PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI TESIS KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS: KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000
Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh Abdullah Totona 116322017
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI TESIS KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS: KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL PADA KONFLIK di MALUKU UTARA 1999-2000
Oleh Abdullah Totona 116322017
Telah disetujui oleh:
Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. Pembimbing Utama
------------------------------Tanggal : 18 Juli 2014
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI TESIS KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGUITAS: KAJIAN MENGENAI PERAN DAN POSISI KAUM INTELEKTUAL PADA KONFLIK di MALUKU UTARA 1999-2000
Oleh Abdullah Totona 116322017 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis pada tanggal, 25 Juli 2014 dan dinyatakan memenuhi syarat Tim Penguji
Ketua
:
Prof. Dr. Agustinus Supratiknya
-------------------------
Sekertaris/ Moderator
:
Dr. Katrin Bandel
-------------------------
Anggota
:
1. Dr. G. Budi Subanar S.J.
-------------------------
:
2. Dr. FX. Baskara T Wardaya S.J.
--------------------------
Yogyakarta, 25 Juli 2014 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Prof. Dr. Agustinus Supratiknya
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Abdullah Totona
NIM
: 116322017
Program
: Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya
Institusi
: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul
: KAUM INTELEKTUAL DAN AMBIGIUTAS: Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000
Pembimbing
: Dr. FX. Baskara T Wardaya, S.J
Tanggal di uji
: 25 Juli 2014
Adalah benar-benar karya saya. Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya. Apabila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termaksuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum) yang telah saya peroleh.
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama
: Abdullah Totona
Nomor Mahasiswa
: 116322017
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGIUTAS: Kajian Mengenai Peran Dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik di Maluku Utara 1999-2000
Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, medistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumka nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Buat Yang Tercinta:
:
PAPA dan MAMA Abdin Totona dan Rosni Saban Kakak Tercinta Ainan Totona dan Maad Totona. adik-adiku Rafik, Nadia, dan Mufli. Nenek Ku Tersayang Hj. Jarian Binti Muhammad Terima kasih atas kasih sayang yang diberikan kepada penulis.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI MOTTO
“Pengetahuan dan Refleksi adalah kekuatan yang dapat menembus Batas” (tafsiran lepas melalui meditasi dari penulis)
“Tidak ada yang bermakna, kecuali berbagi untuk kemanusiaan”.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI KATA PENGANTAR
Menulis, membaca, berpikir, dan melangkah merupakan salah satu tugas seorang intelektual untuk membentuk identitas di dalam arena kultural dan kehidupan sosial. Tesis yang ada dihadapan anda ini sebagai bentuk dedikasi penulis pada sebuah proses mengembara dalam arena intelektual. Kegelisahan penulisan tesis ini berawal dari ketertarikan penulis ketika mengikuti kuliah Epestimologi Ilmu-Ilmu sosial yang membahas gagasan Pierre Bourdieu dan di tambah dengan membaca setiap literatur tentang konflik di Maluku Utara yang jarang menyentuh peran dan posisi dari kalangan intelektual pada konflik tersebut. Seakan-akan kalangan intelektual tidak memiliki tanggung jawab intelektualnya dan lepas dari situasi masyarakat yang berkonflik. Sehingga dari situlah tesis ini mulai penulis rakit perlahan-lahan untuk melihat identitas dari kaum intelektual di Maluku Utara. Walaupun dalam penulisan tesis ini cukup menyita waktu dan pikiran untuk mencari referensi, membaca serta menganalisisnya satu demi satu referensi yang berkaitan namun dengan usaha dan kerja keras dari penulis hingga akhirnya tesis ini dengan judul “KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGUITAS: Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual pada Konflik di Malut 1999-2000” dapat terselesaikan. Secara sadar penulisan tesis tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan moral dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini penulis patut memberikan doa dan ucapakan terima kasih kepada mereka yang tak henti-hentinya memberikan suntikan pengetahuan dan kesadaran, kepada: Dr. FX. Baskara T Wardaya SJ, selaku pembimbing yang telah baik hati membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis, dan selalu mengingatkan penulis untuk manfaatkan waktu sebaik mungkin dalam mengupdate pengetahuan di sini (Irb). Dr. G. Budi
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Subanar S.J. dan Prof. Dr. A. Supratiknya, terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan kritis komentar dan masukannya pada saat ujian tesis. Untuk dosen Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya terima kasih atas suntikan pengetahuan yang kritis yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis, mereka adalah Dr. St Sunardi, Beny H. Juliawan S.J. Ph.D. Dr. Haryatmoko S.J. Dr. Katrin Bandel. Dr. George Junus Aditjondro. Dr. Ishadi. Dr. Alb. Budi Susanto S.J. Bagus Laksana S.J. Ph.D. Prof. Rachmi Diyah Larasati, ph.D. Terima kasih juga buat Mbak Desy yang baik hati dalam melayani setiap pengurusan administrasi penulis, serta pak Ismul yang selalu menyiapkan kopi pagi untuk dinikmati setelah selesai kuliah, terima kasih. Teman-teman kelas IRB; Gogor, Pak De (Daryadi), Pak Ismul, Pak Marsius, Mba Yuli (alm.), Lamser, Anih, Vini, Imran, Lucki, Arham, Ko Phomat dan yang lain yang tidak disebutkan satu persatu terima kasih telah berbagi pengetahuan, pengalaman dan juga atas pertemanannya. Your are My Best Friends…!!! Teman-teman di Yogya dari Maluku Utara; Amrin Sibua, Enal, Agung, Lukman, Hikma, dan yang lainnya terima kasih telah mengajarkan pegalaman hidup selama penulis di Yogyakarta. Untuk Kawan-kawan Camerad, Solidaritas Aksi Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (Samurai Malut), Camerad: Mohdar “Jojo”, Rusli Saraha, Rahmat R Wali, Awat Halim, Halid A Radjak, Faisal Aba, Mohtar Sibua, Sarjan Dabi-Dabi, Sukri Ali, Fadli Yusuf, dan yang lainnya semoga kita tetap “Tegak, Tegar, dan Terus Bergerak”. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada pembina dan teman–teman Perhimpunan Lingkar Arus Studi (Pilas Malut); Pak Agus SB, Pak Herman Usman, Pak Saiful Madjid, Sahrony A. Hirto, Yahya, Amina, dan yang lain terima kasih telah berbagai pengetahuan dan pengalaman pada saat penulis masih menempuh pendidikan S1. Doa dan terima kasih penulis ucapkan juga buat Abang Ku, Saiful Totona (Ko Ipul), atas nasehat, semangat dan bantuannya. Dari beliau penulis banyak belajar tentang arti hidup dan pengetahuan. Dan
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI kepada Rustam Muhdar (Bang Utam) terimah kasih telah berbagi ruang dengan penulis untuk mendiskusikan “sesuatu” walaupun kadang kita dianggap bermimpi untuk (mem)bangun. Terakhir penulis kirimkan Doa dan ucapan terima kasih kepada Asnawia Sumtaki dan Zahra Mind Totona sebagai liyan dalam membentuk diriKu, dan juga atas keikhlasannya dan kesabarannya untuk menunggu kehadiran penulis kembali berkumpul. Kepada My Family Totona; Tua Ita, Tua Hamir, Muda Aeb, Muda Ni, Om Wan, Muda Lis, Ko Il, Ka Ia, Masita, yang telah banyak membantu penulis berupa materi maupun moral ketika penulis menempuh studi di Jogja. Semoga apa yang diberikan kepada penulis saat menempuh studi dapat dibalas dengan setimpal oleh Sang Pencipta jagad raya. Salam.
Yogyakarta, 22 Agustus 2014
Abdullah Totona
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRAK KAUM INTELEKTUAL dan AMBIGUITAS: Kajian Mengenai Peran dan Posisi Kaum Intelektual Pada Konflik Maluku Utara 1999-2000 Konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000 merupakan salah satu peristiwa sosial di Indonesia yang melulu-lantahkan konsep plurarisme atau nilai hidup berdampingan, di mana masyarakat yang berbeda agama dibuat saling curiga, benci, hingga sampai pada tindakan saling membunuh. Representasi tentang konflik tersebut secara detail memiliki berbagai macam faktor atau wacana yang mendorong terciptanya konflik di dalam masyarakat, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, pertarungan antara elite, kecemburuan sosial atas penguasaan sumber daya alam, dan sebagainya. Akan tetapi, dari semua faktor tersebut, agamalah yang menjadi wacana kuat dalam mengarahkan persepsi masyarakat baik Islam maupun Kristen untuk berkonflik. Dengan latar belakang tersebut, kajian ini ingin menjawab tiga pertanyaan: Pertama, Bagaimana kaum intelektual membentuk identitas tersendiri pada konflik di Maluku Utara?, kedua, Bagaima peran dan posisi dari kaum intelektual dalam konflik tersebut? Dan ketiga, Bagaimana kaum intelektual sebagai agensi menegosiasikan modal budaya dan modal simbolik pada konflik tersebut? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab dengan menggunakan pendekatan Struktural generatifnya Bourdieu, dan lebih khususnya adalah konsepnya mengenai Arena dan Habitus. Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana hubungan antara subjek dan obyek, antara masyarakat dan individu, antara intelektual dan elite, dan sebagainya. Konsep lain yang digunakan dalam tesis ini dimaksudkan untuk membantu menjelaskan permasalahan yang diteliti. Bertolak dari pendekatan tersebut tesis ini mau memperlihatkan peran dan posisi kaum intelektual di Maluku Utara ketika berada pada situasi konflik 1999-2000. Sebagai pihak yang memiliki kapital budaya dan kapital simbolik, diharapkan bahwa kaum intelektual bukan hanya mampu memproduksi wacana di dunia akademik, melainkan juga mampu menjalankan peran sosial dan akademik dalam masyarakat. Peran sosial dan akademik ini yang kemudian diharapkan akan membentuk identitas mereka sebagai kaum intelektual. Namun demikian yang terjadi seperti yang ditunjukan dari hasil Studi ini bahwa dalam bertindak, kaum intelektual di Maluku Utara sendiri pada saat konflik sangat dipengaruhi oleh lingkungan asal mereka. Mereka juga dipengaruhi oleh posisi “keamanan sosial” diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi bersikap ambigu dalam menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka. Pada satu sisi, peran subyektif mereka terlihat ketika mereka mengambil peran sosial dan akademik dalam hal memproduksi wacana. Pada sisi yang lain mereka juga mengambil peran obyektif dalam menempatkan posisi mereka sebagai kaum intelektual ketika terjadi konflik dan dalam proses perdamaian. Hal ini yang kemudian melahirkan ambiguitas peran dan posisi mereka sebagai kaum intelektual. Kata kunci : Kaum Intelektual, Konflik, Identitas, Habitus, Arena, Kapital, Peran, Posisi dan Maluku Utara
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT INTELLECTUALS AND AMBIGUITY: A Study about the Roles and Positions of Intellectuals in North Moluccas Conflict in 19992000 The conflict occurred in Northern Moluccas in 1999-2000 was a social incident in Indonesia that devastated the concept of pluralism, the value of living side-by-side, where people of different religions created mutual suspicion, hatred, and reaching the point of killing each other. The representation of the conflict has a wide range of factors or discourse that encourages conflict in society in details, ranging from economic interests, politics, the struggle between elites, social jealousy over control of natural resources, and so on. However, of all these factors, religion becomes a powerful discourse in directing the public perception of both Moslems and Christians to conflict. Departing from that background, this study wants to answer three questions. First, how do intellectuals shape their identity in North Moluccas conflict? Second, what are the roles and positions of intellectuals in the horizontal conflict in North Moluccas in 19992000? Third, how do intellectuals as agencies negotiate their cultural capital and symbolic capital to take their position in the conflict? Those questions would be answered using Bourdieu’s generative structural approach, particularly the concepts of Fields and Habitus. This approach is used to see the relation between subject and object, the society and individuals, the intellectuals and the elites, etc. Other concepts used in this thesis is intended to help explaining the issues examined. This thesis tries to show the positions and the roles of the intellectuals in Northern Moluccas in 1999-2000 from that approach. As those who have cultural and symbolic capital, intellectuals are not only capable of producing discourse in the academic world, but also capable of running the social and academic roles in society. These roles are then expected to establish their identity as intellectuals. However, as indicated from the results of this study that in their actions, the intellectuals in North Moluccas are strongly influenced by their home environment during the conflict itself. They are also influenced by the position of "social security" themselves so that they become ambiguous in carrying out their roles and positions. On the one hand, their subjective role is seen when they take on social and academic role in terms of producing discourse. On the other hand, they also take on an objective role in putting their positions as intellectuals when there is a conflict and peace process. This creates the ambiguity of their roles and positions as intellectuals. Keywords: Intellectuals, Conflict, Identity, Habitus, Fields, Capital, Role, Position, Northern Moluccas
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI Halaman Judul ..............................................................................................
i
Lembar Persetujuan ......................................................................................
ii
Lembar Pengesahan .....................................................................................
iii
Pernyataan Keaslian karya ...........................................................................
iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ................................................................
v
Persembahan ................................................................................................
vi
Motto ............................................................................................................
vii
Kata Pengantar .............................................................................................
viii
Abstrak ........................................................................................................
xi
Abstract ........................................................................................................
xii
Daftar Isi .......................................................................................................
xiii
Daftar lampiran ............................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ..................................................................................
1
2. Rumusan Masalah .............................................................................
13
3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
13
4. Pentingya Penelitian ..........................................................................
14
5. Studi Pustaka .....................................................................................
15
6. Kerangka Teori..................................................................................
22
a. Habitus Intelektual dan Arena Kuasa ...........................................
22
b. Pembentukan Identitas Intelektual ...............................................
28
c. Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa .....................................
29
7. Metodologi penelitian ......................................................................
31
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
a. Lokasi penelitian...........................................................................
31
b. Jenis penelitian ............................................................................
32
c. Teknik Penentuan Informan ........................................................
32
d. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
33
e. Teknik Analisa Data ....................................................................
34
8. Sistimatika Penulisan Tesis ..............................................................
36
BAB
II
KAUM
INTELEKTUAL:
REPRODUKSI
KAJIAN
PENGETAHUAN
DAN
MENGENAI PRAKTIK
DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
1. Siapakah Kaum Intelektual Itu .........................................................
38
2. Seperti Apakah Modal Budaya Kaum Intelektual ...........................
42
3. Seperti Apakah Modal Simbolik Kaum Intelektual .........................
45
4. Peran Kaum Intelektual dalam Kehidupan Sosial - Budaya ............
47
5. Catatan Penutup ...............................................................................
52
BAB III PEMBENTUKAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM ARENA KULTURAL 1. Intelektual dalam Bingkai Kebudayaan ...........................................
53
2. Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial .....................
62
2.1. Tanggung Jawab Sosial dan Tanggung Jawab Akademik Kaum Intelektual ................................................................................. xiv
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.2. Intelektual dan Reproduksi Pengetahuan/Wacana ...................
69
2.3. Arena Kultural dan Pembentukan Identitas Intelektual ............
72
3. Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial ............................
74
4. Catatan Penutup ...............................................................................
78
BAB IV
REPRESENTASI
SINGKAT
SEJARAH
SOSIAL
DALAM KONFLIK KOMUNAL DI MALUKU UTARA 1999-2000 1. Maluku Utara dan Konflik Sosial ....................................................
80
2. Karakteristik Konflik Di Maluku Utara ...........................................
87
2.1. Pertarungan Elite Politik dalam Perebutan Kursi Gubernur .....
88
2.2. Pertarungan Etnik ......................................................................
90
2.3. Perebutan Sumber Daya Alam (Tambang Emas di Kao-Malifut)
92
2.4. Eksploitasi Agama dalam Konflik Maluku Utara .....................
93
3. Rekonsiliasi sebagai Alternatif Perbaikan Hubungan Sosial ...........
96
3.1. Peran Intelektual dalam Perdamaian .........................................
98
3.2. Perdamainan Dengan Pendekatan Sosial Kebudayaan .............
100
3.3. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat .........................................
102
4. Penutup .............................................................................................
105
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V ARENA INTELEKTUAL DAN PERTARUNGAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM KONFLIK DI MALUKU UTARA 1999-2000
1. Peran Intelektual dalam Sebuah Konflik .........................................
109
2. Posisi Intelektual dalam Sebuah Konflik .........................................
116
2.1. Posisi Subjektif Intelektual dalam Konflik .............................
120
2.2. Posisi Objektif Intelektual dalam Konflik ...............................
126
3. Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara ......................
129
4. Negosiasi Modal Budaya dan Modal Simbolik Kaum Intelektual dalam Konflik ...................................................................................
133
5. Catatan Penutup ................................................................................
139
BAB VI PENUTUP Memaknai Peran dan Posisi Intelektual Pada Konflik Maluku Utara 1999-2000 ..............................................................................................
141
Daftar Pustaka ............................................................................................
147
xvi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daftar Lampiran
Lampiran 1.1: Nama-nama Informan yang diwawancarai ...........................
xvii
152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Para intelektual telah turut membentuk kehidupan politik di negara-negara
sedang berkembang (Edward Shils, 1972).1 Pembentukan kehidupan politik tersebut menjadi salah satu dari representasi identitasnya sebagai intelektual. Representasi dari para intelektual tersebut lahir dari berbagi cakrawala atau pertautan pengetahuan dan praktik dalam kehidupan akademik maupun sosial. Pertautan atau cakrawala semacam itu senantiasa mengacu pada cita-cita etis, seperti kebijaksanaan, kebaikan, dan sebagainya, baik yang sifatnya individual maupun kolektif.2 Cakrawala pengetahuan dari kaum intelektual ini yang selanjutnya dijadikan acuan bagi kaum intelektual sendiri untuk menjalankan perannya dalam kehidupan masyarakat. Peran tersebut menyangkut peran sosial maupun akademik. Peran sosial yang dimaksud di sini adalah peran yang dilakoni oleh kaum intelektual dalam masyarakat dengan cara menyuarakan kepentingan ekonomi, politik, budaya, sosial, serta untuk membangun kesadaran kritis dari masyarakat agar tidak mudah percaya pada wacana yang tidak jelas. Sementara itu peran akademik yang dimaksudkan ialah peran yang dilakukan kaum intelektual di dalam universitas dan komunitas akademik pada 1
Lihat Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan. 2005, hlm 1. 2 F. Budi Hardiman. Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas.Yogyakarta: Kanisius hlm 21.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
umumnya dengan cara mengkritisi permasalahan sosial yang ada di masyarakat melalui tulisan, seminar, dan sebagainya. Dalam kehidupan masyarakat diharapkan bahwa melalui kedua peran tersebut kaum intelektual mampu membongkar setiap mekanisme dominasi,3 baik dominasi fisik maupun nonfisik, yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan bahwa kaum intelektual tidak hanya mampu memproduksi wacana akademik, melainkan juga ikut menjalankan wacana yang diproduksinya di dalam kehidupan sosial sebagai tempat ia memanifestasikan posisi sosialnya. Peran dan posisi4 kaum intelektual dalam perjalanan perkembangan Republik Indonesia cukup penting dalam hal memberi konstribusi gagasan untuk membangun Republik ini. Dengan berbekal pengetahuan kritis, kaum intelektual telah mampu melakukan terobosan-terobosan dalam hal ide, serta cara pandang yang telah digunakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam suatu realitas sosial. Dengan menggunakan ide5, kaum intelektual telah menjalankan peran dan atau tanggung jawab akademik dan sosial melalui cara pandangnya terhadap realitas sehingga cara pandang tersebut telah dijadikan acuan dalam memahami kondisi
3
Yang saya maksudkan dengan mekanisme dominasi di sini adalah suatu cara kekerasan yang terjadi di masyarakat dalam bentuk dogma, bahasa, dan ideologis. 4 Yang saya maksudkan dengan peran adalah sebuah tanggung jawab yang dimiliki oleh agensi dalam menjalankan suatu aktivitas baik pada ruang akademik maupun sosial, sementara itu yang saya maksudkan dengan posisi adalah suatu tempat yang terberi kepada agensi dengan berbagai kemampuan (akademik) yang dimiliki. 5 yang saya maksudkan Ide-ide disini adalah pengetahuan yang memihak pada kepentingan masyarakat.
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sosial. Peran dan posisi kaum intelektual dalam masyarakat telah bermakna ketika ia mampu menjalankan kedua peran, yakni peran akademik dan sosial. Secara historis dan politis, posisi dan peran kaum intelektual di Indonesia dalam mendorong kemerdekaan dapat dilihat sebagai agensi yang memiliki peran penting. Mereka memiliki peran penting karena telah memberikan sumbangan dalam perjuangan kemerdekaan dan kehidupan politik Republik Indonesia.6 Perjuangan tersebut telah diwujudkan melalui tulisan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Misalnya, Soekarno,
Ia bersedia dipenjara karena telah melawan dan
mengkritisi otoritas para penjajah yang pada waktu itu menjadikan masyarakat pribumi sebagai budak dari kekuasaan mereka (penjajah). Begitu juga Muhammad Hatta yang memimpin pergerakan mahasiswa yang belajar di Belanda. Sutan Sjahrir diasingkan oleh penjajah keluar Pulau Jawa karena pemikiran nasionalisnya.7 Dengan dibekali modal budaya8 yang telah diperoleh melalui suatu pergulatan pengetahuan di universitas, kaum intelektual juga memiliki peran dalam membahas isu-isu sosial dan rasisme yang terjadi di dalam masyarakat melalui suatu arena intelektual sebagai wilayah pekerjaannya. Sejalan dengan ini, sebagaimana yang disampaikan Bourdieu (1998b), “Modal budaya mengharuskan kaum intelektual 6
Lihat J.D. Legge . Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti. Cetakan kedua 2003., hlm xii. 7 Ibid, hlm xiv. 8 Modal budaya adalah modal yang dimiliki kaum intelektual berupa pengetahuan, pendidikan, kecakapan, dan sebagainya. Pemaknaan atas modal budaya ini digunakan Bourdieu untuk menunjukan kepada agensi yang memiliki tingkat pendidikan yang. Bdk Bourdieu. Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press. Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm 13 dan bdk Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm 17.Uraian ini saya dasarkan dalam Bourdieu
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbicara tentang isu-isu sosial dengan otoritasnya sebagai intelektual untuk memproduksi wacana yang berpihak pada kehidupan masyarakat”.9 Dengan demikian posisi kaum intelektual mengandung tanggung jawab sosial untuk dapat aktif dalam merespon persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang peran dan posisi kaum intelektual ada baiknya penulis jelaskan terlebih dahulu pengertian intelektual. Siapakah intelektual itu? Apakah mereka ini adalah akademisi, mahasiswa, peneliti, atau setiap orang yang bergelar tertentu secara akademik? Sebutan intelektual bisa menimbulkan banyak pertanyaan, sebab setiap orang bisa memandang dan mendefinisikan sebutan intelektual sesuai dengan tafsiran masing-masing. Namun demikian yang dimaksud dengan intelektual dalam tesis ini ialah orang-orang yang memiliki profesi dan keilmuannya untuk memproduksi wacana serta mempraktekkan wacana tersebut dalam kehidupan masyarakat, khususnya para akademisi yang berada di arena universitas. Hal inilah yang melahirkan pandangan penulis bahwa kaum intelektual adalah mereka yang tidak hanya mengikatkan dirinya pada kepentingan ekonomi dan politik sekelompok orang, melainkan yang juga mampu menegosiasikan kedua kepentingan tersebut
demi
kepentingannya
kepentingan terdominasi.
masyarakat Yang
luas,
dimaksud
khususnya
masyarakat
yang
dengan
masyarakat
yang
kepentingannya terdominasi adalah masyarakat yang kepentingannya untuk hidup lebih baik secara politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya diabaikan oleh 9
Lihat Jen Webb, et al. Understanding Bourdieu. Malasyia: Pt Palatino By Midland 2002, hlm 197.
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penguasa. Hal itu dapat dilihat dengan berjalannya praktik kekuasaan dari penguasa yang mengabaikan kepentingan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini penguasa telah membentuk kekerasan simbolik terhadap masyarakat. Kekerasan simbolik yang dimaksud di sini adalah kekerasan yang terjadi lewat pemaksaan kehendak penguasa melalui tindakan nonfisik, misalnya melalui bahasa, dogma, sistem dan sebagainya yang tidak dipahami masyarakat. Dinamika
kehidupan
masyarakat
yang
terdominasi
ini
kemudian
memunculkan nafsu penguasa yang memandang kekuasaan hanya sebagai otoritas untuk menekan dan mengontrol protes dari masyarakat. Dengan kata lain, kekuasaan dijadikan oleh penguasa sebagai senjata untuk menekan kehendak bebas masyarakat. Hal ini dilakukan agar kepentingan dari penguasa tidak dinganggu maupun diketahui secara mendalam oleh masyarakat. Di situlah, kaum intelektual kritis dalam melihat dominasi tersebut, agar dapat menjadi avant garde untuk melakukan kritik sebagai salah satu langkah menyuarakan kepentingan masyarakat secara totalitas. Kritik yang dilakukan kaum intelektual merupakan cara untuk melakukan kontrol atas kekuasaan yang sewenang-wenang dari penguasa. Kontrol tersebut mengandaikan terciptanya struktur sosial masyarakat yang humanis dan tidak berkonflik. Artinya, peran atau tanggung jawab akademik dan sosial dari kaum intelektual pada masyarakat dapat terlaksana. Terlaksananya peran tersebut dapat dilihat dengan kritik yang disampaikan oleh intelektual kepada penguasa dan sekaligus membangun kesadaran masyarakat.
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Untuk menjalankan tanggung jawab akademik dan sosial, kaum intelektual yang telah dibekali dengan modal budaya akan dapat lebih leluasa berbicara mengenai persoalan kemanusian dalam arena intelektual. Hal ini dapat dilakukan sejauh ia memiliki pengetahuan yang dapat dijadikan modal budaya dan simbolik untuk mengembangkannya dalam kehidupan sosial. Misalnya, ketika masyarakat mengalami krisis identitas10 dari semangat hidup berdampingan, kaum intelektual diharapkan memainkan peran untuk mengembalikan ingatan akan makna hidup keberagaman sehingga dari situ dapat terbangun kesadaran masyarakat akan praktik hidup berdampingan. Menurut Bourdieu (1994 dan 1980), sebagaimana yang dikutip Haryatmoko modal budaya adalah modal yang dimiliki oleh seorang agensi atau kaum intelektual berupa pengetahuan, ijasah, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Sementara modal simbolik adalah modal yang dimiliki berupa gelar pendidikan, status tinggi, nama keluarga ternama dan sebagainya. Jadi kapital simbolik adalah semua bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional maupun non institusional.11 Pada satu sisi modal yang dimiliki kaum intelektual dapat menjadi landasan bagi dirinya untuk melakukan kritik terhadap penyalagunaan kekuasaan dari elite dan membongkar mekanisme kekerasaan yang terjadi di masyarakat. Pada sisi lain, dapat pula menjadi strategi untuk melegitimasi posisinya di dalam dunia akademik dan 10
Krisis identitas yang dimaksudkan di sini ialah memudarnya rasa kebersamaan dan rasa pecaya sesama masyarakat. 11 Lihat Haryatmoko. Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, Teori Strukturasi Pierre Bourdieu dengan orientasi budaya. Bahan Kuliah Hermeneutika dan Analisis Wacana Kritis, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma 2014, hlm 6.
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sosial. Jika kedua hal tersebut dikonversikan pada kehidupan masyarakat diharapkan akan dapat mendorong terwujudnya masyarakat yang humanis, yang pada akhirnya akan dapat membentuk identitas intelektual itu sendiri. Sejalan dengan ini menurut Lipset, intelektual adalah mereka ”yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankan kebudayaan yakni dunia simbol”.12 Salah satu tugas kaum intelektual adalah mengungkapkan kebohongankebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motifmotif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi.13 Artinya, kaum intelektual diharapkan mampu mengambil bagian dalam masyarakat yang terdominasi oleh struktur kekuasaan, serta berani membongkar kebusukan elite yang merekayasa konflik di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, posisi dan peran sebagai intelektual di masyarakat dapat membentuk dirinya sebagai agensi yang benar-benar berpihak pada masyarakat yang lemah. Dengan modal budayanya, kaum intelektual dipercaya sebagai kelompok tercerahkan yang dapat memposisikan dirinya untuk tidak menjadi aktor yang terlibat dalam tindakan memecah-belahkan masyarakat, melainkan sebagai kritikus untuk menggungkapkan mekanisme kekerasan yang terjadi. Menurut Bourdieu, kaum
12
Lipset dalam Ron Eyerman, Cendekiawan:Antara Budaya dan Politik dalam Masyrakat Modern. (terj), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996 hlm 1-2. Bdk Seymour Martin Lipset. Political Man:basis sosial tentang politik. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2007 hlm 210. 13 M. Fadjroel Rahman, “Penghianatan Cendekiawan,”http://www2.kompas.com/kompascetak/0405/25/opini/ 1041218.htm. di akses pada tanggal 04 juni 2013.
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intelektual itu harus berusaha untuk bertindak sebagai “pejabat kemanusiaan”.14 Sebagai pejabat kemanusiaan kaum intelektual diharapkan dapat mendorong perubahan sosial dalam masyarakat secara konsekuen meninggalkan kemerdekaan pribadi demi kepentingan sosial. Tindakan seperti ini dapat membedakan dirinya sebagai kaum intelektual dengan mereka yang bukan kaum intelektual dalam kehidupan sosial. Sebagaimana disampaikan Heryanto (2003), kaum intelektual diharapkan dapat bekerja dengan beberapa derajat subversi otonomi, inovasi, integritas, dan kreativitas. Hal inilah membedakan diri mereka (dan dibedakan) dari perwira militer, pejabat negara atau praktisi dan lain-lain.15 Perbedaan ini selanjutnya dapat membentuk identitas kaum intelektual dalam kehidupan sosial yang ia tempati. Bertolak dari gambaran di atas penulis mencoba untuk masuk dan melihat secara singkat kondisi masyarakat Maluku Utara yang waktu itu dilanda konflik dan bagaimana peran dari kaum intelektual pada waktu itu. Peran kaum intelektual di Maluku Utara menjadi penting untuk dilihat karena mereka memiliki peran penting dalam mengkonstruksi kebudayaan masyarakat akan makna hidup berdampingan dengan mengaitkan nilai-nilai Marimoi Gone Foturu16 sebagai identitas masyarakat Maluku Utara yang pada waktu itu terjadi konflik.
14
Bourdieu, et al. Political Interventions: Social Science and Political Action. London: Verso. 2008, hlm 207. 15 Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal. Challenging Authoritariansime in SE Asia. London:Routledge Curzon, 2003, hlm 27-28. 16 Marimoi Gone Foturu, adalah sebuah filsafah masyarakat Ternate yang memiliki arti yakni bersama-sama mari kita membangun.
