PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH (SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh: Guntur Firmansyah 08 1224 062
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH (SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh Guntur Firmansyah 08 1224 062
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
i
ヽ
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SKRIPSI
DALAⅣ I NOVEL PRTEMPじ こ&4Ⅳ 2PEMう 4ハИ謄 ∠RJし いИttИ tt KARYA PITOYO APIIRIⅡ (SUATU TINJAUAN SOSIOLOGISASTRA)DAN RELEVANSINYA DALA■ PEⅣIBELAJARAN SASTRA DISⅣ IA KELAS XI
NILAI― NILAIPIORAL
lI
Pembimbing
ahmanto, M.Hum.
Pada tanggal: 13
Mei 2015
Pada tanggal:26
Mei 2015
Pemb;pbing II
S.J。
,NI.HⅧm.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SKRIPSI
NOVEL PERrEMP6R∠ Ⅳ 2π νら4ハ /1「 ∠RJし いИttRAИ KARYA PITOYO AⅣ IRIⅡ (SUATU TINJAUAN SOSIOLOGISASTRA)DAN RELEVANSINYA DALAⅣ I PEⅣIBELAJARAN SASTRA DISMA KELAS XI
NILAI… NILAI PIIORAL DALAⅣ I
E)ipersiapkan dan disusun oleh Guntur Firllllallsyah
081224062 Telah dipe■ ahankan di dcpan Panitia Pengtti pada tangga1 31 Juli 2015 dan dinyatakan tclah lllementllli syarat
SUSUNAN PANITIA PENGUJI Nallla Lcnょ ap
Ketua
Dr.Yuliana Sctiyaningsih,NI.Pd.
Sekretaris
Dr.R.Kuttana Rahttdi,M.Hum.
Anggota
Drs.B.Rallmanto,M.Hum.
Anggota
Drs.J.Prapta Dihtta,S.J。 ,M.Hum.
Anggota
Drs.P.Httyanto,NI.Pd.
karta,31 Juli 2015
Keguruan dan Ilmu Pendidikan itas Sanata Dharma
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTO
“No matter how deep the night, it always turns to day, eventually.” ( Brook )
“It’s over when you give up” ( Brook )
“I don’t care what the society says. I’ve regretted doing anything. I will survive and do what I want to.” ( Roronoa Zoro )
“There is no such thing as impossible in this world.” ( Marshall D. Teach )
“Then stand up right away! And don’t act like you’re about to die! It’s not like you! Even if there are billows of smoke, we can still see the sky. We can still see the ocean!” ( Usopp )
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya yang tidak seberapa ini untuk orang-orang yang selalu memberikan kepercayaan dan harapannya kepadaku. Kedua orang tuaku, Bapak Sugijanta dan Ibu Sartinah. Hanya ini yang bisa kupersembahkan untuk saat ini dan aku berjanji ini barulah sebuah awal. Mbakku Tyas Subhekti dan adikku Tri Wahyuni yang tersayang.
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang disebutkan di dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Juli 2015 Penulis,
Guntur Firmansyah 08 1224 062
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama
: Guntur Firmansyah
Nomor Induk Mahasiswa
: 08 1224 062
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan karya ilmiah kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang berjudul: NILAI-NILAI MORAL DALAM NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH ( SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA) DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 31 Juli 2015 Yang menyatakan,
(Guntur Firmasnyah) vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK Firmansyah, Guntur. 2015. “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengkaji nilai-nilai moral novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Tujuan penelitian ini untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, dan latar; nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel; dan implementasi hasil penelitian dalam pembelajaran di SMA. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan juga untuk memaparkan implementasi hasil penelitian dengan pembelajaran sastra di SMA. Dari analisis data, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah Arjuna dan Karna, sedangkan tokoh tambahan adalah Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama, yaitu Arjuna dan Karna. Tokoh Arjuna mempunyai sifat tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya, suka menolong orang lain yang sedang kesusahan, jujur, dan rendah hati. Karna mempunyai sifat ambisius, tidak suka berbasa-basi, dan angkuh. Cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih beralur maju. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. Ada tiga latar dalam novel ini, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu. Nilai-nilai moral dalam novel ini terkandung dalam diri tokoh-tokohnya. Nilai-nilai moral tersebut, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis kritis. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra untuk SMA. Dalam penelitian ini diberikan contoh rencana pelaksanaan pembelajaannya. Guru bahasa dan sastra Indonesia diharapkan lebih kreatif dalam memilih metode dan bahan pembelajaran.
Kata kunci: nilai-nilai moral, tokoh, penokohan, alur, latar
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Firmansyah, Guntur. 2015. “The Moral Values Contained in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna (A Review of Sociological Literature) and Its Implementation in Learning Literature for Grade XI of Senior High School”. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.
This research reviews the moral values embedded in Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. The aim of this research is to present the characters, characterization, plot, and setting; the moral values contained in the novel; and the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School. This research applies sociological approach to literature. Meanwhile, the method used is descriptive analysis method. Descriptive analysis method is used to present the characters, characterization, plot, setting, and moral values, as well as the implementation of the research findings in the learning activities of Senior High School. From the analysis, it can be concluded that the major characters in this novel are Arjuna and Karna, whereas the minor characters are Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Duma, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, and Kusir Adirata. The plot of Pitoyo Amrih’s novel entitled Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna is advancing. It can be seen in the composition of the plot i.e. the occurrence of exposure, stimulation, tension, conflict, complication, resolution, and completion. There are three settings in this novel namely physical setting, social setting, and temporal setting. The moral values of this novel are embedded in the characters. Those moral values are honesty, authentic values, responsibility, moral autonomy, moral courage, humbleness, as well as being realistic and critical. The findings of this research can be learning materials for high school literature. The example of the lesson plan is also presented in this research. The teachers of Indonesian Language and Literature are expected to be more creative in selecting the method and the learning materials.
Keywords: moral values, character, characterization, plot, setting
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”, penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu, yaitu: 1.
Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeritas Sanata Dharma.
2.
Ibu Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, selama ini menjadi Pembimbing Akdemik yang baik.
3.
Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi I yang sabar dan selalu mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4.
Romo Drs. J. Prapta Diharja, S.J., M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi II yang terus memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk meyelesaikan skripsi.
5.
Robertus Marsidiq, selaku staf Sekretariat Program Studi PBSI yang turut membantu kelancaran skripsi ini.
6.
Segenap dosen PBSI yang selama ini telah membagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
7.
Bapak dan ibu penulis (Bapak Sugijanta dan Ibu Sartinah) yang selalu sabar dan senantiasa memanjatkan doa bagi penulis.
8.
Kakak penulis, Tyas Subhekti, dan adik penulis, Tri Wahyuni, terima kasih atas dukungan dan doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9.
Fransiska Ida, Petrus Kanisius, Maria Evi, Vicky Aprilia, dan Eka Nopin selaku teman-teman yang bersama-sama berjuang untuk menyelesaikan skripsi, terima kasih atas dukungan dan doanya; serta Chyntia Radeani, terima kasih atas masukan, dukungan, dan bantuannya kepada penulis.
10. Teman-teman PBSI yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas kerjasamanya selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma. 11. Teman-teman UKPM natas yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu. Semoga kebaikan dan doa yang dipanjatkan untuk penulis mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, besar harapan penulis bahwa penelitian ini berguna dan menjadi inspirasi bagi peneliti selanjutnya.
Yogyakarta, 31 Juli 2015
Penulis,
Guntur Firmansyah
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii HALAMAN MOTO ....................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................ vii ABSTRAK ..................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah ...................................................................... Rumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................. Manfaat Penelitian ............................................................................... Batasan Istilah ..................................................................................... Sumber Data ........................................................................................ Sistematika Penyajian .........................................................................
1 4 5 5 6 8 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI ................................ 9 A. Kajian Pustaka ..................................................................................... B. Landasan Teori .................................................................................... 1. Sosiologi Sastra ............................................................................ 2. Tokoh ........................................................................................... 3. Penokohan .................................................................................... 4. Alur ............................................................................................... 5. Latar ............................................................................................. 6. Nilai-Nilai Moral .......................................................................... 6.1 Konsep Nilai Moral ............................................................... 6.2 Nilai Moral dalam Karya Sastra ............................................ 6.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral dalam Karya Sastra ....... 6.4 Bentuk Nilai Moral yang Kuat .............................................. 6.4.1 Kejujuran ...................................................................
xii
9 10 10 12 13 19 22 24 24 25 26 27 27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7.
6.4.2 Nilai Otentik .............................................................. 6.4.3 Kesediaan untuk Bertanggung jawab ........................ 6.4.4 Kemandirian Moral ................................................... 6.4.5 Keberanian Moral ...................................................... 6.4.6 Kerendahan Hati ........................................................ 6.4.7 Realistis dan Kritis .................................................... Implementasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA ...................... 7.1. Kurikulum ............................................................................. 7.1.1 Pengertian Kurikulum ............................................... 7.1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ........ 7.1.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP .. 7.1.4 Perencanaan Pembelajaran KTSP ............................. 7.2. Pembelajaran Sastra di Tingkat SMA ................................... 7.2.1 Pelajaran Sastra ......................................................... 7.2.2 Tujuan Pengajaran Sastra .......................................... 7.2.3 Pemilihan Bahan Pengajaran Sastra ..........................
28 28 28 29 29 30 31 31 31 31 32 33 36 36 37 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 44 A. B. C. D.
Pendekatan ......................................................................................... Metode Penelitian .............................................................................. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. Teknik Analisis Data ..........................................................................
44 45 45 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 47 A. Tokoh ................................................................................................. B. Penokohan .......................................................................................... 1. Arjuna ........................................................................................... 2. Karna ............................................................................................ C. Alur .................................................................................................... 1. Paparan ......................................................................................... 2. Rangsangan .................................................................................. 3. Tegangan ...................................................................................... 4. Tikaian .......................................................................................... 5. Rumitan ........................................................................................ 6. Klimaks ........................................................................................ 7. Leraian .......................................................................................... 8. Selesaian ....................................................................................... D. Latar ................................................................................................... 1. Latar Fisik .................................................................................... 2. Latar Sosial ................................................................................... 3. Latar Waktu ..................................................................................
47 54 54 56 58 58 59 60 61 62 62 63 63 64 64 67 70
E. Nilai-Nilai Moral ............................................................................... 71 1. Kejujuran ...................................................................................... 71 2. Nilai-Nilai Otentik ........................................................................ 77
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. 4. 5. 6. 7.
Kesediaan untuk Bertanggungjawab ............................................ Kemandirian Moral ...................................................................... Keberanian Moral ......................................................................... Kerendahan Hati ........................................................................... Realistis dan Kritis .......................................................................
84 87 91 94 99
BAB V RELEVANSI HASIL ANALISIS NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI .... 108 A. Pemilihan Bahan Pembelajaran ......................................................... 1. Aspek Bahasa ............................................................................... 2. Aspek Psikologis .......................................................................... 3. Aspek Latar Belakang Budaya ..................................................... B. Relevansi Novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI ..............................................
109 109 111 111 113
BAB VI PENUTUP ....................................................................................... 132 A. Kesimpulan ....................................................................................... 132 B. Implikasi ........................................................................................... 135 C. Saran ................................................................................................. 136 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 137 BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 139 LAMPIRAN 1 ……………………………………………………………….. 140
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perjalanan zaman selalu diikuti dengan perkembangan sarana dan prasarana yang semakin maju. Perkembangan zaman yang demikian pesatnya seakan menggiring kita pada kehidupan yang lebih baik dengan kemajuan teknologi. Namun, dalam perkembangan zaman itu, ada hal yang sering kali dilupakan masyarakat, bahkan mungkin berangsur-angsur akan hilang dari diri kita, yaitu nilai-nilai moral. Masalah moral bisa menjadi masalah yang akan menggelisahkan apabila tidak segera kita atasi. Dengan rutinitas yang harus dilakukan dengan serba cepat, pekerjaan yang harus diselesaikan dengan sempurna, dan hal-hal lainnya yang memfokuskan kita pada diri sendiri seringkali membuat kita lupa bahwa kita adalah mahluk sosial. Kita adalah bagian masyarakat. Kita perlu berinteraksi dengan masyarakat. Dalam interaksi itu, kita harus menggunakan norma-norma moral. Hal inilah yang saat ini mulai berangsur-angsur hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun demikian, sebenarnya ada berbagai macam hal yang memberikan pelajaran moral bagi kita dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu karya sastra dalam bentuk cerita fiksi. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 2). Menurut Nurgiyantoro (2010: 3), fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Karya sastra mempunyai pengaruh dan peranan dalam kehidupan masyarakat. Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia (Nurgiyantoro, 2010: 321). Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia sejagad. Sastra mempunyai fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat, yaitu: (1) sastra berfungsi sebagai perombak atau pembaharu, (2) karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghibur (Endraswara, 2013: 81). Terkait dengan hubungannya dengan masyarakat, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengenai karya sastra, yaitu: (1) karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat; (2) karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan (Ratna, 2013: 333). Karya sastra mengangkat berbagai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
permasalahan sosial dalam masyarakat, menganalisis, dan memberikan pelajaran kembali kepada masyarakat. Salah satu karya sastra fiksi yang dikenal oleh masyarakat adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang berbentuk prosa naratif atau biasa juga disebut teks naratif (Nurgiyantoro, 2010: 8). Berbeda dengan cerpen, formalitas bentuk cerita novel jauh lebih panjang. Sejumlah cerita yang panjang, katakanlah berjumlah ratusan halaman jelas tak dapat disebut sebagai cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih sebagai subjek penelitian. Novel ini mengambil kisah dari cerita wayang yang diadaptasi dari kisah legendaris Mahabharata. Kisah dunia wayang dapat membuat kita selalu bercermin dan mawas diri. Seperti juga kehidupan manusia, dalam kisah kehidupan wayang selalu saja ada pertemuan antara kebaikan dan keburukan, kebijakan dan ketamakan. Kisah tentang keteladanan, kemarahan, kesendirian, kecongkakan,
kejujuran,
integritas,
pengorbanan,
kebijaksanaan,
kebimbangan, dendam, dan kekecewaan tersaji dan terangkum dalam sebuah novel. Novel ini mengangkat kisah pertempuran 2 pemanah, Arjuna-Karna, yang kaya dengan drama, air mata, hingga kebajikan dan perjuangan atas pilihan hidup. Menurut peneliti, kisah yang disajikan dalam novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna ini sangat menarik. Peneliti menggunakan novel ini sebagai bahan penelitian dengan beberapa alasan. Pertama, meski cerita dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
novel ini adalah hasil adaptasi dari kisah Mahabharata, hal yang diceritakan dalam novel ini disesuaikan dengan kebudayaan yang ada di Indonesia, sehingga novel ini termasuk salah satu karya yang patut kita banggakan. Kedua, sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian lain yang menggunakan novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini sebagai subjek penelitian. Ketiga, novel ini penuh dengan nilai-nilai keteladan, nilainilai kemoralan, dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Berbagai nilai ini sesuai dan dapat mendukung penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti adalah calon pendidik. Oleh karena itu, peneliti berusaha mengimplementasikan penelitian ini dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA kelas X. Dengan berberapa latar belakang di atas, peneliti mencoba untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Nilai-Nilai Moral dalam Novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra) dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah deskripsi tokoh, penokohan, alur, dan latar dalam novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih? 2. Nilai-nilai moral apa saja yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih? 3. Bagaimana relevansi nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih terhadap pembelajaran Sastra di SMA kelas XI?
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan tokoh, penokohan, alur, dan latar dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. 2. Mendeskripsikan nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. 3. Mendeskripsikan relevansi nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih terhadap pembelajaran Sastra di SMA kelas XI. D. Manfaat Penelitian Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Bagi guru Bahasa Indonesia Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi guru Bahasa Indonesia untuk menganalisa karya sastra, khususnya nilainilai moral di dalam karya sastra. 2. Bagi pembaca karya sastra Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi pembaca karya sastra terhadap karya sastra itu sendiri. 3. Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu acuan bagi peneliti lain untuk penelitian berikutnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
E. Batasan Istilah 1. Nilai Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Depdiknas, 2008: 963). 2. Moral Moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; susila (Depdiknas, 2008: 929). 3. Tokoh Pelaku atau aktor dalam sebuah cerita sejauh ia oleh pembaca dianggap sebagai tokoh kongkret, individual (Hartoko, 1986: 144). 4. Penokohan Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 165). 5. Alur Alur sama dengan plot. Secara komplementer barkaitan dengan cerita. Cerita sama dengan urutan peristiwa secara kronologis semata-mata (Hartoko, 1986: 10). 6. Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2010: 216). 7. Novel Novel merupakan suatu bentuk karya sastra prosa yang menyajikan tokoh-tokoh dengan watak masing-masing dan berbeda dari tokoh satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menyuguhkan alur cerita yang menarik untuk dibaca oleh pembaca terutama tentang gambaran kehidupan masyarakat. 8. Sosiologi sastra Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan, maupun pembaca (sosiologi komunikasi sastra) serta teks sendiri (penafsiran teks secara sosiologis) (Rahmanto, 1988: 129). 9. Relevansi Relevansi adalah hubungan atau kaitan (Depdiknas, 2008: 37). 10. Pembelajaran Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau mahkluk hidup belajar (Depdiknas, 2008: 23).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
F. Sumber Data Judul
: Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna
Pengarang
: Pitoyo Amrih
Penerbit
: DIVA Press
Tahun
: 2010
Kota Terbit
: Yogyakarta
Jumlah halaman : 426 halaman G. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab kedua adalah kajian pustaka dan kajian teori yang berisi: sosiologi sastra, tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan implementasi dalam pembelajaran sastra di SMA. Bab ketiga adalah metodologi penelitian yang berisi pendekatan, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Bab kelima adalah relevansi hasil penelitian dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI. Bab keenam adalah Penutup.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka Pertempuran 2 Pemanah : Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih yang terdiri dari 426 halaman ini diterbitkan oleh DIVA Press Yogyakarta pada tahun 2010 dalam bentuk novel. Sampai saat ini, penulis belum menemukan penelitian lain yang meneliti novel ini; sedangkan untuk penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, penulis menemukan 2 penelitian yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Angela Rahma Purwitasari (2005) dan Sri Windarti Susiani (2006). Penelitian pertama dilakukan oleh Angela Rahma Purwitasari (2005) dengan skripsinya yang berjudul “Tokoh, Tema, Nilai Moral Cerita Rakyat si Pahit Lidah serta Strategi Pembelajarannya di Sekolah Dasar.” Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa si Pahit Lidah merupakan tokoh sentral atau tokoh utama dalam cerita. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita si Pahit Lidah adalah nilai moral hubungan manusia dengan tuhan, nilai moral hubungan manusia dengan sesama, dan nilai moral hubungan manusia dengan diri sendiri. Penelitian kedua yang dilakukan oleh Sri Windarti Susiani (2006) berjudul “Analisis Struktural dan Nilai-Nilai Moral Novel Ramayana Karya Sunardi D.M dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI.” Penelitian ini menganalisis tokoh, penokohan, alur, latar, tema, dan nilai-
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
nilai moral dalam novel Ramayana karya Sunardi D.M serta implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI. Berdasarkan hasil analisis tokoh, Sri Windarti Susiani mendeskripsikan 17 tokoh dalam penelitiannya. Sedangkan untuk hasil penelitian mengenai analisis nilai-nilai moral dalam novel yang ditelitinya, Sri Windarti Susiani menemukan ada 9 nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut yaitu: mawas diri, cinta, taat, setia, sabar, rela berkorban, bela negara, hormat kepada orang tua, dan menjaga kesucian diri. B. Landasan Teori Berikut ini adalah teori yang digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah: (1) sosiologi sastra, (2) tokoh, (3) penokohan, (4) alur, (5) latar, (6) nilai-nilai moral, dan (7) relevansi dalam pembelajaran sastra di SMA. 1. Sosiologi Sastra Dalam pandangan Wolf (via Endraswara, 2013: 77), sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah satra dan sosiologi (Ratna, 2013: 338). Ratna (2013: 339) mengemukakan bahwa secara definitif, penelitian sosiologi sastra menggunakan te0ri-teori sastra dan sosiologi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra sudah menjadi suatu disiplin yang baru, yang dengan sendirinya sudah dievaluasi sepanjang periode perkembangannya, maka sosiologi sastra pun mencoba menciptakan teoriteori yang secara khas lahir melalui kombinasi sastra dan sosiologi. Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood via Endraswara, 2013: 78). Menurut Endraswara (2013: 78), sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi (Endraswara, 2013: 78). Sosiologi
sastra
adalah
pendekatan
terhadap
sastra
yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi, 1978: 2). Sapardi (1978: 2) mengemukakan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Peneliti menggunakan pendekatan yang kedua dalam penelitian ini, yaitu pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Penelitian ini menganalisis teks sastra untuk mengetahui
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada dalam teks sastra tersebut. 2. Tokoh Tokoh adalah salah satu unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis
dan
antagonis
dalam
novel
itu?”,
dan
sebagainya
(Nurgiyantoro, 2010: 165). Menurut Sudjiman (1988: 16), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 165) mengemukakan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan menjadi beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranannya atau tingkat pentingnya tokoh, Nurgiyantoro (2010: 176-177) mengklasifikasi tokoh sebagai berikut:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
a. Tokoh utama Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. b. Tokoh tambahan Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Menurut Sudjiman (1988: 18), kriterium yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Sudjiman menambahkan, judul cerita seringkali juga mengungkapkan siapa yang dimaksudkan sebagai tokoh protagonis. 3. Penokohan Karena tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, hanya pengaranglah yang mengenal mereka. Maka tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca (Sudjiman, 1988: 23). Menurut Sudjiman (1988: 23), yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanyayang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
Watak, perwatakan , dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 165). Citra tokoh itu disusun dengan memperpadukan berbagai faktor, yakni apa yang difokalisasinya, bagaimana ia memfokalisasi, oleh siapa dan bagaimana ia sendiri difokalisasi, kelakuannya sebagai pelaku dalam deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis di dalam karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh (Hartoko, 1986: 144). Hartoko menambahkan, tokoh yang bersangkutan dapat “dihidupkan” berdasarkan sejumlah konvensi yang diketahui oleh pembaca. Menurut Jones (via Nurgiyantoro, 2010: 165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang yang ditampilkan dalam suatu cerita. Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan ”perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 166). Dalam sebuah cerita, secara umum pelukisan tokoh dilakukan dengan cara deskriptif langsung (teknik analitis, telling) dan tidak langsung (teknik dramatik, showing) yang kesemuanya itu mesti lewat kata-kata.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
a. Metode langsung (teknik analitis, telling) Menurut Nurgiyantoro (2010: 195), teknik analitis adalah pelukisan tokoh yang dilakukan dengan memberi deskripsi kedirian tokoh yang berupa sifat, watak, tingkah laku atau ciri fisiknya secara langsung. Bahkan sering dijumpai dalam suatu karya fiksi, belum lagi kita pembaca akrab berkenalan dengan tokoh-tokoh cerita itu, informasi kedirian tokoh itu justru telah lebih dulu kita terima secara lengkap (Nurgiyantoro, 2010: 195). Ada kalanya pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya, kadang-kadang dengan menyisipkan kilatan (allusion) atau komentar pernyataan setuju tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu (Sudjiman, 1988: 24). Menurut Sudjiman (1988: 24), pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Metode inilah yang disebut dengan metode analitis atau metode langsung. b. Metode tidak langsung (teknik dramatik, showing) Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh (Sudjiman, 1988: 26). Sudjiman menambahkan, cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh dapat menyiratkan sifat wataknya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
Watak tokoh ditunjukkan dengan kedirian tokoh itu sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010: 198). Menurut Nurgiyantoro (2010: 198), dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang diceritakan tidak hanya sekedar menunjukkan perkembangan plot saja, melainkan juga sekaligus menunjukkan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya. Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Menurut Nurgiyantoro (2010: 201-211), teknik-teknik yang digunakan dalam penggambaran tokoh secara dramatik yaitu: teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik.
