PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI FEMINISME LIBERAL DALAM SIKAP DAN PANDANGAN WANITA JAWA DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Skripsi Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Damar Setianingsih 104114010
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI FEMINISME LIBERAL DALAM SIKAP DAN PANDANGAN WANITA JAWA DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Skripsi Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Damar Setianingsih 104114010
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan perlindunganNya atas terselesaikannya skripsi yang berjudul “Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Sastra Indonesia. Skripsi ini tidak akan berjalan lancar tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, di antaranya: 1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan mendampingi, mengarahkan, dan memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. 2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan memberikan kritik serta masukan yang membangun kepada penulis. 3. Dosen-dosen Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma yang telah mendampingi penulis selama menempuh masa studi, Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum., Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. FX. Santoso, M.Hum. dan segenap dosen mata kuliah tertentu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. 4. Segenap staf dan karyawan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. 5. Maryono, S.E. dan Sudarsih, orang tua penulis yang tidak ada henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan secara moral maupun material, serta Vivi Rachmawati, M.Hum., kakak penulis yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 6. Semua teman Prodi Sastra Indonesia angkatan 2010 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, khususnya Suyanti, Radit, Jeje, Anton, Meika, dan Diska terima kasih telah menjadi teman bertukar pikiran. 7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Setianingsih, Damar. 2015. Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Skripsi S1. Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji pemikiran feminisme liberal novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, dan (ii) mendeskripsikan feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme. Sedangkan, metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu teknik studi pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Dan untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul digunakan metode analisis isi. Hasil penelitian ini adalah (1) deskripsi tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. (2) Hasil penelitian berikutnya menunjukkan pemikiran feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei, Pak Bei, dan Ni. Ketiga tokoh utama tersebut merupakan tokoh yang sering muncul dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dan terdapat enam tokoh tambahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, dan Wagimi. Feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yaitu (i) kesempatan dalam pendidikaan, (ii) kesempatan dalam dunia kerja, (iii) kebebasan individual, dan (iv) menentang diskriminasi seks. Dalam konteks pemikiran feminisme liberal terdapat dua generasi perempuan yang berbeda dan bertolak belakang. Generasi pertama adalah generasi Bu Bei yang menggambarkan kehidupan wanita Jawa pada zaman yang kental akan diskriminasi gender, yaitu zaman sebelum feminisme liberal mulai berjalan. Dan generasi kedua adalah generasi Ni yang menggambarkan zaman feminisme liberal telah berjalan meskipun sangat lamban, menggambarkan perempuan telah mencapai kesetaraan hak dengan laki-laki (sameness) dan diskriminasi gender sudah tidak ada. Generasi Ni telah mencapai kesetaraan dalam hal kebebasan berpendapat, kesempatan mendapatkan pendidikan, kesempatan kerja, dan tidak mengalami diskriminasi seks. Novel Canting menggambarkan konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam sikap dan pandangan hidup wanita Jawa.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Setianingsih, Damar. 2015. Liberal Feminism in Attitude and Point of View of Javanese Woman in Canting Novel by Arswendo Atmowiloto. Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.
The research analyzed the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. Liberal feminism is point a view about woman in order to get equality (sameness), opportunity to get education, chance to get better job, individual freedom considering the task distinction between them, and facing toward sex discrimination. The aims of the research were (i) to describe character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (ii) to describe the liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. The approach that used in this research were objective approach and feminism approach. The method of collecting the data in this research used three techniques, namely literature study technique, simak technique, and noted technique. And the content analysis was used to analyze the collected data. The results of thesis are (1) the character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (2) the next result was showing the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. There are three main characters in this novel, namely Bu Bei, Pak Bei, and Ni. Those three main characters always appear and establish in the whole plot development. There are six peripheral characters which will be discussed in this research, namely Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, and Wagimi. The liberal feminism which were in Canting novel by Arswendo Atmowiloto were (i) opportunity in education, (ii) opportunity in work-place, (iii) individual freedom, (iv) opposite to sex discrimination. In the liberal feminism context, there were two generations in which they were different and contradictory each other. The first generation was Bu Bei generation which reflected life of Javanese women with strong gender discrimination, in era before liberal feminism emerged. And the second generation was Ni generation which reflected era of liberal feminism that had been emerged slowly, describing that women had achieved equal rights with men (sameness) and there was no gender discrimination. Ni generation had achieved equality in term freedom of giving opinion, opportunity to get education, employment, and no sex discrimination. Thought of liberal feminism in attitude and point of view of javanese women were reflected in Canting novel.
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi ABSTRAK ............................................................................................................... viii ABSTRACT ................................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................................x BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................1 1.1 Latar Belakang Masalah ...............................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................3 1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................4 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................4 1.5 Tinjauan Pustaka ..........................................................................................5 1.6 Landasan Teori .............................................................................................7 1.6.1 Tokoh dan Penokohan .......................................................................7 1.6.1.1 Tokoh .......................................................................................7 1.6.1.2 Penokohan ................................................................................9 1.6.2 Feminisme ......................................................................................14 1.6.3 Feminisme Liberal .........................................................................15 1.7 Metode dan Teknik Penelitian ....................................................................17 1.7.1 Pendekatan ...................................................................................17 1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .......................................18 1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data ...............................................19 1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ......................20 1.8 Sistematika Penyajian .................................................................................20
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL CANTING .................22 2.1 Tokoh Utama ..............................................................................................22 2.1.1 Bu Bei ..........................................................................................23 2.1.2 Pak Bei .........................................................................................33 2.1.3 Ni .................................................................................................43 2.2 Tokoh Tambahan ........................................................................................52 2.2.1 Wahyu Dewabrata .......................................................................53 2.2.2 Mijin ............................................................................................57 2.2.3 Himawan ......................................................................................61 2.2.4 Wening Dewamurti ......................................................................66 2.2.5 Mbok Tuwuh ...............................................................................69 2.2.6 Genduk Wagimi ...........................................................................73 2.3 Rangkuman ..................................................................................................76 BAB III KONSTRUKSI PEMIKIRAN FEMINISME LIBERAL WANITA JAWA DALAM NOVEL CANTING .....................................................................80 3.1 Kesempatan dalam Pendidikan ...................................................................80 3.2 Kesempatan dalam Dunia Kerja .................................................................84 3.3 Kebebasan Individual .................................................................................88 3.4 Menentang Diskriminasi Seks ....................................................................91 3.5 Rangkuman .................................................................................................96 BAB IV PENUTUP ................................................................................................100 4.1 Kesimpulan ...............................................................................................100 4.2 Saran .........................................................................................................106 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................107
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini akan meneliti tentang pemikiran feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto ini sangat menarik karena menggunakan latar budaya Jawa yang kental. Selain itu, novel karya Arswendo Atmowiloto ini mengandung pesan moral. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan keluarga priayi yang sarat akan nilai-nilai budaya Jawanya dan penuh dengan konflik-konflik yang menarik. Selain itu, novel ini mengisahkan dua tokoh perempuan yang berbeda karakter dengan latar budaya yang sama, yaitu budaya Jawa sehingga memunculkan konflik yang menarik. Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum
wanita
untuk
menolak
segala
sesuatu
yang
dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender (Ratna, 2012: 184). 1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Mackinnon menyatakan bahwa feminisme liberal melihat perbedaan lakilaki dengan perempuan sebagai konstruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang sebagai hasil dari suatu biologi abadi. Feminisme liberal menekankan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan di semua bidang, yang di dalam demokrasi liberal barat diyakini dapat tercapai di dalam struktur besar dalam kerangka kerja ekonomi dan hukum (Barker, 2005: 235). Arswendo Atmowiloto terlahir dengan nama lahir Sarwendo. Nama Arswendo Atmowiloto berasal dari Sarwendo yang diubah menjadi Arswendo karena dianggap kurang kormesial. Atmowiloto yang menjadi nama belakang Arswendo adalah nama ayahnya. Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai seorang penulis dan wartawan yang lahir pada tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa Tengah. Karya-karya yang telah dihasilkan Arswendo antara lain berupa naskah drama, cerpen, novel, dan puisi. Berikut beberapa karyanya: Sleko (1971), Dua Ibu (1981), Serangan Fajar (1982), Pesta Jangkrik (2001), dan lain-lain. Sampai saat ini Arswendo masih aktif menulis dan juga memiliki sebuah rumah produksi. Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yang terbit pada tahun 1986, mengisahkan tentang tradisi Jawa yang dijaga secara turun- temurun oleh Kraton Kesunanan Surakarta. Novel ini menceritakan hubungan kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton Kesunanan Surakarta yang hidup sebagai kaum priayi. Dalam novel ini diungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami banyak konflik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Jawa. Konflik tersebut dialami oleh tokoh perempuan yang juga sangat kuat dipengaruhi oleh konstruksi sosio-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
ekonomis di Jawa. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan kajian feminisme liberal. Objek kajian penelitian ini adalah novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Alasan dalam pemilihan topik penelitian Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto karena novel tersebut mengkonstruksikan pemikiran tentang feminisme liberal yang terlihat dari keinginan, sikap, dan pandangan perempuan yang bebas secara utuh. Untuk melihat konstruksi pemikiran feminisme liberal, peneliti menggunakan analisis tokoh dan penokohan. Dari analisis tokoh dan penokohan dalam novel Canting akan terlihat sikap dan pandangan yang menggambarkan pemikiran feminisme liberal.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut. 1.2.1
Bagaimana gambaran tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto?
1.2.2
Bagaimana konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengkaji novel Canting karya Arswendo Atmowiloto menggunakan teori feminisme liberal. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1
Mendeskripsikan dan mengungkapkan gambaran tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Hal ini akan dibahas pada bab II.
1.3.2
Mendeskripsikan feminisme
liberal
dan
mengungkapkan
dalam
novel
konstruksi
Canting
karya
pemikiran Arswendo
Atmowiloto. Hal ini akan dibahas pada bab III.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini akan menghasilkan uraian dan penjelasan tentang tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini menjadi contoh penerapan kajian struktural, khususnya pada tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal untuk memahami perempuan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang karya sastra dan pemahaman tentang novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan pengetahuan pembaca mengenai feminis akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
lebih luas sehingga ilmu yang dirasa bermanfaat bagi pembaca dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
1.5 Tinjauan Pustaka Wiyatmi (2012: 182), dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia, mendalami novel Canting karya Arswendo dengan memahami fenomena keterlibatan perempuan sebagai pelaku bisnis. Judul penelitian yang menggunakan objek penelitian novel Canting adalah Perempuan sebagai Pelaku Bisnis dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Dalam novel Canting yang terbit pertama kali pada tahun 1986 ini digambarkan
bagaimana
para
perempuan
memiliki
kemampuan
untuk
menjalankan kegiatan perekonomian. Dengan menggambarkan para perempuan yang terjun ke dunia usaha, Canting ingin menggambarkan para perempuan yang dapat berperan di dua area yang berbeda, di rumah sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai pengusaha. Ketika di rumah peran domestiknya adalah mengurus rumah tangga, melayani suami, melahirkan dan mendidik anak-anaknya, sedangkan di luar rumah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjalankan perannya sebagai penguasaha. Dalam novel tersebut digambarkan tokoh Bu Bei dan Wening yang berhasil menjalankan kedua peran gendernya (Wiyatmi, 2012: 182). Sulistyaningsih (1998), dalam skripsinya Citra Wanita Jawa Tokoh Utama Ni dan Bu Bei dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto: Suatu Tinjauan Sosiologis, penelitian ini mengkaji citra wanita Jawa tokoh Ni dan Bu Bei dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra merupakan gejala sosial. Hasil kajian ditemukan bahwa citra wanita Jawa tokoh Ni dan citra wanita Jawa tokoh Bu Bei berbeda. Tokoh Ni merupakan cerminan wanita Jawa yang ingin melepaskan kejawaannya dengan bersikap aeng atau aneh, sedangkan Bu Bei hidup di zaman pra-kemerdekaan di dalam lingkungan priyayi, Bu Bei lebih mencerminkan wanita Jawa yang memiliki sikap nrima atau pasrah akan keadaan yang harus diterimanya. Sidang (2013), dalam skripsinya yang berjudul Citra Perempuan Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto, mendeskripsikan unsur intrinsik dan citra perempuan Jawa yang digambarkan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Unsur struktur novel Canting membentuk totalitas makna yang mencakup tema, alur, setting (latar tempat, latar waktu, dan latar suasana), tokoh, sudut pandang, dan amanat. Citra perempuan Jawa yang terdapat dalam novel Canting adalah pekerja keras, pasrah, bertanggung jawab, dan pantang menyerah. Para perempuan yang mampu berperan dua sisi kehidupan, yaitu sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai pengusaha. Dalam novel ini telah ditunjukkan bahwa kaum perempuan juga memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi dan membantu keperluan rumah tangga. Penelitian yang menggunakan objek novel Canting karya Arswendo Atmowiloto ini memiliki perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian dengan judul Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto ini mengkaji novel Canting dengan kajian feminisme liberal. Penelitian ini akan mendeskripsikan salah satu unsur intrinsik dan konstruksi feminisme liberal yang digambarkan novel Canting. Unsur intrinsik yang dianalisis adalah tokoh dan penokohan yang digambarkan dalam novel Canting. Novel Canting yang menggunakan latar waktu tahun 1940-an menggambarkan konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam sikap dan pandangan wanita Jawa. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini adalah feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
1.6 Landasan Teori 1.6.1
Tokoh dan Penokohan
1.6.1.1 Tokoh Menurut Abrams, tokoh cerita adalah orang-orang yang tampil dalam karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakannya (Nurgiyantoro, 2005: 165). Stanton menunjukkan tokoh (character) sebagai pelaku-pelaku cerita yang ditampilkan. Istilah tokoh menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan sebagai pelaku cerita. Penggunaan istilah karakter (character) dalam berbagai literature bahasa Inggris menyerap pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
keinginan, emosi, dan prinsisp moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2005: 165). Terma ‗karakter‘ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‗karakter utama‘, yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita (Stanton, 2007: 33). Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan menjadi beberapa jenis. Menurut Sayuti, tokoh dibedakan sesuai dengan keterlibatan dalam cerita. Tokoh dibedakan menjadi tokoh utama (sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Disebut tokoh sentral apabila memenuhi tiga syarat, yaitu (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Wiyatmi, 2006: 30-31). Berdasarkan wataknya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi karakter. Sementara tokoh kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia yang memiliki sisi baik baik dan buruk secara dinamis (Wiyatmi, 2006: 31).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
Menurut Panuti-Sudjiman, tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa cerita. Berdasarkan menampilkannya, tokoh dibedakan menjadi tokoh datar atau tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat atau tokoh kompleks (complex atau round character). Berdasarkan peranan atau pentingnya atau fungsinya, tokoh di dalam rekaan dibedakan menjadi tokoh sentral atau tokoh utama (central character, main character) dan tokoh bawahan atau tokoh tambahan (peripheral character) (Sugihastuti, 2010: 50-52).
1.6.1.2 Penokohan Sugihastuti (2010: 50-51), penokohan adalah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita. Penciptaan citra dalam penokohan, meliputi fisik, sosial, dan psikologi tokoh dalam suatu cerita. Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pertama, menurut Hudson, metode analitik atau metode langsung. Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat, hasrat, pikiran, dan perasaan tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang watak tersebut. Kedua, metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang melalui narator. Selain itu, watak juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari gambaran lingkungannya, serta dari pendapat dan cakapan tokoh-tokoh yang lain tentang tokoh utama.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
Ketiga, menurut Kenney, metode kontekstual. Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator di dalam mengacu kepada tokoh cerita. Ketiga metode tersebut dapat dipakai secara bersama-sama dalam menganalisis penokohan sebuah novel. Menurut Nurgiyantoro (2005: 194-195) dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi, teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra dapat dibagi menjadi dua cara atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung (teknik ekspositori) dan teknik pelukisan secara tidak langsung (teknik dramatik). Berikut adalah uraian singkat tentang kedua teknik pelukisan tokoh.
1.6.1.2.1 Teknik Ekspositori Teknik ekspositori dapat juga disebut sebagai teknik analitis. Pelukisan tokoh menggunakan teknik ini dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita dihadirkan begitu saja dan langsung disertai dengan deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Deskripsi kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Artinya, deskripsi kedirian tokoh tidak akan berwujud penuturan yang bersifat dialog, walaupun bukan merupakan suatu pantangan atau pelanggaran jika dalam dialog tercermin watak para tokoh yang terlibat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
1.6.1.2.2 Teknik Dramatik Teknik dramatik atau pelukisan tokoh cerita yang dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal melalui kata-kata maupaun nonverbal melalui tidakan atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, kedirian tokoh akan muncul atau dihadirkan secara sepotong-sepotong dan tidak sekaligus. Sifat kedirian tokoh akan menjadi lengkap, apabila setelah pembaca menyelesaikan sebagaian besar cerita, setelah menyelesaikannya, atau bahkan setelah mengulang membaca. Wujud penggambaran teknik dramatik atau penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walaupun ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berikut uraian dan penjelasan tentang berbagai teknik yang dimaksudkan, yaitu a.
Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita biasanya dimaksudkan untuk
menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan mencerminkan kedirian tokoh atau tidak mudah untuk menafsirkannya. Namun, percakapan yang baik, efektif, lebih fungsional adalah percakapan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya. b. Teknik Tingkah Laku Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, khususnya fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat dipandang untuk menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. c.
Teknik Pikiran atau Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di
dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikiran dan dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kedirian juga. Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan perasaan. Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh. d. Teknik Arus Kesadaran Menurut Abrams, arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. Aliran kesadaran berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin yang memang hanya terjadi di batin ataupun baik yang berada di ambang kesadaran maupun ketaksadaran termasuk kehidupan di bawah sadar. e.
Teknik Reaksi Tokoh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagainyayang berupa ―rangsangan‖ dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
f. Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya yang berupa pandanagan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Singkatnya, penilaian kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita lainnya dalam sebuah karya. g.
Teknik Pelukisan Latar Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar tertentu dapat menimbulkan kesan tertentu di pihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat meskipun latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh. Suasana latar sering juga kurang ada hubungannya dengan penokohan, paling tidak hubungan langsung. h. Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Pelukisan keadaan fisik tokoh dalam kaitannya dengan penokohan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
kadang-kadang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika tokoh cerita memiliki bentuk fisik khas, sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.
1.6.2 Feminisme Budianta mengartikan feminisme sebagai sebuah kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin (Sofia, 2009: 13). Moeliono, dkk (1993: 241) menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (Sugihastuti, 2010: 61). Wiyatmi (2012: xv), mendefinisikan feminisme sebagai aliran pemikiran dan gerakan sosial yang menginginkan adanya penghargaan terhadap kaum feminin (perempuan) dan kesetaraan gender. Gamble (2010: ix) menyatakan bahwa feminisme adalah sebuah kepercayaan
bahwa—perempuan
semata-mata
karena
mereka
adalah
perempuan—diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentingannya. Feminisme didefinisikan sebagai usaha untuk menghadapi manifestasi sistem patriarkal. Menurut Chris Weedons, sistem pratiarkal (dalam buku Feminist Practice and Postructuralist Theory tahun 1987) sebagai berikut: ―Istilah ‗pratiarkal‘ mengacu pada hubungan kekuatan di mana kepentingan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hubungan kekuatan ini memiliki banyak bentuk; mulai dari penggolongan pekerjaan menurut jenis kelamin dan pemberdayaan dalam organisasi sosial, hingga norma femininitas yang diinternalisasikan dalam kehidupan kita. Kekuatan patriakal bertumpu pada makna sosial yang berdasar pada jenis kelamin‖ (Gamble, 2010: 3-4). Rosemarie Putnam Tong (2006), mengemukakan bahwa feminisme bukanlah sebuah pemikiran yang tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam yang kemunculan dan perkembangannya sering kali saling mendukung, mengoreksi,
dan
menyangkal
pemikiran
feminisme
sebelumnya.
Tong
mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan
gender,
feminisme
eksistensial,
feminisme
posmodern,
feminisme
multikultural dan global, dan ekofeminisme (Wiyatmi, 2012: 16).
1.6.3 Feminisme Liberal Tong mengemukakan bahwa perkembangan feminisme liberal sejalan dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatiakan, jam kerja dan gaji kaum perempuan mulai diperbaiki dan diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Tujuan dari feminisme liberal adalah menentang diskriminasi seks dan berjuang mencapai kesetaraan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal (Wiyatmi, 2012: 16-18).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
Menurut Barker dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies: Teori & Praktik, feminisme liberal melihat perbedaan laki-laki dengan perempuan sebagai kontruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang sebagai hasil dari suatu biologi abadi. Mereka menekankan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan di semua bidang, yang di dalam demokrasi liberal barat diyakini dapat tercapai di dalam struktur besar dalam kerangka kerja ekonomi dan hukum (Barker, 2005: 235) Menurut Fakih, feminisme liberal adalah feminisme yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan. Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan. Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu (Sofia, 2009: 14). Dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis, feminisme liberal memiliki dasar pemikiran sebagai berikut: ―Manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu, dan dijamin hak-hak individunya. Dan isu feminis liberal, yaitu akses pendidikan, kebijakan negara yang bias gender, hak sipil, dan hak politik‖. Feminisme liberal berupaya untuk menekankan persamaan perempuan dan laki-laki (sameness). Namun, feminisme liberal hanya berupaya untuk mendukung kesetaraan perempuan berkulit putih dan dari kelas menengah (Arivia, 2003: 12).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
Berdasarkan gagasan di atas, feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Hal ini akan diterapkan dalam penelitian ini.
1.7
Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni (i) pengumpulan data,
(ii) analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut ini adalah uraian dari masing-masing tahap dalam penelitian ini.
1.7.1 Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atowiloto adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang bertumpu pada karya sastra. Pendekatan objektif memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin (Ratna, 2012: 72-74). Jadi, pendekatan objektif dalam fiksi novel Canting karya Arswendo Atmowiloto akan mencari dan meneliti unsur-unsur tokoh dan penokohannya. Wolf membagi pendekatan feminisme menjadi dua hal, yaitu feminisme korban (victim feminism) dan feminisme kekuasaan (power feminisme).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
Feminisme korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut hak-hak perempuan. Sedangkan feminisme kekuasaan, menganggap perempuan sebagai manusia biasa yang seksual, individual, tidak lebih baik dan tidak lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi mitranya dan mengklaim hakhaknya atas dasar logika yang sederhana, yaitu perempuan memang memiliki hak (Sofia, 2009: 17). Dalam penelitian ini, pendekatan feminisme kekuasaan lebih sesuai untuk menganalisis permasalahan perempuan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi pustaka. Metode ini dipakai untuk mendapatkan data pada novel Canting, buku-buku referensi, artikel, dan sumber lain yang berkaitan dengan objek. Data diperoleh dari sumber tertulis, yaitu novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Berikut sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Judul Novel
: Canting
Pengarang
: Arswendo Atmowiloto
Tahun Terbit
: Cetakan keempat, Juli 2013
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku
: 376 halaman
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
Teknik yang digunakan dalam tahap pengumpulan data adalah teknik simak dan teknik catat. Teknik simak untuk meyimak bacaan bagian yang dipilih sebagai bahan penelitian. Dalam teknik ini menyimak bagian wacana naratif (paragraf) dan dialog percakapan antar tokoh yang membuktikan objek kajian dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sedangkan teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap mendukung dalam memecahkan masalah.
1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode analisis isi untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Metode isi terdiri atas dua macam yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (pembaca). Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna (Ratna, 2012: 48-49). Ratna (2012: 49) menyebutkan dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Metode analisis isi yang dilakukan terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto untuk meneliti isi pesan novel secara tepat dan menafsirkannya secara jelas, sehingga dapat mendukung penelitian ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.7.4
20
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ditemukan kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2012: 53). Metode deskriptif analisis dirasa tepat oleh penulis dalam menguraikan hasil penelitian tentang tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dan memberikan pemahaman secukupnya.