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konflik yang terjadi di Maluku Utara telah ikut membentuk kehidupan masyarakat kehilangan bela rasa oleh elite lokal, bahkan direkayasa agar masyarakat dari dua komunitas Islam dan Kristen saling membenci seperti yang nanti akan digambarkan secara jelas pada bab empat. Sebagaimana dikatakan bahwa “kerusuhan di Maluku Utara selain merupakan permainan elite juga tidak terlepas dari permainan para provokator yang dengan cerdiknya telah melakukan provokasi dengan simbolsimbol agama untuk menciptakan polarisasi Islam-Kristen”.17 Bahkan sampai hari ini, di Indonesia masih terjadi konflik-konflik horisontal yang melibatkan masyarakat sipil sebagai pelaku kejahatan.18 Konflik yang berbau SARA di Maluku Utara, pertama kali terjadi pada bulan Agustus 1999, konflik itu dipicu oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan suku asli daerah tersebut dengan suku Makian di Malifut yang merupakan imigran dari pulau Makian di daerah selatan pulau Ternate. Konflik tersebut kemudian berlanjut hingga akhir bulan Desember 1999, pada waktu itu kerusuhan meluas ke seluruh Maluku Utara karena adanya kekuatan wacana yang mempengaruhi masyarakat setempat. Jumlah kerugian harta milik berkenaan dengan hancurnya fasilitas-fasilitas publik, tercatat 97 unit, tempat ibadah Mesjid 97 buah, Gereja 106 buah dan korban tewas sekitar 2.083 jiwa.19
17
Lihat Jan Nanere (Editor). Halmahera Berdarah. Ambon: Bimaspela. 2000, hlm 20. Rieke Diah Pitaloka. Banalitas Kejahatan, Telaah pemikiran Hannah Arendt tentang kekerasan Negara. Yogyakarta: Koekoesan 2010, hlm 116. 19 Laporan Tabloid PARADA, edisi 5, Juni 2002 dalam Moch Nurhasim et al. Konflik Antar Elite Politik Lokal, dalam pemilihan kepala daerah. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005, hlm 134. 18
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konflik yang berbau agama di Maluku Utara menjadi isu yang sangat sensitif dengan cepat dapat mengangkat emosi masyarakat kepermukaan untuk berkonflik. Waktu itu konflik yang terjadi bukan hanya konflik kekerasan, melainkan juga konflik wacana. Sebelumnya konflik di Maluku Utara sempat terjadi di wilayah Halmahera Utara, di antara suku Kao (penduduk setempat) dan suku Makian (masyarakat pendatang) atas perebutan tapal batas. Akan tetapi konflik tersebut dapat diatasi secara cepat oleh kedua tokoh agama, pemuda, dan pemerintah setempat sehingga konflik tersebut tidak berlanjut. Namun demikian konflik agama mulai mencuat di wilayah ini ketika pecah konflik Ambon, di mana konflik Ambon pada waktu itu dimaknai oleh sebagian besar masyarakat sebagai konflik antara agama, dan dalam waktu relatif singkat telah meluas hingga ke Maluku Utara yang secara emosional memiliki kedekatan kultural dengan Ambon. Salah satu wilayah yang menjadi titik pusat tempat pecahnya konflik yang adalah wilayah tempat tinggal masyarakat Kao yang penduduknya dominan beragama Kristen dan masyarakat Malifut yang penduduknya dominan beragama Islam. Berhadapan dengan situasi konflik seperti ini kaum intelektual diharapkan mampu menempatkan diri beserta modal kultural (pengetahuan) dan modal simbolik (gelar intelektual) secara kritis agar mampu untuk mengungkap akar persoalan serta mencari jalan keluar untuk pemecahan masalah dari konflik tersebut. Sejalan dengan ini, menurut Dhakidae, para intelektual diperlukan untuk tidak sekedar merupakan mandor dan evaluator yang sibuk mencatat dan memberi angka atas keberhasilan dan 10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kegagalan pejabat pemerintahan atau pun wakil-wakil rakyat, melainkan juga dapat membongkar setiap kepentingan-kepentingan para elite yang tersembunyi. Tanpa pedalaman kenyataan dari realitas sosial, menurut Dhakidae kaum intelektual hanya akan mengapai-gapai dalam ketidak-pastian. Tanpa pendalaman kenyataan ini pula para intelektual hanya akan cenderung mencari pemecahan pada retorika (omongan).20 Selain itu juga mengapa harus kaum intelektual, mungkin karena politikus dan wakil rakyat selalu cenderung bungkam dalam melihat jeritan rakyat. Sejalan dengan ini, menurut Bourdieu (1991) kaum intelektual adalah mereka yang“menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan politik”.21 Artinya, kaum intelektual seharusnya benar-benar memiliki jiwa sosial dan mengedepankan fungsi intelektualnya dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian identitasnya sebagai kelompok tercerahkan dapat termanifestasikan dalam ranah sosial. Jika peran intelektual di Maluku Utara saat konflik dijalankan secara nyata dan sesuai dengan tanggung jawab sosialnya dengan sendirinya kewajiban sosialnya akan dengan mudah terwujudkan di dalam masyarakat. Seperti tulis Vaclav Havel, intelektual adalah hati nurani bangsa, yang membaktikan hidupnya untuk berpikir demi kepentingan umum, dan melihat persoalan masyarakat dalam konteks yang
20
Lihat Daniel Dhakidae. Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara orde Baru. Jakarta:2003, hlm 317. 21 Lihat Arizal Mutahir. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Yogyakarta:kreasi wacana, 2011, hlm 9-10.
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lebih luas.22 Oleh karena itu kaum intelektual tidak cukup hanya menggunakan gagasan atau idenya dalam mendorong perubahan lewat teoritik, melainkan ide dan praktik harus berjalan bersamaan untuk mengungkap persoalan yang terjadi di masyarakat. Peran dan posisi intelektual pada konflik di Maluku Utara ini menjadi menarik untuk diteliti, sebab dengan melakukan penelitian atasnya kita akan dapat memahami dan menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual Maluku Utara pada saat terjadinya konflik di Maluku Utara 1999-2000. Tesis ini akan meganalisis beberapa hal serta mau menjelaskan, seperti apa peran dan posisi mereka (intelektual) di tengah-tengah konflik tersebut, serta bagaimana modal-modal yang dimilikinya dapat membentuk identitas mereka. Untuk itu, penulis akan menggunakan teori Habitus dan Arena/Ranah dari Pierre Bourdieu. Selain itu, dalam tesis ini juga akan digunakan teori-teori lain seperti, teori wacana, teori kekuasaan, dan teori identitas. Tujuannya adalah untuk membantu menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual ketika berada di tengah konflik sosial.
22
Lihat Sindhunata. Membangun Sikap Intelektual, Basis edisi khusus Pierre Bourdieu nomor 11-12, tahun ke-52 November-Desember 2003, hlm 1.
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.
Rumusan Masalah Bertolak dari paparan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan
yang akan dijadikan fokus penelitian dan penulisan tesis ini, yakni: 1. Bagaimana kaum intelektual membentuk identitas mereka pada konflik di Maluku Utara 1999-2000? 2. Bagaimana peran dan posisi dari kaum intelektual dalam konflik tersebut? 3. Bagaimana kaum intelektual sebagai agensi menegosiasikan modal budaya dan modal simbolik dalam konflik tersebut?
3.
Tujuan Penelitian Konflik yang terjadi di Maluku Utara pada era 1999-2000 merupakan salah
satu dari peristiwa sosial di Indonesia, yang telah menghilangkan semangat nilai pluralisme yang ada di dalam masyarakat. Peristiwa ini kemudian juga memicu lahirnya rasa benci, dendam, tidak saling percaya, serta memunculkan terjadinya benturan fisik di antara warga masyarakat, baik yang beragama Islam maupun yang beragama Kristen. Di dalam kondisi seperti ini muncullah pertanyaan di manakah posisi dan peran dari kaum intelektual yang berada di universitas-universitas sebagai salah satu wilayah tempat diproduksinya pengetahuan. Dipertanyakan pada representasi keberpihakan mereka dalam kehidupan masyarakat yang sedang berkonflik. Penelitian ini bertujuan memperlihatkan beberapa hal, pertama penelitian ini menjelaskan di mana peran dan posisi kaum intelektual dalam konflik berdarah di 13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Maluku Utara 1999-2000. Kedua, penelitian ini bertujuan memahami bagaimana intelektual membentuk identitasnya di tengah-tengah konflik kekerasan dengan menggunakan modal budaya dan modal simbolik yang dimilikinya. Ketiga, mau dilihat seperti apa otonomi intelektual dalam arena kehidupan masyarakat saat suatu konflik sedang terjadi. Dan keempat mau dilihat pula seperti apa modal-modal (budaya dan simbolik) yang dimiliki kaum intelektual bergerak dalam masyarakat di saat konflik.
4.
Pentingnya Penelitian Pentingnya penelitian ini bagi penulis karena teori yang digunakan pada
penelitian ini, yakni teori habitus dan arena dari Bourdieu dapat menjelaskan peran dan posisi kaum intelektual serta pembentukan identitas mereka pada saat konflik di Maluku Utara terjadi, sehingga memiliki kerangka acuan teoritik yang sesuai. Dan bukan karena persoalan konflik yang dijelaskan dalam penelitian ini, melainkan lebih pada persoalan bagaimana konsep tersebut dipakai untuk menganalisa peran dan posisi dari kaum intelektual yang hidup dalam ruang akademik dan sosial di Maluku Utara, ketika menjalankan tanggung jawab sebagai intelektual pada satu situasi konflik. Selain itu, penelitian ini juga diharapakan secara praktik dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat, pers, mahasiswa, peneliti, dan sebagainya agar dapat mendorong cara berpikir kritis ketika memandang sebuah peristiwa sosial. Dengan demikian ada beberapa poin yang menjadi penting dari penelitian ini. Pertama, penelitian ini diharapkan untuk mengetahui dan memahami seberapa 14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jauh peran intelektual di Maluku Utara pada konflik 1999-2000. Kedua dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat bagi perkembangan ilmu kajian budaya. Ketiga, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah kajian ilmu Humaniora yang bermanfaat bagi penulis sendiri dalam mengembangkan kajian ilmu budaya pada dunia akademik dan dalam kehidupan masyarakat secara umum.
5.
Studi Pustaka Di Indonesia kajian tentang intelektual sudah menjadi hal yang tidak asing
lagi bagi kalangan akademisi dan peneliti, sebab telah banyak para intelektual melakukan penelitian dan mengkaji peran intelektual dalam merespon masalahmasalah sosial baik di bangsa ini dan secara umum di negara-negara Barat. Namun demikian dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa literatur yang penulis anggap dapat membantu meneropong masalah yang akan penulis teliti. Hasan Basri (2010), misalnya mengkaji tentang Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Buku Orientalisme karya Edward Said.23 Dia menjelaskan bagaimana pembentukan intelektual muslim dengan menggunakan pendekatan genealogi untuk melihat dinamika pemikiran intelektual muslim di Indonesia. Penelitian ini memberikan fokus pada respon intelektual muslim Indonesia terhadap buku orientalisme.
23
Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Buku Orientalisme karya Edward Said. Tesis Magister Ilmu Religi dan Budaya, 2010.
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Arizal Mutahir (2010), meneliti tentang Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi (Arizal:2011).24 Arizal menjelaskan intelektual kolektif dalam pandangan Bourdieu, adalah mereka yang masing-masing mempunyai kompetensi dan kemampuan spesifik, yakni kapital kultural, simbolik, dan kapital ekonomi yang dimainkan dalam ranah sosial. Anggotanya saling berhubungan, membagi pengetahuan dan menyongkong intelektual lain dalam setiap gerakan membela mereka yang terdominasi. Bukan hanya ditingkat teoritis namun harus benar-benar menjalankan intelektualnya untuk membela mereka yang terdominasi pada tataran praktek. Sayangnya kajian Arizal ini masih sebatas di atas permukaan, karena masih menjelaskan gerakan intelektual di Prancis yang digambarkan Bourdieu dan sekaligus keterlibatan Bourdieu, tanpa menjelaskan kaitanya secara spesifik, seperti apa peran dan posisi intelektual di Indonesia ketika berada di tengah kerusuhan pada masyarakat, serta bagaimana intelektual memainkan peran mereka di dalam arena sosial sehingga terlihat identitas mereka. Agar dapat membumikan konsep Bourdieu tentang intelektual di Indonesia dibutuhkan kajian lebih mendalam lagi, yakni dengan penelitian empiris dalam melihat intelektual ketika memainkan peran serta membentuk identitas di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga dapat terlihat posisi, peran dan identitas mereka. Kajian Arizal dan penulis sendiri memiliki tema masalah yang sama yaitu „intelektual‟. Namun titik pembeda dengan penulis adalah Arizal tidak terlalu memperlihatkan bagaimana intelektual menegosiasikan kapital24
Arizal Mutahir. Op.cit, hlm 12.
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kapital yang mereka miliki ketika terjadi konflik di masyarakat dalam bungkusan agama. Dengan demikian letak perbedaannya pada identitas intelektual dan penelitian empiris yang penulis lakukan. Selain itu, dalam salah satu surat kabar Wira25 memberikan pandangannya dalam tulisan “Pelacuran Intelektual” dia mengambarkan bagaimana intelektual Indonesia pada waktu Orde Lama dengan mencerminkan diri kepada generasi muda yang mendatang betapa kita harus berbuat dan berlaku jujur di dalam sikap dan pemikiran dan berani dalam mengemukakan apa yang benar dan apa yang tidak benar, apa yang terjadi pada bagunan kekuasaan otoriter Soekarno dengan segala esensinya itu pada hakekatnya ialah karena cendekiawan/intelektual yang seyogyanya harus berbicara menyuarakan kebenaran, telah “melacurkan diri” dengan turut bersenandung dan latang mengikuti irama revolusi membangun kekuasaan otoriter. Hal yang sama juga dilakukan Daniel Dhakidae dalam penelitian mengenai cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru (2003). Dhakidae melihat dan memeriksa posisi dan peran kaum cendekiawan atau intelektual dalam pergulatan di Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam penelitian tersebut ia menjelaskan bagaimana relasi intelektual dengan modal, kebudayaan, dan kekuasaan yang direproduksi melalui arena sosial. Sebab kekuasaan dilihat sebagai kemampuan mengubah sesuatu secara transformatif ketika kekuasaan mengubah intelektual, dan kemudian 25
Wira adalah nama samaran yang pada waktu itu tulisannya di media harian Indonesia Raya 14 april 1969, menjadi polemik besar dan mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan. Hasil penelitian yang dikerjakan Wira membawanya pada suatu kesimpulan yang begitu penuh tuduhan, bahwa golongan cendekiawan indonesia adalah golongan yang paling cepat tekuk lutut pada pemerintahan Orde Lama. Lihat Dhakidae. Op.cit, hlm 295-296.
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intelektual melahirkan kekuasaan secara destruktif dan produktif. Selanjutnya, Dhakidae26 menjelaskan bahwa kaum intelektual bukanlah mahluk yang begitu terpisah sehingga bisa dan boleh diperiksa secara sendiri-sendiri. Kaum intelektual adalah anak kandung dari suatu kebudayaan, sebab modal (bumi poetra, kultural, ekonomis, sosial, simbolik) pun tidak terpisahkan dari kaum intelektual, demikian pun kekuasaan, apalagi kebudayaan. Persoalan di atas direpresentasikan Dhakidae sebagai persoalan politik discourse yang hangat pada waktu itu. Untuk memperkuat analisannya, Dhakidae juga memeriksa lembaga-lembaga sosial, politik, dan keagamaan, yang hadir di masa kepemimpinan Soeharto dan kroni-kroninya. Penelitian Dhakidae ini melihat posisi intelektual pada sejarah Orde Baru yang relasi Intelektual dengan modal, kebudayaan, dan kekuasaan yang dibingkai oleh discourse. Dengan kata lain buku ini memusatkan diri pada modal, kekuasaan negara dan lembaga-lembaga sosial yang terbentuk sebagai konsekuensinya dan terutama pada perangkat halus kaum cendekiawan melaui wacana kritis. Sehingga kompetisi wacana di dalam lapisan masyarakat Indonesia secara historis membawa hasil pertarungan panjang. Akan tetapi Dhakidae tidak memperlihatkan posisi, peran dan identitas intelektual secara kuat pada keruntuhan Orde Baru. Sebab runtuhnya orde Baru tidak terlepas dari permainan intelektual dalam mempropagandakan kezaliman orde Baru yang dinakhodai oleh Jenderal Soeharto. Dengan demikian posisi penulis dalam mengambarkan intelektual dengan Dhakidae memiliki perbedaan cara pandang dari aspek ini. 26
Ibid, hlm xxx-xxxi.
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara untuk melihat konflik yang terjadi di Maluku Utara, penulis akan menggunakan literatur Merajut Damai di Bumi Kier Raha, sebuah hasil penelitian dari lembaga Peace Through Development/PTD (Editor: Syarifudin dan Rusli, 2009). Buku ini melihat pada aspek historis, dimana konflik bermula, dan juga mencari tahu potensial akan timbulnya konflik. Hal ini yang disinggung dalam buku penelitian PTD. Dengan demikian, mereka merumusakan program pemberdayaan dengan menggunakan tiga pendekatan yakni, peningkatan kapasitas, pemberdayaan masyarakat lokal, dan kemitraan untuk mendorong percepatan pembangunan. Dalam buku ini, dikatakan bahwa konflik di Maluku Utara berkembang secara eksplisit dan memberi indikasi bahwa potensi konflik yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal. Melemahnya kapital sosial kemudian membuka ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab melalui cara-cara yang sistematis dengan berbagai kepentingan aktor intelektual27 yang sulit dijamah hukum. Selain itu, juga ada beberapa hal yang dirumuskan dalam buku ini sebagai pemicu terjadinya konflik di Maluku Utara diantarnya, lunturnya nilai agama, adat dan budaya, ketimpangan sosial, pemerintah yang korup, eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan kuam pemodal, dan disintegrasi sosial serta menguatnya sintimen etnis. Namun dalam buku ini, tidak menjelaskan sedikitpun tentang peran intelektual Maluku Utara ketika konflik terjadi
27
Istilah ini dipakai oleh Husen Alting (dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Ternate), dalam mengambarkan keterlibatan aktor intelektual dalam kerusuhan yang terjadi di Maluku Utara dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit. Lihat Syarifudin Usman & Rusli Djalil (Ed), Merajut Damai Di Maluku Utara. Ternate: Program Peace Through Development. 2009, hlm 59.
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian membedakan dengan tesis yang di tulis oleh penulis. Literatur lainnya adalah tulisan Mardyanto Wahyu Tryatmoko dalam jurnal Masyarakat Indonesia yakni “Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di Maluku Utara”(2005). Literatur ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan Ekonomi Politik. Mardyanto mencoba mengeksplorasi dan menganalisa beberapa hal yang menjadi sumber konflik di Maluku Utara. Dari hasil penelitiannya ternyata konflik Maluku Utara 1999-2000 memiliki persoalan yang begitu kompleks, sebab konflik tersebut bukan hanya menguatnya status etnis Makian28 dalam ranah ekonomi dan politik. Melainkan para elite yang berkonflik juga mendesain konflik massa dalam usaha memperebutkan kekuasaan politik dan sumber daya alam. Dalam penelitian Mardyanto ini hanya dijelaskan persoalan perebutan kekuasaan, SDA dan rekayasa konflik oleh para elite lokal, serta menjelaskan asalusul terjadinya konflik di Maluku Utara, Mardyanto tidak melihat seperti apa peran intelektual pada konflik tersebut. Dengan demikian perbedaan penelitian ini dengan penulisan yang hendak penulis garap dalam bentuk tesis adalah Mardyanto tidak mengambarkan bagaimana kaum intelektual membentuk identitas serta seperti apa posisi dan peran intelektual saat konflik di Maluku Utara. Sehingga letak perbedaan ini menjadi kekuatan bagi penulis untuk mencoba menyelami lebih dalam seperti apa
28
Makian adalah salah satu suku terbesar dan tersebar di seluruh penjuruh Maluku Utara
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intelektual memainkan peran dan membentuk identitas di tengah-tengah konflik di Maluku Utara. Literatur lainnya yang dapat membantu adalah Halmahera Berdarah (Jan Nanere et al. 2000). Dalam buku tersebut digambarkan bahwa konflik di Maluku Utara di picu oleh dua persoalan. Yang pertama adalah penyebaran surat palsu yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu atas nama ketua Sinode GPM yang berisi peta penyerangan Gereja Protestan Maluku di Ternate, sehingga memicu amarah masyarakat untuk saling membunuh karena diperkuat oleh kekuatan agama. Kedua, konflik di Maluku Utara merupakan pemaksaan kehendak politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi politik. Buku yang di tulis Jan Nanere et al, Halmahera Berdarah, tidak terlalu memperlihatkan di mana peran dan posisi intelektual ketika konflik berdarah di Maluku Utara, pada hal konflik di Maluku Utara tidak terlepas dari campur tangan intelektual melalui produksi wacana yang di angkat kepermukaan untuk mengundang api kerusahan dan juga ada pula intelektual yang tetap memainkan peran untuk memikirkan cara membangun rekonsiliasi di antara umat Kristen dan Islam yang bertikai. Penelitian penulis sendiri lebih menekankan pada peran dan posisi intelektual serta pembentukan identitas intelektual, dalam ranah sosial pada konflik di Maluku Utara. Dengan demikian perbedaan fokus penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya terletak pada posisi, peran, dan identitas dari para intelektual” dalam konteks konflik di Maluku Utara.
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6.
Kerangka Teori a.
Habitus Intelektual dan Arena Kuasa
Untuk melihat bagaimana intelektual memainkan peran serta membentuk posisi dan identitas mereka di dalam masyarakat, penulis akan menggunakan konsep “habitus dan arena” dari filsuf Prancis Pierre Bourdieu. Konsep tersebut menggambarkan bahwa posisi atau identitas seseorang tidak terlahir secara alamiah, melainkan dibentuk melalui arena atau sejarah. Konsep ini juga mengatasi dikotomi antara individu dan masyarakat, agensi dan struktur sosial, serta kebebasan dan determinisme. Posisi dan identitas kaum intelektual yang mempunyai modal budaya dan simbolik itu tidak terbentuk secara alami dan serta tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Modal budaya dan modal simbolik ini selanjutnya akan diuraikan secara spesifik pada bab dua. Sebelum menjelaskan apa itu konsep habitus dan arena yang representasikan oleh Bourdieu, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu sedikit sejarah dari penamaan atau pemakaian dari kata intelektual itu sendiri dan secara formal yang dipakai di Prancis. Ketika surat kabar harian Paris L’Aurore dengan editor Georges Chèmenceau menyiarkan Manifeste des Intellectuals pada 14 Januari 1898 sebagai respon terhadap kasus Dreyfus, dalam surat kabar tersebut digambarkan para Dreyfusards29 menuntut agar kasus Dreyfus dibuka kembali yang pada tahun 1894
Julukan bagi para pembela Kapten Dreyfus ,mereka adalah para pengarang yakni, Anatole France, Emile Zola, Daniel Halèvy, dan Marcel Proust. Lihat Benda Pengkhianatan Kaum Cendekiawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1997, hlm viii. 29
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dituduh sebagai aktor yang menjual rahasia militer Prancis kepada agen Jerman. Setelah kasus tersebut dibuka kembali pada tahun 1906, dan perjuangan dari Zola, France, Halevy dan Proust akhirnya Dreyfus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Sejak disiarkannya manifeste tersebut lahirlah istilah “intelektual” yang sebelumnya tidak didapati dalam kamus standar Prancis.30 Istilah intelektual merupakan predikat yang dipakai oleh mereka yang memiliki modal budaya (pengetahuan dan simbolik), yakni kaum intelektual. Dengan kata lain predikat tersebut terinternalisasi dalam diri agensi atau seseorang yang berpikir kritis dan mau mengkritisi masalah-masalah di dalam masyarakat yang menghilangkan hak kemanusiaan sesorang, seperti yang terjadi pada kasus Dreyfus. Dengan gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa habitus seorang agensi atau intelektual lahir melalui pergulatan dengan realitas baik secara sadar maupun secara tidak sadar sendiri. Sebagaimana secara formal Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai “sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan atau transposable, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-sruktur (structured structures predisposed to fuction as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif...”.31 Artinya habitus bukan terlahir dari hasil pengajaran, melainkan terbentuk dari hasil (re)produksi sejarah yang dialami oleh agensi dalam kehidupan. 30
Lihat Benda. Ibid, hlm viii-ix. Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. (terj ) Yogyakarta:Kreasi Wacana. 2010, hlm xv-xvi. 31
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lebih lanjut Bourdieu juga menjelaskan mengenai maksud dan sekaligus makna dari habitus pada kehidupan sosial sebagai berikut:
The habitus is the generative principle of objectively classifiable judgements and the system of classification (principium divisionis) of these practices. It is in the relationship between the two capacities which define habitus, the capacity to produce classifiable practices and works, and the capacity to differentiate and appreciate these practices and products (taste), that the represented social world the space of life-styles is constituted.32 Habitus merupakan sebuah sistem dari praktik yang dilakukan oleh agensi atau kaum intelektual, entah secara sadar maupun tidak, dalam dunia akademik maupun sosial ketika ia berada. Oleh karena itu habitus terinternalisasi dalam diri individu dan sekaligus menjadi pembentuk identitas seseorang sebagai kaum intelektual dengan berbagai modal yang dimiliki, yakni modal budaya, simbolik, sosial, dan ekonomi. Menurut Bourdieu habitus merupakan pembentukan sistem sosial melalui struktur kemampuan kognitif yang secara sosial disituasikan dengan struktur-struktur yang didefinisikan dengan kepentingan dari individu atau agensi.33 Pada sisi lain habitus bersumber pada rangkaian struktur yang secara objektif diorganisir melalui sebuah produksi startegi.
Menurut Bourdieu strategi yang dipakai para agensi berdasarkan pada sejumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada upaya 32
Bourdieu. Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press. Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm 170. 33 Lihat Bourdieu. Outline Of A Theory Of Practice diterjemahkan Richard Nice. Cambridge university Press, 1977, hlm 76.
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melestarikan dan mempertahankan status quo, sementara mereka yang didominasi berikhtiar mengubah distribusi modal, aturan main, dan posisinya.34 Konsep habitus ini mengandaikan bahwa kaum intelektual dapat membentuk habitusnya hanya dalam suatu arena dengan modal-modal yang dimiliki. Sebab bagi Borudieu habitus bukan hanya struktur yang distrukturkan dengan bentuk praktik dan presepsi, melainkan juga sebuah prinsip struktur yang dibagikan ke dalam logika kelas dan diatur melalui presepsinya terhadap dunia sosial.35 Itu artinya habitus merupakan representasi atas posisi agensi dalam kehidupan sosial serta praktiknya dalam dunia sosial atau dalam suatu arena bagi dirinya untuk memanifestasikan identitas keintelektualnya. Intelektual yang dikarunia oleh modal budaya dan simbolik dapat menentukan posisi dan perannya untuk menyuarakan kepentingan sosial sebagai perwujudan tanggung jawabnya, sebab pengetahuan sendiri dapat membentuk kekuasaan selama modal budaya dapat diperjuangkan di dalam arena yang memiliki aturan mainnya tersendiri. Arena adalah ruang yang memungkinkan kaum intelektual dapat membentuk posisinya sebagai kaum intelektual. Oleh Bourdieu, arena didefinisikan sebagai: Tempat di mana pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hirarkis (arena pendidikan, arena kultural, arena politik, arena ekonomi, dan sebagainya). Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi agen-agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Arena merupakan ruang yang 34
Lihat Fauzi Fashri. Pierre Bourdieu, Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra, hlm 113. The habitus is not only a structuring structure, which organizes practice and preseption of practice, but also a structured structure: the principle of division into logic clasess which organizes the perception of the social world… Bourdieu. Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste. Harvard university press. Cambridge, Massachuset ts, 1984 hlm 170. 35
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri ... kendati setiap arena relatif otonom, namun secara struktural mereka tetap homolog satu sama lain ... strukturnya, di momen apapun, ditentukan oleh relasi-relasi di antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen di arena tersebut.”36 Intelektual tidak dapat membentuk identitas atau habitusnya mereka tanpa ada arena. Sebab arena merupakan perwujudan untuk membentuk posisi seseorang sebagai intelektual. Di dalam arena ini kemudian dipertaruhkan modal-modal oleh agensi/ intelektual untuk membentuk identitasnya. Dengan kata lain, seorang yang dapat dikatakan intelektual jika ia mampu untuk mempertaruhkan modal-modal yang dimiliki di arena, entah arena intelektual, ekonomi, seni, sosial, politik dan sebagainya untuk melegitimasi dirinya sebagai kaum intelektual. Dengan demikian arena didefinisikan oleh Bourdieu sebagai arena kekuatan atau arena perjuangan (field is field forces and field struggle).37 Arena merupakan tempat perjuangan dari kaum intelektual untuk mempertaruhkan modal-modal yang dimilikinya untuk membentuk posisinya atau identitasnya dalam suatu ruang. Dengan kata lain arena adalah ruang sosial yang terstruktur. Dengan kapasitas dan pendidikan (modal budaya dan simbolik) yang dimiliki oleh kaum intelektual akan dapat dijadikannya sebagai strategi untuk memposisikan dirinya dalam kehidupan sosial atau arena sosial sebagai tempat berlangsungnya penciptaan identitas dengan relasi antara modal-modal untuk membentuk habitusnya. Oleh karena itu, otonomi arena produksi kultural, atau faktor struktural juga akan 36
Bourdieu. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Op.cit, hlm xvii-xviii. Lihat Bourdieu. The Field Of Culture Production, Essay On Art And Literature diterjemahan dan di edit oleh Randal Jhonson. Columbia University Press 1993, hlm 30. 37
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menentukan pergulatan internal dalam bidang ini, berbeda-beda menurut periode yang tengah dijalani sebuah masyarakat dan menurut perbedaan masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan ini, menurut Bourdieu sebagaimana yang dikutip Jenkins (2010), arena intelektual merupakan tempat berlangsungnya penciptaan posisi para agen ... dan merupakan suatu sistem para agensi atau sistem-sistem pelaku, yaitu institusi yang memiliki relasi satu sama lain mungkin dikonseptualisasikan sebagai kekuatan untuk membedakan kekuatan yang secara berlawanan atau terkombinasi. Menstrukturkan arena itu pada segalah momen spesifik. Kekuatan-kekuatan tersebut didefinisikan oleh posisi-posisi mereka dalam arena ketimbang oleh karakteristik intrinsik. Intelektual juga dapat didefinisikan oleh partisipasi mereka dalam arena budaya yang didefinisikan sebagai sistem relasi antara tema dan masalah.38 Arti penting relatifnya peran-peran yang dimainkan seniman dan intelektual pun akhirnya juga berbeda-beda. Di satu sisi, intelektual dengan fungsi sebagai ahli atau teknisi menawarkan jasa-jasa simbolik seperti (prestise, gelar, dan kekuasaan) terhadap pihak yang dominan. Di sisi lain, perannya sebagai pemikir bebas dan kritis, yang diperoleh lewat arena dan dipertahankan untuk melawan pihak dominan. Kaum intelektual yang menggunakan modal secara khusus diperoleh lewat otonomi dan dijamin keotonomian arena itu sendiri untuk campur tangan ke dalam arena politik, mengikuti model Emile Zola: yang pada era 1927 membela kapten Dreyfus sebagai
38
Lihat Richard Jenkins. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. (terj) Yogyakarta: Kreasi Wacana 2010, hlm 205-206.
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang yang berdarah yahudi, ketika difitnah oleh intelektual-intelektual Prancis yang anti Yahudi.39
b. Pembentukan Identitas Intelektual Seperti yang telah disinggung penulis pada awal bagian kerangka teori, untuk melihat bagaimana identitas dibentuk dan direproduksi oleh intelektual melalui wacana di dalam dunia akdemik dan dipraktekkan di kehidupan sosial, penulis menggunakan pendekatan tentang Arena dan Habitus, di mana konsep arena merupakan wilayah perebutan kekuasaan modal-modal oleh intelektual. Sementara untuk memposisikan dan membentuk diri mereka sebagai kelas tertentu maka dibentuk melalui habitus. Arena dan habitus merupakan medan pertarungan kaum intelektual untuk mengembangkan modal-modal entah modal budaya (pendidikan), modal sosial (kepercayaan, jaringan dan sebagainya), modal ekonomi (harta), modal, simbolik (gelar, prestise, dan kehormatan), agar identitasnya dapat terbentuk ditengah-tengah masyarakat. Sebab identitas intelektual merupakan stabilitas makna yang dibentuk melalui arena sosial dan bukannya terlahir secara sendiri. Identitas intelektual dapat terbentuk secara baik, selama di dalam arena sendiri, modal-modal yang dimiliki oleh intelektual dapat berjalan secara baik. Identitas sendiri bukan tercipta secara alamiah, melainkan diciptakan oleh agensi dalam pergulatanya di arena sosial untuk membentuk identitas tersendiri. 39
Pierre Bourdieu, Choses Dites, Uraian dan Pemikiran, (Terj) Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 194 . dan bdk, S Tasrif dalam Ibid (editor) Dick Hartoko. Golongan Cendekiawan: Mereka Yang Berumah di Angin, Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia 1980, hlm 111.
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Untuk menciptakan identitas sebagai intelektual, tentunya kaum intelektual harus memiliki modal budaya sebagai legitimasinya. Sejalan dengan ini, menurut Hall identitas ini dapat dikategorikan sebagai identitas sosiologis di mana inti dari subjek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (significant other), yang jadi perantara subjek dengan nilai, makna simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup.40 Pembentukan identitas kaum intelektual merupakan keberfungsian atas modal budaya dan simbolik atau menempatkan modal-modal tersebut sesuai dengan arena yang ada, misalnya arena sosial maupun arena intelektual. Dan ini menjadi salah satu hal yang paling mendasar ketika mereka berada dalam arena, sebab dari sini dapat dibedakan identitas sebagai intelektual, dari elite politik dan warga masyarakat.
c.
Konflik sebagai Ranah Perebutan Kuasa Konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara dengan
tindakan kekerasan merupakan konflik yang bukan terjadi secara alamiah, apalagi setelah agama digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Konflik tersebut terjadi melalui skenario maupun provokasi dari oknum-oknum yang biasanya memiliki kepentingan kekuasaan politis. Kekuasaan politis bukan hanya ditafsir sebagai jabatan partai politik maupun jabatan di pemerintahan saja, namun juga sebagai tempat kekuasaan ekonomi dan perebutan sumber daya alam.
