PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet serta Religiositas yang Terbentuk
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh Johanes Louis Mozez Lengkong NIM: 096322003
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tesis
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet serta Religiositas yang Terbentuk
Oleh
Johanes Louis Mozez Lengkong 096322003
Telah Disetujui Oleh
Prof. Dr. Augustinus Supratiknya Pembimbing
....................................
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tesis KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet serta Religiositas yang Terbentuk
Oleh Johanes Louis Mozez Lengkong 096322003
Telah dipertahankan di hadapan penguji tesis dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Ketua
: Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ.
........................
Sekretaris/Moderator : Dr. Gregorius Budi Subanar, SJ.
........................
Anggota
........................
: 1. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya
2. Dr. Stanislaus Sunardi
........................
3. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ.
........................
Yogyakarta, 10 September 2014 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma
Prof. Dr. Augustinus Supratiknya
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang bernama Johanes Louis Mozez Lengkong (NIM: 096322003), menyatakan bahwa tesis berjudul KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet serta Religiositas yang Terbentuk, merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 10 September 2014 Yang membuat pernyataan
Johanes Louis Mozez Lengkong
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya yang bertandatangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama
: Johanes Louis Mozez Lengkong
NIM
: 096322003
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KONSTRUKSI RELIGIOSITAS KRISTEN DALAM INTERNET: Studi atas Interaksi Gereja Perkotaan dengan Internet serta Religiositas yang Terbentuk
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 10 September 2014 Yang membuat pernyataan
Johanes Louis Mozez Lengkong
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Gereja dan internet sebagai dua objek material dari penelitian ini. Hal ini tentu saja bukan tanpa pertimbangan. Penulis menyadari bahwa wilayah religi, terutama gereja, adalah ranah yang paling penulis kenal. Internet, yang telah menjadi roh sehari-hari penulis, juga memperlihatkan kepada penulis tentang dunia yang begitu luas dan tak berujung itu. Perjumpaan keduanya tentu saja menjadi hal yang menarik untuk dikaji dan diteliti dalam kacamata kajian budaya. Penulisan tesis serta perjalanan pendidikan di Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB), sungguh membuat penulis menyadari bahwa ada begitu banyak orang yang telah membantu dan menolong penulis hingga tiba di tahap akhir. Oleh karena itu, sepatutnya penulis berterimakasih kepada mereka semua. Penulis berterimakasih kepada Prof. Dr. Augustinus Supratiknya yang telah menjadi pembimbing utama tesis penulis. Dalam proses pembimbingan yang minim, „Pak Pratik‟ tetap memberikan masukan yang sangat baik dan tajam bagi tesis ini. Penulis juga berterimakasih kepada Dr. G. Budi Subanar, SJ sebagai ketua program studi IRB yang teramat sangat sabar dan peduli terhadap para mahasiswa yang kerap kali mangkir dari tugas dan kewajiban. Penulis juga berterimakasih kepada Dr. St. Sunardi dan Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ. yang telah mengoreksi serta mempertajam cara menganalisis penulis dengan menjadi penguji dalam ujian tesis. Ucapan terimakasih juga penulis layangkan kepada para pengajar lainnya selama penulis berkuliah: Dr. Katrin Bandel, Dr. Budiawan, Dr. Hary Susanto, SJ., Dr. J. Haryatmoko, SJ., Dr. George J. Aditjondro, Dr. Ishadi S. K., Y. Devi Ardhiani, M. Hum., dan Dr. B. Hari Juliawan, SJ. Apa yang kalian
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagikan sungguh telah membuka cakrawala ilmu penulis. Demikian pula para dewi di sekretariat IRB, mbak Henkie dan mbak Desi, yang rela berhenti sejenak mengerjakan tugas demi memenuhi permintaan tolong para mahasiswa. Getir, pahit, susah, serta senangnya pergumulan di IRB juga penulis rasakan dan bagikan bersama dengan rekan-rekan seperjuangan penulis: Iwan, Leo, Abed, Fairuz, Titus, Agus, Probo, Luci, Eli, Herlina, Vita, mbak Lulud. Bersama dengan kalian, penulis belajar menjadi seorang intelektual kantin, yang senang makan dan minum sambil menertawakan masalah. Penulis juga berterimakasih kepada rekan-rekan STTJ-ers Jogja: Silo Wilar, sang pembelajar yang baik hati, yang selalu mendorong penulis untuk berusaha melampaui kemampuan penulis; Dani “Danox” Pattinaja, sahabat seperjuangan dalam suka dan duka; Vonni Malelak, Paula Loppies, Misere Mawene, Ranto Marbun, Irmanda Saroinsong, dan Andreo Radjagukguk. Juga bagi keluarga SihotangFobia (Opung & Ka‟ Lina) yang sangat membantu penulis di saat-saat terakhir perampungan tesis ini. Penulis sungguh bersyukur karena memiliki keluarga yang sungguh luar biasa dalam mendukung perjalanan hidup penulis. Mama Yul yang dalam doanya nama penulis selalu disebut, dan dalam kasihnya penulis dibesarkan. Hanny, adik penulis yang bekerja keras dan sungguh berjuang demi keluarga. Juga keluarga besar Lapian – Nayoan, secara khusus Mami Tes dan Papi Sammy, serta keluarga besar Lengkong yang mendukung penulis dalam menjalani pendidikan di Jogja. Penulis juga mengucap syukur terima kasih kepada keluarga besar Krisnadi – Jonathans yang sangat mengasihi penulis dan memberi dukungan selalu.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penulis bersyukur atas kehadiran Kishia Fidoresi, seorang adik, sahabat, dan kekasih hati penulis. Terimakasih untuk senyum, seringai, tawa, nasihat, serta teguran yang kau berikan, yang merupakan bentuk cinta dan kasih yang tulus. Juga penulis berterimakasih kepada semua orang yang telah menjadi bagian dalam perjalanan hidup penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu di lembaran yang sangat terbatas ini. Penulis sungguh menyadari bahwa tesis ini amat jauh dari sempurna. Ada begitu banyak kekurangan, entah yang disadari atau yang tidak disadari. Dalam kelemahan tesis ini, kiranya pembaca dapat menemukan hal-hal positif dan bermanfaat bagi pengembangan studi kajian budaya, sekaligus juga hal-hal negatif yang sebaiknya dihindari dalam pembuatan tesis. Pencarian akan makna akan terus berlanjut, demikian pun tesis ini menjadi titik awal, bukan akhir dari perjalanan panjang itu.
Yogyakarta, September 2014
Johanes Louis Mozez Lengkong
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Internet merupakan teknologi komunikasi yang paling masif digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia pada saat ini. Penggunaannya pun tidak hanya sebatas bagi kepentingan militer dan pendidikan seperti pada awal kemunculannya, tetapi saat ini telah masuk ke dalam wilayah yang sakral dan privat, yaitu agama. Kekristenan dan gereja merupakan dua tema yang paling sering muncul dalam jagat internet. Hal ini menandakan kuatnya ekspansi internet sebagai media komunikasi modern di dalam tubuh kekristenan. Keberadaan internet dalam gereja dapat dilihat melalui beberapa hal, yaitu website dan sosial media. Dengan desain dan fasilitas yang beragam dan dirancang secara spesifik, website dan media sosial pun menjadi jendela untuk membaca identitas serta ideologi yang dibangun oleh sebuah gereja. Media sosial yang digunakan oleh para rohaniwan dan jemaat juga menjadi sarana baru untuk berinteraksi sekaligus juga mengalami perjumpaan satu sama lain. Perjumpaan tidak lagi dilakukan di dalam ruang ibadah yang nyata, tetapi dalam ruang virtual digital. Interaksi antara gereja dan internet bahkan membentuk religiositas baru yang berkembang saat ini di dalam gereja-gereja perkotaan. Analisis fenomenologis dengan mengkaji interaksi gereja dan internet dilakukan sebagai upaya untuk melihat religiositas terbangun di dalamnya. Religiositas baru ini pun memformulasikan ulang beberapa hal, yaitu tentang identitas, otoritas, serta persinggungan antara gereja dengan spiritualitas konsumsi dan budaya instan. Kata Kunci: Gereja, Internet, Religiositas, Identitas
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT The Internet is the most massive communication technology used by most of the population of the world at this time. Its use is not limited only to the interests of the military and education as the beginning of its appearance, but it has now entered into the realm of the sacred and private, that is religion. Christianity and church are two themes that appear most frequently in the internet survey database based on religion. This indicates the strong expansion of the Internet as a medium of communication in modern Christianity. The presence of internet in the church can be seen through several things, in examples websites and social media. With differences in design and facilities that are created specifically, websites and social media became a window to observe identities and ideologies that were built by a church. Social media that were used by the clergy and also church members have become new means to interact simultaneously and encounter with each other. The fellowship was no longer performed in the real space, but in the virtual digital space. The interaction between church and internet had even form a new religiosity thriving today in the mega churches in urban area. Phenomenological analysis was used to examine the interaction of the church and the internet to see religiosity that spring in their relation. This new yet unique religiosity was recently re-formulating some things, like identities, authorities, and also the intersection of church with consuming spirituality and instant culture. Keywords: Church, Internet, Identity, Religiosity
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan ...........................................................................................
ii
Lembar Pengesahan ............................................................................................
iii
Lembar Pernyataan Keaslian ............................................................................
iv
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ...................................................... v Kata Pengantar .................................................................................................... vi Abstrak …….…………………………………………………………………..
ix
Abstract ………………………………………………………………………..
x
Daftar Isi …..……………………………………………………………………
xi
BAB I. Pendahuluan ………………………………………………………….
1
1.
Latar Belakang ………………………………………………….
1
2.
Rumusan Masalah ………………………………………………
8
3.
Tujuan Penelitian ……………………………………………….
9
4.
Pentingnya Penelitian …………………………………………..
9
5.
Tinjauan Pustaka ………………………………………………
10
6.
Kerangka Teori 6.1. Religiositas......................................................................
13
6.2. Makna Ritual ………………………………………………
15
6.3. Internet dan Pembentukan Realitas ………………………..
18
6.4. Simulacrum dan Konsumsi Tanda ..………………………. 22 7.
Metode Penelitian ………………………………………………
24
8.
Pengumpulan Data ……………………………………………..
25
9.
Sistematika Penulisan ………………………………………….
27
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II. Gereja dan Internet: Sejarah dan Perkembangannya …………….
29
1. Internet: Awal Kemunculan dan Perkembangannya ………………..
29
2. Agama dan Teknologi: Perjumpaan yang Menghidupkan …………..
34
3. Gereja dan Internet: Simbiosis Mutualis .........................................
38
4. Pentakostal Kharismatik: Lahan Subur Penggunaan Internet ..…......
43
5. Kesimpulan …………………………………………………….........
56
BAB III. Realitas Gereja dan Internet ……………………………………….
48
1. Jakarta Praise Community Church ……………………………….....
49
2. GBI Glow Fellowship Centre ……………………………………….. 52 3. GBI Praise Revival for Jesus ………………………………………..
55
4. Website Gereja: Sarana Informasi dan Persekutuan ……………......
58
5. Media Sosial: Eksistensi di Dunia Virtual ………………………......
65
5.1.
Facebook ………………………………………………..
66
5.2.
Twitter ………………………………………………......
69
5.3.
Youtube ……………………………………………........
72
5.4.
Live Video Streaming ………………………………........ 75
6. Kesimpulan .................................................................................
BAB IV. Internet dan Religiositas Umat ....……………………...................
77
79
1. Dari Simbol Ritual ke Simbol Virtual ………………………............
80
2. Spiritualitas Online: ’Klik’ sebagai Refleksi dan Doa ………… ........
83
3. Otoritas Religius: Kabur dan Tersebar …………………….............
84
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4. Identitas Virtual: Anonimitas, Multiplisitas, dan Avatar ………........
88
5. Religiositas Online, Spiritualitas Konsumsi, dan Budaya Instan …...
92
6. Cybergnosis: Mencari Kepuasan Digital ……………………… ........
97
BAB V. Penutup ……………………………………………………………....
100
Daftar Pustaka …………………………………………………………… .......
107
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Di dalam tradisi Kristen, esensi dari ibadah adalah persekutuan. Di dalam
persekutuan itu terjadi perjumpaan antara umat dengan umat, juga perjumpaan antara Sang Khalik dengan umat-Nya. Umat dapat saling bertegur sapa dan bertukar cerita tentang pengalaman hidup sehari-hari mereka. Gembala/Pendeta akan menyampaikan Firman Tuhan yang tentu bertujuan menguatkan kepercayaan dan keyakinan jemaat kepada Tuhan sebagai Sang Khalik dan Pemelihara kehidupan. Umat pun mendengarkan dengan baik, bahkan sesekali merespon dengan ungkapan-ungkapan tertentu yang menegaskan terjadi interaksi yang berujung pada komunikasi. Pengalaman beribadah di dalam persekutuan seperti ini rupanya mendapatkan sebuah tantangan baru saat ini di tengah-tengah dunia yang memberi ruang dan mengakomodasi perkembangan teknologi informasi. Persekutuan secara fisik tidak melulu menjadi syaratnya dan perjumpaan aktual menjadi hal yang mungkin untuk dihindari. Perjumpaan pun dapat terjadi di ruang lain, yaitu di ruang media. Pada suatu Minggu pagi, penulis berada di rumah seorang kerabat penulis1. Ia terlihat lemah dan sakit. Penulis mengajaknya untuk pergi ke gereja, tetapi dia menolak dengan alasan sedang sakit sehingga tidak mampu untuk keluar rumah. Penulis kemudian bersiap untuk berangkat ke gereja dan mengikuti ibadah 1
Percakapan penulis dengan seorang sepupu penulis pada bulan Agustus 2010. Ia adalah anggota terdaftar dari sebuah gereja protestan arus utama yang berlokasi di Manado, yang juga aktif mengikuti kebaktian yang diselenggarakan sebuah gereja Karismatik di sana.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
minggu. Ketika keluar dari kamar, penulis cukup terkejut ketika melihat kerabat penulis ini sedang duduk di depan radio dan mengikuti siaran ibadah Minggu di salah satu stasiun radio yang menyiarkan langsung ibadah Minggu di salah satu jemaat di Jakarta. Kerabat penulis tidak hanya duduk dan mendengarkan, tetapi juga ikut bernyanyi ketika siaran (baca: ibadah) tiba pada nyanyian umat, dan juga ikut berdoa ketika siaran tiba di doa umat. Sepulangnya dari gereja, iseng-iseng penulis bertanya kepada kerabat penulis ini tentang apa yang ia rasakan ketika mengikuti ibadah Minggu di depan radio. Ia menjawab bahwa mengikuti ibadah di radio sama saja dengan mengikuti ibadah di gereja, karena ada nyanyian, doa, pembacaan Alkitab dan khotbah. Baginya, media apapun dapat menjadi alat untuk memuliakan nama Tuhan. Pengalaman lain yang sejenis penulis alami adalah ketika penulis mendapatkan kesempatan mengunjungi sebuah gereja Pentakostal-Kharismatik di Manado.2 Saat itu ibadah sedang berlangsung. Umat pun bernyanyi lagu pujian dengan semangat. Sampai waktunya tiba di bagian khotbah, tiba-tiba layar besar yang terletak di atas mimbar menampilkan gambar sang gembala sidang yang sedang memimpin doa untuk masuk ke dalam khotbah. Penulis cukup terkejut karena sang pendeta tidak berada di mimbar, dan biasanya layar hanya menampilkan apa yang terjadi di atas panggung dan mimbar. Ternyata, sang gembala sidang tidak berada di ruangan itu, di gedung itu, atau bahkan di kota Manado. Ia berada di sebuah ruang ibadah di Jakarta. Ia membawakan khotbah di tempat itu yang juga disiarkan ke ruang ibadah ini dan ke beberapa ruang ibadah lain di kota lainnya. Di awal khotbah, penulis merasakan keanehan luar biasa 2
Gereja yang penulis kunjungi ini adalah GBI Glow Fellowship Centre yang berpusat di
Jakarta.
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karena menurut penulis, seorang pengkhotbah harus berada satu ruangan dengan jemaat yang menyaksikan dan mendengarkannya. Jemaat harus bisa melihat dan berinteraksi dengan sang pengkhotbah secara langsung. Memang, jemaat dapat melihat pengkhotbahnya bergerak-gerak di atas panggung dan mendengarkan setiap perkataannya dengan jelas. Tetapi, ia tetap berada jauh di kota lain. Setelah khotbah, penulis mengikuti warta jemaat dan mendapati bahwa cara yang sama akan dilakukan kembali di ibadah minggu depan. Bahkan, setelah bertanya kepada jemaat, cara ini digunakan setiap minggu dan jemaat sangat antusias, bahkan lebih antusias dibandingkan pengkhotbah lain yang berkhotbah secara langsung di atas mimbar ruangan ini. Praktik serupa tapi tak sama juga terjadi di gereja-gereja besar perkotaan saat ini. Suatu ketika penulis datang dan mengikuti ibadah di sebuah megachurch yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. Gereja ini memiliki sebuah ruang ibadah yang luas dan mampu menampung ribuan orang dalam sekali ibadah. Mereka juga mengaplikasikan teknologi multimedia dengan amat sangat baik. Kamera video diletakkan di beberapa sudut ruang ibadah sehingga mampu menangkap setiap momen di seluruh ruang ibadah itu. Hasil tangkapan kamera kemudian dihubungkan langsung ke proyektor yang akan menembakkannya ke layar putih besar yang terbentang di beberapa penjuru ruangan sehingga dapat dilihat oleh seluruh jemaat, dari depan hingga belakang. Hampir dapat dipastikan bahwa jemaat yang duduk di bagian belakang serta samping kanan dan kiri ruangan hanya dapat menyaksikan apa yang terjadi di panggung dan mimbar melalui layar yang ada di dekat mereka. Apa yang mereka lihat di layar merupakan hasil tangkapan para juru kamera. Kadang kamera diarahkan langsung
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ke muka pemimpin yang sedang memimpin, tapi juga terkadang diarahkan ke jemaat yang sedang berdoa dengan khusuk dan menangis atau ke jemaat yang tiba-tiba tersungkur jatuh karena ekstase spiritual ketika bernyanyi. Penulis lalu melihat pengumuman yang tertulis di dalam buletin mingguan yang dibagikan secara cuma-cuma kepada seluruh jemaat, dan mendapat informasi bahwa gereja ini menyiarkan secara langsung setiap ibadah Minggu yang diselenggarakan melalui situs internetnya, atau yang lebih dikenal dengan istilah live video streaming. Dengan teknologi ini semua orang, tak peduli tempat dan waktu, diundang untuk ikut beribadah secara langsung tepat dari depan komputer, bahkan dari gadget canggih mereka masing-masing. Iseng-iseng, penulis mencoba melihat live video streaming ibadah yang disiarkan oleh gereja ini dan menemukan bahwa apa yang disiarkan langsung adalah seluruh rangkaian ibadah, dari awal hingga akhir, tanpa terputus selama kurang lebih dua jam. Apakah kemudian hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang baru di dalam gereja-gereja modern, di mana perjumpaan fisikal umat tidak lagi dibutuhkan? Pengalaman-pengalaman yang penulis jumpai di atas bercerita tentang bagaimana orang-orang Kristen saat ini memilih dan mendeskripsikan ibadahnya. Saat ini, pilihan untuk beribadah tidak sekadar ditentukan oleh denominasi dan corak ibadah seperti yang terjadi dua sampai tiga dekade yang lalu. Misalnya, ketika beribadah di gereja-gereja Protestan Arus Utama maka ibadah yang ditawarkan adalah ibadah yang teratur karena menggunakan tata ibadah yang baku dan lagu-lagu himnal peninggalan para misionaris Barat, dan tidak memberi tempat kepada ekspresi umat yang dianggap berlebihan (contoh: tidak boleh bertepuk tangan dan mengangkat tangan). Sementara gereja-gereja Pentakostal
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan Kharismatik, sebaliknya, lebih membuka ruang bagi ekspresi umat, bahkan yang spontan sekalipun (contoh: menangis, memberi kesaksian spontan di atas mimbar). Akan tetapi, ternyata ada pilihan lainnya yang hadir saat ini, yaitu beribadah dengan dan dalam media elektronik, seperti radio, televisi, penggunaan kamera dan layar dalam ruang ibadah, dan tentu saja yang paling mutakhir saat ini yaitu menjangkau seluruh penjuru dunia dengan internet. Hal ini sangat menarik bagi penulis karena pemahaman ibadah terhadap ibadah Minggu di kalangan umat Kristen adalah di dalam gereja, entah di sebuah gedung yang memang diperuntukkan sebagai tempat beribadah, atau di dalam pertokoan seperti ruko dan pusat perbelanjaan besar/mal yang salah satu ruangannya digunakan untuk tempat beribadah, bahkan pun di atas sebidang tanah lapang yang digunakan sementara sebagai tempat beribadah. Ibadah melalui media elektronik telah ”meruntuhkan” tembok-tembok bangunan gereja sehingga orang Kristen dapat beribadah di mana saja, entah di rumah, kantor, rumah sakit, atau bahkan sambil berkendara di dalam mobil. Umat Kristen tidak lagi terpaku pada bangunan gereja atau ruang persekutuan yang mempertemukan umat dengan umat lainnya untuk beribadah bersama, tetapi mengutamakan kepraktisan dalam beribadah yang ternyata bisa dipuaskan oleh media. Media elektronik, yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang sekular, kini ”dibaptis” menjadi ”alat Tuhan” dalam pekabaran Injil. Siaran-siaran di radio dan televisi yang pada awalnya menyiarkan berita-berita dunia, kini menyiarkan ”berita keselamatan dalam Kristus”. Di hari Minggu, lagu-lagu sekuler bertema percintaan dan patah hati yang biasanya mengisi siaran-siaran di radio, tiba-tiba berubah menjadi ”lagu sorgawi” dengan lirik yang menaikkan pujian bagi Tuhan,
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang membuat orang yang mendengarnya tergugah dan merindukan ”jamahan” Tuhan. Internet, sebuah ruang tanpa batas, pun seolah dipagari dan diberi label ”wilayah kemuliaan Tuhan”. Berdasarkan hal di atas, maka penelitian penulis akan mengangkat tema ”Konstruksi Gereja dalam Dunia Internet”. Dengan tema ini penulis ingin mengkaji secara lebih mendalam fenomena penggunaan internet di dalam kehidupan gereja saat ini. Penulis membatasi ranah penelitian ini pada media internet karena penggunaannya sudah sangat masif dan masuk hampir ke dalam seluruh aspek kehidupan gereja. Dengan memperhatikan kontinuitas juga diskontinuitas internet dengan media elektronik pendahulunya, maka penelitian ini berusaha melihat dan mengkaji peran internet sebagai media yang lahir dalam semangat yang sama, yaitu globalisasi informasi, di dalam kehidupan beragama saat ini. Objek kajian penulis terutama adalah orang-orang Kristen yang menjadi anggota di gereja yang akrab dengan teknologi informasi dan internet. Penulis juga akan memberi perhatian lebih dan khusus kepada fenomena penggunaan medium internet di dalam peribadahan. Hal ini menjadi sebuah hal yang menarik bagi penulis mengingat internet adalah teknologi informasi generasi ketiga, setelah radio dan televisi. Ia tidak hanya mengandalkan kemampuan audiovisual, tetapi juga kemampuan interaksi langsung antar pengguna dengan tingkat aksesibilitas tinggi sehingga semua orang yang memiliki koneksi internet dapat mengakses semua konten yang ada di dalamnya. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menjadi titik berangkat bagi penulis dalam melakukan penelitian, tanpa bermaksud mengulang kembali penelitian-penelitian itu. Richard Wolff, seorang peneliti dari Dowling College,
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Oakdale, New York, pernah melakukan penelitian serupa di tahun 1999 yang diberi judul ”A Phenomenological Study of In-Church and Televised Worship”. Di dalam penelitiannya, Wolff melakukan studi fenomenologis dengan melakukan wawancara kepada beberapa orang yang mengikuti ibadah melalui media elektronik. Karena studinya adalah studi semiotika fenomenologis, maka ia berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin data wawancara lalu melihat dan mengkaji tanda-tanda apa saja yang muncul dalam pengalaman orang-orang yang mengikuti ibadah di gereja dan juga dalam media elektronik, yaitu televisi. Ia berusaha mensintesakan pengalaman langsung orang-orang ini dengan makna eksistensial yang muncul di dalam percakapan dalam mendeskripsikan fenomena ini. Penelitian ini menjadi sumber dan contoh bagi penulis untuk mengkaji fenomena penggunaan internet di gereja. Penulis juga membandingkan objek penelitian di atas dengan fenomena streaming worship, yaitu menyaksikan ibadah dengan medium internet. Penelitian lainnya adalah tentang bagaimana media elektronik menjadi media rohani yang digunakan oleh gereja sebagai media pekabaran Injil. Penelitian tentang ini umumnya menggunakan perspektif etis-teologis, yaitu bagaimana gereja secara bijak menggunakan media elektronik. Juga banyak terdapat penelitian dari disiplin ilmu komunikasi tentang media itu sendiri, yaitu radio, televisi, dan internet. Penulis akan mengambil sudut pandang yang berbeda di dalam melakukan penelitian ini, yaitu dengan pisau analisis kajian budaya, yang berusaha mensintesakan antara semiotika, teknologi informasi, dan kajian budaya populer. Harapan penulis adalah penelitian ini dapat memberi suatu perspektif baru untuk
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memahami perkembangan gereja dan peribadahan Kristen dalam perjumpaannya dengan teknologi informasi digital saat ini, termasuk bagaimana umat Kristen memaknai ritual dan arti bergereja itu sendiri.
2.
