dalam mengikuti pendidikan olahraga, mereka disupport, kata gurunya: “Bagi yang malas belajar caranya digerakkan di bangkitkan motivasinya (support) akhirnya siswa yang malas tadi menjadi rajin mengikuti latihan-latihan olahraga, sehingga berhasil”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, siswa SMAN 7 unggul dalam bidang olah raga
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
atletik mendapat juara I tingkat Kota Banda Aceh (Porda) dan Tingkat Provinsi dan juga di Pekan Olahraga Nasional (PON). Kemudian karate juga unggul, maka seorang siswinya sedang ikut T.C di Jakarta. Selanjutnya unggul dalam bidang seni tingkat Nasional mendapat juara I Kesiswaan. Dalam bidang akademik mendapat 10 besar Olimpiade tingkat Kota Banda Aceh. Menurut OemarHamalik (2008:127): Banyak hal yang harus dilakukan oleh guru-guru supaya pengajarannya berhasil antara lain: a. Mempelajari setiap murid di kelasnya; b. Merencanakan, menyediakan dan menilai bahan-bahan belajar yang akan dan/atau telah diberikan; c. Memilih dan menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan tujuan yang dicapai, kebutuhan dan kemampuan murid dan dengan bahanbahan yang akan diberikan; d. Memelihara hubungan pribadi seerat mungkin dengan murid; e. Menyediakan lingkungan belajar yang serasi; f. Membantu murid memecahkan berbagai masalah; g. Mengatur dan menilai kemajuan belajar murid; h. Membuat catatan yang berguna dan menyusun laporan pendidikan; i. Mengadakan hubungan dengan orang tua murid secara kontinyu dan penuh saling pengertian; j. Mengadakan hubungan dengan masyarakat secara aktif dan kreatif guna kepentingan pendidikan para siswa. Berdasarkan uraian di atas, guru-guru SMAN 7 Kota Banda Aceh, berarti telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa sesuai dengan anjuran tersebut, yang mana baik guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPS dan mengajar mata pelajaran IPA semua bekerja dengan penuh kesadaran, memiliki tanggung jawab dan disiplin, semua cara dilakukan agar siswa berhasil meraih prestasi yang sangat memuaskan, karena ini merupakan harapan semua pihak, baik guru di sekolah, para orang tua siswa di rumah dan anggota masyarakat di manapun mereka berada.
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan siswa SMAN 7 Banda Aceh tidak mampu meraih prestasi belajar yang memuaskan di sekolah karena: (a) Siswa sendiri malas belajar, artinya tidak ada kemauan belajar. (b) Kalau diberi tugas tidak mau mengerjakan, karena tidak disiplin. (c) Siswa tidak memiliki buku pelajaran. (d) Sarana dan prasarana kurang tersedia di sekolah. (e) Siswa sendiri tidak inovatif dan kreatif. (f) Kadang-kadang guru juga kurang memperhatikan kemajuan belajar siswa. (g) Perbedaan kepribadian dan tingkat kecerdasan siswa berbeda-beda, ada yang sangat pintar dan ada juga yang kurang pintar. (h) Tidak ada perhatian dari orang tua siswa di rumah. 2. Guru-guru SMAN 7 Banda Aceh penah melakukan peningkatan prestasi belajar siswa. Baik guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPS maupun guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPA. Semuanya selalu memperhatikan kemampuan belajar siswa, karena ada siswa yang sangat maju pendidikannya, dan ada juga yang sangat sulit memperoleh kemajuan baik dalam segi pendidikannya, maupun pada saat PBM berlangsung dan malas mengikuti latihanlatihan. Kemudian diadakan evaluasi, baru jelas mana siswa yang bagus prestasinya dan mana yang belum bagus, selanjutnya mereka dipanggil untuk dibina dan diarahkan. 3. Cara yang dilakukan guru-guru SMAN 7 Banda Aceh dalam meningkatkan prestasi belajar siswa: (a) Dengan cara pendekatan yang diberikan kepada siswa yang bermasalah melebihi dari siswa-siswa yang berprestasi. (b) Membangkitkan motivasi belajar mereka. (c) Dengan cara pancingan terlebih dahulu yaitu dengan mengajukan tanya jawab dalam PBM. (d) Dengan membagi-bagikan kelompok belajar. (e) Dengan cara mengaitkan materi pelajaran dengan agama sehingga siswa sadar. (f) Diberikan support bagi siswa yang malas mengikuti latihan olah raga. (g) Memberi tugas membuat makalah kemudian masing-masing siswa mempresentasikannya. (h) Mengadakan konfirmasi dengan guru-guru yang lain.
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
25
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
(i) Dengan cara menuntun bagi siswa yang dapat membaca saja tetapi tidak tahu apa artinya mereka tidak memahami. B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian maka rekomendasi yang perlu diberikan di sini yaitu: 1. Diharapkan kepada para guru, walaupun sangat sibuk karena banyaknya kegiatankegiatan yang harus dilaksanakan baik di sekolah maupun dalam rumah tangga dan masyarakat, namun tugas meningkatkan prestasi belajar siswa di sekolah harus tetap diutamakan. Karena ini menyangkut masa depan masysrakat bangsa dan negara. 2. Kepada para guru diharapkan agar selalu mengembangkan profesinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, sebaiknya sebelum mengajar guru-guru harus belajar terlebih dahulu, supaya dapat menerapkan semua kompotensi dalam PBM. Seperti Kompotensi Paedagogiek, Kompotensi Psychologies, Kompotensi Sosial dan Kompotens Profesi. REFERENSI A.M. Sardiman (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Budi Raharjo (2004). Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Sinar Biru Mandar Maju. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984). Pedoman Pelaksanaan Kurikulum SMA. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Hadiyanto (2004). Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ihsan,
Fuad (2005). Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Mulyasa, E. (2002). Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
26 Nurhayati Ahmad
Nasution, S. (1988). Metode Research ed 2. Bandung: Remaja Rosda Karya. _________. (2004), Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara. Hamalik Oemar (1986), Media Pendidikan, Bandung, Alumni. Rohani, A. dan Ahmadi, A. (1991). Pedoman Penyelenggara Administrasi Pendidikan Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Soelaiman, Darwis A. (1988) Pengantar Kepada Teori Dan Praktek Pengajaran, Semarang, Penerbit IKIP Semarang Press. Surachmad, W. (1985). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 27 – 36
ISSN 2338-9397
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA DALAM MATA PELAJARAN IPS TERPADU DI SMP NEGERI 3 UNGGUL INGIN JAYA KABUPATEN ACEH BESAR Martahadi1), Khairul Aswadi2), Eka Marlina3) Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Serambi Mekkah e-mail:
[email protected] 2) Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Serambi Mekkah e-mail:
[email protected] 3) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Serambi Mekkah e-mail:
[email protected] 1)
Abstrak Pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation merupakan salah satu model yang diterapkan guru untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran kooperatif ini lebih menekankan pada keaktifan siswa dalam mencari sendiri materi-materi pelajaran, baik melalui buku ajar maupun sumber lain. Peran guru dalam model ini adalah sebagai fasilitator di kelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS Terpadu dengan materi konektivitas antar ruang dan waktu di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII. Dari populasi 5 kelas, hanya dua kelas yang ditetapkan sebagai sampel, yaitu 36 orang siswa kelas VII-5 (kelas eksperimen) dan 36 orang siswa kelas VII-4 (kelas kontrol). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik tes. Pengolahan data menggunakan teknik Classical Experimental Design dengan rumus statistik uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar pada materi konektivitas antar ruang dan waktu. Kata Kunci: IPS Terpadu, Model Kooperatif, Group Investigation, Hasil Belajar
PENDAHULUAN Peningkatan hasil belajar atau prestasi siswa dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang tepat. Pembelajaran yang tepat adalah pembelajaran yang dimulai dengan perencanaan yang baik, yang dilakukan guru sebelum proses belajar mengajar dimulai sampai kepada evaluasi proses pembelajaran siswa. Dalam hal ini guru harus memilih metode dan model yang sesuai dengan kompetensi yang telah dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran guna tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan.
guru juga menjadi panutan bagi siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dalam hal ini, Djamarah (2010:51) mengemukakan bahwa, anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi individu anak karena merekalah yang akan belajar. Dengan demikian, pembelajaran benar-benar dapat merubah kondisi anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak paham menjadi paham serta dari yang berperilaku kurang baik menjadi baik.
Gaya guru pada saat mengajar di kelas sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Guru menjadi sosok yang dapat memberikan referensi atau transfer pengetahuan kepada siswa. Di samping itu,
Paradigma pembelajaran saat sudah bergeser dari guru sebagai sumber pembelajaran menjadi guru hanya sebagai fasilitator di kelas. Hal ini menuntut siswa lebih aktif dalam 27
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
proses pembelajaran, sedangkan guru hanya memfasilitasi prosesnya saja. Namun demikian, di beberapa sekolah guru mengajar masih menggunakan model-model lama dengan lebih banyak berceramah di depan kelas. Guru lebih banyak berkutat dengan teori-teori yang terdapat dalam buku ajar tanpa menghubungkan dengan dunia nyata. Seyogyanya guru dapat belajar menemukan pendekatan-pendekatan baru agar proses pembelajaraan lebih bermakna, sehingga tidak membosankan peserta didik. Solusi terhadap permasalahan di atas sebenarnya telah dilakukan oleh kementerian pendidikan melaui perubahan dan penyempurnaan kurikulum setiap tahunnya. Namun usaha ini masih memerlukan kerja keras semua pihak untuk mendukung terwujudnya standar pendidikan nasional yang berkualitas sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Hal ini sebagamana diutarakan Tirtarahardja dan La Sulo (2005:263) yang mengemukakan bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar kepada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia. Sistem pendidikan nasional merupakan suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Agar tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka LPTK harus mencetak guru-guru yang memiliki kompetensi profesional sesuai dengan tuntutan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam hal ini guru merupakan agen perubahan yang diharapkan menjadi ujung tombak pencapaian tujuan pendidikan nasional. Guru profesional adalah guru yang memiliki standar kompentensi tertentu. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Guru mencakup: (1) Kompetensi Pedagogik, yang meliputi: (a) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial kultual, emosional dan intelektual. (b) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. c) mengembangkan kurikulum yang
28 Martahadi, dkk
terkait dengan mata pelajaran yang diampu. (d) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. (e) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. (f) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. (g) berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik. (h) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi untuk kepentigan pembelajaran. (i) memanfaatkan hasi penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. (j) melakukan tindakan efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran; (2) Kompetensi Kepribadian, yang meliputi: (a) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial dan kebudayaan nasional. (b) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. (c) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa. (d) menunjukkan atas kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru dan rasa percaya diri. (e) menjunjung tinggi kode etik profesi guru; (3) Kompetensi Sosial yang meliputi: (a) bersikap inklusif, bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi. (b) berkomunikasi secara efektiv, empatik dan santun dengan sesama pendidik, tenaga pendidikan, orang tua dan masyarakat. (c) beradaptasi ditempat tugas diseluruh Wilayah Republik Indonesia yang memiliki keberagaman sosial budaya. (d) berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain; dan (4) Kompetensi profesional yang meliputi: (a) menguasai materi, struktur, konsep dan pola fikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. (b) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu. (c) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. (d) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. (e) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Salah cara untuk meningkatkan kompentensi profesional guru adalah dengan mengikuti penataran tentang kurikulum dan model-model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
