PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA: PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Tugas Akhir Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Tika Agustina NIM : 074114002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA: PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Tugas Akhir Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Tika Agustina NIM : 074114002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya Tugas Akhir ini, yaitu : 1.
SE. Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I
dengan penuh
kesabaran telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini. 2.
Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
3.
Drs. B Rahmanto M.Hum, Drs. Hery Antono, M.Hum, Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, SE. Peni Adji, S.S, M.Hum, dan Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum selaku Bapak/Ibu dosen pengampu mata kuliah di Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang telah mengajar dengan penuh kesabaran kepada penulis.
4.
Staf Sekretariat Sastra Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis selama proses penulisan tugas akhir.
5.
Petugas Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan dengan baik.
6.
Ibu Titin, ibu yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis.
7.
Lindatin Susanti sebagai kakak yang telah memberikan perhatian kepada penulis.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
Pertemuan yang mengesankan adalah bagai sepasang tangan, sepasang tangan yang akan mengusap keringat di saat letih, dan menghapus air mata di saat bersedih.
Katakan “aku mencintaimu” untuk orang yang Anda cintai, jangan pernah ragukan itu, dan anggap hari ini seolah-olah hari terakhir bagi Anda.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Skripsi ini saya persembahkan untuk: Ibu, kakak, pasangan hidup saya, dan teman-teman Terima kasih atas dukungan, cinta dan perhatian yang kalian berikan
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK Agustina, Tika, 2013. “Konflik Batin Tokoh Saraswati dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira: Pendekatan Psikologi Sastra” Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Skripsi ini membahas konfik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini sebagai berikut: pertama, mendeskripsikan struktur novel dalam tokoh dan penokohan Saraswati yang membangun novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Kedua, mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati yang terkandung dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. Metode pengumpulan data dengan cara teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Teknik tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan referensi sastra dan novel Sintren. Studi pustaka juga dilakukan terhadap artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut. Metode analisis data yang digunakan ialah, metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan oleh pengarang. Penulis menggunakan metode deskriptif untuk menyajikan hasil analisis data, melalui metode ini penulis memaparkan bagaimana struktur tokoh dan penokohan dalam novel. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama, menjelaskan struktur novel Sintren yang berisi kata pengantar yang mengungkapkan pentingnya struktur sebuah novel. Alur yang bersifat progresif atau alur maju, menjelaskan dari tahap awal perkenalan tokoh utama yang disertai kelurganya dan berakhir dengan kematian tokoh Saraswati sebagai tokoh yang berpengaruh dalam jalannya cerita pada novel Sintren ini. Tokoh dan penokohan menjelaskan setiap tokoh yang terdapat di dalam novel Sintren, pengarang menjelaskan disertai dengan watak dari masing-masing tokoh yang diperankan. Tentang latar, pengarang menggambarkan latarnya di sebuah daerah pelosok di kota Batang dengan suasana pedesaan yang masyarakatnya masih awam dari segi pendidikan dan pemikirannya. Tema, pengarang memaparkan latar belakang dan semua yang mengenai kehidupan seorang penari sintren yang diperankan oleh tokoh Saraswati serta mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Kedua, mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Konflik batin yang disebabkan kemiskinan kedua orang tuanya, konflik batin terhadap Tuhan, konflik batin akibat perasaan cintanya, konflik batin terhadap orang-orang kampung, dan konflik batin yang membuat Saraswati kesepian. Penulis mendeskripsikan konflik batin Saraswati yang terlahir dari kedua orang tua tidak punya, namun besar harapan agar dapat sekolah mencapai cita-citanya menjadi seorang guru. Konflik terhadap Tuhan, Saraswati
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merasa Tuhan selalu membedakan nasibnya dengan teman-teman yang lebih beruntung darinya. Konflik akibat perasaan cintanya, semenjak Saraswati menjadi sintren, ia tidak dapat memiliki Sinur. Lelaki yang ia cintai tidak dapat bersamanya karena karma sintren beresiko, atau ia akan kehilangan orang yang ia cintai untuk selamanya. Konflik akibat pernikahan paksa oleh orang tua dan para isteri di kampungnya. Perjodohan yang dilakukan oleh ibunya, menikahkannya dengan Kirman, namun pernikahannya gagal. Setelah Saraswati lulus SMEA, ia dipaksa menikah dengan seorang duda kaya. Di hari kedua usia pernikahannya, Dharma meninggal dunia. Kejadian yang sama terjadi di pernikahannya yang kedua, ketiga, dan keempat, yaitu para suami Saraswati meninggal dengan tragis. Konflik terhadap orang-orang di kampung akibat para isteri marah terhadap Saraswati, sebab suami mereka tergila-gila dengan kecantikan yang dimilikinya. Konflik yang menyebabkan Saraswati kesepian, ia ditinggalkan satu-persatu oleh orang yang ia sayangi. Saraswati mulai mengurung diri, sendiri membuatnya terasa kesepian. Di akhir hayatnya Saraswati hanya seorang diri tanpa ada satu orangpun yang menenami.
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT Agustina, Tika, 2013. “The Inner Conflict of Saraswati Character in the Novel Sintren by Dianing Widya Yudhistira: a Literature Psychology Approach” a Thesis of Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta. This thesis discusses the inner conflict of Saraswati character in the Novel Sintren, an artwork by Dianing Widya Yudhistira. The objectives to be accomplished in this thesis are firstly, describing novel structure in the character and Saraswati characterization which establish the novel Sintren by Dianing Widya Yudhistira. Secondly, describing the inner conflict of Saraswati character which embodied in Sintren novel by Dianing Widya Yudhistira. The methods applies in this research include data collection method, data analysis method, and data analysis result presentation method. The data analysis method applies consists of two types which are namely latent content and communication content. Latent content is the content contained in document and script, while communication content is the content which emerged as a result of the communication occurred. Latent content is the content meant by the author. The researcher utilizes descriptive method in data analysis result presentation; through this method the researcher elaborates on how the character structure and characterization in the novel are. The research results are as follow: first, it describes Sintren novel structure which consists of a prologue which reveals on how importance a structure in a novel is. The novel plot is progressive or chronological plot, describing from early stage of the main character introduction along with her family and ends with the death of Saraswati character as an influential character of this novel Sintren. The character and characterization are illustrated by every character in Sintren novel, along with the character illustration from each character played, as said by the author. As for the background, the author described it at a remote area in Batang city with rural atmosphere where the community is less sophisticated in terms of education and thoughts. For the theme, the author described the background and all about the life of sintren dancer which is played by Saraswati character and revealed in depth human aspects which was presented delicately. Secondly, describe inner conflict of Saraswati character in Sintren novel by Dianing Widya Yudhistira which consists of an inner struggle due to her parent’s poverty condition, inner conflict to god, inner conflict due to her suppressed love, inner conflict due to the suburban society, and due to her loneliness feeling. The author writes about her inner conflict due to her parent’s financial condition. Saraswati was born in a poor family, while she has high hope to be able to finish school and become a teacher. For conflict to the god, Saraswati has always perceived that god differentiate her fate with her friend who they more lucky than her. She has romance conflict, since became a sintren, Saraswati realized that she cannot have Sinur. The man she loves cannot be with her, because became a sintren is very risky, or she could lose her love forever. Her inner conflict is due to forced
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
marriage from her parents and wives from her village. The matchmaking which was conducted by her mother has left her to marry Kirman. Her marriage with Kirman fails, Saraswati, after she graduated from SMEA, she was forced marry with a wealthy widower who died at the second day of her wedding. In the same conditions was happened from her second, third, and fourth marriage. All of her husbands has died tragically. For the conflict from her society, it was due to Wati’s evil attitude who have always been nosy as her jealousy. Therefore she locked herself up, which made her lonely. The loneliness kept on increasing as she had to reject the love from the man she loved. At the end of her life, Saraswati was single, without any spouse, without anyone she loves, without happiness aside from her loneliness in her time.
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi MOTTO ................................................................................................................ viii HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... ix ABSTRAK . .......................................................................................................... x ABSTRACT. ........................................................................................................... xii DAFTAR ISI. ........................................................................................................ xiv BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah .......................................................... ............................... 5 1.3. Tujuan Penelitian.. ......................................................................................... 5 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5 1.5. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 6 1.6. Landasan Teori ............................................................................................. 6 1.6.1. Struktur Novel ............................................................................................. 6 1.6.1.1. Alur ....................................................................................................... 6
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.6.1.2. Tokoh dan Penokohan ........................................................................... 7 1.6.1.3. Latar ..................................................................................................... 10 1.6.1.4. Tema ..................................................................................................... 11 1.6.2. Psikologi Sastra .......................................................................................... 12 1.6.2.1. Teori Psikologi Sastra ........................................................................... 12 1.6.2.2. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud ...................................................... 15 1.7. Metode Penelitian ........................................................................................ 16 1.7.1. Metode Pengumpulan Data.......................................................................... 17 1.7.2. Metode Analisis Data ................................................................................ 17 1.7.3. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ..................................................... 17 1.7.4. Sumber Data .............................................................................................. 18 1.8. Sistematika Penyajian .................................................................................. 18
BAB II. STRUKTUR NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA. ....................................... 19 2.1. Pengantar ..................................................................................................... 19 2.1.1. Alur ............................................................................................................. 19 2.1.1.1.Tahap Situation ........................................................................................ 20 2.1.1.2.Tahap Generating Circumstance ............................................................. 21 2.1.1.3.Tahap Rising Action ................................................................................. 22 2.1.1.4.Tahap Klimax ........................................................................................... 24 2.1.1.5.Tahap Denouement ................................................................................... 26
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.1.2. Tokoh dan Penokohan .............................................................................. 30 2.1.3. Latar ......................................................................................................... 40 2.1.4. Tema ......................................................................................................... 65
BAB III. KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA. ..................................... 69 3.1. Sebab-sebab Konflik Batin Tokoh Saraswati .............................................. 69 3.1.1. Konflik Batin karena Kemiskinan Kedua Orang Tuanya ........................ 69 3.1.2. Konflik Batin terhadap Tuhan .................................................................. 73 3.1.3. Konflik Batin karena Cintanya Saraswati Harus Dipendam dalam Hati .............................................................................. 74 3.1.4. Konflik Batin karena Nikah Paksa ........................................................... 75 3.1.5. Konflik Batin karena Orang-orang Kampung ........................................... 77 3.1.6. Konflik Batin karena Kesepian dan Kesendiriannya ............................... 79 3.2. Akibat Psikis Konflik-konflik Batin Pada Diri Saraswati ........................... 80
BAB IV. PENUTUP ............................................................................................. 87 4.1. Kesimpulan .................................................................................................... 87 4.2.Saran ................................................................................................................ 89 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 90 TENTANG PENULIS................................................................................ .......... 92
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menurut Semi (1988: 8), sastra merupakan bagian dari hasil pola pikir manusia. Karya sastra tercipta akibat pemikiran manusia yang mengarah pada sesuatu yang memiliki nilai keindahan di dalamnya. Menurut Wellek dan Warren (1990: 3) sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Jabrohim (2003:9), sastra merupakan bentuk kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah teks yang memiliki nilai rasa estetis dan mencerminkan realitas sosial kemasyarakatan. Istilah „sastra‟ digunakan untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Dalam hal ini sastra berarti merupakan gejala yang universal. Wellek dan Werren (1990:1) mengatakan bahwa sastra sebagai karya seni, yang dalam perkembangan mutakhirnya hanya bermediumkan bahasa. Maka, sastra sebagai seni yang berupa karya tulis. Oleh karena itu, menurut Wellek dan Werren karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Menurut Teeuw (2010:1), bahasa sastra sangat konotatif, mengandung banyak arti tambahan, sehingga tidak hanya bersifat referensial. Sebagai wujud pengguna bahasa yang khas, karya sastra hanya dapat dipahami dan mengerti dengan konsepsi bahasa yang tepat. Dilihat dari segi ilmu bahasa menurut Atkinson (1996: 7) kata psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan kata logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. 1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Pengertian psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau sama dengan ilmu jiwa, jadi psikologi adalah ilmu mengenai jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia. Psikologi sastra merupakan bidang interdisipliner antara ilmu sastra dengan ilmu psikologi. Maka, ilmu psikologi ini berarti berbicara mengenai pendekatan dalam mengapresiasikan karya sastra untuk studi psikologi. Terry Eagleton (2010:13) dalam Teori Sastra Sebuah Pengantar Komperehensif, menyatakan psikoanalisis lahir saat terjadinya krisis hubungan manusia yang dikembangkan oleh Sigmund Freud di Wina pada akhir abad sembilan belas. Menurut Koswara (1991: 109), hubungan psikologi dan sastra sudah sejak lama terjalin, tetapi penggunaan psikologi sebagai suatu pendekatan dalam karya sastra belum lama dilakukan. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra (psikoanalisis). Dalam psikologi terdapat tiga aliran pemikiran (revolusi yang mempengaruhi pemikiran personologis modern), pertama, psikoanalisis yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan konflik-konflik struktur kepribadian. Struktur-struktur kepribadian ialah konflik yang timbul dari pergumulan id, ego, dan superego. Kedua, behaviorisme mencirikan sebagai korban yang fleksibel, pasif, dan menurut terhadap stimulus lingkugan. Ketiga, psikologi humanistic adalah sebuah “gerakan” yang muncul yang menampilkan manusia yang berbeda dari gambaran psikoanalisis. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak ke arah mengungkapkan segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan. Dipilihnya Sintren untuk dijadikan objek dalam penelitian ini didasari oleh beberapa hal. Pertama, konflik batin tokoh Saraswati dengan Emak. Kedua, konflik batin tokoh Saraswati dengan tuhannya. Ketiga, konflik batin tokoh Saraswati dengan para lelaki di daerahnya. Keempat, konflik batin tokoh Saraswati dengan para isteri di lingkungannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
Kelima, konflik batin tokoh Saraswati dengan perasaan cintanya. Karena itu, penulis memilih mengangkat konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dalam skripsi ini. Novel Sintren memaparkan kehidupan dunia penari sintren yang tidak lepas dari aliran animisme, dalam kehidupan masyarakat nusantara di masa lalu. Hal ini dikarenakan sintren tidak dikenali oleh kekuatan manusia biasa. Selain sintren, kebudayaan lainnya seperti ronggeng, tayub, reyog, debus, dan cokek yang menggunakan unsur kesaktian, supranatural, mistis, atau kekuatan yang tidak kasat mata. Dalam novel Sintren mengkisahkan seorang penari sintren yang bernama Saraswati. Ia seorang murid cerdas dari keluarga yang miskin dengan latar belakang orang tua seorang buruh serabutan. Marto sang ayah pekerjaannya membantu tukang, membantu membuat sumur, selain itu sering menjadi buruh membersihkan ikan dan menjemur ikan di Klidang, dan yang sering dikerjakan ketika pekerjaan yang lain kosong terbiasa menarik becak pinjaman dari Kardi pemilik becak. Surti, emak Saraswati panggilan akrabnya, bekerja sebagai buruh membersihkan dan menjemur ikan sudah hampir 10 tahun dipercaya sebagai pegawai tetap di Klidang milik juragan Wargo tuan kaya raya di daerahnya. Emaknya yang selalu memaksa Saraswati untuk segera berhenti sekolah dan membantu pekerjaan emaknya agar selalu mencari uang tidak peduli apa keinginan anaknya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD (Sekolah Dasar). Ketertarikan juragan Wargo kepada kecantikan Saraswati menjadikan ia berniat menikahkan Saras yang usianya belum genap 12 tahun dengan Kirman anaknya yang sudah berusia 30 tahun walau pada akhirnya gagal dinikahinya. Saraswati sebagai seorang gadis remaja tidak dapat menikmati bermain bebas dengan teman seusianya, belajar dengan normal, dan merasakan jatuh cinta kepada teman laki-laki
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
yang seperti teman-teman remaja pada umumnya karena harus mencari uang untuk biaya sekolah. Ia juga harus memendam cita-citanya yang menginginkan sebagai guru karena harus putus sekolah yang disebabkan keterbatasan biaya. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas, Saraswati dipaksa menikah dengan laki-laki yang seusia ayahnya. Hal ini menjadi pertimbangan warga setempat karena semenjak Saraswati menjadi seorang penari sintren banyak mengundang masalah. Masalah yang diciptakan bukan hasil perbuatannya, melainkan para lelaki yang tergila-gila atas kecantikan Saraswati termasuk guru olah raga yang menjadi seperti orang gila karena cintanya ditolak oleh Saraswati. Beberapa lelaki yang mengejarnya dipastikan akan berakhir tragis, terbukti dari pernikahannya yang pertama dengan Darma berakhir meninggal dengan tragis. Dilanjutkan dengan kejadian suami kedua, ketiga, dan keempat meninggal dengan kejadian yang sama, kecelakaan namun tanpa ada bekas luka atau hal lainnya yang membuktikan kematian mereka. Ditambah kejadian guru yang bunuh diri karena membantunya saat mengalami kesusahan dalam pembayaran uang SPP. Hal ini dilakukan oleh sang guru agar Saraswati tetap dapat melanjutkan sekolah. Namun, karena tunangannya pak Legiman, lebih mencintai muridnya sendiri dan cintanya yang bertepuk sebelah tangan maka dia mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Dari latar belakang di atas, maka penulis ingin mengungkap konflik batin yang dialami tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dengan pendekatan psikologi sastra.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah konflik batin yang dialami tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira yang dibahas melalui pendekatan psikologi sastra adalah sebagai berikut. 1.2.1 Bagaimana struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira? 1.2.2 Bagaimana konflik batin tokoh Saraswati yang terkandung dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1.3.1 Mendeskripsikan struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. 1.3.2 Mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati yang terkandung dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudistira.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat
teoritis,
penelitian
ini
menerapkan
teori
psikologi
sastra
untuk
mendeskripsikan tokoh dan penokohan. 1.4.2 Manfaat praktis, penulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan karya sastra dan pemahaman yang lebih mendalam tentang konflik batin tokoh dalam sebuah novel.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
1.5 Tinjauan Pustaka Ika Sugiarti (2008) pernah melakukan penelitian dalam skripsinya “Analisis Struktur Genetik dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira”. Pada penelitian ini dibahas struktur yang membangun novel serta pandangan dunia pengarang dan latar sosial budaya dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Persamaan penelitian ini dengan Ika Sugiarti adalah sama-sama menggunakan objek novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira serta sama-sama menggunakan analisis struktur, akan tetapi kajian yang digunakan berbeda. Dalam penelitiannya Ika Sugiarti menerapkan struktur genetik dan merumuskan pandangan dunia pengarang dan latar sosial budaya yang ada dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira, sedangkan peneliti membahas struktur novel dan psikologi tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Struktur Novel Nurgiyantoro (2005: 23), mengemukakan tujuh unsur dalam novel yaitu plot atau alur cerita, tema, penokohan, latar atau setting, sudut pandang, gaya bahasa dan suasana cerita. Ketujuh unsur instrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1.6.1.1 Alur Menurut Semi (1988: 43), alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dari keseluruhan fiksi. Luxemburg (2002:93) menyebut alur atau plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
Nurgiantoro (2005: 113), mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Nurgiyantoro (2005: 135) membedakan alur menjadi dua, yaitu (1) alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti peristiwa berikutnya. Alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dilaksanakan. Karya yang berplot jenis ini dengan demikian langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan konflik yang meruncing. Nurgiyantoro (2005: 149-150) membagi alur cerita menjadi lima tahapan. 1.6.1.1.1 Tahap situation, pelukisan latar dan cerita atau pengenalan; 1.6.1.1.2 Tahap generating circumstance, pemunculan konflik yang menegangkan cerita; 1.6.1.1.3 Tahap rising action , konflik yang terjadi semakin meningkat; 1.6.1.1.4 Tahap klimax, peristiwa-peristiwa mulai memuncak; 1.6.1.1.5 Tahap denouement, penyelesaian dari semua peristiwa. Berdasarkan rangkaian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot atau alur adalah urutan atau rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan-tahapan tertentu secara kronologis. 1.6.1.2 Tokoh dan Penokohan Nurgiantoro (1995: 176-177) menerangkan berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang munculnya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan dan ia hadir apabila ada kaitannya dengan tokoh utama baik secara langsung maupun tidak langsung. Nurgiyantoro (1995: 178) mengungkapkan berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang slah satu jenisnya secara populer sering disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita atau tokoh antagonis dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya konflik. Nurgiyantoro (1995: 181) menjelaskan bahwa konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus disebabkan oleh tokoh antagonis seseorang atau bebrapa orang individu yang dapat ditunjukkan secara jelas. Ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan sosial ataupun nilai-nilai sosial, nilai-nilai moral dan kekuasaan yang lebih tinggi. Nurgiyantoro (2005:165), mengungkapkan bahwa tokoh cerita adalah individu orangorang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Pengertian tokoh adalah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character). Tokoh datar adalah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalnya baik saja atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat. Tokoh bulat adalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert adalah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert adalah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis adalah tokoh yang disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya yang baik. Antagonis ialah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya yang jahat. Penokohan atau perwatakan adalah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh, ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik adalah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang, jadi pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Cara dramatik adalah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam suatu cerita. Dialog adalah cakapan atau ucapan pembicara antara seorang tokoh dengan dua tokoh atau banyak tokoh lainnya. Monolog adalah cakapan batin terhadap kejadian lampau dan yang sedang terjadi. Solilokui adalah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan terjadi. Fananie
(2002:
87),
menyatakan
bahwa
kemampuan
pengarang
dalam
mendeskripsikan karakter tokoh cerita yang diciptakan sesuai dengan tuntutan cerita dapat pula dipakai sebagai indikator kekuatan sebuah cerita fiksi. Berdasarkan rangkaian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter atau penokohan merupakan penentuan tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang terlibat dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
Hendy (1989: 176) menerangkan bahwa penokohan terdiri dari bebrapa hal, yaitu kualitas nalar tokoh yang bersangkutan, sikap dan tingkah laku tokoh tersebut, kemauan, pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya. 1.6.1.3 Latar Menurut Semi (1988: 46), latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah tempat peristiwa terjadi. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tak dapat diganti dengan waktu lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain. Menurut Fananie (2002: 97), setting hakikatnya tidak hanya sekadar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Nurgiyantoro (2005:216) latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. Berdasarkan rangkaian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah keseluruhan lingkungan dalam cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu di lingkungan tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain. 1.6.1.4 Tema Menurut Semi (1988: 42), kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik: padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Menurut Fananie (2002: 84), tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Nurgiyantoro (2005:67) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
1.6.2 Psikologi Sastra Menurut Rahmanto dan Dick Hatoko (1985: 126-127) psikologi sastra artinya pendekatan dari sudut psikologi dan sastra. Dari sudut psikologi yang digunakan adalah psikoanalisis struktur kepribadian dari Sigmund Freud, sedangkan dari sudut sastra, teori yang digunakan adalah teori struktural yang meliputi tokoh dan latar. Dari sudut psikologi permasalahan akan dianalisis bedasar teori psikoanalisis struktur kepribadian dari Sigmund Freud. Dalam pendekatan psikologi terdapat teks sendiri sering digunakan psikoanalisis dari Freud. Teori Freud ini mempergunakan alam bawah sadar untuk menerapkan pola kelakuan manusia serta penyimpangan-penyimpangan tertentu. Penelaahan yang menekankan pada karya bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek psikologis yang tercermin dalam perwatakan tokoh-tokoh dengan menggunakan sumbangan pemikiran dari psikologi sastra. 1.6.2.1. Teori Psikologi Sastra Menurut Sukada (1987: 102), unsur kejiwaan seorang tokoh dalam novel merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Psikologi merupakan ilmu yang dapat membantu memecahkan berbagai masalah kejiwaan. Sastra dan psikologi merupakan dua wajah satu hati dan sama-sama menyentuh manusia dalam persoalan. Untuk memahami faktor-faktor kejiwaan tokoh dapat ditelaah menggunakan teori dari Freud mengenai unsur-unsur kejiwaan yang terdiri dari id, ego, super ego. Menurut Heerdjan (1987: 31) konflik adalah keadaan pertentangan atau dorongandorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang. Nurgiyantoro (1995: 124) menjelaskan konflik batin atau konflik internal merupakan konflik yang terjadi di dalam hatti, jiwa seseorang tokoh cerita. Konflik batin dapat timbul karena adanya konflik enternal. Heerdjan (1987: 31) mengungkapkan konflik batin terjadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
karena pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang. Konflik timbul pada saat ego mendapat dorongan kuat dari id yang tidak dapat diterimanya sebagai sesuatu yang berbahaya. Heerdjan (1997: 31) menjelaskan bila kekuatan naluri melebihi kemampuan ego untuk mengeluarkan dan mengendalikan, muncullah anxietas, rasa cemas. Ini tanda bahaya yang mengatakan bahwa ego berhasil menyelesaikan konflik. Selanjutnya masih menurut Heerdjan (1987: 33-36) untuk melenyapkan kecemasan, ego sering membentuk mekanisme defensi atau mekanisme pertahanan. Tujuannya adalah untuk mencegah jangan sampai tujuan yang tidak dapat diterima menimbulkan gangguan yang lebih kuat lagi karena ini akan mengganggu keutuhan ego. Ada beberapa macam mekanisme pertahanan, yaitu negasi simple, represi, rasionalisasi, projeksi, formasi reaksi, mekanisme pelarian, regresi, konversi, substitusi, sublimasi, dan konpensasi. Menurut Endaswara (2003:96), psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan. Menurut Albertine Mindrop (2010:9), psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologi dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh problem psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat di dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya sastra
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif dapat menampilkan berbagai problem psikologis. Menurut Bimo Walgito (1980: 5), pengertian psikologi itu berupa ilmu mengenai kejiwaan, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah apakah yang dimaksud dengan jiwa itu. Untuk memberikan jawaban ini bukanlah merupakan hal yang mudah searti diperkirakan orang banyak. Ini telah dikemukanan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut: “yang dimaksud dengan „jiwa‟ itu menurut pengajaran pengetahuan yang positif? Menurut riwayatnya ilmu psikologi sudah ada mulai zaman purba orang memperbincangkan soal ini, soal tertua di dalam peradaban manusia. Menurut Minderop (2010: 59) kajian sosiologi maupun psikologi sastra atas dasar asumsi genesis yang terkait dengan asal-usul kajian sastra. Kajian sosiologi dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Kajian psikologi berkaitan dengan aspek kejiwaan pengarang, tokoh, atau pembacanya. Kajian psikologi diperlukan saat peradaban meningkat, pada saat manusia kehilangan pengendalian psikologis. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya, melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya pengkaji dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan dalam masyarakat. Cara yang digunakan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra, sebagai berikut : 1.6.2.1.1 Memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis; 1.6.2.1.2 Memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra; 1.6.2.1.3 Mamahami unsur kejiwaan pembaca, berkaitan dengan resepsi sastra; 1.6.2.1.4
Melalui pemahaman terhadap teori-teori psikologi, baru melakukan analisis terhadap kajian sastra;
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
1.6.2.1.5 Menentukan kajian sastra sebagai objek, lalu dicari teori psikologi yang relevan. Dalam perkembangannya, kajian psikologi dibedakan menjadi dua prinsip pokok, yaitu : Pertama kajian yang mempelajari kondisi psikis manusia di atas ambang kesadaran. Kajian ini meliputi tema-tema : konflik batin, motivasi, pembentukan identitas diri, keutuhan dasar manusia, kepribadian tokoh, dan lain-lain. Dalam pengembangannya hal inilah yang disebut kajian psikologi. Kedua kajian yang mempelajari kondisi psikis manusia diambang kesadaran dan di bawah sadar. Kajian ini disebut Psikoanalisis. Misalnya: ketakutan, kecemasan, seksualitas, kekerasan, dan lain-lain. Dengan demikian, teori psikologi sastra menjadi landasan konflik batin dengan memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Pembahasan tokoh utama dilihat dari sifat, watak, dan pribadi tokoh Saraswati yang digambarkan oleh Dianing Widya Yudhistira dalam karyanya novel Sintren.
