PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM MATRIKS IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN APLIKASINYA PADA ASESMEN RESIKO DELTAMETRIN MELALUI ASUPAN IKAN NILA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi
Oleh: Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja NIM : 098114032
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DELTAMETRIN DALAM MATRIKS IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN APLIKASINYA PADA ASESMEN RESIKO DELTAMETRIN MELALUI ASUPAN IKAN NILA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi
Oleh: Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja NIM : 098114032
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
An Umbrella cannot stop the rain but it allows us to stand in the rain. Just like faith in God, it may not remove our trials but it gives us God’s strength to overcome them.
Karya ini kupersembahkan untuk: Papa dan Mama serta adik-adikku sebagai rasa syukur atas kasih sayang yang berlimpah, perhatian, semangat, dan dukungannya Teman - teman Almamaterku
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
INTISARI Pestisida merupakan substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid. Deltametrin bersifat non polar dan memiliki nilai log Kow 4,6. Senyawa yang memiliki nilai log Kow lebih besar dari 3 memiliki kemungkinan terjadinya bioakumulasi pada organisme. Bioakumulasi deltametrin dapat terjadi dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) apabila deltametrin dipaparkan pada ikan nila. Ikan nila merupakan ikan yang sering dikonsumsi manusia. Manusia yang mengkonsumsi ikan nila yang mengandung deltametrin dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum proses clean-up, mengetahui validitas dari metode kromatografi gas – detektor penangkap elektron (Gas Chromatography – Electron Capture Detector/GC-ECD)sehingga dapat digunakan dalam penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila, dan untuk mengetahui laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. Metode yang digunakan meliputi ekstraksi dan clean-up. Instrumen yang digunakan adalah kromatografi gas – detektor penangkap elektron menggunakan fase diam Cp-Sil 5. Dari hasil penelitian dengan clean-up dan GC-ECD yang optimal didapatkan hasil validitas yang baik. Hasil validasi menunjukkan sensitivitas dengan nilai LOD 17,81 ng/mL dan LOQ 1,30 ng/g; korelasi antara konsentrasi dan respon yang linear pada rentang 5,3 ng/g – 70,5 ng/g dengan nilai r 0,999; akurasi dinyatakan dengan nilai recovery sebesar 82,74 – 110,46 %; presisi dinyatakan dengan nilai % RSD sebesar 0,3 – 3,4 %; dan matriks ikan nila tidak berpengaruh secara signifikan terhadap metode analisis Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hingga hari ke-14 terjadi bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila dengan laju bioakumulasi untuk konsentrasi deltametrin 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L berturut-turut adalah 0,07 ng/hari dan 0,15 ng/hari. Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila menunjukkan bahwa bila manusia Indonesia menkonsumsi ikan nila dengan berat 200 gram per hari dikatakan aman karena jumlah deltametrin yang terpejan adalah 374,46 ng dan 1159,61 ng. Jumlah ini jauh lebih kecil (0,062 dan 0,19 % dari ADI) bila dibandingkan dengan ADI deltametrin (0,01 mg/kg BB).
Kata kunci: ikan nila (Orechromis niloticus), deltametrin, validasi metode, bioakumulasi, karakterisasi resiko, GC-ECD
xvii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Pesticides are chemical substances used to kill or control pests. Deltamethrin is a pyrethroid class of pesticides. Deltamethrin is non-polar and has a log Kow value 4.6. Compounds that have log Kow values greater than 3 have the possibility of bioaccumulation in organisms. Deltamethrin bioaccumulation may occur in Nile tilapia (Oreochromis niloticus) exposed deltamethrin. Nile tilapia is a fish that is commonly consumed. Humans who consume tilapia containing deltamethrin can cause harms to health. The purpose of this study was to determine the optimum conditions of clean-up process, determine the validity of gas chromatography - electron capture detector (GC-ECD) method that can be used in the determination of deltamethrin levels in Nile tilapia, and to determine the rate of deltamethrin bioaccumulation in Nile tilapia The method which used in this study was extraction and clean-up. The instrument used is gas chromatography - electron capture detector using CP-Sil 5 as a stationary phase. The results using clean-up and GC-ECD in optimum condition obtained a good validity with high selectivity; linearity with r 0.999; % recovery 82.74 - 100.46%; % RSD 0.3 – 3.4 % ; range 5.3 ng / g - 70.5 ng / g; LOD 17.81 ng/mL; LOQ 1.30 ng/g, and the matrix that used do not significantly affect analytical procedures. The results of this study showed that up to day 14 occurred deltamehtrin bioaccumulation in Nile tilapia with rate of bioaccumulation for the concentration deltamethrin 0.17 µg/L and 0.34 µg/L are respectively 0.07 ng/day and 0.15 ng/day. Risk characterization of deltamethrin through Nile tilapia intake showed that when humans consume 200 g of Nile tilapia per day is safe because the amount of consumed deltamethrin was 374.46 ng and 1159.61 ng/g. This results is much smaller (0.062 and 0.19 % of the ADI) than the ADI of deltamethrin (0.01 mg/kg BW). Keywords: deltamethrin, nile tilapia, Orechromis niloticus, method validation, bioaccumulation, risk characterization, GC-ECD
xviii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus berkat kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi yang berjudul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan Nila” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Ketua Program Studi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang turut memberikan saran dan masukan untuk penulis selama tahap penelitian. 3. Prof. Dr. Sri Noegrohati Apt, selaku Dosen pembimbing utama yang telah memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini. 4. Sanjayadi, M.Si., selaku Dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5. Jeffry Julianus, M.Si. dan Enade Perdana I., Ph.D., Apt., selaku dosen penguji atas segala masukan dan bimbingannya. 6. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. atas dukungan dan segala bantuan dalam perijinan penggunaan lab. 7. Segenap dosen yang telah berkenan membagikan ilmu kepada penulis selama belajar di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 8. Teman seperjuangan skripsi: Kristina Nety Indriati, untuk kesabaran, kebersamaan dan suka dukanya selama menyelesaikan penelitian ini. 9. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Kethul Ismadi, Mas Ottok dan seluruh staff laboratorium Fakultas Farmasi serta staff keamanan dan kebersihan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya. 10. Teman seperjuangan di laboratorium Kimia Analisis Instrumentasi : Jimmy, Rachel, Gunggek, Leo, Topan, Ina, Shinta, Sasya, Metri, Victor, Agnes, Novia, Teti, Febrin, Wisnu dan Ozy atas kebersamaan, suka duka, dan canda tawanya. 11. Is, Fendy, Felix atas keluangan waktu untuk bersama pergi sejenak dari penatnya skripsi dan yang selalu memberikan dukungan dan masukan. 12. Teman-teman FST A 2009 dan seluruh angkatan 2009 atas dukungan dan suka duka yang diberikan, Semoga pengalaman yang telah kita lalui bersama bisa menjadi bekal untuk perjuangan hidup kita kelak. 13. Seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis, sehingga
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sangat diharapkan adanya masukan dan saran yang membangun untuk penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan. Penulis
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………................
ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………..
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………..
v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA…………………………...
vi
INTISARI..……………………………………………………………..............
vii
ABSTRACT...…………………………………………………………………...
viii
PRAKATA……...……………………………………………………………...
ix
DAFTAR ISI……….…………………………………………………………..
xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...
xix
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...
xxi
DAFTAR LAMPIRAN.………………………………………………………..
xxiii
BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang…………………………………………………………
1
1. Perumusan Masalah ………………………………………………..
5
2. Keaslian Penelitian ………………………………………………….
5
3. Manfaat Penelitian ……………………………………………….....
5
B. Tujuan Penelitian ……………………………………………………...
6
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA A. Pestisida…………..………………………………………..…………...
8
1. Pengertian…………………………………………………………..
8
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Residu………………………………………………………………
10
3. Golongan……………. .…..……………………………...…………
10
4. Jalur Masuk Tubuh……..…...…………………………………...…
10
5. Efek Terhadap Kesehatan dan Lingkungan...………………..……..
11
B. Deltametrin………………..……………………………………………
12
1. Pengertian…………………...……………………………………...
13
2. Disipasi..……...…………………………………………………….
15
3. Efek Toksik….………………...……………………………………
18
a. Toksisitas Akut..………………………………………………..
19
b. Toksisitas Jangka Pendek………………………………………
19
c. Toksisitas Jangka Panjang dan Karsinogenisitas……………….
19
d. Ekotoksikologi….………………………………………………
19
4. Mekanisme Aksi……………………………………………………
20
5. Metabolisme………………………………………………………..
21
6. Akumulasi………….……………………………………………….
23
C. Biota Percobaan……….…………….………………………………….
24
1. Ikan Nila………….……..………………………………………….
24
2. Habitat…………...………………………………………………….
25
3. Makanan…………...……………………………………………….
26
4. Perkembangbiakan………………………………………………….
27
5. Uptake pada ikan…………………………………………………..
28
D. Bioakumulasi……………………………………………………...........
29
E. Analisis Kelumit..……………………………………………...........
29
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F. Ekstraksi..………………………………………………………………
31
G. Kromatografi Gas………………………………………………………
34
1. Pengertian.……...…………………………………………………..
34
2. Prinsip…..………………………………………………………..…
35
3. Skema Alat.…………………………………………………………
35
a. Gas Pembawa….………………………………………………...
36
b. Ruang Suntik Sampel...………………………………………….
37
c. Kolom…………………................................................................
38
d. Pemilihan Temperatur Kolom …………………………………..
40
e. Detektor Penangkap Elektron…………………………………...
42
4. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif ………………………………....
45
H. Validasi Metode Analisis..……………………………………………...
45
1. Selektivitas…...……………………………………………………..
47
2. Linearitas dan Rentang……………………………………………..
47
3. Akurasi...……………………………………………………………
48
4. Presisi……………………………………………………………….
48
a. Repeatability……………………………………………………
48
b. Intermediate Precision………………………………………….
48
c. Reproducibility…………………………………………………
48
5. LOD dan LOQ……………………………………………………...
49
I. Landasan Teori…………………………………………………………
49
J. Hipotesis………………………………………………………………..
53
K. Rancangan Penelitian…………………………………………………...
54
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………...……………………………...
56
B. Variabel Penelitian……………………...………………………………
56
1. Variabel Bebas……………………………………………………...
56
2. Variabel Tergantung………………………………………………..
56
3. Variabel Pengacau Tak Terkendali…………………………………
56
C. Definisi Operasional……………………………………………………
57
D. Alat Penelitian ……………………..…………………………………..
57
E. Bahan Penelitian…..……………………………………………………
58
F. Tatacara Penelitian ……………………………………………………..
58
1. Optimasi Kromatografi Gas…...…………………………………….
59
2. Validasi Metode Pengukuran…...…………………………………...
59
a. Kestabilan Alat…………………………………………………..
59
b. Pembuatan Larutan Stok Deltametrin…..…………………….....
59
c. Pembuatan Larutan Intermediet Deltametrin.…………………...
59
d. Linearitas dan Sensitivitas Metode Pengukuran Deltametrin dengan GC-ECD......………….…………………………………
60
3. Optimasi Fase Diam dan Fase Gerak untuk Clean-up….……...…...
60
a. Ekstraksi ikan…………………………………………………...
61
b. Clean-up dengan Fase Diam Alumina……….…………….…...
61
c. Clean-up dengan Karbon Aktif dan Karbon Nonaktif…………
62
4. Validasi Metode Analisis Deltametrin……..……………………….
62
a. Ekstraksi Deltametrin dalam Sampel Ikan Nila.………………..
62
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
b. Clean-up………….…………………………………………….
63
c. Perolehan Kembali, Pengaruh Matriks, Penentuan LOD, Presisi, Akurasi…………………………………………………
63
5. Penentuan Deltametrin dalam Ekstrak Ikan Nila.…………………...
63
a. Perlakuan Ikan Nila….…………………………………………
63
b. Waktu Pengambilan Sampel……………………………………
63
c. Ekstraksi Deltametrin dalam Sampel Ikan Nila………………...
64
d. Clean-up dan Determinasi……………………………………... G. Analisis Hasil Penelitian....……………………………………………..
64
1. Optimasi Kromatografi Gas…….…….……………………………..
64
2. Optimasi Jenis Fase Diam dan Fase Gerak untuk Clean-up………..
64
3. Kestabilan Alat...…………………………………………………...
64
4. Perhitungan Linearitas, Sensitivitas, dan Batas Deteksi……………
64
5. Penentuan Perolehan Kembali dan Batas Kuantitasi……………….
65
6. Perhitungan Kadar………..………………………………………...
66
7. Pengaruh Prosedur Analisis..……………………………………….
66
8. Penentuan Laju Bioakumulasi……………………………………...
66
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Metode Analisis...………………………………………………………
68
1. Uji Kesesuaian Sistem..…………………………………………….
68
a. Optimasi GC-ECD……………………………………………...
68
b. Presisi GC-ECD..……………………………………………….
69
c. Sensitivitas……………………………………………………...
70
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
c.1. Kurva Baku dan Linearitas………………………………...
70
c.2. LOD………………………………………………………..
73
2. Preparasi Sampel Ikan Nila..……………………………………….
75
a. Ekstraksi Deltametrin dalam Ikan Nila..………………………...
75
b. Optimasi Jenis Fase Diam Dan Fase Gerak untuk Clean-up……
75
b.1. Optimasi Fase Diam untuk Clean-up Ekstrak Ikan Nila..….
76
b.2. Optimasi Fase Gerak untuk Clean-up Ekstrak Ikan Nila.…..
79
3. Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila...………….
82
a. Selektivitas...…………………………………………………….
82
b. Akurasi………………..…………………………………………
83
c. Presisi……….…….……………………………………………..
85
d. Rentang Linearitas..……………………………………………..
87
e. LOQ………………………....…………………………………...
87
f. Pengaruh Prosedur Analisis………..……………………………
88
B. Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila..…………………………..
89
1. Aklimatisasi dan penanganan ikan nila untuk uji bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila…….…………………………………..
90
2. Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila………………………
92
C. Karakterisasi Resiko Asupan Deltametrin Melalui Ikan Nila………….
98
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.…………………………………………………………….
100
B. Saran …………………………………………………………………...
101
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….
102
xvii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LAMPIRAN …………………………………………………………………...
106
BIOGRAFI PENULIS …………………………………………………………
111
xviii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR TABEL Halaman Tabel I
Sifat fisika kimia deltametrin.…………………………………
15
Tabel II
Toksisitas deltametrin pada organisme akuatik ..……………..
20
Tabel III
Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi analit dalam sampel...........................………………………….
30
Tabel IV
Parameter validasi untuk setiap kategori uji.…………………..
47
Tabel V
Hasil optimasi GC-ECD…………...…………………………..
69
Tabel VI
Hasil rata-rata Tr dan CV DCB...……………………………...
69
Tabel VII
Hasil rata-rata luas puncak dan CV DCB..…………………….
70
Tabel VIII
Persamaan regresi linier baku deltametrin….…………………
71
Tabel IX
Persamaan regresi linier baku deltametrin…..………………...
72
Tabel X
Hasil perolehan kembali……………………….………………
84
Tabel XI
Persen perolehan kembali yang dapat diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit………………………………………
84
Tabel XII
Persen koefisien variasi dari metode penambahan baku………
86
Tabel XIII
Persen koefisien variasi yang diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit………………………………………………
86
Tabel XIV
Hasil uji F standar deviasi kurva baku dan kurva adisi………..
89
Tabel XV
Hasil uji t slope kurva baku dan kurva adisi…………………..
89
Tabel XVI
Hasil uji t slope konsentrasi 0,17 µg/L……………………….
98
Tabel XVII
Hasil uji t slope konsentrasi 0,34 µg/L……………………….
99
Tabel XVIII Karaktersisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila…...
xix
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Struktur deltametrin…………………...………………………
14
Gambar 2.
Kanal sodium……………….…………………………………
21
Gambar 3.
Ikan nila……………..………………………………………...
24
Gambar 4.
Struktur insang ikan…………………………………………...
28
Gambar 5.
Diagram skematik kromatografi gas……………………….........
36
Gambar 6.
Gas yang digunakan dalam kromatografi gas….…………......
37
Gambar 7
Diagram split injection…...……………………………………
38
Gambar 8.
Tipe kolom kapiler kromatografi gas...……………………….
40
Gambar 9.
Jenis pemrograman suhu..…………………………………….
43
Gambar 10. Perbandingan detektor pada gas kromatografi..………………
43
Gambar 11. Diagram skematik detektor penangkap elektron.……………..
45
Gambar 12. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC deltametrin/DCB………………………………………………
71
Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC deltametrin/DCB……………………………………………….
72
Gambar 14. Ilustrasi pencarian LOD…………………………….…………
73
Gambar 15. Overlapping kurva LOD………………………………………
73
Gambar 16
Perbandingan hasil recovery deltametrin menggunakan karbon aktif (250 mg) dan karbon nonaktif (250 mg)……………....…
Gambar 17
Hasil recovery adisi baku deltametrin sebelum clean-up dan sebelum ekstraksi menggunakan fase diam karbon : natrium
xx
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sulfat 0,4 g…………………………………………………….. Gambar 18
80
Perbandingan kromatogram (1) = standar baku deltametrin, (2) = deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui proses ekstraksi dan clean-up…………………………………
81
Gambar 19
Gabungan kurva baku dan kurva adisi………………………..
88
Gambar 20
Kurva bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila……………..
95
Gambar 21
Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila konsentrasi 0,17 µg/L………………………………………...
Gambar 22
96
Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila konsentrasi 0,34 µg/L………………………………………...
xxi
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Pembuatan larutan stok deltametrin …………….………..
108
Lampiran 2.
Pembuatan larutan intermediet deltametrin…..…………...
108
Lampiran 3.
Pembuatan larutan kerja…..................................................
108
Lampiran 4.
Data optimasi kromatografi gas……………….………….
109
Lampiran 5.
Data hasil rata-rata Tr dan CV DCB….…………………..
109
Lampiran 6.
Data hasil rata-rata AUC dan CV DCB…………………..
110
Lampiran 7.
Data rasio AUC Deltametrin/DCB vs konsentrasi baku….
110
Lampiran 8.
Grafik kurva baku…………………………………………
111
Lampiran 9.
Perhitungan sensitifitas alat……………………………….
112
Lampiran 10.
Perbandingan hasil recovery standar deltametrin yang diperoleh antara karbon yang diaktifkan dan karbon yang tidak diaktifkan……………………………………………
Lampiran 11.
113
Hasil recovery adisi standar deltametrin sebelum clean-up dan sebelum ekstraksi……………………..………………
114
Lampiran 12.
Data hasil perolehan kembali.………….…………………
115
Lampiran 13.
Data hasil persen koefisen variasi…..…………………….
116
Lampiran 14.
Data LOQ…………………………………………………
116
Lampiran 15.
Pengaruh prosedur analisis……………………………….
118
Lampiran 16.
Data penetapan kadar bioakumulasi)…………………….
120
Lampiran 17.
Data laju bioakumulasi……………………………………
125
Lampiran 18.
Uji t slope untuk melihat apakah telah mencapai kondisi
xxii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 19.
steady-state………………………………………………..
