PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014 SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh: Agnes Devi Utami 111224065
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014 SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh : Agnes Devi Utami 111224065
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
i
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ii
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iii
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus, Orang tuaku, Kakakku tercinta, serta keluarga besarku.
iv
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTO Bersyukur itu tidak berhenti pada suatu keadaan menerima saja, tetapi berusahalah bekerja keras untuk menciptakan yang terbaik.
v
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
vi
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
vii
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
viii
ABSTRAK
Utami, Agnes Devi. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi September-Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah karikatur pada Koran Tempo edisi September – Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data penelitian ini adalah teknik observasi (teknik baca-catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan, makna tanda, dan tanda-tanda ketubuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) unsur intralingual dalam daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual daya bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. (2) Unsur intralingual dalam nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual nilai rasa bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tandatanda visual. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat memunculkan tuturan yang santun dan tidak santun.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ix
ABSTRACT
Utami, Agnes Devi. 2015. The use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Caricatures of Tempo Newspaper on September – December 2014 Edition as a Sign of Mannared Communicate. Thesis. Yogyakarta: language Study Program, Indonesian Literature, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University in Yogyakarta. This study examines the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The purpose of this study was (1) to describe the use of intralingual and extralingual to bring out the language power in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. (2) describe the use of intralingual and extralingual to bring out the sense of language in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The research is descriptive qualitative. The source of data research is the caricatures of Tempo Newspaper for September – December 2014 edition. Data collecting techniques used to obtain the data of this study is observational technique (read-note). This research instrument is the researcher herself armed with the knowledge of the theory of semantic and pragmatic. Besides, the researcher write the observation to know the discourse contexts, meaning of sign, and body signs. Validation is done with consulting to the pragmatic experts and having subject conversation with colleagues. The results of research are (1) the intralingual elemens of language power in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. (2) The intralingual elemens of language sense value in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. The conclusion of this research is that the intralingual and extralingual elements of language power and the value of language sense could bring out the mannered and not mannered discourse. The conclusion of this research is that the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of tempo newspaper could bring out the mannered and not mannered discourse.
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi Septeber – Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi” dengan lancar. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa selama penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan, bimbingan, nasihat, motivasi, doa, dan kerja sama yang tidak ternilai harganya dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan hal itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Kaprodi PBSI yang telah memberikan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi. 3. Prof. Dr. Pranowo,M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah banyak mengorbankan waktu, pikiran, kesabaran, tenaga dan motivasi selama membimbing penulis. 4. Seluruh dosen PBSI yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan serta wawasan kepada penulis selama belajar di Prodi PBSI sehingga penulis mempunyai bekal menjadi pengajar yang cerdas, humanis, dan profesional. 5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan buku-buku penunjang selama penulis menyelesaikan skripsi. x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
xi
6. Karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam hal menyelesaikan skripsi. 7. Orang tua saya tercinta, Agustinus Sumarno dan Christina Sagiyem yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis. 8. Kedua kakakku, Daniel Wawan Joko Susilo dan Susanti yang telah memberikan doa dan motivasinya. 9. Teman-teman kelompok payung hibah bersaing, Maria Retno Purwandani, Wahyu Nurasih, Sofylia Melati, Veranita Ragil Sagita, Antonia Andari, dan Sr. Elisabeth Desi F.D Radja yang telah memberikan semangat, motivasi, serta kekompakan yang luar biasa selama menyelesaikan skripsi. 10. Sahabat-sahabatku, Nency Putri Damayanti, Risti Anggraeni, Stevani Meilia Dheritama, Bella Nurmalasari yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 11. Teman-teman PBSI angkatan 2011 yang banyak memberikan informasi, motivasi, serta dukungan kepada penulis. 12. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
iv
MOTO .............................................................................................................
v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .....................................................................
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................
vii
ABSTRAK ......................................................................................................
viii
ABSTRACT .....................................................................................................
ix
KATA PENGANTAR ....................................................................................
x
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ..............................................................................
4
1.3
Tujuan Penelitian ...............................................................................
4
1.4
Ruang Lingkup...................................................................................
5
1.5
Manfaat Penelitian .............................................................................
5
1.6
Batasan Istilah ....................................................................................
6
1.7
Sistematika Penyajian ........................................................................
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA .........................................................................
9
2.1 Penelitian yang Relevan .......................................................................
9
2.2 Kajian Teoretis .....................................................................................
10
2.2.1 Kajian Bahasa secara Semiotika.........................................................
11
2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik ........................................................
13
2.2.3 Unsur Intralingual...............................................................................
18
2.2.4 Unsur Ekstralingual ............................................................................
25
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
xiii
2.2.5 Kajian Daya Bahasa ...........................................................................
28
2.2.6 Kajian Nilai Rasa Bahasa ...................................................................
30
2.2.7 Fungsi Komunikatif Bahasa ...............................................................
35
2.2.8 Karikatur .............................................................................................
37
2.2.9 Kesantunan Berbahasa .......................................................................
40
2.3
Kerangka Berpikir ..............................................................................
45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
47
3.1
Jenis Penelitian...................................................................................
47
3.2
Sumber Data dan Data Penelitian ......................................................
48
3.3
Teknik Pengumpulan Data .................................................................
48
3.4
Instrumen Penelitian ..........................................................................
49
3.5
Teknik Analisis Data..........................................................................
50
3.6
Triangulasi Data .................................................................................
50
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN .....................................
52
4.1
Deskripsi Data Penelitian ...................................................................
52
4.2
Analisis Data ......................................................................................
53
4.2.1 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ..............
53
4.2.1.1 Daya Ancam...........................................................................
54
4.2.1.1.1 Daya Sindir .........................................................................
54
4.2.1.1.2 Daya Kritik..........................................................................
63
4.2.1.1.3 Daya Ejek ............................................................................
69
4.2.1.1.4 Daya Peringatan ..................................................................
74
4.2.1.2 Daya Paksa .............................................................................
75
4.2.1.2.1 Daya Ajak ...........................................................................
76
4.2.1.2.2 Daya Meminta .....................................................................
80
4.2.1.2.3 Daya Imbauan .....................................................................
83
4.2.1.2.4 Daya Larangan ....................................................................
86
4.2.1.2.2 Daya Suruh..........................................................................
88
4.2.1.3 Daya Kabar ............................................................................
89
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
xiv
4.2.1.3.1 Daya Penegasan ..................................................................
89
4.2.1.4.2 Daya Informatif ...................................................................
94
4.2.1.4 Daya Penolakan .....................................................................
96
4.2.1.4.1 Daya Ketidaksetujuan .........................................................
96
4.2.1.4.2 Daya Protes .........................................................................
99
4.2.1.5 Daya Harap ............................................................................ 101 4.2.1.6 Daya Ungkap ......................................................................... 104 4.2.1.7 Daya Pikat .............................................................................. 106 4.2.2 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ....................... 109 4.2.2.1 Nilai Rasa Halus ....................................................................
109
4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar ....................................................................
117
4.2.2.3 Nilai Rasa Marah (kecewa, kesal, sebal) ...............................
122
4.2.2.4 Nilai Rasa Yakin (mantap, pasti, optimistis) .........................
127
4.2.2.5 Nilai Rasa Heran (kaget, merasa terkejut) .............................
133
4.2.2.6 Nilai Rasa Takut-Cemas (cemas, ragu, khawatir, bingung,
4.3
pesimistis, curiga) ............................................................................
138
4.2.2.7 Nilai Rasa Bahagia (senang, bahagia, gembira, puas).. .........
145
4.2.2.8 Nilai Rasa Sombong (sombong, bangga)...............................
149
4.2.2.9 Nilai Rasa Benci (dendam, iri)...............................................
152
4.2.2.10 Nilai Rasa Egoistis ...............................................................
154
4.2.2.11 Nilai Rasa Sedih ...................................................................
156
4.2.2.12 Nilai Rasa Tertekan..............................................................
158
4.2.2.13 Nilai Rasa Munafik ..............................................................
161
4.2.2.14 Nilai Rasa Plintat-Plintut .....................................................
164
4.2.2.16 Nilai Rasa Simpatik .............................................................
165
4.2.2.16 Nilai Rasa Merasa Bersalah .................................................
167
4.2.2.17 Nilai Rasa Salah Paham .......................................................
168
Pembahasan........................................................................................
170
4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi .................................... 170
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
xv
4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ....................... 175
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 187 5.1
Kesimpulan ........................................................................................ 187
5.2
Saran .................................................................................................. 188
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 190 LAMPIRAN - LAMPIRAN .......................................................................... 192 BIOGRAFI PENELITI ................................................................................. 280
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Media cetak merupakan jenis media massa yang akan melibatkan komunikasi antara penulis dengan pembaca. Salah satu jenis media cetak yang sering dijumpai ialah surat kabar. Surat kabar atau biasa disebut sebagai koran merupakan jenis media cetak yang menampilkan berita mau pun opini. Isi berita yang disajikan berupa kejadian-kejadian politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Berita dalam surat kabar mempunyai lingkup yang sangat luas, yaitu berita daerah, berita nasional, bahkan berita internasional. Fungsi umum dari surat kabar ialah memberikan informasi yang up to date, aktual, dan terpercaya. Selain itu, surat kabar juga berfungsi sebagai sarana hiburan, karena di dalam surat kabar juga terdapat rubrik opini yang sifatnya menghibur. Salah satu pengisi rubrik opini dalam surat kabar ialah karikatur. Wijana (2003:xx) menyebutkan bahwa karikatur adalah gambar bermuatan humor atau satir dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-(tokoh) orang yang terkenal atau orang-orang biasa yang karena peristiwa tertentu menjadi terkenal. Karikatur dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyampaikan kritik yang sehat, karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar yang lucu dan menarik. Secara khusus, media karikatur ini diciptakan sebagai cermin yang dapat memantulkan tingkah laku setiap orang, baik secara pribadi mau pun secara sosial dalam masyarakat luas.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Untuk dapat mengetahui pesan yang terkandung dalam karikatur, pembaca harus mampu mengenali dan mengerti tanda-tanda visual yang ada dalam karikatur tersebut, karena tampilan umum karikatur hanyalah gambar-gambar, dan disisipkan sedikit kata-kata agar mempermudah pembaca untuk memahaminya. Pemilihan bahasa dalam karikatur juga harus diperhatikan, jangan sampai menyinggung hati orang lain. Sekarang ini, banyak masyarakat yang sering bersikap kasar dan tidak santun ketika menulis sesuatu hal untuk orang lain, sehingga tingkat kesantunan dalam berkomunikasi menjadi berkurang. Untuk dapat mengefektifkan kesantunan dalam berkomunikasi, seorang penutur harus mampu memanfaatkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Pada tampilan karikatur, kita dapat melihat bagaimana permainan kata-kata dan gambar-gambar yang digunakan untuk dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Daya bahasa adalah kadar kekuatan bahasa yang tersembunyi di balik kata dengan maksud untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berkomunikasi, sedangkan nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat muncul melalui unsur yang terkandung dalam bahasa itu sendiri atau bisa disebut sebagai unsur intralingual, dan unsur dari luar bahasa itu, yang bisa disebut sebagai unsur ekstralingual.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
Banyak masyarakat yang kurang memahami adanya unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa, khususnya pada karikatur, sehingga kadang kala proses terjadinya komunikasi tidak berjalan dengan lancar. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur memiliki peran yang sangat penting sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Seorang karikaturis harus pandai dalam mempermainkan kata-kata dan gambar, sehingga kolaborasi yang dihasilkan dapat dimaknai oleh pembaca. Pemanfaatan berbagai unsur bahasa seperti pilihan kata (diksi), frasa, klausa, dan kalimat dapat dijadikan sebagai penanda penggunaan unsur intralingual untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Komunikasi yang baik tidak hanya mengandalkan unsur intralingual saja, tetapi juga unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur dapat dimunculkan melalui konteks, sinyal (tanda-tanda ketubuhan), ekspresi wajah, dan tanda visual (simbol, ikon, indeks). Kajian yang dapat digunakan untuk mengetahui penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ialah kajian pragmatik dan semiotika. Kajian pragmatik digunakan untuk menerangjelaskan maksud ujaran yang terkandung dalam unsur ekstralingualnya. Kajian semiotikaa digunakan untuk menerangjelaskan makna tanda-tanda sebelum dan sesudah digunakan di dalam suatu tuturan. Dengan demikian, penelitian unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
bahasa pada karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi sangat penting untuk dilakukan. Jika hal ini dapat terselesaikan dengan baik, maka kekasaran dan ketidaksantunan dalam berkomunikasi, khususnya secara tertulis akan dapat berkurang dan secara perlahan akan terbentuk masyarakat yang santun.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?”. Berdasarkan rumusan masalah di atas, disusun sub rumusan masalah sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi SeptemberDesember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?
2.
Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut. 1.
Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
2.
Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ini memiliki tiga ruang lingkup di antaranya: 1.
Penelitian ini adalah penelitian pragmatik yang mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dengan memperhatikan unsur intralingual dan unsur ekstralingual bahasa.
2.
Data penelitian difokuskan pada Karikatur Koran Tempo.
3.
Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu dari bulan September sampai Desember 2014.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca dalam memahami unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
dan nilai rasa bahasa, sehingga kekasaran dan ketidaksantunan dalam berkomunikasi akan semakin berkurang, dan secara perlahan akan terbentuk masyarakat yang santun. Selain itu, melalui penelitian ini, peneliti dapat belajar untuk lebih memahami unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang dapat dijadikan penanda santun tidaknya suatu tuturan. Pemahaman mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam berkomunikasi ini dapat mengoptimalkan kata-kata dan ekspresi yang digunakan agar tuturan lebih santun. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan inspirasi dan rujukan kepada peneliti lain yang ingin meneliti unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada objek lain, mengingat penelitian tentang hal tersebut masih sangat minim. 2. Teoretis Penelitian ini akan mampu memberikan kontribusi terhadap teori kesantunan berbahasa, terutama yang berkaitan dengan penanda kesantunan dalam komunikasi dari perspektif pragmatik dan semantik, karena saat ini belum ada buku yang secara spesifik membahas tentang unsur intralingual dan ektralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.
1.6 Batasan Istilah 1. Unsur Intralingual Unsur intralingual adalah unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, seperti diksi, frasa, klausa, dan kalimat (Pranowo, 2013).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
2. Unsur Ekstralingual Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) adalah bahasa yang diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku (Pranowo, 2012:3). 3. Daya Bahasa Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan komunikasi (Pranowo, 2012:128). 4. Nilai Rasa Bahasa Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan tersebut (Joko Pradopo, 2002). 5. Karikatur Karikatur adalah kartun opini yang merupakan visualisasi dari tajuk rencana dalam surat kabar yang tidak sekedar menyajikan fakta, melainkan fakta dalam kaitan sosialnya (Sudarta, 1987). 6. Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa adalah sikap, perilaku, ujaran, tulisan, maupun penampilan
dalam
kehidupan
sehari-hari
yang
dapat
mencerminkan
kepribadian yang baik (Pranowo, 2012:4).
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V, dan Daftar Pustaka. Bab I dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II dalam penelitian ini berisi kajian pustaka. Pada bab ini, akan menguraikan tinjauan pustaka dan kajian teoretis. Bab III dalam penelitian ini berisi metodologi penelitian. Pada bab ini, akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan metode dalam penelitian, yaitu (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, dan (6) triangulasi data. Bab IV dalam penelitian ini berisi hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini, akan diuraikan mengenai deskripsi data dan pembahasan hasil penelitian. Pada bab ini juga disajikan deskripsi data, hasil analisis, dan pembahasan hasil analisis data sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan. Bab V dalam penelitian ini berisi bagian penutup. Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian dan saran untuk peneliti selanjutnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian yang Relevan Penelitian tentang daya bahasa ini sebelumnya telah diteliti oleh Cicilia Verlit Warasinta tahun 2013 dengan judul “Daya Bahasa pada Iklan Surat Kabar Harian Kompas Edisi November-Desember 2012”. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan daya bahasa dipengaruhi oleh diksi dan konteks. Penulis iklan harus mampu menyusun atau merangkai diksi dengan memanfaatkan daya bahasa agar terbentuk kalimat yang efektif, sehingga dapat membujuk atau mempengaruhi pikiran pembaca. Penelitian tentang nilai rasa bahasa sebelumnya juga telah diteliti oleh Dini Suryani tahun 2013 dengan judul “Nilai Rasa Bahasa pada Diksi dalam Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan November 2012”. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang halus dianggap mengandung nilai rasa halus, sedangkan kata-kata yang bermakna kasar mengandung nilai rasa kasar. Selain itu, kata-kata perasaan juga digunakan untuk menunjuk kadar perasaan penutur. Penelitian lain yang relevan ialah penelitian dengan judul “Karikatur Karya G.M. Sudarta di Surat Kabar Kompas Kajian Pragmatik” oleh Slamet Supriyadi pada tahun 2011. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam aspek kebahasaan teks karikatur, karikaturis melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim pelaksanaan/cara. Prinsip
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
kesopanan yang diterapkan ialah maksim kebijaksanaan, kecocokan, kesimpatian, dan maksim kerendahan hati, sehingga wacana atau teks yang ada dalam karikatur mampu memperjelas dan menyatukan teks dan gambar dalam satu makna yang utuh. Perbedaan ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada bidang kajian. Penelitian ini akan mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ada dalam karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Sebelumnya belum ada penelitian yang membahas mengenai kajian dalam objek tersebut secara spesifik.
2.2 Kajian Teoretis Penelitian penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo merupakan penelitian bidang semiotika dan pragmatik. Teori pragmatik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual, terutama yang berkaitan dengan konteks pemakaian bahasa. Teori semiotikaa digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual maupun ekstralingual. Teori semiotika yang digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual yaitu makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam suatu tuturan, sedangkan teori semiotika yang digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual yaitu maksud tanda-tanda sesudah digunakan di dalam suatu tuturan. Kedua teori tersebut digunakan sebagai pedoman untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Kajian teoritis yang digunakan adalah sebagai berikut.
2.2.1 Kajian Bahasa secara Semiotika Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Budiman (2011:9) mengungkapkan bahwa semiotika visual merupakan studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan. Charles Morris (dalam Budiman, 2011:4) juga mengungkapkan bahwa semiotika sebagai ilmu tentang tanda-tanda dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Di dalam hubungannya dengan objek kajian karikatur, maka teori semiotika yang sesuai ialah penyelidikan semantik dan pragmatik. 1.
Semantik : suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek yang diacunya. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
2.
Pragmatik : suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pragmatik secara khusus berhubungan dnegan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan. Tanda diartikan sebagai perwakilan dari gejala yang memiliki sejumlah
kriteria, seperti nama, peran, fungsi, tujuan, dan makna. Tanda merupakan sesuatu yang menandai suatu hal untuk menerangkan sebuah objek. Di dalam hal ini,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
tanda selalu menunjuk pada suatu hal yang nyata, misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa, dan lain-lain. Misalnya, kalau kita melihat orang menangis, maka itu menjadi tanda bahwa orang tersebut sedang sedih. Danesi (2010:38) mengidentifikasi tiga jenis tanda yang lazim digunakan pelbagai karya semiotika, diantaranya ikon, indeks, dan simbol. a) Ikon Ikon adalah tanda yang didasarkan atas “keserupaan” atau “kemiripan”. Gambar-gambar figur sederhana yang sering dijumpai di depan toilet umum merupakan objek yang dipandang menyerupai manusia. Gambar-gambar kecil yang terdapat di layar komputer juga disebut sebagai ikon yang mewakili sebuah perintah. b) Indeks Budiman (2011:79) mengartikan indeks sebagai tanda yang memiliki kaitan fisik. Misalnya, sebuah tiang penunjuk jalan merupakan indeks dari arah atau nama jalan. Sebuah penunjuk angin merupakan indeks dari keberadaan angin atau indeks dari arah tiupan angin. c) Simbol Lambang atau symbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang membimbing pemahaman subjek kepada objek. Lambang selalu dikaitkan dengan adanya tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural, situasional, dan
kondisional.
Misalnya
warna
merah
pada
bendera
Indonesia
melambangkan semangat yang tidak mudah dipadamkan, dan warna putih secara kultural, situasional, mau pun kondisional bermakna suci dan bersih.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
Dengan demikian, lambang dapat dimaknai sebagai tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, kias, dan majas.
2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik Pragmatik merupakan ilmu tentang bahasa yang membahas tentang maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya. Sejalan dengan Yule (2006:3) yang mengungkapkan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang terhadap apa yang dikatakannya. Kajian yang paling penting dalam pragmatik ialah konteks. Daya pragmatik sangat bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan diujarkan dalam sebuah peristiwa tutur (Warasinta, 2013:14). Di dalam karikatur, konteks sangat memengaruhi bentuk bahasa yang digunakan oleh penulis atau karikaturis. Gagasan tentang konteks sebenarnya merupakan salah satu pisau analisis dalam bidang pragmatik. Tanpa adanya konteks, analisis pragmatik sangatlah sulit. Teori mengenai konteks ini dapat digunakan oleh peneliti untuk menjawab fenomena yang berhubungan dengan mengapa dan bagaimana sebuah tuturan atau kalimat itu muncul. Konteks situasi tuturan menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki oleh penulis mau pun pembaca, serta aspek nonkebahasaan yang melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan. Yule sedikit menyinggung teori tentang konteks, yaitu lingkungan fisik di mana sebuah kata itu dipergunakan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
Mey (2001) mendefinisikan konteks sebagai konsep dinamis yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah. Jadi, konteks merupakan sebuah pemahaman. Yule (2006:13) mengungkapkan bahwa konteks dapat diketahui melalui berbagai aspek pragmatik yang meliputi (1) praanggapan, (2) tindak tutur, (3) implikatur, dan (4) deiksis. Secara terperinci, keempat aspek pragmatik yang digunakan untuk memunculkan konteks akan diuraikan sebagai berikut. a. Praanggapan Satu kategori fenomena-fenomena pragmatik lebih lanjut yang signifikan adalah praanggapan. Secara umum, praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Namun, tidak semua inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu merupakan pranggapan-praanggapan yang tepat terhadap suatu ujaran. Sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan (Rahardi, 2006:42). Singkatnya, praanggapan adalah anggapan penutur mengenai kejadian sebelum menghasilkan tuturan. Tuturan yang berbunyi Siswa tercantik di sekolah itu sangat malas. Tuturan tersebut mempraanggapkan adanya seorang siswa yang berwajah cantik. Tuturan itu dapat dinilai benar atau salahnya, apabila pada kenyataannya memang ada seorang wanita yang berwajah cantik. Namun, apabila di sekolah itu tidak ada seorang siswa yang berwajah cantik, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
b. Tindak Tutur Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur. Istilah diskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur biasanya berharap maksud komunikatifnya akan dimengerti oleh mitra tutur. Austin (dalam Cumming, 2007:9) mengklasifikasikan rangkap tiga terhadap tindak tutur, yaitu ketika seseorang bertutur, seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. (1) Tindak lokusi, merupakan pengujaran kalimat tertentu dengan pengertian dan acuan tertentu, yang sama dengan makna suatu kalimat atau ujaran tersebut. (2) Tindak ilokusi ialah ujaranujaran yang memiliki daya tertentu. Berbagai tindak ilokusi misalnya memberi tahu, memerintah, mengingatkan, melaksanakan, dan sebagainya. (3) Tindak perlokusi ialah efek atau apa yang dihasilkan dari tuturan tersebut, seperti membujuk, meyakinkan, dan sebagainya. Di antara ketiga dimensi tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tekanan ilokusi. Tekanan ilokusi suatu tuturan adalah apa yg diperhitungkan tekanan itu. c. Implikatur Ketika bertutur, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena keduanya memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti. Grice dalam Rahardi (2006:43) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan. Sementara Yule (2006:62) menjelaskan bahwa implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Jadi, implikatur adalah sesuatu yang dinyatakan secara tersirat, sehingga apa yang dikatakan bukanlah yang dimaksudkan. Tuturan yang berbunyi Ayah pulang, cepat belajar! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa ayah sudah kembali ke rumah. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras itu akan marah apabila melihat ia bermain dan tidak belajar. Dengan kata lain, tuturan itu diimplikasikan bahwa sang ayah adalah seorang yang keras, disiplin, dan sering marah-marah apabila melihat anaknya tidak belajar. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut. d. Deiksis Deiksis adalah istilah atau ungkapan mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Ungkapan deiksis merupakan bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan “penunjukan”. Dengan demikian, deiksis berarti „penunjukan‟ melalui bahasa (Yule, 2006:13). Ketika seseorang bertemu dengan objek asing, maka ia akan bertanya, “benda apa itu?”, maka orang tersebut menggunakan ungkapan deiksis, yaitu kata “itu” untuk menunjuk sesuatu. Deiksis juga mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, yaitu ungkapan deiksis yang dekat dari penutur (ini, di sini, sekarang), dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
ungkapan deiksis yang jauh dari penutur (itu, di sana, pada saat itu). Jenis deiksis ada lima, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu deiksis sosial, dan deiksis wacana. a) Deiksis Persona Dengan cara menyebut penutur („saya‟) dan mitra tutur („kamu‟), maka perbedaan tersebut melibatkan deiksis persona. Deiksis persona menerapkan tiga pembagian dasar, yaitu kata ganti orang pertama (“saya” dan “kami”), orang kedua (“kamu” dan “anda”), dan kata ganti orang ketiga (“dia” dan “mereka”). Salah satu contoh tentang perbedaan sosial yang dikodekan dalam deiksis persona adalah perbedaan antara bentuk yang dipakai untuk lawan tutur yang sudah dikenal dibandingkan dengan bentuk yang dipakai untuk lawan tutur yang belum dikenal dalam beberapa bahasa. b) Deiksis tempat Konsep yang berhubungan erat dengan deiksis tempat, yaitu tempat hubungan antara orang dan benda yang ditunjukkan. Dalam mempertimbangkan deiksis tempat, perlu diingat bahwa tempat, dari sudut pandang penutur, dapat ditetapkan baik secara mental mau pun fisik. Penutur juga dapat membayangkan dirinya berada di tempat sebelum dia berada di tempat tersebut. Deiksis tempat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu yang dekat dengan penutur (“di sini”), yang tidak dekat dengan penutur tetapi dekat dengan mitra tutur (“di situ”), dan yang tidak dekat dengan penutur dan mitra tutur (“di sana”). c) Deiksis waktu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu. Deiksis waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala”. Misalnya: Saya lupa membaca majalah kemarin. Kata kemarin merupakan deiksis waktu. d) Deiksis wacana Cummings (2007:46), mengungkapkan bahwa dalam deiksis wacana, ungkapan linguistik digunakan untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis mau pun teks lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa: ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, ialah, yaitu, dan sebagainya. e) Deiksis sosial Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran penutur dan mitra tutur. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Deiksis sosial ini rujukannya berpindahpindah sesuai dengan tataran sosial masyarakat. Misalnya kata aku digunakan untuk berbicara kepada yang seumuran, kata saya untuk berbicara kepada yang lebih tua, dan kata beliau untuk orang yang lebih tua dan dihormati.
2.2.3 Unsur Intralingual Unsur intralingual merupakan segala unsur di dalam bahasa yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual sering disebut juga dengan bahasa verbal. Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo (2013), yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya. Di dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa verbal digunakan untuk menganalisis unsur intralingual. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal (unsur intralingual) biasanya akan memiliki efek yang sangat kuat jika didukung oleh bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa tulis, penanda jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali diwujudkan berupa pemisahan kata, tanda koma, tanda titik, pergantian paragraf, dan pergantian wacana. Sementara itu, jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan, penanda jeda diwujudkan berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa verbal lisan juga memanfaatkan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa, idiom dapat memberi efek komunikatif
bagi mitra tutur. Jadi, daya
bahasa dan nilai rasa bahasa dapat terjadi dalam bahasa lisan mau pun bahasa tulis tetapi cara memasukkannya berbeda-beda. Unsur intralingual merupakan unsur bahasa tertulis yang menjadi penanda suatu tuturan, misalnya pilihan kata, ungkapan khas, kata seru, kata tutur, kata asing, kata basa-basi, kata honorifik, sapaan mesra “ayang, papi, bunda, diajeng”, umpatan, pujian, dan sebagainya. Unsur intralingual dalam hubungannya dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
penelitian ini mengacu pada unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Dengan kata lain, unsur intralingual adalah unsur bahasa yang ada di dalam bahasa itu sendiri. Unsur intralingual dapat terlihat jelas apabila dikaji dengan memperhatikan aspek-aspek berikut. a. Kata (Pilihan Kata) Kata merupakan satuan gramatikal bebas terkecil. Menurut Chaer (2012:162), kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Contoh kata ialah : ayah, minum, kopi, dan sekarang. Poerwadarminta (1967:43) menambahkan, ketika berbicara, kita perlu memilih kata-kata yang tepat, seksama, dan lazim. Tepat yaitu sesuai dengan arti dan tempatnya. Seksama yaitu sesuai dengan apa yang hendak dituturkan. Lazim yaitu sesuai dengan kata umum. Unsur intralingual daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa dapat diketahui dengan mangamati diksi atau pilihan katanya. Kata dan pilihan kata dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan: “Para tikus negara harus segera dimusnahkan!”. (Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor). Penggunaan kata „tikus‟ dan „musnah‟ dalam tuturan tersebut mengandung perintah. Koruptor diibaratkan dengan kata „tikus‟ yang merupakan hama yang merugikan. Kata „musnah‟ lebih menekankan bahwa semua koruptor benar-benar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
harus ditangkap dan diberantas seluruhnya. Kata „tikus‟ dan „musnah‟ mempunyai daya bahasa yang lebih kuat daripada tuturan berikut: “Para koruptor negara harus segera kita tangkap dan diberantas!” Bila tuturan diubah menjadi seperti itu, maka daya bahasa yang dihasilkan kurang kuat, sehingga kemungkinan pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Selain mengandung daya bahasa, ternyata tuturan tersebut juga mengandung nilai rasa bahasa. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara. Berdasarkan beberapa pengertian dan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dan pilihan kata merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna tertentu. Dalam memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, penggunaan kata menjadi sangat penting. Penggunaan pilihan kata atau diksi yang tepat akan mampu memperkuat daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa. b. Frasa Chaer (2012:222), frasa lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Frasa terdiri lebih dari satu kata, hal ini berarti frasa merupakan satu tingkat di atas kata. Jadi, pembentuk frasa harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Contoh frasa ialah : adik saya, sedang bermain,boneka sapi, dan di kamar tidur. Ciri frasa ialah adanya kemungkinan diselipi unsur lain. Misalnya, frasa adik saya bisa diselipi kata dari, sehingga menjadi adik dari saya; frasa sedang bermain bisa diselipi kata senang, sehingga menjadi sedang senang bermain; frasa boneka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
sapi bisa diselipi kata seperti, sehingga menjadi boneka seperti sapi, frasa merupakan satu kesatuan jadi tidak dapat dipindahkan secara sendirian. Frasa dapat memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut: “Tikus berdasi itu harus kita basmi”. (Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada
para
anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor). „Tikus berdasi‟ dapat disebut sebagai frasa, karena merupakan satu kesatuan dan bisa diselipi kata lain, misalnya yang, menjadi „tikus yang berdasi‟. Frasa „tikus berdasi‟ merupakan objek dan predikat pada tuturan tersebut. Frasa „tikus berdasi‟ mempunyai makna koruptor yang merupakan pejabat negara yang selalu mengenakan dasi. Frasa tersebut mempunyai daya perintah, yaitu perintah KPK kepada anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor. c. Klausa Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikat. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frasa, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan (Chaer, 2012:231). Unsur inti klausa ialah subjek dan predikat (Ramlan, 2005:79). Jadi, unsur atau fungsi yang lain tidaklah bersifat wajib. Konstruksi ibu memasak merupakan klausa, karena hubungan komponen ibu dan komponen memasak bersifat predikatif; ibu adalah pengisi fungsi subjek dan memasak adalah pengisi fungsi predikat. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa klausa dapat berpotensi menjadi kalimat tunggal karena di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Klausa ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini: “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi”. (Konteks: Tuturan diucapkan oleh hakim kepada terdakwa yang terlibat kasus korupsi). Klausa „terdakwa terbukti secara sah‟ terdiri dari unsur subjek dan predikat. Klausa tersebut mengandung daya penegasan bahwa mitra tutur telah bersalah. Selain daya penegasan, tuturan tersebut juga mengandung kepastian bahwa orang yang didakwa telah terbukti melakukan tindak korupsi. d. Kalimat Kalimat umumnya berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku (Alwi,dkk, 2010:35). Ramlan (2005:23) menambahkan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Chaer (2012:240) juga menambahkan bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa. Jadi, apabila sebuah klausa diberi intonasi final (intonasi deklaratif/tanda titik, intonasi interogatif/tanda tanya, dan intonasi seru/tanda seru), maka akan terbentuk menjadi kalimat. Ramlan (2005:26) membedakan jenis kalimat berdasarkan fungsinya dan hubungan situasinya menjadi kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
a) Kalimat berita Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan informasi kepada orang lain, sehingga menimbulkan tanggapan atau respon dari orang lain, yang dapat berupa anggukan kepala atau pun pandangan mata. Kalimat berita selalu diakhiri dengan tanda titik (.). Misalnya: Jalan itu sangat licin. Kalimat tersebut termasuk kalimat berita, karena tidak terdapat kata-kata tanya, ajakan, mau pun larangan. b) Kalimat tanya Fungsi dari kalimat tanya adalah untuk menanyakan sesuatu. Kalimat tanya selalu diakhiri dengan tanda tanya (?). Misalnya: Kapan kamu wisuda? Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya, karena menanyakan sesuatu dan diakhiri dengan tanda tanya. Kata-kata tanya meliputi: apa, siapa, kapan, mengapa, kenapa, bagaimana, mana, bila, dan berapa. c) Kalimat suruh Kalimat suruh berfungsi untuk mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Ramlan (2005:40), menggolongkan kalimat suruh berdasarkan strukturnya menjadi empat golongan, yaitu kalimat suruh yang sebenarnya, kalimat persilahan, kalimat ajakan, dan kalimat larangan. Kalimat suruh selalu diakhiri dengan tanda perintah (!). Misalnya: Ayo kita belajar matematika!. Kalimat tersebut merupakan kalimat suruh, yang termasuk dalam golongan kalimat ajakan, karena menimbulkan tanggapan yang berupa tindakan dari mitra tutur dan juga penuturnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
2.2.4 Unsur Ekstralingual Unsur ekstralingual merupakan unsur bahasa yang berada di luar bahasa. Pranowo (2012:90) mengungkapkan bahwa unsur kebahasaan mencakup bahasa verbal
dan nonverbal, sedangkan unsur nonkebahasaan meliputi topik
pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Jadi, unsur ekstralingual ini mencakup konteks tuturan dan bahasa nonverbal berupa tanda-tanda ketubuhan. Konteks tuturan beserta fenomena yang dapat memunculkannya telah dibahas sebelumnya (lihat sub bab kajian bahasa secara pragmatik). Sebagai cermin kepribadian bangsa, kita harus mampu menerapkan tindak bahasa itu dalam kehidupan sehari-harinya, bukan hanya tindak bahasa yang bersifat verbal, tetapi juga tindak bahasa yang bersifat nonverbal. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap, atau perilaku. Dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa nonverbal digunakan untuk menganalisis unsur ekstralingual. Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) mempunyai peranan penting dalam tindak komunikasi. Seseorang berkomunikasi tidak selalu dalam bahasa lisan. Banyak orang yang memanfaatkan media bahasa tulis sebagai media komunikasi, seperti halnya karikatur dalam surat kabar. Peran bahasa nonverbal akan nampak jelas ketika seseorang mengamati gambar yang ada dalam karikatur. Bahasa nonverbal dapat berupa gesture. Gesture ini dapat berupa kinesik, mimik, dan kontak mata (mata melotot). Pendapat tersebut sejalan dengan Danesi (2010:64) yang mengungkapkan bahwa kedipan mata, isyarat tangan, ekspresi wajah, postur,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
dan tindakan badaniah lainnya mengomunikasikan sesuatu yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi sosial tertentu. Bahasa nonverbal ini, biasanya digunakan penutur untuk memperkuat maksud yang diucapkan melalui bahasa verbal. Liliweri (1994:89) mengungkapkan bahwa komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi. Saat pesan yang disampaikan melalui bahasa verbal kurang kuat efeknya, penutur dapat menggunakan tanda-tanda nonverbal sebagai pendukung. Di dalam suatu situasi komunikasi verbal, komunikasi nonverbal merupakan pelengkap dan penegas unsur-unsur intralingual yang digunakan. Namun, unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Liliweri (1994:88) yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Liliweri juga mengungkapkan meskipun tidak mengeluarkan suatu tuturan, namun ekspresi wajah seseorang juga mampu mewakili pesan dengan makna tertentu terhadap orang lain. Tanda-tanda nonverbal yang termasuk dalam kajian ekstralingual ini, disinggung dalam ilmu semiotikaa, khususnya semiotikaa visual. Namun, tidak semua ilmu semiotikaa ini termasuk dalam kajian ekstralingual. Peneliti hanya mengambil beberapa tanda nonverbal yang dianggap diperlukan dalam penelitian ini, meliputi ekspresi wajah, sinyal (tanda-tanda ketubuhan), dan tanda visual (simbol, ikon, indeks). Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
a. Ekspresi Wajah Tubuh adalah sarana utama bagi manusia untuk mengekspresikan rasa yang terkandung dalam diri sebagai perwujudan yang tengah dirasakan. Tubuh juga sebagai sarana untuk memahami hubungan antara alam dan budaya dalam kehidupan manusia. Bagian tubuh untuk mengekspresikan hal tersebut salah satunya diungkapkan melalui ekspresi wajah. Ekspresi wajah yang bersifat universal yang diprogram pada diri kita sendiri, senantiasa diubah menjadi bentuk penanda dalam diri untuk mananggapi sesuatu. Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tidak sadar (Danesi,2014:69). Jenis ekspresi sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Ekspresi wajah akan terlihat jelas dengan memperhatikan posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, bentuk hidung, dan lain-lain. Contoh ekspresi wajah manusia ialah ekspresi wajah terhibur. Ekspresi wajah terhibur dapat terlihat dengan posisi bibir ditarik ke belakang dan mata berbinar-binar. Pada efeknya, ekspresi wajah adalah penanda tidak sadar universal yang menciptakan suasana hati seperti terhibur, sedih, marah, heran, dan lain sebagainya. Melalui wajah, orang juga bisa membaca makna suatu pesan (Liliweri, 1994:145). b. Sinyal (Bahasa Tubuh) Isyarat atau sinyal adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh subjek kepada objek melalui bahasa nonverbal. Umumnya, isyarat tampil dalam bentuk bahasa tubuh, seperti isyarat tangan dan isyarat muka. Bahasa tubuh mengomunikasikan informasi tak terucapkan mengenai identitas, hubungan, dan pikiran seseorang, juga suasana hati, motivasi, dan sikap (Danesi, 2010:74). Cara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
berpakaian dan berpenampilan juga merupakan bagian perwujudan dari bahasa tubuh. Danesi juga menambahkan bahwa studi ilmiah tentang bahasa tubuh disebut kinesika. Sinyal kinesis dapat bersifat sadar, tak sadar, dan campuran (sadar-tak sadar). Isyarat kedipan mata, acungan jempol merupakan sinyal yang bersifat sadar, sedangkan sinyal-sinyal yang terjadi tanpa disengaja merupakan sinyal bawaan (sadar), misalnya wajah memerah. Gabungan antara sinyal yang bersifat sadar dan sinyal tak sadar disebut sebagai sinyal campuran. Misalnya menangis, tertawa, dan mengangkat bahu. Pesan-pesan yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh dapat memberikan tampilan dan kesan ketika bertutur.
