PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KONSTRUKSI IDENTITAS PEREMPUAN PENARI GANDRUNG
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M,Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh Yovita Triwiludjeng 096322012
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tesis Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung
Oleh Yovita Triwiludjeng 096322012 Telah disetujui oleh
Dr.Katrin Bandel --------------------------Pembimbing 1
-------------------------------Tanggal 6 November 2014
Dr.G.Budi Subanar, SJ ----------------------------Pembimbing 2
-----------------------------Tanggal 6 November 2014
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tesis Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung
Oleh Yovita Triwiludjeng 096322012
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguji
Ketua
: Dr. G. Budi Subanar, S.J ................................
Sekretaris / Moderator: Dr. Baskara T. Wardaya, S.J ........................... Anggota
: 1. Dr. Katrin Bandel .......................................... 2. Dr. St. Sunardi …....................................
Yogyakarta, 6 November 2014 Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. A. Supraktiknya
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya, mahasiswi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Yovita Triwiludjeng (NIM 096322012), menyatakan bahwa tesis dengan judul: Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung, ini merupakan hasil karya penelitian saya sendiri. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman / pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai aturan yang berlaku, sebagai mana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 6 November 2014 Yang Membuat Pernyataan
Yovita Triwiludjeng
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswi Universitas Sanata Dharma Nama :Yovita Triwiludjeng Nim
:096322021
Demi pengembangan Ilmu Pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul : Konstruksi Identitas Perempuan Penari Gandrung Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada) Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lai untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya atau memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
:Yogyakarta
PadaTanggal : 6 November 2014 Yang membuat pernyataan:
Yovita Triwiludjeng
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Gusti Allah yang setia menemani peziarahan saya khususnya selama menimba ilmu di IRB. Sempat terpikir, saya tidak akan bisa menyelesaikan program ini karena keterbatasan dari dalam diri dan dari luar. Ternyata saya bisa. Ini semua berkat; Mbak Katrin Bandel dan Romo Budi Subanar, beliau berdua Guru dan pembimbing paling sabar yang pernah saya punyai. Pak St.Sunardi, Rm.Baskara, Rm.Haryatmoko, Pak George dan PakBudiawan, terimakasih untuk semua ilmu pengetahuan, pengalaman dan semangat yang diberikan. Terimakasih buat Vita dan Eli yang memberi tumpangan selama saya di Yogya. Lucia, yang setia menemani dan menjadi editor paling setia. Leo yang meminjamkan Laptop saat Laptop saya rusak, Herlina, Fairuz, Iwan, Abed, Anes, Mei, Probo, Rhino dan Agus teman seperjalanan. Kalimat dari kalian,“Ayo mbak pasti bisa”, mampu menjaga api dalam diri saya untuk menyelesaikan tulisan yang masih jauh dari sempurna ini. Beribu terimakasih teman-teman Mbak Dessy, yang setia mengingatkan urusan administrasi, MasMul, yang membuat ruang belajar kita menjadi selalu nyaman. Teman-teman komunitas FCJ Baciro yang dengan sangat terbuka menerima saya untuk tinggal bersama selama satus etengah tahun. Teman-teman Komunitas Bandung; Sr, Nance, RSCJ, Sr.Geradette, RSCJ, atas dukungan moral dan finansial, para novis yang rajin mendoakansaya agar saya cepat lulus. Komunitas Lenteng; Sr,Nancy Murphy, RSCJ, para postulant, Sr.Lusni, RSCJ dan Sr.Natalia Dorego, RSCJ. Kalau saya pergi keYogya kalian ketitipan adik-adik
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
aspiran. Sr.Inoue Chizoue, RSCJ, tak terbilang kemurahan hati yang suster berikan untuk mendukung proses belajar. Komunitas Kebon Nanas, komunitas yang sering saya tinggalkan karena urusan tesis ini, Sr.Hortencia, RSCJ dan adikadik aspiran, terimaksih untuk pengertian kalian selama ini. Dan orang-orang yang kusayang: Ibu, mbak Endah,Mas Edhi,Tutur, Wiwid dan para keponakanku yang selalu menjadi alasan ku untuk pulang dan menyukuri segala yang ada pada diriku sekarangini. Semoga tesis yang jauh dari sempurna ini berguna bagi siapa saja yang membutuhkannya.
and Journey continoue
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Ingat gandrung, ingat Banyuwangi. Inilah yang diinginkan oleh Pemerintah kota Banyuwangi ketika menjadikan gandrung sebagai ikon kota tersebut di tahun 2002. Sepanjang sejarahnya, sebagai sebuah tarian, gandrung mengalami perubahan tidak hanya dari segi penari (yang awalnyaditarikan oleh laki-laki lalu diganti perempuan), gerakan, namun juga soal wacananya.Gandrung yang awal mulanya ditarikan sebagai bagian dari ritual kemudian dikriminalisasikan seiring dengan pengasosiannya dengan PKI pasca 1965. Saat itu, menari gandrung seakan-akan sama dengan berbuat maksiat. Penelitian ini digagas untuk melihat secara lebih rinci dan mendalam bagaimana penari gandrung memaknai kegandrungan mereka dalam kehidupan sehari-hari, berikut bagaimana cara mereka bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang bermain di sekeliling mereka. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang gandrung yang sudah cukup senior: Temu, Darti, dan Mudaiyah. Selain narasumber utama tersebut, penelitian ini juga melibatkan beberapa narasumber sekunder yang terdiri dari 3 orang gandrung yang masih yunior: Mia, Viroh, dan Reni. Ketiganya merupakan anak asuh Temu. Informan lain yang juga diwawancarai terdiri dari penikmat gandrung, Dari hasil analisa deskriptif yang dilakukan terlihat bahwa seiring rekonstruksi baru Kabupaten Banyuwangi perempuan penari gandrung juga mengalami rekonstruksi, pencitraan perempuan maksiat tergeser menjadi perempuan tradisi. Di satu sisi hal yang menguntungkan, tetapi di sisi lain terlihat kerentanan perempuan penari gandrung ini sebagai subjek yang tidak punya posisi tawar. Identitas mereka dibuat oleh pemerintah sesuai kebutuhan.
Kata kunci: identitas, konstruksi.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Remember Gandrung, Remember Banyuwangi. This jargon was declared by Banyuwangi local authority while constructing Gandrung as an icon of the city at 2002. During its history, Gandrung has changed. The transformation was happen, not only from the subjects/dancer, who was male then replaced by female, but its parts of gestures and the discourses. Gandrung was related with a kind of ritual. Then, it was criminalized after it was related with PKI (Indonesia Communist Party) after 1965. In that time, doing Gandrung dance is was like an immoral. This research was taken to look up deeper and detail how the Gandrung dancers are making meaning with the gandrung in their daily lives, included how they negotiates with powers which played around them. Informants of this research are three Junior Gandrung dancers. They are Mia, Viroh, and Reni. Three of them are the pupils of Temu. The other informants are the peoples who are enjoying Gandrung. Three description analysis shows that new reconstruction of Banyuwangi Regency, the Gandrung dancer also reconstructed. The image of immoral women was replaced by the image of traditional women. This new construction was benefited but in the other hand, there is a weakness point that those dancer have no bargaining power. Their identity has been constructed for authority needs.
Keywords :Identity, Construction
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG TESIS................................................ iii PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .............................................................. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ............................. v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... viii ABSTRACT..................................................................................................... ix DAFTAR ISI.................................................................................................... x BAB1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1 B. TEMA PENELITIAN ....................................................................... 5 C. RUMUSAN MASALAH.................................................................. 5 D. TUJUAN PENELITIAN .................................................................. 5 E. MANFAAT PENELITIAN............................................................... 5 F. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6 G. KERANGKA TEORITIS ................................................................. 8 H. METODE PENELITIAN ................................................................. 10 1. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian………………… ........... 11 2. TeknikPegumpulan Data............................................................... 11 3.Teknik Pengolahan Data ................................................................ 11 I. SKEMA PENULISAN....................................................................... 12 BAB II SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI ..................................... 13 A. PENDAHULUAN ............................................................................ 13
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. AWAL MULA GANDRUNG.......................................................... 13 C. GANDRUNG SEMI; GANDRUNG PEREMPUAN PERTAMA DI BANYUWANGI.......................................................... 16 D. PENGARUH PEMBUKAAN PERKEBUNAN TERHADAP PERKEMBANGAN GANDRUNG................................ 19 F. GANDRUNG SEBAGAI KOMODITAS PARIWISATA ............... 21 G. PEREMPUAN GANDRUNG DIMASA SEKARANG................... 23 H. KESIMPULAN................................................................................. 25 BAB III GANDRUNG; REALITAS DAN KEBERAGAMAN ..................... 27 A.PENDAHULUAN ............................................................................. 27 B.SEKILAS GAMBARAN BUMI BLAMBANGAN.......................... 27 1. Keragaman di Bumi Blambangan ................................................. 29 2. Orang Using di Kemiren ............................................................... 32 C.PROFIL GANDRUNG DI KEMIREN ............................................. 38 1. Gandrung Darti.............................................................................. 38 2. Gandrung Temu ............................................................................ 41 3. Gandrung Mudaiyah...................................................................... 45 D.WACANA SEPUTAR GANDRUNG............................................... 49 1. Pendidikan..................................................................................... 49 2. Praktik Olah Tubuh Penari Gandrung........................................... 54 3.Pertunjukan Gandrung Terop......................................................... 57 4.Gandrung Sang Idola...................................................................... 64 E.MENGGANDRUNG DEMI UANG DAN TRADISI....................... 65 F.PEREMPUAN PENARI GANDRUNG DI MATA MASYARAKAT ................................................................................... 67 G.KESIMPULAN.................................................................................. 70
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV KONSTRUKSI IDENTITAS GANDRUNG ................................... 72 A.PENDAHULUAN ............................................................................. 72 B.SEBAGAI MASKOT PARIWISATA BANYUWANGI.................. 72 C.LAMBANG KEMAKSIATAN ......................................................... 76 D.GANDRUNG BANYUWANGI SAAT INI ..................................... 79 F.USAHA MENENTANG IMAJI NEGATIF ...................................... 79 1. Gerak Tari Tangar ......................................................................... 79 2. Kluncing........................................................................................ 80 3. Pembuktian Tidak Adanya Pelanggaran Moral ............................ 81 4.Penyuluhan..................................................................................... 84 5.Pendampingan ................................................................................ 84 G. KESIMPULAN................................................................................. 86 BAB V PENUTUP........................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-lah yang memunculkan ketertarikan saya terhadap seni tradisi khususnya tari. Saya membaca novel ini ketika masih duduk di bangku SMP. Dari umur belasan tahun sampai sekarang masuk kepala empat, saya sering terbayang-bayang dengan apa yang diceritakan di dalam novel ini. Novel ini menyentuh perasaan dan pikiran saya, terutama menyangkut tentang pergulatan tokoh Srintil sebagai seorang penari ronggeng. Novel karangan Ahmad Tohari1 ini ditulis dengan latar belakang masyarakat tradisi di Banyumas. Masyarakat di sana mempunyai tradisi tari ronggeng yang dibanggakan. Tradisi tersebut merupakan warisan dari sang leluhur, Ki Senca Menggala. Tidak sembarang orang dapat menjadi ahli waris tradisi satu ini. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi penerus. Orang terpilih itu adalah seorang gadis cilik yatim piatu, Srintil. Sebelum diberi kesempatan manggung, Srintil dilatih oleh seorang dukun ronggeng, Kertareja. Srintil dan Kertareja saling membutuhkan satu sama lain. Eksistensi Kertareja sebagai dukun ronggeng ‘terselamatkan’ karena kehadiran Srintil. Sementara, Srintil dapat mewujudkan impiannya menjadi ronggeng dengan bantuan dari Kertareja. Akan tetapi, posisi Srintil terlihat lebih rentan. Srintil
1
Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”,(Ronggeng Dukuh Paruk itu trilogi, yang terbit tahun 1983 adalah Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat emak, lalu 1985 Lintang Kemukus Dini Hari dan 1986 Jantera Bianglala)
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sepertinya tidak punya daya tawar terhadap apa-apa yang sudah ‘digariskan’ untuknya. Apa yang disyaratkan oleh Kertareja, semua diikuti. Atas nama tradisi, semua dikorbankan. Srintil kembali menjadi ‘korban’ ketika sebuah partai politik datang dan mempergunakan tubuhnya sebagai alat propaganda. Srintil yang polos hanya terus menari. Ia tidak mengerti soal politik atau propaganda. Tetapi kepolosannya itu tidak mencegahnya untuk tidak ditangkap. Srintil tetap ditangkap karena dianggap sebagai bagian dari partai politik yang telah memanfaatkan tariannnya itu. Kisah Srintil ini adalah kisah klasik yang menjadi gambaran tentang bagaimana nasib dan kisah hidup perempuan penari tradisi di bumi Nusantara ini. Sebagian gandrung di Banyuwangi juga pernah mengalami nasib yang serupa. Gandrung yang tumbuh di tengah komunitas Using ini, di masa-masa 1965 dan sesudahnya, dilarang dipertunjukkan oleh pemerintah. Sebagaimana digambarkan oleh antropolog, Bakst2 “The women who practiced and performed this dance were marked as communists and many of them were imprisoned and murdered as a result,”
Sama halnya dengan Srintil, mereka juga tidak tahu-menahu tentang pengasosiasian diri mereka dengan ideologi tertentu. Mengutip uangkapan Diyah Larasati, yang diwawancarai Bakst, menjelaskan: “It’s not about what the dance is about; I think it’s more about the political categorization that is so powerful within Indonesian political consciousness at that time, who belonged to what group.”3 Pentas gandrung memang tidak pernah sepi dari konflik kepentingan. Anoegrajekti menulis, di masa Orde Baru, gandrung sering dipakai di dalam 2
Bakst, lauren Grace.2009. “Displaces female narratives: the embodied diaspora of Indonesia dance practice, hal:5 (http://www.hollidence.com/lauren/displaces%20%20narratives.pdf,13 Juni 2013) 3 Ibid. hal: 6
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kampanye-kampanye partai politik.4 Penggunaan gandrung di pentas politik didudukkan bukan lagi sebagai ‘kesenian rakyat’, akan tetapi sebagai bagian dari kelokalan yang membentuk imaji tentang keanekaragaman budaya nasional. Tahun 2002, tepatnya tanggal 31 Desember, Bupati Banyuwangi periode 2000 – 2005, Samsul Hadi, mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya menetapkan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi.5 Penetapan itu memicu kontroversi di tengah masyarakat Banyuwangi. Pemilihan gandrung sebagai maskot dinilai sebagai bagian dari politik etnis. 6 Samsul Hadi yang kala itu menjabat merupakan putra ‘asli’ Using. Maka, pemaskotan gandrung dianggap sebagai proyek ‘Using-isasi’ Banyuwangi. Sementara itu, di sisi lain, kalangan agamawan menilai pemaskotan gandrung tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Islaman yang dianut oleh mayoritas masyarakat Banyuwangi. Gandrung disamakan dengan “ladang maksiat”.7 Tidak bisa dipungkiri bahwa seni gandrung memang dilingkari oleh stereotipe negatif. Dalam pentas gandrung memang terjadi interaksi yang cukup intens antara penari gandrung perempuan dengan penontonnya yang mayoritas laki-laki. Di dalam pertunjukan gandrung ada satu tahapan yang dinamakan paju, ketika audiens laki-laki diberi kesempatan untuk menari dengan gandrung. Lelaki yang ikut menari ini dinamakan pemaju.Sementara gandrung menari dengan gerakan yang erotis, pemaju menari dengan provokatif dengan gerakan seperti
4
Anoegrajekti, Novi. 2011.” Gandrung Banyuwangi: Kontestasi dan representasi identitas Using.” Jurnal Humaniora. Vol. 23 No. 1, hal: 27 5 Dariharto.” Kesenian Gandrung Banyuwangi.” Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 36 (tanpa keterangan tahun) 6 Anoegrajekti, Novi dan Bisri Effendy. 2007. “Penari gandrung dan gerak sosial Banyuwangi” dalam Srinthil. Kajian Perempuan Desantara: Depok, hal: 10 7 Ibid.
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hendak mencium atau menyentuh tubuh gandrung. Inilah salah satu sebab mengapa gandrung ditanggapi secara negatif. Interaksi yang intens antara penari gandrung dan penonton ini sering dibaca oleh sejumlah peneliti seni pertunjukan sebagai pelecehan dan eksploitasi terhadap perempuan. Padahal penari gandrung punya siasat, disebut tangar,8 untuk dapat mengelak dari pemaju-pemaju yang nakal. Sesungguhnya gandrung tidak memperlihatkan perempuan yang tersubordinasi sepenuhnya oleh laki-laki, tapi perempuan yang selalu memiliki strategi untuk mengelak dari laki-laki yang hendak menguasainya: “tari berpasangan sebenarnya lebih memperlihatkan suatu dialog interaktif antara penari perempuan dan penari laki-laki yang terbuka kemungkinan saling memberi dan mengontrol [.....] Sekilas dari sudut gerak dan volume tari memang mengesankan dominasi kekuasaan oleh penari laki-laki, tetapi jika ditengok lebih dalam dan detail ternyata penari perempuan juga memperlihatkan hal yang sebaliknya, ia mampu menunjukkan ‘kekuasaan’nya atas penari laki-laki [...]”9 Dari pengantar yang sudah saya ceritakan panjang lebar di atas, saya kemudian semakin tertarik untuk menguliti lebih dalam tentang berbagai pengalaman serta keseharian para penari gandrung ini, maka saya yakin akan mendapatkan banyak gambaran tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan para penari gandrung serta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sehingga pada akhirnya saya bias memberikan gambaran kepada dunia luar dan memberi padangan kepada dunia luar bahwa apa yang digambarkan selama ini oleh masyarakat luas tentang seputar kehidupan para penari ini sangatlah tidak tepat.
8
Gerakan kreatif untuk menghindar dan penolakan untuk disentuh dalam gandrung Effendy, Bisri. 012,2007. Dalam SRINTIL,Kajian Perempuan Desantara“Tari berpasangan: Negoisasi membangun keseimbangan" Depok, hal:110 9
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Tema Penelitian Dalam penelitian ini saya akan fokus pada pengalaman penari gandrung, bagaimana mereka memposisikan dirinya ditengah wacana-wacana seputar gandrung yang beredar.
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengalaman sehari-hari perempuan penari gandrung di desa Kemiren? 2. Apa posisi gandung dalam konstruksi identitas Banyuwangi, dan bagaimana wacana itu membentuk identitas dan pengalaman penari gandrung?
D. Tujuan Penelitian 1. Mengurai wacana-wacana yang berpengaruh dalam pembentukan identitas para penari gandrung; 2. Melihat cara penari gandrung menyikapi dan menegosiasikan wacanawacana yang membentuk identitas diri mereka.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang problematika gandrung karena menyorot dari dua sisi: sisi sosial dan sisi individual gandrung. Penelitian ini memberi ‘suara’ pada penari gandrung, khususnya gandrung terop (gandrung tradisi) yang termarginalkan secara ekonomi maupun politik. 5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F.Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap kehidupan masyarakat Using telah dilakukan oleh sejumlah peneliti di Indonesia. Hampir semua aspek yang berkaitan dengan suku Using telah dibahas. Salah satu peneliti yang banyak mengulik tentang gandrung adalah Novi Anoegrajekti. Dalam salah satu esai berjudul Gandrung Banyuwangi: Pertarungan Pasar, Tradisi, dan Agama Memperebutkan Representasi Identitas Using, ia membahas gandrung sebagai obyek yang diperebutkan oleh tiga kekuatan besar: pasar, agama, dan tradisi. Berdasarkan keterangan Anoegrajekti, pertarungan antara pasar, agama, dan tradisi dalam mengkonstruksi identitas gandrung meningkat pada periode 2000 – 2005.10 Pasar, yang disebut Anoegrajekti sebagai kekuatan yang lebih dominan, mengkonstruksi gandrung sebagai semata-mata hiburan. Pementasan gandrung yang digerakkan oleh kekuatan pasar tidak memiliki aturan baku, melainkan “pentas terbuka, komersial, dan penuh alkohol”.11 Sementara itu, birokrasi dan elit budayawan Using yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan berusaha melakukan pembakuan terhadap gandrung dalam rangka apa yang disebut sebagai ‘konservasi seni tradisi’. Gandrung dikonstruksi seperti apa yang dibayangkan di masa lalu, yaitu: “[...] mengikuti pembabakan (Jejer, Paju, Seblang-seblang), menyanyikan lagu-lagu Osing terutama yang bermuatan historis dan heroisme (lagu Gandrung dan lagu Banyuwangen), menyajikan tari Ukir dan Prapatan yang berbeda dari tari Jawa dan Bali, mengalunkan musik yang bukan Jawa dan bukan pula Bali, dan bersih dari minuman keras.”12
Salah satu upaya yang ditempuh Pemerintah Daerah Banyuwangi bersama dengan Dewan Kesenian Blambangan untuk ‘mengembalikan orisinalitas tradisi’ 10
Anoegrajekti, Novi. Op.cit. hal: 26 Ibid., hal: 33 12 Ibid., hal: 31 – 32 11
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
itu yakni dengan membuat aturan baku dalam pementasan gandrung yang kemudian disosialisasikan melalui pelatihan gandrung secara reguler. Dengan begitu, gandrung yang dicetak akan sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.13 Di tengah-tengah kedua kekuatan itu, kaum santri yang berada di seputar Banyuwangi, ikut bersuara. Kaum Santri atau mereka-mereka yang berada di pesantren atau para alumnus pesantren, mendesak supaya pementasan gandrung ditiadakan karena dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Ada pula yang meminta supaya pementasan gandrung di-Islam-kan. Maksudnya antara lain, “tidak erotis, tanpa tari berpasangan, memakai pakaian tertutup, dan bersih dari minuman keras.”14 Penelitian Anoegrajekti, yang tidak terbatas pada satu tulisan itu saja, kaya akan data yang bisa dipakai dalam mengembangkan penelitian ini, antar lain artikel-artikelnya yang banyak ditulis dalam Media Perempuan Multikultural “SRINTIL”. Akan tetapi, penelitian ini memiliki pemahaman yang berbeda dari yang diajukan Anoegrajekti. Anoegrajekti melihat kekuatan pasar, agama, dan tradisi sebagai terpisah satu sama lain. Ia membayangkan tiga kekuatan itu berada dalam sebuah arena pertarungan, dengan kekuatan pasar keluar sebagai pemenang. Sementara, penelitian ini lebih melihat pada pengalaman hidup sehari-hari perempuan penari gandrung. Saya memotret dan mengamati interaksi sosial perempuan penari gandrung di rumah maupun dipentas gandrung.