126
Karaterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila…
128
xxiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, dimana sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Pertanian tidak lepas dari masalah hama yang dapat menurunkan produksi pertanian. Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh alami (predator) dan menggunakan senyawa kimiawi, misalnya pestisida. Pengendalian hama dengan cara menyebarkan hewan yang menjadi musuh alami (predator) hama ke areal pertanian dinilai kurang efisien dan kurang praktis. Pengendalian hama yang paling cepat dan efektif adalah menggunakan pestisida (Cahyono, 2005). Oleh karena itu penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi. Saat ini, hampir semua kegiatan pertanian di seluruh dunia menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama, termasuk Indonesia. Jenis pestisida yang banyak digunakan di Indonesia adalah insektisida, dimana penggunaannya mencapai 70% (Sutanto, 2002). Data survei tahun 2011 dari Yayasan FIELD pada 306 petani padi di Klaten menunjukkan penggunaan pestisida rata-rata 5,7 kali per musim tanam, suatu jumlah penggunaan pestisida yang sangat tinggi (Wienarto dan Hakim, 2012). Penyebaran dan distribusi pestisida di daerah hingga ke tingkat perdesaan tidak terkontrol sama sekali, kios-kios makanan di desa-desa juga menjual pestisida. Tidak ada mekanisme yang mengendalikan penggunaan agar sesuai dengan standar internasional menurut FAO. Penggunaan pestisida secara aman
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
hanya terjadi di tempat latihan (hanya skala kecil) yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan dukungan perusahaan pestisida. Studi FAO tahun 1993 menemukan dari 800 petani penyemprot di Tegal dan Brebes sekitar 21% terbukti keracunan secara langsung dari kegiatan penyemprotan pestisida (Wienarto dan Hakim, 2012). Imidakloprin, profenolos, dan deltametrin merupakan contoh pestisida yang sering digunakan petani (Zein, Munaf, Nurhamidah, dan Suyani, 2002). Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid yang dapat membunuh serangga melalui kontak langsung ataupun sistemik. Deltametrin bersifat toksik bagi ikan, toksisitas akut deltametrin bagi ikan Onchorhynchus mykiss selama 96 jam adalah 0,26 µg/L, sedangkan toksisitas jangka panjang selama 28 hari terhadap Onchorhynchus mykiss adalah <0,032 µg/L (European Commission, 2002). Potensi bioakumulasi pada ikan Oncorhynchus mykiss (rainbow trout) pada hari ke-4 adalah 0,0599 µg/L dengan bioconcentration factor (BCF) sebesar 817 (Anonima, 2012). Pestisida merupakan bahan beracun yang berbahaya, terutama jika penggunaanya berlebihan. Beberapa jurnal penelitian dan ahli lingkungan melaporkan bahwa pestisida dapat menimbulkan retensi hama, ledakan hama, timbulnya hama sekunder, akumulasi pada produk pertanian, mencemari lingkungan seperti tanah dan perairan. Residu pestisida dapat terbawa aliran air dan dapat mencemari tanah serta organisme akuatik yang hidup di air (ikan, amfibi, makroinvertebrata, mikroinvertebrata) (Natawigena dan Satari, 1981).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Manusia yang keracunan deltametrin mengalami pusing, muntah, mual, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja Selain
dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.
keracunan langsung,
dampak negatif deltametrin bisa mempengaruhi
kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi
akibat sisa
residu pestisida yang ada didalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah terpejan pestisida melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari (Natawigena dan Satari, 1981). Organisme aquatik sangat rentan terhadap keracunan pestisida. Pestisida tertentu telah terbukti dapat mencemari lingkungan perairan dari sisa pemberian di lingkungan pertanian atau melayang di udara akibat penyemprotan, dapat menimbulkan ancaman serius bagi populasi ikan yang terkena paparan langsung, terutama ikan muda yang cenderung kurang toleran terhadap pestisida. Konsentrasi pestisida yang tinggi di dalam air dapat membunuh organisme air diantaranya ikan. Sementara pestisida dengan konsentrasi rendah dapat terakumulasi pada tubuh ikan. Tentu akan berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh manusia. Maka perlu dilakukan penelitian mengenai bioakumulasi deltametrin dalam ikan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
Untuk menjaga kemanan konsumsi ikan, batas maksimal residu deltametrin yang diperbolehkan dalam ikan bersirip (fin fish) dalam Annex III of Council Regulation (EEC) No. 2377/90 adalah 10 µg/kg (Committee for Veterinary Medicinal Products, 2000). Salah satu ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah ikan nila karena pembudidayaannya yang mudah. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan budidaya ikan nila termasuk komoditas unggulan dalam bisnis perikanan air tawar. Ikan nila banyak dikonsumsi manusia karena dagingnya yang empuk, lembut, enak, dan tebal (Sutanto, 2012). Ikan nila mengandung nutrisi yang cukup baik (Suloma, Ogata, Garibay, Chavez, and El-Haroun, 2008). Bila lingkungan tempat pembudidayaan ikan nila tercemar residu deltametrin, maka ada kemungkinan deltametrin dapat terakumulasi dalam ikan nila. Dan bila ikan nila tersebut dikonsumsi oleh manusia, deltametrin dapat terakumulasi dalam tubuh manusia dan dapat berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu perlu menjaga keamanan makanan yang dikonsumsi dengan melalukan karakterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila. Diperlukan pengembangan metode yang selektif dan sensitif untuk menetapkan kadar residu deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) dan penelitian tentang kemungkinan terjadinya bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus). Metode yang dapat digunakan untuk menganalisis deltametrin adalah menggunakan metode kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron (electron capture detector/ECD).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
1. Perumusan masalah Dari uraian masalah di atas, dapat disampaikan perumusan masalah: 1. a. Bagaimana optimasi proses ekstraksi dan clean up residu deltametrin dalam sampel ikan? b. Apakah lemak ikan nila dan deltametrin dapat dipisahkan menggunakan penjerap karbon? 2. Apakah proses ekstraksi dan clean up menggunakan fase diam dan fase gerak yang optimal dapat memberikan data dengan validitas yang baik saat dilakukan determinasi menggunakan GC-ECD? 3. Apakah terjadi bioakumulasi deltametrin dalam sampel ikan nila (Oreochromis niloticus)? 4. Apakah asupan deltametrin pada manusia melalui ikan nila melebihi ADI? 2. Keaslian penelitian Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai “Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya Pada Penetapan Laju Bioakumulasi Deltametrin Menggunakan Model Lingkungan Perairan”. Penelitian ini perlu dilakukan sebagai acuan dalam menentukan bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. 3. Manfaat penelitian a.
Manfaat metodologis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan alternatif metode dengan validitas yang baik untuk penetapan kadar residu pestisida deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus), yaitu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
menggunakan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron. b.
Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dan menjadi acuan baik untuk pemerintah maupun peneliti lingkungan dalam penetapan kadar residu deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) yang valid, reliabel, dan memenuhi jaminan kualitas. B. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode analisis residu deltametrin dalam sampel ikan nila (Oreochromis niloticus) sehingga memperoleh data yang valid, reliabel, serta memenuhi jaminan kualitas sehingga dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dan dapat menjadi pedoman teknik analisis pestisida yang tepat dan memenuhi quality assurance. Juga untuk mengetahui bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan komposisi fase diam dan fase gerak optimal pada proses pembersihan ko-ekstraktan, sehingga residu deltametrin dapat terpisah dari ko-ekstraktan. 2. Mendapatkan kondisi yang optimal untuk determinasi residu deltametrin menggunakan instrument kromatrografi gas detektor penangkap elektron (Gas Chromatography-Electron Capture Detector/GC-ECD) sehingga diperoleh data dengan validitas yang baik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
3. Mengetahui bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila (Oreochromis niloticus) 4. Mengetahui resiko konsumsi ikan nila yang terapar deltametrin
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pestisida 1. Pengertian pestisida Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama. Yang dimaksud hama bagi petani adalah tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, kemudian nematoda (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung, dan hewan lain yang dianggap merugikan (Sudarmo, 1991). Menurut European Pharmacopoeia (EP), pestisida adalah suatu zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, membunuh, atau mengontrol hama tumbuhan atau hewan yang tidak diinginkan. Federal Environmental Pesticide Control Act (FEPCA) mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang dimaksudkan
untuk
mencegah,
membunuh,
mengusir
atau
mengurangi
hama/serangga, hewan pengerat, nematoda, jamur, rumput (Nollet and Rathore, 2010). Menurut Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1973 tentang pengawasan, peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, pestisida didefinisikan sebagai semua zat kimia dan bahan lain, serta jasad renik, dan virus yang digunakan untuk:
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
a. Memberantas atau mencegah hama penyakit yang merusak tanaman, bagianbagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian. b. Memberantas rerumputan. c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan. d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk. e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan dan ternak. f. Memberantas atau mencegah hama-hama air. g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, alat-alat angkutan, alat-alat pertanian dan gudang. h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, air, dan tanah (Anonim, 1998). Menurut (Wardojo, 1977), pestisida dapat memberikan dampak pencemaran lingkungan karena dapat mengendap (terdeposit) dalam tumbuhan ataupun lahan pertanian selama bertahun-tahun sesuai dengan mekanisme degradasinya. Umumnya degradasi pestisida di lingkungan mengikuti hukum kinetika reaksi pertama, yaitu bahwa derajat/kecepatan degradasi berhubungan dengan dosis pengaplikasiannya. Reaksi ini berlangsung dalam dua tahap, yaitu disipasi (residu menghilang dengan cepat) dan persistensi (residu menghilang dengan lambat). Terjadinya dua tahap reaksi ini karena deposit insektisida dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan ke tempat lain. Disipasi dapat disebabkan karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
fotodegradasi (rusaknya pestisida karena cahaya), sedangkan persistensi dapat disebabkan karena absorpsi pestisida ke dalam tanah. 2. Residu pestisida Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (Anonim, 2006). 3. Golongan pestisida Pestisida dapat digolongkan menjadi: a. Organoklorin (seperti DDT, lindan, aldrin, klordan, endosulfan) b. Organofosfat (seperti etion, malation, diklorovos) c. Karbamat (seperti karbaril, karbofuran, karbanolat, propoksur) d. Piretroid sintetik (seperti sipermetrin, deltametrin, fenvalerat, fluvalinat) e. Pestisida urea (seperti sulkouron, fikofuron, diafenthiurun) (Nollet and Rathore, 2010) 4. Jalur masuk ke tubuh Tubuh dapat terpapar pestisida melalui 4 cara, yaitu: a. Pemejanan secara oral sering disebabkan karena tidak mencuci tangan sebelum makan, minum, merokok, tidak sengaja memaparkan pestisida ke makanan, atau tidak sengaja memaparkan pestisida ke dalam mulut. b. Pemejanan secara inhalasi sering disebabkan karena kontak yang lama dengan pestisida akibat berada dalam ruangan tertutup atau ruangan yang memiliki
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
ventilasi udara yang buruk, menangani pestisida tanpa menggunakan alat pelindung,
menghirup
udara
sesaat
setelah
pestisida
diaplikasikan,
menggunakan respirator yang buruk atau filter yang lama yang tidak diganti. c. Pemejanan melalui mata disebabkan karena percikan atau semprotan pestisida yang mengenai mata, mengaplikasikan pestisida saat cuaca berangin tanpa menggunakan pelindung mata, mengusap mata dengan sarung tangan atau tangan yang telah terkontaminasi, menuang formula dalam bentuk granul, serbuk tanpa pelindung mata. d. Pemejanan melalui kulit sering disebabkan karena tidak mencuci tangan setelah menangani pestisida atau wadahnya, tidak sengaja mengenai kulit atau mata yang tidak menggunakan alat pelindung, menggunakan pakaian yang terkontaminasi
pestisida
(termasuk
sepatu
dan
sarung
tangan),
mengaplikasikan pestisida saat cuaca berangin, memegang permukaan yang telah diaplikasikan pestisida (Nollet and Rathore, 2010). 5. Efek terhadap kesehatan dan lingkungan Pestisida dapat menyebabkan 4 macam efek akut pada tubuh, yaitu: a. Efek akut oral: Beberapa pestisida dapat menyebabkan rasa terbakar pada mulut, tenggorokan, dan perut. Pestisida lain bila tertelan tidak menyebabkan rasa terbakar pada sistem pencernaan, tetapi akan terabsorbsi dan terbawa dalam aliran darah dan dapat membahayakan dalam berbagai cara. b. Efek inhalasi akut: Beberapa pestisida, membuat seseorang menjadi sulit bernafas, dapat menyebabkan rasa terbakar pada sistem pernafasan. Pestisida lainnya ketika terhirup mungkin tidak membahayakan sistem pernafasan, tetapi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
terbawa dengan cepat dalam aliran darah dan dapat membahayakan dalam berbagai cara. c. Efek dermal akut: Kontak dengan beberapa pestisida dapat membahayakan kulit. Pestisida mungkin dapat menyebabkan kulit menjadi gatal, melepuh, pecah-pecah, atau berubah warna. Pestisida lain dapat melewati kulit dan mata dan masuk ke dalam tubuh. d. Efek akut pada mata: Mata yang terkena pestisida dapat menjadi buta sementara atau permanen atau iritasi yang parah. Pestisida lainnya mungkin tidak mengiritasi mata, namun dapat melewati mata dan masuk ke dalam tubuh. e. Efek alergi: Ini adalah efek berbahaya ketika pada beberapa orang dapat menimbulkan reaksi terhadap senyawa yang tidak menyebabkan reaksi yang sama pada kebanyakan orang. Efek alergi meliputi: Efek sistemik seperti asma; iritasi kulit seperti ruam, melepuh, atau luka terbuka; iritasi pada mata dan hidung seperti gatal, mata berair, dan bersin (Nollet and Rathore, 2010). B. Deltametrin Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang merupakan tiruan analog dari piretrin. Piretrin merupakan suatu senyawa kimia yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang diekstrak dari bunga krisan (Chrysanthemum spp.). Piretrum alami sudah jarang digunakan dalam dunia pertanian dikarenakan harga yang mahal dan tidak stabil bila terkena sinar matahari. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada bahan aktif masing-masing. Banyak piretroid yang memiliki efek sebagai racun kontak yang sangat kuat. Semua piretroid merupakan racun yang mempengaruhi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam kerja pada susunan saraf sentral. Hingga saat ini, telah dikembangkan 4 generasi piretroid, yaitu generasi I (alletrin); generasi II (resmetrin); generasi III (fenvalerat, permetrin); serta generasi IV (deltametrin, fluvalinat, dan sipermetrin) (Djojosumarto, 2008). Meskipun lebih stabil daripada piretrin, piretroid mudah terbiodegradasi dan tidak memiliki waktu paruh dalam tubuh yang panjang. Piretroid dapat berikatan dengan partikel di tanah dan sedimen dan menunjukkan beberapa persitensi di lokasi tersebut. Dengan kelarutannya yang rendah dalam air, piretroid tidak menunjukkan sifat sistemik yang signifikan dan tidak digunakan sebagai insektisida sistemik. Masalah utama terhadap lingkungan terkait dengan toksisitas piretroid pada ikan dan invertebrata lainnya. Piretroid umumnya diformulasikan menjadi emulsi yang digunakan dengan cara disemprotkan. Piretroid digunakan untuk mengontrol berbagai macam hama serangga pada lahan pertanian dan tanaman hortikultura di seluruh dunia dan sekarang digunakan secara luas untuk mengendalikan serangga vektor penyakit (misalnya lalat tsetse di beberapa bagian Afrika) (Walker, 2001). Piretroid sintetik generasi pertama memiliki sifat sangat sensitif terhadap cahaya, udara, dan temperatur. Oleh sebab itu, piretroid jenis ini digunakan untuk mengontrol hama dalam ruangan. Sementara piretroid generasi kedua memiliki stabilitas yang baik pada kondisi di luar ruangan oleh sebab itu, piretroid generasi kedua digunakan diseluruh dunia untuk mengatasi hama pertanian (Krieger, 2010). 1. Pengertian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Deltametrin
((S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl
(1R,
14
3R)-3-(2,2-
dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate) merupakan insektisida golongan piretroid yang memiliki struktur seperti Gambar 1.
Gambar 1. Struktur deltametrin (World Health Organization, 2012)
Deltametrin di sintesis pada tahun 1974, dan pertama kali dipasarkan pada tahun 1977. Penggunaan deltametrin di dunia mencapai 250 ton per tahun pada 1987. Umumnya digunakan pada kapas (45% dari konsumsi total), dan pada lahan kopi, jagung, sereal, buah, sayuran, dan produk-produk yang dipasarkan. Deltametrin diformulasikan dalam bentuk emulsi konsentrat, suspensi konsentrat, serbuk, atau dikombinasikan dengan pestisida lainnya (World Health Organization, 1990).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
Tabel I. Sifat fisika kimia deltametrin (European Commision, 2002)
Nama umum Nama (IUPAC)
Deltametrin kimia (S)-α-cyano-3-phenoxybenzyl (1R, 3R)-3-(2,2dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane carboxylate 1R-[1α(S*),3α]]-3-(2,2-dibromoethenyl)-2,2Nama kimia (CA) dimethyl-cyclopropanecarboxylic acid, cyano (3phenoxyphenyl) methyl ester Rumus molekul C22H19Br2NO3 Bobot molekul 505,2 titik lebur 100-102°C (373-375°K) titik didih terdekomposisi pada suhu diatas 300°C Pemerian Serbuk kristal, tidak berwarna dan tidak berbau Kerapatan relatif 0,550 g/cm3 Tekanan uap
1,24 x 10-8 Pa pada 25°C
3,1 x 10-2 Pa.m3/mol pada 25°C 0,0002 mg/L pada 25°C, kelarutan tidak tergantung Kelarutan dalam air pH (dilakukan pada pH 7,49-7,85) memiliki kelarutan tinggi pada kebanyakan pelarut ogranik pada temperatur ruangan 1,2-dichloroethane > 600 g/L, 20°C acetone 300-600 g/L, 20°C dimethylsulfoxide 200-300 g/L, 20°C Kelarutan dalam ethyl acetate 200-300 g/L, 20°C pelarut organik p-xylene 150-200 g/L, 20°C xylene 175 g/L, 20°C acetonitrile 60-75 g/L, 20°C methanol 8,15 g/L, 20°C n-heptane 2,47 g/L, 20°C Koefisien partisi (log 4,6 (25°C, pH 7,6) tidak tergantung pH, ada Pow) kemungkinan terjadi bioakumulasi Stabilitas fotolitik fototransformasi langsung t1/2 = 48 hari dalam air (Dt50) fototransformasi tidak langsung t1/2 = 4 hari Konstanta Henry
2. Disipasi deltametrin Proses disipasi pestisida memegang peranan penting dalam penentuan keberadaan di lingkungan. Disipasi pestisida terkait erat dengan struktur fisikokimia senyawa pestisida yang dipelajari. Jalur disipasi pestisida di lingkungan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
meliputi translokasi dan degradasi. Deltametrin di tanah dapat hilang/terdegradasi melalui proses fisika, kimia, dan mikrobiologis. Proses fisika meliputi: penyerapan, penguapan, pelindihan, dan diserap tanaman. Proses kimia meliputi proses fotokimia dan mikrobiologis. Deltametrin kemungkinan tidak terjerap secara kuat pada bagian dedaunan dari tanaman, dan penguapan dari permukaan ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan tanah. Pada salah satu penelitian di lapangan, 12-72% deltametrin menguap dari permukaan tanaman pada 24 jam setelah aplikasi (Anonima, 2009). Deltametrin diinkubasi pada pasir dan tanah organik pada suhu 28 °C dalam kondisi laboratorium, setelah 8 minggu perlakuan sekitar 52% dan 74% deltametrin yang diaplikasikan diperoleh kembali dari pasir dan tanah organik (World Health Organization, 1990). Degradasi dari deltametrin diteliti oleh Zhang et al. (1984) pada tanah organik selama periode 180 hari. Waktu paruh deltametrin yang diperoleh adalah 72 hari, mengindikasikan bahwa deltametrin kemungkinan besar lebih kurang rentan terdegradasi dalam tanah organik daripada tanah mineral. Degradasi deltametrin juga diteliti oleh Thier and Schmidt (1977) pada 2 jenis tanah di Jerman. Waktu paruh untuk tanah berpasir dan tanah liat berpasir berturut-turut adalah 35 dan 60 hari. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa deltametrin cepat terdegradasi dalam tanah. Waktu paruh deltametrin tergantung pada kondisi tanah dan temperatur. Secara umum waktu paruhnya berkisar antara 11-72 hari, pada kondisi aerob. Degradasi deltametrin lebih lambat pada kondisi anaerob atau
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
kondisi steril, mengindikasikan bahwa mikroorganisme dan proses biologis yang lain memegang peranan yang sangat penting (World Health Organization, 1990). Hidrolisis deltametrin tidak signifikan pada pH 5 dan 7. Pada pH 9, hidrolisis signifikan dengan waktu paruh 2,5 hari (25 ºC) hingga 7 hari (12 ºC). pada pH 8, waktu paruhnya 31 hari (23 ºC) hingga 75 hari (12 ºC) (Standing Committee on Biocidal Products, 2011). Pada lingkungan akuatik, deltametrin akan sangat cepat terpartisi ke sedimen, dan biota. Pada laboratorium, 60% dari radioaktivitas yang diaplikasikan ditemukan pada sedimen sesaat setelah diaplikasikan. Dalam sistem air/sedimen, degradasi DT50 sekitar 45 dan 141 hari pada 2 sistem yang berbeda pada 20 ºC (104 dan 253 hari pada suhu 12 ºC). pH fase air pada sistem adalah 8,0-9,1 dan hidrolisis mungkin mempunyai pengaruh terhadap degradasi. Di tanah, nilai DT50 orde 1 adalah 11-27 hari. Pada suhu 12 ºC, DT50 adalah 31-74 hari. pH dari 4 macam tanah yang digunakan masing-masing adalah 5,8, 5,9, 7,5, dan 8,1 dan hidrolisis mungkin adalah rute degradasi yang tidak signifikan pada tanah. Metabolit utama deltametrin, Br2CA telah dihitung sekitar 0,7-11,6 hari (Standing Committee on Biocidal Products, 2011). Degradasi abiotik: stabil pada pH 5 dan 7 (25°C), pH 8 31 hari, pH 9 2,5 hari. Metabolit terbanyak: mPaldehyde (utama), Br2CA (trace). Degradasi fotolisis: fototransformasi langsung yang tidak signifikan (DT50 ≥ 48 hari), fototransformasi tidak langsung DT50 4 hari (European Commision, 2002).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
3. Efek toksik deltametrin Deltametrin sangat toksik terhadap ikan, 96 jam LC50 berkisar antara 0,4 – 2,0 µg/L. deltametrin juga sangat toksik untuk invertebrata akuatik, 48 jam LC 50 untuk Daphnia magna adalah 5 µg/L (World Health Organization, 1990). Pada beberapa kasus yang tidak fatal terpejannya deltametrin pada manusia karena kelalaian, efek yang ditimbulkan adalah mati rasa, gatal, perasaan geli, dan terbakar pada kulit dan vertigo adalah efek yang sering dilaporkan. Kebanyakan efek ini hanya sementara dan menghilang setelah 5-7 hari. Tidak ada efek samping jangka panjang yang pernah dilaporkan (World Health Organization, 1990). Tanda keracunan pada manusia adalah paresthesia yang paling sering dilaporkan. Selain itu juga rasa geli, gatal, rasa terbakar, dan mati rasa setelah pemejanan pada kulit. Paresthesia dilaporkan bersifat reversible kadang hingga 48 jam. paresthesia terjadi hanya pada tempat pemejanan pada kulit. Seorang wanita berusia 25 tahun yang mengalami keracunan cukup hebat setelah menyemprotkan deltametrin pada ladang kapas mengeluh pusing, nausea, rasa lelah, pandangan menjadi kabur, kehilangan nafsu makan, rasa terbakar dan geli pada wajah, mual, vertigo, gangguan tidur, dan hilangnya kesadaran. Seorang pria berusia 31 tahun dengan gejala keracunan ringan setelah menyemprotkan deltametrin pada ladang kapas mengalami pusing, nausea, rasa lelah, pandangan menjadi kabur, kehilangan nafsu makan, sensasi terbakar dan gatal pada muka dan dada (National Pesticide Information Center, 2010).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
a. Toksisitas akut: Pada tikus LD50 oral 87 mg/kg BB, LD50 dermal >2000 mg/kg BB, LC50 inhalasi 0,6 mg/L (6 jam pemejanan seluruh tubuh, aerosol), iritasi kulit: Tidak iritasi, iritasi mata: Tidak iritasi (European Commision, 2002). Toksisitas oral akut deltametrin pada tikus menunjukkan gejala seperti: muncul warna pada bulu, grooming berlebihan, pengeluaran air liur, diare, mengantuk, menjadi lemah, dyspnea, piloerection, ptosis, kesulitan berjalan, inkordinasi gerakan, hipotonia, kematian (World Health Organization, 1990). b. Toksisitas jangka pendek: Target: Sistem saraf (efek neurologi), NOAEL/NOEL oral terendah: NOAEL 1 mg/kg bw/d ( uji oral selama 90 hari pada tikus, dan studi 1 tahun pada anjing), NOAEL/NOEL dermal terendah: NOAEL 1000 mg/kg bw/d (berdasarkan pada uji dermal selama 21 hari pada tikus), NOAEL/NOEL inhalasi terendah: NOAEL < 3 mg/L (berdasarkan pada studi pada tikus selama 14 hari) (European Commision, 2002). c. Toksisitas jangka panjang dan karsinogenisitas: Target: Sistem saraf (efek neurologi), NOAEL 25 ppm atau 1 mg/kg bw/d (2 tahun pada tikus), karsinogenisitas: Tidak ada potensi karsinogenik (European Commision, 2002). d. Ekotoksikologi: Vertebrata terestrial: Toksisitas akut pada mamalia: LD50 87 mg/kg BB (tikus), toksisitas akut pada burung: LD50 > 2250 mg/kg BB (Colinus virginianus), LD50 > 4640 mg/kg BB (Anas platyrhynchus), toksisitas oral jangka pendek pada mamalia: NOEL 2,5 mg/ kg bw/d (studi oral pada anjing selama 13 minggu) (European Commision, 2002).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
Tabel II. Toksisitas deltametrin pada organisme akuatik (European Commision, 2002)
Spesies Toksisitas akut ikan O. mykiss Toksisitas akut ikan O. mykiss jangka panjang Bioakumulasi pada 1400 ikan Deltametrin: D. magna D. magna Toksisitas akut pada Decis EC: invertebrata Gammarus fasciatus
A. aquaticus Toksisitas kronik Deltametrin: invertebrata magna
D.
