PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TOROK : PUISI RITUAL ORANG MANGGARAI KAJIAN TERHADAP RITUS, MAKNA, DAN FUNGSI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Strata 1 (S-1) Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Serafin Letuna 084114011
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
■ ■ ‐│
│■
│■ │■ ::II
I■ :lili l・ ■
.11■
■‐ ■
11:■ ■
liti‐
`.:ヽ
■│:│:‐ 1111■
:i■ :││■ │ :│
■11● 11■ r■
:■ 11■ .■ '●
1'│=lt■
■:11■ ■●:1
‐ ・ 平‐
1iプ
,_二 4=■ ■
│11 ■ 1■ 1:│ヽ
fllil i■
■ :│ ザ
}1111■
111■ 1■
│││ │11'■ l tl■ ■■ 「
_│‐
│'
7︶
1, :":1.II'( 1 :シ ■ 11[1.■ it■ ■1■ ′‐
I1 11t i
1111■
11,' 11‐ し,■ i'1■ ■ 1■・
PLAGIAT TINDAKAN Skripsi PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 罫θttO∬
:PUISI RITUAL ORANG MANCCARAI
IKAJIAN TER難 :ADAP RITUS.MAKNA,DAN FUNCSI
E〉
isiapkan dan ditulis olch
Serain Letじ na Ni■ i:084114011
Tclah dipettahallkan di depail panitia pengtti
pada tanggal.2]Jantlari 201 5 dall dinyatakall nt(1■ entlhi syttat
S馨 (.11lall
l`
。111.t.=・ e.1=し :i:
ゝ乙霧a Leilgkap
m
Kはじa
:Drs ilerv Antcno,MHし
Sekretans
iFE Iど 、 :A島 :,SS,M him
A埓 紳 ta
i S il Pcni Adil,S_S,ヽ
・Df Yo,ォ
:千
ド
4 Hum
・ ,卜
'│:Talll■
■ `:iぎ
`
Pror D.l.Prapto麗 o3awadi 1噛 紙 瓢 亀 13 Sastra
Fd轟鑓i鰺 15 Dharrna
X Sittadi,MA tJcH 3n
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis
ini tidak memuat
karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, l3 Februari 2015 Penulis
Serafin Letuna
iV
”
r F r謂 摯
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Hmiah
untuk Kepentingan Akademis Yang berlanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Serafin Letuna
NIM : 084114011 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya
ilmiah saya yang berjudul"Torok: Puisi Ritual Orang Manggarai: Kajian
Terhadap Ritus, Makna, dan Fungsi".
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak rnenyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkaian data,
mendistribusi secara terbatas dan mempublikasikannya
di
internet atau media iain untuk
kepentingan akademis tanpa periu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencanturnkan narna saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal, 13 Februari 2015
Yang menyatakan
\
v'i
\, hiii
Seralin Letuna
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan kasihnya untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Torok: Puisi Ritual Orang Manggarai: Kajian Terhadap Ritus, Fungsi, dan Makna, ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia. Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, karena itu penulis mau mengucapkan limpah terima kasih kepada: 1. Dr.Yosep Yapi Taum, M.Hum., yang berkenan menjadi dosen pembimbing I penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Beliau telah memberikan banyak masukan, pinjaman buku referensi, teori-teori yang digunakan dalam skripsi ini, dan terus memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., yang berkenan menjadi dosen pembimbing II. Beliau juga memberikan masukan dan terus memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Para dosen Program Studi Sastra Indonesia USD: Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum., Drs. Heri Antono, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., dan Drs. F.X. Santosa., M.S., serta dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Pengabdian mereka untuk dunia pendidikan sangat berharga dan patut dihormati. 4. Bapak Samuel Letuna dan ibu Yustina Nuet, orang tuakut ercinta yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5. Kakak-kakakku tercinta, Rinyo, Noya, dan Vio yang terus menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 6. Teman-temanku: Yodi, Erik, Tolin, Debost, Apry, Atno, Ernest, Miki, Gery, Dio, Darma, Oncu, Ijen, Mechil, Ermin, Viani, Avi, dan Dewi yang terus menemani penulis saat suka dan duka. 7. Ase ka’e lawa JXCOM, Marasta, Remang, Kopi Pa’it, Kos Narada 3A dan Rastamof, atas keceriaannya dan dukungan penuhnya selama ini. Terima kasih untuk canda dan tawanya. 8. Karyawan/i sekretariat fakultas Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah urusan administrasi. 9. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah mempermudah peminjaman bukubuku referensi. 10. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2008, atas kebersamaan dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat dapat penulis sebutkan satu per satu, namun telah banyak memberikan dukungan dan perhatian sampai selesai skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis menerima segala bentuk kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis juga berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
I can do all things through Christ which strengtheneth me (Philippians 4:13)
Motto Iman bukanlah percaya tanpa pembuktian, tetapi percaya tanpa syarat
Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Kedua orang tuaku, Prodi Sastra Indonesia, Segenap pembaca Skripsi ini…
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……………………………………………………… iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………………………….. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………………………………… v KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………. vi HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………………………….. viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………… ix ABSTRAK……………………………………………………………………………………... xv ABSTRACT……………………………………………………………………………………. xvi BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….. 2 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………... 2 1.4 Manfaat Hasil Penelitian…………………………………………………… 2 1.5 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………...
3
1.6 Landasan Teori……………………………………………………………... 4 1.6.1 Tradisi Lisan…………………………………………………………. 4 1.6.2 Struktur Sastra Lisan…………………………………………………. 6 1.6.3 Makna dan Fungsi Sastra Lisan……………………………………… 7 1.6.4 Ritual…………………………………………………………………
8
1.6.5 Makna dan Fungsi Ritual……………………………………………
9
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.6.6 Ritus………………………………………………………………….
10
1.7 Metode Penelitian………………………………………………………….. 12 1.7.1 Penentuan Lokasi dan Subjek Penelitian…………………………….
12
1.7.2 Metode……………………………………………………………….. 12 1.7.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………… 13 1.7.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)……………………………… 13 1.7.3.2 Teknik Wawancara……………………………………………. 14 1.7.3.3 Teknik Pencatatan……………………………………………. 14 1.7.3.4 Teknik Dokumentasi…………………………………………. 14 1.7.4 Analisis Data…………………………………………………………. 15 1.8 Teknik Penyajian Data……………………………………………………… 15 BAB II
TOROK DALAM KONTEKS SASTRA DAN BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI 2.1 Pengantar…………………………………………………………………… 18 2.2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian……………………………………….. 18 2.2.1 Sumber Sejarah Manggarai…………………………………………… 18 2.2.2 Nama ‘Manggarai’: Sejarah Perseteruan Berbagai Versi…………….. 19 2.2.3 Sejarah Orang Manggarai: Asal-Usul yang Beragam………………… 22 2.2.4 Geografi-Topografi Manggarai……………………………………….. 28 2.2.5 Kebudayaan Orang Manggarai……………………………………….. 31 2.2.5.1 BahasaManggarai…………………………………………….
31
2.2.5.2 Sistem Pengetahuan: Alam Pemikiran Orang Manggarai dan Pandangan Tentang Dunia…………………………………… 33 2.2.5.2.1 Relasi yang Intim dalam Harmoni Manusia dengan Alam dan Dunia Kondrati………………………….. 33 x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.2.5.2.2 Merajut Alam Kebersamaan: Sosial-Kodrati………. 35 2.2.5.2.3 Menemukan Kebenaran di Balik yang Mistis………. 38 2.2.5.2.4 Daya Alam Gaib……………………………………. 40 2.2.5.2.5 Kepercayaan Orang Manggarai…………………….. 40 2.2.6 Struktur dan Kehidupan Sosial……………………………………….. 47 2.2.6.1 Sistem Kekerabatan…………………………………………... 47 2.2.6.1.1 Kelompok Kekerabatan…………………………….. 47 2.2.6.1.2 Pola Perkawinan……………………………………. 48 2.2.6.2 Sistem Pemerintahan…………………………………………. 51 2.2.6.2.1 Sebelum Masa Penjajahan………………………….. 51 2.2.6.2.2 Selama Masa Penjajahan…………………………… 54 2.2.6.2.3 Masa Kemerdekaan………………………………… 57 2.2.6.3 LapisanSosial………………………………………………... 61 2.2.6.3.1 Keraeng (Bangsawan)……………………………… 61 2.2.6.3.2 Ro’eng (Orang Kebanyakan-Masyarakat Biasa)…… 62 2.2.6.3.3 Mendi (Budak)……………………………………… 63 2.2.6.4 Sistem Mata Pencaharian……………………………………... 65 2.2.6.5 Kesenian dan Sastra Lisan……………………………………. 69 2.2.6.6 Sistem Peralatan danTeknologi………………………………. 70 2.3 Rangkuman…………………………………………………………………. 72 BAB III
TOROK DAN RITUS ADAT ORANG MANGGARAI 3.1 Pengantar…………………………………………………………………… 74 3.2 Arti Torok…………………………………………………………………..
74
3.3 Penutur Torok………………………………………………………………. 75 3.4 Sifat Torok………………………………………………………………….. 75
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.4.1 Baro (Melapor)……………………………………………………….. 75 3.4.2 Naring (Memuji)……………………………………………………… 76 3.4.3 Béngkés (Bersyukur dan Berterima Kasih)………………………….
76
3.4.5 AmpongNdekok (Pengampunan Dosa)………………………………
77
3.4.6 Tégi (Meminta)……………………………………………………….. 78 3.4.7 Suju (Menyembah)……………………………………………………. 79 3.5 Ritus Kelahiran Orang Manggarai………………………………………….. 81 3.5.1 Cikeng………………………………………………………………… 81 3.5.2 Loas…………………………………………………………………... 81 3.5.3 Entap Siding………………………………………………………….. 81 3.5.4 Poro Putes…………………………………………………………….. 82 3.5.5 Boak Dimar…………………………………………………………… 82 3.5.6 Toko Ruis Cumpe……………………………………………………... 83 3.5.7 Upacara Cear Cumpe atau Lega Cumpe……………………………… 83 3.5.7.1 Arti dan Maksud……………………………………………… 83 3.5.7.2 Urutan Acara…………………………………………………. 84 3.5.8 La’at Meka Weru……………………………………………………... 91 3.5.9 Cémol/Dopo Wing/Rebong………………………………………….... 91 3.6 Ritus Kebun Orang Manggarai……………………………………………... 95 3.6.1 Pembukaan Lingko……………………………………………………. 95 3.6.2 PenanamandanPersiapanPanen……………………………………..
98
3.6.3 Pemanenan Hasil Kebun……………………………………………... 101 3.7 Penti (Syukuran hasil panen)……………………………………………...
102
3.8 Ritus Pembangunan Rumah Orang Manggarai…………………………….. 106 3.8.1 Cincang………………………………………………………………. 106 xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.8.2 Tongke………………………………………………………………..
108
3.8.3 Ceko………………………………………………………………….. 109 3.8.4 We’e Mbaru…………………………………………………………... 114 3.9 Ritus Perkawinan Adat Orang Manggarai………………………………….. 119 3.9.1
Persiapan Pongo agu Tiba Meka…………………………………… 120
3.9.2
Acara Pongo/ Wéda Réwa Tuke Mbaru…………………………….. 123
3.9.3
Acara Kempu……………………………………………………….. 123
3.9.4
Réke Kawing……………………………………………………….. 124
3.9.5
We’e………………………………………………………………… 124
3.9.6
Kawing……………………………………………………………… 127
3.9.7
Rame Kawing……………………………………………………….. 128
3.9.8
Karong Kilo atau Lo’ang…………………………………………… 129
3.9.9
Wagal atau Nempung……………………………………………….. 131
3.9.10 Podo………………………………………………………………… 134 3.9.11 Gérép Ruha………………………………………………………… 134 3.10 Ritus Wu’ad Wa’i (Memberi Bekal) Orang Manggarai…………………... 140 3.10.1
Susunan Acara……………………………………………………. 140
3.10.1.1 Di Luar Rumah…………………………………………………… 140 3.10.1.2 Di Dalam Rumah…………………………………............... 141 3.10.1.3 Rahi Pa’ang Olo-Ngaungn Musi…………………………… 141 3.10.1.4 Toto Urat Manuk…………………………………………… 145 3.10.1.5 Helang……………………………………………………… 145 3.10.1.6 Makan Bersama……………………………………………. 145 3.11Ritus Teing Hang(Memberi Makan Leluhur)………...…………………. 3.11.1 Pengertian dan Maksud……………………………………………. xiii
148 148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.11.2 Hewan Kurban………………………………………………........... 148 3.11.3 Susunan Acara…………………………………………................... 148 3.11.3.1 Pembukaan…………………………………………………. 148 3.11.3.2 Upacara Teing Hang Dimulai……………………………… 153 3.11.3.3 Toto Urat Manuk…………………………………………… 160 3.11.3.4 Helang……………………………………………………… 161 3.11.3.5 Hang Wie Cama (Makan Malam Bersama)………............... 161 3.12 Ritus Kematian Orang Manggarai………………………………………… 161 3.12.1 Adak Teing Tinu……………………………………………………
161
3.12.1.1 Pengertian dan Maksud…………………………………….
161
3.12.1.2 Waktu Pelaksanaan………………………………………… 161 3.12.1.3 Hewan Kurban……………………………………………… 162 3.12.2 Wero Mata agu Wae Lu’u………………………………………….. 162 3.12.3 Lorang agu Loling………………………………………………….. 164 3.12.4 Haeng Nai………………………………………………………….. 165 3.12.4.1Pengertian dan Maksud…….…………………….................... 165 3.12.4.2 Hewan Kurban……………………………………................. 165 3.12.5 Tékang Tana (Penggalian Kubur)………………………………….. 171 3.12.6 Na’a One Peti atau Ancém Peti…………………………………….. 173 3.12.7 Tokong Bako atau Tokong Mbakung……………………………….
175
3.12.8 Wangkas agu Boak…………………………………………………. 176 3.12.9 Lonto Walu…………………………………………………………. 180 3.12.10 Saung Ta’a………………………………………………………… 180 3.12.11 Kélas, Paka Dia’a atau Pédéng Bokong…………………………... 184 3.13 Rangkuman………………………………………………………………… 187 xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV
MAKNA DAN FUNGSI TOROK BAGI MASYARAKAT MANGGARAI 4.1 Pengantar…………………………………………………………………… 190 4.2 Struktur Ritus………………………………………………………………. 190 4.3 Makna Torok……………………………………………………………….. 191 4.3.1 Makna Religius..................................................................................... 192 4.3.2 Makna Historis……………………………………………………….. 192 4.3.3 Makna Persaudaraan…………………………………………………. 195 4.4 Fungsi Torok……………………………………………………………….. 196 4.4.1 Fungsi Magis…………………………………………………………. 196 4.4.2 Fungsi Ajaran Hidup…………………………………………………. 196 4.4.3 Fungsi Sosial............…………………………………………………. 197 4.4.4 Fungsi Estetis………………………………………………………… 197 4.5 Rangkuman…………………………………………………………………. 197
BAB V
PENUTUP 5.1 Simpulan……………………………………………………………………. 199 5.2 Saran………………………………………………………………………… 202
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………... 203 LAMPIRAN……………………………………………………………………………………. 206 1. Daftar Informan…………………………………………………………….. 207
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRAK Letuna, Serafin. 2015, “Torok: Puisi Ritual Orang Manggarai: Kajian Terhadap Ritus, Makna, dan Fungsi”. Skripsi Strata 1 (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Skripsi ini membahas Torok : Puisi Ritual Orang Manggarai, Kajian Terhadap Ritus, Makna, dan Fungsi. Studi ini memiliki dua tujuan, yakni (1) menguraikan struktur ritus dalam tradisi masyarakat Manggarai dan (2) menguraikan makna dan fungsi torok dalam tradisi masyarakat Manggarai. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah tradisi lisan, struktur sastra lisan, makna dan fungsi sastra lisan, ritual, dan makna dan fungsi ritual. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan empat teknik pengumpulan data, yaitu pengamatan (observasi), wawancara, pencatatan, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa hal berikut: (1) masyarakat Manggarai sudah mengenal wujud tertinggi yang biasa disebut “Mori Jari agu Dedek” melalui torok, (2) torok sebagai doa asli Orang Manggarai tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Orang Manggarai, (3) torok selalu diikutsertakan dalam semua upacara adat masyarakat Manggarai. Ada 8 upacara adat yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu (a) ritus kelahiran rang Manggarai, (b) ritus kebun orang Manggarai, (c) penti, (d) ritus pembangunan rumah orang Manggarai, (e) ritus perkawinan Adat orang Manggarai, (f) ritus wu’ad wa’i orang Manggarai, (g) ritus teing hang, dan (h) ritus kematian orang Manggarai. (4) Ada tiga makna yang terkandung dalam torok, yaitu (a) makna religius memandang torok sebagai doa asli orang Manggarai (b) makna historis, yang mengisahkan kepercayaan masyarakat Manggarai sebelum masuknya agama Katolik yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme dan menjadikan torok sebagai doa lisan mereka terhadap wujud tertinggi dan (b) makna persaudaraan yang menunjuk pada kemufakatan dan kesepakatan seluruh warga kampung dalam mengambil tindakan. Sementara itu, fungsi torok meliputi fungsi magis, fungsi ajaran hidup, fungsi sosial, dan fungsi estetis.
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT Letuna, Serafin. 2015, “Torok: Ritual Poem of Manggaraian: Research about the ceremony, the definition, and the function”. Undergraduate Thesis. Indonesian Letters Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University. This undergraduate thesis discus Torok : Ritual Poem of Manggaraian, Research about the ceremony, the definition, and the function. This research has two goals: (1) Explain the structure of the ritual based on Manggarai tradition and (2) Explain the definition and the function of Torok itself in Manggarain tradition. The theoretical framework used for this research is that of oral literature, the structure of oral literature, the meaning and function of oral literature, the definition and the function of ritual, and the meaning of ritus. This research was completed using the ethnographic method, with three forms of data collection, namely observing, interviewing, recording, and documentation. The result of this research shows that (1) Manggrai people has already recognized a supreme force, known as “Mori Jari agu Dedek”, through torok. (2) Torok, as a prayer which originates from the Manggarai people, cannot be separated from their lives. (3) Torok is always included in every cultural ceremony of the Manggarai people. There are eight cultural ceremonies which are discussed in this thesis. They are a) Manggarai born ritual b) Manggarai plantination ritual c) penti, d) Manggarai house- built ritual, e) Manggarai culture marriage ritual, f) Manggarai wu’ad wa’i ritual, g) Manggarai Teing Hang ritual, and h) Manggarai death ritual. (4) There are three meanings of Torok, a) religius meaning tells about torok as the Manggaraian real prayer, (b) historical meaning which tells about Manggarains’ animism and dynamism belief using Torok as their oral prayer to the Almighty before catholic religion is finally adopted and b) the spirit of social relation which is implemented to take an action through agreement reached by all the Manggarai people in a village. The function of Torok includes social function, Magic function, value of life and esthetic function.
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Skripsi ini berjudul “Torok : Puisi Ritual Orang Manggarai: Kajian Terhadap
Ritus, Makna, dan Fungsi. Judul ini dipilih karena tiga alasan mendasar, yaitu (1) torok merupakan budaya asli orang Manggarai yang diwujudkan dalam bentuk doa lisan, (2) torok memiliki nilai estetis yang tinggi yang terungkap dalam syair-syair torok, dan (3) torok selalu didaraskan di setiap upacara adat. Torok adalah ungkapan-ungkapan yang tersusun dalam syair-syair indah untuk menyatakan maksud-maksud tertentu dan ditujukan kepada Wujud Tertinggi ataupun para leluhur (Deki, 2011:183). Torok selalu disampaikan dalam konteks upacara adat, dalam suasana sakral dan penutur adalah representan yang hadir. Torok kerap pula disebut sebagai doa asli orang Manggarai. Torok terkait dengan siklus kehidupan orang Manggarai dalam filosofi “gendangn one lingkon pe’ang” yang menyatakan kesatuan relasi antara rumah sebagai tempat tinggal dengan lingko sebagai lahan untuk mengais kehidupan. Filosofi ini kemudian menyata dalam pelbagai upacara dan ritus yang ada, baik dalam upacara komunal maupun privat. Torok selalu didaraskan di setiap upacara adat Manggarai. Upacara tersebut antara lain Ritus Kelahiran, Ritus Pembukaan Kebun Komunal, Ritus Penti (Syukuran hasil panen), Ritus Pembangunan Rumah, Ritus Perkawinan, Ritus Wu’ad Wa’i (memberi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2
bekal bagi yang hendak merantau) , Ritus Kematian, dan Ritus Teing Hang (memberi makan leluhur). Aspek yang dibahas dalam penelitian ini adalah fungsi dan makna torok dalam beberapa upacara adat Manggarai. Sebagai doa asli orang Manggarai, torok memiliki nilai-nilai positif untuk kehidupan manusia. Nilai-nilai tersebut mesti dilihat dalam konteks keseluruhan hidup manusia yang memiliki orientasi mencapai kehidupan yang sejahtera. 1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana struktur ritus dalam tradisi masyarakat Manggarai?
1.2.2
Apa saja makna dan fungsi torok dalam tradisi masyarakat Manggarai?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Menguraikan strukur ritus dalam tradisi masyarakat Manggarai. 1.3.2. Menguraikan makna dan fungsi torok dalam tradisi masyarakat Manggarai. 1.4.
Manfaat Hasil Penelitian Torok merupakan salah satu tradisi yang terdapat di daerah Kabupaten
Manggarai Raya (Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Tengah, dan Kabupaten Manggarai Timur) yang masih dilakukan sampai sekarang. Penelitian ini dilakukan bukan hanya untuk kepentingan peneliti semata, akan tetapi diharapkan juga bermanfaat untuk menambah wawasan dan kepustakaan mengenai penelitian tradisi lisan yang sangat minim dalam masyarakat Indonesia, antara lain sebagai berikut:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3
1. Manfaat Teoretis:
Dalam bidang budaya, penelitian ini dapat mengembangkan teori budaya tentang makna dan fungsi.
2. Manfaat Praktis
Dalam bidang sastra lisan, penelitian ini dapat digunakan sebagai pertahanan atau revitalisasi budaya
Dalam bidang religi, masyarakat bisa mengetahui torok sebagai doa asli masyarakat Manggarai sebelum masuknya agama Katolik.
Dalam bidang pariwisata dan pemerintah daerah, dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan daerah setempat, yaitu sebagai wisata budaya, dan adat yang berakar pada keaslian daerah sehingga bisa meningkatkan hakikat, martabat, serta moralitas dalam kehidupan.
1.5.
Tinjauan Pustaka Torok merupakan salah satu potensi budaya yang patut diperhitungkan dalam
adat Manggarai. Sebagai salah satu potensi budaya, banyak peneliti yang telah meneliti tentang torok, tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak secara rinci membahas torok dari segi fungsi dan maknanya. Kanisius Teobaldus Deki, salah satu pengamat budaya Manggarai dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Orang Manggarai – Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra hanya membahas torok dari segi pengertian dan arti torok dalam konteks persaudaraan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4
Dalam buku yang berjudul Gereja Menyapa Manggarai (buku yang ditulis untuk memperingati Yubileum Gereja Katolik di Manggarai), juga disinggung tentang torok. Dalam buku tersebut, torok dengan pengertian sebagai doa asli orang Manggarai dikaitkan dengan masuknya agama Katolik di Manggarai. Selain Deki, belum ada peneliti atau mahasiswa yang mengangkat torok sebagai objek penelitian untuk skripsi. 1.6.
Landasan Teori
1.6.1.
Tradisi Lisan Vansina dalam bukunya yang berjudul de la Tradition Orale: Esai de Methode
Historique mendefenisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau generasi masa depan”. Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan folklor (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang folklor, Arche Taylor mendefenisikannya sebagai bahanbahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948 , dengan tegas Taylor mengatakan ”folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan ataupun praktek”. Istilah tradisi berasal dari kata Latin tradition (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan. Francis Bacon, seorang filsuf ilmu pengetahuan menggunakan kata yang sama untuk mendefenisikan pernyataaan atau pengiriman pengetahuan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5
Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata tradisi (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adatistiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan warisan sosio kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang sangat panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif budaya tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan penampilan (Harold, 1998:5-6). Istilah lisan (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan (Bagus, 1996:1115). Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan tradisi lisan (oral tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan (KBBI, 1990:528). Tradisi lisan tersebut ditransmisikan ke dalam berbagai bentuk seperti ujaran rakyat (folk speech), yang diperinci lagi kedalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapanungkapan, dan kalimat tradisional (traditional phrases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sajak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda, dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya (Soekanto, 1993:520). Sastra lisan orang Manggarai berkaitan langsung dengan kebudayaan yang mereka miliki. Sastra lahir dalam kebudayaan itu dan ikut membentuk kebudayaan dari dalam.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6
Kenyataan inilah yang menyebabkan terdapat relasi yang intens antara sastra dengan kebudayaan orang Manggarai (Deki, 2011:103). Dalam perkembangannya, hal itu menjadi nyata pada tuturan-tuturan yang dieksplisitasikan di berbagai ritual-ritual adat orang Manggarai. Sastra lisan yang kemudian diwariskan secara turun-temurun memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra menjadi bagian dari kehidupan bersama, baik komunal maupun privat. Lahirnya bermacammacam bentuk sastra yang menyajikan pelbagai pluralitas dalam mengais makna hidup manusia. Dalam perspektif budaya, sastra lisan orang Manggarai merupakan ekspresi dari pembatinan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi titik pangkal membangun kehidupan yang human, seraya menampilkan religiositas masyarakat yang selama ini cenderung tereliminasi perubahan dan perkembangan yang ditimbulkan oleh prinsip dan pola hidup modern. Kesadaran akan betapa kaya dan luhurnya nilai yang dikandung oleh sastra lisan yang lahir dan tumbuh serta hidup dalam budaya Mangarai, menantang setiap orang yang tergugah dan memiliki perhatian untuk terlibat dalam penggalian ranah budaya ini. 1.6.2.
Struktur Sastra Lisan Sastra lisan mempunyai struktur yang berbeda untuk setiap jenisnya. Dalam
pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian, yakni epik, lirik, didaktik, dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi, dan prosa liris (Sumarjo, 1990:441). Epik adalah karangan yang bersifat objektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukkan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya, lirik adalah semua jenis
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 7
karangan yang bersifat subjektif. Dalam karangan jenis ini, pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya. Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi (perasaan) dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dengan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa
(Firgo, dalam DIAN,
Minggu, 27 Februari 2005:4). Ada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim, yakni prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat (tombo nunduk dan tombo turuk) dan puisi lirik yang diekspresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil (go’et), syair-syair doa (torok) dan syair-syair lagu rakyat. Sejarah lisan (oral tradition) maupun tradisi lisan merupakan sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya (Sumarjo, 1990:442). 1.6.3
Makna dan Fungsi Sastra Lisan Sastra lisan mempunyai makna dan fungsi yang berbeda-beda dalam setiap
jenisnya. Prosa naratif seperti kisah rakyat biasanya bercerita tentang kehidupan para pahlawan, fabel, dan kehidupan para dewa yang cenderung bersifat dan bertabiat baik serta kisah tentang raksasa atau orang-orang yang tamak dan serakah. Kisah-kisah tersebut berfungsi untuk mendidik, menghibur dan dijadikan sebagai pelajaran bagi anakanak kecil. Makna yang dapat dipetik dari prosa naratif tersebut adalah makna spiritual dan pendidikan nilai. Puisi lirik juga mempunyai fungsi dan makna yang sama dengan prosa naratif. Prosa naratif dalam sastra lisan orang Manggarai tertuang dalam Tombo Nunduk dan Tombo Turuk. Tombo nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 8
sejarah keberadaan sebuah keturunan suku (klan yang disebut wa’u) yang dikisahkan secara terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan, seperti sosial,spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dan lain-lain (Toda, 1999:13). Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama, tetapi bervariasi dan memiliki tujuan yang sama yakni mendidik, mengeritik, dan menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok (titik pusat dari kebun komunal yang disebut lingko), di compang (batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan), di Mbaru Gendang (disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat), dan tempat-tempat lain pada saat upacaraupacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa, menyampaikan asal-usul, mengisahkan kembali peristiwa-peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, dan menghibur (Deki, 2011:99). 1.6.4
Ritual Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang
mempunyai ciri-ciri mistis. Ritual dapat dibedakan atas empat macam (1) Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas;
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9
dan (4) Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas dan kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahtraan materi suatu kelompok (Dhavamony, 1995: 175-176). Proses ritual berhubungan erat dengan emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1976:218), emosi keagamaan atau religius emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia untuk berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis pada segala sesuatu yang bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut, seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan. 1.6.5
Makna dan Fungsi Ritual Makna adalah arti atau maksud pembicara atau penulis (KBBI, 2005:703).
Fungsi adalah kegunaan suatu hal (KBBI, 2005:322). Makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah arti tuturan lisan masyarakat Manggarai dalam Torok, sedangkan fungsi proses ritual secara umum terbagi menjadi empat, yaitu fungsi spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Proses ritual sebagai fungsi spiritual yaitu usaha manusia dalam berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara manusia berkomunikasi melalui upacara-upacara keagamaan untuk memohon keselamatan, menjaga keseimbangan kosmos, bahkan membina hubungan baik dengan para leluhur dan Tuhannya (Rosiyati, 1994: 106-107). Sebagai fungsi sosiologis, upacara keagamaan memiliki penjelasan-penjelasan sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat kehidupan sosial antar warga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 10
masyarakat. Para penganut religi atau agama terkadang tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi hanya melakukannya karena mereka menganggap melakukan upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial saja (Rosiyati, 1994: 111-112). Fungsi yang dimaksud adalah kegunaan torok bagi masyarakat Manggarai. Dalam hal ini makna dan fungsi yang dimaksud adalah arti dan fungsi tuturan adat masyarakat Manggarai dalam Torok. 1.6.6.
Ritus Dalam bahasa Latin, “ritus” berarti
tatacara keagamaan, upacara
agama,
seremoni, adat, kebiasaan. Kata latin itu mengasalkan kata Inggris: rite, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ritus. Adjectiva-nya ritual, baik dalam Inggris dan Indonesia. Menurut A. Nijk, ritus muncul karena adanya kesadaran akan kekosongan (lacunae, hiatus), ada sesuatu yang hilang, tak terumuskan, tapi orang harus “melakukan sesuatu tanpa tahu bagaimana caranya”. Maka, orang pun “melakukan sesuatu” secara coba-coba. Apa yang tadi ada di wilayah kesadaran dan perasaan coba diwujudkan dengan melakukan sesuatu. Percobaan pertama diulang, dan diulang. Tindakan repetitif sering disertai devosi yang kuat. Maka, jadilah ritus (Deki, 2011:93) Sedangkan menurut Ronald L. Grimes, ritus merupakan suatu tipe perilaku yang secara jelas dan sengaja dibedakan dari “perilaku biasa” yang menunjukkan suatu aturan khusus dalam ruang dan waktu. Ritus adalah serangkaian tindakan yang secara luas dikenal
oleh anggota budayanya sebagai “klasik”, “normatif”,
“esensial” untuk
pemahaman yang semestinya tentang relasi dengan diri sendiri, dunia, dan Yang Ilahi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11
Selain ritus, bentuk adjektif, “ritual”, dipahami secara mirip oleh Ronald L. Grims, Roy Rappoport, Catherine Bell dan Gerard Lukken. Ronald L. Grimes mendefenisikan “ritual” sebagai suatu perpaduan dari beberapa jenis
tindakan, misalnya nyanyi, drama, tari. Mirip dengan Ronald, Roy
Rappoport mengartikan ritual sebagai suatu bentuk atau struktur yang
ditampilkan
melalui rangkaian tindakan dan ucapan formal yang tidak dibuat oleh para pelakunya. Cirinya adalah formal (invariant, stylized, repetitif, stereotip, terikat waktu tertentu dan tempat khusus), performatif (tak sekedar cara untuk mengungkapkan sesuatu, tapi ritual itu
sendiri adalah aspek dari apa yang sedang diungkapkan;
beda drama [perlu
audiences yang melihat] dengan ritual (perlu congregations yang berpartisipasi), dan mujarab (tak hanya mengkomunikasikan, tapi juga memberi dampak, suatu kemujaraban yang tak bersumber dari pengalaman inderawi dan tak merujuk pada pengaruh material). Menurut Catherine Bell, ritual/ritus/ritualisasi
bukan terdiri
dari tindakan-
tindakan unik yang hanya terjadi dalam konteks ritus, tapi suatu cara bertindak, yang berbeda
dengan cara-cara bertindak lainnya, ada tipe kontras (misalnya
perayaan
Ekaristi = bukan seperti ritual makan-minum biasa). Perbedaan itu dikuatkan melalui aneka strategi sosial: periode, materi, lokasi. Tujuan: (1) membedakan cara “ini” dengan cara “itu”, (2) menegaskan nilai-nilai yang ada dari pembedaan itu, (3) memberi partisipan suatu “pengalaman” dari pembedaan itu berdasarkan pada hakikat realitasnya (ada hirarki perilaku: lebih tinggi, lebih suci). Gerard Lukken berpendapat tak cukup hanya mengatakan bahwa ritual mengandung unsur simbol (things), tindakan simbolik
(acts), dan bahasa simbolik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12
(words), tapi perlu lihat makna ritual dari ciri-ciri fungsionalnya: (1) penyembuhan dan penyaluran (memberi kelegaan, pembebasan yang tak harus mencari sendiri caranya; khususnya ketika menghadapi
situasi krisis: kematian, bencana; tapi juga saat
kegembiraan: untuk mengelola dan menyalurkan emosi); (2) penghubung dengan masa lalu (selalu bersifat lama, sudah ada, ingatan masa kecil: kini dihadirkan kembali); (3) etis (sumbangan untuk tindakan non-ritual: diajak keluar dari diri sendiri dan aktif dalam komunitas); (4) sosial (ungkapkan diri dalam cara yang dapat dimengerti orang lain, menentukan identitas kolektif, komunitas perlu
ritual supaya sungguh menjadi
komunitas); (5) permohonan (aspek invokatif, mengundang kekuatan di luar diri kita untuk menolong); (6) ekspresif (meski warisan sifatnya, ritual juga mengekspresikan diri kita; menolong kita untuk memberi wajah bagi pengalaman kita dan untuk memahami diri sendiri). 1.7.
Metode Penelitian
1.7.1.
Penentuan Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian ini memilih aktivitas torok yang sering dilakukan di setiap upacara
adat di Kabupaten Manggarai Tengah. Awalnya Manggarai hanyalah satu kabupaten. Pada tahun 2003, terjadi pemekaran Kabupaten Manggarai Barat dengan ibukota kabupaten Labuan Bajo. Pada tahun 2007, pemekaran Kabupaten Manggarai Timur dengan ibukota kabupaten Borong dilaksanakan. Penulis memilih lokasi penelitian di Kabupaten Manggarai Tengah karena penulis berasal dari kabupaten tersebut dan lebih memahami bahasa Manggarai di wilayah Kabupaten Manggarai Tengah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13
Subjek penelitian ini adalah para penutur torok dan para budayawan Manggarai yang memahami struktur, makna, dan fungsi torok secara mendalam. Para penutur torok menjadi sasaran utama untuk mendapatkan informasi mengenai torok karena para penutur torok lebih memahami struktur, makna, dan fungsi torok secara mendalam. 1.7.2. Metode Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode etnogafi. Menurut Sukmadinata (2008:62), metode etnografi adalah metode yang mendeskripsikan dan menginterpretasi budaya, kelompok, sosial, atau sistem. Meskipun makna budaya itu sangat luas, metode etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual, dan cara-cara hidup. Proses penelitian etnografi dilaksanakan di lapangan dalam waktu yang cukup lama, berbentuk observasi dan wawancara secara alamiah dengan para partisipan, dalam berbagai bentuk kegiatan penelitian serta mengumpulkan dokumen-dokumen. Dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk mengetahui proses ritual, makna, dan fungsi Torok dalam tradisi masyarakat Manggarai di Flores, NTT. 1.7.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam proses
pengumpulan
data lapangan, teknik-teknik
pengamatan,
wawancara, perekaman, pencatatan, dan dokumentasi diperlukan untuk mendapatkan data dari tempat penelitian (Taum, 2011:239-240). 1.7.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14
Pengamatan adalah melihat dan mengamati suatu kejadian (tari, permainan, tingkah laku, nyanyian, dll) dari gejala luarnya sampai ke dalamnya dan menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat hasil pengamatannya (Taum, 2011:239). Dalam teknik ini peneliti mengamati torok sebagai doa asli Orang Manggarai dalam upacara memasuki rumah baru. Peneliti tidak bisa mengamati torok dalam semua upacara yang dibahas dalam skripsi ini karena keterbatasan waktu. Pengamatan upacara tersebut dilakukan oleh peneliti pada tanggal 30 Desember 2013 yang bertempat di Kampung Ru’a, Kecamatan Wae Ri’I, Kabupaten Manggarai Tengah, Flores, NTT. 1.7.3.2 Teknik Wawancara Wawancara adalah suatu proses tanya jawab lisan, yaitu dua orang arau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri (Hadi, 1979:192). Dalam wawancara ada dua tahap penting. Tahap pertama “wawancara bebas” yaitu memberi kebebasan seluas-luasnya kepada informan untuk berbicara. Tahap kedua “wawancara terarah” yaitu mengajukan pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam (Taum, 2011:239). Teknik ini yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data secara langsung dari para informan yaitu tua-tua adat dan penutur torok yang dipercaya dan mengetahui secara jelas tentang torok. Selain itu data juga diperoleh melalui tokoh masyarakat. 1.7.3.3 Teknik Pencatatan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15
Dalam teknik ini peneliti menggunakan perlengkapan data dengan mengambil dari sumber data dalam bentuk catatan-catatan tertulis tentang torok yang berasal dari Kabupaten Manggarai Tengah. 1.7.3.4 Teknik Dokumentasi Dokumentasi adalah semua tulisan yang dikumpulkan dan disimpan, dapat digunakan bila diperlukan, juga gambar atau foto. Mendokumentasikan adalah mengatur dan menyimpan tulisan atau gambar dan foto sebagai dokumen (KBBI, 1994:354) Dalam penelitian ini penulis menggunakan kamera untuk mengambil gambar objek dalam bentuk foto selama berlangsungnya torok. 1.7.4. Analisis Data Penulis menggunakan metode deskriptif analisis dalam penelitian ini. Metode deskriptif analisis berfungsi sebagai pemecah masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktafakta yang tampak atau sebagaimana adanya untuk memberikan bobot lebih tinggi pada metode ini (Namawi dan Martini, 1994:73) 1.7.5.