Rumusan Masalah Ada beberapa rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yang muncul
terkait dengan penelitian ini. Pertama, bagaimana ibadah dan persekutuan di dalam gereja dimaknai oleh orang Kristen saat ini? Bagaimana ritual-ritual di dalam peribadahan Kristen? Bagaimana peran simbol-simbol religius yang ada dalam peribadahan dimaknai oleh orang Kristen dewasa ini? Umat Kristen sepertinya mulai meninggalkan tanda dan simbol yang terdapat di dalam gereja, seperti mimbar dan altar, dan menggantinya dengan simbol-simbol virtual baru sebagai lambang persekutuan. Simbol yang semula dianggap menjadi lambang dari ibadah yang membawa perjumpaan dengan Yang Mahakudus itu, saat ini terdesakralisasi menjadi sekadar aksesoris yang ada atau tidaknya pun tidak lagi menjadi masalah. Kedua, sampai sejauh mana peran internet sebagai salah satu bentuk teknologi informasi? Apakah ia hanya sekadar menjadi media komunikasi bagi gereja atau justru menjadi ’roh’ penggerak yang baru dalam kehidupan gereja modern saat ini? Saat ini internet telah digunakan dengan begitu masif sampai ke kehidupan gereja, misalnya sebagai sarana media sosial ataupun situs informasi. Beberapa gereja di kota-kota besar bahkan sangat mengandalkan teknologi ini di dalam peribadahannya, misalnya saja untuk penggunaan fasilitas live streaming. Sampai sejauh manakah internet membentuk dan mendefinisikan
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kehidupan bergereja? Bagaimana internet yang mulanya adalah media informasi yang dianggap sekular, bergeser dan ”ditahbis” menjadi media religius? Apakah ada hubungan budaya konsumsi dengan hal ini? Ketiga, religiositas seperti apa yang terbangun dalam gereja yang mengaplikasikan teknologi dengan begitu masifnya? Pertanyaan ini hendak melihat religiositas yang terbentuk melalui realitas penggunaan internet di kalangan jemaat dan gereja-gereja perkotaan. Apakah internet membentuk religiositas baru yang mengagungkan teknologi sebagai sebuah medium baru untuk berjumpa dengan Tuhan. Apakah gereja modern dapat bertahan tanpa internet? Atau justru pengguna internet tidak lagi membutuhkan gereja karena internet telah “ditahbis” menjadi ruang persekutuan dan beribadah yang baru?
3.
Tujuan Penelitian Dengan melihat gambaran permasalahan di atas maka penelitian ini
bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan proses terbentuknya realitas ibadah di dalam media. 2. Mengungkapkan
ideologi-ideologi
yang
terkandung
dalam
penggunaan internet di dalam kehidupan bergereja. 3. Melihat perkembangan religiositas baru di dalam kekristenan modern.
4.
Pentingnya Penelitian Penelitian tentang media digital dan realitas ibadah ini dapat menjadi
sebuah diskursus baru di dalam kajian media dan religi. Media elektronik dan teknologi informasi saat ini secara tidak disadari telah menjadi penopang
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kehidupan masyarakat modern dan masuk sampai ke wilayah yang paling privat, yaitu agama dan keyakinan. Diharapkan penelitian ini dapat memperlihatkan sebuah realitas baru, yaitu beragama di dalam media, kedua hal yang pada prinsipnya berseberangan namun akhirnya dikombinasikan dan menghasilkan suatu perspektif baru dalam memahami religiositas manusia saat ini. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi orang-orang Kristen saat ini, bagaimana kehadiran gereja tidak lagi dimaknai dalam bentuk persekutuan di suatu tempat, tetapi dalam bentuk persekutuan virtual di mana aspek kehadiran digantikan oleh representasi media informasi. Media pun akhirnya menjadi ruang ibadah itu sendiri. Penelitian ini juga hendaknya menjadi sarana bagi penulis yang ingin semakin mendalami perjumpaan gereja dengan budaya populer. Penulis yakin bahwa penelitian ini menjadi pintu masuk bagi penulis untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya. Berbekal kemampuan menganalisis dengan menggunakan pisau kajian budaya, penulis juga ingin menyumbang suatu pemikiran baru bagi kajian budaya di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih terus berkembang dan mencari bentuk yang tepat di tengah arus keilmuan lainnya.
5.
Tinjauan Pustaka Beberapa buku dapat membantu penulis dalam membangun teori. Pertama,
karya dari sosiolog Perancis, Jacques Ellul, The Humiliation of The Word, yang percaya bahwa dominasi visual televisi menciptakan korosi bagi religiositas
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
manusia.3 Di matanya, adalah sebuah bencana bagi gereja untuk menjiplak dan mengikuti teknik pencitraan budaya seperti yang dilakukan oleh televisi. Baginya gereja tidak boleh menciptakan program televisi, karena dapat menghancurkan dirinya, fondasi dan isi darinya. Akan tetapi, Ellul terjebak pada esensialisme teologi Kristen a la Karl Barth, yang melihat bahwa Firman adalah pusat dari iman Kristen dan memiliki makna yang tetap dan tidak dapat berubah sehingga mediasi Firman melalui media dianggap sebagai korosi bagi pesan Ilahi dalam Firman itu sendiri. Karya berikutnya adalah karya Malcolm Muggeridge, Christ and Media, yang melihat perjumpaan antara orang Kristen dengan media.4 Menurutnya, media dapat menciptakan suatu realitas palsu yang membuat pemirsa semakin jauh dari realitas yang sesungguhnya. Media bahkan menciptakan fantasi baru tentang Kristus yang berbeda dengan Kristus di dalam dogmatika arus utama kekristenan. Muggeridge mengambil sikap resisten terhadap perjumpaan media dengan kekristenan. Baginya media dapat menjadi sarana destruksi bagi agama. Pandangan Ellul dan Muggeridge ini sesungguhnya mencerminkan pandangan awal ketika media elektronik dengan segala kelebihannya mulai menginvasi kehidupan religius. Muncul kecurigaan, terutama yang muncul dari kalangan rohaniwan, bahwa media dapat menjadi penghancur dari sakralitas agama. Dengan kebebasan yang dimiliki, mereka berpendapat bahwa agama dan kepercayaan dapat dengan mudah disalah-artikan oleh para pemirsa yang menyaksikan tayangan. Bukan tidak mungkin, akan ada terjemahan baru
3 4
Jacques Ellul, The Humiliation of The Word (Grand Rapids: Eerdmans, 1985) Malcolm Muggeridge, Christ and Media (London: Hodder and Stoughton, 1977).
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di tahun 1990-an, para peneliti media dan religi, menjadi semakin terbuka dan bersikap lebih apresiatif terhadap perjumpaan media dan agama. Ben Armstrong di dalam bukunya, The Electric Church, mengatakan bahwa teknologi mutakhir di dalam dunia penyiaran adalah sebuah mujizat di abad modern.5 Media elektronik telah menghancurkan tembok-tembok tradisi dan denominasi, serta mengembalikan kondisi gereja saat ini kepada kondisi gereja mula-mula yang sederhana dan terbuka bagi semua orang. Stewart Hoover di dalam bukunya, Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church, mengatakan bahwa media massa menjadi alat sempurna bagi penginjilan. Prinsip-prinsip utama gereja, yaitu terbuka dan dapat diakses oleh semua orang menjadi dasar bagi perkembangan gereja elektronik melalui televisi.6 Televisi adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus digunakan untuk menyebarkan kabar baik ke seluruh penjuru dunia. Mereka percaya bahwa nilai-nilai yang dianut oleh penyiaran komersial tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan. Pada tahun 2000 awal, sebuah buku yang disunting oleh Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan, Religion Online: Finding Faith on The Internet7, menunjukkan bagaimana internet telah mengubah wajah agama-agama dunia. Internet, yang digunakan secara masif di hampir seluruh penjuru dunia, telah mendorong adanya bentuk-bentuk baru beragama. Cyberspace pun dimaknai sebagai sacredspace, tempat di mana Yang Mahakudus berdiam dan membuka diri untuk ditemukan oleh manusia. 5
Ben Armstrong, The Electric Church (Nashville: T. Nielsen, 1979) Stewart Hoover, Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church (New York: Columbia University Press,1999) 7 Lorne L. Dawson & Douglas E. Cowan, Religion Online: Finding Faith on The Internet (New York: Routledge, 2004) 6
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam sebuah tulisannya, Idy Subandy Ibrahim menulis tentang berkembangnya ruang virtual atau cyberspace. Kemunculannya memberi pengaruh dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk pengalaman beragama. Muncul kemudian cyberreligion dimana mereka dapat menjadi orang yang akan Di akhir penelitiannya, ia mempertanyakan akankah cyberreligion ini menggantikan realreligion dalam ruang internet yang telah menjadi ruang alternatif dalam peradaban manusia. Karya-karya dan tulisan di atas dapat menjadi titik berangkat yang membuka pengetahuan penulis tentang perjumpaan media dan agama. Akan tetapi, penulis melihat bahwa mereka semua terjebak pada pola pikir teologis, dan tidak melakukan pendekatan fenomenologis. Misalnya saja, mereka terbentur pada masalah otoritas bahwa Kristus hanya dapat disampaikan oleh gereja yang dipahami secara normatif dan bukan oleh gereja yang telah masuk ke dalam media. Pembelaan yang dilakukan oleh para ahli yang lebih kemudian pun seolaholah hanya menjadi apologi bagi perjumpaan media dan agama yang memang saat ini tak terhindarkan lagi.
6.
Kerangka Teori VI. 1. Religiositas Menurut seorang teolog, seperti dikutip G. Moedjanto dan St. Sunardi,
mendefinisikan
agama
dan
religiositas
adalah
sesulit
mendefinisikan seni.8 Perspektif dan pendekatan yang berbeda dapat menghasilkan pengenalan dan pemahaman yang berbeda tentangnya. Salah 8
G. Moedjanto & St. Sunardi, “Religiositas Kaum Beriman di Indonesia” dalam Basis XLIV: No. 6 (Yogyakarta: Juni, 1995) hlm. 208.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
satu definisi yang diberikan oleh dictionary.reference.com adalah bahwa religiositas itu berkaitan dengan kualitas religius dan kesalehan hidup seseorang.9 Religiositas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas keberagamaannya dilihat dari dimensinya yang paling mendalam. Dalam sejarah panjang peradabannya, manusia berusaha memuaskan kerinduannya akan kebutuhan-kebutuhan yang paling dalam dan paling eksistensial yang seringkali tidak bisa dituntaskan dengan rumusanrumusan doktrinal agama yang terbatas.10 Friedrich Schleiermacher mengungkapkan bahwa agama adalah indra dan rasa dari yang infinit itu sendiri (sense and taste of Infinite). Pengalaman beragama itu pertama-tama tidak terkait dengan rumusanrumusan teologis, melainkan bagaimana pemeluk agama dapat merasakan dan mencicipi Realitas Yang Tak Terbatas itu dalam pengalaman hidupnya sehari-hari.11 Religiositas sebagai pengalaman ini menandakan bahwa ia melampaui agama itu sendiri. Ia tidak sekadar dipahami sebagai kadar kepatuhan seseorang terhadap ajaran dan doktrin dalam suatu agama, tetapi lebih kepada pemaknaan seseorang terhadap realitas lain yang transenden dan lebih berkuasa di luar dirinya. Pemaknaan ini membuat manusia menyadari akan keterbatasan hidupnya, dan terdorong dari dalam untuk mencapai yang transenden guna pemenuhan diri dan hidupnya. Agus M. Hardjana mengatakan bahwa hal yang transenden ini dialami manusia melalui pengalaman yang membuat manusia mengalami ekstase, yaitu saat manusia keluar dari dirinya. Pengalaman ekstase inilah yang 9
http://dictionary.reference.com/browse/religiosity diakses pada 10 Juli 2014. G. Moedjanto & St. Sunardi, Op. Cit., hlm. 209. 11 Ibid. 10
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
biasa disebut sebagai pengalaman religius. Pengalaman-pengalaman akan Allah inilah yang nantinya membentuk religiositas – rasa dan kesadaran akan hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhannya.12 Pengalaman religius saat ini juga dirasakan di dalam internet. Konten religius yang ada di dalam internet seolah membuat manusia berada dalam ruang maha kudus yang maya dan tak berujung. Pengalaman iman komunitas Kristen tidak lagi hanya dijumpai di dalam gereja, tetapi di dalam internet yang menjadi gereja virtual bagi mereka. Sekularisasi dan modernitas, yang menjadi cikal bakal pengembangan teknologi mutakhir, ternyata tidak berujung pada negasi religiositas supra natural. Saat ini, teknologi malah menjadi medium bagi munculnya religiositas virtual di dalam internet.
VI. 1. Makna Ritual Agama selalu sarat akan makna. Di dalam agama setiap orang berusaha untuk memaknai seluruh eksistensi dirinya dalam pengalaman hidup sehari-hari. Makna di dalam agama pun akhirnya tersimpan dalam simbol. Menurut Mircea Eliade, Yang Kudus adalah pusat di dalam agama.13 Inti dari setiap agama adalah Yang Kudus itu sendiri. Akan tetapi, manusia tidak dapat menjangkau Yang Kudus itu. Di sini simbol berfungsi sebagai ”pagar” yang membatasi Yang Kudus itu ke dalam realitas eksistensial manusia. Yang Kudus itu menjadi nampak dan
12
Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 28-29. 13 PS Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 44.
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersentuh di dalam simbol. Lain halnya dengan Emile Durkheim yang melihat inti agama bukan pada Yang Kudus di luar manusia itu sendiri, tetapi kepada hubungan sosial yang membentuk suatu tindakan di dalam agama. Tujuan agama yang sebenarnya bukanlah intelektual, tetapi sosial. Agama bertindak sebagai pembawa sentimen sosial, memberi simbol dan ritual yang memungkinkan orang mengungkapkan ekspresi yang dalam, yang
melabuhkan
mereka
pada
komunitas
mereka.14
Dengan
mensintesakan kedua pemikiran ini, maka agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang menghayati realitas Yang Kudus di luar diri manusia, sekaligus juga menyertakan unsur sosialitas sebagai wilayah penghayatan makna Yang Kudus itu dalam kehidupan sehari-hari. Penghayatan makna ini terdapat di dalam ritual-ritual keseharian manusia. Lebih lanjut menurut Durkheim, ritual adalah suatu hal yang penting posisinya di dalam agama karena ia menentukan sentimen dan emosi agama.15 Bahkan, Durkheim mengatakan bahwa di dalam suatu agama bukan kepercayaannya yang penting, melainkan ritualnya. Jadi menurut Durkheim, ritual itu sendiri adalah agama. Tanpa sebuah ritual, maka tidak akan ada agama. Ritual menjadi sesuatu yang sakral, Yang Kudus itu sendiri. Ia merupakan suatu tindakan simbolik, sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikapsikap
religius.
pengalaman
asli
Bila
seseorang
religiusnya
beragama
dengan
mesti
relasinya
mempertahankan yang
melampaui
pengalaman biasa dengan yang Ilahi, ia harus mengungkapkan ini lewat 14 15
Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi IRB 2010. Teori Agama Emile Durkheim, Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi.
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris dan menjadi bagian dari wilayah profan, sebagai perpanjangan dari penampakan yang ilahi.16 Menurut Rudolf Otto, di dalam ritual, setiap orang melihat yang Ilahi itu sebagai sesuatu ”tremendum et fascinosum”. Ada sikap ambivalen di dalam ritual: takut tetapi sekaligus tertarik, negatif dan positif, sikap tabu tetapi juga preservasi dan proteksi. Di dalam ritual, seseorang merasa takjub, yaitu dengan sikap takut dan hormat, tetapi sekaligus juga terus menerus melakukannya sebagai ketertarikan personal terhadap kuasa yang Ilahi itu. Dalam kaitannya dengan kesadaran kolektif masyarakat, ritual bertujuan untuk mempromosikan kesadaran klan, membuat orang merasa menjadi bagiannya, dan untuk memeliharanya dalam cara yang terpisah dari yang profan. Tanpa klan (ruang sosial) sebuah ritual tidak akan memiliki makna transenden secara kolektif. Oleh karena itu, suatu ritual harus berakar dan menjadi bagian dari sosialitas tertentu, sekaligus memaknai kembali masyarakat itu. Di dalam kekristenan, mulai dari kemunculannya sampai dengan saat ini, ritual masih menempati posisi penting bahkan sentral. Kekristenan adalah sebuah agama ritual, yang kaya akan simbol dan makna. Ritual membawa umat ke dalam perjumpaan dengan Sang Khalik, yang menciptakan dunia dan segala isinya. Di dalam kenyataan ini, gereja sebagai perwujudan orang-orang yang percaya kepada Kristus dilihat sebagai sebuah persekutuan yang beribadah. Ibadah mengajak setiap orang
16
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 167.
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
percaya untuk masuk ke dalam misteri karya penciptaan dan penyelamatan oleh Allah secara bersekutu. Dalam konteks penelitian ini, ibadah melalui media elektronik menjadi suatu varian lain yang muncul. Persekutuan dengan umat yang lain tidak lagi penting. Segala ornamen dan simbol dalam ruang ibadah pun dihilangkan. Dengan mengikuti ibadah di radio, televisi, dan internet, umat menarik diri dari kebersamaan dengan orang lain. Ibadah tidak lagi menjadi suatu hal komunal, melainkan telah menjadi sesuatu yang individual. Jemaat memang hadir di ruang ibadah, ikut bernyanyi dan bertepuktangan, tetapi di waktu yang sama ia pun sedang berinteraksi dengan temannya yang berada ratusan kilometer darinya melalui chatting di Facebook dari smartphone yang canggih. Alkitab, yang menjadi simbol Firman Tuhan di dalam ibadah, digantikan oleh ”gadget suci” yang dapat membukakan ayat-ayat Alkitab sekaligus catatan-catatan para ahli kitab tentang ayat-ayat yang dibaca. Pemberian persembahan yang menjadi sebuah ritual kolektif pun telah digantikan dengan transfer secara individual.
VI. 2. Internet dan Pembentukan Realitas Media elektronik seperti, radio, televisi dan saat ini jaringan internet, menjadi alat komunikasi yang paling masif digunakan di seluruh dunia. Keduanya menyediakan informasi populer tentang kejadiankejadian yang berlangsung di seluruh dunia, baik di negara modernindustrialis, maupun di negara berkembang-agraris. Radio hanya
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengandalkan suara, sedangkan televisi sudah menghadirkan visualisasi berupa gambar. Melalui radio, informasi yang disampaikan masih bersifat bebas dan memerlukan imajinasi pendengar untuk membayangkan suatu kejadian atau informasi yang diberikan. Sedangkan televisi menutup ruang imajinasi itu, karena suatu informasi disampaikan melalui televisi dengan gambar dan suara. Selain kedua media di atas, internet pun muncul sebagai sebuah medium informasi baru. Tidak hanya memiliki kemampuan audiovisual seperti televisi, internet pun menawarkan kemampuan interaksi langsung antara pengguna dengan setiap konten yang hendak diakses. Para pengguna bebas untuk memilih sendiri segala informasi yang hendak dilihat dan didengarkan. Peran stasiun radio dan televisi digantikan oleh server sebagai gudang penyimpan berbagai informasi. Tidak kalah dengan radio dan televisi yang dapat diakses di berbagai tempat di seluruh penjuru dunia, internet saat ini dapat diakses di hampir seluruh negara di dunia.17 Terikatnya dunia ke dalam sebuah jaringan global internet membuat manusia saling terhubung satu dengan yang lain secara langsung. Studi tentang media elektronik telah menjadi bagian penting dalam kajian budaya. Di awal kemunculannya di Inggris, kajian budaya menempatkan media elektronik sebagai bagian dari ontologi sosialnya. Kajian tentang televisi, misalnya, telah mendapatkan makna baru dari para pegiat kajian budaya bahwa televisi tidak hanya menjadi alat untuk 17
Situs http://submarine-cable-map-2013.telegeography.com/ menunjukkan sebuah peta dari jaringan kabel optik yang menghubungkan seluruh dunia ke dalam jaringan internet. Jaringan kabel optik dan sinyal satelit adalah dua hal yang dibutuhkan bagi jaringan internet saat ini. jaringan ini telah berhasil menghubungkan seluruh wilayah di dunia, baik dengan jaringan kabel optik bawah laut, maupun bawah tanah.
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menggambarkan realitas, tetapi ia adalah realitas itu sendiri. Apa yang disampaikan di dalam televisi justru menjadi dunia bagi para pemirsanya. Selain itu, informasi yang disampaikan oleh media adalah sebentuk konstruksi yang dimainkan di dalam sebuah kerangka pikir tertentu untuk mengatur cara pandang pemirsa melihat dunia. Hasilnya, yang disebut berita di seluruh dunia adalah isu-isu aktual seputar hal ekonomi, politik, urusan dalam negeri dan luar negeri. Di luar ini bukanlah berita, tetapi hanya sekadar informasi tambahan yang menjadi pelengkap dari berita utama tadi. Pemahaman ini menjadi sesuatu yang common sense. Stuart Hall, mengikuti Gramsci, melihat hal ini sebagai hegemoni media.18 Media telah terhegemoni oleh pemahaman yang terbentuk di dalam masyarakat dalam suatu situasi kultural tertentu, sehingga informasi yang diberikan tidak bebas nilai, tetapi mengandung pemahaman mengikat yang dikonstruksi dari masyarakat, tetapi juga yang kemudian berbalik mengkonstruksi masyarakat. Akan tetapi, di balik kondisi hegemonik itu, para pemirsa pun menjadi audience aktif. Mereka tidak hanya menerima segala informasi dan memberlakukannya sebagai kebenaran yang mutlak, tetapi menafsir kembali makna dari setiap informasi yang dihadirkan dalam konteks kultural masing-masing.19 Teks-teks dalam media bukanlah teks yang ambigu, melainkan bersifat polisemi, sehingga pemaknaannya sangat bergantung pada situasi dan kondisi setempat. Proses encoding yang dilakukan oleh produser melalui serangkaian proses yang memungkinkan 18
Chris Barker, Cultural Studies: Theory & Practice, (London: SAGE Publications, 2008), hlm. 319. 19 Ibid.
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagi terjadinya distorsi makna. Proses decoding oleh pemirsa dan pendengar pun bisa saja bermakna yang lain, bergantung pada konteks masyarakat. Hall kemudian membagi tiga jenis penerimaan informasi oleh pemirsa. Pertama, dominan-hegemonik, yaitu pemirsa menerima semua informasi yang diberikan dan pemaknaannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh produsen informasi. Kedua, negosiatif, yaitu pemirsa membuka ruang bagi pemaknaan yang berbeda dari informasi yang diserap bergantung dari kondisi kultural setempat. Ketiga, oposisional, yaitu pemirsa memaknai secara berbeda seluruh informasi yang diberikan dengan cara-cara pandang alternatif. Jenis ketiga ini niscaya membentuk suatu subkultur dalam masyarakat. Internet, sebagai bagian dari media modern, pun tidak bebas nilai. Ia terbentuk dalam frame penyedia layanan, pengembang program, serta desainer web. Hanya saja, sifat interaktif dari internet yang memberikan kebebasan tanpa batas kepada para penggunanya membuat pengguna tidak hanya sekadar penerima berita, tetapi juga berbalik menjadi pencipta berita dan frame yang baru. Yang terjadi bukan lagi terciptanya subkultur, melainkan membalikkan proses produksi informasi. Pemirsa pun menjadi produser. Pengguna internet mengolah informasi secara eklektik, dengan mencampuradukkan fakta dan opini, dan membuat informasi baru yang dapat dianggap kebenaran oleh orang lain. Contohnya, dalam aktifitas blogging dan micro-blogging melalui media sosial, pengguna dapat menuliskan informasi yang kebenarannya tidak dapat dipastikan, lalu
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengirimnya dan membuat semua orang membacanya sehingga membentuk sebuah kebenaran baru. Penggunaan teknologi internet ini telah menciptakan realitas baru dalam kehidupan bergereja. Gereja dianggap mengikuti perkembangan zaman dan cocok bagi masyarakat perkotaan adalah gereja yang ”hightech”. Gereja seperti ini pun dinilai mampu berkembang di kalangan anak muda. Penggunaan media internet pun akhirnya membentuk dan mendikte arah perkembangan gereja. Jikalau ingin menjadi gereja yang besar dan ramai, maka fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan internet dan teknologi informasi harus disediakan, contohnya terlibat aktif dalam media sosial, membuat website resmi gereja yang lengkap, atraktif dan interaktif, juga menyediakan fasilitas video streaming sehingga ibadah pun bisa dinikmati semua orang yang berada di luar tembok gereja. Khusus bagi video streaming, awalnya ia hanya sebagai syarat mutlak jika sebuah gereja ingin mendapatkan label ”high-tech” yang mengakomodir perkembangan zaman, dan tidak ada maksud untuk membentuk suatu subversi dalam ibadah Kristen. Akan tetapi, proses decoding dari ibadah seperti ini justru dapat menghasilkan makna baru yang berbeda. Sebagian pemirsa dan jemaat melihatnya sebagai ibadah sebenarnya, yang dapat diikuti sebagaimana mengikuti ibadah di gedung gereja.
VI. 3. Simulacrum dan Konsumsi Tanda Jean Baudrillard mengatakan bahwa dunia saat ini adalah dunia hiperrealitas, sebuah realitas yang dilebih-lebihkan oleh imaji yang
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terbentuk dari gambar dan kata-kata yang terkandung dalam suatu informasi. Suatu simbol dan tanda bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi merupakan gambaran dari simbol dan tanda yang lainnya. Dunia ini menjadi seperti simulacrum, sebuah simulasi tanda-tanda yang tidak memiliki asal dan pangkal, sebuah sirkuit besar tanpa referensi awal.20 Simulacrum dan dunia hiperrealitas ini termanifestasi dalam media. Media pun dianggap menghadirkan realitas yang ”lebih real” dari realitas yang sebenarnya. Imaji media adalah imaji kebenaran. Saat ini muncul sebuah anggapan bahwa bagi seorang Kristen yang akrab dengan teknologi internet menggunggah kalimat-kalimat yang berasal dari Alkitab di dalam media sosial adalah sebuah keharusan. Seolah ada semboyan tak tertulis, ”gak ngetwit ayat alkitab berarti kurang Kristennya” atau ”Anak Tuhan harus memposting renungan di Facebook”. Sebaliknya juga, jika seorang Kristen melakukan hal yang dianggap tidak baik, seperti mencela di akun media sosialnya, maka ia akan dianggap sebagai seorang Kristen yang tidak baik, yang mungkin sedang menjauh dari Tuhan. Media sosial yang berbasis internet pun menjadi sarana untuk mengidentifikasi seseorang saat ini, termasuk tingkat keimanannya. Akhirnya, orang pun hanya mengkonsumsi tanda-tanda yang hadir sebagai realitas. Pemaknaan terhadap suatu benda hanya sebatas pemaknaan terhadap tanda dari realitas itu dan bukan kepada realitas yang sesungguhnya. Di dalam ibadah yang memfungsikan internet terlihat jelas bagaimana tanda-tanda dipermainkan dan membentuk suatu realitas baru 20
Kelton Cobb, The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), hlm. 72.
