PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA PADA PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh : Maria Retno Purwandani 111224042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA PADA PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh : Maria Retno Purwandani 111224042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur atas berkat dan karunia Allah Bapa Yang Maha Baik, Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menguatkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Karya ini saya persembahkan kepada : Mathias Reinhard Erid Danularto dan Agnes Wijiyati yang telah memberikan kehidupan bagi saya
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kamu akan menerimanya” (Matius 21:22)
“Berjuanglah terus hingga tidak ada yang mampu menghentikan langkahmu untuk mencapai tujuan yang kamu inginkan”
“Jangan seperti pohon pisang, yang berbuah sekali lalu mati”
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Purwandani, Maria Retno. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD
Penelitian ini membahas penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Obyek penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Penelitian mengenai penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini menggambarkan penggunaan unsur ekstralingual dan intralingual dalam tuturan monolog di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Metode pengumpulan data yang digunakan dengan teknik baca catat. Dalam analisis ini, peneliti mencoba memahami penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa pada tuturan monolog Pengakuan Pariyem yang digunakan untuk memunculkan kesantunan yaitu daya kabar, daya imajinasi, daya retoris, daya ancam, daya paksa, daya harap, daya penolakan, dan daya tantangan. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam nilai rasa pada tuturan monolog Pengakuan Pariyem yang digunakan untuk memunculkan kesantunan yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa benci dan nilai rasa sakit. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa menjadi indikator kesantunan berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh pemilihan unsur intralingual yang tepat dapat mengefektifkan tuturan sehingga membuat komunikasi terasa lebih santun, sedangkan unsur ekstralingual dapat berupa latar atau setting terjadinya komunikasi dapat mempengaruhi tuturan yang diucapkan.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Purwandani, Maria Retno. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Pengakuan Pariyem Prose Lyric as Well-mannered Communication. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Arts, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.
The research discussed the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi, Ag. The purposes of the research were describing intralingual and extralingual elements within language power and language sense value. The research object was focused on the monologue discourse sentences which were spoken by Pariyen in Pengakuan Pariyem lyric prose by Linus Suryadi. The research was about the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value, the kind of the research was qualitative descriptive research. The research described the use of intralingual and extralingual elements of monologue discourses in Pengakuan Pariyem lyric prose. The data gathering method was reading and writing techniques. In the analysis research, the researcher tried to understand the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value as well-mannered communication marker. The conclusion of this research is the use of intralingual and ekstralingual element of language on ‘Pengakuan Pariyem’ monologue which is used to bring up the politeness, i.e. the power of news, imagination, rhetorical, threat, force, hope, rejection, and challenge. The use of intralingual and ekstralingual element in the value of feeling in ‘Pengakuan Pariyem’ monologue which is used to bring up the politeness are the value of smooth taste, flavor coarse, self-conscious sense, fear - anxiety, sense of confidence, a sense of wonder, guilt, sadness, happiness, anger, a sense of accept, love, pessimism, sense of freedom, hatred and pain. The use of intralingual and ekstralingual element in the power of language and sense of value as indicators of politeness language to communicate. This is caused by the selection of the proper intralingual element can streamline communication thus making the speech feels more mannered, whereas ekstralingual element can be either a background or setting for the occurrence of communication can affect spoken speech.
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan pada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, atas berkat, bimbingan dan kuasaNya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda
Kesantunan
Berkomunikasi”
dapat
terselesaikan
dengan
baik.
Penyusunan penelitian dilakukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang turut memperlancarkan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang selalu memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., dan Dr. Y. Karmin, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang selama ini bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat untuk penyusunan skripsi ini hingga terselesaikan dengan baik. 4. Para Dosen PBSI yang telah mendidik dan memberikan pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis selama perkuliahan maupun di luar jam perkuliahan. 5. Robertus Marsidiq, selaku staff administrasi sekretariat PBSI yang telah membantu kelancaran perkuliahan dan akademik penulis. 6. Kedua orang tuaku Mathias Reinhard Erid Danularto dan Agnes Wijiyati, terima kasih atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa, semangat, motivasi, materi yang tercurahkan selama perjalanan hidup anakmu ini. x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................................. iv HALAMAN MOTTO ................................................................................................................. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................................................................... vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... vii ABSTRAK ................................................................................................................................... viii ABSTRACK.................................................................................................................................. ix KATA PENGANTAR................................................................................................................. x DAFTAR ISI................................................................................................................................ xii DAFTAR BAGAN ...................................................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 5 1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 5 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................................ 6 1.5 Manfaat Penelitian............................................................................................................ 6 1.6 Batasan Istilah .................................................................................................................. 7 1.7 Sistematika Penyajian....................................................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................................................... 10 2.1 Penelitian yang Relevan ................................................................................................... 10 2.2 Kerangka Teori................................................................................................................. 11 2.2.1 Daya Bahasa ........................................................................................................... 12 2.2.2 Nilai Rasa................................................................................................................ 14 2.2.3 Unsur Intralingual ................................................................................................... 19 2.2.4 Unsur Ekstralingual................................................................................................. 28 2.2.5 Pragmatik ................................................................................................................ 33 2.2.6 Semantik.................................................................................................................. 41 2.2.7 Pragma semantik ..................................................................................................... 42 2.2.8 Fungsi Komunikatif ................................................................................................ 43 2.2.9 Kesantunan Berbahasa ............................................................................................ 44 xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2.2.10 Karya Sastra .......................................................................................................... 46 2.3 Kerangka Berpikir ........................................................................................................... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................. 49 3.1 Jenis Penelitian ................................................................................................................. 49 3.2 Sumber Data dan Data Penelitian..................................................................................... 49 3.3 Instrumen Penelitian......................................................................................................... 50 3.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian .............................................................................. 51 3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................................................ 51 3.6 Triangulasi Data ............................................................................................................... 52
BAB IV ANALISIS DATA......................................................................................................... 53 4.1 Deskripsi Data ................................................................................................................ 53 4.2 Analisis Data .................................................................................................................. 54 4.2.1 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa...... 54 4.2.1.1 Daya Kabar........................................................................................................... 55 4.2.1.2 Daya Imajinasi ..................................................................................................... 73 4.2.1.3 Daya Retoris......................................................................................................... 87 4.2.1.4 Daya Ancam......................................................................................................... 92 4.2.1.5 Daya Paksa........................................................................................................... 97 4.2.1.6 Daya Harap........................................................................................................... 102 4.2.1.7 Daya Penolakan.................................................................................................... 105 4.2.1.8 Daya Tantangan ................................................................................................... 107 4.2.2 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa.......... 109 4.2.2.1 Nilai Rasa Halus................................................................................................... 109 4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar................................................................................................... 117 4.2.2.3 Nilai Rasa Sadar Diri ........................................................................................... 122 4.2.2.4 Nilai Rasa Takut-Cemas ...................................................................................... 125 4.2.2.5 Nilai Rasa Yakin .................................................................................................. 128 4.2.2.6 Nilai Rasa Heran .................................................................................................. 136 4.2.2.7 Nilai Rasa Bersalah .............................................................................................. 142 4.2.2.8 Nilai Rasa Sedih................................................................................................... 148 4.2.2.9 Nilai Rasa Bahagia............................................................................................... 153 4.2.2.10 Nilai Rasa Marah................................................................................................ 161 4.2.2.11 Nilai Rasa Menerima.......................................................................................... 165 4.2.2.12 Nilai Rasa Cinta ................................................................................................. 169 4.2.2.13 Nilai Rasa Pesimis.............................................................................................. 173 xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4.2.2.14 Nilai Rasa Bebas ................................................................................................ 175 4.2.2.15 Nilai Rasa Benci................................................................................................. 178 4.2.2.16 Nilai Rasa Sakit.................................................................................................. 181 4.3 Pembahasan..................................................................................................................... 184 4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan .................................................................................................. 184 4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan .................................................................................................. 193
BAB V PENUTUP....................................................................................................................... 210 5.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 210 5.1.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa.................... 210 5.1.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa ........... 211 5.2 Saran-Saran ...................................................................................................................... 212
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 214 LAMPIRAN................................................................................................................................. 216 BIODATA PENULIS.................................................................................................................. 295
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Kerangka Berpikir .......................................................................................................... 48
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Daya Bahasa ..................................................................................................... 216 Lampiran 2 Data Nilai Rasa Bahasa ............................................................................................. 253
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa pada hakikatnya adalah lambang bunyi yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi, berinteraksi dalam berbagai bentuk percakapan. Bahasa digunakan untuk berbagai keperluan misalnya sebagai alat komunikasi manusia, sarana
penyampaian
informasi,
mengutarakan
pikiran,
menyatakan
ide,
mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap orang lain. Jelas terlihat bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam berkomunikasi. Bahasa menjadi alat yang paling efektif dalam aktivitas komunikasi, dengan adanya bahasa setiap individu dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya. Melalui bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ia lihat, yang ia dengar dan rasakan. Karya sastra ialah suatu ungkapan pengalaman manusia dalam bentuk bahasa yang ekspresif dan mengesankan (Sumardjo, 1984:25). Karya sastra adalah media yang banyak digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan bahkan untuk menunjukkan bentuk apresiasi diri. Melalui karya sastra segala bentuk imajinasi dan kreativitas manusia dalam tertuang di dalamnya. Mengapresiasi sebuah karya sastra sebagai salah satu bentuk komunikasi yang membutuhkan tingkat pemahaman yang cukup tepat. Pada dasarnya memahami komunikasi melalui karya sastra jauh lebih dapat memberikan kedalaman arti tersendiri bagi pembacanya.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Karya sastra mampu berbicara banyak mengenai bentuk komunikasi yang digunakan di dalam masyarakat. Proses kreatif untuk membuat karya sastra dapat melalui perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas kehidupan sosial dan lingkungan kemasyarakatan dimana pengarang itu tumbuh, hidup dan berkembang (Sumardjo, 1984:15). Salah satu bentuk karya sastra yang unik ialah prosa lirik. Menurut Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama ialah bentuk sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai irama yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Sejalan dengan pendapat di atas, Sudjiman (1984:61) menyatakan pendapatnya bahwa prosa lirik ialah karya sastra yang ditulis dalam ragam prosa tetapi dicirikan oleh unsur-unsur puisi seperti nama yang teratur, majas, rima, asonansi, konsonansi dan citraan. Jadi prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Dalam berkomunikasi, setiap orang selalu menggunakan daya bahasa dan nilai nilai rasa yang terdapat dalam tuturannya tidak terkecuali pada karya sastra. Namun, pada kenyataannya banyak orang belum menyadari bahwa daya bahasa dan nilai rasa menjadi penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang, artinya melalui bahasa yang digunakan seseorang dapat diketahui bagaimana watak atau kepribadiannya. Menurut Pranowo (2012) santun tidaknya penggunaan bahasa dapat dilihat dari dua hal yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Ketepatan pemilihan kata oleh seseorang dapat menjadi salah satu penentu santun atau tidaknya bahasa yang digunakan. Pilihan kata dalam mengungkapkan makna dan maksud tertentu akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
menimbulkan efek tertentu. Selain itu, di samping memiliki makna tertentu setiap kata memiliki daya (kekuatan) bahasa tertentu pula. Daya bahasa adalah kadar kekuatan
bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk
meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur/penulis (Pranowo, 2009:128). Memanfaatkan segala daya bahasa atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa merupakan cara mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang terdapat dalam sebuah bahasa (Pranowo, 2009). Dalam berbahasa dengan memanfaatkan daya yang dimiliki oleh bahasa melalui kata adalah salah satu cara seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaan sesuai dengan maksud yang ingin dicapai. Misalnya dalam tuturan “Ayo dukung gerakan 2 anak saja cukup dari pemerintah!” dalam tuturan ini mengandung daya “persuasif” supaya setiap keluarga mengikuti upaya pemerintah membentuk keluarga berencana. Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan sikapnya dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi sehingga mitra tuturnya dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa dapat muncul melalui unsur intralingual seperti permainan bunyi, pilihan kata, gaya bahasa, ungkapan dan konteks bahasa. Nilai rasa ialah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa atau perasaan maksudnya ialah sekalian gerakan hati, segala yang terasa dalam batin seperti :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dll (Poerwadarminta, 1967:34) Dalam penggunaan nilai rasa lebih menekankan pada perasaan yang dapat diungkapkan melalui berbagai ungkapan perasaan misalnya senang, sedih, marah, takut, benci, dan sebagainya. Di setiap tuturan, penutur berharap pada mitra tuturnya agar mengerti perasaan yang sedang dialami oleh penutur, sehingga mitra tutur dapat mempersepsi sesuai dengan apa yang dirasakan oleh penutur. Tidak jauh berbeda dengan daya bahasa, untuk dapat mengetahui nilai rasa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan pilihan kata (diksi) yang digunakan oleh penutur atau mitra tutur serta konteks pembicaraan yang menyertai di setiap tuturan. Kata-kata yang mengandung nilai rasa antara lain menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan perasaan, kata-kata kasar ataupun lembut. Kata-kata yang mengandung nilai rasa akan terasa tidak pas apabila terdapat kesalahan dalam penggunaannya. Misalnya dalam tuturan “Maaf, apakah Bapak melihat kunci motor di meja ini?” mengandung nilai rasa “halus” meskipun modusnya berupa pertanyaan tetapi penggunaan kata “maaf” memberikan kesan hati-hati dalam bertanya dikarenakan rasa khawatir apabila orang yang ditanya tidak berkenan dengan pertanyaan tersebut. Menurut Gorys Keraf (1984:113), bahasa yang baik harus mengandung unsur kejujuran, sopan santun, dan menarik. Jujur memiliki pengertian bahwa penggunaan bahasa sesuai dengan aturan dan kaidah yang baik dan benar serta tidak berbelit-belit. Sopan santun dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
kejelasan dan kesingkatan. Tidak jarang ditemukan bahasa halus saat ini digunakan untuk menyembunyikan perasaan serta emosinya si penutur. Bahasa halus yang dasarnya bertujuan untuk menjaga tata krama dan sopan santun kini beralih fungsi menjadi bahasa sindiran. Daya bahasa dan nilai rasa dapat ditemukan dalam berbagai bentuk penggunaan bahasa. Keduanya menjadi aspek penting sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi belum banyak diteliti, padahal terdapat banyak daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang terkandung dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem ini, namun belum banyak orang yang menyadari hal ini. Berdasar latar belakang inilah maka fenomena ini layak untuk dikaji lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi fokus permasalahan yaitu : 1.
Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ?
2.
Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
2.
Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang
lingkup
penelitian
ini
adalah
penelitian
pragmatik
yang
mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dengan memperhatikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual bahasa. Data penelitian ini difokuskan pada kalimat-kalimat tuturan monolog yang diucapkan oleh Pariyem dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.
1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu : Bagi peneliti Bagi peneliti, manfaat dari penelitian ini yakni mengetahui penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
yang digunakan dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini dapat menyadarkan masyarakat bahwa di setiap tuturan mereka mengandung unsur intralingual dan ekstralingual baik daya bahasa maupun nilai rasa bahasa, dengan demikian masyarakat mampu memahami dan menggunakannya sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Bagi teori kebahasaan Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap teori kebahasaan terutama di bidang kesantunan berbahasa, bahwa unsur intralingual dan ekstralingual baik itu daya bahasa maupun nilai rasa bahasa itu dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
1.6 Batasan Istilah 1. Unsur Intralingual Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa. Unsur intralingual itu merupakan segala aspek bahasa baik yang berupa bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana yang membentuk satu kesatuan makna. (Pranowo, 2013:45). 2. Unsur Ekstralingual Unsur ekstralingual adalah unsur bahasa yang berada di luar unsur internal bahasa. Unsur ekstralingual merupakan unsur yang berada di luar bahasa atau di luar unsur internal. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi (Pranowo, 2009:97-98). 3. Daya bahasa Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur atau penulis (Pranowo, 2009). 4. Nilai rasa Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan sikapnya dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi sehingga mitra tuturnya dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa ialah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa atau perasaan maksudnya ialah sekalian gerakan hati, segala yang terasa dalam batin seperti : sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dll (Poerwadarminta, 1967:34). 5. Prosa Lirik Prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Menurut Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama ialah bentuk sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai irama yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Prosa lirik ialah perpaduan antara prosa dan puisi. 6. Kesantunan Berbahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
Bahasa yang santun adalah bahasa yang dapat mencerminkan perilaku penutur sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat (Pranowo, 2009). Penggunaan bahasa yang santun terlihat dari penggunaan prinsip kesantunan berkomunikasi yang terlihat dari tuturan yang diucapkan.
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika penyajian. Bab II studi kepustakaan yang berisi tinjauan kepustakaan (penelitian yang relevan), kajian teori dan kerangka berpikir. Bab III adalah metodologi penelitian yang berisi jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data dan triangulasi data. Bab IV adalah hasil analisis data dan pembahasan. Bab V berisi kesimpulan dan saran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan penelitian yang relevan dengan masalah yang akan diteliti serta landasan teori yang dipakai penulis sebagai dasar dalam melakukan penelitian. 2.1 Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan topik ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Qonita Fitra Yuni yang berjudul Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi Pidato Politik (Yuni, Qonita Fitra : 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Qonita mendeskripsikan penggunaan daya bahasa apa saja, jenis-jenis, manfaat dan ciriciri daya bahasa yang digunakan dalam pidato politik para tokoh-tokoh politik. Persamaan penelitian ini yakni mengkaji pemanfaatan daya bahasa yang terdapat dalam ujaran, sedangkan perbedaannya terdapat pada obyek yang diteliti. Penelitian Qonita bersumber pada pidato politik sedangkan penelitian saya bersumber pada prosa lirik Pengakuan Pariyem. Hal yang membedakan lagi, penelitian Qonita hanya terfokus pada penggunaan pilihan kata atau diksi sehingga penelitian yang dilakukannya cenderung lebih sempit ruang lingkupnya. Penelitian yang lain adalah penelitian dari Dini Suryani yang berjudul Nilai Rasa pada Diksi Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan November 2012 (Suryani, Dini : 2013). Penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis dan ciri-ciri nilai rasa yang terdapat pada dialog interaktif Mata Najwa. Persamaan dari penelitian ini ialah sama-sama mengkaji nilai rasa, sedangkan perbedaannya
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
terletak pada obyek penelitiannya. Penelitian yang dilakukan Dini Suryani bersumber pada dialog interaktif Mata Najwa, Metro TV, sedangkan penelitian saya bersumber pada prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Penelitian yang relevan selanjutnya ialah Sridarni yang berjudul Sikap Pasrah Tokoh Utama Wanita Jawa dalam Novel Prosa Lirik Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Ag Suatu Tinjauan Sosiologis (Sridarni, 1999). Penelitian ini mendeskripsikan struktur intrinsik, sikap pasrah wanita Jawa, dan relevansinya di bidang pembelajaran sastra. Persamaan penelitian ini dengan penelitian saya yakni obyek kajiannya sama-sama mengkaji prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Adapun perbedaan penelitian saya dari penelitian Sridarni yaitu mengkaji mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa. Dari uraian di atas membuktikan bahwa penelitian yang mengkaji tentang unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa pada prosa lirik Pengakuan Pariyem belum pernah dikaji. Penelitian tersebut layak untuk diangkat sebagai penelitian.
2.2 Kerangka Teori Di bawah ini diuraikan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan teoritis penelitian ini menggunakan teori pragmatik dan teori semantik, kedua teori tersebut digunakan sebagai ancangan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
2.2.1 Daya bahasa Memanfaatkan segala daya atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa merupakan mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang terdapat dalam sebuah bahasa (Pranowo, 2009). Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa untuk menyampaikan makna, informasi atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar mampu memahami dan menangkap makna, informasi atau maksud penutur/penulis (Pranowo, 2009:128-129). Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Misalnya dalam tuturan “Ayo dukung gerakan 2 anak saja cukup dari pemerintah!” dalam tuturan ini mengandung daya “persuasif” supaya setiap keluarga mengikuti upaya atau anjuran dari pemerintah membentuk keluarga berencana. Tuturan dapat dikatakan santun jika daya bahasa yang digunakan dapat dioptimalkan fungsinya melalui aspek semantik dan pragmatik. Memanfaatkan segala daya yang dimiliki oleh bahasa adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan sesuai dengan maksud yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. Namun, hal ini terkadang tidak mudah untuk dilakukan oleh setiap orang karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengenali kekuatan yang dimiliki oleh setiap bahasa. Pemanfaatan daya bahasa dapat dilihat melalui tataran bentukan kata-kata. Kata-kata yang tidak berafiks terkadang memiliki daya bahasa yang lebih kuat daripada kata yang menggunakan afiks. Misalnya, kata “babat” lebih kuat daya bahasanya dibandingkan dengan kata “membabat” dalam konteks kalimat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
“Perambah hutan itu babat habis semua pohon yang berdiameter 10 cm ke atas” (Pranowo, 2009:135). Kekuatan yang dimiliki oleh bahasa dapat dimanfaatkan oleh seseorang untuk mengefektifkan penyampaian pesan atau menciptakan kesantunan dalam komunikasi. Daya bahasa secara linguistik dapat diidentifikasi melalui berbagai aspek kebahasaan seperti bunyi, kata, kalimat, leksikon (terutama pada pilihan kata). Daya bahasa dapat dilihat secara pragmatik dapat diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang dibangun oleh penutur dengan tujuan tertentu, seperti praanggapan, tindak tutur, deiksis dan implikatur (Pranowo, 2009). Daya bahasa dapat juga digali melalui tataran pembentukan kata. Kata yang satu dengan yang lain akan memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Daya bahasa dapat ditemukan dalam hampir seluruh pemakaian bahasa. Salah satu pemakaian bahasa yang sangat produktif dalam memanfaatkan daya bahasa ialah karya sastra. Hampir seluruh seniman dalam menghasilkan karya sastra menggunakan daya bahasa yang terdapat dalam seluruh tataran bahasa untuk membangun keindahan dan mengungkapkan amanat agar dapat dinikmati dan dipahami oleh pembacanya. Daya bahasa dapat dipergunakan untuk : a. meningkatkan efek komunikasi, b. mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diungkapkan, dan c. memperindah pemakaian bahasa, dan sebagainya. Apapun fungsi komunikatif, setiap komunikasi pasti ingin agar pendengar atau pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan. Untuk dapat mencapai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
tujuan komunikasi itu, seseorang dapat memanfaatkan bahasa dengan segala kekuatan bahasa agar komunikasi dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan harapannya.
2.2.2 Nilai rasa Menurut Poerwadarminta (1967 dalam Pranowo, 2013) nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Nilai rasa adalah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Pemakaian nilai rasa bahasa dalam setiap tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi dapat meningkatkan kesantunan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, pikiran dan perasaan diungkapkan secara berbeda dalam penggunaan bahasanya. Apabila dalam menggunakan bahasa lebih cenderung mengungkapkan pikiran maka yang terlihat dalam bahasanya yaitu aspek kognitifnya saja. Namun berbeda halnya dengan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan maka yang terlihat lebih dominan adalah aspek afektifnya. Aspek afektif ini
akan memunculkan modus seperti rasa senang,
sedih, bahagia, empati, dll. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa banyak digunakan dalam semua tindakan komunikasi, baik bahasa secara lisan maupun tertulis. Menurut Poerwadarminta (1967: 34-35), nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu. Rasa di sini maksudnya adalah gerakan hati atau segala yang terasa dalam batin; seperti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
sedih, senang, suka, duka, benci, menghina, mengejek, hormat, dan sebagainya. Nilai rasa dalam tuturan itu sendiri dapat diketahui dengan memperhatikan pilihan kata atau diksinya, karena kata-kata emosi merupakan manifestasi perasaan penutur. Selain itu juga harus memperhatikan bahasa nonverbalnya dan konteks tuturan untuk mengetahui nilai rasa yang disampaikan penutur karena kata-kata emosi jumlahnya terbatas sehingga perasaan tidak selalu disampaikan melalui kata-kata. Menurut Poerwadarminta (1967: 35-36), ciri-ciri kata yang memiliki nilai rasa yaitu menggunakan: a. Kata Kasar (Perasaan) Mencakup kata-kata yang berisi kadar rasa, seperti : rasa senang, benci, menghina, mencemoohkan. b. Kata Pelembut Adanya sopan santun dan perasaan kemasyarakatan, seperti kata hormat dan kata-kata bentukan baru. c. Kata Kasar Kata kasar seperti kata bangsat, sialan, dan lain sebagainya. Suatu kata memiliki makna dan maksud. Makna kata yaitu arti kata tersebut, sedangkan maksudnya itu sendiri terdapat pada isi tersebut. Arti katanya tidak selalu sama dengan isi kata. Dalamnya isi kata tersebutlah yang dapat menemukan maksud dan nilai rasanya. Untuk mengetahui perasaan seseorang, kita perlu menganalisis emosi yang dikeluarkan melalui tingkah laku maupun kata-katanya. Suprapti, dkk dalam Kaswanti Purwo (1992:110-112), mengelompokkan kata emosi pada manusia ke
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
dalam 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran, tertekan, marah, benci, bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan, kedamaian-kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa-dibohongi, dicintai, yakin-optimis, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil. 1.
Malas-acuh: Acuh, ogah, ogah-ogahan, segan, wegah, males, enggan.
2.
Kelelahan: Letih, cape, penat, lemes, pegal, pusing, pucat, sakit, perih, kesemutan, gatal, ngantuk, lesu, pening, nyeri, dan getir.
3.
Kesedihan: Pilu,
sedih,
haru,
terharu,
trenyuh,
kasihan,
ngenes,
tergugah,
prihatin,syahdu, susah, pedih, sendu, duka, iba, dan masygul. 4. Perasaan pesimis depresif: Nelangsa, merana, malang, sial, sia-sia, putus asa, pesimis, kehilangan pegangan, hina, kalah, apes, putus harapan, dan patah semangat. 5.
Takut-cemas: Kacau, bingung, gugup, gemetaran, tegang, cemas, gelisah, risau, was-was, khawatir, bimbang, ragu-ragu, sangsi, panik, takut, ngeri, gentar, curiga, ruwet, senewen, berdebar-debar, resah, ragu, seram, dan nanar.
6.
Heran: Kaget, heran, tercengang, terpukau, takjub, kagum, seperti mimpi, terkejut, dan terpaku.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
7. Tertekan: Terdorong, terdesak, terpaksa, terkekang, terhambat, tertindas, terinjak, terpukul, tersinggung, tersindir, tersudut, terancam, terikat, terbanting, dan terhina. 8. Marah: Sakit hati, jengkel, keki, kesal, dongkol, gedeg, geram, sebal, cape hati, kecewa, marah, pitam, darah pendidih, kelap, sengit, panas, mangkel, gondok, naik darah, dan amarah. 9.
Benci: Dendam, cemburu, iri, benci, antipati, sentimen, dan tidak menghargai.
10. Bersalah: Bersalah, salah, dosa, menyesal, dan sesal. 11. Malu: Malu, sungkan, kikuk, kaku,risi, dan jengah. 12. Muak: Gilo, jijik, enak, mual, muak, dan senep. 13. Bosan: Jeleh, jenuh, jemu, dan bosan. 14. Sunyi: Kesepian, sepi, dan kehilangan. 15. Kekosongan: Hampa, kosong, hambar, dan dingin. 16. Kedamaian-kebahagiaan:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
Adhem, nyaman, aman, tentram,selamat, terlindungi, enak, nikmat, asyik, betah, rileks, santai, gembira, riang, senang, besar hati, bangga, bahagia, ayem, tenang, damai, dan girang. 17. Bebas: Lega, plong, lapang, puas, untung, ringan, dan terlepas. 18. Cinta: Suka, simpati, tertarik, cinta, sayang, dhemen, dan kasih. 19. Kangen: Rindu, kangen, dan terkenang. 20. Terasing: Terasing, terkucil, tak dihiraukan, diabaikan, dan asing. 21. Dipaksa-dibohongi: Dipaksa, diburu-buru, diadu domba, ditipu, dikibuli, dininabobokan, dan dibodohi, 22. Dicintai: Terbelai, tersanjung, diperhatikan, disayangi, dibutuhkan, dipercaya, dan dicintai. 23. Yakin optimis: Yakin, optimis, kuat, cukup, dan mantep. 24. Sehat: Segar, sehat, dan sadar. 25. Perasaan terhadap makanan: Kenyang, lapar, dan haus.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
26. Keinginan: Bernafas, ngantuk, dan ingin. 27. Menerima Ikhlas, rela, pasrah, dan bersyukur. 28. Rasa kecil: Sempit dan kecil.
2.2.3 Unsur Intralingual Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa, sedangkan unsur ekstralingual adalah unsur bahasa yang berada di luar unsur internal bahasa (Pranowo, 2009). Unsur intralingual itu merupakan segala aspek bahasa baik yang berupa bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana yang membentuk satu kesatuan makna maupun aspek pemakaian bahasa seperti implikatur, tindak tutur, praanggapan, dsb (Pranowo, 2013:45). Misalnya dalam pilihan kata, ungkapan khas, kata seru, kata tutur, kata asing, kata basa-basi, kata honorifics (bentuk yang dipergunakan untuk mengungkapkan suatu penghormatan), sapaan mesra “ayang, papi, bunda, diajeng”, umpatan, pujian, dan lain sebagainya. Unsur intralingual yang dimaksud adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Menurut pandangan para linguis, makna bahasa selalu melekat pada unsur-unsur segmental bahasa yang membentuknya. Dengan demikian, pemaknaan suatu bahasa tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
terkait dengan konteks tetapi ditentukan oleh ko-teks. Adapun unsur intralingual di dalamnya memuat beberapa unsur yakni : a. Kata dan Pilihan Kata Istilah kata seringkali kita dengar dan kita gunakan. Menurut para ahli kata didefinisikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu pengertian, kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi dan memiliki satu arti. Bloomfield (dalam Chaer, 2012:163) menyatakan bahwa kata ialah satuan bebas terkecil (a minimal free from), sedangkan Chomsky berpendapat bahwa kata adalah dasar dari analisis kalimat, hanya kata disajikan dengan simbol V untuk kata verba, N untuk kata nomina, A untuk kata adjektiva, dan sebagainya. Batasan tentang kata yang sering dijumpai yakni kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak dapat berubah dan ke luar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat. Batasan ini menimbulkan dua hal yakni (1) setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lainnya; (2) setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya. Pengertian kata menurut Gorys Keraf (1984:21), kata adalah suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis entah morfologis) dan secara relatif memiliki distribusi yang bebas. Dalam berkomunikasi kata-kata dijadikan satu ke dalam suatu konstruksi yang dibangun berdasarkan kaidah-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Pengertian yang tersirat dibalik kata-kata itulah yang menjadi hal yang paling penting dalam serangkaian kata. Pengertian tersebut menyatakan bahwa di setiap kata pasti mengandung suatu ide atau gagasan. Dengan kata lain, kata-kata ialah penyalur gagasan dari pikiran kita yang disampaikan kepada orang lain. Seseorang yang mempunyai banyak ide atau gagasan dapat dipastikan orang tersebut akan dapat menguasai banyak kata atau luas kosakatanya. Dengan begitu ia dapat dengan mudah dan lancar dalam berkomunikasi dengan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan kosakata sangatlah penting dalam berkomunikasi. Jadi kata dapat didefinisikan sebagai sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menyebabkan orang akan berpikir tentang sesuatu hal dan makna dari sebuah kata itu (referensinya). Persoalan pilihan kata tidak dapat dianggap sebagai persoalan yang sederhana. Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak jarang kita menemui orang yang kesulitan mengungkapkan maksud pikirannya dan miskin dalam perbendaharaan kosakata. Setiap orang seharusnya dapat memahami betapa pentingnya peranan kata dalam berkomunikasi, sehingga seseorang dapat menggunakan kata-kata yang tepat sesuai dengan pengertiannya bukan hanya kata-kata yang hebat tanpa isi di dalamnya. Berkomunikasi tidak terlepas dari penggunaan bahasa sebagai alat vital bagi manusia, sehingga mereka pun harus memenuhi persyaratan tertentu dalam jaringan komunikasi. Salah satu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
persyaratannya
yakni
seseorang
harus
menguasai
sejumlah
22
besar
perbendaharaan kata (kosakata), kemudian ia mampu mengaplikasikannya menjadi kalimat yang jelas dan efektif sesuai dengan kaidah sintaksis yang berlaku, sehingga ia dapat menyampaikan ungkapan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. Seseorang yang memiliki kosakata yang luas akan memiliki kemampuan yang tinggi untuk dapat memilih kata yang paling tepat untuk mewakili maksud atau gagasannya. Maka seseorang akan berusaha dengan cermat memilih kata yang harus ia gunakan dalam konteks tertentu. Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan tentang ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang digunakan itu dapat diterima atau tidak dalam suatu suasana yang ada. Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa diksi ialah (1) pemilihan kata-kata yang tepat dalam mengungkapkan gagasan, (2) kemampuan melihat suasana tutur sehingga mampu menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan gagasan, dan (3) pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan pengertiannya hanya dapat dimungkinkan oleh orang yang menguasai kosakata yang luas. Persoalan pada pendayagunaan kata hanya meliputi dua aspek, yakni ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan gagasan dan kesesuaian dalam menggunakannya. Ketepatan diksi mempermasalahkan kesanggupan kata untuk dapat menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
penulis atau pembicara. Ketepatan dalam memilih kata tidak akan menimbulkan salah paham. Supaya kata-kata yang digunakan tidak mengganggu suasana dan tidak menimbulkan ketegangan antara penulis/pembicara dengan pembaca atau pendengar maka harus memenuhi syarat kesesuaian diksi (Keraf, 1984:103) sebagai berikut : 1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi yang formal. 2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis atau pembicara menggunakan kata-kata populer. 3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. 4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata slang. 5) Dalam penulisan jangan menggunakan kata percakapan. 6) Hindarilah ungkapan-ungkapan yang usang (idiom yang mati). 7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. b. Frasa Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2005:138). Dalam frasa selalu terdapat satu fungsi unsur klausa, bisa berupa subjek, predikat, obyek, pelengkap atau keterangan. Frasa dapat dijadikan penunjuk adanya nilai rasa bahasa dan daya bahasa dalam suatu kalimat. Misalnya :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
Aku tidak melihat kejujuran di matamu ! (kKonteks : seorang bos marah terhadap anak buahnya karena ia telah berbohong) Penggunaan frasa di matamu sebagai keterangan terasa bernilai rasa sangat kasar. Penyebutan mata untuk menyatakan keseluruhan tubuh seseorang cukup tidak sopan, apalagi ditambah dengan gerakan tangan menunjuk kedua bola mata mitra tutur. Dalam konsep Jawa, menggunakan kata-kata bagian tubuh di atas leher termasuk tidak sopan. Ada baiknya apabila contoh kalimat di atas diganti menggunakan kalimat aku tidak melihat kejujuran dalam dirimu ! akan terasa lebih halus dibandingkan dengan contoh kalimat di atas. c. Klausa Dalam hierarki bahasa klausa berada di atas tataran frasa. Ramlan (2005: 79) mengatakan bahwa klausa ialah satuan gramatik yang terdiri dari fungsi subjek, predikat baik disertai obyek, pelengkap atau keterangan maupun tidak. Jadi unsur inti klausa ialah adanya subjek dan predikat, namun yang perlu diingat unsur wajib suatu klausa ialah adanya predikat yang lain bersifat manasuka artinya boleh ada boleh tidak. Sebagaimana dengan frasa, klausa pun dapat dijadikan sebagai penanda adanya nilai rasa dan daya bahasa dalam suatu kalimat. d. Kalimat Bentuk bahasa terdiri dari dua satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Satuan fonologik meliputi fonem dan suku, sedangkan satuan gramatik meliputi wacana, kalimat, klausa, frase, kata dan morfem. Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap (Chaer, 2012:240). Hal ini berarti di dalam kalimat memuat maksud
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
atau pikiran dari pembaca atau penulis yang dirangkai melalui susunan katakata. Kalimat bisa saja hanya terdiri dari satu atau dua kata saja. Menurut Ramlan (2005:21-23) sesungguhnya yang menentukan satuan kalimat bukanlah banyaknya kata di dalamnya yang menjadi unsur kalimat tetapi intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi dengan adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Jadi dengan kata lain kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi dengan jeda panjang yang disertai dengan nada akhir turun atau naik. Definisi mengenai kalimat tentunya sudah banyak dikemukakan oleh para ahli, dari paparan mengenai definisi kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat yaitu rangkaian kata-kata yang disusun untuk mengungkapkan pikiran yang dibatasi dengan adanya nada atau intonasi. e. Bahasa Verbal Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama berupa kata, kalimat, paragraf, dan wacana. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal (unsur intralingual) akan memiliki efek yang sangat kuat apabila didukung oleh penggunaan bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal itu bahasa tulis, penanda jedanya berupa pemisah kata, koma, titik, pergantian paragraf dan pergantian wacana. Apabila bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan maka penanda jeda dapat berupa intonasi, tekanan, dan irama. Dalam penggunaan bahasa verbal lisan menggunakan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa dan idiom yang dapat memberikan efek komunikatif bagi mitra tutur. Bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
dalam bentuk ujaran atau tulisan (Pranowo, 2012:3). Komunikasi verbal adalah komunikasi yang medium pengucapan kata-kata kepada orang lain dapat melalui bentuk lisan atau tulisan. Komunikasi verbal baik itu yang lisan ataupun tertulis tergantung pada penguasaan “kata” dan tatabahasa (Liliweri,1994:5-7). Sistem simbol dalam komunikasi verbal menurut Verdeber (dalam Liliweri, 1994:42) terdiri dari (1) kata-kata yang diketahui (vocabulary) yang dipelajari dengan cara tertentu dan (2) tata bahasa (grammar) dan sintaksis. Unsur-unsur penting dari komunikasi terdiri dari : sumber, saluran, pesan, kode (tanda atau simbol), penerima dan kerangka rujukan. Setiap unsur komunikasi memberikan dukungan pada komunikasi verbal. f. Makna Setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur itu adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya mengacu atau merujuk kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar (ekstralingual). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:864) makna adalah arti, maksud pembicara atau penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna terdapat dalam suatu ujaran, makna dapat berarti maksud yang terdapat dalam sebuah ujaran. Menurut Poerwadarminto (dalam Tarigan, 1985:9) makna memiliki pengertian arti atau maksud (sesuatu kata); mengandung arti yang penting, menerangkan arti (maksud) sesuatu kata dan sebagainya. Hornby berpendapat bahwa makna ialah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud, sedangkan Ullman mengatakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
bahwa ada hubungan antara nama dan pengertian; apabila seseorang mendengar kata ia tentu membayangkan bendanya dan apabila seseorang membayangkan suatu benda ia akan segera mengatakan benda tersebut. Inilah hubungan timbal-balik antara bunyi dan pengertian, dan inilah makna kata tersebut (dalam Pateda, 1986:45).
Bentuk-bentuk kebahasaan seperti
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana memiliki konsep bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut dengan makna (sense). Makna menurut Wijana dan Rohmadi (2011:3) ialah konsep abstrak pengalaman manusia tetapi bukanlah pengalaman orang per orang. Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia inilah yang disebut dengan makna (sense), dan konsep berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut dengan referen (referent). Makna berbeda dengan maksud dan informasi, karena maksud dan informasi bersifat luar bahasa. Maksud adalah elemen di luar bahasa yang bersumber dari pembicara dan bersifat subjektif, sedangkan informasi ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari isi tuturan dan bersifat obyektif. Sejalan dengan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa makna ialah maksud atau arti yang terdapat dibalik setiap kata atau ujaran yang memiliki arti penting. Ujaran manusia dapat dilihat dari 4 segi yaitu : pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan maksud (intention). Pengertian disebut juga dengan tema pembicaraan, pengertian adalah upaya untuk dapat menghubung-hubungkan pemahaman kita sehingga pembicaraan tidak akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
salah. Pengertian dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dengan pembaca/pendengar mempunyai kesamaan bahasa. Perasaan berhubungan dengan sikap pembicara/penulis terhadap apa yang sedang dibicarakan. Maka dari itu kita harus menggunakan kata-kata yang mempunyai makna sesuai dengan perasaan apa yang akan kita ungkapkan. Aspek nada dalam ujaran dapat berarti sikap pembicara terhadap kawan bicara. Dalam karya sastra nada berhubungan dengan sikap penyair atau penulis dengan pembacanya. Misalnya dalam penggunaan nada, apabila kita sedang kesal atau jengkel nada pembicaraan yang kita gunakan ialah nada tinggi, sedangkan ketika minta sesuatu nada yang digunakan pasti rendah atau mengiba-iba. Tujuan merupakan maksud, apabila kita mengatakan sesuatu pasti ada maksud atau tujuan di dalamnya.
2.2.4 Unsur Ekstralingual Unsur ekstralingual merupakan suatu unsur yang berada dalam luar bahasa atau di luar unsur internal, misalnya gerakan anggota tubuh, cara berbicara, sikap sinis, lirikan mata, peristiwa lain, dan tuturan katanya (implikatur). Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi (Pranowo, 2009:97-98). Aspek non kebahasaan yang lainnya ialah konteks situasi komunikasi. Konteks situasi komunikasi ialah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respons lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Konteks situasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan pemakaian bahasa. Sebab, konteks situasi komunikasi yang melingkupi terjadinya berbagai peristiwa dapat memancing emosi penutur sehingga tuturannya terkesan keras dan tidak santun. Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain, bahasa membutuhkan suatu konteks tertentu dalam pemakaiannya begitu pula sebaliknya konteks akan bermakna apabila terdapat tindak bahasa di dalamnya. Konteks merupakan background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h‟s interpretation of what s means by a given utterance (latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu (s berarti speaker : penutur ; h berarti hearer: lawan tutur) (Leech, 1983: 13). Konteks lebih sulit dibedakan dari teks,
informasi
kontekstual
ialah
informasi
yang
diidentifikasi
dalam
hubungannya satu dengan yang lainnya. Isi komunikasi dalam suatu tuturan dapat diperoleh melalui kombinasi makna linguistik dan konteks sehingga pesan yang ada dalam teks dapat dipahami. Schiffrin dalam bukunya Ancangan Kajian Wacana (2007:549) banyak berpendapat bahwa konteks dalam pembicaraan ialah “pengetahuan” dan “situasi” dalam suatu tuturan. Konteks ialah situasi tutur atau latar terjadi suatu peristiwa komunikasi, dapat dianggap bahwa konteks sebagai sebab dan alasan terjadinya pembicaraan (Mulyana, 2005: 10). Jadi konteks adalah latar belakang pengetahuan (informasi lain yang tidak terdapat dalam teks) dan situasi dalam pembicaraan yang dapat mendukung atau
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
menambah kejelasan makna sehingga memudahkan kita untuk memahami makna. Pemberian konteks dalam suatu teks akan memudahkan orang untuk dapat memahami makna. Menurut Pateda (2004: 228-229) konteks adalah situasi yang terbentuk oleh karena adanya setting, kegiatan dan relasi. Interaksi atau tindak bahasa didasarkan pada ketiga komponen tersebut. Ketiganya diuraikan sebagai berikut : a. Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi, yang termasuk unsur setting yaitu : unsur-unsur material yang ada di sekitar interaksi berbahasa, tempat (tata letak dan tata atur barang dan orang) dan waktu (tata runtun atau pengatursn urutan waktu dalam peristiwa interaksi berbahasa. b. Kegiatan merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi berbahasa. c. Relasi meliputi hubungan antara penutur dan mitra tutur. Hubungan ini meliputi : jenis kelamin, umur, kedudukan (status, peran, prestasi, prestise), hubungan kekeluargaan, hubungan kedinasan. Konteks baru muncul jika terjadi interaksi berbahasa yang sesuai dengan setting, kegiatan dan relasi. Konteks menurut Supardo (1988: 48-50) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni konteks bahasa (konteks linguistik atau konteks kode) dan konteks nonbahasa (konteks nonlingustik) :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
a. Konteks bahasa (konteks linguistik atau konteks kode), konteks ini berupa unsur yang secara langsung membentuk struktur lahir, yakni kata, kalimat, dan bangun ujaran atau teks. b. Konteks nonbahasa (konteks nonlingustik), diklasifikasikan menjadi tiga, yakni sebagai berikut. (1) Konteks dialektal yang meliputi usia, jenis kelamin, daerah (regional), dan spesialisasi. Spesialisasi adalah identitas seseorang atau sekelompok orang dan menunjuk profesi orang yang bersangkutan. (2) Konteks diatipik mencakup setting, yakni konteks yang berupa tempat, jarak interaksi, topik pembicaraan, dan fungsi. Setting meliputi waktu, tempat, panjang, dan besarnya interaksi. (3) Konteks realisasi merupakan cara dan saluran yang digunakan orang untuk menyampaikan pesannya. Bahasa nonverbal merupakan salah satu unsur ekstralingual. Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) juga tidak kalah penting dalam berkomunikasi. Peran bahasa nonverbal akan nampak pada penggunaan bahasa lisan dalam berkomunikasi. Bahasa nonverbal dapat berupa gesture yaitu gerakan tubuh atau bagian tubuh yang berfungsi penting dalam berkomunikasi. Gesture dapat berupa berupa kinestetik, kontak mata dan kinestetik sedangkan bahasa verbal dapat berupa proksemik, artefak, maupun olfaktori (Brown,2004). Pranowo (2012:3) menyatakan bahwa bahasa non-verbal ialah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak-gerik tubuh, sikap atau perilaku.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
Pada dasarnya komunikasi ialah jalan yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Tidak hanya melalui kata-kata namun lewat diam atau gerakan tubuh yang lain itu adalah bentuk komunikasi pula. Diam adalah salah satu bentuk komunikasi antarpribadi, ketika kita berdiam diri maka kita telah melakukan komunikasi non-verbal. Komunikasi non-verbal seringkali digunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi seseorang. Apabila suatu pesan tidak menunjukkan kekuatan pesan maka kita dapat menggunakan tanda-tanda nonverbal sebagai pendukungnya. Komunikasi non-verbal disebut juga komunikasi tanpa kata karena tidak berkata-kata dalam berkomunikasi hanya menggunakan gerakan tubuh atau anggota tubuh bahkan tanpa suara (berdiam diri) (Liliweri, 1994:89). Komunikasi tidak hanya sekedar mengalihkan pesan dari pembicara ke pendengar, namun dukungan tanda non-verbal dapat melengkapi kekurangan dari komunikasi verbal. Knapp (dalam Liliweri, 1994:103-105) membedakan antara komunikasi verbal dan non-verbal sebagai berikut : a. Komunikasi
verbal
mempunyai
ciri
yang
terpisah-pisah
sedangkan
komunikasi non-verbal selalu berkesinambungan. Dalam komunikasi nonverbal seseorang tidak dpat menghentikan gerakan anggota tubuh atas perintah tanda baca, namun dalam komunikasi verbal kita berhenti membaca atas perintah tanda-tanda baca (koma, titik, tanda tanya, tanda seru, dsb). b. Komunikasi verbal merupakan saluran tunggal sedangkan komunikasi nonverbal bersaluran banyak. Seringkali komunikasi non-verbal memberikan tekanan tertentu pada komunikasi verbal. Komunikasi non-verbal lebih
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
banyak variasinya dibandingkan komunikasi verbal maka dari itulah disebut sebagai saluran banyak. c. Komunikasi verbal selalu di bawah pengawasan (kontrol) setiap manusia secara sadar maupun sukarela, sedangkan komunikasi non-verbal tidak dapat diawasi dengan baik apalagi sempurna. Sebagian besar komunikasi nonverbal terjadi secara otomatis di setiap situasi.