yang dapat dilakukan adalah model pembelajaran koperatif. Rusman (2012:202) mengemukakn bahwa, pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Riyanto (2010:267) pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (academic skill), sekaligus keterampilan sosial (Social Skill) termasuk Interpersonal Skill. Senada dengan pendapat tersebut, Taniredja (2012:55) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pada dasarnya Cooperative Learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Model pembelajaran kooperatif, membuat guru menjadi sosok yang tidak hanya sebagai fasilitator yang akan mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun pengetahuan siswa. Proses pembelajaran ini lebih bermakna, karena siswa diajak berselancar dalam dunia nyata. Dengan demikian dapat menemukan pengalaman-pengalaman baru yang langsung diterapkannya. Salah satu tipe yang dapat diterapkan dalam pembelajaran koperatif adalah tipe Group Investigation. Menurut Trianto (2009:78) pembelajaran koperatif tipe Group Investigation atau investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Lebih lanjut Hanafiah dan Cucu Suhana (2009) mengemukakan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam model pembelajaran Group Investigation adalah sebagai berikut: (a) Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok heterogen; (b) Guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok; (c) Guru memanggil ketuan-ketua kelompok untuk mengambil satu materi tugas yang berbeda; (d)
Masing-masing kelompok secara kooperatif membahas materi yang berisi materi temuan; (e) Setelah selesai diskusi kelompok, masingmasing juru bicara menyampaikan hasil pembahasannya; (f) Guru memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan; (g) Evaluasi; dan (h) Penutup. Senada dengan terssebut, Syaran, dkk dalam Trianto (2009:80) langkah-langkah pelaksanaan model investigasi kelompok meliputi 6 (enam) fase, yaitu: (a) Memilih topik. Siswa memilih subtopik khusus di dalam suatu daerah masalah umum yang biasanya di tetapkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan menjadi dua sampai enam anggota tiap kelompok menjadi kelompokkelompok yang berorientasi tugas. Komposisi kelompok hendaknya seterogen secara akademis maupun etnis; (b) Perencanaan kooperatif. Siswa dan guru merencanakan prosedur pembelajaran, tugas dan tujuan khusus yang konsisten dengan subtopik yang telah dipilih pada tahap pertama; (c) Implementasi. Siswa menerapkan rencana yang telah mereka kembangkan di dalam tahap ke dua. Kegiatan pembelajaran hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan keterampilan yang luas dan hendaknya mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber belajar yang berbeda baik di dalam atau di luar sekolah. Guru secara ketat mengikuti kemajuan tiap kelompok dan menawarkan bantuan bila diperlukan; (d) Analisis dan sintesis. Siswa menganalisis dan menyintesis informasi yang diperlukan pada tahap ketiga dan merencanakan bagaimana informasi tersebut diringkas dan disajikan dengan cara menarik sebagai bahan untuk dipresentasikan kepada seluruh kelas; (e) Presentasi hasil final. Beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil penyelidikannya dengan cara yang menarik kepada seluruh kelas, dengan tujuan agar siswa yang lain saling terlibat satu sama lain dalam pekerjaan mereka dan memperoleh perspektif luas pada topik itu. Presentasi dikoordinasikan oleh guru; dan (f) Evaluasi. Dalam hal kelompokkelompok menangani aspek yang berbeda dari topik yang sama, siswa dan guru mengevaluasi tiap kontribusi kelompok terhadap kerja kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi yang dilakukan dapat berupa penilaian individual atau kelompok. Pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation merupakan salah satu model
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa
29
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
yang sering diterapkan guru dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan partisipasi siswa. Dimana pembelajaran kooperatif ini lebih menekankan pada keaktifan siswa dalam mencari sendiri materi-materi pelajaran, baik melalui buku ajar maupun sumber lain. Peran guru dalam model ini adalah sebagai fasilitator di kelas. Penilaian hasil belajar siswa dalam model pembelajaran Group Investigation dapat mengukur dengan baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Pengetahuan yang dimiliki akan lebih bermakna, karena siswa bukan belajar menghafal materi pelajaran, melainkan belajar memahami materi pelajaran. Di samping itu, guru juga dapat mengamati sikap dan keterampilan siswa dengan baik. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Oemar (2003:160) yang mengemukakan bahwa, hasil belajar siswa meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. (1) aspek kognitif merupakan kemampuan kognitif siswa yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, penerapan analisis sintesis dan evaluasi. (2) aspek afektif, meliputi: penerimaan, partisipasi, penilaian, penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. (3) aspek psikomotor meliputi: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, gerakan penyesuaian, dan kreativitas. Berdasarakan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation terhadap hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kuasai eksperimen yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari percobaan terhadap subjek yang dipilih oleh peneliti. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Aceh Besar pada tahun ajaran 2014/2015 dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII yang terdiri dari 5 kelas. Dalam penelitian ini penulis mengambil
30 Martahadi, dkk
sampel secara strata atau tingkatan. Dari 5 kelas tesebut, penulis mengambil 2 kelas sebagai sampel yang memiliki tingkat prestasi yang kurang baik, yaitu kelas VII-4 dan kelas VII-5. Kelas VII-5 berjumlah 36 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-4 yang berjumlah 36 siswa sebagai kelas kontrol. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tes sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) dilaksanakannya pembelajaran, sehingga diperoleh data kuantitatif. Untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan pembahasan ini, maka penulis langsung menerapkan pembelajaran kooperatif Group Investigation pada kelas ekperimen. Hal ini sebagai usaha untuk mendapatkan hasil pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation. Sedangkan untuk kelas kontrol penulis menerapkan pembelajaran konvensional yaitu dengan cara berceramah dan tanya jawab. Kemudian penulis mencatat hasil tes yang nantinya akan diolah dengan rumus statistik. Data yang telah terkumpul, diolah dengan menggunakan formula statistik melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Menyusun tabel distribudi frekuensi a. Rentang, yaitu data terbesar dikurangi data terkecil b. Banyak kelas interval yang diperlukan, dapat menggunakan aturan Sturges, yaitu Banyak kelas = 1 + (3,3) log n (Sudjana, 2005:47) c. Panjang kelas interval, rumus: = 2. Mencari rata-rata ( ̅ ) tiap kelas ∑ ̅= ∑ (Sudjana, 2005:67) 3. Menghitung varians (S2 ) = (
∑
(∑ (
)
)
. 2005: 95)
Keterangan: ̅ = nilai rata-rata S2 = varians n = banyaknya data fi = ferkuensi untuk nilai xi yang bersesuaian xi = nilai ujian
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
4. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidak sampel yang diteliti menggunakan rumus: (
=
)
−
(
, 2005: 273)
Keterangan: X2 = statistik chi kuadrat Oi = frekuensi pengamatan. Ei = frekuensi yang diharapkan 5. Uji Homogenitas Menurut Mulyatiningsih (2013:92) apabila harga F hitung lebih kecil atau sama dengan F tabel (Fh ≤ Ft), maka H0 diterima dan Ha ditolak. H0 diterima berarti varians homogen, atau varians antar kelompok tidak ada perbedaan. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui homogen atau tidak sampel yang diteliti. Uji homogenitas menggunakan rumus uji Fisher, yaitu: (
=
. 2005: 250)
Kriteria pengujian: Terima H0 jika F ≥ Fα (n1-1, n2-1) berarti kedua data adalah homogen, dan tolak H0 jika nilainya selain itu. 6. Uji Hipotesis Untuk menguji hipotesis, dianalisis dengan menggunakan rumus statistik uji-t, pada taraf signifikan 5 % (0,05). Adapun rumus statistik uji-t menurut Sudjana (2005:239) adalah: =
̅ − ̅ 1
Dengan:
+
1 =
(
)
(
)
Kriteria pengujian hipotesis: Terima Ha jika: thitung ≥ tabel pada taraf signifikan α=0.05 dan dk = (n1 + n2 - 2). Sebaliknya tolak Ha jika thitung ≤ tabel pada taraf signifikan α=0.05. Untuk uji pihak kanan, pasangan hipotesis nol dan hipotesis alternatif adalah: H0: Tidak terdapat pengaruh penggunaan metode kooperatif tipe Group Investigation terhadap hasil belajar siswa. Ha: Ada pengaruh penggunaan metode kooperatif tipe Group Investigation terhadap hasil belajar siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hasil Pre-Test Hasil penelitian mengenai hasil belajar siswa pada materi konektivitas antar ruang dan waktu diperoleh dari hasil pretest (tes awal). Data pada tabel dibawah ini menunjukkan nilai siswa sebelum pembelajaran konektivitas antar ruang dan waktu. Data tentang nilai pretest siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol ditampilkan dalam tabel sebagai berikut: 1. Nilai Pre-test Kelas VII-5 (Kelas Eksperimen) Daftar distribusi frekuensi untuk kelas VII-5 (kelas eksperimen) dengan langkah-langkah sebagai berikut: Tabel 1 Daftar Distribusi Frekuensi Pre-test Kelas VII-5 (Kelas Eksperimen) Nilai fixi2 fi xi fixi xi2 Tes 20-26 7 23 161 529 3703 27-33 7 30 210 900 6300 34-40 15 37 555 1369 20535 41-47 2 44 88 1936 3872 48-54 2 51 102 2601 5202 55-61 3 58 174 3364 10092 Jumlah 36 243 1.290 10.699 49.704 Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2014
Nilai rata-rata ( ̅ ) Keterangan: t = harga yang di cari x1 = nilai rata-rata tes kelas ekperimen x2 = nilai rata-rata tes kelas kontrol n1 = jumlah siswa kelas eksperimen n2 = jumlah siswa kelas kontrol S = varians siswa kelas eksperimen S = varians siswa kelas
=
∑
=
∑
.
= 35,83 Varians (
)
= = = =
Simpangan baku
∑ (
(∑
)
(
) ) ( .
(
)
.
(
)
)
= 99,4
= √99,4 = 9,96
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa
31
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
2. Nilai Pretest Kelas VII-4 (Kelas Kontrol) Daftar distribusi frekuensi untuk kelas VII- 4 (kelas kontrol) dengan langkah-langkah sebagai berikut: Tabel 2 Daftar Distribusi Frekuensi Pre-test Kelas VII-4 (Kelas Kontrol) Nilai fixi2 fi xi fixi xi2 Tes 20-25 20 22,5 450 506,25 10125 26-31 6 28,5 171 812,25 4873,5 32-37 3 34,5 103,5 1190,25 3570,75 38-43 3 40,5 121,5 1640,25 4920,75 44-49 1 46,5 46,5 2162,25 2162,25 50-55 3 52,5 157,5 2756,25 8268,75 Jumlah 36 225 1.050 9.067,5 33.921 Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2014
Nilai rata-rata ( ̅ )
=
∑
= 29,17 Varians (
)
∑
=
= = Simpangan baku
(∑ (
(
= .
.
(
)
. (
)
) ( .
)
. .
) .
)
= 94,17
= √94,17 = 9,70
Deskripsi Hasil Pos-Test Hasil penelitian mengenai hasil belajar siswa pada materi konektivitas antar ruang dan waktu diperoleh dari hasil postest (tes akhir). Data pada tabel dibawah ini menunjukkan nilai siswa sesudah pembelajaran konektivitas antar rung dan waktu. Data tentang nilai postest siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol ditampilkan dalam tabel sebagai berikut: 1. Nilai postest kelas VII–5 (kelas eksperimen) Tabel 3 Daftar Distribusi Frekuensi Pos-Test Kelas VII5 (Kelas Eksperimen) Nilai fi xi fixi xi2 fixi2 Tes 50 – 56 2 53 106 2809 5618 57 – 63 2 60 120 3600 7200 64 – 70 3 67 201 4489 13467 71 – 77 10 74 740 5476 54760 78 – 84 6 81 486 6561 39366 85 – 91 7 88 616 7744 54208 92 – 98 6 95 570 9025 54150 Jumlah 36 518 2.839 39.704 228.769
32 Martahadi, dkk
Nilai rata-rata ( ̅ )
=
∑
.
=
∑
= 78,86
Varians (
)
∑
=
(∑ (
(
=
(
.
(
.
=
) ( .
.
.
=
)
)
. )
)
) .
= 139
= √139 = 11,78
Simpangan baku
2. Nilai Postest Kelas VII-4 (Kelas Kontrol) Daftar distribusi frekuensi untuk kelas VII- 4 (kelas kontrol) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
.
