PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA (Suatu Tinjauan Pragmatik) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia
Oleh: Bambang Sumarwanto 091224070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SKRIPSI
TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA (Suatu Tinjauan Pragmatik)
Oleh: Bambang Sumarwanto NIM: 091224070
Telah Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.
Tanggal: 4 November 2013
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SKRIPSI TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA (Suatu Tinjauan Pragmatik) Dipersiapkan dan ditulis oleh: Bambang Sumarwanto NIM: 091224070 Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 4 November 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji Nama Lengkap
Tanda Tangan
: Dr. Yuliana Setiyaningsih
……………….
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum.
……………….
Anggota
: Prof. Dr. Pranowo, M.Pd.
……………….
Anggota
: Dr. B. Widharyanto, M.Pd.
……………….
Anggota
: Dr. Y. Karmin, M.Pd.
……………….
Ketua
Yogyakarta, 4 November 2013 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Dekan,
Rohandi, Ph.D.
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
Jangan terlelap dalam impian, karena jika kamu sudah terlelap dalam mimpimu, kamu tidak akan sempat lagi untuk menggapainya. (Bambang Sumarwanto)
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Kedua orangtua saya Bapak Urbanus Sutiyono dan Margaretha Suliyah Kakakku tercinta, Tri Astanto Ketiga adikku tercinta, Indra Pratama, Febri Wiguna, Yusak Saputra Fransiska Pujiastuti Segenap sahabat PBSID
Skripsi ini saya persembahkan sebagai tanda terima kasih yang mendalam atas segala dukungan dan kasih yang diberikan selama ini.
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 4 November 2013 Penulis
Bambang Sumarwanto
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama
: Bambang Sumarwanto
Nomor Mahasiswa
: 091224070
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul
TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA (Suatu Tinjauan Pragmatik)
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 4 November 2013 Yang menyatakan,
(Bambang Sumarwanto)
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Bahasa merupakan hal penting dalam kehidupan, karena peran dan fungsinya yang utama yaitu sebagai alat komunikasi. Dalam sebuah bahasa (tuturan) seseorang dapat mengerti dengan baik apa maksud dan tujuan dari tuturan yang diucapkan tersebut. Banyak hal yang bisa tersampaikan melalui suatu bahasa, asalkan ada kerjasama yang baik antara pembicara (penutur) dan pendengar (mitra tutur). Bagaimana tuturan tersebut dapat menarik orang lain untuk mendengarnya, tentu hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah konteks. Konteks tuturan harus menjadi sesuatu yang dipelajari supaya percakapan bisa berjalan dengan baik. Di dalam ilmu pragmatik, ada empat bidang utama yang dibahas, yakni: deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Tulisan ini hanya membahas salah satu dari keempat bidang di atas, yakni tindak ujaran. Tindak ujaran itu sendiri masih sangat luas dan dapat dirinci menjadi sub-sub bidang tertentu. Dalam hal ini, penulis hanya membahas satu kajian dari tindak ujaran yakni mengukur tingkat kesantunan suatu tuturan. Tulisan ini, secara berurutan mencoba untuk mengungkapkan gagasangagasan berdasarkan hasil penelitian terhadap tuturan di beberapa komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta mengenai tingkat kesantunan dan keefektifan tuturan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas sepeda di Yogyakarta. Penulis sadar bahwa penelitian ini dapat berjalan lancar karena adanya rahmat dan penyertaan Tuhan mulai dari awal, proses hingga akhir penelitian ini kepada penulis. Selain itu, ada pihak lain yang tentunya dengan caranya masing-masing telah memberikan sumbangan kepada penulis dalam upaya menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., yang bersedia membimbing dan mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini; 2. Para dosen PBSI, yang dengan caranya masing-masing telah membekali penulis dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkan;
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. Robertus Marsidiq, yang sudah membantu dan melayani penulis dalam mengurusi berbagai hal yang sifatnya administratif; 4. Sahabat PBSID seperjuangan, Rm. Eduardus Sateng Tanis, S.Pd., Mikael Jati Kurniawan, S.Pd., Theresia Banik Putriana, S.Pd., Christiana Tri Jatuningsih, S.Pd., Ade Henta Hermawan, Yudha Hening Pinandhito, Dedy Setyo Herutomo, Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Angga Renato, Ignatius Satrio Nugroho, Yustina Cantika Advensia, Valentina Tris Marwati, Katarina Ita Simanullang, Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia, Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Agatha Wahyu Wigati, Yohanes Marwan Setiawan, Prima Ibnu Wijaya, Martha Ria Hanesti, Agustinus Eko Prasetyo, Reinardus Aldo Aggasi, Danang Istianto, Yustinus Kurniawan, Asteria Ekaristi, Elisabeth Ratih Handayani, Petrus Temistokles Jelaha terima kasih atas kebersamaan, kekocakan serta hiburan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Kalian telah memberi banyak warna dalam setiap perjalanan masa studi di Universitas Sanata Dharma khususnya di PBSI; 5. Teman-teman PBSID angkatan 2009, secara khusus kelas B, yang telah memberikan dukungan serta memberikan banyak masukan serta semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini; 6. Para sahabat Sendowers, Bernardus Purnawan, S.Pd., Yohanes Heri Pranoto, S.Pd., Robertus Adi Hermawan Pradipta, Eko Sularsono, Vintentius Yudha dan Naradhipa yang selalu mengisi hari-hari penulis di saat “selo”, dan selalu memberi warna baru saat berada di luar kampus; 7. Komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta, secara khusus Komunitas Sepeda Tinggi, Komunitas Sepeda BMX, Komunitas Sepeda Fixie, dan Komunitas Sepeda MTB, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk membantu penulis dalam mencari data-data yang diperlukan; 8. Pihak Universitas Sanata Dharma, yang telah menciptakan kondisi serta menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung penulis dalam studi dan penyelesaian skripsi ini. Penulis sadar bahwa ada banyak pihak lain yang dengan berbagai caranya telah membantu dan mendukung penulis dalam keseluruhan proses pendidikan di
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Universitas Sanata Dharma. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada berbagai pihak itu yang namanya tidak sempat disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini tidaklah seideal yang dipikirkan oleh pembaca; masih ada banyak kekurangan. Walaupun demikian, penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi para pembaca.
Yogyakarta, 4 November 2013 Penulis
Bambang Sumarwanto NIM: 091224070
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK Sumarwanto, Bambang. 2013. Tingkat Kesantunan dan Keefektifan Tuturan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan dalam Komunitas Pesepeda di Yogyakarta (Suatu Tinjauan Pragmatik). Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas dua persoalan, (1) tingkat kesantunan tuturan bahasa slang, dan (2) efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas pesepeda di Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda Yogyakarta. Ada empat sumber data utama yang digunakan: (1) komunitas sepeda tinggi, (2) komunitas sepeda fixie, (3) komunitas sepeda BMX, dan (4) komunitas sepeda MTB (mountain bike), dengan jangka waktu April – Juni 2013. Jika dilihat dari metode yang digunakan, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap serta teknik catat sebagai teknik lanjutan. Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan beberapa tuturan bahasa slang yang digunakan dalam komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta tergolong tidak santun. Hal tersebut dapat dilihat melalui lima aspek (skala) yang dipaparkan oleh Leech sebagai alat ukur kesantunan bahasa slang tersebut, yakni: (1) untung rugi, (2) opsional, (3) ketaklangsungan, (4) otoritas, dan (5) jarak sosial. Kedua, setelah menganalisis tingkat kesantunan tuturan bahasa slang, peneliti memaparkan efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan dalam suatu kelompok tertentu. Enam kriteria pengukur efektivitas tingkat kesantunan (1) mengerti konteks tuturan, (2) penggunaan kata yang tepat, (3) bentuk yang sesuai, (4) jujur, (5) sopan santun, dan (6) menarik, ternyata bahasa slang masih efektif untuk digunakan dalam bahasa percakapan dalam suatu kelompok tertentu. Hal ini tampak jelas karena walau beberapa bahasa slang yang digunakan tergolong tidak santun, tetapi bahasa tersebut masih efektif digunakan karena bahasa tersebut membuat suasana menjadi lebih hidup dan santai terutama dalam situasi nonformal.
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT Sumarwanto, Bambang, 2013. Politeness Degree and Effectiveness of Verbal Slang Language Used by Cyclist Communities in Yogyakarta (A Pragmatic Review), Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. This study focused on two main issues, (1) the politeness degree of slang language and (2) the effectiveness of verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta. The verbal speech among the cyclists was considered as the data of the study. There were four cyclist communities; they are Tall-Bike Community, Fixie Community, BMX Community, and MTB (Mountain Bike) Community. Those communities were observed during 3 months, from April to June 2013. This study belongs to qualitative and descriptive study. Recording during observation, as the main technique, and conversation and note taking during observation, as the advance techniques, were implemented in order to get the data. The writer could conclude two results of the study. First, the politeness degree of the verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta was low, or considered impolite, due to the Leech’s five aspects as the politeness parameter, which are (1) loss and profit, (2) option, (3) indirectness, (4) authority, and (5) social distance. Secondly, in accordance with six criteria of politeness measurement, which are (1) understanding the contexts, (2) diction and pronunciation, (3) appropriate functions (form), (4) honesty, (5) politeness, and (6) conspicuousness, verbal slang language was considered effective to be used among cyclists in the communities. Although slang language is not the polite and standardized form of language, it was able to bring the situation more lively and relaxed anyway, especially in informal situation.
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii MOTTO .......................................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...................................... vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................... viii ABSTRAK ...................................................................................................... xi ABSTRACT ..................................................................................................... xii DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv DAFTAR BAGAN.......................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 8 C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 8 D. Manfaat Penelitian................................................................................ 8 E. Batasan Istilah ...................................................................................... 9 F. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 11 G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 13 A. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 13 B. Landasan Teori ..................................................................................... 14 1. Teori Kesantunan Bahasa .............................................................. 16 2. Bahasa Slang ................................................................................. 33 3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ......................... 36 4. Konteks.......................................................................................... 46 xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C. Kerangka Berpikir ................................................................................ 47 BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 49 A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 49 B. Sumber Data dan Data .......................................................................... 50 C. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 50 D. Instrumen Penelitian ............................................................................. 51 E. Teknik Analisis Data ............................................................................ 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 53 A. Deskripsi Data ...................................................................................... 53 B. Hasil Analisis Data ............................................................................... 55 1. Tingkat Kesantunan Tuturan Bahasa Slang dalam Komunitas Sepeda di Yogyakarta.................................................................... 55 a. Skala biaya-keuntungan (untung-rugi) ..................................... 56 b. Skala keopsionalan ................................................................... 62 c. Skala ketaklangsungan ............................................................. 68 d. Skala keotoritasan ..................................................................... 71 e. Skala jarak sosial ...................................................................... 73 2. Efektivitas Penggunaan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan ........................................................... 76 a. Pemakaian pilihan kata (diksi) ................................................. 77 b. Pemakaian gaya bahasa ............................................................ 80 C. Pembahasan .......................................................................................... 89 BAB V PENUTUP .......................................................................................... 97 A. Kesimpulan........................................................................................... 97 B. Saran ..................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 100 LAMPIRAN .................................................................................................... 102 TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN ................................. 82 BAGAN 1 KERANGKA BERPIKIR ........................................................... 48 xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Interaksi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal terpenting dalam interaksi adalah adanya bahasa. Maksud dan tujuan seseorang saat menyampaikan sesuatu dapat tersampaikan dengan jelas saat kita bertutur kata dengan lawan tutur, tentunya dengan memperhatikan kesantunan saat kita bertutur kata. Saat kita sedang bertutur kata, kita juga harus mengerti bahasa yang digunakan. Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan diri, karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung. Bahasa
Indonesia
merupakan
cermin
Bangsa
Indonesia.
Kebanggaan Bangsa Indonesia akan hadirnya Bahasa Indonesia saat ini sepertinya sudah mulai pudar dan terkikis oleh kehadiran bahasa-bahasa lain yang berkembang. Mulai dari zaman dahulu kita sudah dikenalkan dengan adanya tiga bahasa yang hadir dalam kehidupan kita, yaitu bahasa pertama (bahasa ibu/daerah); bahasa kedua (bahasa Indonesia/bahasa nasional); dan bahasa ketiga (bahasa asing). Kehadiran ketiga bahasa tersebut agaknya saat ini kurang diminati oleh kaum muda. Adanya ragam (variasi) bahasa slang sepertinya sudah menjadi darah daging dan melekat bahkan dijadikan bahasa keseharian baik lisan maupun tulisan.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Bahasa yang sering digunakan saat ini, sebut saja bahasa slang menurut KBBI Dalam Jaringan (Daring) adalah ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti maksud dari yang digunakan. Keberadaan bahasa slang yang berkembang pesat saat ini sepertinya malah memberikan nuansa baru saat sedang bercakap-cakap. Tuturan yang terucap malah terdengar indah di setiap golongan masing-masing. Saat ini sepertinya sudah tersedia sarana untuk mempermudah setiap orang agar mengerti arti kata slang tertentu melalui www.kamusslang.com. Adanya kamus slang tersebut sepertinya membuat banyak orang tidak lagi menjadikan bahasa slang sebagai bahasa musiman, tetapi malah menjadikannya sebagai bahasa resmi pada zaman ini (khususnya dalam kelompok tertentu). Banyak orang menganggap kesantunan dalam bahasa slang sendiri sangat kurang diperhatikan, terutama maksud yang terkandung di dalamnya. Banyak kata slang yang memiliki arti tidak senonoh dan sepertinya tidak memperhatikan kaidah/hukum yang ada di negara ini. Austin (1978) dalam Pranowo (2009:2) mengemukakan bahwa setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud yang terkandung dalam tuturan, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh tuturan. Bahasa slang yang muncul di zaman ini benarbenar tidak memperhatikan tiga unsur yang terkandung dalam tindak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
komunikasi. Seorang yang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa slang seakan hanya mencari kepuasan saat bertutur kata. Unsur atau kaidah bahkan aturan tidak lagi menjadi acuan saat mereka melakukan kegiatan komunikasi. Beberapa kata jika dihubungkan dengan kesantunan berbahasa, bahasa slang di kalangan pesepeda juga banyak yang memiliki arti/maksud yang positif. Misalnya saja: “ Cah, malam jumat kita gowes yuk!!!” (“teman, malam Jumat kita bersepeda yuk!!!”). Kata gowes tersebut ternyata memiliki arti positif yang juga akan memudahkan setiap orang (tentunya dalam komunitas pesepeda) mengerti akan maksud yang dikatakan oleh penutur. Kata gowes jika dikatakan pada forum resmi tampaknya sangat tidak pantas dan tidak lazim karena memang bahasa tersebut bukan bahasa resmi dan tidak ada dalam KBBI, bahkan orang lain yang tidak biasa mengikuti kegiatan bersepeda banyak yang tidak tahu tentang kata gowes yang dimaksud. Penggunaan bahasa slang yang sangat luas akan sangat menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Saat ini peneliti ingin meneliti tentang kesantunan bahasa slang dalam lingkup yang lebih kecil yaitu beberapa komunitas pesepeda Yogyakarta. Tentunya ada perbedaan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda dan komunitas lain di luar komunitas sepeda, karena bahasa slang biasanya hanya dimengerti oleh kelompoknya saja untuk menjalin komunikasi yang lebih dekat. Penggunaan bahasa slang sepertinya berkaitan erat dengan pungutan dari bahasa pertama. Samsuri (1980:58) menuliskan bahwa menurut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
strukturnya pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi empat macam: (1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3) kata-kata yang berkonstruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI, dan (4) kata-kata yang berkonstruksi dasar BI dan imbuhan daerah. Komunitas pesepeda Yogyakarta kebanyakan memakai pungutan dari bahasa pertama yang kedua, yaitu dari bahasa daerah yang mengalami perubahan secara kompleks. Keadaan seperti ini akan terus terjadi karena akan banyak perubahan bahasa. Bentuk dasar bahasa Indonesia saja misalnya, saat ini sudah banyak sekali kata yang diplesetkan. Contoh yang sangat sering kita dengar dan dipakai oleh banyak orang adalah kata: serius menjadi ciyus, demi apa menjadi miapah, ah masa menjadi amaca, dan lain-lain. Kata slang yang sebenarnya hanya dapat dimengerti oleh sebagian orang saat ini memang sudah seperti rahasia umum. Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman seakan tidak hanya ingin mengikis kebudayaan yang ada, tetapi juga ingin merebut bahasa yang telah ada sejak dahulu dan digunakan di seluruh Indonesia. Orang menjadi tidak lagi memperhatikan tingkat kesantunan dan efektivitas tuturan saat berkomunikasi. Percakapan antara penutur dan mitra tutur menjadi terhambat apabila mitra tutur tidak mengerti arti dari ucapan penutur/lawan tuturnya. Seorang (penutur) pun menjadi terlihat kurang santun, karena biasanya setelah mengucapkan kata yang tidak dimengerti oleh mitra tutur si penutur menjadi senang dan bangga. Keadaan seperti itu bisa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
menyebabkan bahasa Indonesia menjadi benar-benar dilupakan oleh generasi muda. Tingkat kesantunan bahasa slang jika diperhatikan dan dianalisis secara lebih mendalam, akan terlihat dan terdengar memiliki tingkat kesantunan yang sangat rendah. Rahardi (2005:119) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan cenderung semakin tidak santunlah tuturan itu. Hal ini apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa slang dalam percakapan, kita akan melihat bahwa bahasa slang adalah bahasa yang sangat singkat. Banyak sekali kata baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia mengalami singkatan atau perubahan. Misalnya saja sebagai contoh kata demi apa, dalam bahasa slang kata itu menjadi miapah. Dua kata yang digabungkan menjadi satu tentu akan sangat membingungkan banyak orang terutama bagi orang-orang yang ketinggalan informasi kata-kata modern (slang). Suatu percakapan menjadi sangat tidak santun karena tuturan yang keluar dari mulut penutur tidak dimengerti maksudnya oleh mitra tutur atau lawan tuturnya. Pranowo (2009:15) menuliskan setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga mau menghargainya. Inilah hakikat berbahasa secara santun. Jadi, apabila kita berusaha untuk bersikap dan berbicara santun terhadap mitra tutur kita, secara tidak langsung kita pun akan mendapatkan perlakuan yang sama dari lawan tutur kita.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
Saat ini banyak kejadian memalukan berkaitan dengan bahasa yang digunakan. Seseorang dapat membunuh rekannya sendiri hanya karena katakata yang digunakan tidak berkenan dengan lawan tuturnya. Seorang yang tidak lagi memperhatikan tuturan saat melakukan percakapan, biasanya juga sangat terpengaruh dengan keadaan dan lingkungan sekitarnya. Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun tentang kesantunan berbicara tersebut karena memang belum ada peraturan tertulis tentang berbahasa secara santun. Sekolah yang menjadi tempat belajar, khususnya saat mempelajari bahasa Indonesia hanya diajarkan tentang materi-materi yang mungkin tidak ada hubungannya sama sekali tentang kesantunan berbahasa. Guru bahkan tidak pernah mengatakan tentang batas-batas kesantunan berbahasa saat kita berada di luar sekolah. Santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa (Pranowo, 2009:16). Pilihan kata yang dimaksudkan adalah bagaimana kita harus menggunakan kata yang tepat saat kita bertutur kata dengan mitra tutur kita. Sebelum kita mengatakan sesuatu tentu kita sudah memiliki konsep yang jelas terhadap apa yang akan kita bicarakan. Tanggapan positif dari mitra tutur bisa menjadi acuan bagi kita sejauh mana kesantunan bahasa yang kita ucapkan. Setelah kita sudah memiliki konsep yang matang tentunya kita ingin membuat mitra tutur merespon dengan baik tuturan kita. Gaya bahasalah yang menjadi bumbu selanjutnya supaya mitra tutur kita benar-benar menjadi tertarik atas percakapan yang sedang berlangsung saat itu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
Kelompok (komunitas) pesepeda merupakan suatu kelompok yang muncul karena adanya kesamaan hobi/kegemaran. Munculnya bahasa slang dalam komunitas tersebut tentunya disebabkan supaya komunikasi antar anggota menjadi lancar dan mudah dimengerti. Satu komunitas dengan komunitas lain tentu memiliki kata/frasa bahasa slang khusus yang mungkin tidak dimiliki komunitas pesepeda yang lain. Hal ini bisa saja digunakan sebagai kata kunci atau semacam rahasia terhadap sesama komunitas. Komunitas tidak ingin kata yang sudah diciptakan dipakai dalam komunitas lain. Hal yang menyedihkan ialah ketika suatu komunitas menciptakan suatu kata slang tanpa memperhatikan kaidah dan aturan yang berlaku dalam penggunaan bahasa. Kesantunan itu tidak hanya dibutuhkan saat kita bertingkah laku, melainkan kesantunan saat kita bertutur kata sangatlah dianjurkan. Percakapan akan menjadi efektif apabila kita memperhatikan kesantunan saat bertutur kata dengan mitra tutur dalam kondisi dan situasi apapun. Kesantunan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa yang dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu tidak lagi menjadi bahasa asing melainkan bisa menjadi bagian dari keanekaragaman bahasa (variasi bahasa). Berbagai masalah yang timbul akibat hadirnya bahasa slang seharusnya
memunculkan
kreativitas
dan
kehati-hatian
saat
ingin
mengungkapkan suatu kata atau gagasan. Penelitian ini dimaksudkan untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
melihat dan meninjau kembali sejauh mana keefektifan bahasa slang sebagai bahasa yang digunakan dalam bahasa percakapan suatu kelompok tertentu.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah tingkat kesantunan tuturan bahasa slang di kalangan kelompok-kelompok pesepeda di Yogyakarta? 2. Bagaimanakah efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan?