2.2.5 Pragmatik Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Kajian ini menempatkan bahasa dalam pemakaiannya atau pemakaian bahasa dalam konteksnya. Pragmatik adalah suatu studi yang mempelajari tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Menurut Yule (2006:5) pragmatik ialah studi tentang hubungan antara bentukbentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Studi mengenai pragmatik tidak terlepas dari bagaimana cara orang saling memahami satu sama lain secara linguistik tetapi kita juga harus memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikirannya. Cruse (dalam Cumming, 2007:2) mendefinisikan pragmatik sebagi berikut : “Pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan].”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
Sejalan dengan dua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik berkaitan dengan informasi yang melalui bentuk-bentuk linguistik oleh penuturnya. Penggunaan bentuk linguistiknya pun dapat berbeda-beda, ada yang penggunaannya secara konvensi yang telah diterima masyarakat umum maupun makna yang dikodekan sesuai dengan konteks pembicaraan. Ruang lingkup pragmatik untuk memahami konteks tuturan dapat dilihat dari berbagai aspek (Cummings, 2007:8-42), diantaranya tindak tutur, praanggapan, implikatur, deiksis, yang akan dijabarkan di bawah ini : a. Tindak tutur Tindakan-tindakan yang ditampilkan melalui tuturan disebut dengan tindak tutur (Yule,2006:82). Istilah-istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Searle (dalam Schiffrin, 2007:70) menyatakan tindak tutur ialah unit dasar dari komunikasi. Tindak tutur ialah peristiwa tutur yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya. J.L Austin (dalam Nababan, 1987:18) menyatakan tiga hal yang terdapat dalam tindak tutur, yaitu : (1) Tindak lokusi (locutionary act) Adalah tindak tutur yang mengaitkan suatu topik dengan sesuatu keterangan dalam suatu ungkapan. Memandang suatu kalimat/ ujaran sebagai
suatu
“proposisi”
predikat/komentar. (2) Tindak perlokusi
yang
terdiri
dari
subjek/topik
dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
Pengucapan apa yang dirasakan atau dipikirkan yang diwujudkan dalam ungkapan. Memandang suatu kalimat atau ujaran sebagai tindakan bahasa, seperti : menyuruh, memanggil, menyatakan persetujuan, dan sebagainya. (3) Tindak perlokusi Efek atau apa yang dihasilkan dari kalimat/ujaran pada pendengar atas ujaran itu sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan ujaran tersebut. Dalam suatu tuturan mengandung setidaknya 3 tindakan yang saling berhubungan (Yule, 2006:83) yaitu : tindak lokusi yaitu tindakan dasar tuturan yang menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna, tindak ilokusi merupakan bentuk tuturan dengan beberapa fungsi, penekanan ilokusi terdapat pada komunikatif suatu tuturan. Tindak perlokusi adalah akibat apa yang ditimbulkan dari ujaran itu. Menurut Yule, ada lima fungsi tindak tutur yaitu : 1) Deklaratif Berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Misalnya pernyataan setuju atau menyetujui : Saya nyatakan sidang kali ini ditutup. 2) Representatif Tindak
tutur
yang
dipakai
untuk
menjelaskan,
menyatakan,
memberitahukan, menolak, dan sebagainya. Misalnya : Saya tidak mau menuruti perintahmu ! 3) Ekspresif
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
Tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan perasaan dan sikap penutur. Mencerminkan pernyataan kegembiraan, kesedihan, kebencian, kesenangan, dan sebagainya. Misalnya : Selamat ulang tahun ! 4) Direktif Tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini berupa perintah, permohonan, pemesanan, dll. Misalnya : Buatkan aku kopi pahit ! 5) Komisif Tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan kesanggupan atau kesediaan penutur. Tindak ini dapat berupa berjanji, bernasar, bersumpah, mengancam, dll. Misalnya : Aku berjanji akan membelikan boneka itu. b. Praanggapan Ruang lingkup pragmatik untuk memahami konteks tuturan dapat dilihat dari berbagai aspek (Cummings, 2007:42), salah satunya praanggapan. Praanggapan ialah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Tidak semua inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu merupakan praanggapan yang tepat terhadap suatu ujaran. Praanggapan ialah sikap penutur yang menganggap bahwa mitra tutur telah mengetahui apa yang dibicarakan oleh penutur. Karena informasi tertentu dianggap sudah diketahui maka informasi itu tidak akan dikatakan tetapi tetap menjadi bagian dari apa yang disampaikan. Menurut Yule (2006:46-51) jenis praanggapan dibedakan menjadi beberapa yaitu : praanggapan potensial,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
praanggapan leksikal, praanggapan struktural, praanggapan faktif, praanggapan non-faktif, praanggapan counter-factual. c. Implikatur Implikatur adalah efek yang ditimbulkan melalui ujaran, jadi penutur tidak bermaksud menyebabkan efek tertentu melalui penggunaan ujarannya. Efek hanya dapat dicapai dengan tepat apabila maksud untuk menghasilkan efek diketahui oleh pendengarnya. Menurut Yule (2006:61) implikatur adalah informasi tambahan yang tentunya lebih banyak memiliki makna daripada sekedar katakata. Makna ini merupakan makna tambahan yang disampaikan melalui ujaran. Dengan kata lain, implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dari yang diucapkan. Maksud pembicaraan terdapat di balik tuturan, maksud implikatur merujuk pada bukan makna. Makna akan selalu berada dalam tuturan tetapi maksud itu dibawa oleh penutur bukan terdapat dalam tuturan. Apabila dalam sebuah kalimat memiliki maksud dan makna yang sama maka kalimat itu tidak mengandung implikatur. Namun semua itu tergantung pada konteks pembicaraannya. Jenis-jenis implikatur : 1) Implikatur Konvensional Implikatur yang maksud yang ingin disampaikan penutur sudah dimengerti oleh mitra tutur. Misalnya : Maaf Pak, saya mau minta ijin ke belakang. 2) Implikatur Conversation (Percakapan) Implikatur yang hanya dapat dipahami oleh orang yang terlibat dalam percakapan itu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
Implikatur umum, tidak memerlukan pengetahuan khusus untuk memahami maksudnya. Implikatur
khusus,
diperlukan
pengetahuan
yang
khusus
untuk
menangkap maksud penutur. Implikatur berskala, implikatur yang diambil dari daftar skala. d. Deiksis Deiksis ialah kata, frase, atau ungkapan yang referensinya dapat berubah atau berganti-ganti. Istilah deiksis mengacu pada ungkapan dari kategori gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya dengan kata ganti dan kata kerja yang menerangkan berbagai entitas dalam konteks sosial, linguistik atau ruang dan waktu ujaran yang lebih luas. George Yule dalam bukunya Pragmatik (2006:13) mengatakan deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan” melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyatakan penunjukan disebut ungkapan deiksis, ungkapanungkapan deiksis disebut juga dengan indeksikal. Deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yang dibedakan secara mendasar antara ungkapan-ungkapan deiksis yang “dekat” dan “jauh” dari penutur. Istilah “dekat penutur” disebut dengan proksimal, misalnya : ini, di sini, sekarang. Sebaliknya istilah “jauh dari penutur” disebut dengan distal, misalnya itu, di sana, pada saat itu, dan sebagainya. Bentuk deiksis menurut Yule dapat diperinci lagi menjadi deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu. Berbeda dengan yang diutarakan oleh Nababan, beliau membagi deiksis menjadi 5 jenis, yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
1) Deiksis Persona Menurut Yule, deiksis persona dengan jelas menerapkan 3 pembagian dasar, yaitu : a) Kata ganti orang pertama, yaitu rujukan pembicara pada dirinya sendiri (saya, kami). b) Kata ganti orang kedua, yaitu rujukan pembicara kepada seseorang atau lebih (kamu, anda). c) Kata ganti orang ketiga, rujukan pembicara kepada orang atau benda yang bukan pembicara ataupun pendengar ( dia, mereka). Dalam istilah deiksis, orang ketiga ialah orang yang bukan terkait secara langsung dalam pembicaraan. Kategori deiksis penutur, kategori deiksis lawan tutur, dan kategori deiksis lainnya diuraikan panjang lebar dengan tanda status sosial kekerabatan. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan status lebih tinggi dideskripsikan sebagai
honorifics
(bentuk
yang
digunakan
untuk
mengungkapkan
penghormatan). 2) Deiksis Tempat Deiksis tempat yaitu tempat hubungan antara orang dan bendanya ditunjukkan. Misalnya : di sini, di situ , di sana (Yule,2006:19). Sejalan dengan pendapat Yule, Nababan (1987:41), deiksis tempat yaitu pemberian bentuk pada lokasi ruang dipandang dari lokasi orang atau pemeran dalam peristiwa bahasa itu. Deiksis tempat dibagi menjadi 3, yaitu : a) Yang dekat dengan pembicara, misalnya : di sini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
b) Yang bukan dekat dengan pembicara dan dekat dengan pendengar, misalnya: di situ c) Yang bukan dengan pembicara maupun pendengar, misalnya: di sana 3) Deiksis Waktu Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan oleh penutur di dalam peristiwa bahasa. Dalam hal ini, deiksis atau
rujukan
waktu
diungkapkan
dalam
bentuk
“kala”
(tense)
(Nababan,1987:41). Contoh : Pekan ini saya sedang berada di Yogyakarta. Dulu saya pernah tinggal di rumah itu. Semua pemahaman ungkapan deiksis waktu (temporal) sangat tergantung pada pemahaman seseorang tentang pengetahuan waktu tuturan yang relevan. Waktu yang menunjukkan keadaan sekarang disebut dengan bentuk proksimal, sedangkan waktu yang lampau adalah bentuk distal (Yule, 2006:22). 4) Deiksis sosial Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan status kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial di masyarakat antara pembicara dan pendengar diwujudkan dalam sistem morfologi tertentu yang sering disebut dengan tingkatan bahasa. Misalnya dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan bahasa atau pembagian bahasa, penggunaan kata mangan-nedha-dhahar akan berbeda-beda walaupun memiliki kesamaan arti “makan”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
Aspek bahasa seperti ini disebut dengan kesopanan berbahasa atau etiket berbahasa. Sistem penggunaan bahasa seperti ini yang mendasari sopan santun berbahasa atau honorifics. 5) Deiksis wacana Deiksis wacana ini merujuk pada bagian-bagian tertentu yang terdapat dalam wacana yang telah ada atau yang sedang dikembangkan. Deiksis ini mencakup anafora dan katafora. Bentuk yang digunakan untuk menyatakan deiksis ini ialah ini, itu berikut ini, begitulah, dan sebagainya. Ditinjau dari segi referennya, deiksis terdiri dari : a) Deiksis Eksofora Deiksis eksofora adalah deiksis yang memiliki acuan atau referen di luar tuturan itu sendiri. b) Deiksis Endofora Deiksis endofora ialah deiksis yang memiliki acuan atau referen di dalam tuturan itu sendiri. Deiksis ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Anafora : merujuk pada apa yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya : Vina gemar bermain basket. Ia sering berlatih di lapangan basket sepulang sekolah.
Katafora : merujuk pada yang akan disebutkan. Misalnya: Syaratsyarat untuk mengambil dana bantuan ialah sebagai berikut :
2.2.6 Semantik
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
Kajian bahasa secara semantik menempatkan bahasa dalam pemakaian yang bebas dari konteks. Semantik adalah ilmu yang mempelajari mengenai makna, makna dan maksud bahasa diinterpretasi dari unsur-unsur lingual yang membentuk wacana. Makna dan maksud dapat dipahami dari unsur-unsur bahasa yang digunakan untuk menyusun satuan makna. Semantik menelaah lambanglambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya (Tarigan, 1985:7). Jadi semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna sebuah kata. Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuansatuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasa memiliki tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian-bagian yang mengandung masalah semantik adalah leksikon dan morfologi (Chaer, 1990:61). Chaer menyatakan bahwa jenis-jenis makna itu adalah makna leksikal, gramatikal, konstektual, referensial dan non referensial, denotatif, konotatif, konseptual, asosiatif, kata, istilah, idiom, serta makna peribahasa.
2.2.7 Pragma semantik Leech (1983: 6) mengatakan pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik berkaitan erat dengan kajian bidang semantik. Hubungan keterkaitan ini disebut dengan semantisisme yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik dan pragmatisisme yaitu melihat semantik sebagai bagian dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
pragmatik, dan komplementarisme yaitu melihat bidang kajian semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Pragma semantik merupakan gabungan dari dua bidang kajian ilmu linguistik yakni pragmatik dan sematik. Ujaran seseorang tentunya mengandung tujuan tertentu, apabila dilihat dari kacamata semantik makna dan maksudnya memang sama seperti yang terdapat dalam ujaran namun hal ini tidak selalu sama apabila dilihat secara pragmatik. Misalnya : Dosen : pagi ini dingin ya ? (Konteks : dosen bertanya kepada mahasiswa ketika memulai perkuliahan ) Secara semantik, bisa terlihat makna dan maksudnya itu bertanya pada mitra tutur bahwa apakah ia juga merasakan bahwa udara pagi ini terasa dingin. Namun, hal ini berbeda ketika dipandang melalui kajian pragmatik maknanya pertanyaan tetapi maksud atau tujuannya perintah kepada mitra tutur supaya mematikan kipas angin di ruangan tersebut.
2.2.8 Fungsi Komunikatif Komunikasi adalah proses pengalihan makna antarpribadi manusia atau tukar menukar berita dalam sistem informasi (Wuwur, 2000:40). Fungsi komunikatif bahasa terungkap melalui tindak tutur. Menurut Searle (1969) mengemukakan bahwa setiap tindak tutur (speech acts) selalu mengacu pada tiga tindakan yaitu tindakan lokusi, tindakan ilokusi, dan tindakan perlokusi. Dalam lokusi selalu terkandung makna tuturan namun di dalamnya juga terkandung maksud penutur (tindak ilokusi) dan setiap lokusi selalu menimbulkan efek dari tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
(perlokusi). Fungsi komunikatif dalam tindak tutur selalu tersirat daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Searle (1969) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu : a. Fungsi direktif Fungsi bahasa yang digunakan untuk memerintah secara halus, misalnya dengan menggunakan kalimat pertanyaan atau kalimat pernyataan. b. Fungsi komisif Fungsi bahasa yang digunakan untuk menolak atau mengadakan janji atau melakukan sesuatu. c. Fungsi representasional Fungsi bahasa yang digunakan untuk menyatakan kebenaran. d. Fungsi deklaratif Fungsi bahasa yang digunakan untuk mendeklarasikan atau menyatakan sesuatu e. Fungsi ekspresif Fungsi bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan atau menyatakan perasaan secara spontan. Geofrrey Leech (2003:62-64) menyatakan lima fungsi bahasa yang paling penting, yaitu : fungsi informasional yakni fungsi bahasa informasional digunakan untuk menyatakan pokok-pokok persoalan. Fungsi direktif ialah fungsi bahasa yang digunakan untuk mempengaruhi orang lain., contoh dari fungsi ini yaitu permohonan dan perintah. Fungsi ekspresif ialah fungsi bahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur. Fungsi phatik yakni bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
berfungsi untuk menjaga garis komunikasi tetap terbuka dan menjaga hubungan sosial secara baik. Fungsi estetik ialah bentuk penggunaan bahasa demi kepentingan karya sastra dan tanpa ada maksud yang tersembunyi dibaliknya.
2.2.9 Kesantunan Berbahasa Bahasa yang santun ialah bahasa yang dapat mencerminkan perilaku penutur sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat. Menurut Dell Hymes (dalam Pranowo,2009:14-15) banyak hal yang menentukan bahasa menjadi santun yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yaitu S (Setting and Scene) : mengacu pada tempat dan waktu yang terjadi dalam komunikasi. P (Participants) : mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi. E (Ends) : mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam komunikasi. A (Act Sequence) : megacu pada bentuk dan pesan yang disampaikan oleh penutur. K (Key) : mengacu pada pelaksanaan percakapan, maksudnya bagaimana pesan disampaikan kepada mitra tutur. I (Instrument) : alat yang digunakan dalam berkomunikasi. N (Norms) : pranata sosial yang mengacu pada norma perilaku partisipan
dalam
berkomunikasi. G (Genres) : mengacu pada ragam bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal senada diungkapkan oleh Leech (1983) yang dikenal dengan Prinsip Kesantunan, yaitu (1) maksim kebijaksanaan yakni memaksimalkan tuturan yang dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur. (2) Maksim kedermawanan yakni memaksimalkan tuturan yang dapat menimbulkan kerugian pada penutur. (3) Maksim kesederhanaan yakni memaksimalkan tuturan yang tidak memuji diri
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sendiri.
(4) Maksim
penghargaan
yakni
memaksimalkan
tuturan
46
yang
memberikan pujian terhadap mitra tutur. (5) Maksim permufakatan yakni memaksimalkan tuturan yang dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur. (6) Maksim simpati yakni memaksimalkan tuturan yang dapat mengungkapkan simpati terhadap apa yang dialami oleh mitra tutur. (7) Maksim pertimbangan yakni memaksimalkan tuturan yang dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur. Indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) agar bahasa dapat terasa santun, tuturan dapat ditandai dengan (a) memperhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa). (b) Mempertemukan perasaan penutur dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki oleh keduanya (adu rasa). (c) Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati (empan papan). (d) Menjaga agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (sifat rendah hati). (e) Menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi ( sikap hormat). (f) Menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa saja yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira).
2.2.10 Karya Sastra Karya sastra mampu berbicara banyak mengenai bentuk komunikasi yang digunakan di dalam masyarakat. Proses kreatif untuk membuat karya sastra dapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
melalui perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas kehidupan sosial dan lingkungan kemasyarakatan dimana pengarang itu tumbuh, hidup dan berkembang (Sumardjo, 1984:15). Karya sastra adalah sistem komunikasi. Begitu pula karya sastra merupakan aktivitas kreatif dari manusia, karya sastra memanfaatkan aspek keindahan. Oleh karena itu, karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium utamanya. Genre utama karya sastra ialah puisi, prosa dan drama (Nyoman, 2009:57). Dalam prosa, bahasa lebih berfungsi sebagai alat. Salah satu bentuk karya sastra yang unik ialah prosa lirik. Prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi. Meskipun bahasanya berirama, dan pencitraannya seperti puisi, tetapi ikatan antarkata dalam sebuah kalimat, atau hubungan antarkalimat dalam sebuah paragraf (secara sintaksis) lebih mendekati bentuk prosa, atau dapat dikatakan bahwa prosa lirik mempunyai sifat antara puisi atau prosa (setengah puisi dan setengah prosa). Menurut Wiryosoedomo (1984:103), prosa lirik atau prosa berirama ialah bentuk sastra Indonesia yang sepintas mendekati puisi karena mempunyai irama yang agak kuat sekalipun tidak sekuat puisi. Sejalan dengan pendapat di atas, Sudjiman (1984:61) menyatakan pendapatnya bahwa prosa lirik ialah karya sastra yang ditulis dalam ragam prosa tetapi dicirikan oleh unsur-unsur puisi seperti nama yang teratur, majas, rima, asonansi, konsonansi dan citraan. Jadi prosa lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
2.3 Kerangka Berpikir Penelitian penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa pada prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi diolah menggunakan teori pengkajian semantik dan pragmatik sehingga dapat diketahui penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasanya.
Berdasarkan pendekatan teori tersebut apabila dibuat bagan kerangka berpikir ialah sebagai berikut: Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa dalam Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Kajian Pragmatik, Semantik dan Pragma Semantik
Unsur Intralingual dan Ekstralingual Daya Bahasa
Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan 1) jenis penelitian, 2) sumber data dan data penelitian, 3) instrumen penelitian, 4) teknik pengumpulan data, 5) teknik analisis data, dan 6) triangulasi data. 3.1 Jenis Penelitian Penelitian mengenai penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif karena data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kalimat atau tuturan yang dinilai memiliki daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan bahasa yang digunakan didalamnya. Penelitian kualitatif menurut Moleong (2006:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, tindakan, dll secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. 3.2 Sumber Data dan Data Penelitian Sumber data penelitian ini ialah bentuk penggunaan bahasa tulis (register sastra) dalam pemakaian bahasa, sedangkan data penelitian ini berupa kalimat atau tuturan yang dinilai memiliki daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong 2006:157) sumber data utama dalam penelitian
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya ialah data tambahan seperti dokumen dan lain-lainnya. Pencatatan sumber data utama melalui kegiatan gabungan dari membaca dan mencatat. 3.3 Instrumen penelitian Dalam suatu penelitian, alat pengambil data (instrumen) menentukan kualitas data yang dapat dikumpulkan dan menentukan penelitiannya. Karena itu alat pengambil data harus mendapatkan penggarapan yang cermat (Suryabrata, 1983:85). Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk mengambil data dalam suatu penelitian. Adapun penelitian ini menggunakan tabel pengumpulan data dan juga pengetahuan di bidang pragmatik dan semantik untuk mendapatkan data penelitian yang sesuai dengan data yang dibutuhkan. Instrumen penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel pengumpulan data : a. Data Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Sumber data : .................... Data tuturan : .................................................................................................................... Konteks tuturan : .................................................................................................................... Penanda tuturan : ....................................................................................................................
b. Data Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
Sumber data : .................... Data tuturan : .................................................................................................................... Konteks tuturan : .................................................................................................................... Penanda tuturan : ....................................................................................................................
3.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi mengumpulkan data dengan teknik baca catat. Untuk dapat menemukan data penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem dilakukan dengan cara : a. Membaca prosa lirik Pengakuan Pariyem b. Menginventaris unsur intralingual dan ekstralingual dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem yang memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa c. Mengidentifikasi
unsur
intralingual
dan
ekstralingual
yang
memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa d. Mengidentifikasi alasan mengapa unsur intralingual dan ekstralingual itu dapat memunculkan daya bahasa dan bernilai rasa 3.5 Teknik Analisis Data
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
Teknik analisis data penelitian ini berangkat dari teknik analisis bahasa menurut Sudaryanto, yang menyatakan bahwa teknik analisis bahasa dikembangkan sesuai dengan obyek penelitiannya (Sudaryanto,1993:55). Teknik ini dapat dikembangkan dan disesuaikan karena obyek penelitiannya berupa teks. Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan tahap sebagai berikut : a. Mengklasifikasi unsur intralingual dan ekstralingual yang dinilai dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa b. Memaknai unsur intralingual dan ekstralingual yang dinilai dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada hasil klasifikasi c. Mendeskripsikan hasil klasifikasi unsur intralingual dan ekstralingual yang dinilai dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dengan menggunakan contoh pemakaian 3.6 Triangulasi Data Untuk meningkatkan tingkat kepercayaan (validitas) hasil analisis data dilakukan pemeriksaan terhadap keabsahan temuan dengan cara triangulasi teori.
Triangulasi teori ialah kepercayaan terhadap teori yang digunakan
dengan mengkofirmasi hasil analisis data dengan beberapa teori yang terkait dengan landasan teori (PBSID,2004). Di samping hal itu, dalam penelitian ini juga dilakukan triangulasi logis. Triangulasi logis ini dilaksanakan dengan cara berdiskusi bersama dosen pembimbing, yakni Prof. Dr. Pranowo M.Pd dan Dr. Y. Karmin, M.Pd.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV ANALISIS DATA
4.1 Deskripsi Data Pengakuan Pariyem adalah sebuah karya sastra dari Linus Suryadi Ag yang berbentuk prosa lirik. Dalam karya sastra ini Linus menggambarkan dirinya sebagai seorang wanita desa yang bekerja di kota Ngayogyakarta ikut dengan majikannya yang bernama nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Pengakuan Pariyem adalah sebuah monolog yang diucapkan oleh Pariyem pada Mas Paiman, ia bercerita tentang perjalanan hidupnya, ia juga mengutarakan pengetahuan dan pendapatnya pada Mas Paiman. Penulisan karya Linus Suryadi ini menggunakan ragam bahasa non formal yang juga terselip kosakata dari bahasa Jawa sehingga dapat diduga terdapat banyak daya bahasa dan nilai rasa bahasa di dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem ini. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa muncul karena penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual. Unsur intralingual dapat berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual dapat berupa latar atau setting tuturan yang meliputi waktu tuturan, situasi tuturan, tempat terjadinya tuturan. Data tuturan yang diduga mempunyai daya bahasa dalam Pengakuan Pariyem
ini berjumlah 89 tuturan, sedangkan data tuturan yang diduga
mempunyai nilai rasa bahasa berjumlah 107 tuturan. Daya bahasa yang ada dalam prosa lirik ini terdapat berbagai jenis, antara lain daya kabar 53 tuturan,
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
daya imajinasi 20 tuturan, daya retoris 4 tuturan, daya ancam 4 tuturan, daya paksa 3 tuturan, daya harap 3 tuturan, daya penolakan 1 tuturan, daya tantangan 1 tuturan. Adapun nilai rasa yang terdapat dalam prosa lirik ini antara lain nilai rasa halus 5 tuturan, nilai rasa kasar 7 tuturan, nilai rasa sadar diri 2 tuturan, nilai rasa takut-cemas 2 tuturan, nilai rasa yakin 13 tuturan, nilai rasa heran 5 tuturan, nilai rasa bersalah 5 tuturan, nilai rasa sedih 6 tuturan, nilai rasa bahagia 15 tuturan, nilai rasa marah 14 tuturan, nilai rasa menerima 5 tuturan, nilai rasa cinta 15 tuturan, nilai rasa pesimis 2 tuturan, nilai rasa bebas 4 tuturan, nilai rasa benci 4 tuturan dan nilai rasa sakit 3 tuturan.
4.2 Analisis Data Berikut peneliti sampaikan bagaimana penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. 4.2.1 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa Daya bahasa ialah kemampuan untuk menyampaikan pesan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Daya bahasa merupakan efek perlokutif dari penggunaan bahasa, berdaya tidaknya sebuah tuturan sangat ditentukan oleh terpengaruh tidaknya mitra tutur terhadap fungsi bahasa yang digunakan oleh penutur. Secara terperinci, penggunaan unsur intralingual
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem akan dibahas sebagai berikut : 4.2.1.1 Daya Kabar Daya kabar ialah bentuk penggunaan fungsi bahasa yang digunakan untuk memberitahukan mitra tuturnya mengenai sesuatu hal. Misalnya untuk memberitahukan, mengungkapkan perasaan, menjelaskan ataupun mendukung sesuatu hal. 4.2.1.1.1 Daya Informatif Daya informatif ialah bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk memberitahukan atau menginformasikan sesuatu hal pada mitra tutur. 1. “PARIYEM, nama saya Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta Umur saya 25 tahun sekarang -tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa Tapi saya ingat betul weton saya : wukunya kuningan di bawah lindungan bethara Indra (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1, data tuturan DBPP 1) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan, tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memperkenalkan diri kepada Mas Paiman, mitra tuturnya. 2. Adapun kepercayaan saya : Mistik Jawa Tapi dalam kartu penduduk oleh pak Lurah dituliskan saya beragama Katolik Memang saya pernah sinau di Sekolah Dasar Kanisius Wonosari Gunung Kidul Tapi sebagaimana sinau saya tak tamat saya pun tak punya akar kokoh beragama Memang saya dibaptis rama pastur Landa berambut pirang da tubuhnya jangkung – van de Moutten namanya Jadi jelasnya, terang-terangan saja : kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11, data tuturan DBPP 11) Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan sebagai jawaban dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
pertanyaan Mas Paiman (mitra tutur Pariyem) mengenai agama yang dianutnya selama ini. 3. Kini memerawani putra sulungnya Raden Bagus Ario Atmojo namanya saya ajar bermain asmara (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 32, data tuturan DBPP 32) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk pertanyaan Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai apa yang dilakukan Pariyem terhadap putra majikannya. 4. Apalagi kalau saya goda: “Besok saja ah, besok saja saya sedang capek kok” Tapi saya juga pasang gaya : melepas setagen berganti kain copot kebaya ganti yang lain (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 38, data tuturan DBPP 38) Konteks tuturan : Tuturan diatas diucapkan oleh Pariyem. Tuturan ini diucapkan Pariyem untuk memberikan contoh pada Mas Paiman tentang caranya menggoda Den Baguse saat ingin melakukan hubungan badan 5. “Bahkan, kakak perempuannya yang bahenol dan taberi sinau Dia mati bunuh diri minum Baygon karena diri merasa berlumur dosa (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 41, data tuturan DBPP 41) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai peristiwa tragis yang dilakukan oleh saudara kandung tetangga Pariyem. Data tuturan (1) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk memberitahukan sesuatu hal pada orang lain. Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “PARIYEM, nama saya. Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa.”, “Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta.”, “Umur saya 25 tahun sekarang tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa” yang dipersepsi memunculkan daya informatif. Oleh karena itu, daya bahasa yang terkandung di dalam tuturan (1) ialah daya informatif karena yang diucapkan oleh Pariyem berfungsi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
untuk memberitahukan identitas dirinya pada Mas Paiman Daya informatif diperkuat juga dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui identitas diri Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat bercerita secara detail tentang dirinya kepada Mas Paiman. Data tuturan (1) dipandang sebagai tuturan yang santun karena menggunakan diksi yang memiliki “aura kesantunan” (Pranowo, 2009) yakni adanya penggunaan kata “nuwun sewu”. Kata yang berasal dari bahasa Jawa ini memiliki pengertian mohon maaf, sehingga mitra tutur terkesan dihargai oleh penutur. Penggunaan kata “nuwun sewu” diucapkan oleh Pariyem yang berjaga-jaga apabila tuturan yang dikatakannya diperkirakan dapat menyinggung mitra tuturnya. Data tuturan (2) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang dipakai untuk memberitahukan sesuatu pada mitra tutur. Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Jadi jelasnya, terang-terangan saja : kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen”. Unsur intralingual tersebut digunakan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman bahwa ia memiliki keyakinan akan aliran Katolik Kejawen, sehingga dapat dikatakan data tuturan (2) berdaya informatif. Daya informatif juga diperkuat dengan unsur ekstralingual tuturan yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui kepercayaan yang dianut oleh Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari menjelang malam, membuat Pariyem tidak ragu mengaku pada Mas Paiman karena waktunya yang longgar untuk bercerita. Data tuturan (2) dipandang sebagai bentuk tuturan yang tidak santun, misalnya adanya ungkapan “Jadi jelasnya, terang-terangan saja”. Penggunaan ungkapan ini melanggar prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34), yakni apa yang dikatakan cukup seperlunya saja tidak perlu dilebih-lebihkan atau dikurangi. Seharusnya penutur tidak perlu menambahkan
kata
“terang-terangan
saja”
agar
tidak
terkesan
menyudutkan pihak tertentu. Data tuturan (3) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Penutur memberitahukan kepada mitra tuturnya tentang tindakan yang ia lakukan pada Den Baguse yang dapat dilihat dari unsur intralingual berupa kalimat “Kini memerawani putra sulungnya” dan “Saya ajar bermain asmara”. Penggunaan dua kalimat ini bermaksud memberitahukan Mas Paiman bahwa Pariyemlah yang merenggut keperjakaan dari putra majikannya yakni Den Baguse Ario Atmojo, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (3) mengandung daya informatif. Daya informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui apa saja yang telah dilakukan Pariyem terhadap putra majikannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
di pagi hari saat Pariyem menceritakan Den Baguse pada Mas Paiman sehingga Pariyem dapat mengatakan hal itu pada mitra tuturnya. Tuturan (3) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip cara (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34). Cara penyampaian yang dilakukan penutur dengan menggunakan ungkapan “memerawani” dirasa tidak santun. Seolah ungkapan tersebut melecehkan kaum laki-laki bahwa tidak hanya laki-laki saja yang dapat memerawani wanita. Padahal yang mempunyai perawan itu hanyalah wanita saja sehingga kata “memerawani” tidak pas kalau digunakan untuk laki-laki. Data tuturan (4) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal pada orang lain. Pariyem memberitahukan cara ia membujuk dan merayu Den Baguse pada Mas Paiman (mitra tuturnya) seperti yang terlihat pada unsur intralingual melalui kalimat “Besok saja ah, besok saja saya sedang capek kok” dan “Tapi saya juga pasang gaya : melepas setagen berganti kain copot kebaya ganti yang lain”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan Mas Paiman cara ia menggoda Den Baguse saat ia ingin melakukan hubungan badan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (4) berdaya informatif. Daya informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui cara Pariyem ketika menggoda Den Baguse dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari setelah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
Pariyem menyelesaikan pekerjaannya dan ia memulai bercerita tentang Den Baguse pada Mas Paiman. Tuturan (4) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang diucapkan sesuai dengan fakta yang ada. Pariyem mengatakan tuturan tersebut dengan kenyataan yang ia lakukan saat ia menggoda Den Baguse. Selanjutnya, data tuturan (5) adalah bentuk tindak tutur representatif. Penutur memberitahukan mitra tuturnya tentang peristiwa yang terjadi pada tetangga sebelah rumah majikannya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual yang berupa kalimat “Dia mati bunuh diri minum Baygon karena
diri
merasa
berlumur
dosa”.
Penggunaan
kalimat
ini
memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan Mas Paiman akibat dari dosa yang menghilangkan nyawa orang seperti yang dilakukan oleh kakak tetangga sebelah rumah majikan Pariyem yang sinting akibat mempelajari ilmu dosa. Oleh karena itu data tuturan (5) dapat dikatakan mengandung daya informatif. Daya informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat yang dapat terjadi dari memikirkan dosa dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang menjadi gila karena berkutat dengan dosa sehingga ia dapat menceritakannya pada Mas Paiman. Tuturan (dirasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan berkomunikasi menurut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
Pranowo (2009:23) yakni menggunakan kata-kata yang memiliki “aura kesantunan”. Ungkapan “mati” dirasa kurang santun, karena penggunaan kata tersebut digunakan untuk binatang, sedangkan untuk manusia dapat digunakan kata “meninggal dunia”. Seharusnya penutur dapat memilah dan memilih diksi yang digunakan agar tuturan terlihat lebih santun. Berdasarkan kelima contoh tuturan yang mengandung daya informatif di atas, dapat disimpulkan bahwa daya informatif muncul pada penggunaan kalimat yang diidentifikasi mengandung informasi tentang suatu hal yang diucapkan pada orang lain. Sebagai orang Jawa, Pariyem tidak meninggalkan unggah-ungguh dalam berkomunikasi. Pariyem menggunakan kata “nuwun sewu” ketika berbicara karena ia masih menjaga perasaan mitra tuturnya apabila kata yang ia gunakan menyinggung perasaan mitra tuturnya. Salah satu upaya menjaga tuturan terasa lebih santun ialah dengan menggunakan diksi atau pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. Tetapi banyak pula tuturan yang dirasa masih kurang santun dalam komunikasi yang diucapkan oleh Pariyem, seperti penggunaan kata “terang-terangan saja” untuk menekankan informasi dan “mati” yang digunakan untuk manusia. Seharusnya penutur dapat memilah dan memilih pilihan kata yang hendak digunakan agar tuturan terlihat lebih santun. 4.2.1.1.2 Daya Ungkap Daya ungkap ialah penggunaan bahasa yang berfungsi untuk mengungkapkan perasaan ataupun pendapat terhadap orang lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
6. “Tapi saya? O, bagaimanakah saya? Saya tak mengaku pada siapa-siapa saya mengaku pada Mas Paiman, kok Saya mengaku pada sampeyan saja dan tidak mengaku pada orang lain O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46, data tuturan DBPP 46) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara Pariyem menebus rasa malu dan dosanya. 7. Bila saya mengaku kepada Mas Paiman itu bukti saya tresna sama sampeyan Bila saya menyimpan segala uneg-uneg itu bukti saya tak tresna sampeyan Ya, ya, pengakuan adalah buah katresnan Pengakuan saya bukan karena takut bukan karena simbol-simbol butut Dan bukan karena kepingin pameran tapi karena dorongan katresnan (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 47, data tuturan DBPP 47 ) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara Pariyem menebus rasa malu dan dosanya. 8. O, Allah, Gusti nyuwun ngapura kami telanjang bulat! Bibir saya diciumnya ciuman pertama dari seorang pria Penthil saya diremasnya remasan pertama seorang pria Dan kuping bawah saya dikulumnya kuluman pertama dari seorang pria O, Allah, gelinya luar biasanya! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 68, data tuturan DBPP 68) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan masa lalunya ketika ia melepaskan keperawanannya pada Mas Paiman 9. O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia! Wajah basah oleh air mata (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 114, data tuturan DBPP 114) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang mengungkapkan perasaannya saat ia sembuh dari penyakit batu ginjalnya pada Mas Paiman 10. “Kini batin rasanya longgar Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 138, data tuturan DBPP 138) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai perasaan Pariyem setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Data tuturan (6) menggunakan deiksis persona orang pertama “saya” yang merujuk pada diri Pariyem. Data tuturan (6) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yang digunakan untuk menyatakan perasaan penutur terhadap mitra tuturnya. Unsur intralingual tuturan tersebut yang berupa kalimat “O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang” memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa data tuturan (6) mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui identitas diri Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui cara Pariyem menebus dosanya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Ungkapan tersebut dirasa santun karena sesuai dengan maksim pertimbangan atau consideration maxim (Leech 1983 dalam Pranowo, 2009 :102-103) yakni tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur. Penggunaan maksim tersebut tentunya membuat mitra tutur merasa dicintai oleh penutur. Data tuturan (7) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur terhadap mitra tuturnya. Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman yang terlihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Pengakuan saya bukan karena takut bukan karena simbol-simbol butut” dan “Dan bukan karena kepingin pameran tapi karena dorongan katresnan”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaan cintanya pada Mas Paiman dengan mengaku semua peristiwa yang terjadi dalam hidupnya itu karena didorong rasa cintanya terhadap Mas Paiman. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (7) berdaya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui alasan Pariyem mengakui semua yang terjadi dihidupnya padanya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (7) tersebut dirasa santun karena sesuai dengan maksim pertimbangan atau consideration maxim (Leech 1983 dalam Pranowo, 2009 :102-103) yakni tuturan yang mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur. Penggunaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
maksim tersebut tentunya membuat mitra tutur merasa dicintai oleh penutur. Selanjutnya, data tuturan (8) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem mengungkapkan perasaannya saat Kang Kliwon menggerayangi tubuhnya yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, Allah, gelinya luar biasanya!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya saat ia merasakan bersentuhan fisik pertama kalinya dengan seorang laki-laki, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (8) mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yakni Pariyem memberitahukan kejadian saat ia melepaskan keperawanannya pada Kang Kliwon dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat masa lalunya
pada Mas Paiman.
Tuturan (8) dirasa tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan. Hal ini dianggap melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) yakni dalam berkomunikasi menggunakan kata-kata yang mencerminkan kesantunan. Kata “penthil” terkesan sangat vulgar untuk diucapkan, seharusnya penutur memilih katakata yang hendak digunakan supaya terasa lebih santun. Data tuturan (9) merupakan tindak tutur ekspresif yang digunakan untuk
mengungkapkan
perasaan
penutur.
Penutur
menyatakan
kebahagiaan yang ia rasakan pada Mas Paiman ditunjukkan unsur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
intralingual melalui penggunaan kalimat “O, betapa hati saya berbahagia saya
pun
menangis,
O,
berbahagia!”. Penggunaan
kalimat
ini
memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman saat ia dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (9) mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif Pariyem saat dinyatakan sembuh dari penyakitnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem menceritakan pengalamannya ketika ia menderita penyakit batu ginjal selama 2,5 tahun hanya terbaring di ranjang pada Mas Paiman. Data tuturan (9) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang diucapkan berdasarkan fakta atau data yang sebenarnya. Data tuturan (10) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman setelah ia mengaku pada nDoro putri unsur intralingual melalui kalimat “Kini batin rasanya longgar” dan “Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Data tuturan (10) dapat dikatakan mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
tutur ekspresif Pariyem setelah mengaku pada nDoro Putri dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat ia mengaku pada nDoro Putri tentang kehamilannya sehingga ia bebas mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (10) dirasa santun karena menggunakan ungkapan “Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu”. Hal ini sesuai dengan penanda kesantunan menurut Pranowo (2009) yakni pemakaian gaya bahasa perumpamaan dapat mengefektifkan komunikasi. Berdasarkan kelima contoh tuturan yang berdaya ungkap seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa daya ungkap muncul pada pemakaian bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pendapat maupun sikap penutur terhadap mitra tuturnya. Tuturan yang diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya cenderung terasa lebih santun karena penggunaan bahasanya sesuai dengan maksim pertimbangan menurut Leech (1983) yakni memaksimalkan rasa senang yang sebanyakbanyaknya pada mitra tutur. Dengan demikian mitra tutur merasa dicintai oleh penutur melalui penggunaan maksim tersebut. Namun, ada juga penggunaan bahasa yang kurang santun yang digunakan oleh Pariyem saat mengungkapkan kejadian masa lalunya pada Mas Paiman seperti penggunaan kata “penthil”. Penggunaan kata ini dirasa tidak santun karena terlalu vulgar untuk diucapkan. Seharusnya penutur dapat memilah dan memilih pilihan kata yang hendak digunakan agar tuturan terlihat lebih santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
4.2.1.1.3 Daya Penjelas Daya penjelas ialah bentuk penggunaan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada orang lain. 11. Adapun hakekatnya : Bambang dan Endang anak padhepokan Tapi pendeta dan pertapa kini tak ada Jaman sudah menggilingnya dan lumat bersama alamnya Nama itu diambil alih orang-orang berada dan lalu diberikan kepada putra-putrinya (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4, data tuturan DBPP 4) Konteks tuturan : Tuturan ini dikatakan oleh Pariyem sebagai penjelasan dari pertanyaan Mas Paiman (mitra tuturnya) yang bertanya mengenai mengapa nama kedua adiknya bukan Bambang dan Endang. 12. Ukara “nekad” dan “tekad” hampir sama memang, tapi hakekatnya berlawanan Apabila tekat itu terbina oleh keyakinan nekad itu terdorong oleh tindakan ngawur justru karena kehilangan keyakinan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 12, data tuturan DBPP 12) Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk menjelaskan pada mitra tutur (Mas Paiman) tentang perbedaan antara nekat dan tekad. 13. Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor Pertanda pekerti orang itu rendah – belum genah di dalam jagad pasrawungan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27, data tuturan DBPP 27) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur mengenai pengalaman memaki orang. 14. Karena, demikianlah hukum lingkungan: Dipermalukan orang di depan umum harkat kemanusiaan pun tersinggung Harga diri adalah taruhannya sedang nyawa, apalah artinya? O, ini jangan dianggap ancaman betapa mahal harga pengertian! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 45, data tuturan DBPP 45) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menjelaskan pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai alasan dari tindakan yang dilakukan seseorang untuk memperjuangkan harga dirinya. Data tuturan (11) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Penutur menjelaskan asal-usul nama Bambang dan Endang melalui unsur intralingual yang berupa kalimat “Adapun hakekatnya : Bambang dan Endang anak padhepokan”, “Tapi pendeta dan pertapa kini tak ada”, “Jaman sudah menggilingnya dan lumat bersama alamnya” dan “Nama itu diambil alih orang-orang berada dan lalu diberikan kepada putraputrinya”. Kalimat tersebut menjelaskan pada Mas Paiman bagaimana nama Bambang dan Endang turun kasta dan saat ini dapat digunakan oleh orang-orang yang mampu bukan lagi milik pendeta ataupun pertapa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (11) mengandung daya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui sejarah nama Bambang dan Endang dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai saat membicarakan nama Bambang dan Endang sehingga membuat Pariyem nyaman untuk menjelaskan pengetahuannya pada Mas Paiman. Tuturan ini dirasa santun karena memenuhi prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang dikatakan seperlunya saja tidak perlu ditambahi ataupun dikurangi. Penutur mengatakan tuturan tersebut secara singkat sehingga dapat ditangkap intinya dengan jelas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
Selanjutnya analisis data tuturan (12) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Pariyem merasa bahwa mitra tuturnya (Mas Paiman) belum mengetahui perbedaan dari nekat dan tekad, sehingga ia menjelaskan letak perbedaan keduanya. Unsur intralingual tuturan berupa kalimat “Apabila tekat itu terbina oleh keyakinan, nekad itu terdorong oleh tindakan ngawur justru karena kehilangan keyakinan”. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa data tuturan (12) mengandung daya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui perbedaan nama Bambang dan Endang dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari yang membuat Pariyem dapat mengeluarkan semua pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan dianggap melanggar maksim kerendahan hati (Leech:1983) yakni tidak memuji diri sendiri atau melanggar indikator kesantunan memperlihatkan ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur menurut Pranowo. Penutur tidak memaksimalkan kerendahan hati pada mitra tutur karena menganggap dirinya tahu segalanya dibandingkan dengan mitra tutur yang tidak tahu apa-apa. Data tuturan (13) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Pariyem menjelaskan tentang kata makian pada mitra tuturnya yang terlihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor”. Penggunaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem memberikan penjelasan pada Mas Paiman tentang makian “lonthe” yang dianggap sangat kasar, sehingga dapat dikatakan bahwa data tuturan (13) berdaya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui makian yang paling kasar di pergaulan dalam budaya Jawa dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di pagi hari yang membuat Pariyem leluasa menyampaikan pengetahuan tentang pergaulannya pada Mas Paiman. Tuturan (13) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas dan prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang dikatakan sesuai dengan fakta dan yang dikatakan seperlunya saja tidak dilebih-lebihkan maupun dikurangi. Data tuturan (14) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Penutur merasa mitra tuturnya belum mengetahui hukum lingkungan yang berlaku apabila menghina orang lain di depan umum, sehingga Pariyem menjelaskan hal tersebut pada Mas Paiman. Hal itu bisa dilihat melalui unsur intralingual tuturan tersebut yang berupa kalimat “Dipermalukan orang di depan umum harkat kemanusiaan pun tersinggung” dan “Harga diri adalah taruhannya sedang nyawa, apalah artinya?”. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa data tuturan (14) mengandung daya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui hukum lingkungan ketika mempermalukan orang lain dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari, saat Pariyem menjahit bajunya yang sobek dan ia leluasa mengutarakan pendapat dan pemikirannya pada Mas Paiman. Ungkapan “O, ini jangan dianggap ancaman betapa mahal harga pengertian!” dirasa kurang santun karena melanggar indikator kesantunan yaitu menjaga bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur atau sikap tepa selira (Pranowo, 2009:103-104). Seharusnya penutur lebih memperhatikan ucapannya agar lebih santun dalam menyampaikan pesan dan maksud tuturannya. Dari keempat contoh tuturan yang mengandung daya penjelas di atas, dapat dikatakan bahwa daya penjelas muncul dalam kalimat yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Tuturan yang digunakan Pariyem untuk menjelaskan sesuatu hal pada Mas Paiman cenderung kurang santun. Terlihat dari banyaknya pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh penutur dalam berkomunikasi, seperti : pelanggaran maksim kerendahan hati, pelanggaran prinsip tepa selira. Namun, terdapat pula penjelasan yang dirasa santun karena penjelasan yang diutarakan sesuai dengan prinsip kuantitas, yakni yang dikatakan secukupnya saja tidak perlu dilebih-lebihkan ataupun dikurangi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
4.2.1.2 Daya Imajinasi Daya imajinasi ialah bentuk penggunaan gaya bahasa dalam komunikasi yang digunakan untuk memperindah tuturan. Pemakaian gaya bahasa dapat membuat pemakaian bahasa menjadi lebih santun. Majas ataupun gaya bahasa yang digunakan dapat berupa metafora, personifikasi, perumpamaan ataupun hiperbolis. 4.2.1.2.1 Daya Imajinasi Metafora Daya imajinasi dengan menggunakan majas metafora ialah bentuk penggunaan majas metafora dalam tuturan untuk memperindah tuturan. Penggunaan majas metafora memberikan efek dalam tuturan sehingga tuturan terkesan lebih santun. 15. “Ya, ya, Pariyem saya Saya lahir di atas amben bertikar dengan ari-ari menyertai pula Oleh mbah dukun dipotong dengan welat tajamnya tujuh kali pisau cukur (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1, data tuturan DBPP 1) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada Mas Paiman (mitra tuturnya) cara orang zaman dulu ketika memotong ari-ari bayi yang baru lahir dengan menggunakan alat yang masih tradisional. 16. Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya Cantik-cantik semua (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52, data tuturan DBPP 52) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tutur mengenai akibat dari kewibawaan dan keluwesan pergaulan dari nDoro Kanjeng 17. Wawasannya luas seluas Alun-alun Lor Hatinya longgar selonggar kathok kolor Pikirannya tajam setajam keris warangan Perasaannya peka sepeka pita kaset
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
Dan rangkulannya jembar sejembar pergaulannya dalam penghidupan ini (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52, data tuturan DBPP 52) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tutur mengenai sikap dan sifat dari nDoro Kanjeng Data tuturan (15) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan mitra tutur tentang sesuatu hal. Pariyem memberitahukan Mas Paiman tentang cara orang jaman dahulu ketika memotong ari-ari bayi yang baru lahir dengan menggunakan majas metafora. Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa “tajamnya tujuh kali pisau cukur”. Melalui ungkapan “tajamnya tujuh kali pisau cukur” mitra tutur dapat membayangkan tajamnya benda yang namanya “welat”, sehingga dapat dikatakan bahwa data tuturan (15) mengandung daya imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora. Daya imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora diperkuat unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui bagaimana cara orang dahulu ketika memotong ari-ari bayi yang baru lahir dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk bercerita kepada Mas Paiman ketika ia mengingat cara orang jaman dahulu sebelum ada persalinan di rumah sakit. Tuturan (15) dianggap santun karena adanya penggunaan majas metafora. Penggunaan majas metafora dapat mengefektifkan komunikasi dan menjaga pemakaian bahasa tetap santun. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan menjaga kesantunan berkomunikasi. Data tuturan (16) merupakan bentuk tuturan representatif yakni pemakaian bahasa yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal pada mitra tutur. Penutur memberitahukan bahwa selir dari nDoro Kanjeng banyak jumlahnya seperti yang terlihat pada unsur intralingual dari penggunaan diksi “berserak”. Kata berserak memiliki pengertian tersebar dimana-mana, seolah selir dari nDoro Kanjeng diumpamakan sampah yang bertebaran di banyak tempat. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (16) mengandung daya imanjinasi dengan menggunakan majas metafora. Daya imajinasi dengan menggunakan majas metafora diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif dari Pariyem yang menceritakan tentang pribadi dari nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem dapat bercerita pada Mas Paiman tentang kelakuan nDoro Kanjeng yang tidak bisa setia dengan nDoro Ayu dan memiliki banyak selir. Ungkapan “berserak” dirasa tidak santun, seolah para selir dari nDoro Kanjeng adalah sampah. Hal ini memperlihatkan bahwa pilihan kata yang digunakan oleh penutur tidak mencerminkan kesantunan menurut Pranowo (2009). Seharusnya penutur dapat memilih kata-kata yang mencerminkan kesantunan sehingga tuturan terkesan lebih santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
Data tuturan (17) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal. Unsur intralingual tuturan tersebut berupa kalimat “Wawasannya luas seluas Alun-alun Lor”, “Hatinya longgar selonggar kathok kolor”, “Pikirannya tajam setajam keris warangan”, “Perasaannya peka sepeka pita kaset”, “Dan rangkulannya jembar sejembar pergaulannya dalam penghidupan ini”. Penggunaan semua kalimat di atas memperlihatkan bahwa Pariyem ingin mempermudahkan pemahaman Mas Paiman tentang sifat dan sikap dari nDoro Kanjeng yang diumpamakan dengan alun-alun, celana kolor, keris, dan pita kaset. Penutur memberitahukan sikap dan sifat dari majikannya dengan menggunakan majas metafora, sehingga data tuturan (17) dapat dianggap
mengandung
daya
imajinasi.
