PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi
Disusun Oleh: Hermina Aprilita Ajum NIM : 118114171
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi
Disusun Oleh: Hermina Aprilita Ajum NIM : 118114171
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengesahan Skripsi Berjudul iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Allah Bapa dalam Surga, Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu membimbing, melindungi, memberkati, dan menyertai segala usaha saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya dengan baik. Bapa, Mama, nene Ancik Berahi, nene Uci Berahi, kaka Teddi, Jeni dan Diana. Sahabat dan teman-teman seperjuanganku Almamater Tercinta Universitas Sanata Dharma
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Dengan Demam Tifoid Berdasarkan Kriteria Gyssens Di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu memberikan ijin pada penelitian ini untuk melakukan penelitian di luar kampus. 2. Staf Instalasi Rekam Medik RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang telah membantu dalam proses pengumpulan data. 3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran serta sabar dalam memberikan bimbingan dan dukungan terhadap penulis dalam proses penyusunan Skripsi ini.
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr. I Wayan Sudana yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian ini. 5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK dan ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini. 6. Kedua orang tuaku Samuel Santosa Djun dan Maria Avelina Ngamal atas Doa, kasih sayang, semangat, pengertian dan dukungan baik moral maupun materi selama menjalani perkuliahan hingga terselesainya skripsi ini. 7. Nene Ancik Berahi dan Nene Uci Berahi atas dukungan Doa 8. Kaka Teddi dan adik-adik saya Jeni dan Diana, yang selalu memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Sahabat dan teman-teman seperjuangan Rosi Sowi, Baptissa Dela, Novi Seran, Rysa Pardede, Risna Hariani, Sherlly Mecilia, Rany Willem, Regi Gregoria dan Wirna. 10. Teman kecilku Sari Jebarus dan Tesa Siseng yang selalu bersamasama dari kecil hingga kuliah yang selalu memberikan motivasi. 11. Rekan-rekan skripsi (Mira, Ratna dan Nova) yang selalu mendukung dan kompak dalam penyusunan skripsi dari awal sampai akhir. 12. Teman-teman FSM D 2011, FKK B 2011, dan seluruh angkatan 2011, untuk kebersamaan dan semua kisah yang telah kita lalui. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
iv
PRAKATA .......................................................................................................
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...........................
viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..........................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xiv
INTISARI.........................................................................................................
xv
ABSTRACT .......................................................................................................
xvi
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang ....................................................................................
1
1. Perumusan Masalah .......................................................................
4
2. Keaslian Penelitian .........................................................................
4
3. Manfaat Penelitian .........................................................................
6
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ................................................................................
7
2. Tujuan Khusus ...............................................................................
7
BAB II PENELAAH PUSTAKA A. Demam Tifoid .....................................................................................
8
B. Antibiotika ..........................................................................................
20
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C. Prinsip Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Permenkes (2011) .......
21
D. Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak .........................................
23
E. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional ............................................
25
F. Evaluasi Penggunaan Antibiotika ........................................................
27
G. Keterangan Empiris ..............................................................................
32
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...........................................................
33
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .....................................
33
C. Subyek Penelitian .................................................................................
35
D. Bahan Penelitian...................................................................................
35
E. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
36
F. Instrumen Penelitian.............................................................................
36
G. Tata Cara Penelitian 1. Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan ..................................
37
2. Tahap Pengambilan Data .........................................................
38
3. Pengolahan Data.......................................................................
38
H. Tata Cara Analisis ................................................................................
39
I. Keterbatasan Penelitian ........................................................................
41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien Anak Dengan Demam Tifoid ..............................
42
B. Profil Penggunaan Obat Secara Keseluruhan ......................................
47
C. Profil Penggunaan Antibiotika .............................................................
48
D. Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Menurut Metode Gyssens 55 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ..........................................................................................
72
B. Saran ....................................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
74
LAMPIRAN .....................................................................................................
79
BIOGRAFI PENULIS .....................................................................................
182
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel I.
Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk demam tifoid...................................................................
Tabel II.
17
Profil penggunan obat secara keseluruhan pada pasien anak penderita demam tifoid .............................................................
47
Tabel III.
Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika ...........................
50
Tabel IV.
Durasi penggunaan antibiotika .................................................
52
Tabel V.
Distribusi kerasionalan penggunaan antibiotika berdasarkan kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013 ...........................
Tabel VI.
Distribusi
hasil
evaluasi
penggunaan
tiap
55
antibiotika
berdasarkan kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013
xii
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Diagram alur metode Gyssens ..................................................
Gambar 2.
Persentasi jumlah pasien laki-laki dan perempuan penderita
29
demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013………………………………………………………….. Gambar 3.
42
Persentasi kasus demam tifoid berdasarkan umur di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 ...............................................
Gambar 4.
43
Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 ...........................
Gambar 5.
44
Persentasi jumlah pasien anak yang didiagnosis akhir penyakit demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode JanuariDesember 2013 .........................................................................
Gambar 6.
46
Persentasi jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode JanuariDesember 2013 .........................................................................
Gambar 7.
48
Persentasi penggunaan terapi antibiotika tunggal dan kombinasi pada pengobatan pasien anak dengan demam tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 ...............................................
Gambar 8.
49
Profil rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode JanuariDesember 2013 .........................................................................
xiii
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23 Lampiran 24 Lampiran 25 Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29 Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34 Lampiran 35 Lampiran 36 Lampiran 37 Lampiran 38 Lampiran 39 Lampiran 40 Lampiran 41 Lampiran 42
Daftar diagnosis pasien anak dengan demam tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013 ............................... Golongan Obat yang Digunakan Pasien Selama Rawat Inap ... Rekam Medis 1 ......................................................................... Rekam Medis 2 ......................................................................... Rekam Medis 3 ......................................................................... Rekam Medis 4 ......................................................................... Rekam Medis 5 ......................................................................... Rekam Medis 6 ......................................................................... Rekam Medis 7 ......................................................................... Rekam Medis 8 ......................................................................... Rekam Medis 9 ......................................................................... Rekam Medis 10 ....................................................................... Rekam Medis 11 ....................................................................... Rekam Medis 12 ....................................................................... Rekam Medis 13 ....................................................................... Rekam Medis 14 ....................................................................... Rekam Medis 15 ....................................................................... Rekam Medis 16 ....................................................................... Rekam Medis 17 ....................................................................... Rekam Medis 18 ....................................................................... Rekam Medis 19 ....................................................................... Rekam Medis 20 ....................................................................... Rekam Medis 21 ....................................................................... Rekam Medis 22 ....................................................................... Rekam Medis 23 ....................................................................... Rekam Medis 24 ....................................................................... Rekam Medis 25 ....................................................................... Rekam Medis 26 ....................................................................... Rekam Medis 27 ....................................................................... Rekam Medis 28 ....................................................................... Rekam Medis 29 ....................................................................... Rekam Medis 30 ....................................................................... Rekam Medis 31 ....................................................................... Rekam Medis 32 ....................................................................... Rekam Medis 33 ....................................................................... Rekam Medis 34 ....................................................................... Rekam Medis 35 ....................................................................... Rekam Medis 36 ....................................................................... Rekam Medis 37 ....................................................................... Rekam Medis 38 ....................................................................... Rekam Medis 39 ....................................................................... Rekam Medis 40 .......................................................................
xiv
80 81 83 86 88 90 92 94 95 98 100 104 105 107 110 113 117 121 124 126 128 129 132 135 137 140 142 144 146 149 152 154 156 159 162 165 166 170 171 174 176 179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
INTISARI Demam tifoid menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009 dan 2010, demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika yang tidak rasional berpengaruh terhadap peningkatan resistensi antibiotika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013. Jenis penelitian ini adalah non-ekperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Kriteria inklusi yaitu pasien anak yang dirawat inap periode Januari-Desember 2013 berumur 0-12 tahun, didiagnosis positif demam tifoid, dengan penyakit penyerta, menerima terapi antibiotika dan membaik. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid. Hasil yang diperoleh terhadap 40 kasus (60% laki-laki dan 40% perempuan), pasien terbanyak adalah kelompok umur >5-12 (57,5%). Kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (47,3%), kategori IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IIIB (2,7%), kategori IVA (6,8%) dan kategori IVB (4%). Adanya penggunaan antibiotika yang kurang rasional menurut Gyssens sehingga diperlukan pengawasan untuk meningkatkan rasionalitas penggunaan antibiotika. Kata kunci : demam tifoid, anak, antibiotika, rawat inap, Gyssens
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT Typhoid fever is one of the major health problems in developing countries, including Indonesia. Based on the health profile of Indonesia in 2009 and 2010, typhoid fever reaches 3rd of 10 ranks in main diseases of inpatient at the hospital. The treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the irrational use of antibiotics can effect of increasing in antibiotic resistance. The purpose of this study is to find out the rational use of antibiotics on children with typhoid fever based on Gyssens criteria in inpatient installation of RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta January-December 2013. This research was non-experimental with evaluative descriptive study which was retrospective. Inclusion criteria were pediatric in-patient 0-12 years, positive diagnose typhoid fever, with complication, antibiotic prescription and recovered. Gyssens method was used to evaluate the rationality of the use of antibiotics on children with typhoid fever. The results of the 40 cases (60% male and 40% female), most patients are >5-12 age group (57,5%). Appropriate usage category of antibiotics by Gyssens: category 0 (47,3%), category IIA (21,6%), category IIB (17,6%), category IIIB (2,7%), IVA category (6,8%), and category IVB (4%). According to Gyssens, there is the existence of irrational use of antibiotics so it needs supervision to improve the rationality of the use of antibiotics. Key words: Typhoid fever, children, antibiotics, inpatient installation, Gyssens
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam tifoid. Demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Saraswati et al., 2012). Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perorangan dan kebersihan makanan, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakkir, 2014). Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600 ribu kasus. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insiden demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tenggara. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun (Nani dan Muzakkir, 2014). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009 demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di Rumah Sakit yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 demam tifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien 1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2
rawat inap di Rumah Sakit yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274 orang (Pramitasari, 2013). Kasus tersangka deman tifoid di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk (Juwita, 2013). Insidensi tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak (Riyatno dan Sutrisna, 2011). Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3/100.000 penduduk (Sidabutar, 2010). Demam tifoid di Indonesia merupakan penyakit yang sangat popular baik di kalangan petugas medis bahkan oleh masyarakat awam sehingga apabila seorang anak mengeluh demam maka antibiotika akan menjadi pilihan untuk mengobatinya. Penggunaan berbagai jenis antibiotika secara luas yang tidak tepat akibat mudahnya mendapatkan obat tersebut di masyarakat, akan menimbulkan peningkatan kejadian bakteri yang resisten terhadap antibiotika termasuk S. typhi (Alam, 2011). Salah satu faktor yang dianggap paling berpengaruh terhadap peningkatan resistensi antibiotika adalah penggunaan antibiotika secara tidak rasional (WHO, 2001). Mengoptimalkan penggunaan antibiotika dapat dilakukan dengan monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotika di rumah sakit yang merupakan tempat paling banyak ditemukan penggunaan antibiotika (Lestari et al., 2011).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3
Pada penelitian ini mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid menggunakan metode Gyssens. Pemilihan metode Gyssens dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid dengan mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi, keefektifan, toksisitas, harga, spektrum, durasi pemberian, dosis, interval, cara dan waktu pemberian (Kemenkes RI, 2011). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta ditemukan ketidakrasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yaitu ketidaktepatan dosis sebesar 70,98%, ketidaktepatan frekuensi pemberian sebesar 48,39%, dan ketidaktepatan durasi pemberian sebesar 25,81%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masih ada penggunaan antibiotika yang kurang rasional pada pasien anak dengan demam tifoid. Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011 menunjukan demam tifoid masuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit yaitu sebanyak 2.860 kasus (Dinkes Yogyakarta, 2012). Berdasarkan penelusuran peneliti, demam tifoid pada anak masih merupakan penyakit terbanyak pasien rawat inap walaupun tidak termasuk dalam 10 besar penyakit terbanyak rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2013. Selain itu, informasi mengenai pengurusan perizinan penelitian di rumah sakit ini cukup jelas. Berdasarkan kedua hal tersebut menjadi alasan peneliti memilih RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta sebagai lokasi pelaksanaan penelitian.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4
1. Perumusan Masalah Penelitian ini ingin melihat beberapa data di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 meliputi: a. Seperti apa karakteristik pasien anak dengan demam tifoid? b. Seperti apa profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak dengan demam tifoid? c. Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid? d. Seperti apa kerasioanalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid? 2. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yang pernah dilakukan, antara lain : a. Penelitian dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2010” yang dilakukan oleh Rufaldi (2011). Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah dalam hal metode penelitian yang digunakan yaitu metode Gyssens. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan subyek penelitian. Dalam penelitian ini subyek penelitiannya berfokus pada pasien anak dengan demam tifoid yang disertai penyakit lain dan atau komplikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5
Pada penelitian Rufaldi (2011), subyek penelitiannya hanya berfokus pada pasien anak dengan demam tifoid tanpa penyakit lain dan atau komplikasi. b. Penelitian dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Agoesdjam Ketapang Periode Juni 2008-Juni 2009” yang dilakukan oleh Pratiwi (2010). Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan kajian yang diteliti. Pada penelitian ini menggunakan metode Gyssens untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid. Pada penelitian Pratiwi (2010), menggunakan metode Drug Related Problem (DRP) untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid. c. Penelitian dengan judul “Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid Bagi Pasien Anak di Istalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000-Desember 2001” yang dilakukan oleh Triana (2003). Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan kajian yang diteliti. Pada penelitian ini mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid menggunakan metode Gyssens. Pada penelitian Triana (2003), lebih ditekankan pada kajian penggunaan obat demam tifoid bagi pasien anak. d. Penelitian dengan judul “Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan, dan Karakteristik Individu Dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012” yang dilakukan oleh Artanti (2013). Penelitian ini berbeda dengan penelitian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6
tersebut dalam hal waktu, lokasi, subyek, dan kajian yang diteliti. Pada penelitian ini subyek penelitiannya berfokus pada pasien anak dengan demam tifoid dan mengevaluasi penggunaan antibiotika menggunakan metode Gyssens. Pada penelitian Artanti (2013), subyek penelitiannya orang dewasa dan pokok kajiannya lebih ditekankan pada hubungan sanitasi lingkungan, higiene perorangan, dan karakteristik individu dengan kejadian demam tifoid. Berdasarkan
data-data
tersebut
penelitian
mengenai
“Evaluasi
Kerasionalan Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak dengan Demam Tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013” belum pernah dilakukan. 3. Manfaat Penelitian a. Mendapatkan data kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi tenaga medis di rumah sakit dalam meningkatkan penggunaan antibiotika yang rasional. Khususnya bagi farmasis, dapat sebagai bahan evaluasi untuk lebih berperan dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotika kepada pasien. b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran mengenai cara evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yang dikaji dari segi kualitas berdasarkan kriteria Gyssens dan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 7
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013. 2. Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki beberapa tujuan khusus terhadap data di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 meliputi: a. Mengidentifikasi karakteristik pasien anak dengan demam tifoid. b. Mengidentifikasi profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak dengan demam. c. Mengidentifikasi profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid. d. Mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dengan metode Gyssens berdasarkan literatur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II PENELAAH PUSTAKA
A. Demam Tifoid 1. Defenisi Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (Butler, 2011), serta ditandai dengan adanya demam yang berlangsung cukup lama (lebih dari 7 hari), gangguan saluran pencernaan, penurunan atau gangguan kesadaran (komplikasi yang lazim disebut tifoid toksik) (Purwadianto et al., 2014), serta dapat berpotensi parah dan mengancam nyawa seseorang (Newton and Mintz, 2013). Demam tifoid termasuk penyakit menular (Sharma and Malakar, 2013) dan dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis (Riyatno dan Sutrisna, 2011) tanpa air bersih atau sanitasi lingkungan yang baik (Neil et al., 2012). 2. Etiologi Penyebab dari penyakit demam tifoid adalah Salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negatif (Kaur and Jain, 2012), tidak berspora, tidak berkapsul, dan memiliki flagella dan bakteri ini dapat bertahan lama di air, saluran air, bahan makanan kering dan tahan terhadap pembekuan (Rahman et al., 2010).
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9
Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen yaitu sebagai berikut (Nasronudin, 2007). a. Antigen O (somatik) : terletak pada lapisan luar yang mempunyai komponen protein, lipoposakarida (LPS) dan lipid serta sering disebut endotoksin. b. Antigen H (flagela) : terdapat pada flagela, fimbriae dan pili dari kuman, berstruktur kimia protein. c. Antigen Vi (antigen permukaan) : terdapat pada selaput dinding kuman untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein. 3. Epidemiologi Demam tifoid terdapat di seluruh dunia terutama di negara-negara yang sedang berkembang di daerah tropis yang kondisi sanitasi lingkunganya buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Oceania, tetapi 80% kasus berasal dari Indonesia, Bangladesh, China, India, Laos, Nepal, Pakistan, atau Vietnam. Di setiap Negara demam tifoid paling sering terjadi di daerah tertinggal. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang (3,6 per 1000 penduduk) dan membunuh sekitar 200.000 orang setiap tahun (Brusch, 2014). Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid dan diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun. Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insiden yang tidak berbeda jauh antar daerah. Serangan penyakit lebih bersifat sporadis dan bukan epidemik (Nani dan Muzakkir, 2014).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 10
4. Patogenesis Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi (Hatta et al., 2011). Jumlah kuman yang dapat menginfeksi tubuh manusia bervariasi yaitu antara 1000 sampai 1 juta kuman (Kaur and Jain, 2012). Kemudian kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis dan selanjutnya berkembang biak (Nelwan, 2012). Bila respon humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke peyer’s patch ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bekterimia pertama yang asimtomatik) (Kaur and Jain, 2012). Kuman dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang (Rahman et al., 2010). Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia yang kedua kalinya, sekaligus
menandai
berakhirnya
periode
inkubasi.
Bakteremia
kedua
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen (Nelwan, 2012).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11
5. Komplikasi Menurut Guntur (2006), komplikasi yang sering terjadi pada penderita demam tifoid adalah sebagai berikut. a. Tifoid toksin (demam tifoid ensefalopati) Tifoid toksin adalah demam tifoid berat dengan gejala utama gangguan atau penurunan kesadaran secara akut. b. Syok septik Demam tifoid berat yang sering bersamaan atau akibat komplikasi demam tifoid yang serius. Ditandai dengan gejala-gejala sepsis berat dan kegagalan vaskular. c. Perdarahan dan perforasi usus Perdarahan dan perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelah itu. Perforasi terjadi pada bagian distal ileum. Perdarahan intestinal dengan gejala klinis hematoscezia (makroskopis) atau dengan test pendarahan tersembunyi (occult blood test). Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut dan petanda peritonitis. Suhu tubuh biasanya menurun tiba-tiba dengan peningkatan frekuensi nadi. Pemeriksaan perforasi intestinal ini ditunjang dengan foto polos abdomen 3 posisi. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritonium sehingga didapatkan pekak hati menghilang pada pemeriksaan fisik. Pada foto perut dalam posisi tegak terdapat udara diantara hati dan diafragma.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12
d. Peritonitis Biasanya menyertai perforasi terapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri nyeri perut yang hebat, dinding perut tegang dan nyeri pada tekanan. e. Hepatitis tifosa Ditemukan ikterus hepatomegali dan nyeri pada perabaan. Terdapat kelainan uji fungsi hati. Komplikasi seperti osteomielitis, arthritis, dan peradangan organ lainnya juga dapat ditemukan. Ensefalopati tifoid kadangkala ditemukan dan memerlukan penanganan khusus. f. Pneumonia Dapat disebabkan oleh basil salmonelia atau koinfeksi dengan mikroba lain yang sering menyerang paru. Didapatkan gejala-gejala klinis pneumonia dan ditunjang dengan pemeriksaan foto polos toraks. g. Pankreatitits tifosa Pada pemeriksaan klinis didapat nyeri perut hebat, mual dan muntah. 6. Manifestasi Klinis Demam tifoid memiliki gejala klinis yang tidak khas dan bervariasi dari ringan sampai berat (Saraswati, 2012). Masa inkubasi demam tifoid adalah 6-30 hari dan onset dari penyakit ini sangat berbahaya, dengan peningkatan rasa letih secara bertahap dan demam yang meningkat setiap hari dari 38°C sampai 40°C. Umumnya pada pagi hari demam turun dan pada sore atau malam hari demam akan naik (Newton and Mintz, 2013).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13
Secara umum penyakit ini ditandai dengan demam lebih dari 7 hari (bila tidak segera diobati), gangguan pola buang air besar, mual, muntah, sulit makan, sakit kepala, pusing, badan dan persendian nglilu-ngilu, batuk pilek, gangguan pencernaan yang timbul berupa rasa tidak nyaman di perut, diare sampai susah buang air besar (Cahyono, 2010). Pada minggu pertama ditemukan gejala klinis dan keluhan seperti demam, menggigil, sakit kepala, anoreksia, sakit tenggorokan, mialgia, psikosis, dan kebingungan terjadi pada 5-10% kasus (Kaur and Jain, 2012). Terjadi juga nyeri perut dan perut menjadi lembut, dalam beberapa kasus terjadi nyeri kolik pada kuadran kanan atas, terjadi sembelit, batuk kering, malaise, dan delirium (Brusch, 2014). Pada akhir minggu pertama, demam akan meningkat dari 39°C sampai 40°C, timbul bintik-bintik merah seperti warna ikan salmon, blanching, truncal, maculopapules dengan lebar 1-4 cm dan umumnya sembuh 2-5 hari (Brusch, 2014). Pada minggu kedua, perut menjadi buncit, splenomegali lunak, bradikardi (Brusch, 2014), konstipasi atau diare dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien (terutama anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi HIV) (Kaur and Jain, 2012). Tanpa pengobatan dan diagnosis yang benar demam tifoid dapat berlangsung lama sampai minggu ketiga (Kaur and Jain, 2012) dengan demam terus menerus, anoreksia dengan penurunan berat badan yang signifikan, distensi abdomen, takipnea dengan thready pulse, dan diare (Brusch, 2014). Pada minggu keempat terjadi perbaikan bertahap pada semua gejala (Brusch, 2014).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14
7. Diagnosis Diagnosis demam tifoid atas dasar gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini (Nelwan, 2012), namun sulit karena gejala klinis yang muncul beragam dan umumnya serupa dengan gejala klinis penyakit demam lain, seperti malaria dan demam berdarah (Mitra et al., 2010). Dalam menentukan diagnosis pasti
dari penyakit ini diperlukan
pemeriksaan laboratorium (Rachman et al., 2011). Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah hematologi, urinalisasi, feses, dan uji serologis (Aziz and Haque, 2012). Pemeriksaan hematologi pada pasien penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia yang disebabkan karena kehilangan darah dan peradangan. Jumlah sel darah putih (WBC) juga sering rendah. Leukositosis umumnya terjadi dalam 10 hari pertama pada anak-anak yang disebabkan karena bakteremia, infeksi lokal, perforasi usus, atau komplikasi ekstraintestinal lainnya. Dapat juga terjadi trombositopenia (Owens, 2014). Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid (Rachman et al., 2011). Pada biakkan air kemih (urinalisasi) hasilnya positif pada minggu sakit ke 2 dan 3. Air kemih yang diambil secara steril diputar dan endapanya dibiakan pada perbenihan diperkaya dan selektif. Pada biakkan tinja (feses) hasilnya positif selama masa sakit dan diperlukan biakkan berulang untuk mendapatkan hasil positif. Biakan tinja berguna pada penderita yang sedang diobati dengan kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier. Biakkan untuk specimen feses dan urin dimulai pada minggu ke 2 demam yang dilaksanakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15
setiap minggu. Bila pada minggu ke 4 biakan feses masih positif maka pasien sudah tergolong karier (Kemenkes RI, 2006). Tes serologi yang dapat digunakan dalam menentukan diagnosis demam tifoid adalah tes Widal (Rachman et al., 2011), Tubex, Typhidot dan Typhidot M (Mitra et al., 2010). Tes Widal adalah tes serologi untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen O dan H Salmonella typhi dalam sampel darah pasien (Anagha et al., 2012). Hasil uji widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena pederita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk dan adanya penyakit imunologik lain (Utami, 2010). Tubex adalah tes semikuantitatif yang menggunakan partikel aglutinasi polystyrene untuk mendeteksi antibodi IgM dari serum pasien terhadap antigen O9 Salmonella typhi (Wain and Hosoglu, 2008). Typhidot adalah tes yang menggunakan antigen 50 kD untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG secara spesifik terhadap Salmonella typhi (Mitra et al., 2010). Typhidot M adalah dot enzyme immunoassay untuk mendeteksi IgM secara spesifik terhadap Salmonella typhi (Narayanappa et al., 2010). Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya (Nelwan, 2012).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 16
8. Penatalaksanaan Menurut Widoyono (2011), pada dasarnya pengobatan demam tifoid memakai prinsip triologi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu sebagai berikut. a. Istirahat dan perawatan Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil. b. Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet Terapi simptomatis dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita yakni vitamin, antipiretik untuk kenyamanan penderita terutama untuk anak dan antimetik jika penderita muntah (Hadinegoro, 2008). Terapi suportif yang terpenting adalah pemberian cairan dan kalori (Guntur, 2006). Diet diberikan agar tidak memperberat kerja usus, pada awal penderita diberi makanan berupa bubur saring selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang lebih padat dan kemudian nasi biasa sesuai kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono, 2011).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 17
c. Pemberian antibiotika Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid. Terapi antibiotika lini pertama untuk pengobatan demam tifoid adalah kloramfenikol, amoksisilin atau ampisilin dan trimetropim-sulfametoksazol. Antibiotika
lini
kedua
adalah
fluoroquinolon
seperti
siprofloksasin,
norfloksasin, ofloksasin dan levofloksasin. Antibiotika alternatif lain yang sering digunakan adalah sepalosporin (seperti seftriakson, sefotaksim, sefiksim), aztreonam dan azitromisin (Purwadianto et al., 2014). Tabel I. Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid (WHO, 2011) Susceptibility
Fully sensitive Multi drug resistant Quinolone resistance Fully sensitive Multi drug resistant Quinolone resistance
Optimal Therapy Alternative Effective Drugs Antibiotic Daily Days Antibiotic Daily Days dose dose mg/kg mg/kg Mild disease Ciprofloxacin 15 5-7 Chloramphenicol 50-75 14-21 or Ofloxacin Amoxycilin 75-100 14 Cotrimoxazole 8-40 14 As above or 15 7-14 Azythromycin 8-10 7 Cefixime 15-20 7-14 Cefixime 15-20 7-14 Azythromycin 8-10 7 Cefixime 20 7-14 Rocephine 75 10-14 Severe illness Ciprofloxacin 15 10-14 Chloramphenicol 100 14-21 or Ofloxacin Amoxycilin 100 14 Cotrimoxazole 8-40 14 As above or 15 10-14 Rocephine 75 10-14 Sefiksime 15-20 10-14 Cefotaxime 80 10-14 Rocephine 75 10-14 20 7-14 Cefotaxime 80 10-14 Fluoroquinolone Azythromycin 8-10 7
Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Umumnya perbaikan klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam dan suhu akan kembali normal dalam waktu 3-6 hari, dengan lama pengobatan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18
antara 7-14 hari (Rampengan, 2013). Kloramfenikol tidak berkhasiat mematikan kuman, sehingga sering kali timbul “pembawa basil”, juga dapat mengakibatkan anemia aplastis fatal, serta resistensi dari obat ini sudah seringkali dilaporkan (Tjay dan Rahadja, 2010). Dosis yang diberikan untuk anak-anak sebesar 50-100 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam, dengan dosis maksimal 4 g/hari untuk pemberian secara i.v (Lacy et al, 2009). Dosis untuk bayi <2 minggu sebesar 25 mg/kg/hari diberikan setiap 4 jam dan bayi berumur 2 minggu sampai 1 tahun diberikan dosis sebesar 50 mg/kg/hari setiap 4 jam untuk pemberian secara i.v (Finch et al., 2010). Amoksisilin atau ampisilin kurang efektif dalam menurunkan demam dibandingkan kloramfenikol karena bekerja agak lambat yaitu setelah 5-6 hari baru demam akan hilang sedangkan kloramfenikol rata-rata 3 hari (Tjay
dan
Rahadja,
2010).
