PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA (Suatu Tinjuan Sosiopragmatik) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh: Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya 101224017
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak pernah menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)
“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.” (Thomas Alva Edison)
“Kecerdasan bukan penentu kesuksesan, tetapi usaha, semangat, dan kerja keras merupakan penentu kesuksesanmu yang sebenarnya.” (Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya)
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Untuk Tuhanku Yesus Kristus Yang telah memberikan rahmat, berkat, dan karunia-Nya untuk mewujudkan doadoa serta harapanku untuk mencapai keberhasilan ini.
“Thank My Lord Jesus” Untuk Kedua Orang Tuaku Tercinta Aloysius Teddy Harmeidjaya dan Maria Magdalena Massa Mieke Yang dengan sabar dan tulus memberikan doa-doa, motivasi, dukungan, dan semangat agar puncak keberhasilan dapat kuraih dengan sempurna.
“Thankful for My Beloved Family” Untuk Kakakku Tersayang Aloysia Dian Andriana Martiani Lova Yang senantiasa memberikan motivasi, petuah, dan doa untuk keberhasilanku baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
“Thank You My Lovely Sister” Untuk Sahabat Terbaikku Fransiska Isti Ningsih Puji Rahayu Yang selalu setia menemani di saat kuliah, menari, jalan-jalan, dan mengerjakan skripsi hingga saat ini aku mulai membuka pintu gerbang keberhasilanku. Suka duka telah kita alami bersama. Kebersamaan dalam persahabatan inilah yang turut memacu semangatku untuk segera meraih gelar S.Pd.
“Thank You My Best Friend”
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogykarta dan (2) tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif sesuai dengan data penelitian dan tujuannya. Data penelitian ini adalah data tuturan langsung penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan Februari-April 2014 dan tujuannya adalah mendeskripsikan fenomena tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi partisipatif dan metode simak-catat. Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitiannya ini merujuk pada kajian analisis deskriptif yang dijabarkan ke dalam empat tahapan, yaitu tahap klasifikasi, tahap identifikasi, tahap interpretasi, dan yang terakhir adalah tahap deskripsi. Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan berbahasa penjual/pedagang di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kedua, tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Hal tersebut dapat dilihat melalui tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh Geoffrey Leech (1983) sebagai acuan alat ukur tingkat kesantunan berbahasa tersebut, yaitu: (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tidak hanya itu, tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini juga dianalisis dengan lima aspek lainnya, yakni: (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) pemakaian diksi: penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai, dan (5) pemakaian gaya bahasa: kejujuran, sopan santun, dan menarik. Ternyata berdasarkan hasil analisis telah dibuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Ada banyak anggapan orang yang mengatakan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan berbahasa pembeli, berdasarkan hasil analisisnya dapat diluruskan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pembelilah yang lebih rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual. Kata kunci: pragmatik, sosiopragmatik, kesantunan, diksi, gaya bahasa, sapaan, alih kode, dan campur kode.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. The Speech Politeness Level of “Perko” Sellers at Malioboro Sidewalk, Yogyakarta (A Sociopragmatic Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. This research describes the speech politeness level of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is divided into two criteria, those are (1) the sellers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta, and (2) the buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. This research is a qualitative research regarding the research data and the research objectives. This research data is the sellers‟ and buyers‟ direct speech data at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is taken in February-April 2014 and the objective of this research is to describe the speech politeness phenomenon of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta. The gathering data methods of this research are observation participative method and listen-write method. Data analysis technique of this research to become reconciled with descriptive analysis study which is analyzed into four steps, those are classification step, identification step, interpretation step, and the last is description step. Based on the problem formulation that has been decided before, there are two results of this research. First, the sellers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Second, the buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Those results are based on the three speech politeness levels stated by Leech (1983) as the speech politeness scale, they are: (1) loss and profit scale, (2) code-switching, (3) code-mixing, (4) diction using: the appropriate using and find the right one, (5) language style using: the honesty, politeness and interesting. Based on the research, it proves that most of the sellers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is polite enough and most of the buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is impolite. There are a lot of people‟s opinion that the sellers‟ speech politeness level is lower than the buyers‟ speech politeness level, but based on the analysis result of the research can be concluded that the buyers‟ speech politeness level is lower than the sellers‟ speech politeness level. Keywords: pragmatic, socio-pragmatic, politeness, diction, language style, greeting, code-switching, and code-mixing.
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang
“Perko”
Trotoar
Malioboro
Yogyakarta
(Suatu
Tinjauan
Sosiopragmatik) dengan baik dan lancar. Tugas akhir dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu dan meraih gelar sarjana pendidikan sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar berkat bantuan, doa, dukungan, dan kerjasama dengan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih berlimpah kepada: 1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah setia mendampingi dan mendukung penulis secara akademis selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat dengan giat dan semangat menyelesaikan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan setia, pengertian, dan penuh kesabaran telah membimbing, memotivasi, berdiskusi, mengarahkan, dan memberikan banyak masukan yang sangat berharga bagi penulis mulai dari awal proses hingga akhir penulisan skripsi ini selesai.
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang juga dengan setia memberikan doa, dukungan, semangat, pengertian, penuh dengan kesabaran, dan ketelitian telah membimbing, memotivasi, mengarahkan, dan memberikan masukan yang berharga kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat dikerjakan dengan baik. 6. Dr. B. Widharyanto, M.Pd. selaku triangulator yang bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) yang telah mendidik, mengarahkan, dan menuntun penulis selama masa studi dan berproses bersama dalam usaha mendalami berbagai ilmu kependidikan dan kebahasaan, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai bekal dan harta yang sangat berharga bagi penulis untuk terjun ke dunia pendidikan yang sesungguhnya sebagai guru dan pendidik sejati. 8. Robertus Marsidiq, selaku karyawan Sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang dengan tekun dan sabar memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi dan urusan penyelesaian skripsi ini. 9. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., selaku Kepala Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan segenap staf perpustakaan Universitas
Sanata
Dharma
Yogyakarta
yang telah
memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk mengerjakan tugas akhir ini di ruang perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 10. Reinardus Aldo Agassi, S.Pd., yang senantiasa mendampingi, menemani, memberikan pengarahan, memberikan doa, dukungan, bantuan, dan semangat kepada penulis mulai dari awal masuk perkuliahan di Universitas
Sanata
Dharma
Yogyakarta
hingga
penulis
dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar. 11. Vhrizca Magha Reginna, Brigitta Swaselia Kasita, Yosevin Winda Christiana, Christian Adven Saputra, Ignatius Aji Pamungkas, Cosmas Krisna, Hendrianus Ndori, Septian Aji Purnomo, dan Stefanus Edo yang selalu menemani, memberikan dukungan, doa, dan semangat membara
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kepada penulis sehingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik dan benar. 12. Teman-teman dari GRISADHA (Group Tari Sanata Dharma) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, khususnya Agus Susanto, Aprilia Witta, Dwi. D. Mayasari, Dessiana Adityawati, Diana, Meilani, Tirza, Yessi, Galuh, Shella, Dina, Ocha, Carolina Aci, Dhesy Novitasari, Marcelina Felix, Regia Putriyani Setiabudi, Tiara Pawestri, dan semuanya yang selalu memberikan semangat, doa, dan dukungan penuh kepada penulis untuk dapat terus maju menuju pintu gerbang kesuksesan dan meraih gelar S.Pd. 13. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) Angkatan 2009, khususnya Bambang Sumarwanto, Ade Henta, Agatha Wahyu Wigati, Clara Dika, Elizabet Ratih Handayani, Asteria Ekaristi, Jati Kurniawan, Dedy Setyo Herutomo, Martha Ria Hanesti, Nuridang Fitranagara, Satrio Nugroho, Yuli Astuti, Yustina Cantika Advensia, Yudha Hening Pinandhito, dan semuanya yang senantiasa memberikan pengarahan, bimbingan, dukungan, dan semangat kepada penulis mulai dari awal pembuatan tugas akhir ini hingga tugas akhir ini selesai. 14. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa sastra Indonesia (PBSI) Angkatan 2010, khususnya Andreas Dwi, Anita Sugiyatno, Anne Septi, Brigita Familia, Caecilia Dhani Anjar Reni, Chatarina Susanti Ready, Cicilia Ingga, Krissantus Roparman, Dwi Kristanto Saputro, Fitri Apri Susilo, Restituta Devi Pramesti, Gusti Dinda Damarsasi, Maria Tri Wijayanti, Maulida Reswari, Mega Yoshinta, I Putu Ariyana, Rengganis Retno Saputri, Resti Wulandari, Maria Sorenada, Sebastianus Seno Kurniawan, Agustina Marshella, Wilvridus Yolesa, dan semuanya yang setia menemani penulis dalam suka dan duka; tangis dan tawa; sukses dan gagal selama proses belajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Kebersamaan dan persaudaraan membuat kita mampu melewati segala batas-batas dan sekat-sekat perbedaan demi tujuan yang mulia yakni menjadi guru bahasa Indonesia yang sejati.
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penulis menyadari bahwa ada banyak pihak lainnya yang dengan berbagai cara telah membantu dan mendukung penulis dalam keseluruhan proses pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada berbagai pihak tersebut yang namanya tidak sempat disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala bentuk kritik, saran, dan sumbangan ide yang membangun kiranya dapat disampaikan kepada penulis demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat menjadi inspirasi
bagi
peminat
studi
kebahasaan,
khusunya
ilmu
pragmatik,
sosiolinguistik, dan sosiopragmatik untuk penelitian lebih lanjut.
Yogyakarta, 28 Oktober 2014 Penulis
Fransisca Dike Desintya DS
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii MOTTO ......................................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................ vii ABSTRAK ..................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv DAFTAR TABEL ......................................................................................... xviii DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5 1.5 Batasan Istilah ........................................................................................... 7 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 9 1.7 Sistematika Penelitian ............................................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 11 2.1 Penelitian yang Relevan ............................................................................ 11 2.2 Kajian Teori .............................................................................................. 13 2.2.1 Sosiolinguistik ................................................................................. 13 2.2.1.1 Sapaan ................................................................................. 15 xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.2.1.2 Alih Kode ........................................................................... 17 2.2.1.3 Campur Kode ...................................................................... 19 2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa .......................................................... 20 2.2.2.1 Pragmatik ............................................................................ 20 2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan .............................................. 25 2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan ................................ 29 2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan ........................................... 35 2.2.2.2 Pandangan Sosial ................................................................ 38 2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun ............................................. 42 2.2.2.4 Maksim Percakapan ............................................................ 45 2.2.2.5 Konsep Muka ...................................................................... 47 2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan .......................... 48 2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ......................................... 49 2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa ..................................................... 55 2.2.4 Sosiopragmatik ............................................................................... 58 2.2.5 Konteks ........................................................................................... 62 2.3 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 63
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 65 3.1 Jenis Penelitian .......................................................................................... 65 3.2 Sumber Data dan Data .............................................................................. 66 3.3 Instrumen Penelitian .................................................................................. 67 3.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 68 3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................. 70 3.6 Triangulasi Data ........................................................................................ 72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 75 4.1 Deskripsi Data ........................................................................................... 75 4.2 Hasil Analisis Data .................................................................................... 83 4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................................... 83
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 84 4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 84 4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 106 4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 116 4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 124 4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 125 4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 135 4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................................... 145 4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 147 4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 147 4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 165 4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 172 4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 179 4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 180 4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 191 4.3 Pembahasan ............................................................................................... 201 4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................................... 202 4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 204 4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 204 4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 206 4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 207 4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 210 4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 210 4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 212 4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................................... 213 4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 215 4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 215 4.3.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 217
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 218 4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 222 4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 222 4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 224
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 229 5.1 Simpulan ................................................................................................... 229 5.2 Saran .......................................................................................................... 232 5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan ................................................................. 232 5.2.2 Bagi Guru ........................................................................................ 233 5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa ........................................................... 234 5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa .................................................. 234
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 235 LAMPIRAN ................................................................................................... 237 Lampiran 1 Data Tuturan Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ................................................................................... 237 Lampiran 2 Tabulasi dan Triangulasi Data Tuturan Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................... 259
BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 306
xvii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta ......................................................................... 79 Tabel 2 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta yang Digunakan dalam Analisis Data ............. 82 Tabel 3 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ............................................... 105 Tabel 4 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala Pilihan (Optionality Scale) ................................................................................ 116 Tabel 5 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ............................................... 124 Tabel 6 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 129 Tabel 7 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ............................................................................... 135 Tabel 8 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 138 Tabel 9 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian Gaya Bahasa .......................................................................................... 145 Tabel 10 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ............................................. 164 Tabel 11 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala Pilihan (Optionality Scale) .............................................................................. 172 Tabel 12 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ............................................. 179 Tabel 13 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda Kesantunan Berbahasa ........................................................................ 184
xviii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tabel 14 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ............................................................................. 191 Tabel 15 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Berbahasa ........................................................................ 194 Tabel 16 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian Gaya Bahasa ........................................................................................ 201
xix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 1 Kerangka Berpikir ........................................................................... 64
xx
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
Bagian ini memuat tentang (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) ruang lingkup penelitian, dan (7) sistematika penulisan. Uraian secara lengkap bagian pendahuluan dipaparkan berikut ini.
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki alat komunikasi sebagai penanda adanya komunikasi antarmanusia, yaitu bahasa. Bahasa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam berkomunikasi. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat interaksi dengan sesamanya. Interaksi antara satu orang dengan yang lainnya ini sangat penting. Interaksi ini dapat berupa tulisan maupun lisan. Bentuk interaksi lisan dapat diartikan sebagai bentuk percakapan. Percakapan dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu tempat atau suasana. Misalnya saja, adanya percakapan antara ibu dengan anak, guru dengan murid, hakim dengan terdakwa, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya percakapan, telah menggambarkan adanya hubungan antara gagasan individu dengan pemeliharaan hubungan dengan partisipan. Dengan adanya hubungan tersebut, maka komunikasi yang telah dilakukan akan secara tepat dipahami oleh keduanya.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Salah satu percakapan yang menarik untuk dibahas adalah percakapan antara penjual dan pembeli (percakapan jual beli). Dalam proses jual beli terdapat dua partisipan yang melakukannya. Partisipan yang pertama sebagai penjual dan partisipan yang kedua sebagai pembeli. Penggunaan bahasa dalam percakapan jual-beli memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang sering digunakan dalam konteks berdagang. Di dalam sebuah aktivitas jual-beli, penggunaan bahasa secara santun juga tidak akan terlepas dengan penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur kode yang juga menjadi tolok ukur sebuah kesantunan di dalam sebuah percakapan. Misalnya saja kesantunan berbahasa antara penjual dan pembeli. Dapat dilihat bagaimana kesantunan berbahasa tersebut dilakukan dalam intersaksi yang terjalin. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya masyarakat mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, di antaranya adalah hubungan sosial yang terlihat dalam aktivitas jual-beli di sebuah tempat. Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan dari diri seseorang, karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung. Dalam berbahasa perlu mempertimbangkan perasaan orang lain. Dengan mempertimbangkan perasaan orang lain itulah komunikasi antar penutur dengan petutur akan menjadi lancar. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi perlu memperhatikan kesantunan berbahasa. Penggunaan kesantunan berbahasa memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan petutur. Seperti yang telah disebutkan di atas, interaksi antara penjual dan pembeli membutuhkan komunikasi dan kerja sama masing-masing pihak. Dengan ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
partisipan juga harus mengusahakan kesantunan. Yule (1996:60), mengatakan kesantunan adalah kepintaran partisipan dalam melakukan pendekatan jarak sosial. Menunjukkan kepedulian pada muka orang lain ketika jarak sosial di antara mereka sama, dapat digambarkan bahwa partisipan tersebut menunjukkan rasa hormatnya. Kesantunan ini dapat pula diartikan sebagai sebuah strategi. Bila dihubungkan dengan penjual dan pembeli, kesantunan ini digunakan sebagai salah satu cara untuk menarik dan menghormati pembeli. Sehingga kesepakatanpun tercapai. Namun di zaman yang modern ini kesantunan tidak lagi diperhatikan secara penuh. Kadang-kadang terlihat dalam komunikasi jual-beli di sebuah tempat perbelanjaan yang tetap menggunakan bahasa secara santun tetapi memiliki makna yang berbeda yang dirasakan oleh mitra tutur. Hal ini akan berpengaruh pada situasi atau konteks komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Ada yang tata bahasanya sudah terlihat santun akan tetapi cara penyampaiannya kurang santun. Namun, ada juga di saat proses jual-beli itu berlangsung, tuturan pembeli dengan maksud yang baik tetapi tuturannya kurang santun atau bisa disebut juga dengan tuturan yang asal-asalan dapat membuat situasi komunikasi menjadi tidak sejalan sehingga penjual yang diajak bertransaksi menjadi marah dan dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak santun kepada pembeli tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena kesantunan berbahasa memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Penggunaan kesantunan berbahasa dalam interaksi jual-beli di Malioboro Yogyakarta sangat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
berkaitan dengan aspek-aspek sosial dan budaya di lingkungan sekitar. Kesantunan berbahasa merupakan realisasi pemakaian wujud , strategi, dan fungsi pragmatika bahasa. Kesantunan berbahasa tidak semata-mata menyangkut pemilihan kosakata yang tepat untuk konteks tuturan jual-beli di sebuah kawasan perbelanjaan, melainkan juga menyangkut pada pemahaman lawan tutur. Hal ini juga dipengaruhi juga oleh penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur kode yang pastinya tidak terlepas dari proses interaksi yang terjalin antara penutur dengan petutur itu sendiri. Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Maka, sangat wajar apabila kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pendengarnya. Penelitian mengenai interaksi antara dua orang atau lebih dalam berkomunikasi sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” belum banyak dilakukan. Oleh karena itu rumitnya permasalahan kesantunan berbahasa, dipandang tepat untuk meneliti tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko (emperan toko)” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Berbagai
masalah
mengenai
tingkat
kesantunan
berbahasa
menimbulkan sikap kehati-hatian dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan meninjau kembali sejauh mana tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas, masalah umum penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini kemudian dirinci dalam dua sub masalah berikut ini. 1) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? 2) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan, tujuan penelitian secara umum ini adalah mendeskripsikan tentang tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Secara khusus, tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. 2) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terfokus pada informasi faktual kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Oleh karena itu,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, temuan penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya pengembangan teori pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di lingkup universitas, memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian bahasa, khususnya dalam bidang ilmu pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di Program Studi pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat menambah wawasan para pembaca tentang kesantunan berbahasa, dan juga untuk membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa penelitian tentang kesantunan berbahasa ini masih kurang, utamanya dalam konteks jual-beli di suatu tempat perbelanjaan. Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan ajar pembelajaran di dalam lingkup universitas, mengajak pembaca mengerti akan penanda apa saja yang membuat suatu tuturan menjadi terlihat santun saat komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dilakukan, dengan mengetahui bidang ilmu kesantunan ini, masyarakat menjadi paham dan mengerti akan bahasa yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi temuan yang dapat bermanfaat dan dapat memperlancar komunikasi yang terjalin dengan santun antara penutur (penjual) dengan mitra tutur (pembeli). Manfaat penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan tentang tingkat kesantunan berbahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
pedagang “perko” di kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta, sehingga akan memperlancar komunikasi dan adanya rasa hormat yang terjalin antara penjual dan pembeli di Malioboro.
1.5 Batasan Istilah Pembahasan dalam penelitian ini tentunya hanya mencakup beberapa hal saja, oleh karena itu penulis mencantumkan batasan istilah yang digunakan agar pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh dan dapat dimengeri pembacanya. 1. Pragmatik Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bagaimana satuan-satuan bahasa (dalam bentuk tuturan atau tindak tutur) digunakan dalam pertuturan sesuai konteks penutur dan lawan tutur, serta waktu dan tempat pengutaraannya dalam rangka melaksanakan komunikasi (Wijana, 2010:17; Chaer, 2010:23). 2. Sosiopragmatik Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21). 3. Kesantunan Fraser (Gunarwan, 1994:88) mendefinisikan santun sebagai sebuah property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam pemenuhan kewajibannya. 4. Diksi Istilah pilihan kata atau yang biasa kita sebut dengan diksi tidak hanya digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang tepat dan selaras dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan atau ide, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa dan ungkapan (Keraf, 1984:22). Jadi, ketika tuturan terucap dari mulut kita, sebenarnya tuturan tersebut sudah tersusun dan sudah terpilih pemilihan katanya saat kita menyatakan suatu maksud tertentu kepada orang lain. 5. Gaya Bahasa Keraf (1984:112) mendefinisikan gaya bahasa adalah kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa yang biasa dikenal dengan sebutan style ini memang penting untuk digunakan dalam berkomunikasi sehingga efek-efek tertentu akan dirasakan oleh pendengar atau mitra tutur yang kita ajak berkomunikasi. 6. Sapaan Kata sapaan merupakan kata yang dipakai untuk menegur, menyapa, mengajak bercakap-cakap, dan sebagainya. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. 7. Alih Kode Nababan (1984:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
8. Campur Kode Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu penelitian deskripstif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual/pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan yang diteliti adalah tuturan penjual/pedagang dan pembeli yang ada di emperan toko Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan Februari-April 2014.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada bab I akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab II berisi kajian pustaka yang terdiri dari penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data. Pada bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
terdiri dari deskripsi data, analisis data, dan pembahasan temuan. Bab V berisi penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II LANDASAN TEORI
Bagian ini memuat tentang (1) penelitian yang relevan, (2) kajian teori, dan (3) kerangka berpikir. Uraian secara lengkap bagian kajian pustaka dipaparkan berikut ini.
2.1 Penelitian yang Relevan Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Penelitianpenelitian tersebut telah menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan penggunaan bahasa sehari-hari yang ada di sekitar kita. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Riski dengan judul “Strategi Kesantunan dan Prinsip Kerja Sama Penjual dalam Transaksi Jual-Beli Sebuah Studi Kasus Pasar Tanah Abang”. Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak semua ujaran yang diujarkan baik penjual maupun pembeli mematuhi prinsip kerja sama. Aturan ini dilanggar supaya dapat menghasilkan percakapan yang lebih komunikatif. Pelanggaran yang dilakukan bertujuan untuk membuat jarak antara penjual dan pembeli lebih dekat sehingga menghantarkan pada pelaksanaan strategi kesantunan. Penelitian yang dilakukan oleh Christina Rinawati yang berjudul “Wacana Tawar-Menawar dalam Jual-Beli Pakaian di Pasar Beringharjo Yogyakarta: Suatu Tinjauan Pragmatik”. Dalam penelitiannya, dapat diambil kesimpulannya
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
bahwa wacana tawar-menawar merupakan sarana masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakaian dengan harga murah, wacana tawar-menawar merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan realisasi kehidupan nyata dari fungsi interaksional bahasa, dan yang terakhir wacana tawar-menawar sangat berkaitan dengan pengajaran bahasa, wacana tersebut dapat digunakan sebagai contoh konkret penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., dengan judul “Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 112). Dalam penelitiannya, Dr. H. Jamal, M.Pd., memberikan beberapa kesimpulan tentang kesantunan berbahasa. Beliau menuliskan bahwa setiap masyarakat memiliki seperangkat norma yang terdiri dari sejumlah kaidah-kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah-kaidah tersebut ditentukan oleh perilaku-perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo dengan judul “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”. Jika dikaitkan dengan tuturan, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu tuturan yang diujarkan akan memberikan penilaiannya terhadap tuturan dari sopan santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu: (1) analogi, (2) pilihan kata atau diksi, (3) gaya bahasa, (4) penggunaan keterangan atau modalitas, (5) penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan (6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
ini bisa terjadi ketika hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di dalam suatu tuturan terkandung lebih dari satu penanda kesantunan yang digunakan oleh penutur itu sendiri.
2.2 Kajian Teori 2.2.1 Sosiolinguistik Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling berkomunikasi. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship). Dalam penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan atau tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak; pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit (indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme). Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan sosial diantara keduanya. Dengan demikian proses komunikasi selesai antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya, kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun. Akan tetapi bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut. Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
prinsip-prinsip kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan sosial. Dan yang lebih penting lagi kita harus menjaga kesantunan berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antarmanusia. Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat menjunjung kesantunan dalam berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya berhubungan dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu akan tercermin dari kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam berbahasa. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua-muda, majikan-buruh, gurumurid, kaya-miskin, dan status lainnya, ada perbedaan dalam tata cara berbahasa. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita berbicara dengan anak kecil. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu diterapkan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
2.2.1.1 Sapaan Kata sapaan yang memiliki ciri khas tersendiri. Kata sapaan berguna sebagai ajakan bercakap, teguran, ucapan, serta frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu, seperti: Anda, Ibu, Saudara dan sebagainya. Kridalaksana (2008:214), mendefinisikan bahwa “kata sapaan adalah morfem, kata atau frase yang digunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicaraan”. Menurut Chaer sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur berdasarkan rasional. Sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur. Penggunaan sapaan kata atau frasa dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara. Jadi, penggunaan sapaan juga harus dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di mana pembicaraan itu berlangsung, dan siapa yang diajak berkomunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
Berikut ini contoh penggunaan kata sapaan dalam proses komunikasi yang terjadi dalam konteks jual-beli. [1] Pembeli : Cik, ada kain celana kayak gini? (sambil menunjukkan contoh kainnya) Penjual : Coba tak lihate dulu. Persis gini? Pembeli : Iya. Penjual : Coba, Le, carikno kain ini. Apa masih ada? Karyawan : Habis yang gini, Te! Penjual : Saya punya kain celana yang bagus, Mbak. Harganya tidak mahal, pokoknya harga spesial. Le, ambilkan kain celana yang baru datang tadi! Pembeli : Berapa harganya, Cik? Penjual : Itu Rp 50.000,- per meter. Khusus untuk Mbak karena udah langganan sini tak kasih harga Rp 45.000,- per meternya. Sapaan “Le”, oleh penjual kepada karyawan menunjukkan adanya perbedaan status sosial. Penjual adalah pemilik toko dan karyawan adalah tenaga pembantu. Namun sapaan “Le” ini diartikan sebagai nama panggilan akrab untuk anak laki-laki. Jadi, penjual sudah menganggap karyawannya seperti anaknya sendiri. Sebaliknya, karyawan menyapa penjual dengan sebutan “Te”, yang kependekan dari „tante‟, yang artinya „bibi‟. Sapaan ini sama sekali tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, sebagaimana seseorang memanggil „tante‟ pada adik perempuan dari ayah atau ibu. Adapun sapaan “Cik”, kependekatan dari „tacik‟ yang berarti „Mbak‟ umumnya digunakan untuk menyapa perempuan China yang seumur atau yang sedikit lebih tua dari penyapa. Bentuk sapaan yang digunakan penutur maupun lawan tutur, khusunya yang berkedudukan sebagai pembeli ini didasarkan pada perbedaan asal-usul. Dari contoh ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sapaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
tersebut santun karena juga dilihat dari konteks perbedaan asal-usul dan status sosialnya.
2.2.1.2 Alih Kode Alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) merupakan dua buah masalah dalam masyarakat yang multilingual. Menurut Appel (1976:79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode (code switching) itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan contoh. Misalnya saja, berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Untuk dapat lebih memahami tentang materi ini, di bawah ini akan diberikan contoh dalam sebuah percakapan antara seorang sekretaris (S) dengan majikannya (M) (Chaer, 2010:110-111). Contoh inilah yang diangkat Soewito (1983) sebagai contoh dalam pemahaman materi alih kode ini. [2] S M S M
S M S M
: Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini? : O ya, sudah. Inilah! : Terima kasih : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin maju kudu wani ngono... (Sekarang jika usahanya ingin maju harus berani bertindak demikian...) : Panci ngaten, Pak (Memang begitu, Pak) : Panci ngaten piye? (Memang begitu bagaimana?) : Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi..... (Maksudnya, berapapun besarnya modal kalau...) : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (Kalau tidak banyak hubugan dan terlalu banyak mengambil keuntungan, usahanya tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
S : Lha inggih ngaten! (Memang begitu, bukan?) M : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim? S : Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat khusus. Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan tersebut diawali dengan menggunakan bahasa Indonesia karena melihat konteks atau tempatnya berada di dalam sebuah kantor. Hal yang dibicarakan juga mengenai kebutuhan kantor yakni surat-menyurat. Jadi, situasi percakapannya adaah formal. Namun, ketika pembicaraan berubah menjadi topik lain, bukan tentang surat-menyurat lagi melainkan topik tentang pribadi orang yang diberi surat, peralihan bahasa pun terjadi (alih kode). Situasi percakapannya pun juga ikut berubah menjadi situasi yang informal atau tidak formal. Alih kode yang terjadi pada percakapan di atas: dari bahasa Indonesia berganti menjadi bahasa Jawa. Selanjutnya, ketika topik utama (surat-menyurat) yang dibicarakan kembali, alih kode ini juga terjadi kembali. Hal ini dapat dibuktikan dengan percakapan antara sekretaris dengan majikannya yang menggunakan bahasa Jawa beralih kembali ke bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peristiwa alih kode dapat terjadi di mana saja dan kapan saja saat komunikasi itu dilakukan. Jika kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, maka kita harus mengembalikan pokok persoalan sosiolinguistik. Penyebab peristiwa alih kode, yakni (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Melihat dari contoh percakapan di atas, contoh tersebut terjadi karena disebabkan oleh faktor keempat, yaitu perubahan dari situasi formal menjadi informal.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
2.2.1.3 Campur Kode Beralih dari peristiwa alih kode tentunya menyisakan satu peristiwa lagi yang sangat berkaitan dengan peristiwa tutur sebelumnya (alih kode), campur kode (code mixing). Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan sebagainya Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Berikut ini contoh peristiwa campur kode dalam proses komunikasi yang terjadi dalam konteks jual-beli. [3]
Penjual : Monggo, monggo, Pak, Bu, monggo dilihat dulu. Pembeli : Kaos dagadunya berapa, Bu? Penjual : Niki mirah kok, Mbak. Hanya Rp 30.000 saja. Pembeli : Oh my God, mahal sekali. Rp 15.000 saja ya, Bu? Penjual : Sampun mirah niki, Mbak. Gambare werna-werna. Pembeli : Rp 20.000 ya, Bu? Penjual : Ya sudah, Mbak. Mau warna apa? Pembeli : Warna pink ini ning ukurane sing M wae ya, Bu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
Penjual : Ini ya Mbak kaos dagadu warna pinknya. Pembeli : Ini Bu uangnya. Pas nggih. Penjual : O ya Mbak, matur nuwun sanget. Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan antara penjual dan pembeli menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sebenarnya penjual hanya mampu berbahasa Jawa dan Indonesia, akan tetapi karena pembelinya mampu menggunakan tiga bahasa, secara otomatis penjual juga menggunakan ragam bahasa Inggris seperti yang dituturkan pembeli kepada penjual. Misalnya, pada saat pembeli menginginkan kaos dagadu yang berwarna pink (merah muda). Secara langsung penjual juga menyebut warna merah muda menjadi „pink‟ seperti apa yang dikatakan oleh pembeli. Jadi, peristiwa campur kode ini dapat terjadi dalam konteks berkomunikasi di mana saja dan kapan saja seperti halnya peristiwa alih kode.
2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa 2.2.2.1 Pragmatik Bidang kajian ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu ini lebih mengarah pada maksud ujaran. Kesantunan tuturan dalam bahasa saat ini dapat diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik ini. Hal ini dikarenakan setiap tuturan yang diujarkan tentunya mengandung maksud yang hendak disampaikan kepada mitra tutur. Menurut Yule (1996:3), pragmatik adalah studi tentang makna ujaran penutur, makna kontekstual, makna yang dikomunikasikan melebihi ujaran yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
diucapkan, dan pengekspresian hubungan jarak. Ia juga mengatakan bahwa belajar bahasa memiliki manfaat yakni bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka masing-masing, maksud dan tujuannya, dan jenis-jenis tindakan yang dilakukan. Sebagai contohnya adalah terjadinya interaksi berupa percakapan antara satu orang dengan orang lainnya. Bidang kajian ilmu pragmatik mengajari bagaimana kita memahami dan memperdalam makna yang terdapat di setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih (penutur dan petutur). Kegiatan berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang sudah pasti dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan komunikasi ini tidak akan mungkin berhasil dilakukan tanpa adanya orang kedua yang biasa kita sebut dengan istilah mitra tutur. Agar kegiatan berkomunikasi ini berjalan dengan baik dan lancar, harus terdapat sesuatu (pesan/informasi) yang dikirim oleh penutur dan diterima oleh mitra tutur. Dalam hal ini penutur harus benar-benar dapat memberikan suatu pesan atau informasi dengan jelas sehingga mitra tutur dapat menerima pesan atau informasi yang diberikan oleh penutur dengan jelas dan terarah. Dalam suatu peristiwa tutur, interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur memungkinkan munculnya berbagai macam tuturan yang isi proposisi yang disampaikan juga bermacam-macam. Misalnya saja, ada tuturan yang isi proposisinya
bertanya,
menolak,
berbasa-basi,
memberikan
informasi,
memerintah, menegur, dan lain-lain. Untuk memahami dan menggunakan berbagai macam tuturan, setiap partisipan tutur harus menguasai sejumlah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
kompetensi komunikasi. Salah satu kompetensi komunikasi yang harus dipahami oleh partisipan tutur adalah mengerti dan dapat menggunakan tuturan dengan bahasa yang santun. Tuturan yang disampaikan oleh partisipan tutur selalu diusahakan saling berhubungan atau berkaitan (Purwo, 1990). Ukuran kesantunan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh kemampuan seorang partisipan tutur untuk menjaga agar konfik personal dapat terhindar ketika proses komunikasi sedang berlangsung. Akan tetapi, ukuran kesantunan juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kejelasan dan ketepatan tuturan, saling menghargai,
mematuhi
norma-norma
yang
berlaku,
berusaha
untuk
menyelamatkan muka dan diperlukan adanya kerja sama. Kerja sama diperlukan agar komunikasi berjalan dengan baik. Aturan kerja sama dalam komunikasi dikemukakan oleh Grice (1975) dalam empat maksimnya, yakni maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevasi. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan oleh seorang partisipan tutur karena terdorong oleh sikap hormat kepada partisipan tutur lain. Kesantunan berbahasa sangat erat kaitannya dengan status partisipan tutur yang merasa samasama saling menghormati dan saling membutuhkan sehingga diperlukan strategi interaksi yang efektif seperti yang dikemukakan oleh Grice (1975) dan dikenal dengan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama Grice tertuang dalam empat maksim, yakni maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevasi. Namun, Leech (1993) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tidak hanya dibatasi pada keempat maksim kerja sama . Akan tetapi, kesantunan berbahasa nemiliki prinsip tersendiri yang bertujuan untuk memperkecil
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
penggunaan pengaruh ungkapan yang tidak santun dan untuk memperbesar ilokusi yang sudah santun menjadi lebih santun. Beranjak dari prinsip kerja sama yang dikemukakan Grice dan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi setiap partisipan tutur perlu menerapkan tidak hanya prinsip kerja sama saja tetapi juga prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan berbahasa merupakan seperangkat maksim yang mengatur perilaku dalam berkomunikasi, baik perilaku linguistik maupun ekstralinguistik. Dalam hal ini, Leech (1993) berpendapat bahwa untuk merealisasikan kesantunan berbahahasa perlu memerhatikan aspek-aspek etika berkomunikasi, yaitu prinsip kesantunan (politeness principle) yang di dalamnya mencakup maksim (1) kearifan, (2) kedermawanan, (3) pujian, (4) kerendahan hati, (5) kesepakatan, dan (6) simpati. Subbab ini menjelaskan mengenai beberapa hal, khususnya yang berkaitan dengan bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” di kawasan
trotoar
Malioboro
Yogyakarta.
Serta
hal-hal
apa
saja
yang
mempengaruhi tingkat kesantunan berbahasa. Teori kesantunan berbahasa adalah teori yang mengkaji bentuk-bentuk tuturan yang santun yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi terjadi. Teori ini penting dikemukakan karena teori ini dianggap sebagai salah satu alat untuk memprediksi atau menjelaskan tuturan mana yang santun dan tuturan mana yang tidak santun.
Walaupun harus disadari bahwa memprediksi atau
menjelaskan santun tidaknya sebuah tuturan bukanlah hal yang mudah karena ukuran kesantunan tidak hanya dapat diprediksi atau dijelaskan dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
menerapkan teori kesantunan akan tetapi banyak variabel lain yang ikut menentukan santun tidaknya sebuah tuturan. Variabel yang dimaksud antara lain adalah bagaimana hubungan emosional antarpartisipan tutur, latar belakang pendidikan yang dimiliki, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya. Menurut Yule (1996:104), kesantunan sama halnya dengan kesopanan. Kesopanan ini diartikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan atau mengekspresikan
wajah
orang
lain.
Ketika
kita
melakukan
kegiatan
berkomunikasi dengan orang lain, bahasa yang kita gunakan juga harus diperhatikan matang-matang. Tidak hanya sekedar berbicara asal-asalan. Misanya saja saat kita tengah berbicara dengan guru, orang tua, dan lain-lain, tentunya bahasa yang kita pakai tidak sama dengan bahasa pergaulan sehari-hari dengan teman-teman kita. Dalam hal berdagang, penggunaan bahasa juga harus melihat konteks yang ada. Tidak semata-mata hanya berkomunikasi biasa melainkan menggunakan bahasa yang memang mengacu pada konteks berdagang. Hal ini pasti akan berbeda pula dengan penggunaan bahasa dalam sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Berbahasa secara santun dapat membuat penutur mendapatkan respon berupa rasa simpati dari mitra tuturnya. Ada banyak hal yang harus kita perhatikan dan kita pelajari bersama aga kita dapat menggunakan bahasa secara santun dalam berkomunikasi. Kesantunan berbahasa akan membuat penutur dan mitra tutur menjadi akrab dan saling mengerti satu sama lain. Sikap akrab dan mengerti ini akan dapat memperlancar kegiatan berkomunikasi yang tengah berlangsung.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam kehidupam bermasyarakat (Sarwoyo, 2005). Mengapa dikatakan demikian? Karena ketika kita menggunakan bahasa secara santun dalam kegiatan berkomunikasi, maka akan tercermin kepribadian secara utuh melalui tuturan yang diujarkan. Menurut Pranowo (2009:4), struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Berdasarkan kenyataan itu, kesantunan berbahasa dapat diprediksi atau dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori. Ada banyak hal yang harus diperhatikan, dipelajari, dan ditelaah agar tuturan yang kita ujarkan menjadi santun. Penelitian ini menguraikan bagaimanakah dan apa sajakah yang harus diperhatikan saat bertutur kata. Beberapa ahli telah menuliskan hal-hal yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa, seperti prinsip-prinsip kesantunan, cara berkomunikasi secara santun, indikator-indikator yang harus diperhatikan agar tuturan yang kita ujarkan dapat menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Adapun teori-teori yang dapat dipaparkan di bawah ini.