=
∑
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2014
Tabel 4 Daftar Distribusi Frekuensi Pos-test Kelas VII-4 (Kelas Kontrol) Nilai fixi2 fi xi fixi xi2 Tes 45 – 51 3 48 144 2304 6912 52 – 58 3 55 165 3025 9075 59 – 65 4 62 248 3844 15376 66 – 72 10 69 690 4761 47610 73 – 79 5 76 380 5776 28880 80 – 86 8 83 664 6889 55112 87 - 93 3 90 270 8100 24300 Jumlah 36 483 2561 34.699 187.265 Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2014
Nilai rata-rata ( ̅ )
=
∑
.
=
∑
= 71,13
Varians (
)
∑
=
(
= = = Simpangan baku
2
(∑ (
.
. .
.
)
) ) ( .
)
( ) – . . ( )
= 145
= √145 = 12,04
Uji Normalitas Adapun tujuan dilakukan uji normalitas adalah untuk menguji normal atau tidaknya hasil penelitian, dengan rumus chi kuadrat:
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
=
(
−
)
(
̅
( )=
, 2005: 273)
Langkah-langkah melakukan uji normalitas, adalah: 1. Menentukan nilai batas kelas (x) yaitu untuk nilai tes terkecil dikurangi 0,5 dan untuk tes terbesar di tambah 0,5. 2. Menentukan angka baku (Z) nilai dengan menggunakan rumus:
pada kelas eksperimen ̅ = 78,86 dan S2 = 11,78. Pada kelas kontrol ̅ = 71,13 dan S2 = 12,04. 3. Untuk luas di bawah lengkungan normal standar dari 0 ke Z, gunakan tabel Z (Sudjana 2005:490). 4. Menghitung frekuensi harapan (Ei). Ei = A x n (n = 36 untuk kelas eksperimen da n = 36 untuk kelas kontrol).
Tabel 5 Daftar Uji Normalitas Kelas Eksperimen Nilai Tes
Batas Kelas (x)
Zskor
49,5 56,5 56,5 63,5 63,5 70,5 70,5 77,5 77,5 84,5 84,5 91,5 91,5 98,5
-2,49 -1,89 -1,89 -1,30 -1,30 -0,70 -0,70 -0,11 -0,11 0,47 0,47 1,07 1,07 1,66
50 – 56 57 – 63 64 – 70 71 – 77 78 – 84 85 – 91 92 – 98
Batas Luas Daerah 0,4936 0,4706 0,4706 0,4032 0,4032 0,2580 0,2580 0,0438 0,0438 0,1808 0,1808 0,3577 0,3577 0,4515
0,023
Frekuensi Diharapkan (Ei) 0,828
Frekuensi Pengamatan (Oi) 2
0,0674
2,4264
2
0,1452
5,2272
3
0,2142
7,7112
10
0,137
4,932
6
0,1769
6,3684
7
0,0938
3,3768
6
Luas Daerah
Jumlah Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2014
Dari Tabel 5 di atas kemudian diolah menggunakan rumus chi kuadrat berikut:
=
(
−
)
(2 − 0,828 )
36
= 1,65 + 0,07 + 0,94 + 0,67 + 0,23 + 0,06 + 2,03 = 5,65
(2 − 2,4264) = + 0,828 2,4264 (3 − 5,2272 ) + 5,2272 (10 − 7,7112 ) + 7,7112 (6 − 4,932) (7 − 6,3684 ) + + 4,932 6,3684 (6 − 3,3768) + 3,3768
Maka
= (1 − )( − 2) = (1 − 0,05)(7 − 2) = (0,95)(5) = 11,1
Jadi, dari hasil pengujian menghasilkan < (1 - α)(K - 2) yaitu 5,65 < 11,1. Hasil pengujian adalah terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa data kelas eksperimen berdistribusi normal.
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa
33
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Tabel 6 Daftar Uji Normalitas Kelas Kontrol Batas Kelas (x) 44,5 51,5 51,5 58,5 58,5 65,5 65,5 72,5 72,5 79,5 79,5 86,5 86,5 93,5
Nilai Tes 45 – 51 52 – 58 59 – 65 66 – 72 73 – 79 80 – 86 87 – 93
0,038
Frekuensi Diharapkan (Ei) 1,368
Frekuensi Pengamatan (Oi) 3
0,0976
3,5136
3
0,1736
6,2496
4
0,1334
4,8024
10
0,2111
7,5996
5
0,1431
5,1516
8
0,0698
2,5128
3
Zskor
Batas Luas Daerah
Luas Daerah
-2,21 -1,63 -1,63 -1,04 -1,04 -0,46 -0,46 -0,11 -0,11 0,69 0,69 1,27 1,27 1,85
0,4864 0,4484 0,4484 0,3508 0,3508 0,1772 0,1772 0,0438 0,0438 0,2549 0,2549 0,3980 0,3980 0,4678
Jumlah Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2014
Dari Tabel 6 kemudian dapat diolah dengan menggunakan rumus chi kuadrat, yaitu: (
=
=
)
−
(3 − 1,368) 1,368 + +
+
+
(3 − 3,5136)
3,5136 (4 − 6,2496) 6,2496 (10 − 4,8024 )
4,8024 (8 − 5,1516) + 7,5996 5,1516 (3 − 2,5128) + 2,5128
(5 − 7,5996)
= 1,94 + 0,07 + 0,80 + 5,62 + 0,88 + 1,57 + 0,09 = 10,97 Maka
= = = =
(1 − )( − 2) (1 − 0,05)(7 − 2) (0,95)(5) 11,1
Jadi, dari hasil pengujian menghasilkan < (1 - α)(K - 2) yaitu 10,97 < 11,1. Hasil pengujian adalah terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa data kelas eksperimen berdistribusi normal.
34 Martahadi, dkk
36
Uji Homogenitas Langkah selanjutnya setelah data diketahui memiliki distribusi normal, maka akan dilakukan pengujian homogenitas yang mana data akan diuji berdasarkan kesamaan varians kedua kelompok yang dilakukan dengan metode uji fisher dengan taraf signifikan 5 %. Adapun kriteria pengamatan adalah: Varians kelas eksperimen: 99,4 Varians kelas kontrol: 94,17 = =
, ,
= 1,05 Selanjutnya menentukan Ftabel menggunakan taraf 0,05 dengan dk = N – 1. = ∝( = , ( = , ( = 1,75
)
,
, ,
)
)
Kriteria pengujian terima H0 jika F ≤ ) , maka data bersifat homogen. ∝( , Hasil perhitungan menunjukkan nilai Fhitung = 1,05, sedangkan Ftabel dengan dk pembilang dan penyabut masing-masing 35 dan 35 diperoleh = 1,75. Ini berarti pada daerah penerimaan H0. Maka kelas eksperimen dan
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
kelas kontrol memiliki varians yang sama atau homogen. Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan hasil belajar siswa, maka akan dianalisis dengan menggunakan uji t. Sebelum mencari thitung maka terlebih dahulu dicari simpangan baku gabungan dengan dengan menggunakan rumus: =
(
− 1) +
+ ( − 1) − 2
(36 − 1) 139 + (36 − 1) 145 36 + 36 − 2 4865 + 5075 = 70 9940 = 70 = 142 = √142 = 11,92 =
Dengan demikian dapat dihitung nilai t sebagai berikut: ̅ − ̅
=
=
1
+
1
78,86 − 71,13 ,
=
,
=
,
1 1 + 36 36 7,73
√0,02 + 0,02 7,73
√0,04 7,73 = 11,92 (0,2) 7,73 = 2,384 = 3,24 Pengujian hipotesis dilakukan pada taraf signifikan α 0,05 dan dk = 70. Kemudian diperoleh ttabel = 1,99. Kriteria pengujian adalah terima Ha jika thitung ≥ ttabel dan tolak Ha jika t mempunyai harga-harga lain. Dari hasil penelitian didapat thitung = 3,24. Hasil ini lebih besar dari ttabel = 1,99, maka berada dalam daerah penerimaan Ha. Kesimpulan yang diambil adalah thitung ˃ ttabel yaitu 3,24 ˃ 1,99 artinya terdapat pengaruh yang signifikan pada
penggunaan metode kooperatif tipe group investigation terhadap hasil belajar siswa pada materi konektivitas antar ruang dan waktu. Hasil penelitian, diketahui bahwa hasil belajar siswa pada materi konektivitas antar ruang dan waktu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation lebih tinggi dari hasil belajar siswa yang tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation. Hal ini terlihat pada tabel nilai pretest dan postest kelas eksperimen (tabel 4.1 dan tabel 4.5) dan tabel nilai pretest dan postest kelas kontrol (tabel 4.3 dan tabel 4.7), yang memperlihatkan nilai tes awal dan tes akhir kelompok ekperimen dan kelompok kontrol. Pada awal pembelajaran siswa kelompok eksperimen diberikan tes awal (pretest). Dari tes awal ditemukan 3 siswa mendapat nilai (20), 4 siswa mendapat nilai (25), 7 siswa mendapat nilai (30), 9 siswa mendapat nilai (35), 6 siswa mendapat nilai (40), 2 siswa mendapat nilai (45), 2 siswa mendapat nilai (50), 3 siswa mendapat nilai (60). Kemudian diberikan perlakuan yaitu dua kali pertemuan pada materi konektivitas antar ruang dan waktu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, dan dilanjutkan dengan tes akhir (postest). Hasil tes akhir menunjukkan adanya peningkatan yaitu 1 siswa mendapat nilai (50), 1 siswa mendapat nilai (55), 2 siswa mendapat nilai (60), 1 siswa mendapat nilai (65), 2 siswa mendapat nilai (70), 10 siswa mendapat nilai (75), 6 siswa mendapat nilai (80), 3 siswa mendapat nilai (85), 4 siswa mendapat nilai (90), 6 siswa mendapat nilai (95). Hal yang sama juga dilakukan pada siswa kelompok kontrol. Tes awal siswa kelompok kontron mendapatkan hasil yaitu 7 siswa mendapat nilai (20), 13 siswa mendapat nilai (25), 6 siswa mendapat nilai (30), 3 siswa mendapat nilai (35), 3 siswa mendapat nilai (40), 1 siswa mendapat nilai (45), 2 siswa mendapat nilai (50), 1 siswa mendapat nilai (55). Setelah dua kali pertemuan dalam pembelajaran materi konektivitas antar ruang dan waktu yang tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, siswa diberikan tes akhir.
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap Hasil Belajar Siswa
35
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Hasil tes akhir kelompok kontrol menunjukkan 1 siswa mendapat nilai (45), 2 siswa mendapat nilai (50), 3 siswa mendapat nilai (55), 3 siswa mendapat nilai (60), 1 siswa mendapat nilai (65), 10 siswa mendapat nilai (70), 5 siswa mendapat nilai (75), 6 siswa mendapat nilai (80), 2 siswa mendapat nilai (85), 3 siswa mendapat nilai (90). Kedua kelompok belajar siswa terjadi peningkatan, namun nilai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol jauh berbeda, sehingga terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kelompok eksperimen. Walaupun demikian nilai kelompok eksperimen tetap lebih tinggi dibandingkan nilai kelompok kontol, hal ini dimungkinkan karena siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya karena siswa sendiri yang membangun pengetahuannya, dan siswa merasa senang dengan kegiatan pembelajaran kooperatif tipe group investigation karena dapat membangkitkan minat, semangat dan motivasi siswa untuk belajar IPS khususnya pada materi konektivitas antar ruang dan waktu. Namun disini terdapat juga kelemahan pembelajaran kooperatif tipe group investigation dimana membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang kurang mampu, sedangkan siswa yang mampu kadang-kadang tidak sabar menanti temannya yang belum selesai. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar tentang pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation terhadap hasil belajar siswa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation pada materi konektivitas antar ruang dan waktu terhadap hasil belajar siswa di SMP Negeri 3 Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Model pembelajaran kooperatif tipe group investigation dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab siswa akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan, penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagi pengetahuan serta tanggung jawab individu. Adapun guru hanyalah sebagai fasilitator. Sebaiknya setiap kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 3 36 Martahadi, dkk
Unggul Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar menerapkan metode pembelajaran kooperatif group investigation dan tipe yang lain agar dapat membuat siswa lebih aktif dan lebih bermotivasi dalam belajar. REFERENSI Sardiman, AM (2004). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Djamarah, Bahri Saiful (2010). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. Oemar, Hamalik (2003). Metode Mengajar dan kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito. Hafiah, Nanang dan Cucu Suhana (2009). Model-Model Pembelajaran. Bandung: PT Rafika Aditama. Mulyatiningsih, Endang (2013). Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabeta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Riyanto, Yatim (2010). Paradigma Baru Pembelajaran sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Gruop. Rusman, 2012. Model-Model Pembelajaran Pengembangan Profesionalisme Guru. Bandung: PT Raja Grafindo Persada. Sudjana. 2005. Metode Bandung:Tarsito
Statistika.