2.2.5 Kajian Daya Bahasa Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif. Berbahasa yang baik dapat mewujudkan hasil pemikiran yang baik pula. Setiap orang dapat berbahasa, tetapi tidak setiap orang dapat memanfaatkan daya bahasa untuk mengefektifkan komunikasi. Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur (Pranowo, 2012:128). Menyampaikan pesan menggunakan daya bahasa dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan cara menolak, membujuk, mengkritik, memberi tanggapan, menyindir, dan sebagainya. Pranowo (2012:129) menyebutkan agar pesan yang disampaikan dapat sampai kepada pembaca atau pendengar secara efektif, penutur atau penulis dapat memanfaatkan daya bahasa seefektif mungkin. Efektivitas komunikasi ini bersifat positif dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
negatif. Jika daya bahasa dimanfaatkan secara positif, maka komunikasi dapat berjalan secara lancar dan santun. Namun, apabila daya bahasa digunakan secara negatif, maka komunikasi dapat menimbulkan ketidaksantunan. Sama halnya dengan Quanita Fitri (2009) menambahkan bahwa daya bahasa adalah kadar kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk menyampaikan makna, informasi, atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar atau pembaca mampu memahami dan menangkap segala makna, informasi, atau maksud yang disampaikan penutur atau penulis. Daya bahasa pada wacana dapat muncul ketika kesatuan makna mengungkapkan kesatuan pesan. Sudaryanto dalam Pranowo (2012:138) menggali daya bahasa dari aspek linguistik. Hasilnya, hampir seluruh tataran bahasa mampu memunculkan daya bahasa. Daya bahasa akan terlihat dari tataran bunyi, bentuk kata, struktur, leksikon (terutama pilihan kata), dan wacana. Daya bahasa dapat digali melalui sinonim kata. Kata satu dengan kata yang lain tentunya memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Misalnya kata „mati‟ atau „meninggal‟ memiliki daya bahasa yang bersifat netral. Beda halnya dengan kata mampus, gugur, wafat, dan sebagainya memiliki daya bahasa yang berbedabeda. Kata „mampus‟ memiliki daya bahasa negatif yang di daalamnya mengandung rasa dendam dan penuh kepuasan karena orang yang dibencinya tidak lagi dapat berbuat apa-apa seperti ketika masih berdaya atau hidup. Kata „gugur‟ memiliki daya bahasa yang hormat terhadap subjek karena kematiannya terjadi
untuk
membela
kebenaran
sehingga
perlu
mendapat
penghargaan/penghormatan. Kata „wafat‟ memiliki daya bahasa yang hormat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
terhadap subjek karena yang meninggal dunia biasanya orang-orang besar ternama.
2.2.6 Kajian Nilai Rasa Bahasa Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Joko Pradopo (2002) menyinggung sedikit tentang nilai rasa bahasa. Nilai rasa bahasa dapat muncul melalui unsur intralingual seperti permainan bunyi, kata, gaya bahasa, ungkapan, dan konteks bahasa. Singkatnya, nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan dalam berkomunikasi. Perasaan itu bisa berupa rasa senang, sedih, kecewa, marah, bingung, dan lain-lain. Perasaan seseorang dapat terlihat dari bahasa verbal, bahasa nonverbal, dan konteksnya. Bahasa verbal dapat terlihat dari diksi atau pilihan katanya, bahasa nonverbal dapat terlihat dari ekspresi wajah, sedangkan konteks dapat terlihat setelah kita mengetahui maksud suatu tuturan dengan memperhatikan berbagai aspek pragmatik, seperti praanggapan, tindak tutur, dan implikatur. Nilai rasa adalah kadar rasa yang tercantum dalam isi kata itu (Poerwadarminta, 1967:34). Rasa maksudnya ialah sekalian gerakan hati, segala yang terasa dalam batin; seperti sedih, senang, suka, duka, benci, mengejek, menghina, hormat, segan, dan sebagainya. Kata-kata umum yang sudah dianggap bernilai rasa, misalnya: mampus, wafat, gugur. Jadi, nilai rasa bahasa seseorang dapat dilihat dari diksi atau pilihan katanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
Menurut Poerwadarminta (1967:35-36), ciri-ciri kata yang memiliki nilai rasa yaitu menggunakan: 1. Kata rasa (perasaan) Kata-kata yang bernilai rasa (perasaan) memiliki ciri menggunakan kata-kata perasaan, seperti senang, sedih, benci, marah, kecewa, jengkel, belas kasihan, menghina, dan sebagainya. 2. Kata pelembut Kata-kata yang bernilai rasa halus atau lembut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Nilai rasa hormat Kata-kata yang bernilai rasa hormat memiliki ciri menggunakan kata-kata hormat, misalnya: Anda, beliau, dan sebagainya. b. Nilai rasa menghargai Kata-kata yang bernilai rasa menghargai memiliki ciri menggunakan kata-kata halus, misalnya: istri, mengandung, jenazah, dan sebagainya. c. Nilai rasa khawatir terjadi sesuatu Kata-kata yang bernilai rasa khawatir terjadi sesuatu memiliki ciri menggunakan kata pantang, misalnya: akar untuk menyebut ular di malam hari. 3. Nilai rasa kasar Kata-kata yang bernilai rasa kasar adalah kata-kata yang pada umumnya dianggap kasar. Kata-kata ini umumnya adalah sebagai ungkapan perasaan marah, benci, sakit hati, mendongkol, dan sebagainya. Misalnya kata tolol. Kata tolol memiliki makna dan maksud. Makna yaitu arti kata tersebut, sedangkan maksud terdapat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
pada isi kata tersebut. Maksud dan nilai rasa (kadar perasaan) dapat ditemukan dalam isi kata. 4. Kata Bunyi Kata ini hanya berkadar bunyi seperti: desis, dentang, sir, dan sebagainya. Untuk mengetahui perasaan seseorang, kita perlu menganalisis emosi yang dikeluarkan melalui tingkah laku mau pun kata-katanya. Suprapti,dkk dalam Kaswanti Purwo (1992:110-112), mengelompokkan kata emosi pada manusia menjadi 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran, tertekan, marah, benci, bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan, kedamaian-kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa-dibohongi, dicintai, yakin-optimis, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil. 1. Malas-acuh: Acuh, ogah, ogah-ogahan, segan, wegah, males, enggan. 2. Kelelahan: Letih, cape, penat, lemes, pegal, pusing, pucat, sakit, perih, kesemutan, gatal, ngantuk, lesu, pening, nyeri, dan getir. 3. Kesedihan: Pilu, sedih, haru, terharu, trenyuh, kasihan, ngenes, tergugah, prihatin, syahdu, susah, pedih, sendu, duka, iba, dan masygul. 4. Perasaan pesimis depresif: Nelangsa, merana, malang, sial, sia-sia, putus asa, pesimis, kehilangan pegangan, hina, kalah, apes, putus harapan, dan patah semangat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
5. Takut-cemas: Kacau, bingung, gugup, gemetaran, tegang, cemas, gelisah, risau, was-was, kuatir, bimbang, ragu-ragu, sangsi, panik, takut, ngeri, gentar, curiga, ruwet, sewen, berdebar-debar, resah, ragu, seram, dan nanar. 6. Heran: Kaget, heran, tercengang, terpukau, takjub, kagum, seperti mimpi, terkejut, dan terpaku. 7. Tertekan: Terdorong, terdesak, terpaksa, terkekang, terhambat, tertindas, terinjak, terpukul, tersinggung, tersindir, tersudut, terancam, terikat, terbanting, dan terhina. 8. Marah: Sakit hati, jengkel, keki, kesal, dongkol, gedeg, geram, sebal, cape hati, kecewa, marah, pitam, darah pendidih, kelap, sengit, panas, mangkel, gondok, naik darah, dan amarah. 9.
Benci: Dendam, cemburu, iri, benci, antipati, sentimen, dan tidak menghargai.
10. Bersalah: Bersalah, salah, dosa, menyesal, dan sesal. 11. Malu: Malu, sungkan, kikuk, kaku, risi, dan jengah. 12. Muak: Gilo, jijik, enak, mual, muak, dan senep.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
13. Bosan: Jeleh, jenuh, jemu, dan bosan. 14. Sunyi: Kesepian, sepi, dan kehilangan. 15. Kekosongan: Hampa, kosong, hambar, dan dingin. 16. Kedamaian-kebahagiaan: Adhem, nyaman, aman, tentram, selamat, terlindungi, enak, nikmat, asyik, betah, rileks, santai, gembira, riang, senang, besar hati, bangga, bahagia, ayem, tenang, damai, dan girang. 17. Bebas: Lega, plong, lapang, puas, untung, ringan, dan terlepas. 18. Cinta: Suka, simpati, tertarik, cinta, sayang, dhemen, dan kasih. 19. Kangen: Rindu, kangen, dan terkenang. 20. Terasing: Terasing, terkucil, tak dihiraukan, diabaikan, dan asing. 21. Dipaksa-dibohongi: Dipaksa, diburu-buru, diadu domba, ditipu, dikibuli, dininabobokan, dan dibodohi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
22. Dicintai: Terbelai, tersanjung, diperhatikan, disayangi, dibutuhkan, dipercaya, dan dicintai. 23. Yakin optimis: Yakin, optimis, kuat, cukup, dan mantep. 24. Sehat: Segar, sehat, dan sadar. 25. Perasaan terhadap makanan: Kenyang, lapar, dan haus. 26. Keinginan: Bernafas, ngantuk, dan ingin. 27. Menerima Ikhlas, rela, pasrah, dan bersyukur. 28. Rasa kecil: Sempit dan kecil.
2.2.7 Fungsi Komunikatif Bahasa William,dkk (2004:26) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah salah satu kegiatan dasar manusia dan proses sosial yang dijalaninya. Hal ini berarti dalam berbagai keadaan, proses komunikasi merupakan hal yang benar-benar mendasar. Sebagai dasar kehidupan, komunikasi terjadi melalui penyampaian atau pertukaran pesan. Melalui komunikasi, seseorang dapat mempengaruhi orang lain baik secara langsung mau pun tidak langsung. Fungsi komunikatif bahasa tentu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
tidak bisa dipenuhi tanpa bentuk bahasa yang meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan organisasional lainnya (Brown, 2008:245). Bahasa merupakan manifestasi lahiriah, sedangkan fungsi merupakan perwujudan bentukbentuk bahasa itu sendiri. Tanpa komunikasi kehidupan manusia tentu akan tidak berjalan dengan baik, karena komunikasi itulah yang menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan yang tentram. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat muncul lewat kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi. Leech (2003:63) memaparkan ada lima fungsi bahasa dalam komunikasi, meliputi (a) fungsi informasional, (b) fungsi ekspresif, (c) fungsi direktif, (d) fungsi phatik, (e) fungsi estetik. (a) Fungsi informasional biasa digunakan untuk menginformasikan sesuatu, misalnya melaporkan, mendeskripsikan, dan menjelaskan sesuatu. Fungsi ini dianggap sebagai fungsi yang sangat penting. (b) Fungsi
ekspresif
penuturnya,
dan
biasa
digunakan
mengekspresikan
untuk emosi,
mengungkapkan
perasaan
keinginan,
perasaan
atau
penyampaian pesan. Kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam hal ini, misalnya : Aduh...perutku sakit!. Contoh tersebut menggunakan fungsi ekspresif yang mengungkapkan keluhan rasa sakit. (c) Fungsi direktif biasa digunakan untuk mempengaruhi orang lain, baik emosinya, mau pun tingkah lakunya. Selain itu, juga dapat digunakan untuk memberi keterangan, mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan lain sebagainya. Contoh fungsi direktif adalah: Masuk,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
duduklah!. Contoh tersebut menggunakan fungsi direktif pada kata kerja yang memiliki makna perintah. (d) Fungsi phatik digunakan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka, dan untuk terus menjaga hubungan sosial secara baik. (e) Fungsi estetik, yang paling penting adalah bahwa seseorang mengatakan sesuatu, bukan apa yang dikatakan. Kelima fungsi komunikatif dalam berbahasa tersebut saling berhubungan dan tidak dapat berdiri sendiri. Brown (2008:247) mengungkapkan bahwa satu kalimat atau percakapan bisa menggabungkan banyak fungsi berlainan secara bersamaan. Fungsi komunikatif ini selalu berhubungan dengan lima situasi komunikasi (Leech, 2003:65), yaitu (1) pokok persoalan, (2)
sumber (yaitu
penutur dan penulis), (3) penerima (yaitu pendengar atau pembaca), (4) sarana komunikasi, dan (5) pesan bahasa.
2.2.8 Karikatur Karikatur merupakan salah satu rubrik yang terdapat dalam surat kabar. Keberadaan karikatur dalam surat kabar ini diharapkan mampu melahirkan dinamika. Kata karikatur berasal dari bahasa Italia caricature (dari caricare) yang berarti memberi muatan atau beban tambahan. Yang direka adalah tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa tertentu menjadi pusat perhatian masyarakat (Wijana, 2003:7). Di dalam hal ini, tokoh-tokoh tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, melainkan dapat juga untuk menampilkannya secara humoristik. Wijana (2003:xx) mengungkapkan bahwa karikatur adalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
gambar bermuatan humor atau satir dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-(tokoh) orang yang terkenal atau orang-orang biasa yang karena peristiwa tertentu menjadi terkenal. Untuk menampilkannya secara lebih humoristis tokoh-tokoh itu digambarkan dalam bentuk tubuh dan wajah. Menurut Sudarta (1967:49) kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu, lahiriahnya untuk tujuan mengejek. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Pramono (dalam Slamet, 2011:67) yang mengatakan bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon, yakni merupakan visualisasi dari bentuk tajuk rencana sebuah surat kabar. Inilah yang biasa disebut karikatur (Sudarta, 1987). Pendapat di atas berlawanan dengan pendapat Noerhadi (1989:189) dalam artikelnya yang berjudul Kartun dan Karikatur sebagai Wahana Kritik Sosial yang mendefinisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual. Konsep kartun dan karikatur dalam artikel tersebut dipisahkan secara tegas. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distortion) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca. Peneliti menyimpulkan bahwa karikatur adalah bagian dari kartun yang biasanya digambarkan dalam bentuk fisik atau deformasi dari tokoh tertentu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
Masing-masing surat kabar mempunyai ciri khas tertentu dalam menyajikan rubrik karikatur ini. Koran Tempo yang terbit setiap hari selalu menyajikan rubrik karikatur di halaman 32. Namun, kadang kala setiap seminggu sekali, rubrik karikatur tidak disajikan. Perbedaan antara kartun dan karikatur dapat diibaratkan antara buah dan jeruk. Kartun merupakan buah, sedangkan jeruk merupakan karikatur. Karikatur dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyampaikan kritik yang sehat, karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar yang lucu dan menarik. Secara khusus, media karikatur ini diciptakan sebagai cermin yang dapat memantulkan tingkah laku setiap orang, baik secara pribadi mau pun secara sosial dalam masyarakat luas. Komponen karikatur ialah gambar dan teks. Keduanya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila ditinjau dari aspek linguistik, karikatur memiliki kekhasan yang menarik untuk diteliti. Kekhasan tersebut berkaitan dengan (a) jenis tindak tutur dan implikatur, (b) prinsip sopan santun yang disajikan, (c) aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan, dan (d) fungsi kemasyarakatan yang ada dalam karikatur. Sementara itu, apabila dilihat dari segi fungsi kemasyarakatan, karikatur mempunyai fungsi kritik, informasi, pendidikan, moralitas, politik, ideologi, hiburan, kritik, atau sindiran. Hal ini berarti bahwa karikatur adalah bentuk gambar yang dibuat seseorang melalui ungkapan perasaannya yang kemudian diekspresikan atau dipublikasikan agar diketahui oleh khalayak. Di dalam konteks ini, karikatur digunakan sebagai media untuk mengemukakan argumen atau opini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
sesuai dengan apa yang telah diamati penulis. Karikatur ini menyajikan wacana hiburan bagi pembacanya, karena di dalamnya terdapat humor yang cenderung merupakan kritik sosial, politik, mau pun budaya terhadap segala peristiwa yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Wahana kritik ini seringkali ditemui dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dan tabloid. Karikatur pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni karikatur verbal dan karikatur nonverbal. Karikatur verbal yaitu karikatur yang dalam visual gambarnya memanfaatkan unsur-unsur verbal, seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat, di samping gambar tokoh yang ada, sedangkan karikatur nonverbal lebih cenderung memanfaatkan gambar sebagai bahasa bertutur agar maksud yang ada dalam gambar dapat tersampaikan kepada pembaca.
2.2.9 Kesantunan Berbahasa Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang juga cermin kepribadian bangsa. Melalui bahasa, seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiannya. Bahasa yang dimaksud dapat berupa bahasa verbal dan bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang dimuculkan melalui kata-kata (bisa dalam bentuk ujaran mau pun tulisan), sedangkan bahasa nonverbal ialah bahasa yang diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku (Pranowo, 2012:3). Bahasa santun adalah penggunaan bahasa (baik verbal mau pun nonverbal) yang mencerminkan sikap halus dan budi baik seorang penutur terhadap mitra tutur sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Ketika berkomunikasi,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
penggunaan bahasa yang baik dan benar saja tidak cukup. Namun, kaidah lain yang perlu dan penting untuk diperhatikan ialah kesantunan. Kaidah kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Seseorang yang sedang bercanda pun hendaknya menggunakan tuturan yang santun. Agar pemakaian bahasa terasa semakin santun, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu (Pranowo, 2012:6), seperti (1) menggunakan tuturan tidak langsung, (2) pemakaian bahasa dengan bahasa kias, (3) ungkapan memakai gaya bahasa penghalus, (4) tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan, dan (5) tuturan dikatakan secara implisit. Kesantunan berbahasa ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan komunikasi
sehingga
maksud
suatu
ujaran
dapat
tersampaikan
tanpa
menyinggung perasaan mitra tutur. Penggolongan suatu tuturan termasuk santun atau tidak santun dapat dilihat dari indikator kesantunan. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia penutur santun atau tidak (Pranowo, 2012:100). Penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan dan nonkebahasaan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua indikator kesantunan, yaitu menurut Leech 1983 dan Pranowo 2005. Penutur menganggap bahwa kedua pendapat ahli tersebut dapat mewakili pendapat-pendapat ahli sebelumnya karena isi indikator keduanya saling melengkapi. Masing-masing indikator kesantunan menurut Leech dan Pranowo akan dijelaskan sebagai berikut. a. Indikator kesantunan menurut Leech (1983, dalam Pranowo 2012:103)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
Leech (1983) berpendapat bahwa indikator kesantunan berbahasa dapat diungkapkan ke dalam tujuh maksim, yaitu: a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan “tact maxim”). b) Tuturan
lebih
baik
menimbulkan
kerugian
pada
penutur
(maksim
kedermawanan “generosity maxim”). c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise maxim”). d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati). e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”). f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”). g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”). b. Indikator kesantunan menurut Pranowo (2005 dan 2008, dalam Pranowo 2012:103). Indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) terdiri dari enam butir pokok, yaitu: a) Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa). b) Pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan (adu rasa).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
c) Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati (empan papan). d) Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (sifat rendah hari). e) Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat). f) Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira). Selain indikator di atas, kesantunan juga dapat dilihat melalui pemakaian kata-kata tertentu sebagai pilihan kata (diksi) yang dapat mencerminkan rasa santun, misalnya: a) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain. b) Gunakan frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain. c) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung perasaan orang lain. d) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu. e) Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih dihormati. f) Gunakan kata “Bapak/Ibu” untuk menyebut orang kedua dewasa. Selanjutnya Pranowo (2008) juga menemukan indikator kesantunan tambahan berupa nilai-nilai luhur yang dapat mendukung kesantunan. Nilai-nilai tersebut yaitu sifat rendah hati, sikap empan papan, sikap menjaga perasaan, sikap
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
mau berkorban, dan sikap mawas diri (Pranowo 2008 dalam Pranowo 2012:111121). Secara ringkas, kelima nilai-nilai luhur pendukung kesantunan akan dijabarkan sebagai berikut. a) Sifat rendah hati Sifat rendah hati merupakan produk dari kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri agar tidak sombong dengan menjaga kerukunan hubungan dan memberi penghormatan kepada orang lain. Sifat rendah hati dapat dinyatakan melalui sikap tenggang rasa, malu, rasa hormat, rukun, dan mau mengalah. b) Sikap empan papan Empan papan adalah kesanggupan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan tempat dan waktu dalam berbicara kepada mitra tutur. Sikap ini dianggap nilai luhur karena seseorang mampu mengendalikan diri untuk tidak mengganggu orang lain dalam situasi tertentu yang berbeda dengan situasi normal. c) Sikap menjaga perasaan Di dalam bertutur kata, hendaknya kita tidak hanya mengandalkan pikiran, melainkan juga perasaan. Meskipun yang akan dikomunikasikan adalah buah pikiran, tetapi ketika akan menyampaikan maksud kepada mitra tutur, biasanya terlebih dahulu berusaha menjajagi kondisi psikologis mitra tutur (njaga rasa). Hal ini dimaksudkan agar komunikasi selalu terjaga kesantunannya. Penjajakan kondisi psikologis mitra tutur ini dilakukan dengan mengenali suasana hati mitra tutur (angon rasa). Jika penutur sudah berhasil mengenali suasana hati mitra tutur, penjajakan selanjutnya adalah mengenali kesiapan hati mitra tutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
(adu rasa). Jika suasana dan kesiapan hati mitra tutur sudah berhasil dikenali, penutur baru berusaha menyampaikan maksud tuturan dengan cara yang sesuai dengan kesiapan hati mitra tutur. d) Sikap mau berkorban Sikap mau berkorban ialah kesanggupan seseorang untuk mau berkorban dengan memprioritaskan kepentingan orang lain. Sikap mau berkorban ini menjadi salah satu nilai luhur pendukung kesantunan karena penutur berusaha memberikan keuntungan kepada mitra tutur walaupun dirinya sendiri dirugikan. e) Sikap mawas diri Mawas diri adalah sikap menyadari semua perbuatan yang dilakukan untuk dijadikan sebagai refleksi dan pegangan penilaian terhadap perilaku orang lain yang dianggap sama dengan perilakunya. Sikap mawas diri ini merupakan salah satu nilai luhur pendukung kesantunan karena saat mitra tutur melakukan sesuatu atau berkata sesuatu mengenai hal yang kurang berkenan di hati, penutur dapat memakluminya dan tidak berusaha menyalahkan mitra tutur.
2.3 Kerangka Berpikir Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi diteliti menggunakan teori pragmatik dan semiotika. Tuturantuturan yang ada dianalisis kemudian dideskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasanya sebagai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
penanda kesantunan berkomunikasi. Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat dari bagan berikut.
Tuturan yang Diduga Mengandung Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi
Kajian Pragmatik dan Semiotika
Unsur Intralingual dan Ekstralingual Daya Bahasa
Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa
Indikator Kesantunan Berkomunikasi
Santun
Tidak santun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini, peneliti akan menguraikan enam hal, yaitu (1) jenis penelitian, (2) sumber data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, dan (6) triangulasi data. Keenam hal tersebut diuraikan sebagai berikut. 3.1 Jenis Penelitian Penelitian unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi ini dilaksanakan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2010:4) mendeskripsikan penelitian deskriptif kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari orang atau pelaku yang dapat diamati. Pendapat tersebut didukung oleh Muhammad (2014:30) yang mengungkapkan penelitian deskriptif kualitatif merupakan aktivitas atau proses memahami fenomena dengan menggunakan latar belakang ilmiah yang datanya berupa data-data deskriptif. Penelitian ini merupakan analisis data tertulis dengan tujuan untuk mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang terdapat dalam sumber data, yaitu dalam karikatur di media massa cetak (Koran Tempo).
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian Sumber data penelitian ini adalah berbagai register pemakaian bahasa tertulis, berupa Karikatur Koran Tempo bulan September – Desember 2014. Karikatur Koran Tempo selalu disajikan di halaman 32. Data penelitian berupa tuturan pada Karikatur Koran Tempo yang dicurigai sebagai unsur intralinguial dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Data penelitian ini adalah data yang berupa tuturan, bahasa nonverbal, dan tanda-tanda visual. Bahasa verbal di sini adalah keseluruhan tuturan dalam bentuk tulisan yang diucapkan oleh para tokoh dalam karikatur yang diduga mengandung daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, sedangkan bahasa nonverbal adalah gejala-gejala ketubuhan yang dimunculkan. Tanda-tanda visual adalah makna maupun maksud tanda yang dimunculkan oleh karikatur itu sendiri.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data penelitian ini adalah teknik baca-catat. Teknik baca digunakan untuk menemukan data-data yang terdapat pada Karikatur Koran Tempo, sedangkan teknik catat digunakan untuk mencatat kalimat atau tuturan yang diduga mengandung unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri berbekal pengetahuan teori pragmatik dan semiotika. Peneliti sebagai penutur bahasa Indonesia dan ahli dalam bidang pragmatik dan semiotika memiliki bekal intelektual mau pun intuitif yang cukup memadai untuk mendapatkan data penelitian sesuai dengan yang dibutuhkan. Sebagai bekal pengumpulan data, peneliti melengkapi diri dengan format pengumpulan data sebagai berikut. 1.
Data unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa untuk mengefektifkan kesantunan. Data tuturan (Kode Data): ........................................................................................................................ Konteks tuturan: ........................................................................................................................ Penanda tuturan: ........................................................................................................................
2.
Data unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam nilai rasa bahasa untuk mengefektifkan kesantunan. Data tuturan (Kode Data): ........................................................................................................................ Konteks tuturan: ........................................................................................................................ Penanda tuturan: ........................................................................................................................
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
3.5 Teknik Analisis Data Setelah data yang berupa tuturan sudah terkumpul, peneliti kemudian menganalisis data penelitian. Langkah-langkah untuk menganalisis data tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Peneliti menganalisis unsur intralingual yang meliputi diksi, frasa, klausa, dan kalimat yang diduga mengandung daya bahasa dan nilai rasa bahasa.
2.
Peneliti menganalisis daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam tuturan yang dimaknai berdasarkan unsur ekstralingual konteks dan unsur ekstralingual tanda-tanda ketubuhan atau tanda visual yang memperkuat unsur intralingual.
3.
Peneliti mengklasifikasikan jenis daya bahasa dan nilai rasa bahasa berdasarkan unsur intralingual dan ekstralingualnya.
4.
Peneliti menganalisis penanda kesantunan yang ada dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang digunakan dalam karikatur berdasarkan unsur intralingual dan ekstralingualnya.
3.6 Triangulasi Data Untuk meningkatkan tingkat kepercayaan (validitas) hasil analisis data dilakukan pemeriksaan terhadap keabsahan temuan dengan cara triangulasi teori. Triangulasi teori ialah kepercayaan terhadap teori yang digunakan dengan mengkonfirmasi hasil analisis data dengan beberapa teori yang terkait dengan landasan teori (PBSID, 2004).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
Di samping itu, dalam penelitian ini juga dilakukan triangulasi logis. Triangulasi logis ini dilaksanakan dengan cara diskusi bersama dosen pembimbing, yakni Prof. Dr. Pranowo,M.Pd.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data Penelitian Data dalam penelitian ini berupa unsur intralingual (unsur dalam bahasa) dan ekstralingual (unsur luar bahasa) yang dianggap mengandung daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo (KKT). Data tuturan yang didalamnya mengandung unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa ini seluruhnya berjumlah 210 tuturan, meliputi 105 tuturan dalam daya bahasa, dan 105 tuturan dalam nilai rasa bahasa. Semua tuturan tersebut diperoleh dari Karikatur yang terdapat pada Koran Tempo bulan September, Oktober, November, dan Desember 2014 dengan cara baca-catat. Data-data yang terdapat pada Karikatur Koran Tempo dibaca, kemudian tuturan yang diduga sebagai unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dicatat. Data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasi menurut jenisnya. Di bawah ini merupakan deskripsi data yang digunakan dalam penelitian. Kode Data No
Sumber Data
1 2 3 4
Karikatur Koran Tempo (KKT)
Tanggal 1 September 2014 2 September 2014 3 September 2014 4 September 2014
Daya bahasa
Nilai Rasa Bahasa
DB.KKT/01/09/014 NR.KKT/01/09/014 DB.KKT/02/09/014 NR.KKT/02/09/014 DB.KKT/03/09/014 NR.KKT/03/09/014 DB.KKT/04/09/014 NR.KKT/04/09/014
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
5 September 2014 6 September 2014 7 September 2014
6 7
53
DB.KKT/05/09/014 NR.KKT/05/09/014 DB.KKT/06/09/014 NR.KKT/06/09/014 DB.KKT/07/09/014 NR.KKT/07/09/014 Dst.
4.2 Analisis Data Analisis data merupakan pengklasifikasian daya bahasa dan nilai rasa bahasa ke dalam jenis-jenisnya, berdasarkan unsur intralingual (diksi, frasa, klausa, kalimat), dan unsur ekstralingual (bahasa tubuh, ekspresi wajah, maksud tanda visual, serta unsur ekstralingual berupa fenomena konteks) sebagai penanda kesantunan. Hasil analisis data tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi adalah sebagai berikut. 4.2.1 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi Daya bahasa merupakan kekuatan bahasa yang diungkapkan melalui unsur intralingual (diksi, frasa, klausa, dan kalimat), yang kemudian diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, maksud tanda visual, dan selalu mengandung konteks tertentu untuk mencapai suatu fungsi komunikatif. Pemanfaatan unsur intralingual dan ekstralingual tersebut digunakan untuk memberikan efek komunikatif yang lebih kuat bagi mitra tutur dengan tujuan tertentu, seperti membujuk, mengibur, dan lain sebagainya. Berdasarkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
hasil pengumpulan data yang dilakukan pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014, terdapat 7 penggolongan jenis daya bahasa yang ditemukan, yaitu daya ancam, daya paksa, daya kabar, daya penolakan, daya harap, daya ungkap, dan daya pikat. Penggolongan daya bahasa tersebut didasarkan pada unsur intralingual yang digunakan mau pun unsur ekstralingual sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Secara terperinci, analisis unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi akan dipaparkan sebagai berikut.
4.2.1.1 Daya Ancam Daya ancam adalah kekuatan suatu kalimat yang digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan atau menyampaikan pesan karikatur melalui sindiran, kritikan, ejekan, dan peringatan. Berkaitan dengan karikatur, daya ancam digunakan untuk menyampaikan maksud secara langsung mau pun tidak langsung. Daya ancam pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 57 karikatur. Data tersebut meliputi: 4.2.1.1.1 Daya Sindir Daya sindir adalah kekuatan suatu bahasa untuk menyindir seseorang. Daya sindir dimaksudkan agar mitra tutur sadar akan kesalahannya. Sindiran ini bisa berbentuk implikatur, dan sindiran langsung. Di dalam karikatur, daya sindir merupakan daya yang paling dominan ditemukan, yaitu sebanyak 32 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
1. “Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak...” (DB.KKT,01/09/014) (Konteks: Pada waktu itu harga BBM dinaikkan oleh pemerintah, dan pemerintah mengeluarkan larangan untuk membeli BBM menggunakan jeriken. Hal tersebut merepotkan para nelayan.) 2. “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik” (DB.KKT,04/10/014) (Konteks: Sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada pada Jumat, 26 September 2014, dini hari.) 3. “Mereka telah memanfaatkan kekuasaannya!" (DB.KKT,06/10/014) (Konteks: Semakin maraknya tindak korupsi yang terjadi di Indonesia, terutama di kalangan pejabat.) 4. “Kursi kita di mana, pak JK?” (DB.KKT,21/10/014) (Konteks: Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, dan langsung mendatangi ruang kerjanya.) 5. “Sinetron terbaru walk out” (DB.KKT,30/09/014) (Konteks : Pada waktu itu, sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada.) 6. “Rapat di luar lagi, Pak?” (DB.KKT,17/11/014) (Konteks : Para aparat negara lebih sering melaksanakan rapat di hotel-hotel berbintang.) 7. A : “Kok bau ya? B : “Bau banget! C : “Bau partai!” (DB.KKT,22/11/014) (Konteks : Jokowi memilih Muhammad Prasetyo yang berasal dari Partai Nasdem, yang juga merupakan salah satu pendukung Jokowi, sebagai Jaksa Agung.)
