PTUN, Undang-Undang dan BOPI I. Putusan PTUN Seperti diketahui, Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Menpora RI) telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 01307 Tahun 2015 tanggal 17 April 2015, tentang sanksi administratif berupa kegiatan olahraga PSSI tidak diakui. Yang kemudian diikuti dengan permintaan kepada seluruh instansi pemerintah di pusat dan di daerah untuk tidak memberikan pelayanan dan memfasilitasi kegiatan PSSI. Terkait dengan tindakan Menpora tersebut, PSSI telah menguji keabsahan SK Menpora tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dengan nomor perkara 91/G/2015/PTUN-JKT, dimana pada tanggal 25 Mei 2015 PTUN Jakarta telah mengeluarkan Penetapan Penundaan (putusan sela) yang menyatakan bahwa SK Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum dikarenakan ditunda keberlakuannya hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penetapan tersebut diperkuat dengan Putusan PTUN Jakarta nomor 91/G/2015/PTUNJKT pada tanggal 14 Juli 2015 yang menyatakan mengabulkan seluruh gugatan PSSI dan menyatakan SK Menpora tersebut batal dan harus dicabut. Adapun permohonan banding yang diajukan oleh Menpora terhadap putusan PTUN tersebut tidak membuat SK Menpora tersebut aktif kembali. Karena berdasarkan amar putusannya, di dalam penundaan menyatakan tentang penundaan pelaksanaan SK Menpora tetap berlaku hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau sampai ada penetapan lain yang mencabutnya di kemudian hari. Sehingga posisi SK Menpora tersebut hingga hari ini tetap dalam status ditunda keberlakuannya. Konsekuensinya, PSSI berada dalam keadaan semula. Sehingga Komite Eksekutif PSSI telah memutuskan untuk menjalankan kembali semua program kerja PSSI dengan menyusun ulang dan menyesuaikan jadwal pelaksanaannya. Khusus terhadap Suspension FIFA, dimana dengan jelas disebutkan dalam surat suspension, bahwa FIFA akan mencabut suspension terhadap Indonesia apabila tidak ada lagi intervensi pemerintah, maka PSSI telah menunjuk vice president PSSI Sdr. Hinca Pandjaitan untuk menjalin komunikasi dengan FIFA terkait hal tersebut.
II. Undang-Undang Pemerintah melalui; 1. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional 2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga
Dengan jelas memberikan kewenangan kepada PSSI sebagai induk cabang olahraga untuk membina, mengembangkan dan menjalankan kegiatan (keolahragaan) sepakbola prestasi dan sepakbola profesional. Seperti disebutkan dengan jelas di pasal-pasal sebagai berikut; Pasal 1 ayat 25 UU SKN; (25) Induk organisasi cabang olahraga adalah organisasi olahraga yang membina, mengembangkan, dan mengoordinasikan satu cabang/jenis olahraga atau gabungan organisasi cabang olahraga dari satu jenis olahraga yang merupakan anggota federasi cabang olahraga internasional yang bersangkutan. Pasal 47 ayat 4 jo. Pasal 47 ayat 2 PP 16/2007; (4) Setiap induk organisasi cabang olahraga dan induk organisasi olahraga fungsional yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjadi anggota federasi olahraga internasional. Pasal 47 ayat 2 PP 16/2007; (2) Setiap induk organisasi cabang olahraga dan induk organisasi olahraga fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbadan hukum yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 27 ayat 2 UU SKN; (2) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah. Pasal 34 ayat 1 PP 16/2007; (1) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi menjadi tanggung jawab induk organisasi cabang olahraga, organisasi cabang olahraga tingkat provinsi, dan organisasi cabang olahraga tingkat kabupaten/kota. Pasal 29 ayat 2 UU SKN; (2) Pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional. Pasal 36 ayat 1, 2 dan 3 PP 16/2007; (1) Pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilaksanakan dan diarahkan untuk terciptanya prestasi olahraga, lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan.