Daya
imajinasi
dengan
menggunakan gaya bahasa metafora diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui tentang sikap dan sifat dari nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat bercerita tentang nDoro Kanjeng dengan leluasa pada Mas Paiman. Data tuturan (17) dirasa santun karena penggunaan majas metafora banyak dipakai untuk menghaluskan suatu ujaran supaya terasa santun. Walaupun yang diujarkan keras, namun dengan menggunakan majas metafora yang dikatakan secara tidak langsung membuat tuturan terasa santun. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:18-23) bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan dan menjaga tuturan terasa santun. Berdasarkan ketiga tuturan yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas metafora di atas, dapat disimpulkan bahwa daya imajinasi metafora dapat muncul dalam klausa dan kalimat yang menggunakan majas metafora. Tuturan yang menggunakan majas metafora dapat dianggap santun, karena penggunaan majas metafora dapat menghaluskan tuturan yang sebenarnya kasar hingga terasa lebih halus. Tetapi ada pula penggunaan majas metafora dalam pemakaian bahasa yang tidak santun seperti contoh di atas yakni ungkapan “berserak” seolah-olah manusia diumpamakan dengan sampah. Seharusnya penutur dapat menggunakan
majas
metafora
sesuai
dengan
fungsinya
yakni
mengefektifkan komunikasi dan menjaga tuturan tetap santun. 4.2.1.2.2 Daya Imajinasi Perumpamaan Daya imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan ialah bentuk
penggunaan
majas
perumpamaan
dalam
tuturan
untuk
memperindah maupun mengefektifkan komunikasi. Penggunaan majas perumpamaan memberikan efek dalam tuturan sehingga tuturan terkesan lebih santun. 18. Hidup tak perlu dirasa hidup tak perlu dipikir Dari awal sampai akhir hidup itu mengalir Bagaikan kali Winanga bagaikan kali Codhe, di tengah kota, bagaikan kali Gajah Wong Hidup kita pun mengalir (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 9, data tuturan DBPP 9) Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut menjawab pertanyan dari mitra tutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
(Mas Paiman) mengenai cara hidup seperti apakah yang dijalaninya selama ini. 19. “Rembulan kayak tampah di Timur baru muncul dari balik gerumbul (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 13, data tuturan DBPP 13) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman mengenai bentuk bulan purnama pada malam itu saat mereka bercerita 20. “Hari baru tersiram hujan Lapangan pun basah dan becek Tapi orang-orang berdatangan Alun-alun Lor penuh berdesak Suara orang bagaikan tawon yang mubal merubung tabon (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 99, data tuturan DBPP 99) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman tentang keadaan Kraton saat Gamelan Guntur Madu hendak dibunyikan. Data tuturan (18) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk memberitahukan mitra tutur tentang suatu hal. Penutur memberitahukan pada mitra tuturnya mengenai cara hidupnya dengan menggunakan majas perumpamaan. Melalui unsur intralingual yang berupa kalimat “Bagaikan kali Winanga bagaikan kali Codhe, di tengah kota, bagaikan kali Gajah Wong” mitra tutur dapat membayangkan cara hidup yang mengalir mengikuti takdir hidup yang telah digariskan entah itu kehidupan yang keras maupun yang kehidupan yang tenang. Oleh karena itu, data tuturan (18) dianggap berdaya imajinasi karena di dalamnya terkandung penggunaan majas perumpamaan. Daya imajinasi dengan menggunakan perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui cara hidup Pariyem yang mengalir begitu saja dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan nyaman yaitu di pagi hari dengan pemandangan
alam
burung-burung
beterbangan
dan
bunga-bunga
bermekaran sehingga membuat Pariyem mengumpamakan cara hidupnya seperti sungai yang mengalir. Penggunaan majas perumpamaan dirasa santun karena dapat menghaluskan tuturan yang sebenarnya terasa keras tetapi tetap santun karena diucapkan secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan gaya
bahasa
dapat
mengefektifkan
tuturan
menjaga
kesantunan
berkomunikasi. Data tuturan (19) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Penutur memberitahukan bentuk bulan pada malam saat mereka bercerita seperti yang terlihat pada unsur intralingual melalui kalimat “Rembulan kayak tampah di Timur baru muncul dari balik gerumbul”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengumpamakan bentuk bulan purnama seperti bentuk tampah (peralatan dapur yang terbuat dari bambu yang bentuknya bulat). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (19)
mengandung
daya
imajinasi
dengan
menggunakan
majas
perumpamaan. Daya imajinasi menggunakan majas perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yakni Pariyem menjelaskan bentuk bulan purnama dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di malam hari saat Pariyem melihat bulan purnama sehingga ia dapat membayangkan bentuknya seperti tampah. Tuturan (19) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas dan kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang dikatakan sesuai dengan fakta dan yang dikatakan seperlunya saja tidak dilebih-lebihkan maupun dikurangi. Selanjutnya, data tuturan (20) merupakan bentuk representatif. Pariyem memberitahukan Mas Paiman tentang keramaian Sekaten seperti yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Suara orang bagaikan tawon yang mubal merubung tabon”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem ingin mempermudah pemahaman Mas Paiman mengenai keramaian Pasar Malem Sekaten yang diumpamakan dengan sarang lebah
yang dihinggapi ribuan lebah. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tuturan (20) mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan. Daya imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui sejarah nama Bambang dan Endang dan konteks situasi komunikasi yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yang menjelaskan keadaan Alun-alun Utara saat digelar perayaan sekatenan dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengikuti rangkaian acara Maulud Nabi bersama
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
nDoro Ayu dan nDoro Putri di Alun-alun Utara sehingga ia dapat bercerita pada Mas Paiman tentang keadaan malam saat Gamelan Guntur Madu hendak ditabuh. Data tuturan (20) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan hendaknya sesuai dengan fakta yang ada. Penutur dengan penglihatannya menyaksikan banyaknya orang yang mengikuti acara Maulid Nabi di Alun-alun Utara sehingga ia dapat mengumpamakannya dengan sarang lebah yang dihinggapi ribuan lebah. Berdasarkan ketiga tuturan yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan muncul dalam kalimat yang menggunakan majas perumpamaan didalamnya. Tuturan yang menggunakan majas perumpamaan biasanya terasa lebih santun karena penggunaan majas perumpamaan sesuai dengan fakta yang ada. Sehingga apabila yang diumpamakan sesuai dengan kenyataan maka hal ini memenuhi prinsip kualitas dalam berkomunikasi. Prinsip kualitas adalah prinsip kesantunan berkomunikasi yang menekankan bahwa penyampaian informasi haruslah sesuai dengan fakta atau data yang ada. 4.2.1.2.2 Daya Imajinasi Personifikasi Daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi ialah bentuk penggunaan majas personifikasi dalam tuturan untuk memperindah maupun mengefektifkan komunikasi. Penggunaan majas personifikasi memberikan efek dalam tuturan sehingga tuturan terkesan lebih santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
21. “MATAHARI tegak di pusat langit menikam tajam ubun-ubun saya (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 22, data tuturan DBPP 22) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang mengeluh pada Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cuaca hari itu sangat panas karena jam menunjukkan tepat pukul 12.00. 22. Radio amatir yang gembar-gembor menyiarkan iklan Shampo dan Inza Diseling lagu-lagu Landa buluk bergaung dalam sepinya ruang (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 29, data tuturan DBPP 29) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem pada Mas Paiman ketika ia membersihkan ruangan, suasana pada saat itu sangat sepi karena hari masih sangat pagi belum ada orang beraktivitas 23. “ANGIN segar pun berkelakar diam-diam menyentuh panca indera (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 43, data tuturan DBPP 43) Konteks tuturan : Penutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman tentang suasana pagi hari angin segar terasa di kulitnya ketika mereka berbagi cerita 24. “ANGIN siang hari semilir mengusap wajah pohon-pohonan mampir ke jendela masuk ruang cuaca yang panas jadi nyaman (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 62, data tuturan DBPP 62) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem yang mengungkapkan apa yang dirasakan saat cuaca siang hari terasa sepoi-sepoi ketika ia berbagi cerita dengan mitra tuturnya (Mas Paiman). 25. Kang Kliwon, O, Kang Kliwon Jakarta sudah menelannya lain irama, lain gayanya (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 77, data tuturan DBPP 77) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya mengenai penyebab Kang Kliwon yang mengalami banyak perubahan semenjak hidup di kota Jakarta Data tuturan (21) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yang berfungsi untuk menyatakan perasaannya pada mitra tutur. Penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
mengungkapkan kesakitan akibat terik sinar matahari yang menyengat kulit kepalanya dengan menggunakan majas personifikasi yang dapat dilihat dari unsur intralingual berupa kalimat “Matahari tegak di pusat langit menikam tajam ubun-ubun saya”. Ungkapan "menikam tajam” dapat mempermudah pemahaman mitra tutur tentang rasanya terik sinar matahari saat itu. Oleh karena
itu, data tuturan (21) dapat dikatakan
mengandung daya imajinasi. Daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif yang digunakan Pariyem untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem bercerita dengan Mas Paiman di siang hari dengan keringat yang bercucuran di dahi Pariyem yang merasakan gerah. Ungkapan tersebut dirasa santun karena penggunaan majas personifikasi dapat mengoptimalkan pemakaian bahasa supaya efektif dan tetap terasa santun. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan menjaga kesantunan berkomunikasi. Data tuturan (22) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan mitra tutur tentang suatu hal. Pariyem memberitahukan sepinya pagi saat ia memulai pekerjaannya dan ia hanya ditemani oleh radio kesayangannya seperti yang ditunjukkan unsur intralingual melalui klausa “radio amatir yang gembar-gembor”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
Penggunaan klausa itu memperlihatkan seolah-olah radio memiliki mulut yang bisa berteriak-teriak menyiarkan iklan dan bernyanyi. Oleh karena itu, data tuturan (22) dapat dikatakan berdaya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi. Daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui sepinya pagi saat Pariyem memulai pekerjaannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat orang-orang masih tertidur dan Pariyem membersihkan ruangan sambil mendengarkan radio amatirnya. Tuturan tersebut dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada. Pariyem mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan suasana yang ia rasakan sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut dianggap santun. Data tuturan (23) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem mengungkapkan perasaannya saat ia merasakan tiupan angin di tubuhnya seperti yang terlihat pada unsur intralingual melalui kalimat “ANGIN segar pun berkelakar diam-diam menyentuh panca indera”. Melalui penggunaan majas personifikasi ini seolah angin pun dapat bercanda dan memiliki tangan untuk menyentuh panca indera manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (23) mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi. Daya imajinasi dengan menggunakan majas
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yang digunakan oleh Pariyem untuk menjelaskan suasana pagi hari dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan di pagi hari saat Pariyem menyapu halaman depan rumah dan merasakan angin segar di sekitarnya. Tuturan (23) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan
gaya
bahasa dapat
mengefektifkan
tuturan
menjaga
kesantunan berkomunikasi. Data tuturan (24) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem mengungkapkan perasaannya saat ia merasakan angin semilir di tubuhnya seperti yang ditunjukkan oleh unsur intralingual melalui klausa “angin siang hari semilir mengusap wajah pohon-pohonan”. Klausa tersebut mengandung majas personifikasi seolah-olah angin mempunyai tangan untuk mengusap dan pohon-pohon memiliki wajah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (24) mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif yang digunakan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di siang hari saat Pariyem beristirahat setelah menyelesaikan pekerjaannya, cuaca siang yang sejuk membuat Pariyem mengatakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
kalimat itu pada Mas Paiman. Tuturan (23) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan gaya
bahasa
dapat
mengefektifkan
tuturan
menjaga
kesantunan
berkomunikasi. Selanjutnya analisis data tuturan (25) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk memberitahukan sesuatu hal. Penutur memberitahukan tentang perubahan yang terjadi dalam diri Kang Kliwon dengan menggunakan majas personifikasi yang dapat dilihat dengan unsur intralingual melalui klausa “Jakarta sudah menelannya”. Melalui penggunaan majas personifikasi dalam tuturan tersebut mitra tutur dapat membayangkan cara kota Jakarta mengubah seseorang di dalamnya, sehingga dapat dikatakan data tuturan (25) mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi. Daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yang digunakan Pariyem untuk menjelaskan sebab Kang Kliwon berubah dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem leluasa membicarakan tentang Kang Kliwon pada Mas Paiman. Ungkapan “Jakarta sudah menelannya” dirasa santun karena dapat mengefektifkan tuturan dan maksud yang disampaikan tidak secara langsung menunjuk pada gaya hidup Jakarta yang terkenal dengan kota metropolitan. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penggunaan
gaya
bahasa dapat
mengefektifkan
tuturan
87
menjaga
kesantunan berkomunikasi Berdasarkan kelima contoh tuturan yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi muncul karena penggunaan majas personifikasi pada klausa dan kalimat dalam tuturan. Tuturan daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang digunakan oleh Pariyem cenderung terkesan santun karena yang diucapkan sesuai dengan fakta yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut sesuai dengan prinsip kualitas dalam berkomunikasi.
4.2.1.3 Daya Retoris Daya retoris merupakan bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk menanyakan sesuatu hal namun tidak membutuhkan atau tidak menuntut jawaban dari mitra tuturnya. 26. Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya? (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11, data tuturan DBPP 11) Konteks tuturan : Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem sebagai tanggapan dari jawaban mitra tutur (Mas Paiman) mengenai pendapat Pariyem tentang penggunaan nama lengkap yang tidak boleh digunakan secara sembarangan. 27. Apa perempuan dalam dunia politik ibarat bumbu masak dalam makanan? (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 128, data tuturan DBPP 128) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kedudukan wanita
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
dari zaman Raja Kerajaan Singosari Sri Rajasa Kertanegara hingga Presiden Amerika John Kennedy 28. O, penderitaan mana yang lebih edan dibanding saat-saat ibu melahirkan? (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 158, data tuturan DBPP 158) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan dikatakan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat Mas Paiman mengenai penderitaan yang paling sakit di dunia. 29. Lha apa ta tujuan orang hidup itu kalau bukan mencapai kebahagiaan ? (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 177, data tuturan DBPP 177) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman bahwa kebahagiaan dalam hidup itulah yang dicari oleh orang. Data tuturan (26) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menanyakan sesuatu hal terhadap orang lain. Penutur menanyakan pada mitra tuturnya apabila ia mati masih dapatkah ia mendengar nama lengkapnya disebutkan saat pidato kematiannya yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui kalimat pertanyaan “Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya?”. Jawaban dari pertanyaan tersebut jelas terlihat sekali tentunya tidak mungkin, tanpa harus menunggu jawaban dari mitra tuturnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa data tuturan (26) mengandung daya retoris. Daya retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui kenyataan bahwa nama lengkap hanya digunakan saat-saat formal saja dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
percakapan di sore hari yang membuat Pariyem mengeluarkan semua pendapatnya tentang penggunaan nama lengkap pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena sesuai prinsip kesantunan yakni memenuhi prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang diucapkan cukup seperlunya saja tidak lebih dan tidak kurang. Data tuturan (27) bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menanyakan sesuatu hal terhadap orang lain. Pariyem bertanya pada Mas Paiman tentang kedudukan wanita hanyalah sebagai pelengkap seolah tanpa wanita semua urusan dunia terasa hambar yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Apa perempuan dalam dunia politik ibarat bumbu masak dalam makanan?”. Seperti sudah menjadi rahasia umum kehadiran wanita memang menjadi pelengkap, tentu jawaban dari pertanyaan mitra tutur sudah terlihat jelas, sehingga dapat dikatakan data tuturan (27) mengandung daya retoris. Daya retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur yakni lokusinya berupa pertanyaan, ilokusinya sindiran Pariyem terhadap lelaki bahwa dunia tanpa wanita pun tak akan bisa apa-apa, perlokusinya Mas Paiman jangan merendahkan wanita. dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat malam hari ketika Pariyem dan Mas Paiman membicarakan tentang wanita dari jaman kerajaan Singosari hingga di jaman modern ini. Data tuturan (27) dirasa santun karena mengibaratkan wanita dengan bumbu-bumbu makanan yang menjadi perasa dalam setiap
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
hidangan makanan, digunakan untuk mendeskripsikan fungsi wanita dalam kehidupan pria. Hal itu sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) yakni pemakaian bahasa dengan menggunakan gaya bahasa akan terasa lebih santun dibandingkan dengan tuturan biasa. Selanjutnya data tuturan (28) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menanyakan sesuatu hal terhadap orang lain.
Pariyem
menanyakan
adakah
penderitaan
lain
yang
lebih
menyakitkan daripada penderitaan saat melahirkan pada Mas Paiman yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “O, penderitaan mana yang lebih edan dibanding saat-saat ibu melahirkan?”. Jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya tidak ada, tanpa mitra tutur menjawab pertanyaan tersebut Pariyem telah tahu jawabannya, sebab semua orang pun tahu kesakitan wanita saat berjuang sendirian ketika melahirkan. Oleh karena itu, data tuturan (28) dapat dikatakan berdaya retoris. Daya retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur yakni lokusinya
berupa
pertanyaan,
ilokusinya
permintaan
agar
tidak
meremehkan wanita sebab wanita jauh lebih pantas dihormati karena berjuang sendiri melawan mautnya, dan perlokusinya Mas Paiman menghormati siapapun wanita yang ada disekitarnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman saat membicarakan tentang proses seorang ibu hamil, merawat kandungannya hingga ia melahirkan anaknya. Data tuturan (28) dirasa tidak santun karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
melanggar prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech (1983 dalam Pranowo, 2009:102-103) yakni meminimalkan pujian terhadap diri sendiri. Mitra tuturnya adalah seorang laki-laki, sedangkan Pariyem adalah seorang wanita yang hendak melahirkan. Tuturan yang dikatakan Pariyem seolah membanggakan dirinya sebagai wanita sedangkan lelaki tidak pernah mengalami kesakitan yang berarti. Seharusnya penutur menjaga agar tuturannya lebih santun. Data tuturan (29) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menanyakan sesuatu hal pada orang lain. Pariyem bertanya pada Mas Paiman tentang tujuan orang hidup adalah mencari kebahagiaan yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Lha apa ta tujuan orang hidup itu kalau bukan mencapai kebahagiaan?”. Pertanyan yang dilontarkan Pariyem pada dasarnya tidak membutuhkan jawaban dari mitra tuturnya karena pertanyaan tersebut digunakan untuk meyakinkan diri penutur bahwa pendapatnya itu benar. Oleh karena itu tuturan (29) dapat dikatakan berdaya retoris. Daya retoris diperkuat unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur yakni yaitu lokusinya berupa pertanyaan, ilokusinya Pariyem telah menemukan kebahagiaannya saat ini, perlokusinya Mas Paiman pun harus mencari kebahagiaan hidupnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan di siang hari saat Pariyem berada di ladang sehingga ia dapat bertanya pada Mas Paiman tentang tujuan orang untuk hidup di dunia. Data tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
(29) dirasa santun karena memenuhi prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang diucapkan cukup seperlunya saja tidak lebih dan tidak kurang. Berdasarkan contoh tuturan yang mengandung daya retoris di atas, dapat dikatakan bahwa daya retoris muncul pada penggunaan kalimat pertanyaan yang sudah terlihat jelas jawabannya sehingga tanpa menunggu jawaban dari mitra tutur sudah menyimpan jawabannya. Tuturan yang mengandung daya retoris seperti yang diucapkan oleh Pariyem cenderung terlihat santun. Penggunaan kalimat pertanyaan biasanya langsung pada intinya dan tidak bertele-tele, sehingga dapat dikatakan bahwa kalimat yang berdaya retoris sesuai dengan prinsip kuantitas yakni yang dikatakan seperlunya saja tidak perlu dilebih-lebihkan atau dikurangi.
4.2.1.4 Daya Ancam Daya ancam merupakan bentuk penggunaan bahasa yang berfungsi sebagai sindiran, ejekan maupun kritikan terhadap sesuatu hal. Daya ancam ini ada yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung. 4.2.1.4.1 Daya Kritik Daya kritik merupakan bentuk pemakaian bahasa yang digunakan penutur untuk mengkritiki sesuatu hal. Adapun hal yang dikritiki dapat berupa hal-hal yang bersangkutan dengan diri pribadi, orang lain maupun yang bersangkutan dengan masyarakat luas. 30. Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas Semua serba pakai kelas
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
Bangsawan dan rakyat jelata Darah biru dan darah biasa dalam kraton dan luar kraton – berbeda derajatnya (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 5, data tuturan DBPP 5) Konteks tuturan : Tuturan di atas diucapkan oleh Pariyem. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman (mitra tuturnya) yang bertanya mengenai patokan pembeda bibit, bobot dan bebet seseorang di dalam masyarakat. 31. Sebagaimana syair pop Indonesia yang dibuat untuk lagu-lagu yang dibuat secara kodian Yang dibuat untuk target perusahaan rekaman yang dibuat guna cari keuntungan Pokoknya laris, dibeli penggemar yang lazimnya kalangan umur muda Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya dan nyontek semua aransemennya – habis perkara Sudah jamaknya, waton bunyi syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta yang berpribadi (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 105, data tuturan DBPP 105) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai kualitas lagu-lagu yang ada di Indonesia saat ini. Data tuturan (30) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk mengkritik sesuatu hal yang telah terjadi. Penutur mengkritik tentang perbedaan kasta dan derajat seseorang di masa kini pada mitra tuturnya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas” dan “Semua serba pakai kelas”. Penggunaan kedua kalimat tersebut bermaksud mengkritik masyarakat saat ini yang membedakan derajat seseorang melalui materi, sehingga dapat dikatakan data tuturan (30) mengandung daya kritik. Daya kritik diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena deiksis persona “mas” dan fenomena praanggapan
bahwa
Mas
Paiman
belum
mengetahui
pengertian
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
masyarakat Jawa baru dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya tentang pembeda status sosial masyarakat pada Mas Paiman. Tuturan (30) dirasa santun karena cenderung membicarakan hal negatif tentang keadaan masyarakat saat ini berdasarkan fakta yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni pemakaian bahasa sesuai dengan fakta yang ada. Selanjutnya, bentuk data tuturan (31) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Penutur mengkritik tentang lagu-lagu di Indonesia saat ini tidak memperhatikan kualitas lagu berbeda dengan lagu jaman dulu yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya dan nyontek semua aransemennya – habis perkara” dan “Sudah jamaknya, waton bunyi syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta yang berpribadi”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengkritik para pencipta lagu–lagu pop di Indonesia yang hanya memikirkan segi praktis belaka tanpa memikirkan kualitas syair dari lagu yang mereka ciptakan bahkan plagiat lagu dianggap sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (31) berdaya kritik. Daya kritik diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui kenyataan bahwa lagu pop Indonesia saat ini kualitasnya berbeda dengan lagu lama dan konteks situasi komunikasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari saat Pariyem mendengarkan siaran radio yang memutar sebuah lagu lama sehingga ia dapat membandingkan lagu lama dan lagu pop di Indonesia saat ini. Tuturan ini dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan memaksimalkan kesetujuan bagi mitra tuturnya sesuai dengan maksim kesetujuan atau agreement maxim menurut Leech (1983). Berdasarkan kedua contoh tuturan yang mengandung daya kritik seperti di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa daya kritik muncul dalam penggunaan kalimat yang berisi kritikan terhadap sesuatu hal. Tuturan yang berdaya kritikan cenderung terasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada. 4.2.1.4.2 Daya Sindir Daya sindir merupakan pemakaian bahasa yang digunakan untuk menyindir sesuatu hal. Sindiran merupakan bentuk kritikan secara tidak langsung. 32. “Kalau Indonesia krisis babu bukan hanya krisis BBM saja O, Allah, apa nanti jadinya? Terang, negara kocar-kacir! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 24, data tuturan DBPP 24) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai mengapa Pariyem menerima keadaannya sebagai seorang babu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
Tuturan (32) merupakan bentuk representatif. Tuturan tersebut digunakan oleh penutur untuk menyindir pemerintah yang terkesan tidak memperhatikan nasib para pembantu rumah tangga. Unsur intralingual tuturan
tersebut
berupa
kalimat
“Terang,
negara
kocar-kacir!”.
Penggunaan kalimat itu memperlihatkan maksud Pariyem menyindir pemerintah dan para pengguna jasa pembantu di Indonesia apabila keberadaan pembantu semakin menipis tentunya membuat mereka dalam masalah besar karena penyumbang devisa terbanyak di negara adalah para pembantu. Dapat dibayangkan apabila Indonesia tanpa PRT terang saja semuanya akan menjadi kacau. Oleh sebab itu, data tuturan (32) dapat dikatakan berdaya sindiran. Daya sindiran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui betapa pentingnya keberadaan pembantu rumah tangga dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem dan Mas Paiman terlibat dalam percakapan di siang hari setelah Pariyem menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan Grice (1983) yang memaksimalkan kerendahan hati penutur. Hal ini terlihat dari ungkapan “Terang, negara kocar-kacir!” yang dikatakan Pariyem yang notabenenya ia adalah seorang PRT. Secara tidak langsung Pariyem memuji dirinya sendiri karena ia merupakan salah satu bagian dari PRT. Hal itu melanggar maksim kesantunan yakni maksim
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
kerendahan hati menurut Leech (1983). Seharusnya penutur tidak mengucapkan ungkapan tersebut sehingga tidak terkesan melebih-lebihkan sesuatu. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa daya sindir muncul pada penggunaan tuturan untuk menyindir sesuatu hal. Tuturan yang mengandung daya sindir yang diucapkan oleh Pariyem terkesan kurang santun karena memuji diri sendiri seperti yang terlihat pada data tuturan (32). Seharusnya penutur mengedepankan prinsip bahwa bukanlah ia yang dipuji melainkan diri mitra tuturnya. Selain itu, biasanya sindiran merupakan bentuk kritikan secara tidak langsung sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuturan yang berisi sindiran terkesan lebih santun karena tidak secara langsung menohok sesuatu yang disindir.
4.2.1.5 Daya Paksa Daya paksa ialah bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu baik itu secara halus dengan cara meminta, mengajak atau secara kasar dengan cara menyuruh, memerintah, melarang, menyarankan, dsb. 4.2.1.5.1 Daya Perintah Daya perintah ialah bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Perintah dapat dinyatakan secara halus dengan menggunakan kata tolong dan dapat juga dilakukan secara kasar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
33. “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’ (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4, data tuturan DBPP4) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai nama kedua adiknya. Data tuturan (33) merupakan bentuk tindak tutur direktif yang berfungsi untuk mendorong mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Pariyem memerintah Mas Paiman supaya tidak bertanya tentang nama dari kedua adiknya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual yang berupa kalimat “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?”. Kalimat ini bertujuan memberikan perintah agar Mas Paiman tidak bertanya tentang alasan nama kedua adiknya bukan Bambang dan Endang, sehingga dapat dikatakan tuturan (33) ini berdaya perintah. Daya perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui alasan nama Bambang Endang tidak boleh dimiliki sembarangan orang dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat menyuruh Mas Paiman secara bebas. Tuturan (33) dirasa santun karena adanya penggunaan kata “sampeyan”. Melalui penggunaan kata tersebut mitra tutur merasa dihormati oleh penutur. Hal ini sesuai dengan penentu kesantunan
yakni pemakaian diksi
yang dapat
mencerminkan kesantunan. Kata “sampeyan” dalam bahasa Jawa penggunaannya dirasa lebih halus dibandingkan kata “kowe” sehingga kata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
“sampeyan” dapat digunakan untuk menyebut orang yang dinilai lebih dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa daya perintah muncul dalam penggunaan kalimat yang digunakan untuk mendorong mitra tutur melakukan hal yang diinginkan oleh penutur. Daya perintah berisikan keinginan penutur supaya keinginannya dilakukan oleh mitra tutur sehingga sudah layak dan sepantasnya tuturan harus mencerminkan kesantunan. Dengan demikian mitra tutur merasa tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penutur. 4.2.1.5.2 Daya Larangan Daya larangan merupakan bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk mengarahkan mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan yang tidak diinginkan oleh penutur. Daya larangan ini biasa dinyatakan dengan kata jangan, tidak boleh, dan sebagainya. 34. Apabila suatu hari kita bertemu Jangan panggil saya Maria Jangan panggil saya Magda tapi panggil saya Pariyem Jangan panggil saya Riri Jangan panggil saya Yeyem tapi panggillah saya Iyem lha, orang tua saya memanggil Iyem, kok cocok benar dengan pangkat saya : babu (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 13, data tuturan DBPP 13) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tutur (Mas Paiman) mengenai nama panggilan kesehariannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
100
Tuturan (34) merupakan bentuk tindak tutur direktif, yakni tuturan memiliki fungsi untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Penutur menyuruh mitra tutur untuk memanggilnya dengan sebutan yang pantas seperti yang terlihat pada unsur intralingual berupa kalimat “jangan panggil saya Maria”,“ Jangan panggil saya Magda tapi panggil saya Pariyem”, “Jangan panggil saya Riri Jangan panggil saya Yeyem tapi panggillah saya Iyem”. Penggunaan kata “jangan” mengarah pada tindakan yang tidak diperbolehkan sedangkan kata “panggillah” mengacu pada tindakan yang diinginkan oleh penuturnya. Oleh karena itu, tuturan (34) dapat dikatakan mengandung daya larangan dan perintah. Daya larangan dan perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui nama panggilan Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem bebas mengutarakan keinginannya pada Mas Paiman.
Tuturan
(34)
dipandang
santun
karena
memperlihatkan
kerendahan hati penutur yang terlihat pada ungkapan “cocok benar dengan pangkat saya : babu” yang sesuai dengan maksim kerendahan hati menurut Leech (1983). Penutur meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dengan menggunakan kata “babu” untuk menyebut dirinya sendiri. Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa daya larangan muncul dalam kalimat yang digunakan untuk mengarahkan mitra tutur untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan oleh penutur. Daya larangan juga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
berisikan keinginan penutur supaya keinginannya dilakukan oleh mitra tutur sehingga seharusnya tuturan yang diucapkan harus mencerminkan kesantunan. 4.2.1.5.3 Daya Nasihat Daya nasihat merupakan bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk memberikan nasihat ataupun saran terhadap mitra tutur. 35. “Mas Paiman, saya bilang ya jadi orang hidup itu mbok ya yang teguh imannya gitu, lho? Hidup yang prasojo tak usah yang aeng-aeng (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 22, data tuturan DBPP 22) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya yang bernama Mas Paiman mengenai sikap Mas Paiman yang tidak menerima kenyataan hidupnya. Selanjutnya, data tuturan (35) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi memberitahukan sesuatu hal pada mitra tutur. Pariyem menasihati Mas Paiman tentang sikap hidup yang seharusnya Mas Paiman jalani. Unsur intralingual tuturan tersebut berupa kalimat “Mas Paiman, saya bilang ya jadi orang hidup itu mbok ya yang teguh imannya gitu, lho?”dan “Hidup yang prasojo tak usah yang aeng-aeng”. Penggunaan kalimat itu memperlihatkan maksud Pariyem memberi nasihat pada Mas Paiman bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia harusnya disyukuri tak perlu kita serakah akan materi duniawi. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (35) mengandung daya nasihat. Daya nasihat diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
bahwa Mas Paiman perlu mendapatkan nasihat dari Pariyem untuk menjalani kehidupannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem dan Mas Paiman terlibat dalam percakapan mengenai hidup Mas Paiman dan waktu percakapan di siang hari setelah Pariyem menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan (35) dirasa tidak santun karena melanggar prinsip cara (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni cara penyampaian tuturan ketika berkomunikasi. Penutur secara langsung menohok mitra tutur dengan nasihatnya yang ditujukan pada Mas Paiman. Seharusnya penutur lebih berhati-hati dalam menyampaikan nasihat dengan memperhatikan perasaan mitra tutur, sehingga tuturannya terkesan lebih santun. Dari tuturan di atas, dapat dikatakan bahwa daya nasihat muncul pada pemakaian kalimat yang digunakan untuk memberikan nasihat ataupun saran terhadap orang lain. Karena digunakan untuk memberikan nasihat maupun saran terhadap orang lain seharusnya tuturan yang mengandung daya nasihat perlu diperhatikan pilihan kata dan cara penyampaiannya sehingga apa yang dikatakan mencerminkan kesantunan dan mitra tutur merasa tidak digurui oleh penutur.
4.2.1.6 Daya Harap Daya harap merupakan bentuk penggunaan fungsi bahasa yang digunakan oleh penutur untuk menginginkan agar sesuatu hal dapat terjadi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
36. Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang merusak penghidupan kami (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 6, data tuturan DBPP6) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai harapan orang tua Pariyem yang memberinya nama Pariyem yang berasal dari nama padi. 37. Ya, ya, saya hanya berharap kelak Semoga thuyul yang saya kandung ini tidak nakal dan tidak manja (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 161, data tuturan DBPP161) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman tentang harapan apa yang diinginkan Pariyem setelah ngidhamnya telah terpenuhi. Data tuturan (36) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Pariyem mengharapkan Dewi Sri memberikan berkat untuk tanaman padi para petani supaya dijauhkan dari hama tanaman yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan kata “semoga” ini memiliki pengertian memanjatkan harapan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tuturan (36) mengandung daya harapan. Daya harapan diperkuat dengan Unsur intralingual diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui harapan yang dipanjatkan orang tua Pariyem di dalam namanya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat mengingat harapan yang dipanjatkan bapak Pariyem pada Tuhan melalui Dewi Sri melalui nama dan kelahiran Pariyem di musim tanam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
padi. Tuturan (36) dipandang santun karena cara yang digunakan dan pilihan kata yang digunakan mencerminkan kesantunan terlebih tuturan tersebut ditujukan pada sesuatu yang dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan
dalam
berkomunikasi
seharusnya
mencerminkan
“aura
kesantunan”. Data tuturan (37) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal pada orang lain. Penutur berharap pada Tuhan supaya anak yang dikandungnya tidak menjadi anak yang manja seperti yang terlihat melalui unsur intralingual berupa diksi “semoga”. Penggunaan kata “semoga” memiliki pengertian memiliki harapan akan sesuatu hal, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (37) mengandung daya harapan. Daya harapan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum tahu harapan Pariyem akan jabang bayi yang dikandungnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu tuturan saat Pariyem terpenuhi ngidhamnya akan pisang dan mangga sehingga ia memanjatkan harapan untuk anaknya supaya tidak rewel setelah terpenuhi inginnya. Ungkapan “thuyul” dirasa tidak santun karena digunakan untuk menyebutkan janin yang ada di kandungan. Kata “thuyul” yang berasal dari kosakata bahasa Jawa yang memiliki berarti makhluk halus berupa anak-anak dirasa tidak pantas untuk menyebutkan janin manusia. Hal ini melanggar prinsip
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Berdasarkan kedua contoh tuturan yang mengandung daya harapan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya harapan muncul dalam pemakaian bahasa yang digunakan untuk memanjatkan harapan dan doa. Daya harap dapat diidentifikasi dengan tuturan yang menggunakan pilihan kata “semoga”, “berharap” dan sebagainya. Dalam penggunaan daya harapan ini seharusnya menggunakan tuturan yang mencerminkan kesantunan, karena daya harapan berisikan keinginan penutur supaya dapat terjadi. Doa dan harapan biasanya diucapkan dengan pilihan kata yang baik-baik sehingga terkesan lebih santun.
4.2.1.7 Daya Penolakan Daya penolakan merupakan bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk tidak menerima atau tidak membenarkan suatu sesuatu hal dari mitra tutur yang dapat berupa bantah, protes maupun ketidaksetujuan. 38. Rasa dosa yang tertimbun di dalam sanubarinya ia tebus dengan tukar nyawa! O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya ! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42, data tuturan DBPP 42) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tuturan (38) merupakan bentuk tindak tutur representatif
106
yang
digunakan untuk menolak sesuatu hal. Pariyem tidak setuju dengan cara masyarakat yang mengucilkan seseorang karena ia berdosa seperti yang terlihat melalui unsur intralingual penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya !”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan ketidaksetujuan Pariyem akan harga dosa yang sebanding dengan nyawa manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (38) mengandung daya ketidaksetujuan. Daya ketidaksetujuan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui bahwa dosa manusia tidak ditentukan oleh masyarakat namun pada Tuhan dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang bunuh diri karena merasa dirinya berdosa sehingga ia dapat menceritakannya pada Mas Paiman. Data tuturan (38) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2005 dalam Pranowo, 2009:103-104) yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi. Penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman (mitra tutur), padahal masyarakatlah yang
menghakimi
orang-orang
yang
berdosa
di
lingkungannya.
Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tuturnya sehingga tuturan yang diucapkannya terasa jauh lebih santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
Dari contoh tuturan yang mengandung daya penolakan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya penolakan muncul dalam kalimat yang digunakan untuk membantah atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap sesuatu hal. Dalam pemakaian daya penolakan sering kali terasa tidak santun karena sering kali menggunakan emosi saat mengucapkan tuturan seperti yang terdapat pada data tuturan (38) dirasa tidak santun karena tidak menjaga perasaan mitra tuturnya. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) menjaga perasaan mitra tutur dalam tuturan yang diucapkan atau sikap tepa selira. Seharusnya tuturan yang digunakan untuk membantah atau menyatakan ketidaksetujuan menggunakan pilihan kata dan cara penyampaian yang mencerminkan kesantunan.
4.2.1.8 Daya Tantangan Daya tantangan adalah bentuk penggunaan fungsi bahasa yang diduga dapat menimbulkan suatu perselisihan atau pertengkaran. 39. Sudahlah bilang saja : kapan waktunya dan sebutkan tempatnya. Saya tanggung sampeyan mabok kepayang takkan tahan, sampeyan pasti ketagihan. (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 128, data tuturan DBPP 128) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi ejekan Mas Paiman yang tidak percaya bahwa dirinya bisa memuaskan Mas Paiman Data tuturan (39) merupakan bentuk tindak tutur komisif, yakni bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan kesanggupan penutur. Pariyem sanggup membuat Mas Paiman terpuaskan yang dapat dilihat melalui unsur intralingual yang berupa penggunaan kalimat “Sudahlah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
108
bilang saja: kapan waktunya dan sebutkan tempatnya” dan “Saya tanggung sampeyan mabok kepayang takkan tahan, sampeyan pasti ketagihan”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menantang Mas Paiman apabila ingin mencoba bersetubuh dengannya dan ia pun berani menjamin kepuasan Mas Paiman. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa data tuturan (39) berdaya menantang. Daya menantang diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui Pariyem dapat memuaskannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat malam hari ketika Pariyem dan Mas Paiman membicarakan tentang fungsi wanita sebagai pelengkap dalam semua urusan. Data tuturan (39) dirasa tidak santun karena yang dikatakan berupa tantangan secara langsung pada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terlecehkan. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) menjaga perasaan mitra tutur dalam tuturan yang diucapkan atau sikap tepa selira. Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tutur dengan apa yang hendak dikatakan sehingga tuturan dapat terasa lebih santun. Dari contoh tuturan yang mengandung daya tantangan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya tantangan muncul dalam kalimat yang dipandang dapat menimbulkan permasalahan. Tuturan yang mengandung daya tantangan cenderung terkesan tidak santun. Seharusnya tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
109
mengandung daya tantangan menggunakan bahasa yang santun sehingga dapat meminimalisasi konflik yang akan terjadi.
4.2.2 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan yang terdapat dalam setiap tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya di pemakaian bahasa dalam berkomunikasi, sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Domain afektif ini dapat memunculkan modus seperti rasa senang, sedih, kecewa, dan sebagainya. Secara terperinci, penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa bahasa dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem akan dibahas sebagai berikut : 4.2.2.1 Nilai Rasa Halus Nilai rasa halus ialah kadar perasaan halus yang dinilai memiliki rasa hormat dan menghargai dalam sebuah tuturan. Bentuk penggunaannya dalam sebuah tuturan membuat tuturan terasa lebih santun. Kadar rasa halus dapat dilihat dari penggunaan pilihan kata yang mencerminkan rasa hormat seperti mbak, mas, ibu, bapak, dll. 4.2.2.1.1 Nilai Rasa Hormat Nilai rasa hormat ialah kadar rasa bahasa yang digunakan untuk menyatakan rasa hormat penutur yang dinyatakan dalam tuturan. 1. Saya anak tertua, mas Dua adik saya lelaki dan wanita
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
110
Pairin menganyam caping di rumah Painem membantu simbok di pasar Sedang bapak seharian di sawah buruh, sibuk mengolah tanah (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3, data tuturan NRPP 3) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan dikatakan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai anggota keluarganya dan pekerjaannya. 2. “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’ (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4, data tuturan NRPP 4) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai nama kedua adiknya. Data tuturan (1) merupakan bentuk representatif yang digunakan untuk memberitahukan mitra tutur tentang sesuatu hal. Pariyem memberitahukan pekerjaan anggota keluarganya pada Mas Paiman dengan menggunakan deiksis persona “mas” yang merujuk pada Mas Paiman yang dapat dilihat melalui unsur intralingual unsur intralingual melalui pilihan kata “mas”. Penggunaan kata mas dalam bahasa Jawa yang merupakan kata sapaan ini memperlihatkan bahwa Pariyem menghormati mitra tuturnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (1) mengandung nilai rasa sopan. Nilai rasa hormat juga diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui anggota keluarga Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana tuturan yang nyaman membuat Pariyem dapat bercerita pada Mas Paiman dan tetap menempatkan Mas Paiman sebagai orang yang lebih tua
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
111
dari dirinya. Tuturan (1) dianggap santun karena menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan seperti penggunaan kata “mas” untuk menyebut seseorang yang dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Data tuturan (2) merupakan bentuk tindak tutur direktif yang digunakan untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Penutur menyuruh mitra tuturnya untuk tidak bertanya nama kedua adiknya bukan Bambang dan Endang dengan menggunakan deiksis persona orang kedua yang merujuk pada mitra tuturnya seperti yang terlihat dari unsur intralingual
melalui
pilihan
kata
“sampeyan”.
Penggunaan
kata
“sampeyan” memiliki memperlihatkan bahwa kata “sampeyan” bernilai rasa jauh lebih sopan daripada kata “kowe”. Nilai rasa hormat diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui nama Bambang Endang tidak boleh dimiliki sembarangan orang dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman tetapi tetap menempatkan posisi Mas Paiman lebih tua darinya sehingga ia tetap menggunakan kata “sampeyan” untuk menunjuk Mas Paiman. Oleh karena itu tuturan (2) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
112
(2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Dari data tuturan yang mengandung nilai rasa hormat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa hormat dapat muncul dalam penggunaan pilihan kata yang mencerminkan rasa hormat. Seperti yang terdapat dalam data tuturan (1) dan (2) menggunakan kata “mas” dan “sampeyan” hal ini juga mencerminkan kesantunan, sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa menurut Pranowo (2009) yakni menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. 4.2.2.1.2 Nilai Rasa Sopan Nilai rasa sopan merupakan kadar rasa bahasa yang dinilai memiliki nilai sopan santun dalam setiap tuturan. Nilai rasa sopan yang terdapat dalam tuturan membuat tuturan terlihat lebih santun. 3. “PARIYEM, nama saya Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta Umur saya 25 tahun sekarang -tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa Tapi saya ingat betul weton saya : wukunya kuningan di bawah lindungan bethara Indra (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1, data tuturan NRPP 1) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan, tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memperkenalkan diri kepada Mas Paiman, mitra tuturnya. 4. “KANJENG Raden Tumenggung gelarnya Putra Wijaya nama timurnya Cokro Sentono nama dewasanya nDoro Kanjeng panggilannya prijagung Kraton Ngayogyakarta Priyayinya jangkung, tubuhnya gede (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 51, data tuturan NRPP 51) Konteks tuturan : Pariyem dan Mas Paiman terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
113
pertanyaan mitra tuturnya (Mas Paiman) tentang majikan dimana Pariyem bekerja sebagai pembantu. 5. Kang Kliwon sungkem di muka simbah -ujung- kata wong Jawa Penuh rasa hormat, penuh rasa sopan kang Kliwon tangannya ngapurancang Berpakaian sarung, surjan, dan blangkon, duduk bersila, sedang mulutnya berkata : “Kula sowan wonten ing ngarsanipun mbah putri. Sepisan : nyaosaken sembah pangabekti mugi katur ing ngarsanipun simbah. Ongko kalih : mbok bilih wonten klenta-klentuning atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak. Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag ingkang mboten ndadosaken sarjuning penggalih. Mugi simbah kersa maringi gunging samodra pangaksami. Kula suwun kaleburna ing dinten Riyadi punika. Lan ingkang wayah nyuwun berkah saha pangestu” (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 71, data tuturan NRPP 71) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada Mas Paiman tentang cara Kang Kliwon ketika ia sungkem dihadapan orang tua. Data tuturan (3) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal. Penutur memberitahukan identitas dirinya namun ia lupa akan tanggal lahirnya sehingga ia meminta maaf pada mitra tuturnya seperti yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan frasa “nuwun sewu”. Kata ini memiliki nilai rasa sopan karena digunakan untuk meminta maaf karena penutur merasa bersalah tidak dapat mengenalkan identitas dirinya secara utuh, hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa frasa “nuwun sewu” digunakan agar tidak menyinggung mitra tutur. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tuturan (3) mengandung nilai rasa sopan. Nilai rasa sopan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui identitas diri Pariyem dan konteks situasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana
yang
demikian
Pariyem
dapat
leluasa
berbicara
untuk
mengenalkan dirinya pada Mas Paiman. Tuturan (3) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa yang menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan, hal ini dapat dilihat dari penggunaan frasa “nuwun sewu” yang diperkirakan penutur tuturannya dapat menyinggung perasaan mitra tuturnya. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Data tuturan (4) merupakan bentuk representatif yang berfungsi untuk memberitahukan diri majikan Pariyem yakni nDoro Kanjeng. Tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk memberitahukan diri majikannya mengandung nilai rasa sopan seperti yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan diksi “priyayinya”. Kata “priyayi” merupakan bentuk krama inggil dari kata “orang” sehingga penggunaan kata ini jauh lebih sopan dibandingkan dengan kata yang lain. Penggunaan diksi ini memperlihatkan Pariyem sangat menghormati majikannya sehingga ia menggunakan kata tersebut untuk menyebut diri nDoro Kanjeng, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (4) mengandung nilai rasa sopan. Nilai rasa sopan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui pribadi tentang majikan Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
115
membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk menceritakan tentang diri nDoro Kanjeng pada Mas Paiman. Tuturan (4) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa yang menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan, hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata “priyayi” yang digunakan untuk orang yang lebih dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Selanjutnya, data tuturan (5) merupakan bentuk representatif yang digunakan untuk menceritakan sesuatu hal. Penutur menceritakan saat Kang Kliwon meminta maaf pada orang yang lebih tua unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Kula sowan wonten ing ngarsanipun mbah putri.”, “Sepisan : nyaosaken sembah pangabekti mugi katur ing ngarsanipun simbah.”, “Ongko kalih : mbok bilih wonten klentaklentuning atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak.”, “Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag ingkang mboten ndadosaken sarjuning penggalih.”,
“Mugi
simbah
kersa
maringi
gunging
samodra
pangaksami.”, “Kula suwun kaleburna ing dinten Riyadi punika.”, “Lan ingkang wayah nyuwun berkah saha pangestu”. Penggunaan wacana ini memperlihatkan bahwa Kang Kliwon masih menghormati orang tua dengan berkata menggunakan bahasa Jawa krama inggil dan berkelakuan sopan di hadapan orang tua seperti yang diceritakan oleh Pariyem. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (5) mengandung nilai rasa sopan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
116
Nilai rasa sopan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui cara Kang Kliwon meminta maaf pada orang yang lebih tua dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat Kang Kliwon meminta maaf pada orang yan lebih tua sehingga ia dapat bercerita dengan bebas pada Mas Paiman. Tuturan (5) dianggap santun karena menggunakan bahasa krama inggil yang memperlihatkan ia sangat menghormati orang tua dan didukung gerakan tubuh yang memperlihatkan ia berlaku sopan di hadapan orang yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Berdasarkan ketiga contoh tuturan yang mengandung nilai rasa sopan, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa sopan muncul pada penggunaan pilihan kata, frasa maupun kalimat yang mencerminkan kesopanan didalamnya. Sebagai orang Jawa, Pariyem tidak meninggalkan unggahungguh dan tatakrama ketika berbicara atau membicarakan orang yang lebih dihormati. Seperti yang terdapat pada data tuturan (3) dan (4) Pariyem menggunakan kata “nuwun sewu” dan “priyayinya”, hal ini dapat memperlihatkan
nilai
kesopanan
dari
penutur
ketika
berbicara.
Penggunaan kosakata Jawa memang dapat memperlihatkan seseorang menghormati orang lain atau tidak, sebab dalam bahasa Jawa terdapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
117
tingkatan berbahasa yakni ngoko (digunakan untuk orang yang sebaya), krama (digunakan untuk orang yang dihormati), dan krama inggil (penggunaan bahasa yang lebih halus, tingkatnya lebih tinggi dari krama).
4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar Nilai rasa kasar ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan yang tidak patut untuk diucapkan di dalam tuturan. Tuturan yang mengandung nilai rasa kasar tentunya terkesan tidak santun sebab memuat kata-kata yang tidak mencerminkan kesantunan. 6. Asih, Asah dan Asuh Dan saya sudah 3A sebagai babu, kok Saya songkokkan di dada sebagai kutang menyongkok penthil (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23, data tuturan NRPP 23) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai prinsipnya sebagai seorang pembantu yang senantiasa dipegang oleh Pariyem. 7. Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki Muncul keluar ia membutuhkan papan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 25, data tuturan NRPP 25) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menjelaskan prinsip 3K sebagai babu yang ia pegang dalam hidupnya dengan menggunakan perumpamaan pada Mas Paiman. 8. Dan saya langka mencaci orang, lho Kecuali orangnya memang sontoloyo Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27, data tuturan NRPP 27) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai pengalaman Pariyem dalam memaki-maki orang lain.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
118
9. “Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku Thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu itu bakal cucuku Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa hanya selama setahun tinggal di dusun Wonosari, Gunung Kidul Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul” (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 151, data tuturan NRPP 151) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata yang keluar dari mulut nDoro Kanjeng ketika memutuskan vonis bagi Pariyem pada saat sidang keluarga ketika ia bercerita dengan Mas Paiman Data tuturan (6) merupakan bentuk tindak tutur representatif, yakni pemakaian bahasa yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal. Pariyem memberitahukan prinsip bekerja menurutnya yang dirasa mengandung nilai rasa kasar yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui pilihan kata “penthil”. Penggunaan kata ini dirasa terlalu kasar karena menunjuk langsung pada bagian tubuh wanita, kata “penthil” sangat tabu untuk diucapkan bagi orang yang mempunyai adat ketimuran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (6) mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui prinsip yang dipegang oleh Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat ia membicarakan tentang prinsip-prinsip hidup yang ia jalani sehingga membuat Pariyem bebas mengungkapkan perasaan dan
pemikirannya.