Teknik cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 201). Tidak semua percakapan, memang, mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya demikian. Namun, percakapan yang baik,
yang
efektif,
yang
lebih
fungsional,
adalah
yang
menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
Teknik tingkah laku Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan kediriannya (Nurgiyantoro, 2010: 203).
Teknik pikiran dan perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua (Nurgiyantoro, 2010: 204).
Teknik arus kesadaran Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan
perasaan.
Abrams
(via
Nurgiyantoro,
2010:
206)
mengemukakan bahwa arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue, monolog batin (Nurgiyantoro, 2010: 206). Menurut Nurgiyantoro (2010: 206), monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya ‘aku’, berusaha menangkap kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya.
Teknik reaksi tokoh Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikaptingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa ‘rangsang’ dari luar diri tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 207). Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
Teknik reaksi tokoh lain Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 209). Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.
Teknik pelukisan latar Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Keadaan latar tertentu, memang, dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca. Misalnya, suasana rumah yang bersih, teratur, rapi, tak ada barang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
yang bersifat mengaganggu pandangan, akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu sebagai orang yang cinta kebersihan, linkungan,
teliti,
teratur,
dan
sebagainya
yang
sejenis
(Nurgiyantoro, 2010: 209-210).
Teknik pelukisan fisik Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu (Nurgiyantoro, 2010: 210). Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Menurut Nurgiyantoro (2010: 210), pelukisan keadan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.
4. Alur Menurut Stanton (2007: 26), secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Alur cerita seringkali disebut kerangka cerita atau plot. Plot merupakan bagian yang penting dari cerita rekaan (Waluyo, 1994: 145). Boulton (via Waluyo, 1994: 145) mengemukakan bahwa plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang. Dalam rangkaian kejadian itu terdapat hubungan sebab akibat yang bersifat logis, artinya pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan kejadian itu memang mungkin terjadi (tidak dibuat-buat) (Waluyo, 1994: 145). Lukman Ali (via Waluyo, 1994: 145) menyatakan bahwa plot adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah mengapa hal itu terjadi. Plot adalah alur cerita yang dibuat oleh pembaca yang berupa deretan peristiwa secara kronologis, saling berkaitan, dan bersifat kausalitas sesuai dengan apa yang dialami oleh pelaku cerita (Dick Hartoko via Waluyo, 1994: 145). Menurut Sudjiman (1988: 30), struktur umum alur cerita terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) alur awal, (2) alur tengah, dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan gawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas tikaian (conflict), rumitan (complication), dan klimaks. Akhir alur cerita terdiri atas leraian (falling action) dan selesaian (denouement). Struktur umum ini disimpulkan dari pengamatan terhadap cerita rekaan yang dihasilkan sejak berabad-abad yang lalu, sehingga merupakan prinsip dasar dari penyusunan cerita rekaan (Sudjiman, 1988: 31).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
Paparan biasanya merupakan fungsi utama awal suatu cerita (Sudjiman, 1988: 32). Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisahan selanjutnya. Sudjiman menambahkan, lain daripada itu situasi yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita itu berkembang. Rangsangan yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan (Sudjiman, 1988: 32). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Menurut Sudjiman (1988: 33), rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras. Tegangan ialah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi (Sudjiman, 1988: 33). Sudjiman (1988: 34) mengemukakan bahwa dalam menumbuhkan tegangan ini, pengarang sering menciptakan beberapa regangan, yaitu proses penambahan ketegangan emosional, dan beberapa susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan emosional. Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan (Sudjiman, 1988: 34). Menurut Sudjiman (1988: 35), tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu. Rumitan adalah perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju ke klimaks cerita (Sudjiman, 1988: 35). Dalam cerita rekaan rumitan sangat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
penting. Menurut Sudjiman (1988: 35), tanpa rumitan yang memadai tikaian akan lamban. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya (Sudjiman, 1988: 35). Dari titik tinggi ini penyelesaian cerita biasanya sudah dapat dibayangkan. Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian (Sudjiman, 1988: 35). Peleraian (falling action) artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang (Waluyo, 1994: 148). Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita (Sudjiman, 1988: 36). Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan, boleh juga mengandung penyelesaian yang menyedihkan. Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan. 5. Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2007: 35). Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 216), latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
Sudjiman (1988: 44) mengemukakan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. Hudson (via Sudjiman, 1988: 44) membedakan latar sosial dan latar fisik/ material. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa (Sudjiman, 1988: 44). Menurut Sudjiman (1988: 45), novel sejarah yang baik dapat memberikan gambaran yang hidup kepada pembaca tentang kehidupan, kegemilangan, dan penderitaan sekelompok orang pada masa tertentu dalam sejarah, serta adat kebiasaan, nada, dan nafsu zamannya. Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1988: 44). Menurut Nurgiyantoro (2010: 218), latar tempat, berhubung secara jelas menyaran pada lokasi tertentu, dapat disebut sebagai latar fisik. Nurgiyantoro mengemukakan bahwa penunjukkan latar fisik dalam karya fiksi dapat dengan cara yang bermacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada pengarang yang melukiskannya secara rinci, sebaliknya ada pula yang sekedar menunjukkannya dalam bagian cerita.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
6. Nilai-nilai Moral 6.1
Konsep Nilai Moral Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat. Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila (Depdiknas, 2008). Manusia harus mengerti tentang nilai-nilai etis, yaitu nilai-nilai yang menentukan benar salahnya tindakan manusia (Amir, 1991: 87). Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat (Bertens, 2007: 4). Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulutangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia (Suseno, 1989: 19); sedangkan menurut Hadiwardoyo (1994: 13), moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Norma-norma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai (Suseno, 1989: 19).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
Hadiwardoyo (1994: 13) mengemukakan bahwa moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Orang yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu yang lama dapat mencapai keunggulan moral yang biasa disebut keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan yang dicapai seseorang untuk bersikap batin maupun berbuat secara benar (Hadiwardoyo, 1994: 21). 6.2
Nilai Moral dalam Karya Sastra Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi (Nurgiyantoro, 2010: 320). Nurgiyantoro menambahkan, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Kenny (via Nurgiyantoro, 2010: 320) mengatakan bahwa moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilainilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 321). Sedangkan menurut Kenny (via Nurgiyantoro, 2010: 321), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. 6.3
Bentuk Penyampaian Pesan Moral dalam Karya Sastra Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialog, menawar, dan menyampaikan sesuatu (Nurgiyantoro, 2010: 335). Nurgiyantoro menambahkan, sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral, atau amanat. Nurgiyantoro (2010: 335) mengemukakan bahwa secara umum bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Bentuk penyampaian moral tidak langsung yaitu pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain (Nurgiyantoro, 2010: 339). Nurgiyantoro (2010: 340) menambahkan, yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu. 6.4
Bentuk Nilai Moral yang Kuat Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar (Suseno, 1989: 141). Menurut Suseno (1989: 142--150), sikap dan tindakan yang menunjukkan nilai moral yang kuat yaitu: (1) kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3) kesediaan untuk bertanggungjawab, (4) kemandirian moral, (5) keberanian moral, (6) kerendahan hati, dan (7) realistis dan kritis. 6.4.1
Kejujuran Kejujuran berhubungan dengan ketulusan hati dan kelurusan hati. Suseno (1989: 142--143) mengemukakan bahwa bersikap terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracun. Bersikap jujur kepada orang lain berarti dua sikap yaitu bersikap terbuka dan bersifat fair. Bersikap terbuka adalah kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri (kita berhak atas batin kita). Yang dimaksud terbuka bukan berarti pertanyaan orang lain berhak mengetahui perasaan dan pikiran kita, sehingga tidak pernah menyembunyikan dengan apa yang kita perlihatkan. Yang kedua bersifat fair (wajar), yaitu memperlakukan menurut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
standar-standar yang dipergunakan orang lain terhadap dirinya. 6.4.2
Nilai-nilai otentik Otentik berarti kita menjadi diri sendiri. Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya (Suseno, 1989: 143).
6.4.3
Kesediaan untuk bertanggung jawab Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang
membebani
kita.
Kita
merasa
terikat
untuk
kesediaan
untuk
menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Bertanggung
jawab
berarti:
(1)
melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin, (2) mengatasi segala etika peraturan, (3) wawasan orang yang bertanggung jawab tidak terbatas, tidak hanya terbatas pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, tetapi juga bertanggung jawab di mana saja diperlukan, dan (4) kesediaan unruk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan, atas pelaksanaan tugas dan kewajiban (Suseno, 1989: 145--146). 6.4.4
Kemandirian moral Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikutikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno, 1989: 147). Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat “dibeli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan. 6.4.5
Keberanian moral Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan (Suseno, 1989: 147). Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin malu, dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani.
6.4.6
Kerendahan hati Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan
rendah
hati
kita
betul-betul
bersedia
untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita masih sering digelapkan oleh pengaruhpengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita. Kerendahan
hati
ini
tidak
bertentangan
dengan
keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya (Suseno, 1989: 149). Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain. Kita tidak merasa kalah kalau pendapat kita tidak menang. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dank arena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya. 6.4.7
Realistis dan kritis Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealisrealisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis (Suseno, 1989: 150). Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang lebih bahagia. 7
Relevansi dalam Pembelajaran Sastra di SMA 7.1
Kurikulum 7.1.1
Pengertian Kurikulum Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajarn, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.
7.1.2
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5). Di dalam mendiknas (2006: 5), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(KTSP)
jenjang
pendidikan
dasar
dan
32
menengah
dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BNSP. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. 7.1.3
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester. Ruang
lingkup
mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut. 1) Mendengarkan 2) Berbicara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
3) Membaca 4) Menulis. Dalam penelitian ini, peneliti akan merelevansikan hasil penelitian pada pembelajaran sastra untuk SMA kelas XI semester 1. Uraian tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang SMA kelas XI semester 1 adalah sebagai berikut: Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
7.1.4
7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
Perencanan Pembelajaran KTSP a. Silabus Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Komponen silabus terdiri atas:
Identitas mata pelajaran;
Identitas sekolah, meliputi nama satuan pendidikan dan kelas;
Standar kompetensi;
Kompetensi dasar;
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butirbutir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi;
Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik danpeserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan;
Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukanpencapaian hasil belajar peserta didik;
Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum untuk satu semester atau satu tahun;
Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak, dan elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan.
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar (KD). Komponen RPP terdiri atas:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
Identitas sekolah, yaitu nama satuan pendidikan;
Identitas mata pelajaran atau tema/subtema;
Kelas/semester;
Materi pokok;
Alokasi waktu, ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;
Tujuan pembelajaran, yang dirumuskan berdasarkan KD dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
Kompetensi
dasar
dan
indikator
pencapaian
kompetensi;
Materi pembelajaran;
Metode pembelajaran;
Media pembelajaran;
Sumber belajar;
Langkah-langkah pembelajaran, dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup;
Penilaian hasil pembelajaran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7.2
36
Pembelajaran Sastra di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) 7.2.1
Pengajaran Sastra Sebagai seorang guru sastra, kita harus mempunyai semangat sehubungan dengan pengajarannya. Kita harus mempunyai kencintaan pribadi terhadap sastra. Kita perlu gemar membaca karya-karya sastra. Kita pun harus yakin bahwa pengajaran sastra itu bermanfaat bagi murid-murid. Karena itu kita akan selalu mempersiapkan pengajaran dengan baik. Semangat dan kecintaan kepada karya sastra dan kepada tugas dalam mengajar itu akan berpengaruh kepada murid. Mengajarkan
sastra
bukan
hanya
mengajarkan
pengetahuan, tetapi mengajarkan sikap terhadap nilai-nilai (Rusyana, 1982: 10). Karena itu, maka sikap guru besar peranannya dalam mencapai tujuan pengajaran. Rusyana (1982: 10) mengemukakan bahwa guru sastra dituntut pula agar ia dapat memberikan pengaruh yang tepat terhadap kelasnya pada waktu ia melaksanakan pengajaran. Pengajaran sastra merupakan usaha untuk menumbuhkan standar penilaian. Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami masalahmasalah dunia nyata, maka tentu saja pengajaran sastra tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Sebagai seorang guru, kita harus dapat menunjukkan bahwa sastra mempunyai relevansi
dengan
masalah-masalah
dunia
nyata.
Jika
pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat (Rahmanto, 1988: 15). 7.2.2
Tujuan Pengajaran Sastra Pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan susila, social, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982: 6). Rusyana (1982: 6-9) mengemukakan bahwa tujuan pengajaran sastra itu ada dua, yaitu (1) tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra dan (2) tujuan untuk memperoleh pengetahuan sastra. Tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra itu dapat dibagi menjadi dua bagian, seperti yang dikemukakan di bawah ini.
Apresiasi sastra Dalam hasil karya sastra itu terkandung pengalaman manusia yang indah dan mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam terhadap pengalaman hidup yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
terkandung dalam sastra, serta hasrat dan jawaban kita terhadapnya, disebut apresiasi sastra (Rusyana, 1982: 7). Menurut Rusyana (1982: 7), dalam pengajaran apresiasi sastra, guru harus memberikan kesempatan agar murid memperkembangkan apresiasinya sendiri. Tugas guru adalah membantu murid, dengan menyajikan lingkungan yang memadai, misalnya berupa bahan bacaan sastra dan dorongan agar murid senang membaca. Murid didorong untuk berkenalan dengan karya sastra, mengadakan kontak dengan jalan membacanya, dan kemudian menikmatinya.
Ekspresi sastra Tujuan pengajaran sastra yang lain adalah untuk memperoleh pengalaman dalam ekspresi sastra. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan daya mencipta pada anak. Dalam
pengajaran
sastra,
kita
juga
harus
memberikan perhatian pada kegiatan ekspresi ini. Kegiatan
ekspresi
dilakukan
dalam
dalam
pengajaran
bercerita,
bercakap,
sastra
dapat
mengarang,
berdeklamasi, membaca indah, dan memerankan teks drama (Rusyana, 1982: 8).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
Tujuan untuk memperoleh pengetahuan sastra berjalinan erat dengan tujuan memperoleh pengalaman sastra. Bertolak dari pengalaman murid tentang sastra, kemudian diberikan pengetahuan, sehingga murid akan beroleh wawasan tentang pengalamannya
itu
(Rusyana,
1982:
9).
Misalnya
pengetahuan tentang lagu sastra, irama sastra, dan bentuk sastra diberikan setelah murid beroleh pengalaman membaca hasil sastra. Pengalaman yang mereka miliki itu kemudian diperjelas dengan pengetahuan tentang hal itu (Rusyana, 1982: 9). 7.2.3
Pemilihan Bahan Pengajaran Sastra Bahan pengajaran yang disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswa pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Sesuai dengan tingkatan para siswa, karya
sastra
yang
akan
disajikan
hendaknya
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukarannya
juga dan
criteria-kriteria tertentu lainnya (Rahmanto, 1988: 26). Kemampuan untuk dapat memilih bahan pengajaran sastra ditentukan oleh berbagai macam faktor, antara lain: berapa banyak karya sastra yang tersedia di perpustakaan sekolah, kurikulum yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus diberikan agar dapat menempuh tes hasil belajar akhir tahun, serta masih banyak faktor lain yang harus
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
dipikirkan oleh guru pengajar sastra di sekolah menengah (Rahmanto, 1988: 27). Malahan, kadang bahan yang ditentukan dari atasan lewat kurikulum kurang sesuai dengan lingkungan siswa. Agar dapat memilih bahan pengajaran sastra secara tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan. Rahmanto (1988: 2733) mengemukakan tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu: (1) sudut bahasa, (2) kematangan jiwa (psikologi), dan (3) latar belakang kebudayaan para siswa.
Bahasa Aspek
kebahasan
dalam
sastra
tidak
hanya
ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tapi juga faktor-faktor lain seperti: cara penulisan yang dipakai pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya (Rahmanto, 1988: 27). Rahmanto (1988: 28) mengemukakan bahwa dalam usaha meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
hendaknya tidak hanya memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu, perlu juga diperhatikan cara penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga pembaca dapat memahami kata-kata kiasan yang digunakan.
Psikologi Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahaptahap
perkembangan
diperhatikan
karena
psikologis tahap-tahap
ini ini
hendaknya sangat
besar
pengaruhnya terhadap minat dan keenggana anak didik dalam banyak hal (Rahmanto, 1988: 29). Tahap perkembangan
psikologis
ini
juga
sangat
besar
pengaruhnya terhadap: daya ingat, kemauan mengerjakan tugas,
kesiapan
bekerja
sama,
dan
kemungkinan
pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi. Karya hendaknya
sastra
yang
sesuai
dengan
terpilih tahap
untuk
diajarkan
psikologis
pada
umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
sastra yang setidak-tidaknya secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu (Rahmanto, 1988: 31).
Latar belakang budaya Latar belakang karya sastra ini hampir meliputi semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geogradi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya. Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orangorang di sekitar mereka (Rahmanto, 1988: 31). Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan yang dilakukan oleh para siswanya. Meski demikian, guru hendaknya
selalu
ingat
bahwa
pendidikan
secara
keseluruhan bukan hanya menyangkut situasi dan masalah lokal saja. Dalam hal ini, sastra merupakan salah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
satu bidang yang menawarkan kemungkinan cara-cara terbaik bagi setiap orang yang ada dalam suatu bagian dunia
untuk
mengenal
(Rahmanto, 1988: 32).
bagian
dunia
orang
lain
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat (Ratna, 2004: 61). Dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Sebagai sumber estetika dan etika karya sastra hanya bisa menyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat (Ratna, 2004: 60). Sosiologi
sastra
adalah
pendekatan
terhadap
sastra
yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi, 1978: 2). Sapardi (1978: 2) mengemukakan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
B. Metode Penelitian Metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat (Ratna, 2004: 34). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Ratna (2004: 53) mengemukakan bahwa metode dekriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan metode tersebut, peneliti akan menggali nilainilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. C. Teknik Pengumpulan Data Sudaryanto (1993: 26) mengemukakan bahwa teknik merupakan penjabaran dari metode dalam sebuah penelitian, yang disesuaikan dengan alat dan sifat. Pengumpulan data pada penelitiaan ini diawali peneliti dengan membaca novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna secara teliti kemudian mencatat hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, penokohan, dan alur dalam novel tersebut, serta mengidentifikasi masalah yang akan dikupas, yaitu nilai-nilai moral. Berdasarkan teknik yang digunakan, penelitian ini menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis ini terdiri dari buku-buku kesusastraan yang menguraikan tentang sosiologi sastra, unsur-unsur intrinsik karya sastra, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam karya sastra. Dalam hal ini data yang diambil adalah data-data yang berkaitan dengan sasaran yang diinginkan oleh penulis.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
D. Teknik Analisis Data Setelah data diperoleh, penulis akan menganalisa data tersebut secara kepustakaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengambil langkah-langkah dalam penelitian ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menentukan buku yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian, yaitu novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. 2. Mengumpulkan bahan dari berbagai sumber. 3. Mengidentifikasi tokoh dan penokohan dari novel tersebut. 4. Menganalisa nilai-nilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. 5. Menarik kesimpulan. 6. Merelevansikan hasil penelitian ke dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tokoh Peneliti mengidentifikasi ada empat puluh tujuh nama tokoh dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini. 1. Prabu Pandu. Raja negeri Hastinapura; suami Dewi Kunti; ayah para Pandawa. 2. Dewi Kunti. Putri Prabu Basukunti; adik Raden Basudewa; istri Prabu Pandu; ibu para Pandawa. 3. Raden Yudistira. Putra sulung Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Samiaji; suami dari Dewi Drupadi; setelah menjadi Raja negeri Amarta bergelar Prabu Yudhistira. 4. Raden Bima. Putra kedua Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Bratasena; setelah menjadi raja negeri Jodipati bergelar Raden Bima; ayah Raden Gatotkaca. 5. Raden Arjuna. Putra ketiga Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Permadi; setelah menjadi Raja negeri Madukara bergelar Raden Arjuna. 6. Raden Nakula. Putra Prabu Pandu dan Dewi Madrim; saudara kembar Raden Sadewa. 47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
7. Raden Sadewa. Putra Prabu pandu dan Dewi Madrim; saudara kembar Raden Nakula. 8. Raden Gatotkaca. Putra Raden Bima dan Dewi Arimbi; Raja negeri Pringgodani. 9. Raden Kresna. Putra kedua Raden Basudewa; ketika muda bernama Raden Narayana; kakak dari dewi Rara Ireng; bergelar Prabu kresna sejak memerintah negeri Dwarawati. 10. Adipati Karna . Putra Batara Surya dan Dewi Kunti; sejak kecil diasuh oleh kusir Adirata; suami dari Dewi Surtikanti; menjadi raja negeri Awangga. 11. Raden Duryudana. Putra sulung Prabu Drestarata dan Dewi Gendari; menobatkan diri menjadi raja negeri Hastinapura. 12. Raden Dursasana. Putra Prabu Drestarata dan Dewi Gendari; adik Raden Duryudana. 13. Raden Bhisma . Sesepuh kerajaan Hastinapura; kakek dari Pandawa dan Kurawa. 14. Resi Durna. Resi yang berasal dari negeri Hargajembangan; guru dari Pandawa dan Kurawa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
15. Raden Arya Widura. Adik bungsu Prabu Pandu; sesepuh negeri Hastinapura; paman dari Pandawa. 16. Raden Basudewa. Putra prabu Basukunti; kakak dari Dewi Kunti; ayah Raden Kresna; menjadi raja negeri Mandura bergelar Prabu Basudewa. 17. Prabu Salya. Ketika muda bernama Raden Narasoma; menjadi Raja negeri Mandraka bergelar Prabu Salya; kakak Dewi Madrim; ayah Dewi Surtikanti. 18. Arya Sengkuni. Putra keempat Prabu Keswara; adik dari Dewi Gendari; ksatriadari negeri Plasajenar; menobatkan diri sebagai mahapatih negeri Hastinapura. 19. Dewi Sumbadra. Putri bungsu Prabu Basukunti; adik dari Prabu Kresna; ketika muda bernama Rara Ireng; istri pertama Raden Arjuna. 20. Dewi Drupadi. Putri sulung Prabu Drupada, Raja negeri Cempalreja; kakak dari Dewi Srikandi; istri Prabu Yudhistira. 21. Dewi Srikandi. Putri kedua Prabu Drupada; adik Dewi Drupadi; salah satu istri Raden Arjuna; kelak yang akan membunuh Raden Bhisma dalam perang Bharatayuda.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
22. Kusir Adirata. Bernama asli Radeya; mendapat julukan Kusir Adirata setelah menjadi kusir yang khusus melayani Prabu Pandu; ayah angkat Adipati Karna. 23. Radha Nyi Adirata. Istri kusir Adirata; ibu angkat Adipati Karna. 24. Resi Druwasa. Seorang Resi dari Kerajaan Mandura yang ditugaskan Prabu Basukunti untuk membantu kelahiran anak dari putrinya; salah satu guru Dewi Kunti. 25. Kiai Antagopa . Sesepuh wilayah Widarakandang; yang dipercaya Prabu Basudewa untuk menjaga putra-putranya, Raden Kakrasena dan Raden Narayana, dari ancaman salah satu bangsa raksasa. 26. Rama Bargawa. Bernama Resi Jamadagni ketika jaman kejayaan Prabu Harjunasasra dari negeri Maespati; guru Adipati Karna. 27. Begawan Manikara. Seorang bijak pertapa di wilayah Andongsekar; ayah dari Endang Manuhara, salah satu istri Raden Arjuna; salah satu guru Raden Arjuna. 28. Antaboga. Pemimpin bangsa ular, penguasa dasar bumi bernama negeri Sapta Pratala; ayah Dewi Nagagini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
29. Bambang Ekalaya. Ketika muda bernama Raden Bambang Ekalaya; berganti nama menjadi Prabu Palgunadi setelah menjadi raja di negeri Paranggelung; berniat berguru kepada Resi Durna. 30. Dewi Nagagini. Putri Batara Antaboga; salah satu istri Raden Bima. 31. Endang Manuhara. Putri Begawan Manikara; salah satu istri dari Raden Arjuna. 32. Dewi Surtikanti. Putri ketiga Prabu Salya; adik dari Dewi Banowati, istri Raden Duryudana; menjadi istri Adipati Karna. 33. Prabu Matswapati. Raja dari Kerajaan Wirata, tempat Pandawa melaksanakan hukuman pengasingan. 34. Resi Seta. Putra sulung Prabu Matswapati. 35. Raden Arya Utara. Putra kedua Prabu Matswapati. 36. Raden Wiratsangka. Putra ketiga Prabu Matswapati. 37. Resi Hanoman . Seorang resi di Pertapaan Kendalisada; salah seorang kesatria yang terlibat dalam perang antara negeri Ayodya dan negeri Alengka.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
38. Batara Indra. Bangsa dewa penguasa wilayah Kaendran; ayah dari Dewi Batari Supraba, salah satu istri Raden Arjuna. 39. Batara Brama. Bangsa dewa penguasa wilayah Daksageni; ayah dari Dewi Dresnala, salah satu istri Raden Arjuna. 40. Batara Narada. Bangsa dewa yang berasal dari daerah Siddi Udalulal; mendapat julukan dewa bijak; tangan kanan dari pimpinan bagsa dewa Sang Hyang Guru. 41. Batara Guru. Pemimpin bangsa dewa; penguasa wilayah Jonggring Saloka. 42. Batari Durga. Penguasa wilayah dunia gelap dalam dunia wayang; dulu pernah menjadi istri Batara Guru. 43. Petruk. Salah satu tokoh punakawan; mempunyai asal-usul yang tidak jelas, ada yang percaya bahwa dia adalah anak dari raja Jin bernama Prabu Wel Geduwel Beh, ada pula yang mengatakan bahwa Petruk adalah anak dari pendeta raksasa bernama Begawan Salantara; ketika masih menjadi kesatria bangsa tak kasat mata bernama Penyukilan. 44. Bagong. Salah satu tokoh punakawan; kini mengabdi pada Pandawa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
45. Semar. Salah satu tokoh punakawan; semar merupakan wujud jalan kematian dari salah satu sesepuh bangsa dewa bernama Sang Hyang Batara Ismaya. 46. Gareng . Salah satu tokoh punakawan; kabarnya petruk adalah seorang pangeran dari raja jin; bernama Sukati ketika masih menjadi kesatria bangsa tak kasat mata. 47. Niwatakawaca . Raja dari negeri Imaintaka; Niwatakawaca adalah keturunan ras campuran bangsa gandarwa dan raksasa; mempunyai niat untuk menyerang negeri kahyangan, Jonggring Saloka.