Karikatur (1) mencoba memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara menyindir kepada pihak pemerintah yang mengeluarkan larangan kepada Pertamina agar tidak melayani masyarakat yang membeli BBM menggunakan jeriken, kecuali membawa surat pengantar atau rekomendasi dari pemerintah. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
Daya ancam berbentuk sindiran menjadi semakin
kuat
ketika
muncul
unsur
ekstralingual berupa gambar penutur (seorang nelayan)
yang
membawa
kapal
ketika
mendatangi SPBU. Gambar kapal diibaratkan sebagai jeriken. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa kapal berfungsi sama seperti jeriken, yaitu sebagai tempat bensin. Namun sewajarnya orang yang ingin membeli bensin dalam jumlah banyak menggunakan jeriken. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan bentuk bahasa yang santun, yaitu menggunakan tuturan tidak langsung (Pranowo, 2012:6). Selain itu juga sesuai dengan cara menyampaikan maksud dengan menerapkan sikap tenggang rasa, yaitu sikap menjaga perasaan mitra tutur agar merasa tidak terancam (Pranowo, 2012:109). Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan deiksis persona -nya dalam kata katanya. Kata ganti –nya pada kata tersebut menunjuk pada pihak Pemerintah pusat. Penutur dianggap santun karena tidak menyebut kata „pemerintah‟ secara langsung. Sama halnya dengan karikatur (2) yang juga memperlihatkan ancaman dengan cara menyindir Partai Demokrat yang dinilai memainkan sandiwara politik dengan cara walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daya
ancam
berbentuk
sindiran
57
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa pemberian piala sebagai lambang penghargaan dengan gambar logo Demokrat yang bertuliskan “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik”, sebagai sindiran karena dianggap berhasil menjadi pembohong. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa piala dipersepsi sebagai tanda penghargaan atas suatu prestasi yang diraih. Namun, dalam konteks ini, lambang piala digunakan sebagai sindiran karena prestasi yang diraih merupakan prestasi yang buruk. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983 (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pujian. Di dalam konteks ini, penutur secara langsung memuji mitra tutur, tetapi secara tidak langsung justru menyindir mitra tutur. Tuturan tersebut juga sesuai dengan bentuk-bentuk bahasa santun yang mengungkapkan bahwa tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan (Pranowo, 2012:7). Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan objek piala yang biasanya digunakan sebagai lambang kemenangan atas prestasi yang baik, namun maksud yang sebenarnya adalah kemenangan atas keberhasilan menjadi pembohong. Berbeda dengan karikatur (3) yang mencoba memperlihatkan ancaman dengan cara menyindir langsung para pejabat DPR yang telah memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan tidak korupsi. Daya ancam tersebut dimunculkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
melalui unsur intralingual berupa kalimat : Mereka telah memanfaatkan kekuasaannya. Daya
ancam
berbentuk
sindiran
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar tikus berdasi sebagai ikon koruptor, dan gambar keju sebagai ikon gedung DPR, yang kemudian keju tersebut digerogoti oleh tikus-tikus. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa tikus merupakan hama yang merugikan. Di dalam konteks ini tikus adalah para koruptor yang berasal dari orang yang memegang kekuasaan. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena tidak sesuai dengan bentuk bahasa yang santun (Pranowo, 2012:6), yaitu menggunakan tuturan berupa sindiran secara langsung, dan yang dikatakan sama dengan yang dimaksudkan. Di dalam konteks ini, penutur menyindir para anggota DPR yang telah memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan tindak korupsi. Tuturan tersebut juga berlawanan dengan indikator kesantunan Pranowo (2005, dalam Pranowo 2012:103), yaitu adu rasa. Penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur karena menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Penutur menuduh banyak anggota pemerintahan yang memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan tindak korupsi. Karikatur (4) memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara menyindir pemerintahan sebelumnya, yaitu pemerintahan SBY yang belum bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik, sehingga meninggalkan banyak tugas bagi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
pemerintahan yang baru. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Kursi kita di mana, pak JK?. Daya ancam berbentuk sindiran menjadi semakin
kuat
ketika
muncul
unsur
ekstralingual berupa banyaknya tumpukan kertas yang berserakan sehingga kursi presiden dan wakil presiden tidak terlihat. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pemerintahan SBY belum bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo (2005, dalam Pranowo, 2012:103) tentang angon rasa. Di dalam konteks ini, penutur membuat hati mitra tutur (pemerintahan SBY) berkenan, karena tuturan tersebut tidak memojokkan mitra tutur. Selain itu, tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan. Tuturan tersebut menggunakan kalimat berupa pertanyaan retoris, sehingga apa yang ditanyakan, bukan yang dimaksudkan, yaitu menyindir (Pranowo, 2012:7). Contoh karikatur (5) kembali mencoba memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara menyindir anggota Fraksi Demokrat yang walkout dalam sidang paripurna revisi UU Pilkada. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : sinetron terbaru walkout.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daya
ancam
berbentuk
sindiran
60
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang kesal dengan lirikan mata yang tajam ketika menyaksikan Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Masyarakat menilai kejadian tersebut merupakan sandiwara politik baru yang dilakukan Demokrat agar Pilkada langsung tidak tercapai, dan lebih mempertahankan Pilkada melalui DPRD. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa partai Demokrat lebih berpihak kepada Pilkada oleh DPRD, sehingga mereka memilih walkout dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur merasa tidak senang dengan mitra tutur (anggota Demokrat) karena memilih walkout dalam
sidang
paripurna
pengesahan
RUU
Pilkada,
sehingga
dalam
mengungkapkan tuturan tersebut, penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Rasa emosi tersebut dapat terlihat melalui unsur ekstralingual berupa lirikan mata yang tajam. Contoh karikatur (6) juga mencoba memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara menyindir aparat negara yang sering melaksanakan rapat di hotel. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
kalimat tanya : Rapat di luar lagi, Pak?. Pemakaian diksi lagi pada tuturan tersebut dimaknai sebagai kegiatan yang berulang-ulang. Daya ancam berbentuk sindiran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa banyaknya sarang laba-laba yang ada di ruang rapat negara. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa ruangan yang tidak pernah dipakai akan timbul banyak sarang laba-laba. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan bentuk tuturan yang santun, yang mengungkapkan bahwa tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan (Pranowo, 2012:7). Tuturan tersebut juga sesuai dengan cara menyampaikan maksud dengan menerapkan sikap tenggang rasa, yaitu sikap menjaga perasaan mitra tutur agar merasa tidak terancam (Pranowo, 2012:109). Hal ini ditunjukkan penggunaan kalimat berupa pertanyaan retoris, sehingga apa yang ditanyakan, bukan yang dimaksudkan, yaitu menyindir. Karikatur (7) secara jelas memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara menyindir presiden Jokowi yang telah memilih Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Selama menjadi Jaksa Agung, Prasetyo tidak menunjukkan rekam jejak yang menonjol atau pun gebrakan-gebrakan program yang konkret. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Bau partai!.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daya
ancam
berbentuk
sindiran
62
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah para penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah akibat mencium bau yang tidak sedap. Selain itu, salah satu penutur juga sambil menunjuk ke foto Muhammad Prasetyo. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa terpilihnya Prasetyo sebagai Jaksa Agung karena ia berasal dari partai Nasdem yang merupakan salah satu pendukung Jokowi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kesetujuan. Penutur merasa tidak setuju dengan terpilihnya Prasetyo sebagai Jaksa Agung, sehingga tuturan tersebut sengaja ingin memojokkan mitra tutur. Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dengan cara menyindir mitra tutur secara langsung, yaitu bahwa Jaksa Agung yang dipilih Jokowi berasal dari partai Nasdem, yang merupakan partai pendukung Jokowi-JK. Berdasarkan ketujuh contoh daya sindir di atas, dapat disimpulkan bahwa ancaman yang dimunculkan melalui daya sindir mempunyai ciri khas unsur intralingual yang dimunculkan, yaitu berupa kalimat. Penutur yang menyindir menggunakan tuturan yang santun biasanya menggunakan kalimat pertanyaan retoris, yang tidak membutuhkan jawaban. Berbagai pilihan kata yang menyusun suatu kalimat, yang memberikan pujian bagi mitra tutur juga termasuk dalam tuturan yang santun. Misalnya pada DB.KKT,04/10/014 yang sebenarnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
menyindir, tetapi menggunakan kalimat pujian bagi mitra tutur. Kalimat-kalimat pertanyaan retoris yang digunakan menjadi penanda unsur intralingual untuk memunculkan daya sindir yang santun. Selain itu, tuturan berupa sindiran yang tidak santun dimunculkan melalui tuturan langsung yang disampaikan oleh penutur. Biasanya apa yang dikatakan sama dengan yang dimaksudkan. Hal ini terlihat pada tuturan DB.KKT,06/10/014 dan DB.KKT,22/11/014. Unsur ekstralingual berupa fenomena konteks selalu mengikuti tuturan yang diucapkan. Selain itu, unsur ekstralingual daya sindir yang santun dimunculkan melalui tanda-tanda yang bersifat imajiner. Ekspresi wajah dan gerakan tubuh juga selalu menjadi penanda penting unsur ekstralingual untuk memunculkan daya sindir. Jika tuturan sindiran yang diucapkan tidak menimbulkan banyak kerugian bagi mitra tutur, maka tuturan itu terkesan santun. 4.2.1.1.2 Daya Kritik Daya kritik adalah kekuatan suatu bahasa untuk memberikan tanggapan yang mengecam, yang biasanya disertai pertimbangan tentang baik buruknya sesuatu. Kritikan ini bisa berbentuk kritikan secara langsung mau pun tidak langsung. Peneliti menemukan 15 karikatur yang mengandung daya kritik. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Lambatnya pengumuman menteri Jokowi!” (DB.KKT,23/10/014) (Konteks: Jokowi dinilai lamban dalam mengeluarkan pengumuman hasil menterinya.) 2. “Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik!” (DB.KKT,16/11/014) (Konteks : Kasus narkoba semakin marak di berbagai kalangan, bahkan hal ini juga melibatkan dua mahasiswi yang tertangkap sedang pesta sabu-sabu bersama Wakil Rektor Universitas Hasanuddin.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
3. “Sibuk amat komentar. Wong belum kerja sudah dikomentari! Beri kesempatan dulu....” (DB.KKT, 23/11/014) (Konteks : Muncul berbagai komentar negatif tentang Muhammad Prasetyo yang dipilih oleh presiden Jokowi sebagai Jaksa Agung.) 4. “Sepertinya perlu dihukum berat penjual dan pembuat minuman keras oplosan!” (DB.KKT,07/12/014) (Konteks : Pada saat itu, di Indonesia banyak korban meninggal akibat minum minuman keras jenis oplosan.) 5. “Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu?” (DB.KKT,28/12/014) (Konteks : Banyaknya lahan sawah di Indonesia yang dijadikan sebagai perumahan, sehingga import beras semakin meningkat.) Karikatur (1), mencoba memperlihatkan ancaman dengan cara mengkritik secara langsung lambatnya pengumuman hasil menteri Jokowi. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Lambatnya pengumuman menteri Jokowi. Daya
ancam
berbentuk
kritikan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar kura-kura, yang memanggul pengumuman menteri. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa binatang kura-kura merupakan binatang melata yang jalannya sangat lambat, sehingga sangat cocok untuk menggambarkan sesuatu yang lambat. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2005, dalam Pranowo, 2012:103) tentang adu rasa. Di dalam konteks ini penutur tidak mempertemukan perasaannya dengan mitra tutur melalui tuturannya tersebut, sehingga tuturan tersebut hanya dikehendaki oleh pihak penutur. Tuturan tersebut merupakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
bentuk kritik secara langsung, sehingga tuturan dinilai dapat menyinggung perasaan pihak-pihak yang menjadi sasaran kritik. Karikatur (2) mencoba memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara mengkritik kinerja Wakil Rektor Universitas Hasanuddin yang seharusnya dapat menjadi contoh pemimpin yang baik, tetapi justru menunjukkan citra yang buruk. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik. Daya
ancam
berbentuk
kritikan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah tersenyum dari penutur. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa seorang Wakil Rektor seharusnya dapat menjadi contoh pemimpin yang baik. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan sikap tenggang rasa menurut Pranowo (2012:109), yang mengungkapkan bahwa sikap ini diperlihatkan oleh penutur untuk menjaga perasaan agar mitra tutur tidak merasa terancam atas tuturan penutur, yaitu dengan tidak menyebut nama Wakil Rektor yang bersangkutan. Karikatur (3) memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara mengkritik berbagai pihak yang mencari-cari sisi buruk dari Prasetyo. Penutur juga memberikan pertimbangan kepada pihak-pihak terkait untuk memberi kesempatan kerja terlebih dahulu kepada Prasetyo, dan jangan suka berkomentar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
dulu. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat: Sibuk amat komentar. Wong belum kerja sudah dikomentari! Beri kesempatan dulu!. Daya
ancam
berbentuk
kritikan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan yang menunjuk sebagai tanda
mengkritik
pihak-pihak
yang
bersangkutan. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa terpilihnya Prasetyo sebagai Jaksa Agung akan menimbulkan banyak komentar negatif, mengingat Prasetyo berasal dari partai Nasdem, salah satu partai pendukung Jokowi-JK. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Penutur dianggap memberikan keuntungan bagi mitra tutur, karena memberikan masukan melalui kritikannya, yaitu bahwa pihak-pihak terkait harus memberi kesempatan kerja terlebih dahulu kepada Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Karikatur (4) memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara mengkritik penegak peraturan di setiap daerah yang kian melemah, sehingga banyak orang yang dengan leluasa menjual bahkan membuat minuman keras oplosan. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Sepertinya perlu dihukum berat penjual dan pembuat minuman keras oplosan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daya
ancam
berbentuk
kritikan
67
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerak tubuh penutur yang terlihat santai, dengan membuka tangannya sambil tersenyum. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa minuman keras oplosan banyak menelan korban jiwa. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yaitu bahwa tuturan tersebut memberikan keuntungan bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas. Tuturan berupa kritikan tersebut memberikan solusi kepada penegak hukum agar mempertegas peraturan tentang penjual dan pembuat minuman keras oplosan, sehingga tidak banyak masyarakat yang dirugikan dan menjadi korban. Sama halnya dengan karikatur (5) yang juga memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara mengkritik pemerintah agar mempertegas peraturan penggunaan lahan, agar nantinya tidak perlu mengimport beras lagi. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu?. Daya ancam semakin
berbentuk kritikan menjadi
kuat
ekstralingual
ketika
berupa
muncul
ekspresi
penutur sambil tersenyum manis.
unsur
santai dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa semakin banyaknya lahan sawah di Indonesia yang dijadikan sebagai perumahan, sehingga produksi beras dalam negeri menjadi menurun. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yaitu bahwa tuturan tersebut memberikan keuntungan bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas. Tuturan berupa kritikan tersebut memberikan masukan kepada pemerintah agar mengeluarkan peraturan tanah peruntukan, sehingga tidak lagi terjadi peningkatan import beras. Berdasarkan kelima contoh daya kritik di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang mengandung kritikan mempunyai ciri khas struktur kalimatnya, yaitu menggunakan kalimat seruan. Daya kritik tersebut tercermin pada konteks yang ada dalam kalimat-kalimat karikatur di atas. Kalimat-kalimat berupa kritikan tersebut memiliki pesan bagi pihak-pihak terkait. Kadang-kadang juga disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hal. Namun, dalam penyampaiannya, kalimat karikatur yang berupa kritikan ini dapat berupa kalimat santun dan kalimat tidak santun. Penutur yang mengkritik menggunakan tuturan yang santun biasanya ia menyampaikan kritikannya disertai dengan solusi atau pun masukan yang menguntungkan bagi mitra tutur mau pun pihak-pihak terkait. Kritik yang disampaikan penutur juga bersifat terbuka, tanpa didorong rasa emosi, dengan cara penutur menyampaikan kritikan dengan ekspresi yang sangat halus, misalnya dengan tersenyum. Hal ini terlihat pada DB.KKT,28/12/014; DB.KKT,07/12/014; dan DB.KKT,16/11/014. Tuturan berupa kritikan yang tidak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
santun dapat dilihat melalui tuturan langsung yang disampaikan oleh penutur. Biasanya apa yang dikatakan sama dengan yang dimaksudkan. Hal ini terlihat pada tuturan DB.KKT,23/10/014 dan DB.KKT, 23/11/014. Unsur ekstralingual berupa fenomena konteks selalu mengikuti tuturan yang diucapkan. Ekspresi wajah dan gerakan tubuh juga selalu menjadi penanda penting unsur ekstralingual untuk memunculkan daya kritik yang santun mau pun yang tidak santun. 4.2.1.1.3 Daya Ejek Daya ejek adalah kekuatan suatu bahasa untuk mengolok-olok atau menertawakan seseorang. Ejekan ini bisa berbentuk ejekan langsung mau pun ejekan tidak langsung. Peneliti menemukan 8 karikatur yang mengandung daya ejek. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Salam gigit jari pak!” (DB.KKT,02/09/014) (Konteks : Kabinet Jokowi-JK harus segera menentukan menteri-menterinya. Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar akan gigit jari apabila PKB tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK.) 2. “Ditinggal ya, bu?” (DB.KKT,06/09/014) (Konteks: PDIP menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mencalonkan Rismaharini lagi untuk Pilkada Surabaya 2015.) 3. “Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang! Haha..” (DB.KKT,09/09/014) (Konteks: Munculnya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, sehingga UU Pilkada langsung akan dihilangkan. 4. “Suka bohong yaa?” (DB.KKT,11/10/014) (Konteks : Sejumlah anggota Fraksi Demokrat, yang diketuai oleh SBY walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada.) 5. “Berani nggak?” (DB.KKT,29/11/014) (Konteks : Kisruh Golkar semakin memanas. Kubu Agung Laksono kembali menantang untuk melaksanakan Munas tandingan.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
Karikatur (1) memperlihatkan ancaman yang dilakukan dengan cara mengejek Muhaimin Iskandar selaku ketua umum PKB yang tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK. Daya ejek tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Salam gigit jari pak!. Daya ancam berbentuk ejekan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang menggigit jarinya untuk menirukan ekspresi Muhaimin Iskandar yang gagal mendapatkan kursi menteri di kabinet Jokowi-JK. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar akan gigit jari apabila PKB tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Tuturan tersebut justru memaksimalkan rasa tidak senangnya pada mitra tutur, sehingga tuturan yang digunakan berupa tuturan ejekan secara langsung, sekaligus menirukan gaya orang yang diejeknya, yaitu dengan menggigit jari. Karikatur (2) memperlihatkan ancaman dengan cara mengejek Tri Rismaharini yang tidak lagi dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk Pilkada Surabaya 2015, karena dianggap jalan sendiri. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Ditinggal ya, bu?.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
Daya ancam berbentuk ejekan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar banteng sebagai lambang PDIP yang melirikkan
matanya
sambil
berjalan
jauh
meninggalkan Tri Rismaharini. Selain itu, juga ditandai oleh ekspresi penutur yang memelototkan matanya sambil melongo. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Tri Rismaharini tidak layak lagi menjadi kepala daerah. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena melanggar indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:103) tentang angon rasa. Tuturan tersebut dianggap tidak memperhatikan suasana hati mitra tutur yang sedang bersedih karena tidak dicalonkan kembali menjadi kepala daerah, sehingga tuturan tersebut dapat membuat hati mitra tutur menjadi tidak berkenan. Sama halnya dengan karikatur (3), yang memperlihatkan ancaman dengan cara mengejek Koalisi Jokowi yang mendukung pilkada langsung, yang otomatis akan kalah jika UU Pilkada oleh DPRD disahkan. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang. Haha.. Daya ancam berbentuk ejekan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa lirikan mata tajam Prabowo sambil tertawa, yang optimis menang dan akan mengusung banyak kepala daerah jika Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah disahkan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
yaitu pemilihan oleh DPRD. Kondisi terbalik akan dirasakan oleh Koalisi Jokowi yang hanya akan mengusung sedikit kepala daerah jika UU pilkada oleh DPRD disahkan. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pilkada oleh DPRD akan memenangkan kubu Prabowo. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kerendahan hati. Penutur justru memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri, karena ia merasa percaya diri. Karikatur (4) memperlihatkan ancaman dengan cara mengejek Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono yang plintat-plintut dalam menanggapi kontroversi pelaksanaan pilkada. Di dalam pidatonya di acara pembukaan Bali Democrary Forum (BDF), beliau menegaskan mendukung pilkada langsung sebagai wujud kedaulatan rakyat. Namun, pada kenyataannya partai Demokrat ini memilih walkout di parlemen saat voting UU Pilkada. BDF ini dianggap hanya sebagai media yang dapat mengembalikan nama baik SBY setelah bersikap walkout. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Suka bohong yaa?. Daya
ancam
semakin
kuat
berbentuk ketika
ejekan muncul
menjadi unsur
ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang berbicara sambil tertawa, dan gambar hidung SBY yang memanjangakibat dari kebohongannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa hidung
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
mancung mengingatkan pada tokoh pinokio yang apabila berbohong, hidungnya akan bertambah panjang. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena dianggap melanggar indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini, penutur justru memaksimalkan rasa tidak senangnya kepada mitra tutur (SBY) yang dianggap suka berbohong dengan memainkan skenario-skenario politik. Karikatur (5) memperlihatkan ancaman dengan cara mengejek dari kubu Agung Laksono yang kembali menantang Ical dalam Munas tandingan. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Berani nggak?. Daya
ancam
semakin
kuat
berbentuk ketika
ejekan muncul
menjadi unsur
ekstralingual berupa kerutan dahi dari Agung Laksono sambil menurunkan jempolnya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa kisruh internal Golkar semakin memanas. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena dianggap berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini, penutur justru memaksimalkan rasa tidak senangnya kepada mitra tutur (Ical) akibat masalah internal tentang Musyawarah Nasional Golkar, sehingga tuturan tersebut dimaksudkan untuk menantang mitra tutur. Tuturan tersebut juga terkesan dikemukakan secara emosional, yaitu bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
penutur terkesan tidak terima dengan hasil Munas Golkar yang dilaksanakan di Bali, yang menunjuk Ical sebagai ketua umum Golkar. Berdasarkan kelima contoh daya ejek di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang dapat memunculkan daya ejek ialah kalimat. Kalimatkalimat berupa ejekan sebenarnya juga memiliki pesan bagi pihak-pihak terkait, yang
dilakukan
dengan
cara
menyindir
sambil
mengolok-olok
atau
menertawakan. Daya ejek ini merupakan bentuk tuturan yang tidak santun. Daya ejek mempunyai ciri khas yang menonjol pada unsur ekstralingualnya. Bahasa tubuh yang ditunjukkan memperlihatkan cara berbahasa yang tidak santun. Misalnya dengan menurunkan jempol, lirikan mata tajam sambil tertawa. 4.2.1.1.4 Daya Peringatan Daya peringatan adalah kekuatan suatu bahasa untuk memperingatkan seseorang. Peringatan ini bisa berbentuk peringatan langsung mau pun peringatan tidak langsung. Di dalam penelitian ini, peneliti hanya menemukan 1 karikatur yang mengandung daya peringatan. Data tersebut yaitu: “Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti...” (KKT,21/12/014) (Konteks : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa mengunakan izin.) Karikatur tersebut
mencoba memperlihatkan ancaman dengan cara
memberi peringatan bagi para nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti!.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
Daya ancam berbentuk peringatan menjadi semakin
kuat
ketika
muncul
unsur
ekstralingual berupa ekspresi marah penutur, dengan melotot sambil menunjuk-nunjuk di depan wajah mitra tutur, yaitu nelayan asing. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia tanpa izin. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang sikap hormat. Penutur tidak bisa memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih tinggi karena tuturan yang digunakan mengandung makian, sehingga ekspresi yang ditunjukkan pun terlihat sebagai ekspresi orang yang kasar. Tuturan tersebut terkesan dikemukakan secara emosional, bahwa penutur marah karena ada nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Unsur intralingual yang dimunculkan melalui daya peringatan ialah kalimat. Santun dan tidaknya tuturan yang berupa peringatan dapat terlihat jelas melalui unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang ditunjukkan. Jika ekspresi seperti orang marah dan terkesan emosional, maka tuturan tersebut akan terkesan tidak santun.
4.2.1.2 Daya Paksa Daya paksa adalah kekuatan suatu bahasa yang digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan atau menyampaikan pesan melalui paksaan atau desakan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
yang berupa kegiatan mengajak, meminta, mengimbau, dan melarang. Berkaitan dengan karikatur, daya paksa dapat digunakan untuk menyampaikan pesan secara langsung mau pun tidak langsung. Biasanya, daya paksa ini merupakan kalimatkalimat perintah. Daya paksa pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 13 karikatur. Data tersebut meliputi: 4.2.1.2.1 Daya Ajak Daya ajak adalah kekuatan suatu bahasa untuk memberikan anjuran agar seseorang melakukan sesuatu. Peneliti menemukan 8 karikatur yang mengandung ajakan. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Katakan tidak! Pada korupsi. Tidak! Tidak! Tidak! (DB.KKT,07/09/014) (Konteks: Indonesia banyak terjadi kasus korupsi yang sangat sulit untuk diberantas, bahkan korupsi itu sampai melibatkan para pejabat) 2. “Ayo, musnahkan ISIS!!” (DB.KKT,25/09/014) (Konteks : Semakin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), terutama di Amerika.) 3. “Mari kita berbelasungkawa atas meninggalnya demokrasi rakyat...!” (DB.KKT,28/09/014) (Konteks: Munculnya tanggapan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, bukan lagi melalui pemilihan langsung.) 4. “Sudah siap semuaaa... Ayo tancap gas!” (DB.KKT,27/10/014) (Konteks : Seluruh Menteri Presiden Jokowi dalam kabinet kerja diharapkan langsung menjalankan tugasnya.) Karikatur (1) memperlihatkan
paksaan
yang dilakukan dengan cara
mengajak semua masyarakat untuk mengatakan tidak pada korupsi. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Katakan tidak! Pada korupsi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
Daya paksa berbentuk ajakan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan melambaikan tangan sebagai isyarat bahwa korupsi tidak pantas untuk ditiru, dan menurunkan jempol sebagai isyarat bahwa korupsi itu bukanlah perbuatan yang baik. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa semakin maraknya tindak korupsi di Indonesia, bahkan melibatkan para pejabat. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yaitu bahwa tuturan tersebut memberikan keuntungan bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas. Tuturan tersebut memberikan keuntungan bahwa seluruh masyarakat diajak untuk tidak melakukan tindak korupsi seperti yang telah dilakukan oleh para pejabat. Karikatur (2) memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara mengajak untuk memusnahkan ISIS sebagai tanggapan atas tersebarnya video yang diunggah di youtube yang memperlihatkan seorang wartawan asal negara Amerika Serikat, James Foley yang dipenggal dengan sebilah pisau oleh anggota gerakan ISIS. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : ayo. Daya paksa berbentuk ajakan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa alat
pemusnah
menyingkirkan
sebagai gerakan
tanda ISIS.
untuk Unsur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa ISIS adalah kelompok yang kejam, dan harus segera disingkirkan. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yaitu bahwa tuturan tersebut memberikan keuntungan bagi masyarakat luas. Tuturan tersebut memberikan keuntungan bahwa apabila ISIS berhasil dimusnahkan, maka kelangsungan hidup masyarakat akan lebih aman dan damai. Karikatur (3) memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara mengajak semua rakyat Indonesia untuk ikut berduka cita atas matinya suara rakyat, karena munculnya RUU Pilkada oleh DPRD. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : mari. Daya paksa berbentuk ajakan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi sedih dengan memejamkan mata sambil mengepalkan kedua tangannya seperti orang yang sedang mengheningkan cipta, sebagai ajakan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk ikut berdukacita atas matinya suara rakyat. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Pilkada oleh DPRD merupakan perwujudan kepentingan golongan saja. Tuturan tersebut juga dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan penggunaan diksi yang santun (Pranowo, 2012:104), yaitu penutur menggunakan pilihan kata yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
halus, seperti : berbelasungkawa, meninggal. Sikap yang ditunjukkan pun terkesan santun. Sama halnya dengan karikatur (4) yang juga memperlihatkan paksaan dengan cara mengajak menteri-menteri Jokowi untuk segera tancap gas dan mengerjakan tugas-tugasnya. Diksi ayo bermakna sebagai kata seru untuk mengajak atau memberikan dorongan. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : ayo. Daya paksa berbentuk ajakan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa senyuman sambil mengepalkan tangannya sebagai tanda memberi semangat. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Jokowi merupakan seorang yang bertanggung jawab, sehingga akan terbentuk pula kabiner kerja yang bertanggung jawab. Tuturan tersebut juga dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai indikator kesantunan Pranowo (2012:104) tentang sikap tepa selira. Ajakan kepada mitra tutur tersebut juga dirasakan oleh penutur, sehingga mitra tutur terlihat tertarik dengan cara penutur menyampaikan pesan. Penutur dan mitra tutur berada dalam konteks yang sama. Berdasarkan keempat contoh daya ajak di atas, dapat disimpulkan bahwa paksaan melalui daya ajakan mempunyai ciri khas yang menonjol pada unsur intralingual dan unsur ekstralingualnya. Unsur intralingual yang dimunculkan pada daya ajak berupa diksi dan kalimat. Diksi „ayo‟ dan „mari‟ merupakan kata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
seru untuk menyatakan ajakan. Tuturan karikatur berupa ajakan ini merupakan tuturan yang santun. Unsur ekstralingual berupa bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang ditunjukkan dapat memperlihatkan cara berbahasa yang santun. Misalnya memejamkan mata sambil mengepalkan kedua tangan menjadi penanda daya ajakan yang santun. Hal yang sama juga ditunjukkan pada DB.KKT,07/09/014 dan DB.KKT,27/10/014. Tuturan yang mengandung daya ajak ini selalu memberikan keuntungan bagi masyarakat pada umumnya, sehingga merupakan tuturan yang santun. 4.2.1.2.2 Daya Meminta Daya meminta adalah kekuatan suatu bahasa dengan tujuan supaya diberi atau mendapat sesuatu. Peneliti hanya menemukan 3 karikatur yang mengandung permintaan. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Tunggu, ikut!” (DB.KKT,20/09/014) (Konteks: SBY, sebagai wakil partai Demokrat berubah sikap, ketika dulu sempat mendukung Pilkada melalui DPRD, kini kembali mendukung Pilkada langsung.) 2. “Tolong selamatkan kami!” (DB.KKT,18/11/014) (Konteks : Kebutuhan gula rafinasi impor di Indonesia semakin meningkat, bahkan gula rafinasi kini telah menjalar ke rumah tangga dengan harga yang relatif murah.) 3. “Tunggu, STOP dulu! ” (DB.KKT,26/11/014) (Konteks: Terjadinya perseteruan DPR yang kian memanas antara koalisi dengan koalisi, sehingga Jokowi meminta menterinya untuk menunggu perseteruan itu selesai terlebih dahulu, baru memenuhi undangan DPR.)
Karikatur (1) mencoba memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara menyampaikan permintaan dari partai Demokrat kepada PKB, PDIP, dan Partai Hanura untuk kembali bergabung dan mendukung dilaksanakannya Pilkada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
langsung. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Tunggu, ikut!. Daya paksa berbentuk permintaan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa
lambaian
tangan
penutur
(kubu
Demokrat) sebagai isyarat memanggil sambil berlari mengejar kubu pendukung pilkada langsung sebagai isyarat untuk meminta kembali bergabung. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Demokrat tidak mempunyai pendirian dalam menghadapi kontroversi pelaksanaan pilkada. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini penutur dianggap lebih memaksimalkan keuntungan pribadinya, tanpa melihat seberapa tingkat kerugian yang dirasakan rakyatnya ketika penutur tidak lagi mendengarkan hak suara rakyat. Berbeda dengan karikatur (2) yang mencoba memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara menyampaikan permintaan secara halus. Permintaan tersebut disampaikan oleh petani tebu agar pemerintah menghentikan impor gula rafinasi demi menyelamatkan industri gula nasional. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : tolong. Daya paksa berbentuk permintaan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (seorang petani tebu) yang tercengang akibat semakin meningkatnya impor gula rafinasi di Indonesia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain
itu,
ekspresi
wajah
penutur
82
juga
menunjukkan kesedihan karena tebu yang mereka tanam menjadi tidak laku. Unsur ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan
melalui fenomena praanggapan bahwa meningkatnya permintaan gula rafinasi akan merugikan petani tebu di Indonesia. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan pemakaian diksi yang dapat mencerminkan rasa santun (Pranowo, 2012:104). Pemakaian kata „tolong‟ di atas terasa lebih santun. Karikatur (3) mencoba memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara menyampaikan permintaan dari Jokowi agar menteri jangan bertemu dan memenuhi panggilan DPR terlebih dahulu, sebelum DPR menyelesaikan konflik internal mereka. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Tunggu, STOP dulu!. Daya paksa berbentuk permintaan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa pemberian lambang STOP dari presiden Jokowi bagi menterinya, sebagai tanda untuk berhenti dan bersedia menunggu terlebih dahulu. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa perseteruan internal DPR kian memanas. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Tuturan tersebut dianggap memberikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
keuntungan bagi mitra tutur karena penutur mengingatkan mitra tutur agar tidak masuk dalam perseteruan yang sedang terjadi. Berdasarkan ketiga contoh daya meminta di atas, dapat disimpulkan bahwa daya paksa yang mencoba menyampaikan maksud dengan cara meminta dapat dimunculkan melalui unsur intralingual dan ekstralingual. Unsur intralingual yang ditunjukkan oleh daya meminta berupa diksi dan kalimat. Kalimat-kalimat berupa permintaan
memiliki
pesan
bagi
pihak-pihak
terkait.
Namun,
dalam
penyampaiannya, tuturan karikatur berupa permintaan ini dapat berupa tuturan santun dan tuturan tidak santun. Paksaan melalui daya meminta mempunyai ciri khas struktur kalimatnya. Berbagai pilihan kata yang halus dapat menjadi unsur intralingual tuturan yang santun. Misalnya pemakaian kata „tolong‟ pada DB.KKT, 18/11/014 terasa lebih santun daripada tuturan DB.KKT,26/11/014 yang menggunakan tuturan langsung. 4.2.1.2.3 Daya Imbauan Daya imbauan adalah kekuatan suatu bahasa sebagai suatu permintaan berupa seruan. Peneliti menemukan 3 karikatur yang mengandung imbauan. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Hati-hati, Ebola merajalela!” (DB.KKT,13/10/014) (Konteks : Munculnya virus Ebola yang semakin menyebar ke seluruh dunia, dan dianggap sebagai virus yang mematikan.) 2. “Persiapan sebelum musim hujan” (DB.KKT,24/11/014) (Konteks : Di musim kemarau Jakarta selalu dilanda bencana banjir, terutama di bulan November-Desember.) 3. “Hati-hati dan berwaspadalah!” (DB.KKT,05/12/014) (Konteks : Pada saat itu, marak terjadi aksi perampokan di taksi, bahkan mereka menggunakan taksi yang menyerupai taksi dari perusahaan Express Group.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
Karikatur (1) mencoba memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dan waspada terhadap penyebaran virus Ebola, yang dengan mudah akan menyebar ke seluruh dunia. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : hati-hati. Daya
paksa
berbentuk
imbauan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar virus Ebola yang lebih besar, melebihi dunia, sebagai tanda bahwa Ebola akan mudah menyebar ke seluruh dunia. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa virus Ebola adalah virus berbahaya yang mematikan. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan maksim kebijaksanaan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), yaitu memberikan keuntungan bagi mitra tutur, bahwa mereka harus berhati-hati akan menyebarnya virus Ebola. Karikatur (2) mencoba memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara memberikan imbauan secara tidak langsung, yaitu agar masyarakat Jakarta melakukan berbagai persiapan sebelum banjir datang di bulan NovemberDesember. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Persiapan sebelum musim hujan. Daya
paksa
berbentuk
imbauan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa berbagai persiapan peralatan yang telah dilakukan
masyarakat,
seperti
payung,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
pelampung, dan oksigen sebagai tanda untuk mewaspadai datangnya banjir. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banjir di Jakarta selalu datang di bulan November-Desember. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan maksim kebijaksanaan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), yaitu memberikan keuntungan bagi mitra tutur, bahwa mitra tutur dihimbau untuk berhati-hati dan berwaspada apabila banjir datang sewaktu-waktu. Sama halnya dengan karikatur (3) yang juga mencoba memperlihatkan paksaan yang dilakukan dengan cara mengimbau kepada masyarakat yang hendak bepergian menggunakan taksi, agar lebih berhati-hati, karena banyak terjadi kasus perampokan di taksi. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Hati-hati dan berwaspadalah. Daya
paksa
berbentuk
imbauan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa sikap penumpang yang menggunakan perhiasan mewah dan tas. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa sopir taksi akan mengincar penumpang yang berpenampilan layaknya orang kaya, sehingga masyarakat dihimbau untuk tidak memakai barang-barang mewah ketika hendak bepergian, karena akan menjadi sasaran para sopir taksi palsu. Selain itu, penumpang juga harus bisa membedakan taksi yang asli dan palsu. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan maksim kebijaksanaan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), yaitu memberikan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
keuntungan bagi mitra tutur, bahwa mereka harus berhati-hati ketika hendak menggunakan kendaraan taksi. Berdasarkan ketiga contoh daya paksa di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur di atas mengandung daya paksa yang mencoba menyampaikan maksud dengan cara mengimbau. Unsur intralingual yang dimunculkan melalui daya paksa berupa diksi dan kalimat. Kalimat-kalimat berupa imbauan tersebut biasanya berbentuk kalimat seruan yang memiliki pesan bagi pembaca. Paksaan yang ditunjukkan melalui daya imbauan dapat terlihat melalui pilihan katanya, yaitu menggunakan kata „hati-hati‟ dan „berwaspadalah‟. Perhatikan contoh berikut ini : Hati-hati, Ebola merajalela!” (DB.KKT,13/10/014); Hati-hati dan berwaspadalah!” (DB.KKT,05/12/014). Pilihan kata tersebut menjadi ciri khas penanda unsur intralingual daya imbauan. Unsur ekstralingual juga terlihat melalui fenomena konteks mau pun bahasa tubuh dan tanda-tanda yang ditunjukkan. Tuturan yang mengandung daya imbauan selalu merupakan bentuk tuturan yang santun, karena selalu memberikan keuntungan bagi mitra tutur mau pun bagi masyarakat luas, dan apa yang diimbaukan tersebut mempunyai manfaat bagi mitra tutur. 4.2.1.2.4 Daya Larangan Daya larangan adalah kekuatan suatu bahasa yang merupakan perintah untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan alasan tertentu. Di dalam penelitian ini, hanya ditemukan 1 karikatur yang mengandung daya larangan. Data tersebut yaitu:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
“Khusus motor, dilarang melintas!” (DB.KKT,18/12/014) (Konteks : Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat.)