40
Lihat Chris Barker. Culture Studies, teori dan praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cet ke tujuh 2011, hal 177.
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kekerasaan yang terjadi di Maluku Utara juga tidak terlepas dari permainan dominasi simbolik, di mana pengetahuan, bahasa dan agama menjadi ruang habitus untuk membentuk kepatuhan seseorang. Dilihat dari kacamata Bourdieu, dominasi ini terlaksana melalui jalan simbolik komunikasi dan pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan karena ketidaktahuan dan pengakuan korban.41 Konflik agama bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena faktor di luar agama, misalnya faktor, sosial-ekonomi seperti ketidakadilan dan kemiskinan. Di satu desa, ternyata tingkat ekonomi warga yang beragama Kristen lebih baik dari Islam atau sebaliknya. Keadaan ini dapat menimbulkan kecemburuan, apalagi bila ada tindakan-tindakan tidak adil dari penguasa setempat terhadap warga masyarakat menurut kategori kelompok agama. Faktor politik: agama dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan, atau kekuatan untuk berpolitik dan mengorbankan orang atau kelompok lawan politik. Kedua, faktor dari dalam, di dalam dirinya sendiri mengandung potensi konflik. Contohnya, ada teks-teks
Kitab Suci agama yang
sering dijadikan kekuatan legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama yang lain bahkan pembunuhan.42 Daerah-daerah yang berkonflik biasanya masih memiliki trauma dan selalu dibayangi oleh kekerasan, sehingga dengan mudah terbuka ruang bagi terjadinya konflik yang berkepanjangan. Hannah Arendt (Haryatmoko:2004), seorang filsuf
41
Lihat Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010, hlm 13. 42 Tanuwibowo S Budi et al. Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian studi Bersama Antar Iman. Yogyakarta:DIAN/Interfidei dan The Asia Foundation, Cetakan pertama 2002, hlm 10-11.
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
politik, menyebut fenomena semacam itu sebagai banalisasi kejahatan (menjadi biasanya suatu tindak kejahatan). Bagaimana kejahatan bisa dilakukan oleh orangorang tanpa ada perasaan bersalah? Beberapa hal dapat menjawab pertanyaan ini: korban kekerasan dibuat impersonal, lemahnya pertimbangan reflektif para pelaku kekerasan, impunity, dan fanatisme.43 Posisi intelektual dalam konflik di Maluku Utara mencerminkan suatu upaya untuk membentuk identitas sosial sebagai individu yang mengkonstruksi dunia di sekitar mereka. Mereka dapat bertindak dalam pengertian praktis dengan cara mengorganisasi tindakan mereka. Intelektual terdominasi melalui arena yang dikuasai oleh elite lokal. Sebab dalam semua masyarakat prinsip dominasi dalam pengorganisasian sosial selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Semuanya tergantung dari pertarungan modal di dalam arena yang dimiliki untuk mendapat pengakuan sosial.
7.
Metodologi penelitian a. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku Utara dengan sasaran penelitian
pada kaum intelektual saat gejolak konflik di Maluku Utara pada tahun 1999-2000. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah pertimbangan intelektual, yang untuk mengetahui bagaimana peran dan posisi kaum intelektual serta seperti apa
43
Lihat Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas, Cetakan kedua 2004, hlm 99.
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pembentukan identitas mereka di Maluku Utara pada saat konflik terjadi. Untuk mengetahui itu semua, penulis melakukan penelitian di lokasi tersebut. b. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan struktural generatif.44 Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data dan makna yang bersifat komparatif mengenai peran, posisi, dan identitas kaum intelektual pada konflik di Maluku Utara 1999-2000. Pendekatan strukturalisme generatif diharapkan dapat menjelaskan makna otonom intelektual dan asal-usul intelektual dalam arena kehidupan sosial dengan melihat relasi antara individu dan masyarakat, maupun antara struktur obyektif dan subyektif. Dengan demikian dapat membantu penulis dalam melihat posisi intelektual dalam arena kehidupan masyarakat. c. Teknik Penentuan Informan Dalam rangka untuk memperoleh data-data dan mencari makna indentitas dari kaum intelektual pada konflik di Maluku Utara, peneliti pertama-tama akan
44
Awalnya pendekatan strukturalisme mewarisi tradisi formalistik matematika, ekonomi, dan psikologi dan mengadopsi pendekatan analitik yang dikembangkan oleh semiotika. Strukturalisme berusaha mengidentifikasi dan memetakan setiap bagian di dalam sebuah sistem; satu peristiwa atau satu rangkaian peristiwa dianggap memiliki ‘pola’ tertentu dan pola ini hanya dapat ditemukan ketika kita menggunakan prespektif strukturalisme. Lihat Norman k Denzin & Yvonna S. Lincoln (Eds), Handbook of Qualitative Research. (Terj), Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama 2009, hlm 619. 44 Selain itu strukturalisme mulai dikembangan salah satunya adalah Struktural generatif yang merupakan salah satu pendekatan metode Pierre Bourdieu untuk mendiskripsikan, memahami, dan memperhitungkan asal-usul agen-agen dan asal-usuk berbagai struktur serta kelompok sosial dan relasi antar subyek dan obyek. Harker Richard et al. Habitus X Modal+Ranah=Praktik, Komperhensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu: Yogyakarta: Jalasutra. 2009, hlm 4. Bdk Arizal. Op.cit, hlm 160.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menentukan informan yang akan terlibat dalam pengumpulan data serta memiliki hubungan dengan fokus penelitian yang akan dikerjakan oleh penulis. Adapun teknik penentuan informan dalam penelitian ini sebagai berikut: a) Informan Kunci, yakni orang-orang yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi dan data-data mengenai posisi dan peran, serta identitas kaum intelektual pada konflik di Maluku Utara 1999-2000. b) Informan Utama, yakni kaum intelektual yang pada waktu itu merasakan langsung bagaimana menempatkan posisi, peran, dan identitas
pada
konflik tersebut. c) Informan Tambahan, yaitu individu-individu yang dianggap mengetahui dan dapat memberikan informasi tambahan tentang posisi, peran, dan identitas kaum intelektual di Maluku Utara pada saat konflik.
d. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data yang sesuai dengan apa yang hendak diteliti. Maka ada beberapa instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan langkah-langkah antara lain sebagai berikut: a) Wawancara Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan teknik wawancara untuk mencari data-data yang penting dan bermakna dengan cara melakukan wawancara mendalam melalui interaksi intensif antara peneliti dengan kaum intelektual (akademis yang berusaha membangun opini
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
publik secara tertulis dan cetak) sehingga dapat dengan mudah peneliti melakukan penulisan tesis dengan data yang di dapat. Selain itu wawancara merupakan bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanyajawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan.45 b) Dokumentasi Dalam teknik dokumentasi ini adalah di mana peneliti menelusuri dan atau mencari data-data yang berkaitan dengan fokus penelitian melalui literatur-literatur, Koran, Majalah, dan lain-lain selama berkaitan dengan penelitian ini dan dapat memberikan sumber informasi bagi penulisan tesis ini.
e. Teknik Analisa Data Ada pun teknik analisa data pada penelitian ini yang peneliti gunakan untuk memperdalam analisis dalam tesis ini di antaranya:
45
W. GulÖ. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo. Cetakan kelima 2007, hlm 119.
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
a. Reduksi Data (Data Reduction) Data yang terkumpul dirangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan pola serta disusun secara sistematis. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti dalam pengumpulan data. b. Penyajian Data (Data Display) Data yang akan disajikan dalam gaya bahasa bertutur maupun dengan cara mengambil pokok pikiran yang disampaikan oleh para subjek penelitian. Melalui penyajian data, maka dengan mudah data dapat tersusun secara rapi, sehingga dengan demikian dapat dipahami. c. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion Drowing/Verication). Dalam fase ini peneliti akan mengkoneksitaskan antara temuan di lapangan dengan pemikiran teoritik serta menganalisa kebenaran temuan lapangan dengan menggunakan pendekatan strukturalis, untuk berusaha semaksimal mungkin mendapatkan makna dari data-data yang sudah terkumpul yang dapat menjawab hepotesa awal peneliti.
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8.
Sistimatika Penulisan Tesis Dalam penulisannya tesis ini akan di bagi menjadi lima bab, dan masing-
masing bab akan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Pada bab pertama tesis ini akan diuraikan latar belakang masalah yang menjadi titik berangkat, serta rumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistimatika penulisan. Dalam bab kedua penulis menguraikan mengenai pengertian kaum intelektual, modal budaya dan simbolik, serta peran dan posisi kaum intelektual dalam kehidupan masyarakat maupun akademik. Dalam bab ketiga penulis akan menganalisis peran intelektual dalam kehidupan masyarakat dengan mengunakan analisa teoritik, dan juga untuk merepresentasikan bagaimana kaum intelektual secara umum memposisikan diri mereka dengan berbekal modal-modal yang dimiliki dalam kehidupan sosial. Selain itu penulis juga akan menjelaskan seperti apa tanggung jawab sosial dan moral sebagai kaum intelektual yang hidup di arena perguruan tinggi dan dalam lingkungan masyarakat dengan menggunakan konsep habitus dan arena. Dalam bab keempat penulis akan mengambarkan konflik dan karakteristik konflik 1999-2000 yang terjadi di Maluku Utara serta upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah, kaum intelektual, dan tokoh masyarakat setempat. Pada bab kelima akan dibahas tentang peran dan posisi kaum intelektual Maluku Utara ketika berada dalam suasana konflik di Maluku Utara, pembentukan 36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identitas intelektual di dalam konflik yang terjadi serta hubungan antara modal budaya, dan modal simbolik dalam konflik tersebut. Sementara itu pada bab enam penulis akan menyimpulkan beberapa hal pokok dari tesis ini, yang dimulai dari bab pertama sampai bab kelima yang dianggap inti dari penelusuran penulis atas peran dan posisi kaum intelektual serta identitasnya dalam konflik Maluku Utara.
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II KAUM INTELEKTUAL: KAJIAN MENGENAI REPRODUKSI PENGETAHUAN DAN PRAKTIK DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian kaum intelektual, modal budaya dan modal simbolik. Selain pengertian kaum intelektual dan modal tersebut, pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai peran kaum intelektual dalam kehidupan sosial-budaya.
1.
Siapakah Kaum Intelektual Itu Dilihat dari sudut sejarah kaum intelektual pertama-tama dalam tradisi filsafat
dapat dikatakan kaum sophis (Protagoras, Gorgias, Hippias, Prodikos) yang mengalami dekadensi di zaman Sokrates dan Plato, tetapi sampai abad ke-17, kaum intelektual belum merupakan suatu lapisan masyarakat yang sadar akan dirinya.46 Dengan kata lain, mereka (kaum sophis) masih saja hidup di menara gading yang sibuk mengajarkan pengetahuan tanpa mempraktikan pengetahuan tersebut pada kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, pengertian mengenai intelektual masih mengalami perbaharuan. Baru pada abad ke-18, kata intelektual digunakan dalam bahasa Prancis, yakni intellectuel untuk melancarkan protes dalam kasus Dreyfus.
46
Wiratmo Soekito. Ketakterlanggaran Batas-Batas Kultural, dalam Aswab Mahasin & Ismed Natsir (editor). Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3S, hlm 167.
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bahkan dalam perkembangan zaman yang ditandai dengan lahirnya zaman Renaisans sekitar akhir abad ke-18, kata intelektual hampir tidak dapat dibedakan dengan kata sarjana, sebab pada periode tersebut orang yang berpengetahuan adalah orang yang memiliki sarjana (ijasah) dari Universitas dan bahkan dikatakan sebagai intelektual. Penyamaan antara kaum intelektual dan sarjana pada waktu itu, melahirkan tanggapan dari Daniel Bell yang memandang sarjana dan intelektual memiliki ciri perbedaan yang mendasar. Baginya „Sarjana memiliki suatu bidang pengetahuan yang terbatas, dengan cara tradisi… sementara intelektual mulai dengan pengalamannya, pengamatan individualnya atas dunia, dan memberikan pendapat mengenai dunia‟.47
Selain itu kata intelektual juga sering digunakan hampir tidak ada perbedaan dengan kata intelegensia. Sebab, kedua kata tersebut sering digunakan bergantian untuk menyebutkan atau pun menjelaskan kaum terpelajar, terdidik, cerdas serta yang berpihak kepada kepentingan masyarakat secara totalitas. Sebagai contoh, Arif Budiman, misalnya dalam tulisannya mengenai ‘Students as Intelligensia: The Indonesian Experience (1981), dengan menggunakan kerangka literatur-literatur Eropa Barat mengenai „intelektual‟, di mana di dalamnya istilah „intelektual‟ dan „inteligensia‟ dipakai dengan saling dipertukarkan. Pada satu kesempatan, dia menyatakan bahwa para mahasiswa Indonesia termasuk ke dalam „kelompok
47
Lihat Wiratmo Soekito. Op,cit,. dalam Aswab Mahasin & Ismed Natsir (editor). Op,cit,. Jakarta: LP3S, hlm 168
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intelektual‟ (h. 224). Pada kesempatan yang lain, dia melukiskan para mahasiswa sebagai inteligensia (h. 225).48 Namun setiap definisi yang mereka ajukan‟, kata Zygmunt Bauman (1989) sebagaimana yang dikutip Latif, „sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing masing. Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi: yaitu di sini dan di sana, di dalam dan di luar, kita dan mereka‟.49 Artinya, kata intelektual dan intelegensia hampir sulit dibedakan bahkan kadang hanya digunakan oleh seseorang untuk memahami kaum terdidik dari sudut padang tertentu. Kedua kata tersebut seperti dua mata pisau.
Sebelum menjelaskan siapakah intelektual yang dimaksudkan dalam tesis ini, ada baiknya penulis jelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian intelektual itu sendiri. Dalam kamus filsafat, kata intelektual (Indonesia), intellect (Inggris) dan intelligere (Latin) memiliki arti memahami. Singkatnya, kaum intelektual ialah mereka yang memiliki kemampuan untuk mengetahui, untuk mengerti secara konseptual dan menghubungkan apa yang diketahui atau dimengerti.50 Kemampuan untuk mengetahui merupakan kemampuan yang dimiliki oleh kaum intelektual untuk dapat menghubungkan pengetahuan (individu) dengan praktik (sosial) dalam kehidupan sosial yang ia tempati. Oleh karena itu, dalam tesis ini akan digunakan
48
Lihat Latif. Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan. 2005, hlm 15. 49 Lihat Latif. Ibid,. Bandung: Mizan, hlm 22. 50 Lihat Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005, hlm 356-357.
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kata intelektual ketimbang intelegensia. Sebab kata intelektual merujuk pada individu atau sekelompok orang yang memiliki modal budaya dan modal simbolik yang dikembangkan baik dalam ranah intelektual maupun dalam praktik.
Dari kemampuan ini kaum intelektual dapat dibedakan dirinya dengan lapisan sosial dalam masyarakat lainnya (politikus, pengusaha, pekerja dan sebagainya). Menurut Hardiman, intelektual dipahami dalam arti luas, yaitu para pemikir yang tanpa henti mengambil sikap reflektif terhadap proses-proses sosial dan proses kebudayaan.51 Intelektual adalah mereka yang hidup dalam dunia Universitas, yang memiliki peran untuk mengembangkan tanggung jawab akademik dan tanggung jawab sosial melalui modal yang ia miliki untuk kehidupan sosial. Itu artinya, dengan berada dalam universitas intelektual harus mampu melakukan refleksi atas proses sosial dan proses kebudayaan yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat.
Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa kaum intelektual yang dimaksudkan dalam tesis ini ialah sekumpulan orang yang memiliki modal budaya dan modal simbolik atau profesi dan keilmuannya untuk memproduksi wacana dan pengetahuan serta mempraktikkannya dalam kehidupan masyarakat. Intelektual tersebut adalah para akademisi. Para akademisi adalah mereka yang berkarya di dunia universitas dengan cara menulis, meneliti, serta mengkritik dan mencarikan jalan keluar terhadap persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan
51
Lihat F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Moderintas, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, dalam catatan kaki. Yogyakarta: Kanisius, hlm 120.
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ini dalam pandangan Bourdieu menjadi intelektual merupakan hasil dari suatu pola hubungan, (relation). Seseorang menjadi intelektual di satu sisi berdasarkan konsepsi diri dan pandangan terhadap orang lain (subyektif), dan di sisi lain seluruh subjektivitasnya ditentukan oleh posisi seorang di dalam ranah sosial (social field), yang tidak dihilangkan begitu saja.52
Modal budaya dan modal simbolik yang dimiliki akan menjadi penting untuk dapat melegitimasi posisi seseorang sebagai intelektual. Dari kedua modal itu, kaum intelektual dapat memproduksi wacana dan sekaligus mempraktekan wacana itu di dalam kehidupan sosial. Sejalan dengan ini,
Edward W. Said dalam The
Representation of Intellectuals (1994) mendefinisikan intelektual sebagai “individu yang dikaruniai bakat dan kemampuan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, philosophy atau opini kepada publik”.53
2.
Seperti Apakah Modal Budaya Kaum Intelektual
Untuk menjalankan peran dan menempatkan posisi sebagai kaum intelektual dalam dunia akademik, mereka sebagai kaum intelektual harus memiliki modalmodal agar dapat memahami apa yang dijalankan, baik dalam universitas maupun dalam kehidupan sosial. Modal ini yang nanti akan membentuk dirinya sebagai kaum intelektual ketika bertarung dalam sebuah arena. Modal yang dimaksud adalah modal 52 53
Lihat Arizal Mutahir. Op.cit,. Yogyakarta:Kreasi Wacana, hlm 9. Lihat Edward W. Said. Representations Of The Intellectual. New York: Vintage Books.1994,hlm 11.
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
budaya. Modal budaya adalah sebuah kepemilikan berupa pengetahuan, kecakapan, persepsi, seni berbicara, dan sebagainya. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu modal budaya ialah suatu penegetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi dan kalkulasi kognitif yang melengkapi agen. Misalnya, sebuah karya seni mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural.54 Artinya, seorang agensi dapat menulis sebuah karya seni, apabila ia memiliki kecukupan modal budaya yang dijadikan bahan untuk menulis karya seni tersebut.
Modal budaya dapat dipilah menjadi dua bentuk, yakni modal budaya yang diinstitusionalkan55 dan modal budaya yang tidak diinstitusionalkan.56 Kedua modal ini menjadi penting bagi kaum intelektual karena dengan modal tersebut kaum intelektual dapat mereproduksi pengetahuan di dalam universitas, dengan cara menulis dan berbicara mengenai persoalan kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Modal tersebut juga digunakan untuk mempertahankan posisinya atau bersaing dengan agensi lain dalam arena intelektual maupun kehidupan sosial untuk membentuk identitasnya sebagai kaum intelektual. Reproduksi pengetahuan dapat berjalan sejauh mereka mempunyai modal budaya yang dapat digunakan untuk
54
Lihat Randal Johnson dalam Pengantarnya Pierre Bourdieu Tentang Seni, Sastra Dan Budaya, dalam Bourdieu. Arena produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm xix. 55 Yang dimaksud dengan modal budaya yang diinstitusionalkan di sini berupa, Ijazah, gelar, jabatan akademik dan sebagainya. 56 Yang dimaksud dengan modal budaya yang tidak diinstitusionalkan ialah, pengetahuan, buku, kecakapan, cara pembawaan dan sebagainya,
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memahami atau menjelaskan problem sosial yang dibicarakan oleh agensi lain57 atau yang diperdebatkan dalam kehidupan sosial.
Dengan modal budaya atau kapasitas dan pendidikan yang dimiliki oleh intelektual merupakan sebuah strategi untuk memposisikan dirinya dalam kehidupan sosial sebagai tempat berlangsungnya penciptaan identitas dengan relasi antara modal dan habitus. Oleh karena itu otonomi arena produksi kultural, atau faktor struktural yang menentukan pergulatan internal dalam bidang ini, berbeda-beda menurut periode yang tengah dijalani sebuah masyarakat dan menurut perbedaan masyarakat itu sendiri.
Tanpa modal budaya kaum intelektual tidak dapat bersaing dengan agensi lain dalam suatu arena yang akan melegitimasi peran dan posisinya, sebab arena membutuhkan sebuah modal untuk siap dipertaruhkan oleh seorang agensi untuk membentuk dirinya sebagai kaum intelektual dan sekaligus mengafirmasi identitas khasnya. Misalnya, seorang dosen tidak dapat dikatakan sebagai seorang intelektual atau seorang dosen tidak dapat berbicara mengenai sebuah persoalan konflik, jika ia sendiri tidak memiliki pemahaman mengenai konflik (modal budaya) itu. Oleh karena itu, modal budaya merupakan kekuatan tersendiri, dan landasan bagi argumentasi kaum intelektual untuk melakukan kritik, menyampaikan pendapat dan sekaligus dapat membentuk identitasnya.
57
Agensi lain ialah elite, pengusaha, politikus dan sebagainya.
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Identitas ini bukanlah dinegasikan oleh suatu kepemilikan modal budaya, melainka hadir dari pertarungan modal budaya dari intelektual dalam kehidupan sosial. Modal budaya dipreferensi oleh kaum intelektual agar dapat memproduksi pengetahuan dan wacana baik secara teoritik maupun landasan dalam praktik. Secara teoritik dimaksudkan agar modal budaya dari kaum intelektual dapat menjadi legitimasi untuk menambah pengetahuannya, sementara dalalm praktik dimaksudkan agar kepemilikan modal budaya dari kaum intelektual dapat menjadi acuan untuk berbicara mengenai masalah yang terjadi dalam kehidupan atau lingkungan sosial.
3.
Seperti Apakah Modal Simbolik Kaum Intelektual
Selain dengan modal budaya ada pula modal yang lain yang dijadikan dasar oleh kaum intelektual ketika mereproduksi pengetahuan untuk dijalankan dalam praktik, yakni modal simbolik. Modal simbolik ialah modal yang terkait dengan gelar pendidikan, penguasaan bahasa, kelas tertentu, karya dan sebagainya yang dimiliki kaum intelektual melalui pengakuan atau penilaian dari masyarakat serta dari universitas. Sebagai contoh, misalnya A dikatakan layak mendapatkan gelar profesor atau dikatakan intelektual, bila A memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam bidangnya serta A juga tidak angkuh serta mau peduli terhadap kehidupan sosial di masyarakat sebagaimana dasar dari pengertian intelektual itu sendiri.
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sejalan dengan ini menurut Bourdieu modal simbolik adalah sebuah gelar atau pengakuan yang di dapat dari institusi. Modal tersebut dapat dikatakan sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh mereka yang telah meraih pengakuan yang cukup untuk berada pada posisi untuk memberlakukan dan memaksakan pengakuan.58 Dengan kata lain, modal simbolik bisa berupa gelar pendidikan, kehormatan, posisi sosial dan sebagainya yang ditentukan oleh posisi mereka dalam suatu ruang atau tempat tertentu.
Dengan memiliki modal simbolik kaum intelektual akan lebih mudah ketika berbicara atau mereproduksi wacana dalam suatu arena tertentu. Sebab, bagaimana pun otoritas untuk berbicara juga tidak terlepas dari kekuasaan modal simbolik yang dijadikan sebagai strategi dalam mempertahankan posisinya serta untuk mendapatkan pengakuan agar dihargai dan di dengar ketika berbicara. Kekuasaan simbolik hadir dalam kehidupan sosial yang dijalankan kaum intelektual mencakup, kepangkatan, mesium, buku, karya seni dan lain-lain. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu kekuasaan simbolik tidak hadir dalam domain ide-ide, melainkan dalam domain praktik itu sendiri.59
Modal simbolik bukan merupakan modal yang mati, melainkan modal yang dihidupkan oleh kaum intelektual melalui karya simbolis (buku, tulisan, seni) dalam ruang sosial. Modal dari karya simbolik dibutuhkan oleh kaum intelektual untuk 58
Lihat Bourdieu. , Choses Dites, Uraian dan Pemikiran, (Terj) Yogyakarta:Kreasi Wacana, hlm 183. bdk Haryatmoko. Op,cit. hlm, 12. 59 Richard Harker. Op.cit., hlm 264.
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membentuk perannya dalam kehidupan sosial. Karya kaum intelektual ini di atur oleh modal simbolik sehingga untuk bertarung dengan agen lain dalam arena intelektual dan juga dalam kehidupan sosial kaum intelektual berada dapat termanifestasi.
4.
Peran Kaum Intelektual dalam Kehidupan Sosial - Budaya Peran kaum intelektual dalam kehidupan sosial-budaya tidak dapat dinafikan
sebagai pembentuk wacana dan pelaksana wacana untuk menjadi acuan bagi masyarakat dalam memahami kehidupan. Hal tersebut dapat lihat dengan hasil reproduksi penelitian, buku, kritik sosial dan karya sosial. Semuanya dilakukan oleh kaum intelektual sebagai cara melawan penindasan yang dilakukan oleh penguasa dan menjadi tanggung jawab sosial dan akademik. Sebagai kaum intelektual tentunya peran seperti ini mengandaikan berjalannya kesadaran dan pengetahuan untuk memahami dan mengartikulasikan pandangannya mengenai persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Menurut Miller (1999), sebagaimana yang dikutip Latif, menyebutkan dua perespektif mengenai peran dari kaum intelektual, pertama yakni memandang bahwa pemikiran-pemikiran intelektual ditentukan terutama oleh relasi mereka dengan struktur kekuasaan atau ekonomi. Kedua, pemikiran-pemikiran intelektual dalam kerangka relasi dengan pengetahuan.60 Prespektif pertama sangat dipengaruhi oleh
60
Lihat Yudi latif. Op,cit,. Bandung: Mizan, hlm 22-23.
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemikiran Marx, sedangkan pemikiran kedua dipengaruhi oleh Weber tentang sosiologi agama.
Peran kaum intelektual disaat memproduksi pengetahuan juga tidak terlepas dari dasar keberadaannya melalui peran sosial dan peran akademik. Peran sosial adalah untuk menyampaikan pandanganya kepada publik dalam hal masalah-masalah sosial yang dialami masyarakat, sedangkan peran akademik ialah peran yang dijalankan kaum intelektual untuk menambah pengetahuan melalui riset, menulis, dan berkarya secara akademik.
Sejalan dengan ini menurut Gutting (2011), peran kaum intelektual ialah memberikan informasi pada masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka pahami, mulai dari hakekat dan pola kerja masyarakat, apa yang terjadi di masa lalu kita, bagaimana cara berpikir analitis dan reflektif. Menurutnya melalui kaum intelektual masyarakat luas bisa memperluas wawasan berpikir mereka, dan memiliki pilihan serta pertimbangan yang memadai untuk membuat keputusan-keputusan penting. Kaum intelektual berperan sebagai hati nurani sekaligus penunjuk arah kemana masyarakat akan bergerak.61 Kaum intelektual merupakan kompas, yang dengan kepemilikan modal yang dimilikinya dapat mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat dalam suatu bangsa. Untuk dapat mempengaruhi dan menanta kehidupan sosial dapat dilihat melalui pandangan serta kemampuan berpikir yang dimilikinya 61
Reza A.A Wattimena. http://rumahfilsafat.com/2011/12/17/kaum-intelektual-dan-
kepemimpinan/. Di akses tanggal 01 oktober 2012 .
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk dapat diungkapkan ke publik, sebagai dasar dalam mendorong struktur kehidupan masyarakat yang manusiawi.
Kaum intelektual yang memiliki kekuasaan melalui ide-ide atau pengetahuan dalam sebuah masyarakat untuk membongkar struktur kekuasaan yang selalu mendominasi atau menindas masyarakat yang lemah merupakan pertarungan modal yang tersalurkan melalui arena, baik di masyarakat itu sendiri maupun di dalam dunia akademik, hingga pada akhirnya dapat membentuk habitus kaum intelektual. Habitus sendiri merupakan (re)produksi dari sejarah. Di mana habitus kaum intelektual terjalin dengan kekuasaan ide-ide dan realitas yang ia tempati. Sebagaimana yang dijelaskan Bourdieu melalui wawancara langsung bersama Mahar di Collège de France:
saya pikir optimisme saya adalah bahwa ada beberapa kekuasaan ide-ide yang kecil. Sebelumnya saya memegang pendirian yang mengatakan jangan percaya itu, jangan percaya pada kekuasaan ide-ide. Tetapi sekarang saya katakan bahwa dalam kondisi struktural dan politis tertentu, ada kekuasaan bagi ide-ide. Jadi kita harus menggunakannya, jika tidak struktur kekuasaan akan sangat menggerikan.....62
Kekuasaan ide-ide menjadi landasan bagi kaum intelektual untuk bebas dalam melakukan perlawanan terhadap kekuasaan, selama kekuasaan digunakan untuk
62
Wawancara Cheleen Mahar dengan Pierre Bourdieu di Collège de France. Cheleen Mahar adalah lektor pada depertemen Antropologi Sosial di Massey University. Minat utama penelitiannya adalah kelas sosial dan berbagai perubahan di dalam komunitas pedalaman New Zealand . Lihat Richard Harker, et al. Habitus X Modal + Ranah = Praktik. pengantar paling komperhensif kepada pemikiran Pierre Bourdieu: Yogyakarta: Jalastura, 2009, hlm 68.
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kepentingan tertentu. Itu artinya, habitus dibentuk melalui pertautan antara pengetahuan dan kenyataan. Oleh karena itu menurut Soedjatmoko bahwa: “Intelektual di negara-negara di mana ada pertentangan-pertentangan dan prasangka-prasangka suku dan golongan, merasakan pengalaman ironis, bahwa ide-ide politisnya makin di hargai di luar lingkungan sukunya sendiri, sejauh ia tidak melibatkan diri dalam kekuasaan politis ... harga diri seorang intelektual ini merupakan kepercayaannya, bahwa ide-ide memang mempunyai kaki yang dapat bergerak”.63 Dalam kehidupan sosial, peran intelektual menjadi gambaran penting untuk melancarkan kritik dengan cara pandangannya di saat ia menelaah persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehingga dari situ sebagai kaum intelektual mereka dapat menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Menurut Julien Benda: Di samping golongan manusia ini yang oleh pujangga dilukiskan sebagai curvae in terram animae et coelestium inanes (jiwa-jiwa yang merunduk ke tanah, dan dikosongkan dari segalah yang bersifat surgawi), sampai paroh abad yang terakhir ini dapat dilihat adanya golongan manusia lain, yang pada hakikatnya lain dari yang lain, dan sampai pada titik tertentu merupakan penghambat bagi golongan pertama tadi; yang benda maksudkan ialah kelas manusia yang akan saya namakan sebagai kaum cendekiawan atau intelektual, dan dengan nama itu saya maksudkan semua orang yang kegiatannya pada intinya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraannya dalam mengelolah seni atau ilmu atau renungan metafisikpendeknya dalam memiliki satu harta yang bukan duniawi, dan yang berkata dengan cara masing-masing “Kerajaanku tidak di dunia ini”.64
Intelektual memiliki peran sebagai orang yang selalu berbuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan selalu berdiam diri ketika terjadi pertikaian di
63
Soedjatmoko dalam (editor) Dick hartoko. Golongan Cendekiawan, mereka yang berumah di angin sebuah bunga rampai.Jakarta: PT Gramedia. 1980, hlm 43. 64 Julien Benda. Op.cit hlm 25-26.
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam kelompok masyarakat. Berbeda dengan Benda, Gramsci65 sebagai seorang Marxis lebih cenderung menjelaskan dan mengkategorisasikan pembentukan intelektual sangat sederhana. Sebab arti “intelektual” sebagai sebuah kategori sosial tunggal yang bebas dari kelas adalah mitos. Semua manusia punya potensi menjadi intelektual sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial. Kaum intelektual dalam makna fungsional terbagi menjadi dua kelompok. Pada kelompok pertama terdapat kaum intelektual profesional “tradisional”, misalnya kaum pujangga, ilmuan, dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat dengan memiliki aura antar kelas tertentu. Tetapi berasal dari hubungan kelas masa silam dan sekarang serta melingkupi sebuah lapisan untuk pembentukan berbagai kelas historis. Yang kedua terdapat kaum intelektual “organik”, dengan elemen pemikir dan pengorganisasiannya dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Kaum intelektual organik secara mudah dibedakan oleh profesi mereka, yang mungkin menjadi watak pekerjaan dari kelas mereka, dari pada dengan fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan dan aspirasi dari kelas di mana mereka didalamnya secara organik.
65
Antonio Gramsci. Sejarah dan Budaya. (terj), Ira Puspitorii et al. Surabaya:Pustaka Promethe. 2000, hlm 129-130.
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5.