Skala waktu 96 h1
Toksisitas (µg a.s./l) 0,26
Hasil akhir LC50
28 d1
<0,032
NOEC
28 d1
-
BCF
24 h1 48 h1 24 h2 48 h2
> 1,3 0,56 0,25 0,11
EC50 EC50 EC50 EC50
96 h1 96 h1 96 h4
0,00031 0,0032 > 0,043
LC50 LC50 LC50
96 h2
0,00051
LC50
21d1
0,0041
NOEC
Keterangan: 1flow trough, 2semi static, 4 one pulse exposure, followed by flow-through of clean water, sediment/water system
4. Mekanisme aksi Deltametrin termasuk piretroid tipe II, tanda keracunan meliputi tremor, pengeluaran air liur, dan konvulsi. Onsetnya cepat dan kemudian akan hilang setelah beberapa hari pada yang selamat (World Health Organization, 1990). Deltametrin efektif melawan serangga melalui saluran pencernaan dan kontak langsung. Piretroid secara umum mengganggu produksi normal sinyal saraf dalam sistem saraf. Piretroid bekerja pada membrane saraf dengan menunda menutupnya gerbang sodium ion channel. Piretroid tipe II, termasuk deltametrin mempunyai gugus α-cyano yang menginduksi long lasting inhibiton dari sodium channel activation gate. Hasilnya adalah memperpanjang permeabilitas dari saraf
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
ke sodium dan menghasilkan sinyal saraf berulang pada sensory organ, sensory nerves, dan otot (National Pesticide Information Center, 2010). Ciri dari keracunan yang terlihat adalah terjadinya tremor otot yang tidak terkoordinasi (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001).
Gambar 2. Kanal Sodium (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001)
Membran sel saraf memiliki muatan spesifik. Dengan berubahnya jumlah ion (charged atoms) melewati kanal ion menyebabkan depolarisasi membran yang menyebabkan
dilepaskannya
neurotransmiter.
Neurotransmiter
membantu
komunikasi sel saraf. Pesan elektrikal yang dikirim diantara sel saraf menyebabkan mereka menghasilkan respon seperti gerakan pada hewan atau serangga. Piretroid bekerja sebagai racun kontak yang mempengaruhi sistem saraf serangga. Meskipun piretroid adalah racun saraf, tetapi piretroid tidak menghambat kolinesterase seperti insektisida organofosfat atau karbamat (National Pesticide Telecommunications Network, 1998). 5. Metabolisme deltametrin Kecepatan absorbsi deltametrin secara oral sekitar 75%, berdasarkan data ekskresi dari urin pada tikus. Deltametrin akan segera diabsorbsi ketika diadministrasikan secara oral pada tikus (mayoritas radioaktivitas dieliminasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
selama 24 jam setelah pemejanan, 19-47% di urin, 32-55% di feses) dan distribusikan pada jaringan. Residu pada jaringan relatif rendah, residu terbanyak ditemukan pada lemak. Tidak ada indikasi akumulasi, meskipun residu deltametrin pada jaringan adipose dieliminasi dengan waktu paruh > 24 jam. deltametrin dengan cepat diekskresikan melalui urin dan feses (Standing Committee on Biocidal Products, 2011). Deltametrin diabsorbsi melalui rute oral, dan sedikit melalui rute dermal, kecepatan absorbsinya sangat tergantung dari pembawa atau solven. Deltametrin yang telah diabsorbsi kemudian akan dimetabolisme dan diekskresikan (World Health Organization, 1990). Metabolit terbanyak adalah Br2CA (Decamethrinic acid) bebas dan terkonjugasi, trans-hydroxymethyl-Br2CA, dan 3-(4-hydroxyphenoxy) benzoic acid yang dibentuk dari esterifikasi, oksidasi, dan konjugasi (World Health Organization, 1990). Reaksi metabolisme yang utama adalah oksidasi, pemecahan ikatan ester, dan konversi bagian siano menjadi tiosianat dan 2-iminothiazolidine-4-carboxylic acid (ITCA). Asam karboksilat dan derivat fenol dikonjugasikan dengan asam sulfur, glisin, dan/atau asam glukoloronik (World Health Organization, 1990). Metabolisme deltametrin pada manusia. Tiga pria muda menerima dosis tunggal 3 mg deltametrin yang dikombinasikan dengan 1 gram glukosa dan dilarutkan terlebih dahulu dalam 10 mL PEG 300 dan kemudian dalam 150 mL air. Radioaktivitas total adalah 1,8 ± mBq. Sampel darah, urin, air liur, dan feses diambil pada interval selama 5 hari. Pemeriksaan klinis dan biologis dilakukan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
setiap 12 jam selama perlakuan dan 1 minggu setelah perlakuan berakhir. Pemeriksaan klinis dan biologis tidak mendeteksi adanya kelainan. Tidak ada tanda efek samping atau intolerance reaction, baik selama atau setelah masa percobaan. Radioaktivitas maksimal plasma muncul antara 1-2 jam setelah administrasi. Waktu paruh eliminasi yang diperoleh antara 10,0 dan 11,5 jam. Radioaktivitas pada sel darah, juga air liur sangat rendah. Ekskresi urin menunjukkan 90% radioaktivitas diekskresikan selama 24 jam setelah absorbsi. Waktu paruh ekskresi urin yang tampak adalah 10,0 – 13,5 jam dimana hasil ini konsisten dengan data plasma. Eliminasi feses pada akhir periode observasi menunjukkan 10 – 26% dari dosis. Total eliminasi feses dan urin sekitar 64-77% dari dosis awal yang diberikan setelah 96 jam (World Health Organization, 1990). Mamalia umumnya memetabolisme piretroid melalui hidrolisis ester, oksidasi, dan konjugasi. Pemutusan ester adalah rute utama degradasi dalam tubuh. Tiosianat adalah metabolit utama setelah tikus diberikan deltametrin secara oral dan intraperitonial. Metabolit yang lainnya meliputi PBA (3-phenoxybenzoic acid), 4’OH-PB acid sulfate (4’-hydroxy-3-phenoxybenzoic acid sulfate), Br2CA (3-(2,2dibromoethenyl)-2,2-dimethylcyclopropanecarboxylic
acid)
dan
konjugat
glukoronat (National Pesticide Information Center, 2010). 6.
Akumulasi deltametrin Bioakumulasi deltametrin diteliti pada bluegill sunfish (Lepomis
machrochirus). Nilai biokonsentrasi (BCF) yang diperoleh adalah 310, 2800, dan 1400 untuk edible, non-edible dan seluruh jaringan tubuh. Setelah 14 hari periode depurasi 70, 75 dan 76% yang dieliminasi dari edible, non-edible, dan seluruh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
jaringan tubuh. Waktu paruh biologis adalah 4,3 hari pada seluruh jaringan tubuh (Standing Committee on Biocidal Products, 2011). Biokonsentrasi deltametrin pada cacing tanah adalah 483 menggunakan Kow 40 200 untuk deltametrin (Standing Committee on Biocidal Products, 2011). C. Biota Percobaan 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Klasifikasi ikan nila menurut Myers, Espinosa, Parr, Jones, Hammond, and Dewey (2013): Kingdom: Animalia Filum: Chordata Subfilum: Vertebrata Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Ciclidae Genus: Oreochromis Spesies: Oreochromis niloticus
Gambar 3. Ikan nila (Ueberschaer, 2000)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
Ikan nila hidup di perairan air tawar hampir di seluruh Indonesia. Jenis ikan ini sebenarnya bukan ikan asli Indonesia. Habitat asli ikan nila adalah di Sungai Nil dan daerah perairan di sekitarnya. Menurut sejarahnya, ikan nila masuk ke Indonesia pada tahun 1969. Ikan nila didatangkan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (BPAT) Bogor dari Taiwan. Setelah diteliti dan dilakukan adaptasi, ikan ini mulai disebarkan ke beberapa daerah di Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan. Nama tersebut diambil dari nama spesies ikan ini, yakni nilotica yang kemudian diadaptasi menjadi nila (Sutanto, 2012). Ikan nila merupakan ikan air tawar yang cukup dikenal luas masyarakat Indonesia. Secara deskripsi dan bentuk ikan nila mirip dengan ikan mujair, tetapi memiliki ukuran yang lebih besar. Ikan nila termasuk jenis ikan yang mudah dibudidyakan, oleh karena itu ikan nila termasuk komoditas unggulan dalam bisnis perikanan air tawar. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan budidaya ikan nila semakin berkembang dan menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Perkembangan budidaya ikan nila ini juga sehingga sekarang banyak dihasilkan jenis ikan nila unggulan (Sutanto, 2012). Ikan nila mengandung 77-79% air, 17-18% protein, 1,5-3,2 % lemak, dan 1,1-15% mineral (Muchiri, 2006). 2. Habitat ikan nila Habitat nila adalah perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan rawarawa, teteapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas (euryhaline), dapat pula hidup dengan baik di air payau dan laut. Salinitas yang cocok untuk nila adalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
0-35 ppt (part per thousand) dengan pH 6-8,5. Nila dapat hidup pada perairan dengan kandungan oksigen minim, kurang dari 3 ppm (part per million) (Kordi, 2010). Hal yang paling berpengaruh dengan pertumbuhan ikan nila adalah salinitas atau kadar garam. Jumlah 0-29% adalah kadar maksimal untuk ikan nila agar tumbuh dengan baik. Meski ikan nila dapat hidup di kadar garam sampai 35%, tetapi di lingkungan seperti itu ikan nila tidak dapat berkembang dengan baik (Sutanto, 2012). Ikan nila hanya dapat berkembang pada suhu air yang hangat dan tidak dapat hidup pada air yang dingin. Ikan nila juga dikenal dengan sebutan ikan tropis karena memang hanya ada di daerah tropis dengan suhu di antara 23-32 ºC. maka tidak heran, ikan nila tidak sulit ditemukan di daerah-daerah seluruh Indonesia (Sutanto, 2012). Keasaman air yang cocok adalah 6 – 8,5, namun pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7 – 8. pH yang masih ditoleransi nila adalah 5-11. Suhu optimal untuk pertumbuhan nila antara 25 – 30 °C. Pada suhu 22 °C nila masih dapat memijah, begitu pula pada suhu 37 °C. pada suhu di bawah 14 °C atau lebih 38 °C nila mulai tergannggu. Sedangkan suhu mematikan adalah 6 °C dan 42 °C (Kordi, 2010). 3.
Makanan ikan nila Ikan nila termasuk omnivora atau pemakan segala. Ikan ini dapat
berkembang biak dengan berbagai macam makanan, baik yang berasal dari hewani maupun nabati. Kebiasaan memakan makanan hewani dan nabati tergantung umur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
ikan nila. Pada saat larva, setelah habis kuning telur, ikan nila suka dengan phytoplankton. Setelah ukuran badannya menjadi sedikit lebih besar, benih ikan nila sangat suka dengan zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia sp, Moina sp, dan Cladocera sp. Setelah dewasa, ikan nila sangat suka dengan cacing, seperti cacing tanah, cacing darah, dan tubifex. Selain itu, bahan makanan nabati berupa daun talas adalah makanan kesukaan ikan nila (Sutanto, 2012). Untuk pemeliharaan nila diberi pakan buatan (pelet) yang mengandung protein antara 20-25%. Menurut penelitian, nila yang diberi pelet yang mengandung protein 25% tumbuh optimal. Namun nila peliharaan yang diberi makanan berupa dedak halus, tepung bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya, juga dapat tumbuh dengan baik. Untuk memacu pertumbuhan ikan nila, pakan yang diberikan harus mengandung protein 25-35% (Kordi, 2010). 4. Perkembangbiakan ikan nila Ikan nila dikatakan dewasa jika sudah berumur 4-5 bulan. Pertumbuhan maksimal ikan nila untuk melakukan perkembangbiakan adalah sekitar 1,5-2 tahun. Ikan nila yang sudah berumur lebih dari 1 tahun beratnya mencapai 800 gram. Ikan nila dapat mengeluarkan 1200-1500 larva setiap kali memijah. Pemijahan dapat berlangsung 6-7 kali dalam setahun (Sutanto, 2012). Siklus hidup ikan nila dapat dibagi menjadi lima fase yaitu telur, larva, benih, konsumsi, dan induk. Bentuk, ukuran tubuh, dan sifat ikan nila selalu berubah dalam setiap fase. Semua fase dilewati dalam waktu yang berbeda-beda (Sutanto, 2012).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
5. Uptake pada ikan Pada organisme akuatik seperti ikan, proses uptake dapat terjadi melalui isang, dari makanan yang kemudian akan masuk ke dalam saluran pencernaan, maupun dari permukaan tubuh organisme tersebut. Tetapi insang merupakan organ uptake utama pada ikan. Rute uptake dapat berbeda pada tiap organisme, tergantung senyawa, dan tergantung pada kondisi lingkungan (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakal, 2001).
Gambar 4. Struktur insang ikan (Evans, Piermarini, and Choe, 2005)
Insang
merupakan
respirasi
organisme
akuatik
yang
berfungsi
mengekstrak oksigen dari air, dan juga dapat mengambil senyawa yang larut dalam air. Insang seringkali memiliki area permukaan total yang jauh lebih besar daripada area permukaan tubuh yang lain. Pergerakan media respirasi melintasi permukaan respirasi, proses yang disebut ventilasi, mempertahankan gradient tekanan parsial O2 dan CO2 melintasi insang yang diperlukan untuk pertukaran gas. Untuk mendorong ventilasi, sebagian besar hewan yang memiliki insan menggerakkan insangnya melintasi air atau menggerakkan air melintasi isangnya. Ikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
menggunakan gerakan berenang atau gerakan yang terkoordinasi dari mulut dan penutup insang untuk memventilasi insangnya. Arus air akan memasuki mulut, melewati celah-celah di faring, mengalir melintasi insang, dan kemudian keluar dari tubuh (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, et. al, 2010). Susunan kapiler-kapiler di dalam insang memungkinkan pertukaran melawan arus, pertukaran zat-zat atau panas di antara dua cairan yang mengalir kearah yang berlawanan (Campbell, Reece, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, et. al, 2010). D. Bioakumulasi Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada biota, misalnya ikan. Proses akumulasi dari senyawa pada berbagai organisme melalui fase akuatik umumnya diklasifikasikan menjadi 2 tipe: bioconcentration dan biomagnification. Bioconcentration adalah akumulasi dari senyawa yang terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh secara langsung. Bioconcentration factor (BCF) didefinisikan sebagai rasio konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi setimbang (steady-state). Pengukuran BCF dilakukan dengan konsentrasi rata-rata dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran pencernaan ikan. Kadang BCF diperkirakan terhadap kadar lemak ikan. (Krieger, 2010). E. Analisis Kelumit (Trace Analysis) Analisis kelumit (trace analysis) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penerapan kimia analitik (pengukuran jumlah suatu zat) dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
keadaan dimana jumlah analit sangat kecil. Analisis kelumit umumnya dilakukan pada kisaran di bawah bagian per juta (part per million / ppm) misalnya 1 ppm = 1µg/g = 0,0001% atau 1 mg/L untuk cairan. Analis lain medefinisikan secara lebih umum bahwa analisis kelumit adalah analisis dimana konsentrasi analit cukup kecil yang menyebabkan kesulitan dalam memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Selain disebabkan karena rendahnya konsentrasi analit dalam matriks, ada beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kesulitan yang dirasakan oleh analis pada konsentrasi rendah, seperti kehilangan analit, kontaminasi, atau interferensi (Prichard, MacKay, Points, 1996). Tabel III. Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi analit dalam sampel menurut Namiesnik (2002)
Beberapa masalah yang sering terjadi dalam analisis kelumit adalah: a. Konsentrasi analit yang akan ditentukan jauh lebih rendah dibandingkan dengan konstituen lain yang ada dalam matriks
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
b. Adanya kontaminasi dari reagen, alat, atau lingkungan laboratorium yang dapat menghasilkan false results c. Hilangnya analit akibat adsorpsi, degradasi, atau selama proses analisis d. Konstituen matriks dapat mengganggu sistem deteksi yang digunakan, menyebabkan nilai palsu menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan pemurnian yang lebih baik dan atau detektor yang lebih selektif. e. Hasil yang diperoleh dengan teknik instrumen yang umum digunakan kurang tepat dibandingkan dengan menggunakan prosedur klasik f. Secara umum, sulit untuk memastikan keandalan metode karena material referensi yang tersedia untuk berbagai aplikasi analisis kelumit cukup sedikit (Prichard, MacKay, Points, 1996). F. Ekstraksi Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang mungkin mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di samping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi atau kuantifikasinya (Gandjar dan Rohman, 2007). Dalam bentuk paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi caircair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzen, atau diklorometan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
Meskipun demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam air) juga mungkin terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007). Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat non polar atau agak polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2007). Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan dirumuskan sebagai berikut: KD =
[𝑆]𝑜𝑟𝑔 [𝑆]𝑎𝑞
Keterangan: KD = koefisien partisi [S]org = konsentrasi analit dalam fase organik [S]aq = konsentrasi analit dalam fase air Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau polimerasi karenanya ekspreksi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau rasio partisi (D). Persamaannya adalah sebagai berikut: D=
(𝐶𝑠)𝑜𝑟𝑔 (𝐶𝑠)𝑎𝑞
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
Keterangan: D = rasio partisi (Cs)org = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik (Cs)aq = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase air Analit yang mempunyai rasio distribusi besar (104 atau lebih) akan mudah terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berarti 100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007). Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan rasio distribusi yang kecil (< 1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada larutan sampel secara terus menerus (Gandjar dan Rohman, 2007). Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi pelarut yaitu: Terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit terserap oleh partikulat yang mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi, dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua fase. Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling sering dijumpai.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
Oleh karena itu, jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang diperoleh kurang baik. Emulsi dapat dipecah dengan cara: i.
Penambahan garam ke dalam fase air
ii. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan iii. Penyaringan melalui glass-wool iv. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring v.
Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
vi. Sentrifugasi (Gandjar dan Rohman, 2007). G. Kromatografi Gas 1.
