PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Fredrik Lamser 116322016
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Fredrik Lamser 116322016
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer
TESIS
Oleh: Fredrik Larnser I lo322016
Telah disetujui oleh:
Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. Pembimbing I
Dr. Katrin Bandel Pembimbing II
Tanggal: 23/1)
/,2 I..5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TESIS Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer Oleh: Fredrik Lamser NIM: 116322016
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis pada tanggal 23 Juli 2015 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Tim Penguji
Ketua
: Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.
Sekretaris/ Moderator
: Dr. G. Budi Subanar, S.J. I,
Anggota
: 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.
OVT 2. Dr. Katrin Bandel
Yogyakarta, 23 Juli 2015 gcktur Program Pascasarjana
5( GSM PAS, s'
G'er"
rof. Dr
h
gustinus Supratiknya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASL IAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program lnstitusi
: Fredrik Lamser : 116322016 : Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya : Universitas Sanata Dharrna
menyatakan dengan sesunggulanya bahwa tesis: Judul
: Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengcnai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer
Pembimbing : 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. 2. Dr. Katrin Bandel
adalah benar-benar hasil karya saya. Di dalam Tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan maupun gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Apabila kemudian terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah basil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana llmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 23 Juli 2015 Saya Yang Menyatakan,
redrik Lamser
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJ UAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama NIM
: Fredrik Lamser :116322016
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak
untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di interne atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 15 Desember 2015
Yang menyatakan,
Lamser
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR Apa yang telah dimulai, sejatinya harus terselesaikan. Kata-kata inilah yang terus bersemayam di alam pikiran penulis. Tidak mudah memang, berbagai lika-liku pun terjadi dari proses perkuliahan hingga penulisan dan penyelesaian tesis. Selama hampir empat tahun berada di ruang lingkup IRB, penulis mengalami petualangan yang sangat luar biasa dan tentunya takkan pernah terlupakan. Atas kesemuanya itu, penulis sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ingin menghaturkan terima kasih kepada mereka. Penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Pak Supratiknya, Romo Budi Susanto, Romo Benny Juliawan, Romo Bagus Laksana, Pak George Aditjondro, Mba Devy, dan pada khususnya, Romo Budi Subanar yang senantiasa mengerti kondisi para mahasiswa “elit”, yang mana penulis termasuk di dalamnya, matur sembah nuwun. Untuk kedua dosen pembimbing penulis, Romo Baskara T. Wardaya dan Bu Katrin Bandel, terima kasih atas kesabaran dan bimbingan selama proses penulisan. Begitu pula untuk Pak Nardi, penulis sangat berterimakasih atas kesempatan selama belajar bersama di Erupsi Akademia. Serta, penulis pun mengucapkan terimakasih untuk para staf, Mas Mul, Mba Desy, dan Mba Dita. Di samping itu, penulis juga berterimakasih kepada para sedulur di IRB; Mas Doni, Kak Vini, Muji, Arham, Imran, Frans, Irfan, Mando, Zuhdi, Alwi, Kak Lisis, Mba Gintani, Rendra, Darwis, dan semuanya yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini. Kepada para rekan kampus Moestopo, KMK dan FISIP. Para peminum kopi sembari diskusi; Kang Paijo, Kang Lilik, Kang Goro, Bung Kresna dan yang lainnya. Keluarga Gladi; Romo Mateus Mali dan Ibu Retno Priyani, serta para saudara/i dimanapun berada. Para penikmat alam; Rangga dan Suksma, serta petualang yang bertemu di perjalanan. Terlebih ucapan istimewa penulis sampaikan kepada Sarah Monica. Akhir kata, dengan penuh syukur yang mendalam, penulis sangat berterimakasih kepada Bapak dan Mama yang memberikan doa, kepercayaan, dan segala dukungan tak terhingga, serta seluruh keluarga yang senantiasa selalu memberi semangat. Terima kasih. Salam, Lamser.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lamser, Fredrik. 2015. Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
ABSTRAK
Kolonialisme yang mewabah hampir di seluruh dunia telah menyisakan beragam persoalan. Salah satu persoalan di antaranya adalah perpindahan manusia. Perpindahan manusia ini menjadi sebuah fenomena yang terus berkelanjutan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran orang asing di Indonesia, khususnya ekspatriat. Ekspatriat menjadi identitas seseorang saat berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, ekspatriat sebagai identitas melakukan suatu upaya konstruksi dengan cara mengkodifikasi dan mengafirmasi orang kulit putih. Hal ini ditemukan atas representasi diri para ekspatriat di dalam suatu media, yakni Majalah Jakarta Expat. Dengan melakukan pembacaan terhadap pelbagai imaji dan teks yang tersajikan pada Majalah Jakarta Expat, penelitian ini juga menemukan bahwa para ekspatriat tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan orang asing kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal itu terlihat dalam wacana kolonial yang masih dimainkan kembali oleh para ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat, baik dalam bentuk cover photo maupun rubrik, termasuk artikel di dalamnya. Alhasil, kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial.
Kata Kunci: Ekspatriat, Jakarta Expat, Representasi, Wacana Kolonial, Ruang Ketiga.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lamser, Fredrik. 2015. Expatriate in Jakarta Expat; An Analysis of Representation and Contemporary Colonial Discourse. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.
ABSTRACT
Colonialism has been everywhere in the world along with its consequences. One of the consequences can be found in the migration phenomenon. The movement process from one place or country to another can be found until today. It can be seen from the existence of foreigners in Indonesia, mainly expatriate. Expatriate has become an identity of a person who stays or lives abroad. Therefore as an identity, expatriate has done a process of construction through codification and affirmation of white people. This process can be found in the self representation of expatriate in the Jakarta Expat Magazine. The research is conducted through close reading of the text and images from the Jakarta Expat Magazine. The research has found that today’s expatriate is not different from past time colonial people. It is revealed through the colonial discourse reapplied by the expatriate in the Jakarta Expat. It can be found in the many cover photo, rubric and article. Consequently, the existence of expatriate is orientalistic in the postcolonial setting.
Keywords: Expatriate, Jakarta Expat, Representation, Colonial Discourse, Third Space.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI Halaman Judul................................................................................................................ i Lembar Persetujuan...................................................................................................... ii Lembar Pengesahan ..................................................................................................... iii Pernyataan Keaslian..................................................................................................... iv Pernyataan Publikasi..................................................................................................... v Kata Pengantar ............................................................................................................. vi Abstrak ......................................................................................................................... vii Abstract......................................................................................................................... viii Daftar Isi........................................................................................................................ ix Daftar Gambar............................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 10 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 10 D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10 E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 11 F. Kerangka Teori ................................................................................................. 17 F.1. Representasi .............................................................................................. 17 F.2. Pascakolonial ............................................................................................ 22 F.2.1. Wacana Kolonial.................................................................................... 23 F.2.2. Ruang Ketiga ......................................................................................... 27 F. Metode Penelitian............................................................................................. 29 G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 30 BAB II INDONESIA DAN ORANG ASING A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara.............................................................. 32 A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial ................................ 36 A.1.1. Orang Kulit Putih di Masa Kolonial ..................................................... 40
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.1.2. Media di Masa Kolonial ........................................................................ 42 B. Indonesia di Masa Pasca-kolonial.................................................................... 46 B.1. Orang Kulit Putih; Bule atau Ekspatriat? ................................................. 48 B.1.1. Bule, siapa mereka?............................................................................... 49 B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi!............................................................. 57 B.2. Ekspatriat di Indonesia ............................................................................. 64 B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat ................................................................ 65 B.2.2. Media Ekspatriat; Majalah Jakarta Expat ............................................. 71 C. Catatan Penutup ............................................................................................... 74 BAB III EKSPATRIAT DI JAKARTA EXPAT A. Kisah Para Ekspatriat....................................................................................... 76 B. Ekspatriat dalam Meet the Expats .................................................................... 95 B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis................................................... 96 B.2. Representasi Diri Ekspatriat ................................................................... 104 C. Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial............................................... 111 C.1. Cover Photo sebagai Imaji Indonesia ..................................................... 111 C.2. Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan..................................................... 130 D. Catatan Penutup ............................................................................................. 157 BAB IV EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME A. Analisis Wacana Kolonial Kontemporer Indonesia....................................... 159 A.1. Karakteristik Indonesia .......................................................................... 160 A.2. Stereotipe Indonesia ............................................................................... 170 B. Menafsirkan Ekspatriat .................................................................................. 176 B.1. Hibriditas Ekspatriat ............................................................................... 178 B.2. Ambivalensi Ekspatriat .......................................................................... 180 C. Catatan Penutup ............................................................................................. 184 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 185 B. Saran............................................................................................................... 189 x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. An early mixed marriage ...................................................................................... 113 Gambar 2. Chatting on Facebook ........................................................................................... 120 Gambar 3. Pocongan Cilik...................................................................................................... 124
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penjajahan yang berakhir pada pertengahan abad silam tidak serta merta memutus
rantai wacana dan praktek kolonialisme. Meskipun berbagai negara terjajah telah mendapatkan kemerdekaan, namun pengaruh dan efek kolonialisme masih dapat dirasakan ataupun ditemukan pada masa pasca-kolonial. Bagaikan suatu warisan, pengaruh dan efek dari kolonialisme turun-temurun antar generasi. Bahkan, tidak hanya bagi pihak terjajah, tetapi juga bagi pihak penjajah. Kolonialisme telah berlangsung berabab-abad lamanya. Berbagai negara dan bangsa, khususnya Asia dan Afrika, telah menjadi korban. Dengan berambisi keras untuk melakukan aksi penaklukan hingga ke seberang benua dan melintasi samudera, Eropa memulai praktek kolonialisme Barat. Karenanya, tibalah kolonialisme di bumi Indonesia – yang sebelumnya dikenal dengan nama Nusantara. Kehadiran kolonialisme di Indonesia memiliki serangkaian catatan historis. Kolonialisme Eropa pernah menguasai perdagangan hingga melakukan penjajahan di Indonesia lebih dari satu abad lamanya. Secara khusus, penjajahan yang terkait dengan kekuasaan Eropa atas Asia dan Afrika di akhir abad ke 19 telah disertai dengan kenaikan status sosial orang kulit putih dan seluruh ciri lahiriah mereka (Alatas, 1998:28). Oleh karena itu, kolonialisme telah menciptakan suatu jenjang yang menempatkan status sosial orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi di dalam masyarakat terjajah. Indonesia sebagai negara terjajah turut mengalami kesenjangan sosial antara orang kulit putih dengan pribumi. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jan Jacob Rochussen (1845-1851), terjadi tindakan politik rasial dengan mempertegas oposisi biner antara pihak penjajah dan terjajah, mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral serta intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit cokelat.1 Dengan demikian, representasi ras telah menjadi bagian dari salah satu ciri wacana dan praktik kolonialisme. Sementara itu, pengaruh sikap superior orang kulit putih semakin nyata ketika kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yakni, pertama, golongan bangsa Eropa, terutama Belanda, kedua, golongan bangsa Timur Asing, misalnya, Cina dan Arab, dan ketiga, golongan kaum pribumi.2 Ironis, meskipun kolonialisme telah dinyatakan berakhir, namun ciri lahiriah putih dan non-putih masih menjadi nilai dan tanda sebagai pembeda di dalam masyarakat. Pembedaan nilai dan tanda ini dapat dilihat dari kehadiran para“expatriate”3 di Indonesia. Pada umumnya istilah “ekspatriat” tampaknya belum begitu populer atau terdengar akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, kehadiran orang kulit putih lebih sering dikenal maupun disebut sebagai “bule”. Bule menjadi sebuah panggilan atau sapaan bagi orang kulit putih yang biasanya hadir ke Indonesia, turis mancanegara, misalnya. Orang kulit putih seperti ini lazim ditemui di berbagai tempat liburan, kota yang lebih cenderung menawarkan wisata dan sajian eksotis bagi para pengunjungnya, seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak seperti para turis, terdapat juga orang kulit putih yang kehadiranya di Indonesia sebagai pelajar atau mahasiswa. Mahasiswa semacam ini 1
C. Fasseur, “Cornerstone and Stumbling Block: Racial Classification and the Late Colonial State in Indonesia”, dalam Robert Cribb (ed.), (1994). The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, KITLV Press, Leiden. Hal. 31-34. (Lebih lanjut lihat, Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat. Hal. 60) 2 Kartodirjo, S. N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 155-6. 3 Dalam Bahasa Indonesia, kata “expatriate” diserap menjadi ekspatriat. 2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
acapkali datang ke Indonesia dengan mengikuti program Darmasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, dan dapat ditemui pada beberapa kampus di Indonesia, seperti, Universitas Indonesia, Univesitas Padjajaran, Universitas Gajah Mada, maupun Universitas Sanata Dharma, serta berbagai perguruan tinggi lainnya. Oleh karena itu, terkait dengan perdebatan istilah bule yang selalu ditujukan bagi orang kulit putih di Indonesia, perlu kiranya membedakan kehadiran antara orang kulit putih yang ada di tempat wisata dan lingkungan kampus, yakni dengan membahas tentang ekspatriat. Berkaitan dengan definisi eskpatriat, penulis merujuk pada beberapa sumber, diantaranya: Webster Dictionary (2008), yang menjelaskan bahwa berdasarkan pada etimologinya ekspatriat berasal dari bahasa Latin, ex: out of, and patria: native country, yang berarti seorang penduduk asli keluar dari negaranya. Sementara itu, New Oxford Dictionary of English (2008) memberikan penjelasan bahwa terminologi expatriate, is ‘gone - out from one’s country’; as adjective (person) living outside his/her own country. Artinya ekspatriat adalah seseorang yang tinggal di luar negara asalnya. Berbeda pula dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan bahwa ekspatriat adalah seseorang yang telah melepaskan status kewarganegaraannya, orang yang meninggalkan negeri asalnya; warga negara asing yang menetap di sebuah negara, orang yang terbuang maupun tenaga kerja asing.4 Dari beberapa pendefinisian di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan mengenai definisi ekspatriat, sehingga penulis beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ekspatriat adalah identitas seseorang yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya, dan bukan menjadi suatu status kewarganegaraan seseorang.
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Edisi Digital KBBI Offline 1.5.1 3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada kenyataannya tidak semua orang yang sedang berada di luar negara asalnya – baik untuk sementara waktu atau permanen – dapat menyandang identitas dan merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Semisal, orang asing – atau dalam bahasa pemerintah biasa disebut sebagai warga negara asing (WNA) – yang ada di Indonesia; orang Eropa, Amerika, Australia, Afrika maupun Asia, mereka belum tentu mendapatkan atau merepresentasikan diri sebagai seorang ekspatriat. Begitu pula sebaliknya dengan orang Indonesia yang sedang berada di luar tanah air, mereka akan lebih cenderung mendapatkan sebutan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), imigran maupun orangorang diaspora5. Lantas, pertanyaan yang kemudian muncul atas fenomena tersebut adalah, ada apa dengan identitas ekspatriat sebagai identitas seseorang yang sedang berada di luar tanah airnya? Sebagai langkah awal dalam menelusuri perihal ekspatriat, penelitian ini merujuk pada beberapa sumber penelitian yang terkait. Pertama, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Anne-Meike Fechter pada satu dekade silam mengenai kehidupan transnasional para ekspatriat di Indonesia. Sebagai seorang antropolog, Fechter (2007:vii) beranggapan bahwa para ekspatriat di Jakarta hidup di dalam gelembung (expatriate bubble), bahkan tentang siapa itu ekspatriat, ia mengemukakan bahwa persoalan identitas ekspatriat belum memiliki kejelasan yang pasti, sehingga mendasarkan penggunaan istilah tersebut sejauh para informannya menyebut diri mereka sebagai ekspatriat. Senada dengan Fechter terkait dengan pendefinisian ekspatriat, Sian Reiko Upton (1998) di dalam tesisnya tentang ekspatriat di Papua Nugini juga melakukan penelitian terhadap delapan individu melalui narasi lisan para respodennya untuk mendapatkan suatu 5
Pemerintah Indonesia cenderung menempatkan warga negaranya yang sedang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara tetangga; Malaysia, Hongkong, Taiwan, Arab Saudi dan lain sebagainya. Sementara itu, pemerintah juga menempatkan identitas orang Indonesia sebagai orang-orang diaspora, semisal, sebagaimana yang telah diakomodir oleh pemerintah terhadap WNI di Amerika, hal ini dapat dilihat pada laman http://www.diasporaindonesia.org/ 4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengertian tentang ekspatriat. Secara umum, Upton menempatkan ekspatriat pada karakterisasi sebagai orang asing yang sedang berada di negara lain dengan melihat berbagai hal yang terdapat di dalamnya, seperti komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk setempat, maupun status orang asing di dalam sebuah negara pascakolonial beserta pengalaman mobilitas. Kedua penelitian di atas, yakni Fechter dan Upton, melakukan pencarian definisi ekspatriat melalui narasi lisan. Menarik bahwa Fechter juga merujuk pada lingkaran kapitalisme yang turut menjadi salah satu unsur pembawa seseorang untuk berada di negara lain. Adanya perpindahan seseorang keluar negaranya dinilai telah membuat seseorang menjadi orang asing dan membawa pada suatu identitas tertentu, yakni identitas ekspatriat. Bahkan, tidak hanya sebatas karena perpindahan negara, akan tetapi kehadiran ekspatriat di Jakarta juga telah dilingkupi suatu nilai sebagai seseorang yang dianggap “expert”, dan“exclusive” apabila dibandingkan dengan pribumi maupun orang asing lainnya. Fechter (2007:5) menjelaskan bahwa ekspatriat yang dianggap “expert” merupakan suatu gagasan yang seringkali dihubungkan dengan ekspatriat perusahaan, per definisi memiliki kemampuan yang lebih dan berkualitas dalam bekerja, sedangkan ekspatriat yang “exclusive” lebih disebabkan mereka memainkan sebuah aturan di dalam lingkup internasional yang eksklusif maupun menempatkan diri sebagai identitas global. Di samping itu, merujuk pada sebuah pandangan lain, Robbert A. Cannon (1991) dalam penelitian mengenai “Expatriate ‘experts’ in Indonesia and Thailand: Profesional and Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting”, berpendapat bahwa ekspatriat yang dianggap “expert” adalah seseorang yang memerlukan berbagai kualitas pribadi dan profesional untuk dapat menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian tertentu, mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang,
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terorganisir dengan baik dan mampu mentransfer informasi dan keterampilan yang bermanfaat di negara tempat ia ditugaskan. Selanjutnya, Cannon juga menegaskan bahwa seorang ekspatriat yang “expert” harus menunjukkan keahlian dengan beberapa unsur di dalamnya, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam hal pendidikan. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan lagi hanya sebatas mengenai perpindahan seseorang yang keluar dari negara asalnya, melainkan telah dilingkupi oleh berbagai macam unsur wacana yang turut mengkonstruksi dan mempengaruhi identitas, semisal “expert” dan “exclusive”, maupun seseorang yang acapkali dianggap memiliki suatu nilai lebih jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Hal ini menjadi persoalan, karena kehadiran orang kulit putih dengan identitas diri sebagai ekspatriat telah menghadirkan kembali suatu hubungan manusia yang tidak setara di Indonesia pada masa pasca-kolonial. Dalam konteks demikian, penulis juga telah mencoba untuk melakukan penelusuran tentang beberapa penelitian terkait ekspatriat di Indonesia, dan hasilnya lebih banyak didominasi oleh kajian seperti persoalan sumber daya manusia, bisnis, maupun manajemen (Nevendorf, 2008; Musadieq, 2010; Apriyogo, 2013; Puspitasari, dkk, 2014; Soares, 2014). Dalam hal ini, persoalan ekspatriat sebagai sebuah identitas maupun representasi diri tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian dalam kajian ilmu lainnya. Padahal, setidaknya bagi penulis, sebelum melangkah jauh ke dalam persoalan bagaimana ekspatriat itu beraksi di dalam masyarakat maupun dalam kehidupan sosial, hal yang perlu diketahui dan diperdalam adalah mengenai persoalan identitas serta bagaimana upaya representasi dari identitas itu sendiri. Jadi, penelitian ini akan mengarah pada suatu persoalan mengenai identitas ekspatriat, sekaligus representasi yang mereka lakukan di dalam kehidupan sosial.
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Patut untuk disadari kembali bahwa cakupan identitas ekspatriat dalam lingkup sosial telah meluas dari sekadar identitas etnis maupun kebangsaan sehingga telah dihadapkan pada kompleksitas yang tidak mudah untuk dilacak, apalagi jika dibahas hanya dalam satu sisi saja. Identitas ekspatriat terakumulasi dari beragam unsur perekat, seperti berbagai kepentingan yang telah melampaui identitas kelahirannya, maupun konstruksi identitas yang melanjutkan wacana di masa lampau, yang mana keberadaan orang kulit putih acapkali terkait dengan superioritas, khususnya saat mereka tengah berada di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Berdasarkan dari penelitian Fechter dan Upton yang menelusuri siapa itu ekspatriat berdasarkan pada para informannya, maka penelitian ini menelusuri ekspatriat melalui representasi yang mereka hadirkan di dalam media. Mengapa media? Karena dalam beberapa tahun belakangan ini para ekspatriat telah menarasikan dan merepresentasikan identitas diri mereka melalui sebuah media. Secara khusus, media yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebuah media berupa majalah bernama ‘Jakarta Expat’ (JE), yang disajikan dari, oleh, dan untuk para ekspatriat di Jakarta, serta Indonesia pada umumnya. Penulis beranggapan bahwa kemunculan Majalah JE adalah suatu bentuk ruang yang mengambil peranan penting sebagai medium atas keberadaan orang asing untuk melakukan konstruksi identitas. Melalui Majalah JE, kehadiran orang asing, pada khususnya orang kulit putih mencoba untuk menghadirkan dan merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat di dalam kehidupan masyarakat – baik secara lokal maupun global. Dengan kata lain, Majalah JE juga dapat dipahami sebagai ruang eksistensi sekaligus legitimasi atas keberadaan para ekspatriat di dalam masyarakat, sehingga membedakan dengan orang asing maupun orang kulit putih lainnya, yang mana biasa
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disebut sebagai “bule”. Bahkan, para ekspatriat cenderung untuk menolak dan menyangkal apabila mereka disebut sebagai bule. Di samping menelisik representasi ekspatriat di dalam media, penelitian ini juga menggunakan perspektif pasca-kolonial untuk melakukan pembacaan terhadap ragam sajian yang disuguhkan ekspatriat di dalam Majalah JE. Hal ini penulis lakukan guna memperlihatkan dan mengkritisi media seperti Majalah JE yang acapkali menyajikan beragam wacana kolonial, baik itu berupa imaji maupun teks kepada para pembacanya, yakni para ekspatriat. Wacana kolonial yang termuat di dalam Majalah JE secara implisit telah memunculkan kembali ingatan tentang binerisme antara Barat dan Timur – penjajah dan terjajah. Pada Majalah JE, imaji dan teks yang mengandung wacana kolonial dapat dilihat dari cover photo dan beberapa rubrik di dalamnya, seperti, Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature. Cover photo, misalnya, Majalah JE menggunakan sebuah foto sebagai pembungkus tema sebuah edisi majalah yang hendak tersajikan. Dengan kata lain, Majalah JE berupaya untuk memperlihatkan dan menghadirkan imaji Indonesia kepada para pembacanya melalui sebuah cover photo. Bahkan, foto yang dijadikan sebagai sebuah cover photo juga disertai dengan suatu artikel terkait tema yang sedang ditampilkan pada halaman muka Majalah JE. Begitu pula dengan teks pada beragam rubrik dan artikel di dalam Majalah JE yang dituliskan oleh para ekspatriat mengandung wacana kolonial kontemporer. Pada rubrik Moment in History, misalnya, Majalah JE memberikan penjelasan mengenai momenmomen sejarah di Indonesia pada masa kolonial. Sementara itu, pada rubrik Feature, para ekspatriat mengungkapkan kisah mengenai suatu tempat tertentu yang terdapat di Indonesia. Lalu, pada rubrik Observations, para ekspatriat menceritakan sebuah kisah
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perjalanan. Kemudian, pada rubrik Culture, para ekspatriat memberikan pemaparan mengenai budaya yang terdapat di Indonesia. Dan pada rubrik Literature, para ekspatriat memuat sebuah resensi atas suatu literatur yang berhubungan dengan Indonesia. Dengan demikian, terdapat beragam wacana mengenai Indonesia atas rajutan teks yang tersajikan di dalam Majalah JE. Wacana mengenai citra Indonesia yang disajikan melalui Majalah JE telah memberikan suatu deskripsi kepada para pembaca, yakni para ekspatriat. Deskripsi ini mengantarkan kepada karakterisasi dan stereotipe mengenai Indonesia. Dalam konteks Orientalisme, upaya para ekspatriat ini dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk merekontruksi dan mereproduksi wacana kolonial tentang Timur seperti Indonesia. Bahkan wacana kolonial ini diperbaharaui dengan melihat ragam kondisi Indonesia kontemporer. Jadi, melalui Majalah JE, para ekspatriat kembali melanggengkan wacana kekuasaan Barat dalam memberikan suatu narasi tentang Timur seperti Indonesia kepada para pembaca Majalah JE, yakni sesama ekspatriat itu sendiri. Terakhir, melalui penelitian ini penulis juga berupaya untuk memberikan sebuah tafsiran terhadap identitas ekspatriat atas imaji dan teks, sejauh yang telah tersajikan di dalam Majalah JE. Karena bukan menjadi sesuatu yang mustahil bahwa dari beragam imaji dan teks yang termuat di dalam Majalah JE tercermin ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat tengah berada di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini berupaya untuk mengetahui dan menemukan apa yang sesungguhnya terjadi atas fenomena kehadiran para ekspatriat di Jakarta, baik seputar identitas, representasi hingga ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat berada di Indonesia pasca-kolonial.
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.
Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang mengenai fenomena kehadiran ekspatriat, maka secara
sederhana terdapat beberapa rumusan pertanyaan yang akan dibahas dan dijawab dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana representasi diri ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat? 2. Bagaimana wacana kolonial mengenai Indonesia dihadirkan melalui imaji dan teks di dalam Majalah Jakarta Expat? 3. Bagaimana hibriditas dan ambivalensi pengalaman ekspatriat yang tercermin pada beragam teks di dalam Majalah Jakarta Expat? C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi realitas dengan menguraikan
kehadiran orang asing yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk menemukan wacana tersembunyi dari beragam imaji dan teks tentang Indonesia yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Oleh karena itu, dengan memperlihatkan wacana mengenai Indonesia yang telah diberikan oleh para ekspatriat, penelitian ini dapat menafsirkan dan mendapatkan pemahaman atas kehadiran para ekspatriat di Indonesia di masa pasca-kolonial. D.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan suatu
kontribusi pengetahuan bagi khasanah ilmu pengetahuan humaniora, khususnya Kajian Budaya. Berangkat dari persoalan mengenai ekspatriat di Jakarta, maka kita dapat memahami dan menanggapi tentang adanya berbagai upaya representasi diri atas sebuah
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identitas. Bahkan, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah eksplorasi atas konstruksi identitas dan representasi, serta mengetahui ragam wacana yang terdapat di dalamnya, terutama dengan cara suatu penelusuran melalui media seperti Majalah JE. E.
Tinjauan Pustaka Pada tinjauan pustaka ini, penulis mencoba merujuk beberapa sumber penelitian
yang memiliki kesamaan dalam objek material. Pertama, penelitian Anne Meike Fechter yang telah tertuang dalam sebuah buku, Transnational Lives: Expatriates in Indonesia (2007). Di dalam penelitian ini, Fechter berupaya untuk melihat dan mengetahui kondisi kehidupan ekspatriat di Jakarta dengan menggunakan metode etnografis yang mengarah pada tema kehidupan transnasional. Melalui penelitiannya, Fechter menemukan bahwa kehidupan para ekspatriat telah ditandai oleh suatu batas. Kehidupan transnasional para ekspatriat telah ditandai oleh batas-batas sebanyak oleh ‘arus’, di mana pun ekspatriat itu berada dan apa pun yang mereka lakukan menjadi batas kunci untuk memahami kehidupan ekspatriat. Bagi Fechter, hal ini menjadi suatu gagasan yang tidak dikonseptualisasikan sebagai berlawanan, tetapi saling tergantung satu sama lain. Penelitian Fechter ini juga mengingatkan bahwa istilah ekspatriat tidak jelas dan agak sarat nilai, sehingga ia melakukan penelusuran dengan menjelaskan bagaimana beberapa informannya dalam menggunakan istilah ekspatriat sebagai identitas. Selain itu, dengan memaparkan konstruksi ekspatriat dan hubungannya dengan Indonesia sebagai negara dunia ketiga, Fechter menunjukkan berbagai cara para ekspatriat menegosiasikan hubungan mereka dengan lingkungannya di Indonesia, dan bagaimana mereka membangun sebuah 'gelembung Barat' yang spasial di dalam kehidupan sosial. Batas
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
spasial itu muncul seperti dalam praktek perumahan ekspatriat dan melalui komunitas mereka di Jakarta. Di samping itu, Fechter juga membahas tentang batasan etnis dan kebangsaan, dimana ekspatriat tidak hanya terpisah dari masyarakat Indonesia, tetapi telah membagi masyarakat kulit putih itu sendiri. Ada ekspatriat yang terikat untuk eksis dalam 'gelembung' dan ada juga bentuk-bentuk hidup alternatif sebagai orang asing di Indonesia. Dengan demikian, penelitian Fechter yang cukup komprehensif ini menjadi sangat berguna untuk mengetahui dan memberikan suatu pemetaan serta gambaran tentang bagaimana kondisi ekspatriat di Jakarta, khususnya melihat kehadiran dan kehidupan para ekspatriat dalam perspektif transnasional. Kedua, penelitian Sian Reiko Upton tentang Expatriates in Papua New Guinea: Contructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives (1998). Dalam penelitian berupa tesis ini, Upton menyampaikan bahwa minat para ilmuwan sosial tentang globalisasi, mobilitas, efek dari kolonialisme dan situasi antar budaya telah memberikan sedikit perhatian kepada ekspatriat sebagai kelompok transnasional kontemporer. Secara khusus, Upton melakukan penyelidikan terhadap delapan individu untuk mendefinisikan diri mereka (orang asing) sebagai ekspatriat melalui narasi lisan dan melihat bagaimana kehidupan mereka di Papua Nugini. Penelitian Upton menekankan bahwa karakterisasi ekspatriat dapat dilihat dalam komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk setempat; status mereka sebagai orang asing di sebuah negara pasca-kolonial seperti Papua Nugini maupun pengalaman mobilitas mereka yang sering berpindah ke berbagai negara. Dalam penelitian ini, secara menarik Upton juga menguji gagasan ilmiah sosial mengenai ekspatriat dan ide-ide identitas kontemporer terkait hubungannya dengan mobilitas. Melalui narasi pribadi para ekspatriat, Upton menunjukkan bahwa
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penggambaran ilmiah (Eric Cohen, 1977 dan Ulf Hanners, 1996), dinilai terlalu sederhana untuk dapat mengakses kehidupan ekspatriat kontemporer maupun situasi yang kompleks di mana mereka tinggal. Upton mengingatkan bahwa jika seorang ilmuwan sosial ingin memahami hubungan global-lokal kontemporer, maka harus melakukan upaya kritis untuk memeriksa asumsi tentang berbagai kelompok transnasional, dan meletakkannya secara terbuka, serta melalui penyelidikan etnografi untuk dapat masuk ke dalam makna pengalaman orang yang mengalami proses transnasional. Meskipun Upton telah berusaha untuk menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengerti beberapa masalah yang ada atas asumsi ilmiah sosial tentang ekspatriat, namun sebelum konseptualisasi baru dapat dipetakan ia menyarankan diperlukan banyak penelitian yang lebih empiris. Oleh karena itu, Upton menekankan bahwa untuk mengetahui para ekspatriat perlu untuk menceritakan kisah pengalaman mereka, terutama mereka tidak dapat disamakan begitu saja karena batasan definisi. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Robert A. Cannon tentang “Expatriate ‘Experts’ In Indonesia and Thailand: Profesional and Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting” (1991). Penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana para ekspatriat “yang ahli”, pada khususnya Cannon melihat keberadaan para ekspatriat Australia di Indonesia dan Thailand. Dalam penelitian ini Cannon menemukan bahwa para ekspatriat “yang ahli” memerlukan berbagai kualitas pribadi dan profesional untuk dapat menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian, mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang sekitar, terorganisir, dapat mentransfer informasi serta keterampilan yang bermanfaat. Selain itu, Cannon juga menegaskan bahwa tidak satu pun dari kualitas tersebut dapat dipandang secara sederhana, tetapi memiliki beragam dimensi; statis dan dinamis.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dimensi statis yaitu, kodrat sebagai kualitas seseorang yang ahli. Cannon menunjukkan bahwa ekspatriat dianggap sebagai “yang ahli” harus memiliki beberapa unsur, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam pendidikan. Sementara itu, dimensi dinamis berkaitan dengan kualitas kepemimpinan, keterampilan berorganisasi, proses pembelajaran, komunikasi dan bahan yang diajarkan. Selanjutnya, Cannon juga menunjukkan bahwa terdapat kesamaan yang luas antara ekspatriat di Indonesia dan Thailand, termasuk beberapa perbedaan di dalamnya. Salah satu perbedaannya adalah terkait kepentingan yang bersifat relatif untuk dapat meningkatkan hubungan kualitas, sehingga Cannon menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat memvalidasi temuannya dan mengeksplorasi perbedaan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini dapat berguna bagi penulis untuk memperkuat argumentasi perdebatan mengenai ekspatriat yang acapkali dilabeli sebagai seorang “yang ahli”. Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Al Musadieq tentang “Ekspatriat dan Industri Lintas Negara” (2010). Pada dasarnya penelitian Musadieq ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik demografi dan culture shock yang dialami oleh para ekspatriat saat ditugaskan di luar negaranya, seperti di Indonesia. Berbekal dengan tiga puluh responden, Musadieq menyajikan penelitiannya secara deskriptif dengan menggunakkan tabel distribusi frekuensi sebagai gambaran bahwa kebanyakan dari mereka – yang disebut sebagai ekspatriat dalam penelitian ini –sedang menjalankan tugas atau pekerjaan di luar negeri. Dengan menggunakan perspektif ilmu administrasi, penelitian yang dilakukan Musadieq mendapatkan hasil bahwa persoalan seputar informasi dan adaptasi para ekspatriat adalah peranan kunci dalam pengembangan industri yang bersifat lintas negara.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penelitian
ini
berhasil
mengungkapkan
bahwa
kebanyakan
dari
respondennya
menjalankan tugas luar negeri yang pertama, sebagai representatif dan membawa keluarga mereka dalam tugas. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa para ekspatriat tersebut tidak mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan budaya lokal Indonesia. Sementara itu, tanpa mempersoalkan siapa itu ekspatriat, penelitian yang dilakukan Musadieq menyisir berbagai orang asing yang ada di Malang dan Surabaya. Meskipun di dalam penelitian ini terdapat orang kulit putih, diantaranya, orang-orang Selandia Baru, Jerman, Inggris dan Kanada, namun dapat dilihat bahwa sebagian besar respondennya adalah orang Jepang. Oleh karena itu, setidaknya penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan sebuah gambaran bahwa dari seorang peneliti sekalipun masih menempatkan kehadiran orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat. Kelima, penelitian yang baru saja dilakukan oleh Hernani Agostinho Soares berbentuk tesis tentang “Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste” (2013). Penelitian Soares menjelaskan bahwa persoalan ekspansi bisnis perusahaan multinasional di berbagai negara tidak terlepas dari tenaga kerja ekspatriat. Soares melakukan penelitiannya terhadap dua puluh tujuh respoden, yang sebagian besar berasal dari berbagai negara di wilayah Asia, serta menyertakan ekspatriat asal Amerika Serikat dan Australia. Berbekal dari beragam pengertian siapa itu ekspatriat yang telah disediakan oleh peneliti lain, seperti Hornby (1987), Hill (2001), Desler (2002), Gross (2005), dan lainlain, sayangnya Soares hanya meninjau berbagai definisi tersebut. Soares tidak melakukan penggalian definisi identitas ekspatriat secara mendalam terhadap para respondennya. Bahkan, secara sederhana Soares hanya menyimpulkan bahwa ekspatriat adalah seseorang
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang sedang tinggal dan bekerja pada salah satu perusahaan di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai warga negara. Berangkat dari sebuah perspektif manajemen, penelitian Soares secara khusus hanya bertujuan untuk membahas persoalan para ekspatriat yang berada di dalam lingkup bisnis. Dalam penelitiannya, Soares lebih berupaya untuk menjelaskan beberapa faktor yang mendukung para ekspatriat dalam melakukan proses adaptasi budaya, diantaranya, individual, job, organization culture, dan job satisfaction. Meskipun demikian, pada penelitian ini Soares juga menemukan bahwa para ekspatriat di Timor Leste mengalami culture shock, mental isolation, recovery, dan adjustment. Hal ini terjadi karena Timor Leste merupakan sebuah negara baru, yang mana memiliki banyak keterbatasan baik kondisi keamanan, ekonomi, infrastruktur, maupun hukum. Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan Soares ini cukup menarik untuk dapat melihat bagaimana keadaan para ekspatriat di Timor Leste, yang mana bertetangga atau memiliki hubungan historis dengan Indonesia. Dari kelima tinjauan yang telah dipaparkan di atas, pada khususnya dari dua penelitian, yakni Fechter dan Upton, dapat digarisbawahi bahwa persoalan identitas sekaligus representasi ekspatriat selalu didasarkan pada para respondennya. Sementara dalam penelitian lainnya, seperti, Cannon, Musadieq, dan Soares lebih cenderung menempatkan persoalan ekspatriat sebagai bagian dari perputaran roda kapitalisme global (industri lintas negara). Dengan demikian, melalui penelitian ini penulis berupaya untuk menggali persoalan identitas ekspatriat melalui representasi diri yang mereka hadirkan di dalam sebuah media, yaitu Majalah JE. Representasi di dalam media menjadi suatu alternatif untuk melakukan sebuah penelusuran, sekaligus dapat membedakan dari penelitian sebelumnya (Fechter dan
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Upton), sehingga mendapatkan pemahaman yang baru seputar identitas ekspatriat. Di samping itu, tidak hanya berhenti pada pembahasan rerpresentasi diri ekspatriat, tetapi melalui penelitian ini penulis juga berupaya membahas ragam wacana kolonial yang acapkali muncul di dalam Majalah JE. Dengan demikian, dari persoalan representasi dan wacana kolonial yang muncul, serta ambivalensi dan hibriditas yang dialami para ekspatriat, maka penelitian ini mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap identitas ekspatriat. F.
Kerangka Teori Kehadiran para ekspatriat di Jakarta telah memperlihatkan kompleksitasnya.
Berawal dari kehadiran mereka sebagai orang asing di Indonesia. Kemudian secara khusus, orang kulit putih melakukan konstruksi identitas sebagai ekspatriat sehingga membedakannya dengan bule maupun orang asing lainnya. Tak pelak ketika mereka melakukan upaya representasi di dalam suatu media seperti Majalah JE. Oleh karena itu, guna mendapatkan jawaban-jawaban dari rumusan masalah yang telah diajukan, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan teori, di antaranya adalah: F.1.
Representasi Dalam pemahaman Kajian Budaya, suatu identitas diyakini berkaitan dengan
adanya upaya konstruksi melalui representasi. Identitas sebagai suatu konstruksi telah memperlihatkan budaya yang tidak stabil dan tidak permanen. Oleh karena itu, identitas acapkali mengalami perubahan yang didasarkan pada ruang dan waktu di mana seseorang berada. Namun demikian, seseorang tidak hanya berhenti pada perubahan yang telah membuatnya memperoleh sebuah identitas, tetapi cenderung akan melakukan suatu upaya
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
representasi diri yang berhasrat untuk mendapatkan suatu pengakuan dari luar kediriannya. Sebagaimana Stuart Hall (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya suatu identitas selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Bahkan, ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.6 Selain itu, gagasan-gagasan teori Stuart Hall mengenai representasi telah banyak dipaparkan di dalam bukunya, Representation: Cultural Representation and Signifying Practices (1997).7 Dalam paparan teorinya, Hall menjelaskan bahwa representasi berhubungan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang. Bahkan, dalam sebuah proses produksi budaya, representasi menjadi penting karena terkait dengan‘cultural circuit’ sehingga telah menghubungkan makna dan bahasa bagi budaya (Hall, 1997:15). Guna memudahkan penjabaran teori menjadi lebih sederhana, Hall menjelaskan bahwa representasi memiliki dua sistem yang membentuk sebuah diskursus bagi banyak orang. Dua sistem yang dimaksudkan oleh Hall adalah representasi mental dan makna pada tanda maupun bahasa. Sistem pertama, yaitu representasi mental (mental representation) dimaknai sebagai makna yang bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia. Sementara itu, sistem yang kedua adalah suatu makna bergantung pada tanda maupun bahasa yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Dengan demikian, keberadaan para orang kulit putih, yang mana berupaya untuk merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat dapat dimaknai sebagai suatu diskursus, dan tanda bahasa yang terkait pada suatu konsep identitas. 6
Hall, Stuart. (1991). Old and New Identities, Old and New Etnicities, dalam Anthony D. King (Ed), Culture, Globalization and the World-System Binghamton: The Macmillan Press Ltd. Hal. 49. 7 Lihat du Gay, Hall. Et.All. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London. SAGE Publications. Hal. 15-25. 18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selanjutnya, penjelasan mengenai representasi mental adalah sesuatu yang berada dalam konsep pikiran seseorang. Dalam representasi mental, seseorang menghubungkan antara kenyataan dengan konsep yang dimiliki dalam pikiran. Dengan kata lain, melalui hal-hal nyata yang terlihat, maka dapat tercipta konsep mengenai hal tersebut tanpa benar-benar berada dalam situasi yang dimaksudkan atau melihat benda yang dibicarakan (Hall, 1997:17). Semisal, representasi mental mengenai kehadiran orang kulit putih tentunya menjadi berbeda tergantung pada siapa yang memaknainya, apalagi mengenai relasi antara subjek dengan objek. Hal tersebut disebabkan representasi mental bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan selalu berubah-ubah. Selain itu, dalam representasi mental, kesamaan dalam memaknai sesuatu juga sangat erat kaitannya dengan shared meanings atau shared conceptual map (Hall, 1997:18). Dalam hal ini Majalah JE dapat dipahami sebagai sebuah sarana untuk dapat menyebarkan pengertian dan konsep mengenai ekspatriat kepada para pembaca Majalah JE, yakni para ekspatriat itu sendiri. Berikutnya, proses kedua dalam sistem representasi adalah bahasa. Semua konsep dalam representasi mental harus dapat diwujudkan melalui suatu bahasa agar dapat menghubungkannya dengan kenyataan dan mendapatkan makna. Bahasa dapat diuraikan dengan kode-kode yang terdapat di dalamnya, sedangkan kode yang dimaksud di sini adalah kode bahasa dan budaya (Hall, 1997:21). Para ekspatriat, misalnya, berbagi kode yang sama dalam memproduksi maupun mengkonsumsi sesuatu yang tersaji di dalam medianya. Hal ini dapat dilihat pada Majalah JE yang menghadirkan sosok ekspatriat di setiap terbitan edisinya. Oleh karena itu, Majalah JE juga telah memberikan kode-kode untuk memahami bagaimana kehidupan para ekspatriat dan mengidentifikasi siapa ekspatriat itu, sehingga suatu representasi tidak pernah terlepas
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari realitas sosial yang melingkupi hubungan subjek dengan objek – produsen media dengan konsumen media. Representasi juga merekatkan semua tanda menjadi suatu makna. Makna pun bersifat subjektif, tidak pernah tetap, selalu berubah dan selalu bergerak. Mengenai persoalan makna ini, Hall mengajukan tiga pendekatan untuk melihat bagaimana suatu makna dapat bekerja melalui bahasa, yakni reflective approach, intensional approach, dan constructionist approach.8 Namun demikian, pendekatan konstruksionis adalah suatu pendekatan yang dapat dinilai lebih dekat dengan wilayah Kajian Budaya. Karena suatu makna pada dasarnya tidak terkandung begitu saja dalam sebuah tanda, tetapi dipahami sebagai sesuatu yang terkonstruksi ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir yang juga memiliki serangkaian konsep sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Dalam pendekatan konstruksionis atau yang biasa juga dapat disebut sebagai konstruktivis menjelaskan bahwa suatu makna terkonstruksi di dalam sebuah bahasa. Makna dibangun melalui sistem bahasa dengan menggunakan konsep representasi. Hal ini dilakukan untuk membuat suatu kata menjadi penuh makna dan dapat menyampaikannya kepada yang lain. Dalam pendekatan konstruksionis ini, ekspatriat dapat dipahami oleh siapapun dalam kaitannya untuk mengetahui dan mengerti apa dan siapakah ekspatriat yang dihadirkan dalam media. Dengan kata lain, ekspatriat dapat dipahami sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, melalui pendekatan konstruksionis, Majalah JE dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah bangunan dan menjadi ruang representasi sekaligus melegitimasi ekspatriat.
8
Du Gay, Hall. Et.All. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London. SAGE Publications. Disarikan dari Hal. 24-6. 20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Meskipun representasi bukan sebuah kebenaran tunggal, namun representasi akan terus menjadi upaya konstruksi tanpa batas akhir. Representasi ekspatriat di dalam media telah memperlihatkan konsep mereka terhadap diri dan lingkungannya, khususnya bagi para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini, ekspatriat membicarakan seputar diri mereka dan membedakan diri mereka dengan orang lain. Karenanya, pembaca dapat mengetahui bagaimana mereka menyikapi stereotipe-stereotipe yang ada di dalam masyarakat lokal terhadap orang asing, seperti sebutan bule yang sering ditujukan kepada orang kulit putih. Dengan demikian, representasi ini tentunya akan berkaitan dengan sistem representasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, representasi tentunya selalu terkait dengan identitas. Untuk dapat lebih memahami persoalan representasi, penulis merujuk pada gagasan Stuart Hall yang telah mengajukan sebuah pertanyaan reflektif dan memberikan dua cara untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hall memaparkan sebagai berikut: “Who needs ‘Identity’? …. There are two ways of responding to the question. The first is to observe something distinctive about the deconstructive critique to which many of these essentialist concepts have been subjected. …. A second kind of answer requires us to note where, in relation to what set of problems, does the irreducibilty of the concept, identity, emerge? I think the answer here lies in its centrality to the question of agency and politics.” (Hall, 1996:2)
Dari uraian yang telah dipaparkan oleh Hall di atas, pemahaman mengenai identitas selalu berupaya untuk menemukan sifat anti-esensialis, memperlihatkan suatu proses konstruksi budaya, dan menyatakan bahwa tidak pernah ada konstruksi identitas yang sempurna. Bagi Hall, cara pertama untuk menemukan jawaban dari pertanyaan, ‘Siapa yang membutuhkan Identitas?, adalah mengamati sesuatu yang bercirikan khusus mengenai kritik dekonstruksi untuk membongkar konsep identitas yang esensial. Cara kedua adalah mengetahui dari mana konsep identitas muncul. Oleh karena itu, Hall
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memberikan sebuah jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik. Sementara itu, Hall mengungkapkan bahwa agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah pendekatan yang historis. Dengan kata lain, persoalan politik identitas muncul. Di samping itu, Stuart Hall juga menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang secara aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan kondisi yang terberikan begitu saja dalam kesadaran semenjak lahir. Di dalam identitas terdapat sesuatu yang bersifat imajiner atau difantasikan mengenai keutuhannya, dimana identitas menyisakan ketidaklengkapan, selalu dalam proses dan sedang dibentuk (Hall, 1996:4). Singkat kata, Hall mengemukakan bahwa identitas merupakan suatu proses yang tidak pernah utuh atau sempurna dan tidak pernah akan berakhir. Dengan demikian, gagasan yang telah diajukan oleh Hall untuk menguraikan persoalan identitas dan representasi dapat diejawantahkan dalam penelitian ini, khususnya dalam membahas fenomena orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Hal ini disebabkan ekspatriat sebagai identitas merupakan sebuah upaya dari konstruksi sosial, yang mana di dalamnya juga terdapat berbagai muatan seperti imajinasi dan fantasi akan orang kulit putih yang pernah hadir di Indonesia sebelumnya. Oleh karena itu, setelah membahas persoalan identitas beserta representasinya, penelitian ini selanjutnya melangkah untuk menganalisis ekspatriat dengan perspektif pascakolonial. F.2.