Dari identifikasi tokoh-tokoh di atas, peneliti mengelompokkan tokohtokoh tersebut ke dalam dua kelompok, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Pengelompokan ini berdasarkan tingkat pentingnya tokoh atau peranan tokoh-tokoh tersebut dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: ArjunaKarna ini. Tokoh utama dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini adalah Arjuna dan Karna. Sedangkan tokoh tambahannya yaitu Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
Tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna dapat dilihat dalam tabel berikut. Tokoh Utama 1. Arjuna 2. Karna
Tokoh Tambahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Dewi Kunti Yudhistira Resi Durna Kresna Duryudana Sengkuni Rama Bargawa Kusir Adirata
B. Penokohan Dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis penokohan dari tokoh utama saja, yaitu Arjuna dan Karna. Berdasarkan teori tentang penokohan yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, peneliti akan menganalisis penokohan tokoh utama dalam novel Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna. 1. Arjuna 1) Secara fisik, Arjuna memiliki paras wajah yang tampan. Ketampanan Arjuna tersebut selalu membuat setiap perempuan jatuh hati kepadanya. Berikut ini kutipannya: (1) Tampak sekali wajah terkesiap Srikandi, ketika melihat wajah dan badan tegap kesatria yang berdiri beberapa tombak di belakangnya. Srikandi pun terdiam terpaku. Tidak biasanya dia demikian. Biasanya, putri Cempalareja ini selalu membuka pembicaraan dan begitu banyak hal yang dikatakannya, bahkan kepada seorang prajurit biasa sekalipun! Tapi kali ini, bibirnya seperti tercekat dan sorot mata terkesima itu terlihat jelas di matanya. Melihat seorang yang memancarkan aura wajah tampan, memakai mahkota kesatria, busana panjang berwarna hijau muda, memakai bawahan kain batik kawung, berterompah hitam. Arjuna yang tampak berdiri di sana sambil tersenyum. Senyum yang seperti merontokkan jantung Srikandi dan membuatnya mati gaya. (Pitoyo, 2010: 247)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
2) Sejak kecil Arjuna mempunyai bakat dalam hal memanah. Berikut ini kutipannya: (2) Luar biasa! Tangan kiri bocah ini begitu kuat. Sekian lama tangan kiri itu menggenggam busur dalam keadaan terentang dalam upaya membidik secara tepat, sekian lama pula tangan kiri itu bagai seonggok batu yang kokoh. Sepanjang mata memandang dengan seksama, tak terlihat sedikit pun busur panah itu bergoyang-goyang atau gemetar. Mungkin hal itu yang membuat keenam resiyang berdiri di belakang Permadi itu memandang terkesima. Seperti heran atas kemampuannya. Di usia semuda itu bisa memiliki kemampuan memanah yang luar biasa. (Pitoyo, 2010: 98) 3) Arjuna tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya. Berikut ini kutipannya: (3) “Sulit bagi saya untuk menerima Raden lebih lama lagi untuk tinggal di sini bila panjenengan menepis harapan putrid saya satusatunya,” lanjut Manikara. “Baiklah, Kanjeng Resi. Besok pagi-pagi, kami pergi dari sini.” Justru tiba-tiba Petruk yang menjawab Manikara. Arjuna hanya tetap terdiam. Gareng dan Petruk sudah tampak berdiri, berjalan ke bagian padepokan, seperti bersiap berkemas pergi dari situ, ketika Arjuna kemudian berkata, “Izinkan saya melamar putri Rama Begawan, Kanjeng Resi.” (Pitoyo, 2010: 221) 4) Arjuna mempunyai sifat suka menolong orang lain yang sedang kesusahan. Berikut ini kutipannya: (4) “Saya harus nambah jumantara, Kang. Dengan berkuda, mungkin akan terlambat. Mereka sudah terbantai ketika sampai di sana,” teriak Arjuna di antara suara deru kaki kuda menuruni lereng. Dia berkata kepada Petruk dan Gareng yang mengikutinya dari belakang. “Hati-hati, raden, jangan sampai kita menjadi pembicaraan orang di sini…” kata Petruk mengingatkan. (Pitoyo, 2010: 237) 5) Arjuna bersifat jujur. Berikut ini kutipannya: (5) “Apa yang kamu telah lakukan telah menyelamatkan kewibawaan bangsa dewa, Ngger..,” kata Indra.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
Tiba-tiba Arjuna seperti tersadar. Dia menoleh ke belakang seperti mencari-cari seseorang di antara kerumunan orang di sana. Terutama pada kerumunan orang-orang yang mendekati mayat Niwatakawaca di tengah taman itu. “Maafkan saya, Eyang Pukulun,” kata Arjuna, “Sebenarnya yang banyak berperan dalam melumpuhkan prajurit Imaimantaka adalah Gatotkaca, putra Kangmas Bima.” (Pitoyo, 2010: 263) 6) Arjuna adalah orang yang rendah hati. Berikut ini kutipannya: (6) “Gatotkaca juga berhak atas hadiah itu, Pukulun..,” kata Arjuna kemudian. “Tidak perlu, Ngger. Gatotkaca sudah cukup beruntung dengan apa yang telah dimilikinya sekarang, kesaktian dari bangsa dewa,” jawab Indra dengan sorot mata tetap datar. Sebentar, Arjuna tampak bimbang. Menatap Batara Indra dengan pandangan berpikir. Kemudian, dia memberi hormat kepada Batara Indra sambil berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bagi hamba yang bisa memiliki kesempatan untuk hidup dan belajar tentang sesuatu di kahyangan ini…” (Pitoyo, 2010: 264) 2. Karna 1) Secara fisik Karna berwajah tampan dan selalu memakai rompi dan anting-anting berwarna perak. Berikut ini kutipannya: (7) Hanya beberapa dari seratus Kurawa yang datang ke Cempalareja. Duryudana, Dursasana sang pelamar, Patih Sengkuni, belasan Kurawa, serta sekitar dua puluh senapati pilihan Hastinapura yang dipimpin oleh seorang senapati yang begitu gemilang karirnya di keprajuritan Hastinapura. Sang senapati dengan wajah tampan. Selalu memakai rompi berwarna perak di kedua telinganya. Berperawakan sedang, berwajah wibawa dengan sorot mata tajam. Sang senapati dipanggil dengan nama Karna. (Pitoyo, 2010: 167) 2) Sejak kecil Karna mempunyai ketertarikan dalam hal panah-memanah. Berikut ini kutipannya: (8) “Daaa…da-da-da….” Tiba-tiba, si kecil Karna berteriak kegirangan, mulutnya tertawa lebar dan berjalan cepat ke arah Pardi. Tak ada upaya Pardi untuk menghindar. Dia membiarkan saja Karna merebut gandewa panah yang dibawanya. Si kecil Karna menjatuhkan dirinya terduduk dan mulai asyik membolakbalikkan busur panah yang begitu besar bagi tubuh kecilnya itu. Berulang kali Karna mencoba mengangkat gandewa itu, tapi terlalu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
besar baginya. Baik Pardi, Nyi Radha, dan Radeya, tampak tak pernah lepas perhatiannya pada setiap gerak-gerik bocah Karna itu. (Pitoyo, 2010: 38) 3) Karna adalah orang yang ambisius. Berikut ini kutipannya: (9) Karna menghela napas panjang. Dengan tangan di pinggang, dia melanjutkan, “Saya ingin suatu saat bisa menjadi kesatria, bahkan bisa menjadi seorang raja. Saya yakin, saya bisa. Paman Pardi yang katanya prajurit terlatih bisa saya kalahkan. Saya ingin menjajal kesaktian semua prajurit itu, kalau perlu para senapatinya, mungkin para kesatrianya. Tidak hanya kesatria negeri hastinapura ini, kalau perlu kesatria negeri wayang. Saya ingin tahu seberapa kesaktian mereka!” lanjut Karna masih dengan nada tinggi. (Pitoyo, 2010: 93) 4) Karna mempunyai sifat tidak suka berbasa-basi. Berikut ini kutipannya: (10) “Mereka adalah anak-anak Prabu Destarata, Ngger,” kata Bhisma seperti mengerti akan wajah penasaran karna. “Mungkin kamu pernah mendengar kakak mendiang Raja Pandu yang memiliki putra seratus jumlahnya dan tinggal di Desa Gajahoya. Anakanak ini sekarang tinggal di keratin. Mereka mungkin anak-anak yang masih harus banyak belajar tentang tata karma dan sopan santun. Tapi, mereka tetap kerabat istana yang harus dihormati. Aku yakin kamu bisa mengerti.” Sejenak, Bhisma menghela napas, kemudian melanjutkan, “Mulai mala mini, kamu aku angkat menjadi prajurit kepala. Pilih dua puluh prajurit pengawal yang kamu anggap bisa bekerja dan patuh padamu. Tugasmu adalah menjaga Kesatrian Kurupraja ini, walaupun masih ada di dalam lingkungan keraton. Tempat ini perlu dijaga secara khusus…” “Siapa yang harus saya lindungi, Raden?” Karna memotong saja bicara Bhisma. (Pitoyo, 2010: 118) 5) Karna bersifat Angkuh. Berikut ini kutipannya: (11) “Saya membawa pesan dari Baginda Salya, Kanjeng Adipati…” kata Turanggapati. Karna pun berdiri dari singgasananya dan melangkah mendekati Turanggapati, menerima dengan angkuh pesan itu dan membacanya. Sebuah kalimat dari bahasa Jawa Kuno yang berisi pesan bahwa lamaran Karna telah diterima.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
“Apakah karena saya sudah duduk menjadi adipati di sini sehingga Bapa Prabu Salya mau menerima saya sebagai menantu?” kata Karna dengan nada ketus kepada Turanggapati. Sang kesatria Mandraka itu hanya diam sambil tetap memandang sorot mata Karna. “Pulanglah, Turanggapati, kabarkan bahwa saya ingin perhelatan diadakan di Awangga dan saya ingin Bapa Prabu sendiri yang datang ke sini mengantarkan Nimas Surtikanti,” jawab Karna sambil kemudian melangkah masuk ke bagian dalam istananya. (Pitoyo, 2010: 240) C. Alur Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini beralur maju. Hal ini ditandai dengan adanya susunan peristiwa secara kronologis. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. 1. Paparan. Terjadi ketika Adipati Karna disuruh menemani Duryudana dalam latihan olah kanuragan dan olah keutamaan yang diberikan oleh Resi Durna. Adipati Karna diangkat menjadi kepala prajurit pengawal dan mendapat kepercayaan dari Duryudana sehingga dia selalu diajak Duryudana kemanapun dia pergi. Di latihan itu, Karna mulai merasa kagum dan iri kepada kemampuan Arjuna dalam memanah. Berikut ini kutipannya: (1) “Bagimu apa, Ngger Duryudana?” tanya Durna kemudian. Duryudana hanya diam. Memalingkan muka kea rah Karna di sebelahnya, kemudian seperti bergumam. (Pitoyo, 2010: 123) (2) “Apa, Ngger?” tanya Durna kemudian mencoba meminta Duryudana agar tidak hanya mengemukakan pendapatnya kepada Karna, sang prajurit pengawal, tapi juga disampaikan kepadanya. (Pitoyo, 2010: 123) (3) “Beliau sependapat seperti hamba, Kanjeng Resi.” Tiba-tiba, justru Karna yang angkat bicara. Semua orang terkejut. Tidak biasanya seorang prajurit kepala berani berbicara di tengah para kerabat raja.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
“Keris adalah sebuah senjata yang harus dimengerti dan dipahami seorang kesatria,” lanjut Karna. (Pitoyo, 2010: 123) Setelah itu Karna diusir oleh Resi Durna karena kelancangannya. Karna kemudian berniat pergi sementara dari Hastinapura untuk berlatih meningkatkan ilmu kanuragan. Berikut ini kutipannya: (4) Seketika itu, Karna berdiri sambil berkata kepada Duryudana, “Maafkan saya, Kanjeng Raden, rupanya saya tidak begitu dibutuhkan di sini.” Kemudian, ia melangkah ke arah luar, menuju gerbang luar istana. Sigap, Duryudana berdiri dan berlari, lalu menggapai lengan Karna. Sejenak, Karna hentikan langkah. “Biarlah saya pergi dulu dari mengawal panjenengan, Kanjeng Raden. Saya juga harus selalu meningkatkan ilmu kanuragan. Saya berharap juga bisa belajar dari Eyang Begawan Durna. Tapi rupanya, dia terlalu sombong untuk menerima saya ikut serta. Tak ada gunanya saya mengawal panjenengan, kalau saya tidak selalu belajar. Saya berjanji suatu saat akan kembali dan mengawal keselamatan Anda, untuk mewujudkan keinginan panjenengan.” (Pitoyo, 2010: 124) 2. Rangsangan. Terjadi ketika Arjuna berlatih memanah bersama gurunya, Resi Durna, dan semakin meningkat kemampuannya dalam memanah. Berikut ini kutipannya: (5) “Luar biasa, Anakku! Kamulah anak muda yang paling berbakat yang pernah aku didik. Suatu hari nanti, ilmu memanahmu tidak aka nada yang bisa menandingi di dunia wayang ini.” Terdengar suara serak parau melengking dari mulut seorang tua peyot. (Pitoyo, 2010: 139) (6) “Benarkah Guru? Benarkah saya yang pandai memanah di bumi wayang ini, Guru Durna?” tanya si anak muda tetap tertunduk, sambil kembali menyiapkan anak panah berikutnya, dan membidik melatih kebolehannya memanah dengan sasaran ribuan kaki di depan, seekor tupai yang berlarian kesana-kemari dikelilingi beberapa binatang yang mati berserakan tertembus anak panah. (Pitoyo, 2010: 139) (7) “Seluruh hidupku kenyang oleh kembara merambah penjuru dunia wayang, terkadang berguru, terkadang diangkat sebagai guru, selama itu tak ada seorang kesatria pun mampu memanah sepertimu, wahai Permadi.” ucap Durna. (Pitoyo, 2010: 139)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
Bersamaan dengan itu, Karna juga belajar olah kanuragan dan memanah dari gurunya, Rama Bargawa. Berikut ini kutipannya: (8) Setelah itu, Rama Bargawa sering dijumpai para pengembara, dan petani perambah hutan di daerah hutan jati di perbatasan utara Hastinapura. Dan, benar juga, di sanalah saat ini Karna bertemu dengannya. Karna kemudian bisa mulai merasakan ketenangan dalam batinnya yang selama ini selalu memendam kekecewaan-kekecewaan yang sulit diurai penyebabnya. Karna yang kemudian menimba ilmu olah kanuragan dan ilmu keutamaan dari sang Resi Bargawa. (Pitoyo, 2010: 152-153) (9) Dari Bargawalah rahasia ilmu memanah yang melegenda milik Harjunasasra yang tak ada tandingannya pada zaman dulu, bisa dipelajari oleh Karna. Dari Bargawa pulalah, Karna bisa kembali menumbuhkan rasa percaya dirinya. Perasaan yang kemudian memberi ketetapan hati, sehingga tanpa ragu kembali, pulang ke negeri Hastinapura, menemui Duryudana yang dulu pernah dekat dengannya, dan kembali menjadi prajurit pengawal. (Pitoyo, 2010: 153) 3. Tegangan. Terjadi ketika Karna diutus oleh Duryudana untuk menumpas Prabu Karnamandra, raja raksasa dari negeri Awangga. Di saat Karna kewalahan menerima serangan dari pasukan Karnamandra, Arjuna datang dan menolongnya. Berikut ini kutipannya: (10) Sraaaapp!! Sekedipan mata kemudian, panah sakti bernama Sarotama itu telah melesat menerjang dada sang raksasa. “Arrghh!” adalah Karnamandra rupanya! Dadanya tertembus panah sakti Arjuna. Dia pun lena! Sekejap kemudian, prasshh!! Tak ampun lagi! Kesempatan itu tak disia-siakan Karna yang rupanya masih lolos dari kematian. Raja Awangga yang terkejut dan kesakitan terkena panah Arjuna itu langsung tertebas kepalanya oleh pedang Karna. (Pitoyo, 2010: 239) (11) Keduanya sama-sama terkejut ketika mereka ternyata saling mengenal! “Hai Permadi! Saya tak butuh bantuanmu,” teriak Karna lantang dengan nada tinggi, sambil mengacungkan pedang ke arah Arjuna. Karna memanggil Arjuna dengan nama mudanya. Dan, Karna juga memanggil Arjuna tanpa panggilan raden dan sebagainya karena merasa telah setara sejak diangkat saudara oleh Duryudana! Sungguh sikap arogan! Sekian lama tak bertemu, Karna memilih untuk tetap menjaga wibawa di depan Arjuna! (Pitoyo, 2010: 239)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
(12) Arjuna hanya diam. Sorot matanya memandang tajam ke arah Karna. Sejenak tersenyum, lalu membalikkan kudanya dan menghela kuda, pergi begitu saja. “Haaa…” kepergian Arjuna diiringi oleh teriakan menggema Karna. Melengking memenuhi udara bukit Awangga itu. Teriakan yang tak jelas betul maknanya. Akankah dia marah, kecewa, puas atas kemenangannya, menumpahkan kekesalannya? Entahlah! Sorot mata Karna tajam memendang Arjuna yang semakin menjauh. Napasnya terengah. (Pitoyo, 2010: 239) 4. Tikaian. Terjadi saat Arjuna dan Karna kembali bertemu setelah sekian lama tidak berjumpa. Pertemuan ini terjadi di Hutan Bajubarat, tempat Kresna berubah wujud menjadi Brahalasewu dan tertidur di sana. Arjuna dan Karna sama-sama mengemban tugas untuk membangunkan Kresna dari tidurnya. Berikut ini kutipannya: (13) “Hai Permadi! Ada apa kamu di sini?! Mengapa kamu selalu ada di setiap tujuan perjalananku?” teriak Karna dengan nada suara tinggi. Masih memanggil Arjuna dengan nama kecilnya. (Pitoyo, 2010: 358) (14) Karna hanya memandang tajam Arjuna sambil berdiri di sebuah dahan besar sebuah pohon raksasa. Sementara Arjuna juga berdiri di dahan pohon yang berbeda. Ia pun berteriak, “Sudahlah Permadi, simpan dulu permusuhan kita. Mata batinku menangkap ratusan bangsa tak kasat mata kini bergerak sedang mengepung kita!” (Pitoyo, 2010: 358) (15) “Salah! Saya tak pernah merasa memusuhi panjenengan dan sedulur Kurawa!” “Setelah tiga belas warsa terusir?” tanya Karna. “Kami tetap tidak membenci. Kami hanya merasa panjenengan semua adalah saudara-saudara semua yang belum mengerti arti menjadi seorang kesatria utama.” Karna tampak diam. Wajahnya terlihat berpikir. Dia hanya memandang Arjuna, dan siaga ketika Arjuna melompat mendekat. (Pitoyo, 2010: 358) (16) “Syukurlah, Dimas…, syukurlah panjenengan yang lebih dulu membangunkan saya, kata Kresna. Suaranya terdengar serak seperti kelelahan.” Arjuna hanya diam. Tampak masih terheran dan tak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. (Pitoyo, 2010: 363) (17) Kresna mendekati Arjuna dan menepuk pundak kesatria tampan itu. Kemudian, ia bergegas berjalan mendekati Karna. “Terima kasih, panjenengan banyak membantu Dimas Arjuna di sini,” kata Kresna sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Karna hanya diam dtak mempedulikan uluran tangan Kresna. Sejenak memandang tajam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
ke arah Kresna, kemudian berkata, “Saya tahu, Kangmas. Saya dipesan Paman Sengkuni agar berusaha menjadi yang pertama membangunkan Kangmas Prabu.” (Pitoyo, 2010: 364) (18) “Lalu, mengapa Dimas Karna membiarkan Dimas Arjuna yang lebih dulu membangunkan Brahalasewu?” tanya Kresna. Terdengar Karna menghela napas panjang, kemudian berkata, “Paman Sengkuni keliru, Kangmas. Bagi saya, tak ada gunanya sampean berada di pihak Kurawa,” jawab Karna sambil membalikkan badan, kemudian melompat ringan menuju ke timur. Meninggalkan Kresna dan Arjuna. Lenyap ditelan lebatnya hutan. (Pitoyo, 2010: 364)
5. Rumitan. Terjadi saat akhirnya Arjuna dan Karna berhadapan langsung dalam perang Bharatayuda. Berikut ini kutipannya: (19) Menjelang siang, kedua kereta perang itu pun bertemu! Ketika jarak semakin dekat, di tengah kerumunan dua kubu prajurit berhadapan, tiba-tiba Kresna mengarahkan kuda kereta perang Madukara itu, memacu kencang menuju ke timur. Tampak kemudian, Karna segera memerintahkan Salya yang membawa kereta Awangga untuk mengejar kereta Madukara itu. Di atas kereta Madukara yang melaju kencang, Arjuna hanya tampak memandang tajam ke arah Karna yang mengejar di belakangnya dengan kereta Awangga. (Pitoyo, 2010: 418) (20) Karna Slush!! Pada saat yang sama, masih dalam posisi berdiri di atas kereta melaju kencang, Karna melepas belasan anak panah ke atas dan seketika hilang ditelan keremangan suasana yang nampak semakin gelap oleh mendung yang semakin menebal saja. Bahkan, rintik hujan pun sudah terasa. Sekejap setelah itu, juga dalam posisi berdiri di atas kereta melaju, Arjuna meraih beberapa anak panah dan juga diluncurkan ke arah atas. Trak!! Hampir bersamaan panah-panah milik Arjuna , satu-satu merontokkan panah-panah milik Karna yang sudah bergerak turun menghujam tepat menuju kereta Madukara yang melaju. (Pitoyo, 2010: 419) 6. Klimaks. Terjadi saat Arjuna akhirnya berhasil membunuh Karna. Berikut ini kutipannya: (21) Rupanya, begitu cepat Pasopati menembus dada Karna. Begitu kuat bahkan sampai tembus dan Pasopati tetap meluncur entah ke mana kini. Meninggalkan dada Karna yang tampak berlubang dengan darah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