(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi olahraga fungsional, dan/atau organisasi olahraga profesional. (3) Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan dan kemudahan kepada induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi olahraga fungsional, dan atau organisasi olahraga. Pasal 48 ayat 2, jo. Pasal 43 UU SKN; (2) Induk organisasi cabang olahraga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 butir (a) dan butir (c). Pasal 43 UU SKN; a. kejuaraan olahraga tingkat kabupaten/kota, tingkat wilayah, tingkat provinsi, dan tingkat nasional; c. kejuaraan olahraga tingkat internasional; Pasal 27 ayat 1 dan 2, PP 17/2007; (1) Kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3): a. tingkat kabupaten/kota diikuti oleh peserta yang mewakili kecamatan atau perkumpulan atau klub dalam satu kabupaten/kota; b. tingkat provinsi diikuti oleh peserta yang mewakili kabupaten/kota dalam satu provinsi; c. tingkat wilayah diikuti oleh peserta yang mewakili provinsi dalam satu wilayah; d. tingkat nasional diikuti oleh peserta yang mewakili provinsi masing-masing; e. tingkat internasional diikuti oleh peserta yang mewakili negara masing-masing. (2) Penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab induk organisasi cabang olahraga yang bersangkutan. Pasal 51 ayat 2 UU SKN; (2) Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga yang bersangkutan dan memenuhi peraturan perundang-undangan. Pasal 29 ayat 1 PP 17/2007; (1) Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga yang bersangkutan dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 89 Ayat 1 dan 2 UU SKN;
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan kejuaraan olahraga tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerusakan dan/atau gangguan keselamatan pihak lain, setiap orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
III. Keberadaan BOPI Mengapa Komite Eksekutif PSSI dalam keputusannya tidak memerlukan BOPI dalam pelaksanaan kegiatan sepakbola PSSI? Pertama, Peraturan Menpora Nomor 0009 Tahun 2015 tentang Kedudukan, Fungsi, Tugas dan Susunan Organisasi BOPI melanggar UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. UU SKN memberi kewenangan kepada Lembaga Mandiri yang dibentuk Pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap olahraga profesional. Seperti tertuang; Pasal 87 ayat 3 UU SKN; (3) Pengawasan dan pengendalian olahraga profesional dilakukan oleh lembaga mandiri yang dibentuk oleh Pemerintah. Pertanyaannya; Apakah BOPI lembaga mandiri? Jawabannya; Bukan. Karena di dalam Permenpora Nomor 0009/2015 BOPI melakukan tugas dan fungsi yang substansinya bukan sebagai lembaga mandiri. Pasal 2 ayat 1 dan 3 Permenpora; (1) BOPI merupakan lembaga mandiri sebagai pembantu Menteri dalam pembinaan dan pengembangan olahraga profesional di Indonesia (3) BOPI dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Menteri. Pasal 4 butir f Permenpora; Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 3, BOPI mempunyai fungsi: f. pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Jika posisi BOPI adalah pembantu Menteri, bertangungjawab kepada Menteri dan melaksanakan apapun yang ditetapkan Menteri, maka dimana letak kemandirian BOPI yang dinyatakan sebagai Lembaga Mandiri? Di dalam UU SKN di bab penjelasan disebut dengan jelas kriteria lembaga mandiri. Penjelasan Pasal 58 ayat 2 SKN; (2) Yang dimaksud dengan lembaga mandiri dalam ketentuan ini adalah lembaga yang dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya bebas dari pengaruh dan intervensi Pemerintah, pemerintah daerah, atau pihak mana pun. Kedua, BOPI di dalam Permenpora juga mengambil kewenangan Induk Cabang Olahraga dalam fungsi pembinaan dan pengembangan olahraga profesional, dimana di Pasal 29 UU SKN merupakan kewenangan Induk Cabang Olahraga. Sehingga BOPI bukan saja melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian olahraga profesional, tetapi juga pembinaan dan pengembangan. Permenpora yang memberi kewenangan BOPI untuk melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan tersebut merujuk kepada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 yang menyebutkan Menpora memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga profesional yang dibantu oleh Badan Olahraga Profesional. Sehingga dapat dikatakan Pasal 37 PP 16/2007 tersebut juga menabrak UU SKN terkait kewenangan Induk Cabang Olahraga. Sehingga pada prinsipnya keberadaan BOPI yang dilandasi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menpora bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu UU SKN. Dimana di dalam azas hukum hal tersebut dilarang terjadi. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki). Dan di dalam pelaksanannya, BOPI melalui Permenpora diberi kewenangan mengeluarkan rekomendasi perijinan kegiatan (pembinaan dan pengembangan) olahraga profesional. Dimana hal tersebut sudah diatur di dalam Pasal 51 UU SKN dan Pasal 29 PP 16/2007, yang memberikan kewenangan kepada Induk Cabang Olahraga untuk mengeluarkan rekomendasi penyelengaraan kegiatan keolahragaan. Pasal 5 huruf d Permenpora; (d) BOPI berwenang untuk memberikan rekomendasi penyelenggaraan pertandingan dan perlombaan olahraga profesional. Ketiga, perlu untuk dipahami bahwa tugas memverifikasi dengan menerapkan kriteriakriteria tertentu kepada klub-klub yang akan berkompetisi di kompetisi profesional adalah tugas dari PSSI sebagaimana PSSI adalah pihak yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan kejuaraan olahraga pada tingkat nasional sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 48 ayat 2 jo. Pasal 43 butir a dan c UU SKN (lihat di atas).
Atas kewenangan dan tugas tersebut, PSSI menyusun Club Licensing Regulation (CLR), dimana sesuai Pasal 2 CLR yang bertanggungjawab dan berhak melakukan verifikasi terhadap persyaratan klub-klub berkompetisi adalah PSSI dan badan administrator dan badan pengambil keputusan yang ditunjuk oleh PSSI. PSSI tidak pernah menunjuk BOPI untuk menjadi administrator dan badan pengambil keputusan untuk memverifikasi klub. Sehingga apa yang dilakukan BOPI memverifikasi klub anggota PSSI peserta kompetisi dengan mengatakan berlandasan club licensing regulation dan sesuai dengan regulasi FIFA dan AFC adalah melampaui dan mencampur adukan kewenangannya. Hal itu oleh FIFA justru dianggap adanya pihak ketiga di luar anggota FIFA yang ikut serta menentukan peserta kompetisi. Sehingga sesuai statuta FIFA dinyatakan telah terjadi pelanggaran Statuta FIFA di sepakbola Indonesia dalam konteks adanya intervensi dari pihak ketiga. Jadi, sekali lagi, Komite Eksekutif PSSI merujuk kepada semua fakta dan dalil peraturan perundangan tersebut di atas, maka atas azas hukum lex superior derogat legi inferior, yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah, maka PSSI merujuk kepada Undang-Undang SKN, bukan kepada Peraturan Menpora. Terakhir, faktanya: justru keberadaan BOPI membuka peluang terjadinya Break Away League seperti yang pernah terjadi di sejarah sepakbola Indonesia. Pada tahun 2010, saat Liga Primer Indonesia (LPI) diputar, berjalan tanpa rekomendasi dari PSSI, tetapi menggunakan rekomendasi dari BOPI. Karena LPI saat itu tidak di bawah yurisdiksi PSSI. Begitu pula pada tahun 2012, saat Indonesia Super League (ISL) diputar, dijalankan oleh Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) tanpa rekomendasi dari PSSI, namun menggunakan rekomendasi dari BOPI. Karena KPSI saat itu tidak di bawah yurisdiksi Jika ini dibiarkan, maka akan selalu tumbuh celah dan peluang untuk terjadinya break away league yang diharamkan bagi asosiasi sepakbola di seluruh dunia. Karena hasilnya pasti adalah kisruh sepakbola nasional. Jakarta, 8 Agustus 2015 #