Pascakolonial Bill Ashcroft, Gareth Griffins dan Helen Tiffin dalam buku The Empire Writes
Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures (1990:2), menjelaskan bahwa 22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penggunaan istilah ‘pasca-kolonial’ adalah untuk merujuk pada seluruh budaya yang terpengaruhi oleh proses imperial sejak saat terjadinya kolonisasi hingga hari ini. Oleh karena itu, penulis menggunakan perspektif pascakolonial dalam penelitian ini untuk menganalisis persoalan representasi ekspatriat dan beragam muatan wacana kolonial yang terdapat di dalam Majalah JE, terutama didasarkan pada imaji dan teks mengenai Indonesia yang tersajikan di dalam Majalah JE. Di balik imaji dan teks tersembunyi wacana tertentu. Dengan melihat sajian yang disuguhkan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat dicermati bahwa terdapat kecenderungan wacana kolonial yang bertebaran. Ada yang mengangkat ingatan mengenai kolonialisme di Indonesia, dan ada pula yang turut memberikan pandangan tentang Indonesia masa kini, pasca-kolonial. Dengan kata lain, para ekspatriat tengah memberikan dan menghasilkan pelbagai macam wacana kolonial kontemporer. Dengan demikian, perspektif pascakolonial pada penelitian ini penulis pergunakan sebagai cara baca untuk memahami, mengkritisi, dan menganalisis terkait wacana kolonial atas ragam imaji dan teks mengenai Indonesia yang diberikan oleh para ekspatriat. Selanjutnya, rujukan perspektif pascakolonial ini penulis bagi menjadi dua pendekatan teori, yaitu Wacana Kolonial dan Ruang Ketiga. Pertama, teori Wacana Kolonial ini dipergunakan untuk dapat menganalisis beragam konten yang tersaji di dalam Majalah JE, seperti imaji dan teks. Kedua, teori Ruang Ketiga dipergunakan untuk dapat memberikan tafsiran identitas ekspatriat atas ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat melalui teks yang termuat di dalam Majalah JE. F.2.1. Wacana Kolonial Dalam Kajian Pascakolonial, teori Wacana Kolonial ini berangkat dari pemikiran Edward Said, Orientalism (1978), yang sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Michel 23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Foucault untuk dapat mengidentifikasi mekanisme Orientalisme. Ashchroft menegaskan bahwa Said berupaya memperlihatkan bagaimana wacana kolonial dapat dioperasikan sebagai instrumen kekuasaan para penjajah, bahkan wacana kolonial telah menjadi kompleks tanda dan praktek yang mengatur eksistensi sosial dan reproduksi sosial dalam hubungan kolonial (1998:42). Selanjutnya, Bill Ashcroft juga menjelaskan bahwa teori wacana kolonial dalam pandangan Said merupakan teori untuk menganalisis wacana kolonialisme dan penjajahan. Selain itu, teori wacana kolonial juga dapat dijadikan sebagai suatu cara untuk menemukan kekaburan wacana yang mendasari tujuan adanya penjajahan, baik politis dan material, hingga menunjukkan ambivalensi dari wacana tersebut, yang mana turut melakukan konstruksi subjek penjajah dan terjajah (1999:15). Di samping itu, wacana kolonial juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem laporan yang dibuat oleh kolonial tentang masyarakat kolonial, yang di dalamnya termasuk perihal kekuasaan dan hubungan antara keduanya, penjajah dan terjajah. Sistem ini menjadi suatu pengetahuan tentang dunia terjajah (Anscroft, 1999:60). Oleh karena itu, Said berupaya untuk menunjukkan sejauh mana ‘pengetahuan’ tentang ‘Timur’sebagaimana dihasilkan dan diedarkan di Eropa itu merupakan pengiring ideologis dari ‘kekuasaan’ kolonial (Loomba, 2000:43). Dengan demikian, teori wacana kolonial pada penelitian ini digunakan untuk menemukan makna maupun rekonstruksi wacana mengenai Timur yang tersajikan di dalam Majalah JE oleh para ekspatriat. Merujuk pada pandangan John McLeod (2000:32) yang mengemukakan bahwa teori wacana kolonial pada dasarnya adalah ingin memperlihatkan kolonialisme telah mempengaruhi berbagai mode representasi. Untuk itu agar dapat memahami lebih jelas wacana kolonial terkait dengan pengetahuan dunia terjajah, McLeod telah memberikan
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penjelasan yang cukup sistematis dalam membaca wacana kolonial berdasarkan karakteristik dan stereotipe tentang Orientalismenya Edward Said. McLeod memberikan suatu pemetaan wacana kolonial tersebut sebagai berikut:9 Bentuk Orientalisme yang dirangkum oleh McLeod, diantaranya, pertama, Orientalism construct is binary divisions, artinya oposisi biner menjadi cara pandang yang paling fundamental dalam melihat dunia, membaginya menjadi dua, yaitu dunia Barat dan Timur; di dalamnya terdapat perbedaan seperti, Barat yang beradab, rasional, maju, sedangkan Timur yang primitif, irasional, berkembang atau terbelakang. Kedua, Orientalism is a Western Fantasy, yakni menggambarkan Timur sebagai mimpi-mimpi Barat, bahkan di dalamnya terdapat fantasi dan beragam asumsi yang memiliki perbedaan radikal, seperti Timur sebagai tempat yang sangat berbeda dengan Barat. Ketiga, Orientalism is an institution, dalam hal ini Timur ditempatkan sebagai suatu kajian ilmu yang dipelajari di Barat, sehingga kalangan Barat mendapatkan pengetahuan tentang Timur. Keempat, Orientalism is literary, maksudnya adalah para kalangan Barat menjadikan Timur sebagai sumber literatur, dan membuatnya sebagai kumpulan tulisan di berbagai bidang, seperti, filologi, lexikografi, sejarah, politik, ekonomi maupun novel hingga lirik puisi. Dan kelima, Orientalism is legitimating, terkait dengan berbagai unsur yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka menjadi suatu hal yang lumrah bagi Barat untuk melakukan dominasi dan mendudukkan Timur, khususnya pada masa penjajahan atau kolonialisme, yang mana Barat dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur. McLeod juga memberikan pemetaan mengenai stereotipe Orientalisme menjadi beberapa bagian. Pertama, the Orient is timeless, yang mana Timur ditempatkan sebagai subjek yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Kedua, the Orient is strange, Timur 9
Disarikan dari John McLeod. (2000). Beginning Postcolonialism. United Kingdom: Manchester University Press. Hal.40-6. 25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dianggap sebagai yang aneh atau asing, sehingga tidak normal dan berbeda dari kebiasaan manusia Barat. Ketiga, the Orient makes assumptions about ‘race’, dalam representasi Barat orang Timur sering diperlihatkan sebagai ras dengan beragam stereotipe maupun karakter. Keempat, the Orient is feminine, Timur diibaratkan atau ditempatkan oleh Barat sebagai perempuan yang memiliki sifat pasif, eksotik, dan menggoda. Serta yang kelima adalah the Oriental is degenerate, Barat telah membuat Timur seakan butuh untuk diperadabkan karena memiliki kemorosotan moral. Adanya pandangan Edward Said tentang wacana kolonial juga telah mendapat sambutan dari Homi K. Bhabha. Bagi Bhabha (1994:66) wacana kolonial dapat dipahami sebagai sebuah fitur ketergantungan pada sebuah konsep 'ketetapan' dalam mengkonstruki ideologi terhadap yang lain. Bahkan, ketetapan ini dijadikan sebagai tanda perbedaan budaya, sejarah maupun ras dalam tatanan wacana. Dengan demikian, kolonialisme dipahami sebagai sebuah mode paradoks representasi, yang di dalamnya terdapat beragam wacana. Selanjutnya, Bhabha (1994:70) menjelaskan bahwa tujuan wacana kolonial adalah untuk menafsirkan posisi terjajah sebagai sebuah populasi ras yang dianggap rendah dan berupa bentuk penaklukan sehingga dapat menetapkan berbagai sistem administrasi dan aturan. Dengan demikian, Bhabha beranggapan bahwa wacana kolonial dapat dipahami sebagai strategi untuk membedakan antara penjajah dan terjajah, dimana strategi ini mengandung sejumlah ambivalensi dan pertentangan. Terkait dengan adanya ambivalensi, Bhabha juga berupaya untuk mengajak kita agar memiliki suatu pemahaman baru, yakni dengan melepaskan oposisi biner di masa pasca-kolonial – penjajah dan terjajah, Barat dan Timur – dan masuk ke dalam Ruang Ketiga. Karenanya, melalui penelusuran di dalam Ruang Ketiga ini terdapat suatu ruang pertemuan antar identitas.
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F.2.2. Ruang Ketiga Homi K. Bhabha mengemukakan bahwa dikotomi penjajah-terjajah telah memasuki sebuah ‘ruang baru’ dengan munculnya kondisi pasca-kolonial. Dalam masyarakat kontemporer, ruang baru tersebut dapat dimaknai sebagai penghilangan dikotomi penjajah-terjajah secara eksplisit. Oleh karena itu, adanya kehadiran orang kulit putih di masa pasca-kolonial yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat telah memasuki ruang baru dalam perjumpaannya dengan masyarakat Indonesia. Sementara itu, yang dimaksudkan oleh Bhabha mengenai ruang baru di masa pascakolonial bukanlah sembarang ruang. Untuk dapat mengetahuinya secara jelas, Bhabha telah mengajukan sebuah model liminalitas guna dapat menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik di antara keduanya. Adanya ruang liminal adalah sebuah ruang yang menggambarkan tempat pertemuan antara penjajah-terjajah. Ruang ini menjadi tempat proses interaksi simbolik yang melepaskan antara posisi atas (upper space) dan posisi bawah (lower space), superior dan inferior. Ruang liminal ini selalu bergerak bebas, temporal dan sebagai ruang yang memungkinkan untuk terciptanya hibriditas. Dengan demikian, ruang liminal ini telah mencegah identitas berada di kedua ujung dari ketetapan polaritas primordial masing-masing, sehingga ruang liminal menjadi bagian interstitial atau celah sebagai identifikasi yang tetap membuka kemungkinan hibriditas budaya, dan dimaksudkan untuk mencari pemaknaan identitas di masa pasca-kolonial. Selanjutnya, bagi Bhabha, liminalitas memerlukan semacam ‘Ruang Ketiga’ (Third Space) yang terbentuk melalui penolakan terhadap oposisi biner, kepastian atau determinasi pada salah satu titik biner. Bhabha (1994:35) berpendapat bahwa Ruang Ketiga sebagai “zona ketidaktentuan di mana masyarakat muncul” (the zone of occult
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
instability where the people dwell). Di dalam Ruang Ketiga inilah struktur makna dan referensi merupakan sebuah proses ambivalensi, yang menghancurkan cermin representasi dan memperluas kode pengetahuan. Ruang Ketiga menciptakan kondisi wacana ucapan yang memastikan bahwa makna dan simbol budaya tidak memiliki kesatuan atau ketetapan primordial (fixity); bahkan tanda-tanda yang sama dapat digunakan, ditranslasi, di-sejarah-ulangkan dan dibaca baru (Bhabha 1994:37). Melalui Ruang Ketiga, pencarian identitas secara ideal berlangsung menjadi suatu proses yang tidak pernah berhenti dan senantiasa mengalami perubahan yang selalu mengalir. Ruang Ketiga ini dapat dilihat seperti gerak sebuah eskalator yang (sedang) naik turun. Ruang pertama ialah ruang atas (upper space), sementara ruang kedua ialah ruang bawah (lower space). Kedua ruang ini bergerak naik turun silih-berganti memasuki Ruang Ketiga, yaitu terdapat ruang di antaranya (in between), sehingga gerakan ini merekayasa suatu identitas, menjadi satu proses terkait hubungan secara simbolik antara ruang pertama dan ruang kedua melalui ruang keluar masuk ’in between’, yaitu Ruang Ketiga. Dalam Ruang Ketiga inilah wacana pascakolonial berlangsung memberikan tafsiran terhadap bentuk dan imaji yang dibangun melalui interaksi simbolik; daripada ruang pertama dan ruang kedua. Ruang Ketiga juga dapat dikatakan sebagai penelusuran terhadap rasa keterasingan dari dalam, dunia yang serba hibrid dan serba sibuk dengan kekeliruan imaji yang kabur dan tidak sepadan, sehingga dapat memberikan kontribusi penting bagi pemahaman perbedaan budaya. Karena itu, Bhabha berpendapat bahwa semua pernyataan dan sistem budaya yang dihasilkan dari Ruang Ketiga sebagai konstruksi subjektivitas timbal-balik, di mana adanya konstruksi subjektif ini akan menghasilkan sebuah timbal balik antara budaya etnis satu dengan yang lainnya (Sutrisno dan Putranto, 2004:145). Pada akhirnya, pergerakan atau proses pencarian identitas terus
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berlangsung secara timbal-balas menuju kepada gerak kemodernan ataupun menuju gerak kesadaran tradisionalis. Dengan demikian, perspektif pascakolonial ini, pada khususnya Ruang Ketiga, dapat digunakan untuk menemukan dan memberikan tafsiran terhadap identitas ekspatriat. G.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis teks terhadap media. Secara khusus,
merujuk pada Paula Saukko (2003:105), metode yang digunakan adalah postmodern texts and analysis, yakni untuk melihat fenomena sosial dan budaya dari produk media kontemporer dan wacana yang semakin patuh pada logika ‘posmodern’. Dengan mengikuti Baudrillard (1983), Sauko menjelaskan bahwa media kontemporer dapat dicirikan oleh sebuah ‘penanda mengambang’ (floating signifiers), yang mana tidak lagi mengacu pada petanda tapi penanda lain seperti teks media. Selain menggambarkan cara bagaimana menganalisis teks-teks posmodern, Sauko pun juga memeriksa gambar dalam metode ini. Dengan demikian, metode analisis ini merujuk pada pembacaan teks secara teliti dan berupaya untuk melakukan pengungkapan makna yang tersembunyi dari suatu teks dan imaji, terutama dalam memahami bahwa pada dasarnya sebuah teks tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial. Di samping itu, metode analisis teks juga digunakan untuk dapat menggali representasi ekspatriat dan wacana kolonial yang terdapat dalam Majalah JE. Karena itu, metode ini berupaya untuk menguraikan maupun menjelaskan berbagai proses representasi para ekspatriat, karakteristik dan stereotipe mengenai Indonesia yang dihadirkan kepada para pembaca, hingga dapat memberikan suatu tafsiran identitas ekspatriat melalui Ruang Ketiga. Tanpa terkecuali, metode ini berupaya untuk menganalisis aspek material terkait
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diskursus yang terbentuk secara lintas ruang dalam realitas kontemporer baik lokal maupun global. Selanjutnya, penelitian ini tersajikan dalam bentuk kualitatif yang dikumpulkan dari teks media, dokumen, catatan lapangan, maupun beragam artikel lainnya. Secara teknis, penelitian ini melakukan penggalian data berdasarkan sumber data yang terbagi menjadi dua bagian. Pertama, data primer merupakan perolehan data yang berasal dari Majalah JE. Data primer ini berupa imaji dan teks yang terdapat di dalam Majalah JE. Di samping itu, penelitian ini juga melihat latar belakang kehadiran media dan persebarannya. Kedua, data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari berbagai sumber bacaan, yang terdiri dari buku, catatan atau artikel dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan ekspatriat. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian prosedur yang sistematis sehingga menyediakan data yang signifikan bagi penelitian. Pada penelitian ini penulis juga melakukan studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai teks yang berkaitan dengan memuat wacana seputar ekspatriat. Dengan demikian, ada bentuk pendokumentasian untuk melakukan pengumpulan data, baik yang terekam dalam media, seperti tulis, cetak, maupun internet untuk menjadi sumber informasi sekaligus data yang terkait dengan kehidupan para ekspatriat di Jakarta. H.
Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk lima bab. Bab I merupakan
pendahuluan dari penelitian yang mencakup latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian penelitian.
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada Bab II, penulis membahas tentang kehadiran orang asing di Indonesia pada masa kolonial dan pasca-kolonial. Melalui bab ini juga penulis berupaya memperlihatkan keberlanjutan kehadiran orang asing, khususnya orang kulit putih yang kini hadir sebagai ekspatriat, memiliki pola kesamaan seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis. Selain itu, dalam bab ini penulis akan berupaya memaparkan perdebatan dan pemahaman atas identitas orang kulit putih yang acapkali disebut sebagai bule maupun ekspatriat. Pada Bab III, penulis menarasikan beragam data mengenai para ekspatriat yang terdapat di dalam Majalah JE, baik itu seputar kisah kehadiran maupun latar belakangnya. Selain itu, pada bab ini juga, penulis akan membahas persoalan identitas sekaligus menganalisis representasi diri ekspatriat di dalam Majalah JE. Dan terakhir, penulis akan memaparkan beragam sajian yang terdapat di dalam Majalah JE, dimulai dari cover photo Majalah JE hingga ke beragam rubrik maupun artikel terkait dengan wacana kolonial mengenai Indonesia. Selanjutnya, pada Bab IV penulis melakukan sebuah upaya analisis terkait dengan wacana kolonial kontemporer yang terdapat di dalam Majalah JE. Dalam bab ini, penulis mengaplikasikan cara baca pascakolonial yang kritis terhadap teks yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Selain itu melalui Ruang Ketiga ala Homi Bhabha, penulis pun memberikan suatu tafsiran bagi identitas ekspatriat dengan melihat adanya hibriditas dan ambivalensi. Dan terakhir, pada Bab V merupakan suatu rangkaian penutup dari penulis, yang di dalamnya akan disampaikan kesimpulan, saran dan kritik, termasuk sebuah refleksi kritis atas penelitian yang telah dilakukan.
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II INDONESIA DAN ORANG ASING Pada bab ini, penulis akan secara khusus membahas kehadiran orang asing kulit putih di Indonesia. Hal ini diletakkan pada sebuah latar, yakni kolonialisme yang telah dilakukan oleh bangsa Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Kolonialisme yang terjadi bukan hanya sekadar praktik penjajahan, melainkan juga menghasilkan pelbagai wacana terkait hubungan penjajah-terjajah. Selain itu, penulis juga membahas kehadiran orang asing di masa kini, khususnya mengenai kehadiran para ekspatriat, karena terdapat kesinambungan wacana dan praktik dari masa kolonial ke masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, penulis akan berupaya untuk menemukan dan memperlihatkan pola kesamaan wacana atas dan praktik orang asing yang terjadi di masa kolonial dan pasca-kolonial. A.
Kehadiran Orang Asing di Nusantara Alkisah bermula dari kedatangan bangsa Eropa pada awal abab ke-16 saat
melakukan ekspansi ke luar wilayahnya seperti Asia dan Afrika. Karenanya, kehadiran bangsa Eropa telah memberikan pengaruh bagi perkembangan Nusantara. Bahkan, ketertarikan berbagai bangsa Eropa, seperti Portugis, Inggris, dan khususnya Belanda telah menjadikan Nusantara sebagai sebuah negara koloni. Pada mulanya perdagangan menjadi titik berangkat kedatangan bangsa Eropa di Nusantara (Ricklefs, 2008:30). Hal ini didasarkan pada kebutuhan suatu wilayah yang tidak mampu menghasilkan pemenuhannya secara otonom, pada khususnya di wilayah yang
acapkali berganti musim, seperti Eropa. Berkat adanya perdagangan, berbagai
bangsa berhasil menciptakan arus lalu lintas transaksi antar komoditas, sehingga dapat
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memperjual-belikan segala yang dihasilkan oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya – yang mana tidak dapat dihasilkan di wilayahnya sendiri. Kesaksian pertama orang Eropa tentang Nusantara hingga saat ini masih tetap merujuk pada Marcopolo, ketika ia singgah selama beberapa bulan di bandar-bandar pantai utara Sumatra pada tahun 1291. Meskipun Marcopolo sudah mengunjungi Nusantara beberapa abad sebelumnya, namun persinggungan sesungguhnya baru terjadi pada awal abad ke-16, ketika orang-orang Portugis di bawah komando Alfonso de Albuquerque menetap di bandar Malaka pada tahun 1511 (Lombard, 2008a:59). Oleh karena itu, bagi banyak kalangan, kehadiran Portugis di Nusantara adalah suatu awal bagi catatan sejarah Indonesia karena telah memberikan gambaran tentang dunia Nusantara sebelum ada pengaruh Eropa mana pun.1 Bukti lain yang turut memaparkan bahwa kehadiran bangsa Eropa di Nusantara yang pertama kali adalah Portugis, juga ditegaskan oleh João de Barros melalui karya sejarahnya yang besar, Decadas da Asia, pada tahun 1539.2 Di antara negara-negara Eropa lainnya, Portugis dinilai lebih unggul karena memiliki kemajuan teknologi perkapalan, ilmu pengetahuan geografi dan astronomi yang memudahkan mereka untuk melakukan petualangan dalam mengarungi samudera hingga membawa ke benua lain. Dan setibanya kehadiran orang-orang Portugis di Nusantara, khususnya di wilayah bagian Timur yang lebih dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah, adalah untuk kepentingan perdagangan.
1
J.C. van Leur dalam C.R. Boxer. Dalam Soedjatmoko (Editor). (1995). Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hal. 189. 2 João de Barros (kurang lebih pada tahun 1496-1570) dapat dinamakan sebagai sejarawan “kolonial” besar yang pertama dan seorang Orientalis perintis. Karya besarnya, Decades da Asia memaparkan perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh Bangsa Portugis ketika menemukan dan menaklukan lautan-lautan dan Negara-Negara Timur. Lihat C.R. Boxer, Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar, dalam Soedjatmoko (Editor). (1995). Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Hal. 190. 33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selang Portugis, Belanda kemudian hadir mewarisi inspirasi dan strategi Portugis di Nusantara. Tahun 1596 lazim dikenal, setidaknya oleh para sejarawan Eropa, sebagai tahun yang menandai kedatangan armada Belanda di perairan Nusantara untuk pertama kali di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (Lombard, 2008a:61). Namun demikian, terdapat perbedaan di antara keduanya, Belanda melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Portugis sebelumnya. Belanda mendirikan tempat berpijak yang tetap di Nusantara, yaitu di Pulau Jawa.3 Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa apa yang telah dilakukan oleh Belanda telah menandakan keberadaan orang asing yakni bangsa Eropa menetap secara permanen di Nusantara – meskipun tidak selamanya. Atas peristiwa menetapnya orang-orang asing di Nusantara, terjadi proses peningkatan hubungan interaksi sosial antara para pedagang dengan pribumi – yang mana lebih cenderung dilakukan oleh kalangan kerajaan. Interaksi ini merupakan tindak lanjut dari hubungan perdagangan yang telah terjalin antar keduanya, khususnya pihak Belanda dengan orang-orang Nusantara. Dan seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan Belanda terhadap Nusantara, maka hubungan antar keduanya mengalami perubahan. Selain itu, konstelasi yang terjadi di antara negara-negara Eropa turut mempengaruhi keinginan Belanda untuk menguasai Nusantara guna menjadi sumber perdagangan yang dapat menghasilkan laba. Keinginan Belanda semakin terbukti dengan lahirnya politik praktik perdagangan (Company; perusahaan, selanjutnya lebih sering dikenal atau disebut sebagai kompeni) yang diterapkan sebagai bentuk upaya peningkatan pengaruh kekuasaan Belanda di Nusantara.
3
Hal ini menjadi perbedaan fundamental antara Portugis dengan Belanda; Belanda tidak hanya membuka hubungan perdagangan, tetapi melakukan sebuah penjajahan yang berpusat di Pulau Jawa, yaitu di Batavia. Awalnya mendirikan pusat perdagangan di Banten pada tahun 1603, kemudian sebuah pos di Jaccatra pada tahun 1611. Lihat Ricklefs (2008). Hal. 49. 34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bergabungnya beberapa perseroan Belanda untuk membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie), di Nusantara telah menjadi pijakan awal bagi sepak terjang Belanda di Nusantara. Terlebih VOC mendapatkan kewenangan berdasarkan surat izin (oktroi) yang diberikan oleh parlemen Belanda (Staten Generaal) untuk melakukan peperangan, membangun benteng-benteng pertahanan, mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia, dan juga mendirikan pusat penguasaan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, sebagai salah satu negara Eropa yang melakukan kolonisasi di Asia dan Afrika, Belanda mulai berambisi untuk mendapatkan hasil bumi Nusantara dengan melakukan penjajahan terhadap pribumi, bermula di pulau Jawa hingga merebak ke wilayah lain.4 Suatu momentum penting terjadi di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang telah membuat perubahan besar atas kedudukan Belanda di Nusantara. Di bawah komando Jenderal Coen, Belanda dapat berhasil menaklukkan Jaccatra5, sehingga menjadi pusat perdagangan yang strategis di pulau Jawa, dan dipersiapkan secara terbuka untuk kalangan Eropa dan juga para pedagang Asia. Berkembang hingga tahun 1619, sang Jenderal Coen kemudian mulai menjalankan politik migrasi dengan mendatangkan orangorang Belanda dan Cina ke Batavia (Blusse, 1988:148). Dikarenakan semakin maraknya dominasi dan penguasaan perdagangan oleh para pendatang, pada khususnya para pedagang Cina, Belanda sebagai pemegang tampuk kekuasaan pun mulai melakukan upaya penggolongan di dalam kehidupan masyarakat. Penggolongan masyarakat ini sengaja diperuntukkan bagi para pengusaha Eropa atau golongan orang kulit putih, dengan tujuan agar dapat mengamankan berbagai kepentingan perdagangan kolonial di Nusantara. Dengan demikian, penggolongan masyarakat yang dilakukan oleh Belanda adalah suatu 4
Pada tahun 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa. Untuk pertama kalinya Belanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Lihat Ricklefs (2008). Hal. 259. 5 Jaccatra kemudian berganti nama menjadi Batavia. Lihat dalam paparan Ricklefs (2008). Hal. 54-59. 35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
langkah untuk pertama kalinya dalam mengidentifikasikan masyarakat ke dalam kelompok atau golongan maupun berdasarkan identitas masing-masing di Nusantara. A.1.
Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial Dari permulaan penduduk Batavia yang terdiri atas beragam golongan, hidup
terpisah menurut adat-istiadat masing-masing, dan saling bertemu di tengah-tengah keramaian pasar telah membuat masing-masing golongan memahatkan tempatnya sendirisendiri di dalam masyarakat. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda menggunakan kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai suatu konsep ekonomi, namun dalam perkembangannya diterapkan untuk maksud-maksud sosial dan politik (Blusse 1988:7). Dengan kata lain, pemerintah kolonial telah melakukan proyek identifikasi di dalam masyarakat. Seorang Sejarawan Niemeijer, misalnya, telah melakukan suatu upaya yang cukup menarik dalam menyajikan alur cerita tentang kondisi kehidupan masyarakat kolonial abad 17 di Batavia. Niemeijer menguraikan bahwa telah terjadi konfrontasi di dalam masyarakat yang tinggal di Batavia, antara para pendatang dengan pribumi. Para pendatang yang dimaksud adalah kalangan Eropa, India, Cina, maupun Melayu dan beberapa yang berasal dari mancanegara lainnya, sedangkan kalangan pribumi merujuk pada beberapa kerajaan di Jawa, yang mana acapkali melakukan perlawanan terhadap para pendatang, khususnya ditujukan bagi orang-orang kulit putih (Niemeijer, 2012:30). Seiring dengan laju kehidupan sosial di dalam masyarakat yang semakin beragam, Belanda melakukan penggolongan masyarakat dengan menyematkan berbagai istilah-kata dalam kehidupan sosial. Utamanya adalah orang Eropa sebagai kalangan dengan berstatus tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, ada pula beberapa sebutan bagi orang Eropa yang tinggal selama beberapa tahun atau sementara di Batavia, yakni Trekker 36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana disebut oleh orang Belanda (Blackburn, 2011:83), dan Blijvers untuk menyebut penduduk tetap, yang melihat Hindia-Belanda sebagai rumah tercintanya (Gouda, 2007:61). Selain itu, terdapat sebutan Inlander, istilah yang awalnya diperuntukkan bagi kalangan pribumi, dan selanjutnya ditujukan bagi keturunan dari para wanita Eropa dan Asia apabila mereka tidak lagi diakui oleh sang ayah yang Eropa. Istilah inlander ini juga mengalami peyorasi dan berkonotasi merendahkan, yang bersangkutan adalah orang yang status sosialnya ditempatkan lebih rendah dari status orang Eropa. Kemudian, ada pula istilah Casado yang ditujukan bagi para penjajah portugis dan Indo-Portugis, secara khusus diperuntukkan bagi orang Portugis yang menikah dan menetap di wilayah Asia. Ketika Nusantara berada di bawah naungan pemerintah HindiaBelanda, para casado ini mendapatkan porsi yang sangat terbatas dalam memainkan peran dan aktifitas perdagangan. Sementara para peranakan Portugis yang masih dapat berbicara bahasa portugis mendapatkan sebutan sebagai Mardijker. Selain itu, terdapat juga istilah Mestizo yang ditujukan pada orang-orang berdarah campuran, yaitu hasil pernikahan antara kalangan Eropa dengan Asia, khususnya dengan pribumi. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Inlander, akan tetapi cenderung tidak berkonotasi untuk merendahkan mereka yang lahir dari hasil perkawinan campur. Bahkan, ada juga istilah Masyarakat Merdeka, yaitu status masyarakat yang dinyatakan sebagai orang bebas, mencakup para pengusaha Eropa, seperti Portugis yang terlibat dalam aktifitas perdagangan di Nusantara maupun orang-orang Eropa yang bukan atau tidak lagi menjadi pegawai VOC. Status ini juga telah mendikotomikan orang yang bebas sebagai para pedagang dan pengusaha dengan orang yang menjadi budak di bawah naungan suatu golongan masyarakat tertentu.
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Untuk mempermudah kita dalam melihat kondisi beragamnya penduduk yang didasarkan pada pengolongan masyarakat, berikut ini adalah sebuah pemetaan laju perkembangan kependudukan di Batavia. Pemetaan ini sekiranya dapat memberikan gambaran atas kondisi ruang masyarakat Batavia, yang mana ditempati oleh kalangan bangsa Eropa, peranakan atau biasa disebut sebagai Mestizo, orang Cina, dan beberapa kelompok kecil bangsa-bangsa Asia lainnya.
Diagram aneka golongan penduduk utama, 1699 867
Cina
670 3679
1783
Merdeka
Diagram aneka golongan penduduk utama, 1739 299 421
Cina
1279
Merdeka
4199
Eropa
1038
2407
Eropa Lain-lain
Intramuros Batavia 1699 dan 1739 (Blusse, 1998:155)
Sajian diagram di atas merupakan suatu ilustrasi untuk dapat melihat dinamika penduduk di dalam kehidupan sosial Batavia. Berdasarkan diagram tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia mengalami pasang surut. Kondisi pasang surut tersebut tentunya telah menjadi perhatian serius bagi Belanda, terutama karena laju pertumbuhan Kota Batavia semakin dipenuhi oleh kalangan Cina. Padahal, jika ditelisik awal tujuan pembangunan Kota Batavia, Coen selaku pemegang kekuasaan Belanda di Batavia menginginkan orang kulit putih untuk menjadi poros kekuatan perdagangan. Sejak didirikan, Batavia dimaksudkan untuk menjadi sebuah wilayah jajahan, menempatkan kehadiran kalangan Eropa sebagai tulang punggung masyarakat yang baru di tanah jajahan, didukung dan bertumpu dari ragam penduduk Asia, seperti India dan
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Cina, serta pribumi. Oleh karena itu, dari diagram di atas kita dapat mengetahui bahwa para penduduk pribumi tidak berada dalam sebuah pemetaan maupun narasi kolonial untuk diperhitungkan sebagai bagian yang cukup penting dari dinamika masyarakat. Dalam narasi kolonial kalangan Eropa, Belanda selalu menjadi pusat perhatian bagi perkembangan Kota Batavia. Orang Belanda tinggal di lingkungan yang terhormat dan dikhususkan untuk orang Eropa saja, bahkan pemerintah Hindia-Belanda mengusir pemilik rumah orang Indonesia dan Cina (de Vries, 1972:28). Sementara itu, golongan penduduk lainnya seperti peranakan, orang-orang merdeka, maupun pribumi tinggal di kampung masing-masing. Bahkan, penduduk pribumi tidak mendapatkan akses yang terbuka untuk masuk ke dalam wilayah Batavia karena Pemerintah Hindia-Belanda menutup pintu bagi orang-orang pribumi, khususnya orang Jawa sulit memasuki Batavia dengan alasan mengingat mereka bisa disusupi oleh para infiltran dari Mataram dan Banten – dua negara yang bermusuhan dengan Kompeni (Blusse, 1998:156). Oleh karena itu, Batavia telah menjadi kota yang sangat tertutup bagi kalangan di luar orang kulit putih atau golongan Eropa. Selain mengenai dinamika kehadiran orang kulit putih di masa kolonial, terdapat satu fakta menarik mengenai meningkatnya jumlah orang eropa secara besar-besaran dalam waktu beberapa abad berikutnya. Menurut Lombard (2008:78), pada awal abad ke19, jumlah orang Eropa tidak lebih dari beberapa ribu saja, akan tetapi pada tahun 1850 mengalami peningkatan menjadi 22.000 orang. Selanjutnya, pada tahun 1872 orang-orang Eropa berjumlah sebanyak 36.467 orang, tahun hingga membludak pada tahun 1905 menjadi 80.912 orang. Oleh sebab itu, kehadiran orang Eropa di telah memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan masyarakat Hindia-Belanda di awal abad ke-20, terutama dalam menguasai tanah perkebunan dan perindustrian serta perdagangan.
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan demikian, upaya penggolongan masyarakat yang sengaja diciptakan oleh Belanda telah menjadi komponen penting untuk mengetahui dan memperlihatkan struktur, serta stereotipe kehidupan sosial masyarakat atas hadirnya para pendatang, baik kalangan Eropa maupun Asia yang berada di Batavia. A.2.
Orang Kulit Putih di Masa Kolonial Beberapa kalangan menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia
memiliki beberapa persoalan, baik itu terhadap masyarakat Cina, Arab, Melayu maupun Pribumi. Seorang Sejarawan Susan Blackburn, misalnya, memberikan penjelasan bahwa orang Eropa sendiri sangat ambivalen terhadap standar kehidupan perkotaan, bahkan sebagian besar orang Eropa di Batavia ingin mempertahankan status dominan kelompok mereka di mata masyarakat (2011:50). Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran orang Eropa di Batavia mengalami pergulatan di dalam kehidupan masyarakat Batavia yang sudah majemuk, pada khususnya kalangan Barat ingin mendapatkan posisi yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Salah satu potret kehidupan masyarakat kolonial di Batavia pun dijelaskan oleh Blackburn bahwa Orang Eropa jarang sekali bercerita mengenai penduduk Batavia lainnya, bahkan satu-satunya kontak mereka dengan penduduk pribumi adalah dengan para para pelayan. Sementara itu, orang Eurasia sangat tidak menyukai dominasi Trekker, bukan karena tidak dapat bersaing dengan mereka, melainkan karena orang Eurasia tidak dapat berbicara dalam bahasa Belanda yang baik serta tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, bahkan telah menghadapi peraturan diskriminasi. Sementara itu, keberadaan orang Cina dan Arab dianggap sebagai pengusaha yang sukses karena menginvestasikan kekayaannya dalam bidang properti. Sebaliknya, orang Indonesia hanya menjadi pelayan dan melaksanakan tugas untuk orang Belanda, seperti 40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membawa obor di malam hari dan melaksanakan tugas ronda.6 Dengan demikian, status dan kedudukan masyarakat pribumi, secara sosial maupun politis berada di bawah orang asing. Sejarawan lainnya seperti Frances Gouda, setidaknya telah berupaya untuk memberikan suatu deskripsi mengenai bagaimana praktik kolonial di Hindia-Belanda. Dalam paparannya, Gouda menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih, yakni Belanda sebagai bangsa kecil mampu melakukan praktik kolonial dengan waktu yang cukup lama di wilayah peradaban tua dunia seperti Indonesia. Meskipun Belanda dianggap sebagai bangsa kecil karena tidak memiliki sarana kekuatan militer dan arogansi politik yang digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa yang lebih berpengaruh di dunia, namun dalam imajinasi imperium Belanda, ilmu pengetahuan “Oriental” telah menjadi alat kekuasaan, mengingat pamer kekuatan tanpa ilmu pengetahuan hanya akan sama dengan sikap menyerang Goliat yang membabi-buta (Gouda, 2007:87). Oleh karena itu, hal ini telah menandakan bahwa wacana seperti Orientalisme telah berhasil memainkan kekuataan yang luar biasa untuk dapat melanggengkan kekuasaan kolonial di tanah jajahannya. Di samping itu, kolonialisme dengan sebuah wacana Orientalisme-nya telah membentuk struktur-struktur pengetahuan manusia yang sudah ada, bahkan tidak ada cabang pengetahuan yang luput oleh pengalaman kolonial dalam sejarah dunia penjajah dan terjajah. Wacana Orientalisme telah memberikan dan memainkan pengaruh yang besar bagi tatanan dunia, terlebih tak lekang digerus zaman sehingga tetap berlanjut di masa pasca-kolonial. Namun demikian, penting kiranya untuk menelisik bentuk mekanisme penyebaran Orientalisme di masa kolonial.
6
Disarikan dari Susan Blackburn. (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas Bambu. Hal 82-96. 41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.2.1. Media di Masa Kolonial Penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 telah membuat dinamika dunia berubah sedemikian rupa. Media cetak telah menjadi alat kekuasaan untuk suatu kepentingan tertentu. Pada masa kolonial, media pun digunakan untuk dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam mengkonstruksi wacana kolonialisme Eropa dan wilayah koloninya. Mulanya media yang hadir di masa pemerintahan Hindia Belanda adalah surat kabar Bataviasche Nouvelles, terbit sejak tahun 1744. Surat kabar pertama ini lebih cenderung sebagai warta periklanan yang melayani kepentingan perdagangan maupun kepentingan komersial lainnya seperti kegiatan pelelangan hasil perkebunan, pengumuman pemerintah jajahan, berita mutasi jabatan, lowongan pekerjaan serta informasi komersial lainnya.7 Dalam hal ini produksi wacana mengenai tanah koloni, seperti peristiwa, keadaan masyarakat maupun demografis, kurang mendapatkan perhatian dikarenakan tujuan utama surat kabar adalah untuk menunjang keuntungan pemerintah Hindia Belanda dan para pedagang. Namun demikian, pada masa peralihan Belanda-Inggris terbit sebuah surat kabar mingguan resmi, Java Government Gazette. Surat kabar ini terbit mulai tahun 1812 hingga 1816 di masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, yang mana dipimpin oleh seorang Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Berbagai berita, seperti rincian kehidupan di Jawa mulai dari pertanian, perdagangan, perbudakan, peperangan, hingga laporan militer disajikan kepada publik, bahkan persoalan yang terdapat di luar Jawa pun turut dimuat dalam surat kabar ini.8 Oleh karena itu, surat kabar Java Government Gazette lebih 7
Bedjo Riyanto. Mempermainkan Realitas Dalam Realitas Main-Main. Dalam Budi Susanto S.J. (Ed). (2003). Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 25. 8 Lebih lanjut dapat dilihat dalam catatan dan sumber buku Tim Hannigan. (2012). Raffles and the British Invasion of Java. Monsoon Books. 42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
komprehensif jika dibandingkan dengan Bataviasche Nouvelles, terutama dalam membahas wilayah kolonial. Satu abad berikutnya muncul The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal, yang terbit pada tahun 1840.9 Sebagai sebuah media komunikasi di antara para kolonial Eropa, media ini telah memainkan perannya dalam menyebarluaskan wacana Orientalisme. Bahkan, setiap tahunnya, media ini mampu menghasilkan tiga volume dengan ratusan halaman di dalamnya. Di dalam media cetak ini terdapat beragam tulisan mengenai aktifitas kolonial, kondisi wilayah kolonial, keadaan maritim, laporan keuangan perdagangan, jumlah populasi, karakter masyarakat koloni hingga persoalan geografi. Dengan demikian, sebagai sebuah alat kekuasaan, para kolonial menghasilkan serangkaian tulisan dan laporan yang terbungkus di dalam suatu media. Sebagai contoh, guna menjelaskan suatu persoalan mengenai kolonialisme, The Colonial Magazine, pada sebuah artikel berjudul, “Colonization of Ancient and Modern Nations”, memaparkan bahwa kolonisasi merupakan pendudukan dan pengolahan tanah yang terbuang dalam ketaatan kepada hukum utama surga, yang memutuskan bahwa manusia harus berbuah dan berkembang biak, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Bahkan melalui artikel ini juga ditegaskan bahwa catatan paling awal dari ras kita (kolonial) terdiri dari sejarah migrasi sebagai bentuk peradaban.10 Dengan demikian, paham kolonialisme yang diproklamirkan oleh kalangan Eropa dapat dipahami sebagai bentuk peradaban yang mengusung keunggulan ras mereka. Terkait dengan kolonialisme yang terjadi di wilayah Nusantara, The Colonial Magazine juga memuat beberapa artikel yang membahas tentang beragam kondisi, seperti di Batavia, Sumatra, Java, Sulawesi, hingga Papua. Semisal pada sebuah artikel berjudul, 9
Dapat dilihat pada laman https://www.nla.gov.au/ferg/issn/14614243.html (Diakses 06 Februari 2015) The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. (1840). Volume 1. Number. 1. Hal. 11.
10
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Effect of Climate Upon Man”, terpaparkan bahwa meskipun pulau Jawa secara umum dapat dianggap sehat, namun terdapat pengecualian pada wilayah pantai yang rendah dan rawa di sekitar pulau, khususnya kota Batavia, yang mana dianggap sebagai pusat penyakit di Timur. Hal ini dikarenakan lingkungan Batavia yang tertutup pohon-pohon dan semak-semak sehingga mencegah sirkulasi udara bebas.11 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa para kolonial telah menempatkan wilayah kolonial sebagai tempat berpenyakit yang dapat mengancam kehidupan mereka. Dengan kata lain, wilayah koloni, seperti Batavia, dapat menyebabkan kematian para kolonial yang sedang berada di tanah jajahan. Jadi, terdapat perbedaan yang sangat kontras antara kehidupan para kolonial di negara mereka yang sehat, sedangkan di wilayah kolonial terdapat jenis penyakit berbahaya, semisal malaria. Di dalam The Colonial Magazine ini juga, para kolonial memaparkan beberapa wilayah yang terdapat di Nusantara seperti, Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi dan Papua. Disebutkan bahwa Batavia sebagai ibukota Jawa dikatakan berutang untuk industri pertanian dan keterampilan mekanik kepada sebagian besar orang Cina yang telah menetap di pulau Jawa.12 Selain itu, tidak hanya mengenai Batavia, tetapi tercatat juga bahwa kehadiran Belanda bertujuan untuk menundukkan seluruh bagian dalam Sumatera yang terletak di antara Padang di pantai barat, Siak, dan Indragiri di sebelah timur.13 Sementara itu, dipaparkan bahwa pulau besar Kalimantan (Borneo) telah mengalami percampuran dengan pengungsi dari negara-negara atau wilayah lain, seperti, orang China dengan rambut panjang, orang Makasar dengan gigi yang bersinar hitam dan memakan sirih; dengan pekerjaan yang sama untuk budak wanita, begitu juga dengan kemampuan yang sama laki-laki; banyak dari mereka bekerja untuk mengarahkan layar, 11
Ibid. Volume 3. Number 10. Hal. 171. The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. (1841). Volume 5. Number 18. Hal. 192. 13 Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 489. 12
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sehingga orang-orang ini telah banyak digunakan oleh Belanda, bahkan digunakan untuk menyampaikan informasi.14 Selain itu, dalam The Colonial Magazine ini juga termuat penjelasan bahwa pada lingkup yang lebih luas, Nusantara dikenal sebagai awal navigasi Belanda karena terdapat populasi yang banyak, kuat, suka berperang, dan komersial, serta telah membuat kemajuan peradaban daripada tetangga mereka, yang telah sepenuhnya bersujud, baik dalam pikiran dan tubuh, hingga terkenal dapat melakukan otoritas kolonial Belanda, bahkan mereka dapat meyakinkan bahwa kejahatan mereka tidak berasal dari pihak berwenang di Eropa.15 Dalam hal ini, para kolonial Belanda beranggapan bahwa wilayah Nusantara dapat diajak untuk menjalin kerja sama, yang sebagaimana bahwa awal hubungan Belanda dengan beberapa kerajaan di Nusantara adalah perdagangan. Namun demikian, ada wacana menarik dari uraian di atas, para kolonial menegaskan bahwa kekacauan (penaklukan) yang terjadi di wilayah kolonial bukan menjadi kejahatan pihak Eropa, melainkan lebih dikarenakan karakter masyarakat Nusantara yang kuat dan suka berperang. Berdasarkan beberapa uraian yang terdapat pada The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal di atas, dapat dipahami bahwa kolonialisme Eropa bukan hanya sekedar pada bentuk praktek perdagangan yang berujung hingga penaklukan, melainkan juga mengkonstruksi pengetahuan tentang wilayah-wilayah kolonial. Belanda, pada khususnya, sebagai pihak kolonial atas beberapa wilayah di Nusantara turut mengkonstruksi pengetahuan yang subjektif terhadap kondisi maupun kehidupan masyarakat Nusantara. Oleh karena itu, media di masa kolonial telah sangat berperan untuk menciptakan dan menyebarluaskan wacana pengetahuan guna melangsungkan penguasaan atas wilayah kolonial. 14 15
Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 452. Ibid. Volume 7. Number 28. Hal. 478. 45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.
Indonesia di Masa Pasca-Kolonial Terdapat suatu masa yang kelam dan turut mengubah kolonialisme Eropa di
Indonesia, yakni dekolonisasi. Dimulai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942, dekolonisasi menjadi masa-masa yang berat bagi para kolonialis di Indonesia. Orang Eropa seperti Belanda maupun Eurasia (Indo) mendapatkan perlawanan dari pihak pribumi. Bahkan para kolonialis tersebut mulai meninggalkan dan melarikan diri dari Indonesia. Ketika Indonesia sebagai negara meraih kemerdekaan pada tahun 1945, Soekarno semakin menimbulkan pergolakan terhadap para kolonialis. Pergolakan ini memunculkan gaung dekolonisasi hingga terjadi dimana-mana, mengusir dan menangkap orang Eropa maupun Eurasia (Indo), hingga mengambil alih atau melakukan nasionalisasi perusahaan kolonial di Indonesia. Puncak dari dekolonisasi yang terjadi pada akhir 1950an ini mengakibatkan repatriasi secara besar-besaran ke Eropa. Dalam kancah internasional, Soekarno pun tidak segan untuk menyerukan politik dekolonialisasi bagi negara-negara terjajah yang telah dilakukan Barat selama berabadabad. Pada Sidang Umum PBB tahun 1960, melalui visi politik dekolonialisasi, Soekarno menawarkan konsepsi Pancasila sebagai dasar pembangunan dunia ketiga, yakni untuk “membangun dunia baru” (to rebuild world) sekaligus membangun dunia baru yang lebih layak bagi negara pasca kolonial agar lebih sederajat dan seimbang posisinya dengan negara Barat16. Oleh karena itu, dekolonialisasi menjalar ke berbagai bangsa mulai dari Afrika, Asia, hingga ke Amerika Latin sebagai rangkaian dalam membangun dunia yang berkeadilan bagi semua bangsa.
16
Lihat Bernhard Dahm. (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Diterjemahkan oleh Hasan Basri Jakarta: LP3ES 46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sayangnya, gaung dekolonisasi terhadap penjajahan dan para kolonial tidak bertahan lama. Setelah masa Soekarno usai dan Soehato mulai memimpin Indonesia terjadi perubahan haluan. Dengan berdalih untuk meningkatkan ekonomi Indonesia, Soeharto mengundang para investor asing ke Indonesia. Oleh karena itu, tidak hanya aliran investasi yang masuk, tetapi orang asing juga turut mendatangi kembali Indonesia, bahkan menetap untuk sementara waktu maupun permanen. Orang asing di Indonesia ini acapkali disebut sebagai warga negara asing (WNA), sedangkan orang kulit putih di Indonesia lebih cenderung disebut bule ataupun londo. Meski demikian, mengenai sebutan atas keberadaan orang asing di Indonesia, tampaknya telah mengalami pergeseran identitas menjelang akhir tahun 1990an. Sebuah buku berjudul Expats in Indonesia (1997) ini setidaknya dapat memberikan pemahaman mengenai kehadiran orang asing di Indonesia. Richard Mann dalam paparannya secara umum menempatkan identitas orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat. Dengan demikian, istilah ekspatriat ini muncul dari mereka, yakni orang asing yang berada di Indonesia.17 Paparan lain mengenai ekspatriat di Indonesia setelah masa Soeharto tumbang datang dari seorang wartawan, Ishak Rafick. Di dalam bukunya, Rafick mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga alasan yang turut mendorong dunia bisnis di tanah air mendatangkan tenaga kerja asing atau yang biasa disebut ekspatriat pada era reformasi di Indonesia, diantaranya; pertama, kebutuhan perusahaan untuk memperluas pasar ke manca-negara, sekaligus mendekati sumber-sumber pembiayaan internasional. Kedua, menganggap kehadiran ekspatriat yang dipekerjakan sebagai lambang bonafiditas. Ketiga, sebagai suatu tekanan, hal ini biasanya terkait dengan pemberian bantuan atau pinjaman 17
Richard Mann. (1997). Expats in Indonesia; Guide to Living Conditions and Costs. Gateway Books. Berdasarkan data KITAS, Mann menyisir berbagai orang asing berdasarkan negara asal, seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, China, USA, India, Australia, Inggris, Thailand, Belanda, dan lain-lain. (Hal.12) 47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari lembaga-lembaga donor dari luar negeri kepada negara penerima donor seperti Indonesia.18 Sejak Indonesia mendapatkan kemerdekaan hingga saat ini terjadi pasang-surut mengenai kehadiran orang asing di Indonesia. Beragam identitas pun disematkan kepada orang asing. Terutama beberapa kalangan menyebut orang asing berkulit putih sebagai bule atau ekspatriat. Oleh karena itu, pada konteks kekinian tampaknya perlu mencermati identitas orang asing, pada khususnya orang kulit putih di Indonesia. B.1.