Amoksisilin/ampisilin
diberikan
karena
meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol (Utami, 2010). Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 50-100 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari untuk pemberian secara oral. Pemberian secara i.v untuk ampisilin dengan dosis yang dianjurkan adalah 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari selama 10 hari (Lacy et al., 2009). Pemberian Trimetropim-sulfametoksazol dengan dosis
yang
dianjurkan untuk anak >12 tahun 960 mg diberikan setiap 12 jam, umur 6 minggu sampai 5 bulan 120 mg setiap diberikan 12 jam, 6 bulan sampai 5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19
tahun 240 mg diberikan setiap 12 jam, dan umur 6-12 tahun 480 mg diberikan setiap 12 jam untuk pemberian secara oral (Finch et al., 2010). Antibiotika lini kedua yang digunakan dalam pengobatan demam tifoid adalah golongan fluoroquinolon seperti siprofloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan levofloksasin. Fluoroquinolon merupakan obat yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolon dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolon tidak dapat diberikan kepada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012). Pemberian
sepalosporin
generasi
ke-3
seperti
seftriakson,
sefotaksim, dan sefiksim. Seftriakson dengan dosis untuk neonatus sebesar 2050 mg/kg/hari, anak umur >1 bulan 50 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan sampai 80 mg/kg/hari (Finch et al., 2010), untuk anak-anak 75-80 mg/kg satu kali dalam sehari untuk pemberian secara i.v. selama 5-14 hari (Lacy et al., 2009). Sefotaksim dengan dosis 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis
(maksimum 1-2
g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Sefiksim dengan dosis untuk anak-anak 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg), dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al., 2009). Antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah aztreonam dan azitromisin. Pemberian aztreonam dengan dosis untuk anak sebesar 30 mg/kg setiap 6-8 jam (dapat ditingkatkan sampai 50 mg/kg setiap 6-8 jam) untuk pemberian secara i.v. Azitromisin dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20
dosis untuk anak >6 bulan sebesar 10 mg/kg/hari untuk 3 hari, untuk anak dengan berat 15-25 kg sebesar 200 mg/hari untuk 3 hari, 26-35 kg sebesar 300 mg/kg untuk 3 hari, dan 36-45 kg sebesar 400 mg/kg untuk 3 hari untuk pemberian secara p.o (Finch et al., 2010).
B. Antibiotika Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan jamur yang memiliki khasiat untuk menghambat perkembangbiakan atau membunuh mikroorganisme (Sutedjo, 2008). Antibiotika dapat bekerja secara primer dengan menghentikan pembelahan sel (bakteriostat) atau dengan membunuh mikroorganisme secara langsung (bakterisida) (Brooker, 2009). Menurut Setiabudy (2007), berdasarkan luas kerjanya antibiotika dibedakan sebagai berikut. 1. Antibiotika spektrum sempit Antibiotika spektrum sempit efektif melawan satu jenis organisme. Antibiotika berspektrum sempit bersifat selektif maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal dari pada antibiotika berspektrum luas. 2. Antibiotika spektrum luas Antibiotika spektrum luas efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotika spektrum luas seringkali dipakai untuk mengobati infeksi dimana mikroorganisme yang menyerang belum tentu di identifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 21
C. Prinsip Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Permenkes (2011) 1. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotika a. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotika Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotika. b. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotika secara tepat. c. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat Pemberian antibiotika secara bersamaan dengan antibiotika lain, obat lain atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan absorbsi obat atau penundaan absorbsi hingga meningkatkan efek toksik obat lainnya. d. Faktor biaya Antibiotika yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak paten (obat paten). Harga antibiotika dengan kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibanding generiknya. Sediaan parenteral bisa 1000 kali lebih mahal dari sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antibiotika yang mahal dengan harga diluar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak pada tidak terbelinya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22
antibiotika oleh pasien sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. 2. Prinsip penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan definitif a. Antibiotika Terapi Empiris Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotika pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Rute pemberian antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral. Lama pemberian antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam, selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. b. Antibiotika Terapi Definitif Penggunaan antibiotika untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotika pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Rute pemberian antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotika parenteral harus segera diganti dengan antibiotika per oral. Lama pemberian antibiotika defenitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi dan selanjutnya harus dilakukan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainya.
D. Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Menurut Michael et al., (2008) ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses pemilihan obat khususnya antibiotika pada anak diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Farmakokinetika a. Absorbsi Kecepatan absorbsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat. Pada neonatus jumlah obatobatan yang diabsorbsi di usus sulit untuk diprediksi karena terjadi perubahan biokimiawi dan fisiologis di saluran gastrointestinal berupa peningkatan asam lambung yang diikuti dengan penurunan kecepatan pengosongan lambung dan gerak peristaltik. b. Distribusi Proses distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh massa jaringan, kandungan lemak, aliran darah, permeabilitas membran dan ikatan protein. Distribusi cairan tubuh anak-anak akan berbeda dengan dewasa karena cairan tubuh anak secara persentase berat badan lebih besar. Pada umumnya ikatan protein pada neonatus lebih rendah daripada kelompok usia diatasnya. Penurunan ikatan protein nantinya akan meningkatkan volume distribusi obat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24
secara tidak langsung akan mempengaruhi waktu paruh dan konsentrasi obat di dalam sirkulasi sistemik. c. Metabolisme .Hati merupakan organ terpenting dalam proses metabolisme obat di dalam tubuh. Perbandingan relatif volume hati terhadap berat badan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Kecepatan metabolisme obat paling besar terjadi pada masa bayi hingga awal masa kanak-kanak kemudian akan menurun mulai pada usia anak sampai dewasa. d. Eksresi Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus pada proses ekskresi di ginjal kurang efisien dibandingkan kelompok usia anak karena kelompok usia tersebut masih dalam tahap awal proses pematangan organ. 2. Pertimbangan efek terapi dan toksik Penilaian efek terapetik dan efek toksik suatu obat sangat perlu dilakukan sebelum memutuskan jenis obat yang akan digunakan karena terdapat kemungkinan timbulnya respon tubuh anak yang bervariasi setelah terpapar obat. Hal lain yang juga memerlukan perhatian khusus adalah persepan obat-obatan dengan indeks terapi sempit. Konsentrasi obat di dalam darah harus selalu dijaga agar selalu konstan pada dosis terapetik, apabila konsentrasi obat di dalam darah melebihi dosis terapetik obat dapat menimbulkan efek toksik, sedangkan jika konsentrasi obat dalam darah lebih rendah daripada dosis terapetik obat tidak dapat menghasilkan efek terapetik yang sesuai (Joenoes, 2001).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25
3. Perhitungan dosis obat Penentuan dosis obat pada anak-anak dianjurkan mengacu pada buku-buku standar pengobatan anak dan buku pedoman terapi anak, agar didapatkan hasil terapetik yang lebih dominan dan mengurangi efek toksisitas yang mungkin muncul.
E. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional Menurut WHO (2001), kriteria penggunaan obat yang rasional adalah sebagai berikut. 1. Tepat indikasi Pemilihan antibiotika berdasarkan keluhan yang dialami pasien dan disertai dengan hasil pemeriksaan fisik yang akurat. 2. Tepat dosis Dosis obat yang diberikan berada dalam range terapi obat tersebut. Pemberian dosis obat juga harus disesuaikan dengan umur, berat badan dan kronologis penyakit yang di derita pasien. 3. Tepat cara pemberian Cara pemberian obat yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Misalnya secara per Oral, per Rektal, Intravena, Intratekal, subcutan, dan lain-lain
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26
4. Tepat interval waktu pemberian Rentang waktu pemberian obat harus sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan. Misalnya per 4 jam, per 6 jam, per 8 jam, per 12 jam dan per 24 jam, dan lain-lain. 5. Tepat lama pemberian Pada kasus tertentu pemberian antibiotika memerlukan durasi/jangka waktu tertentu. Tidak terlalu singkat atau terlalu lama. Misalnya selama 3 hari, 5 hari, 7 hari, 10 hari, 1 bulan, dan lain-lain. 6. Obat yang diberikan harus efektif dan terjamin mutunya Menghindari pemberian obat yang kedaluwarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit. 7. Tersedian setiap saat dengan harga yang terjangkau Jenis obat mudah didapatkan kapanpun diperlukan dan dengan harga yang dapat dijangkau oleh pasien. 8. Meminimalkan efek samping obat Mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan obat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27
F. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Menurut Kemenkes RI (2011), evaluasi penggunaan antibiotika bertujuan untuk. 1. Mengetahui jumlah penggunaan antibiotika di rumah sakit 2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di rumah sakit 3. Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotika di rumah sakit secara sistematik dan terstandar 4. Sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit Berdasarkan Kemenkes RI (2011) tentang pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi antibiotika, evaluasi penggunaan antibiotika dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan penghitungan DDD per 100 hari rawat (DDD per 100 bed days), untuk mengevaluasi jenis dan jumlah antibiotika yang digunakan. Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan metode Gyssen, untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotika. Penelitian ini menggunakan metode Gyssen untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika yang rasional. Metode Gyssens dapat mengevaluasi seluruh aspek penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi, alternatif yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit, lama pengobatan, dosis, interval, rute pemberian dan waktu pemberian. Diagram alur Gyssens merupakan alat yang penting dalan proses penilaian kualitas penggunaan antibiotika. Proses penilaian menggunakan diagram
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28
alur Gyssens akan terbagi dalam beberapa kategori. Kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens, yaitu sebagai berikut ini. Kategori 0
= penggunaan antibiotika tepat/bijak
Kategori I
= penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
Kategori IIA
= penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
Kategori IIB
= penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC
= penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA
= penggunaan antibiotika terlalu lama
Kategori IIIB
= penggunaan antibiotika terlalu singkat
Kategori IVA
= ada antibiotika lain yang lebih efektif
Kategori IVB
= ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC
= ada antibiotika lain yang lebih murah
Kategoti IVD
= ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit
Kategoti V
= tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
Kategoti VI
= data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
Proses evaluasi dapat dilihat dari diagram alur Gyssens pada Gambar 1.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 29
Gambar 1. Diagram alur metode Gyssens (Kemenkes RI, 2011)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 30
Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan antibiotika (Kemenkes RI, 2011). 1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapa dievaluasi. Diagnosis kerja dapat ditegakan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan dibawahnya, apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotika? 2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat? 3. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVA Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang kurang toksik? 4. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lebih murah? 5. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVC Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 31
6. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVD Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang? 7. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori IIIA Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu singkat? 8. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIB Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis antibiotika yang diberikan sudah tepat? 9. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIA Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval antibiotika yang diberikan sudah tepat? 10. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIB Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute pemberian antibiotika sudah tepat? 11. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIC Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya. 12. Bila penggunaan antibiotikanya tidak tepat waktu, berhenti di kategori I. 13. Bila antibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotika tersebut merupakan kategori 0.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 32
G. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran kualitatif mengenai evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-ekperimental karena observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada intervensi serta perlakuan dari peneliti terhadap subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan
untuk
mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan (Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data dilakukan dengan melakukan penelusuran data masa lalu pasien dari catatan rekam medis pasien pada periode tertentu (Notoatmodjo, 2010).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Karakteristik pasien anak dengan demam tifoid meliputi jenis kelamin, umur, jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan dan distribusi diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak. Umur dapat dibagi menjadi tiga kelompok usia yaitu neonatus (umur ≤1 tahun), balita (umur >1-5 tahun), dan anak sekolah (umur >5-12). Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan didasarkan pada bulan Januari-Desember 2013. Distribusi
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 34
diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak dibagi menjadi 2 yaitu demam tifoid dan demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi. 2. Profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak dengan demam tifoid selama pasien dirawat inap meliputi antibiotika, antimikotika/antifungi, obat gangguan saluran cerna, obat susunan saraf pusat, obat saluran pernapasan, obat antihistamin, hormon, vitamin, mineral dan elektrolit. 3. Profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid meliputi jenis antibiotika, dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika, durasi penggunaan antibiotika dan rute pemberian antibiotika. a.
Jenis antibiotika adalah semua jenis antibiotika (antibiotika tunggal dan kombinasi) yang diberikan pada pasien anak dengan demam tifoid yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.
b.
Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika. Dosis adalah jumlah obat yang diberikan kepada pasien dalam satuan berat (g, mg, ug) atau satuan isi (Liter, mL, UI). Frekuensi atau interval pemberian obat, misalnya per 4 jam, per 6 jam, per 8 jam, per 12 jam dan per 24 jam, dan lain-lain.
c.
Durasi penggunaan antibiotika adalah lama waktu (hari) pemakaian antibiotika kepada pasien.
d.
Rute pemberian antibiotika adalah cara yang digunakan dalam memasukan antibiotika ke dalam tubuh, misalnya per oral, intravena, dan lain-lain
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 35
4. Rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid adalah rasionalitas penggunaan antibiotika yang dievaluasi secara kualitatif menggunaakan metode Gyssens. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan literatur sebagai referensi. Literatur yang digunakan adalah WHO (2011), Purwadianto (2014), Permenkes (2011), Lacy, Armstrong, Goldman, (2009), Tjay dan Rahardja (2010), dan berbagai jurnal terkait.
C. Subyek Penelitian Pengambilan subyek dalam penelitian ini dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu semua pasien berumur 0-12 tahun yang didiagnosis positif menderita penyakit demam tifoid, baik dengan penyakit penyerta dan atau komplikasi atau tidak, di rawat inap, menerima terapi antibiotika dan dinyatakan sembuh oleh dokter RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Desember 2013. Kriteria eksklusi yaitu rekam medik pasien yang tidak lengkap dan diagnosis akhir pasien bukan demam tifoid.
D. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah rekam medik dari pasien anak yang didiagnosis positif menderita penyakit demam tifoid, baik dengan penyakit penyerta dan atau komplikasi atau tidak, di rawat inap, menerima terapi antibiotika, dan dinyatakan sembuh oleh dokter RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari-Desember 2013.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 36
E. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husada Bantul, Yogyakarta. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 15-31 Juli 2014.
F. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Formulir untuk mengambil data Penelitian ini menggunakan formulir yang memuat data rekam medis pasien. Data-data rekam medis yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya berisi nomor rekam medik, nama pasien, jenis kelamin, umur, tanggal masuk/dirawat,
gejala
klinis,
diagnosa
penyakit,
data
laboratorium,
pengobatan yang diterima di rumah sakit tersebut seperti antibiotika dan obatobat lain, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, cara pemberian, dan lama pasien dirawat di rumah sakit. 2. Diagram Gyssens Diagram Gyssens adalah suatu diagram alir yang memuat ketepatan penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi, efektifitas, toksisitas, harga, spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Gyssens, 2005).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 37
3. Kategori Gyssens Skala nominal 0-VI yang digunakan untuk mengkategorikan rasionalitas penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens. 4. Literatur sebagai referensi evaluasi Literatur yang digunakan adalah WHO (2011), Purwadianto (2014), Permenkes (2011), Lacy, Armstrong, Goldman, (2009), Tjay dan Rahardja (2010), dan berbagai jurnal terkait.
G. Tata Cara Penelitian 1. Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan Pada tahap ini dimulai dengan studi pustaka mengenai kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid, lalu menentukan permasalahan, cara menganalisis masalah, dan penyusunan proposal. Kemudian menentukan Rumah Sakit yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Setelah itu mengurus surat perizinan untuk mendapatkan izin penelitian, yaitu : a. Meminta surat pengantar penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma b. Mengajukan surat pengantar penelitian dari Fakultas beserta proposal ke BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta c. Mengajukan surat ijin penelitian dari BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta ke BAPPEDA Bantul
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 38
d. Mengajukan surat ijin penelitian dari BAPPEDA Bantul ke RSUD Panembahan Senopati e. Mendapatkan surat ijin melaksanakan penelitian di RSUD Panembahan Senopati f. Pengambilan dan pengumpulan data di RSUD Panembahan Senopati 2. Tahap pengambilan data Data pasien diambil dari lembar rekam medik yang meliputi, nama pasien, jenis kelamin, umur, tanggal masuk/dirawat, gejala klinis, diagnosa penyakit, data laboratorium, pengobatan yang diterima di rumah sakit tersebut seperti antibiotika dan obat-obat lain, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, cara pemberian, dan lama pasien dirawat di rumah sakit. 3. Pengolahan data Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi. Selama periode Januari-Desember 2013 jumlah pasien anak yang didiagnosis menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul
Yogyakarta
adalah sebanyak 43 pasien.
Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi diperoleh 40 kasus demam tifoid yang akan diteliti, sedangkan pada 3 kasus lainya diagnosis akhir tidak menunjukan demam tifoid dan data rekamediknya tidak lengkap.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39
H. Tata Cara Analisis Data rekam medik pasien yang telah diperoleh akan diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung persentasenya. Data pasien akan dikelompokan terlebih dahulu sebagai berikut. a. Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika berdasarkan jenis kelamin dengan menghitung jumlah pasien laki-laki dan perempuan dibagi total kasus dikali 100%. b. Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika berdasarkan umur dengan menghitung jumlah pasien dibagi total kasus dikali 100%. c. Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika berdasarkan jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan dengan menghitung jumlah pasien yang sesuai kriteria per bulan dibagi total kasus dikali 100%. d. Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika berdasarkan distribusi diagnosis akhir demam tifoid dilakukan dengan menghitung jumlah pasien yang terdiagnosis demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi atau tidak dibagi total kasus dikali 100%. e. Presentasi pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan penggunaan obat secara keseluruhan selama pasien dirawat inap dibagi total kasus dikali 100%.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40
f. Presentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika berdasarkan jenisnya (nama generik) yang dilakukan dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali 100%. g. Presentasi penggunaan antibiotika berdasarkan dosis dan frekuensinya dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali 100%. h. Presentasi penggunaan antibiotika berdasarkan durasi dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali 100%. i. Presentasi penggunaan antibiotika berdasarkan rute pemberiannya dengan menghitung jumlah antibiotika tiap rute dibagi total kasus dikali 100%. j. Presentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika berdasarkan kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens dibagi total kasus dikali 100%. Selanjutnya dilakukan evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika berdasarkan alur metode Gyssens. Hasil evaluasi dikategorikan sebagai berikut. Kategori 0
= penggunaan antibiotika tepat/bijak
Kategori I
= penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
Kategori IIA
= penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
Kategori IIB
= penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC
= penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA
= penggunaan antibiotika terlalu lama
Kategori IIIB
= penggunaan antibiotika terlalu singkat
Kategori IVA
= ada antibiotika lain yang lebih efektif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41
Kategori IVB
= ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC
= ada antibiotika lain yang lebih murah
Kategoti IVD
= ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit
Kategoti V
= tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
Kategoti VI
= data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi I. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain. 1. Penelitian ini menggunakan pendetakatan retrospektif yang memiliki keterbatasan dalam hal kelengkapan dan dapat terjadi kemungkinan adanya rekam medis yang tidak tidak jelas terbaca sehingga menjadi suatu kesulitan tersendiri bagi peneliti dalam pembacaan rekam medis. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan interpretasi data dari peneliti sehingga menyebabkan bias bagi hasil penelitian. 2. Metode
Gyssens
yang
digunakan
untuk
mengevaluasi
kerasionalan
penggunaan antibiotika dalam penelitian ini tidak selalu dapat diselaraskan dengan kondisi yang dialami pasien baik dari diagnosa awal sampai dengan outcome terapi pasien. Sangat sulit jika hanya berpatokan dengan teoritis dari buku-buku acuan tanpa mengetahui kondisi sebenarnya yang dialami pasien. Banyak kasus yang bertentangan dengan alur dalam metode ini namun outcome terapinya baik bagi pasien. Tujuan dari evaluasi menggunakan metode Gyssens adalah agar pasien mendapatkan obat yang paling efektif, aman, murah dengan regimen yang tepat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 akan disajikan dalam empat bagian yaitu karakteristik pasien anak dengan demam tifoid, profil penggunaan obat secara keseluruhan selama pasien dirawat inap, profil penggunaan antibiotika dan evaluasi kerasioanalan penggunaan antibiotika menurut metode Gyssens. A. Karakterikstik Pasien Anak Dengan Demam Tifoid 1. Jenis Kelamin Karakteristik pasien anak penderita demam tifoid berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
40%
Laki-laki
60%
Perempuan
Gambar 2. Persentasi jumlah pasien laki-laki dan perempuan penderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 (N=40) Berdasarkan Gambar 2 di atas pasien anak penderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013, lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 60% (24 pasien) dibandingkan dengan perempuan yaitu sebesar 40% (16 pasien).
