Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
Volume 2, Nomor 2, September 2013
ISSN: 2089-7375
JURNAL MANAJEMEN Jurnal Manajemen adalah media informasi untuk menganalisis secara kritis dan konstruktif mengenai isu-isu pembangunan melalui kajian-kajian ilmu manajemen berupa hasil penelitian, studi kepustakaan, maupun tulisan ilmiah terkait. Terbit pertama kali tanggal 28 Februari 2012 dengan frekuensi 2(dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Februari dan September Pelindung : Rektor Universitas HKBP Nommensen Pembina : Wakil Rektor I Universitas HKBP Nommensen Direktur Program Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen Ketua Pengarah : Dr.Pasaman Silaban,SE.,MSBA Ketua Penyunting : Dr.Kornel Munthe,SE.,M.Si Penyunting Pelaksana : Dr.Ir.Jongkres Tampubolon,MSc Dr.Timbul Sinaga,SE.,MSA Dr.Adanan Silaban,SE.,M.Si, Ak Dr.Ir.Parulian Siamanjuntak,MA Dr.Jonni Manurung Dr.Elisabeth Siahaan,SE.,MEc Dr.Donalson Silalahi,SE.,MS Prof.Dr.Monang Sitorus, M.Si Mitra Bestari : Prof.Dr.Soekrisno Agoes,MM (Universitas Tarumanegara) Prof.Dr.Prihatin Lumbanraja,SE.,M.Si (Univ. Sumatera Utara) Prof.Dr.Hamfri Djajadikerta,SE.,MM (Universitas Parahyangan) Prof.Dr.Marcelia Susan,SE.,MSIE (Univ. Kristen Maranatha) Tata Usaha Teknisi
: Simon Sitanggang,SE : Meilinda Harefa,SE Alamat Redaksi Program Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen Jl.Sutomo No.4A Telepon (061) 4522922; 4522831;4565635 P.O.Box 1133 Fax.4571426 Medan 20234 E-mail:
[email protected] 112
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
Volume 2, Nomor 1, Februari 2013
ISSN: 2089-7375
JURNAL MANAJEMEN DAFTAR ISI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN HUTANG (Studi di Perusahaan Industri Manufaktur di Bursa Efek Indonesia)
Pasaman Silaban 112-125 PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL TERHADAP KARAKTERISTIK PASAR SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA Donalson Silalahi 126-28
PENGARUH PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA MANAJERIAL (Studi Kasus Pada Rumah Sakit Advent Medan) Richard Panjaitan Adanan Silaban 29-39
PENGARUH TINGKAT BUNGA DOMESTIK, TINGKAT BUNGA LUAR NEGERI DAN NILAI TUKAR MATAUANG RUPIAH TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA Marintan Silalahi Kornel Munthe 40-58 PENGARUH KOMPETENSI, LINGKUNGAN KERJA DAN KEPEMIMPINAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Maria R Samosir Parada Manik 59-78 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LOYALITAS WARGA JEMAAT GEREJA HKBP SIMANULLANG DISTRIK III HUMBANG Bilker Simamora 79-87 PENGARUH VOLUME PERDAGANGAN SAHAM TERHADAP SPREAD, NONINFORMATION COST, DAN INFORMATION COST PADA PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA Saut Purba Donalson Silalahi 88-89 112
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN HUTANG (Studi di Perusahaan Industri Manufaktur di Bursa Efek Indonesia) Oleh Pasaman Silaban
Abstract The objective of this research is to analyze the influence of the free cash flow, investement opportunity set, managerial ownnershio, and size firms to the debt to equity ratio of Company in Indonesia Stock Exchange. This research applies the survey method to 56 public companies that registered in Indonesia Stock Exchange in 2002-2004. The sampling method applied the purposive sampling method. The data of research is analyzed by multi linear regression. The results of research indicates that the variables of of the free cash flow, investement opportunity set, managerial ownnershio, and size firms have a significant influence simultaneously to the debt to equity ratio of Company in Indonesia Stock Exchange. Partially, the variable of of the free cash flow, managerial ownnershio, and size firms have a significant influence to the debt to equity ratio of public companies registered at Indonesia Stock Exchange, while variable of investement opportunity set have not significant influence partially to the debt to equity ratio of companies registered at Indonesia stock exchange. The results of this research can be a base for investor in take an investment decision. Keywords : Free cash flow, investement opportunity set, managerial ownnershio, size firms and debt to equity ratio pihak, manajer sebagai pengelola PENDAHULUAN perusahaan akan menerima gaji dan Dalam usaha untuk memaksimalkan berbagai bentuk kompensasi lainnya kekayaan perusahaan, perlu didukung sehingga keputusan-keputusan yang pula dengan kondisi pengelolaan diambil oleh manajer diharapkan yang perusahaan yang baik walaupun di dalam terbaik bagi pemegang saham yaitu perusahaan tentunya terdapat meningkatkan kemakmuran para kepentingan yang berbeda dari pihakpemegang saham melalui peningkatan pihak seperti manajemen, debtholders atau nilai perusahaan. bondholders, dan para pemegang saham. Dengan melakukan penyelarasan Penunjukan manajer oleh pemegang antara kepentingan pengelola dengan saham untuk mengelola perusahaan, oleh kepentingan pemegang saham, akan Jensen dan Meckling (1976), Bathala et al. membantu memecahkan masalah moral (1994) dalam Listyani (2003), disebut hazard. Pemberian sebagian kepemilikan sebagai pemisahan fungsi decision making kepada pengelola merupakan cara untuk dan risk beating. Jensen dan Meckling mengatasi masalah yang timbul ketika menyatakan, dalam keadaan ini akan pemegang saham kesulitan untuk memunculkan perbedaan kepentingan memonitor pengelola perusahaan dimana antara manajer dengan pemegang saham. terdapat kemungkinan aset perusahaan Pemegang saham sebagai penyedia dan dapat digunakan untuk kepentingan fasilitas untuk operasi perusahaan. Di lain
112
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