Taniredja, Tukiran dkk, 2012. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Bandung: Alfabeta Tirtarahardja, Umar dan La Sulo, SL 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Trianto,
2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya: Kencana Prenada Media Group.
Undang-undang Nomor 14 Tahun Tentang Guru dan Dosen
2005
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 37 – 44
ISSN 2338-9397
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM SISTEM MANAJEMEN PENDIDIKAN SEKOLAH Siraj Dosen Program Studi Pendidikan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Almuslim e-mail:
[email protected]
Abstrak Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat berkembang di masyarakat terutama dalam bidang pendidikan. Teknologi informasi adalah sebuah teknologi yang dipergunakan untuk mengelola data, meliputi didalamnya memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dengan berbagai macam cara dan prosedur guna menghasilkan informasi yang berkualitas dan bernilai guna tinggi. Perkembangan TIK pun terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Implementasi TIK di sekolah akan memberikan kontribusi langsung kepada peningkatan proses manajemen pembelajaran dan administrasi di sekolah. Selain itu TIK peluang untuk mengembangkan bahan ajar, belajar mandiri, motivator bagi siswa untuk mengembangkan kemampuannya dan sebagai alat untuk pengembangan profesi dan mekanisme inovasi dalam sistem monitoring dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan TIK di sekolah merupakan solusi yang paling tepat untuk menunjang peningkatan mutu sekolah termasuk keberhasilan penerapan Kurikulum 2013 dan pencapaian standar nasional pendidikan. Dengan pemanfaatan TIK, tenaga kependidikan dan stakeholders lainnya dapat meningkatkan manajemen sekolah dan aliran informasi yang efisien untuk mendukung pencapaian standar nasional pendidikan dan proses desentralisasi pendidikan di Indonesia. Kata Kunci: teknologi, manajemen pendidikan, sekolah
PENDAHULUAN Perkembangan kajian teknologi pendidikan menghasilkan berbagai konsep dan praktek pendidikan yang memanfaatkan media sebagai sumber belajar.seiring dengan kemajuan teknologi yang mengglobal telah terpengaruh dalam segala aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, kebudayan seni dan bahkan di dunia pendidikan. Harun (2009:108) mengemukakan bahwa “Tekonologi pendidikan merupakan seperangkat alat yang mendukung proses belajar mengajar yang berupa teknologi seperti : komputer, radio, TV, mobil, OHP, infokus, dan media-media yang menggukan teknologi lainnya”. Pendidikan harus mau mengadakan inovasi yang positif untuk kemajuan pendidikan dan sekolah. Tidak hanya inovasi di bidang kurikulum, sarana prasarana, namun inovasi secara menyeluruh dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam kegiatan pendidikan. Teknologi pendidikan dapat mengubah cara pembelajaran yang konvensional menjadi nonkonvensional.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat berkembang di masyarakat. Teknologi informasi adalah sebuah teknologi yang dipergunakan untuk mengelola data, meliputi didalamnya: memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dengan berbagai macam cara dan prosedur guna menghasilkan informasi yang berkualitas dan bernilai guna tinggi. Perkembangan TIK pun terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mengalami perkembangan yang amat pesat dan secara fundamental telah membawa perubahan yang signifikan dalam percepatan dan inovasi penyelenggaraan pendidikan di berbagai negara. Dharma (2007:1) mengemukakan bahwa terdapat tekanan TIK yang sangat besar terhadap sistem pendidikan secara global karena: 1. Teknologi yang berkembang menyediakan kesempatan yang sangat besar untuk
37
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
mengembangkan manajemen pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah; 2. Hasil belajar siswa yang spesifik dapat diidentifikasi dengan pemanfaatan teknologi baru tersebut; 3. TIK memiliki potensi yang sangat besar untuk mentransformasikan seluruh aspek di dalam pendidikan di sekolah dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuantujuan pembelajaran. Sejumlah negara telah mengintegrasikan TIK dalam perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Singapura misalnya, telah menerapkan teknologi informasi interaktif pada sistem persekolahan dengan rasio satu komputer dua siswa. Sistem jaringan dibangun untuk menghubungkan pendidikan, dunia internasional, dunia industri berteknologi tinggi, dan dunia kerja. Beberapa negara telah mengubah kultur pembelajaran dengan mengintegrasikan teknologi digital dalam kegiatan belajar dan bekerja di sekolah. Peralihan kultur yang dimaksud di atas hanya bisa terjadi kalau komunitas pendidikan memiliki komitmen yang kuat untuk memanfaatkan TIK. Kelompok komunitas tersebut adalah para praktisi pendidikan baik yang berkaitan dengan manajemen maupun proses belajar mengajar pada semua tingkatan dan unit pendidikan, yang terdiri atas guru, kepala sekolah, pengawas, staf administrasi, pejabat dalam lingkungan departemen pendidikan dan yang tak kalah pentingnya adalah para subjek pendidikan dari semua jenjang yang terdiri atas siswa dan mahasiswa. Dalam konteks ini, pemanfaatan TIK harus direalisasikan untuk pengelolaan pendidikan melalui otomasi sistem informasi manajemen dan akademik berbasis TIK, dan sistem pengelolaan pembelajaran baik sebagai materi kurikulum, suplemen dan pengayaan maupun sebagai media dalam proses pembelajaran yang interaktif serta sumber-sumber belajar mandiri yang inovatif dan menarik. Pendayagunaan TIK dalam manajemen pendidikan dan proses pembelajaran bertujuan untuk menfasilitasi penyelenggara dan peserta
38 Siraj
pendidikan guna mendorong kualitas pendidikan.
peningkatan
1.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Istilah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mempunyai pengertian yang sama dengan istilah Information and Communication Technology (ICT). Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mencakup dua aspek, yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi Informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Teknologi komunikasi mencakup segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentrasfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Karena itu, penguasaan TIK berarti kemampuan memahami dan menggunakan alat TIK secara umum termasuk komputer (Computer literate) dan memahami informasi (Information literate). Menurut Munir (2008:173) “Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemprosesan, manipulasi, pengelolaan, san transfer atau pemindahan informasi antar media”. UNESCO (Dharma, 2007:7) mengemukakan “TIK adalah teknologi yang digunakan untuk berkomunikasi dan menciptakan, mengelola dan mendistribusikan informasi”. Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa TIK merupakan berbagai aspek yang melibatkan teknologi, rekayasa dan teknik pengelolaan yang digunakan dalam pengendalian dan pemrosesan informasi serta penggunaannya, komputer dan hubungan mesin (komputer) dan manusia, dan hal yang berkaitan dengan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sejarah pemanfaatan TIK dalam pendidikan, khususnya dalam pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan prangkat keras TIK, khususnya komputer. Leinonen (Dharma, 2007:8) membagi perkembangan tersebut kedalam 5 fase sebagaimana dilustrasikan pada Gambar 1 berikut ini:
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Gambar 1. Fase Perkembangan TIK Sumber: Dharma (2007:8)
Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa fase pertama (akhir tahun 1970-awal 1980) adalah fase programming, drill and practice. Fase ini ditandai dengan penggunaan perangkat lunak komputer yang menyajikan latiha-latihan praktis dan singkat, khususnya untuk mata pelajaran matematika dan bahasa. Latihan-latihan ini hanya dapat menstimulasi memori jangka pendek.
system). Bahkan saat ini sudah cukup banyak paket seperti itu ditawarkan secara gratis dalam bentuk open source. Konsep pedagogik yang mendasari adalah bahwa pembelajaran membutuhkan interaksi sosial antara siswa dan siswa dan antara siswa dan guru. Dengan perangkat lunak LMS, siswa dapat bertanya kepada temannya atau kepada guru apabila dia tidak memahami materi yang telah dibacanya.
Fase kedua (akhir tahun 1980-awal 1990) adalah fase computer based training (CBT) with multimedia (latihan berbasis komputer dengan multimedia). Fase ini adalah era keemasan CD-ROM dan komputer multimedia. Penggunaan CD-ROM dan komputer multimedia ini diharapkan memberikan dampak signifikan terhadap proses pembelajaran, karena kemampuannya menyajikan kombinasi teks, gambar, animasi, dan video. Konsep pedagogis yang mendasari kombinasi kemampuan ini adalah bahwa manusia memiliki perbedaan. Sebagian bias belajar dengan baik kalau mempergunakan indra penglihatan, seperti menonton film/animasi, sebagian lainnya mungkin lebih baik kalau mendengarkan atau membaca.
Fase kelima (akhir tahun 2000) adalah fase social software + free and open content. Fase ini ditandai dengan banyaknya bermunculan perangkat lunak pembelajaran dan konten pembelajaran gratis yang mudah diakses baik oleh guru maupun siswa, yang selanjutnya dapat diedit dan dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan. Konsep pedagogik yang mendasari fase ini adalah teori kontstruktivis sosial. Dalam konteks ini, pembelajaran melalui komputer terjadi tidak hanya menerima materi dari internet saja misalnya, tapi dimungkinkan dengan membagi gagasan dan pendapat.
Fase ketiga (awal tahun 1990) adalah fase Internet-based training (IBT) (latihan berbasis internet. Pada fase ini, internet digunakan sebagai media pembelajaran. Hanya saja, pada saat itu, masih terbatas pada penyajian teks dan gambar. Penggunaan animasi, video dan audio masih sebatas ujicoba, sehingga dirasakan pemanfaatannya belum maksimal untuk dapat menfasilitasi pembelajaran. Fase keempat (akhir tahun 1990-awal 2000) adalah fase e-learning yang merupakan fase kematangan pembelajaran berbasis internet. Sejak itu situs web yang menawarkan elearning semakin bertambah, baik berupa tawaran kursus dalam bentuk e-learning maupun paket LMS (learning management
Peranan TIK dalam pendidikan yang diuaraikan di atas mengisyaratkan bahwa pengembangan TIK untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah sesuatu yang mutlak. Dalam Renstra Kementerian Pendidikan Nasional tahun 20102014, program pengembangan TIK bidang pendidikan akan dilaksanakan melalui tahaptahap sebagai berikut: 1. Tahap pertama meliputi (a) merancang sistem jaringan yang mencakup jaringan internet, yang menghubungkan sekolahsekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan internet sebagai sarana dan media komunikasi dan informasi di sekolah, (b) merancang dan membuat aplikasi database, (c) merancang dan membuat aplikasi manajemen untuk pengelolaan pendidikan di pusat, daerah, dan sekolah, dan (d) merancang dan
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Sistem Manajemen Pendidikan Sekolah
39
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
2.
3.
membuat aplikasi pembelajaran berbasis web, multimedia, dan interaktif. Tahap kedua meliputi (a) melakukan implementasi sistem pada sekolah-sekolah di Indonesia yang meliputi pengadaan sarana/prasarana TIK dan pelatihan tenaga pelaksana dan guru dan (b) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran. Tahap ketiga dan keempat adalah tahap memperluas implementasi sistem di sekolah-sekolah.