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian bahasa ini disusun dalam empat bab. Bab I pendahuluan, bab pendahuluan berisi (i) latar belakang masalah, (ii) rumusan masalah, (iii) tujuan penelitian, (iv) manfaat penelitian, (v) landasan teori, (vi) metode penelitian, dan (vii) sistematika penyajian. Latar belakang dalam penelitian ini menguraikan alasan penulis melakukan penelitian terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dengan teori kajian feminis liberal. Rumusan masalah menjelaskan beberapa permasalahan
yang ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian
mendeskripsikan tujuan diadakan penelitian bahasa ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini. Metode
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
penelitian berisi tentang perincian teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pemaparan hasil analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Sistematika penyajian menguraikan urutan hasil penelitian dalam penelitian ini. Bab II berisi tentang tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Bab III berisi tentang kajian novel Canting karya Arswendo Atmowiloto menggunakan teori kajian feminisme liberal. Bab IV berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil analisis data dan saran untuk penelitian selanjutnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL CANTING Dalam Bab II ini akan dibahas tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Canting dan penokohannya. Tokoh cerita dapat disebut sebagai pelaku-pelaku certita yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama. Istilah tokoh menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan sebagai pelaku cerita. Tokoh-tokoh cerita ditampilkan dengan emosi, keinginan, sikap, dan prinsip moral yang diekspresikan dalam ucapan (verbal) dan tindakan (nonverbal) di dalam cerita disebut penokohan. Berikut adalah pemaparan analisis penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
2. 1 Tokoh Utama (Central Character) Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam novel Canting dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita. Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang paling sering dimunculkan dalam cerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei (Tuginem), Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden Ngabehi Sestrokusuma), dan Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma).
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
2.1.1 Bu Bei (Tuginem) Bu Bei digambarkan sebagai seorang gadis desa—anak seorang buruh batik (wong cilik)—yang polos dan lugu. Sampai suatu saat, ia harus mau menerima pinangan dari seorang priayi—Raden Ngabehi Sestrokusuma. Bu Bei yang awalnya hanya wong cilik harus belajar keras untuk menjadi seorang priayi. Kehidupan priayi adalah kehidupan yang bertolak belakang dengan kehidupan wong cilik. Bu Bei adalah wanita Jawa yang memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh. Artinya, wanita yang sabar, mengalah, dan diam. Setelah ini akan diterangkan penokohan lain dari Bu Bei yang didukung dengan kutipan-kutipan ekspositori dan dramatik. Bu Bei digambarkan memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam) selayaknya sikap yang dimiliki wanita Jawa pada zamannya. Hal itu terlihat ketika Bu Bei tetap sabar menerima kenyataan bahwa Pak Bei telah menikah lagi (poligami). Bu Bei menanggapi kenyataan suaminya berpoligami dengan tetap diam dan mengalah. Maksudnya, Bu Bei mengalah adalah dengan berpura-pura tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. Dan juga Bu Bei tidak mempermasalahkan hal tersebut. Berikut kutipan yang menggambarkan sikap sabar, sumarah, lan sumeleh Bu Bei dengan teknik ekspositori yang disajikan oleh pengarang. Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang. Setelah itu setian dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa Bu Bei tahu. Tapi Bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mangatur anak-anak—saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer—dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya Bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi—walau juga tak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang. Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucp satu kata patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65) Tokoh Bu Bei berwatakkan nrima atau pasrah. Bu Bei akan menerima semua keputusan, perintah, ataupun pendapat yang dirasa itu yang terbaik. Dalam kutipan berikut Bu Bei menerima begitu saja keinginan anak-anaknya untuk tidak bekerja dan tinggal bersama anak-anaknya secara bergilir. Bu Bei merasa itu adalah wujud balas budi anak-anaknya dan tidak merugikan, Bu Bei menerima keinginan itu setelah Pak Bei menyetujui hal tersebut. Kutipan berikut ini akan mendukung penjelasan sifat pasrah Bu Bei. Kutipan ini merupakan potongan percakapan Bu Bei dengan Wahyu—putra sulung Sestrokusuman. Tawa kecil dan canda bertebaran di mana-mana. Terasa bermekaran bagai bunga-bunga. ―Jadi tadi itu maksudnya apa?‖ tanya Bu Bei. ―Pokoknya Ibu tak usah mencari duit lagi. Kita semua ini, anak-anak dan menantu yang akan menanggung. Ibu tinggal menikmati saja.‖ ―Oooooo, begitu.‖ ―Ibu bisa memilih di Jakarta, di rumah saya. Atau di rumah Bayu, atau malah ke Irian...‖ ―Ooooooo, begitu....‖ ―Selama ini Ibu terus-menerus bekerja. Tak mengenal libur dan hari Minggu. Sekarang saatnya. Ibu menunggui menantu-cucu...supaya tidak cemburu, digilir.‖ ―Ooooo, begitu. Yang pertama ke mana?‖ (Atmowiloto, 2013: 169-170) Selain itu, kutipan percakapan di bawah akan menunjukkan bahwa Bu Bei memiliki sifat bekti atau patuh pada suaminya, Pak Bei. Bu Bei akan menuruti semua keputusan yang diberikan Pak Bei. Dalam hal ini, Bu Bei menerima keputusan Pak Bei untuk berdagang di Pasar Klewer menggantikan mertuanya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
yang telah meninggal. Kutipan percakapan antara Pak Bei dan Bu Bei akan menjelaskan hal di atas. ―Bagaimana, Bu, jadi jualan?‖ ―Terserah Pak Bei.‖ ―Apa keberatanmu?‖ ―Tidak ada.‖ ―Saya tahu. Soal Wahyu, kan? Kamu ini lebih mementingkan Wahyu daripada adik-adiknya. Ada Lintang, ada Ismaya, ada Bayu, ada Wening, kok hanya Wahyu yang dipikirkan.‖ (Atmowiloto, 2013: 54) Dari kutipan di atas menunjukkan sikap pasrah Bu Bei untuk menggantikan mertua perempuannya berdagang di Pasar Klewer. Karena mertua perempuan Bu Bei meninggal sudah dua tahun dan kios di Pasar Klewer yang biasa digunakan berdagang telah kosong. Bu Bei dapat dikatakan sukses dalam menjalankan usaha pembatikan. Hasil dagang batik di pasar mampu mencukupi kebutuhan keluarga Sestrokusuma dan para buruh batik. Bu Bei sangat berpengaruh dalam perekonomian di Ngabean. Kepasrahan Bu Bei yang lain adalah saat Bu Bei menunggu keputusan Pak Bei mengenai kehamilannya. Kehamilan yang diragukan oleh Pak Bei tentang ayah biologis anak yang dikandung Bu Bei. Saat kehamilan anak keenam, Bu Bei merasa takut dan gelisah. Ketakutannya dikarenakan Bu Bei juga menyangsikan siapa ayah anak yang sedang dikandungnya. Jika anak yang dikandungnya bukan anak Pak Bei, maka kegilaan Bu Bei dengan buruh batik benar adanya. Meskipun dirundung kegelisahan, Bu Bei tetap menunggu keputusan yang akan diambil Pak Bei dengan sabar. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut. Bu Bei menunggu. Kalau tiba-tiba Pak Bei meneriakkan keputusan penting bagi hidup Bu Bei. Misalnya mengingatkan akan kandungan. Atau menceraikan. Atau menghentikan kegiatan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
Bu Bei menunggu. (Atmowiloto, 2013: 48) Puncak penantian Bu Bei tentang keputusan Pak Bei tepat pada saat kelahiran anak keenamnya. Bayi perempuan yang kurus, hitam, dan pipinya tembam telah lahir. Bu Bei tetap menunggu keputusan Pak Bei akan nasib Bu Bei dan bayi perempuannya. Dan pada akhirnya, Pak Bei menerima bayi perempuan tersebut dengan menggendongnya di tengah pertemuan yang tengah diadakan di rumah Ngabean. Bu Bei merasa lega dan bahagia melihat Pak Bei mau menerima bayi perempuan tersebut. Berikut kutipannya. ―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas. ―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangis lagi. Dulu, kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat menghisap dan membuat sakit. ―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖ Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79) Saat berada di rumah, Bu Bei akan menjadi istri yang bekti kepada suami dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Sebelum berangkat ke pasar, Bu Bei akan menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, yaitu melayani suami, mengurusi kebutuhan anak-anak, dan membereskan rumah. Bu Bei akan melayani semua kebutuhan Pak Bei dari bangun tidur, air hangat untuk mandi juga Bu Bei yang menyiapkan dan Bu Bei akan memasak sendiri makanan yang akan disantap
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
Pak Bei. Setelah anak-anak Sestrokusuman berangkat ke sekolah, Bu Bei akan membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Berikut adalah bukti ngabekti Bu Bei sebagai seorang istri. ―Ngresake ngunjuk punapa?‖ Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah disediakan. Ada wedang jahe, ada teh, ada juga susu yang masih hangat. Bu Bei memperhitungkan saat Pak Bei pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat itu Pak Bei menghendaki sarapan bubur. (Atmowiloto, 2013: 31-32)
Bu Bei digambarkan memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Maksudnya, Bu Bei memiliki sikap bekti, setia, dan penuh kasih sayang saat menjadi ibu rumah tangga di rumah. Namun, hal berbeda akan terlihat saat Bu Bei berada di pasar, ia akan menjadi Bu Bei yang galak, bisa bercanda, dan berani mengambil keputusan tanpa harus bertanya Pak Bei dahulu. Kutipan ekspositori yang disajikan oleh pengarang berikut ini akan menerangkan hal di atas. Dari kios-kios sempit, yang biasa panas seakan memuaikan penghuninya, segala apa dilebur. Tak ada beda antara Bu Bei, Bu Menggung, atau Bu Joko, atau Ing Giok, dan Bu Bjoko bertahi lalat. Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di Pasar Klewer. dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam arti disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas. (Atmowiloto, 2013: 46) Meskipun Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang galak dan bisa memaki, namun saat berada di rumah Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang bekti. Sepulang dari pasar, Bu Bei tidak lagi galak, melainkan menjadi istri yang melayani
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
suaminya. Berikut kutipan narasi yang menggambarkan sosok Bu Bei saat di rumah. Bu Bei kembali menjadi istri Pak bei. Turun dari becak, menjinjing tas hitam, berjalan ke ruang dalam. Meletakkan oleh-oleh untuk suaminya di meja, mandi, berganti pakaian, dan siap melayani suami. (Atmowiloto, 2013:47) Tokoh Bu Bei digambarkan pengarang melalui pelukisan fisik, seperti memiliki mata yang indah, alis yang tebal melengkung, dan wajah yang bercahaya. Tokoh ini dilukiskan sebagai wanita cantik, baik, ramah, dan pekerja keras karena di usia 32 tahun tokoh ini masih gesit melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kutipan narasi berikut mendukung penjelasan fisik Bu Bei di atas. Bu Bei masih memberi kesan muram. Matanya merah. Mata yang indah di bawah sepasang alis tebal melengkung. Untuk usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada masalah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Cahaya wajah Bu Bei adalah cahaya kebahagiaan. (Atmowiloto, 2013: 6) Penokohan Bu Bei juga digambarkan melalui tokoh-tokoh lain yang terdapat dalam novel. Kutipan berikut menjelaskan bahwa Bu Bei memiliki pemikiran yang lugu dan lurus. Gambaran tersebut tersampaikan melalui percakapan Pak Bei dengan Ni. Dan hal ini kutipan diambil dari potongan perkataan Pak Bei. Nyatanya begitu. ―Ni, ibumu itu dulunya wong ndesa. Sekali dari desa tetap dari desa. Pikirannya lugu, lurus, dan hanya mengenal satu jalan saja. ―Kalau ibumu merasa bahwa kamu tidak baik mengurusi batik, ia tak melihat sisi yang lain. (Atmowiloto, 2013: 227)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
Bu Bei yang memiliki sikap pasrah juga digambarkan melalui tokoh Pak Bei saat berbicara dengan Ni. Berikut kutipan pernyataan dari Pak Bei yang menyatakan Bu Bei memiliki sikap pasrah dan bekti kepada suami, yaitu Pak Bei. ―Tidak. Ibumu tak menjadi rintangan kita bicara seperti ini. Saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tidak pernah merintangi saya. Tak pernah, satu kali pun. ―Segalanya serba -iya, serba –inggih, serba sakkersa, serba semau saya. Belum pernah ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan katakata, tidak juga dengan suara hatinya. ―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya dengan tindakan suaminya. ―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dengan suara hati seorang istri. ―Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap ibumu adalah wanita yang bahagia, lahir maupun batin. (Atmowiloto, 2013: 256-257)
Selain itu, Bu Bei digambarkan memiliki sikap nrima atau menerima, baik hati, dan pernah marah terhadap tokoh Pak Bei karena Pak Bei ketahuan memiliki anak dengan wanita lain. Berikut kutipannya yang menyatakan kekaguman Pak Bei terhadap Bu Bei yang tetap menerima Pak Bei meski Pak Bei memiliki anak dari istri lain. ―Kamu seperti ibu mertuamu lho, Him. Betul. Mau menerima keanehan Ni, tanpa merendahkan. Seperti mertuamu menerimaku, Him. ―Jangan dikira saya dulu tak ada konflik. Banyak. Sering. Jangan dikira saya tak pernah dimarahi. Waktu saya punya anak lain, ibu mertuamu marah besar. Murka. Saya didiamkan. Saya tidak tahu apakah anak itu tumbuh besar atau mati seperti yang dikatakan kemudian. Tapi dalam kemurkaan yang luar biasa hebat itu, ibu mertuamu tetap baik. Baik lho. Saya baru tahu belakangan bahwa keluarga Karmiyem atau siapa itu diberi duit. Dibelikan sawah. Solidaritas wanita yang tak tertandingi. (Atmowiloto, 2013: 347) Selain itu, Bu Bei bersikap diam dan tidak menolak kenyataan ketika Bu Bei mengetahui bahwa Pak Bei telah berpoligami (memiliki istri lebih dari satu). Pak Bei dijelaskan dalam novel menikah lagi dengan Karmiyem—gadis berkulit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
hitam manis berambut mengombak dari Mbaki—dan memiliki seorang anak. Meskipun Bu Bei menyadari bahwa Pak Bei telah menikah lagi, Bu Bei tetap diam dan berpura-pura semua itu tidak terjadi. Bu Bei tetap bekti melayani segala kebutuhan Pak Bei. Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang. Setelah itu setiap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa Bu Bei tahu. Tapi Bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mengatur anak-anak—saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer—dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya Bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi—walau juga tak menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang. Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucapkan satu patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65) Bu Bei mempunyai sifat yang baik, ia memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sesamanya. Dari kutipan di atas juga di terangkan bahwa Bu Bei memberikan uang dan membelikan sawah untuk keluarga Karmiyem—mantan istri kedua Pak Bei yang tinggal di Mbaki, ia diceraikan setelah kematian anaknya diketahui Pak Bei. Selain itu, Bu Bei mengirim uang untuk keluarganya secara rutin. Bu Bei tetap bersikap baik kepada Karmiyem dan keluarganya. Kutipan narasi dalam novel di bawah ini akan memaparkan hal tersebut. Kiriman apa? Bukannya Ni tidak tahu bahwa ibunya dulu selalu mengirimi duit buat belanja. Secara tetap kepada keluarga di Laweyan dan di Gading. Dalam jumlah yang cukup untuk makan dan keperluan sehari-hari secara—apa pun maknanya—wajar. Selalu begitu. Di samping kebutuhan lain, seperti waktu perkawinan Laksmi atau adik-adiknya atau kakak-kakaknya, sampai melahirkan dan melahirkan lagi. (Atmowiloto, 2013: 306-307)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
Dari kutipan di atas juga digambarkan Bu Bei memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sanak saudaranya. Setiap bulan mengirimkan uang kepada keluarga di Lawean dan di Gading secara tetap dan cukup. Pada akhirnya, Bu Bei diceritakan meninggal dunia karena terpukul dengan keinginan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan. Keinginan Ni menjadi juragan batik merupakan pukulan besar buat Bu Bei. Keinginan Ni sama saja membuka luka lama Bu Bei mengenai keraguan Pak Bei terhadap siapa ayah Ni. Karena hal tersebut Bu Bei tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah sakit. Bu Bei sempat mengalami koma hingga pada akhirnya ia meninggal dunia. Berikut kutipan saat Bu Bei mengalami syok dan tidak sadarkan diri. Air dalam gelas telah tenang, rata. Pak Bei berdiri, meninggalkan perjamuan. Berjalan dengan gagah. Bu Bei tertunduk. Sewaktu memegang piring untuk dikumpulkan, piring itu jatuh. Bu Bei masih berusaha untuk memungut, akan tetapi justru tubuhnya yang limbung. Kolonel Pradoto dan Himawan yang lebih dulu bergerak, memegangi tubuh Bu Bei. bu Bei seperti tak bertenanga, sehingga digotong ke dalam kamar. Kesibukan mendadak berganti. Bu Bei ternyata sesak bernapas. Wahyu memeriksa nadi dengan cepat, juga Bayu dan istrinya. Kesimpulan sama, bahwa Bu Bei perlu mendapat perawatan khusus. (Atmowiloto, 2013: 193-194) Dan kutipan berikut akan menggambarkan sesaat sebelum Bu Bei meninggal dunia. Bu Bei digambarkan meninggal dengan keadaan yang tenang dan ikhlas meninggalkan semua urusan duniawi. Bu Bei meninggal dihadapan semua anak, menantu, cucu, dan suaminya, Pak Bei. ―Ibumu telah mendapat pengampunan.‖ Ni masih sempat melihat, biji mata ibunya seperti bergerak, seolah menangkap apa yang dikatakan suaminya. Napasnya naik-turun. Dokterdokter datang memeriksa, sementara Pak Bei memimpin berdoa. Terdengar suara-suara bergema dalam berbagai bahasa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
Ni masih sempat melihat, Pak Bei menutupkan mata istrinya, dan ia tak bisa menahan diri lagi. Himawan merangkul makin kencang. Pak Bei menghela napas, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa detik masih berdiam diri. Sekilas mengawasi cucu-cucu, menantu-menantu, lalu mendekati dokter. ―Kalau peralatan mau dicabut sekarang, silakan. (Atmowiloto, 2013: 243) Dilihat dari pemaparan penokohan di atas, dapat disimpulkan tokoh Bu Bei memiliki wajah yang cantik bercahaya dengan mata indah dan alis yang tebal. Bu Bei digambarkan sebagi istri yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam). Bu Bei juga istri yang bekti kepada suaminya, yaitu Pak Bei. Sebelum berangkat dan sepulangnya dari pasar, Bu Bei selalu membereskan rumah dan melayani Pak Bei. Bu Bei dilukiskan dengan sikap nrima atau pasrah. Sikap pasrah Bu Bei ditunjukkan dengan menerima semua keputusan yang diberikan Pak Bei. Sedangkan sifat lainnya adalah baik hati, ramah, pekerja keras, dan memiliki pemikiran yang lugu. Bu Bei juga memiliki solidaritas yang tinggi dan dermawan. Namun, Bu Bei memiliki sisi yang berbeda saat berada di pasar. Ia akan menjadi sosok Bu Bei yang galak dan berani mengambil keputusan. Selain itu, Bu Bei digambarkan pengarang sebagai wanita sukses yang mampu menjalankan usaha batik cap Canting. Penghasilan yang diperoleh Bu Bei dari berjualan batik mampu memenuhi kebutuhan keluarga Sestrokususma dan buruh batik. Dapat dikatakan Bu Bei adalah tulang punggung keluarga Sestrokusuma. Saat Bu Bei dinyatakan hamil anak keenam, Bu Bei merasa takut dan gelisah. Hingga puncaknya, bayi perempuan lahir dan Pak Bei menerima bayi tersebut dengan menggendongnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
2.1.2 Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden Ngabehi Sestrokusuma) Tokoh Pak Bei dalam novel Canting digambarkan sebagai priayi dengan pembawaan yang tenang dan berwibawa. Pak Bei adalah seorang Ngabean karismatik dengan jiwa kepimpinan yang tegas. Hal tersebut menjadikan Pak Bei sebagai orang yang dihormati dan disegani. Selanjutnya akan dipaparkan penokohan Pak Bei berserta kutipan dalam novel yang disajikan pengarang dengan teknik ekspositori dan dramatik. Pak Bei dilukiskan sebagai tokoh yang ramah, berwibawa, dan berkarismatik. Hal ini terlihat dari kutipan percakapan antara Pak Bei dengan Ni dan Wening. Pak Bei menanggapi pertanyaan Ni dengan pembawaan sikap yang tenang dan berkarisma, sehingga Ni sangat segan dan hormat kepada Pak Bei. Kutipan berikut akan menjelaskan pelukisan tokoh Pak Bei. Begitu didudukan di dekat Himawan, Ni berdiri lagi ketika ibunya berpindah tempat. ―Sudah, di situ saja....‖ ―Kan belum ngabekti sama Rama....‖ Wening berkata lembut, ―Ni, acara belum dimulai....‖ ―Apa acaranya sekarang ini?‖ ―Acaranya kok apa? Acaranya ya makan, ya kumpul, ya cerita, terus dipotret.‖ Empuk, ramah, mengajak, tapi juga berwibawa. (Amowiloto, 2013: 157) Dari kutipan di atas, terlihat hubungan Pak Bei dengan Ni—putri keenam Sestrokusuman—sangat dekat dan tidak ada jarak antara yang muda dengan yang tua atau akrab. Pak Bei dilukiskan memiliki sikap yang tidak mudah goyah, kokoh dalam berpendirian, dan mengharamkan segala cara yang melanggar prinsipnya. Berikut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
kutipan percakapan antara Pak Bei dengan putri kedua Sestrokusuman, Lintang, yang menjelaskan bahwa Pak Bei memiliki pendirian yang kokoh. Pak Bei marah saat mengetahui dalang dibalik kasus penggelapan batik yang dilakukan Pakde Tangsiman dan Pakde Wagiman adalah Lintang Dewanti. Hal tersebut akan diperkuat dengan kutipan yang disajikan pengarang dengan teknik dramatik dari pengarang. ―Mas Pradoto memerlukan duit, Rama. Untuk kenaikan pangkatnya yang tertunda.‖ ―Kenapa tidak bilang lagsung?‖ ―Rama tak akan menyetujui cara ini.‖ ―Caramu lebih buruk daripada menyogok agar kenaikan pangkatnya lancar. ―Kamu tahu waktu kamu masih hubungan sama Metra. Dan Metra ditagkap karena partai terlarang. Saya bisa membebaskan waktu itu. Tapi saya tak mau mencampur-adukkan masalah politik dan keluarga dalam mencari keuntungan. Saya merasa cocok dengan Metra dibandingkan dengan calon yang lain. Tetapi tetap tak melanggar prinsip. ―Kamu ini sekarang ini melanggar prinsip.‖ ―Ampun, Rama....‖ (Atmowiloto, 2013: 222) Pak Bei digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang tenang dan mampu menahan emosi. Pak Bei diceritakan tidak bisa menerima kehamilan anak keenam Bu Bei karena ia meragukan anak itu. Ketika kelahiran Ni—anak keenam Bu Bei, Pak Bei melihat anak yang dilahirkan Bu Bei dengan pembawaan yang tenang. Bahkan, Pak Bei mampu menahan emosinya, ketika melihat bayi Bu Bei memiliki ciri fisik yang hitam, kurus, pipi tembam, dan tidak mempunyai rambut. Padahal Pak Bei berkulit putih, Pak Bei tidak menyangsikan bayi yang terlahir dengan kulit hitam. Pak Bei selain mampu menahan emosi, Pak Bei mampu menenangkan Bu Bei dengan menunjukkan rasa bahagia dengan menggendong
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
anaknya. Kutipan narasi dan percakapan di bawah ini akan menerangkan pelukisan tokoh Pak Bei. ―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas. ―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangsi lagi. Dulu,kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan membuat sakit. ―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖ Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79) Kutipan di bawah ini juga akan menerangkan tentang Pak Bei yang menerima Ni sebagai anak Sestrokusuman. Pak Bei menunjukkan sikap yang bisa menerima Ni yang tidak diketahui dengan jelas ayah biologisnya. Pak Bei pasrah dan menerima Ni sebagai anak kandungnya sendiri tanpa mempersoalkan ayah kandung Ni. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan percakapan antara Ni dengan Pak Bei dan didukung dengan teknik dramatik. ―Bagiku persoalan itu sudah selesai. Aku bisa berdamai dengan diriku. Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya apakah aku ini ayah kandungmu atau bukan? Iya, kan? ―Aku tahu. ―Aku diam saja. ―Aku juga lebih suka kamu diam saja. ―Tak usah bertanya. ―Kamu akhirnya akan mengerti sendiri. Pada saat kamu mengerti, kenyataan sebenarnya tak akan mengguncangmu. Membuat bingung, sedih, kaget sedikit tak apa. Tapi kamu sedah lebih bisa menilai. Seperti aku, Ni.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
―Bagiku, sudah tak jadi soal lagi. Apakah kamu anak kandungku atau bukan. Apa pun juga, kamu tetap anakku.‖ Mata Ni merah. Basah. ―Kamu anakku, karena aku ayahmu, dan karena istriku adalah ibumu. Itu penjelasannya. (Atmowiloto, 2013: 228-229) Pak Bei dalam novel diceritakan melakukan poligami atau memiliki istri lebih dari satu. Poligami biasa dilakukan oleh para priayi pada jaman Pak Bei. Setelah menikah dengan Bu Bei, Pak Bei juga menikahi Karmiyem. Karmiyem digambarkan sebagai gadis desa dari daerah Mbaki dengan kulit hitam manis dan berambut keriting mengombak. Pak Bei menjadikannya selir setelah satu minggu pertemuannya dengan Karmiyem. Kutipan narasi di bawah ini akan menjelaskan kronologis pernikahan Pak Bei dengan Karmiyem. Seminggu kemudian, orangtua Karmiyem melepaskan anaknya dengan pesta yang termasuk agak mewah untuk ukuran desa tersebut. Karena memotong tiga ekor kambing. Kepada modin yang mengawinkan, Pak Bei terus terang mengatakan bahwa ia telah beristri, telah mempunyai tiga anak, dan berniat mengambil Karmiyem menjadi selirnya, dengan segala kewajibannya. Pak Bei memang memberikan kewajiban untuk keperluan hidup sehari-hari, dan membelikan pakaian seperangkat, sebuah meja tamu, serta delapan ekor ayam betina. Namun Pak Bei masih harus menunggu sampai dua bulan sebelum Karmiyem mau tidur bersama. Dalam kamar khusus di bagian ruang tamu, sementara adik-kakakorangtua-saudara Karmiyem menempati ruangan, bukan kamar lain. (Atmowiloto, 2013: 64-65) Namun pada akhirnya, Pak Bei menceraikan Karmiyem karena Pak Bei tidak diberi tahu bahwa anaknya dengan Karmiyem meninggal dunia. Pak Bei menceraikan Karmiyem dengan memberikan uang tinggalan dan memberikan biaya
untuk
pernikahan
Karmiyem
berikutnya.