2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan Peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech dalam penelitian ini. Prinsip kesantunan Leech ini yang biasa dikenal sebagai prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama Leech ini tentu mengacu pada konteks kerjasama antara penutur dengan petutur dalam komunikasi. Prinsip kesantunan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
yang dikemukakan oleh Leech (1983) merupakan suatu prinsip kesantunan yang hingga saat ini dianggap paling lengkap dan paling komperehensif. Di bawah ini, rumusan tersebut akan dijelaskan secara detail dalam enam maksim menurut Geoffrey Leech (1993:206-207) sebagai berikut. 1) Maksim Kearifan (TACT MAXIM) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2) Maksim Kedermawanan (GENEORISITY MAXIM) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. 3) Maksim Pujian (APPROBATION MAXIM) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4) Maksim Kerendahan Hati (MODESTY MAXIM) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5) Maksim Kesepakatan (AGREEMENT MAXIM) Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin dan usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain juga terjadi sebanyak mungkin.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
6) Maksim Simpati (SYMPATHY MAXIM) Kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain hingga sekecil mungkin dan tingkatkanlah rasa simpati dengan sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dan orang lain. Rumusan mengenai prinsip kesantunan juga tertuang dalam enam maksim interpersonal menurut Rahardi (2005:59) sebagai berikut. 1) Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other. 2) Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self. 3) Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other. 4) Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self. 5) Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize agreement between self and other. 6) Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize sympathy between self and other. Wijana (1996:56-61) memaparkan keenam maksim Leech tersebut secara lebih ringkas dan mudah dipahami sebagai berikut. 1) Maksim Kebijaksanaan Maksim
ini
menggariskan
bahwa
setiap
peserta
pertuturan
harus
meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. 2) Maksim Penerimaan Maksim ini menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
3) Maksim Kemurahan Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. 4) Maksim Kerendahan Hati Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. 5) Maksim Kecocokan Maksim
ini
menghendaki
memaksimalkan
kesetujuan
agar di
setiap antara
penutur mereka
dan dan
lawan
tutur
meminimalkan
ketidaksetujuan di antara mereka. 6) Maksim Kesimpatian Maksim ini mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Lain halnya dengan Rahardi dan Wijana, Pranowo (2009:36) dituliskan bahwa prinsip kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh Leech menurut Pranowo tersebut adalah maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim pertimbangan ini memiliki definisi yakni maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur dan memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa penutur diharapkan dapat membuat mitra tuturnya merasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
lega terhadap tuturan yang diujarkan penutur ketika proses berkomunikasi berlangsung.
2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan Kriteria (skala) adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian sesuatu. Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai ukuran kesantunan, hal ini dikhususkan pada kesantunan dalam berbahasa. Yang dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Beberapa ahli telah menyatukan pendapat-pendapatnya dari berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang telah dirangkum oleh beberapa para ahli, yakni Robin Lakoff, Brown dan Levinson, dan Geoffrey Leech. 1) Skala Kesantunan Robin Lakoff (1973) Skala kesantunan yang dijelaskan oleh Robin Lakoff terdiri atas tiga skala kesantunan saat bertutur kata. a) Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta pertuturan, yakni penutur dan mitra tutur merasa nyaman dalam kegiatan bertutur. Oleh karena itu, tuturan yang digunakan dalam kegiatan bertutur tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, penutur dan mitra tutur harus tetap menjaga jarak sewajarnya mungkin antara yang satu dengan yang lainnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
b) Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale) menunjukkan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Oleh karena itu, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Partisipan tutur tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. c) Skala kesekawanan (equality scale) menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu mempertahankan persahabatan antar penutur dengan lawan tutur. Penutur harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahabatnya, begitu juga sebaliknya. Rasa persahabatan ini merupakan salah satu prasyarat untuk tercapainya kesantunan. 2) Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1978) Brown dan Levinson (1987) menyodorkan tiga skala penentuan kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya mencakup skala (a) jarak sosial, (b) status sosial penutur dan lawan tutur, dan (c) tindak tutur. a) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer). Skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. b) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau yang seringkali disebut dengan peringkat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik (kesenjangan) antar penutur dan mitra tutur. c) Skala peringkat tindak tutur atau yang sering disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan pada kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. 3) Skala Kesantunan Geoffrey Leech (1983) Geoffrey Leech menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya. a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, merujuk pada besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur dalam sebuah pertuturan. Ukuran dari skala ini adalah semakin tuturan yang diujarkan merugikan diri sendiri, maka akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, apabila tuturan yang diujarkan semakin menguntungkan diri penutur, maka akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Seorang penutur harus bisa membuat mitra tutur atau lawan tuturnya merasa nyaman dan tidak dirugikan ketika tengah melakukan percakapan. b) Optionally scale atau skala pilihan, mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin prtuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, merujuk pada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. d) Authority scale atau skala keotoritasan, merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam kegiatan pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. e) Social distance scale atau skala jarak sosial, merujuk pada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan sosial di antara keduanya yakni penutur dan lawan tuturnya akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak hubungan sosial di antara keduanya, maka akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan skala kesantunan tuturan suatu bahasa ketika bertutur (Rahardi, 2005:66-70).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
Skala-skala menurut para ahli di atas telah dijelaskan dengan sedemikian rupa. Untuk mempersingkat pemahaman mengenai skala-skala tersebut, peneliti akan merangkumnya dengan singkat, padat, dan jelas. Skala Robin Lakoff (1973) memaparkan mengenai kenyamanan dalam berkomunikasi, skala Brown dan Levinson (1978) memaparkan mengenai peringkat dalam berkomunikasi, baik untuk subjek maupun tuturannya, dan yang terakhir adalah skala Geoffrey Leech (1983) yang memaparkan mengenai cakupan atau rangkuman dari skala Robin Lakoff dan Brown dan Levinson. Mengapa dikatakan bahwa skala Geoffrey Leech merupakan rangkuman dari kedua skala lainnya? Hal ini karena dalam skala milik Leech dipaparkan mengenai kenyamanan dan peringkat dalam berkomunikasi seperti yang telah dijelaskan pada skala milik Robin Lakoff dan Brown dan Levinson. Dengan kata lain, skala milik Leech merupakan skala yang lengkap. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari paparan di atas mengenai kriteria kesantunan yang harus diperhatikan adalah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya suatu pilihan saat kita bertutur kata, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan penutur dengan mitra tutur, dan adanya otoritas antara penutr dan mitra tutur. Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan Ada beberapa indikator kesantunan yang harus diperhatikan agar menjadikan tuturan yang santun. Beberapa indikator telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya adalah Pranowo (2009:100-104) yang mengemukakan dalam bukunya beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang memang wajib untuk diperhatikan agar komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar serta maksud yang ingin disampaikan dapat tercapai dengan baik. Ada 4 indikator yang akan dipaparkan di bawah ini, yakni (1) indikator kesantunan Dell Hymes, (2) indikator kesantunan Grice, (3) indikator kesantunan Leech, dan (4) indikator kesantunan Pranowo. 1) Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978) Dell Hymes (1978) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING. a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi. b) (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang ikut terlibat dalam komunikasi (orang 1 dan orang 2). c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
dalam bahasa tulis maupun lisan misalnya, berupa permintaan, sedangkan isi pesan adalah wujud permintaannya. e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian). f)
(I) Instrumentalities (sarana tutur) yang mengacu pada segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa tutur.
g) (N) Norms (norma-norma tutur) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi. h) (G) Genres (ragam tutur) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan, misalnya ragam formal, ragam santai, dan sebagainya. 2) Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000) Indikator yang dikemukakan oleh Grice (2000:362) menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal di bawah ini. a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan. b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur. c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur. d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri. 3) Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983) Menurut Leech (1983), tuturan dapat dikatakan santun, apabila ditandai dengan hal-hal sebagai berikut. a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan “tact maxim”). b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan “generosity maxim”). c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise maxim”). d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “modesty maxim”). e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”). f)
Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).
g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”). 4) Indikator Kesantunan Menurut Pranowo (2009) Indikator lain dikemukakan oleh seorang guru besar pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yakni Pranowo (2009) bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
a) Angon Rasa Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan. b) Adu Rasa Pertemukan perasaan Anda (penutur) dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sam-sama diinginkan. c) Empan Papan Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati. d) Sifat Rendah Hati Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur. e) Sikap Hormat Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi. f)
Sikap Tepa Slira Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.
2.2.2.2 Pandangan Sosial Menurut pandangan norma sosial, kesantunan berbahasa selalu dikaitkan dengan tata nilai atau norma yang sudah disepakati bersama oleh sekelompok
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
masyarakat walaupun norma itu berupa konvensi. Tutur kata seseorang dianggap santun apabila orang itu telah mematuhi norma yang ada dalam suatu kelompok masyarakat di mana ia berada. Sebaliknya, apabila norma tersebut dilanggar, ia dianggap tidak santun, tidak mempunyai etika yang baik, atau tidak beradab. Hal ini sesuai dengan pendapat Fraser (1990) yang mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah yang eksplisit. Kaidah itu ditentuan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakat tersebut. Lebih lanjut, Brown dan Levinson (1978) menyiasati pandangan norma sosial dengan menghubungkan pemakaian bahasa dalam interaksi masyarakat. Interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur tidak semata-mata bermaksud menyampaikan pesan atau informasi saja, melainkan lebih jauh dari itu, bagimana partisipan tutur dapat menjaga keseimbangan sosial dan keramah-tamahan hubungan di antara mereka sehingga konflik personal antarpartisipan tutur benarbenar dapat terhindarkan. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramah-tamahan hubungan setiap partisipan tutur dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Sejalan dengan pendapat Fraser (1990) dan Brown dan Levinson (1978), Kartomiharjo (1971) menyatakan bahwa dalam menggunakan tuturan, setiap partisipan tutur tidak bisa mengabaikan norma-norma sosial dan budaya yang dimilikinya, partisipan tutur harus patuh terhadap norma-norma sosial dan budaya yang berlaku. Lebih lanjut, Kartomiharjo mencontohkan tiga norma sosial dan budaya yang harus dipatuhi oleh penutur yag bersuku Jawa, yaitu (1) empan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
papan, (2) urip mapan, dan (3) dipapanna wong tuwo. Aspek nilai yang pertama menjelaskan bahwa bertuturlah secara wajar dan sesuai dengan tatanan masyarakat. Aspek nilai yang kedua bermakna bahwa tuturan sebaiknya dipakai secara layak sesuai dengan hakta dan martabatnya. Dan aspek nilai yang ketiga mengacu pada dalam bertutur, orang tua harus dihormati. Bertitik tolak dari pandangan norma sosial yang memandang santun tidaknya tuturan selalu dikaitkan dengan norma sosial dan budaya yang terdapat dalam sebuah kelompok masyarakat, menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa itu sifatnya sangat relatif karena sangat bergantung pada norma budaya yang berlaku dalam sebuah kelompok masyarakat dan bagaimana masyarakat itu memahami norma-norma budayanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila kesalahpahaman sering terjadi ketika masyarakat yang berlatar belakang budaya yang tidak sama melakukan interaksi dengan mempertahankan norma sosial dan budayanya masing-masing. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang dipakai dalam berinteraksi atau berkomunikasi sehari-hari. Jadi, untuk dapat menggunakan tuturan bahasa Indonesia yang santun selain dengan pendapat para ahli di atas, dapat juga menggunakan prinsip tenggang rasa yang dikemukakan oleh Aziz (2000). Lebih lanjut, Aziz (2000) mengatakan bahwa prinsip tenggang rasa dapat beroperasi melalui sejumlah nilai dan subprinsip. Subprinsip tersebut adalah sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
1) Prinsip Daya Luka dan Daya Sanjung Artinya, sebuah ekspresi bahasa memiliki potensi bahwa ia akan mampu membuat seseorang merasa terlukai atau tersanjung dibahagiakan. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam menggunakan ekspresi bahasa tersebut. 2) Prinsip Berbagi Rasa Artinya, mitra tutur kita memiliki perasaan sebagaimana layaknya kita sendiri sebagai penutur. Oleh karenanya, ketika bertutur dengan menggunakan ekspresi bahasa, pertimbangkanlah perasaan mitra tutur sebagaimana layaknya kita mempertimbangkan perasaan kita sendiri. 3) Prinsip Kesan Pertama Artinya, penilaian mitra tutur kita terhadap tingkat kesantunan berbahasa kita pada dasarnya ditentukan oleh kesan pertama yang dia dapatkan tentang perilaku berbahasa kita ketika dia berkomunikasi dengan kita untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, tunjukkanlah bahwa kita mempunyai niat yang baik untuk berkomunikasi dan bekerja sama. 4) Prinsip Berkelanjutan Artinya, berkelanjutan hubungan kita sebagai penutur dengan mitra tutur kita pada masa yang akan datang pada dasarnya ditentukan oleh cara kita bertransaksi melalui komunikasi pada saat ini. Oleh karena itu, upayakan agar antara penutur dengan mitra tutur terjalin rasa saling percaya satu sama lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun Komunikasi adalah suatu kegiatan yang kompleks. Mengapa dikatakan kompleks? Karena dalam komunikasi, kita dapat melihat situasi dan kondisi ketika penutur dan mitra tutur melakukan interaksi tuturan. Menurut Pranowo (2009:4), penggunaan bahasa yang baik dan benar saja masih belum cukup untuk melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti dia sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5). Agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan santun, maka kita juga perlu mengetahui strategi-strategi apa saja yang dapat kita gunakan untuk dapat berbahasa secara santun. Dalam bukunya, Pranowo (2009:39-46) telah memaparkan tiga strategi agar kita dapat berkomunikasi secara santun, yakni (1) apa yang dikomunikasikan, (2) bagaimana cara mengomunikasikannya, dan (3) mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan. Ketiga strategi tersebut akan dipaparkan dengan rinci di bawah ini. 1) Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain tetapi tidak jelas mengenai topik pembicaraannya, maka mitra tutur akan dapat menilai bahwa penutur dan tuturannya dirasa tidak berkualitas sehingga arus pembicaraan menjadi tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
terarah dan tidak konsekuen. Hal ini dapat menyebabkan mitra tuturnya menjadi kebingungan dalam mengikuti arus pembicaraan penutur. 2) Strategi kedua, yaitu bagaimana cara berkomunikasi seseorang. Strategi kedua ini mengarah pada cara penyampaian maksud dari pembicaraan atau proses komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dalam sebuah situasi. Ada banyak kejadian yang sering terjadi ketika seseorang gagal dalam berkomunikasi bukan karena pokok masalah yang dibicarakan salah atau tidak berkualitas, melainkan karena cara menyampaikannya kurang tepat. Grice menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur seperlunya saja, jangan kurang dan jangan lebih. Oleh karena itu, sesuatu yang dibicarakan haruslah tepat porsinya dan penutur harus mengemas dengan baik cara menyampaikan maksud tersebut kepada mitra tutur agar maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dapat tercapai dengan baik, lancar, dan juga santun. 3) Strategi ketiga, yaitu alasan mengapa pokok masalah harus dikomunikasikan. Dalam strategi ini, penutur diuji kejujuran terhadap hati nuraninya. Apa yang akan diungkapkan haruslah sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, pada strategi ketiga ini, kita harus benar-benar memikirkan secara matangmatang apa yang akan kita bicarakan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara penutur dengan mitra tutur. Kita juga harus memerhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (kaitannya dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat dalam menentukan kesantunan bahasa verbal lisan. Pernyataan ini dikemukakan oleh Pranowo (2009:76). Seperti yang sudah dikemukakan oleh Pranowo dalam bukunya, aspek intonasi memang harus diperhatikan ketika proses komunikasi itu berlangsung. Hal ini dilakukan agar mitra tutur merasa senang dan nyaman ketika berkomunikasi. Masalah jarak komunikasi juga harus diperhatikan. Untuk jarak yang dekat, intonasi yag kita gunakan bisa pelan, namun untuk jarak komunikasi yang jauh kita harus menggunakan intonasi yang keras agar mitra tutur dapat menangkap apa yang akan kita informasikan. Hindarilah menggunakan intonasi yang keras pada jarak dekat karena hal tersebut dapat menyindir atau membuat mitra tutur kita merasa tidak nyaman. Selain aspek intonasi, aspek nada juga menjadi faktor penentu dalam komunikasi. Nada sangat berkaitan erat dengan perasaan, baik itu perasaan penutur sendiri ataupun perasaan mitra tutur. Misalnya saja ketika suasana menandakan sedang bersedih, maka nada bicara juga harus sesuai dengan suasana bersedih, bukan menandakan suasana yang sedang bergembira. Sebaliknya, apabila suasana menandakan sedang bersenang-senang atau bergembira, maka nada bicara juga harus menandakan suasana yang senang, bukan menandakan suasana yang tengah berduka atau sedih. Dengan begitu, mitra tutur akan dapat memahami perasaan penutur yang sebenarnya. Pranowo (2009:78) juga menyatakan bahwa dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal. Faktor bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
nonverbal ini meliputi gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan sebagainya. Secara tidak sengaja, gerak-gerik anggota tubuh tersebut terjadi dengan sendirinya ketika kita sedang melakukan komunikasi.
2.2.2.4 Maksim Percakapan Pandangan maksim percakapan dikemukakan oleh Lakof (periksa Leech, 1983). Ia mengatakan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua prinsip tersebut perlu
dipertimbangkan
dalam
berkomuikasi.
Komunikasi
yang
terjadi
antarpartisipan tutur bertitik tolak dari maksim percakapan, terutama yang menyangkut tentang apa yang akan dikatakan, kapan harus mengatakannya, dan bagaimana harus mengatakannya. Prinsip kerja sama salam maksim percakapan dilakukan
untuk
menambahkan
suatu
nosi
kegramatikalan
dan
menghubungkannya dengan nosi kesempurnaan komponen-komponen pragmatik. Berdasarkan kedua nosi tersebut, setiap partisipan tutur dapat memilih salah satu dari dua prinsip ketika bertutur, yaitu (1) buatlah perkataan Anda secara jelas (make your self clear) dengan cara sepenuhnya mengikuti prinsip kerja sama, dan (2) bersopan santunlah (be polite). Strategi yang pertama mendukung prinsip kerja sama sedangkan strategi yang kedua mengacu pada prinsip sopan santun yang terdiri atas tiga prinsip, yaitu (a) tidak mengganggu, (b) memberi pilihan, dan (c) membuat enak hati. Prinsip tidak mengganggu dapat digunakan dalam kesantunan formal, prinsip enak hati dapat digunakan dalam kesantunan informal, sedangkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
prinsip membuat enak hati dapat digunakan dalam kesantunan intim atau yang biasa kita sebut akrab. Kemampuan partisipan tutur untuk memilih salah satu dari tiga prinsip itu disebut kompetensi pragmatik. Contoh di bawah ini merupakan realisasi kompetensi pragmatik. [4] “Mohon maaf, tas saya tertinggal di dalam tetapi saya tidak mungkin masuk lagi karena tadi saya sudah pamitan.” (Ambilkan tas saya) [5] “Tolong, ambilkan tas saya yang tertinggal di dalam.” [6] “Ambilkan tas saya dong!” Contoh [4] di atas dituturkan oleh seorang penutur kepada mitra tutur yang baru ia kenal dalam situasi formal. Dengan tuturan yang lebih panjang kedengarannya lebih santun bila dibandingkan dengan tuturan yang pendek, misalnya pada contoh tuturan [6] “Ambilkan tas saya dong!”. Menurut Grundy (2000), pemilihan tuturan yang lebih panjang sudah mencerminkan hubungan antarpartisipan yang baru dikenal. Tuturan dalam contoh [5] dituturkan seorang penutur kepada mitra tuturnya yang sudah saling kenal tetapi belum akrab. Karena hubungan mereka belum begitu akrab, mitra tutur yang diperintah tidak serta merta mau mengikuti perintah yang telah diujarkan oleh penutur. Dalam hal ini, mitra tutur yang diperintah dapat menerima perintah itu karena penutur telah menggunakan tuturan yang santun, yaitu ditandai dengan kata „tolong‟. Dan contoh terakhir yakni contoh [6] di atas, dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur yang sudah sangat kenal dan akrab sehingga perintah tersebut dianggap santun. Seperti yang telah dikemukakan, prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua prinsip tersebut perlu dipertimbangkan dalam kegiatan berkomunikasi. Prinsip
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) sedangkan prinsip kesantunan dikemukakan oleh Leech (1983).
2.2.2.5 Konsep Muka Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat. Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial dan Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan pertemanan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilainilai wajah itu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman, pacar, dan sebagainya).
2.2.3
Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan Kesantunan merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap
orang dalam melakukan interaksi. Interaksi yang ideal memang membutuhkan suatu penanda agar apa yang dikomunikasikan menjadi jelas maksudnya dan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Komunikasi juga dapat melekatkan hubungan antar penutur dengan mitra tutur. Dengan adanya hubungan ini, maka keduanya akan saling mengerti apa yang tengah dikomunikasikan. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai dua faktor kebahasaan, yakni (1) diksi atau pilihan kata dan (2) pemakaian gaya bahasa yang dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan saat melakukan suatu tuturan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Penggunaan bahasa dalam dunia perdagangan memang tidak dituntut untuk memerhatikan setiap diksi atau pemilihan kata dengan tepat. Dunia perdagangan hanya menggunakan bahasa yang sewajarnya atau yang biasa digunakan dala konteks dagang. Beberapa bahasa yang digunakan oleh para pedagang pun terkesan kurang tepat. Memang bahasa yang digunakan para pedagang digunakan untuk mempermudah proses jual-beli dan menarik para pembeli, tetapi walaupun dalam konteks jual-beli, para pedagang dihimbau utuk tetap memperhatikan pilihan kata atau diksinya. Diksi atau yang lebih dikenal dengan pilihan kata tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan suatu ide, gagasan, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 1985:21-22). Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari, memilih, menyusun, dan menggunakan kata-kata dengan benar. Seseorang yang sedang bertutur kata harus dapat memilih dan menyusun kata-kata yang akan dikomunikasikan kepada mitra tutur agar mitra tutur dapat mengerti maksud dari tuturan dari si penutur. Jangan sampai kata-kata yang kita pilih dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Dalam berkomunikasi, seseorang tidak boleh berucap asal-asalan, bahkan sampai tidak tahu artinya. Mengapa demikian? Karena apabila hal tersebut terjadi, akan dapat menimbulkan suatu perasaan terhadap mitra tutur, entah dapat menyinggung, dapat membuat marah mitra tutur, dapat membuat sedih perasaan mitra tutur, hingga membuat kebingungan mitra tutur. Kesantunan akan dapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
tercermin dengan tuturan yang baik dan tepat sesuai dengan diksi yang telah dipakai. Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu
gagasan,
bagaimana
membentuk
pengelompokan
kata-kata
atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan
kata
tersebut.
Ketepatan
pilihan
kata
mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara atau penutur. Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini, Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi (pilihan kata) adalah sebagai berikut. a) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain, b) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain, c) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain, d) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk melakukan sesuatu, e) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati, f) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa. Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Penggunaan Kata yang Tepat Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan, suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu percakapan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
b. Menemukan Bentuk yang Sesuai Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah. Keraf (1985:87) mengatakan bahwa ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan kita untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan seorang penulis atau pembicara. Untuk dapat memilih kata dengan baik, yang benar-benar sesuai, tentu membutuhkan penguasaan kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang penutur memiliki kebebasan dalam memilih kata-kata namun tetap mengacu pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
pemilihan kata yang tepat. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain adalah tuturan dengan pemilihan kata yang tepat dan jelas karena penutur sudah pasti mempersiapkannya dengan matang-matang. Keraf (1985:88-89) menyebutkan beberapa butir persoalan yang harus diperhatikan oleh setiap orang agar mampu mencapai ketepatan pilihan kata dalam tuturannya. a)
Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi.
b) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. c)
Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya.
d) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. e)
Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut.
f)
Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara otomatis.
g) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus dapat membedakan kata umum dan kata khusus. h) Mempergunakan kata-kata indah yang menunjukkan persepsi khusus. i)
Memerhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.
j)
Memerhatikan kelangsungan pilihan kata. Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata atau diksi adalah
kelangsungan pilihan kata seperti yang tercantum pada point kesepuluh. Yang dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata merupakan teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud seseorang dapat disampaikan secara tepat dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
ekonomis (Keraf, 1985:100). Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara tepat, penutur juga harus dapat mempertahankan kelangsungan pilihan kata agar tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut. Dihimbaukan kepada penutur, jangan terlalu banyak menggunakan kata-kata saat berbicara dengan mitra tutur, karena hal ini dapat mengakibatkan mitra tutur menjadi kebingungan atau bahkan malah sama sekali tidak mengerti maksud tuturan penutur. Pemilihan kata-kata ini juga dikaitkan dengan situasi dan lingkungan penutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi.
2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan sebutan style. Style ini identik dengan unsur keindahan yang merupakan suatu bentuk kekhasan akan sesuatu hal. Menurut Keraf (1985:112), terkait dengan keahlian, style menitikberatkan pada menulis indah, namun lambat laun berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunkan kata-kata secara indah. Dalam tuturan tentu hal ini sangat berkaitan dengan tindak tutur antara penutur dengan mitra tutur ketika tengah melakukan percakapan. Hal penting yang harus dilakukan oleh penutur adalah bagaimana penutur dapat bertutur kata secara santun dan indah dengan mitra tuturnya. Gaya bahasa menurut Keraf (1985:113) dibatasi hanya sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang akan memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa digunakan untuk memberi suatu kekhasan dari ungkapan penutur. Keraf mengatakan bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
seorang penutur harus mempunyai suatu kekhasan dalam tuturannya, dan hal tersebut pasti sudah dimiliki oleh setiap orang (penutur). Kekhasan yang dimiliki oleh setiap orang pastilah berbeda satu sama lain, karena setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dalam mengolah penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tulis. Bahasa percakapan memang biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis. Karena bahasa percakapan sudah pasti akan digunakan dalam situasi apapun, kapan pun, dan di mana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis memiliki kaidah-kaidah atau batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan kita dapat menggunakan bahasa tulis. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu. Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gayagaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual (penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain. Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya bahasa yang baik, yaitu: a. Kejujuran Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya. Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk digunakan dalam konteks berkomunikasi. b. Sopan Santun Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya, dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam berkomunikasi. c. Menarik Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi, humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi.
2.2.4 Sosiopragmatik Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21). Yang dimaksud dengan konteks sosial di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
sini adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan konteks sosietal dimaksudkan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu. Kajian sosiopragmatik ini secara konkrit merupakan kajian entitas kebahasaan yang menggabungkan ancangan penulisan sosiolinguistik dan ancangan penulisan pragmatik dalam wadah dan lingkup kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, sosiopragmatik merupakan telaah mengenai penggunaan dan pemaknaan bahasa pada kondisi setempat. Sosiopragmatik ini tidak lepas dari penggunaan konteks. Hal ini dikarenakan aspek sosiolinguistik memang terfokus pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri. Kajian ini juga mengacu pada santun atau tidak santunnya suatu tuturan yang dilihat dari kacamata sosiopragmatik untuk meninjau sejauh mana terlihatnya keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh kajian sosiopragmatik ini di dalam aktivitas komunikasi yang terjalin. Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi komunikatif dalam penggunaan bahasa secara khusus di kalangan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Klasifikasi
data tersebut
telah
diidentifikasikan berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan deskripsi analisis data juga akan dipaparkan sebagai berikut. 1) Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
menggunakan kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. 2) Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan
dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya, yaitu (1) skala biayakeuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini dikarenakan ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun. 3) Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin mengetahui tentang (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) diksi, dan (5) gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan pembeli dalam konteks berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta. Kelima hal tersebut di atas juga memiliki andil yang besar dalam peneliti menentukan tingkat kesantunan berbahasa. 4) Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting dari lima hal tersebut yakni penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa. Ketiga hal itu juga dapat mewakili dua skala milik Leech yang oleh peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis penelitian ini. Oleh karena itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima hal yang telah dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan menjelaskan dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam suatu tuturan dapat terjadi hanya satu penanda saja, tetapi dapat pula terjadi lebih dari satu penanda yang digunakan dalam suatu tuturan secara bersamaan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
Saat kita berbicara santun, di situ kita akan mendapatkan perhatian atau simpati dari lawan tutur atau mitra tutur. Dalam hal ini, semua bahasa memiliki tingkat kesantunan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari aspek intonasi, nada bicara, faktor pilihan kata atau diksi, dan faktor struktur kalimat yang dituturkan.
2.2.5 Konteks Dalam suatu kegiatan komunikasi, hal utama yang perlu diperhatikan adalah konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Penutur dan mitra tutur harus benar-benar mengetahui konteks pembicaraannya. Apabila penutur dan mitra tutur sedah sama-sama mengerti konteks pembicaraannya, sudah pasti tuturan yang diujarkan menjadi lancar dan mampu dipahami makna tuturannya. Imam Syafi‟i (melalui Mulyana, 2005:24) menjelaskan tentang konteks tuturan yang dibagi menjadi empat bagian. Empat konteks tuturan ini dijelaskan sebagai berikut. a)
Konteks linguistik (linguistic context) adalah kalimat-kalimat dalam suatu percakapan.
b) Konteks epostemis (epostemis context) adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan tutur. c)
Konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya percakapan atau komunikasi, objek yang disajikan dalam suatu percakapan, dan tindakan partisipan tutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
d) Konteks sosial (social context) adalah suatu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam suatu percakapan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu kegiatan komunikasi. Dengan adanya konteks ini, tuturan yang diujarkan oleh penutur akan dapat langsung ditangkap dengan baik dan jelas maksud tuturannya oleh mitra tutur.
2.3 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1.
Penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Hal ini mengacu pada tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
2.
Landasan teori yang digunakan adalah teori-teori sosiolinguistik, pragmatik, dan sosiopragmatik pada umumnya (teori kesantunan pada khususnya).
3.
Atas
dasar
teori
tersebut,
penelitian
ini
akan
menjelaskan
atau
mendeskripsikan secara jelas tingkat kesantunan berbahasa yang digunakan oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. 4.
Sifat
penelitian
ini
adalah
penelitian
kualitatif
deskriptif
yang
menitikberatkan pada deskripsi data penelitian dengan instrumen penelitian peneliti sendiri yang memiliki bekal pengetahuan teori-teori pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik pada umumnya dan teori kesantunan pada khususnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
Untuk memperjelas kerangka berpikir di atas, dibuatlah skema yang menandakan urutan dari kerangka berpikir tersebut. Skema kerangka berpikir disusun dengan rinci sebagai berikut.
BAGAN 1 Kerangka Berpikir
PENGGUNAAN BAHASA PEDAGANG "PERKO" TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA
TEORI-TEORI KESANTUNAN
ASPEK SOSIOLINGUISTIK
ASPEK PRAGMATIK
PENGGUNAAN SAPAAN, ALIH KODE, DAN CAMPUR KODE
SKALA KESANTUNAN GEOFFREY LEECH (1983)
SOSIOPRAGMATIK
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam metodologi penelitian ini, penulis menguraikan bagian-bagian yang memuat tentang (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) instrumen penelitian, (4) metode pengumpulan data, (5) teknik analisis data, dan (6) triangulasi data. Uraian secara lengkap bagian pendahuluan dipaparkan berikut ini.
3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang tingkat kesantunan berbahasa yang digunakan oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Berdasarkan penjelasan bab II sebelumnya, jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah jenis penelitian kebahasaan yang dikhususkan pada bidang kajian ilmu sosiopragmatik. Secara umum penelitian ini mengacu pada teori-teori pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik sedangkan secara khusus mengacu pada teori kesantunan berbahasa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Jika didefinisikan secara terpisah-pisah, yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah penelitian yang menitikberatkan penguraian atau penjelasan pandangan peneliti terhadap adanya suatu masalah. Dalam hal ini, Sudaryanto (1998:60) mengatakan bahwa deskriptif lebih menandai pada hasil penelitian yang bersangkutan dengan sikap atau pandangan peneliti terhadap adanya (dan tidak adanya) penggunaan
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
bahasa daripada menandai cara penanganan bahasa tahap demi tahap dan langkah demi langkah. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menjabarkan. Namun, Sugiyono (2012:8) memiliki pandangan yang berbeda dengan pernyataan mengenai penelitian kualitatif sebelumnya. Sugiyono mengatakan bahwa penelitian kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah. Sebenarnya jika kita perhatikan dengan seksama, pengertian penelitian kualitatif dan deskriptif sama-sama menjabarkan, menjelaskan, memaparkan, dan lain-lain. Sugiyono (2012:222) memaparkan bahwa penelitian kualitatif dipilih sebagai human instrument (instrumen yang diteliti adalah orang atau manusia) memiliki fungsi untuk menetapkan fokus penelitian, pemilihan informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data yang dipakai dalam penelitian ini, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya. Fokus penelitian ini adalah pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kemudian yang dijadikan sebagai informan dari penelitian ini yakni pedagang itu sendiri.
3.2 Sumber Data dan Data Sumber data berasal dari aktivitas tuturan (penggunaan bahasa) oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan pembeli. Keseluruhan datadata tersebut merupakan populasi dari penelitian ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:695), populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel. Jadi, data-data yang diambil dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
penelitian ini merupakan sumber pengambilan sampel yang pastinya menyeluruh dan benar-benar akurat. Sumber data penelitian ini berasal dari tuturan pedagang (penjual) dengan pembeli yang semuanya diambil secara natural dan terarah. Data diperoleh dari tuturan masing-masing pedagang dan pembeli. Hal ini dilakukan karena dirasa para pedagang seringkali menggunakan bahasa yang kurang santun dalam konteks percakapan jual-beli, begitu juga dengan pembeli. Sedangkan sampelnya adalah sebagian pedagang “perko” yang ada di trotoar Malioboro Yogyakarta dan sebagian pembeli yang akan menjadi objek penelitian ini, begitu pula sebaliknya.
3.3 Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti yang memiliki bekal pengetahuan mengenai bidang kajian ilmu sosiolinguistik, pragmatik, dan sosiopragmatik beserta teori-teorinya. Namun tidak hanya terfokus pada teoriteori umumnya saja, melainkan terfokus secara khusus mengenai teori kesantunan berbahasa. Setelah fokus penelitian ini sudah tampak jelas adanya, maka kemungkinan besar akan dikembangkan instrumen penelitian yang sederhana. Hal ini dilakukan supaya dapat melengkapi data-data serta membandingkannya dengan data-data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara (Sugiyono, 2012:223-224). Peneliti sudah sangat jelas dengan konteks jual-beli yang ada di daerah pusat perbelanjaan ternama di kota Yogyakarta, yaitu Malioboro. Peneliti telah melihat bagaimana kehidupan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta di setiap harinya hanya untuk menjajakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
dagangannya pada para pembeli. Hal ini diharapkan dapat memudahkan peneliti dalam mengupayakan hasil dari instrumen penelitian untuk mencapai tingkatan yang maksimal. Jadi, peneliti harus benar-benar fokus pada penelitian ini guna mendapatkan hasil yang maksimal, jelas, teliti, dan terperinci.
3.4 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua metode, yakni metode yang pertama adalah metode observasi partisipatif dan metode yang kedua adalah metode simak-catat. Peneliti mengumpulkan tuturan dari hasil percakapan antara pedagang “perko” dengan pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan diperoleh dari penggunaan dua metode tersebut di atas. Metode pertama yaitu metode observasi partisipatif. Berawal dari definisi observasi. Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat”, “mengamati”, dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan
secara
akurat,
mencatat
fenomena
yang
muncul,
dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati. Observasi partisipan adalah observasi yang melibatkan peneliti atau observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jenis teknik observasi partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang bersifat eksploratif. Untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
suku bangsa karena pengamatan partisipatif memungkinkankan peneliti dapat berkomunikasi
secara
akrab
dan
leluasa
dengan
observer,
sehingga
memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan detail terhadap hal-hal yang akan diteliti. Dengan menggunakan metode ini, tuturan antara pedagang dengan pembeli dapat diperoleh secara jelas. Di dalam tuturan antara kedua partisipan tersebut pasti terdapat bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang mengandung makna linguistik maupun nonlinguistik. Selain bentuk-bentuk kesantunan, penggunaan kata sapaan juga pasti terlihat dalam percakapan tersebut. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri akan terjadi peristiwa alih kode dan campur kode. Metode yang kedua adalah metode simak-catat. Tuturan diperoleh dengan memperhatikan metode simak-catat, yakni menyimak pertuturan langsungan di dalam aktivitas jual-beli yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk kesantunan bahasa yang mengandung makna linguistis maupun nonlinguistis. Teknik yang digunakan terhadap metode tersebut adalah dengan mencatat dan merekam tuturan dalam aktivitas jual-beli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Catatan dan rekaman tuturan itulah yang kemudian diteliti oleh peneliti terhadap tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dalam aktivitas jualbeli. Peneliti menggunakan dua metode tersebut karena melihat kedua metode di atas dirasa sudah tepat digunakan untuk mencari data tuturan baik tuturan penjual maupun tuturan pembeli yang ada di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dengan menggunakan metode yang pertama yakni metode observasi partisipatif, peneliti dapat meneliti dengan mudah karena peneliti ikut terjun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
langsung dapat observasi tersebut. Metode yang kedua yakni metode simak-catat digunakan peneliti untuk meninjau kembali dari rekaman yang telah diambil oleh peneliti saat observasi berlangsung. Dari rekaman tersebut kemudian ditranskrip berupa catatan percakapan antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, dua metode tersebut di atas dipilih peneliti sebagai metode pengumpulan data pada penelitian ini.
3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitiannya ini merujuk pada kajian analisis deskriptif dan analisis kontekstual. Nurastuti (2007:103) menjelaskan yang dimaksud dengan analisis deskriptif adalah analisis yang dilakukan dengan merinci dan menjelaskan secara panjang lebar (menyeluruh) keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat. Jadi, teknik analisis data secara deskriptif ini, peneliti benar-benar mengungkap masalah penelitian ini dengan cara mendeskripsikan, menjelaskan, dan memaparkan masalah penelitian tersebut. Analisis kontekstual adalah analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan konteks (Rahardi, 2006:36). Peneliti kemudian mengaitkan deskripsi atau paparan masalah tersebut ke dalam suatu bentuk kalimat, sehingga penelitian ini benar-benar jelas. Tentu tidak terlepas dari konteks yang notabene merupakan ancangan dari kajian sosiopragmatik itu sendiri. Pada
teknik
analisis
data
ini,
peneliti
menggunakan
ancangan
sosiopragmatik yang menekankan pada maksud tuturan beserta konteksnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
Maksud tuturan dan konteks di sini dideskripsikan secara mendetail guna mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, terdapat empat langkah teknik analisis data dalam penelitian ini. Empat langkah teknik analisis data ini dijabarkan sebagai berikut. 1) Tahap pertama adalah tahap klasifikasi Pada tahap pertama ini, peneliti mengelompokkan data-data penelitian berdasarkan kesamaan masalah penelitian yang mengacu pada teori sosiolinguistik, pragmatik, dan khususnya teori sosiopragmatik sebagai tinjauan dalam penelitian ini. 2) Tahap kedua adalah tahap identifikasi Tahap identifikasi ini peneliti melakukan suatu indentifikasi terhadap datadata yang telah terkumpul dengan mengkaji tuturan kebahasaan dengan menggunakan teori kesantunan dan penanda kesantunan. Peneliti juga mengidentifikasi data-data sesuai dengan konteksnya (sosiopragmatik). 3) Tahap ketiga adalah tahap interpretasi Tahap ini merupakan tahapan pemberian makna atau pemaknaan atas temuantemuan dalam penelitian ini. Peneliti memberikan makna atau pemaparan mengenai maksud tuturan sesuai dengan analisis atau identifikasi yang telah dilakukan sesuai dengan data yang ada. Pemaknaan ini tentu tidak terlepas dari adanya konteks yang terdapat di dalam data-data penelitian ini. 4) Tahap yang terakhir adalah tahap deskripsi Dalam tahap ini, peneliti memaparkan dan menjelaskan hasil kajian yang telah dilakukan berdasarkan kajian ilmu sosiopragmatik yang mengacu pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
tuturan beserta maksudanya dan konteks tuturan itu sendiri. Deskripsi ini dapat dikatakan sebagai hasil temuan yang dilakukan peneliti dalam mengupas habis permasalahan dalam penelitian ini.