pengelola daripada memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Konflik antara pengelolaan perusahaan dengan pemegang saham telah menjadi bidang studi yang menarik perhatian para peneliti terdahulu. Mekanisme pengawasan dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat meminimumkan konflik kepentingan diantaranya. Namun dengan mekanisme pengawasan tersebut dapat menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency costs. Perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas memiliki sifat limited liability (yaitu tanggung jawab pemilik terbatas pada modal yang disetorkan) maka perusahaan mungkin memutuskan untuk menggunakan rasio hutang yang terlalu tinggi karena ingin menggeser resiko finansial kepada para kreditor. Karakteristik limited liability tersebut akan mengakibatkan pemilik menikmati seluruh manfaat (setelah dikurangi bunga pinjaman) apabila investasi berhasil, dan kreditor ikut menanggung kerugian pada saat investasi gagal, sebaliknya para kreditor pun akan menyadari situasi yang mereka hadapi apabila mereka memberikan kredit pada perusahaan yang telah mempunyai hutang yang terlalu tinggi. Para kreditor akan meminta imbalan (suku bunga) yang makin tinggi dan mensyaratkan berbagai covenant yang akan mengamankan kredit yang mereka. Dalam penelitian Crutchley dan Hansen (1989) mengenai kebijakan hutang yang dilihat dari sisi pemegang saham yaitu jika semakin banyak pemegang saham dengan proporsi kepemilikan yang semakin kecil (tidak ada suara mayoritas) maka kemampuan monitoring pemegang saham tidak efektif, sehingga dibutuhkan adanya pihak ketiga yang membantu pemegang saham untuk memonitor dan membatasi manajemen sehingga pihak debtholders masuk melalui kebijakan
hutang yang bertujuan untuk mengurangi agency cost of equity. Aliran kas bebas (free cash flow) merupakan aliran kas sesungguhnya yang tersedia untuk dibagikan kepada pemegang saham dan kreditur setelah perusahaan menginvestasikan kedalam aktiva tetap dan modal kerja yang diperlukan untuk mempertahankan operasional perusahaan (Brigham dan Davis, 2002 dalam Luthan,2004). Dalam hal ini, perusahaan dapat mendistribusikan kas tersebut kepada pemegang saham tanpa mempengaruhi nilai perusahaan (akibat penurunan kas) atau menggunakan kas tersebut untuk memperoleh keuntungan dari suatu kesempatan usaha yang baru. Ukuran perusahaan menjadi variabel lain yang memiliki kemungkinan berpengaruh terhadap struktur hutang perusahaan. Tarjo dan Jogiyanto (2003) menjelaskan bahwa ukuran perusahaan juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan level hutang perusahaan. Kemudahan yang dipunyai oleh perusahaan besar dalam mendapatkan pinjaman dari pihak ketiga, dikarenakan oleh kemampuan mengakses kepada pihak lain atau jaminan yang dimiliki berupa aset bernilai besar dibandingkan perusahaan kecil. Gagaring Pagalung (2003) mengemukakan pula bahwa ukuran (size) perusahaan merupakan salah satu faktor yang menggambarkan keunggulan karena memiliki aktiva yang relatif besar yang dapat meningkatkan nilai opsi investasinya sehingga lebih mudah berkompetisi dan menguasai pangsa pasar. Telah banyak pula dilakukan penelitian mengenai hubungan struktur kepemilikan saham dengan struktur modal perusahaan. Pada umumnya, penelitian-penelitian tersebut menggunakan managerial ownership
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
sebagai unsur struktur kepemilikan dan mereka menemukan hasil yang berbeda. Agrowal dan Mendelker (1987) menemukan hubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan debt ratio perusahaan, sedangkan dan Jensen et al. (1992) menemukan hubungan antara persentase saham yang dipegang manajer (kepemilikan manajerial) dengan debt ratio perusahaan. Hasil yang tidak konsisten menimbulkan research gap yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, kepemilikan manajerial menjadi topik yang menarik untuk riset empiris. Di Indonesia, bursa efek terbesar yang menjadi replika bagi bursa efek lainnya yaitu Bursa Efek Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, pada penelitian ini memilih BEJ yang merupakan bursa efek utama di Indonesia sehingga data mencakup keseluruhan perusahaan terutama di sektor industri manufaktur. Berdasarkan paparan di atas maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh free cash flow, PBV sebagai proksi set kesempatan investasi, kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan terhadap debt to equity ratio.
manajemen (sebagai agen). Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan sebagian besar manajemen puncak (top management) hanya memiliki saham nominal dalam perusahaan yang mereka kelola (Arifin, 2005). Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen (Arifin, 2005). Inti dari agency theory (teori keagenan) adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997). Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan agency problem, di antaranya yaitu disebabkan adanya asymmetric information, dimana terjadi informasi yang tidak seimbang yang diakibatkan adanya distribusi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Oleh karena itu, muncul pula permasalahan akibat dari kesulitan yang dihadapi oleh prinsipal dalam memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan permasalahan tersebut yaitu: (1) Moral hazard yaitu permasalahan di mana agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja, (2)Adverse selection yaitu suatu keadaan
LANDASAN TEORI Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) merupakan kontrak dimana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang untuk membuat keputusan kepada pihak agen. Namun dalam hubungan keagenan tersebut akan menimbulkan masalah atau konflik agensi. Hal ini dikarenakan adanya kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest) antara pemegang saham (sebagai prinsipal) dengan pihak
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. Adanya perilaku dari manajer/agen yang bertindak hanya untuk memaksimalkan utilitasnya (self serving behavior), memungkinkan mereka membuat kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena manajer mempunyai informasi yang lebih lengkap mengenai day to day activities perusahaan dibandingkan pemilik perusahaan. Dengan adanya agency problem tersebut, dapat menimbulkan biaya yang disebut agency cost atau biaya keagenan, yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari : (1) The monitoring expenditures by principle, (2) The bonding expenditures by the agent, dan (3) The residual loss,