Berikut
kutipan
yang
menjelaskannya. Karena bukan konflik terbuka yang diharapkan. Karena dengan tiadanya konflik terang-terangan, segalanya masih bisa berjalan dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
menyenangkan. Karena dengan demikian, keseimbangan hubungan dalam keluarga masih terasakan. Sampai akhirnya Pak Bei bosan dengan Karmiyem, karena tak diberitahu saat anaknya meninggal dunia. ―Kami takut memberitahu ke Ngabean,‖ kata mertua Pak Bei. ―Apa susahnya memberitahu?‖ Pak Bei saat itu tak berpikir, bahwa barangkali keluarga Karmiyem juga menjaga keseimbangan—agar tak terjadi perubahan besar mendadak dengan nongol serta memberitahu ke Ndalem Ngabean. Atau, kalaupun terjadi perubahan besar, bukan keluarga Karmiyem-lah yang menjadi penyebab utama. Itu yang terjadi delapan bukan berikutnya. pak Bei secara resmi menceraikan Karmiyem, memberi tinggalan duit, dan memberikan biaya utuk perkawinan Karmiyem yang akan datang. (Atmowiloto, 2013:65-66) Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Pak Bei memiliki sifat yang bertanggung jawab. Pak Bei menceraikan Karmiyem dengan baik-baik dan secara resmi. Selain memberikan uang tinggalan untuk biaya hidup Karmiyem, Pak Bei juga memberikan uang untuk biaya pernikahan Karmiyem yang akan datang. Pak Bei menganakemaskan putri kelima Sestrokusuman, yaitu Wening. Pak Bei sangat memanjakan Wening dan memperlakukan Wening secara khusus dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Hampir semua keinginan Wening akan dipenuhi Pak Bei agar putri kesayangannya senang. Setelah kelahiran Wening, Pak Bei lebih sering menghabiskan waktunya bersama Wening. Penjelasannya akan didukung dengan kutipan di bawah ini. ―Mau minta apa, cah ayu? Rama akan membelikan. Sepatu? Baju? Rok? Sepeda?‖ Wening lebih suka dibelikan serabi. Kue dari tepung beras yang pinggirnya cokelat karena gosong. Bagian itulah yang paling disukai Wening. Pak Bei membeli secara khusus, dan saudara-saudaranya yang lain baru boleh ikut makan setelah Wening. Kalau Wahyu dikenal sebagai anak lelaki Bu bei, Wening adalah ―putri Rama‖. Ke mana pun Pak Bei pergi, Wening tak pernah ketinggalan. Juga kalau malam hari tidur, Wening selalu tergolek di tengah antara Pak Bei dengan Bu Bei. Pak Bei tidak lagi berangasan. Semua nafsu kerasnya surut jika melihat Wening yang terlelap. (Atmowiloto, 2013: 67)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
Kutipan berikut ini akan menggambarkan Pak Bei yang memiliki watak banyak omong. Dalam novel ini, Pak Bei sering dimunculkan dengan banyak omong, seperti saat memberikan nasehat kepada Lintang karena kesalahannya menyogok untuk mendapatkan jabatan untuk suaminya, Pradoto. Dan juga saat menanggapi keinginan Ni untuk melanjutkan usaha batik cap Canting yang ditentang seluruh keluarga. Penggambaran tokoh di atas akan dijelaskan dalam kutipan berikut menggunakan. Pak Bei menuju kursi goyang. Duduk, bersandar dengan tenang. Sebagian rambutnya menyibak, kelihatan ubannya. Wening mendekatkan asbak ke dekat meja kecil di samping Pak Bei ketika Pak mengambil rokoknya. ―Mungkin kalian bertanya, kenapa saya ini, malam ini, banyak omongannya. Kalau berpikir begitu, berarti kalian salah mengenali. Saya ini sejak dulu suka ngomong. Mungkin kalau ada yang suka atau tidak suka kepada saya, karena saya ini suka ngomong. Ngomong hal-hal yang menurut beberapa orang tak pantas diomongkan. Hal-hal yang tak perlu diomongkan. ―Saya sering tak bisa mengontrol diri. (Atmowiloto, 2013: 255) Tokoh Pak Bei digambarkan sebagai lelaki yang berwibawa dengan cara mendongakan dagunya yang keras. Pak Bei dilukiskan memiliki hidung yang mancung dan kulit kuning pucat. Penggambaran fisik tokoh Pak Bei akan dibuktikan dalam kutipan berikut. Sehabis sarapan, Pak Bei, lelaki yang berhidung sangat mancung, dengan kulit kuning pucat dan cara mendongak yang memperlihatkan dagu keras, memeriksa taman bagian samping. Melihat tanaman, bunga-bunga. Menengoki tempayan yang jumlahnya puluhan, tempat ia memelihara ikan maskoki. Bukan memelihara tepatnya, karena bukan dirinya yang memelihara, yang mencarikan makanan jentik-jentik. Lebih tepatnya: tempat ia melihat ikan maskoki. Sambil mengepulkan rokok kretek Pompa, kesukaannya satu-satunya. (Atmowiloto, 2013: 8) Menurut tokoh Metra, Pak Bei merupakan sosok lelaki yang pintar karena pengetahuannya luas, terbuka, tenang, dan berwibawa. Karena pengetahuan Pak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
Bei luas dan terbuka, Pak Bei termasuk sosok yang omongannya banyak. Pak Bei suka berbicara mengenai hal-hal yang ia tahu. Kutipan di bawah ini menunjukkan tanggapan tokoh Metra terhadap sosok Pak Bei. Ketika acara selametan lima hari usia bayi Ni, Metra datang ke Ngabean sepulangnya dari Jakarta. Pak Bei dan Metra berbincang tentang banyak hal, misalnya tentang sandiwara, artis Indonesia, tentang wayang, dan tentang Lintang. Berikut kutipannya. Bagi Metra, Pak Bei memang bertabiat tak bisa diduga. Metra sering kagum dengan pribadi lelaki yang menjadi ayah gadis yang dikejar-kejarnya. Pengetahuannya banyak. Kayaknya bisa ngomong apa saja. Tadinya Metra tak memandang sebelah mata. Karena dalam pikirannya, Pak Bei adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari karya dan penghasilan istrinya. Pak Bei adalah borjuis yang sesungguhnya. Yang dikecam Metra habis-habisnya. Kenyataanya begitu. Tetapi dalam pembicaraan Metra sering bergeser pandangannya. Pak Bei bukan sekadar tokoh pembantu yang muncul karena diperlukan sebentar. Pak Bei ternyata lebih mirip peran utama. Tenang, berwibawa, tapi tuntas. Segala apa dilakukan dengan terbuka. Tapi juga masih banyak yang tak bisa diperkirakan. (Atmowiloto, 2013: 97-98) Pak Bei merupakan sosok Rama atau ayah yang gagah dengan hidung mancung dan kulit yang bersih, menurut Ni. Apalagi saat Pak Bei mengenakan busana Jawa untuk acara tumbuk yuswa atau ulang tahunnya yang ke-64 tahun, Pak Bei menjadi sosok priayi yang sempurna. Kutipan berikut akan menerangkan sosok Pak Bei. Hampir seluruh keluarga Sestrokusuman telah siap. Pak Bei telah berdandan pakaian Jawa sempurna. Hanya menngangkat alis sedikit—kalau Ni tak salah lirik. Tetap gagah, dengan hidung mancung, kulit bersih, dan yang membuat Ni kagum ialah bahwa ayahnya ini selalu tampak hadir. Ruangan bisa menjadi kosong tanpa keberadaan Pak Bei. Sekarang ini pun terasakan, bahwa getaran paling kuat, walau hanya dengan mengangkat alis, itu pun tipis, dari tempatnya berdiri. (Atmowiloto, 2013: 154)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
Menurut tokoh Himawan, Pak Bei adalah sosok lelaki yang pemberani, jujur, memiliki sikap kesatria, dan teguh pendiriannya. Bagi Himawan, Pak Bei adalah orang yang luar biasa karena berani menikahi Bu Bei yang notabenenya adalah anak seorang buruh batik yang berbeda kasta dengan Pak Bei. Selain itu juga, Pak Bei teguh pendiriannya, ia akan mengatakan ya untuk iya dan akan mengatakan tidak untuk tidak. Berikut kutipan percakapan Himawan dengan Ni yang menggambarkan sosok Pak Bei. ―Ni, kamu mungkin sekali keliru. Rama lain. Rama itu suka bla-bla-bla. Berbeda dengan ayah yang lain. Riwayat Rama penuh dngan latar belakang keberanian, keterusterangan, dan sikap kesatria. ―Rama gagah dalam berdiri. Sewaktu menikahi Ibu, ia lelaki yang luar biasa dalam pandanganku. Lelaki yang sukses, istilah dagangnya.‖ ―Mudah-mudahan kamu jujur mengatakan itu, Him.‖ ―Rama sukses memegang prinsip. Juga ketika berhadapan dengan lawanlawan ningratnya. Juga ketika banjir besar menghacurkan seluruh usahanya. ―Rama akan bilang ya untuk iya, akan bilang tidak untuk tidak.‖ (Atmowiloto, 2013: 191) Pak Bei bersikap tegar dan tabah saat menghadapi kematian Bu Bei. Pak Bei bersikap demikian agar anak, menantu, dan cucu-cucunya tetap tenang dalam menghadapi keadaan tersebut. Sesaat sebelum Bu Bei meninggal dunia, Pak Bei memimpin doa untuk mendoakan agar jalan Bu Bei dilapangkan. Meskipun berat, Pak Bei tetap bersikap tenang dan tegar menghadapi semuanya. Berikut kutipannya. Wahyu dan istrinya datang. Wening dan suaminya. Bayu sendirian, hanya dengan anak-anak. Lintang dan suaminya. Lalu Pak Bei. Tetap gagah, mendekat. Memegang tangan, menunduk, berbisik ke arah telinga Bu Bei. ―Bu, ini semua anak-menantu-cucu berkumpul di sini. Anak-anakmu, anak-anakku. Semua bekti padamu. ―Kalau mau pergi, pergi yang ikhlas. ―Tak ada yang perlu digondeli, tak ada yang memberati. ―Kami semua ikhlas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
―Gusti Mahabesar....‖ Lalu Pak Bei melihat anak-anaknya. Tajam pandangannya. ―Sekarang kalian semua tak usah menangis lagi. akan memberati. Kita berdoa. Sebisanya. ―Ibumu telah mendapat pengampunan.‖ Ni sempat melihat, biji mata ibunya seperti bergerak, seolah menangkap apa yang dikatakan suaminya. Napasnya naik-turun. Dokter-dokter datang memeriksa, sementara Pak Bei memimpin berdoa. Terdengar suara-suara bergema dalam berbagai bahasa. (Atmowiloto, 2013: 242-243) Pak Bei juga tetap terlihat tabah dan tenang saat menemui tetamu yang datang melayat. Pak Bei tetap dapat menguasai emosinya dan tetap tenang dalam keadaan berduka sekalipun. Kutipan di bawah ini akan memaparkan hal tersebut. Sebagian tetamu yang tadi pagi datang, sebagian besar tetamu yang kemarin atau kemarin dulu sudah datang. Ni melihat ayahnya kembali menjadi orang yang tetap gagah, di saat anggota keluarga yang lain terpukul. Wajah dan penampilannya tetap bersih, di saat yang lain letih. Tak setitik pun ada tanda Pak Bei kehilangan kontrol atas dirinya. Berkali-kali Ni melihat ayahnya menghadapi berbagai peristiwa. Akan tetapi sekali ini, betul-betul luar biasa penguasaan atas dirinya. Tidak biasanya pada hari geblak, pada hari ada meninggalnyas seseorang, suami masih bisa begitu kuat menguasai emosinya. Merambatnya ketabahan. Seolah bukan Pak Bei yang sedang kesripahan, kematian anggota keluarga. Dengan nada yang tenang, Pak Bei menyuruh menyingkirkan nasi tumpeng yang dikelilingi oleh 64 butir telur ayam kampung. (Atmowiloto, 2013: 244-245) Pada akhir cerita, Pak Bei merasa bahagia sekaligus bangga kepada Canting Daryono—anak dari Ni dan Himawan. Kelahiran Canting Daryono merupakan awal kebahagian keluarga Sestrokusuman. Berikut kutipan percakapan yang menunjukkan rasa bangga Pak Bei terhadap Canting Daryono. Mijin, yang bersama buruh batik yang lain menunggui kepulangan Ni dari rumah sakit bersalin, dengan Himawan dan Pak Bei yang mengapit, tak bisa menahan diri menanyakan siapa nama bayi itu. ―Hush, belum lima hari,‖ kata Mbok Tuwuh mengingatkan. ―O iya.‖ ―Namanya Canting Daryono,‖ jawab Ni.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
―Canting...‖ Mbok Tuwuh tak berani melanjutkan. Karena sama saja menyebut nama kecil Pak Bei. Ucapan, yang bagaimana pun mendapat kesempatan, tak akan pernah diucapkannya. ―Canting Daryono, Mbok,‖ kata Pak Bei bangga. (Atmowiloto, 2013:372) Dari semua analisis di atas, Pak Bei memiliki ciri fisik sebagai sosok lelaki yang gagah dengan hidung mancung dan kulit kuning pucat bersih. Dan mempunyai sifat yang ramah, jujur, terbuka, banyak omong, dan teguh pendiriannya. Dari kesimpulan di atas, Pak Bei digambarkan oleh pengarang sebagai seorang priayi yang berwibawa dengan pembawaan yang tenang dan memegang erat prinsipnya. Selain itu, Pak Bei digambarkan memiliki sikap pasrah menerima Ni sebagai anak kandungnya tanpa mempersoalkan Ni itu anak kandungnya atau bukan. Dalam novel diceritakan bahwa Ni anak yang dilahirkan Bu Bei, namun ayah biologis Ni tidak diterangkan secara jelas. Pak Bei memiliki sifat kepemimpinan sehingga ia dihormati dan disegani oleh orang-orang yang mengenalnya. Selain itu, sikap tegar dan tabah Pak Bei saat menghadapi kematian Bu Bei memberikan ketenangan buat anak, menantu, dan cucunya. Bahkan Pak Bei tetap tenang dalam menemui tetamu yang datang melayat di Ngabean, di saat keluarga yang lain terpukul Pak Bei tetap tabah. Ketabahan Pak Bei seakan tidak menggambarkan seorang suami yang ditinggal mati istrinya. Namun pada akhirnya, kebahagiaan menghiasi hidup Pak Bei dengan kelahiran Canting Daryono—anak Ni dengan Himawan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
2.1.3 Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma) Subandini Dewaputri Sestrokusuma adalah putri keenam Sestrokusuman. Putri keenam Sestrokusuman ini lebih sering dipanggil dengan sebutan Ni. Ni adalah putri Sestrokusuman yang mengalami banyak permasalahan. Putri yang disangsikan karena bukan anak kandung Pak Bei dan masih banyak lagi. Berikut akan dipaparkan penokohan tokoh Ni. Ni digambarkan sebagai gadis yang sembrono atau kurang sopan. Karena ia tidak bisa bersikap dewasa, tingkahnya masih seperti anak-anak yang perlu diatur. Kutipan di bawah menunjukkan bagaimana Ni harus diajari Himawan saat menghaturkan sembah kepada Pak Bei di acara ulang tahun Pak Bei. Karena Ni tidak bisa menghaturkan sembah dengan urut dan baik, Pak Bei hanya merespon dengan menyebut Ni sebagai cah gemblung atau anak nakal. Berikut ini kutipan percakapan antara Pak Bei, Ni, dan Himawan. Lalu Wahyu memimpin maju ke depan dengan laku dhodhok, melakukan sembah di lutut ayahnya, lalu ke ibunya. Disusul istrinya, anak-anaknya, dan seterusnya. Ni berada di depan Himawan. Berlutut menyembah lutut. ―Lho, kok hanya berlutut saja. Ngomong apa, Ni?‖ ―Selamat ulang tahun, Rama....‖ ―Ya, ya... lalu apa lagi?‖ ―Minta berkah pangestu...‖ Himawan berbisik di belakang Ni. ―Ya... begitu....‖ Pak Bei memukul kepala Ni perlahan, lembut. ―Cah gemblung, kapan kamu bisa bicara yang benar?‖ (atmowiloto, 2013:167) Dalam kutipan percakapan berikut, Ni digambarkan sebagai tokoh yang sembrono atau kurang sopan. Karena dia tidak menggunakan bahasa yang sopan, ia menyebutkan ‗memensiunkan Rama-Ibu‘ yang bermaksud ‗melepaskan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
kesibukan Rama-Ibu untuk menikmati hari tua‘. Bu Bei adalah pedagang batik di Pasar Klewer dan juga juragan batik cap Canting. Sudah saatnya, Pak Bei dan Bu Bei melepaskan kesibukan sehari-hari dan menikmati hari tua bersama anak dan menantu. Ni bicara sembrono karena ia tidak ingin membahas masalah pernikahannya dengan Himawan. Namun, kakak-kakaknya menggoda Ni dengan pertanyaan ―Kapan, Ni?‖ yang membuat Ni kesal. Hal tersebut akan dijelaskan dalam kutipan percakapan yang didukung dengan teknik dramatik. ―Kapan, Ni?‖ tanya Wening. ―Pumpung semua keluarga berkumpul semua.‖ ―Kenapa tidak sekalian sekarang ini saja?‖ tanya Ning. ―Ya, kalau mau sudah sejak dulu direncanakan,‖ suara Bayu terdengar agak samar. ―Jadi kapan?‖ Himawan tampak kikuk. Lidahnya seperti tertekuk. Bayu terbatuk. Wening menyenggol Ni. ―Kapan, Ni?‖ ―Sudahlah. Dibicarakan nanti saja. Atau lain waktu. Nanti mengurangi suasana. Tema kita semua kan memensiunkan Rama-Ibu.‖ ―Hush.‖ Wahyu menoleh dengan gerakan patah. (Atmowiloto, 2013:171) Ni juga dilukiskan oleh pengarang memiliki watak keras kepala. Kutipan berikut menunjukkan watak keras kepalanya Ni. Kutipan ini diambil dari percakapan Ni dengan Bayu yang membahas tentang ketidaksediaan Ni mengikuti wisuda. Kutipan percakapan ini digunakan dalam mendukung pelukisan watak tokoh Ni. ―Jadi, kenapa kamu tidak datang ke wisuda?‖ ―Karena tidak ada yang mengharuskan.‖ ―Ni,‖ suara Bayu meninggi. ―Kamu bukan anak kecil lagi. Caramu meminta perhatian saat ini sungguh kekanak-kanakan. Kamu tak bisa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
membedakan mana yang penting, mana yang tidak. Kamu tak memiliki sifat ambeg parama arta.‖ Ni kelihatan gelisah. Karena ia merasa telah membuat gelisah seisi rumah. ―Itu semua urusan saya. Kan tidak mengganggu siapa-siapa dalam hal ini. soal apotek yang segera diresmikan, tetap bisa berjalan dengan baik. Tidak perlu saya campur tangan. Akan tetap berjalan, bahkan mungkin lebih baik daripada saya ikut dalam keadaan masih ragu-ragu. ―Itu saja. (Atmowiloto, 2013: 174) Dalam kutipan di atas, Ni tetap keras kepala tidak akan mengikuti wisuda meskipun seluruh kelurga menentang keinginan Ni. Seakan Ni tidak menghiraukan kegelisahan keluarganya yang menginginkan Ni datang ke Wisuda. Watak keras kepala Ni tidak berhenti begitu saja, Ni juga menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan usaha pembatikan milik orang tuanya. Hal tersebut ditentang keras keluarga Ngabean karena jika Ni melanjutkan usaha pembantikan akan dianggap bukan trah Ngabean. Dengan itu, Ni akan disangsikan sebagai putri kandung Raden Ngabehi Sestrokusuman. Hal tersebut merupakan pukulan terberat buat Bu Bei dan membuat Bu Bei dalam keadaan gawat di rumah sakit. Teknik dramatik akan digunakan untuk mendukung analis perwatakan Ni yang keras kepala. Berikut kutipan percakapan antara Wahyu dengan Ni. ―Itu baru dikatakan waras. Kamu boleh menemui Ibu dan mengatakan bahwa usahamu mengurusi pembatikan dicabut. Aku tak mau peduli kamu mau datang ke wisuda atau tidak. Aku tak peduli kamu kawin kapan dengan Himawan. Tapi soal pembatikan ini urusan kami semua, karena menyangkut Rama-Ibu.‖ ―Saya akan menemui Ibu. Dan kalau ditanya, saya akan tetap mengatakan bahwa saya akan mengurusi batik.‖ ―Edan!‖ ―Saya sudah memutuskan, dan tak akan berubah.‖ ―Edan. Ngawur. Kamu tak akan melakukan itu. Saya sudah matur kepada Rama. Kalau kamu nekat, semua buruh batik yang ada ini dipecat. Malam ini juga. Mereka semua akan diusir. ―Kamu tak akan pernah memulai dari rumah ini. tidak di depan Ibu.‖
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
―Saya akan mulai di sini. Dengan buruh-buruh yang dipecat!‖ ―Ni! Kamu edan!‖ (Atmowiloto, 2013: 210) Berdasarkan pemaparan di atas, Ni disangsikan sebagai keturunan Sestrokusuman. Namun, pada kutipan berikut akan menjelaskan kebenaran mengenai Ni. Ni bersikap keras ingin melanjutkan usaha batik karena ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri dan keluarga Sestrokusuman siapa Ni sebenarnya. Ni berasumsi kalau usaha batiknya gagal berarti ia benar anak Pak Bei, putri Sestrokusuman. Jika usahanya sukses berarti anggapan bahwa Ni adalah anak buruh batik itu benar adanya. Pada akhirnya, usaha batik Cap Canting bangkrut dan Ni mengalami sakit parah. Berikut kutipan mengenai penjelasan tersebut. Wahyu kemudian menyurati semua adik dan Rama. Bahwa sekarang ini Ni sedang sakit berat. Ia memeriksa sendiri, dan tekanan darah Ni sangat rendah, kemungkinan besar ginjalnya tidak beres. Wahyu menekankan bahwa ia sudah berbicara pada Ni mengenai satu hal: bahwa kalau tadinya Ni ingin membuktikan mengurus batik dan gagal, itu berarti ia sudah membuktikan sebagai putri Pak Bei yang sejati. Swargi Ibu akan gembira di surga, karena kini Ni sendiri yakin bahwa Ni bukan anak buruh batik. (Atmowiloto, 2013: 362) Usaha batik Cap Canting yang diteruskan Ni mengalami gulung tikar dan Ni sakit parah. Hingga akhirnya, Ni memutuskan untuk menjual pabrik batik Cap Canting kepada perusahaan besar. Perusahaan besar membeli dan menjual kembali dengan cap perusahaannya. Ni tetap mengatur produksi batik di pabrik saat perusahaan besar memintanya. Ni tetap bertanggung jawab terhadap nasib buruh-buruh yang telah mengabdi kepada Ngabean. Berikut kutipannya. Ni menerima kenyataan bahwa usahanya kini sekedar menjadi pabrik sanggan, pabrik yang menerima pekerjaan dari perusahaan batik milik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