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) diperoleh hasil bahwa proporsi pasien anak penderita demam tifoid lebih banyak diderita oleh pasien anak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki memiliki aktifitas diluar rumah lebih banyak, sehingga memungkinkan anak laki-laki beresiko lebih besar terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan anak perempuan (Artanti, 2013). 2. Umur Penelitian ini menggunakan pasien anak yang berumur berumur 0-12 tahun. Anak dikelompokan berdasarkan tingkat umur yaitu neonatus (umur ≤1 tahun), balita (umur >1-5 tahun), dan anak sekolah (umur >5-12 tahun) (Wahab, 2011). Karakteristik pasien anak penderita demam tifoid berdasarkan umur di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. 2,5% 57,5%
40%
≤1 tahun 2,5% >1-5 tahun 40% >5-12 tahun 57,5%
Gambar 3. Persentasi kasus demam tifoid berdasarkan umur di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 (N=40) Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa persentasi kasus demam tifoid berdasarkan umur banyak diderita oleh anak pada rentang umur >512 tahun yaitu sebesar 57,5% (23 pasien), diikuti oleh anak pada rentang umur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
>1-5 tahun yaitu sebesar 40% (16 pasien) dan anak umur ≤1 tahun yaitu sebesar 2,5% (1 pasien). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) diperoleh hasil bahwa persentasi kasus demam tifoid banyak diderita oleh anak pada rentang umur >5-12 tahun. Hal ini disebabkan karena kelompok umur >5-12 tahun merupakan kelompok anak sekolah yang mempunyai kebiasaan jajan di sekolah atau tempat lain diluar rumah yang kebersihannya tidak dapat dijamin (Artanti, 2013). 3. Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid pada bulan JanuariDesember 2013 Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid pada bulan JanuariDesember 2013 di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
7 6 5 4 3 2
Jumlah Kasus
1 0
Gambar 4. Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dilihat bahwa proporsi teringgi penderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta tahun 2013 berdasarkan bulan adalah bulan April 17,5% (7 kasus) dan terendah pada bulan Januari, Mei, Juni, dan Juli yaitu sebesar 2,5% (1 kasus). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Kasus demam tifoid pada tahun 2010 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta paling banyak terdiagnosis pada bulan Maret 22,2% dan terendah pada bulan November 11,1%. 4. Distribusi diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak Diagnosis akhir demam tifoid dapat dilakukan dengan melihat gejalagejala klinik yang ada disertai hasil pemeriksaan penunjang laboratorium. Diagnosis akhir penyakit demam
tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dibagi menjadi 2 yaitu demam tifoid dan demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi. Diagnosa akhir demam tifoid menyatakan bahwa pasien hanya menderita demam tifoid saja tanpa disertai penyakit lain dan atau komplikasi. Demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi menyatakan bahwa selain pasien menderita demam tifoid, muncul penyakit lain. Hal ini disebabkan karena sebelumya pasien sudah terinfeksi bakteri, virus dan fungi lain, misalnya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), RFA (Rhino Faringitis Akut), ISK (Infeksi Saluran Kemih), PKTB (Primer Komplek Tuberkulosis), DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) dan stomatitis.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
Demam Tifoid 52,5%
47,5%
52,5% Demam Tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi 47,5%
Gambar 5. Persentasi Jumlah pasien anak yang di diagnosis akhir penyakit demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 (N=40)
Berdasarkan Gambar 5 di atas dapat dilihat bahwa diagnosa akhir demam tifoid memiliki persentasi yang lebih tinggi yaitu sebesar 52,5% (21 pasien). Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Triana (2003) di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2000Desember 2001, menyatakan bahwa persentasi diagnosis akhir demam tifoid tanpa penyakit lain/komplikasi lebih tinggi (87,27%) dibandingkan diagnosis akhir demam tifoid dengan penyakit lain/komplikasi (12,73%). Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pratiwi (2010) di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang periode Juni 2008-Juni 2009 menyatakan bahwa persentasi diagnosis akhir demam tifoid dengan penyakit lain/komplikasi lebih tinggi (75%) dibandingkan diagnosis akhir demam tifoid tanpa penyakit lain/komplikasi (25%).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
B. Profil Pengunaan Obat Secara Keseluruhan Terapi pengobatan secara keseluruhan yang diterima pasien anak yang menderita demam tifoid tanpa penyakit lain maupun demam tifoid dengan penyakit lain di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 terdiri dari 9 kelas terapi. Tabel II. Profil Penggunaan Obat Secara Keseluruhan Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penggolongan obat Antibiotika Antimikotika/anti fungi Obat Gangguan Saluran Cerna Obat Susunan Saraf Pusat Obat Saluran Pernapasan Obat Antihistamin Hormon Vitamin Mineral dan Elektrolit Jumlah
Jumlah kasus (N=40) 74 2 7 39 23 4 3 8 49 209
Persentase (%) 35,4 1 3,3 18,7 11,0 2 1,4 3,8 23,4 100
Pada Tabel II di atas menunjukan penggunaan obat terbanyak terdapat pada kelas terapi obat antibiotika (35,4%), diikuti oleh mineral/elektrolit (23,4%), obat susunan saraf pusat (18,7%), obat saluran pernapasan (11,0%), vitamin (3,8%), obat gangguan saluran cerna (3,3%), obat antihistamin (2%), hormon (1,4%), dan antimikotika/antifungi (1%). Golongan antibiotika paling banyak digunakan karena terapi antibiotika merupakan srategi utama dan efektif untuk pengobatan demam tifoid. Pemberian antibiotika bertujuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay dan Rahardja, 2010).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
C. Profil Penggunaan Antibiotika 1. Jenis Antibiotika Jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 terdiri dari 8 jenis antibiotika yaitu kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, siprofloksasin, sefotaksim, sefiksim, seftriakson, dan amikasin. Seftriakson Amoksisilin 1,3% 1,3%
Kloramfenikol 4,1%
Siprofloksasin 1,3%
Amikasin 5,4% Sefiksim 10,8%
Sefotaksim 47,3%
Ampisilin 28,4%
Gambar 6. Persentasi jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 (N=74)
Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat dilihat bahwa jenis antibiotika yang paling banyak digunakan untuk pengobatan
demam tifoid adalah sefotaksim
sebanyak 35 kasus (47,3%) yang diikuti oleh ampisilin sebanyak 21 kasus (28,4%). Sefotaksim dan ampisilin merupakan dua contoh obat yang digunakan sebagai firs line therapy demam tifoid. Sefotaksim termasuk golongan sepalosporin generasi ke-3 yang memiliki spektrum kerja yang sangat luas, aktivitas antibakterinya lebih kuat, dan efek sampingnya relatif rendah (Haryanti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
et al, 2009). Ampisilin efektif untuk pengobatan demam tifoid karena dapat meningkatkan mortalitas akibat resistensi kloramfenikol (Utami, 2010). Dalam penggunaanya terapi antibiotika diberikan secara tunggal dan kombinasi. Terapi tunggal yang dimaksud adalah terapi menggunakan 1 (satu) jenis antibiotika saja selama pasien dirawat. Terapi kombinasi adalah terapi menggunakan lebih dari 1 (satu) jenis antibiotika. Terapi kombinasi meliputi penggantian jenis antibiotika dan penggunaan dua atau lebih antibiotika selama pasien dirawat. Tujuan pemberian antibiotika kombinasi adalah meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik (efek sinergis atau aditif), mengatasi infeksi campuran yang tidak dapat ditanggulangi oleh satu jenis antibiotika saja, dan mengatasi kasus infeksi yang membahayakan jiwa yang belum diketahui bakteri penyebabnya (Kemenkes RI, 2011). Persentase penggunaan antibiotika tunggal dan kombinasi dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
57,5%
42,5%
Tunggal
Kombinasi
Gambar 7. Persentasi penggunaan terapi antibiotika tunggal dan kombinasi pada pengobatan pasien anak dengan demam tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 (N=40)
Berdasarkan Gambar 7 di atas persentasi penggunaan antibiotika kombinasi lebih banyak yaitu 23 kasus (57,5%) dibandingkan dengan penggunaan antibiotika tunggal yaitu sebanyak 17 kasus (42,5%). Pada penelitian ini pemakaian antibiotika kombinasi lebih banyak daripada antibiotika tunggal karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
pemakaian antibiotika kombinasi dapat menanggulangi resistensi dan untuk mendapatkan efek yang lebih baik (Djatmiko et al., 2008).
2. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Antibiotika Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel III berikut. Tabel III. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Antibiotika No.
Antibiotika
Dosis
Frekuensi
1.
Kloramfenikol
2.
Ampisilin
3. 4. 5.
Amoksisilin Siprofloksasin Sefotaksim
225 mg 500 mg 250 mg 250 mg 300 mg 350 mg 350 mg 360 mg 400 mg 500 mg 500 mg 700 mg 750 mg 1 gram 250 mg ¾ tablet 300 mg 350 mg 360 mg 400 mg 500 mg 750 mg 850 mg 1 gram
3 3 3 4 3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3
Jumlah Kasus 1 2 1 1 2 1 3 1 1 8 3 1 2 1 1 1 3 3 1 3 12 6 1 10
Persentase (%) 1,2 2,4 1,2 1,2 2,4 1,2 3,7 1,2 1,2 9,8 3,7 1,2 2,4 1,2 1,2 1,2 3,7 3,7 1,2 3,7 14,6 7,3 1,2 12,2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6.
Sefiksim
7. 8.
Seftriakson Amikasin
25 mg 70 mg 75 mg 100 mg 1 gram 150 mg 165 mg 180 mg 350 mg
2 2 2 2 3 2 3 2 3
Jumlah
1 1 1 5 1 1 1 1 1 82
51
1,2 1,2 1,2 6,1 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 100
Pada Tabel III di atas menunjukan antibiotika yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim dengan dosis 500 mg dengan frekuensi 3 kali per hari (14,6%) dan 1 gram dengan frekuensi 3 kali per hari (12,2%) serta ampisilin dengan dosis 500 mg dengan frekuensi 3 kali per hari (9,8%). Penentuan dosis antibiotika yang diberikan harus disesuaikan dengan diagnosis penyakit, tingkat keparahan penyakit/infeksi, riwayat kesehatan, efek dan mekanisme kerja antibiotika, serta efek samping obat karena berhubungan dengan kondisi intrinsik pasien seperti fungsi ginjal normal, fungsi hati, umur dan berat badan pasien. Terutama penentuan dosis untuk anak-anak harus diperhatikan karena sistem organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (ginjal dan hati) perkembangannya belum sempurna. Hal ini menyebabkan proses ADME dalam tubuhnya belum optimal. Bila dosis obat tidak tepat maka obat dapat menjadi racun dalam darah yang dapat mempengaruhi organ hati dan ginjal pada anak (Kee and Hayes, 2009). Frekuensi
penggunaan
antibiotika
dipengaruhi
oleh
sifat
farmakokinetika obat dan kondisi klinis pasien. Hal yang perlu diperhatikan dalam farmakokinetika obat adalah waktu-paro eliminasi (t ½ eliminasi) dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
antibiotika. Waktu-paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat di dalam darah berkurang menjadi setengah (50%) dari kadar semula (Brunton et al, 2011). Interval pemberian obat bertujuan untuk menjaga konsentrasi obat di dalam cairan plasma agar selalu berada pada konsentrasi terapeutik minimal sehingga obat dapat bekerja dengan baik dan memberikan efek. Interval pemberian obat harus tepat agar pengobatan berjalan efektif, efisien dan aman bagi pasien (Kee and Hayes, 2009).
3. Durasi Penggunaan Antibiotika Durasi penggunaan antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel IV berikut. Tabel IV. Durasi Penggunaan Antibiotika No.
Antibiotika
1.
Kloramfenikol
2.
Ampisilin
3. 4. 5.
Amoksisilin Siprofloksasin Sefotaksim
Durasi (hari) 4 5 1 2 3 4 5 6 7 9 4 2 1 2 3 4 5 6
Jumlah Kasus (N=40) 2 1 1 1 1 8 5 2 1 2 1 1 1 1 1 14 7 4
Persentase (%) 2,7 1,4 1,4 1,4 1,4 10,8 6,8 2,7 1,4 2,7 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 18,9 9,5 5,4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
Lanjutan Tabel IV. Durasi Penggunaan Antibiotika
6.
Sefiksim
7. 8.
Seftriakson Amikasin
Jumlah
7 8 10 1 2 3 4 7 8 3 2 4 7
4 2 1 1 1 2 1 2 1 1 1 2 1 74
5,4 2,7 1,4 1,4 1,4 2,7 1,4 2,7 1,4 1,4 1,4 2,7 1,4 100
Pada Tabel IV di atas menunjukan durasi penggunaan antibiotika tersering adalah sefotaksim yaitu selama 4 hari (18,9%) yang diikuti oleh ampisilin selama 4 hari (10,8%). Durasi pengobatan adalah waktu yang dibutuhkan agar pengobatan suatu penyakit maksimal. Durasi penggunaan antibiotika untuk pasien demam tifoid tidak sama untuk setiap golongan antibiotika. Menurut WHO (2011), durasi penggunaan kloramfenikol adalah 1421 hari, ampisilin/amoksisilin selama 14 hari, siprofloksasin/ofloksasi selama 5-7 hari (mild disease) dan 10-14 hari (severe illness), sefotaksim/seftriakson selama 10-14 hari, serta sefiksim 7-14 hari (mild disease) dan 10-14 hari (severe illness).
4. Rute Pemberian Antibiotika Rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
13,5%
Peroral 86,5%
Intravena
Gambar 8. Profil rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 (N=74)
Berdasarkan Gambar 8 di atas rute pemberian antibiotika yang paling sering digunakan adalah secara intravena. Dari 74 jenis antibiotika yang diresepkan untuk 40 pasien anak, sebanyak 64 antibiotika (86,5%) diberikan secara intravena dan sebanyak 10 antibiotika (13,5%) diberikan kepada pasien secara peroral. Pemilihan cara pemberian obat harus dipilih rute yang paling aman dan bermanfaat bagi pasien (Djatmiko et al., 2008). Rute pemberian antibiotika secara peroral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika secara parenteral (Permenkes, 2011).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
D. Evaluasi Kerasioanalan Penggunaan Antibiotika Menurut Metode Gyssens Evaluasi penggunaan antibiotika dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssens (Kemenkes RI, 2011). Tabel V. Distribusi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013 Kategori Gyssens Jumlah Persentase (%) 0 35 47,3 I IIA 16 21,6 IIB 13 17,6 IIC IIIA IIIB 2 2,7 IVA 5 6,8 IVB 3 4,0 IVC IVD V VI Total 74 100 Berdasarkan Tabel V didapatkan hasil sebesar 47,3% penggunaan antibiotika memenuhi kategori Gyssens 0 (rasional). Kemudian 52,7% penggunaan antibiotika yang tidak rasional dengan rincian sebesar 21,6% termasuk dalam kategori IIA (penggunaan antibiotika tidak tepat tepat dosis), 17,6% termasuk dalam kategori IIB (penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian), 2,7% termasuk dalam kategori IIIB (pemberian antibiotika terlalu singkat), 6,8% termasuk dalam kategori IVA (ada antibiotika lain yang lebih efektif) dan 4,0% termasuk dalam kategori IVB (ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman). Tidak ditemukan antibiotika yang termasuk dalam kategori I (penggunaan antibiotika tidak tepat waktu), IIC (penggunaan antibiotika tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
tepat cara/rute pemberian), IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama), IVC (ada antibiotika lain yang lebih murah), IVD (ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit), V (tidak ada indikasi penggunaan antibiotika), dan VI (data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi).