Orang Kulit Putih, Bule atau Ekspatriat? Pada zaman seperti saat ini, tampaknya bukan menjadi kemustahilan untuk dapat
melihat, bertemu maupun berinteraksi dengan orang asing, khususnya orang kulit putih. Kehadiran mereka dapat dijumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, maupun kota-kota wisata, seperti Jogjakarta, Bali, Lombok hingga Papua. Tak terkecuali mereka pun telah hadir di berbagai ruang publik, seperti media televisi, media cetak dan dunia maya seperti jejaring sosial dan internet. Pembahasan mengenai kehadiran orang kulit putih di Indonesia masa pascakolonial tentunya adalah suatu langkah yang cukup rumit. Orang kulit putih di Indonesia seperti dua sisi mata uang, interlinkage, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja salah satunya. Di satu sisi, ada yang menyebut orang kulit putih sebagai bule, dan ekspatriat di sisi lain. Oleh karena itu, untuk memperjelas kedua sisi tersebut, berikut ini adalah penjelasan mengenai identitas orang kulit putih yang ada di Indonesia, yakni bule dan ekspatriat.
18
Rafick, Ishak. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk Press. Hal. 74-5. 48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.1.1. Bule, Siapa Mereka? Istilah khusus nan unik ini hanya terdapat di Indonesia. Bule telah menjadi kata umum di kalangan masyarakat Indonesia yang biasanya disematkan bagi orang kulit putih. Karenanya, penulis mencoba untuk menelisik apa yang dimaksudkan dari sebuah kata bule terkait penggunaannya di dalam masyarakat. Pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:38,230) memaparkan bahwa bule adalah pelafalan dari kata ‘bulai’, yang berarti albino, yaitu putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen (zat warna). Di samping itu, Merriam Webster Dictionary, mendefinisikan bahwa albino adalah an organism exhibiting deficient pigmentation; especially: a human being that is congenitally deficient in pigment and usually has a milky or translucent skin, white or colorless hair, and eyes with pink or blue iris and deep-red pupil.19 Oleh karena itu, dari kedua penjelasan tersebut, bule dapat dimaknai sebagai seseorang yang memiliki kekurangan pigmen, sehingga tubuhnya terbalut dengan kulit yang putih. Dengan kata lain, secara visual, orang yang disebut bule memiliki perbedaan dengan orang Indonesia, seperti, warna kulit, mata, dan rambut, atau bercirikan ras kaukasoid. Terkadang penuturan istilah bule acapkali dimaknai oleh orang kulit putih sebagai bentuk sarkasme maupun berbau rasis, sehingga orang kulit putih cenderung tidak menginginkan untuk disebut sebagai bule. Sebagai contoh, hal ini dapat dibahas secara eksplisit di artikel, “Don’t Call Me Bule!”20 yang dituliskan oleh Anne-Meike Fechter. Pada artikel “Don’t Call Me Bule!” Fechter memaparkan bahwa mereka, yang adalah orang asing kulit putih menolak untuk disebut sebagai bule. Oleh karena itu, pada artikel ini lebih banyak memuat kegundahan para ekspatriat yang merasa terganggu oleh 19
Origin of Albino; Portuguese, from Spanish, from albo white, from Latin albus. First Known Use: 1777Masehi. Lihat http://www.merriam-webster.com/dictionary/albino 20 Lihat http://www.expat.or.id/info/dontcallmebule.html Artikel ini dituliskan oleh Anne-Meike Fechter atas permintaan suatu organizing committee pada bulan Juli tahun 2003. [Our appreciation to Anne-Meike Fechter who wrote and contributed this article at the request of the organizing committee. July 2003]. 49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kebiasaan orang Indonesia ketika menyebut mereka sebagai bule. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk yang merendahkan dan menyakitkan, sehingga ekspatriat cenderung menolak terhadap panggilan bule yang ditujukan padanya. Di dalam artikel ini juga terdapat perdebatan cukup panjang di kalangan orang kulit putih dalam menanggapi panggilan bule yang ditujukan pada mereka. Ada yang mengganggap bahwa bule adalah kata yang biasa ditujukan bagi orang asing dengan kulit putih, karena kulit mereka terlihat lebih terang dari kulit orang Indonesia. Ada juga pandangan baik dari orang Indonesia maupun orang kulit putih yang mengganggap bahwa istilah bule adalah sebuah kata netral, yang mana selama kata itu diucapkan secara sopan dan tidak digunakan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Selain itu, disebutkan juga bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia menganggap bahwa penyebutan bule sebagai kebiasaan yang tidak bersalah dengan tidak ada niatan yang buruk. Orang asing yang memiliki kulit putih acapkali dipanggil bule dalam situasi yang berbeda, seperti sapaan di jalan, atau dalam percakapan informal dengan orang Indonesia. Jadi, bule adalah kata yang netral dan juga sebagai kata fungsional – semacam sapaan untuk orang kulit putih. Sebaliknya, meskipun kata bule memilki ragam variabel, orang kulit putih atau ekspatriat cenderung menginginkan agar kata bule tidak terperangkap pada stereotipe tentang orang asing, seperti, orang yang kaya, kasar, dan bodoh, yang bau keju dan tidak memiliki moral. Karena bagi mereka, menjadi stereotipe seperti tersebut sangat menjengkelkan, terutama bagi ekspatriat yang merasa bahwa mereka telah beradaptasi dengan Indonesia secara lebih baik daripada para turis yang hanya sekedar berwisata. Selanjutnya, orang kulit putih, yang dalam perdebatan artikel ini adalah ekspatriat, juga tidak ingin kata bule digunakan sebagai kategori ras. Namun demikian, apabila dilihat lebih cermat dalam artikel ini, penulis menilai bahwa pandangan rasis justru lebih
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dominan disampaikan oleh para ekspatriat terhadap perilaku masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat ketika beberapa responden Fechter mengatakan bahwa orang Indonesia sebagai pelaku rasis, dimana hal itu dikaitkan dengan menyebutkan kurangnya pendidikan masyarakat Indonesia. Paparan tersebut termuat sebagai berikut: “An additional sting for expatriates, however, might be that they feel insulted by Indonesians - people whom some consider to be politically backward, and intellectually less capable. In their responses, some expatriates therefore suggest that Indonesians need more education.”
Secara eksplisit seorang responden Fechter juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu masyarakat yang paling rasis. Dengan beberapa uraian, responden Fechter memberikan sebuah pandangan bahwa Indonesia terus-menerus merendahkan orang lain (termasuk satu sama lain) terkait dengan suku, kelahiran, dan agama. Hal ini dapat dilihat pada uraian berikut: “…. Indonesia is one of the most racist societies in which I've ever had the pleasure of living. Indonesians are constantly denigrating others (including one another) by tribe, birthplace, and religion. While, admittedly, this is human nature at its worst and done everywhere, it still has no place in a pluralistic, democratic society.”
Selain itu, seorang responden (ekspatriat) dalam artikel ini juga memuat suatu anggapan yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai tempat yang paling rasis, sehingga ekspatriat (yang kebanyakan orang kulit putih) telah mengalami rasisme secara pribadi. Berikut adalah kutipan yang terdapat dalam artikel tersebut: “However, that Indonesia seems racist to them because they have, for the first time, received racial insults themselves. This is pointed out to them, however, by other participants: ‘I've heard many people describe Indonesia as the most racist place they've ever been and although I would never argue that it isn't racist, I don't think its more racist than other places, but that it is probably the only place where expats (who are mostly white) have experienced racism personally directed at them. You have probably lived with racism all around you but until you moved to Indonesia and became a victim of it you just didn't notice it.” (cetak miring dari penulis)
Dari kutipan di atas, khususnya pada kalimat yang diberi cetak miring dapat dipahami bahwa kalangan Barat yang sesungguhnya sangat rasis, namun mereka
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seringkali menyangkalnya karena tidak merasakan rasisme yang ditujukan kepada mereka. Akan tetapi, ketika kalangan Barat berada di Timur seperti Indonesia seoalah-olah mereka telah merasa mendapatkan sebuah perlakuan rasis, terutama pada saat mendapatkan panggilan bule yang ditujukan kepada mereka. Meskipun artikel pendek ini, yang kurang lebih memuat sebanyak dua ribu kata, berupaya mendamaikan persepsi tentang pemaknaan kata bule, baik di pihak orang kulit putih maupun pribumi, namun pada akhirnya artikel ini menjadi ambigu. Setelah memaparkan beragam pandangan, diskusi, dan perdebatan mengenai kata bule, artikel ini mengatakan bahwa orang kulit putih maupun ekspatriat telah menerima penggunaan istilah bule, akan tetapi perlu diingat kembali bahwa judul artikel ini telah diberikan sebuah judul Don’t Call Me Bule!. Artikel menarik lainnya tentang perdebatan kata bule terdapat pada tulisan Donny Syofyan dengan judul Understanding The Word ‘Bule’.21 Sebagai penulis dari kalangan Indonesia, Syofyan mencoba menyumbangkan gagasan tentang pemahaman kata bule. Syofyan mengemukakan bahwa kata bule biasanya menunjuk pada orang kulit putih seperti Eropa, Amerika atau Australia, dan terkadang juga ada beberapa orang yang mengatakan bule Afrika (African bule) terkait dengan mereka yang berasal dari Afrika. Namun demikian, dalam artikelnya, Understanding The Word ‘Bule’ Syofyan tidak serta merta secara eksplisit menyebutkan orang asing sebagai ekspatriat. Syofyan – dengan maupun tanpa sengaja – lebih memilih untuk menggunakan kata “foreigner” dalam menyebut orang asing di Indonesia. Oleh karena itu, setidaknya perlu untuk menelusuri lebih mendalam sejauh mana Syofyan memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai kata bule di dalam artikel pendeknya.
21
Indonesia Expat Issue 116, p. 15. 52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pertama, Syofyan menjelaskan bahwa orang asing yang telah tinggal di Indonesia dalam jangka waktu yang panjang dan hidup bertetangga dengan orang lokal masih saja mendapatkan sebutan sebagai bule. Dalam hal ini, Syofyan menilai bahwa hal tersebut dirasa cukup mengganggu mereka (orang kulit putih) mengingat tidak ada yang berubah dalam hubungan bertetangga, sehingga penduduk setempat masih melihat mereka sebagai orang asing dan belum diterima dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan Syofyan juga mengingatkan bahwa terdapat hal yang berbeda ketika orang asing memiliki teman-teman Indonesia; pribumi tidak akan lagi menyebut orang asing sebagai bule ketika berteman dengan orang Indonesia, meskipun terkadang jika pribumi ingin memperkenalkan teman asingnya (yang kulit putih) kepada teman-teman lain namun masih juga sering menggunakan kata bule. Dari penjabaran poin pertama ini, penulis menganggap bahwa posisi Syofyan dalam artikelnya bersikap mendua. Di satu sisi, Syofyan ingin memperlihatkan bahwa ada keinginan dari orang kulit putih yang hadir di dalam masyarakat Indonesia untuk dianggap sama dan tidak lagi dibedakan sebagai orang asing karena telah berada cukup lama dan beradaptasi di Indonesia. Di sisi lain, posisi Syofyan tetap menempatkan bahwa kata bule adalah kata netral bagi orang kulit putih ketika digunakan untuk memperkenalkan kepada orang pribumi. Kedua, Syofyan memaparkan bahwa masih ada pandangan di kalangan orang Indonesia yang menganggap wisatawan asing dan para petualang yang sedang berkunjung ke Indonesia disebut sebagai bule, seperti dengan sapaan “mister” dan “miss”. Syofyan menganggapnya tidak hanya menjadi hal yang terdengar lucu, tapi akhirnya berubah menjadi hal yang mengganggu orang asing, apalagi karena mereka berasal dari berbagai negara dan hanya tinggal selama satu atau dua bulan di Indonesia. Dalam hal ini, Syofyan
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mencoba membuat perbandingan dengan Barat, dimana orang Barat tidak memberikan istilah atau nama yang aneh kepada orang asing atau para pendatang baru. Di negaranegara Barat, orang asing yang tinggal lebih dari satu atau dua bulan untuk bekerja atau belajar tidak mendapatkan diri mereka benar-benar merasa terganggu seperti di Indonesia. Hal ini terutama berlaku ketika banyak orang terus berulang-ulang berteriak “bule!” pada mereka, padahal sebelumnya sudah saling kenal dan bertemu, sehingga suasana seperti itu membuat orang asing merasa tidak nyaman. Terkait hal di atas, penulis kembali mengkritisi poin kedua yang disampaikan oleh Syofyan. Sebagai penulis Indonesia, Syofyan belum dapat melepaskan dikotomi antara Barat dan Timur. Syofyan masih menempatkan Barat sebagai yang lebih baik. Hal itu terlihat saat Syofyan membandingkan apa yang dialami oleh para pendatang asing di Indonesia dengan para pendatang asing di negara-negara Barat. Selain itu, upaya Syofyan untuk memperlihatkan perbandingan tersebut, baik sadar atau tidak, juga telah menempatkan Barat sebagai yang superior dibandingkan dengan Indonesia, bahkan menegaskan bahwa ketidaknyamanan menjadi bagian dari kehadiran orang asing ketika berada di luar negara-negara Barat. Ketiga, Syofyan mencoba pada suatu gagasan dengan mempertanyakan tentang kemungkinan orang asing yang mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat setempat, sehingga apakah kata “bule” akan menghilang? Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Bagi Syofyan, penerimaan terhadap keberadaan orang asing, pada tingkat yang cukup serius karena prasangka publik atas pekerjaan orang asing. Misalnya, banyak orang Indonesia beranggapan bahwa kebanyakan orang asing kaya, sehingga mereka harus membayar lebih mahal untuk suatu produk dan jasa yang mereka beli di negara Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua orang asing adalah kaya. Contoh lainnya, sebagai
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wisatawan, orang asing membayar tiket yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan pengunjung Indonesia. Oleh karena itu, Syofyan merasa tidak menyenangkan ketika menemukan suatu kejadian dimana setiap kali memasuki objek wisata para turis mendapatkan diskriminasi antara wisatawan lokal dan mancanegara. Tidak berhenti sampai disitu, berkaitan dengan wisata mancanegara, Syofyan merujuk pada beberapa pengalamannya saat mengunjungi tempat-tempat wisata di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Di sana ia tidak pernah melihat perbedaan harga antara orang asing dan penduduk setempat, yang ada hanya harga khusus untuk mahasiswa dan orang tua pensiunan. Selanjutnya, Syofyan beranggapan bahwa beberapa orang Eropa terutama mereka yang belum pernah mengunjungi Indonesia akan memiliki beberapa prasangka terhadap Indonesia. Beberapa temannya yang berasal dari Cekoslovakia, misalnya, berpikir bahwa Indonesia adalah negara dimana orangorangnya masih primitif, tinggal di rumah-rumah dalam hutan; tidak ada listrik dan tidak ada koneksi internet. Sofyan menganggap bahwa kesalahpahaman seperti itu biasanya terjadi pada orang yang selama ini hanya menetap di negara mereka dan tidak pernah pergi ke luar negeri. Persoalan lain dalam poin ketiga pada artikel Syofyan ini adalah mengenai stereotipe. Stereotipe tersebut muncul saat Syofyan mengemukakan beberapa temannya yang berpikir bahwa Indonesia adalah negara dimana orang-orangnya masih primitif, tinggal di rumah-rumah dalam hutan; tidak ada listrik dan tidak ada koneksi internet, yang mana Sofyan menganggap hal itu sebagai sesuatu kewajaran pada kalangan Barat yang selama ini hanya menetap di negara mereka dan tidak pernah pergi ke luar negeri. Dalam hal ini, penulis menanggapi bahwa pendapat Syofyan bukan menjadi suatu pembenaran belaka atas ketidaktahuan kalangan Barat terhadap Indonesia sehingga masih saja terdapat
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
stereotipe tentang Indonesia sebagai yang primitif. Karena itu, Syofyan telah luput untuk menyadari bahwa sebelum teman-temannya berkunjung ke Indonesia, terdapat wacana pengetahuan yang telah disediakan kalangan Barat mengenai dunia Timur, yakni Orientalism, seperti Asia, yang mana Indonesia termasuk di dalamnya. Poin terakhir dalam artikel ini, dan sekaligus untuk pertama kalinya Syofyan menggunakan kata “ekspatriat” sehingga bagi penulis menjadi hal yang sangat ganjil. Pada dua paragraph terakhir dalam artikel ini, Syofyan menjelaskan bahwa ekspatriat menganggap “bule” adalah istilah yang sangat kasar dan hal tersebut dapat memiliki arti yang berbeda tergantung pada konteks penggunaannya. Beberapa orang Indonesia mengemukakan bahwa “bule” adalah kata yang netral dengan arti positif dan mungkin negatif. Bahkan Syofyan juga mengemukakan sebuah pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah“bule” adalah kata fungsional untuk menggambarkan orang kulit putih, bahkan secara linguistik, orang kulit putih atau ekspatriat seharusnya tidak merasa tersinggung ketika orang menyebut mereka “bule”. Syofyan menjelaskan bahwa istilah “bule” lebih merupakan bahasa lisan untuk sehari-hari yang digunakan dalam percakapan. Pada identitas lisan, sebagian masyarakat Indonesia cenderung menganggap bahwa kata “bule” tidak menghina dan tidak dimaksudkan untuk menjadi kasar. Dikarenakan istilah ini terikat erat pada wilayah oral, orang-orang yang berpendidikan tidak akan menyebut orang kulit putih sebagai “bule” dalam konteks formal, seperti saat rapat. Orang Indonesia yang terpelajar tidak akan memanggil orang kulit putih sebagai '’bule” kecuali orang tersebut berniat untuk menghina, karena yang umum terjadi ialah salah tafsir oleh orang Barat bahwa kata tersebut bermaksud menghina.
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi penulis, penekanan yang disampaikan oleh Syofyan pada akhir artikelnya menjadi semacam “formalitas” untuk memperkuat korelasi gagasan pada awal artikel terkait istilah “bule” yang selalu diberikan pada orang kulit putih. Padahal pada paragrafparagraf sebelumnya, Syofyan tidak secara langsung menyebut orang asing adalah orang kulit putih. Syofyan juga tidak menggunakan kata “expatriate” secara berkelanjutan, akan tetapi lebih dominan menggunakan kata “foreigners” untuk menjelaskan orang asing atau para pendatang di Indonesia. Setelah melihat muatan artikel ini, penulis beranggapan bahwa posisi Syofyan dengan beragam pendapat dan pandangannya, dalam upaya untuk memberikan pemahaman tentang kata “bule”, sebagaimana judul artikelnya, ‘Understanding The Word ‘Bule’, merupakan sebuah penjelasan yang tidak begitu lengkap dan komprehensif. Selain itu, Sofyan seharusnya melakukan problematisasi yang lebih terfokus pada orang asing kulit putih atau ekspatriat, sehingga tidak meluas ketika menyebut orang asing sebagai foreigners. Dengan demikian, pemahaman mengenai orang kulit putih mengenai sebutan “bule” dan “ekspatriat” akan menjadi lebih jelas dan terang bagi kalangan umum. B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi! Sebagaimana yang telah disinggung pada bab sebelumnya, Bab I Pendahuluan, terdapat beragam penjelasan mengenai pengertian ekspatriat secara etimologi. Merujuk pada pandangan seorang Sosiolog, Eric Cohen, dalam artikel yang berjudul “Expatriate Community” (1977), secara konvensional mengatakan bahwa: Expatriate is conventionally reserved for Westerners who have lived abroad for varying lengths of time, especially artists, colonials, and generally those with a mission of one kind or another.22
Sementara itu, seorang Antropolog, Ulf Hanners (1996) menjelaskan bahwa: 22
Dalam Anne-Meike Fechter. (2007). Transnational Lives: Expatriates in Indonesia. England: Ashgate. Hal. 1. 57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Expatriates (or ex-expatriates) are people who have chosen to live abroad for some period, and who know when they are there that they can go home when it suits them...these are people who can afford to experiment, who do not stand to lose a treasured but threatened, uprooted sense of self.23
Dengan demikian, dari kedua upaya penjelasan maupun pemaparan di atas dapat diketahui bahwa belum terdapat batasan yang ketat untuk dapat menyebut orang yang keluar dari negara asalnya sebagai ekspatriat, terutama identitas ekspatriat yang tidak terkait dengan suatu jenis ras tertentu. Meskipun dari pernyataan Cohen ekspatriat merujuk pada orang-orang Barat, namun tampaknya perlu untuk menelusuri lebih lanjut beragam wacana yang terdapat di dalamnya, khususnya orang asing kulit putih yang merepresentasiskan diri sebagai ekspatriat. Sebagai salah satu sumber rujukan pustaka dalam penelitian ini, yakni, AnneMeike Fechter yang melakukan studi tentang kehidupan transnasional ekspatriat di Indonesia telah memberikan sumbangsih tentang beragam wacana seputar kehidupan ekspatriat. Melalui sebuah penelititan, Fechter berupaya untuk dapat memahami ekspatriat dengan melihat kondisi yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Bertolak pada sebuah artikel milik Cohen (1977) yang berjudul 'Expatriate Community', Fechter (2007:1) ingin mengingatkan kembali dengan memperlihatkan suatu pola hubungan relatif yang kontras dengan keunggulan ekspatriat dalam imajinasi populer, meskipun hal tersebut sering mengambil bentuk karikatur dan klise. Keberadaan klise ini lebih dikonstruksi oleh ekspatriat sendiri terkait dengan pengasumsian suatu ‘kebiasaan eksotis’ dan ‘keyakinan irasional’ yang ditujukan terhadap kalangan pribumi. Meskipun Fechter tidak mencoba secara sistematis untuk meninjau istilah ‘ekspatriat’ yang longgar dan memiliki beberapa arti, namun ia berupaya membahas keberadaan ekspatriat yang relevan dalam konteks sekarang. Fechter (2007:1) menjelaskan 23
Dalam Upton, S.R. (1998). Expatriates in Papua New Guinea: Contructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives. Hal. 4. 58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahwa kata ‘expatriate’ berasal dari bahasa Latin; ex yang berarti keluar dan patria yang berarti negara asal. Selain itu, Fechter juga merujuk pada The New Oxford English Dictionary (1999) mengenai asal usul penggunaan kata ekspatriat yang ada saat ini, yang mana kata eskpatriat bermula pada pertengahan abad ke-18 atau dalam bentuk istilah Latin, diartikan sebagai seseorang yang pergi atau keluar dari negaranya. Di samping itu, Fechter (2007:1) setidaknya mendeskripsikan bahwa istilah ekspatriat telah menjadi terkenal dalam beberapa hal. Pertama, semisal dalam tulisan yang terdapat dalam Lost Generation, penulis Amerika yang tinggal di Paris setelah Perang Dunia I, termasuk Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald dan Gertrude Stein. Sebuah kutipan dari novel Hemingway, The Sun Also Rises, menunjukkan kiasan dari kemerosotan moral yang terkait dengan keberadaan ekspatriat: “Anda seorang ekspatriat. Anda telah kehilangan kontak dengan tanah kelahiran. Anda mendapatkan kedudukan yang tinggi. Standar kepalsuan Eropa telah merusak Anda. Anda minum hingga mati. Anda menjadi terobsesi dengan seks. Anda menghabiskan seluruh waktu hanya untuk berbincang-bincang tanpa bekerja. Anda adalah adalah seorang ekspatriat, lihat?"24 Selajutnya, Fechter (2007:2) juga berupaya menunjukkan bahwa kata ekspatriat sebagai sebuah penggunaan istilah, yang mana untuk konteks sekarang dinilai lebih relevan berkaitan dengan kolonialisme. Bagi Fechter, belakangan ini hubungan kata-kata 'kolonial' dan 'ekspatriat' juga senantiasa digunakan satu sama lain dalam catatan kehidupan kolonial. Hal itu dapat terlihat dalam sebuah deskripsi ketika para pria Inggris yang telah berada terlalu lama dengan iklim tropis di Asia Selatan atau Asia Tenggara telah mengalami penderitaan dunia yang melelahkan, mengalami keterasingan, dan kecanduan alkohol. Deskripsi tersebut acapkali digambarkan dalam novel dan cerita 24
“You’re an expatriate. You’ve lost touch with the soil. You get precious. Fake European standars have ruined you. You drink yourself to death. You become obsessed by sex. You spend all your time talking, not working. You are an expatriate, see?” (Hemingway 1926, Chapter 12). Dalam Fecther (2007). Hal. 1. 59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pendek Anthony Burgess, Joseph Conrad dan Somerset Maugham. Asosiasi ini dikaitkan – dan kadang-kadang kontinuitas – antara masa lalu kolonial dengan permukaan wacana populer ekspatriat kontemporer; bersantai dan menghirup tonik saat matahari terbenam, sehingga telah menjadi gambaran ikon dari kehidupan ekspatriat di daerah tropis saat ini. Hal ini didasarkan pada kemungkinan pengaruh dari cara hidup petugas kolonial Inggris di India, sehingga Fechter membahas pentingnya hubungan antara kedua kelompok tersebut; petugas kolonial dan para pendatang yang menjadi ekspatriat. Kedua, Fechter (2007:2) juga memaparkan bahwa sebuah makna dari istilah “ekspatriat” dalam hal teknis juga digunakan dalam bidang manajemen sumber daya manusia internasional. Dalam konteks ini, seorang ekspatriat ditempatkan sebagai seseorang yang mengambil sebuah tugas internasional untuk majikan (perusahaan multinasional) mereka. Sebagai orang tetap di dalam suatu perusahaan, langkah-langkah ini kerapkali juga disebut sebagai transfer intra-perusahaan. Mereka sering disebut sebagai 'ekspatriat bisnis', yang mana perpindahan semacam ini mungkin saja terjadi. Bahkan suatu model tradisional yang menetapkan bahwa seorang pekerja akan diberikan uang insentif untuk kepindahannya dan kompensasi atas biaya ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat adanya relokasi. Hal itu termasuk biaya perpindahan, tiket pesawat, biaya perumahan, mobil dan supir, asuransi kesehatan, serta biaya sekolah anak-anak mereka, ditambah lagi gaji yang lebih tinggi untuk mengakomodasi biaya dalam mempertahankan gaya hidup luar negeri. Ekspatriat perusahaan ini secara khusus berkaitan dengan tahapan yang berbeda dari 'siklus ekspatriat'; karena itu adalah pilihan mereka, sebagai bentuk tugas dan repatriasi, remunerasi, dan berdasarkan pada evaluasi keberhasilan atau kegagalan.
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ketiga, terlepas dari kerangka pengertian yang sempit, Fechter (2007:3) juga menjelaskan istilah ekspatriat yang sering muncul dalam representasi suatu media, misalnya berkenaan dengan suatu peristiwa ketika orang Inggris pindah ke selatan Spanyol, Perancis atau Italia secara sementara atau permanen. Bagi Fechter, hal ini terjadi bukan hanya sebatas lansia yang biasa dianggap sudah pensiun atau sedang liburan, tetapi juga orang-orang yang meninggalkan pekerjaan mereka dan menjual properti mereka di Inggris guna mengejar kualitas hidup yang lebih baik di luar negeri, iklim yang lebih hangat dan biaya hidup yang lebih rendah. Fechter menempatkan ekspatriat semacam ini telah memperoleh profil yang relatif tinggi dalam imajinasi populer di Inggris, sebagian hadir melalui beberapa serial di televisi, menyusul relokasi dan pemukiman luar negeri. Seperti penampilan mereka dalam novel Peter Mayles, A Year in Provence, atau JG. Ballard, Cocaine Nights, dan fitur berita lainnya, semisal tentang akses kesehatan bagi warga yang lanjut usia di Spanyol. Secara khusus, bertolak dari pengamatan di Indonesia, Fechter (2007:3) mulai menemukan semacam kejelasan dari makna sebuah istilah ‘ekspatriat’. Ekspatriat dengan berbagai hal yang disertai asosiasi mewah, secara lebih rinci membahas aspek bagaimana warga Barat di Indonesia berhubungan dan berbicara tentang identifikasi mereka yang asing vis-à-vis dengan orang Indonesia dan orang-orang di negara mereka. Berdasarkan pada informannya di Indonesia, yang semuanya adalah orang Euro-Amerika, Fechter menggambarkan bahwa diri mereka sebagai ekspatriat karena berada pada suatu perusahaan berskala internasional, sehingga telah membuat seseorang menjadi ekspatriat. Beberapa dari informannya tidak hanya menerima istilah ekspatriat, ‘but embraced it with relish’. Ini adalah pengakuan mereka mengenai makna atas status pekerjaan, karena status
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ini telah membuat mereka sampai pada batas tertentu yang membenarkan bahwa keberadaan ekspatriat relatif mewah. Keempat, Fechter (2007:3) mengemukakan bahwa pemberian label ‘ekspatriat’ juga telah menandakan mereka dalam mekanisme kapitalisme global, di mana mereka tidak memiliki kontrol atas diri dan tidak dapat bertanggung-jawab atas kesenjangan yang dihasilkan di dalam masyarakat. Dasar alasan ini diletakkan pada apa yang biasa disebut ‘hardship ideology’, yang juga menjadi dasar dalam suatu ‘paket ekspatriat’ karena dikirim ke suatu negara yang “tidak nyaman”, sehingga menjadi wajar apabila mendapatkan bayaran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara asal. Selain itu, ideologi ini sering muncul berkaitan dengan konsep dari perusahaan ekspatriat, per definisi, adalah mereka lebih terampil dan berkualitas untuk dipekerjakan daripada tenaga kerja lokal, dan karena itu mereka layak digaji jauh lebih tinggi daripada penduduk setempat. Bahkan ketika para perusahaan mereka memberikan pembenaran lebih lanjut untuk suatu posisi istimewa ekspatriat dan persepsinya yang sering mendasar atas perusahaan ekspatriat memiliki nilai yang tinggi. Di samping itu, Fechter (2007:4) juga meninjau pemikiran Chambers (2005) berkaitan pada fenomena ekspatriat yang mengacu sebagai ‘capital trap’, sehingga muncul sinyal yang berjarak antara para profesional dengan masyarakat negara tempat mereka bekerja. Meskipun terdapat beberapa kesamaan dengan ekspatriat perusahaan, akan tetapi terdapat beberapa ekspatriat sebagai pekerja sosial yang enggan untuk merujuk diri mereka sebagai ekspatriat. Hal ini disebabkan kecenderungan yang mengandung konotasi negatif, seperti keserakahan, kebodohan, dan kurangnya minat pribadi untuk hidup bersama masyarakat, hingga karakteristik mereka yang tidak ingin diidentifikasi. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa terdapat para pekerja sosial yang masih cenderung untuk
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dapat mempertimbangkan misi dan motivasi mereka secara fundamental berbeda dengan sektor korporasi, bahkan mereka lebih menekankan pada sisi humanistik dan bukan berorientasi pada motif keuntungan. Kelima, Fechter (2007:5) juga menyebutkan bahwa adanya kelompok lain yang sebagian tumpang-tindih dengan para pekerja sosial, yaitu generasi muda yang belum tentu berada di Jakarta karena dikirim melalui perusahaan, tetapi ada yang mengambil pekerjaan atas inisiatif mereka sendiri. Ada kemungkinan mereka juga menerima gaji yang kompetitif secara global dan memiliki gaya hidup yang nyaman, tapi tidak selalu menggambarkan bahwa diri mereka dapat dan mau dikatakan sebagai ekspatriat. Fechter menyarankan bahwa kelompok ini enggan untuk dihubungkan dengan para ekspatriat tua dan budaya mereka, karena cenderung akan berkaitan dalam hal kelompok se-negaranya, berorientasi hidup sosial, terlibat dalam organisasi masyarakat, dan pada umumnya dengan apa yang mereka anggap sebagai sebuah gaya hidup kuno, yaitu, ekspatriat tradisional. Bergeser pada suatu pandangan lain, Fechter (2007:5) mencoba melihat bagaimana bentuk keprihatinan pengetahuan masyarakat Indonesia yang juga cenderung meremehkan ekspatriat dengan menunjukkan keterlibatan ekspatriat yang tinggal di luar Jakarta, semisal, pengusaha kecil, guru, seniman, dan mereka yang bekerja untuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karena itu, Fechter melakukan kritik dengan menyampaikan bahwa acapkali dalam pemahaman pribumi, istilah ekspatriat selalu diasosiasikan dengan menunjukkan gaya hidup mewah, kurangnya memiliki kemampuan bahasa, arogansi, kebodohan, dan mungkin sikap rasis. Berbekal dengan beberapa definisi dan melihat kondisi realitas para ekspatriat dalam perspektif transnasional di Indonesia, pada khususnya di Jakarta, akhirnya Fechter mendapatkan beberapa temuan dan kesimpulan, diantaranya, pertama, kehadiran para
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ekspatriat bukanlah sebuah kelompok yang homogen (2007:15). Kedua, kehidupan para ekspatriat berkaitan dengan sejarah, ras, kebangsaan, hingga gender (2007:34). Ketiga, arus perpindahan global atau transnasionalisme yang dialami para ekspatriat dilingkupi dengan hak-hak istimewa migrasi (2007:56). Keempat, ekspatriat perusahaan masih dilingkupi oleh imajinasi kolonial (2007:80). Kelima, ekspatriat memproduksi identitas, mengafirmasi, dan berkontestasi dalam kehidupan sosial (2007:100). Terakhir, Fechter menolak mitos globalisasi mengenai identitas yang bersifat cair maupun yang dianggap tidak ada lagi batasan dengan memperlihatkan kehidupan transnasional para ekspatriat (2007:166). Dengan demikian, ekspatriat bukan lagi hanya sekedar pendefinisian semata, melainkan terjadi suatu proses reproduksi wacana yang turut memapankan ekspatriat sebagai suatu identitas. B.2.
Ekspatriat di Indonesia Sebagaimana Loomba (2000:2) mengemukakan bahwa kolonialisme bukanlah
suatu proses identis dalam berbagai bagian dunia yang berbeda, tetapi di mana pun adanya selalu terjadi hubungan-hubungan yang paling kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara penduduknya dengan para pendatang baru. Dalam hal ini, ekspatriat pun merupakan pendatang baru di sebuah negara seperti Indonesia. Sebagai pendatang baru, kehadiran para ekspatriat sudah tentu berhadapan dengan penduduk pribumi, sehingga menghasilkan dinamika di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan data mengenai Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selama tahun 2013, tercatat sebanyak 68.957 orang Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia.25 Bahkan pada tahun 2013 sebuah survei dari lembaga perbankan seperti HSBC telah 25
Penjelasan diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Lihat http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/02/09/68957-ekspatriat-bekerja-indonesia-di-2013 64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menempatkan Indonesia di dalam daftar negara yang paling diminati oleh para ekspatriat, dan berada di tempat paling atas untuk kriteria tempat dan peluang karir terbaik.26 Karena itu, tidak mengherankan bahwa pada tahun 2014 jumlah ekspatriat di Indonesia masih berjumlah 68.762 orang.27 Jumlah kehadiran para ekspatriat di Indonesia di atas telah menasbihkan sebuah era kolonialisme modern. Kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta benda, dan kekayaan negara dari negara taklukannya, tetapi juga membangun kembali struktur perekonomian mereka, menarik mereka ke dalam hubungan kompleks dengan negaranegara induk, sehingga terjadi arus manusia dan sumber daya alam antara negara-negara koloni dengan negara-negara kolonialnya (Loomba, 2000:3). Dengan demikian, kehadiran para ekspatriat merupakan praktik atas arus manusia pada masa kolonialisme modern. B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat Ekspatriat telah menjadi fenomena budaya di tengah masyarakat kontemporer Indonesia. Ekspatriat sebagai identitas para pendatang baru atau orang asing tampaknya memang kurang begitu akrab di sebagian besar telinga masyarakat Indonesia. Namun demikian, terdapat perdebatan yang cukup menarik untuk diikuti guna mengetahui keberadaan para ekspatriat di Indonesia. Perdebatan mengenai kehidupan para ekspatriat di Indonesia ini dipantik oleh dua Antropolog, yakni Anne-Meike Fechter dan Abdul Kadir. Hasil penelitian mengenai kehidupan ekspatriat di Indonesia yang disajikan oleh Fechter dalam buku Transnational Live Expatriates in Indonesia, telah membuat seorang Abdul Kadir tergugah untuk memberikan suatu tanggapan dalam sebuah artikel terkait
26 27
HSBC Expat Explorer Survey 2013. p. 8. (Expat Economic League Table; Household Income). http://ppid.depnakertrans.go.id/menaker-hanif-jumlah-tka-sebanyak-68-762-orang-pada-tahun-2014/ 65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat kulit putih di Indonesia.28 Kadir beranggapan bahwa buku tentang kehidupan masyarakat kulit putih selama ini hanya diteliti oleh para sejarawan. Semenjak dekolonisasi era Soekarno di tahun 1957, telah terjadi pengusiran orang kulit putih di berbagai kota besar seperi Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Malang. Oleh karena itu, karya penelitian Fechter telah mengundang rasa penasarannya untuk mengetahui bagaimana masyarakat kulit putih saat ini dapat bertahan hidup di negara tropis Indonesia, bahkan untuk melihat kembali hal yang membedakan kehidupan mereka dengan masyarakat kulit putih di zaman kolonial. Kadir pun mengkritisi bahwa buku tersebut turut menyajikan stereotipe tentang orang Indonesia dari kacamata orang Barat yang selalu hampir sama dengan pandangan yang dihasilkan Barat mengenai Indonesia. Kadir beranggapan bahwa kehadiran para ekspatriat di Indonesia telah membantah pandangan globalisasi selama ini, di mana Arjun Appadurai berargumen bahwa globalisasi telah membuat cairnya identitas. Baginya, dengan adanya kehidupan transnasional telah membuat identitas pada batas-batas tertentu. Identitas dari komunitas kulit putih yang mengaku paling kosmopolit dan internasional ini justru telah menciptakan dan mempertegas batas-batas itu sendiri; batas antara orang kaya dan miskin, antara mereka yang putih dan kulit gelap, dan antara yang ‘penjajah’ dan ‘terjajah’ tetap dipelihara, bahkan semakin dipertegas. Atas adanya tanggapan yang diberikan oleh Kadir, Fechter selaku penyaji buku pun terpancing untuk memberikan pandangannya dalam sebuah artikel bersambung – menjadi dua bagian terpisah. Akan tetapi dalam artikel ini, pandangan yang diberikan Fechter tidak terkait dengan ekspatriat di Jakarta. Dalam artikelnya tersebut, Fechter
28
Hatib Abdul Kadir, Menelisik Masyarakat Kulit Putih di Indonesia, sebuah review buku. Dapat dilihat pada laman berikut: http://etnohistori.org/menelisik-masyarakat-kulit-putih-di-indonesia-review-bukutransnational-lives-hatib-abdul-kadir.html (Diakses 07 April 2013) 66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berupaya membahas tentang ekspatriat non-perusahaan yang hidup di Kota Yogyakarta.29 Fechter mengatakan bahwa banyak orang asing yang sebagian besar datang ke kota Yogyakarta tidak dikirim oleh perusahaan, akan tetapi datang karena inisiatif sendiri. Keputusan mereka untuk tinggal di Yogyakarta berbeda dengan para ekspatriat perusahaan di Jakarta. Di Yogyakarta banyak ‘ekspatriat independen’ yang memiliki minat lebih terhadap orang dan perusahaan dalam negeri. Mereka cukup mampu dalam memahami budaya lokal dan berbahasa Indonesia, dan banyak yang bertekad untuk membangun hubungan kerja yang erat dengan Indonesia, bahkan terkadang dengan tujuan untuk menyatu bersama komunitas lokal. Dengan demikian, hal ini menjadi berbeda dengan para ekspatriat di Jakarta yang seolah-olah tinggal dalam ‘gelembung’ dan menghindar dari orang pribumi. Pada artikel yang kedua, Fechter lebih berupaya untuk melihat perbedaan kondisi ekspatriat di Yogyakarta dengan di Jakarta.30 Dibandingkan dengan ekspatriat di Jakarta, bagi Fechter para ekspatriat di Yogyakarta kebanyakan tinggal dengan akomodasi yang sederhana, meski lebih mahal dibandingkan rata-rata rumah-rumah orang Indonesia, namun dinilai masih lebih murah dari akomodasi di negara asal mereka. Perbedaan lainnya adalah ekspatriat yang berkeluarga, semisal rencana perjalanan, karena mereka sering melakukan perjalanan bolak-balik antara Indonesia dengan negara asal dan juga lingkaran sosial mereka. Oleh karena itu, mereka ditandai sebagai orang-orang yang selalu datang dan pergi, karena mampu melakukan perjalanan ke Jakarta, Singapura atau ke negara asal untuk alasan pekerjaan, sosial atau visa. Perbedaan ini terlihat jelas, namun mereka biasa
29
Anne-Meike Fechter, Etnografi Ekspatriat [Bule] di Yogyakarta Bagian 1. 25 April 2012. Dapat dilihat pada laman berikut: http://etnohistori.org/etnografi-ekspatriat-atau-bule-di-yogyakarta-bagian-1-oleh-annemeike-fechter.html 30 Anne-Meike Fechter, Etnografi Ekspatriat [Bule] di Yogyakarta Bagian 2. 27 April 2012. Dapat dilihat pada laman berikut: http://etnohistori.org/etnografi-ekspatriat-atau-bule-di-yogyakarta-bagian-2-oleh-annemeike-fechter.html 67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tinggal dalam bentuk jangka waktu yang tidak lama, mereka pergi untuk sementara, tetapi akan kembali demi mempertahankan kontak dengan mereka yang masih di sana. Menetap di Yogyakarta biasanya dianggap sebagai pilihan sementara, yang mana dapat dipertimbangkan kembali dan kemudian diubah lagi. Mengenai kontak awal mereka dengan orang Indonesia, sebagian besar dari mereka datang untuk pertama kalinya sebagai wisatawan atau untuk mengunjungi teman-teman. Seringkali mereka hanya kebetulan di Indonesia untuk tujuan wisata. Bagaimanapun, Fechter beranggapan bahwa saat mereka tinggal sementara waktu di Yogyakarta, terjadi pertemuan dengan beberapa orang asing, dan setelah menyadari seperti apa kemungkinan tempat gaya dan hidup yang ditawarkan, mereka dapat memutuskan untuk datang kembali. Fechter melihat bahwa banyak posisi orang asing di Yogyakarta dapat digambarkan ‘tinggal dalam waktu yang berselang’. Ini berarti bahwa mereka bukan hanya bersandar pada kenyamanan, dan manfaat dari perbedaan atau dalam kekuasaan, uang dan status yang ada di antara mereka sebagai warga negara-negara Barat dengan Indonesia. Mereka tinggal dalam sebuah ‘selisih’ (gap) karena meraka tidak perlu berintegrasi ke dalam komunitas lokal, sementara pada saat yang sama menjauhkan mereka dari negara asal. ‘Gap’ menandakan keadaan kepemilikan nilai simbolis, serta posisi material dan sosial yang memberikan mereka peningkatan peluang pribadi dengan cara mengukir eksistensi mereka di Yogyakarta. Citra ‘gap’, bukan ‘gelembung’ juga mengakui upaya mereka untuk terlibat dengan orang Indonesia. Sementara kekuatan ekonomi mereka yang besar memungkinkan mereka untuk mempunyai kehidupan yang relatif nyaman untuk tinggal di Yogyakarta. Selain itu, jarak sosial dan budaya juga memberikan keuntungan yang mungkin tidak tersedia bagi mereka di negara asal mereka.