perusahaan lain. Ia akan menyuruh buruh-buruh membatik apa yang diminta perusahaan-perusahaan lebih besar. Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah ia melihat harapan. (Atmowiloto, 2013: 370-371) Ni memiliki pemikiran yang kreatif, waktu kuliah di Semarang, Ni diberikan sebuah rumah yang megah lengkap dengan perabotnya dan dua pembantu yang melayaninya. Ni merasa rumahnya terlalu besar untuk dihuninya dengan dua pembatu saja, akhirnya ia menyewakan rumahnya dan ia menempati satu kamar. Tidak hanya menyewakan rumahnya, Ni juga menyuruh kedua pembantunya berdagang kecil-kecilan. Kutipan berikut akan menerangkan tentang pemikiran Ni yang kreatif. Saat itu Ni menerima begitu saja. Dan karena rumahnya besar, ia tak mau menghuni sendiri. Dua pembantu yang dibawakan ibunya disuruh dagang kecil-kecilan. Rumah itu sendiri disewakan dan ia hanya menempati salah satu kamar. Begitu sejak menjadi mahasiswi. Selama ia kuliah, selama itu pula uang sewa rumah itu dimasukkan dalam ke bank. Langsung, karena ia tak begitu memerlukan. Karena ia telah mempunyai kiriman uang saku sendiri secara tetap—kadang ditambah dari kakak-kakaknya, terutama Wening. Mereka tak pernah bertanya apa kebutuhannya, tetapi selalu mengirim duit. (Atmowiloto, 2013: 339-340) Pengarang memberikan ciri fisik tokoh Ni saat Ni baru dilahirkan. Ni terlahir dengan pipi tembam, kulitnya hitam, kurus, dan kakinya panjang. Dia tidak mempunyai rambut, namun tangisannya sangat kuat dan tendangannya juga sangat kuat. Berikut kutipan yang menjelaskan fisik tokoh Ni saat dilahirkan. Kutipan narasi di bawah ini akan memaparkan ciri fisik Ni sesaat setelah dilahirkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
Perempuan. Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai rambut, dan menangis keras sekali seolah memecahkan ruangan, tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan tampak sangat panjang kakinya. (Atmowiloto, 2013: 78) Tokoh Ni saat dewasa dilukiskan sebagai gadis yang sederhana. Hal ini terlihat dari cara Ni mengikat rambutnya ke belakang dengan karet. Kutipan ini diambil saat Ni akan naik becak pulang dari Semarang ke Solo untuk menghadiri acara tumbuk yuswa atau ulang tahun Pak Bei yang ke-64 tahun. Berikut kutipannya. Sikapnya sangat menghormat, juga bicaranya mencoba lebih hormat lagi dengan bahasa yang diperhalus. Kalimat lelaki itu menunjukkan siap mengantar ke mana saja. Dan langsung membawa tas Ni, berjalan mendahului tidak terlalu cepat. Tidak di depannya persis, mungkin karena merasa kurang enak. Dan Ni mengikuti sambil berloncatan. Celana panjangnya bergerak lebih cepat. Rambutnya yang hanya diikat dengan karet—disisir lurus ke belakang—bergoyang-goyang di batas punggung dan leher. Agak jauh juga, karena becak itu berada di luar terminal. Dan semua penarik becak menawari. (Atmowiloto, 2013: 150) Ni digambarkan galak karena riasan yang dikenakannya. Ni tampak lebih keras dengan alis yang tajam dan sorot mata yang tajam. Namun, sebenarnya Ni tidak memiliki sifat galak, penggambaran Ni galak hanya karena ia dirias saat acara ulang tahun Pak Bei. Kutipan di bawah ini akan mendukung pemaparan analisis tokoh Ni. Ni berpakaian secepatnya, dibantu Wening dan Lintang, terutama dalam mengenakan kain. Dengan riasan, Ni tampak lebih keras, alisnya lebih tajam, dan sorot matanya lebih galak. Hanya tawanya saja yang mencairkan kesan keras yang ada. (Atmowiloto, 2013: 163) Menurut tokoh Wening, Ni memiliki karakter yang suka ceplas-ceplos kalau berbicara. Dalam percakapan Wening dengan Ni tentang keputusan Ni yang tidak akan mengikuti Himawan ke Batam. Karena Ni memiliki rencana lain dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
memutuskan tidak ikut Himawan ke Batam. Berikut kutipan yang menjelaskan tokoh Ni melalui percakapan Himawan dan Ni. ―Kamu punya rencana apa, Ni?‖ tanya Wening merendah nadanya. Ni tak menjawab. ―Dik Ni mempunyai rencana,‖ jawab Himawan, merasa kurang enak dengan pertanyaan yang dibiarkan mengambang. ―Apa?‖ kali ini tiga bibir terbuka bersama. Ni berdiri. ―Ini sama juga dipaksa mengakui. ―Sudahlah, pokoknya ada sesuatu yang ingin saya lakukan. Dan ini tidak mengganggu program keluarga. Malah barang kali menunjang. Nantinantilah kita bicarakan. Ini malam yang tak perlu ditambahi dengan pikiran yang aneh-aneh. Nanti malah jadi beban.‖ ―Kamu biasanya ceplas-ceplos, Ni.‖ (Atmowiloto, 2013: 179) Lintang beranggapan Ni adalah seorang yang memiliki watak keras kepala, bandel, anak ugungan atau senang dipuji, dan manja. Lintang melontarkan tanggapannya tentang Ni saat Lintang mencoba menahan Ni untuk tidak datang ke rumah sakit menjenguk ibunya yang sedang dalam keadaan kritis. Karena Ni merupakan penyebab Bu Bei jatuh sakit dengan keputusannya yang ingin melanjutkan usaha pembatikan. Berikut percakapan antara Ni dengan Lintang di dalam mobil. Lintang Dewanti menghela napas. Lalu berbalik. Memutari mobil. Masuk dari pintu kiri. Menutup. Mengunci. Kolonel Pradoto masih menunggu di kejauhan. ―Ikut sekalian?‖ ―Kamu tak tahu, Ni. Masalahnya sangat gawat. Kamu ini keras kepala, bandel, anak ugungan, dimanja....‖ ―Apa lagi?‖ ―Ni, kuminta kamu berlapang dada. Aku akan berterus terang padamu. Soal Ibu. Kita semua tahu, Ibu dulu adalah pembatik. Okelah, antara saudara sendiri kita bicarakan. Mas pradoto tak pernah tahu hal ini. (Atmowiloto, 2013: 218)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
Menurut Himawan, Ni adalah sosok yang gendeng atau tidak waras, dalam artian Ni suka ceplas-ceplos dan pemikirannya suka aneh-aneh. Hal tersebut dijelaskan dalam percakapan Ni dengan Himawan sesaat sebelum Himawan berangkat ke Batam. ―Him, saya menghargaimu lebih karena kamu memberi kesempatan. Sejak awal, inilah inti hubungan kita.‖ ―Cemburu boleh kan, Ni?‖ ―Cemburu kalau tiba-tiba saya dihamili buruh batik?‖ ―Aku memang lebih kuatir itu. Kamu ini gendeng. Kalau ada maunya ya begitu itu.‖ ―Mungkin saja, Him. Kalau saya tak sayang lagi padamu.‖ (Atmowiloto, 2013: 278-279) Ni suka bercanda. Salah satu contohnya, saat Himawan akan pergi ke Batam dan Ni mengantarkan ke Lapangan Terbang Panasan. Himawan dan Ni berpamitan dengan lakon seperti diketoprak. Dengan menggunakan sebutan Pak-e dan Bune, panggilan tersebut biasanya digunakan untuk pasangan suami istri. Berikut kutipan percakapan antara Ni dengan Himawan seperti lakon dalam ketoprak. ―Baik. Hati-hati, Pak-e.‖ ―Ya, Bune.‖ ―Seperti ketoprak saja.‖ ―Seperti apa pun, jadilah. Memang kita berdua ini sama gendeng-nya. Sama tidak warasnya.‖ ―Kalau waras, nanti cepat tua, Pak-e.‖ ―Kamu tidak jadi nangis, Ni?‖ ―Tangis juga tak bisa dipaksa.‖ ―Kalau begitu kita bukan sedang main ketoprak.‖ (Atmowiloto, 2013: 280) Pada akhir cerita yang bahagia, Ni memutuskan untuk menerima pinangan Himawan. Ni dan Himawan menikah tepat bersamaan dengan pendhak pisan atau selamatan setahun meninggalnya Bu Bei. Setelah satu tahun menikah, Ni dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
Himawan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Canting Daryono. Berikut kutipannya. Pradoto, yang datang pada saat pendhak pindho, dua tahun selamatan meninggalnya Bu Bei, menyuruh istrinya mengambil popok bayi Ni. Yu Nah, Yu Mi. Minah, anak Mijin yang kini membatik lagi di Ngabean. Mbok Tuwuh, yang akhirnya berani memasak buat Pak Bei. Mbok Kerti, yang mengakui bubur Mbok Tuwuh lebih enak. Mijin, yang bersama buruh batik yang lain menunggui kepulangan Ni dari rumah sakit bersalin, dengan Himawan dan Pak Bei yang mengapit, tak bisa menahan diri menanyakan siapa nama bayi itu. ―Hush, belum lima hari,‖ kata Mbok Tuwuh mengingatkan. ―O iya.‖ ―Namanya Canting Daryono,‖ jawab Ni. (Atnowiloto, 2013: 372) Dari kutipan di atas juga terlihat kebahagian yang dirasakan buruh-buruh Ngabean. Kebahagiaan juga dirasakan Minah, Mbok Tuwuh, Mbok kerti, dan Mijin. Kelahiran Canting Daryono menjadi awal kebahagiaan keluarga Sestrokusuman. Kesimpulan penokohan Ni, Ni merupakan tokoh yang sederhana, keras kepala, dan sedikit bandel. Ni memiliki pemikiran yang kreatif dengan menyewakan rumah megah pemberian Bu Bei, namun Ni selalu ceplas-ceplos dan sembrono. Penggambaran fisik tokoh Ni adalah bertubuh kurus dan berkulit hitam. Pengarang menggambarkan Ni sebagai wanita Jawa Modern, wanita keras kepala tetapi tetap kokoh pendiriannya. Wanita Jawa Modern yang berani, dalam artian Ni berani menyampaikan pendapatnya dan berani mengambil keputusan. Ni berani menyampaikan pendapatnya untuk melanjutkan usaha pembatikan yang ditentang oleh keluarga Sestrokusuman. Ni juga berani mengambil keputusan untuk tidak datang ke wisudanya. Dan Ni mampu bertanggung jawab atas apa yang telah menjadi pilihannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
Ni bersikeras ingin melanjutkan usaha pembatikan memiliki alasan tersendiri. Alasan Ni adalah ingin membuktikan pada keluarga dan dirinya sendiri tentang sebuah kebenaran, kebenaran tentang siapa ayah biologis Ni. Jika Ni gagal melanjutkan usaha batik cap Canting berarti Ni adalah anak Pak Bei, putri Sestrokusuman. Dan sebaliknya, jika Ni sukses dalam usaha batiknya, maka Ni adalah anak seorang buruh batik. Namun pada akhirnya, usaha batik itu bangkrut dan Ni jatuh sakit. Dan itu membuktikan bahwa Ni adalah anak kandung Pak Bei. Selain itu, Ni akhirnya menikah dengan Himawan dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Canting Daryono.
2.2 Tokoh Tambahan (Peripheral Character) Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang lebih sedikit pemunculan, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung ataupun tidak langsung. Tokoh-tokoh tambahan dalam novel ini, yaitu Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti, Himawan, Mijin, Jimin, Mbok Tuwuh, Mbok Kerti, Pakde Tangsiman, Pakde Wahono, Wagiman, Genduk Wagimi, Ayu Prabandari, Elizabeth Bayunani, Pradoto, Susetyo, Metra, Brata, dan Samiun. Namun, tidak semua tokoh tambahan dalam novel akan dianalisis penokohannya. Pemaparan lebih lengkapnya akan di bahas selanjutnya dengan didukung teknik ekspositori dan teknik dramatik yang disajikan pengarang.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
2.2.1 Wahyu Dewabrata Wahyu Dewabrata atau Wahyu digambarkan sebagai anak sulung Sestrokusuman yang manja kepada ibunya, Bu Bei. Wahyu yang terlahir sebagai putra pertama di keluarga Ngabean dan cucu pertama Sestrokusuman menjadi kebanggaan terbesar. Dan Wahyu Dewabrata tumbuh besar dengan segala kebesaran keluarga Ngabean. Hal ini yang menjadikan tokoh Wahyu sebagai anak yang manja. Berikut kutipan percakapan antara Wahyu dengan Bu Bei tentang cincin emas yang dibelikan waktu sunat hilang. Dan Wahyu meminta kepada Bu Bei untuk membelikan lagi. Selain itu, jika Wahyu dalam masalah, ia selalu mengadu pada Bu Bei agar masalah Wahyu dapat diselesaikan tanpa diketahui Pak Bei. ―Ibu belikan lagi, tapi jangan bercerita kepada Rama.‖ ―Ya, Bu.‖ ―Kalau ada apa-apa, kamu bisa mampir ke pasar.‖ Wahyu menggunkan waktu siang hari ke pasar jika ada apa-apa. Juga waktu motornya menabrak becak. Urusan polisi, penarik becak, penumpangnya, bisa diselesaikan oleh Bu Bei. Wahyu hanya mengatakan jatuh waktu ditanya Pak Bei kenapa lututnya pakai merah-merah. (Atmowiloto, 2013: 51-52) Dari cakapan Wahyu berikut menunjukkan bahwa Wahyu tidak suka basabasi dan tegas orangnya. Percakapan diantara keluarga Ngabean yang membahas tentang kelulusan Ni menjadi sarjana farmasi dan kepastian pernikahan Ni dengan Himawan. Dalam percakapan tersebut, Wahyu menyampaikan pendapatnya tanpa basa-basi dan lugas. Kutipan percakapannya sebagai berikut. ―Kapan, Ni?‖ Suara Lintang membuat semua memandangke arah Ni.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
―Ni minggu depan ini diwisuda. Kalau dulu berjanji akan menyelesaikan kuliahnya dulu, sekarang sudah bisa,‖ Wahyu berbicara perlahan, suaranya menekan. ―Sudah sarjana farmasi sekarang ini?‖ Kolonel Pradoto menambahi sambil menambah makroni. Sup makroni yang dimasak dengan telur puyuh dan susu serta dicampur daging ayam empuk ini dipilih sejak tadi, dan tak mengambil yang lain. Walau mungkin ingin mencoba. Tapi karena Lintang tidak mengambil, ia juga menahan diri. (Atmowiloto, 2013: 170) Wahyu memiliki watak keras. Hal ini terlihat dari pertengkaran Wahyu dengan Ni karena keinginan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan ditentang keras oleh Wahyu. Wahyu menjadi murka karena keinginan Ni membuat Bu Bei jatuh pingsan dan harus dirawat di rumah sakit. Berikut kutipan pertengkaran Wahyu dengan Ni. ―Saya tak ingin menjadi pahlawan. Saya ingin bebuat wajar. Karena semua keluarga kita mendapat kehormatan, harga diri, kebanggaan dari usaha batik. Saya ingin membalas budi.‖ ―Omong kosong! ―Kita tidak berutang budi pada mereka. Selama ini kita membayar mereka. Memberi utang mereka. Membiarkan mereka makan, mandi, beranak, berak di tempat ini. seumur-umur mereka. Ini lebih baik daripada mereka mati kelaparan.‖ ―Mas Wahyu tak bisa bilang begitu.‖ ―Aku bilang begitu!‖ ―Mas Wahyu ingat...‖ ―Apa yang mau kamu ingatkan? Bahwa aku menjadi dokter karena jasa mereka? Aku mempunyai tempat praktek dan duit dari mereka? Dari keringat mereka? ―Tidak, Ni. ―Kamu salah besar. Mereka dibayar sah untuk itu. Tak ada utang-piutang. Secara hukum, secara dagang, secara ... bahkan mereka sekarang inipun bisa mendapat pengobatan dariku? Kamu pikir keluarga kita Belanda yang menjajah buruh-buruh Indonesia dan menemukan kekayaan dari itu? ―Kamu tidak waras kalau berpikir seperti itu.‖ (Atmowiloto, 2013: 211) Kesalahan Wahyu di masa lalu menjadikan Wahyu sosok pengecut, ia tidak bisa mengakui kesalahannya dan menutup rapat-rapat kejadian masa lalu. Dalam cerita, Wahyu pernah melakukan kesalahan terbesar dengan menghamili
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
Wagimi, anak buruh pabrik yang tinggal di kebon. Wahyu tidak berani mengakui kesalahannya, sampai Wagimi ketahuan hamil dan mengaku dihadapan Pak Bei. Pak Bei memutuskan untuk mengeluarkan Wagimi dari kebon dan menyuruh semua buruh di kebon menutup rapat kejadian tersebut. Kutipan berikut adalah percakapan antara Wahyu dan Ni, Ni mengingatkan Wahyu tentang Wagimi saat Ni dan Wahyu bertengkar hebat. Wagimi merupakan pukulan terberat untuk Wahyu dengan kejadian di masa lalunya. Kejadian 11 tahun lalu itu, tidak menjadikan Wahyu sebagai sosok yang berani mengakui kesalahannya. Ia tetap meminta Ni untuk merahasiakan itu semua dari istrinya. Kutipan narasi dan percakapan di bawah ini akan menjelaskannya. Wahyu melangkah ke luar. Seakan tidak mengenali pintu senthong yang memang sampai sebatas setengah lutut terdiri atas tembok dan masih ada lima snti lagi kayu yang menjadi kerangka pintu. Kakinya terkatuk, Wahyu terhuyung. Ni segera meloncat dan memegangi. ―Ni, jangan katakan semua tadi kepada mbakyumu. Kecuali jika kamu menginginkan kehancuranku.‖ ―Tidak mungkin, Mas Wahyu. Bukan karena menjaga nama Ngabean, tetapi karena memang tak ada gunanya dikatakan. (Atmowiloto, 2013: 216) Fisik tokoh Wahyu dilukiskan memiliki kemiripan dengan ayahnya, yaitu Pak Bei. Wahyu memiliki wajah yang tampan, hidung mancung, dan kulit putih kekuning-kuningan. Kutipannya sebagai berikut. Bu Bei tak mempunyai pengetahuan akan berapa harga buku apa. Itu sebenernya juga tak perlu benar. Bagi Bu Bei, Wahyu Dewabrata adalah pujaan hati. Anak sulung yang sekarang sedang menanjak remaja. Kini, pada usia tujuh belas tahun, Wahyu Dewabrata seperti ayahnya. Tampan, dengan hidung mancung, kulit putih kekuning-kuningan. Bu Bei bangga selama tujuh belas tahun dengan Wahyu Dewabrata. (Atmowiloto, 2013: 50)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
Selain tampan, Wahyu adalah anak yang pintar, rajin belajar, dan penurut. Wahyu selalu membersihkan kamarnya secara teratur dan meletakkan pakaian kotor ditempatnya. Dari kebiasaan Wahyu merapikan kamarnya, ia termasuk anak laki-laki yang rapi dan tidak ceroboh. Kutipan ekspositori yang disajikan pengarang berikut ini akan memaparkan penggambaran tokoh Wahyu. Ketampanan Wahyu Dewabrata merupakan duplikat ayahnya. Juga kecerdasannya. Sejauh Bu Bei tahu, anaknya yang sulung sangat pintar. Bisa cepat bersepeda, sekolah naik terus, bisa naik sepeda motor, penurut, serta rajin belajar. Kamarnya selalu bersih, teratur. Pakaian yang habis dipakai juga diletakkan di tempat yang akan diambil Mbok Tuwuh. Selama ini Wahyu Dewabrata tak pernah membuatnya kecewa. Tak pernah membuat Bu Bei merasa tak bisa menuruti kemauannya. Tidak juga membuat Bu Bei marah, ketika Wahyu Dewabrata mengatakan bahwa cincin emas besar, yang dibelikan waktu sunat, hilang. Mungkin diambil temannya, mungkin jatuh. Itu biasa bagi anak-anak. Meskipun Pak Bei mengatakan bahwa Wahyu Dewabrata bohong. Bu Bei-lah yang menangis kala Pak Bei memarahi Wahyu. (Atmowiloto, 2013: 51) Menurut Pak Bei, Wahyu terlalu dimanja oleh Bu Bei. Hal itu menjadikan Wahyu sebagai anak yang manja. Karena terlalu dimanja, Wahyu hanya diizinkan melakukan usaha dan kegiatan untuk menjadi dokter. Bahkan, ia tidak diizinkan Bu Bei untuk melakukan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Contohnya, Wahyu tidak boleh mengangkat piringnya sendiri karena terlalu dimanja. Kutipan di bawah ini dijelaskan bahwa Wahyu adalah anak yang sedikit manja. Dan Pak Bei menyarankan Wahyu untuk menjadi lelaki yang pemberani, seperti Pak Bei. Kutipan narasi dan percakapan berikut ini akan mendukung penjelasan di atas. Bahwa contoh itu adalah sikap Wahyu yang sedikit manja, itu tidak merisaukan Bu Bei. Sedikit manja toh wajar saja. Karena Wahyu memang cucu pertama yang ada, dan masih ditunggui kakek-neneknya yang sangat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
bangga. Kalau Wahyu berpergian jauh dan menginap, Bu Bei lebih waswas. Dalam hal begini Pak Bei malah menganjurkan. ―Pergi sana. Kalau sekolah mengadakan piknik, ikut. Jangan di rumah saja. Mau jadi apa kamu di rumah terus? Waktu sesusia kamu Rama sudah mengenal dunia. Sudah bolak-balik ke Jakarta. Sendirian.‖ (Atmowiloto, 2013: 52) Dari keseluruhan penggambaran di atas, Wahyu Dewabrata adalah putra pertama Ngabean yang hampir sempurna. Ia memiliki wajah tampan dengan hidung mancung dan kulit putih. Ia tergolong anak yang pintar, penurut, dan suka kerapian. Wahyu tumbuh dengan segala kebesaran Ngabean, hal tersebut membuatnya sedikit manja. Dia juga memiliki watak keras dan tegas. Namun, ia memiliki kenangan buruk di masa lalunya yang menjadikannya seorang pengecut. Ia pernah menghamili Wagimi, anak buruh batik, dan memilih menutupi masalah tersebut dari istrinya.