Pengertian Kromatografi gas merupakan metode dinamis untuk pemisahan dan
deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran. Kromatografi gas diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950 dan saat ini merupakan alat utama yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan analisis. Perkembangan teknologi yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan kolom telah menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta identifikasi senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik analisis dengan resolusi yang meningkat (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi gas merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam bidang-bidang: industri, lingkungan, farmasi, kimia, klinik, forensik, makanan, dan lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi gas dapat diotomasisasi untuk analisis sampel-sampel padat, cair, dan gas. Sampel padat dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam suatu pelarut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
sehingga dapat diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi gas, demikian juga sampel gas dapat langsung diambil dengan syringe yang kedap terhadap gas (Gandjar dan Rohman, 2007). 2.
Prinsip Gas kromatografi Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut
yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50 – 350 ºC) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007). Terdapat 2 jenis kromatografi gas: a. Kromatografi gas-cair (KGC). Pada KGC, fase diam yang digunakan adalah cairan yang dilarutkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut dalam fase diam. Mekanisme sorpsi nya adalah partisi. b. Kromatografi gas-padat (KGP). Pada KGP, digunakan fase diam padatan. Mekanisme sorpsi nya adalah adsorpsi (Gandjar dan Rohman, 2007). 3.
Skema alat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
Diagram skematik peralatan kromatografi gas ditunjukkan oleh Gambar 5. dengan komponen adalah kontrol dan penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel, kolom yang diletakkan di dalam oven yang dikontrol secara termostatik, sistem deteksi dan pencatat, serta komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data (Dean, 2003).
Gambar 5. Diagram skematik kromatografi gas (Dean, 2003)
a.
Gas pembawa. Fase gerak dalam kromatografi gas disebut gas
pembawa dan harus murni dan inert secara kimia. Gas pembawa yang umumnya digunakan adalah helium, nitrogen, argon, dan hidrogen (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004). Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis detektor yang digunakan. Untuk setiap pemisahan dengan kromatografi gas terdapat kecepatan optimum gas pembawa yang tergantung pada diameter kolom. Kolom kapiler menggunakan kecepatan alir gas yang rendah, yakni antara 0,2 – 2 mL/menit. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler sangat rendah,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
maka pada kebanyakan detektor ditambah gas tambahan yang ditambahkan ke dalam efluen setelah keluar dari kolom tetapi belum mencapai detektor. Gas tambahan umumnya sama dengan gas pembawa, meskipun kadangkala digunakan helium. Gas pembawa bekerja paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas nitrogen akan efisien jika digunakan dengan kecepatan alir ± 10 mL/menit, sementara helium akan efisien pada kecepatan alir 40 mL/menit (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gambar 6. Gas yang digunakan dalam kromatografi gas (Grob, 2004)
b.
Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk
menghantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan umumnya 10 – 15 ºC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel akan menguap segera setelah sampel disuntikkan (Gandjar dan Rohman, 2007).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai 0,01 µL, karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1 – 100 µL sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan (split injection). Dengan menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang banyaknya diketahui, disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa dan sebelum masuk ke kolom, gas pembawa ini dibagi menjadi 2 aliran. Satu aliran masuk ke dalam kolom dan satunya lagi akan dibuang. Aliran relatif dalam kedua aliran ini dikendalikan dengan sejenis penghambat seperti katup jarum pada aliran yang dibuang. Laju alir di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan nisbah (rasio) pemecahannya. Jika 1 µL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang mempunyai nisbah pemecahan 1:100, maka sebanyak 0,01 µL sampel masuk ke dalam kolom dan sisanya akan dibuang (Gandjar dan Rohman, 2007).
Gambar 7. Diagram Split Injection (Harris, 2010)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
c.
39
Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan
karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada kromatografi gas. Terdapat 2 jenis tipe kolom yang digunakan dalam gas kromatografi, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler atau sering disebut open tubular columns. Pada masa lalu, lebih banyak digunakan kolom kemas untuk melakukan analisis menggunakan gas kromatografi. Untuk aplikasi masa kini, kolom kemas digantikan dengan kolom kapiler karena lebih efisien dan lebih cepat (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004). Semakin sempit diameter kolom, maka efisiensi pemisahan kolom semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada umumnya, seorang analis akan memilih kolom dengan diameter 0,2 mm atau yang lebih kecil ketika menganalisis sampel dengan konsentrasi sekelumit atau ketika seorang analis akan memisahkan komponen yang sangat kompleks (Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom kapiler terbuat dari silica (SiO2) dan dilapisi dengan polymide (plastik yang mampu menahan suhu 350 ºC). Pada bagian dalam terdapat rongga yang menyerupai pipa, oleh karena itu kolom kapiler juga disebut Open Tubular Columns. Fase diam melekat mengelilingi dinding dalam kolom. Terdapat 4 macam jenis lapisan pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT (Wall Coated Open Tubular Column), SCOT (Support Coated Open Tubular Column), PLOT (Porous Layer Open Tubular Column), dan FSOT (Fused Silica Open Tubular Column). WCOT (Wall Coated Open Tubular Column) memiliki 0,1 – 5 µm lapisan tipis fase diam cair yang terdapat pada dinding bagian dalam kolom. SCOT (Support Coated Open
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
Tubular Column) memiliki partikel solid yang dilapisi dengan fase diam cair yang terdapat pada bagian dalam dinding. Pada PLOT (Porous Layer Open Tubular Column) partikel padat sebagai fase diam aktif. Dengan besarnya luas area yang dimiliki, SCOT dapat menampung sampel lebih besar daripada WCOT. Performa SCOT berada diantara WCOT dan kolom kemas. Diameter dalam kolom kapiler memiliki ukuran 0,10 – 0,53 mm dengan panjang 15 sampai 100 m, umumnya adalah 30 m (Harris, 2010). Menurut Moffat, Osselton, and Widdop (2011) kolom kapiler menghasilkan resolusi, sensitivitas, daya tahan yang lebih baik daripada kolom kemas.
Gambar 8. Tipe kolom kapiler kromatografi gas (Harris, 2010)
Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih disukai oleh para ilmuwan. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan kolom kapiler memberikan harga jumlah plat teori yang sangat besar (> 300.000 pelat). Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar, atau semi polar. Fase diam non
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; SE30; CPSIL-5) dan fenil 5% - metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50% - metilpolisiloksan 50% (HP-17; DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti polietilen glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase diam akan menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran. Seorang analis harus memilih fase diam yang mampu memisahkan komponen-komponen dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom kemas mengandung partikel padat berukuran halus yang dilapisi dengan fase diam cair yang dapat menguap. Dibandingkan dengan kolom kapiler, kolom kemas memiliki kapasistas sampel yang lebih besar tetapi menghasilkan puncak lebih lebar, waktu retensi lebih lama, dan resolusi yang lebih buruk. Kolom kemas umumya dibuat dari logam tahan karat atau gelas dengan diameter dalam 3 – 6 mm dan panjang 1 – 5 m (Harris, 2010). Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini. Semakin kecil diameter partikel fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60 – 80 mesh (250 – 170 µm) (Gandjar dan Rohman, 2007). d.
Pemilihan
temperatur
kolom.
Pemilihan
temperatur
pada
kromatografi gas tergantung pada beberapa faktor. Temperatur injeksi harus relatif tinggi yang memberikan kecepetan penguapan yang paling tinggi sehingga memberikan resolusi yang baik. Temperatur injeksi terlalu tinggi dapat menyebabkan karet septum menjadi rusak dan menyebabkan tempat injeksi menjadi kotor. Temperatur kolom berhubungan dengan kecepatan, sensitivitas, dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
resolusi. Pada temperatur kolom yang tinggi, komponen sampel lebih banyak berada pada fase gas sehingga akan cepat terleusi tetapi resolusi nya menjadi buruk. Pada temperatur rendah, komponen sampel akan memiliki lebih banyak waktu untuk berada pada fase diam dan terelusi secara perlahan, resolusi menjadi meningkat tetapi sensitivitas menurun karena puncak yang dihasilkan akan melebar. Temperatur detektor harus cukup tinggi untuk mencegah kondensasi sampel (Christian, 2004). Kromatografi gas didasarkan pada 2 sifat senyawa yang dipisahkan yakni kelarutan senyawa dalam cairan tertentu dan tekanan uapnya. Karena tekanan uap berbanding langsung dengan suhu, maka temperatur merupakan faktor yang utama pada kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007). Pemisahan pada kromatografi gas dapat dilakukan pada suhu tetap yang biasanya disebut dengan pemisahan isotermal dan dapat dilakukan dengan menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut dengan suhu terprogram. Pemisahan isotermal paling baik digunakan pada analisis rutin atau jika kita mengetahui sifat sampel yang akan dipisahkan dengan baik. Pemisahan dengan temperatur terprogram mempunyai keuntungan yakni mampu meningkatkan resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran yang mempunyai titik didih pada kisaran yang luas. Selain itu, juga mampu mempercepat waktu analisis karena senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi akan terelusi dengan cepat. Pemrograman suhu dilakukan dengan menaikkan suhu dari suhu tertentu ke suhu tertentu yang lain dengan laju yang diketahui dan terkendali dalam waktu tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
Gambar 9. Jenis pemrograman suhu (Grob, 2004)
e.
Detektor penangkap electron (Electron capture detector/ECD).
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa gan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik (Gandjar dan Rohman, 2007). Jenis detektor
Jenis sampel
Hantar panas
Senyawa umum
Ionisasi nyala Fotometrin nyala Nitrogen fosfor Ionisasi argon (sinar β) Penangkap elektron Spektroskopi masa
Semua senyawa organik, baik untuk hidrokarbon Senyawa sulfur (393 nm), senyawa fosfor (526 nm) Senyawa nitrogen organik dan fosfat organik Semua senyawa organik, dengan gas pembawa He ultrapure, juga untuk anorganik dan gas permanen Semua senyawa yang mempunyai kemampuan menangkap elektron, halogen organik, pestisida semua senyawa. Tergantung pada metode ionisasi
Batas deteksi 5 - 100 ng, 10 ppm 100% 10 - 100 pg, 100 ppb - 99 % 10 pg (sulfur), 1 pg (fosfor) 0,1 - 10 pg, 100 ppt 0,1 % 0,1 - 100 ng, 0,1 100 ppm 0,05 - 1 pg, 50 ppt 1 ppm Baik
Gambar 10. Perbandingan detektor pada gas kromatografi (Christian, 2004)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Detektor penangkap elektron
44
(Electron Capture Detector/ECD)
menggunakan sumber radioaktif yaitu tritium (3H) atau nikel (63Ni) yang ditempatkan diantara dua elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara katoda dan anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt. Dasar kerja detektor ini adalah: penangkapan elektron oleh senyawa yang memiliki afinitas terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif (Gandjar dan Rohman, 2007). Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar β akan mengionisasi molekul N2 menjadi ion dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke anoda dengan lambat. Dengan demikian, di dalam ruangan detektor terdapat semacam awan elektron bebas yang dengan lambat menuju anoda. Elektron-elektron yang terkumpul pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar (baseline current) yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila komponen sampel (senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke dalam ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini akan dibawa oleh fase gerak (carrier gas). Akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar detektor, berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem sehingga arus listrik yang steady akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder sebagai puncak pada kromatogram (Gandjar dan Rohman, 2007).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
Gambar 11. Diagram skematik detektor penangkap elekron (Harvey, 2000)
4. Analisis kualitatif dan kuantitatif Analisis Kualitatif GC-ECD berupa pengamatan waktu retensi (tR) senyawa baku dan senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara kromatografi secara berurutan dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan pengoperasian antar keduanya sekecil mungkin (Gandjar dan Rohman, 2007). Analisis Kuantitatif GC-ECD dapat dilakukan dengan mengukur tinggi puncak atau luas puncak. Tinggi puncak diukur sebagai jarak dari garis dasar ke puncak maksimum. Sedangkan luas puncak diukur sebagai hasil kali tinggi puncak dan lebar pada setengah tinggi (W1/2) (Gandjar dan Rohman, 2007). H. Validasi Metode Analisis Validasi metode adalah proses untuk membuktikan bahwa prosedur uji yang dilakukan memenuhi standar penerimaan dari segi keandalan, akurasi, dan presisi untuk tujuan yang dimaksud (Ahuja and Dong, 2005). Suatu metode perlu divalidasi saat sebelum metode tersebut digunakan secara rutin; metode dilakukan pada kondisi yang berbeda (misalnya dilakukan pada alat yang karakteristiknya berbeda); ada perubahan pada metode dimana perubahan itu di luar jangkauan metode semula; kontrol kualitas menunjukkan metode tersebut berubah seiring dengan berjalannya waktu; dan untuk menujukkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
ekivalensi antara dua metode (misalnya metode baru dengan metode standar) (Ahuja and Rasmussen, 2007). United States Pharmacopoeia (USP) mengatakan bahwa tidak selalu diperlukan untuk mengevaluasi setiap karakteristik analitik untuk setiap metode uji. USP dan ICH membagi metode uji menjadi 4 kategori, yaitu: 1. Kategori 1, merupakan metode analisis yang digunakan untuk mengukur komponen utama (termasuk pengawet) atau bahan aktif obat dari suatu sediaan. Untuk kategori ini tidak diperlukan evaluasi LOD dan LLOQ karena komponen utama atau bahan aktif yang diukur umumnya memiliki konsentrasi yang tinggi. 2. Kategori 2, metode analisis untuk menentukan pengotor atau produk degradasi. Metode ini dibagi menjadi dua subkategori: kuantitatif dan uji batas. 3. Kategori 3, metode analisis untuk menentukan karakteristik yang harus didokumentasikan untuk metode uji (contohnya uji disolusi). 4. Kategori 4, merupakan uji identifikasi secara kualitatif, jadi hanya spesivisitas yang diperlukan (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010). Untuk setiap kategori uji, memiliki persyaratan validasi yang berbeda. Tabel IV menunjukkan parameter validasi yang diperlukan pada setiap kategori uji.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
Tabel IV. Parameter validasi untuk setiap kategori uji (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010)
Parameter Validasi
Kategori 1
Kategori 2 Kuantitatif Uji batas Ya * Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Kategori 3
Kategori 4
Ya * Tidak Akurasi Ya Ya Tidak Presisi Ya * Ya Spesivisitas Tidak * Tidak LOD Tidak * Tidak LOQ Ya * Tidak Linearitas Ya * Tidak Rentang *Mungkin diperlukan, tergantung tipe dari uji. Misalnya, meskipun uji disolusi termasuk kategori 3, untuk uji kuantitatif, pengukuran yang digunakan seperti kategori 1 (dengan beberapa pengecualian)
Validasi metode analisis merupakan suatu proses tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan yang dilakukan di laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Parameter-parameter tersebut adalah: 1. Selektivitas atau spesivisitas Selektivitas atau spesivisitas merupakan kemampuan suatu metode analisis untuk mengukur analit yang diinginkan dalam matriks tanpa mengalami gangguan dari matriks (termasuk analit lain) (Christian, 2004). 2. Linearitas dan rentang Linearitas prosedur analisis adalah kemampuan suatu metode (pada rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit dalam sampel (Ahuja and Scypinski, 2001). Rentang adalah interval (jarak) antara konsentrasi paling bawah dan paling atas dari analit dalam sampel yang menujukkan bahwa prosedur analisis memenuhi presisi, akurasi, dan linearitas (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
3. Akurasi Akurasi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan antara hasil uji yang diperoleh dengan nilai yang sebenarnya (Ahuja and Scypinski, 2001). Untuk kuantifikasi pengotor (impurities), akurasi ditentukan dengan menganalisis sampel yang ditambahkan dengan pengotor (impurities) dalam jumlah yang telah diketahui. Akurasi dihitung sebagai % recovery dari jumlah yang ditambahkan (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010). 4. Presisi Presisi menunjukkan derajat keterulangan hasil uji ketika metode dilakukan secara berulang pada sampel yang homogen dengan beberapa kali pengambilan sampel. Presisi umumnya dilihat dari tiga level: repeatability, intermediate precision, dan reproducibility (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004). a. Repeatability (presisi). adalah perhitungan presisi pada kondisi peralatan dan analis yang sama dalam interval waktu yang pendek (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004). b. Intermediate precision. Intermediate precision adalah variasi yang muncul dalam laboratorium yang sama. Parameter yang dilihat adalah pada kondisi penelitian dengan variasi dari analis, variasi dari alat serta variasi yang dilakukan hari demi hari (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004). c. Reproducibility. Reproducibility mengukur presisi antar laboratorium seperti pada penelitian kolaboratif (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
5. LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantitation) LOD merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat terdeteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko (Ermer and Miller, 2005). LOQ merupakan konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat dikuantifikasi dengan akurasi dan presisi yang sesuai pada metode yang digunakan. Parameter ini diukur dalam matriks (Grob and Barry, 2004). I. Landasan Teori Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama (Sudarmo, 1991). Deltametrin merupakan insektisida sintetik golongan piretroid yang merupakan tiruan analog dari piretrin (Djojosumarto, 2008). Pestisida dapat berdampak buruk bagi lingkungan, contohnya deltametrin mempunyai sifat sangat toksik untuk ikan. Tanda keracunan deltametrin pada manusia adalah munculnya rasa geli, gatal, terbakar, mati rasa, dan paresthesia. Senyawa yang mempunyai nilai log Kow lebih dari 3 memiliki kemungkinan dapat mengalami akumulasi. Deltametrin mempunyai sifat non polar (log Kow = 4,6), oleh karena itu dapat terakumulasi pada sedimen dan mengalami bioakumulasi pada biota perairan. Oleh karena itu harus diketahui kadarnya dalam makanan. Salah satu jenis ikan yang banyak dikonsumsi manusia adalah ikan nila. Ikan nila merupakan ikan air tawar yang hidup di lingkungan tropis. Ikan ini memiliki daya toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Di Indonesia, ikan nila cukup dikenal luas dan termasuk komoditas unggulan dalam bisnis perikanan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
air tawar. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan budidaya ikan nila semakin berkembang. Ikan nila banyak disukai karena dagingnya yang lembut, enak, dan tebal (Sutanto, 2012). Ikan nila banyak dikonsumsi karena mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Kandungan lemak ikan nila adalah 2,54 % dengan jumlah lemak netral 24,50 % dan lemak polar 75,50 % (Suloma, Ogata, Garibay, Chaves, and ElHaroun, 2008). Menurut Henderson and Tocher (1987) lemak dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu lemak netral dan lemak polar. Lemak netral merupakan deposit lipid yang digunakan sebagai sumber energi, sedangkan lemak polar merupakan konstituen utama dari membran sel. Deltametrin jika dipaparkan selama waktu tertentu pada ikan nila dapat terakumulasi pada jaringan lemak ikan nila. Karena lemak merupakan tempat akumulasi senyawa kimia organik non polar setelah senyawa tersebut masuk ke dalam organisme berdasarkan prinsip like dissolve like. Deltametrin mempunyai nilai log Kow 4,6 dan lemak ikan nila memiliki rentang log Kow 4,6 – 10,89 (Anonim, 2008b; Anonim, 2009). Berdasarkan prinsip like dissolve like, kemungkinan deltametrin dapat mengalami bioakumulasi dalam lemak ikan nila. Ekstraksi dilakukan untuk mengambil analit dan memisahkan analit dari matriks. Menurut Abuzar et. al (2012) ekstraksi deltametrin dalam matriks tomat dilakukan menggunakan pelarut asetonitril dan dilanjutkan dengan clean-up menggunakan fase diam florisil dengan fase gerak asetonitril. Matriks ikan bersifat non polar sehingga perlu dilakukan pengembangan metode ekstraksi dan clean-up deltametrin dalam matriks ikan nila. Ekstraksi deltametrin dari ikan nila dilakukan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