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Keuntungan tersebut muncul karena mereka adalah orang Barat yang berkulit putih, dan dengan demikian seringkali dianggap unggul bagi orang Indonesia – sebuah gagasan yang terkadang sama dimiliki oleh orang Barat dan orang Indonesia. Ide superioritas didasarkan pada beberapa hal: lebih besar pada politik dan kekuasaan ekonomi; kepemilikan sebagai negara-negara industri yang merupakan asal ‘teknologi tinggi’, standar pendidikan yang tinggi, standar hidup yang tinggi; negara yang ditandai dengan efisiensi, kerja keras dan keberhasilan. Hal ini menjadi alasan dasar bagi munculnya kekaguman terhadap orang asing, hal ini yang menyebabkan pula mereka mempunyai prestise tertentu dan mempunyai banyak perhatian yang lebih besar, sehingga selalu mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Orang asing di Yogyakarta cenderung menganggap moral mereka sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta. Ekspatriat di Yogyakarta cenderung sangat kuat menjaga jarak dan membedakan diri dari ekspatriat kaya di Jakarta. Meskipun ekspatriat di Yogyakarta bangga berbeda dari ekspatriat perusahaan di Jakarta, namun Fechter tetap menganggap bahwa sikap mereka juga agak ambigu. Orang asing di Yogyakarta ketika melakukan kunjungan ke Jakarta secara simultan terpesona, ditolak, dan sering tergoda oleh gaya hidup mewah yang menjadi penghibur rekan-rekan perusahaan mereka di sana. Asumsi-asumsi mereka tentang posisi yang superior secara moral lebih lanjut agak terganggu jika melihat relasi mereka dengan ‘budaya Indonesia’ yang sering dibedakan dari ekspatriat perusahaan di Jakarta. Pada akhirnya Fechter mencoba untuk menjawab suatu pertanyaan mengenai apakah orang asing Yogyakarta mampu menghindari ‘Hidup dalam gelembung’ seperti ekspatriat di Jakarta? Fechter berpendapat bahwa gaya hidup mereka lebih cocok jika diasosiasikan dengan ‘hidup dalam jarak’. Sesuai dengan motivasi mereka untuk tinggal,
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
minat pribadi mereka dan kompetensi antar budaya sebagai orang asing di Yogyakarta. Mereka tidak mengasingkan dirinya dan bergaya hidup eksklusif sebagaimana yang dilakukan oleh ekspatriat di Jakarta. Meskipun kehidupan mereka tampak jauh lebih baik terintegrasi dengan masyarakat lokal, keberadaan mereka yang nyaman mengandalkan pada perbedaan dalam hal pendapatan dan status sosial antara diri mereka dan orang Indonesia, hal ini sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang asing di Jakarta. Gaya hidup orang asing di Yogyakarta, bagaimanapun, tidak menandai perbedaan yang mencolok, serta mereka berusaha untuk memperbaikinya baik dengan cara yang substantif maupun dengan cara membangun citra mereka. Dari perdebatan di atas, dapat dilihat bahwa masih terdapat kesimpang-siuran mengenai ekspatriat di Indonesia. Dengan menelisik masyarakat kulit putih di Indonesia, Kadir beranggapan bahwa kehadiran ekspatriat saat ini memiliki asosiasi dengan latar kolonial. Kadir menilai bahwa kehadiran ekspatriat di Indonesia pasca-kolonial memiliki esensi yang masih sama dengan praktik kolonial, seperti penjagaan batas, baik secara fisik maupun simbolik. Namun demikian, Fechter tidak serta merta untuk mengamini pandangan yang telah diberikan oleh Kadir, namun sebaliknya ia mencoba untuk memperlihatkan ekspatriat di luar Jakarta, yakni Yogyakarta. Dalam hal ini, penulis beranggapan bahwa perdebatan yang terjadi antara Kadir dengan Fechter berujung pada kebuntuan. Titik berangkat Kadir adalah mencoba untuk memberi resensi dan sedikit memberi kritik atas karya penelitian Fechter yang telah dibukukan. Sementara itu, Fechter memberikan tanggapan dengan beralih pada lokus yang berbeda, yakni ekspatriat di Yogyakarta. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kehadiran para ekspatriat di Indonesia perlu untuk digali lebih mendalam.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.2.2. Media Ekspatriat; Majalah Jakarta Expat Untuk pertama kalinya media ekspatriat berupa Majalah JE dijalankan oleh Graham James dan Brian McGill sejak pertengahan tahun 2009.31 Tetapi dalam perjalanannya Majalah JE tidak berjalan dengan mulus, sehingga pada tahun 2010 sempat terhenti untuk sementara waktu dan diambil oleh Bartele Santema.32 Berbekal sebuah tagline “Indonesia's Largest Expatriate Readership”, Majalah JE diproduksi dari, oleh, dan untuk para ekspatriat dengan tujuan menyapa dan menjaring para ekspatriat di Jakarta. Tidak puas hanya terbatas memproduksi sebuah majalah ekspatriat di Jakarta, pada Juni 2012 manajemen yang sama pun berhasil menerbitkan Majalah Bali Expat (BE) sebagai perpanjangan Majalah JE. Bali sengaja dipilih karena dirasa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama terkait dengan kehadiran para ekspatriat di Bali yang jumlahnya tidak sedikit – walaupun umumnya lebih didominasi oleh para wisatawan. Meski demikian, setelah Majalah JE terbit sebanyak 110 edisi, dan Majalah BE sejumlah 39 edisi, pada Februari 2014 JE dan BE bergabung menjadi satu publikasi dwi-mingguan bernama Majalah Indonesia Expat (IE). Majalah IE di upgrade guna didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Majalah IE terbit pertama kali dengan nomor edisi 111 untuk melanjutkan edisi Majalah JE sebelumnya. Dengan tetap mencetak 15.000 eksemplar tiap dua minggu dan 30.000 eksemplar per bulannya, kini Majalah IE mulai tersebar dari Sumatera hingga ke Papua. Khususnya, Majalah IE disebarluaskan di berbagai pulau di Indonesia, seperti Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Majalah IE bukanlah 31
Graham James adalah seorang Australia. Pemilik Batavia Cafe di kawasan kota tua Jakarta. Batavia Café adalah salah satu bangunan buatan Belanda pada tahun 1805 yang dibelinya pada tahun 1991.Ia juga pemilik lembaga Inggris Education Centre yang didirikan pada tahun 1972, Melbourne Institute of Business and Technology. Sedangkan Brian McGill adalah penggagas sekaligus editor Jakarta Expat. 32 Bartele Santema adalah seorang Belanda. Pemilik PT. Koleksi Klasik Indonesia, Bartele Gallery, beberapa media seperti Newspaper Direct, Jakarta Expat, Bali Expat, Indonesia Expat, Golf Indonesia, dan juga penulis buku ‘Bugil’ (Bule Gila). 71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
suatu publikasi baru, melainkan peluncuran kembali dan perubahan dari media yang sudah ada dengan menawarkan sajian konten yang lebih beragam. Majalah IE hadir dengan nama baru dan menampilkan sebuah nuansa baru.33 Tampaknya telah menjadi sebuah prestasi, dalam hitungan setengah dekade Majalah JE telah berhasil bermetamorfosa menjadi Majalah IE. Majalah JE yang merupakan embrio kini telah menjadi Majalah IE dan menjangkau para ekspatriat di berbagai wilayah Indonesia. Dengan kata lain, majalah ini diproduksi dari Jakarta untuk Indonesia, yang mana tujuan utamanya adalah para ekspatriat. Berikut ini adalah media pack Majalah JE dan IE: Media ekspatriat ini bernama JAKARTA EXPAT yang diterbitkan oleh PT. Koleksi Klasik Indonesia sejak 29 Juli 2009. JE menyajikan media dengan berbahasa Inggris dan disebarluaskan secara gratis sebanyak 15.000 eksemplar tiap dua minggu. Dengan tampilan penuh warna diatas kertas AP 85 gr (glossypaper), JE pun mencetak sebanyak 24 halaman pada tiap edisinya dan didistribusikan di kawasan Jakarta dan sekitarnya. JE menargetkan para pembacanya adalah penutur berbahasa Inggris yang bekerja di Jakarta dan sekitarnya, dengan kebangsaan; Asia, Amerika, dan Eropa. Ekspatriat yang ditujukan adalah mereka dengan latar belakang pekerjaan seperti, eksekutif, pemilik bisnis, manajer, pengelola, seorang ahli, dan pelajar. Selain itu, JE mengangkat berbagai topik atau konten dengan beragam bahasan, antara lain: Moment in History, Featured Article, Meet the Expats, Feature Story, Expat Observations, Global Expatriat News, Literature, Travel, Food & Drink, Lifestyle, Personal Tech and Apps, Properties, Light
33
Indonesia Expat 111th Edition, p.4.Written by Angela Richardson as Editor in Chief. 72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Entertainment, Clasifieds. Persebaran media JE terdapat di beberapa tempat, seperti yang dapat dilihat di bawah ini: Circulation based on number of venues 34 Category
Venues
Copies
Embassy
59
743
Organization
45
927
School/Courses
67
1627
Apartment
106
5.102
Public Spaces
220
4.281
Companies
143
1.958
Special Event/Marketing and Promotion
640
872
1280
15.000
Grand Total
Semenjak Majalah JE berubah menjadi IE, media ini lebih berupaya untuk menyapa para ekspatriat di Indonesia secara luas. Namun, tidak banyak berbeda dengan Majalah JE, IE tetap menjalankan misinya dari Jakarta di bawah naungan PT. Koleksi Klasik Indonesia. Perbedaan yang terdapat pada Majalah IE hanya tipe kualitas cetak yang berkurang, yaitu disajikan di atas kertas AP 70gr (glossy paper). Namun demikian, Majalah IE menambahkan jumlah sajiannya sebanyak 32 halaman pada setiap edisinya dan memperluas area distribusi yang menjangkau berbagai wilayah Indonesia, antara lain: Jakarta, Bali, Balikpapan, Bandung, Banjarmasin, Batam, Bintan, Bogor, Gili Trawangan, Jogjakarta, Lombok, Palangka Raya, Samarinda, Soroako, Surabaya, and Papua Barat. Dengan target pembaca yang masih sama dengan Majalah JE, IE berupaya menjangkau pembaca dari berbagai negara dan bangsa; Indonesia, Amerika Utara, Inggris, Australia, Selandia Baru, Eropa, Asia, Asia Tenggara, Afrika, Rusia, dan
34
Media Kit Jakarta Expat, Data as of: September 2012. p.3. 73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Amerika Latin. Hal lain yang ditambah oleh IE adalah sajian topik, seperti, Business Profile, Property Watch, dan Scams in the City. Dalam hitungan tahun Majalah JE telah bertransformasi menjadi Majalah IE. Dalam hal ini Majalah JE yang notabenenya adalah embrio sebuah media mengenai ekspatriat menjadi perhatian penulis untuk menyelediki awal ketertarikan dan muatan wacana yang tersajikan di dalamnya. Oleh karena itu, tanpa menghindari Majalah IE, penulis lebih menekankan pembahasan mengenai ekspatriat dengan berangkat dari Majalah JE. C.
Catatan Penutup Kehadiran orang asing di Indonesia bukan lagi hanya dipandang sebagai sebuah
hubungan antar negara-bangsa, melainkan juga tercatat mempunyai beragam tujuan, seperti perdagangan hingga perluasan kekuasaan yang menghasilkan penjajahan dan berambisi pada tindakan penaklukan. Pada masa kolonial, kehadiran orang asing di Indonesia, pada khususnya orang kulit putih telah mengkonstruksi identitas kedirian mereka sehingga sangat berbeda dengan pribumi. Orang kulit putih menyandang identitas mulai dari sebutan orang Eropa, Trekker, Blijvers, Kompeni, Londo ataupun Penjajah. Kini, Indonesia di masa pasca-kolonial, kehadiran orang kulit putih acapkali disebut sebagai bule, bahkan ada pula yang menolaknya dan berupaya merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat. Meskipun dalam definisinya ekspatriat tidak menjelaskan dan menekankan pada suatu jenis ras tertentu secara khusus, namun pada kenyataan di dalam masyarakat kontemporer saat ini, kehadiran para ekspatriat selalu cenderung direpresentasikan oleh orang kulit putih.
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain itu, asosiasi mengenai sebutan bule sebagai ekspatriat lebih terbuka luas karena dapat mengangkat prestise sebagai orang kulit putih di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Namun sebaliknya para ekspatriat lebih cenderung merasa enggan untuk disebut sebagai bule karena kekhawatiran mereka yang diperlakukan secara tidak sopan atau kasar maupun rasis. Bahkan, para ekspatriat pun tidak ingin hanya dianggap sebagai seorang wisatawan yang sedang berlibur di Indonesia. Oleh karena itu, keinginan para ekspatriat untuk tidak disamakan dengan bule merupakan sebuah penanda yang berarti keinginan untuk tetap membedakan diri mereka, baik itu terhadap sesama orang asing maupun pribumi. Selanjutnya, setelah melihat bagaimana asal muasal media ekspatriat, maka pada bab selanjutnya, Bab III, kita akan melihat bagaimana para ekspatriat dihadirkan dalam Majalah JE. Karena Majalah JE bukan hanya diproduksi sebagai alat pemberi informasi bagi para ekspatriat, namun juga dipergunakan sebagai ajang representasi diri ekspatriat. Hal ini dapat dilihat dalam sajian rubrik Meet the Expats yang selalu dihadirkan dalam Majalah JE pada setiap edisinya. Dengan demikian, kita dapat menelisik bagaimana proses representasi diri ekspatriat melalui pembacaan kisah kehadiran para ekspatriat.
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III EKSPATRIAT DI JAKARTA EXPAT Pada bab ini, penulis bermaksud untuk menyajikan dan menarasikan beragam data, dimulai dari kisah para ekspatriat hingga ke imaji dan teks yang memuat wacana kolonial di dalam Majalah JE. Bahkan secara khusus, pada satu bab ini penulis akan menjawab satu rumusan pertanyaan mengenai persoalan identitas dan representasi diri ekspatriat melalui Majalah JE. Persoalan identitas dan representasi memang bukan perkara mudah. Stuart Hall (1991:49) menjelaskan bahwa pada dasarnya suatu identitas selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri, bahkan ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya. Oleh karena itu, untuk dapat lebih memahami identitas ekspatriat sekaligus representasinya, pada bagian penulisan ini penulis akan menyajikan beberapa teks mengenai kisah, pernyataan maupun pandangan yang disampaikan oleh para orang asing seputar kedirian mereka, termasuk perihal keberadaan mereka di Indonesia melalui sebuah media, yakni Majalah Jakarta Expat (JE). Hal ini dikarenakan Majalah JE sebagai sebuah medium publik telah berlaku merepresentasikan diri para orang asing, khususnya orang kulit putih sebagai ekspatriat, yang mana tersajikan pada sebuah rubrik “Meet the Expats”. A.
Kisah Para Ekspatriat Berdasarkan kisahnya, ada yang menjadi ekspatriat karena; berada di tengah
keluarga diplomat yang sering berpindah ke suatu negara, ajakan seorang rekan untuk terlibat pada suatu peluang bisnis, pemberian tugas pekerjaan oleh perusahaan yang notebenenya berskala internasional, aktifitas seniman yang memiliki kecenderungan untuk 76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melakukan perjalanan ke beberapa negara, mengajar di sekolah internasional, tertarik untuk menetap pada suatu negara tertentu setelah melakukan perjalanan maupun liburan, pernikahan, riset maupun penelitian. Selain itu, uniknya lagi, ada juga yang bertanya kepada sang “adidaya pengetahuan” kontemporer, Google, untuk mencari “The cheapest countries to holiday in for one year”, sehingga membawa seseorang tersebut ke negara tertentu seperti Indonesia. Tanpa terkecuali, ada juga yang menganggap bahwa setelah menjalani hidup lebih dari 40 negara, keberadaan dirinya di Indonesia sebagai sebuah keniscayaan. Dengan demikian, terdapat beragam latar belakang yang turut mengkonstrusi diri seseorang untuk dapat mendapatkan sebuah identitas hingga merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Dengan sebuah pertanyaan awal, seperti “Where do you come from?” dan beberapa pertanyaan lanjutan lainnya, Majalah JE mulai menggali kisah kehidupan para orang asing di Indonesia. Dan orang asing itu pun memberikan jawaban atas pertanyaaan pemantik tersebut. Oleh karena itu, pada penulisan bab ini, penulis sengaja mengambil beberapa cuplikan narasi seputar ekspatriat, yakni sebanyak dua puluh kisah ekspatriat, yang kemudian dikelompokkan untuk dapat mengetahui dan mempetakan latar belakang kehadiran mereka sebagai ekspatriat di Indonesia. A.1. Keluarga Diplomat Lahir di dalam sebuah keluarga diplomat tentunya telah membawa seseorang mengunjungi banyak negara. Hal ini dikarenakan sang diplomat akan cenderung selalu menyertakan atau membawa anggota keluarganya berpindah ke sebuah negara tempat ia ditugaskan. Semisal, perjalanan yang dialami oleh Anna Feliciano dan Luke Rowe, kehidupan keluarga mereka telah menjadi latar kehidupannya saat ini.
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Anna Feliciano1 adalah seorang perempuan keturunan Australia dan Denmark yang lahir di Canberra, Australia. Pertama kali ia datang ke Indonesia pada tahun 1975 karena mengikuti tugas sang ayah yang bekerja sebagai diplomat. Setelah menjalani kehidupan di banyak negara, seperti di Rusia, Malaysia, Singapura, Australia, Ghana, Filipina, Denmark, Singapura, Thailand, dan Amerika, ia pun datang kembali ke Indonesia pada tahun 1991 untuk terlibat dalam sebuah konservasi satwa liar yang tetap dijalaninya hingga saat ini. Oleh karena itu, ia merasa telah menjalani setengah hidupnya tinggal di Indonesia, yakni sekitar 25 tahun. (JE edisi 63:10) Selanjutnya, kisah sama juga dialami oleh Luke Rowe2, seorang Australia yang lahir di Geneva, Swiss. Sebagai cucu dari seorang diplomat, sang kakek telah membawa ayahnya berpindah ke banyak negara sehingga hal tersebut turut melibatkan dirinya mengalami perjalanan ke berbagai negara. Ia datang ke Indonesia pertama kali pada tahun 1993 selama dua tahun. Kemudian ia memilih kembali ke Indonesia pada tahun 1997 karena melihat adanya suatu peluang pekerjaan di bidang niaga, khususnya real-estate. Ia pun beranggapan bahwa properti Indonesia di masa depan akan mengalami peningkatan, apalagi secara serempak perusahaan asing sedang melakukan ekspansi di Indonesia. Oleh karena itu, ia masih merasa senang berada di Indonesia dan menikmati kelanjutan 1
“I am half Australian and half Danish. I’m officially an Australian, and I was born in Canberra. I believe I first moved to Indonesia because my father was posted here as the Ambassador for Australia in 1975, then moved back to Indonesia with my husband and my four children in 1991 until now. So I think that makes a total of 25 years… that’s half my life! …. Let’s start from the beginning. Born in Australia, moved to Russia, then to Malaysia, then Singapore then we moved back to Australia for a couple of years, until my father was posted to Ghana. Following that we moved to Indonesia then to the Philippines where my father was posted as Ambassador. After that was Denmark. I moved back to the Philippines then moved to New York City where I got married to my husband. Following that we moved to Singapore then Thailand then back to America to a town called Darien, in Connecticut. Then back again to the Philippines. Lastly and finally back to Indonesia.” 2 “I was born in Geneva, Switzerland. My grandfather was serving there as the Australian ambassador. My father was in Vietnam as a professional soldier. …. I first moved to Indonesia in 1993 until 1995. I chose to come back to Indonesia in 1997. I have always specialized in commercial and residential real estate. …. My life is focused upon my family, specifically my wife and children. We continue to be happy here in Indonesia. …. .Thanks to my very challenging business life and being able to chase waves, I continue to enjoy living here in Jakarta. I have waited a long time for the Indonesian economy to build and grow in the manner that it is right now.” 78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hidupnya di Jakarta, terutama hal ini disebabkan telah menunggu lama untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik seperti sekarang ini. (JE edisi 78:10) Dari kedua kisah di atas, Anna Feliciano dan Luke Rowe, dapat dipahami bahwa pengalaman pertama yang membawa mereka ke Indonesia adalah keluarga, yakni keduanya sama-sama berada di dalam keluarga seorang diplomat. Oleh karena itu, mereka telah mengalami perpindahan dari sebuah negara ke negara lainnya. Namun, perpindahan yang dialami mereka tentu saja bukan sebatas pada perpindahan negara, melainkan telah memberikan sentuhan bagi mereka, terutama dengan Indonesia. Hal ini dapat dicermati ketika Anna Feliciano tergerak untuk terlibat dalam konservasi alam Indonesia, khususnya Orang Utan, sedangkan Luke Rowe terlibat dalam perkembangan ekonomi dan bisnis Indonesia, yakni di bidang niaga. A.2. Bisnis Di negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, bisnis telah menjadi gravitasi bagi para orang asing untuk turut serta dalam perkembangan suatu negara yang sedang hiruk pikuk di alam pembangunan, atau dengan kata lain yakni modernisasi. Salah satunya adalah Roberto Puccini3, seorang perancang mebel yang berasal dari Pisa, Perancis. Ia sengaja memilih untuk pindah ke Asia, tepatnya pada 27 April 1994 mendarat di bandara Changi, Singapura. Dalam kisahnya diceritakan bahwa sebelum pindah ke Indonesia ia telah tinggal di Singapura selama 11 bulan sebagai perancang mebel dapur yang terbuat dari
3
“I’m from Pisa, you know of it? April 27th, 1994 I arrived in Changi Airport, Singapore. I was only going to stay for 11 months, but was so impressed with Singapore and decided to change my life. … When I was living in Singapore I had several rich customers from Indonesia who would always say, “Wow!” to everything even though it was all artificial. I decided to come and see what Jakarta was like and bought myself a plane ticket. My friends all said, “It’s dangerous! Don’t go there!” but I didn’t listen. I visited competitors and as it turned out, there were no Italian kitchen products here so I decided to set up shop. … It’s very hard to find people who really want to invest and develop, not just in furniture, but in the staff also.” (Cetak miring dari penulis) 79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
daur ulang kaca dan alumunium, memproduksinya di Italia dan menjualnya kepada para konsumen di Asia. Terkait dengan Indonesia, ia pun sengaja pindah ke Jakarta karena mendapatkan pengalaman ketika menemui beberapa pelanggan kaya yang berasal dari Indonesia sering berkata “Wow!”. Atas pengalaman ini, ia memberanikan diri untuk datang dan melihat kondisi di Jakarta, serta mencoba untuk menemukan berbagai kompetitornya. Meskipun teman-temannya berkata “It’s dangerous! Don’t go there”, namun ketika ia tiba di Jakarta dan tidak menemukan produk furniture dapur ala Italia, akhirnya ia pun memberanikan diri untuk mencoba membuka bisnis di Jakarta. Bahkan, ia pun menegaskan bahwa betapa sulitnya menemukan orang yang sungguh-sungguh ingin berinvestasi, bukan hanya mengenai mebel, melainkan juga pegawai. (JE edisi 52:8) Pengalaman serupa juga dialami oleh Ian Smith4, seorang pria yang berasal dari Sunderland, Inggris. Sejak pertengahan tahun 1994 Smith telah berada di Indonesia, dan kini pun ia tengah bekerja sebagai salah satu direktur pada sebuah perusahaan pengembangan permukiman. Bagi Smith, peluang bisnis telah membuat hidupnya berhasil di Indonesia, sehingga ia pun tidak memiliki rencana untuk kembali ke Inggris dalam jangka panjang, kecuali hanya untuk sekedar liburan. Terlebih karena Smith akan merasa rindu dengan beragam hal seperti, kemacetan, banjir, golf, makanan, teman-teman dan orang-orang sekitarnya. (JE edisi 57:8)
4
“From Sunderland in the North East of England. For a total of more than 16 years in 2 seperate periods since mid-1994 until now. I’m a Chartered Surveyor and work in the real estate business. Like any real estate market, in the shorter term there will be ups and downs, but I believe over the longer term the trend will be steadily upwards. … I currently have no plans to return home to UK except for holiday. I’d miss the macet, the banjir, my friends, the golf, the food and the people although not necessarily in that order.” 80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hal sama juga dialami oleh Stephane Poggi5, seorang desainer muda berusia 34 tahun yang berasal dari Prancis. Pertama kali ia mendarat di Indonesia adalah pada tahun 2001. Awal mula kedatangan Poggi disebabkan oleh ajakan seorang teman yang membutuhkan bantuannya untuk mengurus sebuah perusahan furniture yang khas berdesain gaya Prancis. Sebagai lulusan interior design, akhirnya Poggi pun bekerja untuk melakukan manajemen perusahaan temannya. Dan waktu yang berjalan cepat telah membuat dirinya tidak merasa telah menghabiskan waktu selama tujuh tahun di Jakarta. Dengan melihat peluang bisnis di Jakarta, kini Poggi pun memutuskan untuk fokus dan membangun gerai design miliknya sendiri, Stephanoccelli Interior Design. Terkait dirinya sebagai seorang designer interior, Poggi pun memiliki pandangan bahwa rumah kolonial dan kuil tua China adalah sebuah bangunan atau ruang di Indonesia yang memiliki nilai estetik, sehingga menjadi penting untuk dapat melihat dan mengerti bagaimana cara orang hidup sebelum kehadiran manusia di masa kini. Bahkan, ia menganggap bahwa secara kultural hal tersebut penting untuk mengerti masa lalu dan dapat digunakan untuk masa depan. (JE edisi 66:10) Dari ketiga kisah para pebisnis asing di atas, dapat dipahami bahwa kesemuanya ingin mencoba meraih peruntungan di Indonesia. Namun, ada yang beberapa catatan yang menarik untuk dicermati, semisal kisah Roberto Puccini ketika ia ingin berkunjung ke Indonesia, yang mana beberapa temannnya berkata “It’s dangerous! Don’t go there!”. Peringatan ini tentu saja bukan hanya sekedar sebuah peringatan, melainkan sebuah pandangan dari mereka sebagai orang asing yang beranggapan bahwa Indonesia adalah
5
“I am French, 34 years old. I graduated from a French school and I am an interior designer. I landed in Indonesia in 2001. A friend of mine needed help to handle her furniture factory which was oriented in French style design. After seven years of management, I decided to focus on my main activity and created Stephanoccelli Interior Design. I would say colonial houses or old authentic Chinese temples. To see and understand the way people lived before us is important. I think that culturally, it is important to understand the past to be able to handle the future.” 81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebuah negara yang berbahaya. Selain itu, Ian Smith juga memiliki pandangan mengenai Indonesia, khususnya Jakarta, yang dianggap selalu mengalami macet dan banjir. Bahkan Stephane Poggi, ketika ditanya mengenai salah satu bangunan estetik di Jakarta, ia pun lebih memilih rumah kolonial dan kuil tua China daripada berbagai bangunan yang ada di Jakarta. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Poggi cenderung menegasikan bangunanbangunan yang telah dibuat oleh orang Indonesia pasca-kolonial. Dengan kata lain, bangunan yang dibuat orang Indonesia pasca-kolonial tidak mampu mengungguli nilai estetik bangunan kolonial maupun kuil tua China. A.3. Perusahaan Dunia yang kini terhubung di bawah atap globalisasi tampaknya telah memudahkan manusia untuk dapat berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Apalagi ketika sebuah perusahaan tempat seseorang bekerja mempunyai jaringan internasional di berbagai negara belahan dunia. Hal ini yang terjadi pada Anna Rohm6 setelah tinggal hampir 6 tahun untuk bekerja di kawasan Timur Tengah, seperti, Uni Emirat Arab, Mesir dan Yordania. Oleh karena itu, ia pun berkeinginan untuk mencoba merasakan kehidupan di negara Asia lainnya. Dan Jakarta sebagai salah satu kota di Asia yang memiliki ikatan dengan perusahaan tempat ia bekerja telah memudahkan dirinya untuk datang ke ibukota Indonesia. (JE edisi 59:6) Senada dengan pengalaman Mario Babin7, seorang CEO asal Kanada, yang bekerja pada sebuah perusahaan di bidang pelayanan perpindahan dan kesehatan dengan jaringan
6
“I lived in the Middle East for almost 6 years in UAE, Egypt and Jordan. Having worked a good amount of time in the Middle East I wanted to try out Asia. I came to Jakarta initially (besides the fact that it was Asia) because of the Mandarin Oriental Hotel chain.” 7 “I’m originally from Montreal, Canada. I look after two companies; Global Assistance and Healthcare and Global Assistance Medical Centre. We have a network of correspondents around the world for emergency assistance in 78 countries. I came here in 1995 for a year, and a year became a second year, and a second year became a third year. …. I’ve been here for 16 years! Before Indonesia I was in Vietnam, Korea, Australia, China and Switzerland. …. Indonesia comes with the good and bad like every country. Everybody stresses 82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
korespodensi di 78 negara. Awal mula ia datang ke Indonesia pada tahun 1995 untuk jangka waktu selama satu tahun, dan satu tahun menjadi tahun kedua, dan tahun kedua menjadi tahun ketiga, hingga ia telah berada di Indonesia selama 16 tahun. Meskipun sebelumnya ia pernah berada di Vietnam, Korea, Australia, China dan Swiss, namun baginya Indonesia adalah sebuah negara yang menarik. Menurutnya, Indonesia sama seperti setiap negara lainnya yang juga memiliki kebaikan dan keburukan. Di Jakarta, ia melihat bahwa setiap orang mengalami stress karena kemacetan, akan tetapi jika dicermati kembali dimana ia sedang berada, Jakarta merupakan sebuah tempat yang fantastik untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Bahkan ia menyarankan bahwa hidup di Jakarta bisa menjadi tempat yang indah dan sangat baik jika dapat belajar untuk mengelola stres. (JE edisi 54:8) Begitu pula dengan Jean-Baptiste Mounier8, seorang Prancis yang bekerja sebagai seorang konsultan Informasi Teknologi (IT). Pekerjaan telah membawa dirinya ke seberang lautan, yakni ke Indonesia. Dengan melihat kondisi Jakarta yang sangat padat, ia pun beranggapan bahwa Jakarta membutuhkan hiburan, tempat bermain yang tidak berada di ruang terbuka. Oleh karena itu, ia menciptakan sebuah permainan berbasis teknologi, yang pada khususnya ditujukan untuk kalangan anak muda. Dalam hal ini, ia menyakini bahwa tidak ada permainan di dalam ruang tertutup yang cukup untuk kalangan anak muda di Jakarta. Bahkan, ia beranggapan bahwa orang Indonesia tidaklah gila untuk melakukan aktifitas di luar ruangan. (JE edisi 51:8) about traffic, but overall we have our ups and downs and if you look at where you are, it’s a fantastic place to live. Life can be very good here if you learn to manage the stress. Once you manage the stress it’s a beautiful place to be.” 8 “I am come from France, Grenoble, near the Alps. I started in the overseas army by working at the Economic Service of the French Embassy, in charge of the ITC market. For many years I was an IT Consultant. I am mainly involved in Web IT projects and more recently, we created Laser Game Indonesia! The idea came a long time ago because I like games and I was looking for this kind of entertainment not long after I arrived in Jakarta. Of course, Jakarta needs entertainment, needs some playground, not much green space either… We believe that there are not enough indoor active games for the youngsters. What’s out there are outdoor games and Indonesians are not too crazy on outdoor activities.” 83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari ketiga kisah orang asing di atas, yang mana mereka bekerja pada perusahaan berskala internasional dengan mudah dapat berpindah ke negara lain. Anna Rohm, misalnya, memiliki keinginan untuk dapat merasakan bekerja dan tinggal di negara-negara Asia lainnya seperti Indonesia. Begitu pula dengan Mario Babin yang tidak menduga bahwa dirinya dapat tinggal di Indonesia bertahun-tahun. Bahkan Jean-Baptiste Mounier yang terbawa hingga ke seberang lautan, dari Eropa ke Indonesia, hingga ia dapat mewujudkan idenya untuk membuat sebuah permainan berbasis teknologi. Hal tersebut didasarkan pada penilaiannya mengenai orang Indonesia yang membutuhkan sebuah permainan di dalam ruangan. A.4. Pengajar Berkaitan dengan maraknya fenomena sekolah bertaraf internasional, pada khususnya sekolah-sekolah yang ditujukan untuk anak-anak para ekspatriat, serta lembaga pengajaran bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, maka Native Teacher adalah salah satu lowongan pekerjaan yang sangat banyak dicari di Indonesia pada saat ini, terutama di Jakarta. Fenomena ini yang telah mendatangkan Catherine Parent9 untuk menetap di Jakarta, yang mana sebelumnya ia tinggal di Lebanon dan Singapura. Bermula ia menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus, dan pada saat ini ia telah menjadi seorang pengajar di Jakarta International School. (JE edisi 56:8) Pengalaman serupa juga terjadi pada Leonani dan Nani Nahooikaika10, dua perempuan bersaudara dari Haleiwa, Hawai, yang datang ke Indonesia karena Nani mendapatkan tawaran sebuah pekerjaan mengajar Hula. Dan kini keduanya bekerja 9
“I lived in Lebanon and Singapore and I also spent one year in Jakarta previously teaching English. … I am the dance teacher and this is my fifth school year, so four years in total at JIS.” 10 “We’re from Haleiwa. Nani was offered a job teaching hula in Indonesia. However, she refused to move to another country alone, so she convinced me to move with her. We both teach hula at Hawaii A Club Bali Resort in Anyer and are in charge of Hawaiian Activities at the Resort. We mainly teach hula to hotel staff and guests and are trying our best to bring the spirit of aloha from Hawaii to Indonesia. …. Life in Anyer is different! Completely different from what life is like at home in Hawaii. Everything is very laid back.” 84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai pengajar Hula di Hawaii A Club Bali Resort, Anyer, dan bertanggung jawab atas berbagai aktifitas Hawaii di Resort. Pekerjaan utama mereka adalah mengajarkan hula kepada staf hotel dan tamu, serta mencoba untuk membawa semangat aloha yang terbaik dari Hawaii ke Indonesia. Bagi mereka, hidup di Anyer sepenuhnya berbeda dengan di Hawaii, semuanya sangat bertolak belakang. (JE edisi 49:10) Selain itu, ada juga Kristan Julius11, seorang Amerika yang telah tinggal di Jakarta lebih dari 20 tahun. Sebagai seorang pengajar internasional, ia telah mengajar di beberapa negara seperti Yugoslavia, Israel, dan Inggris. Baginya, setidaknya ada tiga hal yang paling ia sukai tentang Jakarta. Pertama, mengenai orang Indonesia, karena menurutnya tidak banyak orang yang bermurah hati di dunia ini sehingga ia banyak belajar tentang bagaimana cara hidup dari orang-orang Indonesia. Kedua, kehidupan Jakarta dengan gaya yang kacau, yaitu kehidupan malam sebagai kota pesta, yang mana komunitas ekspatriat dan tuan rumah (orang Indonesia), keduanya saling tau bagaimana caranya membuat halhal yang menyenangkan. Dan yang terakhir, tempat ia bekerja di Jakarta International School (JIS), menjadi tempat yang sangat menakjubkan untuk bekerja dengan sesama rekan dan orang muda. Meskipun ia sangat menyukai pekerjaan dan lingkungannya di Jakarta, namun kenyataan tidak sesuai dengan harapannya untuk tetap tinggal di Indonesia. Setetah 24 tahun mengajar di JIS, ia pun harus mengikuti sang suami yang berpindah kerja ke Jerman sebagai seorang konsultan. (JE edisi 72:14)
11
“I’m originally from the United States, but I have been living and teaching internationally in former Yugoslavia, Israel, England and Indonesia for most of my adult life. … First would be the people- there are no more generous-hearted people in the world. I have learned so much about how to live a full life from you all. Second, Jakarta’s lively chaotic lifestyle-it’s a night city and a party town. Both the expatriate community and our gracious hosts know how to have fun! And last but not least, Jakarta International School, it has been the most wonderful place to work with talented colleagues and the best young people imaginable. … I had my own “Graduation” party at EP with around 200 members of my Jakarta community last month. It was wonderful to see so many friends together in one place! After 24 years at JIS, my husband, Uwe, and I will be living in Duesseldorf, Germany, where he has accepted a consultancy.” 85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari ketiga pengajar ini dapat dipahami bahwa mereka memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing yang tidak dimiliki orang Indonesia. Karena itu, mereka mendapatkan peluang untuk bekerja di Indonesia. Catherine Parent, misalnya, sebelumnya ia pernah tinggal di Libanon dan Singapura hingga mendapatkan pekerjaan sebagai native teacher di Jakarta dan menjadi seorang guru di JIS. Begitu pula pada Leonani dan Nani yang berasal dari Hawaii untuk bekerja sebagai pengajar Hula di sebuah hotel kawasan Anyer. Leonani dan Nani menjalankan pekerjaan mereka hingga ke Indonesia, baik untuk sekedar hiburan maupun pertukaran budaya. Sementara itu, Kristan Julius yang telah datang ke Indonesia sejak awal tahun 90an dan mengajar di sebuah sekolah bertaraf internasional harus berhadapan dengan kenyataan yang mengharuskan dirinya pergi meninggalkan Indonesia. Dalam hal ini, Kristan Julius sebagai seorang ekspatriat yang telah lama tinggal di Indonesia juga belum dapat memastikan apakah ia dapat tinggal di sebuah negara tertentu untuk selamanya atau hanya sementara. A.5. Seniman Seperti yang telah dipaparkan oleh Erik Cohen bahwa ekspatriat juga mencakup para seniman, maka Laila Airlie Dempster12 adalah salah satunya. Tahun 1971 adalah awal kedatangan dirinya ke Indonesia ketika menghadiri sebuah kongres Internasional gerakan spiritual yang disebut Subud. Sebagai seorang seniman yang telah melanglang buana ke banyak negara, ia merasa bahwa pekerjaan utamanya adalah mencakup seluruh dunia. Dengan membuat karya lukis yang lebih dominan bertemakan tentang Indonesia, maka ia pun mencoba untuk menyampaikan rasa cintanya kepada Indonesia, terutama terkait
12
“I came to Indonesia in 1971, to a big International congress of a world-wide spiritual movement called Subud. … I have worked primarily as a portrait artist all over the world, though now, established since 1971 in Jakarta, my work, aside from portraits also expresses my love for Indonesia, its people, traditions and landscapes.” 86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan orang-orang Indonesia, tradisi suatu masyarakat, serta pemandangan alam yang ada di Indonesia. (JE edisi 66:10) Begitu pula dengan kisah seorang seniman Belanda, yaitu Gerard Mosterd13, yang di dalam dirinya mengalir darah Jawa dari sang Ibu. Sebagai seorang koreografer yang bergabung bersama kelompok ballet professional, ia telah menjadi seorang seniman yang dapat berpergian ke berbagai negara. Di samping itu, ia pun mendirikan sebuah tempat produksi bernama Kantor Pos yang ditujukan sebagai agensi pertukaran seniman di Asia dan Eropa dengan menyelenggarakan suatu pertunjukan antar seniman. Baginya, nama Kantor Pos sengaja dipilih untuk dapat mempersatukan Asia dan Eropa sebagaimana dengan memperlihatkan pertukaran antara kedua benua, karena keduanya dinilai bagian yang sama dari Eurasia, walaupun pada umumnya selalu dianggap sebagai dua identitas yang berbeda. (JE edisi 70:14) Berdasarkan kisah kedua seniman yang beraktifitas lintas negara di atas dapat dikatakan bahwa mereka berupaya untuk sebuah pendokumentasian zaman, dan mencoba untuk mempertemukan ragam karakter yang berbeda. Sebagaimana merujuk pada pengertian seni, para seniman terus berupaya untuk menangkap situasi kondisi zaman hingga menuangkannya ke dalam sebuah sajian karya. Dempster, misalnya, berupaya memindahkan keindahan alam Indonesia ke atas kanvas. Sedangkan Mosterd mencoba untuk menampilkan gerakan tubuh orang-orang Asia dan Eropa di atas sebuah panggung. Bahkan upaya Mosterd tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi ia pun mencoba untuk
13
“I was born and raised in the Netherlands. My dad is a blond, my mum is black haired and almond eyed Asian, born in Medan within a mixed East Javanese family. … For eleven years I danced as a professional dancer worldwide with ballet companies and felt the desire to create physical theatre productions myself. I started my production company about three years ago. Kantor Pos is an agency, exchanging Asian and European performing arts. … The name is the Indonesian version of the Dutch word for post office, a place for international exchange of information. The name unites Asia and Europe as well as expressing the exchange between both continents. Asia and Europe are part of the same Eurasian continent but commonly regarded as two different identities.” 87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mempertemukan dua identitas yang berbeda, Asia dan Eropa. Dalam hal ini, ia menilai bahwa di samping perbedaan fisik, terdapat kecenderungan untuk memadukan, atau dapat dikatakan ingin menciptakan, suatu konsep maupun kondisi hibrid dan mimikri antara para seniman Asia dan Eropa. Dengan kata lain, Gerard menyadari lebih dulu bahwa ia telah mengalami hibriditas dalam kediriannya, yang mana dirinya terlahir dari pernikahan seorang Belanda dengan perempuan Indonesia. A.6. Liburan dan Petualangan Sebagai tempat yang menarik di wilayah tropis, sudah tak terbantahkan lagi bahwa Indonesia telah terbukti banyak menghadirkan para wisatawan dari berbagai mancanegara. Cuny Schuurmans14 adalah seorang yang termasuk di dalamnya. Awal kedatangannya ke Indonesia pada tahun 1987 adalah hanya untuk berlibur, hingga akhirnya ia merasa jatuh cinta dengan Indonesia dan memutuskan untuk pindah secara permanen. Kemudian, ia pun membuka usaha perjalanan, yang mana kebanyakan para pelanggannya adalah orang asing, ekpatriat, dan berbagai perusahaan serta kedutaan. Meskipun telah cukup lama menetap di Indonesia, namun hingga saat ini ia belum mengetahui apakah suatu saat nanti akan kembali ke negara asalnya. Dalam hal ini ia merasa seperti telah kehilangan ‘sentuhan’ dengan negeri asalnya, yakni, Belanda, dan merasa bahwa Indonesia telah menjadi rumah baginya. Terkait perjalanan liburannya di Indonesia, Schuurmans menceritakan sebuah kisah perjalanannya pada tahun 80an yang menempuh waktu 7 hari dengan menggunakan 14
“We came in 1987 for a holiday and we loved it so much so we decided, also due to family ties, to move here permanently. ….Our clients are mostly foreigners, expats, both individuals and for companies. We also get many embassies booking through us. … Myself and my husband have done a lot of travelling, but we haven’t yet visited Kalimantan. Once we took a 7-day trip by boat to Irian Jaya and spent a week there which was a great experience. You spend the first few days getting accustomed to how sparsely dressed everyone is! When we went there in the 80s, people had never seen a white person so they were so intrigued by us. Everyone would ask you for tobacco, not money. The women smoke and work and the men don’t seem to do much at all! … We don’t know, although we don’t really feel at home in Holland anymore. We’ve lost touch. We definitely feel that home is here.” (Cetak miring dari penulis) 88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perahu ke Irian Jaya dan menghabiskan waktu seminggu untuk berada di sana. Selanjutnya, ia pun menceritakan bahwa pada hari-hari pertama di sana mencoba untuk terbiasa dengan semua orang Irian yang jarang berpakaian. Di samping itu, orang-orang Irian juga dideskripsikan begitu tertarik dengan kehadiran mereka karena tidak pernah melihat orang kulit putih. Bahkan, diceritakan bahwa semua orang Irian lebih cenderung akan meminta tembakau, bukan uang. (JE edisi 56:8) Seirama dengan liburan, petualangan juga telah membawa Dave Metcalf15 ke Indonesia. Sebagai seorang pengembara asal New Zealand, Metcalf telah mendatangi lebih dari 28 negara di dunia. Tahun 2000 adalah waktu pertama kalinya ia tiba di Indonesia karena ditempatkan di sebuah perusahaan. Namun, karena ia senang berkecimpung di dunia petualangan dan fotografi, terutama ketika ia menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu negara di planet ini yang indah untuk dipotret, akhirnya ia rela mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan memutuskan untuk menjadi seorang fotografer. Baginya tidak ada keindahan yang mampu menandingi Indonesia karena terdapat keberagaman dari masyarakat, budaya, arsitektur, maupun pemandangan yang luar biasa. Pengalamannya selama bertualang di Indonesia telah mendapatkan banyak hal yang sangat menakjubkan, seperti keramah-tamahan hingga sikap saling menghormati dari orang setempat. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa Indonesia adalah surga bagi seorang fotografer yang menunggu untuk ditemukan. (JE edisi 74:10)
15
“I am originally from New Zealand. Thirty-three years ago I took my first overseas trip and I have never stopped travelling ever since. The wanderlust has taken me to over 28 Countries and I have had some incredible experiences. …I first came to Indonesia in 2000 and moved here with my family in 2001. At that time I was the Country Manager. I came up on an expat assignment. I became fed up with the corporate world some time ago and had a plan to return to Indonesia one day and take up photography full time. My travel experiences while I lived here gave me an appreciation for Indonesia and its people, and a belief that this is one of the most photogenic countries on the planet. It has so much diversity from people, cultures, architecture, unusual landscapes, and people, who love having their photos taken. Wherever I have traveled in Indonesia I have experienced the most wonderful hospitality and respect, and yes, people generally speaking love to have their photo taken. … But for me, nothing rivals Indonesia. It is a photographer’s paradise waiting to be discovered, so please come join!” 89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari kedua kisah di atas, Cuny Schuurmans dan Dave Metcalf, mereka dapat dikatakan telah menambatkan hati di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia telah membuat mereka mendapatkan hal yang berbeda dibandingkan dengan negara asalnya. Di Indonesia pula, mereka mendapatkan liburan dan petualangan yang merubah jalan kehidupannya. Bahkan, Cunny Schuurmans telah memutuskan untuk tinggal permanen di Indonesia, sedangkan Dave Metcalf masih ingin terus mengeksplorasi Indonesia, yang dianggap sebagai surga dunia. Berdasarkan kisah Schuurmans, berawal dari sebuah perjalanan liburan yang membawanya ke Irian jaya telah meninggalkan bekas ingatan yang tidak terlupakan. Dari paparan kisahnya, dapat dicermati bagaimana ia menceritakan pengalamannya sewaktu berada di Irian Jaya; bertemu dengan suku yang jarang mengenakan pakaian, terlihat penasaran dan tertarik dengan kehadiran mereka sebagai orang kulit putih, hingga meminta tembakau kepada mereka, bukan uang. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Schuurmans menarasikan orang-orang Irian Jaya dengan menggunakan wacana kolonial. Schuurmans menempatkan diri sebagai seorang yang modern, sedangkan orang Irian yang jarang mengenakan pakaian ditempatkan sebagai yang terbelakang. Oleh karena itu, pemposisian modern dan terbelakang adalah logika kolonial, yakni Barat (penjajah) adalah bangsa modern, sedangkan Timur (terjajah) adalah bangsa yang terbelakang. Begitu pula dengan Dave Metcalf yang tersihir atas eksotisme Indonesia. Eksotisme yang dimiliki Indonesia bukan hanya terletak pada alam, melainkan pada keragaman masyarakat, budaya, arsitektur, hingga pemandangan yang tidak biasa untuk ditemukan dimanapun. Oleh karena itu, ia pun rela untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang manajer. Bahkan ia dengan berani menyatakan bahwa Indonesia adalah surga yang ditunggu untuk ditemukan oleh para fotografer. Dengan demikian, kedua kisah
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka, Schuurmans dan Metcalf, dapat dipahami sebagai kecenderungan orang asing melihat Indonesia dari sisi binerisme dan eksotisme, yang mana hal tersebut merupakan bagian dari karakteristik Timur dihadapan Barat. A.7. Mencari Negara Baru (yang murah) Tampaknya menjadi hal unik ketika ada seseorang mencari suatu negara yang ‘murah’ guna menjadi tempat persinggahan untuk jangka waktu sementara. Apalagi pada akhirnya orang tersebut telah menetap dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan belum memiliki rencana kepulangan ke negara asalnya. Hal itu yang telah dilakukan oleh Robert McKinnon16, seorang pria Skotlandia yang mengalami permasalahan visa saat berada di Australia hingga ia menemukan harga tiket yang termurah adalah ke Jakarta, Indonesia. Meskipun pada awalnya ia tidak memiliki gambaran tentang negara Indonesia, namun menjadi hal yang tidak terduga ketika menyadari bahwa dirinya telah berada di Indonesia lebih dari 20 tahun. Menurutnya, sejak tahun 1998 Indonesia telah mengalami perkembangan yang kuat dan sekarang menjadi tempat yang sangat baik untuk tinggal dan bekerja, juga sebagai tempat yang aman untuk hidup. Oleh sebab itu, ia sudah membuat rumah di Indonesia sehingga tidak berencana untuk pindah dari Indonesia. (JE edisi 60:6) Kisah unik lainnya datang dari Tim Scott17, seorang Amerika yang datang ke Indonesia berawal dari penelusurannya di Google untuk mencari negara yang termurah
16
“I had to leave Australia because of visa problems, honestly, and the cheapest ticket out was to Jakarta. I had no idea about the country. I have now been here 22 years. I have made my home here. … All countries change. Indonesia has grown stronger since 1998 and is now a very nice place to live and work. It is also safer place to live. Apart from the people, I’d say the diversity of the food.” 17 “A Google search for “The cheapest countries to holiday in for one year” directed me to Asia, so I travelled through the Philippines, Thailand, Cambodia, Singapore and Indonesia. While visiting my good friend James Speck in Singapore he turned me on to his friend across the street and she said she was going to have a position open at the TV production company she works for in Jakarta. I sent a few emails, got an interview and three months later I’m living in Kemang and overseeing the production of Indonesian Idol Season 6! … When I first arrived I was very surprised how well I could produce TV here without knowing the language. But understanding the culture is another thing! The biggest difficulty is the speed in which people work here and the level of quality they will accept. You could say that the TV industry here is about 20 years behind the West, so pushing for the ultimate best quality is very difficult and not something that the market is used to. I 91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai tempat liburan untuk jangka waktu selama satu tahun. Karena itu, ia telah terbawa ke Asia; mulai dari Filipina, Thailand, Kamboja, Singapura lalu sampai ke Indonesia. Keberadaannya di Singapura adalah titik berangkat perjalanan hidupnya untuk berada di Indonesia. Ketika ia mengunjungi teman baiknya, James Speck di Singapura, seorang teman lainnya mengatakan bahwa terdapat lowongan pekerjaan di sebuah industri televisi di Jakarta. Kemudian, ia pun mengirim beberapa surat elektronik hingga mendapatkan sebuah panggilan wawancara. Dan tanpa diduga tiga bulan kemudian ia telah tinggal di Kemang dan bekerja untuk mengatur produksi suatu program televisi. Terkait pekerjaannya di industri televisi, Scott menceritakan bahwa ketika tiba pertama kali ia sangat terkejut seberapa baik dapat menghasilkan sebuah program televisi di Jakarta tanpa mengetahui bahasa. Akan tetapi, ia beranggapan lain bahwa kecepatan adalah inti orang bekerja di Jakarta, sedangkan tingkat kualitas akan diterima begitu saja. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa industri televisi di Indonesia masih berada sekitar dua puluh tahun di belakang Barat, sehingga untuk mendorong produksi dengan kualitas terbaik adalah akhir yang sangat sulit dan bukan sesuatu yang dapat digunakan untuk pasar. Bagi Scott, hidup di Jakarta tidak pernah membosankan. Ia sangat menikmati kehidupan dengan banyak orang, mall, maupun aktifitas malam, dan juga terkadang pergi keluar kota, seperti Bali atau Bandung untuk beberapa kali dalam sebulan. Namun jika sedang mengalami hari yang buruk dalam pekerjaannya, ia hanya akan pergi ke sebuah, yakni kafe Eastern Promise di Kemang untuk sekadar melepaskan penat dan tertawa dengan para ekspatriat lainnya. (JE edisi 79:10) think I say, “This is good but it’s not good enough, it must be great!” five times a day. … Life in Jakarta is never dull. I really enjoy the people, the malls and the nightlife but I need some blue sky and fresh air quite often. I try to sneak away to Bali or Bandung a couple times a month. If it’s an unusually bad day at work you’ll find me at Eastern Promise in Kemang venting to the smirking, chuckling expats that have been here much longer than me.” (Cetak miring dari penulis) 92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tanpa melalui perencanaan sebuah perjalanan, Robert McKinnon dan Tim Scott akhirnya dapat tiba hingga bekerja di Jakarta, Indonesia. McKinnon, misalnya, dapat dikatakan bahwa ia bertaruh nasib ketika memilih untuk memutuskan membeli tiket ke Jakarta. Bahkan tanpa menduga, ia telah menghabiskan waktu selama 22 tahun hingga telah membuat rumahnya sendiri. Begitu juga dengan yang dialami oleh Tim Scott, penelusurannya di Google telah membawa dirinya dari benua Amerika hingga benua Asia. Namun demikian, perpindahan Scott ke Indonesia tidak begitu saja melepaskan sisi Amerika (Barat) di dalam dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan yang diberikan olehnya ketika mengatakan bahwa industri televisi di Indonesia tertinggal 20 tahun dari Barat. Bahkan, ia pun menegaskan bahwa kualitas terbaik dari sebuah produksi program televisi adalah akhir. Dengan kata lain, ia beranggapan bahwa pasar di Indonesia lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, sehingga menjadi wajar apabila orang-orang di industri televisi, misalnya, bekerja dengan memakan waktu yang cukup banyak. Oleh karena itu, representasi diri Scott sebagai ekspatriat yang merupakan bagian dari identitas Barat mengandung wacana superior atau unggul dibandingkan dengan Timur seperti Indonesia. A.8. Keniscayaan Siapa yang dapat mengetahui akhir dari perjalanan seseorang? Pertanyaan ini kiranya yang melandasi kisah Dan Boylan18, seorang Amerika yang lahir di Boston. Ia telah meninggalkan Boston di usia mudanya untuk bekerja dan tinggal di Hong Kong 18
“I was born in one of the most historic parts of the United States, the outskirts of Boston. I left Boston in my 20s for Hong Kong and have worked, lived, and had some seriously close scrapes, in more than 40 countries since. My trip has been fast and wild and I thank destiny I am still here. … I first visited in 1991 when I was 20. As a journalist I covered 1998 and as a Fulbright Scholar I lived south of Blok M in 20012002. Those who love Jakarta love her because she is where genesis meets the apocalypse and it often feels like Van Gogh has painted the street scenes that pass before me. Rumbling bajajs, old Javanese compassion in an Ibu’s eyes, saffron coloured water spraying from pipes as school children sing and the call to prayer wakes you long before sunrise. Jakarta is the biggest city in the tropics and one of the world’s greatest and she has taught me so much over the years and I love her for her flaws as well as her beauty.” 93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
selama beberapa waktu. Sebagai seorang jurnalis, pembuat film, dan pencipta puisi telah membawanya menjalani lebih dari 40 negara dengan perjalanan waktu yang relatif singkat. Pertama kali ia mengunjungi Jakarta adalah pada tahun 1991. Kedua kalinya ketika ia bekerja sebagai jurnalis yang ditugaskan untuk meliput peristiwa 1998. Dan ketiga, saat ia menerima beasiswa Fulbright pada tahun 2001. Oleh karena itu, ia merasa bahwa keberadaannya di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Di samping itu, Boylan menganggap bahwa Jakarta merupakan sebuah kota terbesar di wilayah tropis dan salah satu tempat terbaik di dunia, sehingga telah menjadi inspirasinya. Ia pun mengatakan bahwa untuk mencintai Jakarta sama dengan seperti mencintai seorang perempuan, karena awal mula pertemuan memberikan penyingkapkan dan itu sering terasa seperti karya Van Gogh pada lukisan pemandangan jalan; kegaduhan bajai, perasaan haru yang terlihat pada mata seorang perempuan tua, seruling pipa berwarna kuning sebagai nyanyian anak sekolah, dan panggilan doa (Adzan Subuh) yang membangunkan tidur sebelum matahari bersinar. (JE edisi 80:10) Hal sama juga diamini oleh Warwick Purser19, seorang Australia yang kini telah berstatus menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia. Ia telah mendapatkan Naturalisasi karena kontribusinya yang memperkenalkan produk kerajinan lokal ke pangsa pasar Internasional, terlebih karena dirinya telah menghabiskan waktu lebih dari empat puluh tahun tinggal di Indonesia. Berawal dari 19
“A one week honeymoon in Bali in 1969, aged 22. I was on my way to London to start work in a big international travel agency. The one week became two weeks, then three weeks because I kept delaying my departure. On the sixth week after totally falling in love with Indonesia I sent a message and advised the company in London I would not be taking up my new job. … To be honest in the beginning I recognized a good business opportunity as so little Indonesian craft product was finding its way to the international market. Out of Asia pioneered the large-scale export of Indonesian crafts and this found its way into some of the largest and most prestigious retailers in the world. Once I saw how the business so visibly changed the lives of the crafts people involved, and at times there were many thousands. … It was possibly the easiest decision in my life because after forty years living here I had been “groomed” for it for a long time. I had actually started the process to become an Indonesian citizen and had been warned it would take a long time. I was so lucky, when people at “the top” stepped in and the process was reduced to less than a month. I didn’t ask for special assistance and I was so honored when it was given.” 94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
liburan bulan madu di Bali pada tahun 1969 telah membawa dirinya untuk pertama kali ke Indonesia. Setelah berbulan madu, seharusnya ia melakukan perjalanan ke London untuk mulai bekerja di sebuah biro perjalanan internasional. Namun waktu yang begitu cepat berlalu, satu minggu menjadi dua minggu, lalu tiga minggu, dan ia pun selalu menunda keberangkatannya, hingga minggu keenam dan setelah benar-benar merasa jatuh cinta dengan Indonesia, pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan di London. Selanjutnya, berdasarkan pengamatannya mengenai produk kerajinan Indonesia yang masih sedikit menemukan jalan ke pasar internasional, maka ia pun mencoba sebuah peluang untuk menjalankan bisnis eksportir di sekitar kawasan Asia Tenggara. Karena, baginya perkembangan bisnis eksportir dapat mengubah kehidupan banyak orang yang terlibat pada kerajinan tersebut. (JE edisi 84:10) Poin menarik dari kisah Dan Boylan dan Warwick Purser adalah ketidak-terdugaan mereka untuk tinggal di Indonesia. Awal kedatangan mereka di Indonesia sebelumnya hanya sebuah persinggahan, namun seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi tempat mereka bernaung kehidupan. Bahkan, Warwick Purser pun telah mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Terkait hal ini, muncul satu pertanyaan tambahan mengenai identitas ekspatriat. Apakah orang asing yang sudah mendapatkan naturalisasi masih menyandang identitas sebagai ekspatriat? Pertanyaan ini akan penulis bahas dalam analisis mengenai identitas dan representasi diri para ekspatriat di dalam Majalah JE. B.