Chen dan Stainer (1999) menyatakan bahwa perusahaan menggunakan hutang untuk mendanai sebagian besar aktiva. Adanya hubungan positif antara kebijakan hutang dengan risiko sehingga peningkatan hutang meningkatkan risiko keuangan. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik sehingga diperlukan peraturan terhadap penggunaan hutang untuk mengurangi konflik keagenan. Menurut Copeland (1988), terjadinya financial distress juga menimbulkan konflik keagenan di antaranya melalui asset substitution dan under investment, sehingga kepemilikan manajerial terkait dengan risiko kebangkrutan yang disebabkan oleh hutang. Dalam hal ini, DER (Debt Equity Ratio) yang rendah diharapkan mengurangi risiko kebangkrutan dan financial distress. Easter Brok (1984) menjelaskan bahwa pemegang saham melakukan pengawasan terhadap manajemen namun bila biaya monitoring tersebut tinggi maka mereka akan menggunakan pihak ketiga untuk membantu melakukan pengawasaan. Pihak ketiga tersebut sendirinya akan berusaha melakukan tindakan pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut. Perusahaan-perusahaan yang mempunyai rasio hutang yang cukup tinggi yaitu bank dan pembiayaan. Namun jika perusahaan berbentuk limited liability company maka kemungkinan terjadinya debt agency problems akan lebih besar. Kasus leverage buyout Nabisco yang menyebabkan harga obligasi lama sampai jatuh sekitar 20% (Damodaran, 1997) mengilustrasikan masalah tersebut. Semakin terkonsentrasi kepemilikan perusahaan, akan berakibat meningkatnya kemungkinan terjadinya debt agency problems. Oleh karena itu, para kreditor akan mensyaratkan berbagai covenant untuk melindungi kredit yang mereka berikan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya mempertahankan rasio likuiditas
Kebijakan Hutang Dalam usaha untuk mengembangkan dan mengelola perusahaan, manajer memerlukan dana baik dari internal maupun eksternal perusahaan. Dana dari internal perusahaan berasal dari laba ditahan, sedangkan dana dari eksternal perusahaan berasal dari modal sendiri dan hutang. Myers (1977) dan Myers dan Monjulf (1984) menjelaskan keterkaitan antara kebijakan hutang dengan profitabilitas perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan yang lebih menguntungkan akan menurunkan hutangnya. Hal tersebut dikarenakan memiliki sumber dana internal yang lebih besar dari laba (earnings) untuk membiayai program investasinya. Oleh karena itu, kebijakan hutang dijadikan proksi dari risiko yang dihadapi oleh pemegang saham dan menjadi biaya keagenan dalam konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditor.
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
minimal tertentu, membatasi pembagian dividen maksimum dalam persentase tertentu dan sebagainya. Teori keuangan juga menjelaskan bahwa memaksimumkan nilai perusahaan dapat dilakukan atas biaya (pengorbanan) pihak kreditor (Haley dan Shall, 1979). Kebijakan hutang dapat digunakan sebagai salah satu alat pengawasan dalam mengontrol konflik keagenan. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Jensen (1986) bahwa dengan kebijakan hutang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen, sehingga menghindari investasi yang sia-sia. Kebijakan hutang juga menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak kreditur.
AKOit : aliran kas operasi perusahaan I pada tahun t PMit : pengeluaran modal perusahaan I pada tahun t NWCit : modal kerja bersih perusahaan I pada tahun t Aliran kas operasi adalah kas berasal dari aktivitas penghasil utama pendapatan perusahaan dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Pengeluaran modal adalah pengeluaran bersih pada asset tetap yaitu asset tetap bersih akhir periode dikurangi asset tetap bersih pada awal periode. Sedangkan modal kerja bersih adalah selisih antara jumlah asset lancar dengan hutang lancar pada tahun yang sama.
Free Cash Flow (Aliran Kas Bebas) Menurut Jensen (1986), free cash flow adalah kelebihan kas yang dibutuhkan untuk mendanai proyek-proyek yang memiliki net present value positif setelah membagi dividen. Hipotesisnya mengenai free cash flow yaitu manajer ada kalanya tidak ingin mendistribusikan kas yang dimiliki perusahaan kepada pemegang saham. Jensen (1986) menyatakan pula bahwa tekanan pasar akan mendorong manajer untuk mendistribusikan free cash flow kepada pemegang saham atau risiko akan kehilangan kendali terhadap perusahaan. Hackle dkk. (1995) dalam Tarjo (2002) mendefinisikan bahwa aliran kas bebas adalah semua kas yang dihasilkan dari kegiatan operasi yang dapat didistribusikan kembali pada pemegang saham tanpa mempengaruhi tingkat pertumbuhan sekarang. Free Cash Flow diperlukan untuk mendanai semua proyek yang memiliki net present value positif, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Ross et al. (2000), yaitu: FCFit = AKOit – PMit – NWCit FCFit : free cash flow
Set Kesempatan Investasi (Investment Opportunity Set / IOS) Menurut Myers (1977), set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set / IOS) merupakan keputusan investasi dalam bentuk kombinasi aktiva yang dimiliki (assets in place) dan pilihan pertumbuhan/growth option di masa yang akan datang, dimana IOS tersebut akan mempengaruhi nilai suatu perusahaan. Nilai opsi pertumbuhan tersebut tergantung pada discretionary expenditure manajer. Opsi pertumbuhan tersebut dapat berupa investasi tradisional atau discretionary expenditure yang diperlukan untuk kesuksesan perusahaan seperti penelitian dan pengembangan teknologi baru (Jones dan Sharma, 2001), dalam Lestari (2004). Gaver dan Gaver (1993) mengemukakan bahwa opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya ditunjukkan dengan adanya proyek-proyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan saja, tetapi juga dengan kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi kesempatan mengambil keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam suatu
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
kelompok industrinya. Gaver dan Gaver (1993) mengemukakan pula bahwa pilihan bertumbuh bagi perusahaan merupakan sesuatu yang setara melekat bersifat tidak dapat diobservasi. Penelitian Vogt (1997) menunjukkan bahwa perusahaan yang bertumbuh akan direspon positif oleh pasar. Smith dan Watts (1992) peluang pertumbuhan perusahaan tersebut terlihat pada kesempatan investasi yang diproksikan dengan berbagai macam kombinasi nilai set kesempatan investasi/IOS. Menurut Kallapur dan Trombley (2001) pertumbuhan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan size, sementara set kesempatan investasi merupakan opsi untuk berinvestasi dalam proyek yang memiliki net present value yang positif. Set kesempatan investasi juga meningkatkan size perusahaan, sedangkan tidak semua growth opportunities memiliki net present value yang positif. (Holydia Lestari, 2004) Berdasarkan pengertian tersebut para peneliti seperti Gaver dan Gaver (1993), Jones dan Sharma (2001) dan Gull (1999) telah mengembangkan proksi pertumbuhan perusahaan menjadi IOS sesuai dengan jenis data yang tersedia dalam penelitiannya. Selanjutnya IOS ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan klasifikasi pertumbuhan perusahaan di masa depan apakah suatu perusahaan masuk dalam klasifikasi yang tumbuh atau tidak tumbuh (Imam Subekti dan Indra Wijaya Kusuma, 1999).