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan terdapat transkrip teks
Torok beserta terjemahannya dalam delapan upacara adat di Manggarai. 1.8.
Sistematika Hasil Penelitian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 16
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu : (i) Pendahuluan, (ii) Gambaran Lokasi Penelitian, (iii) Arti torok beserta teks Torok dan terjemahannya, (iv) Makna dan Fungsi Torok bagi Masyarakat Manggarai, dan (v) Penutup. Bab I berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi pernyataan atau penjelasan singkat mengenai topik penelitian, alasan pemilihan topik serta aspek yang akan dibahas dari topik penelitian. Tujuan penelitian merupakan uraian mengenai tujuan yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan pustaka berisi ulasan tentang kajian yang telah dilakukan tentang objek penelitian, atau penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Metode dan teknik penelitian berisi uraian mengenai metode dan teknik dalam melakukan sebuah penelitian. Sistematika penyajian berisi uraian mengenai metode penelitian, hasil dari penelitian yang dilakukan. Bab II berisi topografi dan struktur geografis lokasi penelitian. Pada bab ini, penulis menjabarkan secara rinci topografi dan geografis Kabupaten Manggarai. Selain menjabarkan topografis dan geografis Manggarai, pada bab ini juga dijabarkan (1) gambaran umum lokasi penelitian yang meliputi sumber sejarah Manggarai, nama Manggarai: sejarah perseteruan betbagai versi, sejarah orang Manggarai: asal-usul yang beragam, geografi dan topografi Manggarai, (2) kebudayaan Manggarai yang meliputi bahasa Manggarai, sistem pengetahuan, pola perkampungan asli Manggarai, kepercayaan orang Manggarai, sistem kekerabatan, pola perkawinan, sistem pemerintahan, lapisan sosial, sistem mata pencaharian, kesenian dan sastra lisan, dan sistem peralatan dan teknologi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 17
Bab III berisi pengertian torok, teks torok serta terjemahannya dalam setiap upacara adat di Manggarai. Pada bab ini dibahas pengertian torok, penutur torok, sifat torok, teks torok beserta terjemahannya dalam upacara Ritus Kelahiran, Ritus Pembukaan Kebun Komunal, Ritus Penti (syukuran atas panen), Ritus Pembangunan Rumah, Ritus Perkawinan, Ritus Wu’ad Wa’I (memberikan bekal sebelum merantau), Ritus Kematian, dan Ritus Teing Hang (memberi makan leluhur), serta berisi pembahasan mengenai struktur, makna dan fungsi torok dalam tradisi adat .masyarakat Manggarai. Struktur torok dalam setiap upacara adat hampir sama, yang berbeda adalah makna dan fungsinya, karena setiap upacara memiliki tujuan yang berbeda-beda. Bab IV berisi makna dan fungsi torok bagi masyarakat Manggarai. Makna torok bagi masyarakat Manggarai terdiri dari makna historis dan makna persaudaraan. Fungsi torok terdiri dari fungsi sosial, fungsi magis, fungsi ajaran hidup, dan fungsi estetis. Bab V berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan tentang struktur, makna dan fungsi torok dalam tradisi adat masyarakat Manggarai. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti selanjutnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18
BAB II TOROK DALAM KONTEKS SASTRA DAN BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI
2.1
Pengantar Untuk mendalami secara detail tradisi Torok dalam upacara adat di Manggarai,
maka diperlukan penjelasan yang mendalam mengenai Manggarai. Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas tentang gambaran umum lokasi penelitian. Pembahasan akan dimulai dengan (1) Sumber Sejarah Manggarai, (2) nama “Manggarai”: Sejarah perseteruan Berbagai Versi, (3) Sejarah Orang Manggarai: Asal-Usul yang Beragam, (4) Geografi dan Topografi Manggarai, (5) Kebudayaan Orang Manggarai, (6) Sistem Peralatan dan teknologi, dan diakhiri dengan (7) Rangkuman. 2.2
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
2.2.1.
Sumber Sejarah Manggarai Terdapat dua sumber yang bisa ditelusuri untuk menemukan sejarah Manggarai
yang otentik, yakni sumber lisan dan sumber tertulis berdasarkan kajian-kajian para peneliti yang coba merekonstruksikan kembali sejarah Manggarai yang ternyata memiliki pluralitas dalam asal usul keturunannya (Deki, 2011:29). Sumber lisan memiliki keterbatasan karena sering terkait dengan mitologi yang sudah bercampur dengan pelbagai unsur sastra, khususnya dengan maksud didaktis. Dari sisi mitologi ada banyak kisah yang tersebar luas. Namun umumnya menurut orang Manggarai secara mitologis, dunia ini pada mulanya kosong dan tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19
memiliki apa-apa sehingga disebut tana lino. Tana berarti tanah atau bumi dan lino berarti kosong. Tana lino berarti bumi yang kosong (empty earth). Kehidupan, menurut orang Manggarai berasal dari perkawinan Ame/ Ema Eta (Ayah di atas atau langit) dan Ine/ Ende Wa (harafiah: ibu di bawah atau bumi) sebagaimana nyata dalam pelbagai mitologi (Raho, 2003:3). Selain itu ada sumber-sumber tertulis yang cukup membantu, khususnya arsiparsip kerajaan Manggarai, Bima, dan Belanda seperti yang ditelusuri oleh W. P. H. Coolhaas, Verheijen dan Dami N. Toda. Sumber tertulis ini juga memiliki keterbatasan karena tidak semua unsur penting dari sejarah orang Manggarai telah termuat dalam kajian-kajian itu. 2.2.2.
Nama “Manggarai” : Sejarah Perseteruan Berbagai Versi Terdapat begitu banyak asal usul nama Manggarai dari perspektif historis.
Berbagai usaha mengkaji etimologi nama tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran nama Manggarai dalam sejarah modern. Usaha pertama dibuat oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen, seorang misionaris dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip pernyataan orang Bima, “ Manggarai” adalah gabungan dari kata mangga yang berarti sauh dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20
Mangga-Maci. Konon putra sulung Nunisa itu diutus Bima untuk menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-iliWoha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale (Toda, 1999: 68-69). Orang kedua yang mencoba membuat telaahan tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo (Toda, 1999: 68-69). Menurut Hemo, konon pada waktu perahu ManggaMaci bersaudara sedang membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu itu hanyut. Pasukan Bima pun terperanjat dan berteriak Mangga-rai (sauh berlari). Sejak peristiwa itulah Manggarai mendapat namanya hingga sekarang ini. Orang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan studi yang sama. Menurut Toda, asal usul nama Manggarai dari Freijss maupun Wihelmus Van Bekkum yang kemudian diikuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotik souverinitas Raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai manga berarti “ada” tetapi kata “ raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam Bahasa Manggarai, kata raja berarti sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi nyata (sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana, asing) (Toda, 1999: 68-69). Lebih lanjut Toda membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti : “ada ( memiliki) sebab musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya manga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 21
rajan “ ada sebab musaba, alasan, manga rajag “ ada sebab musabab alasanku”. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “ ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti orang (manusia) dari dunia seberang, manusia roh, mahkluk halus (Toda, 1999:68-69). Jika istilah ini yang dipakai dalam pemahaman tentang asal usul kata Manggarai maka pengakuan akan souveniritas Bima dan Belanda atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu akan memiliki identitas, sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suku bangsa yang berdaulat. Kata Manggarai lebih merupakan pengakuan sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu kami memiliki otonomi atas diri dan kehidupan kami sendiri. Peristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Mangga-Maci. Kedatangan formal ekspedisi Bima baru terjadi setelah tahun 176-an, tahun tiba pertama kali misi 27 perahu Bima menuju pelabuhan Adak Todo (Kerajaan Todo) di pantai selatan Manggarai yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani permintaan bantuan Todo ke Bima (Toda, 1999: 68-69). Meskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan Manggarai, sebenarnya “Manggarai” sebelum abad ke -18 disebut dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang (artocarpus eastica) yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan lambang kesuburan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22
Dalam karya Piet Petu, lale itu adalah nepa, yakni ular besar berwarna merah kekuning-kuningan (python reticulates), dengan demikian, Nuca Lale berarti Pulau Ular (Petu, 1969:45). Tetapi sebutan Nusa Nipa ini adalah nama umum yang ditemukan Piet Petu dari Orang Wonda di Lio Timur untuk menyebut Pulau Flores (Petu, 1983:89). Karena itu hampir tidak ada hubungan historisnya dengan nama Manggarai, kecuali relasi makna tafsiran. Ditinjau dari akar budaya Manggarai, nama (orang, tempat) memang tidak harus mempunyai arti (Toda, 1999:71). Hal itu sangat jelas pada usulan rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama gelar dari lingkungan keluarga besar. Di tengah kerancuan ini, Orang Manggarai tetap yakin bahwa nama Manggarai bukanlah hasil pemberian orang luar, melainkan memiliki keaslian yang menyatakan bahwa “ada orang” (manga raja), penduduk asli yang mendiami wilayah ini. Sejarah membuktikan bahwa terbanyak penduduk yang hingga kini berada di daerah Manggarai merupakan pendatang yang bermigrasi dari berbagai wilayah. 2.2.3
Sejarah Orang Manggarai: Asal Usul yang beragam Penelitian Dr. Verhoeven memberikan petunjuk tentang adanya kehidupan pada
zaman purba di Manggarai. Tempat hidup manusia purba antara lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu yang pada umumnya berbentuk mikrolit (flake and blade) ditemukan di Golo Bekkum, Liang Momer dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23
yang sama membuat penggalian di beberapa situs antara lain Liang Momer dan Liang Panas. Pada tempat itu ditemukan tulang belulang manusia purba yang ditetapkan sebagai manusia Protonegrito (Hemo, 1990:25). Penelitian tentang keberadaan manusia purba di Manggarai juga masih dilanjutkan hingga tahun 2004. pada tanggal 7 November 2004, Wahyu Jadmiko dan tim yang dipimpin Dr. Raden Panji Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan fosil berupa kerangka manusia yang diidentifikasi sebagai Homo Floresiensis (manusia dari Flores) di Liang Bua. Sejak tahun 50-an Liang Bua dijadikan tempat penelitian oleh Dr. Verhoeven, ahli bahasa Yunani dan Latin yang menjadi misionaris di Manggarai. Penggalian pertama dilakukan bulan Juli 1965. saat itu ditemukan tujuh kerangka manusia modern (homo sapiens). Juga ditemukan periuk, beliung persegi dan beberapa benda lain. Setelah sempat vakum, R.P. Soejono mengambil alih penelitian pada tahun 1978-1989 dengan membuka 10 kotak gali dan menemukan kerangka seperti yang ditemukan tahun 1950 (Febrian, 2004:46). Pada masa sekarang bekas perkampungan atau tempat tinggal manusia serupa oleh para ahli prehistori disebut abris sous roches (tempat-tempat perlindungan di bawah karang). Tempat-tempat ini merupakan gua-gua atau karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang mengandung bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau. Tempat semacam ini banyak ditemukan di Flores Barat dan Irian (Koentjaraningrat, 2002:5). Selain itu, hingga saat ini kajian tentang historitas Orang Manggarai masih berlanjut. Meskipun demikian studi-studi kritis yang menelusuri sumber-sumber sejarah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24
berusaha meluruskan sejarah yang disorientasikan. Ada satu kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan seakan-akan orang-orang Manggarai berasal dari satu suku dan satu nenek moyang. Penelitian-penelitian ilmiah atas temuan-temuan fosil serta kontak yang tetap dengan pihak luar melalui perdagangan menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan keturunan yang berbeda. Dami N. Toda dalam hasil studinya menyebutkan keturunan-keturunan itu yakni asal keturunan Sumba, Mandosawu, Pong Welak, emigran Sulawesi Selatan dan Bima, keturunan MelayuMalaka, Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena (Toda, 1999:246). Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini kemudian tersebar di seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng (Mandosawu) mengasalkan nenek moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka miliki, jelas bahwa mereka bukan berasal dari kebudayaan batu melainkan keturunan manusia yang sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat mungkin orang-orang Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan menetap di Manggarai pada abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan adak (kerajaan yang membawahi kedaluan) Cibal dan adak Lamba Leda dan keturunannya tersebar di Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu, Kolang- Torok. Keturunan Sumba membuat adak Bajo yang berpusat di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah selatan barat daya dan barat gelarang-gelarang adak dan ada beberapa kedaluan seperti Dalu Kolang, Lo’ok Wontong, Munting Welak, Matawae dan Ramut. Menurut Dami N. Toda, keturunan Sumba di kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25
Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula migran asal Sulawesi Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian Barat maupun di pantai Utara dan sedikit di selatan. Diduga kuat, migrasi ini terjadi pada abad ke-16 tatkala kerajaan Luwu’ dan Goa berjaya dan memperluas kerajaannya. Pada masa itu gelombang migrasi terjadi selain karena keinginan sukarela, juga karena adanya tekanan politik. Para lawan politik Raja Goa pertama yang Islam, Sultan Alauddin tak tahan dibawah paksaan lalu menjadi pelarian politik ke pulau-pulau lain, termasuk ke Manggarai. Tetapi gelombanggelombang migrasi besar-besaran berupa pelarian politik terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18 November 1667 antara Belanda sebagai pemenang dan Goa-Tallo (Sultan Hasanudin) sebagai pihak yang kalah. Sultan Goa-Tallo sempat menempatkan perwakilannya di Reok dan Pota (Toda, 1999:323). Sedangkan keturunan Bima kebanyakan bermukim di Reo(k) setelah secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di pantai utara Manggarai seperti Kedaluan Pacar, Kedaluan Berit, Kedaluan Rembong, Kedaluan Rego, Kedaluan Nggalak, Kedaluan Cibal, Kedaluan Lambaleda, Kedaluan Congkar, Kedaluan Biting, dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di bagian barat dengan pusat perwakilannya di Labuan Bajo. Pendatang Melayu-Minangkabau mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di wilayah Manggarai, mereka juga kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di wilayah ini sejak zaman sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode tahun 1980-an. Kelompok yang lazim diakui sebagai keturunan langsung dari Minangkabau adalah keturunan Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke berbagai tempat di Manggarai.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26
Menurut Dami N. Toda, “orang asli” (ata ici tana) Manggarai senantiasa dikisahkan tradisi pelisanan sebagai mahkluk berbadan bulu, berpakaian kulit kayu, memakan makanan mentah, dan belum mengenal api (Toda, 1999, 221). Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa subklan yang nenek moyangnya sebagai pendatang dari luar, antara lain Bugis, Goa, Makasar, Serang, Sumba, Bima dan Boneng Kabo (1991:23). Itu artinya bahwa moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang dating dari luar. Kurangnya data tertulis menyebabkan sulit dipastikan pengelompokkan klan-klan di Manggarai berdasar suku asalnya, baik yang datang dari luar maupun suku asli Manggarai. Hampir pada umumnya setiap wilayah distrik (hamente/dalu) atau wilayah kecamatan di Manggarai memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, meskipun bahsa daerah tetap satu yaitu bahasa Manggarai. Melihat hal itu, Verheijen berkesimpulan bahwa tidaklah jelas apakah golongan bangsawan (keraeng) pada umunya berasal dari satu kelompok imigran tertentu (1991:24). Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai kebanyakan berasal dari Sulawesi
Selatan
(Kerajaan
Goa/Makasar/Bugis).
Misalnya
istilah
Keraeng
sesungguhnya merujuk pada sebutan bangsawan yang sama dengan yang digunakan di Makasar (Goa). Hanya sedikit perbedaan dari segi penulisan dan pelafalannya. Orang Manggarai menyebutnya keraeng (ke-ra-eng), sedangkan Orang Makasar menyebutnya karaeng (ka-ra-eng). Mengapa istilah itu dijadikan pertimbangan yang kuat karena istilah itu mengarah pada istilah bangsawan. Bangsawan adalah status sosial masyarakat yang terhormat. Golongan bangsawan sebagai pemangku adat / tua adat untuk mengatur tata hidup sosial.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27
Ada beberapa pertimbangan lain yaitu berupa unsur bahasa yang mempunyai kesamaan antara suku Manggarai dengan Goa / Makasar / Bugis antara lain:
Bugis
Goa / Makasar
Manggarai
Indonesia
Manuk
-
Manuk
Ayam
Lipa
Lipa
Lipa / Towe
Kain / Sarung
Kasiasi
-
Kasiasi
Miskin
-
Somba Opu
Somba Opu
Menghormati Leluhur
-
Lampa
Lampa
Jalan/Melangkah
-
Karaeng
Keraeng
Bangsawan
-
Nyarang
Jarang
Kuda
Bembe
Bembe
Bembe/Mbe
Kambing
(Nggoro, 2006:27). Dari uraian yang menyelisik asal usul ini dapat disimpulkan bahwa Orang Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja. Mereka datang dari Sumba, MelayuMalaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bima dan bahkan dari Turki dengan pemukiman dan persebaran utamanya yang berbeda-beda pula. Dewasa ini dengan adanya mobilitas sosial dan pembauran lewat perkawinan, suku-suku dengan usuk asal yang berbeda ini mulai tercampur baur membentuk identitas yang lebih “Manggarai” (Mirsel dan Embu, 2004:8). 2.2.4 Geografi – Topografi Manggarai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28
Secara administratif Manggarai pada mulanya adalah salah satu kebupaten dari 14 kabupaten yang sekarang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2002, atas berbagai pertimbangan, khususnya ketika masyarakat semakin banyak dan wilayah yang dilayani pemerintah terlalu luas, maka dibentuklah Kabupaten Manggarai Barat. Tahun 2007 dilakukan lagi pemekaran untuk wilayah Manggarai Timur. Secara geografis, Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur) terletak pada 08,14° LS – 08,30° LS dan 119,30° BT – 120,30° BT. Dari segi administratif sebelah utara Manggarai Raya berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah selatan dengan Laut Sawu, di sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ngada. Manggarai Raya mempunyai luas wilayah 7.136,04 km persegi dengan jumlah penduduk pada tahun 1996 sebanyak 561.660 jiwa (BPS, 1996:1). Iklim yang berlaku di Manggarai adalah iklim tropis. Seperti wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, di Manggarai bertiup angin musim yang berubah dua kali dalam setahun. Angin barat yang lebih banyak mengandung uap air dalam bahasa Manggarai disebut warat sale mai (angin yang bertiup dari arah selatan) dan angin timur yang kurang mengandung uap air disebut warat awo mai (angin yang bertiup dari arah timur) (Deki, 2011:40). Di Manggarai dikenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan Oktober sampai bulan April dan bulan April sampai bulan September adalah musim kemarau. Namun karena pengaruh iklim global yang kian panas curah hukan yang dulunya berlangsung selama bulan-bulan itu kini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 29
kerap bergeser dan tak menentu. Menurut data yang dikumpulkan 13 stasiun di seluruh kabupaten tahun 1976, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yakni 451,8 mm dan terendah pada bulan Juli yakni 94 mm (Hemo, 1990:13). Keadaan curah dari data tahun 1976 ini sudah tidak aktual lagi untuk saat sekarang karena terjadi perubahan panas bumi dan efek rumah kaca yang semakin mengglobal di seluruh dunia. Menurut data tahun 2003, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yakni 314,3 mm dan terendah pada bulan Juli yakni 19,7 mm (BPS, 2003:7). Lebih-lebih sepanjang 2010 sehingga awal 2011 curah hujan sangat tinggi hampir sepanjang tahun Topografi daerah Manggarai tidak rata. Daerah pedalaman bergunung-gunung dan daerah pantai umumnya berbukit-bukit. Beberapa puncak yang terkenal antara lain Poco Ranaka, Poco Kasteno, Poco Nembu, Poco Mbeliling dan Poco Mandosawu. Kadang-kadang antara gunung dan bukit terentang dataran rendah yang potensial untuk dijadikan lahan persawahan. Beberapa dataran rendah yang terdapat di Manggarai antara lain Satar Walang, Satar Mese, Satar Randang, Gising dan Lembor. Peningkatan potensi dataran menjadi sawah dimungkinkan oleh adanya sungai-sungai yang mengalir di daerah ini. Sungai-sungai tersebut antara lain Wae Buntal, Wae Pesi, Wae Look, Wae Bobo, Wae Mese, Wae Laku dan Wae Musur adalah sungai-sungai besar dan begitu banyak sungai kecil yang bertebaran di berbagai daerah turut membantu keberadaan sawah-sawah itu. Bumi Manggarai tidak hanya subur tetapi juga kaya akan hasil tambang. Menurut penelitian yang dibuat tahun 1997, Manggarai juga memiliki kandungan emas, marmer, gamping, dolomite, batu oker, batu andesit, batu diorite, fuller earth, batu lempung, silikat, batu tras, dan batu felsfar (Pos Kupang, 1997:5). Selain itu ada usaha
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 30
memanfaatkan tenaga panas bumi yang sedang dikerjakan di Ulumbu
kecamatan
Satarmese. Sejarah membuktikan bahwa terdapat perubahan yang evolutif dalam pengadaan jenis-jenis tumbuh-tunbuhan di Manggarai. Hal ini dimungkinkan oleh hubungan perdagangan dengan pihak-pihak luar, antara lain dengan Kerajaan Goa- Tallo dan kehadiran Belanda. Ada dua klasifikasi yang bias dibuat. Pertama, tumbuh-tumbuhan yang sudah lama dikenal di wilayah ini antara lain padi, jagung, kestela, kacangkacangan, kemiri, kelapa dan pelbagai jenis pohon hutan. Sedangkan jenis kedua adalah tumbuhan baru yang diperkenalkan antara lain cengkeh, vanili, coklat, dan beberapa jenis pohon seperti cemara, ampupu, akasia, dan juga kapas yang dimasukkan oleh penjajah Belanda. Hutan Manggarai kaya akan berbagai jenis pohon yang menjadikan Manggarai sebagai wilayah yang masih memiliki kawasan hutan yang luas dan kaya akan flora langka di Nusa Tenggara Timur, misalnya tanaman yang terdapat di hutan Mbeliling. Jenis fauna yang hidup di Manggarai dibedakan atas dua, yaitu hewan liar dan hewan peliharaan. Hewan liar yang hidup di daerah hutan antara lain rusa, babi hutan, ular dan berbagai burung. Sedangkan hewan peliharaan antara lain kuda, kerbau, anjing, kambing, babi, unggas, dsb. Binatang purba dan langka yang masih hidup di wilayah ini adalah buaya darat Komodo (Varanus Komodoensis) yang kemudian menjadi terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan oleh laporan J.K. Van Steyn kepada P.A. Ouwens, curator pada museum Zoologi Bogor. Hingga saat ini populasinya kian bertambah surut dari tahun ke tahun (Rosari, 1996:50). Kepopuleran buaya darat ini membuat Pulau
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 31
Komodo dan pulau-pulau sekitarnya menjadi daerah tujuan wisata internasional hingga saat ini. 2.2.5
Kebudayaan Orang Manggarai.
2.2.5.1 Bahasa Manggarai Bahasa Manggarai menjadi umum di Manggarai dan hampir dikuasai oleh semua Orang Manggarai di berbagai wilayah. Bahasa ini sebenarnya digunakan oleh Orang Manggarai dari wilayah bagian tengah. Meskipun bahasa Manggarai menjadi umum, namun dua wilayah timur yakni Rongga dan Rembong memliki bahasa yang khas dan berbeda dengan bahasa Manggarai. Menurut Fransiskus Xaverius Do KoO, pembagian bahasa di Manggarai dapat ditelusuri dari klasifikasi kata “tidak” (1984:25). Orang Manggarai Tengah dan bahasa yang digunakan di wilayah ini disebut bahasa Toe. Orang Rongga dengan bahasa Rongga menggunakan bahasa Mbaen. Orang Rembong dengan bahasa Rembong yang wilayahnya dekat dengan perbatasan dengan Kabupaten Ngada menggunakan bahasa Pae. Perbedaan yang paling mencolok ketiga jenis bahasa ini terletak dalam kosa kata, dialek, dan konsonan-vokal yang dimiliki tiap bahasa. Sedangkan di wilayah barat, hampir semua kata yang digunakan sama dengan kosa kata yang di pakai di Manggarai Tengah. Perbedaan yang cukup kentara terletak dalam dialek, sedangkan konsonan-vokal tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Verheijen melihat perbedaan itu dalam kekhususan yang dimiliki setiap bahasa (Verheijen, 1978:1430). Misalnya. Bunyi [è] dalam suku akhir tertutup diganti dengan bunyi [o]. kata temèk dalam bahasa Manggarai Tengah (MT) menjadi temòk dalam bahasa Manggarai Timur (MTi). Di MT kita temukan pada akhir kata bunyi [-ng], di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 32
MTi terdapat [-n] misalnya MTi latun pada kata yang sama di MT latung, maupun [-ng] MTi lasen MT laseng (Verheijen, 1987:1429). Di Manggarai Barat (MB) lafal-lafal bunyi menyerupai bunyi-bunyi di MT. perubahan terjadi pada pronominal personal misalnya di MT ami (kami), meu (kamu) menjadi hami, hemi di MB. Selain itu ada kosa kata yang berbeda, misalnya ciri yang dalam bahasa MT berarti jadi dan kata yang sama diubah menjadi jiri di MB. Ada juga kata-kata pinjaman dari bahasa Bima seperti bisa (pandai), daha (senjata), disa (berani), kani (pakaian), ngango (rebut), dsb (Verheijen, 1987:1263). Kata-kata ini tidak terdapat di MT dan MTi. Wilayah yang memiliki kekhususan bahasa di Manggarai Barat hanyalah Orang Komodo. Bahasa Komodo merupakan campuran antara bahasa Manggarai dan bahasa Bima. Verheijen dalam penelitiannya tentang bahasa Orang Komodo menampik anggapan Eiser (1931) yang menggabungkan bahasa Komodo ke wilayah bahasa Bima. Selain itu masih ada ahli yang mengelompokkan bahasa Komodo sebagai bahasa Bima, misalnya Salzner (1960) (Verheijen, 1987:34). Penelitian yang dibuat Verheijen menunjukkan bahwa bahasa orang Komodo merupakan gabungan antara bahasa Manggarai, Bima dan Bugis, Bajau, Makasar dan Sulawesi Selatan (Verheijen, 1987:56). Hal itu secara mencolok dapat dilihat dari sebagian kosa kata yang khas pada orang Komodo dan tidak terdapat pada daerah lainnya di Manggarai. 2.2.5.2 Sistem Pengetahuan : Alam Pemikiran Orang Manggarai dan Pandangan Tentang Dunia 2.2.5.2.1 Relasi yang Intim dalam Harmoni Manusia dengan Alam dan Dunia Kodrati
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 33
Istilah “pandangan tentang dunia” diartikan sebagai sikap atau cara suatu masyarakat atau manusia memandang dan memberikan karater tentang bagaimana dia menempatkan dirinya diantara fenomen lain dan bagaimana segala sesuatu seharusnya berada. (Deki, 2011:46). Alam pemikiran orang Manggarai tidak terlepas dari keseluruhan cara pandang dunia Timur yang melihat segala sesuatu dalam rangkaian kosmos yang serba teratur dan harmonis, sintetis, emosional, dan sosial (Fernandez, 1979:57). Pertama, dalam hubungannya dengan kosmos, orang Manggarai memiliki relasi yang sangat intim dengan alam semesta. Konsep pemahaman monisme dianggap sebagai milik manusia timur pada umumnya. Dalam konsep ini ada keyakinan bahwa manusia dan seluruh realitas yang tampak, pun tak tampak membentuk satu kesatuan yang tidak retak. Dengan kata lain, segala yang ada mengambil bagian dalam hidup yang sama yang ada dalam aku. Mereka merupakan diriku seutuhnya, totalitasku yang agung, dari mana aku datang, dan kemana aku kembali kalau nasib yang sekejap ini berlalu. Aku ada di sini karena yang lain juga ada (Anh, 1984:71). Orang Manggarai tidak secara tegas memisahkan dirinya dengan alam semesta karena mereka merasa bersatu erat dengan alam itu dan menjadi bagian darinya. Kedua harmoni dengan alam. Dalam lingkup pemikiran yang lebih luas, pemikiran yang opositoris seperti filsafat Yang dan Ying di China juga ada pada masyarakat Manggarai. Menurut konsep filsafat China Yin dan Yang adalah dua prinsip yang saling berlawanan, namun keduanya adalah sumber eksistensi dan transformasi di dalam alam semesta. Yang diartikan sebagai “yang terbuka” sedangkan Yin diartikan sebagai “yang tertutup”. Yang lantas disamakan dengan terang, di depan, aktif, siang,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 34
jantan, dan langit. Sedangkan Yin disamakan dengan gelap, di belakang, pasif, malam, betina, dan bumi. Dengan kata lain, alam tersiri dari perubahan-perubahan seperti pemulaian (yang) selalu diikuti dengan penyelesaian (yin), yang seterusnya diikuti oleh pemulaian dan penyelesaian (Bahm, 2003:91).keduanya sangat berlawanan namun sangat menentukan keharmonisan dalam alam semesta ini. Kerja sama dan interaksi yang seimbang antara keduanya menghasilkan keseimbangan kosmos. Demikianpun halnya dengan cara pandang orang Manggarai yang bersifat opositoris binaries. Ada bumi (tanan wa) – langit (awangn eta), terbit di timur (parn awo) – terbenam di barat (kolepn sale), hulu (ulun le) – muara (wa’in lau). Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan satu kesatuan kosmos yang harmonis. Seperti matahari terbit di ufuk timur pada pagi hari, matahari yang sama juga akan terbenam di ufuk barat pada senja hari. Aturan ini akan berjalan terus sebagai sesuatu yang konstan. Harmonisasi kosmos sangat penting. Tapi apa yang dimaksud dengan menjadi harmonis? Filasafat Taoisme yang diajarkan oleh Laotse menjelaskan harmoni sebagai “menaati aturan alam”. “tao” berarti jalan atau cara, aturan alam. Dalam arti yang leboh luas tao berarti realitas yang absolut yang tak terselami, yang menjadi asal dan ibu dan mempersatukan alam semesta dengan isinya. Manusia dan ciptaan lainnya mempunyai tao-nya sendiri yang menjadi jalan baginya untuk bersatu dengan tao absolut, sehingga dengan jalan tersebut mereka memperoleh keselamatan (Ahn, 1984:12). Para pengikut tao dengan etikanya bermaksud mengajarkan sikap yang tepat kepada manusia sebagai salah satu jalan keluar demi harmonisasi kosmos. Orang Manggarai juga memiliki pandangan yang sama. Alam dilihat sebagai yang memiliki roh sakral. Alam merupakan ibu yang dari rahimnya muncul kehidupan. Bersatu dengan alam merupakan panggilan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 35
setiap pribadi dalam masyarakat komunalnya masing-masing. Konsekuensinya alam disembah dan tidak boleh dirusak. Ada praktek asli orang Manggarai yang memberikan sesajen (takung) terhadap alam dan roh-roh yang mendiaminya, khususnya di hutanhutan lebat (pong). Praktek ini mulai memudar ketika konsep agama-agama formal melihatnya sebagai bentuk penyembahan berhala (Deki, 2011:48). 2.2.5.2.2 Merajut Alam Kebersamaan : Sosial – Kolektif Masyarakat Nusa Tenggara Timur dala keseharian hidup mereka selalu berpikir, hidup, dan bersikap sosial - kolektif. Manusia NTT adalah man in relation atau man in society. Ia tidak mempunyai pengertian sosial-kolektif yang abstrak, namun dari ungkapan-ungkapan asli dapat disimpulkan bahwa masyarakat NTT berpikir sosialkolektif. Untuk menyatakan kebersamaan dan kolektivitas, manusia NTT asli sering memakai baitan-baitan bahasa syair dan bahasa simbol (Fernandes, 1990:24). Bersikap harmonis terhadap alam juga berpengaruh dalam relasi dengan sesama manusia. Sesama manusia (hae tau, hae ata) adalah teman seperjalanan untuk mencapai kesejahtraan hidup bersama. Seseorang selalu melihat dirinya dalam hubungan kebersamaan dengan orang lain. Individu berperan dan berfungsi sejauh ia berada dalam kebersamaan dengan orang lain, entah dalam siku ataupun di dalam kebersamaan lintas suku. Dalam relasi dengan sesama tampak dalam ungkapan kiasan berikut: Muku ca pu’u neka woleng curup, Teu ca ambong neka woleng tombo, Ema agu anak neka woleng bantang,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 36
Ase agu ka’e neka woleng tae (pisang sepohon jangan lain bicara, Tebu serumpun jangan lain tutur; Ayah dan anak jangan lain sepakat, Kakak dan adik jangan lain kata). Ungkapan di atas memiliki arti bahwa orang Manggarai harus seia-sekata dalam pikiran, sikap, dan tindakan guna menjaga kesatuan dan kebersamaan. (Deki, 2011:49). Dalam hal perembugan di kalangan orang Manggarai dikenal ungkapan neki weki manga ranga, yang secarah harafiah masing-masing menyatakan makna berkumpul, berbadan, muka, ada hadir, menunjukkan bahwa dalam pertemuanpertemuan di kampung semua warga kampung (sangged lawa beo, wan koe etan tu’a) harus hadir (Fernandes, 1990:32). Kenyataan lain yang dapat dengan mudah ditemukan adalah model-model kerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan di kebun- kebun mereka seperti dodo atau wenggol dan kokor tago, yaitu gotong royong menyiapkan atau mengerjakan kebun secara bergiliran dari satu pemilik ke pemilik yang lainnya di dalam kampung atau persekutuan adat komunal. Demikian pun dengan perkawinan. Perkawinan bukan hanya urusan keluarga inti (nuclear family) tetapi lebih merupakan urusan keluarga besar. Tanggung jawab pendampingan kedua pasangan baru dalam tangan keluarga besar, termasuk tanggung jawab bagi pendidikan anak-anak mereka. Contoh dari dunia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 37
kolektif pertanian dan perkawinan ini menekankan hal yang sama yaitu cara berpikir sosial-kolektif (Deki, 2011:50). Pembentukan kampung ( beo atau golo) juga mencerminkan cara berpikir sosialkolektif. Kampung-kampung tradisional Manggarai umumnya berbentuk lingkaran, di mana terdapat sebuah mbaru gendang / tembong (rumah adat kolektif), sebuah natas (halaman besar kampung), sebuah pa’ang (gerbang besar memasuki kampung), dan sebuah compang ( altar korban) untuk upacara-upacara adat besar seperti kèlas mèsè, (pesta kenduri untuk seorang tokoh dalam kampung), hang rani (pesta menjelang matangnya tanaman dalam kebun, khususnya padi), atau kalok (pesta adat yang diselenggarakan pada saat kebun sudah mulai memberikan hasil-hasil pertama seperti jagung dan sayur-sayuran), dan penti (pesta syukur setelah panen).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 38
Pola Perkampungan Asli Manggarai Pa’ang (di muka) Salang Lako (Jalan) Kena (Pagar)
Natas Labar (Halaman Komunal) Mbaru (Rumah) Mbaru Gendang (Rumah Adat Komunal)
Compang agu Haju Langke (altar dan pohon beringin)
Ngaung (bagian belakang)
(Hemo, 1990:17) 2.2.5.2.3. Menemukan Kebenaran di Balik yang Mistis Orang Manggarai melihat kejadian atau peristiwa sebagai sejarah in illo tempore, sesuatu yang terjadi secara gaib di waktu awal ( Deki, 2011:51). Hal ini terungkap dalam mitos-mitos yang paling banyak di Manggarai. Tipe mitos yang paling banyak ditemukan di Manggarai adalah tipe mitos kosmogoni, yakni mitos yang berkaitan dengan kisah penciptaan alam semesta, mitos-mitos tentang usul-asal (nenek moyang, usul asal tanaman pangan, awal mula lahirnya totem dan tabu dll), mitos-mitos tentang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39