3.6 Triangulasi Data Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yang berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006:330). Metode triangulasi merupakan salah satu metode yang paling umum di pakai dalam uji validitas penelitian kualitatif. Metode triangulasi di dasarkan pada filsafat fenomenologi. Fenomenologi merupakan aliran filsafat yang mengatakan bahwa kebenaran bukan terletak pada peneliti, melainkan realitas objek itu sendiri. untuk memperoleh kebenaran, secara epistimologi harus dilakukan penggunaan multiperspektif. Ada tiga proses triangulasi yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini, yaitu triangulasi teori, triangulasi logis, dan triangulasi penyidik. Melalui triangulasi teori, peneliti memanfaatkan dan membandingkan teori-teori tentang kesantunan berbahasa, skala kesantunan, penanda-penanda kesantunan, dan lainlain yang berkaitan dengan kesantunan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
dan ditunjang dari segi pembelinya juga. Yang kedua, peneliti melakukan triangulasi logis, yaitu melakukan bimbingan bersama dosen pembimbing , yaitu Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. sebagai pembimbing I dan Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai pembimbing II dalam hal diskusi-diskusi demi perbaikan dan penyempurnaan sejak awal hingga akhir penelitian. Dan triangulasi yang terakhir adalah triangulasi penyidik. Dalam triangulasi penyidik ini, adanya penyidik yang turut memeriksa hasil pengumpulan dan tabulasi data yang telah diperoleh dan dianalisis oleh peneliti. Peneliti mempercayakan Dr. B. Widharyanto, M.Pd. sebagai penyidik triangulasi ini. Penyidik akan memeriksa dan memberi masukan terhadap hasil pengumpulan data yang telah dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan. Mengapa dapat dikatakan demikian? Karena dilihat dari masalahnya, jenis penelitiannya, sumber datanya, metode pengumpulan datanya, dan lain-lain, peneliti dapat mengambil nila-nilai positif dalam proses penelitian ini. Dikatakan menarik karena penelitian ini belum pernah dilakukan oleh siapa pun dengan mengambil konteks pusat perdagangan dan perbelanjaan khas kota Yogyakarta yaitu Malioboro. Selain itu, selain kita melaksanakan penelitian ini, kita dapat juga “Bermain Sambil Belajar”. Maksud dari pernyataan tersebut adalah memang tujuan kita untuk melakukan sebuah penelitian ini, namun kemungkinan besar kita juga dapat ikut bermain, jalan-jalan di dalam pusat perdagangan dan perbelanjaan yang terkenal itu. Hal ini akan membuat peneliti lebih bersemangat dalam melakukan penelitian ini. Ditambah lagi dengan adanya bermacam-macam jenis dagangan yang diperjualbelikan di sana sehingga peneliti tidak bosan dengan keadaan sekitar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
Peneliti akan berusaha keras dalam melakukan penelitian ini. Usaha yang keras dan maksimal diharapkan akan membuahkan hasil yang maksimal juga. Peneliti berharap penelitian ini akan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Sehingga masalah dalam penelitian ini dapat terkuak dan menjadikan penelitian ini sebagai penelitian baru yang diharapkan mampu menambah penelitianpenelian lainnya dalam suatu bidang kajian ilmu sosiopragmatik serta dapat bermanfaat bagi pembacanya. Oleh karena itu, penelitian ini benar-benar diarahkan dengan menggunakan metodologi penelitian yang sangat rinci dan jelas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil analisis data, dan (3) pembahasan temuan.
4.1 Deskripsi Data Teori kesantunan berbahasa mengkaji bentuk-bentuk tuturan yang santun yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi terjadi. Teori ini sangat penting untuk digunakan karena dengan menggunakan teori ini, kita akan dapat melihat dan memahami tuturan mana yang santun dan tuturan mana yang tidak santun. Ketika kita tengah melakukan percakapan dengan orang lain, kita juga harus mempertimbangkan perasaan orang lain yang tengah kita ajak berkomunikasi. Dengan memperhatikan perasaan itulah, komunikasi yang terjalin akan lancar. Hal ni termasuk dalam tingkat kesantunan berbahasa dalam berkomunikasi dengan tidak mempermalukan pihak penutur dan pihak mitra tutur. Tentu dalam berkomunikasi, kita harus memperhatikan konteks kita dalam berkomunikasi. Konteks bisa berupa siapa yang kita ajak berkomunikasi, tempat kita berkomunikasi, waktu kita berkomunikasi, dan sebagainya. Konteksnya harus jelas adanya karena tanpa adanya konteks ini sudah jelas bahwa komunikasi pasti tidak akan berhasil. Selain dengan mempertimbangkn perasaan, kesantunan juga harus ditujukkan dengan ekspresi wajah atau yang biasa disebut dengan konsep muka. Dengan melihat ekspresi muka tersebut, maka kita dapat melihat
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
bagaimana tanggapan atau respon mitra tutur yang tengah kita ajak berkomunikasi. Dalam komunikasi, kesantunan berbahasa juga ditinjau dari segi sosiolinguistik yang mendasar pada sapaan, alih kode, dan campur kode. Penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode kadang disalahgunakan dalam meneliti tingkat kesantunan berbahasa. Memang tidak ada salahnya ketika dalam berkomunikasi aspek-aspek sosiolinguistik itu dipakai, namun hal tersebut juga harus diperhatikan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur menjadi santun dan tidak merugikan kedua belah pihak, baik penutur maupun mitra tutur. Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Maka, sangat wajar apabila kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pendengarnya. Hal ini dapat kita lihat pada tuturan para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang menggunakan tuturan yang seadanya tanpa melihat apakah tuturan tersebut santun atau tidak. Bagi sesama pedagang, tuturan yang dituturkan kepada para pembeli itu sudah biasa digunakan dan pasti sudah santun. Namun pada kenyataannya dapat dilihat ketika ada seorang pembeli yang tiba-tiba langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam atau suatu ucapan terima kasih kepada pedagang. Komunikasi yang terjalin sudah pasti tidak berjalan dengan baik dan pedagang menggunakan tuturan yang dapat merugikan pembeli, sehingga pembeli langsung pergi begitu saja. Begitu pula sebaliknya dengan pembeli. Ada kenyataan ketika pembeli yang mencoba
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
menawar harga dagangan seorang pedagang serendah mungkin dengan tuturan yang tidak santun akan membuat perasaan pedagang kesal atau marah, sehingga pedagang bersikap acuh tak acuh kepada pembeli. Fenomena-fenomena itulah yang perlu diluruskan dengan meneliti tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang menitikberatkan pada kajian sosiopragmatik. Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun. Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin mengetahui tentang (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) diksi, dan (5) gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan pembeli dalam konteks berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta. Kelima hal tersebut di atas juga memiliki andil yang besar dalam peneliti menentukan tingkat kesantunan berbahasa. Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting dari lima hal tersebut yakni penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa. Ketiga hal itu juga dapat mewakili dua skala milik Leech yang oleh peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis penelitian ini. Oleh karena itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima hal yang telah dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan menjelaskan dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Data yang dianalisis dalam skripsi ini adalah tuturan verbal (hal-hal yang dituturkan) yang sifatnya percakapan antarorang atau antara penjual dan pembeli. Data diambil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dalam percakapan pedagang dan pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta selama bulan Februari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
2014 hingga April 2014. Hasilnya ada sekitar 37 data tuturan yang dianalisis dalam penelitian ini. 37 data tuturan tersebut kemudian dianalisis untuk kedua objek penelitiannya, yakni dari segi penjual atau pedagang dan dari segi pembeli. TABEL 1 JUMLAH DATA TUTURAN PEDAGANG DAN PEMBELI “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA
1. 2.
Pedagang Pembeli
20 16
17 21
37 37
PENANDA KESANTUNAN Pemakaian Gaya Bahasa
Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Skala Ketidaklangsungan (Tuturan)
Skala Pilihan (Tuturan)
Skala Untung-Rugi (Tuturan)
JUMLAH (TUTURAN)
TIDAK SANTUN (TUTURAN)
NO. SUBJEK
SANTUN (TUTURAN)
SKALA KESANTUNAN
S
TS
S
TS
S
TS
S
TS
S
TS
7 3
14 13
7 9
3 2
6 4
0 6
2 2
2 2
2 2
2 2
Dari tabel di atas, jumlah data tuturan pedagang dan pembeli sama-sama berjumlah 37 data tuturan. Tuturan pedagang dan pembeli yang dianalisis tersebut terangkum dalam satu data sekaligus. Jadi, dalam satu data tuturan akan dianalisis ada dua, yakni tuturan pedagang dan tuturan pembeli. Tabel di atas memaparkan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 data tuturan yang terdiri atas 7 data tuturan dari skala untung-rugi, 7 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 data tuturan yang terdiri atas 14 data tuturan dari skala untungrugi, 3 data tuturan dari skala pilihan, dan 0 data dari skala ketidaklangsungan. Dari data-data penjual tersebut, teori penanda kesantunan yakni pemakaian diksi dan gaya bahasa mengambil 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Begitu juga dengan tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16 data tuturan yang terdiri atas 3 data tuturan dari skala untung-rugi, 9 data tuturan dari skala pilihan, dan 4 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 data tuturan yang terdiri atas 13 data tuturan dari skala untung-rugi, 2 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Dari data-data penjual tersebut, teori penanda kesantunan yakni pemakaian diksi dan gaya bahasa mengambil 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi, jika data-data tersebut dirangkum menjadi satu, data yang diperoleh peneliti tetap sebanyak 37 data tuturan. Namun apabila data-data tersebut dipilah-pilah berdasarkan subjek penelitiannya, data tuturan penjual/pedagang sebanyak 37 data dan data tuturan pembeli sebanyak 37 data juga (hal ini sudah termasuk data tuturan dari segi penanda kesantunan).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
37 data tuturan tersebut dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam tiga skala Leech, yaitu (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan dan dua penanda kesantunan, yakni (1) pemakaian diksi dan (2) pemakaian gaya bahasa dalam analisis data. Setiap data akan dipilah menjadi dua analisis, yakni analisis tuturan penjual dan analisis tuturan pembeli. Setiap skala dan teori penanda kesantunan terdiri atas beberapa data yang dianalisis dalam dua kategori yaitu kategori tuturan yang santun dan tuturan yang tidak santun. Dalam analisis data, peneliti tidak menggunakan semua data untuk dianalisis. Peneliti hanya menggunakan beberapa data saja sebagai sampel dalam analisisnya. Tentu data yang dijadikan sampel sudah menjadi data pilihan peneliti sebagai cakupan untuk analisis teori yang telah dipilih. Sub pertama yang mengenai tingkat kesantunan penjual “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta peneliti menggunakan 5 data tuturan yang santun dan 5 data tuturan yang tidak santun dari skala untung-rugi, 3 data tuturan yang santun dan 1 data tuturan yang tidak santun dari skala pilihan, dan 4 data tuturan yang santun dan 0 data tuturan yang tidak santun dari skala ketidaklangsungan. Dari data-data tuturan penjual tersebut, tak lupa pula peneliti menggunakan 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi untuk menjawab sub yang pertama ini, peneliti menggunakan 26 data tuturan, baik santun maupun yang tidak santun. Kemudian untuk sub kedua yang mengenai tingkat kesantunan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta peneliti menggunakan 3 data tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
santun dan 5 data tuturan yang tidak santun dari skala untung-rugi, 2 data tuturan yang santun dan 1 data tuturan yang tidak santun dari skala pilihan, dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari skala ketidaklangsungan. Dari data-data tuturan penjual tersebut, tak lupa pula peneliti menggunakan 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi untuk menjawab sub yang kedua ini, peneliti menggunakan 23 data tuturan, baik santun maupun yang tidak santun. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini. TABEL 2 JUMLAH DATA TUTURAN PEDAGANG DAN PEMBELI “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA YANG DIGUNAKAN
1. 2.
Pedagang Pembeli
20 16
17 21
37 37
PENANDA KESANTUNAN Pemakaian Gaya Bahasa
Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Skala Ketidaklangsungan (Tuturan)
Skala Pilihan (Tuturan)
Skala Untung-Rugi (Tuturan)
JUMLAH (TUTURAN)
TIDAK SANTUN (TUTURAN)
NO. SUBJEK
SANTUN (TUTURAN)
SKALA KESANTUNAN
S
TS
S
TS
S
TS
S
TS
S
TS
7 3
14 13
7 9
3 2
6 4
0 6
2 2
2 2
2 2
2 2
JUMLAH (TUTURAN)
DALAM ANALISIS DATA
26 23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
4.2 Hasil Analisis Data Agar pemahaman kita semakin jelas mengenai hasil temuan atau analisis di atas, di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing aspek di atas.
4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “ Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta. Data yang pertama mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah pembelinya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan mengenai pendapat
Leech (1983:123) tentang lima skala
yang perlu
dipertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan. Lima skala tersebut terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri atas (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan adanya penggunaan tiga hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini. Dengan menggunakan sapaan, dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak digunakan sudah dapat dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan ketiga skala kesantunan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech 4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur. Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan. Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. (1) PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?) PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas. (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya) PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo? (Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e... PJ : Putih? PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?) PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju anak-anak kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB apabila dagangan yang dibeli tidak cukup, boleh ditukarkan). (DT 1) Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan tampak sebagai berikut. Data (1) memperlihatkan bahwa penjual (penutur) sedang melakukan transaksi jual beli dengan pembeli (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli berjalan dengan baik dan lancar. Penjual dapat mengerti apa yang diinginkan oleh mitra tuturnya saat transaksi jual beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua partisipan tersebut terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro. Penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks berdagang dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari data (1) tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur (penjual) memberikan keuntungan kepada pembeli dengan penekanan tuturannya yakni, “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.” (Cukupcukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). Penekanan tuturan tersebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tuturan tersebut sangat memberikan keuntungan bagi pembeli karena apabila dagangan yang dibelinya tidak cukup (ukurannya) boleh ditukarkan. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Santunnya tuturan data (1) juga ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Mas” tepat digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya. Sedangkan sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Data (1) juga menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di dalam data (1). (2) PJ : Tiga puluh ya? PB : Nawar dua lima, Bu. PJ : Ya wis, oke-oke, Dik. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan memberikan dagangannya sesuai dengan penawaran PB. Jadi tuturan ini termasuk dalam tuturan yang santun karena menguntungkan PB). (DT 4)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
Data (2) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur dapat mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari data (2) ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun, karena kedua partisipan tutur tersebut dapat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung dan tuturan penjual (PJ) ini sangat memberikan keuntungan kepada pembeli (PB). Dalam skala biaya-keuntungan, semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi sangat santun. Keuntungan yang diperoleh mitra tutur yakni mitra tutur mendapatkan barang dagangan penutur sesuai dengan harga penawarannya. Dengan tuturan, “Ya wis, oke-oke, Dik” menandakan bahwa penutur (PJ) memberikan dagangannya kepada mitra tutur (PB) sesuai dengan harga penawaran dari mitra tutur yang telah disepakati bersama sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa tuturan dari data (2) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tidak lepas dari penutur yang memberikan keuntungan pada mitra tuturnya, kedua partisipan tutur ini juga menggunakan sapaan dalam berkomunikasi. Penutur yang adalah seorang ibu-ibu tepat disapa dengan sapaan “Bu” oleh mitra tuturnya. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur yang adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan tepat disapa dengan menggunakan sapaan “Dik” oleh penutur yang jauh lebih tua dari mitra tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (2) dirasa menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Terlihat jelas dari tuturan data (2) yang menggunakan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada tuturan penutur yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur kode dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan yang sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud dari tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya. (3) PJ : Ini maksudnya gimana? PB : Yang warna biru. PJ : Ini campur-campur gitu? PB : Iya, pengennya gitu. PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh. PB : Hah? (kaget) PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho! PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas. PJ : Pinter nawar e. (Pintar menawar ya) PB : Tujuh belas. PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu. PB : Emoh (merengek) (Tidak mau) PJ : Dua ribu lagi PB : Dua ribu? PJ : Ini baru enam belas. PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi) PJ : Dua ribu! PB : Seribu! (memaksa) PJ : Ya udah ga papa (Ya sudah tidak apa-apa) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah orang dewasa berjenis kelamin laki-laki sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PB sangat pandai menawar sehingga PJ tidak sanggup lagi untuk menyangkal tawaran
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
harga dari PB dan pada akhirnya PJ menyetujui hasil tawaran dari PB. Hal tersebut menandakan bahwa tuturan PJ menguntungkan PB). (DT 7) Data (3) mengindikasikan bahwa penutur (penjual) sedang melakukan transaksi jual beli dengan mitra tutura (pembeli). Saat bertransaksi, mitra tutur (pembeli) sangat pandai menawar sehingga penutur (penjual) tidak sanggup lagi untuk menyangkat tawaran dari mitra tutur. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan, “Pinter nawar e”. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks tawar-menawar dagangan dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari percakapan tersebut termasuk dalam kategori yang santun karena penutur menguntungkan mitra tuturnya, yaitu PB atau pembelinya dan kedua partisipan tutur dapat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Penekanan pada kata-kata tawar-menawar yang dituturkan oleh mitra tutur seperti mempertegas
pertuturan
yang
sedang
berlangsung.
Hal
ini
kemudian
menimbulkan keuntungan antara penutur dan mitra tutur di dalam sebuah percakapan. Semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa diuntungkan, maka semakin santunlah tuturan itu. Keuntungan yang diperoleh oleh pembeli juga ditekankan pada tuturan penjual sebagai berikut, “Ya udah ga papa”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Data (3) ingin berbicara bahwa tuturan tawar-menawar yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur sudah menjelaskan bahwa keduanya sudah sama-sama mengetahui konteks jual beli dalam sebuah perdagangan, sehingga penutur dan mitra tutur lancar dalam bertransaksi jual beli. Santunnya tuturan antara penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Pak” yang diucapkan oleh mitra tutur kepada penutur. Sapaan tersebut sudah sesuai digunakan karena dapat kita ketahui bahwa penutur adalah orang dewasa yang berjenis kelamin laki-laki, jadi sapaan “Pak” memang dirasa sudah sesuai. Dilihat dari jenis kelaminnya juga mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan memang pantas untuk disapa dengan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” ini dirasa tepat digunakan karena melihat bahwa mitra tutur jauh lebih muda dari penutur. Dari hasil percakapan di atas, terdapat penggunaan campur kode dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur, begitu juga sebaliknya tanggapan mitra tutur kepada tuturan penutur. Percakapan di atas menggunakan campuran bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan kata emoh dan pinter nawar e. Percakapan di atas hampir seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia, namun ada satu percakapan yang dituturkan oleh penutur dan mitra tutur dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini merupakan campur kode, bahasa Indonesia-bahasa Jawa. Memang dalam konteks perdagangan, penutur (pedagang) dan mitra tutur (pembeli) jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan kata-kata baku dalam konteks jual beli. Oleh karena itu, para pedagang selalu menggunakan bahasa sehari-hari. Hal ini dirasa lebih mengakrabkan hubungan antara penjual dan pembeli dalam situasi jual beli. Penggunaan kata yang tidak baku pun juga terlihat dalam percakapan jual beli, seperti pada percakapan di atas yang menggunaan kata gak, ya udah ga papa, gimana, gitu, dan lho. Jadi, percakapan di atas terbilang santun karena penutur sangat menguntungkan diri mitra tuturnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
(4) PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak. PB: Ini? PJ : Enam lima. Berapa? PB: Tiga puluh PJ : Ambil berapa biji? PB: Satu, Pak. PJ : Udah empat puluh ya? PB: Emoh. Tiga puluh. (Tidak mau. Tiga puluh) PJ : Tambah lima ribu ya? PB: Emoh (Tidak mau) PJ: Ya udah (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang daster kepada pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa dan PB adalah wanita muda yang berhijab. PB menawar setengah harga lebih dari yang ditawarkan oleh PJ. PJ mencoba untuk menurunkan harga tawarannya akan tetapi PB tetap pada harga tawarannya. Akhirnya PJ memberikan harga tawaran PB. Hal ini dipandang sebagai tuturan yang santun karena menguntungkan PB). (DT 11) Data (4) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun, karena mitra tutur merasa diuntungkan oleh si penutur. Terlihat penutur menawarkan sebuah harga kepada mitra tutur dan mitra tutur langsung menawar setengah lebih dari harga yang ditawarkan oleh penutur. Namun penutur tetap pada harga yang ditawarkan, begitu juga dengan mitra tutur yang tetap pada harga tawarannya. Agar tidak kehilangan pelanggannya, penutur sedikit demi sedikit menurunkan harga tawarannya, akan tetapi mitra tutur tetap tidak mau. Hingga pada akhirnya penutur memberikan dagangannya dengan harga tawaran si mitra tutur. Hal tersebut sangat menguntungkan diri mitra tutur karena penawarannya telah dipenuhi oleh penutur. Tuturan yang menjadi penanda kesantunan dalam data ini dibuktikan dengan tuturan berikut, “Udah empat puluh ya?” dan “Ya udah”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik dan lancar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur mengerti arah tujuan dari pembicaraan tersebut. Tuturan data (4) termasuk dalam kategori santun karena penutur dan mitra tutur sama-sama mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Selain itu, pemilihan dan penggunaan kata-katanya juga tidak membuat diri mitra tutur tersinggung atau dirugikan. Penutur yang mengalah dengan memberikan dagangannya dengan hasil tawaran harga mitra tutur membuat diri mitra tutur merasa senang dan diuntungkan. Tuturan (4) menjadi tidak santun apabila antara penutur dan mitra tutur terjadi kesalahan komunikasi ataupun penutur dan mitra tutur memilih kata-kata yang kurang tepat dalam komunikasi. Santunnya tuturan (4) tersebut juga dilihat dari penggunaan sapaan. Dari data (4), sapaan “Pak” tepat ditujukan kepada penutur yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan sapaan “Mbak” tepat ditujukan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita muda. Sapaan ini sangat santun dan tepat digunakan untuk memanggil penutur yang adalah seorang laki-laki dewasa dan mitra tutur yang adalah seorang wanita muda. Tuturan tersebut menjadi tidak santun apabila sapaan yang digunakan tidak tepat. Pada tuturan (4) menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campuran bahasa Jawa Ngoko dapat dilihat dari tuturan mitra tutur, yakni “Emoh” yang memiliki arti tidak tahu. Walaupun campur kode ini sering terjadi dalam komunikasi, hal itu tidak akan mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan yang dikomunikasikan. Pada tuturan (4), penggunaan campur kode ini dirasa santun karena penutur dan mitra tutur sudah sama-sama mengetahui bahasa yang digunakan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
(5) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Pas aja dua belas ribu PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja. PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang sandal kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18) Data (5) merupakan percakapan antara penjual (penutur) dengan mitra tuturnya (pembeli) dalam suasana jual beli. Dalam data (5) ini terlihat kedua partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti alur pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur dan mitra tutur dapat mengerti arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan penutur (PJ) yang telah dicetak tebal yakni, “Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik?” (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) mempertegas bahwa penutur sangat menguntungkan mitra tutur (pembeli). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Data (5) ini ingin menjelaskan bahwa tuturan penutur tersebut merupakan sebuah keuntungan yang didapat oleh mitra tutur. Dapat dilihat penutur (PJ) memberikan keuntungan kepada mitra tutur (PB) dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal. Hal ini terlihat sangat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
menguntungkan mitra tutur. Sehingga mitra tutur dapat membeli dua pasang sandal dengan harga yang lebih murah, seperti yang sudah dituturkan oleh penutur. Ekspresi tanggapan mitra tutur juga terlihat puas dan senang. Oleh karena itu, tuturan tersebut dinilai santun karena tuturan penutur memberikan keuntungan kepada mitra tuturnya. Tuturan (5) menjadi tidak santun apabila penutur memaksakan mitra tuturnya (PB) untuk membeli dagangannya sesuai dengan harga tinggi yang diinginkannya tanpa memperhitungkan penawaran dari mitra tutur sehingga hal tersebut dapat merugikan mitra tuturnya. Dan tidak santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur tidak ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah pembicaraan yang tengah berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan guna menghormati seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun tidaknya sebuah tuturan juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan sapaan yang sudah tepat dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah tuturan. Namun apabila sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan tuturan akan jelas terjadi. Data tuturan (5) ini, sapaan “Pak” tepat digunakan untuk penutur yang adalah seorang laki-laki dewasa dan sapaan “Dik” tepat digunakan untuk sapaan mitra tutur yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaansapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain sapaan, penggunaan campur kode juga terlihat dari data (5) ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa Jawa Krama identik dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari tanggapan mitra tutur (PB) yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode bahasa Jawa Krama. Hal
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
ini lebih membuktikan dan menegaskan bahwa selain menguntungkan mitra tuturnya, penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya. (6) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem arek piro? (...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini enam mau berapa?) PB1: Hah? PJ1: Arek enem arek piro to kaose? (Mau berapa kaosnya?) PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro. (Eee... Iya yang itu dua) PJ2: Sing endi? Oren? (Yang mana? Jingga?) PB1: Sing ngene iki piro? (Yang begini ini berapa?) PJ1: Telu lima (Tiga lima) PB1: Ki telungatus pas ya? (Ini tiga ratus pas ya?) PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-marah) (Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini) PB1: Ndelok gambare aku. (Lihat gambarnya aku) PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku. (Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya) PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak. (Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak) PJ1: Wis? (Sudah) PJ2: Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1: Enam, pitu (Enam, tujuh) PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua) PB2: Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!) PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1: Lha iyo lima dua ratus to! (Lha iya lima dua ratus kan!)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak) PJ2: Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos dagadu kepada pembeli. Data diambil dari dua penutur dan dua mitra tutur. Keduanya saling tawar-menawar. Penutur adalah laki-laki dewasa dan wanita dewasa, sedangkan mitra tutur adalah wanita muda dan wanita dewasa. Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3) Data (6) merupakan tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur saat bertransaksi jual beli. Pada tuturan (6) tersebut mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh tuturan yang diucapkan oleh penutur, baik penutur pertama maupun penutur yang kedua. Mitra tutur menganggap penutur sangat menyindir mitra tutur melalui tuturan yang terucap dan hal itu mengakibatkan diri mitra tutur merasa sangat dirugikan. Dapat dilihat pada tuturan di atas, ada banyak sekali tuturan penutur yang merugikan diri mitra tutur, hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan seperti ini “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki” (sambil marah-marah), “Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (nada keras). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan tersebut membuat mitra tutur tersinggung dan menyebabkan mitra tutur menjadi marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur sangat merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi tuturan penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur menjadi tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
dirugikan dengan tuturan si penutur. Tuturan dari data (6) memperlihatkan bahwa tuturan penutur sangat tidak layak digunakan dalam konteks jual beli. Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari mitra tutur menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan. Data (6) diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko. Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (6) ini juga menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan kata pink dalam tuturan si mitra tutur (pembeli). Memang suasana komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan penutur membuat mitra tuturnya marah dan merasa dilecehkan. Penggunaan bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang memang layak digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua. Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan, yakni sapaan “Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene adalah seorang wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama dan pembeli kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa), dan yang terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang notabene adalah seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari penggunaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena sangat jelas terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur dapat merugikan diri mitra tuturnya. (7) PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima belas, yang HP. PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak? (Tas yang seperti ini berapa, Mbak?) PJ : Empat lima PB2: Kalau ini berapa? PJ : Delapan puluh PJ : Wo survei harga kok, Mbak’e ki ! (menyindir) (PB1 dan PB2 pergi) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ sangat tidak sopan dan sangat merugikan PB sehingga PB langsung pergi setelah mendengar tuturan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar dengan gaya menyindir). (DT 5) Data (7) merupakan tuturan dari seorang penjual tas kepada pembeli saat transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro. Pada tuturan (7) tersebut penjual yang notabene sebagai penutur mengucapkan kata-kata yang sangat menyindir dan merugikan diri mitra tutur (pembeli). Kalimat tersebut adalah “Wo survei harga kok, Mbak’e ki!”. Kalimat yang dituturkan oleh penjual tersebut sangat tidak layak dituturkan dalam konteks jual beli ini. Karena tuturan seperti itulah yang dapat merugikan pembeli yang hendak membeli dagangan si penjual. Kalimat itu juga dapat membuat diri mitra tutur merasa dilecehkan sehingga mitra tutur yang awalnya sedang melihat dan memilih dagangan penutur berbalik arah langsung pergi setelah tuturan tersebut terlontar dari mulut si penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena sangat jelas sekali bahwa tuturan tersebut sangat menyinggung, melecehkan, dan merugikan diri mitra tutur. Penekanan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Suasana tuturan antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan melalui tuturan tersebut. Dari data (7) yang dinilai tidak santun, sapaan “Mbak” dirasa sudah tepat digunakan oleh diri penutur dan mitra tutur yang notabene sama-sama seorang wanita yang masih muda. Usia yang diperkirakan atas keduanya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, sapaan “Mbak” layak digunakan sebagai sapaan di antara keduanya (penjual dan pembeli). Tuturan di atas juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Hal ini terlihat dari tuturan penutur yang mengikuti tuturan mitra tutur dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun setelah itu penutur mengucapkan kalimat yang dirasa tidak santun tersebut dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan bahasa Jawa memang tidak dapat dipisahkan dari logat asli orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta. Namun alangkah baiknya apabila penggunaan bahasa Jawa disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan siapa yang hendak kita ajak berkomunikasi. Dilihat dari data (7), penutur menggunakan campur kode bahasa Jawa. Kalimat yang dituturkan oleh penutur adalah bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan bahasa Jawa Ngoko dalam data (7) ini dinilai tidak santun karena selain kalimatnya sangat kasar, kalimat tersebut sangat merugikan mitra tutur sehingga mitra tutur langsung pergi meninggalkan penutur. (8) PB : Mas, ini sepasang ya? PJ : Iya, Dik. PB: Ini tadi dua berapa? PJ : Tujuh puluh PB: Dua, empat puluh, Mas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
100
PJ : Gak boleh! PB: Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Terlihat dari tanggapan PB yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan PJ yang dirasa kurang sopan. Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟ diganti dengan kata „maaf, belum boleh‟, sehingga dapat terlihat lebih sopan). (DT 16) Data (8) dengan penegasan kata gak boleh dengan nada yang ketus membuat suasana menjadi tidak nyaman. Tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa kecewa. Hal itu dapat dibuktikan dengan tanggapan mitra tutur yang berkata, “Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan” sambil menggerutu dan langsung pergi meninggalkan penutur. Tuturan penutur seperti itulah yang dapat membuat suasana komunikasi menjadi tidak harmonis layaknya transaksi jual beli yang sewajarnya. Tuturan si penutur membuat diri mitra tutur merasa dirugikan. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Data (8) termasuk tuturan yang tidak santun. Agar tuturan (8) menjadi santun, maka kata gak boleh dapat diganti dengan kata “Maaf belum boleh, Dik”. Apabila penutur mengucapkan seperti itu, mitra tutur tidak akan merasa tersinggung atau kecewa. Penggunaan sapaan “Mas” dan “Dik” pada data (8) mengindikasikan bahwa penutur dan mitra tutur saling menghormati. Penutur memberikan sapaan “Dik” kepada mitra tutur dan mitra tutur memberikan sapaan “Mas” kepada penutur karena mitra tutur. Hal ini tentu saja dengan melihat dan menyesuaikan dengan jenis kelamin dan perkiraan usia diri penutur maupun diri mitra tutur. Dalam percakapan di atas, penutur dan mitra tutur menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Memang secara keseluruhan terlihat bahwa tuturan di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
atas menggunakan bahasa Indonesia namun pada tuturan yang terakhir mitra tutur menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya. Hal ini tetap tidak mengubah arah komunikasi yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Walaupun antara penutur dan mitra tutur sama-sama mengerti apa yang dikomunikasikan, namun tuturan yang terjadi tetap dirasa tidak santun karena tuturan yang diucapkan oleh penutur membuat diri mitra tuturnya tersinggung. (9) PJ : Belum dapat, Mbak. PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta? (Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?) PJ : Hah? PB : Sepuluh PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek) PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki sepuluh ewu! (memaksa) (Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini sepuluh ribu) PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu. PB : Piro iki? (Berapa ini?) PJ : Seratus empat puluh lima PB : Gak dikorting? (Tidak dikurangi harganya?? PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal PB : Satus petang puluh lah, Pak? (Seratus empat puluhlah, Pak?) PJ : Tambah lima ribu ya? PB : (pergi) PJ : Ya udah sini. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB karena dilihat dari tuturannya, tuturan PJ sifatnya mengejek PB. Tuturan PJ juga terkesan tidak sopan). (DT 26) Data (9) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan ini memperlihatkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
bahwa tuturan penjual (penutur) dianggap menyindir dan mengejek mitra tutur. Mitra tutur menganggap penutur menyindir dan mengejek mitra tutur melalui tuturan yang terucap dari penutur itu sendiri dan hal tersebut mengakibatkan mitra tutur merasa sangat dirugikan karena melecehkan mitra tutur. Dapat dibuktikan dengan tuturan penutur kepada mitra tutur sebagai berikut, “Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau sama juragannya bisa tawar-menawar!” (mengejek). Tuturan yang ditujukan kepada mitra tutur tersebut dianggap tidak sopan dan merugikan diri mitra tutur sebagai seorang pembeli. Ditambah pula gaya bertutur kata si penutur yang mengejek menjadikan tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak pantas untuk dituturkan. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Suasana tuturan yang terjalin antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB) menjadi tidak menarik lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh tuturan si penutur. Penutur seolah-olah tidak memperdulikan penawaran yang diberikan oleh mitra tutur. Tuturan ini dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Agar tuturan pada data (9) ini menjadi santun, maka tuturan penutur yang dinilai kasar dan tidak sopan tersebut dapat diganti dengan tuturan berikut, “Maaf, Mbak harganya sudah pas”. Apabila penutur dalam tuturan (9) mengucapkan seperti itu, maka mitra tutur tidak akan merasa tersinggung dan dirugikan oleh ucapannya. Dalam data tuturan (9) di atas, sapaan yang digunakan sudah tepat. Sapaan “Pak” pada diri penutur sudah tepat dan layak digunakan karena melihat bahwa penutur adalah seorang laki-laki dewasa. Sapaan “Mbak” juga sudah dirasa tepat dan layak ditujukan pada diri mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita tengah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
baya dan lebih muda dari diri si penutur (PJ). Terlihat pula penggunaan campur kode dalam data tuturan ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Pada data tuturan di atas, penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko selalu diperlihatkan pada tuturan mitra tutur (PB). Misalnya, Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?, Piro iki?, dan lain-lain. Dilihat secara keseluruhan, walaupun penggunaan sapaan dalam data tuturan ini sudah tepat namun tuturan data (9) ini memang dirasa tidak santun karena ada tuturan penutur yang merugikan mitra tuturnya dan ada pula tuturan mitra tutur yang dirasa kurang tepat dituturkan dalam situasi komunikasi jual beli. (10) PB : Sepuluh ribu, empat, Bu? PJ : O ya belum dapat, Le. PB : Bolehnya berapa? PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem? PB : (melihat-lihat gantungan kunci) PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampurcampur! (kasar sambil marah-marah) PB : (pergi) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak-anak remaja yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Dilihat dari tuturan PJ yang kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai sangat tidak pantas dan tidak sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai mitra tuturnya). (DT 30) Data (10) memperlihatkan bahwa tuturan penutur kasar kepada pembeli (mitra tutur). Dapat dibuktikan dengan tuturan sebagai berikut, “Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!” (kasar sambil marahmarah). Tuturan seperti inilah yang dapat merugikan mitra tuturnya sebagai pembeli atau konsumen. Tuturan itulah yang menimbulkan efek negatif pada mitra tuturnya sehingga dapat menghancurkan suasana tuturan. Penutur tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
selayaknya bertutur kata sedemikian kasar kepada pembeli (mitra tuturnya). Apalagi ditambah dengan gaya penyampaian penutur yang marah-marah. Gaya penyampaian seperti itulah yang mendukung suasana komunikasi menjadi tidak harmonis. Pada tuturan (10) di atas, tampak mitra tutur (PB) tidak terima dengan tuturan yang diucapkan oleh penutur (PJ) sehingga mitra tutur pun langsung pergi meninggalkan dagangan si penutur. Mitra tutur merasa bahwa penutur menyindir dan melecehkan mitra tutur. Hal itu mengakibatkan mitra tutur (PB) merasa sangat dirugikan oleh penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Data (10) memperlihatkan bahwa tuturan di atas termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun. Ketidaksantunan lainnya juga terlihat pada penggunaan sapaan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu dinilai tepat disapa oleh mitra tutur dengan sapaan “Bu”. Namun sebaliknya, penutur yang menggunakan sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole” (bahasa Jawa Ngoko) yang artinya anak laki-laki kepada mitra tutur (PB), dinilai kurang tepat. Sapaan tersebut dirasa sedikit kasar. Ya memang sapaan “Le atau Thole” digunakan untuk anak laki-laki, akan tetapi dalam konteks jual beli dirasa kurang santun. Karena sapaan “Le atau Thole” biasanya digunakan untuk memanggil anak laki-laki yang sudah kita kenal atau yang sudah sangat akrab dengan kita, misalnya seorang ibu yang memanggil anak laki-lakinya (dengan menggunakan sapaan “Le atau Thole”) itu memang tepat dan layak. Tetapi dalam komunikasi jual beli ini, sapaan yang ditujukan oleh penutur kepada mitra tutur dinilai belum tepat. Alangkah baiknya apabila sapaan “Le” diganti dengan sapaan “Dik” yang lebih halus dan enak didengar (tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
terlalu kasar). Selain penggunaan sapaan, dalam data tuturan (10) juga terlihat adanya penggunaan campur kode yakni campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa Ngoko dapat dibuktikan dengan adanya kata, Le, gelem, dan ambilin. Memang penggunaan campur kode ini tidak menghilangkan maksud dari tuturan yang dilangsungkan, akan tetapi alangkah lebih baik jika dalam berkomunikasi baik penutur (PJ) maupun mitra tutur (PB) menggunakan kata-kata yang tepat, sopan, dan pas sehingga maksud dari tuturan yang dihasilkan pun juga dirasa sopan dan tidak ada yang dirugikan. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala untung-rugi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 3 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA UNTUNG-RUGI
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Analisis 1 Analisis 2 Analisis 3 Analsis 4 Analisis 5 Analisis 6 Analisis 7 Analisis 8 Analsis 9 Analisis 10
DT 1 DT 4 DT 7 DT 11 DT 18 DT 3 DT 5 DT 16 DT 26 DT 30
SKALA UNTUNG-RUGI SANTUN TIDAK SANTUN (diuntungkan) (dirugikan)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. (11) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini. PB : Ini? PJ : Itu mahal itu. PB : Ini gak boleh dua lima? (Ini tidak boleh dua puluh lima?) PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya. PB : Mahal ya PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan. (Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan) PB : Yang ini gak boleh dua lima? (Yang ini tidak boleh dua puluh lima?) PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. (Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas harganya) PB : Nanti ambilnya dua (merayu) PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak PB : Yah... PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. (Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu) PB : Ini berapa? PJ : Itu sembilan puluh PB : Ini? PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e. (Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya) PB : Yang mana, Bu? PJ : Itu. Satu, dua, tiga.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang dompet kepada pembeli. Penutur adalah orang dewasa berjenis perempuan, sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. PJ dan PB sama-sama berjenis kelamin perempuan. Hanya usia saja yang membedakan di antara keduanya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ sedang memberikan pilihanpilihan atas dagangannya kepada PB). (DT 6) Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keopsionalan, akan tampak sebagai berikut. Data (11) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PJ) terhadap mitra tutur (PB) dalam sebuah percakapan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur. Penutur memberikan banyak pilihan atas dagangannya kepada mitra tutur seperti pada tuturan berikut, “Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur menginginkan sebuah dompet yang harganya murah. Oleh karena itu, penutur memberikan pilihan-pilihan mengenai harga dagangannya. Dengan banyaknya pilihan yang diberikan penutur, mitra tutur akan mengetahui dan memikirkan dompet mana yang akan ia beli sehingga pemahaman tuturan atas keduanya terjalin dengan baik. Maka, data (11) terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Mbak” yang diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur. Sapaan tersebut sudah sesuai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
108
digunakan karena dapat kita ketahui bahwa mitra tutur lebih muda dari penutur. Dilihat dari jenis kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan dan penutur memang pantas menyapa mitra tutur dengan sapaan “Mbak”. Hal ini dikarenakan penutur lebih tua dari mitra tutur. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada penutur yang memang lebih tua dari mitra tutur. Dari hasil data (11) di atas, terdapat penggunaan campur kode bahasa Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. Campur kode ini terlihat pada tuturan penutur yang menggunakan kata iki, sik, dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan pilihane. Namun, mitra tutur tetap menjawab tuturan penutur dengan menggunakan bahasa Indonesia. (12) PB : Ini double? PJ : Ini double XL PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya? PJ : Ini ada yang XL? PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas? PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya? PB : Tiga tahun, ya laki-laki PJ : Ini ukuran L dan M PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah coba. PJ : Desainnya sama? PB : Ini tadi kan? PJ : Ini L PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan? PJ : Iya. Yang kayak gini juga PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan. PJ : Iya PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa? PJ : L PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L? PJ : Itu sama, Mbak ukurannya. PB : Double XLnya gak ada?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
109
PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini. PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini gambarnya apa? PJ : Gambarnya sama PB : Coba buka aja gambarnya apa. PJ : Ukurannya apa, Mbak? PB : Yang L juga. PJ : Yang ini? PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya? PJ : Jadinya 150 PB : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah. PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L. PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya ukurannya. PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain. PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres. PJ : Berarti yang gambarnya cowok? PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah wanita tengah baya sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihanpilihan ukuran kaosnya kepada PB). (DT 13) Data (12) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara penjual kaos dengan mitra tuturnya memiliki nilai kesantunan yang baik. Hal ini ditunjukkan pada tuturan penjual (penutur) yang memberikan banyak pilihan kaos kepada pembelinya seperti berikut, “Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Hal ini dinilai santun karena pilihan-pilihan yang diberikan penutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si mitra tutur (PB) sehingga mitra tutur dapat memilih dagangan si penutur dengan leluasa. Penutur dengan lihai dan bersemangat memberikan pilihan-pilihan kaos dagangannya kepada mitra tutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
110
Karena kelihaiannya, mitra tutur jadi merasa nyaman saat transaksi jual beli berlangsung. Hingga pada akhirnya, mitra tutur (PB) membeli dagangan penutur (PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu, jadi data tuturan (12) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada data tuturan di atas bahwa penutur memberikan pilihan-pilihan dagangannya kepada mitra tutur. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah pembicaraannya. Penjual (penutur) dan pembeli (mitra tutur) adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya menggunakan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah tepat karena penutur dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat dalam percakapan data (12) ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data (12) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
111
menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data (12) di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (12) ini. (13) PJ : Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit. PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : (mengangguk) Yang mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dek. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan kepada PB). (DT 19) Data (13) merupakan tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang baju kepada pembelinya. Dalam data tuturan ini, penutur (PJ) memberikan pilihanpilihan mengenai ukuran beserta harganya kepada mitra tutur (PB). Bahkan penutur memberikan pilihan bahwa harga dari dagangannya masih bisa dikurangi. Tuturan penutur dapat dipaparkan sebagai berikut, “Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur pun dapat memilih dagangan penutur dan memberi tanggapan baik atas pilihan-pilihan yang diberikan oleh penutur. Oleh karena itu, data (13) ini dapat digolongkan sebagai tuturan yang santun. Tuturan tersebut terlihat santun juga dilihat dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baik-baik saja dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
112
berjalan dengan lancar. Komunikasi yang lancar ini terjadi karena penutur dan mitra tutur mengerti alur pembicaraan mereka. Dapat dibuktikan pada data tuturan (13) di atas bahwa transaksi jual beli berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil (mitra tutur dapat memilih serta membeli dagangan penutur dengan baik). Sapaan yang digunakan dalam data tersebut di atas dirasa sudah tepat. Sapaan “Bu” tepat ditujukan pada penutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan sapaan “Dik” juga dirasa tepat digunakan pada mitra tutur yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan yang digunakan sudah tepat dan layak digunakan dalam transaksi jual beli di atas. Penggunaan sapaan yang kurang tepat apabila mitra tutur memberikan sapaan “Dik” kepada penutur yang jauh lebih tua darinya. Hal tersebut sudah pasti akan menimbulkan ketidaksantunan dalam komunikasi yang terjalin. Pada data (13) ini juga timbul campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada kata iki yang dalam bahasa Indonesianya berarti ini. Penggunaan campur kode dalam data ini tidak mengubah maksud dari tuturan yang terjadi. Jadi, walaupun terdapat campur kode bahasa Jawa, tuturan (13) tetap tergolong dalam tuturan yang santun. (14) PB: Umur lima tahun PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras) (Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan dibolak-balik) PB: Berapa ini? PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane. (Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini warnanya) PB: Dua lima ya, Bu?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
113
PJ: Telung puluh ya? (Tiga puluh ribu ya?) PB: Dua lima aja ya? PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken mengko. Nyoh ngko ndak lali! (Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada PB). (DT 28) Data (14) menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain. Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan. Hal ini dikarenakan penutur (PJ) mengharuskan mitra tutur (PB) untuk membeli dagangan penutur dengan pilihan yang seadanya saja, sehingga mitra tutur tidak dapat memilih dagangan PJ dengan leluasa dan sesuai dengan keinginannya. Analisis tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan penutur berikut ini, “Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane”. Penekanan kata „nyoh‟ dalam tuturan inilah yang menimbulkan efek keharusan mitra tutur untuk membeli dagangan penutur tanpa adanya pilihan-pilihan lain yang sesuai dengan keinginan mitra tutur (PB). Penutur hanya memberikan pilihan seadanya saja (tidak banyak) kepada mitra tutur. Ketidaksantunan terjadi pula pada tuturan penutur yang terlihat kasar kepada mitra tutur seperti, “Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le” (nada keras). Tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan penutur dengan penekanan „Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le‟ menimbulkan efek yang tidak baik terhadap diri mitra tutur (PB). Penutur menuturkan kalimat tersebut dengan nada keras dan tinggi,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
serta raut wajah yang „sinis‟ dan jutek (tidak enak untuk dipandang). Mitra tutur yang awalnya ingin memilih-milih dagangan PJ kini hanya dapat melihat saja. Karena tuturan penutur (PJ) yang melarang mitra tutur (PB) untuk memilih-milih dagangannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur yang mengatakan „Ora diwolak-walik, Le‟. Pernyataan seperti inilah yang membuat mitra tutur tidak leluasa memilih dagangan si penutur (penjual). Agar tuturan pada data (14) menjadi santun, kata-kata yang terlihat kasar dan kurang tepat digunakan diganti dengan kata-kata yang sopan. Misalnya, „anane iki nyoh‟ diubah menjadi „maaf, warnanya tinggal ini saja, yang lain sudah habis‟ dan „iki delokken sik‟ diubah menjadi „mungkin ini bisa dilihat dulu, siapa tahu cocok‟. Dengan diubah seperti itu, akan telihat sopan dan dapat menghargai mitra tutur yang ingin membeli dagangan si penutur. Tuturan penutur, „Ora diwolak-walik, Le‟ lebih baik dihilangkan saja, karena tuturan tersebut dianggap tidak layak dan tidak pantas untuk dituturkan kepada seorang konsumen (mitra tutur). Dari data (14) di atas, penggunaan sapaan “Bu” yang ditujukan untuk diri penutur sudah tepat karena penutur adalah seorang ibu-ibu jadi pantas dan tepat untuk disapa “Bu”. Hal ini juga dilihat bahwa mitra tutur sangat menghormati diri penutur yang notabene lebih tua darinya. Oleh karena itu, mitra tutur tepat memberikan sapaan tersebut kepada penutur. Berbeda dengan penutur yang kurang tepat dalam memberi sapaan kepada diri mitra tutur. Sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole” diberikan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang anak-anak dengan jenis kelamin laki-laki. Sapaan tersebut dirasa kurang santun dan kurang tepat digunakan untuk menyapa seorang pembeli. Memang mitra tutur hanyalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
115
seorang anak laki-laki, akan tetapi seharusnya penutur yang usianya jauh lebih tua dari mitra tutur dapat menyapa mitra tutur dengan sapaan yang terlihat lebih sopan. Sapaan “Le” biasanya digunakan seorang ibu kepada anak laki-lakinya dan itu terlihat adanya suatu hubungan yang sangat dekat, sedangkan dalam transaksi jual beli ini tidak ada hubungan kedekatan yang intim antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB). Jadi, sapaan “Le” yang ditujukan penutur kepada mitra tutur dianggap kurang tepat. Agar sapaan tersebut menjadi sopan dan terlihat pas, sapaan “Le” dapat diganti dengan “Dik”. Sapaan “Dik” terlihat lebih sopan dan lebih layak digunakan daripada sapaan “Le”. Lain halnya dengan penggunaan sapaan, data tuturan (14) terdapat pula adanya campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Contoh campur kode bahasa Jawa Ngoko dalam data tuturan ini dapat dilihat pada tuturan penutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campur kode ini tidak merubah maksud dari pertuturan tersebut di atas. Hal ini dikarenakan kedua patisipan tutur mengerti dan paham akan arah tuturan mereka. Kedua partisipan tutur tersebut juga tidak merasa kesulitan dalam hal memahami penggunaan bahasa yang digunakan satu sama lain. Sehingga pertuturan antara penutur dengan mitra tutur berjalan dengan baik. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
116
TABEL 4 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA PILIHAN
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 11 Analisis 12 Analisis 13 Analsis 14
DT 6 DT 13 DT 19 DT 28
SKALA PILIHAN SANTUN TIDAK SANTUN (banyak pilihan) (tidak ada pilihan)
4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. (15) PB : Piro iki, Bu? (Berapa ini?) PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon? (Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?) Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang) (Ini, Mbak) PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa krama pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat sopan, sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun). (DT 12)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
117
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan, akan tampak sebagai berikut. Data (15) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang (penutur) kaos kepada pembeli (mitra tutur) saat transaksi jual beli berlangsung. Pada data tersebut, tuturan si penutur memiliki sifat yang tidak langsung. Penutur (PJ) bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur (PB) apakah ada uang yang pas saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada mitra tutur (PB). Hal ini dilakukan penutur karena penutur merasa tidak mempunyai uang kembalian, jadi penutur bertanya kepada mitra tutur apakah ada uang yang pas saja. Data tuturan (15) ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Ditambah dengan penggunaan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Campur kode bahasa Jawa Krama terlihat pada tuturan penutur. Penggunaan bahasa Jawa Krama dalam data di atas dinilai santun karena terlihat penutur sangat menghormati mitra tutur sebagai pembeli. Penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu dirasa tepat disapa “Bu” oleh mitra tutur. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur yang notabene adalah wanita tengah baya dirasa tepat untuk disapa “Mbak” oleh penutur yang memang jauh lebih tua dari si mitra tutur. Dalam data tuturan (15) tersebut di atas, kesantunan juga dinilai dari penggunaan bahasa Jawa Krama yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Walaupun penutur lebih tua dari si mitra tutur, namun penutur tidak keberatan untuk tetap menggunakan bahas Jawa Krama sebagai alat komunikasi transaksi jual belinya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
118
(16) PB : Dikurangi ya, Bu? PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik. PB : Lima puluh? PJ : Tambah dua ribu lima ratus PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan PJ : Iyo wes gak apa-apa. (Iya sudah, tidak apa-apa) PB : Suwun (Terima kasih) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ tidak langsung memberikan harga pas kepada PB). (DT 17) Terlihat dari percakapan data (16) yang terjadi, penutur (PJ) tidak langsung memberikan harga pas kepada mitra tutur (PB). Penutur sebenarnya menginginkan tas dagangannya dibeli mitra tutur dengan harga lebih dari lima puluh ribu rupiah. Akan tetapi penutur tidak secara langsung memberikan harga tinggi kepada mitra tutur. Karena penutur tahu apabila dia memberikan harga yang lebih tinggi, mitra tutur pasti tidak akan memberli tas dagangannya tersebut. Oleh karena itu, penutur memberi penawaran harga dengan ditambah du ribu lima ratus kepada mitra tutur. Dapat dibuktikan dengan tuturan penutur seperti ini, “Tambah dua ribu lima ratus”. Mengetahui penawaran dari penutur (PJ), mitra tutur (PB) pun memberi tanggapan dengan memberi tambahan dua ribu rupiah saja. Dengan begitu secara tidak langsung keinginan penutur terpenuhi dan tetap mendapatkan respon yang baik oleh mitra tutur. Data (16) memperlihatkan bahwa tuturan yang terjadi termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Penggunaan sapaan juga terlihat benar dalam data tuturan (16) ini. Sapaan “Bu” dinilai tepat digunakan untuk menyapa penutur yang adalah seorang wanita dewasa dan sapaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
119
“Dik” dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah seorang remaja perempuan. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula penggunaan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti kebanyakan tuturan lainnya, data tuturan (16) ini didapati menggunakan alih kode dala pertuturannya. Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual beli, penutur menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si mitra tutur memberi tanggapan atas tuturan penutur dengan beralih kode yang awalanya menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut, penutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa” yang kemudian ditanggapi oleh mitra tutur yang beralih menggunakan bahasa Jawa Ngoko, “Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi maksud dan tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur dan mitra tutur. (17) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Nawar aja bisa. PB : Ini all size atau apa? PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja. PB : Ada warna lain? PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain. PB : Berapa? PJ : Tiga puluh lima PB : Ini aja. Berapa? PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah PB : Lima belas ya? PJ : Bahannya bagus soalnya. PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya? PJ : Udah murah, Ibu. PB : Hehe ya ya. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung). (DT 25)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
120
Data (17) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembelinya saat transaksi jual beli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data tuturan di atas, penutur secara tidak langsung mempersilakan mitra tutur untuk menawar harga dagangannya. “Nawar aja bisa”, tuturan itulah yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur saat transaksi jual beli berlangsung. Pada awalnya mitra tutur menanyakan harga dari dagangan si penutur (PJ) yang kemudian ditanggapi oleh penutur dengan tuturan, “Nawar aja bisa”. Tuturan penutur tersebut dituturkan dengan maksud supaya mitra tutur dapat menawar terlebih dahulu. Penutur tidak langsung memberikan harga pas pada dagangannya. Ketika mitra tutur bertanya kembali kepada penutur mengenai ukuran, penutur kemudian menanggapi kembali tuturan dari mitra tutur dengan mengatakan, “Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja”. Tuturan penutur ini juga menandakan bahwa penutur tidak langsung menjawab pertanyaan dari mitra tutur, namun penutur memberitahu terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan pada dagangannya. Kata „karet‟ digunakan penutur untuk memberitahu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan. Kemudian penutur baru menjawa pertanyaan dari mitra tutur mengenai ukuran. Pertanyaan yang diberikan mitra tutur dan jawaban yang diberikan penutur sangatlah berkesinambungan. Oleh karena itu kedua partisipan tutur tersebut tidak merasa kesulitan dalam komunikasi transaksi jual beli yang sedang dilakukan. Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung ini termasuk dalam tuturan yang santun. Penutur memberikan kesempatan untuk mitra tutur (PB) menawar dagangan si penutur dan tidak semata-mata penutur untuk mengambil keuntungan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
121
fantastis dari mitra tutur. Hal ini sekaligus menjadikan suasana komunikasi menjadi nyaman dan pastinya mempermudah mitra tutur dalam transaksi jual beli. Dalam data tuturan (17) ini terdapat penggunaan sapaan yang digunakan dalam komunikasi transaksi jual beli antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB). Penutur memberi sapaan “Ibu” kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur memberi sapaan “Pak” kepada penutur yang notabene adalah laki-laki dewasa. Penggunaan sapaan di antara keduanya telah dirasa tepat dan benar. Kedua partisipan tutur sudah sama-sama mengetahuin sapaan apakah yang tepat untuk digunakan. Hal ini tentu memengaruhi rasa hormat di antara keduanya, yakni penutur (PJ) dan mitra tutur (PB). Penggunaan campur kode juga terlihat dalam data tuturan tersebut. Campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris digunakan hanya sesekali oleh penutur. Misalnya, „all size‟. Istilah „all size‟ biasa digunakan oleh penjual untuk memberitahukan kepada pembeli mengenai ukuran (pakaian atau celana). Jarang sekali penutur (PJ) yang menjelaskan secara detail mengenai ukuran kepada mitra tutur (PB) saat transaksi jual beli. Sehingga istilah „all size‟ digunakan untuk mempersingkat penjelasan penutur kepada mitra tutur mengenai sebuah ukuran. (18) PB : Enem tahun (Enam tahun) PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten. (Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya tidak) PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra? (Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?) PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso. (Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
122
PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu? (Ada dua? Sama tidak gambarnya?) PJ : Sami (Sama) PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro? (Ini dua sama itu tadi dua berapa?) PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh. (Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus sepuluh) PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho! (O seratus sepuluh. Seratus ya!) PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal. (Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh) PB : Satus ya, Bu? (Seratus ya?) PJ : Saestu, Pak (Benar, Pak) PB : Bathine lho wis akeh! (Keuntungannya lho sudah banyak!) PJ : Saestu sampun mirah niki (Benar sudah murah ini) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki tua. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ mengira-ira terlebih dahulu, tidak langsung memberikan dagangannya). (DT 29) Data (18) mengindikasikan bahwa tuturan yang terjadi adalah tuturan yang santun. Terlihat dari percakapan yang terjadi, penutur tidak langsung memberikan dagangannya kepada mitra tutur. Penutur mengira-ira terlebih dahulu mengenai ukuran kaos sesuai dengan keinginan mitra tutur. Mitra tutur bertanya kepada penutur mengenai ukuran kaos untuk anak umur enam tahun. Penutur mengira-ira terlebih dahulu mengenai ukuran kaos yang diminta oleh mitra tutur, apakah cukup, kekecilan, atau kebesaran. Oleh karena itu penutur mengira-ira terlebih dahulu sebelum memberikan dagangannya kepada mitra tutur. Hal ini dilakukan agar penutur tidak salah dalam memberikan ukuran kaos dagangannya kepada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
123
mitra tutur (PB). Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung itu dapat dibuktikan sebagai berikut, “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Kesantunan tuturan ini juga dilihat dari penggunaan sapaan yang diperuntukkan kepada kedua partisipan tutur tersebut. Penutur tepat disapa “Bu” karena penutur seorang ibu-ibu yang sudah tua dan mitra tutur tepat disapa “Pak” karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua juga. Keduanya merupakan seseorang yang sudah berusia lanjut. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga tidak terlepas dari campur kode bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada tuturan mitra tutur sedangkan penggunaan campur kode bahasa Jawa Krama tampak pada tuturan si penutur. Walaupun bahasa yang digunakan bercampu aduk, namun penutur dan mitra tutur tetap paham akan tujuan dari apa yang tengah dikomunikasikan dalam transaksi jual beli ini. Oleh karena itu, tujuan dari tuturan tidak langsung si penutur (PJ) membuahkan hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh si mitra tutur (PB). Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
124
TABEL 5 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA KETIDAKLANGSUNGAN
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 15 Analisis 16 Analisis 17 Analsis 18
DT 12 DT 17 DT 25 DT 29
SKALA KETIDAKLANGSUNGAN SANTUN TIDAK SANTUN (tidak langsung) (langsung)
4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar tingkat kesantunan berbahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penandapenanda kesantunan tuturan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan kebahasaan (kata, frasa, klausa, ataupun kalimat) yang dituturkan seorang penutur yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi (memberikan tanggapan atau penilaian) mengenai tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda kesantunan tersebut adalah (1) pemakaian pilihan kata (diksi) dan (2) pemakaian gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu
gagasan,
bagaimana
membentuk
pengelompokan
kata-kata
atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan
kata
tersebut.
Ketepatan
pilihan
kata
mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara atau penutur. Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
126
harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini, Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi (pilihan kata) adalah sebagai berikut. g) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain, h) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain, i) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain, j) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk melakukan sesuatu, k) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati, l) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa. Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
127
memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. c. Penggunaan Kata yang Tepat Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan, suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu percakapan. d. Menemukan Bentuk yang Sesuai Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
128
situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) dalam sebuah tuturan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
129
TABEL 6 KRITERIA PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA) SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERBAHASA SANTUN
TIDAK SANTUN
1. Menggunakan kata - kata yang tepat. a. Memilih kata-kata yang tepat dan sesuai. b. Menjadikan komunikasi menjadi terarah. c. Dapat dipahami oleh mitra tutur.
1. Menggunakan kata - kata yang tidak/kurang tepat. a. Memilih kata-kata yang tidak/kurang tepat. b. Menjadikan komunikasi menjadi tidak terarah. c. Tidak dapat dipahami oleh mitra tutur. 2. Menemukan bentuk yang tidak sesuai. a. Penutur tidak dapat memahami situasi komunikasi dan situasi mitra tutur sehingga merugikan atau menyakiti mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Sehingga komunikasi yang terjadi menjadi kacau.
2. Menemukan bentuk yang sesuai. a. Penutur harus dapat memahami situasi komunikasi dan situasi mitra tutur agar tidak merugikan atau menyakiti mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Sehingga komunikasi yang terjadi tidak menjadi kacau.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian diksi (pilihan kata) atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual beli pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) bahasa sesuai dengan rangkuman
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
130
tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. (19) PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?) PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya) PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas. (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya) PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo? (Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e... PJ : Putih? PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?) PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan) (Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB apabila dagangan yang dibeli tidak cukup, boleh ditukarkan). (DT 1) Data (19) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang baju anakanak kepada pembeli saat transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata diijolke sendiri menunjukkan sebuah penekanan maksud yang diharapkan oleh si penutur. Melihat mitra tutur kebingungan dalam memilih ukuran, penutur memberikan sebuah tuturan guna meyakinkan mitra tutur terhadap barang dagangan yang akan dibeli oleh mitra tutur (PB). Penutur (PJ) meyakinkan mitra tutur (PB) apabila dagangan yang sudah dibeli oleh mitra tutur tidak cukup, maka dapat ditukarkan. Maka, penutur memberikan tekanan maksud tuturannya tersebut dengan kata diijolke. Kata diijolke sendiri termasuk dalam kriteria tuturan yang santun. Karena merupakan sebuah penekanan untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
131
menguntungkan mitra tuturnya. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, kata diijolke termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai dari tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Oleh karena itu, secara tidak langsung kata diijolke sendiri merupakan tuturan yang tepat digunakan dalam komunikasi jual beli. Kata tersebut sudah pasti dapat dimengerti oleh partisipan tutur, baik itu penutur maupun mitra tutur. Penggunaan kata tersebut juga menimbulkan suasana yang baik karena mitra tutur merasa diuntungkan oleh penutur. Sehingga membuat mitra tutur (PB) menjadi nyaman dalam bertransaksi jual beli dengan penutur. (20) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Pas aja dua belas ribu PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja. PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak. (Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18) Data (20) menekankan kata sudah murah yang memiliki makna harga yang diberikan penutur kepada mitra tutur sudah dibawah standar harga penjualan biasanya. Kata tersebut dituturkan untuk menguntungkan mitra tuturnya sebagai konsumen dari barang dagangannya. Kemudian penutur memberikan keuntungan kembali dengan memberikan penawar harga apabila mitra tutur membeli dua pasang sandal. Dari harga yang sudah di bawah standar penjualan, penutur memberikan potongan harga kembali apabila mitra tutur membeli dagangan penutur dengan jumlah lebih dari satu. Maka, diberikan penekanan kata sudah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
132
murah agar mitra tutur mendapatkan keuntungan dari penawaran yang diberikan mitra tutur. Maksud dari penekanan kata sudah murah sangat dipahami betulbetul oleh mitra tutur. Mitra tutur memahami maksud dari kata tersebut dikarenakan mitra tutur mengerti akan arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Pemakaian kata sudah murah ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tepat dalam tinjauan tabel di atas. Oleh karena itu, tuturan tersebut termasuk ke dalam tuturan yang santun dan layak digunakan dalam komunikasi transaksi jual beli. Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu tuturan bahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi pemakaian diksi (pilihan kata). (21) PB: Umur lima tahun PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras) (Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan dibolak-balik) PB: Berapa ini? PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane. (Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini warnanya) PB: Dua lima ya, Bu? PJ: Telung puluh ya? (Tiga puluh ribu ya?) PB: Dua lima aja ya? PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken mengko. Nyoh ngko ndak lali! (Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
133
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada PB). (DT 28) Penekanan kata delokken pada data (21) ini terlihat tidak santun. Kata delokken termasuk dalam kata suruhan. Penutur menyuruh mitra tutur untuk melihat terlebih dahulu dagangan penutur. Akan tetapi cara pengucapan penuturlah yang menjadikan suasana komunikasi menjadi kacau. Ditambah lagi dengan pemakaian kata delokken dalam data tuturan di atas yang terkesan menyuruh dan disertai dengan paksaan. Kata delokken dirasa tidak tepat digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata delokken diganti dengan kata dipilih, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana komunikasi jual beli menjadi tidak kacau. Kata delokken yang dinilai tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam kriteria tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kata delokken memang tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi. (22) PB : Mas, ini sepasang ya? PJ : Iya, Dik. PB : Ini tadi dua berapa? PJ : Tujuh puluh PB : Dua, empat puluh, Mas. PJ : Gak boleh! PB : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi) (Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Terlihat dari tanggapan PB yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan PJ yang dirasa kurang sopan. Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟ diganti dengan kata „maaf, belum boleh‟ sehingga dapat terlihat lebih sopan). (DT 15)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
134
Data (22) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada seorang pembeli. Kata gak menunjukkan suatu penekanan maksud dari apa yang diharapkan oleh penutur. Tidak ada basa-basi dari si penutur akan tetapi si penutur secara langsung menyampaikan tuturan tersebut kepada mitra tutur (pembeli). Kata gak dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata gak tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, maka kata gak tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh tuturan si penutur. Kata gak ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria pemakaian diksi (pemilihan kata) di atas. Alangkah baiknya apabila kata gak diganti dengan kata maaf, belum boleh sehingga tuturan terlihat santun dan layak untuk dituturkan. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata). Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
135
TABEL 7 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA)
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 19 Analisis 20 Analisis 21 Analsis 22
DT 1 DT 18 DT 28 DT 15
PEMAKAIAN DIKSI TIDAK SANTUN SANTUN
4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu. Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gayagaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual (penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
136
Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya bahasa yang baik, yaitu: a. Kejujuran Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya. Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk digunakan dalam konteks berkomunikasi. b. Sopan Santun Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya, dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
137
untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam berkomunikasi. c. Menarik Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi, humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa dalam sebuah tuturan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
138
TABEL 8 KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERBAHASA SANTUN
TIDAK SANTUN
1. Kejujuran. a. Penutur tidak hanya mencari keuntungan saja. b. Kata-kata yang digunakan tidak berbelit-belit. 2. Sopan Santun. a. Menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. b. Bertutur kata dengan singkat dan jelas, sehingga tidak membuat mitra tutur bingung . 3. Menarik. a. Penutur dapat memberikan humor terhadap mitra tuturnya saat komunikasi berlangsung. b. Penutur dapat membuat suasana komunikasi yang menyenangkan, sehingga mitra tutur merasa nyaman dan senang.
1. Kejujuran. a. Penutur hanya mencari keuntungan saja. b. Kata-kata yang digunakan sangat berbelit-belit. 2. Sopan Santun. a. Tidak menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. b. Bertutur kata dengan panjang lebar dan tidak jelas, sehingga membuat mitra tutur bingung . c. Menarik. a. Penutur tidak dapat memberikan humor terhadap mitra tuturnya saat komunikasi berlangsung. b. Penutur tidak dapat membuat suasana komunikasi yang menyenangkan, sehingga mitra tutur tidak merasa nyaman dan senang.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual beli pedagang “perko” Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian gaya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
139
bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian gaya bahasa di atas. (23) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Nawar aja bisa. PB : Ini all size atau apa? PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja. PB : Ada warna lain? PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain. PB : Berapa? PJ : Tiga puluh lima PB : Ini aja. Berapa? PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah PB : Lima belas ya? PJ : Bahannya bagus soalnya. PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya? PJ : Udah murah, Ibu. PB : Hehe ya ya. (Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. Penutur memberikan penawaran agar mitra tutur menawar terlebih dahulu). (DT 25) Data (23) ini merupakan tuturan yang diucapkan pedagang baju kepada pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata nawar sendiri memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur. Tetapi penutur langsung mempersilakan mitra tutur (PB) untuk menawar harga dagangannya. Kata nawar tergolong dalam kriteria tuturan yang santun. Hal ini dikarenakan kata nawar merupakan sebuah permintaan penawaran sebuah harga. Penutur mempersilakan mitra tutur untuk terlebih dulu menawar dagangannya. Jadi, penutur memberikan kesempatan mitra tutur untuk menawar dagangannya. Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
140
penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga penutur mempersilakan mitra tutur untuk menawar dagangan penutur sesuai dengan keinginan mitra tutur. Kata nawar dirasa sudah tepat untuk dituturkan dalam komunikasi jual beli. Kata tersebut termasuk dalam kategori kejujuran dan sopan santun dalam kriteria pemakaian gaya bahasa pada tabel di atas. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata nawar sendiri merupakan tuturan yang santun dan layak digunakan dalam konteks transaksi jual beli. Karena kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua orang, khususnya oleh pedagang dan pembeli. (24) PB : Piro iki, Bu? (Berapa ini?) PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon? (Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?) Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang) (Ini, Mbak) PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi) (Konteks: Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa krama pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat sopan, sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun). (DT 12) Data (24) merupakan tuturan yang diucapkan pedagang kaos kepada pembeli. Kata mawon menunjukkan sebuah penekanan harga yang diberikan penutur sudah murah. Terlihat pada tuturan penutur yang tidak menggunakan basa-basi dalam bertutur kata dengan si mitra tutur (PB). Penutur langsung menuturkan apa yang diharapkan kepada mitra tutur. Kata mawon yang dalam bahasa Indonesianya berarti „saja‟ mengindikasikan bahwa harga yang diberikan penutur terhadap dagangannya sudah murah. Penutur memberikan harga yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
141
sudah murah kepada mitra tutur dengan menekankan kata mawon pada tuturannya. Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur. Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur. Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Kata mawon dapat dikategorikan dalam sub kejujuran dan sopan santun yang terdapat dalam tabel kriteria pemakaian gaya bahasa di atas. Maka dari itu, kata tersebut dinilai santun dan pantas untuk dituturkan dalam berkomunikasi. Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu tuturan bahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi pemakaian gaya bahasa. (25) PB : Sepuluh ribu, empat, Bu? PJ : O ya belum dapat, Le. PB : Bolehnya berapa? PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem? PB : (melihat-lihat gantungan kunci) PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampurcampur! (kasar sambil marah-marah) PB : (pergi) (Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Dilihat dari tuturan PJ yang kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai sangat tidak pantas dan tidak sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai mitra tuturnya). (DT 30) Pada data (25) ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang kunci tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pedagang (penutur) tersebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
142
menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada pembeli (mitra tutur). Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata dicampur-campur dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur menginginkan barang dagangannya tidak dipindah-pindah ke tempat barang yang lainnya saat mitra tutur memilih barang dagangan si penutur. Tuturan penutur di atas dengan penekanan kata dicampur-campur membuat suasana yang sangat tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur tidak nyaman untuk bertransaksi jual beli dengan si penutur. Suasana yang tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Kata dicampur-campur yang diberi tambahan kok pada awalnya mengindikasikan suatu larangan kepada mitra tutur untuk memilih dagangan mitra tutur. Penutur menginginkan barang dagangannya tidak dijadikan satu dengan barang dagangan yang lainnya. Tuturan yang dituturkan penutur tersebut sangat tidak menghormati mitra tutur sebagai seorang pembeli. Seperti ada pepatah yang mengatakan bahwa pembeli adalah raja, namun dalam tuturan si penutur ini seperti menyanggah pepatah tersebut. Hal ini dikarenakan tuturan penutur yang tidak sopan dan terlihat sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai pembeli. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan kata dicampur-campur menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang tidak sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur saat komunikasi transaksi jual beli. (26) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem arek piro? (...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini enam mau berapa?) PB1: Hah? PJ1: Arek enem arek piro to kaose?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
143
(Mau berapa kaosnya?) PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro. (Eee... Iya yang itu dua) PJ2: Sing endi? Oren? (Yang mana? Jingga?) PB1: Sing ngene iki piro? (Yang begini ini berapa?) PJ1: Telu lima (Tiga lima) PB1: Ki telungatus pas ya? (Ini tiga ratus pas ya?) PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-marah) (Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini) PB1: Ndelok gambare aku. (Lihat gambarnya aku) PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku. (Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya) PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak. (Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak) PJ1: Wis? (Sudah) PJ2: Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1: Enam, pitu (Enam, tujuh) PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua) PB2: Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!) PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1: Lha iyo lima dua ratus to! (Lha iya lima dua ratus kan!) PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak) PJ2: Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!) (Konteks: Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
144
Data (26) merupakan tuturan dari pedagang kaos dagadu kepada pembeli. Dalam data tuturan ini terdapat dua kata yang perlu ditekankan, yakni ojo dibukaki dan kesel. Menganalisis kata yang pertama dahulu, kata ojo dibukaki sendiri terucap ketika mitra tutur (PB) tengah melihat dan memilih-milih dagangan dari si penutur. Dari percakapan di atas, kata ojo dibukaki yang termasuk dalam kategori tuturan yang melarang dan terlihat kasar kepada mitra tutur. Ketika penutur menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi kacau dan penuh emosi. Tuturan penutur dengan penekanan kata larangan itu dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra tutur yang menanggapi dengan sedikit jengkel. Tuturan penutur tersebut dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai konsumen dari penjualannya. Analisis kata pertama ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi, dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas. Oleh karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. Selanjutnya, menganalisis kata yang kedua, yaitu kata kesel. Kata kesel memiliki maksud bahwa penutur sudah tidak sanggup lagi untuk memasukkan kaos-kaos yang sudah dibuka oleh mitra tutur (PB). Padahal mitra tutur yang notabene adalah seorang pembeli memiliki hak membuka kaos-kaos dagangan penutur untuk melihat gambar dan ukuran kaosnya. Akan tetapi penutur mengucapkan kata kesel kepada mitra tutur saat si mitra tutur tengah asyik memilih dagangan penutur. Hal ini sangat merugikan mitra tutur karena kata kesel tersebutlah yang pada akhirnya memaksakan mitra tutur untuk memilih barang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
145
dagangan si penutur. Penggunaan kata kesel juga dirasa tidak pas dan dirasa kurang sopan. Maka dari itu, kata tersebut tidak layak untuk dituturkan dalam komunikasi, khususnya dalam transaksi jual beli. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 9 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI PEMAKAIAN GAYA BAHASA
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 23 Analisis 24 Analisis 25 Analsis 26
DT 25 DT 12 DT 30 DT 3
PEMAKAIAN GAYA BAHASA TIDAK SANTUN SANTUN
4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta. Data yang kedua ini berbeda dengan data yang pertama. Data kedua ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra tutur adalah penjualnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
146
penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan mengenai pendapat Leech (1983:123) tentang lima skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan. Lima skala tersebut terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri atas
(1)
skala
biaya-keuntungan,
(2)
skala
keopsionalan,
(3)
skala
ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan adanya penggunaan tiga hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini. Dengan menggunakan sapaan, dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak digunakan sudah dapat dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan ketiga skala kesantunan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
147
4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech 4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur. Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan. Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. (27) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini. PB : Ini? PJ : Itu mahal itu. PB : Ini gak boleh dua lima? (Ini tidak boleh dua puluh lima?) PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya. PB : Mahal ya PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan. (Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan) PB : Yang ini gak boleh dua lima? (Yang ini tidak boleh dua puluh lima?) PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. (Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas harganya) PB : Nanti ambilnya dua (merayu) PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak PB : Yah... PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. PB : Ini berapa? PJ : Itu sembilan puluh PB : Ini?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
148
PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e. (Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya) PB : Yang mana, Bu? PJ : Itu. Satu, dua, tiga. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB sedikit merayu PJ dan hal tersebut dapat menguntungkan mitra tuturnya). (DT 6) Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan tampak sebagai berikut. Data (27) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PB) terhadap mitra tutur (PJ) dalam sebuah percakapan. Penutur (PB) merayu mitra tutur (PJ) dengan ingin memberi barang dagangan mitra tutur dalam jumlah lebih dari satu namun mitra tutur (PJ) diharapkan memberikan pengurangan harga. Tuturan penutur (PB) yang sedikit merayu mitra tutur (PJ) ini dapat menguntungkan diri mitra tutur (PJ) karena penutur (PB) membeli dagangan si mitra tutur lebih dari satu. Terlihat dari percakapan data tuturan (27) di atas, kedua partisipan tutur memiliki pemahaman yang baik atas tuturan yang tengah dilakukan. Kedua partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap tuturan yang dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Maka dari itu, data (27) terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Bu” yang diucapkan oleh penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ). Sapaan tersebut sudah sesuai digunakan karena dapat kita
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
149
ketahui bahwa penutur (PB) lebih muda dari mitra tutur (PJ). Dilihat dari jenis kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur memang pantas menyapa penutur dengan sapaan “Mbak”. Hal ini dikarenakan penutur lebih muda dari mitra tutur. Begitu juga sebaliknya, penutur tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada mitra tutur yang memang lebih tua dari penutur. Dari hasil data (27) di atas, terdapat penggunaan campur kode bahasa Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur (PJ) kepada penutur (PB). Campur kode ini terlihat pada tuturan mitra tutur yang menggunakan kata iki, sik, dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan pilihane. Namun, penutur tetap menjawab tuturan penutur dengan menggunakan bahasa Indonesia. (28) PB : Dikurangi ya, Bu? PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik. PB : Lima puluh? PJ : Tambah dua ribu lima ratus PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan. PJ : Iyo wes gak apa-apa. (Iya sudah, tidak apa-apa) PB : Suwun (Terima kasih) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang). (DT 17) Terlihat dari percakapan data (28) yang terjadi, penutur (PB) memberikan keuntungan pada mitra tutur (PJ) dengan menyetujui tambahan harga yang diberikan oleh mitra tutur (PJ). Penutur menambahkan uang sesuai dengan harga penawaran yang diberikan oleh si mitra tutur (PJ). Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur (PB) yang menguntungkan mitra tutur (PJ) dengan menyetujui dan menambah uang sesuai penawaran dari mitra tutur seperti berikut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
150
ini, “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan”. Mitra tutur (PJ) memberikan penawaran harga kepada penutur (PB) dengan menambahkan dua ribu lima ratus pada dagangan yang telah dipilih oleh penutur, namun penutur hanya menambahkan uang sebesar dua ribu rupiah saja. Akan tetapi dilihat dari tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB), hal tersebut sudah menguntungkan diri mitra tutur. Walaupun lima ratus rupiahnya tidak diberikan kepada mitra tutur, dapat dilihat bahwa mitra tutur (PJ) sudah merasa diuntungkan oleh si penutur (PB). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Selain itu kedua partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap tuturan yang dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, data (28) memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun. Penggunaan sapaan juga terlihat benar dalam data tuturan (28) ini. Sapaan “Dik” dinilai tepat digunakan untuk menyapa penutur yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan dan sapaan “Bu” dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula penggunaan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti kebanyakan tuturan lainnya, data tuturan (28) ini didapati menggunakan alih kode dala pertuturannya. Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual beli, mitra tutur menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si penutur memberi tanggapan atas tuturan mitra tutur dengan beralih kode yang awalanya menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dibuktikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
151
sebagai berikut, mitra tutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa” yang kemudian ditanggapi oleh penutur yang beralih menggunakan bahasa Jawa Ngoko, “Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi maksud dan tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ). (29) PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang. Dek. Bisa kurang sedikit. PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dik. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB menguntungkan PJ dengan harga tawaran PB). (DT 19) Data (29) merupakan tuturan yang diucapkan antara penjual dengan pembeli. Ditekankan bahwa pembeli yang notabene adalah sebagai penutur menuturkan tuturan yang dirasa santun kepada mitra tutur (PJ). Hal ini dikarenakan tuturan penutur (PB) sangat menguntungkan diri mitra tutur (PJ). Keuntungan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur dapat dicermati dalam tuturan penutur sebagai berikut, “Yang besar tiga lima ya, Bu?”. Tuturan penutur (PB) tersebut dirasa memberikan keuntungan bagi si mitra tutur karena pada tuturan mitra tutur (PJ) yang sebelumnya, si mitra tutur (PJ) menjelaskan mengenai harga-harga barang dagangannya kepada penutur kemudian penutur (PB) menawar dagangan si mitra tutur dengan hanya mengurangi lima ribu rupiah saja dari harga awal yang sebesar empat puluh ribu rupiah, jadi penutur (PB) menawar harga dagangan mitra tutur (PJ) dengan sebesar tiga puluh lima ribu rupiah saja. Hal inilah yang dirasa penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya. Pengurangan harga yang sedikit tersebut tetap membuat diri mitra (PJ) tutur merasa untung dalam transaksi jual belinya dengan penutur. Oleh karena itu,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
152
walaupun penutur (PB) menawar harga dagangan si mitra tutur, namun tuturan yang diucapkan penutur kepada mitra tutur (PB) tetap menguntungkan diri di mitra tutur. Hal ini juga terlihat dari mitra tutur (PJ) yang memberikan tanggapan baik kepada si penutur (PB). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Selain tuturan penutur yang terlihat dalam percakapan di atas, penggunaan kata sapaan juga terlihat di dalamnya. Penutur (PB) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan tepat diberikan sapaan “Dik” oleh mitra tutur. Dan juga mitra tutur (PJ) yang notabene adalah seorang wanita dewasa tepat diberikan sapaan “Bu” oleh penutur, karena penutur memang jauh lebih muda dari mitra tutur. Tetap pada data tuturan (29) namun beralih pada penggunaan campur kode yang ternyata juga terdapat dalam data tuturan tersebut. Campur kode yang digunakan dalam data tuturan ini adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Kedua bahasa itu digunakan oleh mitra tutur (PJ) dalam bertransaksi jual beli dengan penutur (PB). Berbeda dengan penutur (PB) yang tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Campur kode yang digunakan dalam data tuturan (29) ini tidaklah memengaruhi maksud dan tujuan penutur dan mitra tutur dalam bertransaksi jual beli di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Jadi, data tersebut tetaplah masuk ke dalam kategori tuturan yang santun. (30) PB : Berapaan? Nawar ya, Pak? PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas. PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu) PJ : Jadiinya tadi dua... PB : Dua ratus sepuluh PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
153
(PB menyerahkan uang ke PJ) PJ : Uang kembali... PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB) PJ : Ini, makasih ya. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memperlihatkan rasa kecewa dan merasa dirugikan terhadap tuturan PJ sehingga dapat dilihat dari tuturannya, PB terlihat marah. Seharusnya walaupun PB merasa kecewa atau dirugikan tidak berkata demikian). (DT 2) Data (30) merupakan percakapan antara penjual dan pembeli dalam sebuah transaksi jual beli kaos dagadu di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Pada tuturan (30) tersebut, si pembeli yang sebagai penutur tampak tidak terima dengan tuturan si mitra tutur yang secara langsung memberikan harga pas pada dagangannya. Mitra tutur (PJ) tidak memberikan kesempatan penutur (PB) untuk menawar dagangan si mitra tutur terlebih dahulu. Mitra tutur (PJ) langsung memberikan harga pas sesuai dengan keinginannya sendiri. Penutur (PB) terlihat kecewa namun walaupun kecewa terhadap tuturan si mitra tutur (PJ) seharusnya penutur tidak bertutur kata demikian. Tuturan yang diucapkan penutur dinilai tidak santun dan tidak layak untuk dituturkan. Karena tuturan penutur (PB) terlihat terpaksa dan terlihat berat untuk membeli dagangan si mitra tutur (PJ). Ditambah dengan gaya tutur yang menggerutu. Gaya tutur ini dirasa kurang sopan karena dengan begitu akan memperlihatkan bahwa penutur (PB) tidak memiliki wibawa dan sopan santun saat berkomunikasi dengan orang lain yang tengah diajak berkomunikasi. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan penutur (PB) berikut ini, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok!” (sambil menggerutu).