13
Ibid., hal: 31 – 32 Ibid., hal: 32
14
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
G. Kerangka Teoretis Konsep identitas dalam penelitian ini dipahami dalam kerangka nonesensialis. Identitas sebagai sebuah proses ketimbang sesuatu yang tetap. Identitas tidak sekaku apa yang tertulis di kartu pengenal. Seperti yang ditulis Hall: “[...] not ‘who we are’ or ‘where we come from’, so much as what we might become, how we have been represented and how that bears on how we might represent ourselves”.15 Dalam buku Identity, Community, culture and Difference, Stuart Hall menekankan konsep identitas pada cultural identity, karena menurutnya identitas adalah sebuah produksi yang tak pernah selesai melainkan selalu berada dalam proses (Hall,1990:22). Identitas terkait dengan masa lalu namun tidak terikat secara esensialis dengan masa lalu. Identitas seorang imigran misalnya, akan terkait dengan keberadaannya
sebagai migran namun eksistensinya tidak terbatas pada
identitasnya sebagai imigran (being) melainkan pada proses becoming. Proses ini berkaitan dengan masa depan, karena identitasnya bukanlah sebuah proses yang sudah selesai. Teori Representasi: salah satu makna yang terkandung dalam kata representasi adalah: to represent atau menghadirkan kembali sesuatu dan to stand in atau untuk mewakili sesuatu (Hall.2001:15). “Representasi berkaitan erat dengan produksi makna dari konsepkonsep yang ada dalam pikiran seseorang. Representasi sendiri merupakan sistem yang memiliki proses.”(Hall.2003:17) Identitas berkaitan erat dengan diri seseorang atau komunitas, menyangkut individu atau kelompok. Menurut Barker, Identitas dibedakan menjadi self identity 15
Hall, Stuart. 2003. Who needs identity? dalam buku Questions of Cultural Identity. Eds. Stuart Hall & Paul du Gay. Sage Publications: London, hal: 4
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan social identity. Pembedaan ini didasarkan dari sudut pandang melihat identitas.
Bagaimana seseorang atau sekelompok melihat dirinya adalah self
identity, sementara bagaimana konstruksi msyarakat melihat mereka adalah social identity. Identitas seseorang atau kelompok ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan, mengenai diri pribadi dan sosial. Kathryn Woodward, mengatakan bahwa konstruksi identitas diambil dari pemaknaan atas perbedaan: “identity is constructed in relation to other terms of others”. Dalam pengertian ini identitas merupakan hubungan yang bersifat oposisi biner dengan
yang lain.
Identitas seseorang dapat
terkonstruksi
atau
dikonstruksikan melalui keberadaan yang lain. Bukan hanya individu yang penting, melainkan kaitan antara individu dengan komunitas atau orang-orang lain juga memegang peranan. Identitas lebih banyak terkonstruksi dalam hubungannya dengan yang lain dan dengan perbedaan daripada dalam hubungan dengan diri sendiri. Identitas seringkali diidentifikasikan oleh orang lain dan dikontraskan dengan orang lain.Dalam pengertian ini, individu diletakan dalam konteks masyarakat. Tidak hanya dirinya yang menjadi pokok, namun juga posisinya dimasyarakat. Stuart Hall mengatakan dalam Identity and Diaspora (1990:222-237) bahwa kita harus melihat identitas sebagai proses produksi yang tak pernah selesai. Ia selalu berada dalam proses dan selalu berada bersamaan dengan representasi. Terutama ketika timbul permasalahan mengenai identitas budaya (cultural identity). Di satu sisi, identitas budaya berkaitan dengan budaya asal subjek. Ini bisa dianggap sebagai one shared cultural yang dekat dengan sejarah.
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Artinya, berbagai latar pengetahuan, pengalaman keseharian, serta berbagai hal yang dibagi bersama dalam sebuah konteks budaya. Hall menjelaskan juga mengenai identitas budaya sebagai konstruksi yang tak pernah selesai sangat erat hubungannya dengan masalalu yang akan datang . It is a matter of ‘becoming’ as well as of ‘being’ It is belongs to the future as much as to the past. Hall, menjelaskan posisi identitas dalam pengertian esensialis dan non esensialis. Pandangan non–esensialis melihat identitas sebagai sesuatu yang dikonstruksi dan terkonstruksi (construted and being constructed) subjek dan lingkungan memiliki peranan yang sama penting dalam konsep identitas. Konsep identitas sebagai suatu proses yang terus berlanjut dan karenanya harus dipandang dengan cara non-esensialis, inilah yang akan dipakai dalam penelitian ini.. Pencarian identitas seseorang selalu terkait dengan permasalahan bagaimana orang itu berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam satu lingkup masyarakat yang telah menempatkan dirinya dalam lingkup lain (being positioned). Hal ini terkait erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas budaya. Perbedaan dan persamaan ini ada dalam cakupan identitas budaya. Identitas juga dipaparkan oleh Hall sebagai sesuatu hal yang selalu berubah dan titak tetap, oleh karena itu seseorang dapat mengalami perubahan identitas seiring dengan kehidupannya.
H. Metode Penelitian 1.
Subyek Penelitian dan Lokasi Penelitian
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Subyek yang dipilih adalah penari gandrung yang berdomisili di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tepatnya di Desa Kemiren. Subyek gandrung yang diwawancarai secara mendalam terdiri dari Temu, Darti dan Mudaiyah. Ditambah Mia, Viroh dan Reni16 (mereka bertiga adalah anak asuh Temu). Darto (sopir angkutan desa sekaligus penggemar gandrung), Bpk.Mucklis (suami gandrung Darti, pegawai di DKB), Bapak Sauni (pemilik sanggar Sekar Jagad, pelatih tari gandrung dan pegawai DKB), Purwanto (Penggemar gandrung, pemilik penginapan dan termasuk tokoh Osing), Dayat dan Rahman (petani, pemain musik angklung sawah dan pernah ikut membantai orang-orang yang dianggap PKI), Ibu Suci (Pembuat kostum gandrung dan pernah rekaman lagulagu gandrung), Pak Jo, (kluncing/pemain musik). Ibu Nur (perempuan yang saya temui di jalan yang banyak memberi informasi tentang orang-orang Osing) 2.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Observasi lapangan: mengamati proses interaksi penari gandrung baik ketika pertunjukan maupun di keseharian; b. Wawancara mendalam dengan setiap informan; c. Mempelajari teks yang terkait dengan tari tradisi dan gandrung pada khususnya yang bersumber dari koran, majalah, buku, hasil penelitian (thesis maupun disertasi), foto, dan film.
3.
Teknik Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, bersifat deskriptif,
dengan membuat catatan etnografis berdasar hasil observasi lapangan. Kedua,
16
Belajar seni tari gandrung dang ending-gending khas gandrung secara khusus kepada Temu
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melakukan pemetaan data berdasarkan hasil wawancara dipadukan dengan data sekunder dari berbagai sumber. Pemetaan dilakukan sesuai kebutuhan, hanya yang terkait dengan tema tulisan. Ketiga, analisa data dengan menggunakan teori dalam kerangka penelitian kemudian dijelaskan dalam bentuk deskriptif interpretatif.
I. Skema Penulisan Bab satu: berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka dan metode pengambilan dan pengolahan data. Bab dua: membahas tentang sejarah gandrung. Penulis banyak menggunakan data pustaka dan memanfaatkan hasil penelitian dan tulisan orang lain yang berfokus pada penari seni tradisi, penggemar dan pemerhati gandrung. Bab tiga: memaparkan hasil temuan lapangan yang saya koleksi selama di Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di desa Kemiren dan desa Oleh Sari. Berbagai temuan lapangan yang akan menjawab berbagai masalah yang sudah saya rumuskan di atas. Bab empat: adalah bab analisa yang akan meramu berbagai temuan lapangan, data literatur, serta teori dan konsep yang telah saya pilih sehingga dapat menjawab segala kegelisahan saya. Bab lima: kesimpulan dan penutup.
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II SEJARAH GANDRUNG BANYUWANGI
A.Pendahuluan Jika membicarakan sejarah gandrung di Banyuwangi, maka akan ditemukan beberapa versi, tergantung siapa yang berbicara serta kepentingannya. Dalam tulisan ini, saya akan menyertakan beberapa aliran pendapat itu tanpa berusaha menghakimi mana yang paling benar. Bab ini dibuka dengan menelusuri awal mula munculnya gandrung di daerah Banyuwangi. Bila ditilik dari sejarahnya, gandrung pertama kali ditarikan oleh laki-laki, baru di penghujung abad 19, gandrung mulai ditarikan oleh perempuan. Gandrung17. Semi tercatat sebagai gandrung perempuan pertama di Banyuwangi. Dalam kesempatan ini saya akan membahas gandrung Semi secara agak mendalam karena di masa gandrung Semi inilah terjadi beberapa perubahan dalam gandrung. Perubahan itu diantaranya terkait dengan, adanya tari berpasangan, dan musik pengiring yang lebih beragam, gamelan salahsatunya. Selanjutnya, saya akan membahas dengan menyoroti masa sekarang dimana gandrung mendapat tantangan ‘baru’ dari masyarakatnya sendiri. Antara lain terkait dengan sebutan sebagai ‘perempuan murahan’.
B. Awal Mula Gandrung
17
Gandrung, digunakan sebagai nama tarian dan untuk sebutannama depan penari gandrung,mis:Gandrung Temu.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, disebutkan bahwa gandrung berasal dari sebuah kesenian bernama “juru I angin”. Kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit. “Juru I angin” merupakan tarian istana di mana “seorang wanita menari sambil menyanyi dengan sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang ‘buyut’, yaitu seorang pria tua yang berfungsi sebagai panakawan”.18 Tarian “juru I angin” dianggap sebagai cikal-bakal tarian gandrung sebab: “penari gandrung selalu diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu melawak”.19Jika bersandar pada satu alasan itu saja, tentu asumsi bahwa gandrung mengekor dari tradisi “juru I angin” kurang kuat. Dariharto mengakui hal itu. Ia mencoba memperkuat argumennya dengan meminjam pernyataan Drs. Sri Soeyatmi Satari bahwa daerah-daerah yang berada di pinggiran kerajaan, pola kebudayaan dan tradisinya mengekor ke pusat.Akhirnya disimpulkan, karena Blambangan adalah ‘pinggiran Majapahit’ maka ia akan meniru kebudayaan Majapahit.20 Sebenarnya tidak terlalu penting apakah argumen di atas valid atau tidak, yang menarik yaitu adanya usaha untuk mendudukkan gandrung sebagai seni kraton. Pemahaman ini berbeda dari cara PKI dulu merumuskannya. Gandrung dipakai sebagai lambang seni rakyat. Sampai disini, kita melihat bagaimana usaha konstruksi dan rekonstruksi terhadap gandrung yang berkebalikan satu sama lain. Ningrat versus rakyat jelata.
18
Dariharto. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi: Banyuwangi, hal: 5 (tanpa keterangan tahun) 19 Ibid. 20 Ibid.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pertunjukan gandrung sendiri mulai berkembang di tanah Blambangan kira-kira sekitar tahun 1890. Ketika itu, penarinya adalah laki-laki berusia 7 sampai 16 tahun. Gandrung laki-laki mengenakan kostum perempuan, dan mereka dikenal dengan sebutan gandrung lanang (gandrung laki-laki). Diduga, tingkah laku dan kostum gandrung lanang yang feminin itu sudah merupakan fenomena yang umum pada masa itu, hal sama serupa terjadi pada Ludruk, Reyog Ponorogo, Ketoprak, Mendu (dari kepulauan tujuh, kepulauan Riau serta Kalimantan Barat), Mamanda
(Kalimantan Barat), Dulmuluk (Sumatra Selatan) serta Gambus
(Jombang-Mojokerto) yang semuanya itu menampilkan laki-laki dengan peran perempuan. Pada masa itu pertunjukan gandrung dilakukan dari desa ke desa dengan menerima upah berupa beras serta uang. Alat musik yang digunakan pun sangat sederhana, hanya berupa kenong, biola, gong besar serta kluncing (besi jenis kuningan berbentuk segi tiga). Gandrung Druning adalah gandrung lanang pertama yang sempat dicatat. Tapi sepertinya gandrung Marsan lebih melegenda, diduga karena Marsan satusatunya gandrung yang bertahan hingga usia 40 tahun sementara yang lainnya hanya sampai usia 16 tahun. Kira-kira tahun 1895, tercatat perempuan gandrung pertama yang berasal dari Seblang.21 Merunut ke belakang, pada tahun 1850, diketahui desa Cungking
21
Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upcara magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan Hindu yang sampai sekarang dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadarkan diri (trance) karena kerasukan atau kesurupan roh halus, baik roh yang bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada tari seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke penari. Ciri-ciri gerakannya yaitu dilakukan dengan ritme monoton.
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan sekitarnya dihidupi oleh masyarakat yang beragama Hindu. Kedekatan masyarakat dengan alam, membentuk hidup mereka yang terintegrasi dalam satu kesenian Seblang. Kesenian yang menjadi wujud rasa syukur masyarakat pendukungnya ini dipenuhi dengan unsur-unsur magis. Hingga hari ini, kesenian Seblang masih bisa ditemukan di desa Bakungan dan Olehsari. Secara fungsional, Seblang digunakan oleh masyarakat sebagai sarana penyembuhan bagi orang sakit. Menurut cerita, orang desa biasa bernazar jika orang yang mereka kasihi sembuh dari sakit. Misal, kalau anaknya sembuh dari sakit maka ia akan menanggap gandrung. Selain itu, kesenian seblang juga dapat ditampilkan saat acara bersih desa. Hingga kini, gandrung dan seblang adalah dua kesenian yang saling melengkapi. Ketika masyarakat ingin melakukan upacara syukur akan berkah yang mereka terima dalam hidup dan desa mereka, masyarakat setempat biasanya akan mengundang para penari gandrung serta menanggap kesenian seblang. Seblang sebagai media untuk mengucap syukur dan gandrung sebagai media untuk menghibur dan membuat suasana semakin meriah.
C. Gandrung Semi: Gandrung Perempuan Pertama di Banyuwangi Semi dikenal sebagai gandrung perempuan pertama. Menurut cerita, Semi kecil mengalami sakit berkepanjangan dan tidak menemukan obat yang cocok untuknya. Midah, ibu Semi bernazar “kadung sira mari, sun dadeaken seblang, kadung sira sing mari ya using”(“kalau kamu sembuh akan kujadikan seblang, tapi kalau tidak sembuh ya, tidak”)22.
22
Anoegrajekti,Novi “Penari Gandrung dan Gerak sosial Banyuwangi” dalam SRINTIL.No.012,2007
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berselang beberapa waktu Semi kecil sembuh dari sakitnya. Maka Midah memenuhi janjinya dengan menjadikan Semi sebagai seblang. Sebelumnya, semi kecil sudah sering menonton pertunjukan gandrung lanang. Pada saat bermain dengan teman-temannya Semi kecil dengan luwesnya menirukan gerakan tari gandrung.Karena keluwesannya Semi berhasil memikat hati masyarakat. Ia pun didaulat menjadi gandrung perempuan pertama. Sayangnya tidak diketahui kapan tepatnya Semi menjadi gandrung.
Semi (Gandrung perempuan pertama-foto repro koleksi pribadi) Semi bukanlah asli Banyuwangi. Ibunya Berasal dari Semarang. Orang Banyuwangi menyebutnya Jawa Kulonan. Sementara bapak Semi berasal dari Ponorogo, bernama Midin.23 Hijrahnya Raminah (yang dikenal dengan sebutan mak Midah) dari Semarang ke daerah Jawa Timur tidak lepas dari situasi perubahan ekonomi politik Belanda yang berkaitan dengan pembukaan perkebunan baru dan tenaga kerja. Ini terjadi di Jawa dan sekitarnya, kira-kira tahun 1850-1900. Konon kebijakan Belanda tersebut cenderung menyesengsarakan rakyat. Akibatnya,
23
ibid.hal.56
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk mencari kehidupan yang lebih baik, banyak yang keluar dari kampung halaman, termasuk Raminah.24 Dari perkawinannya, Midin dan Raminah dikarunia delapan orang anak. Dari delapan orang anak itu yang menjadi gandrung adalah Semi,Suyati,Misti dan Midah. Meskipun hanya empat orang menjadi gandrung, namun dikemudian hari beberapa cucu Raminah ikut menjadi gandrung. Semi akhirnya menikah dengan Sutomo dan dikaruniai 14 orang anak. Salah seorang anak Semi kemudian mengikuti jejak Semi menjadi gandrung, anak itu bernama Suwanah, yaitu anak Semi yang paling akhir. Semi kecil menghabiskan waktu dengan bermain di area persawahan yang kering bersama teman-temannya. Ketika itu, saat musim kering datang area persawahan biasa dipakai untuk pentas kesenian rakyat. Dari sekian banyak teman-temannya, Semi yang tampak paling luwes saat menari. Keluwesannya menggerakan tubuh dibarengi dengan suaranya yang bagus serta kemampuannya menyanyikan gending-gending seblang membuatnya menjadi gandrung
yang
dikagumi.
Yang
paling
mengagumkan
adalah
segala
kemampuannya itu ia pelajari secara otodidak. Dengan kemampuannya itu Semi akhirnya menjadi gandrung terkenal. Bersama dua saudarinya Miati dan Suyati, mereka berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk mengadakan pertunjukan. Ini pulalah yang membuat namanya semakin dikenal. Bahkan pada akhirnya Semi menggantikan peran Drungin seorang gandrung laki-laki pertama di Banyuwangi. Salah satu alasan Drungin tergantikan adalah lebih pada alasan estetik, keindahan serta keharmonisan. 25
24
Setiawan Sigit Budhi,“Aslinya Banyuwngi itu tidak ada” dalam “SRINTIL” Penari Gandrung dan gerak Sosial Banyuwngi.Eds.012.2007. Hal 53 25 Artikel “Asli Banyuwangi itu Tidak ada” dalam SRINTIL No.012. Hal .53
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D. Pengaruh Pembukaan Perkebunan Terhadap Perkembangan Gandrung Bersamaan dengan kehadiran gandrung perempuan, area perkebunan milik kolonial Belanda pun mulai dibuka. Pembukaan perkebunan itu pun membuat kebutuhan akan infrastruktur, utamanya jalan, meningkat. Untuk mengakomodir hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membuka jalan tembus Banyuwangi-Jember. Pembukaan jalan ini mengakibatkan mengalirnya arus migrasi dari berbagai tempat di wilayah sekitar Banyuwangi, termasuk Bali, yang hanya dibatasi oleh selat pendek. Arus migrasi ini juga terjadi dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Mandar) yang ditempuh melalui pelayaran laut. Dalam konteks perubahan sosial budaya seperti itulah Semi lahir sebagai penari gandrung. Agak sulit mencari hubungan yang pasti antara Semi yang berada di Cungking (Selatan Banyuwangi), Banyuwangi, dengan pusat perkebunan yang teletak di bagian Barat wilayah Banyuwangi.Tetapi dua pertimbangan berikut mungkin dapat menjembatani keterkaitan tidak langsung tersebut. Pertama, migrasi sebagai akibat dari terbukanya Banyuwangi yang diawali oleh perkebunan kopi di Glenmore, telah meluas hampir diseluruh wilayah daerah itu. Akibatnya, tenaga kerja yang menjadi tenaga di perkebunan, jauh lebih sedikit dibanding migran yang datang untuk mencarikehidupan yang lebih layak, seperti yang dilakukan oleh Raminah dan Midin (orang tua Semi) yang datang ke daerah Blambangan dan membuka sawah sendiri. Kedua, munculnya Semi sebagai penari gandrung segera disusul oleh perubahan-perubahan teks pertunjukan (struktur dari tari-nyanyi) serta alat musik yang dipergunakan. Adegan jejer,paju dan seblang-seblang hasil olahan Semi 19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang terkenal hingga saat ini tidak dikenal pada jaman gandrung lanang.Gandrung lanang hanya mementaskan tari dan nyanyi tunggal, bersifat tontonan serta tidak melibatkan audiens ke dalam pentas. Adegan jejer,paju dan seblang-seblang, yang diasumsikan oleh pemerhati gandrung Banyuwangi, diadopsi dari ritual seblang.Termasuk nyanyian-nyanyian yang disajikan dalam seluruh pertunjukan itu. Pertunjukan ini merupakan sebuah ritual yang dikembangkan dari ritus yang sebelumnya dibawa oleh migran dari Bali dan Jawa untuk keperluan yang sama dalam upacara bersih desa, serta minta hujan. Paju atau tari berpasangan dengan melibatkan penonton laki-laki, kemungkinan besar diadopsi Semidari kesenian Jawa yaitu Tayub. Kesenian Tayub diperkirakan berkembang jauh sebelum abad 20, saat dimana Semi mulai menapaki karirnya sebagai penari gandrung.Tidak ada catatan sedikitpun bagaimana proses adopsi Semi terhadap tari berpasangan itu. Bisa jadi Semi menghadapi struktur sosial baru serta warga masyarakat yang plural dengan berbagai keinginan serta tuntutan yang berbeda. Akhirnya pertunjukan gandrung dimasa Semi, mau tidak mau disajikan kepada audiens baru yaitu para migran. Sebuah karakter masyarakat migran yang plural serta hampir semuanya adalah pekerja. Sangat mungkin tarian berpasangan ini digunakan sebagai ruang hiburan semata. Semi juga melantunkan lagu-lagu Jawa-Bali, bahkan lagu-lagu khusus yang dipersembahkan untuk kaum santri. Perubahan lain yang terjadi di masa Semi adalah jenis alat musik,perpaduan alat musik Jawa dan Bali yang di dukung kenong, kluncing,biola,kendang serta gong.Padahal sebelumnya alat yang 20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
digunakan hanya kendang dan gong. Seperti pada perubahan struktur pertunjukan dan lagu-lagu, perubahan corak musik dan peralatannya itu membuktikan fase baru dalam kesenian gandrung. Dibukanya perkebunan dan datangnya migran dari sekitar Banyuwangi adalah penanda masuknya arus modernitas serta globalisasi.