Tuturan
(6)
dirasa
tidak
santun
karena
mengumpamakan sesuatu hal dengan bagian tubuh yang tabu diucapkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
119
Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” menurut Pranowo (2009). Seharusnya penutur lebih memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih santun. Data
tuturan
(7)
merupakan
bentuk
representatif.
Pariyem
memberitahukan tentang prinsip hidupnya yang ia jalani dengan mengumpamakannya
dengan
bagian
tubuh
wanita
seperti
yang
ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki”. Penggunaan kalimat ini mengandung nilai rasa kasar karena mengumpamakan sesuatu hal dengan bagian tubuh wanita yang tabu untuk diucapkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (7) mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui karsa dalam diri manusia muncul dari dalam hati manusia sehingga Pariyem memudahkan pemahaman Mas Paiman dengan menggunakan perumpamaan dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat ia membicarakan tentang prinsip-prinsip hidup yang ia jalani sehingga membuat Pariyem bebas mengungkapkan perasaan dan pemikirannya. Tuturan (7) dirasa tidak santun karena mengumpamakan sesuatu hal dengan bagian tubuh yang tabu diucapkan. Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
120
kesantunan” menurut Pranowo (2009). Seharusnya penutur lebih memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih santun. Apalagi sebagai seorang wanita seharusnya dapat lebih menjaga tuturannya apalagi ketika berbicara dengan laki-laki. Data tuturan (8) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal pada orang lain. Pariyem memberitahukan Mas Paiman tentang makian yang paling kasar yang mengandung nilai rasa kasar yang ditandai unsur intralingual melalui penggunaan pilihan kata “lonthe”. Penggunaan kata “lonthe” dalam bahasa Jawa memiliki nilai rasa kasar karena memiliki pengertian pelacur, hal itu merupakan kata yang sangat kotor bagi wanita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (8) mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui makian yang paling kasar di pergaulan dalam budaya Jawa dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai saat ia mengingat bahwa ia tidak pernah mengatangatai orang lain dengan makian yang kasar sehingga membuat Pariyem dapat memberitahukan Mas Paiman tentang kata makian yang tidak boleh diucapkan. Tuturan (8) dianggap santun karena memenuhi prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada, dalam budaya Jawa memang kata “lonthe” sangatlah kasar dan tidak patut untuk diucapkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
121
Selanjutnya, data tuturan (9) merupakan bentuk representatif. Pariyem memberitahukan pada Mas Paiman tentang hukuman yang harus ia terima dari nDoro Kanjeng dengan menirukan kata-kata beliau yang mengandung nilai rasa kasar seperti yang terlihat pada unsur intralingual melalui pilihan kata “thuyul”. Kata “thuyul” mempunyai pengertian sejenis makhluk halus yang berwujud anak-anak dan digunakan untuk pesugihan. Penggunaan kata ini untuk menyebut janin bayi manusia mengandung nilai yang cukup kasar tetapi penggunaan kata ini merupakan sapaan mesra dari kakeknya terhadap jabang bayi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (9) mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui keputusan yang diambil oleh nDoro Kanjeng dalam sidang pengadilan keluarga dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Tuturan dianggap santun karena memenuhi prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada, sebab Pariyem menirukan kata-kata yang diucapkan oleh nDoro Kanjeng saat menjatuhinya vonis, sehingga tuturan tersebut tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa oleh Pariyem. Berdasarkan ketiga contoh tuturan yang mengandung nilai rasa kasar di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa kasar muncul dalam penggunaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
122
kata dan kalimat yang mengandung kata-kata kasar. Tuturan yang dikatakan Pariyem yang bernilai kasar cenderung terkesan tidak santun karena menggunakan kata-kata yang bernilai kasar. Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan kata
yang
mencerminkan
kesantunan.
Seharusnya
penutur
lebih
memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih santun.
4.2.2.3 Nilai Rasa Sadar Diri Nilai rasa sadar diri atau tahu diri ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung kesadaran diri penutur yang terdapat dalam tuturan. Tentunya penggunaan nilai rasa sadar diri membuat tuturan terkesan santun karena terlihat penutur lebih merendahkan dirinya. 10. Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk Sorga saja. (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 14, data tuturan NRPP 14) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mitra tuturnya (Mas Paiman) bahwa di Sorga nanti tidak akan ditanyai tentang agama tetapi perbuatan yang dilakukan selama di dunia. 11. Ah, ya, jika saya suka ngomong bukan maksud saya mulang sampeyan Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 85, data tuturan NRPP 85) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai apa maksud Pariyem memberitahu tentang piwulang-piwulang padanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
123
Data tuturan (10) merupakan bentuk representatif, penutur meralat ucapannya pada mitra tuturnya. Tuturan yang diucapkan dinilai mengandung nilai rasa sadar diri yang ditunjukkan oleh unsur intralingual yang berupa penggunaan kalimat “Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk
Sorga
saja.”.
Penggunaan
kalimat
tersebut
seolah
memperlihatkan bahwa Pariyem sadar tentang perkataan yang keluar dari mulutnya terlalu jauh dari kenyataan, kenyataannya ia juga belum pernah melihat Surga tetapi ia membicarakan tentang keadaan di surga. Nilai rasa sadar diri diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang lebih penting daripada perdebatan soal agama yakni perbuatan yang dilakukan di dunia ini dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita tentang pendapat dirinya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ia temui di Surga nanti pada Mas Paiman. Tuturan (10) dirasa santun karena menyadari tuturan yang diucapkan terlalu tinggi dan menempatkan diri penutur pada tempat yang bersalah. Hal ini sesuai dengan prinsip menurut Leech (1983) yakni tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada diri sendiri (generosity maxim). Data tuturan (11) merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal. Pariyem menjelaskan bahwa ia tak pantas untuk memberitahukan pendapatnya pada Mas Paiman yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
124
dinilai mengandung nilai rasa sadar diri melalui unsur intralingual berupa kalimat “Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menyadari dirinya tidak berpendidikan tinggi sehingga tak layak untuk memberikan ajaran-ajaran hidup, karena semua ajaran itu ia dapatkan dari pahit getirnya pengalaman hidupnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (11) mengandung nilai rasa sadar diri. Nilai rasa sadar diri diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui maksud Pariyem menceritakan nilai-nilai yang ia dapatkan saat menguping majikannya memberikan piwulang pada muridnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai namun Pariyem tetap menghormati Mas Paiman sebagai orang yang lebih tua darinya sehingga ia berusaha menghormati Mas Paiman dengan sikap dan tuturan yang ia jaga. Tuturan (11) dirasa santun karena memenuhi prinsip kesantunan berkomunikasi yakni menjaga tuturan supaya terkesan tidak memuji diri sendiri sesuai dengan prinsip kesantunan berkomunikasi menurut Leech meminimalkan pujian terhadap diri sendiri (1983 dalam Pranowo, 2009:102-103). Hal ini terlihat pada tuturan di atas, Pariyem merendahkan diri dengan mengatakan bahwa ia tidak berpendidikan tinggi sehingga tidak pantas untuk memberikan wejangan pada Mas Paiman.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
Berdasarkan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa sadar diri terdapat pada penggunaan kalimat yang mencerminkan keadaan sadar dari si penutur. Tuturan yang mengandung nilai rasa sadar diri cenderung terlihat santun karena menjaga tuturan supaya terkesan tidak memuji diri sendiri.
4.2.2.4 Nilai Rasa Takut- Cemas Nilai rasa takut ialah kadar perasaan bahasa yang dinilai mengandung perasaan takut, gelisah, khawatir, cemas, bingung yang terdapat dalam tuturan. 4.2.2.4.1 Nilai Rasa Takut Nilai rasa takut ialah kadar perasaan takut yang terkandung dalam bentuk penggunaan bahasa untuk mengungkapkan perasaannya. 12. Dan saya hanya bisa kethap-kethip Bagaikan kera kena tulup pemburu (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 147, data tuturan NRPP 147) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan keadaan dirinya saat berada di sidang pengadilan keluarga yang membahas soal kehamilannya. Tuturan (12) merupakan bentuk ekspresif penutur saat ia dihadapkan pada sidang keluarga majikannya. Tuturan dirasa mengandung nilai rasa takut seperti yang terlihat pada ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Dan
saya
hanya
bisa
kethap-kethip”.
Penggunaan
kata
ini
memperlihatkan yang dapat dilakukan oleh Pariyem saat ia berada di sidang keluarga Suryamentaraman hanyalah memainkan matanya saja,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
126
seolah ia takut menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pariyem merasa takut dengan apa terjadi pada dirinya saat sidang pengadilan dari keluarga Suryamentaraman berlangsung. Nilai rasa takut diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat disidang oleh keluarga Suryamentaraman dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Tuturan (12) dirasa santun karena menggunakan majas perumpamaan untuk menghaluskan tuturan yang dirasa keras, sehingga tuturan terkesan lebih efektif dan santun. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan menjaga kesantunan berkomunikasi. Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa nilai rasa takut muncul pada kalimat yang dinilai mengandung perasaan takut dari diri penutur. Tuturan yang mengandung nilai rasa takut cenderung santun karena tuturan dijaga supaya memperlihatkan apa yang diucapkan penutur juga dirasakan oleh mitra tutur. 4.2.2.4.2 Nilai Rasa Gelisah Nilai rasa gelisah ialah kadar rasa gelisah atau tidak tenang dari penutur yang disebabkan oleh sesuatu hal yang meresahkan sehingga perasaan gelisah muncul dalam tuturannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
127
13. O, saya belum tahu mau diajak apa namun naluri sudah mengatakan Rasa gagu menjebak saya- ingkar- tapi gejolak darah membujuk gencar Hati kemrungsung meraung-raung saya pun tidak bisa mengelakkan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 66, data tuturan NRPP 66) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan Pariyem yang menceritakan kenangannya di masa silam pada Mas Paiman. Tuturan (13) merupakan bentuk representatif. Pariyem menceritakan pada Mas Paiman tentang perasaannya saat ia diajak Kang Kliwon ke tempat yang sepi. Tuturan yang diucapkan oleh Pariyem mengandung nilai rasa gelisah yang terlihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Rasa gagu menjebak saya- ingkar- tapi gejolak darah membujuk gencar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kegugupan Pariyem saat akan diajak melakukan sesuatu yang ia khawatirkan, sehingga perkatakan yang keluar dari mulutnya terlihat gelisah karena dikatakan pada keadaan yang tidak tenang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (13) mengandung nilai rasa gelisah. Nilai rasa gelisah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui apa yang dirasakan Pariyem saat diajak Kang Kliwon di gubug dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali kejadian di masa silamnya ketika ia diajak untuk melakukan hal yang sudah ia duga. Tuturan (13) dianggap santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo 2009:34) yakni yang dikatakan sesuai dengan fakta
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
128
yang ada. Pariyem menceritakan perasaannya yang ia alami saat kejadian itu berlangsung. Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa nilai rasa gelisah muncul dalam kalimat yang mencerminkan perasaan gelisah yang dirasakan penutur. Tuturan yang mengandung nilai rasa gelisah terlihat santun karena biasanya yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang dirasakan oleh penutur. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas, yakni yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada.
4.2.2.5 Nilai Rasa Yakin Nilai rasa yakin ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung keyakinan dalam diri penutur yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa yakin dapat berupa perasaan yakin, percaya dan berharap. 4.2.2.5.1 Nilai Rasa Yakin Nilai rasa yakin ialah kadar rasa yakin yang terkandung dalam sebuah tuturan. Nilai rasa yakin muncul dalam diri penutur yang dinyatakan dalam tuturan. 14. Jadi jelasnya, terang-terangan saja: kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11, data tuturan NRPP 11) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai kepercayaan yang dianut oleh Pariyem. 15. Lha, tidak ilok namanya Saya yakin, itu percuma Dianggap pamer nama saja (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 12, data tuturan NRPP 12)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
129
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat dari mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai pendapat Pariyem tentang alasan tidak boleh menggunakan nama lengkap dalam kehidupan sehari-hari. 16. Memang di clingus banget, kok Tapi, sorot matanya tak bisa menipu Saya kenal betul sama hasrat lelaki yang timbul di balik gerak-geriknya (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 31, data tuturan NRPP 31) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat Mas Paiman (mitra tutur) mengenai tingkah Den Baguse yang masih malu-malu ketika ingin menggoda Pariyem. Tuturan (14) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman tentang keyakinannya. Tuturan dirasa mengandung nilai rasa yakin yang terlihat pada unsur intralingual melalui kalimat “Jadi jelasnya, terang-terangan saja: kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan pada Mas Paiman tentang keyakinan Pariyem akan kepercayaan yang dianutnya, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (14) bernilai rasa yakin. Nilai rasa yakin diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang lebih penting daripada perdebatan soal agama yakni perbuatan yang dilakukan di dunia ini dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita tentang agamanya pada Mas Paiman. Data tuturan (14) dipandang sebagai bentuk tuturan yang tidak santun, misalnya dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
130
adanya klausa “Jadi jelasnya, terang-terangan saja”. Penggunaan ungkapan ini melanggar prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo 2009:34) yakni apa yang dikatakan cukup seperlunya saja tidak perlu dilebih-lebihkan menambahkan
atau kata
dikurangi.
Seharusnya
“terang-terangan
saja”
penutur agar
tidak
tidak
perlu
terkesan
menyudutkan pihak tertentu. Data tuturan (15) merupakan bentuk representatif yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada orang lain. Tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk menjelaskan alasan nama lengkap tidak boleh sembarangan digunakan mengandung nilai rasa yakin seperti yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Saya yakin, itu percuma”. Penggunaan kalimat ini mengandung suatu keyakinan yang sangat dipegang oleh Pariyem, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (15) mengandung nilai rasa yakin. Nilai rasa yakin diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui mengapa nama lengkap tidak boleh digunakan secara sembarangan dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan (15) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut
Pranowo
(2009:103-104)
yakni
menjaga
tuturan
selalu
memperlihatkan bahwa apa yang diucapkan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur. Pada tuturan (15) seolah mitra tutur disalahkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
131
karena menggunakan nama panjangnya secara sembarangan. Seharusnya penutur dapat menjaga apa yang hendak dikatakan, sehingga tuturan dapat terlihat lebih santun. Data
tuturan
(16)
merupakan
bentuk
representatif.
Pariyem
memberitahukan pada Mas Paiman bahwa ia terlalu hafal dengan gerakan tubuh laki-laki yang sedang ingin bersetubuh sehingga tuturan yang diucapkannya mengandung nilai rasa yakin yang dapat dilihat dari unsur intralingual yang berupa kalimat “Saya kenal betul sama hasrat lelaki yang
timbul
di
balik gerak-geriknya”. Penggunaan
kalimat
ini
memperlihatkan keyakinan Pariyem akan pengalamannya berhadapan dengan lelaki sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (16) bernilai rasa yakin. Nilai rasa yakin diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui tanda-tanda lelaki yang sedang nafsu dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai dan nyaman membuat Pariyem leluasa bercerita tentang kelakuan Den Baguse saat ditinggal pergi keluarganya pada Mas Paiman. Tuturan (16) dianggap tidak santun karena menggunakan pilihan kata “clingus” untuk menggambarkan diri Den Baguse. Hal ini tidak sesuai dengan dengan prinsip kesantunan berbahasa menurut Pranowo (2009) yang menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan”. Seharusnya penutur menjaga tuturan yang hendak digunakan supaya tuturan terlihat lebih santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
132
Berdasarkan ketiga tuturan yang mengandung nilai rasa yakin di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa yakin muncul pada penggunaan kalimat yang mencerminkan keyakinan diri penutur yang terdapat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa yakin cenderung terasa kurang santun karena banyak melanggar prinsip kesantunan seperti yang terdapat dalam tuturan (14), (15) dan (16). Seharusnya penutur lebih berusaha menjaga apa yang hendak diucapkan supaya tuturannya terkesan lebih santun. 4.2.2.5.2 Nilai Rasa Percaya Nilai rasa percaya ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan percaya penutur terhadap mitra tuturnya yang terdapat dalam tuturan. Nilai rasa percaya dapat berupa percaya akan diri sendiri ataupun rasa percaya pada orang lain. 17. Tapi dalam hati saya ngeledek dia : Ala, biarpun mahir tendangan lipat tapi menghadapi saya pasti kan terlipat – di ranjang (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 30, data tuturan NRPP 30) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kondisi fisik dari Den Baguse yang gagah, kekar dan tubuhnya yang liat. 18. Tapi saya? O, bagaimanakah saya? Saya tak mengaku kepada siapa-siapa saya mengaku kepada Mas Paiman, kok Saya mengaku kepada sampeyan saja dan tidak mengaku pada orang lain O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang saja (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46, data tuturan NRPP 46)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
133
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai cara Pariyem dalam mengaku dosa. Data tuturan (17) merupakan bentuk representatif. Tuturan yang digunakan Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman mengandung nilai rasa percaya diri yang ditunjukkan melalui unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Ala, biarpun mahir tendangan lipat tapi menghadapi saya pasti kan terlipat – di ranjang ”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem secara terang-terangan memuji dirinya sendiri seolah Den Baguse pasti kalah ketika berhadapan dengan Pariyem. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (17) mengandung nilai rasa percaya. Nilai rasa percaya diri diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui kelemahan Den Baguse dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem bebas mengeluarkan pendapatnya. Tuturan (17) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Leech (1983) yang meminimalkan pujian terhadap diri sendiri. Seharusnya Pariyem tidak terlalu memuji diri sendiri sehingga tuturannya terasa lebih santun. Data tuturan (18) merupakan bentuk ekspresif yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur. Dari tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman terkandung nilai rasa percaya yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
134
penggunaan kalimat “O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang saja”. Kalimat ini memperlihatkan Pariyem sangat mempercayai Mas Paiman untuk mengakui semua dosa-dosa yang pernah Pariyem lakukan, sehingga tuturan (18) dianggap bernilai rasa percaya. Nilai rasa percaya diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui bahwa Pariyem belum pernah mengaku pada orang lain dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk mengakui segala tindakan yang pernah ia lakukan selama hidupnya. Ungkapan tersebut dirasa santun karena sesuai dengan maksim pertimbangan (Leech 1983 dalam Pranowo 2009:102-103) yakni tuturan yang mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur. Penggunaan maksim tersebut tentunya membuat mitra tutur merasa dicintai oleh penutur. Berdasarkan kedua tuturan yang mengandung nilai rasa percaya, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang bernilai rasa percaya muncul pada penggunaan kalimat yang mengandung perasaan percaya dari penutur. Tuturan yang bernilai rasa percaya pada orang lain cenderung terkesan santun karena sesuai dengan maksim pertimbangan yakni tuturan yang mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur. Berbeda halnya dengan rasa percaya pada diri sendiri akan terkesan tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
135
santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Leech (1983) yang meminimalkan pujian terhadap diri sendiri. 4.2.2.5.3 Nilai Rasa Harapan Nilai rasa harapan ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung rasa berharap akan sesuatu hal yang diinginkan oleh penutur yang terlihat dalam tuturannya. 19. Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang merusak penghidupan kami (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 6, data tuturan NRPP 6) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai harapan orang tua Pariyem yang memberinya nama Pariyem yang berasal dari nama padi. Data tuturan (19) merupakan bentuk representatif. Tuturan yang digunakan Pariyem untuk memanjatkan doa dirasa mengandung nilai rasa harapan yang terlihat pada unsur intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan kata “semoga” ini memiliki harapan yang dipanjatkan supaya tanaman padi berbuah dengan baik, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (19) mengandung nilai rasa harapan. Nilai rasa harapan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui harapan yang dipanjatkan orang tua Pariyem yang terkandung dalam nama Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi santai dalam percakapan membuat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
136
Pariyem teringat pada tanaman padi yang membuatnya memanjatkan doa agar Dewi Sri melindungi tanaman padi. Tuturan (19) dianggap santun karena cara yang digunakan dan pilihan kata yang digunakan mencerminkan “aura kesantunan” menurut prinsip kesantunan Pranowo (2009) terlebih tuturan tersebut ditujukan pada sesuatu yang dihormati. Dari tuturan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai rasa harapan muncul pada pilihan kata yang mengindikasikan harapan dari penutur akan terjadinya sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa harap cenderung dianggap santun karena cara yang digunakan dan pilihan kata yang digunakan mencerminkan kata santun terlebih tuturan tersebut ditujukan pada sesuatu yang dihormati.
4.2.2.6 Nilai Rasa Heran Nilai rasa heran ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan heran, kaget, penasaran maupun syok yang dirasakan penutur yang tercermin dalam tuturannya. 4.2.2.6.1 Nilai Rasa Heran Nilai rasa heran ialah kadar rasa heran yang terdapat dalam penggunaan bahasa yang digunakan untuk menyatakan keheranan penutur. 20. “Aneh, sejak banyak tahun sampai kelon yang terakhir Saya tidak meteng-meteng, lho (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 78, data tuturan NRPP 78) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai akibat dari kelakuan Pariyem dan kang Kliwon yang sering melakukan hubungan badan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
137
21. Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala Pakai upacara segala sekadar untuk kelon Apa tidak kampiun itu namanya? (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 127, data tuturan NRPP 127) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat Mas Paiman mengenai upacara senggama yang dilakukan oleh raja Singosari Sri Rajasa Kertanegara Data tuturan (20) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem merasakan keheranan pada dirinya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual yang berupa pilihan kata “aneh”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasa heran akan dirinya sendiri yang tidak hamil-hamil walaupun ia telah banyak melakukan hubungan badan dengan kang Kliwon. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (20) mengandung nilai rasa heran. Nilai rasa heran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat dari hubungan badan yang sering dilakukan Pariyem dan Kang Kliwon dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem mengingat banyaknya hubungan badan yang ia lakukan dengan Kang Kliwon tetapi ia tidak hamil juga dapat bebas mengeluarkan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (20) dianggap tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti ungkapan “kelon” yang digunakan dalam tuturan yang diucapkan oleh Pariyem. Hal ini melanggar prinsip
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
138
kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Tuturan (21) merupakan bentuk ekspresif. Penutur merasa heran dengan tingkah laku Sri Rajasa Kertanegara yang senang mengadakan upacara senggama seperti yang terlihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem heran dengan akan adanya upacara senggama yang diselenggarakan hanya untuk berpesta seks, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (21) mengandung nilai rasa heran. Nilai rasa heran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui pesta seks yang dilakukan dari jaman kuno dengan kedok upacara atau tradisi dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di malam hari yang membuat Pariyem dan Mas Paiman tidak rikuh membicarakan tentang peranan wanita dari jaman kerajaan hingga di jaman modern seperti saat ini dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat leluasa berbicara pada Mas Paiman. Tuturan (21) dianggap tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti ungkapan “kelon” yang digunakan dalam tuturan yang diucapkan oleh Pariyem. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
139
Berdasarkan kedua tuturan yang mengandung nilai rasa heran, dapat dikatakan bahwa tuturan yang bernilai rasa heran muncul pada penggunaan kata dan kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan keheranan penutur akan suatu hal. Dari tuturan yang diucapkan Pariyem yang bernilai rasa heran cenderung dirasa tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti ungkapan “kelon” yang terdapat dalam tuturannya. Seharusnya penutur menjaga apa yang hendak dikatakan supaya terkesan lebih santun. 4.2.2.6.2 Nilai Rasa Kaget Nilai rasa kaget ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung rasa kaget yang terdapat dalam tuturan. 22. Selagi saya membersihkan kamarnya Tiba-tiba saya direnggut dari belakang O, Allah, saya kaget setengah mati, mas (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 31, data tuturan NRPP 31) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kejadian yang terjadi di rumah keluarga Suryamentaraman saat ditinggal piknik ke Gembira Loka. 23. Masya Allah! Mas dan adik idem (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 165, data tuturan NRPP 165) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada Mas Paiman tentang kelakuan nDoro Putri dan Den Baguse tidaklah berbeda dalam hal kenakalan anak muda yang sudah melampaui batas Tuturan (22) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman tentang kelakuan Den Bagus mengandung nilai rasa kaget yang ditunjukkan oleh unsur intralingual yang berupa klausa “saya kaget setengah mati”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
140
Penggunaan kata ini memperlihatkan secara gamblang bahwa pada saat kejadian itu terjadi ia didera rasa terkejut sekali karena ulah Den Baguse. Oleh karena itu, data tuturan (22) dapat dikatakan mengandung nilai rasa kaget. Nilai rasa kaget diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui kejadian yang dialami Pariyem sewaktu membersihkan kamar Den Baguse dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga dapat membuat Pariyem membayangkan kejadian yang lalu dan merasakan kekagetan yang ia alami sewaktu kejadian itu terjadi. Tuturan (22) dirasa santun karena apa yang dikatakan oleh Pariyem berdasarkan kenyataan yang ia alami saat mendapatkan perlakuan dari Den Baguse. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada. Data tuturan (23) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman tentang kelakuan nDoro Putri mengandung nilai rasa kaget yang ditunjukkan oleh unsur intralingual yang berupa kalimat “Masya Allah! Mas dan adik idem”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekagetan Pariyem akan kelakuan nDoro Putri yang menelan pil anti kehamilan, ternyata kelakuan kakak adik putra majikannya tidaklah berbeda. Sehingga tuturan (23) dapat dikatakan bernilai rasa kaget. Nilai rasa kaget diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
141
dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui kelakuan kedua putra majikannya Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat Pariyem bercerita dengan Mas Paiman kemudian terlintas ingatan saat ia melihat nDoro Putri menelan pil anti kehamilan. Tuturan (23) dirasa santun karena apa yang dikatakan oleh Pariyem berdasarkan kenyataan yang lihat bahwa nDoro Putri menelan pil anti hamil. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada. Berdasarkan kedua contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang bernilai rasa kaget muncul pada penggunaan klausa dan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kekagetan penutur. Tuturan yang bernilai rasa kaget cenderung terasa santun karena apa yang dikatakan oleh Pariyem berdasarkan kenyataan. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas, yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada. 4.2.2.6.3 Nilai Rasa Penasaran Nilai rasa penasaran ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung rasa penasaran yang terdapat dalam sebuah tuturan. 24. O Allah, apakah dosa?!? Sedang mulut melahap nasi saya pun sibuk bertanya-tanya Tapi benarkah orang Jawa itu punya konsep perkara dosa? (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 40, data tuturan NRPP 40) Konteks tuturan : Pariyem dan Mas Paiman terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat mitra tuturnya (Mas Paiman) yang berdiskusi tentang perkara dosa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
142
Tuturan (24) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Tuturan yang diucapkan Pariyem untuk mengungkapkan rasa penasarannya tentang dosa terlihat dari unsur intralingual melalui klausa “saya pun sibuk bertanyatanya”. Melalui penggunaan klausa ini terlihat bahwa Pariyem sangat penasaran untuk mencari jawaban atas pertanyaannya mengenai dosa. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (24) bernilai rasa penasaran. Nilai rasa penasaran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui konsep dosa menurut orang Jawa dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan apa yang ia rasakan pada Mas Paiman. Tuturan (24) dianggap santun karena menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009). Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa tuturan yang bernilai penasaran muncul pada penggunaan klausa yang di dalamnya terdapat perasaan penasaran dari penutur yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa penasaran cenderung terasa santun karena karena menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. 4.2.2.7 Nilai Rasa Bersalah Nilai rasa bersalah merupakan kadar perasaan salah yang terdapat dalam sebuah tuturan. Nilai rasa bersalah digunakan untuk menyatakan perasaan bersalah dari penutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
143
4.2.2.7.1 Nilai Rasa Bersalah Nilai rasa bersalah ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan bersalah penutur yang terlihat dalam tuturannya. 25. Setahun sekali mengundang dalang yang sudah kawentar di mana-mana Ki dalang Kencuran dari Kencuran – ah, amit-amit nuwun sewu – saya tak eling namanya Dia sudah pernah diundang, lho (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 79, data tuturan NRPP 79) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu Mas Paiman tentang kegiatan rutin pementasan wayang kulit yang dilaksanakan di rumah nDoro Kanjeng Data tuturan (25) merupakan bentuk representatif. Tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman tentang dhalang yang pernah main di rumah majikannya mengandung nilai rasa bersalah yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Ah, amitamit nuwun sewu” dan “Saya tak eling namanya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasa bersalah karena ia tak mampu mengingat nama dhalang tersebut, sehingga dapat dikatakan tuturan (25) bernilai rasa salah. Nilai rasa bersalah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui acara rutin yang diadakan di rumah majikannya Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem dapat menceritakan tentang dhalang-dhalang yang mementaskan pagelaran wayang di rumah nDoro Kanjeng membuat ia bebas mengeluarkan pendapat serta pikirannya pada Mas Paiman. Tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
144
(25) dirasa santun karena menempatkan diri penutur pada tempat yang bersalah, hal ini sesuai dengan maksim kedermawanan (generosity maxim) menurut Leech (1983 dalam Pranowo 2009:102-103). Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa bersalah muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan bersalah dari penutur yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa penasaran cenderung terasa santun karena karena menempatkan diri penutur pada tempat yang bersalah, hal ini sesuai dengan maksim kedermawanan. Maksim kedermawanan menurut Leech (1983) yakni tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada diri sendiri (generosity maxim). 4.2.2.7.2 Nilai Rasa Hampa Nilai rasa hampa ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan hampa atau kosong dalam diri penutur yang dinyatakan dalam tuturannya. 26. Dengan jari telunjuk kanan saya raba anu saya O, Allah, Gusti nyuwun ngapura Tidak salah lagi, jemblong anu saya bolong Saya pun merasa kosong O,bapak, O, simbok anakmu kungkum di sendhang menanggung beban sendirian (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 70, data tuturan NRPP 70) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada Mas Paiman tentang peristiwa masa silamnya ketika ia tahu ia sudah perawan lagi. 27. Saya duduk ndeleleg – dhelog-dhelog – memandang jauh tanpa tujuan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 71, data tuturan NRPP 71)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
145
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan Pariyem untuk menjawab pertanyaan Mas Paiman mengenai apa yang dilakukan Pariyem ketika ia mengingat kembali orang yang memerawani dia. Data tuturan (26)
yang diucapkan Pariyem untuk mengungkapkan
perasaannya saat ia tahu ia sudah tidak perawan pada Mas Paiman mengandung nilai rasa hampa yang ditandai unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Saya pun merasa kosong”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kekosongan dihidupnya setelah ia tahu ia kehilangan sesuatu yang sangat penting dihidupnya yang seharusnya ia jaga. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (26) mengandung nilai rasa hampa. Nilai rasa hampa diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem setelah ia melakukan hal itu dengan Kang Kliwon dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali ingatannya ketika ia mengetahui bahwa ia sudah tidak perawan. Tuturan (26) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Tuturan (27) yang diucapkan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya saat ia tahu ia sudah tidak perawan pada Mas Paiman nilai rasa hampa yang ditandai unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Saya duduk ndeleleg – dhelog-dhelog – memandang jauh tanpa tujuan”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
146
Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kekosongan dihidupnya dan tidak punya harapan lagi akan hidupnya ketika ia mengingat kembali peristiwa ia kehilangan keperawanannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (27) mengandung nilai rasa hampa. Nilai rasa hampa diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui perasaan Pariyem kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan
kembali
ingatannya ketika ia
mengetahui bahwa ia sudah tidak perawan. Tuturan (27) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa hampa muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kekosongan dari penutur terhadap sesuatu hal yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa hampa cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. 4.2.2.7.3 Nilai Rasa Menyesal Nilai rasa menyesal adalah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan menyesal penutur yang terdapat dalam tuturannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
147
28. O, Allah Gusti nyuwun ngapura Kenapa ati saya nelangsa kejeblos ke dalam jugangan Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring ke dalam kegelapan (Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 69, data tuturan NRPP 69) Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada Mas Paiman (mitra tuturnya) perasaannya keesokan harinya setelah ia melakukan hubungan badan dengan Kang Kliwon Data tuturan (28) yang digunakan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman setelah ia melepaskan keperawanannya pada Kang Kliwon mengandung nilai rasa menyesal yang terlihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Kenapa ati saya nelangsa kejeblos ke dalam jugangan” dan “Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring ke dalam kegelapan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan penyesalan yang dirasakan Pariyem setelah kejadian itu, Pariyem merasa sedih kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang harusnya ia jaga sampai pernikahan. Nilai rasa menyesal diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem setelah mengetahui dirinya sudah tidak perawan lagi dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali ingatannya saat ia kehilangan keperawanannya dan bisa merasakan rasa saat ia tersadar telah melakukan hal yang belum sepantasnya dilakukan. Tuturan (28) dirasa santun karena mengatakan hal yang sebenarnya terjadi hal ini sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan data atau fakta yang sebenarnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
148
Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa menyesal muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan penyesalan dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa menyesal
cenderung
terasa
santun
karena
apa
yang
diucapkan
menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan.
4.2.2.8 Nilai Rasa Sedih Nilai rasa sedih ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan sedih, kehilangan, memprihatinkan maupun terharu yang terdapat dalam tuturan. 4.2.2.8.1 Nilai Rasa Sedih Nilai rasa sedih ialah kadar rasa sedih penutur yang terlihat dalam tuturan yang digunakan untuk mengungkapkan perasaannya. 29. O, Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang! Walaupun bakal lama berpisah namun bukan kehilangan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 155, data tuturan NRPP 155) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman tentang perasaan Pariyem saat diungsikan di dusunnya kembali. Data tuturan (29) yang digunakan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman ketika ia akan berpisah dari keluarga Suryamentaraman mengandung nilai rasa sedih seperti yang terdapat pada unsur intralingual melalui kalimat “O, Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sedih akan perpisahannya dengan keluarga majikannya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
149
karena ia harus diungsikan di dusun asalnya dulu Wonosari, Gunung Kidul selama kehamilannya hingga ia melahirkan. Nilai rasa sedih diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang ia rasakan saat harus berpisah dengan keluarga majikannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (29) dirasa santun karena dapat mengefektifkan tuturan dan tuturan terkesan lebih santun karena adanya penggunaan majas perumpamaan. Hal itu sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:18-23) yakni pemakaian bahasa dengan menggunakan gaya bahasa akan terasa lebih santun dibandingkan dengan tuturan biasa. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa sedih muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan sedih dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa sedih cenderung terasa santun karena menggunakan majas perumpamaan yang dapat menghaluskan tuturan dan mengefektifkan komunikasi seperti yang terdapat dalam tuturan (29). 4.2.2.8.2 Nilai Rasa Kehilangan Nilai rasa kehilangan ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan kehilangan penutur yang terlihat dalam tuturannya. 30. Dan saya pun ingat satu hal : Dia bertambah dingin, lho tak sehangat dulu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
150
Di Jakarta orang tak lagi ramah (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 77, data tuturan NRPP 77) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai hal yang berbeda dari Kang Kliwon ketika Pariyem bertemu dengannya lagi setelah 5 tahun tidak pernah berjumpa. 31. Kang Kliwon, O, kang Kliwon Jakarta sudah menelannya Lain irama, lain gayanya (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 77, data tuturan NRPP 77) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat Mas Paiman mengenai sebab perubahan yang terjadi pada diri Kang Kliwon setelah 5 tahun bekerja di Jakarta. Data tuturan (30) yang digunakan Pariyem untuk menceritakan keadaan Kang Kliwon pada Mas Paiman mengandung nilai rasa kehilangan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Dia bertambah dingin, lho tak sehangat dulu”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan bahwa ia kehilangan Kang Kliwon yang dulu ia kenal. Nilai rasa kehilangan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui bahwa Kang Kliwon telah berubah semenjak hidup di Jakarta dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mampu mengutarakan perasaannya kepada Mas Paiman. Tuturan (30) dirasa santun karena maksud yang disampaikan tidak secara langsung menunjuk pada gaya hidup Jakarta yang terkenal dengan kota metropolitan sebagai penyebab Kang Kliwon berubah. Hal itu sesuai dengan prinsip kesantunan menurut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
151
Pranowo (2009) yakni pemakaian bahasa dengan menggunakan gaya bahasa akan terasa lebih santun dibandingkan dengan tuturan biasa karena dapat mengefektifkan tuturan dan memperhalus tuturan. Tuturan (31) yang digunakan Pariyem untuk menceritakan keadaan Kang Kliwon yang telah berubah pada Mas Paiman mengandung nilai rasa kehilangan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat
“Jakarta
sudah
menelannya”.
Penggunaan
kalimat
ini
memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan bahwa ia kehilangan Kang Kliwon yang dulu ia kenal setelah kepindahannya ke Jakarta selama 5 tahun, pengaruh lingkungan kota metropolitan membuat Kang Kliwon ikut berubah. Nilai rasa kehilangan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui penyebab Kang Kliwon berubah dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mampu mengeluarkan perasaannya kepada Mas Paiman. Ungkapan “Jakarta sudah menelannya” dirasa santun karena dapat mengefektifkan tuturan dan maksud yang disampaikan tidak secara langsung menunjuk pada gaya hidup Jakarta yang terkenal dengan kota metropolitan. Hal itu sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:18-23) yakni pemakaian bahasa dengan menggunakan gaya bahasa akan terasa lebih santun dibandingkan dengan tuturan biasa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
152
Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa kehilangan muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kehilangan dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa kehilangan cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan dari data tuturan (30) dan (31) menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan dengan menggunakan majas personifikasi dan yang dimaksudkan tidak menohok secara langsung pada orang-orang Jakarta sebagai penyebab Kang Kliwon berubah. 4.2.2.8.3 Nilai Rasa Terharu Nilai rasa terharu ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan terharu penutur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 32. Tiada kata dalam perbendaharaan batin saya, saya hanya bisa menunduk, tak bisa apa-apa Kata-kata luber dan lebur menjadi air mata O, Allah anugerah apa Sampeyan limpahkan? (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 152, data tuturan NRPP 152) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan keadaan dirinya setelah sidang pengadilan keluarga memutuskan vonis bagi dirinya pada Mas Paiman Data tuturan (32) yang digunakan penutur untuk mengungkapkan perasaannya saat ia menerima putusan sidang pengadilan keluarga pada Mas Paiman mengandung nilai rasa terharu yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Kata-kata luber dan lebur menjadi air mata”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem terharu dengan keputusan yang dibuat oleh nDoro Kanjeng dalam mengadili perbuatannya dengan Den Baguse, nDoro Kanjeng tidak menyalahkan Pariyem dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
153
meminta Pariyem merawat bakal cucunya dengan baik. Bagi Pariyem semua yang dilakukan oleh keluarga Suryamentaraman sangat berlebihan baginya sehingga ia tak mampu berkata-kata lagi. Nilai rasa terharu diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia mendengar keputusan nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Tuturan (32) dirasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dirasakan sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni prinsip kualitas. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa terharu muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan terharu dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa terharu cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
4.2.2.9 Nilai Rasa Bahagia Nilai rasa bahagia ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan senang, tenang, damai, nyaman, bangga dari penutur yang tercermin dalam tuturannya. 4.2.2.9.1 Nilai Rasa Bahagia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
154
Nilai rasa bahagia ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan bahagia penutur yang diungkapkan dalam tuturannya. 33. Beberapa minggu berselang – edan! – penyakit sontoloyo itu pun hilang O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia! wajah basah oleh air mata (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 114, data tuturan NRPP 114) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada Mas Paiman pengalaman Pariyem waktu menderita penyakit batu ginjalnya yang hilang hanya karena diurut oleh petani dusunnya tidak perlu operasi segala. 34. “BETAPA rasanya ati saya O, betapa menjadi simbok muda (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 170, data tuturan NRPP 170) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman tentang perasaan Pariyem setelah melahirkan seorang anak Data tuturan (33) yang digunakan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman ketika ia sembuh dari sakitnya mengandung nilai rasa bahagia yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui kalimat “O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebahagiaan Pariyem karena penyakit batu ginjalnya sembuh tanpa harus melalui operasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (33) mengandung nilai rasa bahagia. Nilai rasa bahagia diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat penyakit batu ginjalnya telah sembuh dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membayangkan kebahagiaan setelah ia tahu ia sembuh dari penyakit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
155
batu ginjal dan ia dapat mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (33) dirasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dirasakan sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni prinsip kualitas. Selanjutnya, data tuturan (34) yang digunakan oleh Pariyem untuk mengungkapkan perasannya setelah ia melahirkan anaknya pada Mas Paiman mengandung nilai rasa bahagia yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, betapa menjadi simbok muda”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebahagiaan Pariyem menjadi seorang ibu muda yang baru saja melahirkan seorang bayi membuat hatinya penuh dengan sukacita, sehingga tiap hari kasih sayangnya tercurah pada anaknya. Nilai rasa bahagia diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat menjadi ibu muda dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (34) dirasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dirasakan sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni prinsip kualitas. Berdasarkan kedua tuturan yang mengandung nilai rasa bahagia di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang bernilai rasa bahagia muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan bahagia dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
156
penutur terhadap sesuatu hal yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa bahagia cenderung terasa santun karena apa yang dikatakan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. 4.2.2.9.2 Nilai Rasa Senang Nilai rasa senang ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan senang penutur yang dapat dilihat dari tuturannya. 35. O,betapa girang meliputi ati saya Berpakaian baru, bibir digincu dan rambut digelung munthil-munthil Saya pun berjalan merendengi simbok (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 60, data tuturan NRPP 60) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai perasaan Pariyem ketika diajak ibunya ketika bekerja menjadi sindhen pementasan wayang. 36. O, betapa saya senang mengantar nDoro Ayu lha bakal ketemu dengan tetangga dusun Dari Wonosari Gunung Kidul mereka turun pada menjual panen palawija ditukar keperluan rumah tangga (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 117, data tuturan NRPP 117) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai alasan Pariyem senang apabila disuruh mengantar nDoro Ayu berbelanja di Pasar Beringharjo Data tuturan (35) yang diucapkan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya saat kecil diajak ibunya ikut nyindhen dan ia memakai baju baru serta mengenakan lipstik pada Mas Paiman mengandung nilai rasa senang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “O,betapa
girang
meliputi
ati
saya”.
Penggunaan
kalimat
ini
memperlihatkan kesenangan Pariyem ketika mengingat kembali kenangan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
157
masa kecilnya saat diajak ibunya bekerja ia didandani, rambutnya digelung diberi pakaian baru. Nilai rasa senang diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat diajak ibunya bekerja dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk membayangkan kenangan masa kecilnya dan ia dapat merasakan kesenangan itu kembali. Tuturan (35) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009) yakni apa yang diucapkan sesuai dengan data atau fakta yang ada. Data tuturan (36) yang diucapkan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya saat mengantar majikannya berbelanja pada Mas Paiman mengandung nilai rasa senang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, betapa saya senang mengantar nDoro Ayu lha bakal ketemu dengan tetangga dusun”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang apabila mengantar nDoro Ayu berbelanja sebab ia ketemu dengan tetangga dusunnya di Wonosari. Nilai rasa senang
diperkuat
dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat bisa bertemu dengan tetangga dusun dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di siang hari dan pada waktu itu Pariyem melihat para bakul-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
158
bakul di pasar telah pulang sehingga dengan melihat itu ia teringat saat ia menemani nDoro Ayu berbelanja di pasar. Tuturan (36) dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009) yakni apa yang diucapkan sesuai dengan data atau fakta yang ada. Dari kedua contoh tuturan yang mengandung perasaan senang di atas, tuturan yang bernilai rasa senang muncul pada kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan senang penutur. Tuturan yang bernilai rasa senang cenderung terasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dirasakan. 4.2.2.9.3 Nilai Rasa Nyaman Nilai rasa nyaman ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan nyaman atau tenteram dari penutur yang terdapat dalam tuturannya. 37. “Saya jalan rada sempoyongan sambil mengibas kotoran selendang Menggelendot di bahu Kang Kliwon saya ada perasaan tentram (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 68, data tuturan NRPP 68) Konteks tuturan : Penutur dan mitra terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan kenangannya bersama Kang Kliwon pada Mas Paiman, mitra tuturnya Data tuturan (37) yang diucapkan Pariyem untuk menceritakan kenangan masa lalunya pada Mas Paiman mengandung nilai rasa nyaman seperti yang ditunjukkan oleh unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Menggelendot di bahu Kang Kliwon saya ada perasaan tentram”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kenyamanan Pariyem berada di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
159
samping Kang Kliwon. Sehingga tuturan (37) dapat dikatakan bernilai rasa nyaman. Nilai rasa nyaman diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia berada di dekat Kang Kliwon dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali kenangannya bersama Kang Kliwon. Tuturan (37) dianggap santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang ia rasakan, hal ini sesuai dengan prinsip kualitas dalam berkomunikasi. sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009) yakni apa yang diucapkan sesuai dengan data atau fakta yang ada. Dari contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa nyaman muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan nyaman dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa nyaman cenderung terasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang ia rasakan, hal ini sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009) yakni apa yang diucapkan sesuai dengan data atau fakta yang ada. 4.2.2.9.4 Nilai Rasa Bangga Nilai rasa bangga ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan bangga penutur yang dapat dilihat melalui tuturannya. 38. Endang Sri Setianingsih menangis Ah, suara dan namanya bagus benar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
160
Ya, ya namanya menjunjung keluarga Tangisnya, O, Allah, tangisnya! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 174, data tuturan NRPP 174) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada Mas Paiman tentang kebanggaannya akan putrinya Endang Sri Setianingsih yang membuat Pariyem akan melalukan apapun untuk anaknya Data tuturan (38) yang digunakan Pariyem untuk menceritakan anaknya pada Mas Paiman mengandung nilai rasa bangga yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Ah, suara dan namanya bagus benar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebanggaan Pariyem akan nama dan suara bayinya, baginya nama buah hatinya ialah doa yang dipanjatkan dan nama itulah yang menjadi kebanggaan bagi keluarganya. Nilai rasa bangga diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui arti nama dari anak Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (38) dirasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang sebenarnya sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34). Dari contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa bangga muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan bangga dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa bangga cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
161
4.2.2.10 Nilai Rasa Marah Nilai rasa marah ialah kadar perasaan bahasa yang dinilai mengandung perasaan marah, kecewa sakit hati, geram, kesal dari penutur yang terdapat dalam tuturannya. 4.2.2.10.1 Nilai Rasa Marah Nilai rasa marah ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan marah penutur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 39. Saya lebih patut sebagai biyung emban Saya lebih patut sebagai Limbuk Begitulah ledekan tukang becak O, betapa anyel ati saya dibuatnya Bila sudah begini, saya suka sewot (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 19, data tuturan NRPP 19) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur yakni Mas Paiman tentang apa yang dilakukan oleh tukang becak pada dirinya ketika Pariyem berjalan melewti gerombolan tukang becak yang sedang mangkal. Data tuturan (39) yang digunakan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman mengandung nilai rasa marah yang ditunjukkan oleh unsur intralingual melalui klausa “betapa anyel ati saya” dan “saya suka sewot”. Penggunaan kata anyel dan sewot secara gamblang memperlihatkan bahwa Pariyem marah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (39) bernilai rasa marah. Nilai rasa marah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia diejek oleh tukang becak dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana tuturan yang santai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
162
membuat Pariyem dapat mengungkapkan keluh kesahnya ketika ia di ledek oleh para tukang becak pada Mas Paiman. Tuturan (39) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:103-104) yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi atau sikap tepa selira karena kemarahan Pariyem harusnya ditujukan pada tukang becak bukan Mas Paiman. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa marah muncul pada penggunaan klausa yang di dalamnya terdapat perasaan marah dari penutur terhadap sesuatu hal yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa marah cenderung terasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi. 4.2.2.10.2 Nilai Rasa Kesal Nilai rasa kesal ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan kesal penutur yang terdapat dalam tuturannya. 40. Tapinya kosong melompong buahnya kantong bolong - tresna gombal habis manis saya ditinggal Yang dia minta saya berikan sesudah taneg, saya kapiran Dasar lelaki, oh, dasar bebal maunya menang sendiri (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 48, data tuturan NRPP 48) Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman (mitra tuturnya) tentang alasan Pariyem hanya mengaku padanya bukan pada orang lain. Data tuturan (40) yang diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman dirasa mengandung nilai rasa kesal yang ditunjukkan oleh unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Dasar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
163
lelaki, oh, dasar bebal maunya menang sendiri”. Kalimat ini memperlihatkan Pariyem sangat kesal dengan kebanyakan lelaki, kalimat ini menjadi alasan bagi Pariyem untuk tidak mudah percaya orang lain. Nilai rasa kesal diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui alasan Pariyem hanya mengaku pada Mas Paiman saja dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk mengatakan hal yang ingin ia ucapkan. Tuturan (40) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni menggunakan kata-kata yang mencerminkan “aura kesantunan” dan penutur tidak menjaga perasaan mitra tuturnya atau sikap tepa selira yang notabenenya adalah seorang laki-laki. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa kesal muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kesal dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa kesal cenderung terasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut
Pranowo
berkomunikasi
dan
yakni
menjaga
menggunakan
perasaan kata-kata
mitra yang
tutur
ketika
mencerminkan
ketidaksantunan seperti penggunaan ungkapan “bebal”. 4.2.2.10.3 Nilai Rasa Tidak Terima Nilai rasa tidak terima ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan tidak terima penutur yang dinyatakan dalam tuturannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
164
41. O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya ! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42, data tuturan NRPP 42) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia. Data tuturan (41) yang diucapkan Pariyem pada Mas Paiman dianggap bernilai rasa tidak terima dapat dilihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanyatanya!”. Kalimat ini memperlihatkan ketidakterimaan Pariyem akan hukum yang berlaku di masyarakat saat ini mengenai dosa seseorang. Nilai rasa tidak terima diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui konsep dosa dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat membicarakan tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang bunuh diri karena merasa dirinya berdosa membuat Pariyem dapat mengeluarkan semua pendapat dan pemikirannya pada Mas Paiman. Data tuturan (38) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:103-104) yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi atau sikap tepa selira. Penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman (mitra tutur), padahal masyarakatlah
yang
menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya. Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tuturnya sehingga tuturan yang diucapkannya terasa jauh lebih santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
165
Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa tidak terima muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan ketidaksetujuan dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa tidak terima cenderung terasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi. Seperti yang terdapat pada tuturan (41) penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman (mitra tutur), padahal kemarahan tersebut seharusnya ditujukan untuk masyarakat yang menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya. Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tuturnya sehingga tuturan yang diucapkannya terasa jauh lebih santun.