Penekanan
tuturan
tersebut
merupakan
suatu
penanda
ketidaksantunan dalam data itu. Oleh karena itu, tuturan yang diucapkan penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
154
(PB) dirasa tidak santun untuk dituturkan dalam komunikasi transaksi jual beli. Dalam sebuah komunikasi sudah pasti menggunakan kata sapaan untuk saling menghormati satu sama lain, baik penutur maupun mitra tutur. Pada data (30) ini sapaan yang digunakan sudah jelas dan tepat untuk digunakan dalam komunikasi. Penutur (PB) tepat memberikan sapaan “Pak” kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa. Begitu pula dengan mitra tutur (PJ) yang tepat dan pas memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur (PB) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya. Sapaan yang diberikan mitra tutur kepada penutur sudah tepat karena penutur (PB) lebih muda dari si mitra tutur. Selain penggunaan sapaan, dari data (30) di atas terdapat pula campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Percakapan di atas hampir seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi terdapat satu tuturan penutur (PB) yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Ya wis iki wae, inilah contoh tuturan penutur yang menggunakan campur kode bahasa Jawa Ngoko yang dituturkan oleh si penutur (PB). (31) PJ2: Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1: Enam, pitu (Enam, tujuh) PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua) PB2: Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!) PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1: Lha iyo lima dua ratus to! (Lha iya lima dua ratus kan!) PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak) PJ2: Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
155
PB1: Tambahi piro to? (Tambah berapa?) PJ1: Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae. (Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja) PB1: 2.000 ya? PJ1: Ya Allah... PB1: Pun niki (sambil merengek) (Sudah ini) PJ1: Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70, gur 65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak. (Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70, hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak) PB1: Iya. Enem wae susuk lima ribu. (Iya. Enam saja kembalian lima ribu) PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah) (Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok). PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu. (Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju) PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro! (Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua) PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel) (Dua puluh lima ribu dua ya belum ada) PJ2: Selawe loro, sing ngene no! (Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!) PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit memaksa) (Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L) PB1: Ngge langganan lho, Pak. (Buat langganan, Pak) PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh gedhe cilik tak kek‟i. (Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
156
Data (31) merupakan tuturan dari seorang penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ) saat transaksi jual beli. Pada tuturan (31) ini penutur (PB) merugikan si mitra tutur (PJ). Penutur (PB) memaksa si mitra tutur (PJ) untuk memberikan barang dagangannya sesuai dengan keinginan dan penawaran si penutur (PB). Tuturan penutur yang memaksa dapat dilihat sebagai berikut ini, “Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok” (sambil marah-marah) dan “Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L” (marah-marah dan sedikit memaksa). Tuturan ini memperlihatkan penutur (PB) yang tengah emosi, sehingga tuturan yang terucap menjadi kasar dan tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ). Apalagi penutur mengucapkan tuturan itu dengan memaksa. Tuturan tersebut membuat mitra tutur (PJ) tersinggung dan menjadi marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur sangat merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi tuturan penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur menjadi tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan dengan tuturan si penutur. Selain itu suasana pertuturan yang tidak harmonis ini selain mitra tutur (PJ) yang merasa dirugikan oleh penutur (PB), juga disebabkan karena tuturan penutur (PB) yang kasar dan memaksa. Tuturan dari data (31) memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) sangat tidak layak digunakan dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
157
konteks jual beli. Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari mitra tutur (PJ) menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan. Tuturan penutur (PB) seperti inilah yang tergolong tuturan tidak santun. Data (31) diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko. Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (31) ini juga menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan kata pink dalam tuturan si penutur (pembeli). Memang suasana komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan penutur (PB) membuat mitra tuturnya (PJ) marah dan merasa dilecehkan. Penggunaan bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang memang layak digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua. Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan, yakni sapaan “Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene adalah seorang wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama dan pembeli kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa), dan yang terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang notabene adalah seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari penggunaan sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
158
sangat jelas terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB) dapat merugikan diri mitra tuturnya (PJ). (32) PB : Empat puluh ya? PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju) PB : Berarti sama ya ini? PJ : Beda, Bu PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu? PJ : (menunjukkan bajunya) PB : Ini paling gede? PJ : Iya L PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama? PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa mengejek) PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun. Selain marah karena tuturan dari PJ yang mengejek, tuturan PB juga terlihat memaksakan PJ untuk menyamakan harga dagangannya. Hal itu dinilai merugikan mitra tuturnya). (DT 14) Data (32) memperlihatkan bahwa tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) ternyata merusak suasana komunikasi jual beli. Penutur (PB) yang marah akibat tuturan mitra tutur (PJ) yang mengejek, menanggapi dengan tuturan yang dinilai tidak patut untuk dituturkan. Ini efek dari tuturan si mitra tutur (PJ) sebelumnya yang merugikan diri si penutur (PB). Akan tetapi terlepas dari itu, tidak seharusnya penutur (PB) menanggapi tuturan mitra tutur dengan tuturan yang memaksa. Tuturan penutur yang memaksa dapat dilihat seperti berikut ini, “Harusnya samalah!” (nada memaksa dan langsung pergi). Penutur seolah-olah tidak memperdulikan mitra tutur. Tuturan penutur tersebut memaksakan si mitra tutur (PJ) untuk menyamakan harga dagangan sesuai dengan penawaran si penutur (PB) tanpa memperdulikan penawaran yang telah diberikan oleh mitra tutur. Tuturan penutur (PB) ini masuk ke dalam kategori tuturan yang tidak santun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
159
karena merugikan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan (32) ini, penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) sama-sama seorang wanita dewasa. Maka, sapaan “Bu” tepat digunakan dalam percakapan di atas. Jika dilihat dari penggunaan sapaan ini, keduanya saling menghormati satu sama lain, namun memang dalam percakapan tersebut antara penutur dengan mitra tutur tidak dapat mengontrol emosi masingmasing sehingga dalam bertransaksi jual beli, baik penutur mapun mitra tutur sama-sama menuturkan tuturan yang saling merugikan satu sama lain. Dalam data ini, tuturan penuturlah yang tengah dianalisis kesantunannya dan tuturan penutur itu tergolong tuturan yang tidak santun. Terlepas dari penggunaan sapaan, terdapat pula penggunaan campur kode dalam percakapan di atas. Campur kode yang digunakan adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penggunaan campur kode ini tidak mengubah maksud dan tujuan dari percakapan di antara kedua partisipan tutur itu. Jadi, tidak santunnya tuturan penutur dalam data tuturan (32) ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh penggunaan sapaan dan campur kode yang sudah tepat digunakan. (33) PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete tok satus. (Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan tetapi dalamnya saja seratus) PB : Mas sing ngono kuwi? (Mas yang itu berapa?) PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang. (Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal) PB : Sing ayat kursi? (Yang ayat kursi?) PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu? (Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?) PB : Piro? (Berapa?)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
160
PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya tiga ratus ribu rupiah) (Saya sudah begini) PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya tiga ratus ribu rupiah) (Kalau sama ibunya tidak sampai begini) PJ : Lha nek karo bapake benten (Kalau sama bapaknya berbeda) PB : Lho, malah karo bapake luwih murah dadi ngene (menunjukkan dua jari yang menandakan harganya dua ratus ribu rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus tapi rongatus? (Kalau sama bapaknya lebih murah jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?) PJ : Wah dereng nek ngoten (Wah belum kalau begitu) PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki piye Pak dadine? Mung gari siji wae kok Pak, dadine rongatus. (Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu. PJ : Telungatus (Tiga ratus ribu) PB : Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene! (jengkel) (Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di sini!) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB dianggap tidak sopan. Hal ini mungkin terjadi akibat tuturan PJ yang merugikan PB, sehingga PB merasa jengkel dan bertutur demikian). (DT 21) Tuturan yang dituturkan oleh pembeli yang notabene sebagai penutur pada data (33) memperlihatkan ketidaksopanan dalam bertutur kata. Tuturan penutur dalam percakapan di atas mengindikasikan rasa jengkel penutur (PB) terhadap tuturan mitra tutur (PJ) sebelumnya. Namun, tuturan penutur tersebut tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur. Mitra tutur menganggap si penutur menyindir si mitra tutur (PJ) melalui tuturan yang terucap dari penutur (PB) dan hal itu mengakibatkan mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan karena tuturan si penutur dianggap melecehkan diri si mitra tutur (PJ). Tuturan tersebut dinilai tidak santun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
161
karena jelas-jelas penutur (PB) merugikan dan melecehkan mitra tuturnya. “Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!” (jengkel), itulah tuturan yang diucapkan oleh penutur kepada si mitra tutur. Walaupun penutur (PB) merasa jengkel terhadap mitra tutur, seharusnya penutur tidak menuturkan tuturan yang tidak sopan seperti itu. Terlihat pada tuturan di atas, suasana tuturan antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi. Hal ini dikarenakan mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh tuturan si penutur (PB). Penutur seolaholah tidak memperdulikan harga yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Data (33) termasuk tuturan yang tidak santun. Alangkah baiknya apabila tuturan penutur yang terlihat tidak sopan tersebut diganti dengan tuturan dengan menggunakan bahasa Jawa Krama berikut ini, “O nggih sampun, gantos wekdal kula mriki malih” atau dalam bahasa Indonesianya, “O ya sudah, lain kali saya ke sini lagi”. Dengan begitu, tuturan si penutur (PB) akan terlihat santun dan tidak menyinggung atau merugikan mitra tutur. Dalam data tuturan (33) di atas, sapaan yang digunakan di antara kedua partisipan tutur, baik penutur maupun mitra tutur sudah tepat dan layak digunakan untuk menghormati satu sama lain dalam berkomunikasi. Penutur (PB) dirasa tepat memberikan sapaan “Pak” kepada mitra tutur karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua. Begitu juga dengan mitra tutur (PJ) yang dirasa tepat memberikan sapaan “Bu” kepada penutur. Ini dikarenakan penutur seorang wanita dewasa, jadi layak untuk diberikan sapaan “Bu” oleh mitra tutur (PJ). Di samping menganalisis penggunaan sapaan, dalam data ini terdapat penggunaan campur kode bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
162
Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko. Hampir seluruhnya tuturan mitra tutur menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini berbeda dengan penutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko dalam berkomunikasi dengan si mitra tutur. Walaupun dalam percakapan di atas menggunakan campur kode bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko, masing-masing partisipan tutur mampu memahami dan mengerti maksud dari pertuturan di antara keduanya. Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa data tuturan (33) memang terrgolong tuturan yang tidak santun. Karena selain tuturan penutur (PB) yang dianggap sangat tidak sopan, tuturan penutur sangat merugikan diri si mitra tutur (PJ). (34) PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus. PB : Empat tahun bisa gak? PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK juga, Mbak. PB : Iya. Berapa? PJ : Empat lima aja PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat merugikan PJ). (DT 34) Data (34) mengindikasikan bahwa penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) sudah mengerti arah dan maksud pertuturan mereka. Akan tetapi tampak pada tuturan penutur yang dianggap kurang sopan untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ) saat transaksi jual beli. Tuturan penutur tersebut dapat dibuktikan seperti ini, “Lihatlihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya!” (kemudian pergi). Tuturan ini merupakan tanggapan dari tuturan mitra tutur (PJ) terhadap penutur (PB). Mitra tutur sudah memberitahukan harga dari barang dagangannya kepada si penutur (PB). Namun tanggapan dari penutur dianggap tidak sopan. Seperti yang sudah dibuktikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
163
dalam tuturan penutur di atas, tuturan penutur (PB) dianggap menyindir dan melecehkan diri si mitra tutur. Akibatnya mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan oleh si penutur (PB). Dengan leluasa, penutur menuturkan tuturan tersebut kepada mitra tutur tanpa memilirkan perasaan atau suasana si mitra tutur. Penekanan pada kata mahal memperlihatkan bahwa penutur tidak terima pada harga yang diberikan oleh si mitra tutur. Karena penutur tidak terima dengan harga yang diberikan mitra tutur, tuturan yang tidak santun ini keluar dari mulut si penutur. Kalimat yang dituturkan oleh penutur tersebut dirasa penutur menghindari harga yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Hal ini memperlihatkan bahwa tuturan tersebut digunakan untuk basa-basi agar penutur (PB) tidak jadi membeli dagangan si mitra tutur. Namun, tuturan penutur itu terkesan tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. Karena sangat merugikan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Pada data tuturan (34) ini dilihat penutur dan mitra tutur menggunakan kata sapaan untuk berkomunikasi. Penggunaan kata sapaan ini tentu dilihat pada siapa yang tengah kita ajak berkomunikasi. Dan sapaan yang diberikan harus selaras dengan seseorang yang sedang berkomunikasi dengan kita. Dalam data ini, penutur (PB) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya dianggap tepat dan pas untuk disapa “Mbak” oleh mitra tutur (PJ). Dan mitra tutur yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya juga dianggap tepat dan pas untuk disapa “Mas” oleh si penutur. Penggunaan kata sapaan ini digunakan untuk saling menghormati satu sama lain atau lawan bicara kita. Jadi, jangan sampai saat berkomunikasi kita salah menggunakan sapaan terhadap lawan bicara kita.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
164
Sepadan dengan penggunaan sapaan, campur kode digunakan pula di dalam data tuturan ini. Campur kode yang digunakan dalam data ini berupa campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Memang jika dilihat dari percakapan di atas, penutur dan mitra tutur sama-sama berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam tuturan mitra tutur terdapat kata mbrangkang yang termasuk dalam kategori bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko memang tidak terlihat banyak, tetapi arah dan maksud dari penggunaan campur kode itu tetap dapat dipahami oleh kedua partisipan tutur tersebut. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala untung-rugi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 10 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA UNTUNG-RUGI
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Analisis 27 Analisis 28 Analisis 29 Analsis 30 Analisis 31 Analisis 32 Analisis 33 Analisis 34
DT 6 DT 17 DT 19 DT 2 DT 3 DT 14 DT 21 DT 34
SKALA UNTUNG-RUGI SANTUN TIDAK SANTUN (diuntungkan) (dirugikan)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
165
4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. (35) PB: Ini double? PJ : Ini double XL PB: Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya? PJ : Ini ada yang XL? PB: XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas? PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya? PB: Tiga tahun, ya laki-laki PJ : Ini ukuran L dan M PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah coba. PJ : Desainnya sama? PB: Ini tadi kan? PJ : Ini L PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan? PJ : Iya. Yang kayak gini juga PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan. PJ : Iya PB: Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa? PJ : L PB: L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L? PJ : Itu sama, Mbak ukurannya. PB: Double XLnya gak ada? PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini. PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini gambarnya apa? PJ : Gambarnya sama PB: Coba buka aja gambarnya apa. PJ : Ukurannya apa, Mbak?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
166
PB: Yang L juga. PJ : Yang ini? PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya? PJ : Jadinya 150 PB: Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah. PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L. PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya ukurannya. PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain. PB: Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres. PJ : Berarti yang gambarnya cowok? PB: Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ). (DT 13) Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala pilihan, akan tampak sebagai berikut. Data (35) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara penjual kaos dengan pembelinya memiliki nilai kesantunan yang baik. Penjual yang notabene sebagai mitra tutur memberikan banyak pilihan kepada si penutur (PB). Dengan diberikannya pilihan-pilihan atas dagangan si mitra tutur, penutur (PB) dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur. Hal ini dinilai santun karena pilihan-pilihan yang diberikan mitra tutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si penutur (PB) sehingga penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan leluasa. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan tuturan si penutur yang memberikan tanggapan baik (dapat memilih) kepada mitra tutur sebagai berikut, “Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan”. Suasana yang baik dan nyaman dibangun antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) mitra tutur dalam komunikasi transaksi jual beli. Suasana yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
167
menyenangkan dan nyaman membuat si penutur (PB) membeli dagangan mitra tutur (PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu, jadi data tuturan (35) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada data tuturan di atas bahwa si mitra tutur (PJ) memberikan pilihan-pilihan dagangannya kepada si penutur (PB). Dan penutur pun menanggapi dengan baik dan penutur (PB) dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan nyaman dan leluasa. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah pembicaraannya. Pembeli (penutur) dan penjual (mitra tutur) adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya menggunakan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah tepat karena penutur dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat dalam percakapan data (35) ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data (35) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
168
sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data (35) di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (35) ini. (36) PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?) PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya) PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas. (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya) PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo? (Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e... PJ : Putih? PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?) PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1) Data (36) memperlihatkan bahwa pembeli (penutur) sedang melakukan transaksi jual beli dengan penjual (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli yang dilakukan oleh penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ) berjalan dengan baik dan lancar. Mitra tutur (PJ) dapat mengerti apa yang diinginkan oleh penuturnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
169
(PB) saat transaksi jual beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua partisipan tersebut terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro. Penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks berdagang dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung. Tuturan dari data (36) tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur diberikan keuntungan oleh mitra tutur (penjual) dengan dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan baik dan leluasa. Diberi keuntungan oleh mitra tutur, si penutur (PB) pun memberikan tanggapan baik kepada si mitra tutur. Penutur bertutur kata dengan menekankan pada tuturannya yakni, “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas” (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya). Penutur (PB) dapat memilih dagangan mitra tutur (PJ) dengan enak dan nyaman. Hal ini dapat dilihat pada bukti tuturan yang telah dicantumkan di atas. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, tuturan ini termasuk ke dalam kategori tuturan yang santun. Santunnya tuturan data (36) juga ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan penutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Sedangkan sapaan “Mas” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya. Data (36) juga menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
170
dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di dalam data (36). (37) PB: Ini berapa? PJ : Empat puluh PB: Gambare mana lagi? PJ: Gambarnya ini aja! PB: Gambar ceweknya gak ono? PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu! PB: Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas (merengek) PJ : Yang L ya? PB: Iya (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB tidak dapat memilih dagangan PJ). (DT 32) Data (37) merupakan tuturan antara penutur (PB) dengan mitra tutur (PJ). Data ini menunjukkan ketidaksantunan penutur (PB) terhadap diri mitra tutur (PJ) dalam sebuah komunikasi jual beli. Dalam hal ini, penutur (PB) tidak dapat memilih dagangan si mitra tutur (PJ). Karena mitra tutur tidak memberikan pilihan sama sekali kepada penutur (PB). Inilah bukti tuturan penutur (PB) yang dianggap kurang santun, “Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas” (merengek). Penutur (PB) menginginkan adanya pilihan-pilihan atas dagangan mitra tutur, namun mitra tutur sama sekali tidak memberikan pilihan-pilihan mengenai dagangannya kepada si penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
171
suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan yang diucapkan penutur juga dianggap tidak sopan. Hal ini dikarenakan penutur menuturkan tuturan tersebut dengan merengek. Gaya penuturan dengan merengek dinilai sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan. Karena melihat penutur (PB) yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan lebih dewasa dari si mitra tutur tidak sepantasnya merengek seperti itu kepada mitra tutur (PJ). Hal itu dirasa tidak pantas dan tidak sopan. Pada data tuturan (37) ini terlihat penutur dan mitra tutur menggunakan sapaan dalam berkomunikasi satu sama lain. Penutur (PB) tepat disapa “Bu” oleh mitra tutur (PJ) karena melihat bahwa si penutur adalah seorang wanita dewasa. Dan mitra tutur (PJ) tepat disapa “Mas” oleh penutur karena melihat bahwa si mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin lakilaki. Dalam data tuturan ini, penggunaan sapaan di antara kedua partisipan tutur itu sudah dirasa tepat digunakan dalam berkomunikasi. Selain itu, campur kode juga terdapat dalam data tuturan (37) ini. Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngokolah yang digunakan dalam percakapan tersebut di atas. Memang sekilas percakapan itu terlihat menggunakan bahasa Indonesia saja, namun dalam tuturan si penutur terdapat campur kode bahasa Jawa Ngoko seperti kata gak ono. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
172
TABEL 11 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA PILIHAN
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3.
Analisis 35 Analisis 36 Analisis 37
DT 13 DT 1 DT 32
SKALA PILIHAN SANTUN TIDAK SANTUN (banyak pilihan) (tidak ada pilihan)
4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut. (38) PB : Pinten, Mbak ngeten niki? (Berapa, Mbak ini?) PJ : Empat puluh lima PB : Warnane napa? Pas’e piro, Mbak? (Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?) PJ : Pasnya empat puluh PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang dagangan PJ) (Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?) PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu. PB : Telung puluh ya, Mbak? (Tiga puluh ya, Mbak?) PJ : Ndak boleh (Tidak boleh) PB : Ya sudah, makasih. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 10)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
173
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan, akan tampak sebagai berikut. Data (38) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa santun karena penutur (PB) tidak langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Penutur bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai warna dan harga dagangan mitra tutur sebelum menawarnya. “Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?” itulah bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap santun karena tidak langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ). Hal ini tentu memengaruhi tata cara transaksi jual beli. Apabila penutur (PB) secara langsung menawar barang dagangan mitra tutur, pasti mitra tutur (PJ) akan menerapkan harga pas kepada penutur. Dan apabila penutur langsung menawar barang dagangan si mitra tutur dengan harga rendah, tentu mitra tutur akan merasa dirugikan dan tidak menutup kemungkinan ekspresi mitra tutur berubah menjadi marah kepada si penutur. Dalam data tuturan (38) ini, penutur dengan santun bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai warna dan harga pasnya berapa atas dagangan si mitra tutur. Sehingga mitra tutur tidak merasa dirugikan dan tidak akan berubah ekspresi menjadi marah. Pada data ini terdapat penggunaan kata sapaan pada masing-masing peserta tutur. Penutur (PB) yang adalah seorang ibu-ibu tepat memberikan sapaan “Mbak” kepada mitra tutur (PJ) yang adalah seorang wanita muda. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur (PJ) yang adalah seorang wanita muda tepat memberikan sapaan “Bu” kepada si penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Beralih dari penggunaan sapaan, di dalam percakapan di atas terdapat penggunaan campur kode tiga bahasa sekaligus.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
174
Campur kode yang dimaksudkan adalah bahasa Indonesia, bahasa Jawa Krama, dan bahasa Jawa Ngoko. Dapat dilihat secara jelas penggunaan campur kode dalam data tuturan (38) tersebut di atas. (39) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Pas aja dua belas ribu PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja. PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 18) Data (39) merupakan percakapan antara pembeli (penutur) dengan penjualnya (mitra tutur) dalam suasana jual beli. Dalam data (39) ini terlihat kedua partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti alur pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) dapat mengerti arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan penutur (PB) yang telah dicetak tebal mempertegas bahwa penutur sangat tidak langsung menawar harga dagangan si mitra tutur. Penutur (PB) memberikan tekanan dengan berupa pertanyaan harga terlebih dahulu yang ditujukan kepada mitra tutur (PJ) yang kemudian penutur (PB) baru menawar harga dagangan mitra tutur seperti yang sudah ada dalam tuturan penutur yang dicetak tebal tersebut. Tekanan dengan berupa pertanyaan harga di sini dimaksudkan bahwa penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
175
(PB) mempertegas kembali harga dagang yang telah diberikan oleh mitra tutur kepada penutur dengan bertanya. Hal ini dibuktikan dengan tuturan penutur berikut ini, “Dua belas ribu? Sepuluh aja”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Suasana komunikasi antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) terjalin baik. Ekspresi tanggapan mitra tutur (PJ) juga terlihat puas dan senang. Oleh karena itu, tuturan tersebut dinilai santun karena penutur tidak secara langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Tuturan (39) menjadi tidak santun apabila penutur (PB) secara langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ) dengan harga yang sangat rendah. Hal ini tentu akan membuat mitra tutur merasa dirugikan dan pasti akan sedikit marah kepada penutur (PB). Dan tidak santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur tidak ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah pembicaraan yang tengah berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan guna menghormati seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun tidaknya sebuah tuturan juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan sapaan yang sudah tepat dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah tuturan. Namun apabila sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan tuturan akan jelas terjadi. Data tuturan (39) ini, sapaan “Dik” tepat digunakan untuk penutur (PB) yang adalah seorang remaja perempuan dan sapaan “Pak” tepat digunakan untuk sapaan mitra tutur (PJ) yang adalah seorang laki-laki dewasa. Sapaan-sapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain sapaan, penggunaan campur kode juga terlihat dari data (39) ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
176
Jawa Krama identik dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari tanggapan penutur (PB) yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode bahasa Jawa Krama, contohnya, sami-sami Pak. Hal ini lebih membuktikan dan menegaskan bahwa selain tuturan si penutur (PB) tergolong tuturan yang santun, penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya. (40) PB : Dua, dua puluh ya, Bu? PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak. PB : Yo wis. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB secara langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 23) Data (40) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa tidak santun karena penutur (PB) langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Dengan santainya penutur langsung menawar harga dagangan si mitra tutur dengan harga yang rendah. “Dua, dua puluh ya, Bu?” itulah bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap tidak santun karena langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ) dengan harga yang rendah. Penutur (PB) yang langsung menawar ini membuat ekspresi mitra tutur berubah sedikit menjadi marah kepada si penutur. Mitra tutur tetap pada harga dagangannya. Tawaran yang diberikan oleh penutur ditanggapi oleh mitra tutur dengan memberikan harga pas yang ditekankan pada kata aja dalam tuturannya. Namun pada akhirnya, penutur (PB) yang langsung menawar harga dagangan mitra tutur itu tidak dapat berbuat apa-apa dan terpaksa membeli dagangan mitra tutur dengan harga yang sudah ditetapkan oleh si mitra tutur (PJ). Rasa terpaksa penutur terlihat pada tuturan penutur (PB) yang memberikan tanggapan kepada mitra tutur (PJ) dengan tuturan yang singkat, yaitu “Yo wis”. Penekanan tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
177
tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Pada data ini terdapat penggunaan kata sapaan pada masing-masing peserta tutur. Penutur (PB) yang adalah seorang wanita tengah baya tepat memberikan sapaan “Bu” kepada mitra tutur (PJ) yang notabene adalah seorang wanita yang sudah agak tua. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur (PJ) yang adalah seorang wanita yang sudah agak tua tepat memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur yang notabene adalah seorang wanita tengah baya. Beralih dari penggunaan sapaan, di dalam percakapan di atas terdapat penggunaan campur kode tiga bahasa sekaligus. Campur kode yang dimaksudkan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Dapat dilihat secara jelas penggunaan campur kode dalam data tuturan (40) tersebut di atas. Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko hanya terdapat pada tuturan si penutur yang mengatakan , yo wis pada percakapan di atas, namun selebihnya menggunakan bahasa Indonesia. (41) PJ : Tiga puluh ya? PB : Nawar dua lima ! (nada ketus) PJ : Ya wis, oke-oke (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB langsung menawar). (DT 4) Data (41) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan singkat. Data (41) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa tidak santun karena penutur (PB) langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Penutur langsung menawar harga dagangan si mitra tutur dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sudah diberikan mitra tutur (PB) kepada penutur (PJ). “Nawar dua lima!” (nada ketus) itulah bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Ditambah dengan gaya penuturan penutur (PB) yang ketus kepada mitra tuturnya (PJ) saat bertransaksi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
178
jual beli. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap tidak santun karena langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ) dengan ketus. Namun penutur (PB) yang langsung menawar ini tidak membuat ekspresi mitra tutur berubah menjadi marah kepada si penutur. Hal ini dikarenakan walaupun sudah ditawar dengan harga yang di bawah standar harga penjualan, si mitra tutur (PJ) tetap mendapatkan keuntungan dari hasil dagangannya tersebut. Pada akhirnya, mitra tutur memberikan dagangannya sesuai dengan penawaran harga yang telah dituturkan secara langsung oleh si penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan (41) ini, kedua partisipan tutur ini juga menggunakan sapaan dalam berkomunikasi. Penutur (PB) yang adalah seorang anak remaja dengan berjenis kelamin perempuan tepat disapa dengan sapaan “Dik” oleh mitra tuturnya (PJ). Begitu pula sebaliknya, mitra tutur yang adalah seorang ibu-ibu tepat disapa dengan menggunakan sapaan “Bu” oleh penutur yang jauh lebih muda dari mitra tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (41) dirasa menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Terlihat jelas dari percakapan di atas yang menggunakan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada tuturan mitra tutur (PJ) yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
179
kode dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan yang sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud dari tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 12 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA KETIDAKLANGSUNGAN
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 38 Analisis 39 Analisis 40 Analsis 41
DT 10 DT 18 DT 23 DT 4
SKALA KETIDAKLANGSUNGAN SANTUN TIDAK SANTUN (tidak langsung) (langsung)
4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar tingkat kesantunan berbahasa pembeli perko trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penandapenanda kesantunan tuturan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
180
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan kebahasaan (kata, frasa, klausa, ataupun kalimat) yang dituturkan seorang penutur yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi (memberikan tanggapan atau penilaian) mengenai tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda kesantunan tersebut adalah (1) pemakaian pilihan kata (diksi) dan (2) pemakaian gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.
4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu
gagasan,
bagaimana
membentuk
pengelompokan
kata-kata
atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan
kata
tersebut.
Ketepatan
pilihan
kata
mempersoalkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
181
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara atau penutur. Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini, Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi (pilihan kata) adalah sebagai berikut. m) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain, n) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain, o) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain, p) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk melakukan sesuatu, q) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati, r) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa. Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
182
penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Penggunaan Kata yang Tepat Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan, suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
183
gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu percakapan. b. Menemukan Bentuk yang Sesuai Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
184
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) dalam sebuah tuturan.
TABEL 13 KRITERIA PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA) SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERBAHASA SANTUN
TIDAK SANTUN
1. Menggunakan kata - kata yang tepat. a. Memilih kata-kata yang tepat dan sesuai. b. Menjadikan komunikasi menjadi terarah. c. Dapat dipahami oleh mitra tutur.
1. Menggunakan kata - kata yang tidak/kurang tepat. a. Memilih kata-kata yang tidak/kurang tepat. b. Menjadikan komunikasi menjadi tidak terarah. c. Tidak dapat dipahami oleh mitra tutur. 2. Menemukan bentuk yang tidak sesuai. a. Penutur tidak dapat memahami situasi komunikasi dan situasi mitra tutur sehingga merugikan atau menyakiti mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Sehingga komunikasi yang terjadi menjadi kacau.