E. Gandrung Sebagai komoditi Pariwisata Dalam rangka menciptakan kekhasan daerah berkaitan dengan promosi pariwisata, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan patung gandrung yang dipajang ditempat strategis hampir di setiap sudut kota dan desa. Surat Keputusan Bupati bernomor 173 tertanggal 31 Desember 2002 menyatakan; “Bahwa dalam rangka mendorong tumbuhnya semangat ikut serta memiliki daerah dengan segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pembangunan dibidang kepariwisataan, maka perlu adanya upaya peningkatan promosi pariwisata di Kabupaten Banyuwangi”.26 Surat keputusan ini seperti memberi penegasan bahwa selain menciptakan Banyuwangi kota pariwisata yang layak dikunjungi
sekaligus menciptakan
sebuah representasi kedaerahan yang khas Banyuwangi. Posisi gandrung sebagai tanda daerah Banyuwangi tersebut mengalahkan tanda yang sudah berumur puluhan tahun, yakni patung ular berkepala gatot kaca, yang terpajang dibanyak tempat di kota dan desa di Banyuwangi. Tanda ini sudah tersosialisasi ke dalam kehidupan masyarakat dan menjadi aksesoris di atas pigura gong gandrung.Identifikasi gandrung bagi pariwisata daerah Banyuwangi menjadi 26
Anoegrajekti, Novi”Patung itu Bukan Penari” dalam SRINTIL,”Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi” Media Perempuan Multikultural.eds.012.Hl..75.tahun 2007
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sorotan publik, diperdebatkan, dikritik serta melulu dipersoalkan. Bahkan para wakil rakyat di DPRD Banyuwangi yang didominasi non-Osing mempersoalkan hal itu sebagai politik etnis yang tidak sesuai dengan kenyataan penduduk Banyuwangi. Sebuah daerah yang masyarakatnya begitu beragam serta plural. Padahal sejatinya, gandrung adalah kesenian tradisional khas Osing, yang merupakan salah satu kelompok etnik di daerah itu. Anggota DPRD dari fraksi PPP menolak pemaskotan gandrung dari sudut agama. Mereka menolak hal itu karena gandrung dipandang bertentangan dengan agama Islam yang dipeluk mayoritas orang Banyuwangi. Selain karena pemaskotan ini dianggap tidak sesuai dengan pluralitas penduduk Banyuwangi yang majemuk dari segi etnis.27 Oleh banyak orang, gandrung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik tertentu diluar dirinya. Dalam konteks pemaskotan ini, selain kemungkinan kepentingan representasi identitas, gandrung juga dimanfaatkan sebagai komoditi pariwisata yang selalu disebut dapat menambah pendapatan daerah. Sebagai daerah yang berdampingan dengan Bali, Banyuwangi tergolong lebih maju dalam hal pariwisata dibanding daerah-daerah sekitarnya seperti Jember, Bondowoso, dan Situbondo.28. Tidak mengherankan jika Banyuwangi telah ditetapkan menjadi kota wisata. Jika mengunjungi Banyuwangi, nuansa ke-Banyuwangi-anserta kegandrung-an dapat dirasakan serta dinikmati lewat musik serta lagu-lagu yang terdengar di bis-bis antar kota.
27
Ibid. hal.77l Anoegrajekti, Novi”Patung itu Bukan Penari” dalam SRINTIL,”Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi” Media Perempuan Multikultural.2007,Hal..75. 28
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F. Perempuan Gandrung di Masa Sekarang Di antara hiruk pikuk perdebatan di kalangan elite politik, budayawan, intelektual dan orang biasa, seorang perempuan penari gandrung juga sibuk berdiskusi dengan kehidupannya sehari-hari. Diantara cacimaki dan sanjungan, eksistensi perempuan penari gandrung masih tetap hidup dan masih menjadi pilihan banyak perempuan untuk meniti karir. Pada jaman pasca Semi banyak perempuan ingin menjadi gandrung karena profesi ini dianggap cukup menjanjikan, terutama dari segi ekonomis. Namun tidak pada jaman ini. Sejak beredarnya isu-isu negatif seputar gandrung, jarang orang mau menggeluti gandrung, khususnya para gandrung yang menjadi nara sumber saya. Kakak beradik Darti dan Wiwik adalah dua dari sekian gandrung yang saat itu hingga kini memilih seni tradisi gandrung sebagai profesi karena limpahan tradisi keluarga. Sementara, Temu, Reni dan Viroh, memilih gandrung karena popularitas dan uang yang mudah didapat. Tidak banyak yang bisa benar-benar sukses menjadi penari gandrung. Rupanya sukses menjadi gandrung bukan hanya bakat yang melekat sejak lahir. Banyak orang meyakini bahwa menjadi gandrung yang digemari oleh banyak orang memerlukan ritual-ritual khusus untuk memuluskan jalan menjadi primadona. Berbagai macam ritual sebagai salah satu unsur magic, sampai saat ini ternyata masih banyak dilakukan agar seorang gandrung menjadi terkenal. Pengakuan terhadap eksistensi seorang gandrung menjadi penting untuk membuktikan kelayakan si gandrung yang dapat tampilmemuaskan dihadapan
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
audiens, ritual pengukuhan disebut meras.29 Penilaian masyarakat apakah ‘para pendatang baru’ pantas disejajarkan dengan gandrung lain yang lebih senior, juga sangat ditentukan oleh kelihaian menari dan kemerduan suaranya. Usaha mempercantik diri melalui alat-alat kecantikan yang sudah dibubuhi mantra memang diakui oleh sebagian gandrung. Bahkan ada sabuk yang diselipi oleh razab (mantra tulisan) serta susuk yang dimasukan kedalam bagian tubuh supaya terlihat menarik. Semua ini dilakukan semata-mata untuk terlihat cantik dan memukau penonton. Ada kesadaran bahwa menjadi gandrung bukanlah peran asal jadi dan dimainkan secara sembarangan. Beban sebagai penari tradisi membuat gandrung harus hati-hati agar tidak menyimpang dari yang diwarisinya. Meskipun begitu, tampilan mereka juga tidak selalu mulus, seperti dialami Tinah.Pada saat pentas tiba-tiba tangannya tidak dapat digerakan dan untuk beberapa saat tidak dapat menari, lalu dia menuturkan ,“Namanya juga panggung, persaingan pasti ada, ya untuk menjatuhkan teman bisa saja memakai cara-cara yang begitu (magic).Sejak hari itu saya juga punya pegangan supaya tidak ada orang yang mengganggu saya lagi”.30 Persaingan antara penari gandrung bukan hanya sebatas pada order yang diterima dan gandrung siapa mengajak gandrung siapa, tetapi juga urusan persaingan gandrung tua dan muda. Menanggapi soal persaingan tua-muda, Mud, berujar “Saya sudah ndak perduli, kalau gandrung tua mau bersaing dengan gandrung muda, orang pasti cari gandrung yang lebih muda”.31 29
Upacara yang dilakukan terhadap penari gandrung yang dianggp layak manggung dan mendapat bayaran. 30 wawancara tanggal 9 Mei 2011 di rumah Temu. 31 Hasil wawancara 10 Mei 2011,dikediaman Mudaiyah
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gandrung tua seperti Darti dan Temu, merasa unggul dalam hal pengalaman pentas.Mereka menjadi guru buat yang muda, dan suara indah mereka belum ada yang mengalahkan, bahkan gandrung muda sekalipun. Sementara gandrung muda, banggaakan kelincahan geraknya, “seperti kijang”, dan kepandaian mereka memadukan berbagai jenis alat musik pengiring. Dengan kemampuan ini, suasana pentas gandrung pun akan menjadi lebih hidup,32
G. Kesimpulan Gandrung Banyuwangi yang berkembangdi Bumi Blambangan diduga berasal dari kerajaan Majapahit, yang dibawa oleh pejabat kerajaan yang memberontak dan lari untuk kemudian membuka lahan baru. Di Bumi Blambangan inilah mereka memulai satu pemerintahan baru dan membangun tatanan sosial yang baru, keturunan mereka inilah yang disebut orang Using. Gandrung, merupakan tarian yang menurut sejarah juga diadopsi dari keraton Majapahit. Kesenian gandrung tidak bisa melepaskan diri dari perubahan sosial pada setiap jamannya. Pembukaan lahan perkebunan baru membawa perubahan yang cukup mendasar.Para pendatang dan orang-orang perkebunan ‘memaksa’ terjadinya perubahan pada tatanan sosial penduduk asli Using, yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada kesenian ini. Gandrung Semi adalah salah satu pencetus yang menjadi titik balik dari berubahnya kesenian gandrung. Lewat gandrung Semi, gandrung lanang berganti menjadi gandrung perempuan.Peristiwa ini menandai, betapa penduduk
32
ibid
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Banyuwangi khususnya Using, memiliki karakeristik terbuka dan bersahabat. Datanganya migran dari Jawa, Madura, Sulawesi dan Bali telah menandai masuknya era globalisasi ke tanah Balmbangan. Bergeser pada pemaskotan gandrung, sebagian besar politisi, budayawan dan kelompok agama menganggapnya sebagai bentuk politik yang menggunakan identitas ke-Using-an. Sebuah identitas dari Suku Using yang dianggap sebagai suku asli Banyuwangi. Identifikasi ini kemudian melahirkan pro dan kontra. Banyak yang melihat dari berbagai sudut pandang sesuai kepentingan masingmasing.Kaum agamawan menyinggung soal gandrung yang tidak Islami, sementara itu wakil rakyat yang duduk di DPRD menganggap tidak adil jika gandrung yang hanya mewakili etnis Osing diangkat sebagai maskot kota, karena yang perlu diangkat adalah tentang pluralitas di Banyuwangi. Namun apakah tarik menarik gandrung Banyuwangi dirisaukan penari gandrung
sendiri?
Apa
pengaruh
perdebatan
itu
bagi
hidup
mereka
sendiri?Ataukah tampil sebagai gandrung professional menjadi lebih penting bagi mereka? Hal itu akan dijawab pada bab selanjutnya.
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III GANDRUNG: REALITAS DAN KEBERAGAMAN
A. Pendahuluan Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang realitas gandrung beserta keberagamannya,
bab
ini
akan
menceritakan
kondisi
sosial
masyarakatBanyuwangi serta profil sejumlah perempuan penari gandrung. Bab ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah ke satu: apa saja wacana seputar gandrung yang ada dimasyarakat Banyuwangi? Ada tiga bagian yang akan dibahas, yakni: Pertama, pendeskripsian tentang daerah Banyuwangi. Pembahasan berfokus pada dinamika kehidupan sosial dan budaya di Bumi Blambangan. Dalam kerangka memberi gambaran lingkungan sosial di Banyuwangi berkaitan dengan keberagaman. Kedua, pemaparan tentang profil sejumlah penari gandrung serta interaksi antara gandrung dengan masyarakat sekitar arena pertunjukan, khususnya pemaju dan lingkungan tetangga tempat tinggal gandrung. Ketiga, membahas wacana seputar gandrung serta perempuan penarinya dari para pendatang dan masyarakat asli Using. Keempat, ditutup dengan kesimpulan isi pembahasan serta gambaran singkat sebagai pengantar ke bab berikutnya.
B. Sekilas Gambaran Bumi Blambangan Pada bab II dijelaskan, bahwa pembukaan perkebunan baru oleh orangorang Belanda menjadi pintu bagi masuknya orang-orang Jawa, Bali dan Madura 27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ke Tanah Blambangan.33Transportasi kereta api mempermudah hijrahnya orang Jawa dan orang-orang Madura datang dengan menggunakan kapal-kapal nelayan. Maka tidak heran jika mayoritas orang Madura menguasai daerah pantai dan orang Jawa menguasai perkebunan. Di bagian selatan Banyuwangi ada Kampung Mandar. Menurut cerita, sejak awal abad 17-an mereka telah datang ke Banyuwangikarena urusan dagang. Banyuwangi yang secara geografis amat strategis serta didukung oleh pelabuhan yang memadai, membuatnya menjadi jalur perekonomian dan pertemuan antar suku bangsa serta beragam jenis barang dagangan. Oleh karena itu keberagaman bukan hal baru bagi masyarakat Banyuwangi.34 Kehadiranpara
pendatang
ini
memberi
pengaruh
besar
terhadap
perekonomian di Banyuwangi, keuletan para pendatang membuahkan sukses dalam hal ekonomi mapun pendidikan. Sektor ekonomi banyak dikuasai oleh para pendatang dari Jawa, Bali maupun Keturunan Cina. Dinamika mereka lebih terlihat jelas di kota kabupaten, jalan serta pasar. Perkantoran di kota Banyuwangi pun hampir dipenuhi oleh orang-orang non Using. Pada kenyataanya, ditengah keberagaman dan dinamika kehidupan sosial penduduk Kota Banyuwangi, ada orang-orang dari suku “Using” yang mengklaim diri sebagai yang empunya Banyuwangi. Orang-orang ini tinggal dikantongkantong Osing yang tersebar di beberapa Desa seperti: 1) Glagah; 2) Kemiren; 3) Cungking; serta 4)OlehSari. Mereka punya gaya bahawa tersendiri yang berbeda dari bahasa Jawa Kulonan.
33
Mereka disebut orang Jawa kulonan oleh masyarakat Osing Artikel “wong Osing sejarah perlawanan dan Pewaris Menakjinggo”, dalam SRINTIL, Media Perempuan Multikultural, No.012.2007.hal 30 34
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1. Keragaman di Bumi Blambangan Dalam perjalanan menuju ke bumi Blambangan, saya bertemu dengan ragam manusia serta mengalami berbagai kisah yang memberi gambaran kepada saya akan bumi Blambangan ini. Salah satu pengalaman itu adalah ketika saya berada dalam bis antar kota Yogyakarta – Banyuwangi. Ketika itu saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu bernama Nurani. Ketika bis mulai begerak meninggalkan terminal Giwangan saya
membuka obrolan dengan memperkenalkan diri dan bertanya tujuan
perjalanan Ibu Nur. Ibu Nurani langsung merespon dan balik bertanya darimana dan kemana tujuan saya. Kami pun mulai berbincang. Ibu Nur bercerita bahwa kakek dan nenek buyutnya berasal dari SoloJawa Tengah, karena alasan perbaikanekonomi, maka beberapa anak-anaknya hijrah ke Banyuwangi. Rupanya, keberuntungan berada dipihak mereka. Segala usaha yang dilakukan oleh keluarga mendatangkan uang dan kesejahteraan. Akhirnya karena kesejahteraan yang telah tercapai itu, hampir semua keluarga bu Nur pindah ke Banyuwangi, dan telah tinggal di Banyuwangi hingga saat ini. Bu Nur sendiri adalah seorang Guru di SMA Islam Jajag. Begitu juga Bapak dan adiknya, mereka adalah guru-guru yang telah mengabdikan hidup pada profesi itu dengan sepenuh hati. Baginya, profesi guru adalah hal yang turun temurun dan merupakan sebuah pengabdian. Sementara itu, suami bu Nur adalah seorang petani sayur, yang juga keturunan orang Jawa. Saya dan Bu Nurani pun terus berbincang sampai akhirnya kami tiba di kota Banyuwangi. Di salah satu sudut terminal Tanjungwangi ketika itu, saya sempat menyaksikan kesibukan sebuah kota kecil di pagi hari. Para pemilik juga 29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
para pekerja toko mulai membuka toko. Mereka menyapu lantai kemudian membersihkan barang dagangan yang digantung dengan kemoceng. Sementara itu di pinggir terminal lainnya, pedagang buah serta oleh-oleh menata barang dagangan mereka. Barang-barang yang mereka jual itudiantaranya seperti rengginang, dodol, kerupuk, kue kelapa, kacang goreng pasir, kerupuk warna –warni besar (setahu saya kerupuk itu adalah kerupuk khas Madura) serta beragam buah-buahan. Suasana Terminal Tanjungwangi saat itu terlihat sepi penumpang. Satu dua orang menunggu bis, entah berdiri diluar bis atau sambil duduk didalam. Sepertinya ini memang khas terminal-terminal kecil di daerah.Sibuk tetapi sepi (itu kesan saya pada saat diterminal Tanjungwangi). Jika saya membandingkan dengan Jakarta, tentu jauh berbeda. Di Jakarta, dalam hitungan detik saja, bis dan angkot pasti sudah penuh. Bahkan tidak jarang calon penumpang harus berlari-lari mengejar bis. Dan kalau sampai ketinggalan, penumpang harus menunggu lagi. Pola ini akan terjadi terus, hingga jam-jam sibuk selesai. Ketika berada di terminal itu, saya mendengar percakapan orang-orang yang hilir mudik dengan berbagai logat yang khas. Beragam logat yang bercampur baur itu diantaranya bisa saya kenali sebagai logat Madura, Jawa, Surabaya, dan Bali. Tidak hanya logat-logat itu, beragam wajah dari beberapa suku bangsa di Nusantara, salah satunya orang-orang keturunan China cukup mudah sayakenali. Terminal memang tempat yang sangat pas untuk melihat dinamika suatu kota. Di terminal itu pula, geliat kehidupan kota yang bersangkutan bisa direka dan dikisahkan. Setelah menghabiskan waktu di terminal sembari mengamati 30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbagai hal di seputarnya, saya kemudian memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Kabupaten. Di perpustakaan itu saya bertemu ragam manusia bumi Blambangan yang begitu menarik. Orang-orang yang saya temui di perpustaakaan itu, mulai dari petugas penerima tamu hingga penjaga perpustakaan serta beberapa yang lainnya, adalah orang-orang keturunan Jawa. Kebetulan, mereka semua adalah pegawai pemerintah, tepatnya karyawan Dewan Kesenian Blambangan. Tampaknya bumi Blambangan memang dipenuhi oleh para pendatang. Selain hal ini begitu terlihat di terminal, juga perpustakaan kota kabupaten, ketika saya pergi ke warnet (warung internet), toko buku, serta makan di warung nasi terdekat, nuansa keragaman manusia juga begitu terasa. Penjaga warnet, para petugas toko buku serta ibu penjual nasi adalah orang-orang yang nenek moyangnya berasal dari luar Banyuwangi dan mereka sendiri lahir dan besar di Banyuwangi. Mereka umumnya berasal dari Jawa, Mandar, Madura, serta orangorang Keturunan Cina. Kemudian, dari berbagai pengalaman bertemu itu, saya mulai bertanyatanya di mana penduduk asli tinggal dan beraktifitas? Menurut sejumlah literatur dan narasi dari sejumlah orang di bumi Blambangan, penduduk asli di bumi ini adalah orang Osing. Pigeaud (scholte, 1927) menyatakan bahwa orang Using adalah: “Penduduk asli Banyuwangi yang tidak mau hidup bersama dengan wongkulonan”.35 Mereka yang tidak mau hidup dengan wong kulonan itulah yang disebut orang Using36.