4.2.2.11 Nilai Rasa Menerima Nilai rasa menerima ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan menerima, rela maupun bersyukur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 4.2.2.11.1 Nilai Rasa Menerima Nilai rasa menerima ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan menerima dalam diri penutur yang dinyatakan dalam bentuk tuturannya. 42. Sebagai babu nDara Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Saya sudah trima, kok Saya lega lila (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23, data tuturan NRPP 23)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
166
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur Pariyem (Mas Paiman) mengenai kerelaan Pariyem bekerja sebagai pembantu. Data tuturan (42) mengandung nilai rasa menerima yang dapat dilihat melalui unsur intralingual melalui pilihan kata “trima” dan “lega lila”. Penggunaan kedua kata ini secara gamblang memperlihatkan rasa menerima
pekerjaannya
sebagai
pembantu
dengan
lapang
dada
ditunjukkan oleh Pariyem. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (42) bernilai rasa menerima. Nilai rasa menerima diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di keluarga nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman bercerita tentang perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan dirasa santun karena sesuai dengan maksim kerendahan hati menurut Leech (1983 dalam Pranowo, 2009:102-103) yakni meminimalkan pujian terhadap diri sendiri. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa menerima muncul pada penggunaan pilihan kata yang mencerminkan perasaan menerima dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa menerima cenderung terasa santun karena sesuai dengan maksim kerendahan hati.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
167
4.2.2.11.2 Nilai Rasa Rela Nilai rasa rela ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan rela atau ikhlas dari penutur yang dinyatakan dalam tuturannya. 43. Saya pun tambah besar Sampai anak-anak muda Yogya menggoda dan sering rerasan : Saya bertubuh sintal Saya bertubuh tebal Tapi biarkan sajalah saya tak apa-apa kok, saya lega-lila (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 10, data tuturan NRPP 10) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya (Mas Paiman) mengenai efek yang ditimbulkan oleh bentuk tubuh Pariyem. Data tuturan (43) mengandung nilai rasa rela yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Tapi biarkan sajalah saya tak apa-apa kok, saya lega-lila”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem rela dirinya diejek oleh orang lain dan menerimanya dengan lapang dada karena bentuk tubuhnya yang memang padat berisi. Nilai rasa rela diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat diejek oleh para pemuda dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana tuturan di pagi hari yang masih sejuk sehingga membuat Pariyem teringat pada ejekan orang lain tentang bentuk tubuhnya. Tuturan dirasa santun karena sesuai dengan maksim kedermawanan (menerima apapun yang dikatakan oleh orang lain terhadap dirinya) atau generosity maxim menurut Leech (1983 dalam Pranowo 2009:102-103).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
168
Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa rela muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kerelaan dari penutur terhadap sesuatu hal yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa rela cenderung terasa santun karena sesuai dengan maksim kedermawanan. Maksim kedermawanan menurut Leech (1983) yakni tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada diri sendiri (generosity maxim). 4.2.2.11.3 Nilai Rasa Bersyukur Nilai rasa bersyukur ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan bersyukur penutur yang terlihat dalam tuturannya. 44. Doa keselamatan bagi simbok yang melahirkan dan doa keselamatan bagi bayi yang dilahirkan Pada Sang Hyang Murbeng Jagad – bersyukur – dengan mulut fasih, berterimakasih (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3, data tuturan NRPP 3) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mitra tutur (Mas Paiman) mengenai acara sepasaran bagi bayi yang baru saja lahir. Data tuturan (44) mengandung nilai rasa bersyukur seperti yang terlihat dari unsur intralingual melalui diksi “bersyukur”. Penggunaan kata bersyukur dapat memperlihatkan rasa terima kasih yang dipanjatkan untuk Tuhan Yang Maha Kasih atas anugerah yang diberikan. Nilai rasa syukur diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui kegiatan apa saja yang harus dilakukan setelah bayi lahir dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
169
percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat membayangkan bagaimana waktu keluarganya mengadakan sepasaran bagi dirinya. Tuturan (44) dirasa santun karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa syukur muncul pada penggunaan pilihan kata yang di dalamnya mencerminkan rasa syukur terhadap Tuhan. Tuturan yang bernilai rasa syukur cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan.
4.2.2.12 Nilai Rasa Cinta Nilai rasa cinta ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan cinta, kagum, tertarik, suka, sayang dari penutur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 4.2.2.12.1 Nilai Rasa Cinta Nilai rasa cinta ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan cinta penutur yang terdapat dalam tuturannya. 45. Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 179, data tuturan NRPP 179) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman tentang bukti cintanya akan Endang Sri Setianingsih
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
170
Data tuturan (45) dirasa mengandung nilai rasa cinta yang terlihat dalam unsur intralingual melalui kalimat “Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kesediaan Pariyem untuk mempertaruhkan apapun demi anaknya, hal ini membuktikan bahwa cinta seorang ibu pada anaknya dapat mengalahkan segalanya. Nilai rasa cinta diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui apa saja yang akan dilakukan Pariyem untuk anaknya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga membuat Pariyem teringat anaknya yang ditinggal di Wonosari, Gunung Kidul bersama bapak, ibu dan adik-adiknya namun dalam waktu sebulan sekali pasti ia mengunjungi putri semata wayangnya itu. Tuturan (45) dirasa santun karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang meminimalkan pujian terhadap diri sendiri atau maksim kerendahan hati hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Leech (1983 dalam Pranowo, 2009:102-103) Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa cinta muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan cinta dari penutur terhadap sesuatu hal yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa cinta cenderung terasa santun karena karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
171
4.2.2.12.2 Nilai Rasa Kagum Nilai rasa kagum ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan kagum penutur yang terdapat dalam tuturannya. 46. Cepat kayak singgat gerak-geriknya penuh daya hidup dan gairah pemuda Betapa saya kagum, bisa melongo (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 30, data tuturan NRPP 30) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu Mas Paiman tentang tindakan Den Baguse ketika ia mengolah jiwa dan raganya di longkangan rumah. Data tuturan (46) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Dalam tuturan yang digunakan Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman tentang Den Baguse terkandung nilai rasa kagum yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Betapa saya kagum, bisa melongo”. Kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem terpesona dengan tingkah laku Den Baguse ketika mengolah dirinya, sehingga tuturan ini dianggap bernilai rasa kagum. Nilai rasa kagum diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui apa saja yang dilakukan Den Baguse untuk mengolah dirinya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk menceritakan tentang Den Baguse pada Mas Paiman. Tuturan dirasa santun karena menggunakan majas perumpamaan yang terdapat dalam ungkapan “cepat kayak singgat”. Penggunaan majas perumpamaan dapat mengefektifkan komunikasi dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
172
menghaluskan tuturan yang dirasa kasar. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan menjaga kesantunan berkomunikasi. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa kagum muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kekaguman dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa kagum cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan oleh Pariyem menggunakan majas perumpamaan, seperti yang terdapat dalam ungkapan “cepat kayak singgat”. Dalam kesantunan berkomunikasi penggunaan majas perumpamaan dapat mengefektifkan komunikasi dan menghaluskan tuturan yang dirasa kasar. 4.2.2.12.3 Nilai Rasa Rindu Nilai rasa rindu ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan rindu atau kangen penutur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 47. Kelap-kelip lampu pelita tertiup angin gunung yang dingin Dalam musim-musim bedhidhing Saya kangen saya dhemen! (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 156, data tuturan NRPP 156) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan Mas Paiman bahwa ia merasa rindu pada Den Baguse setelah ia berada di Wonosari, Gunung Kidul. Data tuturan (47) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Dalam tuturan yang diucapkan Pariyem tersebut mengandung nilai rasa rindu yang terlihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Saya kangen saya dhemen!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kerinduan akan Den Baguse walaupun Den Baguse setiap bulan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
173
mengunjunginya untuk mengobati kerinduan mereka satu sama lainnya. Dapat dikatakan bahwa tuturan (47) mengandung nilai rasa rindu. Nilai rasa rindu diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui perasaan Pariyem saat jauh dari Den Baguse dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di malam hari dalam musim dingin hawa pegunungan dan situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaan rindunya terhadap Den Baguse pada Mas Paiman. Tuturan (47) terasa santun karena yang diucapkan oleh Pariyem berdasarkan perasaan yang ia alami, hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau kenyataan yang ada. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa rindu muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kangen atau rindu dari penutur. Tuturan yang bernilai rasa rindu cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan oleh Pariyem berdasarkan perasaan yang ia alami, hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau kenyataan yang ada).
4.2.2.13 Nilai Rasa Pesimis Nilai rasa pesimis ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan putus asa, putus harapan, kalah, patah semangat penutur yang terdapat dalam tuturannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
174
48. Menggugurkan kembang-kembang padi mengguyurkan badai ribut ke bumi Kuntum-kuntum padi, kuntum-kuntum harap kuntum-kuntum gairah hidup petani Muspra tanpa guna lagi Dan tanaman yang semula subur tak berisi – gabug tak berbijikan padi (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 8, data tuturan NRPP 8) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan keadaan tanaman padi di sawah yang rusak akibat serangan hama wereng dan tikus pada Mas Paiman Data tuturan (48) merupakan bentuk tindak tutur representatif. Pariyem memberitahukan pada Mas Paiman tentang rusaknya tanaman padi akibat serangan hama wereng dan tikus. Tuturan yang diucapkan Pariyem mengandung nilai rasa putus harapan yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Muspra tanpa guna lagi”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem dan petani di desanya merasa harapannya pupus akan panenan yang diharapkan berbuah banyak tetapi kenyataan hama tikus dan wereng menggasak tanaman padi mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan (48) mengandung nilai rasa putus harapan. Nilai rasa putus harapan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat dari serangan hama tanaman dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem mengingat tanaman padi yang digasak hama wereng dan tikus sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan (48) dirasa santun karena menggunakan pilihan kata yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
175
mencerminkan “aura kesantunan” sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23). Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa putus harapan muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kekecewaan dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa putus harapan cenderung terasa santun karena menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan dan tidak terdapat penggunaan kata yang melanggar prinsip kesantunan.
4.2.2.14 Nilai Rasa Bebas Nilai rasa bebas ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan bebas, lega ataupun puas yang dirasakan penutur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 4.2.2.14.1 Nilai Rasa Lega Nilai rasa lega ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan lega ataupun puas dari penutur yang terlihat dalam tuturannya. 49. “Kini batin rasanya longgar Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 138, data tuturan NRPP 138) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai perasaan Pariyem setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Data tuturan (49) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yang digunakan
untuk
mengungkapkan
perasaan
penutur.
Pariyem
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
176
mengungkapkan perasaan leganya setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri yang terlihat dari ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Kini batin rasanya longgar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kelegaan di hati Pariyem setelah ia megaku tentang siapa yang menghamilinya pada nDoro Putri. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (49) mengandung nilai rasa lega. Nilai rasa lega diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif Pariyem setelah mengaku pada nDoro Putri dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat ia mengaku pada nDoro Putri tentang kehamilannya sehingga ia bebas mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (49) dianggap santun karena apa yang dikatakan diungkapkan menggunakan gaya bahasa membuat tuturan lebih efektif dan lebih terkesan halus, hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan komunikasi menurut Pranowo (2009:18-23). Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan yang mengandung nilai rasa lega dapat terlihat pada penggunaan kalimat yang mencerminkan perasaan lega dari penutur. Tuturan yang bernilai rasa lega cenderung terasa santun karena menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. 4.2.2.14.2 Nilai Rasa Puas Nilai rasa puas ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan puas penutur yang terdapat dalam tuturannya. 50. Mas Paiman, O, Mas Paiman Saya tetap tinggal sebagai sedia kala
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
177
Saya tetaplah sebagai babu yang setia Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 180, data tuturan NRPP 180) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman tentang seberapa besarnya cinta Pariyem akan Den Baguse Data tuturan (50) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Penutur mengungkapkan perasaannya setelah semua badai kehidupan melandanya, hal ini terlihat pada unsur intralingual melalui kalimat “Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sudah puas dengan apa yang ia miliki saat ini, karena menurutnya ia telah menemukan kebahagiaan dalam hidup walaupun ia tetap bekerja sebagi seorang babu tetapi ia telah merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Oleh karena itu, data tuturan (50) dapat dikatakan mengandung nilai rasa puas. Nilai rasa puas diperkuat unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem setelah semua perjalanan hidupnya diceritakan pada Mas Paiman dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman dan leluasa untuk mengungkapkan perasaan serta pikirannya pada Mas Paiman yang setia mendengarkan pengakuan hidupnya. Tuturan (50) dianggap santun karena memenuhi prinsip kesantunan dalam berkomunikasi dengan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23). Seperti yang terlihat pada tuturan (50)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
178
menggunakan kata “mas” untuk menyebutkan seseorang yang dianggap lebih tua. Dari contoh tuturan yang mengandung nilai rasa puas di atas, dapat dikatakan bahwa nilai rasa puas muncul dalam penggunaan kalimat yang mengungkapkan perasaan puas dari diri penutur. Tuturan yang mengandung nilai rasa puas cenderung terasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa.
4.2.2.15 Nilai Rasa Benci Nilai rasa benci ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan benci, tidak suka, tidak menghargai, sentimen yang dirasakan penutur yang dapat dilihat dalam tuturannya. 4.2.2.15.1 Nilai Rasa Ejekan Nilai rasa cinta ialah ejekan rasa bahasa yang mengandung perasaan ejekan penutur yang terdapat dalam tuturannya. 51. Kempas-kempus mulutnya nyedot kebul sembari menggosok-gosok jerawatnya yang alkamdulilah ! lebat bertumbuhan (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 110, data tuturan NRPP 110) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai sifat dari nDoro Putri Tuturan (51) merupakan bentuk representatif yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal pada orang lain. Pariyem memberitahukan Mas Paiman tentang kebiasaan nDoro Putri saat rasa malasnya kambuh. Tuturan yang digunakan Pariyem mengandung nilai rasa ejekan seperti yang dapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
179
dilihat melalui unsur intralingual yang berupa pilihan kata “alkamdulilah”. Diksi ini mengandung pengertian bersyukur, namun apabila digunakan untuk mensyukuri suatu hal yang tidak diharapkan tentunya mengandung pengertian yang lain. Penggunaan diksi ini untuk mensyukuri tumbuhnya jerawat nDoro Putri yang banyak. Hal ini membuat Pariyem mengejek wajah nDoro Putri saat melihatnya, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (51) bernilai rasa ejekan. Nilai rasa ejekan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui wajah nDoro Putri yang berjerawat dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membayangkan banyaknya jerawat di muka nDoro Putri Wiwit sehingga ia bisa merasakan kegelian yang diciptakannya sendiri. Tuturan (51) dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan yang menjaga apa yang diucapkan oleh penutur juga dirasakan oleh mitra tutur atau sikap tepa selira (Pranowo, 2009:103-104). Hal ini terlihat dari tuturan Pariyem yang menggambarkan banyaknya jerawat di wajah nDoro Putri bisa membuat mitra tutur bergidik ngeri setelah membayangkannya. Seharusnya penutur menjaga apa yang hendak dikatakan supaya tuturan terkesan lebih santun. Dari tuturan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai rasa ejekan muncul pada penggunaan pilihan kata yang mengungkapkan ejekan terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa ejekan cenderung dirasa tidak santun, karena melanggar prinsip kesantunan berkomunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
180
4.2.2.15.2 Nilai Rasa Tidak Senang Nilai rasa tidak senang ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan tidak senang penutur akan suatu hal yang terdapat dalam tuturannya. 52. Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya Cantik-cantik semua (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52, data tuturan NRPP 52) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada Paiman mengenai hal pribadi dari nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Data tuturan (52) merupakan bentuk representatif yang digunakan untuk
memberitahukan
sesuatu
hal
pada
orang
lain.
Pariyem
memberitahukan efek dari keluwesan dan kewibawaan dari nDoro Kanjeng yaitu tentang selir-selir majikannya pada Mas Paiman. Tuturan yang digunakan Pariyem mengandung nilai rasa tidak senang yag dapat dilihat dari unsur intralingual melalui penggunaan diksi “berserak”. Penggunaan diksi ini seolah para selir dari nDoro Kanjeng adalah sampah yang berserak dimana-mana, terlihat dari penggunaan kata tersebut Pariyem tidak senang dengan kelakuan nDoro Kanjeng yang memiliki banyak selir padahal beliau sudah memiliki istri yang sempurna, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (52) bernilai rasa tidak senang. Nilai rasa tidak senang diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui efek dari sikap nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
181
santai sehingga membuat Pariyem teringat akan selir dari majikannya sehingga ia merasa nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman secara bebas. Ungkapan “berserak” dirasa tidak santun, seolah para selir dari nDoro Kanjeng adalah sampah. Hal ini melanggar prinsip kesantunan berkomunikasi menurut Pranowo (2009:23) bahwa pilihan kata yang
digunakan
kesantunan”.
oleh
Seharusnya
penutur penutur
seharusnya dapat
mencerminkan
memilih
kata-kata
“aura yang
mencerminkan kesantunan sehingga tuturan terkesan lebih santun. Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa nilai rasa tidak senang muncul dalam penggunaan pilihan kata yang mencerminkan perasaan tidak senang dari penutur. Tuturan yang bernilai rasa tidak senang cenderung terkesan tidak santun karena banyak ditemukan penggunaan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan. Seharusnya penutur dapat memilih kata-kata yang mencerminkan kesantunan sehingga tuturan terkesan lebih santun.
4.2.2.16 Nilai Rasa Sakit Nilai rasa sakit ialah kadar rasa bahasa yang mengandung perasaan kesakitan yang dialami penutur yang terdapat dalam tuturannya. 53. Aduh, jempol kaki saya kesandung undak-undakan trotoar Malioboro (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 80, data tuturan NRPP 80) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu Mas Paiman bahwa ia mengalami cedera saat berjalan-jalan bersamanya. 54. “Sebagai banyak orang lain
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
182
Demikian pun saya alami sendiri 21/2 tahun terbaring-baring di amben waktu saya sakit batu ginjal (Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 113, data tuturan NRPP 113) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada Mas Paiman pengalaman Pariyem waktu menderita penyakit yang cukup serius Data tuturan (53) merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yang digunakan
untuk
mengungkapkan
perasaan
si
penutur.
Pariyem
mengungkapkan kesakitan yang ia rasakan saat tersandung jalan trotoar, sehingga di dalam tuturannya terkandung nilai rasa sakit yang terlihat pada ditandai unsur intralingual melalui pilihan kata “aduh”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kesakitan, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (53) bernilai rasa sakit. Nilai rasa sakit diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia tersandung jalan dan konteks situasi komunikasi yang berupa latar percakapan berada di salah satu sisi trotoar jalan Malioboro, waktu percakapan pun di senja hari yang bisa jadi membuat Pariyem tidak melihat anak tangga jalan trotoar, dengan situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem secara refleks mengeluh kesakitan pada Mas Paiman. Tuturan ini dianggap santun karena apa yang diucapkan oleh Pariyem sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang dikatakan seharusnya sesuai dengan data atau fakta yang ada.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
183
Data tuturan (54) merupakan bentuk tuturan ekspresif. Penutur mengungkapkan rasa sakit yang dideritanya melalui unsur intralingual melalui kalimat “21/2 tahun terbaring-baring di amben waktu saya sakit batu ginjal”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kesakitan
yang
dirasakan oleh Pariyem sewaktu menderita penyakit batu ginjal. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan (54) bernilai rasa sakit. Nilai rasa sakit diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia menderita penyakit batu ginjal dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan
yang
nyaman
dapat
membuat
Pariyem
mengingat
pengalamannya waktu tak berdaya karena penyakit batu ginjal yang dideritanya. Tuturan (54) dianggap santun karena apa yang diucapkan oleh Pariyem sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang dikatakan seharusnya sesuai dengan data atau fakta yang ada. Berdasarkan kedua tuturan yang mengandung nilai rasa sakit di atas, dapat dikatakan bahwa nilai rasa sakit muncul pada penggunaan pilihan kata dan kalimat yang mengungkapkan rasa sakit dari penutur. Tuturan yang mengandung nilai rasa sakit cenderung terasa santun karena apa yang diucapkan biasanya sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa penutur merasakan kesakitan saat didera kejadian yang membuatnya merasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
184
kesakitan. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas, yakni yang dikatakan seharusnya sesuai dengan data atau fakta yang ada.
4.3 Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Dalam proses analisis data, data yang digunakan peneliti adalah tuturan monolog dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Sebelum melakukan analisis data, peneliti terlebih dahulu membaca, menandai dan mencatat tuturan yang diduga mengandung daya bahasa dan nilai rasa di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Berikut peneliti akan membahas hasil analisis data yang telah dipaparkan sebelumnya :
4.3.1 Penggunaan Memunculkan
Unsur Daya
Intralingual Bahasa
dan
Sebagai
Ekstralingual Penanda
untuk
Kesantunan
Berkomunikasi Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan berbagai unsur intralingual dan ekstralingual dalam delapan bentuk daya bahasa di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Kedelapan bentuk daya bahasa tersebut yaitu : daya kabar (yang didalamnya terdiri atas daya informatif, daya ungkap dan daya penjelas), daya imajinasi (yang didalamnya terdiri atas daya imajinasi personifikasi, daya imajinasi metafora, daya imajinasi perumpamaan), daya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
185
retoris, daya ancam (didalamnya terdapat daya sindir dan daya kritik), daya paksa (yang didalamnya terdiri atas daya perintah, daya larangan dan daya nasihat), daya harap, daya penolakan, dan daya tantangan. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan dari penelitian Pranowo (2012). Berdasarkan banyaknya macam daya bahasa tersebut, sebagai penanda kesantunan dapat digunakan unsur intralingual dan unsur ekstralingual (Pranowo, 2013). Unsur intralingual berupa unsur segmental seperti kalimat, klausa, frasa, dan diksi. Berdasarkan hasil analisis peneliti, unsur intralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dapat berupa pilihan kata, klausa dan kalimat. Unsur intralingual berupa diksi dapat dijumpai pada pemunculan daya imajinasi dan daya harap. Pilihan kata yang dapat memunculkan daya imajinasi dapat dilihat dari tuturan “Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya. Cantik-cantik semua” (kode data : DBPP52). Diksi “berserak” dapat diumpamakan seperti sampah yang bertebaran dimana-mana. Pilihan kata yang dapat memunculkan daya harap dapat dilihat dari tuturan “Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani. Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang merusak penghidupan kami” (kode data : DBPP6). Diksi “semoga” dapat mengindikasikan daya harap pada tuturan tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
186
Unsur intralingual berupa klausa dapat dijumpai pada pemunculan daya bahasa imajinasi. Seperi yang terdapat dalam tuturan “Ya, ya, Pariyem saya. Saya lahir di atas amben bertikar dengan ari-ari menyertai pula. Oleh mbah dukun dipotong dengan welat tajamnya tujuh kali pisau cukur” (kode data : DBPP1). Klausa tajamnya tujuh kali pisau cukur dipersepsi memunculkan daya imajinasi. Unsur intralingual berupa kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya bahasa informatif, daya bahasa imajinasi, daya bahasa retoris, daya bahasa ancam, daya paksa, daya bahasa penolakan dan daya bahasa konflik. Seperti yang terlihat dari tuturan “Dia mati bunuh diri minum Baygon karena diri merasa berlumur dosa” (kode data : DBPP41). Kalimat tersebut dipersepsi memunculkan daya informatif karena kalimat tersebut berisikan informasi tentang hal yang terjadi pada tetangga sebelah rumah majikan Pariyem yang berkutat dengan dosa. Kalimat pada tuturan “Suara orang bagaikan tawon yang mubal merubung tabon” (kode data : DBPP99) dipersepsi memunculkan daya imajinasi karena di dalam kalimat tersebut terdapat majas perumpamaan. Daya retoris muncul pada penggunaan kalimat yang berisikan pertanyaan tetapi tidak membutuhkan jawaban atau jawabannya sudah terlihat jelas seperti yang terdapat pada tuturan “Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya?” (kode data : DBPP11). Daya ancam muncul pada kalimat yang berisikan sindiran, ejekan ataupun kritikan seperti pada tuturan “Terang, negara kocar-kacir! (kode data :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
187
DBPP24). Kalimat yang berisikan perintah, saran atau nasihat dapat memunculkan daya paksa seperti yang terlihat dari tuturan “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?” (kode data : DBPP4). Kalimat yang memunculkan daya penolakan dapat dilihat dari tuturan “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya !” (kode data: DBPP42). Kalimat yang memunculkan daya tantangan dapat dilihat dari tuturan “Sudahlah bilang saja: kapan waktunya dan sebutkan tempatnya” (kode data: DBPP128). Penggunaan unsur intralingual di atas, disebabkan oleh beberapa alasan seperti keefektifan kalimat, kepaduan klausa dengan klausa lain yang membentuk kalimat, ketepatan frasa, dan ketepatan penggunaan diksi sesuai dengan daya bahasa yang ingin dimunculkan. Di samping itu, pemunculan daya bahasa sebagai unsur kesantunan juga digunakan unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi. Segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi ialah yang disebut dengan konteks situasi komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respons lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Unsur ekstralingual berupa konteks dapat dilihat pada munculnya semua daya bahasa seperti yang dijabarkan di bawah ini : Unsur ekstralingual dalam daya informatif yang terdapat pada tuturan “Bahkan, kakak perempuannya yang bahenol dan taberi sinau. Dia mati bunuh diri minum Baygon karena diri merasa berlumur dosa” (kode data :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
188
DBPP41) dapat berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat yang dapat terjadi dari memikirkan dosa dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang menjadi gila karena berkutat dengan dosa sehingga ia dapat menceritakannya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan berkomunikasi menurut Pranowo (2009:23) yakni menggunakan kata-kata yang memiliki “aura kesantunan”. Ungkapan “mati” dirasa kurang santun, karena penggunaan kata tersebut digunakan untuk binatang, sedangkan untuk manusia dapat digunakan kata “meninggal dunia”. Sejalan dengan pendapat Pranowo (2009:98) bahwa konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan seseorang yang terlihat dari tuturannya. Unsur ekstralingual dalam daya imajinasi yang terdapat pada tuturan “Wawasannya luas seluas Alun-alun Lor. Hatinya longgar selonggar kathok kolor. Pikirannya tajam setajam keris warangan. Perasaannya peka sepeka pita kaset. Dan rangkulannya jembar sejembar pergaulannya dalam penghidupan ini” (kode data : DBPP52) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui tentang sikap dan sifat dari nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat bercerita tentang nDoro Kanjeng dengan leluasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
189
pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena penggunaan majas metafora banyak dipakai untuk menghaluskan suatu ujaran supaya terasa santun. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:18-23) bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan dan menjaga tuturan terasa santun dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam daya retoris yang terdapat pada tuturan “Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya?” (kode data : DBPP11) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui kenyataan bahwa nama lengkap hanya digunakan saat-saat formal saja dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari yang membuat Pariyem mengeluarkan semua pendapatnya tentang penggunaan nama lengkap pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena sesuai prinsip kesantunan yakni memenuhi prinsip kuantitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang diucapkan cukup seperlunya saja tidak lebih dan tidak kurang dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam daya ancam yang terdapat pada tuturan “Sebagaimana syair pop Indonesia yang dibuat untuk lagu-lagu yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
190
dibuat secara kodian. Yang dibuat untuk target perusahaan rekaman yang dibuat guna cari keuntungan. Pokoknya laris, dibeli penggemar yang lazimnya kalangan umur muda. Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya dan nyontek semua aransemennya – habis perkara. Sudah jamaknya, waton bunyi syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta yang berpribadi” berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui kenyataan bahwa lagu pop Indonesia saat ini kualitasnya berbeda dengan lagu lama dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari saat Pariyem mendengarkan siaran radio yang memutar sebuah lagu lama sehingga ia dapat membandingkan lagu lama dan lagu pop di Indonesia saat ini. Tuturan ini dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas (Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan memaksimalkan kesetujuan bagi mitra tuturnya sesuai dengan maksim kesetujuan atau agreement maxim menurut Leech (1983) dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam daya paksa yang terdapat pada tuturan “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?” (kode data : DBPP4) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui alasan nama Bambang dan Endang tidak boleh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
191
dimiliki sembarangan orang dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat menyuruh Mas Paiman secara bebas. Tuturan tersebut dirasa santun karena adanya penggunaan pilihan kata “sampeyan”. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan” dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam daya harap yang terdapat pada tuturan Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani. Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang merusak penghidupan kami (kode data : DBPP6) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui harapan yang dipanjatkan orang tua Pariyem di dalam namanya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat mengingat harapan yang dipanjatkan bapak Pariyem pada Tuhan melalui Dewi Sri dengan nama dan kelahiran Pariyem di musim tanam padi. Tuturan tersebut dipandang santun karena cara yang digunakan dan pilihan kata yang digunakan mencerminkan kesantunan terlebih tuturan tersebut ditujukan pada sesuatu yang dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
192
“aura kesantunan” dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam daya penolakan yang terdapat pada tuturan “Rasa dosa yang tertimbun di dalam sanubarinya ia tebus dengan tukar nyawa! O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya !” (kode data : DBPP42) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui bahwa dosa manusia tidak ditentukan oleh masyarakat namun pada Tuhan dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang bunuh diri karena merasa dirinya berdosa sehingga ia dapat menceritakannya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2005 dalam Pranowo, 2009:103-104) yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi. Penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman (mitra tutur), padahal masyarakatlah yang menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam daya tantangan yang terdapat pada tuturan “Sudahlah bilang saja: kapan waktunya dan sebutkan tempatnya. Saya tanggung sampeyan mabok kepayang takkan tahan, sampeyan pasti ketagihan” (kode data : DBPP128) berupa konteks tuturan yang selalu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
193
menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui Pariyem dapat memuaskannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat malam hari ketika Pariyem dan Mas Paiman membicarakan tentang fungsi wanita sebagai pelengkap dalam semua urusan. Tuturan tersebut dirasa tidak santun karena yang dikatakan berupa tantangan secara langsung pada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terlecehkan. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:103-104) menjaga perasaan mitra tutur dalam tuturan yang diucapkan atau sikap tepa selira dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai unsur kesantunan dalam berkomunikasi dalam daya bahasa yang menunjukkan kesantunan antara lain daya harap. Sebaliknya, daya bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan antara lain daya penolakan dan daya tantangan. Selain itu ada pula daya bahasa yang dapat menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan yaitu daya informatif, daya imajinasi, daya retoris, daya ancam dan daya paksa. 4.3.2 Penggunaan
Unsur
Intralingual
dan
Ekstralingual
untuk
Memunculkan Nilai Rasa Bahasa sebagai Unsur Kesantunan dalam Berkomunikasi Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan berbagai unsur intralingual dan ekstralingual dalam enam belas bentuk nilai rasa bahasa di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
194
prosa lirik Pengakuan Pariyem. Keenam belas bentuk nilai rasa bahasa tersebut yaitu : nilai rasa halus (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa hormat dan nilai rasa sopan), nilai rasa kasar, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa takut dan nilai rasa gelisah), nilai rasa yakin (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa yakin, nilai rasa percaya dan nilai rasa harapan), nilai rasa heran (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa heran, nilai rasa kaget dan nilai rasa penasaran), nilai rasa bersalah (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa bersalah, nilai rasa hampa dan nilai rasa menyesal), nilai rasa sedih (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa sedih, nilai rasa kehilangan dan nilai rasa terharu), nilai rasa bahagia (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa bahagia, nilai rasa senang, nilai rasa nyaman dan nilai rasa bangga), nilai rasa marah (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa marah, nilai rasa kesal dan nilai rasa tidak terima), nilai rasa menerima (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa menerima, nilai rasa rela dan nilai rasa bersyukur), nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa lega dan nilai rasa puas), nilai rasa benci (yang didalamnya terdiri atas nilai rasa ejekan dan nilai rasa tidak senang) dan nilai rasa sakit. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan dari penelitian Suryani (2013). Berdasarkan banyaknya macam nilai rasa bahasa tersebut, sebagai penanda kesantunan dapat digunakan unsur intralingual dan unsur ekstralingual (Pranowo, 2013). Unsur intralingual berupa unsur segmental seperti kalimat, klausa, frasa, dan diksi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
195
Berdasarkan hasil analisis peneliti, unsur intralingual yang dapat memunculkan nilai rasa bahasa dapat berupa pilihan kata, frasa, klausa dan kalimat. Unsur intralingual berupa pilihan kata dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa menerima, nilai rasa benci dan nilai rasa sakit. Contoh penggunaan pilihan kata yang dapat memunculkan nilai rasa dapat dilihat dari beberapa tuturan di bawah ini, seperti yang terlihat dalam tuturan “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’(kode data : NRPP1) diksi “sampeyan” mengindikasikan nilai rasa halus penutur terhadap mitra tutur. Pilihan kata yang memunculkan nilai rasa kasar dapat dilihat dari tuturan “Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku. Thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu itu bakal cucuku. Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa hanya selama setahun tinggal di dusun Wonosari, Gunung Kidul. Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul” (kode data : NRPP151) berupa diksi “thuyul” untuk menyebut jabang bayi yang masih dalam kandungan. Pilihan kata yang memunculkan nilai rasa benci dapat dilihat dari tuturan “Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya. Cantik-cantik semua” (kode data : NRPP52) berupa diksi “berserak” yang digunakan untuk mengumpamakan manusia dengan sampah. Pilihan kata yang memunculkan nilai rasa sakit dapat dilihat dari tuturan “Aduh, jempol kaki saya kesandung. Undakundakan trotoar Malioboro” (kode data: NRPP80) berupa diksi “aduh” yang mengindikasikan nilai rasa sakit.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
196
Unsur intralingual berupa frasa dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa halus. Seperti yang terlihat dalam tuturan “PARIYEM, nama saya. Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa. Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta. Umur saya 25 tahun sekarang tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa. Tapi saya ingat betul weton saya : wukunya kuningan di bawah lindungan bethara Indra” (kode data : NRPP1) berupa frasa “nuwun sewu” yang mengindikasikan nilai rasa halus. Unsur intralingual berupa klausa dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa heran dan nilai rasa marah. Seperti yang terlihat dalam tuturan “Selagi saya membersihkan kamarnya. Tiba-tiba saya direnggut dari belakang. O, Allah, saya kaget setengah mati, mas” (kode data : NRP31) berupa klausa “saya kaget setengah mati” yang mengindikasikan nilai rasa kaget dari penutur. Klausa yang memunculkan nilai rasa marah dapat dilihat dari tuturan “Saya lebih patut sebagai biyung emban. Saya lebih patut sebagai Limbuk. Begitulah ledekan tukang becak. O, betapa anyel ati saya dibuatnya. Bila sudah begini, saya suka sewot” (kode data : NRPP19) berupa klausa “betapa anyel ati saya” dan “saya suka sewot” yang mengindikasikan nilai rasa marah penutur. Unsur intralingual berupa kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa benci dan nilai rasa sakit. Contoh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
197
penggunaan kalimat yang dapat memunculkan nilai rasa dapat dilihat dari beberapa tuturan di bawah ini, seperti yang terlihat dalam tuturan “Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki. Muncul keluar ia membutuhkan papan” (kode data : NRPP25), unsur intralingual yang berupa kalimat “Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki.” dipersepsi bernilai rasa kasar karena menggunakan perumpamaan yang
tidak sepantasnya untuk diucapkan. Kalimat yang
memunculkan nilai rasa sadar diri terdapat dalam tuturan “Ah, ya, jika saya suka ngomong bukan maksud saya mulang sampeyan. Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan” (kode data : NRPP85) kalimat “Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan” mengindikasikan nilai rasa sadar diri terdapat di dalam tuturan tersebut. Kalimat yang memunculkan nilai rasa cinta terdapat dalam tuturan “Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni” (kode data : NRPP179), kalimat tersebut mengindikasikan nilai rasa cinta penutur terhadap anaknya. Kalimat yang memunculkan nilai rasa bebas terdapat dalam tuturan “Mas Paiman, O, Mas Paiman. Saya tetap tinggal sebagai sedia kala. Saya tetaplah sebagai babu yang setia. Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia” (kode data : NRPP180), kalimat “Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia” dipersepsi mengandung nilai rasa bebas penutur. Penggunaan unsur intralingual di atas, disebabkan oleh beberapa alasan seperti keefektifan kalimat, kepaduan klausa dengan klausa lain yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
198
membentuk kalimat, ketepatan frasa, dan ketepatan penggunaan diksi sesuai dengan nilai rasa bahasa yang ingin dimunculkan. Di samping itu, pemunculan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan juga digunakan unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dan konteks situasi komunikasi. Segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi ialah yang disebut dengan konteks situasi komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respons lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Unsur ekstralingual berupa konteks dapat dilihat pada munculnya semua nilai rasa bahasa seperti yang dijabarkan di bawah ini : Unsur ekstralingual dalam nilai rasa halus yang terdapat pada tuturan “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’ (kode data : NRPP4) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui nama Bambang dan Endang tidak boleh dimiliki sembarangan orang dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman tetapi tetap menempatkan posisi Mas Paiman lebih tua darinya sehingga ia tetap menggunakan kata “sampeyan” untuk menunjuk Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
199
“aura kesantunan” dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa kasar yang terdapat pada tuturan “Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku. Thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu itu bakal cucuku. Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa hanya selama setahun tinggal di dusun Wonosari, Gunung Kidul. Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul” (kode data : NRPP151) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui keputusan yang diambil oleh nDoro Kanjeng dalam sidang pengadilan keluarga dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat
kejadian
saat
pengadilan
keluarga
Suryamentaraman
berlangsung. Tuturan dianggap santun karena memenuhi prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada, sebab Pariyem menirukan kata-kata yang diucapkan oleh nDoro Kanjeng saat menjatuhinya vonis, sehingga tuturan tersebut tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa oleh Pariyem dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa sadar diri yang terdapat pada tuturan “Ah, ya, jika saya suka ngomong bukan maksud saya mulang sampeyan. Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan” (kode data : NRPP85) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
200
dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui maksud Pariyem menceritakan nilai-nilai yang ia dapatkan saat menguping majikannya memberikan piwulang pada muridnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai namun Pariyem tetap menghormati Mas Paiman sebagai orang yang lebih tua darinya sehingga ia berusaha menghormati Mas Paiman dengan sikap dan tuturan yang ia jaga. Tuturan tersebut dirasa santun karena memenuhi prinsip kesantunan berkomunikasi yakni menjaga tuturan supaya terkesan tidak memuji diri sendiri sesuai dengan prinsip kesantunan berkomunikasi menurut Leech meminimalkan pujian terhadap diri sendiri (1983 dalam Pranowo, 2009:102-103) dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa takut-cemas yang terdapat pada tuturan “Dan saya hanya bisa kethap-kethip. Bagaikan kera kena tulup pemburu” (kode data : NRPP147) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat disidang oleh keluarga Suryamentaraman dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Tuturan tersebut dirasa
santun
karena
menggunakan
majas
perumpamaan
untuk
menghaluskan tuturan yang dirasa keras, sehingga tuturan terkesan lebih
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
201
efektif dan santun. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009) bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan menjaga kesantunan berkomunikasi dan hal ini didukung dengan konteks situasi yang mendukung tingkat kesantunan seseorang dalam berkomunikasi (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa yakin yang terdapat pada tuturan “Lha, tidak ilok namanya. Saya yakin, itu percuma. Dianggap pamer nama saja” (kode data : NRPP12) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui mengapa nama lengkap tidak boleh digunakan secara sembarangan dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:103-104) yakni menjaga tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang diucapkan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur dan hal ini didukung dengan konteks situasi yang mendukung tingkat kesantunan seseorang dalam berkomunikasi (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa heran yang terdapat pada tuturan “Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala. Pakai upacara segala sekadar untuk kelon. Apa tidak kampiun itu namanya?” (kode data : NRPP127) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
202
pesta seks yang dilakukan dari jaman kuno dengan kedok upacara atau tradisi dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di malam hari yang membuat Pariyem dan Mas Paiman tidak rikuh membicarakan tentang peranan wanita dari jaman kerajaan hingga di jaman modern seperti saat ini dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat leluasa berbicara pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dianggap tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti ungkapan “kelon” yang digunakan dalam tuturan yang diucapkan oleh Pariyem. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan” dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa bersalah yang terdapat pada tuturan “O, Allah Gusti nyuwun ngapura. Kenapa ati saya nelangsa kejeblos ke dalam jugangan. Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring ke dalam kegelapan” (kode data : NRPP69) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem setelah mengetahui dirinya sudah tidak perawan lagi dan konteks situasi komunikasi yang berupa
situasi
tuturan
yang
santai
sehingga
membuat
Pariyem
membayangkan kembali ingatannya saat ia kehilangan keperawanannya dan bisa merasakan rasa saat ia tersadar telah melakukan hal yang belum
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
203
sepantasnya dilakukan. Tuturan tersebut dirasa santun karena mengatakan hal yang sebenarnya terjadi hal ini sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni apa yang dikatakan sesuai dengan data atau fakta yang sebenarnya dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa sedih yang terdapat pada tuturan “O, Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang! Walaupun bakal lama berpisah namun bukan kehilangan” (kode data : NRPP155) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang ia rasakan saat harus berpisah dengan keluarga majikannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena menggunakan majas perumpamaan yang dapat mengefektifkan tuturan dan tuturan terkesan lebih santun. Hal itu sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:18-23) yakni pemakaian bahasa dengan menggunakan gaya bahasa akan terasa lebih santun dibandingkan dengan tuturan biasa dan didukung dengan konteks situasi komunikasi
dapat
mempengaruhi
kesantunan
seseorang
(Pranowo,
2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa bahagia yang terdapat pada tuturan “Beberapa minggu berselang – edan! – penyakit sontoloyo itu pun hilang.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
204
O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia! Wajah basah oleh air mata” (kode data : NRPP114) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat penyakit batu ginjalnya telah sembuh dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membayangkan kebahagiaan setelah ia tahu ia sembuh dari penyakit batu ginjal dan ia dapat mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dirasakan sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Grice (1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni prinsip kualitas dan didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa marah yang terdapat pada tuturan “Saya lebih patut sebagai biyung emban. Saya lebih patut sebagai Limbuk.
Begitulah ledekan tukang becak. O, betapa anyel ati saya dibuatnya. Bila sudah begini, saya suka sewot” (kode data :NRPP19) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia diejek oleh tukang becak dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana tuturan yang santai membuat Pariyem dapat mengungkapkan keluh kesahnya ketika ia di ledek oleh para tukang becak pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:103-104) yakni menjaga perasaan mitra
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
205
tutur ketika berkomunikasi atau sikap tepa selira karena kemarahan Pariyem harusnya ditujukan pada tukang becak bukan Mas Paiman dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa menerima yang terdapat pada tuturan “Saya pun tambah besar. Sampai anak-anak muda Yogya menggoda dan sering rerasan : Saya bertubuh sintal. Saya bertubuh tebal. Tapi biarkan sajalah saya tak apa-apa kok, saya lega-lila” (kode data : NRPP10) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat diejek oleh para pemuda dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana tuturan di pagi hari yang masih sejuk sehingga membuat Pariyem teringat pada ejekan orang lain tentang bentuk tubuhnya.
Tuturan
dirasa
santun
karena
sesuai
dengan
maksim
kedermawanan (menerima apapun yang dikatakan oleh orang lain terhadap dirinya) atau generosity maxim menurut Leech (1983 dalam Pranowo 2009:102-103) dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa cinta yang terdapat pada tuturan “Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni” (kode data : NRPP179) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui apa saja yang akan dilakukan Pariyem untuk anaknya dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
206
konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga membuat Pariyem teringat anaknya yang ditinggal di Wonosari, Gunung Kidul bersama bapak, ibu dan adik-adiknya namun dalam waktu sebulan sekali pasti ia mengunjungi putri semata wayangnya itu. Tuturan tersebut dirasa santun karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang meminimalkan pujian terhadap diri sendiri hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Leech (1983 dalam Pranowo, 2009:102-103) dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa pesimis yang terdapat pada tuturan “Menggugurkan kembang-kembang padi mengguyurkan badai ribut ke bumi. Kuntum-kuntum padi, kuntum-kuntum harap kuntum-kuntum gairah hidup petani. Muspra tanpa guna lagi. Dan tanaman yang semula subur tak berisi gabug tak berbijikan padi” (kode data : NRPP8) konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat dari serangan hama tanaman dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem mengingat tanaman padi yang digasak hama wereng dan tikus sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa santun karena menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo (2009:23) dan hal ini didukung dengan konteks situasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
komunikasi
dapat
mempengaruhi
kesantunan
seseorang
207
(Pranowo,
2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa bebas yang terdapat pada tuturan “Kini batin rasanya longgar. Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang. Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu” (kode data : NRPP138) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif Pariyem setelah mengaku pada nDoro Putri dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat ia mengaku pada nDoro Putri tentang kehamilannya sehingga ia bebas mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan (49) dianggap santun karena apa yang dikatakan diungkapkan menggunakan gaya bahasa membuat tuturan lebih efektif dan lebih terkesan halus, hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan komunikasi menurut Pranowo (2009:18-23) dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa benci yang terdapat pada tuturan “Kempas-kempus mulutnya nyedot kebul sembari menggosok-gosok jerawatnya yang alkamdulilah ! lebat bertumbuhan” (kode data : NRPP110) berupa berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui wajah nDoro Putri yang berjerawat dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membayangkan banyaknya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
208
jerawat di muka nDoro Putri Wiwit sehingga ia bisa merasakan kegelian yang diciptakannya sendiri. Tuturan tersebut dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan yang menjaga apa yang diucapkan oleh penutur juga dirasakan oleh mitra tutur atau sikap tepa selira (Pranowo, 2009:103-104) dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98) dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98). Unsur ekstralingual dalam nilai rasa sakit yang terdapat pada tuturan “Aduh, jempol kaki saya kesandung undak-undakan trotoar Malioboro” (kode data : NRPP80) berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia tersandung jalan dan konteks situasi komunikasi yang berupa latar percakapan berada di salah satu sisi trotoar jalan Malioboro, waktu percakapan pun di senja hari yang bisa jadi membuat Pariyem tidak melihat anak tangga jalan trotoar, dengan situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem secara refleks mengeluh kesakitan pada Mas Paiman. Tuturan ini dianggap santun karena apa yang diucapkan oleh Pariyem sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas (Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34) yakni yang dikatakan seharusnya sesuai dengan data atau fakta yang ada dan hal ini didukung dengan konteks situasi komunikasi dapat mempengaruhi kesantunan seseorang (Pranowo, 2009:98).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
209
Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai unsur kesantunan
dalam
berkomunikasi
dalam
nilai
rasa
bahasa
yang
menunjukkan kesantunan antara lain nilai rasa halus, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, dan nilai rasa sakit. Sebaliknya, nilai rasa bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan antara lain nilai rasa marah dan nilai rasa benci. Selain itu ada pula nilai rasa bahasa yang dapat menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan yaitu nilai rasa nilai rasa kasar, nilai rasa yakin, dan nilai rasa heran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab V, peneliti menemukan penggunaan unsur ekstralingual dan intralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa sebagai penanda kesantunan yang terkandung dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Penemuan itu peneliti simpulkan sebagai berikut : 5.1.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti menemukan unsur intralingual dan ekstralingual dalam delapan bentuk daya bahasa yang terdapat dalam tuturan prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Ag. Kedelapan bentuk daya bahasa tersebut yaitu : daya kabar, daya imajinasi, daya retoris, daya ancam, daya paksa, daya harap, daya penolakan, dan daya tantangan. Unsur intralingual daya bahasa diantaranya berupa pilihan kata, klausa dan kalimat yang memunculkan daya bahasa yang terdapat di dalam tuturan sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang mendukung memunculkan daya bahasa. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa menjadi indikator kesantunan berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh pemilihan unsur intralingual yang tepat membuat tuturan lebih efektif sehingga membuat komunikasi terasa lebih santun sedangkan unsur ekstralingual dapat berupa latar atau setting terjadinya komunikasi dapat mempengaruhi tingkat
210
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
211
kesantunan tuturan yang diucapkan. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual sebagai unsur kesantunan dalam berkomunikasi dalam daya bahasa yang menunjukkan kesantunan antara lain daya harap. Sebaliknya, daya bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan antara lain daya penolakan dan daya tantangan. Selain itu ada pula daya bahasa yang dapat menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan yaitu daya informatif, daya imajinasi, daya retoris, daya ancam dan daya paksa. 5.1.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan berbagai unsur intralingual dan ekstralingual dalam enam belas bentuk nilai rasa bahasa di prosa lirik Pengakuan Pariyem. Keenambelas nilai rasa tersebut yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa benci dan nilai rasa sakit. Unsur intralingual nilai rasa bahasa yang terdapat dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem berupa pilihan kata, frasa, klausa dan kalimat yang di dalamnya terdapat apa yang dirasakan oleh penutur sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang mendukung memunculkan nilai rasa bahasa. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam nilai rasa bahasa menjadi indikator kesantunan berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh pemilihan unsur intralingual yang tepat membuat tuturan lebih efektif sehingga membuat komunikasi terasa lebih santun sedangkan unsur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
212
ekstralingual dapat berupa latar atau setting terjadinya komunikasi dapat mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan yang diucapkan. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual sebagai unsur kesantunan dalam berkomunikasi dalam nilai rasa bahasa yang menunjukkan kesantunan antara lain nilai rasa halus, nilai rasa sadar diri, nilai rasa takut-cemas, nilai rasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, dan nilai rasa sakit. Sebaliknya, nilai rasa bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan antara lain nilai rasa marah dan nilai rasa benci. Selain itu ada pula nilai rasa bahasa yang dapat menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan yaitu nilai rasa nilai rasa kasar, nilai rasa yakin, dan nilai rasa heran.