C. Tujuan Penelitian 1. Ingin mendeskripsikan tingkat kesantunan tuturan bahasa slang dalam komunitas pesepeda di Yogyakarta. 2. Ingin mendeskripsikan efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan dalam komunitas sepeda Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan hasil dan manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain sebagai berikut. 1. Penelitian ini memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSID.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
2. Berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca tentang tindak tutur, khususnya kesantunan saat bertindak tutur dengan mitra tutur. 3. Penelitian ini mengajak pembaca mengerti akan penanda apa saja yang membuat tuturan menjadi santun saat ada komunikasi dari penutur dan mitra tutur. 4. Dengan mengetahui kesantunan berbahasa, masyarakat menjadi mengerti akan bahasa yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan alat komunikasi dalam kehidupannya. 5. Penelitian ini diharapkan menjadi temuan yang dapat memperlancar komunikasi dengan santun antara penutur dan mitra tutur.
E. Batasan Istilah Pembahasan dalam penelitin ini tentunya hanya mencakup beberapa hal saja, maka dari itu penulis mencantumkan batasan istilah yang dipakai supaya pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh dan dapat dimengerti oleh pembacanya. 1. Slang Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mendefinisikan slang sebagai ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti. Pei & Gaynor (dalam Alwasilah, 1985:57) mengatakan bahwa slang merupakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang populer dan pengulasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok tertentu. 2. Kesantunan KBBI Daring mendefinisikan santun sebagai halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Fraser (Gunarwan, 1994:88) mengartikan kesantunan sebagai property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Dari definisi tersebut kita mengetahui bahwa yang mengukur seberapa santunnya tuturan adalah orang lain, bukan penuturnya. 3. Diksi Istilah pilihan kata atau diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan (Keraf, 1981:22). Jadi, tuturan yang terucap, sebenarnya sudah tersusun dan telah dipilih untuk menyatakan suatu maksud tertentu kepada orang lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
4. Gaya Bahasa Gaya bahasa dikenal dengan sebutan style. Style tersebut kemudian berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1981:112). Gaya bahasa penting digunakan karena gaya bahasa diibaratkan sebagai bumbu yang menambah rasa dalam bahasa yang kita gunakan.
F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya mendeskripsikan tingkat kesantunan pada tuturan yang terdapat dalam komunitas pesepeda. Komunitas pesepeda yang diteliti adalah komunitas pesepeda yang berada di Kota Yogyakarta.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada bab I akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi kajian pustaka, yang terdiri dari penelitian terdahulu, landasan teori dan kerangka berpikir. Bab III berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan data, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan teknik analisis data. Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
terdiri dari deskripsi data, hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Penelitianpenelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan penggunaan bahasa yang ada di sekitar kita. Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo berjudul “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”. Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini menyimpulkan dalam suatu tuturan yang diucapkan memberikan penilaiannya (berpersepsi) terhadap tuturan dari sopan santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan tuturan yang ditemukan, yakni: 1) analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4) penggunaan keterangan atau modalitas, 5) penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan 6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda ini dapat terjadi hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di dalam satu tuturan terkandung lebih dari satu penanda yang digunakan oleh penutur. Penelitian yang dilakukan oleh Mujiyono Wiryotinoyo berjudul “Analisis Pragmatik dalam Penelitian Penggunaan Bahasa” (Jurnal Bahasa dan Seni, 2006:153-163). Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini memberi kesimpulan bahwa analisis pragmatik dapat dimanfaatkan untuk memahami dan mendalami lebih tuntas teks tuturan yang menjadi objek penelitian.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., berjudul “Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 112). Dalam penelitiannya, Jamal memberikan beberapa kesimpulan tentang kesantunan berbahasa. Ia menuliskan bahwa setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakat tersebut.
B. Landasan Teori Ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang penggunaan bahasa. Pragmatik sendiri mengkaji tentang penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu pragmatik lebih mengarahkan kajiannya tentang maksud atau daya suatu ujaran. Kesantunan tuturan dalam bahasa saat ini bisa diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik karena dalam setiap tuturan tentu terkandung maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur (lawan tutur). Yule (1996:5) memberi arti pragmatik sebagai studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Ia juga mengatakan manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan. Sebagai contoh manfaat belajar bahasa yang dimaksudkan Yule adalah percakapan antara satu orang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
dengan orang lain. Pragmatik mengajari bagaimana memahami makna yang terdapat dalam setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Purwo (1990:1-2) menuliskan bahwa pragmatik dapat dibedakan menjadi dua hal: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian (1) dibedakan lagi menjadi dua hal (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa bidang kajian pragmatik merupakan salah satu ilmu yang digunakan untuk mengajarkan kepada setiap orang ilmu tentang bahasa. Penggunaan bahasa akan lebih baik jika dapat mengerti akan bahasa itu sendiri. Kegiatan komunikasi merupakan suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan ini. Tidak mungkin dapat melakukan suatu hal dengan orang lain tanpa adanya komunikasi. KBBI Daring mendefinisikan komunikasi sebagai pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Kegiatan komunikasi tak bisa dipungkiri harus melibatkan lebih dari satu orang di dalamnya. Komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik apabila tidak ada sesuatu yang dikirim dan yang menerima, dalam hal ini menerima suatu informasi. Subbab ini ingin menjelaskan beberapa hal, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan bahasa slang dan bagaimana tingkat kesantunan bahasa slang sebagai ragam bahasa. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi tingkat kesantunan dalam penggunaan bahasa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
1. Teori Kesantunan Berbahasa Kesantunan oleh Yule disamakan dengan kesopanan. Kesopanan dalam suatu interaksi didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam hal ini kesopanan dapat disempurnakan dalam kejauhan dan kedekatan sosial (Yule, 1996:104). Saat melakukan komunikasi dengan orang lain, hal yang dibutuhkan ialah mengetahui jenjang sosial dalam kehidupan. Misalnya saja saat berbicara dengan dosen/guru, bahasa yang digunakan tentunya tidak sama dengan bahasa pergaulan dengan teman-teman sebaya. Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan simpati dari lawan tutur/mitra tutur. Banyak hal yang perlu diperhatikan bahkan dipelajari supaya dapat menggunakan bahasa secara santun, khususnya dalam percakapan yang dilakukan dengan mitra tutur. Kesantunan saat berbahasa membawa penutur dan mitra tutur menjadi saling mengerti. Sikap saling mengerti dapat memperlancar kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung. Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dikatakan sebagai kedudukan penting karena saat berbahasa secara santun, maka dalam tuturan tersebut sudah mencerminkan diri tiap penuturnya secara utuh. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Kesantunan berkaitan erat dengan respon yang diberikan orang lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
Banyak hal yang harus diperhatikan supaya tuturan menjadi santun. Penelitian ini menguraikan bagaimana dan apa saja yang harus diperhatikan saat bertutur kata. Beberapa ahli menuliskan hal-hal yang mungkin dapat diterapkan saat bertutur kata, seperti prinsip kesantunan, cara berkomunikasi secara santun, indikator yang perlu diperhatikan supaya tuturan menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang ada dalam bahasa Indonesia. a. Prinsip kesantunan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Prinsip yang dikemukakan oleh Leech lebih dikenal sebagai prinsip kerja sama, dalam hal ini kerja sama antara penutur dan mitra tutur saat melakukan tuturan. Prinsip kesantunan Leech (1983) dalam Rahardi (2005:59) ialah prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif. Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut. 1) Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other. 2) Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self. 3) Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other. 4) Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self. 5) Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize agreement between self and other. 6) Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize sympathy between self and other.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
Sebelum membahas keenam maksim Leech, Wijana (1996:55-56) menerangkan tentang berbagai bentuk ujaran yang digunakan untuk mempermudah menangkap makna yang terkandung di dalam maksim tersebut. Bentuk-bentuk ujaran tersebut yaitu bentuk ujaran komisif digunakan untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan. Wijana (1996:56-61) membahasakan keenam maksim Leech tersebut secara lebih ringkas berturut-turut sebagai berikut. 1) Maksim kebijaksanaan: Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. 2) Maksim penerimaan: Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif
dan
imposif.
Maksim
ini
mewajibkan
penutur
untuk
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. 3) Maksim kemurahan: Maksim ini diutarakan dengan menggunakan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Maksim kemurahan ini menuntut peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
4) Maksim kerendahan hati: Maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. 5) Maksim kecocokan: Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur
untuk
memaksimalkan
kecocokan
di
antara
mereka,
dan
meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. 6) Maksim Kesimpatian: Maksim ini juga diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Lain halnya dengan Rahardi, Pranowo (2009:21) menuliskan prinsip kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh dari Leech tersebut adalah maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim pertimbangan adalah maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan perasaan tidak senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa penutur diharapkan bisa membuat mitra tuturnya merasa lega terhadap pertuturan
yang
sedang
berlangsung.
Penutur
mengungkapkan rasa senang pada mitra tuturnya.
diharapkan
dapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
b. Berkomunikasi secara santun Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang lebih kompleks karena harus bisa melihat situasi dan kondisi saat tuturan antara penutur dan mitra tutur terjadi. Penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup untuk melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi (Pranowo, 2009:4). Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5). Agar komunikasi bisa berjalan secara santun, penutur perlu mengetahui strategi bagaimana supaya bahasa yang digunakan menjadi santun. Pranowo (2009:39-46) menyebutkan tiga strategi supaya kita dapat berkomunikasi dengan santun. 1) Apa yang dikomunikasikan: Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Ketika seseorang berkomunikasi dengan
orang
lain
tetapi
tidak
jelas
tentang
pokok
masalah
pembicaraannya, maka mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak berkualitas. Pembicaraan menjadi tidak terarah dan tidak konsekuen dan bahkan bisa saja dalam suatu pembicaraan penutur bisa membahas beberapa pokok masalah sehingga membuat mitra tuturnya menjadi bingung. 2) Bagaimana
cara
berkomunikasi:
Hal
ini
mengarah
pada
cara
menyampaikan maksud dari pembicaraan antara penutur dan mitra tutur. Grice menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
diberikan oleh penutur cukup seperlunya saja, jangan kurang dan jangan lebih. 3) Mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan: Penutur diajak untuk bersikap jujur. Apa yang diungkapkan harus sesuai dengan hati nuraninya. Jadi, apa yang akan dibicarakan harus benar-benar dipikirkan secara matang supaya tidak terjadi salah paham antara penutur dan mitra tutur. Untuk menentukan kesantunan bahasa verbal lisan kita juga perlu memperhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat (Pranowo, 2009:76). Intonasi harus diperhatikan saat berkomunikasi supaya mitra tutur merasa nyaman saat komunikasi sedang berlangsung. Tidak mungkin seorang dengan jarak yang dekat akan menggunakan intonasi yang keras saat sedang berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Hal tersebut bisa saja menyindir mitra tutur karena seolah menganggap mitra tutur tuli sehingga penutur harus menggunakan intonasi yang keras saat sedang berbicara dengan mitra tuturnya. Nada berkaitan erat dengan perasaan. Misalnya saja saat sedang bersedih, nada bicara dapat mewakili suasana hati dengan menurunkan nada bicara sehingga menjadi datar. Sebaliknya, apabila sedang merasa senang, nada bicara dalam tuturan seharusnya menjadi meninggi. Maka dari itu, nada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
bicara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan supaya apa yang dirasakan bisa tersampaikan kepada mitra tutur. Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal, seperti gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan sebagainya (Pranowo, 2009:78). Gerak-gerik anggota tubuh biasanya terjadi secara tidak kita sadari. Alwasillah (1985:13) menuliskan bahwa aspek-aspek ini tidak perlu dibukukan atau sengaja diajarkan secara formal pada mereka dan penerus mereka. Faktor bahasa nonverbal merupakan hal yang dipelajari sebelum kita bisa bertutur kata, maka bahasa nonverbal dapat juga disebut sebagai bumbu bahasa dalam percakapan. c. Kriteria (skala) kesantunan Kriteria (skala) ialah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu (KBBI Daring). Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai ukuran suatu kesantunan, khususnya kesantunan dalam bahasa. Beberapa ahli telah merangkum berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan. Tentunya seseorang harus benar-benar mengetahui sesantun apakah tuturan yang terucap, supaya dalam melakukan percakapan dengan mitra tuturnya tidak menyinggung atau menyakiti mitra tuturnya. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang telah dirangkum oleh beberapa para ahli.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
1) Skala Kesantunan Leech Skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech terdiri dari lima skala kesantunan saat bertutur kata. a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, ukuran dari skala ini ialah semakin tuturan merugikan diri penutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Dalam hal ini, penutur sebisa mungkin harus bersikap rendah hati saat bertutur kata. Seorang penutur tidak seharusnya sombong dan angkuh bahkan tidak peduli dengan mitra tuturnya, tetapi seorang penutur harus bisa membuat mitra tuturnya merasa tidak dirugikan saat sedang melakukan percakapan. b) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampakan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tudak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
Di negara Indonesia ini, skala ketidaklangsungan sering terjadi pada masyarakat Jawa. Biasanya mereka menyampaikan sesuatu tidak secara langsung melainkan harus berputar-putar sampai akhirnya ke inti permasalahan yang ingin diutarakan. d) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Hal ini sangat jelas, saat berbicara dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi darinya, tentu bahasa yang digunakan akan sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan jika sedang bertutur kata dengan teman. Maka dari itu, status sosial juga sangat mempengaruhi dan bisa menjadi tolok ukur suatu kesantunan dalam berbahasa. e) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat/skala kesantunan tuturan suatu bahasa saat bertutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
2) Skala kesantunan Brown and Levinson Brown dan Levinson hanya mencantumkan tiga kriteria (skala) supaya bahasa yang kita gunakan itu santun. Tiga kriteria (skala) tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural. Uraian dari ketiga kriteria di atas akan dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini. a) Social distance between speaker and hearer atau skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. b) The speaker and hearer relatif power atau Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik (adanya kesenjangan) antara penutur dan mitra tutur. c) The degree of imposition associated with required expenditure of goods or services atau skala peringkat (rank rating) tindak tutur, didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. 3) Skala kesantunan Robin Lakoff Seperti halnya Brown dan Levinson, Robin Lakoff juga merangkum kriteria (skala) kesantunan tuturan menjadi tiga bagian. Ketiga skala tersebut ialah skala formalitas, skala ketidaktegasan, dan skala kesamaan atau kesekawanan. Supaya pemahaman tentang ketiga kriteria (skala)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
tersebut menjadi jelas, di bawah ini akan dijelaskan tentang ketiga kriteria (skala) yang dimaksudkan oleh Robin Lakoff. a) Formality scale atau skala formalitas. Skala ini dinyatakan agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan lainnya. b) Hesitancy scale atau skala ketidaktegasan. Skala ini menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Seseorang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. c) Equality scale atau skala kesekawanan (kesamaan). Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Agar tercapai maksud demikian, penutur haruslah
menganggap
mitra
tutur
sebagai
sahabat.