mahluk ilahi dan roh-roh, mitos androgini baik ilahi maupun insani, dan mitos-mitos tentang akhir dunia. Berikut ini sebuah mitologi tentang asal usul manusia pertama yang ditulis oleh Bernard Raho. Menurut orang Manggarai, manusia berasal dari sinar matahari yang terpancar dari langit ( langit – Éma Éta dan bumi –Énde Wa). Sinar itu mengenai sebuah rumpun bambu di sebuah gunung yang tinggi. Dari rumpun bambu itu keluarlah dua orang manusia yakni pria dan wanita. Pada mulanya, kedua manusia pertama itu memakan tumbuh-tumbuhan dan daun-daunan sebagai makanan pokok. Api terbuat dari bambu yang di wilayah Kolang di sebut kelo, sedangkan pakaian mereka terbuat dari kulit kayu lale. Kedua manusia itu kawin dan melahirkan anak laki-laki. Dalam perjalan waktu anak ini menjadi besar. Ayahnya lalu membuka lingko (kebun komunal). Ketika anak tersebut berumur lima tahun, ayahnya bermimpi didatangi Mori agu Ngaran – Jari agu Dedek (Tuhan sang Pemilik, Pencipta dan Penjaga). Mori agu Ngaran – Jari agu Dedek meminta supaya anaknya dibunuh, tubuhnya dicincang dan disiram ke seluruh kebun. Ayah itu melakukan apa yang diperintahkan. Tak lama kemudian tumbuh berbagai jenis tumbuhan seperti pepaya, padi, mentimun, kestela, jagung dan berbagai umbi-umbian. Ketika ayahnya hendak memetik buah-buahan itu, betapa kagetnya sang ayah karena ada suara yang mengatakan “Ema, aku ho’o ce’e” (bapa, saya di sini). Demikian juga ketika ibunya memetik buah-buahan yang sama terdengar suara “Ende, aku ho’o ce’e” (ibu, saya di sini). Akhirnya mereka tahu bahwa anak yang telah meninggal itu kini hidup kembali dalam benih-benih dan tanaman-tanaman yang akan mereka jadikan makanan seharihari.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40
Berdasarkan kisah mitologi ini sekurang-kurangnya ada dua hal yang dapat diperlihatkan. Pertama, kesatuan manusia dengan alam. Dari kisah itu, menurut orang Manggarai, kehidupan adalah hasil perkawinan Éma - Eta Énde – Wa. Kehidupan itu kelihatannya tercampur. Manusia berasal dari pohon dan pohon berasal dari darah anak yang dikorbankan. Karena itu sebagai konsekuensi logis, tumbuh-tumbuhan merupakan saudara manusia dan karena itu harus dipelihara dan dilestarikan dengan baik. Kedua, hidup diperoleh melalui pengorbanan. Anak dalam mitologi tadi harus dikorbankan supaya ayah-ibu dan adik-adiknya bisa hidup. Pengorbanan adalah sesuatu yang sentral dalam kepercayaan asli orang Manggarai. Sejak pembukaan kebun sampai rasa syukur atas hasil panen. orang Manggarai menjalani sejumlah upacara. Dalam siklus pengerjaan
sebuah
lingko
terdapat
berbagai
upacara
yang
mengharuskan
dikorbankannya seekor atau beberapa hewan (Raho, 199:4-5). 2.2.5.2.4 Daya Alam Gaib Orang Manggarai, khususnya masyarakat agraris tradisional beranggapan bahwa setiap mahkluk mempunyai kehidupan serta kekuatan kehidupan penuh misteri, yang mengandung daya gaib. Semua yang tidak dapat dipahami dan diterangkan dengan akal budi dikaitkan dengan asal muasalnya yang gaib. Ada suatu keyakinan dasar bahwa segala yang ada dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan segala yang ada dapat membawa kebaikan atau keberuntungan dan malapetaka atau bencana. Hubungan antar sesama manusia dengan alam dunia, tindakan-tindakan ritus-ritus memiliki daya yang bisa membawa keberuntungan ataupun sebaliknya. Segala sesuatu seperti pohon, dedaunan, akar-akaran, rerumputan, hewan, bebatuan, angin, matahari, bulan, bintang, langit, manusia, dan tutur kata juga memiliki daya yang ganda ini. Karenanya apa saja
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41
yang ada memiliki tempatnya tersendiri di dalam relasi dan mendapat penghormatan selayaknya dari manusia sebagai mikro-kosmos. Dalam kaitan dengan cara berpikir magis dikenal kata mbéko dalam bahasa Manggarai, yaitu magi yang dipakai untuk mendatangkan keuntungan (magi putih) ataupun kerugian (magi hitam) bagi manusia (Fernandes, 1990:142). Menurut penelitian Ozias, ata mbéko magi putih dapat diklasifikasi menurut daya yang muncul dari tindakan ritualnya. Mbéko perinding merupakan magi putih yang berkuasa menangkis serangan jahat. Mbéko humit berdaya menyembuhkan hanya dengan gerak mulut yang berkomat-kamit dalam mengucapkan mantra. Dan mbéko seoh dapat memuluhkan segala penyakit, termasuk patah tulang, terkilir, penyakit lambung, dsb (Fernandes, 1990:142). Di sini Ata Mbéko (pemilik kekuatan magis) memainkan peranan penting. Melalui ata mbéko, seseorang dapat meminta kekuatan yang mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain (Verheijen, 1999:26). Sebaliknya ia juga dapat meminta ata mbéko dari aliran magi hitam untuk membahayakan keselamatan orang lain melalui jampi-jampi yang kerap disebut rasung (meracuni orang lain, binatang maupun tanaman-tanaman lewat mantra) dan pelakunya disebut Ata Mbéko Janto. Ata Mbéko menjalankan tindakan magis dengan banyak maksud dan tujuan. Pada galibnya, mbéko diberikan kepada manusia untuk tujuan yang baik khususnya membantu manusia menyejahterakan hidupnya, membebaskannya dari gangguan dan ketidakseimbangan kosmos. Itulah sebabnya ata mbéko terkait erat dengan kekuatan supranatural khususnya kemampuan untuk meramu obat-obatan. Hal ini terbukti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 42
dengan penyimpanan ru’u (tanda larang) yang mengandung konsekuensi tertentu bila dilanggar. Selain itu, mbéko sering dihubungkan dengan usaha memberikan perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat komunal yang dikenal dengan istilah jaga wéki (perlindungan diri). Dalam pelbagai pengalaman, khususnya ketika situasi kurang aman dan dalam suasana peperangan, ata mbéko ini sangat penting sebagai perisai diri yang memberikan pengamanan melalui kekuatan supranatural. Keyakinan ini menjadi kuat tatkala muncul ata mbéko eros (dukun yang memiliki kekuatan sakti yang tak tertandingi) yang mampu menyelamatkan masyarakat dari pelbagai ancaman, baik manusia maupun alam. 2.2.5.2.5 Kepercayaan Orang Manggarai Kepercayaan orang Manggarai tidak dapat dilepas-pisahkan dengan kultur agraris yang memiliki keterkaitan yang erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan (Deki, 2011:58). Tanah, gunung, air, dan iklim mempunyai relasi yang tak terpisahkan dan menyatu dengan kehidupan semua mahkluk. Kepercayaan akan keterkaitan unsur-unsur ini menyata dalam berbagai bentuk. Pertama, kepercayaan akan roh alam dan roh leluhur. Roh berpengaruh atas atas pelbagai peristiwa dan kejadian yang dialami manusia dan ciptaan lainnya. Kepercayaan akan roh alam ini membawa orang Manggarai pada keyakinan bahwa roh alam inilah jiwa dari alam semesta. Selain roh alam yang memiliki identitas yang abstrak dan tak terjamah, orang Manggarai juga percaya pada roh leluhur yang telah meninggal (ata pali sina). Roh-roh leluhur ikut berperan dalam menciptakan keseimbangan kosmos. Itulah sebabnya orang Manggarai selalu memberikan respek,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 43
penghargaan, serta menjalin relasi yang tetap inti dan konstan terhadap roh-roh leluhur yang sudah meninggal melalui pelbagai ritus, seperti ritus Teing Hang atau Takung yakni memberikan sesajian kepada roh leluhur sebagai bentuk persembahan yang memiliki berbagai maksud, antara lain meminta keberhasilan, memohon perlindungan, dan juga berupa ucapan syukur, ritus Toto Urat (memperlihatkan usus hewan) yakni sebuah upacara untuk membaca tanda-tanda alam, khususnya yang berkaitan dengan nasib di masa depan dengan melihat bentuk urat ayam, babi ataupun kerbau, tergantung bahan korban yang disiapkan dan maksud diadakannya ritus itu. Usai toto urat sebagian bahan persembahan disebarkan ke berbagai tempat yang disebut wecak helang dan sebagian lagi disimpan di piring kecil bersama secangkir tuak. Roh alam dan roh leluhur juga sering disebut naga golo atau naga tana (roh kampung). Naga golo ini diyakini memiliki peran khusus yakni melindungi masyarakat adak komunal dari berbagai serangan, entah serangan fisik dalam peperangan maupun non-fisik seperti penyakit, berbagai bentuk mbéko janto (racun kiriman melalui ilmu hitam yang dimaksudkan sebagai aksi destruktif), bencana alam, dsb. Naga golo juga kerap dihubungkan dengan pelbagai peristiwa yang menguntungkandan menakjubkan, khususnya bila warga golo bersangkutan selamat dari pelbagai bencana. Kedua, kepercayaan akan adanya roh halus berupa Darat Tana (bidadari, peri) dan poti (setan). Alam-dunia dipercayai oleh orang Manggarai sebagai yang memiliki roh. Mahklik halus seperti peri, bidadari yang disebut darat tana adalah mahkluk halus yang sering menampakkan diri di mata air, sungai yang memiliki kolam besar dengan kedalaman yang tinggi dan berdaya angker (tiwu leteng). Darat kerap dilihat sesekali pada saat matahari meninggi persis di atas ubun-ubun sekitar jam 12 siang, pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 44
kesempatan yang kerap tidak diduga-duga dan merupakan pengalaman istimewa. Ada keyakinan bahwa darat bisa membantu manusia dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya memikul batu-batu untuk compang (altar persembahan). Di kampung Tenda – Riwu ataupun Ruteng Pu’u terdapat compang yang dibuat dari batu-batu ceper besar yang beratnya berton-ton. Menurut masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah tersebut, batu-batu besar tersebut berada di compang berkat bantuan darat yang didasarkan pada perjanjian tertentu. Selain membantu manusia, darat juga dapat memberikan malapetaka tertentu, misalnya ada orang yang tiba-tiba hilang yang biasa disebut wendo lé darat yakni peristiwa darat membawa lari seseorang dan akan dikembalikan lagi jika ada ritus tertentu dibuat oleh ata pécing atau ata mbéko. Ritus pemanggilan orang yang dibawa oleh darat disebut benta. Ritus ini ditandai oleh pemukulan gendang dan gong. Ada keyakinan bahwa bagi darat bunyi gong dan gendang yang ditabuh di luar acara-acara adak merupakan bunyi guntur gemuruh dan halilintar yang menyambar-nyambar mereka. Itulah sebabnya para darat membuat aksi pemulangan (podo kole) orang yang mereka bawa lari itu. Ritus benta dibuat dengan pertolongan ata mbéko atau tu’a adat yang dapat membebaskan orang yang dibawah lari itu dari pengaruh darat. Selain darat, ada mahkluk halus yang disebut poti atau setan. Poti merupakan kekuatan yang indifferent terhadap manusia, tetapi pada saat tertentu ia berpengaruh juga khususnya poti yang disebut jing da’at atau poti wolo (setan jahat). Jika manusia berpapasan dengan poti maka manusia tersebut akan sakit bahkan dapat juga meninggal dunia. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar dari kekuatan poti ini ata pécing atau ata mbéko membuat ritus tertentu. Poti juga dipakai manusia yang memiliki
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 45
kekuatan supranatural untuk membawa malapetaka bagi orang lain. Di Manggarai ada istilah rasung (racun) yang berhubungan dengan penggunaan kekuatan magis dan melibatkan poti sebagai mediumnya. Ritus memberi rasung bisa dilakukan melalui pelbagai materi alam, misalnya air, udara, cahaya, kayu, tanah, dsb. Benda-benda ini akan membunuh manusia dengan cara yang irrasional dan tak tampak secara kasat mata. Kehadiran ata pécing atau ata mbéko sangat penting untuk menetralisir kekuatan magi hitam. Dalam banyak kasus, ata mbéko selalu berpihak kepada korban, kecuali jika ada perhitungan bisnis antara yang meracuni dengan ata mbéko. Meskipun hal itu merupakan pengecualian, pada galibnya ata mbéko hadir selalu sebagai pihak yang menolong. Itulah sebabnya ada pembagian yang jelas antara ata mbéko dengan ata janto (orang yang menggunakan mbékonya untuk tujuan destruktif) Ketiga, benda dan ucapan magis (mbéko, ceca, krenda, sungke) (Verheijen, 1978:338). Mbéko berhubungan dengan benda-benda dan ucapan-ucapan mantra yang memiliki daya magis. Ata mbéko memiliki keduanya. Dalam melakukan ritual penyembuhan, ata mbéko merapalkan beberapa mantra kemudian melakukan gestikulasi tertentu lalu mengambil air (wae), garam (ci’e), atau benda lain seperti akar kayu (wake haju), keris (kiris), medali (céca) lalu meletakkan benda-benda itu sesuai dengan maksudnya ke badan orang sakit. Benda-benda dan mantra ini kerap berfungsi sebagai pelindung diri dan masyarakat (pake wéki) yang disebut jimak (azimat). Jimak memiliki banyak wajah yang terungkap dalam benda-benda bertuah seperti batu akik, keris, bandul, tanduk dan gigi binatang tertentu, emas, dsb. Ada satu jenis mantra yang disebut krenda. Krenda adalah mantra-mantra tertentu yang diucapkan oleh Orang Manggarai pada saat-saat khusus dengan tujuan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 46
untuk membebaskan pengucapnya dari rasa takut dan tertekan oleh situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya jika seseorang dipanggil oleh Kraeng Raja maka supaya tidak salah dalam berkata-kata krenda toe réntang dirapal kemudian terjadilah percakapan dengan Raja sebagai sebuah dialog yang akrab. Seperti diakui banyak pihak krenda bukanlah bagian dari mbéko sebab krenda dapat diucapkan oleh siapa saja meskipun asal krenda dari ata mbéko (Deki, 2011:62). Walaupun demikian, krenda tetap diyakini sebagai mantra yang manjur dan berdaya magis, namun menjadi mantra yang popular dikalangan masyarakat Manggarai. Keempat, Mori Keraeng (pencipta, pemelihara, dan pemilik segala sesuatu). Hingga saat ini bagian terbesar populasi penduduk yang mendiami tanah Manggarai beragama katolik. Menurut Robert Mirsel, jumlahnya hampir sebanyak 95% Orang Manggarai menganut agama Katolik (2004:33). Meskipun demikian kepercayaan akan adanya Yang Ilahi yang mengatasi segala kekuatan yang ada dan menjadi sumber, asal, dan tujuan segala sesuatu bukanlah semata-mata karena ajaran iman Katolik sejak zaman lampau Orang Manggarai percaya akan adanya Allah yang diungkapkan melalui paralelisme Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek, parn awo-kolépn sale, tanan waawangn eta (Verheijen, 1999:34-35). Dalam pemahaman asli Manggarai, terminologi iman dalam kosa kata agama formal sinonim dengan imbi (percaya) (Haryanto, 2003:3). Terminologi ini secara eksplisit menggambarkan relasi antara seseorang atau sekelompok dengan orang lain. Relasi in terbentuk karena rasa saling percaya. Karena itu, imbi dipahami sebagai suatu sikap percaya kepada sesuatu yang lain, baik orang - pribadi, kelompok maupun kekuatan lain. Dalam konteks religius, terminologi yang sama menggambarkan sikap
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 47
dan keterarahan hati manusia kepada Wujud Tertinggi dalam agama primal mereka (Deki, 2011:24). Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Orang Manggarai dalam kesatuannya dengan kosmis berkiblat pada animisme, dinamisme, fetisisme dan totenisme yang bercampur dengan ide tentang Yang Ilahi yang mereka sebut sebagai Mori jari dedek, atau pada zaman modern disingkat dengan Mori Kraeng. 2.2.6
Stuktur dan Kehidupan Sosial
2.2.6.1
Sistem Kekerabatan
2.2.6.1.1 Kelompok Kekerabatan Sistem kekerabatan yang berlaku di Manggarai bersifat patrilineal (Verheijen, 1977:99). Ayah (salang éma) menjadi lebih awal dalam perhitungan suatu garis keturunan menjaring mereka yang mengaku masih bersumber satu. Dalam sistem keturunan yang demikian anak-anak wanita dalam keturunan yang sama bila telah menikah akan memasuki klan/suku suaminya. Sebaliknya semua wanita dari klan yang lain yang menjadi istri di dalam keturunan ayah akan ditarik kedalam keanggotaan klan ayah. Kesatuan kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti. Dalam bahasa Manggarai keluarga inti disebut kilo. Kesatuan yang lebih besar dari kilo disebut ame. Ame adalah kesatuan keluarga ini (kilo) sampai lapisan keempat. Apabila kesatuan tersebut memasuki lapisan ke lima atau lebih, maka kesatuan sosial itu disebut panga atau rabeng (cabang). Akhirnya panga-panga itu sebagai satu kesatuan yang luas disebut wa’u (klan besar). Klan besar ini mempunyai pemukiman sendiri yang disebut ca beo atau ca golo (satu kampung asal).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 48
Dari segi keturunan, seluruh warga wa’u masih dibedakan atas berbagai kelompok. Kelompok pertama adalah keturunan sulung yang disebut wae tu’a, kelompok turunan sesudah wae tu’a disebut wae sreha, dan kelompok keturunan bungsu disebut wae koe. Selain itu kekerabatan dapat terjadi akibat perkawinan yang disebut woe nelu. Woe nelu melahirkan istilah kekerabatan yang khas antara keluarga pihak lelaki dan keluarga pihak perempuan. Keluarga pemberi gadis disebut anak rona dan keluarga penerima gadis disebut anak wina. Dalam sistem kekerabatan yang diciptakan oleh woe nelu ini kedudukan anak rona sangat penting dan karena itu anak rona sangat dihargai oleh anak wina dalam pelbagai urusan adat, entah perkawinan maupun kematian. 2.2.6.1.2 Pola Perkawinan Perkawinan antara muda-mudi di Manggarai dapat terjadi antara pasangan yang berasal dari keturunan yang sama (masih satu wa’u) (Deki, 2011:65). Selain itu dapat terjadi juga dari garis keturunan yang berbeda (tidak ada hubungan wa’u). Perkawinan dalam garis kerabat sendiri disebut tungku atau perkawinan cako. Perkawinan tungku terjadi antara seorang pria anak ibu dengan anak wanita dari saudara pria ibu (anak de amang- anak Om). Perkawinan tungku memiliki bermacam-macam jenis. Pertama, tungku cu (cross cousin unilateral) yakni perkawinan antara anak lelaki ibu dengan dengan anak perempuan saidara ibu, atau dengan bahasa sehari-hari disebut perkawinan antara saudara-saudari ibu atau sepupu kandung (Verheijen, 1999:25). Pada zaman lampau perkawinan semacam ini menjadi hal yang biasa dengan berbagai macam alasan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 49
khususnya supaya belis tidak dibawa keluar dari lingkaran kekerabatan dalam satu ame. Sejak kedatangan Gereja Katolik perkawinan jenis ini dilarang karena masih sangat dekat jarak antara anak lelaki ibu dengan dan anak perempuan saudara ibu. Hingga saat ini, meski sudah sangat langka, dalam kasus-kasus tertentu yang disebabkan oleh alasan khusus, perkawinan tungku cu masih dapat ditemukan. Kedua, tungku canggot yakni perkawinan yang dilangsungkan antara anak lelaki ibu dengan anak perempuan saudara sepupu ibu (bukan saudara kandung ibu). Perkawinan tungku canggot ini tidak dipersoalkan. Menurut Gabriel Gat (60 th), seorang penutur adat dari gendang Lait, meskipun gereja lebih menyetujui perkawinan tungku canggot, namun dari segi urusan adat tungku cu lebih jelas strukturnya daripada tungku canggot. Alasan yang paling kuat adalah hilangnya peran dé amang (paman) dalam urusan adat. Ketiga, tungku dungka. Tungku dungka sebenarnya nama lain dari tungku cu karena langsung berhadapan dengan anak lelaki saudara ibu. Tetapi yang membedakannya adalah tungku dungka terjadi pada lapisan kedua. Keempat, tungku salangn atau kerap disebut tungku manga sa’i, yakni perkawinan cucu-cece atau disebut juga perkawinan cako. Dalam perkawinan cako pemuda berasal dari keturunan sulung (wae tu’a) dan gadis berasal dari keturunan bungsu (wae koe). Perkawinan cako baru dapat terjadi setelah lima empo (lima garis keturunan). Perkawinan Cako didahului oleh suatu upacara yang disebut baro kamping morin. Selain perkawinan tungku dan cangkang, ada juga beberapa jenis perkawinan yang mirip dengan tungku. Pertama, perkawinan lobo pa’a atau disebut juga toko rénér ( tidur dengan tindih-menindih). Perkawinan jenis ini terjadi bila dua orang kakak beradik menikahi dua orang perempuan kakak beradik. Meskipun ini bukanlah gejala
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 50
yang umum namun perkawinan ini terdapat di beberapa tempat di Manggarai. Kedua, Perkawinan Duluk atau disebut juga kémpéng kabo, yakni perkawinan yang dilangsungkan antara satu pria dengan dua orang gadis yang kakak beradik. Ketiga, perkawinan lili. Perkawinan lili terjadi jika seorang pria menikahi janda kakak atau adiknya sendiri. Dan keempat, perkawinan tinu lalo, yakni seorang pria menikahi adik dari istri yang meninggal. Alasan yang paling kuat dari perkawinan tinu lalo adalah memberikan perlindungan, pertolongan, dan jaminan masa depan kepada anak-anak yang telah ditinggalkan oleh ibu mereka. Selain perkawinan dalam garis kekerabatan sendiri (tungku), adapula perkawinan diluar kekerabatan (cangkang). Perkawinan cangkang ini tidak banyak dibicarakan karena telah menjadi hal yang umum diberbagai tempat. Meskipun demikian ada beberapa hal yang perlu dilihat. Perkawinan Cangkang dimulai dengan upacara wéda rewa, tuke mbaru (menaiki tangga, masuk rumah). Upacara ini merupakan tanda bahwa anak wina secara resmi datang untuk melamar. Jika keluarga anak rona menerima lamaran anak wina maka
akan diadakan upacara yang disebut némpung, yakni
pengesahan secara resmi menurut adat bahwa pasangan tersebut merupakan calon suami-istri yang sah. Sebelum mereka diresmikan sebagai suami-istri ada sebuah acara yang disebut turuk émpo (melihat silsilah keluarga) calon suami-istri. Ada beberapa halangan yang dapat menyebabkan perkawinan dibatalkan. Pertama, toe naun seperti perkawinan lobo pa’a. Perkawinan ini bisa dianggap sah tetapi tidak halal. Dalam kasus khusus, perkawinan jenis ini tetap diadakan apabila pasangan tersebut sudah hidup bersama. Kedua, toe kop atau toe ndoron yakni perkawinan yang tidak cocok seperti jurak (incest), perkawinan antara saudara-saudari kandung, ayah dengan anak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 51
perempuan atau ibu dengan anak lelaki (Verheijen, 1978:1140). Dalam kenyatan jurak, ada upacara pemulihan yang bertujuan mendamaikan kembali kosmos yang telah dirusakkan oleh mereka yang melakukannya. Upacara itu disebut “kepu élong” (pemotongan batang pisang) sebagai tanda béhas (pembatalan) perkawinan itu. 2.2.6.2
Sistem Pemerintahan
2.2.6.2.1 Sebelum Masa Penjajahan Jauh kedatangan Orang Bima dan Goa sebagai penjajah lokal dan Belanda sebagai penjajah Eropa, Manggarai telah memiliki sistem pemerintahan sendiri yang otonom dan teratur. Setiap beo memiliki sistem pemerintahan yang sama dengan struktur yang jelas (Deki, 2011:68). Ada tiga subyek pemerintahan yang berlaku pada masa itu, yakni Tu’a Golo, Tu,a Téno, dan Tu’a Panga. Tiga subyek ini saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan dapat ditempatkan secara hirarkis. Tu’a Panga memiliki peran memimpin tu’a-tu’a kilo, yakni gabungan kilo-kilo atau kumpulan keluarga yang biasanya terdiri dari beberapa kepala keluarga. Tu’a Teno memiliki tugas khusus berkaitan dengan pembagian tanah masyarakat komunal. Dan Tu’a Golo adalah pemimpin atas seluruh golo yang tergabung dalam wilayah yang lebih luas. Ia adalah kepala pemerintahan kampung yang bisa terdiri dari beberapa suku di dalamnya. Ia mengatur kebijakan kehidupan bersama, terutama mengatur pola hubungan dalam masyarakat, menyelesaikan masalah-masalah bersama tu’a-tu’a adat, dan mengatur pola hubungan keluar. Ia memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang kampung, batas-batas tanah lingko dan jumlahnya, sejarah keberadaan golo dan legalitas atas kehidupan golo seluruhnya. Tu’a Golo biasanya diangkat dari suku tertua
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 52
yang mendiami kampung. Tetapi karena berbagai pertimbangan khususnya menyangkut kemampuan dan integritas kepribadian, Tu’a Golo bisa saja diangkat dari suku lain asal melalui persetujuan bersama para tua adat. Meskipun ia memiliki posisi puncak, ia tidak wajib tinggal di mbaru gendang. Dalam zaman modern, satu golo dapat identik dengan sebuah desa atau kelurahan. Dalam kehidupan sehari-hari, Tu’a Beo kadang-kadang dijabat rangkap oleh Tu’a Golo dan kerap kedua status ini memiliki perbedaan yang sangat tipis dalam pelaksanaan tugas kepemimpinan mereka. Selain itu, ia juga mengurus proses pembagian kebun baru pada berbagai lingko yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat adat, memulai pengerjaan kebun baru hingga memimpin upacara-upacara yang berkaitan dengan lodok lingko wéru (pembagian kebun baru). Lazimnya, Tu’a Téno tinggal di mbaru géndang. Mbaru Géndang merupakan simbol identitas golo. Pada umunya bersama tua-tua adat dan Tu’a Golo dia menentukan kapan dimulainya pesta-pesta adat tertentu seperti kalok, hang rani dan pénti. Tu’a Téno diangkat oleh Tu’a Golo dengan persetujuan tua-tua adat yang lain (dari berbagai panga) dan harus tinggal di mbaru géndang. Meskipun zaman telah berubah namun kehadiran kepemimpinan Tu’a Beo, Tu’a Téno dan Tu’a Golo tetap memiliki arti dan peran yang besar serta diakui eksistensinya. Dalam sistem pemerintahan lokal tradisional orang Manggarai, rencana dan gagasan biasanya datang dari para anggota persekutuan adat lalu diajukan kepada Tu’a Kilo (kepala keluarga) lalu diteruskan ke Tu’a Panga (kepala suku) atau langsung kepada Tu’a Golo. Pelaksanaan urusan bersama didasarkan pada perintah lisan seorang Tu’a Golo atau berdasarkan hasil kesepakatan lonto léok (duduk bersama membentuk posisi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 53
lingkaran di dalam rumah adat atau di tempat-tempat yang telah disepakati untuk membicarakan hal-hal menyangkut hidup bersama). Hal ini dapat dilakukan dengan mengumumkan langsung atau melalui siro yakni mengundang anggota persekutuan adat di dalam kampung dengan memukul gong. Dalam sistem pemerintahan tradisional seperti ini, orang Manggarai menjalankan pola pemerintahan yang didasarkan pada lima prinsip (Deki, 2011:70). Prinsip-prinsip itu saling berhubungan yang satu dengan yang lainnya. Pertama, mbaru bate ka’éng (rumah tempat tinggal). Kedua, uma bate duat (kebun-lingko tempat kerja sekaligus sumber nafkah). Ketiga, natas bate labar (lapangan tempat bermain). Keempat, wae bate teku (mata air minum, mandi, cuci, mengairi sawah, dan minuman hewan). Kelima, compang (altar persembahan dan korban). Pada compang ini upacara-upacara adat besar dan ritus komunal warga beo diadakan. Compang melambangkan hubungan dunia manusia dengan dunia adikodrati, manusia dengan alam, dan manusia dengan Wujud Tertingginya (Mirsel dan Embu, 2004:12). Kesatuan unsur-unsur yang terdapat dalam lima prinsip ini memungkinkan hidup Orang Manggarai harmonis. Mengabaikan salah satu dari kelima prinsip ini membawa akibat ke-chaos-an dalam kehidupan bersama. Tugas tua-tua adat yang juga merupakan perpanjangan kekuasaan Tu’a Golo bersama jajarannya adalah menciptakan keseimbangan antara semua unsur itu dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan-persoalan yang terjadi berkaitan dengan selisih paham, misalnya sedapat mungkin diselesaikan dengan membuat pertimbangan yang komprehensif dan holistik atas kepentingan dan kesejahtraan bersama masyarakat komunal.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 54
2.2.6.2.2 Selama Masa Penjajahan Kehadiran Goa dan Bima pada awal abad ke-17 dan Belanda pada permulaan abad ke-20 di Manggarai membawa sejumlah perubahan besar dibidang pemerintahan. Meskipun sistem pemerintahan tradisional-asli Manggarai tetap diakui perannya, namun dalam banyak hal kekuasaan merka dipangkas dengan dimunculkannya pola dan sistem baru yang diperkenalkan penjajah. Menurut dugaan Dami N. Toda, kehadiran sistem baru ini merupakan pengaruh langsung keberadaan Kerajaan Goa-Tallo dari Sulawesi Selatan. Toda dalam analisis linguistiknya menyatakan bahwa kata dalu kemungkinan berasal dari kata datu yang berarti raja di masa Kerajaan Luwu (Bugis). Kata ini kemudian diadopsi kedalam bahasa Manggarai dengan pergeseran bunyi. Demikian halnya denngan kata gelarang yang berasal dari kata gallarang yang berarti penguasa kecil dalam tradisi Goa-Tallo (Toda, 1999:246). Kedaluan di Manggarai dikelompokkan menjadi tiga dalu mese (dalu besar), yakni Dalu Mese Cibal, yang membawahi kedaluan Lamba Leda, Kedaluan Congkar, Kedaluan Biting, dan Kedaluan Rembong. Dalu Mese Todo membawahai kedaluan Pongkor, kedaluan Poco Leok, Kedaluan Riwu, Kedaluan Lelak, dan Kedaluan Ruteng. Sedangkan Dalu Mese Bajo meliputi Kedaluan Kempo dan Kedaluan Penggawa Bajo. Setiap kedaluan mempunyai seorang pemimpin yang disebut dalu. Di bawah dalu ada gelarang. Pada masa pemerintahan Goa ada 14 gelarang di Manggarai yang diperintah oleh tu’a gelarang (Hemo, 1988:34). Berbeda dengan Hemo, Toda menyebutkan hanya ada 13 kedaluan pada masa pemerintahan Goa, yakni Kedaluan Ruteng, Kedaluan Rahong, Kedaluan Poco Leok, Kedaluan Torok Golo, Kedaluan Manus, Kedaluan Riwu, Kedaluan Ndehes, Kedaluan Ndoso, Kedaluan Kolang,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 55
Kedaluan Wélak, Kedaluan Wontong, Kedaluan Lelak dan Kedaluan Sita yang dihitung berdasarkan kekuasaan adak Todo dan Pongkor (Toda, 1999:283-284). Para dalu bertugas untuk memerintah rakyat kedaluannya secara adil dan bijaksana. Wilayah-wilayah adak mula-mula memiliki otonomi, sistem, dan pola pemerintahannya, namun kerap kali otonomi itu hilang ketika pemerintah penjajah menekan mereka melalui perang dan perjanjian politis. Pada gilirannya para dalu tidak lebih dari kaki tangan penjajah yang berusaha memenuhi permintaan upeti dari para penjajah. Peran Tu’a Golo dan Tu’a Téno semakin lemah disebabkan disubordinasi oleh kekuasaan para dalu dan gelarang, walaupun ada pembagian tugas yang jelas antara eksekutif dan yudikatif. Pada masa pemerintahan Belanda, Manggarai merupakan satu Onder Afdeling yang diperintahkan oleh kontrolir Belanda yang berkedudukan di Ruteng. Pada tingkat yang lebih rendah diangkat Pamong Praja Bumi Putera yang bergelar Kepala Kampung. Meskipun terjadi lagi perombakan sistem dan pola pemerintahan yang lama dan digantikan dengan yang baru, gelarang dan dan kedaluan masih dipertahankan meskipun dengan batas kekuasaan yang tidak jelas. Bahkan 11 kedaluan yang ada pada masa pemerintahan Goa-Tallo ditingkatkan mejadi 38 kedaluan pada masa pemerintahan Belanda (Hemo, 1988:35). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Belanda terdapat tiga sistem pemerintahan campuran yang berbeda, yakni sistem tradisional yang tetap berjalan dan diakui eksistensinya, sistem Goa-Tallo yang tidak dihapus namun diberi tempat yang wajar walaupun berada di bawah kekuasaan Belanda, dan sistem ciptaan Belanda sendiri.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 56
Sejarah membuktikan bahwa kehadiran para penjajah di Manggarai bukanlah sebuah infiltrasi yang damai tanpa perlawanan. Sejak kehadiran penjajah Goa-Tallo, Bima dan Belanda perlawanan demi perlawanan diusahakan. Usaha perlawanan ditampilkan oleh Adak Todo, Pongkor, dan Cibal menghadapi masing-masing musuh, tetapi ketidak-kompakkan diantara adak itu menyebabkan terjadinya perang antara adak yang satu dengan adak yang lain. Keunggulan Adak Todo-Pongkor menjadi kentara dalam perlawanan terhadap Belanda. Mereka tidak suka terhadap sikap Belanda yang langsung berkuasa tanpa mengindahkan Adak (kerajaan) yang berkuasa (Toda dalam Hagul dan Lana, 1989:12). Dalam pelbagai perang, keunggulan Adak Todo-Pongkor menyebabkan mereka memiliki kuasa atas Manggarai dan menjadi penguasa lokal yang diakui oleh penjajah Belanda. Sejak saat itu, raja-raja Manggarai selalu berasal dari Adak Todo-Pongkor. Raja-raja resmi Manggarai, yakni Kraeng Tamur (Adak Todo), Kraeng Baruk, dan Kraeng Bagung. Raja-raja ini memerintah bersama kontrolir Belanda hingga masa kemerdekaan. Raja-raja dan Kepala Swapraja Manggarai Nama Raja dan No
Keterangan Kepala Swapraja
1
Bagoeng,
Lahir tahun 1879 di Golo Langkok dan meninggal di RSU Ruteng 19 Juni 1947.
1924-1930
Bagoeng adalah wakil raja tanpa raja. Tahun 1909 ditawan oleh Belanda karena terlibat dalam “Rampas Papang”.
Bagoeng disahkan menjadi raja melalui dokumen
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 57
Gouvernemets-Besluit No. 19, 2 Mei 1924
Bagoeng dikenal sebagai arsitek dan tokoh pusat perbawa yang membuka Manggarai pada fase baru modernisasi.
Dia
membuka
isolasi
wilayah
Manggarai dengan tetap menghargai hukum adak tana Manggarai. 2
Alexander
Baroek,
Hidup tahun 1900-1949 dan dikukuhkan menjadi raja Manggarai terakui Belanda pada tanggal 13 November 1930 berdasarkan Gouvernements Besluit
1931-1949.
No. 56, 3 Februari 1931.
Membuka lahan persawahan di berbagai tempat dengan sawah percontohan.
3
Constantinus
Sejak C. Ngamboet, gelar raja ditiadakan dan
Ngamboet,
digantikan dengan Kepala Swapraja. Ngamboet
1949-1960
belajar di Schakel School-Ndao dan OSVIA di Makasar.
Melanjutkan pembukaan areal persawahan yang telah
dibuka
oleh
pendahulunya,
menambah
pembukaan jalan baru, dikenal sangat dekat dengan rakyat. (Deki, 2011:74-75). 2.2.6.2.3 Masa Kemerdekaan Pada masa kemerdekaan hingga sekarang, paling kurang terjadi lima perubahan dalam sistem dan pola pemerintahan. Garis besar kronologinya dapat dibuat sebagai berikut. Pertama, pada tahun 1945-1949 berlaku sistem pemerintahan Belanda.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58
Kerajaan diperintah bersama antara kontrolir dan raja. Kedua, tahun 1950-1958 sistem kerajaan dihapus sehingga
Manggarai berubah statusnya menjadi sebuah daerah
swapraja. Kedaluan dan pemerintah Tu’a Gelarang masih diakui dan diberi tempat. Tahun 1958-1962 daerah Swapraja Manggarai ditingkatkan menjadi daerah Swatantra Tingkat II. Pemerintahan kedaluan dan kepala kampung masih tetap berjalan. Tetapi sejak tahun 1966 sistem kedaluan dan kepala kampung dihapus. Kedaluan diganti dengan sebutan kecamatan dan kampung diganti dengan sebutan desa yang berjumlah 255 desa pada tahun 1980. Sejak tahun 1980 terbentuk koordinator pemerintah Kota Ruteng dan kelahiran pemerintahan desa bergaya baru yang disebut kelurahan. Sejak tahun 1969, selain memiliki wilayah kecamatan, Manggarai juga memiliki 6 wilayah perwakilan. Perubahan dan penambahan kecamatan terus dibuat sejak era 1990-an sehingga wilayah yang dulu merupakan perwakilan kini menjadi kecamatan penih. Pada tahun 2001, Kabupaten Manggarai dimekarkan menjadi dua dengan kelahiran Kabupaten Manggarai Barat (Deki, 2011:76). Para Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manggarai No 1
Nama Bupati Carolus Hamboer
Keterangan
Melanjutkan usaha pembukaan isolasi fisik dengan sarana jalan raya, meneruskan bendungan-bendungan
yang
sudah
(April 1960 - 24 Agustus
dibangun, membuka areal persawahan yang
1967)
baru
Pembentukan
sepuluh
kecamatan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 59
menggantikan kedaluan.
Memiliki interese terhadap seni budaya daerah seperti caci, sastra lisan (go’et) dan tenun ikat.
2
Frans Sales Lega
NTT menjadi propinsi sendiri.
(24 Agustus 19674 November 1978)
Salah satu pejuang yang memungkinkan
Pada masa pemerintahannya, Manggarai meraih
anugerah
Nugraha
dari
Parasanya
pemerintah
Punakarya pusat
atas
keberhasilannya dalam bidang perhubungan dan irigasi.
Berhasil membuka isolasi udara dengan membuat
Bandar
membangun
Udara
Satar
dermaga-dermaga
Tacik, untuk
perhubungan laut dan pembukaan areal persawahan yang semakin banyak tersebar di seluruh Manggarai. 3
Frans Dula Burhan
Pencalonannya sebagai Bupati Manggarai menuai
banyak
kritikan,
tetapi
ia
menganggap keterlibatannya dalam politik sebagai pelayanan terhadap masyarakat. (4 November 1978 – 11 Januari 1989)
Memperkenalkan KUD kepada masyarakat.
Memiliki intrese terhadap sastra lisan, khususnya go’et-go’et.
Peningkatan
pelayanan
pendidikan dan perhubungan.
kesehatan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 60
4
Drs. Gaspar Parang Ehok,
MA.
Menurut
banyak
pengamat
telah
membangun Manggarai mencapai kemajuan dalam
(11 Januari 1989-1998).
segala
bidang,
khususnya
peningkatan kesejahtraan rakyat.
Bertugas selama dua periode.
Perang tanding berkecamuk di beberapa wilayah.
5
Anton Bagul Dagur
Pada masa pemerintahannya banyak kasus korupsi mencuat ke permukaan, kekerasan
(1998-22 Februari 2005).
horizontal berupa perang tanding, kekerasan vertikal khususnya peristiwa berdarah Colol dan
pembabatan
pohon
kopi
rakyat
dibeberapa tempat.
Sangat getol memperjuangkan lingkungan hidup dan karenanya mendapat penghargaan dari Mentri Lingkungan Hidup RI pada tahun 2004.
Membangun stadion olahraga termegah sedaratan Flores.
6
Christian Rotok
Membangun
kantor
Bupati
termegah
sedaratan Flores dan membuka akses jalan
(2005- Sekarang)
ke daerah-daerah terisolasi.
Pada tahun 2007 berhasil memekarkan Kabupaten Manggarai Timur.
Sepanjang tahun 2007 memberikan kuasa pertambangan
(KP)
sebanyak
15
dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 61
menyebabkan kehancuran Tanah Manggarai oleh eksploitasi kekayaan alam yang massif.
Pada masa pemerintahannya yang pertama terjadi banjir badang dan longsor yang menyebabkan kerugian harta benda dan kematian puluhan orang di Gapong dan Gologega.