2.2.2 Mijin Mijin adalah buruh batik cap Canting yang sederhana dan lugu. Kesederhanaan Mijin adalah ia lebih suka tidur di waktu senggangnya daripada menonton wayang orang atau menonton ketoprak, seperti yang dilakukan buruh batik lainnya. Ia tidak suka merokok dan minum air teh, ia lebih suka air sumur. Keluguan Mijin, yaitu ia belum sunat sesaat sebelum akan menikah. Mijin tidak menghiraukan guyonan atau tertawaan dari buruh lainnya tentang ia yang belum sunat. Mijin hanya berkomentar lugu setelah sunat, ia tidak ingin sunat lagi. Kutipan di bawah ini akan menggambarkan Mijin lebih jelas. Mijin kawin dengan salah satu seorang pembatik ketika Wahyu masuk sekolah. Seminggu menjelang kawin, Mijin baru disunat. Selama ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
ternyata terlupakan. Tak ada yang memikirkan Mijin—tak ada juga ketika orangtunya masih hidup. Sekali lagi Mijin menjadi bahan guyonan yang tak ada habisnya ketika disunat. Tapi Mijin tak peduli dikatakan kulitnya sudah alot, bulunya sudah tumbuh, bikin malu, dan sebagainya. Komentarnya setelah sunat juga lugu. ―Sakit sekali kalau bangun pagi. Pokoknya aku tak mau sunat lagi seumur hidup.‖ Kalau buruh lain suka mendengarkan siaran radio yang sengaja dipasang, Mijin tidak mempunyai waktu. Kalau sebagian dari mereka nonton wayang orang di Taman Sriwedari atau ke Balekembang nonton ketoprak, Mijin lebih suka tidur. Atau memotong kayu. Ia tak suka merokok. Bahkan minum air teh pun tak suka. ―Kurang puas. Enak air sumur.‖ (Atmowiloto, 2013: 57) Mijin adalah tokoh yang akrab dengan Ni, waktu kecil Ni suka digendong dan naik ke pundak Mijin yang tinggi. Atau Ni di bungkus sarung dan dibawa Mijin berjalan cepat di halaman. Karena keakraban Ni dengan Mijin, Mijin tidak merasa canggung berbicara dengan Ni meski tidak meninggalkan rasa hormatnya pada Ni sebagai anak juragan. Mijin terlihat lugu saat meminta oleh-oleh kepada Ni yang baru datang dari Semarang. Berikut percakapan antara keduanya. Selain dengan teknik dramatik, kutipan di bawah ini juga menggunakan teknik ekspositori untuk mendukung penjelasan di atas. ―Minta yang sudah berkeluarga. Saya kan belum bekerja.‖ Ni mengelurkan rokok, melemparkan. Pak Mijin menangkapnya dengan gesit. Sepercik wajahnya gembira sekali, lalu menurunkan bungkus rokok tanpa gairah. ―O, rokok kakus.‖ Ni terbahak. Bagi Pak Mijin, semua rokok halus adalah rokok kakus. Rokok yang enaknya diisap di kakus untuk menghilangkan bau kurang enak. Ni menyukai suasana seperti ini. ni tahu bahwa Pak Mijin tidak merokok. Kalaupun menerima rokok kretek, akan diberikan kepada istri atau temannya. Tapi setiap kali bertemu Ni, akan meminta rokok. (Atmowiloto, 2013: 196)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
Tokoh Mijin digambarkan memiliki fisik tubuh yang besar, tinggi, dan berotot. Ototnya kelihatan semua di pergelangan tangan, kaki, dan leher. Mijin juga memiliki suara yang keras karena pendengarannya kurang bagus. Dengan fisik tersebut, Mijin digambarkan pengarang sebagai pekerja keras. Pekerjaan Mijin juga tergolong pekerjaan yang berat dan membutuhkan tenaga yang kuat. Mijin bekerja sebagai penimba air, ia harus menimba air untuk keperluan pembatikan dan mengisi bak untuk mandi. Mijin juga membuat sumur di musim kemarau dan kakus umum di kebon, ia mampu melakukan hal tersebut sendiri. Berikut kutipan narasi yang menjelaskan penggambaran tokoh Mijin. Wahyu pula yang membuat Bu Bei bisa berbuat sesuatu untuk Mijin. Seorang lelaki yang tubuhnya sangat besar dan tinggi. Di seluruh pabrik tak ada yang menyamai. Mijin memang aneh. Kedua orangtuanya termasuk berukuran normal. Tidak terlalu pendek, tidak terlalu tinggi. Tapi Mijin berbadan sangat tinggi dan besar. Ototnya kelihatan semua di pergelangan tangan, kaki, dan leher. Terutama yang terakhir ini saat berbicara. Suaranya keras mengguntur karena pendengarannya kurang. Pekerjaan Mijin di pabrik sangat istimewa, dalam arti tak ada yang menyamai. Ia mendapat bagian menimba air—untuk sluruh keperluan pabrik. Dengan dua timba yang dipasang di dua ujung tali, Mijin sanggup mengisi lima bak mandi tanpa henti. Istirahat sebentar, lalu pindah ke sumur kedua, dan mengisi bak berikutnya. semua keperluan air untuk mencuci, merendam batika, berasal dari hasil timbaannya. Pekerjaan ekstra yang menjadi selingan baginya adalah membuat sumur pada musim kemarau, serta kakus umum di kebon. Untuk yang terakhir ini ia bisa melakukan sendiri. (Atmowiloto, 2013: 54-55) Penampilan keseharian Mijin hanya bertelanjang dada dan memakai celana hitam kombor yang diikat dengan tali. Mijin memakai sarung batik, peci hitam, dan baju hanya di pagi hari saat mengantar Wahyu ke sekolah. Ia akan kembali bertelanjang dada dengan celana kombor waktu kembali ke kebon untuk menimba air. Dengan penampilan seperti itu, Mijin digambarkan sebagai tokoh yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
sederhana. Narasi dalam novel juga digunakan untuk menjelaskan analisis di atas. Berikut kutipannya. Sewaktu Wahyu mulai masuk seklah, Mijin menjadi pengantar dan penjaga. Badannya yang gede cocok untuk pekerjaan ini. untuk pertama kalinya Mijin memakai sarung batik, peci hitam, dan baju setiap pagi. Sebelumnya hampir selalu bertelanjang dada dan bercelana hitam kombor yang diikat dengan tali. Pagi hari Mijin mengantar Wahyu ke Pamardi Putra, sekolah dasar kerabat Keraton. Duduk menunggu di pinggir halaman, bersama pengantar-pengantar yang lain. Sosok Mijin dengan cepat menarik perhatian pengantar yang lain. Mijin sendiri sekolah tak peduli. Ia melakukan tugas. Dan hanya itu. Seperti juga setiap dini hari, ia sudah mengisi semua bak mandi, pergi mengantar sekolah, pulang, dan mengisi bak mandi lagi. enam tahun secara terus-menerus Mijin melakukan itu. Ketika Wahyu mulai masuk SMP, ia malu diantarkan Mijin. (Atmowiloto, 2013: 55-56) Menurut Bu Bei, Mijin adalah pribadi yang menarik dan sederhana. Ia memiliki suara yang keras dan omongannya kasar. Ia mengandalkan otot untuk bekerja karena itu, ia makannya banyak. Mijin tidak pernah memakai sandal dan terkadang bertelanjang dada saat bekerja. Di bawah ini kutipan yang akan menjelaskan pribadi Mijin yang menarik dan sederhana. Bagi Bu Bei, Mijin adalah pribadi yang menarik. Justru karena secara keseluruhan Mijin berbeda dengan Pak Bei. Mijin sama sekali mengandalkan otot untuk menyambung hidupnya. Makannya luar biasa banyak. Omongannya kasar dan keras. Tak pernah bisa memakai selop dan sandal. Tak pernah lagi memakai baju. Kalau Ndalem Ngabean Sestrokusuman mengadakan pesta, Mijin tetap di belakang, mengusahakan air teh, dan hanya memakai kaus atau bertelanjang dada. (Atmowiloto, 2013: 56) Dari pandangan Ni, Mijin adalah tokoh yang baik suka menggendong Ni dan mengajaknya bermain di halaman. Ni sangat akrab dengan Mijin karena sosoknya yang perkasa dan penurut. Namun, Mijin takut dimarahi Bu Bei karena terlalu akrab dengan Ni. Bu Bei juga melarang Mijin mengantar dan menjemput
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
Ni sekolah, padahal kakak-kakaknya diantar dan dijemput oleh Mijin. Berikut kutipan pandangan Ni tentang Mijin. Pak Mijin, memang akrab bagi Ni. Duluuuu sekali, ia suka main di gendongan Pak Mijin. Naik pundaknya yang tinggi, sambil menjerit-jerit. Atau berada dalam kain sarungnya. Dibungkus kain sarung dan dibawa Mijin berjalan cepat di halaman. Ni senang sekali, tapi Pak Mijin ini suka takut dimarahi Bu Bei kalau Ni mulai teriak-teriak. Berbeda dengan kakak-kakaknya, Pak Mijin tak diizinkan mengantarkan Ni ke sekolah. Tak diizinkan menjemput. Padahal Ni suka dengan Pak Mijin, karena sosoknya yang perkasa. Karena Pak Mijin sangat penurut. (Atmowiloto, 2013: 195-196) Dari keseluruhan analisis tentang tokoh Mijin, Mijin adalah sosok yang sederhana dan lugu. Mijin memiliki fisik tubuh yang tinggi besar, berotot, dan bersuara keras karena ia memiliki pendengaran yang kurang bagus. Mijin adalah buruh yang kuat dan pekerja keras. Ia mampu membuat sumur dan kakus di kebon seorang diri. Mijin tidak merokok dan berjudi seperti buruh batik lainnya. Ia juga lebih suka tidur atau memotong kayu daripada menonton wayang orang atau ketoprak.
2.2.3 Himawan Dalam novel, Himawan diceritakan sebagai pacar Ni. Ia adalah anak seorang lurah di Keraton. Himawan adalah seorang arsitektur dengan wajah yang tampan. Selanjutnya akan dijelaskan penggambaran tokoh Himawan dalam novel Canting yang lainnya. Dalam kutipan percakapan antara Himawan dengan Ni di bawah akan menjelaskan latar keluarga Himawan. Himawan memiliki gelar raden karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
ayahnya adalah seorang lurah di Keraton. Percakapan Himawan dan Ni terjadi saat mereka berdua berada dalam satu perahu motor. Mereka berbincang berbagai hal termasuk mendiskusikan keinginan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan. Namun, dari kutipan di bawah nampak bahwa Himawan tidak terlalu peduli dengan gelarnya. Ia terlihat cuek atau acuh tak acuh masalah gelar raden yang ia dapat. Teknik dramatik digunakan untuk menjelaskan penggambaran tokoh Himawan. ―Malah bagus. Di bawah langit, di tengah Laut Jawa... seorang sarjana dan calon sarjana bercintaan. Dua-duanya orang Jawa. Yang satu anak ngabehi, satunya... kamu apa, Him?‖ ―Raden.‖ ―Ooooo, semua orang bisa bergelar raden.‖ ―Ayahku lurah di Keraton. Mungkin juga raden mas.‖ ―Kamu seperti tak peduli, Him.‖ ―Kalau pangeran atau ngabehi, aku peduli. Kalau Cuma biasa-biasa,ya biar saja. (Atmowiloto, 2013: 187) Kutipan pecakapan berikut antara Himawan dengan Ni menunjukkan sosok Himawan yang suka bercanda dan penyayang. Himawan sangat menyayangi Ni sampai-sampai Ni dicium dan dipeluk berkali-kali sesaat sebelum Himawan berangkat ke Batam. Seakan-akan Himawan berat meninggalkan Ni sendirian dengan segala beban baru Ni sebagai juragan batik cap Canting. Selain itu, Himawan juga digambarkan sebagai sosok yang suka bercanda. Berikut kutipannya. Ni dipeluk kencang. Dirangkul erat. Diciumi. Dikeloni bagai anak kecil. Dan pagi-pagi setelah berpamitan, Ni mengantar Himawan menuju Lapangan Terbang Panasan. Himawan memandang Ni lama sekali, menciumi pipi, menggenggam tangan, merangkul lama. ―Nanti celanamu basah lagi, Him.‖ ―Biar saja. Baunya enak, Ni.‖ ―Bau calon juragan batik yang tersia-sia.‖
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
―Baik-baik, Ni.‖ ―Yuk. ―Jaga diri baik-baik.‖ (Atmowiloto, 2013: 279) Himawan digambarkan sebagai tokoh yang kikuk dan pemalu. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut. Kutipan tersebut diambil pada saat Himawan datang ke acara ulang tahun Pak Bei yang ke-64 tahun. Himawan digambarkan, wajahnya menjadi merah dan kikuk saat bertemu dengan Ni. Padahal Himawan cukup lama kenal dan sudah dianggap sebagai keluarga Ngabean, namun tetap kikuk jika berkumpul dengan keluarga Ngabean. Kutipan narasi digunakan untuk menjelaskan analisis di atas. Berikut kutipannya. Lebih geli lagi melihat siapa yang ditunjukkan ibunya. Ni tak pernah membayangkan Himawan berpakaian Jawa begitu. Tampak begitu susah duduknya, akan tetapi juga tampak sekali berusaha untuk menikmati kebersamaan. Ni hampir mengeluarkan tawa cekikikan kalau ibunya tidak mencekal lengannya lebih kencang. Ni juga ingin tertawa kecil karena masih saja dianggap anak kecil. Masa dengan Himawan ia harus dituntun mendekat. Beberapa kejap tampak Himawan menjadi merah wajahnya. Kontras dengan keringat pelipisnya. Himawan masih saja menjadi kikuk, walau ia sudah lama dianggap keluarga sendiri. Ni tahu bahwa Himawan mendapat perlakuan yang sama, seperti yang dialami Kolonel Pradoto, seperti Nyonya Wahyu Dewabrata (Ni selalu lupa namanya, karena kakak iparnya lebih suka dipanggil Bu Wahyu, atau paling tidak Mbak Wahyu), seperti yang dialami Dokter Gigi Ning, seperti yang dialami Elizabeth Bayunani Ismaya Dewakusuma, seperti yang dialami Susetyo, Sarjana Hukum. Himawan mungkin masih akan tetap kikuk, sampai akhirnya nanti resmi menjadi suami Ni. Barangkali saja. Tapi Ni tak begitu peduli. (Atmowiloto, 2013:156-157) Menurut tanggapan Lintang dan Wening, Himawan memiliki wajah yang tampan. Dan ia juga berasal dari keluarga yang baik-baik. Himawan adalah arsitek yang memiliki pekerjaan dengan posisi yang baik. Lintang dan Wening memberikan saran agar berhati-hati kalau memilih Himawan sebagai pacarnya. Menurut Lintang dan Wening, Himawan adalah sosok yang hampir sempurna
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
karena memiliki wajah tampan, berasal dari keluarga baik-baik, dan memiliki pekerjaan. Berikut kutipan percakapan Lintang dan Wening tentang Himawan, saat Himawan diperkenalkan Ni untuk petama kalinya di keluarga Ngabean. Kutipan berikut akan menjelaskan penggambaran Himawan. ―Kamu ingin menunjukkan bahwa dalam soal ketampanan, kamu bisa memilih menantu terbaik bagi Rama.‖ ―Hati-hati, Ni. Kalau memilih pacar lelaki cakep itu harus. Tetapi kawin dengan lelaki tampan seperti Himawan kamu harus mikir-mikir. Akan banyak makan hati.‖ Lebih mencengangkan lagi ternyata Himawan mempunyai kelurga baikbaik yang tidak membuat keluarga Ngabean berkeberatan. Apalagi saat berikutnya Himawan telah lulus dengan gelar insinyur. Arsitek yang jauh sebelum diwisuda sudah memiliki posisi yang baik di tempat bekerjanya. (Atmowiloto, 2013: 176-177) Bagi Ni, Himawan adalah lelaki yang pantang menyerah dan memiliki kesabaran yang membuatnya kagum. Tidak mudah mendapatkan hati Ni, Himawan mengejar cinta Ni dengan penuh kesungguhan dan ketelatenan. Selain itu, Himawan cukup sabar menunggu hingga cintanya terbalaskan oleh Ni. Menurut Ni, Himawan memiliki kesabaran yang mengagumkan. Kutipan di bawah ini akan menjelaskan pandangan Ni tentang Himawan. Perubahan yang terjadi ialah ketika Himawan mulai memasuki lingkungan ini. saat itu, Ni sudah kuliah di Semarang. Ia berkenalan dengan Himawan, mahasiswa tingkat akhir yang mengejar-ngejar dengan kesungguhan dan ketelatenan. Himawan mempunyai kesabaran yang mengagumkan—hanya untuk seorang seperti Ni. Perasaan Ni mengatakan begitu. Tapi bukan karena kasihan kalau Ni akhirnya menerima kehadiran Himawan. Ni merasa terlindungi, kangen jika tak bertemu. Maka kemudian, Himawan secara resmi dimunculkan dalam suatu pesta di rumahnya. saat Lebaran, kehadiran Himawan mencengangkan Lintang dan Wening. (Atmowiloto, 2013: 176) Meskipun tidak mudah menaklukan cinta Ni, pada akhirnya Himawan dapat menikahi Ni. Peresmian pernikahan Himawan dan Ni dilakukan tepat pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
saat satu tahun selamatan meninggalnya Bu Bei. Berikut
65
kutipan yang
memaparkan hal tersebut. Wening, yang mengusulkan agar pada saat pendhak pisan, selamatan setahun meninggalnya Bu Bei, sekaligus hari perkawinan Ni dengan Himawan. (Atmowiloto, 2013: 371) Himawan dimata Pak Bei adalah sosok yang jujur dan mau menerima semua kekurangan Ni tanpa merendahkan Ni. Menurut Pak Bei, Himawan seperti Bu Bei mampu menerima semua keanehan Pak Bei. Dan juga memiliki sifat baik hati. Berikut ini kutipan percakapan antara Pak Bei dengan Himawan. ―Saya tahu kamu jujur. ―Kamu seperti ibu mertuamu lho, Him. Betul. Mau menerima keanehan Ni, tanpa merendahkan. Seperti mertuamu menerimaku, Him. ―Jangan dikira saya dulu tak ada konflik. Banyak. Sering. Jangan dikira saya tak pernah dimarahi. Waktu saya punya anak lain, ibu mertuamu marah besar. Murka. Saya didiamkan. Saya tidak tahu apakah anak itu tumbuh besar atau mati seperti yang dikatakan kemudian. Tapi dalam kemurkaan yang luar biasa hebat itu, ibu mertuamu tetap baik. Baik lho. Saya baru tahu belakangan bahwa keluarga Karmiyem atau siapa itu diberi duit. Dibelikan sawah. Solidaritas wanita yang tak tertandingi. (Atmowiloto, 2013: 347) Dalam analisis di atas, tokoh Himawan digambarkan sebagai anak seorang lurah Keraton dengan paras tampan. Himawan dilukiskan dengan sifat yang baik, jujur, sabar, dan penyayang. Himawan adalah tokoh yang pantang menyerah. Meskipun meluluhkan hati Ni sangatlah tidak mudah, ia pantang menyerah untuk mendapatkan hati Ni. Hingga akhirnya, Ni menerima pinangan Himawan dan memiliki seorang anak yang bernama Canting Daryono. Sisi lain yang dimiliki Himawan adalah suka bercanda dan sedikit pemalu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
2.2.4 Wening Dewamurti Wening Dewamurti adalah putri kelima Sestrokusuman. Sejak Wening dilahirkan, ia menjadi kebanggaan Pak Bei. Bayi Wening adalah bayi yang cantik dan menarik. Berikut kutipan yang menjelaskan ciri fisik Wening saat bayi. Sejak itu Pak Bei tak pernah mendengar berita mengenai Karmiyem lagi. pak Bei kembali ke rumahnya, sampai anaknya yang kelima lahir tahun berikutnya. bagi Pak Bei, itu adalah saat-saat yang paling membuatnya bahagia. Putrinya yang kelima, Wening Dewamurti, adalah segala yang diidam-idamkan. Sejak lahir, Pak Bei langsung jatuh cinta. Bayi yang sangat ayu, menarik dan membuatnya bangga. (Atmowiloto, 2013: 66) Wening sangat dimanja oleh Pak Bei, apapun yang ia minta sebisa mungkin Pak Bei akan memenuhinya. Jika Wahyu Dewabrata adalah anak kesayangan Bu Bei, maka Wening Dewamuri adalah anak kesayangan Pak Bei. Pak Bei sangat memanjakan Wening, hal tersebut terlihat pada saat Pak Bei mempercayakan uangnya untuk berjudi dibawa Wening dalam perjudian panahan. Wening sangat suka serabi, Pak Bei tidak akan mengijinkan kakak-kakak Wening mendahului makan serabi sebelum ia makan. Selain itu, Wening selalu tidur dengan Pak Bei dan Bu Bei. Di bawah ini merupakan kutipan yang menjelaskan kemanjaan Wening. ... yang tersisa dekat Sungai Jenes. Pak Bei mempercayai anaknya yang kecil itu untuk membawa duit dan membayarkan jika ia kalah dalam perjudian panahan. Jika menang, seluruhnya diberikan kepada Wening. ―Mau minta apa, cah ayu? Rama akan membelikan. Sepatu? Baju? Rok? Sepeda?‖ Wening lebih suka dibelikan serabi. Kue dari tepung beras yang pinggirnya cokelat karena gosong. Bagian itulah yang paling disukai Wening. Pak Bei membeli secara khusus, dan saudara-saudaranya yang lain bar boleh ikut makan setelah Wening. Kalau Wahyu dikenal sebagai anak lelaki Bu Bei, Wening adalah ―putri Rama‖. Ke mana pun Pak Bei pergi, Wening tak pernah ketinggalan. Juga kalau malam hari tidur, Wening selalu tergolek di tengah antara Pak Bei
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
dan Bu Bei. Pak Bei tidak lagi berangasan. Semua nafsu kerasnya surut jika melihat Wening yang terlelap. (Atmowiloto, 2013: 67) Wening digambarkan sebagai anak yang kurang pandai di sekolah khusus anak kerabat Keraton. Hal tersebut sedikit mengecewakan Pak Bei. Walaupun Wening kurang pandai di sekolah, tetapi ia sangat pandai mencari keuntungan. Wening menyewakan buku-buku yang dibelikan Pak Bei dengan bayaran uang, prangko bekas, atau dengan barang yang ia inginkan. Bahkan dengan kakak sendiri, Wening juga akan menarik bayaran kalau kakaknya membaca bukunya. Jika Wening dibelikan pensil yang banyak oleh Pak Bei, ia akan menjual kembali pensil itu kepada teman sekolah atau anak-anak buruh batik. Karena Wening pandai berdagang, ia sering mendapat julukan juragan cilik. Hal tersebut terdapat dalam kutipan narasi berikut ini. Satu-satunya yang sedikit mengecewakan Pak Bei adalah, Wening tidak termasuk anak yang pintar di Pamardi Putri, sekolah khusus anak-anak perempuan kerabat Keraton. Angka-angka rapornya tak mencolok. Biasabiasa saja. Pak Bei memberi kesempatan lain. Menyuruh latihan menari. Tapi Wening tak berguna berminat. Memberi kesempatan kursus main piano, dan membelikan sendiri. Tapi hanya satu-dua kali Wening menyentuh piano itu. Membelikan buku bacaan banyak sekali. Setiap kali Wening diajak ke Pasar Pon untuk memborong buku apa saja. Karena kelihatannya Wening berminat terhadap buku. Tapi Wening tidak begitu suka membaca. Buku-buku memamg dikumpulkan dengan sangat telitinya, dicatat satu per satu, akan tetapi untuk disewakan. Kakak-kakaknya sendiri kalau membaca harus menyewa. Harus membayar dan dicatat. Juga kalau buku itu dibawa ke sekolah. Wening juga memperdagangkan cap batik. Dibayar dengan prangkobekas atau beling berlapis yang ada warnanya. Biasanya dari pecahan pot bunga. Kemudian Wening juga lebih suka menyewakan piringan hitam koleksi Pak Bei. Atau kalau ia membawanya ke belakang, buruh-buruh batik disuruh membayar. Semua yang mendengarkan, tanpa kecuali, harus membayar. Wening-lah yang meminta Pak Bei membelikan piringan hitam wayang orang, ketoprak, lagu-lagu. Berikut peralatannya dibawa ke gandhok samping, dan ia sendiri memutar engkolnya,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
memasang piringan hitam, membersihkan jarumnya, dan kemudian mengumpulkan duit receh paling kecil. (Atmowiloto, 2013: 67-68) Menurut pandangan tokoh Ni, Wening adalah kakak perempuan yang memiliki paras cantik, menarik, ramah, dan wajahnya selalu memancarkan kehangatan. Ni sangat kagum dengan Wening, meskipun Wening sudah menikah dengan enam orang putra, Wening tetap terlihat menarik dan terlihat lebih dewasa. Hal tersebut diungkapkan Ni dalam acara ulang tahun Pak Bei dan kutipannya dibawah ini. Hanya kakaknya yang nomor lima, Dokotoranda Wening Dewamurti, yang menghela napas sambil menggeleng sedikit ke arah Ni. Ni membalas dengan gerakan bibir. Ni tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada bintang di antara bintang keluarga ini. Pakaian yang dikenakan sama bahannya dengan kakak ipar atau kakak perempuannya, akan tetapi terasa sekali bahwa warnanya seakan dirancang khusus untuk tubuh Wening. Ni menduga-duga bahwa kalaupun bukan kakaknya ini yang merancang pakaian untuk kembaran seluruh keluarga, tetap saja lebih menguntungkan. Ni mengakui bahwa kakaknya ini bukan saja ayu, menarik, tetapi juga selalu ada kehangatan yang terpancar dari wajahnya. Enam anaknya, semua lelaki, tak mengurangi kewanitaannya. Bahkan tambah tampak matang. (Atmowiloto, 2013: 155-156) Wening, orang yang tidak pelit berbagi ilmu dan pengalamannya dalam berbisnis. Wening membagi semua pengalaman dan ilmu bisnis dengan Ni. Saat Ni mendapatkan ijin dari keluarga Sestrokusuman untuk melanjutkan pembatikan. Wening sangat bersemangat dan menjadi sosok yang tegas dalam hal berbagi ilmu bisnis. Wening merupakan pengusaha kontraktor yang sukses dan mampu mengangkat nama Sestrokusuman di media cetak. Keseriusan Wening dalam berbagi ilmu bisnis dengan Ni akan dijelaskan dalam kutipan percakapan berikut. Percakapan Wening dengan Ni akan menjelaskannya. ―Itu kan perhitungan duit. Untung-rugi dari segi duit.‖
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
―Lho, kamu ini mau bikin usaha apa mau mendirikan badan sosial?‖ ―Dua-duanya.‖ ―Tak bisa.‖ Wening tampak bersemangat. Pandangan matanya menjadi galak. ―Tak bisa. Kamu pasti pernah mendengar bisnis yang bangkrut. Bisnis yang go to the toilet? Itu kalau kamu menggabungkan dua tujuan. Ya cari duit, ya usaha sosial. Menampung saudara sendiri, kerabat sendiri. ―Bisnis lain, Ni. ―Bisnis itu bukan jiwa priyayi dalam artian jiwa kesatria. Bisnis ya bisnis. Benar kalau Rama pernah bilang, priyayi, bangsawan zaman dulu, tidak suka kepada kaum saudagar. Karena aturannya lain.‖(Atmowiloto,2013:269) Fisik tokoh Wening Dewamurti adalah berwajah cantik, ramah, dan menarik. Wening sangat dimanja oleh Pak Bei, namun hal itu tidak menjadikan Wening sebagai anak yang manja. Tokoh ini juga digambarkan sebagai anak yang kurang pandai di sekolahnya, namun ia pandai menghasilkan uang. Maksudnya, Wening memiliki pemikiran yang kreatif dalam mengumpulkan uang. Ia meminjamkan barang-barang miliknya dengan menarik biaya. Dalam cerita, Wening adalah sosok wanita pembisnis yang sukses. Ia memiliki usaha kontraktor dengan suaminya, Susetyo. Meskipun Wening adalah pembisnis yang sukses, ia tidak pelit membagi ilmunya.