Karikatur tersebut mencoba memperlihatkan paksaan dengan cara memberi larangan bagi pengguna sepeda motor untuk tidak melintasi jalan MH Thamrin. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : dilarang. Daya
paksa
berbentuk
larangan
menjadi
semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar tanda “STOP” dengan tulisan “KHUSUS MOTOR” yang dipasang di jalan utama MH Thamrin. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa biasanya sepeda motor boleh melintas di jalan MH Thamrin. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Tuturan tersebut dianggap merugikan mitra tutur, khususnya para pengguna sepeda motor. Berdasarkan contoh daya paksa di atas, dapat disimpulkan bahwa paksaan melalui daya larangan dapat dilihat melalui unsur ekstralingual berupa konteks mau pun bahasa tubuh mitra tutur akibat fenomena konteks itu. Unsur intralingual daya larangan dimunculkan melalui diksi: „dilarang‟, yang berarti tidak diperbolehkan. Santun dan tidaknya tuturan yang mengandung daya larangan dapat terlihat melalui seberapa tingkat keuntungan yang dirasakan oleh mitra
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
tutur. Semakin tinggi tingkat keuntungan yang dirasakan oleh mitra tutur, maka tuturan akan terasa semakin santun. 4.2.1.2.5 Daya Suruh Daya suruh adalah kekuatan suatu bahasa yang merupakan perintah untuk melakukan suatu perbuatan dengan alasan tertentu. Di dalam penelitian ini, peneliti hanya menemukan 1 karikatur yang mengandung daya suruh. Data tersebut yaitu: “PERGI!” (DB.KKT,04/11/014) (Konteks : Terjadi konflik seputar persepakbolaan Indonesia. PSSI memberhentikan Indra Sjafri sebagai pelatih tim Nasional sepak bola U19.) Tuturan karikatur tersebut mencoba memperlihatkan paksaan dengan cara menyuruh Indra Sjafri untuk turun jabatan. Daya paksa tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Pergi!. Daya paksa berbentuk suruhan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang menunjuk mitra tutur, sebagai tanda mengusir. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa PSSI akan menindak tegas seputar konflik persepakbolaan di Indonesia. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang sikap hormat. Di dalam konteks ini, penutur tidak memposisikan mitra tutur di tempat yang lebih tinggi. Penutur justru ingin menjatuhkan mitra tutur melalui tuturannya yang dimaknai mengusir mitra tutur. Ketidaksantunan ini lebih
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
diperkuat dengan cara penutur menyampaikan maksud melalui unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang menunjuk mitra tutur. Berdasarkan contoh daya paksa di atas, dapat disimpulkan bahwa paksaan melalui daya suruh dimunculkan melalui unsur ekstralingual berupa konteks mau pun bahasa tubuh mitra tutur akibat fenomena konteks itu. Unsur intralingual daya suruh dimunculkan melalui kalimat. Santun dan tidaknya tuturan yang mengandung daya larangan dapat dilihat melalui seberapa tingkat keuntungan yang dirasakan oleh mitra tutur. Semakin tinggi tingkat keuntungan yang dirasakan oleh mitra tutur, maka tuturan akan terasa semakin santun.
4.2.1.3 Daya Kabar Daya kabar adalah kekuatan suatu kalimat yang digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan atau menyampaikan pesan karikatur dengan cara memberi penegasan dan memberi tahu atau mengabarkan. Berkaitan dengan karikatur, daya kabar digunakan agar pembaca atau responden dapat mengerti mengenai makna yang dimaksudkan. Daya kabar pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 11 karikatur. Data tersebut meliputi: 4.2.1.3.1 Daya Penegasan Daya penegasan adalah kekuatan suatu bahasa untuk memperjelas atau mempertegas suatu makna dalam sebuah keterangan yang digunakan agar pembaca lebih mengerti maksud yang ingin disampaikan dalam suatu karikatur. Peneliti menemukan 10 karikatur yang mengandung daya penegasan. Data tersebut disajikan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
1. “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang secara berulang." (DB.KKT,24/09/014) (Konteks : Tuturan diucapkan di pengadilan oleh hakim kepada Anas Urbaningrum yang terlibat dalam korupsi proyek Hambalang.) 2. “Sepandai-pandainya kamu bersembunyi, pasti akan tertangkap juga!!” (DB.KKT,10/10/014) (Konteks : Akhirnya pada waktu itu, KPK berhasil menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam kasus Hambalang.) 3. “Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu!” (DB.KKT,09/12/014) (Konteks : Sejumlah sekolah dinilai belum siap menerima kurikulum 2013. Banyak guru yang merasa kesulitan menerapkan dan memberi penilaian terhadap siswa.) 4. “Saya akan menindak tegas!” (DB.KTT,13/12/014) (Konteks : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin.) 5. “Siap memberantas!!” (DB.KKT,29/12/014) (Konteks : Negara Islam dan Suriah (ISIS) sudah menyebar ke Indonesia. Semakin banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS.) Kelima contoh karikatur di atas mengandung daya kabar yang mencoba menyampaikan maksud dengan tegas. Daya paksa tersebut tercermin pada konteks yang ada dalam kalimat-kalimat karikatur di atas. Contoh karikatur (1) mencoba memperlihatkan penegasan bahwa mitra tutur (Anas) telah terbukti terlibat kasus korupsi. Hal ini disampaikan oleh hakim di meja hijau. Daya kabar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa : terbukti secara sah. Daya kabar berbentuk penegasan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ketukan palu di meja hijau sebagai tanda bahwa keputusan sudah disahkan dan tidak dapat diganggu gugat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Unsur
ekstralingual
berupa
91
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa KPK telah menetapkan Anas sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) yang mengungkapkan bahwa penutur harus bisa membangun sikap angon rasa, yaitu mampu memperhatikan suasana hati atau menjaga perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra
tutur
berkenan
(Pranowo,
2012:103).
Karikatur
tersebut
telah
menyampaikan informasi yang didukung oleh data dan realita, serta waktu penyampaiannya juga tepat, yaitu dengan memanfaatkan situasi di forum persidangan. Selain itu, diksi : terdawa yang digunakan penutur terkesan santun, karena tidak menyebut nama orang yang didakwa secara langsung. Contoh karikatur (2) mencoba menegaskan bahwa KPK pasti akan berhasil menangkap para koruptor. Daya kabar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa : pasti akan tertangkap juga. Daya kabar berbentuk penegasan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar pipa yang dihubungkan ke keran. Keran sebagai sumber air ditandai sebagai sumber kasus Hambalang, yang kemudian menyebar luas yang ditandai dengan aliran air ke pipa. Selain itu, gambar pipa yang ruwet dengan ujungnya terdapat gambar borgol menjadi tanda bahwa bagaimanapun usaha tersangka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
untuk menyembunyikan kasus itu, pasti akan terbongkar dan tertangkap juga. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang empan papan. Tuturan tersebut telah menyampaikan informasi berdasarkan realita dan waktu yang tepat, yaitu para koruptor kasus hambalang berhasil ditangkap. Karikatur (3) mencoba menegaskan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah, Anies Rasyid Baswedan telah membatalkan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sejumlah sekolah yang dinilai belum siap menerima kurikulum tersebut. Daya kabar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu. Daya kabar berbentuk penegasan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa pemberian gembok di buku kurikulum 2013. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa gembok dipersepsi sebagai alat untuk mengunci. Di dalam konteks ini gembok dimaksudkan untuk mengunci atau menutup Kurikulum 2013 terlebih dahulu dengan melakukan evaluasievaluasi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (1983), yaitu maksim kerendahan hati, dengan cara meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan berani mengakui kelemahannya, sehingga akan dilaksanakan evaluasi terlebih dahulu. Karikatur (4) mencoba menyampaikan kabar dengan cara memberikan penegasan bahwa Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti akan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
menindak tegas bagi nelayan asing yang masih menangkap ikan di laut Indonesia. Daya kabar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Saya akan menindak tegas. Daya kabar berbentuk penegasan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata peledak, sebagai akibat atas apa yang dituturkannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Susi Pudjiastuti merupakan seorang yang bertanggung jawab, walaupun penampilan yang ditunjukkan terkesan tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang Menteri. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena maksud yang disampaikan sesuai dengan indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yaitu memberi keuntungan bagi banyak orang, dengan maksud agar nelayan asing merasa takut untuk masuk ke wilayah lautan Indonesia. Karikatur (5) mencoba menyampaikan kabar dengan cara memberikan penegasan bahwa kepolisian RI akan mengawasi orang yang keluar-masuk Indonesia, dan menindak tegas orang yang terbukti bergabung dengan organisasi ISIS. Daya kabar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Siap memberantas. Daya kabar berbentuk penegasan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
ekstralingual berupa ekspresi penutur yang terlihat serius, dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata untuk memberantas penyebaran ISIS. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa ISIS merupakan organisasi yang kejam, dan saat ini mulai menyebar di Indonesia. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena maksud yang disampaikan sesuai dengan maksim kebijaksanaan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), yaitu bahwa tuturan tersebut memberi keuntungan bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas agar tidak terjerumus masuk ke kelompok ISIS. Berdasarkan kelima contoh daya penegasan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan daya penegasan ialah klausa dan kalimat. Namun unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah tidak selalu ditemukan. Hal ini dikarenakan karikatur yang merupakan daya penegasan lebih banyak memanfaatkan tanda-tanda visual sebagai metode permainan gambar. Daya penegas yang ditemukan dalam tuturan Karikatur Koran Tempo ini selalu merupakan bentuk tuturan yang santun. Hal ini dikarenakan tuturan selalu memberikan keuntungan kepada mitra tutur, mau pun masyarakat luas. 4.2.1.3.2 Daya Informatif Daya informatif adalah kekuatan suatu bahasa untuk memberitahukan sebuah informasi yang harus diterima mitra tutur mau pun pembaca. Hal ini bertujuan agar mitra tutur mau pun pembaca mengetahui akan adanya hal yang terjadi. Peneliti hanya menemukan 1 karikatur yang mengandung daya informatif. Data tersebut yaitu:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
“Sebelum pak Jokowi ngumumin kabinet, kita harus sudah keluar loh pak.” (DB.KKT,24/10/014) (Konteks : Kompleks perumahan Widya Candra di Jakarta Selatan dikenal sebagai perumahan yang elite dan menjadi rumah dinas para menteri yang melakukan tindak korupsi.) Karikatur tersebut mencoba mengabarkan dengan cara memberi informasi kepada suaminya bahwa mereka harus segera pindah dari perumahan Widya Candra, sebelum pak Jokowi mengumumkan kabinetnya. Karena sebelumnya KPK telah menetapkan Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga tinggal di kompleks perumahan Widya Candra menjadi tersangka dua kasus dugaan suap sengketa Pilkada. Daya kabar dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Sebelum pak Jokowi ngumumin kabinet, kita harus sudah keluar loh pak. Daya informatif menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar koper dan kardus-kardus sebagai tanda bahwa mereka akan segera kabur. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa kompleks perumahan Widya Candra merupakan perumahan elite dan menjadi rumah dinas para menteri yang selalu melakukan tindak korupsi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yaitu bahwa tuturan dapat memberikan keuntungan bagi mitra tutur. Di dalam konteks ini ialah mitra tutur diuntungkan karena telah diingatkan oleh penutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
Daya informasi memiliki ciri khas yakni tuturannya memberikan keuntungan bagi mitra tutur sehingga tuturan yang mengandung daya informasi dipersepsi santun.
4.2.1.4 Daya Penolakan Daya penolakan adalah kekuatan suatu bahasa untuk menolak suatu hal. Berkaitan dengan karikatur, daya penolakan digunakan untuk membantah mau pun mengungkapkan pesan karena munculnya ketidaksetujuan dari pihak terkait. Daya penolakan pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 8 karikatur. Data tersebut meliputi: 4.2.1.4.1 Daya Ketidaksetujuan Daya ketidaksetujuan adalah kekuatan suatu bahasa yang timbul karena adanya keadaan yang tidak cocok. Peneliti menemukan 7 karikatur yang mengandung daya ketidaksetujuan. Data tersebut akan disajikan sebagai berikut. 1. “Lain kali saja!!!” (DB.KKT,16/10/014) (Konteks : Ahok harus memilih satu calon wakil gubernur DKI Jakarta yang bebas korupsi, yang telah diajukan oleh partai pengusung dalam pilkada, yaitu partai PDIP dan Gerindra.) 2. “Apa-apaan ini!!” (DB.KKT,13/11/014) (Konteks : Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat.) 3. “Saya tidak setuju!” (DB.KKT,06/12/014) (Konteks : Masyarakat mengecam pengesahan UU pilkada DPRD, sehingga SBY mengeluarkan perpu pilkada langsung, yang ternyata juga menimbulkan kontroversi.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
Contoh Karikatur (1) mencoba memperlihatkan penolakan dari Ahok yang tidak setuju atas sikap Gerindra yang menunjuk Muhammad Taufik sebagai calon wakil gubernur. Daya penolakan tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Lain kali saja!. Daya
penolakan
berbentuk
ketidaksetujuan
menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual
berupa
sikap
Ahok
yang
membelakangi Muhammad Taufik, dan lebih tertarik dengan calon gubernur yang diajukan oleh partai PDIP. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa calon wakil gubernur yang ditunjuk oleh partai Gerindra, yaitu Muhammad Taufik merupakan mantan terpidana kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2014. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini, penutur menunjukkan rasa tidak senangnya kepada mitra tutur, sehingga juga menunjukkan sikap yang kurang santun ketika melakukan tindak komunikasi, yaitu dengan membelakangi mitra tutur. Karikatur (2) mencoba memperlihatkan penolakan berupa ketidaksetujuan para pengguna sepeda motor, akibat diberlakukannya larangan untuk tidak melintasi Bundaran HI. Daya penolakan tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Apa-apaan ini!!.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
Daya penolakan berbentuk ketidaksetujuan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan memelototkan matanya ketika melihat adanya tanda “STOP” ketika hendak melewati Bundaran HI. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa munculnya larangan tersebut dinilai diskriminatif, karena mobil diperbolehkan melintas, padahal kedua kendaraan ini sama-sama membayar pajak kendaraan bermotor. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kesetujuan. Di dalam konteks ini penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Rasa emosi tersebut dimunculkan melalui unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang memelototkan mata. Karikatur (3) mencoba memperlihatkan penolakan berupa ketidaksetujuan Golkar terhadap perpu pilkada langsung, yang telah menjadi salah satu poin keputusan Munas di Bali yang harus dijalankan oleh Aburizal Bakrie. Daya penolakan tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Saya tidak setuju!. Daya penolakan berbentuk
ketidaksetujuan
menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah tersenyum dari Aburizal Bakrie sambil merobek Perpu Pilkada Langsung yang dibuat oleh SBY. Unsur ekstralingual berupa konteks
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Aburizal Bakrie akan menjalankan hasil ke Munas Golkar di Bali tentang penolakan Perpu Pilkada langsung. Tuturan tersebut juga dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan maksim kesetujuan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), yaitu penutur justru meminimalkan kesetujuan dengan mitra tutur, sehingga penutur menggunakan tuturan langsung untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya. Ketiga contoh karikatur di atas mengandung daya penolakan yang mencoba menyampaikan maksud dengan cara mengungkapkan ketidaksetujuan. Unsur intralingual berupa kalimat dapat memunculkan daya penolakan melalui ketidaksetujuan. Daya penolakan tersebut tercermin pada konteks yang ada dalam kalimat-kalimat karikatur di atas. Kalimat yang digunakan penutur dalam karikatur selalu berupa kalimat langsung, sehingga kalimat tuturan karikatur yang termasuk ketidaksetujuan ini selalu merupakan kalimat tuturan yang tidak santun. Unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang ditunjukkan juga menjadi penanda penting dalam memperkuat lemahnya tingkat kesantunan yang dimunculkan melalui daya penolakan dalam karikatur. Penutur selalu didorong rasa emosi ketika menyampaikan aksi penolakan, sehingga akan terlihat jelas bahwa tuturan tersebut tidak santun. 4.2.1.4.2 Daya Protes Daya protes adalah kekuatan suatu bahasa sebagai pernyataan untuk menentang atau menyangkal. Peneliti hanya menemukan 1 karikatur yang mengandung daya protes. Data tersebut yaitu:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
100
“Turun sekarang!” (KKT,12/11/014) (Konteks : Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi penolakan.) Karikatur di atas mencoba memperlihatkan penolakan dengan cara melakukan protes. Protes tersebut dilakukan oleh massa FPI yang menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Padahal secara konstitusi, Ahok, yang dulu menjadi wakil Gubernur, kini berhak menggantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Daya penolakan tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Turun sekarang!. Daya penolakan berbentuk protesan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan Ketua FPI, Rizieq Shihab yang menunjuk ke Ahok yang menjadi tanda aksi pengecaman, dan meminta agar Ahok segera turun dari jabatannya. Selain itu juga diperkuat oleh banyaknya massa yang mengelu-elukan Rizieq. Massa juga mengepalkan tangannya sebagai tanda mantap akan pendapat mereka sendiri. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Ahok seorang nasrani, dan gaya kepemimpinan Ahok terlalu tinggi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), tentang maksim kesetujuan. Di dalam konteks ini penutur menyatakan ketidaksetujuannya kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya. Selain itu, penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, yang dapat terlihat melalui unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
Berdasarkan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa daya protes adalah salah satu bentuk penolakan yang tidak santun karena pernyataan yang diucapkan bersifat menentang. Unsur intralingual yang memunculkan daya protes merupakan kalimat. Hal ini akan semakin terlihat jelas ketika diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan.
4.2.1.5 Daya Harap Daya harap adalah kekuatan suatu bahasa untuk mengungkapkan keinginan agar menjadi nyata. Daya harap pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 7 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih!” (DB.KKT,19/09/014) (Konteks : Banyak menteri-menteri di Indonesia yang melakukan tindak korupsi. Kabinet Jokowi-JK akan segera memilih menteri-menterinya yang baru.) 2. “Don‟t forget to remember me..” (DB.KKT,17/10/014) (Konteks : Pemerintahan presiden SBY berakhir.) 3. “Saya lebih setuju ini!” (DB.KKT,04/12/014) (Konteks : Ahok mencari wakil gubernur Jakarta. Muncul beberapa calon wakil gubernur yang diusulkan.)
Karikatur (1) mencoba memperlihatkan harapan dari masyarakat agar calon menteri kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih, tidak terlibat kasus korupsi, dan tidak menjabat pengurus atau ketua umum partai politik. Daya harap tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : semoga. Daya harap menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan penutur yang meneropong calon menteri kabinet Jokowi, sebagai salah satu cara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
untuk mengawasi agar harapannya benar-benar terwujud. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak menteri di Indonesia yang melakukan tidak korupsi, sehingga di pemerintahan yang baru ini masyarakat menaruh harapan yang besar kepada Jokowi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, bahwa tuturan tersebut dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia, sehingga sedikit demi sedikit Indonesia akan terbebas dari negara korupsi. Karikatur (2) mencoba memperlihatkan harapan dari mantan presiden SBY agar rakyat Indonesia selalu mengingatnya, apapun profesinya nanti. Daya harap tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat: Don’t forget to remember me (jangan lupa untuk ingat saya). Daya harap menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah SBY yang tersenyum sambil memejamkan matanya ketika
berjalan
meninggalkan
gedung
pemerintahannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pemerintahan SBY telah berakhir. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan adu rasa menurut Pranowo (2012:103). Tuturan tersebut menimbulkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
kesepahaman antara penutur dengan mitra tutur, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Sikap yang ditunjukkan pun terkesan santai dan santun. Karikatur (3) mencoba memperlihatkan harapan dari penutur (Ahok) bahwa beliau lebih berharap jika PDIP menunjuk Djarot sebagai calon wakil gubernur Jakarta. Daya harap tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Saya lebih setuju ini. Daya harap menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur sambil mengerutkan dahi dan tangannya terbuka ke arah PDIP sebagai tanda meminta. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Djarot pernah menjabat sebagai wali kota Blitar selama dua periode. Pengalamannya di dunia politik dianggap sudah cukup luas. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur menyampaikan harapannya dengan cara mengungkapkan rasa senangnya kepada mitra tutur. Berdasarkan ketiga contoh karikatur yang mengandung daya harap di atas, dapat disimpulkan bahwa daya harap dalam tuturan tersebut menunjukkan adanya suatu keinginan dari penutur. Daya harap dapat dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi dan kalimat yang diikuti oleh unsur ekstralingual berupa konteks. Misalnya diksi : semoga. Unsur intralingual dan ekstralingual yang memunculkan daya harap merupakan bentuk tuturan yang santun. Hal ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
dikarenakan tuturan yang diharapkan juga dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia sebagai mitra tutur, sehingga harapan dari tuturan tersebut nantinya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat luas.
4.2.1.6 Daya Ungkap Daya ungkap adalah kekuatan suatu bahasa untuk mengungkapkan atau menyampaikan pesan melalui sebuah ungkapan atau pendapat. Berkaitan dengan karikatur, daya ungkap digunakan untuk mengungkapkan pesan kepada pembaca. Daya ungkap menyatakan ungkapan suatu hal atau peristiwa agar pembaca memahami adanya makna pada suatu kalimat. Daya ungkap berfungsi untuk mengungkapkan ekspresi atau perasaan, baik personal mau pun kelompok. Daya ungkap pada Karikatur Koran Tempo ditemukan berjumlah 7 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Komunikasi semakin mudah..”(DB.KKT,14/10/014) (Konteks : Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook berkunjung ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk masyarakat Indonesia agar semua kalangan bisa mengakses aplikasi facebook.) 2. “Selamat datang bu!” (DB.KKT,29/10/014) (Konteks: Susi Pudjiastuti dilantik menjadi menteri kelautan dan perikanan yang baru.) Karikatur (1) mencoba mengungkapkan pendapat dari salah satu masyarakat yang tinggal di perkampungan untuk menanggapi kunjungan Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook yang berkunjung ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk masyarakat Indonesia, sehingga peluang warga mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam pembangunan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
dapat diwadahi oleh internet. Daya ungkap tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Komunikasi semakin mudah. Daya ungkap menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang bermain facebook sambil tersenyum senang sebagai ungkapan bahagia karena komunikasi semakin mudah. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa aplikasi facebook dapat mempermudah komunikasi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pujian, bahwa penutur memberikan pujian kepada mitra tutur. Pujian dalam konteks ini ialah bahwa mitra tutur telah memberikan kemudahan bagi penutur dan masyarakat luas. Karikatur (2) mencoba mengungkapkan rasa bahagia karena Indonesia memiliki menteri kelautan dan perikanan yang baru, yang mempunyai sikap yang unik tetapi bertanggung jawab. Daya ungkap tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Selamat datang bu!. Daya ungkap menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa loncatan ikan-ikan di laut sebagai tanda kegembiraan atas menteri perikanan yang baru. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa cara berpenampilan Susi unik, tetapi mempunyai sikap yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
bertanggung jawab. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur mengungkapkan rasa senangnya kepada mitra tutur atas terpilihnya menjadi menteri kelautan dan perikanan yang baru. Berdasarkan kedua contoh karikatur di atas yang mengandung daya ungkap, dapat disimpulkan bahwa daya ungkap biasanya menunjukkan pendapatpendapat dari penutur terkait suatu keadaan. Penanda intralingaul yang memunculkan daya ungkap adalah kalimat, yang kemudian diikuti oleh unsur ekstralingual berupa fenomena konteks. Daya ungkap yang terdapat pada tuturan Karikatur Koran Tempo merupakan bentuk tuturan yang santun. Hal ini dikarenakan tuturan selalu memberikan ungkapan pujian dan ungkapan rasa senang penutur kepada mitra tutur.
4.2.1.7 Daya Pikat Daya pikat adalah kekuatan suatu bahasa untuk menarik atau membujuk hati mitra tutur. Daya pikat pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan sejumlah 2 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “A : Pilkada oleh DPRD!! B : Pilkada langsung!!” (DB.KKT,14/09/014) (Konteks: Timbulnya kontroversi pelaksanaan Pilkada melalui DPRD dan pilkada langsung. Koalisi Merah Putih menginginkan pilkada oleh DPRD, sedangkan rakyat menginginkan pilkada langsung.) 2. “Ini kesempatan bagi Anda.” (DB.KKT,11/11/014) (Konteks: Jokowi menjadi salah satu pembicara dalam forum CEO APEC yang berlangsung di Beijing. Ia mempromosikan sektor kemaritiman.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
Karikatur (1) mencoba menunjukkan pikatan dengan cara memunculkan perdebatan antara Koalisi Merah Putih dengan rakyat. Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, pendukung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa menginginkan penghapusan pilkada langsung untuk gubernur, bupati, dan wali kota. Mereka lebih setuju jika pelaksanaan pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan rakyat menolak tegas penghapusan pilkada langsung. Daya pikat tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat seruan : Pilkada oleh DPRD!! dan Pilkada langsung!! Daya pikat menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi berteriak dengan membuka mulut dan mata lebar-lebar dari
masing-masing
kubu
yang
mempertahankan pendapatnya. Beberapa orang dari kubu rakyat juga mengangkat tangan dan mengepalkan jari-jarinya sebagai isyarat untuk tetap mempertahankan proses pelaksanaan pilkada langsung. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pilkada oleh DPRD hanya akan menguntungkan pihak-pihak terkait saja, sehingga rakyat akan merasa dirugikan. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kerendahan hati. Di dalam konteks ini, penutur terlalu protektif terhadap pendapatnya, dengan mempertahankan dan memperjuangkan pendapatnya sendiri. Selain itu, cara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
108
penutur mengungkapkan tuturannya juga didorong rasa emosi yang ditandai melalui unsur ekstralingual yang dimunculkan. Karikatur (2) mencoba menunjukkan pikatan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan cara mempromosikan bahwa kesempatan untuk berinvestasi di Indonesia ada pada pembangunan pelabuhan. Daya pikat tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Ini kesempatan bagi Anda. Kalimat tersebut dipersepsi dapat menarik hati pemimpin negara lain untuk bekerja sama dengan Indonesia. Daya pikat menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan
Jokowi
yang
menunjuk
ke
peta
Indonesia yang memiliki ribuan pulau, untuk bisa digunakan dalam kaitannya dengan pembangunan pelabuhan tersebut. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Indonesia memiliki banyak pulau yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan usaha. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yang mengungkapkan bahwa tuturan dapat memberikan keuntungan bagi mitra tutur. Di dalam konteks ini mitra tutur akan merasa diuntungkan dengan terbentuknya kerja sama yang baru antar negara. Berdasarkan kedua contoh karikatur di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua karikatur di atas mengandung daya pikat. Daya pikat dalam kalimat-kalimat tersebut menunjukkan suatu usaha penutur untuk dapat menarik hati mitra tutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
109
Unsur intralingual yang dapat memunculkan daya pikat dalam karikatur ialah kalimat. Santun dan tidaknya tuturan yang termasuk dalam daya pikat ini tergantung dari cara penutur menyampaikan tuturannya. Daya pikat yang dimunculkan melalui perdebatan biasanya terkesan tidak santun, karena perdebatan terjadi karena timbul rasa emosi dalam benak penutur mau pun mitra tutur. Daya pikat yang dimunculkan melalui rayuan biasanya terkesan santun, karena penutur berusaha menarik hati mitra tuturnya.
4.2.2 Analisis Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi Analisis penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual nilai rasa bahasa merupakan pengelompokan suatu diksi, frasa, klausa, dan kalimat yang bernilai rasa, yang kemudian diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa gerakangerakan tubuh, ekspresi wajah, tanda-tanda visual, dan fenomena konteks. Analisis ini kemudian akan dilanjutkan dengan menunjukkan apakah unsur intralingual dan ekstralingual yang memunculkan nilai rasa tersebut dianggap sebagai penanda tuturan yang santun mau pun yang tidak santun.
4.2.2.1 Nilai Rasa Halus Nilai rasa halus adalah nilai rasa yang menggunakan kata-kata yang bernilai hormat dan menghargai, serta disampaikan dengan cara yang baik atau santun. Selain itu, nilai rasa halus juga merupakan suatu tuturan yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
110
diungkapkan secara implisit. Nilai rasa halus pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 21 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Nelayan :“Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak...” Petugas SPBU : “ ! “ (NR.KKT,01/09/014) (Konteks : Pada waktu itu harga BBM dinaikkan oleh pemerintah, dan pemerintah mengeluarkan larangan membeli BBM menggunakan jeriken. Hal tersebut merepotkan para nelayan.) 2. “Itu bapak-bapak yang di atas mendengarkan kita nggak ya?” (NR.KKT,15/09/014) (Konteks : Dalam menanggapi kontroversi pilkada, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi rakyat.) 3. “Yang bukan trah cukup jadi Sekjen, ketua DPP aja..” (NR. KKT,22/09/014) (Konteks : PDIP mengadakan rapat di Semarang, dan hasil rapat itu berupa rekomendasi agar Megawati Soekarnoputri kembali menjadi ketua umum PDIP periode 2015-2020. 4. A : “Pengumuman menteri kabinet jokowi lambat ya bung?” B : “Iya, karena calon menteri yang sedianya dipilih ada beberapa yang bermasalah.” A : “Itu yang dinamakan calon menteri KATEGORI MERAH ya bung?” (NR.KKT,26/10/014) (Konteks :Lambannya pengumuman menteri kabinet Jokowi, karena Jokowi sangat berhati-hati dalam menentukan calon menterinya.)
Keempat tuturan karikatur di atas memiliki nilai rasa bahasa yang halus yang diungkapkan menggunakan kata-kata yang bernilai hormat, menghargai, dan mengandung makna kiasan. Karikatur (1) memiliki nilai rasa bahasa yang halus untuk memanggil mitra tuturnya (petugas SPBU). Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : pak. Diksi tersebut memiliki nilai rasa bahasa halus dengan ciri menggunakan kata hormat. Selain itu, kalimat : Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak, juga menjadi unsur intralingual lainnya yang merupakan sindiran
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
111
secara halus bagi pihak Pemerintah pusat dan SPBU. Penutur memang tidak secara langsung menggunakan kata pemerintah atau pun pengelola SPBU. Nilai rasa halus menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar penutur (seorang nelayan) yang membawa kapal ketika mendatangi SPBU, sebagai akibat adanya larangan membeli BBM menggunakan jeriken. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa tidak ada larangan membeli BBM menggunakan kapal, sehingga penutur membawa kapalnya ke SPBU. Hal ini bersifat imajiner, yang menjadikan penanda sindiran secara halus atau secara tidak langsung. Karikatur (2) juga memiliki nilai rasa bahasa yang halus untuk memanggil mitra tuturnya. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa penggunaan diksi : bapak-bapak yang di atas yang dimaknai sebagai panggilan kepada orang yg dipandang sebagai orang yang dihormati (KBBI), dalam hal ini adalah pejabat atau pemerintah. Diksi tersebut memiliki nilai rasa bahasa halus dengan ciri menggunakan kata hormat. Selain itu, nilai rasa halus semakin jelas ketika diksi tersebut menjadi rangkaian kalimat : itu bapak-bapak yang di atas mendengarkan kita nggak ya, yang dipersepsi sebagai sindiran secara tidak langsung. Nilai rasa halus menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah memelas penutur yang terlihat kecewa. Ekspresi wajah kecewa ini dimaksudkan agar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
112
mitra tutur sadar akan perbuatannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pemerintah seolah-olah tuli akan hak suara rakyat, sehingga terus mempertahankan pilkada oleh DPRD. Sama halnya dengan karikatur (3) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa halus yang menggunakan pilihan kata yang dirasa santun. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : trah. Diksi tersebut mengandung nilai rasa bahasa halus karena merupakan ungkapan bahasa Jawa halus yang dimaknai sebagai keluarga besar. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa yang bisa menjadi ketua umum PDIP hanyalah orang berasal dari keluarga atau keturunan Soekarno, sedangkan yang tidak berasal dari keluarga Soekarno hanya bisa menjadi sekjen ketua DPP saja. Pengetahuan umum penutur tersebut dapat dijadikan sebagai penanda sindiran secara halus, yang diperkuat dengan ekspresi wajah penutur yang melongo sambil menggigit jarinya, sebagai ungkapan rasa kekecewaannya atas keputusan tersebut. Karikatur (4) juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa halus, namun lebih diperjelas menggunakan makna kiasan. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa frasa : yang bermasalah dan kategori merah. Frasa : yang bermasalah ini merupakan makna kiasan bagi para calon menteri yang tidak bersih (terlibat kasus korupsi), sedangkan kategori merah dimaknai sebagai warna yang diberikan kepada kandidat menteri Jokowi yang beresiko terjerat kasus
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
113
korupsi. Nilai rasa halus menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi santai dari penutur sambil tersenyum manis.
Tuturan dalam karikatur (1), karikatur (2), karikatur (3), dan karikatur (4) dianggap sebagai tuturan yang santun. Unsur intralingual berupa diksi yang dapat memunculkan nilai rasa halus dipersepsi sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan pemakaian diksi yang mencerminkan rasa santun (Pranowo, 2012:104), yaitu diksi : pak pada NR.KKT,01/09/014, diksi : bapak-bapak yang di atas pada NR.KKT,15/09/014, dan diksi : trah pada NR.KKT,22/09/014. Penggunaan makna kiasan ternyata juga mencerminkan nilai rasa halus yang santun. Hal ini ditunjukkan pada NR.KKT,26/10/014 melalui frasa : yang bermasalah dan kategori merah. Kedua frasa tersebut dipersepsi sebagai makna kiasan karena mengandung makna yang tidak sebenarnya. Yang bermasalah merupakan makna kiasan bagi para calon menteri yang tidak bersih (terlibat kasus korupsi), sedangkan kategori merah dimaknai sebagai warna yang diberikan kepada kandidat menteri Jokowi yang beresiko terjerat kasus korupsi. Selain mengandung kata-kata santun, ternyata keempat tuturan karikatur tersebut juga sesuai dengan bentuk-bentuk bahasa santun yang mengungkapkan bahwa menggunakan tuturan tidak langsung biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung (Pranowo,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
2012:6). Hal ini terbukti dari penggunaan unsur intralingual berupa rangkaian diksi menjadi sebuah kalimat sindiran secara tidak langsung yang jelas secara implisit terdapat pada karikatur (1), karikatur (2), dan karikatur (3) di atas.