menggunakan metode ekstraksi cair-cair. Prinsip ekstraksi cair-cair adalah menggunakan 2 pelarut yang tidak saling campur, dimana deltametrin memiliki kelarutan yang tinggi pada salah satu pelarut. Menurut Noegrohati (1991) ekstraksi deltametrin dari jaringan lemak ikan nila dilakukan menggunakan campuran heksan : aseton (1:1). Ko-ekstraktan dibersihkan menggunakan kolom kromatografi dengan fase diam dan fase gerak hasil optimasi. Keberhasilan analisis deltametrin dalam matriks ikan nila ditentukan oleh prosedur clean-up ekstrak lemak ikan nila yang mengandung deltametrin. Karena deltametrin bersifat non polar maka pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi bersifat non polar akibatnya lemak dalam matriks ikan nila ikut terekstraksi. Karena keduanya bersifat non polar maka pemisahan menggunakan dasar perbedaan polaritas diduga tidak memberikan hasil yang optimal, oleh karena itu digunakan kromatografi adsorbsi yang proses pemisahannya berdasarkan interaksi analit dengan situs aktif pada karbon. Agar deltametrin terikat kuat pada fase diam maka digunakan karbon aktif. Menurut Anonim (2007) alumina dapat digunakan sebagai fase diam untuk proses clean-up. Menurut Hassan, Youssef, and Priecel (2013) karbon aktif juga dapat digunakan sebagai fase diam untuk proses clean-up. Petroleum eter dan aseton biasanya digunakan dalam proses clean-up dengan fase diam alumina. Berdasarkan Anonima (2012) kekuatan pelarut (ε0) pada alumina (Al2O3) untuk petroleum eter adalah 0,01 sedangkan aseton adalah 0,58. Kandungan lemak ikan nila sebagian besar adalah lemak polar, apabila digunakan fase diam karbon yang bersifat non polar maka lemak ikan nila akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
keluar bersama dengan petroleum eter. Deltametrin akan tetap terikat pada karbon karena ada proses adsorbsi. Deltametrin dapat keluar bersama aseton karena interaksi deltametrin dengan aseton lebih kuat daripada dengan karbon. Lemak ikan nila dan deltametrin dapat dipisahkan karena terjadi perbedaan kekutatan ikatan antara lemak dengan karbon dan deltametrin dengan karbon. Determinasi deltametrin dilakukan menggunakan kromatografi gas detektor penangkap elektron (Gas Chromatography – Electron Capture Detector/ GC-ECD). GC-ECD digunakan karena memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 0,05 – 1 pg (Christian, 2004) . Digunakan detektor penangkap elektron karena deltametrin memiliki gugus Br yang bersifat elekronegatif yang dapat menarik elektron. Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada biota, misalnya ikan nila. Laju bioakumulasi dilihat dari nilai slope pada kurva hari vs konsentrasi deltametrin. Biokonsentrasi adalah akumulasi dari senyawa yang terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh secara langsung. Bioconcentration factor (BCF) didefinisikan sebagai rasio konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi setimbang (steady-state). Pengukuran BCF dilakukan dengan konsentrasi rata-rata dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran pencernaan ikan. Kadang BCF diperkirakan terhadap kadar lemak ikan (Krieger, 2010). Karakterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila perlu dilakukan karena deltametrin dapat menimbulkan dampak yang buruk pada manusia sehingga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
perlu ditetapkan kadarnya dalam makanan, contohnya adalah ikan nila yang sering dikonsumsi oleh manusia. Acceptance Daily Intake (ADI) deltametrin adalah 0,01 mg/kg BB (Anonim, 2013). Akumulasi deltametrin dalam ikan nila dikhawatirkan mengakibatkan tingkat asupan deltametrin pada manusia yang mengkonsumsi ikan nila yang terpapar deltametrin setiap hari selama masa hidup (80 tahun) melebihi ADI. J. Hipotesis Hipotesis 1: “pada proses clean-up deltametrin teradsorbsi kuat pada permukaan karbon sehingga tidak terelusi bersama petroleum eter, tetapi akan terelusi bersama aseton” Hipotesis 2: “dengan menggunakan metode ekstraksi dan clean-up yang optimal akan diperoleh data dengan validitas yang baik saat dilakukan determinasi dengan GC-ECD” Hipotesis 3: “terjadi bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila” Hipotesis 4: “asupan deltametrin melalui ikan nila melebihi ADI (Acceptable Daily Intake)”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
K. RANCANGAN PENELITIAN Validasi Metode Analisis Ikan nila + adisi deltametrin
Ikan nila
Ekstraksi Ekstrak
Ekstrak ikan + adisi deltametrin
clean-up
Optimasi clean-up Ekstrak bersih Ekstrak bersih
Determinasi GC-ECD
Determinasi GC-ECD Hipotesis 1
Diperoleh kesalahan total (A)
Diperoleh kesalahan clean-up (B)
Hipotesis 2
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Uji Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila Deltametrin dengan konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L masing-masing dimasukkan ke dalam akuarium yang berisi ikan nila
Sampling ikan nila pada hari ke- 0, 1, 2, 3, 5, 7, 14
Analisis hasil
Hipotesis 3
Asesmen Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan Nila
Hipotesis 4
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian dengan judul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen Resiko
Deltametrin
Melalui
Asupan
Ikan
Nila” merupakan
penelitian
eksperimental dimana subyek uji (ikan nila) diberi perlakuan. Rancangan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola acak lengkap satu arah. Acak berarti pengelompokkan ikan nila dilakukan secara acak (random). Lengkap berarti ada dua kelompok uji dalam penelitian ini yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pola satu arah berarti penelitian ini hanya meneliti pengaruh satu variabel bebas saja yaitu besarnya kadar deltametrin yang terdapat pada ikan nila. B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi pestisida deltametrin yang ditambahkan dalam air 2. Variabel tergantung Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar residu pestisida deltametrin dalam sampel ikan nila (Oreochromis niloticus) 3. Variabel pengacau terkendali Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
a. Hewan uji yang digunakan: jenis ikan, umur ikan, berat ikan. Untuk mengatasinya menggunakan jenis ikan nila (Oreochromis niloticus), umur 3 bulan, berat 1-2 gram. b. Jumlah ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah 10 ekor/aquarium dengan berat rata-rata 1,46 g. c. Suhu perlakuan dijaga agar tidak memiliki simpangan yang melebihi 2ºC. suhu perlakuan yang digunakan adalah 25ºC. d. Kemurnian pelarut yang digunakan. Untuk mengatasinya menggunakan pelarut grade pro analysis yang memiliki kemurnian tinggi. C. Definisi Operasional 1. Residu pestisida yang dianalisis adalah pestisida golongan piretroid, yaitu deltametrin 2. Sistem kromatografi gas yang digunakan adalah seperangkat alat kromatografi gas yang dilengkapi dengan detektor ECD 3. Parameter optimasi dan validasi metode analisis yang diamati dalam penelitian ini adalah akurasi, presisi, linearitas, LOD, LOQ, dan pengaruh prosedur analisis D. Alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: akuarium serta perlengkapannya, kromatografi gas HP 5890 series II yang dilengkapi dengan detektor penangkap elektron (ECD) 63Ni, kolom Chrompack GC CP-sil 5, 25 m, i.d 0,2 mm, d.f 0,4 µm, neraca analitik (OHAUS Carat Series PAJ 1003, max 60/120 g, min 0,001 g, d = 0,01/0,1 mg, e = 1 mg), corong pisah, corong, hot plate, oven,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
termometer, kolom kromatografi, i.d. 0,7 cm, syringe, peralatan gelas, sendok, pengaduk, mikropipet, blue tip, yellow tip. E. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini, antara lain: standar deltametrin, pestisida deltametrin (DECIS® 2,5 EC), gas nitrogen (gas pembawa dan make up gas), senyawa standar deltametrin, standar dekaklorobifenil (DCB), alumina, karbon, natrium klorida, natrium sulfat anhidrat, aseton, petroleum eter (titik didih 60 °C), diklorometana (titik didih 40 °C), n-heksana, etil asetat, dietil eter, glaswool, aquadest dan aquabides (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi USD). Kecuali dinyatakan lain, bahan yang digunakan merupakan kualitas pro analisis (E. Merck). Bahan lain yang digunakan adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diperoleh dari petani ikan di desa Berbah. Air sumur diperoleh dari rumah Bapak Bambang yang berada di Jalan Mawar No 6A, RT 04/RW 04, Maguwoharjo, Depok, Sleman. F. Tata Cara Penelitian Secara keseluruhan penelitian dibagi menjadi optimasi kromatografi gas, optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean up,
validasi metode
pengukuran (determinasi), validasi analisis residu deltametrin dan aplikasi metode analisis residu deltametrin pada ikan nila. Metode dikatakan valid ketika memenuhi persyaratan validitas yaitu meliputi ketelitian, ketepatan, selektivitas, linearitas, sensitivitas, batas deteksi dan batas kuantitasi. Bioakumulasi deltametrin pada ikan nila ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah deltametrin dalam ikan nila seiring dengan bertambahnya hari.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
1. Optimasi kromatografi gas untuk determinasi deltametrin Optimasi dilakukan dengan menggunakan campuran larutan standar deltametrin dan standar internal yang diinjeksikan dengan volume tertentu kemudian ke dalam instrumen GC-ECD menggunakan temperatur terprogram sedemikan rupa sehingga mendapatkan pemisahan yang optimum. Optimasi meliputi kecepatan alir gas pembawa, suhu injektor, suhu kolom (oven), dan suhu detektor. Pemilihan fase diam disesuaikan dengan senyawa deltametrin yang bersifat non polar. 2. Validasi metode pengukuran deltametrin dengan GC-ECD a.
Kestabilan alat GC-ECD untuk penetapan kadar deltametrin.
Larutan standar DCB dengan kadar konstan diinjeksikan sebanyak 6 kali pada sistem kromatografi gas yang telah dioptimasi. Kestabilan alat ditunjukkan dengan keajegan waktu retensi dan luas dari standar internal DCB. b.
Pembuatan larutan stok deltametrin (2,575x10-1 μg/μL). Ditimbang
51,5 mg baku deltametrin, dilarutkan dalam 5 ml toluen. Kemudian diambil 25 μL, dilarutkan dalam 1000 μL toluen sehingga didapatkan baku deltametrin dengan konsentrasi 2,575x10-1 μg/μL c. 2
Pembuatan larutan intermediet deltametrin (intermediet A 2,575x10-
μg/μL dan intermediet B 2,575x10-3). Sepuluh dan satu mikroliter stok larutan
baku deltametrin 2,575x10-1 μg/μL, masing-masing diencerkan dengan toluene sampai volume 100 μL sehingga diperoleh larutan intermediet dengan konsentrasi 2,575x10-2 μg/μL ( intermediet A) dan 2,575x10-3 μg/μL (intermediet B). Larutan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
ini kemudian digunakan sebagai larutan stok dalam pembuatan kurva baku dan kurva baku adisi deltametrin. d.
Linearitas dan sensitivitas metode pengukuran deltametrin dengan
GC-ECD. Deltametrin dari stok B diambil volume 3 dan 5 µL, sedangkan dari stok A diambil volume 1, 2, dan 4 µL, ditambahkan 7,5 µg DCB dan diencerkan dengan toluen hingga volume 50 µL sehingga diperoleh larutan deltametrin dengan konsentrasi berturut-turut 0,155 µg/mL, 0,258 µg/mL, 0,515 µg/mL, 1,030 µg/mL, dan 2,060 µg/mL. Larutan tersebut diinjeksikan pada kromatografi gas (volume injeksi 1 µl) yang telah dioptimasi sebelumnya. Dalam tahap ini diperoleh hubungan antara kadar deltametrin dengan rasio luas puncak deltametrin terhadap DCB. Selanjutnya dilakukan perhitungan menggunakan program statistik powerfit. 3. Optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean up a.
Ekstraksi deltametrin dari ikan nila. Sampel ikan ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker dan dihaluskan, ditambah aseton dan Na2SO4 anhidrat. Wadah ditutup rapat, didiamkan selama satu malam. Sampel ikan yang telah direndam 1 malam ditambah n-heksan, diaduk, dituang ke dalam gelas bekker. Ampas diekstrak kembali menggunakan diklorometan, ekstrak digabungkan dengan ekstrak n-heksan + aseton yang telah diperoleh sebelumnya. Kedalam ekstrak ditambah 0,5 g NaCl, diaduk, didiamkan, disaring menggunakan corong melewati natrium sulfat anhidrat. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering. Residu lemak kemudian ditambahkan standar deltametrin dengan konsentrasi tertentu untuk selanjutnya dilakukan proses clean up.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
b.
61
Clean-up ekstrak ikan nila dengan fase diam alumina. Kolom kaca
diisi dengan glaswool kemudian dialiri dengan aseton. Dimasukkan ke dalam kolom berturut-turut 1 g Na2SO4 anhidrat, fase diam alumina 1 g, 0,5 g Na2SO4 dengan bantuan petroleum eter. Sampel hasil ekstraksi kemudian dilarutkan dengan sedikit petroleum eter lalu dimasukkan ke dalam kolom . Laju alir kolom dijaga agar tetap konstan. Ekstrak lemak ikan dimasukkan ke dalam kolom, dielusi menggunakan beberapa fase gerak: 10 mL heksan, 10 mL diklorometan, 10 mL etil asetat, 10 mL dietil eter, 10 mL aseton. Masing-masing eluat ditampung dalam flakon yang berbeda dan diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering. Masing-masing residu ditambah 7,5 µg standar internal DCB, dilarutkan dengan toluen hingga volume 50 µl untuk proses determinasi. c.
Clean-up ekstrak ikan nila dengan fase diam karbon aktif dan karbon
nonaktif. Kolom kaca diisi dengan glaswool kemudian dialiri dengan aseton. Karbon aktif adalah karbon yang telah dipanaskan dalam oven dengan suhu 100 ºC selama 2 jam. Dimasukkan ke dalam kolom berturut-turut 1 g Na2SO4 anhidrat, fase diam karbon - Na2SO4 anhidrat 0,4 g dengan metode basah menggunakan petroleum eter. Sampel hasil ekstraksi kemudian dilarutkan dengan sedikit petroleum eter lalu dimasukkan ke dalam kolom. Laju alir kolom dijaga agar tetap konstan. Ekstrak lemak ikan dimasukkan ke dalam kolom, dielusi bertahap dengan menggunakan petroleum eter sebagai fase gerak pertama dan aseton. Masing-masing eluat ditampung dalam flakon yang berbeda dan diuapkan dengan gas nitrogen hingga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
kering. Masing-masing residu ditambah 7,5 µg standar internal DCB, dilarutkan dengan toluen hingga volume 50 µl untuk proses determinasi. 4. Validasi metode analisis deltametrin dalam matriks ikan nila Pada validasi metode analisis, pestisida dianalisis bersama dengan matriks. Proses kerjanya secara keseluruhan adalah ekstraksi pestisida dari matriks, clean up matriks dan penginjeksian pestisida ke dalam kromatografi gas. Validasi metode analisis yang ditentukan adalah perolehan kembali, pengaruh matriks, batas kuantitasi dan presisi a.
Ekstraksi deltametrin dalam sampel ikan nila. Sampel ikan
ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker dan dihaluskan, ditambah larutan standar deltametrin dengan konsentrasi 0,155 µg/mL, 0,258 µg/mL, 0,515 µg/mL, 1,030 µg/mL, dan 2,060 µg/mL, ditambah aseton dan Na2SO4 anhidrat. Wadah ditutup rapat, dan didiamkan selama satu malam. Sampel ikan yang telah direndam 1 malam ditambahkan n-heksan dan diaduk, larutan dituang ke dalam gelas bekker. Ampas diekstrak lagi menggunakan diklorometan, digabungkan dengan ekstrak n-heksan + aseton yang telah diperoleh sebelumnya. Kedalam ekstrak ditambah 0,5 g NaCl sambil diaduk, didiamkan, disaring menggunakan corong melewati natrium sulfat anhidrat. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering. b.
Pembershian ko-ekstraktan (clean-up) dan determinasi deltametrin.
Prosedur clean-up dan determinasi pada sampel ikan sesuai dengan hasil optimasi langkah 3.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
c.
63
Penentuan perolehan kembali, pengaruh matriks, penentuan batas
kuantitasi (LOQ), presisi, dan akurasi. Penentuan perolehan kembali, pengaruh matriks, penentuan batas kuantitasi (LOQ), presisi, dan akurasi berdasarkan data hasil tahap 4.a dan 4.b. Untuk melihat pengaruh matriks dilakukan perbandingan antara kurva baku deltametrin dengan kurva adisi. Batas kuantitasi diperoleh dari pengolahan data secara statistik hasil kurva adisi. Sedangkan presisi ditentukan dari hasil perhitungan simpangan baku (standard deviation) dan akurasi didapat dari hasil perolehan kembali tiap seri kadar. 5. Uji bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila a.
Perlakuan ikan nila. Sepuluh ikan nila dimasukkan ke dalam
aquarium yang berisi 40 L air sumur bebas deltametrin (kontrol) dan yang mengandung deltametrin dalam bentuk formulasi EC dengan konsentrasi 0,17 μg/ L dan 0,34 μg/L. Proses ini dilakukan sebanyak dua kali replikasi. b.
Waktu pengambilan sampel. Sampel ikan nila diambil dengan
interval dari hari ke-0, 1, 2, 3, 5, 7, 14 dimana interval sampling berkorelasi dengan kecepatan disipasi deltametrin dalam air. Sampel harus dipreparasi sesegera mungkin untuk meminimalisasi kehilangan residu deltametrin. c.
Ekstraksi deltametrin dalam ikan nila. Sampel ikan ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker dan dihaluskan, ditambahkan aseton dan Na2SO4 anhidrat. Wadah ditutup rapat dan didiamkan selama satu malam. Sampel ikan yang telah direndam 1 malam ditambahkan n-heksan dan diaduk, larutan dituang ke dalam gelas bekker. Ampas diekstrak kembali
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
menggunakan diklorometan, digabungkan dengan ekstrak n-heksan + aseton yang telah diperoleh sebelumnya. Ke dalam ekstrak ditambah 0,5 g NaCl diaduk, didiamkan, disaring menggunakan corong melewati natrium sulfat anhidrat. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering. d.
Pembersihan ko-ekstraktan (clean-up) dan determinasi deltametrin.
Prosedur clean-up dan determinasi pada sampel ikan sesuai dengan hasil optimasi tahap 3 dan 4. G. Analisis Hasil Penelitian a.
Optimasi kromatografi gas detektor penangkap elektron (GC-ECD).
Optimasi metode kromatografi gas dilihat dengan kecepatan alir gas pembawa, suhu injektor, temperatur kolom, dan temperatur oven yang menghasilkan puncak yang optimum. b.
Optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean up ekstrak ikan
nila. Data kromatogram standar deltametrin yang diperoleh diamati sehingga dapat diketahui jenis fase diam dan fase gerak yang memberikan hasil optimal. c.
Kestabilan alat GC-ECD. Data waktu retensi dan luas area standar
DCB diinjeksikan ke dalam GC-ECD sebanyak 6 kali, dan dilakukan perhitungan simpangan baku dan diinterpretasikan secara statistik dengan progam Powerfit (Utrech University Faculteit Scheikunde) untuk menyatakan keterulangan atau reprodusibilitas pengukuran. d.
Perhitungan linearitas, sensitivitas, dan batas deteksi deltametrin.
Data standar deltametrin diplotkan dengan rasio luas area standar deltametrin terhadap standar internal DCB untuk mendapatkan kurva baku yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
menggambarkan hubungan kadar dan rasio luas area. Nilai r menunjukkan linearitas dari kurva baku yang diperoleh. Nilai r hitung ≥ r tabel dianggap memiliki korelasi kadar dan rasio luas area yang baik. Batas deteksi atau limit of detection diperoleh dengan mencari simpangan baku dari intercept kurva baku kemudian diolah dengan persamaan matematis dan diinterpretasikan secara statistik menggunakan progam Powerfit (Utrech University Faculteit Scheikunde). e.
Penentuan perolehan kembali, penentuan batas kuantitasi (LOQ),
presisi, dan akurasi. Presisi diperoleh dari perhitungan secara matematis terhadap besarnya simpangan baku data. Kesalahan Acak (% CV) =
𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎
𝑥 100%
Batas kuantitasi diperoleh dengan menghitung simpangan baku dari intercept kurva baku adisi dan diolah menggunakan persamaan matematis secara statistik menggunakan progam Powerfit (Utrech University Faculteit Scheikunde). Akurasi diperoleh dengan menghitung perolehan kembali (percent recovery) dari deltametrin setelah mengalami perlakuan analisis. Akurasi dapat dihitung dengan rumus: Untuk menghitung nilai LOQ digunakan rumus: LOQ = 3,3
𝑆𝑎 𝑏
Keterangan : LOQ = batas kuantitasi k
= 3,3
Sa
= standar deviasi dari intersep kurva baku
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
b = slope 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
Perolehan kembali (recovery) = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖 x 100% f.
Perhitungan kadar deltametrin. Untuk kadar residu pestisida
deltametrin, analisis dilakukan dengan cara membandingkan rasio luas puncak deltametrin sampel dengan luas puncak DCB dalam sampel yang di plotkan dalam kurva baku untuk mendapatkan kadar deltametrin. Data antara rasio luas puncak deltametrin terhadap rasio luas puncak DCB dalam sampel diintrapolasikan ke dalam persamaan regresi linier kurva baku yang didapatkan. Kadar deltametrin dihitung menggunakan persamaan: y= Bx + A keterangan: y= rasio antara luas area sampel dengan standar internal x= kadar deltametrin sehingga kadar deltametrin dalam sampel adalah x= g.
𝑌−𝐴 𝐵
x volume akhir
Pengaruh matriks ikan nila terhadap metode analisis. Untuk
mengetahui pengaruh prosedur analisis terhadap hasil, maka dilakukan perbandingan slope antara kurva baku deltametrin dengan kurva adisi. h.