Dengan
menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai (Rahardi, 2005:66-70). Dari pemaparan ketiga ahli bahasa tersebut, kemudian kita dapat mengetahui apa sajakah yang menjadi kriteria tuturan menjadi santun. Dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
penjelasan yang diberikan oleh Leech, Brown dan Levinson, serta Robin Lakoff, mereka menjelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang isinya hampir sama. Pada dasarnya pemikiran ketiga tokoh di atas sama, karena ketiga unsur yang disebutkan oleh masing-masing ahli banyak kesamaan maksud di dalamnya. Jika disimpulkan secara singkat, kriteria kesantunan yang harus diperhatikan ialah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya satu pilihan saat kita bertutur, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan dengan mitra tutur, dan adanya otoritas antara penutur dan mitra tutur. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan pendapat Leech berkaitan dengan skala kesantunan. Ia menuliskan bahwa ada tiga skala yang perlu kita pertimbangkan untuk “menilai” derajat kesantunan sebuah direktif. Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik, adalah
skala
biaya-keuntungan,
skala
keopsionalan,
dan
skala
ketaklangsungan. Dalam hal ini, kesantunan direktif (dari yang paling kurang santun sampai yang paling santun) adalah fungsi (dalam pengertian perhitungan diferensial-integral) dari ketiga skala tersebut. Di bawah ini akan dicontohkan skala pertama yaitu skala biaya-keuntungan (untungrugi) dalam kaitannya dengan penutur (pur) dan pendengar (par). Skala ini menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif (dan intonasi serta nada bertutur juga sama), ujaran-ujaran di bawah ini semakin ke bawah semakin santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(1) Bersihkan toilet saya
Biaya bagi par
Kurang santun
Biaya bagi pur
Lebih santun
28
(2) Kupaskan mangga (3) Ambilkan koran di meja itu (4) Beristirahatlah (5) Dengarkan lagu kesukaanmu ini (6) Minum kopinya Dari contoh skala biaya-keuntungan di atas, kita bisa melihat bahwa dalam tuturan modus imperatif juga pun memiliki tingkat kesantunan yang berbeda. Apabila diamati dan dibaca dengan cermat mulai dari contoh (1) sampai (5) perbedaan itu bisa kita lihat. Misalnya saja pada kalimat (1) pur murni memberikan perintah kepada par tanpa adanya imbalan sama sekali. Itu menunjukkan bahwa par mengalami kerugian. Sedangkan pada (5) pur memerintahkan par untuk meminum kopi. Secara tidak langsung par akan mendapatkan keuntungan apabila ia meminum kopi tersebut. Kedua, skala keopsionalan, dipakai untuk “menghitung” berapa pur memberi par pilihan dalam melaksanakan tindakan. Makin besar jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya. (1)
Pindahkan kotak ini
(2)
Kalau tidak lelah, pindahkan kotak itu
(3)
Kalau tidak lelah dan ada waktu,
Lebih sedikit pilihan
Kurang santun
Lebih banyak pilihan
Lebih santun
pindahkan kotak ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(4)
29
Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau
(5)
Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan Skala ketiga, skala ketaklangsungan, dipakai untuk “mengukur”
ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ilokuksioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner. (1) Jelaskan persoalannya
Lebih langsung
Kurang santun
Lebih tak langsung
Lebih santun
(2) Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya. (3) Maukah Saudara menjelaskan persoalannya? (4) Saudara dapat menjelaskan persoalannya. (5) Berkeberatankah
Saudara
menjelaskan
persoalannya?
d. Indikator kesantunan Agar tuturan menjadi santun ada beberapa indikator kesantunan yang perlu diperhatikan. Beberapa indikator tersebut telah dikemukakan oleh para ahli. Pranowo (2009:100-104) menuliskan beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang harus diperhatikan supaya komunikasi bisa berjalan dengan baik. 1) Indikator kesantunan Dell Hymes (1978) a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
b) (P) Participants (peserta) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. Lebih mengarah kepada sikap untuk saling menjaga dan menghormati perasaan baik dari penutur atau dari mitra tutur. c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang akan dicapai dalam berkomunikasi. Berkaitan dengan ini, tuturan yang diutarakan oleh penutur harus lebih halus dan jangan sampai mitra tutur sakit hati terhadap tuturan penutur. d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa tulis misalnya berupa permintaan, sedangkan isi pesan ialah wujud permintaannya. e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian). f)
(I) Instrumentalities (Sarana) mengacu pada bentuk dan gaya bicara. Maksudnya, penutur harus mempunyai gaya bicara saat bertutur kata supaya menjadi menarik bagi mitra tuturnya (Emiritus, 1995:7).
g) (N) Norms (norma) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi. h) (G) Genres (ragam, register) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan, misalnya ragam formal, ragam santai dan sebagainya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
2) Indikator kesantunan Grice (2000) a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan. b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur. c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur. d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya. e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib atau kelebihan diri sendiri. 3) Indikator kesantunan Leech (1983) a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan “tact maxim”) b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan “generosity maxim”) c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise maxim”) d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “Modesty maxim”) e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
f)
32
Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati “thy maxim”)
g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”) 4) Indikator kesantunan Pranowo (2005) a) Angon rasa: memperhatikan suasana hati mitra tutur dan sebisa mungkin membuat hati mitra tutur berkenan. b) Adu rasa: mempertemukan perasaan penutur dan mitra tutur supaya isi komunikasi menjadi sama-sama dikehendaki. c) Empan papan: menjaga tuturan agar dapat diterima oleh mitra tutur. d) Sifat
rendah
hati:
menjaga
agar
penutur
memperlihatkan
ketidakmampuannya di hadapan mitra tutur. e) Sikap hormat: memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih tinggi. f)
Sikap tepa selira: tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur. Berkaitan tentang teori-teori tentang indikator di atas, dapat dilihat
bahwa kesantunan suatu tuturan ternyata memiliki beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai acuan saat bertutur dengan mitra tutur. Dilihat dari beberapa indikator yang ada, indikator-indikator kesantunan di atas dibuat berdasarkan kehidupan di masyarakat dalam melakukan suatu pertuturan bersama mitra tuturnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
2. Bahasa Slang Penggunaan kata slang yang semakin marak menambah ragam bahasa yang terdapat di negara Indonesia. Keraf (1981:108) mendefinisikan kata slang sebagai kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Bahasa slang yang hadir saat ini memang tampak telah disusun secara khas, karena mudah dimengerti bagi kelompoknya, dan juga hanya dipakai sebagian orang saja. Kata slang sebenarnya bukan hanya digunakan oleh kaum muda saja. Semua orang tanpa batasan apapun sebenarnya seringkali menggunakan bahasa slang sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Kesadaran dalam pemakaian bahasa slang tersebut yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dan dilihat secara lebih serius. Pei dan Gaynor (1954) dalam Alwasilah (1985:5657) menuliskan ”a style of language in faitly common use, produced by popular adaptation and extension of the meaning of existing words and by coining new words with disregard for scholastic standards and linguistic principles of the formation of words, generally peculiar to certain classes and social or age groups”. Intinya, Pei dan Gaynor ingin mengatakan bahwa slang merupakan bentuk bahasa yang dipakai secara umum, kemudian dibuat dengan adaptasi yang populer (sesuai dengan zamannya), dan kemudian menyusun kata-kata baru tersebut tanpa melihat standar atau kaidah-kaidah kebahasaan yang ada. Pada umumnya hanya digunakan oleh kelompokkelompok sosial tertentu saja.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
Alwasillah (1985:57) juga mengutip tulisan Hartman & Stork (1972:120) yang mendefinisikan kata slang. “a variety of speech characterized by newly coined and rapidly changing vocabulary, used by the young or by social and professional groups for ‘in-group’ communication and thus tending top revent understanding by the rest of the speech community”. Mereka mengatakan bahwa slang merupakan berbagai ujaran yang ditandai dengan kosakata baru yang diciptakan, tetapi kemudian kosakata tersebut cepat berubah, biasanya digunakan oleh generasi muda atau kelompok sosial dan profesional. Bahasa ini digunakan untuk komunikasi 'dalam kelompok'. Dengan demikian cenderung tidak seluruh masyarakat mengetahui tuturan yang digunakan dalam kelompok tersebut. Bahasa slang yang telah dikenal tidak bisa bertahan lama karena bahasa tersebut ternyata adalah bahasa musiman. Kebosanan setiap orang dalam penggunaan bahasa slang terletak pada intensitas penggunaan bahasa tersebut. Semakin sering bahasa baru digunakan dan semakin banyak orang mengetahui bahasa tersebut, maka bahasa tersebut lama-kelamaan tidak akan lagi dipakai karena setiap orang pasti memiliki titik jenuh terhadap sesuatu. Sebagai contoh kata slang yang sering digunakan, kata ”ciyus” yang memiliki arti serius. Kata itu muncul pada akhir tahun 2012, belum mencapai umur yang panjang kata tersebut saat ini sudah sangat jarang digunakan. Kita bisa melihat pada awal mula kemunculan kata tersebut, banyak orang terutama kaum muda menggunakan kata tersebut. mereka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
menggunakan kata tersebut untuk menjawab atau menanggapi sesuatu yang sebenarnya penting. Misalnya saja dalam suatu percakapan: (A) Hei, hari ini kamu kelihatan sumringah, ada apa? (B) Ciyuuss…?? Dari percakapan tersebut kita mengetahui bahwa percakapan secara tidak langsung tidak dapat dilanjutkan. Penutur yang bertanya secara halus dan sopan ternyata hanya dibalas dengan jawaban singkat dan bahkan itu pun tidak menjawab pertanyaan dari penutur sama sekali. Mitra tutur seakan tidak mengerti keadaan/situasi yang terjadi saat itu. Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja, atau kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu bidang makna yang lain (Keraf, 1985:108). Secara tak langsung, Keraf ingin mengatakan bahwa kata slang itu muncul karena kebiasaan ngawur saat bertutur kata. Saat seseorang mengucapkan sesuatu dan menghasilkan ucapan yang mungkin terdengar menarik bahkan mudah untuk dimengerti, maka dengan persetujuan bersama (kelompok tertentu) kata tersebut digunakan sebagai bahasa percakapan. Keraf (1985:109) menuliskan bahwa kata-kata slang memiliki dua kekurangan. Pertama, hanya sedikit yang hidup terus; kedua, pada umumnya kata-kata slang menimbulkan ketidaksesuaian. Hal ini terjadi seperti telah dikatakan di atas, semakin bahasa tersebut terlalu sering digunakan, maka bahasa tersebut akan segera lusuh dan kehilangan tenaganya. Kita harus mengetahui bagaimana keindahan suatu bahasa, supaya bahasa yang kita gunakan bisa dipakai sampai kapan pun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan Kesantunan merupakan hal yang dibutuhkan setiap orang dalam melakukan interaksi. Terjadinya interaksi yang ideal membutuhkan suatu penanda supaya apa yang dikomunikasikan menjadi jelas dan berjalan dengan lancar. Hubungan antara penutur dan mitra tutur menjadi lebih baik karena keduanya saling mengerti apa yang sedang dipercakapkan. Berikut dijelaskan tentang dua faktor kebahasaan yang bisa dijadikan sebagai penanda kesantunan saat bertindak tutur. a. Pemakaian pilihan kata (diksi) Kemunculan bahasa slang bisa dijadikan sebagai kekayaan bahasa dalam ragam bahasa. Bahasa slang muncul supaya komunikasi yang terjadi di kalangan tertentu menjadi mudah dan lancar. Hanya saja kemunculan bahasa slang tersebut kurang memperhatikan diksi dalam menggunakan kata. Beberapa bahasa slang malah banyak yang menimbulkan kata menjadi tidak benar. Memang bahasa slang digunakan untuk mempermudah seseorang dalam berkomunikasi, tetapi kemudahan itu malah menjadikan bahasa slang yang muncul sebagai bentuk ragam bahasa tidak memperhatikan ketepatan dalam pemilihan kata. Diksi atau lebih dikenal sebagai pilihan kata tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 1985:21-22). Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari dan menggunakan kata secara benar. Seorang yang sedang melakukan tuturan harus benar-benar memperhatikan mitra tuturnya supaya percakapan tersebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
bisa berjalan dengan benar. Ide dan gagasan yang dituangkan harus benarbenar matang, supaya jangan sampai kita menyinggung perasaan mitra tutur saat sedang melakukan percakapan. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar pada setiap manusia (Keraf, 1985:23). Pilihan kata bagi Keraf bukanlah permasalahan bagaimana kita memilih kata secara benar, tetapi juga ini menyangkut bagaimana tuturan dari penutur bisa diterima oleh mitra tutur. Setiap kata yang terucap harus mengandung arti dan maksud tentang apa yang sedang dibicarakan. Seseorang tidak boleh berucap dengan asal-asalan, bahkan sampai tidak ada artinya.
Finoza (2005:105-106) menuliskan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pilihan kata. Pertama, kemahiran memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai kosakata yang cukup luas. Kedua, diksi atau pilihan kata mengandung pengertian upaya kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun. Ketiga, diksi atau pilihan kata menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk situasi tertentu.
Dari ketiga hal penting tersebut, tentunya kita semakin mengerti akan fungsi dari diksi tersebut. Sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita tentunya harus bisa menerapkannya dalam kehidupan kita supaya dalam melakukan percakapan satu sama lain bisa mengerti. Interaksi yang terjadi antara penutur dan mitra tutur akan berjalan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
dengan baik dan lancar ketika keduanya saling mengerti maksud dalam percakapan yang dilakukan. Gorys Keraf (dalam Finoza 2005:108-110) menyebutkan enam syarat supaya menjadi pemilih kata yang akurat. 1) Dapat membedakan denotasi dan konotasi. 2) Dapat membedakan kata-kata yang hampir bersinonim. 3) Dapat membedakan kata-kata yang hampir mirip dalam ejaannya. 4) Dapat memahami dengan tepat makna kata-kata abstrak. 5) Dapat memakai kata penghubung yang berpasangan secara tepat. 6) Dapat membedakan antara kata-kata yang umum dan kata-kata yang khusus. Dilihat dari syarat-syarat yang disebutkan oleh Keraf, untuk menjadi seorang pemilih kata yang akurat tentu membutuhkan kemampuan berbahasa yang tidak sembarangan. Sebagai masyarakat bahasa, yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi tidak perlu semua syarat tersebut terpenuhi. Hal yang diperlukan oleh masyarakat tidaklah sedetail yang tersebut di atas, melainkan hanya perlu beberapa hal saja untuk bisa menjadi pemilih kata yang baik. Untuk menjadi pemilih kata yang akurat adalah pilihan setiap orang, tetapi hal yang wajib adalah bisa menjadi pemilih kata yang baik, sehingga saat melakukan percakapan kita bisa melakukannya dengan maksimal. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara (Keraf, 1985:87). Untuk bisa melakukan pemilihan kata yang benar-benar sesuai, tentu hal yang sangat dibutuhkan ialah menguasai kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang penutur yang memiliki banyak kosakata, akan lebih bebas memilih-milih kata yang sesuai dengan konteks tuturan yang ada. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain merupakan tuturan yang benar-benar sudah dipersiapkan secara matang, karena dengan persiapan matang tersebut penutur dapat memilih kata dengan tepat. Keraf (1985:88-89) menyebutkan beberapa butir perhatian dan persoalan yang harus diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan katanya. 1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. 2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. 3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. 4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. 5) Waspadalah terhadap pernggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut. 6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara otomatis. 7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus. 8) Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi khusus
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal. 10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata adalah kelangsungan. Yang dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis (Keraf, 1985:100). Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara tepat, penutur harus bisa mempertahankan kelangsungan pilihan kata supaya tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut. Penutur juga harus memperhatikan pillihan kata yang digunakan, apabila ia ingin tindak tutur berjalan dengan lancar. Penutur tidak boleh mempergunakan terlalu banyak kata saat sedang berbicara dengan mitra tuturnya, karena bisa mengakibatkan mitra tutur malah tidak mengerti maksud dari tuturan yang diutarakan oleh penutur. Setelah mengetahui bagaimana ketepatan dan menjaga agar pilihan kata yang penutur gunakan telah sesuai, hal selanjutnya adalah tentang kesesuaian pilihan kata. Keraf (1985:102) menuliskan perbedaan antara ketepatan dan kesesuaian pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan digunakan dalam kesempatan tertentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan tambahan berupa perbedaan tata bahasa, pola kalimat, panjang atau kompleksnya sebuah alinea, dan beberapa segi lain. Jadi, kesesuaian pilihan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
kata lebih melihat ke situasi dan lingkungan/keberadaan punutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi. Kesesuaian pilihan kata juga memiliki syarat-syarat yang perlu diperhatikan. Keraf (1985:103) menyebutkan tujuh persyaratan yang perlu diperhatikan supaya pilihan kata yang digunakan sesuai dengan situasi tuturan. 1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi formal. 2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. 3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. 4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian katakata slang. 5) Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. 6) Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). 7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Berbagai definisi, syarat-syarat, dan lain-lain, telah menunjukkan betapa bahasa slang tidak memperhatikan hal serupa. Padahal, pilihan kata dalam penggunaan suatu bahasa merupakan hal terpenting dan harus diperhatikan. Lain halnya dengan bahasa slang, pilihan kata menjadi sesuatu yang tidak diperhatikan bahkan seakan tidak untuk diketahui karena penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan tidak mengandung unsur-unsur yang tersebut di atas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
b. Pemakaian gaya bahasa Unsur keindahan merupakan suatu bentuk yang seharusnya banyak diinginkan oleh sebagian besar orang. Supaya kata yang digunakan menjadi indah, tentunya kita harus memiliki kemampuan dan keahlian khusus untuk mempergunakan kata-kata tersebut. Bahasa slang muncul karena dianggap memiliki keindahan tertentu bagi sebagian orang. Gaya bahasa slang kurang begitu diperhatikan sehingga bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa percakapan kurang diminati oleh semua orang. Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1985:112). Dalam tuturan tentu hal ini berkaitan dengan tindak tutur antara penutur dan mitra tutur saat melakukan percakapan. Bagaimana penutur bisa bertutur kata secara indah dengan mitra tuturnya. Secara singkat gaya bahasa atau style oleh Keraf (1985:113) dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa yang hadir digunakan sebagai sesuatu yang khas dari ungkapan penutur. Keraf ingin mengatakan bahwa seorang penutur itu harus mempunyai kekhasan dalam tuturannya, dan hal itu pasti dimiliki oleh setiap penutur karena kepribadian antara satu orang dengan yang lain tentu berbeda.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
Bertutur kata merupakan hal yang berkaitan erat dengan kehidupan kita. Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan supaya sebuah gaya bahasa menjadi baik (Keraf, 1985:113-115). 1) Kejujuran Kejujuran yang dimaksud berkaitan dengan gaya bahasa ialah kejujuran diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang bahasa yang berlaku di masyarakat umum. Penutur diharapkan tidak berbelit-belit saat bertutur kata. Semakin penutur mengungkapkan sesuatu secara berbelit-belit, menandakan bahwa penutur tidak mengetahui apa yang dikatakannya. 2) Sopan santun Sopan santun yang dimaksudkan adalah bagaimana penutur menghormati mitra tutur. Rasa hormat yang dimaksudkan adalah tentang kejelasan dan kesingkatan
kata
yang
digunakan.