2. Menemukan bentuk yang sesuai. a. Penutur harus dapat memahami situasi komunikasi dan situasi mitra tutur agar tidak merugikan atau menyakiti mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Sehingga komunikasi yang terjadi tidak menjadi kacau.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian diksi (pilihan kata) atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
185
menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual beli pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. (42) PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?) PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya) PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas. (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya) PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo? (Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e... PJ : Putih? PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?) PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1) Data (42) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur yakni penutur yang notabene adalah si pembeli dan mitra tutur yang notabene adalah si penjual baju anak-anak itu sendiri saat transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata apik sendiri menunjukkan sebuah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
186
penekanan maksud yang diharapkan oleh si penutur. Kata apik yang ditekankan dalam tuturan si penutur tersebut memiliki makna bahwa penutur dapat memilihmilih dagangan si mitra tutur dengan leluasa. Penutur (PB) dirasa tepat menggunakan kata apik tersebut guna memberikan keuntungan juga kepada si mitra tutur. Keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur yakni penekanan kata apik yang membuat mitra tutur (PJ) merasa bahwa dagangannya layak untuk diperjualbelikan. Kata apik sendiri termasuk dalam kriteria tuturan yang santun. Karena merupakan sebuah penekanan untuk menguntungkan mitra tuturnya dan si penutur merasa dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur (PJ). Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, kata apik termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai dari tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Oleh karena itu, secara tidak langsung kata apik sendiri merupakan tuturan yang tepat digunakan dalam komunikasi jual beli. Kata tersebut sudah pasti dapat dimengerti oleh partisipan tutur, baik itu penutur maupun mitra tutur. Penggunaan kata tersebut juga menimbulkan suasana yang baik dan nyaman karena penutur (PB) dapat memilih dagangan yang diinginkannya pada dagangan si mitra tutur (PJ) dengan leluasa dan nyaman saat bertransaksi jual beli dengan mitra tutur. (43) PB : Dikurangi ya, Bu? PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik. PB : Lima puluh? PJ : Tambah dua ribu lima ratus PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan. PJ : Iyo wes gak apa-apa. (Iya sudah, tidak apa-apa) PB : Suwun (Terima kasih)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
187
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang). (DT 17) Data (43) menekankan kata iya yang memiliki makna suatu bentuk persetujuan yang telah disepakati bersama. Kata tersebut dituturkan untuk menguntungkan mitra tuturnya sebagai konsumen dari barang dagangannya. Penutur menekankan kata iya sebagai persetujuan atas pembelian dagangan si mitra tutur (PJ). Maka, diberikan penekanan kata iya agar mitra tutur (PJ) mendapatkan keuntungan dari penawaran yang diberikan penutur (PB). Maksud dari penekanan kata iya sangat dipahami betul-betul oleh penutur (PB) dan mitra tutur (PJ). Penutur dan mitra tutur sama-sama memahami maksud dari kata tersebut dan tuturan penutur yang memberikan penekanan kata iya sebagai tuturan yang dapat menguntungkan si mitra tutur (PJ) tergolong dalam tuturan yang santun. Pemakaian kata iya ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tepat dalam tinjauan tabel di atas. Oleh karena itu, tuturan tersebut termasuk ke dalam tuturan yang santun dan layak digunakan dalam komunikasi transaksi jual beli. Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu tuturan bahasa pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi pemakaian diksi (pilihan kata).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
188
(44) PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink? Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki! (Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek ini!) PJ : Iya tiga perempat PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya? (Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar ya?) PJ : Iya besar, Bu. PB : Papat, satus ya, Mas? (Empat, seratus ya?) PJ : Belum boleh, Bu. PB : Pas‟e piro? (Pasnya berapa?) PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau mau ya tak bungkus, kalau gak ya sudah! PB : (pergi) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB terlihat merugikan PJ dengan penekanan kata “elek iki”). (DT 31) Penekanan kata elek pada data (44) ini terlihat tidak santun. Kata elek termasuk dalam kata pernyataan. Penutur (PB) menuturkan kata tersebut saat melakukan transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Di saat memilih dagangan si mitra tutur, penutur (PB) mengucapkan kata tersebut di depan si mitra tutur. Kata elek yang dituturkan oleh penutur ini yang menjadikan suasana komunikasi menjadi tidak menyenangkan. Ditambah lagi dengan pemakaian kata elek dalam data tuturan di atas yang terkesan memberikan pernyataan bahwa ada barang dagangan si mitra tutur yang tidak layak untuk dibeli oleh penutur (PB). Kata elek dirasa tidak tepat digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata elek diganti dengan kata kurang cocok, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana komunikasi jual beli menjadi tidak kacau dan nyaman. Kata elek yang dinilai tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
189
termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam kriteria tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kata elek memang tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi jual beli. (45) PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus. PB : Empat tahun bisa gak? PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK juga, Mbak. PB : Iya. Berapa? PJ : Empat lima aja PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat merugikan PJ). (DT 34) Data (45) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur yakni si pembeli yang sebagai penutur dan si penjual yang sebagai mitra tuturnya. Pada data tuturan di atas, tampak tuturan penutur yang dianggap kurang sopan untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ) saat transaksi jual beli. Mitra tutur sudah memberitahukan harga dari barang dagangannya kepada si penutur (PB). Namun tanggapan dari penutur dianggap tidak sopan. Seperti yang sudah dibuktikan dalam tuturan penutur di atas, tuturan penutur (PB) dianggap menyindir dan melecehkan diri si mitra tutur. Akibatnya mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan oleh si penutur (PB). Dengan leluasa, penutur menuturkan tuturan tersebut kepada mitra tutur tanpa memilirkan perasaan atau suasana si mitra tutur. Penekanan pada kata mahal memperlihatkan bahwa penutur tidak terima pada harga yang diberikan oleh si mitra tutur. Karena penutur tidak terima dengan harga yang diberikan mitra tutur, tuturan yang tidak santun ini keluar dari mulut si penutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
190
Kalimat yang dituturkan oleh penutur tersebut dirasa penutur menghindari harga yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Kata mahal dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata mahal tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, maka kata mahal tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh tuturan si penutur. Kata mahal ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria pemakaian diksi (pemilihan kata) di atas. Alangkah baiknya apabila kata mahal diganti dengan kata maaf, mungkin belum cocok sehingga tuturan terlihat santun dan layak untuk dituturkan. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata). Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
191
TABEL 14 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA)
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 42 Analisis 43 Analisis 44 Analsis 45
DT 1 DT 17 DT 31 DT 34
PEMAKAIAN DIKSI TIDAK SANTUN SANTUN
4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu. Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gayagaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual (penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
192
Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya bahasa yang baik, yaitu: d. Kejujuran Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya. Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk digunakan dalam konteks berkomunikasi. e. Sopan Santun Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya, dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
193
untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam berkomunikasi. f. Menarik Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi, humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa dalam sebuah tuturan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
194
TABEL 15 KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERBAHASA SANTUN
TIDAK SANTUN
1. Kejujuran. a. Penutur tidak hanya mencari keuntungan saja. b. Kata-kata yang digunakan tidak berbelit-belit. 2. Sopan Santun. a. Menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. b. Bertutur kata dengan singkat dan jelas, sehingga tidak membuat mitra tutur bingung . 3. Menarik. a. Penutur dapat memberikan humor terhadap mitra tuturnya saat komunikasi berlangsung. b. Penutur dapat membuat suasana komunikasi yang menyenangkan, sehingga mitra tutur merasa nyaman dan senang.
1. Kejujuran. a. Penutur hanya mencari keuntungan saja. b. Kata-kata yang digunakan sangat berbelit-belit. 2. Sopan Santun. a. Tidak menghormati mitra tuturnya saat berkomunikasi. b. Bertutur kata dengan panjang lebar dan tidak jelas, sehingga membuat mitra tutur bingung . 3. Menarik. a. Penutur tidak dapat memberikan humor terhadap mitra tuturnya saat komunikasi berlangsung. b. Penutur tidak dapat membuat suasana komunikasi yang menyenangkan, sehingga mitra tutur tidak merasa nyaman dan senang.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual beli pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
195
gaya bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian gaya bahasa di atas. (46) PB : Pinten, Mbak ngeten niki? (Berapa, Mbak ini?) PJ : Empat puluh lima PB : Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak? (Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?) PJ : Pasnya empat puluh PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang dagangan PJ) (Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?) PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu. PB : Telung puluh ya, Mbak? (Tiga puluh ya, Mbak?) PJ : Ndak boleh (Tidak boleh) PB : Ya sudah, makasih. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 10) Data (46) ini merupakan tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata napa sendiri memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur. Penutur menggunakan kata napa yang dalam bahasa Indonesianya berarti apa untuk bertanya mengenai warna dagangan si mitra tutur (PJ). Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga penutur menanyakan terlebih dahulu warna apa saja yang ada pada dagangan si mitra tutur dengan menekankan kata napa agar si penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan enak dan nyaman. Kata napa dirasa sudah tepat untuk dituturkan dalam komunikasi jual beli. Kata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
196
tersebut termasuk dalam kategori kejujuran dan sopan santun dalam kriteria pemakaian gaya bahasa pada tabel di atas. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata napa sendiri merupakan tuturan yang santun dan layak digunakan dalam konteks transaksi jual beli. Karena kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua orang, khususnya oleh pedagang dan pembeli. (47) PB : Ini berapa, Pak? PJ : Pas aja dua belas ribu PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja. PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak. (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 18) Data (47) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur yang tengah bertransaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata aja menunjukkan sebuah keinginan penutur untuk mendapatkan harga yang murah dari mitra tutur (PJ). Penutur langsung menuturkan apa yang diharapkan kepada mitra tutur. Kata aja mengindikasikan bahwa harga yang diinginkan penutur terhadap dagangan si mitra tutur mendapatkan harga yang murah. Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur. Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur. Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Kata aja dapat dikategorikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
197
dalam sub kejujuran dan sopan santun yang terdapat dalam tabel kriteria pemakaian gaya bahasa di atas. Maka dari itu, kata tersebut dinilai santun dan pantas untuk dituturkan dalam berkomunikasi. Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu tuturan bahasa pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi pemakaian gaya bahasa. (48) PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah) (Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok). PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu. (Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju) PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro! (Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua) PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel) (Dua puluh lima ribu dua ya belum ada) PJ2: Selawe loro, sing ngene no! (Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!) PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit memaksa) (Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L) PB1: Ngge langganan lho, Pak. (Buat langganan, Pak) PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh gedhe cilik tak kek‟i. (Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan) PB2: Ukuran L, njaluk ukuran L. (Ukuran L, minta ukuran L) PJ2: L dewasa to kuwi? (L dewasa kan itu?)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
198
PB2: L sak aku, Pak. (L ukuran saya, Pak) PJ2: Ya ra entuk! (Ya tidak dapat!) PJ1: Nyoh. Wis tas‟e, Pak? (Ini. Sudah tasnya, Pak?) PB1: Wis, makasih (Sudah, terima kasih) (Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3) Data (48) merupakan tuturan dari pembeli kaos dagadu kepada penjualnya. Dalam data tuturan ini terdapat kata yang perlu ditekankan, yakni kono lho. Kata kono lho sendiri terucap ketika penutur (PB) tengah bertransaksi jual beli dengan si mitra tutur. Dari percakapan di atas, kata kono lho yang termasuk dalam kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra tutur, serta kata tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur (PJ). Ketika penutur menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi kacau dan penuh emosi. Tuturan penutur dengan penekanan kata suruhan yang disertai dengan paksaan itu dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra tutur yang menanggapi dengan jengkel dan marah. Tuturan penutur tersebut dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai penjualnya. Penutur dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu kepada mitra tutur. Mitra tutur (PJ) dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur (PB). Hal itu dirasa sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu pertuturan jual beli. Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi, dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
199
membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas. Oleh karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. (49) PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L? (Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?) PJ : Ora enek. Gak ada. (Tidak ada. Tidak ada) PB : Terus tak tukokne warna opo yo? (Terus saya belikan warna apa ya?) PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain) (Terima kasih. Terima kasih) PB : Lha iki aku werno opo? (Ini saya warna apa?) PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho. (Yang biru ini saja. Biru ini lho) PB : Endi? (Mana?) PJ : Iku lho. (Ini lho) PB : Elik iki birune. (Jelek ini birunya) PJ : Putih, item (Putih, hitam) PB : Putihe koyok ngopo? (Putihnya seperti apa?) PJ : Putihe sing neng ngisor. (Putihnya yang di bawah) PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L. (Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L) PJ : Harus itu? L putih? PB : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa) (Cepat, Mas carikan ini dulu!) PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e. (Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S) PB : Tak berantakke, Mas. (Saya buat berantak, Mas) PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung. (Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolongtolong) PB : Sing iki pasangane enek ora? (Yang ini pasangannya ada tidak?) PJ : Iki tulisane Jogja. (Ini tulisannya Jogja)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
200
(Konteks: Penekanan kata „ndang‟ inilah yang dirasa mempengaruhi kalimatnya menjadi kurang sopan. Jadi terlihat menyuruh dengan sedikit memaksa. Alangkah baiknya apabila tuturan PB diubah menjadi, “Tolong, saya dicarikan yang ini dulu, Mas” dalam bahasa Jawanya, “Tulung, aku digolekke sing iki dhisik, Mas”. Penekanan kata „ndang‟ diganti dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan). (DT 8) Pada data (49) ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pembeli (penutur) tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pembeli (penutur) tersebut menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada penjual (mitra tutur). Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata ndang dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur menyuruh mitra tutur (PJ) untuk mencarikan kaos yang diinginkan si penutur dengan tidak sopan. Tuturan penutur di atas dengan penekanan kata ndang membuat suasana yang sangat tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur yang notabene sebagai penjual merasa tidak nyaman untuk bertransaksi jual beli dengan si penutur. Suasana yang tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan penutur yang menyuruh mitra tutur dengan kasar dan tidak sopan. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan kata ndang menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang tidak sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur saat komunikasi transaksi jual beli. Seharusnya penekanan kata „ndang‟ diganti dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan dan layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
201
kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 16 TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI PEMAKAIAN GAYA BAHASA
NO.
URUTAN ANALISIS
KODE DATA
1. 2. 3. 4.
Analisis 46 Analisis 47 Analisis 48 Analsis 49
DT 10 DT 18 DT 3 DT 8
PEMAKAIAN GAYA BAHASA TIDAK SANTUN SANTUN
4.3 Pembahasan Kesantunan berbahasa merupakan sebuah cerminan dari pribadi seseorang. Karena ketika berbahasa dengan santun, orang lain yang menjadi lawan bicara pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang dilangsungkan. Santun tidaknya suatu tuturan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tingkat kesantunan berbahasa ini dianalisis menggunakan tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech. Adanya sebuah kerjasama sama suatu tuturan yang dilakukan oleh kedua partisipan tutur, baik penutur maupun mitra tutur merupakan hal yang sangat penting dan sangat perlu untuk diperhatikan oleh semua orang. Dengan adanya sebuah kerjasama dalam suatu tuturan akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
202
menimbulkan efek positif terhadap isi dan arah tuturan dan juga akan memperlancar sutu tuturan yang sedang dikomunikasikan. Ada banyak orang yang berpikir bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta sangat rendah dan tuturan-tuturan yang tidak santun tersebut sering bermunculan dalam transaksi jual beli di dalamnya. Hal tersebut dapat terjadi karena orang lain yang di luar sana belum mengerti akan konteks tuturan yang terjadi dan bagaimana suasana tuturan pada saat tuturan tersebut dikomunikasikan. Dalam suatu tuturan, yang paling penting dan harus diperhatikan betul-betul adalah bagaimana atau sejauh mana penutur dan mitra tutur memahami serta mengerti akan makna dan arah tujuan pembicaraan di antara kedua partisipan tutur itu. Orang lain tidak bisa hanya melihat dan menilai begitu saja tanpa melihat ada beberapa hal yang dianggap penting yang memengaruhi tingkat kesantunan suatu tuturan yang terjadi di sekitarnya.
4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta Pembahasan yang pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data dan pembahasan ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah pembelinya. Di bawah ini akan dibahas secara detail satu per satu sesuai dengan rumusan masalah
yang ada. Rumusan masalah
yang pertama
adalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
203
bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Melihat pada sebuah pusat perbelanjaan di sebuah kota kecil yakni Malioboro Yogyakarta tentu tidak lepas dari adanya transaksi jual beli yang ada di dalamnya. Transaksi yang dilakukan jelas dilakukan oleh penjual dan pembeli. Ada banyak pandangan yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam transaksi jual beli ini suka-suka. Suka-suka ini dimaksudkan bahwa penjual dan pembeli menggunakan bahasa sehari-hari dan tidak menggunakan pedoman berbahasa yang layaknya dalam berbahasa Indonesia. Para penjual dan pembeli berusaha menggunakan bahasa-bahasa tersebut agar komunikasi dapat terjalin dengan baik. Tak lupa maksud dan tujuan yang disampaikan saat berkomunikasi transaksi jual beli akan tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu akan memperlihatkan santun tidaknya sebuah tuturan yang dikomunikasikan antara penjual dan pembeli tersebut. Pokok bahasan yang pertama ini akan membahas mengenai tingkat kesantunan penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh penutur maupun mitra tutur agar tuturan yang dituturkan menjadi santun adalah (1) seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya (skala untung rugi), (2) seberapa besar penutur memberikan pilihanpilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah percakapan atau sebaliknya (skala pilihan), dan (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi terlebih dahulu dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau sebaliknya (skala ketidaklangsungan). Ketiga hal ini merupakan teori skala kesantunan Geoffrey
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
204
Leech sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini, yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode.
4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech 4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) Bahasan pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta ditinjau dari skala untung rugi. Berdasarkan analisis di atas, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun. Karena tuturan yang dituturkan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) dalam percakapan transaksi jual beli yang dilakukan menggunakan kata-kata atau bahkan kalimat-kalimat
yang
menandakan
bahwa
tuturan
tersebut
memberikan
keuntungan kepada si mitra tutur (pembeli). Dalam hal ini santunnya tuturan tentu akan terlihat dari tuturan si penutur (penjual) apakah tuturannya menguntungkan mitra tuturnya (pembeli) atau bahkan sebaliknya merugikan diri si mitra tuturnya. Dapat dibuktikan pada penggunaan kalimat “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu” (analisis 1 DT 1), “Ya wis, oke-oke, Dik” (analisis 2 DT 4), “Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja” (analisis 5 DT 18). Kalimat-kalimat yang dituturkan oleh penutur (penjual) dalam percakapan dengan mitra tutur (pembeli) saat transaksi jual beli tersebut di atas menandakan bahwa si penjual memberikan keuntungan kepada si pembeli. Dengan penekanan kalimat-kalimat tersebut dalam percakapan di antara kedua partisipan tutur itu, dapat dikatakan bahwa tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
205
tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang santun (menguntungkan mitra tuturnya). Dalam transaksi jual beli yang dilakukan penutur dan mitra tutur tentu tidak terlepas dengan adanya tuturan-tuturan yang dirasa tidak santun untuk dituturkan kepada diri si mitra tutur (pembeli). Misalnya saja dengan penekanan kalimat-kalimat sebagai berikut, “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki”, “Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (analisis 6 DT 3), “Gak boleh!” (analisis 8 DT 16), “Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!” (analisis 10 DT 30). Penggunaan kalimat-kalimat tersebut di atas telah mencerminkan bahwa tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur (pembeli) tidak santun. Kalimat-kalimat itu menandakan bahwa penjual sangat merugikan diri si pembelinya. Oleh karena itu, dengan penekanan kalimat-kalimat tersebut tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat digolongkan ke dalam tuturan yang tidak santun (merugikan mitra tutur). Bahasan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang dengan penekanan kalimat-kalimat yang digunakan sebagai penanda apakah tuturan yang dituturkan penjual kepada pembeli itu santun atau tidak santun di atas termasuk dalam teori skala kesantunan milik Geoffrey Leech (1983) khususnya skala untung-rugi yang dijelaskan mengenai seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya agar penutur dan mitra tutur dapat saling memberikan keuntungan atau kepuasan saat bertutur kata. Seorang penutur sebaiknya merugikan dirinya sendiri, bukan malah meninggikan dirinya di hadapan lawan tuturnya ketika berkomunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
206
4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) Selanjutnya, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” ini dilihat dari skala kedua yakni skala pilihan. Dalam percakapan-percakapan yang dilakukan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) terdapat tuturantuturan yang menandakan santun tidaknya tuturan dari segi skala pilihan. Dapat dibuktikan dengan tuturan-tuturan penutur kepada mitra tutur seperti berikut ini, “Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e” (analisis 11 DT 6), “Paling besar L. Kalo anakanak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini” (analisis 12 DT 13), dan “Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit” (analisis 13 DT 19). Kalimat-kalimat di atas merupakan penanda pilihan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli. Adanya pilihan-pilihan yang diberikan penutur kepada mitra tutur tersebut menjadikan tuturan yang dituturkan dikategorikan ke dalam tuturan yang santun. Ada pula penanda-penanda dalam tuturan yang dituturkan oleh si penjual kepada pembelinya yang menandakan bahwa tuturan tersebut tidak santun. Misalnya saja, “Anane iki nyoh. Iki wernane” (analisis 14 DT 28). Tuturan penutur tersebut menandakan bahwa penutur tidak memberikan pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya. Penutur hanya memberikan apa yang sudah dia ambil yang kemudian langsung diberikan kepada mitra tutur (pembeli). Oleh karena itu, karena tidak adanya tuturan-tuturan yang menandakan adanya pilihan-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
207
pilihan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli maka tuturan (penanda) tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun. Penanda-penanda untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” dalam skala pilihan ini telah dijelaskan di atas. Penekanan-penekanan dalam tuturan-tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur tersebut di atas mengacu pada teori skala kesantunan Geoffrey Leech (1983) khususnya skala pilihan yang menjelaskan mengenai seberapa besar penutur memberikan pilihanpilihan kepada mitra tuturnya ketika melakukan tindak tutur. Hal ini lebih pada pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi, penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun.
4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Bahasan yang ketiga ini membahas mengenai tingkat kesantunan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta menurut skala ketidaklangsungan. Dalam hal ini bahasan mengacu pada tuturan dan penekanan kata-kata atau kalimatkalimatnya yang menandakan santun tidaknya tuturan yang dituturkan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli). Dapat dilihat dari contoh kalimat berikut ini, “Nawar aja bisa. Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja” (analisis 17 DT 25), “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten” (analisis 18 DT 29). Kalimat-kalimat tersebut merupakan penanda bahwa tuturan yang dituturkan bersifat tidak langsung. Penutur (penjual)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
208
tidak langsung menuturkan apa yang dia inginkan namun melalui kalimat-kalimat seperti yang di atas penutur ingin berbasa-basi terlebih dahulu kepada mitra tutur (pembeli). Maka dari itu, tuturan dengan penekanan seperti di atas termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Tuturan-tuturan dengan penanda atau penekanan seperti itulah yang dapat mewakili apakah tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur santun atau tidak santun. Hal ini mengacu pada teori skala kesantunan Leech khususnya skala ketidaklangsungan (indirectness scale) yang memaparkan mengenai pokok teori skala ketidaklangsungan bahwa penutur harus benar-benar memahami dan mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu maksud tuturan kepada mitra tutur agar proses pertuturan yang tengah dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan santun. Seseorang yang memiliki cara masing-masing untuk dapat menyampaikan maksud dari tuturannya, apakan dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan menggunakan basa-basi terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur tidak menyinggung satu sama lain. Gunarwan (1994:87) menuliskan bahwa makin tembus pandang atau transparan atau makin jelas maksud sebuah ujaran, maka makin langsunglah ujaran tersebut dituturkan dan demikian pula sebaliknya. Pendapat dari Gunarwan itu ingin menjelaskan bahwa dalam melakukan suatu tuturan, kita harus bisa mengontrol tuturan yang akan kita ucapkan. Penutur tidak diperbolehkan terang-terangan atau transparan menyampaikan maksud dari tuturan yang diucapkan, karena semakin langsung mkasud dari tuturan itu tersebut terucap, tentu tuturan itu menjadi semakin tidak santun, begitu juga sebaliknya apabila semakin tidak langsung tuturan itu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
209
diucapkan maka semakin santunlah tuturan tersebut. Dan diharapkan penutur tidak membuat mitra tutur tersinggung. Hal ini dikarenakan masing-masing orang memiliki kepekaan dalam menanggapi sesuatu. Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh pembahasan tuturan penjual baik yang santun maupun yang tidak santun. Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Untuk melihat tiga aspek lainnya sebagai dasar analisis, yaitu sapaan, alih kode, dan campur kode, akan dibahas secara bersama-sama secara menyeluruh baik dalam subjek penjual maupun pembeli. Tuturan penjual seperti data-data di atas telah memperlihatkan kepada kita sebagai pembaca mengerti bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti telah dianalisis sedemikian rupa dalam bab analisis data di atas. Tentu terlihat jelas adanya tuturan penjual yang santun dan tuturan yang tidak santun. Munculnya beberapa bentuk tuturan yang dianggap kurang santun akan menghasilkan besarnya kemungkinan fatalnya tindak komunikasi dan dapat mengganggu atau bahkan merusak hubungan yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Hal seperti itu tentu tidak diharapkan untuk terjadi. Untuk menghindari hal-hal tersebut, yang perlu diketahui selanjutnya adalah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa dari penanda-penanda kesantunan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
210
Setelah menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta, langkah selanjutnya peneliti membahas mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang ditinjau dari kriteria penanda-penanda tingkat kesantunan berbahasa, yakni pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa. Dari hasil analisis data, terdapat beberapa tuturan pedagang yang dianggap santun dan tidak santun sesuai dengan kriteria penanda-penanda kesantunan pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa tersebut.
4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan 4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Pemakaian diksi atau pilihan kata di sini memiliki andil yang sangat besar dalam suatu percakapan atau komunikasi. Pemilihan kata harus benar-benar dilakukan dengan baik agar tuturan yang dituturkan dapat memberikan suatu maksud yang jelas dan baik (tidak menyinggung diri penutur atau mitra tutur). Seperti yang sudah dijelaskan dalam analisis data bahwa terdapat kriteria-kriteria dalam pemakaian diksi guna menjadikan suatu tuturan tersebut menjadi jelas dan baik. Misalnya saja, pemakaian kata diijolke dalam kalimat “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu” (analisis 19 DT 1) dan sudah murah (analisis 20 DT 18). Pemakaian kata diijolke dan sudah murah tersebut memiliki makna bahwa penutur (penjual) memberikan suatu keuntungan kepada mitra tutur (pembeli). Dalam tuturannya, penutur menggunakan kata tersebut sebagai penekanan diksi (pilihan kata) untuk mengutarakan maksud dari tuturannya itu. Penekanan kata-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
211
kata dalam tuturan si penutur menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan tuturan yang santun. Pemilihan kata yang digunakan termasuk dalam kriteria memilih kata-kata yang tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi terarah, maksud dari tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat dipahami oleh mitra tutur, dan situasi yang dihasilkan menjadi tidak kacau. Sehingga tuturan dengan penggunaan pilihan kata seperti contoh di atas dapat dikategorikan sebagai tuturan yang santun. Namun, ada pula yang dalam tuturannya penutur salah atau tidak tepat dalam memilih dan menggunakan kata-kata untuk menyampaikan maksud dari tuturannya. Dapat dibuktikan dengan penggunaan kata delokken dalam kalimat “Iki delokken sik” (analisis 21 DT 28) dan gak (analisis 22 DT 15). Kata-kata yang dipilih dan digunakan dalam contoh analisis tersebut dirasa tidak layak untuk digunakan dalam tuturan. Hal ini dikarenakan kata-kata tersebut memiliki makna yang kurang baik jika dituturkan. Melihat penekanan kata-kata tersebut dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur dapat disimpulkan bahwa tuturan dengan penanda tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun karena pemilihan kata yang digunakan termasuk dalam kriteria memilih kata-kata yang tidak/kurang tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi tidak terarah, maksud dari tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur menyinggung diri mitra tutur, dan situasi yang dihasilkan menjadi kacau. Pemilihan dan penggunaan kata dalam konteks ini mengacu pada teori pemakaian diksi para ahli yang telah dirangkum oleh peneliti menjadi dua sub yakni menggunakan kata-kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
212
4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa Pemakaian gaya bahasa di sini dimaksudkan untuk melihat bagaimana tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur itu tidak berbelit-belit (jelas), dapat menghormati mitra tuturnya, dan dapat membuat suasana komunikasi menjadi baik, nyaman, dan menyenangkan. Dengan gaya bahasa ini, tuturan akan dapat terlihat lebih baik dan santun. Seperti dalam contoh berikut ini, kata nawar (analisis 23 DT 25) dan mawon (analisis 24 DT 12) membuktikan bahwa penggunaan kata-kata tersebut dapat memengaruhi tuturan yang sedang dituturkan oleh penjual kepada pembeli. Kata-kata tersebut memiliki makna bahwa penjual memberikan sebuah penawaran kepada pembeli. Kedua kata tersebut termasuk ke dalam kriteria pemakaian gaya bahasa yang tidak berbelitbelit dan dengan penekanan kata-kata tersebut dalam tuturan, penjual atau penutur dapat menghormati mitra tuturnya (pembeli). Oleh karena itu, tuturan dengan penekanan kata-kata tersebut dianggap santun. Akan tetapi, ada juga tuturan yang dituturkan penutur tidak tepat dalam menggunakan kriteria pemakaian gaya bahasa. Misalnya saja, dicampur-campur (analisis 25 DT 30) dan ojo dibukaki dan kesel (analaisis 26 DT 3). Kata-kata tersebut jika dilihat secara sekilas sudah terlihat makna negatifnya. Dalam kriteria pemakaian gaya bahasa, kata-kata tersebut termasuk dalam kriteria tuturan yang tidak dapat menghormati mitra tuturnya dan dapat membuat suasana menjadi kacau dan tidak menyenangkan. Maka dari itu, kata-kata yang dianggap sebagai penanda dalam pemakaian gaya bahasa tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
213
Hasil dari pembahasan-pembahasan di atas telah membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun. Hal ini dikarenakan para penjual masih menerapkan etika-etika dalam komunikasi transaksi jual beli. Etika-etika tersebut tercermin pada penggunaan bahasa ketika berkomunikasi dengan pembeli. Saat transaksi inilah dapat dilihat bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa mereka, apakan tuturan yang dituturkan itu santun atau malah sebaliknya (tidak santun).
4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta Pembahasan mengenai rumusan masalah pertama yang membahas mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta telah selesai. Selanjutnya, di bawah ini akan dibahas secara detail satu per satu sesuai mengenai rumusan masalah yang kedua. Rumusan masalah yang kedua ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Dalam data dan pembahasan ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra tutur adalah penjualnya. Transaksi jual beli telah terlihat dari sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal dengan nama Malioboro tepat di kota Yogyakarta. Dalam transaksi ini, penjual dan pembeli saling berkomunikasi satu sama lain. Mereka menggunakan bahasa yang sudah biasa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan ini menitikberatkan pada tuturan pembeli yang akan dianalisis
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
214
tingkat kesantunannya. Apakah tuturan yang dituturkan pembeli kepada penjual dalam transaksi jual beli itu santun atau tidak santun. Dasar analisis yang digunakan dalam pembahasan ini kurang lebih sama dengan dasar analisis yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah yang pertama di atas. Di dalam pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh penutur maupun mitra tutur agar tuturan yang dituturkan menjadi santun adalah (1) dari skala untung rugi, (2) dari skala pilihan, dan (3) dari skala ketidaklangsungan. Ketiga skala ini merupakan teori dari skala kesantunan Geoffrey Leech (1983) sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini. Aspek-aspek di atas yang menjadi dasar analisis tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan data-data yang telah didapatkan oleh peneliti. Pembahasan ini akan diawali dengan membahas tiga skala kesantunan Leech, yakni (1) seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya, (2) seberapa besar penutur memberikan pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah percakapan atau sebaliknya, (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi terlebih dahulu dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau sebaliknya, yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
215
4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech 4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) Transaksi jual beli sudah pasti dilakukan oleh dua partisipan tutur, yakni penjual dan pembeli. Dalam konteks ini pembelilah yang menjadi sasaran utama untuk dianalisis tuturannya. Untung pembahasan yang pertama ini, tuturan pembeli akan dianalisis dengan menggunakan skala Leech yang pertama yakni skala untung rugi yang menitikberatkan pada seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya. Pembeli yang notabene sebagai penutur juga tidak pernah lepas dengan penggunaan tuturan yang kadang dianggap santun dan ada pula yang menggunakan tuturan yang dianggap tidak santun. Banyak pembeli yang menganggap bahwa dirinya adalah seorang raja karena dialah yang akan membeli dagangan dari si penjual. Dalam skala ini, jika penutur (pembeli) menguntungkan diri mitra tuturnya (penjual, maka tuturan tersebut dianggap santun, begitu pula sebaliknya. Seperti dalam contoh berikut ini, “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan” (analisis 28 DT 17) dan “Yang besar tiga lima ya, Bu?” (analisis 29 DT 19). Kalimat-kalimat tersebut merupakan suatu penekanan dalam percakapan yang dilakukan oleh penutur dengan mitra tuturnya. Dengan penanda tersebut dapat dianalisis dan dipaparkan dengan jelas bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena penanda kalimat itu menandakan adanya keuntungan yang didapatkan oleh si mitra tutur (penjual). Jadi, tuturan pembeli tersebut digolongkan ke dalam tuturan yang santun. Dalam komunikasi jual beli tidak luput akan terjadinya penggunaan tuturan yang dianggap tidak santun. Hal ini akan mengakibatkan komunikasi yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
216
sedang terjadi menjadi kurang baik. Penekanan pada kalimat-kalimat dalam percakapan antara penutur (pembeli) dengan mitra tutur (penjual) juga harus benar-benar diperhatikan. Misalnya saja, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok!” (analisis 30 DT 2), “Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok” dan “Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L” (analisis 31 DT 3), “Harusnya samalah!” (analisis 32 DT 14), “Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!” (analisis 33 DT 21), dan “Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya!” (analisis 34 DT 34). Kalimat-kalimat seperti itulah yang dirasa kurang tepat untuk dituturkan kepada mitra tutur (penjual) dalam konteks jual beli. Mengapa demikian? Karena kalimat-kalimat tersebut memiliki makna dan mkasud yang kurang baik untuk dituturkan. Secara garis besar, penekanan kalimat-kalimat itu dalam percakapan yang ada dapat merugikan diri si mitra tutur (penjual) sehingga suasana yang terjalin menjadi tidak harmonis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang dicontohkan di atas termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun. Bahasan di atas tepat mengacu pada teori skala kesantunan Leech (1983) terlebih khusus pada teori skala untung rugi yang menekankan seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya. Oleh karena itu, dilihat dari skala untung rugi ini, tuturan pembeli juga dapat dilihat apakah tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur (penjual) itu santun atau tidak santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
217
4.3.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) Bahasan selanjutnya yakni mengenai pilihan-pilihan yang diberikan penutur (pembeli) kepada si mitra tutur (penjual). Pembeli juga memiliki hak untuk meminta atau memberikan pilihan-pilihan baik itu mengenai dagangan si penjual, harga dagangan si penjual, atau yang lainnya. Semakin banyak pilihanpilihan dalam tuturan yang dituturkan akan semakin santunlah tuturan tersebut, begitu juga sebaliknya semakin minimnya pilihan-pilihan yang diberikan maka akan semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Misalnya pada penekanan kalimat berikut ini, “Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan” (analisis 35 DT 13), dan “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas” (analisis 36 DT 1). Penekanan kalimat-kalimat tersebut menandakan bahwa makna dan maksud dari tuturan yang dituturkan oleh penutur memberikan suatu pilihan-pilihan. Terdapat pilihanpilihan baik mengenai harga, ukuran, warna, dan jumlah pembelian dari dagangan si mitra tutur (penjual). Tentu menurut skala pilihan milik Geoffrey Leech (1983) tuturan dengan menggunakan penekanan atau penanda kalimat-kalimat tersebut menjadikan tuturan itu dikategorikan ke dalam tuturan yang santun karena terdapat banyak pilihan-pilihan di dalam tuturan si penutur (pembeli). Namun, dalam tuturan pembeli saat transaksi jual beli dengan penjual juga terdapat tuturan yang dianggap tidak santun dalam konteks skala pilihan ini. Pembeli (penutur) ada juga yang tidak memberikan pilihan-pilihan. Misalnya saja, “Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas” (analisis 37 DT 32). Penekanan pada kalimat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
218
tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Mengapa? Karena kalimat tersebut menandakan bahwa tidak adanya pilihan-pilihan yang diberikan. Sesuai dengan teori yang dianut, bahwa semakin tidak adanya pilihan-pilihan yang diberikan, maka dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Hal ini lebih pada pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi, penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Oleh karena itu, penanda kalimat tersebut dalam percakapan jual beli pada DT 32 dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun.