1.6.2.2 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Menurut Freud via Dirgagunarsa (1983: 63) teori psikoanalisis yaitu teori struktur kepribadian digunakan untuk menganalisis konflik batin tokoh Saraswati. Dalam diri seseorang terdapat tiga system kepribadian yang disebut id atau es, ego atau ich, dan super ego atau uberich. Id adalah reservoir atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan dorongan-dorongan yang disebut Primitif Drive / Inner Forces. Dorongan-dorongan primitif ini merupakan dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau dorongan ini dipenuhi dengan segera, maka tercapai perasaan senang dan puas. Oleh karena adanya dorongan-dorongan primitif ini, maka id selalu mengikuti pleasure principle yaitu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
bertugas untuk dengan secepatnya melaksanakan dorongan-dorongan primitif agar tercapai parasaan senang tanpa memperdulikan akibatnya. Dirgagunarsa (1983: 64) mengungkapkan ego bertugas melaksanakan dorongandorongan dari id, dan ego harus menjaga benar bahwa pelaksanaan dorongan-dorongan primitif ini tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan-tuntutan dari super ego. ini adalah untuk mencegah akibat-akibat yang mungkin tidak menyenangkan bagi ego sendiri, karena itu ego dalam melaksanakan tugasnya yaitu merealisasikan dorongan-dorongan dari id, ego selalu berpegang pada psinsip kenyataan atau reality principle. Menurut Dirgagunarsa (1983: 64) super ego adalah sistem kepribadian yang berisi kata hati (conscience). Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai-nilai moral sehingga kontrol atau sensor terdapat dorongan-dorongan yang dipenuhi dengan id. Super ego menghendaki agar dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan nilainilai moral tetap tidak dipenuhi. Kerena itu ada semacam pertentangan antara id dengan super ego, sehingga ego berperan sebagai pelaksana yang harus dapat memenuhi tuntutan dari kedua siste kepribadian tersebut secara seimbang. Kalau ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari id dan larangan-larangan dari super ego, maka individu yang bersangkutan akan menderita konflik batin yang terus-menerus da konflik ini akan menjadi neurosa.
1.7 Metode Penelitian Menurut Ratna (2010:34), metode dianggap sebagai langkah-langkah atau cara untuk memahami suatu masalah sehingga mudah dipecahkan dan dipahami.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
1.7.1 Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Teknik tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan referensi sastra dan novel Sintren. Studi pustaka juga dilakukan terhadap artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut. Teknik yang dipakai berikutnya adalah teknik simak dan catat. Teknik simak untuk menyimak bacaan bagian yang dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap mendukung dalam memecahkan masalah. Novel Sintren sebagai bahan penelitian yang akan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dilihat dari konflik batin lewat pendekatan psikologi sastra. 1.7.2 Metode Analisis Data Peneliti menggunakan metode analisis isi untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Menurut Ratna (2010: 48), metode isi terdiri atas dua macam yaitu isi laten dan isi komunikan. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan penulis. Isi komunikasi adalah isi yang terwujud dalam hubungan naskah dengan pembaca. Analisis isi menghasilkan makna yang disampaikan dari naskah kepada pembaca. Menurut Ratna (2010: 49), dasar pelaksanaan metode analisis adalah penafsiran pada isi pesan. Metode analisis isi yang dilakukan terhadap novel Sintren bagaimana konflik batin yang terdapat pada tokoh Saraswati. Peneliti mencoba mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati yang terdapat dalam novel Sintren. 1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Peneliti menggunakan metode deskriptif analisis untuk menyajikan hasil analisis data Menurut
Ratna
(2010:
53).
Metode
deskriptif
analisis
dilakukan
dengan
cara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode deskriptif analisis dirasa tepat oleh peneliti dalam menginterpretasikan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam novel Sintren. 1.7.4 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Judul Buku Pengarang
: Dianing Widya Yudhistira
Tahun Terbit
: 2007
Terbitan
: PT Grasindo
2) Judul Buku
1.8
: Sintren
: Psikologi Sastra
Pengarang
: Albertine Minderop
Tahun Terbit
: 2010
Terbitan
: PT Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sistematika Penyajaian Skipsi ini terdiri dari lima bab yaitu bab I, bab II, bab III, dan bab IV. bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Bab III berisi deskripsi konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB II STRUKTUR NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA
2.1 Pengantar Bab ini berisi struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Struktur novel ini penting untuk mengetahui unsur yang dianalisis alur, tokoh penokohan, latar, dan tema dalam cerita. 2.1.1 Alur Semi (1988: 43) menyatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dari keseluruhan fiksi. Luxemburg (2002:93) menyebut alur atau plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Nurgiantoro (2005: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Nurgiyantoro (2000: 135) membedakan alur menjadi dua, yaitu (1) alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti peristiwa oleh pristiwa berikutnya. Alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang bepelot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dilaksanakan. Karya yang berplot jenis ini dengan demikian langsung
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan konflik yang beruncing. Nurgiyantoro (2000: 149-150) membagi alur cerita menjadi lima tahapan. Alur dalam cerita novel Sintren bersifat progresif atau alur maju. Dijelaskan dari tahap awal perkenalan tokoh utama dan latar belakang kelurganya. 2.2.1 Tahap Situation Awal cerita dibuka dengan narasi dari emak yang mukanya masam di hadapan Saraswati karena melihat anaknya memakai seragam sekolah. Emaknya selalu berharap Saraswati berhenti sekolah dan membantu pekerjaannya sebagai buruh jemur ikan di Klidang milik juragan kaya di desanya. Namun, Saraswati tetap pada pendiriannya untuk dapat terus sekolah dengan dukungan dari ayah. Ayahnya yang membuat Saraswati merasa aman. Saraswati siswi cerdas sekolah dasar yang tumbuh dari keluarga miskin. Latar belakang orang tua hanya seorang buruh serabutan. Marto (ayah Saraswati) pekerjaannya pembantu tukang, membantu membuat sumur, dan menjadi buruh membersihkan ikan atau menjemur ikan di Klidang, dan pekerjaan yang sering dikerjakan sebagai menarik becak hasil dari pinjaman. Surti yang akrab dipanggil emak sebagai buruh membersihkan dan menjemur ikan. Sudah hampir 10 tahun ia dipercaya menjadi pegawai tetap di Klidang milik juragan Wargo. Surti selalu memaksa Saraswati untuk segera berhenti sekolah dan membantu pekerjaannya. Saraswati dengan bekarja bisa membantu mencari uang untuk kebutuhan hidup kelurganya sehari-hari. Surti tidak peduli keinginan dan cita-cita anaknya yang masih duduk di kelas 4 SD. Ketertarikan juragan Wargo kepada kecantikan Saraswati memiliki niat untuk menjodohkannya dengan Kirman anak tunggalnya yang sudah berusia tiga puluh tahun. Cita-cita Saraswati untuk terus bersekolah harus mengubur dalam-dalam mimpinya dengan kondisi perekonomian kedua orang tuanya yang pas-pasan. Kenyataan itu membuat Saraswati selalu membayangkan setelah lulus dirinya harus menikah muda dan menggendong
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
anak. Ia seakan tidak ada kesempatan untuk belajar dan mewujudkan cita-citanya menjadi guru. Saraswati berpikir ia dapat bebas menjadi anak yang bisa bermain, sekolah, dan tumbuh sewajarnya seperti teman-temannya yang lain, begitu juga mengenai perasaannya terhadap Sinur. 2.2.2 Tahap Generating Circumstance Muncul konflik pertama keputusan emaknya untuk menikahkan Saraswati. Juragan Wargo memutuskan untuk melamar, maka sebagai ia akan menjadi isteri Kirman pewaris tunggal juragan kaya nomor satu di desanya. Berbagai persoalan mencul dalam pikiran Saraswati, ia memikirkan bapak yang selama ini susah payah menarik becak untuk biaya sekolahnya, kehawatiran bapaknya yang akan ikut menyetujui keputusan emaknya. Alasan Saraswati karena juragan Wargo tidak mustahil dapat membantu mengangkat keluarganya dari kemiskinan yang membalut kehidupannya. Tetapi apabila lamaran itu ditolak kehidupannya akan tetap miskin, dan mengecewakan emaknya yang menginginkan berbesan dengan juragan Wargo. Semua yang ia lakukan tidak akan ada yang benar dan di hadapan emaknya. Hal itu menjadi pertimbangan panjang bagi Saraswati, walau sebenarnya tidak merdeka menjadi perempuan, apa lagi dari keluarga miskin seperti dirinya. Saraswati terlintas dalam pikirannya coba kalau dirinya lakilaki dan yang jadi anak juragan Wargo perempuan mungkin cerita hidupnya tidak akan sama seperti saat ini. Emaknya tidak akan pergi melamarkan anaknya ke juragan Wargo, mungkin akan memikirkan berulang kali. Hal ini menjadi sebuah pertimbangan pantaskah anak laki-laki melamar anak perempuan dari orang kaya raya. Pasti emaknya akan memberikan kesempatan sekolah setinggi-tingginya. Namun, kenyataannya ia perempuan yang membuat hatinya getir menerima kenyataan. Ia harus mengikuti semua kehendak orang tua, sekolah sangat dibatasi, terlebih yang menyedihkan hatinya orang-orang di kampungnya akan merasa senang apabila
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
anak gadisnya cepat dilamar orang yang berarti anaknya cepat laku. Banyak teman perempuan Saraswati sudah dinikahkan begitu selesai sekolah dasar. Saraswati tidak sampai hati membatalkan lamaran Kirman. Dapat diduga emak akan selalu marah-marah pada bapaknya. Sebenarnya Kirman bukanlah lelaki yang jelek, tidak juga ganteng. Namun, yang menjadi pertimbangan Saraswati itu keinginannya mencapai citacitanya agar menjadi seorang pendidik di daerahnya. Impian yang sangat mulia itulah yang menjadi gerbang pemisah, konflik dalam batinnya antara kenyataan dan harapan. Ia bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia masih ingin sekolah, tetapi pertengkaran emak dan bapaknya membuatnya lumpuh. Keadaan keluarganya yang masih sangat kekurangan, yang menjadi ia tidak mungkin dapat melanjutkan sekolah. 2.2.3 Tahap Rising Action Surti pada awalnya bahagia, tiba-tiba murung karena juragan Wargo membatalkan lamarannya. Kekecewaan menguasai hati Surti, tetapi hal ini dikarenakan Wastini meminta tanggung jawab kepada juragan Wargo untuk berbesan. Menikahi Wati anaknya sebagai ganti rugi meninggalnya nenek Ijah yang beberapa hari lalu ditabrak Kirman. Saraswati memendam perasaan anatar bahagia dan duka. Berbahagia karena pernikahan dibatalkan, maka ia dapat kesempatan untuk melanjutkan mimpinya menjadi seorang guru. Disisi lain ia berduka karena merasa dipermainkan harga dirinya oleh juragan Wargo. Ia kecewa dan sakit hati, mesti hatinya sebagaian merasa lebih lega. Diwaktu yang berbeda Larasati teman lama emak yang sedang mencari gadis untuk dijadikan sintren. Pertemuan itu, emak menawarkan Saraswati untuk mengikuti audisi yang dipimpin mbah Mo. Adanya konflik antara Surti dengan kelurga juragan Wargo, maka Surti berhenti bekerja dari Klidang. Berhenti kerjanya emak semakin menyulitkan perekonomian keluarganya. Apabila Saraswati mau menjadi sintren, ia dapat membantu perekonomian kelurga, dan dapat mengobati bapaknya yang sakit-sakitan selama ini. Dengan demikian,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
Saraswati juga memiliki kesempatan untuk mencapai cita-citanya. Berbagai cara Surti merayu Saraswati, maka Saraswati menyetujui untuk mengikuti ujian menjadi sintren. Saraswati gadis yang lolos melewati ujian pertama dari belasan anak gadis lain. Beberapa kejadian yang terjadi kepada penari sintren dipengaruhi kekuatan magis yang kuat dengan menguasai tubuh penari saat pentas. Setelah melewati ujian Saraswati lulus, ia pun resmi menjadi penari yang profesioanal. Dipercaya menjadi sintren ada yang menguasai raganya yaitu empat tuyul yang melenggok-lenggokkan tubuhnya yang mengelilingi setiap kali mulai pentas. Setelah Saraswati menjadi penari sintren dimulainya konflik dalam keluarga dan lingkungannya. Saraswati merasa selalu tuhan membedakan hidupnya dengan teman-temannya yang lebih beruntung. Ia merasa tuhan tidak pernah adil kepadanya, ia terlahir dari keluarga miskin. Hal itu mempengaruhi pikirannya, maka ia ingin menjadi orang kaya agar orang lain menghargai dan menghormati keluarga dan dirinya. Setelah Saraswati menjadi penari sintren, semakin banyak yang mengidolakannya. Sebelumnya, ia hanya dikenal sebagai gadis yang pintar, baik, dan cantik. Setelah menjadi penari sintren ia terkenal dan dikagumi oleh semua kalangan di daerahnya. Bapak-bapak dan bujangan mengagumi kecantikannya, termasuk guru olah raga pak Legiman sebagai tunangan ibu Kartika. Kartika guru yang berperan penting dalam kelanjutan sekolah Saraswati selama ini. Saraswati masih belum percaya kalau sekarang ia menjadi sintren. Kalau bukan untuk biaya sekolah, ia tidak ingin menerima pekerjaan menjadi penari sintren. Tetapi kenyataan mengharuskan seseorang melakukan sesuatu yang menjadi sesuatu tanpa ada pilihan. Saraswati telah banyak mengalami perubahan semenjak menjadi penari, dari segi fisik kulitnya menjadi bersih (kuning langsat) yang sebelumnya berkulit hitam manis, badannya lebih berisi, tubuhnya semakin tinggi dibandingkan dua minggu lalu, semakin cantik dan banyak dikagumi para lelaki. Dari segi tenaga menjadi kuat seakan Saras mempunyai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
kekuatan supranatural dan tenaga dalam yang tidak masuk akal bagi orang tuanya. Banyak kejadian dan keonaran yang dibuat pemuda semenjak Saras menjadi sintren. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan sintren cantik itu. 2.2.2.4 Tahap Klimax Setelah lulus sekolah dasar dan mengikuti pendaftaran, Saraswati masuk SMP favorit. Ia murid berprestasi dengan berbagai bekal piala. Dengan keterkenalannya Saraswati menjadi sintren, Wastini isteri Diran semakin geram dan panas. Hal itu membuat Wastini berniat mencelakai Saraswati dengan kekuatan dukun yang terkenal sakti. Niat Wastini, diketahui Saraswati karena ia memiliki kekuatan semenjak menjadi penari sintren. Wastini sebelumnya sudah diperingatkan oleh dukun agar berhati-hati karena orang yang ditujunya bukan orang sembarangan. Namun, ia tidak peduli tetap berusaha mencari dukun lain yang bersedia membantunya. Beberapa hari kemudian setelah Wastini pergi ke dukun, warga banyak membicarakan bahwa ibunya Wati sakit lumpuh secara tiba-tiba. Kelumpuhan Wastini dipercaya disebabkan hasil perbuatannya sendiri yang mencoba mencelakai Saraswati. Diran membawanya ke rumah Saraswati untuk meminta kesembuhan. Saraswati mengobati Wastini dengan disaksikan warga. Saraswati meminta persyaratan bahwa setelah sembuh jangan lagi mencoba mengusik dan mengganggu kehidupannya. Dengan kelebihannya keesokan paginya Wastini kembali sehat dan normal seperti sebelumnya. Semenjak Legiman menari di malam bersama sintren Saraswati, guru olah raganya menjadi seperti orang gila setiap teringat pesona dan kecantikan Saraswati. Ia tidak ingat mengajar dan tidak ingat kepada Kartika tunangannya. Legiman sering jalan di kampungkampung dengan mengucapkan ingin menikahi Saraswati. Seluruh kampung tahu Legiman menjadi sakit karena tergila-gila terhadap sintren Saraswati. Legiman
gila, Saraswati
menjadi buah bibir orang di kampungnya. Kemanapun Saraswati pergi ia mendengar orang-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
orang membicarakan Legiman menjadi gila. Menurut orang di kampungnya, Saraswati harus bertanggung jawab atas gilanya pak Legiman. Semenjak Pak Legiman gila, warga dikagetkan dengan kematian Kartika yang mayatnya tergantung di atas pohon mengkudu. Sebelum Kartika benar-benar meninggal, disaat tubuhnya diturunkan dari atas pohon kramat, ia sempat memanggil nama Saraswati. Kartika nekat bunuh diri karena sakit hati kepada Saraswati yang dianggap telah menggoda tunangannya. Rasa kecewa juga menguasai Kartika kepada Legiman yang lebih mencintai muridnya daripada dirinya sebagai tunangannya. Baru satu minggu di kampung Saraswati tinggal, warga masih berduka atas kejadiankejadian aneh yang menimpa. Kirman anak juragan Wargo meninggal di kali keramat dengan tidak wajar. Kirman meninggal karena setelah cintanya ditolak, deretan kejadian aneh di kampungnya membuat orang-orang menuduh Saraswati sebagai penyebabnya. Saraswati berpikir apakah ini karma dalam kehidupan sintren, terlalu besar resikonya menjadi seorang sintren. Saraswati sesungguhnya mengetahui kegilaan Legiman, kematian Kartika dan Kirman adalah bagian dari resiko itu. Walau di alam sadarnya ia tidak mengetahui sebenarnya yang menimpa dirinya atas kejadian yang tidak wajar. Saraswati mempercayai siapapun orang yang hadir di dalam kehidupannya tidak akan bisa selamat dari celaka. Ia tidak tahu persis apakah dirinya harus menyesali atau tidak atas kejadian yang telah menimpanya, sebab ketika dirinya menari menjadi sintren ia sangat menikmati dan merasa tidak pernah merugikan orang lain. Hal itu menjadi konflik bagi batinnya ditambah lagi Sinur teman lelaki yang disukainya sejak masih duduk di sekolah dasar tidak menyetujui dirinya menjadi penari sintren. Baginya, itu suatu hal yang sulit untuk dijadikan pilihan dalam hidupnya. Satu sisi ia harus terus menjadi sintren supaya bisa mencapai yang dicita-citakannya. Namun, satu sisi permintaan teman lelakinya sebagai pertimbangan hidupnya dengan resiko yang harus diterimanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
Memasuki kelas dua SMP pesona Saraswati semakin sempurna. Kecantikannya terpancar ke seluruh pelosok desa. Tidak hanya Sinur yang jatuh cinta pada Saraswati, Dadung suami Wati juga jatuh cinta setengah mati pada kecantikannya. Dadung bertindak nekat ingin melamar Saraswati untuk dijadikan isterinya dan siap menceraikan Wati isterinya. Dadung setiap malam berteriak memanggil nama Saras di saat tidurnya. Teriakan Dadung tidak hanya Wati dan keluarganya yang mendengar tetapi tetangga mulai mengeluh suara keras yang berasal dari rumah Wati. Dua tahun berlalu Dadung selalu memanggil nama Saraswati setiap malam, orang-orang kampung kehilangan kesabarannya dan memutuskan untuk mengusirnya. Saraswati sedih karena harus menyaksikan kepergian Wati dan Dadung dari rumahnya sendiri. 2.2.2.5 Tahap Denouement Setelah Saraswati lulus dari SMP ia melanjutkan ke SMEA. Semenjak Saraswati duduk dibangku SMEA teman laki-lakinya silih berganti mendatangi rumahnya. Dari awal masuk SMEA, Saraswati sudah menjadi idola di sekolah karena kecantikannya. Banyak lakilaki yang tergila-gila padanya, namun ia justru konflik dengan batinnya karena lelaki yang ia cinta semenjak SD tidak menyukainya. Di bulan Agustus, mbah Mo dan Larasati mengadakan pertunjukan sintren di kampungnya selama sepuluh hari berturut-turut. Saraswati sebagai penari sintren dimalam pementasannya. Sesuatu telah terjadi, lelaki bujangan dan sudah beristeri yang hadir dalam pementasan itu, banyak yang pingsan dan jatuh cinta karena melihat kecantikan yang dimiliki sintren Saraswati. Semakin lama Saraswati menjadi sintren semakin mempesona dan menggoda para lelaki di daerahnya. Setiap mendengar pertengkaran rumah tangga, para suami selalu mengancam kata cerai kepada isteri-isterinya dan akan menikahi Saraswati. Tidak hanya itu para suami juga dalam tidurnya selalu memanggil-manggil nama Saraswati. Jumilah salah satu korban dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
tindakan suaminya dan merasa resah dengan keadaan suaminya saat ini. Maka, Jumilah berniat untuk menyingkirkan Saraswati dari kampungnya. Namun, gagal sebelum mengusirnya justru Jumilah yang kena musibah dibuat bisu oleh Saraswati. Pagi hari Emak mendengar kabar Ndori, Jali, dan Gino akan menceraikan isterinya dan melamar Saraswati untuk dijadikan isteri mereka. Seperti yang terjadi pada lelaki sebelumnya, tiga lelaki ini karena keinginannya untuk menikahi Saras tidak terkabulkan mereka menjadi gila. Belum selesai kabar gilanya para suami di kampung, pemuda kampung atas melamar Saraswati dan ditolak dengan alasan masih ingin sekolah. Pemuda itu menjadi pemalas dan pekerjaannya hanya teriak-teriak memanggil nama Saraswati sepanjang hari. Para isteri mendatangi rumah Emak agar Saraswati segera dinikahkan. Suatu hari Emak terkejut kedatangan Dharma ke rumahnya, lelaki kaya untuk melamar Saraswati. Dharma bersedia menunggu sampai Saras lulus sekolah. Ia menerima lamaran itu demi ketenangan di kampungnya, walau dalam hatinya tidak ada satu lelakipun yang terbaik untuknya selain Sinur yang ia cintai. Saraswati memenuhi janjinya menikah dengan Dharma setelah lulus SMEA. Para perempuan menyambutnya dengan suka cita, tetapi para lelaki patah hati. Paginya Dharma menandatangani semua surat wasiat untuk diwariskan kepada isterinya. Saraswati tidak percaya dengan keputusan suaminya yang mewariskan semua harta kepadanya. Setelah itu Dharma pamit untuk melaut, pagi harinya dikabarkan meninggal karena kapal yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Jimat sintren yang ada di dalam tubuh Saraswati yaitu Den Ayune Lanjar. Ia adalah sintren sakti yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikannya mampu menaklukan hati para lelaki. Sintren itu berjanji akan tetap perawan mesti telah menikah. Karena itu sintren Saraswati walau telah menikah masih tetap perawan karena suaminya sudah meninggal sebelum menyentuhnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
Saraswati menjadi buah bibir orang kampung bahwa dirinya sebagai perempuan pembawa sial. Sejak Dharma meninggal Saras hanya mau menemui emak dan bapaknya karena warga di kampungnya tidak menyukai keberadaannya. Orang-orang penasaran ingin melihat Saraswati yang sudah lama tidak keluar rumah. Banyak orang yang menduga Saraswati menjadi jelek tidak semempesona dulu. Orang sekampung mengelilingi rumah mewah Saras, tidak lama membuka pintu banyak lelaki jatuh pingsan karena tidak kuasa melihat kecantikannya. Setelah kejadian itu orang sekampung tiba-tiba tidak dapat berbicara atau gagu karena melihat kecantikan Saraswati yang luar biasa. Kekaguman orang-orang kampung pada Saraswati semakin sempurna. Setiap saat selalu ada yang membicarakan Saras, para suami dan lelaki lajang kembali tergila-gila pada kecantikannya. Setiap hari selalu ada yang datang ingin melamar Saraswati, padahal baru sembilan hari almarhum Dharma suami pertama Saras meninggal dengan tidak wajar. Tepat empat puluh hari meninggalnya Dharma, Saraswati menerima lamarannya Warno duda kaya yang belum memiliki anak. Saraswati terpaksa menerima lamaran itu karena desakan dari warga dan emaknya. Satu minggu telah berlalu pernikahan Saraswati dengan Warno membuat warga tenang. Memasuki hari kesembilan pernikahannya, Warno yang sedang memanjat terjatuh dari pohon kelapa di kebun miliknya. Warga kembali geger (heboh) dengan kabar meninggalnya suami Saraswati yang kedua kalinya. Untuk kedua kalinya Saraswati memakamkan suaminya, wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa duka. Kehawatiran yang paling ia tukuti yaitu para suami yang akan kembali menggilainya lagi. Lagi-lagi para isteri kembali mendesak emak agar segera menikahkan lagi anaknya. Saraswati menerima usulan warga walau dengan berat hati, tiga bulan kemudian Saraswati menikah dengan Royali duda tidak memiliki anak pemilik angkutan kota. Kabar yang mengejutkan kembali didengar warga, Royali baru satu hari menikahi Saraswati mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik di jalan pantura.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
Kematian Dharma, Warno, dan Royali membuat warga menjauhi Saraswati dengan sebutan pembawa sial. Walau ketiga suaminya terdahulu meninggal selang beberapa hari dari pernikahannya, namun para lelaki tetap jatuh hati pada kecantikan Saraswati dan ingin memperisterinya. Maka yang keempat kalinya Saraswati menikah dengan lelaki lajang bernama Sumito seorang pedagang kelontong. Baru tiga hari usia pernikahan mereka, toko kelontong Sumito habis terbakar ketika ramai pembeli di siang hari. Sumito terjebak di dalam toko tidak bisa keluar karena penuh barang dagangannya. Sumito meninggal secara wajar, tetapi aneh karena jasadnya dalam keadaan sehat tanpa luka, tanpa darah, tanpa terlihat terbakar. Hari-hari Saraswati terasa sepi dan lama baginya. Perempuan-perempuan kampung telah menjauhinya, tidak ada yang mau menyapanya, kecuali para lelaki masih terus melihat Saraswati tanpa berkedip. Kesepi ini semakin menjadi ketika orang tua yang selama ini menemaninya menjadi sintren meninggal karena usianya yang sudah tua. Tidak ada satupun perempuan yang datang untuk
berbelasungkawa, hanya beberapa laki-laki yang terlibat
dipertunjukan sintren datang untuk melayat. Hal itu membuat Saraswati sedih. Dalam hatinya bertanya apakah akan sesepi ini kelak kalau dirinya meninggal? Saraswati mulai menyendiri, mengurung diri di rumah besar peninggalan Dharma. Tidak lama dari hari meninggalnya mbah Mo kini Larasati menyusul meninggalkan Saraswati. Mereka pergi di saat Saraswati ditimpa berbagai musibah yang berturut-turut. Dari kejadian gilanya pak Legiman, gantung diri ibu Kartika, meninggal keempat suaminya suaminya, kini ia harus kehilangan orang yang dikasihinya mbah Mo dan Larasati. Saraswati semakin larut dalam kesedihannya, hidupnya hanya ditemani anak-anak kecil yang selalu setia di sampingnya. Kecantikannya membawa malapetakan bagi dirinya sendiri. Orang-orang kampung berkumpul merencanakan untuk mengusir Saraswati.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
Bersamaan dengan keresahan yang melanda kampung, Sinur pulang ke kampungnya sebagai guru agama di SMP. Sinur datang mengunjungi dan melamar Saraswati. Dengan pedih, Saraswati menolak lamarannya tersebut, ia tidak ingin Sinur mati seperti kempat suaminya terdahulu. Tetapi Sinur bersikukuh ingin menikahinya. Para isteri di kampung dan ibunya Sinur sudah bertekad akan membakar rumah Saraswati. Sinur lelaki satu-satunya yang ikut serta, namun dengan tujuan menyelamatkan Saraswati. Sinur sebelum bisa mencegahnya para perempuan sudah melempar obor ke arah rumah Saraswati. Namun, sebelum obor membakar rumah terlebih duhulu padam. Sinur memberanikan diri masuk ke rumah untuk melihat keadaan Saraswati. Saraswati terlihat berbaring dengan kedua tangan di atas pusat perut. Sinur mendekat, sintren Saraswati telah meninggal dunia. Sinur
memimpin pemakamannya, seluruh warga kampung termasuk kampung
sebelah yang pernah dikunjungi Saraswati saat menjadi sintren ikut melayat. Kepergiannya membuat Sinur seperti kehilangan belahan jiwanya. Sinur telah memutuskan menikah dengan seorang perempuan yang wajah dan tubuhnya sama seperti Saraswati.