Selain bencana alam, juga bencana busung lapar akibat gizi buruk dan kurang gizi serta prosentase
kelulusan
Ujian
Nasional
terburuk di bidang pendidikan. (Deki, 2011:76-79). 2.2.6.3
Lapisan Sosial
2.2.6.3.1 Keraeng (Bangsawan) Stratifikasi sosial dalam masyarakat Manggarai pada zaman dahulu terdiri dari tiga lapisan, yaitu golongan Keraeng (bangsawan), Ro’eng (Orang Biasa), dan Mendi (Budak) (Deki, 2011:79). Dasar dari pelapisan itu adalah keturunan dari klan-klan yang dianggap mempunyai sifat keaslian, senioritat, atau juga pengaruh politis. Di Manggarai, keturunan Todo-Pongkor kerap dianggap sebagai keturunan Keraeng yang kerap melahirkan para raja atau pemimpin-pemimpin Manggarai dari generasi ke generasi. Selain raja dan keturunannya yang dianggap sebagai Keraeng, ada juga lapisan-lapisan yang diklasifikasi kedalam status dan strata sosial yang sama seperti Dalu dan Gelarang.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 62
Dalam perkembangan lebih lanjut, istilah keraeng mengalami kejamakan arti berkaitan dengan perubahan dan pergeseran makna dan isi yang terkandung dalam kata itu. Kata Keraeng juga dikenakan untuk mereka yang memiliki posisi kuat dalam hal ekonomi, memiliki pengaruh sosial yang besar dan secara politis. Konsekuensinya, klan yang tadinya adalah termasuk golongan Ro’eng kini bisa dipanggil Keraeng Bupati, Keraeng Camat, Keraeng Kepala Desa, dsb.
Dewasa ini sebutan Keraeng sudah
memiliki arti yang kebih kaya. Dalam percakapan sehati-hari sering kali istilah yang sama digunakan tanpa memperhatikan arti yang sebenarnya dalam stratifikasi sosial yang menempatkannya sebagai status sosial yang tertinggi. Kata Keraeng juga merupakan sapaan bentuk hormat terhadap orang yang lebih dewasa. 2.2.6.3.2 Ro’eng (Orang Kebanyakan-Masyarakat Biasa) Ro’éng adalah masyarakat kebanyakan. Istilah ro’éng juga berkaitan dengan peran raja sebagai pemimpin pemerintahan ataupun Tu’a Golo yang juga memiliki kekuasaan tertentu. Dalam bahasa yang lazim dipakai, ro’éng dihubungkan dengan peran masyarakat kebanyakan. Ro’éng sering dikiaskan dalam sebutan wan koe etan tu’a (semua orang, baik yang kecil maupun yang besar) (Deki, 2011:80). Beberapa literatur menyebut bahwa lapisan sosial setelah golongan bangsawan (keraeng) adalah ata leke. Istilah ata leke tidak terlalu dikenal secara luas di Manggarai. Dalam sejarah pernah muncul istilah Ata Leke, yakni masyarakat biasa yang memiliki peran khusus dalam pengumpulan upeti yang diminta oleh Raja Goa ataupun Bima. Menurut Doroteus Hemo ata leke juga berarti rakyat jelata. Istilah ata leke ini berkaitan erat dengan istilah lain yakni mangko pitu (mangkuk tujuh) dan mangko
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 63
bakok (mangkuk putih) yang berhubungan dengan upeti kala itu. Leke dipakai sebagai alat penakar beras, kopi, jagung, dan sebagainya. Dalam masyarakat tertentu leke juga dipakai sebagai alat minum. Leke itulah yang dipakai untuk menakar pembayaran upeti. Setiap kilo (keluarga inti) harus memberikan upeti sebanyak satu leke lalu dikumpukan pada beka (keranjang besar yang dibuat dari anyaman bambu dan satu beka tersebut kurang lebih sama dengan 80 kg) yang ada di rumah Tu’a Teno. Ro’éng memiliki kepatutan terhadap perintah penguasa kampung (Tu’a Golo), Keraeng Dalu, dan Keraeng Raja. Sebaliknya Keraeng Tu’a Golo, Keraeng Dalu, dan Keraeng Raja memiliki kewajiban moral untuk melindungi, menyejahterakan Ro’éng yang berada di bawah kekuasaanya. Keraeng Tu’a Golo, Keraeng Dalu, dan Keraeng Raja umumnya sangat dihormati oleh Ro’éng. Mereka dianggap sebagai Éma (bapa) yang memiliki peran besar bagi kehidupan mereka. 2.2.6.3.3 Méndi (Budak) Istilah méndi (budak) erat kaitannya dengan sejarah kolonialisme lokal kerajaankerajaan tetangga, Goa dan Bima. Kerajaan-kerajaan itu menjajah Manggarai dan menangkap orang-orang Manggarai untuk dijadikan budak di negeri mereka (Hemo,1988:35). Itulah sebabnya orang Manggarai pada zaman lampau memilih untuk tinggal di tempat yang jauh dari daerah pesisir pantai, di atas bukit, dan daerah-daerah pedalaman. Mereka membangun benteng-benteng untuk mempertahankan diri sebagai satu beo atau kampung yang otonom. Tetapi ketika para penajah menguasai wilayah kekuasaan raja atau dalu-dalu, maka perbudakkan tidak dapat terelakkan (Deki, 2011:81).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 64
Munculnya istilah ata leke berhubungan dengan upeti yang harus dibayar kepada para penjajah. Tradisi mengumpulkan upeti melalui takaran leke inilah yang melahirkan orang-orang khusus untuk para pengumpul leke-leke yang disatukan dalam satu béka. Dalam kehidupan sehari-hari, para pengumpul leke disebut sebagai méndi yang diserahi tugas-tugas khusus yang berkaitan dengan pelayanan terhadap kepentingan keraeng dan para penjajah. Méndi umumnya dimikili oleh kalangan dan lapisan sosial yang tinggi seperti Keraeng Raja, Keraeng Dalu, dan Keraeng Tu’a Golo. Méndi sebagai lapisan sosial paling bawah kurang dihargai dan bahkan sering diremehkan dalam kehidupan bersama. Pada zaman lampau, méndi sengaja didatangkan khususnya bila terjadi kekalahan dalam peperangan. Selain itu méndi juga didapat dari perbuatan bangsawan yang sombong, otoriter, sewenang-wenang, dan kejam (Deki, 2011:82). Terdapat tiga klasifikasi méndi. Pertama, méndi ata hae, yakni orang yang dijadikan budak saat-saat tertentu saja, misalnya menemani sang tuan untuk memikul beban ketika tuannya mengadakan perjalanan. Kedua, méndi lampang. Méndi jenis ini hampir sama dengan jenis pertama tetapi memiliki kekhususan, yakni ia terus berada bersama tuannya termasuk menjalankan tugas untuk mengundang orang yang dibutuhkan tuannya. Ketiga, méndi lampang one, yakni budak yang tinggal bersama tuannya, melayani tuannya sampai ke hal-hal yang paling kecil, misalnya memotong daging untuk tuannya dan menuang tuak ke gelas tuannya. Meskipun ada kedekatan dengan tuannya, ketiga jenis méndi itu tinggal terpisah dengan tuannya. Sedangkan jenis méndi keempat, yakni méndi sékontu, tinggal bersama tuannya (toe ka’eng woleng) (Verheijen, 1978:289).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 65
Di Ruteng ada banyak méndi yang berasal dari Dompu, Bima. Sebaliknya di Bima ada banyak orang Manggarai yang dibawa kesana sebagai méndi pada zaman dahulu ketika kekuasaan mereka masih kuat. Ada pertukaran méndi yang dilakukan atas konsensus bersama. Pada zaman Belanda, ada begitu banyak orang Manggarai yang dibawa ke Batavia. Mereka hidup dan berkembang dari generasi ke generasi dengan identitas ke-Manggarai-annya, termasuk pemberian nama tempat Manggarai di Jakarta yang dikenal hingga saat ini (Deki, 2011:83). Dewasa ini istilah méndi sebagai status sosial terendah tidak ada lagi di Manggarai. Tugas méndi diganti oleh pembantu atau pelayan yang memiliki hak dan kewajiban berdasarkan azas kemanusiaan dan penghargaan terhadap humanitas. 2.2.6.4 Sistem Mata Pencaharian Pada zaman dahulu, terdapat tiga jenis aktivitas yang berkaitan dengan mata pencaharian Orang Manggarai sebagai petani. Pertama, bekerja di ladang atau di sawah; kedua, berburu (di hutan maupun mencari ikan, udang, dan belut di laut atau di sungai); dan ketiga, beternak. Masyarakat Manggarai umumnya adalah petani dengan kultur agraris yang ketat dan evolutif. Mula-mula lahan pertanian, khususnya ladang dikerjakan dengan pola sederhana dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (field rotation system). Kenyatan ini berlaku mana kala jumlah penduduk belum terlalu banyak. Pada masa kini hal itu sulit dilakukan karena terkait dengan pelbagai aturan hukun pemerintahan dan semakin padatnya manusia yang menghuni daerah-daerah yang dulunya tak berpenghuni.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 66
Tanaman utama di ladang adalah padi, berbagai jenis umbi-umbian, dan jagung yang merupakan bahan makanan pokok. Selain itu diusahakan pula tanaman-tanaman perdagangan seperti kopi, kelapa, kapas, dan coklat. Jenis kopi yang mula-mula dikenal di Manggarai adalah kopi Arabica yang sehari-hari lebih dikenal sebagai kopi Manggarai. Sejak kedatangan Belanda, Manggarai diperkenalkan pada jenis kopi baru, yakni kopi Robusta dan oleh masyarakat Manggarai disebut kopi tuang (kopi penguasa). Sejak Pelita I dicanangkan oleh pemerintah, dikenal pula jenis tanaman lain seperti vanili dan cengkeh. Berbagai jenis kopi unggul diperkenalkan seperti kopi Columbia pada masa kepemimpinan Gaspar Parang Ehok. Sawah dikenal oleh masyarakat luas tatkala Kerajaan Goa berpengaruh disebagian besar wilayah Manggarai. Sawah percontohan dibuat di daerah Reo dan Pota. Persawahan kemudian diperluas pada masa penjajahan Belanda dan kemudian diteruskan oleh para Raja Manggarai dan Bupati Manggarai hingga masa kepemimpinan Bupati Frans Sales Lega (1968-1978). Beberapa daerah yang menjadi pusat area persawahan adalah Cancar, Reo, Lembor, dan Wae Reca. Alat untuk mengolah tanah lazim disebut nggala. Alat ini terbuat dari batang pinang atau enau yang memiliki fungsi sebagai bajak. Nggala ditarik oleh kerbau. Itulah sebabnya bagi orang Manggarai kerbau memiliki nilai ekonomis yang tinggi, termasuk dalam urusan belis (paca). Perubahan teknologi pertanian sederhana ke teknologi pertanian modern dimulai tatkala pemerintah memperkenalkan bajak sebelum tahun 1940 dan menjadi umum dan meluas sejak tahun 1950. pada masa sekarang penggunaan bajak bukan lagi merupakan hal yang paling modern karena traktor-traktor tangan telah menggantikan peran kerbau dan bajak sekaligus. Selain itu,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 67
untuk memberantas hama telah digunakan alat-alat semprot, baik yang manual maupun yang otomatis yang dipakai secara luas di seluruh wilayah persawahan. Alatalat pengirik padi ditinggalkan dan diganti dengan yang mesin rontok. Sebagian besar petani juga mengganti lésung atau alu dengan mesin giling padi yang tersebar di seluruh Manggarai. Pergantian tampuk kekuasaan di Manggarai tak luput dari usaha untuk menjadikan Manggarai daerah swasembada pengan pertama di NTT. Pemerintah membangun sarana irigasi yang modern dan pusat-pusat persawahan yang baru. Pusatpusat persawahan baru itu antara lain dibangun di Lembor, Loba, Lolang, Satar Mese, Ronang, Gising, Wae Lengga, Dampek, dan Buntal. Luas persawahan yang dibuka ini mencapai ratusan hektar setiap tempat. Sumber mata pencaharian yang lain adalah beternak. Hewan ternak pada zaman dahulu biasanya dibiarkan berkeliaran di padang-padang yang luas, seperti kerbau, kuda, dan sapi. Meskipun hewan-hewan tersebut dibiarkan berkeliaran, tetapi masyarakat luas mengetahui pemilik hewan-hewan tersebut hingga jarang terjadi perebutan hewan-hewan yang dibiarkan berkeliaran tersebut. Sedangkan ternak lain seperti babi dan ayam dipelihara disekitar perumahan rakyat. Ternak-ternak ini memiliki peran dan fungsi ritual, khususnya babi, ayam, dan kerbau sering dijadikan kurban dalam acara atau pesta adat. Aktivitas berburu (ngo bang) bukanlah pekerjaan pokok orang Manggarai. Berburu adalah kegiatan selingan yang dilakukan apabila musim tanam sudah selesai. Kegiatan ini memiliki kaitan erat dengan siklus pertanian, khususnya pembasmian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 68
hewan-hewan liar yang sering merusak tanaman, seperti babi hutan, rusa, kerbau liar, kuda liar, musang, landak, kera, dsb. Berburu memiliki aspek sosial karena dilakukan secara kolektif dan demi kepentingan bersama. Kegiatan perburuan dilengkapi dengan tombak atau lembing (korung, vokad dan anjing. Selain itu ada aktivitas yang disebut sa’a. Sa’a adalah kegiatan mencari lauk-pauk yang difokuskan di sungai atau laut. Di Manggarai sungai-sungai besar kaya akan jenis ikan, udang, kepiting, dan belut yang ditangkap dalam sa’a bersama. Sarana yang biasa digunakan adalah capat (perangkap udang). Hingga saat ini sebagian orang Manggarai juga berprofesi sebagai nelayan. Umumnya mereka mereka merupakan penduduk yang berimigrasi ke Manggarai dari daerah sekitar, khususnya Makasar, Pulau Ende, dan Bima. Penduduk asli Manggarai rupanya tidak tertarik untuk menjadikan nelayan sebagai perkerjaan pokok, kecuali menjadi nelayan musiman, misalnya pada saat ada kesempatan menangkap nénér (anak ikan Bandeng) untuk dijual. Disamping itu ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, masuk Dinas Militer, pegawai swasta, dan pedagang. Pluralitas pekerjaan memungkinkan orang Manggarai memiliki interaksi sosial yang tinggi terhadap pelbagai segmen yang ada dalam masyarakat dan budayanya (Deki, 2011:86). Meskipun Manggarai dikenal sebagai kabupaten yang memiliki banyak sumber daya alam, namun menurut data tahun 2004, jumlah kepala keluarga (KK) yang tergolong miskin mencapai 70.423 KK. Data KK ini tersebar di 12 kecamatan di seluruh Kabupaten Manggarai. Dari keseluruhan jumlah KK yang tergolong miskin itu, terbanyak adalah warga Kecamatan Satar Mese, yakni sebanyak 10.524 KK, sedangkan jumlah KK miskin terendah adalah Kecamatan Langke Rembong, yakni
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 69
sebanyak 3.200 KK miskin. Jumlah KK miskin ini hampir separuh dari seluruh KK di Manggarai yang berjumlah sebanyak 111.642 KK. 2.2.6.5 Kesenian dan Sastra Lisan Orang Manggarai memiliki intrese yang tinggi terhadap dunia seni. Pada umumnya bentuk kesenian orang Manggarai dapat diklasifikasi dalam dua jenis, yakni seni sastra dan seni pertunjukkan. Orang Manggarai memiliki seni sastra yang tinggi. Kesusastraan itu diungkapkan dalam pelbagai bentuk sastra seperti prosa (tombo nunduk, tombo turuk, tombo rapang), mantra, bidal, dan puisi berupa pepatah, peribahasa, dan syair lagu (go’ét, dere, torok). Selain itu, orang Manggarai juga mengenal seni pertunjukkan yang diekspresikan melalui seni musik, seni tari dan seni rupa. Syair-syair lagu biasanya dinyanyikan pada saat-saat khusus dan istimewa ataupun sebagai ungkapan rasa batin dalam keseharian. Olah vokal sering dinyatakan dalam tarian caci, mbata, dan sanda. Alat-alat musik yang digunakan antara lain gendang, gong, tambor (drum), juk (gambus), lamba, mbetung, dan tiding. Seni tari ditampakkan dalam tarian caci, ndudu ndake, krangku kaluk, dan danding. Sedangkan seni rupa ditampilkan dalam seni kriya (kerajinan tangan) berupa motif-motif kain songke (towe songke atau towe todo), motif loce (tikar), motif songkok re’a, ukiran-ukiran bubungan mbaru géndang atau mbaru témbong (rumah adat), berbagai hiasan perlengkapan caci seperti panggal (perisai dikepala yang ditempatkan di depan dahi), sapu (destar), tubi-rapa (manik-manik yang melingkari dagu), kiris (keris) dan sebagainya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 70
Permainan caci merupakan puncak kesenian orang Manggarai, karena dalam permainan itu semua unsur seni diungkapkan. Unsur seni tersebut adalah seni sastra dalam paci (semacam slogan) yang puitis, seni suara dalam syair-syair dere, nenggo, landu (lagu-lagu yang merupakan ungkapan perasaan orang yang terlibat dalam caci) yang indah, seni tari dalam gerakan yang mengikuti irama gong dan gendang yang ditabuh bersamaan dengan danding (hentakan kaki yang diiringi musik dan lagu), dan seni rupa dalam rupa-rupa perhiasan yang dikenakan oleh para peserta yang terlibat dalam caci. Selain itu ketangkasan dalam meragakan keberanian seorang lelaki dinyatakan terbuka. Ada gaya tertentu dalam memegang nggiling perisai) dan ayunan kalus atau larik (cemeti) yang memukau. Dengan kata lain, dalam permainan caci unsur-unsur seni disatu-padukan secata seimbang sehingga menimbulkan kesan eksotis, lengkap, dan sekaligus menawan hati setiap orang yang menyaksikannya. 2.2.6.6 Sistem Peralatan dan Teknologi Peralatan yang digunakan oleh orang Manggarai pada zaman lampau sangat sederhana. Terdapat perkembangan yang signifikan dalam teknologi. Asal-usul suku yang berlainan memungkinkan terjadinya pertukaran teknologi. Suku-suku yang berasal dari Turki dan Minangkabau telah mengenal penyepuhan besi sejak lama. Karena itu beberapa keturunan mereka masih terlibat dalam usaha pandai besi. Menurut Anton Bagul Dagur, ada beberapa unsur yang termaktub dalam peralatan dan teknologi Manggarai. Pertama, perumahan. Rumah orang Manggarai, khususnya mbaru tembong atau mbaru niang (rumah adat) berbentuk kerucut dan bersegi lima yang terdiri atas tiga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 71
bagian utama, yakni ngaung (bagian bawah rumah yang memiliki kolong), bate ka’eng (tempat kediaman manusia), dan wuwung (atap). Atap ini terdiri atas tiga bagian yakni lobo, ngando atau lempa rae, dan wuwung. Di bagian atap ada ukiran kepala manusia dengan tanduk kerbau di telinganya. Orang Manggarai membuat rumah mereka dengan teknologi sederhana yang melibatkan seluruh warga kampung (wan koe, etan tu’a). Pada zaman lampau atap terbuat dari ijuk sedangkan dindingnya dari papan yang digergaji secara manual. Kata mbaru jika ditinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata, yakni mbau (teduh) dan ru (sendiri) yang berarti naungan (yang dibuat) sendiri (Dagur, 1990:104). Kedua, alat-alat produksi. Alat-alat produksi tradisional mencakup kope (parang), béci (tofa), ngéncung (lesung), alu, léwing tana (periuk dari tanah liat). Ketiga, senjata untuk berburu dam berperang. Senjata yang digunakan antara lain kope banjar atau klewang (parang panjang), korung dan vokad (rombak), kiris (keris), sumpit, sundang, dan panah. Selain itu ada berbagai bentuk perangkap seperti béndi atau disebut juga weku, nggépit, serente, cempe, wenta, dan lain sebagainya. Keempat, pakaian dan perhiasan. Pada zaman dahulu pakaian orang Manggarai terbuat dari kulit kayu Lale dan kulit binatang. Setelah mengenal alat tenunan pakaian dibuat dari kainkain yang ditenun sendiri. Mereka menciptakan alat pemintal benang dan alat tenun untuk dédang (tenunan) yang memakai kapas sebagai bahan dasar. Dari kain-kain itu tercipta berbagai bentuk baju dan kain lipa seperti baju kembiang, towe mbiris, selendang slampe, towe songke dan sapu curuk, lalong-ndeki, golo, nggorong (giringgiring) (Verheijen, 1978:54). Perhiasan yang dipakai seperti gelang (nekar, cake,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 72
meloso), tuni mbero, tubi rapa, anting-anting, bali-belo (hiasan yang menyerupai mahkota dan dikenakan di kepala wanita), luju, dan rétu. Kelima, berbagai bentuk wadah; langkok, joreng, cecer, (tempat penyimpanan padi atau jagung dalam ukuran besar), roto atau beka (wadah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi atau beras yang bisa menampung kira-kira 80 kg), berbagai bentuk bakul, doku (nyiru), lide (bakuk kecil), luni (keranjang kecil yang terbuat dari anyaman daun pandan, biasa digunakan untuk menyimpan beras, garam, kacangkacangan dalam jumlah sedikit kira-kira 1 kg), tongka (wadah yang terbuat dari bambu, biasanya hanya satu buku), lorang atau teong (wadah yang terbuat dari ruas bambu dan digunakan untuk mengambil air. Lorang biasanya lebih panjang dari teong dan tanpa tali). Keenam,
alat
transportasi.
Alat
transportasi
di
Manggarai
umumnya
menggunakan tenaga sendiri, hewan (kerbau, kuda) dan sampan dalam bentuk sederhana. Searah dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, ada perubahan drastis dalam bidang transportasi dengan memanfaarkan sarana-sarana yang lebih canggih. 2.3
Rangkuman Dalam uraian diatas telah dipaparkan secara singkat tentang Orang Manggarai:
sejarah, geografi-topografi, dan kebudayaan. Manggarai sebagai sebuag wilayah yang memiliki sejarah yang khas karena berasal dari berbagai keturunan yang berbeda. Wilayah yang sama ini diwarnai oleh kolonialisme lokal (Goa-Tallo dan Bima) dan asing (Belanda), yang mempengaruhi budaya serta sistem pemerintahannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 73
Identitas ke-manggarai-an terbentuk dari semua unsur campuran yang melekaterat jadi satu, yang pada gilirannya sulit dipisahkan manakah yang asli dan manakah yang merupakan tambahan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 74
BAB III TOROK DAN RITUS ADAT ORANG MANGGARAI
3.1
Pengantar Dalam budaya Manggarai, torok atau doa asli Manggarai memiliki peran yang
sangat penting dan kedudukan yang tinggi. Torok sebagai doa asli orang Manggarai selalu dijadikan tiang utama dalam upacara adat. Sebuah upacara adat tidak bisa dilangsungkan jika torok tidak diikutsertakan dalam upacara tersebut. Penjelasan dalam bab ini akan diawali dengan (1) pengertian torok, (2) penutur torok (3) sifatsifat torok, (4) Ritus Kelahiran Orang Manggarai, (5) Ritus Kebun Orang Manggarai, (6) Ritus Penti (syujuran hasil panen), (7) Ritus Pembangunan Rumah Orang Manggarai, (8) Ritus Perkawinan Adat Orang Manggarai, (9) Ritus Wu’ad Wa’i (memberi bekal bagi yang hendak merantau), (10) Ritus Teing Hang (memberi makan leluhur), (11) Ritus Kematian Orang Manggarai dan diakhiri dengan (12) Rangkuman. 3.2 Arti Torok Kata torok berarti menyampaikan, mengemukakan, membeberkan. Torok dapat diartikan sebagai menyampaikan pesan ujud permohonan acara atau pesta kepada leluhur atau Allah. Misalnya, torok mata (menyampaikan pesan waktu acara kematian). Pengertian torok yang lebih lengkap ialah menyampaikan pesan, berupa doa permohonan, syukuran, pujian, sembah, hormat, dan terima kasih kepada Allah atau leluhur, sesama, lingkungan baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia atas segala pengalaman hidup manusia yang sifatnya positif, dalam situasi terbuka, formal, dihadapan banyak orang dengan menggunakan bahasa kiasan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 75
(bahasa tinggi budaya), dan dapat dilakukan dengan disertai penyembelihan hewan dan bisa juga tanpa penyembelihan hewan. 3.3
Penutur Torok Pada zaman feodal, yang berhak membawakan torok adalah dari kalangan
bangsawan, karena ini adalah pesan budaya dengan menggunakan bahasa tinggi budaya. Tetapi kini, karena pengaruh zaman modernisasi budaya bahwa yang membawakan torok boleh juga di luar keturunan darah biru, yang penting punya kharisma untuk itu. Oleh karena itu, ia harus mengusai adat, memahami istilah-istilah budaya Manggarai, sehingga kata-kata yang diucapkannya pada saat torok sesuai dengan momen acaranya. 3.4
Sifat Torok
3.4.1. Baro (melapor) Pada bagian awal torok, pertama-tama orang menyapa Allah atau leluhur atau dewa. Selanjutnya ia menyampaikan maksud yang mau disampaikan. Contohnya: Ho ami méndi anak me manga ranga
: Kini kami hamba-Mu
Lonto torok padir wa’i réntu sa’i
: Hadir duduk berbicara dan bersila
Wan koe etan tu’a
: Dari yang kecil sampai yang tua
Pa’ang olo ngaung musi
: (Beserta) Seluruh warga kampung
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 76
Ce’e tana Manggarai ho’o
: Di Manggarai
Té tégi berkak dite
: Hendak meminta berkat-Mu
Sembeng koe lite
: Lindungilah kami
Sangged géjur dami
: (Dan) Segala pekerjaan kami
One ntaung ho’o
: Sepanjang tahun ini
3.4.2 Naring (Memuji) Berikut ini sebait contoh doa atau torok yang bersifat memuji Ho’o ami mai hiang
: Kini kami berkumpul
Naring kamping ite
: (Untuk) MemujiMu
Jari agu Dedek
: Pencipta dan Pemelihara
Par awo kolépn sale
: (Yang menciptakan) Matahari
Ulun le wa’in lau
: (Yang menciptakan) Utara dan selatan
Tanan wa awang eta
: (Yang menciptakan) Bumi dan langit
3.4.3 Béngkés (Bersyukur dan Berterima Kasih) Contoh torok yang bersifat syukuran dan terima kasih Cémbér keta nai dami
: (Hati) Kami berbahagia
Lep pucu
: (Merasa) Lega
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 77
Mbiang ranga
: Wajah berseri
Ai mesen momang dite
: Karena begitu besar kasihMu
Latang ami anak me
: terhadap kami anak-anakmu
Ai kawe lami haeng
: Kami menemukan apa yang kami cari
Tuluk lami dumpu
: Kami mencari (di tanah) dan menemukan
Hamar lami manga
: Kami meraba-raba dan menemukan
Ita hang ciwal
: Kami mendapat hasil kebun
Haeng hang kawe
: Kami mendapatkan makanan melimpah
Lincik ici
: Tanaman berbuah
Wéras wua
: Bulir padi berisi
Lébo kala wéri
: Sirih bertumbuh
Wua raci po’ong
: Pinang berbuah
Tela galang kéte api
: Kayu bakar untuk memasak
Kembus wae teku
: Air melimpah ruah
Mboas wae woang
: (Dari) Mata air yang bersih
3.4.5 Ampong Ndekok (Pengampunan Dosa) Contoh torok meminta pengampunan dosa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 78
Ampong koe sangged sala dami méndi
: Maafkanlah dosa-dosa kami hambaMu
Lé humér nai
: Dosa (karena) niat kami
Le tombo agu le pande
: (Karena) perkataan dan perbuatan kami
Agu lawang one mai kilo ru
: Serta dosa kami dalam keluarga
Osang bate duat
: (Dan) Dosa kepada teman kerja kami
Cewen kole agu hae ata.
: Terlebih lagi bagi sesama kami
Ami tégi berkak dite yo Mori
: Kami meminta berkatMu ya Tuhan
Kudut toto lami nai molor
: Supaya kami mempunyai hati yang bersih
Rantang kose mose one lino
: Takut akan kejahatan duniawi
Rantang calang wakar ngo one ngampang: (Serta) Takut jiwa kami tersesat. 3.4.6 Tégi (Meminta atau Memohon) Contoh torok yang bersifat memohon Yo Mori
: Ya Tuhan
Berkak koe wéki agu wakar dami méndi : Berkatilah jiwa dan raga kami hambaMu Kudut cebo lewe mose one lino ho’o
: Supaya kami berumur panjang
Uwa koe ami haeng wulang
: Tua sampai kami mencapai bulan
Langkas haeng ntala
: Tinggi sampai ke bintang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 79
Nai ca anggit tuka ca leleng
: Satu kata dan pikiran
Léma emas muju mu’u eme curup cama tau: Sopan dalam berbicara dengan sesama Berkak koe golo lonto
: Berkatilah kampung tempat kami tinggal
Natas labar
: Halaman tempat kami bermain,
Compang dari
: Altar persembahan
Agu wae teku
: Juga mata air tempat kami menimba air
Porong duat pe’ang uma we’e one baru : Lindungilah kami selama kami bekerja Neka cumang dungka
: (Sehingga) Kami tidak bertemu langsung
Neka pala ranga
: Bertatapan muka
Neka dudi tae tuil pala tae raja
: Supaya mata hati kami tidak tertutup
Neka nggoko one golo caka one salang
:Dan kami tidak mendapat sial dalam perjalanan
3.4.7 Suju (Menyembah) Contoh torok yang bersifat menyembah Ai dolong ite toe nganceng dopo
:Kami berusaha mengejarMU tetapi kami tidak dapat menangkapMu
Kawe lami ite toe manga nganceng haeng:Kami mencariMu tetapi kami tidak menemukanMu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 80
Dépa lami toe hena
:Kami berusaha menggapaiMu tetapi kami tidak dapat menyentuhMu
Landing imbi lami ite manga ranga Lawang wie agu leson one mose
: Tetapi kami percaya bahwa Engkau ada :(Melindungi) Kami baik siang maupun malam
Agu géjur dami lete léso
: (Dan melindungi) Pekerjaan kami tiap hari
Lé mesen momang dite
: Karena besarnya kasihMu
Itu tara tadang sangged usang warat
:(Sehingga) Engkau menjauhkan segala mara bahaya
Sembeng buru mese
: (Kami) Dilindungi dari badai
Pangga lite darap dé tana
: Engkau menghalau bencana
Kolang dé léso
: (Dan) Melindungi kami dari panas
Ita lami hang ciwal
:Kami mendapat makanan dari tanaman kami
Haeng hang kawe
:Kami mendapat makanan dari pekerjaan kami
Ho’os lami condo wéki agu wakar dami
:Kini kami menyerahkan jiwa dan raga kami
One tara wua po’ong so’o
: Dalam rupa hasil bumi yang kami peroleh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 81
Té ho’o agu tedeng len. 3.5
: Untuk saat ini sampai selama-lamanya.
Ritus Kelahiran Orang Manggarai Bagi orang Manggarai, kelahiran seorang manusia memiliki tempat yang sangat
istimewa. Oleh karena itu, setiap tahapannya memberi arti yang sangat dalam dan nuansa yang kaya makna. Berikut ini ada beberapa tahapan yang menjadi pusat perhatian. 3.5.1 Cikeng Cikeng mempunyai arti mengurut, meraba pada bagian tertentu dari tubuh, perut, kandungan, vagina perempuan pada detik-detik menjelang persalinan. Hal seperti ini biasa dilakukan oleh ibu-ibu (dukun kampung) yang sudah berpengalaman dalam membantu persalinan di kampungnya. Hal yang sama bisa juga dilakukan oleh lakilaki asalkan ada persetujuan dari ibu atau suaminya. Tujuannya untuk mengetahui dengan pasti kapan bayi akan lahir. 3.5.2 Loas Loas berarti melahirkan. Istilah ini dalam bahasa Manggarai hanya dikhususkan untuk manusia, dalam hal ini bagi ibu yang melahirkan anaknya. 3.5.3 Entap Siding Entap siding (entap: memukul, siding: dinding) dalam arti yang luas adalah memukul dinding bilik atau rumah saat terjadinya persalinan. Ada kebiasaan pada saat si ibu sedang menunggu saat persalinan, kaum pria tinggal diluar rumah, sambil berdiang di dekat api unggun. Jika terdengar tangisan bayi, mereka memukul dinding
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 82
sebanyak tiga kali sambil bertanya “ata one ko ata pé’ang?” (orang dalam atau orang luar). Ata one adalah istilah untuk laki-laki karena dia akan menjadi penerus generasi klan (sistem patrilineal), sedangkan ata pé’ang adalah istilah untuk perempuan sebab jika dia diperistri, dia akan masuk dalam klan suaminya. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengukuhkan atau mendeklarasikan pertama kalinya status jenis kelamin anak dalam keluarga. 3.5.4 Poro Putes Poro putes (poro: memotong, putes: tali plasenta) mempunyai arti memotong tali plasenta bayi yang baru lahir. Alat yang digunakan untuk memotong tali plasenta adalah lampek, yakni pisau dengan bahan baku bambu yang dikeringkan lalu dipertajam. Pemanfaatan pisau lampek adalah tradisi turun temurun untuk menghindari karatan besi yang dapat menyebabkan infeksi pada plasenta. 3.5.5 Boak Dimar Boak dimar (boak: mengubur, dimar: gumpalan darah, ari-ari) merupakan penguburan sisa darah dan ari-ari yang telah dipotong pada saat persalinan serta kainkain yang memiliki bercak darah pada saat persalinan. Tempat penguburannya adalah di samping rumah, khususnya daerah yang agak lembab. Tujuannya adalah agar kondisi kesehatan si bayi dan ibunya tetap terjaga.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 83
Pada saat upacara boak dimar ini juga dikuburkan benda tertentu yang mewakili harapan orang tua untuk anaknya di masa depan, misalnya menyertakan buku dan ballpoint supaya kelak anaknya menjadi orang cerdas. 3.5.6 Toko Ruis Cumpé Toko ruis cumpé(toko: tidur, ruis: dekat, cumpé: tenda) secara harafiah berarti tidur dekat tungku api. Maksud dari toko ruis cumpe adalah agar ibu dan bayinya merasa hangat sesudah melahirkan. 3.5.7
Upacara Céar Cumpé atau Lega Cumpé
3.5.7.1 Arti dan Maksud Lega cumpé atau céar cumpé adalah upacara yang dilaksanakan pada hari ke -3 atau hari ke-5 setelah seorang bayi dilahirkan. Adapun tujuan dari acara ini adalah agar ibu dan bayi yang baru lahir bisa berpindah tempat, sebab sebelum acara ini dibuat ibu dan sang bayi hanya berada di dalam kamar saja. Upacara Céar Cumpé dibagi menjadi dua bagian, yakni ratung wuwung dan wali cumpé. Ratung wuwung dimaksudkan agar ubun-ubun bayi yang masih lembek dikuatkan sehingga dibebaskan dari kuasa angin jahat. Sedangkan wali cumpe dibuat karena ada kebiasaan orang tua dulu bayi yang baru lahir dibaringkan di atas cumpé (bale-bale/tenda). Wali cumpé adalah upacara pemindahan bayi dari tenda ke tikar atau tempat yang layak. Menurut Yoseph Ngadut (61), alasan yang lebih substansial, upacara ini dibuat sebagai simbol pengakuan atas keabsahan seorang anak yang baru lahir untuk menjadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 84
anaknya dan ungkapan kesediaan orang tua untuk bertanggung jawab atas itu dalam mendidik dan membesarkannya. Dalam acara ini yang menjadi perhatian adalah pemberian nama anak. Adapun nama, dipilih empat atau lima, dipilih salah satu dari nama-nama yang ada untuk diberikan kepada anak tersebut. Adapun yang menjadi hewan kurban dalam upacara ini adalah ayam jantan (manuk lalong). Ayam disembelih dalam sebuah ritual khas dengan struktur yang sudah baku melalui torok céar cumpé. Acara ini disaksikan oleh anak rona (pihak pemberi gadis, ibu dari anak yang baru lahir) dan wa’u (keluarga klan ayah, pihak penerima gadis, disebut juga ase-kae) dan weki pa’ang olon- ngaungn musi (warga kampung). Bila kondisi tidak memungkinkan atau bila kedua orang tuanya berhalangan maka perlu dibuatkan acara khusus yang lebih sederhana, yakni acara nggolong ruha one sa’i gala de mantar hitud cai weru (menggulingkan telur di dahi bayi yang baru lahir). Maksud dari acara ini adalah pengungkapan kesediaan kedua orang tua bahwa mereka akan mengadakan acara céar cumpé. Tujuan lainnya adalah supaya “toe mangas babang agu bentang le kaka tana, saung haju” ( tidak ada gangguan dari naga tanah), sehingga sang bayi seperti telur yang tetap terjaga di dalam cangkangnya. 3.5.7.2 Urutan Acara Upacara dibuka dengan ucapan salam ( tuak kapu agu sanggéd ase kae ata manga one acara céar cumpé). Ucapan selamat datang kepada semua peserta yang hadir biasanya dilakukan oleh anggota keluarga (tertua) yang telah diberi mandat oleh pemilik hajatan céar cumpé. Sang penerima mandat, sambil memegang sebotol
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 85
tuak/arak, menyampaikan ucapan terima kasih telah hadir di acara céar cumpé sekaligus memohon doa restu untuk masa depan anak yang baru lahir. Setelah ucapan salam, acara dilanjutkan dengan pemberian nama (teing ngasang, nampo ngasang). Peserta yang hadir diberi kesempatan untuk memberikan empat nama dan nama kelima di pilih oleh orang tua anak tersebut. Nama yang diberikan oleh orang tua bayi tersebut akan menjadi nama sebenarnya yang akan disebutkan dalam torok manuk. Oleh karena itu, nama tersebut disebut ngasang manuk , sebuah nama yang harus dihargai, lebih-lebih kalau pemiliknya sudah dewasa. Setelah pemberian nama, torok céar cumpé didaraskan oleh penuturnya. Dalam torok diucapkan maksud dari perayaan itu termasuk memohon berkat dan perlindungan dari Tuhan,
nenek moyang yang sudah meninggal serta roh alam.