4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Pembahasan yang ketiga ini mengacu pada tuturan pembeli yang dilihat dari skala ketidaklangsungan Leech. Aspek yang ketiga ini bahwa penutur harus benar-benar memahami dan mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu maksud tuturan kepada mitra tutur agar proses pertuturan yang tengah dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan santun. Seseorang yang memiliki cara masing-masing untuk dapat menyampaikan maksud dari tuturannya, apakah dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan menggunakan basa-basi terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur tidak menyinggung satu sama lain. Gunarwan (1994:87) menuliskan bahwa makin tembus pandang atau makin jelas maksud sebuah ujaran, maka makin langsunglah ujaran tersebut dituturkan dan demikian pula sebaliknya. Penutur tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
219
diperbolehkan terang-terangan menyampaikan maksud dari tuturan yang diucapkan, karena semakin langsung maksud dari tuturan itu tersebut terucap, tentu tuturan itu menjadi semakin tidak santun, begitu juga sebaliknya apabila semakin tidak langsung tuturan itu diucapkan maka semakin santunlah tuturan tersebut. Sesuai dengan teori tersebut, dapat dicontohkan pada kalimat-kalimat seperti ini, “Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?” (analisis 38 DT 10) dan “Dua belas ribu? Sepuluh aja” (analisis 39 DT 18). Penekanan kalimat-kalimat tersebut dalam tuturan si pembeli yang notabene sebagai penutur merupakan tuturan yang bersifat tidak langsung. Pembeli tidak langsung mengungkapkan maksudnya secara terang-terangan. Penutur berbasa-basi terlebih dahulu sebelum benar-benar menyampaikan maksud dari tuturan yang akan ia tuturkan kepada si penjual. Dengan begitu, tuturan tersebut dirasa santun. Berbeda dengan kalimat berikut ini, “Nawar dua lima!” (analisis 41 DT 4) yang memperlihatkan bahwa penekanan yang digunakan dalam tuturan pembeli itu bersifat langsung. Kalimat tersebut di atas menandakan pembeli secara langsung menawar harga dagangan si penjual. Penutur tidak berbasa-basi terlebih dahulu melainkan langsung menyampaikan maksud dari tuturannya itu, sehingga tuturan dengan penekanan kalimat tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini tentu sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti yaitu teori skala ketidaklangsungan Geoffrey Leech (1983). Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh pembahasan tuturan pembeli baik yang santun maupun yang tidak santun. Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
220
skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan penjual seperti data-data di atas telah memperlihatkan kepada kita sebagai pembaca mengerti bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Ketiga bahasan dari masing-masing subjek penelitian di atas juga tidak lepas dari analisis percakapan transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dalam sebuah tempat perbelanjaan juga dilihat dari sisi penggunaan sapaan. Secara keseluruhan, penggunaan sapaan yang telah dianalisis dalam bab analisis data menjelaskan bahwa sapaan yang digunakan dalam berkomunikasi transaksi jual beli antara penutur dengan mitra tutur sudah tepat. Misalnya saja penggunaan kata sapaan Bu, Dik (adik), Pak, Mas, dan Mbak (pasti terdapat dalam semua data yang telah dianalisis oleh peneliti) yang memang terdapat dalam percakapan jual beli di atas. Penggunaan sapaan ini tentu dilihat dari segi usia, gender, hubungan kekerabatan, dll. Pemaparan penggunaan sapaan ini seperti yang dikatakan oleh Chaer bahwa sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur berdasarkan rasional. Jadi, penggunaan sapaan juga harus dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di mana pembicaraan itu berlangsung, dan siapa yang diajak berkomunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
221
Selain sapaan, penggunaan alih kode dan campur kode juga dianggap dapat memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa seseorang. Seperti dalam percakapan yang telah dianalisis, terdapat kata-kata atau kalimat-kalimat yang menjadi penanda terjadinya alih kode dan campur kode. Misalnya saja dalam DT 17 yang dalam percakapannya menggunakan alih kode, yang awalnya penutur dan mitra tutur berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia kemudian penutur beralih menggunakan bahasa Jawa dan diikuti dengan tanggapan si mitra tutur (pembeli) dengan menggunakan bahasa Jawa pula. Hal tersebut merupakan contoh penggunaan alih kode dalam percakapan jual beli. Penanda penggunaan alih kode tersebut di atas termasuk dalam teori sosiolinguistik khususnya teori alih kode yang menurut Appel (1976:79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode (code switching) itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan contoh. Misalnya saja, berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Ada pula contoh penggunaan campur kode yang terdapat dalam percakapan jual beli yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur. Misalnya saja dalam kalimat, “Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini” (DT 13). Dalam kalimat tersebut telah ditandai dengan penanda campur kode yakni penggunaan bahasa Inggris, seperti pada kata-kata yang telah dicetak tebal dalam kalimat di atas. Penanda penggunaan campur kode tersebut di atas termasuk dalam teori sosiolinguistik khususnya teori campur kode yang menurut Nababan (1984:32) mengatakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
222
campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara. Pembahasan-pembahasan di atas tentu terlihat jelas adanya tuturan pembeli yang santun dan tuturan yang tidak santun. Munculnya beberapa bentuk tuturan yang dianggap kurang santun akan menghasilkan besarnya kemungkinan rusaknya tindak komunikasi dan dapat mengganggu atau bahkan merusak hubungan yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Untuk menghindari hal-hal tersebut, yang perlu diketahui selanjutnya adalah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa dari penanda-penanda kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa. Dari hasil analisis data, terdapat beberapa tuturan pedagang yang dianggap santun dan tidak santun sesuai dengan kriteria penanda-penanda kesantunan pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa tersebut.
4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan 4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Pemakaian diksi (pilihan kata) merupakan suatu penanda kesantunan yang sangat penting untuk digunakan menganalisis tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini. Dalam berkomunikasi, tentu harus benar-benar atau cermat dalam memilih dan menggunakan kata untuk dituturkan. Jangan asal memilih dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
223
menggunakan kata dalam berkomunikasi. Jika hal tersebut terjadi, maka komunikasi yang terjalin akan menjadi kacau dan maksud yang hendak disampaikan penutur kepada mitra tutur tidak tersampaikan dengan baik. Misalnya, kata apik (analisis 42 DT 1) dan kata iya (analisis 43 DT 17). Kata-kata itulah yang sekiranya dapat mewakili pemilihan dan penggunaan diksi (pilihan kata) dari berbagai percakapan yang dilakukan oleh penutur (pembeli) dan mitra tutur (penjual) dalam konteks jual beli di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Kata-kata itu memiliki makna dan maksud yang sama, yakni menguntungkan diri si mitra tuturnya (penjual). Dengan menekankan kata apik berarti penutur memberikan suatu apresiasi terhadap dagangan si mitra tutur sehingga si mitra tutur mendapatkan keuntungan dengan diapresiasikan dagangannya dan si penutur dapat membeli dagangan si mitra tutur dengan jumlah yang lebih dari satu. Hal ini tentu sangat menguntungkan dan menyenangkan si mitra tutur (penjual). Begitu juga dengan kata iya yang menjadi sebuah tanda persetujuan bersama. Penutur mengungkapkan kata iya untuk menguntungkan diri si mitra tutur terhadap dagangannya. Persetujuan yang ditandai dengan kata iya menjadikan seuatu keuntungan bagi si mitra tutur. Oleh karena itu, kata-kata yang menjadi penanda kriteria pemakaian diksi (pilihan kata) di atas dimasukkan ke dalam tuturan yang santun. Karena penekanan pada kata-kata itu selain menguntungkan diri si mitra tutur juga termasuk dalam kriteria pemakaian diksi yaitu memilih kata-kata yang tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi terarah, dapat dipahami oleh mitra tutur, dan suasana yang terjalin menjadi baik dan nyaman. Akan tetapi ada juga yang dalam komunikasinya, penutur tirasa kurang atau tidak tepat dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
224
memilih dan menggunakan kata-kata. Dapat dibuktikan dengan kata-kata berikut ini, elek (analisis 44 DT 31) dan mahal (analisis 45 DT 34). Kata elek dan mahal jika kita lihat sepintas sudah terlihat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna yang kurang baik atau kurang tepat dalam tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Pemilihan dan penggunaan kata-kata itu dianggap kurang tepat karena kata-kata tersebut termasuk dalam kriteria pemakaian diksi yang kurang tepat yaitu memilih kata-kata yang kurang/tidak tepat dan sesuai dan suasana yang terjalin menjadi kacau, tidak baik dan tidak nyaman. Bahasan mengenai pemakaian diksi (pilihan kata) di atas tentu mengacu pada teori pemakaian diksi para ahli yang telah dirangkum oleh peneliti menjadi dua sub yakni menggunakan kata-kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai. Dengan begitu, tuturan yang dihasilkan baik penutur kepada mitra tutur maupun mitra tutur kepada penutur dapat dilhat secara detail apakah kata-kata yang dipilih dan digunakan sudah tepat dan layak atau tidak.
4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa Setelah membahas mengenai penanda kesantunan yang pertama, selanjutnya akan membahas mengenai penanda kesantunan yang kedua yakni pemakaian gaya bahasa. Dalam berkomunikasi ada kalanya menggunakan gaya bahasa dan ada kalanya juga tidak menggunakan aspek ini. Komunikasi khususnya transaksi jual beli di sini menggunakan gaya bahasanya mengacu pada tiga kriteria, yakni kejujuran, sopan santun, dan menarik. Dapat dicontohkan dalam penggunaan kata berikut ini, napa (analisis 46 DT 10) dan aja (analisis 47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
225
DT 18). Kata-kata tersebut dituturkan oleh penutur (pembeli) kepada mitra tutur (penjual) dalam komunikasi jual beli. Penutur menggunakan kata napa yang dalam bahasa Indonesianya berarti apa untuk bertanya mengenai warna dagangan si mitra tutur (PJ). Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga penutur menanyakan terlebih dahulu warna apa saja yang ada pada dagangan si mitra tutur dengan menekankan kata napa agar si penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan enak dan nyaman. Begitu juga pada penggunaan kata aja. Kata aja mengindikasikan bahwa harga yang diinginkan penutur terhadap dagangan si mitra tutur mendapatkan harga yang murah. Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur. Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur. Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Dengan begitu, penekanan pada kata napa dan aja termasuk dalam tiga kriteria pemakaian gaya bahasa, yakni penutur tidak hanya mencari keuntungan saja, kata-kata yang digunakan tidak berbelitbelit, menghormati mitra tutur, bertutur kata dengan singkat dan jelas, dan dapat membuat suasana menjadi baik dan nyaman. Namun, ada juga tuturan pembeli yang dirasa tidak memenuhi tiga kriteria pemakaian bahasa ini. Misalnya saja, kono lho (analisis 48 DT 3) dan ndang (analisis 49 DT 8). Kata-kata ini samasama memiliki makna menyuruh. Kata suruhan ini terlihat kurang sopan karena kata kono lho dalam percakapan DT 3 dan kata ndang dalam percakapan DT 8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
226
termasuk dalam kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra tutur, serta kata tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur (PJ). Tuturan penutur tersebut dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai penjualnya. Penutur dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu kepada mitra tutur. Mitra tutur (PJ) dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur (PB). Hal itu dirasa sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu pertuturan jual beli. Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi, dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan. Pembahasan-pembahasan di atas telah membuka mata kita terhadap bagaimanakah tingkat kesantunan penjual dan pembeli di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Kesantunan berbahasa ini tentu ditinjau dari konteksnya. Tuturan yang dituturkan oleh penjual kepada pembeli harus disesuaikan dengan konteks yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, dapat dilihat apakah tuturan yang dituturkan baik oleh penjual maupun pembeli tersebut santun dan pas digunakan atau tidak santun dan tidak layak digunakan dalam sebuah komunikasi jual beli. Konteks merupakan salah satu komponen yang penting dalam situasi tutur. Konteks didefinisikan sebagai aspek yang sangat berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan, hal ini menurut Leech dalam Sudaryanto (2009:119). Di samping itu, konteks merupakan sebuah konsep yang dinamis. Maksud dari istilah dinamis disini adalah bahwa kenyataan dunia pasti akan selalu berubah. Dalam arti luasnya memungkinkan partisipan tutur saling berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
227
dimengerti (Sudaryanto, 2009:123). Konteks ini menjadi salah satu penentu bagaimana suatu tuturan dapat dinilai santun atau tidak santun. Oleh karena itu, gambaran orang lain yang sedang terjadi terhadap tingkat kesantunan pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta belum tentu sama dan benar dengan tuturan yang sedang terjadi antara penutur dan mitra tutur yang sudah memahami dan mengerti dengan baik mengenai konteks pembicaraan yang tengah berlangsung. Setiap orang tentu mendambakan suatu tuturan yang menarik untuk diungkapkan dan dituturkan kepada orang lain. Begitu pula dengan tuturan pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta yang muncul. Hal ini dikarenakan mereka berkeinginan agar tuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur menjadi mudah dipahami, efektif, dan santun untuk digunakan dalam berkomunikasi. Pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta memang bukanlah suatu komuniktas yang formal. Mereka hanyalah sekelompok orang yang ingin menyambung hidup dengan berjualan di sana. Karena tentu kita ketahui bersama bahwa wilayah Malioboro adalah pusat perbelanjaan kota Yogyakarta. Jadi, mereka yang berjual beli di sana tidak lagi memikirkan bahwa tuturan yang dituturkan baik penjual maupun pembeli tersebut kurang baik dan kurang pas untuk didengar oleh orang lain, karena mereka semua yang menjalani komunikasi jual beli di sana sudah merasa nyaman dengan bahasa yang mereka gunakan setiap harinya. Uraian tersebut di atas apabila dirangkum dapat dikatakan bahwa tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur haruslah disesuaikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
228
dengan konteksnya, kapan tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang dituturkan. Dengan begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke dalam kategori tuturan yang santun atau tidak santun. Secara keseluruhan, mulai dari awal pembahasan mengenai tingkat kesantunan penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta hingga pembahasan mengenai konteks tuturan (kapan tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang dituturkan) untuk menjawab rumusan masalah sudah dipaparkan secara gamblang seperti yang sudah ada di atas. Hasil analisis dan pembahasan di atas telah memberikan hasil bahwa tuturan pedagang yang santun tercatat 20 tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 tuturan. Begitu juga dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16 tuturan dan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 tuturan. Hal ini telah membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
Pada bab ini diuraikan dua hal, yaitu (1) simpulan dan (2) saran. Simpulan berisi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran berisi hal-hal yang perlu demi penelitian lanjutan.
5.1 Simpulan Penelitian ini telah membahas dua masalah pokok, yaitu tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Berdasarkan pada bab yang telah disajikan sebelumnya, diperoleh beberapa hal yang dapat disimpulkan pada analisis ini. Secara rinci beberapa hal tersebut diuraikan di bawah ini: 1. Terdapat tiga skala yang dapat digunakan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah tingkat kesantunan suatu tuturan yang dituturkan, khususnya dalam dua masalah pokok penelitian ini, yakni tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Ketiga skala tersebut adalah (1) skala untung rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tiga skala ini merupakan skala kesantunan milik Geoffrey Leech yang menjadi dasar analisis penelitian ini. Jadi, apabila tuturan yang digunakan ingin terdengar santun, maka
229
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
230
seorang penutur baik penjual maupun pembeli harus memerhatikan ketiga skala tersebut sebelum bertutur kata atau berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Tidak lepas dari tiga skala tersebut, penutur dan mitra tutur juga harus memerhatikan penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode dalam berkomunikasi. Aspek-aspek ini tentu akan memengaruhi tuturan yang tengah dikomunikasikan antara kedua partisipan tutur. Dan penutur dan mitra tutur yang tengah berkomunikasi juga harus memerhatikan konteksnya. Yang dimaksud dengan konteksnya di sini adalah kapan tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang dituturkan. Dengan begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke dalam kategori tuturan yang santun atau tidak santun. 2. Dalam beberapa tuturan pada data yang telah dianalisis oleh peneliti ternyata terdapat dua hal yang perlu digunakan untuk menganalisis tingkat kesantunan penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta ini. Dua hal tersebut merupakan penanda-penanda tingkat kesantunan berbahasa yang antara lain adalah (1) diksi: penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai dan (2) gaya bahasa: kejujuran, sopan santun, dan menarik. Agar tuturan yang dihasilkan baik oleh penjual maupun pembeli menjadi santun, tentu kedua hal ini tepat digunakan untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli melalui kriteria-kriteria yang terdapat di dalam dua hal tersebut. Secara berurutan kriteria-kriteria yang ada dalam dua hal tersebut di atas adalah penutur dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
231
mitra tutur mengerti akan penggunaan kata yang tepat, menemukan bentuk yang sesuai, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Melalui kelima kriteria tersebut, tuturan-tuturan yang dihasilkan oleh penutur dan mitra tutur dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun. 3. Ada banyak orang atau masyarakat yang menganggap bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli sangatlah rendah. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan bahasa sehari-hari atau dapat dikatakan menggunakan bahasa sesuka mereka dalam bertransaksi jual beli. Penggunaan bahasa yang seperti inilah yang memunculkan anggapan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli dalam bertransaksi jual beli rendah. Ditambah pula dengan adanya anggapan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesantunan berbahasa pembeli itu sendiri. Dari anggapan dan tanggapan banyak orang tersebut, kemudian peneliti dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa pandangan atau anggapan banyak orang mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli dalam konteks transaksi jual beli ini salah. Hasil analisis di atas telah membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 tuturan. Begitu juga dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
232
pembeli yang santun tercatat 16 tuturan dan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 tuturan. Memang dalam analisis yang telah dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini terdapat tuturan yang santun dan tidak santun pada kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro ini, akan tetapi anggapan banyak orang yang mengatakan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan berbahasa pembeli dapat diluruskan bahwa berdasarkan hasil analisisnya tingkat kesantunan berbahasa pembelilah yang lebih rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.
5.2 Saran Penelitian ini tentu memiliki banyak keterbatasan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, peneliti memberikan empat saran, yaitu (1) saran untuk penelitian lanjutan, (2) saran untuk guru, (3) saran untuk pelajar dan mahasiswa, dan (4) saran untuk masyarakat pemakai bahasa. Keempat saran tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan a. Penelitian ini membahasa mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang/penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti lain dapat lebih mengembangkan topik-topik tersebut secara khusus dengan menguraikan tingkat-tingkat kesantunan berbahasa di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
233
setiap pedagang dan pembeli yang ada di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. b. Penelitian ini hanya membahas dua hal, yakni tingkat kesantunan berbahasa pedagang/penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Apabila dilihat dari sisi pragmatik dan sosiopragmatik, sebenarnya masih ada banyak aspek atau bidang yang belum dibahas, khususnya dalam mengkaji tingkat kesantunan berbahasa. Oleh karena itu, bagi peneliti lain atau pihak yang berminat untuk mengadakan penelitian tentang bahasa, khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia untuk melakukan penelitian sejenis. Bahasan dan bidang pragmatik dan sosiopragmatik yang dibahas tentunya akan lain dari penelitian yang sudah dibahas di dalam penelitian ini, misalnya mengenai tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi, deiksis, implikatur, dan lain-lain. 5.2.2 Bagi Guru Para guru dapat menjadikan contoh-contoh dalam penelitian ini sebagai referensi dalam suatu pembelajaran mengenai wacana yang sesuai dengan materi pembelajaran di sekolah, khususnya di sekolah menengah. Wacana ini dapat dijadikan contoh untuk menjelaskan tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli kepada para siswa sesuai dengan konteks pembelajaran yang ada. Dengan begitu, guru sekaligus dapat menempatkan aspek-aspek kesantunan sebagai salah satu indikator pembelajaran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
234
5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa Para pelajar dan mahasiswa, khususnya mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia sebagai insan terdidik dapat mengenal dan memahami betapa pentingnya aspek kesantunan dalam bertutur kata atau berkomunikasi. Pemahaman mengenai tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para pelajar dan mahasiswa agar dapat menerapkan aspek kesantunan tuturan secara baik, tepat, pantas, dan bijak di dalam komunikasi sehari-hari. 5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa Bagi masyarakat pemakai bahasa, kesantunan tuturan suatu bahasa perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan baik penutur maupun mitra tutur pasti menginginkan untuk dihargai satu sama lainnya. Penelitian yang membahas mengenai kesantunan berbahasa ini dapat digunakan untuk memberikan arahan kepada msayarakat pemakai bahasa untuk bisa saling menghargai satu sama lainnya melalui tuturan yang terjadi setiap hari di tengah masyarakat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Penyunting). PELLBA 7: Analisis Klausa, Pragmatik Wacana, Pengkomputeran Bahasa. Jakarta: Unika Atma Jaya. Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Nasional. _________________ . 1995. Sosiolinguistik: Sajian Tujuan, Pendekatan, dan Problem-problemnya. Surabaya: Usaha Nasional. Jamal.
Artikel tentang “Kesantunan dalam Perspektif: Sosiopragmatik Pengguna Bahasa di BDK Surabaya”.
Suatu
Telaah
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. Kesuma, Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. _________________ . 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia. Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Pemanfaatannya. Jakarta: Depdikbud. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurastuti, Wiji. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media. Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _________________ . 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat Ditinjau dari Aspek Pragmatik. Yogyakarta: Universitas Sana Dharma. Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisisus.
235
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
236
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _________________. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma. _________________ . 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga _________________ . 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga. Sarwoyo, Ventianus. 2009. “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di Dalam Surat Kabar (Suatu Tinjauan Pragmatik)”. Skripsi. Yogyakarta: PBSID Universitas Sanata Dharma. Soewandi, A.M. Slamet. 2007. “Handout Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Yogyakarta:PBSID-FKIP Universitas Sanata Dharma. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. _________________ dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana Pragmatik, Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Yuma Pustaka. Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LAMPIRAN 1 DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA
237
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA Keterangan : PJ
: Penjual
PB
: Pembeli
1. DT 1 Pedagang Baju Anak-anak Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 13.28 WIB PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?) PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya) PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas. (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya) PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo? (Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e... PJ : Putih? PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?) PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). 2. DT 2 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 13.54 WIB PB : Berapaan? Nawar ya, Pak? PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas. PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu) PJ : Jadiinya tadi dua... PB : Dua ratus sepuluh PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan. 238
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
239
(PB menyerahkan uang ke PJ) PJ : Uang kembali... PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB) PJ : Ini, makasih ya. 3. DT 3 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 13.55 WIB PJ1 : ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem arek piro? (...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini enam mau berapa?) PB1 : Hah? PJ1 : Arek enem arek piro to kaose? (Mau berapa kaosnya?) PB1 : Eee... Hooh sing kuwi loro. (Eee... Iya yang itu dua) PJ2 : Sing endi? Oren? (Yang mana? Jingga?) PB1 : Sing ngene iki piro? (Yang begini ini berapa?) PJ1 : Telu lima (Tiga lima) PB1 : Ki telungatus pas ya? (Ini tiga ratus pas ya?) PJ1 : Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-marah) (Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini) PB1 : Ndelok gambare aku. (Lihat gambarnya aku) PJ1 : Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku. (Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya) PB1 : Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak. (Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak) PJ1 : Wis? (Sudah) PJ2 : Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1 : Enam, pitu (Enam, tujuh) PJ1 : Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
240
PB2 : Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!) PJ1 : Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1 : Lha iyo lima dua ratus to! (Lha iya lima dua ratus kan!) PJ1 : Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak) PJ2 : Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!) PB1 : Tambahi piro to? (Tambah berapa?) PJ1 : Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae. (Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja) PB1 : 2.000 ya? PJ1 : Ya Allah... PB1 : Pun niki (sambil merengek) (Sudah ini) PJ1 : Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70, gur 65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak. (Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70, hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak) PB1 : Iya. Enem wae susuk lima ribu (Iya. Enam saja kembalian lima ribu) PB2: Mbok sing selawe loro to, Buk, Buk. Iya, Buk? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah) (Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok). PJ1 : Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu. (Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju) PB2 : Lha iyo tambah sing selawe loro! (Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua) PJ1 : Selawe loro ya urung enek to (jengkel) (Dua puluh lima ribu dua ya belum ada) PJ2 : Selawe loro, sing ngene no! (Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!) PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit memaksa) (Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L) PB1 : Ngge langganan lho, Pak. (Buat langganan, Pak) PJ1 : Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh gedhe cilik tak kek‟i.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
241
(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan) PB2 : Ukuran L, njaluk ukuran L. (Ukuran L, minta ukuran L) PJ2 : L dewasa to kuwi? (L dewasa kan itu?) PB2 : L sak aku, Pak. (L ukuran saya, Pak) PJ2 : Ya ra entuk! (Ya tidak dapat!) PJ1 : Nyoh. Wis tas‟e, Pak? (Ini. Sudah tasnya, Pak?) PB1 : Wis, makasih (Sudah, terima kasih) 4. DT 4 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.11 WIB PJ : Tiga puluh ya? PB : Nawar dua lima, Bu. PJ : Ya wis, oke-oke, Dik. 5. DT 5 Pedagang Tas Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.14 WIB PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima belas, yang HP. PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak? (Tas yang seperti ini berapa?) PJ : Empat lima PB2 : Kalau ini berapa? PJ : Delapan puluh PJ : Wo survei harga kok, Mbak‟e ki ! (menyindir) (PB1 dan PB2 pergi)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
242
6. DT 6 Pedagang Dompet Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.18 WIB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
PB PJ PB PJ
PB PJ PB PJ
PB PJ
: Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini. : Ini? : Itu mahal itu. : Ini gak boleh dua lima? (Ini tidak boleh dua puluh lima?) : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya. : Mahal ya : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan. (Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan) : Yang ini gak boleh dua lima? (Yang ini tidak boleh dua puluh lima?) : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. (Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas harganya) : Nanti ambilnya dua (merayu) : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak : Yah... : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. (Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu) : Ini berapa? : Itu sembilan puluh : Ini? : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e. (Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya) : Yang mana, Bu? : Itu. Satu, dua, tiga.
7. DT 7 Pedagang Gantungan Kunci Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.22 WIB PJ PB PJ PB
: Ini maksudnya gimana? : Yang warna biru. : Ini campur-campur gitu? : Iya, pengennya gitu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh. : Hah? (kaget) : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho! : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas. : Pinter nawar e. (Pintar menawar ya) : Tujuh belas. : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu. : Emoh (merengek) (Tidak mau) : Dua ribu lagi : Dua ribu? : Ini baru enam belas. : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi) : Dua ribu! : Seribu! (memaksa) : Ya udah ga papa (Ya sudah tidak apa-apa)
8. DT 8 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.32 WIB PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L? (Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?) PJ : Ora enek. Gak ada. (Tidak ada. Tidak ada) PB : Terus tak tukokne warna opo yo? (Terus saya belikan warna apa ya?) PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain) (Terima kasih. Terima kasih) PB : Lha iki aku werno opo? (Ini saya warna apa?) PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho. (Yang biru ini saja. Biru ini lho) PB : Endi? (Mana?) PJ : Iku lho. (Ini lho) PB : Elik iki birune. (Jelek ini birunya) PJ : Putih, item (Putih, hitam) PB : Putihe koyok ngopo?
243
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
244
(Putihnya seperti apa?) PJ : Putihe sing neng ngisor. (Putihnya yang di bawah) PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L. (Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L) PJ : Harus itu? L putih? PB : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa) (Cepat, Mas carikan ini dulu!) PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e. (Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S) PB : Tak berantakke, Mas. (Saya buat berantak, Mas) PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung. (Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong-tolong) PB : Sing iki pasangane enek ora? (Yang ini pasangannya ada tidak?) PJ : Iki tulisane Jogja. (Ini tulisannya Jogja) 9. DT 9 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.41 WIB PB : Mas yang ini panjangnya gak ada ya? PJ : Panjangnya gak ada. PB : Ra ono, Mas? (Tidak ada, Mas?) PJ : Ya? PB : Sing abang? (Yang merah?) PJ : Sing abang tugunya gak ada. (Yang merah gambar tugunya tidak ada) PB : Iki apa iki? (Ini apa ini?) PJ : Ini XLnya PB : Tugune ra enek? (Gambar tugunya tidak ada?) PJ : Gak ada e, Ibu. (Tidak ada, Ibu) PB : Merah? PJ : Itu L PB : XL warnane opo wae? Modele? (XL warnanya apa saja? Modelnya?) PJ : Cream, kuning, biru.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PB : Iki ngisor? (Ini yang bawah?) PJ : Orange (Jingga) PB : Iki? (Ini?) PJ : Orange (Jingga) PB : Gak ada ini? (Tidak ada ini?) 10. DT 10 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.44 WIB PB : Pinten, Mbak ngeten niki? (Berapa, Mbak ini?) PJ : Empat puluh lima PB : Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak? (Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?) PJ : Pasnya empat puluh PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang pakaiannya) (Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?) PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu. PB : Telung puluh ya, Mbak? (Tiga puluh ya, Mbak?) PJ : Ndak boleh (Tidak boleh) PB : Ya sudah, makasih. 11. DT 11 Pedagang Daster Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.48 WIB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak. : Ini? : Enam lima. Berapa? : Tiga puluh : Ambil berapa biji? : Satu, Pak. : Udah empat puluh ya? : Emoh. Tiga puluh.
245
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
246
(Tidak mau. Tiga puluh) PJ : Tambah lima ribu ya? PB : Emoh (Tidak mau) PJ : Ya udah. 12. DT 12 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 16.53 WIB PB : Piro iki, Bu? (Berapa ini?) PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon? (Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?) Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang) (Ini, Mbak) PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi) 13. DT 13 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.02 WIB PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Ini double? : Ini double XL : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya? : Ini ada yang XL? : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas? : Berapa tahun? Laki-laki ya? : Tiga tahun, ya laki-laki : Ini ukuran L dan M : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah coba. : Desainnya sama? : Ini tadi kan? : Ini L : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan? : Iya. Yang kayak gini juga : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan. : Iya : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa? :L
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
247
: L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L? : Itu sama, Mbak ukurannya. : Double XLnya gak ada? : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini. : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini gambarnya apa? : Gambarnya sama : Coba buka aja gambarnya apa. : Ukurannya apa, Mbak? : Yang L juga. : Yang ini? : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya? : Jadinya 150 : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah. : Tapi ini yang paling besar ukurannya L. : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya ukurannya. : Kalo cowok nanti gambarnya lain. : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres. : Berarti yang gambarnya cowok? : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.
14. DT 14 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.11 WIB PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Empat puluh ya? : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju) : Berarti sama ya ini? : Beda, Bu : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu? : (menunjukkan bajunya) : Ini paling gede? : Iya L : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama? : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa mengejek) : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
248
15. DT 15 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.14 WIB PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Mas, ini sepasang ya? : Iya, Dik. : Ini tadi dua berapa? : Tujuh puluh : Dua, empat puluh, Mas. : Gak boleh! : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi)
16. DT 16 Pedagang Celana Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.17 WIB PB PJ PB PJ
: Dua puluh ribu aja ya, Pak? : Pas tiga puluh! : Aaaahhh, Pak‟e iki lho (sambil merengek) : Sudah pas, Mbak ini (sambil membungkus). Makasih.
17. DT 17 Pedagang Tas Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.22 WIB PB PJ PB PJ PB PJ
: Dikurangi ya, Bu? : Ya coba aja di tempat lain, Dik. : Lima puluh? : Tambah dua ribu lima ratus : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan : Iyo wes gak apa-apa. (Iya sudah, tidak apa-apa) PB : Suwun (Terima kasih)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
249
18. DT 18 Pedagang Sandal Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.23 WIB PB PJ PB PJ
: Ini berapa, Pak? : Pas aja dua belas ribu : Dua belas ribu? Sepuluh aja. : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak. 19. DT 19 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.24 WIB PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit. PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dik. 20. DT 20 Pedagang Sandal Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.28 WIB PB PJ PB PJ PB PJ
: Tiga delapan (38), tiga tujuh (37). Atau yang model gini? : Tiga delapan (38). Ya, ada lagi? : Model ini? : Gak ada, tinggal satu e, Mbak. : Ini tiga tujuh (37) ada, Pak? : Ini tapi modelnya beda.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
250
21. DT 21 Pedagang Pigura Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.36 WIB PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete tok satus. (Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan tetapi dalamnya saja seratus) PB : Mas sing ngono kuwi? (Mas yang itu berapa?) PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang. (Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal) PB : Sing ayat kursi? (Yang ayat kursi?) PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu? (Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?) PB : Piro? (Berapa?) PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya tiga ratus ribu rupiah) (Saya sudah begini) PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya tiga ratus ribu rupiah) (Kalau sama ibunya tidak sampai begini) PJ : Lha nek karo bapake benten (Kalau sama bapaknya berbeda) PB : Lho, malah karo bapake luwih murah dadi ngene (menunjukkan dua jari yang menandakan harganya dua ratus ribu rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus tapi rongatus? (Kalau sama bapaknya lebih murah jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?) PJ : Wah dereng nek ngoten (Wah belum kalau begitu) PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki piye Pak dadine? Mung gari siji wae kok Pak, dadine rongatus. (Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu. PJ : Telungatus (Tiga ratus ribu) PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene! (jengkel) (Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di sini!)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
251
22. DT 22 Pedagang Sandal Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.38 WIB PB : Yang warnanya biru ada? PJ : Item sama merah? Adanya ya kayak gini. (Hitam sama merah? Adanya ya seperti ini) PB : Yang kayak gini, Bu? (Yang seperti ini, Bu?) PJ : O sing kuning? Iya. Yang kuning, Mbak? Nomor berapa, Mbak? 31? 32? Ini sama ungu ya? PB : Iya PJ : Terima kasih. 23. DT 23 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.45 WIB PB : Dua, dua puluh ya, Bu? PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak. PB : Yo wis. 24. DT 24 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.17 WIB PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Ini berapa, Pak? : Nawar aja bisa. : Ini all size atau apa? : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja. : Ada warna lain? : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain. : Berapa? : Tiga puluh lima : Ini aja. Berapa? : Dua lima. Ini udah yang paling murah : Lima belas ya? : Bahannya bagus soalnya. : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya? : Udah murah, Ibu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
252
PB : Hehe ya ya. 25. DT 25 Pedagang Korek Api Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.24 WIB PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Berapa ini? : Empat puluh : Berarti pasnya tiga puluh? : Tiga puluh gak ada e, Mas. : Kalau pistol ini? : Delapan lima. Kalau yang ini enam lima, masih bisa kurang ini. : Udah deh pasnya berapa? : Ya masnya nawar aja dulu : Nawar tiga puluh, Mbak. : Tiga lima aja, Mas : (pergi) : Tambah lima ribu aja ya, Mas. Yowes iki, Mas.
26. DT 26 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.30 WIB PJ : Belum dapat, Mbak. PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta? (Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?) PJ : Hah? PB : Sepuluh PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek) PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki sepuluh ewu! (memaksa) (Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini sepuluh ribu) PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu. PB : Piro iki? (Berapa ini?) PJ : Seratus empat puluh lima PB : Gak dikorting? (Tidak dikurangi harganya?? PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal PB : Satus petang puluh lah, Pak?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
253
(Seratus empat puluhlah, Pak?) PJ : Tambah lima ribu ya? PB : (pergi) PJ : Ya udah sini. 27. DT 27 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.37 WIB PB : Sing ireng kabeh ngene ono? Putih kabeh ngono? (Yang hitam semua seperti ini ada? Putih semua begitu?) PJ : Putihe namung kalih, Pak (Putihnya hanya dua) PB : Podo ukurane, Bu? (Sama ukurannya?) PJ : Inggih sami 28. DT 28 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.39 WIB PB : Umur lima tahun PJ : Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras) (Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan dibolak-balik) PB : Berapa ini? PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane. (Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini warnanya) PB : Dua lima ya, Bu? PJ : Telung puluh ya? (Tiga puluh ribu ya?) PB : Dua lima aja ya? PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken mengko. Nyoh ngko ndak lali! (Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
254
29. DT 29 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.41 WIB PB : Enem tahun (Enam tahun) PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten. (Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya tidak) PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra? (Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?) PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso. (Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh) PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu? (Ada dua? Sama tidak gambarnya?) PJ : Sami (Sama) PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro? (Ini dua sama itu tadi dua berapa?) PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh. (Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus sepuluh) PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho! (O seratus sepuluh. Seratus ya!) PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal. (Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh) PB : Satus ya, Bu? (Seratus ya?) PJ : Saestu, Pak (Benar, Pak) PB : Bathine lho wis akeh! (Keuntungannya lho sudah banyak!) PJ : Saestu sampun mirah niki (Benar sudah murah ini) 30. DT 30 Pedagang Gantungan Kunci Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.46 WIB PB : Sepuluh ribu, empat, Bu? PJ : O ya belum dapat, Le. PB : Bolehnya berapa?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
255
PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem? PB : (melihat-lihat gantungan kunci) PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur! (kasar sambil marah-marah) PB : (pergi) 31. DT 31 Pedagang Daster Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.58 WIB PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink? Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki! (Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek ini!) PJ : Iya tiga perempat PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya? (Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar ya?) PJ : Iya besar, Bu. PB : Papat, satus ya, Mas? (Empat, seratus ya?) PJ : Belum boleh, Bu. PB : Pas‟e piro? (Pasnya berapa?) PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau mau ya tak bungkus, kalau gak ya sudah! PB : (pergi) 32. DT 32 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.04 WIB PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Ini berapa? : Empat puluh : Gambare mana lagi? : Gambarnya ini aja! : Gambar ceweknya gak ono? : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu! : Mas, yang gambarnya lucu gitu lho (merengek) : Yang L ya? : Iya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
256
33. DT 33 Pedagang Kaos Dagadu Jogja Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.21 WIB PB : Ini berapa ini? Sama ya? PJ : Ini dua lima PB : Yowes ini aja L. Ndak mau merah katane, Pak. (Ya sudah ini saja L. Tidak mau merah katanya, Pak) PJ : Sudah? PB : Jangan sama. PJ : Gambarnya pit onthel? PB : Ini-ini? PJ : Sama PB : Ini XXL, Pak? PJ : Iya, Mbak. PB : Warna lain? PJ : Warna lain cokelat. 34. DT 34 Pedagang Gelang Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.27 WIB PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus. PB : Empat tahun bisa gak? PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK juga, Mbak. PB : Iya. Berapa? PJ : Empat lima aja! PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi) 35. DT 35 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.28 WIB PJ : Sekawan? (Empat?) PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki. (Ya empat tahun yang sama ini) PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak. (Empat tahun kan? Seperti ini, Pak)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
257
PB : Warnane? (Warnanya?) PJ : Nggih namung niki warnane. (Ya hanya ini warnanya) PB : Model iki ra ono? (Model ini tidak ada?) PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten niki. (Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini) PB : Piro iki? (Berapa ini?) PJ : Sami mawon (Sama saja) PB : Seket to, Bu? (Lima puluh kan?) PJ : Nggih mboten napa-napa. (Ya sudah tidak apa-apa) PB : Lha iyo to? (Lha iya kan?) PJ : Nggih, Pak. (Iya, Pak) 36. DT 36 Pedagang Gantungan Kunci Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.33 WIB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Ini warna-warni : Ini berapa? : Dua puluh ribu : Sepuluh : Kalau harganya pas tadinya dua lima. Gini aja deh, dua, dua lima. : Sepuluh ya, Bu? : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini. : Sepuluh ya? : Bener, Mas. Dua belas setengah wis. Harga-harga mepet itu. : Tiga, tiga puluh gak boleh? : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas setengah kali tiga jadinya tiga tujuh setengah. PB : Tiga, tiga puluh ya? PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang. Kalau tidak ya sudah. Sudah pas. Sudah murah. PB : (pergi)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
258
37. DT 37 Pedagang Baju Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.36 WIB PB : Setelan cah cilik? (Atas bawah anak kecil?) PJ : Umur pinten? (Umur berapa?) PB : Limang tahun (Lima tahun) PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten, Bu? (Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?) PB : Yo lumayan. (Ya lumayan) PJ : Sak menten? (Ini?) PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu. (Lengan panjang, buat mengaji, Bu) PJ : O lengen panjang? Mboten wonten nek lengen panjang. Njenengan tindak mawon dateng toko (mengejek) (O lengan panjang? Tidak ada kalau lengan panjang. Anda pergi ke toko saja).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LAMPIRAN 2 TABULASI DAN TRIANGULASI DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA
259
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI TABULASI DAN TRIANGULASI DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA Triangulator diminta untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Triangulator yang dipercaya untuk memeriksa data peneliti adalah penyidik yang memiliki kemampuan dalam bidang sosiopragmatik, yakni Dr. B. Widharyanto, M.Pd. Rumusan Masalah : Masalah umum penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini kemudian dirinci dalam dua sub masalah berikut ini. 3) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta? 4) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta? Perintah : Triangulator diminta untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Kemudian triangulator memberikan justifikasi berupa pernyataan setuju atau tidak setuju pada kolom yang telah disediakan oleh peneliti. Kriteria : Santun : U-R
: Skala Untung Rugi
: Penutur menguntungkan mitra tutur.
S-P
: Skala Pilihan
: Penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur sehingga mitra tutur dapat memilih.
S-KL : Skala Ketidaklangsungan
: Tuturan yang dituturkan oleh penutur bersifat tidak langsung.
260
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 261 Tidak Santun : U-R
: Skala Untung Rugi
: Penutur merugikan mitra tutur.
S-P
: Skala Pilihan
: Penutur tidak memberikan pilihan kepada mitra tutur sehingga mitra tutur tidak dapat memilih.