2.1.2 Tokoh dan Penokohan 2.1.2.1 Tokoh protagonis: Saraswati dan Sinur 1. Saraswati sebagai tokoh protagonis karena tokoh yang memiliki sifat lembut, otaknya cerdas dengan berbagai prestasi yang ia dapat dimasa sekolah, dan memiliki wajah cantik tetapi tidak menjadikannya sombong. Ia sebagai tokoh utama yang berpengaruh pada alur cerita. Secara terus-menerus sampai akhir cerita dipengaruhi tokoh Saraswati dalam novel Sintren. 2. Sinur sebagai tokoh protagonis karena ia sebagai tokoh yang memiliki sifat lembut, penurut kepada orang tuanya, pendiam, baik kepada siapapun, seorang guru agama SMP. Tokoh Sinur sabagai pendukung pada alur cerita yang mempengaruhi tokoh Saraswati.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
2.1.2.2 Tokoh Antagonis: Saraswati dan Wastini 3. Saraswati termasuk sebagai tokoh antagonis karena ia sebagai tokoh yang memiliki sikap keras, jahat, mendatangkan banyak konflik di dalam lingkungannya. 4. Wastini sebagai tokoh antagonis karena ia sebagai tokoh yang memiliki sifat kasar, memiliki otak yang jahat, keras, merasa berkuasa kepada keluarga dan lingkungannya. 2.1.2.3 Tokoh Tambahan: 5. Marto tokoh ayah dari Saraswati, memiliki sifat lembut, penyabar, dan penyayang kepada keluarganya. 6. Surti tokoh Emak dari Saraswati, memiliki sifat keras kepala, keras secara bahasa, tetapi sebenarnya ia penyayang kepada anak dan suaminya. 7. Juragan Wargo tokoh juragan kaya di daerahnya, memiliki sifat dermawan dan ramah. 8. Menur tokoh isteri juragan Wargo, memiliki sifat baik dan ramah. 9. Kirman tokoh seorang lelaki dikenal perjaka tua pewaris tunggal juragan Wargo. 10. Diran tokoh suami Wastini, memiliki sifat mengalah dan penyabar. 11. Wastini tokoh ibunya Wati, memiliki sifat kasar, memiliki otak yang jahat, keras, merasa berkuasa kepada keluarga dan lingkungannya, termasuk tokoh antagonis. 12. Wati tokoh teman SD Saraswati, memiliki sifat yang sirik, dengki, dan memiliki pemikiran yang jahat. 13. Nenek Ijah tokoh ibunya Wastini. 14. Mbah Mo tokoh seorang guru sepiritual penari sintren, memiliki sifat berwibawa dengan memiliki tinggi ilmu magis. 15. Larasati tokoh pembantu dan orang kepercayaan mbah Mo dalam menangani sintren. 16. Pak Legiman tokoh seorang guru olah raga di Sekolah Dasarnya Saraswati, seorang guru yang mencintai anak didiknya. 17. Ibu Kartika tokoh seorang guru Matematika di Sekolah Dasar, memiliki sifat nekat, namun lembut, dan baik terhadap Saraswati. 18. Kardi tokoh seorang pemilik becak. 19. Lina tokoh teman baik Saraswati ketika SD. 20. Keempat suami Saraswati: pertama Dharma seorang duda kaya, kedua Warno seorang duda belum memiliki anak, ketiga Royali seorang duda pemilik angkutan umum, dan keempat Sumito seorang lelaki lajang pemilik toko kelontong. 21. Anak-anak gadis disaat ujian penari sintren: Alpasanah dan Dalipah. 22. Para suami: Bagong, Ndori, Jali, Gino, dan masyarakat lain. 23. Para isteri: Rukiyah, Jumilah, dan masyarakat lain. 24. Yudha tokoh seorang wartawan dari kota. 25. Bondan tokoh pemuda setempat di daerah. 2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Novel Sintren Dianing Widya Yudhistira sangat teliti menggambarkan karakter di setiap tokoh yang ada di novel Sintren.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
2.1.3.1 Saraswati sebagai tokoh protagonis sekaligus antagonis. Ia menjadi tokoh utama yang mempengaruhi alur cerita, Saraswati memiliki sifat lembut, namun keras dalam pendidikan. Walau dirinya dari keluarga yang tidak mampu, namun berpendirian teguh agar terus dapat bersekolah. Cita-citanya ingin menjadi seorang guru sangat kuat tertanam dalam pikirannya. Penurut kepada orang tuanya, mesti sering tidak cocok dengan emaknya, namun sebenarnya ia sangat menyayangi mereka. Saraswati seseorang yang berpengaruh keberadaannya setelah menjadi penari sintren. Namun, ia menjadi gadis yang kesepian walau dikelilingi orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Penjelasan penggambaran tokoh Saraswati, sebagai berikut: 1. “Saya ingin masuk sekolah, Mak” “Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu masih mau masuk. Mau ditaruh mana mukamu itu?” “Ayo tunggu apa lagi. Ganti bajumu. Ikut Mak ke Klidang. Pagi ini Mak harus menjemur ikan. Mak tidak sanggup kerja sendiri. Kamu kan tahu bapakmu lagi sakit.” Setelah pulang sekolah nanti, saya janji akan ke Klidang membantu Mak.” “Boleh ya, Mak. Saras janji” “Dasar anak tidak tahu diuntung.” (Dianing Widya Yudhistira, 2:3 & 4) Penggambaran tokoh Saraswati dari keluarga yang tidak mampu, namun berpendirian teguh agar terus dapat bersekolah. 2. “Pak, Saras ingin sekolah sampai kuliah seperti orang-orang kota itu.” (Dianing Widya Yudhistira, 3:6) Penggambaran tokoh Saraswati memiliki harapan tinggi akan pendidikan. 3. “Kamu jemur ikan yang di sini ke rak sebelah sana… Angkat ember ini ke sana biar kamu tak kejauhan bolak-balik mengambil.” (Dianing Widya Yudhistira, 9:4) 4. “Bantu angkat, Mak.” “Niat kamu ke sini mau membantu atau mau manja-manja.” “Saras tidak kuat mengangkat sendiri seember sebesar ini.” “Dasar anak manja. Ya ayo, kubantu sini.” (Dianing Widya Yudhistira, 10:1) Penggambaran tokoh Saraswati penurut kepada orang tuanya. Walau, sering kali tidak adanya kecocokan dengan Emak.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
2.1.3.2 Sinur sebagai tokoh pendukung, namun seseorang yang berpengaruh terhadap Saraswati. Ia seorang lelaki yang menjadi cinta pertama dan sejatinya Saraswati, walau banyak lelaki menginginkannya. Sinur memiliki sifat pendiam, baik kepada siapapun, dan seorang guru agama di SMP. Sinur seseorang yang mencintai Saraswati semenjak SD, namun tidak dapat ia miliki sampai diakhir hayatnya. Pada akhir cerita, setelah meninggalnya Saraswati ia menikah dengan wanita yang fisik dan karakternya sama dengan Saraswati. Penjelasan penggambaran tokoh Sinur, sebagai berikut: 5. Bersama dengan keresahan yang melanda kampung Saraswati, Sinur pulang ke rumahnya. Kedua orang tuanya bahagia akan keberhasilan anaknya menjadi guru agama di sebuah SMP di Solo. Kebetulan sekolah Sinur libur pajang Sinur pun ingin menghabiskan libur di kampungnya. (Dianing Widya Yudhistira, 290:2) 6. “Maukah kamu menjadi isteriku.” “Tidak Nur, aku tidak bersedia.” “Aku tidak meragukan cintamu, tapi aku tidak ingin melihat…” “Melihat aku mati setelah menikahimu?” “Iya.” (Dianing Widya Yudhistira, 291:4) Penggambaran rasa cinta antara Sinur dan Saraswati. 2.1.3.3 Surti seorang ibu yang bertanggungjawab kepada keluarganya. Ia harus menyokong kebutuhan keluarga dengan seorang diri semenjak suaminya sering sakit-sakitan, dengan menjadi buruh jemur ikan di Klidang. Surti memiliki sifat keras kepala, setiap apa yang menurutnya benar dan tidak ingin disalahkan. Emak terkesan galak dan menakutkan, namun sebenarnya ia penyayang kepada anak tunggalnya Saraswati. Penjelasan penggambaran tokoh Surti sebagai berikut: 7. ”Ganti baju!” kata emak garang. Saraswati tidak berani mengangkat kepalanya apalagi menatap wakjah emaknya. Ia sudah membayagkan bagaimana muka garang emaknya. Pasti mata emak yang sudah kecoklatan itu bertambah coklat ketika mendelik. (Dianing Widya Yudhistira, 1:3). Surti sebagai emak yang galak dan keras kepala.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
8. “Tidak dengar kamu!” Pelan-pelan Saraswati mengangkat kepalanya. Menatap wajah emaknya dengan nyali ciut. “Saya ingin masuk sekolah, mak.” “Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu masih mau masuk. Mau ditaruh mana mukamu iti?” (Dianing Widya Yudhistira, 2:3). Emak yang selalu merasa benar walau sebanarnya salah. 9. “Ya, kamu berhasil.” “Berhasil?” Mak tersenyum, membelai rambut Saraswati lembut sampai-sampai Saraswati merasakan darahnya berdesir. Bertahun-tahun Saraswati tidak pernah merasakan belaian emak. Emak lebih sering memarahinya ketimabang membelainya. Padahal ia sangat ingin emak memperlakukannya seperti anak-anak tetangga lainnya. (Dianing Widya Yudhistira, 109:3 & 4). Segalak apapun Emak kepada Saraswati, tetapi ia memiliki sisi penyayang dan peduli kepada anaknya. 2.1.3.4 Marto seorang ayah pekerja keras, walau kemudian sering sakit-sakitan. Namun, ia tetap menjadi ayah yang bertanggung jawab dengan sisa tenaganya tetap menjadi penarik becak. Marto memiliki sifat penyayang dan mendukung anaknya dari segi pendidikan. Penjelasan penggambaran tokoh Marto sebagai berikut: 10. “Maafkan bapak, Ras.” Lirih, Marto berkata diantara rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Tiga hari lalu Marto terjatuh dari becak yang ia kayuh. Becaknya memang melebihi muatan. Waktu itu Marto baru pertama kalinya menarik becak. (Dianing Widya Yudhistira, 3 dan 4:8 & 1). Marto seorang pekerja keras dan berani berkorban 11. “Toh, siang nanti Saras pergi membantu, mak.” “Bapak selalu membela dia.” “Bapak tidak membela siapapun, mak.” “Nanti kalau Saraswati sudah pulang suruh secepatnya ke Klidang, bantu aku.” “Iya.” (Dianing Widya Yudhistira, 6:2 & 3) Marto sebagai ayah yang menyayangi dan membela anaknya dari ibunya yang selalu meminta anaknya untuk bekerja dari pada sekolah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
12. “Masuk dulu, bicara yang benar, Mak.” “Bapakkan sudah kuingatkan kasih tahu dia supaya bantu aku.” “Dia segan.” “Dasar pemalas!” “Bukannya dia pemalas tetapi takut. Di sekolahannya, katanya kabar dia mau dikawinkan sama anak juragan Wargo tersebar santer. Dia malu dan tidak berani ke Klidang.” (Dianing Widya Yudhistira, 27:2 & 3) Marto seorang ayah yang selalu mendukung apapun yang menjadi keputusan anaknya termasuk dalam hal yang selalu disalahkan oleh emaknya. 2.1.3.5 Juragan Wargo seseorang yang kaya di daerahnya. Ia memiliki sifat yang dermawan dan baik kepada karyawan yang bekerja kepadanya. Penjelasan gambaran tokoh juragan Wargo sebagai berikut: 13. Juragan Wargo memanggil Menur yang tengah sibuk di dapur. Ia membawa uang lima puluh ribu. “Tolong ini kamu berikan pada Surti.” “Upah dia?” “Bukan.” Menur menautkan kening. “Saya janji kalau nenek Ijah selamat, aku mau berbagi rezki pada Surti. Berikan uang ini sebelum dia pulang.” (Dianing Widya Yudhistira, 35:1) 14. Apakah juragan Wargo melakukannya dengan tidak sadar? Sepertinya tidak mungkin seseorang yang kaya raya melamar gadis dari keluarga yang begitu miskin. Banyak orang akan mencibir keluarganya. (Dianing Widya Yudhistira, 78 dan 79:4 & 1) 2.1.3.6 Kirman pewaris tunggal juragan Wargo yang berusia 30 tahun, berniat dijodohkan dengan Saraswati pilihan ayahnya. Ia memiliki sifat pekerja keras dan menuruti segala permintaan kedua orang tuanya. Usianya menginjak 30 tahun belum menikah setelah kegagalan hubungan dengan kekasihnya terdahulu. Penjelasan gambaran tokoh Kirman sebagai berikut: 15. Kirman akhirnya menyerah setelah berkali-kali maknya mendesak untuk menerima Saraswati sebagai calon isterinya. Menur dan juragan Wargo lega. Maka disusun rencana untuk melamar ke rumah Surti. (Dianing Widya Yudhistira, 74:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
16. Kirman lumayan. Ia cukup menarik. Tetapi, usianya terlamapau tua untuk Saraswati. Atau karena Saraswati yang masih bau kencur. Belum genap dua belas tahun. (Dianing Widya Yudhistira, 91:5)
2.1.3.7 Menur ibunya Kirman, memiliki karakter keibuan, bertanggung jawab kepada keluarga dan ia seorang ibu rumah tangga yang baik. Penjelasan penggambaran tokoh Menur sebagai berikut: 17. Menur masih terus gelisah dengan keinginan suaminyamenyunting Saraswati menjadi menantunya. Dari tadi tanpa disadarinya, ia mondar-mandir. Kehawatiran seorang ibu, memikirkan masa depan anak tunggalnya. (Dianing Widya Yudhistira, 70:2) 18. “Kapan akam melamar dia. Pak?” “Kita mesti tanyakan dulu pada Kirman, Mak.” “Soal itu biar Mak yang bicara.” (Dianing Widya Yudhistira, 71:1)
2.1.3.8 Wati sebagai tokoh antagonis, ia selalu membuat masalah terhadap Saraswati. Wati selalu mencari cara untuk menyingkirkan Saraswati dari kehidupannya. Penjelasan penggambaran tokoh Wati sebagai berikut: 19. “Kamu jadi kawin sama pembunuh?” Tanya Wati sinis. Wati sengaja menghampiri Saraswati begitu ulangan selesai. Saraswati terkejut. “Nenekku meninggal pagi ini.” Saraswati menautkan kening. “Mak akan membuat perhitungan dengan Kirman hari ini juga!” Wati segera meninggalkan kelas. (Dianing Widya Yudhistira, 43:1) 20. “Nanti malam jadi sintren lagi, kan?” Saraswati diam. “Tidak jadi kawin sama Kirman, malah jadi sintren. Kasian…” Wati mendekati Saraswati di ruang ganti selesai olah raga sambil mengolokngoloknya. (Dianing Widya Yudhistira, 136:4)
2.1.3.9 Wastini sebagai tokoh antagonis dan ia juga sebagai otak kejahatan anaknya selama ini. Wastini seorang ibu yang galak ditakuti oleh anak dan suaminya, selalu mendominasi keluarganya dengan segala peraturan. Suami dan kedua anaknya selalu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
menjadi korban atas tindakannya. Penjelasan penggambaran tokoh Wastini sebagai berikut: 21. “Ada apa?” “Ini pasti gara-gara Kirman nabrak Mak.” Diran tercenung. “Memang kenapa, kok Kirman yang disalahkan.” “Mak meninggal.” Teriak Wastini histeris. “Pokoknya aku harus buat perhitungan dengan Kirman.” “Sabar Mak sabar.” “Aku harus ke Kirman sekarang.” “Apa kamu lupa berapa usia Mak. Delapan tujuh tahun. Kalau Mak meninggal itu karena Mak sudah sangat tua. Jangan buat malu aku dengan menuntut-menuntut orang.” “Persetan, pokoknya aku mau menuntut.” (Dianing Widya Yudhistira, 41:1) 22. “Semua ini karena Wati teledor.” “Anak itu sudah merasa bersalah, masih Mak salahkan juga.” Wastini beranjak meninggalkan Diran dengan roman muka marah. Mulutnya terus berkata-kata seperti meruntuk. Diran hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. “Mak…mak, sudah tua, punya anak perawan, kok ora nggenah.” Ini karena Kirman. Aku harus menuntutnya. Ya aku harus menuntutnya. Wastini membantin jengkel. (Dianing Widya Yudhistira, 52 dan 53:1, 2, & 1) 23. “Ini tidak boleh terjadi, Mak harus ke rumah juragan Wargo.” “Sepenting apapun aku berhak tahu.” “Kalau bapak tahu apa yang akan kulakukan pasti bapak melarangku ke sana.” “Kalau memalukan pasti aku larang.” “Kapan aku pergi dan membuat kang Diran malu.” “Kamu pernah menanyakan ini, apa kamu tidak ingat. Sekali lagi, malu aku kalau ingat kamu minta uang ke juragan Wargo.” “Sudah, Mak. Kenapa juga Mak ke sana untuk untuk ngurusi lamaran orang lain.” “Lamaran?” “Juragan Wargo melamar Saraswati, pak.” Jelas Wati. “Saraswati anaknya Marto.” “Ya.” “Lalu apa urusannya dengan kita.” “Aku tidak rela kalau juragan Wargo lepas tangan begitu saja terhadap keluarga kita.” “Lepas tangan apa maksudnya.” “Ia harus bertanggung jawab atas kematian Mak.” “Aduh Was…Was, kamu ini maunya apa.” “Aku mau juragan Wargo mencabut lamarannya ke Saraswati. Ia harus menikahi Wati.” (Dianing Widya Yudhistira, 86:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
24. “Anakmu harus bertanggung jawab atas kematian makku.” “Tanggung jawab apa lagi.” “Kalau saja makku tidak ditabrak Kirman, mungkin masih hidup sampai sekarang.” “Kenyataannya makmu mati karena sudah tua, Was.” “Tidak bisa. Pokoknya menuntut tanggung jawab Kiramn.” “Batalkan lamaran ke Marto. Kirman harus menikahi Wati, anakku. Atau kamu aku bikin bangkrut.” (Dianing Widya Yudhistira, 98:1) 2.1.3.10 Diran tokoh suami dari Wastini, ia seorang ayah yang berbeda pemikiran dengan anak dan isterinya. Diran memiliki sifat penyabar dan seakan takut dengan isterinya. Penjelasan penggambaran tokoh Diran, sebagai berikut: 25. “Ini tidak boleh terjadi, Mak harus ke rumah juragan Wargo.” “Sepenting apapun aku berhak tahu.” “Kalau bapak tahu apa yang akan kulakukan pasti bapak melarangku ke sana.” “Kalau memalukan pasti aku larang.” “Kapan aku pergi dan membuat kang Diran malu.” “Kamu pernah menanyakan ini, apa kamu tidak ingat. Sekali lagi, malu aku kalau ingat kamu minta uang ke juragan Wargo.” “Sudah, Mak. Kenapa juga Mak ke sana untuk untuk ngurusi lamaran orang lain.” “Lamaran?” “Juragan Wargo melamar Saraswati, pak.” Jelas Wati. “Saraswati anaknya Marto.” “Ya.” “Lalu apa urusannya dengan kita.” “Aku tidak rela kalau juragan Wargo lepas tangan begitu saja terhadap keluarga kita.” “Lepas tangan apa maksudnya.” “Ia harus bertanggung jawab atas kematian Mak.” “Aduh Was…Was, kamu ini maunya apa.” “Aku mau juragan Wargo mencabut lamarannya ke Saraswati. Ia harus menikahi Wati.” Diran seperti disambar petir di siang hari mengdengar ucapan isterinya. “Mak ini sadar tidak.” “Pokoknya Mak harus ke juragan Wargo.” Diran mencekal lengan Wastini. Wastini meronta tetapi bisa diatasi Diran. Kerena ngotot akan ketemu juragan wargo, Diran sedikit memaksa Wastini masuk ke kamar. Diran mengunci kamar dari luar. Biarpun Wastini berteriak-teriak minta dibuka, Diran tidak peduli. Diran memasukkan kunci ke dalam sakunya. “Jangan sekali-kali membantu makmu keluar, paham?” Wati mengangguk. “Ingat! Jangan biarkan makmu ke juragan Wargo.” Wati mengangguk lagi. (Dianing Widya Yudhistira, 86 dan 87:2 & 1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
2.1.3.11 Larasati seorang wanita yang pekerjaannya mencari gadis-gadis di daerah untuk dijadikan generasi penari sintren. Ia memiliki karakter yang baik dan perhatian kepada anak didiknya, Larasati adalah teman lamanya Surti. 2.1.3.12 Mbah Mo guru sepiritual yang memiliki kekuatan untuk menguji kelayakan menjadi seorang penari sintren. Mbah Mo adalah guru penari sintren satu-satunya yang paling tua di daerahnya dan dipercaya sakti dengan kekuatan magisnya. 2.1.3.13 Pak Legiman, seorang guru olah raga di Sekolah Dasar. Ia memiliki karakter baik dan menjadi contoh di daerahnya. Namun, ketika ia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada anak muridnya pada akhirnya menjadi gila karena cintanya ditolak. 2.1.3.14 Kartika seorang guru Matematika di Sekolah Dasar. Ia memiliki karakter baik dan perhatian. Namun, karena tindakan yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (bunuh diri) di mata masyarakat menjadi seorang guru yang tidak terpuji. 2.1.3.15 Kardi seorang pemilik becak yang menjadi sumber pekerjaan Marto dengan menyewa atau hanya meminjamkannya. 2.1.3.16 Lina teman sebangku Saraswati di Sekolah Dasar. 2.1.3.17 Nenek Ijah, seorang nenek yang tertabrak oleh Kirman. 2.1.3.18 Dharma adalah suami pertama Saraswati. Ia seorang duda kaya, di 1 hari usia pernikahannya meninggal karena kapal yang ditumpanginya mengalami kecelakaan disaat melaut. 2.1.3.19 Warno adalah suami kedua Saraswati. Ia seorang duda tidak memiliki anak, di 1 minggu usia pernikahannya meninggal karena jatuh dari pohon kelapa di kebun. 2.1.3.20 Royali adalah suami ketiga Saraswati. Ia seorang duda pemilik angkutan umum, Royali meninggal di usia 1 hari pernikahannya karena angkutan umum yang ia tumpangi mengalami kecelakaan di Pantura.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
2.1.3.21 Sumito adalah suami Saraswati yang keempat. Ia masih bujang pemilik toko kelontong, di hari ketiga usia pernikahannya Sumito meninggal karena tokonya kebakaran dan dia terjebak di dalam. 2.1.3.22 Ndori, Jali, dan Gino para suami yang mengancam isteri-isteri mereka untuk bercerai dan akan menikahi Saraswati. 2.1.3.23 Jumilah adalah wanita yang menjadi korban tindakan suaminya dengan ancaman cerai. Ia menjadi gagu (bisu) dibuat Saraswati, karena diketahui terlebih dahulu niat jahat Jumilah kepada dirinya. 2.1.3.24 Rukiyah dan Bagong adalah pasangan suami isteri yang dinikahkan disaat mereka kerasukan di malam pertunjukan sintren. 2.1.3.25 Alpasanah dan Dalipah adalah pelengkap sebagai gadis yang mengikuti ujian menjadi penari sintren. 2.1.3.26 Yudha adalah seoarang wartawan dari kota untuk mewawancari pemberitaan tentang penari sintren yang datang ke daerah Saraswati. 2.1.3.27 Bondan dan Wisnu adalah pemuda asli di daerah Saraswati.