5. “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik” (NR.KKT,04/10/014) (Konteks : Sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada pada Jumat, 26 September 2014, dini hari) Lebih diperjelas lagi oleh karikatur (5) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi Partai Demokrat yang dinilai memainkan sandiwara politik dengan cara walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Nilai rasa halus tersebut dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat : Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik. Nilai rasa halus menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa pemberian piala dengan gambar logo Demokrat yang bertuliskan “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik”, sebagai sindiran halus karena dianggap berhasil dan sukses menjadi pembohong. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan fenomena praanggapan bahwa piala dipersepsi sebagai tanda penghargaan atas suatu prestasi yang diraih. Namun, dalam konteks ini pemberian piala tersebut sebagai sindiran karena prestasi yang diraih merupakan prestasi yang buruk.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
115
6. “Rapat di luar lagi, Pak?” (NR.KKT,17/11/014) (Konteks : Para aparat negara lebih sering melaksanakan rapat di hotel-hotel berbintang.) Sama halnya karikatur (6) juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi aparat negara yang sering melaksanakan rapat di hotel. Nilai rasa halus tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Rapat di luar lagi, Pak?. Diksi: lagi, dalam kalimat tersebut berarti kegiatan yang dilakukan lebih dari satu kali, atau berulang-ulang. Nilai rasa halus menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa banyaknya sarang laba-laba yang ada di ruang rapat negara, karena tidak pernah dipakai. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa suatu ruangan yang tidak penah digunakan, akan menjadi tidak terawat, dan akan banyak sarang laba-laba di tempat tersebut. Tuturan dalam karikatur (5) dan karikatur (6) tersebut juga dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan sikap tenggang rasa menurut Pranowo (2012:109). Di dalam konteks ini, sikap tenggang rasa yang ditunjukkan penutur berupa penggunaan tuturan tidak langsung, sehingga yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan. Hal ini dimaksudkan agar tuturan tidak membuat mitra tutur merasa terancam. Misalnya pada NR.KKT,17/11/014, tuturan diungkapkan dalam bentuk kalimat pertanyaan, sehingga maksud yang ingin disampaikan penutur ini bersifat implisit.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
116
Berdasarkan keenam contoh karikatur yang memiliki nilai rasa halus di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa halus selalu merupakan bentuk tuturan yang santun. Tuturan yang santun yang dimunculkan oleh nilai rasa halus ini dimunculkan melalui unsur intralingual dan unsur ekstralingual. Unsur intralingual dimunculkan melalui diksi berupa kata hormat, kalimat tidak langsung, mau pun frasa yang bermakna kiasan. Misalnya : pak pada NR.KKT,01/09/014 dan trah pada NR.KKT,22/09/014. Selain itu, penggunaan tuturan tidak langsung dan tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan juga menjadi penanda penting dalam nilai rasa halus yang santun,
seperti
yang
telah
dijelaskan
pada
NR.KKT,04/10/014
dan
NR.KKT,17/11/014. Unsur ekstralingual yang bernilai rasa halus dapat dilihat melalui tandatanda yang bersifat imajiner. Misalnya pada NR.KKT,01/09/014 yang menggambarkan bahwa seorang penutur membawa kapal ke SPBU. Lebih diperjelas lagi pada NR.KKT,04/10/014 yang ditandai dengan lambang piala sebagai tanda pemberian penghargaan bagi mitra tutur. Namun, maksud sebenarnya merupakan penghargaan karena hal yang negatif, sehingga penutur berniat untuk menyindir secara tidak langsung. Unsur ekstralingual yang mengandung nilai rasa halus yang santun ini juga ditunjukkan melalui tanda-tanda ketubuhan yang mengikuti konteks, seperti senyuman dan sikap yang terlihat santai. Indikator-indikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa halus yang santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
117
4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar Nilai rasa kasar adalah nilai rasa yang menggunakan kata-kata yang dianggap kasar dan tidak hormat, serta disampaikan dengan cara yang tidak baik. Selain itu, nilai rasa kasar juga merupakan suatu tuturan yang diungkapkan secara langsung. Nilai rasa kasar pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 12 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Ayo, musnahkan ISIS!!” (NR.KKT,25/09/014) (Konteks : Semakin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), terutama di Amerika.) 2. “PERGI! ” (NR.KKT,04/11/014) (Konteks : Terjadi konflik seputar persepakbolaan Indonesia. PSSI memberhentikan Indra Sjafri sebagai pelatih tim Nasional sepak bola U-19.) Karikatur (1) dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa kasar yang menggunakan pilihan kata yang dianggap kasar. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : musnahkan. Diksi tersebut dianggap sebagai nilai rasa bahasa kasar karena mempunyai makna membinasakan atau melenyapkan, yaitu melenyapkan kelompok ISIS karena dianggap telah meresahkan masyarakat, salah satunya dengan memenggal seorang wartawan Amerika Serikat, James Foley dengan sebilah pisau. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena
praanggapan bahwa ISIS
adalah sebuah kelompok yang kejam, dan harus segera disingkirkan. Tindak perlokusi yang ditunjukkan yaitu dengan membawa alat pemusnah untuk menyingkirkan gerakan ISIS, karena penutur sudah geram dengan aksi gerakan ISIS.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
118
Sama halnya dengan karikatur (2) juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa kasar yang menggunakan pilihan kata yang dianggap kasar. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : pergi!. Kalimat tersebut dianggap sebagai nilai rasa bahasa kasar karena dimaknai sebagai kata yang diberi penegasan untuk mengusir secara paksa. Nilai rasa kasar menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang menunjuk mitra tutur, sebagai tanda mengusir. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa PSSI akan menindak tegas seputar konflik persepakbolaan di Indonesia. Tuturan dalam karikatur (1) dan karikatur (2) dianggap sebagai tuturan yang
tidak
santun
karena
berlawanan
dengan
pemakaian
diksi
yang
mencerminkan rasa santun (Pranowo, 2012:104), yaitu diksi : musnahkan pada NR.KKT,25/09/014, dan diksi : pergi! pada NR.KKT,04/11/014. Diksi : musnahkan akan terasa lebih santun apabila diganti menjadi “dilenyapkan”. 3. A : “Hu..hu... Sakit juga dicabut giginya...” B : “Hu..hu... Sakit juga dicabut hak politiknya...” C:“Masih bersyukur dari pada dicabut kesehatannya...” (NR.KKT,21/09/014) (Konteks : Pada waktu itu, Anas Urbaningrum yang menjadi terdakwa korupsi proyek Hambalang, dituntut hukuman selama 15 tahun penjara serta dicabut hak politiknya.) 4. A : “Kok bau ya?” B : “Bau banget! C : “Bau partai!” (NR.KKT,22/11/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
119
(Konteks : Jokowi memilih Muhammad Prasetyo yang berasal dari Partai Nasdem, yang juga merupakan salah satu pendukung Jokowi, sebagai Jaksa Agung.) 5. “Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat. Hehehe...” (NR.KKT,22/12/014) (Konteks : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memberikan data sepuluh kepala daerah, yang terdiri dari gubernur dan bupati yang memiliki harta tidak wajar atau rekening gendut.)
Karikatur (3) memiliki nilai rasa bahasa yang kasar karena mengejek secara langsung bagi mitra tutur (Anas Urbaningrum) yang diberhentikan hak politiknya karena terlibat kasus korupsi. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa : dicabut kesehatannya yang sebenarnya merupakan bahasa yang halus karena merupakan makna kiasan bagi kata “gila”. Namun,
ketika
bertemu
dengan
unsur
ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang mengolok-olok sambil tertawa terbahakbahak menjadi penanda bahwa tuturan tersebut terkesan kasar. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa dicabut hak politiknya sama sakitnya ketika dicabut giginya. Karikatur (4) juga memiliki nilai rasa bahasa yang kasar karena penutur menyindir secara langsung terkait keputusan dari presiden Jokowi yang telah memilih Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Karena selama menjadi Jaksa Agung, Prasetyo tidak menunjukkan rekam jejak yang menonjol atau pun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
120
gebrakan-gebrakan program yang konkret. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Bau partai!. Nilai rasa kasar menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah para penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah akibat mencium bau yang tidak sedap. Selain itu, salah satu penutur juga sambil menunjuk ke foto Muhammad Prasetyo. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Muhammad Prasetyo berasal dari partai Nasdem, sehingga ia terpilih menjadi Jaksa Agung karena berasal dari salah satu partai pendukung Jokowi. Sama halnya dengan karikatur (5) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi para gubernur dan bupati yang masuk daftar pemilik harta tak wajar atau tabungan yang membengkak, salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Nilai rasa kasar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat. Nilai rasa kasar menjadi semakin kuat ketika muncul
unsur
ekstralingual
berupa sikap
penutur yang berbadan gemuk dengan gaya berbicara
sambil
tertawa,
dan
menunjuk
celengan babi yang paling gendut. Unsur ekstralingual berupa konteks
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
121
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa babi yang bermoncong panjang menyerupai dengan orang besar atau kaya. Tuturan dalam karikatur (3), karikatur (4), dan karikatur (5) tersebut juga dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini, tuturan justru dianggap merugikan mitra tutur, karena penutur berprasangka buruk kepada mitra tutur, sehingga tuturannya dianggap memojokkan mitra tutur. Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dengan cara menyindir dan mengejek secara langsung. Berdasarkan kelima contoh karikatur yang memiliki nilai rasa kasar di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan karikatur yang bernilai rasa kasar selalu merupakan bentuk tuturan yang tidak santun. Tuturan yang tidak santun yang dimunculkan oleh nilai rasa kasar ini dapat dilihat melalui unsur intralingual dan unsur ekstralingual. Unsur intralingual dimunculkan melalui diksi yang mengandung kata-kata kasar dan kalimat langsung. Misalnya diksi: musnahkan pada NR.KKT,25/09/014, dan diksi : pergi pada NR.KKT,04/11/014. Penggunaan
unsur
intralingual
berupa
kalimat-kalimat
langsung
untuk
memunculkan nilai rasa kasar pun dapat mencerminkan tuturan tidak santun, yang kemudian semakin diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah. Misalnya kalimat : Bau partai pada NR.KKT,22/11/014 diperkuat dengan ekspresi wajah penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah, dapat secara jelas menggambarkan bahwa tuturan karikatur tersebut tidak santun. Selain itu,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
122
penggunaan tuturan langsung dan tuturan yang dikatakan sama dengan yang dimaksudkan juga menjadi penanda penting dalam nilai rasa kasar yang tidak santun, sehingga tuturan tersebut dapat merugikan mitra tutur. Indikator-indikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa kasar yang tidak santun.
4.2.2.3 Nilai Rasa Marah (kecewa, kesal, sebal) Nilai rasa marah adalah kadar perasaan yang terjadi karena munculnya rasa sangat tidak senang akibat suatu hal. Nilai rasa marah pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 14 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. SBY : “Merci untuk kabinet Jokowi...” Jokowi : “ ? ” (NR.KKT,10/09/014) (Konteks : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pemerntahan lama memiliki kewajiban mempersiapkan kendaraan operasional untuk pemerintahan berikutnya, yaitu masa pemerintahan Jokowi-JK.) 2. “A : Pilkada oleh DPRD!! B : Pilkada langsung!!” (NR.KKT,14/09/014) (Konteks: Timbulnya kontroversi pelaksanaan Pilkada melalui DPRD dan pilkada langsung. Koalisi Merah Putih menginginkan pilkada oleh DPRD, sedangkan rakyat menginginkan pilkada langsung.) 3. “Pake guling meja. Pake tandingan. Kayak anak kecil, memalukan! Menyebalkan!” (NR.KKT,02/11/014) (Konteks : Kisruh Golkar masih berlangsung, dan kian memanas. Kubu Agung Laksono mengajukan diadakannya Munas tandingan.) 4. “Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti...” (NR.KKT,21/12/014) (Konteks : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin.) Karikatur (1) dipersepsi sebagai nilai rasa marah yang mengandung kadar perasaan kecewa mitra tutur (Jokowi) atas disiapkannya kendaraan operasional baru untuk pemerintahannya. Nilai rasa marah (kecewa) tersebut dapat dilihat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
123
melalui unsur intralingual berupa tanda tanya (?), sebagai penanda bahwa mitra tutur tidak bisa berkata-kata. Nilai rasa marah yang mengandung kadar perasaan kecewa dimunculkan oleh unsur ekstralingual berupa konteks melalui fenomena praanggapan bahwa Jokowi merupakan seorang yang sederhana, sehingga beliau masih ingin menggunakan mobil yang kemarin dan tidak perlu membeli yang baru. Unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan dimunculkan melalui ekspresi wajah presiden Jokowi yang terlihat kecewa dengan mengerutkan dahinya sambil menggigit jari sebagai ungkapan rasa kecewa karena apa yang diharapkan tidak dikabulkan. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (1983) yang mengungkapkan bahwa tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan “agreement maxim”). Tuturan karikatur tersebut justru dimaknai sebagai paksaan, karena mitra tutur sebenarnya merasa tidak setuju. Karikatur (2) memiliki kadar nilai rasa marah yang ditunjukkan oleh masing-masing kelompok. Nilai rasa marah tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat seruan : Pilkada oleh DPRD!! dan Pilkada langsung!!. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya tanda seru (!) di akhir masing-masing kalimat yang menunjukkan ungkapan kemarahan melalui kalimat seruan. Nilai rasa marah menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang berteriak mempertahankan pendapatnya, dengan membuka
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
124
mulut dan mata lebar-lebar dari masing-masing kelompok. Beberapa orang dari kubu rakyat bahkan mengangkat tangan dan mengepalkan jari-jarinya
sebagai
isyarat
untuk
tetap
mempertahankan proses pilkada langsung. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pilkada oleh DPRD hanya akan menguntungkan pihak-pihak terkait saja, sehingga rakyat akan merasa dirugikan. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena melanggar indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kerendahan hati. Di dalam konteks ini, penutur terlalu protektif terhadap
pendapatnya,
dengan
mempertahankan
dan
memperjuangkan
pendapatnya sendiri. Selain itu, cara penutur mengungkapkan tuturannya juga didorong rasa emosi yang ditandai melalui unsur ekstralingual. Karikatur (3) memiliki kadar nilai rasa marah karena penutur merasa sebal sebab sampai saat ini kubu Ical dan Agung Laksono belum bisa menyelesaikan masalah internalnya, hingga harus diadakan politik tandingan. Nilai rasa marah tersebut dapat dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Kayak anak kecil, memalukan! Menyebalkan!. Nilai rasa marah menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur dengan mengerutkan dahinya sambil meletakkan jari telunjuk di pipinya sambil menggigit-gigit giginya sebagai tanda geram. Unsur ekstralingual berupa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa terjadi konflik internal partai Golkar yang kian memanas. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur mengungkapkan rasa tidak senangnya atas konflik internal Golkar yang semakin memanas. Penutur juga didorong rasa emosi ketika bertutur, yang ditandai melalui unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah. Karikatur (4) juga dipersepsi sebagai nilai rasa marah yang mengandung kadar perasaan kesal penutur karena adanya nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Nilai rasa marah yang mengandung kadar perasaan kesal dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti. Nilai rasa marah yang mengandung kadar perasaan kesal menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur, sambil melotot, dan menunjuknunjuk di depan wajah mitra tutur, yaitu nelayan asing. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia tanpa izin. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan Pranowo (2012:104) tentang sikap hormat. Penutur tidak bisa memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih tinggi karena tuturan yang digunakan mengandung makian, sehingga ekspresi yang ditunjukkan pun terlihat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
126
sebagai ekspresi orang yang kasar. Tuturan tersebut terkesan dikemukakan secara emosional, karena penutur marah, sehingga menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaannya terhadap mitra tutur yang menangkap ikan di laut Indonesia tanpa izin. Berdasarkan keempat contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa marah di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa marah selalu merupakan bentuk tuturan yang tidak santun. Karikatur yang bernilai rasa marah dapat dimunculkan melalui rasa kecewa, sebal, dan kesal. Unsur intralingual yang dimunculkan nilai rasa marah ialah kalimat, khususnya kalimat berupa kritikan langsung. Penggunaan unsur intralingual berupa kalimat kritikan langsung inilah yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa marah yang tidak santun. Misalnya pada kalimat : Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti pada NR.KKT,21/12/014 merupakan kritikan berupa tuduhan yang disampaikan atas dasar kecurigaan penutur kepada mitra tutur. Kritikan langsung tersebut ditujukan bagi nelayan asing yang mencuri ikan di laut Indonesia. Unsur ekstralingual yang bernilai rasa marah juga dapat dilihat melalui ekspresi wajah yang
ditunjukkan.
Misalnya
dengan
berteriak
sambil
melotot
(NR.KKT,14/09/014), dengan mengerutkan dahinya sambil meletakkan jari telunjuk di pipinya dan menggigit-gigit giginya (NR.KKT,02/11/014). Indikatorindikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa marah yang selalu mencerminkan ketidaksantunan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
127
4.2.2.4 Nilai Rasa Yakin (mantap, pasti, optimistis) Nilai rasa yakin adalah kadar perasaan yang muncul karena suatu kepastian. Nilai rasa yakin pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 12 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Katakan tidak ! Pada korupsi. Tidak! Tidak! Tidak!” (NR.KKT,07/09/014) (Konteks : Indonesia banyak terjadi kasus korupsi yang sangat sulit untuk diberantas, bahkan korupsi itu sampai melibatkan para pejabat.) 2. “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang secara berulang." (NR.KKT,24/09/014) (Konteks : Tuturan diucapkan di pengadilan oleh hakim kepada Anas Urbaningrum yang terlibat dalam korupsi proyek Hambalang.) 3. “Saya harus teliti ” (NR.KKT,22/10/014) (Konteks : Jokowi sangat berhati-hati dan teliti dalam memilih dan menetapkan nama menteri-menterinya.) 4. “Saya siap mengatasi masalah kota ini!” (NR.KKT, 20/11/014) (Konteks : Semakin banyaknya masalah yang melanda ibukota, seperti tindak kriminalitas, banjir, macet, kesenjangan sosial, dan lain-lain.) Karikatur (1) dipersepsi memiliki kadar nilai rasa yakin karena mengandung penegasan secara mantap agar semua masyarakat tidak melakukan tindak korupsi seperti yang telah dilakukan oleh Jero Wacik. Nilai rasa yakin tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa penekanan diksi : Tidak! Tidak! Tidak!. Kata yang diucapkan lebih dari satu kali juga menjadi penanda kemantapan akan apa yang ingin dimaksudkan. Nilai rasa yakin berupa kemantapan ini menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual
berupa
sikap penutur
yang
berkata “tidak” sambil menurunkan jempol dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
128
melambaikan tangannya sebagai isyarat bahwa korupsi itu bukanlah perbuatan yang baik, dan tidak pantas untuk ditiru. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa semakin maraknya tindak korupsi di Indonesia, bahkan melibatkan para pejabat. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Tuturan tersebut dipersepsi memberikan keuntungan bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas. Tuturan tersebut memberikan keuntungan bahwa seluruh masyarakat diajak untuk tidak melakukan tindak korupsi seperti yang telah dilakukan oleh para pejabat. Karikatur (2) dipersepsi memiliki kadar nilai rasa yakin karena mengandung kepastian bahwa orang yang didakwa telah terbukti terlibat kasus korupsi. Nilai rasa yakin tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa : terdakwa terbukti secara sah. Nilai rasa yakin menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ketukan palu di meja hijau sebagai tanda bahwa keputusan sudah disahkan dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak mana pun. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa terdakwa itu bersalah, dan sudah ada fakta atau bukti-bukti yang mendukung tindakannya. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) yang mengungkapkan bahwa penutur harus bisa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
129
membangun sikap angon rasa, yaitu mampu memperhatikan suasana hati atau menjaga perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (Pranowo, 2012:103). Karikatur tersebut telah menyampaikan informasi yang didukung oleh data dan realita, serta waktu penyampaiannya juga tepat, yaitu dengan memanfaatkan situasi di forum persidangan. Selain itu, diksi : terdawa yang digunakan penutur terkesan santun, karena tidak menyebut nama orang yang didakwa secara langsung. Karikatur (3) kembali dipersepsi memiliki kadar nilai rasa yakin. Nilai rasa yakin tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa frasa : harus teliti. Frasa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena dimaknai sebagai suatu hal yang wajib, tidak boleh tidak, dan mesti. Nilai rasa yakin menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (pak Jokowi) yang terlihat sungguh-sungguh dalam membaca rapor dari masing-masing calon menterinya. Rapor tersebut merupakan buku yang berisi nilai-nilai prestasi atau riwayat jejak kehidupan seseorang. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa penutur mempunyai sikap yang terbuka, tegas, dan profesional. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini, tuturan tersebut dapat memberi keuntungan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
130
bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas bahwa penutur akan memilih menterinya secara profesional. Karikatur (4) juga mengandung kadar nilai rasa yakin karena penutur merasa percaya diri untuk bisa bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah yang akhir-akhir ini menimpa warga Jakarta, seperti tindak kriminalitas, banjir, macet, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Nilai rasa yakin tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : siap. Nilai rasa yakin menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual melalui tanda-tanda ketubuhan berupa gerakan kuda-kuda, yang dalam bela diri merupakan tanda sikap siaga dengan posisi kaki dan tubuh yang siap menerima serangan. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Ahok merupakan seorang yang keras, dan omongannya terlalu tinggi. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), tentang maksim kerendahan hati. Tuturan tersebut dipersepsi memuji diri sendiri, dengan kepercayaan diri yang berlebih, sehingga sedikit menimbulkan kesan yang sombong.
5. “Damai di bumi damai di hati...” (NR.KKT,24/12/014) (Konteks : Banyak umat yang merasa tidak nyaman ketika mengikuti perayaan natal di gereja, dikarenakan sering terjadi aksi pengeboman di gereja-gereja oleh para teroris.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
131
6. “Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin!” (NR.KKT,31/12/014) (Konteks : Pada tahun 2014, di Indonesia banyak terjadi peristiwa atau masalah, seperti masuknya nelayan asing, jatuhnya pesawat Air Asia, bencana longsor di Banjarnegara, pemilihan presiden baru, dan lain sebagainya.) Karikatur (5) juga dipersepsi memiliki kadar nilai rasa yakin berupa sifat optimistis, yaitu mengandung harapan penuh bagi umat Kristiani yang hendak merayakan natal agar tidak terjadi aksi pengeboman, sehingga sukacita dan damai natal dapat dirasakan oleh semua umat. Nilai rasa yakin (optimistis) tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Damai di bumi damai di hati. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak teroris yang sering melakukan aksi pengeboman di gereja-gereja ketika umat sedang melaksanakan ibadah. Selain itu, unsur ekstralingual juga dimunculkan melalui tanda ketubuhan menggenggam kedua tangan yang diletakkan di depan dada, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata, seakan-akan penutur berharap dengan sungguh-sunggung agar kejadian itu tidak terjadi lagi. Sama halnya dengan karikatur (6) yang juga dipersepsi memiliki kadar nilai rasa yakin berupa sifat optimistis, yaitu bahwa penutur hendak menyambut tahun yang baru dengan harapan agar tahun 2015 menjadi tahun yang lebih baik dari tahun sebelumnya, sehingga tidak terjadi lagi bencana dan masalah politik yang berkepanjangan. Nilai rasa yakin (optimistis) tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
132
bahwa tahun 2014 Indonesia dilanda banyak masalah, seperti jatuhnya pesawat Air Asia dan bencana longsor di Banjarnegara. Nilai rasa yakin (optimistis) menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa langkah mantap penutur sambil tertawa ketika melintasi jembatan dari tahun 2014 menuju 2015, sebagai tanda bahwa ia siap menyambut tahun 2015 dengan harapan yang lebih baik. Tuturan dalam karikatur (5) dan karikatur (6) tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) yang mengungkapkan bahwa tuturan harus ditandai dengan sikap tepa selira, yaitu menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur. Karikatur tersebut sebenarnya mengandung sedikit kekecewaan atas peristiwa yang dialami di masa lampau.
Namun,
kedua
karikatur
tersebut
lebih
dimaksudkan
untuk
mengungkapkan suatu harapan, baik dari pihak penutur mau pun pihak masyarakat sebagai mitra tutur. Berdasarkan keenam contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa yakin di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa yakin dapat dimunculkan melalui rasa mantap, pasti, dan optimistis. Nilai rasa yakin berupa kemantapan dan kepastian dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi, frasa, klausa, kalimat. Unsur intralingual yang dimunculkan tersebut, kemudian diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan yang dimunculkan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
133
seperti yang telah dijelaskan pada NR.KKT,07/09/014 dan NR.KKT,24/09/014. Nilai rasa yakin berupa optimistis, lebih mengungkapkan akan suatu hal yang sungguh-sungguh diharapkan. Hal ini jelas terbukti pada NR.KKT,24/12/014 dan NR.KKT,31/12/014. Nilai rasa yakin juga dapat memperlihatkan bentuk tuturan yang santun dan tidak santun. Hal ini dapat dilihat melalui konteks tuturan. Misalnya klausa : terbukti secara sah pada NR.KKT,24/09/014 menunjukkan bahwa penutur sudah mempunyai bukti-bukti yang kuat, sehingga apa yang dituturkan berdasar fakta dan data. Situasi konteks yang berada di forum persidangan juga menjadikan semakin kuatnya karikatur tersebut sebagai karikatur bernilai rasa yakin yang santun. Berbeda dengan kalimat : Saya siap mengatasi masalah kota ini! pada NR.KKT, 20/11/014. Kalimat tersebut sebenarnya terkesan santun, namun jika dilihat dari penanda konteks, maka tuturan tersebut akan terkesan menjadi tidak santun. Sebab, penutur terkesan terlalu percaya diri, padahal kenyataannya semakin banyak masalah yang terjadi. Indikator-indikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa yakin yang santun mau pun yang tidak santun, dengan memperhatikan konteks tuturan.
4.2.2.5 Nilai Rasa Heran (kaget, merasa terkejut) Nilai rasa heran adalah kadar perasaan yang muncul karena seseorang merasa ganjil ketika melihat atau mendengar sesuatu. Nilai rasa heran pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 13 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
134
1. “Aku tidak menyangka” (NR.KKT,05/09/014) (Konteks : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merasa terkejut atas penetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang di kementeriannya.) 2. “Apa-apaan ini!!” (NR.KKT,13/11/014) (Konteks : Kemacetan di Jakarta semakin parah. Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat.) 3. “Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik!” (NR.KKT,16/11/014) (Konteks : Kasus narkoba semakin marak di berbagai kalangan, bahkan hal ini juga melibatkan dua mahasiswi yang tertangkap sedang pesta sabu-sabu bersama Wakil Rektor Universitas Hasanuddin.) 4. “Ooo... Pak Menteri!” (NR.KKT,07/11/014) (Konteks : Menteri Indonesia selalu berusaha bersembunyi dan lari ketika masyarakatnya melakukan aksi demo.) Karikatur (1) dipersepsi sebagai nilai rasa heran yang mengandung kadar perasaan kaget. Penutur merasa kaget atas kasus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik yang telah melanggar hukum karena terlibat dalam kasus pemerasan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Nilai rasa heran tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa frasa : tidak menyangka. Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan kiri penutur (SBY) yang menggarukgaruk kepalanya sambil memejamkan matanya dan menyangga tangan kanannya (berpangku tangan). Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa SBY telah menaruh kepercayaannya kepada Jero Wacik sebagai Kader partai Demokrat. Tuturan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
135
dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang sikap tepa selira. Di dalam konteks ini, penutur mampu memperlihatkan bahwa apa yang dituturkannya kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur sendiri. Selain itu, penutur juga mampu mengendalikan emosi ketika bertutur. Penutur tetap terlihat dalam suasana hati yang tenang. Karikatur (2) juga dipersepsi sebagai nilai rasa heran yang mengandung kadar perasaan kaget. Penutur merasa kaget karena munculnya larangan bagi pengguna sepeda motor untuk tidak melintasi Bundaran HI. Nilai rasa heran (kaget) tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Apaapaan ini!!. Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah
penutur
yang
tercengang
dengan
memelototkan matanya ketika melihat adanya tanda “STOP” ketika hendak melewati Bundaran HI. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa munculnya larangan tersebut dinilai diskriminatif, karena mobil diperbolehkan melintas, padahal kedua kendaraan ini sama-sama membayar pajak kendaraan bermotor. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kesetujuan. Di dalam konteks ini penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Rasa emosi tersebut terlihat melalui unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
136
yang memelototkan mata, sehingga terkesan menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Karikatur (3) juga mengandung kadar nilai rasa heran. Penutur merasa heran karena ada kasus tertangkapnya Wakil Rektor Universitas Hasanuddin yang sedang berpesta sabu-sabu bersama mahasiswanya. Nilai rasa heran tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : wah..wah. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa seorang Wakil Rektor adalah sosok yang baik dan dapat menjadi teladan, sehingga penutur merasa heran karena adanya seorang Rektor yang malah menunjukkan citra yang buruk, yaitu dengan berpesta sabu-sabu bersama mahasiswanya. Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual yang ditunjukkan melalui ekspresi wajah tidak terlalu menonjol, yaitu hanya ditandai dengan gaya bicara penutur menggelengkan kepala sambil tersenyum. Karikatur (4) juga dipersepsi sebagai nilai rasa heran yang mengandung kadar perasaan terkejut penutur ketika melihat reaksi menterinya yang kabur ketika rakyatnya berdemo. Nilai rasa heran tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Ooo... Pak Menteri!. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa seorang menteri adalah sosok yang bertanggung jawab, dan bisa menjadi sosok kesatria, sehingga penutur merasa heran karena adanya menteri yang malah kabur ketika ada masalah yang menghampiri.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
137
Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan ditunjukkan melalui ekspresi wajah penutur yang tampak terkejut dengan sedikit melotot dan menutup mulutnya. Tuturan dalam karikatur (3) dan karikatur (4) tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena tidak menyebutkan nama Wakil Rektor dan nama menteri yang bersangkutan, sehingga tuturan tersebut sesuai dengan sikap tenggang rasa yang mengungkapkan bahwa sikap ini diperlihatkan oleh penutur untuk menjaga perasaan agar mitra tutur tidak merasa terancam atas tuturan penutur (Pranowo, 2012:109). Berdasarkan keempat contoh karikatur yang dipersepsi sebagai nilai rasa heran di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa heran dapat dimunculkan melalui rasa kaget dan merasa terkejut. Unsur intralingual yang dimunculkan melalui nilai rasa heran ialah diksi, frasa, dan kalimat. Karikatur yang bernilai rasa heran dapat memperlihatkan bentuk tuturan santun dan tidak santun. Santun dan tidaknya tuturan tersebut akan semakin terlihat jelas ketika diikuti unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan. Misalnya pada NR.KKT,05/09/014, frasa : tidak menyangka, diikuti dengan gerakan tangan kiri yang menggaruk-garuk kepala sambil memejamkan matanya dan menyangga tangan kanannya (berpangku tangan) dapat menjadi indikator tuturan yang santun. Bahasa tubuh yang ditunjukkan terkesan seperti orang yang sedang merenung. Sama
halnya
dengan
kalimat
:
Wakil
Rektor
nyabu
bareng
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mahasiswanya,wah..wah..
Harusnya
jadi
contoh
yang
baik!
138
pada
NR.KKT,16/11/014, yang hanya diikuti ekspresi wajah gaya bicara penutur sambil tersenyum, dan tidak meninggalkan kesan berlebih, merupakan penanda nilai rasa heran yang santun. Berbeda dengan klausa : Apa-apaan ini!! pada NR.KKT,13/11/014. Klausa tersebut diikuti ekspresi wajah yang tercengang dengan memelototkan mata. Sangat terlihat jelas bahwa tuturan yang digunakan merupakan tuturan protes yang mengakibatkan tuturan yang tidak santun. Bahkan jika dibayangkan, ketika bertutur, penutur berada dalam keadaan emosi. Indikatorindikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa heran yang santun mau pun yang tidak santun.
4.2.2.6 Nilai Rasa Takut-Cemas (cemas, ragu, khawatir, bingung, pesimistis, curiga) Nilai rasa cemas adalah nilai rasa yang timbul karena merasa tidak tenteram hati. Nilai rasa cemas pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 10 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih!” (NR.KKT,19/09/014) (Konteks : Banyak menteri-menteri di Indonesia yang melakukan tindak korupsi. Kabinet Jokowi-JK akan segera memilih menteri-menterinya yang baru.) 2. “Kami akan memantau menteri kabinet Jokowi!” (NR.KKT,26/09/014) (Konteks : Kabinet Jokowi sudah mulai melaksanakan tugasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu mengawasi terhadap anggota kabinet Jokowi.) 3. “Lain kali saja!!!” (NR.KKT,16/10/014) (Konteks : Ahok harus memilih satu calon wakil gubernur DKI Jakarta yang telah diajukan oleh partai pengusung dalam pilkada, yaitu partai PDIP dan Gerindra, dan yang harus bebas korupsi.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
139
4. “Apa nanti tidak merepotkan?” (NR.KKT,09/11/014) (Konteks : Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan salah satu kartu identitas diri yang penting. Di Indonesia, muncul wacana bahwa kolom agama dalam KTP akan dihilangkan.) 5. “Tolong selamatkan kami!” (NR.KKT,18/11/014) (Konteks : Kebutuhan gula rafinasi impor di Indonesia semakin meningkat, bahkan gula rafinasi kini telah menjalar ke rumah tangga dengan harga yang relatif murah.) 6. “Aku harus bagaimana?” (NR.KKT,12/12/014) (Konteks : Partai Golkar mendadak mendukung Perpu Pilkada langsung, sehingga membuat beberapa partai lain melakukan hal serupa.) Karikatur (1) memiliki kadar nilai rasa bahasa khawatir. Nilai rasa khawatir tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat: Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih! Jika dilihat sekilas, kalimat tersebut merupakan kalimat harapan (optimistis), tetapi jika kita melihat ke konteks tuturan, maka kalimat tersebut merupakan kalimat yang menimbulkan rasa khawatir terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti, yaitu calon menteri-menteri dari kabinet Jokowi-JK. Nilai rasa khawatir menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan penutur yang meneropong calon menteri kabinet Jokowi, sebagai salah satu cara untuk mengawasi agar harapannya benar-benar terwujud. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak menteri di Indonesia yang melakukan tidak korupsi, sehingga di pemerintahan yang baru ini masyarakat menaruh harapan yang besar kepada Jokowi. Teropong merupakan alat untuk melihat barang yang jauh-jauh (KBBI). Di dalam konteks
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
140
tuturan ini, teropong digunakan sebagai sarana untuk menyelidiki menteri kabinet Jokowi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, bahwa tuturan tersebut dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia, sehingga sedikit demi sedikit Indonesia akan terbebas dari negara korupsi. Karikatur (2) memiliki nilai rasa bahasa curiga. Nilai rasa curiga tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : memantau, karena diksi tersebut dimaknai sebagai suatu kegiatan mengamati atau mengecek dengan cermat, terutama untuk tujuan khusus; mengawasi; memonitor karena adanya unsur kecurigaan (KBBI). Nilai rasa curiga menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang serius dengan tatapan mata yang tajam dari penutur sambil melihat ke kaca pembesar sebagai tanda sedang memantau atau mengawasi. Kaca pembesar merupakan alat yang biasanya digunakan untuk melihat benda yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa (KBBI). Namun dalam konteks tuturan ini, kaca pembesar digunakan sebagai sarana untuk memantau menteri kabinet Jokowi. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan sikap tenggang rasa menurut Pranowo (2012:109). Tuturan tersebut justru memperlihatkan bahwa penutur tidak bisa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
141
menjaga perasaan mitra tutur, sehingga mitra tutur akan merasa terancam akibat tuturan penutur tersebut. Karikatur (3) memiliki nilai rasa bahasa ragu. Nilai rasa ragu tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Lain kali saja. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa ragu karena dimaknai sebagai „tidak menerima untuk saat ini‟ dalam menentukan pilihannya. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Gerindra menunjuk Muhammad Taufik sebagai calon wakil gubernur. Muhammaad Taufik merupakan mantan terpidana kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2014. Unsur ekstralingual yang dimunculkan melalui tanda ketubuhan ialah sikap penutur (Ahok) yang membelakangi Muhammad Taufik, dan lebih tertarik dengan calon gubernur yang diajukan oleh partai PDIP. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena melanggar indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini, penutur menunjukkan rasa tidak senangnya kepada mitra tutur, sehingga juga menunjukkan sikap yang kurang santun ketika melakukan tindak komunikasi, yaitu dengan membelakangi mitra tutur. Karikatur (4) juga memiliki nilai rasa khawatir karena penutur merasa cemas sebab muncul wacana bahwa kolom agama dalam KTP akan dihilangkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
142
Nilai rasa khawatir tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Apa nanti tidak merepotkan?. Nilai rasa khawatir menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang mengerutkan dahinya sambil meletakkan jari telunjuk di pipinya. Selain itu, unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa KTP merupakan salah satu identitas yang penting, dan sering digunakan untuk keperluan-keperluan yang penting pula. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang sikap tepa selira. Di dalam konteks ini, penutur memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur, yaitu jika kolom agama dalam KTP dihilangkan, masyarakat akan merasa kesulitan untuk mengurus suatu hal yang berhubungan dengan kepercayaan yang dianutnya, misalnya jika hendak mengurus pernikahan, KTP merupakan salah satu syarat data diri yang sah yang diperlukan. Karikatur (5) memiliki kadar nilai rasa pesimistis karena penutur (petani tebu) berpandangan sudah tidak mempunyai harapan lagi sebab banyak kalangan yang telah mengkonsumsi gula rafinasi, sehingga industri gula nasional menurun. Nilai rasa pesimistis tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Tolong selamatkan kami. Unsur ekstralingual berupa konteks
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
143
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa meningkatnya permintaan gula rafinasi akan merugikan petani tebu di Indonesia. Nilai rasa pesimistis menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (seorang petani tebu) yang tercengang akibat semakin meningkatnya impor gula rafinasi di Indonesia. Selain itu, ekspresi wajah penutur juga menunjukkan keputus asaan karena tebu yang merupakan bahan baku gula nasional yang telah mereka tanam tidak laku di pasaran. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan pemakaian diksi yang dapat mencerminkan rasa santun (Pranowo, 2012:104). Pemakaian kata „tolong‟ di atas terasa lebih santun. Karikatur (6) dipersepsi mengandung nilai rasa heran yang berkadar perasaan bingung, karena penutur yang merupakan Ketua PKS (Amin Matta) masih merasa masih bingung dan belum tahu apa yang harus dilakukan partainya perihal telah sepakatnya beberapa partai yang tergabung dalam KMP untuk mendukung perpu pilkada langsung. Nilai rasa bingung tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Aku harus bagaimana. Nilai rasa bingung menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (Amin Matta) yang melirik ke arah perpu pilkada langsung dan sedikit melongo, sambil menggaruk-garuk kepalanya. Unsur ekstralingual berupa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
144
konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pilkada langsung belum tentu akan membawa PKS untuk mengusung banyak kepala daerah. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai
dengan
indikator
kesantunan
menurut
Pranowo
(2005)
yang
mengungkapkan bahwa tuturan yang santun ditandai dengan sifat rendah hati, dengan menjaga agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (Pranowo, 2012:104). Di dalam konteks ini, penutur merasa kurang mampu untuk menentukan keputusannya. Berdasarkan keenam contoh karikatur yang dipersepsi sebagai nilai rasa takut-cemas di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa takutcemas dapat dimunculkan melalui rasa khawatir, curiga, ragu, cemas, pesimistis, dan bingung. Unsur intralingual yang dimunculkan oleh nilai rasa takut-cemas ialah diksi dan kalimat. Diksi yang dipersepsi mengandung nilai rasa takut-cemas merupakan diksi yang dimaknai sebagai kata kerja yang mengandung kecurigaan. Misalnya memantau pada NR.KKT,26/09/014. Karikatur yang bernilai rasa cemas dapat memperlihatkan bentuk tuturan santun dan tidak santun. Santun dan tidaknya bahasa tersebut dapat dilihat melalui konteks tuturan, dan akan semakin terlihat jelas ketika unsur intralingual diikuti unsur ekstralingual berupa tandatanda ketubuhan. Misalnya pada NR.KKT,19/09/014, dengan tuturan : Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih! Jika dilihat sekilas, kalimat tersebut merupakan kalimat harapan (optimistis), tetapi jika kita melihat ke konteks tuturan, maka kalimat tersebut merupakan kalimat yang menimbulkan rasa khawatir, yang kemudian diperkuat dengan ekspresi wajah penutur yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
145
meneropong calon menteri kabinet Jokowi. Tuturan tersebut terasa santun karena memberikan keuntungan bagi banyak pihak. Unsur ekstralingual yang terdapat dalam nilai rasa takut-cemas ialah raut wajah menyelidiki, sikap penutur yang membelakangi mitra tutur, mengerutkan dahi sambil meletakkan jari telunjuk di pipi, raut wajah tercengang sambil sedikit melongo, dan menggaruk-garuk kepala. Untuk Santun dan tidaknya suatu tuturan dapat diketahui melalui konteks tuturan itu sendiri.