S-KL : Skala Ketidaklangsungan
: Tuturan yang dituturkan oleh penutur bersifat langsung.
Keterangan : U-R
: Skala Untung Rugi
S
: Santun
PJ
: Penjual (warna merah)
S-P
: Skala Pilihan
TS
: Tidak Santun
PB
: Pembeli (warna biru)
S-KL : Skala Ketidaklangsungan
No. 1.
Data PB1 : Warnane sik endi? (Warnanya yang mana?) PB2 : Iki yo apik warnane. (Ini ya bagus warnanya) PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas. (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apaapa. Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya) PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo? (Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?) PB2 : Putih e... PJ : Putih?
Konteks Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 13.28 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju anak-anak kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB apabila tidak cukup boleh ditukarkan.
Skala Kesantunan PJ U-R
PB S-P
Pemakaian Bahasa Bahasa Jawa Ngoko
Krama
Bahasa Indonesia
Justifikasi Triangulator S / TS PJ PB S S Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 262 PB1 : Tapi mosok sedeng? (Tapi apa cukup?) PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu. (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).
Dapat dibuktikan dengan tuturan PJ yang mengatakan, “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu” (Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ. Dapat dibuktikan dengan tuturan PB yang menandakan bahwa PB sedang memilih dagangan PJ, “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas”. Sapaan: “Mas” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya dan “Bu” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. DT 1 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa dan bahasa Inggris (pink).
2.
PB : Berapaan? Nawar ya, Pak? Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas. PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar Pukul : 13.54 WIB juga kok! (sambil menggerutu) Tuturan PJ: PJ : Jadiinya tadi dua... Tuturan di atas diucapkan oleh
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 263 PB : Dua ratus sepuluh PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan. (PB menyerahkan uang ke PJ) PJ : Uang kembali... PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB) PJ : Ini, makasih ya.
seorang pedagang kaos Dagadu Jogja kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah orang dewasa berjenis kelamin laki-laki sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah seorang wanita muda. Tuturan ini menandakan bahwa PJ merugikan PB. Penekanan kata „pas‟ menandakan bahwa PB tidak dapat menawar kembali dagangan PJ. Sehingga muncul tanggapan PB yang sedikit marah. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB memperlihatkan rasa kecewa dan merasa dirugikan terhadap tuturan PJ sehingga dapat dilihat dari tuturannya, PB terlihat marah. Seharusnya walaupun PB merasa kecewa atau dirugikan tidak berkata demikian. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya. DT 2 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 264
3.
dan bahasa Jawa (ya wis iki wae). PJ1 : ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke Tuturan terjadi pada: wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem Hari : Minggu, 16 Maret 2014 arek piro? Pukul : 13.55 WIB (...tiga, empat, lima, enam. Saya Tuturan PJ: masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini Tuturan di atas diucapkan oleh enam mau berapa?) seorang pedagang kaos dagadu PB1 : Hah? kepada pembeli. Data diambil dari PJ1 : Arek enem arek piro to kaose? dua penutur dan dua mitra tutur. (Mau berapa kaosnya?) Keduanya saling tawar-menawar. PB1 : Eee... Hooh sing kuwi loro. Penutur adalah laki-laki dewasa dan (Eee... Iya yang itu dua) wanita dewasa, sedangkan mitra PJ2 : Sing endi? Oren? tutur adalah sama-sama wanita (Yang mana? Jingga?) muda. Tuturan di atas PB1 : Sing ngene iki piro? memperlihatkan bahwa PB (Yang begini ini berapa?) dirugikan oleh tuturan PJ. Terlihat PJ1 : Telu lima pada tuturan PJ yang kasar kepada (Tiga lima) PB sehingga tuturan tersebut sangat PB1 : Ki telungatus pas ya? merugikan PB. Tuturan yang tidak (Ini tiga ratus pas ya?) sopan juga terlihat dari kata-kata PJ1 : Tombok yo ora popo. Iki lho regane „sampeyan‟ lalu ngoko. larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki- Tuturan PB: iki XL, XL sakmeneki (sambil marah- Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun marah) (Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho karena tuturan PB memaksa PJ. harganya mahal. Ini lho, Anda jangan Sapaan: “Pak dan Bu” dibuka-buka. Saya tidak mau digunakan sebagai sapaan memasukkan. Ini XL, XL segini) penutur (penjual) yang notabene PB1 : Ndelok gambare aku. adalah seorang laki-laki dewasa (Lihat gambarnya aku) dan wanita dewasa dan “Mbak PJ1 : Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. dan Bu” digunakan sebagai
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 265 Kesel aku. (Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya) PB1 : Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak. (Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak) PJ1 : Wis? (Sudah) PJ2 : Piro iki piro? Hah? (Berapa ini berapa? Hah?) PB1 : Enam, pitu (Enam, tujuh) PJ1 : Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya? (Lha ini bordirnya dua) PB2 : Enem, pitu niku lho! (Enam, tuju itu lho!) PJ1 : Seratus. Iki mau seratus empat puluh. (Seratus. Ini tadi seratus empat puluh) PB1 : Lha iyo lima dua ratus to! (Lha iya lima dua ratus kan!) PJ1 : Iki bordir, Mbak (jengkel) (Ini bordir, Mbak) PJ2 : Bordir bedo! (nada keras) (Bordir beda!) PB1 : Tambahi piro to? (Tambah berapa?) PJ1 : Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae. (Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja) PB1 : 2.000 ya? PJ1 : Ya Allah... PB1 : Pun niki (sambil merengek)
sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita muda dan wanita dewasa. DT 3 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa dan bahasa Inggris (pink).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 266 (Sudah ini) PJ1 : Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70, gur 65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak. (Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70, hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak) PB1 : Iya. Enem wae susuk lima ribu (Iya. Enam saja kembalian lima ribu) PB2: Mbok sing selawe loro to, Buk, Buk. Iya, Buk? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah) (Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok). PJ1 : Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu. (Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju) PB2 : Lha iyo tambah sing selawe loro! (Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua) PJ1 : Selawe loro ya urung enek to (jengkel) (Dua puluh lima ribu dua ya belum ada) PJ2 : Selawe loro, sing ngene no! (Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!) PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 267 apa ndek kono ukuran L (marahmarah dan sedikit memaksa) (Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L) PB1 : Ngge langganan lho, Pak. (Buat langganan, Pak) PJ1 : Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh gedhe cilik tak kek‟i. (Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan) PB2 : Ukuran L, njaluk ukuran L. (Ukuran L, minta ukuran L) PJ2 : L dewasa to kuwi? (L dewasa kan itu?) PB2 : L sak aku, Pak. (L ukuran saya, Pak) PJ2 : Ya ra entuk! (Ya tidak dapat!) PJ1 : Nyoh. Wis tas‟e, Pak? (Ini. Sudah tasnya, Pak?) PB1 : Wis, makasih (Sudah, terima kasih) 4.
PJ : Tiga puluh ya? PB : Nawar dua lima, Bu. PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.
Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.11 WIB
U-R
S-KL
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 268 Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan memberikan dagangannya sesuai dengan penawaran PB. Jadi tuturan ini termasuk dalam tuturan yang santun karena menguntungkan PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB secara langsung menawar tanpa adanya komunikasi yang dibangun sebelumnya. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang ibu-ibu dan “Dik” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 4 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (ya wis, okeoke).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 269 5.
PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima belas, yang HP. PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak? (Tas yang seperti ini berapa?) PJ : Empat lima PB2 : Kalau ini berapa? PJ : Delapan puluh PJ : Wo survei harga kok, Mbak’e ki ! (menyindir) (PB1 dan PB2 pergi)
Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.14 WIB
U-R
S-P
TS
S
Setuju
Setuju
S
S
Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ sangat tidak sopan dan sangat merugikan PB sehingga PB langsung pergi setelah mendengar tuturan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar dengan gaya menyindir. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dan menanyakan harga dari dagangan PJ. Sapaan: “Mbak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) dan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah sama-sama seorang wanita tengah baya. DT 5 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Wo survei harga kok, Mbak‟e ki !).
6.
PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, Tuturan terjadi pada: dua, tiga ini. Hari : Minggu, 16 Maret 2014
S-P
U-R
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 270 PB : Ini? PJ : Itu mahal itu. PB : Ini gak boleh dua lima? (Ini tidak boleh dua puluh lima?) PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluhtujuh puluh harganya. PB : Mahal ya PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan. (Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan) PB : Yang ini gak boleh dua lima? (Yang ini tidak boleh dua puluh lima?) PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. (Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas harganya) PB : Nanti ambilnya dua (merayu) PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak PB : Yah... PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. (Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu) PB : Ini berapa? PJ : Itu sembilan puluh PB : Ini? PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e.
Pukul : 15.18 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang dompet kepada pembeli. Penutur adalah orang dewasa berjenis perempuan, sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. PJ dan PB sama-sama berjenis kelamin perempuan. Hanya usia saja yang membedakan di antara keduanya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ sedang memberikan pilihan-pilihan atas dagangannya kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB sedikit merayu PJ dan hal tersebut dapat menguntungkan mitra tuturnya. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya. DT 6 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan).
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 271 (Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya) PB : Yang mana, Bu? PJ : Itu. Satu, dua, tiga.
7.
PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Ini maksudnya gimana? : Yang warna biru. : Ini campur-campur gitu? : Iya, pengennya gitu. : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh. : Hah? (kaget) : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho! : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas. : Pinter nawar e. (Pintar menawar ya) : Tujuh belas. : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu. : Emoh (merengek) (Tidak mau) : Dua ribu lagi : Dua ribu? : Ini baru enam belas. : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi) : Dua ribu! : Seribu! (memaksa) : Ya udah ga papa (Ya sudah tidak apa-apa)
Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.22 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah orang dewasa berjenis kelamin laki-laki sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PB sangat pandai menawar sehingga PJ tidak sanggup lagi untuk menyangkal tawaran harga dari PB dan pada akhirnya PJ menyetujui hasil tawaran dari PB. Hal tersebut menandakan bahwa tuturan PJ menguntungkan PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB menawar dagangan PJ dengan memaksa sehingga hal tersebut merugikan PJ walaupun PJ tetap memberikan dagangannya
U-R
U-R
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 272 kepada PB. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah orang dewasa yang berjenis kelamin laki-laki dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 7 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Pinter nawar e). 8.
PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L? (Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?) PJ : Ora enek. Gak ada. (Tidak ada. Tidak ada) PB : Terus tak tukokne warna opo yo? (Terus saya belikan warna apa ya?) PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain) (Terima kasih. Terima kasih) PB : Lha iki aku werno opo? (Ini saya warna apa?) PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho. (Yang biru ini saja. Biru ini lho) PB : Endi? (Mana?) PJ : Iku lho.
Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.32 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos Dagadu Jogja kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan-pilihan warna kaos kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun
S-P
U-R
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 273
PB PJ PB PJ PB
PJ PB
PJ
PB PJ
PB PJ
9.
(Ini lho) : Elik iki birune. (Jelek ini birunya) : Putih, item (Putih, hitam) : Putihe koyok ngopo? (Putihnya seperti apa?) : Putihe sing neng ngisor. (Putihnya yang di bawah) : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L. (Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L) : Harus itu? L putih? : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa) (Cepat, Mas carikan ini dulu!) : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e. (Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S) : Tak berantakke, Mas. (Saya buat berantak, Mas) : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung. (Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong-tolong) : Sing iki pasangane enek ora? (Yang ini pasangannya ada tidak?) : Iki tulisane Jogja. (Ini tulisannya Jogja)
PB : Mas yang ini panjangnya gak ada ya?
karena tuturan PB terlihat tidak sopan dan sedikit memaksa. Penekanan kata „ndang‟ inilah yang dirasa mempengaruhi kalimatnya menjadi kurang sopan. Jadi terlihat menyuruh dengan sedikit memaksa. Alangkah baiknya apabila tuturan PB diubah menjadi, “Tolong, saya dicarikan yang ini dulu, Mas” dalam bahasa Jawanya, “Tulung, aku digolekke sing iki dhisik, Mas”. Penekanan kata „ndang‟ diganti dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan. Sapaan: “Mas” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki tengah baya dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 8 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa dan bahasa Indonesia (Terima kasih. Matur suwun, Ora enek. Gak ada).
Tuturan terjadi pada:
S-P
S-P
TS
TS
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 274 PJ : Panjangnya gak ada. PB : Ra ono, Mas? (Tidak ada, Mas?) PJ : Ya? PB : Sing abang? (Yang merah?) PJ : Sing abang tugunya gak ada. (Yang merah gambar tugunya tidak ada) PB : Iki apa iki? (Ini apa ini?) PJ : Ini XLnya PB : Tugune ra enek? (Gambar tugunya tidak ada?) PJ : Gak ada e, Ibu. (Tidak ada, Ibu) PB : Merah? PJ : Itu L PB : XL warnane opo wae? Modele? (XL warnanya apa saja? Modelnya?) PJ : Cream, kuning, biru. PB : Iki ngisor? (Ini yang bawah?) PJ : Orange (Jingga) PB : Iki? (Ini?) PJ : Orange (Jingga) PB : Gak ada ini? (Tidak ada ini?) 10.
PB : Pinten, Mbak ngeten niki?
Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.41 WIB
Setuju
Setuju
TS
S
Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos Dagadu Jogja kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan bahwa PJ tidak dapat memberikan pilihanpilihan-pilihan kaos kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB tidak dapat memilih dagangan PJ. Sapaan: “Mas” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki tengah baya dan “Ibu” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. DT 9 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris (cream, orange).
Tuturan terjadi pada:
U-R
S-KL
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 275
PJ PB PJ PB
PJ PB PJ PB
(Berapa, Mbak ini?) : Empat puluh lima : Warnane napa? Pas’e piro, Mbak? (Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?) : Pasnya empat puluh : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang pakaiannya) (Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?) : Iya. Bahannya sama semua, Bu. : Telung puluh ya, Mbak? (Tiga puluh ya, Mbak?) : Ndak boleh (Tidak boleh) : Ya sudah, makasih.
Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.44 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos Dagadu Jogja kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah seorang wanita yang masih muda sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibuibu. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan harga pas kepada PB sehingga PB menawar pun tetap tidak diberikan. Hal tersebut dirasa merugikan PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak secara langsung menawar harga dagangan PJ. PB bertanya mengenai warna dahulu, baru menawar harga pasnya. Sapaan: “Mbak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah wanita yang masih muda dan “Bu” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. DT 10 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 276 11.
PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak. : Ini? : Enam lima. Berapa? : Tiga puluh : Ambil berapa biji? : Satu, Pak. : Udah empat puluh ya? : Emoh. Tiga puluh. (Tidak mau. Tiga puluh) PJ : Tambah lima ribu ya? PB : Emoh (Tidak mau) PJ : Ya udah.
Tuturan terjadi pada: Hari : Minggu, 16 Maret 2014 Pukul : 15.48 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang daster kepada pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa dan PB adalah wanita muda yang berhijab. PB menawar setengah harga lebih dari yang ditawarkan oleh PJ. PJ mencoba untuk menurunkan harga tawarannya akan tetapi PB tetap pada harga tawarannya. Akhirnya PJ memberikan harga tawaran PB. Hal ini dipandang sebagai tuturan yang santun karena menguntungkan PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena dengan penekanan kata „emoh‟, PB terlihat sedikit memaksa untuk mendapatkan harga penawarannya sehingga PJ tidak dapat menolak tawaran harga PB. Hal tersebut dinilai bahwa PB merugikan PJ. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur
U-R
U-R
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 277 (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita muda. DT 11 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (emoh). 12.
PB : Piro iki, Bu? (Berapa ini?) PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon? (Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?) Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang) (Ini, Mbak) PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 16.53 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. Data 12 ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa krama pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat sopan, sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB menjawab secara langsung dan singkat. Penekanan kata „yo‟ sepertinya dirasa kurang sopan. Sebenarnya kata „yo‟ baik digunakan apabila diikuti dengan
S-KL
S-KL
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 278 ucapan „terima kasih‟ itu akan terlihat lebih sopan. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah wanita dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya. DT 12 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa dan bahasa Indonesia (uangnya). 13.
PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
PJ PB
: Ini double? : Ini double XL : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya? : Ini ada yang XL? : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas? : Berapa tahun? Laki-laki ya? : Tiga tahun, ya laki-laki : Ini ukuran L dan M : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah coba. : Desainnya sama? : Ini tadi kan? : Ini L : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan? : Iya. Yang kayak gini juga : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.02 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah wanita tengah baya sedangkan mitra tutur adalah wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan-pilihan ukuran kaosnya kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ. Sapaan: “Mbak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual)
S-P
S-P
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 279 PJ PB PJ PB PJ PB PJ
PB
PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Iya : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa? :L : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L? : Itu sama, Mbak ukurannya. : Double XLnya gak ada? : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini. : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini gambarnya apa? : Gambarnya sama : Coba buka aja gambarnya apa. : Ukurannya apa, Mbak? : Yang L juga. : Yang ini? : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya? : Jadinya 150 : Aku kepengen kembaran sama anakanakku nih yang merah. : Tapi ini yang paling besar ukurannya L. : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya ukurannya. : Kalo cowok nanti gambarnya lain. : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres. : Berarti yang gambarnya cowok? : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.
dan mitra tutur (pembeli) yang notabene sama-sama adalah wanita tengah baya. DT 13 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris (couple, single, double).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 280 14.
PB : Empat puluh ya? PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju) PB : Berarti sama ya ini? PJ : Beda, Bu PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu? PJ : (menunjukkan bajunya) PB : Ini paling gede? PJ : Iya L PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama? PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa mengejek) PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.11 WIB
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
TS
TS
Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama adalah wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa PJ merugikan diri mitra tuturnya, hal itu terlihat pada tuturannya yang mengejek PB sehingga PB terkesan marah dan langsung pergi. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun. Selain marah karena tuturan dari PJ yang mengejek, tuturan PB juga terlihat memaksakan PJ untuk menyamakan harga dagangannya. Hal itu dinilai merugikan mitra tuturnya. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) dan pembeli yang notabene samasama seorang wanita dewasa. DT 14 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
15.
PB : Mas, ini sepasang ya? PJ : Iya, Dik.
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014
U-R
U-R
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 281 PB PJ PB PJ PB
: Ini tadi dua berapa? : Tujuh puluh : Dua, empat puluh, Mas. : Gak boleh! : Ya ampun, Mas’e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi)
Pukul : 17.14 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Terlihat dari tanggapan PB yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan PJ yang dirasa kurang sopan. Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟ diganti dengan kata „maaf, belum boleh‟ sehingga dapat terlihat lebih sopan. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB terlihat seperti memberikan penilaian terhadap diri PJ yang kurang baik. Hal ini dapat dilihat pada tekanan kata „jan jan‟ yang seolah-olah PJ terlihat tidak baik. Tuturan yang diucapkan PB ini terlihat karena PB juga merasa dirugikan oleh tuturan PJ yang sebelumnya. Sapaan: “Mas” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 282 laki-laki tengah baya dan “Dik” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 15 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Mas‟e ki lho).
16.
PB : Dua puluh ribu aja ya, Pak? Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 PJ : Pas tiga puluh! PB : Aaaahhh, Pak’e iki lho (sambil Pukul : 17.17 WIB merengek) Tuturan PJ: PJ : Sudah pas, Mbak ini (sambil Tuturan di atas diucapkan oleh membungkus). Makasih. seorang pedagang celana kepada pembeli. Penutur adalah seorang pria dewasa (bapak-bapak) sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ sudah memberikan harga pas pada dagangannya sehingga PB tidak dapat menawar kembali dagangan PJ. Hal ini dinilai merugikan PB (terlihat dari tanggapan PB). Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB dirasa tidak
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 283 pantas digunakan dalam konteks jual beli. Ditambah dengan nada merengek yang dirasa kurang sopan. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang pria dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 16 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (Pak‟e iki lho). 17.
PB PJ PB PJ PB PJ
: Dikurangi ya, Bu? : Ya coba aja di tempat lain, Dik. : Lima puluh? : Tambah dua ribu lima ratus : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan : Iyo wes gak apa-apa. (Iya sudah, tidak apa-apa) PB : Suwun (Terima kasih)
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.22 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ tidak langsung memberikan harga pas kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan
bahwa
S-KL
U-R
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 284 tuturan tersebut dirasa santun karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan “Dik” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 17 menggunakan alih kode, yakni dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. 18.
PB PJ PB PJ
: Ini berapa, Pak? : Pas aja dua belas ribu : Dua belas ribu? Sepuluh aja. : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong plastik) PJ : Makasih ya. PB : Sami-sami, Pak.
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.23 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang sandal kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan
bahwa
U-R
S-KL
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 285 tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak secara langsung menawar harga dagangan PJ. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan “Dik” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 18 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (sami-sami, Pak). 19.
PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit. PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dik.
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.24 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan tuturan tersebut dirasa
bahwa santun
S-P
U-R
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 286 karena PB menguntungkan dengan harga tawaran PB.
PJ
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang wanita dewasa dan “Dik” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. DT 19 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko (sing mana dan biru iki). 20.
PB : Tiga delapan (38), tiga tujuh (37). Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Atau yang model gini? Pukul : 17.28 WIB PJ : Tiga delapan (38). Ya, ada lagi? PB : Model ini? Tuturan PJ: PJ : Gak ada, tinggal satu e, Mbak. Tuturan di atas diucapkan oleh PB : Ini tiga tujuh (37) ada, Pak? seorang pedagang sandal kepada PJ : Ini tapi modelnya beda. pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ menanggapi tuturan dari si PJ. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ.
S-KL
S-P
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 287 Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah wanita tengah baya. DT 20 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
21.
PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete tok satus. (Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan tetapi dalamnya saja seratus) PB : Mas sing ngono kuwi? (Mas yang itu berapa?) PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang. (Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal) PB : Sing ayat kursi? (Yang ayat kursi?) PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu? (Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?) PB : Piro? (Berapa?) PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.36 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang pigura kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tua sedangkan mitra tutur adalah wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa PJ merugikan PB. Hal itu terlihat dari tanggapan tuturan si PB. PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene (jengkel) Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB dianggap tidak sopan. Hal ini mungkin terjadi
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 288
PB
PJ PB
PJ PB
PJ PB
22.
yang menandakan harganya tiga ratus akibat tuturan PJ yang merugikan ribu rupiah) PB, sehingga PB merasa jengkel (Saya sudah begini) dan bertutur demikian. : Lha karo ibuke ora nganti ngene Sapaan: “Pak” digunakan (menunjukkan tiga jari yang menandakan sebagai sapaan penutur (penjual) harganya tiga ratus ribu rupiah) yang notabene adalah seorang (Kalau sama ibunya tidak sampai begini) laki-laki yang sudah tua dan : Lha nek karo bapake benten “Bu” digunakan sebagai sapaan (Kalau sama bapaknya berbeda) mitra tutur (pembeli) yang : Lho, malah karo bapake luwih murah notabene adalah wanita dewasa. dadi ngene (menunjukkan dua jari yang Dalam penggunaan sapaan, menandakan harganya dua ratus ribu mitra tutur tidak konsisten rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus tapi dalam menggunakannya. Hal ini rongatus? terlihat pada tuturan yang (Kalau sama bapaknya lebih murah awalnya menyapa penjual jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak (penutur) dengan sapaan Mas, tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?) yang kemudian pada tuturan : Wah dereng nek ngoten selanjutnya menggunakan (Wah belum kalau begitu) sapaan Pak. Penggunaan sapaan : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki Mas dirasa tidak cocok dengan piye Pak dadine? Mung gari siji wae kok usia penjual yang sudah tua. Pak, dadine rongatus. DT 21 menggunakan campur (Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini kode, yakni bahasa Jawa Krama bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal dan bahasa Jawa Ngoko. satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu. : Telungatus (Tiga ratus ribu) : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene! (jengkel) (Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di sini!)
PB : Yang warnanya biru ada?
Tuturan terjadi pada:
U-R
S-P
S
S
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 289 PJ : Item sama merah? Adanya ya kayak gini. (Hitam sama merah? Adanya ya seperti ini) PB : Yang kayak gini, Bu? (Yang seperti ini, Bu?) PJ : O sing kuning? Iya. Yang kuning, Mbak? Nomor berapa, Mbak? 31? 32? Ini sama ungu ya? PB : Iya PJ : Terima kasih.
Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.38 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang sandal kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita yang sudah tua sedangkan mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan memberikan permintaan PB.
Setuju
Setuju
S
TS
Setuju
Setuju
Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang wanita yang sudah tua dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang remaja putri. DT 22 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. 23.
PB : Dua, dua puluh ya, Bu? PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak. PB : Yo wis.
Tuturan terjadi pada: Hari : Rabu, 19 Maret 2014 Pukul : 17.45 WIB
S-KL
S-KL
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 290 Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita yang sudah agak tua sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ menanggapi pertanyaan dari PB yang menawar harga dagangannya. Kata „Mbak‟ dalam budaya Jawa juga dirasa sopan untuk menghormati seseorang yang tengah kita ajak berkomunikasi. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB secara langsung menjawab „yo wis‟ terhadap tuturan PJ. Tuturan „yo wis‟ dinilai kurang sopan. Alangkah baiknya apabila kata „yo wis‟ diganti dengan „ya sudah, terima kasih‟, jadi terlihat lebih sopan. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang wanita yang sudah agak tua dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 291 DT 23 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (yo wis). 24.
PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB
: Ini berapa, Pak? : Nawar aja bisa. : Ini all size atau apa? : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja. : Ada warna lain? : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain. : Berapa? : Tiga puluh lima : Ini aja. Berapa? : Dua lima. Ini udah yang paling murah : Lima belas ya? : Bahannya bagus soalnya. : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya? : Udah murah, Ibu. : Hehe ya ya.
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.17 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB memberikan pilihan harga penawaran kepada PJ. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan “Ibu” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita dewasa. DT 24 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (all size).
S-KL
S-P
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 292 25.
PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
: Berapa ini? : Empat puluh : Berarti pasnya tiga puluh? : Tiga puluh gak ada e, Mas. : Kalau pistol ini? : Delapan lima. Kalau yang ini enam lima, masih bisa kurang ini. : Udah deh pasnya berapa? : Ya masnya nawar aja dulu : Nawar tiga puluh, Mbak. : Tiga lima aja, Mas : (pergi) : Tambah lima ribu aja ya, Mas. Yowes iki, Mas.
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.24 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang korek api kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita tengah baya sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ memberikan penawaran harga yang lebih murah kepada PB sehingga PB dapat memilih. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak langsung menawar dagangan PJ. PB bertanya terlebih dahulu mengenai berapa harga pasnya, kemudian baru menawar. Sapaan: “Mbak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya dan “Mas” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya. DT 25 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (yowes iki).
S-P
S-KL
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 293
26.
PJ : Belum dapat, Mbak. PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta? (Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?) PJ : Hah? PB : Sepuluh PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek) PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki sepuluh ewu! (memaksa) (Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini sepuluh ribu) PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu. PB : Piro iki? (Berapa ini?) PJ : Seratus empat puluh lima PB : Gak dikorting? (Tidak dikurangi harganya?? PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal PB : Satus petang puluh lah, Pak? (Seratus empat puluhlah, Pak?) PJ : Tambah lima ribu ya? PB : (pergi) PJ : Ya udah sini.
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.30 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB karena dilihat dari tuturannya, tuturan PJ sifatnya mengejek PB. Tuturan PJ juga terkesan tidak sopan. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB menawar dagangan PJ dengan memaksa sehingga merugikan PJ. Hal itu sangat terlihat dari tuturan PB. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya. DT 26 menggunakan campur
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 294 kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. 27.
PB : Sing ireng kabeh ngene ono? Putih kabeh ngono? (Yang hitam semua seperti ini ada? Putih semua begitu?) PJ : Putihe namung kalih, Pak (Putihnya hanya dua) PB : Podo ukurane, Bu? (Sama ukurannya?) PJ : Inggih sami
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.37 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan warna kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB bersifat langsung. PB langsung menanyakan warna kaos dari dagangan PJ. Tuturan PB juga dinilai tidak santun karena tuturan PB yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko, padahal tuturan PJ sudah menggunakan bahasa Jawa Krama. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang ibu-ibu dan “Pak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli)
S-P
S-KL
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 295 yang notabene adalah seorang laki-laki yang sudah tua. DT 27 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama. 28.
PB : Umur lima tahun PJ : Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras) (Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan dibolak-balik) PB : Berapa ini? PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane. (Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini warnanya) PB : Dua lima ya, Bu? PJ : Telung puluh ya? (Tiga puluh ribu ya?) PB : Dua lima aja ya? PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken mengko. Nyoh ngko ndak lali! (Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.39 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB tidak langsung menawar. PB bertanya terlebih dahulu berapa harganya, kemudian baru menawarnya. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang ibu-ibu dan “Le” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli)
S-P
S-KL
TS
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 296 yang notabene adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. DT 28 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. 29.
PB : Enem tahun (Enam tahun) PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten. (Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya tidak) PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra? (Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?) PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso. (Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh) PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu? (Ada dua? Sama tidak gambarnya?) PJ : Sami (Sama) PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro? (Ini dua sama itu tadi dua berapa?) PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh. (Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus sepuluh) PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho! (O seratus sepuluh. Seratus ya!) PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.41 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki tua. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ mengira-ira terlebih dahulu, tidak langsung memberikan dagangannya. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang ibu-ibu yang sudah tua dan “Pak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang laki-laki yang
S-KL
S-P
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 297 kathok tok inggih angsal. (Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh) : Satus ya, Bu? (Seratus ya?) : Saestu, Pak (Benar, Pak) : Bathine lho wis akeh! (Keuntungannya lho sudah banyak!) : Saestu sampun mirah niki (Benar sudah murah ini)
sudah tua. DT 29 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko.
: Sepuluh ribu, empat, Bu? : O ya belum dapat, Le. : Bolehnya berapa? : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem? : (melihat-lihat gantungan kunci) : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur! (kasar sambil marah-marah) PB : (pergi)
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.46 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak-anak remaja yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Dilihat dari tuturan PJ yang kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai sangat tidak pantas dan tidak sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai mitra tuturnya.
PB PJ PB PJ
30.
PB PJ PB PJ PB PJ
Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB langsung menawar harga
U-R
S-KL
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 298 dagangan milik PJ dengan harga rendah. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang ibu-ibu dan “Le” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. DT 30 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (gelem).
31.
PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink? Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki! (Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek ini!) PJ : Iya tiga perempat PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya? (Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar ya?) PJ : Iya besar, Bu. PB : Papat, satus ya, Mas? (Empat, seratus ya?) PJ : Belum boleh, Bu. PB : Pas‟e piro?
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 15.58 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang daster kepada pembeli. Penutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin lakilaki sedangkan mitra tutur adalah seorang ibu-ibu yang sudah tua. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB karena dilihat dari tuturannya, tuturan PJ terlihat kurang sopan PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 299
32.
(Pasnya berapa?) karena tuturan PB terlihat PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau merugikan PJ dengan penekanan mau ya tak bungkus, kalau gak ya kata “elek iki”. sudah! Sapaan: “Mas” digunakan PB : (pergi) sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin laki-laki dan “Bu” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu yang sudah tua. DT 31 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris (pink). PB : Ini berapa? Tuturan terjadi pada: PJ : Empat puluh Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 PB : Gambare mana lagi? Pukul : 16.04 WIB PJ : Gambarnya ini aja! Tuturan PJ: PB : Gambar ceweknya gak ono? Tuturan di atas diucapkan oleh PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya seorang pedagang kaos kepada beda, Bu! pembeli. Penutur adalah seorang PB : Mas, yang gambarnya lucu gitu lho remaja yang berjenis kelamin laki(merengek) laki sedangkan mitra tutur adalah PJ : Yang L ya? seorang wanita dewasa. Tuturan ini PB : Iya menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena selain PB tidak dapat
S-P
S-P
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 300 memilih dagangan PJ, tuturan dan gaya penyampaian PB juga tidak pantas (dengan merengek) apalagi PB lebih tua daripada PJ.
33.
PB PJ PB
PJ PB PJ PB PJ PB PJ PB PJ
Sapaan: “Mas” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin laki-laki dan “Bu” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah seorang wanita dewasa. DT 32 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (gak ono). : Ini berapa ini? Sama ya? Tuturan terjadi pada: : Ini dua lima Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 : Yowes ini aja L. Ndak mau merah Pukul : 16.21 WIB katane, Pak. Tuturan PJ: (Ya sudah ini saja L. Tidak mau merah Tuturan di atas diucapkan oleh katanya, Pak) seorang pedagang kaos kepada : Sudah? pembeli. Penutur adalah seorang : Jangan sama. laki-laki dewasa sedangkan mitra : Gambarnya pit onthel? tutur adalah seorang wanita tengah : Ini-ini? baya. Tuturan ini menandakan : Sama bahwa tuturan PJ memberikan : Ini XXL, Pak? pilihan kepada PB sehingga PB : Iya, Mbak. dapat memilih kaos dagangan PJ : Warna lain? sesuai dengan permintaannya. : Warna lain cokelat. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
S-P
S-P
S
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 301 karena PB dapat memilih dagangan PJ. Sapaan: “Pak” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki dewasa dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah wanita tengah baya. DT 33 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (yowes).
34.
PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus. PB : Empat tahun bisa gak? PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK juga, Mbak. PB : Iya. Berapa? PJ : Empat lima aja! PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.27 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gelang kepada pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Hal itu terlihat pada tanggapan PB terhadap tuturan PJ yang mengindikasikan bahwa PJ memberikan harga yang mahal sehingga PB memberikan tanggapan tersebut.
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 302 PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi) Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat merugikan PJ. Sapaan: “Mas” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah laki-laki tengah baya dan “Mbak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah wanita tengah baya. DT 34 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (mbrangkang). 35.
PJ : Sekawan? (Empat?) PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki. (Ya empat tahun yang sama ini) PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak. (Empat tahun kan? Seperti ini, Pak) PB : Warnane? (Warnanya?) PJ : Nggih namung niki warnane. (Ya hanya ini warnanya) PB : Model iki ra ono? (Model ini tidak ada?)
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.28 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu yang sudah tua sedangkan mitra tutur adalah laki-laki yang sudah tua. Tuturan ini menandakan bahwa PJ menguntungkan mitra tuturnya yakni PB. PJ memberikan
U-R
S-KL
S
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 303
36.
PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten niki. (Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini) PB : Piro iki? (Berapa ini?) PJ : Sami mawon (Sama saja) PB : Seket to, Bu? (Lima puluh kan?) PJ : Nggih mboten napa-napa. (Ya sudah tidak apa-apa) PB : Lha iyo to? (Lha iya kan?) PJ : Nggih, Pak. (Iya, Pak)
dagangannya sesuai dengan harga penawaran PB. Ditambah PJ yang menggunakan bahasa Jawa Krama dalam berkomunikasi dengan PB yang sama-sama sudah dewasa.
PJ PB PJ PB PJ
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.33 WIB
: Ini warna-warni : Ini berapa? : Dua puluh ribu : Sepuluh : Kalau harganya pas tadinya dua lima. Gini aja deh, dua, dua lima. PB : Sepuluh ya, Bu? PJ : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini.
Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena PB langsung menawar harga dagangan PJ. Tuturan PJ juga menggunakan bahasa Jawa Ngoko sehingga dirasa kurang sopan. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah ibu-ibu yang sudah tua dan “Pak” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah laki-laki yang sudah tua. DT 35 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko.
Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan kunci kepada pembeli. Penutur adalah wanita dewasa sedangkan mitra tutur adalah seorang laki-laki
U-R
U-R
TS
TS
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 304 PB : Sepuluh ya? PJ : Bener, Mas. Dua belas setengah wis. Harga-harga mepet itu. PB : Tiga, tiga puluh gak boleh? PJ : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas setengah kali tiga jadinya tiga tujuh setengah. PB : Tiga, tiga puluh ya? PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang. Kalau tidak ya sudah. Sudah pas. Sudah murah. PB : (pergi)
tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB sehingga PB langsung pergi meninggalkan PJ. Tuturan PJ juga terlihat sedikit kasar dan memaksa. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak santun karena tuturan PB dapat merugikan PJ dengan penawaran harga yang dirasa PJ kurang tepat. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) yang notabene adalah wanita dewasa dan “Mas” digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene adalah laki-laki tengah baya. DT 36 menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
37.
PB : Setelan cah cilik? (Atas bawah anak kecil?) PJ : Umur pinten? (Umur berapa?) PB : Limang tahun (Lima tahun) PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten, Bu? (Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?)
Tuturan terjadi pada: Hari : Sabtu, 22 Maret 2014 Pukul : 16.36 WIB Tuturan PJ: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan bahwa
U-R
S-P
TS
S
Setuju
Setuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 305 PB : Yo lumayan. (Ya lumayan) PJ : Sak menten? (Ini?) PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu. (Lengan panjang, buat mengaji, Bu) PJ : O lengen panjang? Mboten wonten nek lengen panjang. Njenengan tindak mawon dateng toko (mengejek) (O lengan panjang? Tidak ada kalau lengan panjang. Anda pergi ke toko saja)
tuturan PJ bersifat mengejek. Hal itu dapat dilihat pada tuturan PJ yang merugikan PB. Tuturan PB: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena PB dapat memilih dagangan PJ. Namun tanggapan tidak santun terlihat pada tuturan PJ. Sapaan: “Bu” digunakan sebagai sapaan penutur (penjual) dan pembeli yang notabene samasama seorang ibu-ibu. DT 37 menggunakan campur kode, yakni bahasa Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko.
Yogyakarta, 11 September 2014 Triangulator
Dr. B. Widharyanto, M.Pd.
Peneliti
Fransisca Dike Desintya DS
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya lahir di Blitar, Jawa Timur, 03 Desember 1991. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri Kepanjen Lor II Blitar pada tahun 1998-2004. Pada tahun 2004-2007, ia melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Blitar. Selanjutnya, pada tahun 2007-2010 ia menempuh pendidikan menengah atas di SMA Katolik Diponegoro Blitar. Pada tahun 2010, ia tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, banyak sekali prestasi yang diraihnya, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Pada bidang akademik, mulai tahun 2010-2013 ia berperan aktif dalam organisasi-organisasi baik dalam lingkup prodi maupun universitas. Tahun 2013 ia dipercayakan oleh prodi untuk menjadi perwakilan mahasiswa berprestasi pilihan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Pada tahun 2011 dan 2012, ia juga dipercaya menjadi koordinator fasilitator pada kegiatan PPKM Prodi PBSI, dan masih banyak lagi prestasi-prestasi lainnya. Selain di bidang akademik, ia juga tercatat sebagai mahasiswa yang berprestasi dalam bidang non-akademik. Prestasi yang ia raih dalam bidang ini adalah prestasi-prestasi menari yang didalaminya saat ia bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Group Tari Sanata Dharma (GRISADHA) di tahun 2010-2014. Hingga pada akhirnya masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Ia dapat dengan mudah dihubungi pada email:
[email protected].
306