Catatan Penutup
Sebagaimana yang telah diuraikan pada awal bab, kaum intelektual ialah mereka yang hidup dalam lingkup universitas, yang mereproduksi wacana dan pengetahuan dalam kehidupan sosial. Wacana dan pengetahuan dari kaum intelektual dipergunakan untuk mendorong kepentingan masyarakat agar tercipta suatu struktur sosial yang humanis. Untuk dapat mereproduksi dirinya sebagai kaum intelektual, ia harus memiliki modal budaya dan modal simbolik. Kedua modal tersebut nantinya akan menjadi dasar bagi kaum intelektual untuk merepresentasikan identitasnnya.
Modal budaya dan modal simbolik merupakan modal yang di dapat kaum intelektual melalui ruang-ruang akademik dan sosial. Penguasaan atas kedua modal serta menempatkannya secara tepat akan menjadi penentu bagi kaum intelektual untuk menjalankan perannya dalam masyarakat, karena dari modal tersebut kaum intelektual dapat membentuk identitas, dan pada akhirnya dapat membedakan dirinya dengan lapisan sosial masyarakat lainnya.
Selain itu, penguasaan atas modal budaya dan modal simbolik dimaksudkan agar kaum intelektual dapat menjalankan perannya dan menyampaikan pandangan atau ide-idenya mengenai masalah sosial-budaya tertentu yang dialami oleh masyarakat. Pandangan tersebut mengandaikan keberfungsian modal budaya dan modal simbolik dari kaum intelektual dalam kehidupan sosial dan akademik.
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III PEMBENTUKAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM ARENA KULTURAL
Dalam bab ini penulis mau menjelaskan dan menggambarkan dua hal yang berkaitan dengan pembentukan identitas kaum intelektual secara umum. Pertama, bagaimana kaum intelektual menjalankan perannya dan menempatkan posisinya di dalam masyarakat. Kedua, bagaimana kaum intelektual mampu memanfaatkan modal-modal yang dimilikinya dalam arena intelektual atau kultural agar dapat membentuk identitas sebagai kaum intelektual. Selain dua hal di atas, dalam bab ini juga digunakan konsep “arena dan habitus” dari Pierre Bourdieu untuk dapat membantu penulis dalam meneropong peran dan posisi kaum intelektual dalam kehidupan sosial. Berbekal gambaran itulah nantinya akan diuraikan tangung jawab kaum intelektual baik dalam dunia sosial-kebudayaan maupun akademik di Maluku Utara secara khusus pada bab kelima.
1.
Intelektual dalam Bingkai Kebudayaan
Di dalam kehidupan masyarakat yang memiliki struktur sosial, nilai, dan kebudayaan, terdapat pula kelompok yang memiliki peran untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan sebagai modal sosial untuk membentuk masyarakat yang saling menghargai dan menjaga hubungan sosial diantara sesama. Kelompok yang di
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
maksud adalah kaum intelektual yang dipandang sebagai pembentuk discourses dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan intelektual tidak dapat terpisahkan dari struktur-struktur di masyarakat, sebab struktur sosial di masyarakatlah yang akan membentuk disposisi sebagai pelaku sosial atau intelektual. Dengan kalimat lain, kecakapan retorik, kemampuan bergaul, cara berpikir, dan cara bertindak kaum intelektual bukan terlahir tanpa ada objek (masyarakat), melainkan terlahir atas respon objek tersebut yang dapat dijadikan landasan untuk bertindak dan berpikir sebagai agensi intelektual.
Agar dapat menjalankan tugas intelektualnya sebagai pejabat kemanusiaan yang tidak hanya menjadikan ruang akademik atau universitas sebagai satu-satunya cara melakukan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan yang direpresentasikan oleh penguasa. Maka keterlibatan dalam arena sosial, juga menjadi tanggung jawab kaum intelektual untuk melakukan kritik sekaligus mengungkap budaya kebohongan penguasa. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat menunjukan keberfungsianya modal budaya yang dimiliki kaum intelektual sebagai strategi untuk mendapatkan, mempertahankan, dan mengubah posisi mereka di dalam arena intelektual. Dengan kata lain, seorang agensi atau intelektual membutuhkan modal budaya sebagai strategi untuk mengungkap mekanisme kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat, sehingga posisinya sebagai intelektual dalam arena intelektual dapat dipertahankan ataupun dengan keberpihakannya pada masyarakat yang terdominasi dapat termanifestasi.
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi Bourdieu strategi merupakan salah satu konsep kunci dalam arena. Sebab strategi bisa dimengerti sebagai orientasi spesifik praktik. Sebagai produk habitus, strategi tidak didasarkan pada kalkulasi sadar, melainkan lebih merupakan hasil dari diposisi tak-sadar.66 Dengan kata lain kaum intelektual yang menempatkan diri di dalam arena, akan mengikuti aturan main dalam arena tersebut. Misalnya, jika seseorang ingin membentuk dirinya atau mencari pengakuan sebagai seorang intelektual, dia harus memiliki modal-modal yang dapat dipertaruhkan dalam arena (entah arena intelektual, sosial, politik dan sebagainya) sehingga ia dapat membentuk posisinya sebagai intelektual yang benar-benar dapat memproduksi wacana dan menjalankan wacana dalam arena tersebut. Dari kondisi tersebut maka terbentuklah habitusnya sebagai intelektual. Sebab habitus di bentuk dari pergulatan seorang agensi di dalam arena atau lingkungan tempat ia berada. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu habitus adalah suatu jenis desposisi: “kondisi yang terkait dengan syaratsyarat keberadaan suatu kelas menghasilkan suatu habitus. Sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk yang dimaksudkan untuk berfungsi struktur-struktur yang membentuk, artinya sebagai prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hidup dan representasi-representasi,
66
Lihat Johnson. Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni, Sastra Dan Budaya. Dalam Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2011, hlm xxxvii.
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar”.67
Di dalam arena produksi kultural terdapat dua modal paling penting yang dipertaruhkan untuk mendapatkan posisi sebagai seorang agensi tulis Bourdieu, yakni modal budaya dan simbolis.68 Melalui modal simbolis, seorang agensi akan dapat mengakumulasi derajat, kehormatan serta dialektika pengetahuan, sedangan dengan modal budaya seorang agensi akan mengakumulasi pengetahuan, disposisi atau kecakapan, yang dapat membentuk kebermaknaan diri sebagai agensi dalam arena yang hendak ia tempati. Kedua modal ini merupakan representasi posisi kaum intelektual untuk menjalankan peran mereka di dalam kehidupan masyarakat yang kerap kali dijadikan objek eksploitasi oleh penguasa.
Sejalan dengan ini, Oxford Advanced learners Dectionary menjelaskan bahwa intelektual merupakan orang-orang yang mampu mempunyai atau menunjukan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang memandang dirirnya sebagai intelektual, dan mempunyai kemampuan untuk sungguh-sungguh berpikir bebas.69 kebebasan berpikir yang dimaksud, agar kaum intelektual dapat mencermati dan memahami setiap realitas kehidupan masyarakat yang menyimpan untuk dikritisi dan 67
Lihat Haryatmoko. Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, teori strukturasi Pierre Bourdieu dengan orientasi budaya. Bahan Kuliah Hermeneutika dan Analisis Wacana Kritis, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma 2014, hlm 4. 68 Lihat Johnson. Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni, Sastra Dan Budaya. Ibid., hlm xix. 69 Lihat Selo Soemardjan. Peran Cendekiawan dalam Pembangunan Nasional, dalam Aswab Mahasin & Ismed Natsir (editor). Op,cit,. Jakarta: LP3S, hlm 51.
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dicarikan alternatif secara konseptual maupun praktik. Dengan ungkapam lain, ketika penguasa memaksakan kehendaknya untuk memenuhi kepentingannya di masyarakat, dan sekaligus memanfaatkan atau mendominasi masyarakat sebagai basis untuk memenuhi kepentingannya, disitulah kaum intelektual menjalankan fungsi dan memainkan perannya untuk mengungkap kepentingan terselubung penguasa kepada publik.
Dikotomi antara kelompok dengan kelompok masyarakat, antara struktur dan asal-usul struktur dan atau objektif dan subjektif memungkinkan kaum intelektual harus benar-benar kritis dalam melihat situasi yang terjadi di dalam masyarakat dengan cara membongkar mekanisme kekerasaan dan dominasi, baik secara simbolik maupun praktik yang dilakukan penguasa. Dengan begitu, tingkat objektifitas kaum intelektual dalam melakukan pemetaan dengan relasi-relasi di dalam masyarakat telah menujukan logika keberfungsiannya posisi dan peran mereka di dalam kehidupan masyarakat.
Dialektika hubungan antara yang subjektif dan objektif merupakan dua dimensi, pertama habitus yang terdiri dari dimensi prakseologis (arah orientasi sosial). Kedua dimensi afeksi (cita-cita, selera, dan sebagainya). Kedua dimensi habitus ini melukiskan adanya disposisi kaum atau suatu kelas sosial yang menentukan arah orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir dan sebagainya. Jadi, yang dimaksud disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempresepsi,
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Lalu kemudian disposisi itu berfungsi sebagai prinsip tak sadar tindakan, persepsi dan refleksi.70
Teori habitus yang dikembangkan Bourdieu ini merupakan kerangka epistemologi untuk mengatasi dualisme, yaitu kebebasan dan determinisme. Jika pada kebebasan, teori ini memberikan otonomi individu yang rasional sebagai seorang agensi, maka pada determinisme teori ini seakan memenjarakan tindakan-tindakan seorang agensi pada pembatasan. Dalam artian, pada satu sisi tindakan seorang agensi dalam masyarakat juga tidak terlepas dari kondisi lingkungan tertentu, tempat ia memanifestasikan dirinya. Pada sisi yang lain sebagai agensi, ia juga diarahkan oleh dialektika intelektualya atas tindakan yang terpatri di dalamnya untuk merespon persoalan yang terjadi di masyarakat.
Dominasi dan kekerasan merupakan kerangka yang biasa dimainkan oleh penguasa atau elite dalam melanggengkan kekuasaannya. Dominasi atau kekerasan yang paling sulit diantisipasi atau dikendalikan adalah kekerasan simbolik melalui bahasa, pengetahuan, simbol dan bahkan dogmatis agama yang keliru. Dengan demikian menurut Bourdieu, dalam dominasi simbolis, terlihat cara bagaimana dominasi itu dipaksakan dan di derita sebagai kepatuhan. Efek dari kekerasan
70
Lihat Haryatmoko. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Majalah Basis Edisi Khusus Pierre Bourdieu Nomor 11-12, tahun ke-52 November-Desember 2003, hal 10-11.
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
simbolis, dan kekerasan halus tak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri.71 Pada kondisi seperti ini, tentunya sebagai kaum intelektual ia harus mampu membaca kekerasan teks dan sekaligus mengungkap kekerasan teks tersebut ke publik. Cara mengungkap teks tersebut adalah dengan menunjukan dasar irasionalitas dari teks itu, sehingga dapat diketahui akar kekerasan yang dilakukan penguasa dalam membentuk kepatuhan pada masyarakat yang terdominasi. Hal ini, yang kemudian dijadikan rujukan dalam membangun kesadaran masyarakat.
Peran kaum intelektual dalam membongkar budaya dominasi penguasa terhadap masyarakat yang selama ini dengan mudah di eksploitasi oleh kepentingan terselubung (politik, ekonomi dan sebagainya) dari penguasa, dimaksudkan agar dapat merepresentasikan identitasnya sebagai kaum intelektual dalam arena kultural mapupun sosial. Oleh sebab itu, arena kultural dan sosial merupakan arena perjuangan dari kaum intelektual untuk mempertahankan atau mengubah strukturstruktur yang terjadi di masyarakat, baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat, serta untuk membentuk identitas mereka sebagai kaum intelektual. Kaum intelektual bukan hanya menjadi penghasil wacana tetapi juga mampu menjaga wacana yang memiliki otoritas institusi, dalam artian bahwa intelektual bukan hanya diharapkan menggunakan pikirannya secara luas melainkan harus mampu mengarahkan pikiran dan tindakannya dalam keberpihakan pada nilainilai kemanusiaan yang universal lewat sebuah institusi kultural (universitas). 71
Haryatmoko. Ibid., hlm 13.
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain itu kaum intelektual yang telah dibekali modal budaya, simbolik, dan sosial72 menentukan lingkup kelas sosial mereka untuk dapat mengembangkannya dalam arena kultural sebagai tempat pertarungan modal-modal demi mereproduksi posisi mereka sebagai intelektual. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu, “kaum intelektual adalah mereka yang benar-benar menjalankan esensi keintelektualnya”.73 Dalam menjalankan esensi intelektualnya, dibutuhkan modal, habitus, dan arena bagi kaum intelektual untuk melegitimasi sikap dan tindakan mereka dalam mereproduksi peran dan posisinya sebagai intelektual.
Tanggung jawab kaum intelektual bukan hanya berada dibalik meja akademik, melainkan juga terlibat di dalam masyarakat yang bertikai. Hal tersebut dimaksudkan, agar kaum intelektual benar-benar dapat mengkontekskan gagasannya dalam ruang sosial praxis (masyarakat). Selain itu, hal ini dilakukan oleh kaum intelektual untuk menghindari disintegrasi di dalam masyarakat yang dapat menghambat jalannya demokrasi suatu bangsa dan negara.
72
Modal budaya ialah modal yang direpsentasikan melalui ijasah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul, yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Modal simbolik ialah tidak terlepas dari kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi [...] modal simbolik bisa berupa, status, gelar, cara mengafirmasi otoritas dll. Modal sosial berupa kemampuan bekerja sama karena budaya kerja sama melahirkan kepercayaan. Modal sosial juga merupakan jaringan sosial yang mereproduksi status sosial. Lihat Haryatmoko. Ibid., hlm 12. bdk, Haryatmoko. Op.cit., hlm 17. 73 Lihat Bourdieu. Op.cit., hlm 192.
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Menurut Bourdieu dunia intelektual harus terlibat dalam kritik permanen terhadap penyalagunaan kekuasaan atau otoritas oleh penguasa.74 keterlibatan seperti ini, menunjukan kemampuan intelektual untuk mempertahakan wacana di ranah/arena kultural, di mana kekuasaan selalu mendiskriminasi masyarakat yang lemah. Ketika masyarakat di eksploitasi oleh penguasa yang berakibat pada saling bertikai dalam kehidupan sosial atas nama agama yang mengkerdilkan aspek kemanusiaan, maka peran kaum intelektual harus mampu membongkar setiap mekanisme kekerasaan tersebut melalui arena kultural. Dalam artian, jika seseorang yang tidak bertangung jawab menggunakan pengetahuannya untuk memprovokasi dan mengadu domba masyarakat, maka kaum intelektual juga harus melakukan resistensi terhadap provokator tersebut dengan pengetahuan, agar kebohongan povokator dapat terungkap ke publik. Dengan demikian, dirinya dapat membentuk identitas sebagai intelektual.
Sejalan dengan ini, menurut Foucault panggilan utama pikiran kritis adalah menjawab tantangan untuk mengurai atau menganalisa hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran. Dengan membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan akan mendorong tumbuhnya perlawanan agar semakin memperluas lingkup kebebasan. Lalu lingkup baru ini memungkinkan suara yang tercekik dan yang terpinggirkan bisa mengungkap. Dalam konteks inilah kebebasan kita ditantang untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam bertindak. Orang tidak 74
Lihat Arizal Mutahir. Op.cit., hlm 119.
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terkungkung lagi oleh tradisi, norma atau aturan yang cenderung melawan perubahan. Hanya dalam suasana kebebasan di mana beragam bentuk dominasi dibongkar yang memungkinkan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat melawan cara memerintah yang dominan.75
Hal ini membutuhkan kemampuan seorang agensi atau intelektual untuk melihat bagaimana kekuasaan membentuk kepatuhan masyarakat melalui wacana serta berani membongkar kedok dari kekuasaan tersebut yang mengkerdilkan sisi kemanusiaan. Kemampuan tersebut ini, akan bermakna dalam kehidupan masyarakat jika diikuti oleh peran yang dimainkan kaum intelektual dalam membentuk posisi mereka pada ranah kehidupan masyarakat. Untuk melihat peran dan posisi kaum intelektual dalam kehidupan sosial, maka pada uraian berikut akan direpresentasikan hal tersebut.
2.
Peran dan Posisi Intelektual dalam Kehidupan Sosial
Persoalan yang terjadi di dalam masyarakat kian kompleks, mulai dari kemiskinan, kekerasaan antara kelompok, agama, dan suku selalui mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah tersebut pada dasarnya bukan terlahir secara spontan, akan tetapi merupakan kesewenang-wenangan dari penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok tertentu. Dalam konteks seperti inilah, fungsi atau peran intelektual sangat dibutuhkan kebaradaanya untuk mengkritisi secara kritis beragam 75
Lihat Haryatmoko. Op.cit., hlm 11.
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
fenomena yang terjadi di dalam arena masyarakat. Dengan kata lain, kaum intelektual tidak hanya berdiam diri ketika berhadapan dengan mekanisme kekerasan yang terjadi di dalam kehidupan sosial, melainkan ia terlibat di dalamnya untuk mengungkapkan mekanisme kekerasaan secara objektif yang terselubung itu. Oleh karena itu, analisis hubungan dialektis antara fungsi intelektual dan kekuasaan pengetahuan merupakan kategori khusus dalam pengembangan posisi serta perannya sebagai kaum intelektual dalam arena akademik dan sosial.
Peran intelektual dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dilepas-pisahkan begitu saja, sebab kaum intelektual secara subjektif terlahir dari rahim masyarakat itu sendiri. Dengan demikian menurut Gramsci, semua orang adalah intelektual tetapi tidak semua yang berfungsi di masyarakat adalah intelektual.76 Hal ini kemudian menandakan bahwa kaum intelektual harus mampu menjalankan fungsinya secara kontinuitas antara teori dan praktik di dalam masyarakat. Pada teori apa yang telah dipelajari dalam ruang akademik merupakan epstimologi yang lahir dari modal budaya dan simbolik. Sementara pada praktik, epistemologi ini dijalankan dalam menganalisis persoalan yang terjadi di masyarakat. Fungsi seperti inilah yang kemudian membedahkan kaum intelektual dengan non-intelektual dalam kehidupan sosial.
76
Lihat M. Escobar et al. Dialog Bareng Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta:LKIS, hlm 125.
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perbedaan posisi seperti ini merepresentasikan bahwa kaum intelektual tidak dapat merasa puas dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, tanpa melakukan analisis atas fakta-fakta atau bahkan melakukan riset untuk menemukan akar dari setiap persoalan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Lewis Coser, intelektual adalah orang-orang yang kelihatanya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya, mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat.77 Dalam artian, jika masalah kemiskinan, kesenjangan, dan bahkan konflik yang terjadi di dalam masyarakat, yang sebagian besar orang menganggap sebagai sesuatu yang terlahir secara alamiah, disitulah tugas intelektual untuk membongkar dan memperlihatkan ke publik, bahwa masalah tersebut adalah akibat dari penyalagunaan kekuasaan oleh penguasa.
Oleh karena itu, sebagai seorang agensi atau sebagai intelektual, perannya tidak harus berhenti pada tataran berpikir rasional demi kepentingan masyarakat, melainkan ikut melibatkan dirinya pada setiap ranah kehidupan sosial yang mendiskriminasi masyarakat lemah. Hal tersebut, dimaksudkan agar posisinya sebagai intelektual dapat termanifestasikan, dengan cara mengungkap akar dari persoalan yang terjadi pada masyarakat. Posisinya sebagai intelektual tersebut, merupakan berfungsinya modal budaya dan simbolik yang dimiliki untuk dikembangkan pada suatu orde. Dengan ungkapan lain, modal budaya dan simbolik yang dimiliki kaum intelektual membutuhkan ruang sebagai tempat untuk 77
Lihat Hartoko Dick (editor). Op.cit., hlm 70.
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membentuk identitasnya. Tempat tersebut bagi Bourdieu adalah arena sosial,78 yang merupakan wilayah pertarungan modal-modal tersebut untuk mengubah dan mempertahankan struktur-struktur sosial dan melegitimasi posisi seorang agensi. Cara kerja arena ini memiliki aturannya tersendiri dan dengan itu membutuhkan syarat-syarat tertentu, jika seseorang ingin memasuki sebuah posisi tertentu. Dengan demikian menurut Bourdieu dalam Patricia Thomson arena sosial tidak selalu terusmenerus berada pada asal-usul sejarah dan pada ruang khusus, melainkan juga terus bergerak dan beroperasi dengan memerlukan pengetahuan untuk diadapatasikan dan dipertahankan. Jadi melakukan hal tersebut, butuh memahami bagaimana perubahan peristiwa pada sebuah arena tersebut.79
Sejatinya, kaum intelektual merupakan agensi yang mereproduksi posisi mereka dengan modal budaya yang terpatri dalam arena akademik dan sosial. Dengan demikian, ketika berbicara tentang intelektual kita tidak dapat melepas-pisahkan dari peran, posisi, dan tanggung jawabnya sebagai intelektual di dalam kehidupan sosialkemasyarakatan.
78
Arena sosial didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi kekuasaannya sendiri, yang terlepas dari kaidah politik dan ekonomi kecuali arena ekonomi dan arena politik itu sendiri ... arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Lihat Bourdieu. Op.cit., hlm xvii-xviii. 79 Lihat Patricia Thomson. Four Field. Dalam Michael Grenfell (Ed). Pierre Bourdieu Key Concepts. Acumen Published Limited 2008, hlm 70.
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.1.
Tanggung Jawab Sosial dan Tanggung Jawab Akademik Kaum Intelektual
Menurut Sparringa, bahwa apa yang terjadi selama ini, tidak lebih dari sebuah demokrasi yang memiliki tubuh namun tak memiliki roh demokrasi. Sebagai anggota dari sebuah komunitas akademik atau intelektual ... kita memiliki tanggung jawab intelektual dan moral untuk mengisi dan melengkapi demokrasi formal dan prosudural dengan nilai-nilai, etika, dan tradisi.80 Oleh karena itu, tanggung jawab sosial dan akademik kaum intelektual secara implisit dapat dijelaskan sebagai perpaduan antara teori dan praktik dalam suatu arena. Bertolak dari hal tersebut, kaum intelektual tidak dapat menghindari posisinya sebagai pengkritik baik secara internal maupun eksternal, ketika ia berada dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, tanggung jawab sosial dan akademik kaum intelektual merupakan pergulatan modal budaya dan simbolik pada ruang sosial untuk berpartisipasi pada tujuan kemanusiaan. Dengan demikian, tanggung jawabnya dalam membentuk manusia yang humanis pada sebuah nation dapat terpatri dalam dirinya, ketika ia bergelut dengan pengetahuan di dalam ruang akademik yang kemudian dipraktekkan pada ruang sosial sebagai basis epistemologi.
Tanggung jawab yang dimaksud merupakan tanggung kepada masyarakat yang terdominasi oleh struktur kekuasaan atau bahkan mereka yang bertikai karena terprovokasi. Sejalan dengan ini menurut M. Hatta, kaum intelektual mempunyai 80
Lihat St Sunardi. Tahta Berkaki Tiga. Yogyakarta: Buku Baik. hlm 19.
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tanggung jawab terhadap perkembangan masyarakat. Dengan cara demikianlah ia dapat menyatakan rasa tanggung jawabnya sebagai manusia susila dan demokratis. Berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianat kepada dasar kemanusiaan.81
Dengan adanya tanggung jawab sosial kaum intelektual di dalam kehidupan masyarakat, memungkinkan mereka untuk dapat melegitimasi identitasnya sebagai kaum intelektual publik. Dengan begitu kaum intelektual bukan hanya berada di ruang akademik, melainkan mereka peka dan berpihak pada masyarakat yang terdiskriminasi oleh otoritas yang sewenang-wenang dari penguasa. Intelektual publik adalah sebuah nama bagi jenis intelektualitas untuk menggairahkan kehidupan pubik yang demokratis. Kalau ruang publik kita pahami sebagai ruang bagi warga untuk berpartisipasi, dalam hal mempengaruhi kualitas res publica, maka intelektualitas publik berarti bentuk partisipasi intelektual pada kepentingan publik.82
Selain tanggung jawab sosial, kaum intelektual juga memiliki tanggung jawab akademik, yang diberikan secara kultural untuk mengorganisir pikirannya, menulis karya ilmiah, serta melakukan riset-riset ilmiah demi pengembangan kapasitas dan etos intelektualitas dalam menjelaskan persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab akademik kaum intelektual tidak untuk menyibukan dirinya pada rutinitas yang ada, melainkan mengembangkan kedua81
Lihat pidatonya pada hari Alumnus I di Universitas Indonesia pada tanggal 11 juni 1957. Aswab Mahasin & Ismed Natsir (editor). Op.cit., hlm 20. 82 Lihat St Sunardi. Op.cit., hlm 33.
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
duanya baik tanggung jawab sosial maupun akademik sebagai dasar untuk membentuk etos intelektualitas publik.
Etos intelektual publik akan tumbuh sejauh disiplin-disiplin keilmuan tidak menjadi instrumen privatisasi keilmuan, melainkan sebagai titik pijak memasuki ruang publik akademis. Dengan cara ini kaum intelektualitas dapat melakukan rekonfigurasi keilmuan terus-menerus yang tidak senantiasa mengikuti division of labour.83 Oleh karena itu, dengan melakukan sebuah penetrasi dalam ruang akademik dan publik kaum intelektual akan dapat menambah dan bahkan memperkaya khasanah pengetahuannya dalam dunia kehidupan akademik maupun sosial, seperti apa yang disebut oleh Supratiknya, scholarship of engagement atau engaged university.84
Tanggung jawab seperti ini merupakan internalisasi dari habitus kaum intelektual atau struktur mental dari kaum intelektual yang hidup dalam lingkungan tertentu dan dapat menunjukan secara eksplisit peran dan posisi mereka dalam kehidupan akademik dan sosial. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu, hubungan antara intelektual, seniman kreatif dan karyanya, dipengaruhi oleh sistem relasi sosial yang di dalamnya penciptaan sebagai sebuah tindakan komunikasi berlangsung, atau lebih pas, dipengaruhi oleh posisi kreatif dalam struktur arena intelektual.85 Produksi wacana yang dikonstruk oleh para intelektual pada ruang sosial, tidak terlepas dari 83
Lihat St sunardi. Tahta Berkaki Tiga. Ibid., hlm 37. Ibid., hlm 32. 85 Lihat Richard Jenkins. Op.cit., hlm 205. 84
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
keberfungsiam modal-modal yang mereka miliki sebagai kaum intelektual dalam menjalankan tanggung jawabnya dan sekaligus membentuk identitas intelektualnya.
2.2.
Intelektual dan Reproduksi Pengetahuan/Wacana
Ketika berbicara mengenai reproduksi pengetahuan, kita langsung terpikirkan kepada para ilmuan dan/atau filsuf yang membentuk pengetahuan atau wacana di ruang akademik. Pengetahuan ini, kemudian menjadikan manusia sebagai objek dari entitas dialektika kemanusiaan. Manusia sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran modern memungkinkan manusia akan menjalankan dua peranan, yakni kepastian dan keberadaan. Pada kepastian, ia tentunya tidak hanya mewarisi suatu domain tertentu, melainkan ia akan mengelaborasi kepastian dari epistemologi tersebut dengan positif dan atau dengan konsep yang paling tidak ilmiah untuk menyelesaikan dan menganalisis suatu problem tertentu. Sementara pada keberadaan, ia tidak dapat lepas dari keberadaan masyarakat, sebab semenjak penegetahuan itu ada dan hidup bersama-sama dalam masyarakat akan menjadi objek pengetahuan. Kenyataan ini bukanlah menjadi persoalan di sini tentang esensi manusia secara umum, tetapi semata-mata a priori86 historis yang sejak abad ke-19, telah bertindak sebagai landasan self – evident untuk pemikiran ... yang tidak diragukan lagi, fakta itu sangat
86
Istilah ini dari bahasa latin berarti a (dari) prior (mendahului). a priori menunjukan pada kesimpulan-kesimpulan yang tidak ditentukan dari pengalaman indrawi, melainkan sudah tersirat dalam makna ide-ide yang sudah diterima. Istilah ini biasa digunakan dalam konteks konsep-konsep seperti niscaya, pasti, benar secara universal, bawaan intuitif dan sebagainya. Lihat Lorens Bagus. Op,cit,. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005, hlm 69-70.
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menentukan persoalan status yang didasarkan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, Dengan kalimat lain, pada intinya pengetahuan sebagai objeknya yang mengambil entitas manusia empiris.87
Pengambilan entitas manusia sebagai objek pengetahuan merupakan produksi pengetahuan dalam ruang-ruang ilmiah yang dilandaskan pada metode dan struktur epsitemologi oleh kaum intelektual. Menurut Foucault pengetahuan dapat menjadi suatu instrumen sekaligus efek dari kuasa (Latif, 2005 :41). Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat membentuk dan mereproduksi pengetahuan sebagai fungsinya dan sekaligus merupakan landasan kritis dalam melihat fenomena sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat dan Negara. Selain itu, reproduksi pengetahuan juga dapat membentuk kekuasaan bagi seorang agensi atau intelektual dalam memberikan kritik terhadap penyalagunaan kesewenang-wenangan dan sekaligus dari reproduksi tersebut dapat melahirkan fungsi akademik, sosial, serta posisi dan identitasnya kaum intelektual. Sejalan dengan ini secara tegas Bourdieu mengatakan“bahwa intelektual atau ilmuwan sosial, merupakan pemegang suatu modal budaya besar, dan memiliki peran penting untuk bermain dalam perjuangan menentang bentuk subordinasi pada kekuasaan simbolik yang dilakukan penguasa, serta mampu berbicara dengan otoritas
87
Lihat Michel Foucault. Orderof Thing, Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 394.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tertentu tentang dunia sosial”.88 Lalu apa sebenarnya yang menjadi motif dominan dari reproduksi pengetahuan dalam kehidupan kaum intelektual, menurut Bacon bahwa motif inti ialah suatu reformasi komplit mengenai yang disebut belajar, memandang perkara, dan mencari penyelesaian soal, sehingga pada akhirnya tujuan yang hendak di capai adalah tak lain dari perbaikan yang benar-benar untuk masyarakat.89
Tanggung jawab untuk memproduksi pengetahuan adalah salah satu cara bagi kaum intelektual dalam membentuk identitasnya, dan juga untuk menjelaskan dan membongkar mekanisme persoalan yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, ketika kaum intelektual menjalankan tanggung jawab ini, dengan sendirinya ia dapat menjadikan pengetahuannya untuk melegitimasi dirinya dalam ruang sosial dalam melakukan perlawanan atau kritik terhadap penyalagunaan otoritas tunggal dari penguasa di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan bukan hanya menjadi kerangka berpikir utopis, melainkan juga merupakan penjelmaan dari kekuasaan yang dimiliki oleh kaum intelektual dalam menempatkan posisi dan peran mereka pada kehidupan sosial.
Dengan demikian pengetahuan merupakan identitas intelektual yang melekat pada kekuasaan. Menurut Foucault, “pengetahuan dan kekuasaan terintegrasi satu sama lain, dan tidak ada artinya jika memimpikan suatu masa ketika pengetahuan 88
Lihat Bourdieu Pierre and Passeron Jean-Claude. Reproduction in Education, Society and Culture. Trans. Richard Nice. London: Sage Publications, 1990, hlm 34. 89 Lihat Aswab Mahasin & Ismed Natsir (editor). Op.cit., hlm 108.
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berhenti bergantung pada kekuasaan; ini hanyalah merupakan suatu cara untuk menghidupkan kembali humanisme dalam sebuah penyamaran utopis. Sungguh mustahil jika kekuasaan dijalankan tanpa pengetahuan, dan sungguh mustahil pula bagi pengetahuan untuk tidak memunculkan kekuasaan”.90 Dalam artian bahwa di mana ada kekuasaan yang diafirmasi di situ pengetahuan terintegritas.
Pengetahuan yang terintegrasi dengan kekuasaan akan dapat berjalan, jika ada agensi atau intelektual yang memproduksinya dalam arena akademik dan sosial. Pengetahuan tidak memiliki kebermaknaan inheren pada dan dirinya sendiri, melainkan kebermaknaan itu tergantung pada konteks sosial, di mana pengetahuan itu terbentuk atau terintegritas di dalamnya. Pembentukan pengetahuan dan penyebaran pengetahuan menjadi salah satu fungsi intelektual sebagai agensi sosial-kultural. Dengan artian, pengetahuan selalu berdialektika pada ruang ilmiah dan tidak terlepas dengan konteks kehidupan masyarakat tertentu. Hal itu mengandaikan bahwa status pengetahuan yang di reproduksi menunjukan keterikatan antara teori dan praktik.