35
Pendatang yang datang dari Jawa tengah dan sekitarnya dan orang Jawa timur, selain dari Bumi Blambangan. 36 “Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam” Dalam SRINTIL,Eds.3,Desantara,2004
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kutipan dari Pigeaud ini adalah penegas akan kesadaran dari orang-orang Osing ini. Orang-orang ini merasa beradadalam posisi terjepit dan selalu memperoleh tekanan struktural maupun kultural ditengah-tengah kehidupan dua kebudayaan besar, Jawa-Bali. Mereka selama ini seperti tidak punya posisi yang menguntungkan di hadapan orang Bali dan Jawa. 2. Orang Using di Kemiren Bagi orang Jawa Kulon maupun Bali, orang Osing dikenal eksklusif, suka menyendiri dan enggan bergaul. Mereka dikenal sebagai orang-orang pemarah tanpa nalar, tukang santet, serta pemalas. Julukan, stereotipe dan stigma tersebut sudah menjadi hal yang begitu biasa, bahkan banyak orang tua yang menasehati anak atau kerabatnya agar berhati-hati jika berkawan atau berkenalan dengan orang Using. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh ibu Nur, bahwa orang Using terkenal malas dan kasar. Dalam perbincangan dengan Ibu Nur itu, ia bercerita bahwa sedang terjadi sebuah perdebatan pada koran setempat mengenai satu lagu berbahasa Osing yang kata-katanya seronok serta merujuk pada kelamin perempuan. Namun ketika saya konfirmasi berita ini kepada Pak Pur, 37 ia hanya tersenyumdan dengan santai berkata “Ya maklum yang membuat lagu itu seniman jalanan”. Nampaknya memang ada keraguan dalam diri orang Using sendiri. Mungkin karena posisi mereka selama ini yang terjepit sehingga tidak memiliki suara yang benar-benar mewakili diri mereka.38Hal ini seperti diperlihatkan secara
37
Penduduk Kemiren asli, termasuk tokoh Osing ,seorang petani yang cukup berhasil mengembangkan jenis padi lokal juga pencinta gandrung. 38 Wawancara 6 Mei 2011. Desa Kemiren kediaman Pak Pur.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jelas oleh Ibu Nur yang seperti mengafirmasi stereotipe negatif di seputar orang Using. Ketika itu saya masih ingat betul nada suara Ibu Nur ketika bercerita tentang orang Using atau apapun yang berkaitan dengan Using. Nada suaranya begitu negatif, bahkan terkesan melecehkan. Jika ingin melihat dan bertemu langsung dengan orang Using, desa Kemiren adalah tempat yang tepat untuk dituju. Satu-satunya desa yang dipandang sebagai “masih murni Using” adalah desa Kemiren. Desa ini berada di kecamatan Glagah (kira-kira 5 km arah Barat kota Banyuwangi). Sejak 1993 desa ini telah ditetapkan sebagai “Desa Using” yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan ‘keusingan’. Area wisata Budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar Budaya Osing. Desa yang berada diketinggian 144 m diatas permukaan laut ini memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26º. Kondisi ini membuat desa Kemiren amat sejuk serta amat menarik untuk dikunjungi, apalagi pemandangan alamnya amat indah dan menawan. Desa Kemiren memanjang hingga 3 km yang kedua sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari arah Barat ke Timur. Ditengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 meter yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi Timur dan keperkebunan/pemandian kalibendo di sebelah Barat.Pada siang hari, terutama pada hari libur, jalan yang membelah desa Kemiren ini cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke pemandian Kalibendo maupun ke lokasi wisata “Desa Using”.
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagian besar penduduk Kemiren memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka telah lama mengenal pendidikan baik pesantren maupun sekolahsekolah umum. Untuk menempuh sekolah diatas SD, para penduduk Kemiren harus keluar desa dan pergi ke ibu kota Kecamatan atau di Kota Banyuwangi39. Dengan membayar 25 ribu rupiah saya diantar oleh ojek dari terminal Karangmente ke rumah Bapak Purwanto. Kedatangan saya itu disambut bunyibunyian yang berasal dari alat musik bambu. Bunyi-bunyian itu diperdengarkan dari pengeras suara yang dipasang tinggi-tinggi di depanrumah seorang warga. Tidak kurang 10 rumah dari situ terdengar kembali lagu daerah berbahasa Using. Dan begitu seterusnya. Ketika itu saya tiba di desa Kemiren sekitar jam 9 pagi sehingga tidak mengherankan suasana desa terlihat begitu sepi. Minim sekali aktifitas manusia di desa saat itu. Saya menduga anak-anak sedang pergi kesekolah serta para orang tua sedang pergi ke sawah atau bekerja di kebun. Kemiren adalah salah satu tujuan wisatawan lokal, nasional maupun internasional. Hal ini terbukti dengan tersedianya sejumlah penginapan sederhana yang memang diperuntukan bagi para tamu yang datang dari dalam dan luar negeri. Sejumlah keluarga Kemiren pun membuka pintu rumah mereka untuk dijadikan penginapan bagi para tamu tersebut. Para wisawatan ini datang ke Kemiren memang berniat untuk merasai kehidupan penduduk yang sarat dengan budaya lokal. Desa Kemiren memang istimewa. Keistimewaannya itu telah membuatnya mendapat sebutan sebagai desa wisata. Menjadi istimewa karena Kemiren adalah
39
SRINTIL.012-2007.Hal 34-35
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
salah satu desa pemukiman orang-orang suku Using yang sangat hidup tradisinya. Di desa ini pula tinggal dua orang penari Gandrung yang belum tertandingi popularitasnya. Orang Using menyebut diri sebagai penduduk asli Banyuwangi. Yang membedakan mereka dari orang-orang Banyuwangi pendatang adalah gaya mereka bicara. Beberapa kata yang sempat saya catat saat bersama mereka, misalnya: gerimis menjadi gerigis, saiki menjadi saikai, isun adalah sebutan untuk saya, iku menjadi ikau, begitu menjadi bedigau dan telu menjadi telau. Upaya menghidupi tradisi sengaja dilakukan oleh para orang tua di desa Kemiren. Misalnya latihan seni barongan serta angklung sawah adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Kemiren seminggu sekali. Kegiatan keagamaan juga dilakukan antara lain membaca Quran bersama yang diikuti oleh laki-laki segala usia, dilakasanakan setiap hari Rabu malam yang mereka sebut sebagai Reboan. Menurut Pak Purwanto, kegiatan ini mulai banyak diikuti oleh orangorang muda.Reboan adalah salah satu ruang belajar dan latihan bagi orang-orang muda Osing untuk menghidupi tradisi Kemiren. Upaya para orang tua Kemiren ini adalah dalam kerangka mewariskan kesenian tradisional yang menjadi identitas ‘keosingan’. Melalui kesenian barongan maupun Reboan, anak-anak muda Kemiren ditanamkan kecintaan terhadap kesenian lokal mereka sendiri. Melalui latihan rutin dan kemudiandisertakan dalam
pementasan pesta khitanan, perkawinan
ataupun panen raya, para orang muda ini diajak untuk semakin mengenali diri mereka sebagai orang Osing. Namun ada satu hal yang bagi saya sungguh 35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menarik. Dua jenis kesenian ini anggotanya seluruhnya adalah laki-laki. Para perempuan muda tidak dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kesenian itu. Yang dapat para perempuan ini lakukan adalah menonton kesenian tersebut40. Orang Osing di Kemiren adalah sekelompok masyarakat agraris. Sawahdan ladang adalah sumber rejeki mereka. Hasil pertanian terbesar adalah padi. Selain padi,
tanah Kemiren menghasilkan jagung, kacang tanah, dan
kedelai. Selain itu ada perkebunan pemerintah dan swasta seperti PTP XXVI dan PTP XXIX yang menghasilkan karet, coklat, teh, kepala, kapuk dan cengkeh. Selain pertanian, perikanan juga menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Banyuwangi. Di sektor perdagangan, nilai ekspor terbesar didapat dari hasil pertanian serta perikanan41. Biasanya selepas bekerja di sawah, beberapa dari mereka akan istirahat sembari minum kopi dan ngobrol santai dengan dua atau tiga orang diantara mereka. Pembicaraan yang terjadi adalah pembicaraan ringan seputar apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka membicarakan apa saja yang terjadi saat mereka bekerja atau issue-issueaktual di dunia. Tidak jarang mereka melepas lelah sambil bermain angklung atau alat musik tradisional milik mereka sendiri. Oleh karena itu, merupakan hal yang biasa jika siang hari datang terutama sehabis makan siang, terdengar suara alat musik angklung sedang dimainkan di beberapa penjuru Desa Kemiren. Selain mengandalkan pertanian, Orang Using di Desa Kemiren juga memiliki sumber mata pencahariaan pada sektor industri. Salah satunya adalah pada industri batu bata. Di desa ini terdapat pabrik batu bata rumahan. 40 41
Hasil wawancara dan pengamatan tanggal 5 Mei 2011 Ibid.hal.35
36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Yang bekerja ditempat ini bukan hanya laki-laki. Banyak sekali perempuan Kemiren terutama ibu-ibu muda atau setengah baya yang bekerja di pabrik ini. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di pabrik batu bata, alasannya sangat sederhana, mereka butuh uang tambahan untuk belanja serta jajan untuk anak-anak mereka yang masih sekolah. Para perempuan ini akan bekerja di pabrik setelah urusan rumah tangga mereka selesai. Misalnya menyiapkan makan untuk anak dan suami atau membereskan rumah serta sejumlah pekerjaan domestik lainnya. Jika urusan domestik selesai, biasanya sekitar pukul 8 atau 9, para perempuan ini akan pergi ke pabrik untuk bekerja mencetak bata. Menjelang siang, sekitar pukul 11 mereka kembali ke rumah untuk beristirahat. Selepas istirahat, mereka bisa kembali bekerja atau tetap tinggal di rumah. Selain itu mereka juga bisa melanjutkan kegiatan lainnya, seperti pengajian, atau sekedar ngobrol-ngobrol dengan tetangga. Upah yang diterima para perempuan ini sungguh tidak banyak. Mereka menerima upah berdasarkan jumlah batu bata yang berhasil mereka cetak. Padahal harga batu bata tiap satuannya adalah 50 rupiah.42 Sebuah upah yang sangat kecil mengingat pekerjaan para perempuan ini cukup berat. Selama dua minggu bersama orang Using, saya melihat kesetiaan merekapada pekerjaan, baik sebagai petani ataupun pembuat batu bata. Saya tidak atau belum melihat perempuan yang duduk dan santai-santai apalagi nonton sinetron, seperti kebanyakan ibu-ibu di Jakarta. Para ibu di Jakarta ini biasanya nonton sinetron atau variety show sembarimemasak, atau menyetrika.
42
Hasil omong-omong dengan beberapa perempuan pembuat batu bata tanggal 7 Mei 2011
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara itu ibu-ibu di Kemiren sehabis melakukan pekerjaan rumah, biasanya ngobrol dengan tetangga. Ada juga yang sambil mencabut uban, atau mungkin sambil mencari kutu.Aktivitas sosial seperti inipun hanya terlihat sekitar jam 11an. Perempuan kemiren sejauh pengamatan saya adalah perempuan pekerja keras. Jauh dari gambaran yang saya dengar dari Ibu Nur tentang kemalasan orang-orang Using yang setelah bekerja, mendapat uang lalu menghabiskan hari itu juga.
C. Profil Gandrung di Kemiren Pekerja seni gandrung yang berhasil saya temui dan wawancara adalah sosok perempuan mandiri serta bertanggung jawab.Penghasilan menggandrung yang mereka dapatkan, dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau membantu keluarga lain. Jelas mereka tidak hidup untuk diri mereka sendiri. Dalam sub bab ini saya akan memamparkan kisah hasil wawancara tiga orang penggandrung, dua asal Kemiren dan satu dari Cungking.Masing-masing memiliki kisah dan pengalaman, yang –saya pikir- dapat menjawab sejumlah rumusan masalah di atas. 1. Gandrung Darti Saat saya temui dikediamannya didesa Kluncing, dalam bincang-bincang hari itu Darti didampingi suaminya. Didinding ruang tamu ada foto hitam putih Darti dengan kostum gandrung.Riasan wajah hanya menggunakan bedak tipis, pemerah bibir dan riasan tipis disekitar mata.Jika dibandingkan dengan riasan wajah gandrung sekarang, terlihat perbedaan yang mencolok.Riasan gandrung
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang saya lihat sekarang menggunakan riasan yang tebal sehingga wajah asli penari hampir tidakbisa dikenali. Darti adalah cucu dari mbah Semi.Usia Dartisekarang sekitar 50-an, jadi kira-kira dia lahir tahun 1960an.Diusianya yangke-50, Darti masih menerima tawaran manggung dibeberapa tempat. Bahkan, ikut serta dalam satu projek karya tari seorang koreografer tari bernama Dedy Lutan. Darti juga beberapa kali ikut latihan tari di Jakarta serta melakukan pentas besar di Jakarta. Selain itu, Darti juga sering melakukan tour ke luar Banyuwangi43. Kelincahan gerak tubuh dan keindahan suaranya telah membawa dirinya hingga ke panggung-panggung internasional. Ia bercerita, sejak usia sekolah dasar ia sudah tertarik pada kesenian gandrung.Dimanapun, kapanpun jika terdengar alunan musik, tanpa malu dan ragu Darti akan menari gandrung. Bahkan ia sering melakukannya di jalanan, bersama teman-temannya. Darti sempat menceritakan pengalamannyaketika ia masih bersekolah. Dahulu, jika Darti pulang dari sekolah dan tiba-tiba mendengar alunan musik gandrung, tubuh Darti akan langsung menari tanpa henti sampai ia tiba dirumah. Darti yang pada waktu wawancara ditemani oleh suami, mengatakan bahwa menjadi gandrung mendatangkan banyak keuntungan. Selain ia bisa terkenal, gandrung pun mendatangkan banyak uang. Apalagi ketika gandrung telah dijadikan ikon kota, gandrung pun makin dikenal sebagai kesenian hiburan. Namun semakin terkenalnya kesenian gandrung ini, tentu membuat banyak sekali gandrung-gandrung muda bermunculan. Kesempatan Darti
43
Hasil wawancara 7 Mei 2011
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menggandrung pun semakin terbatas. Tapi hal ini tidak terlalu dipikirkan Dartiyang penting kesenian itu tetap ada. Menurut Darti, gandrung-gandrung muda itu masih perlu banyak latihan baik gerak maupun suara. Karena sebenarnya banyak diantara mereka hanya suka menari tapi tidak berbakat menjadi gandrung. Bagi Darti, gandrung adalah kesenian yang harus punya dua kebisaan yaitu nyanyi dan gerak tari, kalau hanya bisa menari tetapi tidak bisa menyanyi, tentu akan percuma. Karena ketika menggandrung, seorang penari gandrung juga harusmenyanyi. “Jika hanya bisa nyanyi tetapi tidak bisa menari, ya bukan gandrung namanya. Jadi penyanyi saja” ujarnya. Menanggapi
stereotipe
negatif
seputar
gandrung
yang
katanya
sukamenggoda laki-laki Darti berkomentar, “Itu tidak benar, bisa jadi hanya karangan orang-orang yang memang tidak suka terhadap gandrung. Kalaupun gandrung bekerja didunia malam toh belum tentu menjadi perempuan gampangan yang bisa dibawa kemana-mana”. Menurutnya memang ada gandrung yang beberapa kali kawin cerai, tapi bukan berarti semua gandrung senang kawin cerai atau tidak setia. Mukhlis (suami Darti) bekerja di Dinas Kesenian Blambangan. Sebagai suami seorang gandrung ia sangat mendukung profesi istrinya. Prinsipnya ia tidak akan ikut campur urusan sang istri supaya Darti memiliki kebebasan untuk berekspresi sepenuhnya di arena gandrung.44 Pasangan ini tidak dikaruniai anak dan mereka terlihat bisa menerima keadaan ini dan bahagia.
44
Wawancara tanggal 11 Mei 2011 di Desa cungking rumah Kediaman Gandrung Darti
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(Saya bersama Gandrung Darti dan Mukhlis (suami Darti), di rumah kediamannya-foto koleksi pribadi) Menyandang tanggung jawab sebagai penerus gandrung Semi adalah pilihannya. Mulai dari lagu-lagu dan gerakan hingga ornament amprok semuanya masih original seperti yang ada sejak jaman Semi. Terlihat foto Semiberukuran kurang lebih 30 x 35 cmterpajang diruang tamu pasangan Darti dan Mukhlis. 2. Gandrung Temu Temu, adalah gandrung berusia 50-an.Ia teman seangkatan Darti . Temu berasal dari Desa Kemiren. Temu bercerita ia pernah menikah dengan seorang pegawai pemerintah. Namun kemudian bercerai setelahmengetahui bahwa si suami memiliki perempuan lain yang dinikahi secara diam-diam. Paling buruk lagi, ternyata perempuan yang dinikahi suaminya itu adalah rekan kerjanya di kantor. Temu pernah mencoba lagi untuk berkeluarga, namun lagi-lagi ia gagal ditengah jalan. Selanjutnya Temu memutuskan menjanda dan sekarang tinggal bersama anak angkatnya bernama Amiryang menjadi teman hidupnya sekarang ini. Temu sudah mengangkat Amir semenjak Amir masih bayi. Sekarang Amir sudah berusia 8 tahun. 41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Rumah tinggal Temu terlihat tidak terurus.Lampu dapur mati, kamar mandi dan WC rusak.Kondisi ini membuat Temu dan Amir harus pergi ke sungai untuk urusan mandi dan buang air, juga cuci mencuci. Lantai peluran pun sudah kelihatan rusak disana-sini. Bisa dibayangkan, meskipun disapu berkali-kali lantai itu tetap kotor, karena pasir dan semen bekas peluran memang tidak bisa dibersihkan dengan sempurna. Kalaupun dibersihkan pasti orang pikir rumah ini tidak pernah disapu. Di ruang tamu itu ada satu set TV dan DVD player yang belakangan saya ketahui selain sebagai satu-satunya benda untuk hiburan juga dipakai untuk melatih anak-anak SMA yang setiap seminggu sekali latihan gandrung di rumah Temu. Temu bercerita, ia menjadi gandrung atas keinginan orang tuanya. Ketika itudukun gandrung meminta agar ibu Temu mengijinkan dirinya untuk mengajarkan gandrung kepada Temu.Keinginan si dukun lalu disampaikan ibu kepada Temu, dan langsung dijawab “Osing” oleh Temu, yang artinya tidak. Permintaan kedua datang dari dukun yang sama, tapi kali ini, menurut Temu, disertai guna-guna.Si dukun rupanya memberikan kopi kepada ibunya agar supaya diberikan kepada Temu.Setelah kopi diminum, Temu ditanya apakah bersedia menjadi gandrung dan tanpa ragu-ragu Temu menjawab “ya”45. Tampaknya guna-guna adalah hal biasa di desa ini. Hingga kini saya masih mencoba untuk memahami masalah ini dengan seksama.
45
Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kemudian sejak berkata “ya”, Temu tinggal bersama dukun 46 gandrung dan berlatih setiap hari. Menurut Temu, ternyata si dukun sudah mengetahui bahwa dirinya punya potensi untuk menjadi gandrung terkenal. Menurut dukun itu, Temu memiliki suara yang indah serta gerakan yang lincah dan luwes, didukung dengan postur tubuh yang tinggi semampai dan leher jenjang. Dari berbagai potensi yang dimiliki oleh Temu itu, si dukun mendapat keuntungan besar dengan melatih Temu. Hampir tiap malam grupnya menerima tawaran untuk pentas dimana-mana. Ketika itu,kenang Tinah, tiap malam ia dan grup gandrungnya harus berjuang menempuh tempat pentas yang jaraknya cukup jauh. Dan yang lebih sulit lagi adalah kendaraan yang dapat disewa masih amat terbatas. Sehingga sering ditempuh dengan berjalan kaki. Seorang perempuan seusia Temu (sekitar 50an) yang saya temui diarena gandrung pada malam pertunjukan berkata” Saya suka suara Temu sejak masa muda, meskipun sudah tua dan tidak selincah dulu, tapi gending-gending yang dilagukannya selalu membuat saya mengeluarkan air mata”, Kini diusia ke-53, Temu sudah jarang menerima tawaran mentas. Kalaupun ada itu juga belum tentu sebulan sekali. Padahal sampai hari ini gandrung adalah andalannya untuk mempertahankan hidup. Temu tidak memiliki keahlian lain selain menggandrung. Memang ada beberapa ayam kampung yang ia ternakan untuk dijual telurnya, tetapi itupun tidak pasti, atau menjadi buruh tani. Melihat kondisi Temu, Pak Pur menyarankan kepada setiap orang yang datang mewawancarai atau berguru menari kepada Temu, untuk memberikan uang tanda terimakasih.
46
Istilah dukun sekarang tidak dipakai lagi, mereka memakai istilah pelatih.
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Didepan rumah Temu terpampang “sanggar kesenian gandrung
sopo
ngiro”.Tidak seperti sanggar-sanggartari lainnya yang selalu ramai didatangi anak-anak yang datang untuk belajar, sanggar Tinah ini hanya beberapa kali dalam seminggu ramai didatangi anak-anak setingkat SMA yang datang untuk berlatih dengannya. Sanggar ini juga berfungsisebagai wadah kelompok gandrung beserta krunya, yaitu para pemain musik, untuk berkumpul. Ditempat Tinah memang tidak akan ditemui alat musik apapun untuk mengiringi gandrung. Nampaknya sanggar ini bentuk kolaborasi antar beberapa orang yang punya kepandaian bermain alat musik pengiring. Keuntungan dari sanggar ini adalah jika orang menyewa Temu sebagai gandrung, maka mereka juga akanmendapatkan para pemain musik beserta beberapa penari yang menjadi anggota sanggar tersebut. Temu mempunyai murid-murid, yang dibawanya setiap kali Temu mendapat tawaran, Anak buah Temu yang sempat saya temui antara lain Reni, Mia dan Viroh. Mereka bertiga berguru pada Temu, dan temu selalu menantang mereka untuk berlatih lebih keras terutama soal menyanyikan gending-gending wajib gandrung. Dan sebaliknya kalau mereka mendapat tawaran pentaspun akan mengajak kelompok sanggar sopo ngiro.