Ekspatriat dalam Meet the Expats Melalui sajian dalam rubrik Meet the Expats pada Majalah JE di atas kita telah
melihat latar belakang para pendatang atau orang asing melakukan sebuah upaya representasi diri sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, Majalah JE telah berperan aktif dan kreatif dalam menghadirkan hingga memaknai ekspatriat sebagai identitas orang asing 95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kulit putih di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai identitas beserta representasi ekspatriat ini penulis lakukan sebagai berikut: B.1.
Identitas Ekspatriat yang non-esensialis Ekspatriat sebagai gagasan identitas senyatanya telah menjadi suatu hal yang
problematis dan memiliki beragam kompleksitas. Kompleksitas identitas ekspatriat dapat dicermati dari berbagai proses wacana yang terkandung di dalamnya seperti yang termuat di dalam Majalah JE. Melalui Majalah JE, identitas ekspatriat terkonstruksi dengan menggunakan logika perbedaan terhadap sesama orang asing, sehingga terdapat proses penginklusian dan pengeksklusian sesama orang asing maupun orang kulit putih yang sedang berada di Indonesia. Adanya proses penginklusian di dalam identitas eskpatriat ini tentunya menjadi telah terkait dengan wacana ras. Wacana ras seakan menjadi senjata mutakhir untuk mendapatkan legitimasi di dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk, dan menegaskan bahwa mereka memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari kebanyakan orang lainnya. Meskipun ada yang dieksklusikan, namun pada kenyataannya terjadi pembiasan identitas, semisal terhadap orang kulit putih yang acapkali disebut bule. Alihalih alasannya hanya lebih didasarkan pada asal dan rentan waktu keberadaan orang asing yang sedang berada di luar negaranya, seperti di Indonesia. Berdasarkan data yang terdapat di dalam Majalah JE, identitas ekspatriat seakan telah menjadi milik kepunyaan orang kulit putih. Hal ini terlihat dari rubrik Meet the Expats, yang mana kesemuanya adalah adalah orang kulit putih; Anna Feliciano, Luke Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith, Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, JeanBaptiste Mounier, Catherine Parent, Leonani dan Nani Nahooikaika, Kristan Julius, Laila Airlie Dempster, Gerard Mosterd, Cuny Schuurmans, Dave Metcalf, Robert McKinnon, 96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tim Scott, Dan Boylan, dan Warwick Purser. Oleh karena itu, identitas ekspatriat terkonstruksi atas dasar kehadiran orang kulit putih, khususnya mereka yang ingin mendapatkan pandangan berbeda dengan orang asing lainnya. Bahkan mereka tidak tanggung-tanggung merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui sebuah media yang hegemonik, sehingga berbeda dari orang asing (imigran) lainnya maupun orang kulit putih kebanyakan (bule). Media ini tidak hanya berupa sebuah Majalah JE, akan tetapi juga disebarluaskan di dunia maya melalui sebuah laman www.jakartaexpat.biz yang kini telah bertransformasi menjadi www.indonesiaexpat.biz. Pada perkembangannya, wacana identitas ekspatriat telah terbungkus dengan berbagai wacana lainnya, semisal kisah atau latar belakang kehidupan para ekspatriat, semisal, keluarga, bisnis, perusahaan, pengajar, seniman, liburan dan petualangan bahkan hingga ada yang memaknainya sebagai sebuah keniscayaan. Padahal ekspatriat sebagai identitas bukan merupakan suatu hal yang penuh dan selamanya utuh (fixity). Sebagai identitas yang juga memasuki dalam lingkup tatanan global, ekspatriat juga dapat dikatakan menjadi suatu proyek identitas untuk mempertahankan status diri mereka saat sedang berada diluar negaranya. Hal ini lebih disebabkan pada zaman globalisasi seperti saat ini, wacana identitas telah berkeliaran bebas kepada siapa saja yang bersedia dan berkeinginan untuk menggunakan atau merepresentasikannya. Dalam lingkup global, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa identitas ekspatriat dapat menjadi suatu identitas hegemoni, yang mana seseorang tidak menginginkan untuk kembali pada ikatan primordial. Bahkan, ekspatriat sebagai sebuah wacana yang mengglobal terus melakukan suatu upaya konstruksi guna memapankan identitasnya sebagai wujud jati diri. Oleh karena itu, ekspatriat telah menjadi suatu identitas yang tidak terberikan begitu saja, tetapi
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terkonstruksi atas keberadaan diri seseorang secara otonom maupun kelompok yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Terkait mengenai identitas ekspatriat yang selalu berupaya melakukan konstruksi secara terus menerus, dapat dipahami bahwa identitas tersebut bukanlah sesuatu yang telah berakhir atau mencapai puncak ketetapannya, sehingga bukan menjadi hal yang mudah untuk melakukan proses pelacakannya. Apalagi jika dikaitkan dengan beragam pendefinisian tentang ekspatriat yang belum memiliki kepastian, terutama mengenai karakteristik ekspatriat sebagai sebuah identitas yang bukan terberikan sejak manusia lahir. Merujuk kembali pada pembahasan di dalam Bab I, baik Fechter maupun Upton, keduanya saling mendasarkan identitas ekspatriat kepada para respondennya masingmasing. Selain itu, penelitian yang telah mereka lakukan juga telah memposisikan identitas ekspatriat bagi orang asing kulit putih. Fechter (2007:3), misalnya, seluruh respondennya adalah Euro-Amerika yang sedang berada di Indonesia. Sementara itu, Upton (1998) lebih memfokuskan pada orang-orang Kanada yang tengah berada di Papua Nugini. Dengan demikian, dari kedua penelitian Fechter dan Upton, identitas ekspatriat muncul sebagai bentuk identitas para pendatang atau orang asing kulit putih di sebuah negara tertentu. Namun demikian, kemunculan pembedaan tersebut tentunya disebabkan karena adanya mobilitas perpindahan manusia. Perpindahan manusia adalah salah satu unsur utama yang membuat seseorang dapat menjadi ekspatriat. Perpindahan manusia ini telah menciptakan suatu relasi wacana identitas yang membedakan antara pribumi dengan nonpribumi. Pembedaan ini menjadi semakin terlihat jelas saat dimunculkan dalam bentuk representasi, karena di dalamnya terdapat proses identifikasi. Artinya, terjadi suatu
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
konstelasi identitas, dimana para pendatang ingin mempertahankan identitasnya agar tidak hilang ketika berhadapan dengan masyarakat lokal. Terjadinya konstruksi identitas ekspatriat dapat dipahami sebagai salah satu bentuk upaya yang dapat menjanjikan ketetapan identitas bagi mereka sehingga telah memunculkan batas spasial. Dalam hal ini, ekspatriat sebagai sebuah identitas telah melakukan pembedaan sesama orang asing di Indonesia. Dengan demikian, konstruksi suatu identitas tidak dapat terpisahkan dari proses identifikasi dan pembedaan. Merujuk pada pandangan Stuart Hall (1996:1) yang telah mengajukan sebuah pertanyaan untuk merefleksikan suatu identitas, yaitu Who needs ‘Identity’?, maka jika dikaitkan dengan persoalan ekspatriat, pertanyaannya pun akan berubah menjadi, “Siapa yang butuh identitas ekspatriat?”. Atas pertanyaan bernuansa esensialis ini, Hall juga menyediakan dua cara untuk dapat menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertama, mengamati sesuatu yang bercirikan khusus untuk membongkar konsep identitas yang esensial dengan melakukan kritik dekonstruksi (1996:2). Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ekspatriat sebagai gagasan merupakan suatu identitas yang kembali dimunculkan dalam dunia kontemporer. Ciri khas dari identitas ekspatriat ini adalah perpindahan negara atau keluar dari tanah airnya. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan sebuah konsep identitas yang esensial. Sebelumnya Fechter telah mengingatkan sebuah artikel lama milik Erik Cohen (1977) yang memaparkan bahwa ekspatriat ditujukan bagi orang Barat yang telah tinggal di luar negeri untuk jangka waktu panjang, terutama seniman, kolonial dan mereka yang umumnya memiliki misi dari satu jenis atau lebih.20 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa konstruksi identitas ekspatriat bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada era
20
Dalam Fecther, A. M. (2007). Transnational Live Ekspatriat in Indonesia. England: Ashgate. Hal. 1. 99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kontemporer saat ini, apalagi ketika terkait dengan persoalan esensialis semata, melainkan di dalamnya terdapat kandungan historis, yakni kolonialisme Barat. Sebagaimana Cohen juga menekankan bahwa seorang ekspatriat memiliki keterkaitan erat dengan kolonialisme Barat di negara-negara Asia di masa kolonial (1977:8). Oleh karena itu, peninjauan kembali terhadap sejarah kolonial dan melihat kondisi kontemporer ekspatriat menjadi kunci untuk memahami persamaan maupun perbedaan di masa kolonial hingga pascakolonial. Seiring laju globalisasi, fenomena ekspatriat pun semakin ramai dalam lingkup masyarakat global. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebuah lembaga perbankan internasional seperti HSBC telah melakukan survei mengenai kehidupan ekspatriat sejak beberapa tahun terakhir.21 Dalam pandangan lembaga ini, ekspatriat ditempatkan sebagai salah satu identitas global terkait dengan keberadaan orang-orang yang sedang bekerja di luar negaranya. Dengan demikian, suatu upaya untuk mendekonstruksi identitas ekspatriat adalah mendasarkan kembali pengertian gagasan ekspatriat secara sadar dan mendasar, yakni hanya sebatas pada identitas seseorang saat sedang berada di luar negara asal atau tanah airnya. Merujuk kembali kepada pengertian etimologinya, ekspatriat yang berasal dari bahasa Latin; ex yang berarti keluar, dan patria yang berarti tanah air, maka dapat dipahami bahwa patria di sini menjadi penanda bagi bangsa-bangsa yang menganggap tanah airnya sebagai fatherland. Bahkan, Merriam Webster pun memberikan penjelasan mengenai kata dasar ekspatriat, yakni, patria, yang dalam etimologi bahasa Spanyol memiliki makna “patria from feminine of patrius of a father, from patr-, pater father”,
21
Dapat dilihat pada laman https://www.expatexplorer.hsbc.com 100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan pertama kali diketahui penggunaannya pada tahun 1768.22 Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa penggunaan identitas ekspatriat hanya menjadi berlaku bagi bangsabangsa, pada khususnya kalangan Barat, yang menganggap tanah airnya sebagai fatherland, atau dengan kata lain berpaham patriarki. Hal ini yang menjadi pembedaan dengan bangsa-bangsa Timur, seperti Asia, termasuk Indonesia yang menganggap tanah airnya sebagai ‘Ibu Pertiwi’, atau dalam istilah lainnya disebut sebagai motherland. Kedua, jenis jawaban tentang siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat ini mengharuskan kita untuk mengetahui dari mana konsep identitas muncul? Stuart Hall memberikan sebuah cara untuk menemukan jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik, sedangkan agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah pendekatan yang historis (1996:2). Dalam hal ini, para ekspatriat mencoba untuk meletakkan identitas diri mereka pada persoalan lokasi, yakni ketika mereka sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, negara atau tanah air (patria) telah menjadi penanda utama bagi identitas seorang ekspatriat. Namun tidak hanya berhenti pada persoalan identitas saja, tetapi terdapat agensi yang berperan untuk memberikan hingga menyerbaluaskan gagasan mengenai identitas ekspatriat ke dalam lingkup sosial. Dalam persoalan ekspatriat ini, agensi yang dimaksudkan adalah Majalah JE yang telah memproduksi sebuah media dan menjadi perantara untuk memberikan pengertian sebuah identitas ekspatriat, baik itu berupa majalah maupun yang termuat pada semua laman di
22
Dapat dilihat pada laman http://www.merriam-webster.com/dictionary/expatriate Bandingkan dengan penjelasan mengenai patria dalam http://en.wiktionary.org/wiki/patria 101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
internet. Dengan demikian, pertautan antara politik dan agensi acapkali melingkari konstruksi identitas ekspatriat. Sebagaimana ekspatriat yang juga dibubuhi oleh politik wacana, seperti gerakan perpindahan manusia yang berada di dalam lingkup kapitalisme global, maka identitas ekspatriat dikonstruksi dengan membuat sebuah ruang yang membedakan dengan banyak orang asing lainnya. Sementara itu, menurut Fechter, pemberian label kepada seseorang sebagai ekspatriat telah menandakan melekatnya mereka di dalam mekanisme kapitalisme global (2007:3). Artinya, seseorang yang bekerja pada sebuah perusahan berskala internasional (multinasional corporation) adalah agensi utama dalam memberikan identitas seseorang sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, perusahan multinasional ini telah membuka kran perpindahan manusia dari negara asal atau tanah airnya, seperti yang dialami oleh beberapa ekspatriat yang termuat di dalam Majalah JE; Ian Smith, Anna Rohm, Mario Babin, dan Dave Metcalf. Alhasil, suatu perusahan multinasional telah turut andil menciptakan dan menandakan seseorang sebagai ekspatriat. Di Indonesia, misalnya, dapat diketahui bahwa kehadiran orang asing bukan hanya terdiri dari orang kulit putih saja, melainkan juga terdapat orang-orang dari Asia maupun Afrika yang bukan putih. Selain itu, orang kulit putih itu sendiri pun terbagi dalam beberapa bagian, seperti wisatawan, pelajar, pejabat negara, maupun para pekerja sosial yang memang sering berpindah ke berbagai negara. Namun demikian, pada praktiknya para ekspatriat di Indonesia, khususnya dilihat melalui Majalah JE, telah direpresentasikan oleh orang kulit putih, baik itu berlabelkan yang ahli, para pebisnis, atau siapapun mereka yang memiliki keterkaitan dengan kapitalistik. Berdasarkan pada data yang telah tersajikan, kita telah mengetahui bahwa latar belakang kisah kehidupan para ekspatriat adalah karena adanya perpindahan negara;
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berasal dari berbagai negara, seperti Amerika, Australia, Prancis, Inggris, Kanada, Hawaii, Belanda, Selandia Baru, Skotlandia, yang kesemuanya masuk dalam kategori kalangan Barat. Di samping itu, perjalanan ke berbagai negara yang telah dilalui oleh para ekspatriat pun jumlahnya tidak sedikit, seperti yang dialami oleh Dan Boylan telah mengunjungi sedikitnya 40 negara, Dave Metcalf yang telah berpergian tidak kurang dari 25 negara, maupun Anna Feliciano melebih 10 negara. Dengan demikian, secara sederhana, sekaligus untuk menjawab sebuah pertanyaan esensialis, siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat, mereka adalah yang sedang berada di luar tanah airnya, terutama untuk mempertahankan identitas primordial mereka yang tengah terancam bahkan tercerabut ketika berada di lingkungan yang sangat berbeda seperti di Indonesia. Dengan kata lain, Hall menjelaskan persoalan ini sebagai bentuk keberadaan identitas kultural yang bukan pada persoalan esensial, melainkan terkait pada sebuah posisi (1990:226). Posisi identitas ekspatriat di Indonesia ini yang kemudian menjadi persoalan. Persoalannya tidak lain adalah mengenai status para ekspatriat dihadapan masyarakat lokal atau pribumi. Para ekspatriat sebagai orang asing kulit putih menciptakan gelembung Barat sebagai batas spasial (Fechter, 2007), dan menginginkan bentuk relasi sesama ekspatriat untuk dapat saling menghubungkan dan menjaring berbagai kepentingan, seperti peluang ekonomi, politik, sosial, budaya, serta menciptakan ketetapan identitas dan posisi mereka sebagai ekspatriat dihadapan yang lain – orang diluar diri mereka, seperti orang asing lainnya yang ada di Indonesia maupun masyarakat pribumi. Oleh karena itu, lewat Majalah JE para ekspatriat bukan hanya berupaya untuk mengkonstruksi maupun merepresentasikan diri ke atas mimbar media, melainkan juga menyebarluaskan gagasan dan wacana seputar ekspatriat, baik dalam skala lokal maupun global.
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.2.
Representasi Diri Ekspatriat Setelah membahas persoalan mengenai identitas ekspatriat, maka langkah
berikutnya yang akan penulis lakukan adalah menguraikan proses representasi diri ekspatriat di dalam Majalah JE. Di dalam dunia kontemporer seperti saat ini, Majalah JE dapat dipahami sebagai perangkat yang berperan dalam memberikan beragam wacana tanpa henti kepada para pembacanya, yang tidak lain adalah ekspatriat itu sendiri. Dengan kata lain, Majalah JE telah menjadi sebuah ruang bagi para orang kulit putih untuk merefleksikan dirinya sendiri atas representasi diri para ekspatriat yang tersajikan melalui suatu media. Di dalam pemahaman Kajian Budaya, media pun memiliki makna sebagai salah satu unsur yang turut serta dapat mempengaruhi dan membentuk subjek. Media telah menjadi suatu wahana untuk dapat mengartikulasikan dan merepresentasikan sebuah identitas kolektif. Oleh karena itu, dengan menyediakan beragam isi atau substansi di dalamnya, media tidak kalah pentingnya dalam ikut berperan sebagai pembawa pelbagai gagasan melalui imaji dan teks serta ideologi yang disuguhkan kepada para pembaca Majalah JE, yaitu para ekspatriat. Dengan sebuah tagline yang cukup sederhana, “Indonesia’s Largest Expatriate Readership”, Majalah JE terus berupaya untuk menyapa dan menjaring para ekspatriat di Jakarta, dan Indonesia pada umumnya. Sementara itu, pembaca Majalah JE akan dihadapkan pada sebuah situasi negosiasi yang menjadi penentuan mengenai identitas dirinya saat sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Hal ini terutama terkait dengan seseorang yang sering berpindah negara, yang mana dirinya akan cenderung mengalami ‘kesadaran mendadak’ atas perubahan identitasnya ketika berhadapan dengan yang lain (pribumi-non-pribumi atau native-foreigner). Oleh karena itu, melalui Majalah JE yang
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diperuntukkan bagi para ekspatriat, maka dapat dipahami bahwa media dapat menjadi peredam kegalauan identitas seseorang yang sedang berada di luar negaranya. Pada ranah praktis, tidak adanya media khusus ekspatriat yang cukup kuat dan berperan selain Majalah JE juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategorikategori identitas orang asing. Apakah memang tidak ada kekuatan dominan selain Majalah JE untuk para ekspatriat di Indonesia? Sebelumnya di wilayah Jogjakarta pernah terbit media yang serupa, yaitu Jogjamag,23 dengan tagline “for tourists and expats”. Namun kurang dari setahun media Jogjamag merubah target pembacanya yakni hanya para turis, dan tagline-nya pun berganti menjadi “your guide to discovering Yogyakarta”. Oleh karena itu, adanya Majalah JE yang kini telah bertransformasi menjadi Majalah Indonesia Expat (IE) merupakan satu-satunya media sebagai medium bagi para ekspatriat di hampir seluruh seantaro Indonesia. Mengenai representasi diri ekspatriat melalui media, penulis ingin memulai dengan memperlihatkan bahwa Majalah JE telah memainkan perannya sebagai sebuah ruang representasi identitas eskpatriat. Pada setiap edisinya yang tertuang di dalam rubrik Meet the Expats, Majalah JE selalu menyajikan sosok seorang ekspatriat dengan mengulas berbagai latar belakang kehidupannya. Rubrik Meet the Expats ini dimulai dengan mengungkapkan asal negara, bagaimana kisah mereka sampai tiba di Indonesia, membahas seputar aktifitas keseharian atau pekerjaan, hingga merujuk pada pandangan atau kesan selama mereka berada di Indonesia. Pada dasarnya, orang asing tidak melulu – secara langsung dan terbuka – merepresentasikan dirinya sebagai ekspatriat di dalam masyarakat. Namun demikian, dengan adanya suatu media, seseorang telah mendapatkan sebuah ruang untuk dapat
23
Dapat dilihat pada laman http://www.jogjamag.com 105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, meminjam kerangka pikir McLuhan (1999), the medium is the message, maka dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk menyampaikan pesan dengan merepresentasikan orang asing kulit putih yang termuat di dalam rubrik “Meet the Expats” sebagai ekspatriat. Alih-alih, Majalah JE telah memberikan pesan kepada para pembacanya tentang siapa dan bagaimana latar kehidupan seorang ekspatriat di Indonesia. Berangkat dari pemahaman bahwa Majalah JE telah menjadi suatu ruang bagi representasi para ekspatriat, maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai proses produksi budaya. Menurut Stuart Hall (1997:15) representasi menjadi penting karena terkait ‘cultural circuit’, dan menegaskan bahwa representasi telah menghubungkan makna dan bahasa bagi budaya, bahkan representasi dengan dua sistemnya membentuk sebuah diskursus bagi banyak orang. Hal ini dapat terlihat pada Majalah JE yang telah menjalankan dua fungsi sistem representasi. Pertama, Majalah JE sebagai pemberi makna identitas, yakni menekankan pada asal muasal seorang ekspatriat. Sebagaimana yang dilakukan Majalah JE sebagai berikut: Where do you come from? I am half Australian and half Danish. I’m officially an Australian, and I was born in Canberra. (Anne Feliciano, JE edisi 63:10) Where are you originally from? From Sunderland in the North East of England (Ian Smith, JE edisi 57:8) Where are you from? I’m originally from Montreal. (Mario Babin, JE edisi 54:8) Where are you from? I am come from France, Grenoble, near the Alps. (Mounier, JE edisi 51:8) Let’s start with the basics, where are you from? I’m originally from the United States (Kristan Julius, JE edisi 72:14)
Dari pertanyaan dan jawaban di atas dapat dicermati bahwa asal negara menjadi sebuah langkah awal untuk dapat merepresentasikan diri orang asing sebagai ekspatriat. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada awal bab ini, mengenai kisah para ekspatriat, para ekspatriat cenderung akan mendapatkan pertanyaan pembuka mengenai asal negara 106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka masing-masing dari pihak Majalah JE. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberi makna identitas seseorang untuk dapat menyandang diri sebagai ekspatriat adalah mereka yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Di samping itu, pemilihan suatu kata tertentu telah merelativasi kepastian identitas berdasarkan asal usul kewarganegaraan. Hal ini dapat dicermati dalam pemilihan kata yang merumuskan sebuah pertanyaan, “where are you come from?”. Kata “where” di sini telah mengarahkan pada asal muasal seseorang, sehingga jawaban yang tersirat maupun yang tersurat dari pertanyaan tersebut adalah kata“originally”. Kata “originally” ini menjadi asosiasi dari sebuah rumusan pertanyaan yang diajukan oleh pihak Majalah JE kepada setiap ekspatriat. Jadi, dalam rubrik Meet the Expats ini, Majalah JE berupaya untuk merepresentasikan ekspatriat, berawal dari asal wilayah atau kota hingga status kewarganegaraan. Kedua, Majalah JE telah merepresentasikan diri para ekspatriat, baik sebagai konsep maupun bahasa mengenai seorang yang telah menjadi ekspatriat saat berada di luar negara atau tanah airnya. Konsep mengenai ekspatriat bukan hanya terbatas pada kepergian seseorang dari negara asalnya, melainkan juga terletak pada rentan waktu keberadaan di sebuah negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Majalah JE untuk melakukan penyelidikan atas keberadaan para ekspatriat di Indonesia: How long have you lived in Indonesia? a total of 25 years… that’s half my life! (Anne Feliciano, JE edisi 63:10) How long have you been in Indonesia? For a total of more than 16 years in 2 seperate periods since mid-1994 until now. (Ian Smith, JE edisi 57:8) How long have you been a resident of Jakarta? 24 wonderful years! (Kristan Julius, JE edisi 72:14) How long have you been in Indonesia? I came here in 1995…. I’ve been here for 16 years! (Babin, JE edisi 54:8) How long have you been living in Indonesia? 15 years now. (Cuny Schuurmans, JE edisi 56:8)
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari pertanyaan dan jawaban yang tertera di atas, dapat dicermati bahwa terdapat persoalan rentan waktu yang bermaksud untuk direpresentasikan. Perihal rentan waktu keberadaan para ekspatriat ini dapat dipahami bukan hanya sebatas angka, melainkan lebih sebagai sebuah bahasa yang menandakan bahwa mereka telah cukup lama pergi dari negara atau tanah air mereka masing-masing. Pengajuan pertanyaan “How long ….. ?” menjadi sebuah penanda waktu bagi identitas ekspatriat. Selain itu, lokasi keberadaan para ekspatriat juga menjadi petanda diri mereka, seperti di Indonesia, khususnya di Jakarta. Oleh karena itu, rentan waktu dan keberadaan mereka di sebuah negara tertentu telah menjadi sebuah diskursus. Di samping itu, representasi diri ekspatriat juga dapat dicermati sebagai sebuah tanda yang membedakan dengan orang asing lainnya. Ekspatriat sebagai tanda, sekaligus bahasa, dikodifikasi dan diartikulasikan melalui sebuah Majalah JE dengan cara merepresentasikan diri orang asing. Terutama, makna yang dikonstruksikan atas upaya representasi ekspatriat ini adalah terkait dengan keberadaan orang kulit putih. Hal ini dengan jelas dapat terlihat dari dua puluh sampel yang diambil dari Majalah JE pada rubrik Meet the Expats, yang mana kesemuanya adalah orang kulit putih. Oleh karena itu, dengan menggunakan sebuah pendekatan konstruktivis, Majalah JE telah menghadirkan kembali (to represent) suatu pemaknaan mengenai orang asing yang sedang berada di luar negaranya, terutama mengenai ekspatriat sebagai representasi diri orang kulit putih sehingga berbeda dengan keberadaan para orang asing lainnya. Terkait Majalah JE, kontestasi media selalu memiliki keterkaitan dengan wacana (discourse) dalam menggunakan bahasa (language) sehingga dapat menghasilkan suatu pemaknaan. Bagi Hall (1992:64), media bukan hanya direproduksi atas suatu realitas, melainkan berupaya untuk mendefinisikan sesuatu makna, bahkan definisi atas realitas
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipertahankan dan diproduksi melalui semua praktek-praktek linguistik (dalam arti luas) dengan cara yang selektif mewakili definisi kenyataan. Artinya, dalam hal ini Majalah JE yang dihasilkan dan disebarluaskan kepada para ekspatriat di Jakarta, dan kini mulai merambah hampir ke seluruh wilayah Indonesia, merupakan suatu upaya dalam menciptakan sebuah pemaknaan atas keberadaaan para ekspatriat. Oleh karena itu, Majalah JE telah menyediakan suatu gagasan identitas bagi mereka, yang mana adalah orang kulit putih, ketika menjadi orang asing saat berada di luar tanah airnya. Kenyataannya, Majalah JE tidak hanya sebatas pada memproduksi suatu media, akan tetapi telah menciptakan wacana kekuasaan lewat bahasa dengan memunculkan kesadaran tentang keberadaan seseorang dan identitas di tengah masyarakat yang plural. Majalah JE sebagai alat penyebaran kekuasaan wacana mengenai ekspatriat telah membuat upaya perbedaan atas berbagai stereotipe terhadap orang asing maupun orang kulit putih, seperti bule dan turis. Dengan kata lain, Majalah JE merupakan sebuah bentuk upaya merekonstruksi maupun mendekonstruksi stereotipe tentang kehadiran orang kulit putih yang selama ini berkeliaran bebas dengan berbagai prasangka di dalam konsep maupun praktik masyarakat Indonesia. Bahkan, Majalah JE sebagai sebuah media telah berperan dan melakukan suatu upaya konstruksi serta memproduksi wacana pengetahuan tentang ekspatriat. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, yakni melalui delapan latar belakang dan dua puluh kisah para ekspatriat yang tersajikan di dalam rubrik Meet the Expats, kita dapat mengetahui bagaimana kehadiran orang asing, pada khususnya orang kulit putih di Indonesia telah mengalami representasi diri sebagai ekspatriat melalui Majalah JE. Representasi ini pada dasarnya telah melakukan proses identifikasi terhadap keberadaan para orang asing di Indonesia, sehingga Majalah JE telah memainkan peran sebagai sarana
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemberi informasi untuk memberikan gambaran dan menyebarkan representasi diri ekspatriat, yang mana tentunya telah dibentuk atau diimajinasikan oleh media itu sendiri. Dengan demikian, penulis menarik kesimpulan bahwa para ekspatriat yang tersajikan di dalam Majalah JE merupakan salah satu bentuk upaya representasi atas konstruksi identitas ekspatriat, terutama mengenai keberadaan diri mereka sebagai orang asing kulit putih di sebuah negara yang non putih seperti Indonesia. Di samping itu, pada era kontemporer saat ini, media juga dapat diyakini bukan hanya sebagai medium pengantar pesan informasi sosial di dalam suatu masyarakat, melainkan juga sebagai alat penundukkan dan pemaksaan konsensus oleh sekelompok orang yang secara ekonomi dan politik dominan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Bab II, mengenai awal mula Majalah JE sebagai media yang diproduksi dari, oleh, dan untuk para ekspatriat merupakan suatu upaya untuk merepresentasikan dan membuat legitimasi atas identitas ekspatriat di dalam masyarakat Indonesia. Dominasi kelas kapitalis juga dapat terlihat dari sebagian besar representasi ekspatriat yang tersajikan dalam Majalah JE. Ekspatriat yang dihadirkan lebih cenderung mengarah pada kalangan kelas pebisnis, seperti, Luke Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith, Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, Jean-Baptiste Mounier, Cuny Schuurmans, Tim Scott, dan Warwick Purser. Bahkan dengan melihat dari titik persebarannya, Majalah JE pun lebih banyak menempatkan sasarannya kepada para ekspatriat yang berorientasi pada kelas ekonomi atas, seperti dominannya peredaran di apartemen, sekolah internasional, perusahaan multinasional dan ruang publik: café, bar, resto, dll. Dengan kata lain, hal ini senada dengan yang telah diingatkan oleh pandangan Marxisme mengenai media sebagai sebuah pendekatan ekonomi politik terhadap media dan budaya yang lebih berpusat pada hal produksi dan distribusi daripada menafsirkan teks (Kellner, 2006:xxvi).
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Oleh karena itu, hubungan identitas ekspatriat terhadap media merupakan sebuah persoalan sebagai orang kulit putih yang memiliki kesamaan, khususnya mereka yang berada pada posisi kelas ekonomi atas, seperti para pemilik modal maupun yang memiliki keterkaitan dengan kapitalisme global. Aktifitas ekspatriat yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi politik juga telah ditegaskan oleh Alejandro Portes (2003:43) dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa semua bukti empiris menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi, politik dan sosial budaya menghubungkan komunitas ekspatriat dengan negara-negara asal mereka muncul atas inisiatif para imigran itu sendiri.24 Keberadaan para pendatang di suatu wilayah atau dalam konteks luasnya di suatu negara adalah membawa suatu kepentingan tertentu, baik untuk dirinya sendiri, kelompok, maupun negara tempat ia berasal. Dengan kata lain, para ekspatriat bekerja di luar negaranya dan membawa keuntungan yang didapatkan olehnya untuk dibawa kembali ke negara asalnya. Oleh karena itu, kehadiran orang asing kulit putih yang mererpresentasikan diri sebagai ekspatriat merupakan sebuah keniscayaan atas kepentingan ekonomi dan politik maupun budaya ketika mereka berada di negara dunia ketiga seperti Indonesia. C.
Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial
C.1.
Cover Photo sebagai Imaji Indonesia Pada bagian ini, penulis akan memulai dengan menampilkan beberapa cover photo
yang terdapat pada halaman muka Majalah JE. Dalam hal ini, penulis memilih beberapa cover photo untuk memperlihatkan bagaimana Majalah JE berupaya untuk menghadirkan
24
Portes, Alejandro. (2003). Conclusion: Teoretical convergencies and empirical evidence in the study of immigrant transnationalism. International Migration Review 37: 874-92. Dalam Andoni Alonso and Pedro J. Oiarzabal (Eds). Diasporas in the New Media Age: Identity, Politic and Community. Reno & Las Vegas: University of Nevada Press. Hal. 43. 111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
imaji Indonesia kepada para pembacanya. Dalam setiap edisinya, JE selalu memberikan sebuah foto yang dijadikan cover photo media sebagai ‘pembungkus’ tema yang sedang tersaji. Foto juga dibubuhi suatu artikel terkait dengan tema yang sedang ditampilkan pada muka media. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, dan sebelum menguraikan isi muatan artikel, penulis akan terlebih dahulu berupaya untuk mengungkapkan pesan yang terdapat dalam cover photo Majalah JE tersebut. Sebagaimana Barthes mengatakan bahwa foto tidak pernah dapat berdiri sendiri, sehingga suatu tulisan berfungsi menjelaskan atau memberi komentar pada foto tersebut (Sunardi, 2004;159). Hal ini yang terjadi dan akan dibahas pada persoalan beberapa cover photo Majalah JE. Dikarenakan foto yang dijadikan cover photo Majalah JE diiringi oleh teks yang turut memberikan dan membangun makna foto. Bahkan, tidak tanggungtanggung, Majalah JE pun memberikan teks maupun tulisan yang kiranya jauh dari makna foto itu sendiri. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, kita akan melihat bagaimana sebuah foto memiliki kompleksitas di dalamnya, terutama terkait dengan teks yang turut membangun struktur makna. Merujuk pada pandangan Roland Barthes yang menjelaskan bahwa foto berita (press) adalah pesan yang dibangun oleh beberapa elemen, seperti teks, judul, penjelasan maupun sumber pemancar foto (1977:15). Oleh karena itu, dengan menggunakan semiotika fotografi yang telah disediakan oleh Barthes, maka penulis berupaya untuk dapat mengungkapkan relasi makna maupun pesan foto yang tersajikan sebagai cover photo dalam Majalah JE. Beberapa cover photo Majalah JE dapat dilihat sebagai berikut:
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambar 1 An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Cover Photo Jakarta Expat 42th Edition
Ketika melihat potret yang dijadikan cover photo pada Majalah JE ini, penulis menjadi teringat pada sebuah buku, “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda” karya Reggie Baay yang terbit pada tahun 2010. Berselang setahun dari terbitnya buku tersebut, foto ini dimunculkan kembali oleh JE pada edisinya ke 42 yang disertai dengan judul ‘Better Late than Never’. Dari judul tersebut terdapat pula uraian yang disampaikan melalui suatu narasi untuk menjelaskan bagaimana suatu proses pernikahan campur antara orang asing dengan orang Indonesia. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa para pembaca Majalah JE mendapatkan suatu pemahaman mengenai pernikahan campur di Indonesia. Apalagi terkait dengan pernikahan campur bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada saat ini, melainkan sebelumnya pernah terjadi di masa kolonial Hindia Belanda. Pesan Fotografis Gambar 1 a. Elemen fotografis Pada Gambar 1, cover photo tersebut dapat diketahui bahwa sumber pemancarnya adalah Majalah JE, yang mana di dalamnya terdapat redaksi dan editor. Sementara pihak penerimanya adalah publik yang membaca, yaitu target pembaca Majalah JE adalah para ekspatriat. Foto ditransmisikan melalui Majalah JE edisi 42 yang terbit pada 27 April-11
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
May 2011, dengan judul “Better Late than Never!”. Foto yang ditransmisikan adalah perkawinan campur antara orang asing atau pihak kolonial dengan pribumi, dengan sebuah objek (scene) sebuah keluarga, yang terdiri dari ayah dan ibu dengan dua orang anaknya. Dengan demikian, analogon (turunan atau salinan) dalam cover photo ini adalah imaji fotografi yang ditampilkan pada foto, dimana foto ini memiliki pesan denotatif yang menyampaikan citra tentang pernikahan campur, sedangkan pesan konotatifnya adalah kode kultural maupun stereotipe dari pernikahan campur. b. Rangkaian Prosedur Konotatif Pertama, trick eEffects pada foto ini telah menggagalkan keutuhan sebuah keluarga karena sang ayah berpaling muka dengan tidak menghadap pada kamera. Selain itu, terdapat juga penanda pada adegan tidak adanya senyum dari objek foto. Hal ini menimbulkan pemahaman kesadaran yang menjadi tanda (sign) dan selanjutnya dapat dikodekan bahwa pernikahan campur dianggap sebagai hal yang belum bisa diterima di dalam masyarakat; baik dari kalangan pribumi maupun Eropa, dimana pada masa kolonial perempuan pribumi diposisikan sebagai gundik bagi kalangan Eropa. Oleh karena itu, pada trick effects ini, foto bisa juga menimbulkan rasa penolakan dari kalangan Eropa ketika sang ayah tidak menghadap pada lensa pemotret. Kedua, pose pada foto ini dengan jelas menggambarkan sebuah keluarga yang utuh, terdiri dari seorang ayah dan ibu serta kedua anaknya. Namun, ada ketimpangan dalam foto tersebut: sang ayah mengenakan seragam tentara lengkap, sang ibu hanya mengenakan pakaian perempuan khas Jawa, sang anak yang paling besar menggunakan pakaian bergaya Eropa dengan topi bundar dan sepatu sebagai penandanya, sedangkan sang anak yang paling kecil dibiarkan telungkup tanpa mengenakan selembar pakaian apapun. Dengan berpalingnya wajah sang ayah dari lensa kamera, ia yang berasal dari
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kalangan Eropa seakan tidak ingin memperlihatkan dirinya secara utuh karena telah menikah dengan perempuan pribumi. Bahkan, foto yang dilatarbelakangi dengan sebuah rumah kayu khas pedesaan Jawa semakin menguatkan pesan konotatif mengenai kondisi pribumi yang miskin. Ketiga, daya tarik objek pada foto ini ditandai oleh dua penanda, yakni penanda pertama ada pada perempuan Jawa yang – sadar – melihat kamera, dan penanda kedua pada seorang laki-laki Belanda yang berprofesi sebagai tentara dengan berseragam lengkap namun berpaling muka dari kamera. Dengan demikian, foto telah menjadi sebuah sintaksis karena komposisi objeknya terdiri dari sebuah keluarga dan juga menangkap latar berupa rumah tradisional yang terbuat dari kayu. Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak portrait tersebut telah menjadikan gambar terlihat lebih sempit. Foto menjadi terfokus pada objek sehingga hanya menangkap sedikit ruang di belakang objek. Kelima, estetisisme foto menjelaskan tentang pernikahan campur melalui sebuah foto yang dimuat kembali di dalam sebuah Majalah JE. Unsur-unsur yang ada pada foto tersebut dikodekan dalam sebuah gambar yang termuat dalam cetakan media sebuah majalah. Dan terakhir, keenam, sintaksis pada foto ini, penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal yang termuat di dalam Majalah JE. Hal itu dikarenakan tidak terdapat foto lain yang dapat membentuk suatu rangkaian kejadian saling terhubung dan berkesinambungan di dalam media. c. Teks dan Imaji Jakarta Expat pada edisi 42 yang terbit 27 April-11 May 2011 memberikan keterangan foto sebagai “An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldierand a girl from Purworedjo” sertajudul “Better Late than Never!”. Pesan teks ini telah membuat suatu denotasi terhadap pembacanya, sehingga imaji tidak lagi
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu yang jauh dari luar konteks foto tersebut. Hal ini yang terjadi pada foto“An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo” ketika dihadirkan sebagai sebuah cover photo Jakarta Expat edisi 42. d. Dari cover photo menuju artikel Setelah melihat apa saja pesan yang terkandung di dalam cover photo tersebut, selanjutnya perlu untuk memperhatikan uraian pada artikel berjudul “Better Late than Never!” yang turut membangun foto tersebut. Artikel ini berangkat dari kisah yang dialami oleh Anthony Sutton ketika ingin menikahi seorang perempuan Indonesia. Ia merasa bahwa kiranya terdapat begitu banyak rintangan yang akan dihadapi apabila menikah dengan orang Indonesia, seperti, konversi agama, orang tua, upacara pernikahan, kelahiran bayi, dua kali pembayaran pajak fiskal, dan KITAS. Ia yang telah menghabiskan waktu dari dua dekade di Indonesia merasa bahwa pemerintah Indonesia tetap saja tidak berusaha untuk membuat hidup ekspatriat menjadi lebih mudah, terutama berkaitan dengan hal pernikahan campur. Melalui artikel ini, Sutton menyampaikan beragam pandangan terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan orang asing. Awalnya ia merasa senang ketika pada tahun 2006 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa setiap anak yang lahir dari perkawinan campur memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia 18 tahun. Selanjutnya, pada bulan April tahun 2011 pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan peraturan imigrasi bagi para ekspatriat yang berhak untuk mendapatkan residensi secara permanen setelah menjalani periode kualifikasi, sehingga para ekspatriat dapat bekerja tanpa perlu sponsor dan tidak harus melapor ke berbagai kementerian pemerintah Indonesia.
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari segala peraturan yang telah ada, Sutton menegaskan bahwa belum ada peraturan mengenai pernikahan campur di Indonesia. Ia juga menyertakan berbagai rumor mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk pernikahan campur di Indonesia, seperti, biaya sekitar 3000 dolar pertahun dan itu tidak termasuk bagi wanita asing yang menikah dengan orang Indonesia. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa diperlukan deposito sekitar 500 juta rupiah yang harus dibayarkan oleh orang asing ketika ingin menikah dengan perempuan Indonesia. Bagi Sutton, meskipun Indonesia telah turut meratifikasi seluruh tumpukan konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang kesetaraan gender dan hak-hak anak, namun ia tetap menyebutkan bahwa 'Indonesia masih membuat hidup ekspatriat sangat sulit dalam persoalan perkawinan campur antar bangsa, seperti, isu atas warisan, kebangsaan dan kepemilikan properti maupun anak’. Atas kondisi tersebut ia memaparkan berbagai informasi mengenai beberapa organisasi yang memfasilitasi pernikahan campur di Indonesia, seperti, Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca), Tim Advokasi Perwakinan Campur (TAPC), dan Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB). Secara khusus, ia juga menegaskan bahwa APAB yang dibentuk pada tahun 2002 dengan tujuan mengubah undang-undang berkaitan dengan kewarnegaraan telah berhasil mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah disahkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2006. e. Insignifikasi Fotografis dengan Artikel Foto an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo telah memberikan penanda bahwa pernikahan campur telah terjadi di masa kolonial. Penanda ini yang menjadi proses dialektis dalam menjembatani suatu pernikahan campur yang terjadi saat ini antara ekspatriat dengan orang Indonesia. Foto
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang ditampilkan seakan dipahami sebagai denotasi yang murni atas kondisi realitas, sehingga foto tersebut telah memberi deskripsi atas kondisi sosial. Padahal secara pemahaman konotasi, pernikahan campur memiliki beragam latar belakang. Foto ini juga bukan merupakan suatu foto traumatis karena terdapat artikel pada foto yang memaparkan tentang pernikahan campur di Indonesia. Konotasi yang dimuat dalam Majalah JE bersifat ‘perseptif’ yang merupakan bersifat pengandaian. Mode konotasi lain yang bersifat khusus adalah konotasi ‘kognitif’ yang penandanya terbatas pada bagian-bagian analogon tertentu. Dengan demikian, pembaca dapat melihat lebih mendalam terhadap pemaknaan foto melalui pengetahuan teori fotografi. Melalui foto ini dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk menghubungkan keberadaan objek foto pernikahan campur pada masa kolonial dengan kondisi saat ini. f. Kekeliruan Teks pada Imaji JE memberikan teks foto pada edisi 42 dengan keterangan “an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa foto ini mengingatkan pada cover buku Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Baay menjelaskan bahwa foto tersebut adalah Djoemiha bersama keluarganya. Dan foto tersebut dibuat sekitar tahun 1918. Menurut penjelasan yang disediakan oleh Baay dapat diketahui bahwa foto tersebut memuat potret Djoemiha Noerwidjojo yang berasal dari Gombong dan diperkirakan lahir pada tahun 1891. Djoemiha meninggalkan kampung halamannya dan pergi mencari pekerjaan ke Bandung pada 1908. Djoemiha pun akhirnya bekerja di sebuah warung makan di tepi jalan antara Cimahi dan Bandung.Sang laki-laki dalam foto adalah Alfred Wilhem, lahir di Hamburg, Jerman pada 12 Oktober 1886. Pertama kalinya
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wilhem tiba di Batavia pada tahun 1910 saat bekerja pada sebuah perusahaan Jerman. Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia pun ingin mencoba peruntungannya di koloni Belanda. Wilhem mengajukan permohonan menjadi warga negara Belanda dan memutuskan untuk bergabung dengan KNIL. Lalu Wilhem ditempatkan dalam pasukan Zeni di Cimahi. Dan di Cimahi pula Wilhem dan Djoemiha dipertemukan di sebuah warung makan. Selanjutnya, Wilhem meminta Djoemiha untuk menjadi moentji (sebutan bagi nyai atau gundik pribumi di dalam tangsi-tangsi tentara kolonial), hingga pada tahun 1915 dan 1916 mereka memperoleh dua orang anak yaitu sepasang anak laki-laki dan perempuan (Baay, 2010:247). Dari pemaparan yang disajikan oleh Baay, maka dapat diketahui bahwa teks foto yang terdapat pada JE edisi ke 42 tersebut adalah sebuah kekeliruan. Majalah JE mendeskripsikan foto hanya sebagai “an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Padahal, jika merujuk kepada masa kolonial pergundikan tidak sama dengan sebuah pernikahan. Pergundikan tidak tercatat sebagai pernikahan yang sah dalam hukum. Bahkan, mengenai persoalan pergundikan, perempuan pribumi tidak mendapatkan hak yang penuh sebagai istri maupun seorang ibu atas anak yang lahir dari suami yang bukan pribumi. Oleh karena itu, artikel yang disematkan pada foto an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo merupakan sebuah absurditas. Sementara itu, jika merujuk pada Baay diketahui bahwa penjelasan mengenai foto tersebut dapat dipahami dengan cukup baik; mulai dari keterangan objek di dalam foto, awal muasal pertemuan hingga kisah perjalanan hidup. Selain itu, Baay juga telah melakukan upaya dokumentasi dengan cukup baik mengenai pergundikan yang dialami Djoemiha. Dengan demikian, Majalah JE telah mengalami kesalahan, yang mana sumber
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
maupun narasi atas cover photo tidak disampaikan secara lugas dan terbuka kepada para pembaca. Gambar 2 Chatting On Facebook By Alim Boeana Cover Photo Jakarta Expat 78th Edition
Pada mulanya cover photo Majalah JE ini tidak memuat penjelasan atau suatu artikel pada edisi terbitnya. Namun pada dua edisi selanjutnya, JE memberikan penjelasan terkait foto tersebut karena telah mendapat tanggapan maupun komentar dari para pembaca. Tanggapan itu muncul sebagai reaksi dari cover photo tersebut yang telah memperlihatkan suku Dani tengah berada di hadapan teknologi, yaitu laptop; mempertontonkan suku Dani yang masih tradisional dengan modernitas. Beberapa pembaca menyebutnya sebagai tindakan‘eksploitatif’ dan menuduh ‘rasis’, sehingga meminta JE untuk segera menarik sirkulasi dan menyatakan permintaan maaf secara resmi kepada rakyat Papua. Atas adanya tanggapan tersebut, pihak Majalah JE lebih beranggapan lain dengan mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah menulis komentar terkait dengan penyajian cover tersebut. Majalah JE yang diwakilkan oleh Mark Twain, kemudian memberikan penjelasan mengenai latar belakang pemuatan foto tersebut.