2.2.5 Mbok Tuwuh Mbok Tuwuh adalah buruh yang bekerja sebagai pencuci pakaian seluruh anggota Sestrokusuman. Mbok Tuwuh dilukiskan memiliki sikap ramah, baik, dan tahu diri. Tahu diri yang dimaksudkan adalah Mbok tuwuh mampu menempatkan dirinya. Mbok Tuwuh hanya seorang buruh yang harus patuh dan hormat kepada juragannya. Pengarang menggambarkan tokoh Mbok Tuwuh menggunakan teknik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
dramatik dan teknik ekspositori. Sikap Mbok Tuwuh yang tetap hormat kepada Ni, meski Ni bertindak kurang ajar kepadanya. Selain itu, terdapat penggambaran fisik Mbok Tuwuh, yaitu sebagai wanita tua. ―Den Rara Ni baru datang, ya?‖ Sapaan lembut. Pertanyaan basa-basi yang menghanyutkan. Ni berusaha tersenyum lebih lebar kepada Mbok Tuwuh. Perempuan itu sekarang tampak lebih tua dari yang dibayangkan. ―Iya, Mbok.‖ Ni mengambil tempat duduk di samping Mbok Tuwuh. Sehingga membuat Mbok Tuwuh agak kikuk. Menggeser sedikit tempat duduknya di atas tikar. Mbok Tuwuh sangat dekat dengan Ni. Ni merasa begitu. Ia suka menggerakan tembakau di bibir Mbok Tuwuh. Bu Bei akan marah sekali karena menganggap Ni kurang ajar. (Atmowiloto, 2013: 197) Mbok Tuwuh digambarkan dengan sikap nrima atau pasrah. Hal tersebut terlihat saat Mbok Tuwuh menerima keputusan dari Pak Bei untuk meninggalkan kebon. Pada saat itu, Mbok Tuwuh menderita sakit muntah berak yang dapat menular. Karena itu, Mbok Tuwuh diusir dari kebon agar tidak menularkan penyakitnya. Meskipun diusir, Mbok Tuwuh tetap hormat kepada Ni. Kutipan percakapan Mbok Tuwuh dan Ni akan menjelaskan sikap pasrah Mbok Tuwuh. Berikut kutipannya. Ni berlari ke kebon. Melihat Mbok Tuwuh diangkut dengan becak. ―Kenapa, Mbok?‖ ―Dalem nyuwun pamit, Den Rara.‖ Ni tahu arti kalimat dalam bahasa menghormat, ―Saya minta pamit.‖ Tapi Ni tak segera tahu pamit ke mana dan ada apa. Baru kemudian Ni tahu, Mbok Tuwuh diusir pergi. Karena Mbok Tuwuh sakit muntah dan berak. Karena bisa menular, Mbok Tuwuh disuruh pergi. (Atmowiloto, 2013: 198)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
Kutipan berikut juga akan menjelaskan sikap pasrah dan hormat Mbok Tuwuh. Walaupun Mbok Tuwuh telah diusir dari kebon, namun ia tetap hormat kepada Ni. Mbok Tuwuh menyembah kaki Ni, walaupun Ni lebih muda tetap saja Mbok Tuwuh akan menyembah kaki Ni. Karena Ni adalah putri Sestrokusuman, putri dari juragan Mbok Tuwuh. Mbok Tuwuh akhirnya kembali ke kebon karena sakit muntah beraknya sudah sembuh. Karena Ni juga, Mbok Tuwuh dapat kembali bekerja, namun ia tidak diizinkan mencuci pakaian lagi. Mbok Tuwuh hanya diizinkan mengumpulkan, membuang, dan membakar sampah. Kutipan narasi dan percakapan berikut akan membantu menjelaskan penggambaran Mbok Tuwuh. Ni menolak. Ia lebih suka mencuci pakaiannya sendiri. Atau kalau perlu tak disetrika. Ia memutuskan ke Desa Ngadisrono, menemui Mbok Tuwuh. Mbok tuwuh memeluk dan menyembah kaki Ni. ―Tidak apa-apa Den Rara. Kalau Gusti Allah mau memanggil Mbok, biar di sini saja. Tidak merepotkan.‖ Ni pulang kembali dan mengatakan kepada ibunya, agar bila Mbok Tuwuh sembuh, diizinkan bekerja kembali. Nyatanya Mbok Tuwuh bisa sembuh kembali. Dan bertugas kembali. Akan tetapi kali ini tak diizninkan mencuci pakaian lagi. pekerjaanya hanya mengumpulkan dan membakar sampah. Ni lebih suka tidak ganti pakaian jika bukan Mbok Tuwuh yang mencuci dan menyetrika. Akan tetapi tenyata Mbok Tuwuh yang menolak. ―Den Rara Ni suka aneh. Kan ada yang lain. Mbok namanya sekarang bukan Tuwuh tapi Uwuh.‖ (Atmowiloto, 2013: 199) Dari kutipan di atas juga dapat diambil kesimpulan bahwa Mbok Tuwuh memiliki sifat setia, mengabdi, dan patuh terhadap juragannya. Kesetiaan mbok Tuwuh adalah ia mau bekerja lagi untuk Sestrokusuman, meskipun ia sempat dikeluarkan dari kebon. Sikap tunduk dan patuh ditunjukkan Mbok Tuwuh saat ia diminta kembali bekerja, namun sebagai tukang sampah—mengumpulkan dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
membakar sampah—bukan sebagai tukang cuci pakaian lagi. hal tersebut merupakan bentuk pengabdian Mbok Tuwuh kepada Sestrokusuman. Rendah hati adalah sikap yang dimiliki Mbok Tuwuh. Rendah hati yang dimiliki Mbok Tuwuh, yaitu ia tidak ingin membuat orang lain—dalam cerita yang dimaksud adalah Ni—mencemaskan keadaannya. Tubuh Mbok Tuwuh sudah tua dan mulai sakit-sakitan karena Mbok Tuwuh sayang kepada Ni, makanya ia tidak ingin membuat Ni cemas. Mbok Tuwuh tidak ingin menambah beban Ni dengan memberitahukan bahwa dirinya sering sakit-sakitan. Karena pada saat itu, Ni sedang dalam masalah karena niatan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan. Hal tersebut didukung dengan teknik dramatik, kutipan percakapan antara Ni, Mbok Tuwuh, dan Mijin akan menerangkan sifat rendah hati Mbok Tuwuh. Benar, pasti yang ditanyakan kapan kawinnya. Seakan belum lengkap dan sempurna kalau belum menikah. ―Seperti Den Bagus dan Den Rara yang lain itu.‖ ―Kapan sajalah, Mbok.‖ ―Pumpung Mbok masih bisa datang. Walau hanya menguliti bawang merah....‖ ―Ah, Mbok maih sehat kok....‖ ―Tidak,‖ kata Mijin keras. ―Mbok Tuwuh baru saja sembuh. Tahu kamu datang jadi sembuh. Nanti kamu pergi, sakit lagi.‖ ―Iya, Mbok?‖ ―Mijin saja didengarkan....‖ Ah, cara merendah yang menjadi usatu sikap. Ni tahu bahwa yang dikatakan Mijin benar sekali. Mijin—Pak—tak pernah berdusta. Apalagi sekarng ini, namun toh MbokTuwuh tetap menghindar. (Atmowiloto, 2013: 201) Menurut pandangan Ni, Mbok Tuwuh adalah seorang wanita tua yang pasrah, bukan tipe pendendam, dan setia. Kesetiaan yang dimaksud adalah pengabdian diri Mbok Tuwuh terhadap keluarga Sestrokusuman. Hal tersebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
terlihat dari kutipan narasi yang menggambarkan pandangan Ni tentang Mbok Tuwuh. Berikut ini kutipannya. Ni memandang Mbok Tuwuh. Wajah yang perkasa, wajah yang pasrah secara total. Tak ada dendam, tak ada yang merasa tidak memuaskan hasratnya. Wajah yang bahagia karena bisa mengabdikan diri seluruh hidupnya. Wajah yang memberi, bukan wajah yang meminta. Ni merasa bersalah kalau ia mendiamkan saja. Ni merasa berdosa kalau ia tidak peka. Itu antara lain yang membulatkan tekadnya. Mbok Tuwuh tak pernah meminta diperhatikan. Tak pernah minta diistimewakan. Bahkan juga tak minta diperlakukan biasa sekalipun. Ia akan menerima, menerima, menerima. (Atmowiloto, 2013: 202) Dari pemaparan di atas, disimpulkan bahwa Mbok Tuwuh adalah buruh Sestrokusuman yang usianya sudah tua. Wanita tua yang memiliki sifat setia, ramah, dan baik hati. Ia mengabdikan diri kepada juragannya, Sestrokusuman. Selain itu, Mbok Tuwuh memiliki sikap nrima atau pasrah. Dalam artian, ia mau menerima
semua
keputusan
dan
perintah
dari
juragannya
tanpa
mempersoalkannya. Saat Mbok Tuwuh harus dikeluarkan dari kebon, ia tidak protes sedikitpun. Ketika Mbok Tuwuh harus kembali ke kebon dan bekerja sebagai tukang sampah bukan sebagai tukang cuci, ia menerima begitu saja semua keputusan yang diberikan kepadanya.
2.2.6 Genduk Wagimi Genduk Wagimi adalah seorang gadis desa anak buruh batik, Wagiman. Fisik tokoh Wagimi digambarkan dalam cerita hanya pada saat ia dilahirkan. Saat beranjak dewasa, Wagimi hanya digambarkan sebagai gadis desa yang tumbuh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
dengan sempurna. Bayi Wagimi adalah bayi yang montok, putih, dan cantik. Berikut kutipan yang mendukung penggambaran fisik Wagimi saat masih bayi. Kemahasempurnaan Gusti Allah pula yang membuat Wagiman tidak merasa perlu memprotes kenapa Genduk-nya ini sewaktu sepasaran tidak perlu dirayakan seperti Den Rara Ni. Juga setelah berusia tiga puluh hari. Kedua bayi yang sama-sama lahir dari perut, sama-sama menangis, dan bercampur darah. Ni lahir dengan kaki panjang dan kulit hitam, serta rambut jarang. Sebaliknya Genduk lahir sebagai bayi yang montok, putih, dan rasanya dalam keadaan tenang tidurnya pun tetap ayu. Sebagian dari keayuan yang terpancar dalam tubuh Bu Bei ikut mengalir. (Atmowiloto, 2013: 128) Wagimi diceritakan seumuran dengan Ni, hanya selisih 35 hari dari kelahiran Ni. Wagimi digambarkan sebagai gadis desa yang tumbuh dengan sempurna. Wagimi memiliki tubuh yang sempurna, ia memiliki semua yang wanita miliki dan semua yang diinginkan lelaki. Hanya saja jalan hidup Wagimi bertolak belakang dengan Ni. Setelah lulus sekolah dasar Ni tetap meneruskan sekolahnya, namun tidak dengan Wagimi. Selepas sekolah dasar, Wagimi membantu Wagiman dengan menjadi pembatik di kebon. Kutipan di bawah ini akan menerangkan tokoh Wagimi. Wagimi alias Genduk, anaknya Pak Wagiman yang usianya sama dengan Ni. Paling jauh berselisih 35 hari. Gadis desa yang tumbuh secara sempurna. Yang memiliki semua yang dimiliki seorang wanita. Yang memiliki apa yang diinginkan seorang lelaki. Wagimi tumbuh seperti anak-anak kebon yang lain. Bermain, membantu orangtuanya, bersekolah. Bertambah dewasa, bertambah terlibat dalam kerja. Selepas sekolah dasar, Ni meneruskan sekolah dan Wagimi menjadi pembatik. (Atmowiloto, 2013: 212) Wagimi digambarkan sebagai anak buruh batik yang hormat, nrima, dan juga mengabdi kepada juragannya. Dalam cerita, Wagimi dihamili oleh putra sulung Sestrokusuman, Wahyu Dewabrata. Awalnya Wagimi tidak mau memberi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
tahu Pak Wagiman, hingga akhirnya Pak Bei yang turun langsung. Saat Pak Bei bertanya siapa yang menghamili Wagimi, ia langsung menjawab. Karena Wagimi tidak bisa menghiraukan pertanyaan dari juragannya, Pak Bei, begitu saja. Hingga akhirnya ia harus keluar dari kebon dan menikah dengan Jimin. Pak Bei juga meminta kepada Wagimi, Wagiman, dan Jimin untuk merahasiakan masalah tersebut. Wagimi tidak menuntut apapun dari Wahyu ataupun Pak Bei, ia hanya bisa menerima keputusan dari Pak Bei. Kutipan percakapan Pak Bei, Wagiman, dan Wagimi berikut akan menjelaskan sikap hormat dan bekti-nya Wagimi terhadap Pak Bei. ―Aku yang berkuasa di rumah ini. aku yang memegang merah-putihnya semua kejadian di sini. Kehamilan seperti ini tak bisa dibenarkan. Aku tak mau ada kotoran di sini. Kalau berak cari tempat lain. ―Wagiman, kamu tahu siapa yang berbuat ini?‖ Wagiman gemetar. Menggeleng. ―Dalem sudah menanyai, Pak Bei. Tapi Genduk selalu menangis.‖ ―Nduk, aku yang bertanya sekarang ini.Siapa yang menghamilimu?‖ Wagimi menangis, gemetar, keringatan. ―Aku yang bertanya!‖ ―Den Bagus Wahyu....‖ (Atmowiloto, 2013: 213) Kutipan berikut akan menjelaskan Wagimi yang memiliki sikap nrima atau pasrah. Wagimi pasrah dan menerima begitu saja semua keputusan Pak Bei tanpa protes. Penggambaran sikap nrima Wagimi akan dijelaskan dengan kutipan narasi sebagai berikut. Apa yang dikatakan Wagimi adalah kebenaran. Kebenaran yang dipaksakan. Mungkin Wagimi tetap akan menutup mulutnya jika bukan Pak Bei yang menanyai. Wagimi tidak protes. Wagiman juga tidak mengajukan apa-apa, melainkan menerima tanpa bertanya. Tanpa melawan. Tanpa mnuntut apa-apa. Juga biaya. Wagimi malah menerima apa yang paling ditakutkan oleh penghuni kebon. Dibuang, kembali ke desa. Dinikahkan dengan Jimin—yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
menjaga tanaman, burung, dan ikan peliharaan Pak Bei. (Atmowiloto, 2013: 213-214)
Tokoh Wagimi dapat disimpulkan memiliki penggambaran fisik yang sempurna. Maksudnya Wagimi memiliki tubuh yang indah dengan wajah cantik dan berkulit putih. Wagimi merupakan gadis desa yang memiliki semua yang diinginkan lelaki. Namun, Wagimi pasrah dengan kehidupan yang bertolak belakang dengan Ni. Ia harus berhenti sekolah, bekerja sebagai buruh batik, hamil di luar nikah, dan harus diusir dari kebon. Selain itu, Wagimi digambarkan dengan sikap yang pasrah, hormat, dan mengabdi kepada juragannya, Pak Bei. Wagimi menerima perintah dan keputusan yang diberikan Pak Bei tanpa menyesal. Semua keputusan Pak Bei diterima Wagimi tanpa mempersoalkan sedikitpun.
1.9 Rangkuman Tokoh-tokoh cerita dalam novel Canting karya Asrwendo Atmowiloto dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Terdapat tiga tokoh utama dalam novel Canting. Tiga tokoh utama tersebut ditentukan berdasarkan segi peranan. Ketiga tokoh tersebut juga paling sering dimunculkan dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ketiga tokoh utama itu adalah Bu Bei, Pak Bei, dan Ni. Bu Bei adalah tokoh wanita yang digambarkan sebagai wanita yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam). Tokoh ini juga digambarkan sebagai istri yang bekti kepada suami, Pak Bei. Tokoh Pak Bei digambarkan sebagai seorang priayi yang karismatik, tegas, dan berwibawa dengan pembawaan yang tenang. Sedangkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
tokoh Ni adalah tokoh yang sederhana, keras kepala dan memiliki keberanian dalam berpendapat. Tidak semua tokoh tambahan yang terdapat dalam novel akan dipaparkan penokohannya. Hanya enam tokoh tambahan yang dianalisis penokohannya, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Himawan, Mbok Tuwuh, dan Genduk
Wagimi.
Tokoh
Wahyu
Dewabrata
merupakan
putra
sulung
Sestrokusuman, tokoh tambahan yang digambarkan pengarang sebagai tokoh nyaris sempurna. Maksudnya, tokoh Wahyu memiliki wajah yang tampan, pintar, dan penurut. Sedangkan Wening Dewamurti adalah putri kelima Sestrokusuman dengan paras cantik, ramah, dan mandiri. Wening dikisahkan sebagai putri kesayangan Pak Bei, namun hal tersebut tidak membuatnya manja. Tokoh selanjutnya, yaitu Himawan. Tokoh Himawan digambarkan sebagai anak seorang lurah Keraton dengan wajah yang tampan. Memiliki sifat yang baik hati, jujur, sabar, dan penyayang. Tokoh Mijin adalah seorang buruh batik yang sederhana dan pekerja keras. Mijin digambarkan memiliki fisik tubuh yang tinggi besar dan berotot, namun ia sangat lugu. Selanjutnya, Mbok Tuwuh adalah tokoh yang baik, ramah, dan mengabdi pada juragannya. Selain itu, Mbok Tuwuh memiliki sifat rendah diri dan setia. Sedangkan tokoh Wagimi digambarkan sebagai gadis desa yang memiliki paras cantik dan tubuh yang indah. Wagimi diceritakan pengarang memiliki sikap pasrah, hormat dan mengabdi pada juragannya. Teknik pelukisan tokoh yang digunakan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto adalah teknik ekspositor dan teknik dramatik. Teknik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
ekspositor digunakan untuk menggambarkan keadaan fisik tokoh utama dan tokoh tambahan. Pengarang menggunakan teknik ekspositor untuk menggambarkan tokoh Bu Bei, Pak Bei, Ni, Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Himawan, Mijin, Mbok Tuwuh, dan Wagimin. Namun, beberapa penggambaran fisik para tokoh diperjelas dengan teknik dramatik. Contohnya terlihat dari penggambaran tokoh Himawan. Percakapan Ni dengan kakaknya, Lintang dan Wening, membahas tentang ketampanan Himawan. Sementara penggambaran keadaan psikis dan sosialnya, pengarang menggunakan teknik dramatik. Meskipun ada beberapa tokoh yang keadaan psikis dan sosialnya diperjelas menggunakan teknik ekspositor. Hal tersebut terlihat pada penggambaran tokoh Bu Bei. Selama kehamilan Ni, Bu Bei didera rasa takut dan gelisah. Dari analisis pelukisan tokoh di atas, tokoh Ni dan Wening Dewamurti digambarkan sebagai tokoh perempuan yang berada pada generasi ketika perempuan telah mencapai kesetaraan hak dengan laki-laki (sameness). Dalam penelitian ini, Ni dan Wening telah mencapai kesetaraan dalam hal kebebasan berpendapat, kesempatan mendapatkan pendidikan, kesempatan kerja, dan tidak mengalami diskriminasi seks. Namun, hal serupa tidak dirasakan tokoh Wagimi karena Wagimi hanyalah anak seorang buruh dan ia memiliki suami buruh. Pendidikan Wagimi tidak setinggi Ni, pendidikan terakhir Wagimi hanya sampai sekolah dasar. Ni dan Wening mendapatan kesetaraan tersebut karena mereka terlahir dari keluarga priayi (orang yang memiliki kekuasaan, kekayaan, dan terpandang).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
Tokoh Bu Bei mengalami hal yang hampir serupa dengan Wagimi, ia tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, saat usianya belia harus menikah dengan Pak Bei, tidak memiliki kebebasan berpendapat, dan mengalami diskriminasi seks. Dalam hal ini, Bu Bei tetap menerima saat mengetahui Pak Bei poligami. Bu Bei tetap melayani Pak Bei dengan penuh kasih sayang meski ia tahu Pak Bei telah melakukan hubungan seks dengan wanita lain. Sikap, pandangan, pilihan hidup tokoh perempuan dalam novel Canting menggambarkan wanita feminisme liberal. Artinya, wanita yang telah mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dalam mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual, dan tidak mengalami diskriminasi seks. Hal tersebut akan dibahas lebih rinci dalam Bab III.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III KONSTRUKSI PEMIKIRAN FEMINISME LIBERAL WANITA JAWA DALAM NOVEL CANTING Setelah menganalisis tokoh dan penokohan dalam novel Canting pada Bab II, langkah selanjutnya adalah pembahasan mengenai feminisme liberal yang terdapat dalam novel. Pemikiran, sikap, dan tindakan tokoh cerita dalam novel merupakan cerminan tentang gerakan feminisme. Gerakan feminisme yang tercermin dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto adalah feminisme liberal. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan,
kesempatan
kerja,
kebebasan
individual
dengan
mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Selanjutnya akan dipaparkan gerakan feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting melalui tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam novel.