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(Depan rumah Temu-foto koleksi pribadi) Dalam kesehariannya para pengiring gandrung ini adalah petani, tidak jauh berbeda dengan Temu yang terkadang menjadi buruh tani. Rumah yang ditempati Temu sekarang merupakan rumah warisan yang sudah pernah direnovasi bertahun-tahun lalu.Sekarang, Temu tidak lagi bisa memperbaiki kerusakan apapun termasuk tidak bisamembeli lampu kamar mandi juga dapur yang mati entah sejak kapan. Kondisi keuangan Temu memang amat menyedihkan. Hal ini bisa dilihat dari kondisi rumahnya serta dari makanan yang dimakannya sehari-hari. Hari itu Tinah menggoreng gereh (ikan asin) yang harganya amat murah. Ia juga memasak sayur daun lontar yang dipetiknya dari kebon tetangga. Menurutnya kalau urusan makan, ia memang makan seadanya. Baginya, yang penting Amir bisa makan setiap hari. Menurut Temu, Amir makannya banyak sekali. “Maklum anak lakilaki”, kata Tinah sambil tertawa. 3. Gandrung Mudaiyah
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mudaiyah adalah gandrung berusia sekitar 48 tahun. Pagi itu ia kelihatan bugar memakai t-shirt berwarna hitam bermotif bunga dari payet perak.Saat kami datang, ia sedang menghias amprok (hiasan kepala untuk kepentingan kostum gandrung) yang baru dibuatnya. Kadang dia juga membuat kostum gandrung sendiri. Tidak heran kalau kostum gandrungnya selalu terlihat baru, karena dia merawatnya dengan baik. Mudaiyah pernah menikah dengan laki-laki yang ditemuinya di arena gandrung. Namun setelah selang beberapa waktu, ia mengetahui bahwa laki-laki yang ia nikahi tersebut sudah punya istri, maka dirinya memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Hingga kini relasi mereka berdua masih amat baik47. Mudaiyah bercerita, bahwa ketika sekolah dasar kelas tiga, ia lebih sering tidur di kelas ketimbang ikut mendengarkan guru mengajar. Kebiasaan tidurnya itu terjadi karena dirumah ia harus membantu orang tuanya melakukan pekerjaan rumah sekaligusmencari makan. Ia harus pergi nganksak (memungut sisa-sisa padi orang panen) atau pergi kesungai untukmencari udang atau ikan apa saja (ikan sungai), supaya adik-adiknya bisa makan. Membatu tetangga agar mendapatkan sedikit makanan. Dalam hal akademik Mudaiyah memang ketinggalan jauh dari temantemannya.Namun pada suatu hari ketika ada acara disekolah dan ia berlatih menari gandrung, seorang guru berkata kepadanya “Kamu akan menjadi penari gandrung terkenal”. Mud -begitu panggilan akrabnya- memang lebih suka menari daripada belajar di kelas. Ketika ia tidak naik kelas, ia memutuskan untuk tidak
47
Hasil wawancara dengan yang bersangkutan tanggal 6 Mei 2011
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melanjutkan sekolah dan mulai berguru pada seorang gandrung terkenal dimasanya. Buah dari kerja kerasnya berlatih gandrung adalah kemakmuran ekonomi di masa depan yaitu sekarang ini. Sekarang Mud menikmati kemakmuran ekonomi bersama ibunya yang sudah semakin tua. Rumah besar dan cukup terawat bersih serta teratur dengan perlengkapan furniture yang kelihatan mewah untuk ukuran orang desa Kemiren. Lemari yang biasa dipakai untuk menyimpan barang-barang pajangan diruang tamu juga kelihatan mewah. Ia bercerita bahwa sejak pertama manggung gandrung, ia menyisihkan uangnya untuk ditabung dan sisanya untuk membantu kehidupan keluarga. Tabungannya lama-lama cukup untuk membeli sawah dan sapi, sehingga ayahnya tidak lagi menjadi buruh tani tetapi menjadi pemilik sawah yang diolahnya sendiri. Kemudian ia menabung lagi hingga akhirnya bisa memperbaiki rumahnya yang sekarang ditempati. Tidak sampai disitu, Mud menyadari bahwa menggandrung tidak akan dilakoninya seumur hidup, maka dia menabung dan memulai usaha salon kecantikan yang sekarang ini dikerjakan bersama dengan anak angkatnya. Mud juga melihat peluang usaha lainnya. Ia melihat bahwa banyak orang yang membutuhkan mobil kol terbuka untuk mengangkut sayuran atau hasil kebon lainnya. Maka Mud pun membeli mobil kol untuk disewakan kepada para petani pada saat musim panen raya tiba. Kemampuan Mud rupanya tidak sebatas pada menari gandrung. Ia juga pandaiberbisnis. Dengan kemampuannya itu, kini Mud mempunyai sejumlah anak angkat yang dibiayainya sekolah hingga SMA. Mud juga mampu memberikan modal kepada sejumlah orang yang ingin mengikuti jejaknya. 47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Diceritakan
bahwa
pantang
baginya
untuk
menolak
tawaran
menggandrung. Meskipun sakit, jika tidak terlalu parah, ia pun pergi. Ini merupakan janji terhadap dirinya sendiri.Kadang tawaran bisa seminggu 2 sampai 3 kali, dan itu cukup melelahkan. Meskipun sekarang banyak gandrung muda, popularitas Mud belum pudar, mengingat Mud mempunyai keunikan sendiri dalam menari yang belum bisa ditiru oleh gandrung lainnya. Mud memiliki gaya jenaka serta ramahkepada setiap tamu yang hadir.48 Mud termasuk gandrung yang rajin dan pintar.Kemampuanya melihat masa depan membantu dia menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Mud adalah tipe yang rajin bekerja. Tangannya tidak pernah berhenti melakukan pekerjaan. Ia rajin membuat dan menghias aprok gandrungnya sendiri, maka tidak heran jika amprok Mudselalu terlihat bagus dan ada corak-corak yang berubah. Sikap bersahabatnya terhadap siapa saja, terlihatdari keramahannya menerima saya dan menerima tamu seorang petugas dari Dewan Kesenian Blambangan (DKB) yang menjadi sahabatnya. Kedekatannya pada pemerintahan lokal, ternyata membuat posisinya aman. Mud selalu mendapat tawaran manggung atau mengajar tari.Saya menduga kedatangan orang dari DKB pada waktu itu berkaitan dengan pelatihan gandrung masal.
48
Diungkapkan pada saat wawancara tanggal 10 Mei 201i
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(Mudaiyah-foto koleksi pribadi) Setelah berbicara dan mengamati kehidupan ketiga gandrung itu, saya melihat kesamaan diantara ketiganya. Bagi saya, mereka bertiga adalah perempuan-dperempuan pekerja seni tradisi profesional yangbekerja untuk kelangsungan hidup mereka sendiri dan sebenarnya tidak terlalu perduli dengan tradisi, Mereka menari gandrung semata-mata untuk uang saja. Kebetulan profesi mereka ini berkaitan erat dengan kesenian lokal, yang historis.
D. Wacana Seputar Gandrung Sub bab ini akan membahas sejumlah wacana yang berputar-putar di seputar gandrung. Berbagai pendapat tentang gandrung sebagai sebuah bentuk kesenian, perempuan penarinya serta interaksi yang terjalin diantara mereka dengan para pendatang dan masyarakat asli Osing, juga akan dibahas dalam sub bab ini. 1. Pendidikan “Menjadi gandrung tidak perlu pintar dan berpendidikan”. Hal ini sering diungkapkan oleh dua narasumber yaitu Mudaiyah dan Temu. Karir
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menggandrung mereka memang terhitung berhasil, walaupun keduanya tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar. Dari ketiga gandrung yang saya wawancarai secara mendalam, hanya Darti yang lulus sekolah dasar.Alasan pertama karena tidak ada biaya sekolah, kedua ia menganggap dirinya tidak pintar, serta yang ketigakeinginannya menjadi penari gandrung mengalahkan semangat bersekolah. Kurangnya pendidikan dan pengalaman di luar panggung gandrung membuat mereka seringkalijadi ‘permainan’ pihak lain. Pada tahun 1980-an Temu menerima tawaran rekaman. Sebut saja Zamroni, seorang broker asal Banyuwangi. Dengan bujuk rayu dia meminta Temu untuk membantu bisnis rekaman yang dijalaninya. Ternyata bisnis itu memberi keuntungan banyak bagi para produser, broker hingga ke distributor. Hampir semua albumnya mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Album Disco Etnic 2000 misalnya yang di produseri oleh Sandi Record tahun 2003 terhitung cukup sukses. Sebanyak 50.000 keping CD terjual dan sekitar 4.000 keping kaset pita laris terjual. Lagu Kangen Banyuwangi yang dinyanyikannya menjadi andalan.49 Meskipun demikian, setiap hari Temu masih harus berpikir keras apa yang bisa dimakan besok. Sehingga mau tidak mau menjadi buruh sawah.Baginya yang penting ada beras yang bisa dimakan keesokan harinya. Padahal kalau dihitung-hitung, keuntungan yang didapat oleh pihak produser 200 kali lipat
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekitar Rp.350.000.000. Jumlah yang luar biasa banyak jika diterima oleh si penyanyi. Sementara upah yang diterima si Tinah hanya 1,5 juta rupiah.50 Kasus tersebut kerap dialami Temu, tetapi dirinya tidak mampu berbuat banyak. Tidak pernah ada perjanjian tertulis atau kontrak, kalaupun ada itu hanya mengatur masalah hak dan kewajiban. Itupun hanya perjanjian produser dengan broker. Dyah Larasati51, ternyata juga mengenal satu nama yang sama yaitu gandrung Temu.Kami berdua dalam waktu yang berbeda pernah datang kerumahnya di desa Kemiren. Dari Dyah, saya mengetahui bahwa rekaman lagulagu Osing yang dinyanyikan sudah sampai ke teman-temannya di Amerika dan Eropa. Mbak Dyah –demikian saya memanggilnya- sebelumnya mengira kehidupan Temu jauh lebih baik karena royalty yang cukup lumayan dari hasil rekamannya. Namun ternyata apa yang ia bayangkan amat jauh dari kenyataan.Ia amat menyayangkan tidak ada pihak yang bersedia mengakomodir persoalan “penipuan” tersebut. Terbayang sejumlah uang royalti yang seharusnya diterima Temu setiap tahunnya. Tapi ternyata kemiskinan tetap menggelayuti hidupnya. Tidak sepeserpun keuntungan diterimanya, karena memang tidak ada perjanjian apapun sebelumnya.Peristiwa tersebut seharusnya tidak terjadi jika gandrung cukup mempunyai pengetahuan tentangsegala sesuatu yang berkaitan dengan profesinya. Memang di jaman Mudaiyah dan Temu, para penari gandrung tidak bersekolah. Namun sekarang, menggandrung adalah salah satu jalan untuk
50
“Pertarungan Identitas”.Dalam Etnografi Gandrung.Desantara 2008.Hal.115 Dyah adalah seorang profesor seni di salah satu Universitas di Amerika Serika. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di IRB. 51
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memenuhi biaya sekolah. Sebut saja Intan seorang gandrung yang masih kuliah di salah satu universitas swasta di Banyuwangi. Intan membiayai kuliahnya sendiri dari hasil nggandrung. Bagi Intan, tidak sulit membagi waktu antara kuliah serta nggandrung, karena tawaran hanya datangseminggu dua kali. 52 Selebihnya waktu bisa diatur sendiri. Meskipun banyak temannya yang mengolok-olok, tapi Intan terus menari untuk membayar kuliahnya bahkan bisa membantu kebutuhan ekonomi orang tuanya. Jika mendengar kehidupan para gandrung yang menjadi narasumber dalam tulisan ini, pendidikan tampaknya memang tidak terlalu penting ketika itu. Gandrung ternama seperti Temu, Mudaiyah dan Darti, tidak terlalu mementingkan pendidikan formal. Karena kemungkinan besar orientasi pada masa itu lebih pada memenuhi ekonomi dan bukan pendidikan. Sebaliknya,gandrung sekarang paling rendah pendidikan mereka adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada tahun 60-an, belajar gandrung dibayar dengan tenaga. Ketika belajar gandrung Mudaiyah tidak mengeluarkan sepeserpun. Ia harus membayar dengan tenaga, misalnya dengan membersihkan rumah si guru atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Berbeda dengan gandrung Mudaiyah, gandrung Darti adalah keturunan Mbah Semi. Sejak kecil kalau mendengar musik gandrung atau musik apapun, secara otomatis tubuhnya menarikan gerakan gandrung. “Kegilaan” pada gandrung ini membuat dirinya tidak tertarik untuk belajar, sehingga baginya, bisa membaca dan menulis sudah amat cukup. Sejak kecil, banyak yang yakin kepada
52
Hasil wawancara redaksi SRINTIL dengan Intan, dalam rekaman video tahun 2008
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Darti bahwa ia akan menjadi gandrung terkenal. Hal ini juga memperkuat niatnya untuk tidak melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Diakui oleh para gandrung bahwa profesi ini menawarkan uang dan popularitas. Pertama-tama yang harus diraih adalah popularitas. Setiap gandrung memiliki cara berbeda untuk mendapatkan yang satu ini. Sikap ramah, menahan marah jika ada yang mengganggu, adalah salah satu kekhasan individu penari. Misalnya seperti yang di lakukan oleh gandrung Mudaiyah. Kelincahan menjadi ciri khasnya.53 Sementara gandrung Temu memiliki suara indah dan sampai hari ini belum ada gandrung yang memiliki suara melebihi keindahan suaranya.54 Menurut para gandrung, bersamaan dengan popularitas akan datang tawaran pentas dan uang. Dan ketika itu, ditahun 60-an para gandrung ini masih sering pentas. Sehingga mereka tidak perlu kuatir akan kehabisan uang. Pada waktu itu, gandrung memang kesenian tradisi yang amat populer. Hampir seminggu dua kali para penari ini mendapat tawaran untuk pentas. Tetapi sekarang ini masyarakat memiliki banyak pilihan hiburan. Gandrung pun mulai menjadi nomor sekian untuk mengisi acara pesta serta syukuran. Tawaran mentas menjadi tidak rutin, sementara kehidupan terus berjalan. Berbeda dengan gandrung Temu yang kehidupannya memprihatinkan. Kalau tidak ada tawaran pentas gandrung, untuk kebutuhan hidup setiap harinya, ia harus ‘gali lobang tutup lobang’55. Sebegitu memprihatinkannya kehidupan Temu, membuat banyak orang menaruh belas kasih kepadanya dan memberi 53
Diungkapkan pada saat wawancara dengan yang bersangkutan pada tanggal 10 Mei 2011 Berdasarkan wawancara dengan pak Pur, dan dikuatkan oleh beberapa orang penonton yang saya temui. 55 berhutang pada satu orang untuk menutup hutang yang lain 54
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bantuan berupa makanan atau uang. Bahkan ada himbauan dari seorang kerabat Temu, yang ditujukan kepada para pewawancara untuk memberi uang setiap kali selesai wawancara. Dan bagi para siswa SMA yang belajar gandrung kepadanya, paling tidak setiap kali Dating memberi urunan sebesar Rp.5000 /orang. Dibanding berbagai kisah hidup para gandrung senior, saya melihat ada semacam kesan dari para gandrung muda sekarang ini untuk tidak hanya menggantungkan diri pada keahlian menggandrung, tetapi lebih kreatif dengan bergabung bersama kelompok nyanyi atau kelompok kesenian lainnya. Selain itu, pendidikan harus terus dijalankan bahkan hingga keperguruan tinggi. 2. Praktik Olah Tubuh Penari Gandrung Menjadi gandrung membutuhkan profesionalisme. Para penari gandrung harus serius menjaga diri mereka agar tetap bugar dan tidak mudah sakit. Selain itu, mereka juga harus menjaga kualitas suara agar tidak mengecewakan ketika harus bernyanyi saat di atas pentas. Penjagaan suara ini salah satunya dilakukan dengan tidak makan goreng-gorengan serta melakukan gurah untuk menjaga keindahan suara. Para gandrung ini juga rutin minum jamu untuk menjaga kebugaran, menjaga kesehatan kulit serta penampilan. Mereka sesekali juga harus luluran supaya kulit tetap halus dan terawat. Ketika pentas, para gandrung ini harus merias wajah dengan total, sehingga penampilan mereka tidak mengecewakan penonton.56 Kain yang melilit bagian pinggang kebawah para penari gandrung juga dibuat sangat ketatagar sepanjang malam mereka tahan untuk tidak ke toilet. Oleh karena itu mereka memiliki cara tersendiri untuk mengikat bagian bawah perut
56
Wawancara dengan Mudaiyah, di rumahnya tgl. 10Mei 2011
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekencang-kencangnya untuk menekan saluran urine, supaya selama pertunjukan hasrat buang air kecil dapat ditahan. Untuk menahan kantuk, mereka mereka minum semacam pil khusus yang membuat tubuh tetap segar. Segala upaya memang dilakukan para gandrung ini agar setiap penampilan diatas panggung terlihat prima hingga pagi hari. Temu berperawakan tinggi ramping dan berleher panjang. Di usianya yang ke 53 tubuh Temu tetap terlihat sangat terawat.Begitu juga dengan Mudaiyah yang perawakan kecil ramping dan berleher panjang. Menurut Mudaiyah itulah ciri-ciri tubuh idaman untuk menjadi seorang gandrung. Pendapat ini menurut saya amat menarik untuk dicermati, karena ketika saya melihat gandrung Darti, diusianya yang sama dengan Temu, tubuhnya terlihat sedikit gemuk. Namun bagi Darti soal perubahan bentuk tubuh sepertinya tidak jadi masalah. Walaupun gemuk ia masih saja menerima undangan menggandrung di tempat lain, bahkan di Jakarta bersama kelompok tari pimpinan Dedy Lutan. Satu malam, ketika saya berada di rumah kediaman Temu, sambil menunggu waktu berangkat manggung, datanglah seorang gandrung muda ditemani suaminya. Bernama Reni, perempuan muda ini berusia sekitar 25 tahun. Tubuhnya tinggi besar,bagian dada dan bokongnya kelihatan besar, apalagi kaos dan celana panjang yang dipakai pada waktu itu kelihatan sekali memperlihatkan lekuk tubuh Reni.Si suami menghampiri saya dan berkata, “Ibu, kalau orang nyandu obat atau rokok saya nyandu istri saya”.57 Pernyataan ini sungguh tidak saya duga. Reni rupanya juga mendengar apa yang dikatakan suaminya. “Sejak kemarin saya tidak ‘nyampur’ dengan istri, ada
57
Hasil pengamatan lapangan 11 Mei 2011
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pantangan tidak boleh ‘nyampur’ tiga hari sebelum pentas, agar stamina terjaga”, lanjut suami Reni itu, yang -sebut saja- bernama Hasan. Malam itu Hasan ikut bersama kami rombongan ke lokasi gandrung. Padahal gandrung yang lain tidak diantar oleh suami. Menurut kasak kusuk, Hasan melakukan ini terhadap istrinya karena dia overprotectif terhadap istrinya.Padahal anak mereka, ditinggal dirumah sendirian. Aktifitas perempuan gandrung berupa pentas yang dilakukan pada malam hari merupakan sebuah kerja professional berorientasi pada uang. Dalam pengamatan saya, Temu dan Reni (gandrung hasil didikan Temu) bersedia menerima undangan pentas dimana saja kapan saja, karena mereka harus membiayai hidup keluarganya. Menurut Reni, suaminya tidak mempunyai pekerjaan yang jelas sehingga setiap ada kesempatan gandrung pasti akan diterimanaya. Selain menjaga kesehatan, memelihara tubuh serta suara, para perempuan gandrung juga harus pandai menjaga sikap dan tingkah laku agar terlihat tenang. Sikap santun dan mampu menguasai emosi harus dimiliki, terutama ketika berada di atas panggung. Sikap ini diperlukan karena mereka tidak pernah tahu siapa saja tamu yang akan datang.58Tua, muda, miskin maupun kaya, semua harus dilayani dengan cara yang sama. Tidak jarang ada tamu yang nakal, ingin pegang-pegang atau bicara dengan nada melecehkan. Seperti yang diceritaka Reni kepada saya, bahwa pada satu hari ada seorang pemaju yang membisikan “Daripada semalaman disini ayo temeni saya tidur di hotel”. Tentu Reni menolaknya dengan nada yang
58
Wawancara dengan pasangan Reni dan Hasan di kediaman gandrung Temu13 Mei 2011,
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sopan.Namun jawaban Reni itu ditanggapi lagi dengan “Ayolah,sedikit aja, ujungnya aja juga tidak apa-apa”. Selain itu, juga pernah ada tamu yang mengatakan kepada penari gandrung “Eh…, tidur bareng aku yuk.” Atau pada saat menari bersama sikap tubuh tamu itu terkesan agresif seperti ingin menyentuh bagian pinggul atau dengan sengaja wajahnya dihadapkan persis didepan payudara si gandrung.59 Godaan dan pelecehan yang dihadapi oleh Reni itu adalah hal yang biasa. Bagi para gandrung, hal-hal seperti itutentu harus dihadapi dengan tenang dan sikap bijak. Mudaiyah adalah salah seorang gandrung senior yang kelincahan geraknya telah dikenal orang.Bahkan menurutnya ada pihak-pihak yang mengkritik gerakannya keluar dari pakem gandrung. Kelincahannya dalam gerak tari mampu menghidupkan suasana pesta menjadi lebih meriah kadang mengundang tawa. Kalau ada seorang pemaju yang tidak bisa mengimbangi gerakannya. Mudaiyah, tidak segan-segan mengajari tamu yang tidak bisa ngibing atau malumalu. Baginya tugas utama sebagai penari gandrung adalah menghibur para tamu undangan, baik tua ataupun muda, berduit ataupun tidak berduit. Mudaiyah selalu berusaha
peka
pada
suasana
sekitar
panggung
untuk
menciptakan
kegembiraan.60Baginya, jika para tamu terhibur dan senang ia berarti telah berhasil menunaikan tugasnya sebagai penari gandrung. 3.Pertunjukan Gandrung Terop Hari itu bulan Mei 2011, adalah observasi lapangan pertama saya dalam pertunjukan gandrung terop. Pertunjukan ini untukmenghibur para tamu untdangan warga desa dalam acara syukuran sunatan. Bersama kelompok sopo 59 60
Diperkuat hasil pengamatan lapangan tanggal 12 Mei 2011 Hasil wawancara tanggal 10Mei 2011, di rumah Gandrung Mudaiyah
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ngiro, antara lain ada gandrung Mia dan Viroh. Para pemusik antara lain Karman, sebagai pemain kendang kempul, Surip memainkan trianglesekaligus menjadi kluncing, Tarpin sebagai pemain gong,61 Sejak sebelum Maghrib saya sudah berada di rumah Temu untuk melihat persiapan pentas malam itu. Seorang perempuan setengah baya sibuk mempersiapkan kostum lengkap dengan amprok berikut syarat-syaratnya, seperti kembang sepatu warna merah serta peralatan rias lainnya. Beruntung disekitar rumah tetangga masih ditemukan kembang sepatu berwarna merah, dan saya menemani perempuan ini memetiknya. Setibanya di rumah, mulai dipersiapkan bedak bubuk dan segala rupa.Ada air dalam botol, dan mangkok plastik.Belakangan saya baru tahu kalau mangkok plastik itu untuk tempat campuran bedak bubuk serta air mawar. Bedak bubuk itu itu nantinya akan diborehkan keseluruh tubuh Temu, sehingga warna kulit Temu nampak lebih kuning dan bersinar. Menjelang pukul 19:00 datang Mia, seorang gandrung muda asuhan Temuberusia 25 tahun. Kemudian menjelang pukul 20:00 datanglah mobil bak tertutup yang didalamnya terdapat alat musik yang akan digunakan untuk mengiringi pentas malam ini, berupa kendang kempul, gong, serta kluncing. Dengan mobil inilah kami berangkat ke lokasi yang letaknya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Sebuah perjalanan yang lumayan lama serta menantang. Kondisi jalan yang berbatu serta licin akibat hujan lebat yang baru saja turun membuat saya sedikit gugup, jangan-jangan kami tidak bisa sampai dengan selamat. Tetapi melihat seluruh rombongan gandrung tampak
61
Karman, Surip, Tarpin adalah nama samaran.