segar mengalir. Karna masih tampak berdiri diam dengan mata tajam memandang ke depan. Mungkin telah mati! (Pitoyo, 2010: 421) (22) Tiba-tiba, anting-anting perak di kedua telinga Karna berubah wujud! Menjulur menjadi sepasang ular besar berkepala naga! Bersamaan dengan itu, petir tiba-tiba menyambar di atas sana, dan hujan tiba-tiba menjadi sangat deras. (Pitoyo, 2010: 421) (23) Sepasang ular berkepala naga ini melompat dan bermaksud menyambar Arjuna. Namun, sigap Arjuna menghunus keris Pulanggeni dan membabat putus kedua kepala ular berbentuk naga itu! Bersamaan dengan kuda-kuda kereta Awangga yang terkejut akan adanya ular yang meloncat, seketika itu kereta Awangga tersentak, membuat Salya sempat hampir terjerembab ke belakang. Dan Karna…Sebenarnya, dia telah benar-benar mati sejak tadi. Kereta yang tersentak membuatnya jatuh terlempar ke belakang! Tubuhnya terjerembab ke tanah basah! Petir menyambar di atas sana semakin menggila dan hujan semakin deras saja. (Pitoyo, 2010: 422) 7. Leraian Terjadi saat jasad Karna telah selesai dibersihkan oleh Salya dan dibawa ke tenda Awangga. Berikut ini kutipannya: (24) Malam harinya, dalam keadaan masih basah kuyup, jasad Karna dibersihkan oleh Salya, dan dibawa ke tenda Awangga. Surtikanti langsung meraung menangis keras ketika melihat suaminya yang pulang tak bernyawa. Dia menghambur dan mencabut keris Kiai Jalak di lengan jasad Karna, sambil cepat menggoreskan ke pergelangan tangannya. Surtikanti berusaha untuk bunuh diri! (Pitoyo, 2010: 422) 8. Selesaian Terjadi di malam hari setelah pertempuran antara Arjuna dan Karna. Berikut kutipannya: (25) Malam hari yang sama, Arjuna sempat demam tinggi akibat racun panah Kiai Wijayacapa yang sempat menggores lehernya. Esok harinya yang merupakan hari gencatan senjata, Arjuna hanya duduk termangu diam di dalam tendanya sendirian. Pagi sampai sore dia hanya duduk diam berusaha memulihkan tenaganya kembali. Wajah tampan itu terlihat lelah”. (Pitoyo, 2010: 423)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
D. Latar Dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: ARJUNA-KARNA ini, peneliti menganalisa tiga macam latar, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu. 1. Latar fisik Peneliti menemukan sembilan latar fisik dalam novel ini, yaitu Pertapaan Girireja, Balai Sagalaga, Cempalareja, Hutan Wanamarta, Kerajaan Amarta, Jonggring Saloka, Ayodya, Kerajaan Wirata, dan Hutan Bajubarat. 1) Pertapaan Girireja Tempat Kunti mengasingkan diri sementara karena kehamilannya. Berikut ini kutipannya: (1) Daerah subur persawahan ini dikenal dengan nama Pertapaan Girireja, sekitar separuh hari berkuda ke utara dari ibukota Mandura. Merupakan wilayah desa pertanian di mana berdiri sebuah padepokan tua yang masih masuk wilayah negeri Mandura berbatasan dengan negeri Hastinapura sisi barat daya. (Pitoyo, 2010: 12) 2) Balai Sagalaga Tempat terjadinya sebuah tragedi yang hampir merenggut nyawa Pandawa. Berikut ini kutipannya: (2) Suatu ketika, sebuah peristiwa terjadi. Kejadian itu terekam di benak Permadi. Malam itu telah disiapkan sebuah perjamuan yang begitu mewah. Sangat jarang ada perjamuan di dalam istana. Dan anehnya, perjamuan itu justru diadakan oleh Duryudana, saudara sepupunya, yang merupakan sulung Kurawa. Permadi merasa aneh karena biasanya, dia merasa bahwa kehidupan di dalam istana adalah haknya sebagai putra raja, tapi kali ini, mengapa Kurawa, yang dianggapnya sebagai pendatang, justru bisa mengadakan perjamuan pesta? Perjamuan mewah yang diselenggarakan di sebuah tempat pertemuan di dalam lingkungan istana, sebuah gedung balai besar yang disebut Balai Sagalaga. (Pitoyo, 2010: 155)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
3) Cempalareja Tempat diselenggarakannya Gladi Drupadi. Berikut kutipannya: (3) Cempalareja adalah sebuah negeri yang cukup makmur dari sebagian besar rakyatnya yang hidup sebagai nelayan. Berada di sebelah timur negeri Hastinapura. Negeri Cempalareja yang dahulu pernah bernama Pancala ini, wilayahnya agak memanjang dari utara ke selatan. (Pitoyo, 2010: 164) (4) Kabar itu memang cepat menyebar. Negeri Cempalareja yang dipimpin oleh Prabu Drupada, masih sahabat dengan mendiang Prabu Pandu Dewanata, mengadakan gladi untuk mencari calon suami bagi putrid sulungnya bernama Dewi Drupadi. (Pitoyo, 2010: 164) 4) Hutan Wanamarta Tempat di mana Pandawa tinggal yang disebabkan oleh kelicikan Sengkuni. Berikut ini kutipannya: (5) Sudah beberapa purnama ini, para Punakawan berhasil menyusul dan menemukan para kesatria Kerajaan Hastinapura yang saat ini terusir dari keratin hastinapura dan menjalani hidup di hutan angker Wanamarta. Sebuah hutan lebat begitu luas di sebelah barat wilayah negeri Hastinapura. (Pitoyo, 2010: 198) 5) Kerajaan Amarta Terjadi ketika Yudhistira mengundang para resi dan kesatria dari seluruh dunia wayang untuk menghadiri acara syukuran atas berhasilnya membangun negeri Amarta. Berikut ini kutipannya: (6) Sebuah perhelatan telah dilaksanakan di Amarta. Sebuah perhelatan yang diberi nama Sesaji Rajasuya. Mengundang para resi, kesatria, raja, senapati seluruh dunia wayang…. (Pitoyo, 2010: 254)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
6) Jonggring Saloka Tempat tinggal para bangsa dewa. Berikut ini kutipannya: (7) Seperti tak tampak tempat berpijak di sana. Hanya hamparan kabut atau mungkin lebih mirip awan putih karena lebih pekat daripada kabut. Lunak dan menyejukkan bila diraba. Tapi, di bawahnya seperti terdapat sebuah daratan keras yang melayang di atas langit, sehingga semua orang dan bangunan bisa dengan kokoh berdiri di atas negeri awan itu. (Pitoyo, 2010: 266) (8) Di hamparan awan luas itu terdapat ribuan kubah-kubah bangunan yang dibuat dengan elok dan detail ornament ukiran yang luar biasa indah. Terdapat kumpulan bangunan besar di sana sebagai pusat kerajaan di awan itu. Dengan bangunan-bangunan berbentuk kumpulan kubah-kubah besar menjulang tinggi. Inilah yang disebut sebagai kerajaan kahyangan. Kerajaan bernama Jonggring Saloka, tempat sebagian besar para dewa hidup dan bersemayam. (Pitoyo, 2010: 267) 7) Ayodya Tempat Arjuna dan Karna secara tidak sengaja bertemu karena keduanya sama-sama mengemban tugas untuk mengambil prasasti yang ada di tempat itu. Berikut kutipannya: (9) Sebuah negeri yang kini terasing berada di selatan dunia wayang. Dulu sekali negeri ini sempat menjadi sebuah daratan yang terpisahkan dari daratan utama dunia wayang. Dulu sekali pernah menjadi sebuah negeri yang melegenda di masa kejayaan seorang raja besar bernama Prabu rama. Adalah negeri bernama Ayodya. Negeri yang dulu pernah elok dan maju peradabannya itu kini terasa sepi ditinggal oleh para penduduknya. (Pitoyo, 2010: 302) 8) Kerajaan Wirata Tempat Pandawa mengasingkan diri selama tiga belas tahun akibat kelicikan dari Sengkuni. Berikut kutipannya: (10) Beberapa warsa berselang, di sebuah pendapa istana yang tidak begitu luas terlihat perhelatan sederhana diadakan di sebuah keratin raja negeri pesisir di wilayah utara dunia wayang. Adalah negeri Wirata, negeri yang sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah nelayan pencari ikan. Perhelatan sederhana di mana tampak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
kerabat istana duduk menghadap sebuah pertunjukkan tari. (Pitoyo, 2010: 337) 9) Hutan Bajubarat Tempat di mana Arjuna dan Karna sama-sama mendapat tugas untuk membangunkan Kresna yang sedang mengubah dirinya menjadi Brahalasewu. Berikut kutipannya: (11) Hutan itu begitu lebat. Sungguh hutan yang tidak biasa. Berada di wilayah perbatasan utara negeri Dwarawati. Hutanyang begitu luas yang tak pernah dijamah oleh bangsa manusia. Didalam hutan ini pula terdapat gua tegak, semacam sumur raksasa yang bernama jalatunda, salah satu jalan utama menuju negeri dasar bumi. Daerah utara hutan ini berbatasan dengan negeri Amarta. Itulah mengapa sisa-sisa bangsa raksasa liar dan bangsa tak kasat mata yang tersingkir dari bekas Hutan Wanamarta itu, berbondong kini menghuni hutan angker Bajubarat ini. (Pitoyo, 2010: 354) 2. Latar sosial Peneliti menemukan enam latar sosial yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini. Latar sosial tersebut yaitu kebiasaan melarung bayi di sungai, pemakaian sebutan panjenengan, kebiasaan menyabung ayam, pemakaian sebutan penggede, pemakaian sebutan ngger, dan pemakaian kata ndak. 1) Kebiasaan melarung bayi di sungai. Dalam dunia wayang, ada kebiasaan bila seorang perempuan belum menikah melahirkan bayi, bayi tersebut akan dilarung di sungai. Berikut ini kutipannya: (1) Di dunia wayang, terutama di daerah-daerah tepi aliran sungai, ada kebiasaan, bila saja ada perempuan belum menikah melahirkan bayi, maka diam-diam, setelah sang bayi lahir, si bayi akan didandani, disiapkan bekal, ditaruh di atas perahu sederhana, dan dilarung di sungai. Kebiasaan ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk benar-benar membuang jabang bayi. Sebab, pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
kenyataannya, biasanya si bayi dilarung menjelang tempat-tempat yang banyak orang melakukan kegiatan, sehingga dengan segera ditemukan oleh orang lain, dan dipelihara layaknya seorang anak. (Pitoyo, 2010: 21) 2) Pemakaian kata sapaan panjenengan Di dunia wayang ada kebiasaan memanggil orang yang dihormati dengan kata sapaan panjenengan. Berikut ini beberapa kutipannya: (2) “Sembah hamba kepada Anda, Prabu Raja,” demikian Kunti membuka sapa kepada Pandu, setelah berhenti kira-kira tiga tombak di depan Pandu. “Sungguh suatu kehormatan hamba dan negeri Mandura bila Prabu raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan.” Kunti, walaupun dalam berkatakata bernada halus seperti layaknya seorang putrid, tapi selalu tegas dalam mengambil kalimat. (Pitoyo, 2010: 57) (3) “Sulit bagi saya untuk menerima Raden lebih lama lagi untuk tinggal di sini bila panjenengan menepis harapan putrid saya satusatunya,” lanjut Manikara. (Pitoyo, 2010: 221) (4) “Salah! Saya tak pernah merasa memusuhi panjenengan dan sedulur Kurawa!” “Setelah tiga belas warsa terusir?” tanya Karna. “Kami tetap tidak membenci. Kami hanya merasa panjenengan semua adalah saudara-saudara semua yang belum mengerti arti menjadi seorang kesatria utama.” Karna tampak diam. Wajahnya terlihat berpikir. Dia hanya memandang Arjuna, dan siaga ketika Arjuna melompat mendekat. (Pitoyo, 2010: 358) 3) Kebiasaan menyabung ayam Di dunia wayang, ada kebiasaan adu jago dengan cara menyabung ayam. Berikut kutipannya: (5) Tapi, tidak seperti biasanya di dunia wayang, di mana kegiatan adu jago dilakukan dengan cara menyabung ayam antara dua kelompok. Kelompok satu menyiapkan ayam jago yang menjadi andalannya, sementara kelompok lainnya juga menyiapkan ayam sejenis. Kemudian, keduanya ditarungkan. Sang pemenang akan mendapat hadiah yang disepakati bersama. Biasanya, hal ini dilakukan dengan taruhan. (Pitoyo, 2010: 75)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
4) Pemakaian sebutan penggede Di dunia wayang, kata penggede digunakan oleh rakyat kecil untuk sebutan bagi para kerabat kerajaan ataupun petinggi-petinggi istana. Berikut kutipannya: (6) “Lha, anaknya penggede kok ya ditelantarkan,” potong si perempuan itu, yang tak lain adalah istri Radeya, yang banyak dipanggil oleh tetangga-tetangganya dengan sebutan Nyi Radha. (Pitoyo, 2010: 34) 5) Pemakaian sebutan ngger Panggilan ngger mengesankan bahwa si anak memiliki derajat lebih tinggi atau memiliki kedudukan yang istimewa bagi yang memanggil. Berikut kutipannya: (7) “Aku juga tidak tahu, Nyi. Sudahlah, terima saja anak ini apa adanya. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidup kita, Nyi, tidak diberi anak kandung, tapi dititipi anak ini. Kita harus terima dia apa adanya. Mungkin itu sudah menjadi takdir kita.” Sejenak, Radeya mengambil napas, kemudian melanjutkan, “Biarkan baju perak dan anting-anting itu selalu dipakai Ngger Karna.” (Pitoyo, 2010: 34) (8) “Sarapan dulu, Ngger…” terdengar Adirata berucap. (9) “Kapan kamu pulang, Ngger?” Terdengar Adirata mencoba berteriak kepada Karna yang saat itu sudah menghela kudanya melangkah ke utara. Tapi, teriakan Adirata seperti hanya sampai tenggorokan. Suaranya seperrti tertahan oleh keprihatinan yang dalam. Adirata tersadar ketika melihat Karna sudah terlalu jauh. Tiba-tiba suasana berubah menjadi gelap. Mendung begitu tebal di atas sana. (Pitoyo, 2010: 94) 6) Pemakaian kata ndak Kata ndak dalam bahasa Jawa mempunyai arti “tidak”. Berikut kutipannya: (10) Sementara, sang kesatria sesumbar tak lain adalah putra mahkota Kerajaan Mandura bernama Raden Basudewa. “Ayo! Mulailah hai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
Pemuda! Sudah puluhan kesatria kukalahkan hari ini, tambah satu lagi tidaklah mengapa, paling juga ndak lama!” (Pitoyo, 2010: 40) (11) “Kantong Bolong?” “Ya! Sebab, aku ndak pernah bawa apa-apa ke mana-mana, hehehe. Yang selalu ku bawa adalah hati dan pikiranku, hehehe…,” jawab Petruk. (Pitoyo, 2010: 50) (12) “Bocah haram! Ya si Gorawangsa itu bapakmu!” Suara Basudewa terdengar semakin meninggi. Ugrasena yang dengan waspada berdiri di sebelah Basudewa, memegang dada Basudewa, berusaha menenangkannya. “Ndak mungkin aku punya anak jelek seperti kamu. Orang bodoh saja langsung tahu. Ndak mungkin kamu anakku!!” teriak Basudewa. (Pitoyo, 2010: 79) 3. Latar waktu Latar waktu yang peneliti analisa dalam penelitian ini adalah waktu saat terjadinya perang Bharatayuda. Latar waktu ini bermula dari dimulainya perang Bharatayuda hingga terbunuhnya Karna dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. Berikut ini kutipannya: (1) Dan, perang besar itu akhirnya harus terjadi.perang besar antara dua saudara. Mereka menamai perang itu Bharatayuda. Perang antara Pandawa dan Kurawa. Tawaran Pandawa, sebagai saudara yang lebih berhak atas tahta Hastinapura, berupa separuh wilayah Hastinapura kepada Kurawa, justru dibalas dengan tantangan perang dari Duryudana, sebagai sulung Kurawa. Perang besar yang mereka sepakati terjadi di wilayan Kurusetra. Sebuah padang tandus luas yang membentang memanjang utara selatan, diapit oleh perbatasan negeri Hastinapura sebelah timur, dan negeri Amarta di sisi barat. Matahari baru saja terbit di hari pertama perang besar itu. Dari pihak Pandawa di sisi utara, terlihat sekali gelar perang yang mereka terapkan adalah gelar perang bernama Sapit Urang. Sebuah gelar perang yang disebut demikian sebab memang terlihat seperti seekor udang besar yang merayap, di tengah tanah tandus Kurusetra itu.terbentuk atas barisan puluhan ribu prajurit di pihak Pandawa. Puluhan prajurit yang terdiri dari berbagai negeri. (Pitoyo, 2010: 394) (2) Sementara itu di hari berikutnya, hari ketujuh puluh Sembilan perang itu, Karna sang panglima Kurawa dan Arjuna, sang panglima pihak Pandawa, masih juga terlalu jauh untuk berhadapan. Tapi, mereka berangsur saling mendekat. Benturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
yang pertama kali terjadi di situ adalah pasukan pengawal kedua pihak pimpinan perang itu. Dan, hari itu sungguh luar biasa! Diguyur hujan yang belum juga berhenti, terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan pengawal. Ratusan prajurit yang mengawal kereta Karna dipimpin oleh Adimanggala, Patih Awangga. Sedangkan kereta Arjuna dikawal ratusan prajurit yang dipimpin oleh Jayasemedi, patih dari negeri Plangkawati, wilayah negeri mendiang Abimanyu. (Pitoyo, 2010: 416) (3) Sepasang ular berkepala naga ini melompat dan bermaksud menyambar Arjuna. Namun, sigap Arjuna menghunus keris Pulanggeni dan membabat putus kedua kepala ular berbentuk naga itu! Bersamaan dengan kuda-kuda kereta Awangga yang terkejut akan adanya ular yang meloncat, seketika itu kereta Awangga tersentak, membuat Salya sempat hampir terjerembab ke belakang. Dan Karna…Sebenarnya, dia telah benar-benar mati sejak tadi. Kereta yang tersentak membuatnya jatuh terlempar ke belakang! Tubuhnya terjerembab ke tanah basah! Petir menyambar di atas sana semakin menggila dan hujan semakin deras saja. Rupanya, suara yang muncul mirip suara Karna adalah suara pusaka Kyai Jalak yang berusaha mengecoh Arjuna. Dan, kedua ular itu adalah peliharaan Batara Surya, yang ternyata selama ini mengawal Karna dari sejak bayi hingga ajal. Kedua ular bernama Ardawalika dan Nagakembang. (Pitoyo, 2010: 422) E. Nilai-Nilai Moral Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna mengandung nilai-nilai moral yang sarat dengan pesan-pesan pendidikan. Menurut Suseno (1989: 142-150), sikap dan tindakan yang menunjukkan nilai moral yang kuat yaitu: (1) kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3) kesediaan untuk bertanggungjawab, (4) kemandirian moral, (5) keberanian moral, (6) kerendahan hati, dan (7) realistis dan kritis. 1. Kejujuran. Suseno (1989: 142-143) mengemukakan bahwa bersikap terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracun. Bersikap jujur kepada orang lain berarti dua sikap yaitu bersikap terbuka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
dan bersifat fair. Nilai kejujuran dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Arjuna, Karna, Dewi Kunti, Durna, Duryudana, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Arjuna (1) “Apa yang kamu telah lakukan telah menyelamatkan kewibawaan bangsa dewa, Ngger..,” kata Indra. Tiba-tiba Arjuna seperti tersadar. Dia menoleh ke belakang seperti mencari-cari seseorang di antara kerumunan orang di sana. Terutama pada kerumunan orang-orang yang mendekati mayat Niwatakawaca di tengah taman itu. “Maafkan saya, Eyang Pukulun,” kata Arjuna, “Sebenarnya yang banyak berperan dalam melumpuhkan prajurit Imaimantaka adalah Gatotkaca, putra Kangmas Bima.” (Pitoyo, 2010: 263) Niwatakawaca adalah raja dari negeri Imaimantaka yang berniat menyerang Jonggring Saloka. Arjuna mengetahui rencana ini sehingga mengajak Gatotkaca untuk menggagalkan rencana itu. Dalam perjalanan ke Jonggring Saloka, mereka bertemu dengan prajurit Imaimantaka. Sebagian besar pasukan itu dibinasakan oleh Gatotkaca. Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Arjuna yang mendapat pujian dari Dewa Indra. Arjuna merasa bahwa yang banyak berperan dalam kejadian itu adalah Gatotkaca. Sehingga Gatotkaca juga berhak mendapatkan penghargaan. Arjuna mengatakan hal yang sebenarnya kepada Dewa Indra tentang hal itu. Jika tidak bersifat jujur, bisa saja Arjuna mengaku bahwa dialah satu-satunya yang menggagalkan rencana Niwatakawaca
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
dan mendapat semua hadiah yang mungkin akan diberikan padanya.