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang hiperreal. Suara dari pengkhotbah terdengar lebih keras dan jelas. Pada ibadah live streaming, visualisasi pun diambil dari sudut-sudut yang terbaik, yang menghasilkan gambar yang enak untuk dinikmati dan membawa permirsa ke dalam ibadah yang sesungguhnya. Website dan media sosial gereja pun menjadi sebuah lahan bagi
VII.
Metode Penelitian Penulis
membatasi
penelitian
kepada
beberapa
gereja
yang
mengaplikasikan teknologi internet dengan sangat baik. Salah satu indikatornya adalah terlibatnya mereka dalam media sosial serta memiliki website yang selalu mutakhir. Dalam hal ini, penulis telah memilih tiga gereja sebagai locus penelitian, yaitu Jakarta Praise Community Church, GBI Glow Fellowship Center, dan GBI Praise Revival for Jesus. Ketiga gereja ini berlokasi di Jakarta. Ketiganya merupakan gereja beraliran Pentakostal-Karismatik. Perbedaan dari ketiga gereja ini dapat terlihat dari jumlah jemaat yang hadir, segmentasi usia jemaat, serta jaringan sosial yang terbentuk di dalamnya. Penulis menggunakan metode observasi partisipatoris guna melihat sejauh mana teknologi internet digunakan di dalam kehidupan gereja-gereja di atas. Penulis pun merasa perlu membandingkan suasana (ambience) dalam peribadahan di gereja-gereja yang telah menerapkan teknologi informasi dengan sangat baik lalu mendeskripsikannya secara interpretatif., Dengan metode ini, penulis berharap dapat menemukan jalinan makna yang mendasari ibadah dan religiositas virtual ini.
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penulis mengikuti peribadahan yang dilangsungkan secara aktif. Selain itu, penulis juga masuk ke dalam komunitas-komunitas yang berada di dalam naungan gereja-gereja itu. Penulis juga akan melakukan wawancara terhadap anggota dan pemimpin
komunitas
ini
terkait
dengan
penggunaan
internet
dalam
pengembangan komunitas. Penulis juga menggunakan metode content analysis untuk menganalisis media sosial dan website dari gereja-gereja tersebut. Dengan metode ini penulis bermaksud menemukan ideologi yang tersembunyi di balik media sosial dan isi yang dari website. Penulis juga berusaha menjawab bagaimana proses encoding dan decoding dilakukan oleh administrator, dalam hal ini pihak multimedia dari gereja, dan jemaat yang menikmati informasi yang disampaikan. Selain itu, penulis juga menggunakan metode semiotika fenomenologis untuk melihat dan mengkaji tanda-tanda religiositas dari fenomena gereja dan internet ini. Dari metode ini, penulis berusaha menemukan hubungan antara perkembangan media elektronik modern dengan pembentukan religiositas modern.
VIII. Pengumpulan Data Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, salah satunya adalah pengumpulan data tertulis tentang awal perjumpaan gereja dengan media, baik berupa arsip dan dokumen tertulis yang kemungkinan dimiliki oleh gereja-gereja di atas. Penulis juga mendatangi beberapa gereja dan meminta catatan dan dokumen berikut keterangan tentang hal ini.
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Untuk mencapai analisa yang komprehensif, penulis merasa perlu untuk melengkapi data di atas dengan data lainnya. Penulis pun mewawancarai pihak gereja sebagai pemilik situs elektronik dan media sosial. Penulis menggali informasi tentang apa yang menjadi sejarah perjumpaan gereja tersebut dengan media elektronik, terutama internet, dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dan informasi, serta sejauh mana internet memberikan pengaruh terhadap kehidupan gereja dan religiositas umat. Penulis juga mewawancarai beberapa orang yang secara aktif terlibat dalam media sosial gereja (menjadi friend atau follower) dan mengikuti perkembangan website gereja serta teknologi informasi yang dibangun di dalam gereja. dengan pendekatan fenomenologis. Khusus tentang hal ini, penulis menjumpai kesulitan di dalam menemukan narasumber yang dapat diwawancarai ini. Aktivitas berselancar dengan internet merupakan aktivitas individual yang tertutup, yang dapat dilakukan oleh semua orang kapan saja dan di mana saja. Penulis akan memulainya dengan mewawancarai para pekerja di gereja (church workers), yang tentunya familiar dengan hal ini, dan berusaha menggali informasi secara mendalam tentang pengalaman mereka berselancar di dunia maya religius. Penulis juga telah melakukan wawancara dengan beberapa rohaniwan Kristen dan para pengkaji media terkait dengan perkembangan internet di dalam gereja-gereja di Indonesia. Dari wawancara dengan mereka, penulis berharap mendapatkan perspektif teologis juga sosio-kultural terkait perkembangan dengan realitas ini. Penulis juga telah melakukan tinjauan kepustakaan terkait dengan beberapa konsep yang perlu dijelaskan, seperti teori tentang agama dan ritual,
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
encoding dan decoding di dalam produksi informasi media, teori hiperrealitas, dan yang lainnya.
IX.
Sistematika Penulisan Penulis membagi penelitian ini ke dalam beberapa bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, pengolahan data, sistematika penulisan, jadwal, daftar pustaka. Bab kedua akan berisi tentang pemaparan tentang sejarah perjumpaan antara gereja dengan internet serta perkembangannya. Penulis akan melihat sejarah kemunculan internet dan menelusuri perkembangannya hingga sampai ke ranah gereja. Penulis juga akan melihat faktor-faktor yang mendukung teknologi internet dapat digunakan dan dikembangkan di gereja-gereja Bab ketiga akan berisi tentang data gereja-gereja yang menjadi tempat penelitian penulis. Dalam bab ini penulis juga melihat penetrasi internet dalam berbagai bidang kehidupan bergereja, misalnya penulis akan melihat website dari masing-masing gereja, serta penggunaan media sosial berbasis internet sebagai media persekutuan umat. Bab keempat akan berisi analisis tentang religiositas umat yang terbentuk dalam hubungan gereja dengan internet. Apakah di era media informasi mutakhir saat ini terbentuk suatu religiositas baru, yaitu religiositas media. Penulis akan mengkajinya dari perspektif fenomenologis, yang melihat gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan bergereja saat ini.
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab kelima adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh hasil penulisan serta beberapa masukan dan saran.
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab II Gereja dan Internet: Sejarah dan Perkembangannya
Teknologi informasi digital seolah menjadi syarat baru bagi peradaban manusia. Albert Borgmann, sebagaimana dikutip oleh Karlina Supelli, mendefinisikan teknologi informasi sebagai hasil konvergensi dari dua jenis teknologi, yaitu transmisi informasi dan otomatisasi komputasi.1 Menurutnya teknologi informasi adalah istilah payung bagi semua jenis teknologi yang merancang,
mengembangkan,
memproduksi,
memanipulasi,
menyimpan,
menyampaikan, dan menyebarkan informasi berbasis komputer. Dasar bagi penerapan teknologi informasi sendiri adalah keterhubungan dua komputer atau lebih sehingga saling berkomunikasi. Komunikasi ini dibangun di dalam mesin dan melalui enkripsi kode digital membentuk sebuah simpul digital yang pada akhirnya membentuk jaringan yang rumit yang menghubungkan komputer yang satu dengan komputer lainnya.
1.
Internet: Awal Kemunculan dan Perkembangannya Awalnya, internet adalah sistem yang dikembangkan oleh Amerika Serikat
(AS) dalam rangka persenjataan militer mereka. Setelah perang dunia kedua, otoritas keamanan AS mulai memikirkan upaya preventif agar wilayah mereka tidak lagi dapat diserang secara mendadak dan sembunyi-sembunyi oleh pihak lawan, seperti yang terjadi di Pearl Harbour, yang akhirnya memicu pemboman terhadap Hirosima dan Nagasaki di Jepang. Oleh karena itu, mereka berpikir 1
Karlina Supelli, “Ruang Publik Dunia Maya” dalam F. Budi Hardiman (ed.), Ruang Publik, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 335.
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk mempersenjatai diri mereka dengan sistem yang komprehensif. Sistem komputer digital nan canggih pun mulai dibangun. Segala macam data, seperti penginderaan radar, dapat disajikan oleh teknologi komputer.2 Seiring dengan usaha pengembangan teknologi bagi keamanan AS, ditemukanlah kendala untuk mengumpulkan berbagai sumber data informasi yang mendukung keamanan, yang tersimpan di ribuan komputer yang tersebar di seluruh wilayah AS. Selain itu, para ilmuwan pun membutuhkan teknologi yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi satu sama lain, bukan hanya berkomunikasi secara verbal, tetapi juga komunikasi antar data di dalam komputer mereka masing-masing. Semakin sering mereka berkomunikasi tentang data dan riset mereka, maka semakin baik pula percepatan pengembangan teknologi. Hal inilah yang mendasari dibangunnya sebuah teknologi yang menjadi cikal bakal internet oleh pemerintah AS, yaitu Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET).3 ARPANET lahir pada tahun 1969. Ia menghubungkan berbagai komputer dan mengkoordinasikannya dalam jaringan keamanan AS. Melihat fungsi dan kegunaan ARPANET bagi dunia militer, maka muncul keinginan untuk memperluas cakupan jaringan ini, tidak hanya bagi kepentingan riset militer dan keamanan, tetapi juga bagi kepentingan riset ilmu di beberapa universitas.4 Proyek pertama dari pengembangan ini hanya diikuti oleh beberapa universitas, yang kemudian semakin meluas dan menghubungkan semakin banyak universitas.
2
Marshall T. Poe, A History of Communications, New York: Cambridge University Press, 2011, hlm. 212-213. 3 Ibid. 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Internet diakses pada 27 April 2014.
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Setelah sukses di AS, universitas-universitas di luar negeri pun berminat untuk bergabung dan membentuk sebuah jaringan besar komputer. Logika jaringan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan istilah Internet (Interconnection Networking) dan World Wide Web (WWW).5 Jaringan ini saling terhubung satu sama lain dengan menggunakan kabel optik dan teknologi satelit yang terhubung ke seluruh dunia. Internet yang awalnya merupakan sistem komunikasi militer menjadi sistem komunikasi publik. Dunia bisnis pun mulai mengendus nilai komersilnya. Internet, yang awalnya digunakan secara tertutup dan terbatas bagi komunikasi data-data rahasia pun berkembang menjadi jaringan yang paling terbuka, longgar serta sulit dikenai peraturan dan hukum. Dengan desain WWW yang semakin indah, pengguna seolah menonton televisi dan membaca surat kabar di satu layar yang sama. Menurut data survei yang dirilis oleh www.internetworldstats.com, jumlah pengguna internet di seluruh dunia hingga Desember 2013 mencapai 2.405.518.376 dari 7.017.846.922 jumlah penduduk dunia, atau sebesar 34,3% dari penduduk dunia.6 Sumber yang sama juga menyebutkan tentang perkembangan internet dunia selama 12 tahun, yaitu dari tahun 2000 hingga 2012. Di awal milenium ketiga, sebanyak 360.985.492 penduduk dunia. Dibandingkan dengan data terakhir di atas, maka terjadi lonjakan yang sangat signifikan sebesar 566,4%. Pertumbuhan pesat internet tentunya tidak lepas dari infrastuktur memadai yang mendukung ketersediaan jaringan internet di setiap wilayah. Beberapa
5
Menurut Karlina Supelli, Internet tidak sama dengan WWW, seperti yang saat ini seringkali dicampuradukkan. Internet adalah sistem inter-komunikasi sedangkan WWW adalah sebuah cara memproses dan menampilkan informasi digital. WWW adalah fasilitas internet yang menghubungkan dokumen dalam lingkup lokal maupun jarak jauh. Sekarang, Web merupakan pusat kegiatan internet. Lihat Ibid., hlm. 336. 6 http://www.internetworldstats.com/stats.htm diakses pada 22 Januari 2014
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wilayah di dunia memiliki pertumbuhan yang signifikan, sementara bagian lainnya relatif lambat. Amerika Utara dan Eropa yang lebih dahulu mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi informasi tentunya memiliki tingkat konektivitas internet yang tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Afrika dan Amerika Latin, di mana penetrasi teknologi ini baru terjadi dekade belakangan . Asia sendiri mulai mengembangkan internet pada awal tahun 1990. Proyek awal internet di Asia dimulai di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan India. Internet yang awalnya diciptakan sebagai sarana komunikasi digital antar universitas pun menjadi bagian di dalam dunia teknologi informasi di seluruh dunia dan digunakan oleh semua pihak, baik institusi pendidikan maupun dunia korporasi. Di Indonesia sendiri, jaringan komputer (network), yang kemudian menjadi cikal bakal internet, awalnya dikembangkan di laboratorium komputer Universitas Indonesia. Proyek ini diberi nama Inter-University Computer Network (UNINET). Menurut uraian Jos Luhukay dan Bagio Budiarjo, tujuan dari UNINET adalah menyediakan akses jaringan komputer bagi para peneliti dan ilmuwan komputer serta pengelola perguruan tinggi negeri di Indonesia.7 Melalui jaringan komputer, pertukaran data antar sistem komputer dapat lebih mudah dilakukan dan cepat dari segi waktu. Setidaknya tiga perguruan tinggi negeri berpartisipasi dalam pelaksanaan awal program ini: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, yang kemudian akan diikuti oleh perguruan tinggi negeri lain yang bergabung. 7
Jos Luhukay & Bagio Budiarjo, ”UNINET: An Inter-University Computer Network”, http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/UNINET:_An_InterUniversity_Computer_Network (diakses pada 27 Januari 2014). Artikel elektronik ini merupakan penyederhanaan dari makalah yang disampaikan dalam Asia Electronics Symposium, Jakarta, 1920 Oktober 1983.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada awal tahun 1990-an, perkembangan internet di Indonesia mulai mengadaptasi fungsi komersial. Internet bukan hanya digunakan sebagai akses antar sistem dalam dunia pendidikan tinggi, tetapi ia juga mulai digunakan sebagai sarana pertukaran data dan informasi dalam dunia bisnis. Bahkan, internet telah menjelma menjadi teknologi paling inti dari berbagai sistem finansial, seperti perbankan dan sekuritas. Begitu pentingnya internet sehingga semua bank akan berhenti beroperasi ketika sistem internet mengalami malfungsi (shut down). Data transaksi setiap nasabah yang tersimpan di pusat data bank tidak dapat diakses yang menyebabkan kemacetan aktivitas keuangan. Selain itu, internet juga mulai dapat diakses secara mudah oleh publik. Semangat kapitalisme liberal yang kian dihidupi di negeri ini pun turut membangun iklim bagi tumbuhnya internet. Perlahan tapi pasti, internet bukan lagi sekadar alat yang membantu industri, tetapi telah menjadi industri itu sendiri. Onno W. Purbo mencatat di tahun 2000 saja, warung internet (warnet) telah semakin menjamur di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, dan Yogyakarta dengan kisaran jumlah 40-70 warnet di tiap kota.8 Dengan modal yang tidak terlalu besar tetapi menyasar secara tepat ke segmen kalangan intelektual muda yang melek teknologi, maka keuntungan dengan cepat diraih. Teknologi telepon pintar (smartphone) juga membuat internet kian mudah diakses, bahkan di genggaman tangan, di mana saja dan kapan saja. Mudahnya mendapatkan akses teknologi internet membuat ketergantungan terhadapnya tidak dapat dihindari. Dokumen penting tidak perlu lagi dikirimkan melalui paket surat, tetapi dapat langsung mengandalkan electronic mail (e-mail) yang ’tiba’ sesaat 8
Onno W. Purbo, ”Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia” dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia abad XXI, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 272.
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
setelah dikirimkan ke ’alamat’ penerima. Para pengusaha tidak perlu lagi datang dan bertatap muka untuk memutuskan suatu perkara perusahaan, cukup dengan teknologi streaming di internet maka tatap muka dapat dilakukan dari tempat yang berbeda dan berjarak jauh. Pada akhirnya, internet bagi sistem komputer menjelma tak ubahnya energi listrik bagi peralatan elektronik, menjadi sumber daya utama yang menggerakkan dan menghidupkan.
2.
Agama dan Teknologi: Perjumpaan yang Menghidupkan Jurgen Habermas mengatakan bahwa perkembangan teknologi di dalam
masyarakat merupakan proses rasionalisasi modernitas. Di dalam masyarakat pramodern, rasionalitas terbagi menjadi tiga yaitu rasionalitas kognitif-instrumental, rasionalitas moral-praktis, dan rasionalitas estetis-praktis. Pada saat itu, ketiganya dapat diseimbangkan oleh pandangan dunia yang mistis-religius. Dalam konteks masyarakat modern, pandangan mistis-religius hancur sehingga peran agama digantikan dan diungguli oleh moralitas-rasional dan etika dalam masyarakat modern.9 Modernisasi pun seolah mematikan agama sehingga ketika agama ingin tetap hidup dan berkembang, maka ia harus menghindari modernisasi itu sendiri. Pada awalnya memang agama dan teknologi rasanya merupakan dua hal yang sama sekali tidak terkait. Keduanya seolah terpisahkan oleh dikotomi antara yang sakral dengan yang profan. Teknologi komunikasi seperti internet berurusan dengan relasi intra-manusia di dunia, sementara agama mengatur relasi extranumena antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya di dunia. Internet, dengan segala kecanggihannya, mampu menghubungkan satu manusia dengan manusia 9
A. Widyarsono, ”Masyarakat Teknologi Modern dan Gereja”, Rohani, 044: 000 (Yogyakarta: November, 1997), hlm. 417-419.
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lainnya secara real time. Dengan bahasa pemrograman dan algoritma tertentu, penduduk yang berada di Jawa kini dapat terhubung dengan mereka yang berada di Papua secara langsung dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Di lain pihak, agama menghubungkan manusia dengan Sang Kudus yang mengatur kehidupan dunia manusia. Agama menyediakan bahasa yang membuat manusia mampu mendengar dan mengerti kehendak dari Sang Kudus itu. Jika seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, maka ia harus memeluk agama dan kepercayaan tertentu supaya ia dapat ’diselamatkan’. Bahkan tidak jarang, konsep soteriologis seperti ini mengharuskan seseorang yang beragama untuk hidup memisahkan diri dari hal-hal yang duniawi, termasuk dari produk hasil kemajuan teknologi. Dalam rangka askese rohani dan mengarahkan hati kepada kehendak Ilahi, manusia beragama hidup terpisah dari dunia. Namun, pemisahan ini sudah tidak dapat lagi dilakukan terutama di tengah era computer-mediated information society, di mana kehidupan manusia telah termediasi oleh jaringan digital komputer. Perjumpaan manusia dengan Sang Khalik pun dapat dilakukan di ruang virtual, dalam koneksi jaringan mesin komputer. Bahasa program yang terdiri dari algoritma rumit yang membentuk program dalam komputer pun saat ini juga diadaptasi menjadi bahasa teologia, di mana Sang Pencipta dapat bersabda di dalamnya. Agama menggunakan internet sebagai medium bagi pemberitaan sabda Ilahi sehingga mampu menjangkau sebanyak mungkin orang, baik yang sudah percaya ataupun yang belum percaya. Sebaliknya, internet menghidupi dan mengasuh agama di dalamnya demi akseptabilitas yang lebih luas di tengah dunia yang sebagian besarnya masih menghidupi agama dalam kehidupan masyarakatnya.
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lorne Dawson, salah satu peneliti mula-mula tentang internet dan agama mengatakan bahwa masuknya agama ke dalam medium internet adalah paralel dengan
terhisabnya
agama
ke
dalam
media
informasi
lainnya,
yaitu
mengudaranya siaran keagamaan di radio dan tele-evangelisasi. Semuanya membentuk rangkaian tak terputus bagaimana agama selalu berelasi dengan media elektronik. Agama tidak ingin meninggalkan media elektronik sebagai sarana ekspansi dan menjangkau umat. Sebaliknya, salah satu fungsi media elektronik sebagai media syiar agama membuat media dapat diterima dan digunakan oleh semua orang di semua tempat. Media seolah dibaptis menjadi media suci. Ketika berselancar di dunia internet, pengguna internet tentu akan menemukan ribuan bahkan jutaan situs, forum, dan pembicaraan di chat room yang terkait dengan agama. Hampir semua aliran keagamaan mencatatkan namanya di dalam mesin jaringan internet, baik itu agama-agama besar maupun agama-agama lokal yang jumlah umatnya hanya sedikit. Berbagai denominasi dari masing-masing agama pun ikut mencatatkan diri. Misalnya, terkait sejarah panjang kekristenan, pengguna internet dapat menemukan banyak hal tentang sejarah dan ajaran dari Katolik Roma, juga ihwal kemunculan Protestantisme di dalam kekristenan, serta ajaran Kristen Pentakostal Karismatik yang menekankan kepada manifestasi kuasa Roh Kudus dalam kehidupan rohani umat. Hadirnya internet membuat setiap orang dapat menemukan segala hal dalam satu ketukan jari, termasuk agama dan kepercayaan. Mulai dari agama samawi-monoteistik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, sampai kepada agama politeistik layaknya Hindu dan agama-agama suku. Kita dapat menemukan informasi mengenai sejarah terbentuknya agama, termasuk para pendiri dan
36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pembawa beserta perkembangannya dari awal hingga saat ini.10 Selain itu, ada pula situs-situs di dalam internet yang dikelola langsung oleh aliran keagamaan tertentu dan memuat informasi spesifik seputar doktrin dan ajaran dari aliran tersebut. Misalnya saja, situs www.vatican.va yang memuat informasi tentang sejarah, ajaran dan doktrin, serta struktur kepemimpinan dari Gereja Katolik Roma. Situs ini merupakan situs resmi Gereja Katolik Roma dan dikelola langsung
oleh
tahta
suci
Vatikan.
Di
Indonesia,
ada
sebuah
situs
www.ahlulbaitindonesia.org yang merupakan situs yang berisi informasi tentang aliran Islam Syiah dan perkembangannya di Indonesia. Walau kerap mendapatkan stigma negatif, cap sesat oleh berbagai kalangan muslim, bahkan menjadi korban konflik horizontal di berbagai daerah, tetapi mereka mempertahankan eksistensi mereka di dunia maya dan menggunakannya sebagai corong politik mereka. Masih banyak lagi situs lainnya yang berisi hal serupa yang dimiliki atau berafiliasi kepada satu kelompok agama tertentu. Perkembangan teknologi media dan informasi secara gradual dan masif membuat agama juga ikut menyesuaikan diri terhadap trend teknologi ini. Menurut Carolyn Marvin, setiap kali terjadi perubahan pada peralatan komunikasi juga mengakibatkan perubahan besar dalam sistem sosial masyarakat, termasuk agama.11 Perubahan ini terkait cara orang memandang dirinya dan masyarakat. Contohnya, perubahan dan pergeseran dari budaya komunikasi oral ke budaya tulisan, lalu kemudian ke budaya komunikasi percetakan, dan kemudian ke 10
Ada beberapa situs di internet yang sifatnya menyajikan informasi, seperti www.wikipedia.com dan www.religionfacts.com. Selain itu, ada juga beberapa situs pencari yang dapat membantu para pengguna untuk menemukan informasi seputar agama-agama dan kepercayaan di seluruh dunia, seperti www.google.com dan www.yahoo.com. 11 Carolyn Marvin, ”When Old Technologies Were New: Implementing the Future”, dalam Hugh Mackay & Tim O’Suliivan (eds), The Media Reader: Continuity and Transformation, (London: Sage Publications, 2000). Hlm. 58-72
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
budaya media elektronik. Ketika budaya tulisan muncul, masyarakat pun terdorong untuk melakukan pembakuan-pembakuan dan pencatatan sejarah serta kearifan lokal yang sebelumnya dituturkan secara lisan. Ajaran dan sejarah agama pun menjadi baku dan tetap, walau diajarkan dari generasi ke generasi. Begitu pula ketika mesin cetak ditemukan, proses replikasi dari tulisan-tulisan pun menjadi lebih cepat dan mudah. Kitab Suci yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kaum klerus pun dapat disebarluaskan dan dimiliki oleh kaum awam. Otoritas kaum berjubah untuk membaca dan menafsir ayat-ayat suci pun terbuka bagi semua orang yang memiliki Kitab Suci. Produksi pengetahuan secara masif pun dapat dilakukan. Buku-buku keilmuan tidak lagi hanya berada di lingkungan sekolah, tetapi mencapai daerah yang terpencil sekalipun. Ketika masuk ke dalam era komunikasi elektronik, distribusi pengetahuan dan informasi pun menjadi lebih cepat dan mudah. Transmisi gelombang radio dan siaran televisi mampu memangkas jarak yang terbentang cukup jauh dan waktu yang lama untuk dijangkau oleh ekspedisi pengiriman surat dan barang. Semua orang, di waktu yang bersamaan dapat mendengarkan berbagai informasi yang diberikan oleh berita. Agama pun akhirnya menjadi terbuka bagi semua orang, tidak lagi eksklusif bagi para penganutnya saja karena akses tak terbatas akibat perkembangan teknologi komunikasi ini.
3.