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
santai, dan sopir sepertinya sudah terbiasa dengan kondisi itu, membuat saya lebih tenang. Setibanya di lokasi, rombongan “Sopo Ngiro” ini masih harus melewati pematang sawah yang becek dan licin. Tetapi tampaknya hal ini sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Tidak ada wajah-wajah yang takut saat melewati pematang sawah itu. Mereka malah tertawa-tawa dan bercanda dengan sesama rombongan. Sepertiya hanya saya yang takut terpeleset melewati pematang yang becek dan berlumpur itu. Sampai di rumah yang punya gawe, rombongan ini sudah ditunggu oleh yang empunya rumah serta seluruh tamu undangan. Setelah istirahat kira-kira 15 menit sambil minum teh, kelompok pemusik bersiap menata peralatan musik. Gandrung Temu dan Mia kemudian masuk kerumah empunya pesta dan mulai mempersiapkan diri. Sesampainya di ruang tamu empunya pesta, kedua gandrung ini membongkar tas dan mengeluarkan isinya lalu mulai berdandan. Ruang berdandan ini dipenuhi oleh anak-anak dan perempuan. Mereka menonton para gandrung ini berhias diri, bahkan si anak yang disunat sengaja dibawa masuk ruangan.Alat rias yang dipunyai Mia bermerek LaTulip. Alat-alat itu terlihat tersusun sangat teratur. Sementara peralatan dandan Temu tampak seadanya, misalnya bedak Viva kantong plastikan, gincu merah yang sudah tak terurus serta bulu mata palsu yang juga sudah tidak pada tempatnya. Ketika berganti kostum, Temu dengan santai membuka baju dan kutang didepan anak-anak dan perempuan yang menonton. Berbeda dengan Mia yang saat ganti kostum masuk kedalam kamar hingga siap pentas.
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(Mia sedang berdandan-foto koleksi pribadi ) Kelompok gandrung ini ditanggap berdasarkan nadhar seorang nenek terhadap cucunya. Nenek itu mengatakan kepada cucunya bahwa ia akan nanggap gandrung kalaucucu pertama laki-lakinya disunat. Untuk menyatakan bahwa nadhar telah dibayar, dibuatlah satu ritual kecil. Ritual ini dilakukan oleh pihak keluarga yang terdiri dari suami, istri serta didampingi gandrung Mia dan gandrung Viroh.62 Setelah pihak keluarga mengatakan “Hutang sudah dibayar, maka jangan ada yang menagih lagi,” dan dilanjutkan “Bismillahirrahmanirrahim,” mereka akan saling menarik ujung ketupat sehingga beras yang ada di dalamnya keluar berantakan. Kemudian setelah ritual kecil itu selesai dilakukan, arena gandrung dibuka oleh gandrung Mia dan gandrung Viroh. Meja-meja tamu penuh diisi oleh laki-laki. Hanya ada satu perempuan pada meja itu. Saya kemudian mengamati orang-orang yang duduk di meja tamu tersebut. Di meja satu terlihat satu orang menaruh bir bintang di atas meja. Meja dua fmengeluarkan botol-botol plastik Aqua, yang kalau diperhatikan, dan saya yakin, itu bukan air putih melainkan semacam minuman beralkohol seperti ciu 62
Gandrung Viroh, anak asuh Temu yang datang terlambat karena alasan hujan, datang bersama ayahnya dalam keadaan sudah dirias hanya benrganti kostum yang dilakukan dengan cepat dibantu si ayah.
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau sejenisnya. Meja tiga berisi bir bintang. Di setiap meja hanya ada satu gelas, dan ada satu orang yang menuangkan kedalam gelas dan memberikan kepada teman semeja, begitu seterusnya. Katanya pemberian itu tidak boleh ditolak sebagai bentuk pertemanan dan solidaritas. Dan berbagi minuman lintas meja amat dimungkinkan. Gandrung duduk di meja satusambil ngobrol-ngobrol dengan tamu. Sejauh pengamatan saya, tidak terlihat sekalipun gandrung ikut minum atau merokok. Gandrung hanya menghibur dan menuruti kemauan tamu pilihannya. Dua orang gandrung menari dengan iringan gending atau menyanyi sambil menari sendiri. Terkadang mereka menerima uang atau saweran dengan tangan mereka, untukkemudian diselipkan di balik kemben mereka. Begitu seterusnya hingga secara adil setiap meja mendapatkan giliran yang sama. Jika ada yang ingin si penari gandrung tetap semeja, maka harus minta ijin pada petugas supaya meja lain tidak iri hati. Selama pertunjukan ini berlangsung ada seorang laki-laki yang bertugas mengatur perpindahan gandrung dari satu meja kemeja lain dan menjaga keamanan saat tari berpasangan belangsung. Menjelang jam 12 malam arena gandrung terbuka dimulai. Pemaju mulai menari bersama gandrung pilihan mereka. Kelihatan sekali gerakan-gerakan agresif yang terkadang mengundang tawa atau kengerian (untuk saya).Tidak jarang terjadi pelecehan terhadap si penari. Entah itu berupa kata-kata maupun tindakan. Misalnya “mhhh gemes aku karo susune”, atau para undangan tertawatawa ketika melihat pemaju yang begitu agresif seolah ingin mengejar gandrung. Tangar, merupakan salah satu gerak yang sering dipakai oleh penari gandrung ketika berada di arena. Tangar dilakukan untuk menolak, menghindar 61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau melindungi diri dari pemaju yang terlalu agresif, seperti hendak mencium, menyentuh juga memandang bagian tubuh gandrung yang sensual.Jika terlalu lama dibiarkan memandang, biasanya para pemaju ini akan melakukan tindakan yang tergolong nekat seperti menyeruduk para gandrung. Dibutuhkan skill untuk melakukan gerakan ini dan gandrung harus selalu waspada jika berada diatas panggung. Kadang saya sendiri merasa cemas jika sudah ada pemaju yang menari terlalu dekat dengan gandrung. Pada saat seperti inilah gandrung harus melempar sampur dan berputar dengan lembut serta cepat. Inilah gerakan tangar. Viroh, seorang gandrung yang berusia sekitar 20 tahun. Ia adalah gandrung muda cantik (kelihatan ABG = Anak Baru Gede). Viroh berguru gandrung pada Temu.Entah sudah berapa kali Viroh pentas bersama gurunya.Malam itu ada seorang pemaju yang sudah agak mabuk dan kepalanya hampir menyeruduk payudara Viroh. Viroh tampak amat ketakutan.Dengan cepat tangannya mendorong kepala si pemajuhingga jarak mereka menjadi jauh. Apa yang dilakukan Viroh, itu adalah spontanitas seorang perempuan yang menghidar dari tindakan yang melecehkan profesinya sebagai penari.Tindakan pelecehan lainnya adalah memegang pinggul, merangkul atau hampir mencium si penari. Semakin malam kegilaan pentas semakin menjadi. Para pemaju sudah mulai mabuk sementara para gandrung harus lebih lincah lagi jika tidak ingin dicium atau dipeluk. Menurut beberapa orang, kadang memang tidak bisa dihindari gerakan-gerakan yang melecehkan gandrung, karena itu gandrung harus gesit dan pandai menghindar. Semakin pagi tamu yang tertinggal hanya beberapa, tapi merekalah yang mabuk berat, bahkan tidak mau berhenti menari. 62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sesaat sebelum azan subuh terdengar, gandrung harus disudahi dengan tarian penutup yang disebut seblang subuh. Tapi sayang, pagi itu tarian penutup tidak dilakukan karena semua pemaju mabuk dan waktu sudah lewat. Sehingga pagi itu gandrung ditutup begitu saja tanpa ritual penutup. Berbeda dengan pesta pernikahan63 yang saya hadiri beberapa hari setelahnya.Terlihat para tamu duduk di kursi-kursi yang tersedia. Dalam satu meja bundar ada sekitar 6 kursi yang diduduki tamu. Kami agak terlambat datang karena lokasi agak jauh. Dari pengamatan saya, saya melihat ketika rombongan turun dari mobil, semua orang saling memberi kabar bahwa gandrung sudah datang dan anak-anak berlarian untuk mengelilingi tempat pesta. Terlihat para tamu sudah memenuhi kursi-kursi undangan yang memang disediakan untuk kelompok gandrung ini. Karena alasan sudah terlambat, kami langsung ke ruang dandan dan mempersiapkan diri untuk mentas. Perbedaan lainnya, ruang dandan terlihat lebih tertutup. Yang ada hanya tim gandrung dan tukang rias pengantin. Kalau di acara pesta sunat, gandrung Temu membuka dengan ngremo. Di pesta ini langsung dibuka dengan tari Jejer (tari pembuka gandrung). Menurut gandrung Temuhal itu dilakukan sesuai permintaan yang punya gawe.Selanjutnya pesta berjalan dengan sangat meriah, kali ini penonton perempuannya banyak, kemungkinan karena empunya gawe seorang tua yang tampaknya memiliki keluarga besar cukup guyub. Malam itu dalam pesta pernikahan, aroma minuman keras cukup terkendali, menurut beberapa pemusik, pengadaan minuman keras tergantung
63
Observasi kedua tanggal 13 Mei 2011
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kerjasama antara empunya pesta dengan pemilik mimunan, dan tentu saja keputusan ada ditangan si empunya pesta. 4. Gandrung Sang Idola Di tengah-tengah keramaian para tamu, tampak di salah satu kursi tamu seorang laki-laki tua yang membawa foto Temu ketika muda. Sebagai penghibur, Temu harus berkeliling dari satu meja lain, dan giliran tiba di meja tersebut.Lakilaki tua ini meminta Temuuntuk duduk disebelahnya sambil mengeluarkan uang 50 ribu yang kemudian diselipkan di tangannya. Sambil berdiri, gandrung Temu menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Osing. Itu artinya, setiap lagu ada harganya. Terlihat beberapa kali Temu menerima salam tempel dari laki-laki tua itu. Pada observasi pentas pertama, lokasi pentasnya lebih rendah dari jalan setapak yang mengelilingi tempat tersebut. Saya memperhatikan seorang perempuan berusia 50-an yang ketika itu berada di arena gandrung. Ia duduk di atas batu yang terletak dibelakang para tamu. Sejak muda ia telah mengagumi gandrung Temu. Dalam kesempatan itu, saya melihat iamelipat uang senilai lima puluh ribu rupiah. Lipatan uang itu ia masukkan ke dalam lipatan kertas bertuliskan syair lagu. Kertas itu diberikan kepada Temu untuk dinyanyikan olehnya. Ia bercerita, dari dulu sampai sekarang kalau mendengar suara Temu menyanyi meskipun dari kejauhan, hatinya terasa sedih dan selalu mengeluarkan air mata. Menurutnya, sampai hari ini, belum ada yang bisa mengalahkan keindahan dan kekhasan suara gandrung yang satu ini. Maka tidak heran kalau ada pemaju yang datang dari desa yang jauh hanya untuk mendengarkeindahan suaraTemu. Diusianya yang tidak muda lagi Temu memang masih laris untuk 64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
manggung.Ia belum terkalahkan oleh gandrung-gandrung muda. Ini terbukti di usianya ke-50, iamasih menerima tawaran pentas,meskipun tidak sepadat jamannya muda.
E. Menggandrung Demi Uang dan Tradisi Sebagai penerus gandrung Semi, tampaknya Darti lebih berhati-hati dalam menjaga nilai dan tradisi gandung yang diwariskan oleh Semi. Ini terungkap saat saya berbincang-bincang tentang gandrung yang kini mendapat citra negatif di masyarakat. Menurutnya, gandrung sudah mulai keluar dari jalurnya, misalnya issue yang beredar dimasyarakat bahwa gandrung suka merebut suami orang atau mau diajak jalan-jalan oleh laki-laki beristri. Selain itu, kebiasaan kawin cerai diantara keluarga gandrung juga telah mendapat stigma negatif di masyarakat. Bagi Darti hal tersebut sudah keluar dari aturan main gandrung Semi. Gandrung Darti mengatakan bahwa hal itu tergantung dari sikap setiap individu gandrung pada waktu di arena. Ia juga tidak menampik bahwa sering ada godaan berupa celotehannakal dari laki-laki yang ingin tidur bersama atau sekedar main kerumah. Godaan-godaan semacam itu dianggap wajar. Lagi-lagi kembali pada sikap individu. Suami Darti yang mendampinginya saat wawancara ini mengatakan bahwa suami para gandrung harus mengerti keadaan istrinya dan mendukung supaya tidak cemburu. Apalagi sampai pada perceraian. Menurut suami Darti, Kelompok Seniman Osing berupaya untuk terus melakukan pembinaan kepada para penari
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gandrung.64Usaha ini dulakukan salah satunya untuk mengurangi tuduhantuduhan negatif tersebut. Perkembangan lain yang dapat diamati adalah
terjadinya perubahan
ornamen pada amprok atau kostum gandrung. Bagi Darti
perubahan pada
ornamen pakaian atau amproktidak terlalu penting, karena baginya hal itu adalah kebebasan setiap individu asal tidak keluar jauh dari tradisi gandrung pada umumnya. Darti sendiri setia pada ornamen yang diwariskan oleh Semi,gandrung perempuan pertama yang juga neneknya. Ibu Suci Shinta,65 seorang perempuan pembuat kostum gandrung, juga tetap setia pada pola yang diwariskan oleh gandrung Semi. Tidak ada yang dirubah sedikitpun kecuali hiasan bunga. Biasanya, menurut Ibu Shinta, pada waktu pentas, gandrung menggunakan kembang sepatu warna merah. Tetapi karena alasan sulitnya mencari bunga segar, maka diganti dengan bunga dari kertas yang dibentuk seperti kembang sepatu. Ibu Suciter masuk orang langka yang bisa membuat kostum gandrung66 tanpa belajar sebelumnya. Ia belajar secara otodidak, caranya hanya dengan melihat dan meniru. Pak Sauni, suami ibu Shinta, adalah pemilik “sanggar Sekar Jagad” yang mempunyai anak binaan berkisar 40 anak-anakdan remaja. Untuk memenuhi kebutuhan kostum tari gandrung, Shinta mencoba untuk membuatnya sendiri. Alhasil ia berhasil dan menjadikannya sebagai bisnis keluarga. Bahkan
64
Wawancara Mei 2011 Shinta, istri Bapak Sauni pemilik sanggar Sekar Jagad, pengrajin kostum gandrung lengkap. Menerima pesanan kostum untuk segala umur , mulai untuk anak TK hingga dewasa. Semua dikerjakan sendiri tanpa merubah corak awal dekorasi kostum. 66 Yang saya wawancarai dirumahnya sekaligus tempat membuat kostum gandrung, tanggal 18 Mei 2011 65
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekarang banyak sekolah-sekolah Taman Kanak-Kanak juga ikutan memesan baju gandrung kecil kepada Shinta. Bagi perempuan asli Cungking (tempat asal mbah Semi) ini, meski punia tidak bisa menari gandrung, namun ia dikaruniai kemampuan membuat kostum dan suara indah khas gandrung. Karena keindahan suaranya itu, Shinta pernah mengikuti rekaman di salah satu studio di Surabaya. Sampai sekarang kegiatan rekaman masih terus dilakukan paling tidak satu kali setahun dan lagu-lagu Osing yang dinyanyikannya adalah ciptaan sang suami, yaitu pak Sauni.
F.Perempuan Penari Gandrung di Mata Masyarakat Sub bab ini akan membicarakan tentang bagaimana tanggapan sejumlah masyarakat, khususnya masyarakat Banyuwangi, lebih khusus lagi masyarakat Kemiren, terhadap para perempuan penari Gandrung. Pembicaraan pada bab ini akan memfokuskan pada pengalaman keseharian perempuan penari Gandrung, terutama para penari Gandrung di Kemiren yang telah menjadi narasumber saya. Sekarang ini begitu banyak stigma negatif di sekitar gandrung. Banyak yang menganggap gandrung senior hanya menuruti keinginan pemaju saja hanya untuk uang repenan yang lebih banyak. Salah satu informan saya mengatakan bahwa “Gandrung sekarang kehilangan wibawa sebagai tarian tradisi”.67 Ia mengatakan bahwa gandrung muda sekarang ini tidak semuanya bisa menyanyikan gending dengan bagus, sehingga kurang bisa menggerakkan emosi, terutama kalau menyanyikan lagulagu khas gandrung. 67
Hasil obrolan dengan seorang laki-laki disalah satu warung nasi di terminal Sasak Perot,tanggal 9 Mei 2011
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Program pelatihan gandrung yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Blambangan selama ini dianggap cukup berhasil dalam hal kuantitas. Akan tetapi dalam hal kualitas, diakui masih jauh dari harapan. Bagi Sauni,68 kemampuan gerak tubuh atau menari bisa dipelajari bila dibandingkan dengankemampuan mengolah suara.69 Kemampuan olah suara adalah hal yang amat penting bagi gandrung. Ini adalah salah satu ciri khas gandrung.Sauni, mengungkapan kegelisahannya terhadap gandrung-gandrung muda sekarang yang tidak pandai menyanyi. Oleh karena itu salah satu mimpinya adalah mendirikan sekolah khusus gandrung. Di sekolah itu nantinya setiap orang akan dilatih ketrampilanmenari, olah suara serta sopan santun. Tamu atau pemaju yang menonton gandrung umumnya datang dari berbagai kalangan masyarakat dengan perbedaan latar belakang pendidikan serta ekonomi. Namun di arena gandrung, perbedaan status sosial tidak berlaku. Setiap orang punya kesempatan untuk menari dengan gandrung pujaan.Bagi Dadang,70 lokasi pementasan yang jauh bukan halangan untuk melihat dan menari bersama gandrung idola. Menurutnya saat menari bersama gandrung, semua beban hidup hilang.Yang ada hanya kegembiraan. Bagi Dadang yang berprofesi sebagai sopir, pekerjaannya adalah hal yang amat melelahkan. Tetapi rasa lelah hilang pada saat paju bersama gandrung. Apalagi kalau si gandrung sanggup mengimbangi aksi pajunya yang kelihatan agresif dan cendrung menyerang. Perempuan penari gandrung adalah partner yang cocok untuk memperlihatkan kemampuannya menari dan bersenang-senang.
68
Pegawai DKB, pemilik sanggar Sekar Jagad sekaligus pelatih gandrung Seorang praktisi sekaligus pegawai Dewan Kesenian Blambangan 70 Salah satu pemaju yang saya wawancara pada tanggal, 13 Mei 2011 69
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tradisi meminum minuman keras di arena gandrung rupanya sudah ada sejak jaman gandrung lanang. Bedanya, sekarang inisorotan masyarakat terhadap minuman keras di arena gandrung sangatlah negatif. Hal ini disebabkan oleh perkelahian antar pemaju yang mabuk. Citra negatif terhadap gandrung tidak mempengaruhi Dadang untuk meninggalkan arena gandrung. Baginya, tidak ada yang salah dengan gandrung. Rasa cemburu dari para istri dan pacar terhadap gandrung dianggap hal wajar. Minuman keras di meja-meja para tamu juga hal biasa, meskipun menurut Purwanto,71 ada atau tidaknya minuman keras tergantung dari pemilik pesta. Karena tuan rumah berhak mengatakan tidak pada orang-orang yang sengaja membawa minuman keras ke arena gandrung sebagai dagangan. Maka tanpa seijin empunya rumah, bir tidak mungkinakan ada. Gandrung Banyuwangi bagi Ibu Nur72, adalah kesenian rakyat yang mati segan hidup pun tak mau. Ia mengkritik cara berpakaian gandrung yang dianggapnya pakaian setengah telanjang. Menurutnya, gandrung sebaiknya menggunakan stocking dan tutup kepala, namun banyak orang penggilai gandrung tidak setuju. Menurutnya sekarang sudah banyak orang sadar pada nilai-nilai moral agama, sehingga banyak orang enggan memanggil gandrung untuk mengisi acara pesta keluarga. Apalagi, menurut ibu Nur kasus kawin cerai dalam hidup para gandrung sering terjadi. Inilah yang membuat stigma negatif di seputar gandrung makin menjadi. Hal tersebut disetujui oleh Temu. Menurut Temu, begitulah tingkah polah para gandrung generasi muda sekarang ini. Dikatakannya, mereka
71 72
Penggemar gandrung Perempuan yang saya kenal dalam bis perjalanan Yogya - Banyuwangi
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berganti-ganti suami seperti ganti baju. Hal ini berbeda dengan gandrung di jamannya yang setia pada pasangannya.