mengurangi masalah keagenan. Kepemilikan saham perusahaan oleh manajer berkaitan erat dengan kontrol dan monitoring atas perilaku manajemen, sebagai konsekuensi dari adanya konflik keagenan. Jika tingkat kepemilikan manajerial rendah, berarti manajemen mempunyai pengaruh dan voting power terbatas, sedangkan investor eksternal mempunyai kuasa untuk me-monitor dan membatasi perilaku oportunistik manajer, sehingga mengurangi konflik keagenan. Konsekuensinya, kedua pihak mempunyai pengaruh positif terhadap managerial incentive problems (Brailford et al., 2001), yakni mengurangi perilaku oportunistik manajer. Konflik kepentingan dapat timbul di antara pemegang saham ketika pemegang saham memiliki kendali lebih besar daripada seharusnya. Apabila seseorang memiliki kendali yang berlebihan maka dia akan cenderung memiliki insentif untuk memperoleh keuntungan pribadi karena akan cenderung menguasainya akibatnya kinerja perusahaan akan menurun (Joh, 2001). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kecenderungan ini meningkat ketika kepemilikan pemegang saham pengendali berkurang. Pada perusahaan dengan kepemilikan yang terbagi-bagi, pemilik saham terbesar akan mengendalikan perusahaan. Pada perusahaan yang dimiliki oleh konglomerat dengan kepemilikan institusi, pemegang saham pengendali akan mengendalikan perusahaan dengan sedikit kepentingan. Besaran perusahaan berasosiasi dengan biaya diversifikasi yang ditanggung manajer dan berasosiasi negatif dengan floation cost (Hansen, 1989) untuk mengontrol biaya keagenan ekuitas. Dalam hal ini, manajer perusahaan besar akan mengurangi kepemilikannya (liquidation cost) dan akan memperbesar dividen (Crutchley dan Hansen, 1989).
Kepemilikan Manajerial Demsetz dan Lehn (1985) dalam Faisal (2004) menyimpulkan bahwa konsentrasi kepemilikan manajerial digunakan perusahaan untuk menghilangkan masalah keagenan. Crutchley dan Hansen (1989), Bathala, Moon dan Rao (1994) mengemukakan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk
Ukuran Perusahaan (Firm Size)
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
Menurut Tarjo (2005), ukuran perusahaan juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan level hutang perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar cenderung lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga, karena kemampuan mengakses kepada pihak lain atau jaminan yang dimiliki berupa asset yang bernilai besar dibandingkan perusahaan kecil. Short dan Keasey (1999) juga menyatakan bahwa besarnya ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kemudahan suatu perusahaan dalam memperoleh sumber pendanaan baik eksternal maupun internal. Perusahaan besar dapat mengakses pasar modal. Karena kemudahan tersebut maka berarti bahwa perusahaan memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dana. Hasil studi dari Moh’d, et al. (1998) dan Homaifar, et al. (1994) menemukan bahwa firm size mempunyai hubungan yang positif dan signifikan berpengaruh terhadap debt ratio.
Kepemilikan manajerial dalam kaitannya dengan kebijakan hutang mempunyai peranan penting yaitu mngendalikan kebijakan keuangan perusahaan agar sesuai dengan keinginan pemegang saham (Megginson, 1997). Keinginan pemegang saham berusaha menyamakan kepentingan dari pemegang saham dengan kepentingan dari manajemen melalui program-program yang mengikat kekayaan pribadi manajemen ke dalam kekayaan perusahaan. Hasil penelitian Jensen et al. (1992) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara persentase kepemilikan manajer dengan debt ratio. Dengan demikian, meningkatnya kepemilikan manajemen dapat mensejajarkan kepentingan manajemen dengan kepentingan pemegang saham dan mengurangi peranan hutang sebagai salah satu alat untuk mengurangi konflik keagenan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh dari kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang adalah negatif. Perusahan besar dapat mengakses pasar modal karena kemudahan tersebut maka berarti bahwa perusahaan memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dana. Pengaruh ukuran perusahaan adalah positif terhadap kebijakan hutang. Dalam penelitian Gull dan Jaggi (1999), yang menggunakan data sebanyak 1869 observasi pada perusahaanperusahaan di Amerika Serikat dengan menggunakan periode penelitian antara tahun 1989 sampai 1993, menemukan pengaruh antara free cash flow dengan level hutang yang berbeda antara perusahaan besar dan perusahaan kecil yang memiliki IOS rendah. Secara umum, penelitian tersebut memberikan bukti yang mendukung adanya pengaruh positif dari free cash flow terhadap kebijakan hutang. Hal tersebut sesuai dengan Jensen (1986) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan free cash flow besar cenderung akan
Kerangka Pemikiran Tekanan pasar akan mendorong manajer untuk mendistribusikan free cash flow kepada pemegang saham atau risiko akan kehilangan kendali terhadap perusahaan.Untuk membiayai perusahaan, manajer akan meningkatkan pendanaan dengan hutang sehingga pengaruh free cash flow terhadap kebijakan hutang adalah positif. Smith dan Watts (1992) secara empiris menemukan adanya bukti bahwa pada perusahaan yang mempunyai kesempatan oleh lebih besar mempunyai rasio debt to equity yang lebih rendah dalam kebijakan struktur modalnya karena pendanaan modal sendiri (equity financing) cenderung untuk mengurangi masalah-masalah agensi yang potensial sehingga pengaruh dari IOS terhadap kebijakan hutang adalah negatif.
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
mempunyai level hutang yang lebih tinggi. METODE PENELITIAN
Kepemilikan manajerial merupakan ukuran persentase saham yang dimiliki oleh direksi, manajemen, komisaris ataupun setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). 5. Ukuran Perusahaan (SIZE) Diukur dengan menggunakan ukuran total aktiva dengan menggunakan logaritma dari total asset (Jaggi dan Gull,1999 dalam Tarjo,2002).