(2) Sejenak, Arjuna diam, kemudian berkata, “Walaupun saya jauh dari Hastinapura, tapi rupanya Eyang Durna tetap saja membimbing saya. selalu saja beliau memberi petunjuk pameling kepada saya. saya ke sini juga atas petunjuknya, untuk belajar dan memahami tentang sebuah ilmu kepemimpinan yang tertulis dalam sebuah prasasti yang pernah dibuat Prabu Rama Wijaya dulu.” Pameling adalah nama sebuah ajian luar biasa dan hanya bisa diamalkan oleh orang yang tinggi olah kanuragan maupun olah kautamaannya. (Pitoyo, 2010: 307) Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Arjuna ketika dalam menjalankan tugasnya di Ayodya, dia bertemu dengan Karna. Di depan Karna, Arjuna mengatakan bahwa tujuannya datang ke Ayodya adalah untuk mengambil dan mempelajari prasasti buatan Prabu Rama Wijaya. Dia bahkan mengatakan gambaran sebuah ilmu yang ada dalam prasasti tersebut kepada Karna. Meskipun Arjuna tahu, Karna selalu melihatnya sebagai pesaing dalam olah kanuragan dan tentunya ingin mengalahkannya pula. Namun, Arjuna tetap mengatakan hal yang sejujurnya mengenai prasasti itu.
2) Karna (3) “Siapa yang memberi tahu sampean tentang Kangmas Kresna di hutan ini, Kang?” tanya Arjuna. “Entahlah, akhir-akhir ini kabarnya Paman Sengkuni banyak menjalin hubungan dengan makhluk tak kasat mata. Dan aku dengar, seorang utusan Batari Durga datang ke Hastinapura, meminta salah satu Kurawa ke sini untuk segera membangunkan raksasa tidur jelmaan Kangmas Kresna…,” jawab Karna sambil tetap sibuk membabat para siluman kesana-kemari untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
menerobos dari dahan ke dahan menuju selatan. (Pitoyo, 2010: 361) Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Karna ketika dalam menjalankan tugasnya di Ayodya, dia bertemu dengan Arjuna. Karna mengatakan kepada Arjuna latar belakangnya ada di situ dan rencana yang dilakukan oleh Sengkuni. Meskipun Karna sendiri tahu, Arjuna adalah musuh dari Duryudana. Lebih dari itu, Arjuna adalah orang yang dari dulu Karna anggap sebagai saingannya.
3) Dewi Kunti (4) “Saya lebih suka berdiri. Anakku,” jawab Kunti singkat. Sorot matanya memandang tajam ke arah Karna yang tampak dahinya berkernyit-kernyit berpikir, setelah ada sapaan janggal keluar dari mulut Kunti. “Kamu anakku, lahir bahkan sebelum aku diboyong menjadi permaisuri di Hastinapura.” Walaupun Karna hanya diam berdiri memandang tajam ke arah Kunti, tampak sekali perubahan raut mukanya. Perlahan, dia menarik napas panjang seolah menahan gemuruh yang tiba-tiba memenuhi perasaannya. Juga terdengar gemeretak perlahan di genggaman kedua tangannya. (Pitoyo, 2010: 374) Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Dewi Kunti ketika dia mengatakan pada Karna bahwa Karna adalah anaknya. Hal yang seharusnya Dewi Kunti katakan dari dulu kepada Karna. Namun, ada sesuatu hal di balik kejujuran dari Dewi Kunti ini. Dia tidak ingin Karna nanti bertarung melawan Arjuna.
4) Durna (5) Seorang anak muda yang sangat tampan. Begitu belia. Sorot matanya tajam, hidung mancung, bermahkota seorang kesatria. Ketampanan yang seolah menciptakan aura tersendiri bagi siapapun yang melihatnya. Setiap perempuan dipastikan akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
jatuh hati, walau hanya sekilas memandang parasnya. Dialah ketiga Pandawa, Raden Permadi. “Seluruh hidupku kenyang oleh kembara merambah penjuru dunia wayang, terkadang berguru, terkadang diangkat sebagai guru, selama itu tak ada seorang kesatria pun mampu memanah sepertimu, hai Permadi,” ucap Durna. (Pitoyo, 2010: 140) Nilai kejujuran ditunjukkan Durna saat dia melatih Arjuna memanah. Menurut Durna, kemampuan Arjuna dalam hal memanah sangat luar biasa. Durna mengatakan hal itu bukan tanpa alasan. Seluruh hidupnya dia gunakan untuk berkelana ke seluruh penjuru dunia wayang. Dari pengalamannya itulah, Durna dapat mengemukakan pendapatnya tentang kemampuan memanah Arjuna.
5) Duryudana (6) “Ah, kamu kan keponakan mendiang Kakang Pandu yang tinggal di Gajahoya?” kata Prabu Drupada ketika kemudian tiba giliran Kurawa memperkenalkan diri. “Betul, baginda Prabu.” “Siapa namamu, Nak?” “Nama saya Duryudana.” “Hehehe.., baik-baik, silakan kalau kamu berniat juga melamar putriku. Biarlah nanti Drupadi yang akan memilih sendiri sesuai dengan selera hatinya.” “Maaf, Baginda Prabu, saya ke sini mewakili adik saya. dialah yang akan melamar Nimas Dewi Drupadi, Baginda Prabu.” “Saya sudah ditunangkan dengan putrid Mandraka. Awal musim yang akan datang, rencananya kami akan menikah.” Saat itu, Duryudana memang sudah direncanakan akan menikah dengan putri kedua Raja Mandraka, Prabu Salya, bernama Dewi Banowati. (Pitoyo, 2010: 169) Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Duryudana kepada Prabu Drupada saat peristiwa Gladi Drupadi. Ketika Duryudana
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
dipersilakan kalau mau melamar Drupadi, dia mengatakan bahwa tujuannya ke sana hanya mewakili adiknya, Dursasana. Bahkan Duryudana juga mengatakan bahwa dia sudah ditunangkan dengan putri mandraka dan sebentar lagi akan menikah. 6) Rama Bargawa (7) “Nama saya Bargawa, Raden,” kata sang resi membuka kalimat. Karna hanya diam, tetap pada posisinya bersila. “Hutan ini adalah tempat tinggal saya. sejak sampean masuk hutan ini beberapa hari yang lalu, tanpa sepengetahuan Raden, saya selalu mengamati gerak-gerik sampean.” (Pitoyo, 2010: 150) Dalam perjalanan melatih kemampuan memanahnya, Karna bertemu dengan Rama Bargawa. Dari Rama Bargawalah, Karna bisa mengetahui fungsi yang sebenarnya dari baju perak yang selalu dia pakai. Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Rama Bargawa saat sedang berbincang dengan Karna. Dia mengatakan bahwa selama ini dia selalu mengamati gerak-gerik Karna, bahkan tanpa sepengetahuan dari Karna sendiri. 7) Kusir Adirata (8) “Anting-anting yang dikenakan juga bagus, bersinar perak diterpa sinar matahari,” lanjut Kunti. “Tentunya kamu sangat mencintai anakmu, Adirata, sampai memberi hadiah antinganting yang sepertinya mahal itu.” Sejenak, Adirata berhenti dan menelan ludah, sambil kemudian menghela napas panjang, seperti berusaha mengumpulkan keberanian untuk berkata. “Karna adalah anak angkat saya, Kanjeng Ratu,” kata Adirata setengah berbisik. Baru kali ini Adirata berkata hal sesungguhnya tentang Karna kepada orang lain. Sehingga kini, selain dia sendiri dan istrinya, Rada, Kunti menjadi orang ketiga yang mengetahui bahwa Karna sebenarnya bukan anak kandung Adirata. “Ketika bayi, Karna saya temukan di atas perahu kecil, hanyut di sungai.” (Pitoyo, 2010: 177)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
Nilai kejujuran ditunjukkan oleh Adirata saat berbicara dengan Dewi Kunti. Dengan berterus terang, Adirata mengatakan bahwa Karna sebenarnya bukanlah anak kandungnya. Karna hanyalah anak angkat yang saat kecil Adirata temukan di atas perahu kecil di sungai. Meskipun Adirata juga sadar, dengan kejujuran yang dia ucapkan, mungkin suatu saat dia akan kehilangan Karna. Sebab, bisa saja Karna kemudian akan hidup bersama dengan orangtua kandungnya.
2. Nilai-nilai otentik. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya (Suseno, 1989:143). Nilai-nilai otentik dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Karna, Arjuna, Dewi Kunti, Duryudana, dan Rama Bargawa. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Karna (9) “Lho, Anda seorang kesatria. Anda masih muda. Saya yakin orang tua kandung Anda bukan orang sembarangan. Mengapa sampean masih menganggap diri sampean sendiri bukan seorang kesatria pilihan?” “Saya harus buktikan kalau saya bisa…” “Sampean seorang pemanah hebat. Apa yang ingin dibuktikan lagi, Raden?” Kembali Karna menghela napas panjang sambil mengunyahkunyah gulungan daun kangkung yang diberikan Bargawa kepadanya. “Izinkan saya untuk sementara waktu tinggal di hutan ini, Resi. Saya tak tahu lagi harus ke mana melangkahkan kaki.” (Pitoyo, 2010: 151)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
Rama Bargawa bisa melihat bahwa Karna sebenarnya adalah seorang kesatria dan bukan keturunan dari orang sembarangan. Dari penjelasan Rama Bargawa, Karna sedikit demi sedikit mulai tahu tentanng jati dirinya. Namun, Karna tidak mau begitu saja menerima hal itu. Karna ingin membuktikan sendiri bahwa dia memang benar-benar seorang kesatria. Karna ingin membuktikan jika dia bisa menjadi seorang kesatria pilihan dengan usahanya sendiri.
(10) “Bacalah! Pelajarilah apa yang ada di sini, hai Permadi!” kata Karna tiba-tiba. “Mungkin hanya kamu yang paham apa yang tertulis di sini. Saya beri kesempatan sampai matahari terbit besok.” Kalimat Karna memang terdengar angkuh dengan nada meninggi, tapi memang terasa ada yang berubah dari Karna. (Pitoyo, 2010: 310) Nilai otentik ditunjukkan oleh Karna ketika dalam tugasnya mengambil prasasti di Ayodya, dia bertemu dengan Arjuna. Sebagai seorang kesatria, Karna dapat melihat hal-hal yang seharusnya dan tidak seharusnya. Menurut Karna, isi prasasti itu lebih berguna bagi Arjuna daripada Duryudana. Arjuna melihat isi prasasti itu sebagai suatu ilmu yang patut untuk dipelajari. Berbeda dengan Duryudana, yang hanya melihat prasasti itu sebagai simbol kekuasaan. Oleh karena itu, Karna mengijinkan Arjuna untuk membaca isi prasasti tersebut.
(11) Karna pun melepaskan begitu saja gandewa panahnya ke tanah, kemudian memeluk Surtikanti. Wajah Karna terlihat berusaha
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
untuk tetap angkuh dan menjaga wibawa. Tapi, matanya berkaca dan memerah. “Seorang putri yang dihormati telah dilecehkan di depan mataku, tapi aku tidak melakukan apa-apa, Yayi,” kata Karna setengah berbisik. Nada suaranya bergetar. “Dan, para Pandawa terusir dari istananya sendiri dengan cara yang jauh dari sifat kesatria, sementara aku hanya bisa diam, Yayi,” lanjutnya. (Pitoyo, 2010: 337) Nilai otentik ditunjukkan Karna ketika dia sedang berbicara dengan istrinya. Karna menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh Pandawa dan pelecehan yang dilakukan kepada Drupadi. musuhnya,
Meskipun
Pandawa,
terutama
Karna tahu bahwa
Arjuna,
perbuatan-perbuatan
adalah yang
dilakukan oleh Kurawa kepada Pandawa dan Drupadi itu tidak benar. Meski Karna hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, jiwa kesatrianya berontak melihat peristiwa itu. Itulah sebabnya mengapa Karna menjadi marah kepada dirinya sendiri.
(12) “Maafkan saya, Sibu,” kata Karna lirih. “Sedari kecil, saya selalu bermimpi bercita-cita ingin menjadi seorang kesatria utama. Salah satu watak kesatria utama adalah selalu memegang teguh nilai kebenaran dirinya, melaksanakan janji dan sumpahnya. Izinkan saya menjadi kesatria utama, Sibu. Izinkan saya menepati janji pada diri saya sendiri, janji untuk selalu membela kehormatan orang yang selama ini menghargai saya sebagai seorang kesatria, Kangmas Prabu Duryudana.” (Pitoyo, 2010: 377) Nilai
otentik
ditunjukkan
oleh
Karna
dalam
perbincangannya dengan Kunti. Kunti ingin agar Karna berpihak kepada Pandawa. Sebab, Karna dan Pandawa sama-sama adalah anaknya. Kunti tidak ingin anak-anaknya saling membunuh.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
Namun, Karna sudah terlanjur mengucap janji dan sumpah setia kepada Duryudana. Nilai kebenaran dalam diri kesatrianya mengharuskan dia untuk melaksanakan janji dan sumpahnya itu. Karna tetap memegang teguh watak kesatrianya dan secara halus menolak permintaan Kunti. 2) Arjuna (13) “Haruskah sekarang, Kangmas?” kembali, Sumbadra bertanya dengan kalimat yang sama. “Aku sudah memiliki tempat tinggal untuk setiap saat pulang, Yayi. Aku juga memiliki istri cantik yang selalu kurindu. Aku khawatir rasa nyaman yang terlau lama akan melenakan kewajibaban seorang kesatria yang tetap harus belajar, Yayi. Sekarang adalah saat yang tepat. Ada kakang Semar dan para senapati Madukara yang akan selalu menjaga Yayi. Kangmas Prabu Kresna juga pasti akan selalu berkunjung. Aku berjanji untuk sesekali pulang, Yayi.” (Pitoyo, 2010: 215) Nilai
otentik
ditunjukkan
oleh
Arjuna
dalam
perbincangannya dengan istrinya, Sumbadra. Menurut Arjuna, seorang kesatria mempunyai kewajiban untuk selalu belajar dalam hidupnya. Kesatria harus selalu mengasah olah kanuragan dan keutamaan. Karena itulah, meski kini Arjuna sudah menjadi raja di Madukara, dia tetap berkeinginan untuk pergi mencari ilmu.
(14) “Bagaimana saya bisa membidikkan anak panah, sementara di sana ada Eyang Bhisma dan Guru Pendeta Durna yang saya hormati.” Arjuna memotong bicara Kresna setengah berteriak. Tangisnya semakin menjadi. “Saya tidak tahu mana yang lebih baik saat perang ini usai, menang atau kalah, keduanya sama buruk bagi saya, Kangmas. Saya ingin pulang, Kangmas, saya ingin pulang. Biarkan saya pergi dari Kurusetra ini, Kangmas,” tangis Arjuna. (Pitoyo, 2010: 401)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
Nilai otentik ditunjukkan oleh Arjuna dalam percakapannya dengan Kresna. Dalam perang Bharatayuda, Arjuna harus berperang melawan Kurawa, yang masih saudara sedarah dengannya. Arjuna juga harus melawan Bhisma dan Durna yang merupakan orang-orang yang sangat dia hormati. Sebagai seorang kesatria, dia harus bisa melawan mereka. Jika harus melawan mereka, hati nurani Arjuna berontak. Inilah sifat asli dari diri Arjuna. Hati nuraninya tidak sanggup jika harus berperang melawan keluarganya sendiri. 3) Dewi Kunti (15) “Besok pagi, kita bawa Angger Karna ke tempat dia dilahirkan, Nimas. Sudah disiapkan sebuah perahu kecil untuk membawanya menyusuri sungai.” “Dia akan dibuang ke sungai?” tiba-tiba, Kunti berdiri dan memotong bicara Druwasa. Berkata lantang dengan nada agak gemetar menahan emosi meluap. Matanya seperti berkacakaca, tapi sekuat tenaga dia tahan air mata itu keluar. Karna di dekapannya juga tampak terpengaruh oleh suara Kunti. Ia bergerak-gerak merasa tak nyaman dalam gendongan Kunti yang berdiri. (Pitoyo, 2010: 21) Nilai otentik ditunjukkan Dewi Kunti saat Karna hendak dilarung di sungai. Sekuat apapun hati Kunti, dia tetaplah mempunyai naluri seorang ibu. Naluri yang selalu ingin melindungi anaknya. Naluri yang membuatnya akan selalu khawatir jika dia merasa anaknya sedang dalam bahaya. (16) Karna terkejut. Serta-merta ia berusaha melawan dengan paksa, melepas pelukan Kunti, membuat Kunti jatuh terduduk pada posisi bersimpuh. Dan, Karna memilih melompat keluar pendapa. Diterpa gerimis hujan yang sepertinya semakin lebat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
saja, setengah berteriak Karna berkata, “Entah bagaimana saya harus memanggil panjenengan. Panggilan sibu terasa asing bagi mulut saya untuk menyapa panjenengan. Orang tua macam apa yang telah menelantarkan anaknya? Sekian lama tahu dan melihat anaknya tidak jauh dari jangkauan, tak sedikitpun memberikan isyarat dan ungkapan kasih seorang ibu. Katakan, Raden Ayu, Sibu, apa yang panjenengan harapkan dari saya saat ini? Saya baru tahu ada seorang ibu yang begitu mengharap pamrih pada anak kandungnya sendiri. Bahkan, pengakuan yang akhirnya terucap juga karena pamrih…” Isak tangis Kunti terdengar semakin tak terbendung lagi. Seiring dengan gerimis yang terasa semakin lebat saja. “Maafkan aku, Ngger. Aku tidak ingin anak-anakku saling membunuh. Maafkan aku, Ngger. Maafkan bapakmu. Apapun akan aku lakukan, asalkan kamu melepas keberpihakanmu kepada Kurawa.” (Pitoyo, 2010: 375) Akhirnya, Dewi Kunti berterus terang pada Karna bahwa Karna adalah anaknya. Meskipun demikian, ada sesuatu yang terselubung dibalik kejujuran Dewi Kunti. Nilai otentik ditunjukkan oleh Dewi Kunti di sini. Sebagai seorang ibu, dia tidak ingin jika anak-anaknya, Arjuna dan Karna, saling membunuh. 4) Duryudana (17) Pandawa, anak-anak Pandu, tentu saja diundang dalam perhelatan itu. Adalah rencana dan keinginan Dewi Kunti, sang ibu, yang ingin menyandingkan anak tertuanya, Samiaji, dengan Dewi Drupadi. Untuk menyambung lagi tali kekerabatan Hastinapura dengan negeri Cempalareja. Ketika dulu Pandu masih hidup, bisa dikatakan cukup sering berkunjung dan bertemu dengan Prabu Drupada. Tapi, semenjak meninggalnya Pandu, sudah tidak pernah lagi ada sambungrasa di antara istana Hastinapura dan istana Cempalareja. Apalagi, sejak Duryudana menobatkan dirinya sendiri memimpin istana Hastinapura, hubungan baik dengan negeri-negeri tetangga seperti Cempalareja ini seakan dilupakan. Yang ada dibenak Duryudana untuk berhubungan dengan negeri lain adalah upaya penaklukan, bukan upaya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
untuk bersahabat sebagai dua Negara yang bermartabat. (Pitoyo, 2010: 166) Nilai otentik Duryudana ditunjukkan dalam kutipan di atas. Bagi Duryudana, hubungan antar negeri harus dilakukan dengan cara penaklukan. Negeri-negeri lain harus berada di bawah kekuasaan negeri Hastinapura, negeri yang dia pimpin. Dari situ bisa kita lihat jika Duryudana ingin menjdai seorang penguasa dengan kekuasaan mutlak.
5) Rama Bargawa (18) Orang-orang desa di hutan jati itu bercerita bahwa Karna tinggal berguru kepada Bargawa hampir tiga warsa lamanya, sebelum dia kembali pulang ke istana Hastinapura. Selama itu pula, Bargawa seperti merasakan sesuatu pada diri Karna. Bargawa yakin dengan sasmita yang dimilikinya, bisa merasakan bahwa Karna adalah seorang keturunan bangsa dewa. Tapi, hal ini tak pernah diceritakannya pada Karna. Bargawa hanya berharap suatu hari nanti, Karna bisa mengetahui siapa sejatinya dirinya pada saat yang tepat. Sehingga, bisa menambah rasa legawa dan ketenangan hatinya, bukan malah menjadikannya semakin membenci orang tuanya. (Pitoyo, 2010: 153) Nilai otentik Rama Bargawa ditunjukkan dalam kutipan di atas. Dengan kekuatan batin yang dia punya, Rama Bargawa dapat melihat bahwa Karna bukanlah keturunan orang sembarangan. Dia tahu jika Karna adalah keturunan bangsa dewa. Hanya saja, Karna belum tahu mengenai masalah ini. Meskipun demikian, Rama Bargawa tetap yakin jika suatu saat nanti Karna dapat mengetahui tentang dirinya yang sebenarnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
Rama Bargawa juga berharap agar hati Karna bisa menjadi tenang tanpa membenci orang tua kandungnya nanti. Dari keyakinan itulah, nanti di cerita berikutnya, Rama Bargawa memberikan beberapa senjata pusaka kepada Karna.
3. Kesediaan untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Nilai kesediaan untuk bertanggungjawab dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Yudhistira, Karna, dan Kresna. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Yudhistira (19) Tampak kemudian, menyeruak masuk ke dalam ruangan itu, si wajah tampan Permadi. “Ada apa dengan Kangmas Bratasena?” tanyanya. “Apa yang membuatnya begitu marah?” Sejenak semua diam. Samiaji yang kemudian membuka kata, “Besok saya harus pergi dari istana ini, Dimas.” “Lho…?” Permadi tampak tertegun dan berusaha menebak apa yang terjadi. “Kangmas Samiaji terlanjur mengucap janji, Kangmas.” Sadewa yang melanjutkan berkata. “Rupanya, tipu muslihat Paman Sengkuni telah melenakan kita. Kangmas Samiaji mempertaruhkan hak atas istana Hastinapura…dan kalah. Kangmas Samiaji harus pergi,” lanjut Sadewa. (Pitoyo, 2010: 187) Yudhistira di ajak bermain dadu oleh Sengkuni dengan taruhan siapapun yang kalah harus pergi dari Hastinapura dan harus mau tinggal di hutan Wanamarta. Nilai kesediaan bertanggungjawab ditunjukkan oleh Yudhistira ketika dia kalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
dalam permainan dadu. Sebenarnya taruhan itu hanya main-main. Tetapi bagi Yudhistira, seorang kesatria harus bertanggungjawab atas apa yang dia katakan. Seorang kesatria harus bersedia melaksanakan konsekuensi dari perkataannya sendiri.
(20) Perlahan, dilepaskannya pelukan itu, kemudian Bhisma berkata, “Pulanglah ke Amarta, Nakmas. Istana ini sudah terlalu kotor oleh perilaku setan. Kakimu terlalu bersih untuk masuk ke istana ini. Biarlah Eyang bersihkan dulu.” “Besok pagi, kami akan pergi dari Hastinapura, Eyang. Tapi, selama tiga belas warsa, saya juga belum akan kembali ke Amarta..” “Lho?” Bhisma terkejut. “Saya sudah berjanji kepada mereka. Biarlah saya kembali mengembara, mungkin ini jalan hidup saya. Saya pernah mengalami hal-hal buruk, Eyang, dan itu tidaklah selalu berakibat buruk.” (Pitoyo, 2010: 327) Karena kelicikan Sengkuni dalam permainan dadu yang kedua kalinya, Yudhistira kalah taruhan lagi. Dalam perjanjian sebelumnya, siapapun yang kalah harus mengasingkan diri selama tiga belas tahun. Nilai tanggung jawab ditunjukkan oleh Yudhistira yang bersedia menerima konsekuensi dari taruhan itu dan
melaksanakan
hukuman
sesuai
dengan
kesepakatan
sebelumnya.