Uraian di atas lebih berfokus pada tahapantahapan yang diharapakan dilakukan Kemendikbud dalam kurung waktu tahun
2010-2014 dalam rangka pengembangan TIK dalam pendidikan. Dalam merealisasikan rencana ini, Kemendikbud membangun ICT Center Kabupaten/Kota melalui Program Jardiknas yang terdiri atas jaringan komputer, internet, dan TV Edukasi. ICT Center ini akan terkoneksi dengan sekolah-sekolah dan kantor dinas pendidikan sebagaimana digambarkan pada Gambar 2. Selain itu, guru perlu juga diperlengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menggunakan perangkat TIK. Untuk itu, manajemen sekolah perlu mengetahui kesiapan dan pelatihan TIK yang dibutuhkan guru.
Gambar 2. Jaringan ICT Center Kemendikbud Sumber: Dharma (2007:11)
Penelitian tentang pengembangan TIK di negara-negara maju dan sedang berkembang menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada empat pendekatan mengenai pemanfaatan TIK oleh sistem
pendidikan dan sekolah. Menurut UNESCO (2004:23), “keempat pendekatan ini merupakan tahapan kontinum yang diistilahkan dengan pendekatan emerging, applying, infusing, dan transforming”.
Gambar 3. Model Kontinum Pendekatan Pengembangan TIK di Sekolah Sumber: UNESCO (2004:23)
40 Siraj
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Berdasarkan kutipan tentang empat pendekatan mengenai pemanfaatan TIK oleh sistem pendidikan dan sekolah, penjelasannya sebagai berikut: Pendekatan Emerging dicirikan dengan pemanfaatan TIK oleh sekolah pada tahap permulaan. Pada pendekatan ini, sekolah baru memulai membeli atau membiayai infrastruktur TIK, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Kemampuan TIK guru-guru dan staf administrasi sekolah masih berada pada tahap memulai eksplorasi penggunaan TIK untuk tujuan manajemen dan menambahkan TIK pada kurikulum. Pada tahap ini sekolah masih menerapkan sistem pembelajaran konvensional, akan tetapi sudah ada kepedulian tentang bagaimana pentingnya penggunaan TIK tersebut dalam konteks pendidikan. Pendekatan Applying dicirikan dengan sudah adanya pemahaman tentang kontribusi dan upaya menerapkan TIK dalam konteks manajemen sekolah dan pembelajaran. Para tenaga pendidik dan kependidikan telah menggunakan TIK untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan manajemen sekolah dan tugas-tugas berdasarkan kurikulum. Sekolah juga sudah mencoba mengadaptasi kurikulum agar dapat lebih banyak menggunakan TIK dalam berbagai mata pelajaran dengan piranti lunak yang tertentu. Pendekatan Infusing menuntut adanya upaya untuk mengintegrasikan dan memasukkan TIK ke dalam kurikulum. Pada pendekatan ini, sekolah telah menerapkan teknologi berbasis komputer di laboratorium, kelas, dan bagian administrasi. Guru berada pada tahap mengeksplorasi cara atau metode baru di mana TIK mengubah produktivitas dan pekerjaan profesional mereka. Pendekatan Transforming dicirikan dengan adanya upaya sekolah untuk merencanakan dan memperbaharui organisasinya dengan cara yang lebih kreatif. TIK menjadi bagian integral dengan kegiatan pribadi dan kegiatan profesional sehari-hari. Fokus kurikulum mengacu pada learner-centered (berpusat pada peserta didik) dan mengintegrasikan mata pelajaran dengan dunia nyata. TIK diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri dengan level profesional dan disesuaikan dengan bidangbidang pekerjaan. Sekolah sudah menjadi pusat pembelajaran untuk para komunitasnya.
Dalam konteks belajar mengajar dan kaitannya dengan keempat pendekatan yang disebutkan sebelumnya, terdapat pula 4 tahap yang berkaitan dengan bagaimana guru dan peserta didik mempelajari dan menemukan percaya diri mereka dalam menggunakan TIK. Menurut Dharma (2007:14) keempat tahap tersebut yaitu: (1) Menemukan/mengenali (discovering); (2) belajar bagaimana (learning how); (3) mengerti bagaimana dan kapan (understanding how and when); dan (4) menjadi ahli (specializing) dalam penggunaan perangkat TIK. Berdasarkan kutipan di atas, maka penjelasannya adalah sebagai berikut: Pada tahap pertama, guru dan siswa baru mencoba menemukenali fungsi dan kegunaan perangkat TIK. Tahap ini berkaitan dengan tahap emerging, yang menekankan pada kemelekan TIK (ICT literacy) dan keterampilan dasar, Tahap selanjutnya, belajar bagaimana menggunakan perangkat TIK, menekankan pada bagaimana memanfaatkan perangkatperangkat TIK tersebut dalam berbagai disiplin. Tahap ini meliputi penggunaan aplikasi umum dan khusus TIK, dan berkaitan dengan tahap applying. Tahap ketiga mengacu pada pemahaman bagaimana dan kapan menggunakan perangkat TIK untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menyelesaikan tugastugas tertentu. Ini menekankan pada kemampuan membaca situasi kapan TIK dapat membantu, memilih perangkat yang sesuai untuk tugas tertentu, dan menggunakan perangkat ini untuk memecahkan masalah yang sebenarnya. Tahap ini berkaitan dengan pendekatan infusing dan transforming dalam hal pengembangan TIK. Tahap keempat mengacu pada bagaimana menjadi ahli dalam penggunaan perangkat TIK. Pada tahap ini, siswa mempelajari TIK sebagai mata pelajaran yang membawa mereka untuk menjadi ahli. Hal ini lebih mengarah kepada pendidikan kejuruan atau professional dan berbeda dengan tahap sebelumnya. 2.
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Pendidikan Dalam dunia pendidikan, banyak sekali lembaga pendidikan yang telah berhasil mengembangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam mendukung proses pembelajarannya. Dunia, saat ini sedang memasuki era yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi dan peluang ekonomi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Sistem Manajemen Pendidikan Sekolah
41
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Perubahan-perubahan besar terjadi dalam bidang teknologi, politik, sosial dan ekonomi. Menurut Sutedjo (Rochaety dkk, 2006:13) gelombang teknologi dan informasi berkembang melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Gelombang pertama, Pemanfaatan TIK difokuskan untuk peningkatan produktivitas dan memperkecil biaya 2. Gelombang kedua, TIK difokuskan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan komputer melalui pembangunan jaringan komputer 3. Gelombang ketiga, TIK difokuskan untuk menghasilkan keuntungan lewat pembangunan program sistem informasi 4. Gelombang keempat, TIK difokuskan untuk membantu proses pengambilan keputusan dari data kualitatif 5. Gelombang kelima, TIK difokuskan untuk meraih pelanggan (konsumen) melalui pengembangan jaringan internet 6. Gelombang keenam, TIK yaitu mengembangkan sistem jaringan tanpa kabel (wireless). Dalam dunia pendidikan, keberadaan sistem informasi dan komunikasi merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pendidikan. Dalam sebuah lembaga pendidikan harus memiliki komponen-komponen yang diperlukan untuk menjalankan operasional pendidikan, seperti siswa, sarana dan prasarana, struktur organisasi, proses, sumber daya manusia (tenaga pendidik), dan biaya operasi. Sedangkan sistem komunikasi dan informasi terdiri dari komponen–komponen pendukung lembaga pendidikan untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan pihak pengambil keputusan saat melakukan aktivitas pendidikan. Menurut Zulfa (2010:5) peran TIK dalam dunia pendidikan adalah: “(1) TIK sebagai keterampilan (skill) dan kompetensi; (2) TIK sebagai infratruktur pedidikan; (3) TIK sebagai sumber bahan ajar; (4) TIK sebagai alat bantu dan fasilitas pendidikan; (5) TIK sebagai pendukung manajemen pendidikan; dan (6) TIK sebagai sistem pendukung keputusan”. Teknologi informasi berbasis pada disiplin ilmu-ilmu Informatika, Teknik komputer dan Manajemen informatika yang semuanya terikat dalam komputasi. Komputasi berarti pekerjaan yang berkaitan dengan aktivitas hitung42 Siraj
menghitung proses pengolahan, penyimpanan dan penyampaian informasi, akibatnya tiap jaringan komunikasi beralih menjadi sentral informasi dan bukan komputernya lagi. Pemanfaatan yang dulunya sangat terbatas, kini telah memasuki kedalam katagori strategis, pengaruhnya pada kelangsungan usaha tidak dapat dipungkiri lagi. 3.
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Sistem Manajemen Sekolah Seiring dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah, pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah juga mengalami perubahan mendasar melalui gagasan penerapan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dianggap sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Pendekatan ini memberi peran yang lebih luas kepada sekolah. Dengan kata lain, pendekatan ini memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah sehingga manajemen sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Untuk itu, Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan dalam rangka peningkatan mutu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, penerapan TIK perlu dipertimbangkan untuk membantu pelaksanaan manajemen sekolah yang lebih efektif dan efisien. Ruud (2005:3) mengemukakan bahwa “Investasi TIK di sekolah-sekolah yang kemudian diikuti dengan pengembangan kompetensi guru dan siswa dalam bidang TIK dapat memperbaiki efektifitas pengelolaan sekolah serta meningkatkan kinerja (performance) akademik tenaga kependidikan dan peserta didik”. Hal ini dapat dipahami karena penerapan TIK di sekolah akan memberikan kontribusi langsung kepada peningkatan proses manajemen dan administrasi, peluang untuk mengembangkan bahan ajar dan belajar mandiri, motivator bagi siswa untuk mengembangkan kemampuannya, dan sebagai alat untuk pengembangan profesi dan mekanisme inovasi dalam sistem monitoring dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan TIK di sekolah merupakan solusi yang paling tepat untuk menunjang peningkatan mutu sekolah termasuk keberhasilan penerapan
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan pencapaian standar nasional pendidikan (SNP). Dengan pemanfaatan TIK, tenaga kependidikan dan stakeholders lainnya dapat meningkatkan manajemen sekolah dan aliran
informasi yang efisien untuk mendukung pencapaian standar nasional pendidikan dan proses desentralisasi pendidikan di Indonesia sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Skema penerapan TIK di sekolah dalam kaitannya dengan pencapaian standar nasional pendidikan Sumber : Dharma (2007:14)
Pada tingkat satuan pendidikan, semua komponen yang terlibat dalam persekolahan perlu merespon positif dan merealisasikannya secara bertahap. Bagi kepala sekolah, usaha yang perlu dilakukan adalah mengupayakan terciptanya manajemen sekolah berbasis TIK yang juga didukung oleh staf administrasi yang memiliki kemampuan TIK yang memadai. Dalam penerapan manajemen sekolah berbasis TIK, perangkat lunak tidak kalah pentingnya dengan perangkat keras TIK. Investasi perangkat keras tidak akan bermakna apabila tidak disertai dengan perangkat lunak. Yang menjadi focus perhatian pada bagian ini adalah program aplikasi sistem informasi sekolah yang dapat digunakan untuk menunjang pelaksanaan manajemen sekolah yang efektif dan efesien.