Gereja dan Internet: Simbiosis Mutualis Gereja dipandang sebagai sebuah lembaga sakral yang di dalamnya setiap
orang dapat berjumpa dengan Tuhan. Gedung gereja ditata dengan sedemikian rupa sehingga menciptakan kesan keagungan Tuhan yang melingkupinya. Umat
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masuk ke dalam gedung dengan hening dan sikap sempurna mengarahkan hati kepada Tuhan. Dalam beberapa tradisi gereja, umat bahkan tidak boleh menggunakan sembarang pakaian ketika masuk ke dalam gedung gereja. Mereka diwajibkan untuk menggunakan pakaian yang sesuai dengan aturan gereja setempat.12 Aturan yang mengikat ini tidak dianggap sebagai suatu hal yang memberatkan umat, karena dengan keteraturan dan kerapihan itu niscaya umat dapat mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yang Mahakudus. Emile Durkheim mengatakan bahwa ritual adalah aturan perilaku yang mengharuskan bagaimana seseorang harus menyesuaikan dirinya di hadapan Yang Kudus.13 Ritus dan ritual komunal niscaya membuat jemaat mengalami perjumpaan dengan Yang Kudus dan menbuat kehidupan jemaat tetap berakar pada Yang Kudus itu. Di dalam kehidupan gereja, ritus dan ritual terwujud dalam ibadah. Jemaat berbondong-bondong datang setiap minggu untuk beribadah demi mengalami perjumpaan dengan Yang Kudus itu, sekaligus mengukuhkan komunalitasnya di dalam suatu gereja. Dalam hal ini, gereja adalah komunitas, sebuah masyarakat yang terbentuk atas makna fundamental kolektif yang sama. Di lain pihak, internet adalah ruang di mana semua orang, tanpa melihat afiliasi keimanannya, dapat menjelajahi dunia tanpa batas. Setiap orang yang masuk ke dalam dunia internet dapat masuk dan menemukan berbagai macam informasi yang ia inginkan. Ketika mereka ingin mencari sesuatu yang mereka tidak tahu, maka mereka cukup masuk ke dalam situs-situs pencari yang dapat 12
Ada beberapa gereja yang masih mengharuskan kaum perempuan untuk menggunakan rok dan melarang mereka menggunakan celana ketika masuk ke dalam gereja. Ada pula gereja yang secara implisit mengharuskan jemaatnya untuk menggunakan pakaian warna tertentu untuk ibadah tertentu. Bahkan ada sebuah gereja di daerah Sulawesi Utara yang mewajibkan seluruh kaum perempuan untuk mengenakan kerudung/hijab ketika mereka memasuki ruang ibadah. 13 Emile Durkheim, Elementary Forms of Religious Life, (London: Allen & Unwin, 1954) hlm. 41.
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memberikan referensi pranala atas hal yang diinginkan. Misalnya, dengan menggunakan situs pencari google14, maka jutaan pranala akan keluar ketika pengguna mengetik satu kata kunci. Selain itu, internet dapat menghubungkan seseorang di satu waktu dan tempat dengan orang lain di waktu dan tempat yang berbeda. Fasilitas chat room yang bertebaran di dunia internet mampu menghubungkan secara langsung antara pengguna yang satu dengan pengguna yang lainnya, walaupun dipisahkan jarak yang begitu jauh. Sebelum ada internet, komunikasi hanya dapat dilakukan dengan pos dan telepon jarak jauh yang tentunya membutuhkan dana yang sangat besar untuk menggunakannya. Selain itu, kehadiran media sosial di internet pun membuat setiap orang terhubung satu sama lain. Media sosial membuat setiap penggunanya melihat aktivitas orang yang berada jauh darinya, sebaliknya juga membuat dirinya terlihat oleh ”teman-teman mayanya”. Ada sebuah anekdot yang penulis dengar dari seorang pengkhotbah dalam ibadah kaum muda di sebuah gereja besar di Jakarta,”Di masa kini kebanyakan umat Tuhan tidak lagi mencari Tuhan ketika mereka berada dalam kebingungan dan butuh jawaban. Mereka lebih suka lari ke tuan google untuk menemukan berbagai jawaban dari setiap persoalan. Dengan satu kali klik, jutaan informasi dan jawaban bisa didapatkan. Lebih cepat dan praktis dari doa yang harus disampaikan dengan cara yang sesuai dan membutuhkan waktu hingga mendapatkan jawaban dari Tuhan.” Hal ini menggambarkan bahwa teknologi, secara perlahan tapi pasti, mulai menggeser kedudukan Tuhan dan gereja dalam
14
Google adalah salah satu dari situs pencari di dalam jaringan internet. Saat ini google adalah yang terbesar dari antara situs pencari lainnya karena ia mengembangkan diri tidak hanya sekadar mesin pencari (search engine), tetapi juga sebagai penyedia layanan email, cloud storage, peta digital, dan software aplikasi pada platform komputer dan telepon genggam.
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kehidupan masyarakat modern. Internet yang terus-menerus berkembang dan memberikan akses yang luas terhadap segala informasi, membuat agama tidak lagi menjadi satu-satunya acuan hidup manusia. Seorang peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, Allen Downey, membuat kesimpulan terbuka atas penelitiannya terhadap bertambahnya jumlah orang-orang yang tidak beragama di AS dari tahun 1990 – 2010. Menurutnya, jumlah ini terus bertambah seiring dengan semakin banyaknya pengguna internet di negara itu. Tanpa menafikan keberadaan faktor-faktor lain yang mendukung pertambahan tersebut, internet sepertinya memang memegang peran yang signifikan dalam hal ini.15 Fakta di atas membuat gereja-gereja yang awalnya bersikap kontra terhadap kemunculan internet menjadi lebih toleran bahkan adaptif terhadap internet. Sebuah gereja (Jakarta Praise Community Church) yang bertempat di sebuah mal besar di Jakarta, telah menggunakan teknologi internet secara baik dalam kegiatan pelayanannya. Gereja ini mengembangkan sebuah website khusus bagi anggota jemaatnya, di mana akses masuk hanya diberikan bagi jemaat yang sudah terdaftar secara administratif di gereja ini. Secara otomatis, para anggota yang terdaftar akan memiliki akun di website resmi gereja itu yang dapat digunakan untuk melihat informasi ibadah dan kegiatan yang akan berlangsung. Yang lebih menarik, akun ini digunakan sebagai sarana penghubung antara jemaat dengan sekretariat gereja. Akun ini mencatat seluruh data dari jemaat yang bersangkutan. Selain itu, akun ini juga digunakan untuk mendaftar segala macam kegiatan yang akan dilangsungkan di gereja ini. Jemaat tinggal mendaftar melalui
15
http://www.technologyreview.com/view/526111/how-the-internet-is-taking-awayamericas-religion/ diakses pada 27 April 2014. Beberapa catatan statistikal dari penelitian Downey dapat dilihat di http://arxiv.org/abs/1403.5534.
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akun ini sehingga tidak perlu menelepon atau mendatangi kantor sekretariat gereja. Semuanya menjadi all-in-one service. Seorang jemaat muda yang penulis wawancarai mengakui kecanggihan teknologi yang digunakan di gereja ini. Dia mengatakan, ”Gereja ini punya teknologi yang canggih. Mereka punya multimedia yang canggih, sound systemnya juga canggih. Mereka juga punya website yang canggih. Pendetanya juga gaul dan funky. Itu sebabnya banyak anak muda yang datang gereja di sini. Mereka jadi betah bergereja di sini.” Secara tidak langsung, teknologi menjadi daya tarik bagi jemaat untuk datang dan bergabung dengan gereja ini. Kenyamanan
yang diberikan oleh
teknologi
canggih
membuat
jemaat
terakomodasi dan merasa bahwa mereka berada di tempat yang seharusnya. Eksistensi di dalam media sosial berbasis internet pun tak pelak menjadi daya tarik gereja ini bagi jemaatnya dan orang luar. Sudah menjadi hal yang lumrah jika banyak percakapan antar jemaat dan pendeta dilakukan di dalam media sosial sehingga hampir tidak dibutuhkan perjumpaan fisikal lagi untuk terciptanya komunikasi. Gembala sidang dan para wakil gembala di gereja ini memiliki berbagai akun media sosial yang digunakan selain untuk menyebarkan pesan pastoral, juga menjadi sarana bertegur sapa dengan jemaat. Akun jejaring sosial terpopuler, seperti Facebook dan Twitter, yang digunakan oleh para pemimpin gereja juga seolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh jemaat. Sang gembala sidang, Jeffrey Rachmat, tercatat dalam akun Twitternya memiliki 42.170 follower.16 Dan hampir setiap tweet-nya di-retweet oleh puluhan hingga
16
https://twitter.com/JeffreyRachmat/followers diakses pada 1 May 2014. Follower merupakan istilah spesifik dari jejaring sosial Twitter yang berarti pengikut suatu akun. Setiap akun Twitter yang menjadi follower dari akun Twitter lainnya, secara otomatis akan mendapatkan
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ratusan follower. Tweetnya pun hampir selalu berisi kata-kata khas yang menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang pemimpin umat. Selain itu, Jeffrey Rachmat pun mengikuti 196 akun Twitter lain yang semuanya terdiri dari para pendeta lainnya dan orang-orang yang berpengaruh bagi gereja, baik dari dalam maupun luar negeri, dan secara aktif me-retweet kembali tweet mereka. Penulis juga bercakap-cakap dengan seorang anggota jemaat dari gereja lain yang di gerejanya juga menggunakan internet sebagai sarana dalam persekutuannya. Ia mengatakan, ”Zaman sekarang ini sudah canggih, sehingga gereja juga harusnya mengikuti kecanggihan teknologi, misalnya menggunakan internet dan aktif di media sosial. Gereja yang gak aktif di dunia internet biasanya akan sepi dan ditinggal oleh anak-anak mudanya.” Postulat seperti ini berangkat dari kenyataan bahwa banyak gereja yang tidak atau belum mengaplikasikan teknologi informasi kehilangan banyak kaum muda yang akhirnya bermigrasi ke gereja lain yang lebih maju dalam pengaplikasian teknologi.
4.
Pentakosta Kharismatik: Lahan Subur Penggunaan Internet Dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa kebanyakan gereja yang
melek dan mengaplikasikan teknologi informasi seperti internet adalah gerejagereja beraliran Pentakostal Karismatik. Gereja-gereja ini saat ini berkembang secara cukup signifikan. Hampir di setiap sudut Jakarta, gereja ini dapat ditemukan, entah itu menggunakan bangunan resmi yang diperuntukkan bagi
update tentang segala aktivitas yang dilakukan oleh akun Twitter yang diikuti, salah satunya unggahan status.
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sarana peribadahan, atau menggunakan fasilitas lainnya seperti ruko, rukan, bahkan ruang pertemuan (ballroom) di hotel dan pusat perbelanjaan (mall). Gereja-gereja ini awalnya bermunculan di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 sebagai respon atas terjadinya kejumudan spiritualitas saat itu. Gerejagereja saat itu terkungkung dalam aturan-aturan dogmatis yang mengikat dan membuat jemaatnya tidak lagi mampu merasakan ’jamahan Tuhan’. Rasionalitas dan logika modernitas dalam geliat industrialisme saat itu ternyata tidak dapat menjawab pertanyaan tentang kebutuhan paling esensi manusia, ”jikalau semuanya bisa dijelaskan dengan logika, bagaimana manusia menjelaskan penderitaan dan ketidak-bahagiaannya yang masih eksis sampai dengan saat ini?” Religiositas pun beralih, dari otoritas eksternal yang berasal dari luar manusia (ritual dan hukum gereja), menjadi inspirasi internal yang mengobarkan semangat inner-spirituality di dalam diri manusia. Ritual-ritual dalam gereja yang dirasakan membosankan, tak rasional dan tak mampu ”menghadirkan hadirat Tuhan”, kemudian digantikan dengan pengalaman spiritual, yaitu perjumpaan pribadi dengan Tuhan dalam karya Roh Kudus. Penekanan kepada Roh Kudus sebagai suatu hal yang menggerakkan, dinamis, dan tidak terkungkung, rupanya menjadi modal dan dasar bagi penerapan teknologi di gereja-gereja ini. Mereka menolak untuk tidak mendayagunakan semua bentuk teknologi terbaru. Bagi mereka, gereja tidak dapat dibatasi dalam ritualisme dan aturan-aturan yang kaku, yang bahkan melarang gereja untuk bersentuhan dengan segala jenis teknologi. Sistem pemerintahan gereja yang ’absolut’ juga turut andil dalam bagaimana gereja mengadaptasi teknologi informasi. Gembala sidang adalah satu-
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
satunya pemimpin mutlak di gereja. Ia adalah ’pemilik’ gereja, karena ia adalah orang yang merintis dan membangun suatu gereja dari awal. Ia dipercaya memiliki visi dan misi bagi gereja yang tentu berasal dari Tuhan. Jika sang gembala sidang memiliki visi dan misi tentang gereja yang dilengkapi teknologi informasi yang paling mutakhir, maka hal itu yang akan dilakukan dan diupayakan oleh gereja itu. Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh J. Kwabena Asamoah-Gyadu tentang bagaimana internet digunakan oleh kekristenan di Afrika. Salah satu poin yang ditekankan olehnya tentang gereja-gereja Pentakostal-Karismatik yang menggunakan teknologi internet dengan masif bahwa dalam pemahaman teologis, gereja-gereja ini berusaha ’membaptis’ teknologi ini menjadi alat Tuhan, setelah sebelumnya digunakan iblis untuk mencelakakan manusia. Internet bahkan dianggap sebagai arena virtual dari peperangan rohani antara Tuhan dan iblis, sehingga memuat konten yang berbau firman Tuhan dapat menyuci bersih pengaruh iblis.17 Hal-hal simbolik dikotomis antara hitam dan putih seperti ini sengaja diciptakan sebagai legitimasi terhadap penggunaan internet oleh gereja dan kekristenan pada umumnya. Dunia yang mengandalkan teknologi, harus ’ditaklukkan’ dengan mengandalkan teknologi pula. Rasanya
memang
masih
terlalu
prematur
bagi
penulis
untuk
menyimpulkan bahwa hanya gereja Pentakostal Karismatik yang melek teknologi informasi dan mendayagunakan internet secara luar biasa dalam persekutuannya. Walaupun begitu, menurut pengamatan penulis memang cukup banyak gerejagereja arus utama di dalam Protestantisme yang tidak begitu mengembangkan diri 17
J. Kwabena Asamoah-Gyadu, ”Cyberspace and Christianity in Contemporary Africa” dalam Studies in World Christianity (Volume 13 .3, 2007), hlm. 228-229.
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam hal teknologi informasi. Pengaruh kuantitas warga jemaat dan lokasi gereja juga mempengaruhi adaptasi teknologi informasi di dalam suatu gereja. Gereja yang anggota jemaatnya sangat banyak, menempati ruangan yang megah, dan berlokasi di kota besar biasanya lebih peduli akan penggunaan teknologi internet. Tanpa bermaksud mendikotomikan bahwa gereja besar lebih melek teknologi informasi daripada gereja kecil, kecenderungan yang terjadi adalah gereja dengan teknologi informasi yang lebih baik adalah megachurch, yaitu gereja yang beranggotakan ribuan orang dan menempati ruangan yang angat megah.
5.
Kesimpulan Sejarah mencatat bahwa perkembangan teknologi informasi juga ikut
membawa perubahan bagi sistem sosial masyarakat, termasuk di dalamnya agama. Agama-agama
dunia
berbondong-bondong
berusaha
mengikuti
arus
perkembangan masyarakat yang dipicu oleh perkembangan teknologi yang ikut andil dalam perubahan tatanan sosial budaya masyarakat. Sesuai dengan prinsip teknologi informasi yang terbuka, masing-masing agama pun membuka diri bagi dunia luas. Agama yang tadinya sangat eksklusif milik umatnya saja, saat ini dapat diakses oleh semua orang hanya dengan satu ketukan jari di mouse komputer. Gereja juga membuka dirinya terhadap teknologi informasi, terkhusus internet. Akan tetapi, tidak semua gereja melakukan ini, umumnya hanya gerejagereja besar yang beraliran Pentakostal Karismatik yang ramah terhadap pengembangan internet. Sistem kepemimpinan tunggal di dalam diri gembala sidang, yang mengakomodir terjadinya perubahan secara cepat di dalam
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kehidupan bergereja, sungguh mengakomodir pengembangan teknologi di gerejagereja ini. Tidak tanggung-tanggung, penetrasi internet di dalam kehidupan gereja telah mencakup hampir seluruh bidang kehidupan gereja, baik dalam ibadah maupun kehidupan organisasi. Website milik gereja pun bermunculan di dunia maya, mulanya hanya sebagai sarana informasi, saat ini justru digunakan sebagai sarana interaksi dua arah antara pihak administrator gereja dengan anggota jemaat. Para pemimpin gereja pun mulai memiliki akun media sosial berbasis internet yang dapat diakses oleh semua orang, tidak hanya oleh umatnya saja. Dengan akun ini, mereka dapat berinteraksi langsung dengan jemaatnya, tidak perlu lagi menunggu hari Minggu ketika ibadah berlangsung. Dalam bab selanjutnya akan dibahas secara lebih spesifik tentang bentukbentuk penetrasi internet di dalam kehidupan bergereja, bagaimana internet tidak lagi sekadar menjadi pelengkap di dalam kehidupan bergereja, tetapi justru menjadi penggerak utama yang menghidupkan suatu gereja.
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab III Realitas Gereja dan Internet
Pada bab sebelumnya, penulis menjelaskan secara ringkas awal kemunculan internet berikut perkembangannya dan bagaimana perkawinan antara keduanya terjadi di era masyarakat digital saat ini. Teknologi yang lahir dari logika modernitas dan seolah melawan agama, saat ini justru berhubungan baik dan lama-lama semakin mesra. Agama tidak lagi jumud dan rigid ketika menghadapi gempuran teknologi informasi yang begitu canggih saat ini. Alih-alih menolak penetrasi internet dan menjauhkan diri dari kecanggihan teknologi, gereja saat ini menggunakan internet dalam banyak hal kehidupan berjemaat. Di dalam bab ini, penulis akan menjelaskan secara lebih spesifik tentang bentuk-bentuk layanan yang berbasis pada internet yang digunakan oleh banyak gereja saat ini. Penulis memilih tiga buah gereja yang dijadikan contoh tentang perkembangan teknologi, yaitu Jakarta Praise Community Church (JPCC), GBI Glow Fellowship Centre, dan GBI PRJ. Ketiganya memiliki karakteristik yang sama, yaitu menempati sebuah lokasi umum yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi gereja. Hal lainnya adalah ketiganya merupakan gereja dari aliran Pentakostal Karismatik, dengan karakteristik yang sudah dijelaskan oleh penulis di bab sebelumnya. Pemilihan ketiganya adalah karena ketiga gereja ini telah menggunakan teknologi informasi dengan amat baik dalam hampir seluruh aktivitas organisasi dan persekutuannya. Penggunaannya bahkan telah masuk ke dalam wilayah inti dari gereja, yaitu peribadahan.
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pertama-tama, penulis akan menceritakan sedikit tentang sejarah perjalanan gereja dan situasi aktual realitas ibadah yang berlangsung di gerejagereja tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum, yang tentu jauh dari potret lengkap dan terperinci, tentang situasi dan realitas gereja yang mendukung atmosfir penggunaan teknologi informasi dan internet. Setelah itu, penulis akan menjelaskan secara rinci penggunaan teknologi internet di dalam gereja serta kemungkinan terciptanya sebuah gejala baru, yaitu gereja di ruang maya.
1.
Jakarta Praise Community Church Jakarta Praise Community Church (JPCC) adalah sebuah gereja yang
dimulai pada tahun 1996 sebagai persekutuan doa dengan anggota 10 orang. Dalam perjalanannya, persekutuan doa ini terus bertambah di dalam jumlah. Awalnya, pertemuan hanya sekali seminggu dan kemudian berkembang menjadi dua kali seminggu. Pada bulan Maret 1996, lahirlah sebuah kelompok persekutuan yang menamakan diri Jakarta Praise Center-Youth Ministry. Sejak saat itu, jumlah jemaat yang datang dan hadir semakin banyak dan terus bertambah. Lalu, pada tanggal 4 Juli 1999, persekutuan doa ini mendeklarasikan diri sebagai sebuah gereja dengan nama Jakarta Praise Community Church. Seperti misi awal berdirinya, JPCC memfokuskan pelayanannya kepada kaum muda (youth). Hal ini terlihat jelas dari sebagian besar jemaat yang hadir dalam ibadah setiap minggunya adalah anak-anak muda berusia 18-30 tahun. Mulai dari mereka yang berada di bangku kuliah, hingga mereka yang bekerja dan mereka yang baru saja membina rumah tangga. Sesekali juga terlihat jemaat
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
paruhbaya, tetapi jumlahnya kecil sekali. Walau tidak secara langsung mengaku sebagai gereja kaum muda, tetapi nuansa yang diberikan sekiranya memang kental terhadap nuansa kaum ini. Menurut pengakuan seorang jemaat gereja ini yang berhasil penulis wawancarai, JPCC berhasil menarik banyak anak muda karena pujian dan penyembahan1 (praise and worship) yang khas dan unik dengan menampilkan ibadah berciri anak muda yang tidak dimiliki oleh gereja lain. Hal ini dikarenakan di gereja ini terdapat sebuah tim yang secara khusus menangani pujian dan penyembahan di gereja ini, True Worshippers. Tim ini tidak hanya sekadar menjadi pemimpin nyanyian di dalam peribadahan, tetapi juga menghasilkan karya-karya dalam bentuk lagu-lagu rohani, yang kemudian terdistribusi kepada seluruh gereja-gereja Pentakostal dan Karismatik di hampir seluruh wilayah di Indonesia, bahkan merambah mancanegara. Terlihat adanya simbiosis yang saling menguntungkan antara JPCC dan True Worshippers, di mana JPCC menjadi ’panggung’ bagi True Worshippers dan karya-karyanya, sementara True Worshippers sendiri menjadi ’brand ambassador’ bagi JPCC, sehingga ketika berbicara tentang True Worshippers, setiap orang akan mengenali bahwa JPCC adalah tempat mereka bermusik dan bernaung. Gereja ini, dari awal berdirinya, menempati sebuah ruangan besar dan megah di Annex Building, sebuah gedung parkir yang berada di dalam kompleks
1
Pujian dan Penyembahan adalah sebuah istilah yang muncul pada gereja-gereja beraliran Pentakostal dan Karismatik yang menunjuk kepada proses bernyanyinya jemaat di dalam suatu ibadah. Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan anggota jemaat, ada kecenderungan untuk membedakan dua hal ini. Pujian diartikan sebagai menyanyikan lagu-lagu yang bertempo cepat dan mengandung unsur pujian. Lirik dari lagu jenis ini biasanya secara tegas memuji Tuhan Yang Mahabesar. Sementara itu, penyembahan diartikan sebagai menyanyikan lagu-lagu yang bertempo lambat dan mengandung unsur mengagungkan Tuhan. Kata-kata yang muncul dalam lagu biasanya menunjukkan penyesalan terhadap pelanggaran dosa dan kecilnya manusia di hadapan Tuhan).
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hotel bintang empat di kawasan Bunderan HI, Jakarta Pusat. Ruangan ini sangat besar dan terlihat eksklusif, dengan dekorasi, pencahayaan, serta teknologi multimedia yang luar biasa menakjubkan. Terlihat dua buah layar besar di sebelah kanan dan kiri panggung yang bertujuan untuk menampilkan lagu nyanyian, tampilan liputan kamera, serta berbagai informasi seputar kegiatan gereja ini yang perlu diberitakan kepada jemaat yang hadir. Sound system yang mumpuni berkolaborasi dengan akustika ruangan yang didesain dengan cukup baik pun turut mendukung terciptanya suasana ibadah yang semarak dan megah. Pada tahun 2012, gereja ini menempati sebuah ruangan yang lebih besar dari sebelumnya, yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan. Di tempat ini, mereka mengadakan dua kali ibadah setiap minggunya, yaitu pada pukul 07.30 WIB dan 10.30 WIB. Walau demikian, mereka tidak pindah sepenuhnya dari lokasi yang terdahulu. Ibadah minggu di sore hari, pada pukul 15.00 WIB dan 17.30 WIB tetap dilaksanakan di tempat ini.2 Hal menarik yang penulis temukan adalah gereja ini bukan hanya menyewa kedua tempat ini untuk pusat kegiatan dan peribadahan mereka, tetapi juga mengelola tempat ini dan menyewakannya kembali kepada khalayak umum untuk berbagai kegiatan, contohnya untuk resepsi pernikahan, konser musik, seminar, gathering, rapat, dan lain sebagainya. Secara ekonomis, gedung ini menjadi investasi bagi gereja ini, yang tidak sebatas sarana berkumpulnya jemaat untuk beribadah dan berkegiatan, tetapi juga menjadi lahan untuk mendulang pemasukan bagi mereka. Mahalnya biaya sewa gedung, operasional, dan maintenance tampaknya menjadi alasan bagi pihak gereja untuk menyewakan 2
Ada pula beberapa ibadah yang turut menyertai ibadah umum, yaitu ibadah untuk anakanak (JPCC Kids) dan ibadah untuk remaja (JPCC Youth). http://www.jpcc.org/ diakses pada 10 Juni 2014.
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gedung ini, sehingga pemasukan yang diterima dapat membantu mereka untuk mengelola gedung yang mereka pakai, terlebih lagi ruangan-ruangan ini praktis hanya digunakan pada hari Minggu, sehingga ’menganggur’ di hari lainnya. Penyewaan ruangan bagi pihak lain pun menjadi mungkin ketika gereja ini tidak lagi melihat ruangan tempat ibadah sebagai ruang mahakudus di mana terjadi perjumpaan antara Tuhan dengan umat-Nya. Ruang ibadah gereja, yang mulanya dianggap sebagai ’kenisah Ilahi’, saat ini bertransformasi menjadi ruang serbaguna yang dapat digunakan untuk segala jenis kegiatan. Dalam rangka itu, pemakaian sarana multimedia yang canggih pun agaknya menjadi suatu keharusan, selain sebagai sarana ibadah, juga sebagai fasilitas pendukung bagi komersialisasi ruangan ini.