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan DER (Debt to Equity Ratio) sebagai variabel dependen, sementara itu variabel independen yang digunakan adalah Free Cash Flow, PBV sebagai proksi IOS/Investment Opportunity Set (Set Kesempatan Investasi), kepemilikan manajerial, dan ukuran perusahaan. Berikut ini adalah definisi operasional variabel tersebut. 1. Kebijakan Hutang Variabel ini diproksikan dengan Debt to Equity Ratio (DER). DER menggambarkan perbandingan antara total hutang dengan total ekuitas perusahaan yang digunakan sebagai sumber pendanaan usaha. 2. Free Cash Flow (FCF) Ross et al. (2000) mendefinisikan bahwa Free Cash Flow sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusikan kepada kreditor atau pemegang saham yang tidak diperlukan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Free Cash Flow dihitung dengan menggunakan rumus Ross et al. (2000) yaitu: FCFit = AKOit - PMit – NWCit FCFit : free cash flow AKOit : aliran kas operasional perusahaan i pada tahun t PMit : pengeluaran modal perusahaan i pada tahun t NWCit : modal kerja bersih perusahaan i pada tahun t 3. IOS/Investment Opportunity Set (Set Kesempatan Investasi) Dalam penelitian ini diwakili oleh PBV. Price per Book Value (PBV), merupakan rasio antara harga pasar saham terhadap nilai buku per lembar saham. r 4. Kepemilikan Manajerial (MOWN)
Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua perusahaan sektor industri manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2002 sampai dengan 2004. Pemilihan sampel penelitian didasarkan pada metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004). Sampel ini ditentukan berdasarkan kriteria yang ditentukan sebagai berikut: 1. Perusahaan sektor industri manufaktur yang terdaftar di BEJ dan mempublikasikan laporan keuangan secara konsisten dari tahun 2002 sampai dengan 2004. 2. Tidak pernah di delist dari BEJ. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui sumber yang ada, antara lain buletin statistik, publikasi pemerintah, informasi yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan dari dalam atau luar perusahaan, data yang tersedia dari penelitian sebelumnya, studi kasus dan dokumen perpustakaan, data online, situs Web, dan internet (Sekaran, 2006). Data yang diambil adalah laporan keuangan perusahaan publik manufaktur yang terdaftar di BEJ untuk tahun 2002 – 2004. Dasar pertimbangan memfokuskan perusahaan manufaktur adalah adanya
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013 harapan keseragaman perusahaan.
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
kebijakan
dimiliki pihak manajerial SIZE = ukuran perusahaan = residual loss
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Dalam penelitian ini, pengumpulan data untuk sampel penelitian menggunakan metode pooled data yaitu penggabungan data cross section dan time series.
Pengujian Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik dilakukan agar hasil analisis regresi memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Asumsi klasik dari suatu persamaan linear yang terdiri atas normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Uji Signifikansi Parameter secara bersamasama dan secara parsial digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji t dan uji F.
Metode Analisis Teknik analisis data adalah analisis regresi berganda dengan rumus: DER = + 1 FCF - 2 IOS - 3 OWNSP + 4 SIZE + DER = Debt to Equity Ratio sebagai proksi kebijakan hutang = konstanta 1, 2, 3, 4 = koefisien regresi FCF = Free Cash Flow IOS = Set Kesempatan Investasi diproksi oleh PBV OWNSP = persentase saham yang
HASIL DAN PEMBAHASAN Statistik Deskriptif Variabel-Variabel yang Digunakan Ringkasan statistik deskriptif diuraikan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan Minimum Maksimum Rata-Rata Deviasi Standar
Variabel
N
FCF (jt) IOS MOWN
159 159 159
-6640490 -190,5 0,0000003
2348430 8,79 0,94
-42999,9279 -0,3835 0,0548
983193,7849 15,29367 0,09883
SIZE (jt)
159
530,996
39145053
1665871,566
5011630,024
117,7
-6,5098
95,21104
DER 159 -1177,95 Sumber : Data SPSS yang diolah
Dari table 1 di atas variabel FCF mempunyai nilai rata-rata bertanda negatif sebesar Rp 42.999.927.982,72 dan nilai deviasi standarnya adalah Rp 983.193.784.948,23 Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perusahaanperusahaan sektor manufaktur yang menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki FCF bertanda negatif yang berarti kurang tersedianya kelebihan kas. Variabel Investment Oportunity Set (IOS)
yang diproksikan dengan price to book value (PBV) memiliki nilai rata-rata bertanda negatif sebesar 0,3835 dengan nilai deviasi standarnya adalah sebesar 15,29367. nilai rata-rata variabel kepemilikan manajerial sebesar 5,48% dengan nilai deviasi standar sebesar 9,883%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perusahaan-perusahaan sektor manufaktur yang menjadi sampel memiliki kepemilikan manajerial sebesar
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
5,48%. Variabel ukuran perusahaan (SIZE) memiliki nilai rata-rata sebesar Rp1.665.871.566.049,20 Hal ini menunjukkan bahwa secara umum perusahaan-perusahaan sektor manufaktur memiliki total assets sebesar angka tersebut. Sedangkan nilai deviasi standarnya adalah sebesar Rp 5.011.630.024.537,57 Nilai minimum variabel ukuran perusahaan (SIZE) adalah sebesar Rp 530.996.840,00 yang terdapat pada PT Sorini Corporation Tbk. Variabel DER memiliki nilai rata-rata sebesar 6,5098. Sedangkan nilai deviasi standar variabel DER sebesar 95,21104. Berdasarkan pada Lampiran A, nilai maksimum variabel DER yaitu sebesar 117,7 yang terdapat pada PT Langgeng Makmur Industri Tbk.
dapat digunakan dengan baik dan mencerminkan kondisi data yang ada. Uji Multikolinearitas Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat inter korelasi yang sempurna di antara beberapa variabel independen yang digunakan dalam model. Berikut ini hasil pembuktian nilai koefisien korelasinya. Tabel 3 Collinearity Statistics Variabel Tolerance VIF FCF 0,960 1,041 IOS 0,975 1,026 MOWN 0,976 1,025 SIZE 0,931 1,074 Sumber : Data SPSS yang diolah Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai tolerance value dari semua variabel berada di atas 0,10 dan nilai VIF di bawah 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel.