Program-program aplikasi semacam ini telah banyak dikembangkan baik oleh persusahaan swasta yang bergerak dalam bidang teknologi informasi, lembaga pemerintah, maupun individu. Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengembangkan sebuah perangkat lunak yang diberi nama Paket Aplikasi Sekolah (PAS) yang dilengkapi dengan Buku Petunjuk Operasional Singkat, yang dimaksudkan untuk membantu administrasi sekolah. Perangkat lunak semacam ini biasanya terdiri atas beberapa modul aplikasi, yang bervariasi berdasarkan kebutuhan sekolah, seperti Modul Penerimaan Siswa Baru (PSB), Pasca PSB, Administrasi Kepegawaian, Kesiswaan, Akademik, Administrasi Akademik, dan Keuangan. Modul-modul ini biasanya ditampilkan pada Menu Utama program. Namun untuk membuka program ini, biasanya pengguna terlebih dahulu dibutuhkan untuk login dengan memasukkan user name dan pasword. Pengintegrasian TIK dalam sistem manajemen sekolah diharapkan dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang terkait di sekolah. Manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Gambar 5. Contoh login ke program Paket Aplikasi Sekolah (PAS) Sumber: Dharma (2007:15)
Manfaat bagi Pemerintah: (i) membantu tersedianya database yang akurat serta arus informasi yang efesien mengenai profil dan peta pendidikan di Indonesia, (ii) mempercepat pemerataan pencapaian standar nasional
Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Sistem Manajemen Pendidikan Sekolah
43
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
pendidikan, (iii) membantu penyelenggaraan pendidikan
pengendalian
Manfaat bagi Sekolah: (i) membantu sekolah memperbaiki sistem manajemen dan operasionalnya, (ii) membantu sekolah dalam hal penyaluran informasi mengenai profil sekolah dan hasil belajar siswa kepada orang tua dan stakeholder lainnya, (iii) membantu sekolah untuk menyediakan sumber informasi yang mutakhir dan relevan bagi guru dan siswa Manfaat bagi Guru: (i) membuka peluang bagi guru untuk mengembangkan bahan ajar yang berbasis TIK, menarik, inovatif dan merangsang rasa ingin tahu siswa, (ii) membantu guru untuk menyusun rencana pembelajaran termasuk penyediaan sumber belajar multimedia yang komprehensif dan mutakhir, (iii) memudahkan guru untuk memantau kemajuan belajar siswa, (iv) memfasilitasi guru untuk menyusun laporan dan mengkomunikasikannya dengan orang tua, (iv) membantu guru untuk melakukan penilaian hasil belajar berdasarkan authentic assessment. Manfaat bagi orang tua: (i) memantau aktivitas dan hasil belajar anaknya di sekolah, (ii) melihat tugas-tugas dari sekolah yang diberikan kepada anak sehingga orang tua dapat berperan serta dalam kegiatan belajar anak, (iii) melihat berbagai program sekolah yang dapat diikuti oleh siswa, (iv) menjadi media interaktif antara sekolah, guru dan orang tua, dan (v) membantu pemantuaan proses pendidikan secara lansung. Manfaat bagi siswa: (i) membantu siswa untuk terampil menggunakan TIK dalam kehidupannya, (ii) membantu siswa untuk melihat dan menelaah materi belajar per pertemuan, (iii) membantu siswa untuk mengerjakan tugas-tugas dan ujian yang diberikan oleh guru secara online, (iv) membantu siswa membangun kerja kolaboratif, (v) memotivasi siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan seiring dengan kemajuan di bidang sains dan teknologi. Manfaat bagi komite sekolah: (i) memudahkan pengurus komite untuk memantau dan mengevaluasi program pendidikan di sekolah, (ii) memudahkan pengurus komite untuk berkomunikasi dengan tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah, (iii) memudahkan pengurus komite untuk terlibat dalam menyusun dan merancang program pengembangan pengelolaan sekolah dan peningkatan mutu pembelajaran. Implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam manajemen pendidikan sekolah dan proses pembelajaran 44 Siraj
bertujuan untuk menfasilitasi penyelenggara pendidikan dan peserta pendidikan guna mendorong peningkatan mutu pendidikan. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat disampaikan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan berbagai aspek yang melibatkan teknologi, rekayasa dan teknik pengelolaan yang digunakan dalam pengendalian dan pemrosesan informasi serta penggunaannya, komputer dan hubungan mesin (komputer) dan manusia, dan hal yang berkaitan dengan sosial, ekonomi dan kebudayaan. 2. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memiliki banyak peran dalam dunia pendidikan, yaitu: TIK sebagai keterampilan (skill) dan kompetensi, sebagai infratruktur pedidikan, sebagai sumber bahan ajar, sebagai alat bantu dan fasilitas pendidikan, sebagai pendukung manajemen pendidikan, dan TIK sebagai sistem pendukung keputusan. REFERENSI Dharma, Surya (2007). Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Manajemen. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. Harun, Cut Zahri (2009). Manajemen Sumber Daya Pendidikan. Yogyakarta: Pena Persada. Munir (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta. Nuh, Muhammad (2010). Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Rochaety, Ety, dkk (2006). Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Ruud, P (2005). School improvement through ICT: Limitations and Possibilities. Scotlandia: University of Edinburgh. UNESCO (2004). Schoolnettoolkit. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. Zulfa, Indana (2010). Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Terhadap Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.2 No.2 (2014): 45 – 55
ISSN 2338-9397
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS TERPADU DI SMP/MTs DAN PERMASALAHANNYA Yenni Agustina Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah e-mail:
[email protected]
Abstrak Pelaksanaanya pembelajaran IPS di SMP/MTs sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi) tanpa ada keterpaduan didalamnya. Hal ini tentu saja menghambat pencapaian tujuan pembelajaran IPS itu sendiri yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hokum dan budaya). Hal ini disebabkan antara lain: (1) kurikulum IPS itu sendiri tidak menggambarkan satu kesatuan yang terintegrasi, melainkan masih terpisah-pisah antarbidang ilmu sisoal; (2) latar belakang pendidikan guru masih merupakan guru disiplin ilmu masing-masing seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi dan antropologi sehingga masih sulit untuk melakukan pembelajaran yang memadukan antardisiplin ilmu tersebut; serta (3) terdapat kesulitan dalam pembagian tugas dan waktu pada masing-masing guru “Mata Pelajaran” untuk pembelajaran IPS secara terpadu; (4) meskipun pembelajaran terpadu bukan merupakan hal yang baru namun para guru disekolah tidak terbiasa melaksanakannya sehingga dianggap hal yang baru. Jika pembelajaran IPS Terpadu belum bisa berjalan sebagaimana mestinya yaitu memadukan mata pelajaran Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi menjadi suatu kesatuan, maka lebih baik dipisahkan menjadi bidang studi masing-masing. Kata Kunci: Pembelajaran, IPS Terpadu
PENDAHULUAN Masa depan bangsa terletak pada tangan generasi muda. Mutu bangsa dikemudian hari tergantung pada pendidikan yang diterima oleh anak-anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima disekolah. Apa yang akan dicapai disekolah , ditentukan oleh kurikulum yang diterima di sekolah tersebut. Maka dapat dipahami bahwa kurikulum merupakan salah satu faktor dasar yang sangat menentukan kemajuan pendidikan dan perkembangan suatu bangsa. KTSP mendefinisikan Pengetahuan Sosial sebagai seperangkat fakta , peristiwa dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini dan antisipasi untuk masa yang akan datang (Depdiknas,2006a:1).
Bidang Studi IPS Terpadu merupakan substansi pembelajaran pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdasarkan struktur KTSP yang memadukan pelajaran Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara terpadu menjadi satu bidang studi (Depdiknas,2006b:2). Saat ini kurikulum IPS untuk SMP telah menyatukan seluruh ilmu-ilmu sosial dalam satu bidang studi. Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan (BSNP,2006a:3). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasat IPS di tingkat SMP, meliputi bahan kajian Ekonomi, Sosiologi, Sejarah dan Geografi. Bahan kajian ini menjadi Bidang Studi IPS,
45
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
yang bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi seharihari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat (Depdiknas,2006b:4). Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadi proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. Guru sebagai pemegang kunci dalam proses pembelajaran sangat menentukan proses keberhasilan siswa. Guru hendaknya menciptakan kondisi pembelajaran yang efektif yaitu mampu memahami karakteristik siswa, menyiapkan materi secara baik sesuai dengan kurikulum yang berlaku, memanfaatkan media dan sumber belajar dengan baik,dan memilih metode yang tepat. Pemilihan metode yang tepat ini penting karena metode tersebut mampu mendidik siswa menjadi subjek belajar yang berkembang dan terlibat langsung dalam pembelajaran. Namun demikian, pelaksanaanya pembelajaran IPS di sekolah SMP/MTs sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi) tanpa ada keterpaduan didalamnya. Hal ini tentu saja menghambat ketercapaian tujuan IPS itu sendiri yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hokum dan budaya). Hal ini disebabkan antara lain: (1) kurikulum IPS itu sendiri tidak menggambarkan satu kesatuan yang terintegrasi, melainkan masih terpisah-pisah antarbidang ilmu sisoal; (2) latar belakang pendidikan guru masih merupakan guru 46 Yenni Agustina
disiplin ilmu masing-masing seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi dan antropologi sehingga masih sulit untuk melakukan pembelajaran yang memadukan antardisiplin ilmu tersebut; serta (3) terdapat kesulitan dalam pembagian tugas dan waktu pada masing-masing guru “Mata Pelajaran” untuk pembelajaran IPS secara terpadu; (4) meskipun pembelajaran terpadu bukan merupakan hal yang baru namun para guru disekolah tidak terbiasa melaksanakannya sehingga “dianggap” hal yang baru. Akan tetapi dalam kenyataannya saat ini, secara umum pelaksanaan pembelajaran IPS masih banyak dilaksanakan secara terpisah, sehingga pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar masih dilakukan sesuai dengan kajian masing-masing mata pelajaran. Tanpa adanya keterpaduan di dalamnya. Hal ini disebabkan salah satunya kompetensi akademik guru yang kurang memadai, sehingga guru lebih memberikan pembelajaran pada materi yang dikuasinya. Padahal Kompetensi IPS Terpadu tidak hanya dalam satu materi pelajaran saja, melainkan menterpadukan keseluruhan subjek dalam bidang studi IPS. Sampai sekarang juga masih banyak dijumpai disekolah-sekolah yang belum melaksanakan pembelajaran IPS secara terpadu, yaitu masih menggunakan metode lama, bidang studi IPS masih berdiri sendirisendiri. Padahal sesuai dengan kurikulum 2006 (KTSP) untuk bidang studi IPS di jenjang SMP secara legal dan formal ditetapkan dengan menggunakan model pembelajaran IPS Terpadu. Namun sebagian konsep yang baru dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pembelajaran IPS Terpadu tidak mudah untuk diterapkan secara universal. Bahkan pemerintah menargetkan untuk empat tahun kedepan setelah penetapan berlakunya KTSP yang di dalamnya memuat untuk pembelajaran IPS Terpadu secara menyeluruh. Pada tahun 2010 semua sekolah di Indonesia dapat melaksanakan model pembelajaran IPS di Indonesia dapat melaksanakan model pembelajaran IPS Terpadu secara menyeluruh. Pemerintah juga terus melakukan upaya kegiatan sosialisasi mengenai pelaksanaan pembelajaran IPS secara terpadu agar tujuan dan pelaksanaan pembelajaran IPS dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan pedoman KTSP .
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Masih terjadi kesenjangan antara pelaksanaan pembelajaran IPS sesuai dengan pedoman KTSP dengan kenyataan pelaksanaannya di sekolah. Padahal model pembelajaran IPS Terpadu dapat diaplikasikan dengan baik sesuai dengan pedoman KTSP, maka dapat menghantarkan peserta didik untuk dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Oleh karena itu pemakalah berusaha untuk menggali tentang permasalahan yang dihadapi guru IPS dalam melaksanakan pembelajaran IPS secara terpadu. Nantinya diharapkan dapat memberikan upaya pelaksanaan pembelajaran IPS yang lebih baik, dengan upaya perbaikan dan memberikan solusi dari permasalahan yang ada. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran IPS dapat dilaksanakan sesuai dengan pengertian dan tujuan model pembelajaran IPS Terpadu yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut sehingga mengarahkan pemakalah dalam menulis makalah ini dengan judul “Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya”.
PEMBAHASAN Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyerdehanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsepkonsep dan keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi dan Ekonomi (Purkur, 2001:9). Materi pelajaran IPS merupakan penggunakan konsep-konsep dari ilmu sosial yang terintegrasi dalam tematema tertentu. IPS menggambarkan interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat baik lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Interaksi antar individu dalam ruang lingkup lingkungan mulai dari yang terkecil misalnya keluarga, tetangga, rukun tetangga atu rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, Negara dan dunia (Puskur,2007:14). Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitasaktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi, dan control sosial. Secara intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-studi sosial (Puskur, 2007:7).