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel VI. Distribusi Hasil Evaluasi Penggunaan Tiap Antibiotika Berdasarkan Kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013 Antibiotika Kategori Gyssens Total 0 IIA IIB IIIB IVA IVB Sefotaksim 19 15 1 35 Ampisilin 8 12 1 21 Sefiksim 8 8 Amikasin 4 4 Kloramfenikol 3 3 Seftriakson 1 1 Amoksisilin 1 1 Siprofloksasin 1 1 Jumlah 35 16 13 2 5 3 74 Tabel VI menunjukan hasil antibiotika dengan kategori 0 (penggunaan
antibiotika tepat/bijak) yaitu sefotaksim (19 kasus), ampisilin (8 kasus) dan sefiksim (8 kasus). Antibiotika dengan kategori IIA (penggunaan antibiotika tidak tepat dosis) yaitu sefotaksim (15 kasus) dan seftriakson (1 kasus). Antibiotika dengan kategori IIB (penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian) yaitu ampisilin (12 kasus) dan amoksisilin (1 kasus). Antibiotika dengan kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat) yaitu sefotaksim (1 kasus) dan ampisilin (1 kasus). Antibiotika dengan kategori IVA (ada antibiotika lain yang lebih efektif) yaitu amikasin (4 kasus) dan siprofloksasin (1 kasus). Antibiotika dengan kategori IVB (ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman) yaitu kloramfenikol (3 kasus).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
1. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (kategori 0) Ketepatan dilihat dari kelengkapan data rekam medik, ada indikasi penggunaan antibiotika, tidak ada antibiotika yang spektrum antibakterinya lebih sempit, tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah, tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman, tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif, penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat, penggunaan antibiotika tidak terlalu lama, penggunaan antibiotika tepat rute pemberian, penggunaan antibiotika tepat interval pemberian, penggunaan antibiotika tepat dosis, dan penggunaan antibiotika tepat waktu. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 35 kasus penggunaan antibiotika yang rasional yaitu kasus 1 (sefotaksim), kasus 2 (sefotaksim), kasus 3 (sefotaksim), kasus 4 (sefotaksim), kasus 5 (sefotaksim), kasus 9 (sefotaksim dan sefiksim), 12 (sefiksim), kasus 13 (sefiksim), kasus 14 (ampisilin dan sefiksim), kasus 15 (sefiksim dan ampisilin), kasus 16 (sefotaksim, dan sefiksim), kasus 17 (sefotaksim), kasus 18 (sefiksim), kasus 19 (sefotaksim), kasus 20 (ampisilin), kasus 21 (sefotaksim), kasus 24 (sefotaksim), kasus 25 (ampisilin), kasus 27 (sefotaksim), kasus 28 (sefotaksim dan ampisilin), kasus 31 (sefotaksim dan ampisilin), kasus 32 (sefotaksim dan ampisilin), kasus 35 (sefotaksim, ampisilin, dan sefiksim), kasus 37 (sefotaksim), kasus 38 (sefotaksim), kasus 39 (sefotaksim). Salah satu contoh penggunaan antibiotika yang rasional yaitu kasus 2 (lampiran 4). Pada kasus 2, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid komplikasi Dengue Hemorrhagic Fever dan infeksi saluran kencing. Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam naik turun, batuk,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
pilek, pusing, mual, muntah, nyeri perut, mimisan, sesak nafas, asma. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah trombosit dan hematokrit. Penurunan jumlah trombosit dan hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit pasien menunjukkan penurunan jumlah segmen dan peningkatan jumlah limfosit. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit ini dapat menggambarkan kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Hasil pemeriksaan bakteri menunjukan hasil positif (Sutedjo, 2008). Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan bahwa pasien anak tersebut terinfeksi bakteri Salmonella typhi sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim. Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Sefotaksim merupakan salah satu antibiotika yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid yang diajurkan oleh WHO (2011). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Sefotaksim sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Sefotaksim merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax
dan lapixime (Pramudianto, 2013). Sefotaksim merupakan antibiotika
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
generik sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Durasi penggunaan antibiotika ini selama 11 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat karena menurut WHO (2011) lama penggunaan antibiotika ini untuk demam tifoid yaitu 10-14 hari sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama) dan lolos kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat). Dosis dan interval pemberian menurut Lacy et al. (2009), dosis sefotaksim sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) untuk pemberian secara i.m/i.v (Purwadianto et al., 2014). Pasien ini umur 2 tahun dengan berat badan 11 kg, menerima obat 3x400 mg/hari (1200 mg/hari) secara intravena, hal ini sesuai dengan kisaran dosis dan interval pemberian yang disarankan karena maksimum dosis perhari menurut Purwadianto et al. (2014) adalah 1-2 g/hari dengan interval pemberian 2-3 dosis perhari, sehingga antibiotika ini lolos kategori IIA (tepat dosis) dan IIB (tepat interval). Rute pemberian dilakukan secara intravena (Purwadianto et al., 2014). Rute ini dirasa paling efektif karena kondisi pasien yang mengalami mual dan muntah dan agar kondisi pasien segera kembali normal sehingga lolos kategori IIC (tepat rute pemberian). Waktu pemberian antibiotika ini sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001), sehingga lolos kategori I (tepat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
waktu pemberian). Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan sefotaksim termasuk kategori 0 yaitu rasional. 2. Penggunaan antibiotika tidak tepat waktu (kategori I) Waktu pemberian antibiotikanya tepat atau tidak dapat dilihat berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan antibiotika yang tidak tepat waktu. 3. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (kategori IIA) Ketidaktepatan dosis dapat disebabkan oleh dosis antibiotika yang diberikan terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pemberian dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan efek toksis, sedangkan pemberian dosis terlalu rendah tidak dapat menghasilkan efek terapetik yang sesuai (Syamsuni, 2006). Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 16 kasus penggunaan antibiotika yang tidak tepat dosis pemberian yaitu seftriakson pada kasus 14 dan sefotaksim pada kasus 7, 10, 12, 14, 15, 20, 22, 25, 26, 29, 30, 33, 34, 36, dan 40. Salah satu contoh penggunaan antibiotika yang tidak tepat dosis yaitu pada kasus 14 (seftriakson dan sefotaksim) (lampiran 16). Pada kasus 14, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid. keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam sejak 7 hari yang lalu, pilek, mual, muntah, mimisan, gusi berdarah dan nyeri telan. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan hemoglobin, lekosit, eritrosit, dan hematokrit. Penurunan jumlah hemoglobin, eritrosit dan hematokrit umumnya terjadi anemia atau gangguan pada saluran pencernaan. Penurunan lekosit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
umumnya terjadi infeksi. Pada pemeriksaan hitung jenis lekosit terjadi penurunan jumlah batang dan peningkatan segmen. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit dapat menggambarkan kejadian dan proses penyakit dalam tubuh terutama penyakit infeksi (Sutedjo, 2008). Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan bahwa pasien anak tersebut terinfeksi bakteri Salmonella typhi sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim, seftriakson, ampisilin dan sefiksim. Pada kasus 14 ini sefotaksim dan seftriakson tidak lolos kategori IIA (penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Sefotaksim dan seftriakson merupakan salah satu antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Penggunaan kedua antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Sefotaksim dan seftriakson sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Sefotaksim dan seftriakson merupakan antibiotika generik sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Kedua antibiotika ini merupakan antibiotika berspektrum luas dan antibiotika yang di rekomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid (Purwadianto et al, 2014) sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Durasi penggunaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
sefotaksim selama pasien di rawat inap adalah 4 hari sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris yaitu 2-3 hari dan dapat dilanjutkan sampai 4 hari jika kondisi pasien membaik (Permenkes, 2011). Durasi penggunaan seftriakson selama 3 hari dan penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 5-14 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan kedua antibiotika ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat karena penggunaan sefotaksim telah sesuai dengan penggunaan antibiotika secara empiris dan seftriakson merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari sefotaksim selama pasien di rawat inap. Penggunaan kedua antibiotika ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama) dan lolos kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat). Dosis dan interval pemberian sefotaksim secara i.v adalah 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis dan interval pemberian seftriakson menurut Lacy et al. (2009) untuk anak-anak secara i.v adalah 75-80 mg/kg satu kali dalam sehari. Pasien ini umur 12 tahun dengan berat badan 27 kg selama di rawat inap menerima dosis sefotaksim dan seftriakson 3x1 g/hari (3000 mg/hari) secara intravena. Dosis yang diberikan untuk pasien anak ini berlebih karena tidak sesuai dengan kisaran dosis yang disarankan (Purwadianto et al., 2014) dan Lacy et al. (2009) sehingga kedua antibiotika ini tidak lolos kategori IIA (tepat dosis). 4. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (kategori IIB) Ketepatan interval pemberian antibiotika berkaitan dengan dosis antibiotika harian yang diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti dua kali sehari, tiga kali sehari, empat kali sehari, sehingga kadar obat dalam plasma
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
dapat dipertahankan (Kee and Hayes, 2009). Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 13 kasus penggunaan antibiotika ampisilin yang tidak tepat interval pemberian yaitu pada kasus 1, 7, 8, 9, 11, 16, 21, 23, 27, 33, 37, 39 dan amoksisilin pada kasus 13. Salah satu contoh penggunaan antibiotika yang tidak tepat interval pemberian yaitu kasus 1 (lampiran 3). Pada kasus 1, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid. Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah panas, batuk pilek sudah 2 minggu, muntah dan BAB (buang air besar) lembek. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah hemoglobin, lekosit, hematokrit dan hitung jenis lekosit. Penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Penurunan jumlah lekosit dan hitung jenis lekosit (penurunan eosinofil dan batang) dapat terjadi pada penderita infeksi tertentu. Hasil pemeriksaan bakteri menunjukan hasil positif. Hasil pemeriksaan IgM Salmonella menunjukan hasil negatif <= 2 (nilai normal: positif >= 4) (Sutedjo, 2008). Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan bahwa pasien anak tersebut terinfeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya. Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim dan ampisilin. Sefotaksim lolos kategori 0 (rasional) sedangkan ampisilin tidak lolos kategori IIB (penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Ampisilin merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
dan penggunaan ampisilin terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Ampisilin sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Ampisilin merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013) sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan merupakan antibiotika lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014) sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Durasi penggunaan ampisilin selama pasien di rawat inap adalah 7 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika lanjutan dari sefotaksim selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama) dan lolos kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat). Dosis dan interval pemberian menurut Lacy et al. (2009), dosis ampisilin untuk anak-anak secara i.v adalah 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Pasien ini umur 2 tahun dengan berat badan 11 kg selama di rawat inap menerima dosis ampisilin 3x350 mg/hari (1050 mg/hari) secara intravena, hal ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
sesuai dengan kisaran dosis yang disarankan Lacy et al. (2009) sehingga antibiotika ini lolos kategori IIA (tepat dosis). Interval pemberian dalam kasus ini adalah 3 kali dalam sehari dan tidak sesuai dengan interval pemberian yang disarankan Lacy et al. (2009) yaitu setiap 6 jam (4 kali dalam sehari) sehingga antibiotika ini tidak lolos kategori IIB (tidak tepat interval pemberian). Berdasarkan hasil evaluasi tersebut penggunaan ampisilin termasuk kategori IIB yaitu tidak tepat interval pemberian. 5. Penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian (kategori IIC) Rute pemberian antibiotika merupakan salah satu faktor penting dalam proses keberhasilan suatu terapi. Rute pemberian obat harus disesuaikan dengan kebutuhan klinis dan kondisi pasien saat itu. Rute pemberian obat harus dipilih rute yang paling aman dan bermanfaat bagi pasien (Djatmiko et al, 2008). Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan antibiotika yang tidak tepat cara/rute pemberian antibiotika. 6. Penggunaan antibiotika terlalu lama (kategori IIIA) dan Penggunaan antibiotika terlalu singkat (kategori IIIB) Lama pemberian antibiotika pada setiap jenis antibiotika sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparah dari suatu penyakit. Menurut Permenkes (2011) lama pemberian antibiotika untuk terapi empiris dapat dilakukan selama 2-3 hari. Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan antibiotika terlalu lama (kategori IIIA) dan ditemukan kasus penggunaan antibiotika terlalu singkat (kategori IIIB). Berdasarkan hasil evaluasi penggunaan antibiotika terlalu singkat terdapat pada kasus 23 (sefotaksim) dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
kasus 40 (ampisilin). Salah satu contoh penggunaan antibiotika terlalu singkat yaitu kasus 23 (lampiran 25). Pada kasus 23, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid. Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam sejak 7 hari yang lalu, mual, muntah, BAB cair, perut terasa nyeri dan sulit makan. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah hematokrit dan peningkatan jumlah lekosit. Penurunan jumlah hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Peningkatan jumlah lekosit menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit (penurunan jumlah batang, limfosit dan monosit serta peningkatan jumlah segmen). Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit memberi informasi spesifik berhubungan dengan infeksi. Hasil pemeriksaan Widal menunjukan hasil positif pada pemeriksaan Typhus O dan H serta P. Typhus O yang biasanya muncul apabila pasien mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya (Sutedjo, 2008). Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima sefotaksim, ampisilin dan kloramfenikol. Pada kasus 23 ini sefotaksim tidak lolos kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat). Pasien diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Sefotaksim merupakan salah satu antibiotika yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid yang diajurkan oleh WHO (2011). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Sefotaksim sudah cukup aman digunakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Sefotaksim merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax
dan lapixime (Pramudianto, 2013). Sefotaksim merupakan antibiotika
generik sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotika sejenis yang lebih murah). Sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan sefotaksim salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga lolos kategori IVD (tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Durasi penggunaan sefotaksim selama pasien di rawat inap adalah 1 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama dan terlalu singkat karena tidak sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama) dan terlalu singkat sehingga tidak lolos kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat). 7. Ada antibiotika lain yang lebih efektif (kategori IVA) Ada antibiotika lain yang lebih efektif dapat diartikan ada pilihan antibiotika lain yang lebih direkomendasikan untuk kondisi pasien karena dinilai akan memberikan outcome therapy yang lebih optimal. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 2 jenis antibiotika yang masuk dalam kategori “ada antibiotika lain yang lebih efektif”, yaitu amikasin dan siprofloksasin. Berdasarkan hasil evaluasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
ditemukan 5 kasus penggunaan antibiotika yang kurang aman yaitu kasus 7 (amikasin), kasus 15 (amikasin), kasus 15 (amikasin), dan kasus 33 (amikasin dan siprofloksasin). Salah satu contoh kasus tersebut yaitu kasus 33 (lampiran 35). Pada kasus 33, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid. Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit adalah demam sejak 12 hari yang lalu, demam terus menerus, menggigil pada sore hingga malam hari, nafsu makan menurun, batuk, pusing, mual, muntah, nyeri perut dan badan pegal-pegal. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan penurunan jumlah hemoglobin, lekosit dan hematokrit. Penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit umumnya terjadi pada kasus anemia atau gangguan pada saluran cerna. Penurunan jumlah lekosit menunjukan pasien anak menderita infeksi tertentu. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit pasien menunjukkan penurunan jumlah eosinofil dan peningkatan jumlah monosit. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit ini dapat menggambarkan kejadian dan proses penyakit dalam tubuh terutama penyakit infeksi. Hasil pemeriksaan serologi pasien menggunakan tes Widal untuk menentukan diagnosis demam tifoid, menunjukan hasil positif pada pemeriksaan typhus O dan H serta P. Typhus O, yang biasanya muncul apabila pasien mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga diperlukan antibiotika untuk penangananya (Sutedjo, 2008). Selama perawatan pasien anak dengan demam tifoid menerima ampisilin, sefotaksim, amikasin dan siprofloksasin. Ampisilin, sefotaksim dan siprofloksasin merupakan antibiotika yang dianjurkan oleh WHO (2011) dan Purwadianto et al (2014) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Siprofloksasin merupakan antibiotika golongan fluoroquinolon. Antibiotika
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
fluoroquinolon merupakan obat yang efektif untuk demam tifoid, tetapi fluoroquinolon
tidak
dapat
mengakibatkan
gangguan
diberikan
kepada
pertumbuhan
dan
anak-anak kerusakan
karena sendi
dapat
sehingga
siprofloksasin masuk dalam kategori “ada antibiotika lain yang lebih efektif” (Nelwan, 2012). Amikasin tidak termasuk dalam antibiotika yang dianjurkan oleh WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga amikasin masuk dalam kategori “ada antibiotika lain yang lebih efektif”. Amikasin merupakan derivat kanamisin semi-sintetis yang memiliki spektrum kerja terluas dari semua aminoglikosida,
termasuk
terhadap
Mycobacteria.
Aktivitasnya
bagi
Pseudomonas paling kuat, tetapi terhadap basil Gram-negatif lainnya 2-3 kali lebih lemah (kecuali Mycobacterium) (Tjay and Rahardja, 2010). Evaluasi kasus 33 lebih lengkap terlampir pada lampiran 35. 8. Penggunaan antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman (kategori IVB) Penggunaan antibiotika lain yang kurag toksik/lebih aman dapat disebabkan oleh adanya interaksi obat dan munculnya efek samping antibiotika yang tidak diinginkan. Penggunaan antibiotika menjadi tidak aman misalnya jika muncul reaksi alergi atau antibiotika yang diterima kontraindikasi dengan kondisi klinis pasien. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan 3 kasus penggunaan antibiotika yang kurang aman, salah satu kasus antibiotika tersebut terdapat pada kasus 6 (lampiran 8). Pada kasus 6, pasien anak menerima peresepan kloramfenikol untuk penatalaksanaan demam tifoid. Diagnosa utama dari pasien anak itu adalah demam tifoid berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
Penggunaan kloramfenikol pada anak-anak menurut Permenkes (2011) kurang aman karena dapat menyebabkan efek samping yang cukup serius seperti neuritis optic pada anak dan menurut Tjay dan Rahadja (2010) dapat menyebabkan anemia aplastis fatal serta resistensi dari antibiotika ini sudah seringkali dilaporkan. Kloramfenikol dapat digunakan apabila tidak ada pilihan antibiotika lain yang lebih aman untuk anak-anak. Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati Bantul menyediakan jenis antibiotika lain yang lebih aman dan direkomendasikan
untuk
penatalaksanaan
demam
tifoid
seperti
ampisilin/amoksisilin dan sepalosporin generasi ke-3. Berdasarkan uraian singkat tersebut penggunaan kloramfenikol untuk kasus ini dikategorikan dalah “ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman”. Evaluasi kasus 6 lebih lengkap terlampir pada lampiran 8. Selain kasus 6, kategori “ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman”,
juga terdapat
pada kasus
11
(kloramfenikol) dan
kasus
23
(kloramfenikol). 9. Ada antibiotika lain yang lebih murah (kategori IVC) Kategori IVC ini dievaluasi dengan membandingkan setiap antibiotika yang digunakan di RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan brand name dari setiap antibiotika berdasarkan pada buku acuan MIMS (Pramudianto, 2012). Semua antibiotika yang digunakan merupakan obat generik dan harganya lebih murah dibandingkan dengan brand name dari setiap antibiotika sehingga tidak terdapat kasus yang masuk ke dalam kategori ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
10. Ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit (kategori IVD) Proses pemilihan antibiotika dengan spektrum yang lebih sempit harus berdasarkan hasil kultur dari spesimen yang relevan atau dari pola kuman setempat (Permenkes, 2011). Pada penelitian ini antibiotika yang digunakan untuk penatalaksanaan demam tifoid berdasarkan pada antibiotika yang disarankan WHO (2011) dan Purwadianto (2014) untuk terapi demam tifoid. Penggunaan antibiotika untuk pasien anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul sudah sesuai dengan yang disarankan WHO (2011) dan Purwadianto (2014) untuk penatalaksanaan demam tifoid sehingga tidak terdapat kasus yang masuk ke dalam kategori ini. 11. Peresepan antibiotika tanpa indikasi (kategori V) Antibiotika tanpa indikasi dapat diartikan sebagai antibiotika yang diresepkan tidak sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2011). Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yang masuk dalam kategori ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
mengenai
evaluasi
kerasionalan
penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 dapat disimpulkan sebagai berikut ini: 1. Karakteristik pasien anak dengan persentase jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid, rentang umur >5-12 tahun, pada bulan April (17,5%) dan terendah pada bulan Januari, Mei, Juni, dan Juli (2,5%). Persentase distribusi diagnosis akhir penyakit demam tifoid lebih tinggi (52,5%) dibandingkan dengan diagnosa akhir demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi (47,5%). 2. Profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak dengan demam tifoid yang terbanyak adalah terdapat pada kelas terapi antibiotika. 3. Profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid untuk jenis antibiotika yang terbanyak adalah sefotaksim. Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim dengan dosis 500 mg dengan frekuensi 3 kali per hari. Durasi penggunaan antibiotika tersering adalah selama 4 hari. Rute pemberian antibiotika terbanyak adalah secara intravena.
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
4. Kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens pada pasien anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 adalah kategori 0 (47,3%), kategori IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IIIB (2,7%), kategori IVA (6,8%) dan kategori IVB (4%).
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika secara prospektif pada pasien anak dengan demam tifoid agar dapat melihat efek antara pemakaian antibiotika lanjutan setelah tidak dirawat inap dengan kondisi kesehatan pasien. 2. Penelitian selanjutnya sebaiknya menampilkan data wawancara dengan dokter selaku penulis resep di rumah sakit, sehingga analisis tidak hanya dari segi peneliti (buku acuan yang telah dipilih), namun juga terdapat perbandingan berupa argumen dokter yang meresepkan antibiotika sebagai terapi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Alam, A., 2011, Pola Resistensi Salmonella Enterica Serotipe Typhi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSHS, Tahun 2006-2010, Seri Pediatri, Vol. 12, No. 5, Februari 2011, pp. 296-301. Akbar, M.S., Yuanita, D., Harini, S., 2010, Pendekatan Cart Untuk Mendapatkan Faktor Yang Mempengaruhi Terjangkitnya Penyakit Demam Tifoid Di Aceh Utara, Jurnal CAUCHY-ISSN: 2086-0382 Vol.1 No. 2, pp. 71-77. Anagha, K., Deepika, B., Shahriar, R., and Sanjeev, K., 2012, The Easy and Early Diagnosis of Typhoid Fever, Journal of Clinical and Diagnostic Research, pp.198-199. Artanti, N.W., 2013, Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan, Dan Karakteristik Individu Dengan Kejadian Demam Tifoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012, Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang. Aziz, T., and Haque, S.S., Role of Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever in Context to Other Test, American Journal of Biochemistry, pp. 1618. BPOM RI, 2009, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Sagung Seto, Jakarta, pp. 352. Brooker, C., 2009, Ensiklopedia Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 20. Brusch,J.L., 2014, Typhoid Fever, http://emedicine.medscape.com/article/231135overview#a0199, diakses tanggal 17 Oktober 2014. Butler, T., 2011, Treatment of Typhoid Fever in the 21 st Century: Promises and Shortcomings, Clinical Microbiology and Infection, pp. 959–963. Cahyono, J.B., 2010, Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, pp. 93. Dinkes Kabupaten Bantul DIY, 2012, TB pada Anak: Overdiagnosis vs Sistem Skoring, Edisi 2/Jendela Husada, pp. 9-23. Djatmiko, M., Sugiyanti, dan Anas, Y., 2008, Analisis Biaya dan Gambaran Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di Puskesmas Tlogosari Kulon Tahun 2007, Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik Vol. 5 No. 2, pp. 23-26. Finch, R.G., Greenwood, D., Norrby, S.R., Whitley, R.J., 2010, Antibiotic and Chemotherapy: Anti-Infective Agents and Their Use in Therapy, 9th Edition, Elsevier, New York, pp. 171-185-188, 190,-191, 237-248, 287. 74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
Gunawan, 2012, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp. 585591. Guntur, H., 2006, Perspektif Masa Depan Imunologi Infeksi, Edisi II, Sebelas Maret University Press, Jakarta, pp. 34. Hatta, M., Sultan, A.R., Pastoor, r., and Smits, H.L., 2011, New Flagellin Gene for Salmonella enterica serovar Typhi from the East Indonesian Archipelago, Am. J. Trop. Med. Hyg., pp. 429–434. Hasan, I. M., 2002, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 14-22. Hadinegoro, S.R., 2008, Masalah Multi Drug Resistance Pada Demam Tifoid Anak, Cermin Dunia Kedokteran, No. 124, pp. 5-10. Joenoes dan Nanizar, 2001, ARS PRESCRIBENDI: Resep yang Rasional, Edisi 3, Airlangga University Press, Surabaya. Juwita, S., Edi, H., Budiarti, L.Y., 2013, Pola Sensitivitas In Vitro Salmonella typhi Terhadap Antibiotika Kloramfenikol, Amoksisilin, dan Kotrimoksazol, Di Bagian Anak Rsud Ulin Banjarmasin Periode MeiSeptember 2012, Berkala Kedokteran, pp. 21-29. Kaur, J., and Jain, S. K., 2012, Role of Antigens and Virulence factors of Aalmonella enteric serovar Typhi in its pathogenesis, Microbiological Research, pp. 199-210. Kemenkes RI, 2006, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006, Jakarta, pp. 9-10. Kemenkes RI, 2011, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 27, 37. Kee, J. L., dan Hayes, E. R., 2009, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, pp. 28. Lacy, C.F., Armstrong, L.L., and Goldman, M.P., Drug Information Handbook: A Comprehensive Resource for All Clinicians and Healthcare Professionals, American Pharmacists Association, New York. Marendra, Z., dan Febry, A.B., 2010, Smart Parents: Pandai Mengatur Menu dan Tanggap Saat Anak Sakit, Gagas Media, Jakarta, pp. 164. Meer, J.W.M., and Gyssens, I.C., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital, European Society of Clinical Microbiology anf Infection Diseases, pp. 12-15.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
Michael, J., Rybak and Jeffrey, R., 2008, Infection Disease, The McGrraw-Hill Companies, Inc., Unites State of America, pp. 175-177. Mitra, R., Kumar, N., Trigunayat, A., and Bhan, S., New Advances in the Rapid Diagnosis of Typhoid Fever, African Journal of Microbiology Research, pp. 1676-1677. Nani and Muzakkir, 2014, Kebiasaan Makan dengan Kejadian Demam Typdoid pada Anak, Journal of Pediatric Nursing, pp. 143-148. Nasronudin, 2007, Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang, Airlangga Unibersity Press, Surabaya, pp121-123. Narayanappa, D., Sripathi, R., Kumar, K.J., and Rajani, H.S., 2010, Comparative Study of Dot Enzyme Immunoassay (Typhidot-M) and Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever, Indian Pediatrics, pp. 331-333. Nelwan, RHH., 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Continuing Medical Education, Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta, CDK-192/vol. 39 no.4, pp. 247-250. Newton, A. E., dan Mintz, E., 2013, Typhoid and Paratyphid Fever, http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2014/chapter-3-infectiousdiseases-related-to-travel/typhoid-and-paratyphoid-fever, diakses tanggal 17 Oktober 2014. Newell, S., and Meadow, R., 2005, Lecture Notes on Paediatrics, Edisi, 7th Editions, diterjemakna oleh Hartini, K., Rachmawati, A.S., hal. 175, Penerbit Erlangga, Surabaya. Neil, K.P., Sodha, S.V., Lukwago, L., O-tipo, S., Mikoleit, M., Simingron, S.D., 2012, A Large Outbreak of Typhoid Fever Associated With a High Rate of Intestinal Perforation in Kasese District, Uganda, 2008-2009, Clinical Infectious Diseases Advance Access published March 12, pp. 1-9. Notoatmodjo, S., Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, pp. 2526. Owens, M.D., 2014, Salmonella Infection in Emergency Medicine Workup, http://emedicine.medscape.com/article/785774-workup, diakses tanggal 17 Oktober 2014. Permenkes, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011, pp. 8, 15, 16, 17, 34.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
Purwadianto, A., Malik, M.D., Syukur, A., Taher, A., Soebandrio, A., Hardjosastro D., et al, 2014, Mers-CoV: Zoonosis Baru, Farmacia, Vol. XIII No. 11, pp. 24-29. Rachman, A.F., Arkhaesi, N., dan Hardian, 2011, Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas untuk Diagnosis Demam Tifoid pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, pp. 1-20. Rahman, A.M., Ahmad, M., Begum, R.S., Hossain, M.Z., Hoque, S.A., and Matin, A., 2010, Typhoid Fever in Children-An Update, J Dhaka Med Coll. Vol. 19, No. 2, pp. 135-143. Rakhmawatie, M.D., 2008, Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Demam Tifoid di Unit Rawat Inap Bagian Anak dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Periode Januari-Desember 2004, Dosen FK Unimus, jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/114/95. Rampengan, N.H., 2013, Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Anak, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5, pp. 271-276. Riyatno, I.P., dan Sutrisna, E., 2011, Cost-Effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaxime dan Kloramfenikol di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, Mandala of Health. Volume 5, Nomor 2., pp. 1-5. Rufaldi, C.D., 2011, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2010, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pp. 39, 56. Saraswati, N.A., et. al., 2012, Karasteristik Tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010, Syifa „MEDIKA, Vol. 3 (No. 1),pp. 1-11. Setiabudy, R., 2007, Pengantar Antimikroba, Edisi kelima, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 585. Sharma, J., and Malakar, M., 2013, Distribution of Typhoid Fever in Different Rural and Urban Areas of Lakhimpur District of Assam, Int J Res Dev Health. Vol 1(3), pp. 109 – 114. Soedarmo, S. P. Garna, H., Hadinegoro, S. R., dan Sutari, H. I., 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, Edisi Kedua, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, pp. 343-344. Sutedjo, A.Y., 2008, Mengenal Obat-obatan Secara Mudah dan Aplikasinya dalam Perawatan, Amara Books, Yogyakarta, pp. 62.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
Tjay, T.H. and Rahardja, K., 2010, Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya, 6th Edition, Gramedia, Jakarta, pp. 296-297. Triana, M., 2003, Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid Bagi Pasien Anak di Istalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000-Desember 2001, Skripsi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yogyakarta. Utami, T.N., 2010, Demam Tifoid, Faculty of Medicine-University of Riau, Pekanbaru Riau, pp. 1-26. Wain, J., and Hosoglu, S., 2008, The Laboratory of Enteric Fever, J Infect Developing Countries, pp. 421-425. Wahab, S., 2000, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 1-4. Widoyono, 2011, PENYAKIT TROPIS: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya, Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp. 4445. World Health Organization, 2001, WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistence, Switzerland: World Health Organization. World Health Organization, 2011, Guideline for the Management of Typhoid Fever, Switzerland: World Health Organization.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LAMPIRAN
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 1. Daftar Diagnosis Pasien Anak Dengan Demam Tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013 No. 1.