Analisis Data Pengujian Asumsi Klasik Hasil pengujian asumsi klasik adalah sebagai berikut: Uji Normalitas Data Pengujian normalitas data dilakukan untuk mengetahui bahwa suatu data terdistribusi secara normal atau tidak. Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat pada table 2 berikut:
Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan uji Glejser. Hasil pengujian. Heteroskedasisitas adalah sebagai berikut: Tabel 4 Hasil Uji Glejser
Tabel 2 Hasil Pengujian Normalitas Uji KolgomorovKeterang Smirnov an Nilai Signifikansi 0,798 0,548 Terdistri busi normal Sumber : Data SPSS yang diolah
Signifikan Keterangan t Statistik si FCF 1,570 0,118 IOS -1,231 0,220 MOWN -1,085 0,280 SIZE -0,914 0,362 Sumber : Data SPSS yang diolah Dari tabel 4 di atas, menunjukkan bahwa semua variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen yaitu absolute error Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
Besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,798 dan probabilitas signifikansi pada 0,548 hal ini menunjukkan bahwa data telah berdistribusi normal sehingga
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
ada gejala heteroskedastisitas akan menjadi persamaan regresi yang tidak bias dan linier serta dapat digunakan untuk melakukan prediksi.
Nilai DurbinWatson 0,990
Tidak ada autokolerasi Sumber : Data SPSS yang diolah
Uji Autokolerasi Untuk mendiagnosis adanya autokorelasi dalam suatu model regresi, dilakukan melalui pengujian terhadap nilai Durbin-Watson dengan ketentuan sebagai berikut (Santoso, 2000) : Nilai Durbin-Watson dibawah -2 berarti autokorelasi positif. Nilai Durbin-Watson di antara -2 s.d +2 berarti tidak ada autokorelasi. Nilai Durbin-Watson di atas +2 berarti autokorelasi negatif. Hasil pengujian autokorelasi dapat dilihat pada table 5 berikut.
Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat dikatakan bahwa besarnya nilai DurbinWatson berada pada kisaran tidak ada autokolerasi, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokolerasi pada persamaan regresi dalam penelitian ini. Untuk mengetahui apakah variabel independen secara parsial dan bersamasama berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap variabel dependen, maka dilakukan uji t dan F. Hasil regresi berganda yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 5 Hasil Uji Durbin-Watson
Variabel
Kesimpulan
Tabel 6 Hasil Analisis Regresi Berganda Koefisien Regresi Nilai t
Konstanta -5,179 FCF -0,128 IOS 0,127 MOWN -0,100 SIZE 4,700 Nilai F = 8,396* Adj R² = 0,158 Keterangan: * Signifikansi pada tingkat signifikansi 5%. Nilai t tabel dengan df 155 pada tingkat signifikansi 5% adalah 1,6547 Sumber : Data SPSS yang diolah.
Signifikansi
-3,398 0,001 -2,700 0,008 1,626 0,106 -2,184 0,030 3,257 0,001 FCF adalah sebesar (-)2,700 yang lebih besar apabila dibandingkan t tabel dengan derajat bebas (df) 155 pada tingkat signifikansi 5% sebesar 0,008. Hasil tersebut menunjukkan bahwa FCF berpengaruh signifikan tetapi negatif (ditunjukkan dengan tanda koefisiennya negatif) terhadap DER. Temuan ini menunjukkan bahwa makin tinggi nilai FCF maka akan makin rendah nilai DER perusahaan. Variabel bebas IOS yang diproksikan oleh PBV memiliki koefisien regresi bertanda positif sebesar 0,127. Nilai t hitung dari variabel independen IOS adalah sebesar 1,626 yang lebih kecil
Berdasarkan Tabel 6 dapat ditulis persamaan regresi sebagai berikut: DER* = -5,179 – 0,128 FCF* + 0,127 IOS* – 0,100 MOWN* + 4,700 SIZE* + Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan, diketahui bahwa variabel independen FCF memiliki koefisien regresi dengan tanda negatif sebesar 0,128. Nilai t hitung dari variabel
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
apabila dibandingkan t tabel dengan derajat bebas (df) sebesar 155 pada tingkat signifikansi 5% sebesar 0,106. Hasil tersebut menunjukkan bahwa IOS berpengaruh positif (ditunjukkan dengan tanda koefisiennya positif) terhadap DER dan secara statistik tidak signifikan. Temuan ini menunjukkan bahwa makin tinggi nilai IOS maka akan makin tinggi pula nilai DER perusahaan. Variabel independen kepemilikan manajerial (MOWN) memiliki koefisien bertanda negatif sebesar 0,100. Nilai t hitung dari variabel independen kepemilikan manajerial (MOWN) adalah sebesar (–)2,184 yang lebih besar apabila dibandingkan t tabel dengan derajat bebas (df) sebesar 155 pada tingkat signifikansi 5% sebesar 0,030. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial (MOWN) berpengaruh negatif (ditunjukkan dengan tanda koefisiennya negatif) terhadap DER dan secara statistik signifikan. Temuan ini menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat kepemilikan manajerial maka akan makin rendah nilai DER perusahaan Variabel independen ukuran perusahaan (SIZE) memiliki koefisien bertanda positif sebesar 4,700. Nilai t hitung dari variabel independen ukuran perusahaan (SIZE) adalah sebesar 3,257 yang lebih besar apabila dibandingkan t tabel dengan derajat bebas (df) sebesar 155 pada tingkat signifikansi 5% sebesar 0,001. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ukuran perusahaan (SIZE) berpengaruh positif (ditunjukkan dengan tanda koefisiennya positif) terhadap DER dan secara statistik signifikan. Dengan demikian, H3 yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap debt to equity (DER), diterima. Temuan ini menunjukkan bahwa makin besar ukuran perusahaan maka akan makin tinggi nilai debt to equity (DER) perusahaa
Uji F (F – test) atau uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen. Persamaan regresi memiliki nilai F hitung sebesar 8,396 pada tingkat signifikansi 5% sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan regresi ini signifikan pada tingkat signifikansi hingga 5%. Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi kebijakan hutang (DER) atau dapat dikatakan bahwa aliran kas bebas (FCF), Set Kesempatan Investasi/Investment Opportunity Set (IOS), kepemilikan manajerial (MOWN), dan ukuran perusahaan (SIZE) secara bersama-sama berpengaruh terhadap kebijakan utang (DER). Nilai koefisien determinasi sebesar 0,158 berarti bahwa variabel dependen hanya mampu dijelaskan 15,8% oleh variabel independen. Sisanya 84,2% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Pembahasan Hasil pengujian menunjukkan bahwa FCF berpengaruh negatif dan signifikan terhadap DER. Temuan ini tidak konsisten dengan temuan penelitian Tarjo dan Jogiyanto H.M. (2003) dan tidak sesuai dengan Jensen (1986) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan FCF besar cenderung akan mempunyai level hutang yang lebih tinggi. Perbedaan hasil mengindikasikan bahwa hubungan FCF dan DER gagal sebagai mekanisme untuk memantau manajer dalam membuat keputusan yang terbaik bagi pemegang saham, mengingat kebijakan hutang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen, untuk menghindari investasi yang sia-sia, serta sebagai mekanisme untuk menurunkan agency cost of free cash flow. Menurut teori pecking order (Myers, 1984), perusahaan dengan aliran kas yang