2.
GBI Glow Fellowship Centre GBI Glow Fellowship Center (GBI Glow FC) berdiri pada bulan April
2007, dengan gembala sidang pendeta Gilbert Lumoindong. Pada masa awal lahirnya, GBI Glow FC tidak kesulitan untuk menarik jemaat datang beribadah di gereja ini. Hal ini disebabkan sang gembala sidang yang sudah cukup terkenal melalui penginjilannya di media elektronik, seperti radio dan televisi serta KKR keliling yang sering ia lakukan. Pendeta Gilbert Lumoindong memulai penginjilannya di layar kaca pada tahun 1992, yaitu dengan menjadi host sekaligus pengkhotbah di sebuah acara siraman rohani di sebuah stasiun televisi swasta. Sosok dan figurnya pun menjadi semakin populer. Ia lalu membentuk badan pelayanannya sendiri, yaitu GL Ministry (Gilbert Lumoindong Ministry). Badan pelayanan ini menjalankan misi mereka selama beberapa tahun hingga
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akhirnya pendeta Gilbert Lumoindong memutuskan untuk membentuk gereja mandiri dan mengangkat diri sebagai pemimpin di gereja ini. Gereja ini, sama seperti JPCC, menempati sebuah ruangan besar yang berlokasi di sebuah kompleks apartemen mewah di daerah Jakarta Pusat. Letaknya yang strategis membuatnya mudah diakses dari segala penjuru Ibukota. Posisinya yang diapit oleh sebuah mal kelas premium dan sebuah pusat perbelanjaan kelas menengah, menjadi daya tarik utama para jemaat untuk datang ke gereja ini karena setelah ibadah, para jemaat akan melanjutkan ’ibadah’ mereka, mencari kepuasan atas hasrat jasmaniah di pusat-pusat perbelanjaan. Gereja ini berkembang dengan amat pesat. Menurut pengakuan dari seorang pendeta di gereja ini, terbukti bahwa pada tahun 2012, di usia mereka yang kelima, mereka mengaku memiliki tiga belas ribu orang yang terdaftar di gereja ini.3 Dimulai dari penginjilan lewat media khususnya televisi. Waktu itu kami memiliki program di RCTI yang dimulai tahun 1992. Host acara tersebut adalah Pendeta Gilbert Lumoindong. Ini adalah awal dari penginjilan kami. Nah, tahun 1996 kami mulai membuka Ministry dengan nama GL Ministry. Lalu, GL Ministry pun berkembang. Pada April 2007, karena kegiatan penginjilan yang memakan banyak waktu sementara usia kita semakin tua, maka Pendeta Gilbert Lumoindong, setelah berdoa kepada Tuhan, beralih dari seorang penginjil menjadi seorang gembala. ………Jadi, gereja ini bertumbuh seperti sekarang ini selama empat tahun delapan bulan dengan cukup signifikan, yaitu dengan tiga belas ribu orang yang terdaftar di dalam database. Mereka yang bersedia jadi jemaat diharuskan mengisi data berupa formulir. Masih tergolong muda, tapi kami mengalami pertumbuhan yang luar biasa.
3
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada wakil gembala sidang GBI Glow FC, pendeta Julius Anthony, pada awal tahun 2012. Setelah meneliti gereja-gereja Pentakostal dan Karismatik di Jakarta, penulis berkesimpulan bahwa gereja-gereja ini tidak tertib dan teratur dalam hal administrasi keanggotaan jemaat. Hal ini terbukti dengan begitu mudahnya seseorang mencatatkan diri sebagai anggota jemaat di gereja-gereja beraliran ini. Asalkan mau mengisi formulir keanggotaan, maka secara otomatis gereja akan mencatatnya sebagai anggota tetap, tanpa peduli apakah orang itu sudah menjadi anggota di gereja lainnya atau tidak. Oleh karena itu, penulis yakin ada bias data dalam penyebutan ”tiga belas ribu jemaat yang terdaftar” di atas.
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Faktor terbesar perkembangan gereja ini, diakui oleh pendeta Julius Anthony, adalah pada figur sang gembala sidang, pendeta Gilbert Lumoindong yang merupakan seorang pengkhotbah yang terkenal di media. Daya tarik utama gereja ini mungkin hasil penginjilan lewat media yang lalu, karena jujur tidak menutup kemungkinan bahwa daya tarik gereja ini hanya di pribadi gembalanya secara personal (Pdt. Gilbert Lumoindong). Pendeta Gilbert Lumoindong termasuk asset negara karena termasuk penginjil yang cukup popular. Makanya, kepanjangan gereja kita adalah Gilbert Lumoindong Over the World (GLOW). Nama ministry-nya adalah Gilbert Lumoindong Ministry. Hal ini biasanya jarang terjadi bahwa ministry yang berbasis nama orang, karena biasanya berbasis nama kota dan tempat atau sejarah.
Popularitas sang gembala sidang di media telah membuat gereja yang dipimpinnya kedatangan banyak orang yang akhirnya menjadi jemaatnya. Tidak cukup hanya berlokasi di satu tempat, gereja ini membuka cabang di beberapa tempat di seputar Jabodetabek dan di beberapa kota-kota besar lainnya di pulau Jawa juga di luar pulau Jawa. Bahkan, mereka memperkenalkan sebuah konsep baru dari pengelolaan gereja, yaitu gereja network. Gereja network adalah gereja yang bergabung di bawah bendera GBI Glow FC, mengikuti visi dan misi serta tema dari GBI Glow FC, mendapatkan jadwal pengkhotbah yang disusun oleh gereja pusat, tetapi mandiri secara pengelolaan keuangan dan pengadaan sarana prasarana. Mereka bebas mengelola keuangan mereka sendiri dan mengatur segala sarana dan tempat yang hendak digunakan dalam gereja. Sebagai konsekuensi, maka gereja network harus memberikan ’upeti’ kepada gereja pusat dengan jumlah tertentu setiap bulannya. Menurut pengamatan penulis, teknologi media dan informasi telah menjadi korpus di gereja ini. Figur sang gembala sidang sebagai ’artis’ rohani, yang sangat sering tampil di media, membuat gereja ini sangat akrab dengan media dan teknologi informasi, baik televisi, radio, dan internet. Kedekatan ini membuat gereja yang dipimpinnya menghidupi teknologi media dan informasi
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan sedemikian rupa. Hal ini terlihat dari digunakannya tiga buah layar besar yang dilengkapi dengan tiga buah proyektor yang berfungsi menampilkan gambar video ataupun teks dari lagu yang dinyanyikan selama ibadah berlangsung. Sama seperti tata panggung JPCC, di atas panggung terdapat beberapa lampu sorot berwarna-warni yang dapat memberikan efek pencahayaan layaknya berada di atas panggung pertunjukkan. Sound system pun dibuat dengan sedemikian baik sehingga jemaat yang hadir dan mengikuti ibadah dapat mendengarkan alunan lagu yang dimainkan oleh pemusik serta khotbah dari sang pengkhotbah. Terlihat juga sebuah kamera video yang terletak lurus di hadapan panggung yang berfungsi meliput setiap kegiatan yang ada di atas panggung, yang kemudian ditampilkan di layar.
3.
GBI Praise Revival for Jesus Gereja GBI Praise Revival for Jesus (GBI PRJ) adalah gereja lainnya yang
masuk ke dalam pengamatan dan observasi penulis. Gereja ini berlokasi di sebuah gedung pusat perbelanjaan yang dekat dengan arena Pekan Raya Jakarta (PRJ/Jakarta Fair), sehingga bukan suatu kebetulan singkatannya pun menjadi PRJ, melainkan terasosiasi kepada event tahunan DKI Jakarta yang memang terus berlokasi di tempat itu. Ia menempati lantai paling atas (roof top) dari pusat perbelanjaan ini, sehingga akses masuk ke ruangan gereja berada terpisah dari pusat perbelanjaan itu.
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan wawancara dengan wakil gembala sidang, pendeta Robertus Purwadi4, gereja ini didirikan oleh seorang dokter internis bernama Janto Simkoputra Ph.D., yang kemudian menjabat sebagai gembala cabang dari gereja ini. Sebelum menempati lokasi saat ini, gereja ini telah menempati dua tempat sebelumnya, yaitu bermula pada tahun 1998 di sebuah ruangan di hotel Borobudur, Jakarta Pusat, lalu pada tahun 2005 pindah ke salah satu ruangan di arena PRJ, dan terakhir pada tahun 2008 menempati lokasi super megah yang sekarang. Dalam pengamatan penulis, gereja ini memiliki jemaat dalam jumlah yang besar. Hal ini diakomodasi dengan ibadah yang dilaksanakan sebanyak lima kali setiap hari Minggu. Selain itu, mereka memiliki enam cabang gereja yang berlokasi di seputar Jakarta, yang masing-masing juga melaksanakan ibadah lebih dari satu kali di setiap hari Minggu. Untuk tempat di pusat, penulis telah hadir di seluruh jam ibadah Minggu, dan mendapati seluruh kursi terisi oleh jemaat. Penulis tidak mengkonfirmasi tentang kapasitas ruang ibadah secara pasti, tetapi penulis menduga bahwa ruangan megah ini mampu menampung sekitar 12001500 orang dalam satu kali ibadah. Belum lagi menghitung jemaat yang juga beribadah di gereja cabang lainnya yang pasti berjumlah cukup banyak. Sang wakil gembala sidang menjelaskan bahwa gereja ini bertumbuh dengan cukup pesat dari segi jumlah jemaat. Penulis lalu menggali lebih lanjut tentang daya tarik tempat ini bagi jemaat baru dan mendapatkan jawaban yang menarik. ”Gereja ini, dari sekian banyak jemaat yang pernah kita survei dengan memberikan angket, memiliki daya tarik nomor satu, yaitu dalam setiap kegiatannya itu selalu memberi yang terbaik kepada Tuhan. Dalam segala segi, baik fisik, kerohanian, dan 4
Hasil wawancara dengan Pendeta Robertus Purwadi, 28 Februari 2012. Bandingkan profil sejarah GBI PRJ di http://gbiprj.org/home/page-7-sejarah-gbi-prj.html diakses pada 13 Juni 2014.
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pelayanan-pelayanan yang lain. Fisik misalnya setiap peralatan dan gedung kita selalu memberikan yang terbaik. Karena prinsip kami mempersembahkan kepada Tuhan itu harus mempersembahkan yang terbaik.”5
Pernyataan di atas memang sangat nampak ketika masuk ke dalam ruangan gereja ini. Di pintu depan, mereka menugaskan dua orang petugas kemanan (satpam), seorang polisi berseragam, dan sebuah metal detector yang menyerupai pintu. Gereja seolah mau menjamin dan meyakinkan umatnya bahwa ruang sakral tempat
mereka
beribadah
aman
dan
bebas
dari
oknum
yang
tidak
bertanggungjawab. Selain itu, gereja ini juga dilengkapi peralatan multimedia yang sangat canggih. Di belakang panggung, terdapat sebuah monitor besar yang membentang sepanjang panggung. Monitor ini bukan layar biasa yang digunakan untuk menampilkan pantulan dari proyektor, tetapi merupakan monitor LED besar, yang beroperasi tanpa pantulan proyektor. Panggung pun didekorasi dengan lampu-lampu yang dapat mendukung aksi para ’artis’ di atas panggung sepanjang ibadah. Sound system ruangan pun dirancang dengan amat sangat baik. Gereja menggunakan peralatan suara yang terbaik dipadu dengan para profesional sound engineering yang bertanggung jawab mengoperasikannya. Penempatan speaker pun tidak terlihat sembarangan, melainkan mengikuti konsep akustika ruangan sehingga suara yang diproduksi dapat menggema dengan baik dan merata di seluruh penjuru ruangan. Sofistikasi terhadap peralatan multimedia tampaknya menjadi hal paling penting yang perlu dilakukan oleh gereja dewasa ini. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini merupakan sebuah daya tarik bagi jemaat untuk beribadah di suatu gereja. Gereja yang high-tech, dilengkapi dengan sarana multimedia dan teknologi informasi yang canggih, cenderung akan menarik banyak jemaat untuk bergabung. 5
Ibid.
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di tempat ini, terlihat jelas bahwa jemaat didominasi oleh jemaat berusia produktif, yaitu yang berada di bawah usia lima puluh tahun. Dari mayoritas ini, menurut pengamatan penulis, 50 persennya adalah kaum muda yang berusia di bawah 30 tahun. Ibadah di tempat ini pun kental sekali dengan nuansa kaum muda, dengan lagu-lagu bertempo cepat dan dipadu dengan aransemen musik dinamis yang mengandalkan berbagai macam alat musik yang dimainkan bersamaan oleh para musisi profesional. Sama seperti JPCC, gereja ini membentuk sebuah tim musik yang terdiri dari penyanyi, pemain musik, serta arranger lagu. Mereka ditugaskan menjadi pemimpin pujian dan penyembahan di tempat ini. Mereka bertugas mengiringi dan memandu jemaat dalam bernyanyi di setiap hari Minggu. Tim ini dinamakan Loving God Loving People (LGLP). Tidak hanya itu, mereka juga memproduksi lagu-lagu rohani populer dan dipublikasi di dalam album-album rohani yang telah mereka terbitkan sendiri. Lagu-lagu ini tidak hanya didengarkan oleh orang-orang yang membeli album mereka, tetapi juga dipilih dan dinyanyikan di gereja-gereja lainnya.
4.
Website Gereja: Sarana Informasi dan Persekutuan Saat ini, hampir semua gereja yang ada di kota besar memiliki website-nya
masing-masing. Website gereja pun beragam jenisnya, dari yang masuk ke dalam kategori simply-amateur design sampai kepada high-end design. Yang pertama terlihat lesu dengan tampilan desain seadanya dan isi yang kurang beragam serta tidak mengalami pembaruan secara berkala (tidak update). Banyak dari isi website sejenis ini menyajikan informasi yang tidak lagi aktual, dan hanya menyisakan
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
informasi lama yang tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya. Sebaliknya, kategori yang kedua terlihat sangat mutakhir dengan desain yang terlihat segar dan dinamis. Informasi yang terdapat di dalamnya pun selalu menunjukkan informasi terakhir yang tentu dapat dipercaya bagi siapapun yang mengaksesnya. JPCC memiliki dua buah website resmi yang mereka kelola. Website pertama adalah www.jpcc.org yang merupakan website yang berisi informasi umum tentang gereja ini. Halaman muka dari website ini menunjukkan desain wallpaper yang menarik, dengan latar lanskap kota Jakarta dengan gedunggedung tinggi. Gambar latar ini seolah mau mengatakan bahwa gereja ini adalah gereja yang eksis di metropolitan Jakarta serta menghidupi gaya hidup metropolis dalam seluruh kegiatannya. Website ini bebas diakses oleh siapapun, bahkan bagi pengunjung yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Penyedia website membuat dua versi bahasa untuk website ini, yaitu dalam Bahasa dan english. Hal yang mengejutkan bagi penulis adalah tampilan pertama yang muncul ketika masuk ke website ini adalah tampilan dalam english. Para pengunjung harus meng-klik link di pojok kanan atas halaman untuk memutasi halaman ke Bahasa. Isi website kebanyakan adalah informasi tentang JPCC secara normatif, seperti sejarah terbentuknya gereja, visi dan misi serta nilai-nilai yang dianut oleh gereja, profil para pendeta yang melayani dan memimpin, jenis-jenis kegiatan gereja, serta jadwal ibadah minggu. Adapun hal menariknya adalah mereka menyertakan sebuah halaman bagi para newcomer di website ini, yang isinya adalah ajakan untuk mengucapkan doa yang berisi pengakuan atas kebaikan Tuhan di dalam kehidupan, serta ajakan untuk bergabung dengan JPCC.
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambar 1: Halaman muka www.jpcc.org diakses tanggal 14 Juni 2014
Gambar 2: Halaman dari www.jpcc.org yang menjelaskan tentang sejarah JPCC. Diakses tanggal 14 Juni 2014
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambar 3: Halaman dari www.jpcc.org khusus bagi pengunjung yang tertarik menjadi Kristen. Diakses tanggal 14 Juni 2014
Website kedua dari JPCC adalah www.myjpcc.org yang merupakan website khusus bagi anggota jemaat yang telah terdaftar. Hanya anggota yang terdaftar saja yang dapat mengakses website ini. Penulis mengakses masuk dengan menggunakan akun dari seorang teman penulis yang menjadi anggota di gereja ini. Ketika masuk, pengunjung akan mendapati halaman muka yang menarik dari segi tampilan dengan berbagai menu yang mengarahkan pengunjung dari satu halaman ke halaman lainnya. Ada pengalaman yang sangat menarik bagi penulis, yaitu website ini diciptakan layaknya sebuah halaman media sosial, seperti Facebook, yang memiliki sifat personal dan interaktif. Di dalamnya, pemilik akun dapat melihat profil anggota jemaat lain yang tergabung di dalam satu kelompok sel (cell group) dengan pemilik akun. Selain itu, semua pendaftaran kegiatan gereja dilakukan melalui website ini. Jika pemilik akun ingin mengikuti sebuah kegiatan gereja, maka ia cukup meng-klik link yang ada dan secara otomatis ia akan terdaftar di kegiatan itu. Tetapi, tidak semua kegiatan menyediakan link pendaftaran bagi pemilik akun. Website secara otomatis tidak menampilkan link
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pendaftaran jika pemilik akun belum memenuhi persyaratan untuk memenuhi kegiatan itu. Website ini terhubung dengan database JPCC sehingga semua data profil jemaat secara pribadi dapat ditampilkan disini. Pemilik akun pun akan dikirimkan pengumuman tentang segala kegiatan yang akan dilangsungkan gereja oleh administrator website ini. Website ini juga terhubung dengan akun media sosial pribadi para pemimpin gereja ini, umumnya Instagram dan Twitter. Oleh karena itu, semua hal yang mereka posting ke dalam akun media sosial ini, secara otomatis akan diteruskan ke website ini dan ditampilkan dengan menarik. Mungkin saja perancang website ingin agar setiap pemilik akun di website ini merasa tetap dekat dengan para pemimpin gereja mereka ketika mereka membuka akunnya. Selain itu, tampilan seperti ini mengusung sebuah ide dan konsep website yang baru, yang jauh dari kesan kaku.
Gambar 4: Halaman muka www.myjpcc.org diakses tanggal 14 Juni 2014
Kesan artistik modern dan tidak kaku juga penulis dapatkan dari website www.glowfc.com yang dimiliki oleh GBI Glow FC. Pada halaman muka, pengunjung akan menemukan beberapa foto dari gembala sidang, pendeta Gilbert
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lumoindong yang ditempelkan di tampilan seputar kegiatan gereja. Dengan berlatar warna hitam, website ini menyajikan berbagai informasi seputar gereja ini, mulai dari visi dan misi gereja, sejarah berdirinya, pengakuan iman, sampai kepada informasi tentang waktu dan tempat ibadah dilengkapi jadwal pengkhotbah di masing-masing tempat. Selain itu, ada pula info mengenai program siaran media dari pendeta Gilbert Lumoindong yang disiarkan di berbagai radio di Indonesia dan stasiun televisi. Selain itu, di dalam website ini tersedia layanan bagi para pengunjung, seperti permohonan doa, permohonan untuk konseling, sampai dengan layanan chatting dengan konselor secara langsung. Selain itu, ada pula layanan streaming, seperti radio streaming dan video streaming yang menyiarkan secara langsung ibadah yang berlangsung di gereja melalui internet. Terkait hal streaming, akan penulis jelaskan di dalam bagian selanjutnya. Dalam wawancara penulis dengan kepala bagian media dan teknologi informasi dari gereja ini, bapak Louwrix Simanjuntak, dikatakan bahwa media diciptakan untuk memuliakan Tuhan. Oleh karena itu gereja sebaik mungkin harus menggunakan teknologi yang sudah ada, yang merupakan karya Tuhan.6 ”Pada saat saya masuk, gereja ini sudah banyak berjalan di bidang demikian. Mereka juga sudah cukup kenal dengan teknologi. Pada dasarnya teknologi ini diciptakan Tuhan untuk memuliakan Tuhan. Banyak orang yang mengatakan bahwa teknologi ini hanya untuk orang dunia (semua kegiatan yang berorientasi di luar pelayanan gereja). Pandangan ini salah. Justru teknologi membantu gereja sehingga gereja dapat menjadi sangat baik. Contoh sederhana saja, dahulu pendeta membawa Alkitab berukuran besar kemana-mana. Sekarang ini mereka hanya cukup membawa gadget mereka. Saat ini ketika orang disuruh mengangkat Alkitab, yang diangkat justru handphonenya. Teknologi bisa membuat segalanya menjadi simple.”
Pemahaman seperti ini sungguh diaplikasikan di dalam gereja seperti ini. Oleh karena itu, segala bentuk teknologi terbaru pun diaplikasikan oleh pihak gereja. 6
Wawancara dengan Bapak Louwrix Simanjuntak yang merupakan pemimpin divisi IT & Design GBI Glow FC.
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebaliknya, pihak gereja-gereja Protestan mainstream tampak malu-malu untuk mengapresiasi internet di dalam gereja sampai sejauh ini. Masih terbayang oleh penulis perkataan seorang pendeta dalam khotbahnya di sebuah gereja mainstream, yang mengharuskan jemaat yang hadir membawa Alkitab fisik dengan alasan dapat dibaca dengan lebih baik. Padahal, tetap saja ada jemaat yang mulai mengandalkan Alkitab online yang dapat diunduh di gadget mereka masing-masing. GBI PRJ juga mengembangkan website mereka dengan sangat baik. Seperti dua gereja sebelumnya, terdapat berbagai macam informasi yang dapat ditemukan oleh para pengunjung di dalam website gereja ini. Informasi seperti profil dan sejarah gereja ini, jadwal ibadah, serta jadwal pengkhotbah di setiap ibadah, dapat ditemukan dengan cukup mudah di halaman muka. Desain yang modern dan memukau juga membuat orang betah untuk berlama-lama di website ini. Gereja ini juga memiliki sebuah link untuk melihat video streaming dari ibadah yang dilangsungkan. Selain itu, mereka juga menyertakan sebuah link yang akan menghubungkan pengunjung dengan berbagai akun media sosial gereja sehingga pengunjung tetap dapat meng-update segala kegiatan gereja dari website ini atau melalui akun media sosial pengunjung.
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5.
Media Sosial: Eksistensi di Dunia Virtual Di era komunikasi digital saat ini, memiliki akun media sosial7 yang
berbasis internet bukanlah sebuah pilihan, melainkan telah menjadi sebuah keharusan. Hampir semua orang yang mengenal internet telah memiliki akun media sosial. Data yang penulis peroleh dari www.internetworldstats.com menyebutkan bahwa sampai dengan 31 Maret 2012, pengguna media sosial yang paling terkenal, Facebook, telah mencapai 835.525.280 pengguna.8 Pengguna terbanyak berasal dari wilayah Eropa dan Asia yang menguasai 35-40% dari angka di atas. Data ini diperbaharui secara kasar oleh data statistik yang diterbitkan oleh Facebook sendiri yang menyebutkan bahwa jumlah pengguna media sosial raksasa ini sampai 31 Maret 2014 adalah sebanyak 1,28 miliar pengguna aktif, yaitu kira sepertiga dari total populasi di seluruh dunia.9 Jumlah yang mencengangkan ini bahkan ditambah dengan jumlah pengguna aktif yang menggunakan layanan mobile Facebook yang telah mencapai 95% dari total pengguna aktif, atau sekitar 1,01 miliar pengguna. Tidak berbeda jauh dengan Facebook, aplikasi media sosial terpopuler lainnya, Twitter, telah menghubungkan sebanyak 255 juta pengguna aktif di seluruh dunia, dan sebanyak 78% penggunanya, atau sekitar 199 juta, telah mengaplikasikan Twitter mobile di gadget mereka masing-masing.10 Bahkan, Twitter mengklaim bahwa setiap hari ada sekitar 500 juta tweet yang dikirimkan. Angka-angka di atas menunjukkan
7
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai ”sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”. Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial diakses pada 14 Juni 2014. 8 http://www.internetworldstats.com/facebook.htm diakses pada 14 Juni 2014. 9 http://newsroom.fb.com/company-info/ diakses pada 14 Juni 2014 10 https://about.twitter.com/company diakses tanggal 14 Juni 2014.
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intensitas penggunaan media sosial Facebook dan Twitter. Keduanya saat ini telah ada dalam genggaman setiap orang, di manapun dan kapanpun, entah di kantor atau di sekolah atau di rumah, baik di jalan atau di dalam ruangan, baik siang atau malam hari. Selain kedua aplikasi di atas, masih banyak lagi aplikasi sosial media lainnya yang beredar di ranah dunia maya dan membuat setiap orang di seluruh dunia dapat saling terhubung. Besarnya jumlah pengguna serta tingginya intensitas dari penggunaan media sosial berbasis internet ini pun ditangkap sebagai sebuah momentum bagi gereja untuk ikut terjun menyelam dalam geliat konektivitas antar manusia di dunia maya ini. Gereja mulai berlomba-lomba untuk membuat akun mediasosial yang merepresentasikan dirinya kepada jemaat dan dunia luar. Sejalan dengan doktrin misiologis gereja yaitu berusaha menjangkau semua orang dengan Injil Yesus Kristus, maka tawaran konektivitas luas yang diberikan oleh media sosial pun seolah sayang untuk dilewatkan begitu saja.
5. 1.
Facebook Umumnya, sebuah gereja tidak memiliki akun Facebook layaknya
akun personal. Pihak Facebook memfasilitasi organisasi dan perusahaan untuk membuat Facebook page.11 Page ini nantinya dapat di-follow oleh semua orang yang memiliki akun personal Facebook. Page berfungsi sebagai sarana informasi di mana gereja dapat mem-posting segala hal, 11
Hal yang membedakan page dengan akun personal adalah hubungan page dengan akun personal berjalan satu arah. Setiap akun personal yang mengikuti page tertentu akan mendapatkan notifikasi tiap kali page itu melakukan perubahan pada halamannya, entah dengan mengirimkan foto atau mengupdate status. Hal ini tidak berlaku sebaliknya di mana page tidak akan mendapatkan notifikasi apapun tiap kali akun personal yang mengikutinya melakukan perubahan pada halamannya. Sumber https://www.facebook.com/help/174987089221178 diakses tanggal 14 Juni 2014.