4.2.2.7 Nilai Rasa Bahagia (senang, berbahagia, gembira, puas) Nilai rasa gembira adalah kadar perasaan yang muncul karena terbebas dari segala keadaan yang menyusahkan. Nilai rasa gembira pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sejumlah 5 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Komunikasi semakin mudah..” (NR.KKT,14/10/014) (Konteks : Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook berkunjung ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk masyarakat Indonesia agar semua kalangan bisa mengakses aplikasi facebook.) 2. “Don‟t forget to remember me..” (NR.KKT,17/10/014) (Konteks : Pemerintahan presiden SBY berakhir.) 3. “Selamat datang bu!” (NR.KKT,29/10/014) (Konteks : Susi Pudjiastuti dilantik menjadi menteri kelautan dan perikanan yang baru.) 4. “BEBAAS!” (NR.KKT,02/12/014) (Konteks : Pollycarpus Budihari Prianto, terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Talib, telah dibebaskan pada Jumat, 28 November 2014. Karikatur (1) dipersepsi mengandung kadar nilai rasa bahagia karena penutur merasa gembira atas kunjungan Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
146
masyarakat Indonesia, bahkan bagi masyarakat yang tinggal di perkampungan. Nilai rasa gembira tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Komunikasi semakin mudah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa gembira karena dimaknai sebagai kegiatan yang bertambah gampang untuk dilaksanakan, sehingga dapat menciptakan suasana yang bahagia. Nilai rasa gembira menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tersenyum, dan mata berbinar-binar.
Unsur
ekstralingual
berupa
konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa aplikasi facebook dapat mempermudah komunikasi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), tentang maksim pujian, bahwa penutur memberikan pujian kepada mitra tutur. Pujian dalam konteks ini ialah bahwa mitra tutur telah memberikan kemudahan bagi penutur dan masyarakat luas. Sama halnya karikatur (2) yang juga dipersepsi mengandung kadar nilai rasa bahagia. Hal ini ditunjukkan karena penutur (SBY) merasa senang pernah menjadi pemimpin bangsa Indonesia dan berharap rakyat Indonesia selalu mengingatnya, apapun profesinya nanti. Nilai rasa bahagia tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Don’t forget to remember me, yang dalam bahasa Indonesia berarti jangan lupa untuk ingat saya. Nilai rasa bahagia menjadi semakin
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
147
kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penuturr (SBY) yang tersenyum sambil bernyanyi ketika berjalan meninggalkan gedung pemerintahan. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pemerintahan SBY telah berakhir. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:103) tentang adu rasa. Tuturan tersebut menimbulkan kesepahaman antara penutur dengan mitra tutur, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Sikap yang ditunjukkan pun terkesan santai dan santun. Karikatur (3) dipersepsi mengandung kadar nilai rasa bahagia karena Indonesia memiliki menteri kelautan dan perikanan yang baru, yang mempunyai sikap yang unik tetapi bertanggung jawab, yaitu Susi Pudjiastuti. Nilai rasa bahagia tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Selamat datang bu!. Nilai rasa bahagia menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa loncatan ikan-ikan di laut sebagai tanda kegembiraan atas menteri perikanan yang baru. Selain itu juga ditandai oleh ekspresi wajah Susi Pudjiastuti yang tersenyum bahagia. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa cara berpenampilan Susi unik, tetapi mempunyai sikap yang bertanggung jawab. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur mengungkapkan rasa senangnya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
148
kepada mitra tutur atas terpilihnya menjadi menteri kelautan dan perikanan yang baru. Karikatur (4) juga mengandung kadar nilai rasa bahagia karena penutur merasa puas. Peneutur puas karena telah terbebas dari hukuman penjara atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Talib. Nilai rasa bahagia tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : bebaas. Nilai rasa puas menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah puas penutur yang tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bebas dari besi borgol. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Pollycarpus Budihari Prianto bersalah, dan seharusnya mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (dalam Pranowo, 2012:104) tentang sikap tepa selira. Di dalam konteks ini, tuturan yang mengungkapkan rasa puas tersebut hanya dirasakan oleh penutur saja, sedangkan mitra tutur merasakan hal yang berbeda. Penutur merasa puas atas terbebasnya dari hukuman penjara dengan menggunakan pembebasan bersyarat, padahal mitra tutur menginginkan untuk dihukum setimpal dengan perbuatannya. Berdasarkan keempat contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa bahagia di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa bahagia dapat ditunjukkan melalui ungkapan rasa bahagia, senang, gembira, dan puas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
149
Unsur intralingual yang dapat memunculkan nilai rasa bahagia ialah frasa dan kalimat. Unsur intralingual tersebut dapat menjadi penanda kesantunan apabila disertai unsur ekstralingual berupa konteks. Tuturan karikatur yang bernilai rasa bahagia ternyata juga memperlihatkan bentuk bahasa yang tidak santun. Hal ini dapat dilihat melalui konteks tuturannya. Nilai rasa bahagia yang tergolong santun dapat ditandai dengan rasa gembira yang dirasakan oleh penutur dan mitra tutur. Jika rasa bahagia hanya dirasakan oleh salah satu pihak saja, maka tuturan tersebut dikatakan tidak santun, karena salah satu pihak pasti merasa dirugikan. Nilai rasa bahagia yang santun akan semakin jelas terlihat apabila muncul unsur ekstralingual, misalnya berupa raut wajah senang dengan tersenyum, mata berbinar-binar, bernyanyi-nyanyi. Nilai rasa bahagia dikatakan tidak santun apabila tuturan dirasa berpuas diri atas nasib baik diri sendiri, tanpa memperhatikan mitra tutur, mau pun masyarakat luas.
4.2.2.8 Nilai Rasa Sombong (sombong, bangga) Nilai rasa sombong adalah kadar perasaan yang muncul karena menghargai diri secara berlebihan. Nilai rasa sombong pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sejumlah 3 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang!” (NR.KKT,09/09/014) (Konteks : Munculnya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, sehingga UU Pilkada langsung akan dihilangkan.) 2. A : “Aku ini aja” B : “Aku yang itu” C : “Aku itu” (NR.KKT,03/10/014) (Konteks : Para pejabat berhasil menduduki kursi pemerintahan yang selama ini diidam-idamkannya.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
150
3. “Hore...menang!” (NR.KKT,07/10/014) (Konteks : Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD belum disahkan. Prabowo terlalu percaya diri.) Karikatur (1) dipersepsi mengandung kadar nilai rasa sombong karena penutur (Prabowo) dianggap menghargai dirinya sendiri secara berlebihan. Nilai rasa sombong tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa : pasti saya menang. Nilai rasa sombong menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (Prabowo Subianto) yang tertawa lebar sambil mengusung banyak kepala daerah. Penanda ketubuhan lain yang memperkuat nilai rasa sombong ialah ekspresi wajah mitra tutur yang tercengang. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa RUU Pilkada oleh DPRD belum disahkan, Prabowo dianggap terlalu percaya diri. Karikatur (2) juga dipersepsi mengandung kadar nilai rasa sombong karena penutur merasa bangga atau gagah dapat menduduki kursi pemerintahan. Nilai rasa sombong berkadar bangga tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Aku ini aja, Aku yang itu, dan Aku itu. Nilai rasa sombong berkadar rasa bangga menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tersenyum sambil melirik dan menunjuk ke kursi, sebagai lambang telah berhasil mendapatkan kedudukan. Unsur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
151
ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak para pejabat yang melakukan segala cara untuk dapat menduduki dan mempertahankan kursi pemerintahannya. Sama halnya dengan karikatur (3) yang juga dipersepsi mengandung kadar nilai
rasa
sombong
karena
penutur
(Prabowo)
merasa
puas
dengan
kemenangannya yang mengusung banyak kepala daerah jika UU Pilkada oleh DPRD disahkan. Nilai rasa sombong tersebut dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat : Hore...menang!. Nilai rasa sombong menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah Prabowo yang tertawa lebar sambil mengangkat kedua tangannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa RUU Pilkada oleh DPRD belum disahkan, Prabowo dianggap terlalu percaya diri. Tuturan dalam karikatur (1), karikatur (2), dan karikatur (3) tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena dianggap berlawanan dengan indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kerendahan hati. Penutur justru memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri, karena ia merasa percaya diri dan membanggakan dirinya sendiri. Berdasarkan ketiga contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa sombong di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa sombong dapat ditunjukkan melalui ungkapan rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Karikatur yang bernilai rasa sombong selalu memperlihatkan bentuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
152
bahasa atau tuturan yang tidak santun. Unsur intralingual yang dimunculkan melalui nilai rasa sombong ini ialah klausa dan kalimat, yang dirasa terrlalu menganggap dirinya paling tinggi. Unsur intralingual yang memunculkan nilai rasa sombong tersebut akan semakin jelas apabila diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi-ekspresi wajah yang ditunjukkan.
4.2.2.9 Nilai Rasa Benci (dendam, iri) Nilai rasa benci adalah nilai rasa yang timbul karena merasa sangat tidak suka. Nilai rasa benci pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan sejumlah 2 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Berani nggak?” (NR.KKT,29/11/014) (Konteks : Kisruh Golkar semakin memanas. Kubu Agung Laksono kembali menantang untuk melaksanakan Munas tandingan.) 2. “Segera laksanakan Munas tandingan!” (KKT,08/12/014) (Konteks : Golkar kembali kisruh. Kubu Agung Laksono menolak hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar periode yang akan datang.) Karikatur (1) memiliki nilai rasa benci karena penutur (Agung Laksono) merasa dendam dengan mitra tutur (Ical), sehingga ia kembali menantang mitra tutur (Ical) dalam Munas tandingan. Nilai rasa benci dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Berani nggak?. Kalimat tanya tersebut dipersepsi sebagai kalimat untuk memunculkan suatu tantangan, dengan keinginan keras untuk balas dendam. Nilai rasa benci menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa kerutan dahi penutur sambil menurunkan jempolnya. Selain itu, ekspresi benci
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
153
juga ditunjukkan oleh mitra tutur yang juga mengerutkan dahinya dan melirik ke arah penutur, sambil bercekak pinggang. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa kisruh internal Golkar semakin memanas. Sama halnya dengan kasus pada karikatur (2) yang juga memiliki nilai rasa benci karena kubu Agung Laksono merasa iri atau tidak terima atas hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar berikutnya, sehingga beliau mengajukan diadakannya Munas tandingan yang telah disetujui oleh wakil presiden Yusuf Kalla. Nilai rasa benci dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat seruan: Segera laksanakan Munas tandingan. Nilai rasa benci menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa lirikan mata tajam dari penutur mau pun mitra tutur. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Agung Laksono merasa iri atas hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar berikutnya. Tuturan dalam karikatur (1) dan karikatur (2) tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini, penutur justru memaksimalkan rasa tidak senangnya kepada mitra tutur akibat masalah internal tentang Musyawarah Nasional Golkar,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
154
sehingga tuturan tersebut dimaksudkan untuk menantang mitra tutur. Unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan yang ditunjukkan oleh kedua karikatur tersebut jelas memperlihatkan bahwa penutur berada dalam keadaan yang tidak stabil, dan lebih cenderung emosional. Berdasarkan kedua contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa benci di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa benci dapat dilatar belakangi adanya unsur perasaan dendam dan iri. Karikatur yang bernilai rasa benci selalu memperlihatkan bentuk tuturan yang tidak santun. Hal ini dapat dilihat melalui penggunaan unsur intralingual berupa kalimat yang dirasa mengandung ancaman bagi mitra tutur. Unsur intralingual untuk memunculkan nilai rasa sombong tersebut semakin diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa cara penutur menyampaikan tuturannya yang selalu didorong rasa emosi ketika bertutur. Misalnya ditunjukkan dengan raut wajah yang sinis, dahi berkerut, dan berkacak pinggang.
4.2.2.10 Nilai Rasa Egoistis Nilai rasa egoistis adalah kadar perasaan yang muncul karena seseorang lebih mementingkan diri sendiri atau bersifat egois. Nilai rasa egoistis pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan sejumlah 2 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Ayo kita minum Migas sampai habis!!” (NR.KKT,08/09/014) (Konteks : Kembali maraknya kasus penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ilegal di Batam sejak 2008 yang dilakukan oleh para pejabat.)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
155
2. “Enak ya rasanya menikmati kekuasaan?” (NR.KKT,09/10/014) (Konteks : Banyak pejabat yang dengan sengaja memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi.) Karikatur (1) memiliki nilai rasa egoistis karena penutur dinilai serakah. Penutur dianggap telah menguasai minyak dan gas negara dengan cara menjualnya dengan harga yang murah. Nilai rasa egoistis dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Ayo kita minum Migas sampai habis!! Nilai rasa egoistis menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang bersemangat dari para mafia
dengan
berlomba-lomba
menyedot
minyak dan gas. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa kasus penjualan BBM bersubsidi ilegal semakin marak terjadi. Sama halnya dengan karikatur (2) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa egoistis. Nilai rasa egoistis dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Enak ya rasanya menikmati kekuasaan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa egoistis karena dimaknai sebagai proses mengalami sesuatu yang memuaskan, yaitu dengan cara menguasai masyarakat dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini tentu akan merugikan masyarakat luas, dan hanya akan menguntungkan dirinya sendiri. Nilai rasa egoistis menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi para pejabat yang serakah memakan kekuasaan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
156
sebagai tanda bahwa orang itu memanfaatkan kekuasaannya untuk mementingkan kepentingan pribadinya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa banyak pejabat yang memanfaatkan kekuasaannya demi meraih keuntungan pribadi. Tuturan dalam karikatur (1) dan karikatur (2) tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena dianggap memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri, sehingga hal ini berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo 2012:103), tentang maksim kebijaksanaan. Tuturan tersebut dipersepsi hanya memberi keuntungan bagi penutur saja, sehingga mitra tutur mau pun masyarakat pada umumnya merasa dirugikan. Berdasarkan kedua contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa egoistis di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa egoistis dapat ditunjukkan melalui sikap serakah dan ingin menang sendiri. Karikatur yang bernilai rasa egoistis selalu memperlihatkan bentuk tuturan yang tidak santun. Unsur intralingual yang memunculkan nilai rasa egoistis ialah kalimat. Unsur intralingual berupa kalimat yang mengandung nilai rasa egoistis tersebut akan semakin terlihat jelas sebagai tuturan yang tidak santun apabila juga dimunculkan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah.
4.2.2.11 Nilai Rasa Sedih Nilai rasa sedih adalah nilai rasa yang timbul akibat merasa bersusah hati. Nilai rasa sedih pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan sejumlah 2 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
157
1. “Turut berdukacita atas matinya suara rakyat...” (NR.KKT,11/09/014) (Konteks : Indonesia sebagai negara yang demokratis seharusnya mementingkan kepentingan rakyat, sehingga muncul berbagai aksi dari rakyat Indonesia, yang mendengar adanya RUU Pilkada oleh DPRD.) 2. “Mari kita berbelasungkawa atas meninggalnya demokrasi rakyat...!” (NR.KKT,28/09/014) (Konteks : Munculnya tanggapan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, bukan lagi melalui pemilihan langsung.) Karikatur (1) dipersepsi memiliki nilai rasa sedih. Nilai rasa sedih dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : berdukacita. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa sedih karena dimaknai sebagai suatu perasaan bersusah hati atau bersedih hati. Nilai rasa sedih menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang meneteskan air matanya ketika melihat kotak suara rakyat dililit oleh karangan bunga sebagai tanda bahwa suara rakyat sudah mati. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa pelaksanaan pilkada oleh DPRD akan mematikan hak suara rakyat. Sama halnya dengan karikatur (2) yang juga menunjukkan kasus yang sama sehingga juga dipersepsi memiliki nilai rasa sedih. Nilai rasa sedih dapat terlihat melalui unsur intralingual berupa diksi : berbelasungkawa. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa sedih karena dimaknai sebagai perasaan bersedih hati, berdukacita, atau berkabung. Di dalam konteks ini berdukacita atas matinya suara rakyat. Nilai rasa sedih menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah melamun dan sedih dengan memejamkan mata sambil
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
158
mengepalkan kedua tangannya. Tuturan dalam karikatur (1) dan karikatur (2) tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan penggunaan diksi yang santun (Pranowo, 2012:104), yaitu penutur menggunakan pilihan kata yang halus, seperti: berdukacita, berbelasungkawa, meninggal. Sikap yang ditunjukkan pun terkesan santun. Berdasarkan kedua contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa sedih di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa sedih dapat ditunjukkan melalui sikap susah hati. Unsur intralingual yang dapat memunculkan nilai rasa sedih adalah diksi. Misalnya diksi berdukacita, berbelasungkawa, meninggal. Tuturan karikatur yang bernilai rasa sedih selalu memperlihatkan bentuk tuturan yang santun. Hal ini juga dimunculkan melalui unsur ekstralingual berupa cara penutur menyampaikan tuturannya, yang kemudian diperjelas dengan ekspresi-ekspresi yang ditunjukkan. Ekspresi yang ditunjukkan oleh karikatur yang bernilai rasa sedih dan santun tersebut biasanya berupa mata berkaca-kaca, menangis, dan menundukkan kepala.
4.2.2.12 Nilai Rasa Tertekan Nilai rasa tertekan adalah nilai rasa yang timbul karena merasa terancam atau terbebani. Nilai rasa tertekan pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan sejumlah 2 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
159
1. “Mungkin ini cara yang tepat!” (NR.KKT,11/12/014) (Konteks : Banyaknya tekanan yang dirasakan oleh Kubu Aburizal Bakrie, sehingga Ical berkeinginan mendukung perpu pilkada langsung.) 2. “Auwwwww......!” (NR.KKT,17/12/014) (Konteks : Dollar AS semakin naik, dan rupiah semakin melemah.)
Karikatur (1) dipersepsi memiliki nilai rasa tertekan. Nilai rasa tertekan dapat terlihat melalui unsur intralingual berupa kalimat : Mungkin ini cara yang tepat. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa tertekan karena penutur (Ical) merasa mendapatkan banyak tekanan, sehingga penutur mempunyai cara untuk mengeluarkannya dari berbagai tekanan tersebut dengan ikut mendukung perpu pilkada langsung. Nilai rasa tertekan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (Ical) yang terlihat sangat terancam. Hal ini ditandai dengan batu besar yang menimpa penutur, sebagai lambang tekanan berat yang dirasakan penutur. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Ical mendapatkan banyak tekanan, seperti tekanan internal dari kubu Agung Laksono, tekanan dari masyarakat luas, dan tekanan atas kesepakatan KMP dan SBY. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104), yang mengungkapkan bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan sifat rendah hati, yaitu dengan menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur. Di dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
160
konteks ini, penutur merasa tidak mampu lagi menghadapi tekanan yang tengah dirasakannya. Sama halnya dengan karikatur (2) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa tertekan karena penutur merasa terbebani dengan semakin merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Nilai rasa tertekan tersebut dapat terlihat melalui unsur intralingual berupa kalimat : auwwww...!. Nilai rasa tertekan menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa sikap penutur yang menggigit gigi sambil menjinjitkan kaki sebagai tanda tidak kuat mengangkat beban. Di dalam konteks ini ialah beban nilai Dollar AS yang semakin meningkat. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS akan membuat masyarakat Indonesia semakin terbebani. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104), yang mengungkapkan bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan sifat rendah hati, yaitu dengan menjaga agar tuturan selalu memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur. Di dalam konteks ini, penutur merasa terbebani akibatnya semakin naiknya nilai tukar Dollar AS. Berdasarkan kedua contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa tertekan di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa tertekan dapat ditunjukkan melalui keadaan terancam dan terbebani. Unsur intralingual
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
161
yang dapat memunculkan nilai rasa tertekan adalah kalimat. Kalimat yang dimunculkan biasanya dimaknai sebagai kalimat yang memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur, sehingga tuturan karikatur yang bernilai rasa tertekan selalu memperlihatkan bentuk tuturan yang santun. Hal ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa cara penutur menyampaikan tuturannya, yang kemudian juga diperjelas dengan ekspresi wajah yang ditunjukkan. Ekspresi yang ditunjukkan oleh karikatur yang bernilai rasa tertekan dan santun tersebut berupa raut wajah putus asa, lesu, mengangkat bahu.
4.2.2.13 Nilai Rasa Munafik Nilai rasa munafik adalah nilai rasa yang timbul karena seseorang berpurapura percaya atau setia tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Nilai rasa munafik terlihat jika ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya, atau sering disebut sebagai orang yang bermuka dua. Nilai rasa munafik pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan sejumlah 2 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut. 1. “Lihat tu, mereka berpura-pura berdamai” (NR.KKT,16/09/014) (Konteks : Pada waktu itu terjadi perseteruan antara Ahok dan Haji Lulung. Namun, seolah-olah mereka berdamai di depan masyarakat.) 2. “Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD?” (NR.KKT,27/09/014) (Konteks : Kabinet Jokowi sudah mulai melaksanakan tugasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu mengawasi terhadap anggota kabinet Jokowi.) Karikatur (1) dipersepsi memiliki nilai rasa munafik. Nilai rasa munafik ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : berpura-pura. Diksi tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa munafik karena dimaknai sebagai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
162
seolah-olah berbuat, tetapi sebenarnya tidak berbuat. Nilai rasa munafik menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi Ahok dan Haji Lulung yang di depan terlihat berdamai dengan saling marangkul dan saling menggenggam tangan. Namun, di belakang mereka saling membawa alat pukul sebagai tanda aksi saling serang. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa terjadi perseteruan antara Ahok dan Haji Lulung, namun mereka berusaha menutupinya. Sama halnya dengan karikatur (2) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa munafik karena penutur dianggap berpura-pura setia, dan suka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Nilai rasa munafik tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat tanya : Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD?. Nilai rasa munafik menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa isyarat tangan penutur (SBY) yang satu memegang kotak
pilkada
langsung,
dan
yang
satu
memegang kotak pilkada oleh DPRD. Selain itu juga diperkuat dengan gambar wajah SBY yang bermuka dua. Hal itu menjadi penanda bahwa ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono bersikap mendua dalam menyikapi rencana pelaksanaan pilkada.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
163
Tuturan dalam karikatur (1) dan karikatur (2) tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur merasa tidak senang kepada mitra tuturnya karena mitra tutur dianggap mempunyai sikap munafik., sehingga tuturan tersebut dimaknai untuk menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Diksi berpura-pura pada NR.KKT,16/09/014 dan wajah yang bermuka dua pada NR.KKT,27/09/014 menjadi penanda bahwa penutur sudah mempunyai pikiran negatif terhadap mitra tutur. Berdasarkan kedua contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa munafik di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa munafik dapat ditunjukkan melalui tindakan seseorang yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa munafik ialah diksi dan kalimat. Karikatur yang bernilai rasa munafik selalu memperlihatkan bentuk bahasa kurang santun. Hal ini dapat dilihat melalui cara penutur menyampaikan tuturannya, yang kemudian diperjelas dengan ekspresiekspresi yang ditunjukkan. Tentu, hal ini akan merugikan mitra tutur, karena mitra tutur akan merasa tersinggung mau pun terancam dengan tuturan mau pun ekspresi yang ditunjukkan oleh penutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
164
4.2.2.14 Nilai Rasa Plintat-Plintut Nilai rasa plintat-plintut adalah nilai rasa yang timbul karena seseorang berpendirian tidak tetap, bahkan tidak berpendirian. Nilai rasa plintat-plintut pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan 1 karikatur. Data tersebut yaitu: “Plin... Plan... Plin... Plan...” (NR.KKT,04/09/014) (Konteks : Kubu Aburizal Bakrie, selaku ketua umum Golkar ingin Musyawarah Nasional (MUNAS) Golkar digelar pada tahun 2015, padahal seharusnya dilaksanakan tiap 5 tahun, dan mestinya jatuh pada tahun 2014.) Karikatur di atas dipersepsi mengandung nilai rasa plintat-plintut. Nilai rasa plintat-plintut ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : plin plan. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa plintat-plintut karena mengandung makna denotatif atau makna sebenarnya yang berarti berpendirian tidak tetap. Nilai rasa munafik menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gambar binatang cecak. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa cecak merupakan binatang yang tidak mempunyai sarang, sehingga habitatnya juga tidak jelas, sering berpindah-pindah. Di dalam konteks ini cecak dijadikan sebagai simbol orang yang tidak mempunyai pendirian. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur dipersepsi tidak senang terhadap sikap mitra tutur yang plintat-plintut. Unsur ekstralingual untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
165
memperjelas ketidaksantunan juga ditunjukkan melalui ikon seekor cecak yang dipersepsi bahwa orang yang dituturkan mempunyai sifat seperti cecak. Berdasarkan contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa plintat-plintut di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa plintat-plintut dapat ditunjukkan melalui keadaan seseorang yang tidak berpendirian. Unsur intralingual yang digunakan untuk memunculkan nilai rasa plintat-plintut ialah diksi. Unsur intralingual berupa diksi tersebut akan diperkuat oleh tanda visual yang saling berhubungan, misalnya diksi plintat-plintut dengan ikon cecak. Karikatur di atas menunjukkan kepada kita bahwa bentuk bahasa yang dimunculkan melalui nilai rasa plintat-plintut merupakan bentuk bahasa yang kurang santun.
4.2.2.15 Nilai Rasa Simpatik Nilai rasa simpatik adalah nilai rasa yang timbul untuk membangkitkan rasa simpati atau menarik hati. Nilai rasa simpatik pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan 1 karikatur. Data tersebut yaitu: “Ini kesempatan bagi Anda.” (NR.KKT,11/11/014) (Konteks : Jokowi menjadi salah satu pembicara dalam forum CEO APEC yang berlangsung di Beijing. Ia mempromosikan sektor kemaritiman.) Tuturan karikatur di atas dipersepsi memiliki nilai rasa simpatik. Nilai rasa simpatik tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat: Ini kesempatan bagi Anda. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa simpatik karena kalimat yang dituturkan penutur (Presiden Jokowi) tersebut bersifat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
166
membangkitkan rasa simpati atau berusaha menarik hati mitra tutur yang merupakan negara lain untuk bekerja sama dengan Indonesia. Nilai rasa simpatik menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan
Jokowi
yang
dengan
mantap
mempromosikan peluang bisnis negara lain dengan Indonesia, dengan cara menunjuk ke peta Indonesia yang memiliki ribuan pulau, untuk bisa digunakan dalam kaitannya dengan salah satu investasi yang ditawarkan, yaitu pembangunan pelabuhan di pulau-pulau Indonesia. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Indonesia memiliki banyak pulau yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan usaha. Tuturan dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yang mengungkapkan bahwa tuturan dapat memberikan keuntungan bagi mitra tutur. Di dalam konteks ini mitra tutur akan merasa diuntungkan dengan terbentuknya kerja sama yang baru antar negara. Berdasarkan contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa simpatik di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa simpatik akan membangkitkan rasa simpati atau menarik hati mitra tutur atau pun masyarakat luas. Unsur intralingual yang dimunculkan melalui nilai rasa simpatik ialah kalimat. Kalimat yang digunakan dimaknai mengandung rayuan. Hal inilah yang menjadikan penanda bahwa nilai rasa simpatik memiliki bentuk tuturan yang santun karena kemungkinan merugikan mitra tutur itu sangat minim.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
167
4.2.2.16 Nilai Rasa Merasa Bersalah Nilai rasa merasa bersalah adalah nilai rasa yang timbul karena adanya kekeliruan atau kesalahan. Nilai rasa merasa bersalah pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan 1 karikatur. Data tersebut yaitu: “Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu!” (NR.KKT,09/12/014) (Konteks : Sejumlah sekolah dinilai belum siap menerima kurikulum 2013. Banyak guru yang merasa kesulitan menerapkan dan memberi penilaian terhadap siswa.) Karikatur di atas dipersepsi memiliki nilai rasa merasa bersalah. Nilai rasa merasa bersalah dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa bersalah karena penutur merasa penerapan Kurikulum 2013 ini gagal, sehingga harus dilakukan evaluasi kembali. Nilai rasa merasa bersalah menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa pemberian gembok di buku Kurikulum 2013. Unsur
ekstralingual
berupa
konteks
dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa gembok dipersepsi sebagai alat untuk mengunci. Di dalam konteks ini gembok dimaksudkan untuk mengunci atau menutup Kurikulum 2013 terlebih dahulu dengan melakukan evaluasievaluasi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (1983) tentang maksim kerendahan hati, yaitu dengan cara meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan berani mengakui kelemahannya, sehingga akan dilaksanakan evaluasi terlebih dahulu.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
168
Berdasarkan contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa merasa bersalah di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang dimunculkan nilai rasa merasa bersalah ialah kalimat. Kalimat karikatur yang bernilai rasa merasa bersalah dimaknai mengandung kadar kekecewaan, namun kekecewaan itu disadari penutur karena kesalahannya sendiri. Hal inilah yang menjadikan penanda bahwa nilai rasa merasa bersalah memiliki bentuk tuturan yang santun karena munculnya sifat rendah hati, yaitu tuturan selalu memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur.
4.2.2.17 Nilai Rasa Salah Paham Nilai rasa salah paham adalah nilai rasa yang timbul karena salah dan keliru dalam memahami pembicaraan, pernyataan, atau pun sikap orang lain. Nilai rasa salah paham pada Karikatur Koran Tempo hanya ditemukan 1 karikatur. Data tersebut yaitu: Mitra tutur : “Sikut aja... Jangan beri ruang deh!Kepuuung!!” Penutur : “Politik pasti nih... ah bikin malas!” (NR.KKT,12/10/014) (Konteks : Saat ini, di Indonesia banyak terjadi manipulasi atau permainan politik yang dilakukan oleh para pejabat.) Karikatur di atas dipersepsi memiliki nilai rasa salah paham. Nilai rasa salah paham dapat terlihat melalui unsur intralingual berupa kalimat percakapan di atas. Kalimat percakapan tersebut dipersepi sebagai nilai rasa salah paham karena tidak adanya keselarasan antar dialog.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
169
Nilai rasa salah paham semakin diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan yang diletakkan di samping kuping, sebagai tanda orang yang sedang menguping pembicaraan orang lain. Unsur ekstralingual nilai rasa salah paham juga dimunculkan melalui konteks berupa fenomena praanggapan dari penutur yang menganggap bahwa mitra tutur sedang membicarakan masalah politik. Pada kenyataannya, mitra tutur hanya bersorak sebagai ekspresi untuk memberi semangat kepada pemain sepak bola U21 yang dilihatnya di televisi. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini mitra tutur akan merasa dirugikan karena penyampaian tuduhan atas dasar kecurigaan penutur kepada mitra tutur. Berdasarkan contoh karikatur yang memiliki kadar nilai rasa salah paham di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang dimunculkan nilai rasa salah paham ialah kalimat. Kalimat karikatur yang bernilai rasa salah paham merupakan bentuk kalimat percakapan yang dipersepsi tidak adanya keselarasan antar dialog. Hal inilah yang menjadikan penanda bahwa nilai rasa salah paham memiliki bentuk bahasa yang tidak santun, karena di benak penutur pasti akan muncul berbagai tuduhan kepada mitra tutur yang belum tentu kebenarannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4.3
170
Pembahasan Berdasarkan analisis data ditemukan beberapa daya bahasa dan nilai rasa bahasa berdasarkan unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan di dalam berkomunikasi. Pembahasan disajikan sesuai dengan rumusan masalah penelitian sebagai berikut.