Penentuan laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. Laju
bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila merupakan slope hubungan antara ln konsentrasi vs hari.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila diperlukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila. Untuk mengukur kadar deltametrin dalam ikan nila dengan kisaran part per billion (ppb) diperlukan metode yang sensitif yaitu dengan menggunakan Gas Chromatography – Electron Capture Detector (GC-ECD). Ikan nila digunakan dalam penelitian ini karena menurut Sutanto (2012) ikan nila merupakan ikan air tawar yang cukup dikenal luas di Indonesia, mudah dibudidayakan, termasuk jenis ikan yang banyak dibudidayakan dan dikonsumsi karena dagingnya yang empuk, tebal, lembut, enak, ikan nila juga memiliki daya toleransi yang besar terhadap lingkungannya, toleransi ikan ini terhadap salinitas sangat tinggi sehingga selain pada perairan tawar, nila juga sering ditemukan hidup dan berkembang di perairan payau misalnya tambak, selain itu ikan nila juga termasuk ikan karnivora atau pemakan segala. Deltametrin memiliki nilai log Kow 4,6 sedangkan lemak ikan nila mempunyai rentang log Kow 4,6 – 10,89 sehingga berdasarkan prinsip like dissolve like deltametrin dapat terakumulasi dalam lemak. Oleh karena itu perlu dilakukan proses ekstraksi yang dapat mengekstraksi lemak + deltametrin dan dilanjutkan dengan proses clean-up sehingga diperoleh ekstrak deltametrin yang bersih dan dapat dideterminasi menggunakan GC-ECD. Matriks ikan yang mengandung lemak dapat menyebabkan masking pada kromatogram, maka perlu dilakukan clean-up untuk membersihkan dan memisahkan deltametrin dari lemak.
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
Selain itu juga dilakukan optimasi fase diam dan fase gerak untuk cleanup, pembuatan kurva baku, pembuatan kurva adisi, perhitungan validasi metode, dan penetapan kadar deltametrin dalam sampel ikan nila. A. METODE ANALISIS 1.
Uji kesesuaian sistem GC-ECD untuk determinasi deltametrin Sebelum melakukan analisis, seorang analis harus memastikan bahwa
sistem dan prosedur yang digunakan harus mampu memberikan data yang dapat diterima. Hal ini dapat dilakukan dengan percobaan kesesuaian sistem yang didefinisikan sebagai serangkaian uji untuk menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima (Gandjar dan Rohman, 2007). a.
Optimasi kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron
(GC-ECD). Optimasi alat dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh kondisi optimum alat untuk menetapkan kadar senyawa uij. Parameter yang dioptimasi meliputi memilih kolom yang akan digunakan, tekanan gas/kecepatan alir gas pembawa baik pada inlet kolom, kolom, detektor maupun auxiliary gas serta suhu injektor, kolom, dan detektor. Pada penelitian ini digunakan gas nitrogen dengan kualitas ultra high purity (UHP) sebagai gas pembawa dan kolom kapiler Chrompack CP-Sil 5 yang bersifat non polar. Berdasarkan optimasi GC-ECD yang dilakukan oleh Sanjayadi (2013) diperoleh kondisi optimum peralatan GC-ECD pada penelitian ini yang ditunjukkan pada Tabel V.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
Tabel V. Hasil optimasi GC-ECD yang dilakukan oleh Sanjayadi (2013) Parameter 1. Injektor (split) Suhu injector Volume injeksi 2. Oven Kolom Temperatur
Hasil optimasi 235°C 1 µL
Kecepatan alir gas pembawa 3. Detektor
Cp-Sil 5 Terprogram: 180°C (3 menit), 15°C/menit, 260°C (15 menit), 30°C/menit, 265°C (7 menit) 1 mL/menit ECD 63Ni 300 °C
Suhu detektor 4. Gas
N2 UHP
b.
Presisi gas kromatografi. Pemisahan setiap senyawa yang dianalisis
menggunakan metode ini cukup baik dengan waktu retensi untuk DCB adalah 15,07±0,01 menit dengan CV sebesar 0,08% seperti yang ditunjukkan pada Tabel VI. Tabel VI. Hasil rata-rata Tr dan CV DCB Konsentrasi DCB (µg/µL)
Rata-rata Tr DCB
SD
CV
0,15
15,07
0,013
0,08%
Sedangkan rata-rata luas DCB yang diperoleh adalah 1517±158,31 dengan CV sebesar 10,44% seperti yang ditunjukkan pada Tabel VII.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
Tabel VII. Hasil rata-rata luas puncak dan CV DCB Konsentrasi DCB (µg/µL)
Rata-rata AUC DCB
SD
CV
0,15
1517
158,31
10,44%
Menurut Anonim (2010) nilai CV untuk senyawa dengan kadar sekelumit dapat diterima jika di bawah 35% saat melakukan uji kesesuaian sistem. Berdasarkan hasil di atas, menunjukkan bahwa alat yang digunakan reprodusibel karena baik CV waktu retensi maupun CV rata-rata luas puncak DCB yang diperoleh di bawah 35% sehingga GC-ECD ini dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa uji (deltametrin). c.
Linearitas dan sensitivitas metode pengukuran deltametrin dengan GC-ECD. c.1. Linearitas metode pengukuran deltametrin dengan GC-ECD.
Linearitas yang digunakan adalah linearitas dari kurva baku hubungan antara konsentrasi dengan respon detektor yang digunakan. Kurva baku merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi deltametrin dan rasio luas puncak senyawa uji/standar internal. Standar internal yang digunakan adalah DCB. digunakan sebagai standar internal untuk mengurangi kesalahan dan fluktuasi data yang terjadi pada saat determinasi dengan GC-ECD. DCB dipilih sebagai standar internal karena dapat dideteksi menggunakan detektor penangkap elektron dan mempunyai waktu retensi yang dekat dengan deltametrin. Tujuan penggunaan kurva baku dalam analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui linearitas, sensitivitas, dan untuk menentukan konsentrasi suatu analit dalam suatu sampel dengan memasukkan respon instrumen berupa luas puncak sebagai nilai y ke dalam persamaan regresi linier y = bx + a sehingga akhirnya dapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
diketahui konsentrasi analit dalam sampel tersebut. Kurva baku yang dihasilkan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel VIII dan IX. Tabel VIII. Persamaan regresi linier baku deltametrin Konsentrasi baku deltametrin (µg/mL) 0,155 0,206 0,258 0,515 1,03 2,06 5,15 Konsentrasi DCB = 0,15 µg/mL Regresi
Rasio AUC deltametrin/DCB 0,23 0,31 0,40 0,70 1,45 2,80 6,76
A B R y = 1,30 x + 0,057
0,057 1,304 0,999
8 y = 1.304 x + 0.057 R = 0.999
AUC Deltametrin/DCB
7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (µg/mL)
Gambar 12. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasioAUC deltametrin/DCB
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
Tabel IX. Persamaan regresi linier baku deltametrin Konsentrasi baku deltametrin (µg/mL) 0,155 0,206 0,258 0,515 1,03 2,06 Konsentrasi DCB = 0,15 µg/mL Regresi
Rasio AUC deltametrin/DCB 0,98 1,32 1,68 2,95 5,76 11,27
A B R y = 5,369 x + 0,211
0,211 5,369 0,999
12 y = 5.369 x + 0.211 R = 0.999
AUC Deltametrin/DCB
10 8 6 4 2 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Konsentrasi (µg/mL)
Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi deltametrin vs rasio AUC deltametrin/DCB
Linearitas suatu metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode (pada rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit dalam sampel. Dari data penelitian terlihat bahwa kurva baku tersebut menunjukkan hubungan yang linier pada rentang 0,15 µg/mL – 5,15 µg/mL dengan nilai r 0,999 setelah diplotkan menggunakan program Powerfit (Utrecht University Faculteit Scheikunde), seperti yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13. Nilai r ini memenuhi persyaratan nilai r untuk uji kategori impurity, yaitu ≥ 0,98 (Ahuja and Dong, 2005). Oleh karena itu metode ini memiliki linearitas yang baik. c.2. Limit of Detection (LOD) metode pengukuran deltametrin dengan GCECD. Sensitivitas dari instrumen ditunjukkan dengan nilai Limit Of Detection (LOD). LOD adalah konsentrasi atau jumlah terkecil dari analit yang berbeda secara signifikan dari blanko yang dapat dideteksi oleh instrumen. LOD dihitung dengan menggunakan kurva baku.
Gambar 14. Ilustrasi pencarian LOD
Gambar 15. Overlapping kurva LOD
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
Blanko disini merupakan intersep (a) sumbu y dari regresi linear rentang bawah. Setelah diketahui nilai intersep (a) maka dapat ditentukan batasan untuk LOD dengan confidence limit 95 % yaitu LOD berjarak ± 6 σ (sigma) dari puncak blanko. Dapat dituliskan dengan rumus y = x ± 6 σ atau y = a ± 6 σ, dengan catatan bahwa nilai Sa = 2 δ dengan tarap kepercayan 95 % untuk regresi linear maka dapat di substitusikan menjadi :
y a 6 , Sa 2
(1) (2)
maka : y a 3Sa
(3)
Nilai ± diatas berarti bahwa nilai plus (+) dapat digunakan untuk mencari nilai y yang berada diatas intersep blanko dan nilai minus (-) untuk y yang berada dibawah blanko, dimana nilai y tersebut merupakan absorbansi. Pada penelitian ini menggunakan nilai plus (+) atau y = a+3Sa dikarenakan absorbansi yang dicari merupakan nilai yang berada diatas absorbansi blanko, sesuai dengan pemahaman bahwa absorbansi LOD > blanko. Dari persamaan (3)
diatas maka dapat
disubstitusikan dengan persamaan regresi linear (y = bx + a) dan eliminasi terhadap variabel a menjadi : y a 3Sa y bx a substitusi a 3Sa bx a 3Sa bx x
3Sa Sa atau _ LOD 3 b b
(4) (5) (6) (7) (8)
Nilai x disini merupakan konsentrasi seperti tampak pada Gambar 14. Tingkat kepercayaan yang digunakan untuk rumus
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LOD 3
75
Sa b
adalah sebesar 95 %. Untuk meningkatkan nilai Confidence dari 95 % menjadi 100% maka dilakukan penambahan daerah overlapping (Gambar 15.) sebesar 0,3% kedalam rumus LOD menjadi : 𝐿𝑂𝐷 = 3,3 𝑥
𝑆𝑎 𝑏
Nilai Sa (standar deviasi intercept kurva baku) diperoleh dengan menggunakan program Powerfit (Utrech University Faculteit Scheikunde) dengan memplotkan konsentrasi teoritis dengan rasio luas puncak deltametrin/DCB. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai LOD sebesar 6,70 ng/mL dan 17,81 ng/mL. diperoleh dua nilai LOD karena saat validasi dan penetapan kadar menggunakan gas pembawa (gas N2) dari tabung yang berbeda, yang ternyata mempengaruhi sensitivitas instrumen GC. Kesimpulan dari uji kesesuaian sistem berdasarkan hasil di atas adalah bahwa GC-ECD dapat digunakan untuk analisis deltametrin dalam ikan nila. 2. Preparasi sampel ikan nila a.
Ekstraksi deltametrin dalam ikan nila. Berdasarkan Noegrohati
(1991) ekstraksi multi residu dalam jaringan lemak ikan dimaserasi dengan heksan : aseton (1:1) dan didiamkan selama 1 malam agar lemak ikan dan deltametrin dapat keluar dari jaringan ikan. b.
Optimasi jenis fase diam dan fase gerak untuk clean-up. Optimasi
clean-up yang dilakukan meliputi optimasi fase diam dan optimasi volume fase gerak. Fase diam yang akan dioptimasi adalah alumina dan karbon.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
Pemilihan fase diam dan fase gerak dilakukan untuk mendapatkan sistem yang dapat memisahkan deltametrin dengan ko-ekstraktan dengan baik. Koekstraktan adalah senyawa-senyawa selain analit yang ikut terekstraksi selama proses ekstraksi. Ko-esktraktan perlu dipisahkan karena dapat mengganggu pada saat determinasi analit. b.1. Optimasi fase diam untuk clean-up ekstrak ikan nila. Fase diam yang digunakan dalam optimasi pada penelitian ini adalah alumina dan karbon. Menurut Anonim (1997), untuk clean up deltametrin menggunakan fase diam alumina. Fase gerak yang digunakan adalah heksan, petroleum eter, diklorometan, etil asetat, dan aseton. Sebelum digunakan, alumina diaktifkan terlebih dengan memanaskannya di dalam oven selama 2 jam dengan suhu 100°C. Saat menggunakan fase gerak heksan dan petroleum eter, baik lemak ikan nila maupun deltametrin kemungkinan terikat dalam alumina hal ini ditandai dengan eluen yang jernih dan pada alumina masih terlihat warna kekuningan dari lemak ikan nila. Saat mengunakan fase gerak diklorometan, etil asetat, dan aseton lemak ikan nila ikut terelusi dan kemungkinan terelusi bersama dengan deltametrin. Hal ini menunjukkan bahwa alumina tidak dapat digunakan untuk proses clean up karena alumina tidak dapat memisahkan matriks lemak ikan nila dengan deltametrin karena lemak ikan nila dan deltametrin memiliki sifat yang mirip. Oleh karena itu perlu menggunakan fase diam lain yang dapat memisahkan lemak ikan nila dan deltametrin dengan baik. Fase diam kedua yang digunakan adalah karbon. Karbon dapat digunakan karena sifatnya non polar dan memiliki kemampuan mengadsorpsi yang kuat untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
senyawa-senyawa non polar dan deltametrin bersifat non polar sehingga karbon dapat menjerap deltametrin dan tidak ikut terelusi pada saat mengelusi lemak ikan nila menggunakan petroleum eter. Pada penelitian ini digunakan 2 macam karbon, yaitu karbon yang diaktifkan dan karbon yang tidak diaktifkan. Sebelum digunakan, karbon diaktifkan dengan cara dipanaskan di dalam oven pada suhu 100°C selama 2 jam. Karbon harus diaktifkan terlebih dahulu karena jika karbon terkena lembab maka dapat mengurangi kemampuannya untuk menjerap analit. Oleh karena itu perlu adanya perbandingan kemampuan memisahkan lemak dengan deltametrin pada karbon yang diaktifkan terhadap karbon yang tidak diaktifkan. Fase diam yang digunakan adalah karbon:natrium sulfat anhidrat. Dielusi bertahap dengan menggunakan petroleum eter sebagai fase gerak pertama, aseton sebagai fase gerak kedua. Standar deltametrin langsung dimasukkan ke dalam kolom, tanpa matriks lemak ikan nila karena ingin melihat perbedaan antara karbon yang tidak diaktifkan dengan karbon yang telah diaktifkan. Jumlah standar deltametrin yang dimasukkan ke dalam kolom adalah 257,5 ng (diambil 10 µL dari standar stok A dengan C = 2,575 x 10-2 µg/µL).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
100 %
Karbon aktif Baku deltametrin Karbon 9,31 %
5,11 % 0% 0% Baku p.e 15 mL deltametrin
0% 0%
0%
0%
6,09 % 0%
aseton 15 aseton + 10 aseton + 10 aseton + 10 mL mL mL mL
Gambar 16. Perbandingan hasil recovery deltametrin menggunakan karbon aktif (250 mg) dan karbon nonaktif (250 mg)
Dari hasil yang ditunjukkan pada Gambar 16. dapat dilihat bahwa baik pada karbon yang diaktifkan maupun karbon yang tidak diaktifkan pada fraksi petroleum eter 15 mL tidak terdapat puncak deltametrin, artinya deltametrin tetap terjerap pada karbon. Petroleum eter digunakan untuk mengelusi lemak ikan nila terlihat dari petroleum eter yang berwarna agak kekuningan dan ko-ekstraktan yang dapat mengganggu determinasi deltametrin. Pada saat menggunakan karbon yang telah diaktifkan, pada fraksi aseton pertama, kedua, dan ketiga tidak terdapat puncak deltametrin, dan puncak deltametrin baru terlihat pada fraksi aseton keempat, tetapi puncak yang terlihat sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa menggunakan 45 mL aseton masih banyak deltametrin yang terjerap pada karbon yang telah diaktifkan. Oleh karena itu, untuk mengelusi deltametrin dari fase diam dibutuhkan volume aseton yang lebih banyak lagi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
Pada saat menggunakan karbon yang tidak diaktifkan, puncak deltametrin tidak muncul pada fraksi aseton I, tetapi muncul pada fraksi aseton II, III, dan IV seperti yang terlihat pada Gambar 16. Rasio AUC deltametrin/DCB pada fraksi aseton kedua adalah 0,12, rasio AUC deltametrin/DCB pada fraksi aseton ketiga adalah 0,21, dan rasio AUC deltametrin/DCB pada fraksi aseton keempat adalah 0,14. Sedangkan rasio AUC deltametrin/DCB standar deltametrin adalah 2,27. Apabila hasil recovery dari fraksi aseton II, III, dan IV dibandingkan dengan standar, diperoleh nilai recovery sebesar 20,51 % yang menunjukkan bahwa masih ada deltametrin yang terjerap pada fase diam karbon yang tidak diaktifkan. Oleh karena itu, untuk mengelusi deltametrin yang masih terjerap pada karbon yang tidak diaktifkan volume aseton harus ditambah atau jumlah karbon yang digunakan dikurangi. Karena penggunaan volume elusi dalam jumlah yang besar kurang efisien, maka kapasitas fase diam perlu dikurangi dengan mengurangi berat fase diam yang digunakan agar volume elusi yang dibutuhkan lebih sedikit. b.2. Optimasi fase gerak untuk clean-up ekstrak ikan nila. Optimasi dilanjutkan menggunkan fase diam yang lebih sedikit, yaitu: karbon aktif : natrium sulfat anhidrat. Kolom dielusi bertahap dengan menggunakan petroleum eter untuk mengelusi lemak ikan nila dan aseton sebagai fase gerak kedua. Pada tahap ini dilakukan adisi, yaitu adisi baku deltametrin sebelum proses clean-up, dan adisi baku deltametrin sebelum proses ekstraksi. Untuk mengetahui efisiensi clean-up dilakukan dengan memasukkan standar deltametrin langsung ke dalam kolom. Adisi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah proses
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
ekstraksi dan clean up yang dilakukan sudah baik atau belum. Jumlah adisi baku deltametrin adalah 257,5 ng.
117,20 %
110,29 %
100 %
22,86 % 0%
0%
aseton 15 mL aseton + 10 mL aseton 15 mL aseton + 10 mL Baku Clean-up baku deltametrin
adisi sebelum clean up
adisi sebelum ekstraksi
Gambar 17. Hasil recovery adisi baku deltametrin 257,5 ng sebelum clean-up dan sebelum ekstraksi menggunakan fase diam karbon : natrium sulfat 0,4 g
Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh Gambar 17. menunjukkan bahwa baik pada adisi sebelum clean-up maupun adisi sebelum ekstraksi % recovery yang didapatkan berturut-turut adalah 117,70 dan 110,29. Tetapi efisiensi ekstraksi tidak dapat ditetapkan karena perbedaan recovery adisi sebelum clean-up dan sebelum ekstraksi tidak dapat dibedakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses ekstraksi dan clean-up yang dilakukan sudah cukup baik. Pada fraksi aseton kedua (10 mL) tidak terdapat puncak deltametrin baik pada adisi sebelum ekstraksi maupun adisi sebelum clean up sehingga dapat disimpulkan bahwa fase gerak aseton yang digunakan cukup 15 mL. Untuk mengetahui apakah proses ekstraksi dan clean-up yang dilakukan sudah cukup baik, maka dilakukan perbandingan kromatogram standar baku
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
deltametrin dan kromatogram deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui proses ekstraksi dan clean-up.
DCB
Deltametrin
DCB
Deltametrin
(1)
(2) Gambar 18. Perbandingan kromatogram (1) = standar baku deltametrin, (2) = deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui proses ekstraksi dan clean-up
Pada kromatogram yang ditunjukkan oleh Gambar 18 (1) dan (2). dapat dilihat bahwa kromatogram deltametrin dalam matriks ikan nila yang telah melalui
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
proses ekstraksi dan clean-up menghasilkan banyak puncak, tetapi puncak-puncak tersebut tidak mengganggu puncak standar internal DCB dan puncak deltametrin artinya proses clean-up yang dilakukan sudah cukup baik sehingga dapat menghilangkan lemak ikan nila yang dapat mengganggu determinasi. 3.
Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Ikan Nila Validasi metode analisis merupakan suatu proses pembuktian bahwa suatu
metode analisis yang digunakan menghasilkan data yang dapat diterima dan terpercaya sehingga dapat digunakan untuk tujuan analisis tertentu. Pada penelitian ini, validasi metode yang dilakukan merupakan validasi metode kategori II, yaitu metode analisis untuk menentukan pengotor atau produk degradasi, karena deltametrin yang dianalisis merupakan pengotor (impurities). Parameter validasi yang diuji pada penelitian ini adalah selektivitas, linearitas, akurasi, presisi, rentang, Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) (Snyder, Kirkland, and Galjh, 2010). a.
Selektivitas. Selektivitas merupakan kemampuan suatu metode
analisis untuk dapat mengukur analit yang diinginkan dalam matriks tanpa mengalami gangguan dari matriks, termasuk analit lain (Christian, 2004). Dalam penelitian ini matriks yang dimaksud adalah lemak ikan nila, dimana selektivitas ditentukan dengan melihat puncak-puncak kromatogram yang bersebelahan terpisah dengan baik atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada baku maupun sampel ikan puncak kromatogram deltametrin maupun DCB yang terpisah dengan baik dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
senyawa-senyawa lain yang terdapat di dalam matriks, hal ini menunjukkan bahwa metode ini memenuhi parameter selektivitas. b.