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berikut ini adalah penyampaian klarifikasi yang diberikan oleh pihak Majalah JE terkait dengan penampilan foto masyarakat suku Dani sebagai cover photo: “This photo was taken by a professional photographer, Alim Boeana, who in 2002 was assigned to a documentary for Russian television in Papua about the Dani tribe. Upon filming this documentary, the leader of the tribe, Yale, who is quite a worldly man and has travelled outside of Indonesia several times to Japan, took the photographer’s laptop from one of the houses to show his fellow tribesmen. Alim then saw an opportunity to take a beautiful photograph of Yale and his tribesmen and women, with the aim being to show a contrast between old and new, modern and traditional. Nothing more, nothing less.” (JE edisi 80:3)
Dari pernyataan klarifikasi di atas, pihak Majalah JE mencoba untuk menegaskan bahwa mereka memperlakukan masyarakat adat Papua dengan hormat, memperlakukan siapa pun dengan sama– dengan tidak ada perbedaan sama sekali. Bahkan, Majalah JE beranggapan bahwa memang terkadang sebuah foto tidak sesuai dengan keinginan semua orang, sehingga JE menginginkan agar para pembaca masih bisa menikmati keindahannya apa adanya. Selain itu, JE juga menegaskan bahwa bukan menjadi hal terbaik ketika semua orang harus berpikir sama; karena dengan adanya perbedaan pendapat maka akan dapat berpacu. Dalam hal ini, penulis memiliki pandangan yang berbeda dengan pernyataan yang disampaikan oleh pihak Majalah JE. Oleh karena itu, penulis berupaya untuk membongkar guna mengetahui wacana dibalik sebuah foto dengan cara sebagai berikut: Pesan Fotografis Gambar 2 a. Elemen Fotografis Pada Gambar 2, dapat diketahui bahwa sumber pemancar pesan adalah Majalah JE, yang di dalamnya terdapat redaksi dan editor. Sementara pihak penerimanya adalah publik yang membaca Majalah JE yakni para ekspatriat. Saluran transmisi gambar ini adalah Majalah JE edisi 78, yang terbit untuk jangka waktu 26 September – 09 Oktober 2012, dan diberikan sebuah judul “Chatting on Facebook”. Gambar yang ditransmisikan pada foto
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ini adalah masyarakat suku Dani dihadapkan pada modernitas – dengan memperlihatkan barang teknologi berupa laptop. Objek (scene) dalam cover photo ini adalah masyarakat suku Dani yang terdiri dari beberapa laki-laki, perempuan, anak-anak, dan seekor anjing, beserta rumah tradisional dengan latar alam. Oleh karena itu, dengan melihat berbagai elemen dalam foto ini, maka analogonnya dapat dipahami mengandung pesan konotatif. b. Rangkaian Prosedur Konotatif Pertama, trick effects pada foto mengambil kondisi masyarakat suku Dani yang bermukim di alam terbuka dengan latar rumah tradisional. Hal ini dapat terlihat dari latar foto yang berupa pepohonan dan bukit. Selain itu, terdapat juga penanda pada adegan keheranan atau kebingungan dari masyarakat suku Dani ketika melihat sebuah produk teknologi berupa laptop. Masyarakat suku Dani yang terlihat tidak mengenakan pakaian juga dapat menjadi tanda yang dapat dikodekan bahwa masyarakat suku Dani masih hidup dalam kondisi primitif. Kedua, pose foto ini menggambarkan sebuah mayarakat suku Dani yang terdiri dari seorang pemimpin suku dan anggotannya. Masyarakat suku Dani secara serempak tertuju pada laptop dibandingkan menghadap pada lensa kamera. Selain itu, foto juga dilatarbelakangi dengan beberapa rumah tradisional suku Dani yang terbuat dari kayu beratap jerami. Ketiga, daya tarik objek pada foto ini telah ditandai oleh dua penanda, yakni penanda pertama pada barang teknologi, yaitu laptop, dan penanda kedua pada masyarakat suku Dani. Dengan demikian, foto ini menjadi sintaksis karena komposisi objeknya tidak tunggal. Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak landscape ini telah memberikan gambar lebih luas. Foto memperlihatkan kondisi tempat tinggal masyarakat suku Dani.
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bahkan foto juga menangkap keadaan ruang di belakang objek, dimana terdapat kawasan hutan dan perbukitan yang hijau. Kelima, estetisme foto ini tengah menggambarkan bahwa masyarakat suku Dani belum tersentuh dengan modernitas. Hal ini dapat dicermati dari tindakan yang memperlihatkan barang teknologi berupa laptop. Oleh karena itu, unsur-unsur yang ada pada foto kemudian dikodekan dalam sebuah gambar yang termuat dalam cetakan media melalui sebuah publikasi majalah. Keenam, tidak terdapat sintaksis pada foto ini karena tidak memuat foto lain yang membentuk suatu rangkaian kejadian untuk dapat saling berkesinambungan pada Majalah JE. Dengan demikian, penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal yang termuat dalam Majalah JE saja. c. Teks dan Imaji Majalah JE edisi 78, yang terbit 26 September – 09 Oktober 2012 ini telah memberikan keterangan foto dengan judul “Chatting on Facebook”. Pesan teks tersebut telah membuat suatu konotasi terhadap para pembaca Majalah JE, sehingga foto yang mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu yang menimbulkan beragam pandangan mengenai konteks foto tersebut. Efek konotasi pada foto ini semakin jelas telah memunculkan konotasi karena diberikan judul Chatting on Facebook. Judul atas foto tersebut telah membuat makna yang terbuka sehingga teks telah menduplikasi suatu imaji. Meskipun teks tercantumkan dalam imaji, namun petanda konotatifnya memungkinkan berkembang dan mengeksplisitkan sesuatu dari proyeksi imaji tersebut. Bahkan, teks pada foto ini telah memproduksi petanda secara retroaktif yang diproyeksikan ke dalam imaji, sehingga pesan konotatif dalam imaji foto ini adalah perbenturan pandangan yang tradisional dengan modern.
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
d. Insignifikasi Fotografis Foto Chatting on Facebook telah memberikan penandaan bahwa masyarakat suku Dani masih hidup dalam keadaan primitif. Hal tersebut terjadi dengan memperlihatkan Suku Dani yang tidak mengenakan pakaian sebagaimana mestinya masyarakat modern. Penandaan ini yang menjadi proses dialektis dalam memberikan imaji bahwa masih terdapat masyarakat primitif di Indonesia. Di samping itu, pemberian judul foto “Chatting on Facebook” pada Majalah JE ini juga mengarahkan pada suatu konotasi tertentu. Facebook, sebagaimana pengertian fungsinya, merupakan seperangkat media sosial pada perangkat teknologi modern yang dapat menghubungkan tiap individu secara global. Dalam kasus foto ini, “Chatting on Facebook” dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk mengkoneksikan masyarakat suku Dani dengan dunia secara global. Oleh karena itu, pemberian judul foto “Chatting on Facebook”, yang mana memuat sebuah potret masyarakat suku Dani meniscayakan komodernan berupa teknologi, seperti laptop, dapat bertemu dan digunakan oleh sebuah masyarakat tradisional. Gambar 3 Pocongan Cilik by Melanie Wood Cover Photo Jakarta Expat 80th Edition
124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Cover photo Majalah JE pada edisi ini memperlihatkan seorang anak yang terikat dalam kain kafan. Di samping itu, foto ini diambil oleh redaksi dari sebuah blog milik ekspatriat, yaitu Melanie Wood, tanpa memberikan deskripsi tentang foto tersebut. Namun demikian, jika kita melihat dalam blog Melanie Wood, terdapat sedikit penjelasan mengenai latar belakang pengambilan foto tersebut.Wood memaparkannya sebagai berikut: “This boy bound in a burial shroud and slung into a black tent, magically disappeared during a whip-cracking, fire-breathing performance in Suropati Park, Menteng, Jakarta. When the black tent collapsed under a bullwhip blow, the interred boy had vanished.”25
Terkait dengan latar belakang foto yang dijadikan cover photo ini, secara khusus dijelaskan bahwa pada edisi ini ditujukan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan hantu, mistik dan misteri di Indonesia. Sebagaimana sang editor Majalah JE, Angela Richardson menuliskannya sebagai berikut: “Cultures in Indonesia have a very strong affiliation with the mystic world and the belief in spirits and ghosts is very common and can actually become a part of day to day life. In Bali, paying homage to spirits happens daily by way of presenting beautifully craftedofferings to their Gods. Java may not be known for such beliefs anymore, but that doesn’t mean the faith in an unseen world is not there. It is a common belief that when the call to prayer is heard at sundown (Maghrib), apparitions can become visible to the human eye. Of course seeing is believing... At Jakarta Expat HQ we often experience out of norm phenomena, and from research we’ve discovered that the back of our office sits on top of an old graveyard. After the call to prayer at around 6pm we often hear strange noises coming from certain parts of the office and there have been reports of staff members seeing an apparition of a young lady with long, thick black hair. I myself have not seen anything, however the strangest part of this story is that every single day we find a single strand of long, thick black hair on top of a certain cabinet which we cannot explain. Nobody has the same length or colour hair and yet we find it in the same place every day! A ghost story or an issue with the cleaning lady, perhaps? This story brings us to our theme this issue – Ghosts, Magic and Mystery.” (JE edisi 80:2)
Bertolak dari kata pengantar yang disajikan oleh editor Majalah JE di atas dapat dipahami bahwa Angela Richardson sebagai seorang ekspatriat beranggapan bahwa
25
Pocongan Cilik oleh Melanie Wood dapat dilihat di www.gangs-of-indonesia.com (Diakses 29 Agustus 2014) 125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
budaya di Indonesia masih dipercaya memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik atau kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ia pun memberikan beberapa contoh, semisal, di Bali masih terdapat aktifitas memberikan penghormatan kepada roh-roh yang terjadi setiap hari dengan menyajikan suatu persembahan, dan di Jawa terdapat kepercayaan umum bahwa ketika adzan terdengar saat matahari terbenam (Maghrib) penampakan bisa terlihat dengan mata manusia. Dalam hal ini, penulis berbeda pendapat dengan editor Majalah JE, Angela Richardson, karena budaya dan mistik tidak begitu sederhana seperti yang ia paparkan. Pertama, kebudayaan masyarakat Bali yang selalu memberikan suatu persembahan merupakan bagian dari ritual agama Hindu untuk memohon berkah kepada para dewa. Persembahan ini merupakan bagian ibadah dari masyarakat Bali yang beragama Hindu. Jadi bukan semata-mata ditujukan kepada roh-roh tertentu. Begitu pula dengan beberapa masyarakat di wilayah Jawa yang memiliki kepercayaan umum bahwa saat matahari terbenam dan ketika adzan dikumandangkan dapat terlihat penampakan hantu adalah tidak benar. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya, terbenamnya matahari merupakan sebuah peringatan bahwa langit mulai gelap, bahkan menjadi sebuah kewajiban bagi umat Muslim untuk menunaikan shalat Magrhib, terutama hal ini dikarenakan hampir seluruh penduduk masyarakat Jawa dan Indonesia beragama Muslim. Di samping itu, pengalaman para pegawai Majalah JE setelah adzan Mahgrib yang sering mendengar suara-suara aneh dari bagian-bagian tertentu di kantor mereka, merupakan bentuk kesadaran mereka atas ambivalensi yang mereka alami sebagai orang asing ketika berada di Indonesia. Ambivalensi ini merupakan sikap kemenduaan mereka, yang mana di satu sisi ingin mempercayai adanya penampakan hal gaib seperti hantu
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karena menemukan seuntai rambut hitam tebal di atas lemari yang tidak bisa menjelaskan, namun di sisi lain ingin menyangkal kejadian yang mereka alami. Dengan demikian, ambivalensi ini dapat dipahami bahwa mereka sebagai ekspatriat tidak melulu berada pada ketetapan identitas yang utuh sebagai pihak Barat, yakni yang selalu menggungulkan rasionalitas, akan tetapi keutuhan identitas mereka dapat tergoyahkan dengan hal-hal irasionalitas yang terdapat pada masyarakat Timur. Pesan Fotografis Gambar 3 a. Elemen Fotografis Elemen fotografis dalam foto ini tidak jauh berbeda dengan kedua gambar yang telah dibahas sebelumnya. Sumber pemancar pesan pun masih sama, yaitu Majalah JE, beserta redaksi dan editor. Pihak penerima adalah publik yang membaca Majalah JE yakni para ekspatriat. Gambar ini termuat dalam saluran transmisi Majalah JE edisi 80, yang terbit 24 Oktober – 06 November 2012, dengan judul “Pocongan Cilik”. Gambar yang ditransmisikan adalah hal mistik yang ditampilkan melalui salah satu sosok hantu yang terdapat di Indonesia, yaitu pocong. Objek (scene) dalam foto ini adalah seorang anak kecil yang terbungkus kain kafan. Dengan demikian, analogon dalam cover photo ini mengandung pesan konotatif. b. Rangkaian Prosedur Konotatif Pertama, trick effects. Foto ini sengaja diambil oleh redaksi dari sebuah blog milik ekspatriat, yaitu Melanie Wood. Dan menjadi aneh ketika Majalah JE tidak memuat suatu penjelasan tentang foto ini. Namun jika dicermati dalam blog milik Wood maka dapat diketahui penjelasan tentang latar belakang pengambilan foto tersebut. Wood menjelaskan bahwa pengambilan foto tersebut pada sebuah acara yang bernuansa mistik di Taman
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Suropati, Menteng, Jakarta. Dengan demikian, trick effects pada foto ini adalah sebuah pocong cilik dengan nuansa mistik. Kedua, pose pada foto ini menggambarkan seorang anak kecil laki-laki yang sedang terikat dalam kain kafan. Dalam foto ini juga terlihat bahwa sang anak tidak menghadap lensa kamera sang fotografer. Ketiga, daya tarik objek pada foto ini adalah tunggal. Meskipun pada bagian belakang objek terlihat beberapa orang yang samar-samar (blur), namun objek tersebut tidak dapat membangun sebuah foto menjadi sintaksis yang terdiri dari beragam objek. Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak portrait ini telah memberikan gambar menjadi lebih sempit hingga tidak dapat memperlihatkan kondisi maupun lokasi di sekitar kejadian. Selain itu, foto ini juga menjadi terbatas karena hanya memperlihatkan sang anak yang dijadikan sebagai fokus pada lensa kamera. Kelima, estetisisme foto ini menggambarkan bahwa masih terdapat hal mistik di dalam masyarakat Indonesia. Unsur-unsur yang ada pada foto ini, seperti pocong dikodekan dalam sebagai afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Keenam, tidak ada sintaksis pada foto ini karena tidak terdapat foto lain yang membentuk suatu rangkaian kejadian yang saling berkesinambungan telah membuat penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal, yaitu yang termuat dalam Majalah JE, foto pocongan cilik. c. Teks dan Imaji Majalah JE pada edisi 80, terbit 24 Oktober - 06 November 2012, memuat sebuah foto dengan keterangan judul “Pocongan Cilik”. Pesan teks ini telah membuat suatu konotasi terhadap pembacanya, sehingga imaji mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang menimbulkan beragam pandangan mengenai konteks foto. “Pocongan” telah menjadi sebuah konotasi mengenai masyarakat Indonesia yang masih dilingkupi nuansa mistik, sedangkan “cilik” mengkonotasikan sifat maupun kondisi kekanak-kanakan. Dalam hal ini, teks yang tercantumkan dalam imaji berkembang dan mengeksplisitkan sesuatu dari proyeksi imaji. Dengan demikian, teks pada foto ini memproduksi petanda secara retroaktif yang diproyeksikan ke dalam imaji, sehingga pesan konotatif dalam imaji tersebut adalah mengenai karakteristik dan stereotipe Indonesia, yakni mistik atau irasional dan diposisikan sebagai subjek yang masih belum dewasa. d. Insignifikasi Fotografis Foto Pocongan Cilik telah memberikan penanda bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan hantu. Penanda ini yang menjadi proses dialektis dalam memberikan imaji mengenai Indonesia yang mempercayai hal-hal tidak kasat mata. Meskipun foto ini diambil dalam sebuah acara yang bernuansa mistik, namun pendokumentasian dalam sebuah foto, terutama ketika menjadi sebuah cover photo media, telah memberikan afiliasi terhadap dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Indonesia. Dari ketiga foto yang tersajikan sebagai cover photo pada Majalah JE, dapat diketahui bahwa setidaknya terdapat tiga unsur terkait wacana kolonial. Pertama, Majalah JE menghadirkan kembali stereotipe tentang pribumi melalui sebuah foto pernikahan campur, sehingga para ekspatriat telah menghubungkan kepada wacana Timur yang feminin, memiliki sifat pasif ataupun menggoda Barat. Kedua, Majalah JE menampilkan foto suku Dani yang dikontraskan dengan modernitas, sehingga telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih memiliki masyarakat primitif. Dengan kata lain, melalui Majalah JE, para ekspatriat telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Timur yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Dan yang terakhir, Majalah JE memberikan sajian tentang masyarakat Indonesia yang masih menyimpan kepercayaan terhadap sesuatu hal yang mistis, atau dalam pandangan Orientalisme, hal ini telah menempatkan Indonesia sebagai yang aneh atau asing jika dibandingkan dengan Barat yang mengunggulkan sisi rasionalitas. Oleh karena itu, sebuah foto bukan hanya sekedar hasil fotografi, melainkan dibalik sebuah foto terdapat muatan wacana yang tersembunyi. Selain itu, ketiga foto yang telah diuraikan di atas juga dapat dipahami bahwa Majalah JE tengah menghadirkan wacana kolonial kontemporer. Namun demikian, persoalan wacana kolonial kontemporer ini akan penulis bahas pada bab selanjutnya untuk di analisis lebih mendalam. Dan sebelum melangkah pada bab selanjutnya, terlebih dahulu penulis akan menyajikan ragam rubrik yang terdapat di dalam Majalah JE. Hal ini dikarenakan penulis mencermati adanya wacana kolonial dalam berbagai rubrik maupun artikel yang tersajikan di dalam Majalah JE. Oleh karena itu, rubrik maupun artikel yang termuat di dalam Majalah JE ini akan dipergunakan sebagai data dalam membahas analisis wacana kolonial kontemporer pada bab selanjutnya. C.2.
Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan Penulis beranggapan bahwa Majalah JE sebagai sebuah media bagi para ekspatriat
sangat sadar mengenai posisi dan status Indonesia yang notabenenya adalah negara dunia ketiga dan pernah terjajah. Hal ini dapat dicermati melalui beragam rubrik, seperti Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature, yang masing-masing didalamnya menyajikan artikel dengan memuat seputar Indonesia di masa kolonial. Oleh karena itu, beberapa artikel yang terdapat pada rubrik Majalah JE ini sengaja penulis hadirkan kembali guna memperlihatkan bahwa para ekspatriat masih melanggengkan wacana kolonial tentang Indonesia. 130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.2.1. Moment in History: Pada rubrik Moment in History ini, Antony Sutton sebagai seorang ekspatriat acapkali memberikan kontribusi tulisan kepada Majalah JE. Tulisan yang dihasilkan oleh Sutton lebih banyak memuat tentang Indonesia dengan corak tulisan bernuansa sejarah. Sebagaimana tulisan-tulisan Sutton dapat dicermati pada dua artikel, They Came to Java dan Educating the Past di bawah ini. a. They Came to Java26 Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Antony Sutton bukan hanya ingin menceritakan bagaimana kehadiran orang asing di Jawa, melainkan juga bermaksud memberikan beberapa pandangan mengenai Jawa di masa lampau, yang mana kesemuanya bermuara pada sisi eksostisme Jawa. Hal ini dapat dicermati ketika Sutton memulai narasi artikel ini dengan mengutip sebuah pandangan dari seorang Alfred Wallace, yang berpendapat bahwa pada abad ke-19 Jawa merupakan “… pulau tropis terbaik di dunia.” Selain Wallace, Sutton juga menyebutkan nama yang tidak begitu terkenal, yakni Nicolo Conti yang pernah berkunjung ke Jawa di abad ke-15 sebagai bagian dari sebuah perjalanan yang berlangsung selama 25 tahun, dan tidak terlalu terkesan dengan orangorang yang ditemuinya di Jawa, sehingga Conti mendeskripsikan bahwa mereka yang di Jawa 'lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing’.27 Di samping itu, Antony Sutton pun bernostalgia atas pengalaman dirinya pada tahun 1980an ketika melakukan sebuah perjalanan ke Gunung Bromo. Bahkan, Sutton
26
Jakarta Expat 42th Edition, p.14. Written by Antony Sutton. “For the first time in Java I was able to relate to Alfred Wallace, the famed Botanist and long beard grower who opined, back in the 19th Century that Java was ‘… the finest tropical island in the world.’ …. Not so well known was Nicolo Conti who visited in the 15th Century as part of a journey that lasted 25 years. He also was none too impressed by the people he met on Java, describing them as ‘more inhuman and cruel than any other nation.’Among their perceived sins was the consumption of ‘mice, dogs and cats’.” 27
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyandingkan dirinya dengan seorang John Whitehead, yang mana pada satu abad sebelumnya pernah berada di Bromo untuk melihat ‘salah satu pemandangan terbaik di Jawa.’ Selain itu, pada artikel ini Sutton juga mengutip catatan perjalanan dari seorang petualang America, Eliza Scidamore, ketika berkunjung ke Jawa pada akhir abad ke-19 dan tidak terkesan dengan masyarakat Batavia sebagai masyarakat kolonial dengan propinsi yang sempit, konservatif dan pusat perdagangan. Karena itu, Scidamore tidak terkesan dengan Belanda, tetapi terkesan dengan orang-orang Jawa dan menganggap Jawa sebagai ‘bunga dari ras Melayu’, dengan ‘suara yang lembut, sopan santun’.28 Terkait dengan uraian artikel di atas, dapat dipahami bahwa Sutton mencoba mengajak pembaca untuk melihat gambaran tentang Indonesia di masa lampau, khususnya Jawa. Dalam hal ini, Sutton bukan hanya ingin menyampaikan kembali mengenai kisah kedatangan awal mula para orang kulit putih di Indonesia, melainkan mereproduksi kembali ingatan atau memori tentang orang kulit putih yang pernah hadir di Indonesia dengan beragam pandangannya. Beberapa diantaranya telah terlihat di atas, seperti Wallace yang mengemukakan bahwa Jawa merupakan ‘pulau tropis terbaik di dunia’, Scidamore menganggap Jawa sebagai ‘bunga dari ras melayu’, maupun pandangan Conti yang mendeskripsikan bahwa Jawa ‘lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing’. Oleh karena itu, muatan wacana kolonial yang muncul melalui artikel ini adalah esksotisme Jawa, bahkan di samping itu pandangan Conti telah memberikan sebuah wacana mengenai Jawa
28
“In the 1980’s I ascended Mount Bromo in a mini bus from Malang. A century earlier John Whitehead arose at 5.30 am in the hill station of Tosari and set out on ponies to see ‘one of the finest sights in Java.’ … American travel writer Eliza Scidamore decried Java as ‘finished’ when she visited towards the fag end of the 19th Century. She was unimpressed by Batavian colonial society, ‘narrow, provincial, colonial, conservative and insular.’ As unimpressed by the Dutch she was impressed by the Javanese. Among the beatitudes she imbued them with they were the ‘flower of the Malay race’, with ‘gentle voices, gentle manners’.”
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebelum kehadiran kalangan Eropa ditempatkan sebagai masyarakat yang barbar dan tidak beradab. Sementara itu, meskipun melalui tulisan ini Sutton lebih cenderung untuk mengutip beberapa pandangan; Wallace, Conti, Scidamore, namun bukan berarti ia tidak memiliki peran untuk menghadirkan kembali wacana kolonial tentang Timur yang pernah dikonstruksi di masa kolonial. Dalam hal ini, Sutton telah berkontribusi untuk menghadirkan wacana kolonial, seperti eksotisme ke hadapan para pembaca Majalah JE di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, posisi Sutton dalam artikel ini tidak bebas nilai, tetapi ia terlibat dalam menghasilkan wacana kolonial kontemporer ketika menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke Bromo untuk melihat pemandangan Jawa, bahkan menyandingkan dirinya dengan John Whitehead. b. Educating the Past29 Melalui artikel ini, Sutton kembali menyajikan kisah tentang Indonesia, pada khususnya tentang bidang pendidikan. Dari judul artikel ini saja, Educating the Past, dapat dipahami bahwa Sutton telah memperlakukan Indonesia perlu mendapatkan pendidikan, bukan di masa sekarang, namun berangkat dari masa lalu. Ia mulai membuka artikelnya dengan mengatakan bahwa beban historis Indonesia adalah untuk mengejar ketinggalan setengah abad terakhir pada zaman globalisasi saat ini, dimana infrastruktur pendidikan di Indonesia saat ini sedang berjuang untuk mengejar tahun 1970an. Bahkan Sutton juga menegaskan bahwa dalam bidang pendidikan, Indonesia melupakan konsep seperti internet, berpikir kreatif dan pengabdian. Sementara itu, ia menyampaikan kondisi ironis tentang dunia pendidikan Indonesia, yang mana banyak siswa masih duduk untuk belajar
29
Jakarta Expat 94th Edition, p.14 written by Antony Sutton. 133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hafalan, sementara para guru dinilai masih terpusat pada seputar pengalaman mengajar dan terus melakukan pengumpulan daftar fakta, tanggal, dan rumus untuk diingat.30 Berdasarkan uraian yang diberikan Sutton dapat dicermati bahwa ia berupaya untuk memperlihatkan kondisi yang kontras mengenai pendidikan Indonesia pada era globalisasi saat ini. Dengan kata lain, Sutton menganggap bahwa sistem pendidikan Indonesia masih jauh mengalami perkembangan dengan sistem pendidikan skala internasional. Oleh karena itu, Sutton mencoba untuk memperbandingkan kondisi pembelajaran Indonesia dengan negara lain yang dinilai memiliki perbedaan cukup signifikan. Selanjutnya, Sutton pun menuliskan bahwa para siswa di negara lain (tanpa menyebutkan sebuah negara tertentu) diajarkan untuk merasa nyaman dan diberikan beberapa pelajaran bahasa yang berbeda sebelum waktu istirahat pertama. Sedangkan di Indonesia, sistem pengajaran masih ditentukan oleh gagasan lama, yaitu perintah guru terhadap murid, bahkan dengan ekstrim ia menyebutkan sebagai bentuk hubungan tuan dan budak (dictated by old notions of master and servant). Bahkan, ia mengambil contoh pengusiran lima siswa dari sebuah sekolah di Sulawesi yang memiliki keberanian untuk bersenang-senang dan mempostingnya secara online di internet. Padahal pemerintah Indonesia telah berusaha dengan niat yang mulia untuk menghabiskan 20% dari anggaran untuk pendidikan.31
30
“Indonesia’s historical baggage over the last century and a half means that as we tip headlong into this new fangled thing people call globalization, Indonesia’s educational infrastructure is struggling to catch up to the 1970s. Forget concepts like the Internet, creative thinking and meritocracy, many students are still being sat in lines to learn rote while the teacher, the epicentre of the learning experience, drones on and on, listing facts, dates and formulae to be remembered.” 31 “While students in other countries are being taught to be comfortable in several different languages before first break, thinking here is dictated by old notions of master and servant. Witness the recent expulsion of five students from a school in Sulawesi for having the temerity to have some fun and post it online. The government strives for its noble intention of spending 20% of its budget on education.” 134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Setelah melihat kondisi pendidikan pada saat ini, Sutton mencoba untuk kembali ke masa lalu dengan merujuk catatan sejarah pada akhir abad ke-19. Sutton menganggap bahwa pendidikan Indonesia dianggap cukup baik hanya untuk putra dan putri penguasa kolonial Belanda dan keturunan Eurasia. Sementara elit pribumi hanya diajarkan untuk mengambil alih tugas Belanda, dan orang-orang di kampung sengaja diabaikan. Misalnya, pada tahun 1853 di Surabaya, ada upaya yang dilakukan untuk mendidik rakyat dengan membuka Maatschappij tot Nut van het Algmeen (Lembaga Kesejahteraan Umum) sebagai sekolah dasar dengan tujuan mengajar anak-anak Jawa mengenai beberapa dasar pengetahuan, tapi sekolah itupun ditutup tujuh tahun kemudian. Bagi Sutton, meskipun ekspansi pendidikan dimulai dari tahun 1870an hingga 1896; Surabaya membuat dua belas sekolah dasar, delapan diantaranya dijalankan pemerintah, sementara dua lainnya adalah sekolah Katolik, namun ia menggangap bahwa sebagian besar masyarakat belajar di pesantren tradisional, dimana terdapat Kyai yang dihormati untuk mengajarkan para siswa cara membaca Alquran.32 Dari pembacaan atas artikel yang ditulis bergaya satire di atas dapat diketahui bahwa Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan atau dalam arti lainnya adalah pengetahuan menjadi sebuah persoalan yang dinilai sebagai faktor utama bagi kemajuan suatu bangsa. Namun demikian, secara implisit, narasi yang disampaikan oleh Sutton melalui artikel ini masih menempatkan pendidikan Indonesia berada di bawah taraf pendidikan Barat. Selain itu, ia menganggap bahwa pendidikan di Indonesia sebagai sebuah ironi, dimana sejak masa kolonial Belanda, pendidikan hanya dapat diraih oleh
32
“At the end of the 19th century, education was considered good enough only for the sons and daughters of the Dutch colonial masters and their Eurasian offspring. … Despite the ‘expansion’ of the 1870s, by 1896 Surabaya boasted a grand total of 12 primary schools, eight of which were government run, with attendance extended to five years, while two were Catholic. For the vast majority of the population any learning came in the traditional pesentran where respected kyai taught students how to read the Koran.” 135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekelompok masyarakat, bahkan dengan tegas dikatakan bahwa orang-orang kampung tidak mendapatkan perhatian akses pendidikan. Di samping itu, Sutton juga menilai bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih cenderung untuk belajar di pesantren kepada seorang Kiai yang mengajarkan cara membaca Alquran. Dalam hal ini, Sutton tampaknya belum begitu mengetahui, atau memang sengaja mengingkari, bahwa pembelajaran di pesantren bukan hanya untuk mengetahui cara membaca Alquran, melainkan juga mempelajari beragam ilmu, seperti ilmu alam, ilmu sosial, bahasa, hingga filsafat. Dengan demikian, melalui artikel ini dapat diketahui bahwa ketika Sutton menyatakan bahwa Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan lima puluh tahun yang hilang untuk dapat sejajar dengan pendidikan ala Barat, sehingga hal ini merupakan penanda dari suatu wacana kolonial kontemporer yang muncul di masa pasca-kolonial. C.2.2. Feature: a. Building in the Dutch East Indie in the Colonial Period33 Pada tulisan ini, Heringa memulai narasinya dengan mengatakan bahwa para wisatawan selalu terkesan dengan kekayaan arsitektur di Indonesia, di samping struktur asli bangunan tradisional, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Prambanan dan Borobudur, Keraton Kerajaan Jawa di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon, Masjid sebagai rumah ibadah umat Muslim, Kuil maupun rumah-rumah Cina di kota-kota pesisir Jawa. Selain itu, ada juga warna-warni peninggalan kolonial; dari abad ke-17 benteng Perusahaan Hindia Belanda pada abad 17 di Maluku, gudang tua Belanda di Jakarta, rumah-rumah dinas pada abad 18, proyek teknik sipil bergaya neo-klasik abad 19, gedunggedung publik, pabrik-pabrik dan stasiun kereta api tak lama setelah pergantian abad, serta 33
Jakarta Expat 66th Edition, p.4. This article was taken from Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia, initiated by R.W. Heringa, who is the grandson of F.J.L. Ghijsels. 136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
struktur modernistik tahun dua puluhan dan tiga puluhan, serta 'pengembangan kembali arsitektur' di tahun lima puluhan.34 Bertolak dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa atas nama ‘estetika’ kekayaan arsitektur bangunan yang terdapat di Indonesia, seperti rumah tradisional penduduk pribumi, candi, keraton, maupun bangunan kolonial Belanda, Heringa bermaksud ingin menyampaikan sisi lain dari keindahan alam di Indonesia. Dengan kata lain, ia beranggapan bahwa estetika dari kekayaan arsitektur bangunan yang dimiliki Indonesia merupakan bagian dari sisi eksotisme. Namun demikian, Heringa tidak serta merta langsung menganggap bahwa kekayaan arstitektur yang dimiliki Indonesia adalah murni karya pribumi Indonesia, tetapi ia berupaya untuk menunjukkan percampuran yang terjadi di zaman kolonial Belanda. Dalam hal ini, Heringa menekankan bahwa para arsitek di masa kolonial telah memberikan sumbangsih atas kekayaan arsitektur bangunan Indonesia yang acapkali memberikan kesan pada para wisatawan. Bahkan Heringa, lebih lanjut, menyatakan bahwa Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels (1882-1947) secara khusus telah memainkan peranan penting dalam hal pembangunan di Hindia Belanda, melihat karir Ghijsels dalam jangka waktu 20 tahun yang menghasilkan berbagai puluhan desain, banyak bangunan dirancang dan dibangun, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia dan Hotel des Indes, yang mana sebagian besar hingga saat ini dikagumi oleh banyak orang.35
34
“Travellers in Indonesia are always impressed by the richness of its architecture. Besides traditional native structures, there are Hindu and Buddhist temples, such as the Prambanan and the Borobudur, the kratons (palaces) of Javanese royalty in Yogyakarta, Surakarta and Cirebon, Islamic prayer houses and mosques, Chinese temples and houses in the coastal towns of Java. There is also the colourful colonial inheritance: the 17th century Dutch East Indies Company forts in the Moluccas, the old Dutch warehouses in Jakarta, 18th century country houses, neo-classical 19th century civil engineering projects, public buildings, factories and railway stations dating from shortly after the turn of the century, modernistic structures from the twenties and thirties and the ‘redevelopment architecture’ of the fifties.” 35 “Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels (1882 – 1947), in particular, played an important role in this. His active career covered a period of 20 years during which he produced dozens of designs. Many of the 137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di samping itu, Heringa juga mencoba untuk membuat periodisasi mengenai aktifitas pembangunan di zaman kolonial, seperti Pencerahan Dog Kennel, zaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Daendels, dan peran arsitek swasta. Pada masa Pencerahan Dog Kennel, misalnya, Heringa memaparkan bahwa arsitektur kolonial pada abad kesembilan belas ditandai oleh gaya bangunan Neo-klasik. Kemudian, pada zaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Daendels, Heringa menguraikan bahwa Departemen Pekerjaan Umum (Departemen van Burgelijke Openbare Weken - BOW) bertanggung jawab untuk semua konstruksi sipil di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda. Dan terakhir, mengenai peran arsitek swasta, Heringa memberikan penjelasan bahwa biro arsitek swasta pertama kalinya didirikan menjelang akhir hingga dekade pertama abad dua puluh. Biro ini memiliki gaya arsitektur tradisional berdasarkan campuran dari arsitektur klasik Barat dan ornamen Jawa Kuno, yang mana pada saat ini masih dapat terlihat pada bangunan beberapa bank, perusahaan asuransi, rumah perdagangan, dan lembaga-lembaga Katolik Roma di Indonesia.36 Dari artikel ini dapat dicermati bahwa Heringa berupaya untuk mengingatkan kembali berbagai bangunan peninggalan semasa kolonial dan perkembangan arsitektur di Indonesia. Dari paparan artikel ini, penulis beranggapan bahwa Heringa ingin memperlihatkan kembali bahwa kekayaan arsitektur yang dimiliki oleh Indonesia saat ini tidak terlepas dari tindak tanduk pemerintah kolonial Belanda. Dengan kata lain, Indonesia sebagai negara kolonial Belanda dianggap sebagai tidak mampu menghasilkan sebuah buildings Ghijsels designed were built and the majority of these can still be admired today, including the Railway Station Kota Batavia and the Hotel des Indes.” 36 “Nineteenth-century colonial architecture was typified by Neo-classical building styles. Since the days of Governor General Daendels, the Department of Public Works (Department van Burgelijke Openbare Weken – BOW for short) had been responsible for all civil construction under government control. The first private architects’ bureaux were founded towards the end of the first decade of this century. … The bureau’s traditional architectural style, based on an amalgam of classical western architecture and Old Javanese ornamentation, found favour with a number of Indonesian banks, insurance companies, trading houses, and Roman Catholic institutions.”
138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karya arsitektur modern yang otonom. Hal ini yang diperlihatkan oleh Heringa bahwa beberapa bangunan peninggalan kolonial pada saat ini memiliki kesan arsitektur klasik (kolonial) sehingga memberikan kesan kehadapan para wisatawan. Dengan demikian, beberapa bangunan yang dimiliki Indonesia pada saat ini dapat dikatatan sebagai hasil dari proses mimikri atau peniruan dari arsitektur bergaya Eropa, khususnya pada periode biro arsitek swasta yang telah dipaparkan oleh Heringa. Dalam hal ini, Indonesia ditempatkan sebagai bangsa yang telah mengalami percampuran estetika maupun gaya arsitektur dengan kalangan Eropa, sehingga memberikan sebuah pemahaman bahwa bangunan yang ada di Indonesia bukan hasil penciptaan murni dari pribumi Indonesia. b. The Jaksa Position & Jalan Palatehan37 Lewat artikel ini, seorang ekspatriat bernama Kenneth Yeung berupaya untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi di Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan dalam beberapa dekade terakhir, yang mana kedua tempat ini telah melayani kebutuhan wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta. Jalan Jaksa digambarkan sebagai jalan sempit di daerah Menteng yang menjadi satu-satunya tempat bagi para backpacker di Jakarta, bahkan populer bagi kalangan ekspatriat yang membutuhkan bir murah. Sedangkan Palatehan, di Blok M, digambarkan sebagai tempat yang menghantui para pria Barat untuk mencari perempuan yang dapat menemani.38 Yeung mencoba untuk memberikan gambaran singkat mengenai kedua jalan yang cukup populer bagi para orang asing di Jakarta, baik itu para backpacker maupun para ekspatriat, yakni Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan. Bahkan, Yeung memberikan kepopuleran dan kekhasan yang dimiliki dari kedua jalan ini. Jalan Jaksa sebagai tempat 37
Jakarta Expat 71th Edition, p.4.Written by Kenneth Yeung. “Jalan Jaksa and Jalan Palatehan have been serving the needs of tourists and expatriates in different ways for decades. Jaksa, a narrow street in Menteng, is Jakarta’s sole backpacker strip and is also popular among expats requiring cheap beer. Palatehan, in Blok M, is the main haunt for Western men seeking female company.” 38
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
minum bir yang murah bagi para ekspatriat, sedangkan Jalan Palatehan maupun Blok M, sebuah kawasan yang dapat dijadikan para ekspatriat untuk mencari perempuan lokal. Dan, melalui artikel ini Yeung juga mencoba untuk memberikan sejarah singkat kedua jalan tersebut. Jalan Jaksa, misalnya, dijelaskan bahwa kawasan ini mendapatkan keringanan pajak tertentu karena status khusus sebagai lokasi pariwisata, terutama dikarenakan tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat. Di samping itu, terdapat beberapa pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan, serta rombongan dari Afrika yang sering dikucilkan karena distereotipekan sebagai gangster terkait keterlibatan mereka dengan obat-obatan terlarang dan kasus penipuan. Oleh karena itu, para pegawai Imigrasi sesekali merazia Jalan Jaksa, menargetkan para orang asing agar dapat menunjukkan valid visa.39 Pada artikel Yeung ini terdapat persoalan stereotipikal. Hal ini dapat dicermati ketika Yeung mencoba untuk mengungkapkan bahwa tidak semua orang asing yang berkunjung ke Jalan Jaksa adalah kalangan Barat, tetapi terdapat orang-orang Timur Tengah, seperti Pakistan sebagai pencari suaka, dan banyak orang Afrika yang distereotipekan sebagai kelompok kriminal. Dalam hal ini, Yeung secara implisit telah mendikotomikan dirinya sebagai bagian dari Barat sehingga membedakannya dengan orang-orang Timur Tengah maupun Afrika yang tidak lain telah diidentifikasi sebagai Timur. Oleh karena itu, melalui artikel ini dapat diketahui bahwa terdapat persoalan stereotipe mengenai Barat dan Timur yang diberikan oleh Yeung sebagai seorang ekspatriat kepada para ekspatriat lainnya, yakni para pembaca Majalah JE.
39
“Not all foreigners on Jaksa are Westerners. Some are asylum seekers from the Middle East and Pakistan. There’s a strong contingent of Africans, often unfairly ostracized and stereotyped as gangsters due to the involvement of a few in drugs and scams. …. Immigration officials occasionally raid Jaksa, targeting any foreigner unable to produce a valid visa.” 140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.2.3. Observations: a. A Million Dollar Treasure West Java40 Ide dasar dari artikel yang dituliskan oleh Bartele Santema ini adalah sebuah perjalanan dirinya dalam mencari sebuah peta tua. Ia memulai narasinya dengan mendeskripsikan anak-anak kampung yang mengintip dari balik jendela rusak. Dan tanpa rasa sungkan, ia pun mengatakan sebuah perkampungan miskin karena terdapat banyak rumah yang hanya terbuat dari rotan dan bambu. Karenanya, ia merasa cukup beruntung memiliki mobil bermesin penggerak empat roda (double gardan) sehingga dapat berjalan ke atas bukit curam, penuh dengan lubang dan hujan kecil yang telah membuat jalan licin dan bahkan lebih berbahaya. Selain itu, ia pun menceritakan membawa dua keponakannya yang sedang berlibur di Indonesia untuk mencari sebuah harta, yang mungkin bernilai setengah juta dolar, bahkan memberikan nama perjalanan pencarian harta ini adalah 'misteri' paman Bartele di Timur Jauh.41 Pada artikel berjudul “A Million Dollar Treasure West Java” ini, setidaknya terdapat dua persoalan yang telah dihasilkan oleh Santema, yakni, perkampungan miskin dan Timur Jauh. Pertama, mengenai kondisi perkampungan miskin, Santema mengatakan bahwa terdapat banyak rumah yang terbuat dari bambu dan rotan, bahkan di balik barisan jendela yang rusak anak-anak mengintip untuk melihat dirinya yang tengah mengendarai sebuah mobil. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ia telah membandingkan dua hal berbeda secara bersamaan, yakni, ia merasa sebagai seorang yang kaya karena memiliki
40
Jakarta Expat 50th Edition, p.11.Written by Bartele Santema. “The kids in the kampong peeked from behind broken windows. It was a poor kampong and a lot of the houses were made of just rotan and bamboo. I was lucky to have a 4x4 car, the road up the hill was steep, full of potholes and a slight rain made it slippery and even more dangerous. I brought my two nieces, who were in Indonesia for a holiday. I explained to them that the treasure I was looking for was probably worth half a million dollars. They both stared motionless and empty eyed to the slippery road in front of them. My niece Aaltje had not seen much of me in her young life, and I am sure she viewed the ‘mystery’ uncle Bartele in the Far East.” 41
141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mobil, sedangkan penduduk setempat dianggap sebagai orang yang miskin. Kedua, mengenai Timur Jauh, imaji ini muncul dalam pikiran Santema yang sedang mengajak kedua keponakannya untuk mencari sebuah harta. Imaji ini adalah fantasi Santema yang menganggap dirinya sama seperti seorang pemburu harta karun layaknya pada beberapa abad silam, yang mana Barat menjelajah hingga ke Timur Jauh untuk mendapatkan suatu harta tertentu. Dengan demikian, Santema telah menempatkan dirinya sebagai pihak Barat yang sedang berburu harta di Indonesia. Harta yang dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah peta tertua Indonesia yang dibuat oleh orang Sunda dan diperkirakan telah berumur lebih dari 400 tahun. Menurutnya, karena harta ini adalah benda pusaka atau peninggalan suci, maka tak seorang pun mampu membelinya, bahkan seorang pemburu harta sekalipun tidak tahu dimana peta ini berada. Dan, ia kembali merasa telah beruntung karena dapat mengetahui keberadaan peta ini dari seorang temannya, David Parry. Singkat cerita, pada akhir artikel ini, Santema menyatakan bahwa untuk saat ini tidak banyak yang bisa dilakukan untuk peta tertua Indonesia ini sehingga ia membiarkan saja membusuk di pedalaman kampung. Meski demikian, ia tetap mempertanyakan apakah peta tua akan benar-benar membusuk? Hingga ia pun mengalami keheranan karena ternyata peta tua ini dipercaya dapat memperbaiki dirinya sendiri, dan jujur, untuk suatu barang yang telah lama, peta masih dalam kondisi yang luar biasa. Bahkan, di akhir artikel ini, Santema mengajak para pembaca artikelnya dengan mengatakan bahwa “mari kita berharap bahwa setidaknya sedikit dari sihir Indonesia yang terkenal dapat bekerja untuk menjaga benda peninggalan suci yang indah”.42 42
“So for now, not much else to do then just let the oldest map of Indonesia rot away in that far away kampong. But is it really rotting away? Apparently the map can repair itself and to be honest, the map is in remarkable condition for something stuffed away that long. Let’s hope that at least a little bit of the famous Indonesian magic works for that beautiful sacred relic...” 142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Secara eksplisit, Santema telah memberikan sebuah deskripsi mengenai hal mistik yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, sihir yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia telah membuat Santema dalam mengalami kemenduaan, antara ingin mempercayai dan menyangkal. Namun demikian, Santema sebagai seseorang yang berasal dari Eropa, telah mengalami ambivalensi saat di Indonesia. Hal ini dapat dicermati ketika Santema berupaya mengajak para pembaca artikelnya untuk berharap agar sihir Indonesia dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Dengan demikian, kondisi yang dialami oleh Santema melalui artikel ini adalah sebuah pencarian diri di dalam ruang antara (in between), karenanya ia berada pada sikap ambivalen. b. East is West, and West is, Well... 43 Pada artikel ini Dachlan Cartwright mengawali tulisannya dengan mengutip beberapa kalimat dari seri novel Athony Burgess, The Long Day Wanes alias The Malayan Trilogy. Novel yang berlatar di Malaysia ini sengaja dipilih oleh Cartwright untuk mencoba memberikan deskripsi kepada para pembaca tentang Timur dihadapan Barat. Oleh karena itu, beberapa kalimat dari novel pertama dari trilogi karya Burgess, Time for a Tiger, disajikan kembali oleh Cartwright sebagai berikut: ‘East? They wouldn’t know the East if they saw it…That’s where the East is, there,’ he waved his hand wildly into the black night. ‘Out there, west. You wasn’t there, so you wouldn’t know. Now I was. Palestine Police from the end of the war until we packed up. That was the East. You was in India, and that’s not the East any more than this is…’ ”
Berdasarkan kutipan di atas, Timur menjadi sebuah pertanyaan. Timur tidak diketahui. Sementara itu, barat tidak dipertanyakan. Timur berada diluar barat. Dalam hal ini Timur menjadi subjek (Timur menggunakan huruf ‘T’ besar), sedangkan barat hanya menjadi penunjuk arah (barat menggunakan huruf ‘b’ kecil). Dengan demikian, terdapat 43
Jakarta Expat 74th Edition, p.6.Written by Dachlan Cartwright. He is a retired teacher and librarian from Bandung Institute of Technology. 143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kontradiksi mengenai Timur sebagai subjek, dan barat sebagai sebuah arah. Kontradiksi ini pun semakin ditegaskan oleh Cartwright dengan memberi contoh sebagai berikut: This illustrates the contradiction between cultural perception and geography, which places Australia and New Zealand, far to the “East of Suez”, in the “West”, and southwest Asian countries, and, until recently, even North African countries as far west as Morocco, in the “Near” or “Middle” “East.”