4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi Berdasarkan aneka macam daya bahasa yang dimunculkanpada Karikatur Koran Tempo, sebagai penanda kesantunan digunakan unsur intralingual dan unsur ekstralingual (Pranowo, 2012:127). Unsur intralingual berupa unsur segmental, seperti kalimat, klausa, frasa, dan diksi. Unsur intralingual berupa kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya ancam, daya penolakan, daya ungkap, dan daya pikat. Jenis kalimat dalam setiap daya tersebut berupa kalimat pertanyaan retoris dan kalimat berita. Bentuk kalimat yang dimunculkan berupa kalimat tuturan langsung dan kalimat tuturan tidak langsung. Berdasarkan unsur intralingual di setiap daya bahasa, ternyata kadangkadang satu daya bahasa juga menggunakan unsur intralingual lebih dari satu, misalnya daya paksa, daya kabar, dan daya harap. Unsur intralingual berupa diksi, frasa, dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya paksa. Unsur intralingual berupa klausa dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya kabar, sedangkan unsur intralingual berupa diksi dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan daya harap.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
171
Penggunaan unsur intralingual di atas, disebabkan oleh beberapa alasan, seperti keefektifan kalimat, kepaduan klausa dengan klausa lain yang membentuk kalimat, ketepatan frasa, dan ketepatan penggunaan diksi sesuai dengan daya bahasa yang ingin dimunculkan. Di samping itu, pemunculan daya bahasa sebagai penanda kesantunan juga digunakan unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan, gerak ketubuhan si penutur, dan tanda-tanda visual. Unsur ekstralingual berupa konteks dapat dilihat pada munculnya setiap daya bahasa. Hal ini dikarenakan unsur ekstralingual berupa konteks digunakan untuk mengetahui maksud tuturan. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan dan ekspresi wajah yang tidak selalu muncul dalam setiap daya bahasa. Temuan tersebut sejalan dengan Liliweri (1994:88) yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Selain itu, unsur ekstralingual berupa tanda-tanda visual kadang-kadang juga dimunculkan. Danesi (2010:38) menegaskan bahwa jenis tanda yang lazim digunakan pelbagai karya semiotikaa diantaranya ikon, indeks, dan simbol. Unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan dan ekspresi wajah dapat dijumpai pada pemunculan daya penolakan, daya harap, daya ungkap, dan daya pikat, sedangkan unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual dapat dijumpai pada pemunculan daya ancam, daya paksa, dan daya kabar. Daya ancam pada tuturan “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik” (DB.KKT,04/10/014) menggunakan konteks berupa fenomena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
172
praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang menunjuk ke sebuah piala dengan adanya logo Demokrat diatasnya, dan bertuliskan “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik”. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat berita. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya ancam tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech 1983 (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pujian. Di dalam konteks ini, penutur secara langsung memuji mitra tutur, tetapi secara tidak langsung justru menyindir mitra tutur, sehingga bentuk yang digunakan ialah tuturan tidak langsung, bahwa apa yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan. Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan objek piala yang biasanya digunakan sebagai lambang kemenangan atas prestasi yang baik, namun maksud yang sebenarnya adalah kemenangan atas keberhasilan menjadi pembohong. Daya paksa pada tuturan “Mari kita berbelasungkawa atas meninggalnya demokrasi rakyat...!” (DB.KKT,28/09/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan tanda ketubuhan dapat dilihat pada gerakan kedua tangan mengepalyang diletakkan di depan dada sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa diksi “mari”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya paksa tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan penggunaan diksi yang santun (Pranowo, 2012:104), yaitu penutur menggunakan pilihan kata yang halus, seperti : “mari”, “berbelasungkawa”, “meninggal”. Sikap yang ditunjukkan pun terkesan santun.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
173
Daya kabar pada tuturan “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang secara berulang" (DB.KKT,24/09/014)
menggunakan
konteks
berupa
fenomena
praanggapan, sedangkan tanda ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang mengetukkan palu. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa klausa “terdakwa terbukti secara sah”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya kabar tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) yang mengungkapkan bahwa penutur harus bisa membangun sikap angon rasa. Tuturan tersebut mampu memperhatikan suasana hati atau menjaga perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (Pranowo, 2012:103). Tuturan karikatur tersebut telah menyampaikan informasi yang didukung oleh data dan realita, serta waktu penyampaiannya juga tepat, yaitu dengan memanfaatkan situasi di forum persidangan. Selain itu, diksi : terdawa yang digunakan penutur terkesan santun, karena tidak menyebut nama orang yang didakwa secara langsung. Daya penolakan pada tuturan “Turun sekarang!” (DB.KKT,12/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan tanda ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan menunjuk ke arah orang yang dimaksud dalam tuturan. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Turun sekarang!”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya penolakan tersebut dikatakan tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), tentang maksim
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
174
kesetujuan. Di dalam konteks ini penutur menyatakan ketidaksetujuannya kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya. Selain itu, penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, yang dapat terlihat melalui unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan. Daya
harap
pada
tuturan
“Don‟t
forget
to
remember
me”
(DB.KKT,17/10/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan ekspresi wajah dapat dilihat pada ekspresi tersenyum sambil memejamkan matanya. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Don‟t forget to remember me”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Jangan lupa untuk ingat saya”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya harap tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan adu rasa menurut Pranowo (2012:103). Tuturan tersebut mampu menimbulkan kesepahaman antara penutur dengan mitra tutur, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Sikap yang ditunjukkan pun terkesan santai dan santun. Daya
ungkap
pada
tuturan
“Komunikasi
semakin
mudah”
(DB.KKT,14/10/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan ekspresi wajah dapat dilihat pada ekspresi tersenyum senang. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Komunikasi semakin mudah”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya ungkap tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pujian. Di dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
175
konteks ini penutur memberikan pujian kepada mitra tutur yang dianggap telah memberikan kemudahan bagi penutur dan masyarakat luas. Daya pikat pada tuturan “Ini kesempatan bagi Anda” (DB.KKT,11/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan penutur yang menunjuk ke peta Indonesia yang memiliki ribuan pulau. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Ini kesempatan bagi Anda”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung daya pikat tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yang mengungkapkan bahwa tuturan dapat memberikan keuntungan bagi mitra tutur. Di dalam konteks ini mitra tutur akan merasa diuntungkan dengan terbentuknya kerja sama yang baru antar negara. Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi, daya bahasa yang menunjukkan kesantunan terdapat dalam daya kabar, daya harap, dan daya ungkap. Sebaliknya, daya bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan terdapat dalam daya penolakan. Selain itu, ditemukan juga daya bahasa yang menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan, yang terdapat dalam daya ancam, daya paksa, dan daya pikat. 4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi Berdasarkan aneka macam nilai rasa bahasa yang dimunculkan, sebagai penanda kesantunan digunakan unsur intralingual dan unsur ekstralingual. Unsur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
176
intralingual nilai rasa bahasa dapat digali melalui kalimat, klausa, frasa, dan diksi (Pranowo, 2013). Unsur intralingual berupa kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa marah, nilai rasa bahagia, nilai rasa benci, nilai rasa egoistis, nilai rasa tertekan, nilai rasa simpatik, nilai rasa merasa bersalah, dan nilai rasa salah paham. Unsur intralingual berupa diksi dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa sedih dan nilai rasa plintat-plintut. Berdasarkan unsur intralingual di setiap nilai rasa bahasa, ternyata kadang-kadang satu nilai rasa bahasa juga menggunakan unsur intralingual lebih dari satu. Unsur intralingual berupa klausa dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa sombong. Unsur intralingual berupa diksi dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa kasar, nilai rasa takut-cemas, dan nilai rasa munafik. Unsur intralingual berupa diksi, frasa, dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa halus dan nilai rasa heran. Unsur intralingual berupa diksi, frasa, klausa, dan kalimat dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa yakin. Penggunaan unsur intralingual di atas, disebabkan oleh beberapa alasan, seperti keefektifan kalimat, kepaduan klausa dengan klausa lain yang membentuk kalimat, ketepatan frasa, dan ketepatan penggunaan diksi sesuai dengan nilai rasa bahasa yang ingin dimunculkan. Di samping itu, pemunculan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan juga digunakan unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dapat berupa konteks tuturan, gerak ketubuhan si penutur, dan tanda-tanda visual. Unsur ekstralingual berupa konteks dapat dilihat pada munculnya setiap nilai rasa bahasa karena
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
177
digunakan untuk mengetahui kadar perasaan suatu tuturan. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan dan ekspresi wajah yang tidak selalu muncul dalam setiap nilai rasa bahasa. Temuan tersebut sejalan dengan Liliweri (1994:88) yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Selain itu, unsur ekstralingual berupa tanda-tanda visual kadang-kadang juga dimunculkan. Danesi (2010:38) menegaskan bahwa jenis tanda yang lazim digunakan pelbagai karya semiotikaa diantaranya ikon, indeks, dan simbol. Unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan dan ekspresi wajah dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa kasar, nilai rasa marah, nilai rasa heran, nilai rasa bahagia, nilai rasa sombong, nilai rasa benci, nilai rasa egoistis, nilai rasa sedih, nilai rasa munafik, nilai rasa simpatik, dan nilai rasa salah paham. Unsur ekstralingual berupa gerak ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual dapat dijumpai pada pemunculan nilai rasa halus, nilai rasa yakin, nilai rasa takutcemas, nilai rasa tertekan, nilai rasa plintat-plintut, dan nilai rasa merasa bersalah. Nilai
rasa
halus
pada
tuturan
“Rapat
di
luar
lagi,
Pak?”
(NR.KKT,17/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan tanda visual dapat dilihat pada banyaknya sarang laba-laba yang ada di ruang rapat negara, dikarenakan ruangan tersebut tidak pernah dipakai. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Rapat di luar lagi, Pak?”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa halus dapat dikatakan santun karena sesuai dengan sikap tenggang rasa menurut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
178
Pranowo (2012:109). Di dalam konteks ini, sikap tenggang rasa yang ditunjukkan penutur berupa penggunaan tuturan tidak langsung. Penutur menggunakan tuturan dalam bentuk kalimat pertanyaan retoris, sehingga yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan. Hal ini dimaksudkan agar tuturan tidak membuat mitra tutur merasa terancam. Nilai rasa kasar pada tuturan “Kok bau ya? Bau banget! Bau partai!” (NR.KKT,22/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang menunjuk ke foto orang yang dimaksud dalam tuturan, sambil menutup hidung dan menjulurkan lidah. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Bau partai!”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa kasar dapat dikatakan tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini, tuturan justru dianggap merugikan mitra tutur, karena penutur berprasangka buruk kepada mitra tutur, sehingga tuturannya dianggap memojokkan mitra tutur. Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dengan cara menyindir dan mengejek secara langsung. Nilai rasa marah pada tuturan “Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti...” (NR.KKT,21/12/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang menunjuk-nunjuk di depan wajah mitra tutur, sambil memelototkan mata. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Itu namanya mencuri tahu!!!”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
179
marah dapat dikatakan tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang sikap hormat. Di dalam konteks ini penutur tidak bisa memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih tinggi karena tuturan yang digunakan mengandung makian, sehingga tuturan tersebut terkesan dikemukakan secara emosional. Nilai rasa yakin pada tuturan “Katakan tidak ! Pada korupsi. Tidak! Tidak! Tidak!”
(NR.KKT,07/09/014)
menggunakan
konteks
berupa
fenomena
praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan menurunkan jempol dan melambaikan tangan sebagai isyarat bahwa korupsi itu bukanlah perbuatan yang baik, dan tidak pantas untuk ditiru. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa diksi “Tidak! Tidak! Tidak!”. Kata yang diucapkan lebih dari satu kali juga menjadi penanda kemantapan akan apa yang ingin dimaksudkan. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa yakin dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini, tuturan memberikan keuntungan bagi mitra tutur mau pun masyarakat luas, bahwa seluruh masyarakat diajak untuk tidak melakukan tindak korupsi. Nilai rasa heran pada tuturan “Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya, wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik!” (NR.KKT,16/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan menggelengkan kepala sambil tersenyum. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa diksi “wah..wah..”. Unsur intralingual
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
180
dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa heran dapat dikatakan santun karena sesuai dengan sikap tenggang rasa menurut Pranowo (2012:109), yang mengungkapkan bahwa sikap ini diperlihatkan oleh penutur untuk menjaga perasaan agar mitra tutur tidak merasa terancam atas tuturan penutur. Di dalam konteks ini penutur menerapkan sikap tenggang rasa dengan cara tidak menyebut nama Wakil Rektor yang bersangkutan. Nilai
rasa
takut-cemas
pada
tuturan
“Aku
harus
bagaimana?”
(NR.KKT,12/12/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang menggarukgaruk kepala. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Aku harus bagaimana?”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa takut-cemas dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) yang mengungkapkan bahwa tuturan yang santun ditandai dengan sifat rendah hati, dengan menjaga agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (Pranowo, 2012:104). Di dalam konteks ini, penutur merasa kurang mampu atau bingung untuk menentukan keputusannya. Nilai rasa bahagia pada tuturan “Komunikasi semakin mudah..” (NR.KKT,14/10/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan ekspresi wajah dapat dilihat pada ekspresi tersenyum dan mata berbinar-binar. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Komunikasi semakin mudah..”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa bahagia dapat dikatakan santun karena sesuai dengan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
181
indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103), tentang maksim pujian. Di dalam konteks ini penutur memberikan pujian kepada mitra tutur karena telah memberikan kemudahan bagi penutur dan masyarakat luas. Nilai rasa sombong pada tuturan “Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang!”
(NR.KKT,09/09/014)
menggunakan
konteks
berupa
fenomena
praanggapan, sedangkan ekspresi wajah dapat dilihat pada ekspresi tertawa lebar sambil melirik dan memelototkan matanya ke arah mitra tutur. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa klausa “pasti saya menang”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa sombong dapat dikatakan tidak santun karena dianggap berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kerendahan hati. Di dalam konteks ini penutur justru memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri, karena ia merasa percaya diri dan membanggakan dirinya sendiri. Nilai rasa benci pada tuturan “Berani nggak?” (NR.KKT,29/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan menurunkan jempol sambil mengerutkan dahi dan melirik ke arah orang yang dimaksud. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Berani nggak?”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa benci dapat dikatakan tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini, penutur justru memaksimalkan rasa tidak senangnya kepada mitra tutur, sehingga tuturan tersebut dimaksudkan untuk menantang mitra tutur. Unsur ekstralingual berupa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
182
tanda ketubuhan yang ditunjukkan oleh kedua karikatur tersebut jelas memperlihatkan bahwa penutur berada dalam keadaan yang tidak stabil, dan lebih cenderung emosional. Nilai rasa egoistis pada tuturan “Ayo kita minum Migas sampai habis!!” (NR.KKT,08/09/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan ekspresi wajah dapat dilihat pada ekspresi yang bersemangat dengan berlomba-lomba menyedot minyak dan gas. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Ayo kita minum Migas sampai habis!!”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa egoistis dapat dikatakan tidak santun karena dianggap memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri, sehingga hal ini berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo 2012:103), tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini tuturan hanya memberikan keuntungan bagi penutur saja, sehingga mitra tutur mau pun masyarakat pada umumnya merasa dirugikan. Nilai rasa sedih pada tuturan “Turut berdukacita atas matinya suara rakyat...”
(NR.KKT,11/09/014)
menggunakan
konteks
berupa
fenomena
praanggapan, sedangkan ekspresi wajah dapat dilihat pada ekspresi meneteskan air mata. Selain itu muncul juga tanda visual berupa kotak suara rakyat yang dililit oleh karangan bunga sebagai tanda bahwa suara rakyat sudah mati. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa diksi “berdukacita”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa sedih dapat dikatakan tidak santun karena sesuai dengan penggunaan diksi yang santun
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
183
(Pranowo, 2012:104), yaitu penutur menggunakan pilihan kata “berdukacita” yang dirasa halus. Nilai rasa tertekan pada tuturan “Auwwwww......!” (NR.KKT,17/12/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan
gerak
ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang mengangkat beban sambil menggigit gigi dan menjinjitkan kaki. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual
berupa
kalimat
“Auwwwww......!”.
Unsur
intralingual
dan
ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa tertekan dapat dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104), tentang sifat rendah hati. Di dalam konteks ini penutur memperlihatkan rasa ketidakmampuannya di hadapan mitra tutur, akibat merasa terbebani akan suatu masalah yang menimpanya. Nilai rasa munafik pada tuturan “Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD?”
(NR.KKT,27/09/014)
menggunakan
konteks
berupa
fenomena
praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang satu memegang kotak pilkada langsung, dan yang satu memegang kotak pilkada oleh DPRD. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD?”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa munafik dapat dikatakan tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:103) tentang sikap tepa selira. Di dalam konteks ini tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan tidak juga dirasakan oleh mitra tutur (rakyat Indonesia). Penutur
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
184
dianggap munafik karena bermuka dua dengan berpura-pura memilih pilkada langsung, tetapi sebenarnya lebih memilih pilkada oleh DPRD. Nilai rasa plintat-plintut pada tuturan “Plin... Plan... Plin... Plan...” (NR.KKT,04/09/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan tanda visual dapat dilihat pada gambar binatang cecak, yang dipersepsi merupakan binatang yang tidak mempunyai sarang, sehingga habitatnya juga tidak jelas, sering berpindah-pindah. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa diksi “plin-plan”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang bernilai rasa plintat-plintut dapat dikatakan tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim pertimbangan. Di dalam konteks ini penutur dipersepsi tidak senang terhadap sikap mitra tutur yang plintat-plintut. Nilai rasa simpatik pada tuturan “Ini kesempatan bagi Anda” (NR.KKT,11/11/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan penutur yang menunjuk ke peta Indonesia yang memiliki ribuan pulau. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Ini kesempatan bagi Anda”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung nilai rasa simpatik tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan, yang mengungkapkan bahwa tuturan dapat memberikan keuntungan bagi mitra tutur. Di dalam konteks ini mitra tutur akan merasa diuntungkan dengan terbentuknya kerja sama yang baru antar negara.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
185
Nilai rasa merasa bersalah pada tuturan “Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu!” (NR.KKT,09/12/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan tanda visual dapat dilihat pada pemberian gembok di buku Kurikulum 2013. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu!”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung nilai rasa merasa bersalah tersebut dikatakan santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Leech (1983) tentang maksim kerendahan hati, yaitu dengan cara meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan berani mengakui kelemahannya, sehingga akan dilaksanakan evaluasi terlebih dahulu. Nilai rasa salah paham pada tuturan Mitra tutur : “Sikut aja... Jangan beri ruang deh!Kepuuung!!”; Penutur : “Politik pasti nih... ah bikin malas!” (NR.KKT,12/10/014) menggunakan konteks berupa fenomena praanggapan, sedangkan gerak ketubuhan dapat dilihat pada gerakan tangan yang diletakkan di samping kuping, sebagai tanda orang yang sedang menguping pembicaraan orang lain. Tuturan tersebut menggunakan unsur intralingual berupa kalimat “Politik pasti nih... ah bikin malas!”. Unsur intralingual dan ekstralingual dalam tuturan yang mengandung nilai rasa salah paham tersebut dikatakan santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini mitra tutur akan merasa dirugikan karena penyampaian tuduhan atas dasar kecurigaan penutur kepada mitra tutur.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
186
Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi, nilai rasa bahasa yang menunjukkan kesantunan terdapat dalam nilai rasa halus, nilai rasa sedih, nilai rasa tertekan, nilai rasa simpatik, dan nilai rasa merasa bersalah. Sebaliknya, nilai rasa bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan terdapat dalam nilai rasa kasar, nilai rasa marah, nilai rasa sombong, nilai rasa benci, nilai rasa egoistis, nilai rasa munafik, nilai rasa plintat-plintut, dan nilai rasa salah paham. Selain itu, ditemukan juga nilai rasa bahasa yang menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan, yang terdapat dalam nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa takut-cemas, dan nilai rasa bahagia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
Pada bab ini peneliti menyampaikan dua hal, yaitu kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi rangkuman dari keseluruhan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pada bagian saran, peneliti akan mengajukan beberapa saran bagi para peneliti selanjutnya, terutama bagi mereka yang akan melakukan penelitian yang sejenis. 5.1 Kesimpulan Pertama, unsur intralingual dalam daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 yang dijadikan sebagai penanda kesantunan ialah diksi, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur ekstralingual yang memperkuat unsur intralingual dimunculkan melalui tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan maksud tanda-tanda visual. Selain itu, unsur ekstralingual berupa konteks selalu menyertai tuturan dan dimunculkan melalui fenomena praanggapan. Satu daya bahasa terkadang menggunakan unsur intralingual dan ekstralingual lebih dari satu. Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai
penanda
kesantunan
dalam
berkomunikasi,
daya
bahasa
yang
menunjukkan kesantunan terdapat dalam daya kabar, daya harap, dan daya ungkap. Sebaliknya, daya bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan terdapat dalam daya penolakan. Selain itu, ditemukan juga daya bahasa yang menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan, yang terdapat dalam daya ancam, daya paksa, dan daya pikat.
187
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
188
Kedua, unsur intralingual dalam nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 yang dijadikan sebagai penanda kesantunan ialah diksi, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur ekstralingual yang memperkuat unsur intralingual dimunculkan melalui tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. Selain itu, unsur ekstralingual berupa konteks
selalu
menyertai
tuturan
dan
dimunculkan
melalui
fenomena
praanggapan. Satu nilai rasa bahasa terkadang menggunakan unsur intralingual dan ekstralingual lebih dari satu. Jika dilihat dari unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi, nilai rasa bahasa yang menunjukkan kesantunan terdapat dalam nilai rasa halus, nilai rasa sedih, nilai rasa tertekan, nilai rasa simpatik, dan nilai rasa merasa bersalah. Sebaliknya, nilai rasa bahasa yang menunjukkan ketidaksantunan terdapat dalam nilai rasa kasar, nilai rasa marah, nilai rasa sombong, nilai rasa benci, nilai rasa egoistis, nilai rasa munafik, nilai rasa plintat-plintut, dan nilai rasa salah paham. Selain itu, ditemukan juga nilai rasa bahasa yang menunjukkan kesantunan dan ketidaksantunan, yang terdapat dalam nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa takut-cemas, dan nilai rasa bahagia.
5.2 Saran Penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mencoba mengajukan beberapa saran bagi peneliti selanjutnya, terutama yang akan melakukan penelitian yang sejenis. Saran dari peneliti adalah sebagai berikut.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
189
1. Unsur intralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang dikaji dalam penelitian ini hanya berupa diksi, frasa, klausa, dan kalimat. 2. Penelitian ini hanya membahas unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada Karikatur Koran Tempo. Peneliti berharap apabila ada penelitian yang sama, sebaiknya peneliti juga membahas keterkaitan antara daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ditemukan dalam satu tuturan dan konteks yang sama, karena pada dasarnya
keduanya
saling
berkaitan
dan
sama-sama
mempengaruhi
komunikasi. 3. Peneliti selanjutnya hendaknya mampu menindaklanjuti penelitian ini dengan meneliti karikatur pada media cetak lainnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
190
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan,dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat. Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra. Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. __________. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Besar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Balai Pustaka. Leech, Geoffrey. 2003. Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Poerwadarminta. 1967. Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Yogyakarta: Kanisius. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pranowo. 2011. Proposal Penelitian Hibah Bersaing “Unsur Intralingual dan Ekstralingual Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi”. Yogyakarta. _______. 2012. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahardi, Kunjana. 2006. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Ramlan, M. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Kayono. Rivers, L.William, dkk. 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media. Slamet, Supriyadi. 2011. Karikatur Karya G.M. Sudarta di Surat Kabar Kompas Kajian Pragmatik. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
191
Sudarta, G.M. 1980. Indonesia 1967 – 1980. Jakarta: PT Gramedia. __________. 1987. Karikatur: Mati Ketawa Cara Indonesia. Jakarta: Prisma. Suprapti, dkk. 1992. “Leksikon dan Taksonomi Emosi”, dalam Kaswanti Purwo (ed.) PELLBA 5 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. Jakarta: Kanisius. Suryani, Dini. 2013. Nilai Rasa Bahasa pada Diksi dalam Dialog Interaktif di Mata Najwa Metro TV. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Warasinta, Cicilia Verlit. 2013. Daya Bahasa pada Iklan Surat Kabar Harian Kompas Edisi November-Desember 2012. Skripsi S1. PBSID. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Wijana, I Dewa Putu. 2003. Kartun: Studi Tentang Permainan Bahasa. Yogyakarta: Ombak. Wijana, I Dewa Putu, dkk. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Yule, Geoge. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuni, Qonita Fitra. 2009. Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi Pidato Politik. Skripsi S1. PBSID. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
192
LAMPIRAN 1 DATA UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014 UNTUK MENGEFEKTIFKAN KESANTUNAN 1. Data tuturan: “Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak...” (DB.KKT,01/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu harga BBM dinaikkan oleh pemerintah, dan pemerintah mengeluarkan larangan untuk tidak membeli BBM menggunakan jeriken. Hal tersebut merepotkan para nelayan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak untuk memunculkan daya ancam berupa sindirin. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai sindiran bagi pihak Pemerintah pusat. Tetapi penutur tidak secara langsung menggunakan kata pemerintah. Hal ini dikarenakan Pemerintah pusat melarang agar Pertamina tidak melayani masyarakat yang membeli BBM menggunakan jeriken, kecuali membawa surat pengantar atau rekomendasi dari pemerintah. Daya ancam juga diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar penutur (seorang nelayan) yang membawa kapal ketika mendatangi SPBU. Gambar kapal diibaratkan sebagai jeriken. Penutur menganggap kapal berfungsi sama seperti jeriken, yaitu sebagai tempat bensin. Namun sewajarnya orang yang ingin membeli bensin dalam jumlah besar menggunakan jeriken. Dari kasus tersebut, akan muncul pertanyaan yang menyindir yaitu : Apa harus membawa kapal agar boleh mengisi BBM? 2. Data tuturan: “Salam gigit jari pak!” (DB.KKT,02/09/014) Konteks tuturan: Kabinet Jokowi-JK harus segera menentukan menteri-menterinya. Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar akan gigit jari apabila PKB tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : salam gigit jari pak! untuk memunculkan daya ancam berupa ejekan yang diungkapkan oleh masyarakat bagi Muhaimin Iskandar selaku ketua umum PKB yang tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
193
Daya ancam diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang menggigit jarinya untuk menirukan ekspresi Muhaimin Iskandar yang gagal mendapatkan kursi menteri di kabinet JokowiJK. 3. Data tuturan: “Tidak merapat kok...” (DB.KKT,03/09/014) Konteks tuturan: Perseteruan yang terjadi sejak pemilu lalu antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) semakin memanas. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tidak merapat kok untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi Koalisi Merah Putih (KMP), yang belum berusaha menerima kekalahan sejak pertarungannya di pemilu lalu. Hatta Rajasa sudah memberikan ucapan selamat dan bersilaturahmi sebagai tanda bahwa kompetisi sudah selesai. Namun, iktikad baik itu tidak diikuti oleh Koalisi Merah Putih, termasuk Prabowo, yang tidak memberikan ucapan selamat secara resmi kepada presiden terpilih Jokowi-JK. Hal inilah yang menjadikan alasan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung ke pemerintahan Jokowi-JK. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual gerak wajah Hatta Rajasa yang berpaling dari gambar burung garuda yang merupakan simbol Koalisi Merah Putih. Hatta Rajasa juga berniat menjadi jembatan perdamaian bagi kubu Prabowo dan Jokowi yang dulu sempat memanas pada pemilu. 4. Data tuturan: “Plin... Plan... Plin... Plan...” (DB.KKT,04/09/014, Survei: Aburizal Kurang Berhasil Pimpin Golkar) Konteks tuturan: Kubu Aburizal Bakrie, selaku ketua umum Golkar ingin Musyawarah Nasional (MUNAS) Golkar digelar pada tahun 2015, padahal seharusnya dilaksanakan tiap 5 tahun, dan mestinya jatuh pada tahun 2014. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : plin plan untuk memunculkan daya ancam. Diksi tersebut mengandung makna denotatif atau makna sebenarnya yang berarti plintat-plintut atau berpendirian tidak tetap; tidak berpendirian; mudah dipengaruhi (KBBI), sehingga dipersepsi sebagai kritikan bagi kinerja Aburizal Bakrie, yang menginginkan Musyawarah Nasional (MUNAS)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
194
Golkar digelar pada tahun 2015, padahal seharusnya dilaksanakan tiap 5 tahun, dan mestinya jatuh pada tahun 2014. Daya ancam tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa pemberian tanda silang pada angka 4 dalam 2014, dan diganti dengan angka 5, sehingga menjadi 2015. 5. Data tuturan: “Aku tidak menyangka” (DB.KKT,05/09/014, Presiden Kaget Menteri Jero Jadi Tersangka) Konteks tuturan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merasa terkejut atas penetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang di kementeriannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Aku tidak menyangka untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung pendapat dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak menduga bahwa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik telah melanggar hukum karena terlibat dalam kasus pemerasan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Daya ungkap tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah SBY yang terlihat bingung dengan menopangkan tangan kanannya di dagu, sedangkan tangan kirinya memegang kepala sambil menutup mata. 6. Data tuturan: “Ditinggal ya, bu?” (DB.KKT,06/09/014) Konteks tuturan: PDIP menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mencalonkan Rismaharini lagi untuk Pilkada Surabaya 2015. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Ditinggal ya, bu? Untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung ejekan bagi Tri Rismaharini yang tidak lagi dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk Pilkada Surabaya 2015. Menurut Bambang Dwi Hartono, mantan Wali Kota Surabaya, PDIP sudah siap jika harus meninggalkan Risma dan ikhlas jika dicalonkan partai lain. Rismaharini dianggap jalan sendiri, karena tidak pernah mengikuti rapat tiga pilar, yaitu koordinasi antar eksekutif partai, petugas legislatif (anggota DPRD) dan petugas eksekutif (wali kota). Mengenai mutasi jabatan di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
195
Pemkot Surabaya, Risma juga tidak pernah mendengar saran dan masukan dari partai pengusung, melainkan jalan sendiri dan memutuskan sendiri. Daya ancam tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar banteng sebagai simbol atau lambang PDIP yang melirikkan matanya sambil berjalan jauh meninggalkan Tri Rismaharini. Selain itu juga ditandai oleh ekspresi penutur yang memelototkan matanya sambil melongo. 7. Data tuturan: “Katakan tidak ! Pada korupsi. Tidak! Tidak! Tidak!” (DB.KKT,07/09/014) Konteks tuturan: Indonesia banyak terjadi kasus korupsi yang sangat sulit untuk diberantas, bahkan korupsi itu sampai melibatkan para pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Katakan tidak! Pada korupsi untuk memunculkan daya paksa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung ajakan kepada masyarakat untuk mengatakan tidak pada korupsi. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena implikatur yang merupakan ajakan untuk tidak melakukan tindak korupsi, seperti yang telah dilakukan oleh Jero Wacik. Selain itu, para penutur juga berkata “tidak” sambil menurunkan jempol sebagai isyarat bahwa korupsi itu bukanlah perbuatan yang baik, dan melambaikan tangannya sebagai isyarat bahwa korupsi tidak pantas untuk ditiru. 8. Data tuturan: “Ayo kita minum Migas sampai habis!!” (DB.KKT,08/09/014) Konteks tuturan: Kembali maraknya kasus penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ilegal di Batam sejak 2008 yang dilakukan oleh para pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : ayo untuk memunculkan daya paksa. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena Ahmad Mahbub mengajak teman-temannya untuk menguasi minyak dan gas negara dengan cara menjualnya dengan harga yang murah. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang bersemangat dari beberapa mafia yang berlomba-lomba menyedot minyak dan gas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
196
9. Data tuturan: “Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang! Haha..” (DB.KKT,09/09/014) Konteks tuturan: Munculnya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, sehingga UU Pilkada langsung akan dihilangkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang! Untuk memunculkan daya ancam, berupa ejekan bagi Koalisi Jokowi. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung daya ancam karena mengejek Koalisi Jokowi yang mendukung Pilkada langsung, dan otomatis akan kalah jika UU Pilkada oleh DPRD disahkan. Daya ancam ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa lirikan mata tajam Prabowo sambil tertawa, yang optimis menang dan akan mengusung banyak kepala daerah jika Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah disahkan, yaitu pemilihan oleh DPRD. Kondisi terbalik akan dirasakan oleh Koalisi Jokowi yang hanya akan mengusung sedikit kepala daerah jika UU pilkada disahkan. 10. Data tuturan: SBY : “Merci untuk kabinet Jokowi...” (DB.KKT,10/09/014) Jokowi : “ ? ” Konteks tuturan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pemerntahan lama memiliki kewajiban mempersiapkan kendaraan operasional untuk pemerintahan berikutnya, yaitu masa pemerintahan Jokowi-JK. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh tanda tanya (?) untuk memunculkan daya penolakan dari presiden Jokowi untuk menanggapi pemberian kendaraan operasional baru berupa mobil Mercedes-Benz untuk pemerintahannya. Tanda tanya (?) dipersepsi sebagai bentuk kebingungan karena sebelumnya Jokowi telah menolak untuk pemberian kendaraan operasional barunya. Daya penolakan diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah presiden Jokowi yang mengerutkan dahinya dan menggigit jari sebagai ungkapan ketidaksetujuannya jika harus diberi kendaraan operasional baru. Jokowi menganggap bahwa untuk melaksanakan tugas-tugasnya masih bisa menggunakan mobil yang kemarin dan tidak perlu membeli yang baru untuk meminimalkan pengeluaran negara. 11. Data tuturan: “Turut berduka cita atas matinya suara rakyat...” (DB.KKT,11/09/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
197
Konteks tuturan: Indonesia sebagai negara yang demokratis seharusnya mementingkan kepentingan rakyat, sehingga muncul berbagai aksi dari rakyat Indonesia, yang mendengar adanya RUU Pilkada oleh DPRD. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : turut berduka cita atas matinya suara rakyat. Untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena terdapat kritikan bahwa masyarakat luas sudah tidak dilibatkan lagi dalam menentukan pemimpinnya. Suara rakyat sudah mati dan tidak dianggap lagi, karena akan munculnya RUU Pilkada oleh DPRD. Daya ancam diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar rangkaian bunga yang melilit kotak suara rakyat. Maksud dari gambar itu adalah bahwa seolah-seolah Koalisi Merah Putih ingin mematikan suara rakyat. 12. Data tuturan: “Kita harus bangun ekonomi yang kuat!” (DB.KKT,12/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu, tata kehidupan perekonomian di Indonesia melemah. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kita harus bangun ekonomi yang kuat! untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam yang berupa sindiran bagi pemerintah yang menginginkan perekonomian Indonesia meningkat. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar seseorang yang membangun gedung dengan pilar yang megah, tetapi dasar bangunan atau fondasinya tidak kuat. Hal ini menjadi sindiran bahwa apa yang diinginkan tidak dibarengi dengan usaha. 13. Data tuturan: “Masih menginginkan Pilkada oleh DPRD dengan alasan biaya Pilkada langsung mahal? Bukankah hanya untuk kepentingan politik dan karena sakit hati ya?” (DB.KKT,13/09/014) Konteks tuturan: Koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pengembalian Pilkada ke zaman Orde Baru yakni melalui DPRD dengan alasan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk Pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : hanya untuk memunculkan daya ancam. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya ancam yang berupa sindiran bagi Koalisi Merah Putih yang memperjuangkan Pilkada oleh DPRD. Masyarakat menilai alasan utama KMP menginginkan Pilkada oleh DPRD
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
198
bukan hanya karena biaya Pilkada langsuung yang mahal, tetapi KMP ini merupakan koalisi sakit hati. Keberadaan KMP hanya dijadikan sebagai alat balas dendam Prabowo atas kekalahannya dalam pemilihan Presiden lalu. Selain itu, KMP juga dianggap nafsu akan kekuasaan tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Karena dengan dilaksanakannya pilkada oleh DPRD, otomatis Prabowo akan menang atas Jokowi. Daya ancam ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa implikatur dari tuturan tersebut, yaitu bahwa biaya mahal tidak dapat dijadikan alasan mutlak untuk mengganti pilkada. Tuturan tersebut bukan sekedar pertanyaan tetapi juga menjadi sindiran dengan ditunjukkannya alat pertahanan sebagai simbol alasan KMP ingin melaksanakan pilkada oleh DPRD, yaitu karena kepentingan politiknya dan sakit hati atas kekalahannya di pemilu lalu. 14. Data tuturan: “A : Pilkada oleh DPRD!! B : Pilkada langsung!!” (DB.KKT,14/09/014) Konteks tuturan: Timbulnya kontroversi pelaksanaan Pilkada melalui DPRD dan pilkada langsung. KoalisiMerah Putih menginginkan pilkada oleh DPRD, sedangkan kubu Jokowi-JK menginginkan pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Pilkada oleh DPRD!! dan Pilkada langsung!! Untuk memunculkan daya pikat. Kedua kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya pikat karena dalam kalimat tersebut terjadi perdebatan antara Koalisi Merah Putih dengan kubu Joko Widodo – Jusuf Kalla. Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, pendukung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa menginginkan penghapusan pilkada langsung untuk gubernur, bupati, dan wali kota. Mereka lebih setuju jika pelaksanaan pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sedangkan kubu Jokowi – JK bersikap berbeda, bahkan berlawanan. Mereka menolak tegas penghapusan pilkada langsung. Daya pikat ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi berteriak dengan membuka mulut dan mata lebar-lebar dari masing-masing kubu yang mempertahankan pendapatnya. Bahkan beberapa orang dari kubu Jokowi-JK mengangkat tangan dan mengepalkan jari-jarinya sebagai isyarat untuk tetap mempertahankan proses pilkada langsung. 15. Data tuturan: “Konflik horizontal.. High cost politics.. Apa bener alasannya cuma itu?” (DB.KKT,14/09/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
199
Konteks tuturan: Muncul alasan tidak dilaksanakannya Pilkada langsung adalah karena mengeluarkan biaya yang mahal sehingga akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : cuma untuk memunculkan daya ancam. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran kepada KMP yang menginginkan pilkada oleh DPRD. Rakyat menilai high cost (biaya yang mahal) dan konflik horisontal tidak bisa dijadikan alasan mutlak untuk mengembalikan mekanisme Pilkada oleh DPRD. Daya ancam ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melongo sambil menggigit jarinya. 16. Data tuturan: “Itu bapak-bapak yang di atas mendengarkan kita nggak ya?” (DB.KKT,15/09/014) Konteks tuturan: Di dalam menanggapi kontroversi pilkada, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Itu bapak-bapak yang di atas mendengarkan kita nggak ya? Untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi pemerintah yang akan menetapkan UU Pilkada oleh DPRD. Daya ancam diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang terlihat marah ketika melihat kuping para pejabat yang tersumpal, yang menjadi isyarat kritikan bagi sikap pemerintah yang seolaholah tuli dan sudah tidak mendengarkan aspirasi rakyat lagi. 17. Data tuturan: “Lihat tu, mereka berpura-pura berdamai” (DB.KKT,16/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu terjadi perseteruan antara Ahok dan Haji Lulung. Namun, seolah-olah mereka berdamai di depan masyarakat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : mereka berpura-pura berdamai untuk memunculkan daya ancam. Klausa tersebut dipersepsi mengandung daya ancam karena mengandung sindiran bagi Ahok dan Haji Lulung yang seolah-olah berdamai, tetapi sebenarnya tidak.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
200
Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar Ahok dan Haji Lulung yang di depan berdamai dengan saling marangkul dan saling menggenggam tangan. Namun, di belakang mereka saling membawa alat pukul sebagai tanda aksi saling serang. 18. Data tuturan: “Apa iya mau pasrah terus?” (DB.KKT,17/09/014) Konteks tuturan : Israel memiliki senjata-senjata canggih dalam melancarkan serangannya kepada Palestina. Bahkan anak-anak kecil pun menjadi sasarannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Apa iya mau pasrah terus? untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi Palestina yang dianggap menyerah sepenuhnya terhadap serangan dari Israel. Daya ancam diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa implikatur bahwa Palestina harus bisa maju, agar tidak tertindas terus. Selain itu juga terlihat ekspresi kaget dari masyrakat Palestina akan canggihnya senjata Israel. 19. Data tuturan: “A : Pak ada Tilpun. B : Dari pak Jokowi!” (DB.KKT,18/09/014) Konteks tuturan: Tuturan terjadi di rumah. Ketika itu suatu pagi, ada seorang Debtcollector yang menelepon. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Dari pak Jokowi! untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena di dalam kalimat tersebut terdapat harapan bahwa telepon itu berasal dari pak Jokowi. Daya harap itu diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gerakan tubuh mitra tutur yang langsung bangun dari tempat tidurnya dengan ekspresi wajah yang berbinang. 20. Data tuturan: “Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih!” (DB.KKT,19/09/014) Konteks tuturan: Banyak menteri-menteri di Indonesia yang melakukan tindak korupsi. Kabinet Jokowi-JK akan segera memilih menteri-menterinya yang baru.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
201
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : semoga untuk memunculkan daya harap. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena mengandung harapan masyarakat agar calon menteri kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih, tidak terlibat kasus korupsi, dan tidak menjabat pengurus atau ketua umum partai politik. Daya harap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang meneropong calon menteri kabinet Jokowi, sebagai salah satu cara agar harapannya benar-benar terwujud. 21. Data tuturan: “Tunggu, ikut!” (DB.KKT,20/09/014) Konteks tuturan: SBY, sebagai wakil partai Demokrat berubah sikap, ketika dulu sempat mendukung Pilkada melalui DPRD, kini kembali mendukung Pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai dengan kalimat : tunggu, ikut! Untuk memunculkan daya paksa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung permintaan dari partai Demokrat kepada PKB, PDIP, dan Partai Hanura untuk kembali bergabung dan mendukung dilaksanakannya Pilkada langsung. Daya paksa ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa lambaian tangan dari kubu Demokrat sebagai isyarat memanggil sambil lari mengejar kubu pendukung pilkada langsung sebagai isyarat untuk meminta kembali bergabung. 22. Data tuturan: “A : Hu..hu... Sakit juga dicabut giginya... B : Hu..hu... Sakit juga dicabut hak politiknya... C : Masih bersyukur dari pada dicabut kesehatannya...” (DB.KKT,21/09/014) Konteks tuturan : Pada waktu itu, Anas Urbaningrum yang menjadi terdakwa korupsi proyek Hambalang, dituntut hukuman selama 15 tahun penjara serta dicabut hak politiknya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Hu..hu... Sakit juga dicabut hak politiknya... untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung ejekan kepada Anas Urbaningrum yang dicabut hak politiknya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
202
Daya ancam ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang berbicara keras sambil tertawa terbahak-bahak, hingga terpejam matanya.