2.2.4 Latar 2.2.4.1 Latar Tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya pristiwa dalam karya fiksi. Dalam novel Sintren penggambaran latar tempat digambarkan suatu daerah di kota Batang, Jawa Tengah. Untuk menguraikan latar tempat dalam novel Sintren, akan ditunjukan dalam beberapa kutipan di bawah ini. 2.2.4.1.1 Di rumah Surti & Marto 26. Mak masuk ke dalam. Ia bermaksud mengambil baju ganti Saraswati. Saraswati mengambil kesempatan. Ia langsung meraih tas sekolahnya dan cepat-cepat keluar rumah. Begitu sampai di halaman rumah, Saraswati mengambil langkah seribu. (Dianing Widya Yudhistira, 3:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
27. Mak segera menghampiri bapak dan naik ke becak, setelah menutup pintu rumah. Hanya menutup saja, tanpa mengunci. Nanti siang Saraswati yang pulang sekolah tak perlu repot-repot membuka pintu rumah. Toh, Mak dan Bapak tak punya benda berharga di rumah. Jadi kemana pun penghuni rumah pergi pintu sering tak dikunci. “Apa yang bisa dibawa maling, Nduk. Wong bandane bapakmu yang kowe tok.” Ujar Mak suatu ketika kepada Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 15:3) 28. Saraswati membanting tas sekolah di dipan kosong. Hanya ada selembar tikar dan satu bantal lusuh di situ. Disitulah Saraswati tidur tanpa empuknya kasur. Sekarang ia duduk di tepi dipan dengan muka tertekuk-tekuk. Ia ingat ucapan Wati tadi di kelasnya. Ucapan itu yang membuatnya enggan menyusul eamaknya ke rumah juragan Wargo. Siang itu ia memutuskan untuk tinggal di rumah, lebih baik membenahi rumah. Di ruang tengah, bapak menenggak air dingin segar langsung dari kendi. Begitulah kebiasaan bapak dan orang-orang di kampung kalau minum. Usia membebaskan rasa hausnya, Bapak duduk di lincak. (Dianing Widya Yudhistira, 17:1 & 2) 29. Sampai rumah, Surti nyerocos didepan suaminya kalau juragannya memberinya uang sangat banyak. (Dianing Widya Yudhistira, 36:1) 30. Kreek Terdengar pintu rumah didorong dari luar. “Itu pasti makmu.” “Cepat sekali pulang.” Tak lama kemudian mak Saraswati berada di depan mereka. (Dianing Widya Yudhistira, 46:1) 31. Saraswati masuk ke kamarnyadan langsung menutup pintu. Ia tak ingin seorangpun mengganggunya. Ia benci dengan pristiwa tadi siang. Juragan wargo menatapnya cukup lama. Baru kali ini ia diperhatikan sedemikian rupa oleh laki-laki. (Dianing Widya Yudhistira, 50:2) 32. Mak jengkel, cepat-cepat keluar kamar. Mengambil kendi berisi air. Tiba-tiba saja ia tuangkan air dalam kendi itu ke rambut Saraswati. Bapak yang kebetulan lewat menengokan kepalanya ke kamar Saras karena mendengar suara geduh. Bapak terkejut melihat Emak mengguyur Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 54:1) 33. Bapak Saraswati mengerem becaknya lagi ketika samapai di rumah. Bapak memang hendak menjemput Saraswati untuk di antarkanya ke Klidang. Tetapi baru saja bapak turun dari becak, Wastini memanggilnya, meminta tolong mengantarkannya ke Klidang. (Dianing Widya Yudhistira, 55:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
34. Surti tercenung sendiri di kamar. Ia merasa tersanjung degan sikap juragannya. Juragan Wargo sangat baik padanya, dan tadi sore isterinya menyuruhnya untuk pulang terlebih dahulu karena hari mulai gelap. Pikirannya jadi tertuju ke Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 70:1) 35. Mak Saraswati segera menemui mereka. Hati Mak terus diliputi pertanyaan, ada apa gerangan juragannya yang kemarin melarangnya masuk kerja, hari ini berkunjung ke rumah. Meski ia pernah latah pada orang-orang kalau juragan Wargo akan melamar Saraswati, tetapi kali ini mak tidak berani menduga-duga perkara itu. Mak menyadari perbedaan antara dirinya dan juragan Wargo persis seperti langit dan bumi. (Dianing Widya Yudhistira, 76:2) 36. Surti tersenyum-senyum sendiri di dalam kamarnya. Ia membayangkan pernikahan Saraswati dan Kirman yang akan diselenggarakan dengan megahnya dan pasti akan berdecak kagum. Siapa yang tak kenal juragan Wargo yang kaya raya itu? Tak akan ada yang bisa menandingi kemegahan perkawinan anak juragan Wargo. (Dianing Widya Yudhistira, 78:1) 37. Terdengar ketukan pintu. Bapak Saraswati membuka. Seulas senyum menyembang dari seorang perempuan setengah baya. “Surtinya ada, Kang.” Bapak Saraswati memanggil Emak setelah mempersilahkan duduk. Mak menautkan kening ketika melihat tamunya. (Dianing Widya Yudhistira, 102:1) 38. Saraswati meletakkan tas sekolahnya di meja kamar dengan tidak bersemangat. Mak melihatnya. Mak menduga Saraswati terus memikirkan pertunjukan pertamanya nanti malam. Mak ingin bicara dengannya, tapi sulit untuk memulai bahkan tidak tahu harus berkata apa. (Dianing Widya Yudhistira, 117:1) 39. Di dalam kamar, Saras sama sekali tak bisa tidur. Pikirannya tertuju pada pertunjukan sintren nanti malam. Ia pun mulai merutuk-rutuk diri, mengapa mesti lahir dari rahim perempuan miskin. Mengapa tuhan tidak memberinya orang tua yang kaya, agar ia tak perlu menjadi sintren untuk biaya sekolah ke SMP nanti. (Dianing Widya Yudhistira, 118:3) 40. Begitu sampai di rumah, Saraswati membuka lembaran uang yang ia gulung-gulung dan hanya digenggamnya saja. Mak terkesima. Baru kali ini ia melihat uang begitu banyak. Saraswati menghitung uang itu. Lumayan, ada dua puluh lima ribu. Saraswati membagi dua uang itu. (Dianing Widya Yudhistira, 150:4) 41. Mak mempersilahkan tamunya masuk dan duduk. Ia segera ke kamar Saraswati. Ia heran melaihat Saraswati sudah bangun dan siap untuk pergi. (Dianing Widya Yudhistira, 164:5) 42. Mak bergegas menuju pintu, membukanya. Belum sempat Surti menanyakan ada apa gerangan membuat Diran memdatangi rumahnya dengan panik, Diran sudah mendahului dengan menanyakan di mana Saraswati, mak jadi heran dan bingung.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
Mak takut sesuatu menimpa Saraswati, lebih-lebih ia sedang berada di kampung lain tanpa ditemani mak bapaknya. (Dianing Widya Yudhistira, 184:2) 43. Sementara Saraswati masih lelap dalam tidurnya. Mak tak berani membangunkan. Tetapi bukankah Sraswati tidur sejak bangun pagi tadi? Mak menghampiri bapak yang sedang menikmati singkong rebus di beranda rumah. Mak menanyakan apakah Saraswati semapat terbangun. Bapak menggeleng. (Dianing Widya Yudhistira, 209 dan 210:1) 44. Saraswati masih menggunakan seragam sekolah. Ia duduk sendiri di teras rumah. Wajahnya menyimpan kebingungan. Ia tak mengerti mengapa Kartika harus mengakhiri hidup dengan cara seperti itu. Ia tak mengerti mengapa ibunya menyalahkannya. Mak tiba-tiba datang. Napasnya naik turun. Mak tampak gugup. (Dianing Widya Yudhistira, 241:4) 45. Ia membuka jendela kamar. Memandang langit malam, mengucapkan kejujuran hatinya pada Sinur. Sayang ia tak akan pernah bisa memiliki Sinur kecuali ia rela kehilangan Sinurselamanya. Saraswati sungguh menyadari siapa pun lelaki yang masuk dalam kehidupannya akan berakhir hidupnya. (Dianing Widya Yudhistira, 251 dan 252:1) 46. Senjang mengapung di langit. Dari jendela kamar, Saraswati mencari sisi lain keindahan langit. Ada seyum mengembang di sana, dari dirinya yang lain, yang ada di atas sana. (Dianing Widya Yudhistira, 262:1)
2.2.4.1.2 Di Klidang 47. Saraswati segera menyusul ke Klidang. Begitu samapi ke sana, bau anyir ikan menyergap hidungnya. Hidung Saraswati sedikit mancung menambah pesona kecantikannya. Wajahnya pun khas anak desa yang bersih lugu dengan kulitnya yang sawo matang itu, membuat mata yang melihatnya, enggan berpaling. Tampak olehnya Mak yang mulai menjemur ikan di atas bleketepe. (Dianing Widya Yudhistira, 9:3) 2.2.4.1.3 Di Sekolah 48. Di ruang guru, bu Kartika menanyakan uang sekolah yang tiga bulan belum dibayar. Sraswati hanya menunduk. (Dianing Widya Yudhistira, 7:3) 49. Di sekolah telah tersebar kabar Saraswati hendak dikawinkan sama anak juragan Wargo. Kabar itu menyebar secepat kilat, tanpa orang tahu benar tidaknya. (Dianing Widya Yudhistira, 12:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
50. Bel istirahat berdentang. Wati, teman sekelah Saraswati yang paling usil dan paling membenci Saraswati mendekatinya. (Dianing Widya Yudhistira, 15:1) 51. “Kamu jadi kawin sama pembunuh?” Tanya Wati sinis. Wati segera menghampiri Saraswati begitu ulangan selesai. (Dianing Widya Yudhistira, 43:1) 52. Kelas riuh rendah pagi itu. Maklum saja jam pelajaran pertama adalah olah raga. Sebagaian besar anak tinggal melepas baju putih, karena sudah memakai baju olah raga dari rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 116:1) 53. Semua teman sekelas Saraswati hampir tak ada yang melewatkan memandang Saraswati. Penampilannya jauh lebih segar, rapi, dan enak dipandang. Tak seorang pun bisa menyapa Saraswati seperti biasanya. Lidah mereka seperti kelu. Mereka seperti terperangkap dalam kekaguman yang tak ada habisnya. Hanya Wati yang melihat Saraswati dengan tatapan tak suka. (Dianing Widya Yudhistira, 131:1) 54. “Marni tolong kamu salin halaman dua puluh di papan tulis.” Marni, yang memang sekretaris kelas itu, segera mengambil buku dari tangan bu Kartika. Bu Kartika keluar kelas di ikuti Wati. (Dianing Widya Yudhistira, 138:3) 55. Suasana kelas riuh rendah begitu bel pulang terdengar. Saraswati segera membenahi alat tulisnya. Hari ini sepertinya hari baik buat Saraswati. Pertama ia terpilih mewakili lomba atletik sekecamatan. Kedua, ia mendapat nilai sepuluh karena tak satu pun ulangan sejarah yang dikerjakannya salah. Ketiga, dan ini sangat menyenangkan hatinya, ia bisa memutar balikan kenyataan, ia bisa memperdayai Wati. Ah, sungguh hari yang menyenangkan. (Dianing Widya Yudhistira, 139:1) 56. Sinur langsung mengambil langkah cepat menuju kelasnya. Saraswati, yang ingin tersenyum padanya karena dilihatnya sudah masuk sekolah lagi, jadi heran. Mengapa Sinur melihat dirinya seperti melihat hantu di pagi hari. (Dianing Widya Yudhistira, 151:2) 57. Saraswati dan Sinur tidak sengaja bertabrakan di ambang pintu perpustakaan. Lengan Sinur sempat menyentuh lengan Saraswati, darahnya sampai terasa berdesir. Sinur tak pernah bersentuhan dengan kulit selembut itu sebelumnya. (Dianing Widya Yudhistira, 153:1) 58. Saraswati sedang mendapati Sinur sedang membaca. Semerbak melati segera menyebar keseluruh penjuru kelas. Keharuman yang mengusik konsentrasi Sinur. Sinur mengangkat kepalanya. Terlihat dimatanya Saraswati menuju mejanya. Biadadarikah ia atau Saraswati kah ia? Sinur cukup lama memandangi Saraswati untuk memastikan penglihatannya. (Dianing Widya Yudhistira, 171:2)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
59. Tak ada yang melewatkan pandangannya ketika Sraswati melintas di sekolah barunya. Guru-guru, semua murid laki dan perempuan memandang dengan takjub. Saraswati tak ubahnya bidadari yang turun di sekolah itu. Kabar keelokan Saraswati pun dengan cepat menggema ke seantero sekolah. Tak ada yang mampu menyangkal kalau Saraswati memang menebarkan pesona. (Dianing Widya Yudhistira, 264:1)
2.2.4.1.4 Di Tanah Lapang 60. Biarpun sekolah Saraswati terletak di kampung, sekolah itu dilengkapi lapangan rumput yang luas. Semua jenis lapangan olah raga ada di sana. Dari lapangan bulu tangkis, voly, sepak takral, sampai lapangan sepak bola, dan lapangan atletik pun ada. Komplek Sekolah Dasar itu sebelumnya milik orang tua juragan Wargo. Lapangan luas itu dihibahkan untuk pendidikan di kampung Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 133:3) 61. Orang-orang sudah berkumpul di tanah lapang. Peristiwa kemarin malam tidak menyisakan ketakutan dikejar-kejar sintren. Pristiwa semalam justru membuat para penonton siap dengan uang di saku. (Dianing Widya Yudhistira, 145:1) 62. Penonton sudah memadati tanah lapang. Para panjak sintren sudah bersiap lagi di tempatnya. Sesajen sudah disediakan lengkap dan mantra sudah mbah Mo rafalkan. Malam itu adalah malam terakhir pertunjukan sintren di kampung Saraswati. Ia, malam itu adalah malam ke lima belas bagi Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 156:1) 63. Malam itu orang-orang memenuhi lapangan depan sekolah Saraswati kali ini memang di gelar di situ karena sudah diperkirakan tanah lapang yang ada di dalam kampung tidak bisa menampung membludaknya penonton, apa lagi kalau orang yang berjualan bertambah banyak. (Dianing Widya Yudhistira, 191:2) 64. Legiman adalah penonton pertama yang menginjak rumput lapangan itu ia merasa waktu teramat lambat berputar. Ia merasa teramat lama menunggu pertunjukan sintren di mulai ia ingin segera melihat Saraswati. Melihatnya mengenakan busana sintren, melihatnya menari sintren dengan gerak-gerak menggemaskan. Waktu hanya memberinya kecemasan. Ia takut kalau mala mini Saraswati tak datang. Ia takut malam ini tak bisa menikmati pesona Saraswati. Berkali-kali ia menghela nafas. Legiman larut dengan persaannya sendiri. Ia sampai tak menyadari kehadiran Kartika di sampingnya. (Dianing Widya Yudhistira, 121:1) 65. Saraswati duduk bersila diatas tanah berumput, yang ada di belakang rumah. Ia menghadap ke arah bulan yang tengah bugil bulat. Kemudian mempertemukan kedua telapak tangannya di depan dada, dan memejamkan mata. Sebelumnya dia telah berendam dalam air yang bertabur bunga tujuh rupa. Saraswati ternyata sedang melakukan ritual kewajibannya sebagai sintren ketika bulan menampakan purnamanya pada setiap hari ke lima belas bulan jawa. Saraswati melakukan ritual ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
agar keelokannya tetap memancar. Tak seorangpun tahu Saraswati melakukan ritual ini. (Dianing Widya Yudhistira, 265 dan 266:1)
2.2.4.1.5 Di Rumah Juragan Wargo 66. Usai menjemur ikan, Emak dan Saraswati pulang ke rumah. Nanti bila langit mulai redup, Emak datang lagi ke rumah juragan Wargo, juragan yang mempunyai usaha pengeringan ikan itu. Emak harus menutup ikan-iikan itu bila malam menjelang agar tak terkena embun. Atau Emak harus menurunkan semua bleketepe itu dan di simpan di dalam rumah. Tetapi juragan Wargo biasanya menuruh Emak agar ikan-ikan itu di tutupi plastik saja. (Dianing Widya Yudhistira, 10:3) 67. Juragan Wargo masuk ke dapur, tak lama kemudian membawa bungkusan plastik hitam. “Ini ada beberapa ikan untuk lauk di rumah.” (Dianing Widya Yudhistira, 11:1) 68. Juragan Wargo membuka plastik penutup ikan. Ia berharap hari itu Emak Saraswati datang bersama Saraswati. Juragan Wargo ingin melihat paras Saraswati yang cantik menawan. Ia pun hendak menahan Kirman agar tidak keluar rumah hari ini. (Dianing Widya Yudhistira, 13:1) 69. Di ambang pintu belakang itu juragan wargo menatap dengan kecewa. Harapannya hari itu Kirman dapat bertemu dengan Saraswati, sia-sia. Juragan Wargo ingi sekali anak laki-laki tunggalnya kawin dengan Saraswati. Tak peduli menantunya hanya anak salah satu pekerjanya. (Dianing Widya Yudhistira, 19:3) 70. Juragan Wargo terus berjalan menuju pintu belakang, pintu yang menghubungkan rumahnya dengan tempat menjemur ikan. Menur jadi peasaran. Ia ingin tahu siapa calon untuk Kirman yang dimaksud suaminya itu. (Dianing Widya Yudhistira, 39:1) 71. Dari kejauhan, juragan Wargo memperhatikan ibu dan anak itu dari pintu butulan. Pintu dapur itulah yang menghubungkan rumahnya dengan tanah luas dibelakangnya. Tanah yang digunakan untuk menjemur ikan. (Dianing Widya Yudhistira, 67:1) 72. Marto menghentikan becaknya di depan rumah juragan wargo. Niatnya menggebugebu, ingin menyampaikan penolakan lamaran. Tapi hatinya mengkeret. Ia tak punya nyali untuk memasuki halaman rumah yang lapang di depannya. Kakinya seperti tertanam di tanah. Tak kuasa beranjak. Cepat-cepat Marto naik ke sadel becaknya lagi begitu di lihatnya istri juragan Wargo keluar rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 85:1) 73. Surti tertegun. Sudah sangat lama ia tak berkunjung ke rumah juragan wargo. Tak ada yang berubah. Kirman mengantar Surti ke kamar Emaknya. Tmpak istri juragan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
Wargo tergeletak tak berdaya. Surti tak kuasa melihatnya. Wajah yang dulu selalu segar kini begitu tirus, kurus, dan sepi. (Dianing Widya Yudhistira, 246:1)
2.2.4.1.6 Di Rumah Wastini 74. Tubuh nenek Ijah panas, setelah satu minggu pulang dari rumah sakit. Pagi tadi nenek Ijah sempat berhujan-hujan ingin ke ladangnya sampai jatuh terpeleset. Sudah berkalikali Wastini dan Wati bergantian mengompres tetapi panas nenek Ijah tak kunjung turun. Panasnya malah terus bertambah. (Dianing Widya Yudhistira, 40:1) 75. Dengan ragu-ragu juragan Wargo melangkah masuk ke halaman rumah Wastini. Dengan hati berdebar-debar Kirman berharap tidak terjadi keributan di pelayatan nenek Ijah. Sedang Menur sangat tenang menyalami setiap orang yang telah datang terlebih dahulu. (Dianing Widya Yudhistira, 47:1)
76. Wati dan Emaknya keluar rumah menuju ke mbah dukun yang di kenal ampuh dan sakti. Sementara di kampung sebelah saraswati berada di dalam sangkar. Anak-anak kecil penjaga sitren Saraswati segera memerbangkan raga SAraswati ke rumah dukun yang sedang di tuju Wati dan emaknya. (Dianing Widya Yudhistira, 177:2)
2.2.4.1.7 Di Jalan 77. “Ciit…” degup jantung Kirman benar-benar berhenti seorang nenek terjatuh di depan mobilnya. Orang-orang kampung mengerumuni mobil Kirman. Kirman turun dari mobil dengan wajah pucat. Dilihatnya nenek itu telungkup. Baru-baru ia angkat nenek yang sudah di kenalnya itu. “o…oalah kowe, Man.” (Dianing Widya Yudhistira, 26:2) 78. Wastini meneruskan jalan menuju rumah juraga Wargo. Bapak Saraswati yang telah mengayuh becaknya meninggalkan rumah juragan Wargo, entah sengaja atau tidak, menoleh kebelakang. Ia heran mengapa Wastini mendatangi rumah juragan Wargo. (Dianing Widya Yudhistira, 56:1) 79. Saraswati terdiam sepanjang jalan menuju rumah juragan Wargo. Bapak ikut diam.Bapak sebenarnya ingin menanyakan sesuatu tetap[I ia tidak tahu bagaimana mengawali pertanyaannya pada anak semata wayangnya itu. (Dianing Widya Yudhistira, 61:1) 80. Orang-orang kampung sudah berkumpul di jalanan. Merekia akan menonton peristiwa lama. Menonton pengention Rukiah dan Bagong di arak mengelilingi kapung. Mbah Mo terpaksa mendatagkan tujuhbkuda untuk menarik pedati yang di naiki ke dua mempelai. Pedati itu di hgiasi warna-warni. Di bagian depan pedati, di letakkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
lamaran yang berupa genthong kepang. Di belakang oedati tujuh pemuda menaikki sepeda. (Dianing Widya Yudhistira, 201:1) 81. Orang kampung tumplek di sepanjang jalan yang membelah persawahan. Mereka berdiri melihat ke arah pohon mengkudu. Tak satupun yang berabi turun ke sawah, apa lagi mendekati pohon mengkudu. (Dianing Widya Yudhistira, 239:1)
2.2.4.1.8 Di Pabrik 82. Juragan Wargo menghubungi pabrik, tetapi orang pabrik mengatakan kalau Kirman belum sampai di pabrik. Mestinya Kirman sudah sampai. Juragan Warga jadi waswas. Perasaannya jadi tak enak. Sebelum ke pabrik, juragan Wargo sedikit menekan Kirman. (Dianing Widya Yudhistira, 26:1)
2.2.4.1.9 Di Kali Keramat 83. Kali itu terbentang melewati desa Dracik, yang terletak di dalam kota, agak jauh dari kampung Saraswati. Daerah sekitar kali keramat selalu di banjiri orang setiap jumat kliwon siang. Pada hari itu pertunjukan dangdut di gelar. Orang-orang dari seluruh plosok kota Batang tumplek di situ. Bahakan banyak juga yang datang dari kota Pekalongan, Wiradesa, dan Pemalang. (Dianing Widya Yudhistira, 165:1) 84. Setelah Saraswati naik ke tepi kali, Emak menutupi tubuh Saraswati yang basah dengan kain kering. Saraswati segera mengeringkan tubuhnya. Sementara orangorang yang terlibat dalam pertunjukan sintren memastikan apakah semua baju yang di pakai Saraswati sudah di hanyutkan ke kali keramat. Saraswati pun telah selesai berganti baju. Ia tampak segar, tambah cantik. Emak agak kaget melihatnya. Saraswati terlihat jauh berbeda dengan tadi pagi apa lagi lima belas hari yang lalu. (Dianing Widya Yudhistira, 168:3) 85. Emak Sinur menautkan kening. Mengapa Snur mimpi Saraswati? Adakah sesuatu di balik mimpi itu. Emak takut, sesuatu akan terjadi pada anak semata wayangnya. Legiaman gila karea di tolak Saraswati, lalu Kartika nekat mengakhiri hidup, lalu Kirman mati terhanyut di kali keramat. Sekarang Sinur bermimpi sampai mengigau Saraswati. 2.2.4.1.10 Rumah Sakit 86. Sesampai di rumah sakit, juragan Wargo melihat Kirman tertunduk lesu di kursi panjang bercat putih. Wajah pucet Kirman menampakkan kelelahan. Baying-bayang kematian nenek Ijah begitu lekat dalam bayangannya. (Dianing Widya Yudhistira, 28:2)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
2.2.4.1.11 Di Awang-awang 87. Emak hanya bisa diam. Tetapi pikirannya tak sediam mulutnya. Pikirannya melambung jauh ke awing-awang. Alangkah senangnya bila juragan Wargo jadi mengambil mantu anak perempuan satu-satunya itu. Mak pun membayangkan dirinya yang bisa menikmati masa tua dengan senang. Mak yakin, Saraswati tak akan mentelantarkannya atau menikmati kekayaan suaminya sendirian. Mak masih senyum-senyum sendirian bapak geleng-geleng kepala sambil membetulkan letak capingnya melihat mak yang melamun sembari senyum-senyum (Dianing Widya Yudhistira, 14:3) 2.2.4.1.12 Di Kampung 88. Suasana kampung dalam beberapa hari memang tenang. Mereka tidak lagi mendengar terikan Dadung. Mereka lega. Tetapi ada yang mengganjal dalam diri mak Saraswati. Semestinya orang-orang kampung tidak mengusir paksa Dadung. Saraswati mengiyakan pendapat mak. (Dianing Widya Yudhistira, 260:1) 2.2.4.1.13 Di Kampung Sebelah 89. Ini pertama kalinya Saraswati menjadi Sintren di kampung sebelah. Penontonnya melebihi banyaknya ketika Saraswati menjadi Sintren di kampungnya sendiri. Rupanya kabar Saraswati sebagai Sintren sudah menyebar kemana-mana. Orangorang tak akan melewatkan untuk melihat Saraswati menari Sintren. (Dianing Widya Yudhistira, 176:1) 2.2.4.1.14 Di Langit 90. Saraswati sejenak memandangi warna kemilau langit. Ia memejamkan matanya, mencoba mencari makna hidup di dalamnya. Ah, ia masih terlalu belia untuk mencari sebuah makna. Cukup lama Saraswati memejamkan mata, ketika membukanya, ia terpana. Di langit kemilau itu ia melihat dirinya dikelilingi lautan manusia. Di langit itu Saraswati mengenakan pakaian yang sama sekali belum pernah dipakainya. Sehelai jarit batik dililitkan di pinggangnya, menjuntai hingga menyentuh mata kakinya. Menutup dada bersulam benang perak seperti yang dikenakan para putrid kraton, juga ada di pakaiannya. Kebaya brokatnya berwarna perak dengan sulaman warna cantik timbul di sana-sini, sungguh menakjubkan membalut lekat tubuhnya. Dengan selendang sutera berenda tersampir di bahunya hingga menutupi punggungnya. (Dianing Widya Yudhistira, 143 dan 144:1) 2.2.4.1.15 Di Rumah Pak Penghulu 91. Pak penghulu bingung melihat orang-orang kampung tumplek blek di halaman rumahnya, padahal ia baru saja pulang dari pernikahan Kirman dengan anak kampung tas (Dianing Widya Yudhistira, 202:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
2.2.4.1.16 Di Rumah Mbah Mo 92. Rukiyah dan Bagong sekarang yang bengong. Mengapa orang sekampung tumpah di rumah Mbah Mo, padahal pertunjukan Sintren baru nanti malam di gelar, itu pun di lapangan sekolahan. Rombongan arak-arakan segera merapikan peralatan. Mbah Mo manyuruh Bagong dan Rukiyah duduk. Mereka bingung setengah mati, sebab di depan mereka sudah ada meja, kertas, buku kecil, bolpoin, beras di atas nampan bersama literan beras. Perlengkapan seperti itu biasanya di pakai untuk ritual perkawinan. “Siapa yang akan kawin?” piker mereka. (Dianing Widya Yudhistira, 204:4) 2.2.4.1.17 Di Alun-alun 93. Orang-orang datang ke alun-alun itu tidak hanya mendatangi pasar malam, tetapi terutama untuk acara „kliwonan‟. Acara ini telah terjadi tradisi turun temurun, sampaisampai orang sudah kabur akan makna kliwonan itu. Orang kini merasakan kliwonan sebagai suasana seperti untuk melepas penat setelah bekerja beberapa lama dan ada waktu khusus untuk bersenang-senang bersama saudara ataupun teman. (Dianing Widya Yudhistira, 165 dan 166:3) 2.2.4.1.18 Di Sangkar 94. Akhirnya Sintren di kurung kembali dalam sangkar. Para panjak masih terus menembang. Namun, sebentar kemudian sangkar di angkat lagi. Kali ini penonton semakin berdecak kagum. Sintren Saraswati berganti busana. Kali ini mengenakan jarit batik berkilauan, sedangkan kebaya tipis berwarna putih kian memperjelas lekuk tubuhnya. (Dianing Widya Yudhistira, 148:3) 2.2.4.1.19 Di Alam Sana 95. Di alam sana, Saraswati hanya diam dipegangi anak-anak kecil, dan mencengkeram tangan pemuda itu bukan Saraswati melainkan anak-anak itu. “Aduh…ampun…ampun!”. (Dianing Widya Yudhistira, 157:2) 2.2.4.1.20 Di Kamar Legiman 96. Legiman duduk di tepi tempat tidurnya. Ia memandangi seisi kamar. Ya Gusti Allah, di dinding kamar itu terbias bola mata Saraswati yang indah. Foto dirinya jadi berubah. Berulang kali Legiman mengucen-ucek matanya, benarkah foto itu berubah menjadi potret Saraswati dengan lesung pipitnya. Legiman seperti semakin gila. Seisi kamar itu pun terasa di penuhi baying-bayang Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 207:2) 2.2.4.1.21 Di Rumah Saraswati Warisan Dharma 97. Sejak kematian Dharma, Mbah Mo dan Larasati tidak pernah lagi mengajak Saraswati menjadi Sintren. Tetapi setiap malam dalam rumah besar peninggalan Dharma itu berkumpullah anak-anak kecil teman Saraswati menciptakan Sintren. Saraswati
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
mengenakan busana Sintren terindah. Kecantikannya pun memancar ke seluruh sudut rumahnya. Ia menari-nari dengan lincahnya. Tak satupun orang kampung tahu kalau di rumah Saraswati ada pesta besar, pesta sintren yang tampak dai luar, rumah Saraswati hanya terang benderang, tetapi sepi dan senyap. Orang-orang kampung mengira Saraswati sedang menyendiri karena kematian Dharma. (Dianing Widya Yudhistira, 274 dan 275:1) Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa latar tempat yang terdapat dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira sebagaian besar terjadi di rumah Surti dan Marto sebagai orang tua Saraswati. Keseluruhan novel Sintren diceritakan tempat pada tanah lapang, meskipun banyak tempat lain yang disebut rumah, rumah sakit, klidang, sekolahan, jalan, pabrik, kali kramat, alun-alun, langit, di alam sana, dalam sangkar, pasar, dan di kampung lain. Tetapi, hanya tanah lapang sebagai petunjuk identitas penari sintren saat pertunjukannya digelar. Maka, tempattempat yang digambarkan di atas sebagai lokasi penceritaan.