Jawaban atas persetujuan dari atas akan dinyatakan lewat toto urat manuk (hati dan usus ayam) dan penutur torok akan membacanya serta menyampaikan artinya kepada peserta yang hadir. Torok terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama, pemberian sirih pinang dan tuak (teing cépa agu tuak) bagi leluhur yang telah meninggal. Kedua, penyampaian torok pemberian nama dengan doa dan harapan bagi kebaikan bayi di masa depan. Di sela-sela torok, ada kebiasaan bagi anak wina (pihak penerima gadis) untuk memberikan uang kepada sang bayi. Anak rona (pihak pemberi gadis) pun demikian. Pada upacara ini mereka juga membawa sesuatu (misalnya gelang emas, anting emas, kain songke/lipa) lalu anak wina akan menggantikannya dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar dari nilai normal. Acara dilanjutkan dengan toto urat manuk (acara pembacaan tanda pada hati dan usus ayam). Ayam yang sudah disembelih dibelah lalu diperlihatkan ususnya. Penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 86
torok akan membaca hati dan usus ayam lalu menyampaikan hasilnya. Jika usus ayam ini tidak terbelit, berarti Mori Jari agu Dedek (Tuhan Pencipta dan Pemelihara) dan semua leluhur memberi restu kepada bayi itu dan dan menjadi pelindungnya dalam meraih masa depan yang gemilang. Sebagai wali urat di’a (syukur atas lurusnya usus ayam yang merupakan pertanda baik), pihak anak wina memberikan sejumlah uang sebagai tanda kegembiraan. Acara ini ditutup dengan upacara helang (sesajian untuk leluhur). Bagian-bagian tertentu seperti hati ayam, paha ayam diambil lalu dibakar umtuk dijadikan sajian bagi yang Maha tinggi dan arwah leluhur. Bersama daging itu disertakan nasi, air, dan tuak (arak). Torok Teing Cépa agu Tuak: Kerrrr……
: Kerrrrr……
Ho’o cépa di’a kudut ite
:Inilah sirih pinang terbaik yang kami siapkan untuk kalian
Ngasang énde lopo agu éma do
: (Kalian) Yang kami sebut ayah dan ibu
Agu ise wura agu céki
: (Beserta kalian) Para leluhur
Ai leso ho’o de
: Karena pada hari inilah
Néki wéki
: Kami berkumpul
Tara manga padir wa’i rentu sa’i
: Menyatukan hati dan pikiran
Té adak cear cumpe dé émpos
: Untuk mengadakan upacara membongkar tenda cucu kalian yang baru lahir
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 87
Lalong bakok to’ong
: Ayam jantan putih yang kami sediakan
Kudut adak tanda ngasan dé émpo
:Untuk upacara pemberian nama cucu kalian
Ho’os cépa agu tuaks, maim ga
: Inilah sirih pinang dan tuak untuk kalian, datanglah
Torok Céar Cumpé Denge di’a lé meu céki agu émpo
: Dengarlah wahai kalian para leluhur
Nénggitu kole ite
: dan juga Engkau
Mori agu Ngaran
: Tuhan Pemilik
Ai mese momang dé meu
: Karena begitu besar kasih kalian
Katu lé meu le mai
: (Dari surga) Kalian mengirimkan
Anak bara agu wua tuka dami.
: Anak kepada kami
Ho’og de manuk
: Inilah ayam jantan
Kudut adakn lami ratung wuwung
:Yang telah kami siapkan untuk menguatkan ubun-ubun
Agu cear di’an cumpen.
: Dan membongkar tendanya
One manuk ho’o lami teing ngasang
:Melalui namanya
ayam
ini
kami
memberikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 88
Hi (caro ngasang) muing ngasangn
: Si… (sebutkan nama anak itu) adalah namanya
Kudut pu’ung no’o main hia ga
: Sehingga mulai dari sekarang
Eme lage para neka koe béntang lé tana peang: Kemanapun ia pergi tidak diganggu oleh roh jahat Neka ligot siong
: Dibebaskan dari ancaman roh jahat
Neka pédéng ménés
: Dijauhkan dari pelbagai penyakit
Ai hitu de rutan lami rajan
: Karena itulah tujuan dari acara ini
One manuk ho’o ratung wuwung
: Melalui ayam ini ubun-ubunnya dikuatkan
Cear cumpe agu teing ngasang ho’o
:Tendanya
dibongkar
dan
namanya
diberikan Kali hitus tae agu torok toe senget le
: Walaupun maksud ayam ini dikurbankan sudah kami sampaikan
Toe pinga sina
: Namun niat kami tidak dihiraukan
Ngongt benta kin lé tana pe’ang
: Kekuatan roh jahat masih menguasainya
Ligot kit siong
: Alam tak menjaganya
Pédéng kin ménés
: Sakit masih dideritanya
Ngongt cau bon lami manuk ratung wuwung: Ayam kurban ini menjadi tak bermakna untuk upacara menguatkan ubun-ubunnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 89
Cear cumpe agu teing ngasang
:Untuk
membongkar
tenda
dan
memberikan nama Ho’o tura one urat
: Sampaikanlah melalui urat
Pécing one péning rao ranggi
: ketidaksetujuan dan ketidaksukaan kalian
Agu mbolot urat manuk toe kong toton
:Nanti
ususnya
terbelit-bengkok,
dan
darinya tidak dapat dibaca apapun Somba…
: Kasihanilah kami
Yo émpo agu céki,
: Hai nenek moyang dan para roh leluhur
Nggitu kole ite Morin agu Ngaran
: Serta Tuhan pemilik dan Sang Empunya
Ho’o ketag manukn lami pujud mu’u
:Inilah ayamnya untuk memuji
Saka cangkéms meu
: Dan memuliakan kalian
Nahe pu’ung no’o main
: Biarlah mulai dari sekarang ini
Sembeng lite wéki agu wakar
: Kalianlah yang menjadi penjaga tubuh dan jiwanya
Nahe uway lé usang
: Biarlah dia bertumbuh dan berkembang seperti banyaknya hujan
Bekay lé léna
: Beranak pinak seperti musim kemarau
Kudut langkas haeng ntalay eta mosen
: Biarlah dia tinggi sampai langit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 90
Uwa haeng wulang
: bertumbuh mencapai bulan
Hitus de tae agu torok
: Itulah yang kami sampaikan dalam doa
Senget lite le
: Dengarlah hai kalian
Pinga lite sina
: Pahamilah dan ketahuilah
Pécing lé meu céki agu ase ka’e
: Hai kalian para leluhur dan roh nenek moyang
Camas raja ce’e, manuk laing tu’ung
: Inilah ayam sejati
Manuk cear cumpe agu teing ngasang ho’o: Ayam untuk membongkar tenda dan memberikan nama Cékél ndéng, déri wa’i
: Nyatakanlah itu dalam hati ayam yang berkilat-bersinar
Bombong pésu, lengkas maja
: Empedu yang bergelembung indah
Lengkang salang urat manuk ho’o.
: (Dan) Usus ayam yang lurus terbaca
Cala mangas poti kose agu keba kamping hia: Mungkin ada setan jahat dan pembawa malapetaka yang akan mencelakai dia Du waes laud, du léso saled
:Biarlah
itu
semua
dibuang
bersama
matahari yang tenggelam dan air yang mengalir Somba…
: Ampunilah kami
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 91
Di’a dé urat manuk ho’o tong
:Biarlah usus ayam ini menjadi pertanda baik
3.5.8 La’at Méka Wéru La’at méka wéru (la’at: mengunjungi, méka wéru: tamu baru/bayi yang baru lahir) dalam konteks kelahiran adalah mengunjungi keluarga yang memiliki bayi yang baru lahir. La’at ini bertujuan untuk mengunjungi sekaligus menyambut bayi yang baru lahir, sebab sebelumnya dia adalah orang asing yang kini tinggal bersama dengan keluarga dan klan tertentu. Biasanya para tamu yang datang membawa serta hadiah berupa ayam, beras, kacang-kacangan, dll., yang bertujuan untuk menambah nutrisi bagi ibu dan bayi. Pemberian ini merupakan keikhlasan hati atas dorongan cinta kasih. 3.5.9 Cémol/ Dopo Wing/ Rebong Dalam masa menopause, ibu menjalankan ritus cémol atau dopo wing ( cémol:selesai, dopo: berhenti, wing: usia reproduksi). Tujuan dari ritus ini adalah mendoakan agar anak yang pernah dilahirkan dapat berkembang dan hidup dengan baik. Selain itu, ritus ini juga merupakan acara syukuran atas segala karunia yang telah diberikan oleh Tuhan, khususnya anugerah keturunan. Hewan kurban yang biasa digunakan dalam ritus ini adalah ayam, kambing, atau babi. Hewan-hewan ini dimaksudkan untuk kurban sekaligus menjadi bagian dari menu santapan bersama. Torok Dénge lite éma agu énde
: Dengarlah hai bapa dan mama
Ata poli ngo pa’ang bé le
: Yang telah meninggal
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 92
Ai léso ho’o aku olon raja rébong
: Hari ini saatnya aku menyampaikan “rebong”
Pu’ung ata ngaso nang ata cucu
: Mulai dari yang sulung hingga yang bungsu
Landing neho tégi daku meu éma agu énde: Karena itu, aku meminta kepada kalian Rangas nggér ce’e tonis nggér le
: Hadapkanlah wajahmu ke arah kami
Senget tura agu tilir dami anak
: Dengarlah segala harapan dan permohonan kami
Porong pu’ung ata ngaso nang ata cucu : Semoga semua anak, mulai dari yang sulung sampai yang bungsu Neka empeng sa’i, neka burang recap
: Dihindari dari segala jenis penyakit
Bolek koe loke
: Biarlah mereka memiliki kulit yang indah
Baca koe rangad
: (Dan) Wajah yang berseri
Wake calér nggér wa
:Memiliki akar kehidupan yang kuat, ,
Saung bembang koe nggér eta
: Mempunyai kedigdayaan
Témék koe wa, mbau koe eta main : Kenyaman dan pelindung Landing ného tégi dami émad agu ended : Kami pun meminta Petu koe le ulun lite liwu koe lau wa’in
:Berilah mereka sumber kehidupan agar mereka,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 93
Neka mangas melo agu dango
: Tidak layu lalu mati.
Pu’ung ata ngaso nang ata cucu
: Mulai dari yang sulung hingga yang bungsu
Okong ita one urat mbe agu éla
: Nyatakanlah persetujuan kalian dalam usus kambing dan babi
Agu manuk ho ce’e léma remaps
: Juga dalam usus ayam jantan ini
Botek kéte éla hitu pe’ang
: Buanglah semua keburukan yang ada pada babi ini
Rewak koe cola copun mbe hitu pe’ang Somba…o… éma agu énde
: Juga keburukan yang ada pada kambing ini
: Ampunilah kami bapak dan mama
Hitu mangan olo raja rebong ho’o
: Itulah yang menjadi alasan acara “rebong” ini
Pu’ung ata ngaso nang ata cucu
: Untuk mensyukuri adanya anak-anak kami mulai dari yang sulung hingga yang bungsu,
Ai meu éma agu énde larong jaong
: Karena kalian adalah penghubung ke haribaan Tuhan
Létang témba naring Mori agu Ngaran : Sang Pencipta dan Pemilik Neka kurang té tura meu neka poso té tombo :Janganlah kalian bermalas tutur di hadapan-Nya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 94
Dasor tompal koe nai momang
: Supaya Dia berbelas kasih
Pati koe nai ngalis
: Memberikan rahmat-Nya
Widang koe b si di’a
: Menurunkan berkat
Okong todo pu’ung ata ngaso nang ata cucu : (Kami mohon) Agar anak kami, dari yang sulung hingga yang bungsu Bolek loked, baca rangad
: Senantiasa berwajah cerah dan sehat selalu
Lako ngger one umas ise dasor cumang
:(Kemanapun mereka pergi) Entah ke kebun, mereka membawa pulang sesuatu
Lako nggér one wae dasor haeng
: ke sungai mereka menemukan sesuatu
Nénggitu kole mbaru bate kaengd
: Demikianpun pulang ke rumah tinggal
Neka langgar wacang neka larong ri’i
:Hendaknya mereka hanya menyajikan yang baik
Neka goro siri bongkok neka gege siri leles: Menghindari segala bentuk perilaku yang menyesatkan Témek wan koe le meu
: Biarlah hidup mereka nyaman
Mbau koe eta main
: Damai dan tentram
Dasor nai ca anggit koe meu naga mbaru : Semoga roh penjaga rumah Agu ise éma agu énde
: Bersatu hati dengan bapak-mama
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 95
Okong ita ata milad pa’eng ata wased
: Untuk memberikan kami rezeki.
Eme awar lata neka makak
: Jika ada pihak yang berminat mencelakai mereka
Eme tegi lata neka taing
: Jangan biarkan orang-orang itu mencelakai mereka
Com ita one urat éla agu mbe hitu pe’ang
: Nyatakanlah maksud baik kalian
dalam hati dan usus babi, kambing yang ada dipelataran Agu manuk ho ce’e
: dan ayam yang ada di sini
Cékel ndéng dari wa’i langkas maja
: Biarlah lidah, usus, dan hatinya
Bombong keta pésun ti manuk ho’o
: menunjukkan tanda baik hingga nanti dapat terbaca
3.6
Ritus Kebun Orang Manggarai
3.6.1 Pembukaan Lingko Lingko adalah sebutan untuk kebun komunal yang berbentuk bundar dan di tengahnya terdapat titik pusat yang disebut lodok. Dari lingko itu ditarik garis lurus ke luar hingga pinggiran lingko yang disebut cicing. Masing-masing orang mendapat jatah tanah sesuai kedudukannya dalam kampung dan takarannya diukur dengan menggunakan ibu jari tangan (moso). Ada yang mendapat moso ponggo (ibu jari)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 96
karena dia adalah tetua kampung yang berpangkat tu’a golo atau tu’a teno, sedangkan seluruh warga biasa juga mempunyai hak sesuai dengan moso-nya masing-masing. Menurut Petrus Anggut (59), maksud dari torok dalam acara buka lingko ini adalah memberitahukan kepada Mori Jari Dedek, leluhur, naga tanah (ende wa) bahwa mereka hendak membuka ladang baru di lingko tersebut yang ditandai dengan penancapan satu batang kayu teno di tengah-tengah ladang yang mau dibuka, sekaligus meminta perlindungan agar semua jenis tanaman yang akan ditanam dalam kebun tersebut terhindar dari segala macam penyakit dan memberikan kesuburan kepada tanah tersebut, sehingga dapat menghasilkan panen yang melimpah. Dalam mengerjakan segala sesuatu (khususnya kebun), orang Manggarai selalu mengawalinya dengan acara adat. Misalnya untuk membuka lahan baru (pembagian lahan), tetua adat atau tu’a golo menghimpun warga untuk mengadakan pembagian lahan (lodok uma). Dalam pertemuan ini semua warga wajib terlibat di dalamnya. Sebelum pembagian lahan, diadakan upacara adat. Adapun bahan yang disiapkan adalah ruha (telur), haju teno (kayu teno), wase keci ci’é (tali keci ci’é; sejenis tumbuhan). Proses upacara ini sebagai berikut. Telur dikuburkan di tengah-tengah lahan yang akan dibagikan, kemudian kayu teno ditancapkan diatasnya dan dikelilingi oleh tali yang telah disiapkan. Torok peletakan telur Ho’o tuak
: Inilah tuak
Porong neka babang le hau tana
: Janganlah merasa kaget hai tanah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 97
Neka ngga’ut hau watu
: Demikian pula engkau hai batu
Neka tae le hau wase
: Janganlah berkata apapun hai tali
Neka ngga’ut lé hau haju
: Dan tak usahlah mengomel hai kayu
Lu’ung tuak ho’o meu
: Inilah tuak untuk kalian
Telur sebagai minuman dimaksudkan untuk mendamaikan kita dengan tanah, batu, kayu, dan tali yang ada di tempat pembagian lahan agar tidak diganggu pada saat mengerjakan lahan tersebut. Setelah itu tu’a téno merentangkan tali dari kayu yang telah di pasak tadi di tengah-tengah lahan tersebut yang dibantu oleh seorang yang disebut “lander” (orang yang membantu merentangkan tali). Torok Merentangkan Tali Dénge lite énde wa
: Dengarlah hai ibu
Agu wicung pat lingko ho’o
: Empat penjuru mata angin dari kebun ini
Ai léso ho’o na’a wan téno lami
: Karena inilah harinya kami menanam “teno”
Tuak titis lami ngasang de tombo
: Inilah tuak untuk kalian sebagai tanda penghargaan dan penghormatan
Kamping ite énde wa
:Untuk menyampaikan segalanya kepada ibu pemilik bumi
Na’a wa di’am téno gula ho’o
: Khususnya di hari téno ditancapkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 98
Landing tégi dami témék koe wa
:Kami memohon biarlah kami senantiasa berair-sejuk
Mbau koe eta main
: Ditudungi oleh penutup yang menyejukkan
Dasar ceos koe
: Dan hidup kami aman
Telur dipecahkan sedikit pada bagian atasnya, menurut kebiasaan, kemudian diletakkan ditempat yang sudah ditentukan. 3.6.2 Penanaman dan Persiapan Panen Setelah lahan dibersihkan, tanah siap ditanami benih. Berikut ini ada beberapa upacara waktu penanaman padi dan jagung. Dalam upacara ini masyarakat meminta bantuan Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta dan Pemelihara) dan leluhurnya supaya menjaga dan memelihara tanaman tersebut. Bahan persembahannya seekor ayam atau sebutir telur dan tuak. Upacaranya sebagai berikut. 1)
Upacara Oke Cu’a Pada saat penanaman, orang Manggarai mengawalinya dengan acara adat.
Tahap ini disebut “wa’u wini” (menanam benih). Yang disiapkan adalah bibit, ayam, dan babi. Binatang ini disembelih lalu darahnya dicampur dengan bibit yang siap ditanam. Maksud dari upacara ini tertuang dalam torok, yaitu sebagai berikut. O… manuk agu éla, ai ami kudut wa’u wini, porong tadang koe sangged kaka, todo di’as koe sangged wéri dami. (permohonan agar apa yang ditanam dapat bertumbuh dengan baik). Setelah itu bibit yang telah disiapkan ditanam menurut pembagian masingmasing.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 99
Inti pokok acara ini tidak lain memohon perlindungan para leluhur (émpo) untuk menjaga tanaman padi dan jagung sehingga mendatangkan hasil yang melimpah. Selain itu diminta pula kesehatan rohani dan jasmani bagi mereka yang mengerjakan kebun tersebut. Ayam persembahan itu dibunuh di kebun dan seperti biasanya hati dan usus hewan kurban dibaca (toto urat) dan kemudian disajikan “helang” (memberi persembahan) dan akhirnya mereka semua yang hadir dapat makan bersama-sama di kebun. Dalam peristiwa ini tersirat pula kepercayaan bahwa arwah para leluhur itu masih hidup di dunia seberang dan dapat diundang oleh anak cucunya untuk menjaga dan melindungi tanaman mereka sehingga mendatangkan hasil yang berlimpah. Torok Upacara Oke Cu’a Yo Mori
: Ya Tuhan
Ho’o ami méndi
: Kami hambaMu
Manga ranga, padir wa’i, rentu sa’i
:Berkumpul dan menyatukan
hati dan
pikiran kami Wan koe etan tu’a
: Dari yang kecil sampai yang tua
Pa’angn olo ngaung musi
: (Beserta) Seluruh warga kampung
Té tégi berkak dite
: Hendak meminta BerkatMu
Sémbeng koe lite
: Berkatilah
Sangged géjur dami one ntaung ho’o
: Seluruh pekerjaan kami di tahun ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 100
Ho’o lami katu nggér lau
: Kami menyampaikan permohonan kami
Porong katu kole lau mai
: Kabulkanlah permohonan kami
Latang ami célingko dami ho’o
: Berkatilah seluruh warga kampung ini
2)
Upacara Kalok Kalok dilaksanakan pada waktu menjelang musim panen (sebelum ako
woja agu geok latung). Bahan persembahan dalam acara ini adalah telur dan ayam. Telur sebagai tuak kapu (bentuk penghargaan) kepada Tuhan dan para leluhur. Putih telur yang dipersembahkan itu dituang ke tanah sebagai persembahan terhadap bunda sebagai penjaga dan pelindung bumi, dan selanjutnya telur ditaruh di kayu atau bambu yang sudah disiapkan (hiang énde mese wa mai agu éma mese eta mai). Setelah itu ayam yang merupakan hewan kurban yang dipersembahkan, bertujuan untuk mengungkapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan para leluhur atas perlindungannya selama pekerjaan hingga saat panen tiba. Torok Saat Upacara Kalok Yo Mori
: Ya Tuhan
Tara manga ranga
: Saat ini kami berkumpul
Padir wa’i dami
: Dan duduk melingkar
One uma ho’o
: Di kebun ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 101
Ai ho’o kat dami kudut ako woja
: Karena saat ini kami hendak memetik hasil panen
Tégi dami porong teing koe berkak dite
: Kami mohon berikanlah berkatMu
Latang té ami agu reing koe hasil
: Kepada kami dan berikanlah
Latang sangged géjur dami
: Keberhasilan untuk pekerjaan kami
One uma ho’o
: Di kebun ini
3.6.3 Pemanenan Hasil Kebun Pada saat warga hendak memetik hasil dari apa yang telah ditanam diawali dengan acara adat. Tujuannya agar pada saat panen dapat memperoleh hasil yang memuaskan. Dalam hal ini hewan kurban yang disiapkan adalah ayam. Acara ini biasa disebut “tabor” (menyembelih ayam sebelum menuai padi). Acara “tabor” dilakukan di pinggir sawah atau ladang sehari sebelum padi dipetik atau dituai. Torok Upacara Tabor O manuk
: Ooo ayam
Dénge lé hau uma
: Dengarlah wahai kebun
Ai kudut nongko
: saat ini kami hendak mengumpulkan
Sanggéd bate géjur dami
: Hasil pekerjaan kami
Porong neka cegong wuam
: Jangan biarkan bencana
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 102
Neka manga koas
: Menghancurkan kebun kami
Cai kali hasil du po’ong dami
: Dengan demikian
Agu wéri dami
: Kami memperoleh hasil yang memuaskan.
Inilah permohonan agar tanaman yang akan dipetik dapat memperoleh hasil yang baik. Setelah torok ini selesai didaraskan warga atau yang bersangkutan melakukan pemetikan. Selanjutnya, darah ayam dioles pada perlengkapan kerja, misalnya karung, doku (nyiru), roto (keranjang), kéntu (alat untuk memotong tangkai padi), dll. Acara ini bertujuan melancarkan pekerjaan agar tidak diganggu oleh roh halus (darat) yang diyakini ada disekitar kebun dan juga untuk memberitahukan kepada penjaga kebun bahwa hari itu memetik hasil padi dimulai. 3.7
Pénti Upacara Pénti adalah upacara syukuran atas segala hasil panen kepada Tuhan
dan para leluhur (émpo). Upacara Pénti juga merupakan upacara syukur karena pergantian musim kerja, karena itu sering dikatakan pesta tahun baru orang Manggarai. Perayaan syukur dan tahun baru ini datangnya dari seluruh warga kampung. Seperti yang diungkapkan dalam go’et: penti weki- peso beo de weki pa’ang olo- ngaung musi, ce’e lawing weki, pe’ang lawang anak wina agu anak rona (Pénti dari seluruh warga kampung, mulai dari depan hingga belakang, dari dalam hingga anak wina dan anak rona). Sebelum perayaan Penti dilaksanakan mbata dan sanda di rumah adat. Lagu-lagu sanda dan mbata pada umumnya melambungkan puji dan syukur kepada Tuhan (Jari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 103
agu Dédék) dan juga kepada leluhur (empo). Mbata dan sanda di rumah adat itu biasanya diadakan selama lima malam sebelum perayaan puncak. Pada malam puncak itu pun selalu didahului oleh lagu-lagu yang bernuansa syukur dan pujian kepada Tuhan dan para leluhur. Tata perayaan Penti ini menurut adat Manggarai diatur sebagai berikut: a) Renggas
: pekikan pembukaan acara
b) Wéwa
: ajakan dari pemimpin upacara untuk mengikuti
upacara dengan khidmat c) Rahi/Kedi
: sapaan khusus kepada peserta anak rona untuk
mengukuhkan perayaan dan kepada anak wina untuk menyerahkan sumbangannya berupa uang sebagai tanda dukungannya dalam perayaan itu. d) Kari
: permulaan doa
e) Tudak/Réngé
: doa atas hewan kurban yang ditujukan kepada
leluhur dan akhirnya kepada Morin agu Ngaran (Tuhan Pemilik). Hewan kurban disembelih setelah doa. Darahnya harus mengeenai jenang pintu rumah adat sebagai bukti nyata upacara peni telah dilaksanakan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 104
f) Toto Urat
: Memeriksa hati atau urat hewan kurban untuk
mengetahui apakah isi doa mereka berkenandi hati para leluhur dan Tuhan atau tidak. g) Hélang
: Memberikan sesajian kepada arwah atau roh-roh
yang hadir dalam perayaan penti seperti arwah para leluhur/empo dan arwah yang kebetulan lewat di kampung itu. (Janggur, 130-131:2010). Setelah doa atas kurban ada yang dilanjutkan dengan menyanyikan lagu sanda lima. Hal ini tidak sama persis dari satu kampung ke kampung yang lain, karena ada yang menyanyikan sanda lima sesudah ela penti dibunuh. Lagu sanda lima ini semacam lagu agung yang wajib dinyanyikan dalam upacara penti. Lagu ini tidak dapat dinyanyikan pada kesempatan lain atau upacara adat yang lain. Lagu sanda lima ini intinya hendak mendendangkan kebutuhan hidup manusia setiap hari dan mohon berkat dan perlindungan Tuhan dan para leluhur agar kebutuhan dasar terpenuhi di masa-masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan dasar itu adalah kebutuhan akan hidup sejahtera lahir dan batin untuk warga, kebutuhan akan air minum, kebutuhan atas hasil yang berlimpah dari kebun (lingko), kebutuhan akan hewan ternak yang berkembang, dan kebutuhan tempat tinggal yang aman dari segala bahaya (mbaru baté ka’éng agu golo tara lonto). Upacara kemudian ditutup dengan makan malam penti bersama-sama. Seluruh peserta upacara wajib mengambil bagian dalam santap malam bersama. Sesudah makan masih dilanjutkan dengan nyanyian-nyanyian yang melukiskan peristiwa sekitar perayaan penti itu hingga pagi hari. Apabila masih ada caci, maka mulai pagi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 105
hari hingga petang hari dilaksanakan caci. Dengan berakhirnya caci maka seluruh rangkaian perayaan penti itu dinyatakan selesai Torok upacara Penti Ho’o ongko sanggéd po’ong
: Saat ini kami mengumpulkan hasil panen
Gejur dami mendi anak oné ntaung ho’o : Hasil kerja kami selama setahun ini Néka koe bénta réha pola pohang
: Sebab kami telah menemukan apa yang kami cari
Mora ata ita
:Kami mendapat berkat berupa makanan dari hasil kerja kami,
Ahir nuhu laing kali
:Semua yang kami tanam bertumbuh dengan subur
Sanggéd ata poli haéng
:Janganlah hilang semua yang sudah kami dapat
Kudut ngancéng tinu mosé
:Semoga kami bisa mendapatkan berkat makanan yang berlimpah seperti pasir di laut
Hang bara wéngko weki
: Selimut untuk badan kami
Tujuan upacara Penti dalam konteks ini adalah bersyukur atas segala rezeki yang telah diterima, khususnya atas hasil panen yang telah diberikan oleh Mori Jari Dédék (Tuhan Pencipta). Biasanya penti dibuat di akhir tahun dengan maksud sebagai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 106
ungkapan syukur sekaligus permohonan untuk rezeki di tahun yang baru. Sebagai ungkapan kegembiraan, beberapa hari sebelum acara penti dilaksanakan, tarian (sanda dan mbata) serta lagu dinyanyikan sepanjang malam. 3.8
Ritus Pembangunan Rumah Orang Manggarai Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Karena sebagai
kebutuhan pokok, maka manusia selalu berusaha agar rumah menjadi tempat tinggal yang aman dan sehat. Menurut kepercayaan para leluhur dari dahulu kala, rumah akan nyaman ditempati jika pemilik rumah setia melakukan ritus sejak awal pembuatan rumah hingga rumah itu ditempati. Pada zaman dahulu, rumah nenek moyang orang Manggarai berbentuk panggung (mbaru ngaung). Pada zaman sekarang, saat kebanyakan konstruksi rumah terbuat dari campuran semen dan beton, tata upacara pembangunan rumah sudah banyak bergeser. Sebelum rumah dibangun, dibuat upacara peletakan batu pertama dengan mengorbankan seekor ayam jantan. Berikut ini adalah susunan yang lazim di Manggarai Tengah. 3.8.1 Cincang Pada saat pembangun rumah, tahap pertama yang dilakukan adalah cincang. Cincang berarti merapikan kembali balok yang telah disiapkan sehingga ukurannya sama. Torok Upacara Cincang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 107
Tara emim laku hau manuk
:Adapun alasan kami mengambil engkau hai ayam
Ai ho’o gi cincang haju
:Karena
kini
tibalah
saatnya
untuk
menyatu-padukan semua balok Kudu pande mbaru
: Untuk membangun rumah
Dengé leméu ende lopo, ema lopo
: Dengarlah hai kakek-nenek
Ende ema agu ase ka’é ata pa’ang be lé :Para orang tua dan semua keluarga yang sudah meninggal One leso cincang ho’o
: Di hari cincang kayu ini
Le méus koé jagad ata kerja
:Hendaklah kalian yang menjaga semua orang yang bekerja
Néka cantut limed
:Biarlah
tangan
mereka
luput
malapetaka Néka gomal wa’i
: Jangan biarkan kaki mereka tersangkut
Néka calang matad
: Jangan butakan mata mereka
Le méus sémbéng isé dé
: Kalianlah yang menjaga mereka
Néka ngger one isé kosé
: Jauhkanlah segala sial dari para pekerja
Agu damang data
: Dan niat buruk orang
dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 108
Acara Cincang bertujuan untuk memohon perlindungan selama pekerjaan berlangsung, atau agar terhindar dari segala macam bentuk tantangan lainnya yang dapat menghambat pekerjaan. 3.8.2 Tongké Tahap selanjutnya adalah Tongké. Tongké merupakan proses berdirinya rumah setelah balok-balok disusun. Pada momen ini, permohonan yang penting adalah supaya rumah yang dibangun kuat dan kokoh. Torok Tongke Tara émim laku hau manuk
: Adapun alasan kami mengambil kau ayam
Ai ho’o gi tongke mbaru
: Karena kini saatnya bangunan didirikan
Dénge lé meu énde lopo, éma lop o
: Dengarlah hai kakek-nenek
Ende, éma, agu ase ka’e
: Ayah ibu, saudara-saudari
Ata pa’ang bé le
: Yang sudah meninggal
Lé meu jagan mbaru ho’o
: Kalianlah yang menjaga rumah kami
Neka manga lahas
: Jauhkanlah segala bentuk perpecahan
Neka manga endok
: Dan semua kegoyahan
Porong ise ata kerja mbaru ho’o
: Lindungilah pekerja rumah kami
Neka gomal limed neka ngancel wa’id
: Lindungilah mereka dari malapetaka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 109
3.8.3 Ceko Ceko merupakan tahap ketiga dalam proses pembangunan. Ceko berarti memasang atap. Pada tahap ini anak rona dan anak wina perlu hadir. Anak rona mempunyai peran penting di sini. Anak rona yang hadir adalah anak rona ulu dan anak rona (saudara laki-laki) istri. Pihak yang memaku atap pertama haruslah saudara laki-laki istri. Ceko disebut juga upacara manuk hése ngando. Ngando adalah tiang utama rumah yang berdiri di tengah-tengah. Acara ini disaksikan oleh ase-ka’e, pa’ang agu ngaung. Hewan kurban saat acara ini adalah seekor ayam. Tujuan dari acara tersebut adalah agar bangunan tersebut berdiri dengan kokoh dan tidak mudah roboh ( boto lako ngando, geges regel, boto bewet bélek, kudut rakét semen agu kawing haju). Torok Manuk Hése Ngando Dénge di’a lé hau manuk
: Dengarlah wahai ayam
Tara mangan cau laingm hau lami
: Adapun kami mengambil engkau
One léso ho’o
: Karena hari ini
Ai poli taungs ra’upd ngasang haju
: Kayu-kayu sudah tersusun rapi
Ata kudut wengko ami
: Untuk menjaga kami
Cama neho potang iring dé manuk
: Sama seperti kandang ayam
Kudut léso ho’o muing lami
: Karena pada hari ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 110
Adak kawing haju
: Kami mengadakan upacara agar kayu-kayu telah dipilih dan disatupadukan
Boto geges regel
: Tidak terlepas dari ikatan dan pahatannya
Lakos ngando
:Tiang-tiang
utama
kuat-kokoh
kami
bersiap-sedia menempatinya. Mbéter sanggat bélek
: Atapnya terjalin utuh
Kudut kaeng lami tai
: Kami bersiap-sedia menempatinya
Tegi koe cés agu ceos
:Harapan kami agar rumah kami nyaman dihuni
Poro duat tai nggér pe’ang uma
: Jika ke kebun kami pergi
Neka koe cumang dungkam
: Jauhkan kami dari malapetaka
Poro neka koe timpok wa’ikm
: Dijauhkan dari segala keterantukan
Dokek matagm
: Dan gangguan terhadap mata kami
Ai lé hau ngasang mbaru dé amit manusia: Karena engkau, rumah, kami mendapat perlindungan kehangatan Neka tibas lé hau
: Janganlah engkau bersekutu
sangget siong agu ménes
: Dengan segala penyakit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 111
Darap tana, kolang léso
:Segala
bentuk
kedurjanaan
serta
membiarkan panas terik mengusai hidup kami Hitus de tombo ata kopd
: Itulah yang menjadi harapan kami
Hitus de pa’u agu patut
: Harapan yang indah dan menyenangkan
Poro pinga torok hitu sina
: Terimalah disana harapan ini
Senget torok hitu le
: Dengarlah harapan kami
Kudut cama laingt lé jari pécing
: Biar menjadi sejajar dengan harapan Sang Pemilik Kehidupan
Lé ase ka’e wéki
: Mendapat restu dari roh pelindung
Cama raja ce’e manuk laing to’ong
: Akan menyata dalam hati dan usus ayam ini
Ita one urak pécing one péning
: Terbaca restu yang diberikan
Té suan kole
: Selain itu
Dénge di’a tara manga caum hau manuk : Adapun alasan kami mengambil engkau ayam Léso ho’o muing adak
: Hari inilah upacara
Kudut geges regel
: Untuk menguatkan rumah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 112
Lakos ngando
: Dan menguatkan tiang rumah
Ngont toe de raums tai haju
: Kayu-kayu tegak lurus menjadi miring
Toe rakét semen, ngong gege kin regel e : Semen-semen menjadi retak-rusak Lako kit tai ngando
: Tiang-tiang utama goyah
Mbéter kit tai bélek
: Atapnya terbang
Ngong toe di rawuk wa
:Tempat perapian tidak bisa membakar apapun
Kudut mangan kid tai pédéng ménés
: Sakit tetap menimpa
Ngong mai kid kole mésu sai
: Segala bentuk kebingungan yang merusak
Helo huwék
: Tetap menyertai
Hitus de tombo ata kop
: Itulah permintaan kami
Hitus de pa’u ata patut
: Itulah harapan kami
Somba… Mori
: Ampunilah kami ya Tuhan
Tae dami nggitun kole tae dé ase ka’e
: Demikianpun semua sanak keluarga
Pa’ang agu ngaung
: (Warga kampung ini) Mulai dari pintu gerbang depan kampung hingga belakang kampung
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 113
Wan koe etan
: Dari yang tertua sampai yang terkecil
Ho’o keta muing manuk lami
: Inilah ayamnya
Kudut adak hése ngando
:Untuk adat membangun tiang utama rumah ini
Kawings taung haju
:Menyatu-padukan semua kayu
Boto geges regel
: Agar kayu-kayu terikat dan terpahat kuat
Boto lako kit ngando mbéter bélek
:Tiang-tiang utama tegak-lurus
Kudut rawok wa tai
: Biarlah perapian tetap menyala
Kaeng one mbaru ho’o nus etan
: Asapnya menandai rumah ini
Hitus de tombo ata kop
: Itulah harapan dan niat kami,
Hitus de pa’u ata patut
: Itulah doa yang pantas dilambungkan,
Kudut pinga torok hitu sina
: Pahamilah doa kami
Senget torok hitu le
: Dengarlah permohonan kami
Kudut cama laing lé ase ka’e wéki
: Supaya bersama roh penjaga
Te ho’o muing manuk ita
: Melalui ayam ini
One urak pécing one péning
: Terbaca dalam urat
Wai déri hau manuk