Akurasi. Akurasi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan
antara hasil uji yang diperoleh dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi berkaitan dengan kesalahan sistematik atau kesalahan yang diketahui karena kesalahan ini dapat ditentukan dan diperbaiki. Secara umum terdapat tiga kesalahan sistematik dalam penelitian laboratorium yaitu kesalahan pada peralatan yang digunakan misalnya alat yang tidak terkalibrasi, kesalahan pada operator dan kesalahan prosedur. Metode yang digunakan adalah metode penambahan baku (standard addition method). Metode ini biasanya dilakukan apabila matriks sampel tidak dapat dibuat plasebonya, sehingga perlu dilakukan penyesuaian antara matriks standar/baku dengan matriks sampel. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah ikan nila yang matriksnya tidak diketahui kandungan dan komposisi senyawa yang terdapat di dalamnya, dan juga karena tidak dapat diperoleh plasebo ikan nila yang digunakan sebagai sampel maka digunakan metode penambahan baku. Metode ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh prosedur analisis yang digunakan dalam menetapkan deltametrin dalam sampel ikan nila (matriks lemak), berapa banyak analit yang hilang selama proses preparasi. Lima konsentrasi bertingkat baku ditambahkan pada sampel ikan nila dan dibuat satu sampel ikan nila tanpa penambahan baku yang digunakan sebagai blanko, sehingga dapat diketahui berapa jumlah baku yang hilang selama proses preparasi. Hasil penelitian ditunjukkan dalam Tabel X.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
Tabel X. Hasil perolehan kembali (recovery) Penambahan (ng)
Rata-rata perolehan kembali (n = 3) (%)
7,725
82,74 ± 0,84
12,875
96,48 ± 2,69
25,75
86,22 ± 2,94
51,5
100,46 ± 1,04
103
98,04 ± 0,31
Tabel XI. Persen Perolehan kembali (recovery) yang dapat diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit menurut Gonzales and Herrador (2007) Analit
Fraksi
analit
Rentang
Rentang recovery (%)
Menurut Gonzales and Herrador (2007), untuk kadar analit dalam matriks di bawah 100 ppb, persen perolehan kembali yang masih diterima adalah antara 80110%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua persen perolehan kembali
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
berada pada rentang 80-110%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis ini memiliki akurasi yang baik. c.
Presisi. Presisi menunjukkan derajat keterulangan hasil uji ketika
metode dilakukan secara berulang dan biasanya digambarkan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel (Chan, Lam, Lee, and Zhang, 2004). Presisi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ripitabilitas, dimana pengukuran presisi dilakukan pada kondisi percobaan yang sama secara berulang, yaitu dengan analis, operator, dan tempat yang sama dalam rentang waktu yang pendek. Presisi dilaporkan dalam bentuk % RSD (Relative Standard Deviation) atau koefisien variasi (CV). Presisi ini berkaitan dengan kesalahan acak (random error). Kesalahan acak dalam analisis disebabkan oleh perubahan yang tidak dapat diprediksi dan tidak diketahui penyebabnya. Hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel XII.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
Tabel XII. Persen koefisien variasi dari metode penambahan baku Penambahan (ng)
Rata-rata ditemukan (n = 3) (ng)
% RSD
7,725
6,39 ± 0,07
1,0
12,875
12,42 ± 0,35
2,8
25,75
22,20 ± 0,76
3,4
51.5
51,74 ± 0,54
1,0
103
100,99 ± 0,32
0,3
Tabel XIII. Persen koefisien variasi yang diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit berdasarkan AOAC PVM (cit., Gonzales and Herrador, 2007)
Analit (%)
Fraksi Analit
Unit
Dalam penelitian semua konsentrasi yang digunakan di bawah 100 ppb. Menurut AOAC Peer Verified Method (PVM) (cit., Gonzales and Herrador, 2007), persen koefisien variasi yang diterima untuk analit dengan konsentrasi di bawah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
100 ppb adalah di bawah 15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua analit dengan konsentrasi di bawah 100 ppb memiliki persen koefisien variasi di bawah 15%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis ini memiliki ripitabilitas yang baik. d.
Rentang linearitas kurva baku deltametrin. Rentang adalah interval
antara konsentrasi paling bawah dan paling atas dari analit dalam sampel yang memenuhi presisi, akurasi, dan linearitas menggunakan metode analisis yang dilakukan (Snyder, Kirkland, Galjh, 2010). Pada penelitian ini, rentang ditentukan dari kurva adisi yang memenuhi kriteria linearitas, akurasi, dan presisi. Rentang dari kurva adisi adalah 5,29 ng/g – 70,55 ng/g. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rentang konsentrasi deltametrin yang memenuhi akurasi, presisi, dan linearitas adalah 5,29 ng/g – 70,55 ng/g. e.
Limit of quantitation (LOQ) deltametrin dalam matriks ikan
nila. Limit of quantitation (LOQ) merupakan konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat dikuantifikasi dengan akurasi dan presisi yang sesuai pada metode analisis yang digunakan (Grob and Barry, 2004). Dalam penelitian ini, digunakan kurva adisi untuk menghitung nilai LOQ. Rumus untuk menghitung nilai LOQ: LOQ = 3,3 x
Sa b
Sebagai faktor pengali dari Sa digunakan 3,3 bukan 10 karena kurva adisi tersebut diperoleh dari sampel yang melalui serangkaian proses ekstraksi dan clean up yang presisi dan akurasinya telah diterima. Nilai Sa (standar deviasi intercept kurva adisi) diperoleh menggunakan program Powerfit (Utrech University Faculteit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
Scheikunde). Pada penelitian ini diperoleh nilai LOQ deltametrin dalam sampel ikan sebesar 1,30 ng/g. f.
Pengaruh matriks ikan nila terhadap metode analisis. Tujuan melihat
pengaruh matriks adalah untuk melihat apakah matriks ikan nila memberikan
Rasio AUC Deltametrin/DCB
pengaruh terhadap metode analisis. 8 7
Baku y = 1,304x + 0,057
6 5 4
Adisi
3
Baku
2
Adisi y = 1,300x + 0,022
1 0 0
1
2 3 4 Konsentrasi (µg/mL)
5
6
Gambar 19. Gabungan kurva baku dan kurva adisi
Jika dilihat dari Gambar 19. terlihat adanya perbedaan dari kurva baku dengan kurva adisi. Untuk mengetahui hal tersebut maka perlu dilakukan uji signifikansi terhadap slope kurva baku dan kurva adisi. Uji signifikansi yang dilakukan adalah uji t (t-test) untuk melihat apakah ada signifikansi antara kurva baku dan kurva adisi. Sebelum melakukan uji t perlu dilakukan uji signifikansi antara standar deviasi slope kurva baku dan kurva adisi menggunakan uji F dan dilihat apakah memberikan hasil yang signifikan atau tidak. Dari hasil perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel XIV. dapat disimpulkan bahwa standar deviasi slope kurva adisi tidak berbeda signifikan dengan standar deviasi slope kurva baku.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
Tabel XIV. Hasil uji F standar deviasi kurva baku dan kurva adisi Fhitung 0,268
α 0,05
Ftabel 3,501
Kesimpulan Tidak berbeda signifikan
Setelah itu dilakukan uji t antara slope kurva baku dengan kurva adisi. Hasil perhitungan uji t yang ditunjukkan dalam Tabel XV. menunjukkan bahwa slope dari kurva adisi tidak berbeda signifikan dengan slope kurva baku. Hasil ini menunjukkan bahwa proses preparasi sampel ikan yang mengandung deltametrin yang dilakukan cukup sempurna. Tabel XV. Hasil uji t slope kurva baku dan kurva adisi thitung 0,63
α 0,05
ttabel 2,09
Kesimpulan Tidak berbeda signifikan
Pengaruh prosedur analisis yang digunakan dalam menetapkan senyawa uji menunjukkan bahwa kadar yang ditemukan kembali lebih kecil dibandingkan kadar teoritik yang seharusnya ditemukan. Namun demikian, prosedur ini cukup baik karena hasil uji signifikansi (uji t) menunjukkan bahwa jumlah yang ditemukan tidak berbeda bermakna dengan jumlah yang ditambahkan. Oleh karena itu, prosedur ini cukup akurat untuk menetapkan jumlah deltametrin pada ikan nila. B. Bioakumulasi Deltametrin dalam Ikan Nila Setelah metode yang akan digunakan telah tervalidasi maka dapat dilanjutkan dengan melakukan penetapan kadar. Dalam penetapan kadar ini peneliti ingin melihat terjadi akumulasi deltametrin dalam tubuh ikan nila dari air yang telah ditambahkan deltametrin.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.
90
Aklimatisasi dan penanganan ikan nila untuk uji bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila Perlakuan yang pertama adalah dengan melakukan aklimatisasi ikan nila
selama 2 minggu pada temperatur uji. Tujuan dilakukan aklimatisasi adalah agar ikan nila dapat menyesuaikan diri dari kondisi kolam tanah ke akuarium percobaan sehingga nantinya siap untuk diberi perlakuan. Air yang digunakan untuk perlakuan adalah air sumur. Makanan untuk ikan nila yang diberikan selama penelitian ini adalah pelet yang diketahui kandungan lemak dan protein untuk menjaga agar ikan nila tetap sehat. Kandungan gizi dalam pelet yang digunakan: 30% protein, 3% lemak, dan max. 4% serat. Vitamin yang terkandung di dalamnya: vitamin A, D3, E, B1, B2, B6, B12, niacin, biotin, panthothenic, choline, dan lainnya. Jumlah makanan yang diberikan untuk tiap ikan nila adalah sebanyak 1-2% dari berat ikan nila. Makanan yang tidak dimakan oleh ikan nila setelah 30 menit harus diambil untuk menjaga agar akuarium tetap bersih. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar konsentrasi senyawa organik serendah mungkin, karena dengan adanya karbon organik dapat membatasi bioavailabilitas dari senyawa uji. Aerator digunakan untuk menambah kadar oksigen dalam air. Variasi temperatur air tidak boleh melebihi 2ºC karena jika simpangannya besar dapat memberikan efek terhadap proses uptake ikan nila dan dapat menyebabkan ikan nila menjadi stres. Selama perlakuan, ikan nila yang mati karena sakit atau terkena efek samping pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak boleh melebihi 10% pada akhir uji. pH air selama perlakuan uji harus antara 6,0 – 8,5. Dilakukan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
siklus gelap terang selama 12 jam selama perlakuan agar sesuai dengan kondisi lingkungan. Ikan nila yang digunakan berukuran 4-6 cm karena secara umum dengan menggunakan ikan dengan ukuran yang kecil akan memperpendek waktu untuk steady-state. Ikan nila yang akan digunakan harus dalam kondisi yang sehat, tidak cacad, dan tidak memiliki penyakit seperti jamur dan lainnya. Rata-rata berat ikan ditentukan dengan cara mengambil beberapa ikan nila, ditimbang dan dihitung ratarata berat ikan nila. Pada penelitian ini rata-rata berat ikan yang digunakan adalah 1,46 gram. Setiap akuarium diisi dengan 40 L air sumur dan 10 ekor ikan nila yang telah melalui proses aklimatisasi dimasukkan ke dalamnya, ditambah decis® (deltametrin teknis) dengan konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L. Pengambilan sampel ikan nila dan air dilakukan pada hari ke-0, 1, 2, 3, 5, 7, dan 14. Sampel air kemudian akan dianalisis oleh Indriati (2013). Selama perlakuan, aerasi dilakukan dengan menggunakan aerator. Salah satu kesulitan uji akuatik adalah menjaga agar konsentrasi senyawa tetap konstan dalam air. Senyawa dapat hilang dalam air karena: i. Absorpsi dan metabolisme oleh organisme uji ii. Menguap, terdegradasi, dan teradsorpsi dari air. Sistem yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem statik. Dengan sistem statik, air tidak diganti selama melakukan uji. Selain metode statik, terdapat metode semistatik. Dengan sistem semistatik, air diganti pada saat tertentu (umumnya setiap 24 jam). Metode ini lebih baik, lebih kompleks, dan lebih mahal
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
karena selalu memperbaharui larutan uji dengan sistem yang kontinyu. Dengan menggunakan sistem ini, larutan uji selalu diperbaharui, sehingga konsentrasinya selalu konstan, dan dapat mencegah kontaminasi dari feses, alga, mucus, dan lainnya. Bila organisme terpapar senyawa untuk waktu yang cukup lama, konsentrasi steady-state akan dicapai dalam jaringan. Karena metode semistatik lebih kompleks dan lebih mahal maka dalam penelitian ini digunakan metode statis (Walker, Hopkin, Sibly, and Peakall, 2001). 2.
Penetapan kadar deltametrin dalam ikan nila Ikan nila yang diambil selama proses pengambilan sampel kemudian
ditimbang dan dibunuh kemudian dimasukkan ke dalam gelas bekker. Setelah itu sampel ikan nila dihaluskan dan direndam menggunakan aseton + heksan untuk menarik lemak agar keluar dari ikan nila. Penambahan Na2SO4 anhidrat adalah untuk menarik air yang terkandung dalam sampel ikan nila agar tidak mengganggu proses ekstraksi. Penggunaan aseton + heksan untuk menarik lemak dan deltametrin. Kemudian sampel ikan nila diekstraksi lagi menggunakan diklorometan untuk menarik deltametrin yang masih tertinggal di dalam sampel tersebut. Penambahan NaCl bertujuan untuk mengurangi afinitas aseton terhadap air, sehingga aseton dapat terpisah dari air dan bergabung dengan n-heksan dan diklorometan. Hal ini perlu dilakukan karena diklorometan memiliki kelarutan yang tinggi di dalam aseton, sehingga bila masih ada aseton yang terikat bersama air, maka ada deltametrin yang tidak ikut terekstraksi. Tahap selanjutnya adalah penyaringan melewati natrium sulfat anhidrat yang berguna untuk menghilangkan partikel pengotor, sekaligus untuk mengurangi kandungan air dalam campuran
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
pelarut n-heksan : aseton : diklorometan. Kandungan air harus dihilangkan karena dapat mengganggu proses clean-up, dimana jika terdapat air, maka fase diam karbon yang digunakan menjadi tidak aktif dan tidak dapat menjerap deltametrin. Pembilasan bertujuan untuk mengeluarkan lemak maupun deltametrin maupun lemak yang masih tertinggal di dalam corong. Filtrat yang didapat kemudian diuapkan menggunakan bantuan gas nitrogen karena gas nitrogen bersifat inert. Residu lemak yang diperoleh kemudian ditimbang sehingga diketahui berapa gram lemak yang terkandung dalam tiap ikan nila. Tahap selanjutnya adalah clean up. Tujuan clean up adalah untuk mengurangi senyawa-senyawa selain analit yang ikut terekstraksi (ko-ekstraktan) karena ko-ekstraktan dapat mengganggu proses determinasi analit, dalam hal ini adalah deltametrin. Kolom kaca diisi glasswool untuk menahan fase diam, kolom dialiri aseton untuk membersihkan dari pengotor yang bersifat polar maupun non polar agar ketika digunakan sudah dalam keadaan bersih. Fase diam karbon dapat menjerap deltametrin karena karbon cocok digunakan untuk menjerap senyawa non polar selain itu karbon memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi yang kuat sehingga dapat menahan senyawa agar tidak ikut terelusi keluar. Residu lemak dilarutkan dalam sedikit petroleum eter karena residu lemak dapat larut dalam petroleum eter. Petroleum eter digunakan sebagai fase gerak pertama untuk mengelusi ko-ekstraktan termasuk lemak ikan nila sehingga saat deltametrin dielusi keluar tidak banyak ko-ekstraktan yang mengganggu. Lemak harus dibersihkan karena bila saat sampel disuntikkan ke dalam GC dan masih terdapat lemak ikan nila, maka lemak tersebut dapat melapisi kolom Cp-sil 5 sehingga deltametrin tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
dapat terikat dengan baik di fase diam. Digunakan aseton untuk mengelusi deltametrin keluar dari kolom karena deltametrin memiliki kelarutan yang tinggi di dalam aseton. Aseton kemudian diuapkan dengan bantuan gas nitrogen. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pada hari ke-0, 1, 2, dan 3 tidak terdapat deltametrin dalam ikan nila yang dianalisis baik pada Decis® konsentrasi 1 (0,17 µg/L) maupun pada Decis® konsentrasi 2 (0,34 µg/L). Akumulasi deltametrin mulai terlihat pada hari ke-5, 7, dan 14 untuk kedua konsentrasi seperti yang terlihat pada Gambar 20. Dari hasil tersebut terlihat bahwa terjadi akumulasi deltametrin dalam ikan nila, karena dari hari ke-5, 7, dan 14 terjadi peningkatan jumlah deltametrin dalam ikan nila yang dianalisis. 7
C deltametrin ng/g ikan
6 5 4 Konsentrasi 1 3
Konsentrasi 2
2
Kontrol
1 0 0
1
-1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Hari
Gambar 20. Kurva bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila
Untuk mengetahui laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila, maka diplotkan antara ln konsentrasi deltametrin vs hari. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
ln rata-rata kadar deltametrin (ng/g ikan)
0.8 0.6 y = 0,073x - 0,505 0.4 0.2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
-0.2 -0.4
Hari
Gambar 21. Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila konsentrasi 0,17 µg/L
ln rata-rata kadar deltametrin (ng/g ikan)
2 y = 0,147x - 0,173
1.8 1.6 1.4 1.2 1
0.8 0.6 0.4 0.2
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Hari
Gambar 22. Kurva laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila konsentrasi 0,34 µg/L
Dari hasil di atas didapatkan laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila berturut-turut adalah 0,07 dan 0,15 ng/hari untuk konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L. Karena kurva ln rata-rata kadar deltametrin vs hari terdiri dari 2 fase, maka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
yang digunakan untuk menentukan laju bioakumulasi adalah fase kedua yang dimulai dari hari ke-3, 5, 7, dan 14. Insang memegang peranan penting dalam proses uptake suatu senyawa yang larut dalam air karena sebagian besar proses uptake yang dilakukan oleh ikan terjadi melalui insang. Pada insang terdapat banyak pembuluh darah yang sangat halus dan dialiri darah terus menerus sehingga memungkinkan proses uptake senyawa melalui insang sangat efektif. Karakteristik ini sangat berguna dalam proses pernafasan ikan maupun proses osmoregulasi serta kesetimbangan asambasa pada ikan (Evans et al.,2005). Pada proses pernafasan ikan, oksigen yang larut dalam air akan difiltrasi oleh insang dan masuk ke aliran darah dengan menembus suatu membran biologis. Demikian juga deltametrin yang larut dalam air akan di uptake oleh isang sehingga teradsorbsi pada insang serta mampu menembus membrane biologis sehingga senyawa tersebut dapat masuk ke dalam aliran darah ikan dan terdistribusi dalam tubuh ikan tersebut. Selanjutnya, deltametrin yang telah berada dalam insang akan mengalami difusi pasif menembus membran biologis yang membatasi insang dengan pembuluh darah dalam insang sehingga masuk ke dalam aliran darah dan mengalami distribusi lebih lanjut dalam tubuh ikan. Kemampuan suatu senyawa menembus membran biologis dipengaruhi oleh nilai Kow, dimana semakin besar nilai Kow maka akan semakin mudah menembus membran tersebut (Hodgson, 2004). Deltametrin memiliki nilai log Kow 4,6 sedangkan lemak ikan nila memiliki rentang log Kow 4,6 – 10,89 sehingga berdasarkan prinsip like dissolve
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
like deltametrin dapat terakumulasi dalam lemak ikan nila. Lemak merupakan tempat akumulasi senyawa kimia organik, setelah senyawa tersebut masuk ke dalam organisme. Besarnya akumulasi suatu senyawa organik dalam lemak umumnya tergantung pada nilai Kow dan jumlah lemak dalam organisme tersebut (Leeuwen dan Hermens, 1995). Bioakumulasi didefiniskan sebagai proses akumulasi senyawa secara langsung dari lingkungan abiotik (contohnya air, udara, tanah) dan dari sumber makanan pada organisme. Tempat uptake senyawa yang utama adalah membrane paru, insang, dan saluran cerna (Hodgson, 2004). Kecepatan suatu senyawa dapat terakumulasi dari lingkungan ke dalam organisme akuatik tergantung pada kandungan lemak organisme tersebut, dimana lemak adalah tempat penyimpanan utama senyawa tersebut (Hodgson, 2004). Menurut Muchiri (2006) kandungan lemak pada ikan nila berkisar antara 1,5-3% tergantung pada makanan yang dikonsumsi. Rata-rata berat ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,46 gram dengan berat lemak rata-rata yang diperoleh adalah 0,0315 gram sehingga % lemak pada ikan nila yang diperoleh adalah 2,15%. Menurut Organization for Economic
Co-operation and Development
(2002) senyawa yang memiliki nilai log Kow lebih besar dari 3 mempunyai kemungkinan terjadinya akumulasi. Deltametrin memiliki nilai log Kow sebesar 4,6. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi akumulasi deltametrin dalam ikan nila. Laju bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila pada konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L berturut-turut adalah 0,07 dan 0,15 ng/hari.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
C. Karakterisasi Resiko Asupan Deltametrin Melalui Ikan Nila Perkiraan berat ikan nila yang dikonsumsi manusia adalah 200 gram. Manusia kurang lebih mengkonsumsi 1 ikan nila selama 1 hari dengan berat 200 gram. Ikan nila yang umumnya dikonsumsi adalah ikan nila yang berusia 3 bulan. Menurut Anonim (2013), Acceptance Daily Intake (ADI) deltametrin adalah 0,01 mg/kg BB (1982, dikonfimasi tahun 2000). Maka untuk manusia dengan berat 60 kg ADI nya sebesar 0,6 mg. ADI adalah perkiraan jumlah senyawa (misalnya pestisida) dalam makanan yang bila termakan setiap hari seumur hidup tidak menimbulkan resiko kesehatan pada manusia. ADI mencakup penilaian pada data dasar mengenai kelengkapan dan relevansinya, penentuan kadar terlihat tanpa efek (NOEL) dalam mg/kg BB dan pemilihan faktor pengaman yang tepat untuk mengekstrapolasikannya pada asupan harian yang dapat diterima untuk manusia, juga dalam mg/kg BB. ADI suatu pestisida tergantung pada pola makan masyarakat. Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila dihitung menggunakan konsentrasi yang telah mencapai kondisi steady-state. Pada konsentrasi 0,17 µg/L diperoleh persaman regresi y = -0,916 + 0,109 x, sedangkan pada konsentrasi 0,34 µg/L diperoleh persamaan regresi y = 0,209 + 0,113 x. Untuk mengetahui apakah kurva bioakumulasi yang didapat telah mencapai kondisi steady-state maka slope diuji secara statistik menggunakan uji t. Hasil uji t untuk konsentrasi 0,17 µg/L ditunjukkan pada Tabel XVI. Tabel XVI. Hasil uji t slope konsentrasi 0,17 µg/L α 0,05
thitung 15,77
tTabel 4,30
Kesimpulan Signifikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
Sedangkan hasil uji t untuk konsentrasi 0,34 µg/L ditunjukkan pada Tabel XVII. Tabel XVII. Hasil uji t slope konsentrasi 0,34 µg/L Α 0,05
thitung 7,40
ttabel 4,30
Kesimpulan Signifikan
Hasil uji t slope diatas menunjukkan bahwa nilai slope berbeda bermakna dengan nilai 0 artinya kurva bioakumulasi deltametrin yang diperoleh belum mencapai kondisi steady-state. Maka untuk perhitungan karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila digunakan rata-rata konsentrasi deltametrin pada hari ke14, karena data yang diperoleh hanya sampai hari ke-14. Hasil perhitungan karaktersisasi resiko deltametrin ditunjukkan pada Tabel XVIII. Tabel XVIII. Karakterisasi resiko deltametrin melalui asupan ikan nila Konsentrasi 0,17 µg/L 0,34 µg/L
Deltametrin dalam 200 g ikan nila (ng) 374,46 1159,61
ADI (mg/kg BB)
% dari ADI
0,01
0,062 0,19
Dari hasi diatas dapat disimpulkan bahwa bila manusia mengkonsumsi ikan nila dengan berat 200 gram per hari dikatakan aman karena jumlah deltametrin yang terpejan jauh lebih kecil dibandingkan dengan ADI deltametrin. Pada penelitian ini Bioconcentration Factor (BCF) tidak dapat dihitung karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indriati (2013) kadar deltametrin dalam air pada hari ke- 14 tidak terdeteksi sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan jumlah deltametrin dalam air dan dalam ikan nila pada kondisi steady-state.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Efisiensi ekstraksi tidak dapat ditetapkan karena perbedaan recovery adisi sebelum clean-up dan sebelum ekstraksi tidak dapat dibedakan. Lemak ikan nila dan deltametrin dapat dipisahkan menggunakan penjerap karbon karena memiliki kekuatan adsorbsi yang berbeda. Fase diam yang optimal adalah karbon : natrium sulfat anhidrat 0,4 g. Fase gerak yang optimal adalah elusi bertahap menggunakan petroleum eter dan aseton. 2. Dengan proses ekstraksi, clean-up, dan kondisi GC-ECD yang optimal, pada kromatogram masih terlihat adanya tapak lemak ikan nila namun tidak mengganggu puncak deltametrin dan DCB. Hasil validasi menunjukkan sensitivitas dengan nilai LOD 17,81 ng/mL dan LOQ 1,30 ng/g; korelasi antara konsentrasi dan respon yang linear pada rentang 5,3 ng/g – 70,5 ng/g dengan nilai r 0,999; akurasi dinyatakan dengan nilai recovery sebesar 82,74 – 110,46 %; presisi dinyatakan dengan nilai % RSD sebesar 0,3 – 3,4 %, dan matriks tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap metode analisis. 3. Pada konsentrasi deltametrin 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L terjadi bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila dengan laju bioakumulasi berturut-turut adalah 0,07 dan 0,15 ng/hari. 4. Konsumsi ikan nila yang terpapar deltametrin dengan konsentrasi 0,17 µg/L dan 0,34 µg/L selama 14 hari tidak memberikan resiko yang mebahayakan kesehatan konsumen.