2.2.4.2 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar waktu dalam novel Sintren digambarkan secara jelas oleh Dianing Widya Yudhistira. Penggambaran waktu disebutkan pagi, siang, sore, dan malam hari. Kutipan di bawah ini menunjukan indikasi tersebut. 2.2.4.2.1 Pagi 98. Mak memasang muka masam di depan Saraswati. Hari masih terlampau pagi bagi siapapun untuk mengungkapkan kemarahan. Melihat Saraswati memakai seragam sekolah, mak melototkan mata, berkacak pinggang. (Dianing Widya Yudhistira, 1:1) 99. Meskipun bulu roma menegang, ia tetap putuskan pagi ini tidak akan absen lagi. Ia tidak mau tinggal kelas. Ia ingin tetap menjadi anak nomor satu di kelasnya. Ia ingin menjadi bintang kelas. “pagi ini aku harus masuk, apapun yang terjadi”, katanya dalam hati. (Dianing Widya Yudhistira, 2:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
100. Saraswati menghela nafas. Entah mengapa pagi itu hatinya tersentuh soal lamaran juragan Wargo. Bila dulu ia tak begitu peduli dengan Kirman, sampai-sampai menginginkan lamran itu tak pernah terjadi. Sekarang setelah benar-benar tak jadi, ia malah berpikir soal Kirman. Saraswati kini merasa harga dirinya diinjak-injak oleh juragan Wargo, pasti karena ia anak orang miskin. Coba kalau ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga kaya, pasti nasibnya tidak akan seperti ini. (Dianing Widya Yudhistira, 106:3) 101. Kelas riuh rendah pagi itu. Maklum saja jam pertama adalah olahraga. Sebagian besar anak tinggal melepas baju putih, karena sudah memakai baju olahraga dari rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 116:1) 102. Paginya Saraswati tampak lebih segar dari biasanya. Ia tampak sangat rapi dengan seragam sekolahnya. Wajahnya tampak bersinar dan segar. Mak takjub melihatnya. (Dianing Widya Yudhistira, 129:2) 103. Mak senang. Saraswati pagi ini tampak segar. Saraswati memakai baju olahraga. Mak heran, tak biasanya Saraswati memakai langsung baju olahraganya yang ditumpuk seragam sekolahnya. (Dianing Widya Yudhistira, 158:1) 104. Semua orang memperhatikan Saraswati pagi itu. Ibu-ibu yang sedang belanja di warung takjub melihat kecantikan Saraswati. Para pemuda yang berpapasan dan kebetulan berada di luar rumah, terpesona melihat Saraswati. Semua mata tertuju pada Saraswati pagi itu. Semua orang terkagum-kagum dengan penampilan Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 171:1) 105. Pagi itu Wati ingin mengejek Saraswati. Ia girang karena kemarin keluarga Kirman bertandang ke rumahnya. Meski Wati tidak tahu persis kedatangan keluarga Kirman, Wati menduga kedatangan mereka untuk melamarnya. (Dianing Widya Yudhistira, 172:6) 106. Pagi itu, mak melepas Saraswati pergi ke kampung lain, untuk menjadi Sintren. Bapakpun hanya bisa menghela napas. (Dianing Widya Yudhistira, 181:1) 107. Pagi-pagi mendengar deru kendaraan berhenti di depan rumah. Mak langsung menerka kalau itu Saraswati. Mak langsung bergegas, ingin menyambut Saraswati yang sudah ditunggu-tunggunya sejak seminggu yang lalu. Bapakpun beranjak dari duduknya, berlari kea rah pintu. Ia ingin sekali bertemu Saraswati dan bercerita tentang Wastini. Mak dan bapak bertemu di ruang depan, berebut membuka pintu, hingga dari luar terdengar berisik. Begitu pintu terbuka, mereka seperti berebut menyapa Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 188:1) 108. Matahari baru saja terbit. Bapak memeperhatikan Saraswati yang menata map kuning yang terletak di atas meja. Map itu akan digunakan untuk mendaftar ke SMP. (Dianing Widya Yudhistira, 223:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
109. Pagi harinya tersiar kabar kalau Kirman sudah menjadi mayat ditemukan terdampar di tepi kali keramat. Kabar itu santer seperti derasnya arus kali keramat. Mak terkesiap. Baru kemarin Kirman menyampaikan keinginannya untuk menikahi Saraswati, sekarang telah menjadi mayat. Duh gusti, apa sesungguhnya semua ini?. (Dianing Widya Yudhistira, 248:1) 110. Matahari meredup pagi itu. Saraswati tak lgi memakai seragam putih biru sekarang ia anak SMEA. Uang yang ia dapatkan dari menari Sintren cukup untuk membayar uang sekolah bulanan selama tiga tahun. (Dianing Widya Yudhistira, 263:1) 111. Paginya, ketika Saraswati akan berangkat sekolah, orang-orang kampung tak melewatkan pandangannya pada Saraswati. Semua orang mengagumi kecantikan wajahnya, tubuhnya yang menawan, rambutnya yang tebal menggerai. (Dianing Widya Yudhistira, 266:1) 112. Pagi ini ada kabar tak mengenakkan sampai ke telinga mak Saraswati. Ndori, Jali, dan Gino hendak menceraikan istrinya dan akan melamar Saraswati. Benar-benar gila. Pagi itu juga mak mendatangi rumah Ndori, Jali dan Gino. (Dianing Widya Yudhistira, 267:6)
2.2.4.2.2 Siang 113. “ayo mak, sudah siang… nanti rejeki kita keburu di patok ayam,” teriak bapak. (Dianing Widya Yudhistira, 14:4) 114. Saraswati membanting tas sekolahnya di dipan kosong. Hanya ada selembar tikar dan satu bantal lusuh di situ. Di situlah Saraswati tidur tanpa empuknya kasur. Sekarang ia duduk di tepi depan dengan raut muka terketuk-ketuk. Ia ingat ucapan Wati di kelasnya. Ucapan itu yang membuatnya enggan menyusul maknya kejuragan Wargo. Siang itu ia memutuskan untuk tinggal di rumah, lebih baik membenahi rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 17:1) 115. Kirman memerhatikan bapaknya yagb dari tadi mondar-mandir dari pintu belakang ke ruang dalam. Siang hari biasanya bapaknya tidur siang, tetapi hari ini tidak. Kirman pun merasakan kejanggalan. Selama ini ia tidak pernah di larang-larang keluar rumah, tetapi entah mengapa bapaknya bersih kukuh melarangnya keluar rumah hari ini. (Dianing Widya Yudhistira, 19 dan 20:4) 116. Emak yang sedang mencuci ikan-ikian itu lega, melihat Saraswati akhirnya mau datang membantunya. Saraswati sejenak menautkan kening. Satupun ikan belum di jemur, padahal matahari sudah tepat di ubun-ubun hari sudah sangat siang. (Dianing Widya Yudhistira, 61:3) 117. Saraswati dengan tekut menata ikan di atas bleketepe. Sangat rapin ia tata ikan dengan posisi berjajar memanjng hingga ketepi bleketepe. Angin yang berhembus di siang panas itu sedikit mengobati rasa gerahnya. Bau khas ikan yang anyir itu terembus makin mengakrabi hidungnya. Emak telah kembali dari makan dan instirahatnya. (Dianing Widya Yudhistira, 66:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
2.2.4.2.3 Sore 118. Emak langsung berteriak memanggil Saraswati begitu sampai di ambang pintu. Emak tak peduli nwaktu maghrib telah turun. Tidak sopan kata orang tua teriak-teria di waktu maghrib. (Dianing Widya Yudhistira, 27:1) 119. Sebentar lagi senja turun, masih ada separuh ikan yang belum di tata di bleketepe. Biasanya pada jam-jam seperti ini emak Saraswati sudah sampai rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 69:1) 120. Lain dengan bapak. Bapak manyun sepanjang sore. Sedang Saraswati sejak berteriak lantang menerima lamaran juragan Wargo, mangunci diri di kamar. Bila sebelumnya tak pernah menutup pintu, kali ini Saraswati menutup pintunya rapat-rapat. (Dianing Widya Yudhistira, 95:6) 2.2.4.2.4 Malam 121. Surti terjaga tengah malam. Merenung sendiri di tepi dipannya. (Dianing Widya Yudhistira, 73:1) 122. Perut Saraswati mendadak mulas. Malam itu ia mersa sangat pusing. Dari tadi siang mbah Mo dan Larasati menunggunya untuk di rias mwnjadi penari sintren. (Dianing Widya Yudhistira, 107:1) 123. Setiap malam pertunjukan biasanya yang menjadi sintren bergantian, tetapi karena mbah Mo tidak menemukan pemain lain untuk bergantian menjadi sintren, jadi hanya Saraswati yang menjadi sintren. (Dianing Widya Yudhistira, 120:1) 124. Matahari telah lingsir. Hari mulai gelap. Saraswati menutup buku tugasnya. Seusai tidur siang tadi, ia langsung mengerjakan tugas sekolah sekaligus belajar untuk pelajaran besok pagi. Nanti malam ia harus menari sitren lagi. (Dianing Widya Yudhistira, 143:1) 125. Di malam tenang itu, emak memeluk Saraswati. Itulah kali pertama Saraswati merasakan pelukan seorang ibu tentu setelah ia beranjak besar. (Dianing Widya Yudhistira, 151:3) 126. Malam ini emak ingin memenuhi janjinya untukn menemani Saraswati di hari terkgir pertunjukannya. Ia pun janji tidak akan menerima tawaran lagi buat anaknya untuk menjadi penari sintren. (Dianing Widya Yudhistira, 56:3) 127. Larasati tersenyum puas di malam terakhir pertunjukan sintren di kampung lain itu. Semua berjalan lancar. Setiap malam penonton memadati tanah lapang tempat pertunjukan sintren. (Dianing Widya Yudhistira, 186:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
128. Kartika memutuskan pulang setelah malam mulai larut. Ia tambah kecewa dengan Legiman. Ia pun merutuk-rutuk di sepanjang jalan. (Dianing Widya Yudhistira, 222:1) 129. Hingga malam menjelang, Legiman masih diam di kursi teras. Ia tetap bergeming. Alangkah terkejutnya Kartika, ketika tiba-tiba Legiman berdiri. (Dianing Widya Yudhistira, 227:5) 130. Emak Sinur terkejut. Sinur teriak-teriak memanggil nama Saraswati. Waaktu itu tengah malam, tepat jam dua belas. Semakin lama teriakan Sinur semakin keras. (Dianing Widya Yudhistira, 250:1) 131. Maka di keheningan malam, saat Saraswati terjaga ia tidak mampu mengingkari bayang-bayang Sinur. (Dianing Widya Yudhistira, 251:3) 132. Senja mengapung di langit. Dari jendela kamar Saraswati mencari sisi lain keindahan langit. Ada senyum mengembang di sana, dari dirinya yang lain, yang ada di atas sana. (Dianing Widya Yudhistira, 262:1) 2.2.4.2.5 Hari Ini 133. Mak Saraswati segera menemui mereka. Hati mak terus diliputi pertanyaan, ada apa gerangan juragannya yang kemarin melarangnya masuk kerja, hari ini berkunjung ke rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 76:1) 134. Hari ini adalah hari terakhir ulangan catur tunggal. Tidak ada hambatan Saraswati mengerjakan soal-soal ulangan. (Dianing Widya Yudhistira, 174:1) 135. Hari itu perasaan Saraswati tak enak selama belajar di kelas. Rasanya ingin sekali ia ke sekolahnya dulu. Sinur yang melihat gelagatnya, menanyakan kenapa. (Dianing Widya Yudhistira, 237:1) 136. Saraswati menaburkan mawar terakhir di atas gundukan tanah yang masih basah. Hari itu hari mengerikan baginya. Ia sudah menduga, orang-orang kampung akan menggunjingkannya sebagai perempuan pembawa sial. (Dianing Widya Yudhistira, 274:1) 2.2.4.2.6 Lima Menit Lalu 137. Mak menautkan kening. Belum lima menit ia keluar dari kamar Saraswati, pergi sebentar menanyakan pada bapak, sekarang di depannya Saraswati sudah segar, sudah rapi, kamarnya pun sudah dirapikan. (Dianing Widya Yudhistira, 210:5)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
138. Hanya lima menit yang berlalu tetapi orang-orang yang akan menonton sintren merasakan sangat lama, waktu terasa berjalan lambat. Mereka dibalut gelisah. (Dianing Widya Yudhistira, 213:3) 2.2.4.2.7 Satu Minggu 139. Tubuh nenek Ijah panas, setelah satu minggu pulang dari rumah sakit. (Dianing Widya Yudhistira, 40:1) 140. Kartika lega. Pertunjukan sintren selama lebih dari satu minggu itu selesai sudah. Hatinya yang selama seminggu lebih dibuat kesal sedikit terobati. (Dianing Widya Yudhistira, 216:1) Dari penjelasan latar waktu di atas yang digambarkan dalam novel Sintren, maka dapat di simpulkan bahwa penggambaran waktu meliputi pagi hari (kutipan nomor 99 sampai 113), siang hari (kutipan nomor 114 sampai 118), sore hari (kutipan nomor 119 sampai 121), malam hari (kutipan nomor 122 sampai 133), waktu hari ini (kutipan nomor 134 sampai 137), waktu lima menit lalu (kutipan nomor 138 dan 139), dan waktu satu minggu (kutipan nomor 140 dan 141). 2.2.4.3 Latar Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan. Cerita dalam novel Sintren menggunakan latar sosial suatu daerah di perkampungan. Perkampungan yang tergambar menunjukkan disuatu daerah pelosok daerah yang masih jauh dari kota. Perilaku sosial yang terjadi sebagai berikut: pertama, kepercayaan pada mantra sintren. Kedua, kepercayaan kepada dukun. Ketiga, menilai sintren yang negatif. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 2.2.4.3.1 Terjadinya Kematian Nenek Ijah Nenek Ijah tertabrak mobilnya Kirman, setelah satu minggu kecelakaan itu nenek Ijah mengalami patah tulang karena terjatuh di ladang yang menyebabkannya meninggal. Meninggalnya nenek Ijah menjadi alasan Wastini terhadap Kirman untuk menikahi anaknya. Padahal nenek Ijah meninggal karena terjatuh di lading disebabkan kondisi nenek Ijah sudah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
tua yang menjadikannya tidak mampu bertahan untuk hidup. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 141. “Aku tidak rela kalau keluarga juragan Wargo lepas tangan begitu saja terhadap keluarga kita.” “Lepas tangan apa maksudmu?” “Ia harus bertanggung jawab atas kematian Mak.” “Aduh, Was… Was, kamu ini maunya apa?” “Aku mau juragan Wargo mencabut lamarannya ke Saraswati. Ia harus menikahi Wati.” (Dianing Widya Yudhistira, 87:1) 142. “Mana juraganmu.” “Ada apa, Yu. Mari duduk dulu dengan tenang.” “Ada apa, ada apa. Mana juraganmu.” Tidak lama kemudian juragan Wargo muncul di depan Wastini. Tanpa juragan Wargo duga, Wastini meminta sesuatu yang sangat berat. Juragan Wargo harus membatalkan lamarannya pada Saraswati. “Anaku harus bertanggung jawab atas kematian makku.” “Tanggung jawab apa lagi?” “Kalau saja makku tidak ditabrak Kirman, mungkin masih hidup sampai sekarang.” “Kenyataannya makmu meninggal itu karena sudah tua, Was.” “Tidak bisa. Pokoknya aku menuntut tanggung jawab Kirman.” (Dianing Widya Yudhistira, 98:2) 2.2.4.3.2 Terjadinya Wastini Tiba-tiba Lumpuh Wastini lumpuh karena perbuatannya yang serakah, mendatangi dukun untuk mencelakai Saraswati. Wastini sudah diperingatkan sebelumnya oleh dukun yang pertama ia datangi. Dukun itu menolaknya karena tahu Saraswati seorang gadis yang sakti, dan member peringatan kepada Wastini agar berhati-hati. Namun, akibat tindakan nekatnya Wastini menjadi lumpuh secara tiba-tiba. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 143. Mak Wati seperti orang linglung ketika terjaga. Wati jadi bingung melihat maknya hanya duduk-duduk termenung di teras rumah. “Semalam kalian kemana, bapak pulang tidak ada orang di rumah?” Akhirnya ia mengaku, semalam mereka ke dukun. Diran terkejut ketika mendengar alasan pergi ke dukun. “Kalian harus minta maaf ke Saraswati.” “Bapak yakin ini karena kalian sembrono terhadap Saras.” “Sembrono?” “Ya. Saras yang dulu itu lain dengan sekarang. Ia seorang sintren. Kalau kamu ingin makmu kembali seperti semula kamu harus minta maaf pada Saraswati. Ayo sana!” (Dianing Widya Yudhistira, 177 dan 178:2)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
144. Mak Saraswati menautkan kening. Orang-orang kampung ramai membicarakan Wastini yang tiba-tiba saja lumpuh. Yang mak tahu, kemarin pagi ia masih melihat Wastini belanja di pasar. Mengapa tiba-tiba pagi ini terdengar berita kalau dia lumpuh? Apa maksudnya? Sambil melayani pembeli ikan, mak mendengarkan baikbaik pembicaraan orang-orang. “Tak bisa jalan sedikit pun, hanya terbaring. Ngmongnya pun jadi cedal. Padahal sebelumnya sehat-sehat saja.” “Kemarin masih pergi ke pasar.” “Kata Diran kemarin sore pergi ke dukun.” (Dianing Widya Yudhistira, 182:1) 145. “Kalau tadi pagi aku dengar Wastini lumpuh tiba-tiba, magrib ini bapak dengar Wastini memanggil-manggil nama anak kita, meminta-minta tolong. Anehnya, mbah Anom malah mengatakan kalau anak kita yang bisa menyembuhkan lumpuh Wastini.” (Dianing Widya Yudhistira, 186:1) 146. Orang-orang kampung ingin tahu yang akan terjadi di rumah Saraswati karena Diran lari-lari meninggalkan rumah Saraswati. Semula hanya satu dua orang kampung yang ikut membantu Diran membawa Wastinike rumah Saraswati. Lama-lama para tetangga lain ikut pula mengantar dan tanpa disadari semua orang yang ada di dalam rumah keluar mengantar Wastini ke rumah Saraswati. Saraswati dengan tenang mendekat Wastini. Kepada orang-orang kampung yang berkumpul di halaman rumahnya itu Saraswati berkata akan mengobati Wastini dengan syarat Wastini tidak akan lagi mengusik atau mengganggunya lagi. Wastini yang lemas lunglai itu mengangguk lemah. Saraswati menambahkan lagi, kalau Wastini masih mengganggunya lagi ia tak bisa menolongnya lagi. Dengan sekejap Wastini bisa disembuhkan. Ia langsug bisa menggerakkan kaki dan tangannya lagi. Ia bisa berjalan lagi. Orang-orang kampung berdecak kagum. Sementara Mak kaget, tak percaya kalau Saraswati bisa menyembuhkan kelumpuhan Wastini. (Dianing Widya Yudhistira, 189 dan 190:3)
2.2.4.3.3 Terjadinya Pernikahan Bagong dan Rukiyah Pernikahan antara Bagong dan Rukiyah ini terjadi secara tidak sengaja, disaat pertunjukan sintren di tanah lapang berlangsung. Ketika pertunjukan akan dimualai, adanya kesalahan menurut mbah Mo sesajen belum lengkap. Maka, menurut kepercayaan para roh halus yang menjadi penghui lapangan marah dan hasilnya merasuki Bagong dan Rukiyah yang ingin menikah secara mendadak. Bagong yang sebagai bagor dan Rukiyah sebagai panjak sintren sebelumnya tidak saling menyukai satu dengan lainnya, namun roh halus telah mersuki
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
mereka agar disegerakan pernikahan mereka. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 147. Ketika Saraswati menari dan mereka yang berebut kain kea rah sintren, dua kain mengenai tubuh Rukiyah yang menjadi panjak, dan mengenai Bagong yang menjadi bador sintren. Bagong dan Rukiyah bersamaan pingsan, lalu ketika mereka seperti tersadar kembali mereka berdua meracau tak karuan. Tak lama kemudian pertunjukan sintren pun dihentikan setelah Saraswati menari sekali lagi bersama salah satu penonton. (Dianing Widya Yudhistira, 194 dan 195:4) 148. “Aku mau dilamar pakai genthong kepang,” kata Rukiyah. Mbah dukun hati-hati bertanya pada Rukiyah dan Bagong yang masih kesurupan. “Kalian mau kawin sama siapa?” Tanya mbah dukun kepada keduanya. Para penonton ikut tegeng. Mereka takut kalau kedua orang yang sesurupan itu menunjuk mereka. Ternyata keduanya saling menunjuk kemudian tertawa. (Dianing Widya Yudhistira, 196:2) 149. Suasana semakin ricuh. Kedua orang kesurupan itu tak juga sadar-sadar. Mbah dukun menghampiri mbah Mo, berkata dengan berbisik. Mereka akirnya sepakat malam itu juga akan menikahkan Rukiyah dan Bagong yang sedang kesurupan. Mereka memanggil orang-orang terdekat sebagai saksi dan memaksa pak penghulu dan pak lebai, sesepuh kampung yang biasa diminta membawakan doa di setiap acara hajatan, untuk menikahkan dua orang yang kesurupan itu. (Dianing Widya Yudhistira, 197:2) 150. “Kawin, hik hik kawin,” teriak Bagong. “Ya kawin ya, hik hik,” ucap Rukiyah dengan genit. “Ya pak, mereka mendesak minta dinikahkan mala mini juga.” Ritual nikah tanpa busana pengantin dan iringan gamelan itu berlangsung juga. Mengherankan juga Bagong dan Rukiyah mengucapka ijab kabul dengan lancar, malahan sangat lancar. Upacara nikah sudah usai tapi penonton belum juga beranjak pulang. Mata mereka kembali tertuju ke sangkar. Di dalamnya masih duduk Saraswati. Sangkar dibuka dan Saraswati sudah berganti busana. Busana yang dikenakan Saraswati member isyarat bahwa pertunjukan sintren akan segera berakhir. (Dianing Widya Yudhistira, 198 dan 199:3) 151. Rukiyah dan Bagong sekarang yang bengong. Mengapa orang kampung tumpah di rumah mbah Mo, padahal pertunjukan sintren baru nanti malam digelar, itupun di lapangan sekolahan.rombongan arak-arakan segera merapikan semua peralatan. Mbah Mo menyuruh Bagong dan Rukiyah duduk. Perlengkapan telah tersedia semua yang biasanya dipakai buat acara perkawinan. “Kami harus menikahkan kalian lagi.” “Lho!” “Ini demi nama baik kampung kita.” “Semalam waktu kalian menikah itu dalam keadaan kesurupan, kami menyaksikan keabsahan pernikahan kalian,” ujar pak lebai panjang lebar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
Ia menikah dengan pesta meriah. Tiga hari tiga malam, dengan tanggapan sintren. Bagong ingat ia mengucapkan ijab dengan busana lengkap. Rukiyah mengenakan busana pengantin yang sangat indah. (Dianing Widya Yudhistira, 205 dan 206:4)
2.2.4.3.4 Terjadinya Dadung Menjadi Gila Terjadinya Dadung gila karena cintanya ditolak Saraswati. Padahal Dadung adalah suaminya Wati, namun karena melihat kecantikannya Saraswati Dadung nekat melamar Saraswati dan mengancam menceraikan isterinya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 152. Wati dan Wastini menautkan kening kuat-kuat. Mbah dukun mengatakan Dadung bisa berhenti berteriak-teriak bila lamarannya diterima Saraswati. Hati Wati terbakar, ternyata Dadung ingin menikahi Saraswati, musuh bebuyutannya. “Aku tak rela.” “Itu satu-satunya jalan,” ujar mbah dukun. (Dianing Widya Yudhistira, 257:1) 153. Lama-lama bukan saja Wati dan keluarganya yang terganggu oleh teriakan Dadung, para tetangga mulai mengeluh. Apalagi, setiap malam teriakan Dadung bertambah kencang. Tak terasa dua tahun sudah Dadung berteriak-teriak sepanjang malam. Orang-orang kapung tak bisa lagi menahan diri. Merekapun berkumpul lalu mencapai kesepakatan, Dadung harus pergi dari kampung dengan alasan mengganggu ketenteraman kampung. Keputusan ini tak bisa ditawar. Dalam waktu satu minggu Dadung sudah harus pergi meninggalkan kampung. Apa bila Dadung belum beranjak juga orang kampung dengan terpaksa akan mengusirnya. (Dianing Widya Yudhistira, 258:5) 154. Wati bingung bukan main, sedang Dadung seperti orang linglung. Ia tak mengerti mengapa begitu banyak orang kampung datang ke rumahnya ketika tiba hari terakhir yang ditentukan baginya untuk meninggalkan kampung. Mak Saraswati ada di antara orang-orang yang mau mengusir tetapi ia mencari Saraswati agar melakukan sesuatu. Wati panic. Teriakan orang-orang kampung membuatnya bingung. Saraswati pun menyuruh Wati untuk segera pergi kea rah utara. Wati segera menggandeng Dadung keluar rumah menuju arah utara. Entah mengapa ke utara. Wati hanya mengikuti nasihat Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 259:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