: dan terjawab dalam usus
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 114
Bombing pesu langkas maja
: Semua permohonan kami
3.8.4 We’e Mbaru Setelah rumah selesai dibangun dan siap ditempati, diadakan upacara We’e Mbaru. We’e Mbaru berarti mulai menempati rumah baru. We’e Mbaru disebut juga kebéng. Ini merupakan acara yang dibuat sebelum kita menempati rumah baru. Hewan kurban yang dipakai saat upacara ini adalah ayam, tetapi bagi orang yang memiliki kemampuan ekonomi cukup bisa juga menggunakan babi. Acara ini juga harus disaksikan oleh keluarga, ase-kae, beserta anak wina dan anak rona. Tujuan dari acara kebéng atau we’e mbaru adalah untuk mendamaikan pemilik rumah dengan roh penjaganya (naga tanah, ase-kae weki) serta ucapan syukur pemilik rumah kepada Tuhan dan para leluhur, seraya memohon perlindungan bagi semua orang yang menghuni rumah baru tersebut (boto rojong toko, bentang tuju, kudut po’e nggér one lewang ngger pe’ang, kudut neka ligot siong agu menes, poro ite Morin agu Ngaran nggitu kole ite naga mbaru, lewang koe nggér pe’ang kali meu ga po’e nggér one). Torok Upacara Kebéng Mbaru / We’e Mbaru Dénge di’a lé hau manuk
: Dengarlah wahai ayam
Tara mangan caum laing
: Adapun alasan kami mengambil engkau
Lami one wie ho’o
: Pada malam ini
Ai polis ra’um taud haju ga
: Karena semua kayu sudah tersusun rapi
Adak boto geges regel, lakos ngando
: (Inilah) Upacara untuk menguatkan rumah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 115
Mbétar bélek
: (Dan) Menguatkan atapnya
Ngont nggo’o wie ho’o kali ga
: Pada malam inilah
Adak we’e kudut lé hau
: Upacara adat untuk memasuki
Mbaru muing rowing one kami
: Rumah yang akan menjadi tempat tinggal kami
Lé hau loce kumbu téke pe’ang
: Bersihkanlah semua tikar
Ho’o muing manuk adak we’e
: Inilah ayam untuk upacara memasuki rumah baru
Kudut koe ces agu ceos kali amit
: Supaya kami nyaman
Ka’eng tai mbaru ho’o
: Tinggal di rumah ini
Kudut duat tai nggér pe’ang uma
: ketika kami pergi ke kebun
Neka koe cumang dungkam agu pala cala : Janganlah biarkan kami mendapat sial Eme we’ekm tai nggér one mbaru
: Begitu pula ketika kami pulang ke rumah
Neka koe timpok wa’igm
: Jangan biarkan kaki kami terantuk
Neka dokek matagm
: Jangan biarkan mata kami buta
Kudut lewang kali nggér pe’ang
: Biarlah Engkau yang mengusir roh jahat
Lé hau ga po’e nggér one
: Dan membawa kebaikan ke dalam rumah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 116
Kudut ite muing kepe lé tadu laun
: Biarlah engkau yang menjaga sudut-sudut rumah
Para olon, ntongang musi
: Pintu rumah ini
Ngandon eta ngaung wa
: Beserta atap dan kolong rumah ini
Nénggitu kole ite loang toko
: Begitu pula kamar tidur
Agu ite lutur lonto
: Dan (kamar) tempat duduk
Poro ami kali ga wiko koekm le ulung
: Jagalah kami dari ujung rambut sampai ujung kaki
Jengok koekm lau wa’ing
: Lindungilah seluruh raga kami
Tégi dami kali teing wuas koe raci werigm: Kami juga memohon kesuburan untuk tanaman kami Hitus de tombo ata kopd
: Itulah harapan kami
Hitus de pa’u ata patut
: Itulah permohonan kami
Poro pinga torok sina
: Pahamilah harapan kami
Senget lite le
: Dengarlah permohonan kami
Manuk laing tu’ung ite one urak to’ong
: Nyatakanlah restuMu melalui urat ayam ini
Somba…
: Ampunilah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 117
Mori tae dami
: YaTuhan
Nggitu kole tae dé ase ka’e
: (Ampunilah) Juga keluarga kami
Pa’ang agu ngaung
: (Serta) Seluruh warga kampung ini
Wan koe etan tu’a
: (Mulai) Dari yang kecil hingga yang tua
Ho’o keta muing manukn
: Inilah ayamnya
Kudut adak kebéng/we’e
: Untuk upacara memasuki rumah baru
Di’an ngasang mbaru ka’eng
: Karena rumah ini
Kudut lise ngasang mbaru muing
: Akan selalu menjadi rumah kami
Ami rowing one loce
: Buanglah keluar
Kumbu teke pe’ang
: Segala keburukan dari dalam rumah ini
Kudut neka tibas lé hau siong agu ménes : Supaya kami terlindungi Sangget darap tana, kolang léso
: Dari sakit, panas dan dingin
Ho’o de manuk kudut rakét semen
: Inilah ayamnya untuk merapatkan semen
Ra’ums haju
: Untuk mengikat kayu
Kudut dénge lite para olon, ntongang musi: Dengarlah wahai pintu dan dapur Ngandong eta, wancang wan
: Dan juga bagian atas rumah
Nénggitu kole ite kilo toko
: Begitu juga pasangan hidup
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 118
Agu lutur lonto, agu naga mbaru
: Dengarlah tikar dan roh penjaga rumah
Kudut lewang nggér pe’ang
: Supaya segala keburukan dibuang keluar
Po’e ngger one
: Dan kebaikan dimasukkan ke dalam rumah
Porong mose dami kali ga
: Perhatikanlah hidup kami
Petu di’a le liwu di’a lau
: Selama kami hidup
Kudut ami kali ga wiko le ulun
: Dari ujung kaki sampai ujung rambut
Jéngok lau wa’ing
: Seluruh raga kami
Témék koegm wa mbau koe eta
: Teduhkanlah tempat tinggal kami
Poro lébo koes kala po’ong
: Suburkanlah kebun kami
Wua koes raci wérigm
: Limpahkanlah hasil panen kami
Hitus de torok dami
: Itulah doa kami
Torok ata kopd
: Doa yang sederhana
Hitus de pa’u ata patut
: Itulah harapan kami
Kudut pinga koe torok hitu sina
: Pahamilah doa kami
Senget koe torok hitu le
: Dengarlah permintaan kami
Pinga torok hitu sina
: Pahamilah doa kami
Kudut cama laing lé jari
: Kabulkanlah permintaan kami
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 119
Pécings lé ase ka’e wéki cama raja ce’e : Nyatakanlah kebaikanMu kepada kami Manuk laing tu’ung to’ong
: Melalui ayam ini
Ita sina urat pécing one péning
: Nyatakanlah dalam urat ayam ini
Baro one ati
: Sampaikanlah melalui hati ayam
Cala manga mas data
: Jika ada orang yang berniat jahat
Kudut pande kose nggér one mose dami : Hendak mencelakai kami Ole…
: Biarkanlah
Du wae laud taung
: Pergi bersama air laut
Agu du lésos sale
: Dan terbakar oleh panasnya matahari
Porong ite céki
: Jagalah kami wahai leluhur
Nggitu kole naga mbaru
: Begitu juga roh penjaga rumah
Pengge lé meu e…
: Kalianlah yang menghalau
Tadu lau
: segala kesialan dalam hidup kami
3.9
Ritus PerkawSinan Adat Orang Manggarai Perkawinan dalam bahasa Manggarai disebut “kawing”. Laki-laki yang
dikawinkan disebut “na’a wina” dan wanita yang dikawinkan disebut “na’a rona”. Kehidupan suami istri atau kehidupan berkeluarga disebut “ka’eng kilo” atau “ mose
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 120
kilo”. Adapun maksud yang sering terungkap dalam perkawinan adalah supaya melanjutkan keturunan (kudut beka agu buar). Ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh pria dan wanita sebelum mereka melangkah ke jenjang perkawinan sesuai adat Manggarai. 3.9.1 Persiapan Pongo agu Tiba Méka Tahapan pertama adalah persiapan pongo agu tiba méka (meminang dan menerima tamu dari keluarga laki-laki). Pihak mempelai laki-laki, sebelum pergi merundingkan waktu peminangan dengan keluarga perempuan, mengadakan upacara Teing Hang (memberi makan leluhur) untuk memohon restu leluhur dan Tuhan agar acara Pongo (meminang) dapat berjalan lancar. Sebelum acara Teing Hang dilaksanakan keluarga pria berdoa dan membakar lilin di makam leluhur. Demikian pula keluarga perempuan melakukan acara dengan maksud yang sama. Torok saat berdoa di makam leluhur Dénge di’a lite éma agu énde
: Dengarlah wahai ayah dan ibu
Ata poli pa’ang bé le
: Yang sudah ke haribaan Tuhan
Mangan nggéwit ite
: Adapun alasan kami mengundang kalian
Kong lonto torok
: Untuk duduk bersama kami
Loce ca ami agu ite Ai ami manga tura
: Di atas tikar ini : Karena kami ingin menyampaikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 121
Agu tombo kamping ite
: Maksud dan tujuan kami mengundangmu
Ai lonto laing loce dami lite ga
: Karena kalian telah datang
Ho wa cépa, agu rongko
: Inilah sirih pinang dan rokok
Ho wa tuak
: Juga tuak untuk kalian
Torok Upacara Persiapan Pongo Landing mai nitu main
: Oleh karena itu
Toe tombo mu’u kanang lami kamping ite: Kami datang berbicara kepada kalian Cau manuk lami
: (Dengan) Membawa seekor ayam jantan
Té tura agu tombo kamping ite
: Untuk menyampaikan maksud kami
Ai gerak ho’o anak dami tiba méka pongo: Besok kami akan menerima tamu yang hendak datang meminang cucu kalian Landing tégi dami ite éma agu énde
: Kami mohon ya bapa dan mama
Gerak ho’o neka mangas watang pangga : Janganlah biarkan ada yang menghalangi Ronggo do’ong
: Dan membatalkan
Wancing koe nggaring koe meu
: Biarkanlah semuanya berjalan lancar
We’ang koe gerak
: Dalam cahaya kasih kalian
Toe kop laing tombo dami wie ho’o
: Belum lengkap rasanya permintaan ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 122
Ita one urat manuk ho’o tékéréwut
: Karena urat ayam masih terlipat
Somba…
: Ampunilah
O… éma agu énde
: Oh bapa dan mama
Manuk dami wie ho’o
: Melalui ayam ini
Té tura agu tombo kamping ite
: Kami menyampaikan maksud kami
Hamar di’a bara
: Rabalah perut kami
Ngguang di’a tuka dite
: Eluslah perut kami
Pujut di’a mu’u
: Jagalah mulut kami
Saka di’a cangkém
: Belailah dagu kami
Nio mangas watang pangga
: Jika ada yang berniat menghalangi
Ronggo do’ong
: Dan berniat membatalkan
Gerak ho’o tai
: Melalui terang kasihmu
Wae laus koe lite, léso sales
: Buanglah itu bersama air di laut
Coga koe wancing nggaring lite
: Buanglah semua kejahatan
We’ang gerak lé tiba méka pongo
: Biarlah kebaikan yang datang
Kop kingn tombo dami ho’o
: Jawablah permohonan kami
Ita one urat manuk ho’o
: Melalui urat ayam ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 123
3.9.2 Acara Pongo/ Wéda Réwa Tuke Mbaru Setelah upacara persiapan Pongo, keluarga laki-laki pergi ke rumah keluarga wanita untuk mengadakan upacara Pongo atau Wéda Réwa-Tuke Mbaru. Pongo adalah ucapan dalam bahasa Manggarai yang berarti mengadakan ikatan cinta antara laki-laki dan perempuan. Ada kebiasaan kedua belah pihak, yaitu keluarga pria dan keluarga wanita berunding untuk menentukan waktu yang tepat untuk diadakan upacara Pongo ini. Keluarga pria akan membawa serta kambing (mbe) dan ayam (manuk) pada saat mereka datang ke rumah keluarga perempuan. Selain itu, mereka juga membawa sejumlah uang yang dimaksudkan untuk seng kémbung (sejumlah uang untuk menghargai makanan, minuman, serta pelayanan pihak keluarga wanita), seng raja do (segala jenis keuangan yang menjadi bagian dari adat perkawinan), seng pongo (uang ikatan), seng wali tuak agu rongko (uang rokok dan semua minuman yang disajikan), dan seng tadu lopa (uang keringat). Lazimnya, setelah diadakan upacara pongo, maka status hubungan laki-laki dan perempuan berada pada masa pertunangan. Agar ikatan itu resmi, kuat secara adat, maka pihak keluarga laki-laki menyerahkan uang ikatan (seng pongo). Jumlah uang ikatan tergantung pembiacaraan adat saat itu. Sebetulnya, acara pongo itu bermaksud agar keduanya saling setia, percaya pada janji untuk tidak memilih atau menerima laki-laki atau perempuan lain. Untuk itulah, pada saat ini ada acara pertukaran cincin sebagai tanda persatuan. 3.9.3 Acara Kémpu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 124
Setelah keputusan dari kedua belah pihak sudah ditentukan, maka diadakan acara Kémpu. Kémpu adalah putusan akhir pembicaraan adat, perihal berapa seluruhnya jumlah uang belis sejak peminangan awal sampai acara adat terakhir. Dengan kata lain, ketentuan berapa total biaya peminangan perempuan seluruhnya harus ditetapkan secara adat. Bahkan pada saat ini pihak keluarga laki-laki dapat menyerahkan dana untuk anggaran dana perkawinan, bila pihak keluarga laki-laki mampu, bisa membawa terlebih dahulu hewan berupa kerbau (kaba) dan kuda (jarang) sebagai belis (paca) dan sapi (japi) untuk acara rame kawing (hewan sembelihan saat pesta pernikahan). 3.9.4 Réke Kawing Setelah upacara kémpu, kedua belah pihak berkumpul lagi untuk réke kawing. Réke kawing adalah rencana penentuan pelaksanaan pernikahan atau perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, keluarga perempuan dan keluarga lakilaki. 3.9.5 We’e Acara dilanjutkan dengan upacara we’e. we’e adalah tahapan yang dimaksudkan agar pihak keluarga pria mendatangi keluarga mempelai perempuan untuk membawa uang dan hewan yang telah disepakati. Pada saat ini dilangsungkan upacara coga seng paca (menyerahkan uang) dan belis (hewan berupa kerbau dan kuda dan sebagainya) dari pihak anak wina (keluarga laki-laki) kepada pihak anak rona (keluarga perempuan) yang dipandu oleh kedua juru bicara (tongka) masing-masing. Acara coga seng agu paca semua hal yang telah dibicarakan harus diserahkan disini , baik menyangkut uang, paca, hewan kerbau dan kuda maupun adat lainnya. Acara ini juga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 125
merupakan inti sebagai bukti tanggung jawab keluarga mempelai laki-laki dalam biaya-biaya perkawinan kedua mempelai. Torok We’e pada Malam Sebelum Pernikahan Dénge di’a
: Dengarlah baik-baik
Lite Morin agu Ngaran
: Ya Tuhan Pemilik
Ata jari agu dedek
: Yang menjaga dan mencipta
Nénggitu kole meu céki éma, céki ende
: Begitu juga kalian para leluhur
Ai diang kali léson ga
: Besoklah harinya
Wua tuka dami kudut tiba
: Buah hati kami akan menerima
Berkak de Morin agu Ngaran
: Berkat dari Tuhan sang Pemilik
Ata jari agu dedek le gereja
: Sang Penjaga dan Pencipta di gereja
Nia kaliga
: Dan pada saat ini
One wie ho’o ami cama-cama
: Kami bersama-sama
Pande manuk bakok teing hang di’a
:Mengadakan upacara untuk member i makan
Meu céki ata poli manga lé Mori mese
: Kalian para leluhur yang sudah meninggal
Kudut neho tae kali ga
: Supaya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 126
Pu’ung ami ata raja
: Dari kami yang mengadakan acara
Lawang meu céki
: Sampai kalian para leluhur
Cama-cama mengkék agu selek
: Bersama-sama berdandan
Wiga sembeng wua toko so’o
: Menjaga pasangan ini
Nggér le gereja
: Dalam perjalanan menuju gereja
Porong neho tae kali ga
: Supaya seperti yang direncanakan
Ise sua paka wing do agu anak banar
: Mereka berdua akan beranak cucu
borek cala bocel
: Jauhkanlah segala halangan
ta’i cala wa’i
: Dan segala rintangan
do koe tae wie
: Baik pada malam hari
tadang koe tae léso
: Maupun pada siang hari
neka cumang dungkan agu pala ranga
: Jangan biarkan kemalangan mendekati
Teing koe berkak mose lewe
: Berikanlah mereka umur panjang
pu’ung wéki lawang wakar
: Baik jiwa maupun raga mereka
néngggitu kole mbaru bate ka’eng
: Begitu juga rumah tempat mereka tinggal
agu uma bate duat
: Dan kebun tempat mereka bertani
Tégi kole lami wancing
: Kami juga meminta petunjukMu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 127
nggaring we’ang gerak
: Dan terang cahaya kasihMu
nai ngalis tuka ngengga
: Hati yang lemah lembut dab bijaksana
pu’ung ise sua lawang agu wua tukad tai : Bagi mereka berdua dan anak-anak mereka Hitu tegi agu gésar dami
: Itulah permintaan kami
porong neho tae pinga sina senget le…
: Pahamilah dan dengarlah doa kami
3.9.6 Kawing Upacara yang dilakukan setelah upacara we’e adalah upacara kawing. Kawing adalah pernikahan antara kedua mempelai sebagai suami istri yang dikukuhkan dalam Sakramen Perkawinan dan direstui oleh keluarga dan kerabat, baik keluarga besar pihak mempelai laki-laki maupun keluarga besar pihak mempelai perempuan. Torok upacara kawing bisanya dilakukan sebelum kedua mempelai dan keluarga ke gereja. Berikut torok upacara kawing sebelum ke gereja. Dènge di’a lè meu cèki ènde
: Dengarlah wahai leluhur
cèki èma lè watu lè tana
: Yang mendiami batu dan tanah
Nggitu kole ite morin agu ngaran
: Begitu juga Engkau Tuhan dan Pemilik
Ai gerak ho’o
: Karena hari ini
kudut nggèr one gereja anak dami
: Anak kami hendak berangkat ke gereja
empo de meu
(Anak kami) Cucu kalian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 128
Landing tegi dami wie ho’o
: Permintaan kami saat ini
kamping meu cèki
: Jagalah mereka wahai leluhur
lawang ite Morin agu Ngaran
: Begitu juga Engkau Tuhan sang Pemilik
Neka koe watang pangga
: Jangan biarkan halangan
agu honggo do’ong kamping gereja
:Menghambat perjalanan mereka menuju gereja
nggitu kole du kolen
: Begitu juga saat mereka pulang
Ho’o de manuk bakok
: Inilah ayam jantan putih
kudut teing hang meu
: Untuk memberi makan kalian
nggitu neng ite morin agu ngaran
: Begitu juga untuk menghormatiMu Tuhan
Hitu de torok hitu de bilang kom lè torok : Itulah segala permohonan kami di’an lè bilang pinga dia meu sina
: Pahamilah Permohonan kami
senget di’a meu le
: Dengarlah harapan kami
manuk leng tu’ung manuk ho’o
: Inilah ayam terbaik
itan lè urat manuk ho’o
: Tunjukkanlah melalui urat ayam ini
cèker ndèweng bara maja,
: Restu dan persetujuan kalian
3.9.7 Rame Kawing
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 129
Upacara selanjutnya adalah upacara Rame Kawing. Rame Kawing adalah pesta pernikahan atau perkawinan kedua mempelai. Dalam acara ini kedua keluarga besar (woe nelu) menyatakan kegembiraan dengan acara pesta yang juga melibatkan undangan dari berbagai tempat. Pada zaman dahulu, jika ada keluarga yang mampu secara ekonomis (ata bora: orang kaya) juga menyelenggarakan tarian caci selama beberapa hari yang disebut caci rame kawing. 3.9.8 Karong Kilo atau Lo’ang Karong Kilo merupakan bagian yang tak bisa dilewatkan begitu saja dalam perkawinan Orang Manggarai. Dalam acara ini, pihak orang-orang tua dari mempelai perempuan mengantar pengantin ke dalam kamar tidur. Dalam kamar itu, kedua mempelai diberi wejangan serta nasihat yang bertujuan agar kehidupan mereka dihari yang akan datang rukun dan damai serta saling membahagiakan. Ada ujaran yang serinng disampaikan, misalnya: eme manga ngaok tau, neka ba lage para bé pe’ang (kalau ada perbedaan pendapat hendaknya diselesaikan dalam kamar atau rumah, jangan sampai pihak lain tahu). Acara ini biasanya didahului oleh torok. Torok karong loang adalah sebagai berikut Dénge di’a lé meu céki énde
: Dengarlah wahai leluhur
céki éma lé watu lé tana
: Yang mendiami batu dan tanah
Nggitu neng ite Morin agu Ngaran
: Begitu juga Engkau Tuhan sang Pemilik
Ai bao méndi koe so’o
: Karena hambaMu ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 130
kole one mai gereja
: Sudah kembali dari gereja
jadi wali ga kudut toing loce
: Sekarang kami hendak mengantar mereka menuju kamar tidur mereka
landing tégi di’a wie ho’o
: Maka kami pun meminta
kamping meu lawang morin agu ngaran : Jagalah mereka wahai leluhur dan juga Engkau Tuhan sang Pemilik Dasar neka ndérkas agu pesi ise
: Jangan biarkan kesalahpahaman
kaeng one kilo mendi koe so’o
: Menghiasi rumah tangga mereka
dasar anak banar agu wing do
: Berikanlah mereka keturunan yang banyak
Témék wa main
: Dasar yang kuat
mbau eta main
: Atap yang meneduhkan
kaeng kilo koe dise
: Rumah tangga mereka
Ho’o de manuk
: Inilah ayamnya
hitu de torok, hitu de bilang
: Itulah doa kami
Pinga sina meu senget meu le
: Pahamilah dan dengarlah
Manuk leng tu’ung manuk ho’o
: Inilah ayam terbaik
itan lé urat manuk ho’o
: Tunjukkanlah melalui urat ayam ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 131
cékér ndéweng bara maja
: Restu dan berkat kalian
3.9.9 Wagal atau Némpung Wagal adalah puncak dari acara adat dalam tradisi perkawinan Orang Manggarai. Pada saat ini pihak laki-laki (anak wina) membawa sejumlah belis (berupa uang dan binatang) yang telah disepakati pada saat masuk minta kepada pihak perempuan (anak rona). Acara ini dimaksudkan agar seluruh warga kampung (pa’ang agu ngaung) mengetahui bahwa keduanya sudah resmi menjadi suami istri. Pada saat itu disembelih babi atau kerbau dan dibagikan kepada seluruh warga kampung sehingga muncul istilah “wégak sa’i éla, cikat sa’i kina”. Secara keseluruhan acara perkawinan dalam tradisi adat Manggarai berakhir pada acara wagal ini. Inilah upacara peresmian perkawinan yang telah memenuhi segala syarat dan peraturan adat. Torok saat upacara Wagal Dénge lé meu émpo
: Dengarlah wahai para leluhur
ho’o ami néki wéki
: Saat ini kami berkumpul
ranga manga
: Hadir
nai ca anggit tuka ca leleng
: Menyatukan hati dan pikiran
lonto leok woe nelu ho’o
: Berkumpul bersama saudara
kud adakn ga
: Untuk mengadakan upacara adat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 132
té cikat kina wagak kaba
: Mengikat niat dan maksud
Té nipu sangged tombo
: Dalam pembicaraan kami
Latang hi enu anak dami
: Untuk anak perempuan kami
Neka lerong kole céki de énde agu émam : Engkau harus meninggalkan kebiasaan leluhurmu Landing hitu kali ga hau enu
: Dan oleh karena itu
Paka lerong wa’u dé ronam ga
: Engkau harus mengikuti kebiasaan leluhur suamimu
Neho tae kali ga porog ka’eng jari
: Jagalah kehidupan kami
Cebo lewe mose kaeng golo
: Berilah berkat umur panjang
Beka agu buar tai anak banar
: Dan keturunan yang banyak
Tesuan kole
: Selain itu
Aram manga ngga’ut agu nggut
: Mungkin ada yang tidak suka
Dé ase kae latang te pande cuar
: (Anggota keluarga) Yang hendak
Wina rona dise cua
: Menghancurkan pernikahan mereka
Ole….
: Aduh...
Tadang koes hitu ta
: Buanglah hal itu jauh-jauh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 133
Poro le meu empo sua
: Jagalah mereka hai leluhur
Paka jaga agu sembeng kid lite
: (Kalian) Harus menjaga dan melindungi
Neka koe cumang dungka
: Supaya selalu rukun dan damai
Agu pala cala one ka’eng kilo koed
:Hidup
berumah
tangga
mereka
Pada acara ini juga terjadi ba kaba ulu paca dan uang sesuai kesepakatan dan muncullah istilah berikut:
Tuak saka masa dalah minum makan ringan yang disediakan pihak anak rona untuk pihak anak wina sebelum memasuki tempat penjemputan dan harus diminum atau dimakan notabene harus dibayar senilai adat.
Tuak suru adalah minuman atau makanan ringan yang disediakan anak rona untuk pihak anak wina ditempat penjemputan juga harus dibeli senilai dengan harga adat.
Lipa wéda para adalah kain songke yang dibentang di pintu masuk dan anak wina wajib menerimanya sehingga rombongan boleh masuk rumah dan harus dibayar dengan satu ekor kuda.
Lipa lésak adalah kain yang disediakan anak rona dan harus dibayar senilai seekor kuda.
Lipa pateng adalah kain songke yang wajib disediakan oleh tongka sebagai pilar utama dalam upacara wagal dan dibayar dengan uang atau kuda.
Lipa oke céki adalah kain songke yang disediakan oleh salah satu pihak anak rona untuk membatasi céki atau barang haram dari pihak anak rona untuk boleh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 134
ditinggalkan oleh pengantin perempuan dan selanjutnya mengikuti céki atau barang haram yang dianut oleh pihak anak wina.
Lipa peher adalah kain songke oleh tongka padong (juru bicara yang datang terlebih dahulu) pada saat upacara podo atau mengantar mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki, sebagai bukti penyerahan seutuhnya mempelai wanita terhadap keluarga anak wina.
Manuk dara wa’i adalah upacara adat sebagai meterai atau bukti anak wina menerima pengantin wanita sebagai keluarga anak wina.
3.9.10 Podo Podo adalah mengantar mempelai perempuan bersama mempelai laki-laki ke kampung suami/keluarga (klan) suami. Orang yang ikut atau pergi waktu acara podo cukup orang muda , ibu-ibu dan orang tua saja. Pada saat podo, pihak anak rona membawa serta beras dan babi. Tidak ada lagi pembicaraan adat, kecuali dari pihak anak wina untuk menyiapkan sedikit uang sebagai podo dan uang ucapan terima kasih (seng wali) yang akan diberikan kepada orang-orang yang pergi mengantar mempelai wanita tersebut. 3.9.11 Gérép Ruha/Pentang Pitak Gérép ruha adalah menginjak telur ayam oleh mempelai wanita saat masuk pertama kali ke kampung suaminya. Pada aman dahulu acara ini biasanya dibuat di rumah adat (mbaru gendang). Sekarang dengan berbagai pertimbangan dilakukan langsung di rumah pribadi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 135
Pada saat upacara ini, pengantin wanita dihantar menuju rumah orang tua pengantin laki-laki. Di depan pintu rumah sudah disiapkan sebutir telur ayam dan pada saat itu pengantin wanita harus menginjak telur tersebut sebelum masuk ke dalam rumah. Telur ayam yang diinjak haruslah dari seekor ayam yang baru pertama kali bertelur (ruha manuk mokang). Setelah pengantin berada di dalam rumah barulah seluruh rombongan atau keluarga yang datang masuk ke dalam rumah. Pada saat itu juga seluruh warga kampung akan datang untuk menjumpai “wina wéru” (pengantin wanita). Kedatangan warga kampung biasa disebut dengan istilah “leong beo”. Pada saat ini “wina wéru” harus menjamu semua tamu yang datang dengan pemberian sirihpinang (kéte cépa). Kedatangan keluarga anak rona perlu disyukuri dengan seekor ayam jantan putih (ca manuk lalong bakok). Acara ini sebagai pertanda diterimanya kedatangan mempelai perempuan dengan hati yang bersih. Lalu darah ayam yang telah disembelih itu dioleskan pada kedua ibu jari mempelai perempuan. Bersamaan dengan itu, semua keluarga berkumpul di rumah adat itu, mengadakan perjamuan makan (hang cama) dan minum (inung tuak), dan memamah cépa (sirih-pinang). Menurut Petrus Esu (59), adapun maksud acara péntang pitak (péntang: membersihkan, pitak: lumpur) adalah agar pihak perempuan yang memasuki klan suaminya melepas semua spirit, perbuatan, dan kebiasaan pamali (iréng) yang tidak baik dan sekarang mengenakan kebiasaa-kebiasaan baru dari klan suaminya. Torok éla acara Gérép Ruha dan Péntang Pitak Dénge di’a lé hau éla
: Dengarlah wahai babi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 136
tara manga cau laingm hau
: Adapun alasan kami memegang engkau
one léso ho’o
: Pada hari ini
ai kudut adak péntang pitak
:Karena (hari ini) akan diadakan upacara membersihkan lumpur
kébok kudut dur purung
: (Dan) Untuk membersihkan debu
do’et koleng
: Dari klan gadis ini
ngong sangged iréng
: (Dan) Segala pantangan
dé inang agu amang
: (Kepunyaan) Mertua
nenggitu kole dé rona kawing
: Begitu juga kepunyaan suamimu
agu wa’u dom
: Dan seluruh keluarga besarmu
pa’ang olo ngaung musi
: (Dan) Seluruh warga kampung
one beo ho’o
: Di kampung ini menjadi milikmu
Kudut ita lé hau hang ciwal
: Supaya apa yang kamu tanam bertumbuh
paeng hang mane
: Ada lauk pauk untuk makan
kudut cebo di’a wékim
: Supaya engkau sehat
inang agu amangm
: (Begitu juga) Mertuamu
nggitu kole agu ronam
: Begitu pula suamimu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 137
lawang agu wa’u do
: Dan juga seluruh keluarga besarmu
poro hau kali ga
: Supaya ketika engkau
wé’é nggér one mbaru
: Pulang ke rumah
neka pala cala
: Engkau tidak mendapat sial (di jalan)
Titong ata kop
: (Itulah) Petunjuk yang benar
palong ata dia
: (Itulah) Nasihat yang baik
hau kali ga uwa haeng wulang
: (Supaya) Engkau bertumbuh sampai ke bulan
langkas haeng ntala
: Tinggi mencapai langit
elor remo
: Berperilaku baik
labar cama one natas golo ho’o
: (Ketika) Engkau bergaul
kudut mose koem one golo ho’o
: (Dan supaya) Hidupmu di kampung ini
neka koe pa’u salang lau
: Tidak tersandung
weleng salang lé
: (Dan) Tidak tersesat
Hitus de tombo ata kopd
:Itulah pemintaan kami
hitus de pa’u ata patut
: Itulah harapan kami
kudut pinga torok hitu sina
: Supaya permintaan kami dipahami
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 138
senget torok hitu le
: Doa kami didengar
kudut cama laing lé jari
: Supaya permintaan kami
pécing lé ase kae wéki
: Dikabulkan
cama raja ce’e
: Seperti permintaan kami
éla tu’ung éla ho’o
: Inilah babi yang terbaik
neho porong déko laing ati
: Lihatlah hati kami
lengkang salang bombong pésu
: Berikanlah yang terbaik
roi neho natas ngasang urak éla.
: Nyatakanlah itu melaui urat babi ini
Té suan kole
: Selain itu
tae dé ronan
: Berkatalah suamimu
nggitu kole tae dé inang agu amangn
: Begitu pula mertuamu
lawang agu wa’u
: Dan juga keluarga
agu lawang sanggen ase kae
: Serta seluruh adik kakak
pa’angn olo ngaungn musi
: Di kampung ini
porong nia laing salangn ga
: Tentukanlah jalannya
ho’o keta muing élan
: Inilah babinya
kudut péntang pitak, tébol kébok
: Untuk menghapus lumpur dan debu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 139
Poro hia kali ga
: Biarlah dalam rumah tangganya
rawuk wa nus eta
: Ada kehidupan
ka’eng liha golo ho’o
: Ketika dia tinggal di kampung ini
neka cumang dungka tai
: Dia tidak bertemu dengan
neka pala calay
: Kesialan dan malapetaka
Hitus de tombo ata kopd
: Itulah permintaan kami
hitus de pa’u ata patut
: Itulah harapan kami
poro pinga torok hitu sina
: Pahamilah doa kami
senget torok hitu le
: Dengarlah doa kami
kudut cama laing lé jari
: Supaya kedamaian
pécing lé ase kae wéki
: Tinggal bersama kami
cama raja ce’e
: Seperti permintaan kami
éla laing tu’ung to’ong
: Inilah babi yang terbaik
éla ho’o ita one urak
: Perlihatkanlah melalui urat babi ini
neho poro déko laing ati
: Lihatlah hati kami
lengkang salang bombong pésu
: Berikanlah yang terbaik
roi neho natas ngasang urak éla
: Nyatakanlah melalui urat babi ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 140
3.10 Ritus Wuad Wa’i (Memberi Bekal) Orang Manggarai Wuad wa’i adalah salah satu jenis ritual adat Manggarai yang bertujuan memberikan bekal (teing bokong) bagi setiap orang yang ingin pergi ke tempat yang jauh, khususnya untuk memperjuangkan nasib, entah dalam bentuk melanjutkan pendidikan maupun pergi merantau (ngo mbeot kawe mose nai). Bekal yang dimaksudkan di sini ada dalam dua kategori yakni memohon pertolongan, perlindungan, dan pendampingan dari para leluhur dan Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan segala bentuk penasihat, petuah (toing agu titong) yang bertujuan untuk memotivasi anggota keluarga yang hendak melanjutkan studi atau merantau agar berhasil. Banyak sekali ujaran yang cocok untuk kesempatan ini, seperti “lalong bakok du lako, lalong rombeng du kolem…” (harafiah: ayam jantan menghantar saat pergi, ayam bercorak-hias saat pulang, maksudnya keberhasilan sebagai buah perjuangan. Pada saat upacara ini biasanya diucapkan doa berikut: “O…té wuat wa’i, porong neka manga do’ong lako (sebut nama) lage tacik, porong neka ronggo do’ong watang one salang, sengkang mena, porong lalong bakok du ngon, porong lalong rombeng du kolen (permohonan agar dia dapat berjalan dengan selamat, tidak ada halangan dalam perjalanannya dan tiba dengan selamat, juga bila bekerja dengan baik dan kalau pulang dapat membawa hasil). Setelah acara ini dilaksanakan orang yang diutus bisa berangkat ke tempat tujuannya. 3.10.1 Susunan Acara 3.10.1.1 Di luar rumah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 141
Anggota keluarga berdoa di kuburan. Yo…
: Yaa...
ho’o meu wura céki
: Para leluhur
ata pa’ang bé le
: Yang sudah meninggal dunia
Ho’o ami mai kamping meu
: Kami datang kepada kalian
kudut tégi nai ngalis salang gerak
:Untuk meminta kebijaksanaan dan petunjuk
latang té ngo kawe mose dé anak/empo : Bagi anak kalian yang hendak merantau (caro ngasang)
: (Sebut nama anak tersebut)
Ho’o ami mai kamping meu
: Kami datang kepada kalian
meu koe ata letang temba, larong jaong :(Supaya) Kalianlah yang menjadi jembatan kudut tombo sanggen nuk
: Untuk menyampaikan segala niat kami
agu tégi dami kamping Mori agu Ngaran: Kepada Tuhan Pemilik 3.10.1.2 Dalam Rumah Pihak keluarga menyampaikan maksud kepada penutur torok. Penutur torok (ata wajo manuk) meminta persetujuan semua pihak untuk memulai acara tudak manuk. 3.10.1.3 Rahi Pa’ang Olo-Ngaungn Musi (Mengundang Kampung)
Seluruh Warga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 142
Penerimaan secara resmi para undangan yang hadir, sekaligus menerangkan maksud dan tujuan dari upacara perutusan (wuad wa’i) Yo…
: Yaa....
Tara manga benta meu ase ka’e
: Adapun alasan kami mengundang kalian
ngasang énde laing, ngasang éma laing : Yang kami anggap sebagai keluarga kami Ai kudut méngkek ngo sekolah anak dite : Supaya tercapai cita-citanya (Sekolah) Landing kali ga wuat wa’i lite hia
: Adapun alasan dibuatnya upacara ini
kudu ngo sekolah hia ga
: Karena ia hendak melanjutkan studinya
Toe mu’u kanang ite
: Kami tidak hanya meminta
ho’o keta tuak agu manukn wuat wa’in : Inilah ayamnya untuk upacara ini Képok…
: Terimalah....