Berbicara
secara
jelas
bisa
menguntungkan mitra tutur, karena tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud penuturnya. Kesingkatan dimaksudkan supaya penutur mempergunakan kata-kata secara efisien, atau mengadakan repetisi yang tidak perlu. 3) Menarik Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif. Maksud dari semuanya itu ialah penutur diharapkan kaya akan kosakata, bisa menciptakan rasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
gembira saat melakukan tuturan serta memiliki daya khayal supaya percakapan menjadi lebih hidup. Dapat dikatakan bahwa gaya bahasa percakapan bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaankebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi (Keraf, 1985:120). Bahasa percakapan memang biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis, karena bahasa percakapan pasti akan digunakan dalam situasi apapun dan dimana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan kita bisa menggunakan bahasa tulis. Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi komunikatif dalam penggunaan bahasa slang, secara khusus di kalangan komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta. Klasifikasi data tersebut telah diidentifikasi berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan deskripsi analisis data akan dipaparkan sebagai berikut. 1) Ada beberapa kriteria (skala) kesantunan yang dapat dipakai sebagai alat ukur kesantunan dalam percakapan bahasa slang di komunitas sepeda Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan kriteria (skala) kesantunan Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan bahasa slang dalam komunitas sepeda. 2) Dalam suatu tuturan yang diucapkan oleh penutur dalam komunitas pesepeda yang berupa kata, frasa, klausa, atau pun kalimat kalimat yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
memungkinkan pendengar atau mitra tutur memberikan penilaiannya (berpersepsi) tentang tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan tuturan bahasa slang tersebut. Inilah yang dalam tulisan ini disebut sebagai penanda keefektifan tuturan yang ditemukan, yakni:
(a) pemakaian
pilihan kata (diksi), dan (b) pemakaian gaya bahasa. Dalam suatu tuturan dapat terjadi hanya satu penanda, tetapi dapat pula terjadi lebih dari satu penanda digunakan dalam satu tuturan secara bersamaan. Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan simpati atau perhatian dari lawan tutur/mitra tutur. Semua bahasa (baik dalam kata, frasa, atau pun kalimat) dalam hal ini, memiliki tingkat kesantunan yang berbeda-beda. Hal itu bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti intonasi, nada bicara, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Tuturan yang santun ialah tuturan yang memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat dan tidak melanggar norma serta merugikan diri mitra tutur. Bahasa slang dikenal oleh banyak orang sebagai bahasa yang memiliki tingkat kesantunan yang rendah. Banyak orang melihat bahasa slang dari salah satu aspek saja, tetapi sebenarnya tidak semua bahasa slang memiliki tingkat kesantunan rendah. Kita harus bisa melihat kapan dan dimana tuturan tersebut berlangsung. Tidak boleh dengan semena-mena kita langsung mengatakan bahwa bahasa slang merupakan bahasa yang memiliki tingkat kesantunan rendah dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
4. Konteks Dalam suatu percakapan, tentu akan terjadi suatu tindak tuturan antara penutur dan mitra tutur. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam suatu tindak tuturan tersebut tentunya suatu konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Apabila penutur dan mitra tutur sudah mengerti konteks pembicaraannya, sudah pasti tuturan akan menjadi lancar dan dimengerti satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya, Imam Syafi’i (melalui Mulyana, 2005:24) menuliskan tentang konteks tuturan yang terjadi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: a. Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan. b. Konteks
epostemis
(epistemis
context),
adalah
latar
belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan. c. Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, obyek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan partisipan. d. Konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam suatu percakapan. Dari beberapa uraian tentang konteks di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan konteks dalam suatu tuturan sangat penting. Karena dengan adanya konteks, tuturan dapat dimengerti dengan baik oleh partisipan (mitra tutur).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
C. Kerangka Berpikir Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir sebagai berikut: 1. Penelitian ini akan mendeskripsikan bahasa percakapan komunitas sepeda Yogyakarta. 2. Sebagai landasan teori digunakan teori pragmatik pada umumnya dan kesantunan pada khususnya. 3. Atas dasar teori tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan tingkat kesantunan dan efektivitas tuturan. 4. Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan instrumen penelitian peneliti sendiri yang berbekal pengetahuan teori pragmatik pada umumnya dan kesantunan pada khususnya. Secara skematis, kerangka berpikir tersebut disusun dalam kerangka berpikir sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAHASA PERCAKAPAN KOMUNITAS SEPEDA YOGYAKARTA TEORI KESANTUNAN
METODE PENELITIAN KUALITATIF DESKRIPTIF
METODE PENGUMPULAN DATA: METODE SIMAK DAN METODE CAKAP
TEKNIK ANALISIS DATA: DESKRIPTIF
HASIL PENELITIAN
TINGKAT KESANTUNAN
EFEKTIVITAS TUTURAN
Bagan 1 Kerangka Berpikir
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu proses yang memerlukan persiapan matang supaya hasil yang diteliti benar-benar akurat dan sesuai. Untuk mendukung penelitian ini, penulis dalam bab ini menguraikan tentang: (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) metode pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, dan (5) teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian Penelitian ini mengkaji tingkat kesantunan tindak tutur bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta, tidak mengkaji tentang kegunaan bahasa. Berdasarkan penjelasan pada bab II sebelumnya, jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kebahasaan secara khusus pada bidang pragmatik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif yang dimaksud karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah/natural setting (Sugiyono, 2012:8). Sedangkan deskriptif yang dimaksud karena lebih menandai pada hasil penelitian yang bersangkutan dengan sikap atau pandangan peneliti terhadap adanya (dan tidak adanya) penggunaan bahasa daripada menandai cara penanganan bahasa tahap demi tahap, langkah demi langkah (Sudaryanto, 1988:60).
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
Penelitian kualitatif sebagai human instrument (instrumen yang diteliti adalah orang/manusia), berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2012:222). Fokus penelitian ini ialah komunitas pesepeda khususnya komunitas sepeda Yogyakarta, kemudian yang dijadikan informan ialah beberapa orang dari tiap komunitas yang ada.
B. Sumber Data dan Data Sumber data berasal dari aktivitas tuturan bahasa slang dalam komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta. Keseluruhan data tersebut merupakan populasi dari penelitian ini. Sumber data penelitian ini berasal dari beberapa cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam percakapan sesama anggota komunitas pesepeda Yogyakarta. Data diperoleh dari masing-masing komunitas sepeda karena dirasa para pesepeda seringkali menggunakan bahasa slang sebagai bahasa percakapan seharihari. Sedangkan sampelnya adalah sebagian anggota dari komunitas tersebut yang mewakili beberapa komunitas yang menjadi obyek penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode simak dan metode cakap. Peneliti mengumpulkan tuturan dari hasil percakapan komunitas pesepeda. Tuturan ini diperoleh dengan memerantikan metode simak, yakni menyimak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
pertuturan langsung di dalam masing-masing komunitas sepeda, yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk kesantunan bahasa yang mengandung makna linguistis maupun nonlinguistis. Metode penyediaan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92). Teknik yang digunakan terhadap metode tersebut adalah dengan mencatat dan merekam tuturan dalam komunitas pesepeda Yogyakarta. Catatan dan rekaman tuturan itulah yang kemudian diteliti oleh peneliti terhadap tingkat kesantunan bahasa slang yang digunakan di dalam bahasa percakapan komunitasnya. Metode cakap adalah metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan. Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara (Rahardi, 2009:34). Teknik yang digunakan dalam menerapkan metode cakap adalah teknik pancing. Mahsun (2007:95) mengartikan teknik pancing sebagai teknik dasar dari metode cakap, karena dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Sejalan dengan Mahsun, Rahardi (2009:34) mengemukakan bahwa teknik pancing merupakan teknik dasar dari metode cakap yang dilakukan dengan cara memancing seseorang atau beberapa orang agar mereka berbicara.
D. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini instrumennya adalah peneliti yang berbekal pengetahuan teori pragmatik. Selanjutnya, setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara (Sugiyono, 2012:223-224). Peneliti telah melihat bagaimana kehidupan dan pergaulan komunitas pesepeda di Yogyakarta. Hal tersebut bisa memudahkan peneliti dalam mengupayakan hasil dari instrumen penelitian lebih maksimal.
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada kajian analisis deskriptif. Analisis deskriptif yang dimaksud adalah analisis dengan merinci dan menjelaskan secara panjang lebar keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat (Nurastuti, 2007:103). Langkah-langkah teknik analisis data dalam penelitian adalah sebagai berikut. 1. Tahap klasifikasi. Peneliti mengelompokkan data penelitian berdasarkan kesamaan kasus yang mengacu pada teori. 2. Tahap identifikasi. Peneliti melakukan identifikasi terhadap data yang telah terkumpul. Identifikasi dilaksanakan dengan mengkaji tuturan bahasa slang dengan menggunakan teori kesantunan. 3. Tahap intepretasi Pemaknaan temuan-temuan dalam penelitian. 4. Tahap deskripsi. Peneliti memaparkan hasil kajian yang telah dilakukan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Bahasa slang merupakan bahasa yang seringkali digunakan di kalangan kaum muda. Penggunaan bahasa slang yang makin marak membuat pemakaian bahasa tidak lagi memperhatikan santun tidaknya bahasa yang digunakan. Pemakaian bahasa slang bisa saja malah semakin mengikis penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kesantunan yang dimaksud. Walaupun bahasa slang seringkali dipandang sebagai bahasa yang digunakan dengan tidak memperhatikan kesantunan dalam suatu percakapan, kita juga perlu melihat konteks tuturan yang terjadi. Dimana dan kapan tuturan tersebut dilakukan juga dapat mempengaruhi seberapa besar tingkat kesantunan yang ada pada sebuah tuturan. Bahasa slang sebagai ragam bahasa memang sudah menjadi bahasa keseharian bagi keompok-kelompok tertentu. Yang dimaksud dengan kelompok-kelompok tertentu karena bahasa yang digunakan biasanya hanya dimengerti dalam kelompok itu saja, semacam sebagai bahasa isyarat (bahasa yang dirahasiakan oleh kelompok tertentu), biasanya bahasa tersebut memang tidak dimengerti di kalangan kelompok lain. Bagi kelompok yang sudah biasa menggunakan bahasa tersebut, bahasa slang menjadi bahasa keseharian yang tidak lagi dipandang seberapa besar tingkat kesantunan yang terkandung di
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
dalamnya. Bahasa slang malah menjadi bahasa yang mengakrabkan antara penutur dan mitra tutur saat melakukan tindak tuturan. Penelitian ini kemudian ingin menganalisis tentang kesantuunan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam komunitas sepeda di Yogyakarta. Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan tuturan bahasa slang. Kelima skala itu, terangkum dalam skala pragmatik, adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Dengan adanya kelima skala itu, peneliti bisa mengetahui apakah tuturan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa percakapan di kalangan pesepeda tersebut tergolong sangat santun, santun, atau tidak santun. Kemudian, setelah mengetahui tingkat kesantunan bahasa slang yang digunakan, penulis juga ingin mengetahui tentang keefektifan penggunaan bahasa slang dalam setiap percakapan yang dilakukan dalam komunitas sepeda tersebut. Kriteria keefektifan penggunaan bahasa slang tersebut dilihat dari berbagai kriteria. Kriteria tersebut secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama, pemilihan kata; kemudian akan dianalisis lagi menjadi (1) penggunaan kata yang tepat untuk menyampaikan suatu gagasan dan (2) menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa. Kedua, gaya bahasa; dianalisis melalui tiga kriteria (1) kejujuran, (2) sopan santun, dan (3) menarik.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
Data yang dianalisis dalam skripsi ini adalah tuturan verbal (hal-hal yang dituturkan) yang sifatnya percakapan antarorang atau tuturan seseorang dalam komunitas pesepeda. Data diambil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti tentang percakapan di komunitas sepeda tinggi, sepeda fixie, sepeda BMX, komunitas sepeda MTB (mountain bike). Selama bulan April 2013 hingga Juni 2013. Ada sekitar 46 tuturan yang dianalisis dalam penelitian ini.
B. Hasil Analisis Data Agar pemahaman kita makin jelas mengenai hasil temuan atau analisis di atas, di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing di atas. 1. Tingkat Kesantunan Tuturan Bahasa Slang dalam Komunitas Sepeda di Yogyakarta Dari data yang diperoleh, kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis. Singkatnya, Gunarwan (1994:91-93) menuliskan pendapat Leech (1983:123) tentang lima skala yang perlu kita pertimbangkan untuk “menilai” derajat kesantunan. Kelima skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik, adalah skala biaya-keuntunganm skala keopsionalan, skala ketaklangsungan, skala keotoritasan, dan skala jarak sosial. Kelima skala tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
a. Skala biaya-keuntungan (untung-rugi) Skala ini dipakai untuk “menghitung” biaya dan keuntungan selama melakukan tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan pendengar (mitra tutur). Indikator yang ditunjukkan melalui skala ini ialah seberapa besar tuturan penutur menguntungkan mitra tutur saat melakukan tuturan. Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra tuturnya melalui tuturannya, maka tingkat kesantunannya menjadi tidak santun. Data penelitian disajikan sebagai berikut. (1) P1 : “Kodok nandi ki?” (P1 : “Kodok dimana nih?”) P2 : “Jare sik OTW seko omah”. (P2 : “Katanya masih OTW dari rumah”) P1 : “Sukurlah lek ngono”) (P1 : “Syukurlah kalau begitu”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman yang menanyakan teman lain karena belum muncul saat acara akan dimulai). (DT.12) (2) P1 : “Aku ndhisikan yo cah!” (P1 : “Aku duluan ya teman!”) P2 : “Jam sakmene wes pamitan cah! Wah, ra mbois tenan og”. (P2 : “Jam segini sudah pamit pulang! Wah, gak keren banget sih”). P1 : “Ra mbois rupamu kui”. (P1 : “Gak keren mukamu itu”). (Konteks: Tuturan di atas diucapkan saat ada seorang teman dari komunitas sepeda MTB berpamitan kepada teman-temannya). (DT.18) (3) P1 : “Aku punya tebak-tebakan nih”. P2 : “Apaan?” P1 : “Kenapa Superman kalo pake celana dalam di luar?” P2 : “Bercandanya garing ah”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
P1 : “Gak lucu ya?” (ekspresi muka malu) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman dalam komunitas sepeda fixie saat ada seseorang yang sedang membuat lelucon tetapi tidak lucu). (DT.24) (4) “Ben rak spaneng, yang di barat digoyang. Mari…!!” (“Supaya tidak tegang, yang di barat digoyang. Mari…!!”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh pembawa acara dalam acara JLFR (Jogja Last Friday Ride) saat para peserta terlihat bosan dengan acara yang ada. JLFR merupakan suatu kegiatan bersepeda untuk seluruh pesepeda yang ada di Yogyakarta. Kegiatan tersebut diadakan setiap hari jumat malam di akhir bulan). (DT.28) (5) P1: “Kamu kok keliatan murung sih, miapah?” P2: “Miapah, miapah gundulmu kui”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh salah satu anggota sepeda fixie kepada anggota lain karena lawan tuturnya terlihat tidak bersemangat saat berkumpul bersama teman-teman lain). (DT.29) (6) P1 : “Eh, kamu sekarang semester berapa sih?” P2 : “O iya, aku lupa gak bawa pompa sepeda nih. Ban sepedaku bocor halus”. P1 : “Krik… krik… krik…” (sunyi) (Konteks: Seorang teman (penutur P1) bertanya kepada teman lain (mitra tutur P2), tetapi penutur tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan). (DT.41) (7) P1 : “Katanya besok pas acara ultah JLFR Shaggy Dog mau manggung lho”. P2 : “Ciyus?” P1 : “Tauk ah!” (Nada ketus) (Konteks: Penutur berusaha memberikan informasi kepada mitra tutur, tetapi tanggapan mitra tutur malah hanya sekedar mempermainkan). (DT.46) Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala biaya-keuntungan, maka akan tampak sebagai berikut: Data (1) mengindikasikan bahwa (P1) sudah mengerti tentang arti kata OTW (On The Way). Sehingga saat penutur (P1) bertanya, mitra tutur (P2) hanya menjawab dengan sebuah singkatan. Dari tuturan tersebut bisa dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik karena penutur dan mitra tutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
memiliki pemahaman yang sama terhadap singkatan tersebut dan tidak mengalami
kesulitan
untuk
mengerti
pembicaraan
yang
sedang
berlangsung. Tuturan tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur dan mitra tutur mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Penekanan kata OTW dalam tuturan tersebut seperti mempertegas pertuturan yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian menimbulkan keuntungan dalam sebuah percakapan antara penutur dan mitra tutur. Semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa diuntungkan, maka semakin santunlah tuturan yang terjadi. Data (1) ingin berbicara bahwa tuturan otw walau merupakan sebuah singkatan tetapi sudah menjelaskan secara panjang lebar keberadaan teman dari penutur dan mitra tutur. Tuturan otw yang merupakan sebuah singkatan telah dimengerti oleh mitra tuturnya, sehingga hal itu tidak merusak suasana tuturan yang sedang berlangsung. Tuturan (1) menjadi tidak santun apabila antara penutur dan mitra tutur terjadi kesalahan komunikasi (tidak memahami tuturan satu dengan yang lainnya). Misalnya saja saat penutur menyebut tuturan otw tetapi mitra tutur malah bingung atau bahkan tidak mengerti, tuturan tersebut menjadi tidak santun dan hal ini bisa merugikan diri mitra tutur. Data (2) merupakan tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur saat sedang berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang duluan. Pada tuturan (2) tersebut si mitra tutur tampak tidak terima dengan kata mbois yang diucapkan oleh penutur. Mitra tutur menganggap si penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
menyindir mitra tutur lewat tuturan yang terucap dan itu mengakibatkan mitra tutur merasa sangat dirugikan karena melecehkan mitra tutur. Hal itu menyebabkan mitra tutur menjadi marah yang terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena jelas-jelas penutur merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan nada marah. Penekanan kata mbois menginginkan mitra tuturnya supaya tetap berada di sana karena masih banyak acara yang akan berlangsung. Suasana tuturan antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan melalui tuturan tersebut. penutur seolah tidak peduli akan alasan yang dibuat oleh mitra tuturnya. Agar tuturan pada poin (2) menjadi santun, maka kata mbois mungkin bisa diucapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau sekedar menanyakan alasan mengapa pulang lebih awal. Misalnya “jam sakmene wes pamitan, emang ono acara opo to?” (jam segini sudah pamitan, memang ada acara apa?). Mungkin apabila penutur dalam tuturan (2) mengucapkan seperti itu, mitra tutur tidak akan merasa tersinggung dan dirugikan oleh ucapannya. Data (3) dan (6) termasuk tuturan yang tidak santun. Penegasan kata garing dan krik…krik…krik… yang dituturkan memiliki arti yang sama. Kedua kata tersebut membuat suasana menjadi tidak nyaman karena tuturan yang terjadi menjadi tidak bisa dilanjutkan. Kata garing di sini merupakan suatu penegasan bahwa apa yang dibuat itu sudah kadaluwarsa (tidak terpakai lagi pada saat ini). Hal tersebut bisa dilihat dari percakapan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