Dalam hal ini yang hendak disampaikan oleh Cartwright adalah kontradiksi antara persepsi budaya dan geografi. Secara geografi, ia memberikan contoh seperti Australia dan Selandia Baru, jauh ke “Timur dari Suez”, di “Barat”, dan negara-negara Asia barat daya, dan, sampai saat ini, bahkan negara-negara Afrika utara sejauh barat Maroko, di “Dekat” atau “Tengah” “Timur”. Dengan demikian, terdapat pembedaan antara “Timur” sebagai sebuah subjek dengan “timur” sebagai penanda arah, yang mana dalam geografi dikenal delapan arah mata angin, seperti, utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, dan barat. Sementara itu, kontradiksi dalam persepsi budaya dipaparkan Cartwright sebagai berikut: Traditionally, the “West” was seen as thrusting, rationalist, materialistic and technically superior, whereas the “East” was timeless, spiritual, exotically mystical, and technically backward.
Di sini, Cartwright menjelaskan bahwa secara tradisional, "Barat" dipandang sebagai memberi dorongan, rasionalis, materialistis dan lebih unggul, sedangkan "Timur" adalah abadi, spiritual, mistik yang eksotis, dan terbelakang. Jelas bahwa pembedaan dalam persepsi budaya antara Barat dan Timur ini bukan berdasarkan posisi geografis, melainkan pada persoalan karakterisasi. Sayangnya, pada tulisan ini, Cartwright tidak menyinggung asal muasal kontruksi mengenai kontradiksi persepsi budaya yang telah memiliki karakter masing-masing. Padahal, karakter Barat dan Timur merupakan hasil suatu konstruksi. Dalam perspektif kolonialisme, kontruksi persepsi budaya antara Barat
144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan Timur adalah mekanisme yang telah dibuat oleh Barat. Hal ini dapat diketahui melalui sebuah kajian ilmu Orientalisme yang telah diproduksi oleh Barat di masa kolonial. Demi upaya menegaskan kembali tentang Timur, Cartwright pun mengambil sebuah contoh lain tentang peristiwa perayaan Tahun Baru 2000, dimana saat sekelompok pelajar dari Bandung Internasional School sedang berlibur di Bali. Dideskripsikan bahwa para pelajar bangun pagi-pagi dan berlari ke Pantai Kuta untuk menyaksikan matahari terbit di milenium baru. Namun setelah beberapa saat dan menyadari tidak juga melihat adanya matahari, salah seorang pelajar jenius menyadari bahwa Pantai Kuta ternyata menghadap ke barat. Dari contoh ini, Cartwright pun memberikan sebuah pandangan dengan mengatakan bahwa bisa saja agar adil, para pelajar membuat pernyataan antar budaya, seperti pemahaman di sekolah mereka, bahwa antara "Timur" dan "Barat" memiliki perbedaan makna yang sedikit, atau para pelajar bisa saja lebih mengatakan sebagai Millennially Apocalypse, yang mana dalam eskatologi Islam dipercaya sebagai salah satu tanda dari akhir dunia matahari akan terbit di barat.44 Tidak cukup dengan beberapa contoh di atas, selanjutnya Cartwright pun mencoba untuk memperkenalkan teks dari The Ballad of East and West, puisi dari Robert Kipling. Pada artikel ini, Cartwright menyajikan teks Kipling untuk mendeskripsikan Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, sehingga Timur dan Barat tidak pernah bertemu, hingga bumi dan langit dihadapkan pada kiamat sebagai hari penghakiman Tuhan. Tapi, tidak ada
44
“At New Year in 2000, a group of Bandung International School students, holidaying in Bali, rose early and jogged to Kuta Beach to watch the sun rise on the new millennium. Yes, Kuta Beach… After a while, and no sun, one of these expensively educated geniuses realized that Kuta faces west. To be fair, they could have been making an intercultural statement. They could have been saying that, in our school, the difference between “east” and “west” has little significance. Or they could have been even more millennially apocalyptical. In Islamic eschatology, one of the signs of the end of the world in that the sun will rise in the west...” 145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
batasan antara Timur maupun Barat, baik dari keturunan maupun kelahiran, ketika dua orang berdiri saling berhadapan saat akhir dunia datang.45 Namun demikian, setelah Cartwright menyajikan persepsi budaya dan geografi antara Barat dan Timur, ia pun mencoba mengajak para pembaca Majalah JE untuk keluar dari konteks persepsi budaya dan menjalankan misi untuk mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat dan memiliki rasa budaya global. Kecuali jika semua hal dibalik. Oleh karena itu, Cartwright merujuk kembali pada peristiwa milenium sebelumnya, yang mana para pencari dan peziarah, termasuk tokoh-tokoh seperti Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff, Ouspensky, dan Husein Rofe telah membuat ‘Journey to the East’ untuk mencari kebajikan di Asia yang bisa menerangi mereka tentang arti kehidupan.46 Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Cartwright sebagai orang Barat menyadari keberadaan dirinya yang sedang berada di Timur. Meskipun Carthwright secara sengaja mengangkat kembali tema binerisme terkait dengan Barat dan Timur, namun penegasan atas oposisi biner yang ia sampaikan tentunya telah mengantarkan para pembaca untuk mengingatkan atau menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Timur. Sementara itu, terlepas dari persoalan binerisme, Cartwright mengakui kondisi pasca-kolonial di Indonesia. Karenanya ia pun berani untuk mengajak para pembaca artikelnya guna mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat. Dengan kata lain, melalui sebuah artikel ini, Cartwright berupaya mengajak para pembaca Majalah JE, yakni para 45
“Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently at God’s great Judgment Seat; But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When two strong men stand face to face, tho’ they come from the ends of the earth!” 46 “So let’s not take the first line out of context, and surely our mission, including the “strong men and women” who read Jakarta Expat, is to take and blend the best of “East” and “West” into a tolerant, respectful and flavor some global culture. Unless the whole thing gets reversed. Over the previous millennium, a host of seekers and pilgrims, including figures like Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff, Ouspensky and Husein Rofe, made the ‘Journey to the East’, seeking in Asia sages who could enlighten them on the meaning of life.” 146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ekspatriat untuk melakukan suatu proses hibriditas antara Barat dengan Timur di dalam masyarakat Indonesia. C.2.4. Culture: a. Islam in The Netherlands East Indies 47 Melalui artikel ini, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan kisah mengenai Islam di masa Hindia Belanda. Rooseboom mengawali artikel ini dengan menuliskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia datang melalui sepanjang rute perdagangan kuno, yakni Malabar dan Coromandel, yang mana terletak di sekitar pesisir barat daya dan tenggara India, sekitar jalur perdagangan kuno. Dimana kedua daerah ini telah menjadi pusat penting bagi perdagangan yang menghubungkan wilayah Asia Timur dengan Timur Tengah dan Eropa. Serupa dengan penyebaran agama Hindu, yang mana pada beberapa abad sebelumnya telah dibawa ke Indonesia dengan jalur perdagangan kuno yang sama, Islam telah diperkenalkan ke Nusantara oleh para pedagang dari bagian India.48 Berdasarkan uraian di atas, Rooseboom telah berlaku anakronik ketika ia memaparkan Islam datang ke Indonesia. Padahal kedatangan Islam pada saat itu adalah ke kepulauan Nusantara, sedangkan konsep maupun nama Indonesia belum ada pada saat itu. Sementara itu, konsep Nusantara ini pun muncul atas ambisi Kerajaan Majapahit untuk menyatukan kerajaan-kerajaan di luar Jawa. Oleh karena itu, konteks yang disampaikan oleh Rooseboom mengenai kehadiran Islam di Indonesia tidak ditempatkan pada pemahaman waktu yang sesuai.
47
Jakarta Expat 96th Edition, p.14. Written by Hans Rooseboom. He is a long term resident of Jakarta. “Islam came to Indonesia by way of Malabar and coromandel, the respectively south-western and southeastern coasts of india, along the age-old trade routes. Both regions were important centres of trade, staging posts so to speak, connecting the eastern Asian regions with the Middle East and Europe. Similar to the spread of Hinduism, which several centuries previously had been brought to Indonesia along the same trade routes, Islam was introduced to the archipelago by traders from the Indian subcontinent.” 48
147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selanjutnya, melalui artikel ini, Rooseboom menguraikan dua hal seputar Islam di masa kolonial Belanda, yakni, persoalan jumlah penduduk Muslim di Nusantara dan para Jamaah Haji yang pergi ke Mekah. Mengenai persoalan jumlah penduduk Muslim di masa kolonial, Rooseboom merujuk pada data sensus penduduk tahun 1905 yang memperkirakan jumlah penduduk Nusantara berjumlah 37 juta, dimana sekitar 35 juta, atau hanya di bawah 95% adalah Muslim, 29,6 juta terdapat di pulau Jawa, sedangkan sebanyak 5,4 juta berada di luar pulau Jawa.49 Bagi Rooseboom, persoalan jumlah penduduk Islam ini memiliki hubungan dengan dinamika Jamaah Haji yang berangkat ke Mekah. Rooseboom menguraikan bahwa pada tahun 1859 jumlah Jamaah Haji diperkirakan sekitar 2.000, tahun 1886 sebanyak 5.000, lalu meningkat menjadi sekitar 7.000 selama dekade berikutnya, hingga pada tahun 1914 jumlah Jamaah Haji dari Nusantara meningkat menjadi 28.000, bahkan ia pun melompat jauh hingga satu abad selanjutnya, yakni memberikan data mengenai Jamaah Haji yang berangkat ke Mekah pada tahun 2012 berjumlah lebih dari 200.000.50 Terkait dengan keberangkatan penduduk Muslim ke Mekah di masa kolonial, Rooseboom membuat sebuah kesimpulan bahwa para Jamaah Haji telah memberikan pengaruh pada perubahan masyarakat. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan pada peristiwa di tahun 1917 mengenai kemunculan berbagai sikap intoleransi dan perselisihan antar agama yang menjadi persoalan umum. Oleh karena itu, sikap intoleransi ini telah memperkuat kecemasan yang berkepanjangan di kalangan penduduk Eropa dan pemerintah kolonial. Para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah dicurigai berkomplot
49
“The population census of 1905 estimates the total population of the archipelago at 37 million, of which some 35 million, or just under 95%, were Muslims—29.6m on java and 5.4m on the outer islands.” 50 “Whereas in 1859, the yearly number of pilgrims was estimated to be 2,000, the corresponding figure in 1886 was 5,000, increasing to some 7,000 during the following decade. In 1914 the number of pilgrims from the archipelago had increased to 28,000, and the 2012 number was over 200,000.” 148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk melawan sistem politik Belanda dan menabur benih intoleransi serta fanatisme agama.51 Melalui artikel ini Rooseboom ingin mengatakan bahwa terdapat korelasi antara meningkatnya jumlah haji di Indonesia dengan sikap intoleransi dan fanatisme di dalam masyarakat kolonial Belanda. Dengan kata lain, Rooseboom menilai bahwa para Jamaah Haji telah terlibat menumbuhkan sikap intolerensi dan fanatisme di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, melalui artikel ini, Rooseboom ingin memberikan suatu wacana mengenai Islam di masa kolonial, yakni sebagai sumber kekhawatiran bagi pemerintah kolonial Belanda dan para penduduk Eropa. Dengan demikian, Islam di masa kolonial telah memberikan dinamika yang cukup signifikan terhadap kehidupan kolonial Belanda, terutama pada awal abad ke-20. b. Bandung Heritage Walk52 Melalui artikel ini, Bob Holland menarasikan tulisannya dengan latar semasa kolonial. Secara tegas, ia pun secara langsung mengawali tulisannya dengan menyatakan bahwa semuanya dimulai pada awal 1800an ketika penjajahan Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Daendels, memutuskan untuk membangun jalan di seluruh Jawa dan disebut sebagai Jalan Raya Pos, yang sebagian besar dibangun untuk tujuan pertahanan. Di samping itu, tujuan utama pembangunan jalan ini untuk membuka akses ke banyak daerah tertinggal di Jawa, termasuk lembah Bandung– yang sekarang menjadi tempat tinggal lebih dari sepuluh juta orang.53 51
“These observations, dating from 1917, conclude with the remark that the reverse side of this change was that intolerance grew and religious strife became more common. This, in turn, strengthened the lingering anxiety among the European section of the population and the colonial government. Returning hajjis were suspected of plotting against the political system and sowing intolerance and fanaticism.” 52 Jakarta Expat 101st Edition, p.6.Written by Bob Holland. 53 “It all started back in the early 1800s when Dutch colonialists, led by Governor General Daendels, decided to build a road across Java called the Grote Postweg, which was mainly constructed for defence purposes. This major undertaking opened up access to many underdeveloped areas of Java, including the Bandung Basin - now home to over ten million people.” 149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan teks di atas, Holland sebagai seorang ekspatriat telah berlaku mengagung-agungkan keunggulan kolonial. Dalam hal ini, kolonial Belanda dinilai telah berjasa dalam pembangunan jalan di pulau Jawa untuk membuka akses ke banyak daerah tertinggal. Sebaliknya, dengan dalih membuka akses maupun sebagai tujuan pertahanan, pada kenyataannya pembangunan Jalan Raya Pos yang dilakukan kolonial Belanda adalah untuk mempercepat dan memperlancar arus perpindahan barang dari pelosok daerah di Jawa ke pelabuhan di utara, yang mana selanjutnya akan dibawa oleh kolonial Belanda ke Eropa. Oleh karena itu, pada artikel ini Holland telah menyembunyikan wacana arus perdagangan di balik pembangunan jalan yang diprakarsai kolonial Belanda. Sementara itu, dalam narasi perjalanan Holland mengelilingi Kota Bandung, yang di mulai dari titik 0 km, di depan Hotel Savoy Homann, Jalan Asia Afrika, mengatakan bahwa Daendels telah memproklamirkan Bandung sebagai tempat yang akan dibentuk menjadi pusat layanan wisatawan sepanjang jalan trans Jawa. Bahkan, Holland pun memaparkan berbagai bangunan, seperti, Hotel Preanger yang dibangun pada tahun 1929 dirancang oleh seorang Arsitek Belanda kelahiran Jawa, yakni Wolff Schoemaker, yang kemudian menjadi pengajar di Bandoengsche Technische– sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung. Kemudian Holland memaparkan beberapa bangunan yang terkait dengan nama Schoemaker, seperti, di Jalan Braga terdapat gedung tua Majestic Cinema, yang sekarang telah menjadi Museum Konferensi Asia Afrika, dan Societeit Concordia Club House yang sekarang disebut sebagai Gedung Merdeka.54
54
“Our walk started from the 0km marker, opposite the Savoy Homann on Jalan Asia Afrika. This landmark is where Daendels first proclaimed the place from which Bandung would be established as a new centre to service travellers along the Trans-Java road. Nearby is the Preanger Hotel, which was built in 1929 by a Java-born Dutch architect, Wolff Schoemaker, who went on to be lecturer at the Bandoengsche Technische now the Bandung Institute of Technology.Our small tour group walked to other buildings close by, many of these also associated with Schoemaker’s name. On Jalan Braga we visited the old Majestic Cinema, now the Asian-African Conference Museum, and what used to be the Societeit Concordia Club House, now called Gedung Merdeka” 150
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Holland pun kembali menekankan bahwa kota Bandung telah dibangun oleh kolonial Belanda, yakni Daendels, dan dimaksudkan sebagai sebuah pusat kota untuk melayani para wisatawan. Di samping itu, Holland juga memaparkan bahwa beberapa bangunan tua di kota Bandung, seperti Hotel Preanger, Musium KAA dan Gedung Merdeka, dibangun oleh seorang arsitek Belanda kelahiran Jawa, Wolff Schoemaker. Dalam hal ini, Holland telah berupaya untuk mengingatkan peran kolonial Belanda dalam membangun kota Bandung. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kolonial Belanda diposisikan sebagai pihak yang telah banyak membangun dan merubah kota Bandung, awal mula adalah sebuah lembah, dan kini telah menjadi sebuah kota metropolis. Dengan kata lain, Holland ingin berupaya menegaskan kembali keunggulan Belanda di masa kolonial. Lepas dari masa kolonial dan melaju ke masa pasca-kolonial, Holland memaparkan sebuah perjalanan bersama teman-temannya saat mengelilingi kota Bandung. Holland menyadari bahwa meskipun ia telah tinggal di Bandung selama bertahun-tahun, namun ia jarang berkelana ke jantung kota Bandung untuk melihat lebih dekat apa yang ada di sana. Holland pun menduga bahwa hal ini adalah kasus umum bagi banyak ekspatriat lain yang tinggal di Bandung – kota yang dulu dikenal sebagai Paris of Java. Sementara itu, para orang asing dinilai lebih sering duduk di depan Hotel Savoy Homann untuk menikmati bir dingin di sore hari atau menghadiri beberapa acara malam, sehingga tidak pernah mengambil waktu untuk menjelajahi ikon bangunan kota Bandung.55
55
“Having lived in Bandung for many years, I have rarely ventured into the heart of Bandung to take a closer look at what’s there. And I suspect this is the case for many other expats living in Bandung and weekend visitors from Jakarta who have been deterred by the heavy traffic congestion downtown; missing out on discovering the fascinating early history of the city and its significant heritage – the city once known as the Paris of Java. Whilst we had often sat out in the front of the Savoy Homann to enjoy a cold beer in the afternoon, or attended some evening events there. I had never taken time to explore this iconic building and the many others like it nearby. ” 151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melalui artikel ini Holland mencoba untuk memberikan sebuah asumsi atas keberadaan para ekspatriat di kota Bandung yang lebih sering duduk di depan Hotel Savoy Homman daripada melihat kota Bandung. Dengan kata lain, para ekspatriat dinyatakan sebagai sebuah kelompok yang enggan berbaur dengan masyarakat sekitar. Para ekspatriat lebih cenderung untuk memilih duduk bersama ekspatriat lainnya di sebuah tempat yang sering dijadikan sebagai tempat berkumpul, seperti Hotel Savoy Homman. Selain itu, Holland pun menyampaikan perihal gaya hidup para ekspatriat yang lebih sering bersantai untuk menikmati sebuah bir dingin. Dengan demikian, melalui artikel ini setidaknya terdapat dua persoalan, pertama, cara pandang Holland yang telah mengagung-agungkan keunggulan kolonial, atau dalam wacana kolonial disebut sebagai superioritas Barat. Dan kedua, Holland telah memberikan deskripsi tentang gaya hidup para ekspatriat di Bandung. C.2.5. Literature: a. Unravelled Raffles56 Terry Collins melalui artikel ini pada dasarnya berupaya untuk mengingatkan kembali para pembaca Majalah JE tentang Sir Thomas Stamford Raffles. Berawal dari adanya jajak pendapat yang dilakukan oleh BBC pada tahun 2002, yang mana menempatkan sang petualang dan penjelajah seperti Walter Raleigh terdaftar dalam 100 Britons Greatest, telah membuat Collins untuk mencoba mempertanyakan mengapa Raffles tidak masuk ke dalam daftar tersebut. Oleh karena itu, Collins pun sengaja membaca sebuah buku biografi Raffles karya Tim Hannigan, dengan tujuan ingin berbagi gagasan bahwa Raffles adalah manusia hebat; menemukan Borobudur, mendirikan
56
Jakarta Expat 84th Edition, p.6.Written by Terry Collins. 152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Singapura dan memiliki sebuah hotel yang dinamakan Raffles sehingga terlihat menjadi kebanggaan yang cukup.57 Melalui buku biografi Raffles karya Hannigan, Collins mengupas kisah perjalanan Raffles dan menguraikan berbagai kisah tentang Raffles, seperti, pernah menjadi Letnan Gubernur Jawa, petugas East India Company, berlayar ke Penang dan menjadi asisten sekretaris Gubernur Penang (Malaysia), pernikahan Raflles dengan Olivia pada bulan April 1805, hingga tugas Raffles untuk mengumpulkan informasi tentang Jawa. Menurut Collins, Hannigan telah melakukan sebuah –mekanisme nilai tukar – penulisan biografi yang memukai tentang Raffles. Melalui sebuah buku karya Hannigan, Collins melihat kekayaan latar belakang tentang sejarah Jawa di masa sebelumnya, mulai dari kehidupan di kesultanan, kerajaan Mataram, Majapahit hingga tentang bagaimana agama-agama tiba seiring dengan kedatangan para pedagang, yang mana orang Jawa masih relevan dengan hal mistisisme. Bahkan, di akhir artikel ini, Collins merasa tidak mampu memuji Hannigan yang telah bekerja sangat cukup, tetapi ia memiliki satu peringatan tentang buku ini dengan mengatakan bahwa sebuah buku dengan begitu banyak kekayaan untuk siapapun yang tertarik mengenai Raffles dan Indonesia akan sangat menguntungkan dari sekedar indeks.58 Melalui artikel ini, Collins bukan hanya berupaya untuk melakukan resensi atas sebuah buku mengenai biografi Raffles karya Hannigan, melainkan ia juga bermaksud
57
“Our heroes were the adventurers and explorers such as Walter Raleigh who brought us tobacco, potatoes and gold he’d pirated off Spanish buccaneers. In 2002 he was listed in a BBC poll of the 100 Greatest Britons. But Sir Thomas Stamford Raffles wasn’t. Until reading Tim Hannigan’s new published biography, I’d continued to share the notion that Raffles was a great man; discovering Borobodur, founding Singapore, and having a hotel named after him seemed to be credit enough.” 58 “Hannigan has done us a great service with his – erm– spellbinding biography. It is packed with a wealth of background about the earlier history of Java, life in the sultanates with their intrigues, of the Mataram and Majapahit kingdoms, about how religions arrived with ill-educated traders, and the still relevant Javanese mysticism, with footnotes where appropriate. I cannot praise Hannigan’s work highly enough, but have one caveat: a book with such riches for anyone with a smidgeon of interest in Raffles and Indonesia would greatly benefit from an index.” 153
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk menyampaikan bahwa buku ini memuat sejarah Jawa dan Indonesia. Hal ini terlihat pada bagian akhir artikel yang disajikan oleh Collins, yakni memberikan sedikit deskripsi mengenai Jawa. Collins menyinggung sejarah Jawa pada masa lampau, seperti, masa kerajaan Mataram, Majapahit hingga persoalan orang Jawa yang dinilai masih hidup dalam mistisisme sebelum para pedagang datang membawa agama. Dalam hal ini, Collins sebagai seorang ekspatriat telah berlaku sama seperti para penulis ekspatriat lainnya yang telah banyak dibahas sebelumnya. Collins –dengan maupun tanpa kesadaran– ingin mengingatkan kembali stereotipe tentang masyarakat Jawa yang berkaitan dengan hal mistik di masa lampau. Di samping itu, sebagaimana karya termasyhur Raffles, Histrory of Java, telah menjadi sebuah literatur bagi Barat untuk memahami Jawa. Begitu pula dengan upaya Collins dalam meresensi sebuah buku ini, yakni berupaya untuk menjadikan biografi Raffles karya Hannigan ini sebagai sebuah literatur untuk mengetahui kisah Raffles di Timur; Singapura maupun Indonesia. Dengan kata lain, berbekal sebuah biografi Raffles, Hannigan sebagai penulis buku, dan diresensi oleh Collins, masih menjadikan Timur sebagai sumber literatur bagi kalangan Barat. b. INDONESIA ETC. Exploring the Improbable Nation59 Melalui artikel ini, Collins kembali melakukan sebuah upaya resensi dan memberikan pendapat atas sebuah buku karya Elizabeth Pisani. Bagi Collins, karya Pisani ini dinilai telah memuat sebuah kisah perjalanan tentang Indonesia dengan menarik. Dan, buku setebal hampir 400 halaman ini pun diulas oleh Collins dengan gaya bahasa satire. Sebelum membaca buku karya Pisani, Collins merasa telah mempelajari dan memahami Indonesia, yang menurut dirinya berkilauan samar-samar di dalam kesadaran.
59
Indonesia Expat 120th Edition, p.15. Written by Terry Collins. 154
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Akan tetapi, setelah membaca buku karya Pisani, ia seolah-olah merasa telah memperoleh deskripsi yang tampak jelas. Berangkat dengan menjelaskan kisah Pisani yang berkunjung ke Indonesia, Collins menempatkan dirinya sebagai penerus informasi untuk memberikan deskripsi mengenai Indonesia kepada para pembaca Majalah JE, khususnya para orang asing atau para ekspatriat yang sedang berada di Indonesia. Collins memaparkan bahwa Pissani telah bertemu banyak budaya yang masih sangat berakar pada adat istiadat dan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, namun terdapat orang-orang desa yang mendokumentasikan sebuah ritual pengorbanan ke dalam ponsel (yang mana) menampilkan pemimpin bangsa yang sakit kepala. Karena itu, Pisani mengajukan sebuah pertanyaan, jika yang tradisional dan modern hidup berdampingan di Indonesia, hukum mana yang seharusnya digunakan? Bahkan, karena adanya sistem klan, ditunjukkan bahwa 'korupsi' banyak terjadi sebagai bentuk gambaran 'patronase', seperti 'posisi' tertentu telah dipesan untuk para anggota klan, dan adanya pertukaran barang penghormatan – dari babi ke kerbau di pesta pernikahan dan pemakaman di daerah pedesaan, uang tunai untuk di kota-kota dan pusat pemerintahan – secara tradisional yang merupakan simbol penghormatan terhadap posisi dalam suatu hirarki.60 Pada artikel ini, Collins cenderung lebih banyak mengutip tulisan Pisani untuk memperlihatkan gambaran mengenai Indonesia. Dengan mengutip teks yang disediakan oleh Pisani, Collins pun telah mendeskripsikan budaya Indonesia, seperti orang-orang yang bersinggungan dengan sebuah teknologi modern; telepon genggam. Bahkan, deskripsi tradisional dan modern telah berupaya untuk menunjukkan bagaimana kondisi 60
“Many of the cultures she meets are still very much rooted in adat, the traditions carried down through the generations, yet “villagers film a ritual sacrifice on their mobile phones [which] presents the nation’s leaders with a headache. If ancient and modern Indonesia co-exist, which should they make laws for?” She observes the clan system and suggests that what many call ‘corruption’ may be best described as ‘patronage’. Certain ‘positions’ are ‘reserved’ for members of the clan, and the exchange of items of ‘homage’ — from pigs to buffaloes at weddings and funerals in rural areas, to cash in cities and government centres — are traditionally a symbol of respect for the positions in a hierarchy.” (Cetak miring dari penulis) 155
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat kontemporer Indonesia. Selain itu, Collins, juga memberikan deskripsi mengenai masalah di Indonesia yang cenderung kausalitas, seperti korupsi karena adanya sistem patronasi, posisi tertentu telah dipesan untuk anggota klan, dan hewan sebagai nilai pertukaran, sedangkan uang berlaku untuk di kota dan pemerintahan. Selanjutnya, mengenai birokrasi, Collins pun masih meneruskan tulisan Pisani dengan menyampaikan bahwa suatu alasan sering dikatakan sebagai ‘belum dapat petunjuk’, yang dapat diartikan sebagai ‘saya belum menerima instruksi’, atau disebut juga istilah lainnya ‘Asal Bapak Senang (ABS) –‘asalkan bapak senang'. Sementara itu, dalam bidang politik, reformasi telah mengirimkan sistem demokrasi hampir ke semua orang di pelosok daerah dan membongkar rezim Orde Baru Suharto yang terpusat, yang mana hampir semua punya kenalan yang dapat membantu (nepotisme, kolusi, korupsi).61 Bertolak dari uraian di atas, Collins yang mengambil beberapa cuplikan dari Pisani telah menguraikan deskripsi Indonesia pasca-kolonial, seperti budaya, tradisi, ritual, sosial, ekonomi, birokrasi hingga politik. Berangkat dari kisah yang dituliskan oleh Pisani, Collins pun menyakini bahwa masih terdapat banyak kisah tentang pengalaman orang asing di Indonesia. Oleh karena itu, Collins berpendapat masih banyak kisah kontemporer tentang Indonesia yang belum dipublikasikan, bahkan ia juga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari yang dipikirkan oleh para orang asing, yang mana selama ini sudah merasa tahu. Namun demikian, pada resensi yang disediakan oleh Collins ini, setidaknya bagi penulis terdapat lima hal mengenai Indonesia pada masa kontemporer yang hendak diberikan kepada para pembaca. Pertama, masyarakat tradisional Indonesia yang gagap 61
“In bureaucracies, that translates as the excuse that “belum dapat petunjuk” — ‘I haven’t received instructions yet’ and Asal Bapak Senang (ABS) — ‘as long as father is happy’. ….Within the political sphere, following reformasi and the dismantling of Suharto’s centralised Orde Baru, there is now “so much democracy around that almost everyone has someone somewhere in the system delivering for them.” (Cetak miring dari penulis) 156
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan modernitas; pendokumentasian sebuah ritual ke dalam telepon genggam. Kedua, stereotipe negatif budaya Indonesia pada lingkup birokrasi;sistem patronase. Ketiga, masyarakat Indonesia yang ‘malas’; alasan ‘belum dapat petunjuk’ Keempat, perubahan sistem demokrasi pasca reformasi; euphoria masyarakat Indonesia yang menjalankan sistem desentralisasi. Dan terakhir, sebagaimana judul buku yang diberikan oleh Collins, “Indonesia, dan lain-lain, menjelajahi bangsa yang mustahil”, atau dengan kata lain, Indonesia telah dianggap sebagai sebuah bangsa yang lengkara.
D.
Catatan Penutup Jakarta sebagai sebuah kota metropolis yang dipenuhi oleh banyak pendatang,
tidak mengecualikan para orang asing untuk dapat merepresentasikan identitasnya di dalam masyarakat. Dalam hal ini, pada khususnya orang kulit putih berupaya untuk merepresentasikan identitas diri mereka sebagai ekspatriat. Kisah perjalanan hidup telah menjadi bagian dari identitas mereka hingga dapat merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Meskipun kehadiran orang kulit putih di Indonesia bukan suatu hal yang terjadi untuk pertama kali, namun kehadiran mereka sebagai ekspatriat pada saat ini telah mengingatkan kembali pada orang kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal ini disebabkan karena para ekspatriat melanjutkan wacana yang serupa dengan para pendahulunya, yakni para kolonialis. Berdasarkan ragam sajian yang termuat di dalam Majalah JE, para ekspatriat telah menempatkan citra Indonesia sama dengan yang pernah dilakukan oleh para kolonial. Para ekspatriat masih menggunakan wacana orientalisme untuk dijadikan sebagai bekal pengetahuan dalam memandang maupun memahami karakter dan stereotipe tentang Indonesia. Dengan kata lain, melalui Majalah JE para ekspatriat masih menempatkan
157
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Indonesia berada di bawah posisi mereka, sebagai bagian dari negara dunia ketiga yang pernah terjajah. Hal ini dapat dicermati, baik melalui cover photo Majalah JE maupun beragam teks yang mengandung wacana kolonial mengenai Indonesia. Oleh karena itu, persoalan ini, yang mana merupakan pertanyaan kedua dalam rumusan masalah penelitian ini, mengenai wacana kolonial mengenai Indonesia yang dihadirkan melalui imaji dan teks di dalam Majalah Jakarta Expat akan dibahas pada bab selanjutnya.
158
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME Pada satu bab penulisan ini, penulis akan menjawab dua pertanyaan tersisa yang telah diajukan pada rumusan masalah penelitian. Pertama, penulis berupaya untuk melalukan analisis wacana kolonial mengenai karakteristik dan streotipe Indonesia yang muncul dari imaji dan teks di dalam Majalah JE. Kedua, penulis berupaya untuk memberikan tafsiran terhadap ekspatriat melalui Ruang Ketiga ala Homi Bhabha atas representasi diri ekspatriat maupun wacana kolonial yang termuat di dalam Majalah JE. Dan melalui Ruang Ketiga ini pula, berdasarkan sajian teks yang termuat di dalam Majalah JE penulis akan menguraikan persoalan hibriditas dan ambivalensi yang dialami oleh para ekspatriat. A.
Analisis Wacana Kolonial Kontemporer Berbicara mengenai imaji dan teks sudah tentu melibatkan wacana yang
terkandung maupun yang tersembunyi di dalam wacana itu sendiri. Wacana memainkan suatu peran dalam menciptakan hingga mengatur suatu pemahaman atas mekanisme pengetahuan. Bahkan, wacana di dalam sebuah media tidak hanya dapat dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, akan tetapi telah menjadi sesuatu yang memproduksi yang lain, seperti sebuah gagasan, konsep atau efek (Eriyanto, 2001:65). Oleh karena itu, analisis wacana kolonial kontemporer ini berupaya untuk memperlihatkan wacana dan menemukan makna yang tersembunyi atas imaji dan teks yang tersajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Secara khusus, penulis menemukan beragam wacana kolonial kontemporer pada beberapa rubrik yang tersajikan di dalam Majalah JE, di antaranya Moment in History, 159
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Feature, Observations, Culture, dan Literature. Penulis berpendapat bahwa kelima rubrik tersebut memiliki kandungan wacana kolonial yang bersumber dari beragam kajian ilmu maupun hasil catatan perjalanan dan penelitian para Orientalis – baik di masa kolonial maupun pasca-kolonial. Dengan kata lain, hal semacam ini dapat dikatakan sebagai“The Orient became an object suitable for study in academy” (Said, 1978:7). Artinya, Timur menjadi ragam sumber pengetahuan yang dilembagakan secara formal oleh kalangan Barat. Pengetahuan tentang Timur tertuang ke dalam berbagai disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi, sejarah dan lain-lain. Oleh karena itu, dengan beragam rubrik maupun artikel, Majalah JE telah memberikan citra mengenai Indonesia kepada para pembacanya, yakni para ekspatriat, guna mendapatkan deskripsi maupun pemahaman tentang Indonesia. A.1.
Karakteristik Indonesia Berbagai karakteristik mengenai Indonesia dapat ditemukan pada beberapa rubrik
maupun artikel yang tersajikan di dalam Majalah JE. Pada rubrik Moment in History, misalnya, sejarah dinilai telah menjadi elemen yang sangat penting sebagai salah satu unsur untuk memahami sebuah objek seperti Indonesia. Dengan memberikan sebuah artikel, para ekspatriat telah memberikan serpihan-serpihan dari kajian ilmu tentang Timur (Orient). Meskipun sebuah artikel yang termuat pada rubrik Moment in History ini adalah suatu bentuk tulisan populer, yang mana dituangkan ke dalam suatu media populer seperti Majalah JE, namun wacana yang tersembunyi di balik artikel ini juga menggunakan mekanisme pengetahuan Orientalisme. Dengan demikian, artikel yang termuat di dalam rubrik Moment in History ini dapat dikatakan sebagai suatu upaya wacana kekuasaan Barat terhadap Indonesia.
160
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada artikel They Came to Java yang termuat di dalam rubrik Moment in History ini, Anthony Sutton mencoba untuk memperlihatkan bagaimana kalangan Barat dapat berfantasi ria dalam memandang Indonesia. Sutton, dengan mengutip pandangan Alfred Wallace, memaparkan bahwa pada abad ke-19 Jawa merupakan sebuah pulau tropis terbaik di dunia. Akan tetapi, jika kita menelisik lebih mendalam kisah perjalanan selama kehidupan Wallace, sebagaimana yang tertuang dalam biografinya, ia hanya mengunjungi Amazon dan beberapa kawasan di Asia Tenggara. Sementara itu, kawasan tropis lainnya seperti Afrika absen dari rekening penjelajahan sang petualang Wallace. Oleh karena itu, Wallace sebagai seorang Barat secara tidak sadar telah memfantasikan Jawa sebagai pulau tropis terbaik di dunia, sehingga telah meniadakan pulau tropis lainnya. Begitu pula dengan fantasi Sutton yang turut menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Bromo pada tahun 1980an, dan menyandingkan hal tersebut dengan seorang petualang John Whitehead, hingga keduanya sama-sama menilai bahwa Jawa adalah tempat eksotis di wilayah tropis. Dengan demikian, dalam hal ini Sutton masih menggunakan sudut pandang yang sama dengan Wallace, yakni berkelanjutan dalam memberikan suatu sisi eksotisme tentang dunia Timur, seperti Indonesia melalui pulau Jawa. Di samping itu, bergerak mundur pada kisah di abad-abad sebelumnya, Sutton pun kembali memaparkan bahwa abad ke-16 adalah sebuah awal perlombaan untuk mendapatkan kepulauan Rempah di Nusantara. Karena itu, kehadiran Belanda maupun Inggris yang menjadikan Banten sebagai wilayah menetap kedua negara kolonial ini seakan telah menjadi lumrah. Namun demikian, pada artikel ini Sutton tidak serta merta menyinggung atau memberikan suatu penjelasan mengenai bagaimana bentuk kehidupan kolonialis di negara kolonial. Dengan kata lain, Sutton telah abai terhadap praktik kolonial sehingga tidak menarasikan apapun yang berkaitan dengan kondisi kehidupan para
161
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kolonialis Eropa, seperti Belanda dan Inggris saat berada di seberang lautan negara-negara Barat seperti di Timur. Oleh karena itu, atas adanya artikel ini penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa Sutton telah memberikan beberapa wacana kepada para pembaca Majalah JE, di antaranya, legitimasi negara-negara Barat yang berlomba untuk mendapatkan Timur (kolonialisme), melalukan dominasi dan menduduki Nusantara karena menyimpan kekayaan alam yang dapat menyediakan keuntungan bagi Barat, hingga Barat dianggap lumrah untuk dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur. Selain itu, dengan mengutip catatan perjalanan Nicolo de Conti, Sutton pun telah mereproduksi kembali suatu ingatan kepada para pembaca Majalah JE bahwa pada beberapa abad sebelumnya, yakni di abad ke-15, Jawa dideskripsikan sebagai wilayah yang lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing. Meskipun Sutton tidak mengafirmasi persepsi tersebut, namun ia tampaknya berupaya untuk memberikan sebuah deskripsi mengenai Jawa sebelum kedatangan bangsa Eropa (Barat), yang mana masyarakat Jawa hidup dalam keadaan barbar bahkan dikatakan primitif. Dalam hal ini muncul wacana mengenai Timur yang seolah-olah butuh untuk diajarkan dan diperadabkan karena memiliki kemorosotan moral, sehingga kolonialisme telah menjadi dalih bagi para kolonialis Barat untuk melakukan penaklukan dan penjajahan. Melalui artikel They Came to Java ini juga, penulis mencermati bahwa gagasan pokok Sutton adalah bertujuan untuk mendeskripsikan Indonesia sebagai suatu realitas yang berbeda dari Barat. Dalam hal ini, Sutton merekonstruksi imaji Indonesia melalui fantasi dengan menjadikan Timur sebagai sesuatu yang tidak sama dengan Barat. Dengan kata lain, fantasi yang dilakukan oleh Sutton melalui artikel ini telah memberikan sebuah kesamaan dirinya seperti dengan yang telah dilakukan oleh para Orientalis Barat pada
162
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
beberapa abad yang silam. Sutton sebagai seorang ekspatriat telah menggunakan fantasi dirinya sebagai bagian dari bentuk mekanisme wacana Orientalisme untuk menciptakan suatu asumsi maupun deskripsi tentang Timur yang sangat berbeda dengan Barat, yang mana pada artikel ini membahas tentang Jawa. Selanjutnya, pada artikel Sutton yang lain, Educating the Past, penulis mencermati bagaimana Sutton telah memberikan suatu deskripsi mengenai Indonesia sebagai bagian dari Timur yang memiliki perbedaan fundamental dengan Barat. Dengan mengangkat tema seputar dunia pendidikan, pada artikel Educating the Past ini Sutton mencoba untuk mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki ketertinggalan dari Barat. Berdasarkan kacamata Sutton, Indonesia dinilai masih menjalankan sistem pendidikan yang lama, seperti belajar hafalan maupun mengingat rumus. Sementara itu, pendidikan di Barat dinilai telah mengalami perkembangan maju dengan mengajarkan para siswa untuk berpikir kreatif, menggunakan layanan internet, hingga mendapatkan pelajaran bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, pada artikel ini Sutton telah merekonstruksi kembali oposisi biner antara Barat dan Timur, yang mana Barat dianggap sebagai bangsa maju, sedangkan Timur sebagai bangsa yang sedang berkembang maupun tertinggal. Sutton juga mengatakan bahwa pada saat ini pendidikan Indonesia masih menanggung beban historis untuk mengejar ketinggalan waktu setengah abad terakhir. Bertolak dari sejarah pendidikan Indonesia, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan Indonesia belum mencakup semua golongan masyarakat. Pada akhir abad ke-19, Sutton memaparkan bahwa pendidikan hanya dapat diterima oleh masyarakat keturunan Eropa maupun Eurasia dan kalangan elit pribumi, sedangkan orang-orang kampung di pedesaan, bahkan di pedalaman diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, pada masa kolonial kalangan Eropa “merasa
163
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berhak” untuk mendapatkan superioritas mereka karena kalangan pribumi tidak mendapatkan pendidikan seperti kalangan Barat. Dengan kata lain, Sutton ingin memperlihatkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah memiliki masalah sejak masa kolonial, sehingga pada saat ini masih tetap berada di bawah standar pendidikan Barat. Meskipun Sutton pada artikel Educating the Past menyadari bahwa dampak kolonialisme masih dapat dirasakan hingga saat ini, namun kesadaran Sutton belum cukup kritis karena tidak memberikan kritik atas aksi kolonialisme Belanda di Indonesia. Sutton seakan hanya memaparkan tanpa menindaklanjuti atas kondisi yang dialami Indonesia pada masa pascakolonial. Dengan demikian, Sutton telah menegaskan kembali batasan antara Barat dan Timur melalui bidang pendidikan. Mengenai rubrik Feature, khususnya artikel Building in the Dutch East Indie in the Colonial Period turut memainkan wacana kolonial dengan memberikan karakteristik mengenai Indonesia. Pada artikel ini Heringa lebih banyak memberikan sajian tentang berbagai bangunan peninggalan kolonial Belanda. Meskipun artikel ini sempat menyinggung tentang Candi Prambanan dan Borobudur, bangunan Keraton hingga Masjid, namun bangunan pemerintahan kolonial Belanda tetap menjadi fokus perhatian Heringa yang utama dalam artikel ini. Fokus tersebut merupakan sebuah bentuk upaya pembuktian bahwa Barat dinilai lebih unggul daripada pribumi Indonesia mengenai persoalan arsitektur. Terutama, Heringa berupaya untuk mengungkapkan bahwa Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels (1882-1947), dinilai telah sangat berperan penting dalam hal pembangunan gedung-gedung di Hindia Belanda, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia, dan Hotel des Indes di Jakarta. Oleh karena itu, melalui artikel ini Heringa berupaya untuk mengajak para pembaca untuk mengingat kembali peninggalan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang telah memiliki pengaruh besar dalam hal modernisasi, bahkan
164
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyimpan suatu nilai yang tinggi dalam seni arsitektur. Dengan kata lain, pada artikel ini Heringa ingin menegaskan kembali perbedaan antara Barat dengan Timur lewat persoalan arsitektur. Selanjutnya pada rubrik Observations, terutama artikel berjudul East is West, and West is, Well..., yang dituliskan oleh Dachlan Cartwright turut memiliki kandungan wacana kolonial serupa dengan sebelumnya. Dari judul artikel ini saja telah menegaskan secara lugas bahwa kata-kata ‘East is West’, dapat dipahami Timur adalah Barat. Sementara itu dari kata-kata ‘West is, Well…’, penuh interpretasi yang kompleks. “West is,” yang diakhiri tanda koma dapat dipahami upaya dalam mendefiniskan Barat, sedangkan “Well…” yang diikuti dengan tanda titik-titik ini dapat dipahami “Baiklah”, sebuah kata aksensuasi maupun ketegasan yang hendak dijabarkan. Dalam hal ini Cartwright mencoba untuk membandingkan Timur yang berbeda dengan Barat. Penjelasan mengenai Timur pun semakin dipertegas ketika Cartwright mengutip beberapa kalimat milik Anthony Burgess (1956) dari novel Time for a Tiger, dengan menuliskan, “Timur? ... Di situlah Timur, di situ. … Di luar sana, Barat. Kamu tidak ada di sana, sehingga kamu tidak akan tahu....". Oleh karena itu, melalui artikel ini Cartwright mencoba untuk mengawali sebuah persoalan geografi mengenai Barat dan Timur kepada para pembaca Majalah JE. Namun demikian, sebuah upaya Cartwright dengan mengutip beberapa teks “The Ballad of East and West”, dari puisi Rudyard Kipling semakin menunjukkan bahwa terdapat batasan pada Barat dan Timur yang tidak akan pernah bertemu pada dunia nyata, bahkan hingga bumi dan langit dihadapkan pada hari kiamat. Dalam hal ini Carthwright mencoba untuk memperlihatkan bahwa persoalan Barat dan Timur tidak hanya terletak dan sebatas pada persepsi geografi, tetapi terdapat perbedaan dalam persepsi budaya.
165
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Secara tradisional, Barat dipandang sebagai pemberi, rasionalis, materialistis dan lebih unggul, sedangkan Timur dipandang sebagai yang abadi, spiritual, mistik, eksotis, dan terbelakang. Dengan demikian, rujukan teks yang sengaja dipilih dan dihadirkan oleh Cartwright dalam artikel ini merupakan suatu upaya untuk membahas kembali persoalan binerisme antara Barat dan Timur di masa pasca-kolonial. Binerisme ini menjadi pembedaan yang sangat fundamental maupun radikal untuk dapat memahami bentuk dan karakteristik antara Barat dan Timur, yang mana dalam hal ini menyangkut para ekspatriat sebagai bagian dari Barat yang tengah berhadapan dengan Indonesia sebagai Timur. Terkait persepsi budaya di masa pasca-kolonial, Cartwright pun mencoba untuk menyajikan suatu kejadian yang menarik mengenai sebuah peristiwa yang dialami sekelompok pelajar pada saat perayaan tahun baru di Bali. Dari peristiwa ini, Cartwright mencoba untuk memberikan suatu deskripsi bahwa para pelajar memiliki pemahaman yang sedikit atas persoalan antara Barat dan Timur di masa pasca-kolonial. Dengan kata lain, wacana tentang persepsi budaya antara Barat dan Timur yang diberikan oleh Carthwright ini telah menjadi suatu rangkaian tanda dan praktek dalam merekonstruksi wacana tentang Indonesia yang adalah Timur di hadapan Barat. Bahkan hal ini dapat terlihat dari sebuah ajakan Cartwright yang ditujukan kepada para pembaca Majalah JE untuk keluar dari konteks persepsi budaya, dengan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat, dan memiliki rasa budaya global. Oleh karena itu, ajakan Cartwright ini telah mengarahkan para ekspatriat kepada berbagai tanda maupun wacana mengenai Barat maupun Timur. Dengan melihat kembali pada judul artikel yang diberikan oleh Cartwright ini, East is West, and West is, Well…, maka dapat dipahami terdapat kontradiksi antara Barat dan Timur. Kontradiksi ini dapat dipahami bukan hanya sekedar teks atau permainan kata
166
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pada sebuah artikel, melainkan telah mengkonstruksi suatu wacana yang berefek kepada para pembaca Majalah JE. Wacana yang dimaksudkan pada artikel ini adalah gagasan maupun konsep mengenai Barat dan Timur. Oleh karena itu, wacana kolonial mengenai Barat dan Timur bukan hanya terjadi di masa kolonial, melainkan melalui sebuah artikel seperti East is West, and West is, Well… yang tersajikan di dalam Majalah JE ini tetap dilanggengkan oleh seorang ekspatriat seperti Cartwright di masa pasca-kolonial. Selain itu, wacana kolonial yang turut memberikan karakteristik mengenai Indonesia juga terdapat pada rubrik Literature. Pada rubrik ini, terdapat dua artikel yang dituliskan oleh Terry Collins, yakni Unravelled Raflles dan Indonesia, Etc. Exploring the Improbable Nation. Kedua artikel tersebut merupakan ulasan mengenai sebuah buku yang terkait dengan Indonesia. Pada artikel yang pertama, Unravelled Raflles, Terry Collins mencoba untuk memberikan sebuah resensi mengenai buku biografi Sir Thomas Raffles karya Tim Hannigan, “Raffles and the British Invansion”, yang terbit pada tahun 2012. Collins, yang notabenenya adalah seorang ekspatriat berkebangsaan Inggris, menjelaskan bahwa Raffles memiliki serangkaian catatan dengan sejarah Indonesia. Di samping itu, berdasarkan berdasarkan pembacaan biografi Raffles karya Hannigan, Collins berupaya menyampaikan beragam argumentasi dan menyatakan bahwa Raffles adalah sosok manusia yang hebat pada masa kolonial Inggris. Dengan kata lain, Collins ingin menyampaikan bahwa Raffles sebagai seorang Inggris sekaligus Orientalis Barat adalah tokoh yang penting dalam memberikan seluk beluk pengetahuan tentang Jawa. Hal serupa juga dilakukan oleh Collins pada sebuah artikel berupa resensi sebuah buku berjudul “Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation” karya Elizabeth Pizzani. Dalam hal ini, Collins kembali memberikan sebuah resensi sekaligus memainkan
167
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perannya sebagai penerus informasi untuk mendeskripsikan isi buku tersebut. Resensi yang dibuat Collins ini pada dasarnya diperuntukkan bagi para ekspatriat yang sedang berada di Indonesia agar dapat mengetahui tentang karakteristik Indonesia. Dengan demikian, artikel yang dituliskan oleh Collins ini dapat menjadi bekal bagi para ekspatriat untuk memperoleh suatu deksripsi tentang Indonesia dan masyarakat di dalamnya, terlebih menjadi tertarik untuk membaca buku “Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation” karya Elizabeth Pizzani. Dari kedua uraian artikel yang dituliskan Collins di atas, dapat dipahami bahwa rubrik Literature yang tersajikan oleh ekspatriat di dalam Majalah JE ini adalah sebuah upaya untuk meneruskan informasi atau menyebarkan wacana mengenai Indonesia lewat suatu literatur. Di samping itu, buku-buku yang telah diulas oleh Collins, yakni Unravelled Raflles dan Indonesia, Etc. Exploring the Improbable Nation, telah memberikan suatu karakteristik mengenai Indonesia, yang mana masih menjadi sumber literer bagi Barat. Oleh karena itu, Collins melalui artikel-artikelnya turut memainkan wacana kolonial dengan memaparkan buku-buku mengenai Indonesia yang ditulis kalangan Barat. Selanjutnya, merujuk pada gambar lainnya, yakni Gambar 2, stereotipe tentang Indonesia juga telah dimunculkan melalui sebuah foto masyarakat suku Dani yang diberikan sebuah judul Chatting on Facebook. Dimuatnya foto ini sebagai cover photo Majalah JE pada edisi 78 telah menuai kritik dari para pembaca. Beberapa pembaca mengatakan bahwa Majalah JE telah melakukan tindakan ‘eksploitatif’ dan ‘rasis’ karena telah memuat foto masyarakat suku Dani tengah berhadapan dengan sebuah laptop. Dalam hal ini, sebuah perdebatan muncul mengenai stereotipe rasis tentang masyarakat Indonesia, pada khususnya masyarakat suku Dani.