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Saran 1. Perlu dilakukan penambahan replikasi dan pada konsentrasi yang berbeda sehingga efisiensi ekstraksi dapat diketahui. 2. Perlu dilakukan penambahan interval waktu pengambilan sampel ikan nila yang lebih panjang sehingga kondisi steady-state dapat tercapai.
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Abuzar, E.A.E et. al, 2012, A Gas Chromatographic Method with Electron-Capture Detector (GC-ECD) for Stimultaneous Determination of Fenfropathrin, λCyhalothrin, and Deltamethrin Residues in Tomato and Its Applications to Kinetic Studies After Field Treatment, Food Anal. Methods, 1-7. Ahuja, S., and Dong, M.W., 2005, Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC, volume 6, Elsevier, Inc., USA, p. 192. Ahuja, S., and Rasmussen, H., 2007, HPLC Method Developments for Pharmaceuticals, Elsevier Academic Press, Italy, pp. 444. Ahuja, S., and Scypinski, S., 2001, Handbook of Modern Pharmaceutical Analysis, volume 3, Academic Press, San Diego, p. 419. Anonim, 1997, Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, Komisi Pestisida Departemen Pertanian, hal. 287. Anonim, 1998, Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida Untuk Tanaman Pangan, Komisi Pestisida Departemen Pertanian, Jakarta. Anonim, 2006, Penggunaan Pestisida yang Baik dan Benar dengan Residu Minimum, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta. Anonim, 2008, Noveric Acid, http://www.chemicalbook.com/ProductMSDSDetail CB5304545_EN.htm, diakses tanggal 10 Desember 2013. Anonima, 2009, Deltamethrin Technical Fact Sheet, NCIP, Oregon, p 7-8. Anonim,
2009b, Lauric Acid, http://www.usp.org/pdf/EN/reference Standards/msds/1356949.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2013.
Anonim, 2010, Guidelines on Good Laboratory Practice In Pesticide Residue Analysis CAC/GL 40-1993, Codex Alimentarius Commission, Swiss, p. 24. Anonima, 2012, Deltamethrin Safety Data Sheet, Sigma-Aldrich, Singapore. Anonimb, 2012, Properties of Solvents on Various Sorbents, http://www.sanderkok.com/techniques/hplc/eluotropic_series_extended.ht ml, diakses tanggal 10 Desember 2013. Anonim, 2013, Pesticide Residues in Food and Feed: Deltamethrin, http://www.codexalimentarius.net/petres/data/pesticides/details.html?id=1 35, diakses tanggal 5 Desember 2013. Cahyono, B., 2005, Bawang Daun, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 62-63. Campbell, N.A., Reece, J.B., Urry L.A., Cain, M.L., Wasserman, S.A., Minorsky, P.V., et. al., 2010, Biologi, edisi 8 jilid III, Erlangga, Jakarta, hal. 75-76.
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
Chan, C.C., Lam, H., Lee, Y.C., and Zhang X.M., 2004, Analytical Method Validation and Instrument Performance Verification, John Wiley & Sons, New Jersey, pp. 18-19. Christian, G.D., 2004, Analytical Chemistry, 6th edition, John Wiley & Sons, Inc., USA, p. 128, 585-588. Committee for Veterinary Medicinal Products, 2000, Deltamethrin, The Europan Agency for The Evaluation of Medicinal Products, Veterinary Medicines and Information Technology, London. Dean, J.R., 2003, Methods for Environmental Trace Analysis, John Wiley & Sons, Ltd., United Kingdom, pp. 186-188. Ermer J., and Miller, J.H., 2005, Method Validation in Pharmaceutical Analysis, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, Germany, p. 101. European Commision, 2002, Deltamethrin, Health and Consumer Protection Directorate-General, Germany, pp. 7-18. Evans, D.H., Piermarini, P.M., and Choe, K.P., 2005, The Multifunctional Fish Gill: Dominant Site of Gas Exchange, Osmoregulation, Acid-Base Regulation, and Excretion of Nitrogenous Waste, Physiol Rev., 85, 98. Gandjar, I.G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Analisis Farmasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 46-50, 419-438, 472. González, A.G. and Herrador, M.A., 2007, A Pratical guide to Method Validation, Including Measurement Uncertainty and Accuray Profiles, Trends in Analytical Chemistry, pp. 231-234. Grob, R.L., and Barry, E.F., 2004, Modern Practice of Gas Chromatography, 4th edition, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, p. 980. Hassan, A.F., Youssef, A.M., and Priecel, P., 2013, Removal of Deltamethrin Insecticide Over Highly Porous Activated Carbon Prepared From Pistachio Nutshells, Carbon Letters, 14 (4), 234 – 242. Harris, D.C., 2010, Quantitative Chemical Analysis, 8th edition, W. H. Freeman and Company, New York, pp. 566-567. Harvey, D., 2000, Modern Analytical Chemistry, McGraw-Hill Companies, Inc., USA, p. 570. Henderson, R.J., and Tocher, D.R., 1987, The Lipid Composition and Biochemistry of Freshwater Fish, Progress Lipid Research, 26, 281 – 347. Hodgson, E., 2004, A Textbook Modern Toxicology, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, pp. 467-468. Indriati, K.N., 2013, Validasi Metode Analisis Deltametrin dalam Air dan Aplikasinya pada Penetapan Laju Disipasi Deltametrin Menggunakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
Model Lingkungan Perairan, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Kordi, M.G.H., 2010, Panduan Lengkap Memelihara Ikan Air Tawar di Kolam Terpal, Lily Publisher, Yogyakarta, hal. 112-124. Krieger, R., 2010, Haye’s Handbook of Pesticide Toxicology, 3rd edition, Elsevier, Inc., USA, pp. 1243, 1597, 1643. Leeuwen, C.J. and Hermens, J.L.M., 1995, Risk Assessment of Chemicals, an introduction, Kluwer Academic Publisher, Netherlands, pp. 147-156. Moffat A.C., Osselton M. D., and Widdop B., 2011, Clarke’s Analysis of Drug and Poisons, 4th edition, Pharmaceutical Press, London, pp. 636-649. Muchiri, M.N., 2006, A Comparison of Nutritional Value of Farmed and Wild Nile Tilapia (Oreochromis niloticus), Egerton University, Kenya, p. 9. Myers, P.R., Espinosa, C.S., Parr, T., Jones, G.S., Hammond, and Dewey, T.A., 2013, The Animal Diversity Web, Museum of Zoology University Michigan, http://animaldiversity.org, diakses tanggal 26 Juni 2013. Namiesnik, J., 2002, Trace Analysis Challenges and Problems, Critical Reviews in Analytical Chemistry, 32 (4), p. 272. Natawigena, H. dan Satari, G., 1981, Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya Terhadap Lingkungan, Universitas Padjajaran, Bandung. National Pesticide Information Center, 2010, Deltamethrin Technical Fact Sheet, Oregon State University, Corvallis, pp. 1-11. National Pesticide Telecommunications Network, 1998, Pyrethrins and Pyrethroids, Oregon State University, Corvallis, pp. 1-3. Noegrohati, S., 1991, Cleanup By Solid-Phase Extraction and HPLC of Organochlorine Insecticides and PCBs in Various Nonfatty And Fatty Samples, Toxicological and Environmental Chemistry, (34), 219 – 235. Nollet, L.M.L. and Rathrore, H.S., 2010, Handbook of Pesticides: Method of Pesticide Residues Analysis, CRC Press, Boca Raton, pp. 53-54, 436. Organization for Economic Co-operation and Development, 2002, Persistence, Bioaccumulative, and Toxic Pesticides in OECD Member Countries, OECD Environment, Health and Safety Publication, Paris, p. 19. Organization for Economic Co-operation and Development, 2012, OECD 305 Guidelines for Testing of Chemicals, Bioaccumulation in Fish: Aqueous and Dietary Exposure, OECD Environment, Health and Safety Publication, Paris, pp. 1 – 20.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
Prichard, E., MacKay, G.M., and Points, J., 1996, Trace Analysis: A structured approach to obtaining reliable results, Royal Society of Chemistry, United Kingdom, pp. 1-11. Sanjayadi, 2013, Wawancara Pribadi. Skoog, D.A., West, D.M., Holler F.J., and Crouch S.R., 2004, Fundamental of Analytical Chemistry, 8th edition, Thomson learning, Inc., USA, pp. 948950, 959. Snyder, L.R., Kirkland, J.J., Dolan, J.W., 2010, Introduction to Modern Liquid Chromatography, 3rd ed., John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. Standing Committee on Biocidal Products, 2011, Deltamethrin Assessment Report, Commission Regulation, Sweden, pp. 7-49. Sudarmo, S., 1991, Pestisida, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, p. 9 Suloma, A., Ogata H.Y, Garibay E.S., Chavez D.R., and El-Haroun E.R., 2008, Fatty Acid Composition of Nile Tilapia Oreochromis niloticus Muscles: A Comparison Study With Commercially Important Tropical Freshwater Fish in Phillipines, International Symposium on Tilapia in Agriculture, 921 – 932. Sutanto, D., 2012, Budi Daya Nila, Pustaka Baru Press, Yogyakarta, hal. 1-2, 9-12. Ueberschaer, B., 2000, Oreochromis niloticus, http://www.fishbase.org/Photos /PicturesSummary.php?StartRow=7&ID=2&what=species&TotRec=11, diakses tanggal 26 Juni 2013 Walker, C.H., Hopkin S.P., Sibly R.M., and Peakall D.B., 2001, Principles of Ecotoxicology, 2nd edition, Tailor & Francis, London, pp. 15, 107-108, 126. Wardjojo, S., 1977, Aspek Pestisida di Indonesia. Hasil Simposium Peranan Pestisida Dalam Pengelolaan Hama-Penyakit Tanaman dan Tumbuhan Pengganggu. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, Bogor. Wienarto, N. dan Hakim, A.L., 2012, Penanggulangan Wereng Batang Coklat di Pertanaman Padi, Monash University, Indonesia. World Health Organization, 1990, Deltamethtrin, International Programme on Chemical Safety, Swiss. World Health Organization, 2012, Deltamethrin, WHO Specifications and Evaluations for Public Health Pesticides, Swiss, p. 7. Zein, R., Munaf, E., Nurhamidah, dan Suyani, H., 2002, Penentuan Imidakloprid, Profenofos, dan Deltametrin Sebagai Residu Pestisida Pada Buah Cabe Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Jurnal Stigma, 10 (4), 352 – 356.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LAMPIRAN
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
Lampiran 1. Perhitungan Sensitivitas Alat Sensitifitas alat ditentukan dengan menghitung LOD dari: a. Kurva baku 1 Konsentrasi Baku Rasio AUC Deltametrin Deltametrin/DCB (µg/mL) 0,155 0,2329 0,206 0,3141 0,258 0,4046 y = 1,66723 x - 0,02681 r = 0,99967 Menggunakan program powerfit didapatkan: POLYNOMIAL is: F(x) = 1,66723 x - 0,02681 Coefficient Std Dev, Min, Limit a0 -2,68051E-002 9,00928E-003 -1,41275E-001 a1 1,66723E+000 4,27843E-002 1,12362E+000 𝑆𝑎 Dihitung menggunakan rumus: LOD = 3,3 𝑥 𝑏
Max, Limit 8,76651E-002 2,21084E+000
0,009
= 3,3 x 1,66723 = 0,017814 µg/mL b. Kurva baku 2 c. Konsentrasi Baku Rasio AUC Deltametrin Deltametrin/DCB (µg/mL) 0,155 0,9775 0,206 1,3185 0,258 1,6780 y = 6,80134 x - 0,07868 r = 0,99995 Menggunakan program powerfit didapatkan: POLYNOMIAL is: F(x) = 6,80134 x - 0,07868 Coefficient Std Dev, Min, Limit a0 -7,86762E-002 1,38084E-002 -2,54123E-001 a1 6,80134E+000 6,55750E-002 5,96816E+000 𝑆𝑎 Dihitung menggunakan rumus: LOD = 3,3 𝑥 𝑏 0,0138
= 3,3 x 6,80134 = 0,006696 µg/mL
Max, Limit 9,67710E-002 7,63452E+000
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 2. Kurva Adisi Deltametrin pada sampel ikan nila
Menggunakan powerfit maka diperoleh: POLYNOMIAL is: F(x) = 0,02250 + 0,03796 x Coefficient Std. Dev Min. Limit a0 2,25047E-002 1,50047E-002 -9,90658E-003 a1 3,79603E-002 4,11805E-004 3,70708E-002 𝑆𝑎 Dihitung menggunakan rumus: LOQ = 3,3 x 𝑏 0,015
= 3,3 x 0,03796 = 1,3040 ng/g ikan
Max. Limit 5,49159E-002 3,88498E-002
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
109
Lampiran 3. Uji Signifikansi Perbedaan Slope Kurva Baku dan Kurva Adisi
Rasio AUC Deltametrin/DCB
Kurva Baku vs Kurva Adisi 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Baku y = 1.3036x + 0.0569 R = 0.9999 Adisi
0
-
Baku
Adisi y = 1.3x + 0.0225 R² = 0.9992 1
2
3 4 Konsentrasi (µg/mL)
5
6
Baku Deltametrin Adisi Deltametrin b 1,30359 1,30001 SDb 0,0073 0,0141 n 7 15 Uji signifikansi standar deviasi dengan uji F 𝑆12
F = 𝑆22 (S12 = standar deviasi slope baku; S22 = standar deviasi slope adisi 0,00732
F = 0,01412 = 0,2680 Perhitungan Degrees of freedom (df) = n1-1 dan n2-1 n1-1 = 7-1 = 6 n2-1 = 15-1 = 14 α F hitung F tabel Kesimpulan 0,05 0,2680 3,501 Tidak signifikan Uji t untuk melihat signifikansi slope antara kurva baku dan kurva adisi Dari hasil perhitungan uji F diatas dapat dilihat SD antara kurva baku dan kurva adisi tidak berbeda signifikan, maka standar deviasi untuk uji t dihitung dengan persamaan: S2 =
((𝑛1−1)𝑆12 +(𝑛2−1)𝑆22 ) (𝑛1+𝑛2−2)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
S2 = S2 =
((7−1)0,00732 +(15−1)0,01412 ) (7+15−2) 3,1974 𝑥 10−4 +2,7833 𝑥 10−3 20
S2 = 1,55152 x 10-4 S = 0,0125 Perhitungan nilai t: t=
|𝑏1−𝑏2| 1 1 + 𝑛1 𝑛2
𝑆√
t=
|1,30359−1,30001| 1 7
0,0125 √ +
1 15
3,58 𝑥 10−3
t = 5,7217 𝑥 10−3 t = 0,6257 perhitungan df: df = n1 + n2 -2 df = 7 + 15 -2 df = 20 α 0,05
F hitung 0,6257
F tabel 2,09
Kesimpulan Tidak signifikan
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi dengan judul “Pengembangan Metode Analisis Deltametrin dalam Matriks Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Aplikasinya pada Asesmen Resiko Deltametrin Melalui Asupan Ikan Nila” ini memiliki nama lengkap Oei Johanes Darma Hendra Sandjaja. Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 19 Juli 1991 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Oei Bharata Putra Sandjaja dan Jeni. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu TK Pangudi Luhur Bernardus Semarang (1995 – 1997). Sekolah Dasar (SD) Pangudi Luhur Bernardus Semarang (1997 – 2000), Sekolah Dasar (SD) Santo Yoseph 1 Denpasar (2000 – 2003) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tegaljaya Denpasar (2003 – 2006), Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Denpasar (2006 – 2009) dan pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan antara lain Panitia Kampanye Informasi Obat (KIO) 2010 sebagai Perkap, Panitia Pharmacy Performance and Event Cup (PPnEC) 2010 sebagai Perkap, Panitia Donor Darah JMKI 2010 sebagai Perkap, Panitia Seminar Kanker Serviks dan Kanker Paru-paru sebagai Perkap, Panitia Malam Keakraban JMKI sebagai Perkap, Panitia Inisiasi Tiga Hari Temu Akrab Farmasi (TITRASI) 2011 sebagai Perkap, Panitia Paingan Festival 2011 sebagai Keamanan, Panitia Pharmacy Performance (PP) 2011 sebagai Perkap, Panitia Pharmacy Days 2012 sebagai tentor, Panitia Pharmacy Performance and Event Cup (PPnEC) 2012 sebagai Ketua Eksternal, serta menjadi asisten praktikum Mikrobiologi 2010, Farmakognosi Fitokimia I 2011, Mikrobiologi 2011, Analisis Farmasi 2012, Validasi Metode Analisis 2012, Kimia Analisis 2013, Pharmaceutical Analysis 2013, Anatanomi dan Fisiologi Manusia 2014, Mikrobiologi 2014, Analisis Farmasi 2014, Validasi Metode Analisis 2014.
111