G. Kesimpulan Pluralitas masyarakat di Bumi Blambangan adalah realitas yang ada sejak jaman gandrung Semi. Keberagaman inilah yang membuat seni tradisi gandrung mengalami perubahan dari jaman ke jaman.Mobilitas penduduk serta arus global juga menjadi salah satu faktor perubahan itu. Keniscayaan akan seni gandrung yang berubah ini juga diimbangi dengan permintaan pasar yang begitu deras mendera. Inilah yang membuat gandrung tidak hanya ditarikan untuk alasan kepuasan batin atau pelestarian tradisi. Tidak bisa dipungkiri, uang telah menjadi salah satu alasan para gandrung ini menari. Tanpa motivasi uang, jarang yang ingin repot-repot menggandrung, apalagi banyak penggandrung yang tingkat ekonominya jauh dari cukup. Oleh karena itu, ketika permintaan pasar akan gandrung meningkat, berkah yang melimpah pun akan mengalir kepada para penari gandrung ini. Semakin besar pasar masuk dalam ranah tradisi gandrung, semakin tinggi pula komersialisasi pada seni gandrung. Kondisi ini lah yang membuat gandrung harus beradaptasi dengan jaman. Para penari gandrungnya pun pada umumnya menyadari bahwa mereka harus memiliki kemampuan self control. Mereka harusmampu melindungi diri sendiri dari godaan-godaan para tamu dan pemaju yang hendak mempermainkan atau sekedar memanfaatkan para penari gandrung ini.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Satu hal yang bisa disimpulkan adalah nasib penari gandrung, salah satunya, memang berada di tangan masyarakat yang memberi penilaian terhadap kesenian ini. Keberadaan gandrung hingga kini sering menjadi polemik. Berbagai perdebatan terjadi diantara beberapa orang atau kelompok yang memiliki persepsi berbeda tentang keberadaan gandrung. Dan seringkali perempuan penari gandrung ini dijadikan obyek oleh orang-orang yang mengklaim diri sebagai pelestari budaya. Selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana perempuan penari gandrung ini mempertahankan profesi mereka di tengah tarik menarik wacana seputar gandrung. Serta bagaimana proses negosiasi para perempuan penari gandrung ini di tengah realitamasyarakat Banyuwangi yang menstigma mereka secara negatif.
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV KONSTRUKSI IDENTITAS GANDRUNG
A.Pendahuluan Bab ini berisi analisa tentang perempuan penari gandrung yang identitasnya terkonstruk oleh imaji masyarakat. Analisa dalam bab ini akan membicarakan tentang pengalaman para perempuan gandrung berhadapan dengan berbagai imaji tersebut. Pembicaraan ini dilakukan sepabagai upaya untuk menemukan apa saja yang mempengaruhi terbentuknya identitas gandrung terop. Sebuah identitas yang kental dengan stereotipe ‘perempuan maskiat’.
B. Sebagai Maskot Pariwisata Banyuwangi Berefleksi dari sejarah, Kabupaten Banyuwangi kemudian melakukan berbagai upaya untuk menciptakan sebuah program kerja yang dapat meningkatkan citra pariwisata daerah. Lewat kerjasama antara pemerintah daerah dengan Dewan kesenian Blambangan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi menciptakan
sebuah
maskot
pariwisata
Kabupaten
melalui
representasi
perempuan gandrung. Proses rekonstruksi dilakukan setiap saat, mulai dari tingkat kesadaran hingga pada tingkat ketidaksadaran, bahwa segala yang terdengar, terlihat, dan tersentuh seputar gandrung adalah sebuah proses konstruksi. Misalnya, diruangruang publik seperti terminal, sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintah, pinggir
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jalan, gapura-gapura gang kecil, diletakkan patung perempuan penari gandrung. Bahkan gapura mereka berbentuk amprok gandrung. Seperti yang tertulis dalam sejarah Banyuwangi yang ditulis ulang oleh Dariharto, budayawan Osing yang mendalami gandrung, tarian gandrung adalah adopsi dari seni tari kerajaan Majapahit. Ketika itu para tokoh yang berperan di Blambangan adalah sejumlah mantan pejabat Majapahit. Mereka berbalik melawan Majapahit karena ada ketidaksepahaman. Dari latar sejarah itu, maka tidak mengherankan bila \jenis tarian yang masih dilestarikan dalam gandrung ini memperlihatkan identitas kebangsawanan73 dengan cukup jelas.Menjelaskan bahwa ada ikatan asal usul sejarah masa lalu yang berkaitan dengan identitas sebelumya. Menjadi maskot berarti mewakili sesuatu, dalam hal ini tidak saja mewakili bota Banyuwangi tetapi juga mewakili etnis Osing(suku asli) yang identitasnya dikenal masyarakat sebagai orang-orang malas, pemarah dan tertutup. Melalui maskotisasi ini, stereotipe diatas direkontruksi lewat kegiatan budaya Osing, dengan menghidupkan kembali seni budaya khas osing, diantaranya adalah Gandrung. Sejarah lokal ini berkaitan dengan upaya mendudukan gandrung sebagai seni kraton. Hal ini amat berbeda dengan masa PKI masih berkuasa. Ketika itu gandrung didudukan sebagai kesenian rakyat. Ini adalah dua cara pandang berbeda dalam memposisikan gandrung Banyuwangi sesuai jamannya. Keduanya merupakan upaya yang berlawanan untuk merekonstruksi kesenian gandrung.
73
Identitas kebangsawanan ditandai lewat kostum gandrung; amprok (mahkota), pakaian merah menyala dengan kombinasi warna-warna emas
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melalui kegiatan gandrungisasi, seolah-olah penduduk Banyuwangi secara serentak mendukung program DKB tersebut. Sebuah program yang menjadikan gandrung sebagai aset pariwisata, yang terbukti telah memikat hati para wisatawan. Pertunjukan gandrung mulai berkembang di Blambangan sekitar tahun 1890 an. Ketika itu penarinya adalah laki-laki berusia tujuh sampai enambelas tahun. Mereka disebut sebagai gandrung lanang. Karena alasan keindahan, gandrung lanang bergeser digantikan dengan gandrung perempuan. Perempuan terlihat lebih luwes ketimbang laki-laki, suara perempuan juga lebih enak didengar. Unsur keindahan gerak dan keindahan suara penari perempuan menumbuhkan carapandang baru yang mengabaikan unsur sejarah lokal. Popularitas gandrung ini terbukti dari penuh sesaknya pawai budaya yang dilaksanakan setiap tahun. Pawai ini selalu dipenuhi oleh tarian masal dari para perempuan gandrung tersebut. Melalui berbagai pertunjukan lokal, nasional maupun internasional, identitas permpuan gandrung dikonstruksi sebagai simbol kebudayaan Banyuwangi.Tradisional dan menyejarah. Kini, produksi lagu-lagu berbahasa Osing semakin marak saja. CD lagubernuansa Osing yang dinyanyikan oleh Temu, Mudaiyah dan penyanyi daerah Osing lainnya beredar dengan cepat dan makin mudah didapat. Seniman jalanan pun mendapat kesempatan mengkonstruksi ulang Banyuwangi. Lagu berbahasa Osing pun diperdengarkan secara terus menerus. Bahkan dalam bis antar kota, para pengamen juga melengkapi diri dengan alat musik tradisional. Di dalam bis itu mereka menyanyikan lagu-lagu Osing, yang 74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menambah kekentalan nuansa keosingan.Wisatawan yang masuk ke desa Kemiren, sejak memasuki gapura, juga sudah dikondisikan dengan lagu-lagu berbahasa Osing. Pelatihan tari gandrung massal yang diselenggarakan oleh DKB juga melibatkan hampir semua penduduk dari berbagai usia, mulai dari usia Taman Kanak-kanak hingga siswa SMA sederajat. Secara khusus juga dilaksanakan pelatihan tingkat junior dewasa. Pelatihan ini khusus diadakan bagi para penari yang berminat terhadap tari gandrung terop. Untuk jenis pelatihan ini, pelaksanaannya dilakukan secara khusus. Para peserta dikarantina selama 7 (tujuh) sampai 10 (sepuluh) hari. Selama karantina itu mereka dilatih olah vokal, olah gerak serta sikap saat berhadapan dengan pemaju. Ini amat berkaitan dengan anggapan bahwa moralitas perempuan penari gandrung telah mengalami degradasi. Akibat anggapan ini, Dewan Kesenian Blambangan pun melakukan pembakuan gerak tari yang dianggap lebih ‘sopan’ dan tidak liar. Apabila dipandang dari perspektif pemikiran Stuart Hall tentang identitas, segala bentuk yang mengatasnamakan “promosi wisata” lewat budaya Osing dapat dipahami sebagai bagian dari konstruksi identitas budaya. Mulai dari pelatihan masal, pelatihan khusus, peningkatan produksi lagu-lagu berbahasa Osing dan Banyuwangen, semuanya merujuk pada pembentukan dirinya sebagai becoming and being.
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C. Lambang kemaksiatan Disaat yang sama perempuan penari gandrung dipandang sebagai perempuan maksiat. Faktor yang memperkuat stereotipe itu antara lain: banyaknya kasus kawin cerai diantara para gandrung (dialami oleh Mudaiyah dan Temu), terjadi perselingkuhan antara gandrung dan pemaju, jadwal pertunjukan malam hari yang di warnai dengan pesta minuman keras diantara pemaju, dan tari berpasangan antara gandrung serta pemaju. Masuknya arus Islam modern yang mulai mengibarkan kekuasaannya di Indonesia pada awal abad ke-20 semakin membuat orang-orang Using terdesak. Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar pertamanya di Surabaya, membahas dua komponen kesenian itu. Mereka akhirnya menjadikan hal itu sebagai keputusan Muktamar. Dua komponen kesenian diantaranya adalah alat musik dan gerak tari lenggak-lenggok. Yang menarik dalam keputusan ini adalah, tarian dalam teks keputusan tersebut eksplisit disebut sebagai “tari lenggak-lenggok”. Keputusan ini merujuk pada hadist Nabi, melalui Aisyah, tentang tari komunitas Habasyah (dari Eitopia) yang pernah disaksikan Nabi Muhamad. Sejumlah ulama (seperti imam al-Qaffal, al-Rauyani, Imam al-Haramain, dll) berpendapat bahwa hukum taritarian adalah mubah (boleh)74, selanjutnya keputusan muktamar itu menyebutkan:
“Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh (mubah) meskipun dengan lenggak-lenggok dan lemah gemulai, selama tidak terdapat gerak wanita bagi kaum laki-laki, dan
74
Effendy, Bisri. Dalam Jurnal Perempuan-untuk pencerahan dan kesetaraan.No.62. Edisi Khusus 2009.Hal.26
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyerupai gerak laki-laki bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut, maka hukumnya haram.”75 Namun, sebagian besar ulama dan santri Banyuwangi rupanya menyoroti gandrung sebagai kesenian yang haram dan lebih banyak hal buruknya. Hal ini diakui oleh beberapa tokoh Osing yang beragama Islam, namun tidak sepikiran dengan para ulama penentang gandrung. Sejumlah penduduk Banyuwangi yang beragama Islam mengkritik pemasangan patung gandrung di hampir setiap sudut kota. Pemasangan patung ini memang pada akhirnya menimbulkan banyak kritik dan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan kritis yang sering muncul adalah soal kesenian gandrung yang dianggap sangat tidak Islami, bernuansa erotis, menghalalkan seks bebas, menghalalkan alkohol serta perselingkuhan. Salah satu pernyataan sinis tentang gandrung, keluar dari mulut Bu Nur. Bu Nur adalah salah seorang warga Banyuwangi yang kisahnya telah saya ceritakan pada bab III. Pernyataan sinis Bu Nur itu adalah “kesenian antara hidup dan mati”. Ia juga melanjutkan bahwa “kesadaran orang hidup beragama sudah semakin kuat jadi kalau orang mau panggil gandrung untuk mengisi pesta mereka akan pikir-pikir dahulu”.76 Dari pernyataan tersebut, saya menangkap bahwa ibu Nur, tidak pernah belajar tentang keosingan apalagi soal perempuan gandrung. Melalui pernyataanpernyataan sinisnya itu menggambarkan bahwa beliau memposisikan diri sebagai orang pendatang yang memandang Osing sebagai suku yang terbelakang.
75 76
Ibid. Hasil wawancara 10 Mei 2011
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bersamaan dengan itu, dia juga mengganggap perempuan gandrung sebagai perempuan murahan. Sebagai seorang pendidik di sekolah Islam Muhammadiyah, Ibu Nur, mengakui bahwa beberapa siswanya juga ikut serta dalam pelatihan gandrung. Tapi soal kostum, mereka diminta untuk menggunakan kaos berlengan panjang.Ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian. Tampaknya identitas gandrung sebagai kesenian, begitu lentur dan mudah di tarik-tarik. Mengingat mayoritas penduduk Banyuwangi beragama Islam, maka wajar-wajar saja jika banyak orang tidak setuju dengan keputusan Pemda menjadikan gandrung sebagai maskot pariwisata sekaligus maskot Kota Banyuwangi. Hal tersebut dianggap tidak mewakili pluralitas di Kabupaten Banyuwangi, dan hanya merujuk pada satu kebudayaan saja. Padahal perlu diakui dinamika bumi Blambangan ini banyak dipengaruhi oleh penduduk yang nenek moyangnya berasal dari Madura, Jawa, Bali dan sekitarnya. Bagi beberapa orang, pemaskotan ini adalah seuatu yang hanya menuruti kehendak institusi atau orangorang yang punya dominasi kuat. Konstruksi
identitas Banyuwangi
melalui
representasi
perempuan
gandrung telah melalui berbagai perdebatan yang amat seru. Kekuatan simbol sejarah dan agama telah memposisikan perempuan gandrung sebagai representasi yang berada dalam proses yang terus menerus mengalami perubahan. Kedua kekuatan tersebut, mengusung kepentingan yang berbeda. Penulisan sejarah mengusung romantisme kedaerahan melalui pariwisata budaya daerah, sementara agama mengusung nilai-nilai normatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. 78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D. Gandrung Banyuwangi Saat Ini Memposisikan Gandrung sebagai maskot pariwisata kabupaten telah memberi kuntungan besar bagi para penari gandung perempuan. Para penari gandrung ini secara aktif dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata. Selain itu, pemaskotan ini juga makin meningkatkan penghargaan terhadap budaya Osing. Sebuah penghargaan yang amat diperlukan karena selama beberapa tahun terakhir ini, hal itu telah terabaikan oleh masuknya nilai-nilai dari luar Osing. DKB juga selalu membuka diri untuk melakukan kerjasama dengan para gandrung. Beberapa kegiatan yang cukup menguntungkan penari gandrung diantaranya adalah terbentuknya paguyuban gandrung Banyuwangi. Paguyuban ini mampu merangkul gandrung senior yang masih aktif maupun sudah tidak aktif lagi. Dalam paguyuban tersebut gandrung banyak diuntungkan. Lewat paguyuban ini para gandrung mendapat kartu berobat gratis, serta pembagian sembako setiap hari Raya. Selain itu, paguyuban ini juga mengadakan kerjasama dengan sejumlah pihak untuk mendapatkan order manggung yang lebih banyak kepada para gandrung. Sebagai respon dari kegiatan pariwisata Banyuwangi, orang-orang Osing pun semakin giat mengembangkan berbagai jenis kegiatan yang berkaitan dengan seni budaya yang mereka punyai. Mereka pun melakukan berbagai upaya untuk menangkal imaji negatif yang selama ini berkelindan di sekitar gandrung.
E. Usaha Menentang Imaji Negatif 1. Gerak Tari Tangar 79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Antara lain melalui simbol-simbol gerakan tangar dan kostum. Pertama, tangar adalah satu gerakan kreatif yang dipakai oleh perempuan gandrung untuk bertahan dan menghindar. Tangarjuga menjadi simbol penolakan yang dapat dibaca secara terbuka oleh penonton atau pasangan tarinya. Gerakan ini juga sekaligus sebuah pernyataan bahwa perempuan gandrung terop bukanlah perempuan untuk dipegang-pegang atau dipermainkan. 2. Kluncing Kluncing adalah orang yang menjadi penggembira dalam sebuah pertunjukan gandrung. Tidak jarang kluncing ikut menyumbangkan suaranya dan dengan bebas menari. Dalam kelompok pengiring gandrung, kluncing duduk dibagian paling depan sehingga jangkauan penglihatan arena gandrung lebih luas. Posisi ini dipilih karena tugas utamanya memang untuk mengawasi suasana pesta, agar semua orang merasa gembira. Ia juga berfungsi untuk melindungi para gandrung dari pemaju yang kurang ajar. Sepenglihatan saya, kluncing memegang peran yang sangat penting. Ia harus memiliki kriteria, sensitif terhadap atmosfir pesta, serta sensitif terhadap orang-orang yang ada disekitanya. Sebut saja seorang kluncing bernama Pak Jo. Malam itu77 ia menyanyikan beberapa lagu daerah sambil joget sendirian. Ia dua kali mengiringi lagu yang dinyanyikan Temu, dengan gerakan tari yangsengaja dibuat lucu. Tariannya itu, kontan saja mengundang orang untuk tertawa. Peran lain yang berhasil saya amati adalah, cara kluncingmelindungi para gandrung dari tindakan pelecehan pemaju. Mereka melindungi para gandrung tidak dengan aksi, tapi dengan suara yang juga terdengar melucu.Ketika seorang
77
Observasi tgl.14 Mei 2011
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemaju tiba-tiba gerakannya begitu agresif terhadap gandrung Reni, Pak Jo, berkata dengan suara keras “ awas Le’, sing duwe ono ge kene”, (awas le, yang punya ada di sini), disaat yang berbeda ia berkata“alon-alon Cak, toklek awakmu”.Juga suara-suara tanpa arti seperti “joshhhhhhhh”.Suara inidikeluarkan pada
waktu
gandrung
berhasil
menghindar
dari
pemaju
yang
ingin
mencium.Kehadiran kluncing ini juga berarti sebagai tandabahwa para penari gandrung siap melindungi diri terhadap resiko-resiko yang akan dihadapi. 3. Pembuktian Tidak adanya Pelangaran Moral Menagggapi sangkaan dari masyarakat bahwa perempuan penari gandrung tak bermoral,Temu menanggapi dengan mengatakan: “tidak mungkin gandrung bisa main-main apa lagi selingkuh, kan gandrung datang ke lokasi pertunjukan tidak kenal siapasiapa, dan selama pertunjukan dilihat orang banyak, bagaimana mau main-main, setelah itu pulang kerumah masing-masing”78 Saya memahami kegelisahan gandrung Temu, terhadap isu-isu negatif seputar gandrung muda. Dirinya pun sempat mengatakan keprihatinannya “anak sekarang itu, ganti suami seperti ganti baju, kalau suka yang dipake kalau tidak yang ganti baru”79 Temu bukan orang yang berhasil membangun rumah tangganya. Kedua suaminya pergi meninggalkan dirinya dan menikah dengan perempuan lain. Alasannya sangat klasik, cemburu. Bagi Temu, menggandrung bukan sekedar profesi, tapi juga menyalurkan kesenangan dan menghibur orang lain. Sebagai kepala keluarga, disamping mencari uang untuk keperluan seharihari, Temu juga harus melakukan pekerjaan domestik. Sepulang menggandrung sepanjang malam, ia masih harus menyiapkan makan pagi untuk anaknya yang 78 79
Wawancara di rumah Temu mei 2011 Ibid.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akan berangkat sekolah. Ia juga harus menyiapkan buku dan pakaian bagi anaknya itu. Temu harus memperhatikan anaknya dengan ekstra karena, dapat dimaklumi, anak angkat Temu itu mengalami isu tuli. Dengan adanya program gandrungisasi, para perempuan gandrung punya perkumpulan yang dibawahi langsung oleh DKB. Dalam pertemuan rutin perkumpulan itu, sering ada penyuluhan berkaitan dengan profesionalisme serta upaya meningkatkan kualitas gerak tari dan kemampuan menyanyi. Selain itu juga terdapat sejumlah masukan seputar sikap perilaku penari gandrung di arena dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembinaan para gandrung. Sementara itu, gandrung Darti, menanggapi isu negatif tersebut dengan wajah yang agak marah, dia mengatakan “itu tidak benar, yang benar ya …kami menari lalu mendapat uang”80 Mucklhis, suami Darti, menyambung, “saya tidak pernah mengantar Darti ke lokasi gandrung, supaya dia mengalami kebebasan berekspresi dalam setiap interaksi dengan pemaju. Dan syukur alhamdulilah sampai hari ini saya tidak pernah dengar hal-hal buruk tentang istri saya”81 Dikatakannya juga, bahwa setiap kali bertemu dengan para suami-suami gandrung muda, saya katakan pada mereka agar memberi kepercayaan kepada istri mereka. Berbeda dengan Mudaiyah, gandrung perempuan tengah baya yang masih produktif, ia sering menerima panggilan pentas gandrung dan ajakan ikut rekaman lagu-lagu gandrung sekaligus rekaman menari gandrung. Pengalamannya menikah
80 81
Wawancara di rumah darti tgl.12 Mei 2011 ibid
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan laki-laki yang masih berstatus suami orang, membuat dirinya enggan untuk menikah lagi. Ia bercerita: “ngakunya duda cerai, mangkanya waktu dia datang kerumah saya senang dan mau saja waktu dilamar, ndak taunya setelah beberapa bulan baru mengaku kalau masih bersama istrinya”82 Perasaan dibohongi, membuat Mud (panggilan akrabnya), enggan menikah lagi. Mud memutuskan untuk mengurus adik-adik, anak angkatnya dan mengurus usaha salon kecantaikannya yang dikelola oleh anak angkatnya. Menanggapi isu-isu negatif mengenai profesinya Mud, menanggapi dengan sikap datar, “biar saja orang mau bilang apa, wajar kalau ada orang cemburu, bahkan sesama gandrungpun kadang tega memfintah sesama gandrung” 83 Lain lagi dengan gandrung Reni yang selalu diantar suaminya setiap kali mendapat panggilan menggandrung. Malam itu ia datang ke rumah temu bersama suaminya, sebut saja Bandrun. Tanpa ditanya Badrun berkata “kalau orang nyandu rokok atau narkoba, kalau saya nyandu istri saya”, dalam kesempatan lain , Bandrun berkata “kalau istri saya mau pentas gandrung, tidak boleh di’naiki’, supaya punya tenaga untuk pentas semalaman”, Reni, menyambung dengan mengatakan “mbak, saya pernah diajak untuk ketemuan di hotel, keesokan harinya, tapi saya tolak dengan sopan, wah ajakan-ajakan seperti itu biasa mbak, karena itu tergantung gandrungnya mau diajak atau tidak, karena namanya juga laki-laki selalu cari kesempatan” ujarnya.