2.2.4.3.5 Terjadinya Pak Legiman Menjadi Gila Pak Legiman menjadi gila karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya ditolak oleh Saraswati, pak Legiman jatuh hati semenjak Saraswati menjadi penari sintren. Disuatu malam ketika sintren Saraswati tampil dan pak Legiman sebagai pasangan menari, setelah itu ia tergila-gila kepada sintren cantik itu. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 155. Tiada hari tanpa membayangkan Saraswati. Legiman mulai tak bisa tidur. Ia sulit sekali memejamkan mata setelah mengalami menari bersama sintren cantik beberpa waktu lalu. Beberapa cara ia lakukan untuk bisa tidur, tetapi sia-sia. Ia baru bisa tidur ketika memasuki dini hari. (Dianing Widya Yudhistira, 216:1) 156. Legiman tampak terpuruk, sedih, galau. Wajahnya muram. Semua muka tergambar di wajahnya. Kegilaannya pada Saraswati menciptakan sembilu di urat nadinya. Ia ingin berhenti dari hidupnya. Untuk apa hidup tanpa bisa memiliki sebentuk cinta. Bagaimana bisa meneruskan hidup tanpa Saraswati, yang telah menolaknya. (Dianing Widya Yudhistira, 227:3) 157. Yang ada dalam pikiran Legiman masih saja Saraswati. Hingga maslah terbawa sampai di sekolah. Legiman banyak berubah. Ia jadi malas biacara. Tak semangat mengajar olah raga. Juga tak peduli lagi kepada Kartika. Semakin hari Legiman semakin tidak jelas kelakuannya. Dihadapan guru-guru ia sering marah-marah, bicaranya ngawur, bahkan sering menyalahkan para guru yang menghalang-halangi sehigga ia gagal mendapatkan Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 229 dan 230:1) 158. Legiman meninggalkan sekolah. Ia lebih suka berjalan sepanjang kampung memanggil-manggil Saraswati dan mengajaknya menikah. Lama-lama ingatan Legiman hanya tertuju pada Saraswati. Orang-orang kampung pun menyebut Legiman gila. Kian hari, sakit Legiman kian parah. Ia tak hanya berkeliling di kampungnya saja tetapi sudah sampai ke kampung sebelah. Orang-orang kampung yang mengenal Saraswati jadi geleng-geleng kepala. Rupanya kecantikan dan pesona Saraswati telah memakan korban. Jadilah Legiman yang gila dan Saraswati yang elok jelita itu menjadi buah bibir diberbagai kampung. Kemanapun Emak pergi orangorang selalu membicarakan kegilaan Legiman dan menyangkut-pautkannya dengan anaknya bahwa karena Saraswati lah Legiman menjadi gila. (Dianing Widya Yudhistira, 223:1) 2.2.4.3.6 Terjadinya Kartika Bunuh Diri Kartika bunuh diri karena ia merasa putus asa menghadapi hidup. Semenjak sakit hati karena tunangannya mencintai Saraswati ia harus menerima kenyataan hidup, setelah itu ia seperti kehilangan arah. Rasa kecewa, sakit hati, dan marah menguasai jiwanya. Hal itu,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
membuat ibu Kartika merasa dihianati oleh siswanya sendiri. Saraswati dibantu keuangan sekolahnya selama ini dengan kebaikannya ibu Kartika justru ia menusuknya dari belakang dengan membuat Legiman menjadi gila karena kecantikan Saraswati. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 159. Kartika tersedu-sedu di depan ibunya. Ia meratapi nasib Legiman. Ia merasa hidup tak adil padanya. Orang yang sangat ia cintai jadi gila karena muridnya sendiri. Setiap kali ibunya menasihati agar ia tidak larut dalam kesedihan, Kartika justru marahmarah. Kartika telah kehilangan segalanya. Satu-satunya pelita dalam hidupnya telah pergi. Kalau saja Legiman pergi meninggalkannya dengan cara wajar, ia tak akan sesakit ini. Kini tak mungkin baginya untuk meneruskan hubungannya dengan orang gila. Seperti Legiman kini Kartika dilanda putus asa. Ia mulai tak percaya dengan kenyataan hidup. Kartika mulai sering menyalahkan ibunya dan orang disekelilingnya. Ia pun mulai kehilangan gairah untuk mengajar. Setiap kali ibunya mengingatkan, ia berontak. (Dianing Widya Yudhistira, 235 dan 236:1) 160. Kartika gelisah. Hari itu entah hari keberapa ia susah tidur. Kepalanya terasa penuh dan padat oleh Legiman. Matanya tegang, badannya berat. Kartika merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia merasa dunia kian sesak. Dunia bukan lagi tempat yang aman baginya. Kartika ingin pergi. Pergi ke dunia lain. Ia ingin mati. Ia tak sanggup lagi menghadapi semua sendiri. Ia ingin seperti Legiman. Meninggalkan alam nyata. (Dianing Widya Yudhistira, 237:1) 161. Orang kampung tumplek di sepanjang jalan yang membelah persawahan. Mereka berdiri melihat kea rah pohon mengkudu. Tubuh Kartika tergantung di atas sana. Belum sempat tubuh Kartika diturunkan, tiga polisi tersungkur ke tanah dan langsung pingsan. Orang-orang kampung terkejut melihat polisi-polisi itu pingsan seketika. “Tempat ini angker,” bisik seseorang. Semua yang berkerumanan di situ merinding. Tanah kering pecah-pecah di sekeliling pohon mengkudu itu menambah suasana mistis. Apa lagi angin yang tertiup seperti meruapka aroma aneh, antara wagi melati, mawar, cempaka, kenanga, cendana, dan kemenyan. Ditengah-tengah usaha polisi menurunkan tubuh Kartika, Saraswati bergelut dengan ingatannya. Jauh sebelum ia menjadi sintren, Kartika pernah berujar aneh padanya. “Kalak kamu akan melihat tubuh ibu memakai selendang ini di pohon mengkudu dekat sawah itu.” (Dianing Widya Yudhistira, 239 dan 240:2) 162. “Kubur langsung!” begitu teriak orang-orang kampung. Begitu jenazah dipulangkan ke kampung, mereka sepakat akan langsung mengubur jenazah Kartika. Tak ada yang kuasa meredam tindakan kasar seperti itu. Bagaimana mungkin orang meninggal langsung dikubur ke dalam tanah? Ibu Kartika, yang mengiba-iba hendak membersihkan jenazah anaknya itu, tak digubris orang-orang kampung. (Dianing Widya Yudhistira, 242:5)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
163. Kata-kata Saraswati seperti kalimat sakti. Orang-orang kampung pun serta erta membawa jenazah Kartika pulang ke rumahnya. Jenazah Kartika pun diperlakukan sebagaimana mestinya, seperti yang diperintahkan Saraswati. Dan hari itu juga Kartika dimakamkan dengan cara yang terhormat, yang terlebih dahulu dishalatkan bahkan diiringi shalawat dan orang-orang yang mengaji. (Dianing Widya Yudhistira, 243:3)
2.2.4.3.7 Terjadinya Kirman Meninggal Di Kali Kramat Menggalnya Kirman di kali kramat disebabkan putus asa karena kecewa terhadap Saraswati yang menolak cintanya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 164. Kirman lesu, lunglai. Tulang-tulangnya seperti menghilang tak bersisa. Saraswati menolak cintanya. Alasannya arif sesungguhnya, tetapi Kirman seperti hilang akal sehatnya. Ia bersikeras bila Saraswati mau menikah dengannya, dirinya tak akan menyakitinya. “Pantang bagi Saraswati diduakan.” “Baik, akan aku ceraikan isteriku.” “Pantang bagi Saraswati melukai hati perempuan, siapapun ia.” Apa saja telah Kirman katakan untuk melumpuhkan hati Saraswati. Hingga ia bersumah-sumpah pada Saraswati, lebih baik dirinya mati terbawa kali kramat, daripada hidup tak bisa menikahi Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 247 dan 248:3) 165. Pagi harinya tersiar kabar kalau Kirman yang telah menjadi mayat ditemukan terdampar di tepi kali kramat. Kabar itu santer, seperti derasnya arus kali kramat. Mak terkesiap. Baru kemarin Kirman menyampaikan keinginannya menikahi Saraswati, sekarang telah menjadi mayat. (Dianing Widya Yudhistira, 248:1) 2.2.4.3.8 Terjadinya Meninggal Para Suami Saraswati Suami Saraswati meninggal tidak lama setelah pernikahan mereka. Dharma suami pertama Saraswati meninggal baru satu hari pernikahan mereka, pernikahan kedua dengan Warno meninggal setelah satu minggu pernikahan, ketiga dengan Royali suami ketiga meninggal juga baru satu hari pernikahannya, dan pernikahan keempatnya dengan Sumito, kali ini suaminya meninggal juga setelah tiga hari usia pernikahan mereka. Keempat suami Saraswati meninggal dengan tidak wajar. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
166. Emak menyampaikan keinginan Dharma kepada Saraswati. Emak mengatakannya dengan sedikit mendesak Saraswati agar mau menerima lamaran Dharma agar orangorang kampung pun tidak lagi datang-datang ke rumah dengan berbagai alasan. “Mak memaksa Saras?” “Tidak nak, kamu tahu orang-orang membicarakanmu, mereka cemas karena ulah suami-suami mereka. Ah, Mak tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi lelakilelaki yang datang melamarmu.” “Baik Mak, selulus SMEA Saras bersedia menikah dengan teman Mak itu.” (Dianing Widya Yudhistira, 269:1) 167. Saraswati memenuhijanjinya menikah dengan Dharma selepas SMEA. Para perempuan di kampung menyambutnya dengan suka cita. Sementara para lelaki patah hati. Suami Saraswati yang ternyata sudah tua jadilah sebagai bahan gunjingan orangorang sekampung. Paginya Dharma pamit untuk melaut. Dharma menadadak tandatangani semua surat wasiat yang isinya mewariskan semua harta kekayaannya pada Saraswati. Esoknya, kampung gegerkan oleh kabar buruk. Kapal yang ditumpangi Dharma seorang diri pecah terbelah dua. Mayat Dharma ditemukan mengapung oleh nelayan setempat. (Dianing Widya Yudhistira, 270 dan 271:5 & 3) 168. Saraswati menaburkan bunga mawar terakhir di atas gundukan tanah yang masih basah. Hari itu mengerikan baginya. Ia sudah menduga, orang-orang kampung akan menggunjingkannya sebagai perempuan pembawa sial. (Dianing Widya Yudhistira, 274:1) 169. Para suami dan laki-laki lajang kembali tergila-gila pada kecantikan Saraswati. Setiap hari ada saja orang datang ingin mempersunting Saraswati, padahal baru Sembilan hari kematian Dharma. Bagaimana kata orang kalau Saraswati cepat nikah lagi. (Dianing Widya Yudhistira, 277:1) 170. Akhirnya Saraswati menuruti keinginan emak dan orang kampung untuk menikah lagi, tepat empat puluh hari setelah meninggalnya Dharma. Pernikahan keduanya dengan Warno, duda belum punya anak. Satu minggu telah berlalu dari pernikahan Saraswati. Keadaan kampung tenang. Menjelang hari kesembilan datang kabar buruk dari Baran. Warno jatuh dari pohon kelapa yang tertinggi. Warno telah pergi. Kampung kembali geger dengan kabar meninggalnya suami Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 278:3) 171. Untuk kedua kalinya Saraswati memakamkan suaminya. Terulang lagi, para suami yang giat kerja lagi setelah Saraswati menikah, kini linglung kemabali. Lagi-lagi para isteri kampung itu mendesak Emak agar cepat-cepat menikahkan Saraswati lagi. Saraswati pun menerima usulan orang kampung mesti berat hatinya. Tiga bulan kemudian Saraswati menikah dengan Royali, pemilik mobil angkutan kota. Sama dengan Warno, Royali juga duda belum punya anak. Sesuatu yang mencengangka terjadi. Baru sehari Royali menikahi Saraswati mobilnya terbalik di jalan raya jalur pantura. Royali meninggal seketika, mobilnya hancur. Anehnya, tak setetes darah mengalir dari tubuh Royali, tubuhnya utuh, tak ada luka sedikitpun. Kematian Dharma, Warno, dan Royali membuat orang-orang kampung ketakutan. Mereka menyebut-nyebut Saraswati sebagai pembawa sial. Orang-orang kampung pun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
menjauhinya. Mereka tak lagi mendesak Saraswati untuk menikah meski tanda-tanda penyakit malas yang menjangkit para lelaki mulai tanpak lagi. (Dianing Widya Yudhistira, 279 dan 280:1) 172. Mereka tak tahan melihat para lelaki hanya berbengong menyebut-nyebut nama Saraswati. Akhirnya para isteri kembali mendesak Emak untuk segera menikahkan Saraswati. Emak tak tahan, demikian juga Saraswati. Saraswati akhirnya menyerah juga tetapi dengan mengatakan bila suaminya meninggal lagi dirinya tak akan mau menikah lagi. Orang-orang kampung pun setuju. Maka menikahlah Saraswati untuk yang keempat kalinya. Kali ini dengan seorang lajang bernama Sumito. Orang-orang kampung tercengang lagi. Baru usia tiga hari perkawinan Saraswati, toko kelontong Sumito habis terbakar. Mayat Sumito ditemukan tepat didekat pintu belakang tokonya. (Dianing Widya Yudhistira, 280:1) 2.2.4.3.9 Terjadinya Meninggalnya Saraswati Meninggalnya Saraswati tidak ada yang mengetahui satu orangpun apa yang menjadi penyebab meninggalnya sintren cantik itu. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 173. Kematian Saraswati memutar balikkan prasangka buruk para perempuan di kampung itu. Semua orang keluar rumah, melayat Saraswati. Kampung atas dan kampungkampung yang pernah disinggahi Saraswati menari sintren, juga semua pedagang, melayat Saraswati. Semua orang datang mengesankan kedukaan di wajah mereka. Seseorang akan berarti ketika ia pergi meninggalkan segala yang ada di bumi. Orangorang kampung baru menyadari batapa selama ini Saraswati memiliki arti tersendiri di hati mereka masing-masing. Tetapi pada akhirnya, segala yang berasal dari tanah akan kembali terbenam di dalam tanah. Meski jasadnya hancur, namanya tetap dikenang mereka yang pernah bersinggungan dengannya. Hari demi hari, berganti minggu, bulan, dan tahun. Semenjak kematian Saraswati, tak pernah ada lagi pertunjukan sintren di kota Batang. Sintren kini hanya menjadi salah satu kepingan waktu yang telah melepuh di kota itu. (Dianing Widya Yudhistira, 294 dan 295:4) 2.2.5 Tema Menurut Semi (1988: 42), kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik: padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
Menurut Fananie (2002: 84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi penciptaan karya sastra. Nurgiyantoro (2005:67) menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Berdasarkan analisis alur, tokoh dan penokohan, serta latar dapat disimpulkan bahwa tema yang terdapat di dalam novel Sintren ini menilai kedudukan seorang perempuan penari sintrensangatlah direndahkan. Dalam penokohan diungkapkan derajat perempuan lebih rendah dibandingkan lelaki, dan lelaki kedudukan dan haknya lebih bebas. Seperti yang tergambar pada tokoh Saraswati, dari pendidikan harus dibatasi dan tidak perlu sekolah tinggi. Bagian terpenting adalah ketika ada lelaki yang melamarnya dari orang kaya berarti sudah dibilang sukses. Kesuksesan dan kebahagiaan dinilai dari harta, dan ketika seorang perempuan miliki calon suami yang kaya maka bagi ia hanya cukup mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti memasak, mengurus anak, dan memenuhi kebutuhan suaminya. Beberapa hal lainnya menjadi batasan-batasan bagi perempuan di daerah Batang yang diceritakan dalam novel Sintren. Saraswati memiliki konflik yang pertama segi pikiran ketika harus berhenti sekolah. Kenyataan hidup Saraswati yang melatar belakangi, dari keluarga miskin. Dengan demi kian, ia selalu berpikir untuk mencari cara mendapatkan banyak uang agar dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Konflik yang kedua dari dalam jiwanya sebagai konflik batin, dengan harapan besar agar dapat menyelesaikan sekolah sampai mendapatkan gelar sarjana. Ditambah, konflik di saat Saraswati menjadi sintren. Dengan banyaknya persoalan yang terjadi di sekelilingnya, seakan menjadi tanggung jawabnya. Dari usia dua belas tahun Saraswati seakan terbiasa mendapatkan persoalan dalam hidup. Seharusnya bukan dari tanggung jawabnya, namun keadaan menjadi menuntut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
kehidupannya yang membelit di setiap perbuatannya. Keputusannya menjadi penari sintren, dengan pilihan itu ia bisa mendapatkan uang. Maka, dengan begitu ia dipastikan bisa melanjutkan sekolah sampai menjadi seorang guru sesuai cita-citanya. Tetapi, konsekuensi yang harus ia tanggung sangat besar. Dengan pesona sebagai seorang sintren nyawa orang yang
mengaguminya
menjadi
taruhan.
Jimat
sintren
sebagai
sihir
orang-orang
disekelilingnya, resiko yang dipertaruhkannya pun besar bagi orang-orang yang telah mengaguminya. Walau penari sintren berungsur magis namun tidak akan menyakiti diri sintren, tetapi kesialan akan menimpa orang-orang yang hidup disekelilingnya. Dengan demi kian, hal itu menjadi konflik bagi jiwanya karena ia harus menanggung semua yang akan dituduhan oleh masyarakat kepadanya. Konflik yang ketiga tokoh Saraswati yaitu di alam sadarnya yang harus ia tanggung sebagai sintren. Kepada Sinur teman laki-laki yang ia cintai harus disingkirkan jauh-jauh dari kehidupannya, karena resiko yang harus ditanggung terlalu berbahaya. Urusan pribadi ia harus dikesampingkan, apalagi soal hati. Mbah Mo pernah menjelaskan bahaya yang akan ia terima untuk orang-orang di sekelilingnya. Tidak hanya satu atau dua lelaki yang ingin memilikinya, ketika laki-laki yang menginginkannya maka akan ketimpa musibah pada diri lelaki itu. Seperti menjadi orang gila sampai nyawa mereka menjadi taruhannya. Saraswati ditakdirkan sebagai sintren yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun, termasuk Sinur lelaki yang ia cintai. Saraswati harus menerima kenyataan untuk menyaksikan kematian Sinur apa bila ia nekat untuk memilikinya. Sudah banyak yang terjadi, dari beberapa rentetan korban seperti keempat suaminya yang meninggal setelah dinikahi. Dengan demikian ia harus memilih antara memendam perasaan sampai akhir hidupnya atau kematian orang yang dicintainya. Dianing Widya Yudhistira memasukkan konflik secara fisik di dalam karyanya. Digambarkan tokoh utama yang berurusan dengan Emaknya sendiri yang selalu memaksa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
agar segera berhenti sekolah dan membantu pekerjaannya di Klidang sebagai buruh jemur ikan. Konflik terbesar ia harus berurusan dengan masyarakat satu kampung, khususnya para isteri yang para suami mereka berubah setiap kali melihat Saraswati. Dengan sikap para suami mengancam para isterinya bercerai dan akan menikahi sintren cantik itu. Saraswati harus berhadapan dengan para perempuan yang menghujat dan selalu memaksanya agar memiliki pasangan dengan resiko yang ia tanggung. Ditambah dengan kelakuan para lelaki yang tergila-gila dengan pesona dan kecantikannya. Maka, lengkap konflik yang tergambar di dalam cerita novel Sintren yang harus dijalani tokoh utama Saraswati. Dianing Widya Yudhstira telah sukses mengemas sebuah cerita dalam karya sastra, perpaduan antara fiktif dan realita. Jadi, tema yang terdapat dalam novel Sintren yaitu derajat perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan seorang penari sintren dianggap rendah kedudukannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB III KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA
Dalam bab III ini akan dianalisis konflik batin yang terjadi pada tokoh utama, yakni Saraswati. Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan konflik batin adalah teori psikologi. Teori psikologi yang digunakan untuk menganalisis yang didasarkan pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, yakni teori struktur kepribadian terhadap konflik batin tokoh Saraswati. Dengan pendekatan psikologi, peneliti mencoba menangkap dan menyimpulkan aspek-aspek psikologis yang tercermin dalam perwatakan tokoh dalam novel Sintren. Tokoh Saraswati mengalami beberapa konflik, seperti konflik batin yang terjadi karena adanya dorongan-dorongan yang bertentangan tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang. Maka analisis kepribadian pada tokoh Saraswati difokuskan kepada analisis terhadap pemenuhan dorongan yang datang dari diri id, ego, dan super ego. Melalui analisis tersebut akan dilihat konflik batin yang terjadi pada tokoh Saraswati. 3.1. Sebab-sebab Konflik Batin Tokoh Saraswati Faktor-faktor yang menyebabkan konflik batin pada tokoh Saraswati sebagai berikut: kemiskinan kedua orang tuanya, merasa tuhan tidak adil kepadanya, cintanya kepada Sinur harus dipendam dalam hati, pernikahan paksa, orang-orang kampung menganggap Saraswati sebagai pembawa sial akibat kecantikannya, dan kesendiriannya yang membuat kesepian. 3.1.1 Konflik Batin karena Kemiskinan Kedua Orang Tuanya Saraswati dari semenjak usia sepuluh tahun ia dipaksa emaknya untuk mencari uang. Penghasilan orang tuanya sebagai buruh serabutan membuatnya menjadi gadis yang tidak seperti anak-anak gadis lainnya, bisa bebas bermain dan belajar di sekolah. Ia harus bekerja
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
membantu emaknya sebagai buruh jemur ikan di Klidang, penghasilan itu untuk biaya sekolahnya. Penghasilan ayahnya dari menarik becak cukup untuk makan sehari-hari. Semenjak ayahnya sakit-sakitan membuat keadaan ekonomi keluarga semakin terpuruk karena ditergantungkan dari penghasilan kerja emak seorang. Kemiskinan yang membalut keluarganya membuat Saraswati dipaksa berhenti sekolah dan harus menikah. Kutipan dibawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 1.