2.3.
Arena Kultural dan Pembentukan Identitas Intelektual
Yang dimaksud dengan arena kultural di sini adalah arena intelektual itu sendiri yang ditempati oleh kaum intelektual di saat mereka mereproduksi wacana atau pengetahuan dalam bentuk karya, artikel, jurnal, maupun buku. Dari kesemuanya itu, tentu membutuhkan sebuah modal budaya dari agensi untuk bersaing di dalam 90
Lihat Michel Foucault. Power/Knowledge. Yogyakarta: Bentang 2002, hlm 66.
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
arena intelektual, jika ia ingin tetap mereproduksi dan mempertahankan identitasnya sebagai kaum intelektual. Sehingga pada akhirya legitimasinya sebagai intelektual dalam arena intelektual dapat terinternalisasi pada habitus yang terdapat dalam struktur mental kaum intelektual. Arena intelektual ini memiliki aturan main dan strateginya sendiri.
Di mana arena tersebut membutuhkan modal-modal dari kaum intelektual untuk diperjuangkan atau dipertaruhkan agar mendapatkan pengakuan atau posisi mereka sebagai kaum intelektual di dalam arena intelektual atau kultural ketika dipraktikan. Dengan demikian, apa yang di kritiknya dalam melihat kondisi masyarakat pada ruang sosial dapat sesuai dengan otoritasnya sebagai kaum intelektual. Sebagaimana yang dijelaskan Bourdieu “arena adalah sebagai sebuah fungsi kemungkinan-kemungkinan yang termanifestasikan melalui berbagai posisi dan properti (modal-modal) ... juga sebagai sebuah fungsi dari posisi-posisi yang secara aktual dan potensial ditempati di dalam arena yang dialami, kesuksesan atau kegagalan”.91
Tidak semua arena kultural dapat membentuk kesuksesan seorang agensi sebagai intelektual. Kesuksesan dapat termaktub di dalam diri intelektual, sejauh ia dapat menjalankan strateginya di dalam arena dengan modal-modal yang dimiliki. 91
Lihat Bourdieu . Op.cit., hlm 68.
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Strategi merupakan cara untuk mendapatkan tujuan mereka dalam hal mereproduksi identitas intelektual yang dapat diinvestasikan pada arena intelektual maupun sosial.
Oleh karena itu, identitas sebagai intelektual merupakan berjalannya relasi antara modal dan praktik di dalam arena intelektual/kultural yang dapat melahirkan habitus mereka. Arena intelektual atau kultural ini merupakan salah satu medan pertarungan intelektual untuk melegitimasi kemampuan dan posisi mereka ketika berhadapan dengan kondisi dan situasi yang ada di dalam masyarakat maupun ranah ilmiah.
3.
Membentuk Identitas Intelektual di Arena Sosial
Setiap masyarakat memiliki stratifikasi atau struktur-struktur sosial yang dibentuk oleh posisi, status, kepemilikan atas modal-modal dalam ruang sosial dan akademiki sehingga dari situ dapat terlahir habitus dan identitas seseorang. Di dalam masyarakat inilah salah satu posisi yang ditempatkan sebagai posisi pembentuk wacana ialah kaum intelektual itu sendiri. Kaum intelektual merupakan mereka yang berpikir kritis, mampu menelaah persoalan yang terjadi di masyarakat dan berpihak pada mereka yang lemah. Sejalan dengan ini menurut Bourdieu, intelektual itu harus berusaha untuk bertindak sebagai pejabat kemanusiaan.92 Tindakan tersebut, dengan
92
Lihat Bourdieu et al. Op.cit., hlm 207.
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mudah akan melahirkan identitasnya sebagai pembentuk wacana dan pelaksana wacana kritis yang dapat mereproduksi pengetahuan untuk kepentingan sosial .
Peran yang dilakukan kaum intelektual di dalam arena intelektual untuk merespon kepentingan sosial akan sendirinya dapat mencerminkan identitas dirinya sebagai kaum intelektual yang kritis dan benar-benar mendorong perkembangan pembangunan masyarakat dan negara yang bermartabat. Dengan demikian menurut Giddens, identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab pertanyaan kritis; “apa yang harus dilakukan? bagaimana bertindak dan ingin jadi siapa?” dengan begitu seoarnag individu akan berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana „diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan‟. Identitas tidak terlahir secara kebetulan melainkan diciptakan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat di dalam arena sosial dengan berbagai modal-modal yang dimiliki.93
Pembentukan identitas intelektual bukan hanya dilakukan dengan nalarnya saja, melainkan ikut mengambil bagian di dalam masyarakat dengan membumikan nalarnya secara kritis pada kepentingan sosial. Oleh karena itu, menurut Soemardjan yang membuat intelektual menonjol di tengah yang non intelektual ialah kemampuan berpikir bebas sebagai lawan dari kecenderungan menggikuti saja pikiran orang lain. 93
L ihat Chris Barker. Op.cit., hlm 175.
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konsep berpikir bebas dalam artian ini mencakup pengamatan yang cermat terhadap gejala-gejala di suatu lingkungan, pemahaman tentang sebab gejala-gejala itu dan korelasinya dengan gejala lain, sehingga perumusan suatu kesimpulan dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bahasa yang jelas.94
Secara jelas dapat dikatakan bahwa kaum intelektual tidak hanya berada di menara gading, melainkan harus terlibat dalam soa-soal kemasyarakatan, bilamana mereka ingin membentuk identitas sebagai intelektual yang berpihak pada kemanusiaan. Sebab, kehadiran kaum intelektual tidak terlepas dari kehadiran masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan ini menurut Jim Merod, intelektual bukan hanya mempersoalkan kebenaran sebagaimana anggapan saat ini. Tugas mereka menentukan
cara-cara
untuk
menempatkan
serpihan-serpihan
pengetahuan,
pandangan-pandangan yang parsial dan disiplin-disiplin ilmu yang terpisah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan menyangkut manfaat, yang pada akhirnya, dunia tempat kita tinggal ini bisa diketahui tujuannya.95 Dengan bahasa lain, (seorang) intelektual sejatinya adalah mereka yang menjalankan pengetahuan dan sekaligus mempraktikkan pengetahuan itu dalam kehidupan sosial, agar dapat membentuk indentitasnya.
Dengan demikian pembentukan identitas intelektual dalam kehidupan sosial tidak terlahir secara sendiri dalam subjektifitasnya. Akan tetapi identitas tersebut di
94 95
Lihat Aswab Mahasin & Ismed Natsir (editor). Op.cit., hlm 51-52. Lihat M. Escobar et al. Op.cit., hlm xxii.
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bentuk oleh lingkungan eksternal atau objektifitas di dalam masyarakat yang juga dikembangan melalui modal-modal yang dimiliki oleh para intelektual untuk melegitimasi peran dan posisi mereka. Peran dan posisi tersebut di implementasikan dalam ruang sosial untuk melakukan kritik dan sekaligus membongkar setiap mekanisme penyimpangan atau kebohongan penguasa di dalam masyarakat. Hal ini, kemudian dengan sendirinya dapat melahirkan identitasnya dan atau dapat melahirkan habitus intelektualnya sebagai penggerak tindakan, presepsi, dan pemikiran yang digunakan di arena sosial untuk kepentingan masyarakat dan intelektualnya.
Dengan begitu, sebagai agensi atau kaum intelektual tentunya ia dapat melakukan upaya-upaya untuk merepresentasikan dirinya dengan modal yang dimiliki dalam kehidupan sosial. Namun dengan modal yang ia miliki ketika menjalankan kehendaknya dalam ruang tertentu, tentunya tidak terlepas dari asal-usul sosial. Asal-usul sosial ini bagi Bourdieu memiliki dua sisi. Pertama, asal-usul berupa skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang membentuk habitus. Kedua, asalusul ini berupa struktur sosial atau Arena.96 Kedua asal-usul ini, tampaknya tidak dapat dihindari oleh kaum intelektual dalam membentuk identitasnya di dalam ranah budaya yang ia tempati.
96
Lihat Pierre Bourdieu. Op.cit., hlm 164.
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4.
Catatan Penutup Dunia kehidupan sosial-kebudayaan direpresentasikan dalam bentuk ruang
atau hubungan dialektis yang didasarkan pada diferensiasi dan distribusi. Para agensi dapat dibedakan dan didefenisikan oleh posisi dan peran mereka dalam ruang tersebut. Dari cara pembagian sosial ini tampak bahwa kaum intelektual tidak dapat membentuk identitasnnya di luar dari ruang, karena ruang merupakan representasi dari kehidupan sosial dan kebudayaan yang didiami oleh kaum intelektual itu sendiri. Selain itu, ruang (arena) ini juga memiliki regulasi tersendiri sehingga kaum intelektual harus menguasai aturan tersebut agar dapat membentuk habitus, dan untuk memantapkan posisi dan perannya ia juga tidak dapat menghindari ruang tersebut. Dari kerangka di atas dapat dikatakan bahwa untuk melegitimasi identitas seseorang sebagai kaum intelektual, ia harus dapat memainkan perannya secara maksimal dalam ruang sosial, dalam hal melakukan kritik sosial terhadap penyalagunaan kekuasaan dan wewenang serta mau membongkar mekanisme dominasi yang dilakukan para penguasa kepada masyarakat. Peran seperti ini justru dengan mudah membentuk identitasnya sebagai kaum intelektual, ketika ia berada dalam ruang akademik dan sosial. Pembentukan identitas kaum intelektual tidak terlahir secara alamiah, melainkan dibentuk melalui arena sosial dan arena akademik yang harus dibekali dengan kepemilikan modal. Arena sosial dan arena akademik dipahami sebagai
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tempat bagi agensi untuk memperjuangkan atau mengubah posisinya menjadi kaum intelektual. Artinya kaum intelektual harus terlibat dalam kritik parmanen atas dominasi dan mekanisme kekerasan yang dialami masyarakat.
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV REPRESENTASI SINGKAT SEJARAH SOSIAL KONFLIK KOMUNAL DI MALUKU UTARA 1999-2000
1.
Maluku Utara dan Konflik Sosial Semangat Reformasi97 yang mulai bergulir sejak 1998 telah memberikan
kesempatan kepada masyarakat dan daerah di Indonesia untuk dapat mengatur dan menunjang kehidupan mereka baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kebudayaan. Bagi masyarakat Maluku Utara yang berada jauh dari jangkauan pusat Ibukota Ambon Provinsi Maluku,98 reformasi merupakan kesempatan yang telah dinantikan
untuk
menjembatani
kehidupan
masyarakat
yang
mengalami
ketertinggalan baik dari aspek sarana maupun prasarana. Kesempatan yang baik tersebut, dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat menjalankan kinerjanya secara maksimal dalam melayani dan memperbaiki kehidupan masyarakat melalui program yang langsung menyentuh pada kepentingan masyarakat. selain itu, kesempatan ini juga dilaksanakan agar pemerintah dan masyarakat dapat membentuk perdamainan dan sekaligus menghargai perbedaan sebagai tuntutan reformasi untuk mendorong perkembangan Daerah.
97
Yang dimaksudkan dengan Reformasi di sini ialah kekuasaan yang diberikan kepada daerah baru (hasil pemekaran) untuk mengatur dan memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. 98 Sebelum Maluku Utara dimekarkan menjadi provinsi definitif oleh pemerintah pusat pada tahun 1999, Maluku Utara sebelumnya masih berada dalam bingkai pemerintahan Maluku, dengan IbuKota provinsi di Ambon.
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ironisnya, suntikan reformasi juga telah membuka ruang bagi sebagian elite lokal yang memiliki modal ekonomi, dan simbolik sebagai kesempatan untuk merebut kekuasaan dan penguasaan atas berbagai sumber daya alam. Dengan orientasi kekuasaan dan penguasaan atas sumber daya alam sekelompok elite inilah, lahir konflik sosial berkepanjangan di dalam masyarakat, sebab kesempatan ini diletakkan pada kepentingan dan egoisme elite politik untuk merebut kekuasan dan mempertahankan kekuasaan mereka masing-masing, dan bukan untuk kepentingan membangun masyarakat yang lebih beradab. Konflik yang terjadi di Maluku Utara pada
bulan Agustus 1999
telah
menelan korban jiwa manusia dan harta yang cukup besar. Menurut data Violent Conflict in Indonesia Study korban jiwa akibat konflik di Maluku Utara dalam waktu sebelas bulan mulai dari awal Agustus 1999 sampai Juni 2000, tercatat 3.257 orang tewas dan 2.635 orang luka-luka.99 Ironisnya atas nama dan sekaligus alasan agama dan (mereka sesama manusia saling membantai) hanya karena terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Maluku Utara adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang, khususnya dalam hubungan antar umat beragama. Di mana setiap orang baik dari komunitas Kristen maupun Islam dibuat kehilangan nilai kemanusiaan akibat dari memudarnya rasa solidaritas, modal sosial dan sekaligus mau dimanfaatkan oleh elite lokal, sehingga memicu rasa saling benci dan berujung
99
Patrick Barron et al. Seusai Perang Komunal, Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya Pencegahannya.Yogyakarta:CSPS BOOKS, hlm 12.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pada saling membantai pada peristiwa 1999-2000 yang memakan korban jiwa, tanpa ada pertimbangan kemanusian dan moral sedikit pun. Hal inilah kemudian telah membentuk politik ingatan sosial untuk selalu di ingat sebagai sejarah yang abnormal dalam membangun peradaban kemanusiaan. Sembilan belas hari setelah status Provinsi Maluku Utara diresmikan tepatnya pada tanggal 5 oktober 1999, juga meletusnya konflik antara warga di dua kecamatan bertetangga, yaitu kecamatan Malifut dan kecamatan Kao. Masyarakat Malifut adalah transmigrasi Muslim dari pulau Makian ke Kao oleh pemerintah setempat karena alasan meletusnya Gunung Kie Besi pada tahun 1975, sementara masyarakat Kao adalah penduduk asli daerah yang beragama mayoritas Kristen Protestan dan minoritas Islam. Selain itu, masyarakat Kao merupakan konstituen Sultan Ternate. Namun lama-kelamaan kedua daerah tersebut berubah dan kehilangan rasa kemanusiaan ketika konflik secara fisik tidak dapat dihindari. Konflik di Halmahera tersebut berawal dari perebutan batas wilayah tambang emas di Gosowong, yang terdapat di perbatasan Kao-Malifut.100 Lalu kemudian konflik tersebut dengan lihai diperas dan dikembangkan isunya menjadi konflik antar agama. Pada mulanya konflik antara Islam dan Kristen ini terjadi di Ibukota Provinsi Maluku Ambon, pada 19 januari 1999 yang dikenal dengan peristiwa Idul Fitri Berdarah. Sejak saat itu pertikaian terus berlangsung, dan tidak hanya berpusat di Ambon tetapi meluas hingga ke daerah-daerah lain di luar Ambon, termasuk ke
100
Smit Alhadar. Peristiwa Menjelang Kerusuhan Maluku Utara dalam Imran Hasan (editor) Memikirkan Kembali Maluku dan Maluku Utara. Makasar:LEPHAS. hlm 105.
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Maluku Utara (Ternate dan Halmahera). Kehadiran pengungsi dari Ambon di ke dua daerah tersebut diterima baik oleh masyarakat setempat dan pada awalnya tidak mempengaruhi situasi keamanan di Ternate maupun Halmahera. Namun suasana di kawasanan Maluku Utara perlahan-lahan mulai berubah, hal ini makin jelas ketika muncul selebaran gelap yang isinya memprovokasi umat beragama, yakni “peta penyerangan Gereja Protestan Maluku (GPM) di Ternate kepada sinode Gereja Masehi Injil Halmahera (GMIH)”.101 Selain itu, muncul selebaran lain tentang serangan balik Sosol Berdarah oleh Sinode GPM ke GMIH di Tobelo (Halmahera Utara), akan tetapi selebaran tersebut secara jelas tidak memiliki legitimasi kebenaran untuk dijadikan alasan berperang. Sebab selebaran tersebut palsu yang sengaja di buat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang seolah-oleh selebaran tersebut di buat oleh ketua Sinode GPM, Pendeta S.P. Titaley. Dari hasil penyelidikan teks tersebut terdapat beberapa keselahan dan atau kebohongan surat tersebut yakni: Pertama, surat edaran tidak dilengkapi dengan kop dan cap dari instansi (Sinode GPM), kedua, penulisan nama yang menandatangani surat edaran sangat berbeda dari biasanya, sebagai surat resmi penulisan nama Ketua Sinode GPM, selalu dilengkapi dengan gelar pendeta (Pdt.), ketiga, tanda tangan surat edaran sengat berbeda dengan tanda tangan ketua Sinode, keempat, tidak dicantumkan tanggal penulisannya, kelima bagian akhir/penutup surat edaran di tulis dengan “Salam Oikumene”. Istilah ini tidak digunakan dalam suatu surat resmi, dan keenam, dalam surat edaran tersebut dicantumkan bawa Universitas 101
Jan Nanere. Halmahera Berdarah, op.cit hlm 53.
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Theologia berada di Ternate, padahal tidak ada universitas melainkan Sekolah Tinggi Theologia dan bukan berada di Ternate Melainkan di Tobelo.102 Ketika beredarnya selebaran gelap dan palsu berjudul “Sosol Berdarah” yang menyerukan umat Kristen melakukan perang suci terhadap golongan Islam,103 rasa curiga dari masing-masing pihak baik Islam dan Kristen semakin menguat hingga memicu terjadi pembantaian umat Kristen di Tidore, Ternate dan umat Islam dan Kristen di Halamhera Utara hingga merembe keseluruh penjuru Maluku Utara. Dari gambaran peristiwa konflik tersebut ada beberapa analisis yang memandang bahwa konflik tersebut merupakan permainan elite lokal dan juga perebutan sumber daya alam antara kedua komunitas Makian dan Kao. Kerusuhan di Maluku Utara juga terjadi bersamaan dengan konflik kepentingan elite lokal (sesama Islam) dalam memperebutkan jabatan Gubernur Maluku Utara. Konflik ini terutama melibatkan Sultan Mudafar Sjah yang dengan dukungan kelompok Kristen/selain sebagian kelompok islam, berambisi menjadi Gubernur definitif Provinsi Maluku Utara.104 Sejalan dengan ini menurut Saiful Bahri Ruray motif lokal dalam konflik Maluku Utara juga dapat dibagi menjadi empat motif yakni, pertama bias kerusuhan antar agama di Ambon. Kedua konflik antar batas 11 desa di Kao dan Jailolo berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 42/1999 tentang Malifut. Ketiga konflik Status
102
Jan Nanere Ibid hlm 66-67. Imron Hasan (edit). Op.cit. hlm 117. 104 Lihat Rizal Sihbudi et al. Bara dalam Sekam, Indentifikasi akar masalah dan solusi atas konflikkonflik lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Bandung:Mizan. hlm 103. 103
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Provinsi. Keempat kepentingan suksesi lokal.105 Dengan demikian pertikaian yang terjadi merupakan upaya untuk saling merebut kekuasaan baik sumber daya alam maupun jabatan politis. Motif lokal ini yang kemudian membentuk kekerasaan di tingkat masyarakat yang berbeda agama. Beragamnya konflik sosial di Maluku Utara, telah memicu elite lokal untuk melahirkan konflik sebagai ruang bagi perebutan kekuasaan. Menurut Gufran H Kordi, konflik Maluku Utara sudah sangat kompleks dan telah berkepanjangan. Ini karena disebabkan pengingkaran hak-hak masyarakat lokal di kecamatan Kao setelah ditemukannya tambang emas. Ketika terjadi transmigrasi penduduk Pulau Makian ke Malifut tidak ada dialog dengan masyarakat setempat. Seperti telah umum dilakukan penguasa Orde Baru, penduduk Pulau Makian yang ditempatkan di Malifut tanpa babi-bu, langsung ditempatkan begitu saja. Bahkan pemerintah Maluku Utara memilih kecamatan Kao sebagai daerah penempatan penduduk transmigrasi pulau Makian adalah suatu pilihan yang sangat politis yaitu untuk membendung kristenisasi, yang merupakan isu panas waktu itu.106 Konflik yang berdampak ke Maluku Utara (Ternate dan Halmahera) disebabkan karena surat edaran sosol berdarah yang dilakukan oleh orang-orang terdidik dan disebarkan menjadi wacana publik, dan dengan demikian masyarakat dibuat tunduk pada wacana tersebut. Selain itu juga, dampak konflik karena perebutan kekuasaan elite lokal antara elite Tidore-Makian dan Ternate, seperti yang 105
Lihat Kasman Hi Ahmad & Herman Oesman . Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam Dari Bumi Halamahera. Maluku Utara: Podium bekerja sama dengan Madani Press. hlm 8. 106 Imron Hasan (edit). Op.cit 124.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disampaikan oleh seorang wartawan senior Maluku Utara ketika diwawancarai oleh penulis: Surat edaran ini disetting oleh beberapa orang penting yang saat ini memiliki posisi strategis di pemerintahan Maluku Utara. Mereka sebenarnya tidak menginginkan kehadiran Sultan Mudafar sjah untuk memimpin Maluku Utara (Gubernur), yang pada waktu itu sangat berpeluang menjabat sebagai Gubernur sebab beliau memenggang posisi sebagai ketua DPD Golkar. Sehingga settingannya adalah untuk meruntuhkan powernya di masyarakat dan sekaligus dapat dibenci oleh masyarakat Islam adalah dengan cara mereka membuat surat edaran untuk di lepas di beberapa titik, di bagian selatan selebaran tersebut ditaruh di depan Gereja kalumata, di bagian tengah di taruh di depan Gereja kelurahan Tanah Tinggi dan di bagian Utara di jalan menuju Bandara Udara. Sehingga ketika konflik pecah dengan sendirinya mayoritas Muslim akan meminta Sultan Ternate untuk tidak melindungi masyarakat Kristen. Sebab Sultan dianggap memiliki konstituen yang banyak beragama Kristen di Halmahera Utara yakni masyarakat Kao.107 Konflik di Maluku Utara secara eksplisit tidak bisa dilepas-pisahkan dari perebutan kekuasaan (Gubernur) oleh elite lokal dari etnis Makian-Tidore dengan Ternate ketika Maluku Utara diresmikan menjadi Provinsi Definitif. Oleh karena itu, konflik di Maluku Utara pada saat itu merupakan strategi politis yang dilaksanakan oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan atau bahkan merebut kekuasaan. Sejalan dengan ini Menurut Mahmud Raimadoya, konflik berdarah di Maluku Utara merupakan murni urusan elite politik lokal, elite politik yang disebut kubu selatan (Tidore-Makian) dan Utara (Ternate).108Dari Ambisi politik kedua kubu ini yang
107
Wawancara dilakukan penulis dengan Il (sekarang wartawan Fajar Malut) pada tanggal 23 Februari 2013. 108 Imron Hasan. Op.cit hlm 111.
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tidak dikelolah secara baik, akabitanya melahirkan konflik sosial yang menjadikan masyarakat sebagai kekuatan politiknya. 2.
Karakteristik Konflik di Maluku Utara Konflik sosial di Maluku Utara merupakan konflik yang memiliki
karakteristik yang sangat kompleks. Mulai dari warisan kultural, pertarungan elite lokal, pertikaian etnis, perebutan sumber daya alam dan yang memperparah adalah konflik yang menjadikan agama sebagai simbol atau dalil untuk berperang. Pada hal konflik antara agama di Maluku Utara dalam sejarahnya tidak pernah terjadi, kecuali pertarungan kekuasaan antara Kerajaan (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Secara historis, sudah sejak lama Maluku Utara di landa konflik kekuasaan yang bernuansa kekerasan yang terjadi pada masa kerajaan, yakni pertarungan antara kesultanan Ternate dan Tidore. Di mana kedua kerajaan tersebut selalu memainkan peran untuk tampil lebih superior sekaligus berupaya melakukan ekspansi kekuasaannya sehingga ketika masing-masing mengalami perbedaan pendapat dalam suatu wilayah yang mau dijadikan tanah adat, maka benturan secara fisik tidak dapat dihindari. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sofyan: Sekitar 1500-an konflik ini sudah terjadi di mana pertarungan kerajaan Ternate dengan kerajaan Tidore berlangsung untuk memperkuat posisi mereka. Dengan demikian konflik di Maluku Utara dengan sendirinya telah menjadi warisan kultural di masyarakat.109
109
Wawancara dengan Sofyan Daud (Sastrawan Maluku Utara), tanggal 06 februari 2013.
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebuah warisan kultural seperti ini yang dimanfaatkan oleh elite lokal baik dari Makian-Tidore maupun Ternate di Maluku Utara untuk menciptakan konflik sebagai representasi posisi, seketika posisi untuk menggendalikan kekuasaan lewat jabatan gubernur terancam tidak di dapat. Konflik elite politik lokal yang merembes dan mengatasnamakan masyarakat bawah semakin membesar, karena Agama diikutsertakan dalam persaingan tersebut, sehingga kelompok Sultan Ternate mendapat dukungan dari masyarakat Kao, Galela, dan Tobelo sementara Sultan Tidore dan elite Makian mendapat dukungan dari Makian, Tidore, Sanana dan Bacan. Menurut M.G.H. Kordi, perebutan pengaruh kedua Kerajaan besar itu, melahirkan dendam dan dikotomi. Pada suatu saat masyarakat Tidore merasa diri lebih superior dari masyarakat Ternate begitu juga sebalikya.110 Keegoisan inilah yang telah memperburuk keadaan di dalam masyarakat yang tidak tahu menahu akar dari permasalahan yang sebenarnya.
2.1. Pertarungan Elite Politik dalam Perebutan Kursi Gubernur Ketika Maluku Utara oleh Pemerintahan B.J. Habibie ditetapkan sebagai provinsi baru di Indonesia. Maka wacana perebutan kursi gubernur di tingkat elite lokal juga ikut memanas. Di mana peta kekuatan masing-masing elite yang berkepentingan mulai di buat untuk menyiapkan basis politiknya. Selain itu kekuasaan struktural bukan hanya membuat para elite bersikap toleran dan korporatif tetapi telah membuat kelompok-kelompok elite yang berkepentingan menjadi bringas 110
Imron Hasan. Op.cit hlm 127.
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk mengejar kepentingannya dengan berbagai cara, salah satunya melalui kekerasaan yang memanfaatkan masyarakat sebagai strategi ekonomi politik mereka. Sejalan dengan ini dalam penelitian Barron et al, tentang Konflik di Maluku dan Maluku Utara menjelaskan bahwa elite lokal Maluku Utara mempunyai lebih sedikit intensif untuk menggunakan kekerasaan ... di kalangan elite lokal sudah banyak yang mencapai tujuan mereka melalui cara kekerasaan yang demikian. Kekerasaan mengkonsolidasikan kekuasaan dengan cara-cara yang menyebabkan penggunaan kekerasaan terus-menerus.111 Pertarungan yang terjadi ditingkat elite lokal memperburuk keadaan di masyarakat yang merupakan basis politik masingmasing, sebab masyarakat dibuat impunity dan fanatisme. Isu perebutan kekuasaan Gubernur tersebut muncul dalam percakapan antar warga sehari-hari sebelum terjadi pertekaian antar warga Ternate bagian Utara yang menjadi masyarakat adat Kerajaan Ternate dan Selatan yang didominasi masyarakat Makian dan Tidore. Menurut Tomagola perebutan kursi Gubernur Maluku Utara dilatarbelakagi oleh sejarah persaingan hegomoni antara kesultanan Ternate di satu pihak dan Kesultanan Tidore dan Bacan di lain pihak. Ketiga kesultanan ini di dukung oleh suku-suku yang berbeda. Sultan Ternate (Mudafar Sjah) secara terbuka menyatakan minatnya untuk menjadi Gubernur Maluku Utara. Singkatnya, Sultan Ternate di dukung oleh suku Ternate Bagian Utara yang beragama Islam dan sukusuku di Halmahera Utara yang beragama Kristen, berhadapan dengan calon kuat yang
111
Patrick Barron et al. Ibid hlm 67
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjadi Setwilda (Thaib Armain) pertama yang di dukung oleh suku Makian-Kayoa dan Tidore.112
2.2. Pertarungan Etnik Masyarakat Maluku Utara semenjak dahulu memiliki keragaman budaya, suku dan agama yang dibingkai melalui semangat pluralisme. Semangat pluralisme ini memicu mobilitas suku-suku untuk berpencar dan membaur dengan suku dan agama lain untuk hidup rukun dan membentuk ikatan persaudaraan. Namun ikatan keragaman antara persaudaraan suku satu dengan suku yang lain mengalami degradasi ketika pertikaian antar masyarakat Malifut (suku Makian) dan Kao (etnis Kao) di Halmahera Utara terjadi pada pada awal Agustus 1999. Pertikaian ini terjadi ketika munculnya PP no. 42 tahun 1999 tentang pembentukan kecamatan Makian Daratan di dalam wilayah kecamatan Kao. Dari PP ini kemudian membentuk ketidakharmonisan hubungan antara kedua sub etnik, lalu pada akhirnya melahirkan rasa benci dan penolakan PP no. 42 tahun 1999 oleh masyarakat Kao kepada pemerintah, karena menyalahi aturan adat setempat. Penolakan masyarakat Kao terhadap rencana gagasan pembentukan wilayah Malifut menjadi kecamatan Makian Daratan didasarkan pada pranata sosial, aturan, dan mekanisme adat setempat yang sudah ada sejak zaman Kesultanan dan Belanda. Bagi masyarakat suku di Halmahera, batas wilayah kesukuan telah di atur dan
112
Agus SB. Keragaman Budaya & Konflik di Halmaher Utara, dalam Kasman & Herman (penyunting). Op.cit hlm 119.
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disepakati bersama sejak zaman Kesultanan. Pelanggaran terhadap wilayah kesukuan merupakan pelanggaran terhadap adat yang harus di bayar mahal dengan darah, dan sebagai pemerintah Daerah Maluku Utara seharusnya memahami kondisi tersebut. Ternyata aspirasi itu tidak diakomodasi oleh pemerintah setempat, yang memang saat itu didominasi oleh kelompok-kelompok suku Makian, Tidore, dan Kayoa yang notabene mempunyai interest tertentu terhadap potensi sumber daya alam di wilayah Malifut yang menggandung tambang emas. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa ketiga etnik tersebut di atas selalu bergabung membentuk suatu kelompok elite di bawah hegemoni Kesultanan Tidore yang secara laten bersaing dengan hegemoni Kesultanan Ternate.113 Pertarungan etnis menjadi salah satu variabel ketika konflik terjadi di Malifut dan Kao, sebab masyarakat Makian merupakan etnik yang memilik etos kerja dan progresif dalam perbaikan ekonomi mereka dibandingkan dengan suku asli Kao. Sejalan dengan ini dalam analisis diskriptif Agus SB, selama waktu kurang lebih 24 tahun berada di Malifut, status wilayah mereka terkatung-katung. Selama itu sebelum akhir petaka 24 agustus 1999, sering kali terjadi perkelahian antar pemuda dari kedua yang berbeda agama tersebut, disamping pembabatan hasil-hasil kebun milik warga Makian Malifut oleh suku asli Kao. Hal ini dilatar belakangi oleh kecemburuan suku asli Kao terhadap keberhasilan ekonomi penduduk pendatang.114
113 114
Lihat Jan Nanere (editor). Op.cit hlm 50. Kasman & Herman (penyunting). Op.cit hlm 121
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.3. Perebutan Sumber Daya Alam (Tambang Emas di Kao-Malifut) Kelimpahan sumber daya alam di Maluku Utara bukan menjadikan harapan tersendiri bagi masyarakat setempat untuk dapat memperbaiki ekonomi dan kehidupan mereka. Melainkan kekayaan alam juga dapat melahirkan malapetaka sosial, yang akan membuat masyarakat kehilangan nilai kemanusiaan yang diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi. Penduduk masyarakat Kao dan Malifut telah menjadi salah satu contoh, jika kekayaan alam yang di kelolah hanya untuk di eksploitasi oleh elite lokal dan pusat demi menunjang kepentingan politis, maka pertikaian, rasa cemburu, dan benci sesama masyarakat tidak dapat dielakan lagi. Sejalan dengan ini, menurut Tomagola115 dua karakter yang berbeda antara penduduk asli dan pendatang kemudian bermuara pada kesenjangan sosial-ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi ini juga dipertajam dengan adanya sentimen agama dan suku serta kehadiran tambang emas yang diekploitasi di wilayah calon kecamatan Malifut. Lokasi tambang emas yang dimaksud kebutulan terletak di desa-desa yang dihuni oleh penduduk asli Kao. Bagi pemerintah Kao, kehadiran tambang emas ini merupakan potensi kekayaan daerah yang dapat mendongkrak Pendapatan Asli Daerah. Sebab itu, tidaklah mengherankan jika bahwa Camat Kao, yang notabene adalah beragama Islam justru memimpin penyerangan suku Kao yang mayoritas Kristen Protestan terhadap suku Makian pendatang yang beragama Islam.