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
umumnya
tentang
kegiatan
yang
berlangsung
dan
yang
akan
dilangsungkan oleh gereja. Penulis kerap menemukan posting berupa gambar dan foto yang sifatnya pengumuman tentang kegiatan yang akan dilangsungkan oleh gereja. Di dalam foto itu, semua follower page dapat memberikan komentar ataupun pertanyaan terkait dengan berita yang diposting. Pihak gereja, yang diwakili oleh administrator akun, akan membaca komentar dan membalasnya. Para follower akan saling membalas komentar atau menjawab pertanyaan. Tidak jarang juga muncul perbedaan pendapat yang berujung kepada perdebatan antar follower yang berbeda dan tidak saling kenal. Konstruksi Facebook dan media sosial sejenis
yang
terbuka
dan
mengedepankan
konektivitas,
telah
memungkinkan terjadinya percakapan antara beberapa oknum yang tidak saling mengenal. JPCC memiliki Facebook page dengan followers sebanyak 21.000. GBI PRJ, berada di bawahnya, dengan followers sebanyak 5.020. Sedangkan GBI Glow FC memiliki followers yang paling sedikit dari ketiganya, yaitu hanya sekitar 526. Hal yang menarik adalah tidak semua followers dari Facebook page gereja-gereja ini adalah anggota gereja ini atau bergereja di tempat ini setiap minggunya. Menurut keterangan seorang rekan penulis yang menjadi followers salah satu Facebook page gereja ini, ia tetap ingin mengetahui info kegiatan di salah satu gereja ini walau ia tidak bergereja disana. Ia hanya tertarik untuk datang di acara seperti Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) atau seminar gerejawi yang
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membahas tema tertentu. Dengan cara ini, ia akan mendapat informasi secara langsung dari page ini tanpa perlu hadir setiap minggunya. Tidak hanya interaksi antara organisasi gereja dengan umat, di dalam Facebook kita dapat melihat interaksi religius antara para pemimpin gereja dengan umatnya. Hampir sebagian besar pemimpin gereja memiliki akun Facebook. Semakin terkenal seorang pendeta, maka akan semakin banyak temannya di media sosial ini.12 Pertemanan yang terjalin bisa saja terjadi antara pemimpin religius dengan jemaat ataupun antar sesama pemimpin
religius.
Sayangnya,
Facebook
hanya
mengakomodasi
pertemanan sebuah akun pribadi mencapai 5000 pertemanan, sehingga jikalau ingin memiliki lebih banyak teman maka seseorang biasanya membuat akun yang lainnya, yang tentu dengan nama yang sedikit berbeda.13 Pembatasan ini dimaksudkan agar para pengguna Facebook dapat memiliki ’teman-teman’ yang eksklusif dan saling mengenal satu sama lain, yang secara aktif berinteraksi dan bukan sekadar hasil dari mengklik ”add friend” atau ”accept friend request”. Walaupun, 5000 adalah angka yang besar untuk jalinan pertemanan. Menulis status dan mengkomentari status sepertinya menjadi aktivitas yang paling utama dari pemilik akun Facebook. Seseorang dapat menulis segala hal yang ia inginkan, tidak terkecuali. Hal yang umum ditemukan adalah pemilik akun, bagaikan seorang reporter, menuliskan 12
Kategori ’terkenal’ biasanya identik dengan seberapa sering seorang pendeta tampil di media, baik di media cetak maupun media elektronik. Dalam hal ini, ada kesejajaran antara pendeta terkenal dengan pendeta yang menjadi gembala sidang di sebuah gereja yang besar (megachurch). 13 Misalnya, jikalau penulis membuat akun dengan nama ”Johanes Lengkong”, maka untuk akun yang lainnya harus menggunakan nama akun ”Johanes Lengkong 1” untuk membedakannya dengan akun yang lainnya.
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbagai macam hal yang terjadi di sekitarnya pada hari itu, termasuk juga segala kejadian yang berkaitan dengan pribadinya.
5. 2. Twitter Selain Facebook, keterlibatan dunia religius di dalam jagat Twitter pun tidak kalah menarik. Bahkan, menurut pengamatan beberapa waktu belakangan ini, Twitter justru lebih sering digunakan oleh gereja jika dibandingkan dengan Facebook. Twitter adalah media sosial dengan konsep aplikasi yang sederhana namun mudah untuk terkoneksi dengan lebih banyak orang. Para pengguna akan menuliskan tulisan sepanjang 140 karakter. Tulisan ini bisa berupa apapun yang ingin mereka tuliskan, bisa berupa laporan akan suatu kejadian tertentu, opini, ungkapan hati, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Twitter sering disejajarkan dengan micro blogging, yang mengandalkan teks sebagai media utamanya.14 Penggunaan media ini di dalam gereja amat jelas terlihat. Masingmasing gereja memiliki akun Twitter yang dikendalikan oleh administrator gereja. Selain itu, hampir seluruh pemimpin jemaat di tiga gereja di atas memiliki akun Twitter. Penulis mencatat bahwa akun @jpcc memiliki sekitar 41.800 follower dan secara aktif menuliskan info bahkan membalas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh follower melalui akun Twitter. Proses komunikasi pun berlangsung tidak lagi di dalam gereja ataupun dalam kegiatan-kegiatan ibadah secara langsung, tetapi melalui akun
14
http://id.wikipedia.org/wiki/Twitter diakses pada Juni 2014.
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
media sosial seperti ini. Jemaat dan pihak gereja pun berinteraksi dengan baik di dalamnya. Hal menarik yang penulis temui adalah fenomena menuliskan kembali intisari khotbah ke dalam akun Twitter mereka (meng-tweet perkataan langsung dari orang itu). Seringkali, perkataan pendeta dari atas mimbar yang dirasa menguatkan iman para pendengar, ’dikicaukan’15 kembali oleh jemaat yang mendengarkan. Bahkan, ’kicauan’ tentang khotbah yang disampaikan oleh pendeta itu dapat dikicau kembali (retweet) oleh para pengikut akun yang mengicaukan pertama kali dan dapat terus berlanjut. Khotbah sang pendeta pun menjadi tidak terbatas oleh tembok gedung gereja, tetapi keluar sampai pada orang yang belum pernah datang beribadah di gereja itu atau bahkan melihat sang pendeta secara langsung. Selain itu, ’kicauan-kicauan’ tentang khotbah tidak jarang dilakukan pada saat khotbah tengah disampaikan oleh sang pendeta. Dalam ibadah, terlihat banyak orang yang memegang gadget mereka masing-masing, daripada memegangi Alkitab. Fenomena kesibukan baru dengan gadget tidak serta merta dapat diartikan bahwa jemaat mengacuhkan ibadah yang tengah berlangsung dan menganggap tidak penting khotbah yang disampaikan oleh pendeta sehingga berusaha ’kabur’ ke dunia lain, yaitu dunia maya jejaring sosial. Atau juga, fenomena ini tidak dapat dilihat bahwa jemaat sekadar membuat catatan khotbah di dalam media sosial mereka. Sebaliknya, fenomena ini dapat dilihat sebagai
15
Istilah kicau mengikuti istilah aslinya, ”tweet”. Menurut pendiri Twitter, Jack Dorsey, pemilihan istilah ”tweet” ingin menggambarkan bahwa setiap tulisan yang ditulis oleh para pengguna diharapkan bukan sebuah tulisan yang penting, layaknya burung yang selalu berkicau. Ibid.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebentuk religiositas baru, ketika jemaat tidak hanya menjadi pendengar khotbah tapi mereka juga langsung menyebarkan ’kabar baik’ ini secara luas dalam jejaring pertemanan mereka di media sosial. Mereka juga ingin agar orang lain merasakan sukacita, ketenangan, dan semangat yang sama pada saat mereka mendengar khotbah. Sudah menjadi tradisi di kalangan gereja Pentakosta dan Karismatik bahwa umat akan berkata ”amin!” sebagai bentuk persetujuan atas perkataan-perkataan pendeta. Saat ini, meng-klik untuk berkicau di Twitter adalah bentuk ”amin!” yang baru. Umat tidak lagi berseru dengan lantang agar terdengar, tetapi mengetik dengan cepat dan mengirimnya agar terbaca semua orang. Gadget pun tidak lagi menjadi barang yang tabu untuk digenggam apalagi dipergunakan selama ibadah berlangsung, tetapi justru dianggap menjadi alat yang membantu jemaat untuk menghafal sekaligus memahami khotbah yang disampaikan dengan menuliskan ulang bagian-bagian dari khotbah dan meneruskannya kepada khalayak banyak. Twitter juga memiliki fitur ”mention” yang membuat sebuah kicauan dapat di-attach ke beberapa pengguna lainnya. Dengan ini, ’kicauan’ tentang khotbah tadi dapat secara langsung disampaikan kepada sang pengkhotbah melalui media sosial. ”@james*******S: Sikap
menentukan @PastorGilbertL #GBIGlowMarina”16
masa
depan
seseorang.
Cc:
Akun @james*******S menulis sebuah kutipan dari khotbah pendeta Gilbert Lumoindong yang disampaikan dalam ibadah di GBI Glow Marina. Tak lupa ia pun me-mention akun pendeta ini. Akun 16
Nama akun sengaja disamarkan. 22 Jun 2014, 12:26 PM .Tweet.
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
@PastorGilbertL pun meneruskan (re-tweet) kicauan ini ke dalam timeline-nya. Hal ini membuat jemaat merasa dekat dengan sang pengkhotbah yang semula dianggap jauh dan tidak susah untuk disapa. Melalui Twitter dan media sosial lainnya, pendeta dan jemaat dapat bersentuhan secara langsung dalam tulisan, walau tanpa bertemu muka.
5. 3. Youtube YouTube (www.youtube.com) adalah situs yang memungkinkan pengguna untuk mengunggah video dan membagikannya kepada pengguna lainnya. Awalnya situs ini digunakan oleh pengguna dalam skala kecil, tapi seiring dengan perkembangan media informasi, ia menjadi sangat populer di seluruh dunia.17 Konten dari situs ini seluruhnya dibuat oleh para penggunanya dan dapat dilihat dengan mudah oleh jutaan orang. Mulai dari video amatir yang menggunakan kamera dengan resolusi kecil, sampai kepada video yang dibuat oleh para profesional teknologi media dan film terkini dengan kualitas gambar dan isi yang luar biasa, semuanya hilir mudik setiap hari di situs ini. Kesempatan untuk ikut aktif ini rupanya juga dilirik oleh para pegiat teknologi di gereja. Mereka berlomba-lomba untuk membuat akun di media sosial ini. Ketiga gereja di atas memiliki akun YouTube. Akun ”JPCCTV”(JPCC) berisi banyak video yang diklasifikasi ke dalam beberapa bagian, yaitu ”This is My Story”, yaitu kumpulan video pendek yang merupakan kesaksian hidup dari jemaat JPCC; ”A Heart To Serve”, 17
Todd Kelsey, Social Networking Spaces: From Facebook to Twitter and Everything in Between. (New York: Apress, 2010)., hlm. 298.
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yaitu kumpulan video pendek yang berisi cerita bagaimana jemaat JPCC mengambil bagian dalam pelayanan melalui pekerjaan mereka sehari-hari, ”Sermon Clips”, yaitu kumpulan video cuplikan khotbah yang disampaikan di JPCC, dan ”Events”, yaitu kumpulan video pendek dalam rangka promosi kegiatan yang akan dilangsungkan di JPCC. Selain itu, ada pula akun JPCCWORSHIP yang isinya kumpulan video klip lagu-lagu yang diciptakan dan dibawakan oleh tim pujian dan penyembahan JPCC. Akun “glowfc” (GBI Glow FC) lebih banyak berisi tentang video pendek tentang Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang diadakan sang gembala sidang di beberapa daerah di Indonesia, video cuplikan khotbah dari gembala sidang, dan warta sepekan yang dibuat menjadi video klip yang menarik. Sementara, akun dari ”GBI PRJ” (GBI PRJ) isinya hanya berupa “News GBI PRJ” yaitu warta mingguan yang dikemas dalam bentuk video klip. Jika jemaat tidak sempat datang untuk beribadah, maka ia tinggal membuka saluran YouTube milik gereja dan melihat video tentang informasi kegiatan jemaat. Selain itu, ia juga dapat melihat beberapa cuplikan khotbah dari pengkhotbah yang diunggah oleh pihak gereja walaupun jumlahnya tidak banyak. Semuanya dapat mereka lakukan kapan saja dan di mana saja, di depan komputer saat bekerja, atau membukanya melalui gadget ketika sedang berada di kendaraan umum. Yang diperlukan hanyalah koneksi internet. Tayangan ini akan selalu ada dan dapat terus diulang selagi tidak dihapus oleh akun penyedia tayangan. Popularitas
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
YouTube18 sendiri tidak terlepas dari berkembangnya budaya baru dalam masyarakat
informasi,
yaitu
budaya
audiovisual.
Semua
hal
dipresentasikan dalam bentuk gambar bergerak yang dipadukan dengan suara. Selain karena tampilannya yang menarik untuk dilihat, orang pun akan lebih mampu untuk mengingat setiap informasi yang diberikan ketika disampaikan dalam bentuk audiovisual.19 Gereja-gereja pun rupanya ikut mengembangkan teknologi audiovisual ini. Penggunaan layar besar di dalam ruang ibadah untuk menampilkan tayangan audiovisual adalah salah satu bukti nyata. Jemaat bahkan tidak perlu lagi mengarahkan pandangannya ke panggung atau mimbar secara langsung, karena ada kamera yang akan meliput kegiatan di atas panggung dan meneruskannya ke layar besar. Pengalaman menyaksikan tayangan audiovisual secara terus menerus di dalam ibadah membuat jemaat terbiasa dengan tayangan video yang di-upload oleh gereja ke YouTube. Sebaliknya,YouTube juga merangsang kreatifitas para pemilik akun (baca: gereja) untuk membuat tayangan yang menarik, yang dapat dibuktikan dengan jumlah kunjungan (view) dan rating yang diberikan oleh pengunjung. Selain itu, masingmasing gereja dapat saling ”menyontek” tayangan audiovisual yang
18
Berikut YouTube dalam statistik angka: Lebih dari 1 miliar pengguna unik mengunjungi YouTube setiap bulannya; Lebih dari 6 miliar jam video ditonton setiap bulannya di YouTube – hampir satu jam untuk setiap orang di Bumi; 100 jam video di-upload ke YouTube setiap menit; 80% lalu lintas YouTube berasal dari luar AS; YouTube dilokalkan di 61 negara ke dalam 61 bahasa; Menurut Nielsen, YouTube menjaring lebih banyak pemirsa dewasa berusia 1834 tahun bila dibandingkan jaringan kabel lain di AS; Setiap hari, ada jutaan langganan. Jumlah orang yang berlangganan setiap hari naik lebih dari 3x dibandingkan dengan tahun lalu, dan jumlah langganan harian meningkat lebih dari 4x dibandingkan dengan tahun lalu. Sumber: http://www.youtube.com/yt/press/id/statistics.html diaksespada 10 Juni 2014. 19 Edgar Dale mengatakan bahwa manusia hanya mampu mengingat 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari yang di dengar dan dilihat sekaligus, serta 90% dari apa yang dilihat, didengar, dan dilakukan sekaligus. Edgar Dale, Audiovisual Methods in Teaching: Third Edition, (New York: The Dryden Press, 1969).
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diciptakan melalui media sosial ini. Tayangan yang terlihat baik tentu saja akan dijadikan ”role model” bagi gereja yang lainnya.
5. 4.
Live Video Streaming ”Mari kita tundukan kepala kita, kita siapkan hati kita bagi
Firman Tuhan yang akan ditaburkan. Biarlah itu menjadi benih yang tumbuh”. Kata-kata ini adalah kata-kata akhir worship leader (pemimpin liturgi) sebelum masuk ke dalam khotbah yang akan disampaikan oleh pengkhotbah, di sebuah ibadah yang penulis ikuti di GBI Glow FC. Dengan sikap berdoa, tiba-tiba saja terdengar suara dari sang gembala sidang yang mengucapkan doa sebelum khotbah. Kata ”amin” pun terucap darinya, penulis lalu membuka mata dan dengan terkejut menemukan bahwa gembala sidang yang akan berkhotbah tidak berada di atas mimbar. Ternyata ia dapat ditemukan di layar besar, tempat di mana semua tayangan multimedia ditampilkan. Ternyata, gembala sidang berkhotbah di tempat yang berbeda, tetapi kemudian disiarkan ke tempat di mana penulis beribadah pada saat itu. Ia ada di dalam ibadah, tetapi tidak di dalam ruangan yang dipenuhi oleh jemaat. Keberadaan sang pendeta di tempat lain, tetapi juga berkhotbah bagi jemaat di tempat ini menjadi sebuah fenomena baru di gereja-gereja di Indonesia. Jemaat yang hadir disuguhkan tampilan audiovisual dari pendeta, tanpa keberadaan fisiknya. Hal yang menarik, iklim ibadah sama sekali tidak terlihat berbeda dari biasanya. Seluruh jemaat terlihat menikmati khotbah yang disampaikan gembala sidang di tempat lain.
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sesekali bahkan mereka merespon khotbah yang isinya cukup lucu dengan tawa kecil dan kata ”amin”. Bahkan, interaksi yang tercipta antara pengkhotbah dengan jemaat terlihat natural, seolah pengkhotbah ada di hadapan mereka, di atas mimbar, melihat dan mendengar jemaat. Ketika pendeta berkata, ”Shalom!” maka jemaat membalas ”Shalom!”, lalu dia menanggapi ”wah, kurang keras dan tidak bersemangat. Shalom!”, maka jemaat membalas lebih keras dari yang awal, ”Shalom!”. Di pertengahan khotbah, pendeta berkata ”ulangi kata-kata saya, sama-sama katakan Tuhan Yesus baik”, maka jemaat akan mengikuti perintah pendeta itu tanpa ada perasaan bahwa sang pendeta berada di tempat yang jauh. Ketika dikonfirmasi, pemimpin divisi IT & Design gereja ini mengatakan bahwa penerapan teknologi ini di dalam ibadah didasarkan pada kebutuhan jemaat. Gembala sidang adalah orang yang sangat baik dalam berkhotbah. Pengakuan ini datang bukan hanya dari jemaat tapi orang-orang (pemirsa) yang menyaksikan siaran khotbah beliau di media. Oleh karena itu, di gereja ini beliau menjadi tokoh sentral yang khotbahnya sangat dinantikan, sehingga gereja pun memfasilitasi agar khotbah sang gembala sidang dapat disaksikan oleh sebanyak mungkin jemaat melalui teknologi live streaming. Live streaming pun hanya dibatasi pada saat khotbah disampaikan saja, sehingga sebelum dan sesudah khotbah, ibadah tetap dilakukan di lokasi masing-masing dengan pemimpin dan pemandu musiknya masing-masing. Teknologi ini juga digunakan dengan agak sedikit berbeda oleh gereja-gereja lainnya. Di dalam situs www.gbiprj.org terdapat pranala
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang memungkinkan pengunjung website untuk menyaksikan live streaming ibadah di dalam website. Dari awal pembukaan ibadah, hingga ”kata-kata berkat” di akhir ibadah, semuanya disiarkan secara langsung tanpa putus serta dapat disaksikan oleh semua pengunjung website. Penulis mengikuti beberapa kali siaran ibadah melalui live streaming ini. Ibadah ini diliput dengan sangat apik. Pihak gereja menggunakan beberapa kamera yang menghasilkan gambar dari berbagai sudut pandang. Terlihat bahwa kamera tidak hanya ditempatkan di depan panggung, tetapi juga di berbagai sudut yang memungkinkan pemirsa di layar komputer untuk merasakan suasana riil layaknya beribadah di dalam ruang ibadah yang sesungguhnya. Penulis mendapat kesan sedang menonton sebuah liputan pertunjukkan/konser musik di mana lampu dan pencahayaan berpadupadan dengan sorot kamera dari berbagai penjuru. Sang pengkhotbah menjadi layaknya artis di atas panggung, sementara umat terlihat bagaikan penonton dan penggemar yang menikmati sajian dari artis di atas panggung.
6.
Kesimpulan Pengalaman beribadah seperti ini sesungguhnya telah menggeser
pemahaman ortodoks tentang peribadahan dalam kekristenan itu sendiri, di mana persekutuan umat terjadi di dalam suatu tempat (ruangan) yang dipimpin oleh seorang rohaniwan atau gembala jemaat. Persekutuan umat, di masa kini, rupanya telah masuk ke dalam sebuah dunia baru, yaitu dunia cyber, di mana perjumpaan
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
fisik tidak lagi terjadi, melainkan perjumpaan antara sebuah akun dengan akun lainnya. Saat ini, pendeta dan umat dapat berjumpa melalui media sosial. Sang pendeta dapat menuliskan pesan rohani yang menyejukkan hati jemaatnya (baca: pengikutnya). Sebaliknya, jemaat mengaminkan atau bahkan mengkomentari pesan yang ditulis oleh pendetanya secara langsung dan mungkin saja dikomentari kembali olehnya. Situs website dari gereja seolah menjadi ”gedung ibadah” yang baru karena dengan mengunjunginya jemaat sudah mendapatkan segala hal yang ingin ia dapatkan ketika ia datang ke gedung gereja. Halaman-halaman informasi kegiatan sampai pada siaran langsung ibadah (live streaming) mewakili keberadaan gedung gereja itu sendiri.
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab IV Internet dan Religiositas Umat
Dalam bab sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang realitas gereja dan media, serta kaitannya dengan pola peribadahan dewasa ini. Sangat terlihat bahwa teknologi informasi, khususnya internet, telah masuk ke hampir seluruh aspek dari gereja, bahkan ke dalam peribadahan itu sendiri. Teknologi informasi bukan lagi sekadar menjadi alat bagi pekabaran Injil gereja-gereja saat ini, tetapi juga turut mengintervensi kekristenan dan menciptakan religiositas baru. Kirsteen Kim menganalisa bahwa gereja saat ini bukan hanya menjadi gereja yang online, yang hanya menjadi sarana dari gereja di dunia riil di dalam dunia cyber, tetapi gereja saat ini telah menjadi gereja online, yang memang hidup dan berakar dari teknologi itu sendiri.1 Dalam bab ini, penulis berusaha melihat bagaimana religiositas yang terbentuk dalam hubungan antara gereja dan teknologi informasi sekarang ini. Teori simulakrum yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard akan menjadi sebuah pisau bedah untuk melihat lembaran demi lembaran hubungan kedua hal di atas serta realitas yang dibentuknya. Perbedaan antara yang riil dan imajiner telah kabur dalam kekuatan gelombang teknologi informasi. Mengutip adagium yang dikembangkan dalam teori ini, ”yang imajiner adalah yang riil”. Simbol-simbol religius yang terkandung di dalam agama dan merupakan sarana komunikasi antara manusia dan Tuhan, telah dikaburkan dengan simbol-simbol virtual yang diciptakan oleh berbagai macam teknologi informasi. Akibatnya, dunia imajiner 1
Kirsteen Kim. ”Ethereal Christianity: Reading Korean Mega-Church Websites”, dalam Studies in World Christianity Volume 13.3 (2007)., hlm. 219.
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang hiperreal ini telah menjadi dunia yang riil dan sesungguhnya dan mengatur eksistensi dari yang riil itu.2
1.
Dari Simbol Ritual ke Simbol Virtual Kekristenan, sebagai sebuah kepercayaan, hidup di dalam dunia simbol.
Menurut Eliade, simbol menjadi jembatan antara Yang Kudus dengan yang profan, antara manusia dengan Pencipta-Nya. Dalam penelitian ini, penulis melihat pergeseran simbol-simbol di dalam ritual gereja ke dalam simbol-simbol virtual. Jika selama ribuan tahun umat Kristen menggunakan sebuah tempat yang dikhususkan untuk beribadah dan mengalami persekutuan dengan sesamanya, maka saat ini perjumpaan dapat dilakukan di dalam ruang virtual, ruang maya. Gereja-gereja saat ini, selain memiliki tempat untuk mengalami perjumpaan secara riil, juga memiliki ruang virtualnya yang dapat menjadi ruang mahakudus baru bagi jemaatnya untuk saling bertemu dan merasakan ”hadirat” Tuhan. Situs internet yang dimiliki dan dioperasikan oleh gereja telah menjadi rumah (homepage) rohani bagi jemaatnya. Ketika mengakses itu, jemaat dapat merasakan sukacita yang sesungguhnya, sama ketika mereka datang ke gereja. Dalam percakapan non formal dan tak terstruktur, penulis bertanya kepada seorang teman penulis yang merupakan anggota jemaat dari gereja Pentakosta Karismatik terkait apa yang ia rasakan ketika masuk ke dalam website milik gereja. Ia mengatakan bahwa perasaan yang berbeda ia dapatkan ketika masuk ke dalam website milik gereja. Ketika ia masuk ke dalamnya dan melihat isinya, ada 2
Jean Baudrillard, ”Simulacra and Simulations”, dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard, Selected Writings, (Stanford: Stanford University Press, 1988), hlm.166-184.