2) Karna (21) “Mungkin aku punya rencana agar Rama Prabu Salya bisa berubah pikiran terhadap sampean, Kang.” “Maksud panjenengan?” tanya Karna. Mungkin hanya kepada Duryudana sajalah Karna bisa berkata lembut dan sopan. “Ada seorang raja raksasa di utara, di Awangga. Aku dengar ia akan menyerang Mandraka untuk mendapatkan Nimas
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
Surtikanti.” Sejenak berhenti, Duryudana menghela napas, kemudian melanjutkan, “Bawalah prajurit pilihan Hastina. Seranglah Awangga sebelum mereka sempat berangkat.” “Baiklah, Kang…” tanpa bertanya lagi, Karna langsung membalikkan badan dan bergegas menuruti ide Duryudana ini. (Pitoyo, 2010: 224) Sejak merasa berhutang budi kepada Duryudana, Karna bersumpah akan setia mengabdikan diri padanya. Sebagai seorang kesatria, Karna akan selalu melaksanakan sumpah yang telah dia ucapkan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban Karna yang secara tegas langsung menerima perintah dari Duryudana tanpa harus berpikir dua kali. Nilai kesediaan bertanggungjawab ditunjukkan oleh Karna yang selalu melaksanakan setiap tugas yang diberikan kepadanya.
3) Kresna (22) Kresna menoleh kepada Arjuna dan kembali berkata, “Tak ada yang harus kita lakukan sebagai bagian dari sesuatu yang mungkin ada, kecuali kewajiban kita untuk selalu mengabdikan diri kita kepada Sang Wajib Ada, Sang Pencipta. Dan, apapun yang kita lakukan selama hal itu adalah sebuah perjuangan, maka pastilah tak pernah sia-sia ketika dalam hati dan pikiran kita selalu kita persembahkan jiwa dan raga kita, hidup dan mati kita untuk Sang Pencipta Semesta Alam…” (Pitoyo, 2010: 405) Ketika
Arjuna
mulai
merasa
ragu
dalam
Perang
Bharatayuda, Kresna mengingatkan Arjuna. Nilai otentik Kresna ditunjukkan di sini. Menurut Kresna, sebagai ciptaan Pencipta, manusia memiliki kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Pencipta. Semua hal yang dilakukan manusia di dunia,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
suatu saat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, setiap manusia harus bertanggung jawab atas kewajibannya kepada Sang Pencipta.
4. Kemandirian Moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno, 1989: 147). Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Nilai kemandirian moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Yudhistira, Karna, Kresna, dan Hanoman. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Yudhistira (23) Dan, permainan dadu itu berakhir, ketika Duryudana melempar, dan menghasilkan jumlah yang lebih besar! Para Kurawa itu semakin tak terkendali. Bersorak-sorai, menari, bahkan berulang kali Dursasana berteriak mengejek kea rah Nakula dan Sadewa yang tampak semakin pucat. Dursasana memang suka sekali jahil terhadap Nakula dan Sadewa. “Besok, saya berangkat ke Wanamarta, Paman,” kata Samiaji. Wajahnya tampak tetap datar. Sementara, Sengkuni hanya tersenyum lebar. Sadewa yang kemudian memberanikan diri lantang berkata, “Bukankah taruhannya hanya main-main?” (Pitoyo, 2010: 183) Dalam permainan dadu itu, Yudhistira kalah. Sebagai konsekuensi taruhan, dia akan meninggalkan Hastinapura dan tinggal di Wanamarta. Sadewa yang merasa bahwa taruhan tadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
hanya main-main tidak rela jika Yudhistira harus ke Wanamarta. Namun, Yudhistira punya pandangan sendiri. Bagi dirinya, seorang kesatria harus melaksanakan apapun yang telah dia katakan. 2) Karna (24) “Bacalah! Pelajarilah apa yang ada di sini, hai Permadi!” kata Karna tiba-tiba. “Mungkin hanya kamu yang paham apa yang tertulis di sini. Saya beri kesempatan sampai matahari terbit besok.” Kalimat Karna memang terdengar angkuh dengan nada meninggi, tapi memang terasa ada yang berubah dari Karna. Memang dia terkenal begitu loyal pada negeri Hastinapura, terutama sikap setianya pada Duryudana yang telah mengubah jalan hidupnya menjadi seorang kesatria yang disegani. Tapi, di balik pergunjingan tentangnya yang berada di bawah bayingbayang Duryudana yang memang dikenal memiliki watak yang buruk, diam-diam Karna juga memiliki watak utama seorang kesatria. (Pitoyo, 2010: 310) Di balik kebenciannya kepada Arjuna, Karna juga memiliki sikap kesatria. Hal ini terlihat saat menjalankan tugas dari Duryudana untuk mengambil prasasti di Ayodya. Prasasti itu justru diberikan kepada Arjuna yang saat itu juga mendapat tugas untuk mengambil prasasti. Nilai kemandirian moral ditunjukkan oleh Karna di sini. Karna memiliki penilaian sendiri setelah melihat tujuan Arjuna atas prasasti tersebut. Tujuan yang sangat berlainan dengan yang dimiliki oleh Duryudana. Oleh karena itu, Karna mengambil sikap sendiri dari penilaiannya itu dan bertindak sesuai dengannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
(25) Suasana menjadi begitu sunyi, hanya terdengar dengkuran halus sang raksasa Brahalasewu, seirama dengan semburan api ke udara dari lubang hidung si raksasa. Karna menoleh kea rah Arjuna. Kedua kesatria itu tampak beradu pandang. Wajah Arjuna tampak datar, tapi sorot matanya tajam. Sedangkan sorot mata Karna yang dipicing seperti berusaha menduga-duga apakah kesatria di hadapannya seorang kawan atau lawan. “Kamu tahu cara membangunkannya?” tanya Karna kemudian. “Entahlah, kang, mungkin dengan cara menusukkan keris ini,” jawab Arjuna sambil mengangkat keris Pulanggeni di gegaman tangan kanannya. “Cobalah,” kata Karna. (Pitoyo, 2010: 362)
Meski mendapat tugas dari Sengkuni untuk berusaha menjadi yang pertama membangunkan Kresna, Karna menyuruh Arjuna untuk membangunkannya lebih dulu. Nilai kemandirian moral ditunjukkan oleh Karna di sini. Karna mempunyai penilaian sendiri atas apa yang dilihatnya dan bertindak sesuai dengannya. Hal ini dapat dilihat ketika Karna akhirnya memutuskan agar Arjuna yang membangunkan Kresna lebih dulu.
3) Kresna (26) Konon dalam pembicaraan Kresna dan Durga, sang batari memperingatkan dengan keras Batara Wisnu yang ada dalam raga Kresna. Tak banyak yang tahu bahwa Kresna, selama lebih dari dua puluh warsa, raganya menyatu dan menjadi tubuh bagi jalan kematian salah satu bangsa dewa bernama Batara Wisnu. Dewa yang mengembankan dirinya dengan tugas menebar kebajikan dan kedamaian di dunia wayang. Sang Batari Durga memperingatkan Wisnu atas sikapnya yang seharusnya tidak memihak di dunia wayang, dalam hal ini membantu Pandawa atas sengketa negeri Hastinapura. Peringatan yang membuat Kresna masygul dan marah. Mengubah dirinya menjadi Brahalasewu, dan tidur! Seperti sebuah bahasa yang memprotes atas peringatan yang diberikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
kepadanya. Kresna curiga bahwa apa yang dilakukan Durga adalah karena kesepakatan yang menjadi bagian dari muslihat Kurawa. (Pitoyo, 2010: 355-356) Di dunia wayang, para dewa tidak boleh ikut campur dalam permasalahan manusia. Aturan inilah yang diingatkan oleh Batari Durga kepada Kresna. Kresna sendiri sebenarnya adalah tubuh bagi jalan kematian Batara Wisnu. Sebagai dewa yang bertugas menebar kebajikan di dunia wayang, Wisnu, yang saat itu menyatu dalam raga Kresna, merasa jika ada yang tidak benar dalam sengketa antara Pandawa dan Kurawa. Dia juga curiga jika Batari Durga membuat kesepakatan dengan kurawa. Oleh karena itu, Kresna mengambil sikap membantu Pandawa. Meski ada aturan tersebut, Kresna tetap melaksanakan hal yang diyakininya sebagai kebenaran. 4) Hanoman (27) Kembali Hanoman membalikkan badan, menghadap Gatotkaca. Dengan suara berat setengah berbisik melanjutkan kata-katanya, “Dua warsa yang lalu, Raden Arjuna telah berjasa membinasakan pembuat onar di negeri kahyangan. Dia diberi hadiah bangsa dewa, diangkat menjadi pangeran di Kaendran, disandingkan dengan Dewi Supraba, bahkan telah punya anak. Tapi, Raden Arjuna masih juga menjalin hubungan dengan Dewi Dresnala yang juga dikenalnya selama berada di Jonggring Saloka. Bayi yang dikandung Kanjeng Dewi Dresnala itu akan bisa menjadi murka para dewa bila sampai ketahuan.” “Bukankah Eyang telah berlaku salah menutup-nutupi sebuah aib?” kata Gatotkaca kemudian. Sejenak, Hanoman menghela napas panjang. “Salah dan benar terkadang hanya dipisahkan oleh sesuatu yang tak pernah ada, Raden.” “Maksud Eyang?” “Hamba bisa saja berbuat salah ketika semua orang menganggap hamba seorang pahlawan. Hamba suatu ketika pasti ada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
benarnya, walaupun semua orang menghujat.” (Pitoyo, 2010: 285) Arjuna melarikan Dewi Dresnala, yang saat itu sedang mengandung, dari Jonggring Saloka. Arjuna kemudian meminta tolong kepada Hanoman agar Dewi Dresnala diijinkan untuk melahirkan di padepokannya. Gatotkaca yang baru saja mendengar cerita itu, menganggap bahwa kehamilan Dewi Dresnala adalah sebuah aib. Karena Hanoman menyembunyikan aib, menurut Gatotkaca hal itu salah. Namun, Hanoman memiliki pemikiran sendiri. Ada suatu hal yang membuatnya melakukan itu. Hal yang menurut keyakinan Hanoman adalah hal yang benar dan harus dia lakukan.
5. Keberanian Moral. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan (Suseno, 1989: 147). Nilai keberanian moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Gatotkaca, Arjuna, Karna, dan Dewi Kunti. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Gatotkaca (28) Semula, Arjuna memang berencana mengajak Gatotkaca untuk sekedar melaporkan serangan Imaimantaka ini kepada Batara Guru dan meminta petunjuk dari Batara Guru akan apa yang dilakukan. Tapi, dalam perjalanan mereka di langit menuju
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
Jonggring Saloka, dengan jelas mereka menyaksikan rombongan pasukan gandarwa mengendarai burung rajawali raksasa menuju ke arah mereka. Membuat Arjuna sempat bimbang, tak tahu harus berbuat apa. Tanpa ragu dan tanpa berkata-kata, gatotkaca sudah mendahului terbang berbalik arah dan langsung menggempur pasukan Imaimantaka. Gatotkaca memang tak pernah gentar terhadap hal-hal seperti itu. (Pitoyo, 2010: 258) Meskipun rencana awalnya hanya melaporkan rencana penyerangan itu, Gatotkaca tidak tinggal diam melihat musuh menuju ke arahnya. Sebagai seorang kesatria, Gatotkaca bertekad untuk melaksanakan hal yang diyakini sebagai kewajibannya, yaitu menggempur pasukan Imaimantaka sebelum mereka sampai pada tempat yang dituju. Nilai keberanian ditunjukkan oleh Gatotkaca yang tanpa ragu langsung menggempur pasukan Imaimantaka meski jumlah mereka sangat banyak.
2) Arjuna (29) Hanoman sudah mulai membalikkan badan berlalu, ketika kemudian dia menghentikan langkah dan berkata, “Paman panjenengan itu orang yang unik, Raden. Dia diberi anugerah sejak lahir wajah yang begitu tampan, menggetarkan hati setiap perempuan yang melihatnya.” Sejenak berhenti, menghela napas kemudian melanjutkan, “Putri mana pun akan rela menjadi istrinya, bila dia meminta. Sayangnya…” kembali, Hanoman sejenak menghentikan katanya. Tampak kemudian, dia menundukkan kepala sambil berkata, “Sayangnya, Raden Arjuna sering terlena dengan keinginan-keinginannya. Istrinya begitu banyak, siapa pun yang diperistrinya akan rela seperti mendapat anugerah.” (Pitoyo, 2010: 284) Menurut Arjuna, mengabulkan permintaan dari orang lain adalah sikap dan kewajiban seorang kesatria. Termasuk mengabulkan permintaan seorang perempuan yang ingin menjadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
istrinya. Nilai keberanian moral ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan percakapan antara Hanoman dan Gatotkaca di atas. Arjuna tetap menjalankan sikap yang telah diyakininya sebagai kewajiban meski banyak orang yang menentang sikapnya itu, termasuk Hanoman.
3) Karna (30) “Mengapa, Ngger? Bukankah kamu ingin Hastinapura menang saat perang nanti…?” kata Indra kemudian. “Terimalah, Ngger. Senjata ini memang sudah disiapkan untuk digunakan saat Bharatayuda.” Sejenak, Batara Indra berhenti, kemudian meneruskan, “Kanjeng Batara Guru hanya meminta satu hal.” “Apa itu, Pukulun…?” “Beliau ingin kamu melepas baju dalammu yang selama ini kamu pakai sejak kecil.” (Pitoyo, 2010: 387) Nilai keberanian moral ditunjukkan oleh Karna dalam kutipan di atas. Dengan berani dan tanpa ragu, Karna melepas baju perak
yang selama ini selalu melindunginya. Hal ini
dikarenakan Batara Guru meminta baju tersebut. Karna sadar bahwa dengan dilepasnya baju itu, pertahanannya saat melawan Arjuna dalam perang nanti akan berkurang. Namun, sebagai seorang kesatria, bagi Karna kewajiban tetaplah yang utama. 4) Dewi Kunti (31) “Jika Raden Ayu berharap saya akan berpaling dan memihak Pandawa setelah mendengar cerita menis panjenengan, maka siasia saja panjenengan datang kemari. Monggo…, silakan pulang. Bagaimanapun juga, saya akan memasang badan untuk membela Kangmas Prabu Duryudana.” Kalimat Karna terdengar mulai meninggi. Sejenak mengambil napas dan melanjutkan, “Dan, maaf bila saya sama sekali tidak percaya pengakuan panjenengan…”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
“Tapi, kamu benar-benar anakku, Ngger.” Kunti memotong bicara Karna. Kali ini, getaran kalimat Kunti mulai terasa. Kunti yang selalu berusaha tegar pada hal-hal yang menguras emosi, kali ini kalimatnya terdengar rapuh gemetar. Air mata tipis terlihat mengalir membasahi pipi. “Maafkan aku yang telah menelantarkan kamu, Ngger. Ketika itu, aku masih terlalu muda untuk berani memikul beban…mengandung bayi…, melahirkannya, mengasuhnya.., semuanya begitu gelap waktu itu, Ngger…, maafkan ibumu, Nak…” (Pitoyo, 2010: 374) Ketika Kunti mengaku bahwa Karna adalah anaknya, Karna tidak percaya kepadanya. Nilai keberanian Kunti ditunjukkan dalam kutipan tersebut. Kunti sadar jika Karna tidak akan percaya begitu saja pada pengakuannya. Bahkan Kunti tahu, Karna kemungkinan besar akan marah kepadanya atas perbuatan yang telah dilakukan Kunti kepada Karna, menelantarkannya. Sebuah pengakuan tentang hal yang sangat sensitif. Pengakuan yang membutuhkan keberanian yang besar untuk mengakuinya.
6. Kerendahan hati. Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Nilai kerendahan hati dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Arjuna, Yudhistira, Dewi Kunti,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
Durna, dan Bambang Ekalaya. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Arjuna (32) “Luar biasa, Anakku! Kamulah anak muda yang paling berbakat yang pernah aku didik. Suatu hari nanti, ilmu memanahmu tidak akan ada yang menandingi di dunia wayang ini.” Terdengar suara serak parau melengking dari mulut seorang tua peyot. “Benarkah Guru? Benarkah saya yang pandai memanah di bumi wayang ini, Guru Durna?” tanya si anak muda tetap tertunduk, sambil kembali menyiapkan anak panah berikutnya, dan membidik melatih kebolehannya memanah dengan sasaran ribuan kaki di depan, seekor tupai yang berlarian kesana-kemari dikelilingi beberapa binatang yang mati berserakan tertembus anak panah. (Pitoyo, 2010: 139) Nilai kerendahan hati ditunjukkan Arjuna ketika gurunya, Durna, memuji kemampuan memanahnya. Arjuna merasa bahwa kemampuan yang dimilikinya belum seberapa. Dia sadar bahwa masih banyak orang di luar sana yang bisa melakukan itu dan bahkan bisa lebih daripada itu. Dia merasa masih banyak hal yang perlu dipelajari. (33) “Gatotkaca juga berhak atas hadiah itu, Pukulun..,” kata Arjuna kemudian. “Tidak perlu, Ngger. Gatotkaca sudah cukup beruntung dengan apa yang telah dimilikinya sekarang, kesaktian dari bangsa dewa,” jawab Indra dengan sorot mata tetap datar. Sebentar, Arjuna tampak bimbang. Menatap Batara Indra dengan pandangan berpikir. Kemudian, dia memberi hormat kepada Batara Indra sambil berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bagi hamba yang bisa memiliki kesempatan untuk hidup dan belajar tentang sesuatu di kahyangan ini…” (Pitoyo, 2010: 264) Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan di atas. Sebelumnya Arjuna berpendapat bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
Gatotkaca juga berhak mendapat hadiah atas apa yang telah dia lakukan. Namun, setelah Arjuna memperhatikan maksud yang dikatakan oleh Batara Indra, Arjuna akhirnya mau menerima pemberiannya dengan rendah hati.
(34) “Prasasti itu akan saya bawa ke Hastinapura sesuai pesan Dimas Prabu Duryudana,” kata Karna singkat. “Bawalah,” kata Arjuna singkat. Tersirat mimik terkejut di raut wajah Karna. Rupanya, tujuan mereka berdua sama. Tapi, Arjuna begitu mudah merelakan prasasti itu untuk dia bawa. “Apakah kamu sudah membaca apa isi prasasti itu?” tanya Karna. “Belum, saya baru tiba di sini dan mendapati Kakang berdiri di sana.” “Tidakkah kamu ingin lebih dahulu membaca isi prasasti itu?” “Prasasti itu menjadi milik kakang yang sudah di sini lebih dahulu, ..terserah kakang apakah mengijinkan saya untuk ikut belajar apa isi wejangan Prabu Rama.” (Pitoyo, 2010: 307) Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Arjuna dalam kutipan di atas. Arjuna mendapat tugas dari Durna untuk belajar dari ilmu yang tertulis di prasasti Ayodya tersebut. Meskipun demikian, Arjuna melihat jika Karna telah lebih dulu sampai di tempat itu. Sehingga dengan rendah hati Arjuna merelakan prasasti itu dibawa oleh Karna. Bahkan menurut Arjuna, Karnalah yang lebih berhak atas prasasti itu. Arjuna tidak akan mempelajari isi dari prasasti itu tanpa izin dari Karna.
2) Yudhistira (35) “Istana ini menjadi hakmu, Dimas,” kata Kresna menghentikan langkahnya dan menoleh kea rah Samiaji. “Saya yakin dengan berjalannya waktu, kita membuka lahan di sekitar istana, lambat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
laun banyak orang akan berdatangan ke sini. Akan kamu namai apa istana dan negeri ini, Dimas?” Samiaji tampak memandang lurus ke arah Kresna, seperti berpikir. Kemudian, dengan mantap dia menjawab, “Daerah ini tetap akan saya namai seperti nama hutan ini. Bila suatu saat menjadi sebuah negeri, biarlah tetap bernama negeri Amarta. Dan, bila saudara-saudaraku berkenan agar saya memimpin negeri ini, saya ingin menyandang gelar Prabu yudhistira, sebagai hormat saya kepada orang yang telah membangun istana ini.” (Pitoyo, 2010: 211) Nilai kerendahan hati ditunjukkan oleh Yudhistira dalam kutipan di atas. Dengan penuh kerendahan hati, Yudhistira menerima istana yang diberikan kepadanya. Dia juga meminta persetujuan dari orang-orang yang ada di situ tentang nama gelar yang akan dia sandang saat menjadi pemimpin negeri Amarta. Meskipun semua orang yang ada di situ tahu, semua itu adalah hak yang dimiliki oleh Yudhistira.
3) Dewi Kunti (36) “Sembah hamba kepada Anda, Prabu Raja,” demikian Kunti membuka sapa kepada Pandu, setelah berhenti kira-kira tiga tombak di depan Pandu. “Sungguh sebuah kehormatan hamba dan negeri Mandura bila Prabu Raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan.” Kunti, walaupun dalam berkata-kata bernada halus seperti layaknya seorang putri, tapi selalu tegas dalam mengambil kalimat. Bicara tanpa basa-basi dan jauh dari sifat kegenitan seorang perempuan putri raja. (Pitoyo, 2010: 57) Nilai kerendahan hati Kunti ditunjukkan dalam kutipan di atas. Dalam cerita sebelumnya, diceritakan bahwa Raja Mandura, Prabu Basukunti, mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi putrinya, Dewi Kunti. Pandulah yang memenangkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
sayembara itu. Kunti yang tahu bahwa Pandu adalah calon suaminya kemudian menyapa dan menyatakan kesediaannya menjadi istri Pandu. Kunti menyanjung Pandu dan merendah meskipun dia sebenarnya adalah seorang putri raja.
4) Durna (37) Sejenak, Durna tersenyum, sekilas melihat ke arah Bhisma. Seakan bersiap membuka sebuah perkataan, tapi didahului oleh Bhisma yang berkata, “Bapa Resi Durna ini memang tidak begitu dikenal di negeri kita, Hastinapura ini. Beliau baru beberapa warsa tinggal di Sokalima, sebuah bukit selatan Hastina,” kata Bhisma. “Tapi sejatinya, beliau datang dari jauh, dari sebuah negeri di wilayahkeras Atasangin sisi utara, sebuah negeri yang disebut Hargajembangan. Di sana, beliau terkenal dengan kesaktian dan kebijaksanaannya. Beliau juga sudah mengembara ke seluruh dunia wayang. Di Hargajembangan, beliau sangat terkenal, seorang kesatria tanpa tanding di sana dengan julukan Bambang Kumbayana,“ jelas Bhisma. “Sudahlah, Kakang Bhisma, tidak perlu terlalu memujiku,” kata Durna merendah, memotong kalimat Bhisma. Suara Durna ini sangat parau, tidak begitu enak didengar. (Pitoyo, 2010: 112)
Tidak lama setelah Bhisma menyambut kedatangan Durna, Citraksi dan Citraksa datang. Bhisma kemudian memperkenalkan Durna kepada mereka. Bhisma juga menceritakan tentang kisah Durna yang merupakan kesatria tanpa tanding di tempat asalnya. Nilai kerendahan hati Durna ditunjukkan dalam kutipan di atas. Durna yang merasa terlalu dipuji kemudian merendah meskipun sebenarnya pujian yang dikatakan Bhisma itu benar-benar adanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
5) Bambang Ekalaya (38) “Guru, begitu hebat nama Guru, begitu kesaktian Guru terdengar di seantero dunia wayang. Semua orang mengagumimu, semua kesatria ingin berguru kepada Yang Mulia Guru.” Sang pemahat berhenti sejenak menelan ludah. Bibirnya terlihat sangat kering, hampir tiga hari dia sama sekali belum minum barang seteguk. “Hamba tahu bahwa hamba tidak punya cukup kekuasaan untuk dapat berguru kepada Yang Mulia Guru. Hamba juga sadar bahwa bekal dan kekayaan hamba tak akan cukup untuk mengganti apa yang akan guru ajarkan kepada hamba.” Sang pemahat kemudian berhenti. Wajahnya tertunduk sayu, bibirnya terlihat bergetar. “Tapi, izinkan hamba untuk berguru kepada ruh guru, biarkan hamba mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap sosok Anda, Guru.” (Pitoyo, 2010: 126) Setelah keinginannya menjadi seorang murid ditolak oleh Durna, Bambang Ekalaya membuat patung yang sangat mirip dengan Durna. Setiap hari Bambang Ekalaya berlatih memanah di hadapan patung itu dan kadang-kadang mengajak patung itu berbicara. Bambang Ekalaya selalu memuji patung yang dia anggap sebagai Durna itu dan merendah di depannya. nilai kerendahan hati Bambang Ekalaya ditunjukkan dalam kutipan tersebut. Meskipun Bambang Ekalaya sebenarnya adalah seorang raja di negeri Paranggelung, di hadapan patung Durna yang dia anggap sebagai guru, dia merasa bukan siapa-siapa.