“Ganti baju!” “Tidak dengar kamu? Ganti bajumu.” “saya ingin masuk sekolah, Mak.” “Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu masih mau masuk. Mau taruh dimana mukamu itu?” Terasa getir kalimat Emak. Memang uang sekolahnya selama tiga bulan belum bisa dibayar. Kalau saja musim kemarau tak memanjang di kampungnya, pasti bulan-bulan sekarang ini orang-orang kampungnya yang memiliki sawah akan menebar benih. Itu berarti kedua orang tuanya bisa mendapatkan uang dengan menjadi buruh bagi pemilik sawah. (Dianing Widya Yudhistira, 2:1)
2.
“Mudah-mudahan tuhan melapangkan jalannya.” “Ya, pak.” Saraswati masih menunduk. “Apa lagi yang kau pikirkan, nduk?” Saraswati menatap ayahnya. “Apakah Saras bisa sekolah terus, pak?” (Dianing Widya Yudhistira, 9:1)
3.
Saraswati sesungguhnya tidak samapi hati tak membantu emaknya. Tetapi kabar menyakitkan etlinga itu, membuat Saraswati bertengkar dengan batinnya sendiri. Ia jadi bimbang antara pergi dan tidak ke juragan Wargo. (Dianing Widya Yudhistira, 24:2)
4.
Saraswati sudah tahu akibat apa yang nanti akan ia terima dari emaknya kalau ia tak menyusulnya ke Klidang. Emak pasti akan marah habis-habisan. “ah, betapa tak enak menjadi anak. Selalu dimarahi,” pikirnya. (Dianing Widya Yudhistira, 25:1)
5.
Saraswati memilih diam di depan emaknya yang uring-uringan. Percuma ia meminta maaf berulang kali walaupun mengungkapkan alasannya mengapa tidak ke Klidang tadi siang. Emak tidak pernah mau mengerti tentang dirinya. (Dianing Widya Yudhistira, 33:1)
6.
Saraswati duduk termenung di kamarnya, memikirkan nasibnya. (Dianing Widya Yudhistira, 43:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
7.
Saraswati menunduk. Hatinya membenarkan kalimat bapaknya. Ia akhirnya memilih untuk diam. Ia tak berani berterus terang bila sesungguhnya ia tak suka diperhatikan secara berlebihan oleh juragan Wargo. (Dianing Widya Yudhistira, 48:3)
8.
Saraswati masuk ke kamarnya dan langsung menutup pintu. Ia ingin tak seorangpun mengganggunya. Ia benci dengan pristiwa tadi siang. Juragan Wargo menatapnya cukup lama. Baru kali ini ia diperhatikan sedemikian rupa oleh laki-laki. (Dianing Widya Yudhistira, 50:2)
9.
Kalaupun juragan Wargo simpati padanya, janganlah memandang seperti tadi siang. “Amit-amit kalau aku jadi menantunya. Tidak. Aku tidak mau,” katanya dalam hati. (Dianing Widya Yudhistira, 51:1)
10. Saraswati tertegun mendengarnya. Sungguh hatinya mengiyakan, ia ingin sekali sekolah setinggi mungkin. Tidak hanya sampai sekolah dasar saja. (Dianing Widya Yudhistira, 58:3) 11. Panggilan bapak tidak Saraswati dengar. Saraswati larut dengan sikap emak yang selalu menyuruhnya berhenti sekolah. (Dianing Widya Yudhistira, 59:1) 12. Saraswati diam-diam memperhatikan emaknya. “Ah, aku tidak mau menjadi buruh seperti sekarang ini,” ujarnya dalam hati. Maka keinginannya untuk terus sekolah semkin menjulang. (Dianing Widya Yudhistira, 62:3) 13. Detak nadi Saraswati seperti berhenti. Ia ingat ketika juragan Wargo memangdangi dirinya tanpa sedikit pun berkedip. Ia benci bila ingat saat itu. Ia merasa seperti ditelanjangi juragan Wargo yang sudah tua. (Dianing Widya Yudhistira, 82:1) 14. “Kamu harus kawin dengan Kirman, Saras. Harus. Emak akan beruasaha sekuat mungkin untuk itu,” batinnya. (Dianing Widya Yudhistira, 85:4) 15. Kawin muda, setelah lulus Sekolah Dasar. Sangat mengerikan bagi Saraswati. Ia masih ingin sekolah hingga ke SMP, SMU, kalau bisa sampai kuliah. Ah, itu terlampau melambung. Ingin ke SMP saja rintangan yang ia hadapi sangat berat. Emak lebih suka ia kawin muda. Keinginan itu emak utarakan jauh sebelum juragan Wargo melamar. Sekarang setelah juragan Wargo benar-benar melamar Saraswati, ia merasa sangat terancam. Ia takut tak memiliki kesempatan melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Ah, sungguh malang. (Dianing Widya Yudhistira, 88:3) 16. Barang kali Saraswati harus menyadari siapa dirinya sesungguhnya. Hanya orang yang miskin. Tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mungkin tak memiliki kekuatan untuk menentukan pilihannya sendiri. (Dianing Widya Yudhistira, 89:6)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
17. Saraswati melihat lagi ke bapaknya. Garis-garis ketuaan itu begitu lekat tergambar dilekuk-lekuk wajahnya, melebihi usia bapak yang sesungguhnya. Barang kali karena selama ini jadi orang susah, bapak jadi kelihatan lebih tua dari usia sesungguhnya. Saraswati jadi kecut hatinya. Bila ia harus menolak lamarannya juragan Wargo, itu akan menyakiti emak. Juga menyusahkan bapak, karena bapak harus berhadapan dengan juragan Wargo. Ia akan kembali menjadi bulan-bulanan emaknya karena tidak menuruti keinginan emaknya. Ia bisa kena marah setiap hari. Saraswati menghela napas. Sangat tidak merdeka menjadi perempuan, lebih-lebih dari keluarga miskin. (Dianing Widya Yudhistira, 90:1) 18. Hatiya semakin bimbang. Ia tak sampai hati melihat emaknya marah-marah dengan bapak karena membatalkan lamarannya dengan juragan Wargo. Tetapi kalau ia benarbenar menikah dengan Kirman pasti akan sering berdekatan dengan juragan Wargo. Padahal dirinya tidak menyukai juragan Wargo, itu berarti ia akan sering dipandangi juragan Wargo. (Dianing Widya Yudhistira, 91:4) 19. Ia bertarung dengan pikirannya sendiri. Sungguh Saraswati tidak ingin menerima lamaran itu. Ia masih ingin sekolah, tetapi pertengkaran emak dan bapaknya membuat hatinya lumpuh. Terlebih keadaan keseharian keluarganya yang sangat kekurangan. Memang tidak memungkinkan Saraswati sekolah sekalipun hingga SMP. Bila ingin hidup enak ya menjadi orang kaya. Untuk menjadi kaya itulah yang susah. Sekarang kesempatan itu datang. Saraswati bisa mencicipi kekayaan dengan menikah dengan Kirman. Pikiran buruk itu seolah meracuni diri Saraswati. Bila ia menerima lamaran itu, Saraswati merasa seolah-olah dirinya menggadaikan cintanya kepada Kiraman. Biarpun Kirman berwajah manis, ia tak punya hati buat Kirman. Tapi apa salahnya menerima cinta dari anak orang terkaya di kampungnya. (Dianing Widya Yudhistira, 96:2) 20. “Sudahlah Saras, kau terima saja apa adanya hidup ini,” suara dari batinnya. (Dianing Widya Yudhistira, 97:1) 21. Saraswati gundah luar biasa. Hatinya miris. Besok adalah awal dari hilangnya masa depan. Ia akan dilamar kemudian menikah, punya anak lalu menghabiskan waktu di dapur. Tak ada kesempatan lagi untuk sekolah. Dunia seolah runtuh. (Dianing Widya Yudhistira, 99:2) 22. Konsentrasi Saraswati buyar. Buku pelajaran yang ada di depannya seperti menguap. Tak ada satu pun pelajaran yang dihafalnya singgah di kepalanya. Ucapan-ucapan kedua orang tuanya membuat ia lelah. (Dianing Widya Yudhistira, 105:1) 23. Apakah kemiskinan yang dijalaninya kini adalah penjara? Penjara yang membelenggu hingga seolah-olah nasibnya ada di tangan orang lain. (Dianing Widya Yudhistira, 106:4) 24. Di dalam kamar, Saraswati sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju pada pertunjukan sintren nanti malam. Ia pun mulai merutuk-rutuk sendiri, mengapa mesti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
lahir dari rahim perempuan miskin. Ah, malangnya jadi orang miskin, dimana-mana pun selalu disalahkan. Seolah-olah hidup ini hanya untuk orang yang punya uang saja. (Dianing Widya Yudhistira, 118:3) 25. Tiba saatnya malam hari. Mesti malam baru saja menjelang, bagi Saraswati malam terasa begitu mencekam. Ia ingin lari dari kehidupannya yang sekarang. Kemanapun ia hendak lariseperti selalu terbentang dinding tebal dan tinggi, tak bisa ditembusnya. (Dianing Widya Yudhistira, 120:4) 26. Ruangan yang sebelumnya belum pernah ia lihat maupun bayangkan. Ruang ini mengubur seluruh rasa sakit hatinya. Hingga sayup-sayup ia mendengar suara tetabuhan yang begitu mistis. Suara yang aneh meskipun akhirnya melahirkan perasaan damai dalam hatinya. (Dianing Widya Yudhistira, 121:1) 27. Saraswati tercenung di kamarnya. Sejak kapan ia punya kasur empuk dengan seprai bagus seperti ini. (Dianing Widya Yudhistira, 141:1) 28. Saraswati merasa kalau bukan untuk biaya sekolah, ia tak akan mau menerima pekerjaan ini. Kalau saja ia anak orang mampu, ia tak akan perah jadi sintren. Tetapi kenyataan mengharuskan seseorang melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu tanpa bisa meawar. (Dianing Widya Yudhistira, 143:2) 29. Saraswati terjaga dari tidurnya. Ia tampak berpikir merenung. “Seperti ada yang menggangguku,” dalam batinnya. (Dianing Widya Yudhistira, 179:1)
3.1.2 Konflik Batin terhadap Tuhan Saraswati merasa dibedakan nasibnya oleh tuhan. Beberapa alasan yang membuat Saraswati konflik dengan batinnya terhadap tuhan. Ia terlahir dari kedua orang tua yang miskin, Saraswati sebagai perempuan tidak memiliki pilihan selain nikah muda, pendidikan dibatasi itu pun harus mencari uang sendiri dengan menjadi penari sintren, kebebasan untuk bermain dan belajar seperti anak gadis kebanyakan tidak ia dapatkan. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 30. Mengapa tuhan tidak memberinya orang tua yang kaya, agar ia tak perlu menjadi sintren untuk biaya sekolah ke SMP nanti. (Dianing Widya Yudhistira, 118:1) 31. Kadang, Saraswati merasa tuhan membedakan kehidupannya dengan temannya yang lain, yang lebih beruntung. Tuhan sepertinya selalu membiarkan ia terus merasakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
ketidak enakan. Biarpun emak dan bapak sama-sama bekerja, tetapi mereka tak pernah bisa menyisihkan sedikitpun uang untuk sekolahnya. Yang ada justru kekurangan. (Dianing Widya Yudhistira, 118:3) 3.1.3 Konflik Batin karena Cintanya Saraswati Harus Dipendam dalam Hati Cinta pertamanya terhadap Sinur, Saraswati harus memendamnya dalam-dalam. Saraswati seorang penari sintren, maka ia tidak dapat dimiliki oleh lelaki siapapun dan manapun. Walau ia memiliki perasaan kepada teman lelakinya itu semenjak duduk di Sekolah Dasar, ia tidak dapat memiliki raganya kecuali Saraswati harus siap melihat orang yang dicintainya meninggal karenanya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indiksi tersebut. 32. Sinur, teman laki-laki sekelasnya yang menyentuh hatinya itu, berseragam putih biru. Ah, malang sekali. Saraswati hanya akan bisa memandang dengan sembunyi-sembunyi karena malu. Degup jantung Saraswati bergemuruh setiap kali bayangan Sinur melintas dalam benaknya. Mengapa anak laki-laki miskin yang menarik hati Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 89:1) 33. Teman-teman masih memandanginya. Saraswati merasa desiran nyeri darahnya. Apakah mungkin mereka sekelas tahu isi hatinya terhadap Sinur? Selama ini ia menyimpan dengan sangat rapi sebentuk hatinya pada Sinur. (Dianing Widya Yudhistira, 131:4) 34. Sinur langsung mengambil langkah cepat menuju kelasnya. Saraswati, yang ingin tersenyum padanya karena dilihatnya sudah masuk sekolah lagi, jadi heran. Mengapa Sinur melihat dirinya seperti melihat hantu di pagi hari? (Dianing Widya Yudhistira, 151:2) 35. Inikah wajah teman laki-laki sekelasnya yang mampu melumpuhkan hatinya. Seorang yang terpikirkan kala menjelang tidur dan saat terjaga. Ah, Sinur. Sungguh saat-saat seperti itulah yang bisa mendebarkan hati Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 152:3) 36. “Ah, andaikan dia jadi…,” Saraswati tidak meneruskan ucapannya dalam hati. (Dianing Widya Yudhistira, 153:1) 37. Saraswati tentu merasa tersanjung ditatap Sinur seperti itu. Kalau saja Saraswati bisa memiliki keindahan mata itu pasti dialah perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini. Sayang, sintren yang melekat dalam diri Saraswati tidak memungkinkan keduanya bersatu. (Dianing Widya Yudhistira, 249:1) 38. Saraswati menatap sedih. Ia merasakan sebentuk cinta Sinur. Ah, mengapa hidup jadi rumit. (Dianing Widya Yudhistira, 250:1)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
39. Ia membuka jendela kamar. Memandang langit malam, mengucapkan kejujuran hatinya pada Sinur. Saying ia tak akan pernah bisa memiliki Sinur kecuali ia rela kehilangan Sinur selamanya. Saraswati sungguh menyadari siapa pun lelaki yang masuk dalam kehidupannya akan berakhir hidupnya. (Dianing Widya Yudhistira, 251 dan 252:1) 40. Sakit hati Saraswati. Ia melihat Sinur begitu acuh padanya. (Dianing Widya Yudhistira, 253, paragraf 2) 41. “Aku harus melupakannya,” seru Saraswati jauh di dasar hatinya. Sejak ia ingin melupakan Sinur, ia kian gencar menari sintren berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. (Dianing Widya Yudhistira, 254:3) 42. Saraswati mengangguk lesu. Ia tahu maksud orang tua Sinur. Menjauhkan Sinur darinya. Orang tua mana yang bisa tenang bila tahu anaknya menaruh hati pada seorang sintren. (Dianing Widya Yudhistira, 261:1) 43. Saraswati mengangguk lesu. Ia sungguh tidak suka dengan kalimat Sinur. Yang ia inginkan waktu-waktu mendatang, ia bisa bertemu, memandangi bola mata Sinurmenikmati seraut wajahnya yang teduh, berjalan bersisian di sepanjang jalan menuju rumah setiap pulang sekolah, dan tentunya berbagi hati dengan Sinur. Tapi sintren yang melekat dalam tubuhnya telah membelenggunya, memenjarakan cintanya untuk orang lain. (Dianing Widya Yudhistira, 262:1) 44. Bagi Saraswati, laki-laki di dunia ini tak aka nada yang mampu membahagiakan dirinya, selain Sinur, dan hanya Sinur. Sayangnya, laki-laki itu kini jauh di kota Solo. Ah, itu lebih baik dari pada satu kampug, yang selalu bisa bertemu, tetapi tidak bisa bersatu. (Dianing Widya Yudhistira, 269:3) 45. Bagaimana mungkin ia lupa dengan lelaki yang mampu memberinya rasa kangen di dunia ini. Saraswati gugup, segera ia mempersilahkan Sinur masuk. (Dianing Widya Yudhistira, 291:1) 46. Saraswati menghela napas. Pedih ia dengar kata-kata indah itu. Kalau saja ia bukan sintren, tentu ia sudah mengiyakan hasrat Sinur. Sinur bersikukuh akan melamar Saraswati dan menikahinya. (Dianing Widya Yudhistira, 292:2) 3.1.4 Konflik Batin karena Nikah Paksa Konflik batin yang terjadi pada Saraswati ini disbabkan pernikahan yang tidak ia harapkan. Pernikahan itu bukan yang ia inginkan, lelaki yang menjadi pasangannya pun bukanlah pilihannya sendiri tetapi paksaan dari emak dan masyarakat. Hali ini terjadi karena Saraswati seorang sintren yang memiliki pesona luar biasa, maka ia harus segera dinikahkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
untuk menghindari para suami dan lelaki lanjang mengerjarnya. Ia harus menerima apa pun yang menjadi pilihan para isteri yang mengharuskannya segera mendapat pasangan hidup dengan segala resikonya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 47. Coba kalau ia laki-laki dan anak juragan Wargo adalah anak perempuan. Mak tidak akan begitu saja pergi melamarkan anaknya ke juragan Wargo. Emak akan memikirkan berkali-kali terlebih dahulu, pantaskah seorang laki-laki dengan pendidikan rendah melamar anak perempuan seorang kaya raya. Emak pasti akan memberiya kesempatan sekolah setinggi-tingginya. Tetapi kenyataannya ia perempuan. Harus menuruti kehendak orang tuanya. Sekolah sangat dibatasi. Yang menyedihkan, orang-orang di kampungnya akan merasa senang bila anak gadisnya cepat dilamar orang, yang berarti anaknya cepat laku. (Dianing Widya Yudhistira, 91:1) 48. Ia bertarung dengan pikirannya sendiri. Sungguh Saraswati tidak ingin menerima lamaran itu. Ia masih ingin sekolah, tetapi pertengkaran emak dan bapaknya membuat hatinya lumpuh. Terlebih keadaannya keseharian keluarganya yang masih sangat kurag. (Dianing Widya Yudhistira, 96:2) 49. Saraswati gundah luar biasa. Hatinya miris. Besok adalah awal dari hilangnya masa depan. Ia ingin dilamar kemudian menikah, punya anak lalu menghabiskan waktu di dapur. Tak ada kesempatan lagi untuk sekolah. Dunia seolah runtuh. (Dianing Widya Yudhistira, 99:2) 50. Saraswati tidak tahu apakah ia harus tersenyum atau menangis. Tersenyum karena akhirnya lamaran itu dibatalkan oleh pihak Kirman. Atau menangis, ia merasa harga dirinya dipermainkan oleh juragan Wargo. Ia ingin marah sama juragan Wargo. Ia ingin teriak. Ingin menghancurkan semua yang ada di depannya. Ia kecewa dan sakit hati, meski sebagian hatinya lega. (Dianing Widya Yudhistira, 100:3) 51. Saraswati dilamar oleh Dharma. Ia menerima lamaran itu, Saraswati memenuhi janjinya menikah dengan Dharma selepas SMEA. Para perempuan di kampung menyambut pernikahan Saraswati dengan suka cita. Sementara para lelaki patah hati. Suami Saraswati yang ternyata sudah tua jadilah sebagai bahan gunjingan orang-orang sekampung. (Dianing Widya Yudhistira, 270: 2) 52. Selepas kepergian Dharma, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Saraswati. Ia belum juga paham dengan sikap Dharma. Bagaimana mungkin Dharma menikahinya hanya untuk mengamankan kekayaannya. Esoknya, kampung digegerkan oleh kabar buruk. Kapal yang ditumpangi Dharma seorang diri pecah terbelah dua. Ia baru semalam menikah, namun ia sudah meninggal. (Dianing Widya Yudhistira, 271:1) 53. Akhirnya Saraswati menuruti juga keinginan emaknya dan orang-orang kampung untuk menikah lagi, tepat empat puluh hari setelah meninggalnya Dharma. Laki-laki itu Warno, duda belum punya anak. Satu minggu pernikahan Saraswati keadaan kampung
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
tenang. Menjelang hari kesembilan datang kabar buruk dari Baran. Ia terjatuh dari pohon kelapanya yang tertinggi. Untuk kedua kalinya Saraswati memakamkan suaminya. Ia tampak tenang, tetapi wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa dukanya, karena sebentar lagi para suami di kampungnya akan mengejar-ngejar lagi pada dirinya. (Dianing Widya Yudhistira, 278 dan 279:3) 54. Tiga bulan kemudian, Saraswati menikah dengan Royali, pemilik mobil angkutan kota. Sama dengan Warno, ia juga duda belum punya anak. Sesuatu yang mencengangkan terjadi. Baru sehari Royali menikahi Saraswati mobilnya terbalik di jalan raya jalur pantura. Royali meninggal seketika, mobilnya hancur. Saraswati bersumpah tak akan lagi mau menikah mesti orang-orang kampung mendesaknya. (Dianing Widya Yudhistira, 280:1) 55. Maka menikahlah Saraswati untuk yang keempat kalinya. Kali ini dengan seorang lajang bernama Sumito. Orang-orang kampung terkaget-kaget lagi. Baru tiga hari usia perkawinan Saraswati, toko Sumito habis terbakar. Mayat Sumito ditemukan ditempat di dekat pintu belakang tokonya. (Dianing Widya Yudhistira, 280:2) 3.1.5 Konflik Batin karena Orang-orang Kampung Saraswati mengalami konflik batin karena tuntutan dari orang disekelilingnya. Wastini yang selalu iri dengan apa yang dimiliki Saraswati, Wati teman sekelasnya yang tiada henti mengganggunya, dan beberapa orang disekelilingnya yang dapat mengganggu pikirannya. Ditambah semenjak dirinya menjadi penari sintren ia memiliki pesona yang luar biasa. Karena itu, para suami tergila-gila dengan kecantikan yang ia miliki. Dari lelaki yang beristeri sampai lelaki lajang berlomba-lombang untuk mendapatkan hatinya Saraswati. Semenjak itu, para isteri menuntut Saraswati agar segera memiliki pendamping. Namun, tidak berhenti sampai disitu para isteri juga mengucilkan Saraswati sebagai perempuan pembawa sial dengan beberapa kejadian yang dianggap penybabnya adalah Saraswati di kampungnya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 56. Sial juga Saraswati hari ini. Ia harus berdekatan dengan Wati, temannya yang selalu tak lelah-lelahnya mengganggunya. Padahal sedikitpun dirinya tak pernah mengganggunya. Wati seperti mengidap penyakit parah yang bernama “mengganggu Saraswati”. Agar Wati terbebas dari penyakitnya itu, sepertinya Wati harus mengusili dirinya. Wati pun makin senang kalau Saraswati menanggapinya. (Dianing Widya Yudhistira, 133:2) 57. Saraswati menanyakan kedatangannya Legiman apa tujuannya datang ke rumahnya. Ia tambah terkejut ketika Legiman mengatakan hanya ingin bertemu dengannya saja.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
Saraswati lebih terkejut lagi ketika Legiman mengaku kangen pada dirinya. Saraswati pun bingung harus berkata apa. Saraswati bingung setengah mati. Baru kali ini ia mendengar pengakuan dari seorang laki-laki, yang sangat mendambakannya. Semua orang tahu Legiman sudah bertunangan dan dalam waktu dekat akan menikah dengan Kartika, ibu gurunya juga. (Dianing Widya Yudhistira, 220:1) 58. Saraswati tak kalah terkejutnya mendengar penuturan bapaknya kalau Legiman melamarnya. (Dianing Widya Yudhistira, 224:1) 59. Dari jendela sekolah Saraswati bisa melihat Legiman yang sedang dihalau. Saraswati tak tega melihat gurunya dihalau seperti itu. Ia tak habis pikir mengapa Legiman jadi seperti sekarang ini, seperti orang gila. (Dianing Widya Yudhistira, 232:2) 60. Teriakan-teriakan Legiman membuat orang-orang yang tahu atau kenal Saraswati jadi geleng-geleng kepala. Rupanya kecantikan dan pesona Saraswati yang elok jelita itu menjadi buah bibir diberbagai kampung. Kegilaannya Legiman disangkut pautkan dengan Saraswati. Maka, Saraswati harus bertanggung jawab agar dapat menyembuhkan Legiman tuntutan orang kampung. (Dianing Widya Yudhistira, 233:1) 61. Saraswati masih memakai seragam sekolah. Ia duduk sendiri di teras rumah. Wajahnya menyimpan kebingungan. Ia tak mengerti mengapa Kartika harus mengakhiri hidupnya dengan seperti tiu. Ia tak mengerti mengapa juga emaknya menyalahkannya. (Dianing Widya Yudhistira, 241:4) 62. Saraswati memandang kepergiannya Wati dan Dadung itu dengan menghela napas sedih. Ia hampir tidak percaya dengan yang ia lihat. Orang-orang kampung benar-benar telah mengusir Dadung dari rumahnya sendiri. (Dianing Widya Yudhistira, 259:5) 63. Hari itu ia ingat Dadung. Mestinya Saraswati memaafkan Dadung, tetapi ia tak berdaya. Memaafkan Dadung berarti mau diganggu Dadung setiap saat. (Dianing Widya Yudhistira, 260:1) 64. Saraswati menaburkan mawar terakhir di atas gundukan tanah yang masih basah. Hari itu hari mengerikan baginya. Ia sudah menduga, orang-orang kampung akan menggunjingkannya sebagai perempuan pembawa sial. (Dianing Widya Yudhistira, 274:1) 65. Sejak Dharma meninggal, Saraswati juga hanya mau menemui emak da bapaknya. Orang-orang kampung pun penasaran, mereka ingin melihat Saraswati yang lama tak mau keluar rumah. (Dianing Widya Yudhistira, 275:2)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