Ilmu Politik
Sejarah Geografi Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Sosial
Antropologii
Ekonomi Psikologi Sosial Filsafat
Gambar 1. Keterpaduan Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial Sumber: Puskur (2007:7)
Karakteristik Mata Pelajaran IPS Karakteristik mata pelajaran IPS SMP/MTs menurut Puskur (2007:6) antara lain sebagai berikut : a. IPS merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hokum, politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humunaria, pendidikan dan agama. b. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topik tertentu. c. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan
pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. d. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, struktur, proses dan masalah sosial serta upayaupaya perjuangan hidup, agar survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan dan jaminan keamanan. e. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan.
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya
47
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Tabel 1. Dimensi IPS dalam kehidupan manusia Dimensi dalam kehidupan manusia Area dan substansi pembelajaran
Contoh kompetensi dasar yang dikembangkan Alternative penyajian dalam mata pelajaran
Ruang
Waktu
Nilai/Norma
Alam sebagai tempat dan penyedia potensi sumber daya Adaptasi spasial dan eksploratif
Alam dan kehidupan yang selalu berproses, masa lalu, saat ini dan yang akan datang Berpikir kronologis, prospektif, antisipatif
Geografi
Sejarah
Kaidah atau aturan yang menjadi perekat dan penjamin keharmonisan kehidupan manusia dan alam Konsisten dengan aturan yang disepakati dan kaidah alamiah masing-masing disiplin ilmu Ekonomi, sosiologi/antropologi
Tujuan Pembelajaran IPS Tujuan pembelajaran IPS Terpadu terdapat dalam empat kategori (Indriati,2009:20) antara lain adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan Pengetahuan adalah kemahiran dan pemahaman terhadap sejumlah informasi dan ide-ide. Tujuan pengetahuan ini membantu para siswa untuk belajar lebih banyak tentang dirinya, fisiknya dan dunia sosial. Misalnya, siswa dikenalkan dengan konsep apa yang disebut dengan lingkungan alam, lingkungan buatan. Keluarga, tetangga dan lainnya.
perubahan yang terjadi begitu cepatnya. Perubahan banyak terjadi dalam berbagai sector kehidupan khususnya dalam kehidupan sosial. Untuk menyikapi perubahan-perubahan tersebut perlu adanya rumusan visi masa depan mata pelajaran IPS.
b. Keterampilan Keterampilan adalah pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu sehingga digunakan pengetahuan yang diperolehnya. Beberapa keterampilan yang ada dalam IPS antara lain: keterampilan berpikir, keterampilan akademik, keterampilan penelitian, dan keterampilan sosial.
Visi mata pelajaran IPS dalam aspek lokal adalah mata pelajaran IPS harus memiliki basis lokal. Basis lokal yang dimaksud adalah keunggulan lokal yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat dimana siswa berada harus dijadikan pondasi dalam pengembangan materi IPS. Pentingnya basis lokal agar pembelajaran IPS mampu melihat aspek lokalitas dimana siswa berada. Aspek lokalitas dapat berfungsi untuk membangun jati diri. Perubahan-perubahan global yang menembus berbagai sector kehidupan siswa tidak akan mencerabut nilai-nilai lokal yang sudah lama hidup dalam lingkungan sosial dimana siswa tinggal. Pemaknaan lokal bukan disikapi dengan sikap pelestarian, akan tetapi lebih pada pengembangan. Nilai-nilai lokal perlu dikembangkan dan menjadi materi IPS.
c. Sikap Sikap adalah kemahiran mengembangkan dan menerima keyakinan-keyakinan interaksi, pandangan-pandangan dan kecenderungan tertentu. d. Nilai Nilai adalah kemahiran memegang sejumlah komitmen yang mendalam, mendukung ketika sesuatu dianggap penting dengan tindakan yang tepat. Visi Mata Pelajaran IPS Visi dalam mata pelajaran IPS adalah bagaimana kurikulum IPS yang diinginkan dimasa yang akan datang. Masa akan datang yang dimaksud adalah perubahan yang diharapkan dalam jangka panjang. Hal ini perlu dirumuskan mengingat perubahan48 Yenni Agustina
IPS sebagai mata pelajaran yang mengkaji berbagai perilaku dan interaksi manusia dalam kehidupan sosial, memiliki aspek keruangan atau spasial. Aspek spasial dalam rumusan visi IPS ke depan harus menjadi landasan. Aspek spasial tersebut adalah lokal, nasional dan global atau internasional.
Aspek nasional dalam kurikulum IPS ke depan yaitu mata pelajaran IPS tetap harus menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Nasionalisme merupakan konsep politik yang terbentuk karena adanya latarbelakang sejarah yang sama. Kesamaan latar belakang sejarah yang sama harus dapat menanamkan rasa memiliki Negara RI, kecintaan terhadap bangsa bukanlah merupakan doktrin ideologi Negara yang bersifat pasif dan dogmatis, akan
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
tetapi merupakan doktrin yang bersifat dinamis, artinya doktrin yang senantiasa menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi. Hal ini perlu ditanamkan dengan harapan agar ketahanan diri sebagai warga Negara dapat terjaga ketika menghadapi gelombang perubahan . perubahan yang menembus berbagai sendi kehidupan siswa jangan sampai mencabut rasa kebangsaannya. Seorang siswa dapat bergaul dalam komunitas global tetapi dia tetap sebagai warga Negara bangsa. Kurikulum IPS sebagai mata pelajaran yang mempelajarai berbagai kehidupan masyarakat yang kompleks haruslah dapat mengadopsi keragaman yang ada pada masyarakat bangsa Indonesia. Pengakuan terhadap eksistensi keragaman haruslah ditanamkan kepada diri siswa. Keragaman harus diakui sebagai realitas objektif yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini perlu dikembangkannya konsep multikultur dalam melihat realitas masyarakat Indonesia yang beragam. Hal yang harus dilakukan dalam melihat keragaman ini adalah perlu dicari relasi di antara keragaman. Keragaman jangan disikapi dengan sikap dikhotomi, yang membedakan secara tajam antara satu budaya dengan budaya yang lain, apalagi sampai menafikan terhadap eksistensi budaya yang lainnya. Sikap di khotomi tersebut dapat menimbulkan masalah sosial yaitu terciptanya konflik sosial secara horizontal. Eklusivisme budaya harus dihindari, tetapi harus dibangun inklusivisme. Aspek visi dalam konteks global adalah kurikulum IPS harus bisa membaca kecenderungan yang terjadi pada era globalisasi. Ciri dari globalisasi adalah terjadinya akselerasi perubahan yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi. Teknologi informasi telah menghilangkan batas-batas geografis antara wilayah atau belahan dunia. Selain itu, globalisasi telah menciptakan masyarakat yang semakin kompetitif. Oleh sebab itu kurikulum IPS harus mampu menciptakan siswa menjadi warga dunia yang memiliki keunggulan kompetitif.
Pembelajaran Terpadu dalam IPS Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS disebut dengan pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik (Depdiknas,2006b:3). Salah satu diantaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian peserta didik terlatih untuk dapat menemukan berbagai konsep yang dipelajari. Depdiknas (2006:10) menjelaskan IPS merupakan integrasi dari berbagai cabangcabang ilmu sosial seperti, sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hokum dan budaya. IPS dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial tersebut. IPS atau studi sosial itu merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang diturunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial : sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat dan psikologi sosial. Depdiknas (2006b:10) menjelaskan tentang model integrasi pembelajran IPS Terpadu ada 3 macam yaitu sebagai berikut : 1. Model integrasi berdasarkan topik Dalam pembelajaran IPS keterpaduan dapat dilakukan berdasarkan topik yang terkait, misalnya “kegiatan ekonomi penduduk”. Kegiatan ekonomi penduduk dalam contoh yang dikembangkan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam IPS. Kegiatan ekonomi penduduk dalam hal ini ditinjau dari persebaran dan kondisi fisik geografis yang tercangkup dalam disiplin ekonomi dan geografi.
Skema berikut memberikan gambaran keterkaitan suatu topik atau tema dengan berbagai disiplin ilmu yaitu :
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya
49
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
SEJARAH 1. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa HinduBudha, serta peninggalanpeninggalannya 2.
3.
Sejarah Geografi Kegiatan EkonomiPenduduk Sosiologi Ekonomi
Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan pada masa Islam di Indonesia serta peninggalanpeninggalannya. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintah pada masa kolonial Eropa
SOSIOLOGI 1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial. 2.
GEOGRAFI Mendeskripsikan pola kegiatan ekonomi penduduk, penggunaan lahan dan pola permukiman, berdasarkan kondisi fisik permukaan bumi.
EKONOMI 1. Mendeskripsikan peran badan usaha, termasuk koperasi, sebagai tempat berlangsungnya proses produksi dalam kaitannya dengan pelaku ekonomi dan distribusi barang dan jasa 2.
Menguraikan proses interaksi sosial
Mengungkapkan gagasan kreatif dalam tindakan ekonomi untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan.
Gambar 2. Model Integrasi IPS berdasarkan Topik/Tema Sumber: Depdiknas (2006b:10)
Secara sosiologis, kegiatan ekonomi penduduk dapat mempengaruhi interaksi social di masyarakat atau sebaliknya. Secara historis dari waktu ke waktu kegiatan ekonomi penduduk selalu mengalami perubahan. Selanjutnya penguasaan konsep tentang jenisjenis kegiatan ekonomi sampai pada taraf mampu menumbuhkan kreatifitas dan kemandirian dalam melakukan tindakan ekonomi dapat dikembangkan melalui kompetensi yang berkaitan dengan ekonomi.
3. Model integrasi berdasarkan permasalahan Model pembelajaran terpadu pada IPS yang lainnya adalah berdasarkan permasalahan yang ada, contohnya adalah “Tenaga Kerja Indonesia”. Pada pembelajaran terpadu, tenaga kerja Indonesia ditinjau dari berbagai faktor social yang mempengaruhinya. Diantaranya adalah faktor geografi, ekonomi, sosiologi dan sejarah.
2. Model Integrasi berdasarkan Potensi Utama Keterpaduan IPS dapat dikembangkan melalui topik yang didasarkan pada potensi utama yang ada di wilayah setempat, sebagai contoh “potensi Bali sebagai daerah tujuan Wisata”. Dalam pembelajaran yang dikembangkan dalam kebudayaan Bali dikaji dan ditinjau dari faktor alam,historis kronologis, dan kausalitas, serta perilaku masyarakat terhadap aturan. Melalui kajian potensi utama yang terdapat didaerahnya, maka peserta didik selain dapat memahami kondisi daerahnya juga sekaligus memahami Kompetensi Dasar yang terdapat pada beberapa disiplin ilmu yang tergabung dalam IPS.
Dari skema model integrasi IPS di atas dapat diketahui bahwa suatu permasalahan social yang ada dalam kehidupan sehari-hari dapat dikaji dari berbagai aspek ilmu-ilmu social yaitu sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi. Dengan begitu peserta didik diharapkan nantinya mampu memahami fenomena dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat dilihat dari sudut pandang ilmuilmu social yang saling mempengaruhi menjadi satu kesatuan pembelajaran IPS Terpadu.