Nomor RM 213072
Diagnosis Demam Tifoid komplikasi Bronkitis
Umur (tahun) 10
Jenis kelamin L
2. 3. 4.
240020 257704 273737
Diagnosis awal : FH10 dd Demam Tifoid, ISK. Diagnosis akhir : Demam Tifoid Demam Tifoid komplikasi Bronkitis Demam Tifoid
12 12 7
P L L
5.
285915
Diagnosis awal : FH7, Suspect Demam Tifoid dd ISK. Diagnosis akhir : Demam Tifoid PKTB
7
L
6.
338272
Diagnosis awal : FH4 dd Demam Tifoid, DF, DHF. Diagnosis akhir : Demam Tifoid komplikasi DF.
5
P
7. 8.
354310 365598
9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
4 7
L L
379804 380631 394264 402073
Diagnosis awal : FH13 dd Demam Tifoid. Diagnosis akhir : Demam Tifoid komplikasi TB anak Demam Tifoid komplikasi Vomitus Diagnosis awal : FH12 dd Demam Tifoid. Diagnosis akhir : Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid, Operasi ADB
10 3 3 6
L L P L
416851 431650 438222 441835 461861 467822 469439
Diagnosis awal : FH7, Suspect Demam Tifoid. Diagnosis akhir : Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid komplikasi RFA Demam Tifoid komplikasi ISPA Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid komplikasi PKTB
5 9 2 5 4 1,4 7
L L P L L L P
0,5 (11 Bulan)
L
1,9 9 2 10 9 4 12 10
P L P L L P P P
8
L
7 7 12 2
P L L P
12
L
7
L
3
P
20.
470708
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
482152 492120 493644 494236 495891 497257 499585 500044
29.
500886
30. 31. 32. 33.
506744 509956 511478 512720
34.
515872
35.
516185
36.
516709
Diagnosis awal : FH5 suspect DF dd Demam Tifoid, DHF, ISK. Diagnosis akhir : Demam Tifoid komplikasi RFA. Diagnosis awal : FH7 dd Demam Tifoid. Diagnosis akhir : Demam Tifoid komplikasi anemia defisiensi nutrisi. Demam Tifoid Demam Tifoid komplikasi DF dan ISK Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid komplikasi FA Diagnosis awal : Suspect Demam Tifoid, ISPA dd Bronkitis, PKTB. Diagnosis akhir : Demam Tifoid komplikasi Bronkitis, PKTB. Suspect Demam Tifoid, ISK, Status gizi kurang. Demam Tifoid Demam Tifoid Demam Tifoid Diagnosis awal : DBS, FH7 dd Demam Tifoid, ISK, DF. Diagnosis akhir : Demam Tifoid Diagnosis awal : FHS, DTD dd DHF, Demam Tifoid. Diagnosis akhir : Demam Tifoid Diagnosis awal : FH6 dd Demam Tifoid, ISK. Diagnosis akhir : Demam Tifoid komplikasi ISK
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37.
517905
38. 39. 40.
518290 519958 520310
Diagnosis awal : FH6 dd Demam Tifoid, RFA, FA, DF, DHF, dengan Diare Cair akut tanpa dehidrasi. Diagnosis akhir : Demam Tifoid dengan Diare Cair akut tanpa dehidrasi. Diagnosis awal : FH7, Demam Tifoid dengan urtikaria. Diagnosis akhir : Demam Tifoid dengan urtikaria. Demam Tifoid komplikasi Stomatitis membaik Demam Tifoid
7,5 8 4 3
81
L P P P
Lampiran 2. Golongan Obat yang Digunakan Pasien Selama Rawat Inap 1.
Antibiotika Golongan Obat
Jenis Antibiotika
Bentuk Sediaan
Kloramfenikol Ampisilin Amoksisilin Siprofloksasin Seftriakson Sefotaksim Sefiksim Amikasin
Larutan IV Larutan IV Tablet Tablet Larutan IV Larutan IV Kapsul Larutan IV
Kloramfenikol Penisilin Fluoroquinolon Sepalosporin
Antibiotika Lain
Jumlah obat dalam kasus (n=74) 3 21 1 1 1 35 8 4
Golongan Obat
Zat Aktif
2. Antimikotika/anti fungi Jenis Obat Bentuk Sediaan
Antimikotika
Nistatin
Kandistatin
3. Obat Gangguan Saluran Cerna Zat Aktif Golongan Obat
Obat Gangguan Saluran Cerna
Larutan Drop
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
Haloperidol Domperidone
Haloperidol Domperidone
Metoklopramida-HCl Zinc Sulfate Lactobacillus acidop
Primperan Zinc Lacto B
Tablet Tablet Sirup Larutan IV Tablet Sachet
Jumlah obat dalam kasus (n=2) 2
Persentase (%) 4,05 28,4 1,35 1,35 1,35 47,3 10,8 5,4
Persentase (%)
100
Jumlah obat dalam kasus (n=7) 1 1 1 2 1 1
Persentase (%)
Persentase (%)
2,6
14,3 14,3 14,3 28,5 14,3 14,3
hilus bifidobacterium longun Steptococcus faeeium, vit C, vit B, vit B2, vit B5, Niacin, Protein, Fat
4. Obat Susunan Saraf Pusat Zat Aktif Golongan Obat
Obat Susunan Saraf Pusat
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
Parasetamol
Parasetamol
Triheksifenidil hidroklorida Parasetamol
Trihexyphenidyl
Tablet Sirup Tablet
Jumlah obat dalam kasus (n=39) 12 25 1
Praxion Forte
Sirup
1
30,7 64,1 2,6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5. Obat Saluran Pernapasan Zat Aktif Golongan Obat
Obat Saluran Pernapasan
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
Salbutamol sulfat Salbutamol sulfat Tripilidina-HCl
Salbutamol
Triamsinolon asetonid Nebulizer Triprolidin-HCl Ambroxol Hidroklorida
6. Obat Antihistamin Zat Aktif Golongan Obat
Obat Antihistamin
7. Hormon Golongan Obat
Kortikosteroid
8. Vitamin Golongan Obat
Vitamin
Persentase (%)
Tablet
Jumlah obat dalam kasus (n=23) 3
Lasal
Sirup
3
13,0
Lapifed Trilac
Sirup Tablet Tablet
2 2 3
8,7 8,7 13,0
Nebulizer Quantidex Ambroxol
Kapsul Tablet
8 1 1
34,8 4,3 4,3
Persentase (%)
13,0
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
Cetirizine Heptasan
Sirup Tablet Tablet
Jumlah obat dalam kasus (n=4) 1 1 1
Lotion
1
25
Jumlah obat dalam kasus (n=3) 2 1
Persentase (%)
Persentase (%)
Sirup
Jumlah obat dalam kasus (n=8) 1
Sirup
1
12,5
Tablet Sirup
2 2
25 25
Vitamin B Compleks
Tablet
1
12,5
Vitamin C
Tablet
1
12,5
Cetirizine HCl Cyproheptadine HCl Difenhidramin, Calamine, Zinc Oxide, Glycerin, Champora qs.
82
25 25 25
Caladin Lotion
Zat Aktif
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
Betametason Dexamethason
Betametason Dexamethason
Sirup Larutan IV
Zat Aktif
Kurkuminoid, alfakaroten, dekspantotenol, vit-B1, vit B-2, vit-B6, vit-B12, vit-D, Ca-pidolat, fruktooligosakarida. Enchinacea, Znpikolinat, selenium, NaAskorbat. Asam Folat Vit-B1, vit-B2, vit-B6, vit-B12, a-karoten, deskpantenol, curcuminoid. Vit-B1, vit-B2, vit-B6, calcium pantothenate, nicotinamide. Vitamin C
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
66,7 33,3
12,5
Vitacur
Imunos Asam Folat Curcuma Plus
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9. Mineral dan Elektrolit Zat Aktif Golongan Obat
NaCl, KCl, CaCl2 NaCl, KCl, Na Laktat, Dekstrosa anhidrat Dextrose monohydrate Dextrose monohydrate
Jenis Obat
Bentuk Sediaan
Infus RL
83
Persentase (%)
Larutan Infus
Jumlah obat dalam kasus (n=49) 17
Larutan Infus
21
42,9
Infus D5%
Larutan Infus
10
20,4
Infus D10%
Larutan Infus
1
2,0
34,7
Infus KaEN 3B
Lampiran 3. Rekam Medis 1
I. Kasus 1 No. RM : 467822 Dirawat tanggal : 9-15 Agustus 2013 Informasi Pasien MA, laki-laki, umur 1 tahun 4 bulan, BB 10 kg, dengan keluhan panas, batuk pilek sudah 2 mingguan, muntah karena batuk 2 kali, BAB lembek 2 kali, BAK lancar, suhu tubuh 38°C. Diagnosa utama : demam tifoid. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal Pemeriksaan (Agustus 2013) Parameter Nilai Normal Satuan
Hematologi Hemoglobin Lekosit Eritrosit Trombosit Hematokrit Hitung Jenis Lekosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf
8
9
10,7 4,8 4,61 322 31,8
11,0 7,6 4,88 378 33,4
1 0 0 56 34 8
0 0 0 53 32 8
10
11
12
264 34
L:13-17;P:12-16 dws:4-10;ank:9-12 L:4,5-5,5;P:4,0-5,0 150-450 L:42-52;P:36-46 2-4 0-1 2-5 51-67 20-35 4-8
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1,015 Negatif 6,9 Negatif 3,2 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1,015-1,025 Negatif 4,8-7,4 Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
0-1 0-1 Positif
0-1 1-6 Positif
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
gr% ribu/ul juta/ul ribu/ul % % % % % % %
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Feses Lengkap Makroskopis Konsistensi Warna Lendir Darah Nanah Larva cacing Mikroskopis (zoom 40x) Lekosit Eritrosit Telor cacing Amoeba Bakteri Lain-lain parasit Pencernaan Amylum Lemak Serat otot Serat tumbuhtumbuhan
Parameter IGM Salmonella Catatan : Nilai Normal : Positif >=4 Terapi Antibiotika Nama Obat Sefotaksim Ampisilin Infus RL Lasal Paracetamol Lapifed Cetirizine Trilac
Negatif Negatif Negatif Negatif -
84
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Lembek Coklat Negatif Negatif Negatif Negatif
Lunak Kuning coklat Negatif Negatif Negatif Negatif
2-3 0-2 Negatif Negatif Positif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Positif
Negatif Negatif Negatif Positif
Tanggal Pemeriksaan (12 Agustus 2013) Negatif <=2
Dosis 3x350 mg (i.v) 3x350 mg (i.v) 8 tpm 3x1/2 cth 3x1/2 cth 3x1/2 cth 3x1/2 cth 3x2 mg
Tanggal Pemberian (agusutus) 9, 10 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 10, 11 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 9 13, 15
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 1 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
85
Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 2 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 2 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x350 mg/hari (1050 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001) Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
86
Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika lanjutan dari sefotaksim selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x350 mg/hari (1050 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Lampiran 4. Rekam Medis 2 I.
Kasus 2 No. RM : 493644 Dirawat tanggal : 24 Februari-6 Maret 2013
Informasi Pasien AD, perempuan, umur 2 tahun, BB 11 kg, dengan keluhan demam naik turun, batuk, pilek, pusing, mual, muntah, nyeri perut, nafsu makan dan minum baik, mimisan, sesak nafas, asma, Nadi 104x, nafas 32x, suhu tubuh 36,7°C, TD 90/60. Diagnosis utama : demam tifoid, dengue fever, infeksi saluran kencing. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal Pemeriksaan Parameter (Februari) Nilai Normal Satuan 24 25 26 27 28 Hematologi Hemoglobin 11,6 L:13-17;P:12-16 gr% Lekosit 11,5 dws:4-10;ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,60 L:4,5-5,5;P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 98 100 132 132 150-450 ribu/ul Hematokrit 34,2 34 35 36 L:42-52;P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 3 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 3 51-67 % Limfosit 56 20-35 % Monosit 4 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kuning Kekeruhan Agak keruh Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Negatif Mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif Negatif BJ 1,015 1,015 1,015-1,025 Darah Samar Negatif TRACE Negatif Ery/ul pH 8,5 7,5 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain
3,2 Negatif Negatif
3,2 Negatif Negatif
3,2-16 Negatif Negatif
1-3 0-2 Positif
1-2 0-2 Positif
0-1 1-6 Positif
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Positif Negatif
Negatif Negatif Negatif Positif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
87
Umol/L Leu/ul
Terapi Antibiotika Nama Obat Infus RL Paracetamol Sefotaksim
Dosis 3CC/lgBB/jam 8tpm 3-4x1 cth (10-20 mg/lgBB/kali) 3x400 mg (100-200 mg/lgBB/hari) (i.v)
Tanggal Pemberian (Februari-Maret) 24, 25, 26, 27, 28, 1, 2, 3, 4, 5, 6 24, 25, 26, 27, 28, 1, 2, 3, 4, 5, 6 24, 25, 26, 27, 28, 1, 2, 3, 4, 5, 6
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 2 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 11 hari. Menurut WHO (2011), lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 10-14 hari, sehingga lama penggunaan antibiotika ini sudah sesuai dengan literatur. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
88
hari. Menurut WHO (2011), lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 10-14 hari, sehingga lama penggunaan antibiotika ini sudah sesuai dengan literatur. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x400 mg/hari (1200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 5. Rekam medis 3 I. Kasus 3 No. RM : 441835 Dirawat tanggal : 26-29 Desember 2013 Informasi Pasien BA, laki-laki, berumur 5 tahun, BB 15 kg, dengan keluhan panas hilang muncul, batuk, pilek, hidung mampet, kadang muntah, nafsu makan dan minum menurun, tidak BAB selama 3 hari, nadi 108, nafas 28x, suhu tubuh 37°C, alergi dingin. Diagnosa utama : demam tifoid komplikasi ISPA. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Hematologi Hemoglobin Lekosit Eritrosit Trombosit Hematokrit Hitung Jenis Lekosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Sero-Imunologi WIDAL S. Typhi O S. Typhi H S. Paratyphi AH S. Paratyphi AO Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ
Tanggal Pemeriksaan (Desember) 26 27
Rujukan
Satuan
9,5-14,0 4,00-10,00 4,50-5,50 150-450 42,00-52,00
g/dl 10^3/ul 10^6/ul 10^3/ul Vol%
0 0 0 48 44 8
2-4 0-1 2-5 51-67 20-35 4-8
% % % % % %
Negatif 1/80 Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1,020
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1,015-1,025
10,6 6,30 4,62 196 31,6
199 35,0
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Sefotaksim Paracetamol Syr
Trace 5,50 Trace 0,20 Negatif Negatif
Negatif 5,00-8,50 Negatif 0,20-1,00 Negatif Negatif
0-2 1-2 Positif
0-2 0-3 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif -
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 6tpm 3x500 mg (i.v) 3x1 cth (k/p)
89
Eu/dl
Tanggal Pemberian 26, 27, 28, 29 26, 27, 28, 29 26, 27, 28, 29
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 3 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
90
penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 6. Rekam medis 4 I. Kasus 4 No. RM : 519958 Dirawat tanggal : 19-24 Desember 2013 Informasi Pasien LS, perempuan, berumur 4 tahun, BB 14 kg, dengan keluhan demam naik turun sejak 2 hari yang lalu, 1 minggu yang lalu sempat demam namun diberi paracetamol sehingga membaik, muntah 1x, susah makan, batuk, pilek, nadi 88x, nafas 20x, suhu tubuh 37°C. Diagnosa utama : demam tifoid komplikasi stomatitis membaik. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal Pemeriksaan Parameter (Desember) Rujukan Satuan 19 Hematologi Hemoglobin 12,2 9,5-14,0 g/dl Lekosit 5,93 9,00-12,00 10^3/ul Eritrosit 4,62 4,00-5,00 10^6/ul Trombosit 313 150-450 10^3/ul Hematokrit 36,8 36,0-46,0 Vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 3 2-5 % Segmen 41 51-67 % Limfosit 49 20-35 % Monosit 7 4-8 % Sero-Imunologi WIDAL S. Typhi O Positif 1/320 Negatif S. Typhi H Positif 1/320 Negatif S. Paratyphi AH Positif 1/160 Negatif S. Paratyphi AO Positif 1/160 Negatif Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin 1+ Negatif BJ >= 1,030 1,015-1,025 Darah Samar Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Sefotaksim Paracetamol Syr Candistatin
7,00 Trace 1,00 Negatif Negatif
5,00-8,50 Negatif 0,20-1,00 Negatif Negatif
Eu/dl
1-2 1-2 Positif
0-2 0-3 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 10 tpm 3x300 mg (i.v) 3-4x 1 ⁄ cth 4x1 drop
91
Tanggal Pemberian 19, 20, 21, 22, 23, 24 19, 20, 21, 22, 23, 24 19, 20, 21, 22, 23, 24 23, 24
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 4 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
92
kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x300 mg/hari (600 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 7. Rekam Medis 5 I. Kasus 5 No. RM : 461861 Dirawat tanggal : 4-7 Desember 2013 Informasi Pasien IP, laki-laki, berumur 4 tahun, BB 15 kg, dengan keluhan demam, lidah kotor, batuk dan pilek, makan dan minum susah, muntah 2x, ruam kemerahan, nadi, 120x/menit, nafas 24x/menit, suhu tubuh 38,3°C. Diagnosa utama : demam tifoid. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan (Desember) Rujukan Satuan 4 Hematologi Hemoglobin 10,9 9,5-14,0 g/dl Lekosit 9,03 9,00-12,00 10^3/ul Eritrosit 4,14 4,50-5,50 10^6/ul Trombosit 333 150-450 10^3/ul Hematokrit 32,5 42,0-52,0 Vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 6 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 6 2-5 % Segmen 64 51-67 % Limfosit 20 20-35 % Monosit 4 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Small Negatif Keton Urin 1+ Negatif BJ 1,020 1,015-1,025 Darah Samar Negatif Negatif pH 6,00 5,00-8,50 Protein Negatif Negatif Urobilinogen 0,20 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-2 /LPK
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infus KaEN 3B Sefotaksim Paracetamol
0-1 Positif
0-3 Positif
/LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif -
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 8 tpm 3x500 mg (i.v) 3-4x1 ⁄ cth
93
Tanggal Pemberian 4, 5, 6, 7 4, 5, 6, 7 4, 5
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 5 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
94
Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 8. Rekam Medis 6 I. Kasus 6 No. RM : 520310 Dirawat tanggal : 25-29 Desember 2013 Informasi Pasien NL, umur 3 tahun, BB 13 kg, dengan keluhan demam sejak 12 hari yang lalu, batuk kering, pilek, kadang-kadang muntah, nyeri telan, pusing, Suhu 37,5ºC, nadi 120x/menit, nafas 40x/menit. Diagnosis akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan (Desember) Rujukan Satuan 25 Hematologi Hemoglobin 10,6 9,5-14,0 g/dl Lekosit 12,10 9,00-12,00 10^3/ul Eritrosit 4,19 4,50-5,50 10^6/ul Trombosit 264 150-450 10^3/ul Hematokrit 30,8 42,0-52,0 Vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 70 51-67 % Limfosit 23 20-35 % Monosit 6 4-8 % Sero Imunologi Widal S, Typhi O Positif 1/320 Negatif S, Typhi H Positif 1/640 Negatif S, Paratyphi AH Negatif Negatif S, Paratyphi AO Positif 1/160 Negatif Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian Infus KaEN 3B 8 tpm 25, 26, 27, 28, 29 Injeksi Kloramfenikol 3x 225 mg (i.v) 25, 26, 27, 28, 29 Parasetamol (p,o) 1 cth (k/p) 25, 26, 27, 28, 29 Nebulizer Ventolin 2 CC/8 jam 25, 26, 27, 28, 29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 6 1. Kloramfenikol Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Tidak lolos kategori IVB (Ada antibiotika lain yang kurang toksik) Assessment: antibiotika ini kurang aman digunakan untuk pasien anak karena dapat menyebabkan efek samping yang cukup serius, seperti neuritis optik pada anak (Permenkes, 2011) dan anemia aplastis fatal serta resistensi dari antibiotika ini sudah seringkali dilaporkan (Tjay and Rahadja, 2010). Antibiotika lain yang cukup direkomendasikan untuk penanganan kasus demam tifoid pada pasien anak diataranya adalah amoksisilin atau ampisilin dan sepalosporin generasi ke-3 (Purwadianto et al, 2014). Ada antibiotika lain yang kurang toksik (kategori IVB)
Lampiran 9. Rekam Medis 7 I. Kasus 7 No. RM : 213072 Dirawat tanggal : 26 Februari – 6 Maret 2013 Informasi Pasien HP, laiki-laki, umur 10 tahun, BB 24,5 kg, dengan keluhan demam sejak 2 minggu lalu, pusing, perut terasa nyeri, pusing, mual, muntah, menggigil pada malam hari, sudah periksa di Puskesmas diberi obat Paracetamol, tapi belum membaik, kejang, nafsu makan menurun, nyeri telan, sesak nafas. Waktu berumur ±1 tahun memiliki riwayat pengobatan TB patu selama 6 bulan. Suka makan pedas. Suhu tubuh 37,7°C, nadi 84x/menit, nafas 44x. Diagnosa awal: observasi febris dd Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi Bronkitis. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Februari) 26 27 28 Hematologi Hemoglobin 13,0 L:13-17;P:12-16 gr% Lekosit 9,65 dws:4-10;ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,87 L:4,5-5,5;P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 155 160 236 150-450 ribu/ul Hematokrit 38,6 36 36 L:42-52;P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 1 2-5 % Segmen 81 51-67 % Limfosit 11 20-35 % Monosit 5 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1,015 1,015-1,025 Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul pH 8,0 4,8-7,4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain WIDAL Typhus-O Positif 1/180 Typhus-H Positif 1/180 P. Typhus-A Negatif P. Typhus-O Positif 1/160 Terapi Antibiotika Nama Obat Infus D5% Injeksi Sefotaksim Injeksi Sefotaksim Injeksi ampisilin Injeksi ampisilin Injeksi ampisilin Injeksi amikasin Paracetamol tablet Nebulizer Ventolin+Combivent Vitamin B Complex Vitamin C
Trace 16 Negatif Negatif
Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
1-2 2-4 Positif
0-1 1-6 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
96
g/L Umol/L Leu/ul
Negatif Negatif Negatif Negatif Dosis 5 tpm 3x500 mg 3x1gr 3x500 mg 3x1gr 3x750 mg 2x180 mg ½ tablet (k/p) ½ ampul/8 jam 1x1 tablet 1x1 tablet
Tanggal Pemberian 26, 27, 28, 1, 2, 3, 4, 5, 6 26 27, 28, 1, 2 26 27, 28, 1, 2 3, 4, 5, 6 3, 4, 5, 6 27, 28, 1, 2, 3, 4, 5, 6 28, 1, 2, 3, 4, 5, 6 6 6
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 7 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
97
Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari) dan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 9 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena penggunaan antibiotika ini untuk penatalaksanaan terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 9 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk penatalaksanaan terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Peneliti meloloskan ampisilin ke dalam kategori IIIB (penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat) karena antibiotika ini merupakan antibiotika lanjutan yang digunakan pasien ini selama pasien di rawat inap. Peneliti juga mempertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari), 3x750 mg/hari (2250 mg/hari), dan 3x1 mg/hari (3000 mg/gari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 24 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIB
Kesimpulan
3. Amikasin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kesimpulan
98
Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: spektrum kerja dari antibiotika ini luas sehingga adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi Tidak lolos kategori IVA (Ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment:obat ini tidak efektif untuk terapi demam tifoid walaupun spektrum kerjanya luas karena tidak termasuk antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk terapi demam tifoid. Ada antibiotika yang lebih efektif (kategori IVA)