168
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya mengenai stereotipe Timur, Majalah JE lebih cenderung untuk mengalihkan tuduhan eksploitatif dan rasis kepada persoalan pandangan yang berbeda. Alih-alih pihak Majalah JE yang diwakili oleh Mark Twain memberikan pernyataan bahwa terkadang sebuah foto tidak sesuai dengan keinginan semua orang. Namun demikian, merujuk kepada perspektif Orientalisme yang telah dibedah oleh Edward Said, maka kita dapat memahami bahwa Barat telah merepresentasikan Timur sebagai ras yang berbeda. Dalam hal ini terlihat bahwa Majalah JE mencoba untuk merepresentasikan masyarakat suku Dani kepada para pembacanya. Bahkan, persoalan stereotipe ras ini terhubung dengan pembedaan yang fundamental antara Barat dengan Timur, yakni Barat sebagai pihak yang beradab maupun modern, sedangkan Timur ditempatkan sebagai yang primitif maupun tradisional. Wacana kolonial mengenai karakteristik Indonesia tidak hanya terdapat pada artikel dan foto, tetapi juga termuat dari kisah para ekspatriat. Dalam kisah Laila Airlie Dempster, misalnya, dengan membuat karya lukis yang lebih dominan bertemakan tentang Indonesia, ia mencoba untuk merepresentasikan Indonesia, terutama mengenai orangorang Indonesia, tradisi suatu masyarakat, serta pemandangan alam. Begitu pula dengan Dave Metcalf, setelah berkecimpung di dunia fotografi dan petualangan ia menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu negara di planet Bumi yang indah untuk dipotret. Bahkan Metcalf dengan berani berpendapat bahwa tidak ada keindahan yang mampu menandingi Indonesia, karena di dalamnya terdapat keberagaman masyarakat, budaya, arsitektur, maupun pemandangan yang luar biasa. Oleh karena itu, pandangan yang telah diberikan oleh Dempster dan Metcalf dapat dipahami sebagai kecenderungan orang asing dalam mengenali suatu karakteristik Indonesia, yakni pada sisi eksotisme.
169
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.2.
Stereotipe Indonesia Serupa dengan cara mencermati karakteristik Indonesia melalui imaji dan teks,
maka persoalan stereotipe Indonesia ini juga menempuh yang sama. Pada artikel The Jaksa Position & Jalan Palatehan, Kenneth Yeung berupaya untuk memberikan deskripsi atas kondisi perubahan kedua jalan ini, yang mana telah terkenal sebagai tempat yang melayani kebutuhan para wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta dalam beberapa dekade terakhir. Dengan kata lain, Yeung secara implisit ingin menyampaikan bahwa Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan merupakan sebuah tempat bagi keberadaan para orang asing di Jakarta. Bahkan, dengan memberikan catatan tentang kondisi masa lampau kedua jalan ini, Yeung juga ingin memberikan ragam wacana yang menarik bagi para orang asing selama berada di Jakarta, seperti kalangan Barat dapat menikmati berbagai suguhan khas ‘Timur’; penginapan dan bir yang murah maupun hiburan malam di sekitar Jalan Palatehan. Di samping itu, melalui artikel The Jaksa Position & Jalan Palatehan ini, Yeung juga telah memberikan sebuah deskripsi mengenai keberadaan para orang asing. Yeung menarasikan bahwa tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat, tetapi terdapat banyak pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan maupun orang Afrika. Bahkan Yeung meneruskan suatu wacana mengenai stereotipe orang Afrika sebagai kelompok kriminal karena terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang dan kasus penipuan. Dalam hal ini Yeung acuh dalam mempertanyakan dari mana asal stereotipe tersebut. Oleh karena itu, stereotipe ini menjadi sebuah pertanyaan, siapa yang telah memberikan stereotipe negatif kepada orang-orang Afrika di Jalan Jaksa? Apakah stereotipe itu datang dari orang Indonesia?.
170
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penulis beranggapan bahwa persoalan stereotipe mengenai ras adalah bagian dari mekanisme pengetahuan Orientalisme. Sebagaimana Orientalisme telah mendeskripsikan bahwa Timur memiliki beragam karakter maupun stereotipe, sehingga dalam hal ini Yeung telah terperangkap pada wacana Orientalisme terkait stereotipe orang Afrika sebagai kelompok kriminal. Dengan demikian, melalui artikel The Jaksa Position & Jalan Palatehan ini terdapat sebuah wacana kolonial kontemporer yang telah diberikan oleh Yeung, yakni stereotipe mengenai orang-orang Afrika, atau dengan kata lain mengenai karakter dari ras Afrika – di masa pasca-kolonial. Selanjutnya, pada rubrik Observations, penulis mencermati bahwa sebuah artikel, A Million Dollars Treasure West Java, juga bermaksud untuk memperlihatkan stereotipe mengenai Indonesia. Pada artikel ini Santema telah mereproduksi wacana kolonial dengan mengatakan bahwa Indonesia tidak mengalami perubahan pesat layaknya negara-negara Barat, khususnya mengenai rasionalitas. Dengan menceritakan kisah perjalanan dalam pencarian sebuah peta tua Indonesia, Santema menganggap bahwa peta tua yang masih dalam kondisi baik dianggap sebagai bentuk ‘abadi’ milik bangsa Timur. Abadi yang dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah buah dari kebingungan dirinya ketika melihat sebuah peta yang telah berumur ratusan tahun masih dapat terjaga dengan kondisi baik tanpa bantuan seorang ahli yang menjaga, sehingga ia menyatakan bahwa peta tua ini dianggap mampu menjaga dan memperbaiki kerusakannya secara sendiri melalui hal mistik. Dengan kata lain, melalui artikel ini Santema memberikan suatu wacana tentang Indonesia yang dianggap sebagai yang aneh maupun irasional. Dengan demikian, artikel yang disajikan oleh Santema ini telah memberikan sebuah wacana kolonial kontemporer kepada para pembaca Majalah JE, yakni dengan memaparkan bahwa masih terdapat keanehan atau irasional di dalam masyarakat Indonesia pada masa kini.
171
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada rubrik lainnya, yakni Culture, para ekspatriat kembali beraksi dalam memberikan stereotipe mengenai Indonesia. Pada artikel yang berjudul Islam in the Nehterlands East Indies, misalnya, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan tentang Islam di masa kolonial Hindia Belanda hingga Indonesia pada konteks kekinian. Melalui artikel ini, Rooseboom secara rinci menguraikan beberapa peristiwa seputar Islam di Indonesia, seperti awal mula kehadiran Islam di Nusantara, jumlah penduduk Muslim pada masa kolonial, hingga persoalan Jamaah Haji yang pergi ke Mekah. Dalam konteks kolonial, Rooseboom memaparkan bahwa pada tahun 1917 muncul suatu perubahan terkait kemunculan sikap intoleransi dan perselisihan antar agama, sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan penduduk Eropa dan pemerintah kolonial. Menurutnya, perubahan ini sebagai ulah para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah. Jamaah Haji dianggap telah membawa masyarakat pada gerakan separatisme maupun pemberontakan. Bahkan, ia pun memberikan suatu sindiran dengan mengatakan bahwa meskipun terdapat peningkatan jumlah Jamaah Haji setiap tahun, mulai dari tahun 1859 hingga tahun 2012, namun pada kenyataan tidak turut menyebabkan intoleransi dan fanatisme agama berkurang di Indonesia. Dengan demikian, pandangan Rooseboom ini telah dapat dicermati telah memiliki kandungan wacana kolonial, yaitu tidak mengalami perkembangan yang dinamis, bahkan secara khusus masyarakat Timur masih distereotipekan sebagai pelaku tindak kekerasan, salah satu diantaranya adalah persoalan konflik agama. Stereotipe mengenai Indonesia lainnya juga dapat dicermati pada sebuah cover photo yang menjadi muka Majalah JE. Cover photo Majalah JE, sebagaimana disajikan pada bab sebelumnya, Bab III, turut memberikan sumbangan mengenai wacana kolonial. Oleh karena itu, sebuah foto yang dijadikan sebagai cover photo Majalah JE bukan hanya
172
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekedar sebagai pembungkus media, melainkan telah memberikan suatu tanda yang menghubungkan kepada penanda dan petanda. Pada Gambar 3, misalnya, Majalah JE memuat sebuah foto Pocongan Cilik yang dijadikan sebagai cover photo untuk dihadirkan kepada para pembaca. Foto tersebut telah menjadi petanda mengenai hantu, sehingga memberikan penanda bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan gaib. Dengan kata lain, foto tersebut telah mengantarkan kepada wacana mengenai Indonesia sebagai sebuah negara yang masih dilingkupi hal aneh kepada para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini muncul pertentangan antara Barat dan Timur, yang mana Barat selalu menempatkan dirinya sebagai yang normal sedangkan Timur dianggap masih memiliki serangkaian hal aneh yang terdapat di dalam masyarakatnya. Selain memberikan sebuah foto Pocongan Cilik untuk dijadikan cover photo Majalah JE pada edisi 80, para ekspatriat secara komprehensif juga mengulas berbagai hal yang berhubungan dengan hantu, mistik dan misteri di dalam masyarakat Indonesia. Sang editor Majalah JE, Angela Richardson, melalui catatan editorial secara eksplisit mengatakan bahwa budaya Indonesia masih memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa contoh pun disebutkan oleh sang editor untuk mendeskripsikan hal mistik dan hantu masih yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia, seperti, masyarakat Bali menyajikan suatu persembahan, dan masyarakat Jawa yang mempercayai penampakan hantu dapat terlihat ketika saat matahari terbenam. Oleh karena itu, cover photo Majalah JE yang memuat foto pocongan cilik ini dapat dipahami bukan hanya sebagai sebuah karya fotografi, melainkan telah mengantarkan para ekspatriat kepada sebuah stereotipe
173
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tentang Indonesia, yakni sebagai bangsa Timur yang aneh berbeda dari kebiasaan kalangan Barat. Kemudian, melalui kisah kehadiran para ekspatriat di Indonesia kita juga dapat mengetahui bagaimana stereotipe mengenai Indonesia di dalam persepsi orang asing. Semisal kisah Roberto Puccini yang ingin datang ke Indonesia, yang mana beberapa temannnya berkata “It’s dangerous! Don’t go there!”. Dalam hal ini, teman-teman Puccini yang merupakan kalangan Barat telah memiliki sebuah wacana tentang Indonesia. Ironisnya, wacana yang ada di dalam benak orang asing mengenai Indonesia adalah tempat berbahaya. Teman-teman Puccini tersebut, entah sudah pernah atau belum ke Indonesia, tanpa ragu untuk memperingatkan dengan keras agar ia tidak pergi ke Indonesia. Oleh karena itu, dari kisah Puccini ini dapat dipahami bahwa masih terdapat stereotipe negatif mengenai Indonesia yang bersemayam di dalam pikiran orang asing. Setelah mengetahui beragam wacana kolonial yang menyelimuti Indonesia, dapat diketahui bahwa pada dasarnya para ekspatriat telah memoles kembali wajah Barat di masa pasca-kolonial. Dengan menggunakan wacana Orientalisme dalam memandang maupun menempatkan Timur seperti Indonesia, para ekspatriat telah melanjutkan kekuasaan wacana kolonial. Para ekspatriat terus mereproduksi wacana kolonial untuk disajikan kepada para pembacanya, bahkan semakin diperbaharui dengan melihat kondisi kontemporer Indonesia. Oleh karena itu, wacana yang termuat pada rubrik dan beragam artikel di dalamnya, cover photo maupun kisah para ekspatriat, telah memberikan kembali karakteristik maupun stereotipe mengenai Timur di masa pasca-kolonial, yakni melalui suatu cara Barat dalam merepresentasikan Timur (McLeod, 2000:40). Selain itu, pemaparan di atas juga dapat dipahami sebagai bentuk dari Latent Orientalism, yang berarti semacam cetak biru, dan Manifest Orientalism, yang tidak lain
174
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hanya mempersoalkan perbedaan antara Barat dan Timur, sehingga dunia masih saja dibangun dari rancangan fundamental yang sama (McLeod, 2000:43). Dalam hal ini, perlu untuk dipahami bahwa Majalah JE telah berhasil memainkan perannya sebagai sebuah media untuk disajikan kepada para ekspatriat, dengan memberikan beragam arus wacana informasi dan pengetahuan, tanpa terkecuali mengenai Indonesia. Oleh karena itu, makna yang terkandung pada Majalah JE tidak bebas nilai dari wacana kolonial, terutama ketika terutama dikarenakan para ekspatriat tetap mencari dan mengkonstruksi segala perbedaan yang terdapat pada keduanya, Barat dan Timur. Akhirnya, setelah menganilisis wacana kolonial kontemporer yang tersajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat diketahui bahwa muncul wacana yang serupa seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis dalam menghadirkan karateristik dan stereotipe tentang Timur, khususnya dalam kasus ini adalah Indonesia. Barat, melalui para ekspatriat, kembali merekonstruksi karakteristik atas perbedaan yang radikal dan berbagai stereotipe tentang kehidupan masyarakat di luar Barat. Hal ini dapat dilihat dari wacana yang diusung oleh para ekspatriat melalui Majalah JE dalam memberikan citra mengenai Indonesia di masa pasca-kolonial. Para ekspatriat mereproduksi wacana kolonial dengan kondisi kontemporer di Indonesia, baik melalui foto yang dijadikan sebagai cover photo, ragam rubrik yang didalamnya memuat suatu artikel, hingga pandangan yang diberikan oleh para ekspatriat mengenai kisah kehadiran mereka di Indonesia, yang mana kesemuanya tersajikan di dalam Majalah JE. Dari pemaparan mengenai karakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang telah dibahas tersebut, maka persoalan yang muncul terkait wacana kolonial kontemporer ini adalah bagaimana kondisi para ekspatriat di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, guna mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut, penulis berupaya untuk melakukan suatu
175
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
langkah lanjutan guna memeriksa hingga menemukan kondisi sebenarnya atas kehadiran para ekspatriat maupun atas sajian tentang Indonesia yang termuat di dalam Majalah JE. Dan selanjutnya, langkah yang penulis lakukan adalah membawa persoalan ekspatriat ke dalam teori Ruang Ketiga Homi K. Bhabha, terutama guna memberikan tafsiran atas identitas ekspatriat di masa pasca-kolonial. B.
Menafsirkan Ekspatriat Pada dasarnya pilihan penulis untuk menggunakan teori Ruang Ketiga ini adalah
sebuah upaya dalam memberikan suatu tafsiran atas kehadiran orang kulit putih dengan identitas mereka sebagai ekspatriat di Jakarta. Hal ini dikarenakan kehadiran para ekspatriat telah membuat sekat atau batasan di dalam masyarakat majemuk Indonesia, pada khususnya di Jakarta. Kembali merujuk pada pandangan Fechter yang mengatakan bahwa ekspatriat di Jakarta hidup di dalam gelembung (expatriate bubble), maka dapat dipahami bahwa kehadiran mereka telah membuat pembedaan di dalam masyarakat, baik sesama orang asing yang sedang berada di Indonesia maupun terhadap pribumi. Oleh karena itu, para ekspatriat telah melakukan suatu upaya pembedaan (differensiasi) dan membuat identifikasi (identification) di dalam masyarakat. Menurut Bhabha (1994:34), persoalan pembedaan merupakan suatu proses pengucapan (enounciation) budaya sebagai pengetahuan yang berwenang untuk membangun sistem identifikasi budaya. Identitfikasi budaya menjadi suatu proses pencarian yang mendasarkan pada pemahaman binerisme antara yang lampau dan saat ini, maupun modern dan tradisonal (Bhabha, 1994:35). Dalam hal ini, para ekspatriat berupaya untuk menemukan identitas diri yang utuh melalui sebuah upaya identifikasi dengan melihat kembali identitas orang asing di masa lampau dan menghadapkan pada kondisi kontemporer. Oleh karena itu, pada sub bab bagian ini penulis berupaya untuk 176
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek, serta melakukan pencarian identitas yang mana senantiasa selalu mengalami perubahan dan menolak keutuhan suatu posisi di dalam Ruang Ketiga. Dalam masa pasca-kolonial, menurut Bhabha (1994;35) Ruang Ketiga merupakan suatu ruang baru yang dapat dimaknai sebagai penghilangan dikotomi penjajah-terjajah, sehingga terdapat zona ketidaktentuan di mana masyarakat muncul. Artinya, jika sebelumnya di masa kolonial terdapat persoalan binerisme identitas yakni, penjajah dan terjajah terlihat sangat gamblang, yakni orang kulit putih sebagai pihak penjajah atau pelaku kolonialisme dan pribumi sebagai pihak yang terjajah, maka di masa pascakolonial identitas keduanya terlihat samar-samar dan kurang begitu jelas. Oleh karena itu, Bhabha menekankan bahwa di dalam Ruang Ketiga terdapat suatu ruang yang memungkinkan untuk terciptanya hibriditas dengan tujuan untuk mencegah identitas berada di kedua ujung dari ketetapan polaritas primordial masing-masing. Di samping itu, melalui Ruang Ketiga ini juga struktur makna dan referensi merupakan sebuah proses ambivalensi, yang berupaya untuk menghancurkan cermin representasi dan memperluas kode pengetahuan. Meski demikian, apakah dengan adanya hibriditas maupun ambivalensi tetap menghilangkan oposisi biner antara ekspatriat sebagai representasi Barat dengan Indonesia yang direpresentasikan sebagai Timur? Guna menulusuri pertautan identitas yang terjadi di dalam Ruang Ketiga, maka penulis berupaya untuk melakukan analisis terhadap berbagai kondisi dan pengalaman ekspatriat dari beragam kisah para ekspatriat, pada khususnya terkait dengan persoalan hibriditas dan ambivalensi, maupun wacana kolonial yang termuat pada beragam rubrik dan artikel di dalam Majalah JE.
177
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.1.
Hibriditas Ekspatriat Hibriditas di masa pasca-kolonial merupakan hasil dari negosiasi dua ketetapan
yang berbeda. Dalam hal ini, para ekspatriat telah mengalami sebuah pertautan dengan yang Liyan di luar diri mereka, yakni masyarakat Indonesia. Hibriditas ini yang telah dialami oleh Kristan Julius, seorang Amerika yang telah menetap di Jakarta dalam rentang waktu lebih dari 20 tahun. Dari perjalanan dan pengalaman Kristan Julius selama tinggal di Indonesia, ia berpendapat bahwa tidak banyak orang yang bermurah hati di dunia ini sehingga ia pun belajar tentang bagaimana cara hidup dari orang-orang Indonesia. Dengan kata lain, sebagai seorang ekspatriat, ia telah mencoba untuk mempelajari cara hidup orang Indonesia sehingga mengambil salah satu bentuk ciri masyarakat Timur yang tidak dimiliki Barat. Dengan demikian, persinggungan yang dialami Kristan Julius ketika berada di Indonesia telah mengantarkan dirinya pada suatu hibriditas. Hibriditas serupa juga dialami oleh dua perempuan bersaudara dari Hawaii, yakni Leonani dan Nani saat bekerja di Indonesia. Mereka tidak hanya bekerja untuk sekedar mengajarkan Hula di Indonesia, akan tetapi turut terlibat dari sebuah pertukaran budaya. Wacana pertukaran budaya ini dapat dipahami sebagai bentuk ruang pertemuan antara Barat dengan Timur di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, praktik pertukaran budaya telah menjadi sebuah ajang terciptanya hibriditas dari dua entitas yang berbeda. Selanjutnya, Cuny Schuurmans pun turut mengalami hibriditas selama berada di Indonesia. Bertolak dari pengalaman dirinya yang datang ke Indonesia pada tahun 1987, ia merasa telah jatuh cinta dengan Indonesia hingga akhirnya memutuskan untuk pindah secara permanen. Bahkan hal ini semakin dipertegas oleh Schuurmans dengan mengatakan bahwa meskipun dirinya adalah seorang Belanda, namun hingga saat ini ia belum mengetahui apakah suatu saat nanti akan kembali ke negara asalnya, terutama karena ia
178
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merasa seperti telah kehilangan ‘sentuhan’ dengan negeri asalnya, dan merasa bahwa Indonesia telah menjadi rumah baginya. Sentuhan yang dimaksudkan Schuurmans telah menandakan bahwa dirinya bukan lagi seorang Barat yang utuh, melainkan ia telah mendapatkan sebuah sentuhan dengan Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa ia telah berada di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan yang dialami oleh Tim Scott, seorang Amerika yang sengaja pindah ke benua Asia. Setelah Scott bekerja pada sebuah industri televisi di Indonesia, ia pun harus mengalah untuk mengikuti ritme dan cara kerja orang Indonesia dalam memproduksi sebuah program televisi. Ia mengemukakan bahwa kualitas terbaik dari sebuah produksi program televisi di Indonesia adalah pencapaian akhir. Hal ini disebabkan pasar Indonesia lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, sehingga menjadi wajar apabila orang-orang di industri televisi bekerja dengan menghabiskan waktu yang cukup banyak. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa Scott telah menempatkan orang Indonesia berada di posisi bawah dibandingkan dengan kalangan Barat. Meskipun dalam hal ini Scott telah merendahkan cara kerja orang Indonesia yang kurang begitu mengedepankan kualitas, namun ia pun telah bersinggungan dengan Ruang Ketiga pascakolonial, yakni ketika ia mengalami hibriditas dengan bekerja sesuai dengan cara kerja orang Indonesia. Berdasarkan persoalan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat berada di Indonesia, dapat diketahui bahwa terjadi persinggungan dua kultur yang tidak sama. Para ekspatriat sebagai representasi Barat telah memasuki ruang lingkup yang berbeda ketika berada di Indonesia, sehingga terjalin hubungan antara para ekspatriat saat berada di Indonesia. Oleh karena itu, terciptanya suatu pembentukan identitas yang baru bagi para orang asing, khususnya mereka yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat telah turut menyertakan identitas kultur Indonesia dalam narasi seputar kedirian mereka.
179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.2.
Ambivalensi Ekspatriat Bhabha menjelaskan ambivalensi merupakan kemenduaan atau ambiguitas atas
adanya pertemuan dua identitas yang berbeda. Ambivalensi muncul sebagai suatu proses pencarian dalam Ruang Ketiga untuk menemukan identitas yang tidak benar-benar utuh dan berada dalam ketetapan masing-masing. Seperti yang disinggung sebelumnya, jika pada masa kolonial terdapat identitas yang biner, penjajah dan terjajah, maka pada masa pasca-kolonial dengan menggunakan pemahaman Ruang Ketiga, identitas penjajah dan terjajah telah dihilangkan guna melakukan pencarian identitas yang baru. Pencarian identitas di Ruang Ketiga berupaya untuk menemukan dan menunjukkan bahwa identitas tidak dapat terlepas dari suatu kondisi ambivalensi. Oleh karena itu, perspektif pascakolonial Homi Bhabha, khususnya Ruang Ketiga, mencoba untuk mengungkapkan kontradiksi yang melekat dalam wacana kolonial, menyoroti kondisi ambivalensi dan dapat melihat struktur tekstual pada teks kolonial, yang mana ambivalensi telah mendestabilkan klaim akan otoritas mutlak atau keaslian yang tidak dapat diragukan. Pertama, ambivalensi yang dialami oleh seorang ekspatriat dapat dilihat pada artikel A Million Dollar Treasure West Java tulisan Bartele Santema. Santema, selaku penulis artikel ini, yang notabenenya adalah seorang Barat sekaligus pimpinan Majalah JE, telah berada pada posisi ambivalensi ketika mempercayai sesuatu yang dianggap sebagai hal mistik, yakni irasional yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, di dalam teks yang disajikan, Santema secara eksplisit menuliskan beberapa kalimat untuk mengajak para pembaca untuk mempercayai mistik atau hal gaib di Indonesia, seperti kasus yang terjadi pada peta tua Indonesia, yang mana masih dianggap dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Oleh karena itu, sebagai seorang ekspatriat, Santema telah mengalami ambivalensi saat dirinya melakukan identifikasi sebagai yang
180
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rasional dengan yang hal irasional seperti kepercayaan masyarakat Indonesia yang masih mempercayai hal mistik. Ambivalensi yang dialami Santema adalah sebuah pencarian diri di dalam ruang antara (in between). Santema sebagai ekspatriat yang berasal dari Barat berhadapan dengan masyarakat Timur yang telah distereotipekan oleh para Orientalis sebagai bagian dari bangsa Timur yang masih hidup dalam alam mistik dan mempercayai hal-hal gaib. Dengan demikian, ambivalensi yang dialami oleh Santema telah tersirat maupun tersurat secara jelas dari teks yang disajikan oleh dirinya terkait sebuah perjalanan saat melakukan pencarian peta tua Indonesia di tanah pasundan. Kedua, ambivalensi yang dihadirkan oleh para ekspatriat juga dapat dilihat pada Majalah JE edisi 80 yang secara khusus membahas tentang hantu, gaib, dan misteri di Indonesia. Selain pemasangan foto Pocongan Cilik yang dijadikan cover photo majalah JE edisi 80, para ekspatriat juga turut memberikan penegasan atas ambivalensi yang telah dialami. Hal ini dapat dilihat ketika para ekspatriat merasa ragu atau berada pada sikap kemenduaan dalam mempercayai hal gaib atau mistik yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Melalui catatan editorial Majalah JE yang diberikan oleh sang editor, Angela Richardson, secara terang menuliskan bahwa budaya di Indonesia masih memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka (dalam hal ini para ekspatriat yang bekerja di Majalah JE) juga turut menyampaikan pengalamannya yang terkadang mengalami fenomena hantu dan gaib yang terjadi di kantor Majalah JE. Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa mereka, yakni para ekspatriat telah mengalami ambivalensi atas fenomena hantu ataupun hal gaib di Indonesia.
181
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan kemenduaan atau ambiguisitas yang dialami oleh para ekspatriat dari kedua teks di atas, kita telah melihat ambivalensi dihasilkan pada suatu ruang antara (in between) di dalam Ruang Ketiga di masa pasca-kolonial. Di satu sisi, para ekspatriat tidak ingin melepaskan rasionalitasnya, namun di sisi lain ingin mempercayai bahwa terdapat suatu hal yang tidak dipahami sepenuhnya secara rasional. Dengan demikian, ambivalensi merupakan sebuah kondisi yang telah melepaskan keutuhan identitas, sehingga berada di antara dua pertautan wacana. Ambivalensi yang telah dialami oleh para ekspatriat merupakan suatu bentuk pembuktian bahwa Barat tidak melulu berada pada posisi atas (upper space) dan menempatkan masyarakat Indonesia pada posisi bawah (lower space). Dengan kata lain, ambivalensi yang dialami oleh para ekspatriat telah membuat identitas kalangan Barat tidak melulu utuh dan berada pada ketetapannya. Bagaimanapun, identitas acapkali berubah-ubah dan bernegosiasi pada ruang dan waktu tempatnya bernaung. Dengan demikian, pelacakan terhadap ekspatriat melalui Ruang Ketiga ini telah memberikan suatu tafsiran bahwa identitas ekspatriat juga mengalami perubahan maupun keambiguan ketika berhadapan langsung atau secara empiris dengan pribumi, terutama ketika mereka berada di luar lingkungan asalnya, seperti saat sedang berada di luar tanah airnya atau bangsa dan negara yang berbeda. Setelah menelusuri identitas ekspatriat dalam Ruang Ketiga dan melihat ambivalensinya, maka kita dapat memahami bahwa titik tolak konstruksi identitas maupun representasi diri ekspatriat sesungguhnya adalah wacana orientalisme. Dalam wacana orientalisme ini dipaparkan bagaimana karakter dan stereotip masyarakat Timur. Dengan kata lain, mekanisme Orientalisme maupun wacana kolonial telah dipergunakan oleh para ekspatriat untuk melakukan identifikasi hingga dapat menempatkan dan meneguhkan
182
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identitas diri mereka sebagai ekspatriat. Oleh karena itu, ambivalensi yang dialami oleh para ekspatriat adalah efek wacana kolonial yang telah mereka konsumsi sebagai pengetahuan dalam memahami Timur. Akhirnya, identitas ekspatriat adalah bukan semata hanya persoalan identitas yang esensialis, melainkan suatu bentuk upaya hasil kontruksi. Ekspatriat sebagai identitas tidak selalu berada pada ketetapannya yang utuh. Terutama, ketika para ekspatriat juga mengalami proses ambivalensi karena telah bergerak maju mundur dengan mengangkat kembali wacana kolonial dan menghadapkannya pada kondisi kontemporer Indonesia. Dengan kata lain, ekspatriat yang mencoba untuk melampaui wacana kolonial namun tetap berada pada posisi atau sikap yang ambivalen ketika berhadapan dengan realitas masyarakat yang berbeda. Dengan demikian, ambivalensi yang terjadi pada ekspatriat telah menandakan bahwa mereka sebagai representasi Barat tidak memiliki identitas yang utuh selamanya. Bagaimanapun, suatu identitas seperti ekspatriat juga turut mengalami proses kemenduaan atau keambiguaan saat berhadapan dengan yang lain di luar kedirian mereka. Suatu proses negosiasi atas identitas tidak dapat dihindarkan atau dilepaskan begitu saja di dalam sebuah realitas, seperti kondisi para ekpatriat saat berhadapan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, penulis memberikan sebuah tafsiran bahwa kehadiran orang kulit putih yang merepresentasikan identitas diri mereka sebagai ekspatriat di Indonesia pasca-kolonial masih menggunakan kerangka historis kolonialisme.
183
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.
Catatan Penutup Adanya beragam sajian, baik berupa foto yang dijadikan cover photo maupun teks,
yang mana disediakan oleh para ekspatriat mengenai Indonesia di dalam Majalah JE telah mereproduksi maupun merekonstruksi wacana kolonial dengan melihat beragam kondisi kontemporer Indonesia untuk menjadi suatu bekal pemahaman bagi keberadaan mereka. Oleh karena itu, serangkaian imaji dan teks yang tersajikan di dalam Majalah JE telah membuktikan bahwa para ekspatriat menghadirkan suatu wacana kolonial kontemporer mengenai Indonesia di masa pasca-kolonial. Kini di masa pasca-kolonial para ekspatriat membuat suatu episode baru dengan kembali memberikan kararakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang masih diposisikan bahkan ditegaskan sebagai Timur. Melalui Majalah JE, para ekspatriat kembali merepresentasikan Indonesia kepada kalangan Barat, yakni para pembaca, yang adalah ekspatriat itu sendiri. Dalam hal ini para ekspariat dapat dikatakan masih memiliki simtom wacana kolonial, sehingga mereka masih selalu berfantasi dalam memandang realitas Timur seperti Indonesia yang berbeda dan berada di luar mereka yang Barat. Di samping itu, pencarian identitas ekspatriat yang telah memasuki ruang baru di masa pasca-kolonial telah menemukan bahwa mereka juga mengalami hibriditas dan ambivalensi. Melalui penelusuran beragam teks kisah para ekspatriat, rubrik maupun artikel hingga cover photo, telah memahami bahwa hibriditas dan ambivalensi yang dialami para ekspatriat adalah sebuah proses pencarian diri yang tidak pernah mencapai ketetapannya. Dengan kata lain, dengan merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui Majalah JE, mereka tetap memainkan wacana masa lampau sebagai rujukan identitas diri mereka, sehingga kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial. 184
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Melalui penelitian ini, penulis memperoleh pemahaman bahwa persoalan identitas
merupakan fenomena unik sekaligus rumit. Identitas dapat dikatakan unik karena terdapat pelbagai wacana yang melingkupi di dalamnya sehingga selalu mengalami perubahan yang tidak pasti. Sementara itu, identitas menjadi pembahasan yang rumit karena identitas terkait erat dengan bagaimana representasi yang dilakukan untuk dapat menyatakan dan meneguhkan identitas kediriannya. Dan hal ini yang telah terjadi pada persoalan ekspatriat sebagai identitas orang asing yang sedang berada di luar tanah airnya seperti di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini telah menemukan bahwa tidak terdapat suatu identitas yang utuh, bahkan kehadiran orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui sebuah media, yakni Majalah JE adalah hanya sebuah upaya untuk mengkontruksi dan membuat legitimasi atas identitas diri yang selalu berubah-ubah. Di dalam Majalah JE, ekspatriat sebagai identitas yang terus dikonstruksi dan direpresentasikan oleh orang kulit putih telah menepikan kehadiran orang asing lainnya di Indonesia. Dalam hal ini, persoalan ras masih menjadi titik tolak untuk dapat menginklusi dan mengeksklusi orang asing sebagai ekspatriat. Dikarenakan ekspatriat sebagai identitas belum memiliki batasan yang sangat jelas, maka penelitian ini telah mendapatkan sebuah temuan bahwa ekspatriat sebagai identitas merupakan konstruksi dan dihadirkan oleh orang kulit putih melalui sebuah media. Bahkan, secara etimologis, ekspatriat mengalami penyempitan makna, yakni lebih dikhususkan bagi orang kulit putih.
185
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Para ekspatriat kulit putih menggunakan Majalah JE sebagai medium untuk dapat mengkonstruksi dan berupaya untuk memapankan identitas kediriannya dengan cara merepresentasikan diri sebagai eskpatriat. Sebagai sebuah media, Majalah JE menjadi suatu ruang kontestasi wacana seputar identitas kedirian orang asing, khususnya orang kulit putih untuk mendapatkan identitas ekspatriat. Jadi, melalui Majalah JE terjadi pengkodifikasian orang kulit putih sebagai ekspatriat, sehingga menegasikan orang asing lainnya yang sedang berada di Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab I dan II, kehadiran orang asing di Indonesia telah memberikan pengaruh di dalam tatanan kehidupan masyarakat, terutama ketika kolonialisme mewabah hampir ke seluruh wilayah di dunia. Para kolonial Eropa, yakni orang kulit putih telah melakukan praktik kolonial dan menciptakan status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Kini, kehadiran ekspatriat yang direpresentasikan oleh orang kulit putih pun kembali kepada wacana masa lalu kolonial, sehingga membuat pembedaan dan menciptakan ketidaksetaraan di dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam tatanan wacana maupun praktik tidak terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara para kolonial di masa lampau dengan kehadiran ekspatriat di masa pasca-kolonial. Secara khusus, pada Bab III, penelitian ini telah berupaya memberikan pemaparan bagaimana identitas sekaligus representasi diri ekspatriat dilakukan melalui Majalah JE. Di dalam majalah JE, para ekspatriat telah menciptakan sebuah ruang eksistensi sekaligus mengkonstruksi pemahaman mengenai siapa itu ekspatriat. Bahkan, setelah mengkaji sebuah pertanyaan esensialis mengenai identitas, ekspatriat dapat dipahami sebagai identitas yang bersifat anti-esensialis. Representasi yang dilakukan oleh para ekspatriat di
186
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam Majalah JE hanya merupakan artikulasi untuk memberikan deskripsi yang telah dibentuk atau diimajinasikan oleh media itu sendiri. Selain itu, melalui majalah JE pula, penelitian ini menemukan bahwa ekspatriat turut mereproduksi wacana kolonial mengenai Indonesia. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada Bab III dan menyambung pada Bab IV, para ekspatriat acapkali menghadirkan wacana kolonial mengenai dunia Timur seperti Indonesia. Munculnya beragam imaji dan teks mengenai Indonesia yang dihadirkan oleh para ekspatriat di dalam majalah JE ini merupakan suatu wacana kolonial kontemporer di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa para ekspatriat masih memiliki dan menghadirkan kembali sikap orientalistik. Orientalistik yang dilakukan para ekspatriat terlihat secara jelas pada pembahasan Bab IV setelah menganalisis wacana kolonial yang tersembunyi di balik imaji dan teks di dalam majalah JE. Dalam hal ini para ekspatriat tidak hanya merekonstruksi wacana kolonial mengenai karakteristik dan stereotipe dunia Timur seperti Indonesia, tetapi juga berupaya untuk mereproduksi dengan melihat kondisi Indonesia pada konteks kekinian. Dengan demikian, meskipun kolonialisme telah dinyatakan berakhir, namun dengan kehadiran para ekspatriat yang masih melihat dunia seperti papan catur, hitam dan putih, atau dalam wacana Orientalisme hal ini biasa dikatakan sebagai oposisi biner, Barat dan Timur, dapat dikatakan sebagai bentuk atau ciri wacana kolonial kontemporer di dalam arus zaman saat ini. Selanjutnya, dengan menggunakan Ruang Ketiga, penelitian ini telah berupaya untuk melepaskan binerisme peninggalan kolonialisme. Melalui Ruang Ketiga dan menelusuri teks yang terdapat pada Majalah JE, penelitian ini menemukan bahwa ekspatriat sebagai identitas yang direpresentasikan oleh orang kulit putih tidak juga berada
187
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pada ketetapannya. Di masa pasca-kolonial, dengan bergerak maju mundur, dari masa kolonial hingga ke masa pasca-kolonial, para ekspatriat dihadapkan pada suatu proses negosiasi. Alih-alih, para ekspatriat yang mencoba untuk melampaui masa lampau masih terjebak pada identitas historis (kolonialisme). Wacana tentang dunia Timur yang telah dikonstruksi oleh para orientalis di masa kolonialisme, yakni Orientalisme, tetap dipergunakan oleh ekspatriat sebagai landasan untuk dapat mengenali dan memahami tentang Indonesia. Dengan berbekal catatan atau pengetahuan tentang Timur, ekspatriat menyajikan kembali dengan pelbagai rubrik seperti Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature kepada para pembaca Majalah JE, yakni para ekspatriat. Jadi, ekspatriat menjadi serupa dengan para orientalis di masa kolonial yang telah membuat serangkaian mekanisme pengetahuan tentang dunia Timur untuk disajikan kepada kalangan Barat, sehingga wacana Orientalisme masih berkelanjutan di masa pasca-kolonial. Selain itu, pada analisis Ruang Ketiga, penelitian ini juga telah menemukan bahwa ekspatriat mengalami hibriditas dan ambivalensi ketika berhadapan langsung dengan realitas masyarakat Indonesia. Hibriditas dan ambivalensi ini menjadi penanda bahwa ekspatriat mengalami atau berada pada suatu kondisi negosiasi maupun bersifat kemenduaan saat bersinggungan dengan kehidupan masyarakat Timur seperti Indonesia. Dengan demikian, struktur makna yang telah terbangun dalam wacana Orientalisme menjadi suatu hal yang patut digugat kebenarannya. Terutama, hal ini disebabkan wacana Orientalisme sesungguhnya hanya merupakan konstruksi pengetahuan tentang Timur guna melanggengkan kekuasaan Barat pada masa kolonialisme.
188
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B.
Saran Akhir kata dari penelitian ini, penulis menyadari bahwa untuk menguraikan
konstruksi, baik itu dalam persoalan identitas, representasi, maupun mengungkapkan suatu makna dari wacana yang tersembunyi dari teks masih jauh dari kesempurnaan. Penelitian yang dilakukan ini merupakan sebuah kegelisahan penulis yang dapat ditindaklanjuti untuk membawa persoalan atau fenomena ekspartiat lebih mendalam dan melihatnya dengan ragam sisi. Selanjutnya, kesimpulan-kesimpulan yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat memantik diskusi lebih jauh. Penulis juga menyarankan agar perlu untuk melihat beragam wacana yang telah merebak melalui perangkat media, baik teknologi maupun cetak, yang mana selalu menyuguhkan infomasi hingga menyebarkan wacana di dalam arus –liar– perkembangan zaman.
189
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Buku Alatas, S. H. (1988). Mitos Pribumi Malas. Jakarta: LP3ES. Alonso, Andoni and Pedro J. Oiarzabal (Eds). (2010). Diasporas in the New Media Age: Identity, Politics and Community. Reno & Las Vegas: University of Nevada Press. Anthony D. King (Ed). (1991).Culture, Globalization and the World System, Binghamton: The Macmillan Press Ltd. Aschroft, Bill and Pal Ahluwalia. (1999). Edward Said. New York: Routledge. Aschroft, Bill. Et.all. (1998). Key Concepts in Post-Colonial Studies. London & New York: Routledge. Ashcroft, Bill. Et.all. (1990). The Empire Writes Back: Theory and Practice in Postcolonial Literatures. London: Routledge. Baay, Reggie. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Barthes. Roland. (1977). Image/Music/Text; Essay selected and translated by Stephen Heath. London: Fontana Press. Bhabha, H. K. (1994 ). The Location of Cultue . New York : Routledge. Blackburn, Susan (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas Bambu. Blusse, L. (1988). Persekutuan Aneh (Bahasa Indonesia ed.). Jakarta: Pustazet Perkasa. Bongie, Chris. (1991) Exotic Memories: Literature, Colonialism, and the Fin de Siecle. Standford: Standford University Press. Burges, Anthony. (1956). Time for a Tiger. United Kingdom: Heinemann. Dahm, Bernhard. (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES Desler, Gary. (2002). Human Resource Management, International Edition, 8th Ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc., Upper Saddle River. Du Gay, Hall. Et.all. (1997). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: SAGE Publications. Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Fanon, Frantz. (1986). Black Skin, White Masks. Translated by Charles Lam Markmann. United Kingdom: Pluto Press. Fecther, A. M. (2007). Transnational Live Ekspatriat in Indonesia. England: Ashgate. Gouda, Frances. (2007). Dutch Culture Overseas; Praktik Kolonial Di Hindia Belanda, 1940-1942. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Grossm, Yvone (2005).Common Problems Associated with the Repatriation Process. Sam Houston State University Gurevitch, M. T. Bennet, J. Curran and J. Woolacott (Eds.). Culture, Society and the Media. London: Metheun. Hall, Stuart (Ed). (1980). Culture, Media, Language: Working Papers in Cultural Studies, 1972-1979. London: Hutchinson. Hall, Stuart. (1990). Identity: Community, Culture and Difference. London: Lawrence and Wishart. Hall, Stuart and Du Gay, P (Eds). (1996). The Questions of Cultural Identity. London: SAGE Publications Hannigan, Tim. (2012). Raffles and the British Invasion of Java. Monsoon Books. Hill, Charles W.L (2002). Global Business. Second Edition. McGrow-Hill. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kartodirjo, S. N. (1975). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kellner, M. G. (2006 ). Media and Cultural Studies (Revised Edition). USA: Blackwell Publishing. Lombard, Dennys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1, Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Loomba, Ania. (2000). Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge. Mann, Richard. (1997). Expats in Indonesia; Guide to Living Conditions and Costs. Gateway Books. McLeod, John. (2000). Beginning Postcolonialism. United Kingdom: Manchester Univesity Press. McLuhan, Marshal. (1999). Understanding Media, the Extension of Man. London: The MIT Press.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Niemeijer, H. E. (2012). Batavia, Masyarakat Kolonial abad XVII . Jakarta: Masup Jakarta. Phillpot, Simon. (2000). Rethingking Indonesia. London: Macmillan Press Ltd. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Rafick, Ishak. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk Press Said, Edward. (1978). Orientalism. New York: Vintage Books. Said, Edward. (1993). Culture and Imperialism. London: Chatto & Windus Ltd. Sauko, Paulo. (2003). Doing Research in Cultural Studies. London: SAGE Publications. Soedjatmoko (Ed). (1995). Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik. Susanto, Budi (Ed). (2003). Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto (Ed). (2004). Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius Taylor, Jean Gelman. (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven: Yale University Press. Wallacott, Janet (ed.), Et.all. (1992). Culture, Society, and the Media. London: Methuen. Yulianto, Vissia Ita. (2007). Pesona ‘Barat’ di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Young, J.C. R. (2004). White Mythologies: Writing History and the West. London and New York: Routledge. Penelitian dan Jurnal Al Musadieq, Mochammad. (2010). Ekspatriat dan Industri Lintas Negara. Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Apriyogo, Dwi. (2013). Strategi Pengembangan Ekspatriat dalam Internasionalisasi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Cannon, R. A. (1991). Expatriate ‘Expert’ In Indonesia and Thailand: Professional And Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting. International Review of Education. Springer.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hornby. (1987). The Case of the Aggrieved Expatriate: Case Analyses. HSBC Expat. (2013). HSBC Expat Explorer Survey. Nevendorff, Laura. (2008). Hubungan Kepemimpinan Ekspatriat dengan Budaya Organisasi di Lembaga Donor IHPCP-AusAID di Jakarta, Indonesia. Skripsi Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Jakarta. Puspitasari, Intan, dkk. (2014). Analisis Gaya Kepemimpinan Lintas Budaya Ekspatriat (Studi Penelitian pada PT. Haier Sales Indonesia, Jakarta Utara). Dalam Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 8 No. 1 Februari 2014 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Soares, Hernani Agostinho. (2013). Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste. Program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Kristen Satya Wacana Semarang. Upton, S.R. (1998). Expatriates in Papua New Guinea: Constructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives. The Faculty of Graduate Studies, Department of Anthropology and Sociology University of British Columbia. Media/Majalah Jakarta Expat 42th Edition Jakarta Expat 49th Edition Jakarta Expat 50th Edition Jakarta Expat 51th Edition Jakarta Expat 52th Edition Jakarta Expat 54th Edition Jakarta Expat 56th Edition Jakarta Expat 57th Edition Jakarta Expat 59th Edition Jakarta Expat 60th Edition Jakarta Expat 63th Edition Jakarta Expat 66th Edition Jakarta Expat 71th Edition Jakarta Expat 72th Edition Jakarta Expat 74th Edition
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jakarta Expat 78th Edition Jakarta Expat 79th Edition Jakarta Expat 80th Edition Jakarta Expat 84th Edition Jakarta Expat 94th Edition Jakarta Expat 96th Edition Jakarta Expat 101st Edition Indonesia Expat 111th Edition Indonesia Expat 116th Edition Indonesia Expat 120th Edition Situs Internet http://en.wiktionary.org http://ppid.depnakertrans.go.id http://www.alfredwallace.org https://www.expatexplorer.hsbc.com http://www.expat.or.id http://www.etnohistori.org http://www.gangs-of-indonesia.com http://www.indonesia.go.id http://www.investor.co.id http://www.indonesiaexpat.biz http://www.jakartaexpat.biz http://www.jogjamag.com http://www.kerajaannusantara.com http://sains.kompas.com http://www.merriam-webster.com https://www.nla.gov.au http://www.savoyhomann-hotel.com http://www.tribunnews.com http://www.wallace-online.org Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Edisi Digital KBBI Offline 1.5.1