115
Lihat Tamrin Amal Tomagola. Republik Kapling. Yogyakarta:Resist Book. hlm 57-58.
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kehadiran perusahan PT. Nusa Halmahera Meneral (NHM) yang beroperasi pada eksplorasi emas cukup membuat masyarakat di dua daerah tersebut untuk saling bersaing dalam mendapatkan akses pekerjaan di dalam perusahan agar dapat memenuhi kebutuhan primer mereka. Dari kedua etnik tersebut, etnik Makian memiliki sumber daya manusia dan pekerja keras, sehingga dapat membuat mereka menguasai sektor ekonomi dibandingan dengan etnik Kao yang tidak terlalu memiliki sumber daya manusia sekaligus dimanjakan oleh potensi alam. Dominasi tersebut membuat masyarakat Kao harus melakukan resistensi apalagi dengan dibentuknya Malifut sebagai kecamatan baru yang awalnya berada di wilayah kecamatan Kao. 2.4. Eksploitasi Agama dalam Konflik Maluku Utara Bagi masyarakat yang bersangkutan, perang saudara itu mau disebut bagaimana, ia hanya menjadi suatu malapetaka tanpa tara. Ribuan orang mati dan terluka, lebih dari seratus ribu pengungsi, kota-kota dan kampung-kampung hancur, dasar ekonomi pun hancur. Perang itu sebuah malapetaka sosial-budaya tanpa tara. Ratusan tahun lamanya orang-orang di Maluku dan Maluku Utara yang memang berjiwa prajurit dapat me-manage kehidupan bersama dengan cukup damai. Sekarang hubungan sosial itu hancur, digantikan dengan nihilisme kebencian dan dendam.116 Konflik di Maluku Utara telah membuat publik tunduk dengan wacana konflik agama. Akbitanya seketika konflik tersebut dianggap sebagai konflik agama, maka masing-masing dari kedua kubu yang berbeda agama, mempertahankan agamanya 116
Frans Magnis Suseno. Hentikan Pembantaian. dalam Imron Hasan (editor). Op.cit hlm 91.
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari ancaman pihak lain. Kesadaran dan rasa toleran sesama agama menjadi mimpi buruk bagi gagasan hubungan antar agama yang dibingkai dalam Bhineka Tunga Ika, ketika masing-masing agama (islam dan kristen) termakan dengan wacana konflik agama untuk berperang. Ketika masyarakat dari kedua komunitas tersebut termakan wacana bahwa konflik ini merupakan murni konflik agama maka simbol agama yang diperkuat dengan bahasa Injil dan Al-Qur‟an pun dijadikan sebagai landasan untuk menyakinkan masing-masing kelompoknya oleh pihak-pihak berkepentingan untuk mengeksploitasi agama demi melegitimasi kekuasaan. Dengan demikian seperti yang ungkapkan Nanere, agama telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah candu yang melumpuhkan kesadaran, otonomi, dan daya kritis masyarakat. Caranya mengadu-domba dan mempersenjatai primordialisme agama masyarakat setempat dengan doktrin-doktrin kebencian, permusuhan, konflik yang brutal dan nafsu pembantaian atas dalil-dalil (politis) keagamaan yang sempit.117 Pada hal jika dilihat secara eksplisit bahwa masing-masing agama tidak menyeruhkan umatnya untuk saling membantai dengan umat yang lain, baik Islam maupun Kristen atau sebaliknya. Melainkan rasa kasih sayang, toleransi, dan menghargai diantara sesama manusia menjadi tujuan sebagai mahluk sosial yang beragama untuk diutamakan dalam arena sosial. Sejalan dengan ini menurut pdt Daka Soetapa, sebagai mahluk yang terbuka terhadap dunia, manusia mempunyai tugas
117
Lihat Jan Nanere (editor). Op.cit hlm 26.
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang terus-menerus, yaitu untuk memberi bentuk bagi keberadaannya dalam segi-segi kehidupannya, termaksud segi kebersamaan dalam ”kekuatan kasih”, yang menerima kehadiran sesama dalam kehidupan sosial. Yang menolong dan penaklukan untuk pembentukan dirinya, sehingga kasih kepada sesama dapat tumbuh dan subur, di mana manusia merasa hidup dan berada di hadirat Allah yang pengasih.118 Perbedaan agama, suku, dan budaya sebenarnya merupakan modal budaya, dan sosial yang bisa dijadikan perekat atau solidaritas sebagai manusia tanpa memandang agama dan etnik tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ajaran Islam bahwa “hikmah diciptakan manusia dari berbagai suku dan bangsa adalah menanamkan benih persaudaraan (kerukunan antar-bangsa, etnik, suku). Dengan adanya pluralisme suku agama, ras, dan golongan manusia dapat menghargai eksistensi manusia lain, serta memegang prinsip egalitarianisme dan humanisme”.119 Jelas bahwa konflik yang terjadi di Maluku Utara bukan merupakan konflik agama. Akan tetapi agama telah dieksploitasi oleh sejumlah provokator untuk mengundang simpati dan emosi masing-masing dari Islam dan Kristen untuk berkonflik. Dengan demikian agama menjadi alat wacana yang dapat membentuk ketidakberdayaan kedua komunitas, sehingga melahirkan konflik berdarah.
118
Lihat Soetapa. Manusia dan Kemanusiaan dalam Prespektif Agama (Kristen). Dalam Kasman Hi Ahmad & M Tahir Abdullah (penyunting). Agama, Kemanusiaan & Budaya Toleransi. Ternate: Ummu Press bekerja sama dengan Kantor wilayah depertemen Agama Prov. Maluku Utara. hlm 46-48. 119 Rivai Bolotio. Membagun Kesepemahaman Lintas SARA: Sebuah Kontemplasi Di Tengah-Tengah Kemelut. Dalam Kasman Hi Ahmad & Taher Abdullah (Penyunting). Ibid hlm 59.
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.
Rekonsiliasi sebagai Alternatif Perbaikan Hubungan Sosial Konflik di Maluku Utara cukup besar menarik perhatian masyarakat nasional,
internasional, dan juga pemerintahan Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri pada waktu itu. Bagaimana tidak, selama ini dalam sejarah Indonesia konflik yang berbaur agama tidaklah pernah terjadi separah yang terjadi di Maluku Utara. Bahkan konflik tersebut telah merugikan percepatan pembangunan yang selama ini dimotori oleh semangat Otonomi Daerah. Konflik yang diperas menjadi konflik agama mendorong pemerintah dan stakeholders untuk memikirkan kembali jalan keluar demi membangun rasa persaudaraan dan semangat nasionalisme di dalam masyarakat yang bertikai. Oleh karena itu, upaya pemulihan ke arah terciptanya perdamaian di antara pihak-pihak yang bertingkai pada aras horisontal menjadikan rekonsiliasi sebagai cara yang baik untuk mendorong perbaikan daerah yang bermartabat untuk kehidupan masyarakat. Hal ini membutuhkan peran tokoh agama, intelektual, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Pers dan pemerintah lokal dan pusat untuk memainkan peran dalam arena sosial agar dapat membentuk kesepahaman baik antara pihak Islam maupun Kristen untuk dapat berdamai dalam bingkai kebudayaan. Menghilangkan rasa trauma dan membangun kembali ikatan persaudaraan di dalam masyarakat yang bertikai akibat dari fantisme buta merupakan hal yang dapat merepresentasikan eksistensi sebagai manusia sejatinya. Maka mempertemukan tokoh dari kedua pemuka untuk berdamai dibutuhkan juga peran intelektual untuk
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memfasilitasi pertemuan dan sekaligus ikut terlibat dalam mecarikan solusi perdamaian. Proses dari rekonsiliasi ini adalah untuk memperbaiki kehidupan sosial masyarakat setempat yang sempat kehilangan kemanusiaannya agar dapat kembali menjalin hubungan diantara kedua komunitas untuk hidup rukun dan damai. Sejalan dengan ini menurut Kriesberg, bahwa proses rekonsiliasi adalah di mana kedua kelompok berhasil merubah destructive conflict dan hal ini sangat diperlukan untuk memperkuat sendi-sendi bangsa yang sudah lemah dan hampir hancur.120 Rekonsiliasi menjadi barang berharga dan atau bernilai untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan manusia yang berdasarkan pada semangat pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena konflik secara besar-besaran terjadi di Halmahera Utara dan kemudian membakar pertikaian ke seluruh wilayah Maluku Utara, maka langkah untuk membangun perdamaian dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat di Halmahera Utara baik dari pihak Kristen yang diwakili oleh Hein Namotemo 121 dan dari pihak Islam di wakili oleh Samsul Bahri Umar122 tampil sebagai tokoh perdamaian, ketika konflik berkepanjang tersebut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Pembicaraan damai di Halmahera umumnya terfokus pada isu-isu tingkat lokal, misalnya penerimaan pemulangan pengungsi di suatu desa atau beberapa desa dan
120
Lihat Sri Yanuarti et al. Konflik Maluku Utara. Penyebab, Karakteristik dan Penyelesaian Jangka Panjang. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan (PMB)-LIPI. hlm 162 121 Salah satu pimpinan pasukan Kristen Pada waktu konflik, dan sekarang menjadi Bupati Halmahera Utara selama dua periode 2006-2011 dan 2011-2015. 122 Salah satu Pimpinan pasukan Jihad di Halmahera Utara pada saat konflik, dan sekarang menjadi Ketua DPRD Kab. Halmahera Utara periode 2009-2014.
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagaimana memastikan keamanan.123 Kesadaraan bahwa konflik yang selama ini terjadi bukanlah benturan antara agama membuat masing-masing dari kedua kubu untuk kembali berdamai dalam semangat kebudayaan setempat. Upaya membangun kembali truts (kepercayaan) kepada sesama masyarakat untuk menjelaskan bahwa konflik hanyalah akan melahirkan penderitaan yang tidak berkesudahan dan membuat kemanusiaan seakan tidak ada nilanya lagi. Oleh karena itu, distribusi pemahaman atau knowledge kepada masyarakat tentang pentingnya hidup berdampingan sebagai modal sosial yang dapat mendorong pembagunan dan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan wujud dari kecintaan untuk membangun prinsip kemanusiaan.
3.1. Peran Intelektual dalam perdamaian Salah satu wujud dari tanggung jawab sosial kaum intelektual adalah mampu menjembatani dan mencari akar permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang bertingkai dengan melibatkan diri melalui arena sosial. Peran intelektual ini menjadi penting sebab intelektual memiliki cara tersendiri dengan menggunakan modal budaya untuk memperbaiki kembali kemanusiaan yang pada waktu konflik tidak memiliki nilai lagi. Sehingga
intelektual di Maluku Utara pada era 1999-2000
melakukan upaya-upaya perdamaian kepada masyarakat yang bertingkai untuk mencarikan solusi yang terbaik. Keterlibatan tersebut dengan cara, yakni:
123
Patrick Baron et al. Op.cit hlm 71-72.
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Memberikan keasadaran melalui pendidikan dan juga memulangkan pengungsi sekaligus memonitoring bagaimana para pengungsi ini bisa kembali di terima di daerah mereka dan merasa aman secara psikologi ....124 Peran ini merupakan salah satu tanggung jawab sosial untuk dapat memperbaiki kembali hubungan sosial dan kemanusian untuk tidak menempatkan rasa saling membenci, sebagai cara yang terbaik dalam kehidupan bermasyarakat. Melakukan rekonsiliasi di tingkat masyarakat menjadi penting sebagai wujud keseriusan menjalankan tanggung jawab di dalam masyarakat. Apalagi konflik yang diperas dalam bentuk SARA menjadi hal yang sangat berbahaya bagi hubungan umat beragama, sebab akan melahirkan disintegrasi sosial. Hal inilah kemudian membuka kesadaran untuk melibatkan diri pada upaya melakukan perdamaian dengan cara menjadi pembicara ketika ada lembaga-lembaga swasta atau LSM melakukan pendidikan non formal atau lokakarya bagi masyarakat pada daerah-daerah yang pernah dilanda konflik komunal tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Sahril: Yang saya lakukan pada waktu itu (konflik), adalah menjadi pembicara pada seminar di Halmahera Barat dalam kaitan dengan pendidikan perdamaian di Maluku Utara, penyampain materinya terfokus pada pemahaman budaya torang (kita/Maluku Utara) sebagai entitas kesatuan masyarakat lokal.125
Hal ini dilakukan untuk mengingatkan kembali akan tradisi kebudayaan sebagai nilai lokal masyarakat untuk saling menghargai dan menerima perbedaan
124
Wawancara dengan Bapak Kasman Hi Ahmad di Ternate (Akademisi Maluku Utara) pada tanggal 08 Maret 2013 dikediamannya. 125 Wawancara dengan Sahril Muhammad (Sejarawan Maluku Utara) pada tanggal 19 Januari 2013.
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
serta untuk menghilangkan rasa dendam sesama masyarakat yang berbeda agama. Sebagaimana tulis Barker, kebudayaan adalah lingkungan aktual untuk berbagi praktik, representasi, dan adat-istiadat masyarakat tertentu ... membantu membentuk kehidupan orang banyak. Gagasan seperti ini untuk memberikan makna sosial kepada masyarakat tentang dunia yang kita tempati
sebagai mahluk kebudayaan dan
sosial.126
3.2. Perdamainan Dengan Pendekatan Sosial Kebudayaan Masyarakat Maluku Utara merupakan masyarakat multi etnik, yang masingmasing etnik (suku) memiliki
pranata sosialnya tersendiri. Meskipun begitu,
masyarakat di wilayah ini secara historis hidup rukun satu sama lain. Hal ini terjadi melalui lembaga adat yang pada zaman lampau telah ditata pembagian teritorial etnik di dalam organisasi masyarakat yang lebih besar (Kerajaan). Artinya bahwa eksistensi semua etnik yang hidup di dalam wilayah kerajaan diakui dalam kedudukan yang setara, sekaligus membentuk persatuan dan kesatuan dalam semangat Marimoi Ngone Fo Turu, Marimoi Ua Gone Fo Ruru, Ma Ota Tara Gone Fo Jaha. 127 keberhasilan perdamaian yang dilakukan oleh beberapa stecholeder karena mengambil semangat tentang sejarah kebudayaan masyarakat setempat sebagai gagasan untuk hidup bersama kembali tanpa memandang batas agama, suku, rasa dan golongan dengan bersandarkan pada adat “Hibualamo” (rumah besar dalam bahasa setempat). Sebab 126
Lihat Chris Barker. Op.cit hlm 8. Untaian kata-kata (dola bololo) yang berarti Bersatu kita tegu/kuat, tidak bersatu kita hanyut, pada akhirnya kita tengelam. Lihat Jan Nanere (editor). Op.cit hlm 172. 127
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
budaya merupakan entitas penting dalam upaya melakukan pengelolaan konflik di dalam masyarakat agar dapat mengarah pada cita-cita bangsa. Ketika konflik komunal di Maluku Utara mengalami titik kejenuhan maka memungkinkan tokoh masyarakat, pemerintah, intelektual, dan LSM untuk menyusun narasi perdamaian antara masyarakat yang berkonflik yang menekankan pada kebersamaan dan hidup berdampingan sangat mudah terlaksana. Setidaknya ada tiga faktor penting dalam hal ini. Pertama kejenuhan terhadap konflik yang menyebar di luas. Tingkat kekerasan yang dialamai di Halmahera Utara mengejutkan ... eskalasi kekerasan di Halmahera Utara umumnya disebabkan oleh dilema keamanan dan orang tidak melihat banyak manfaat melanjutkan kekerasaan. Upaya-upaya perdamaian di dorong oleh hasrat orang untuk memulai lagi hidup mereka, sehingga menyingkirkan isu-isu perbedaan. Kedua, jaringan kekerabatan di Halmahera Utara melintasi batas agama; banyak orang Kristen yang punya saudara/i, sepupu, atau paman yang beragama Islam begitu juga sebaliknya. Ketiga, berkembang narasi di kedua kubu bahwa kekerasan digerakan oleh „orang luar‟: pemerintah Jakarta, Militer, jihadi atau pendeta dari luar, orang-orang luar dari daerah Maluku Utara. Pelemparan kesalahan pada pihak luar, dan keberadaan tradisi serta mitos yang menekankan
kebersamaan lokal
memungkinkan
penyusunan sebuah narasi
perdamaian dan persaudaraan terwujud sehingga dapat membantu mendorong rekonsiliasi.128 Hal ini sangat jelas ketika rapat yang melibatkan masyarakat dari
128
Lihat Patrick Baron et al. Seusai Perang Komunal, Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya Pencegahannya .Op.cit., hlm 103-104.
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kedua kubu di Halmahera Utara pada acara deklarasi perdamaian pada tanggal 19 April 2001 di Tobelo dengan menekankan budaya setempat dan selanjutnya deklarasi perdamaian ditandatanggani di Morotai pada Mei 2001 dan Galela pada 30 Juni 2001.129 3.3. Peran Pemerintah Daerah dan Pusat Dari laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Sosial Politik Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Ternate, Maret 2000) disampaikan bahwa penyebab kerusuhan yang terjadi adalah faktor PP nomor 42 tahun 1999 mengenai pemekaran wilayah Malifut, dampak dari kerusuhan Ambon serta adanya selebaran bernuansa SARA yang memicu konflik terjadi secara berkepanjangan. Dinamika konflik yang terjadi ini membuat pemerintah pusat mengeluarkan beberapa kebijakan untuk melakukan normalisasi keadan Maluku Utara adalah: GBHN 1999-2004, Tap MPR No. IV/99 telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan konflik secara berkepanjangan secara adil, nyata, dan menyeluruh serta mendorong masyarakat yang bertingkai untuk proaktif dalam mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.130 Melihat konflik tersebut tidak mendapat titik temu dan masih belum berdamai maka pemerintah pusat melalui Wakil Presiden Megawati mengunjungi daerah Maluku Utara di wilayah Halmahera Utara pada tahun 2001 dan menyampaikan
129 130
Lihat Patrick Baron et al. Ibid., hlm 74. Lihat Sri Yanuarti et al. Op.cit., hlm 163.
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pidato berisi seruan rekonsiliasi kepada masyarakat yang berkonflik.131 Hal ini untuk menghindari konflik yang akan memakan korban jiwa dan menghancurkan fasilitasfasilitas publik. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga melakukan upaya-upaya perdamaian untuk memperbaiki keretakan hubungan sosial masyarakat yang berbeda agama dan secara detail upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain pertama, mengevakuasi pengungsi ke tempat yang aman, menyalurkan bantuan berdasarkan kebutuhan dan sesuai kemampuan. Kedua, meminta bantuan tambahan pasukan untuk membantu mengendalikan situasi dan kondisi keamanan dan ketertiban di daerah kerusuhan. Ketiga, upaya membangun kembali rasa kekeluargaan dan kebersamaan dari tingkat bawah dengan pendekatan sosial buday melalui tokoh formal maupun non formal. Keempat, bersama aparat keamanan dan semua komponen masyarakat menciptakan kondisi Kamtimbas yang aman dan peningkatan kewaspadaan terhadap provokasi oknum tertentu. Kelima, menghubungi Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan untuk penanganan warga transmigrasi nasional yang bermaksud meningalkan unit pemukiman transmigrasi akibat trauma kerusuhan pengungsi. Keenam, upaya penegakan supermasi hukum.132 Rangkaian peristiwa pada konflik 1999-2000 yang digambarkan di atas jelas merepresentasikan bahwa masyarakat pada awalnya terprovokasi dengan isu yang berlatar agama. Hal tersebut, dapat dilihat atas klaim-klaim dari pandangan mereka
131
Lihat Patrick Baron et al. Op.cit., hlm 71. Lihat Sri Yanuarti et al. Op.cit hlm 166.
132
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengenai penyebaran “surat palsu” yang memperbesar konflik waktu itu. Akibatnya benturan fisik dari kedua komunitas tidak dapat dihindari. Ketidakmampuan masyarakat dalam membaca isu pertarungan kepentingan elite di level atas serta perebutan sumber daya alam telah membentuk prespsi dan tindakan mereka untuk saling membunuh. Dengan begitu ratusan nyawa dan barang milik umum dan pribadi hilang begitu saja akibat dari fanatisme buta. Namun dalam perjalanannya, konflik antara Islam dan Kristen mendapat titik terang untuk berdamai ketika masing-masing dari mereka merasa bahwa tidak ada untungya untuk bertengkar jika yang menjadi korban hanyalah masyarakat pada level akar rumput. Kondisi ini disadari oleh masyarakat setempat ketika kesadaran subjektif tampak pada ruang sosial dan juga diikuti oleh pemahaman akan kebudayaan mereka mengenai hidup saling berdampingan. Dengan kata lain, bahwa konflik hanya akan melahirkan disintegritas dan menelenjangi kebudayaan leluhur mereka yang dibangun di atas landasan kebersamaan. Adanya kejenuhan ini kemudian dimanfaatkan kaum intelektual, LSM, dan tokoh masyarakat untuk merancang program rekonsiliasi demi membangun kembali ikatan sosial yang berlandasakan pada adat masyarakat setempat. Salah satu langkah yang ditempuh dalam melakukan rekonsiliasi adalah memfasilitasi pertemuan dari kedua komandan pasukan yang bertikai untuk mencarikan solusi yang terbaik. Upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh kaum intelektual, LSM dan sebagainya ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial mereka sebagai agensi yang hidup dalam ranah sosial. Tanggung jawab ini terinternalisasi dalam diri (seorang) 104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
intelektual. Sebab, sebagai kaum intelektual mereka tidak hanya menjadi penonton dalam melihat sebuah peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, melainkan juga ikut berpartisipasi dalam membongkar mekanisme kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Untuk melihat wujud dari tanggung jawab sosial- akademik kaum intelektual pada ranah sosial, serta posisi dan peran dengan modal yang mereka miliki, Pada bab berikut akan penulis uraikan representasi tersebut dengan menggunakan pisau analisis Bourdieu tentang habitus dan ranah/arena.
4.
Catatan Penutup Konflik berkepanjangan yang terjadi di wilayah Maluku Utara tidak terlepas
dari hilangnya modal sosial atau rasa saling percaya di antara masyarakat, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Hilangnya rasa percaya tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan agama, melainkan oleh mudahnya masyarakat diprovokasi dengan wacana-wacana yang berbau SARA yang diangkat kepermukaan publik oleh sekelompok orang yang berkepentingan dengan kekuasaan, ekonomi, maupun politik di wilayah tersebut sehingga konflik tersebut tidak dapat dihindari. Masyarakat hanya dijadikan oleh elite sebagai objek untuk dieksploitasi, dalam hal untuk memenuhi hasrat berkuasa maupun untuk merebut kekuasaan oleh para elite tersebut. Representasi tentang konflik di Maluku Utara secara detail memiliki berbagai macam faktor atau wacana yang mendorong terciptanya konflik di dalam masyarakat, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, pertarungan antara elite, hingga
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kecemburuan sosial atas penguasaan sumber daya alam. Namun demikian dari semua faktor tersebut faktor agamalah yang menjadi wacana kuat dalam mengarahkan presepsi masyarakat baik Islam maupun Kristen untuk berkonflik. Secara jelas dapat dikatakan bahwa setiap wacana yang dibentuk di dalam masyarakat selalu menyimpan kepentingan-kepentingan yang luput dari penglihatan masyarakat.
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V ARENA INTELEKTUAL DAN PERTARUNGAN IDENTITAS KAUM INTELEKTUAL DALAM KONFLIK DI MALUKU UTARA 1999-2000
Sebagaimana yang telah diuraikan pada pada bab sebelumnya, konflik yang terjadi di Maluku Utara tidak terlepas dari wacana mengenai konflik agama yang dikembangkan oleh provokator-provokator untuk mereproduksi konflik. Para provokator ini adalah mereka yang berada dalam lingkaran elite yang berkepentingan dengan kekuasaan politik dan sumber daya alam di Maluku Utara. Oleh karena itu konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi tanggung jawab kaum intelektual di Maluku Utara sesuai dengan tugasnya untuk mencarikan akar masalah dari konflik yang terjadi. Kaitanya dengan bab sebelumnya adalah bahwa peran dan posisi kaum intelektual sangatlah penting dalam mengungkap mekanisme kekerasan pada masyarakat sebagai wujud dari tanggung jawab sosial dan akademik. Dengan ungkapan lain, untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan akademik, kaum intelektual membutuhkan sebuah arena, yaitu arena intelektual sebagai representasi posisi mereka di dalam masyarakat ketika terjadi konflik. Konflik yang terjadi di Maluku Utara memang memiliki dampak yang luas bagi degradasi hubungan antar umat beragama di wilayah ini. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, konflik 1999-2000 ini dengan sengaja diubah dari 107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
konflik antara elite, jabatan gubernur, sumber daya alam, dan etnik, menjadi konflik agama ketika elite lokal dan pusat yang merupakan kelanjutan dari rezim Orde Baru memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat dalam memahami kondisi perpolitikan di era tersebut. Dari situ oleh elite dan sejumlah provokator konflik tersebut diubah menjadi konflik antar agama. Bagi orang awam memaknai konflik di Maluku Utara akan sulit jika tidak didasari pemahaman tentang asal-mula konflik tersebut. Konflik yang terjadi di Maluku Utara memiliki banyak dimensi, mulai dari dimensi kepentingan ekonomi, politik, dominasi suku, hingga dimensi agama.
Dari beragam dimensi di atas, menjadi jelas bahwa konflik di Maluku Utara merupakan upaya untuk memaksakan kehendak politik dari elite dan para provokator dengan mempengaruhi masyarakat setempat melalui wacana konflik antara agama. Wacana konflik atas nama agama pada waktu itu telah ikut melahirkan pemilaan tempat untuk mengakomodir para korban kekerasan dengan latar belakang agama masing-masing, yakni berada di Ternate (pengungsi Islam) dan Halamahera Utara atau Tobelo (pengungsi Kristen). Pemilaan tersebut sebagai representasi bagi kaum intelektual dalam menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka pada waktu itu. Apakah mereka mengambil posisi dan peran pada sisi subjektif ataukah objektif atau kedua-duannya? Pada bagian ini penulis akan menjelaskan hal tersebut, dengan melihat seperti apa kaum intelektual memainkan peran dalam memproduksi wacana di saat konflik, dan bagaimana mereka memposisikan diri ketika berada pada situasi konflik dari kedua kubu masyarakat yang bertikai.
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1.
Peran Intelektual dalam Sebuah Konflik
Kaum intelektual (adalah mereka yang) bukan hanya bertanggung jawab untuk memproduksi wacana, melainkan juga bertanggung jawab untuk membongkar kekerasan di masyarakat. Dengan kata lain, mereka bukan hanya menjalankan peranannya untuk memproduksi pengetahuan demi kepentingan akademis melainkan juga menjalankan peran tersebut untuk kepentingan kehidupan masyarakat. Dari kedua peran tersebut, kaum intelektual dapat memungkinkan untuk merealisasikan tanggung jawab akademik dan sosialnya. Di mana dengan tanggung jawab akademis, intelektual diharapkan untuk dapat menanggapi persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi dalam lingkungan sosial, salah satunya persoalan yang terjadi di Maluku Utara (konflik) melalui ungkapan tulisan, karya ilmiah, ataupun pernyataan kritis mereka. Di sisi lain dengan tanggung jawab sosial, kaum intelektual tentunya dapat terlibat dalam hal melakukan resolusi pada setiap persoalan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, tanpa memandang agama, suku, ras, dan etnik tertentu.
Dari prespektif ini sebagai kaum intelektual mereka harus benar-benar mampu memahami akar persolaan dari konflik yang terjadi dalam masyarakat secara detail. Hal ini dimaksudkan agar posisinya sebagai kaum intelektual dapat termanifestasikan sesuai dengan perannya. Kaum intelektual dalam memainkan peran dan sekaligus menempatkan posisi mereka di dalam masyarakat yang bertikai ialah upaya untuk membongkar kedok kekerasaan atas nama agama yang dialami masyarakat. Sebab,
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai kaum intelektual mereka merupakan agensi dalam membentuk wacana kebudayaan di dalam ranah sosial tanpa mendiskriminasi.
Namun konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000 merupakan persoalan yang begitu berat bagi kaum intelektual untuk melibatkan diri pada pertikaian tersebut, sebab konflik tersebut begitu kompleks. Sebab konflik ini, telah dikonstruksi secara cangih oleh sejumlah provokator melalui wacana agama. Hingga pada akhirnya mengkonstruksi dan sekaligus memperlebar konflik di dalam masyarakat yang berbeda agama tersebut.
Akan tetapi varian konflik ini membutuhkan kecerdasan kaum intelektual untuk memandang dan memahami persoalan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai tempat ia tumbuh dan membangun interaksi sosial dengan menggunakan modal yang dimilikinya, yakni modal budaya dan simbolik. Di Maluku Utara, peran yang dimainkan oleh sebagian kaum intelektual pada saat konflik adalah dengan melakukan pencerahan dan membentuk lembaga-lembaga nirlaba yang dapat menangani pengungsian dari korban kekerasan. Lembaga-lembaga ini diorientasikan untuk melakukan advokasi dan merehabilitasi para korban kekerasan dari konflik sosial. Dengan demikian hal ini akan memperlihatkan tanggung jawab sosial mereka sebagai intelektual di dalam masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan oleh seorang akademisi di Maluku Utara yakni, “sebagai intelektual pada konflik kemarin, justru saya mengambil peran untuk melakukan tanggung jawab sosial, dengan cara
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
langsung membentuk lembaga nirlaba yang bergerak dibidang sosial untuk mengadvokasi dan sekaligus merehabilitasi para korban konflik.”133
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa peran intelektual pada konflik di Maluku Utara, menempatkan diri mereka sebagai pembentuk wacana kesadaran dalam masyarakat yang berkonflik melalui rehabilitas para korban dan sekaligus membuat sekolah rakitan (dengan fasilitas seadanya). Agar dengan begitu masyarakat bisa tahu bahwa ini bukanlah konflik agama, akan tetapi agama dieksploitasi oleh sejumlah provokator untuk memenuhi kepentingan mereka. Selain itu, dengan tanggung jawab sosial seperti ini mereka sebagai kaum intelektual Maluku Utara dapat leluasa menyampaikan pikirannya kepada masyarakat bahwa konflik ini hanya akan menunda masa depan mereka yang humanis bagi generasi berikutnya.
Selain tanggung jawab sosial yang dimainkan, juga ada tanggung jawab akademis yang diimplementasikan melalui ruang kuliah dan media masa oleh kaum intelektual untuk menjalankan fungsi mereka seperti apa yang dikatakan Bourdieu “pejabat kemanusiaan”.134 Peran seperti ini tentunya kemudian akan menentukan
133
Wawancara dengan Bapak Kasman Hi Ahmad (akademisi, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara/UMMU) pada tanggal 08 Maret 2013 dikediamanya. Beliau juga menambahkan, bahwa dirinya dan beberapa teman-teman membuat sekolah yang disebut sekolah rakitan (fasilitas seadanya), dan dari situlah masyarakat dibangkitan semangatnya untuk memulai dengan kehidupan masa depan yang baik. Saya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa konflik ini adalah permainan provokator dan hanya akan menunda masa depan. Dan saat itu saya juga pernah menjadi mediator untuk melakukan perdamaian di wilayah Halmahera Utara 134 Lihat Bourdieu. et al. Op.cit, hlm 207.
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sejauh mana kaum intelektual mengaktualisasikan modal budaya dan simbolik yang dimiliki dalam ruang sosial maupun masyarakat.
Dengan mereproduksi wacana baik dalam dunia akdemik maupun dalam ruang publik kaum intelektual berkepentingan sesuai dengan perannya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya nilai hidup berdampingan, sehingga tidak memahami konflik tersebut sebagai konflik agama sebab dengan memahami konflik seperti itu hanya akan menumbuhkan ruang untuk saling membenci dan akan mempersempit cara berpikir kita untuk memahami kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini seperti yang disampaikan oleh seorang intelektual Maluku Utara yang pada saat konflik terjadi beliau berada di sana.