3.1 Kesempatan dalam Pendidikan Salah satu gerakan feminisme liberal adalah memberikan kesempatan pendidikan untuk wanita yang setara dengan laki-laki. Diskriminasi gender atau pembedaan perlakuan terhadap jenis kelamin dalam pendidikan masih terlihat dalam novel. Dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dikisahkan dua generasi wanita Jawa yang berbeda dan bertolak belakang. Generasi pertama 80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
dilambangkan dengan kehidupan tokoh Bu Bei yang masih kecil, zaman di saat pergerakan feminisme liberal belum begitu terasa pergerakannya, sedangkan generasi yang kedua adalah zaman disaat feminisme liberal mulai bergerak meski sangat lamban. Dan tokoh Ni disimbolkan sebagai wanita Jawa yang terlahir saat gerakan feminisme liberal mulai berjalan. Tokoh Bu Bei dan Ni akan menjadi fokus untuk menganalisis gerakan feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Tokoh Bu Bei digambarkan sebagai wanita yang terlahir di saat pendidikan hanya bisa dinikmati oleh laki-laki. Khususnya dalam hal ini, laki-laki dari golongan priayi, golongan yang memiliki harta, jabatan, dan kekuasaan. Dan tokoh Ni, ia terlahir pada saat feminisme liberal telah berjalan. Maksudnya, Ni telah menikmati pergerakan feminisme liberal meskipun berjalan lamban, dalam hal kesempatan ikut menikmati pendidikan, Ni mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Berikut akan dipaparkan pendidikan pada zaman Bu Bei atau zaman yang belum terasa kuat upaya feminisme liberalnya. Tokoh Bu Bei menggambarkan kesempatan dalam pendidikan belum bisa dinikmati oleh wanita. Pendidikan hanya bisa didapat untuk laki-laki. Wanita yang terlahir pada zaman Bu Bei hanya mendapatkan pendidikan dari ibu mereka, ibu yang notabenenya adalah sama-sama seorang wanita yang buta akan ilmu dan aksara. Para ibu hanya mendidik anak-anaknya, khusus anak gadis diajarkan untuk bersikap yang sopan, tata krama yang benar, dan mengajarkan menjadi seorang istri sekaligus ibu yang bekti. Orang tua pada zaman itu bahkan rela melepaskan anak gadisnya menikah di usia belia. Pernikahan dini juga terdapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
dalam novel, Bu Bei menikah dengan Pak Bei saat usianya 14 tahun. Usia yang masih sangat kecil dan dapat dikatakan usia yang belum pantas mendapatkan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Tanggung jawab untuk melayani suami, membersihkan rumah, dan mendidik anak. Berikut kutipan ekspositor yang menjelaskan tokoh Bu Bei menikah pada usia 14 tahun. Sejak ia mengandung dulu, Bu Bei sudah bangga. Ketika ia kawin, usianya masih empat belas tahun. Masih sangat kecil, sehingga untuk turun dari mobil masih digendong. Belum bisa turun sendiri. (Atmowiloto, 2013: 50) Priayi adalah golongan orang-orang yang memiliki harta, jabatan, dan kekuasaan. Karena itu, priayi sangat dihormati dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak heran jika orang tua Bu Bei langsung menerima pinangan Pak Bei, seorang priayi dari Ngabean tanpa mendiskusikannya dengan Bu Bei. Bu Bei diceritakan tidak mendapatkan pendidikan karena pendidikan pada zamannya belum bisa dinikmati oleh wanita. Selain itu, Bu Bei juga harus menikah pada usia yang masih belia. Kutipan di bawah ini akan menjelaskan bahwa Bu Bei tidak mengenal sekolah. Bu Bei selalu membawa oleh-oleh khusus untuk Wahyu dan temantemannya yang belajar bersama. Secara khusus pula mendatangkan guruguru untuk mengajar Wahyu. Dalam alam pikiran Bu Bei yang tak mengenal sekolah, semua yang dipelajari Wahyu perlu dipelajari secara khusus. (Atmowiloto, 2013: 53) Hasil dari pergerakan feminisme liberal dalam upaya kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan telah dirasakan oleh tokoh Ni. Dalam novel, tokoh Ni dapat menikmati pendidikan yang setara dengan laki-laki. Ni dikisahkan mendapatkan pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ni digambarkan tidak sulit mendapatkan kesetaraan dalam hal kesempatan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
berpendidikan. Karena Ni dikisahkan terlahir pada zaman pergerakan feminisme liberal, zaman yang berhasil menggerakkan upaya dalam menyetarakan pendidikan untuk wanita. Ni dikisahkan mendapatkan pendidikan sampai perguruan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana farmasi. Ni memilih perguruan tinggi di Semarang untuk mendapatkan gelar sarjana farmasinya. Ni bebas memilih pendidikan yang ia inginkan dan Ni mampu menyelesaikan pendidikannya. Pendidikan pada zaman Ni sudah tidak dibatasi dengan pembedaan jenis kelamin. Laki-laki dan wanita telah mendapatkan hak yang sama untuk ikut menikmati pendidikan. Namun, perekonomian menjadi salah satu hambatan lain untuk mendapatkan pendidikan. Dalam novel, Wagimi adalah salah satu tokoh yang
dikisahkan
pendidikannya
harus
terhenti
sampai
sekolah
dasar.
Perekonomian yang menyebabkan pendidikannya harus terhenti sampai sekolah dasar. Wagimi harus membantu perekonomian keluarga dengan membantu orang tuanya berkerja sebagai buruh pabrik. Berikut kutipan yang menjelaskan Wagimi harus berhenti sekolah untuk bekerja. Wagimi alias Genduk, anaknya Pak Wagiman yang usianya sama dengan Ni. Paling jauh berselisih 35 hari. Gadis desa yang tumbuh secara sempurna. Yang memiliki semua yang dimiliki seorang wanita. Yang memiliki apa yang diinginkan seorang lelaki. Wagimi tumbuh seperti anak-anak kebon yang lain. Bermain, membantu orangtuanya, bersekolah. Bertambah dewasa, bertambah terlibat dalam kerja. Selepas sekolah dasar, Ni melanjutkan sekolah dan Wagimi menjadi pembatik. Ni masih sering bertemu. Masih sering meminjamkan buku-buku. Masih sering bercerita tentang sekolah. (Atmowiloto, 2013: 212) Feminisme
liberal
mengupayakan
kesempatan
dalam
menikmati
pendidikan tidak hanya untuk laki-laki. Wanita juga harus mendapatkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
pendidikan yang setara dengan laki-laki untuk mendapatkan kesejahteraan yang sama. Dengan kesetaraan dalam pendidikan, wanita mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa rasa takut. Selama setiap individu dalam mengejar apa yang mereka inginkan tidak saling membatasi atau menghalangi dalam proses pencapaiannya.
3.2 Kesempatan dalam Dunia Kerja Selain gerakan feminisme liberal dalam kesempatan berpendidikan, upaya feminisme liberal yang lain adalah mendukung wanita untuk ikut dalam dunia kerja. Gerakan ini mengupayakan wanita dari kalangan kelas menengah atas untuk bekerja di luar rumah. Karena gerakan ini dimunculkan untuk memberikan ruang gerak yang lain selain rumah. Artinya, wanita kalangan kelas menengah atas agar dapat keluar rumah dan bisa melakukan aktivitas selain mengurus rumah dan menjaga anak. Alasan dimunculkan gerakan ini karena wanita yang telah menikah dengan pria yang memiliki harta dan kekuasaan dilarang untuk keluar rumah. Para istri tidak diijinkan keluar dengan alasan untuk menjaga dan merawat anakanaknya. Dengan adanya gerakan tersebut membuat para wanita dapat keluar rumah dan beraktivitas yang lain. Dalam novel Canting, tokoh Bu Bei disimbolkan sebagai wanita pada zaman sebelum feminisme liberal berjalan. Namun, pemandangan yang berbeda terlihat dalam novel ini. Bu Bei yang menikah dengan kalangan priayi, tidak seharusnya tanggung jawab untuk mencari nafkah diberikan kepada Bu Bei sepenuhnya. Bu Bei diceritakan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, bahkan ia menjadi pemenuh kebutuhan keluarganya. Bu Bei adalah satu-satunya orang yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga Sestrokusuman. Pak Bei yang digambarkan sebagai kepala rumah tangga justru tidak bekerja sama sekali hanya mengandalkan hasil kerja istrinya, Bu Bei. Keadaan Bu Bei yang bekerja di pasar bahkan menjadi satu-satunya pemenuh kebutuhan keluarga Sestrokusuman, menunjukkan pada zaman sebelum feminis liberal belum berjalan telah ada cikal bakal dalam kesempatan kerja, khususnya untuk wanita Jawa. Maksudnya, sebelum adanya upaya feminisme liberal untuk memberikan kesempatan kerja kepada wanita, wanita Jawa telah bekerja meski mereka menikah dengan priayi. Dalam novel juga dijelaskan bahwa usaha pembatikan Ngabean telah dijalankan oleh ibu dari Pak Bei, mertua Bu Bei. Bu Bei diberikan ijin dari Pak Bei untuk melanjutkan usaha pembatikan dan berdagang di Pasar. Bu Bei diceritakan bekerja di pasar sebagai pedagang dan menjadi pengawas dalam produksi batik di pabrik. Dari hasil kerja Bu Bei, Bu Bei mampu memenuhi
kebutuhan
keseharian
keluarga
Sestrokusuman,
mampu
menyekolahkan seluruh anak-anaknya, dan menghidupi para buruh di kebon. Meskipun pendapatan keluarga Sestrokusuman sepenuhnya diperoleh dari hasil kerja Bu Bei, Bu Bei tidak lantas merasa uang yang dihasilkan adalah haknya sepenuhnya. Uang hasil penjualan batik di pasar dihitung dan langsung disimpan di lemari Pak Bei tanpa ada pembukuan resmi. Pak Bei juga dapat menggunakan uang tersebut dengan begitu saja, walaupun terkadang Pak Bei meminta Bu Bei untuk menyiapkannya. Berikut kutipan ekspositori yang memaparkan hal tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
Sambil mulai memeriksa hasil batikan satu demi satu, menghitung uang, dan memasukkannya ke lemari di bagian sudut. Tak ada pembukuan resmi. Uang hasil seluruh penjualan itu dionggokan begitu saja. Satu-satunya pengaman hanyalah kunci. Dan kunci itu akan diletakkan di saku baju Pak Bei yang selalu berada di gantungan dekat lemari. Setiap saat Pak Bei bisa menggunakan kunci yang memang sengaja ditinggalkan di tempat itu jika Bu Bei pergi. Segala harta kekayaan ada di kunci itu, karena semuanya disimpan di dalam lemari. Mulai dari keris pusaka yang warangka-nya— kerangkanya—dibuat dari emas dan berlian, serta perhiasaan-perhiasaan dan surat-surat penting. Bu Bei tak pernah menghitung secara persis berapa banyak uang yang ditaruh di situ, juga tak menanyakan apa-apa jika ada yang berkurang. Berapa pun. Pak Bei sendiri, kadang menyuruh Bu bei untuk menyediakan uang kalau ada keperluan, walaupun ia bisa mengambil sendiri. (Atmowiloto, 2013: 48) Sikap dan tindakan tokoh Bu Bei sangat berbeda saat berada di pasar maupun di rumah. Bu Bei digambarkan sebagai sosok wanita yang sabar, pasrah, dan bekti kepada suaminya. Namun, hal berbeda terlihat ketika Bu Bei berada di pasar dan mulai menawarkan batik dagangannya. Bu Bei akan menjadi wanita yang galak, bebas menentukan pilihannya, dan mampu menyelesaikan masalah tanpa harus menunggu keputusan yang akan diambil Pak Bei. Bu Bei mampu menyelesaikan segala urusannya sendiri dengan keputusan yang ia ambil tanpa campur tangan suaminya, Pak Bei. Pasar adalah panggung di mana wanita-wanita yang di rumah memegang peran pembantu, menjadi yang nomor satu. Di mana ibu-ibu menjadi sadar kan harga dirinya, daya tariknya, haknya untuk mennetukan, dan berbuat apa maunya. Di pasar inilah wanita menjadi lelaki. Bu Bei menjadi Pak Bei yang pergi tirakatan Jumat Kliwon. Tatapan mata, sentuhan tangan, senyuman, bisa dipilih untuk diteruskan, ditunda, atau ditawarkan. Bu Bei masuk ke sudut kiosnya, terjepit di tengah, tapi serentak dengan itu menemukan kebebasan yang luar biasa. (Atmowiloto, 2013: 40) Kebebasan yang diperoleh Bu Bei saat berada di luar rumah menjadikan Bu Bei sosok yang berbeda. Saat berada di rumah, Bu Bei menjadi wanita yang bekti kepada suami, ramah, sabar, dan tabah. Namun hal tersebut tidak terlihat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
saat Bu Bei berada di pasar. Bu Bei memiliki kebebasan mengambil keputusan, melakukan sesuai keinginannya, dan juga menjadi Bu Bei yang galak. Dari kios-kios sempit, yang bisa panas seakan memuaikan penghuninya, segala apa dilebur. Tak ada beda antara Bu Bei, Bu Menggung, atau Bu Joko, atau Ing Giok, dan Bu Joko bertahi lalat. Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di Pasar Klewer. Dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam arti disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas. (Atmowiloto, 2013: 46) Pada zaman Bu Bei, pendidikan bukan menjadi prioritas karena pada saat itu yang terpenting adalah mencari uang agar bisa makan. Anak-anak yang dirasa mampu untuk bekerja, maka mereka akan di suruh bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Maka Bu Bei tidak merasa tertekan ketika ia harus bekerja di pabrik dan berjualan di Pasar Klewer. Karena ia terlahir di lingkungan buruh batik yang notabenenya adalah lingkungan pekerja. Sikap dan tindakan tokoh Ni hampir sama dengan tokoh Bu Bei hanya saja bedanya terlihat saat Ni masih kecil. Saat Ni kecil, pendidikan adalah prioritas dalam hidupnya. Ni mendapatkan pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi dengan gelar sarjana farmasi, ia memilih bekerja di pabrik batik daripada bekerja di apotik. Keputusan Ni awalnya mendapatkan pertentangan dari keluarga Sestrokusuman, namun pada akhirnya Ni diijinkan mengelola pabrik batik milik keluarga. Dari pemaparan di atas, gerakan feminisme liberal dalam hal kesempatan kerja sudah terlihat dari tokoh Bu Bei dan Ni. Dalam novel menggambarkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
wanita Jawa dapat berperan di dua tempat yang berbeda, di rumah sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai pengusaha. Walaupun terlihat perbedaannya, Bu Bei bekerja sebagai pedagang dan juragan batik karena keputusan dari Pak Bei untuk melanjutkan usaha batik dari keluarganya. Sikap dan tindakan Bu Bei juga terlihat berbeda saat berada di rumah dengan saat berada di pasar. Sikap sabar, ramah, penuh kasih sayang, dan bekti kepada suami terlihat saat Bu Bei berada di rumah. Saat berada di pasar untuk menawarkan dagangannya, Bu Bei bisa bersikap galak, kasar, dan memutuskan semuanya sendiri tanpa menunggu keputusan Pak Bei. Sedangkan, Ni memilih bekerja di pabrik batik karena keputusannya sendiri. Ni bersikeras dalam memutuskan untuk melanjutkan usaha batik milik keluarganya. Hingga pada akhirnya keluarga menyetujui keputusan Ni untuk melanjutkan usaha batik cap Canting.
3.3 Kebebasan Individual Kebebasan individual yang dimaksudkan dalam novel Canting adalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan bebas menjadi diri sendiri tanpa mengesampingkan tugas dan kewajibanya. Dalam hal ini, Bu Bei digambarkan sebagai seorang istri yang masih dibawah bayang-bayang suami. Artinya, semua keputusan yang harus diambil Bu Bei harus berdasarkan keputusan Pak Bei. Meskipun keputusan yang diambil Pak Bei belum tentu sesuai dengan Bu Bei. Namun, Bu Bei tetap mengambil keputusan sesuai dengan keputusan yang diambil Pak Bei.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
Tokoh Bu Bei digambarkan sebagai istri yang bekti kepada suaminya, Pak Bei. Bu Bei diajari orang tuanya untuk mematuhi dan menuruti semua keputusan suami. Karena itu, Bu Bei tidak memiliki kebebasan individual dalam menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan. Seolah-olah Bu Bei bergerak atas dasar perintah Pak Bei, tetapi Bu Bei menerima semua itu dengan ikhlas tanpa mempersoalkannya. Berikut kutipan percakapan Ni dengan Himawan yang sekilas membicarakan tentang Bu Bei. ―Itulah khas Jawa, menganggap semua orang lain juga diperlakukan dengan cara Jawa.‖ ―Lain, Ni‖ ―Sama saja. Ibu berkarya di rumah, di pasar. Tapi satu kata melarang dari Rama, selesailah semuanya. Ibu akan menerima kata Rama dengan ikhlas dan total. Itu akan menjadi nilai Ibu juga.‖ (Atmowiloto, 2013:189) Dalam novel masa kecil Bu Bei yang awalnya diisi dengan bermain bersama teman sebayanya, berubah ketika Bu Bei akan dipinang oleh seorang priayi. Kebahagiaan masa kecil Bu Bei hilang karena ia harus belajar menjadi seorang priayi. Bu Bei tidak diperbolehkan bermain lagi dan tidak diijinkan bekerja. Karena ia harus berlajar cara menyembah dan menggunakan bahasa Jawa yang halus. ―Calon Bu Bei yang masih sangat belia tak sepenuhnya bisa menangkap kalimat itu. Dan tak perlu dijelaskan. Yang jelas, mulai saat itu ia tak boleh bermain dengan bersama teman-temannya. Tak boleh bermain congklak, main gobag sodor, main engklek, dampu, lagi. Bahkan tidak boleh bekerja. Ia diajari menggunakan bahasa Jawa yang halus. Cara menyembah, cara laku dhodhok, berjalan jongkok dengan punggung tegak tapi jangan menyentuh lantai.‖ (Atmowiloto, 2013: 74) Menjadi priayi adalah keinginan banyak orang. Bu Bei adalah anak buruh batik, orang tuanya berharap anak perempuannya dapat menjadi priayi dengan kehidupan yang layak dan dihormati. Priayi merupakan sebutan untuk seseorang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
yang memiliki pangkat, harta, dan derajat. Itu sebabnya priayi sangat dihormati dan disegani. Orang tua Bu Bei tidak mendiskusikan perihal pinangan Pak Bei dengannya. Orang tua Bu Bei langsung menyetujuinya tanpa bertanya kepada Bu Bei berkenan atau tidak jika ia menikah dengan Pak Bei. Ternyata Bu Bei tidak mendapatkan kebebasan individual sejak kecil. Dan Bu Bei kecil menerima semua keputusan yang diambil orang tuanya. Pandangan berbeda terlihat dari tokoh Ni, Ni digambarkan memiliki kebebasan indivual. Kebebasan memilih, menyampaikan pendapatnya, sampai mengambil keputusan. Ni digambarkan sebagai tokoh wanita yang berpendidikan, ia amerupakan sarjana farmasi. Ni berani menyampaikan pendapatnya, misalnya dalam hal memilih pendidikan yang ia inginkan dengan sekolah di Semarang, memilih tidak menghadiri wisudanya, dan memilih tidak bekerja di apotik yang dibangun Pak Bei melainkan melanjutkan usaha batik. Kebebasan individual semacam itu tidak pernah dirasakan Bu Bei. Karena Bu Bei tidak berani mengambil keputusan sendiri, maka Bu Bei tidak mempunyai kebebasan individual. Awalnya Ni juga diliputi rasa takut untuk menyampaikan pendapatnya, namun dengan keberanian akhirnya ia menyampaikan keputusannya. Misalnya dalam hal Ni mengambil keputusan untuk menjalankan usaha batik milik keluarga. Keputusan yang mendapatkan pertentangan dari seluruh keluarganya, tetapi Ni akhirnya diberikan kesempatan menjalankan usaha batik keluarganya. Kebebasan Ni untuk memutuskan semua yang ia inginkan merupakan gerakan feminisme liberal yang mengupayakan kebebasan individual.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
3.4 Menentang Diskriminasi Seks Pembedaan perlakuan antarmanusia berdasarkan jenis kelamin masih terlihat dalam novel Canting. Dalam hal ini pembedaan kesempatan dalam seksualitas atau kebebasan seksual. Pada novel Canting digambarkan Pak Bei sebagai priayi memiliki hak untuk bermain gila dengan banyak perempuan dan berpoligami. Poligami pada zaman itu dianggap wajar bagi kalangan priayi. Bahkan poligami dan berhubungan seks dengan banyak perempuan bagi priayi merupakan sesuatu yang lumrah atau wajar adanya. ―Kalau tidak tahu, tanya. Saya tahu jawabnya. Ini musim anjing kawin. Dengar gonggongannya. Itu gonggongan anjing kawin. Kamu tahu kelakuan anjing pada musim kawin? Anjing yang dipelihara di Keraton, yang makan dari piring emas pun akan lari, menyeberangi Bengawan Solo ini untuk mencari betina kampung. Tak bisa dihalangi. ―Itulah anjing. Itulah binatang. ―Manusia tidak sama dengan binatang.‖ ―Ya, Den Bei.‖ Pijatan Minah makin berani. sabuk Pak Bei dilepaskan. Kancing celana juga dilepaskan. Kemudian, selimut lorek yang disiapkan ditutupkan ke tubuh Pak Bei. (Atmowiloto, 2013: 27) Dari kutipan di atas, terlihat Pak Bei sedang bermesraan dengan Minah. Minah adalah perempuan yang biasa melayani nafsu seksual para priayi, Pak Bei merupakan langganan tetap Minah. Pak Bei lebih suka tubuhnya dipijat oleh Minah, Pak Bei tidak mau dilayani kalau bukan Minah karena Minah mampu memuaskan nafsu Pak Bei. Berbeda dengan Pak Bei yang merasakan kebebasan berhubungan seksual dengan banyak perempuan dan berpoligami, Bu Bei tidak memiliki kebebasan seksual yang serupa. Karena wanita dianggap tidak wajar jika menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya, apalagi sampai berhubungan seks. Bahkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
Bu Bei tidak mempermasalahkan jika Pak Bei berpoligami dan berhubungan seksual dengan perempuan selain Bu Bei. Karena pada zaman itu, poligami dan berhubungan seks dengan perempuan adalah hal yang wajar bagi laki-laki golongan priayi. Dalam novel Canting, Bu Bei mempunyai hubungan seksual dengan buruh batik. Namun, keadaanya berbeda dengan Pak Bei, Bu Bei harus bersembunyi dan sebisa mungkin tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Jika hal itu diketahui oleh Pak Bei, maka Bu Bei mungkin saja akan diceraikan oleh Pak Bei. Berikut akan dipaparkan kisah Bu Bei yang mempunyai hubungan dengan buruhnya. Bu Bei digambarkan mempunyai hubungan seksual dengan buruh pabrik tetapi tidak dijelaskan secara lugas oleh pengarang. Hal tersebut terlihat dari sikap dan tingkah laku Bu Bei saat ia mengandung anak keenam. Saat kehamilan, Bu Bei merasa gelisah dan takut. Kegelisahaan Bu Bei terhadap kehamilannya karena ia takut mengahadapi kenyataan jika anak yang dikandungnya bukan anak Pak Bei, melainkan anak dari hubungannya dengan buruh batik. Bu Bei sempat ingin menggugurkan kandungannya tetapi tidak berhasil. Berbagai cara dilakukan Bu Bei untuk menggugurkan kandungannya. Dari obat-obatan sampai mendatangi dukun bayi tetap saja kandungannya tidak berhasil digugurkan. ―Mbah, saya ini sudah tua lhooo. Sudah tiga puluh tahun lebih. Tidak pantes. Tolong, Mbah.‖ ―Bu Bei, saya hanya bisa berusaha. Kalau ini kehendak Yang Mahakuasa, ya saya tidak bisa apa-apa.‖ Bu Bei dipijat keras. Sampai kesakitan. Lalu diberi obat peluntur. Obat dari jamu-jamuan yang selama ini terkenal sangat manjur. Tapi, dengan usaha yang telaten dan teru-menerus, hasilnya tidak ada. Mbah dukun bayi sekali lagi memberi komentar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