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perasaan sukacita yang ia rasakan karena ia menemukan informasi yang menguatkan baginya, entah itu melalui kata-kata yang ditulis oleh pendeta gereja itu atau dalam konten yang ditulis oleh pengelola situs. Setiap harinya, situs gereja-gereja pun mendapatkan kunjungan yang cukup banyak. Website GBI Glow FC dikunjungi kurang lebih sebanyak 500 hingga 700 kali setiap harinya. Bahkan di hari minggu, jumlah kunjungan dapat mencapai tiga kali lipatnya. Jikalau jumlah ini terus dijumlahkan selama seminggu, maka jumlah pengunjung hampir sama dengan jumlah jemaat yang beribadah di hari Minggu di seluruh cabang GBI Glow FC. Selain itu, rata-rata pengunjung dari website menghabiskan waktu cukup lama untuk mengeksplorasi isi dari situs ini oleh karena mereka yakin isinya sangat baik dan dapat menjadi ”berkat” bagi mereka. Selayaknya mengikuti ibadah, mereka keluar dari situs dengan perasaan sukacita. Tampilan situs yang menarik rupanya juga mempengaruhi ”penampilan” gereja serta ibadah yang dilangsungkan oleh gereja. Tampilan situs yang menarik berkorelasi dengan kemasan ibadah yang menarik di dalam gereja. Situs dari ketiga gereja di atas memiliki tampilan yang menarik untuk dipandang, tidak membosankan, menggunakan format dan layout terbaru yang canggih. Berkaitan dengan itu, hal yang sama penulis jumpai dalam peribadahan di dalam gereja masing-masing. Pihak gereja telah menggunakan gambar-gambar yang atraktif dan menarik untuk digunakan di dalam ibadahnya. Dalam sebuah ibadah, tampilan multimedia menampilkan potongan dari film ”Passion of The Christ” yang berisi kisah sengsara Yesus Kristus. Tampilan ini ditampilkan di layar untuk mengiringi jemaat bernyanyi lagu dengan lirik, ”karena kita Dia menderita, karena kita Dia disalibkan” yang membuat jemaat ikut larut dalam kesedihan akibat 81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
visualisasi penderitaan Yesus yang ditampilkan itu. Penulis membandingkan hal ini dengan gereja-gereja lain yang memiliki situs yang kurang atraktif, kaku, dan datanya tidak sering diperbarui (update). Umumnya, kemasan ibadah di gereja ini pun kurang begitu menarik serta tidak mengandalkan visualisasi demi mendapat perhatian jemaat. Akibatnya, gereja-gereja ini tidak memiliki jemaat dalam jumlah yang besar dalam ibadahnya. Pergeseran penekanan dari ibadah menjadi ”kemasan” ibadah itulah yang menjadi kritik dari Baudrillard. Simulakrum ibadah yang glamor dengan visualisasi di seluruh ruangan ibadah telah menjadi konsep ibadah yang sesungguhnya, melampaui ritus-ritus yang terkandung di dalam ibadah itu sendiri. Jemaat menganggap bahwa hal ini merupakan ibadah yang baik, yang sesungguhnya adalah ibadah yang dihiasi oleh gambar-gambar visual, lampulampu sorot berwarna-warni yang berkelap-kelip sepanjang ibadah, sound system yang meriah, serta kamera
yang menyorot dari berbagai sudut dan
menampilkannya ke layar. Gereja yang menyuguhkan tampilan ibadah seperti ini pun dianggap sebagai gereja yang benar. Sebagian besar umat bahkan tidak lagi peduli terhadap logika penafsiran ayat-ayat Alkitab yang disampaikan oleh pengkhotbahnya, yang menurut penulis agak serampangan. Asalkan dia memakai setelan jas, memegang gadget berbentuk tablet, maka ia akan dianggap sebagai pengkhotbah yang baik. Umat pun akan berteriak ”amin” sebagai tanda setuju terhadap perkataannya.
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.
Spiritualitas Online: ’Klik’ sebagai Refleksi dan Doa Penggunaan internet yang masuk sampai ke ranah peribadahan membuat
umat mampu mengalami perjumpaan dengan Yang Kudus itu melalui internet. Umat hanya tinggal mengklik dalam satu ketukan jari, maka ritual perjumpaan itu dapat dilakukan. Di dalam akun media sosial, seperti Facebook dan Twitter, umat dapat menuliskan refleksinya terhadap banyak hal yang ia jumpai dalam kehidupannya. Ada begitu banyak tulisan yang di-posting di Facebook dan Twitter yang isinya merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan. Misalnya, ada sebuah akun yang menuliskan ”Terimakasih Tuhan untuk berkatmu pada hari ini, Engkau sungguh baik dalam kehidupan kami”. Atau juga kalimat-kalimat yang berisi kekuatan seperti ”Dalam menghadapi setiap kesulitan dan permasalahan hidup ini, Tuhan senantiasa setia menolong dan memampukan kita.” Dalam jejaring pertemanan penulis di media sosial, posting-an ini selalu bermunculan setiap harinya. Bukan hanya satu atau dua akun, melainkan beberapa akun. Bahkan, dalam sehari, sebuah akun dapat memposting lebih dari satu kali status yang mengekspresikan perasaan mereka terhadap apa yang Tuhan lakukan dalam kehidupan mereka. Geliat spiritualitas baru ini, yaitu spiritualitas online, telah merebak di hampir seluruh umat Kristen dewasa ini, terutama yang dekat dengan teknologi. Melalui status Facebook, seseorang dapat menunjukkan refleksi imannya terhadap Tuhan. Tuhan tidak lagi bersemayam di dalam kerajaan sorga yang mengawang, tetapi juga di dalam kerajaan global media sosial. Refleksi terhadap karya Tuhan tidak hanya terdapat dalam teks-teks Kitab Suci ribuan tahun, tetapi juga halaman-halaman akun media sosial seperti Facebook dan Twitter. 83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Spiritualitas yang pada mulanya merupakan hubungan tertutup antara Tuhan dengan umatnya, kini terbuka bagi seluas mungkin orang. Iman yang tumbuh dan terpelihara dalam ranah privat, kini telah keluar ke dalam ranah publik. Seorang informan yang penulis tanya, yang merupakan anggota jemaat dari GBI Glow FC, mengakui bahwa ia merasa terpanggil untuk menuliskan katakata syukur kepada Tuhan di dalam akun Twitter-nya setiap pagi setelah bangun tidur karena dengan begitu ia yakin bahwa dengan bersyukur, kegiatannya sepanjang hari akan diberkati Tuhan dan berjalan dengan baik. Selain diberkati oleh Tuhan, dengan menulis ungkapan syukur itu dalam akunnya, maka ia bisa memberkati banyak orang lain yang menjadi ‟pengikut-pengikutnya‟. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi diskusi singkat mengenai permasalahan iman Kristen. Status-status ini dapat dikomentari secara langsung oleh orang lain, entah komentar itu bersifat menguatkan pernyataan iman dari si pemilik akun, atau justru menyanggahnya dengan pernyataan iman lainnya.
3.
Otoritas Religius: Kabur dan Tersebar Internet menawarkan prinsip kesetaraan di tengah dunia yang sarat akan
hierarki struktur dan tawar menawar kekuasaan. Semua orang yang memiliki konektivitas internet tentu memiliki akses penuh untuk masuk dan menjelajahi dunia maya yang tanpa batas ini. Mulai dari media sosial, surat kabar online, situs pemerintah, sampai kepada situs-situs dari kelompok-kelompok garis kiri di suatu wilayah dapat diakses dengan mudahnya. Dalam media sosial, semua orang yang memiliki akun Facebook dan Twitter adalah sama dan setara. Tidak ada lagi boss dan pekerja, semuanya adalah warga masyarakat dunia maya. Semuanya dapat 84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memiliki akses penuh terhadap akunnya masing-masing juga untuk mengunjungi akun yang lainnya, bahkan mengirimkan pesan atau berkomentar dalam halaman akun lainnya. Semua akun media sosial ibarat catatan harian terbuka yang dapat dilihat oleh semua orang. Walau juga penyedia layanan media sosial memberikan fasilitas privasi sehingga pemilik akun bisa membatasi siapa saja yang dapat berkunjung dan mencorat-coret halaman akunnya. Menarik jika melihat hal ini dalam penggunaannya di gereja. Website dan media sosial gereja dapat diakses oleh siapa saja, bahkan dikomentari oleh siapa saja. Dalam hal ini, gereja pun menjadi terbuka sejelas-jelasnya bagi umatnya. Umat dapat dengan mudah mengetahui informasi seputar gereja dari berbagai sumber yang beredar di dalam internet, entah informasi yang sifatnya mendukung gereja, atau sebaliknya informasi yang menjatuhkan gereja. Situs yang dimiliki oleh gereja memberi kemungkinan bagi partisipasi interaktif umat. Misalnya saja, gereja memberi kemungkinan setiap orang yang ingin untuk berbicara langsung kepada gembala sidang dengan masuk ke dalam situs dan mengisi halaman permohonan doa atau konseling. Bahkan situs-situs tertentu menyediakan halaman seperti ”surat kepada gembala” sehingga jemaat dapat langsung berkomunikasi dengan gembalanya. Jemaat pun dapat berinteraksi langsung dengan gembala sidangnya melalui media sosial sang gembala itu, entah dengan menulis di halaman akun Facebook dari sang gembala, atau dengan me-retweet setiap ‟kicauan‟ sang gembala di Twitter. Kesempatan-kesempatan yang diberikan ini tentu saja meruntuhkan hierarki struktural yang secara tegas dipelihara di dalam lembaga gereja. Jika di masa lalu setiap orang yang ingin bertemu dengan kaum klerus 85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
harus mempersiapkan diri terlebih dahulu, misalnya dengan berefleksi dan merenungi kesalahan dan pelanggaran yang telah dibuat, maka saat ini, para pendeta dapat dijumpai kapan saja dan dimana saja. Jika di masa lalu berkomunikasi dengan pendeta identik dengan memiliki masalah dan beban berat yang membutuhkan dukungan dan doa dari pendeta, maka saat ini komunikasi itu dapat dilakukan dalam segala kondisi, entah susah atau senang, entah pembicaraan serius atau sekadar bergurau dengan sang pendeta. Seorang gembala sidang dari sebuah megachurch di Jakarta, dalam akun Twitter-nya, terlihat saling berbalas komentar dengan pengikutnya mengenai pertandingan sepakbola yang sedang sedang disiarkan di televisi. Dukungan dan ledekan ringan bagi kedua kesebelasan pun keluar dari akun gembala dan pengikutnya ini sehingga tidak terlihat sama sekali perbedaan jabatan antara keduanya. Kenyataan berbeda penulis temui ketika melihat sang gembala sidang masuk ke dalam ruang ibadah untuk berkhotbah. Dalam ibadah yang dihadiri oleh ribuan orang itu, sang gembala mendapat pengawalan ketat dari para bodyguard demi menghindari jemaat yang hendak datang langsung kepadanya. Pemandangan a la kerajaan, di mana sang raja dikawal prajuritnya ketika berjalan, tentu saja bertolak belakang dengan kebebasan yang diberikan oleh internet yang memberikan kuasa bagi setiap orang untuk membangun kerajaannya sendiri, yaitu kerajaan virtual. Fenomena mengutip khotbah pada saat ibadah pun menunjukkan bagaimana otoritas untuk memberitakan firman bukan lagi eksklusif milik gereja, melainkan juga umat. Saat umat mendengar firman, di saat yang sama juga umat memberitakan kembali firman itu. Proses reproduksi informasi pun terjadi antara pengkhotbah yang memproduksi (encoding) dan umat yang mendengarkan 86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(decoding). Umat kemudian memproduksi ulang informasi ini dengan framing sosio-kultural masing-masing, dan menyebarkan kembali informasi yang didengarnya. Bukan tidak mungkin terjadi distorsi dalam proses ini yang mengakibatkan bias makna. Sifat eklektik dari internet, yang mencampur fakta dan fiksi, kebenaran dan kebohongan, baik dan buruk, tampilan publik sesungguhnya semakin mendorong relativitas dari otoritas itu. Ketika sudah berada di ranah internet, gereja tidak lagi memiliki kontrol atas apa yang dinyatakan oleh umat, sekalipun bias dan tidak menyatakan kebenaran.3 Kebebasan ini memungkinkan munculnya komunitas-komunitas virtual yang berafiliasi dengan gereja. Misalnya muncul forum anak muda dari suatu gereja yang sama dan membahas problem anak muda Kristen dalam konteks perkotaan. Dalam perjalanannya, anggota yang bergabung semakin banyak dan terbuka bagi orang lain yang bukan anggota dari gereja itu sendiri. Dengan demikian pun percampuran ajaran menjadi tidak terhindarkan. Hal yang menarik di sini adalah pengelola situs (web master/web administrator) pun menjadi orang yang, secara diam-diam, memiliki kekuasaan sama seperti sang gembala sidang. Secara langsung, para pengelola situs yang adalah para pekerja gereja melakukan framing terhadap konten dari situs gereja. Secara langsung mereka mengatur tampilan dari situs dan mengarahkan jemaat untuk memilih konten yang akan dilihat. Misalnya saja, tautan dan hyperlink yang dicantumkan dalam satu halaman akan menggiring seseorang untuk masuk ke halaman yang lainnya. Desain dari situs pun, secara tidak langsung, menunjukkan arah dari gereja ini. Misalnya saja, situs dari JPCC memiliki tampilan menarik dan
3
Nathan D. Mitchell, ‟Ritual and the New Media‟ dalam Concilium 2005/1. Hlm. 90
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkesan high-tech sehingga memberi kesan bahwa gereja ini adalah gereja yang dikhususkan bagi anak muda perkotaan yang akrab dengan kecanggihan teknologi. Sementara itu, GBI Glow FC mencantumkan banyak foto dari gembala sidangnya yang menampakkan bahwa sang gembala sidang adalah pusat dari semua aktivitas pelayanan GBI Glow FC. Bahkan dapat dikatakan bahwa gereja ini adalah tentang dirinya.
4.
Identitas Virtual: Anonimitas, Multiplisitas, dan Avatar. Dalam website GBI Glow FC, tersedia sebuah layanan live chat
counseling antara pengunjung dengan pihak GBI Glow FC. Dengan layanan ini, para pengunjung dapat melakukan konseling langsung dengan pihak GBI Glow FC dalam 24 jam. Percakapan dilakukan tanpa tatap muka, tanpa berbicara dan mendengar, hanya dengan chatting yang difasilitasi oleh jaringan internet. Hal yang menarik adalah prinsip konseling ini adalah anonim, yaitu masing-masing pihak, baik konseli dan konselor, tidak memperkenalkan diri dan menyebutkan identitas masing-masing. Pembicaraan akan berlangsung terus tanpa sesama pihak mengetahui identitas lawan bicaranya. Menurut pengakuan dari pengelola situs, anonim menjadi prosedur standar dalam live chat counseling. Mereka beralasan bahwa dengan anonim, konseli dapat lebih bebas untuk mengkisahkan banyak hal seputar permasalahan kehidupannya kepada konselor. Mereka menjadi lebih percaya diri dan tidak ragu untuk bercerita hal yang buruk bahkan aib yang telah dilakukannya. Sementara itu, pihak konselor pun menganonimkan dirinya dengan tujuan agar tidak terjadi hubungan yang lebih lanjut antara dirinya dengan konseli yang telah bercerita panjang lebar tentang masalahnya. Menurut penanggung 88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jawab IT dari GBI Glow FC, tak dapat dipungkiri bahwa ikatan emosional bisa saja terjadi ketika percakapan terjadi dan dapat berlanjut ke dalam kehidupan nyata dan dapat mengganggu proses konseling yang sesungguhnya. Ia mengatakan, ”Seringkali terjadi bahwa pihak konseli merasa nyaman dengan konselor tertentu yang memberikan jawaban-jawaban yang tepat dan menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh konseli. Beberapa kali terjadi, tentu saja bukan di gereja ini, si konseli mengetahui identitas konselornya sehingga kemudian menghubungi si konselor terus menerus. Demikian juga sebaliknya bisa terjadi. Kalau sudah begini, biasanya ada rasa sayang yang dapat menjerumuskan keduanya ke dalam perzinahan. Oleh karena itu, kita melarang setidaknya si konselor untuk menyebutkan identitasnya pada saat live chat counseling. Itu sudah jelas tercatat dalam SOP layanan ini.” Identitas yang tersembunyi seperti ini menjadi sebuah konsekuensi baru yang muncul dalam zaman internet. Konektivitas yang terjadi di ruang maya memungkinkan setiap orang untuk menyembunyikan identitasnya. Jika dilihat dalam berbagai forum di internet, termasuk forum-forum Kristen, banyak pengguna yang masuk dan aktif di dalam ruang itu menggunakan nama samaran yang bertujuan memalsukan identitasnya. Dengan identitas yang kabur ini, mereka justru menjadi sangat aktif terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan teologis. Fenomena lainnya yang penulis jumpai adalah banyaknya orang yang mengikuti akun sosial media dari seorang gembala sidang, tetapi ia bukan jemaat di gereja tempat gembala sidang memimpin. Penulis bertanya kepada seorang informan penulis mengenai hal ini dan menemukan bahwa orang-orang ini telah 89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memiliki jemaatnya masing-masing dan tidak ingin bermigrasi ke gereja lain walau ia sangat mengagumi sang gembala sidang. Ia mengatakan bahwa ia selalu mengikuti khotbah dan siraman rohani dari pendeta ini setiap harinya karena ia merasa bahwa perkataan dari pendeta ini dapat menguatkan dirinya.4 Menurut Anthony Giddens, identitas merupakan sesuatu yang lunak dan dapat dibentuk, bukannya sesuatu yang pasti.5 Identitas ini mengalami pembentukan dalam situasi dan konteks sosial yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam dunia komunikasi yang diperantarai oleh internet, sangat mungkin ditemukan identitas yang berlapis dari seseorang, bahkan juga kedirian yang berlapis.6 Para pengguna internet dapat berada di beberapa tempat sekaligus dalam konteks yang berbeda di waktu yang bersamaan. Identitas pun terkonstruksi dalam permainan masuk dan keluar dari satu situs ke situs lainnya yang berbeda satu sama lainnya. Dalam pengamatan penulis, multi identitas ini menyebabkan terjadinya percampuran teologis dalam diri jemaat. Di satu sisi, seorang jemaat adalah seorang protestan mainstream, tetapi di sisi lainnya ia juga mengakui ajaranajaran yang hanya ada di dalam gereja-gereja beraliran Pentakostal-Karismatik, misalnya mujizat melalui penumpangan tangan dan bahasa Roh (glossolalia). Seorang informan penulis berkata bahwa dirinya sering mengikuti akun media sosial dari sebuah gereja dan mengikuti media sosial dari sang gembala sidang yang menyebabkan dia merasa terberkati dan terikat dengan ajaran yang
4
Wawancara dengan Pendeta Julius Anthony, wakil gembala sidang GBI Glow Fellowship Centre, pada bulan Februari 2012. 5 Anthony Giddens, Modernity and Self Identity. Self and Society in The Late Modern Age. (Stanford: Stanford University Press, 1991). 6 Felix Wilfred, “Religion and Theology in Information Society”, dalam Jeevadhara Vol. XXXVI / 21 2006, hlm. 29.
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disampaikan melalui media sosial dan gembala sidang dari gereja itu. Dari perjumpaan di media sosial, ia mulai ”jajan” ke gereja Pentakostal Karismatik yang dirasa memberikan jawaban bagi persoalan hidupnya. Ia pun terbelah antara bertahan dalam Protestantisme Arus Utama yang selama ini ia pegang, dan di satu sisi menemukan jawaban dalam mujizat a la Pentakostal Karismatik. Sang informan tidak dapat meninggalkan keanggotaan dirinya di gereja Protestan itu, tetapi juga tidak ingin ketinggalan dalam fenomena ”kebangkitan rohani” yang ditunjukkan oleh para kelompok Pentakostal Karismatik. Internet dan media sosial akhirnya membentuk multi-identitas secara teologis bagi para pelintas batas struktural teologis di dalam dunia maya. Tidak jarang, para peselancar di dunia maya ini tidak menggunakan identitas yang sesungguhnya ketika berada di dalam jaringan. Mereka menggunakan identitas palsu dan menciptakan pseudonim dalam bentuk akun media sosial. Hal ini terlihat dari beberapa akun media sosial yang menaruh nama akun yang tidak terlihat seperti nama yang sebenarnya (pseudonim). Dengan alasan kenyamanan dan privasi, mereka menggunakan akun palsu, atau tidak sepenuhnya benar, dan menggunakan nama samaran dalam akunnya. Bisa jadi nama yang diganti, atau mereka menggunakan foto profil orang lain atau lambang yang tidak menunjukkan diri mereka yang sebenarnya. Sherly Turkle, seperti dikutip oleh Lorne L. Dawson, mengatakan bahwa internet memiliki fungsi terapetik, yaitu menawarkan setiap orang untuk melakukan ”moratorium” segala hal yang membuat mereka tertekan dan depresi. Ia mengatakan bahwa internet dapat menjadi ”outlet” di mana setiap orang bisa menangani masalah pribadinya dengan cara yang lebih produktif, serta sekaligus 91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjadi ruang bagi pertumbuhan seseorang.7 ”Identitas kedua” yang digunakan para peselancar dunia maya dapat juga dilihat dalam sudut pandang ini, yaitu sebagai upaya rekreasi dengan menarik diri dan mengenakan identitas lainnya selama menyusuri situs demi situs internet, tanpa perlu takut batasan-batasan yang muncul jika mereka menggunakan identitas asli mereka.
5.
Religiositas Online, Spiritualitas Konsumsi, dan Budaya Instan Ketika membaca situs dan media sosial berbasis internet yang digunakan
oleh gereja-gereja ini, penulis melihat kesejajaran antara wajah dan tampilan teknologi yang digunakan dengan teologi serta ideologi yang dibangun oleh gereja-gereja ini. Secara implisit, desain situs-situs gereja yang menarik dan dipenuhi oleh gambar memperlihatkan kompleksitas teknologi yang digunakan. Wallpaper yang menarik dan dapat berganti-ganti dengan sendirinya, tautan link yang banyak menghiasi halaman, serta banyaknya halaman dalam sebuah situs menjadi tanda bahwa dibutuhkan teknologi terdepan untuk membuatnya. Hal ini diakui sendiri oleh penanggung jawab IT dari GBI Glow FC yang mengatakan bahwa untuk membuat website yang terlihat menarik dengan teknologi visual terkini, maka dibutuhkan sumber daya yang memadai untuk mengkreasikannya. Selain itu, website dan media sosial yang menarik harus dipenuhi oleh gambar dan video yang menarik, yang harus dibuat dengan teknologi multimedia yang menarik. Dengan kata lain, jika ingin terlihat baik di dunia internet, maka gereja itu juga harus mendekorasi ruangan ibadahnya dengan tampilan multimedia yang
7
Lorne L. dawson “Religion and The Internet: Presence, Problems, and Prospects” dalam Peter Antes, Armin W. Geertz & Randi R. Warne (ed.). New Approaches to The Study of Religion Volume 1: Regional, Critical and Historical Approaches, (New York: Walter de Gruyter, 2004) hlm. 391.
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menarik. Menurutnya, gereja harus berani untuk membayar mahal untuk hal ini. Dengan kata lain, gereja harus mau berinvestasi agar dirinya dapat dikenal dan menarik banyak orang untuk datang beribadah di tempatnya. Dari sini terlihat jelas bahwa situs dan media sosial yang dimiliki oleh gereja-gereja besar yang mampu membiayai tenaga ahli desain dan informatika yang akan mengerjakannya. Informan penulis di atas adalah seorang sarjana desain dan teknologi komputer. Sebelum menempati posisi saat ini, ia terlebih dahulu bekerja di sebuah perusahaan swasta yang mampu memberikan gaji besar. Suatu saat, ia ditawari oleh pimpinan GBI Glow FC untuk menempati posisi ini. Dengan tawaran gaji yang hampir setara dengan yang diberikan oleh perusahaan swasta tempat ia bekerja, serta tambahan label ”pelayanan”, maka ia menerimanya. Hasilnya, gereja memiliki tenaga ahli khusus untuk membidangi internet dan multimedia dalam gerejanya. Pembelanjaan gereja yang demikian besar tentu saja perlu didukung oleh pendapatan yang seimbang. Pendapatan gereja tentu saja didapatkan dari persembahan syukur yang diberikan oleh jemaat di setiap ibadah Minggu. Semakin banyak jumlah jemaat yang hadir dalam ibadah, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan persembahan dalam jumlah yang besar setiap minggunya. Logika ”siapa yang menabur banyak akan menuai banyak” pun diberlakukan dalam kegiatan operasional gereja. Ketika gereja berbelanja banyak bagi kepentingan ibadah dan persekutuan demi kemuliaan Tuhan, maka niscaya Tuhan akan melipatgandakan pendapatannya. Teologi ini berakar pada semangat teologi kesuksesan yang sungguh percaya bahwa setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan 93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan Juruselamat akan mendapatkan berkat yang melimpah, termasuk dalam hal keuangan. Oleh karena itu, ”mengembalikan” berkat yang melimpah dalam bentuk persembahan dalam jumlah yang besar pun seolah menjadi kredo bagi jemaat-jemaat di gereja ini. Secara eksplisit, kaitan antara religiositas online dengan spirit konsumsi pun terlihat dalam penggunaan gadget oleh jemaat di gereja-gereja ini. Gadget yang canggih sangat sering penulis jumpai ketika masuk dan ikut beribadah di dalam gereja-gereja ini. Terlihat jelas bahwa jemaat di gereja-gereja ini menggunakan gadget yang canggih. Di sepanjang ibadah, penulis menemukan banyak jemaat bermain dengan gadget-nya masing-masing. Hal yang menarik adalah kebutuhan untuk memiliki gadget yang canggih seolah dikampanyekan secara tidak langsung oleh gereja ini. Hanya gadget canggih yang masuk dalam kategori smartphone yang dapat digunakan melakukan berbagai jenis kegiatan, seperti bermain media sosial, mengambil foto dan video, berselancar dari website ke website, hingga membuat catatan khotbah. Ketika media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya telah menjadi media komunikasi di dalam gereja, maka memiliki smartphone bukan lagi menjadi pilihan, melainkan keharusan. Jemaat yang tadinya tidak memiliki smartphone pun akan ikut membelinya supaya tidak tertinggal informasi.8 Bahkan ada sebuah tagline iklan dari provider selular terbesar di Indonesia yang mengatakan ”internet 8
Penulis membandingkan penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center terhadap penggunaan smartphone oleh penduduk Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan pada Januari 2014 menunjukkan bahwa 58% dari total penduduk AS telah menggunakan smartphone. Pengguna terbesarnya adalah kelompok umur 18-29 tahun, yaitu 83%. Demikian juga penduduk urban yang menggunakan smartphone adalah sebesar 64% dari jumlah penduduk perkotaan. Walau tidak tepat jika dibandingkan dengan konteks Indonesia, tetapi data ini sekiranya dapat menunjukkan bagaimana pengguna smartphone yang jumlahnya semakin besar, terutama di kota-kota besar. Sumber: http://www.pewinternet.org/data-trend/mobile/cell-phone-and-smartphone-ownershipdemographics/ diakses pada 25 Juli 2014.