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
rendah cenderung mempunyai level hutang yang lebih tinggi. Perilaku ini disebabkan karena perusahaan lebih memilih menggunakan dana internal terlebih dahulu sebelum menggunakan dana eksternal (hutang). Keputusan pendanaan ini dilakukan karena perusahaan berusaha untuk mencari pendanaan dengan tingkat risiko yang paling kecil terlebih dahulu. Dengan demikian, apabila perusahaan mempunyai FCF yang besar, akan menggunakan FCF terlebih dahulu untuk memenuhi kewajibannya daripada menggunakan dana eksternal (hutang). Hasil pengujian menunjukkan bahwa set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set/IOS) yang diwakili oleh PBV berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap DER. Temuan ini tidak konsisten dengan temuan penelitian Lang et al (1996) yang menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara leverage dan pertumbuhan. Pada masa mendatang untuk perusahaan yang hanya memiliki kesempatan pertumbuhan terbatas. Temuan ini juga tidak konsisten dengan temuan penelitian Smith dan Watts (1992). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai kesempatan untuk lebih besar mempunyai rasio debt to equity yang lebih besar dalam kebijakan struktur modalnya karena memilih pendanaan dengan modal eksternal (hutang). Namun dari hasil statistik yang tidak signifikan, menunjukkan bahwa IOS yang besar belum sepenuhnya dapat berpengaruh untuk mendorong perusahaan dalam meningkatkan level hutangnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap DER. Temuan ini konsisten dengan temuan penelitian Jensen et al (1992) yang menguji hubungan antara kepemilikan manajerial dengan debt ratio yang menemukan hasil bahwa terdapat
hubungan negatif antara persentase kepemilikan manajerial dengan debt ratio. Temuan ini juga konsisten dengan temuan penelitian Friend dan Lang (1988) yang melakukan pengujian apakah struktur modal (debt ratio) perusahaan sebagian dimotivasi oleh kepentingan manajemen. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan hutang akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kepemilikan manajerial di dalam perusahaan. Lebih lanjut temuan ini juga konsisten dengan temuan penelitian yang dilakukan di Indonesia seperti penelitian Wahidahwati (2002). Nilai debt to equity ratio yang makin kecil ini akan menguntungkan bagi investor karena risiko perusahaan yang disebabkan hutang akan makin menurun. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap DER. Hasil tersebut telah sesuai dengan hipotesis dan secara statistik signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan yang besar dapat berpengaruh untuk mendorong perusahaan dalam meningkatkan level hutangnya.Temuan ini konsisten dengan temuan penelitian Titman dan Wessel (1988) yang memberikan bukti bahwa ada hubungan positif antara level hutang dan ukuran perusahaan. Hasil ini juga konsisten dengan temuan penelitian Mason dan Merton (1985), Kester (1986), Kole(1991), dan Wahidahwati (2002) serta hasil penelitian Short dan Keasey (1999) yang menyatakan bahwa sesarnya ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kemudahan suatu perusahaan dalam memperoleh sumber pendanaan baik internal maupun eksternal. Suatu perusahaan besar yang sudah stabil akan memiliki akses yang mudah ke dalam pasar modal, sementara perusahaan yang baru atau perusahaan yang masih kecil akan mengalami banyak kesulitan untuk memiliki akses ke pasar
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
modal. Perusahaan yang telah berukuran besar akan memiliki akses sumber dana luar yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kecil sehingga kemampuan untuk berhutang juga lebih besar. Perusahaan yang memiliki ukuran besar akan menarik bagi investor untuk membeli saham perusahaan tersebut karena tingkat keamanan perusahaan tersebut akan relatif lebih terjaga dan perusahaan telah dikenal secara luas. Investor lebih memilih membeli saham pada perusahaan besar yang sudah dikenal. Di sisi lain, jumlah saham yang dimiliki manajer semakin sedikit karena keterbatasan kekayaan pribadi mereka. Hasil pengujian menunjukkan bahwa FCF, PBV sebagai proksi set kesempatan investasi, kepemilikan manajerial, dan ukuran perusahaan secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DER. Temuan ini menunjukkan bahwa selain FCF, PBV sebagai proksi IOS, kepemilikan manajerial, dan ukuran perusahaan, perusahaan dapat menggunakan banyak faktor-faktor lainnya untuk memprediksi debt to equity (DER) suatu perusahaan.
variable Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan dengan PBV secara parsial memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap DER pada tingkat signifikansi 5% 3. Variabel FCF, Investment Opportunity Set (IOS) atau Set Kesempatan Investasi yang diproksikan dengan PBV, kepemilikan manajerial (MOWN), ukuran perusahaan (SIZE) mampu menjelaskan variasi DER sebesar 15,8 persen dan sisanya 84,2 persen oleh variable lainya Saran 1. Investor sebaiknya melakukan pertimbangan lebih mendalam untuk investasi pada perusahaan yang memiliki FCF yang kecil karena perusahaan yang memiliki FCF yang kecil cenderung memiliki DER yang tinggi akan menyebabkan risiko investasi makin tinggi pula. 2. Investor sebaiknya berhati-hati membeli saham yang memiliki rasio PBV yang tinggi, karena DER yang makin tinggi akan menyebabkan risiko investasi bagi investor makin tinggi. 3. Investor dapat membeli saham dengan kepemilikan manajerial yang tinggi karena mampu memperkecil nilai DER. Hal ini juga mampu membuat pemilik perusahaan benarbenar bekerja maksimal untuk perusahaan yang dikelola dan dimilikinya sehingga perusahaan mampu memperoleh kinerja yang baik. 4. Investor sebaiknya berhati-hati dalam melakukan investasi pada perusahaan dengan ukuran yang sangat besar, perlu dikaji terlebih dahulu kebijakan hutang yang dianut perusahaan tersebut.