yang terjadi. Antara penutur (P1) dan mitra tutur (P2) tidak lagi bisa melanjutkan tuturannya karena (P2) dianggap telah mengejek (P1) sampaisampai (P1) merasa malu karena lelucon yang dibuatnya tidak lucu. Sedangkan pada kata krik merupakan suatu penegasan bahwa si penutur (P1) dalam tuturan (11) tidak digubris oleh (P2). Hal ini bisa saja menyebabkan mitra tuturnya tidak lagi nyaman dengan percakapan yang ada, karena penutur menyindir mitra tuturnya dengan ungkapan lain. Akibat dari tuturan tersebut, mitra tutur bisa saja menjadi kesal dan marah terhadap penutur. Tuturan (3) dan (6) akan terdengar lebih santun apabila baik mitra tutur (3) maupun penutur (6) menggunakan pilihan kata yang tepat. Misalnya saja pada tuturan garing, diganti dengan “Oh, iya, saya sudah pernah mendengar lelucon itu, memang lucu.” Hal itu terdengar lebih menarik dan tidak menimbulkan efek negatif atau mengejek lawan bicaranya. Kemudian tuturan krik… krik… krik… memang jika didengarkan tidak terasa bahwa tuturan tersebut menyindir mitra tuturnya. Bagi orang yang sudah mengerti arti dari tuturan tersebut, maka tuturan itu menjadi sindiran yang menyakitkan karena merasa pertanyaannya dihiraukan oleh mitra tuturnya. Yang harus dilakukan oleh penutur seharusnya mengerti keadaan mitra tuturnya. Karena pertanyaannya menyinggung masalah kuliah, mungkin saja pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh mitra tuturnya karena mitra tutur malu untuk menjawabnya. Sebaliknya, penutur yang mengerti sebaiknya mengalihkan topik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
pembicaraannya ke yang lain supaya tuturan masih bisa berjalan dengan baik. Data (4) merupakan tuturan dari seorang pembawa acara dalam acara JLFR yaitu kegiatan bersepeda yang rutin diadakan pada setiap jumat malam dalam minggu terakhir setiap bulannya. Data tersebut tergolong tidak santun, karena acara JLFR adalah acara besar yang dihadiri oleh banyak pesepeda (dalam hal ini tidak semua pesepeda mengerti bahasa Jawa). Kata spaneng sendiri sebenarnya bukanlah bahasa Jawa secara utuh sehingga banyak orang tidak mengerti arti kata spaneng itu sendiri. Hal ini sangat merugikan pendengar, dan semakin pendengar merasa dirugikan, maka tuturan tersebut menjadi semakin tidak santun. Kata spaneng bukanlah kata yang dimengerti oleh banyak orang. Maka dari itu, supaya tuturan tersebut menjadi santun, alangkah baiknya jika penutur (pembawa acara) menggunakan tuturan yang dimengerti oleh semua pendengarnya. Misalnya saja spaneng diganti dengan “tegang, dingin, beku, dan lainlain”. Hal itu dipengaruhi karena tidak semua pendengar berasal dari Jawa, sehingga baik jika pembawa acara menggunakan bahasa Indonesia karena diketahui oleh banyak orang. Data (5) dan (7) memperlihatkan bahwa tuturan tersebut ternyata merusak suasana percakapan. Penutur seolah tidak mempedulikan suasana hati mitra tuturnya (data 5). Hal ini menyebabkan tuturan tersebut menjadi tidak santun. Sama halnya dengan tuturan (7), kata ciyus menimbulkan efek negatif sehingga menghancurkan suasana tuturan. Sebenarnya,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
apabila penutur memilih kata yang sedikit halus tuturan yang terjadi mungkin tidak seperti itu. Kata miapah (mengapa), jika dituturkan dengan bahasa Indonesia memungkinkan mitra tutur menerima dengan senang hati petanyaan yang ada. Kata miapah hanya cocok apabila saat suasana hati sedang senang atau bersemangat. Apabila dalam keadaan sedih seperti itu, malah akan merusak suasana. Sedangkan kata ciyus mengakibatkan penutur menjadi jengkel karena informasi yang diberikan seolah dianggap hanya guyonan semata tanpa memperhatikan suasana hati lawan tuturnya. Tuturan ciyus dan miapah sebenarnya sah-sah saja digunakan dalam percakapan di komunitas sepeda ini, hanya saja yang perlu diketahui supaya bahasa tersebut menjadi santun ialah waktu dan tempat pengucapannya. Kata ciyus dan miapah cenderung diucapkan dalam suasana yang tidak serius (nonformal). Maka, supaya tuturan menjadi lebih santun kata ciyus harus diterjemahkan ke dalam bahasa aslinya “serius” dan miapah menjadi “mengapa” dalam suasana yang serius. Apabila penutur sudah melakukan hal seperti itu, maka kedua tuturan tersebut tidak akan merusak suasana tuturan. b. Skala keopsionalan Skala keopsionalan dipakai untuk “menghitung” beberapa pur memberi par pilihan dalam melaksanakan tindakan (seperti ditujukan oleh daya ilokusioner tindak ujaran) makin besar jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya. Data penelitian disajikan sebagai berikut. (8) P1 : “Abot dab, digenjot ra anteng wae!” (P1: “Berat, dikayuh gak cuma diam saja!”)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
P2 : “Yo ngko lek kesel gantian.” (P2: “Ya nanti kalau capek gantian.”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh salah seorang saat sedang mengayuh sepeda tinggi tandem (sepeda dengan menggunakan dua pengemudi). Tuturan tersebut terucap setelah mereka mengayuh sepeda dengan jarak yang cukup jauh). (DT.05) (9) “Malam minggu kita akan mengadakan gowes ceria ke Pantai Parang Tritis ya!” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara saat mengumumkan acara pada malam minggu). (DT.11) (10) P1 : “Gejes gak bisa dateng katanya!” P2 : “Secara kakinya lagi sakit”. P1 : “Wah, gak seru nih”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seseorang kepada teman lain saat sedang memberi informasi tentang keberadaan Gejes). (DT.13) (11) “Silakan bagi anda yang sedang jomblo boleh bribik-bribik sedikit. Selagi masih ada waktu”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh pembawa acara dalam acara JLFR dan dalam situasi yang tidak resmi). (DT.16) (12) P1 : “Cah, aku pamit sikek yo, ono acara ning omah”. (P1 : “Teman, aku pamit duluan ya, ada acara di rumah”) P2 : “O, iyo dab, titi dj yo”. (P2 : “O, iya, titi dj ya”) P1 : “Yoi”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan untuk seorang teman yang sedang berpamitan kepada komunitasnya karena ada acara lain). (DT.20) (13) P1: “Ada yang baru jadian lho!” P2: “Wah, berarti peje-peje nih!” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan karena ada salah satu teman dari komunitas sepeda lipat baru saja mempunyai pacar). (DT.39) (14) “Oke semuanya sudah siap? Rede! Pada hitungan ketiga, satu… dua… tiga… yo…!” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh salah seorang juri dalam perlombaan balap sepeda dalam acara JLFR). (DT.40)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keopsionalan, maka akan tampak sebagai berikut: Data (8) merupakan tuturan dari seorang teman akrab. Walaupun tuturan tersebut ditujukan kepada teman akrab, tetapi data tersebut menunjukkan ketidaksantunan penutur terhadap mitra tutur dalam sebuah percakapan. Dalam hal ini, penutur tidak memberikan pilihan sama sekali kepada mitra tutur. Ia mengharuskan mitra tuturnya untuk meng-genjot (mengayuh) sepedanya. Tuturan genjot sendiri sebenarnya tidak asing didengar di kalangan komunitas sepeda, namun dalam hal ini setidaknya penutur menambahkan kata ajakan untuk mengayuh sepeda. Misalnya saja, “ayo dab digenjot, abot” atau “tolong digenjot, abot dab”. Apabila diberi imbuhan kata tolong atau ajakan tersebut, mungkin mitra tutur sendiri mempunyai alasan lain mengapa dia tidak mengayuh, sehingga mitra tutur memiliki pilihan lain dan tidak harus melakukan seperti yang diperintahkan penutur. Data (9) merupakan tuturan seorang pembawa acara yang ditujukan kepada para peserta yang hadir dalam acara tersebut. Kata gowes sendiri merupakan sebuah penekanan dari acara yang akan dilaksanakan. Dengan adanya kata gowes berarti panitia acara yang saat itu diwakili oleh pembawa acara menyampaikan bahwa acara yang akan dilaksanakan pada saat itu adalah gowes (menggunakan sepeda). Dalam skala opsional, pembawa acara tidak peduli kepada seluruh peserta yang hadir dan tidak memberikan pilihan sama sekali karena semua yang mengikuti acara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
tersebut harus menggunakan sepeda. Yang tidak menggunakan sepeda secara tidak langsung tidak boleh mengikuti acara tersebut. Hal tersebut menjadi tidak santun karena seolah penutur (pembawa acara) tidak mau tahu, dengan pendengar lain yang mungkin ingin menyusul karena sebelumnya ada acara lain, tetapi tidak menggunakan sepeda. Bisa saja penekanan kata gowes sendiri malah membuat acara semakin tidak seru. Seharusnya kata gowes tidak perlu diucapkan sehingga acara yang dilaksanakan bisa dihadiri oleh semua peserta, baik yang berangkat bersamaan maupun yang menyusul dengan menggunakan kendaraan lain. Data (10) merupakan tuturan yang memiliki tingkat kesantunan tergolong santun. Hal ini disebabkan kata secara apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia itu berarti berhubung. Jadi, tuturan tersebut hanya sebagai penegas, untuk memberikan informasi yang ada. Tuturan tersebut tampak santun juga dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baikbaik saja dan berjalan dengan lancar karena mitra tutur merasa mendapat jawaban yang tepat dan pasti, memang tidak ada pilihan lain tetapi kata itu sudah mewakili jawaban dari pertanyaan yang ada. Data (11) ingin mengatakan kepada pendengar bahwa kata bribik memiliki taraf kesantunan yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan karena kata bribik memiliki banyak pilihan. Penekanan pada kata bribik berarti boleh hanya sekedar berkenalan saja atau hanya sekedar ngobrol dengan teman baru (terutama teman lawan jenis) bahkan sampai harus mengenal lebih dekat. Hal ini memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
kata bribik sendiri sudah banyak dipahami di kalangan muda. Ajakan dari penutur untuk melakukan suatu tindakan dari sebuah tuturan dan memberikan banyak pilihan kepada mitra tuturnya. Data (12) apabila dilihat memang tidak memberikan banyak pilihan kepada mitra tuturnya. Tetapi indikasi penekanan kata titi dj merupakan singkatan dari “hati-hati di jalan”. Memang si penutur tidak memberikan pilihan lain kecuali harus berhati-hati saat berada di jalan. Selain tidak adanya pilihan, kita juga harus melihat bahwa pesan yang terkandung dalam tuturan tersebut merupakan pesan positif dari penutur kepada lawan tuturnya untuk bertindak hati-hati saat berada di jalan. Pesan tersebut yang membuat santun tuturan yang terjadi. Dari tuturan tersebut mitra tutur menjadi senang karena ada teman yang memperhatikan. Data (13) menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain. Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan karena mitra tutur (P2) mengharuskan penutur (P1) untuk peje. Hal tersebut menjadi tidak santun karena peje berarti “pajak jadian”. Jadi, si penutur seperti menyuruh mitra tuturnya untuk mentraktir teman-teman karena baru saja jadian. Hal ini bisa saja membuat si penutur (P1) menjadi terpojok karena situasi karena dihadapkan dengan satu pilihan yang sebisa mungkin harus dilakukan. Maksud dari ‘pajak’ tersebut memang hanya sekedar bertanya kapan akan mengadakan syukuran karena sudah mempunnyai pacar. Tetapi dengan adanya tuturan peje yang berarti ‘pajak’, maka secara tidak langsung seseorang wajib mengadakan syukuran karena pajak sifatnya adalah wajib.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
Sebaiknya supaya tuturan di (13) menjadi lebih santun tuturan peje tidak digunakan dan diganti dengan kata yang sebenarnya. Misalnya, “Wah, kapan syukuran ne?” dengan menggunakan pilihan kata yang tepat, kemungkinan mitra tutur tidak akan merasa terpojokkan karena harus mentraktir teman-teman. Apabila tuturan diganti dengan kata syukuran di atas, mitra tutur masih memiliki pilihan untuk tidak melakukannya karena alasan tertentu. Data (14) merupakan tuturan dari seorang juri pada perlombaan balap sepeda. Kata rede (siap) sebenarnya merupakan kata asing yang kemudian dijadikan sebagai bahasa slang dalam komunitas sepeda. Pada kasus ini, data (14) dapat digolongkan sebagai kata yang tidak santun karena para peserta perlombaan tidak diberi pilihan lagi. Apabila juri sudah mengatakan rede berarti para peserta sudah harus siap dengan posisinya masing-masing. Sama halnya dengan tuturan (13), penekanan tuturan rede di atas membuat mitra tutur (peserta) menjadi terpojokkan. Penutur seakan tidak peduli dengan keadaan peserta. Karena kemungkinan tidak semua peserta yang hadir untuk mengikuti perlombaan tersebut sudah mengecek sepeda mereka. Penutur tidak melihat situasi dan kondisi para peserta yang mengikuti balap sepeda tersebut. Saat kata rede terucap tidak ada pilihan lain untuk para peserta lomba untuk siap dan mulai. Dalam hal ini, penutur tidak memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk mengecek persiapan yang diperlukan, maka dari itu tuturan di atas menjadi tidak santun. Supaya tuturan tersebut menjadi lebih santun, ada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
baiknya supaya kata rede sebaiknya dihilangkan atau diganti dengan bahasa Indonesia saja ‘siap’, karena penekanan kata rede lebih dalam dibandingkan kata ‘siap’ itu sendiri. c. Skala ketaklangsungan Skala ketaklangsungan dipakai untuk “mengukur” ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ilokusioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner. Data penelitian disajikan sebagai berikut. (15) P1 : “Eh, Sinta tu kenapa sih kok sekarang jarang ikutan kumpul? P2 : “Jadi orang gak usah kepo banget ya?” P1 : “Masalah buat lo?” P2 : “Huuu…” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh mitra tutur (P2) dengan maksud mengejek penutur (P1)). (DT.06) (16) P1: “Gini ya rasanya hidup di kota, ketemu macet, banyak polusi. Coba semua pake sepeda pasti gak separah ini”. P2 : “Jadi orang tu jangan kamseupay dech!” P1 : “Apa hubungannya dengan macet ma polusi coba?” P2 : “Ya ada lah, karena lu biasa hidup di kampung”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh penutur (P2) dengan maksud mengejek mitra tutur (P1), tetapi situasi dan suasana percakapannya ialah santai). (DT.07) (17) “Oke. Yang barusan datang, langsung saja merapat ke sisi barat jalan, supaya tidak mengganggu pengguna jalan yang lain.” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara dalam acara JLFR. Tuturan tersebut ditujukan untuk beberapa orang yang baru saja tiba di lokasi acara untuk memarkirkan sepedanya di bahu jalan supaya tidak mengganggu pengguna jalan yang lain). (DT.10) (18) P1: “Dirimu tuh masih jomblo to Feb?” P2: “Kasih tau enggak ya?” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan ketika ada salah satu teman cowok dari komunitas sepeda BMX yang sedang merayu salah satu cewek dari komunitas sepeda BMX tersebut). (DT.37)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
(19) P1 : “Eh, ada yang bawa motor enggak nih?” P2 : “Emang kenapa bro?” P1 : “Sepedaku rantainya putus. Kalo ada yang bawa ntar aku anterin pulang dong”. P2 : “Wah, itu sih DL (Derita Loe)?” P1 : “Tega lu ya!” (dengan wajah murung) (Konteks: Penutur bertanya kepada mitra tutur, kemudian ingin minta tolong untuk mengantarkan pulang karena sepeda yang dipakai tibatiba rusak). (DT.42) (20) P1 : “Bagi yang belum mengenal saya, sungguh sangat amat terlalu!” P2 : “Huuu… jayus, jayus. Gak ada yang pengen tau”. P1 : “Mumpung saya belum terkenal lho!” P2 : “Ha… ha… ha…” (Konteks: Seorang pembawa acara (penutur) dalam suasana santai menghibur para peserta JLFR dengan berpura-pura menanyakan siapa yang ingin mengetahui namanya. Tanggapan salah satu peserta (mitra tutur) saat mendengar pertanyaan si penutur). (DT.44)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketaklangsungan, maka akan tampak sebagai berikut: Data (15) memperlihatkan bahwa tuturan yang terjadi menjadi tidak santun. Terlihat dari percakapan yang terjadi, si penutur (P1) bertanya dengan nada dan cara yang tepat, sedang mitra tutur (P2) memberi tanggapan yang hanya sepintas saja seperti tidak dipikirkan. Penekanan kata kepo sendiri memberikan indikasi bahwa (P1) adalah orang yang selalu ingin tahu segala sesuatunya. Kata kepo sendiri memberi penekanan negatif sehingga membuat (P1) tampak sedikit kecewa. Seharusnya si mitra tutur memberikan jawaban atas pertanyaan penutur, tetapi malah sebaliknya penutur mendapat ejekan dari mitra tuturnya dan itu terjadi secara langsung ditambah adanya penekanan kata kepo.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
Data (16) merupakan suatu singkatan dari “kampungan sekali udik payah”. Penekanan kata kamseupay sebenarnya sudah menimbulkan konotasi yang negatif bagi mitra tuturnya. Satu kata yang memiliki banyak makna dan juga memiliki arti negatif. Hal ini menyebabkan tingkat kesantunan yang dimiliki oleh tuturan tersebut menjadi tidak santun dikarenakan
mitra
tutur
(P2)
secara
langsung
mengutarakan
kejengkelannya terhadap penutur (P1) akibat dari keluhan si penutur (P1) terhadap kemacetan yang terjadi. Data (17) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara yang mengajak para pesepeda yang baru datang supaya tidak memenuhi jalanan. Dalam skala ini, pembawa acara secara langsung menyuruh para peserta yang baru saja datang untuk segera menepi dan tidak memenuhi jalan umum. Kata merapat dimaksudkan untuk segera memarkirkan sepedanya ke tepi jalan, supaya tidak mengganggu pengguna jalan yang lain. Kata merapat sendiri menjadi kurang santun karena penutur secara langsung menyuruh mitra tutur untuk segera menepi. Data (18) merupakan tuturan dari seorang teman kepada teman lain yang menanyakan apakah dia sudah mempunyai pacar atau belum. Kata jomblo artinya adalah belum mempunyai pacar. Pada tuturan (19) tersebut, si penutur telah merugikan mitra tutur karena secara terrang-terangan dan tanpa basa-basi langsung menanyakan kehidupan pribadi orang lain. Hal itu mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun, penanda yang sangat tampak dari percakapan tersebut ialah jawaban dari mitra tutur yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
seolah-olah ingin mengalihkan pembicaraan dan tidak memberitahu secara langsung jawaban yang sebenarnya. Data (19) dan (20) mempunyai kemiripan dalam penekanan penggunaan kata dalam tuturannya. Kata DL dan jayus merupakan kata yang digunakan untuk menyindir orang lain. Hal ini sangat tampak tidak santun karena orang yang bersangkutan adalah mitra tuturnya, sehingga secara langsung mitra tutur mengetahui bahwa penutur sebenarnya tidak menyukainya. d. Skala keotoritasan Skala keotoritasan merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan pendengar yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan pendengar maka tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Data penelitian disajikan sebagai berikut. (21) “Ra ngrusui sikek to ndes!” (“Jangan mengganggu dulu teman!”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan saat sedang dalam situasi semi formal yaitu dalam suasana rapat komunitas sepeda tinggi). (DT.19) (22) “Salam Tonjo buat kalian semua. Buat penampilan MALMIME-JA, ERWE, dan semua kawan-kawan yang terlibat. Wangun tenan!” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara untuk memberikan salam sekaligus ucapan terimakasih atas penampilan dari beberapa grup band yang telah mempersembahkan beberapa lagu kepada semua yang hadir dan juga ucapan terimakasih kepada semua teman yang terlibat dalam acara JLFR). (DT.25) (23) P1 : “Baiklah teman-teman, besok acara tidak seperti biasanya. Siang kita akan mulai bergerak dari Jl. Mangkubumi. P2 : “Wah, gak bisa boci dong?” (dengan suara keras) P1 : “Ntar yang mau boci, di jalan aja ya!” P2 : “Huuuuu…..”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