5.2 Saran Penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu peneliti mengajukan beberapa saran bagi para peneliti lain yang hendak melakukan penelitian yang sejenis. Saran dari peneliti adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini hanya mengkaji mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dalam prosa lirik monolog Pengakuan Pariyem. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan mengkaji lebih lanjut hubungan antara daya bahasa dan nilai rasa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
213
2. Data yang diteliti sebaiknya tidak hanya karya sastra saja, dapat berupa data yang lebih variatif semisal percakapan dalam komunikasi keseharian sehingga data lebih otentik. 3. Penelitian lebih lanjut yang mengkaji faktor yang melatarbelakangi penggunaan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dirasa akan lebih bagus lagi, karena keduanya sama-sama memiliki pengaruh dalam komunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. ___________. 2012. Linguistik Umum (ed. revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Cummings. Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa (ed. revisi). Jakarta: Gramedia. Leech Geoffrey. 2003. Semantik (Terjemahan Indonesia: Drs. Paina Partana, M.Hum). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: Citra Aditya Bakti. Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (ed. revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Ende: Nusa Indah. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik (ed. revisi). Jakarta: Gramedia. Poerwadarminta, W.J.S. 1967. Bahasa Indonesia untuk Karang Mengarang. Yogyakarta: Kanisius. Pranowo. 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat. Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 15 Agustus 2009. Yogyakarta: Penerbit USD. _______. 2012. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. 2013. Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan dalam Berkomunikasi dalam Setiyaningsih, Yuliana (editor) Prosiding Seminar Nasional. Yogyakarta: Penerbit USD. Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. IV). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ramlan. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakata: CV. Karyono. Rene, Wellek dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan (Terjemahan Indonesia: Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana (Terjemahan Indonesia: Prof. Dr. Abd. Syukur Ibrahim). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. 214
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
215
Sridarni. 1999. Sikap Pasrah Tokoh Utama Wanita Jawa dalam Novel Prosa Lirik Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Ag Suatu Tinjauan Sosiologis. Skripsi S1. PBSI. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Supardo, Susilo. 1988. Bahasa Indonesia dalam Konteks. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Suprapti, dkk. 1992. “Leksikon dan Taksonomi Emosi”, dalam Kaswanti Puro (ed.) PELLBA 5 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. Jakarta: Kanisius. Suryabrata, Sumardi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo. Suryadi, Linus Ag. 1981. Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Suryani, Dini. 2013. Nilai Rasa pada Diksi dalam Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan November 2012. Skripsi S1. PBSI. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuni, Qonita Fitra. 2009. Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi Pidato Politik. Skripsi S1. PBSID. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DATA UNSUR EKSTRALINGUAL DAN INTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA UNTUK MENGEFEKTIFKAN KESANTUNAN Bagian 1 1. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1 Data tuturan : “PARIYEM, nama saya Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta Umur saya 25 tahun sekarang -tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa Tapi saya ingat betul weton saya : wukunya kuningan di bawah lindungan bethara Indra (DBPP.1) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan, tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memperkenalkan diri kepada mas Paiman, mitra tuturnya. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui struktur kalimat “PARIYEM, nama saya. Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa. Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta. Umur saya 25 tahun sekarang tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa. Tapi saya ingat betul weton saya : wukunya kuningan di bawah lindungan bethara Indra”. Kalimat di atas bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang identitas dirinya. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat bercerita secara detail tentang dirinya kepada mas Paiman. Begitu pula mas Paiman sebagai pendengar juga mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan oleh Pariyem. 2. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1 Data tuturan : “Ya, ya, Pariyem saya Saya lahir di atas amben bertikar dengan ari-ari menyertai pula Oleh mbah dukun dipotong dengan welat tajamnya tujuh kali pisau cukur (DBPP.1) DB imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada mas Paiman (mitra tuturnya) cara orang zaman dulu ketika memotong ari-ari bayi yang baru lahir dengan menggunakan alat yang masih tradisional. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora yang ditunjukkan unsur intralingual melalui klausa “tajamnya tujuh kali pisau cukur”. Penggunaan klausa ini bertujuan untuk mengumpamakan tajamnya welat jauh lebih tajam dari pisau cukur. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora diperkuat dengan suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk bercerita kepada mas Paiman ketika ia mengingat cara orang jaman dahulu sebelum ada persalinan di rumah sakit. 3. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3
216
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
217
Data tuturan : Memang, bapak saya seorang petani, kok Tapi cuma menggarap bengkok pak Sosial tidak jembar sama sekali (DBPP.3) DB penegasan Konteks tuturan : Tuturan dikatakan oleh Pariyem, tuturan diucapkan untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) tentang pekerjaan bapaknya Pariyem menegaskan bahwa bapaknya memang petani kecil yang menggarap lahan yang sempit untuk dijadikan tumpuan hidup keluarganya. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa penegasan yang ditandai unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Memang, bapak saya seorang petani, kok”. Kalimat tersebut memberikan penegasan pada mas Paiman bahwa bapaknya Pariyem memanglah seorang petani. Daya bahasa penegasan diperkuat dengan suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk bercerita kepada mas Paiman. 4. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3 Data tuturan : Saya anak tertua, mas Dua adik saya lelaki dan wanita Pairin menganyam caping di rumah Painem membantu simbok di pasar Sedang bapak seharian di sawah buruh, sibuk mengolah tanah (DBPP.3) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan dikatakan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai anggota keluarganya dan pekerjaannya. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual melalui struktur kalimat “Saya anak tertua, mas. Dua adik saya lelaki dan wanita. Pairin menganyam caping di rumah. Painem membantu simbok di pasar. Sedang bapak seharian di sawah buruh, sibuk mengolah tanah”. Kalimat tersebut memberitahukan pada mas Paiman mengenai anggota keluarga Pariyem dan pekerjaan dari masing-masing anggota keluarganya. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat bercerita secara detail tentang dirinya dan keluarganya kepada mas Paiman. Begitu pula mas Paiman sebagai pendengar juga mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan oleh Pariyem. Bagian 2 5. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4 Data tuturan : “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’ DB perintah (DBPP.4) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai nama kedua adiknya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
218
Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa perintah yang ditandai unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?”. Kalimat ini bertujuan memberikan perintah agar mas Paiman tidak bertanya tentang alasan nama kedua adiknya bukan Bambang dan Endang. Daya bahasa perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat menyuruh mas Paiman secara bebas. 6. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4 Data tuturan : Adapun hakekatnya : Bambang dan Endang anak padhepokan Tapi pendeta dan pertapa kini tak ada Jaman sudah menggilingnya dan lumat bersama alamnya Nama itu diambil alih orang-orang berada dan lalu diberikan kepada putra-putrinya (DBPP.4) DB penjelas Konteks tuturan : Tuturan ini dikatakan oleh Pariyem sebagai penjelasan dari pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) yang bertanya mengenai mengapa nama kedua adiknya bukan Bambang dan Endang. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa penjelas yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat melalui kalimat “Adapun hakekatnya : Bambang dan Endang anak padhepokan”, “Tapi pendeta dan pertapa kini tak ada”, “Jaman sudah menggilingnya dan lumat bersama alamnya” dan “Nama itu diambil alih orang-orang berada dan lalu diberikan kepada putra-putrinya”. Koteks dari kalimat tersebut ialah “Seorang pendeta atau petapa punya hak untuk mengambil nama itu”. Kalimat tersebut menjelaskan pada mas Paiman bagaimana nama Bambang dan Endang turun kasta dan saat ini dapat digunakan oleh orang-orang yang mampu bukan lagi milik pendeta ataupun pertapa. Daya bahasa penjelas diperkuat dengan suasana percakapan yang santai saat membicarakan nama Bambang dan Endang sehingga membuat Pariyem nyaman untuk menjelaskan pengetahuannya pada mas Paiman. 7. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 5 Data tuturan : Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas Semua serba pakai kelas Bangsawan dan rakyat jelata Darah biru dan darah biasa dalam kraton dan luar kraton – berbeda derajatnya (DBPP.5) DB kritik Konteks tuturan : Tuturan di atas diucapkan oleh Pariyem. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) yang bertanya mengenai patokan pembeda bibit, bobot dan bebet seseorang di dalam masyarakat. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa kritik yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas” dan “Semua serba pakai kelas”. Penggunaan kedua kalimat tersebut bermaksud mengkritik masyarakat saat ini yang membedakan derajat seseorang melalui materi belaka. Daya bahasa kritik diperkuat dengan suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya tentang pembeda status sosial masyarakat pada mas Paiman.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
219
Bagian 3 8. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 6 Data tuturan : Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang merusak penghidupan kami (DBPP.6) DB harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai harapan orang tua Pariyem yang memberinya nama Pariyem yang berasal dari nama padi. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa harapan yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani” dan “Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan”. Penggunaan kata “semoga” ini memiliki harapan yang dipanjatkan untuk tanamannya berbuah dengan baik. Daya bahasa harapan diperkuat dengan situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas bercerita dan berpendapat pada mas Paiman. 9. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 6 Data tuturan : Lihatlah, hama tikus dan wereng menggasak padi yang hijau royo-royo Merusak kaum petani bercocok tanam dan menggagalkan panenan kami (DBPP.6) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan, tuturan tersebut diucapkan karena Pariyem ingin memberitahukan mas Paiman (mitra tuturnya) bahwa tanaman padi banyak dirusak oleh hama-hama wereng dan tikus. Unsur tuturan : Dalam tuturan di atas terkandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual melalui klausa “hama tikus dan wereng menggasak padi yang hijau royoroyo”. Klausa tersebut bermaksud menginformasikan pada mas Paiman bahwa kenyataan yang ada banyak tanaman padi yang dirusak oleh hama wereng dan tikus. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan sedikit memanas karena Pariyem geram ketika menceritakan hama-hama tanaman padi. 10. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 7 Data tuturan : Segala macam racun, obat dan tetek bengek siasat telah mereka gunakan tapi tak mempan Tak sanggup membumihanguskan hama (DBPP.7) DB informatif Konteks tuturan : Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem dalam menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara pemberantasan hama yang telah dilakukan para petani di dusunnya. Unsur tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
220
Tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditandai dengan unsur intralingual melalui kalimat “Segala macam racun, obat dan tetek bengek siasat telah mereka gunakan tapi tak mempan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa segala upaya telah ditempuh untuk memberantas hama wereng dan tikus namun tak satu pun ada yang berhasil. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan sedikit memanas karena Pariyem merasa geram ketika menceritakan hama-hama tanaman padi. Bagian 4 11. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 9 Data tuturan : Hidup tak perlu dirasa hidup tak perlu dipikir Dari awal sampai akhir hidup itu mengalir Bagaikan kali Winanga bagaikan kali Codhe, di tengah kota, bagaikan kali Gajah Wong Hidup kita pun mengalir (DBPP.9) DB imajinasi dengan menggunakan perumpamaan Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut menjawab pertanyan dari mitra tutur (mas Paiman) mengenai cara hidup seperti apakah yang dijalaninya selama ini. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan perumpamaan yang ditandai dengan unsur intralingual melalui kalimat “Bagaikan kali Winanga bagaikan kali Codhe, di tengah kota, bagaikan kali Gajah Wong”. Penggunaan kalimat tersebut bertujuan untuk memudahkan mas Paiman dalam membayangkan cara hidup Pariyem yang mengalir mengikuti takdirnya. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa suasana percakapan nyaman yaitu di pagi hari dengan pemandangan alam burung-burung beterbangan dan bunga-bunga bermekaran sehingga membuat Pariyem mengumpamakan cara hidupnya seperti sungai yang mengalir. 12. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 9 Data tuturan : Sengkarut kebutuhan yang muncul Hasil panen dijadikan tulang punggung Kami hidup gali lubang tutup lubang (DBPP.9) DB informatif Konteks tuturan : Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem ketika mitra tuturnya bertanya bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup apabila panenan padi tidak bisa dijadikan tumpuan hidup. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual yang berupa penggunaan kalimat “Sengkarut kebutuhan yang muncul”, “Hasil panen dijadikan tulang punggung”, dan “Kami hidup gali lubang tutup lubang”. Penggunaan ketiga kalimat tersebut mempunyai maksud memberitahukan pada mas Paiman tentang keadaan ekonomi keluarga Pariyem yang minim sehingga keluarganya juga tidak terlepas dari hutang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa suasana percakapan di pagi hari yang sejuk dan nyaman sehingga membuat Pariyem dapat bercerita pada mas Paiman.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
221
Bagian 5 13. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11 Data tuturan : Adapun kepercayaan saya : Mistik Jawa Tapi dalam kartu penduduk oleh pak Lurah dituliskan saya beragama Katolik Memang saya pernah sinau di Sekolah Dasar Kanisius Wonosari Gunung Kidul Tapi sebagaimana sinau saya tak taman saya pun tak punya akar kokoh beragama Memang saya dibaptis rama pastur Landa berambut pirang da tubuhnya jangkung – van de Moutten namanya Jadi jelasnya, terang-terangan saja : kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen (DBPP.11) DB Informatif Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan sebagai jawaban dari pertanyaan mas Paiman (mitra tutur Pariyem) mengenai agama yang dianutnya selama ini. Unsur tuturan : Tuturan tersebut mengandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Jadi jelasnya, terang-terangan saja : kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen”. Pariyem memberitahukan mas Paiman mengenai keyakinan yang selama ini dianutnya. Daya bahasa informatif juga diperkuat dengan unsur ekstralingual tuturan yang berupa waktu percakapan di sore hari menjelang malam, membuat Pariyem tidak ragu mengaku pada mas Paiman karena waktunya yang longgar untuk bercerita. 14. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11 Data tuturan : Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya? (DBPP.11) DB retoris Konteks tuturan : Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem sebagai tanggapan dari jawaban mitra tutur (mas Paiman) mengenai pendapat Pariyem tentang penggunaan nama lengkap yang tidak boleh digunakan secara sembarangan. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa retoris yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat pertanyaan “Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya?”. Daya bahasa retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari yang membuat Pariyem mengeluarkan semua pendapatnya tanpa tergesa-gesa karena waktunya ia beristirahat setelah seharian bekerja. 15. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 12 Data tuturan : Ukara “nekad” dan “tekad” hampir sama memang, tapi hakekatnya berlawanan Apabila tekat itu terbina oleh keyakinan nekad itu terdorong oleh tindakan ngawur justru karena kehilangan keyakinan (DBPP.12) DB penjelas Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
222
Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk menjelaskan pada mitra tutur (mas Paiman) tentang perbedaan antara nekat dan tekad. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa penjelas yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Apabila tekat itu terbina oleh keyakinan, nekad itu terdorong oleh tindakan ngawur justru karena kehilangan keyakinan”. Tuturan tersebut menjelaskan mengenai perbedaan dari makna kata tekad dan nekat. Daya bahasa penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari yang membuat Pariyem dapat mengeluarkan semua pendapatnya pada mas Paiman tanpa tergesa-gesa karena waktunya ia beristirahat setelah seharian bekerja. 16. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 13 Data tuturan : Apabila suatu hari kita bertemu jangan panggil saya Maria Jangan panggil saya Magda Tapi panggil saya Pariyem Jangan panggil saya Riri Jangan panggil saya Yeyem Tapi panggillah saya Iyem lha, orang tua saya memanggil Iyem, kok cocok benar dengan pangkat saya : babu (DBPP.13) DB larangan dan perintah Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tutur (mas Paiman) mengenai nama panggilan kesehariannya. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa larangan dan perintah yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “jangan panggil saya Maria” ,“ Jangan panggil saya Magda tapi panggil saya Pariyem”, “Jangan panggil saya Riri Jangan panggil saya Yeyem tapi panggillah saya Iyem”. Penggunaan kata “jangan” mengarah pada tindakan yang tidak diperbolehkan sedangkan kata “panggillah” mengacu pada tindakan yang diinginkan oleh penuturnya. Daya bahasa larangan dan perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan pikirannya pada mas Paiman. Bagian 6 17. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 13 Data tuturan : “Rembulan kayak tampah di Timur baru muncul dari balik gerumbul (DBPP.13) DB imajinasi dengan menggunakan perumpamaan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman mengenai bentuk bulan purnama pada malam itu saat mereka bercerita Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan perumpamaan yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Rembulan kayak tampah di Timur baru muncul dari balik gerumbul”. Penggunaan kalimat ini mengumpamakan bentuk bulan purnama seperti bentuk tampah (peralatan dapur yang terbuat dari bambu yang bentuknya bulat). Daya bahasa imajinasi menggunakan perumpamaan diperkuat dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
223
unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari saat Pariyem melihat bulan purnama sehingga ia dapat membayangkan bentuknya seperti tampah. 18. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 13 Data tuturan : “Dan agama, apakah agama? Pertanyaan itu bergaung dalam sanubari saya Suka menggelitik dan merongrong jiwa pula (DBPP.13) DB informatif Konteks tuturan : Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya yang mengatakan betapa pentingnya agama saat mereka terlibat diskusi mengenai konsep agama. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Pertanyaan itu bergaung dalam sanubari saya” dan “suka menggelitik dan merongrong jiwa pula”. Penggunaan kedua kalimat ini memberitahukan pada mas Paiman mengenai apa yang dirasakan oleh Pariyem saat ia memikirkan konsep agama. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan di malam hari saat ia dan mas Paiman berdiskusi mengenai agama sehingga Pariyem merasa nyaman untuk mengeluarkan pendapat dan pemikirannya. 19. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 14 Data tuturan : Jadi, apakah agama itu dogma hidup yang menjadi belenggu jiwa manusia? Ibarat lintah di paha perempuan yang menyedot cairan darah abang Benalu di pohon-pohon mempelam yang menghisap sari-sari makanan Cacing pita di tenggorokan kita yang menyadap pati-pati kehidupan (DBPP.14) DB imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu diskusi mengenai agama. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem sebagai kesimpulannya mengenai agama saat ia menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tuturnya). Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui pilihan kata “ibarat”. Penggunaan diksi “ibarat” memperlihatkan bahwa Pariyem mengumpamakan agama dengan lintah, benalu dan cacing pita yang merugikan makhluk hidup lainnya, seolaholah agama bukanlah sesuatu yang fundamental melainkan sesuatu yang menggerogoti kehidupan. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan di malam hari saat ia dan mas Paiman berdiskusi mengenai agama sehingga Pariyem merasa nyaman untuk mengeluarkan pendapat dan pemikirannya 20. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 17 Data tuturan : Saya tak suka serba kaku – ngotot – bagaikan baja yang keras tapi getas sekali bengkok tak punya gaya pegas Saya suka serba luwes – lembut bagaikan putri keraton Ngayogyakarta yang lembah manah dan andhap asor
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
224
(DBPP.17) Db perumpamaan Konteks tuturan : Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk menjawab pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) yang bertanya mengenai sikap seperti apa yang lebih disukai oleh dirinya. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui pilihan kata “ibarat”. Penggunaan diksi “bagaikan” memperlihatkan bahwa Pariyem mengumpamakan sifat manusia dengan baja dan putri kraton, hal ini mempermudah bagi mas Paiman untuk menbayangkann sifat yang sangat berlainan dengan pengumpamaan yang dibuat Pariyem. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan di malam hari saat ia dan mas Paiman berdiskusi mengenai agama sehingga Pariyem merasa nyaman untuk mengeluarkan pendapat dan pemikirannya Bagian 7 21. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 17 Data tuturan : “Wayang kulit dan Ketoprak tontonan kegemaran saya Ditambah sandiwara RRI Nusantara II Ngayogyakarta Hadiningrat saban Minggu malamnya Sedangkan pada hari siang ketimbang ngrasani para tetangga dan bergunjing perkara bendoronya ongkang-ongkang di amben dapur sinambi kalaning nganggur mending muter radio amatir (DBPP.17) DB Informatif Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) yang bertanya mengenai kegiatan yang paling disukai Pariyem ketika dirinya tidak ada pekerjaan. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Wayang kulit dan Ketoprak tontonan kegemaran saya”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang kegemarannya melihat pementasan wayang kulit dan ketoprak dari pada memperbincangkan keburukan tetangganya di waktu senggang. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan di pagi dini hari saat suasana sepi dan terdengar alunan gamelan sehingga membuat Pariyem menceritakan kegemarannya pada mas Paiman (mitra tuturnya) Bagian 8 22. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 20 Data tuturan : “pada jaman sebelum G30-S/PKI Bapak saya pemain ketoprak ulung Suwito namanya Karso Suwito nama tuanya Bapak saya biasa berperan sebagai bambangan banyak benar wanita kepencut sama bapak saya Apalagi bila dia sudah gandrung - ura-ura - para penonton terharu hilang kata (DBPP.19) DB informatif Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
225
Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan Pariyem sebagai jawaban dari pertanyaan mitra tutur (mas Paiman) mengenai pekerjaan bapak Pariyem sebelum jadi petani. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Bapak saya biasa berperan sebagai bambangan banyak benar wanita kepencut sama bapak saya”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang pekerjaan bapak Pariyem sebagai pemain ketoprak sebelum menjadi petani di dusunnya. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem melamun di malam hari dan ia teringat pada masa lalu sehingga ia menceritakan tentang bapaknya sebagai pemain ketoprak yang ulung. 23. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 20 Data tuturan : “sedang simbok saya jadi Ledhek Parjinah nama kecilnya Simbok pun laris ditanggap Tayuban bersama sejumlah kawan seangkatannya – komplot ledhek yang berusia sebaya Simbok adalah bintang primadonanya (DBPP.20) DB informaif Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan Pariyem sebagai jawaban dari pertanyaan mitra tutur (mas Paiman) mengenai pekerjaan ibu Pariyem sebelum berjualan di pasar. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “sedang simbok saya jadi Ledhek”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang pekerjaan ibunya Pariyem sebelum berjualan di pasar. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem melamun di malam hari dan ia teringat pada masa lalu sehingga ia menceritakan tentang ibunya sebagai Ledhek atau penari Tayuban. 24. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 21 Data tuturan : “Tapi Paguyuban Kethoprak dan Ledhek sejak peristiwa kacau balau itu punah (DBPP.21) Db imajinasi dengan menggunakan majas hiperbolis Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya mengenai penyebab orang tuanya tidak bekerja sebagai seniman lagi. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas hiperbolis yang ditunjukkan unsur intralingual melalui pilihan kata “punah”. Koteks kalimat ini ialah “pada zaman sebelum G-30S/PKI”, koteks ini sebagai rujukan dari peristiwa kacau balau yang menyebabkan kesenian Ketoprak dan Ledhek punah. Penggunaan kata itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang hilangnya kesenian akibat peristiwa yang membuat resah banyak masyarakat. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas hiperbolis diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
226
percakapan saat Pariyem melamun di malam hari dan ia teringat pada masa lalu sehingga ia menceritakan tentang ibunya sebagai Ledhek atau penari Tayuban Bagian 9 25. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 22 Data tuturan : “MATAHARI tegak di pusat langit menikam tajam ubun-ubun saya (DBPP.22) DB imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang mengeluh pada mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cuaca hari itu sangat panas karena jam menunjukkan tepat pukul 12.00. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Matahari tegak di pusat langit menikam tajam ubun-ubun saya”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang cuaca siang hari itu sangatlah panas sehingga Pariyem mengumpamakan dengan panas matahari dapat menikam tubuh manusia untuk memudahkan mas Paiman membayangkan rasanya panas matahari saat itu. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem bercerita dengan mas Paiman di siang hari dengan keringat yang bercucuran di dahi Pariyem yang merasakan gerah. 26. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 22 Data tuturan : “Mas Paiman, saya bilang ya jadi orang hidup itu mbok ya yang teguh imannya gitu, lho? Hidup yang prasojo tak usah yang aeng-aeng (DBPP.22) Db nasehat Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya yang bernama mas Paiman mengenai sikap mas Paiman yang tidak menerima kenyataan hidupnya. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa nasihat yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Mas Paiman, saya bilang ya jadi orang hidup itu mbok ya yang teguh imannya gitu, lho?” dan “Hidup yang prasojo tak usah yang aeng-aeng”. Penggunaan kalimat itu memperlihatkan maksud Pariyem memberi nasihat pada mas Paiman bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia harusnya disyukuri tak perlu kita serakah akan materi duniawi. Daya bahasa nasihat diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem dan mas Paiman terlibat dalam percakapan di siang hari setelah Pariyem menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman. 27. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 24 Data tuturan : “Kalau Indonesia krisis babu bukan hanya krisis BBM saja O, Allah, apa nanti jadinya? Terang, negara kocar-kacir! (DBPP.24) DB sindiran Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
227
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai mengapa Pariyem menerima keadaannya sebagai seorang babu Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa sindiran yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Terang, negara kocar-kacir!”. Penggunaan kalimat itu memperlihatkan maksud Pariyem menyindir pemerintah dan para pengguna jasa pembantu di Indonesia apabila keberadaan pembantu semakin menipis tentunya membuat mereka dalam masalah besar secara penyumbang devisa terbanyak di negara adalah para pembantu dan bayangkan saja Indonesia tanpa pembantu jelas saja semuanya kacau. Daya bahasa sindiran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem dan mas Paiman terlibat dalam percakapan di siang hari setelah Pariyem menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman 28. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 22 Data tuturan : Saya sudah membereskan meja makan Cuci pakaian, asah-asah, setlika sudah saya kerjakan dengan setia Kini saya berhak tidur –ngasoGandhon Siang mengalun lewat radio (DBPP.24) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahukan bahwa ia boleh istirahat setelah pekerjaannya beres. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Saya sudah membereskan meja makan” dan “Cuci pakaian, asah-asah, setlika sudah saya kerjakan dengan setia”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman bahwa tugasnya sebagai pembantu telah ia selesaikan, sehingga ia memberitahukan bahwa ia boleh menggunakan haknya untuk beristirahat. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari setelah Pariyem ia menyelesaikan semua pekerjaannya. Bagian 10 29. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 25 Data tuturan : Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki Muncul keluar ia membutuhkan papan (DBPP.25) DB imajinasi dengan menggunakan perumpamaan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menjelaskan prinsip 3K sebagai babu yang ia pegang dalam hidupnya dengan menggunakan perumpamaan pada mas Paiman. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui diksi “sebagai”. Penggunaan pilihan kata itu bermaksud memberitahukan mas Paiman bahwa karsa itu muncul dari dalam diri manusia, sehingga ia umpamakan dengan puting susu yang muncul keluar untuk memudahkan pemahaman mas Paiman mengenai karsa. Daya bahasa imajinasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
228
dengan menggunakan majas perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem bangun tidur di pagi hari sehingga ia dapat dengan leluasa mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman. 30. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27 Data tuturan : Dan saya mangap tak pernah mencong, lho Bagaikan jalur jalan Malioboro yang menyambung Tugu dan bangsal kraton tanpa belokan dan bunga pinggiran berpusat di satu tempat arah kiblat - Mandala (DBPP.27) DB imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menyakinkan mitra tuturnya yakni mas Paiman mengenai perkataannya tidak pernah berbohong. Unsur tuturan : Dalam tuturan di atas terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan pilihan kata “bagaikan”. Penggunaan kata ini memperlihatkan bahwa Pariyem ingin mempermudah pemahaman mas Paiman mengenai ucapannya yang diumpamakannya dengan jalur lurus jalan Malioboro hingga Tugu. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari yang membuat Pariyem nyaman untuk bercerita dengan mas Paiman sehingga ia dengan mudah membayangkan jalan Malioboro sampai Tugu. 31. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27 Data tuturan : Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor Pertanda pekerti orang itu rendah – belum genah di dalam jagad pasrawungan (DBPP.27)DB penjelasan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur mengenai pengalaman memaki orang. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa penjelas yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor”. Penggunaan kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem memberikan penjelasan pada mas Paiman tentang makian “lonthe” yang dianggap sangat kasar. Daya bahasa penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari yang membuat Pariyem leluasa menyampaikan pengetahuan pergaulannya pada mas Paiman. 32. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 28 Data tuturan : Ah, ya, dengarkanlah suara saya : perasaan tersalur lewat alam suara mencapai keseimbangan dengan jagad Dan betapa suara saya penuh tenaga menggetarkan lawan saya bercakap (DBPP.28)DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur mengenai suara yang benar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
229
Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Dan betapa suara saya penuh tenaga menggetarkan lawan saya bercakap”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan mas Paiman tentang suaranya yang bertenaga sehingga dapat menggetarkan mitra tuturnya. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat Pariyem mendengarkan suara ocehan burung kepodhang sehingga ia dapat berkata demikian pada mas Paiman. Bagian 11 33. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 29 Data tuturan : Radio amatir yang gembar-gembor menyiarkan iklan Shampo dan Inza Diseling lagu-lagu Landa buluk bergaung dalam sepinya ruang (DBPP.29) db imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem pada mas Paiman ketika ia membersihkan ruangan, suasana pada saat itu sangat sepi karena hari masih sangat pagi belum ada orang beraktivitas Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan unsur intralingual melalui klausa “radio amatir yang gembar-gembor”. Penggunaan klausa itu memperlihatkan seolah-olah radio memiliki mulut yang bisa berteriak-teriak menyiarkan iklan dan bernyanyi. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat orang-orang masih tertidur dan Pariyem membersihkan ruangan sambil mendengarkan radio amatirnya. 34. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 32 Data tuturan : Kini memerawani putra sulungnya Raden Bagus Ario Atmojo namanya saya ajar bermain asmara (DBPP.32) db informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai apa yang dilakukan Pariyem terhadap putra majikannya Unsur tuturan : Dalam tuturan di atas terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “kini memerawani putra sulungnya” dan “saya ajar bermain asmara”. Penggunaan dua kalimat ini bermaksud memberitahukan mas Paiman bahwa Pariyemlah yang merenggut keperjakaan dari putra majikannya yakni Den Baguse Ario Atmojo. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat Pariyem menceritakan Den Baguse pada mas Paiman sehingga Pariyem dapat mengatakan hal itu pada mitra tuturnya. 35. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 36 Data tuturan : Bila saya menerjemahkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
230
Yakni, bahasa persatuan kita ialah bahasa kebangsaan kita Maka saya korupsi bahasa saya manipulasi kebudayaan saya pun setlika peradaban Wuahh, saya berpokrol bambu yang tak genah juntrungannya Bahasa Jawa bangkrut maknanya sedang bahasa Indonesia jaya (DBPP.36) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu diskusi mengenai aksara Jawa. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai akibat apabila ada terjemahan aksara Jawa ke dalam bahasa Indonesia Unsur tuturan : Tuturan ini terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Bila saya menerjemahkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia” dan “Bahasa Jawa bangkrut maknanya sedang bahasa Indonesia jaya”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menginformasikan pada mas Paiman mengenai akibat dari terjemahan yang ia lakukan yakni kekayaan perbendarahaan kata dalam bahasa Indonesia akan semakin bertambah dengan masuknya kosakata bahasa Jawa didalamnya. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi diskusi yang nyaman sehingga membuat Pariyem leluasa mengutarakan pendapat dan pemikirannya. Bagian 14 36. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 38 Data tuturan : Apalagi kalau saya goda: “Besok saja ah, besok saja saya sedang capek kok” Tapi saya juga pasang gaya : melepas setagen berganti kain copot kebaya ganti yang lain (DBPP.38)DB informatif Konteks tuturan : Tuturan diatas diucapkan oleh Pariyem. Tuturan ini diucapkan Pariyem untuk memberikan contoh pada mas Paiman tentang caranya menggoda Den Baguse saat ingin melakukan hubungan badan Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Besok saja ah, besok saja saya sedang capek kok” dan “Tapi saya juga pasang gaya : melepas setagen berganti kain copot kebaya ganti yang lain”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan mas Paiman cara ia menggoda Den Baguse untuk melakukan hubungan badan. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari setelah Pariyem menyelesaikan pekerjaannya dan ia memulai bercerita tentang Den Baguse pada mas Paiman. Bagian 15 37. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 41 Data tuturan : Beberapa bulan yang silam priyayi alim dan jatmika itu, mahasiswa Fakultas Ilmu Dosa itu, tetangga dekat rumah saya itu, ajaib, dia malah sinting, tiap hari terkaing-kaing. (DBPP.41) Db informatif Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
231
Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada mas Paiman (mitra tutur) tentang tetangga rumahnya yang menjadi gila akibat perbuatannya sendiri yang bertindak di luar nalar manusia. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Beberapa bulan yang silam priyayi alim dan jatmika itu, mahasiswa Fakultas Ilmu Dosa itu, tetangga dekat rumah saya itu, ajaib, dia malah sinting, tiap hari terkaing-kaing”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang keadaan tetangga sebelah rumah majikan Pariyem yang saat ini gila karena tindakannya yang tidak dapat dinalar. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang menjadi gila karena berkutat dengan dosa sehingga ia dapat menceritakannya pada mas Paiman. 38. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 41 Data tuturan : “Bahkan, kakak perempuannya yang baheol dan taberi sinau Dia mati bunuh diri minum Baygon karena diri merasa berlumur dosa (DBPP.41) db informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai peristiwa tragis yang dilakukan oleh saudara kandung tetangga Pariyem. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Dia mati bunuh diri minum Baygon karena diri merasa berlumur dosa”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan mas Paiman akibat dari dosa yang mengilangkan nyawa orang seperti yang dilakukan oleh kakak tetangga Pariyem yang sinting akibat mempelajari ilmu dosa. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang menjadi gila karena berkutat dengan dosa sehingga ia dapat menceritakannya pada mas Paiman. 39. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42 Data tuturan : Rasa dosa yang tertimbun di dalam sanubarinya ia tebus dengan tukar nyawa! O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya ! (DBPP.42) DB ketidaksetujuan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa ketidaksetujuan yang ditandai dengan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya !”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan ketidaksetujuan Pariyem akan harga dosa yang sebanding dengan nyawa manusia. Daya bahasa ketidaksetujuan diperkuat dengan unsur intralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
232
menjadi gila karena berkutat dengan dosa sehingga ia dapat menceritakannya pada mas Paiman. 40. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42 Data tuturan : “Belalang membelah kegelapan jengkerik-jengkerik bersahutan Di luar : percakapan makhluk alam dengan cahaya bintang-bintang (DBPP.42) DB imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : Penutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang mengeluh tentang sepinya malam itu ketika ia berbagi cerita dengan mas Paiman (mitra tuturnya). Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditandai unsur intralingual melalui klausa “belalang membelah kegelapan”. Penggunaan klausa ini memperlihatkan seolah-olah belalang dapat memegang pisau sehingga mampu membelah gelapnya malam itu. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari saat Pariyem bercerita dengan mas Paiman, dan ia mendengar suara jangkrik serta melihat bintang di langit sehingga ia dapat mengatakan tuturan di atas. Bagian 16 41. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 43 Data tuturan : “ANGIN segar pun berkelakar diam-diam menyentuh panca indera (DBPP.43) DB imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : Penutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman tentang suasana pagi hari angin segar terasa di kulitnya ketika mereka berbagi cerita Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “ANGIN segar pun berkelelakar diam-diam menyentuh panca indera”. Melalui penggunaan majas personifikasi ini seolah angin pun dapat bercanda dan memiliki tangan untuk menyentuh pancaindra manusia. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang suasana percakapan di pagi hari saat Pariyem menyapu halaman depan rumah dan merasakan angin segar di sekitarnya. Bagian 17 42. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 45 Data tuturan : Apalagi bila dia sedang berkuasa : Nasib baik adalah masuk penjara Sampeyan dituntut ke pengadilan itu sebuah penghormatan Nasib untung adalah kena permak kendatipun sampai babak belur (DBPP.45) DB informatif Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
233
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai akibat dari mempermalukan orang lain di depan umum. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Nasib baik adalah masuk penjara Sampeyan dituntut ke pengadilan itu sebuah penghormatan” dan “Nasib untung adalah kena permak kendatipun sampai babak belur”. Penggunaan kalimat di atas yang diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada mas Paiman mengenai hukum yang berlaku bagi seseorang apabila mempermalukan orang lain di depan umum. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di malam hari, saat Pariyem menjahit bajunya yang sobek dan ia leluasa mengutarakan pendapat dan pemikirannya pada mas Paiman. 43. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 45 Data tuturan : Karena, demikianlah hukum lingkungan: Dipermalukan orang di depan umum harkat kemanusiaan pun tersinggung Harga diri adalah taruhannya sedang nyawa, apalah artinya? O, ini jangan dianggap ancaman betapa mahal harga pengertian! (DBPP.45) DB penjelas Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menjelaskan pada mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai alasan dari tindakan yang dilakukan seseorang untuk memperjuangkan harga dirinya. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa penjelas yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Dipermalukan orang di depan umum harkat kemanusiaan pun tersinggung” dan “Harga diri adalah taruhannya sedang nyawa, apalah artinya?”. Penggunaan kalimat memperlihatkan bahwa Pariyem menjelaskan hukum lingkungan yang berlaku pada mas Paiman apabila ia mempermalukan orang lain di depan umum. Daya bahasa penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di malam hari, saat Pariyem menjahit bajunya yang sobek dan ia leluasa mengutarakan pendapat dan pemikirannya pada mas Paiman. 44. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46 Data tuturan : Kelembutan yang pernah diajarkan : jangan usik ketenangan air kolam Demikianlah benih dalam hati saya tertanam : Sambutlah siapa pun juga dia dengan sabar dan tenang Terimalah bagaimana pun juga dia dengan senyum dan keramahan Dan jamulah apa pun juga dia dengan ikhlas tanpa kecurigaan (DBPP.46) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai cara menghormati orang lain. Unsur tuturan : Tuturan tersebut mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Kelembutan yang pernah diajarkan : jangan usik ketenangan air
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
234
kolam”. Penggunaan kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan mas Paiman tentang caranya menghormati orang lain. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman 45. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46 Data tuturan : Orang Katholik menebus rasa dosanya dalam pengakuan di kamar Bihten - lewat rama pastor dalam pengakuan kepada Ibunda Maria yang menyampaikan kepada Yesusnya Orang Islam menebus rasa salahnya dalam halal bihalal waktu lebaran - di sembarang tempat sehabis berpuasa sebulan lamanya dan doanya khusuk menghadap Tuhan (DBPP.46) DB Informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara seseorang menebus rasa malu dan dosanya. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “orang Katholik menebus rasa dosanya dalam pengakuan di kamar Bihten” dan “orang Islam menebus rasa salahnya dalam halal bihalal waktu lebaran”. Dalam penggunaan kedua klausa ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan cara menebus dosa bagi orang Katolik dan Muslim pada mas Paiman. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman 46. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46 Data tuturan : “Tapi saya? O, bagaimanakah saya? Saya tak mengaku pada siapa-siapa saya mengaku pada mas Paiman, kok Saya mengaku pada sampeyan saja dan tidak mengaku pada orang lain O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang (DBPP.46) DB ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara Pariyem menebus rasa malu dan dosanya. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang”. Dalam penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya pada mas Paiman. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan perasaannya pada mas Paiman 47. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 47 Data tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
235
Bila saya mengaku kepada mas Paiman itu bukti saya tresna sama sampeyan Bila saya menyimpan segala uneg-uneg itu bukti saya tak tresna sampeyan Ya, ya, pengakuan adalah buah katresnan Pengakuan saya bukan karena takut bukan karena simbol-simbol butut Dan bukan karena kepingin pameran tapi karena dorongan katresnan (DBPP.47) DB ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara Pariyem menebus rasa malu dan dosanya. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Pengakuan saya bukan karena takut bukan karena simbol-simbol butut” dan “Dan bukan karena kepingin pameran tapi karena dorongan katresnan”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaan cintanya pada mas Paiman dengan mengaku semua peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan perasaannya pada mas Paiman Bagian 18 48. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 51 Data tuturan : “Demikianlah kata batin saya : Saya berjanji, tetap menjaga baik-baik Nama Raden Bagus Ario Atmojo Saya OTM : Operasi Tutup Mulut istilah anak muda jaman sekarang (DBPP.51) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman mengenai sikap yang akan dilakukannya setelah melakukan hubungan yang tidak seharusnya dengan Den Baguse. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Demikianlah kata batin saya :”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan mas Paiman tentang apa yang akan dilakukan Pariyem sesuai dengan kata hatinya yakni menjadikan itu rahasia bagi dirinya dan Den Baguse. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni waktu percakapan di malam dengan suasana yang damai, Pariyem hanya ingin merasakan kedamaian dan ketentraman sehingga ia memutuskan untuk menjaga rahasia apa yang terjadi pada dirinya dan Den Baguse. Bagian 19 49. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 51 Data tuturan : “KANJENG Raden Tumenggung gelarnya Putra Wijaya nama timurnya Cokro Sentono nama dewasanya nDoro Kanjeng panggilannya prijagung Kraton Ngayogyakarta Priyayinya jangkung, tubuhnya gede Dia punya katuranggan raden Werkudara Dan dia memakai tismak apabila membaca
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
236
(DBPP.51) DB Informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman (mitra tuturnya) tentang gambaran diri dari nDoro Kanjeng Cokro Sentono yang merupakan majikannya. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Priyayinya jangkung, tubuhnya gede” dan “Dan dia memakai tismak apabila membaca”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menggambarkan bagaimana diri nDoro Kanjeng pada mas Paiman.. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat bercerita tentang nDoro Kanjeng dengan leluasa pada mas Paiman. 50. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52 Data tuturan : Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya Cantik-cantik semua (DBPP.52) Db imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tutur mengenai efek dari kewibawaan dan keluwesan pergaulan dari nDoro Kanjeng Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora yang ditandai unsur intralingual dari penggunaan diksi “berserak”. Kata berserak memiliki pengertian tersebar dimana-mana, seolah selir dari nDoro Kanjeng diumpamakan sampah yang bertebaran di banyak tempat. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem dapat bercerita pada mas Paiman tentang kelakuan nDoro Kanjeng yang tidak bisa setia dengan nDoro Ayu dan memiliki banyak selir. 51. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52 Data tuturan : Wawasannya luas seluas Alun-alun Lor Hatinya longgar selonggar kathok kolor Pikirannya tajam setajam keris warangan Perasaannya peka sepeka pita kaset Dan rangkulannya jembar sejembar pergaulannya dalam penghidupan ini (DBPP.52) DB imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tutur mengenai sikap dan sifat dari nDoro Kanjeng Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Wawasannya luas seluas Alun-alun Lor”, “Hatinya longgar selonggar kathok kolor”, “Pikirannya tajam setajam keris warangan”, “Perasaannya peka sepeka pita kaset”, “Dan rangkulannya jembar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
237
sejembar pergaulannya dalam penghidupan ini”. Penggunaan beberapa kalimat di atas memperlihatkan bahwa Pariyem ingin mempermudahkan pemahaman mas Paiman tentang sifat dan sikap dari nDoro Kanjeng yang diumpamakan dengan alun-alun, celana kolor, keris, dan pita kaset. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem dapat bercerita tentang nDoro Kanjeng dengan leluasa pada mas Paiman 52. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 54 Data tuturan : Selalu pakaian Jawa, selalu pakaian Jawa! Bebed Sidomukti dan surjan lurik lengkap blangkonnya gaya Ngayogya Timangnya gemerlap,jamnya berantai Dengan keris Semar Mesem tersandang di punggung – miring ke kiri dan selop mengkilat warnanya (DBPP.54) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman saat nDoro Kanjeng menghadiri acara formal seperti kondangan, Beliau senantiasa menggunakan pakaian adat Jawa lengkap. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Selalu pakaian Jawa, selalu pakaian Jawa!”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem menegaskan mengenai nDoro Kanjeng yang senantiasa menggunakan pakaian Jawa dalam acara-acara formal. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni situasi percakapan yang nyaman sehingga Pariyem teringat saat ia melihat nDoro Kanjeng yang selalu menggunakan pakaian Jawa pada saat menghadiri acara formal dan dapat menceritakan hal itu pada mas Paiman. Bagian 21 53. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 57 Data tuturan : O, lihatlah jagad pedalangan lihatlah jagad Ngayogyakarta Berpuluh dalang, beratus dalang timbul dan tenggelam Dari jaman ke jaman terpuruk dan hilang Dari jaman ke jaman timbul dan tenggelam Berpuluh dalang, beratus dalang hanya satu dua yang kondhang (DBPP.57) DB Informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan Pariyem untuk memberitahukan pada mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai jagad pewayangan yang mengalami krisis dalang Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan melalui kalimat “Berpuluh dalang, beratus dalang timbul dan tenggelam”. Penggunaan kalimat di atas berisi informasi mengenai keadaan jagad Yogyakarta yang terkenal dengan kota seniman namun krisis dalang saat kini. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yakni waktu percakapan di malam hari setelah nDoro Kanjeng pergi untuk mengikuti sarasehan pedalangan sehingga Pariyem mengatakan hal krisisnya dalang di Yogyakarta pada mas Paiman.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
238
Bagian 22 54. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 60 Data tuturan : Jadi sindhen itu ada risikonya, lho Pertama, predikat jelek suka nomplok dipopokkan oleh lingkungan hidupnya, penyelewengan sex alias laku serong sebagai biang keladinya Kedua, ada kaitan dengan nomor satu, sudah jamak bila jadi kembang lambe seorang sindhen kondhang karena susukan Ketiga, pesindhen kudu kuat iman, ya, iman dalam jagad pesidhenan (DBPP.60) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai resiko pekerjaan sebagai sindhen. Unsur tuturan : Tuturan tersebut memiliki daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Jadi sindhen itu ada risikonya, lho”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan pada mas Paiman mengenai risiko yang harus diterima seorang wanita apabila dirinya masuk dalam jagad pesindhenan. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari saat Pariyem teringat kenangannya akan ibunya yang menjadi sindhen sehingga ia dapat berbagi cerita tentang sindhen dengan mas Paiman. Bagian 23 55. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 62 Data tuturan : “ANGIN siang hari semilir mengusap wajah pohon-pohonan mampir ke jendela masuk ruang cuaca yang panas jadi nyaman (DBPP.62) DB imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : .penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem yang mengungkapkan apa yang dirasakan saat cuaca siang hari terasa sepoisepoi ketika ia berbagi cerita dengan mitra tuturnya (mas Paiman). Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan oleh unsur intralingual melalui klausa “angin siang hari semilir mengusap wajah pohon-pohonan”. Klausa tersebut mengandung majas personifikasi seolah-olah angin mempunyai tangan untuk mengusap dan pohon-pohon memiliki wajah. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari saat Pariyem beristirahat setelah menyelesaikan pekerjaannya, cuaca siang yang sejuk membuat Pariyem mengatakan kalimat itu pada mas Paiman. 56. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 62 Data tuturan : Sebagai anak Ledhek dan pesindhen walaupun simbok sudah veteran Tapi mana saya tak bisa nembang (DBPP.62) Db penegasan Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
239
Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk meyakinkan mas Paiman (mitra tuturnya) bahwa dirinya mewarisi darah ibunya sebagai sindhen Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa penegasan yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Tapi mana saya tak bisa nembang”, penggunaan kalimat ini memperlihatkan Pariyem meyakinkan mas Paiman bahwa dirinya juga bisa bernyanyi. Koteks dari kalimat tersebut ialah “saya biasa memimpin kawan-kawan dolanan : jejogetan dan tetembangan”. Daya bahasa penegasan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari saat Pariyem beristirahat dan ia teringat masa kecilnya yang memimpin teman-temannya bermain, menari sambil bernyanyi sehingga Pariyem memastikan dirinya bisa bernyanyi pada mas Paiman karena ia adalah anak seorang sindhen. Bagian 24 57. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 68 Data tuturan : O, Allah, Gusti nyuwun ngapura kami telanjang bulat! Bibir saya diciumnya ciuman pertama dari seorang pria Penthil saya diremasnya remasan pertama seorang pria Dan kuping bawah saya dikulumnya kuluman pertama dari seorang pria O, Allah, gelinya luar biasanya! (DBPP.68) Db ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan masa lalunya ketika ia melepaskan keperawanannya pada mas Paiman Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, Allah, gelinya luar biasanya!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya saat ia merasakan bersentuhan fisik pertama kalinya dengan seorang laki-laki. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat masa lalunya pada mas Paiman. 58. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 68 Data tuturan : O, bapak, O, simbok anakmu sudah tak prawan! Rambut saya dielusnya elusan pertama dari seorang pria Dahi saya dikecupnya kecupan pertama dari seorang pria Dan saya dipangkunya pangkuan pertama seorang pria Ada perasaan baru, ada kemelut baru bersabung menggunung di dalam kalbu (DBPP.68) Db ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan masa lalunya ketika ia melepaskan keperawanannya pada mas Paiman Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, bapak, O, simbok anakmu sudah tak prawan!”dan “Ada perasaan baru, ada kemelut baru bersabung menggunung di dalam kalbu”. Penggunaan kalimat ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
240
memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan kejadian masa lalunya saat ia melepaskan keperawanannya. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat masa lalunya pada mas Paiman. Bagian 28 59. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 77 Data tuturan : Kang Kliwon, O, Kang Kliwon Jakarta sudah menelannya lain irama, lain gayanya (DBPP.77) Db imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya mengenai penyebab mas Kliwon yang mengalami banyak perubahan semenjak hidup di kota Jakarta Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan unsur intralingual melalui klausa “Jakarta sudah menelannya”. Koteks dari tuturan tersebut ialah “perangainya sudah berobah banyak” dan “semenjak dia hidup di Jakarta perangainya perangai wong kota”. Penggunaan majas personifikasi “menelannya” seolah-olah kota Jakarta memiliki mulut yang besar hingga bisa menelan tubuh manusia, padahal maksud dari penggunaan kata “menelannya” memiliki makna terbawa gaya hidup orang Jakarta karena tinggal di kota metropolitan. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem leluasa untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya pada mas Paiman. 60. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 78 Data tuturan : “Aneh, sejak banyak tahun sampai kelon yang terakhir Saya tidak meteng-meteng, lho saya rada khawatir juga Ah, yaa kang Kliwon pintar, kok habis bantingan saya diongklok (DBPP.78) Db informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur mengenai akibat ia melakukan hubungan badan dengan mas Kliwon Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Ah, yaa kang Kliwon pintar, kok habis bantingan saya diongklok”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan pada mas Paiman tentang cara yang dilakukan mas Kliwon agar Pariyem tidak hamil setelah berhubungan badan dengannya. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas bercerita dengan mas Paiman. Bagian 30 61. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 81 Data tuturan : Mengucapkan salam pagi dan selamat sejahtera Semoga hari ini penuh kurnia bahagia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
241
(DBPP.81) DB harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu mas Paiman tentang burung-burung peliharaan nDoro Kanjeng yang mengoceh seakan memanjatkan harapan dan doanya di pagi hari itu. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa harapan yang ditandai dengan unsur intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan kata “semoga” mempunyai pengertian berharap akan sesuatu hal. Daya bahasa harapan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi tuturan di pagi hari saat Pariyem mendengarkan ocehan burung di nDalem Suryomentaraman sehingga ia dapat berkata seperti itu. Bagian 31 62. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 82 Data tuturan : “rumah nDoro Kanjeng jembar Rumah joglo gede magrong-magrong Halamannya luas berpagar tembok kuno dan banyak lumut tumbuh mewarnainya (DBPP.82) db informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai bentuk rumah dari majikan Pariyem Unsur tuturan : Tuturan tersebut mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “rumah nDoro Kanjeng jembar”, penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa bangunan rumah milik nDoro Kanjeng besar. Koteks tuturan tersebut ialah “Rumah joglo gede magrong-magrong”. Penggunaan kata “gede” sudah mengarah pada bentuk bangunan yang besar tetapi masih digunakan kata “magrongmagrong” untuk semakin memperjelas bahwa bangunan rumahnya nDoro Kanjeng sangatlah besar. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu situasi percakapan yang santai membuat Pariyem leluasa untuk berpendapat dengan mas Paiman. Bagian 33 63. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 90 Data tuturan : Tapi nDoro Ayu sungkan disembah-sembah dia tidak suka dihormati mundhuk-mundhuk (DBPP.90) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai sifat majikan putrinya. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Tapi nDoro Ayu sungkan disembah-sembah dia tidak suka dihormati mundhuk-mundhuk”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan mas Paiman tentang nDoro Ayu yang tidak senang dihormati dengan cara yang berlebihan. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu situasi percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem teringat akan majikan putrinya yakni nDoro Ayu sehingga ia bisa mengatakan tuturan tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
242
Bagian 35 64. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 94 Data tuturan : “kini dengarkanlah saya bercerita ialah cerita dari nDoro Ayu pula : Tiap wanita sehabis melahirkan anak minum jamu Uyup-uyup dan Cabe Puyang Khasiatnya membersihkan isi perut dan melancarkan pencernaan makan (DBPP.94) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman mengenai cara yang dilakukan nDoro Ayu untuk menjaga tubuhnya tetap langsing Unsur tuturan : Dalam tuturan diatas mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Tiap wanita sehabis melahirkan anak minum jamu Uyupuyup dan Cabe Puyang” dan “Khasiatnya membersihkan isi perut dan melancarkan pencernaan makan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan informasi pada mas Paiman cara menjaga tubuh wanita yang baru saja melahirkan agar tetap langsing. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan di hari Jumat sore saat Pariyem hendak mempersiapkan jamu yang akan dikonsumsi oleh nDoro Ayu dan nDoro Putri sehingga ia ingat khasiat jamu yang sering dikonsumsi nDoro Ayu dan mengatakannya pada mas Paiman. Bagian 36 65. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 96 Data tuturan : Lihatlah, orang-orang pun berdesak laki-laki perempuan, besar kecil, tua dan muda : campur aduk adanya Dremolen, Tong Setan, Bolang-Baling, Sirkus India, Jamu Jawa, Tahu Kempes Hiruk pikuk suaranya membahana (DBPP.96) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman keadaan di Pasar Malam Sekaten. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terdapat daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Lihatlah, orang-orang pun berdesak laki-laki perempuan, besar kecil, tua dan muda : campur aduk adanya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Perayaan Sekaten di Alun-alun Utara sangatlah ramai, alun-alun disulap menjadi pusat hiburan bagi semua lapisan masyarakat. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan saat Pariyem mengikuti rangkaian acara Maulud Nabi bersama nDoro Ayu dan nDoro Putri di Alun-alun Utara sehingga ia dapat bercerita pada mas Paiman tentang keadaan Pasar Malem Sekaten. Bagian 37 66. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 99 Data tuturan : “Hari baru tersiram hujan Lapangan pun basah dan becek
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
243
Tapi orang-orang berdatangan Alun-alun Lor penuh berdesak Suara orang bagaikan tawon yang mubal merubung tabon (DBPP.99) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang keadaan Kraton saat Gamelan Guntur Madu hendak dibunyikan. Unsur tuturan : Dalam tuturan di atas terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Suara orang bagaikan tawon yang mubal merubung tabon”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem ingin mempermudah pemahaman mas Paiman mengenai keramaian Pasar Malem Sekaten yang diumpamakan dengan sarang lebah yang dihinggapi ribuan lebah. Daya bahasa daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas perumpamaan diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan saat Pariyem mengikuti rangkaian acara Maulud Nabi bersama nDoro Ayu dan nDoro Putri di Alun-alun Utara sehingga ia dapat bercerita pada mas Paiman tentang keadaan malam saat Gamelan Guntur Madu hendak ditabuh. Bagian 38 67. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 102 Data tuturan : Pelan-pelan saya kunyah, saya cerna kata-katanya bersatu darah daging (DBPP.102) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai ajaran-ajaran dari nDoro Ayu yang diajarkan padanya. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan klausa “saya kunyah, saya cerna”. Penggunaan klausa ini seolah nilai-nilai yang diajarkan oleh nDoro Ayu adalah makanan yang dapat dikunyah dan dicerna dalam tubuh manusia. Penggunaan kunyah di sini berarti meresapi dan mengamalkan nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Daya bahasa daya bahasa imajinasi dengan menggunakan gaya bahasa metafora diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan di malam hari saat Pariyem menceritakan kata-kata yang nDoro Ayu Cahya Wulaningsih pada katakan pada Pariyem sehingga Pariyem dapat mengatakan tuturan di atas pada mas Paiman. Bagian 39 68. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 105 Data tuturan : Sebagaimana syair pop Indonesia yang dibuat untuk lagu-lagu yang dibuat secara kodian Yang dibuat untuk target perusahaan rekaman yang dibuat guna cari keuntungan Pokoknya laris, dibeli penggemar yang lazimnya kalangan umur muda Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya dan nyontek semua aransemennya – habis perkara Sudah jamaknya, waton bunyi syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta yang berpribadi (DBPP.105) (daya sindir/ kritik)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
244
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yag menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai kualitas lagu-lagu yang ada di Indonesia saat ini. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa kritik yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya dan nyontek semua aransemennya – habis perkara” dan “Sudah jamaknya, waton bunyi syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta yang berpribadi”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengkritik para pencipta lagu–lagu pop di Indonesia yang hanya memikirkan segi praktis belaka tanpa memikirkan kualitas syair dari lagu yang mereka ciptakan bahkan plagiat lagu dianggap sebagai hal yang biasa. Daya bahasa kritik diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan di malam hari saat Pariyem mendengarkan siaran radio yang memutar sebuah lagu lama sehingga ia dapat membandingkan lagu lama dan lagu pop di Indonesia saat ini pada mas Paiman. 69. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 105 Data tuturan : Kenapa tak percaya, coba dengarkan : Kus Bersaudara, Titik Puspa, Trio Bimbo dan Kus Plus, Leo Kristi dan Ebiet G. Ade dalam volume pertama kalinya (DBPP.105) (daya perintah) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman yang tidak percaya bahwa lagu-lagu lama malah mempunyai kualitas yang bagus dibanding lagu-lagu saat ini Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa perintah yang ditandai unsur intralingual melalui pilihan kata “coba dengarkan”. Pariyem menyuruh mas Paiman untuk mendengarkan lagu-lagu penyanyi jaman dulu di Indonesia untuk membedakan kualitas lagu lama dengan lagu baru. Daya bahasa perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan di malam hari saat Pariyem mendengarkan siaran radio yang memutar sebuah lagu lama sehingga ia dapat membandingkan lagu lama dan lagu pop di Indonesia saat ini pada mas Paiman. Bagian 41 70. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 110 Data tuturan : “MENTARI nongkrong di atas dusun sedang saya punya ibadah, satu kata : siap, Wedang teh dan dahar siang sudah saya susun rapih di atas meja (DBPP.110) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman (mitra tuturnya) bahwa pekerjaannya sudah diselesaikan dengan baik. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “wedang teh dan dahar siang sudah saya susun rapih di atas meja”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem telah menyelesaikan pekerjaannya untuk menyiapkan makan siang bagi keluarga Suryamentaraman. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
245
waktu percakapan siang hari setelah Pariyem menyelesaikan semua pekerjaannya sehingga ia dapat mengatakan tuturan di atas pada mas Paiman. Bagian 42 71. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 114 Data tuturan : O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia! Wajah basah oleh air mata (DBPP.114) Db ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang mengungkapkan perasaannya saat ia sembuh dari penyakit batu ginjalnya pada mas Paiman Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya pada mas Paiman saat ia dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu waktu percakapan saat Pariyem menceritakan pengalamannya ketika ia menderita penyakit batu ginjal selama 2,5 tahun hanya terbaring di ranjang pada mas Paiman. Bagian 44 72. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 117 Data tuturan : Tegur sapa selalu mampir waktu berjumpa dengan lelagehan dan suara medhok pula : “E, yu Pariyem, sudah mau pulang? Hari ini belanja apa saja sampeyan? Kabar buruk mbakyu, simbah Pawiro Tegal sudah seminggu yang lalu, dia meninggal” (DBPP.117) Db informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem saat bercerita dengan mas Paiman untuk menirukan ucapan tetangga dusunnya saat mereka bertemu di Pasar Beringharjo Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Tegur sapa selalu mampir waktu berjumpa dengan lelagehan dan suara medhok pula :”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sedang memberikan contoh tegur sapa antara ia dan tetangga dusunnya saat berjumpa di Pasar Beringharjo. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari saat Pariyem berada di dekat pintu masuk rumah majikannya dan ia melihat para bakul yang lewat setelah selesai berdagang di pasar sehingga ia teringat saat ia bertemu dengan teman-temannya dari desa di Pasar Beringharjo dan dapat bercerita tentang mereka pada mas Paiman. Bagian 45 73. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 119 Data tuturan : Iya, tiap setahun lima kali nDoro Putri berganti sepatu baru sepatu baru, selalu sepatu baru Iya, setahun lima kali nDoro Putri berganti pakaian baru
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
246
pakaian baru, selalu pakaian baru (DBPP.119) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai tingkah putri majikannya yang senang berfoya-foya. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Iya, tiap setahun lima kali nDoro Putri berganti sepatu baru” dan “Iya, setahun lima kali nDoro Putri berganti pakaian baru”. Melalui penggunaan kalimat ini Pariyem bermaksud memberitahukan pada mas Paiman bahwa nDoro Putri senang mengoleksi pakaian dan sepatu. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat nDoro Putri ketika berbelanja sehingga ia dapat mengatakan hal tersebut pada mas Paiman. Bagian 47 74. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 124 Data tuturan : Bahasa Jawa yang bertingkat : berbeda tempat penggunaannya - empan papan namanya tergantung lawan bicara kita (DBPP.124) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah tuturan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk mengingatkan mas Paiman mengenai budi pekerti, tata krama, unggah-ungguh dan subasita dalam ajaran-ajaran falsafah Jawa. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Bahasa Jawa yang bertingkat: berbeda tempat penggunaannya - empan papan namanya tergantung lawan bicara kita”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan pada mas Paiman tentang tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa digunakan sesuai tempat dan mitra bicara saat terlibat dalam percakapan. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat ajaran dari neneknya yang ia dengarkan dulu waktu masih anak-anak sehingga ia dapat mengatakan hal tersebut pada mas Paiman. Bagian 48 75. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 128 Data tuturan : Apa perempuan dalam dunia politik ibarat bumbu masak dalam makanan? (DBPP.128) DB retoris Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kedudukan wanita dari zaman Raja Kerajaan Singosari Sri Rajasa Kertanegara hingga Presiden Amerika John Kennedy Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa retoris yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Apa perempuan dalam dunia politik ibarat bumbu masak dalam makanan?”.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
247
Pariyem melontarkan pertanyaan ini pada Mas Paiman, dengan penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa seolah dunia politik tanpa wanita terasa sangat hambar. Daya bahasa retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat malam hari ketika Pariyem dan mas Paiman membicarakan tentang wanita dari jaman kerajaan Singosari hingga di jaman modern ini. 76. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 128 Data tuturan : Sudahlah bilang saja : kapan waktunya dan sebutkan tempatnya. Saya tanggung sampeyan mabok kepayang takkan tahan, sampeyan pasti ketagihan (DBPP.128) DB menantang Konteks tuutran : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi ejekan mas Paiman yang tidak percaya bahwa dirinya bisa memuaskan mas Paiman Unsur tuturan : Dalam tuturan ini terkandung daya bahasa menantang yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Sudahlah bilang saja: kapan waktunya dan sebutkan tempatnya” dan “Saya tanggung sampeyan mabok kepayang takkan tahan, sampeyan pasti ketagihan”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menantang mas Paiman apabila ingin mencoba bersetubuh dengannya dan ia pun berani menjamin kepuasan mas Paiman. Daya bahasa menantang diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat malam hari ketika Pariyem dan mas Paiman membicarakan tentang wanita sebagai pelengkap dalam semua situasi. Bagian 49 77. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 130 Data tuturan : Di dalam sejarah hidup insani ada mempunyai 3 jenis mimpi : Mimpi sunyi : yakni mimpi tanpa arti terjadi karena saya kebanyakan tidur Mimpi kembang : yakni lintasan angan sejenak tapi menggores batin dan perasaan Mimpi murni : yakni bisikan sukma atau kekuatan alam di dekat saya dari kuasa Sang Hyang Maha Tunggal (DBPP.130) DB Informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman mengenai jenis-jenis mimpi dalam pandangan orang Jawa. Unsur tuturan : Tuturan ini mngandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Di dalam sejarah hidup insani ada mempunyai 3 jenis mimpi:”. Penggunaan kalimat ini mempunyai maksud menginformasikan pada mas Paiman tentang jenis-jenis mimpi menurut pengetahuan Pariyem. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan di tengah malam saat Pariyem dan mas Paiman membicarakan tentang mimpi.