7. Realistis dan kritis. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat sesuaikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
100
dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis (Suseno, 1989: 150) Nilai realistis dan kritis dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini ditunjukkan oleh tokoh Bhisma, Yudhistira, Karna, Arjuna, Dewi Kunti, Durna, Kresna, Duryudana, Rama Bargawa, dan Bambang Ekalaya. Berikut ini kutipan beserta paparan analisanya: 1) Bhisma (39) “Sepertinya, mereka tidak seburuk yang diceritakan panjenengan…” Durna berkata kepada Bhisma, setelah Citraksa dan Citraksi berlalu. “Betul,Dimas. Mereka berdualah yang kebetulan bisa mulai belajar sopan santun sejak di sini, tapi Kurawa yang lain, perilaku mereka sangatlah memprihatinkan,” kata Bhisma. “Apakah nanti aku harus membimbing Pandawa dan Kurawa bersama-sama, Kang? Sepertinya saying sekali kalau Pandawa harus berbaur dengan para Kurawa.” “Aku berusaha untuk tidak membeda-bedakan cucu-cucuku, Dimas.” (Pitoyo, 2010: 113) Nilai realistis dan kritis ditunjukkan oleh Bhisma dalam membimbing cucu-cucunya. Bhisma sadar jika apa yang disayangkan oleh Durna itu benar adanya. Dia tahu bahwa Kurawa mempunyai perilaku buruk yang sangat berbeda jauh dengan pandawa. Akan tetapi, Bhisma juga sadar bahwa sebagai seorang kesatria, dia harus bersikap adil, termasuk pada cucucucunya.
2) Yudhistira (40) “Bagi saya, keris adalah sebuah kekhawatiran,” jawab Samiaji dengan nada datar. Sebagian orang tampak seperti terkejut mendengar jawaban Samiaji. Sebagian lagi seperti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
mengernyitkan dahi, mencoba berpikir dan mengurai makna jawaban yang disampaikan Samiaji. (Pitoyo, 2010: 120) Sikap realistis dan kritis ditunjukkan oleh Yudhistira saat ditanya oleh Durna tentang manfaat keris baginya. Yudhistira menjawab berdasarkan realita yang dia lihat selama ini, menganalisanya secara kritis dan memaparkan hasil dari pikirannya kepada Durna. (41) “Bisa jadi apa yang terjadi pada kita saat ini adalah sebuah hadiah,” jawab Yudhistira sambil makan umbi-umbian yang menjadi bekal mereka. “Maksud Kakang?” tanya Drupadi. Sejenak, Yudhistira diam, kemudian mengambil napas dan berkata perlahan setengah berbisik, “Suatu ketika mendiang Rama Pandu pernah bercerita kepada saya, bahwa ada beberapa kemungkinan terhadap apa yang menimpa kita. Yang pertama, apa yang terjadi ini adalah sebuah ujian, tapi ujian ini belum tentu sebuah kesusahan. Sang pencipta bisa memberi kita cobaan dengan kelimpahan harta.” (Pitoyo, 2010: 329) Di saat yang lain berpikir bahwa yang mereka alami adalah suatu cobaan, Yudhistira mempunyai pemikiran yang lain. Nilai realistis dan kritis Yudhistira dapat dilihat dalam kutipan di atas. Dia selalu belajar dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya, ditambah lagi dengan ajaran dari guru dan mendiang ayahnya dulu. Semua hal itu membuat Yudhistira dapat melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda dari yang lainnya.
3) Karna (42) “Maafkan ibumu, Ngger.” Kembali Kunti mengucap maaf sambil kedua tangannya memegang sisi kiri dan kanan wajah Karna.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
Karna menghela napas panjang sambil berkata, “Mungkin tidak mudah bagi saya untuk memaafkan Sibu, tapi itu tak kan pernah mengurangi rasa hormat saya kepada panjenengan sebagai ibu saya.” kembali Karna meraih tangan kanan Kunti dan mencium punggung telapak tangan Kunti untuk ketiga kalinya. “Maafkan saya mohon diri, Sibu. Saya harus menyendiri. Biar nanti disiapkan tempat untuk panjenengan bisa beristirahat di istana Awangga.” (Pitoyo, 2010: 377) Nilai realistis dan kritis ditunjukkan Karna dalam percakapannya dengan Kunti. Karna masih belum bisa menerima jika Kunti adalah Ibunya. Karna merasa marah dan masih tidak terima atas perbuatan Kunti yang telah membuangnya dulu. Meskipun demikian, Karna sadar bahwa Kunti benar-benar ibu kandungnya. Sebagai seorang kesatria, menghormati seorang ibu merupakan suatu kewajiban.
4) Dewi Kunti (43) “Saya tidak menyesali kehamilan ini, Bapa Resi,” kata Kunti kemudian. Aneh. Tampak sebelumnya Kunti begitu lama menangis, tapi kali ini, dengan mata yang terlihat masih sembab, kata-kata yang terdenngar dari mulutnya itu terasa begitu tegar, seperti tidak terjadi apa-apa. Kalimatnya datar, kemudian lanjutnya, “Saya hanya khawatir, Rama Basukunti sudah terlalu sepuh untuk hal-hal seperti ini. Saya khawatir kehamilan saya ini akan menjadi pergunjingan dan bis amengurangi kewibawaan Rama Prabu Basukunti. Saya tidak takut orang akan mencemooh saya. Saya akan merasa sangat iba bila saja Rama Prabu Basukunti akan menjadi rapuh karena goyah wibawanya di hadapan orang senegeri karena masalah ini.” Tidak terdengar sedikitpun nada suara Kunti yang mengisyaratkan bahwa dia baru saja menangis. (Pitoyo, 2010: 13)
Nilai realistis dan kritis Dewi Kunti ditunjukkan saat dia menyikapi masalah kehamilannya di luar nikah. Dewi Kunti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tidak
terlalu
kehamilannya
merisaukan itu.
Dewi
nasib Kunti
dirinya sadar
jika
kelak anak
103
akibat yang
dikandungnya itu kelak akan menjadi seorang kesatria yang gagah perkasa dan sakti. Sebab, ayah dari anak yang dikandungnya adalah salah satu bangsa dewa, Batara Surya. Yang menjadi kekhawatiran Dewi Kunti justru adalah ayahnya sendiri, Prabu Basukunti.
5) Durna (44) “Apa, Ngger?” tanya Durna kemudian mencoba meminta Duryudana agar tidak hanya mengemukakan pendapatnya kepada Karna, sang prajurit pengawal, tapi juga disampaikan kepadanya. “Beliau sependapat seperti hamba, Kanjeng Resi.” Tiba-tiba, justru Karna yang angkat bicara. Semua orang terkejut. Tidak biasanya seorang prajurit kepala berani berbicara di tengah para kerabat raja. “Keris adalah sebuah senjata yang harus dimengerti dan dipahami seorang kesatria,” lanjut Karna. “Hee!!” Tiba-tiba, Durna memotong bicara dengan nada tinggi. “Siapa kamu berani bicara di sini?” lanjut Durna. “Kamu boleh dekat dan dipercaya Ngger Duryudana, tapi kamu lancang kalau berani duduk di situ dan angkat bicara! Dari kemarin aku coba tetap diam melihat kelakuanmu, prajurit yang sok menjadi kestria turuna raja! Sekarang, menyingkirlah dari sana, kembali ke tempatmu seharusnya sebagai seorang prajurit!!” (Pitoyo, 2010: 123) Ketika mengajarkan ilmu olah kanuragan, Durna bertanya tentang apa itu manfaat keris kepada Duryudana. Karna, yang saat itu berada di samping Duryudana, justru yang menjawab pertanyaan dari Durna. Nilai realistis dan kritis ditunjukkan Durna di sini. Sebagai seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar Pandawa dan Kurawa, Durna tidak tinggal diam atas
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
hal yang dilakukan oleh Karna. Sebelumnya Durna membiarkan Karna berada di samping Duryudana sebab itu adalah keinginan dari Duryudana. Namun, tetap saja Karna hanyalah seorang prajurit. Jika seorang prajurit lancing angkat bicara saat putraputra raja sedang belajar, menurut Durna itu hal yang tidak benar.
6) Kresna (45) “Kereta perang Madukara dan Awangga sama-sama hebat karena dibuat oleh orang yang sama.” Terdengar kata Karna sedikit melunak. Madukara adalah wilayah kerajaan yang dipimpin oleh Raden Arjuna. “Siapakah yang akan menjadi sais perang Madukara, Kangmas…?” Sejenak, Kresna ragu untuk menjawab. “Saya yang akan menjadi kereta sais kereta itu, Dimas,” jawab Kresna kemudian. “Kakang Kresna sendiri…?” “Betul…” “Ke manakah sais yang biasa bertugas?” “Bharatayuda adalah perang yang menentukan, Dimas. Saya hanya tidak ingin kakang demang sais kereta itu terbebani selama hidupnya bila saja dia melakukan kesalahan.” (Pitoyo, 2010: 384) Nilai realistis dan kritis Kresna ditunjukkan saat dia menyikapi masalah sais kereta bagi kereta perang Madukara. Menurut Kresna, perang Bharatayuda adalah perang yang sangat menentukan. Melakukan kesalahan yang sedikit saja akan sangat fatal akibatnya. Tentu saja, orang yang melakukan kesalahan dalam perang itu akan merasa sangat bersalah nantinya. Kresna tidak ingin hal itu dialami oleh sais kereta yang sebenarnya,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
sehingga Kresnalah nanti yang akan menjadi sais kereta perang Arjuna. 7) Duryudana (46) “Adi Karna, sampean yang maju ke depan, ikut adu memanah!!” demikian kata Duryudana tiba-tiba. Semua Kurawa yang hadir terkejut. Termasuk Sengkuni, juga Karna sendiri!! Duryudana terkadang memang sangat memperhatikan Karna. Satu hal yang membuat Duryudana penasaran adalah bagaimana anak seorang kusir bisa begitu sakti. Dulu, Duryudana sering mendapati Karna sering mengintip Permadi berlatih memanah. Karna, tentu saja tidak bisa ikut berlatih olah kanuragan bersama Guru Durna, karena dia hanyalah anak seorang kusir punggawa istana. Tapi, Karna memang luar biasa! Hanya dengan mengintip dan mencuri-curi kesempatan memperhatikan Arjuna berlatih, dia mampu menirukan apa yang dilakukan Arjuna. Dan, sejak Karna menghilang selama lebih dari dua warsa, walaupun belum pernah diperlihatkan sampai seberapa tinggi kesaktiannya kini, tapi Duryudana seperti bisa merasakan bahwa Karna sekarang sudah semakin jauh lebih sakti disbanding ketika terakhir kali mencuri ilmu dari Durna dan diusir dari Hastinapura. (Pitoyo, 2010: 173) Nilai realistis dan kritis Duryudana ditunjukkan dalam kutipan di atas. Duryudana dapat melihat potensi yang dimiliki Karna dalam hal memanah. Hal yang sangat mengherankan sebab Karna hanyalah seorang anak kusir istana. Hal itulah yang membuat Duryudana yakin jika Karna bukanlah orang sembarangan. Berawal dari itulah, Karna menjadi orang kepercayaan Duryudana. Seperti dalam kutipan di atas, Duryudana menunjuk Karna sebagai wakil dari Kurawa saat adu memanah dalam sayembara Drupadi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
8) Rama Bargawa (47) “Siapa kamu, Orang tua?” Tanya Karna setengah menghardik. “Sabar, sabar, Raden…” “Aku bukan kesatria! Aku hanya pemuda desa. Jangan panggil aku Raden!!” belum juga orang berbusana resi itu melanjutkan kata-katanya, Karna sudah memotong bicaranya dengan nada tinggi. “Siapa bilang kamu bukanlah seorang kesatria?” Tanya resi itu. “Kalau kamu pemuda desa biasa, bagaimana bapakmu mampu membelikan anting-anting mahal itu?” lanjutnya. (Pitoyo, 2010: 147) Nilai realistis dan kritis Rama Bargawa ditunjukkan dalam kutipan di atas. Saat Karna menganggap bahwa dia bukanlah seorang kesatria, Rama Bargawa justru mengatakan hal yang sebaliknya. Dari pengalaman dan kesaktian yang dia miliki, Rama Bargawa tahu bahwa Karna adalah seorang kesatria. Hal itu bisa terlihat dari anting-anting dan baju yang Karna pakai. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Karna selama ini. Dari pernyataan Rama Bargawa inilah, Karna sedikit-sedikit akan mulai tahu tentang jati dirinya.
9) Bambang Ekalaya (48) Ekalaya menarik napas panjang, “Belum, Yayi, belum. Tahukah kamu seperti apa makhluk penghuni Atasangin di utara sana? Bohong kalau mereka tidak berani menginjakkan kaki ke Paranggelung karena takut denganku. Mereka tidak mampu memanjat tebing ke sini juga hanya sekedar dongeng pelipur lara, karena pada kenyataannya, banyak dari mereka yang mampu terbang menapak langit.” Sejenak berhenti, perlahan melepaskan tangan Anggraeni yang melingkar di lengannya, dan dengan wajah serius menatap istrinya itu. “Mereka belum tertarik ke sini karena kebanyakan dari makhluk itu lebih suka ke timur, mendengar bumi wayang sisi timur yang makmur dan maju. Di sana, alam juga lebih bersahabat dan nyaman untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
ditinggali. Tapi saya yakin, suatu saat nanti, ada juga dari mereka yang memilih untuk menjajah ke barat atau ke selatan. Dan, bila itu terjadi, negeri kita pasti musnah, Yayi. Tak ada seorang pun kesatria di sini yang mampu melawan mereka.” (Pitoyo, 2010: 130) Saat itu, negeri Paranggelung berada dalam ancaman dari serangan bangsa raksasa. Sebagai raja di negeri Paranggelung, Bambang Ekalaya merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan negerinya. Oleh karena itu, Ekalaya hendak berguru kepada Durna agar dapat melindungi negerinya kelak bila
bangsa
raksasa
menyerang.
Meski
istrinya,
Dewi
Anggraeni, menganggap bahwa kesaktian Ekalaya sudah cukup, Bambang Ekalaya berpikiran yang sebaliknya. Nilai realistis dan kritis Bambang Ekalaya ditunjukkan dalam kutipan di atas. Bambang Ekalaya sadar bahwa alasan bangsa raksasa belum menyerang negerinya bukan karena takut pada kesaktiannya. Ada hal-hal lain yang membuat mereka belum menyerang negerinya. Bambang Ekalaya juga yakin jika suatu saat mereka akan menyerang negeri Paranggelung. Oleh karena itu, sebelum mereka datang menyerang, Bambang Ekalaya harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan olah kanuragannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V RELEVANSI HASIL ANALISIS NOVEL PERTEMPURAN 2 PEMANAH: ARJUNA-KARNA KARYA PITOYO AMRIH DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS XI
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kelonggaran pada guru untuk memilih sendiri novel yang akan digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra. Namun kebebasan itu harus tetap mengacu pada kurikulum dan tingkat kemampuan siswa. Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini dapat digunakan sebagai alternatif materi pembelajaran sastra di SMA. Hal ini dikarenakan, siswa-siswa SMA sudah mulai tertarik untuk membaca novel. Selain itu, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini juga memenuhi tiga aspek penting dalam memilih bahan ajar sastra. Tiga aspek tersebut, yaitu (1) dari sudut pandang bahasa, (2) segi kematangan jiwa (psikologi), dan sudut latar belakang kebudayaan para siswa (Moody via Rahmanto, 1988: 27). Dalam Bab lima ini, peneliti akan memaparkan kesesuaian novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA kelas XI ditinjau dari tiga aspek tersebut. Peneliti juga akan memaparkan relevansi novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
109
A. Pemilihan Bahan Pembelajaran 1. Aspek Bahasa Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sangat cocok digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA karena bahasa yang digunakan sederhana dan dapat dipahami siswa. Berikut ini beberapa contoh kutipannya: (1) “Apakah karena saya sudah duduk menjadi adipati di sini sehingga Bapa Prabu Salya mau menerima saya sebagai menantu?” kata Karna dengan nada ketus kepada Turanggapati. (Pitoyo, 2010: 240) (2) Saya ingin menjajal kesaktian semua prajurit itu, kalau perlu para senapatinya, mungkin para kesatrianya. Tidak hanya kesatria negeri hastinapura ini, kalau perlu kesatria negeri wayang. Saya ingin tahu seberapa kesaktian mereka!” lanjut Karna masih dengan nada tinggi. (Pitoyo, 2010: 93) (3) Menjelang siang, kedua kereta perang itu pun bertemu! Ketika jarak semakin dekat, di tengah kerumunan dua kubu prajurit berhadapan, tibatiba Kresna mengarahkan kuda kereta perang Madukara itu, memacu kencang menuju ke timur. (Pitoyo, 2010: 418)
Pitoyo Amrih juga menggunakan kosa kata dunia wayang yang berlatar belakang bahasa Jawa. Kosa kata tersebut, yaitu panjenengan, penggede, ngger, dan ndak. Berikut ini kutipannya: (1) “Sungguh suatu kehormatan hamba dan negeri Mandura bila Prabu raja berkenan menerima kerelaan saya menjadi permaisuri panjenengan.” (Pitoyo, 2010: 57) (2) “Sulit bagi saya untuk menerima Raden lebih lama lagi untuk tinggal di sini bila panjenengan menepis harapan putri saya satu-satunya,” lanjut Manikara. (Pitoyo, 2010: 221) (3) “Salah! Saya tak pernah merasa memusuhi panjenengan dan sedulur Kurawa!” “Setelah tiga belas warsa terusir?” tanya Karna. “Kami tetap tidak membenci. Kami hanya merasa panjenengan semua adalah saudara-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(4)
(5) (6)
(7)
(8)
(9)
110
saudara semua yang belum mengerti arti menjadi seorang kesatria utama.” (Pitoyo, 2010: 358) “Lha, anaknya penggede kok ya ditelantarkan,” potong si perempuan itu, yang tak lain adalah istri Radeya, yang banyak dipanggil oleh tetanggatetangganya dengan sebutan Nyi Radha. (Pitoyo, 2010: 34) “Biarkan baju perak dan anting-anting itu selalu dipakai Ngger Karna.” (Pitoyo, 2010: 34) “Kapan kamu pulang, Ngger?” Terdengar Adirata mencoba berteriak kepada Karna yang saat itu sudah menghela kudanya melangkah ke utara. (Pitoyo, 2010: 94) “Ayo! Mulailah hai Pemuda! Sudah puluhan kesatria kukalahkan hari ini, tambah satu lagi tidaklah mengapa, paling juga ndak lama!” (Pitoyo, 2010: 40) “Ya! Sebab, aku ndak pernah bawa apa-apa ke mana-mana, hehehe. Yang selalu ku bawa adalah hati dan pikiranku, hehehe…,” jawab Petruk. (Pitoyo, 2010: 50) “Ndak mungkin aku punya anak jelek seperti kamu. Orang bodoh saja langsung tahu. Ndak mungkin kamu anakku!!” teriak Basudewa. (Pitoyo, 2010: 79)
Kata Panjenengan digunakan untuk memanggil orang yang lebih tua dan dihormati. Kata penggede digunakan oleh rakyat kecil untuk sebutan bagi para kerabat kerajaan ataupun petinggi-petinggi istana. Panggilan ngger mengesankan bahwa si anak memiliki derajat lebih tinggi atau memiliki kedudukan yang istimewa bagi yang memanggil. Kata ndak dalam bahasa Jawa mempunyai arti “tidak”. Meskipun dalam novel ini terdapat istilah-istilah dalam bahasa Jawa, istilah-istilah tersebut pada umumnya sering didengar oleh siswa-siswa yang berlatar belakang budaya Jawa. Istilah-istilah tersebut juga tidak akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
111
menyulitkan siswa yang berlatar budaya bukan Jawa karena kata-kata Jawa yang digunakan secara umum hanya terdapat dalam kata-kata sapaan. 2. Aspek Psikologis Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini sesuai dengan tahap perkembangan psikologis siswa SMA. Pada usia siswa SMA (usia 16 tahun) ini, mereka sudah mulai tertarik dengan karya sastra, khususnya novel. Pada tahap usia ini, mereka juga akan mulai mencari jati diri. Salah satu cara untuk itu adalah dengan mencari tokoh yang dapat mereka jadikan teladan. Tokoh-tokoh ini dapat mereka temukan dalam novel yang mereka baca. Dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini, terdapat nilai-nilai moral yang tercermin dalam tokoh-tokohnya. Nilai-nilai moral tersebut,
yaitu
kejujuran,
nilai-nilai
otentik,
kesediaan
untuk
bertanggungjawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis dan kritis. 3. Aspek Latar Belakang Budaya Siswa akan lebih mudah tertarik terhadap karya sastra yang mempunyai hubungan erat dengan latar belakang hidupnya, terutama bila menghadirkan tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungannya dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau orang-orang di sekitar mereka. Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini berlatar dunia wayang yang pada dasarnya adalah budaya jawa. Novel ini sesuai bagi siswa yang berlatar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
112
belakang budaya Jawa. Ketika siswa melihat bahwa novel ini berlatar budaya yang sama dengan mereka, siswa akan merasa tertarik untuk membaca bahkan semakin memahami budaya yang ada dalam lingkungannya. Sastra juga merupakan salah satu bidang yang menawarkan kemungkinan-kemungkinan cara terbaik bagi orang yang ada di satu bagian dunia untuk mengenal bagian dunia lain. Dengan demikian, siswa yang bukan berlatar belakang budaya Jawa akan dapat mengenal budaya yang ada di luar kebudayaan mereka. Hal ini juga dapat menambah pengetahuan dan wawasan mereka. Budaya Jawa yang ada dalam novel ini, selain tercermin dari kosa kata bahasa yang telah dibahas sebelumnya, juga dapat dilihat dari nilai-nilai luhur budaya Jawa. Nilai-nilai luhur yang secara umum tercermin dalam diri tokoh Arjuna ini, yaitu suka menolong, jujur, dan rendah hati. Berikut ini kutipannya: 1) Suka menolong “Saya harus nambah jumantara, Kang. Dengan berkuda, mungkin akan terlambat. Mereka sudah terbantai ketika sampai di sana,” teriak Arjuna di antara suara deru kaki kuda menuruni lereng. Dia berkata kepada Petruk dan Gareng yang mengikutinya dari belakang. “Hati-hati, raden, jangan sampai kita menjadi pembicaraan orang di sini…” kata Petruk mengingatkan. (Pitoyo, 2010: 237)
2) Jujur “Apa yang kamu telah lakukan telah menyelamatkan kewibawaan bangsa dewa, Ngger..,” kata Indra. Tiba-tiba Arjuna seperti tersadar. Dia menoleh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
113
ke belakang seperti mencari-cari seseorang di antara kerumunan orang di sana. Terutama pada kerumunan orang-orang yang mendekati mayat Niwatakawaca di tengah taman itu. “Maafkan saya, Eyang Pukulun,” kata Arjuna, “Sebenarnya yang banyak berperan dalam melumpuhkan prajurit Imaimantaka adalah Gatotkaca, putra Kangmas Bima.” (Pitoyo, 2010: 263)
3) Rendah hati “Gatotkaca juga berhak atas hadiah itu, Pukulun..,” kata Arjuna kemudian. “Tidak perlu, Ngger. Gatotkaca sudah cukup beruntung dengan apa yang telah dimilikinya sekarang, kesaktian dari bangsa dewa,” jawab Indra dengan sorot mata tetap datar. Sebentar, Arjuna tampak bimbang. Menatap Batara Indra dengan pandangan berpikir. Kemudian, dia memberi hormat kepada Batara Indra sambil berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bagi hamba yang bisa memiliki kesempatan untuk hidup dan belajar tentang sesuatu di kahyangan ini…” (Pitoyo, 2010: 264)
B. Relevansi
Novel
Pertempuran
2
Pemanah:
Arjuna-Karna
dalam
Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI Seorang guru, khususnya guru sastra/ bahasa Indonesia, hendaknya harus kreatif dalam menyusun strategi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar siswa dapat tertarik untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar. Guru bahasa Indonesia harus memahami adanya empat keterampilan berbahasa dan harus bisa memasukkan empat keterampilan itu dalam kegiatan pembelajaran. Keempat keterampilan tersebut, yaitu keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Keterampilan membaca dapat diajarkan dengan cara memberi tugas individu kepada siswa untuk membaca novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
Karna Keterampilan menulis dapat diajarkan dengan cara memberikan tugas kepada siswa untuk mengidentifikasi penokohan dari tokoh-tokoh yang ada dalam novel. Keterampilan berbicara dapat diajarkan dengan cara memberi kesempatan siswa untuk menyampaikan pendapatnya tentang nilai-nilai moral yang ada dalam diri tokoh. Keterampilan menyimak dapat diajarkan dengan cara membiasakan siswa untuk selalu memperhatikan temannya yang sedang menyampaikan pendapat. Untuk
mempermudah
dan
menjaga
agar
kegiatan
pembelajaran
berlangsung secara sistematis, seorang guru sebaiknya menyusun rencana program pembelajaran (RPP). Hasil penelitian ini akan peneliti gunakan sebagai materi pembelajaran siswa SMA kelas XI semester 1. Peneliti menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai acuan penyusunan RPP. Berikut ini contoh penyusunan RPP.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Sekolah
: ………………….