PENUTUP Kesimpulan 1. Variabel FCF, Investment Opportunity Set (IOS) atau Set Kesempatan Investasi yang diproksikan dengan PBV, kepemilikan manajerial (MOWN), ukuran perusahaan (SIZE) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DER pada tingkat signifikansi 5%. 2. Variabel FCF, kepemilikan manajerial (MOWN), ukuran perusahaan (SIZE) secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DER pada tingkat signifikansi 5%, sedangkan
125
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, A. and Narayanan Jayaraman, 1994, “The Dividend Policies of All-Equity Firms : A Direct Test of Free Cash Flow Theory”, Managerial and Decisions Economics, Vol. 15, 1325-1331 Bathala, C.T., K.R. Moon, and R.P. Rao, 1994, “Managerial Ownership, Debt Policy,and the Impact of Institutional Holding : An Agency Perspective,” Financial Management, Vol. 23, 38-50 Bringham, E.F. and I.C. Gopenski, 1996, Intermediate Financial Management, Fifth Edition, The Dryden Press, New York Chen, Carl R., and Thomas L. Steiner, 1999, “Managerial Ownership and Agency Conflicts : A Nonlinear Simultaneous Equation Analysis of Managerial Ownership, Risk Taking, Debt Policy, and Dividend Policy,” The Financial Review, 34, 119-136 Fitri Ismiyanti dan Mamduh Hanafi, 2003, “Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Risiko, Kebijakan Hutang dan Kebijakan Dividen : Analisa Persamaan Simultan”, Simposium Nasional Akuntansi VI, Ikatan Akuntansi Indonesia, 260-276 Gagaring Pagalung, 2003, “Pengaruh Kombinasi Keunggulan dan Keterbatasan Perusahaan terhadap Set Kesempatan Investasi (IOS),” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 6, 249-263 Gujarati, D.N., 1995, Basic Econometric, Third Edition, McGraw Hill, Inc. Holydia Lestari, 2004, “Pengaruh Kebijakan Hutang, Kebijakan Dividen, Risiko dan Profitabilitas Perusahaan Terhadap Set Kesempatan Investasi,” Simposium Nasional Akuntansi VII, Ikatan Akuntansi Indonesia, 1059-1071 Imam Subekti dan I.W. Kusuma, 2000, “Asosiasi antara Set Kesempatan Investasi dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan, serta Implikasinya pada Perubahan Harga Saham,” Simposium Nasional Akuntansi IV, Ikatan Akuntansi Indonesia, 820845 Indonesian Capital Market Directory, 2005, Economic and Finance Institute, Jakarta Jensen Gerald R., Donald P. Solberg, and Thomas S. Zorn, 1992, “Simultaneous Determination of Insider Ownership, Debt, and Dividend Policies,” Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 27, No. 2, 247-263 Jensen, M.C., 1986, “Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance and Takeover,” American Economics Review, 76, 323-329 Jensen, M.C., and Meckling, W.H., 1976, Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure, Journal of Financial Economics, 3, 305-360 Joh, Sung Wook, 2001, “Control, Ownership, and Firm Perfomance : the Case of Korea,” Kallapur, Sanjay and Mark A. Trombley (1999), “The Association Between Investment Opportunity Set Proxies and Realized Growth”, Journal of Business Finance and Accounting, 505-519 Lang, L.H., and R.M Stulz, 1996, “ Tobin’s q, Corporate Diversification, and Firm Performance,” Journal of Political Economy, 102 Lehn, K and A. Paulsen, 1989, “Free Cash Flow and Stockholder Gains in Going Private Transaction,” The Journal of Finance, XVIV, 771-787 Megginson, William L., 1997, Corporate Finance Theory, Addison-Wesley Publisihing Mudrajad Kuncoro, 2004, Metode Kuantitatif : Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, UPP AMP YKPN, Yogyakarta
127
Volume 2, Nomor 2, September 2013
Pasaman Silaban, Analisis Faktor-Faktor
Muhamad Faisal, 2005, Analisis Pengaruh Free Cash Flow, Set Kesempatan Investasi, Kepemilikan Manajerial dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Hutang. Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, Thesis S-2 (Tidak Dipublikasikan) Myers, Stewart C. and Nicholas S. Majluf , 1984, “Corporate Financing Decisions When Firms Have Investment Information That Investors Do Not,” Journal of Financial Economics, Vol.13, 187-220 P.A. Mahadwartha, 2002, “Uji Teori Keagenan dalam Hubungan Interdependensi Antara Kebijakan Hutang dan Kebijakan Dividen”, Simposium Nasional Akuntansi V, Ikatan Akuntansi Indonesia, 635-647 Ross, Stephen A., Westerfield, and Jaffe, 2002, Corporate Finance, Irwin McGraw Hill Scot, W.R., 1997, Financial Accounting Theory, Prentice-Hall, New Jersey Singgih Santoso, 2003, Statistika Deskriptif : Konsep dan Aplikasi dengan Microsoft Excel dan SPSS, Penerbit Andi, Yogyakarta Suad Husnan, 2001, Manajemen Keuangan I : Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Panjang), BPFE, Yogyakarta Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Bismis, Alfabeta, Bandung Tarjo dan Jogiyanto H.M., 2003, “Analisa Free Cash Flow dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Publik di Indonesia”, Simposium Nasional Akuntansi VI, Ikatan Akuntansi Indonesia, 278-293 Tarjo, 2005, “Analisa Free Cash Flow dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Publik di Indonesia,” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 8, 82-104 Theresia Tyas Listyani, 2003, “Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Hutang, dan Pengaruhnya Terhadap Kepemilikan Saham Institusional (Studi pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta),” Jurnal MAKSI, Vol. 3, 98-114
127