Lampiran 10. Rekam Medis 8 I. Kasus 8 No. RM : 506744 Dirawat tanggal : 10-13 Juli 2013 Informasi Pasien NW, umur 7 tahun, BB 17 kg, dengan keluhan demam mulai 1 minggu lalu, muntah, nafsu makan menurun, nyeri perut, batuk, pilek, pusing. Suhu tubuh 38°C, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit. Diagnosa awal : Demam Tifoid, ISK, Status gizi kurang. Diagnosa akhir: suspect Demam Tifoid, komplikasi ISK, Status gizi kurang. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Juli) 10 12 Hematologi Hemoglobin 14,6 L:13-17;P:12-16 gr% Lekosit 6,71 dws:4-10;ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,73 L:4,5-5,5;P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 202 160 150-450 ribu/ul Hematokrit 43,0 36 L:42-52;P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 3 0-1 % Batang 15 2-5 % Segmen 58 51-67 % Limfosit 17 20-35 % Monosit 6 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin 1,5 Negatif BJ 1,015 1,015-1,025 Darah Samar Trace (+/-) Negatif Ery/ul pH 6,5 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif g/L Urobilinogen 70 3,2-16 Umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul Sedimen Urin Eritrosit 1-2 0-1 /LPK Lekosit 3-7 1-6 /LPK
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain WIDAL Typhus-O Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O Terapi Antibiotika Nama Obat Infus KaEN 3B Injeksi ampisilin Paracetamol Sirup
99
Positif
Positif
/LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Negatif Positif 1/320 Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif
Dosis 5 tpm 3x500 mg 3x1 ½ cth (k/p)
Tanggal Pemberian 10, 11, 12, 13 10, 11, 12, 13 10, 11, 12, 13
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 8 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
100
Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Lampiran 11. Rekam Medis 9 I. Kasus 9 No. RM : 285915 Dirawat tanggal : 30 Oktober - 5 November2013 Informasi Pasien ZB, umur 7 tahun, BB 15 kg, dengan keluhan demam sejak 8 hari yang lalu, demam terus-menerus, demam turun jika minum obat, pusing, batuk, pilek, mual, muntah, kembung. Suhu tubuh 37,4°C, nadi 103x/menit, nafas 32x/menit. Diagnosa masuk : FH7, suspect Demam Tifoid dd ISK. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi PKTB. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal (Oktober) Satuan 30 Hematologi Hemoglobin 10,1 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 6,7 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 3,99 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 185 150-450 ribu/ul Hematokrit 30,0 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 64 51-67 % Limfosit 28 20-35 % Monosit 8 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif 1/320 Negatif Typhus-H Positif 1/320 Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Positif 1/80 Negatif Terapi Antibiotika Nama Obat Infus D5% Injeksi ampicillin Injeksi sefotaksim Sefiksim (p.o) Paracetamol sirup (p.o)
Dosis 5 tpm 3x500 mg 3x500 mg 2x75 mg 1 ¾ cth (k/p)
Tanggal Pemberian 30, 31, 1, 2, 3, 4, 5 30, 31, 1, 2 30, 31, 1, 2 3, 4, 5 30, 31, 1, 2, 3, 4, 5
Negatif Negatif Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 9 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
3. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
102
untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
103
Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 7-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid menurut WHO (2011) adalah selama 7-14 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena sefiksim merupakan antibiotika lanjutan dari antibiotika kombinasi ampisilin dan sefotaksim selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x75 mg/hari (150 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari) dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurankan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari (2 kali dalam sehari). (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 12. Rekam Medis 10 I. Kasus 10 No. RM : 500044 Dirawat tanggal : 27 April – 4 Mei 2013 Informasi Pasien VF, umur 10 tahun, BB 58 kg, dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu, demam mendadak tinggi, mimisan, riwayat mimisan tiap kali demam, nyeri perut, muntah, batuk, demam naik turun. Suhu 39,8°C, nadi 98x/menit, nafas 22x/menit. Diagnosa akhir : Demam Tifoid komplikasi FA. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (April-Mei) 27 28 29 30 1 Hematologi Hemoglobin 15,7 L:13-17;P:12-16 gr% Lekosit 5,8 dws:4-10;ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,59 L:4,5-5,5;P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 158 142 144 194 196 150-450 ribu/ul Hematokrit 45,7 40 41 42 42 L:42-52;P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 1 2-5 % Segmen 45 51-67 %
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Limfosit Monosit Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infus RL Salbutamol (p.o) Paracetamol Injeksi sefotaksim
45 12
20-35 4-8
104
% %
Kuning Jernih Negatif 1+ >=15,6 1,025 Trace (+/-) 6,0 7-3,0 66 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 4,8-7,4 Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
0-2 0-2 Positif
0-1 1-6 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 3 CC/kgBB/jam (44tpm) 3x2 mg 3-4x 1 tablet (k/p) 3x1 gr (100-200mg/kgBB/hari)
Mmol/L
Ery/ul g/L Umol/L Leu/ul
Tanggal Pemberian 27, 28, 29, 30, 1, 2, 3, 4 27, 28, 29, 30, 1, 2, 3, 4 27, 28, 29, 30, 1 27, 28, 29, 30, 1, 2, 3, 4
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 10 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
105
antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) penggunaan sefotaksim untuk terapi demam tifoid selama 10-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Menurut WHO (2011) penggunaan sefotaksim untuk terapi demam tifoid selama 10-14 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Lampiran 13. Rekam Medis 11 I. Kasus 11 No. RM : 499585 Dirawat tanggal : 23-26 April 2013 Informasi Pasien LN, umur 12 tahun, BB 38 kg, dengan keluhan demam tinggi sejak 6 hari yang lalu, batuk, pilek, mual, muntah, tidak mau makan dan minum, sering menangis, gelisah, badan lemah, amandel besar. Suhu tubuh 37°C, respirasi 28x/menit, nadi 96x/menit. Diagnosis akhir : Demam Tifoid. Keadaan keluar : Membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (April) 23 Hematologi Hemoglobin 14,8 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 6,9 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,20 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 300 150-450 ribu/ul Hematokrit 43,9 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 3 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 60 51-67 % Limfosit 31 20-35 % Monosit 4 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif 1/160 Negatif Typhus-H Positif 1/160 Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Negatif Negatif Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian Infus D 10 % 5 tpm 23, 24, 25, 26 Injeksi ampisilin 3x500 mg 23, 24, 25, 26 Injeksi kloramfenikol 3x500 mg 23, 24, 25, 26 Haloperidol 0,75 mg 2x1 23 Trihexiperidil 1mg 2x1 23 Haloperidol 1,5 mg 3x1/2 24 Trihexiperidil 1 mg 1x1 24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 11 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
2. Kloramfenikol Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kesimpulan
107
tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Tidak lolos kategori IVB (Ada antibiotika lain yang kurang toksik) Assessment: antibiotika ini kurang aman digunakan untuk pasien anak karena dapat menyebabkan efek samping yang cukup serius, seperti neuritis optik pada anak (Permenkes, 2011) dan anemia aplastis fatal serta resistensi dari antibiotika ini sudah seringkali dilaporkan (Tjay and Rahadja, 2010). Antibiotika lain yang cukup direkomendasikan untuk penanganan kasus demam tifoid pada pasien anak diataranya adalah amoksisilin atau ampisilin dan sepalosporin generasi ke-3 (Purwadianto et al, 2014). Ada antibiotika lain yang kurang toksik (kategori IVB)
Lampiran 14. Rekam Medis 12 I. Kasus 12 No. RM : 516185 Dirawat tanggal : 2-12 November 2013 Informasi Pasien AK, umur 7 tahun, BB 20 kg, dengan keluhan demam naik turun sejak 5 hari yang lalu, muntah 1 kali, nyeri kepala, nyeri perut, makan dan minum kurang, batuk, pilek. Suhu tubuh 38,5°C, nadi 117x/menit, nafas 23x/menit, tensi 100/50. Diagnosa masuk : FH5, DT dd DHF, Demam Tifoid. Diagnosa akhir : Demam Tifoid. Keada keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (November) 2 3 4 5 6 Hematologi Hemoglobin 11,2 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 2,77 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,68 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 150 146 140 166 212 150-450 ribu/ul Hematokrit 33,5 35 32 35 33,0 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 61 51-67 % Limfosit 34 20-35 % Monosit 5 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Agak keruh Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin +1 Negatif Keton Urin +4 Negatif BJ 1,015 1,015-1,025 Darah Samar Trace Negatif pH 8,5 4,8-7,4 Protein +2 Negatif g/L Urobilinogen 1,0 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 3-5 0-1 /LPK Lekosit 0-1 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lain-lain WIDAL Typhus-O Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse RL Paracetamol (p.o) Sefiksim (p.o) Injeksi sefotaksim Injeksi sefotaksim Infuse plug
-
Negatif
Negatif Positif 1/320 Negatif Negatif
108
/LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif
Dosis 15 tpm 3-4 x 2 cth 2x100 mg 3x750 mg 3x1 gr -
Tanggal Pemberian 2, 3, 4, 5, 6, 7 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 8, 9 9, 10, 11, 12 8, 9, 10, 11, 12
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 12 1. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 7-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena menurut WHO (2011) lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 7-14 hari. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x100 mg/hari (200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari), dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari. (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
109
Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 10-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid menurut WHO (2011) adalah selama 10-14 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena sefotaksim merupakan antibiotika lanjutan dari sefiksim selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari) dan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x750 mg/hari dan 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tidak tepat dosis (Kategori IIA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
110
Lampiran 15. Rekam Medis 13 I. Kasus 13 No. RM : 402073 Dirawat tanggal : 14-21 Januari 2013 Informasi Pasien HB, umur 6 tahun, BB 22 kg, dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, biasa tiggi pada malam hari setelah magrib, batuk, pilek, muntah. Suhu tubuh 35,2°C, nafas 36x/menit, nadi 88x. Diagnosis akhir : Demam Tifoid Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan 14 Hematologi Hemoglobin 10,8 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 7,5 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 3,93 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 287 150-450 ribu/ul Hematokrit 31,6 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 1 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 44 51-67 % Limfosit 45 20-35 % Monosit 4 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1,010 1,015-1,025 Darah Samar Negatif Negatif pH 6,0 4,8-7,4 Protein Trace Negatif Urobilinogen 1,0 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-1 /LPK Lekosit 0-1 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Paracetamol Sefiksim (p.o) amoxicillin (p.o)
Dosis 8 tpm 3-4x 2 cth 2x100 mg 3x250 mg
Tanggal Pemberian 14, 15, 16, 17 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 18, 19, 20, 21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
111
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 13 1. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika menurut WHO (2011) yaitu selama 7-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika menurut WHO (2011) yaitu selama 7-14 hari. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x100 mg/hari (200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari) dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurankan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari (2 kali dalam sehari). (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Amoksisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
112
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari amoksisilin seperti amoxil, amoxsan, bintamox, bioxyllin, hufanoxil, penmox, ospamox, omemox dan solpenox (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: amoksisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena lama penggunaan antibiotika ini menurut WHO (2011) untuk terapi demam tifoid yaitu selama 14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika ini menurut WHO (2011) untuk terapi demam tifoid yaitu selama 14 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena amoksisilin merupakan antibiotika lanjutan dari penggunaan antibiotika sefiksim selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x250 mg/hari (750 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
113
Lampiran 16. Rekam Medis 14 I. Kasus 14 No. RM : 515872 Dirawat tanggal : 29 Oktober - 7 November 2013 Informasi Pasien SB, umur 12 tahun, BB 27 kg, sengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, pilek, mual, muntah, mimisan, gusi berdarah, nyeri telan. Suhu tubuh 38°C, nadi 90x/menit, napas 20x/menit. Diagnosa awal: DBS, FH7dd Demam Tifoid, ISK, DF. Diagnose akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan ( Oktober - November) 29 30 31 1 2 Hematologi Hemoglobin 12,3 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 3,9 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,36 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 160 158 152 150 212 150-450 ribu/ul Hematokrit 34,9 37 38 37 35 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 72 51-67 % Limfosit 21 20-35 % Monosit 5 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.015 1.015-1.025 Darah Samar Trace Negatif pH 7,5 5,00-8,50 Protein Negatif Negatif Urobilinogen 1,0 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 1-2 0-1 /LPK Lekosit 0-1` 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Infus RL Parasetamol 10-20 mg Parasetamol 500 mg Parasetamol 500 mg Injeksi sefotaksim Injeksi seftriakson Injeksi ampicilin sefiksim
Dosis 8 tpm 3-4x1 tablet 3-4x1 tablet 3-4x3/4 tablet 3x1 gr 3x1 gr 4x700 mg 2x100 mg
Tanggal Pemberian 29, 30, 31, 1, 2, 3, 4, 5 29 30, 31, 1 2, 3, 4, 5, 6, 7 29, 30, 31, 1 2, 3, 4 2, 3, 4, 5, 6 5, 6, 7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 14 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan 2. Seftriakson Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA) Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
3. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
115
Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari seftriakson seperti elpicef, faricef, racef, starxon, trijec, zeftrix, cefim, dan brospec (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: seftriakson merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 5-14 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 5-14 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena seftriakson merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari antibiotika sefotaksim selama pasien di rawat inap. Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 75-80 mg/kg satu kali dalam sehari untuk pemberian secara i.v. (Lacy et al, 2009). Dosis 3x1 g/hari yang diberikan tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak karena overdose/dosisnya berlebih.` Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (kategori IIA)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari antibiotika sefriakson selama pasien di rawat inap. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x700 mg/hari (2800 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
4. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
116
jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 7-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 7-14 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena sefiksim merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari antibiotika ampisilin selama pasien di rawat inap dan pertimbangan penggunaan antibiotika yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x100 mg/hari (200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari) dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurankan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari (2 kali dalam sehari). (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
117
Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 17. Rekam Medis 15 I. Kasus 15 No. RM : 511478 Dirawat tanggal : 9-19 September 2013 Informasi Pasien DY, umur 12 tahun, BB 39 kg, dengan keluhan panas mulai rabu pagi, pusing, batuk, kemarin muntah, kadang-kadang setelah makan muntah. Suhu tubuh 38,4°C, TD 100/60 mmHg. Diagnose akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (September) 7 9 10 11 12 13 Hematologi Hemoglobin 13,3 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 6,6 dws:4-10; ank:9ribu/ul 12 Eritrosit 5,08 L:4,5-5,5; P:4,0juta/ul 5,0 Trombosit 256 150 176 160 172 200 150-450 ribu/ul Hematokrit 38,3 37 38 35 38 38 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 68 51-67 % Limfosit 27 20-35 % Monosit 3 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ <=1,005 1.015-1.025 Darah Samar 80 Negatif pH 5,5 5,00-8,50 Protein Negatif Negatif Urobilinogen 16 3,2-16 Umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 2-3 0-1 /LPK Lekosit 1-2 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse RL Sefiksim (p.o) Injeksi sefotaksim Injeksi ampisilin 500 mg Injeksi amikasin Salbutamol (p.o) Lapifed Trilac
-
Negatif
Dosis 3 CC/kgBB/jam 2x100 mg 3x1 gr 4x500 mg 3x350 mg 3x2 mg 3x1 mg 3x4 mg
118
/LPK
Tanggal Pemberian 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 9, 10 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 13, 14, 15, 16, 18 17, 18 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 12, 14, 15 14, 15, 16, 17, 18
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 15 1. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 2 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 2 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x100 mg/hari (200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari) dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurankan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari (2 kali dalam sehari). (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
3. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
119
Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) untuk terapi demam tifoid adalah selama 10-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Penggunaan antibiotika ini menurut WHO (2011) untuk terapi demam tifoid adalah selama 10-14 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena sefotaksim merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari antibiotika sefiksim selama pasien di rawat inap. Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
4. Amikasin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kesimpulan
120
(Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari antibiotika sefiksim selama pasien di rawat inap. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x500 mg/hari (2000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: spektrum kerja dari antibiotika ini luas sehingga adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi Tidak lolos kategori IVA (Ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment:obat ini tidak efektif untuk terapi demam tifoid walaupun spektrum kerjanya luas karena tidak termasuk antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk terapi demam tifoid. Ada antibiotika yang lebih efektif (kategori IVA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
121
Lampiran 18. Rekam Medis 16 I. Kasus 16 No. RM : 482152 Dirawat tanggal : 13-17 Maret 2013 Informasi Pasien FC, umur 1 tahun, BB 8,5 kg, dengan keluhan demam naik turun sejak 7 hari yang lalu, kalau malam panas, pagi normal, sulit makan, minum air putih banyak, mual, muntah, batuk, pilek, orang tua pasien merasa ada luka di atas rongga mulut. Suhu tubuh 37,5°C, nadi 96x/menit, nafas 30x/menit. Diagnosa masuk: obs Febris H-7 dd Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi anemia defisiensi nutrisi. Keadaan keluar : membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Maret) 13 Hematologi Hemoglobin 8,7 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 19,3 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,37 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 533 150-450 ribu/ul Hematokrit 30,0 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 46 51-67 % Limfosit 44 20-35 % Monosit 4 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif 1/320 Negatif Typhus-H Positif 1/320 Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Positif 1/80 Negatif
Eritrosit Leukosit Trombosit Kesan Kesimpulan Saran Terapi Antibiotika Nama Obat Infeksi D5% Injeksi ampisilin Injeksi sefotaksim Injeksi ampisilin Sefiksim Sanmol
Hasil Pemeriksaan MDT Mikrositik, hipokromik, sel pensil, sel sigar, sel target, sel burr, sel fragment. Jumlah meningkat, dominasi seri sel limfosit, limfositik atopic, eosinofilia, granulasi toksik netrofil. Jumlah meningkat, prrybran merata, trombosit besar (+), trombosit giant (+). Morfologi darah tepi menunjukan Gambaran anemia disertai dengan proses infeksi dan reaksi hipersensitivitas. Obs. Anemia defisiensi nutrisi Pemeriksaan feses rutin, pemantauan darah rutin, pemeriksaan status besi.