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang sukar akan menjadi mudah dioperasikan jika memiliki handphone yang canggih (smartphone).” Smartphone yang berharga mahal pun menjadi kebutuhan, baik bagi konektivitas internet yang lebih baik, pun sebagai penanda sosial seseorang. Ada orang-orang yang akan menjadi orang yang akan melihat dan merasakan berbagai hal yang dapat Dengan smartphone, jemaat pun tidak perlu membawa Alkitab. Mereka cukup menggunakan aplikasi Alkitab Online yang ada di smartphone-nya. Cukup membuka Alkitab, mencari kitab, pasal, serta ayat yang akan dibaca, dan menekan tombol ”cari”, maka dengan segera bacaan Alkitab akan terbuka. Seorang informan penulis mengatakan bahwa penggunaan Alkitab Online dalam gadget sudah menjadi trend di gereja-gereja saat ini. Tidak hanya jemaat yang menggunakan Alkitab Online, tetapi juga para pendeta yang berkhotbah. Seorang informan penulis lainnya mengatakan bahwa ia lebih merasa nyaman untuk menggunakan Alkitab dalam bentuk buku. Hanya saja, menurut pengakuannya, sudah setahun belakangan ini ia hampir selalu lupa untuk membawa Alkitab, sehingga kerap menggunakan Alkitab yang ”tersimpan” di smartphone-nya. Sebuah ironi terlihat, di satu sisi kurang nyaman, tetapi di sisi lain butuh sesuatu yang instan dan praktis. Praktikalitas, yang menjadi spirit dari internet, juga menjadi kunci bagi pengembangan gereja-gereja saat ini. Di dalam ibadah-ibadahnya, gereja menyodorkan hal-hal praktis bagi umat yang bertujuan membuat umat nyaman. Misalnya, ketiga gereja di atas menggunakan layar dan proyektor yang memandu jemaat di sepanjang ibadah untuk bernyanyi memuji Tuhan dan menikmati khotbah. Lirik lagu sudah disediakan di dalam layar, sehingga umat tidak perlu 95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lagi susah-susah menghafalkan lirik lagu-lagu yang sedianya dinyanyikan di dalam ibadah. Khotbah pun tidak lagi hanya didengar, tetapi juga dilihat karena tampilan visual khotbah dapat membantu jemaat untuk mengikuti dan mengingat khotbah dengan lebih baik, sehingga tidak perlu lagi terpaku pada apa yang dikumandangkan. Jika jemaat tidak sempat melihat Warta Jemaat yang disampaikan pada saat ibadah melalui layar proyektor, maka jemaat dapat membuka YouTube Channel dari gereja itu dan menontonnya kembali, bahkan berkali-kali. Contoh praktis lainnya adalah ketika JPCC, melalui website-nya, memberikan kemudahan kepada jemaat yang ingin mendaftar untuk mengikuti kegiatan yang dilangsungkan oleh pihak gereja. Jemaat cukup masuk ke dalam akun pribadi yang telah terdaftar di gereja dan mengklik. Maka ia pun sudah terdaftar untuk mengikuti kegiatan itu. Betapa praktisnya. Lokasi gereja yang sebagian besar berada di pusat perbelanjaan juga semakin mempertegas tumbuhnya spiritualitas konsumsi di gereja-gereja ini. Norita Sembiring menyimpulkan bahwa gereja yang berada di mal dan kegiatan konsumsi saling mempengaruhi satu sama lain, terjadi ketegangan berupa duel nilai antara keduanya, tetapi di sisi lain juga tercipta duet mutual yang sama-sama memajukan keduanya.9 Setiap jemaat yang datang beribadah dimanjakan dengan pemandangan barang-barang di sepanjang pusat perbelanjaan yang tentu dapat dibeli oleh mereka. Umat yang beribadah disuguhkan firman Tuhan yang akan menguatkan mereka setiap hari, tetapi sekeluarnya mereka dari ruang ibadah, maka yang disuguhkan kepada mereka adalah barang-barang kebutuhan yang
9
Norita Novalina Sembiring, Menggereja Dalam Masyarakat Konsumsi: Studi Atas Pengalaman Orang Beribadah di Gereja Mal, (Tesis: Universitas Sanata Dharma, 2010)., hlm. 129-132.
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memuaskan keinginan pribadi. Hasrat akan Tuhan pun berjalan selaras dengan hasrat pribadi memiliki barang-barang kebutuhan.
6.
Cybergnosis: Mencari Kepuasan Digital Istilah cybergnosis pertama kali muncul oleh Stef Aupers dan Dick
Houtman.10 Mereka melihat keterkaitan antara gnostisisme yang muncul dalam tradisi Yunani dengan spirit yang dimiliki oleh internet. Gnostisisme adalah sebuah ajaran yang memahami bahwa manusia sesungguhnya adalah mahkluk mulia (bagian dari Tuhan) yang terpenjara di dalam tubuh dan dunia yang fana. Oleh karena itu, demi kembali ke kodrat asalinya untuk bersatu dengan Tuhan, maka manusia harus melepaskan diri dari kefanaannya, dan masuk lebih jauh ke dalam jiwanya. Di sisi lain, internet ternyata membawa semangat yang sama, di mana setiap pengguna mampu melepaskan diri dari batasan-batasan waktu dan geografis, lalu masuk ke dalam situasi dan konteks yang sama sekali berbeda, dan mendapatkan kepuasan batin dan jiwa setelah berselancar di dalamnya. Hal ini sungguh menarik jika dikaitkan dengan religiositas online. Umat saat ini, selain pergi ke gereja untuk beribadah, juga mencari kepuasan jiwa dengan berselancar menyelusuri kode-kode dunia maya. Banyak akun media sosial, yang setiap harinya mengumandangkan renungan dan ayat-ayat Alkitab. Bahkan hampir seluruh isinya adalah kata-kata berkat yang bertujuan menguatkan. Dalam sebuah wawancara dengan seorang teman yang merupakan jemaat dari gereja GBI Glow FC, ia mengatakan hal ini. ”Semenjak remaja, saya membiasakan diri untuk menghadap Tuhan setiap kali saya bangun pagi. Begitu bangun, saya langsung mencari Alkitab dan membacanya. Setelah 10
Stef Aupers & Dick Houtman, ”Reality Sucks‟: On Alienation and Cybergnosis” dalam Concilium, No. I (2005)., hlm. 84-85.
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
itu saya berdoa syukur atas tidur malam yang nyenyak dan mohon pertolongan agar menyertai saya di sepanjang hari. Kebiasaan ini agak berubah. Semenjak saya memiliki smartphone, hal pertama yang saya lakukan ketika bangun adalah mengambil smartphone dan mengecek media sosial satu per satu. Setelah beberapa menit mengecek media sosial, saya membuka aplikasi renungan online dan Alkitab online yang terpasang di smartphone saya. Enaknya, saya bisa membagikan ayat Alkitab dan renungan yang saya ke temanteman melalui akun media sosial saya. Cukup „CoPas‟ (copy and paste) atau klik send to maka apa yang saya baca dapat saya bagikan ke semua orang. Mungkin saya akan berhenti melakukan ini ketika saya kehilangan smartphone saya.”
Kecanduan terhadap gadget canggih dan internet seperti ini tidak dapat dilihat semata-mata sebagai bagian dari kebiasaan yang muncul dari pengulangan rutinitas sehari-hari, melainkan juga sebagai sebuah ekspresi spiritual yang memperlihatkan seseorang yang sudah sangat bergantung kepada sesuatu benda serta mengkultuskan benda itu. Gadget dan internet membuat seseorang menjadi seseorang yang lain dalam satu usapan tangan dan menjadi orang yang berbeda di tempat yang berbeda sama sekali di detik berikutnya. Kedua hal ini seringkali dapat ‟menyelamatkan‟ seseorang yang berjumpa dengan pengalaman yang kurang baik dalam rutinitas kesehariannya. Seorang rekan penulis menjelaskan bahwa smartphone dan koneksi internet bagaikan ‟juruselamat‟ dalam kesehariannya. Ketika ia berhadapan dengan atasannya di kantor yang hampir selalu memberikan tugas yang berat, maka internet pun menjadi tempat pelariannya. Ia berkata, ”setelah setan itu menyuruh saya, maka saya buka Facebook dan Twitter segera dari smartphone saya, dan memakinya di sana.” Ia berkata bahwa ia merasakan kelegaan setelahnya. Terlebih ketika statusnya itu dikomentari oleh teman-teman virtualnya. ”Ada komentar yang bersimpati terhadap apa yang saya hadapi, tetapi ada juga yang menyayangkan tindakan saya yang memaki di media sosial itu. Tapi pada akhirnya saya senang dan lega.”
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kelegaan seperti ini rupanya juga kelegaan yang dicari oleh orang-orang Kristen di dalam gereja, ketika di saat itu orang-orang meninggalkan rutinitas kesehariannya dan masuk ke dalam persekutuan yang intim dengan Sang Pencipta dalam ibadah. Mereka mencari jawaban atas permasalahan yang dijumpai setiap hari. Problem alienasi, baik struktural maupun kultural, yang dijumpai setiap hari membuat orang memilih untuk masuk ke dalam ruang personal melalui media sosial, dan menemukan komunitas lain yang dipilihnya sendiri dan terbebas dari struktur yang menindas.11 Setiap saat seseorang dimungkinkan untuk berpindah dari satu jalinan pertemanan ke lainnya jika ia sudah merasa tidak nyaman. Setelah menemukan kesenangan dan pelepasan atasnya, mereka pun kembali ke tubuh mereka yang terbatasi oleh ruang dan waktu serta identitas.
11
Ibid., hlm. 86.
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab V Penutup
Perjumpaan gereja dan internet saat ini telah menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji. Dalam penelitian yang penulis lakukan, ada banyak hal yang dapat disimpulkan dari perjumpaan antara gereja dan internet dan penggunaannya dalam peribadahan Kristen. Internet yang awalnya diciptakan dan digunakan bagi kepentingan militer, pendidikan, dan ekonomi pun tak pelak ikut masuk ke dalam ranah agama. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, ranah agama dan kepercayaan menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya jaringan internet. Hal ini cukup terlihat dari maraknya tema agama dan kepercayaan yang hidup dan hilir mudik di dalam jaringan yang tidak mengenal batas ruang dan waktu ini. Sebaliknya, di gereja-gereja perkotaan saat ini, fasilitas internet seolah menjadi hal yang utama untuk dihadirkan di dalam gereja. Sistem komunikasi yang termediasi komputer pun dihadirkan dalam kehidupan bergereja, baik dalam kegiatan peribadahan maupun dalam aktivitas lain di luar peribadahan. Kebutuhan akan internet di dalam gereja memang hanya muncul di daerah perkotaan, terutama kota-kota besar yang telah memiliki sarana dan prasarana jaringan internet yang baik. Locus penelitian pun penulis letakkan di kota Jakarta, di tiga buah mega-church yang, menurut penulis, telah mengaplikasikan teknologi informasi komputer dengan sangat baik aktivitas operasionalnya. Rupanya, gereja-gereja ini tidak serta-merta mengagresi jaringan internet, tetapi telah merambah media elektronik lainnya terlebih dahulu. Salah satu gereja, yaitu GBI Glow FC, adalah sebuah gereja yang dibangun dari hasil penginjilan
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan pelayanan (GL Ministry) dari sang gembala sidang, Pendeta Gilbert Lumoindong. Penginjilan dan pelayanan yang dilakukannya berfokus pada penginjilan dalam media. Ia sangat aktif menyampaikan renungan dan khotbah di programa Siaran Rohani Kristen yang diadakan oleh beberapa stasiun televisi, baik milik negara mapun swasta, baik nasional maupun lokal. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua gereja lainnya dengan cara yang berbeda. Kontinuitas bermedia seperti ini tentu saja diperlukan bagi sebuah gereja untuk tetap eksis di dunia internet. Setelah mengenal transmisi radio dan cara-cara penginjilannya, lalu bermain di depan kamera dengan televisi, maka merambah ke dalam dunia internet pun menjadi langkah selanjutnya yang diambil oleh mereka. Internet menjadi perpanjangan dari layanan media elektronik lainnya yang telah mereka lakukan sebelumnya. Kesimpulan ini tentunya tidak mutlak dan tipikal, karena bisa saja ada gereja yang tidak ’bermain’ dengan televisi dan radio tetapi kemudian menggunakan teknologi internet secara ekspansif dalam kehidupan bergereja. Aktifnya gereja dalam menggunakan teknologi internet dapat dibaca dari beberapa indikator. Pertama, gereja ini secara aktif memiliki website-nya sendiri yang sudah tentu mutakhir serta mengusung desain yang atraktif dan bercirikan masa kini. Website ini pun menjadi pintu gerbang bagi gereja untuk memperkenalkan dirinya kepada dunia luas. Di dalamnya terdapat berbagai macam informasi tentang kegiatan gereja, jadwal ibadah beserta pengkhotbahnya, struktur organisasi, galeri foto gereja, serta lokasi lengkap gereja. Bahkan, teknologi terkini telah memungkinkan gereja menghadirkan live streaming ibadah Minggu yang dapat diakses langsung di dalam website. Selain itu, ada juga gereja-
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gereja yang mencantumkan beberapa produk interaktif, seperti live chat counseling yang dapat memberikan jemaat kemudahan untuk ’mengadukan’ masalah kepada pendeta atau pembimbing rohaninya, dan membuat website khusus bagi anggota gereja yang terdaftar yang berfungsi sebagai akun personal dan diary rohani dari jemaat. Selain itu, media sosial pun tidak luput dari ekspansi gereja-gereja ini. Gembala sidang, para pemimpin gereja, serta gereja sendiri memiliki akun resmi di beberapa media sosial terkemuka, seperti Facebook, Twitter, dan jejaring sosial berbagi video, Youtube. Angka statistik yang tinggi tentang pertumbuhan jumlah pengguna media sosial di seluruh dunia agaknya terlalu berharga untuk tidak diacuhkan oleh pihak gereja. Jumlah pengguna Facebook yang mencapai 1,28 miliar di seluruh dunia sungguh menjadi ”ladang Tuhan” yang siap untuk digarap dan dituai di kemudian hari. Keberadaan media internet ini sesungguhnya telah membentuk pola interaksi dan komunikasi baru di dalam gereja. Komunikasi dan interaksi pun menjadi termediasi dalam ruang-ruang digital. Pendeta menyapa umatnya melalui media sosial. Begitu juga umat mencari pendetanya di dalam media sosial. Tidak ada lagi sekat antara gembala sidang, yang biasanya tidak tersentuh dan sulit untuk ditemui, atau juga jemaat yang kerap merasa minder dan ingin menjumpai pendeta hanya jika ada permasalahan yang dihadapi dan minta didoakan. Yang terjadi kemudian adalah perjumpaan antar avatar sang pendeta dan avatar jemaat. Pola interaksi yang menjunjung praktikalitas ini juga membuat sekat-sekat individualistik menjadi semakin tinggi. Jemaat tidak lagi saling bertegur sapa di dalam ibadah atau setelah ibadah, melainkan di media sosial.
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selanjutnya, dalam penelitian ini penulis secara khusus membahas tentang religiositas yang terbentuk dalam kekristenan yang telah termediasi internet. Pertama, simbol-simbol sakral yang menandai persekutuan dengan berada di gereja telah tergantikan dengan simbol-simbol virtual. Alkitab telah tergantikan pemandangan oleh Alkitab digital online yang dapat diunduh melalui internet. Layar-layar pun ditempatkan di berbagai pojok ruang ibadah sehingga jemaat dapat mengikuti segala kejadian yang berlangsung di atas panggung dan mimbar. Bahkan, keberadaan seorang pengkhotbah di atas mimbar pun bukan lagi menjadi hal yang penting. Ia dapat berkhotbah dari tempat lain di mana saja dengan fasilitas video streaming yang menggunakan teknologi internet. Khotbahnya dapat disiarkan kemana saja secara langsung. Padahal, dalam teologi Kristen reformasi, mimbar dan pemberita menjadi simbol dari kehadiran Tuhan memiliki posisi yang tidak tergantikan di dalam ruang ibadah. Hal lain yang penulis jumpai adalah ketika internet di dalam kehidupan bergereja telah mengaburkan otoritas religius yang sebelumnya kaku dan ketat dipegang oleh para pemimpin gereja dan kaum rohaniwan. Kini siapapun dapat menulis artikel teologis dan menyebarkannya kepada siapa saja, dan bukan tidak mungkin isi artikel itu akan dipercayai dan diyakini benar oleh sebagian orang yang membacanya. Selain itu, gereja juga menjadi sangat terbuka untuk diterawang oleh masyarakat luar. Melalui website dan media sosial, akan terlihat jelas identitas serta ideologi yang dibangun oleh suatu gereja. Website yang modern dan desain yang glamor serta memiliki banyak tautan ke jendela lainnya pun mirip dengan desain dari pusat perbelanjaan, di mana pengunjung diberikan banyak pilihan barang untuk dikonsumsi. Dalam website gereja serta media sosial,
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jemaat dapat menemukan kelegaan dan kepuasan dari tekanan hidup sehari-hari, sama halnya ketika datang beribadah ke gereja dan bernyanyi bersukacita. Istilah cybergnosis pun agaknya tepat untuk menggambarkan hal ini, ketika internet menjadi tempat yang paling nyaman untuk menghilangkan diri sejenak dan menemukan ketenangan. Penulis sungguh menyadari bahwa penelitian yang penulis lakukan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Data yang terlalu general, serta wilayah penelitian yang terlalu luas, sedikit banyak telah membuat penulis kebingungan untuk mengolahnya sehingga penelitian ini pun, bagi penulis sendiri, masih sangat general dan kurang mendalam. Internet, sebagai dunia baru yang tanpa batas, menyediakan banyak jalan untuk masuk dan meneliti tentang interaksi manusia di dalamnya. Bahkan ketika dispesifikkan kepada perjumpaan dan interaksi internet dan gereja, sampai di situ pun penulis tetap merasa tersesat dalam belantara tandatanda virtual dan kultural. Banyaknya aspek yang bisa dikaji dari tema ini kiranya juga dapat menjadi perhatian peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian selanjutnya secara lebih spesifik. Misalnya, peneliti selanjutnya dapat menitikberatkan pada aspek identitas para pelintas virtual, ataupun juga menekankan para aspek otoritas, tentu dengan objek penelitian yang berbeda. Selain itu, sampel gereja yang homogen juga menjadi salah satu kelemahan penelitian ini. Jikalau saja penulis menambahkan Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan Arus Utama sebagai pembanding, maka tentu penelitian ini akan makin kaya dan komprehensif. Ketiganya, dengan tata pemerintahan gereja serta teologi masing-masing, tentu saja memiliki sikap berbeda terkait perjumpaan dan interaksi antara gereja dengan internet. Gereja Katolik Roma sampai saat ini
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahkan masih melakukan negosiasi terkait kehadiran internet di dalam gereja. Demikian pula dalam tubuh gereja-gereja Protestan Arus Utama yang menerima kehadiran internet dalam kehidupan gereja tetapi di sisi lain juga terlihat enggan untuk mengembangkan dan mengiplementasikan teknologi ini dengan baik di setiap gereja. Lorne L. Dawson, dalam artikelnya di tahun 2004 tentang prospek penelitian tentang agama dan internet, mengatakan bahwa ranah ini merupakan ranah penelitian yang masih ’bayi’ usianya, sehingga masih menyisakan banyak wilayah dan aspek untuk dikaji. Selain itu, menurutnya penelitian pun harus lebih spesifik dengan menggunakan metode studi kasus yang akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang partikuler. Tema yang sama dalam kasus yang berbeda akan membutuhkan teori dan cara pandang yang berbeda. Di dalam konteks Indonesia sendiri, agama masih terus bergerak bangkit, entah bergerak dari kutub tradisional esensialis ke posisi liberal inklusif atau sebaliknya, sehingga fenomena-fenomena keagamaan akan terus bermunculan dalam berbagai varian. Gairah terhadap agama ini pun diimbangi dengan perkembangan teknologi internet dan komputerisasi yang semakin pesat. Kiranya hal ini memberi janji bagi para peneliti bahwa masih banyak hal yang dapat mereka teliti, dan juga bagi para pegiat teknologi internet dan gereja untuk memikirkan sebuah model teknologi berbasis internet yang dapat dihidupkan di dalam gereja tanpa mengesampingkan esensi persekutuan intim antara Sang Pencipta dengan umatnya, juga antara umat dengan umat. Atau juga memikirkan sebuah model persekutuan (gereja) yang tepat dan dapat hidup di dalam dunia internet yang menjunjung tinggi kebebasan. Mungkin saja gereja di dalam
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
internet (cyberchurch) yang telah muncul di beberapa negara maju akan muncul dan menjadi subversi baru dalam kekristenan di Indonesia. Jikalau memang itu muncul, maka akan sangat menarik menantikan jawaban gereja-gereja terhadap kemunculannya.
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Antes, Peter, Armin W. Geertz & Randi R. Warne (ed.). 2004. New Approaches to The Study of Religion, Volume 1: Regional, Critical and Historical Approaches. New York: Walter de Gruyter. Armstrong, Ben. 1979. The Electric Church. Nashville: T. Nielsen. Asamoah-Gyadu, J. Kwabena. 2007. ”Cyberspace and Christianity in Contemporary Africa” dalam Studies in World Christianity. Volume 13.3. Aupers, Stef & Houtman, 2005. Dick ”Reality Sucks’: On Alienation and Cybergnosis” dalam Concilium, No. I. Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Theory & Practice. London: SAGE Publications. Baudrillard, Jean. ”Simulacra and Simulations”, dalam Poster, Mark (ed.). 1988. Jean Baudrillard, Selected Writings. Stanford: Stanford University Press Cobb, Kelton. 2005. The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture. Oxford: Blackwell Publishing. Dale, Edgar. 1969. Audiovisual Methods in Teaching: Third Edition. New York: The Dryden Press. Dawson , Lorne L. & Cowan, Douglas E. 2004. Religion Online: Finding Faith on The Internet. New York: Routledge. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi IRB 2010 Durkheim, Emile. 1954. Elementary Forms of Religious Life. London: Allen & Unwin. Ellul, Jacques. 1985. The Humiliation of The Word. Grand Rapids: Eerdmans.
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Giddens, Anthoby. 1991. Modernity and Self Identity. Self and Society in The Late Modern Age. Stanford: Stanford University Press. Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. Hoover, Stewart. 1999. Mass Media Religion: The Social Sources of The Electronic Church. New York: Columbia University Press. Kelsey, Todd. 2010. Social Networking Spaces: From Facebook to Twitter and Everything in Between. New York: Apress. Kim, Kirsteen. 2007. ”Ethereal Christianity: Reading Korean Mega-Church Websites”, dalam Studies in World Christianity Volume 13.3. Marvin, Carolyn. ”When Old Technologies Were New: Implementing the Future”, dalam Mackay, Hugh & O’Suliivan, Tim (eds). 2000. The Media Reader: Continuity and Transformation. London: Sage Publications. Mitchell, Nathan D. ’Ritual and the New Media’ dalam Concilium 2005/1. Moedjanto, G. & St. Sunardi, “Religiositas Kaum Beriman di Indonesia” dalam Basis XLIV: No. 6. tahun 1995. Muggeridge, Malcolm. 1977. Christ and Media. London: Hodder and Stoughton. Poe, Marshall T. 2011. A History of Communications. New York: Cambridge University Press. Purbo, Onno W. ”Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia” dalam Leksono, Ninok (ed.), 2000. Indonesia abad XXI. Jakarta: Kompas. Sembiring, Norita Novalina. 2010. Menggereja Dalam Masyarakat Konsumsi: Studi Atas Pengalaman Orang Beribadah di Gereja Mal. Tesis: Universitas Sanata Dharma. 108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Supelli, Karlina. “Ruang Publik Dunia Maya” dalam Hardiman, F. Budi (ed.). 2010. Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius. Susanto, Hary PS. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta: Kanisius. Teori Agama Emile Durkheim, Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi. Widyarsono, A. 1997. ”Masyarakat Teknologi Modern dan Gereja”, Rohani, 044: 000. Yogyakarta: November. Wilfred, Felix. 2006. “Religion and Theology in Information Society”, dalam Jeevadhara Vol. XXXVI / 21.
Situs: http://submarine-cable-map-2013.telegeography.com/ http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Internet http://www.internetworldstats.com/stats.htm http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/UNINET:_An_InterUniversity_Computer_Network http://www.technologyreview.com/view/526111/how-the-internet-is-takingaway-americas-religion/ http://arxiv.org/abs/1403.5534. https://twitter.com/JeffreyRachmat/followers http://www.jpcc.org/ http://gbiprj.org/home/page-7-sejarah-gbi-prj.html 109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial http://www.internetworldstats.com/facebook.htm http://newsroom.fb.com/company-info/ https://about.twitter.com/company https://www.facebook.com/help/174987089221178 http://id.wikipedia.org/wiki/Twitter http://www.youtube.com/yt/press/id/statistics.html http://www.pewinternet.org/data-trend/mobile/cell-phone-and-smartphoneownership-demographics/
Wawancara: - Wawancara dengan Pendeta Robertus Purwadi, 28 Februari 2012. - Wawancara dengan Bapak Louwrix Simanjuntak yang merupakan pemimpin divisi IT & Design GBI Glow FC.
110