―Bibitnya kuat sekali. Tidak apa, Bu Bei, tambah satu lagi.‖ (Atowiloto, 2013:60) Ketakutan yang dirasakan Bu Bei dikarenakan menunggu keputusan yang akan diambil Pak Bei. Keputusan akan menceraikan Bu Bei atau keputusan yang lainnya. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada zaman sebelum feminisme liberal telah ada kesempatan untuk wanita Jawa mendapatkan kebebasan seksual meski tidak sebebas laki-laki. Namun, kebebasan seksual yang terbatas tersebut tidak diperoleh oleh wanita Jawa yang telah menikah. Karena wanita Jawa yang telah menikah dan ketahuan melakukan hubungan seksual selain dengan suaminya adalah hal yang tidak wajar dan tidak seharusnya dilakukan. Berikut adalah pemaparan cerita saat Pak Bei mengetahui Bu Bei hamil, Pak Bei sempat ragu akan anak yang dikandung Bu Bei. Bahkan Pak Bei sempat mencari tahu siapa ayah anak yang dikandung Bu Bei dengan mendatangi seorang dukun. Pak Bei menanyakan kepada Mbah dukun, siapa ayah anak yang dikandung Bu Bei. Namun, Pak Bei pada akhirnya tidak ingin mengetahuinya dan pergi meninggalkan Mbah dukun. Berikut kutipan percakapan Pak Bei dengan Mbah dukun tentang anak yang sedang dikandung Bu Bei. Pak Bei akhirnya menemui dukun yang terkenal itu. Bukan untuk mengurus Minah, tapi untuk mengurus dirinya sendiri. Untuk menanyakan bibit siapa yang berada dalam kandungan istrinya. Pak Bei memberikan uang, ayam putih, dan segala perlengkapan: termasuk tanggal lahirnya, tanggal lahir Bu Bei, asal-usul, dan segala yang ditanyakan. ―Apakah ada saudagar yang menghamili?‖ Mbah dukun itu melihat ke telur, dan menggeleng. ―Tidak.‖ ―Tidak. Pak Bei benar ingin mendengarkan jawaban yang saya lihat di dalam telur ini? Kalau Pak Bei mau melihat sendiri bisa.‖ Bu Bei menunggu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
Pak Bei menggantung persoalan. Saat itu pun ia menggeleng, dan meninggalkan dukun itu. (Atmowiloto, 2013:63) Pak Bei melakukan hal tersebut karena ia takut anak yang dikandung Bu Bei bukan anaknya. Pak Bei akan merasa terhina jika anak yang dikandung Bu Bei adalah anak seorang buruh. Dan Pak Bei akan bisa menerima jika anak tersebut dari seseorang yang derajatnya lebih tinggi dari Pak Bei. Hal tersebut terlihat dari kutipan berikut. ―Itulah sebabnya aku terpukul sekali, andai istriku mengandung bukan olehku. Akan lebih murka lagi kalau kuketahui bahwa yang menghamili adalah lelaki yang jauh di bawahku. Kalau ia dihamili presiden, atau raja, aku mungkin bisa menerima. Tetapi kalau ia dihamili buruhku yang tak pernah kuanggap apa-apanya lebih baik dariku, aku akan terpukul sekali. Aku seperti dibanting. Kukira itu juga dialami wanita. Itu sebabnya, istri muda selalu lebih cantik, lebih menarik, selalu ada lebihnya.‖ (Atmowiloto, 2013: 62-63) Pada akhirnya, Pak Bei memutuskan tidak menceraikan Bu Bei. Meskipun awalnya Pak Bei merasa gelisah jika anak yang dikandung Bu Bei bukan darah dagingnya. Namun, keputusan akhirnya, Pak Bei tidak menceraikan Bu Bei dan menerima anak yang dikandung Bu Bei. Berikut kutipan yang menjelaskan kegelisahan Pak Bei terhadap kandungan Bu Bei, hingga memutuskan untuk tidak menceraikan Bu Bei. Pak Bei tak gentar dan tak malu kalau akhirnya harus menyingkirkan Bu Bei. kehormatannya sama sekali tak akan berkurang. Kehidupannya tak akan tercela, hanya karena ia menyingkirkan Bu Bei. pertimbangan Pak Bei juga bukan karena dengan itu usaha batiknya akan bangkrut. Ia percaya bahwa itu akan tetap berjalan dengan baik, kalau memang berjalan dengan baik. Ia tak kuatir sedikit pun mengenai pendidikan dan kasih sayang anak-anaknya. Ia tak cemas akan kehidupannya sendiri. Ia bisa terus jajan atau kemudian secara resmi mengawini seseorang. Terlalu banyak yang bisa dipilih. Pertimbangannya menunda keputusan untuk membicarakan dengan Bu Bei lebih didasari alasan bahwa masalah itu memang tak mungkin
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
diselasaikan. Karena tak ada penyelesaian final. Sejak Wening lahir, Pak Bei masih berhubungan dengan Bu Bei. juga akhir-akhir ini, bulan-bulan sebelum Bu Bei mengatakan hamil. Ia cukup cerdas untuk mengerti bahwa hubungan yang sambil lalu pun bisa membuahkan hasil. Sama cerdasnya untuk melihat dan mengetahui lika-liku apa yang terjadi di Pasar Klewer. tapi semuanya tak perlu diselesaikan secara tuntas, karena memang ketuntasan tak mempunyai arti lebih. Justru dengan memahami situasi seperti ini, Pak Bei bisa seperti sekarang ini. Demikian juga Bu Bei, keluarganya, usahanya, dan semuanya. (Atmowiloto, 2013: 61-62) Dari kutipan di atas, Pak Bei mengambil keputusan untuk tidak menceraikan Bu Bei karena Pak Bei merasa masih melakukan hubungan seksual dengan Bu Bei. Bahkan hubungan tersebut masih dilakukan sebelum Bu Bei diketahui hamil. Pak Bei berpikir bahwa anak yang dikandung Bu Bei memang benar anak kandungnya. Meskipun kegelisahan dan keraguan terhadap anak yang dikandung Bu Bei masih dirasakan Pak Bei. Pemaparan tentang kebebasan seksual di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan seksual diperoleh berdasarkan pembedaan perlakuan jenis kelamin. Maksudnya, kebebasan seksual hanya diperoleh untuk laki-laki. Sedangkan untuk wanita, hal tersebut merupakan perlakuan yang tidak wajar dan seharusnya dihindari. Pak Bei yang digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki harta dan kekuasaan mendapatkan kebebasan seksual. Pak Bei melakukan hubungan seksual dengan wanita selain istrinya dengan terang-terangan tanpa harus merasa takut dan gelisah. Namun hal tersebut tidak dirasakan Bu Bei, Bu Bei melakukan hubungan seks dengan buruhnya dibayangi rasa takut dan gelisah. Bu Bei takut diceraikan Pak Bei dan takut terhadap pandangan buruk orang tentang dirinya jika ketahuan berselingkuh.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
Bagi laki-laki melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya merupakan sesuatu yang wajar. Namun, hal tersebut menjadi tidak wajar jika dilakukan oleh wanita. Kebebasan seksual dapat dirasakan oleh laki-laki, namun tidak terhadap wanita. Novel Canting ini mencoba menggambarkan diskriminasi seks yang terjadi pada zaman dulu. Dan juga menggambarkan wanita pada zaman Bu Bei adalah wanita yang sabar, sumarah, lan sumeleh. Maksudnya, wanita itu harus sabar, mengalah, dan diam terhadap kelakuan suaminya. Khususnya dalam hal ini adalah tentang suami yang melakukan hubungan seksual dengan wanita lain bahkan sampai menikah lagi (poligami). Hasil yang diharapkan dari pergerakan feminisme liberal adanya hukum yang mengatur tentang kehidupan berumah tangga. Hukum yang mengatur masing-masing hak dan kewajiban suami-istri, sehingga poligami dan hubungan seksual yang bebas dapat ditekan tidak sebebas seperti zaman sebelum pergerakan feminisme liberal berjalan.
3.5 Rangkuman Dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto terdapat empat gerakan feminisme. Empat gerakan feminisme tersebut, yaitu (i) kesempatan dalam pendidikan, (ii) kesempatan dalam dunia kerja, (iii) kebebasan individual, dan (iv) menentang diskriminasi seks. Feminisme yang terdapat dalam novel Canting adalah feminisme liberal. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Pada generasi sebelum adanya pergerakan feminisme liberal, pendidikan hanya dinikmati oleh kaum laki-laki saja. Kesempatan dalam berpendidikan untuk kaum wanita dimaksudkan agar mereka mampu produktif layaknya laki-laki. Dengan pendidikan yang layak, kaum wanita tidak lagi berasumsi bahwa wanita dilahirkan untuk melayani suami dan merawat anak dengan baik. Kesempatan kerja yang dimaksudkan adalah wanita mampu bekerja produktif di luar rumah layaknya laki-laki. Sedangkan kebebasan individual, yaitu kebebasan kaum wanita dalam mengambil keputusan dan mengeluarkan pendapat tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak lain. Dan diskriminasi seks yang dimaksudkan adalah tidak ada lagi anggapan tentang wanita sebagai alat pemuas nafsu laki-laki. Diskriminasi gender dalam hal kesempatan berpendidikan pun masih sangat kental dalam novel Canting. Sebelum adanya feminisme liberal, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh kaum laki-laki saja. Kaum wanita tidak diijinkan bersekolah karena pada zaman dulu belum ada sekolah untuk kaum wanita. Dan para gadis-gadis hanya mendapatkan pendidikan dari ibu mereka yang notabenenya sama-sama buta akan sekolah. Para ibu akan mendidik anak gadisnya untuk menjadi seorang istri yang bekti kepada suami dan mampu merawat anak-anaknya. Pemikiran kesempatan kerja untuk wanita Jawa ternyata pada zaman sebelum feminisme liberal muncul telah ada. Hal tersebut terdapat dalam novel,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
Bu Bei digambarkan sebagai pedagang batik di pasar Klewer. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum adanya feminisme liberal, kesempatan kerja telah ada. Meskipun tetap dibawah ijin dari suami, jika Pak Bei tidak mengijinkan Bu Bei berdagang maka Bu Bei tidak akan berdagang batik di pasar. Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja untuk kaum wanita sudah ada sebelum pergerakan feminisme liberal mulai berjalan. Kebebasan individual masih belum dirasakan sebelum pergerakan feminisme liberal mulai berjalan. Karena sebelum feminisme liberal berjalan, diskriminasi gender masih sangat kuat dalam kebebasan individual, khususnya kaum wanita. Dalam kehidupan Bu Bei digambarkan Bu Bei tidak dapat mendapatkan kebebasan individual, misalnya Bu Bei tidak dapat menentukan jalan hidupnya dan tidak diijinkan mengambil keputusan sendiri. Saat Bu Bei dipinang oleh Pak Bei, orang tua Bu Bei langsung menerima pinangan Pak Bei tanpa bertanya bagaimana pendapat Bu Bei. Namun, Bu Bei menerima semua keputusan orang tuanya tanpa mempermasalahkan, meskipun saat itu usia Bu Bei baru 14 tahun. Diskriminasi seks yang terdapat dalam novel Canting adalah laki-laki melakukan hubungan seksual bukan dengan istrinya menjadi hal yang wajar. Hal serupa akan menjadi janggal dan tidak wajar jika dilakukan oleh wanita. Wanita yang melakukan hubungan seksual selain dengan suaminya adalah sesuatu yang harus dihindari. Karena wanita yang telah menikah dan melakukan hubungan selain dengan suaminya akan dianggap sebagai wanita yang tidak baik dan resikonya akan diceraikan. Dalam novel digambarkan Pak Bei melakukan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
hubungan seksual dengan wanita lain selain Bu Bei dan berpoligami. Hal tersebut dianggap wajar karena Pak Bei adalah laki-laki dan seorang priyayi. Namun berbeda dengan Bu Bei, Bu Bei melakukan hubungan seks dengan buruhnya dengan diam-diam dan dengan rasa takut. Ketakutan jika hubungan Bu Bei dengan buruh pabrik akan diketahui orang lain. Generasi Bu Bei menggambarkan generasi wanita yang belum mendapatkan kebebasan individual menentukan jalan hidup,
kebebasan
mengambil keputusan, dan masih kental dengan diskriminasi gender. Maksud dari kebebasan individual menentukan jalan hidup adalah kebebasan wanita untuk memilih suami dan memilih untuk menikah atau tidak. Dan untuk generasi Ni menggambarkan generasi wanita yang kebebasannya dijamin oleh hukum yang telah diperjuangkan feminisme liberal. Diskriminasi gender sudah tidak ada dan kebebasan individual telah dilindungi oleh hukum. Maksudnya, hasil yang diharapkan dari pergerakan feminisme liberal adanya hukum yang mengatur tentang kehidupan berumah tangga. Hukum yang mengatur masing-masing hak dan kewajiban suami-istri, sehingga poligami dan hubungan seksual yang bebas dapat ditekan. Dalam novel digambarkan adanya dua perbedaan generasi untuk melihat upaya feminisme liberal dalam lingkup kehidupan wanita Jawa. Pada dasarnya, cikal bakal kebebasan dalam kesempatan kerja dan diskiminasi seks sudah ada sebelum zaman feminisme liberal. Meskipun, masih ada beberapa pertentangan di dalamnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Penelitian ini mengangkat masalah tentang (i) tokoh dan penokohan berdasarkan tokoh utama (central chacter) dan tokoh tambahan (peripheral chacacter), dan (ii) feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pembahasan tentang permasalahan tersebut telah dibahas dalam Bab II dan Bab III. Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Terdapat tiga tokoh utama dalam novel Canting, yaitu Bu Bei (Tuginem), Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/Raden Ngabehi Sestrokusuma), dan Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma). Ketiga tokoh utama tersebut paling sering dimunculkan dan sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan cerita. Tokoh Bu Bei digambarkan sebagai tokoh wanita yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam). Bu Bei merupakan istri yang bekti kepada suami, Pak Bei. Tokoh Pak Bei merupakan seorang priayi yang karismatik, tegas, dan berwibawa dengan pembawaan yang tenang, sehingga banyak orang yang segan dan hormat dengannya. Sedangkan tokoh Ni adalah tokoh yang sederhana, keras kepala, dan memiliki keberanian dalam berpendapat.
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
Dan untuk tokoh tambahan, hanya enam tokoh tambahan yang dianalisis penokohannya, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Himawan, Mbok Tuwuh, dan Genduk Wagimi. Tokoh Wahyu Dewabrata merupakan putra sulung Sestrokusuman, tokoh tambahan yang digambarkan pengarang sebagai tokoh nyaris sempurna. Maksudnya, tokoh Wahyu memiliki wajah yang tampan, pintar, dan penurut. Sedangkan Wening Dewamurti adalah putri kelima Sestrokusuman dengan paras cantik, ramah, dan mandiri. Wening dikisahkan sebagai putri kesayangan Pak Bei, namun hal tersebut tidak membuatnya manja. Tokoh selanjutnya, yaitu Himawan. Tokoh Himawan digambarkan sebagai anak seorang lurah Keraton dengan wajah yang tampan. Memiliki sifat yang baik hati, jujur, sabar, dan penyayang. Tokoh Mijin adalah seorang buruh batik yang sederhana dan pekerja keras. Mijin digambarkan memiliki fisik tubuh yang tinggi besar dan berotot, namun ia sangat lugu. Selanjutnya, Mbok Tuwuh adalah tokoh yang baik, ramah, dan mengabdi pada juragannya. Selain itu, Mbok Tuwuh memiliki sifat rendah diri dan setia. Sedangkan tokoh Wagimi digambarkan sebagai gadis desa yang memiliki paras cantik dan tubuh yang indah. Wagimi diceritakan pengarang memiliki sikap pasrah, hormat dan mengabdi pada juragannya. Teknik pelukisan tokoh yang digunakan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto adalah teknik ekspositor dan teknik dramatik. Teknik ekspositor digunakan untuk menggambarkan keadaan fisik tokoh utama dan tokoh tambahan. Pengarang menggunakan teknik ekspositor untuk menggambarkan tokoh Bu Bei, Pak Bei, Ni, Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Himawan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
Mijin, Mbok Tuwuh, dan Wagimin. Namun, beberapa penggambaran fisik para tokoh diperjelas dengan teknik dramatik. Contohnya terlihat dari penggambaran tokoh Himawan. Percakapan Ni dengan kakaknya, Lintang dan Wening, membahas tentang ketampanan Himawan. Sementara penggambaran keadaan psikis dan sosialnya, pengarang menggunakan teknik dramatik. Meskipun ada beberapa tokoh yang keadaan psikis dan sosialnya diperjelas menggunakan teknik ekspositor. Hal tersebut terlihat pada penggambaran tokoh Bu Bei. Selama kehamilan Ni, Bu Bei didera rasa takut dan gelisah. Dari keseluruhan analisis tentang perempuan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dengan kajian feminisme liberal dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua generasi perempuan yang berbeda dan bertolak belakang. Generasi pertama adalah generasi Bu Bei yang menggambarkan kehidupan wanita Jawa pada zaman sebelum munculnya feminisme liberal. Dan generasi kedua adalah generasi Ni yang menggambarkan zaman feminisme liberal telah muncul, menggambarkan perempuan telah mencapai kesetaraan hak dengan laki-laki (sameness) dan diskriminasi gender sudah tidak ada. Generasi Ni telah mencapai kesetaraan dalam hal kebebasan berpendapat, kesempatan mendapatkan pendidikan, kesempatan kerja, dan tidak mengalami diskriminasi seks. Jadi, sikap, pandangan, dan pilihan hidup tokoh Ni menggambarkan wanita feminisme liberal. Wanita yang telah mencapai kesetaraan dalam hal kebebasan individual, kebebasan dalam berpendidikan, kesempatan kerja, dan tidak mengalami diskriminasi seks.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
Hal tersebut bertolak belakang dengan para tokoh wanita generasi Bu Bei, diskriminasi gender masih sangat kental dalam kehidupan. Kebebasan individual, kesempatan dalam menikmati pendidikan, dan diskriminasi seks masih sangat kuat dipengaruhi oleh diskriminasi gender. Bu Bei digambarkan tidak mendapatkan pendidikan seperti yang dinikmati kaum laki-laki, Bu Bei tidak memiliki kebebasan berpendapat, hal tersebut terlihat ketika orang tua Bu Bei menerima pinangan Pak Bei tanpa berdiskusi dengan Bu Bei, saat usianya masih 14 tahun. Selain itu, Bu Bei mengalami diskriminasi seks. Dalam hal ini, Bu Bei tetap menerima dan bersikap diam seakan tidak mau tahu saat mengetahui Pak Bei berhubungan seksual dengan wanita lain dan berpoligami. Bu Bei tetap nrima dan melayani Pak Bei dengan penuh kasih sayang. Generasi Bu Bei adalah generasi wanita Jawa yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam). Pemikiran feminisme liberal yang terdapat dalam novel adalah kesempatan dalam pendidikan, kesempatan dalam bekerja, kebebasan individual dan menentang diskriminasi seks. Diskriminasi gender dalam hal kesempatan berpendidikan pun masih sangat kental dalam novel Canting. Sebelum pergerakan feminisme liberal berjalan, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh kaum laki-laki saja. Kaum wanita tidak diijinkan bersekolah karena pada zaman dulu belum ada sekolah untuk kaum wanita. Dan para gadis-gadis hanya mendapatkan pendidikan dari ibu mereka yang notabenenya sama-sama buta akan sekolah. Para ibu akan mendidik anak gadisnya untuk menjadi seorang istri yang bekti kepada suami dan mampu merawat anak-anaknya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
Pemikiran kesempatan kerja untuk wanita Jawa ternyata pada zaman sebelum feminisme liberal muncul telah ada. Hal tersebut terdapat dalam novel, Bu Bei digambarkan sebagai pedagang batik di pasar Klewer. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum adanya feminisme liberal, kesempatan kerja telah ada. Meskipun tetap dibawah ijin dari suami, jika Pak Bei tidak mengijinkan Bu Bei berdagang maka Bu Bei tidak akan berdagang batik di pasar. Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja untuk kaum wanita sudah ada sebelum pergerakan feminisme liberal mulai berjalan. Kebebasan individual masih belum dirasakan sebelum feminisme liberal berjalan. Karena sebelum feminisme liberal, diskriminasi gender masih sangat kuat dalam kebebasan individual, khususnya kaum wanita. Dalam kehidupan Bu Bei digambarkan Bu Bei tidak dapat mendapatkan kebebasan individual, misalnya Bu Bei tidak dapat menentukan jalan hidupnya dan tidak diijinkan mengambil keputusan sendiri. Saat Bu Bei dipinang oleh Pak Bei, orang tua Bu Bei langsung menerima pinangan Pak Bei tanpa bertanya bagaimana pendapat Bu Bei. Namun, Bu Bei menerima semua keputusan orang tuanya tanpa mempermasalahkan, meskipun saat itu usia Bu Bei baru 14 tahun. Diskriminasi seks yang terdapat dalam novel Canting adalah laki-laki melakukan hubungan seksual bukan dengan istrinya menjadi hal yang wajar. Hal serupa akan menjadi janggal dan tidak wajar jika dilakukan oleh wanita. Wanita yang melakukan hubungan seksual selain dengan suaminya adalah sesuatu yang harus dihindari. Karena wanita yang telah menikah dan melakukan hubungan selain dengan suaminya akan dianggap sebagai wanita yang tidak baik dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
resikonya akan diceraikan. Maksud dari upaya diskriminasi seks adalah adanya hukum yang mengatur tentang pernikahan. Hukum yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban masing-masing suami-istri, sehingga ada hukum yang mengatur tentang poligami dan hubungan seksual yang bebas. Dalam novel digambarkan Pak Bei melakukan hubungan seksual dengan wanita lain selain Bu Bei dan berpoligami. Hal tersebut dianggap wajar karena Pak Bei adalah laki-laki dan seorang priayi. Namun berbeda dengan Bu Bei, Bu Bei melakukan hubungan seks dengan buruhnya dengan diam-diam dan dengan rasa takut. Ketakutan jika hubungan Bu Bei dengan buruh pabrik akan diketahui orang lain. Dari keselurahan analisis menghasilkan dua kesimpulan bahwa (i) novel Canting karya Arswendo Atmowiloto mengkonstruksikan pemikiran feminisme liberal. Konstruksi pemikiran feminisme liberal terlihat dari sikap, pandangan, dan keinginan wanita Jawa untuk bebas secara utuh. Dalam hal ini, tokoh Ni digambarkan sebagai wanita Jawa yang bebas secara utuh. (ii) Dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto telah terdapat cikal bakal upaya pergerakan feminisme liberal. Upaya tersebut adalah upaya wanita Jawa dalam mendapatkan kesempatan bekerja dan menentang diskriminasi seks. Dalam novel digambarkan tokoh Bu Bei telah bekerja di pasar sebagai pedagang dan memiliki hubungan seks dengan buruhnya meskipun dengan sembunyi-sembunyi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
4.2 Saran Semua permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini telah dibahas, namun masih ada beberapa saran yang dapat diajukan perihal penelitian yang bersumber dari novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Penelitian dengan sumber data novel Canting masih dapat diteliti lebih jauh dengan sudut pandang yang berbeda, misalnya dengan kajian sosiologi sastra atau kritik psikoanalisis.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Atmowiloto, Arswendo. 2013. Canting. Cetakan IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori & Praktik. Cetakan II. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Gamble, Sarah. 2010. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra. Handayani, Christina S. 2008. Kuasa Wanita Jawa. Cetakan II. Yogyakarta: Lkis. Kartodirdjo, Sartono. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan XI. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Sidang, Halaria. 2013. “Citra Perempuan Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang, Banten. Stable URL: http://perpus.unpam.ac.id/index.php?p=show_detail&id=12669 . Diunduh: 07/05/2014, 21:40. Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo. Yogyakarta: Citra Pustaka Yogyakarta. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihastuti. 2010. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi. Cetakan III. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
108
Sulistyaningsih, Dwi Hatmini. 1998. “Citra Wanita Jawa Tokoh Utama Ni dan Bu Bei dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto: Suatu Tinjauan Sosiologis”. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.