Dosis 5 tpm 3x300 mg 3x300 mg 3x250 mg 2x100 mg ¾ cth (k/p)
Tanggal Pemberian 13, 14, 15, 16, 17 13, 14, 15, 16 13, 14, 15, 16 17 17 13, 14, 15, 16, 17
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 16 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
122
Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x250 mg/hari (750 mg/hari) dan 3x300 mg/hari (900 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
3. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
123
sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x300 mg/hari (900 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
124
hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena menurut WHO (2011) penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid selama 7-14 hari. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika ini menurut WHO (2011) untuk terapi demam tifoid selama 7-14 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena sefiksim merupakan antibiotika pengganti/lanjutan dari antibiotika sefotaksim dan ampisilin selama pasien di rawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang dibawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x75 mg/hari (150 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari) dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurankan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari (2 kali dalam sehari) (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 19. Rekam Medis 17 I. Kasus 17 No. RM :394264 Dirawat tanggal : 16-21 Maret 2013 Informasi Pasien SR, umur 3 tahun, BB 14 kg, dengan keluhan demam sudah mulai hari senin, perut kadang sakit, kadang BAB cair, mual, muntah, batuk, pilek, susah makan dan minum. Suhu tubuh 37,5°C, nafas 18x/menit, tensi 100/70. Diagnosa masuk: Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Maret) 16 17 18 19 20 21 Hematologi Hemoglobin 12,4 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 3,4 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,26 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 177 172 168 164 145 150 150-450 ribu/ul Hematokrit 35,4 35 36 35 36 36 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 5 2-5 % Segmen 39 51-67 % Limfosit 49 20-35 % Monosit 7 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif Negatif 1/320 Typhus-H Positif Negatif 1/160 P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Positif Negatif 1/80 NS1 Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse RL Parasetamol (10-20mg/kgBB/x) Lasal Lapifed Injeksi sefotaksim (100-200mg/kgBB/hari) Infuse KaEN 3B Praxion Forte
Dosis 8 tpm 3-2x 2cth 3x3/4 cth 3x3/4 cth 3x500 mg 8 tpm 3-4x3/4 cth (k/p)
Tanggal Pemberian 16 16 16, 17, 18, 19, 20, 21 16, 17, 18, 19, 20, 21 16, 17, 18, 19, 20, 21 16, 17, 18, 19, 20, 21 16, 17, 18, 19, 20, 21
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 17 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori 0
Kesimpulan
126
berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 20. Rekam Medis 18 I. Kasus 18 No. RM : 338272 Dirawat tanggal : 6-9 Maret 2013 Informasi Pasien JR, umur 5 tahun, BB 14,2 kg, dengan keluhan demam 4 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk, pilek, pusing, badan terasa pegal, nafsu makan dan minum menurun, mimisan, gusi berdarah, muntah. Suhu tubuh 39,4°C, nafas 34x/menit, nadi 120x/menit. Diagnosa masuk: obs. Febris H4dd DF, DHF, Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi DF. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Maret) 6 7 8 9 Hematologi Hemoglobin 12,5 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 2,81 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,85 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 161 174 182 212 150-450 ribu/ul Hematokrit 36,5 36 39 40 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 1 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 57 51-67 % Limfosit 36 20-35 % Monosit 3 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.015 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul pH 7,0 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif g/L Urobilinogen 3,2 3,2-16 Umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul Sedimen Urin Eritrosit 1-2 0-1 /LPK Lekosit 0-1 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian Infus RL 3 CC/kgBB/jam 11 tpm 6, 7, 8, 9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Parasetamol Obat batuk dari OT Nebulizer farbivent selang seling/diselingi Flexo Diazepam Quantidex Sefiksim
3-4x 1 ½ cth 6-8 gram
6, 7, 8, 9 6, 7 7, 8, 9
2 mg jika suhu >38°C 2x70 mg
7, 8, 9 6, 7, 8, 9
127
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 18 1. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x70 mg/hari (140 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak adalah 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari) dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurankan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari (2 kali dalam sehari). (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kesimpulan
128
Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 21. Rekam Medis 19 I. Kasus 19 No. RM : 431650 Dirawat tanggal : 16-19 Desember 2013 Informasi Pasien AP, umur 9 tahun, BB 26 kg, dengan keluhan demam, mengggigil, keringat dingin, kembung, jika kembung pasien kemudian panas, mual,muntah, batuk, pilek, pusing. Suhu tubuh 38,6°C. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Desember) 12 Hematologi Hemoglobin 12,9 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 6,34 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,46 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 212 150-450 ribu/ul Hematokrit 38,5 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 66 51-67 % Limfosit 24 20-35 % Monosit 5 4-8 % Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN Injeksi sefotaksim Parasetamol Lapifed
Dosis 8 tpm 3x500 mg 3x500 mg 3x1/2 tablet
Tanggal Pemberian 16, 17, 18, 19 16, 17, 18, 19 16, 17, 18, 19 18, 19
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 19 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
129
clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 22. Rekam Medis 20 I. Kasus 20 No. RM : 509956 Dirawat tanggal : 20-23 Agustus 2013 Informasi Pasien RM, umur 7 tahun, BB 19,5 kg, dengan keluhan panas naik turun selama 2 minggu, sering terjadi pada malam hari, perut kadang-kadang sakit, batuk. Suhu tubuh 38,5°C. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Rujukan Satuan (Agustus) 20 Hematologi Hemoglobin 12,8 13,0-17,0 g/dl Lekosit 13,10 4,00-10,00 10^3/ul Eritrosit 4,89 4,50-5,50 10^6/ul Trombosit 420 150-450 10^3/ul Hematokrit 38,5 42,0-52,0 vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 1 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 49 51-67 % Limfosit 40 20-35 % Monosit 4 4-8 % LED 1jam 42 0-15 mm/jam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infus D5% Injeksi ampisilin Injeksi sefotaksim Parasetamol
130
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015 Negatif 7,00 Negatif 10,00 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 5,00-8,50 Negatif 0,20-1,00 Negatif Negatif
0-1 0-3 Positif
0-2 0-3 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif -
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 8 tpm 4x500 mg 3x750 mg 1 ½ cth (k/p)
g/dl
Eu/dl Leu/ul
Tanggal Pemberian 20, 21, 22, 23 20, 21, 22, 23 20, 21, 22, 23 20, 21, 22, 23
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 20 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
131
Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x500 mg/hari (2000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan 4 kali dalam sehari (setiap 6 jam) (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIA
Kesimpulan
132
penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x750 mg/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Lampiran 23. Rekam Medis 21 I. Kasus 21 No. RM : 497257 Dirawat tanggal : 1-6 April 2013 Informasi Pasien AH, umur 4 tahun, BB 14 kg, dengan keluhan demam naik turun sejak rabu sore, batuk, pilek, mual, muntah, makan dan minum sulit, BAB terakhir 3 hari yang lalu, sudah dapat amoxicillin tapi belum membaik, nyeri perut. Suhu tubuh 37,7°C, nafas 28x/menit, nadi 122x/menit. Diagnosa akhir : Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (April) 1 Hematologi Hemoglobin 12,4 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 11,0 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,61 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 353 150-450 ribu/ul Hematokrit 35,1 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 4 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 68 51-67 % Limfosit 21 20-35 % Monosit 3 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.010 1.015-1.025 Darah Samar Trace Negatif Ery/ul pH 7,0 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif g/L Urobilinogen 3,2 3,2-16 Umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul Sedimen Urin Eritrosit 1-3 0-1 /LPK Lekosit 0-2 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif /LPK WIDAL
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Typhus-O Positif 1/160 Typhus-H Positif 1/320 P. Typhus-A Negatif P. Typhus-O Negatif Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Injeksi RL 10 tpm Injeksi ampicilin 3x400 mg Injeksi sefotaksim 3x400 mg Parasetamol sirup 3x2 cth Infuse D5% 5 tpm Candistatin drop 4x1cc Asam folat 1x1/2 tablet II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen
133
Negatif Negatif Negatif Negatif Tanggal Pemberian 1 1, 2, 3, 4, 5, 6 1, 2, 3, 4, 5, 6 1 2, 3, 4, 5, 6 3, 4, 5, 6 4, 5, 6
Kasus 21 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x400 mg/hari (1200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
134
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x400 mg/hari (1200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
135
Lampiran 24. Rekam Medis 22 I. Kasus 22 No. RM : 494236 Dirawat tanggal : 1-6 Maret 2013 Informasi Pasien AA, umur 10 tahun, BB 25 kg, dengan keluhan demam naik turun sejak rabu (20/3/13) pagi, sore muntah, sabtu (23/2/13) demam lagi, minggu-selasa demam lagi, rabu (27/3/13) demam lagi, kemudian demam sampai hari ini, muntah ±5x/hari. Suhu tubuh 39°C, nafas 32x/menit, nadi 92x/menit. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Pemeriksaan Laboratorium Parameter
Hematologi Hemoglobin Lekosit Eritrosit Trombosit Hematokrit Hitung Jenis Lekosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain
Tanggal Pemeriksaan (Maret) 1 4 5
Nilai Normal
Satuan
L:13-17; P:12-16 dws:4-10; ank:9-12 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 150-450 L:42-52; P:36-46
gr% ribu/ul juta/ul ribu/ul %
1 0 2 83 9 5
2-4 0-1 2-5 51-67 20-35 4-8
% % % % % %
Kuning Jernih Negatif Positif 7,8 >=1.030 Negatif 6,0 Negatif 3,2 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 4,8-7,4 Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
1-3 0-2 Positif
0-1 1-6 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif Mucus (+)
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
11,1 4,38 4,16 268 31,3
148 36
134 39
6
136 39
Mmol/L
Ery/ul g/L Umol/L Leu/ul
Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse RL Parasetamol (10-20 mg/kgBB/x) Domperidon Infuse KaEN 3B Injeksi sefotaksim (100-200 mg/kgBB/hari) Injeksi sefotaksim (100-200 mg/kgBB/hari) Injeksi primperan Injeksi primperan
Dosis 8 tpm 3-4x 250 mg (k/p) 3x1/2 tablet (k/p) 8 tpm 3x850 mg 3x1 gr ½ ampul (k/p) ¼ ampul (k/p)
Tanggal Pemberian 1 1, 2, 3, 4, 5, 6 1 1, 2, 3, 4, 5, 6 1 2, 3, 4, 5, 6 1 2, 3, 4, 5, 6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
136
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 22 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x850 mg/hari (2550 mg/hari) dan 3x1 g/hari (3000 mg). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x850 mg/hari dan 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
137
Lampiran 25. Rekam Medis 23 I. Kasus 23 No. RM : 500886 Dirawat tanggal : 6-10 Mei 2013 Informasi Pasien CD, umur 8 tahun, BB 21 kg, dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, mual, muntah, BAB cair, perut terasa nyeri, sulit makan. Suhu tubuh 36°C, nafas 40x/menit, nadi 80x/menit. Diagnosa awal: suspek Demam Tifoid, ISPA dd Bronkitis, PKTB. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi Bronkitis, PKTB. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter
Hematologi Hemoglobin Lekosit Eritrosit Trombosit Hematokrit Hitung Jenis Lekosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit WIDAL Typhus-O Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O
Tanggal Pemeriksaan (Mei) 6
Nilai Normal
Satuan
13,5 14,5 5,01 350 38,2
L:13-17; P:12-16 dws:4-10; ank:9-12 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 150-450 L:42-52; P:36-46
gr% ribu/ul juta/ul ribu/ul %
4 0 0 78 16 2
2-4 0-1 2-5 51-67 20-35 4-8
% % % % % %
Positif 1/160 Positif 1/160 Negatif Positif 1/160 Pemeriksaan Radiologi (8 Mei 2013) Memeriksa : Thorax AP anak Hasil : Infiltrat peribronkial diparacardial Hilus memadat Infiltrat perihiler (+) Besar cor normal Kesan : PKTB dengan Bronkitis
Terapi Antibiotika Nama Obat Infus RL Injeksi primperan Injeksi sefotaksim Injeksi ampisilin Injeksi kloramfenikol Parasetamol tablet Infuse D5% Nebulizer Curcuma plus
Dosis 10 tpm 2x ½ ampul (k/p) 3x500 mg (skintest) 3x500 mg 3x500 mg 3x ½ ablet (k/p) 5 tpm ½ ampul ventolin + ½ ampul combivent /8 jam 1 cth/ 24 jam
Negatif Negatif Negatif Negatif
Tanggal Pemberian 6 6 6 7, 8, 9, 10 7, 8, 9, 10 6, 7, 8 7, 8, 9, 10 7, 8, 9, 10 10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
138
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 23 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kesimpulan 2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari dan tetap dilanjutkan minimal sampai 5 hari untuk hasil yang lebih efektif (Martin, 2008; Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika terlalu singkat karena tidak sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris dalam jangka waktu 2-3 hari dan tetap dilanjutkan minimal sampai 5 hari untuk hasil yang lebih efektif (Martin, 2008; Permenkes, 2011). Penggunaan antibiotika terlalu singkat (Kategori IIIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
3. Kloramfenikol Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kesimpulan
139
Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Tidak lolos kategori IVB (Ada antibiotika lain yang kurang toksik) Assessment: antibiotika ini kurang aman digunakan untuk pasien anak karena dapat menyebabkan efek samping yang cukup serius, seperti neuritis optik pada anak (Permenkes, 2011) dan anemia aplastis fatal serta resistensi dari antibiotika ini sudah seringkali dilaporkan (Tjay and Rahadja, 2010). Antibiotika lain yang cukup direkomendasikan untuk penanganan kasus demam tifoid pada pasien anak diataranya adalah amoksisilin atau ampisilin dan sepalosporin generasi ke-3 (Purwadianto et al, 2014). Ada antibiotika lain yang kurang toksik (kategori IVB)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
140
Lampiran 26. Rekam Medis 24 I. Kasus 24 No. RM : 416851 Dirawat tanggal : 11-15 Februari 2013 Informasi Pasien PP (L), umur 5 tahun, BB 13,6 kg, dengan keluhan batuk, pilek, muntah, kejang-kejang saat demam, ngompol, nahan pipis, nyeri. Diagnosa awal: Demam Tifoid. Diagnosa akhir: obs. FH7, susp. Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Februari) 11 Hematologi Hemoglobin 12,0 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 5,4 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,50 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 361 150-450 ribu/ul Hematokrit 32,6 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 79 51-67 % Limfosit 11 20-35 % Monosit 7 4-8 % KED/LED 1 jam 55 L: 0-15; P: 0-20 mmk/jam 2 jam L: 0-15; P: 0-20 mmk/jam Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.020 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul pH 7,5 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif g/L Urobilinogen 16 3,2-16 Umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-1 /LPK Lekosit 0-1 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Injeksi Sefotaksim Parasetamol sirup Curcuma plus
Dosis 8 tpm 3x500 mg 3-4x 1 ½ cth 1x1 cth
Tanggal Pemberian 11, 12, 13, 14, 15 11, 12, 13, 14, 15 11, 12, 13, 14, 15 11, 12, 13, 14, 15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
141
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 24 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
142
Lampiran 27. Rekam Medis 25 I. Kasus 25 No. RM : 518290 Dirawat tanggal : 28 November-5 Desember 2013 Informasi Pasien AS (P), umur 8 tahun, BB 30 kg, dengan keluhan demam disertai mual dan muntah sejak 4 hari yang lalu, kurang nafsu makan, pusing, batuk, seluruh tubuh merah-merah kecil, seluruh tubuh lemes. Suhu tubuh 37,8°C, nafas 24x/menit, nadi 104x/menit, tensi 130/70. Diagnosa masuk: FH6, Demam Tifoid dengan Urtikaria. Diagnosa akhir: Demam Tifoid dengan Urtikaria. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Rujukan Satuan 28 29 2 Hematologi Hemoglobin 12,7 12,0-16,0 g/dl Lekosit 7,80 4,0-10,0 10^3/ul Eritrosit 4,57 4,0-5,0 10^6/ul Trombosit 203 256 150-450 10^3/ul Hematokrit 35,6 32,0 36,0-46,0 vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 72 51-67 % Limfosit 23 20-35 % Monosit 5 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin 1+ Negatif BJ <=1.005 1.015-1.025 Darah Samar 2+ Negatif pH 6,00 5,00-8,50 Protein Trace Negatif Urobilinogen 0,20 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 2-6 0-2 /LPK Lekosit 0-1 0-3 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian Infuse RL 8 tpm 28, 29, 30, 1, 2, 3, 4, 5 Parasetamol tablet 3x1 ½ tablet prn (k/p) 28, 29, 30 Injeksi sefotaksim 3x1 gr 29, 30, 1, 2, 3, 4, 5 Injeksi ampisilin 4x500 mg 2, 3, 4, 5 Caladin lotion di OT 30, 1, 2, 3, 4 Cetirizine (p.o) 2x5 mg (k/p) 30, 1, 2, 3 Parasetamol 3x ½ 1, 2 Parasetamol 3x1 3, 4, 5 Cetirizine (p.o) 3x2 mg (k/p) 4, 5 Injeksi dexamethason 3x ½ ampul 5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
143
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 25 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 7 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
144
Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x500 mg/hari (2000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 28. Rekam Medis 26 I. Kasus 26 No. RM : 240020 Dirawat tanggal : 16-20 November Informasi Pasien UV (P), umur 12 tahun, BB 64 kg, dengan keluhan demam naik turun sudah 10 hari yang lalu, demam disertai batuk, lemah, pusing, nafsu makan dan minum menurun, sudah periksa ke dokter, teraksir periksa ke PKM, di diagnosis Demam Tifoid, sudah minum parasetamol, tapi demam tidak turun. Suhu tubuh 38,1°C, nafas 27x/menit, nadi 100x/menit. Diagnosa awal: obs FH10 dd Demam Tifoid, ISK. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Rujukan Satuan (November) 16 17 Hematologi Hemoglobin 14,3 10,0-15,5 g/dl Lekosit 12,26 4,00-10,00 10^3/ul Eritrosit 5,60 4,00-5,00 10^6/ul Trombosit 421 150-450 10^3/ul Hematokrit 42,1 36,0-46,0 vol%
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hitung Jenis Lekosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Sero Imunologi Widal S. Typhi O S. Typhi H S. Paratyphi AH S. Paratyphi AO Terapi Antibiotika Nama Obat Infus KaEN Parasetamol Injeksi sefotaksim
1 0 2 69 24 4
2-4 0-1 2-5 51-67 20-35 4-8
145
% % % % % %
Kuning Jernih Negatif 1+ Negatif Negatif Negatif 6,00 1+ 0,20 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 5,00-8,50 Negatif 0,20-1,00 Negatif Negatif
0-1 2-3 Positif
0-2 0-3 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif -
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Positif 1/320 Positif 1/320 Positif 1/160 Positif 1/80
Dosis 10 tpm 3-4x500 mg (k/p) 3x1 gr
Eu/dl
Negatif Negatif Negatif Negatif
Tanggal Pemberian 16, 17, 18, 19, 20 16, 17, 18, 19, 20 16, 17, 18, 19, 20
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 26 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
146
Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Lampiran 29. Rekam Medis 27 I. Kasus 27 No. RM : 438222 Dirawat tanggal : 4-8 Oktober 2013 Informasi Pasien ZL, umur 2 tahun, BB 10,8 kg, dengan keluhan demam sejak 8 hari yang lalu, batuk, pilek, sejak 2 hari yang lalu, belum BAB sejak 2 hari yang lalu, mual, muntah, nafsu makan menurun. Suhu tubuh 36,6°C, nafas 24x/menit, nadi 97x/menit. Diagnosis akhir: Demam Tifoid komplikasi RFA (Rhino Faringitis Akut). Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Oktober) 4 Hematologi Hemoglobin 12,7 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 14,6 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,87 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 257 150-450 ribu/ul Hematokrit 35,6 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 1 2-5 % Segmen 60 51-67 % Limfosit 31 20-35 % Monosit 7 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Agak keruh Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.020 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain WIDAL Typhus-O Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O
147
7,0 0,3 3,2 Negatif 15
5,00-8,50 Negatif 0,20-1,00 Negatif Negatif
Eu/dl
0-1 4-5 Positif
0-2 0-3 Positif
/LPK /LPK /LPK
Positif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Positif 0-1 Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Positif 1/160 Positif 1/160 Positif 1/80 Positif 1/320
Negatif Negatif Negatif Negatif
Pemeriksaan Radiologi Memeriksa : Thorax AP anak Hasil : cord an pulmo dalam batas normal Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse RL Injeksi ampisilin Injeksi sefotaksim Injeksi ampisilin Injeksi sefotaksim Parasetamol Infuse D5% Nebulizer ventolin Salbutamol Ambroxol 7,5 mg Parasetamol
Dosis 5 tpm 3x360 mg 3x360 mg 3x300 mg 3x300 mg 3x1 cth 5 tpm 1,75 cc/8 jam 3x1 mg 3x1 1,5 cth (k/p)
Tanggal Pemberian 4 4 4 5, 6, 7, 8 5, 6, 7, 8 4 5, 6, 7, 8 5, 6, 7, 8 5, 6, 7, 8 5, 6, 7, 8 5, 6, 7, 8
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 27 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
148
Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x300 mg/hari (900 mg/hari) dan 3x360 mg/hari (1080 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
2.Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
149
Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x300 mg/hari (900 mg/hari) dan 3x360 mg/hari (1080 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 30. Rekam Medis 28 I. Kasus 28 No. RM : 512720 Dirawat tanggal : 20-26 September 2013 Informasi Pasien RC, umur 2 tahun, BB 12 kg, dengan keluhan panas naik turun sejak 6 hari yang lalu, terutama ketika malam hari, belum BAB sejak 3 hari ini. Suhu tubuh 38,9°C, nafas 30x/menit, nadi 116x/menit. Diagnosis akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (September) 20 21 24 Hematologi Hemoglobin 9,6 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 17,21 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 3,86 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 384 397 150-450 ribu/ul Hematokrit 29,0 27 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 58 51-67 % Limfosit 33 20-35 % Monosit 3 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.010 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif Ery/uL pH 6,50 5,00-8,50 Protein Negatif Negatif Urobilinogen 3,20 3,20-16,00 Umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/uL Sedimen Urin
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain
150
0-1 1-2 Positif
0-2 0-3 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif -
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Parasetamol Injeksi sefotaksim (100-200 mg/kgBB) Injeksi ampicilin (100-200 mg/kgBB) Injeksi KaEN 3B
Dosis 10 tpm 3x1cth (k/p) 3x400 mg 4x350 mg 8 tpm
Tanggal Pemberian 20 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26 24, 25, 26 21, 22, 23, 24, 25, 26
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 28 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 7 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
151
Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x400 mg/hari (1200 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena lama penggunaan antibiotika untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 3 hari. Penggunaan ampisilin untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika lanjutan dari sefotaksim selama pasien dirawat inap dan dipertimbangkan penggunaan antibiotika lanjutan yang dibawah pulang oleh pasien. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x350 mg/hari (1400 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
152
Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 31. Rekam Medis 29 I. Kasus 29 No. RM : 517905 Dirawat tanggal : 27-30 November 2013 Informasi Pasien IA (L), umur 7 tahun, BB 21,5 kg, dengan keluhan demam 3 hari ini, disertai muntah, pusing, nafsu makan menurun, batuk, pilek, sakit perut, tenggorokan akit saat menelan, BAB 1x cair. Suhu tubuh 37,7°C, nafas 20x/menit, nadi 80x/menit. Diagnosa awal: obs FH6 dd RFA, FA, DF, DHF, Demam Tifoid dengan diare cair akut tanpa dehidrasi. Diagnosa akhir: Demam Tifoid dengan diare cair akut tanpa dehidrasi. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Rujukan Satuan (November) 25 27 Hematologi Hemoglobin 12,2 11,4 10,0-15,5 g/dl Lekosit 9,80 8,73 4,00-10,00 10^3/ul Eritrosit 4,77 4,39 4,50-5,50 10^6/ul Trombosit 243 204 150-450 10^3/ul Hematokrit 36,0 32,5 42,0-52,0 vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 1 2-4 % Basofil 0 0 0-1 % Batang 0 5 2-5 % Segmen 78 67 51-67 % Limfosit 18 21 20-35 % Monosit 5 6 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin 1+ Negatif Keton Urin 2+ Negatif BJ 1.015 1.015-1.025 Darah Samar Trace-intact Negatif pH 6,00 5,00-8,50 Protein 2+ Negatif Urobilinogen Negatif 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 1-3 0-2 /LPK Lekosit 0-3 0-3 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Injeksi sefotaksim Parasetamol (p.o) Zink (p.o)
-
Dosis 8 tpm 3x1 gr 3-4x2 cth (k/p) 1x20 mg
-
153
/LPK
Tanggal Pemberian 27, 28, 29, 30 27, 28, 29, 30 27, 28, 29, 30 27, 28, 29, 30
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 29 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
154
Lampiran 32. Rekam Medis 30 I. Kasus 30 No. RM : 492120 Dirawat tanggal : 8-14 Februari 2013 Informasi Pasien AP (L), umur 9 tahun, BB 19kg, dengan keluhan panas sejak selasa sore (10 hari yang lalu), pusing, batuk, pilek, muntah, kejang. Suhu tubuh 36,6°C, nafas 100x/menit, nadi 30x/menit. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Februari) 8 Hematologi Hemoglobin 8,5 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 12,5 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,96 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 293 150-450 ribu/ul Hematokrit 25,9 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 1 0-1 % Batang 6 2-5 % Segmen 53 51-67 % Limfosit 36 20-35 % Monosit 3 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.015 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif pH 7,0 4,8-7,4 Protein Trace (+/-) Negatif Urobilinogen 66 3,2-16 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-1 /LPK Lekosit 3-4 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif Negatif /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Injeksi sefotaksim Injeksi amikasin Parasetamol Infuse plug *infuse plug : jika minum banyak
Dosis 8 tpm 3x750 mg 2x150 mg 3-4x1 tablet -
Tanggal Pemberian 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 11, 12, 13, 14 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 13, 14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
155
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 30 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
2. Amikasin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 7 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 g/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x750 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: spektrum kerja dari antibiotika ini luas sehingga adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi Tidak lolos kategori IVA (Ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment:obat ini tidak efektif untuk terapi demam tifoid walaupun spektrum kerjanya luas karena tidak termasuk antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk terapi demam tifoid. Ada antibiotika yang lebih efektif (kategori IVA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
156