Bagian 52 78. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 138 Data tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
248
“Kini batin rasanya longgar Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu (DBPP.138) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai perasaan Pariyem setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Unsur tuturan : Tuturan tersebut mengandung daya bahasa ungkap yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Kini batin rasanya longgar” dan “Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem leluasa mengungkapkan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 55 79. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 151 Data tuturan : Dan nDoro Kanjeng melanjutkan bicara: “Kowe ya , Pariyem, pegang kata-kataku thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu itu bakal cucuku, bukan tanpa eyang Pekerjaanmu tak berubah, seperti biasa hanya selama setahun tinggal di dusun di Wonosari Gunung Kidul Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul (DBPP.151) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menirukan ucapan nDoro Kanjeng Cokro Sentoso pada saat memutuskan solusi dari perkara kehamilan Pariyem di sidang pengadilan keluarga Unsur tuturan : Tuturan ini mngandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Dan nDoro Kanjeng melanjutkan bicara:”. Penggunaan kalimat ini mempunyai maksud menginformasikan pada mas Paiman mengenai keputusan dari keluarga Suryamentaraman tentang nasib kehamilan Pariyem. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat Pengadilan Keluarga Suryamentaraman sehingga ia dapat bercerita pada mas Paiman tentang tuturan di atas. Bagian 56 80. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 157 Data tuturan : O, Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang Walaupun bakal berpisah lama namun bukan kehilangan (DBPP.155) DB ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang perasaan Pariyem saat diungsikan di dusunnya kembali.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
249
Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan kesedihannya saat ia harus diasingkan di dusunnya untuk merawat kehamilannya dan harus berpisah sejenak dengan keluarga Suryamentaraman. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem telah diungsikan ke dusunnya Wonosari Gunung Kidul sehingga ia dapat megungkapkan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 58 81. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 157 Data tuturan : “PAGI hari cuaca pun berkabut memutih pemandangan dari kejauhan Pohon-pohon menggigil dari kejauhan (DBPP.157) DB imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang merasakan dinginnya hawa pegunungan saat musim dingin berlangsung. Unsur tuturan : Dalam tuturan tersebut terkandung daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Pohon-pohon menggigil dari kejauhan”. Penggunaan kalimat itu bermaksud memberitahukan mas Paiman tentang cuaca pagi hari itu sangatlah dingin sehingga Pariyem mengumpamakan dengan dinginnya hawa pegunungan dengan pohon-pohon yang bisa menggigil untuk memudahkan mas Paiman membayangkan betapa dinginnya pagi itu. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem bercerita dengan mas Paiman di pagi hari ketika hendak mandi di sendhang. 82. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 158 Data tuturan : O, penderitaan mana yang lebih edan dibanding saat-saat ibu melahirkan? (DBPP.158) DB retoris Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan dikatakan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat mas Paiman mengenai penderitaan yang paling sakit di dunia. Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa retoris yang ditunjukkan oleh unsur intralingual melalui kalimat “O, penderitaan mana yang lebih edan dibanding saat-saat ibu melahirkan?”. Pariyem tidak memerlukan jawaban dari pertanyaan yang ia ajukan pada mas Paiman, karena Pariyem dan mas Paiman sudah tahu jawabannya, sebab semua orang pun tahu hanyalah ibu yang berjuang melahirkan anaknya di dunia itulah sakit yang amat menyiksa. Daya bahasa retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman saat membicarakan tentang proses seorang ibu hamil, merawat kandungannya hingga ia melahirkan anaknya. 83. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 158 Data tuturan : “YA, ya barang siapa pernah jadi ibu diam-diam mengerti, diam-diam paham mautnya berlutut di pinggir ranjang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
250
(DBPP.158) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya tentang perjuangan ibu ketika melahirkan anak Unsur tuturan : Dalam tuturan di atas terdapat daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan frasa “mautnya berlutut”. Koteks dari tuturan tersebut ialah “Ah, ya waktu seorang wanita melahirkan dia bergulat bertandang sendirian”, adanya koteks ini semakin memperjelas bagaimana maut menghampiri ibu yang berjuang melahirkan anaknya. Penggunaan frasa tersebut seolah-olah maut memiliki lutut untuk berlutut. Daya bahasa imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman saat membicarakan tentang proses seorang ibu hamil, merawat kandungannya hingga ia melahirkan anaknya. Bagian 59 84. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 161 Data tuturan : Ya, ya, saya hanya berharap kelak Semoga thuyul yang saya kandung ini tidak nakal dan tidak manja (DBPP.161) DB harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang harapan apa yang diinginkan Pariyem setelah ngidhamnya telah terpenuhi. Unsur tuturan : Tuturan di atas mengandung daya bahasa harapan yang ditandai dengan unsur intralingual melalui kalimat “Semoga thuyul yang saya kandung ini tidak nakal dan tidak manja”.Penggunaan kata “semoga” memiliki pengertian memiliki harapan akan sesuatu hal. Daya bahasa harapan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu tuturan saat Pariyem terpenuhi ngidhamnya akan pisang dan mangga sehingga ia memanjatkan harapan untuk anaknya supaya tidak rewel setelah terpenuhi inginnya. Bagian 60 85. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 164 Data tuturan : “Betapa senangnya ati saya nDoro Putri tidur seamben dengan saya Dia betah dan krasan di desa dan O, makan dan jajan apa adanya Tak pernah mencacat, dia nrima saja betapa senangnya ati saya (DBPP.164) Db ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman saat nDoro Putri berlibur di dusun Wonosari setelah ia mengikuti ujian Unsur tuturan : Tuturan tersebut mengandung daya bahasa ungkap yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Betapa senangnya ati saya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan rasa senangnya pada mas Paiman ketika nDoro Putri
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
251
mau tidur dengannya. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan setelah Pariyem merasakan tidur seranjang dengan nDoro Putri sehingga ia dapat mengungkapkan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 61 86. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 167 Data tuturan : Lalu berdua mereka terlibat parikan saling berganti, saling ledhek-ledhekan Ah, ya, betapa cekatan mereka parikan saling bercanda dan saling mencandra : sumber ilmunya adalah ilmu plesedan - “Neng Singosari numpak jaran Mahasiswi kelon mbek dosen” + “Neng Wonosari numpak jaran Mas Ario tambah edan” - “Jare nang Mlati jebul nang Sleman Jare latihan tari jebul kelonan” + “Mlaku-mlaku neng Gedong Tengen Kamasku dhemenan karo yu Pariyem” - “Tuku jenang wis ora komanan Adikku sayang wis ora prawan” (DBPP.167) DB informatif Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menirukan nDoro Putri dan Den Baguse saat berbalas pantun. Unsur tuturan : Tuturan tersebut mengandung daya bahasa informatif yang ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Lalu berdua mereka terlibat parikan saling berganti, saling ledhekledhekan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan pada mas Paiman tentang nDoro Putri dan Den Baguse yang saling meledek satu sama lain dengan menggunakan pantun berbalas. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem mengingat kejadian di malam ketika ia bersama nDoro Putri dan Den Baguse beristirahat di depan rumah sambil bersenda gurau sehingga ia sapat menceritakan hal itu pada mas Paiman Bagian 62 87. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 168 Data tuturan : “Tiga bulan pun sudah berlalu Betapa cepat waktu menggelandang Menggelindingkan kehidupan insan dan si thuyul sudah lahir- sehatDan nDoro Kanjeng memberi tetenger Endang Sri Setianingsih namanya (DBPP.168) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang nama anaknya yang telah lahir. Unsur tuturan : Tuturan ini mngandung daya bahasa informatif yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Dan nDoro Kanjeng memberi tetenger Endang Sri Setianingsih namanya”. Penggunaan kalimat ini mempunyai maksud menginformasikan pada mas
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
252
Paiman mengenai keputusan dari keluarga Suryamentaraman tentang nasib kehamilan nama anak dari Pariyem. Daya bahasa informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita dengan mas Paiman. Bagian 65 88. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 177 Data tuturan : Lha apa ta tujuan orang hidup itu kalau bukan mencapai kebahagiaan ? (DBPP.177) DB retoris Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman bahwa kebahagiaan dalam hidup itulah yang dicari oleh orang. Unsur tuturan : Dalam tuturan ini mengandung daya bahasa retoris yang ditunjukkan melalui kalimat “Lha apa ta tujuan orang hidup itu kalau bukan mencapai kebahagiaan?”. Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, karena Pariyem telah menemukan jawaban yang pasti dari pertanyaannya. Daya bahasa retoris diperkuat unsur ekstralingual yaitu situasi percakapan di siang hari saat Pariyem berada di ladang sehingga ia dapat bertanya pada mas Paiman tentang tujuan orang untuk hidup di dunia. 89. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 167 Data tuturan : Mas Paiman, O, mas Paiman Saya tetap tinggal sebagai sediakala Saya tetaplah sebagai babu yang setia Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryametaraman Ngayogyakarta Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia (DBPP.180) DB ungkap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman mengenai keadaan diri Pariyem setelah ia melewati ujian hidupnya Unsur tuturan : Tuturan ini mengandung daya bahasa ungkap yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Saya tetap tinggal sebagai sediakala” dan “Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia”. Dalam penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan bahwa diriya tidak berubah dan perasaanya setelah ia melewati ujian hidupnya. Daya bahasa ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa waktu percakapan dengan mas Paiman di siang hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan perasaannya pada mas Paiman
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DATA PENANDA EKSTRALINGUAL DAN INTRALINGUAL DALAM NILAI RASA UNTUK MENGEFEKTIFKAN KESANTUNAN Bagian 1 1. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1 Data tuturan : “PARIYEM, nama saya Lahir di Wonosari Gunung Kidul pulau Jawa Tapi kerja di kota pedalaman Ngayogyakarta Umur saya 25 tahun sekarang -tapi nuwun sewu tanggal lahir saya lupa Tapi saya ingat betul weton saya : wukunya kuningan di bawah lindungan bethara Indra (NRPP.1) NR sopan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan, tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memperkenalkan diri kepada mas Paiman, mitra tuturnya. Penanda tuturan : Tuturan ini mengandung nilai rasa sopan santun yang ditandai dengan penanda intralingual melalui penggunaan kata “nuwun sewu”. Kata ini memiliki nilai rasa sopan karena digunakan untuk meminta maaf karena penutur merasa bersalah tidak dapat mengenalkan identitas dirinya secara utuh, hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa kata “nuwun sewu” digunakan agar tidak menyinggung mitra tutur. Nilai rasa sopan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat leluasa berbicara untuk mengenalkan dirinya pada mas Paiman. 2. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3 Data tuturan : Doa keselamatan bagi simbok yang melahirkan dan doa keselamatan bagi bayi yang dilahirkan Pada Sang Hyang Murbeng Jagad – bersyukur – dengan mulut fasih, berterimakasih (NRPP.3) NR syukur/berterimakasih Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mitra tutur (mas Paiman) mengenai acara sepasaran bagi bayi yang baru saja lahir. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa syukur yang ditunjukkan oleh penanda intralingual melalui diksi “bersyukur”. Penggunaan kata bersyukur dapat memperlihatkan rasa terima kasih yang dipanjatkan untuk Tuhan Yang Maha Kasih atas anugerah yang diberikan. Nilai rasa syukur diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat membayangkan bagaimana waktu keluarganya mengadakan sepasaran bagi dirinya. 3. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3 Data tuturan : Memang, bapak saya seorang petani, kok Tapi cuma menggarap bengkok pak Sosial tidak jembar sama sekali (NRPP.3) NR bangga
253
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
254
Konteks tuturan : Tuturan dikatakan oleh Pariyem, tuturan diucapkan untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) tentang pekerjaan bapaknya Pariyem menegaskan bahwa bapaknya memang petani kecil yang menggarap lahan yang sempit untuk dijadikan tumpuan hidup keluarganya. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Memang, bapak saya seorang petani, kok”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem bangga akan bapaknya walaupun hanya seorang petani kecil. Nilai rasa bangga juga diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang nyaman membuat Pariyem tidak malu-malu untuk mengakui pada mas Paiman bahwa bapaknya adalah seorang petani. 4. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 3 Data tuturan : Saya anak tertua, mas Dua adik saya lelaki dan wanita Pairin menganyam caping di rumah Painem membantu simbok di pasar Sedang bapak seharian di sawah buruh, sibuk mengolah tanah (NRPP.3) NR hormat Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan dikatakan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai anggota keluarganya dan pekerjaannya. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa hormat yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “mas”. Penggunaan kata mas dalam bahasa Jawa yang merupakan kata sapaan ini memperlihatkan bahwa Pariyem menghormati mitra tuturnya. Nilai rasa hormat juga diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana tuturan yang nyaman membuat Pariyem dapat bercerita pada mas Paiman dan tetap menempatkan mas Paiman sebagai orang yang lebih tua dari dirinya Bagian 2 5. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4 Data tuturan : Saya bocah gunung, melarat pula badan dan jiwa harta karun saya (NRPP.4) NR menerima Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai dirinya yang tinggal di daerah pegunungan. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa menerima yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Saya bocah gunung, melarat pula badan dan jiwa harta karun saya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menerima keadaan dirinya yang memang anak gunung yang rata-rata dari keluarga yang kurang mampu. Nilai rasa menerima diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
255
6. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4 Data tuturan : “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’ NR hormat (NRPP.4) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai nama kedua adiknya. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa hormat yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “sampeyan”. Penggunaan kata “sampeyan” memiliki memperlihatkan bahwa kata “sampeyan” yang jauh lebih sopan daripada kata “kowe”. Nilai rasa hormat ditandai dengan situasi percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman tetapi tetap menempatkan posisi mas Paiman lebih tua darinya sehingga ia tetap menggunakan kata sampeyan untuk menunjuk mas Paiman. 7. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4 Data tuturan : Bambang dan Endang sudah menjalar ke dusun-dusun di kaki gunung untuk nama putraputri kaum urban mampu dan kaya yang tak tahu ujung pangkal lakon (NRPP.4) NR tidak terima Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai nama Bambang dan Endang sudah turun derajatnya. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa tidak terima yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Bambang dan Endang sudah menjalar ke dusun-dusun di kaki gunung untuk nama putra-putri kaum urban mampu dan kaya yang tak tahu ujung pangkal lakon”. Penggunaan kalimat tersebut menunjukkan bahwa Pariyem tidak terima nama Bambang dan Endang digunakan oleh orang yang tidak tahu sejarah nama tersebut. Nilai rasa tidak terima dapat dipersepsi dari suasana tuturan yang nyaman sehingga Pariyem dapat mengutarakan ketidakterimaannya pada mas Paiman. 8. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 5 Data tuturan : “Begitulah, nama membawa tuah: Bibit, Bobot dan Bebet Dan saya sudah 3B sebagai babu, kok Itu saya indhit, saya kempit saya sandhang dan saya tayang sampai masuk ke liang kubur (NRPP.5) NR kasar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai tuah dari nama masing-masing orang. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “babu”. Penggunaan kata babu ini dirasa bernilai kasar, kata babu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
256
lebih kasar dibandingkan dengan kata pembantu. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang situasi tuturan yang santai membuat Pariyem dengan bebas mengutarakan pendapatnya. Bagian 3 9. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 6 Data tuturan : Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengaharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang merusak penghidupan kami (NRPP.6) NR harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai harapan orang tua Pariyem yang memberinya nama Pariyem yang berasal dari nama padi. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa harapan yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani” dan “Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan”. Penggunaan kata “semoga” ini memiliki harapan yang dipanjatkan supaya tanaman padi berbuah dengan baik. Nilai rasa harapan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi santai dalam percakapan membuat Pariyem teringat pada tanaman padi yang membuatnya memanjatkan doa agar Dewi Sri melindungi tanaman padi. 10. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 7 Data tuturan : Merekapun beramai-ramai dengan bergotong royong mereka tak kenal cape membentuk barisan semprot wereng membentuk barisan tumpas wereng Dengan tangki-tangki gendhong dari Kalurahan Dengan lampu-lampu petromax dan ati berang (NRPP.7) NR marah Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah tuturan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai cara membasmi hama tanaman padi. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa marah yang ditandai penanda intralingual melalui frasa “ati berang”. Penggunaan frasa ini menunjukkan bahwa hal yang dikatakan oleh Pariyem dilandasi oleh rasa marah. Nilai rasa marah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang sedikit memanas ketika Pariyem menceritakan upaya untuk membasmi hama tanaman pada mas Paiman. 11. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 7 Data tuturan : Segala macam racun, obat dan tetek bengek siasat Telah mereka gunakan tapi tak mempan Tak sanggup membumihanguskan hama (NRPP.7) NR kesal
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
257
Konteks tuturan : Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem dalam menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai cara pemberantasan hama. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kesal yang ditandai penanda intralingual melalui struktur wacana di atas dengan penggunaan kalimat “Tak sanggup membumihanguskan hama”. Tuturan tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem kesal karena tidak ada cara yag dapat dilakukan dalam upaya membasmi hama wereng dan tikus yag merusak tanaman padi. Nilai rasa kesal diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan isi hatinya pada mas Paiman. 12. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 8 Data tuturan : Menggugurkan kembang-kembang padi mengguyurkan badai ribut ke bumi Kuntum-kuntum padi, kuntum-kuntum harap kuntum-kuntum gairah hidup petani Muspra tanpa guna lagi Dan tanaman yang semula subur tak berisi – gabug tak berbijikan padi (NRPP.8) NR putus harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam suatu percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan keadaan tanaman padi di sawah yang rusah akibat serangan hama wereng dan tikus pada mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa putus harapan yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Muspra tanpa guna lagi”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem dan petani di desanya merasa harapannya pupus akan panenan yang diharapkan berbuah banyak tetapi kenyataan hama tikus dan wereng menggasak tanaman padi mereka. Nilai rasa putus harapan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem mengingat tanaman padi yang digasak hama wereng dan tikus sehingga ia dapat mengutarakan isi hatinya pada mas Paiman. Bagian 4 13. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 10 Data tuturan : Saya pun tambah besar Sampai anak-anak muda Yogya menggoda dan sering rerasan : Saya bertubuh sintal Saya bertubuh tebal Tapi biarkan sajalah saya tak apa-apa kok, saya lega-lila (NRPP.10) NR Rela Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai efek yang ditimbulkan oleh bentuk tubuh Pariyem. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa rela yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Tapi biarkan sajalah saya tak apa-apa kok, saya lega-lila”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem rela dirinya diejek oleh orang lain dan menerimanya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
258
dengan lapang dada karena bentuk tubuhnya yang memang padat berisi. Nilai rasa rela diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana tuturan di pagi hari yang masih sejuk sehingga membuat Pariyem tidak terpengaruh pada ejekan orang lain. Bagian 5 14. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11 Data tuturan : Jadi jelasnya, terang-terangan saja: kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen (NRPP.11) NR mantap/yakin Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai kepercayaan yang dianut oleh Pariyem. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa yakin yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Jadi jelasnya, terang-terangan saja: kepercayaan saya Katolik mistik alias Katolik Kejawen”. Penggunaan kalimat ini memberitahukan pada mas Paiman tentang keyakinan Pariyem akan kepercayaan yang dianutnya. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita tentang agamanya pada mas Paiman. 15. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 12 Data tuturan : Lha, tidak ilok namanya Saya yakin, itu percuma Dianggap pamer nama saja (NRPP.12) NR yakin/mantap Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat dari mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai pendapat Pariyem tentang alasan tidak boleh menggunakan nama lengkap dalam kehidupan sehari-hari. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa yakin yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Saya yakin, itu percuma“. Penggunaan kalimat ini mengandung suatu keyakinan yang sangat dipegang erat oleh Pariyem. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan isi hatinya pada mas Paiman. Bagian 6 16. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 14 Data tuturan : Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk Sorga saja. (NRPP.14) NR sadar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mitra tuturnya (mas Paiman) bahwa di Sorga nanti tidak akan ditanyai tentang agama tetapi perbuatan yang dilakukan selama di dunia. Penanda tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
259
Tuturan ini mengandung nilai rasa sadar yang ditandai penanda intralingual yang berupa penggunaan kalimat “Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk Sorga saja.”. Penggunaan kalimat tersebut seolah memperlihatkan bahwa Pariyem sadar tentang perkataan yang keluar dari mulutnya terlalu jauh dari kenyataan, kenyataannya ia juga belum pernah melihat Surga tetapi ia membicarakan tentang keadaan di surga. Nilai rasa sadar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita tentang pendapat dirinya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ia temui di Surga nanti pada mas Paiman. 17. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 15 Data tuturan : “Dalam kalang kabut perasaan Dalam kemelut butut pikiran Dan dalam haru biru diri yang hilang saya terdampar di dalam kekosongan. (NRPP.15) NR kosong Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu pada mitra tuturnya yakni mas Paiman bahwa dirinya merasakan hampa ketika memikirkan tentang agama. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa hampa yang ditandai penanda intralingual melalui klausa “saya terdampar di dalam kekosongan”. Penggunaan klausa tersbut memperlihatkan bahwa kehampaan yang dirasakan Pariyem ketika memikirkan agama. saya terdampar di dalam kekosongan. Nilai rasa hampa diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan di malam hari yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan isi hatinya pada mas Paiman 18. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 16 Data tuturan : Biarkan saya dikata-katai murtad biarkan saya dikata-katai kapir biarkan saya dikata-katai malas beribadat biarkanlah saja saya tidak apa-apa saya lega-lila, kok Gusti Allah tidak sare (NRPP.16) NR rela/menerima Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah tuturan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mitra tuturnya yakni mas Paiman tentang pesan yang diucapkan bapaknya apabila Pariyem diejek dan dihina oleh orang lain Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa rela yang ditunjukkan oleh penanda intralingual melalui kalimat “biarkanlah saja saya tidak apa-apa saya lega-lila, kok”. Kalimat ini memperlihatkan kerelaan dan keikhlasan Pariyem saat dirinya diejek dan dihina oleh orang lain. Nilai rasa rela/menerima diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan isi hatinya pada mas Paiman dan mas Paiman mendengarkan semua pembicaraan Pariyem dengan seksama sehingga Pariyem bisa mengeluarkan semua ceritanya. Bagian 7 19. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
260
Data tuturan : Aduh, mas, Condro Lukito cengkoknya elok betul, lho (NRPP.17) NR senang Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memuji sindhen yang menyanyikan lagu “Perkutut Manggung” di acara uyon-uyon salah satu saluran radio yang didengar Pariyem. Penanda tuturan : Tuturan ini mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Aduh, mas, Condro Lukito cengkoknya elok betul, lho”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kesenangan ketika mendengar cengkok sindhen Nyi Condro Lukito. Nilai rasa senang ditunjukkan oleh penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari ketika mendengarkan uyon-uyon membuat Pariyem merasa terhibur dengan lagu-lagu yang diputarkan dalam saluran frekuensi radio amatirnya. 20. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 18 Data tuturan : ”Bila saya hanyut demikian rasanya getir benar kasunyatan hidup Saya lemas tak mau apa-apa, kemauan hilang dari gelora hidup (NRPP.18) NR putus harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada mitra tuturnya (mas Paiman) bahwa kehidupan asmaranya selalu berakhir dengan tragis dan dia membayangkan dirinya sebagai dewi yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa putus harapan yang ditunjukkan oleh penanda intralingual melalui kalimat “Saya lemas tak mau apa-apa kemauan hilang dari gelora hidup”. Penggunaan kalimat tersebut dapat memperlihatkan perasaan yang dialami oleh Pariyem saat itu ialah putus harapan ketika ia hanyut dalam pikirannya. Nilai rasa putus harapan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem bebas mengutarakan isi hatinya pada mas Paiman dan mas Paiman mendengarkan semua pembicaraan Pariyem dengan seksama sehingga Pariyem bisa mengeluarkan semua ceritanya. 21. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 19 Data tuturan : Saya lebih patut sebagai biyung emban Saya lebih patut sebagai Limbuk Begitulah ledekan tukang becak O, betapa anyel ati saya dibuatnya Bila sudah begini, saya suka sewot (NRPP.19) NR marah Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur yakni mas Paiman tentang apa yang dilakukan oleh tukang becak pada dirinya ketika Pariyem berjalan melewti gerombolan tukang becak yang sedang mangkal. Penanda tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
261
Tuturan tersebut mengandung nilai rasa marah yang ditunjukkan oleh penanda intralingual melalui klausa “betapa anyel ati saya” dan “saya suka sewot”. Penggunaan kata anyel dan sewot secara gamblang memperlihatkan bahwa Pariyem marah. Nilai rasa marah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang meliputi suasana tuturan yang santai membuat Pariyem dapat mengungkapkan keluh kesahnya ketika ia di ledek oleh para tukang becak pada mas Paiman. Bagian 8 22. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 20 Data tuturan : Bapak saya biasa berperan sebagai bambangan banyak benar wanita kepencut sama bapak saya Apalagi bila dia sudah gandrung –ura-ura- para penonton terharu hilang kata (NRPP.20) Nr bangga Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mas Paiman tentang bapaknya yang seorang pemain kesenian Kethoprak ulung yang aksinya mampu membius semua penonton. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui klausa “banyak benar wanita kepencut sama bapak saya” dan “para penonton terharu hilang kata”. Melalui penggunaan klausa ini Pariyem merasa bangga karena aksi yang dilakukan bapaknya sewaktu menjadi pemain Kethoprak dapat membius banyak orang. Nilai rasa bangga diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari sehingga membuat Pariyem dapat leluasa untuk bercerita pada Mas Paiman tentang keluarganya. 23. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 20 Data tuturan : Simbok adalah bintang primadonanya Bila sudah ngibing, mas – wuah pak Lurah, pak mantri, pak Camat, bahkan pak Wedana dan pak Bupati naik turun kala-menjingnya Hasrat mangku wanodya bangkit – mana tahan – sangat kepingin menayub simbok (NRPP.20) Nr bangga Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan masa lalu ibunya yakni Parjinah kepada mas Paiman, simbok Pariyem ialah salah satu pemain Ledhek dalam kesenian Tayuban, dan ibunya sangat tenar sebagai penari Tayub. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Simbok adalah bintang primadonanya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem bangga akan ibunya yang menjadi bintang diantara pena tayub lainnya. Nilai rasa bangga diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari sehingga membuat Pariyem dapat leluasa untuk bercerita pada Mas Paiman tentang keluarganya. Bagian 9 24. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23 Data tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
262
Asih, Asah dan Asuh Dan saya sudah 3A sebagai babu, kok Saya songkokkan di dada sebagai kutang menyongkok penthil (NRPP.23) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai prinsipnya sebagai seorang pembantu yang senantiasa dipegang oleh Pariyem. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “penthil”. Penggunaan kata ini dirasa terlalu kasar karena menunjuk langsung pada bagian tubuh wanita, kata “penthil” sangat tabu untuk diucapkan bagi orang yang mempunyai adat ketimuran. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai saat ia membicarakan tentang prinsip-prinsi hidup yang ia jalani sehingga membuat Pariyem bebas mengungkapkan perasaan dan pemikirannya 25. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23 Data tuturan : Sebagai babu nDara Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Saya sudah trima, kok Saya lega lila (NRPP.23) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur Pariyem (mas Paiman) mengenai kerelaan Pariyem bekerja sebagai pembantu. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa menerima yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “trima” dan “lega lila”. Penggunaan kedua kata ini secara gamblang memperlihatkan rasa menerima pekerjaannya sebagai pembantu dengan lapang dada ditunjukkan oleh Pariyem. Nilai rasa menerima diperkuat dengan penanda ektralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman bercerita tentang perasaannya pada mas Paiman. Bagian 10 26. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 25 Data tuturan : Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki Muncul keluar ia membutuhkan papan (NRPP.25) NR kasar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menjelaskan prinsip 3K sebagai babu yang ia pegang dalam hidupnya dengan menggunakan perumpamaan pada mas Paiman. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki”. Penggunaan kalimat ini mengandung nilai rasa kasar karena mengumpamakan sesuatu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
263
hal dengan bagian tubuh wanita yang tabu untuk diucapkan. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai saat ia membicarakan tentang prinsip-prinsi hidup yang ia jalani sehingga membuat Pariyem bebas mengungkapkan perasaan dan pemikirannya. 27. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27 Data tuturan : Dan saya langka mencaci orang, lho Kecuali orangnya memang sontoloyo Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor (NRPP.27) nr kasar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai pengalaman Pariyem dalam memaki-maki orang lain. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan pilihan kata “lonthe”. Penggunaan kata lonthe dalam bahasa Jawa memiliki nilai rasa kasar karena memiliki pengertian pelacur, hal itu merupakan kata yang sangat kotor bagi wanita. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai saat ia mengingat bahwa ia tidak pernah mengatai-ngati orang lain dengan makian yang kasar sehingga membuat Pariyem dapat memberitahukan mas Paiman tentang kata makian yang tidak boleh diucapkan. Bagian 11 28. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 30 Data tuturan : Cepat kayak singgat gerak-geriknya penuh daya hidup dan gairah pemuda Betapa saya kagum, bisa melongo (NRPP.30) nr kagum Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mas Paiman tentang tindakan Den Baguse ketika ia mengolah jiwa dan raganya di longkangan rumah. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “betapa saya kagum, bisa melongo”. Kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem terpesona dengan tingkah laku Den Baguse ketika mengolah dirinya. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk menceritakan tentang Den Baguse pada mas Paiman. 29. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 30 Data tuturan : Tapi dalam hati saya ngeledek dia : Ala, biarpun mahir tendangan lipat tapi menghadapi saya pasti kan terlipat – di ranjang (NRPP.30) nr ejekan Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
264
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kondisi fisik dari Den Baguse yang gagah, kekar dan tubuhnya yang liat. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa percaya diri yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Ala, biarpun mahir tendangan lipat tapi menghadapi saya pasti kan terlipat – di ranjang ”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem secara terang-terangan memuji dirinya sendiri seolah Den Baguse pasti kalah ketika berhadapan dengan Pariyem. Nilai rasa percaya diri diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem bebas mengeluarkan pendapatnya. 30. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 31 Data tuturan : Memang di clingus banget, kok Tapi, sorot matanya tak bisa menipu Saya kenal betul sama hasrat lelaki yang timbul di balik gerak-geriknya (NRPP.31) nr yakin Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tutur) mengenai tingkah Den Baguse yang masih malu-malu ketika ingin menggoda Pariyem. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa yakin yang ditandai penanda intralingual yang berupa kalimat “Saya kenal betul sama hasrat lelaki yang timbul di balik gerak-geriknya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan keyakinan Pariyem akan pengalamannya berhadapan dengan lelaki sehingga ia tahu benar lelaki yang sedang mempunyai hasrat untuk bersetubuh. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana percakapan yang santai dan nyaman membuat Pariyem leluasa bercerita tentang kelakuan Den Baguse saat ditinggal pergi keluarganya pada mas Paiman. 31. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 31 Data tuturan : Selagi saya membersihkan kamarnya Tiba-tiba saya direnggut dari belakang O, Allah, saya kaget setengah mati, mas (NRPP.31) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kejadian yang terjadi di rumah keluarga Suryamentaraman saat ditinggal piknik ke Gembira Loka. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kaget yang ditandai penanda intralingual yang berupa klausa “saya kaget setengah mati”. Penggunaan kata ini memperlihatkan secara gamblang bahwa pada saat kejadian itu terjadi ia didera rasa terkejut sekali karena ulah Den Baguse. Nilai rasa kaget diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga dapat membuat Pariyem membayangkan kejadian yang lalu dan merasakan kekagetan yang ia alami sewaktu kejadian itu terjadi. 32. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
265
Data tuturan : Sekujur tubuh saya digerayanginya Pipi, bibir, penthil saya dingok pula (NRPP.31) nr kasar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai kejadian yang terjadi di rumah keluarga Suryamentaraman saat ditinggal piknik ke Gembira Loka. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan klausa “penthil saya dingok pula”. Penggunaan klausa ini mengandung nilai rasa kasar dan hal itu merupakan sesuatu yang tabu untuk diucapkan. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman dan rasa yakin Pariyem pada mas Paiman membuat Pariyem membayangkan kejadian yang lalu dan merasakan kekagetan yang ia alami sewaktu kejadian itu terjadi. 33. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 32 Data tuturan : Tapi terselip rasa bangga Pariyem saya Maria Magdalena Pariyem lengkapnya dari Wonosari Gunung Kidul Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta Kini memerawani putra sulungnya (NRPP.32) nr bangga Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai perasaan Pariyem setelah melalukan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa bangga yang ditandai dengan penanda intralingual melalui kalimat “Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta” dan “Kini memerawani putra sulungnya”. Penggunaan kedua kalimat ini menjelaskan kebanggaan Pariyem disebabkan oleh apa. Seorang babu seperti dirinya dapat mengambil keperjakaan dari putra majikannya, itulah yang membuat sedikit kebanggaan bagi Pariyem. Nilai rasa bangga diperkuat dengan situasi percakapan yang santai dan mas Paiman yang setia mendengarkan membuat Pariyem nyaman untuk bercerita tentang semua hal pada mas Paiman. 34. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 33 Data tuturan : Alangkah saya kagum kepadanya Gusti Allah, nyuwun ngapura dia tahan lama banget, lho Pandai bermain pula saya biasa keok dulu dibuatnya (NRPP.33) nr kagum Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu pada mitra tuturnya (mas Paiman) betapa dirinya terpesona dengan permainan yang dilakukan Den Baguse walaupun notabenenya ia adalah putra dari majikannya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
266
Penanda tuturan : Tuturan di atas mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Alangkah saya kagum kepadanya”. Penggunaan kalimat itu secara gamblang memperlihatkan bahwa Pariyem mengagumi Den Baguse. Nilai rasa kagum diperkuat dengan dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman membuat Pariyem membayangkan kejadian yang ia alami dan ia dapat mengungkapkan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 12 35. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 35 Data tuturan : Dan pandangan matanya O, tobat, tobat Kalau dia sudah mandeng sorotnya bersinar mencereng O, saya klenger dibuatnya (NRPP.35) NR Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah tuturan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman mengenai diri Den Baguse yang membuat banyak orang termasuk Pariyem terpesona. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa terpesona yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, saya klenger dibuatnya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan dengan jelas bahwa Pariyem benar-benar terpesona dengan tatapan Den Baguse pada dirinya. Nilai rasa terpesona diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa suasana tuturan yang santai membuat Pariyem dapat membayangkan tatapan Den Baguse sehingga ia terpesona ketika membayangkan hal itu. Bagian 13 36. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 35 Data tuturan : “LHAIYA, orang Jawa itu punya 20 aksara jumlahnya! hana caraka data sawala pada jayanya maga bathanga “kalau jumlahnya tak seberapa Memang, tapi daya rangkumnya Keranjingan, luar biasa! (NRPP.35) nr kagum Konteks tuturan : Pariyem dan mas Paiman terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman mengenai aksara Jawa yang jumlah aksaranya hanya 20 buah. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui frasa “luar biasa”. Penggunaan frasa ini secara gamblang memperlihatkan rasa kagum Pariyem akan aksara Jawa, memang jumlahnya hanya sedikit tetapi masyarakat Jawa hidup dan terdapat banyak falsafah Jawa di dalamnya. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ektralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
267
Pariyem nyaman sehingga ia merasa bebas untuk mengeluarkan semua pendapat dan pemikirannya pada mas Paiman . Bagian 14 37. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 37 Data tuturan : Lha, sudah gede kok suka merengek kayak bocah kehilangan bonekanya (NRPP.37) Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman bahwa terkadang sikap Den Baguse terlalu kekanak-kanakan terlebih apabila ketika ia sedang kumat manjanya. Penanda tuturan : Tuturan di atas mengandung nilai rasa ejekan yang diperlihatkan penanda intralingual melalui kalimat “Lha, sudah gede kok suka merengek kayak bocah kehilangan bonekanya”. Penggunaan kalimat ini secara jelas memperlihatkan ejekan Pariyem terhadap Den Baguse. Nilai rasa ejekan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengatakan apa yang ada di pikirannya. 38. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 39 Data tuturan : Oh, ampun, ya ampun! Anunya gede banget, lhoSaya marem meladeninya (NRPP.39) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada mas Paiman bahwa alat kelamin Den Baguse termasuk dalam ukuran yang besar. Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa puas yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Saya marem meladeninya”. Kalimat ini memperlihatkan kepuasan Pariyem ketika melayani Den Baguse. Nilai rasa puas dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga dapat membuat Pariyem membayangkan kejadian yang lalu dan merasakan kepuasan yang ia alami sewaktu kejadian itu terjadi. Bagian 15 39. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 40 Data tuturan : O Allah, apakah dosa?!? Sedang mulut melahap nasi saya pun sibuk bertanya-tanya Tapi benarkah orang Jawa itu punya konsep perkara dosa? (NRPP.40)NR penasaran Konteks tuturan : Pariyem dan mas Paiman terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat mitra tuturnya (mas Paiman) yang berdiskusi tentang perkara dosa Penanda tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
268
Tuturan di atas mengandung nilai rasa penasaran yang ditandai penanda intralingual melalui klausa “saya pun sibuk bertanya-tanya”. Melalui penggunaan klausa ini terlihat bahwa Pariyem sangat penasaran untuk mencari jawaban atas pertanyaannya mengenai dosa. Nilai rasa penasaran diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan apa yang ia rasakan pada mas Paiman. 40. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 41 Data tuturan : Beberapa bulan yang silam priyayi alim dan jatmika itu, mahasiswa Fakultas Ilmu Dosa itu, tetangga dekat rumah saya itu, Ajaib, dia malah sinting, tiap hari terkaing-kaing. (NRPP.41) nr ejekan Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada mas Paiman (mitra tutur) tentang tetangga rumahnya yang menjadi gila akibat perbuatannya sendiri yang bertindak di luar nalar manusia. Penanda tuturan : Tuturan di atas mengandung nilai rasa ejekan yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Ajaib, dia malah sinting, tiap hari terkaing-kaing”. Penggunaan kalimat ini menunjukkan bahwa Pariyem mengejek akibat dari tindakan yang dilakukan oleh tetangganya itu. Kata “ajaib” mempunyai pengertian sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat, Pariyem menggunakan kata tersebut untuk akibat yang dibuat sendiri oleh tetangganya tersebut padahal kalau dipikir secara rasional memang ada sebab dia menjadi gila akibat mempelajari hal yang di luar kemampuannya.. Nilai rasa ejekan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem leluasa mengatakan apa yang ia pikirkan.. 41. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 41 Data tuturan : Tentu saja dia menjadi sinting itu risiko wajar dari lakunya Dia keladuk wani kurang deduga alam tak mengijinkannya Kemampuan diri tak ditimbang sampai ingatan goyang-goyang (NRPP.41) Nr yakin Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem menanggapi pendapat mitra tuturnya mengenai tetangga Pariyem yang gila akibat mempelajari ilmu dosa Penanda tuturan : Dalam tuturan di atas mengandung nilai rasa yakin ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “tentu saja”. Penggunaan kata “tentu saja” memiliki pengertian sesuatu yang sudah pasti, Pariyem meyakini bahwa apa yang terjadi pada diri tetangganya merupakan risiko dari tindakan yang dilakukannya. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang situasi percakapan yang santai membuat Pariyem leluasa mengatakan apa yang ia pikirkan.. 42. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42 Data tuturan : O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya !
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
269
(NRPP.42) NR tidak terima/kesal Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa tidak terima yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya!”. Kalimat ini memperlihatkan ketidakterimaan Pariyem akan hukum yang berlaku di masyarakat saat ini mengenai dosa seseorang. Nilai rasa tidak terima diperkuat dengan penanda ektralingual yang berupa situasi percakapan yang santai saat membicarakan tentang dosa membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa bebas untuk mengeluarkan semua pendapat dan pemikirannya pada mas Paiman. Bagian 17 43. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46 Data tuturan : Tapi saya? O, bagaimanakah saya? Saya tak mengaku kepada siapa-siapa saya mengaku kepada mas Paiman, kok Saya mengaku kepada sampeyan saja dan tidak mengaku pada orang lain O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang saja (NRPP.46) nr percaya Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai cara Pariyem dalam mengaku dosa. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa percaya yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang saja”. Kalimat ini memperlihatkan Pariyem sangat mempercayai mas Paiman untuk mengakui semua dosa-dosa yang pernah Pariyem lakukan. Nilai rasa percaya diperkuat dengan penanda ektralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk mengakui segala tindakan yang pernah ia lakukan selama hidupnya. 44. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 48 Data tuturan : Tapinya kosong melompong buahnya kantong bolong - tresna gombal habis manis saya ditinggal Yang dia minta saya berikan sesudah taneg, saya kapiran Dasar lelaki, oh, dasar bebal maunya menang sendiri (NRPP.48) nr kesal Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) tentang alasan Pariyem hanya mengaku padanya bukan pada orang lain. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kesal yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Dasar lelaki, oh, dasar bebal maunya menang sendiri”. Kalimat ini memperlihatkan Pariyem sangat kesal dengan kebanyakan lelaki, kalimat ini menjadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
270
alasan bagi Pariyem untuk tidak mudah percaya orang lain. Nilai rasa kesal diperkuat dengan penanda ektralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk mengatakan hal yang ingin ia ucapkan. Bagian 19 45. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 51 Data tuturan : “KANJENG Raden Tumenggung gelarnya Putra Wijaya nama timurnya Cokro Sentono nama dewasanya nDoro Kanjeng panggilannya prijagung Kraton Ngayogyakarta Priyayinya jangkung, tubuhnya gede (NRPP.51) nr sopan Konteks tuturan : Pariyem dan mas Paiman terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya (mas Paiman) tentang majikan dimana Pariyem bekerja sebagai pembantu. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sopan yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan diksi “priyayinya”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan Pariyem sangat menghormati majikannya sehingga ia menggunakan kata tersebut untuk menyebut diri nDoro Kanjeng. Nilai rasa sopan diperkuat dengan penanda ektralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk menceritakan tentang diri nDoro Kanjeng pada mas Paiman. 46. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52 Data tuturan : Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya Cantik-cantik semua (NRPP.52) Nr tidak senang Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada Paiman mengenai hal pribadi dari nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa tidak senang yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan diksi “berserak”. Penggunaan diksi ini seolah para selir dari nDoro Kanjeng adalah sampah yang berserak dimana-mana, terlihat dari penggunaan kata tersebut Pariyem tidak senang dengan kelakuan nDoro Kanjeng yang memiliki banyak selir padahal beliau sudah memiliki istri yang sempurna. Nilai rasa tidak senang diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan pendapat serta gagasannya secara bebas. 47. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 54 Data tuturan : Apabila sudah berjalan sekalian nDoro Kanjeng dan nDoro Ayu diiringi Den Baguse dan nDoro Putri O, alangkah agung dan berwibawa Semua mata memandang – terkesima dan hormat pada sekalian (NRPP.54) nr kagum Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
271
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mas Paiman tentang perasaannya ketika melihat nDoro Kanjeng sekeluarga memakai pakaian Jawa. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “O, alangkah agung dan berwibawa”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekaguman Pariyem ketika mengingat kembali saat melihat nDoro Kanjeng sekeluarga memakai pakaian Jawa. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk membayangkan kembali saat ia melihat nDoro Kanjeng sekeluarga memakai pakaian Jawa. Bagian 22 48. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 60 Data tuturan : O,betapa girang meliputi ati saya Berpakaian baru, bibir digincu dan rambut digelung munthil-munthil Saya pun berjalan merendengi simbok (NRPP.60) nr senang Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan dari mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai perasaan Pariyem ketika diajak ibunya ketika bekerja menjadi sindhen pementasan wayang. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “O,betapa girang meliputi ati saya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kesenangan Pariyem ketika mengingat kembali kenangan masa kecilnya saat diajak ibunya bekerja ia didandani, rambutnya digelung diberi pakaian baru. Nilai rasa senang diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk membayangkan kembali kenangan masa kecilnya dan ia dapat merasakan kesenangan itu kembali. 49. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 61 Data tuturan : Ah, ya di bagian-bagian yang penting, ta Di pusat-pusat keindahan seorang wanita Pipi, pelupuk mata, dan pinggir dagunya atau pinggir bibir dan di pinggulnya. Bahkan di penthil dan anunya, lho (NRPP.61) nr kasar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai letak dimana susuk dipasang pada tubuh wanita. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Bahkan di penthil dan anunya, lho”. Penggunaan kata penthil dan anunya yang menunjuk pada bagian tabu seorang wanita yang menurut orang Jawa tidak pantas untuk diucapkan. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
272
berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk berbicara apapun dengan mas Paiman. 50. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 61 Data tuturan : 100 persen betul, tidak salah lagi Tujuannya, untuk memelet kaum lelaki dan sebagai jimat penglarisan sindhen (NRPP.61) nr yakin Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman mengenai kegunaan dari susuk yang dipakai oleh para sindhen. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa yakin yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “100 persen betul, tidak salah lagi”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan keyakinan Pariyem terhadap kegunaan susuk yang dipakai oleh para sindhen. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem leluasa mengutarakan pendapat dan pikirannya. Bagian 23 51. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 63 Data tuturan : Ya, ya tembang dolanan anak-anak Jawa Sungguh, kaya benar permainan bunyi Suku-suku kata belakang bisa pas bahasanya tidak lagi mencari-cari (NRPP.63) nr kagum Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat mas Paiman ketika berdiskusi mengenai tembang dolanan anak-anak Jawa Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Sungguh, kaya benar permainan bunyi”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekaguman pada orang-orang yang dulunya menciptakan lagu dolanan yang semuanya bisa pas berakhiran vokal yang sama tanpa harus mencari-cari. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem salah satu contoh lagu dolanan anak yang sering ia nyanyikan bersama teman-temannya dan seolah Pariyem membuktikan memang benar adanya kekayaan permainan bunyi. Bagian 24 52. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 66 Data tuturan : O, saya belum tahu mau diajak apa namun naluri sudah mengatakan Rasa gagu menjebak saya- ingkar- tapi gejolak darah membujuk gencar Hati kemrungsung meraung-raung saya pun tidak bisa mengelakkan (NRPP.66) Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
273
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan Pariyem yang menceritakan kenangannya dimasa silam pada mas Paiman. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa gelisah yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Rasa gagu menjebak saya- ingkar- tapi gejolak darah membujuk gencar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kegugupan Pariyem saat akan diajak melakukan sesuatu yang ia khawatirkan, sehingga perkatakan yang keluar dari mulutnya terlihat gagu karena dikatakan pada keadaan yang tidak tenang. Nilai rasa gelisah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali kejadian dimasa silamnya ketika ia diajak untuk melakukan hal yang sudah ia duga. 53. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 67 Data tuturan : Bagaikan nembe makan kangkung badan kami loyo tanpa kekuatan Tanpa bicara dan tanpa suara tumpah rasa : ludeslah kata Hanya angin malam yang semilir dan desah napas kami yang lega (NRPP.67) NR lega Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan kejadian yang pada mas Paiman tentang terjadi dimalam setelah ia menonton pementasan wayang bersama mas Kliwon. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa lega yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan klausa “desah napas kami yang lega”. Penggunaan klausa ini memperlihatkan kelegaan diantara Pariyem dan mas Kliwon setelah melakukan hal itu. Nilai rasa lega diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali kejadian dimasa silamnya ketika pertama kali ia melakukan hubungan badan dengan mas Kliwon 54. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 68 Data tuturan : “Saya jalan rada sempoyongan sambil mengibas kotoran selendang Menggelendot di bahu Kang Kliwon saya ada perasaan tentram (NRPP.68) NR nyaman Konteks tuturan : Penutur dan mitra terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan kenangannya bersama mas Kliwon pada mas Paiman, mitra tuturnya. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa nyaman yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Menggelendot di bahu Kang Kliwon saya ada perasaan tentram”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kenyamanan Pariyem berada disamping mas Kliwon. Nilai rasa nyaman diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali kenangannya bersama mas Kliwon. Bagian 25 55. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 69 Data tuturan : O, Allah Gusti nyuwun ngapura Kenapa ati saya nelangsa kejeblos ke dalam jugangan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
274
Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring ke dalam kegelapan (NRPP.69) NR Konteks tuturan : Tuutran diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman (mitra tuturnya) perasaannya keesokan harinya setelah ia melakukan hubungan badan dengan mas Kliwon Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa menyesal yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Kenapa ati saya nelangsa kejeblos ke dalam jugangan” dan “Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring ke dalam kegelapan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan sakit hati yang dirasakan Pariyem setelah kejadian itu, Pariyem merasa sedih kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang harusnya ia jaga sampai pernikahan. Nilai rasa menyesal diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali ingatannya saat ia kehilangan keperawanannya dan bisa merasakan rasa saat ia tersadar telah melakukan hal yang belum sepantasnya dilakukan. 56. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman70 Data tuturan : Dengan jari telunjuk kanan saya raba anu saya O, Allah, Gusti nyuwun ngapura Tidak salah lagi, jemblong anu saya bolong Saya pun merasa kosong O,bapak, O, simbok anakmu kungkum di sendhang menanggung beban sendirian (NRPP.70) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman tentang peristiwa masa silamnya ketika ia tahu ia sudah perawan lagi. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa hampa yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Saya pun merasa kosong”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kekosongan dihidupnya setelah ia tahu ia kehilangan sesuatu yang sangat penting dihidupnya yang seharusnya ia jaga. Nilai rasa hampa diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali ingatannya ketika ia mengetahui bahwa ia sudah tidak perawan. Bagian 26 57. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 71 Data tuturan : Saya duduk ndeleleg – dhelog-dhelog – memandang jauh tanpa tujuan (NRPP.71) NR hampa Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan Pariyem untuk menjawab pertanyaan mas Paiman mengenai apa yang dilakukan Pariyem ketika ia mengingat kembali orang yang memerawani dia. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa hampa yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Saya duduk ndeleleg – dhelog-dhelog – memandang jauh tanpa tujuan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kekosongan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
275
dihidupnya dan tidak punya harapan lagi akan hidupnya ketika ia mengingat kembali peristiwa ia kehilangan keperawanannya. Nilai rasa hampa diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali ingatannya ketika ia mengetahui bahwa ia sudah tidak perawan. 58. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 71 Data tuturan : Kang Kliwon sungkem di muka simbah -ujung- kata wong Jawa Penuh rasa hormat, penuh rasa sopan kang Kliwon tangannya ngapurancang Berpakaian sarung, surjan, dan blangkon duduk bersila, sedang mulutnya berkata : “Kula sowan wonten ing ngarsanipun mbah putri Sepisan : nyaosaken sembah pangabekti mugi katur ing ngarsanipun simbah Ongko kalih : mbok bilih wonten klenta-klentuning atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag ingkang mboten ndadosaken sarjuning penggalih Mugi simbah kersa maringi gunging samodra pangaksami Kula suwun kaleburna ing dinten Riyadi punika Lan ingkang wayah nyuwun berkah saha pangestu” (NRPP.71) NR sopan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman tentang cara mas Kliwon ketika ia sungkem dihadapan orang tua. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sopan yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan wacana “Kula sowan wonten ing ngarsanipun mbah putri. Sepisan : nyaosaken sembah pangabekti mugi katur ing ngarsanipun simbah. Ongko kalih : mbok bilih wonten klenta-klentuning atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak. Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag ingkang mboten ndadosaken sarjuning penggalih. Mugi simbah kersa maringi gunging samodra pangaksami. Kula suwun kaleburna ing dinten Riyadi punika. Lan ingkang wayah nyuwun berkah saha pangestu”. Penggunaan wacana ini memperlihatkan bahwa mas Kliwon masih menghormati orang tua dengan berkata menggunakan bahasa Jawa krama inggil dan berkelakuan sopan di hadapan orang tua seperti yang diceritakan oleh Pariyem. Nilai rasa sopan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat mas Kliwon meminta maaf pada orang yan lebih tua sehingga ia dapat bercerita dengan bebas pada mas Paiman. 59. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 72 Data tuturan : “O, sungguh longgar dan luhur batin dan rasa seorang tua Jembar pangrengkuh jagadnya pantas benar ucapannya malati (NRPP.72) NR kagum Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman mengenai orang tua yang juga meminta maaf saat acara sungkeman. Penanda tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
276
Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “O, sungguh longgar dan luhur batin dan rasa seorang tua”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengagumi tindakan orang tua yang juga meminta maaf atas kesalahannya pada orang yang lebih muda. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem dapat bercerita dengan bebas pada mas Paiman Bagian 28 60. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 77 Data tuturan : Dan saya pun ingat satu hal : Dia bertambah dingin, lho tak sehangat dulu Di Jakarta orang tak lagi ramah (NRPP.77) NR kehilangan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai hal yang berbeda dari mas Kliwon ketika Pariyem bertemu dengannya lagi setelah 5 tahun tidak pernah berjumpa. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kehilangan yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Dia bertambah dingin, lho tak sehangat dulu”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan bahwa ia kehilangan mas Kliwon yang dulu ia kenal. Nilai rasa kehilangan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mampu mengutarakan perasaannya kepada mas Paiman. 61. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 77 Data tuturan : Kang Kliwon, O, kang Kliwon Jakarta sudah menelannya Lain irama, lain gayanya (NRPP.77) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tuutr terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat mas Paiman mengenai sebab perubahan yang terjadi pada diri mas Kliwon setelah 5 tahun bekerja di Jakarta.. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kehilangan yang ditandai penanda intralingual melalui penggunaan kalimat “Jakarta sudah menelannya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan bahwa ia kehilangan mas Kliwon yang dulu ia kenal setelah kepindahannya ke Jakarta selama 5 tahun, pengaruh lingkungan kota metropolitan membuat kang Kliwon ikut berubah. Nilai rasa kehilangan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mampu mengeluarkan perasaannya kepada mas Paiman 62. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 78 Data tuturan : “Aneh, sejak banyak tahun sampai kelon yang terakhir Saya tidak meteng-meteng, lho
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
277
(NRPP.78) NR heran Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya (mas Paiman) mengenai akibat dari kelakuan Pariyem dan kang Kliwon yang sering melakukan hubungan badan Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa heran yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “aneh”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasa heran akan dirinya sendiri yang tidak hamil-hamil walaupun ia telah banyak melakukan hubungan badan dengan kang Kliwon. Nilai rasa heran diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem mengingat banyaknya hubungan badan yang ia lakukan dengan mas Kliwon tetapi ia tidak hami juga dapat bebas mengeluarkan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 29 63. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 79 Data tuturan : Setahun sekali mengundang dalang yang sudah kawentar di mana-mana Ki dalang Kencuran dari Kencuran – ah, amit-amit nuwun sewu – saya tak eling namanya Dia sudah pernah diundang, lho (NRPP.79) NR bersalah Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu mas Paiman tentang kegiatan rutin pementasan wayang kulit yang dilaksanakan di rumah nDoro Kanjeng Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa bersalah yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “ah, amit-amit nuwun sewu” dan “saya tak eling namanya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasa bersalah karena ia tak mampu mengingat nama dhalang yang pernah mementaskan pagelaran wayang kulit di rumah nDoro Kanjeng. Nilai rasa bersalah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem dapat menceritakan tentang dhalang-dhalang yang mementaskan pagelaran wayang dirumah nDoro Kanjeng membuat ia bebas mengeluarkan pendapat serta pikirannya pada mas Paiman 64. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 79 Data tuturan : Jika sudah demikian, jangan tanya Hiruk pikuklah, gegap gempitalah Jagad di nDalem Suryamentaraman (NRPP.79) NR yakin Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu mas Paiman tentang kegiatan rutin pementasan wayang kulit yang dilaksanakan di rumah nDoro Kanjeng Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa yakin yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Jika sudah demikian, jangan tanya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan keyakinan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
278
Pariyem akan keramaian yang akan terjadi d rumah majikannya apabila sedang ada pementasan wayang kulit yang rutin dilaksanakan. Nilai rasa yakin diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem dapat bercerita dengan bebas pada mas Paiman. 65. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 80 Data tuturan : Aduh, jempol kaki saya kesandung Undak-undakan trotoar Malioboro (NRPP.80) Nr kesakitan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu mas Paiman bahwa ia mengalami cedera saat berjalan-jalan bersamanya. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sakit yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “aduh”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kesakitan karena jempol kakinya tersandung jalan trotoar yang keras. Nilai rasa sakit diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa latar percakapan berada di salah satu sisi trotoar jalan Malioboro, waktu percakapan pun di senja hari yang bisa jadi membuat Pariyem tidak melihat anak tangga jalan trotoar, dengan situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem secara refleks mengeluh kesakitan pada mas Paiman. Bagian 30 66. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 81 Data tuturan : Mengucapkan salam pagi dan selamat sejahtera Semoga hari ini penuh kurnia bahagia (NRPP.81) NR harapan Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang memberitahu mas Paiman tentang burung-burung peliharaan nDoro Kanjeng yang mengoceh seakan memanjatkan harapan dan doanya di pagi hari itu. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa harapan yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan adanya harapan yang dipanjatkan melalui tuturan tersebut. Nilai rasa harapan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di hari Minggu, yang biasanya saat dimana keluarga berkumpul sehingga menciptakan kebahagiaan di hati masing-masing, banyak orang memanjatkan harapannya di pagi hari suasana yang masih sejuk untuk sepanjang hari itu. Bagian 31 67. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 85 Data tuturan : Ah, ya, jika saya suka ngomong bukan maksud saya mulang sampeyan Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan (NRPP.85) Nr sadar diri
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
279
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai apa maksud Pariyem memberitahu tentang piwulang-piwulang padanya. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sadar diri yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menyadari dirinya itu tidak berpendidikan tinggi sehingga tak layak untuk memberikan ajaran-ajaran hidup, karena semua ajaran itu ia dapatkan dari pahit getirnya pengalaman hidupnya. Nilai rasa sadar diri diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai namun Pariyem tetap menghormati mas Paiman sebagi orang yang lebih tua darinya sehingga ia berusaha menghormati mas Paiman dengan sikap dan tuturan yang ia jaga. Bagian 34 68. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 93 Data tuturan : “O, Allah, nDoro Ayu, nDoro Ayu Betapa anggun dan luhur budinya Saya tak melihat di mana celanya saya melihat keagungan wanodya (NRPP.93) NR kagum Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem menceritakan majikan putrinya yang bernama nDoro Ayu Cahya Wulaningsih pada mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Betapa anggun dan luhur budinya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengagumi sifat dan watak dari nDoro Ayu, majikan putrinya sebagai sebagai seorang wanita yang sempurna dimatanya. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem merasa nyaman ketika ia bercerita pada mas Paiman. Bagian 36 69. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 96 Data tuturan : Lha, apa tumon? Apa tidak keliru? Apa tidak salah dengar kuping saya? Panggilan pun kemudian diulang-ulang O, Allah, Gusti nyuwun ngapura O, kebangetan banget saya ini (NRPP.96) NR kaget Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem menceritakan pada mas Paiman tentang pengalamannya hilang dari nDoro Ayu dan nDoro Putri sewaktu mengunjungi acara Sekatenan di alun-alun Utara Keraton. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kaget yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Lha, apa tumon? Apa tidak keliru? Apa tidak salah dengar kuping saya?”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem kaget karena namanya dipanggil berulangulang kali lewat pemancar suara. Nilai rasa kaget diperkuat dengan penanda
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
280
ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem mampu membayangkan pengalamannya saat itu. 70. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 97 Data tuturan : Betapa gondok ati saya dibuatnya Orang jatuh kejeglong di lubang sampai setagen copot segala Lha kok dibilang diambung orang Dasar, perempuan suka celelekan Diberi tahu malah ngikik ketawa (NRPP.97) NR kesal Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem menceritakan pada mas Paiman tentang pengalamannya hilang dari nDoro Ayu dan nDoro Putri sewaktu mengunjungi acara Sekatenan di alun-alun Utara Keraton. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kesal yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Betapa gondok ati saya dibuatnya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekesalan Pariyem akan kedua wanita didepannya yang menuduh melalukan tindakan yang tidak senonoh pada dirinya. Nilai rasa kesal diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem mampu membayangkan pengalamannya saat itu. Bagian 37 71. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 99 Data tuturan : “O, sungguh para abdi dalem Bersih jiwanya dan tulus hatinya Badannya kurus-kurus dan tua-tua tapi perkara duniawi bukan apa-apa Rasa terpanggil dalam pengabdiannya lebih utama ketimbang bandha donya (NRPP.99) Konteks tuturan : Pariyem dan mas Paiman terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai para abdi Kraton yang setia pada pilihan hidupnya. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Bersih jiwanya dan tulus hatinya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengagumi sosok dari para abdi dalem yang besar jiwanya lebih memilih sebagai abdi Kraton dari pada memikirkan kekayaan duniawi. Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman dan bebas untuk mengutarakan pendapat serta pikirannya. Bagian 39 72. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 104 Data tuturan : Dan penyiarnya pun menarik –merak atiSuaranya serak-serak basah dengan sapaan mengkili-kili Wah, jah wah, sungguh mati ! (NRPP.104) NR senang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
281
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang alasan Pariyem senang mendengarkan siaran radio Reco Buntung Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Wah, jah wah, sungguh mati !”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang mendengar suara penyiarnya yang terasa akrab bagi para pendengarnya. Nilai rasa senang diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman dan bebas untuk mengutarakan pendapat serta pikirannya Bagian 41 73. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 110 Data tuturan : Kempas-kempus mulutnya nyedot kebul sembari menggosok-gosok jerawatnya yang alkamdulilah ! lebat bertumbuhan (NRPP.110) NR geli Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai sifat dari nDoro Putri Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa ejekan yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “alkamdulilah”. Diksi ini mengandung pengertian bersyukur, namun apabila digunakan untuk mensyukuri suatu hal yang tidak diharapkan tentunya memiliki pengertian yang lain. Penggunaan diksi ini untuk mensyukuri tumbuhnya jerawat nDoro Putri yang banyak sehingga membuat Pariyem agak geli melihatnya. Nilai rasa ejekan diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membayangkan banyaknya jerawat di muka nDoro Putri Wiwit sehingga ia bisa merasakan kegelian yang diciptakannya sendiri. Bagian 42 74. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 113 Data tuturan : “sebagai banyak orang lain Demikian pun saya alami sendiri 21/2 tahun terbaring-baring di amben waktu saya sakit batu ginjal (NRPP.113) NR sakit Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman pengalaman Pariyem waktu menderita penyakit yang cukup serius Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sakit yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “21/2 tahun terbaring-baring di amben waktu saya sakit batu ginjal”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kesakitan yang dirasakan oleh Pariyem sewaktu menderita penyakit batu ginjal. Nilai rasa sakit diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang nyaman dapat membuat Pariyem mengingat pengalamannya waktu tak berdaya karena penyakit batu ginjal yang dideritanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
282
75. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 114 Data tuturan : Beberapa minggu berselang – edan! – penyakit sontoloyo itu pun hilang O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia! wajah basah oleh air mata (NRPP.114) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman pengalaman Pariyem waktu menderita penyakit batu ginjalnya yang hilang hanya karena diurut oleh petani dusunnya tidak perlu operasi segala. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa bahagia yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebahagiaan Pariyem karena penyakit batu ginjalnya sembuh tanpa harus melalui operasi. Nilai rasa bahagia diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membayangkan kebahagiaan setelah ia tahu ia sembuh dari penyakit batu ginjal. Bagian 43 76. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 114 Data tuturan : O, betapa hati saya jadi kesal nDalem Suryamentaraman lekas kotor (NRPP.114) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem memberitahukan mas Paiman mengenai akibat yang ditimbulkan dari angin lesus siang hari itu. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kesal yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, betapa hati saya jadi kesal nDalem Suryamentaraman lekas kotor“. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekesalan Pariyem terhadap angin lesus yang menggugurkan dedaunan sehingga ia terpaksa harus membersihkannya lagi. Nilai rasa kesal diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari yang seharusnya jatah Pariyem untuk beristirahat malah membersihkan halaman rumah lagi. Bagian 44 77. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 117 Data tuturan : O, betapa saya senang mengantar nDoro Ayu lha bakal ketemu dengan tetangga dusun Dari Wonosari Gunung Kidul mereka turun pada menjual panen palawija ditukar keperluan rumah tangga (NRPP.117) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai alasan Pariyem senang apabila disuruh mengantar nDoro Ayu berbelanja di Pasar Beringharjo. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, betapa saya senang mengantar nDoro Ayu lha bakal ketemu dengan tetangga
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
283
dusun“. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang apabila mengantar nDoro Ayu berbelanja sebab ia ketemu dengan tetangga dusunnya di Wonosari. Nilai rasa senang diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari dan pada waktu itu Pariyem melihat para bakul-bakul di pasar telah pulang sehingga dengan melihat itu ia teringat saat ia menemani nDoro Ayu berbelanja di pasar. Bagian 45 78. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 119 Data tuturan : Lha, ini beda dengan nDoro Putri belanja Wadhuh, gondok benar ati saya, lho (NRPP.119) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman mengenai perbedaan cara membeli yang dilakukan oleh nDoro Ayu dan nDoro Putri Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kesal yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Wadhuh, gondok benar ati saya, lho“. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekesalan Pariyem akan cara berbelanja nDoro Putri, yang tanpa menawar harga langsung ambil dan selalu bingung apabila tersedia banyak pilihan. Nilai rasa kesal diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai dengan mas Paiman membuat Pariyem mengingat isi pasar dengan segala barang dagangan yang dijual mengingatkannya pada nDoro Putri ketika berbelanja. 79. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 119 Data tuturan : “Wadhuh Gusti, mati saya!” begitu saya sambat dalam hati (NRPP.119) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman ketika ia dibooking oleh nDoro Putri untuk menemaninya berbelanja di sepanjang jalan Malioboro. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kesal yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Wadhuh Gusti, mati saya“. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan ketidaksenangan Pariyem ketika mendapatkan sampur menemani berbelanja putri majikannya karena ia tahu berbelanja dengan nDoro Putri barang yang dicari belum tentu dapat, badan pegalpegal itu sudah pasti karena semua toko ia jelajahi. Nilai rasa kesal diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa percakapan yang santai dengan mas Paiman membuat Pariyem leluasa mengeluarkan pendapat dan perasaannya. Bagian 46 80. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 123 Data tuturan : Alangkah mengagumkan dia ! lha, pinggulnya megal-megol laksana mentok berjalan (NRPP.123) Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
284
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman tentang nDoro Putri Wiwit Setiowati. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Alangkah mengagumkan dia!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekaguman Pariyem ketika ia mengingat kembali ketika ia melihat nDoro Putri yang sedang latihan menari Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di sore hari ketika Pariyem melihat di dalam pendopo nDoro Putri sedang bersiap untuk latihan menari sehingga ia menceritakan kekagumannya akan nDoro Putri yang luwes dalam hal menari pada mas Paiman Bagian 47 81. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 125 Data tuturan : “nenek moyang, o, nenek moyang dengan apa saya berhubungan? Bagaimana saya bisa yakin pikiran sanggup menangkap suara masa silam? (NRPP.125) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya-tanya pada mas Paiman tentang cara manusia untuk melacak kebenaran dari sejarah yang ada. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sedih yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Bagaimana saya bisa yakin pikiran sanggup menangkap suara masa silam?”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kesedihan Pariyem karena tak ada yang bisa berkomunikasi dengan para leluhur untuk membenarkan simpang siur kebenaran dari sejarah saat ini Nilai rasa sedih diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari setelah ia mendengar lakon cerita sejarah Ken Arok dan Ken Dedes sehingga ia dan mas Paiman dapat berdiskusi mengenai bagaimana kebenaran dari sejarah saat ini yang sudah tercemari dan ditambah-tambahi dengan bumbu-bumbu dari masayrakat. Bagian 48 82. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 126 Data tuturan : Kehidupan para bangsawati kraton yang cantik-cantik dan teji-teji Bagaikan para bidadari kahyangan lemah lembut dan mempesonakan Alangkah menawan hati saya! (NRPP.126) NR kagum Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan imajinasinya tentang kehidupan di dalam Kerajaan Singosari pada mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kagum yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Alangkah menawan hati saya!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekaguman Pariyem ketika membayangkan kehidupan di dalam istana Kerajaan Singosari yang dijaga oleh para pengawal dan bangsawan/bangsawati yang hidup disana bagaikan bidadari/bidadara . Nilai rasa kagum diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan yang santai membuat Pariyem bisa membiarkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
285
imajinasinya berkembang sehingga ia dapat leluasa mengutarakan pendapatnya pada mas Paiman. 83. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 127 Data tuturan : Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala Pakai upacara segala sekadar untuk kelon Apa tidak kampiun itu namanya? (NRPP.127) NR heran Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman mengenai upacara senggama yang dilakukan oleh raja Singosari Sri Rajasa Kertanegara Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa heran yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem heran dengan akan adanya upacara senggama yang diselenggarakan hanya untuk berpesta seks yang dilakukan oleh raja Singosari Sri Rajasa Kertanegara. Nilai rasa heran diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari yang membuat Pariyem dan mas Paiman tidak rikuh membicarakan tentang peranan wanita dari jaman kerajaan hingga di jaman modern seperti saat ini dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat leluasa berbicara pada mas Paiman. 84. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 129 Data tuturan : Saya tanggung, sampeyan mabok kepayang Takkan tahan, sampeyan pasti ketagihan (NRPP.129) Nr percaya diri Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mas Paiman yang tidak percaya bahwa Pariyem sanggup memuaskan mas Paiman dalam hubungan ranjang. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa percaya diri yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Saya tanggung, sampeyan mabok kepayang”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem menantang berani menjamin kepuasan yang akan didapatkan mas Paiman.. Nilai rasa percaya diri diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari yang membuat Pariyem dan mas Paiman tidak rikuh membicarakan hal tentang orang dewasa dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat leluasa berbicara pada mas Paiman. Bagian 52 85. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 135 Data tuturan : “kepala saya pening, pusing, perut saya teraduk-aduk, mules. O, saya kepingin muntah-muntah namun pada akhirnya sampailah : nasi, lauk-pauk, wedang kopi tumpah bercampur cairan kecut (NRPP.135) NR sakit Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
286
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan pada mas Paiman saat ia merasakan kesakitan karena ia tahu bahwa dirinya sedang hamil Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sakit yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “kepala saya pening, pusing, perut saya teraduk-aduk, mules”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan sakit di seluruh tubuhnya, ia merasakan lemas di seluruh tubuhnya hingga berjalan sempoyongan. Nilai rasa sakit diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari saat ia berada di dapur hendak memulai pekerjaannya menyiapkan makan siang, namun seketika pandangannya berkunang-kunang dan ia teringat saat ia mengetahui dirinya hamil 86. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 136 Data tuturan : Tapi seketika dia mengcengkeram lengan dan tubuh saya digincang-goncangkan : “Jadi, yu, sekarang yu Pariyem meteng?! Dengan siapa kowe melakukannya?!” (NRPP.136) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata dan tindakan yang dilakukan nDoro Putri saat ia bercerita dengan mas Paiman tentang reaksi nDoro Putri Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa marah yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Tapi seketika dia mengcengkeram lengan dan tubuh saya digincanggoncangkan”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan.kemarahan yang dirasakan oleh nDoro Putri saat ia tahu bahwa Pariyem hamil. Nilai rasa marah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari saat ia berada di dapur hendak memulai pekerjaannya menyiapkan makan siang, namun seketika pandangannya berkunang-kunang dan ia teringat saat ia diinterogasi oleh nDoro Putri. 87. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 137 Data tuturan : Bibirnya mengatup menahan berang seketika air matanya mengambang : “Dasar lelaki mata keranjang! Dasar lelaki hidung belang! Tanpa pandang siapa pun – O, yu Iyem – asal bathuk klimis dimakan!” (NRPP.137) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata dan tindakan yang dilakukan nDoro Putri saat ia bercerita dengan mas Paiman tentang reaksi nDoro Putri Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa marah yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Bibirnya mengatup menahan berang seketika air matanya mengambang”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kemarahan yang dirasakan oleh nDoro Putri saat ia tahu bahwa Pariyem dihamili oleh kakaknya sendiri. Nilai rasa marah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di siang hari saat ia berada di dapur hendak memulai pekerjaannya menyiapkan makan siang, namun seketika pandangannya berkunang-kunang dan ia teringat pada reaksi nDoro Putri setelah tahu bahwa kakaknya yang menghamili Pariyem.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
287
88. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 138 Data tuturan : “Kini batin rasanya longgar Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu (NRPP.138) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman (mitra tuturnya) mengenai perasaan Pariyem setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa lega yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Kini batin rasanya longgar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kelegaan di hati Pariyem setelah ia megaku tentang siapa yang menghamilinya pada nDoro Putri. Nilai rasa lega diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat ia mengaku pada nDoro Putri tentang kehamilannnya sehingga ia bebas mengutarakan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 55 89. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 147 Data tuturan : Dan saya hanya bisa kethap-kethip Bagaikan kera kena tulup pemburu (NRPP.147) NR takut Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan keadaan dirinya saat berada di sidang pengadilan keluarga yang membahas soal kehamilannya. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa takut yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Dan saya hanya bisa kethap-kethip”. Penggunaan kata ini memperlihatkan yang dapat dilakukan oleh Pariyem saat ia berada di sidang keluarga Suryamentaraman hanyalah memainkan matanya saja, seolah ia takut menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pariyem merasa takut dengan apa terjadi pada dirinya saat sidang pengadilan dari keluarga Suryamentaraman berlangsung. Nilai rasa takut diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. 90. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 147 Data tuturan : Sebagai babu saya tahu tempatnya harus minggat atau terus menetap (NRPP.147) DB Kasar Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai tindakan Pariyem setelah keluarga majikannya tahu ia hamil Penanda tuturan : Tuturan tersebut mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “minggat”. Penggunaan kata ini dirasa bernilai kasar karena dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
288
bahasa Jawa kata “minggat” memiliki pengertian pergi tanpa pamit. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. 91. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 148 Data tuturan : Nah, derajatmu lebih rendah ketimbang kera bila habis menikmati Pariyem, kowe minggat Lebih terkutuk lagi bila dia yang dipecat (NRPP.148) NR marah Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata yang keluar dari nDoro Kanjeng saat memarahi Den Baguse ketika ia bercerita dengan mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa marah yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Nah, derajatmu lebih rendah ketimbang kera bila habis menikmati Pariyem, kowe minggat, lebih terkutuk lagi bila dia yang dipecat”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa nDoro Kanjeng marah dengan kelakuan Den Baguse yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Nilai rasa marah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. 92. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 150 Data tuturan : “Kowe Mas Ario, lelaki kok bloon lho, pakai pil APEM atau kondom bisa ta Yang diuber filsafat terus-terusan tak sempat mikir paha berkelojotan Tahunya rampung sekali tikam, huh! Dasar lelaki, karemnya ngawur! (NRPP.150) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata yang keluar dari mulut nDoro Putri saat mengejek Den Baguse ketika ia bercerita dengan mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa marah yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Dasar lelaki, karemnya ngawur!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa nDoro Putri tidak senang dengan kelakuan Den Baguse yang tidak tidak memikirkan akibatnya asalkan senang yang didapatkannya. Nilai rasa marah diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. 93. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 151 Data tuturan : “kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku Thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu itu bakal cucuku Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa hanya selama setahun tinggal di dusun Wonosari, Gunung Kidul Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
289
(NRPP.151) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata yang keluar dari mulut nDoro Kanjeng ketika memutuskan vonis bagi Pariyem pada saat sidang keluarga ketika ia bercerita dengan mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kasar yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “thuyul”. Kata thuyul mempunyai pengertian sejenis mahkluk halus yang berwujud anak-anak dan digunakan untuk pesugihan. Penggunaan kata ini untuk menyebut janin bayi manusia mengandung nilai yang cukup kasar tetapi penggunaan kata ini merupakan sapaan mesra dari kakeknya terhadap jabang bayi. Nilai rasa kasar diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. 94. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 152 Data tuturan : Tiada kata dalam perbendaharaan batin saya, saya hanya bisa menunduk, tak bisa apaapa Kata-kata luber dan lebur menjadi air mata O, Allah anugerah apa Sampeyan limpahkan? (NRPP.152) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan keadaan dirinya setelah sidang pengadilan keluarga memutuskan vonis bagi dirinya pada mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa terharu yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Kata-kata luber dan lebur menjadi air mata”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem terharu dengan keputusan yang dibuat oleh nDoro Kanjeng dalam mengadili perbuatannya dengan Den Baguse, nDoro Kanjeng tidak menyalahkan Pariyem dan meminta Pariyem merawat bakal cucunya dengan baik. Bagi Pariyem semua yang dilakukan oleh keluarga Suryamentaraman sangat berlebihan baginya sehingga ia tak mampu berkata-kata lagi. Nilai rasa terharu diperkuat dengan penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Bagian 56 95. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 155 Data tuturan : O, Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang! Walaupun bakal lama berpisah namun bukan kehilangan (NRPP.155) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang perasaan Pariyem saat diungsikan di dusunnya kembali. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa sedih yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Allah, betapa perasaan saya bagaikan disendhal mayang!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sedih akan perpisahannya dengan keluarga majikannya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
290
karena ia harus diungsikan di dusun asalnya dulu Wonosari, Gunung Kidul selama kehamilannya hingga ia melahirkan. Nilai rasa sedih diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 57 96. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 156 Data tuturan : Kelap-kelip lampu pelita tertiup angin gunung yang dingin Dalam musim-musim bedhidhing Saya kangen saya dhemen! (NRPP.156) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan mas Paiman bahwa ia merasa rindu pada Den Baguse setelah ia berada di Wonosari, Gunung Kidul. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa rindu yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Saya kangen saya dhemen!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kerinduan akan Den Baguse walaupun Den Baguse setiap bulan mengunjunginya untuk mengobati kerinduan mereka satu sama lainnya. Nilai rasa rindu diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari dalam musim dingin hawa pegunungan dan situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem bebas mengutarakan pendapat dan perasaan rindunya terhadap Den Baguse pada mas Paiman. Bagian 59 97. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 161 Data tuturan : Ya, ya, saya hanya berharap kelak Semoga thuyul yang saya kandung ini tidak nakal dan tidak manja (NRPP.161 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang harapan apa yang diinginkan Pariyem setelah ngidhamnya telah terpenuhi. Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa harapan yang ditandai penanda intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan kata ini memperlihatkan adanya harapan yang dipanjatkan oleh Pariyem untuk buah hatinya supaya kelak anaknya tidak nakal dan tidak manja. Nilai rasa harapan diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan saat Pariyem memakan makanan yang ia inginkan saat ngidham sehingga setelah terpenuhi ngidhamnya ia berharap pada Tuhan akan sifat anaknya supaya tidak manja dan tidak nakal. 98. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 163 Data tuturan : Betapa mrinding saya dengar suaranya! Lha baru sepisan ini dia nembang baru sepisan ini saya mendengarnya Sungguh mati! Cumengklung mempesona
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
291
(NRPP.163) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan saat Den Baguse didaulat menyanyikan lagu macapatan dalam acara mitoni kandungan Pariyem pada mas Paiman Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa terpesona yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Betapa mrinding saya dengar suaranya!”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem takjub ketika mendengar pertama kalinya Den Baguse menyanyikan tembang macapat. Nilai rasa terpesona diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan di malam hari saat Pariyem mengingat Den Baguse menyanyikan beberapa pupuh tembang macapat dalam acara mitoni kandungannya dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem leluasa mengungkapkan perasaan dan pendapatnya pada mas Paiman. Bagian 60 99. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 164 Data tuturan : “Betapa senangnya ati saya nDoro Putri tidur seamben dengan saya Dia betah dan krasan di desa dan O, makan dan jajan apa adanya Tak pernah mencacat, dia nrima saja betapa senangnya ati saya (NRPP.164) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman saat nDoro Putri berlibur di dusun Wonosari setelah ia mengikuti ujian Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Betapa senangnya ati saya nDoro Putri tidur seamben dengan saya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang nDoro Putri mau tidur dengannya padahal nDoro Putri merupakan putri majikannya, nDoro Putri tidak pernah mengeluh dengan kondisi rumah di dusun yang serba terbatas itulah yang membuat Pariyem senang akan nDoro Putri. Nilai rasa senang diperkuat penanda ekstralingual yang berupa waktu percakapan pagi hari setelah acara mitoni kandungan Pariyem usai, situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita pada mas Paiman dengan leluasa. 100. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 165 Data tuturan : Masya Allah! Mas dan adik idem (NRPP.165) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman tentang kelakuan nDoro Putri dan Den Baguse tidaklah berbeda dalam hal kenakalan anak muda yang sudah melampaui batas Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa kaget yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Masya Allah! Mas dan adik idem”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kekagetan Pariyem akan kelakuan nDoro Putri yang menelan pil anti kehamilan, ternyata kelakuan kakak adik putra majikannya tidaklah berbeda. Nilai rasa kaget diperkuat penanda
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
292
ekstralingual yang berupa waktu percakapan di pagi hari saat Pariyem bercerita dengan mas Paiman kemudian terlintas ingatan saat ia melihat nDoro Putri menelan pil anti kehamilan Bagian 62 101. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 170 Data tuturan : Simboklah yang sibuk merawatnya Sungguh! Dia penuh pengalaman (NRPP.170) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang yang mengurus anakya ketika tubuh Pariyem masih lemah setelah melahirkan Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Sungguh! Dia penuh pengalaman”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebanggaan Pariyem akan ibunya yang masih terampil merawat bayi yang baru lahir walaupun sudah lama tidak merawat bayi mungil yang baru saja dilahirkan. Nilai rasa bangga diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem mampu mengingat saat ia masih lemas setelah melahirkan sehingga bayinya diurus oleh ibunya Pariyem. Bagian 63 102. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 170 Data tuturan : “BETAPA rasanya ati saya O, betapa menjadi simbok muda (NRPP.170) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang perasaan Pariyem setelah melahirkan seorang anak Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa bahagia yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, betapa menjadi simbok muda”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebahagiaan Pariyem menjadi seorang ibu muda yangbaru saja melahirkan seorang bayi membuat hatinya penuh dengan sukacita, sehingga tiap hari kasih sayangnya tercurah pada anaknya. Nilai rasa bahagia diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman mengutarakan perasaannya pada mas Paiman. 103. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 174 Data tuturan : Endang Sri Setianingsih menangis Ah, suara dan namanya bagus benar Ya, ya namanya menjunjung keluarga Tangisnya, O, Allah, tangisnya! (NRPP.174) Konteks tuturan :
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
293
Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan pada mas Paiman tentang kebanggaannya akan putrinya Endang Sri Setianingsih yang membuat Pariyem akan melalukan apapun untuk anaknya Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa bangga yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Ah, suara dan namanya bagus benar”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kebanggaan Pariyem akan nama dan suara bayinya, baginya nama buah hatinya ialah doa yang dipanjatkan dan nama itulah yang menjadi kebanggaan bagi keluarganya. Nilai rasa bangga diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman mengutarakan perasaannya pada mas Paiman. Bagian 64 104. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 174 Data tuturan : O, tawa bocah selalu mempesona (NRPP.174) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang alasan Pariyem suka mendengar suara tawa bayi Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa senang yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “O, tawa bocah selalu mempesona”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem senang saat mendengarkan suara tawa bayi yang senantiasa polos. Suara tawa bayi yang jernih, tidak dibuat-buat itulah yang membuat Pariyem senang mendengar suara tawa bayi. Nilai rasa senang diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem teringat ketika anaknya dihibur oleh keluarga Suryamentaraman sehingga ia dapat mengutarakan alasannya menyukai tawa bayi pada mas Paiman. Bagian 65 105. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 178 Data tuturan : Ya, ya Den Baguse telah mengalirkan darah ke dalam rahim saya Ya, ya Den Baguse pahlawan pujaan saya tak ada yang menandinginya (NRPP.178) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang seberapa besarnya cinta Pariyem akan Den Baguse Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa cinta yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Ya, ya Den Baguse pahlawan pujaan saya tak ada yang menandinginya”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sungguh mencintai Den Baguse sehingga bagi dirinya tidak ada yang dapat menandingi keberadaan Den Baguse dalam hidupnya. Nilai rasa cinta diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem teringat akan anaknya yang mirip dengan bapaknya Den Baguse sehingga Pariyem dapat mengungkapkan perasaannya akan Den Baguse pada mas Paiman..
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
294
106. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 179 Data tuturan : Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni (NRPP.179) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang bukti cintanya akan Endang Sri Setianingsih Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa cinta yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Demi anak segala rintangan saya tempuh mati pisan saya lakoni”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem akan mempertaruhkan apapun demi anaknya, hal ini membuktikan bahwa cinta seorang ibu pada anaknya dapat mengalahkan segalanya. Nilai rasa cinta diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi tuturan yang nyaman sehingga membuat Pariyem teringat anaknya yang ditinggal di Wonosari, Gunung kidul bersama bapak, ibu dan adik-adiknya namun dalam waktu sebulan sekali pasti ia mengunjungi putri semata wayangnya itu. 107. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 179 Data tuturan : Mas Paiman, O, mas Paiman Saya tetap tinggal sebagai sedia kala Saya tetaplah sebagai babu yang setia Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia (NRPP.180) Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mas Paiman tentang seberapa besarnya cinta Pariyem akan Den Baguse Penanda tuturan : Tuturan mengandung nilai rasa puas yang ditandai penanda intralingual melalui kalimat “Tak kurang suatu apa saya sudah bahagia”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem sudah puas dengan apa yang ia miliki saat ini, karena menurutnya ia telah menemukan kebahagiaan dalam hidup walaupun ia tetap bekerja sebagi seorang babu tetapi ia telah merasakan kebahagiaan hidup yang sesunggguhnya. Nilai rasa puas diperkuat penanda ekstralingual yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman dan leluasa untuk mengungkapkan perasaan serta pikirannya pada mas Paiman yang setia mendengarkan pengakuan hidupnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BIODATA PENULIS
Maria Retno Purwandani lahir di Bumirejo, Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 28 Februari 1994. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD Kanisius Jetis Depok, Sendang Sari, Minggir, Sleman, Yogyakarta pada tahun 2005. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di SMP Pangudi Luhur Mergan, Sumberagung, Moyudan, Yogyakarta dan tamat tahun 2008. Pendidikan tingkat atas ditempuhnya di SMA Pangudi Luhur Sedayu, Bantul, Yogyakarta dan tamat pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat atasnya ia melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma. Masa pendidikan S1nya berakhir di tahun 2015 dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Prosa Lirik Pengakuan Pariyem sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi.
295