(Konteks: Seorang pembawa acara (penutur) sedang mengumumkan acara esok hari. Kemudian peserta (mitra tutur) menjawab tuturan penutur dengan nada sedikit kecewa). (DT.43)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keotoritasan, maka akan tampak sebagai berikut: Data (21) bisa dikategorikan ke dalam tuturan yang santun, karena si penutur
(ketua)
memiliki
skala
keotoritasan
yang
lebih
tinggi
dibandingkan pendengar (anggota). Penutur menggunakan kata ndes yaitu kepanjangan dari gondes, biasanya panggilan untuk preman atau orang yang terlihat seperti brandal. Maka dari itu, sapaan itu masih bisa dikatakan santun karena yang mengatakan (penutur) memiliki jabatan (otoritas) yang lebih tinggi dibandingkan pendengar. Lain halnya apabila tuturan tersebut ditujukan kepada teman yang tingkatan/derajatnya sama (tidak ada jarak otoritas sebagai pemisah antara penutur dan mitra tuturnya). Mungkin hal tersebut malah akan merusak suasana tuturan. Data (22) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara di saat menyapa para peserta. Salam tonjo bisa diartikan sebagai salam hangat, tetapi memang tidak dipakai di komunitas lain. Tuturan tersebut tergolong dalam kategori yang sangat santun, karena si pembawa acara sebagai
penutur
mempunyai
kekuasaan
(otoritas)
penuh
dalam
membawakan sebuah acara. Kemudian dari arti salam tersebut, salam tersebut memiliki arti yang sangat positif dan bisa memberi semangat para peserta yang mengikuti acara tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
Dilihat dari konteks tuturan yang terjadi, data (23) menimbulkan efek yang negatif juga. Hal ini tampak dari tuturan yang terjadi, tuturan tersebut menjadi tidak santun karena si pembawa acara (P1) tampak seperti jengkel dengan mengulangi kata boci tersebut sewaktu menanggapi tuturan dari mitra tuturnya. Karena si penutur memiliki otoritas dalam acara tersebut, maka ia mengulangi kata tersebut dengan menggunakan intonasi nada yang sedikit meninggi supaya mitra tuturnya menjadi tahu bahwa sebenarnya pengumuman tersebut merupakan pengumuman penting dan wajib diperhatikan oleh teman-teman. e. Skala jarak sosial Skala jarak sosial mengarah kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan pendengar yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan di antara keduanya akan menjadi kurang santunlah pertuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan pendengar sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan. Data penelitian disajikan sebagai berikut. (24) P1 : “Lha, suwe ra ketok nandi wae bro?” (P1: “Lha, lama tidak kelihatan kemana saja kau?”) P2 : “Sori bro aku sik sibuk ki.” (P2: “Sori teman, aku masih sibuk.”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman yang sudah mengenal dekat (sapaan akrab). Tuturan tersebut diucapkan saat salah satu teman dari komunitas sepeda tinggi baru saja muncul setelah lama tidak kelihatan). (DT.01) (25) P1 : “Malem minggu rep do mancal nandi ki cah?” (P1 : “Malam Minggu mau pada bersepeda kemana teman?”) P2 : “Halah, yo mung koyo biasane wae, kumpul ning KM 0”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
(P2 : “Halah, ya hanya seperti biasanya aja, kumpul di KM 0”) P1 : “Oke”. (P1 : “Oke”) (Konteks: Tuturan tersebut diucapkan kepada sesama teman sepeda dalam komunitas sepeda tinggi. Di saat percakapan mengenai kapan dan dimana akan bersepeda kembali). (DT.02) (26) P1: “Koe seko endi e, kok sui men?” (P1: “Kamu darimana saja, kok lama sekali?”) P2 : “Seko Bantul dab!” (P2: “Dari Bantul kawan!”) (Konteks: Tuturan di atas ditujukan menjawab sekaligus menyapa teman yang menanyakan sesuatu kepadanya). (DT.22) (27) P1 : “Dadi uwong ki mbok biasa wae, ra usah alay!” (P1 : “Jadi orang tuh biasa saja, gak usah alay!”) P2 : “Lha emang ngopo to?” (P2 : Lha emang kenapa to?”) (Konteks: Tuturan tersebut diucapkan pada situasi yang bebas dan santai. Tuturan tersebut terucap karena mitra tutur bertingkah aneh di depan teman-temannya). (DT.27) (28) P1: “Halo bos, sui ra ketok nandi wae?” (P1: “Halo sob, lama tidak kelihatan kemana saja?”) P2: “Sori, pitku lagi rewel ki, makane ra tau metu.” (P2: “Sori, sepedaku masih rusak, makanya gak pernah keluar.”) (Konteks: Tuturan di atas biasanya diucapkan untuk menyapa teman lain yang mungkin tidak begitu akrab). (DT.31) (29) P1 : “Koe kok kecu banget’e ndes!” (P1 : “Kamu kok gak jelas banget!”) P2 : “Ra ngece bro, kualat lho”. (P2 : “Enggak mengejek bro, kualat lho”) (Konteks: Penutur mengejek mitra tuturnya dengan nada bercanda). (DT.38)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala jarak sosial, maka akan tampak sebagai berikut: Data (24), (26), dan (28) memiliki kesamaan arti dan juga tergolong dalam tuturan yang santun. Kata bro (24) digunakan untuk menyapa teman lain dan ini memperlihatkan adanya suatu kedekatan jarak sosial dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
hubungan mereka. Dalam hal ini tuturan tersebut termasuk dalam kategori sangat santun karena baik penutur maupun pendengar mempunyai kedekatan jarak sosial. Kata bro sendiri merupakan kependekan dari kata asing brother yang berarti saudara. Sedangkan data (28), kata bos berasal dari kata sobat dan disingkat menjadi sob, kemudian dibalik menjadi bos. Biasanya memang sapaan ini digunakan oleh seorang yang baru saja mengenal atau tidak mengenal secara dekat. Kata bos sendiri jika dikategorikan merupakan tuturan yang sangat santun, karena kata bos sendiri didengar seolah teman yang baru dikenal lebih besar (strata) dengan penutur walaupun sebenarnya setara dengan dab dan bro. Data (26) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang kepada teman lain untuk menyapa (panggilan untuk seseorang dan biasanya sudah mengenal akrab). Kata dab termasuk dalam kategori santun, karena kata tersebut dipakai untuk seseorang yang telah memiliki kedekatan jarak sosial. Data (25) merupakan tuturan yang diucapkan oleh teman yang sudah mengetahui arti dari kata mancal yang dimaksud. Kata mancal memiliki arti yang positif di kalangan sepeda. Apabila kata tersebut dipakai ke dalam bahasa percakapan di luar komunitas sepeda tentu akan menimbulkan efek yang tidak santun sama sekali karena kata tersebut mengandung arti negatif yaitu menendang. Sedangkan pada tuturan di kalangan komunitas sepeda, tuturan tersebut sudah biasa sehingga tidak menimbulkan efek apa-apa dan dianggap sebagai bahasa yang santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
Data (27) menunjukkan bahwa dengan adanya kedekatan jarak sosial tuturan tersebut semakin tidak santun. Hal ini dapat dilihat dari penekanan kata alay yang memiliki arti “remaja yang belum mempunyai pendirian”. Karena penutur dan mitra tutur merupakan teman dekat jadi tuturan yang terucap dengan menekankan kata alay tersebut menimbulkan efek negatif dan tidak santun. Penutur tidak perlu berpikir lagi tentang perasaan mitra tuturnya karena mitra tutur adalah teman dekat dari penutur. Data (29) memberikan indikasi tidak santun pada tuturan yang terjadi. Hal tersebut ditunjukkan lewat penekanan kata kecu yang berarti “tidak jelas”. Ketidaksantunan pada tuturan tersebut tampak dari tanggapan mitra tutur terhadap diri penutur yang menjawab dengan nada malas. Hal ini bisa saja disebabkan dari jarak sosial yang ada antara penutur dan mitra tuturnya. Dilihat dari jawaban mitra tutur, sepertinya penutur dan mitra tutur bukanlah teman dekat sehingga kata kecu yang seharusnya bisa menjadi guyonan malah menjadikan komunikasi tidak wajar lagi.
2. Efektivitas Penggunaan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan Setelah membahas beberapa hal berkaitan dengan penggunaan bahasa slang dan seberapa besar tingkat kesantunan bahasa slang yang digunakan di dalam komunitas sepeda di Yogyakarta, peneliti kemudian ingin melihat keefektifan penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
Di atas sudah dijelaskan tingkat kesantunan bahasa slang menurut skala kesantunan Leech. Di bawah ini akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penanda-penanda tingkat kesantunan tuturan di dalam bahasa slang. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda tingkat kesantunan adalah satuan kebahasaan (kata, frasa, klausa, atau pun kalimat) yang dituturkan seorang penutur yang memungkinkan pendengar berpersepsi (memberikan tanggapan atau penilaian) tentang tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu atau seluruh tuturan diungkapkan atau dituturkan pembicara. Penanda-penanda tingkat kesantunan itu adalah sebagai berikut. a. Pemakaian pilihan kata (diksi) Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan dua definisi tentang pilihan kata (diksi). Pertama, pilihan kata (diksi) mencakup
pengertian
kata-kata
mana
yang
dipakai
untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Kedua,
pilihan
kata
atau
diksi
adalah
kemampuan
membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar (1984:24).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa persoalan pemilihan atau pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yakni pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara (penutur). Persoalan ketepatan pemilihan kata akan menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata seseorang. Penguasaan yang banyak terhadap kosakata akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk bahasa (kata) dengan referensinya. Di atas sudah disinggung bahwa persoalan pemilihan kata (diksi) jelas terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Ada empat kemungkinan yang muncul ketika penutur memilih kata, yakni: penutur memilih kata-kata yang bermakna denotasi dengan tujuan memperhalus tuturan (menjadikan tuturannya itu lebih santun), penutur memilih kata-kata denotatif yang memang maknanya kasar atau negatif (misalnya: karena marah) yang mengakibatkan tuturannya terdengar kurang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
santun, penutur memilih kata-kata yang bermakna konotasi dengan tujuan memperhalus tuturan, dan penutur memilih kata-kata konotatif yang memang maknanya kasar atau negatif sehingga tuturannya terdengar kasar (kurang santun). Dari beberapa hal di atas penulis kemudian merangkum menjadi dua bagian penting untuk menilai keefektifan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa percakapan. 1) Penggunaan kata yang tepat Penggunaan kata yang tepat untuk menyampaikan suatu gagasan merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan saat bertutur kata. Dengan pemilihan kata yang tepat, tuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur pun menjadi baik. Semakin tepat pemilihan kata berarti dalam menyampaikan suatu gagasan juga akan semakin baik dan hal itu menunjukkan bahwa tuturan tersebut efektif untuk digunakan dalam percakapan. 2) Menemukan bentuk yang sesuai Yang dimaksud sesuai (cocok) ialah tuturan yang terjadi sesuai dengan situasi dan nilai rasa. Jadi, seorang penutur harus bisa meilhat bagaimana situasi dari mitra tuturnya, supaya tuturan yang terjadi tidak menyakiti atau merugikan diri mitra tuturnya atau sebaliknya. Apabila penutur mengutarakan tuturannya tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka tuturan tersebut tidak efektif untuk digunakan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
Tuturan bisa berjalan dengan efektif apabila situasi tuturan tidak menjadi kacau. Misalnya saja tuturan terjadi di saat mitra tutur sedang tidak enak hati tetapi penutur malah membuat guyonan. Hal itu malah akan semakin merusak suasana tuturan karena penutur bisa saja malah membuat marah mitra tuturnya. b. Pemakaian gaya bahasa KBBI Daring menjelaskan bahwa gaya bahasa merupakan pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1984:113). Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data yang ada, ditemukan beberapa jenis gaya bahasa yang dipergunakan penutur (pembicara) ketika bertutur. Gaya-gaya bahasa itu digunakan oleh penutur dengan maksud tertentu. Lawan bicaranya ’kehilangan muka’ atau tersinggung dan malu, tetapi ada pula yang dengan sengaja
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
memakai gaya bahasa-gaya bahasa itu dengan tujuan agar apa yang dituturkannya itu benar-benar membuat lawan bicaranya malu (kehilangan muka) misalnya: karena marah, mengkritik, dan lain- lain. Beberapa hal tersebut terangkum dalam tiga kriteria, yaitu: 1) Kejujuran Kejujuran yang dimaksud berkaitan dengan gaya bahasa ialah kejujuran diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang bahasa yang berlaku di masyarakat umum. Penutur diharapkan tidak berbelit-belit saat bertutur kata. Jadi, semakin tuturan berbelit-belit, maka tuturan tersebut semakin tidak efektif untuk digunakan. 2) Sopan santun Sopan santun yang dimaksudkan adalah bagaimana penutur menghormati mitra tutur. Rasa hormat yang dimaksudkan adalah tentang kejelasan dan kesingkatan kata yang digunakan. Berbicara secara jelas bisa mnguntungkan mitra tutur, karena tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud penuturnya. Jadi, semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur menjadi bingung, maka tuturan tersebut semakin tidak efektif untuk digunakan. 3) Menarik. Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif. Maksud dari semuanya itu ialah penutur diharapkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
kaya akan kosakata, bisa menciptakan rasa gembira saat melakukan tuturan serta memiliki daya khayal supaya percakapan menjadi lebih hidup. Jadi, apabila penutur membuat suasana tuturan menjadi terhenti maka tuturan tersebut tidak efektif digunakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur keefektifan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat beberapa hal tersebut akan dirangkum menjadi satu tabel supaya memudahkan kita untuk menilai suatu keefektifan sebuah tuturan.
TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN EFEKTIF 1. Penutur
dan
mitra
TIDAK EFEKTIF tutur
1. Penutur dan mitra tutur tidak
mengerti konteks tuturan.
mengerti konteks tuturan.
2. Penggunaan kata yang tepat.
2. Penggunaan kata yang tidak
3. Bentuk yang sesuai.
tepat.
4. Jujur.
3. Bentuk yang tidak sesuai.
5. Sopan santun.
4. Tidak jujur.
6. Menarik.
5. Tidak
ada
unsur
sopan
santun. 6. Tidak menarik.
Tabel di atas sudah merangkum hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan sehingga tuturan tersebut menjadi efektif untuk digunakan sebagai bahasa percakapan. Tabel tersebut menjelaskan bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
tuturan yang efektif ialah tuturan yang dimengerti oleh kedua komunikan sebagai hal paling penting yang harus diperhatikan. Selanjutnya, baik pennutur maupun mitra tutur harus memperhatikan poin kedua sampai keenam. Supaya lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk melihat seberapa besar keefektifan suatu tuturan yang digunakan di dalamnya. Berikut akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong efektif untuk digunakan. (30) Acara malam hari ini akan kita buat gayeng.” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh pembawa acara dalam pembukaan acara ulang tahun JLFR ke-36). (DT.17) (31) P1 : “Kuesel’e pool, sopo to jane sing milih rute?” (P1 : “Capeknya pool (banget), siapa sih yang memilih rute?”) P2 : “Emboh ki, jare Theo”. (P2 : “Enggak tahu, katanya Theo”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman dalam komunitas sepeda fixie yang saat itu terlihat sangat kelelahan karena rute perjalanan yang sangat panjang/jauh). (DT.23) (32) “Baiklah teman-teman. Supaya acaranya tidak begitu rempong, kita buat sederhana saja.” (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh ketua sepeda tinggi dalam rapat intern komunitas. Pada saat itu rapat sudah berlangsung cukup lama dan tidak menghasilkan apa-apa). (DT.26) (33) P1: “Krungu-krungu cewekmu sik berondong yo Lang? lha kok mulyo uripmu”. (P1 : “Dengar-dengar pacarmu masih berondong ya Lang? Lha kok beruntung hidupmu”) P2: “Yo biasalah”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh penutur saat mengetahui bahwa pacar Gilang ternyata lebih muda darinya). (DT.32)
Data (30) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara dalam acara JLFR ke-36. Kata gayeng sendiri menunjukkan sebuah penekanan maksud dari yang diharapkan oleh si penutur. Tidak ada basa-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
basi dari si penutur tetapi langsung menyampaikannya kepada pendengar. Kata gayeng sendiri termasuk dalam kriteria tuturan santun. Karena merupakan sebuah ajakan yang intinya dalam acara tersebut harus dipenuhi dengan keceriaan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata gayeng sendiri merupakan tuturan bahasa slang yang efektif untuk digunakan dalam komunitas sepeda di Yogyakarta. Kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua peserta yang hadir dalam acara itu. Penggunaan kata tersebut juga menimbulkan suasana yang menarik sehingga membuat mitra tutur menjadi semakin bersemangat dalam mengikuti acara yang dihadirinya. Data (31) menekankan kata pool yang berarti “sangat”. Kata tersebut menimbulkan
penutur
tidak
memberikan
banyak
pilihan
untuk
menanggapi tuturan dari penutur. Penutur hanya memberikan pilihan bahwa bersepeda di hari itu sangat membuat letih tanpa mempedulikan mitra tutur apakah ia sudah letih atau belum. Karena penutur tidak memberikan banyak pilihan kepada mitra tuturnya, maka tuturan tersebut termasuk dalam kategori tidak santun. Dilihat dari konteks tuturan yang terjadi, walau tuturan tersebut tergolong tuturan yang tidak santun, mitra tutur tetap mengerti maksud dari kata pool yang dimaksud. Karena mitra tutur mengerti akan arah pembicaraan yang terjadi, maka tuturan tersebut termasuk kedalam tuturan yang efektif untuk digunakan dalam percakapan yang terjadi. Mungkin memang ada beberapa kriteria keefektifan yang tidak terpenuhi, misalnya saja tidak menarik kemudian bentuknya tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
sesuai, tetapi secara garis besar tuturan tersebut masih bisa digunakan (efektif) karena percakapan masih dapat berlangsung dengan lancar. Data (32) merupakan tuturan dari seorang ketua komunitas sepeda tinggi. Kata rempong (ruwet/ribet) sendiri terucap ketika rapat sudah terlalu lama dan membahas hal-hal yang tidak penting. Apabila dilihat dari konteks tuturan dan dimana tuturan itu dilakukan, maka tuturan tersebut tergolong sebagai tuturan yang tidak santun. Tuturan tersebut tergolong tidak
santun
karena
ketua
secara
terang-terangan
menyatakan
ketidakpuasannya terhadap rapat yang diadakan dan secara tidak langsung mengajak anggota yang lain supaya segera menyudahi rapat yang diadakan tersebut. Tuturan tersebut tergolong efektif untuk digunakan dalam tuturan yang terjadi karena dalam ketua tentu sudah memahami bahwa mitra tutur (anggota kelompok) mengerti akan arti kata rempong tersebut. Tentu dalam hal ini, penutur sudah mempertimbangkan segala sesuatunya saat menuturkan tuturan tersebut. Penutur merupakan orang yang memiliki otoritas sebagai pemimpin, maka sudah tepat jika ia menggunakan kata rempong sebagai penegasan kepada teman-teman yang lain untuk mengambil keputusan dalam rapat yang sedang berlangsung. Data (33) tidak begitu merugikan mitra tutur. Hal ini bisa dilihat dari percakapan yang terjadi. Saat penutur menanyakan sesuatu mitra tutur masih menjawab pertanyaan penutur dengan santai. Apabila digolongkan ke dalam tingkat kesantunan tuturan berondong di sini tergolong tidak santun. Walaupun tuturan tersebut tergolong ke dalam tuturan yang tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
santun, tuturan tersebut efektif untuk digunakan sebagai bahasa percakapan dalam komunitas tersebut. Hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan yang sedang berlangsung. Tuturan antara penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik, itu menandakan bahwa keduanya mengerti akan konteks tuturan. Apabila penutur dan mitra tutur sudah mengerti akan konteks tuturan yang ada, tentu kata berondong termasuk kata yang tepat dan sesuai untuk digunakan dalam bahasa percakapan. Lebih dari itu, walau kata berondong dipandang sebagai bahasa yang kurang santun bagi kebanyakan orang, dalam komunitas ini kata tersebut sudah biasa digunakan dan dianggap sopan dan menarik. Supaya dapat membedakan dengan jelas bagaimana keefektifan suatu tuturan bahasa slang, selanjutnya akan disajikan pula beberapa tuturan bahasa slang yang tidak efektif untuk digunakan.