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: XI/ 1
Alokasi Waktu
: 4x45 menit (2 Pertemuan)
STANDAR KOMPETENSI Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan KOMPETENSI DASAR 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan INDIKATOR 1. Mengidentifikasi tokoh, penokohan, alur, dan latar dari suatu novel. 2. Mengidentifikasi nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel. 3. Menganalisa nilai-nilai moral dari tokoh-tokoh dalam novel. TUJUAN PEMBELAJARAN Pertemuan pertama Siswa dapat menganalisa tokoh, penokohan, alur, dan latar dari novel yang sudah dibaca setelah mendapat materi dari guru.
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
116
Pertemuan kedua Siswa dapat menganalisa nilai-nilai moral dari tokoh-tokoh dalam novel setelah mendapat petunjuk dari guru. MATERI PEMBELAJARAN 1. Pengertian tokoh dan penokohan. 2. Alur. 3. Latar. 4. Bentuk nilai-nilai moral yang kuat. SUMBER BELAJAR DAN MEDIA PEMBELAJARAN a. Buku paket mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP kelas XI. b. Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. c. Buku Memahami Cerita Rekaan karya Sudjiman Panuti. d. Buku Etika dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral karya Suseno dan Franz Magnis. e. Lembar kerja, kertas HVS METODE PEMBELAJARAN a. Ceramah b. Diskusi KEGIATAN PEMBELAJARAN Kegiatan 1.
Kegiatan Awal ( 10 menit ) a. Apersepsi 1) Guru mengaitkan antara hal yang sudah dipelajari dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
materi yang akan dipelajari. 2) Guru dan siswa bertanya jawab tentang unsur-unsur intrinsik novel. 3) Guru dan siswa bertanya jawab tentang nilai-nilai moral yang terkandung dlam novel. b. Orientasi Guru menjelaskan mengenai tujuan dari pembelajaran materi yang akan dipelajari dan langkah-langkah pembelajaran yang akan ditempuh. c. Motivasi 1) Guru berupaya membangun motivasi belajar siswa.
2.
Kegiatan Inti ( 70 menit )
Pertemuan pertama Eksplorasi 1. Guru menggali hal yang telah diketahui siswa mengenai unsurunsur intrinsik novel. 2. Guru menggali hal yang telah siswa ketahui mengenai unsurunsur intrinsik dalam sebuah novel, sebagai salah satu hal yang berperan dalam membangun cerita dalam novel. Elaborasi 1. Guru memberikan materi mengenai unsur-unsur intrinsik novel, yaitu: tokoh, penokohan, alur, dan latar. 2. Guru menekankan pada siswa mengenai tokoh, penokohan, alur, dan latar sebagai unsur-unsur pembangun cerita dalam novel. 3. Siswa dan guru berdiskusi tentang bagaimana cara menentukan
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagian-bagian alur dari sebuah novel. 4. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 orang. 5. Setiap kelompok mencari sebuah novel yang telah ditentukan oleh guru, yaitu novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih di perpustakaan sekolah. 6. Setiap kelompok mengidentifikasi tokoh dan penokohan yang ada dalam novel tersebut. 7. Setiap kelompok menganalisa alur dan latar yang ada dalam novel itu. Konfirmasi 1. Guru dan siswa membuat kesimpulan mengenai analisa unsurunsur intrinsik dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: ArjunaKarna karya Pitoyo Amrih.
Pertemuan kedua Eksplorasi 1. Guru mengulas kembali materi yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya, unsur-unsur intrinsik novel. 2. Guru menggali pengetahuan siswa mengenai nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel. Elaborasi 1. Guru memberikan materi tentang bentuk nilai-nilai moral yang kuat. 2. Guru menjelaskan tentang mengaitkan bentuk nilai-nilai moral yang kuat itu pada tokoh-tokoh yang ada dalam novel. 3. Siswa masuk dalam kelompok yang telah dibagi pada pertemuan sebelumnya.
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4. Setiap kelompok menganalisa nilai-nilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih.. 5. Setiap kelompok menyusun hasil analisa nilai-nilai moral yang terkandung dalam tiap tokoh novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Konfirmasi 2. Guru dan siswa membuat kesimpulan mengenai analisa nilainilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: ArjunaKarna karya Pitoyo Amrih. 3.
Penutup (10 menit) a. Merangkum Siswa membuat rumusan simpulan terhadap butir-butir pelajaran yang telah mereka ikuti. b. Menilai Guru memberikan sedikit penilaian terhadap hal yang telah siswa lakukan. c. Refleksi Siswa dan guru berdiskusi mengenai hal apa saja yang telah siswa dapatkan setelah mendapatkan materi pembelajaran.
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
120
PENILAIAN 1. Penilaian Kognitif
Lembar Kerja 1
Kerjakanlah soal-soal berikut!
1) Jelaskan pengertian tokoh dan penokohan menurut pemahamanmu! (skor maks 15) …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………………………………… 2) Sebut dan jelaskan bagian-bagian alur cerita sebuah novel! (skor maks 15) …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………………………………… 3) Sebutkan dan jelaskan macam-macam latar dalam novel! (skor maks 20) …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… ……………………………………… 4) Sebutkan macam-macam bentuk nilai-nilai moral yang kuat? Jelaskan! (skor maks 20) …………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
121
…………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… 5) Carilah lima tokoh yang kamu suka dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna Karya Pitoyo Amrih dan analisislah nilai-nilai moral yang ada dalam tokoh-toh tersebut! (skor 30) …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… Penilaian : jumlah skor = nilai 100
2. Penilaian Afektif
Lembar Penilaian 2
PETUNJUK:
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut: A = Sangat baik
B = Memuaskan
C = Menunjukkan kemajuan
D = Memerlukan perbaikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
122
FORMAT PENGAMATAN PERILAKU BERKARAKTER
No.
Rincian
Memerlukan
Menunjukkan
Tugas
perbaikan
Kemajuan
Memuaskan
Sangat Baik
(B)
(A)
Kinerja (RTK) 1
Kerja sama
2
Toleransi
3
Bertanggung
(D)
(C)
jawab 4
Disiplin
3. Penilaian Psikomotor
Tes unjuk kerja! 1) Bentuklah kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4orang! 2) Carilah novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih di perpustakaan. 3) Identifikasilah tokoh dan penokohan yang ada dalam novel tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
123
4) Analisalah alur dan latar dalam novel tersebut. 5) Buatlah analisa tentang nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna.
Guru
……………………
Kepala Sekolah
………………………….
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
124
Lampiran Materi Pembelajaran
1.
Tokoh dan penokohan. a.
Tokoh Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan menjadi beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranannya atau tingkat pentingnya tokoh, Nurgiyantoro (2010: 176-177) mengklasifikasi tokoh sebagai berikut:
Tokoh utama Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh tambahan Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
b.
Penokohan Karena tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, hanya pengaranglah yang mengenal mereka. Maka tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca (Sudjiman, 1988: 23). Menurut Sudjiman (1988: 23), yang dimaksud dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanyayang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan. 2.
Alur. Menurut Sudjiman (1988: 30), struktur umum alur cerita terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) alur awal, (2) alur tengah, dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan gawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas tikaian (conflict), rumitan (complication), dan klimaks. Akhir alur cerita terdiri atas leraian (falling action) dan selesaian (denouement).
Paparan Paparan biasanya merupakan fungsi utama awal suatu cerita (Sudjiman, 1988: 32). Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisahan selanjutnya.
Rangsangan Rangsangan yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan (Sudjiman, 1988: 32). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Menurut Sudjiman (1988: 33), rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
126
Tegangan Tegangan ialah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi (Sudjiman, 1988: 33). Sudjiman (1988: 34) mengemukakan bahwa dalam menumbuhkan tegangan ini, pengarang sering menciptakan beberapa regangan, yaitu proses penambahan ketegangan emosional, dan beberapa susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan emosional.
Tikaian Menurut Sudjiman (1988: 35), tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu.
Rumitan Rumitan adalah perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju ke klimaks cerita (Sudjiman, 1988: 35). Dalam cerita rekaan rumitan sangat penting. Menurut Sudjiman (1988: 35), tanpa rumitan yang memadai tikaian akan lamban. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks.
Klimaks Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya (Sudjiman, 1988: 35). Dari titik tinggi ini penyelesaian cerita biasanya sudah dapat dibayangkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
127
Leraian Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian (Sudjiman, 1988: 35).
Selesaian Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita (Sudjiman, 1988: 36). Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan, boleh juga mengandung penyelesaian yang menyedihkan. Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan.
3.
Latar Sudjiman (1988: 44) mengemukakan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.
Latar Sosial Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompokkelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lainlain yang melatari peristiwa (Sudjiman, 1988: 44).
Latar Fisik Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1988: 44).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4.
128
Bentuk nilai-nilai moral yang kuat. Menurut Suseno (1989: 142-150), sikap dan tindakan yang menunjukkan nilai moral yang kuat yaitu:
Kejujuran Kejujuran berhubungan dengan ketulusan hati dan kelurusan hati. Suseno (1989: 142-143) mengemukakan bahwa bersikap terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracun
Nilai-nilai otentik Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya (Suseno, 1989:143).
Kesediaan untuk bertanggungjawab Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri.
Kemandirian moral Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno, 1989: 147).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
129
Keberanian moral Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan (Suseno, 1989: 147).
Kerendahan hati Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.
Realistis dan kritis. Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis (Suseno, 1989: 150). Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang lebih bahagia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SILABUS 1 Nama Sekolah
:
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/ Semester
: XI/1
Standar Kompetens
: Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
Alokasi Waktu
: 4 X 45’
Kompetensi Dasar 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
Indikator Pencapaian Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik (tokoh, penokohan, alur, dan latar) novel Indonesia Mengidentifika si nilai-nilai moral dalam novel Indonesia. Menganalisa
Materi Pokok Novel Indonesia Unsurunsur intrinsik (tokoh, penokoha n, alur, dan latar) dalam novel Pertempu ran 2 Pemanah
Kegiatan Penilaian Pembelajaran Teknik Membaca novel Tugas Indonesia kelompok Menganalisi Tugas s unsurkelompok unsur ulangan ekstrinsik dan Bentuk intrinsik uraian bebas (tokoh, pilihan penokohan, ganda alur, latar, jawaban dan nilaisingkat nilai moral)
Alokasi Waktu 4
Sumber Belajar Novel Pertempuran 2 Pemanah: ARJUNAKARNA karya Pitoyo Amrih
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
nilai-nilai moral dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: ARJUNAKARNA Menceritakan kembali isi novel Pertempuran 2 Pemanah: ARJUNAKARNA karya Pitoyo Amrih menggunakan bahasa sendiri.
: ARJUNAKARNA Unsur ekstrinsik dalam novel (nilai-nilai moral) dalam novel Pertempur an 2 Pemanah: ARJUNAKARNA
novel Indonesia dan terjemahan
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB VI PENUTUP
Bab enam merupakan bab penutup penelitian ini. Bab ini mencakup kesimpulan, implikasi, dan saran terhadap penelitian yang telah dilakukan dan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lain yang berkaitan dengan topik penelitian. A.
Kesimpulan Setiap karya sastra memiliki unsur pembangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yang dianalisis dalam penelitian novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih meliputi tokoh, penokohan, alur, dan latar. Berikut ini adalah hasil analisis tokoh, penokohan, alur, latar, nilai-nilai moral, dan implementasinya dalam kegiatan pembelajaran dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Peneliti mengidentifikasi ada empat puluh tujuh nama tokoh dalam novel ini, yaitu Prabu Pandu, Dewi Kunti, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Gatotkaca, Kresna, Karna, Duryudana, Dursasana, Bhisma, Durna, Arya Widura, Basudewa, Salya, Sengkuni, Sumbadra, Drupadi, Srikandi, Kusir Adirata, Radha Nyi Adirata, Resi Druwasa, Kiai Antagopa, Rama Bargawa, Begawan Manikara, Antaboga, Bambang Ekalaya, Dewi Nagagini, Endang Manuhara, Surtikanti, Prabu Matswapati, Resi Seta, Arya Utara, Wiratsangka, Hanoman, Batara Indra, Batara Brama, Batara Narada,
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
133
Batara Guru, Batari Durga, Petruk, Bagong, Semar, Gareng, dan Niwatakawaca. Peneliti menganalisis tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel ini. Tokoh utama dalam novel ini adalah Arjuna dan Karna; sedangkan tokoh tambahannya adalah Dewi Kunti, Yudhistira, Resi Durna, Kresna, Duryudana, Sengkuni, Rama Bargawa, dan Kusir Adirata. Peneliti menganalisis penokohan pada tokoh utama, yaitu Arjuna dan Karna. Tokoh Arjuna mempunyai sifat tidak bisa menolak perempuan yang ingin menjadi istrinya, suka menolong orang lain yang sedang kesusahan, jujur, dan rendah hati. Karna mempunyai sifat ambisius, tidak suka berbasabasi, dan angkuh. Cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih beralur maju. Hal ini terlihat dalam susunan alurnya, yaitu adanya paparan, rangsangan, tegangan, tikaian, rumitan, klimaks, leraian, selesaian. Paparan terjadi ketika Adipati Karna disuruh menemani Duryudana dalam latihan olah kanuragan dan olah keutamaan yang diberikan oleh Resi Durna. Rangsangan terjadi ketika Arjuna berlatih memanah bersama gurunya, Resi Durna, dan semakin meningkat kemampuannya dalam memanah. Tegangan terjadi ketika Karna diutus oleh Duryudana untuk menumpas Prabu Karnamandra, raja raksasa dari negeri Awangga. Tikaian terjadi saat Arjuna dan Karna kembali bertemu setelah sekian lama tidak berjumpa. Rumitan terjadi saat akhirnya Arjuna dan Karna berhadapan langsung dalam perang Bharatayuda. Klimaks terjadi saat Arjuna akhirnya berhasil membunuh Karna. Leraian terjadi saat jasad Karna
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
134
telah selesai dibersihkan oleh Salya dan dibawa ke tenda Awangga. Selesaian terjadi di malam hari setelah pertempuran antara Arjuna dan Karna. Dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini, peneliti menganalisa tiga macam latar, yaitu latar fisik, latar sosial, dan latar waktu. Latar fisik dalam novel ini, yaitu Pertapaan Girireja, Balai Sagalaga, Cempalareja, Hutan Wanamarta, Kerajaan Amarta, Jonggring Saloka, Ayodya, Kerajaan Wirata, dan Hutan Bajubarat. Latar sosial dalam novel ini, yaitu kebiasaan melarung bayi di sungai, pemakaian sebutan panjenengan, kebiasaan menyabung ayam, pemakaian sebutan penggede, pemakaian sebutan ngger, dan pemakaian kata ndak. Latar waktu yang peneliti analisa dalam penelitian ini adalah waktu saat terjadinya perang Bharatayuda. Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna mengandung nilai-nilai moral yang sarat dengan pesan-pesan pendidikan. Nilai-nilai moral tersebut, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggungjawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistis dan kritis. Dari aspek bahasa dapat diketahui bahwa bahasa yang digunakan dalam novel ini mudah dipahami siswa. Dalam novel ini ada beberapa kosakata bahasa Jawa. Kosakata tersebut sebenarnya tidak asing bagi siswa sehingga siswa tidak akan terlalu kesulitan dalam memahami kosakata Jawa tersebut. Dari aspek psikologis, novel ini memiliki kesesuaian dengan tahap
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
135
perkembangan siswa SMA. Tahap perkembangan siswa SMA pada umumnya sudah memasuki tahap generalisasi sehingga mereka dapat memahami masalah-masalah kehidupan dengan berusaha menganalisis fenomena yang ada dalam kehidupan nyata. Dari aspek latar belakang budaya, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna menghadirkan latar sosial budaya yang dikenal siswa, yaitu budaya Jawa. B.
Implikasi Hasil penelitian ini diharapkan dapat berimplikasi meningkatkan pemahaman pembaca dalam membaca karya sastra, khususnya novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih. Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat berimplikasi terhadap pembelajaran di SMA, khususnya siswa dapat terbantu dalam menemukan nilai-nilai moral sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran cerita dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sebenarnya merupakan cermin dari kenyataan hidup sehari-hari. Melalui permasalahan yang disajikan dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: ArjunaKarna kiranya dapat dijadikan sebagai bahan refleksi dalam diri setiap orang untuk selalu mempertimbangkan segala sesuatu yang diperbuatnya yang berdasarkan nilai-nilai kemoralan dalam masyarakat. Selain itu, dalam dunia pendidikan nilai-nilai moral dapat diteladani dari tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk mendidik siswa agar dalam hidupnya selalu memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai moral tersebut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
136
Berdasarkan hasil penelitian ini, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna karya Pitoyo Amrih dapat dijadikan bahan pembelajaran di SMA. Nilai-nilai moral yang ditemukan dalam penelitian ini, semoga dapat memperkuat teori yang telah digunakan oleh peneliti. C.
Saran Berdasarkan penelitian di atas, peneliti berharap novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan pembelajaran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia.
Sebagai bahan
pembelajaran, novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna sarat akan nilai-nilai moral. Masih banyak permasalahan-permasalahan menarik dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini. Peneliti berharap agar peneliti selanjutnya dapat mengangkat permasalahan yang berbeda dari sudut pandang yang lain sebagai obyek penelitian.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
137
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Amrih, Pitoyo. 2010. Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. Yogyakarta: DIVA Press. Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service). Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service). Hadiwardoyo, Purwa. 1994. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sapardi, Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Bahasa. Pengantar Panel Wahana Kebahasaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
138
Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Susiani, Sri Windarti. 2006. “Analisis Struktural dan Nilai-Nilai Moral Novel Ramayana Karya Sunardi D.M dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanat Dharma. Purwitasari, Angela Rahma. 2005. “Tokoh, Tema, Nilai Moral Cerita Rakyat si Pahit Lidah serta Strategi Pembelajarannya di Sekolah Dasar”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
139
BIOGRAFI PENULIS
Guntur Firmansyah lahir di Kulon Progo pada tanggal 28 Juni 1990. Memulai pendidikan formal di SD N Kalimenur dan diselesaikannya pada tahun 2002. Setelah lulus, ia melanjutkan di SLTP N 1 Wates dan pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Pengasih. Pada tahun 2008, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
140
Lampiran
Sinopsis Novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna
Pengarang
: Pitoyo Amrih
Penerbit
: DIVA Press
Tahun
: 2010
Kota Terbit
: Yogyakarta
Jumlah halaman
: 426 halaman
Novel ini mengambil kisah dari cerita wayang yang diadaptasi dari kisah legendaris Mahabharata. Kisah dunia wayang dapat membuat kita selalu bercermin dan mawas diri. Seperti juga kehidupan manusia, dalam kisah kehidupan wayang selalu saja ada pertemuan antara kebaikan dan keburukan, kebijakan dan ketamakan. Kisah tentang keteladanan, kemarahan, kesendirian, kecongkakan, kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijaksanaan, kebimbangan, dendam, dan kekecewaan tersaji dan terangkum dalam sebuah novel. Novel ini berkisah tentang dua pemanah hebat dalam pewayangan, Arjuna dan Karna. Dua orang yang sebenarnya adalah saudara kandung seibu. Arjuna adalah anak dari Dewi Kunti dan Pandu, memiliki ketampanan luar biasa, kesatria sejati, dan tidak bisa menolak wanita! Arjuna suka melanglang buana
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
141
kemanapun, mencari ilmu dan kesaktian. Namun, di manapun dia berada, Arjuna selalu mempunyai istri baru. Karna adalah anak dari Dewi Kunti dan Dewa Surya. Sejak kecil sudah dibuang karena peranakan manusia dan dewa adalah aib bagi bangsa dewa. Karena keturunan dewa, Karna dianugerahi kemampuan luar biasa sejak lahir maka dari itu, nasib yang menggiringnya dibesarkan oleh seorang kusir menjadikan ia seseorang yang mendendam. Mengapa aku dan hidupku seperti ini? mungkin pertanyaan ini yang selalu menggelantung di hati Karna. Dan Karna adalah seorang yang begitu setia pada satu wanita, istrinya Cuma satu sampai mati, Dewi Surtikanti. Novel ini mengangkat kisah pertempuran 2 pemanah, Arjuna dan Karna, yang kaya dengan drama, air mata, hingga kebajikan dan perjuangan atas pilihan hidup.