50 Yenni Agustina
Mata Pelajaran IPS Terpadu dalam KTSP Kurikulum SMP 2006 (KTSP) mendefinisikan Pengetahuan Sosial sebagai seperangkat fakta, peristiwa dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini dan diantisipasi
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
untuk masa yang akan datang (Depdiknas, 2006a:1). Bidang studi IPS Terpadu merupakan substansi pembelajaran pada tingkat SMP berdasarkan struktur KTSP yang memadukan mata pelajaran Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara terpadu menjadi satu bidang studi (Depdiknas,2006b:2) Saat ini bidang studi IPS untuk SMP telah menyatukan seluruh ilmu-ilmu sosial dalam satu bidang studi. Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan (BSNP,2006a:3). Unsur yang terkait dengan bidang studi IPS di SMP ini terdiri dari studi Geografi meliputi aktivitas dan peranan manusia dalam upaya untuk beradaptasi dengan tantangan lingkungan alam dan manusia. Studi Sejarah memaparkan peristiwa dan perubahan masyarakat, pengalaman umat manusia dari masa lampau untuk memahami dan menjadi pelajaran hidup masa kini, serta merencanakan masa yang akan datang dalam hal ini ada proses pewarisan budaya. Studi Ekonomi menyangkut perjuangan hidup dari berbagai aspek dan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. Aspek Sosiologi memaparkan struktur dan hubungan antar anggota masyarakat, studi Antropologi memaparkan tentang kebudayaan manusia dalam memahami dan menjadi pelajaran hidup masa kini dan studi Kewarganegaraan memaparkan tentang sistem berbangsa dan bernegara. Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Hukum, Politik, Antropologi budaya, Sejarah, dan Kewarganegaraan adalah cabang-cabang ilmu sosial yang kemudian dari cabang-cabang ilmu sosial tersebut diambil sebagai bahan ajar (Bidang Stersebut diambil sebagai bahan ajar (Bidang Studi) di jenjang SMP, khususnya untuk mata pelajaraan Sosiologi, Geografi, Ekonomi dan Sejarah. Dengan demikian, bidang studi IPS di SMP merupakan dari mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Ekonomi dan Sejarah. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk
menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Namun demikian, pelaksanaannya di sekolah SMP/MTs pembelajaran IPS sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar bidangentik, dan aktif. Namun demikian, pelaksanaannya di sekolah SMP/MTs pembelajaran IPS sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar bidang studi IPS masih dilakukan sesuai denga studi IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masingmasing tanpa adanyg kajian masing-masing tanpa adanya keterpaduan didalamnya (Depdiknas,2007:3). Menurut Prawiradilaga (2004:16), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak. Pengalaman bermakna merupakan pengalaman langsung yang menghubungkan pengalaman yang telah mereka miliki dengan pengalaman yang akan dipelajari, dan memiliki nilai guna dalam kehidupan mereka pada saat ini maupun mendatang. Oleh sebab itu, pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Dimana dalam pembelajaran terpadu anak didik akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang mereka pahami. Pengalaman belajar dalam IPS lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengaan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan . perolehan keutuhan belajar, pengetahuan serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya
51
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
dapat direfleksikan melalui terpadu (Harianti,2008:5).
pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran guru harus dapat mengaplikasikan materi yang sedang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari agar siswa dapat memperoleh kecakapan hidup dari contoh yang ada disekitar mereka. Dengan demikian, siswa terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistic, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang oleh guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para siswa (Harianti,2008:5). Melihat rumusan tersebut, IPS merupakan bidang studi yang berdimensi sangat luas. Paling tidak menurut Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (BSNP,2006b:2) “IPS merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu social, antara lain: Sosiologi, Geografi, Ekonomi, dan Sejarah”. Tugas seorang guru dalam proses pembelajaran yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menuju terjadinya perubahan perilaku para siswa. Tingkat keberhasilan guru dalam KTSP di dalam kelas bukanlah hanya sekedar tercapainya suatu tujuan belajar, akan tetapi keberhasilan guru juga ditentukan oleh sejauhmana mereka mengembangkan kecakapan siswanya, karena guru sebagai change agent. Guru harus mengembangkan kreativitas para siswa melalui kecakapan motivasi dengan suasa belajar yang kondusif. Muslich (2007:38) menyatakan bahwa pelaksanaan kurikulum, tugas guru adalah mengkaji kurikulum melalui kegiatan perseorangan, kelompok (dapat dengan sesame guru di sekolah, dengan guru sekolah lain atau
dengan kepala sekolah dan personil pendidikan yang lain seperti pengawas). Untuk itu, dalam menghadapi KTSP guru harus memahami komponen KTPS secara benar dan matang sebelum dilaksanakan, agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar. KTSP memberikan otonomi luas pada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggung jawab sesuai kondisi setempat. Sekolah dan satuan pendidikan juga diberikan kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Melalui otonomi yang luas, sekolah dapat menikmati kinerja tenaga pendidikan dengan menawarkan partisipasi aktif mereka dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab bersama dalam pelaksanaan keputusan yang diambil secara proporsional dan professional (Mulyasa,2007:29-30). Kurikulum 2006 bertujuan memberdayakan siswa-siswa memiliki kecakapan hidup (life skill), mampu hidup mandiri, berdikari, berpandangan hidup ke masa depan, yang tidak mengajar berpikir seketika, memiliki pikiran optimis (Yamin,2004:104). Dengan adanya KTSP maka setiap sekolah bisa menentukan hal-hal apa saja yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan sekolah agar para siswa dapat menerima pembelajaran dengan baik. Dengan adanya keleluasaan setiap sekolah dalam menyusun kurikulum maka dapat memandirikan para guru mata pelajaran. Adapun Standar Kompetensi yang hendak dicapai bidang studi IPS pada jenjang SMP sebagaimana tabel di bawah ini :
Tabel 2. Standar Kompetensi IPS Terpadu KELAS VII
STANDAR KOMPETENSI Kemampuan memahami (1) lingkungan hidup manusia,(2) kehidupan social manusia,(3) usaha manusia memenuhi kebutuhan,(4) usaha manusia untuk mengenali perkembangan lingkungannya,(5)perkembangan masyarakat sejak masa Hindu-Budha sampai masa kolonial Eropa,(6) kegiatan ekonomi masyarakat. VIII Kemampuan memahami (1) permasalahan social kaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk,(2) proses kebangkitan nasional,(3) masalah penyimpangan social,(4) kegiatan pelaku ekonomi masyarakat, (5) usaha persiapan kemerdekaan,(6)pranata dan penyimpangan social, (6)kegiatan perekonomian Indonesia. IX Kemampuan memahami (1) perkembangan Negara di dunia,(2) usaha mempertahankan kemerdekaan,(3) perubahan social budaya,(4) lembaga keuangan dan perdagangan,(5) hubungan manusia dengan bumi,(6) usaha mempertahankan Republik Indonesia,(7) perubahan pemerintah dan kerjasama Internasional. Sumber: BSNP (2006b:2)
52 Yenni Agustina
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Berdasarkan pada Standar Kompetensi pada tabel di atas dapat dipahami seberapa jauh tujuan pengajaran IPS Terpadu. Hal ini sekaligus menunjukkan muatan pelajaran IPS yang menyentuh segala peri kehidupan social manusia. Oleh sebab itu, ukuran pencapaian hasil belajar haruslah mewakili kompetensi yang menjadi dasar pengembangan materi pelajaran ini. Dengan kompetensi sebagaimana paparan tabel di atas, IPS Terpadu mempunyai tujuan, meliputi: 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan social. 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai social dan kemanusiaan. 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional dan global (Depdiknas:2006b:32). Dalam penyampaian materi pembelajaran IPS Terpadu dapat optimal sesuai dengan tujuan yang direncanakan, diperlukan guru IPS yang professional. Mengingat guru sebagai pemegang kunci dalam proses pembelajaran sangat menentukan proses keberhasilan siswa. Guru hendaknya menciptakan kondisi pembelajaran yang efektif, yaitu mampu memahami karakteristik siswa, menyiapkan materi secara baik sesuai dengan kurikulum yang berlaku, memanfaatkan media dan sumber belajarng berlaku, memanfaatkan media dan sumber belajar dengan baik, dan memilih metode tersebut mampu mendidik siswa menjadi subjek belajar yang berkembang dan terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut BSNP (2006b:14), agar penyampaian materi pembelajaran IPS Terpadu dapat optimal sesuai dengan tujuan yang direncanakan diperlukan guru mata pelajaran IPS Terpadu yang professional, yang mengikuti criteria sebagai berikut:
a. Ditinjau oleh suatu ilmu tentang IPS Terpadu secara mendalam yang hanya diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada ilmuan yang dimiliki yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. b. Menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang IPS yang spesifik. c. Mempunyai kemampuan dan keahlian tentang IPS Terpadu berdasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat. Sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat pula keahliannya, dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya. Permasalahan Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP Pelaksanaanya pembelajaran IPS di sekolah SMP/MTs sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi) tanpa ada keterpaduan didalamnya. Hal ini tentu saja menghambat ketercapaian tujuan IPS itu sendiri yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hokum dan budaya). Hal ini disebabkan antara lain: a. Guru bidang studi Guru mengalami kesulitan disaat kurikulum diubah dari KBK ke KTSP, sehingga guru dituntut untuk bisa mengajar IPS secara terpadu. Latar belakang pendidikan guru masih merupakan disiplin ilmu masing-masing seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi dan antropologi sehingga masih sulit untuk melakukan pembelajaran yang memadukan antardisiplin ilmu tersebut.
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya
53
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
b. Materi Pelajaran Materi pelajaran masih terpisah-pisah yaitu sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi, belum adanya buku khusus IPS terpadu sehingga guru kesulitan untuk memahami materi yang akan diajarkan, karena guru biasanya pedoman pada buku ajar yang ada. Kemudian terdapat kesulitan dalam pembagian tugas dan waktu pada masingmasing guru “Mata Pelajaran” untuk pembelajaran IPS secara terpadu. c. Penyusunan Silabus Kurikulum IPS itu sendiri tidak menggambarkan satu kesatuan yang terintegrasi, melainkan masih terpisahpisah antarbidang ilmu sosial, begitu juga dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya masih terpisah-pisah menurut bidang studi masing-masing. Meskipun pembelajaran terpadu bukan merupakan hal yang baru namun para guru disekolah tidak terbiasa melaksanakannya sehingga “dianggap” hal yang baru. d. Penyusunan RPP Didalam penyusunan RPP guru juga mengalami kesulitan, dimana selain materi pelajarannya terpisah-pisah, kesulitan untuk menterpadukan kesemua bidang studi. Selain itu alokasi waktu yang ditentukan tidak cukup untuk mengajarkannya kepada siswa, sehingga semua yang disusun dalam RPP tidak berjalan sebagaimana mestinya.
KESIMPULAN IPS terpadu adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyerdehanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi dan Ekonomi. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabangcabang ilmu sosial seperti, sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hokum dan budaya. Model integrasi pembelajaran IPS Terpadu ada 3 macam yaitu; model integrasi berdasarkan topik, model integrasi berdasarkan potensi
54 Yenni Agustina
utama, model permasalahan.
integrasi
berdasarkan
Bidang studi IPS Terpadu merupakan substansi pembelajaran pada tingkat SMP berdasarkan struktur KTSP yang memadukan mata pelajaran Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara terpadu menjadi satu bidang studi. Pelaksanaanya pembelajaran IPS di sekolah SMP/MTs sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi) tanpa ada keterpaduan didalamnya. Hal ini tentu saja menghambat ketercapaian tujuan IPS itu sendiri yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hokum dan budaya). Apabila pembelajaran IPS Terpadu tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yaitu memadukan mata pelajaran Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi menjadi suatu kesatuan, maka lebih baik dipisahkan menjadi bidang studi masing-masing yaitu ekonomi, geografi, sejarah dan sosiologi.
REFERENSI BSNP.2006a. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. BSNP.2006b. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2006. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional.2006a. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Jakarta: Pusat Kurikulum. Departemen Pendidikan Nasional.2006b. Model Pembelajaran Terpadu IPS. Jakarta: Pusat Kurikulum.
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.2 No.2 Tahun 2014
Departemen Pendidikan Nasional.2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu pengetahuan Sosial (IPS). Jakarta: Pusat Kurikulum. Harianti, Diah.2008. Model Pembelajaran Terpadu IPS. Departemen Pendidikan Nasional. Mulyasa.2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Pusat Kurikulum.2007. Model Pembelajaran Terpadu IPS. Jakarta: Depdiknas. Yamin, M.2007. Profesionalisme Guru dan Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press.
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Terpadu di SMP/MTs dan Permasalahannya
55