Saat itu saya memberikan pencerahan di mahasiswa untuk bagaimana kita ini sadar bahwa konflik ini akan menghancurkan generasi kita, saya juga merespon konflik melalui tulisan yang pernah di muat di Ternate Pos. Pada waktu saya sebagai dosen, saya membangun kesadaran mahasiswa, konflik ini akan melahirkan patahan sosial dan akan menunda masa depan yang beradab.135
Gambaran di atas menjelaskan bahwa kaum intelektual di Maluku Utara pada saat konflik terjadi, mereka menggunakan modal budaya atau pengetahuan mereka untuk memperbaiki dan membangun kesadaran massa melalui ruang akademik dan sosial sebagai keberpihakannya pada kebenaran dari sebuah persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Pengetahuan yang mereka miliki tidak serta-merta diperuntukan
135
Wawancara dengan Bapak Kasman Hi Ahmad (Kha) sebagai intelektual/akademisi Malut pada tanggal 08 Maret 2013.
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hanya pada kepentingan pribadi. Dengan pengetahuan, mereka sadar bahwa konflik tersebut hanya akan memperburuk kondisi masyarakat dan menunda perkembangan wilayah Maluku Utara.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat yang tidak tahu-menahu akar dari konflik komunal adalah upaya dari kaum intelektual untuk tidak memperbesar konflik. Oleh karena itu, peran mereka di dalam masyarakat sebagai pembentuk wacana yang benar-benar tidak berpihak pada kebajikan dapat termanifest dalam ruang sosial dan akademik.
Namun peran intelektual tidak dapat dinafikan keseluruhan memiliki tingkat objektif dalam memandang konflik yang terjadi di dalam lingkungan sosial di Maluku Utara. Sebab, setiap persoalan yang terlahir dalam arena sosial secara tidak langsung akan membentuk tindakan secara subjektif tanpa disadari oleh kaum intelektual sendiri. Ketidaktahuan ini merupakan reaksi serentak dari masalah yang terjadi di dalam masyarakat dengan hanya berlandaskan pada kepentingankepentingan intelektual, yakni melakukan rekonsiliasi, tanpa mengantisipasi ketika fenomena konflik di antara kedua agama mulai kelihatan dipermukaan pada ranah publik.
Pikiran, tindakan, dan persepsi tentang persoalan yang terjadi di dalam masyarakat tidak terlepas dari habitus yang terinternalisasi dalam diri intelektual baik lewat subjektif maupun objektif dalam arena sosial. Sehingga apa yang dilakukan dan
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dimainkan dalam ruang sosial akan memperlihatkan peran intelektualnya apakah didominasi oleh subjektif ataukah objektifitas. Dengan ungkapan lain, bahwa seorang agensi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan yang akan membentuk cara bertindak dan berpikir dalam merespon persoalan yang terjadi, Sejalan dengan ini menurut Bourdieu habitus memiliki makna dalam diri individu yakni:
Pertama pada nalar yang sepele habitus hanya ada selama ia ada di dalam kepala aktor. Kedua habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh aktor dan interaksi antara mereka dan lingkungan yang melingkupinya: cara berbicara,cara bergerak, cara membuat sesuatu, atau apapun.136
Konflik Maluku Utara memang memiliki karakteristik yang cukup beragam, namun dari berbagai varian isu tersebut, yang paling dapat memainkan emosi masyarakat untuk bertikai adalah perang wacana agama. Oleh karena itu, kaum intelektual di Maluku Utara tidak dapat menghindarinya bahkan terperangkap dengan kondisi dan situasi tersebut. Oleh sebab itu, peran intelektual hanya mampu melakukan rekonsiliasi serta menjadi fasilitator/mediator bagi kedua kubu yang bertikai untuk mensolusikan permasalahan yang terjadi. Mereka bukan mencampuri atau memperbesar konflik, melainkan meredam konflik di dalam masyarakat. Dengan memberikan pemahaman mengenai implikasi dari konflik untuk masa depan Maluku Utara.
Kondisi seperti ini menjelaskan bahwa peran kaum intelektual tidak terlepas dari situasi dan kondisi di mana ia berada, sehingga apapun yang dilakukan akan 136
Richard Jenkins. Op.cit, hlm 107-108.
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membentuk presepsi dalam bertindak sesuai dengan aturan main arena sosial yang ada. Di mana setiap intelektual baik dari pihak Islam maupun Kristen akan sangat sulit untuk mengambil peran secara objektif, karena pikiran masyarakat telah duluan terkoptasi dengan isu konflik antar agama. Oleh karena itu, apa yang dilakukan kaum intelektual tidak terlepas dari subjektifas, dalam artian mereka melakukan penaganan korban kekerasan komunal sesuai dengan agama mereka, atau akan memilih diam untuk tidak mencampuri permasalahan tersebut, tetapi mereka melakukan resolusi atas konflik ketika kondisi dan keadaan tersebut memungkinkan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Agus Salim Bujang:
Dalam menghadapi masalah praktis (konflik), kita selalu menjaga diri, kita hanya bisa memberikan masukan mengenai konflik SARA yang terjadi. Problemnya adalah ketika kita berada dalam lingkungan konflik, kita tidak harus meraba bahwa konflik tersebut di picu oleh apa? Tetapi pada saat itu konflik sudah menjadi opini publik. Sehingga pada saat itu kita harus betulbetul memahami konflik itu secara detail, ini yang membuat saya juga tidak banyak berbicara dan demi keamanan dan kenyamanan diri saya.137
Ungkapan di atas mengandaikan bahwa kondisi seperti ini membuat mereka sebagai kaum intelektual di Maluku Utara mengalami dilema dalam mengambil sikapnya untuk terlibat secara nyata dalam bentuk fisik di dalam masyarakat yang bertikai, apalagi konflik di Maluku Utara memiliki banyak kepentingan, baik dari elite lokal dan pusat untuk melegitimasi atau bahkan mendorong posisinya dalam kancah kekuasaan. Preferensi ini bukan sengaja diambil tanpa ada pertimbangan,
137
Wawacara dengan bapak Agus Salim Bujang (seorang akademisi UMMU Malut) pada tanggal 12 Januari 2013.
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melainkan karena kondisi dan situasi pada saat itu yang membuat mereka untuk tetap berada pada posisi tidak mencampuri atau memperbesar konflik melainkan memikirkan solusi dari konflik tersebut.
2.
Posisi Intelektual dalam Sebuah Konflik
Kaum intelektual atau akademisi memiliki tanggung jawab sosial dan sekaligus akademik yang tidak dihindarinya, bahkan kedua tanggung jawab itu harus berjalan beriringan sesuai dengan posisi intelektualnya sehingga sebagai intelektual Ia tidak menjadi tawanan dari pikirannya. Secara implisit idealnya seorang akademisi bukan harus mencampuri atau memperbesar masalah, akan tetapi dia harus mampu menempatkan posisi sebagai seorang pemberi pencerahan di tengah situasi konflik. Dengan demikian posisinya sebagai intelektual tidak terjebak pada kelompok yang bertikai, melainkan menjadi mediator dengan memanfaatkan media cetak atau elektronik untuk medudukan masalah, sehingga kelompok yang bertikai bisa mengetahui akar masalah atau memahami masalahnya secara jernih dan objektif.
Konflik yang berkepanjangan membuat kaum intelektual menempatkan posisinya pada ruang mediator dalam melakukan perdamainan diantara kedua kubu yang bertikai tidak dapat terwujud secara maksimal, karena mereka sendiri tidak dijamin keamanannya oleh pihak keamanan pada waktu itu.
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hal ini kemudian membuka ruang untuk mengutuk bahwa kekerasan merupakan wujud kekesalan oleh aktor politik yang dianggap mengancam posisi struktural. Posisi intelektual juga sulit untuk berpihak kepada salah satu kelompok yang bertikai baik Kristen maupun Islam, melainkan posisi mereka ditempatkan pada pengkajian bahwa konflik ini bukanlah unsur dari keinginan masyarakat melainkan hanya sebagai permainan elite lokal dan pusat. Pada saat konflik posisi sebagai kaum intelektual sendiri tidak penting dalam hal mempengaruhi masyarakat agar tidak mudah diprovokasi oleh oknum tertentu dalam memandang bahwa konflik ini adalah an-sich konflik kepentingan agama agar mereka tidak saling bermusuhan. Namun perjuangan kaum intelektual untuk memberikan kesadaran pada masyarakat tentang hal tersebut tidak ditanggapi, hal ini lebih karena disebabkan oleh tidak berjalannya modal budaya dan modal simbolik dalam arena tersebut. Seperti kutipan wawancara di bawa ini: Pada saat itu, saya mengambil posisi sebagai penegah ketika konflik mulai memanas pada masyarakat waktu itu (di Ternate). Saya menyampaikan bahwa ini bukan konflik agama, sebab agama tidak mengajarkan umatnya untuk bertikai, namun saya dianggap tidak berpihak pada mereka (Islam). Dengan demikian saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.138
Penjelasan di atas mengandaikan bahwa kesulitan tersendiri yang dialami bagi kaum intelektual di Maluku Utara untuk menghindarkan masyarakat dari benturan fisik pada saat konflik. Justru upaya yang mereka lakukan mendapat penilaian yang 138
Wawancara dengan bapak Rivai Umar (Mantan Rektor Unkhair Ternate) pada tanggal 21 Januari 2013.
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tidak sesuai dari masyarakat. Dengan demikian, apa yang disampaikan tidak dapat termanifestasikan pada ruang sosial, karena disebabkan masyarakat sudah lebih awal tervirusi pikirannya dengan memandang konflik ini adalah koflik agama serta tidak berjalannya modal yang dimiliki kaum intelektual. Akibatnya kaum intelektual ketika mengambil peran sebagai mediator di masing-masing komunitas mereka baik Islam maupun Kristen, mereka dianggap provokator atau pengkhianat. Hal inilah yang kemudian cukup sulit bagi kaum intelektual untuk mencegah konflik terjadi. Desain konflik oleh sejumlah provokator di Maluku Utara cukup berhasil mempermainkan emosi masyarakat baik dari pihak Kristen maupun Islam untuk bertikai, tanpa disadari oleh mereka yang bertikai. Oleh karena itu, konflik di Maluku Utara pada waktu itu, sangat menyulitkan kaum intelektual untuk melakukan pencegahan dan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan isu konflik yang dilandaskan dengan agama. Diakui oleh sebagian kaum intelektual bahwa konflik yang terjadi pada waktu itu memiliki desain yang sangat baik atau terstruktur yang dilakukan oleh provokator tertentu dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan sebagai strategi politik demi melanggengkan kepentingan politis, akibatnya benturan fisik dari kedua kubu yang bertikai tidak bisa terhindarkan sebagaimana yang dijelasakan di bawah ini: Sejauh sepemahaman saya, secara historis masyarakat di Maluku Utara walau berbeda agama, suku, budaya, dan ras. akan tetapi tidak ada konflik yang terjadi atas nama agama. Mereka sudah sejak lama hidup berdampingan tanpa merasa didiskriminasi baik agama yang satu maupun yang lain. Oleh karena
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
itu, pada saat konflik komunal atas nama agama terjadi itu (99-00) saya merasa bingung dengan masyarakat.139
Kelihaian para provokator dalam membentuk pikiran masyarakat tentang konflik ini yang kemudian memaksa masyarakat dari kedua pihak untuk saling membenci sehingga mengakibatkan kekerasan komunal kedua pihak tidak dapat diatasi. Oleh karena itu, intelektual juga mengalami keterjebakan pada saat konflik pecah karena belum mendapatkan informasi yang dijadikan bahan untuk melihat serta mengkaji akar dan sekaligus dampak dari konflik.
Posisi ini kemudian melahirkan sebuah analisis dari pembacaan terhadap konflik yang terjadi pada saat itu. Oleh karena itu, konflik dimaknai sebagai hilangnya nilai kemanusian dan modal sosial sesama masyarakat yang bertikai. Hal ini dikarenakan mereka hanya memahami agama sebatas pada pertarungan ideologis dan teologis. Namun dalam perjalananya ketika konflik mulai redah, masyarakat mulai memahami bahwa konflik selama ini hanya merupakan permainan elite dan provokator yang berkepentingan terhadap sumber daya alam dan kekuasaan struktural di dalam pemerintahan yang terdapat di Maluku Utara.
139
Wawancara dengan Sofyan Daud (Sastrawan Malut) pada tanggal 11 Maret 2013.
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.1. Posisi Subjektif Intelektual dalam Konflik
Secara sadar dalam sub-bab ini, penulis mengakui bahwa tidak melakukan wawancara dengan intelektual dari pihak Kristen secara tatap muka, karena pada konflik 1999-2000 di Maluku Utara, kebanyakan perguruan tinggi didominasi oleh kaum intelektual Muslim yang secara kuantitatif sangat banyak ketimbang intelektual dari pihak Kristen. Kaum intelektual dari pihak Kristen kebanyakan berkarya diluar dari Maluku Utara, salah satunya adalah Frans Nanere.140
Namun untuk melacak peran posisi mereka pada saat konflik, penulis menggunakan beberapa tulisan mereka, baik dari pihak Kristen maupun Islam yang telah dibukukan dalam “Halmahera Berdarah”(dari intelektual Kristen) dan “Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam dari Bumi Halmahera”(dari intelektual Islam). Selain itu, ditambah beberapa wawancara yang dilakukan penulis dengan kaum intelektual untuk memperkuat analisis penulis. Dengan alasan bahwa setiap tulisan yang mereka tulis saat merespon konflik serta praktik yang mereka lakukan di dalam masyarakat dapat menggambarkan sejauh mana posisi dan peran mereka di dalam masyarakat yang bertikai, apakah lebih didominasi pada posisi subjekti atau kah posisi objektif. Setiap permasalahan yang terjadi, entah di dalam masyarakat atau pun dalam lingkungan keluarga bisa jadi dapat membuat setiap individu untuk mengambil posisi subjektif, jika apa yang dipahaminya hanya didasarkan pada satu aspek saja tanpa
140
Putra asli Halmahera Utara yang sempat menjadi Rektor Universitas Patimura Ambon di Maluku.
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melihat aspek lain secara kritis yang ada pada permasalahan tersebut. Oleh karena itu, beberapa kaum intelektual menjelaskan bahwa konflik ini adalah sentimen agama yang lahir dalam pertarungan ideologis. Keterjebakan seperti ini disebabkan karena situasi dan kondisi kemanan dan kenyamanan diri pada saat itu yang membuat mereka menempatkan posisi lebih pada subjektifitas. Sebagaimana yang jelaskan oleh Kasman (2013), bahwa pada saat berhadapan dengan dua komunitas yang berbeda, saat itu posisi intelektual sangat subjektif dengan agamanya masing-masing secara jelas dia terjebak dengan primodialisme yang sempit secara ideologis dan teologis. Sehingga pada saat itu konflik terjadi yang dominan adalah subjektifitas, ketimbang objektifitas.141
Ini yang kemudian membentuk subjektifitas masing-masing intelektual dalam memainkan peran sosialnya di dalam masyarakat yang bertikai. Dengan demikian dominasi subjektifitas pada diri intelektual karena didasarkan pada kondisi dan situasi saat itu yang memaksa mereka untuk mengambil posisi tersebut. Oleh karena itu, ketika fenomena konflik mulai kelihatan di tingkat grass root mereka tidak secepatnya mengantisipasi
melalui
lembaga
pendidikan untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan isu agama 141
Wawancara dengan Bapak Kasman Hi. Ahmad. Dalam wawancara dengan penulis, dia juga menambahkan bahwa pada saat itu, jika kita objektif menempatkan posisi dan peran pada saat konflik, mungkin ketika gejala konflik mulai kelihatan di publik sudah pasti kita melerai konflik tersebut dengan membangun wacana, karena konflik atas nama agama akan berakibat fatal pada kehidupan berbangsa. Akan tetapi pada saat konflik terjadi masing-masing orang membela agamanya, sehingga kita diperhadapkan pada situasi vis a vis, di sana mereka dan di sini kita, sehingga inilah yang membuat atau membentuk stigma bahwa konflik ini adalah konflik agama. Wawancara pada hari Jum’at 08 Maret 2013 di kediamannya.
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai landasan berkonflik. Posisi subjektif dari kaum intelektual yang beragama Kristen adalah ketika konflik antara warga yang berbeda agama kaum intelektual justru berdiam diri dan tidak mau terlibat dalam hal melakukan protes terhadap pemerintah yang membiarkan konflik tersebut berjalan tanpa respon yang cepat. sehingga mereka lebih mengutamakan posisi keamanan diri mereka. Subjektifitas seperti ini kelihatan pada posisi sebagian intelektual dari Kristen saat mersepon konflik yang berawal dari kedua wilayah ini. Dengan demikian kaum intelektual seolah-olah terlepas dari tanggung jawab sosialnya untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat agar tidak memahami konflik ini sebagai konflik antara agama. sebagaimana hasil analisis penulis dari tulisan Nanere et al:
Konflik yang terjadi di Halmahera Utara khususnya antara masyarakat Kao dan Malifut berawal dari penyerangan warga Malifut yang „Muslim‟ ke warga Kao yang „Kristen‟ pada rabu 18 agustus 1999 ketika rumah warga Kristen dilakukan pengrusakan dan pembakaran oleh warga Malifut. Sehingga pembalasan penyerangan dari warga Kao Kristen juga dilakukan ketika bala bantuan datang dari tetangga desa Kao.142
Respon terhadap konflik oleh intelektual seperti ini, yang melihat warga masyarakat dari kedua kubu dengan agamanya masing-masing akan mudah mempengaruhi masyarakat yang lain, yang tidak punya relasi dengan konflik tersebut. Sebab agama diikutsertakan ketika menganalisa masyarakat yang berbeda agama, lalu kemudian telah menjadi wacana ketika penyerangan yang dilakukan warga Malifut dengan menggunakan kata „Muslim‟ ke warga Kao „Kristen‟ 142
Analisis yang dilakukan pada kasus Halmahera Berdarah-Darah yang penulis dasarkan dalam uraian buku Halmahera Berdarah, 2000. Di tulis oleh Jan Nanere et al.
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Merespon konflik dengan tulisan yang diungkapkan seperti di atas dapat merepresentasikan posisi mereka secara subjektif sebagai kaum intelektual. Hal seperti ini, menunjukan peran dan posisi kaum intelektual baik Kristen maupun Islam pada pada saat konflik 1999-2000 tidak dapat dilihat hanya sebagai penengah. Akan tetapi didominasi atas klaim-klaim kebenaran dari konflik tersebut sangat didasarkan pada asal-usul agama dan wilayahnya.
Subjektifitas ini memang merupakan representasi atas penguasaan modalmodal yang mereka miliki dan dengan kondisi dan situasi seperti itu yang membuat keterjebakan intelektual mereka pada posisi subjektif. Di tambah dengan sulitnya informasi atau tulisan-tulisan dari pihak islam untuk dijadikan data dalam melihat atau menjelaskan konflik saat itu secara komprehensif.
Di kalangan intelektual yang beragama Islam juga terlihat posisi subjektifitas mereka dalam menempatkan diri dalam konflik serta menjalankan peran sosial dan akademik dengan merespon konflik yang terjadi di Maluku Utara khususnya di wilayah Halmahera Utara dengan tulisan mereka. Reproduksi pengetahuan melalui tulisan mereka masih didasarkan atas rasa sesama agama sehingga kaum intelektual tidak menunjukan keberpihakan kepada masyarakat secara umum melainkan lebih karena persoalaan rasa agama yang dominan. Hal ini yang kemudian melahirkan subjektifitas mereka sebagai kaum intelektual yang beragama Islam ketika merespon konflik dengan reproduksi pengetahuan. Sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini:
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari analisis mereka, bahwa fenomena problematika ini ternyata memberikan asumsi sementara yang cukup signifikan dengan rencana strategi warga Kristen ingin menguasai Halmahera. Pengusiran dan pembantaian umat Islam di Halmahera mengartikan bahwa ambisi kekuasaan mereka (Kristen) memang telah direncanakan.143
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa subjektifitas intelektual yang memiliki asal-usul beragama Islam pada saat itu, tidak terlepas dari keterjebakan terhadap kondisi dan situasi konflik ketika mereka menuliskan tulisannya. Akibatnya peran dan posisi sebagai intelektual dalam memproduksi serta menjalankan wacana yang benar-benar membongkar mekanisme kekerasan dan dominasi di dalam masyarakat yang bertikai tidak tercerminkan secara objektif. Ditambah dengan apa yang ditulisnya hanya berdasarkan informasi dan data-data dari pihak Islam, dengan alasan karena sulit mendapatkan data-data dari pihak Kristen.
Selain posisi subjektif yang mereka ambil dalam melakukan kritik maupun anggapan dalam bentuk argumentasi, juga ada pula yang mengambil posisi subjektif dalam mengambil tindakan pada saat konflik. Disadari bahwa sebagaian kaum intelektual dari pihak Islam menjalankan peran seperti ini karena kondisi dan desakan dari masyarakat pada waktu itu untuk berpihak kepada masyarakat Islam dengan cara meminta bantuan makanan dan uang untuk kebutuhan masyarakat pengungsi. Sebagaimana petikan wawancara yang penulis lakukan sebagai berikut:
143
Tulisan Kasman & Herman pada kerusuhan di Halmahera dibukukan dalam “Damai Yang Terkoyak
, Catatan Kelam Dari Bumi Halamahera, 2000”. Dianalisis dan dijadikan data untuk melihat posisi mereka sebagai intelektual pada saat konflik 1999-2000.
124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Saya sadar pada saat itu saya memang membantu korban kerusuhan dari masyarakat Islam dengan cara meminta bantuan bahan pokok sampai di wilayah Kalimantan, serta meminta bantuan uang kepada Yayasan Tafsir AlQur‟an di solo ((Jawah Tengah). Tetapi dari bantuan uang yang kami terima, saya dan beberapa teman-teman membangun sekolah rakitan untuk menampung anak-anak dari masyarakat Muslim yang tidak mendapat pendidikan pada saat konflik masih berlangsung agar dapat bersekolah.144 Selanjutnya ia pun menambahkan: bahwa dari peran subjektif yang ia jalankan disebabkan karena desakan dari kondisi masyarakat untuk membantu korban kekerasan di Galela dengan cara mencari bantuan kapal laut dalam hal menggankut korban kekerasan dari masyarakat Islam di Galela. Bahkan saya dan beberapa teman, salah satunya kasman melakukan pembajakan kapal laut (KM. LAMBELU) untuk dipakai menggankut pengungsi di Galela, hingga akhrinya kapal yang dibajak mau mengambil pengungsi di Galela.145
Gambaran di atas cukup jelas bahwa dalam konflik maluku utara pada waktu itu, baik kaum intelektual yang beragama Islam dan Kristen memang masih didasari oleh bela rasa dan emosional kultural sesama komunitas mereka. Hal ini dapat dilihat dengan pengambilan tindakan mereka ketika mencari bantuan untuk menolong para pengungsi, selain menolong mereka juga mendorong proses pencerahan dalam hal memberikan pengetahuan hanya kepada anak-anak yang beragama Islam dari korban kekerasan.
144
Wawancara dengan Bapak Murid Tonirio (Akademisi STAIN Ternate dan Pendiri LSM Gocefa) pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jetis Kota Yogyakarta 145 Ibid.
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2.2. Posisi Objektif Intelektual dalam Konflik
Selain posisi subjektif yang dijalankan oleh intelektual, terdapat pula posisi objektif yang dimainkan oleh kaum intelektual Maluku Utara pada saat konflik 19992000 terjadi. Posisi objektif ini dimaknai sebagai peran yang ideal kaum intelektual ketika berada pada suatu peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Keobjektifan sebagai intelektual direpresentasikan melalui upaya-upaya yang dilakukan untuk menjelaskan akar dari konflik yang selama ini membuat masyarakat terjebak dengan landasan agama. Upaya untuk menempatkan posisi secara objektif dari kaum intelektual dapat di ketika mereka mendorong wacana kemausian melalui ruang-ruag sosial pada saat itu. Sebagaimana petikan wawancara di bawah ini:
Peran objektif yang saya lakukan adalah mendorong wacana kemanusian pada ruang sosial dan akademik. Pada ruang sosial dengan menyampaikan kepada masarakat melalui media lokal (Ternate Pos) dan pada ruang akademik dengan cara membangun sekolah rakitan sebagai cara mendorong perdamaian.146
Posisi objektif ini dilakukan karena mereka memahami bahwa konflik ini secara detail bukan dipicu oleh kepentingan agama melainkan agama dijadikan alat dalam memperbesar atau bahkan mempercepat terjadinya konflik. Oleh karena itu, posisi kaum intelektual pada saat terjadinya konflik mereka memilih diam agar tidak terkesan berpihak pada kubu Islam atau Kristen. 146
Wawancara dengan Bapak Murid Tonirio (Akademisi STAIN Ternate dan Pendiri LSM Gocefa) pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jetis, kota Yogyakarta.
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan demikian kaum intelektual di Maluku Utara kelihatan ambigu dalam menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka sebagai kaum intelektual. Di satu sisi mereka memahami bahwa konflik ini bukanlah konflik agama, namun pada sisi lain, mereka memilih diam dan tidak bertindak dalam merespon konflik secara sungguh-sungguh, hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan diri mereka. Seperti terlihat dari hasil wawancara di bawah ini:
Pada saat konflik, alhamdulilah saya tidak pernah melempar atau mengadudomba. Sebab saya memahami konflik ini (99-00) bukanlah konflik agama, melainkan agama hanya dieksploitasi saja. Ini kemudian membuat saya pada saat itu memilih diam dan tidak mencampuri konflik.147
Preferensi seperti ini diambil karena mereka/intelektual memahami konflik ini merupakan rekayasa dari elite lokal dan pusat untuk memuluskan libido berkuasa. Dengan demikian posisi intelektual seperti ini merupakan rasa kehati-hatian dalam menentukan sikap agar tidak memihak diantara salah satu kubu yang bertikai, namun memikirkan cara untuk melakukan proses perdamaian dan atau membangun kembali solidaritas sosial sebagai manusia yang berbudaya.
Bagi intelektual posisi objektif merupakan ruang bagi tumbuhnya posisi sosial mereka sebagai masyarakat akademik/intelektual yang mampu mereproduksi modal budaya serta mampu membongkar setiap mekanisme kekerasan, baik secara akademik maupun sosial yang dilakukan oleh elite atau provokator yang hendak ingin 147
Wawancara dengan Bapak Agus Salim Bujang (Akademisi UMMU Maluku Utara), pada tanggal 10 Januari 2013.
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkuasa. Membongkar mekanisme kekerasan secara akademik dan sosial ini dengan cara melakukan kritik terhadap elite dan provokator serta mereproduksi wacana untuk mengkritisi konflik atas nama agama yang terjadi di masyarakat Maluku Utara untuk di ungkap ke publik bahwa konflik ini hanyalah permainan dari para provokator yang berkepentingan dengan kekuasaan dan bukan konflik atas nama agama.
Dengan demikian dari situ dapat terbentuk identitasnya sebagai kaum intelektual yang benar-benar berpihak pada masyarakat yang terdominasi. Keberpihakan ini dapat dilihat melalui reproduksi pengetahuan dai kaum intelektual, hal ini dimaksudkan agar peran dan posisi sebagai kaum intelektual dapat berjalan sesuai dengan tanggung jawabanya, seperti halnya yang disampaikan di bahwa ini
Konflik yang terjadi di Maluku Utara adalah lanjutan dari seluruh rangkaian kerusuhan sosial dan tragedi kemanusiaan di wilayah Ambon. Kerusuhan di Maluku Utara dimulai dan bersumber dari pertikaian etnik/suku yang terjadi di Malifut, Kecamatan Kao (Halmahera), tetapi secara lihai para provokator telah mengalihkannya dari pertikaian etnik menjadi pertikaian agama. 148
Bagi intelektual, kerusahan yang terjadi di Maluku Utara atas nama agama serta simbol-simbolnya merupakan permainan yang dilakukan oleh mereka atau provokator yang berkepentingan atas kekuasaan, sumber daya alam, ekonomi dan politik di Maluku Utara pada saat itu. Oleh karena itu, konflik antara sesama masyarakat yang berbeda agama pun terjadi akibat dari termakannya wacana pertikaian antar agama. 148
Uraian ini saya dasarkan pada Jan Nanere et al, ketika ia melakukan kritik terhadap provokator pada saat konflik di Maluku Utara, dalam bukunya Halmahera Berdarah 2000.
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kelihatan bahwa posisi intelektual baik dari islam maupun kristen pada saat konflik juga memiliki posisi objektif ketika merespon konflik yang terjadi di Maluku Utara 1999-2000. Objektifitas ini ditunjukkan melalui tulisan mereka, yang secara sadar tidak menghakimi salah satu agama yang bertikai sebagai aktor yang memicu konflik. Melainkan tekanan kritik mereka melalui tulisan lebih pada membangun kesadaran masyarakat, bahwa ini merupakan permainan provokator yang memainkan propaganda dan agitasinya agar membuat masyarakat terjebak pada situasi tersebut dan pada akhirnya berunjung pada penghancuran identitas kemanusiaan dengan kekerasaan.
3.
Identitas Intelektual di Tengah konflik Maluku Utara
Konflik 1999-2000 merupakan konflik yang amat sulit bagi kalangan intelektual untuk menempatkan identitas intelektualnya dalam lingkungan masyarakat ditengah konflik yang terjadi, jika mereka tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab akademik dan sosial. Namun kaum intelektual di Maluku Utara juga sadar akan tangung jawab mereka sebagai kelompok yang mereproduksi wacana yang berpihak pada mereka yang terdominasi. Oleh karena itu, mengambil peran secara akademik serta memanfaatkan modal budaya dengan cara menulis untuk merespon konflik yang terjadi merupakan bentuk kekesalan terhadap penguasa yang tidak melakukan penaganan konflik secara cepat. Akhirnya masyarakat yang tidak berdosa
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan tidak tahu-menahu secara implisit tentang konflik saat itu, ikut menjadi korban dari konflik tersebut. Pembentukan identitas kaum intelektual pada saat konflik adalah dengan cara melakukan kritik melalui tulisan terhadap elite yang telah mengorbankan masyarakat sekaligus melakukan rekonsiliasi untuk menjalankan kedua tanggung jawab mereka, yakni tanggung jawab akademik dan sosial.
Kritik melalui tulisan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab kaum intelektual yang hidup di dunia akademik dalam memproduksi dan melegitimasi wacana yang benar-benar berpihak pada kepentingan mereka yang terdominasi. Oleh karena itu, posisi dan peran sebagai intelektual dapat menjadikan mereka sebagai lokomotif perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat. sebagaimana dalam petikan wawancara di bawah ini:
Hal ini saya tuangkan dalam bentuk tulisan saya (Keragaman Budaya dan Konflik di Halmahera) pada saat konflik pecah antara kao dan malifut. Dalam tulisan itu saya tidak menghakimi salah satu kelompok. Melainkan menyampaikan bahwa konflik ini adalah pertarungan elite di tingkat atas yang memanfaatkan kita (masyarakat). Tambahnya, pada konflik itu saya tidak memiliki keterlibatan untuk mencampuri, melainkan saya hanya melakukan rekonsiliasi bagi masyarakat yang bertikai sebagai wujud dari tanggung jawab sosial.149
Tangung jawab seperti ini telah menunjukan identitas mereka sebagai kaum intelektual di dalam arena sosial. Dengan keberpihakan mereka pada masyarakat yang terdominasi oleh penguasa, setidaknya telah membuka ruang bagi termanifestasinya identitas intelektual mereka ke publik. Representasi sebagai agensi dalam melakukan 149
Wawancara dengan Bapak Agus Salim Bujang, pada tanggal 10 Januari 2013.
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rekonsiliasi pada masyarakat yang bertikai adalah untuk menunjukan keberpihakan mereka pada kepentingan publik, serta meregulasi identitas mereka sebagai identitas sosial.
Konflik yang selama ini telah dibenturkan oleh sejumlah provokator dan elite disebabkan karena masyarakat tidak memahami dan memiliki informasi mengenai pertarungan elite, jauh sebelum konflik yang mengatasnamakan agama terjadi. Identitas mereka sebagai intelektual ini, menandakan bahwa peran dan posisi mereka di masyarakat yang bertikai dapat terlihat secara tidak langsung melalui advokasiadvokasi dan sekaligus melakukan resolusi terhadap korban kekerasan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga LSM internasional dan lokal. Oleh karena itu, keterlibatan mereka didasarkan pada netralitas untuk memberikan jalan keluar secara terbaik bagi kedua masyarakat yang bertikai.