Lampiran 33. Rekam Medis 31 I. Kasus 31 No. RM : 516709 Dirawat tanggal : 9-15 November 2013 Informasi Pasien NM (P), umur 3 tahun, BB 10,5 kg, dengan keluhan demam sejak minggu malam (6 hari yang lalu), batuk, pilek. Suhu tubuh 38,8 C, nafas 28x/menit, nadi 92x/menit. Diagnosa awal masuk: FH2 dd ISK, Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi ISK. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan (November) Rujukan Satuan 9 10 11 Hematologi Hemoglobin 9,9 9,5-14,0 g/dl Lekosit 9,0 9,00-12,00 10^3/ul Eritrosit 3,74 4,00-5,00 10^6/ul Trombosit 167 190 204 150-450 10^3/ul Hematokrit 29,0 31,0 28 36,0-46,0 Vol% Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 89 51-67 % Limfosit 8 20-35 % Monosit 3 4-8 % Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.020 1.015-1.025 Darah Samar Trace Negatif pH 6,0 5,00-8,50 Protein 2+ Negatif Urobilinogen 1,00 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase 1+ Negatif Sedimen Urin Eritrosit 1-3 0-2 /LPK Lekosit >50 0-3 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain /LPK Sero Imunologi Widal S. Typhi O Positif 1/320 Negatif S. Typhi H Positif 1/640 Negatif S. Paratyphi AH Negatif Negatif S. Paratyphi AO Positif 1/160 Negatif Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian Infuse KaEN 3B 8 tpm 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 Parasetamol 500 mg 3x1 cth (k/p) 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 Injeksi sefotaksim 3x350 9, 10, 11, 12,13, 14, 15 Injeksi ampisilin 4x350 mg 12, 13, 14, 15 Bethamethason N 11, 12, 13, 14, 15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
157
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 31 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 7 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x350 mg/hari (1050 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
158
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika lanjutan yang digunakan pasien selama pasien di rawat inap dan pertimbangan penggunaan antibiotika yang di bawah pulang oleh pasien pada rawat jalan. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x350 mg/hari (1400 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
159
Lampiran 34. Rekam Medis 32 I. Kasus 32 No. RM : 354310 Dirawat tanggal : 10-13 September 2013 Informasi Pasien AW (L), umur 4 tahun, BB 14 kg, anak demam sejak 13 hari yang lalu, lemas, nafsu makan kurang, 1 minggu tidak bisa BAB, demam tidak tentu, kadang naik, kadang turun, muntah 1-2x sehari, batuk, pilek. Suhu tubuh 37,9°C, nadi 104x/menit, nafas 32x/menit. Diagnosa awal: FH13. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi TB anak. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (April) 10 Hematologi Hemoglobin 10,4 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 6,1 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,02 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 204 150-450 ribu/ul Hematokrit 31,2 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 4 2-5 % Segmen 56 51-67 % Limfosit 31 20-35 % Monosit 8 4-8 % KED/LED 1 jam 55 L: 0-15; P: 0-20 mmk/jam 2 jam mmk/jam Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif Bilirubin Positif (1+) Negatif Keton Urin 1,5 Negatif BJ 1.025 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif pH 6,0 4,8-7,4 Protein Trace (+/-) Negatif Urobilinogen 33 0,20-1,00 Eu/dl Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-1 /LPK Lekosit 0-1 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse KaEN 3B Injeksi sefotaksim (100-200 mg/kgBB/hari) Injeksi ampisilin (100-200 mg/kgBB/hari) Parasetamol (10-20 mg/kgBB/hari)
Dosis 16 tpm 3x500 mg 4x350 mg 3-4x 1 ½ cth
Tanggal Pemberian 10, 11, 12, 13 10, 11, 12, 13 12, 13 10, 11, 12, 13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
160
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 32 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
161
2.Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 2 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 2 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. (Permenkes, 2011). (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x350 mg/hari (1400 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
162
Lampiran 35. Rekam Medis 33 I. Kasus 33 No. RM : 379804 Dirawat tanggal : 25 Februari-6 Maret 2013 Informasi Pasien AB (L), umur 10 tahun, BB 22 kg, dengan keluhan demam sejak 12 hari yang lalu, demam terus menerus, menggigil pada sore hingga malam hari, nafsu makan menurun, batuk, pusing, mual, muntah, nyeri perut, badan pegal-pegal. Suhu tubuh 38,9°C, nadi 119x/menit, nafas 30x/menit. Diagnosa awal: Obs FH12, e.i. Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Februari) 25 Hematologi Hemoglobin 12,0 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 3,3 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,25 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 343 150-450 ribu/ul Hematokrit 37,4 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 63 51-67 % Limfosit 20 20-35 % Monosit 14 4-8 %
4 Maret WIDAL Typhus-O Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O
positif 1/320 positif 1/160 Negatif positif 1/160
Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif
5 Maret Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik Jenis kuman : Staphylococus aureus Jumlah kuman : ----- CFU/mL Sensivity test : gram (+) Antibiotika Amikacin Ampicillin/sulbactam Amoxicillin/clavulanic acid Cefepime Sefotaksim Cefipirom Ceftazidime Seftriakson Cefuroxime Clindamycin Erythromicin Meropenem Oxacillin Penicillin Tetracycline Vancomycin Sulfamethoxazole-Trimetropim Ciprofloxacin
Sensitive S S S S S S S S S S S S S S S S
Intermediete -
Resistant
R
R
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Terapi Antibiotika Nama Obat Infus RL Injeksi sefotaksim Injeksi ampicilin Injeksi amikasin siprofloksasin Parasetamol Imunos Nebulizer ventolin ½ A + combiven ½ A/8 jam Fansidar Infuse D5% 10 tpm+amiparen
Dosis 5 tpm 3x750 mg 3x750 mg 3x165 mg 2x3/4 tablet 3x250 mg 2x1 cth 1x500 mg 5 tpm
163
Tanggal Pemberian 25, 26, 27, 28, 29 25, 26, 27, 28 25, 26, 27, 28, 29, 1, 2, 3 29, 1, 2, 3, 4, 5, 6 5,6 25 28, 29, 1, 2, 3, 4, 5, 6 28, 29, 1, 2, 3, 4, 5, 6 28, 29 1, 2, 3, 4, 5
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 33 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x750 mg/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan
3. Amikasin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kesimpulan
164
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu lama karena lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 8 hari. Lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid adalah selama 10 hari (Lacy et al, 2009). Penggunaan antibiotika ini tidak terlalu singkat karena ampisilin merupakan antibiotika lanjutan dari sefotaksim yang digunakan pasien selama dirawat inap. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: spektrum kerja dari antibiotika ini luas sehingga adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi Tidak lolos kategori IVA (Ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment:obat ini tidak efektif untuk terapi demam tifoid walaupun spektrum kerjanya luas karena tidak termasuk antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk terapi demam tifoid. Ada antibiotika yang lebih efektif (kategori IVA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4. Siprofloksasin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kesimpulan
165
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Tidak lolos kategori IVA (Ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment:antibiotika ini merupakan antibiotika golongan fluoroquinolon dan merupakan antibiotika lini kedua yang digunakan dalam pengobatan demam tifoid. Namun golongan fluoroquinolon tidak dapat diberikan kepada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012). Ada antibiotika yang lebih efektif (kategori IVA)
Lampiran 36. Rekam Medis 34 I. Kasus 34 No. RM : 257704 Dirawat tanggal : 30 September-3 Oktober 2013 Informasi Pasien MI, umur 12 tahun, BB 52 kg, demam >1minggu, mual, muntah, sesak, batuk. Suhu tubuh 38,5°C, nadi 12x/menit, nafas 32x/menit. Diagnosa awal: Demam Tifoid komplikasi Bronkitis. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi Bronkitis . Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (September) 28 Hematologi Hemoglobin 13,0 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 5,53 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,17 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 206 150-450 ribu/ul Hematokrit 38,8 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 65 51-67 % Limfosit 24 20-35 % Monosit 7 4-8 % Terapi Antibiotika Nama Obat Dosis Tanggal Pemberian Infus KaEN 3B 16 tpm 30, 1, 2, 3 Nebulizer Farbiven 1 Ampul 6-8 jam 30, 1, 2, 3 Injeksi sefotaksim (100-200 mg/kgbb) 3x1 gr 30, 1, 2, 3 Trilac 3-4 mg 30, 1, 2, 3 Parasetamol (10-20 mg/kgbb/hari) 3-4x1 tablet (k/p) 30, 1, 2, 3
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 34 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
166
satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x1 g/hari (3000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Lampiran 37. Rekam Medis 35 I. Kasus 35 No. RM : 470708 Dirawat tanggal : 21-30 April 2013 Informasi Pasien SR, umur 11 bulan, BB 9,3 kg, dengan keluhan panas sejak tanggal 16 april (H-5), panas naik turun, mual, muntah, menceret, makan dan minum sulit, batu, pilek sering kambuh di malam hari. Suhu tubuh 38,6°C, nadi 96x/menit, nafas 24x/menit. Diagnosa awal: obs. FHVI, suspect DF dd DHF, ISK, Demam Tifoid. Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi RFA. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (April) 21 22 23 24 Hematologi Hemoglobin 11,6 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 9,1 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,24 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 155 156 160 180 150-450 ribu/ul Hematokrit 34,3 38 38 37 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 0 2-5 % Segmen 35 51-67 % Limfosit 56 20-35 % Monosit 9 4-8 % WIDAL Typhus-O Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O Terapi Antibiotika Nama Obat Infuse RL Parasetamol Injeksi sefotaksim Sefiksim Injeksi ampicillin Lasal infuse KaEN 3B
Negatif Negatif Positif 1/160
167
Negatif Negatif Negatif Dosis 8 tpm 3x4x1 cth (k/p) 3x350 mg 2x25 mg 4x250 mg 3x ½ cth 8 tpm
Tanggal Pemberian 21, 22, 23, 24, 25, 26 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 26, 27, 28, 29, 30 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 27, 28, 29, 30
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 35 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 10 hari. Menurut WHO (2011), lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 10-14 hari, sehingga lama penggunaan antibiotika ini sudah sesuai dengan literatur. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 10 hari. Menurut WHO (2011), lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 10-14 hari, sehingga lama penggunaan antibiotika ini sudah sesuai dengan literatur. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x350 mg/hari (1050 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan 2. Sefiksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
168
Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0) Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefiksim seperti cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, sporetik dan starcef (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefiksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Menurut WHO (2011), lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 7-14 hari, sehingga lama penggunaan antibiotika ini sudah sesuai dengan literatur. Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 7 hari. Menurut WHO (2011), lama penggunaan antibiotika ini untuk terapi demam tifoid yaitu selama 7-14 hari, sehingga lama penggunaan antibiotika ini sudah sesuai dengan literatur. Apabila penggunaan antibiotika terlalu singkat dikhawatirkan bakteri belum mati sepenuhnya sehingga masih dapat menginfeksi kembali. Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 2x25 mg/hari (50 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 20 mg/kg/hari (maksimum 400 mg/kg/hari), dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan setiap 12 jam dalam sehari. (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara per oral (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefiksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
169
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Pemakaian antibiotika ini telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Pemakaian antibiotika telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 4x250 mg/hari (1000 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 4 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntahmuntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009). Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001).. Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena ampisilin lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
170
Lampiran 38. Rekam Medis 36 I. Kasus 36 No. RM : 273737 Dirawat tanggal : 1-14 Juni 2013 Informasi Pasien RA (L), umur 7 tahun, pasien dating melalui IGD rujukan klinik cendana, dengan keluhan demam sejak 5 hari sebelum masuk RS. Suhu tubuh 36,5°C, nadi 136x/menit, nafas 30x/menit. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan 11 12 Hematologi Hemoglobin 13,9 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 6,54 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,88 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 188 200 150-450 ribu/ul Hematokrit 39,7 40 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 1 0-1 % Batang 3 2-5 % Segmen 70 51-67 % Limfosit 20 20-35 % Monosit 5 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif 1/180 Negatif Typhus-H Positif 1/180 Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Negatif Negatif Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin >=15,6 Negatif BJ 1.020 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul pH 5,00 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif g/L Urobilinogen 3,2 3,2-16 umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leuu/ul Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-1 /LPK Lekosit 1-3 1-6 /LPK Sel Epitel Positif Positif /LPK Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif /LPK Asam Urat Negatif Negatif /LPK Amorf Negatif Negatif /LPK Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK Leukosit Negatif Negatif /LPK Granular Negatif Negatif /LPK Bakteri Negatif Negatif /LPK Lain-lain Negatif Negatif /LPK Terapi Antibiotika Nama Obat Infus KaEN 3B Injeksi Sefotaksim Parasetamol Vitacur
Dosis 8 tpm 3x750 mg 3-4x2 cth 1x1 cth
Tanggal Pemberian 11, 12, 13, 14 11, 12, 13, 14 11, 12, 13, 14 11, 12, 13, 14
Negatif Negatif Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
171
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 36 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x1 g/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
Lampiran 39. Rekam Medis 37 I. Kasus 37 No. RM : 469439 Dirawat tanggal : 14-17 April 2013 Informasi Pasien NF (P), umur 7 tahun, BB 22 kg, dengan keluhan demam tinggi selama 2 minggu, lemes, nafsu makan kurang, mual, muntah, menceret, makan dan minum sedikit. Suhu tubuh 37,7°C, nadi 120x/menit, nafas 24x/menit. Diagnosa awal: Demam Tifoid . Diagnosa akhir: Demam Tifoid komplikasi PKTB. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (April) 14 15 17 Hematologi Hemoglobin 12,7 L:13-17; P:12-16 gr%
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lekosit Eritrosit Trombosit Hematokrit Hitung Jenis Lekosit Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit WIDAL Typhus-O Typhus-H P. Typhus-A P. Typhus-O Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika
9,1 4,62 247 37,7
172
dws:4-10; ank:9-12 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 150-450 L:42-52; P:36-46
ribu/ul juta/ul ribu/ul %
0 0 1 71 20 8
2-4 0-1 2-5 51-67 20-35 4-8
% % % % % %
Negatif Positif 1/180 Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif
289 38
Kuning Jernih Negatif Negatif Trace (+/-) 1.020 Trace (+/-) 6,5 Trace (+/-) 3,2 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 4,8-7,4 Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
3-5 5-8 Positif
0-1 1-6 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Nama Obat Infuse RL Parasetamol Injeksi Ampicillin Injeksi Sefotaksim Infus D5% Nebulizer Ventolin ½ A+ Combiva ½ A/8 jam
Dosis 8 tpm 3x ½ tablet (k/p) 3x500 mg 3x500 mg 5 tpm -
mmol/L
Ery/ul g/L umol/L Leuu/ul
Tanggal Pemberian 14 14 14, 15, 16, 17 14, 15, 16, 17 15, 16, 17 16, 17
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 37 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan 2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
173
Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
174
Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 40. Rekam Medis 38 I. Kasus 38 No. RM : 380631 Dirawat tanggal : 21-25 April 2013 Informasi Pasien AD (L), umur 3 tahun, BB 14 kg, dengan keluhan demam sejak jumat lalu (H-9), demam naik turun, mual, muntah, makan dan minum sedikit, batuk. Suhu tubuh 36,4°C, nadi 110x/menit, nafas 30x/menit. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaa Nilai Normal Satuan (April) 21 22 Hematologi Hemoglobin 11,8 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 8,9 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,84 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 376 150-450 ribu/ul Hematokrit 34,5 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 0 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 60 51-67 % Limfosit 23 20-35 % Monosit 15 4-8 % WIDAL Typhus-O Negatif Negatif Typhus-H Negatif Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Positif 1/320 Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Urinalisasi Warna Kekeruhan Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infus KaEN Injeksi Sefotaksim Parasetamol Syrup
175
Kuning Jernih Negatif Negatif 3,9 1.020 Negatif 7,0 Negatif 3,2 Negatif Negatif
Kuning Jernih Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 4,8-7,4 Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
0-1 0-1 Positif
0-1 1-6 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 8 tpm 3x500 mg 3-4x1 ½ cth
mmol/L
Ery/ul g/L umol/L Leuu/ul
Tanggal Pemberian 21, 22, 23, 24, 25 21, 22, 23, 24, 25 21, 22, 23, 24, 25
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 38 1. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
176
Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 5 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 5 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 41. Rekam Medis 39 I. Kasus 39 No. RM : 495891 Dirawat tanggal : 8-23 Maret 2013 Informasi Pasien WW, umur 9 tahun, BB 24 kg, dengan keluhan demam sejak 5 hari semenjak masuk RS, demam naik turun, makan dan minum sedikit, batuk, mual, muntah, nyeri perut. Suhu tubuh 38,5°C, nadi 64x/menit, nafas 20x/menit. Diagnosa akhir: Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Maret) 18 19 20 Hematologi Hemoglobin 12,9 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 25 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 5,02 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 254 238 150-450 ribu/ul Hematokrit 37,0 37 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 1 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 2 2-5 % Segmen 64 51-67 % Limfosit 29 20-35 % Monosit 4 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif 1/320 Negatif Typhus-H Positif 1/320 Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Positif 1/160 Negatif Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Reduksi Bilirubin Keton Urin BJ Darah Samar pH Protein Urobilinogen Nitrit Lekosit Esterase Sedimen Urin Eritrosit Lekosit Sel Epitel Kristal Ca Oksalat Asam Urat Amorf Silinder Eritrosit Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infus D5% Injeksi Ampisillin Injeksi Sefotaksim
177
Negatif Negatif Negatif 1.020 Negatif 7,0 Negatif 66 Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif 1.015-1.025 Negatif 4,8-7,4 Negatif 3,2-16 Negatif Negatif
mmol/L
0-1 0-1 Positif
0-1 1-6 Positif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif -
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
/LPK /LPK /LPK /LPK /LPK
Dosis 5 tpm 3x500 mg 3x500 mg
Ery/ul g/L umol/L Leu/ul
Tanggal Pemberian 18, 19, 20, 21, 22, 23 18, 19, 20, 21, 22, 23 18, 19, 20, 21, 22, 23
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen 1. Kasus Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari ampisilin seperti phapin, sanpicillin, dan vicillin (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kesimpulan 2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kategori IIB
Kategori IIC
178
Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis untuk anak-anak 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari (Lacy et al, 2009). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk anak. Tidak lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian yang dianjurkan setiap 6 jam dalam sehari (4 kali sehari) (Lacy et al, 2009). Dalam kasus ini interval pemberiannya 3 kali dalam sehari sehingga penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian karena tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian (Kategori IIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 6 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 6 hari (Permenkes, 2011). (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x500 mg/hari (1500 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotika tepat interval pemberian). Assessment: interval pemberian sudah sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 2-3 kali dalam sehari (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotika tepat rute pemberian). Assessment: rute pemberian sudah tepat dengan yang dianjurkan yaitu secara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori I
Kategori 0
Kesimpulan
179
intravena (Lacy et al, 2009) dan juga dilihat dari kondisi pasien yang muntah-muntah jadi pemberian secara intravena sudah tepat. Lolos kategori I (Penggunaan antibiotika tepat waktu pemberian). Assessment: waktu pemberian antibiotikanya sudah tepat karena diberikan berdasarkan hasil kultur kuman yang menjadi penyebab infeksi (Meer and Gyssens, 2001). Lolos kategori 0 Assessment: termasuk pemberian antibiotika secara rasional karena sefotaksim lolos pada semua kategori evaluasi Gyssens. Penggunaan antibiotika tepat/bijak (Kategori 0)
Lampiran 42. Rekam Medis 40 I. Kasus 40 No. RM : 365598 Dirawat tanggal : 20-24 Agustus 2013 Informasi Pasien RW (L), umur 7 tahun, BB 21,5 kg, dengan keluhan muntah sudah 5 kali sejak kemarin, disertai nyeri perut. Suhu tubuh 37°C. Diagnosa akhir: vomited dengan Demam Tifoid. Keadaan keluar: membaik. Pemeriksaan Laboratorium Parameter Tanggal Pemeriksaan Nilai Normal Satuan (Agustus) 20 Hematologi Hemoglobin 13,7 L:13-17; P:12-16 gr% Lekosit 10,51 dws:4-10; ank:9-12 ribu/ul Eritrosit 4,91 L:4,5-5,5; P:4,0-5,0 juta/ul Trombosit 380 150-450 ribu/ul Hematokrit 39,4 L:42-52; P:36-46 % Hitung Jenis Lekosit Eosinofil 2 2-4 % Basofil 0 0-1 % Batang 3 2-5 % Segmen 46 51-67 % Limfosit 44 20-35 % Monosit 5 4-8 % WIDAL Typhus-O Positif 1/160 Negatif Typhus-H Positif 1/320 Negatif P. Typhus-A Negatif Negatif P. Typhus-O Positif 1/160 Negatif Urinalisasi Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Reduksi Negatif Negatif mmol/L Bilirubin Negatif Negatif Keton Urin Negatif Negatif BJ 1.010 1.015-1.025 Darah Samar Negatif Negatif Ery/ul pH 7,0 4,8-7,4 Protein Negatif Negatif g/L Urobilinogen 3,2 3,2-16 umol/L Nitrit Negatif Negatif Lekosit Esterase Negatif Negatif Leu/ul Sedimen Urin Eritrosit 0-1 0-1 Lekosit 0-1 1-6 Sel Epitel Positif Positif Kristal Ca Oksalat Negatif Negatif Asam Urat Negatif Negatif Amorf Negatif Negatif Silinder Eritrosit Negatif Negatif /LPK
Negatif Negatif Negatif Negatif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Leukosit Granular Bakteri Lain-lain Terapi Antibiotika Nama Obat Infus KaEN 3B Injeksi Ampicillin Injeksi Sefotaksim Domperidon Syrup Parasetamol Syrup Phenitoin 80 mg Heptasan Asam Folat Lacto B
Negatif Negatif Negatif -
Dosis 8 tpm 3x500 mg 3x750 mg 3x1 cth 3x1 ½ cth 2x1 2x1 ½ tablet 2x1 ½ tablet 2x1
Negatif Negatif Negatif Negatif
180
/LPK /LPK /LPK /LPK
Tanggal Pemberian 20, 21, 22, 23, 24 20 21, 22, 23, 24 20 20, 21, 22, 23, 24 24 24 24 24
II. Evaluasi Penggunaan Antibiotika menurut Alur Gyssen Kasus 40 1. Ampisilin Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Kategori IVB
Kategori IVC Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kesimpulan 2. Sefotaksim Kategori Gyssen Kategori VI
Kategori V
Kategori IVA
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika lain yang lebih efektif ). Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment:untuk obat sejenis tidak ada yang lebih murah Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan salah satu terapi lini pertama untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris yaitu 2-3 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 1 hari. Penggunaan antibiotika terlalu singkat karena tidak sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris yaitu 2-3 hari (Permenkes, 2011). Penggunaan antibiotika terlalu singkat (kategori IIIB)
Hasil Assessment (Lolos/Tidak Lolos Per Kategori Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien lengkap). Assessment: data rekam medis lengkap karena telah mencantumkan hasil diagnosis, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien. Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian antibiotika). Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotika untuk infeksi bakteri Salmonella typhi. Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotika yang lebih efektif).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kategori IVB
Kategori IVC
Kategori IVD
Kategori IIIA
Kategori IIIB
Kategori IIA
Kesimpulan
181
Assessment: pemberian antibiotika ini sudah tepat dan antibiotika ini merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Peresepan antibiotika ini terbukti efektif karena kondisi pasien terbukti membaik. Lolos kategori IVB (Tidak ada antibiotika lain yang kurang toksik). Assessment: antibiotika ini sudah cukup aman digunakan untuk pasien anak dan tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang dapat membahayakan pasien (Lacy et al, 2009). Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotika lain yang lebih murah). Assessment: antibiotika ini merupakan antibiotika generik dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan brand name dari sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef, clafexim, cefarin, cefor, cefovell, efotax dan lapixime (Pramudianto, 2013). Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Assessment: sefotaksim merupakan antibiotika berspektrum luas dan salah satu antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011) untuk penatalaksanaan demam tifoid. Antibiotika ini merupakan antibiotika alternatif lain yang sering digunakan untuk terapi demam tifoid (Purwadianto et al, 2014). Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu lama karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari (Permenkes, 2011). Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat). Assessment: selama perawatan, pasien anak telah menggunakan antibiotika selama 4 hari. Penggunaan antibiotika tidak terlalu singkat karena telah sesuai dengan anjuran penggunaan antibiotika secara empiris dalam jangka waktu pemakaian 2-3 hari kemudian harus dievaluasi berdasarkan perkembangan kondisi pasien. Diketahui kondisi pasien membaik dan terapi tetap dilanjutkan selama 4 hari (Permenkes, 2011). Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis). Assessment: dalam kasus ini pasien diberikan 3x750 mg/hari (2250 mg/hari). Berdasarkan literatur dosis sefotaksim 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2 g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Dosis 3x750 mg/hari belum sesuai dengan dosis yang dianjurkan literatur karena overdose/dosisnya berlebih. Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis (Kategori IIA)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
182
BIOGRAFI PENULIS
Hermina Aprilita Ajum merupakan putri kedua dari empat bersaudara dari pasangan Samuel Santosa Djun dan Maria Avelina Ngamal yang dilahirkan di Cancar 25 April 1993. Penulis menjalani pendidikan di SDI Waemata Labuan Bajo (1999-2005), SMPK St. Arnoldus Labuan Bajo (2005-2008), SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo (2008-2011). Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (20112014). Semasa kuliah penulis cukup aktif di kegiatan Kampanye Informasi Obat tahun 2013 dengan berperan serta sebagai Humas (Hubungan Masyarakat). Penulis juga pernah berperan serta sebagai seksi Dana dan Usaha tahun 2013 dalam Seminar Nasional Menjawab Permasalahan di Indonesia Dengan Kurikulum Baru. Penulis aktif bergabung dalam anggota UKF (Unit Kegiatan Fakultas) Voli Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.