66. Bagaimana kata orang lagi kalau Saraswati cepat menikah lagi. Emak ternyata masih juga mendesak Saraswati untuk menerima salah satu dari mereka. Tetapi Saraswati bersikukuh tidak akan menikah lagi. (Dianing Widya Yudhistira, 277:2) 67. Untuk kedua kalinya Saraswati memakamkan suaminya. Ia tampak tenang, tetapi wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa dukanya, karena sebentar lagi para suami di kampungnya akan tergila-gila lagi pada dirinya. Mereka akan hanya terbengongbengong sepanjang hari. (Dianing Widya Yudhistira, 279:1) 3.1.6 Konflik Batin Karena Kesepian dan Kesendiriannya Saraswati mengalami konflik batin yang mendalam, satu-satu orang di sekelilingnya yang ia sayang dan cintai meninggalkannya. Karena itu ia memiliki luka yang mendalam, kesendirian membawanya terlarut dalam kesedihan sepanjang waktunya. Kutipan di bawah ini menunjukkan indikasi tersebut. 68. “Aku ingin menjadi perempuan biasa saja.” “Aku takut itu akan menyakitkanku. Aku ingin hidup tenang saja.” Ungkapan dalam batin Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 168:2) 69. Dalam kesendirian dan kesedihannya itu anak-anak kecil temannya menghampirinya lalu menuntunnya menuju rumah pemberian Dharma. (Dianing Widya Yudhistira, 274:2) 70. Hari-hari Saraswati terasa sepi dn lama. Sepi. Orang-orang kampung telah menjauhinya. Tak ada yang mau menyapanya lagi. Para perempuan menghindar begitu akan ketemu dengan dirinya. Siapapun akan lari masuk ke dalam rumah kalau Saraswati terlihat di jalanan. Kecuali mereka para laki-laki. Para lelaki masih saja memandang Saraswati seperti memandang bidadari. Saraswati sedih melihat sedikitnya orang yang datang melayat. Apakah akan sesepi ini kelak kalau dirinya mati? Larasati menghibur Saraswati, tak perlu perasaannya terlalu dibawa sedih. (Dianing Widya Yudhistira, 288:1) 71. Kehilangan mbah Mo seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya. Saraswati mulai mengurung diri di rumah besar peninggalan Dharma. Selang bebarapa hari Saraswati disentakkan lagi dengan kabar Larasati yang menyusul kematian mbah Mo. “Ya tuhan…” dalam hati Saraswati. (Dianing Widya Yudhistira, 289:1) 72. “Ah, mengapa begitu cepat mereka pergi,” batin Saraswati. Mereka pergi di saat Saraswati ditimpa berbagai musibah, berturut-turut ditinggal mati suaminya, dan sekarang ditinggal mbah Mo dan Larasati. (Dianing Widya Yudhistira, 289:2)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
73. Saraswati kian larut dalam kesedihannya. Setiap malam ia ditemani aak-anak kecil, mengadakan sintren di rumahnya. Saraswati menar dan terus menari sepanjang malam. Ia juga tak melupakan ritual yang diajarkan mbah Mo dan Larasati., ketika sebelum masuk pertunjukan dengan berbusana sintren lengkap, ia berendam di air bunga tujuh rupa lalu menelangkupkan kedua tangannya di depan dadanya, dan memejamkan mata seperti bersemedi di bawah siraman purnama. Setiap tanggal lima belas bulan Jawa, ritual itu dilakukannya, hingga kecantikannya terus terjaga. (Dianing Widya Yudhistira, 289:3) 74. Sayangnya kecantikannya membawa malapetaka bagi dirinya sendiri. Banyak lelaki jatuh cinta padanya, tetapi kemudian patah hati, merekapun malas kerja. Siapa pun yang menikahinya segera akan mati. (Dianing Widya Yudhistira, 289:4) Konflik ini merupakan bagian akhir dari cerita ini. Penyelesaikan konflik ini diserahkan kepada pembaca untuk menginterpretasikannya sendiri apakah Saraswati mampu mengatasinya atau tidak. Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu garis besar bahwa konflik yang terjadi Dorongan id Saraswati menghendaki untuk segera dilaksanakan sehingga menimbulkan perasaan senang pada diri Saraswati yang terjadi karena adanya dua dorongan yang saling bertentangan. Super ego sebagai pengontrol yang berupa norma-norma masyarakat. Ego yang bertugas sebagai penyeimbang antara dua dorongan yang bertentangan tidak dapat menjaga keseimbangan antara dua dorongan tersebut. Disinilah konflik-konflik batin terjadi pada diri Saraswati. Dorongan super ego lebih mendominasi dalam penyelesaian konflik batin pada Saraswati. 3.2. Akibat Psikis Konflik-konflik Batin pada Diri Saraswati Bila kepribadian seseorang kurang sanggup atau gagal menjalankan tugasnya maka terjadilah gangguan kesehatan jiwa. Gangguan perasaan yang disebabkan oleh karena terganggunya kesehatan jiwa adalah rasa cemas (gelisah), sedih, merasa rendah diri, ragu (bimbang), dan sebagainya. Gangguan kesedihan jiwa yang berat adalah penyakit jiwa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
Gangguan jiwa yang sering adalah gangguan jiwa ringan atau neurotik dan gangguan yang berat atau psikosis. Berkaitan dengan novel Sintren tersebut gangguan jiwa yang dialami oleh tokoh Saraswati adalah gangguan jiwa ringan atau neurotik. Keinginan Saraswati untuk mempertahankan suara hatinya diceritakan kepada bapaknya. Saraswati menginginkan dapat terus sekolah sampai mencapai perguruan tinggi dan mencapai cita-citanya menjadi seorang guru. Diwakili norma menolak tegas kemiskinan yang membelenggu hatinya, kehidupan kedua orang tuanya yang serba pas-pasan menjadikannya kalah dengan batinnya. Dorongan id Saraswati tidak rela menerima kenyataan, kemiskinan yang menjadikannya dituntut untuk berhenti sekolah dan mencari calon suami yang kaya. Kenyataan yang seperti itu membuat Saraswati selalu membayangkan dirinya setelah lulus sekolah dasar harus nikah muda dan kelak menggendong anak. Ia juga seorang perempuan yang serba salah dan harus selalu mengikuti kehendak orang tua dan sekolah yang dibatasi. Dengan begitu Saraswati tidak ada kesempatan untuk belajar dan mewujudkan cita-citanya menjadi guru. Dalam pikirannya Saras selalu menginginkan kebebasan menjadi anak yang ingin bermain, sekolah, dan tumbuh sewajarnya seperti gadis seusia dan teman-temannya yang lain, ini adalah dorongan ego Saraswati. Dorongan super ego terkadang Saraswati merasa tuhan membeda-bedakan hidupnya dengan temannya yang lain, yang lebih beruntung. Ia selalu merasa tuhan tidak pernah adil padanya, kenapa ia dilahirkan dari rahim seorang perempuan miskin. Malangnya menjadi orang miskin dimana-mana selalu disalahkan, peluang baik hanya berlaku bagi orang-orang yang mempunyai uang itu yang selalu menghantui pikiran Saraswati. Maka dengan id ia hanya ingin menjadi orang yang punya banyak uang agar orang lain menghargai dan menghormati dirinya dengan keluarganya. Menjadi penari sintren itu sebagai dorongan ego agar dapat terus melanjutkan sekolahnya dan tidak terpuruk terhadap ketidak adilan tuhan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
Sinur sebagai cinta pertamanya itu dorongan super ego yang mewakili hati nuraninya. Namun, ia harus melepaskan Sinur karena Saraswati sadar dirinya sebagai penari sintren tidak dapat bersama dengan orang yang ia sangat cintainya itu atau harus rela kehilangan Sinur selamanya, maka ia merelakan untuk memendam perasaan cintanya di hati sebagai id. Ia pun demi melupakan Sinur, Saraswati semkin rajin tampil menari sintren diberbagai daerah sebagai tindakan ego nya Saraswati. Semenjak Saraswati menjadi penari sintren para suami tergila-gila dengan pesona dan kecantikannya. Para suami dalam tidurnya selalu memanggil-manggil nama Saraswati. Karena kegeresahan para isteri di kampung, memutuskan bersama-sama untuk mendatangi rumah Surti untuk meminta anaknya agar segera menikah. Lamaran Dharma diterima atas paksaan emak dan para isteri, syaratnya lulus SMEA baru akan menikahinya sebagai dorongan super ego. Saraswati memenuhi janjinya setelah lulus sekolah ia menikah dengan Dharma seorang duda tua yang kaya raya tindakan id nya Saraswati, untuk memenuhi keinginan orang tua dan para isteri di kampungnya. Namun, ego suami yang pertama Saraswati meninggal karena kecelakaan saat melaut di hari kedua pernikahan mereka. Empat puluh hari semudian para isteri memaksa Saraswati kemabali agar menikah lagi, super ego Saraswati menerima tawarannya para isteri menikah kedua kalinya degan Warno seorang duda belum memiliki anak. Id untuk kedua kalinya rumah tangga Saraswati gagal dengan dikabarkan suaminya meninggal karena terjatuh dari poho kelapa di kebunnya. Ego Saraswati tidak akan menikah lagi walau para isteri akan dipaksanya. Setelah beberapa bulan kejadian yang sama para suami kembali mengejar-ngejar Saraswati, maka untuk ketiga kalinya Saraswati mengikuti saran para isteri. Super ego ia menikah dengan Royali seorang duda belum memiliki anak. Suami yang ketiga Saraswati pun meninggal juga dihari kedua pernikahannya akibat kecelakaan angkutan kota miliknya terbalik di jalan raya pantura. Keputusan itu penuh duka bagi diri Saraswati, id Saraswati menerima sikap para isteri yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
menilainya sebagai perempuan pembawa sial. Ego hanya ingin menemui emak dan bapaknya saja. Lagi-lagi, para isteri di kampungnya memaksa Saraswati menikah yang keempat kalinya super ego Saraswati menerima dan menikah dengan Sumito seorang lelaki lajang. Dan kembali terjadi suami keempat Saraswati meninggal juga kesembilan hari usia pernikahannya. Id Saraswati pasrah dengan keadaan yang menimpa dirinya, musibah yang tidak wajar menimpa keempat suaminya yang belum lama menikahinya. Dengan begitu ego Saraswati hanya menyendiri di rumah warisan dari Dharma suami pertamanya Saraswati. Wati teman sekelasnya memiliki sikap jahat padanya, ia selalu iri pada apa yang dimiliki Saraswati. Super ego kalau bukan untuk biaya sekolah, Saraswati tidak ingin menerima pekerjaan menjadi penari sintren. Id Saraswati berpikir bahwa kenyataan mengharuskan seseorang melakukan sesuatu. Ego membalas dengan tindakan sesuai dengan yang Wati berikan selama ini kepadanya. Ketenaran Saraswati menjadikan Wastini menjadi geram dan panas yang membuatnya berniat mencelakainya. Wastini mendatangi dukun sakti untuk mencelakai Saraswati. Namun, super ego Saraswati sudah mengetahui tujuan Wastini terhadapnya. Id Saraswati yang memiliki jimat sintren menjadikan Wastini lumpuh. Wastini sebelumnya sudah diperingatkan agar berhati-hati oleh dukun karena orang yang ditujunya bukan orang sembarangan, namun ia tidak peduli justru berusaha untuk mencari dukun lain yang bersedia membantunya. Kelumpuhan Wastini yang secara tiba-tiba membuat heboh orang kampung. Diran memohon kepada Saraswati agar menyembuhkan isterinya dengan membawa Wastini ke rumah Saraswati. Ia mengobati Wastini dengan disaksikan warga yang penasaran ingin melihatnya, itu sebagai dorongan ego. Saras meminta persyaratan bahwa setelah sembuh jangan lagi mencoba mengusik dan mengganggu kehidupannya. Maka dengan kelebihannya keesokan paginya Wastini kembali sehat dan normal seperti sebelumnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
Baru satu minggu di kampung Saraswati tinggal, warga masih berduka atas kejadiankejadian aneh yang menimpanya. Kini warga dikejutkan lagi dengan kabar Kirman anak Juragan Wargo meninggal di kali keramat dengan tidak wajar. Deretan kejadian aneh di kampung, orang-orang menuduh Saraswati sebagai penyebabnya. Kejadian gilanya Legiman setelah ditolak cintanya oleh Saraswati, Kartika bunuh diri karena tunangannya menjadi gila menjadikannya putus asa, Kirman meninggal dengan tidak wajar terhanyut di sungai karena kecewa cintanya ditolak oleh Saraswati, dan meninggalnya keempat suami Saraswati. Super ego Saraswati mencoba menerima segala musibah yang terjadi tertuduhkan pada dirinya. Id beberapa kejadian yang menimpa di kampungnya, membuat Saraswati menjadi tersudut dan tertuduh oleh warga bahwa dirinya sebagai penyebabnya. Ego Saraswati berpikir ini adalah karma dalam kehidupan sintren, terlalu besar resikonya menjadi seorang sintren. Walau super ego Saraswati tidak mengetahui sebenarnya yang menimpa dirinya atas kejadian yang tidak wajar. Dorongan id tetapi ia sadar dengan segala resiko yang harus diterimanya, bahwa siapapun orang yang hadir di dalam kehidupannya tidak akan bisa selamat dari celaka sebagai karma menjadi seorang sintren. Ego Saraswati tidak tahu apakah ia harus menyesali atau tidak atas kejadian yang telah menimpanya, sebab ketika ia menari sintren sangat menikmati dan merasa tidak pernah merugikan orang lain. Satu sisi ia harus terus menjadi sintren agar dapat mencapai yang ia cita-citakan. Namun, satu sisi pertimbangan hidupnya dengan banyak resiko. Hari-hari Saraswati terasa sepi super ego nurani Saraswati. Orang-orang kampung mulai menjauhinya, para isteri menghindar begitu akan bertemu di jalan dengannya, hanya para lelaki masih selalu terus melihat Saraswati tanpa berkedip. Super ego Saraswati suatu hari mendapat kabar yang membuat semakin sepi, mbah Mo meninggal karena usianya yang sudah tua. Id dalam diri Saraswati membuatnya sedih karena tidak ada satupun perempuan yang datang untuk mengucapkan belasungkawa, hanya beberapa laki-laki yang terlibat di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
sintren datang untuk melayat. Dalam hatinya apakah akan sesepi ini kelak kalau dirinya meninggal? Ego Saraswati mulai menyendiri, mengurung diri di rumah besar peninggalan Dharma. Suatu hari Saraswati dikabarkan Larasati meninggal menyusul Mbah Mo pergi untuk selamanya. Mengapa begitu cepat mereka pergi, batin sedih Saraswati sebagai dorongan super ego nya. Mereka pergi di saat Saraswati ditimpa berbagai musibah yang berturut-turut suaminya meninggal di usia pernikahannya yang masih beberapa hari, ini adalah id. Saraswati mulai menunjukkan ego, ia semakin larut dalam kesedihan. Hidupnya hanya ditemani anak-anak kecil yang selalu setia di sampingnya. Kecantikan itu membawa malapetakan bagi dirinya sendiri. Banyak lelaki yang jatuh cinta, tetapi kemudian patah hati, dan lelaki manapun yang menikahinya akan segera meninggal. Orang-orang berkumpul merencanakan untuk mengusir Saraswati dari kampungnya. Bersamaan dengan keresahan yang melanda kampung, Sinur pulang. Warga segera melemparkan obor di tangannya ke arah rumah Saraswati. Aneh, sebelum obor sampai ke rumah sudah padam terlebih duhulu. Sinur masuk ke dalam rumah memanggil-manggil Saraswati, memberanikan dirinya masuk ke sebuah ruang kecil, Saraswati berbaring dengan kedua tangannya di atas pusat perut ini adalah ego. Semenjak meninggalnya Saraswati, tidak ada lagi pertunjukan sintren di kota Batang. Deskripsi konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira, seperti yang dijelaskan di atas pengarang menggambarkan semakin tambah usia semakin besar konflik batin yang dialami tokoh Saraswati. Seperti yang diceritakan konflik batin latar belakang orang tua yang miskin, konfik batin terhadap tuhan, konflik batin karena cintanya hanya bisa di pendam dalam hati, konflik batin karena adanya pernikahan paksa, konflik batin dengan orang kampung, dan konflik batin merasa sepi karena sendiri semenjak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
ditenggalkan oleh orang-orang yang ia cintai, ini menjadi puncak konflik batin bagi tokoh Saraswati.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis pada bab II dan bab III maka penulis menarik kesimpulan bahwa mendeskripsikan struktur novel Sintren dengan pendekatan Psikologi Sastra, karya Dianing Widya Yudhistira, menjelaskan seorang penari sintren yang tinggal di daerah pelosok dari kota Batang. Dalam Bab II penulis mendeskripsikan struktur novel Sintren yang berisi pengantar, alur, tokoh dan penokohan, latar, dan tema. Pengantar berisi menjelaskan pentingnya struktur sebuah novel. Novel sintren beralur maju, dari tahap awal, tengah, sampai akhir dengan menggunakan alur maju. Tokoh dan penokohan menjelaskan watak dan karakter dari masingmasing tokoh. Latar, pengarang menggambarkan latarnya di sebuah daerah pelosok di kota Batang dengan suasana pedesaan yang masyarakatnya masih awam dari segi pendidikan dan pemikirannya. Tentang tema, pengarang memaparkan latar belakang dan semua yang mengenai kehidupan seorang penari sintren yang diperankan oleh tokoh Saraswati. Dalam bab III, penulis mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira yang berisi konflik batin karena kemiskinan orang tuanya, konflik batin terhadap tuhan, konflik batin karena cintanya yang hanya dipendalm dalam hati Saraswati, konflik batin karena orang-orang kampung, dan konflik batin karena merasa sendiri menjadi kesepian. Penulis mendeskripsikan konflik batin karena kemiskinan orang tuanya. Saraswati terlahir dari kedua orang tua yang miskin dengan kehidupan pas-pasan, sedangkan besar harapannya agar dapat sekolah dan mencapai cita-citanya menjadi seorang guru. Konflik
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
terhadap tuhan, Saraswati merasa tuhan selalu membedakan nasibnya dengan gadis seusianya yang dapat bebas bermain dan sekolah. Namun, Saraswati harus mencari uang untuk membiayai sekolahnya sendiri, dilihat dari teman-temannya yang lebih beruntung. Konflik karena cintanya harus dipendam dalam hati, karena semenjak menjadi sintren Saraswati sadar tidak dapat memiliki Sinur. Lelaki yang ia cintai tidak dapat bersamanya karena karma seorang sintren beresiko, atau akan kehilangan orang yang ia cintai untuk selamanya. Konflik batin Saraswati karena pernikahan paksa oleh orang tua dan para isteri di kampungnya. Perjodohan yang dilakukan oleh emaknya, menikahkannya dengan Kirman anak pewaris tunggal juragan kaya di kampungnya, kemudian pernikahannya gagal dengan Kirman. Saraswati setelah lulus SMEA dipaksa menikah dengan seorang duda kaya, dan meninggal dunia dihari kedua usia pernikahannya. Dan, kejadian yang sama dipernikahan kedua, ketiga, dan keempat Saraswati para suaminya meninggal dengan teragis. Konflik batin karena orang-orang kampung, tahap ini menceritakan konflik batinnya Saraswati terhadap kejahatan Wati yang selalu usil karena iri kepadanya, perbuatan Wastini yang tidak menyukai pada apa yang dimiliki Saraswati, dan para isteri yang suaminya pada tergila-gila dengan kecantikannya. Tahap akhir konflik batin Saraswati karena sendiri menjadikannya kesepian. Saraswati ditinggalkan satu-satu oleh orang-orang yang ia sayangi. Pindahnya Sinur yang melanjutkan sekolah ke Solo, gilanya Legiman, bunuh dirinya Kartika, meninggalnya Kirman, disusul secara berturut-turut keempat suaminya, berikutnya mbah Mo, lalu Larasati, dan orang-orang kampung pada menjauhinya. Maka, ia mengurung diri karena itu Saraswati merasa kesepian. Kesepian semakin terasa dalam batin Saraswati, ia harus menolak cinta dari lelaki idamannya, setelah kembalinya Sinur dari Solo. Sinur harus melanjutkan kehidupannya karena Saraswati sadar tidak dapat memilikinya, atau bila diterima maka ia akan kehilangan orang yang sangat dicintai untuk selamanya akibat jimat seorang sintren yang akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
membunuh lelaki mana pun yang hidup bersamanya. Diakhir hayatnya Saraswati sendiri tanpa pendamping hidup, tanpa seseorang yang ia cintai, tanpa kebahagiaan kecuali kesepian dan kesedihan dalam waktunya. 4.2. Saran Penulis menyarankan, para pengarang yang berminat mengangkat tema konflik batin tokoh dalam karya mereka hurus memahami dengan benar dan secara mendalam terlebih dahulu watak tokoh dan konflik secara menyeluruh dalam karya. Jika tidak, pengarang akan mengalami kesulitan dan hasilnya tidak maksimal. Sebuah karya sastra memiliki titik kelemahan masing-masing, maka bagi penulis diharapkan lebih teliti dan kritis dalam mengambil topik untuk penelitian karya ilmiah. Dalam novel Sintren memiliki kekurangan yang tidak menjelaskan kemana kedua orang tua tokoh Saraswati dibagian akhir cerita. Pembaca sastra Indonesia juga harus menggunakan daya kritis mereka dalam menghadapi karya-karya yang tidak menyelesaikan alur cerita dari tokohnya. Oleh karena itu, sebaiknya pembaca karya sastra mengenali lebih dulu isi sebuah karya tersebut untuk menghindari kesulitan bagi para pengarang ketika mulai pembahasan dari topik yang sudah ditentukan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Buku Atkinson. 1996. Psikologi dan Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endaswara. 2003. Karya Sastra dan Psikologi. Yogyakarta: PT Andi Yogyakarta. Fananie, Zainuddin. 2002. Perspektif Idiologi dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Hendy, Zaidan. 1989. Pelajaran Sastra Program Studi Pengetahuan Budaya 1. Jakarta: PT Gramedia. Ika Sugiarti. 2008. Skripsi. Analisis Struktur Genetik dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Koswara. 1991. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditana. Luxemburg. 2002. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: PT Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Nurgiantoro, Burhan. 2000. Hubungan Bahasa, Pemikiran, dan Psikologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ________________. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakrta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Semi, Atar. 1988. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Gramedia. __________. 1998. Kritik Sastra. Bandung: PT Angkasa. Singgih. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Lampung: PT Yayasan Bandar Lampung. Teeuw. 2010. Pokok dan Tokoh dalam Kasusastraan Indonesia Baru. PT Yayasan sagang, Pekan Baru. Walgito, Bimo. 1980. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Yogyakarta.
90
PT Andi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
Wellek dan Werren. 1990. Teori Kasusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Yudhistira, Dianing Widya. 2007. Sintren. Jakarta: PT Grasindo. Sumber Online Jabrohim. 2003. Dalam Blog. Ronggeng Hukuh Paruh dan Sintren: http://qyu.blogspot.com/2007/04/sintren.html. Diunggah pada tanggal 2 Mei 2012. Sumber Lain Adji, Peni. 2007. Dalam Mata Kuliah Drama. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TENTANG PENULIS Tika Agustina lahir di Semarang, pada tanggal 14 Agustus 1988. Semenjak SD sampai lulus SMU bersekolah di Indramayu. Pada saat Sekolah Dasar, Tika bersekolah di Negeri Pasir Jati, Indramayu, pada tahun 1996-2001. Tika melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Lelea, Indramayu, pada tahun 2001-2003. Selama di SMP Tika mengikuti ekstrakulikuler Pecinta Alam dan PMR (Palang Merah Remaja) selama 2 tahun, dari kelas 2 sampai lulus kelas 3 SMP. Lulus dari Sekolah Menengah Pertama Tika melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU PGRI 2 Sindang, Indramayu, pada tahun 2003-2006. Lulus SMU penulis sempat menganggur selama 6 bulan, pada tahun 2006 mendaftar di beberapa Universitas Negeri dan Swasta di Jakarta, namun tidak lolos melalui jalur SPMB. Saat ini, penulis masih tercatat sebagai mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma sambil menyelesaikan tugas akhir.
92