Pada saat itu saya dengan teman-teman melakukan resolusi dengan memfasilitasi kedua korban konflik yang diwadahi oleh lembaga-lembaga LSM. Saya sadar keterlibatan ini agar dapat menunjukan bahwa kami tidak memihak diantara pihak-pihak yang bertikai. Pada saat konflik saya menulis untuk merespon konflik pada saat itu, dan tulisan itu lebih pada tekanan sisi kemanusiaan, kebersamaan, serta memberikan pencerahan kepada masyarakat ketika mereka kehilangan modal sosial. 150
Dengan demikian keterlibatan dalam melakukan rekonsiliasi dan pencerahan pada masyarakat yang bertikai pada saat itu oleh intelektual Maluku Utara telah merepresentasikan secara implisit identitas publik mereka di dalam masyarakat atau 150
Wawancara dengan Bpk Herman Oesman (Akademisi UMMU Maluku Utara) pada tanggal 11 Januari 2013.
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
arena sosial sebagai tempat mereka mengembangkan modal budaya. Keputusan untuk mengambil pilihan sekaligus memainkan peran mereka sebagai mediator dalam mengkonstruksi kembali citra kemanusian masyarakat yang bertikai, merupakan legitimasi kesadaran mereka akan tanggung jawab sebagai intelektual.
Membangun kesadaran masyarakat yang bertikai membutuhkan keseriusan dari intelektual yang memiliki modal budaya dan simbolik sebagai kekuatan dan kekuasaan dalam mengendalikan emosi masyarakat yang bertikai. Selain itu, dengan modal budaya dan simbolik intelektual berupaya membongkar kejahatan dari elite yang bersembunyi dibalik kepentingan konflik berdarah.
Reproduksi
pengetahuan
dari
kaum
intelektual
dimaksudkan
untuk
menjelaskan konflik yang terjadi di masyarakat agar identitasnya sebagai kaum intelektual dapat termanifestasi dalam dunia akademik maupun dalam ruang sosial. Selain itu reproduksi pengetahuan ini dapat membantu masyarakat untuk memahami kepentingan-kepentingan dari para elite yang tersebunyi di balik konflik atas nama agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Jan Nanere sebagai berikut:
Pola kejahatan atas kemanusiaan yang terjadi di Maluku Utara dalam bentuk saling menganiaya, pembantaian tragis, genocide, bumi hangus, dan sebagainya yang dilakukan oleh masyarakat hanya merupakan perpanjangan tangan para dalang elite politik pusat dan daerah yang bersembunyi dibalik pernyataan-pernyataan tentang konflik horisontal dan kriminal murni.151
151
Pernyataan sekaligus kritik dari Jan Nanere (JN) et al. dalam Halmahera Berdarah 2000. yang diolah penulis sebagai data untuk memperkuat analisis penulis.
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pernyataan dan kritik yang disampaikan kaum intelektual ini merupakan salah satu cara untuk membongkar mekanisme kekerasan yang begitu halus dilakukan oleh elite politik. Masyarakat hanya dijadikan tumbal kekerasaan untuk memenuhi libido kekuasaan elite di Maluku Utara. Kritik ini merupakan upaya dari intelektual Maluku Utara untuk memenuhi tanggung jawab akademiknya sehingga dapat melahirkan identitas mereka di tengah kehidupan masyarakat yang berkonflik.
Gerakan intelektual sebagai kelompok tercerahkan yang memproduksi wacana untuk kepentingan publik di Maluku Utara telah mereproduksi serta membedakan identitas mereka dengan elite politik dan masyarakat setempat yang bertikai. Gerekan ini disebabkan karena pengaruh kesadaran intelektual (internal) dalam memandang konflik (eksternal) yang telah terjadi di dalam masyarakat sebagai penghancuran nilai kemanusiaan yang dengan susah payah dikonstruksi oleh nenek moyang pada saat itu.
4.
Negosiasi Modal Budaya dan Modal Simbolik Kaum Intelektual dalam Konflik
Kehidupan dan perkembangan suatu masyarakat akan ikut ditentukan oleh sejauh mana peran kaum intelektual menggunakan modal budaya dan simbolik untuk mengkritisi permasalahan yang dialami masyarakat. Modal budaya dan simbolik dari kaum intelektual ini akan menentukan sejauh mana kepeduliaan mereka kepada masyarakat yang terdominasi, selama kedua modal tersebut dapat berjalan dengan
133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
baik di dalam arena sosial. Modal budaya dan simbolik yang dimiliki kaum intelekual pada saat konflik di Maluku Utara direpresentasikan dengan menuliskan tulisan mereka, ketika konflik dipresepsikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai konflik antar agama. Modal budaya dan modal simbolik yang dimiliki kaum intelektual menjadi penting dalam menggungkap asal-usul kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat dengan cara mereproduksi wacana yang objektif dan mendorong perdamaian melalui arena sosial, dalam artian mempertemukan masyarakat yang bertikai dan menjelaskan bahwa konflik atas nama agama merupakan desain dari para elite yang kepentingan politiknya tidak terpenuhi, sehingga dari situ masyarakat dapat sadar bahwa selama ini mereka berkonflik adalah bukan konflik agama melainkan agama diekploitasi untuk menciptakan konflik. Dengan demikian modal budaya dan simbolik dari kaum intelektual dapat berjalan secara baik, dan dapat menjadi kekuatan dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya hidup berdampingan dan mau membangun hubungan kekerabatan kembali dalam semangat nilai budaya lokal. Sebagaimana yang dilakukan Tonirio sebagai berikut: Iya, saat tahap rekonsiliasi mulai berjalan, saya, bersama beberapa teman dan beberapa tentara yang mengawal kami pada waktu itu (tahun 2000) berperan dalam mempertemukan masyarakat, khusunya masyarakat Mamuya (Kristen) dan masyarakt Galela (Islam) di Halmahera Utara. Wakil dari kedua warga tersebut kami jumlahkan Sekitar 70-orang lebih. Pertemuan itu kami lakukan jauh dari kampung mereka masing-masing dan masing-masing dari kedua kelompok harus membawa peralatan perang. Di sana saya sengaja menyuru mereka saling membunuh, namun karena masing-masing dari mereka ketika
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memandang diantara mereka ada yang memiliki hubungan persaudaraan dari garis keturunan, mereka pun membuang peralatan perang dan saling memeluk. Dari situlah kami memberikan pemahaman bahwa konflik yang selama ini kalian alamai hanyalah permaianan dari para elite politik kita untuk memaksakan ambisi politik mereka.152
Representasi di atas menunjukan bahwa dalam mengambil tindakan untuk mendorong perdamaian, kaum intelektual tidak dapat terlaksana apabila modal budaya dan modal simbolik yang mereka miliki tidak dijalankan secara maksimal. Sebab dari kedua modal tersebut, mereka akan dengan leluasa mereproduksi wacana kemanusiaan bagi masyarakat yang selama ini bertingkai karena diprovokasi oleh para elite dan provokator yang berkepentingan dari konflik yang dialami masyarakat. Kepentingan untuk memproduksi wacana tidak terlahir begitu saja, namun didasarkan presepsi, kesadaran, tindakan yang terhabituskan pada ruang arena produksi kultural,153 yang akan menentukan posisi intelektual di dalam masyarakat. Sejalan dengan ini menurut salah satu akademisi Maluku Utara,
Dengan pengatahuan dan kapasitas yang kita miliki, pada awalnya kita mengali masalah atau sebab-musababnya konflik itu. Lalu kita sampaikan kepada masyarakat akar masalahnya. Bukan karena saya Islam saya harus membela Islam atau saya orang Makian saya membeli orang Makian. Tetapi saya pada waktu itu yang berada di dunia kampus/akademik, lebih pada membela kebenaran atau menyampaikan kepada masyarakat bahwa konflik ini
152
Wawancara dengan Bapak Murid Tonirio Pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jetis Yogyakarta. Ruang arena produksi kultural yang dimaksud disini adalah ruang pembentukan wacana oleh intelektual di dalam masyarakat yang bertikai dengan kekuatan modal budaya (pengetahuan, kecakapan, dan sebagainya). 153
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bukanlah konflik agama. Misalnya, saat itu saya sampaikan pada masyarakat Islam di Ternate.154
Penjelasan di atas merepresentasikan bahwa dengan modal budaya dan simbolik yang dimiliki kaum intelektual, membuat mereka memiliki otoritas untuk menyampaikan kepada masyarakat, bahwa konflik ini hanyalah by desain yang dilakukan olah oknum tertentu untuk mengadu domba masyarakat. Dengan modal budaya dan simbolik, mereka mencari serta menganalisis akar masalah dari konflik Maluku Utara untuk diungkap ke publik agar dapat melahirkan kesadaran masyarakat. Gelar sebagai “auctor”155 dan “lector”156 yang dimiliki oleh kaum intelektual dalam ranah sosial di Maluku Utara, merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Untuk dapat memperlihatkan dominasi yang dilakukan oleh elit lokal dan pusat. Di mana dominasi tersebut terjadi secara non fisik atau melalui bahasa dan sebagainya. Akibatnya masyarakat yang tidak memahami konflik ini, rela mempertahakan subjektifitas mereka pandang masing-masing benar dengan dalil pembelaan terhadap agama mereka baik Islam maupun Kristen. Kekuatan pengetahuan, kapasitas, dan gelar yang dimiliki intelektual di dalam dunia akademik menjadikan mereka tidak sekedar hanya beromogan di ranah sosial 154
Wawacara dengan akademisi Unkhair Sahril Muhammad (SHM) pada tanggal 19 januari 2013. Yang dimaksud auctor disini adalah mereka yang memproduksi wacana di dalam kerja intelektualnya. Bdk Bourdieu. Op.cit hlm 146. 156 Yang dimaksud lector di sini adalah mereka yang menjalankan atau mengomentari wacana yang sudah ada. Bdk Bourdieu. Ibid hlm 146. 155
136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tanpa ada makna sosial dan kemanusian. Melainkan menuliskan tragedi ini secara nyata sebagai sebuah pertangung jawaban atas modal budaya dan simbolis yang dimiliki di dunia akademik untuk dijalankan dalam ranah sosial. Sebagaimana dilakukan oleh Nanere sebagai berikut: Selama hampir dua tahun di lapangan, menunjukan bahwa ada dua kejadian pokok yang menjadi pemicu kerusuhan di Maluku Utara. Pertama manipulasi dan penyebaran surat palsu yang di buat oleh pihak-pihak tertentu atas nama ketua Sinode GPM kepada Sinode GHIM yang berisi peta penyerangan Gereja Protestan di Ternate. Surat ini ditangani secara rapih dan terencana oleh provokator untuk menyelut api kemarahan dan amukan massa yang sekaligus menghadirkan tamu kerusuhan yang berkedok agama. Kedua konflik di Malifut (Halmahera Utara) akibat pemaksaan kehendak politik penguasa untuk memekarkan Malifut menjadi kecamatan tersendiri yang lepas dari konteks kekuasaan masyarakat adat setempat. Apalagi daerah tersebut mengandung sumber daya alam yang menjanjikan.157 Dari penjelasan di atas memperlihatan bahwa intelektual Maluku Utara pada saat itu, juga tidak tingal diam untuk merespon dan melihat akar masalah konflik yang berkepanjangan tersebut. Dengan menggunakan modal budaya (pengetahuan) dan simbolik (gelar, status, dan sebagainya) mereka mengungkap atau membongkar mekanisme kekerasan, yang pada waktu itu telah dikonstruksi oleh provokator sebagai konflik agama dalam pikiran masyarakat Maluku Utara. Otoritas intelektual seperti inilah yang dilakukan intelektual Maluku Utara.
157
Penelitian lapangan yang dilakukan Jan Nanere et al. dalam Halmahera berdarah 2000, yang diolah penulis sebagai data untuk memperkuat analisis penulis tentang peran dan posisi intelektual dalam konflik Malut 1999-2000. Dengan alasan penullis sulit mendapatkan informasi untuk bertemu Jan Nanere pada saat penelitian yang dilakukan penulis selama hampir lebih tiga bulan di Maluku Utara (Januari – Maret 2013).
137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan melakukan penelitian mereka dapat memproduksi dan mendistribusi wacana pada masyarakat untuk menjelaskan akar konflik yang selama ini dipahami sebagai konflik antar agama. Agama yang dijadikan alasan untuk berperang oleh masyarakat merupakan konstruksi secara terorganisir dan rapih oleh elite di dalam masyarakat modern oleh karena itu intelektual harus menggunakan kekuatan epistemologi dan data emperik sebagai cara melihat atau membongkar kenyataan yang terjadi. Sebagaimana menurut Vasquez dalam bukunya More Than Belief, A Materialist Theory of Religion (2011), melihat bahwa ada dua hal yang menjadi asalusul dan perubahan dalam konstruksi masyarakat modern. Pertama, jika dibukanya suatu realitas dengan prinsip universal terstruktur, yang mana kemajuannya hanya memenjarakan akal-budi dalam epistemologi. Untuk mencari kebenaran harus memulai dengan mengakses data emperik ke semua manusia rasional. Kedua, pengetahuan menjadi penting untuk pencerahan yang menekankan akitifitas untuk mengatur manusia rasional dengan mendasarkan pada kehidupan kita, di mana sejak manusia menjadi ukuran segalah sesuatu.158 Pengetahuan dan kenyataan merupakan modal untuk melihat secara eksplisit sebuah peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh
karena itu, dengan legitimasi modal dan identitas sebagai
intelektual, mereka dapat menyampaikan kepada masyarakat dengan jelas, bahwa
158
Lihat Manuel A. Vasquez, dalam G.Budi Subanar & A. Bagus Laksana. Bahan Bacaan Kuliah Kajian Religi, pada bagian Agama, Materialitas dan Tubuh. Yogyakarta, Program Magister Ilmu Reigi dan Budaya, hlm 124.
138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
konflik ini adalah sebuah rekayasa politik dari sejumlah provokator yang sengaja mengadu domba masyarakat.
5.
Catatan Penutup Dalam konteks konflik Maluku Utara 1999-2000 disadari bahwa konflik
tersebut telah melahirkan pertarungan identitas baik dari kaum intelektual maupun dari elite dan para provokator yang berkepentingan atas sumber daya alam dan kekuasaan politik di Maluku Utara, dan untuk menjalankan peran dan menempatkan posisi mereka dalam kehidupan masyarakat saat konflik terjadi. Pada konflik ini pula kaum intelektual memainkan peran ambigu untuk mendorong perdamainan dan menjalankan peran akademik dan peran sosial dalam kehidupan masyarakat. Peran ambigu tersebut dapat terlihat dengan kemunculan posisi dan peran subjektif dan objektif dari kaum intelektual. Peran subjektif ialah peran yang mereka mainkan yang masih didasari oleh rasa emosional sesama (ikatan agama dan keluarga). Artinya mereka masih didominasi oleh kelompok mereka baik Islam maupun Kristen dalam hal melakukan proses pencarian bantuan untuk kebutuhan bahan pokok masyarakat, dan juga ketika mereka menulis mengenai konflik masih juga terdapat pada sisi subjektif sebagaimana yang penulis jelaskan pada sub bab posisi subjektif kaum intelektual.
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara pada peran objektif ialah peran yang mereka lakukan dengan cara tidak mencampuri atau memperbesar konflik di dalam masyarakat, melainkan dengan cara membongkar kekerasan komunal yang terjadi di Maluku Utara melalui tulisan, kritik, serta membangun rekonsiliasi di antara masyarakat yang berkonflik. Peran objektif dalam arti menjalankan tanggung jawab akademik dan sosial dalam membangun kesadaran masayarakat agar anti-kekerasan Disadari bahwa peran dan posisi sebagai kaum intelektual tidak mudah untuk dijalankan secara objektif dalam suatu tatanan sosial. Apalagi tatanan sosial tersebut terjadi dalam bentuk pertikaian antara masyarakat yang berlandaskan pada ideologi agama masing-masing. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peran dan posisi kaum intelektual pada saat konflik di Maluku Utara masih menjalankan peran dan menempatkan posisi mendua atau ambigu.
140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB VI PENUTUP MEMAKNAI PERAN DAN POSISI INTELEKTUAL PADA KONFLIK MALUKU UTARA 1999-2000
Bab penutup ini akan menjabarkan konflik Maluku Utara dan kaitanya dengan peran dan posisi subjektif dan objektif dari kaum intelektual di Maluku Utara tahun 1999-2000 ketika wilayah tersebut berada dalam situasi konflik. Bab ini juga akan melihat sejauh mana konsep “habitus dan arena” dari Pierre Bourdieu yang dipakai dalam tesis ini dapat menjelaskan peran dan posisi dari kaum intelektual di Maluku Utara. Seperti yang dikatakan Bourdieu bahwa habitus merupakan struktur mental yang dibentuk bukan hanya melalui dirinya sendiri atau secara alami terbentuk, melainkan habitus merupakan sturktur mental dari para agensi yang dibentuk melalui lingkungan dan direproduksi melalui sejarah (Bourdieu, 2010:xv-xvi). Konsep habitus tersebut mengandaikan bahwa setiap agensi, termaksud juga para intelektual akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau tempat ia berada ketika bertindak, atau menjalankan peran dan menempatkan posisinya sebagai kaum intelektual dalam kehidupan sosial. Sementara itu untuk melegitimasi peran dan posisi yang dijalankan oleh kaum intelektual di Maluku Utara dalam kehidupan sosial
141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan akademik, akan sangat ditentukan oleh suatu arena sebagai ruang mengafirmasi posisi mereka. Arena ini yang akan menyeleksi posisi sebagai kaum intelektual di Maluku Utara. Arena tersebut yang dimaksud dalam tesis ini adalah arena intelektual dan arena sosial itu sendiri. Dalam arena ini para intelektual membutuhkan modalmodal untuk dipertaruhkan demi membentuk posisi mereka sebagai kaum intelektual ketika merespon konflik dengan para agensi lain. Dengan demikian arena diartikan oleh Bourdieu adalah field is field forces and field struggle (Bourdieu 1993:30). Mengapa konsep ini penting untuk dipakai dalam penulisan tesis ini karena konsep ini menurut hemat penulis sangat sesuai untuk meilihat peran dan posisi kaum intelektual Maluku Utara dalam membentuk identitas mereka. Kedua konsep ini juga mau menunjukan secara jujur bahwa peran dan posisi seorang agensi dalam bertindak pada suatu arena, akan sangat dipengaruhi oleh habitus atau asal-usul dari mana mereka berasal. Dengan demikian kedua konsep ini sangat sesuai untuk memaknai peran dan posisi kaum intelektual di Maluku Utara pada saat mereka berada pada situasi konflik. Konflik yang terjadi di Maluku Utara memiliki banyak aspek, mulai dari aspek perebutan kekuasaan, perebutan sumber daya alam, pertarungan Kerajaan, pertarungan etnik, hingga aspek konflik atas nama agama. Dari beragam aspek tersebut, aspek yang paling banyak menyita pikiran dan waktu masyarakat dan kaum intelektual Maluku Utara adalah aspek konflik atas nama agama. Sebab, aspek konflik atas nama agama memiliki dampak yang cukup besar dalam membentuk
142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kepatuhan masyarakat dari kedua kubu untuk saling membunuh. Hal ini yang kemudian membutuhkan peran kaum intelektual untuk melakukan pengkajian secara kritis mengenai implikasi konflik serta untuk dapat mengungkap mekanisme kekerasan yang berlandaskan agama. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, tampak bahwa kaum intelektual yang berada di Maluku Utara pada saat konflik dan dalam proses penyelesaian konflik mereka masih memainkan dua peran dan posisi mereka, yakni sisi subjektif dan sisi objektif. Pada sisi subjektif yang kelihatan pada diri intelektual adalah pertama, ketika konflik terjadi kaum intelektual yang berlatar agama Islam maupun Kristen saling mengklaim kebenaran dari kacamata mereka masing-masing. Pihak intelektual yang beragama Islam memandang konflik ini adalah bagian dari ambisi masyarakat Kristen untuk menguasai wilayah Halmahera Utara yang kaya akan potensi sumber daya alam. Sementara itu, kaum intelektual yang beragama Kristen memandang konflik ini sebagai strategi dari warga Islam untuk mengimbangi masyarakat Kristen yang secara kuantitatif lebih banyak di wilayah Halmahera Utara. Kedua, ketika wacana konflik agama mulai muncul di ranah publik, kaum intelektual tidak melakukan upaya pencegahan melalui pencerahan kepada masyarakat, dengan mengatakan bahwa konflik ini bukanlah konflik agama. Ketiga, peran ini kemudian melahirkan subjektifitas mereka sebagai intelektual pada konflik Maluku Utara. Keterjebakan kaum intelektual pada posisi subjektif merupakan desakan kondisi dan situasi pada saat itu. Hal inilah yang diakui oleh kaum intelektual di Maluku Utara.
143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konflik Maluku Utara telah menunjukkan peran dan posisi sebagian intelektual pada ranah subjektifitasnya. Pada sisi objektif sebagian kaum intelektual dalam memainkan peran sekaligus menempatkan posisi mereka di dalam konflik Maluku Utara dapat terlihat dengan keterlibat mereka dalam hal memproduksi wacana yang memihak pada kepentingan masyarakat. Pada sisi objektif ini kelihatan beberapa peran dari kaum intelektual baik yang berlatar agama Islam maupun Kristen dalam menjalankan peran masing-masing. Pertama, sebagai intelektual mereka tidak mencampuri atau memperbesar konflik di dalam masyarakat. Sebaliknya mereka melakukan upaya rekonsiliasi bagi kedua kubu yang bertikai. Kedua, mereka merespon konflik dengan memandang konflik ini sebagai rekayasa elite politik yang berambisi untuk menduduki kursi Gubernur, sementara masyarakat hanya menjadi korban dari kepentingan mereka. Ketiga, mereka menjalankan tanggung jawab akademik dan tanggung jawab sosial dengan memproduksi wacana, melakukan riset, menanggapi wacana konflik dan sekaligus membangun kesadaran masyarakat. Reproduksi wacana tersebut tampak dalam tulisan-tulisan mereka yang bernada memihak pada kepentingan masyarakat, baik dalam bentuk buku maupun tulisan-tulisan lepas di media lokal, khususnya di Kao-Malifut (Halmahera Utara) dan umumnya Maluku Utara untuk menggungkap latar belakang konflik yang terjadi waktu itu kepada masyarakat.
144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Peran dan posisi objektif dari intelektual dalam memainkan peran di arena publik merupakan ruang salah satu bagi pembentukan identitas mereka sebagai intelektual publik. Peran dan posisi ini tidak mudah dijalankan tanpa dibekali dengan kesadaran yang dinegosiasikan dengan modal budaya dan simbolik yang mereka miliki. Dengan begitu, tanggung jawab sosial dan akademik mereka dapat termanifestasikan dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara. Untuk memaknai peran dan posisi intelektual di Maluku Utara pada saat konflik 1999-2000 setidaknya ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh peneliti. Pertama, yakni keterjebakan peran mereka pada isu agama karena situasi dan kondisi. maksudnya, mereka tidak mampu membendung isu agama dalam konflik yang sudah menjadi konsumsi publik waktu itu. Kedua, kesadaran yang terbangun ketika konflik merupakan kepentingan elite dalam memenuhi nafsu kuasanya di Maluku Utara. Peran dan posisi kaum intelektual ketika berada di tengah-tengah konflik komunal waktu itu tidak terlepas dari kesadaran akan intelektualnya. Walaupun pada mulanya mereka didominasi oleh posisi subjektif, namun kemudian mereka sadar dan melakukan kritik sekaligus membongkar mekanisme kekerasan melalui tulisan dan tindakan, ketika melihat masyarakat mengalami keterancaman akan hak hidupnya. Upaya-upaya rekonsiliasi yang dilakukan kaum intelektual Maluku Utara merupakan wujud dari keberpihakan dan tanggung jawab sosial di masyarakat secara objektif. Oleh karena itu, kaum intelektual Maluku Utara dapat memainkan peran dan menempatkan posisi mereka seobjektif mungkin sebagaimana fungsi dan tanggung
145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jawabnya, yakni memproduksi wacana yang humanis dan sekaligus mempertahankan wacana tersebut di dalam kehidupan sosial. Pertarungan dalam menempatkan posisi sebagai intelektual di dalam kehidupan sosial sangat ditentukan oleh keberfungsian modal budaya dan simbolik dari kaum intelektual untuk ikut mencarikan solusi dari pertikaian kedua kubu tersebut. Modal-modal ini pada akhirnya membentuk kehormatan dan posisi mereka sebagai intelektual. Tanpa modal tersebut kaum intelektual tidak akan dapat bersaing di dalam arena kultural untuk memantapkan dan atau melegitimasi posisi mereka sebagai intelektual. Dengan demikian posisi dan peran kaum intelektual pada konflik Maluku Utara 1999-2000 sangat ditentukan dari berjalannya modal-modal yang mereka miliki, dan sekaligus merupakan manifestasi dari habitus yang terbentuk melalui ruang akademik dan sosial hingga pada akhirnya identitasnya sebagai intelektual terbentuk.
146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daftar Pustaka A.Vasquez Manuel. More Than Belief, A Materialist Theory of Religion (2011), dalam G. Budi Subanar dan A. Bagus Laksana. Bahan Bacaan Kajian Religi. Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Univeristas Sanata Dharma 2013. Ahmad Hi Kasman & Oesman Herman (penyunting). Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam Dari Bumi Halamahera. Maluku Utara: Podium bekerja sama dengan Madani Press. Cetakan Pertama 2000. Ahmad Hi Kasman & Abdullah M Tahir (penyunting). Agama, Kemanusiaan & Budaya Toleransi. Ternate: Ummu Press bekerja sama dengan Kantor wilayah Depertemen Agama Prov. Maluku Utara. Cetakan Pertama 2004. Bagus Lorens.
Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cetakan keempat 2005.
Barker Chris.
Culture Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cetakan ketujuh 2011.
Barron Patrick et al. Seusai Perang Komunal, Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan upaya pencegahannya.Yogyakarta: CSPS BOOKS, Cetakan Pertama 2012. Basri Hasan.
Respon
Intelektual
Muslim
Indonesia
Terhadap
Buku
Orientalisme karya Edward Said, Tesis Magister Ilmu Religi dan Budaya, (belum dipublikasikan) 2010. Benda Julien.
Penghianatan Kuam Cendekiawan, (Terj). Jakarta:Pustaka Utama, Cetakan Pertama 1997.
Bourdieu Pierre. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana 2010. ______________ Choses Dites, Uraian dan Pemikiran, (Terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana Cetakan pertama 2011.
147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
_______________Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Richard Nice. Harvard University Press. Cambridge, massachuset ts, 1984. ______________ Outline Of A Theory Of Practice diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Richard Nice. Cambridge University Press, 1977. ________________The Field Of Culture Production, Essay On Art And Literature
diterjemahkan dan di edit oleh Randal Jhonson. Columbia University Press 1993. Bourdieu Pierre and Jean-Claude Passeron. Reproduction in Education, Society and Culture diterjemahkan oleh Richard Nice. London: Sage Publications,1990. Bourdieu, et al.
Political Interventions: Social Science and Political Action. London: Verso 2008.
Denzin k Norman & Lincoln S. Yvonna (Editor), Handbook of Qualitative Research. (Terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama, 2009. Dhakidae Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2003. Escobar M, et al. Dialog Bareng Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta: LKIS. Cetakan Ketiga 2001. Eyerman Ron.
Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik dalam Masyarakat Modern, (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Fashri Fauzi.
Pierre Bourdieu, Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra, 2014.
Foucault Michel. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Cetakan Petama 2007. _______________ Power/Knowledge. Yogyakarta: Bentang. Cetakan Pertama 2002. Gramsci Antonio. Sejarah dan Budaya. (Terj), Ira Puspitorii et.al. Surabaya: Pustaka Promethe. Cetakan Pertama 2000.
148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Moderintas, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernita. Yogyakarta: Kanisius cetakan ketujuh 2011. _______________Kritik
Ideoogi,
Menyingkap
Pertautan
Pengetahuan
Dan
Kepentingan Bersama Jurgen Habermas.Yogyakarta: Kanisius Cetakan Kelima 2009. Hasan Imron (editor). Memikirkan Kembali Maluku dan Maluku Utara. Makasar: LEPHAS. Cetakan Pertama 2003. Harker Richard et al. Habitus X Modal+Ranah=Praktik, Komperhensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu: Yogyakarta: Jalasutra. Cetakan kedua 2009. Hartoko Dick (editor). Golongan Cendekiawan: Mereka Yang Berumah Di Angin, Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia 1980. Haryatmoko.
Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan Dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cetakan Pertama 2010.
______________ Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas, Cetakan kedua 2004. Heryanto Ariel & Mandal K. Sumit. Challenging Authoritariansime In SE Asia. London: Routledge Curzon 2003. Jenkins Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Cetakan Kedua 2010. Latif Yudi.
Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.
Legge D. J.
Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti. Cetakan Kedua 2003.
Lipset Seymour Martin. Political Man: Basis Sosial Tentang Politik, (Terj) Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007.
149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mahasin Aswab & Natsir Ismed. Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3S. Cetakan Kedua 1984. Mutahir Arizal.
Intelektual Kolektif Pierre Bourideu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana 2011.
Nanere Jan (Editor). Halmahera Berdarah. Ambon: Bimaspela. Cetakan Pertama 2000. Nurhasim Moch et al. Konflik Antar Elite Politik Lokal, dalam Pemilihan Kepala Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2005. Oesman Herman & Husen Rahmi. Negeri Nita Malili, Sketsa-sketsa Maluku Utara. Ternate: Institute Kalamata Cetakan Pertama 2006. Pitaloka Diah Rieke. Banalitas Kejahatan, Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara. Yogyakarta: Koekoesan 2010. Said, W Edward. Representations Of The Intellectual. New York: Vintage Books 1994. Sihbudi Rizal et al. Bara Dalam Sekam, Indentifikasi akar Masalah Dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Bandung: Mizan, Cetakan Pertama 2001. Sunardi St.
Tahta Berkaki Tiga. Yogyakarta: Buku Baik. Cetakan Pertama 2005.
Tanuwibowo S. Budi, et al. Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian Studi bersama antar
Iman.
Yogyakarta:
DIAN/Interfidei
dan
The
Asia
Foundation / percetakan Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama 2002. Tomagola, Amal Tamrin. Republik Kapling.Yogyakarta: Resist Book. Cetakan Pertama 2006. Thomson Patricia. Four Field. Dalam Michael Grenfell (Ed). Pierre Bourdieu Key Concepts. Acumen Published Limited 2008. Usman Syarifudin & Djalil Rusli (Editor). Merajut Damai Di Maluku Utara. Ternate: Program Peace Through Development. Cetakan Pertama 2009. W. GulÖ.
Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo. Cetakan kelima 2007. 150
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Webb Jen, et al.
Understanding Bourdieu. Malasyia: Pt Palatino, By Midland 2002.
Yanuarti Sri et al. Konflik Maluku Utara. Penyebab, Krakteristik dan Penyelesaian Jangka Panjang. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan (PMB)-LIPI 2004.
Majalah, Jurnal, Artikel dan Website: Haryatmoko.
Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Majalah Basis Edisi Khusus Pierre Bourdieu Nomor 11-12, tahun ke-52 NovemberDesember 2003.
_______________Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, Teori Strukturasi Pierre Bourdieu dengan orientasi budaya. Bahan Kuliah Hermeneutika dan Analisis Wacana Kritis, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma 2014, hlm 4. Sindhunata.
Membangun Sikap Intelektual, Majalah Basis Edisi Khusus Pierre Bourdieu Nomor 11-12, tahun ke-52 November-Desember 2003.
Tryatmoko, Mardyanto Wahyu. Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di Maluku Utara. Dalam Jurnal Masyarakat Indonesia, jilid XXXI No. 01, Tahun 2005. M.Fadjroel Rahman. Penghianatan Cendekiawan,http://www2.kompas.com/kompascetak/0405/25/opini/ 1041218.htm di akses 04 juni 2013. Wattimena A.A. Reza http://rumahfilsafat.com/2011/12/17/kaum-intelektual-dankepemimpinan/. Di akses 01 Oktober 2012.
151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lampiran 1.1. Nama-nama informan yang di wawancarai.
A.
Informan Kunci (Key Informan)
1. Herman Oesman/HR
Sosiologi
2. Sahril Muhammad/SHR
Sejarah
Akademis UMMU Ternate Akademis UNKHAIR Ternate
3. Murid Tonirio
Antropologi
Akademisi STAIN Ternate (mantan wartawan Ternate Post 1999-2000).
4. Agus Salim Bujang/ASB
Antropologi
Akademisi UMMU dan STAIN Ternate
B. Informan Utama 1. Rivai Umar/RVU
(Menejmen Ekonomi)
2. Kasman Hi Ahmad
(Menejmen Pendidikan) Rektor UMMU
3. Jan Nanere dkk/JN et al.
Mantan Rektor UNKHAIR
Penulis buku Halmahera Berdarah
C. Informan Tambahan
1. Il
Pers Fajar Malut
2. Sofyan Daud/SFD
Sastrawan Malut dan juga Ketua FPP M-U pada era 1999-2000.
152