Torok Dénge di’a lite Mori agu Ngaran
: Dengarlah ya Tuhan Pemilik
bate jari agu dedek
: Yang menciptakan dan memelihara
nénggitu kole lite éma lopo
: Begitu juga kalian leluhur (ayah)
agu énde lopo
: Begitu juga kalian leluhur (ibu)
ata poli benta lé dewa
: Yang telah dipanggil dewa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 143
we’e nggér le Mori Dedek
: Kembali ke hadirat Tuhan
Ai danong, pati uma té ciwal
: (Karena) Dulu, kami harus bertani
kudu mangan na’ang bara
: Supaya ada makan
agu wengko wéki
: (Dan) Selimut untuk badan
kudu mangan tu’a hang gula
: Supaya ada makanan di pagi hari
rémong hang leso
: (Kalau beruntung) Makan untuk siang
agu paeng hang mane
: Dan lauk untuk makan malam
Uwa té ho’on ga
: Tetapi kini
lé sekolah mangan kerja
: Kami harus sekolah untuk mendapat kerja
kudu itan di’a cumang cama tuang
: Supaya tinggi derajat kami
Kaing agu tégi kali
: Adapun permintaan kami
kamping ite Morin agu Ngaran
: KepadaMu Tuhan Pemilik
nénggitu kole ngasang céki agu wura
: Begitu juga kalian para leluhur
ata lé liang tana lé liang watu
: Yang mendiami tanah dan batu
Poro par koe neho ntala nain
: Biarlah bersinar seperti bintang hatinya
gerak koe neho wulang
: Terang seperti bulan
terang koe neho léso
: Benderang seperti matahari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 144
one tugas ko kerja diha
: Di tempat tugas atau kerjanya
Paka curup agu hae uku
: Ketika dia berbicara dengan temannya
weko luju koe mu’un
: Mulutnya bertutur kasih
jejang agu hae kerjan
: Ketika dia berbincang dengan temannya
neho emas koe leman
: Mulutnya bertutur bijak
Eme mangas ata da’at
: Jika ada hal yang jahat
du bantang agu hae atan
: Yang direncanakan bersama temannya
agu eme mangas ruakn
: Jika ada hal buruk
le hae dungkang
: Yang di kerjakan bersama temannya
poro na’a nggér wa rakn
: Biarlah itu tetap di dalam hatinya
nggér eta lemas teing nail
: Dan tidak disampaikan
eme kudu nganceng sengetn
: Berilah ia
agu nai lémbak kudu jiri
: Hati yang lembut
neho éma laingn
: Supaya jadi sama seperti ayahnya
Ho’o de manuk ga
: Inilah ayamnya
adak wuat wa’i no’o
: Untuk memberikan bekal
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 145
one tempat tugas
: (Kepadanya) Untuk kelancaran di tempat kerja
cuma cama tuang boto mas
: Biar dia berlaku seperti raja
manuk keta laing tu’ung hau manuk
: Inilah ayam yang terbaik
3.10.1.4 Toto Urat Manuk Setelah torok selesai, ayam disembelih kemudian dibersihkan. Bagian tertentu dari ayam seperti hati dan ususnya diperlihatkan. Penutur akan membaca tanda yang diberikan oleh leluhur, khususnya soal persetujuan dan restu mereka akan maksud dari acara wuad wa’i. seturut permintaan dalam torok, jika usus (urat) dan hati ayam berkilau dan lurus, maka permintaan doa telah diterima. Demikian pun sebaliknya. 3.10.1.5 Helang Helang adalah pemberian sesajen (teing hang) kepada leluhur. Bagian-bagian tertentu dari ayam yang sudah dipanggang, disimpan di piring lalu disajikan diatas tempat persembahan. Penutur torok mengajak leluhur untuk dating menyantap makanan yang telah disajikan: “Ènde, éma, maim ga… ho’o hangs, ho’o waes, ho’o tuaks…. “ (Bapa dan mama, para leluhur, marilah menyantap hidangan ini) 3.10.1.6 Makan Bersama Sebagai penutup diadakan acara makan malam bersama. Pada saat ini, anggota keluarga yang hadir kerap memberikan sejumlah uang secara spontan. Ini adalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 146
tanda dukungan (pédeng bokong) terhadap orang yang hendak merantau atau pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Lain pula halnya kalau salah seorang anak muda yang kembali dari kota besar telah menyelesaikan studinya atau telah sukses dalam pekerjaanya, maka upacara syukur atas keberhasilannya disebut “caca selek” (harafiah: caca: membuka, selek: dandan). Dalam hal ini upacara syukuran dibuat untuk para leluhur yang telah mendampingi serta melindunginya selama mengejar cita-cita sampai berhasil dengan baik. Sebagaimana upacara “wuad wa’i” ketika dia pergi, demikianpun sekarang setelah dia kembali dengan selamat dan sukses. Pada saat ini juga diadakan acara teing cépa agu tuak latang céki. Acara teing cépa ini dimaksudkan untuk memanggil nenek moyang melalui pembelian sirih pinang dan tuak. Tujuannya adalah untuk mengucap syukur dan berterima kasih atas segala penyertaan mereka selama dalam medan perjuangan. Penutur Torok akan berkata: “Dénge di’a lé meu
: Dengarlah wahai kalian
ngasang wura agu céki
: Para leluhur
ai ho’o de kolen émpo agu anak dite
: Karena hari ini anak kalian pulang
ho’o manuk to’ong
: Inilah ayamnya
kudut teing hang di’a meu
: Untuk memberi makan kalian
ai lalong pondong du ngo
: Karena ayam jantan menghantar saat pergi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 147
lalong rombeng du kole
: Ayam bercorak saat pulang
caca di’a selek, kapu di’a ijazah
: kini dandannya dilepas, ijazah diangkat
Maim ga, ho’o cépa, ho’o tuak
: Marilah, inilah sirih pinang dan tuak
Torok Upacara Caca Selek Dénge lé meu émpo
: Dengarlah wahai leluhur
ho’o de manuk lalong bakokn ga
: inilah ayam jantan putihnya
Ai du wuat wa’i lite
: Karena waktu memberi bekal
ho’o teti lami lalong bakok
: Kami membawa ayam jantan putih
Ho’o kali kolen lalong bakok
: Kini ayam jantan (anak) sudah pulang
kole lami té caca selekn,
: Sudah kami lepas dandannya
kudut caca laku panggaln
: Dan kami lepas pula penutup kepalanya
kudut wali dé di’a laku émpo
: Supaya kami bisa menjawab panggilannya
Ai du para kole le mai du cain
: Karena melalui pintu ini ia datang
ai tei lite gerak nain
: Karena Engkau menerangi hatinya
ai tei lite wuka matan
: Dan membuka matanya
Ho’o kali kolen ga
: Kini
ho’o leng lalong bakokn lami
: Kami bawa ayam jantan putihnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 148
kudut caca selekn
: Untuk melepas dandannya
kudut capu de laku napung
: Untuk melepas semua kesialan
kudut koso de laku lo’o
: Dan mengelap tempat duduknya
3.11 Ritus Teing Hang 3.11.1 Pengertian dan Maksud Teing hang adalah upacara memberikan makan kepada leluhur atau orang tua yang sudah meninggal. Ada dua kesempatan teing hang dilakukan. Pertama, Karena ada sakit yang berkepanjangan lalu muncullah mimpi (lang one nipi) bertemu dengan orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Menurut penafsiran (ata mbéko, ata pécing), mimpi itu memperlihatkan kenyataan bahwa anak-anak, termasuk yang sakit lupa kepada orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Kedua, teing hang menjadi satu kebiasaan dalam upacara pénti, baik diakhir panen maupun pada saat pergantian tahun. 3.11.2 Hewan Kurban Dalam acara teing hang, hewan kurban adalah ayam jantan. Warna bulu ayam disesuaikan dengan penglihatan dalam mimpi. 3.11.3 Susunan Acara 3.11.3.1 Pembukaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 149
Pembukaan dibuat sebagai pengantar untuk menyampaikan maksud dipanggilnya penutur torok ke rumah kediaman mereka yang mengadakan upacara Teing Hang. Wakil keluarga akan mengatakan : Yo éma
: Yaa ayah
agu ised ngasang énde laing
: Dan kalian yang kami panggil ibu
ka’e laing, ase laing
: (Yang kami panggil) Adik dan kakak
Tara mangad lonto cama wie ho’o
: Adapun alasan kita berkumpul malam ini
padir wa’i réntu sa’i dite
: Duduk melingkar
ai alang wa keta bétid
: Karena penyakit ini
pu’ung eta main hiat ngaso
: Diderita oleh anak kami yang sulung
wan iset cucu
: Sampai yang bungsu
nénggitu koles wote agu hi énde
: Begitu juga menantu dan mama
Itu tara mangan nggo’o tae
: Itulah sebabnya ada pertemuan ini
Ole
: Akan tetapi
asa landing méjeng hése
: Apakah karena tidak gegas berdiri
ngonde holes dami ngasang anak
: Malas bergerak kami anakmu
toe manga nuk ata Tu’a Èma
: Tidak mengingat ayah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 150
pa’ang bé le
: Yang sudah meninggal
Hitu kole itan one nipi
: Itu juga yang kami lihat dalam mimpi
landing lé ho’o e
: Alasan kami sakit karena hal itu
landing lé hitu e
: (Alasan kami sakit) Karena hal ini
tara mangas meu ringing tis
: Itulah sebabnya ada malapetaka
népo léso, wan céngata
: Kerja keras
etan céngata
: Tindih menindih
Itu tara nénggo’o éma ga
: Oleh karena itu ayah
wie ho’o kudut adak teing hang
: Malam ini kami akan memberi makan
hi éma dami
: Ayah kami
Bétuan
: Selain itu,
itu tara mangan siro ite éma laing
: adapun alasan kami memanggilmu ayah
ise énde do, ase-kae
: Juga memanggilmu ibu dan sanak saudara
kudut teing hang hi éma
: Untuk memberi makan ayah kita
Kudut hia koe panggad buru warat
: Supaya ia menghalau badai
nggitu kole ringing tis
: Begitu pula malapetaka
népo léso
: Kerja (yang terlalu) keras
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 151
kudu ngaji koe latang té hia
: Supaya ia yang menyampaikan
kamping Mori agu Ngaran
: Permohonan kepada Tuhan Pemilik
poli ngaji eta mai boa bo ga
: Kami sudah berdoa di makam tadi
Hitu de bétuan lonto dite wi’e ho’o
: Itulah tujuan berkumpulnya kita malam ini
Ho’o tuak. Képok..
: Inilah tuaknya.. Terima kasih
Lalu pihak keluarga (kilo) yang meminta menyampaikan képok yang diwakili sebotol tuak, seraya berkata: Aram manga toe di’a nain
: Mungkin sedang dilanda amarah
hi éma ho’od pa’ang bé le
: Hati ayah kita yang telah meninggal
wiga mangad do do’ong
: Sehingga banyak halangan
itu tara mangad do bules
: Sehingga banyak rintangan
ami ngasang anak
: (Dalam kehidupan) Kami sang anak
toe cumang nuk tau ase - ka’e
: (Kami) Tidak mengingat sesama kami
éma agu anak
: Tidak mengingat ayah kami
Ho’og de haeng lamid anak laing
: Inilah waktu yang tepat bagi kami
kudut adak teing hang
: Untuk upacara memberi makan
kudut we’ang gerak wancing ngalis
: Supaya diberikan hati yag bijak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 152
Dopo one wie ho’os kali
: Cukuplah sampai malam ini
sanggéd po’ong jogot
: Segala duka
éte nggéte
: (Segala) Perpecahan
éma agu anak, ase agu ka’e
: (Antara) Ayah dan anak, adik dan kakak
nénggitu kole ised cau léwing bé musid : Begitu juga mereka yang tinggal di dapur One manuk taungs keta tombod to’ong : Dalam ayam ini semua akan disampaikan Penutur Torok Menerima Maksud Teing Hang Nggo’o anak
: Begini anak
ase ka’e tite
: Kita (ini) bersaudara
Ngasang éma kami, anak tite
: Kami sebagai ayah, kalian sebagai anak
Ai dite ho’o pe, gereng béti
: Karena kita, ketika sakit
po manga teing hang ata tu’a
: Baru kita memberi makan orang tua
tama keta landing lé hitue
: Hanya karena itu
landing lé toe teing hang
: Hanya karena tidak memberi makan
Ho’o kali haeng kawen to’ong
: Sekarang kita mencari
kudut dumpun, eta lawang ka’e hi énde : Supaya kita menemukan Ibu di langit Ho’o neng lonto torok dite wie ho’o
: Inilah tujuan kita berkumpul dan berdoa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 153
teing hang hi ka’e hitu
: Untuk memberi makan kakak
kudut neka manga wéndu lé watu
: Supaya tidak tersandung oleh batu
ngasang meut anak dading
: Kalian yang kami panggil anak
wéncar lé tanad
: (Supaya) Tidak terkena debu
neho réwéng dé meu
: Seperti permintaan kalian
anak kamping amid éma
:Anak yang menjaga kami ayah
Ai hitu itay, ho’o neng pande
: Karena itulah sebabnya diadakan upacara
Eme landing lé hitu gauk de kraeng tu’a: Jika karena itu ayah marah wéli kamping ite anak
: Kepada kami anak-anakmu
ole
: Semoga
mbér agu nantal béti situe
: Dijauhkan segala sakit
ho’od de teing hang to’ong
: Sekaranglah kami memberi makan
Toe manga célan réwéng hitue
: Kami tidak keberatan (dengan jawaban)
Kemudian, penutur torok menerima tuak képok sebagai ungkapan kesediaan untuk menjadi waki kilo (keluarga) yang membuat upacara teing hang. Lalu dilanjutkan dengan dialog antara penutur torok dengan keluarga yang mengundang. 3.11.3.2 Upacara Teing Hang Dimulai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 154
Dalam upacara ini, yang menjadi hewan kurban adalah ayam jantan putih. Tujuan utama dari upacara ini adalah supaya para leluhur tidak menjadi murka oleh karena keluarga yang masih hidup melupakan dia dan berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkannya, misalnya saling bermusuhan. Dalam torok penutur berkata, Dènge lite Kraeng (sebut nama)
: Dengarlah wahai ayah (sebut namanya)
etad ata ngaso wad cucu
: (Mulai dari) Sulung sampai yang bungsu
anak ata ronam
: Anak laki-lakimu
ai lè ngonde holes
: Karena (mereka) malas bergerak
lè mèjeng hèse dise olo e
: Karena (mereka) tidak gegas berdiri
itu mangad macèl one cèlis
: Itulah sebabnya darah tidak mengalir
da’ong one tokos beti
: (Itulah sebabnya) Sakit tidak mau sembuh
Kali manga kantad dite
: Ternyata ada keluhan darimu
manga tegi dite eta mai Gewak
: Ada permintaan dari Gewak
cala lè rugi tite, rabo tite
: Mungkin karena engkau marah
ho’o tuak, etad anak ata ngasom
: Ini tuaknya, mulai dari yang sulung
wan ata cucu
: Sampai yang bungsu
nènggitu kami ase-ka’e
: Begitu juga sanak saudara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 155
nènggitus wèta, anak rona
: Begitu juga seluruh keluarga
ngasang èmpo
: Yang kalian anggap cucu
Reje neka beng kami wie ho’o
: Jangan biarkan perpecahan terjadi
molor lonto torok
: Lancarkanlah segala doa kami
ho’o tuak bantang agu bentam
: Inilah tuak untuk memanggil kalian
Mai nèki no’od ga
: Marilah datang berkumpul
ai ho’o de manuk kudut teing hang ite
: Karena inilah ayamnya untuk memberi makan kalian
Neka peleng nggèr le wiwim
: Biarkan jiwamu tinggal bersama kami
neka pacu nggèr lau
: Jangalah duduk membelakangi kami
Ho’o tuak bantang agu bentam
: Inilah tuak untuk memanggil kalian
mai lonto ce ite
: (Untuk) Duduk bersama kami
ca salang kole
: Satu lagi
ise èma tu’a, ise ènde tu’a, ènde
: Kakek, nenek, ayah dan ibu
mai lonto nèki no’o meu
: Datanglah berkumpul disini
kudut senget papi agu tombo dami
: Untuk mendengar permohonan kami
teing hang to’ong
: Ketika memberi makan kalian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 156
kudut majak lonto cama meu le mai
: Supaya betah kalian
molor lonto torok
: Supaya berjalan lancar doa ini
senget papi agu tombo eta
: Dengarlah permohonan kami
lawang hi ka’e (sebut nama)
: Selama si kakak (sebut namanya)
wa lawang wing agu dading
: Kakak kami tercinta
Kudut majak lonto cama meu le mai
: Supaya betah kita duduk bersama
senget papi agu tombo
: Mendengar pembicaraan
manuk teing to’ong meu
: Ini ayam untuk kalian
kudut senang kole widang wèki
: Untuk menyenangkan kalian
Kudut neka peleng nggèr le wiwi
: Supaya jiwamu tinggal bersama kami
neka tei ringing ti’is
: Sehingga malapetaka dijauhkan
neka nèpo lèso
: Tidak perlu kami bekerja (terlalu) keras
Ho’o kole tuak kudut bantang
: Inilah tuak (lagi) untuk merundingkan
agu bentas meu
: Dan memanggil kalian
Torok Teing Hang Setelah menyampaikan sapaan terhadap orang yang sudah meninggal, penutur torok memegang ayam jantan, mengarahkan matanya ke depan. Penutur torok
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 157
menyampaikan kembali struktur yang sama seperti pada bagian terdahulu. Setiap satu bait torok selesai, ia mencabut bulu ayam sehingga ayam itu mengeluarkan suara. Yo, Kraeng Tu’a
: Yaa kakak
eta lawang ised ngasang ka’e,
: Yang kami tinggikan
wan lawang sangged anak
: Dan kami anak-anakmu
wote agu èmpon
: menantu serta cucumu
ata one tana datad mole
: Yang pergi merantau
ho’o taung ise
: Kini mereka semua berkumpul
Ai dite ho’o lè la’ang le nipi
: Karena kami melihat dalam mimpi
lise anak dite
: Anak-anakmu melihat dalam mimpi
Rugi ite, Kraeng Tu’a
: Engkau marah, kakak
lè toe di teing hang
: Karena kami tidak memberimu makan
One mai rugi ho’o wèli ga
: Karena kemarahanmu itulah
mangas ita calang one wèki
: Ada kesalahan dalam hidup kami
ringing tis, nèpo lèso
: Malapetaka dan kerja keras
Kali lè toe teing hang ite
: Karena tidak memberimu makan
Ho’o kali lami ga
: Oleh karena itu saat ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 158
lalong bakok teing hang
: Kami memberimu ayam jantan putih
Kudut palong koes nai bakok dite
:Untuk mengembalikan hati putihmu
Kudut totos nai molor dite
: Untuk diperlihatkan hati baikmu
Kudut widangs di’a, patis ngalis
: Supaya kami peroleh kebijakan
Kudut widangs moncok neteng moso
: Dalam kehidupan bertani kami
hasil neteng uma
: (Mendapatkan) Hasil dari setiap kebun
Neka mangas peleng nggèr le
: Janganlah engkau membalikkan muka
pacu nggèr lau
: Mengacuhkan kami
Neka teis ringing tis
: Jauhkanlah kemalangan
Neka patis nèpo lèso
: Dan segala kedukaan
Kudut èmos sangged wèjang rugi
: Supaya berhenti segala nestapa
senget di’a lite Kraeng Tu’a
: Dengarlah wahai kakak
Ite kole anak, etan lawang ata ngaso
: Begitu juga anak, dari yang sulung
wan lawang ata cucu
: Sampai yang bungsu
sangged woten, agu èmpon
: (Begitu juga) Menantu dan ucumu
wae tuka di (sebut nama)
: Buah hati dari (sebut nama)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 159
Ai toe di teing hang du ntaung weru olo : Karena kami belum memberimu makan pada tahun lalu ai hitu tara mangan rugi gu rabo
: Itulah sebabnya ada kemarahan
Nènggitu kole sangged wintuk da’at
: Begitu juga segala perkataan buruk
dè meu anak
: Oleh anak-anak
One mai toe bae hiang
: Dimulai dari
cama tau lawang ase-kae
: Tidak pedulinya adik terhadap kakak
wèta-nara, ènde agu anak
: Saudara, ibu dan anak
agu sangged èmpon
: Dan para cucu
Hambor keta ata naun
: Damaikanlah segala perkara
one lonto cama ho’o
: Pada pertemuan ini
neka po’ongs jogot, bète nggete
: Jangan ada lagi duka dan nestapa
Paka oke keta taungs beti nais
: Buanglah semua sakit hati
mose molor one lino
: Hiduplah yang benar di muka bumi ini
Mber koe taungs nengong-nangong
: Jauhkanlah semua keributan
Du lèsos saled, wa’a le waes laud
: Buanglah itu bersama air ke laut dan dibakar oleh matahari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 160
Eme landing lè hitu e
: Jikalau itulah sebabnya
ho’o lalong bakok teing hang dite
: Inilah ayam jantan putih untuk memberimu makan
kudut widangs di’a, patis ngalis
: Supaya kami diberi kebijakan
karong salang, teing salang
: Petunjuk dan amanah
kudut tompals momang
: Dalam kasihmu
kudut widangs moncok neteng moso
: Supaya kami mendapat hasil melimpah
tei berkak latang tè meu anak dading
: Limpahkan pula berkatmu
Kudut dani koe neteng mbaru
: Untuk hidup berumah tangga kami
kudut neho pongkor eta golo moses
: Supaya seperti puncak gunung hidup kami
kudut pateng koe wa wae…
: Dan mengalir seperti air
teing hang ite ga, lalong bakok
: Kami memberimu ayam jantan putih
Tiba sina teing dami, Kraenng Tu’a
: Terimalah pemberian kami kakak
3.11.3.3 Toto Urat Manuk Hati dan usus ayam diperlihatkan. Jika berbentuk lurus dan berkilau-kilau maka Tuhan dan leluhur merestui acara ini dan pihak yang sakit akan sembuh. Demikian pun sebaliknya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 161
3.11.3.4 Helang Memberikan makanan serta minuman kepada leluhur dalam sebuah piring beserta tuak dan gelas. Bersamaan dengan itu, peserta yang hadir dalam ritus ini juga akan menyantap hidangan yang sama. 3.11.3.5 Hang Wie Cama (Makan Malam Bersama) Acara ini ditutup dengan makan malam bersama. Ada kebiasaan untuk saling menasihati, menanyakan kabar anggota keluarga yang jauh atau membahas rencana ke depan dari keluarga besar. 3.12
Ritus Kematian Orang Manggarai
3.12.1 Adak Teing Tinu 3.12.1.1 Pengertian dan Maksud Teing Tinu (teing: beri, tinu: pemeliharaan) adalah sebuah acara adat yang dilakukan oleh anak-anak sebagai bentuk penghargaan dan balas budi terhadap orang tuanya yang masih hidup. Teing tinu ini ada dalam konteks ucapan terima kasih karena orang tua telah melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan penuh cinta dan kasih yang besar. 3.12.1.2 Waktu Pelaksaan Acara teing tinu umumnya dibuat di saat orang tua sudah lanjut usia. Teing tinu biasa dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, kondisi normal. Dalam kondisi normal, anak-anak memiliki kesadaran untuk membuat upacara ini sebagai ekspresi syukur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 162
atas segala kebaikan dan kasih yang telah dicurahkan orang tua. Dalam acara ini sangat kentara suasana dan kebahagiaan. Orang tua terlibat dalam kebahagiaan dan kegembiraan anak-anak. Kedua, kondisi darurat (ruis haju rakang ga). Ketika orang tua (ayah atau ibu) sedang dalam kondisi sekarat dibuat acara teing tinu. Acara teing tinu ini dilakukan hanya sebatas simbol karena yang bersangkutan sudah tidak sanggup lagi menyantap hidangan yang telah disediakan oleh anak-anaknya. Bahkan sebagai simbol ada pengalaman dibuat pada saat orang baru saja meninggal. Oleh karena kerap masyarakat (anak-anak) membuat adak teing tinu pada saat orang tua sedang sekarat, banyak orang tua kemudian menganggap acara itu sebagai bentuk “pengusiran” mereka dari dunia. 3.12.1.3 Hewan Kurban Pada umumnya penyelenggaraan adak teing tinu ini dengan mengurbankan hewan berupa ayam dan babi (manuk agu èla). Ayam disembelih melalui torok khusus yang intinya menyatakan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas berkat dan rahmat yang memberikan orang tua kepada anak-anak. Selain itu ada permohonan untuk menjaga dan melindungi serta mengaruniakan kesehatan yang baik pada orang tua. Sedangkan dalam kondisi darurat hanya berisi ucapan terima kasih dan permohonan maaf dari anak-anak kepada orang tuanya. 3.12.2 Wero Mata agu Wae Lu’u
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 163
Pada saat seseorang telah meninggal dunia, keluarga menyampaikan berita duka (wero mata) itu kepada semua pihak. Ada tiga kategori pihak yang perlu mendapat penyampaian: pertama, ase-kae, wèki pa’angn olo-ngaungn musi (keluarga, semua warga kampung). Kedua, anak rona (pihak pemberi gadis), dan ketiga anak wina (pihak penerima gadis). Tiga kategori ini memiliki maksud yang berbeda-beda. Sebagai ase-kae, wèki pa’angn olo-ngaungn musi mempunyai kewajiban untuk mengatur segala keperluan dalam upacara kematian itu. Pihak anak rona memiliki ruang istimewa dalam upacara adat kematian. Mereka akan membawa èla haeng nai. Demikianpun dengan anak wina, mereka punya tempat tersendiri dalam seluruh ritus kematian sebagai pihak yang nantinya terlibat dalam menanggung ritus-ritus itu secara finansial. Orang yang datang ke rumah duka membawa serta wae lu’u (wae: air, lu’u: air mata) berupa sejumlah uang atau benda-benda lain seperti lilin, kain, dsb. Torok Wae Lu’u Woko ho’o kali ga
: Saat ini
ka’eng lè jari
: Kita berkumpul karena satu tujuan
benta lè dewa ase ka’e dite
: Saudara kita dipanggil oleh dewa
ma’u apa kali lè hami
: Tidak ada yang bisa kami perbuat
pèdeng bokong kali lè hami
: Kami hanya bisa mengantar
ngasang dè wae lu’u
: Bersama dengan air mata kami
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 164
neka paka tako hang data one salang
:Jangan mencuri makanan orang dalam perjalananmu (menuju surga)
neka paka tako wae data
: Jangan curi air minum orang
neka paka tako muku data
: Jangan curi pisang orang
nggeluk keta lakom
: Berjalanlah dalam kesucian
cai one ranga de morin agu ngaran
: Sampai di hadapan Tuhan Pemilik
3.12.3 Lorang agu Loling Lorang berarti ratap tangis, menangis. Kata “lorang” mengandung arti ratap tangis kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Ngo lorang ata mata (pergi meratap-tangis untuk orang yang telah meninggal). Loling berarti semayam, disemayamkan. Kalau ada orang yang meninggal dunia, maka jenazahnya disemayamkan di rumah duka (rumah keluarga yang berduka). Waktu disemayamkan, mayat dialaskan dengan tikar, dibungkus dengan kain songke, kain berwarna hitam atau kain berwarna putih. Seluruh tubuhnya ditutup dengan kain tersebut. Mayat dibaringkan dengan posisi kepalanya mengarah ke pintu depan rumah (para olo). Tetapi kalau orang yang meninggal dunia karena kecelakaan di luar rumah, dibunuh, disambar petir, gempa bumi, tenggelam di laut, dll., maka mayatnya disemayamkan di luar rumah. Ia tidak boleh disemayamkan di dalam rumah karena dianggap sial. Orang Manggarai menyebut kenyataan meninggal secara tak wajar disebut “dara ta’a” (harafiah: darah mentah, artinya mati tidak wajar).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 165
3.12.4
Haeng Nai
3.12.4.1 Pengertian dan Maksud Acara haeng nai (haeng: dapat, nai: napas) dimaksudkan supaya orang yang meninggal itu tahu bahwa pihak keluarga, anak wina, anak rona ada pada saat dia menghembuskan napas terakhirnya. Acara ini juga dimaksudkan supaya keluarga, secara simbolik terlibat dalam dalam penderitaanya dan dan berharap agar perjalanannya menuju alam baka tidak menemui rintangan dan mendapat belas kasih dari Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta). 3.12.4.2 Hewan Kurban Hewan kurban yang dibutuhkan dalam acara ini adalah babi (éla). Khusus pihak anak rona, arti babi (éla) yang mereka berikan sangat besar. Torok Èla Haeng Nai Dénge di’a lite
: Dengarlah baik-baik
tara manga caum hau éla
: Adapun alasan kami memegangmu
kudut adak haeng nai
: Untuk mengantarmu
damit ngasang ase ka’e
: Yang kami anggap sebagai saudara
woko nénggo’o kali hau
: Tetapi karena engkau
tuju mata, kému limem ga
: (Sudah) Menutup mata jarimu berpaut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 166
ho’o kole damit ase ka’e
: Kini kami saudaramu
pu’ung eta mai ata ngason
: Dari yang sulung
nang wa ata cucun
: Sampai yang bungsu
kudut adak haeng nai
: Hendak mengantarmu
tanda one ranga dami
: Kami akan mengingat
lako dé hau
: Hari kepergianmu
Mbérés po’e dami
: Sekuat tenaga kami menahan
landing wale kin le dewam hau
:Tetapi engkau tetap menjawab panggilan dewamu
kudut lorong benta
: Dan mengikuti panggilan
dé Mori agu Ngaran
: Tuhan pemilik
Neho tae dami
: Seperti perkataan kami
tombo molor koe
: Berbicaralah yang benar
kamping Mori agu Ngaran
: Di hadapan Tuhan Pemilik
poro wérus koe ata nggéluk
: Keluarkanlah semua yang suci
Pu’ung léso ho’o hau
: (Yang kau miliki) Mulai hari ini
nang agu tai
: Sampai selama-lamanya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 167
neka manga émi ca ko ca
: (Engkau) Tidak boleh mengambil
one mai amit ngasang ase ka’e dom
: Salah satu dari kami saudaramu
hau kali ga lewang nggér pe’ang
: Engkaulah yang membuang semua keburukan
po’e nggér one
: Memasukkan hal-hal baik
boto manga ligot lé siong
: Supaya tidak ada hal buruk
pédéng lé ménes ami musi mai
: Dan kami yang ditinggal kedinginan
Kudut émo dopo one haus
: Supaya berhenti di engkau
irus one isung, lu’u one mata
: Tangisan dan air mata
Porong neka manga paing tai
: Janganlah menagih
itang kole diang
: Utangmu yag sudah lalu
hau kali ga tukam nggér le
: Dan engkau harus menghadap ke surga
tonim nggér ce’e wisi wuk
: Punggungmu membelakangi kami
Eme mangas dewa
: Jika ada dewa
agu wakar ata lut
: Dan roh yang mengikuti (kami)
ole…
: Yaaa.....
dur le culus lé hau, weling koles
: Tolaklah mereka kembali
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 168
Hitu pe’ang tana de éla haeng nai
: Di halaman ada babi pengantar
Tésuan kole…
: Selain itu
hitu de éla adak haeng nai
: Itulah babi untuk mengantar
kali mana ho’o éla ngon
: Tetapi ketika babai ini pergi
toe tombo molor kamping wowom
:Engkau tidak mendapat kesepakatan dengan jiwamu
toe wali di’a kamping jarim
:(Engkau) Tidak menjawab dengan baik perkataan rohmu
Ngongt toe lewang nggér pe’ang
: Tidak engkau buang keburukan
toe po’e nggér one
: Tidak kau masukkan hal-hal baik
ngongt manga kin rai masu
: Masih ada nestapa
sa’i helo huwék
: Masih ada sakit
Nggitu kole irus one isung
: Begitu pula duka
lu’u one mata
: Dan air mata
Hitus de tombo ata toe kopd
: Itulah permintaan kami
Hitus de pa’u ata toe patutn
: Itulah harapan kami
Ngongt toe pinga torok hitu sina
: Tetapi doa kami tidak dipahami
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 169
toe senget torok hitu le
: Permintaan kami tidak didengar
Ngongt toe camas raja ce’e
: Tidak sesuai dengan permintaan kami
toe laing tu’ung tong
: Oleh karena itu sebentar
éla adak haeng nai ho’o
: (Dalam) Babi untuk mengantar
ita one urak, lema lé rampas
: Terbaca dalam urat, ulut tidak berucap
botek ati, kepet salang
: Hati bususk, tidak ada jalan
pésu toe kong toton
: Tidak terlihat (jawaban)
urak éla ho’o
: Dalam urat babi ini
Somba…
: Ampunilah
ho’o keta muing éla
: Inilah babinya
tae dami ngasang ase ka’e
: Dari kami saudaramu
nggitu kole tae dé ase ka’e
: Dan juga dari saudaramu
pa’ang agu ngaung
: Di dalam kampung ini
wan koe etan tu’a
: Mulai dari yang kecil sampai yang tua
Ho’o muing éla
: Inilah babinya
adak haeng nai
: (Babi) Untuk mengantar
kudut bé sina muing ami
: (Untuk) Memisahkan alam kita
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 170
Ho’o éla adak manga ranga
: Inilah babi yang kami persembahkan
gami lako dé hau
: Untuk mengantar kepergianmu
Kudut hau kali ga
: Supaya engkau
pangga le tadu laun
: Yang menghalau semua malapetaka
tukam nggér le tonim nggér ce’e
: Wajahmu menghadap ke surga
wisi wuk kali hau
: (Tetapi) Tetap mendengar doa kami
Neka manga wentong kole
: Jangan menoleh kebelakang
neka manga paing tai
: Jangan menagih utang-utangmu
itang kole diang
: Ketika engkau pergi
Poro ami musi mai kali ga
: Kami akan selalu berdoa
geal agu sagang koem
: Supaya kepergianmu tenang
neka manga ligot sigong
: Tidak ada malapetaka
pédeng alo ménes
: (Dan) Sakit penyakit
kudut neka mangas tai
: Supaya tidak ada
masu sai helo huwek
: Duka dan nestapa
nggitu kole ringing tis, népo léso
: Begitu juga sial dan kerja keras
Neka mangas
: Jangan ada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 171
cumang dungka pala cala
: Bertemu dan berhadapan langsung
Hitu de ngasangd tombo ata kopd
: Itulah permintaan kami
pa’u ata patutn
: Itulah harapan kami
kudut pinga torok hitu sina
: Pahamilah permintaan kami
senget torok hitu lé
: Dengarlah doa kami
Hitu pe’ang de
: Di luar rumah
ngasang éla laing tu’ung to’ong
: Sudah disediakan babi terbaik
éla ho’o ita one urak to’ong
: Nyatakanlah melalui urat babi ini
3.12.5 Tékang Tana (Penggalian Kubur) Upacara ini dibuat sebelum penggalian tanah kubur, dengan maksud agar terhindar dari segala macam halangan dan rintangan yang dapat menghambat proses penggalian. Acara ini biasanya memerlukan seekor babi sebagai hewan kurban disertai do’a sebagai berikut: “Ho’o…
: Inilah
manuk tékang tana
: Ayam untuk menggali kubur
Porong émo hau irus one isung
: Cukup sampai disini kesedihan
lu’u one mata
: (Dan) Air mata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 172
Wali di’a-di’a kamping Morin
: Berbicaralah yang baik dihadapan Tuhan
porong neka manga ata lut hau
: Jangan biarkan ada yang mengikutimu
Kemudian diadakan penggalian kubur dan mayat tersebut dimasukkan ke dalam liang kubur untuk dikuburkan. Setelah upacara penguburan, semua orang pulang dan mencuci tangan di kali sebagai tanda bahwa sanak saudara telah melepaskan dia. Kain penutup peti mayat waktu diantar ke kuburan (buing) sebagian dicelupkan ke dalam air dan dibawa pulang ke rumah , lalu disimpan di tempat khusus atau ruangan khusus. Karena ada kepercayaan bahwa roh orang mati itu masih tinggal bersama kain tersebut, maka pada saat mete (tuguran) di rumah duka yang disebut “lonto walu” kita harus memberi makan dan minum kepada roh orang mati di tempat kain itu digantung terlebih dahulu sebelum acara makan. Torok Éla Tékang Tana Dénge di’a lite énde wa
: Dengarlah wahai bumi
ai gula ho’o cau éla
: Pagi ini kami memegang babi
té tékang di’a tana
: Untuk menggali kubur
Landing nio manga watang pangga
: Tetapi sepertinya ada yang menghalangi
ronggo do’ong, jaga wa
: Ada yang tersangkut
éla laingn tékang di’a tana
: Inilah babi untuk menggali kubur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 173
neka do’ong laing, ho’o de adakn ga
: Pergilah, berjalanlah dalam damai
3.12.6 Na’a One Peti atau Ancém Peti Nama lain dari Ancém peti adalah Teti Mbakung. Acara ini dilaksanakan sebelum mayat dimasukkan ke dalam peti (mbakung) untuk diantar ke kuburan. Pada saat ini seekor ayam disembelih disertai dengan doa. Ancém peti merupakan suatu acara yang dilakukan sebelum mayat diantar ke pemakaman. Acara tersebut dilakukan dengan menyembelih seekor ayam hitam dan ritus adat, sebagai tanda ucapan selamat jalan untuk yang terakhir kalinya dari pihak keluarga sambil tak peti. Torok Ancém Peti Ho’o paku di’am peti ga
: Inilah paku untuk menutup petimu
Landing nio hau
: Karena kematianmu
toe campit dara kope
: Bukan karena dibunuh
ko héna lé lime
: Atau dipukul
mesen ka’eng lé jari
: Tetapi karena Tuhan menghendaki
benta lé dewa
: (Engkau) Kembali kepadaNya
Landing eme latah
: Namun bagi orang lain
mangan mata de hau ho’o
: Kematianmu ini
lérum mopo
: Karena perbuatanmu sendiri
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 174
Landing dé hamin kali ga
: Kini yang bisa kami perbuat
tak di’a lami peti dite ta
: (Hanyalah) Menutup petimu
podo di’a hau lé ami tai
: (Hanyalah) Mengantar kepergianmu
Landing neka nuk keluargam hau
: Engkau tidak boleh mengingat keluargamu
nggér musi
: Yang engkau tinggalkan
Nggéluk keta lakom kali hau ta
: Berjalanlah dalam cahaya kasih
kamping Mori agu Ngaran
: Tuhan Pemilik
Ho… manuk
: Inilah ayam
té podom hau...(sebut namanya)
: Untuk mengantarmu (sebut nama)
porong di’a-di’a lako
: Berjalanlah dalam kebaikan
wali di’a agu kamping
: Berbicaralah yang baik
Mori agu Ngaran
: (dihadapan) Tuhan Pemilik
Émo hau lu’u one mata
: Cukup sampai disini tangisan
irus one isung
: (Dan) Kesedihan
Sale mai wae hau ga
: Engkau kini berada di seberang sungai
ce’e mai wae ami
: Dan kami berada di sisi yang lain
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 175
Neka sirung siku agu wentong komong
:Jangan menoleh kepada kami yang masih hidup
3.12.7 Tokong Bako atau Tokong Mbakung Tokong bako adalah istilah Manggarai yang etis digunakan pada sore setelah kematian dan menjelang upacara mengantar jenazah ke kubur (tokong bako: tokong artinya jaga, bako artinya bungkusan kain putih yang digunakan untuk membungkus mayat). Tokong bakong adalah situasi dimana seluruh warga sedang menjaga orang mati ketika dibaringkan di ruang tamu atau pendopo (lutur) di rumah duka. Tokong mbakung disebut juga menjaga orang mati yang dalam istilah Manggarai adalah “jaga ata mata wa lutur”. Acara adat yang dilakukan pada saat ini adalah menyembelih seekor ayam dan babi disertai torok. Torok Éla Dénge tara di’an lé hau
: Dengarlah wahai engkau...