82 83
Wawancara tanggal 14 Mei 2011 ibid
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pasangan muda ini sepertinya mengerti bahwa saya membutuhkan data semacam itu, sehingga tanpa harus ditanyapun obrolan kami mengalir ke hal-hal seputar sebutan perempuan maksiat tadi. Sepertinya gandrung muda lebih punya tantangan besar dibanding para gandrung senior. Seperti yang pernah dikeluhkan oleh Wiwik (gandrung senior adik gandrung Darti), gandrung muda sekarang kadang tidak berpikir panjang. Kadang mereka diminta duduk dipangkuan si tamu dan si gandrung mau saja, padahal kalau sudah begitu yang kena semua gandrung. Dari pernyataan Wiwik tersebut,84 dapat dipahami bahwa seolah-olah semua gandrung adalah “gampangan”. Dan masyarakat yang tidak menyukai gandrung menyamaratakan moralitas semua gandrung jelek. 4. Penyuluhan Merespon sangkaan negatif dari masyarakat tentang gandrung yang maksiat, pemerintah melakukan upaya-upaya penyuluhan. Penyuluhan tersebut bertujuan agar gandrung tidak lagi dianggap sebuah kesenian yang maksiat dan bertentangan dengan moral serta agama. Salah satu program kegiatan gandrungisasi adalah kelas penyuluhan yang dilakukan secara rutin, dengan pembicara yang berbeda-beda. Isi penyuluhan antara lain seputar sikap perilaku di arena dan bagaimana berhadapan dengan para pemaju, khususnya pria-pria nakal. 5.Pendampingan Pelaksanaan gandrungisasi, memberi kesanadanya unsur formatisasi tarian beserta segenap penarinya. Seolah-olah DKB, punya otoritas dalam formatisasi
84
SRINTIL”,Eds.3,2006
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersebut. DKB seperti berkepentingan dalam penyeragaman perempuan penari gandrung, mulai dari sikap, tingkah laku bahkan gerakan. Pendampingan diberlakukan terhadap semua gandrung, melalui peguyuban gandrung DKB, hingga melakukan kontroling yang acukup intensif. Bentuk kontroling ini adalah kehadiran oang-orang DKB dalam setiap pertemuan paguyuban kesenian gandrung. DKB juga gencar melakukan upaya rekonstruksi, utamanya pada nilainilai moralitas, dengan mengatur perilaku di arena gandrung. Dalam rekonstruksi ini ada pemahaman benar-salah serta boleh tidak. Misalnya; ada himbauan agar tidak terjadi “cinta lokasi”, karena ini menjadi salah satu masalah yang selama ini mereka hadapi. Disisi lain, para penari gandrung perempuan ‘diuntungkan’ dengan kemudahan dalam mendapat order pentas, atau jika ada yang sakit ada jaminan khusus bagi gandrung Senior.
Namun, tidak bisa dihindari bahwa kesenian
gandrung Banyuwangi kini dalam kuasa penuh DKB. Bisa dikatakan bahwa gandrung Banyuwangi yang sekarang adalah Gandrung ciptaan DKB. Karena secara faktual, DKB telah melakukan rekontruksi habis-habisan melalui program pembentukan identitas baru kota Banyuwangi sebagai kota budaya. Semua elemen dalam masyarakat pun dilibatkan, dan pemegang kunci utama adalah para gandrung yang menjadi maskot kota.Kontruksi yang ingin dibentuk adalah Banyuwangi sebagai kota kabupaten yang berbudaya, sekaligus kontruksi penari gandrung perempuan sebagai perempuan bermoral dan pekerja budayayang profesional.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
G. Kesimpulan Bagi saya, apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Banyuwangi dengan mendudukan perempuan gandrung menjadi ‘wajah’ Kota Kabupaten Banyuwangi adalah hal yang sangat menarik. Apalagi jika mencermati pemberitaan seputar kontroversi gandrung yang terjadi. Rupanya maskotisasi gandrung ini adalah sebuah manuver politik pemerintah daerah banyuwangi pada waktu itu. Pemaskotan perempuan penari gandrung menuai pro dan kontra dari masyarakat luas. Dapat dipahami karenapenduduk Banyuwangi dikenal plural sementara gandrung adalah milik suku Osing (suku asli Blambangan). Masyoritas beragama Islam, sementara gandrung dianggap sama sekali kesenian yang tidak Islami. Dengan mengangkat gandrung sebagai maskot pariwisata, secara otomatis segala bentuk kesenian yang ada di masyarakat Osing dimunculkan 85 sebagai bagian dari wajah, identitas keusingan, kemudian menjadi asset pariwisata kabupaten Banyuwangi Imaji-imaji negatif seputar gandrung terus mendera kehidupan para gandrung dan mengusik kehidupan orang-orang using. Meskipun kehidupan sehari-hari mereka membuktikan bahwa prasangka negatif tersebut tidak bisa diterima apalagi dibenarkan. Semata-mata karena dugaan itu datang dari orangorang yang memang tidak menyukai gandrung. Jika ditelusuri lagi melalui kesenian gandrung itu sendiri, ada simbolsimbol penolakan gerakan dan peran yang menyimbolkan bahwasanya perempuan penari gandrung bukanlah perempuan murahan yang bisa dicolek, dicium bahkan dijadikan teman tidur (tanpa ikatan perkawinan).
85
Kesenian, Barongan dan Jinggoan
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melalui pengalaman sehari-hari para gandrung senior ditemukan jawaban bahwa pelanggaran moral itu tidak
dilakukan. Memandang maraknya kasus
kawin cerai diantara para gandrung, tidak bisa dijadikan alasan bahwa mereka telahmelakukan tindakan maksiat. Benar bahwa
perempuan penari gandrung
adalah penghibur bukan pelayan seks laki-laki. Dewan Kesenian Blambangan mencoba mengatasi citra negatif tersebut, sehingga melalui program gandrungisasi dengan sengaja dimasukan sebuah program pembinaan. Yang bertujuan menyatukan semua gandrung yang ada di Banyuwangi, melakukan kegiatan-kegiatan pariwisata bersama. Melalui program gandrungisasi kelihatannya perempuan penari gandrung ini mendapat keuntungan, namun jika ditilik lebih cermat lagi, kebebasan mereka sebagai pekerja seni diikat oleh formatisasi yang dibuat dan dilaksanakan
DKB melalui
program
pendampingan tersebut. Perempuan penari gandrung selain dalam pencarian identitas dirinya yang sedang dikonstruk oleh DKB dan wacana masyarakat sekarang, juga berjalan bersisian dengan identitas dirinya sendiri sebagai person yang mencari identitasnya terus menerus.
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
Srintil terpaksa mengikuti sederet ritual sebelum dinobatkan menjadi penari gandrung. Menjadi kembang desa “terpilih” untuk mengangkat Desa Paruk dari keterpurukan sosial dengan mengorbankan kehidupan pribadinya. Salah satu pilihan paling sulit, ketika dia harus melepas mimpinya untuk menikahi Rasus, teman sepermainan yang dicintainya sejak kecil. Hak individu terampas demi masyarakat Desa Paruk yang lama terpuruk. Kehadiran Srintil sebagai ronggeng adalah harapan penduduk Desa Paruk. Novel karya Ahmad Tohari yang berlatar belakang budaya tersebut telah menginspirasi saya untuk mencari tahu tentang perempuan yang memiliki “nasib” serupa Srintil. Ternyata di belahan bumi Indonesia ada beberapa budaya yang memiliki keserupaan dalam hal tradisi yang melibatkan hidup perempuan sebagai objek. Ada Jaipong dari Jawa Barat, ada Tayub dari Jawa Tengah. Ada Gandrung dari Jawa Timur dan Gandrung dari Lombok. Dengan melakukan banyak penyesuaian, mereka tetap bertahan hingga hari ini. Penyesuaian dilakukan seiring berubahnya tatanan moral masyarakat dengan menggunakan barometer moral agama yang sama sekali berbeda dengan budaya masyarakat terdahulu ketika kesenian tersebut lahir. Pilihan saya jatuh pada kehidupan para penari Gandrung yang ada di daerah Banyuwangi tepatnya di desa Using. Meskipun sebelumnya sudah diingatkan oleh dosen dan teman-teman bahwa ini sulit, karena berkaitan dengan 88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
waktu, biaya dan energi. Dalam prosesnya ada sederet kendala yang harus saya hadapi sehingga hampir putus asa. Tapi berkat dukungan dari teman-teman, dan bantuan mereka, maka proses terus berlanjut. Selama masa observasi, saya merasakan hubungan yang sangat kuat antara suku Using dengan tarian Gandrung. Menurut beberapa sumber, ada dua versi yang saya dapat: 1. Bahwa ikatan tersebut berakar sejak jaman kolonialisme Belanda. Belanda membangun sarana prasarana baru untuk mempermudah mobilisasi hasil perkebunan mereka untuk meningkatkan hasil. Pembangunan rel kereta api pun menjadi salah satu kisah yang mewarnai sejarah berkembanganya Banyuwangi. Orang-orang dari sekitar Jawa tengah, Bali dan Makasar, baik melalui jalan darat maupun air, hijrah ke daerah perkebunan tersebut untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Kesenian lokal gandrung, sebagai salah satu hiburan pada waktu itu pun akhirnya banyak diminati oleh masyarakat pendatang. 2. Bahwa Gandrung berakar sejak awal pembukaan hutan yang menjadi daerah cikal bakal orang Using. Mereka yang membuka hutan sebagai tempat tinggal adalah para pembesar kerajaan Majapahit yang melakukan pemberontakan kepada rajanya pada waktu itu. Maka bersama pengikutnya mereka lari dan memilih ujung pulau Jawa Timur sebagai tempat tinggal. Hal menarik lain adalah, adanya Gandrung lanang. Gandrung lanang ada lebih dulu, baru kemudian gandrung perempuan, inipun sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap perubahan pandangan moral masyarakat sekitar. Pergantian dari gandrung lanang menjadi gandrung perempuan ada dua versi. Pertama karena para pendatang lebih tertarik pada kesenian gandrung yang ditarikan oleh 89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perempuan yang katanya lebih menarik ketimbang gandrung lanang. Kedua karena gandrung lanang yang berpakaian seperti perempuan tidak sesuai dengan nilai moral agama. Gandrung lanang pun ditiadakan dan diganti dengan gandrung perempuan. Gandrung perempuan pertama bernama Semi. Kelincahan dan keluwesannya membuat dia disukai banyak orang. Kemudian lahirlah gandrunggandrung perempuan setelah Semi. Saya sempat bertemu dan mewawancarai sejumlah penari Gandrung. Beberapa yang paling intens saya temui bernama Temu, Mudaiyah dan Darti. Saya beruntung karena ketiga gandrung ini cukup dikenal oleh masyarakat Using sebagai pakar Gandrung. Keduanya sama-sama memiliki kekhasan masingmasing. Mudaiyah dikenal sebagai gandrung yang kalau di arena tari seperti “kijang”, karena kelincahan dan sikapnya yang ramah pada siapa saja. Temu dikenal dengan suaranya yang indah. Sampai sekarang, suara indah Temu belum ada tandingannya. Setiap orang yang mendengar tembang yang dinyanyikan Temu pasti mencucurkan air mata, karena penghayatan dan keindahan suaranya. Darti adalah keturunan langsung gandrung Semi yang merupakan gandrung perempuan pertama. Pada umumnya kehidupan mereka tampak seperti perempuan Using pada umumnya, ikut terlibat dalam kegiatan warga desa seperti pengajian, arisan dan kerjabakti (jika ada), namun dibalik itu semua ada citra yang dilekatkan kepada mereka oleh sebagian masyarakat, khususnya masyarakat luar Using. Citra-citra itu diantaranya adalah perempuan penggoda suami orang, penggoda laki-laki, dan perempuan murahan yang mau didekati oleh laki-laki mana saja. Melalui pengamatan saya pada saat menghadiri pertunjukan gandrung, ada beberapa hal 90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang bisa ditafsirkan secara bebas oleh masyarakat, alasan pertama, soal berpakaian dan cara berdandan. Yang pertama adalah soal kostum tari mereka yang memang agak terbuka di bagian atas sehingga lengan dan bagian ketiak dapat terlihat bebas serta riasan wajah yang amat tebal. Salah satu item kostum penari Gandrung ini adalah kain panjang. Kain itu dipakai dengan sangat ketat sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, mulai dari dada hingga kaki. Riasan atau make up yang dipakai pun tampak berlebihan. Bahkan dengan penggunaan make up itu, orang yang sama bisa terlihat sangat berbeda. Manglingke kalau kata orang Jawa, atau membuat orang tak mengenalinya. Alasan kedua, waktu pertunjukan yang terjadi mulai pukul 21:00 sampai pukul 03:30 pagi atau menjelang terdengarnya suara azan subuh. Pada umumnya, diyakini oleh masyarakat bahwa perempuan yang bekerja malam hari apalagi berhubungan dengan hiburan dianggap bukan perempuan “baik-baik”. Alasan ketiga, audiens gandrung sebagian besar adalah laki-laki. Tua dan muda. Kalaupun ada audiens perempuan biasanya tidak hadir menonton Gandrung sampai pagi. Alasan keempat, hampir dalam setiap pertunjukan Gandrung di malam hari, selalu ada sajian berupa minuman beralkohol yang jelas-jelas dilarang oleh agama dan
pemerintah. Secara praktis alkohol dianggap dapat memicu
kerusuhan. Alasan kelima, pada waktu tertentu ada tahapan dimana antara penari dan audiens menari bersama dan saling berhadapan. Masalah yang seringkali muncul adalah agresifitas dari para penonton yang tidak terkontrol. Agresifitas ini sering muncul ketika penonton laki-laki lepas kontrol dan melakukan berbagai
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gerakan yang sifatnya melecehkan para penari, misalnya saja mencium kemudian memegang bagian tubuh tertentu dari perempuan gandrung. Citra yang dilekatkan kepada perempuan gandrung tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus menjadi penari gandrung. Masalah ekonomi menjadi alasan utama. Dari ketiga penari gandrung yang sempat saya wawancarai dan sejumlah penari gandrung yang sempat saya temui saat di arena pertunjukan mengatakan bahwa alasan utama mereka menjadi penari gandrung karena amat mudah untuk mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Uang hasil menggandrung digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan anak-anak mereka, juga anggota keluarga yang membutuhkan bantuan ekonomi. Salah seorang perempuan Gandrung muda yang saya wawancarai mengatakan memilih profesi ini karena terdesak oleh kebutuhannya yaitu membayar biaya kuliahnya serta membantu keluarganya. Pemerintah
Banyuwangi
melihat
sudah
waktunya
Banyuwangi
memunculkan ke-Usingan melalui kekayaan budaya mereka. Selain itu hal ini juga bisa dijadikan sumber pendapatan daerah. Dari beragam kekayaan budaya Banyuwangi, pemerintah setempat memilih Gandrung sebagai maskot kota Banyuwangi yang baru. Patung gandrung menandai bahwa Banyuwangi adalah kota wisata. Maskot ular berkepala Gatot Kaca diganti dengan perempuan penari Gandrung. Pemerintah daerah Banyuwangi melakukan ini dengan ‘radikal’. Hampir di setiap sudut kota berdiri patung Gandrung. Perubahan ini menuai pro dan kontra dintara masyarakat Banyuwangi sendiri. Alasan pro, karena Gandrung adalaha tarian asli Using yang selama ini tenggelam diantara masyarakat 92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pendatang lainya yang secara ekonomi dan pendidikan dianggap lebih berhasil. Dengan dijadikannya Gandrung sebagai Maskot, ke-Usingan – Banyuwangi terlihat lewat kesenian asli. Kelompok yang kontra terhadap keputusan pemerintah mendasarinya dari sudut moralitas. Citra perempuan maksiat yang bertahun-tahun melekat mulai melemah. Masyarakat yang dulu termakan issue negatif seputar perempuan gandrung mulai menikmatinya sebagai sebuah pertunjukan kesenian dan sekarang berubah citra menjadi “ perempuan tradisi” yang dianggap memiliki nilai budaya dan sejarah. Upaya rekonstruksi perempuan gandrung dari maksiat menjadi penari tradisi dilakukan melalui promosi budaya yang diagendakan oleh DKB (Dewan Kesenian Blambangan) secara terjadwal. Pertunjukan Gandrung tidak mutlak dilakukan pada malam hari, bahkan sering ditampilkan sebagai tarian untuk menyambut tamu. Jika ada pawai budaya, ribuan perempuan penari gandrung dibariskan pada bagian depan pawai sebagai maskot kota. Tarian gandrung sudah menjadi program sekolah-sekolah di Banuwangi. Pemerintah Banyuwangi melakukan konstruksi baru dengan mengangkat issue yang ada di akar rumput yang berkaitan dengan budaya. Budaya dan tradisi yang dimiliki Using adalah modal utama dalam mengangkat Banyuwangi ke mata dunia, walaupun ada semacam dugaan bahwa, seperti tertulis pada bab sebelumnya, Banyuwangi memiliki sejarah kelam berkaitan dengan peristiwa G30S PKI serta peristiwa dukun santet tahun 1999. Namun upaya mengkonstruk Banyuwangi menjadi kabupaten berbudaya dan mandiri, telah dimulai oleh pemerintah daerah melalui pembangunan sarana dan prasarana wisata budaya daerah. Bupati Banyuwangi yang kebetulan adalah putra daerah Using, telah 93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
cukup sigap merespon berbagai situasi serta issue yang ada di masyarakat mengenai Gandrung. Sehingga pencitraan Banyuwangi dengan ke-Usingan-nya tetap dapat berjalan dengan baik. Identitas perempuan penari gandrung adalah sebuah identitas yang terkonstruksi oleh penguasa dari jaman ke jaman. Upaya menyesuaikan diri oleh para penari Gandrung itu selalu dilakukan untuk dapat bertahan. Sebagai subjek tradisi, keberadaan Gandrung ironisnya tidak hanya sebagai pelaku ritual budaya, tetapi juga sebagai komoditas budaya lokal yang laku dijual.
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas: Pergaulan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera Kumbara, Anom. Konstruksi identitas orang Sasak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Humaniora, Vol.20, 3 Oktober 2008 Anoegrajekti, Novi. Gandrung Banyuwangi: Kontestasi dan representasi identitas Using. Jurnal Humaniora, Vol.23, 2011 Hall, Stuart. 2003. Who needs identity? Question of Cultural Identity. London: Sage Larasati, Rachmi Dyah. 2012. Desiring The Stage: The Interplay of Mobility and Resistance (in Neoliberalism and Global Theatres: Performance Permutations. Eds. Lara Nielsen and Patricia Ybarra. Palgrave Yekti, Maunati. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. LKIS: Yogyakarta Ham, Ong Hok. 2009. Sukarno Orang Kiri Revolusi & G30S 1965. Komunitas Bambu: Jakarta Jurnal Perempuan. 2009. Edisi Khusus 62: Perempuan dan Seni Pertunjukan. Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta Procter, James & Stuart Hall. 2004. Critical Thinkers. Routledge: London Setiawan, Eko Budi. 2000. Resistensi Budaya dan Ekspresi Politik Masyarakat Using. Kelompok Pencinta Banyuwangi Suharto, Ben. 1999. Pertunjukan Tayub dan Ritus Kesuburan. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia SRINTHIL: Media Perempuan Multikultural. 2002. Edisi 1: Jaipong Jatinegara: Merebut Ruang di Kegelapan Malam Kota. Desantara: Depok _______. 2004. Edisi 6: Politik Tubuh Seksualitas Perempuan Seni. Desantara: Depok _______. 2005. Negosiasi dan Representasi. Desantara: Depok 95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
_______. 2006. Edisi 3: Gandrung Demi Hidup Menyisir Malam. Desantara: Depok _______. 2007. Edisi 12: Penari Gandrung dan Gerak Sosial di Banyuwangi. Desantara: Depok _______. 2008. Edisi 1: Etnografi Gandrung Pertarungan Identitas. Desantara: Depok Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Gramedia: Jakarta Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Cetakan I. Gajah Hidup Seri Buku Tempo. 2014. LEKRA dan Geger 1965. PT.Gramedia: Jakarta Media Cetak Dari Banyuwangi: “Isun Gandrung, Gandrungono Isun”, KOMPAS, 14 Desember 2013 “Gandrung Banyuwangi, Tarian Penggerak Ekonomi”, KOMPAS, 8 Januari 2011 Kalender Wisata 2008 Kabupaten Banyuwangi “Ronggeng Ciamis, Bergoyang di Tengah Perubahan Zaman”, KOMPAS, 24 Juli 2010
96