(34) “Baiklah, sekarang kita akan mengadakan perlombaan balap sepeda jenis apapun. Dan pemenangnya nanti akan mendapatkan kaos unyuunyu dari panitia JLFR (Jogja Last Friday Ride)”. (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara saat sedang mengumumkan hadiah dari perlombaan yang akan dilaksanakan). (DT.15) (35) P1: “Dab, ayo melu balapan!” (P1: “Teman, ayo ikut balapan!”) P2: “Wegah, ra wani aku lek banter-banteran.” (P2: “Gak mau, saya tidak berani kalau kebut-kebutan.”) P1: “Wuuuu….! Cemen tenan.” (P1: “Wuuuu…! Pengecut sekali”) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan untuk merendahkan lawan tuturnya ketika ditawari untuk mengikuti kegiatan lomba balap sepeda tinggi, tetapi dia menolak karena tidak berani jika balapan menggunakan sepeda tinggi. Hal ini terjadi saat situasi ramai karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
ada beberapa orang yang sudah siap untuk mengikuti balapan tersebut). (DT.35) (36) P1 : “Sekali-kali kongkow-kongkow di tempat lain yuk!” P2 : “Apaan tuh?” P1 : “Nongkrong maksudnya”. P2 : “Ooo…” (Konteks: Penutur mengajak mitra tutur tetapi mitra tutur tidak mengetahui arti pembicaraan si penutur). (DT.45)
Data (34) merupakan tuturan yang bersifat satu arah, tanpa mengharuskan adanya jawaban dari mitra tutur. Tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara tersebut tergolong tidak santun karena pembawa acara (penutur) menganggap semua (mitra tutur) mengetahui arti dari kata unyu-unyu yang dimaksud. Kata unyu di atas menjadi tidak efektif untuk digunakan karena penutur baru hanya menganggap bahwa mitra tutur yang adalah seluruh peserta JLFR mengetahui arti kata unyu yang dimaksud. Tuturan yang bersifat satu arah seperti di atas seharusnya menggunakan kata-kata yang sudah pasti diketahui banyak orang supaya dapat dimengerti oleh mitra tuturnya, bahkan diusahakan tuturan tersebut menjadi menarik bagi sebagian besar orang yang mendengarnya (mitra tutur). Tuturan di atas sudah pasti tidak efektif digunakan karena dari keenam kriteria keefektifan yang ada penutur sudah melanggar kriteria utama. Apabila mitra tutur sudah tidak bisa mengerti konteks tuturan yang dimaksud, sudah pasti tuturan tersebut tidak tepat, tidak sesuai, tidak sopan, dan bahkan tidak menarik untuk didengarkan oleh mitra tuturnya. Data (35) merupakan tuturan yang diucapkan oleh teman sesama komunitas sepeda tinggi. Kata cemen dalam tuturan tersebut sudah sangat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
jelas secara langsung meremehkan pendengar. Penutur secara langsung mengejek pendengarnya dengan kata cemen (pengecut). Tuturan ini masuk dalam kategori tidak santun, karena penutur sama saja merendahkan harga diri mitra tutur, apalagi di hadapan banyak orang. Tuturan (35) merupakan tuturan yang masih dimengerti oleh mitra tuturnya. Walaupun tuturan tersebut dimengerti oleh mitra tuturnya, tetapi dalam hal ini jika melihat konteks tuturan yang terjadi, tuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur menjadi terhenti karena mitra tutur dianggap rendah di mata penutur. Tuturan ini sebenarnya memenuhi kriteria pertama dalam menilai suatu keefektifan suatu tuturan, tetapi kriteria kedua sampai keenam tidak diperhatikan oleh penutur sehingga menimbulkan ketidakefektifan dalam tuturan tersebut. Hal utama yang menyebabkan tuturan ini tidak efektif untuk digunakan adalah merendahkan mitra tutur. Merendahkan mitra tutur tentu sama saja membuat mitra tutur menjadi tidak tertarik untuk mendengar tuturan tersebut. Jika mitra tutur tidak tertarik, ia tentu menganggap itu tidak santun dan bahkan tuturan tersebut tidak sesuai untuk diucapkan atau digunakan. Data (36) sudah sangat jelas terlihat bahwa tuturan dengan penegasan kata kongkow menjadi tidak santun. Tampak jelas karena tindak tuturan yang terjadi tidak lagi berjalan dengan lancar. Mitra tutur tidak mengetahui arti dari kata tersebut. Hal ini sangat merugikan diri mitra tutur. Dinilai dari efektif tidaknya penggunaan tuturan (36) tersebut, dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak efektif untuk digunakan dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
suatu tuturan. Hal pertama yang perlu diperhatikan dari percakapan yang terjadi di atas, antara penutur dan mitra tutur sudah kehilangan komunikasi. Dilihat dari tuturannya, mitra tutur tidak mengerti arti dari kata kongkow sendiri. Ketidakmengertian mitra tutur terhadap tuturan yang ada merujuk ke indikator kefektifan yang lainnya. Hal kedua sudah pasti mitra tutur menganggap tuturan tersebut tidak sesuai dan tepat untuk digunakan karena mitra tutur tidak mengerti arah pembicaraan yang dimaksud. Apabila kesemuanya itu terjadi, secara tidak langsung mitra tutur menjadi tidak tertarik dengan tuturan yang terjadi.
C. Pembahasan Kesantunan berbahasa merupakan cerminan diri seseorang, karena saat berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung. Santun tidaknya sebuah tuturan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah ragam bahasa slang. Ragam bahasa tersebut ternyata dapat diidentifikasi melalui lima kriteria kesantunan yang dipaparkan oleh Leech. Adanya kerjasama dalam sebuah tuturan oleh kedua belah pihak baik penutur dan mitra tutur merupakan hal yang sangat penting dan perlu untuk diperhatikan oleh semua orang. Pentingnya suatu kerjasama dalam suatu tuturan bisa menimbulkan efek positif dan juga memperlancar sebuah tuturan yang terjadi. Banyak orang memandang bahwa ragam bahasa slang sebagai bahasa suatu kelompok tertentu merupakan sebuah bahasa yang tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
santun dan tidak pantas untuk digunakan dalam suatu tuturan. Hal tersebut bisa terjadi karena orang lain belum mengerti konteks tuturan yang terjadi dan bagaimana suasana tuturan pada saat itu. Dalam suatu tuturan yang paling penting dan harus diperhatikan adalah bagaimana atau sejauh mana penutur dan mitra tutur mengerti akan arah pembicaraan mereka. Orang lain tidak bisa hanya menilai begitu saja tanpa melihat beberapa hal penting yang mempengaruhi kesantunan suatu tuturan yang terjadi di sekitarnya. Hasil analisis di atas telah membuktikan bahwa ragam bahasa slang sebagai bahasa yang digunakan dalam percakapan komunitas sepeda Yogyakarta ternyata sebagian besar masih tergolong santun. Misalnya saja penggunaan kata bro pada tuturan (24), mungkin apabila orang lain yang mendengar apalagi orang tersebut tidak mengerti akan arti dari kata bro sendiri, hal tersebut menjadi tidak santun untuk digunakan. Tetapi apabila kita melihat dari sisi penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut ternyata menjadi santun karena kata bro sendiri merupakan sebuah sapaan yang ditujukan untuk menyapa teman lain yang mungkin tidak begitu dikenal. Hal ini bisa mendekatkan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur dalam tuturan yang terjadi. Konteks sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Menurut Leech dalam Sudaryanto (2009:119) konteks didefinisikan sebagai aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks merupakan konsep yang dinamis. Maksud dinamis di sini adalah bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
kenyataan dunia selalu berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti (Sudaryanto, 2009:123). Konteks menjadi salah satu penentu bagaimana suatu tuturan bisa dianggap santun atau tidak. Maka dari itu, gambaran orang lain terhadap suatu tuturan bahasa slang belum tentu sama dengan tuturan yang sedang terjadi antara penutur dan mitra tutur yang sudah mengerti dengan baik konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Beberapa hal yang perlu diperhatikan baik oleh penutur maupun mitra tutur supaya tuturan yang terjadi menjadi santun ialah (1) seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya, (2) seberapa besar penutur memberikan pilihan kepada mitra tuturnya atau sebaliknya, (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau sebaliknya, (4) semakin tuturan tersebut diucapkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan (otoritas) maka tuturan yang terjadi biasanya akan semakin tidak santun, dan (5) seberapa dekat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur dalam sebuah tuturan yang terjadi. Seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya seperti dimaksudkan di atas ialah supaya penutur dan mitra tutur bisa saling memberikan kepuasan saat bertutur kata. Seorang penutur harus bisa merugikan dirinya sendiri, bukan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
malah meninggikan dirinya di hadapan lawan tuturnya saat sedang bertutur dengan mitra tuturnya. Misalnya saja pada tuturan di bawah ini: (37) P1 : “Aku punya tebak-tebakan nih”. P2 : “Apaan?” P1 : “Kenapa Superman kalo pake celana dalam di luar?” P2 : “Bercandanya garing ah”. P1 : “Gak lucu ya?” (ekspresi muka malu) (Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman dalam komunitas sepeda fixie saat ada seseorang yang sedang membuat lelucon tetapi tidak lucu). (DT.24)
Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan mengenai data tuturan di atas. Mengapa hal tersebut menjadi tidak santun, ternyata terletak pada tanggapan mitra tutur terhadap penuturnya. Maksud dari penutur ialah ingin mencairkan suasana, sehingga bisa kembali menjadi senang. Kata garing mengandung arti yang sangat negatif karena itulah penutur merasa sangat malu ketika mitra tutur mengatakan kata tersebut. penekanan kata garing menandakan bahwa guyonan yang dibuat itu ternyata guyonan yang sudah lagi tidak terpakai bahkan sama sekali tidak lucu. Tuturan di atas tampak sangat kacau karena penutur merasa telah dirugikan oleh mitra tuturnya dengan mengejek bahwa lelucon yang dibuatnya tidak lucu dan tidak menarik sama sekali. Lelucon yang dipakai itu adalah lelucon yang sudah lama sekali dan sudah sangat banyak orang yang tahu. Selanjutnya, tentang seberapa besar penutur memberikan pilihan kepada mitra tuturnya saat sedang malakukan tindak tutur. Hal ini lebih mengarah kepada sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat sedang bertindak tutur. Jadi, penutur tidak boleh mengharuskan mitra tuturnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
untuk melakukan suatu tindakan tanpa adanya pilihan. Jika hal itu terjadi, maka tuturan tersebut akan menjadi tidak santun. Hal tersebut bisa dilihat dari tuturan (9), dimana tuturan tersebut mengharuskan mitra tuturnya untuk gowes. Seolah penutur ingin mengatakan bahwa yang tidak gowes (bersepeda) tidak boleh mengikuti acara yang akan diadakan tersebut. Sama halnya dengan ketiga aspek lainnya, penutur harus benarbenar mengerti bagaimana cara menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya supaya proses tindak tutur yang terjadi bisa berjalan dengan baik dan santun. Seseorang yang memiliki suatu otoritas tidak boleh secara semena-mena terhadap seseorang, karena setiap orang tentu memiliki kepekaan
masing-masing
dalam
menanggapi
sesuatu.
Munculnya
beberapa bentuk tuturan yang kurang santun seperti di atas tentu besar kemungkinan berakibat fatal pada tindak komunikasi dan bukan tidak mungkin tuturan yang tidak santun dapat mengganggu bahkan merusak hubungan antara penutur dengan mitra tuturnya. Hal seperti itu tentu tidak diharapkan sama sekali terjadi. Supaya hal tersebut tidak terjadi, maka selanjutnya yang harus dilakukan ialah mengetahui seefektif apakah bahasa slang tersebut jika digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari. Gunarwan (1994:87) menuliskan makin tembus pandang atau transparan, atau makin jelas maksud sebuah ujaran, makin langsunglah ujaran itu dan demikian pula sebaliknya. Pendapat itu ingin menjelaskan bahwa dalam melakukan tuturan kita seharusnya bisa mengontrol tuturan yang terucap. Penutur tidak boleh secara transparan atau terang-terangan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
menyatakan maksud dari tuturan yang diucapkan, karena semakin langsung maksud dari tuturan tersebut terucap, tentunya ujaran itu menjadi semakin tidak santun; sebaliknya semakin tidak langsung ujaran itu akan dianggap semakin santun. Secara sederhana beberapa hal di atas dapat dituliskan menjadi, tuturan yang transparan berbanding terbalik dengan tingkat kesantunan suatu tuturan. Setelah menganalisis tingkat kesantunan tuturan bahasa slang yang ada dalam komunitas sepeda Yogyakarta, kemudian peneliti membahas tentang kefektifan tuturan yang digunakan oleh komunitas sepeda tersebut. Dari hasil analisis data, sebagian besar tuturan bahasa slang yang muncul dalam komunitas sepeda Yogyakarta masih efektif untuk digunakan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keenam kriteria yang dicantumkan dalam tabel 1. kriteria kefektivitasan tuturan. Walau masih banyak tuturan yang tergolong tidak santun dalam tuturan bahasa slang, hal tersebut ternyata tidak mengurangi kefektifan penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan. Hal tersebut terbukti karena walaupun kata yang digunakan tidak santun, tetapi apabila mitra tutur mengerti akan konteks tuturan yang ada, maka tuturan tersebut dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Setiap orang tentu mendambakan suatu tuturan yang menarik untuk diungkapkan. Begitu pula dengan bahasa slang yang muncul dalam komunitas sepeda tersebut, karena mereka ingin supaya tuturan yang terjadi antara satu dengan yang lainnya menjadi mudah dimengerti dan bahkan efektif untuk digunakan. Ragam bahasa slang tidak semata-mata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
dibuat untuk suatu kesenangan, tetapi dibuat untuk mempermudah dan mengerti suatu tindak tutur yang terjadi antara penutur dan mitra tutur. Bahkan, kalau hal itu bisa dipakai untuk mengutarakan sesuatu yang penting dan tidak diketahui oleh banyak orang, bahasa slang dianggap sebagai bahasa yang efektif untuk digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam komunitas sepeda ini. Seperti dijelaskan Keraf (1981:108), bahasa slang merupakan bahasa nonstandar yang informal, disusun secara khas. Penjelasan singkat tersebut dirasa sudah mewakili definisi bahasa slang secara keseluruhan, dan bisa menjawab alasan mengapa sebuah komunitas atau kelompok (beberapa) memilih untuk menggunakan bahasa slang sebagai bahasa percakapan. Tentu komunitas atau kelompok yang dimaksud bukanlah komunitas yang formal. Bahasa slang sebagai bahasa komunitas atau ciptaan dari suatu kelompok tertentu lebih menimbulkan efek-efek yang positif dalam sebuah pergaulan sehingga bahasa (slang) tersebut masih tetap dipertahankan dalam komunitas tersebut untuk digunakan sebagai bahasa percakapan. Mereka (komunitas/kelompok) tidak lagi memikirkan bahwa bahasa tersebut sebenarnya kurang baik didengar oleh orang lain, karena mereka sudah merasa nyaman dengan bahasa yang mereka gunakan. Uraian di atas apabila dirangkum dapat dikatakan bahwa tidak semua tuturan yang tidak santun berarti tidak boleh untuk digunakan lagi dalam suatu tuturan. Mengapa demikian? Hal tersebut terjadi karena walaupun tuturan tidak santun untuk digunakan, tetapi jika dilihat kembali dari segi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
keefektifannya, tuturan tersebut masih dapat digunakan. Hanya saja baik penutur maupun mitra tutur harus mengerti kapan, dimana, dan dengan siapa ia bertutur kata. Pemakaian bahasa slang tentunya menimbulkan banyak persoalan jika tidak dikaji secara lebih mendalam. Hal itu bisa disebabkan karena bahasa slang merupakan bahasa yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu saja. Lebih dari itu, bahasa slang juga biasanya terjadi supaya maksud yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitra tuturnya tidak bertele-tele.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Di atas telah diuraikan mengenai tingkat kesantunan dan seefektif apakah bahasa slang yang digunakan di kalangan komunitas sepeda Yogyakarta sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Dari beberapa uraian tersebut, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. 1. Ada lima hal yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana tingkat kesantunan suatu tuturan yang terucap. Kelima hal itu ialah skala untung-rugi, skala pilihan (opsional), skala ketaklangsungan, skala otoritas (kekuasaan), dan skala jarak sosial. Jadi, apabila tuturan yang digunakan ingin terdengar santun, maka seorang penutur harus memperhatikan kelima hal tersebut sebelum bertutur kata dengan mitra tuturnya, kapan, kepada siapa berbicara, apa jabatan kita, dan dimana pun berada. 2. Dalam beberapa tuturan yang tidak santun, ternyata hal tersebut belum tentu mempengaruhi keefektifan suatu bahasa untuk digunakan. Hal itu dibuktikan melalui keenam kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur keefektifan suatu tuturan. Secara berturut-turut keenam hal tersebut adalah penutur dan mitra tutur mengerti konteks tuturan, penggunaan kata yang tepat, bentuk yang sesuai, jujur, sopan santun, dan menarik. Melalui keenam kriteria tersebut, tuturan yang tidak 97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
santun belum tentu tidak efektif untuk digunakan, karena apabila masih memenuhi sebagian besar kriteria yang ada maka tuturan tersebut sebenarnya efektif untuk digunakan sebagai bahasa percakapan namun bisa saja bahasa tersebut tidak santun untuk digunakan. 3. Sebagian besar orang menganggap bahwa bahasa slang sebagai ragam bahasa merupakan bahasa yang kacau dan sulit dimengerti. Bahasa yang bisa merusak suasana tuturan yang sedang terjadi bahkan ada yang menganggap bahasa tersebut tidak seharusnya hadir dalam masyarakat bahasa yang ada saat ini karena bisa merusak citra bahasa nasional. Dari berbagai anggapan dan tanggapan sebagian besar orang tersebut, kemudian penelitian ini menyimpulkan bahwa pandangan banyak orang terhadap bahasa slang tersebut salah. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa bahasa slang yang ternyata masih santun untuk digunakan dalam bahasa percakapan. Lebih dari itu, beberapa bahasa slang yang tidak santun pun bahkan masih efektif untuk digunakan sebagai bahasa percakapan dilihat dari beberapa kriteria yang telah ditentukan.
B. SARAN Berdasarkan hasil temuan yang diuraikan dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang sekiranya perlu diperhatikan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
1. Bagi penelitian lanjutan, penelitian ini hanya membahas dua hal yakni tentang tingkat kesantunan dan efektivitas tuturan bahasa slang dalam komunitas sepeda di Yogyakarta. Apabila dilihat dari sisi ilmu pragmatik, sebenarnya masih ada begitu banyak aspek atau bidang yang belum dibahas, khususnya dalam mengkaji bahasa slang. Oleh karena itu, bagi pihak yang berminat untuk mengadakan penelitian tentang bahasa, khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia untuk melakukan penelitian sejenis. Bahasan atau bidang pragmatik yang dibahas tentunya lain dari penelitian yang sudah dibahas dalam penelitian ini, misalnya: mengenai tindak ilokusi dan perlokusi, deiksis, dan lain-lain. 2. Bagi masyarakat pemakai bahasa, kesantunan tuturan suatu bahasa perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan baik penutur maupun mitra tutur pasti menginginkan untuk dihargai satu sama lainnya. Hal paling sederhana untuk bisa saling menghargai ialah melalui tuturan yang terjadi setiap hari di tengah masyarakat. 3. Bagi peneliti, penelitian tentang tingkat kesantunan suatu bahasa lebih dikembangkan mengingat pentingnya kesantunan suatu tuturan dalam proses komunikasi, khususnya bahasa masyarakat.
yang digunakan dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Alwasillah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Emeritus. 1955. Biografia e Modello Speaking. Article. Indiana University. Finoza, Lamuddin. 1993. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia. Http://Kamusslang.Com/. Jamal. Artikel tentang “Kesantunan dalam Perspektif: Sosiopragmatik Pengguna Bahasa di BDK Surabaya.
Suatu
Telaah
Keraf, Gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. Moleong, Lexy J. 2007. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nurastuti, Wiji.2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media. Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat Ditinjau dari Aspek Pragmatik. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. Rahardi, Kunjana. 2005. PRAGMATIK Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. _______. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga. Samsuri. 1980. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sarwoyo, Ventianus. 2009. Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di Dalam Surat Kabar (Suatu Tinjauan Pragmatik). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sugono, Dendy. 2008. KBBI Dalam Jaringan http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/. Jakarta: Pusat Bahasa.
(Daring).
Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi. Wiryotinoyo, Mujiyono. 2006. Analisis Pragmatik dalam Penelitian Pengguna Bahasa. Jurnal Bahasa dan Seni. Tahun 34, Nomor 2. Malang: Universitas Negeri Malang. Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
DATA TUTURAN VERBAL KOMUNITAS SEPEDA
Keterangan : DT : Data Tuturan
J-S : Skala Jarak Sosial
U-R : Skala Untung Rugi
S-Op : Skala Opsional
S-TL : Skala Ketaklangsungan
S-Ot : Skala Otoritas
E : Efektif
TE : Tidak Efektif
SS : Sangat Santun
S : Santun
TS : Tidak Santun
No 1
Data P1 : “Lha, suwe ra ketok nandi wae bro?” P2 : “Sori bro aku sik sibuk ki”.
2
Konteks Tuturan tersebut diucapkan oleh
dekat (sapaan akrab). Tuturan tersebut diucapkan saat salah satu teman dari komunitas sepeda tinggi
b. Keefektivitasan : E
baru saja muncul setelah lama tidak
c. Tingkat kesantunan : S
kelihatan.
P1 : “Malem minggu rep do
Tuturan tersebut diucapkan kepada
P2 : “Halah, yo mung koyo
DT.01
seorang teman yang sudah mengenal
a. Skala kesantunan : J-S
mancal nandi ki cah?”
Kode
DT.02
sesama teman sepeda dalam komunitas sepeda tinggi. Di saat
biasane wae, kumpul
percakapan mengenai kapan dan
ning KM 0”.
dimana akan bersepeda kembali.
P1 : “Oke”. a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 3
P1 : “Wah, lek rute ngepit’e adoh ngene ki iso do
Tuturan tersebut diucapkan dalam situasi canda tawa.
DT.03
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
modar kabeh”. P2 : “Modar yo mung gari dipendem to”. a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 4
P1 : “Saiki cah pit ki akeh kimcil’e yo?”
Tuturan tersebut diucapkan ketika
DT.04
ada seorang gadis cantik lewat di
P2 : “Iyo ki”.
depan rombongan komunitas sepeda
P1 : “Lek ngene ki terus aku
tinggi.
yo dadi semangat lek ngepit”. P2 : “Lambemu!” a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan :E c. Tingkat kesantunan : S 5
P1 : “Abot dab, digenjot ra anteng wae!” P2 : “Yo ngko lek kesel gantian”.
6
Tuturan tersebut diucapkan oleh salah seorang saat sedang mengayuh sepeda tinggi tandem (sepeda dengan menggunakan dua pengemudi).
a. Skala kesantunan : S-Op
Tuturan tersebut terucap setelah
b. Keefektivitasan : E
mereka mengayuh sepeda dengan
c. Tingkat kesantunan : TS
jarak yang lumayan jauh.
P1 : “Eh, Sinta tu kenapa sih
Tuturan tersebut diucapkan oleh
kok sekarang jarang
mitra tutur (P2) dengan maksud
ikutan kumpul?
mengejek penutur (P1).
P2 : “Jadi orang gak usah kepo banget ya?” P1 : “Masalah buat lo?” P2 : “Huuu…”
DT.05
DT.06
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 7
P1: “Gini ya rasanya hidup di
Tuturan tersebut diucapkan oleh
kota, ketemu macet,
penutur (P2) dengan maksud
banyak polusi. Coba
mengejek mitra tutur (P2), tetapi
semua pake sepeda pasti
situasi dan suasana percakapannya
gak separah ini”.
ialah santai.
DT.07
P2 : “Jadi orang tu jangan kamseupay dech!” P1 : “Apa hubungannya dengan macet ma polusi coba?” P2 : “Ya ada lah, karena lu biasa hidup di kampung”. a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 8
P1 : “Wong lek motoran waton ngono kui”.
Tuturan tersebut diucapkan saat sedang membicarakan seorang yang
P2 : “Kui mesti ankamsi bro”.
lewat dengan menggunakan sepeda
P1 : “Ho’o kui, ra ngerti toto
motor. Sepeda motor tersebut
kromo”.
DT.08
melintas di depan rombongan
a. Skala kesantunan : J-S
komunitas sepeda BMX yang sedang
b. Keefektivitasan : TE
ngobrol di pinggir jalan.
c. Tingkat kesantunan : TS 9
P1 : “Ali jare meh melu?”
Tuturan tersebut diucapkan oleh
(sedang berbicara dengan
seorang dari komunitas sepeda BMX
teman di sebelahnya dan
dan kebetulan pada saat itu ada
di dekat mereka ada
seorang gadis cantik yang lewat di
DT.09
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seorang gadis cantik yang
105
depan mereka.
melintas) P2 : iyo ki, jare meh melu, kok ra njedul-njedul yo? (menandakan bahwa lawan bicaranya mengiyakan) a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 10
“Oke. Yang barusan datang,
Tuturan tersebut diucapkan oleh
langsung saja merapat ke sisi
seorang pembawa acara dalam acara
barat jalan, supaya tidak
JLFR (Jogja Last Friday Ride).
mengganggu pengguna jalan
Tuturan tersebut ditujukan untuk
yang lain”.
beberapa orang yang baru saja tiba di
a. Skala kesantunan : S-TL
lokasi acara untuk memarkirkan
b. Keefektivitasan : E
sepedanya di bahu jalan supaya tidak
c. Tingkat kesantunan : TS
mengganggu pengguna jalan yang
DT.10
lain. 11
“Malam minggu kita akan
Tuturan tersebut diucapkan oleh
mengadakan gowes ceria ke
seorang pembawa acara saat
pantai parang tritis ya!”
mengumumkan acara pada malam
a. Skala kesantunan : S-Op
minggu.
DT.11
b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 12
P1 : “Kodok nandi ki?”
Tuturan tersebut diucapkan oleh
P2 : “Jare sik OTW seko
seorang teman yang menanyakan
omah”. P1 : “Sukurlah lek ngono”. a. Skala kesantunan : U-R
teman lain karena belum muncul saat acara akan dimulai.
DT.12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 13
P1 : “Gejes gak bisa dateng katanya!” P2 : “Secara kakinya lagi sakit”.
Tuturan tersebut diucapkan oleh
DT.13
seseorang kepada teman lain saat sedang memberi informasi tentang keberadaan Gejes.
P1 : “Wah, gak seru nih”. a. Skala kesantunan : S-Op b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 14
P1 : “Orang kok bisanya cumi mulu”. P2 : “Lagi gak punya pulsa kali”.
Tuturan tersebut diucapkan saat
DT.14
sedang membicarakan orang lain karena menelepon tetapi saat diangkat langsung dimatikan.
P1 : “Gak punya pulsa kok cumi?” P2 : …? a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 15
“Baiklah, sekarang kita akan
Tuturan tersebut diucapkan oleh
mengadakan perlombaan
seorang pembawa acara saat sedang
balap sepeda jenis apapun.
mengumumkan hadiah dari
Dan pemenangnya nanti akan
perlombaan yang akan dilaksanakan.
mendapatkan kaos unyu-unyu dari panitia JLFR (Jogja Last Friday Ride)”. a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS
DT.15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
“Silakan bagi anda yang
Tuturan tersebut diucapkan oleh
sedang jomblo boleh bribik-
pembawa acara dalam acara JLFR
bribik sedikit. Selagi masih
dan dalam situasi yang tidak resmi.
107
DT.16
ada waktu”. a. Skala kesantunan : S-Op b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 17
“Acara malam hari ini akan
Tuturan tersebut diucapkan oleh
kita buat gayeng”.
pembawa acara dalam pembukaan
a. Skala kesantunan : S-TL
acara ulang tahun JLFR ke-36.
DT.17
b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 18
P1 : “Aku ndhisikan yo cah!”
Tuturan tersebut diucapkan saat ada
P2 : “Jam sakmene wes
seorang teman dari komunitas sepeda
pamitan cah!wah, ra
MTB berpamitan kepada teman-
mbois tenan og”.
temannya.
DT.18
P1: “Ra mbois rupamu kui”. a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 19
P1 : “Ra ngrusui sikek to ndes!” P2 : “Siap bos!” (dengan nada
Tuturan tersebut diucapkan saat
DT.19
sedang dalam situasi semi formal (rapat komunitas sepeda tinggi).
bercanda) a. Skala kesantunan : S-Ot b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 20
P1 : “Cah, aku pamit sikek
Tuturan tersebut diucapkan untuk
yo, ono acara ning
seorang teman yang sedang
omah”.
berpamitan kepada komunitasnya
DT.20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
P2 : “O, iyo dab, titi dj yo”.
108
karena ada acara lain.
P1 : “Yoi”. a. Skala kesantunan : S-Op b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 21
P1 : “Wah, kuesel banget yo ternyata!” P2 : “Halah, lebay Cos, mung
Tuturan tersebut diucapkan oleh
DT.21
salah satu pengendara sepeda tinggi tandem saat salah satu temannya
koyo ngono wae wes
sudah mulai kelelahan karena rute
sambat kesel”.
perjalanan yang jauh.
P1 : “Nyatane yo gawe kesel to?” P2 : “Iyo sih jane”. a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 22
P1: “Koe seko endi e, kok sui men?” P2 : “Seko Bantul dab!”
Tuturan tersebut ditujukan menjawab
DT.22
sekaligus menyapa teman yang menanyakan sesuatu kepadanya.
a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : S 23
P1 : “Kuesel’e pool, sopo to jane sing milih rute?”
Tuturan tersebut diucapkan oleh
DT.23
seorang teman dalam komunitas
P2 : “Emboh ki, jare Theo”.
sepeda fixie yang saat itu terlihat
a. Skala kesantunan : S-Op
sangat kelelahan karena rute
b. Keefektivitasan : E
perjalanan yang sangat panjang/jauh.
c. Tingkat kesantunan : TS 24
P1 : “Aku punya tebaktebakan nih”.
Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang teman dalam komunitas
DT.24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
P2 : “Apaan?”
sepeda fixie saat ada seseorang yang
P1 : “Kenapa Superman kalo
sedang membuat lelucon tetapi tidak
pake celana dalam di
109
lucu.
luar?” P2 : “Bercandanya garing ah”. P1 : “Gak lucu ya?” a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 25
26
P1: “Salam Tonjo buat kalian
Tuturan tersebut diucapkan oleh
semua. Buat penampilan
seorang pembawa acara yang saat
MALMIME-JA, ERWE,
berterimakasih atas penampilan dari
dan semua kawan-kawan
beberapa grup band yang telah
yang terlibat. Wangun
mempersembahkan beberapa lagu
tenan!”
kepada semua yang hadir dan juga
a. Skala kesantunan : S-Ot
ucapan terimakasih kepada semua
b. Keefektivitasan : E
teman yang terlibat dalam acara
c. Tingkat kesantunan : S
JLFR.
“Baiklah teman-teman.
Tuturan tersebut diucapkan oleh
Supaya acaranya tidak begitu
ketua sepeda tinggi dalam rapat
rempong, kita buat sederhana
intern komunitas.
DT.25
DT.26
saja”. a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 27
P1 : “Dadi uwong ki mbok biasa wae, ra usah alay!”
Tuturan tersebut diucapkan pada situasi yang bebas dan santai.
P2 : “Lha emang ngopo to?”
Tuturan tersebut terucap karena mitra
a. Skala kesantunan : J-S
tutur bertingkah aneh di depan
DT.27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
b. Keefektivitasan : E
110
teman-temannya.
c. Tingkat kesantunan : TS 28
“Ben rak sepaneng, yang di
Tuturan tersebut diucapkan oleh
barat digoyang. Mari…!!”
pembawa acara JLFR saat para
a. Skala kesantunan : U-R
peserta terlihat bosan dengan acara
b. Keefektivitasan : E
yang ada.
DT.28
c. Tingkat kesantunan : TS 29
P1: “Kamu kok keliatan murung sih, miapah?” P2: “Miapah, miapah gundulmu kui”.
Tuturan tersebut diucapkan oleh
DT.29
salah satu anggota sepeda fixie kepada anggota lain karena lawan tuturnya terlihat tidak bersemangat
a. Skala kesantunan : U-R
saat berkumpul bersama teman-
b. Keefektivitasan : TE
teman lain.
c. Tingkat kesantunan : TS 30
P1: “Jumakir ki awak’e
Tuturan tersebut diucapkan di saat
malah koyo maho yo
orang yang bersangkutan tidak
Tir?”
mengetahuinya. Tujuannya untuk
P2: “Iyo ki, lek nggo klambi
DT.30
mengejek subyek pembicaraannya.
mesti sing ketat-ketat ngono kui, nggilani”. a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 31
P1: “Halo bos, sui ra ketok nandi wae?” P2: “Sori, pitku lagi rewel ki, makane ra tau metu”. a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : SS
Tuturan tersebut biasanya diucapkan untuk menyapa teman lain yang mungkin tidak begitu akrab.
DT.31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
P1: “Krungu-krungu
Tuturan tersebut diucapkan oleh
cewekmu sik berondong
penutur saat mengetahui bahwa pacar
yo Lang? lha kok mulyo
Gilang ternyata lebih muda darinya.
111
DT.32
uripmu”. P2: “Yo biasalah”. a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 33
P1 : “Bar iki nonton yuk! Aku ndue film apik”.
Tuturan tersebut diucapkan pada saat
DT.33
situasi ramai atau di tempat umum.
P2: “Ono sepep anyar to?” a. Skala kesantunan U-R b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 34
P1: “Selangkanganku gatel banget yo?”
Tuturan tersebut diucapkan saat
DT.34
dalam situasi santai dan bercanda.
P2: “Mesti ra tau ganti cangcut koe”. a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 35
P1: “Dab, ayo melu balapan!”
Tuturan tersebut diucapkan untuk
P2: “Wegah, ra wani aku lek
merendahkan lawan tuturnya ketika
banter-banteran”. P1: “Wuuuu….! cemen tenan”. a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS
ditawari untuk mengikuti kegiatan lomba balap sepeda tinggi.
DT.35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
P1:
“Njuk, rapat’e dadi curcol!” P1: (“Trus, rapatnya jadi curcol!”) P2: “Lha njuk kon kepiye?” P2: (“Lha terus suruh gimana?”) a. Skala kesantunan : S-Ot b. Keefektivitasan TE c. Tingkat kesantunan : TS
Tuturan tersebut diucapkan oleh
112
DT.36
salah satu anggota sepeda tinggi kepada teman di sebelahnya (dengan suara perlahan) ketika ketua bercerita sedikit tentang pengalamannya selama mengikuti kegiatan bersepeda sampai dia akhirnya bisa mendapatkan pacar karena rajin mengikuti acara sepeda
37
P1: “Dirimu tuh masih jomblo to Feb?”
Tuturan tersebut diucapkan ketika
DT.37
ada salah satu teman cowok dari
P2: “Kasih tau enggak ya?”
komunitas sepeda BMX yang sedang
a. Skala kesantunan : S-TL
merayu salah satu cewek dari
b. Keefektivitasan : E
komunitas sepeda BMX tersebut.
c. Tingkat kesantunan : TS 38
P1: “Koe kok kecu kecu banget’e ndes!”
Penutur mengejek mitra tuturnya
DT.38
dengan nada bercanda.
P2 : “Ra ngece bro, kualat lho”. a. Skala kesantunan : J-S b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan TS 39
P1: “Ada yang baru jadian lho!” P2: “Wah, berarti peje-peje nih!”
Tuturan tersebut diucapkan karena
DT.39
ada salah satu teman dari komunitas sepeda lipat baru saja mempunyai pacar.
a. Skala kesantunan : S-Op b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 40
P1: “Oke semuanya sudah
Seorang juri yang memberikan aba-
DT.40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
siap?
aba kepada para peserta dalam
Rede!
perlombaan balap sepeda dalam
Pada hitungan ketiga,
acara JLFR.
113
satu… dua… tiga… yo…!” a. Skala kesantunan : S-Op b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 41
P1 : “Eh, kamu sekarang semester berapa sih?” P2 : “O iya, aku lupa gak bawa pompa sepeda nih.
Seorang teman (penutur P1) bertanya
DT.41
kepada teman lain (mitra tutur P2), tetapi penutur tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.
Ban sepedaku bocor halus”. P1 : “Krik… krik… krik…” (sunyi) a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 42
P1 : “Eh, ada yang bawa motor enggak nih?”
Penutur bertanya kepada mitra tutur, kemudian ingin minta tolong untuk
P2 : “Emang kenapa bro?”
mengantarkan pulang karena sepeda
P1 : “Sepedaku rantainya
yang dipakai tiba-tiba rusak.
putus. Kalo ada yang bawa ntar aku anterin pulang dong”. P2 : “Wah, itu sih DL (Derita Loe)?” P1 : “Tega lu ya!” (dengan wajah murung)
DT.42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 43
P1 : “Baiklah teman-teman,
Seorang pembawa acara (penutur)
besok acara tidak seperti
sedang mengumumkan acara esok
biasanya. Siang kita akan
hari. Kemudian peserta (mitra tutur)
mulai bergerak dari Jl.
menjawab tuturan penutur dengan
Mangkubumi.
nada sedikit kecewa.
DT.43
P2 : “Wah, gak bisa boci dong?” (dengan suara keras) P1 : “Ntar yang mau boci, di jalan aja ya!” P2 : “Huuuuu…..” a. Skala kesantunan : S-Ot b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 44
P1 : “Bagi yang belum
Seorang pembawa acara (penutur)
mengenal saya, sungguh
dalam suasana santai menghibur para
sangat amat terlalu!”
peserta JLFR dengan berpura-pura
P2 : “Huuu… jayus, jayus.
menanyakan siapa yang ingin
Gak ada yang pengen
mengetahui namanya. Tanggapan
tau”.
salah satu peserta (mitra tutur) saat
P1 : “Mumpung saya belum
DT.44
mendengar pertanyaan si penutur.
terkenal lho!” P2 : “Ha… ha… ha…” a. Skala kesantunan : S-TL b. Keefektivitasan : E c. Tingkat kesantunan : TS 45
P1 : “Sekali-kali kongkow-
Penutur mengajak mitra tutur tetapi
DT.45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kongkow di tempat lain
mitra tutur tidak mengetahui arti
yuk!”
pembicaraan si penutur.
115
P2 : “Apaan tuh?” P1 : “Nongkrong maksudnya”. P2 : “Ooo…” a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS 46
P1 : “Katanya besok pas
Penutur berusaha memberikan
acara ultah JLFR Shaggy
informasi kepada mitra tutur, tetapi
Dog mau manggung lho”.
tanggapan mitra tutur malah hanya
P2 : “Ciyus?” P1 : “Tauk ah!” (Nada ketus) a. Skala kesantunan : U-R b. Keefektivitasan : TE c. Tingkat kesantunan : TS
sekedar mempermainkan.
DT.46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Bambang Sumarwanto lahir di Kotabumi pada tanggal 07 Desember 1986. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 1 Dayamurni, Tumijajar, Tulang Bawang Udik, Lampung Utara tahun 1993-1999. Pendidikan menengah pertama ditempuh di SMP Negeri 1 Dayamurni,
Tumijajar,
Tulang
Bawang
Udik,
Lampung Utara pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002-2005 melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Xaverius Palembang. Empat tahun seusai menempuh jenjang SMA, tercatat sebagai Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, angkatan 2009. Masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Tingkat Kesantunan dan Keefektifan Tuturan Bahasa Slang Sebagai Bahasa Percakapan dalam Komunitas Pesepeda di Yogyakarta (Suatu Tinjauan Pragmatik). Skripsi ini disusun sebagai syarat yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar sarjana.