(nama orang yang mati)
: (Nama orang yang mati)
ho’o de éla lami ga
: Inilah babinya
kudut antul wa’u bantang lawa
: Untuk mengumpulkan keluarga
lawa mandung pa’ang di’a
: Menghadirkan sanak saudara
benta ata ka’eng pe’ang
: Memanggil keluarga yang merantau
kudut cama laing
: Untuk berkumpul bersama-sama
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 176
mai kais agu ngalis
: Datang membawa kebijakan
kudut cama laing ongkos lonto no’o
: Untuk duduk bersama-sama di sini
ho’o de élan lami
: Inilah babinya
kudut neka sau kin wa’u
: Untuk menghapus kedukaan
neka poe woem paong bangkong
: Janganlah menoleh kebelakang
ata marak tana wam de ite ga
: Engkau sekarang tinggal di bawah tanah
leke tana le ho’o élan
: Tanah ini ditutup oleh babi ini
Torok Manuk O… manuk
: Inilah ayamnya
té tokong mbakung
: Untuk menjaga
dé hau (sebut nama)
: Jenazahmu (Sebut nama)
Porong émo one hau kali
: Cukuplah sampai disini
irus one isung agu lu’u one mata
: Kesedihan dan air mata
Di’a-di’a hau lakom
: Berjalanlah dalam kebaikan
wali di’a agu Mori’n
: berbicaralah yang baik dihadapan Tuhan
3.12.8 Wangkas agu Boak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 177
Ada pernyataan “wangkas walek wengkar teti” yang berarti songsong atau angkat peti mayat lalu pergi. Istilah wangkas sangat cocok untuk digunakan pada upacara yang dinamakan penghormatan terakhir dan mengantar peti jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir (boa). Pada acara wangkas, seluruh keluarga dan hadirin menyampaikan pesan-pesan terakhir mereka dan ucapan selamat jalan bagi yang meninggal, juga sebagai bahan persembahan dalam bentuk babi. Tetapi jika keturunan berada (ata bora) maka hewan yang dijadikan kurban adalah seekor kuda. Boak berarti menguburkan. Peti mayat diturunkan lalu ditutup dengan tanah. Pada saat penguburan, sebelum peti ditutup dengan tanah penutur torok menyampaikan torok berikut: Dénge lé hau
: Dengarlah wahai (sebut nama)
bo celing dé ase ka’e
: Sesungguhnya adik kakak
énde, éma, anak do
: Ibu, ayah, dan saudara tidak rela
woko ha’en kin lé Dedek
: Tetapi Tuhan berkehendak lain
landing tae dami
: Kuburan inilah
ho’o gi mbarum hau ga
: Rumahmu sekarang
Penutur torok diikuti oleh keluarga menutupi kubur dengan tanah,setelah itu orang-orang yang bekerja menggali kubur mencuci tangan diatas kubur dengan posisi badan membelakangi kubur. Ketika kembali dari kuburan, ketika riba di persimpangan jalan, salah seorang (yang paling belakang), mengambil alang-alang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 178
dan saung capu lalu menaruhnya di persimpangan jalan. Daun ini sebagai tanda banwa orang yang baru dikuburkan tidak boleh mengikuti orang-orang itu hingga di rumah. Di depan rumah ditaruh abu dapur dan secarik kain hitam yang dibakar untuk “nengi”. Semua yang pulang dari kuburan wajib melangkahi abu dan nengi ini. Ini dimaksudkan untuk mengusir roh halus yang mungkin mengikuti. Lalu pintu rumah ditutup sebentar (gegop rewa). Sesudah itu semua orang mengadakan ritus Samo Lime (samo: cuci, mencuci, lime: tangan). Samo lime artinya mencuci tangan. Samo lime dilakukan setelah jenazah dimakamkan. Baik keluarga yang pergi menguburkan jenazah maupun anggota yang keluarga berduka yang tetap tinggal di rumah duka harus mencuci tangan setelah jenazah dimakamkan. Tujuan dari ritus ini adalah agar orang yang meninggal (yang telah menjadi penghuni pa’ang bé le atau surga) tidak mengikuti atau mengganggu orang yang masih hidup. Selain itu, dewasa ini ada interpretasi lain yakni agar tangan kita tetap bersih dari segala kuman atau penyakit yang pernah diderita oleh ata mata (almarhum/almarhumah). Torok Wangkas Di’a tara déngen lé hau
: Dengarlah baik-baik wahai
(ngasang data hot rowa)
: (Sebut nama orang yang meninggal)
ho’o de éla dami kudut tombo
: Inilah babinya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 179
molor ngom baro lakom
: Untuk mengantar kepergianmu
nénggitu kole ite
: Begitu juga Engkau
Mori bate péde, Jari agu Dedek
: Tuhan Pencipta dan Pemelihara
Ho’o élan lami ga
: Kami persembahkan babinya
lawang ase ka’e
: Dari adik kakak
anak rona, anak wina
: Seluruh keluarga
mandung pa’ang wela comong silin
: Di seluruh kampung ini
weku wa’i rentu sa’i
: Berkumpul
lonto torok té tombo agu ite
: Untuk berdoa kepadaMu
eme manga sala
: Jika ada salah
Mori
: Tuhan
neka koe na’a one nawang
: Janganlah dimasukkan ke hati
agu eme manga ndekok
: Dan jika ada dosa
neka koe lelos
: Janganlah diperhitungkan
Ho’o tégi ngalis ditet sengaji
: Inilah permintaan kmi
Kudut lonto cama laing
: Supaya kami bisa duduk bersama-sama
Neho ata serani ata sai
: Seperti orang suci
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 180
One ranga dite
: Di hadapanMu
Nénggitu kole hau ata mata
: Begitu juga engkau yang meninggal
Ho’o éla lami ga
: Inilah babinya
Kudut podo ngom pading lakom
: Untuk mengantar kepergianmu
Kudut molor ngom
: Supaya engkau berjalan dalam terang
Taki olo neka do’ong le golo
:Berjalanlah terus jangan terhalang oleh gunung
Neka da’et le kebe
: Tidak resangkut oleh bukit
Neka doal le tuke
: Tidak terjatuh ketika mendaki bukit
3.12.9 Lonto Walu Lonto walu ini dilaksanakan selama tiga malam berturut-turut di rumah duka, sebelum acara saung ta’a yang dilakukan adalah mete atau welang wie (berjaga-jaga) bersama keluarga berduka dan menghibur mereka. Pada malam ketiga ada acara sembunyikan cincin (céha kila) sebagai puncak dari acara lonto walu. 3.12.10 Saung Ta’a Upacara adat saung ta’a (saung:daun, ta’a:mentah) sama dengan acara malam ketiga atau malam kelima setelah kematian seseorang. Acara ini dilaksanakan pada hari ketiga setelah lonto walu dan merupakan acara terakhir atau penutup kita berada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 181
bersama keluarga yang berduka. Pada hari tersebut ada acara adat dengan menyembelih seekor babi, disertai torok. Sedangkan istilah “sua de hian” dimaksudkan untuk malam ketiga dan keempat setelah penguburan. Ini merupakan malam khusus bagi orang yang baru meninggal. Keesokan harinya atau hari keempat setelah penguburan ada istilah “iréng botek”. Maksudnya semua warga kampung ataupun yang tinggal di tempat lain, yang mempunyai ”uma lodok” (kebun komunal) di kampung tempat berduka tidak diperkenankan untuk ke ladang mengambil sesuatu yang memiliki dedaunan (misalnya sayur-sayuran). Ada keyakinan pelanggaran terhadap menimbulkan kematian. Dénge lé hau..
: Dengarlah wahai
(caro ngasang data hot rowa)
: (Sebut nama orang yang meninggal)
Ai leso ho’o wéntar di’a loce
: Karena hari ini tikar akan dibersihkan
Pasang di’a lampu
: Lampu dinyalakan
Manuk cau dami gula ho’o
: Ayam yang kami pegang ini
Té tura agu tombo kamping ite
: Untuk menyampaikan maksud kami
Ai leso ho’o, wa’i padir
: Karena hari ini kita berkumpul
Ulu pukul ami keluarga mese
: Seluruh keluarga besar
Wa’u dite
: Sanak saudara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 182
Nénggitu kole
: Begitu juga
Anak rona agu anak wina
: Keluarga laki-laki dan perempuan
Té wéntar di’a
: Untuk membersihkan sebaik-baiknya
Ko té wéntar cama loce dé hau
:(Atau)
Bersama-sama
membersihkan
tikarmu Pasang di’a kole lampu
: Menyalakan baik-baik lampu
Ho’o adak di’an leso ho’o ga
: Hari inilah upacaranya
Neka manga pu’ung kole
: Jangan dimulai lagi
Neka manga nunga duang
: Jangan ada kotoran
Ndala koles loce
: Tikar digelar kembali
Tutung koles lampu
: Lampu dinyalakan kembali
Lanars wae mata asis ga
: Banyak tangisan
Ho’o de olon lami
: Inilah awalnya
Té geal wéki dé keluarga mese ho’o
: Untuk meringankan duka keluarga
Ménggitu kole hau nggér olo
: Begitu juga engkau untuk kedepannya
Toe kopn tai tombo dami
: Tidak sempurna permohonan kami
One mai leso ho’o
: Karena hari ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 183
Ita one urat manuk ho’o tekerewut
: Urat ayam ini terbelit
Tambang dara, toe pésun ne manuk ho’o: Berdarah, tidak ada jawaban Somba… o…
: Kasihanilah.... oooo....
Éma agu énde
: Ayah dan ibu
Manuk laingn lami léso ho’o
: Kami menyembahkan ayam hari ini
Acara wéntar loce
: Untuk membersihkan tikar
Agu pésang lampu
: Dan memasang lampu
Wae bé saled ite
: Engkau berada di seberang sungai
Ngalor bé awo ami
: Kami berada di sisi lainnya
Eme manga té awar
: Jika ada yang menawar
Neka koe makak ite
: Jangan berikan
Eme manga kole ata
: Jika ada orang yang
Té tégi rewit kole wéki
: Hendak meminta tumbal
Neka tei lite
: Janganlah engkau berikan
Ho’o adak di’an
: Inilah adatnya
Wéntar di’a loce
: Untuk membersihkan tikar
Pésang di’a lampu
: Menyalakan lampu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 184
Neka ndalas kole loce
: Tikar jangan digelar
Neka pasangs kole lampu
: Lampu-lampu jangan dinyalakan
Kop laingn tai tombo dami
: Sempurnalah permintaan kami
Léso ho’o
: Pada hari ini
Com ita one urat manuk ho’o
: Nyatakanlah dalam urat ayam ini
3.12.11 Kélas, Paka Di’a atau Pédéng Bokong Kélas adalah pesta kenduri yang merupakan puncak dari seluruh ritus kematian. Kélas adalah acara penghabisan kita mengenang orang yang telah meninggal tersebut atau peringatan arwah bagi yang meninggal dunia. Acara adat ini juga disebut “pédéng bokong” (pédéng:titip, menitip, menyimpan, bokong:perbekalan) yakni suatu ritus yang dimaksudkan agar orang yang telah meninggal mendapat tempat yang layak dalam kerajaan Mori agu Ngaran (Tuhan Pemilik Kehidupan). Acara kélas ini tak memiliki aturan khusus terkait waktu pelaksaannya. Ada yang mengadakannya pada 40 hari setelah seseorang meninggal, atau pula selang 6 bulan setelah orang itu meninggal atau bahkan setahun. Patokannya tergantung pada persiapan dari seluruh pihak, khususnya ase-ka’e dan anak wina. Hewan kurban yang dibutuhkan dalam acara inia dalah babi (éla) atau kerbau (kaba). Pada kesempatan ini pihak anak rona akan menerima wali (pengembalian atas segala sesuatu yang mereka berikan pada saat kematian itu, khususnya babi dan kain songke) berupa sejumlah uang yang jumlahnya melebihi harga nominal benda itu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 185
Torok Kélas Dénge di’a lé hau éla
: Dengarlah wahai babi
Tara mangan cau laingm hau
: Adapun alasan kami memegangmu
Léso ho’o lami ase ka’e
: Pada hari ini oleh adik kakakmu
Nénggitu kole lé ngasang
: Begitu juga
Anak wina agu anak rona
: Keluarga perempuan dan laki-laki
Ai léso ho’o muing adak kélas
: Karena hari ini diadakan upacara kenduri
Kudut tanda muing
: Untuk menandai
Beo agu golom hau
: Kampung tempat tinggalmu
Kudut bé sina muing hau
: Untuk memisahkan
Bé ce’e muing ami
: Alam kita
Kudut hau kali ga
: Supaya engkau
Neka ba one anak
: Tidak diberikan ke anakmu
Neka kawes ase ka’em
: Janganlah engkau mencari keluargamu
Agu neka porongs
: Dan jangan mencari
Sangged émpo dom
: Seluruh cucumu
Hau kali ga tukam nggér le
: Arahkanlah tubuhmu ke surga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 186
Tadu lau
: Tutuplah semua
Kudut emo dopo kali ami musi mai
: Supaya berhenti segala duka
Wur sangget rucuk
: Usirlah segala kemiskinan
Kéndos sangged dango
: Terlepas segala kekeringan
Neka mangas ringing tis
: Jangan ada malapetaka
Népo léso
: Kerja keras
Kudut téla koe kali galang pe’ang
: Supaya pagar-pagar tertutup rapat
Mose api kétékm one
: Dan ada api untuk memasak
Tegi dami kole
: Kami
Ngasang ase ka’ewa’um,
: Sebagai saudaramu juga meminta
Nggitu kole pa’ang agu ngaung
: Begitu juga warga kampung
Agu sangged ngasang anak rona
: Dan seluruh keluarga dari pihak laki-laki
Anak wina, ai léso ho’o
: Maupun dari pihak perempuan, hari inilah
Kudut adak kélas
: Dibuat upacara kenduri
Tanda beo agu golom hau
: Untuk menetapkan kampungmu (dunia)
Kudut bé sina muing hau
: Supaya engkau tinggal di kampungmu
Bé ce’e muing ami
: Kami tinggal di kampung (dunia) kami
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 187
Kudut hau kaliga neka ba one anak
: Tidak boleh engkau bawa (penderitaan) kepada anak-anakmu
Neka kawe ase ka’e
: Jangan kau cari lagi saudaramu
Agu neka porongs sangged émpo dom
: Dan juga jangan kau cari cucu-cucumu
Hau kaliga tukam nggér le
: Dan engkaupun harus menghadap ke surga
Tonim nggér ce’e
: Punggungmu membelakangi kami
Kétekm one
: Betahlah tinggal di surga
Hitu pe’ang de éla
: Kami sudah menyiapkan babi di luar
Adak kélas tanda beo agu golom
: (Untuk) upacara kenduri dan menandai kampungmu (duniamu)
Hitus de tombo ata kopd
: Itulah permintaan kami
Hitus de pa’u ata patut
: Itulah harapan kami
Pinga di’a torok hitu sina
: Pahamilah permintaan kami
Senget di’a le
: Dengarlah baik-baik doa kami
Éla laing tu’ung to’ong
: Inilah babi terbaik
Ita one urak
: Nyatakanlah dalam urat babi
3.13 Rangkuman
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 188
Torok sebagai doa sastrawi menunjukkan konsep bahwa Orang Manggarai dalam totalitas diri manusia adalah nenek moyang dan alam dunia. Di dalam doa, orang tidak hanya menghadirkan individualitasnya, melainkan mengangkat dan menyadari
keseluruhan
jaringan
relasi
yang
menentukan
keberadaan
dan
keberlangsungannya. Untuk membuka lingko (kebun komunal) dibuat upacara untuk memohon izin pada tanah, batu, tali, kayu dan lain-lain dengan menyirami mereka dengan tuak. Keseluruhan lingkungan ini dilibatkan dalam totalitas diri. Torok yang menyertai ritus pembangunan rumah, misalnya mengundang kehadiran dan perlindungan roh nenek moyang untuk memberkati bahan-bahan yang telah disiapkan. Karena nenek moyang pun merupakan bagian dari diri, maka tanggung jawab dan keprihatinan atas apa yang dialami sekarang diharapkan pula menjadi tanggung jawab dan keprihatinan mereka. Kekurangan kita yang hidup tidak perlu menjadi alasan untuk berputus asa sebab mereka yang memiliki corak keberadaan yang melampaui serba keterbatasan akan melengkapi apa yang kurang pada kita. Pandangan ini menguatkan optimisme masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan. Dalam upacara Oke Cu’a untuk memohon penyertaan Tuhan bagi seluruh pekerjaan menanam, paham diri yang holistik ini menemukan pengungkapan yang sangat tegas. Seluruh sudut kampung, semua yang menjadi warganya, dihadirkan sebagai suatu diri kolektif yang memerlukan berkat dan perlindungan Tuhan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 189
Pengalaman kesatuan dalam mengelola lingko (kebun komunal) dan menata kehidupan di kampung menumbuhkan kesadaran akan pentingnya semangat kesatuan. Semua warga memiliki martabat yang sama dan memberikan kontribusi penting untuk kontribusi kampung. Tidak ada yang hendak dikeluarkan dari kesatuan kehidupan warga itu. Kesederajatan itu antara lain dinyatakan dalam duduk bersila dan berbicara. Seluruh kampung, manusia, dan tanah dihadirkan di hadapan Tuhan sebagai satu totalitas diri.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 190
BAB IV STRUKTUR RITUS, MAKNA DAN FUNGSI TOROK DALAM TRADISI MASYARAKAT MANGGARAI 4.1 Pengantar Dalam bab IV ini akan dijelaskan makna dan fungsi torok dalam tradisi masyarakat Manggarai. Penjelasan makan dan fungsi torok didasarkan pada tradisi masyarakat Manggarai yang selalu menyertakan torok dalam setiap upacara adat dari deskripsi torok itu sendiri. Penjelasan dalam bab ini akan diawali dengan makna Torok, fungsi-fungsi yang terdapat dalam torok, dan diakhiri dengan rangkuman mengenai makna dan fungsi torok. 4.2 Struktur Ritus Masyarakat Manggarai Struktur ritus masyarakat Manggarai sama seperti struktur upacara adat pada umumnya, yakni terdiri dari pembukaan, isi, dan penutup. Pada ritus masyarakat Manggarai, pembukaan sebuah upacara adat ditandai dengan salam dan penyampaian maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut. Salam biasa disampaikan dengan istilah tabe wie ase-kae pa’angn olo ngaungn musi (selamat malam saudara sekampung), lalu dilanjutkan dengan penyampaian maksud dan tujuan yang tertuang dalam pernyataan lonto cama dite wie ho’o ali manga….. (malam ini kita berkumpul karena (sebutkan tujuan sesuai upacara). Setelah disampaikan tujuan, masuklah ke
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 191
upacara inti. Dalam bagian inti ini, disampaikan secara utuh maksud dan tujuan upacara kemudian mengundang leluhur untuk merestui dan memberikan berkat untuk keluarga yang mengadakan hajatan. Kemudian disusul dengan penutup yang berisi ucapan terima kasih. 4.3 Makna Torok bagi Masyarakat Manggarai Berdasarkan pendapat yang diperoleh dari narasumber dan pemuka adat yang mengerti dan memahami budaya Manggarai termasuk torok, maka terdapat kesimpulan mengenai makna torok dalam upacara adat masyarakat Manggarai. Makna-makna tersebut yaitu: (1) makna historis, makna ini mengisahkan kepercayaan masyarakat Manggarai pada zaman dahulu yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Hal ini dapat dilihat dari dibangunnya compang (altar) di tengah-tengah kampung. Compang ini berfungsi sebagai tempat menaruh sesajen untuk Mori Keraéng dan leluhur. Karena pada zaman dulu masyarakat Manggarai belum mengenal agama, maka untuk berdoa kepada Wujud Tertinggi atau leluhur, masyarakat Manggarai menggunakan bahasa kiasan yang berisi pujian, penyembahan, permohonan dan pengampunan dosa yang disebut torok. (2) makna persaudaraan, makna ini menunjuk kepada kekompakan masyarakat Manggarai yang tertuang dalam kalimat “pa’ang olo ngaung musi” yang berat kemufakatan dan kesepakatan sluruh masyarakat kampung dalam mengambil tindakan. Adapun penjelasan dari ketiga makna tersebut adalah sebagai berikut ini:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 192
4.3.1 Makna Religius Torok dalam budaya masyarakat Manggarai dianggap sebagai doa kepada Tuhan dan para leluhur. Masyarakat Manggarai pada zaman dulu percaya bahwa Tuhan ada tetapi mereka belum mengenal wujudNya. Setelah masuknya agama Katolik, masyarakat Manggarai lalu mengenal Tuhan serta wujudNya sebagaimana yang diimani oleh agama Katolik. Doa tersebut berisi ungkapan terima kasih kepada Tuhan, karena Tuhan mempunyai kasih yang sangat besar kepada manusia, walaupun manusia hanyalah hasil ciptaanNya dan rendah dihapanNya. Selain berterima kasih kepada Tuhan, masyarakat Manggarai juga mengucapkan terima kasih kepada leluhur mereka untuk penyertaan dan perlindungan dalam kehidupan mereka. Selain ungkapan terima kasih, doa tersebut juga berisi ungkapan syukur untuk semua berkat dan perlindungan yang Tuhan dan leluhur berikan kepada mereka, baik itu berkat berupa kesehatan, berkat kesuburan, dan berkat akan kedamaian yang tercipta di kampung mereka. Adapun yang menjadi ungkapan terakhir adalah ujud atau permohonan sesuai dengan kebutuhan mereka. Ujud atau permohonan tersebut didaraskan disertai dengan menyembelih ayam jantan putih sebagai kurban terhadap Tuhan dan leluhur. 4.3.2 Makna Historis Sebelum masuknya agama Katolik ke Manggarai kurang lebih pada tahun 1914, masyarakat Manggarai sudah mengenal konsep ketuhanan yang mereka sebut sebagai Mori Kéraeng. Orang Manggarai mengenal Tuhan tidak hanya dengan nama Mori Kéraeng, tetapi ada juga sebutan lain, seperti Mori (n), Mori Jari agu Dedek (Tuhan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 193
pencipta dan Pemelihara), Mori Somba, dan lain-lain. Masyarakat Manggarai yang pada saat itu menganut konsep animisme dan dinamisme percaya bahwa memberikan sesajen dengan diiringi oleh doa yang menggunakan bahasa kiasan akan menyenangkan wujud tertinggi. Oleh karena itu masyarakat Manggarai lalu membangun compang (altar) yang diletakkan di tengah-tengah kampung dan di belakang compang tersebut ditanam pohon besar yang berguna sebagai pelindung compang. Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka masyarakat Manggarai selalu berdoa di compang tersebut. Sebelum melakukan suatu kegiatan, masyarakat Manggarai yang dipimpin oleh Tu’a Golo berdoa bersama-sama di compang tersebut. Doa yang didaraskan tidak menggunakan bahasa Manggarai yang biasa yang digunakan sehari-hari, tetapi menggunakan bahasa kiasan tinggi. Doa tersebut dikenal dengan nama torok. Torok sebagai doa masyarakat Manggarai kemudian dijadikan sebagai tiang utama dalam upacara adat di Manggarai. Kedudukan torok yang tinggi dalam budaya Manggarai menjadikan torok sebagai suatu tindakan sakral yang tidak bisa diganggu gugat. Ketika torok didaraskan, semua orang harus duduk bersama dalam satu ruangan, mulai dari yang kecil sampai yang tua. Masyarakat Manggarai harus menciptakan suasana hening ketika torok didaraskan, jika tidak, maka kesialan akan menimpa. Dalam upacara adat, torok didaraskan sesuai dengan momen atau tujuan upacara tersebut. Misalnya dalam upacara Wu’ad Wa’i, penutur torok menyampaikan torok yang berisi permohonan kepada Allah atau leluhur untuk menyertai proses belajar sang anak agar dapat meraih gelar sarjana.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 194
Berikut ini akan dipaparkan torok dalam upacara Wu’ad Wa’i (Memberikan bekal) . Dénge di’a meu
: Dengarlah wahai kalian
Céki énde céki éma
: Leluhur dari pihak ayah dan ibu
Le watu agu le tana
: Yang mendiami batu dan tanah
Hitu neng ite morin agu ngaran
: Begitu juga Engkau Tuhan Pemilik
Ai émpos meu anak dami
: Karena cucu kalian adalah anak kami
Ai ata kudut kawe gerak lage tacik : Hendak merantau menyebrangi laut Tégi dami wie ho’o
: Malam ini kami meminta
Kamping meu céki
: Kepada kalian para leluhur
Nggitu neng ite Morin agu ngaran : Begitu juga Engkau Tuhan Pemilik Dasor teing gerak koe émpos meu : Terangilah jalan cucumu Méndi dite mori
: Terangilah jalan hambaMu
Dasor sembeng agu jaga lite du lakon: Lindungilah ia dalam perjalanan Ho’o kudut tadang one mai bahaya : Sehingga dijauhkan dari bahaya One salang sampai agu tempat
: Selama dalam perjalanan
Kawe gerak hia
: Sampai di tempat tujuannya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 195
Hitu gésar dami kamping meu
: Itulah permintaan kami kepada kalian
Céki ende agu céki ema
: Leluhur dari pihak ayah dan ibu
Nggitu neng ite mori agu ngaran
: Begitu juga Engkau Tuhan Pemilik
Ho’o de manuk bakok
: Inilah ayam jantan putih
Kudut wu’ad wa’i
: Untuk memberi bekal cucu kalian
Hitu de torok, hitu de bilang
: Itulah permintaan kami
Kom lé torok di’an lé bilang
: Pahamilah permintaan kami
Pinga di’a meu sina
: Ketahuilah
Senget di’a meu le
: Dan dengarlah baik-baik doa kami
Manuk leng tu’ung manuk ho’o
: Inilah ayam terbaik
Itan urat manuk ho’o
: Nyatakanlah melalui urat ayam ini
4.3.3 Makna Persaudaraan Dalam melaksanakan sebuah upacara adat, sebuah keluarga tidak bisa melaksanakannya tanpa bantuan dari sanak saudara dan warga kampung. Ketika akan dilaksanakannya sebuah upacara adat, seluruh warga kampung berkumpul di rumah adat untuk mendengarkan petuah dan nasihat dari Tu’a Golo. Dari hal ini terlihat bahwa masyarakat Manggarai menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Hal ini menyata dalam pernyataan “pa’ang olon, ngaung musi” yang berarti seluruh masyarakat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 196
kampung harus seia-sekata dalam memutuskan suatu perkara. Makna persaudaraan ini terlihat jelas dalam upacara pembangunan rumah. Dalam upacara ini, masyarakat kampung berpartisipasi membangun rumah. 4.4 Fungsi Torok Bagi Masyarakat Manggarai Torok dalam berbagai upacara adat di Manggarai mempunyai beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut diperoleh dari torok dalam berbagai upacara adat dan dari beberapa pendapat yang diutarakan narasumber. Maka dapat ditarik kesimpulan mengenai beberapa fungsi torok bagi masyarakat Manggarai, yaitu fungsi sosial, fungsi magis, fungsi ajaran hidup dan fungsi estetis. Adapun penjelasan mengenai fngsi-fungsi torok bagi masyarakat Manggarai adalah sebagai berikut: 4.4.1 Fungsi Magis Fungsi magis ini terungkap dalam suasana hening ketika torok didaraskan. Dalam suasana hening, para hadirin juga dapat merenungi maksud torok yang didaraskan. Selain itu kegaiban juga tercipta dalam suasana ini karena adanya peraturan saat torok didaraskan dan seluruh masyarakat kampung mematuhi larangan itu tanpa perlu diperingati. 4.4.2 Fungsi Ajaran Hidup Menurut Matheus Djehaut (55), mengatakan bahwa sebenarnya fungsi ini tertuang dalam semua proses sebuah upacara adat dari awal sampai akhir. Dalam upacara Teing Hang, misalnya, mengingatkan kita untuk tidak melupakan leluhur dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 197
selalu menghormati mereka. Melalui upacara Pembangunan Rumah, kita diajarkan untuk hidup sebagai mahluk sosial, dimana kita harus saling membantu. 4.4.3 Fungsi Sosial Fungsi sosial dikaitkan dengan kekompakkan masyarakat Manggarai dalam mengadakan upacara adat. Melalui upacara adat perselisihan antara sesama warga kampung dapat diselesaikan. 4.4.4 Fungsi Estetis Fungsi estetis yang terdapat dalam torok bagi masyarakat Manggarai adalah dalam penggunaan kata-kata kiasan tinggi yang puitis. Bentuk kebahasaan tersebut merupakan ungkapan magis yang menjadi medium khusus dan banyak menggunakan pilihan kata serta bunyi-bunyi yang diyakini mempunyai kekuatan gaib dan magis yang mampu menimbulkan sugesti besar kepada pengucapannya dan orang yang mendengarnya. 4.5 Rangkuman Makna dan fungsi torok bagi masyarakat Manggarai diperoleh dari pendapat beberapa narasumber. Seperti pemuka adat, tokoh masyarakat, pengamat kebudayaan Manggarai serta penutur torok itu sendiri. Hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber mengenai makna torok bagi masyarakat Manggarai terdapat tiga makna, yaitu makna religius, makna historis dan makna persaudaraan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 198
Makna historis ini mengisahkan tentang kepercayaan masyarakat Manggarai sebelum masuknya agama Katolik ke Manggarai pada tahun 1914. Masyarakat Manggarai yang masih menganut konsep animisme dan dinamisme percaya akan Wujud Tertinggi yang dikenal dengan nama Mori Keraeng dan masyarakat Manggarai menyampaikan ujud dan permohonan mereka melalui torok. Sedangkan makna persaudaraan menunjuk kepada kekompakkan dan kerja sama dalam mengerjakan segala sesuatu. Fungsi torok bagi masyarakat Manggarai yaitu: (1) Fungsi magis, fungsi ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap roh-roh leluhur yang telah meninggal. (2) Fungsi sosial, fungsi ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat. (3) Fungsi Ajaran Hidup, fungsi ini mengajarkan kita untuk menghargai sesama, saling membantu, dan membina persaudaraan. (4) Fungsi Estetis berkaitan dengan pengucapan tuturan-tuturan torok yang bersifat puitis yang membuat upacara menjadi menarik.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 199
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Kebudayaan memiliki cakupan yang sangat luas. Selain mempelajari tentang adat istiadat dan perilaku manusia dalam berbudaya, dipelajari pula sastra lisan dari budaya tersebut. Sastra lisan ada untuk melestarikan budaya melalui seni tutur. Umumnya, bahasa yang digunakan dalam sastra lisan adalah bahasa sastra yang memiliki banyak pesan moral. Manggarai, sebagai salah satu kabupaten di ujung barat Pulau Flores juga mempunyai seni tutur yang bermacam-macam, salah satunya adalah torok. Torok disebut juga sebagai doa asli Orang Manggarai. Dalam torok, Orang Manggarai memuji dan memuliakan kebesaran Mori Jari agu Dedek (Tuhan Pencipta) dan juga meminta bantuan dari roh leluhur dan keluarga yang sudah meninggal untuk membantu mereka. Orang Manggarai, yang sebagian besar merupakan penganut agama Katolik, memandang doa sebagai tonggak utama dalam hidup. Begitu pula pandangan mereka terhadap torok dalam upacara adat. Tanpa torok, sebuah upacara adat tidak ada artinya. Sebagaimana teks torok telah dibahas pada bab III, torok mempunyai struktur yang tetap. Struktur ini tidak dapat diubah. Torok sebagai doa lisan yang mengandung unsur estetika berstruktur sebagai mana doa-doa pada umumnya, yaitu (1) sapaan terhadap Tuhan dan leluhur, (2) pujian terhadap Tuhan dan leluhur atas kebaikan mereka, dan (3). ucapan permohonan kepada Tuhan dan leluhur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 200
Torok di Manggarai, NTT, memperlihatkan bahwa sastra lisan, terutama torok memiliki peran yang penting dalam budaya setempat. Torok sebagai doa asli Orang Manggarai berperan sebagai tonggak utama sebuah upacara adat di Manggarai. Sebuah upacara adat tidak bisa dilangsungkan tanpa adanya torok. Torok dalam tradisi Manggarai yang dibahas pada bab III adalah doa-doa puitis yang digunakan dalam ritus. Ritus yang menyentuh berbagai aspek kehidupan selalu disertai dengan torok. Keberlekatan ritus dengan torok mengungkapkan satu gejala yang cukup umum di dalam agama-agama, yang di dalam teologi sakramen Gereja Katolik diungkapkan dalam kesatuan antara tindakan dan kata. Kata-kata yang diucapkan baik sebagai doa maupun sebagai ungkapan performatif yang menciptakan realitas, merupakan proklamasi dari tindakan. Tindakan diwartakan melalui kata-kata. Sebab itu, doa di dalam ritus umumnya torok merupakan doa yang didaraskan untuk turut didengar oleh para peserta. Torok adalah satra lisan dan merupakan doa yang menyertai ritus. Bentuknya sebagai doa sudah menyatakan posisi istimewa torok bagi pengalaman kehadiran Tuhan. Keberlekatan torok pada ritus mempunyai konsekuensi bahwa torok tidak dapat dilepaskan dari upacara tertentu dan hanya mempunyai makna sejauh didasarkan di dalam upacara tersebut. Sebagai doa puitis yang menjadi bagian dari ritus, torok adalah bentuk penghadiran diri Orang Manggarai. Di hadapan kata-kata yang kuat diucapkan dengan penuh kewibawaan oleh pemimpin ritus, para peserta yang berakar dalam budaya Manggarai mudah dibawa dalam pengalaman religius menyeluruh. Torok
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 201
sebagai doa sastrawi menunjukkan konsep Orang Manggarai bahwa termasuk dalam totalitas diri manusia adalah nenek moyang dan alam dunia. Di dalam doa, orang tidak hanya menghadirkan individualitasnya, melainkan mengangkat dan menyadari keseluruhan jaringan relasi yang menentukan keberadaaan dan keberlangsungannya. Untuk membuka lingko dibuat upacara untuk memohon izin pada tanah, batu, tali, kayu, dan lain-lain dengan menyirami mereka dengan tuak. Keseluruhan lingkungan ini dilibatkan dalam totalitas diri. Torok yang menyertai ritus pembangunan rumah, misalnya, mengundang kehadiran dan perlindungan roh nenek moyang dan memberkati bahan-bahan yang telah disiapkan. Tidak semua orang bisa menjadi penutur torok. Torok hanya bisa didaraskan oleh orang-orang yang memiliki talenta tertentu. Penutur torok harus mengetahui adat istiadat Orang Manggarai, harus bisa berbahasa Manggarai, dan pintar menggunakan bahasa kias (go’et). Ada tiga makna yang terkandung dalam torok, yakni makna religius, makna historis, dan makna persaudaraan. Makna religius memandang torok sebagai doa orang Manggarai yang puitis, makna historis mengisahkan kepercayaan masyarakat Manggarai dulu sebelum masuknya agama Katolik, dan makna persaudaraan menunjuk kepada kekompakkan masyarakat Manggarai. Torok mempunyai empat fungsi, yaitu fungsi magis, fungsi ajaran hidup, fungsi sosial, dan fungsi estetis. Fungsi magis terungkap dalam suasana hening ketika torok didaraskan sehingga torok dapat direnungkan. Fungsi ajaran hidup tertuang dalam semua proses dari awal sampai akhir, dimana terdapat banyak pesan moral yang disampaikan dalam setiap proses. Fungsi sosial dikaitkan dengan kekompakkan masyarakat Manggarai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 202
dalam mengadakan upacara adat. Fungsi estetis terungkap dalam penggunaan katakata kiasan tinggi yang puitis. 5.2. Saran Jika dikaji secara mendalam dan lebih luas lagi, akan terlihat bahwa sastra lisan torok dalam masyarakat Manggarai mengandung fungsi estetis, fungsi religius, dan fungsi historis. Selain itu torok juga mengandung nilai-nilai dan pesan moral yang dijunjung tinggi masyarakat Manggarai. Dari seluruh penelitian tersebut, disarankan agar dapat dilakukan sebuah penelitian mendalam tentang sastra lisan, terutama torok di Manggarai. Penelitian ini sudah membahas torok sebagai puisi ritual orang Manggarai. Diharapkan ada peneliti lain yang membahas torok dari segi gaya bahasa, diksi, peribahasa. Dari sudut studi sastra, sebenarnya masih banyak aspek menarik lainnya yang perlu diungkapkan, misalnya aspek stilistika, individuasi, rima, point of view, teknik naratif dan penciptaan, dan lain-lain. Aspek-aspek tersebut membutuhkan penelitian tersendiri yang luas dan mendalam.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 203
DAFTAR PUSTAKA
Anh, To Thi. 1984. “Nilai Budaya Timur dan Barat” Terjemahan John Yap Pareira. Jakarta: Gramedia Bagus, Lorens. 1990. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Bahm, Archie J. 2003. “Filsafat Perbandingan” Terjemahan A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius BPS. 2003. Manggarai Dalam Angka. Ruteng: Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Dagur, Anton Bagul. 1990. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khazanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press Deki, Kanisius Teobaldus. 2011. Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra. Jakarta: Parrhesia Institute Do KoO, Fransiskus Xaverius. 1984. “Jiwa Sesuai Paham Manggarai Asli dan Pergeseran Pengaruh Pandangan Kristiani” Skripsi. Maumere: STFK Ledalero Embu, Eman J dan Robert Mirsel [eds]. 2004. Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Ledalero Febrian, Raju. “Ebu Gogo dari Liang Bua” Dalam Tempo, 14 November 2004 Fernandez, Stephanus Ozias. 1979. Filsafat Moral. Maumere: STFK Ledalero Hadi, Surtisno. 1979. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Harian Umum Pos Kupang. “Diperkirakan Manggarai Memiliki Kandungan Emas”, Kamis, 26 Juni 1997 Harrold, Brundvand Jan. 1998. American Folklore: An Encyclopedia. London: Garland Publishing
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 204
Haryanto, Ivan. 2003. “Agama Asli Orang Manggarai” Bahan Seminar. Maumere: STFK Ledalero Hemo, Doroteus. 1990. Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djembatan Nggoro, Adi M. 2006. Budaya Manggarai. Ende: Nusa Indah Petu, Piet. 1996. Nusa Nipa. Ende: Nusa Indah Raho, Bernard. 2003. “Asal-Usul Kehidupan Menurut Orang Manggarai” Dalam Majalah La’at Natas Edisi 3 Tahun, II, Juni. Ruteng Rosari, Anton de [ed]. 1996. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat di Daerah Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajagrafindo Sumarjo, Jacob. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Pustaka Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera Team Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Toda, Dami N. 1999. Manggarai Mencari Pencarian Historiografi. Ende: Nusa Indah Verheijen. Jilis A.J. 1977. Manggarai Texts 2. Stensilan. Regio SVD Ruteng _______________. 1978. Manggarai Texts 5. Stensilan. Regio SVD Ruteng _______________. 1980. Manggarai Texts 6. Stensilan. Regio SVD Ruteng
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 205
_______________. 1987. Manggarai Texts 7. Stensilan. Regio SVD Ruteng _______________. 1978. Manggarai Texts 8: Dialek-dialek Manggarai Timur dan Barat. Stensilan. Regio SVD Ruteng _______________. 1987. “Pulau Komodo Tanah, Rakyat dan Bahasanya” Terjemahan Achadiati Ikram. Jakarta: Balai Pustaka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 206
LAMPIRAN
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 207
DAFTAR INFORMAN
1. Nama Narasumber
: Bapak Yoseph Ngadut
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 61 tahun
Tempat Tinggal
: Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil, Pemilik Sanggar Lawe Lenggong
2.
Nama Narasumber
: Bapak Matheus Djehaut
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 55 tahun
Tempat Tinggal
: Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: Petani
3.
Nama Narasumber
: Bapak Agustinus P. Barut
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 51 tahun
Tempat Tinggal
: Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil, Tu’a Golo Tenda
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 208
4.
Nama Narasumber
: Bapak Lukas Djehua
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
:78 tahun
Tempat Tinggal
: Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: Petani, Penutur Torok Gendang Tenda
5.
Nama Narasumber
: Bapak Petrus Esu
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 59 tahun
Tempat Tinggal
: Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil, Penutur Adat Gendang Tenda
6.
Nama Narasumber
: Bapak Petrus Anggut
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 57 tahun
Tempat Tinggal
: Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: Petani, Warga Gendang Tenda