23. Data tuturan: “Yang bukan trah cukup jadi Sekjen, ketua DPP aja..” (DB.KKT,22/09/014) Konteks tuturan: PDIP mengadakan rapat di Semarang, dan hasil rapat itu berupa rekomendasi agar Megawati Soekarnoputri kembali menjadi ketua umum PDIP periode 2015-2020. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : cukup jadi untuk memunculkan daya ancam. Frasa tersebut dipersepsi mengandung daya ancam karena mengandung sindiran bahwa yang bisa menjadi ketua umum PDIP hanyalah orang berasal dari keluarga Soekarno, sedangkan yang tidak berasal dari keluarga Soekarno hanya bisa menjadi sekjen ketua DPP saja. Daya ancam ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melongo sambil menggigit jarinya sebagai ungkapan rasa kekecewaannya atas keputusan tersebut. 24. Data tuturan: “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang secara berulang." (DB.KKT,24/09/014) Konteks tuturan: Tuturan diucapkan di pengadilan oleh hakim kepada Anas Urbaningrum yang terlibat dalam korupsi proyek Hambalang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : terbukti secara sah untuk memunculkan daya kabar. Klausa tersebut dipersepsi mengandung daya kabar karena mengandung penegasan dari hakim bahwa Anas telah terbukti terlibat kasus korupsi. Daya kabar ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ketukan palu di meja hijau sebagai tanda bahwa keputusan sudah disahkan dan tidak dapat diganggu gugat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
203
25. Data tuturan: “Ayo, musnahkan ISIS!!” (DB.KKT,25/09/014) Konteks tuturan: Semakin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), terutama di Amerika. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : ayo untuk memunculkan daya paksa. Diksi tersebut dipersepsi mengandung daya paksa karena mempunyai makna sebagai kata seru untuk mengajak atau memberikan dorongan, yaitu ajakan untuk memusnahkan ISIS sebagai tanggapan atas tersebarnya video yang diunggah di youtube yang memperlihatkan seorang wartawan asal negara Amerika Serikat, James Foley yang dipenggal dengan sebilah pisau oleh anggota gerakan ISIS. Daya paksa ini juga diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa tindak perlokusi dengan membawa alat pemusnah untuk menyingkirkan gerakan ISIS. 26. Data tuturan: “Kami akan memantau menteri kabinet Jokowi!” (DB.KKT,26/09/014) Konteks tuturan: Kabinet Jokowi sudah mulai melaksanakan tugasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu mengawasi terhadap anggota kabinet Jokowi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : memantau untuk memunculkan daya kabar berupa penegasan bahwa KPK akan terus mengawasi dan mengecek dengan cermat kinerja semua menteri kabinet Jokowi selama menjalani masa tugasnya. Daya kabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang serius dengan tatapan mata yang tajam dari penutur sambil melihat ke kaca pembesar sebagai tanda sedang memantau atau mengawasi. 27. Data tuturan: “Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD?” (DB.KKT,27/09/014) Konteks tuturan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mempunyai pendirian yang kuat atas keputusan pelaksanaan Pilkada. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD? untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran kepada ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai bermuka dua atau mendua dalam menyikapi rencana proses pilkada.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
204
Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa isyarat tangan SBY yang satu memegang pilkada langsung, dan yang satu memegang pilkada oleh DPRD. Selain itu juga diperkuat dengan gambar wajah SBY yang bermuka dua. 28. Data tuturan: “Mari kita berbelasungkawa atas meninggalnya demokrasi rakyat...!” (DB.KKT,28/09/014) Konteks tuturan: Munculnya tanggapan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, bukan lagi melalui pemilihan langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : mari untuk memunculkan daya paksa. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung ajakan kepada semua rakyat Indonesia untuk ikut berduka cita atas matinya suara rakyat karena muncul RUU Pilkada oleh DPRD. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi sedih dengan memejamkan mata sambil mengepalkan kedua tangannya seperti orang yang sedang berdoa, sebagai ajakan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk ikut berdukacita atas matinya suara rakyat. 29. Data tuturan: “Pejabat 1 : UU Pilkada ini demi rakyat! Pejabat 2 : Ini kemenangan rakyat! Rakyat : Rakyat yang mana?” (DB.KKT,29/09/014) Konteks tuturan: Rakyat merasa dirugikan atas munculnya pelaksanaan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Rakyat yang mana? untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi pemerintah yang mendukung pelaksanaan pilkada oleh DPRD. Rakyat menilai UU Pilkada ini seolah-olah mematikan suara rakyat, dan hanya mementingkan dan mengedepankan kepentingan pribadi. Daya ancam ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang melongo sambil menggigit jarinya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
205
30. Data tuturan: “Sinetron terbaru walk out” (DB.KKT,30/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu, sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : sinetron terbaru untuk memunculkan daya ancam. Frasa tersebut dipersepsi sebagai daya ancam berupa sindiran karena mengandung makna bersandiwara atau berdrama, atas sikap anggota Fraksi Demokrat yang walkout dalam sidang paripurna revisi UU Pilkada. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang kesal dengan lirikan mata yang tajam ketika menyaksikan Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Masyarakat menilai kejadian tersebut merupakan sandiwara politik baru yang dilakukan Demokrat agar Pilkada langsung tidak tercapai, dan lebih mempertahankan Pilkada melalui DPRD. 31. Data tuturan: “Reformasi ala KMP” (DB.KKT,01/10/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu, Koalisi Merah Putih telah memilih Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang diragukan kejujurannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Reformasi ala KMP untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi Koalisi Merah Putih yang mempunyai model sendiri untuk perubahan sebagai perbaikan di bidang sosial, politik, atau agama suatu masyarakat atau negara. Daya ancam tersebut dimunculkan melalui unsur ekstralingual berupa praanggapan bahwa reformasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan nyawa hanyalah sia-sia, sehingga praanggapannya adalah bahwa Koalisi Merah Putih memang menginginkan perubahan, tetapi bukanlah menjadi sosok reformis sejati. Hal ini ditunjukkan dengan memilih sosok Setya Novanto, Bendahara Partai Golkar yang sudah disebut-sebut dalam urusan yang kurang baik sejak 1998. 32. Data tuturan: “PERPU pengganti UU” (DB.KKT,02/10/014) Konteks tuturan: Muncul berbagai penolakan dilaksanakannya pilkada oleh DPRD, SBY menerbitkan perubahan politik pengganti undang-undang (perpu).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
206
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : PERPU pengganti UU untuk memunculkan daya kabar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung penegasan bahwa UU Pilkada dianggap tidak sesuai dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara demokratis, sehingga harus diganti dengan perpu. 33. Data tuturan : “Betapa bahagianya mereka!” (DB.KKT,03/10/014) Konteks tuturan: Para pejabat berhasil menduduki kursi pemerintahan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Betapa bahagianya mereka! untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi para pejabat yang telah berhasil menduduki kursi pemerintahan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi para pejabat yang tersenyum sambil melirik dan menunjuk ke kursi, sebagai lambang telah berhasil mendapatkan kedudukan. 34. Data tuturan: “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik” (DB.KKT,04/10/014) Konteks tuturan: Sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada pada Jumat, 26 September 2014, dini hari. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi Partai Demokrat karena dinilai memainkan sandiwara politik dengan cara walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian piala dengan gambar logo Demokrat yang bertuliskan “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik”, sebagai sindiran karena dianggap berhasil menjadi pembohong.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
207
35. Data tuturan: “Mereka telah memanfaatkan kekuasaannya!"(DB.KKT,06/10/014) Konteks tuturan: Semakin maraknya tindak korupsi yang terjadi di Indonesia, terutama di kalangan pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Mereka telah memanfaatkan kekuasaannya untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi pejabat yang telah memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan tidak korupsi. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar tikus berdasi sebagai ikon koruptor, dan gambar keju sebagai ikon gedung pemerintah atau pejabat. Implikatur dari gambar tersebut adalah bahwa para koruptor itu berasal dari orang yang memegang kekuasaan. 36. Data tuturan: “Hore...menang!” (DB.KKT,07/10/014) Konteks tuturan: Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, otomatis akan memenangkan Prabowo yang mengusung banyak kepala daerah. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Hore...menang! untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung daya ancam karena mengejek Koalisi Jokowi yang mendukung Pilkada langsung, dan dipastikan akan kalah jika UU Pilkada oleh DPRD disahkan. Daya ancam ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah Prabowo yang tertawa lebar, dan mengangkat kedua tangannya, sambil membelakangi Jokowi. 37. Data tuturan: “Maaf, kami kecewa.” (DB.KKT,08/10/014) Konteks tuturan: Pada saat itu sedang terjadi proses pemilihan pemilihan ketua dan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019. Koalisi Merah Putih tidak memberi posisi PPP sebagai pimpinan MPR. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Maaf, kami kecewa untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung daya penolakan karena dimaknai sebagai ungkapan kecewa dari PPP yang tidak masuk daftar paket calon pimpinan MPR. Kondisi inilah yang membuat suara PPP beralih ke Kolaisi Indonesia Hebat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
208
Daya penolakan ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa sikap penutur yang pergi meninggalkan Koalisi Merah Putih (KMP), dan beralih ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Penolakan PPP terhdap KMP pun disambut baik oleh KIH, yaitu ditandai dengan uluran tangan dari KIH. 38. Data tuturan: “Enak ya rasanya menikmati kekuasaan?” (DB.KKT,09/10/014) Konteks tuturan: Banyak pejabat yang drngan sengaja memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Enak ya rasanya menikmati kekuasaan untuk memunculkan daya ancam. Klausa tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi para pejabat yang sering memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi para pejabat yang dengan semangat memakan kekuasaan sebagai tanda bahwa orang itu memanfaatkan kekuasaannya untuk mementingkan kepentingan pribadinya. 39. Data tuturan: “Sepandai-pandainya kamu bersembunyi, pasti akan tertangkap juga!!” (DB.KKT,10/10/014) Konteks tuturan: Akhirnya pada waktu itu, KPK berhasil menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : pasti akan tertangkap juga untuk memunculkan daya kabar. Klausa tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mangandung penegasan dari KPK yang akan menangkap para koruptor. Daya kabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar pipa yang dihubungkan ke keran. Keran sebagai sumber air ditandai sebagai sumber kasus Hambalang, yang kemudian menyebar yang ditandai dengan aliran air ke pipa. Selain itu, gambar pipa yang ruwet dengan ujungnya terdapat gambar borgol menjadi tanda bahwa bagaimanapun usaha tersangka untuk menyembunyikan kasus itu, pasti akan terbongkar juga.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
209
40. Data tuturan: “Suka bohong yaa?” (DB.KKT,11/10/014, Yudhoyono „Curhat‟ di Bali Democrary Forum) Konteks tuturan: Sejumlah anggota Fraksi Demokrat, yang diketuai oleh SBY walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Suka bohong yaa? Untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung ejekan bagi Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono yang plintat-plintut dalam menanggapi pelaksanaan pilkada. Dalam pidatonya di acara pembukaan Bali Democrary Forum (BDF), beliau menegaskan mendukung pilkada langsung sebagai wujud kedaulatan rakyat. Namun, pada kenyataannya partai Demokrat ini memilih walkout di parlemen saat voting UU Pilkada. BDF ini dianggap hanya sebagai media yang dapat mengembalikan nama baik SBY setelah bersikap walkout. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang berbicara sambil tertawa, dan gambar hidung SBY yang memanjang akibat dari kebohongannya. 41. Data tuturan: “Hati-hati, Ebola merajalela!” (DB.KKT,13/10/014) Konteks tuturan: Munculnya virus Ebola yang semakin menyebar ke seluruh dunia, dan dianggap sebagai virus yang mematikan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : hati-hati untuk memunculkan daya paksa. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung imbauan bagi masyarakat untuk berhati-hati dan waspada terhadap penyebaran virus Ebola, yang akan dengan mudah menyebar ke seluruh dunia. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar virus Ebola yang lebih besar, melebihi dunia, sebagai tanda bahwa Ebola akan medengan mudah menyebar ke seluruh dunia. 42. Data tuturan: “Komunikasi semakin mudah..”(DB.KKT,14/10/014) Konteks Tuturan: Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook berkunjung ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk masyarakat Indonesia agar semua kalangan bisa mengakses aplikasi facebook.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
210
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Komunikasi semakin mudah untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung pendapat dari salah satu masyarakat di perkampungan dalam menanggapi kunjungan Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook yang berkunjung ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk masyarakat Indonesia, sehingga peluang warga mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam pembangunan dapat diwadahi oleh internet. Daya ungkap tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang bermain facebook sambil tersenyum senang sebagai ungkapan bahagia karena komunikasi semakin mudah. 43. Data tuturan: “Milih menteri yang transparan ya, pak?” (DB.KKT,15/10/014) Konteks tuturan: Presiden Joko Widodo mempunyai tugas mendesak, yaitu harus segera menentukan nama menteri-menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : transparan untuk memunculkan daya harap. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena mengandung harapan dari masyarakat Indonesia bagi Presiden terpilih, Joko Widodo untuk memilih menteri-menteri yang transparan, yaitu profesional, cakap, pandai, dan bebas dari tindak korupsi. Daya harap itu diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa tindak perlokusi yang ditunjukkan presiden Jokowi dengan melihat dan menunjukkan rapor masing-masing calon menterinya. 44. Data tuturan: “Lain kali saja!!!” (DB.KKT,16/10/014) Konteks tuturan : Ahok harus memilih satu calon wakil gubernur DKI Jakarta yang telah diajukan oleh partai pengusung dalam pilkada, yaitu partai PDIP dan Gerindra, dan harus bebas korupsi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Lain kali saja untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya penolakan karena dimaknai sebagai „tidak menerima untuk saat ini‟. Ketidaksetujuan dari Ahok itu muncul karena adanya wacana Gerindra yang menunjuk Muhammad Taufik sebagai calon wakil gubernur. Hal ini dikarenakan Taufik merupakan mantan terpidana kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2014.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
211
Daya penolakan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gesture Ahok yang membelakangi Muhammad Taufik, dan lebih tertarik dengan calon gubernur yang diajukan oleh partai PDIP. 45. Data tuturan: “Don’t forget to remember me..” (DB.KKT,17/10/014) Konteks tuturan : Pemerintahan presiden SBY berakhir. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Don’t forget to remember me (jangan lupa untuk ingat saya) untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena mengandung harapan dari mantan presiden SBY bagi rakyat Indonesia untuk selalu mengingatnya, apapun profesinya nanti. Daya harap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah SBY yang tersenyum sambil memajamkan matanya ketika berjalan meninggalkan gedung pemerintahannya. 46. Data tuturan: “Bung, tuh lihat, RUPIAH LANGSUNG MENGUAT!” (DB.KKT,19/10/014) Konteks tuturan : Di Indonesia banyak pejabat yang saling bermusuhan, bahkan slaing menjatuhkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : RUPIAH LANGSUNG MENGUAT untuk memunculkan daya ancam. Klausa tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bahwa demi uang, apapun akan dilakukan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual ekspresi wajah penutur yang melirik ke belakang, sambil menunjukkan jempolnya ke belakang sebagai tanda untuk melihat kembali sandiwara-sandiwara politik yang dibangun demi mendapatkan uang. Salah satu caranya dengan pura-pura baik dan saling memuji, hingga akhirnya bekerja sama untuk melakukan tindak korupsi. 47. Data tuturan: A : “Kardus Durian.. kardus Durian.. Sukhoi.. Sukhoi..” B : “Hehe.. Jangan ngledek kang..” (DB.KKT,20/10/014) Konteks tuturan:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
212
Sudah tersiar pengumuman nama menteri kabinet Jokowi. Namun, dalam pengumuman itu, tidak ada nama terpilih Muhaimin Iskandar. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : ngledek untuk memunculkan daya ancam. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung ejekan bagi Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar yang gagal menjabat di menteri kabinet Jokowi karena dianggap terlibat kasus “Kardus Durian”. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang berbicara sambil menertawai tanggapan lawan bicaranya yang juga memberikan ejekan bagi Muhaimin Iskandar. 48. Data tuturan: “Kursi kita di mana, pak JK?” (DB.KKT,21/10/014) Konteks tuturan: Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, dan langsung mendatangi ruang kerjanya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Kursi kita di mana, pak JK? untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran kepada pemerintahan sebelumnya yang belum bisa menyelesaikan tugasnya. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa banyaknya tumpukan kertas yang berserakan sehingga kursi presiden dan wakil presiden tidak terlihat. 49. Data tuturan: “Saya harus teliti” (DB.KKT,22/10/014) Konteks tuturan : Jokowi sangat berhati-hati dan teliti dalam memilih dan menetapkan nama menteri-menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : harus teliti untuk memunculkan daya kabar. Frasa tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung sikap tegas yang dilakukan Jokowi dalam menentukan calon menterinya. Kata teliti mempunyai makna denotatif yaitu memeriksa dengan cermat. Daya kabar tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah pak Jokowi yang terlihat serius dalam membuka buku yang berisi prestasi calon menterinya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
213
50. Data tuturan: “Lambatnya pengumuman menteri Jokowi!” (DB.KKT,23/10/014) Konteks tuturan : Jokowi dinilai lamban dalam mengeluarkan pengumuman hasil menterinya. Penanda tuturan: unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Lambatnya pengumuman menteri Jokowi untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan atas lambatnya pengumuman hasil menteri Jokowi. Daya ancam tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar kura-kura, yang memanggul pengumuman menteri. Binatang kura-kura dipersepsi sebagai daya kritik karena merupakan binatang melata yang jalannya sangat lambat. 51. Data tuturan: “Sebelum pak Jokowi ngumumin kabinet, kita harus sudah keluar loh pak.” (DB.KKT,24/10/014) Konteks tuturan : Kompleks perumahan Widya Candra di Jakarta Selatan dikenal sebagai perumahan yang elite dan menjadi rumah dinas para menteri yang melakukan tindak korupsi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sebelum pak Jokowi ngumumin kabinet, kita harus sudah keluar loh pak untuk memunculkan daya kabar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena menginformasikan bahwa harus segera pindah dari perumahan Widya Candra sebelum pak Jokowi mengumumkan kabinetnya. Karena sebelumnya KPK telah menetapkan Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga tinggal di kompleks perumahan Widya Candra menjadi tersangka dua kasus dugaan suap sengketa Pilkada. Komplek perumahan tersebut memang menjadi tempat para koruptor. Daya kabar diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar koper dan karduskardus sebagai tanda bahwa mereka akan segera kabur. 52. Data tuturan: A : “Pengumuman menteri kabinet jokowi lambat ya bung?” B : “Iya, karena calon menteri yang sedianya dipilih ada beberapa yang bermasalah.” A : “Itu yang dinamakan calon menteri KATEGORI MERAH ya bung?” B : “hooh” A : “Kira-kira yang ngusulin calon menteri bermasalah ngambek nggak ya bung, karena calonnya tidak jadi dipilih?”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
214
B : “he.. hee.. tau deh!” (DB.KKT,26/10/014) Konteks tuturan : Lambannya pengumuman menteri kabinet Jokowi, karena Jokowi sangat berhati-hati dalam menentukan calon menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kira-kira yang ngusulin calon menteri bermasalah ngambek nggak ya bung, karena calonnya tidak jadi dipilih? untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi partai yang telah mencalonkan menteri-menterinya tetapi tidak terpilih dikarenakan bermasalah. Daya ancam tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi datar dari mitra tutur yang terlihat tidak tertarik dengan topik pembicaraan, karena sudah merasa kesal dengan berbagai masalah politik.
53. Data tuturan: “Sudah siap semuaaa... Ayo tancap gas!” (DB.KKT,27/10/014) Konteks tuturan : Seluruh Menteri Presiden Jokowi dalam kabinet kerja diharapkan langsung menjalankan tugasnya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : ayo untuk memunculkan daya paksa. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung ajakan dari Presiden Jokowi kepada menteri-menterinya untuk segera tancap gas dan mengerjakan tugas-tugasnya. Diksi ayo bermakna sebagai kata seru untuk mengajak atau memberikan dorongan. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa senyuman sambil mengepalkan tangannya sebagai tanda memberi semangat. 54. Data tuturan: “Tidak mengejutkan...” (DB.KKT,28/10/014) Konteks tuturan : Presiden Jokowi mengumumkan kabinet pemerintahannya pada Minggu, 26 Oktober 2014. Muncul nama menteri yang dinilai belum mempunyai pengalaman yang lebih. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tidak mengejutkan untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
215
karena mengandung sindiran bagi Megawati yang masih ikut campur dalam pemilihan menteri kabinet Jokowi, yaitu dengan mamilih Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Daya ancam tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang terlihat heran ketika mengetahui pengumuman kabinet kerja Jokowi. Selain itu penutur juga melototkan matanya sambil menutup mulutnya. 55. Data tuturan: “Selamat datang bu!” (DB.KKT,29/10/014) Konteks tuturan : Susi Pudjiastuti dilantik menjadi menteri kelautan dan perikanan yang baru. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Selamat datang bu! untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung ungkapan rasa bahagia karena Indonesia memiliki menteri kelautan dan perikanan yang baru, yang mempunyai sikap yang unik tetapi bertanggungjawab. Daya ungkap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa loncatan ikan-ikan di laut sebagai tanda kegembiraan atas menteri perikanan yang baru. 56. Data tuturan: Ayah : “Pake guling meja. Pake tandingan. Kayak anak kecil, memalukan! Menyebalkan!” Ibu : “Namanya juga anak kecil yah...” (DB.KKT,02/11/014) Konteks tuturan : Kisruh Golkar masih berlangsung, dan kian memanas. Kubu Agung Laksono mengajukan diadakannya Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kayak anak kecil, memalukan! Menyebalkan untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi kubu Ical dan Agung Laksono yang sejak dulu belum bisa menyelesaikan masalahnya, hingga harus diadakan politik tandingan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur dengan mengerutkan dahinya sambil menunjuk pipinya. 57. Data tuturan: “Duluan ya, Pak...” (DB.KKT,03/11/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
216
Konteks tuturan: Wacana kenaikan harga BBM membuat harga-harga sembako menjadi naik. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Duluan ya, Pak untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung daya ancam karena mengandung sindiran bagi presiden Jokowi yang telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM. Daya ancam ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melirik ke arah Jokowi, sambil membuka kedua tangannya untuk mempertegas bahwa harga-harga akan ikut naik apabila BBM naik. 58. Data tuturan: “PERGI! ” (DB.KKT,04/11/01) Konteks tuturan : Terjadi konflik seputar persepakbolaan Indonesia. PSSI memberhentikan Indra Sjafri sebagai pelatih tim Nasional sepak bola U-19. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : pergi untuk memunculkan daya paksa. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung perintah supaya melakukan sesuatu, yaitu perintah dari PSSI bahwa Indra Sjafri harus turun jabatan. Daya suruh tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang menunjuk mitra tutur, sebagai tanda mengusir. 59. Data tuturan: “Awan, eh, pesawat? Ah, awan, eh... Pesawat Asing!” (DB.KKT,06/11/014) Konteks tuturan : Pesawat tak berizin mulai gentar masuk ke kawasan udara Indonesia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Awan, eh, pesawat? Ah, awan, eh... Pesawat Asing!” untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi sebuah pesawat Jet Gulfstream yang hendak melintasi wilayah udara Indonesia dalam perjalanannya dari Singapura menuju Darwin Australia tanpa membawa dokumen izin melintas Indonesia. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata pilot Indonesia kepada pilot pesawat asing yang pesawatnya dibuat seperti awan agar tidak terlihat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
217
60. Data tuturan: “Ooo... Pak Menteri!” (DB.KKT,07/11/014) Konteks tuturan : Menteri Indonesia selalu berusaha bersembunyi dan lari ketika masyarakatnya melakukan aksi demo. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ooo... Pak Menteri! untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagin para menteri. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar menteri yang lari untuk bersembunyi ketika ada aksi demo dari para buruh. Menteri itu kabur ke sekumpulan perempuan. Jadi, implikaturnya bahwa mental pak menteri tersebut seperti perempuan, karena berusaha bersembunyi dari masalah yang ada, dan tidak mau menangani. 61. Data tuturan: “Apa nanti tidak merepotkan?” (DB.KKT,09/11/014) Konteks tuturan : Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan salah satu kartu identitas diri yang penting. Di Indonesia, muncul wacana bahwa kolom agama dalam KTP akan dihilangkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Apa nanti tidak merepotkan? untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung pendapat bahwa jika wacana itu diterapkan, maka akan merepotkan, karena KTP merupakan salah satu kartu identitas yang paling penting. Daya ungkap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur sambil memegang pipinya dengan jari telunjuk. 62. Data tuturan: “Ini kesempatan bagi Anda.” (DB.KKT,11/11/014) Konteks tuturan: Jokowi menjadi salah satu pembicara dalam forum CEO APEC yang berlangsung di Beijing. Ia mempromosikan sektor kemaritiman. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ini kesempatan bagi Anda untuk memunculkan daya pikat. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya pikat karena Presiden Jokowi mempromosikan bahwa kesempatan untuk berinvestasi di Indonesia ada pada pembangunan pelabuhan, sehingga kalimat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
218
tersebut dapat menarik hati pemimpin negara lain untuk bekerja sama dengan Indonesia. Daya pikat tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan Jokowi yang menunjuk ke peta Indonesia yang memiliki ribuan pulau, untuk bisa digunakan dalam kaitannya dengan pembangunan pelabuhan tersebut. 63. Data tuturan: “Turun sekarang!” (DB.KKT,12/11/014) Konteks tuturan : Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi demo. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : turun sekarang untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya penolakan karena mengandung protes dari massa FPI yang menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena gaya Ahok yang terlalu tinggi, badan isu SARA yang diletakkan pada Ahok. Padahal, secara konstitusi, Ahok, yang dulu menjadi wakil Gubernur, kini berhak menggantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Daya penolakan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan Ketua FPI, Rizieq Shihab yang menunjuk ke Ahok yang menjadi tanda aksi pengecaman, dan meminta agar Ahok segera turun dari jabatannya. Selain itu juga diperkuat oleh banyaknya massa yang mengelu-elukan Rizieq. Massa juga mengepalkan tangannya sebagai tanda mantap akan pendapat mereka sendiri. 64. Data tuturan: “Apa-apaan ini!!” (DB.KKT,13/11/014) Konteks tuturan : Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Apa-apaan ini!! untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya penolakan karena mengandung ketidaksetujuan pengguna sepeda motor dengan diberlakukannya larangan untuk tidak melintasi Bundaran HI. Hal ini dinilai diskriminatif, karena mobil diperbolehkan melenggang, padahal kedua kendaraan ini sama-sama membayar pajak kendaraan bermotor. Daya penolakan tersebut diperkuat oleh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
219
unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan memelototkan matanya ketika melihat adanya tanda “STOP” ketika hendak melewati Bundaran HI. 65. Data tuturan: “Kolom agama untuk selain yang diakui negara rencananya mao diilangin mbah...” (DB.KKT,14/11/014) Konteks tuturan : Banyak pihak yang tidak setuju perihal munculnya wacana akan ada penghapusan kolom agama di KTP bagi agama yang tidak diakui negara. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kolom agama untuk selain yang diakui negara rencananya mao diilangin mbah untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi pemerintah yang membuat kebijakan tersebut. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa praanggapan bahwa jika wacana tersebut benar-benar diterapkan, maka akan banyak orang yang menganut ajaran sesat, dan lebih percaya kepada halhal mistis. Selain itu, daya ancam juga diperkuat oleh ekspresi penutur yang melongo ketika mendatangi mbah dukun. 66. Data tuturan: “Setelah tiga desa di Nunukan, mana lagi ya yang akan diklaim??” (DB.KKT,15/11/014) Konteks tuturan : Malaysia telah mengklaim batik, tiga desa di Nunukan. Kini muncul modus baru dari Malaysia dengan memberikan identitas penduduk Malaysia kepada warga desa di sejumlah wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : Mana lagi ya yang akan diklaim untuk memunculkan daya ancam. Klausa tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi Malaysia yang telah memberikan identitas kependudukan sebagai warga negara, sebagai awal untuk mengklaim desa perbatasan sebagai wilayah negara Malaysia. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian tanda batas di desa perbatasan sebagai wilayah Malaysia yang melampaui batas sesungguhnya. 67. Data tuturan: “Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik!” (DB.KKT,16/11/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
220
Konteks tuturan : Kasus narkoba semakin marak di berbagai kalangan, bahkan hal ini juga melibatkan dua mahasiswi yang tertangkap sedang pesta sabu-sabu bersama Wakil Rektor Universitas Hasanuddin. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik! untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi Wakil Rektor Universitas Hasanuddin yang seharusnya dapat menjadi contoh pemimpin yang baik, tetapi malah menunjukkan citra yang buruk. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah tersenyum dari penutur dan mitra tutur. 68. Data tuturan: “Rapat di luar lagi, Pak?” (DB.KKT,17/11/014) Konteks tuturan : Para aparat negara lebih sering melaksanakan rapat di hotel-hotel berbintang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Rapat di luar lagi, Pak?” untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi aparat negara yang sering melaksanakan rapat di hotel. Hal ini ditandai oleh diksi lagi, yang dalam kalimat tersebut berarti kegiatan yang berulang-ulang. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa banyaknya sarang laba-laba yang ada di ruang rapat negara, karena tidak pernah dipakai. 69. Data tuturan: “Tolong selamatkan kami!” (DB.KKT, 18/11/014) Konteks tuturan : Kebutuhan gula rafinasi impor di Indonesia semakin meningkat, bahkan gula rafinasi kini telah menjalar ke rumah tangga dengan harga yang relatif murah. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tolong selamatkan kami untuk memunculkan daya paksa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung permintaan dari para petani tebu agar pemerintah menghentikan impor gula rafinasi demi menyelamatkan industri gula nasional. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (seorang petani tebu) yang tercengang akibat semakin meningkatnya impor gula rafinasi di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
221
Indonesia. Selain itu, ekspresi wajah penutur juga menunjukkan kesedihan karena tebu yang mereka tanam tidak lagi laku. 70. Data tuturan: “Harga-harga pasti akan ikut naik!!” (DB.KKT, 19/11/014) Konteks tuturan : Secara tiba-tiba ada pengumuman harga BBM bersubsidi naik menjadi Rp.8.500,00/liter dari Rp.6.500,00/liter sejak Senin, 17 November 2014 pukul 21:30 WIB. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Harga-harga pasti akan ikut naik untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi pemerintah yang menaikkan harga BBM bersubsidi secara tiba-tiba, dengan angka kenaikan yang cukup tinggi. Hal ini dipastikan akan membuat harga kebutuhan pokok lainnya juga menjadi naik. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang menanggapi kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. 71. Data tuturan: “Saya siap mengatasi masalah kota ini!” (DB.KKT, 20/11/014) Konteks tuturan : Semakin banyaknya masalah yang melanda ibukota, seperti tindak kriminalitas, banjir, macet, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : siap untuk memunculkan daya kabar. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung penegasan dari Ahok bahwa ia akan mengatasi masalah-masalah yang akhirakhir ini menimpa warga Jakarta, seperti tindak kriminalitas, banjir, macet, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Daya kabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan kuda-kuda sebagai tanda sikap siaga dengan posisi kaki dan tubuh yang siap menerima serangan. 72. Data tuturan: “Saya akan berusaha membenahi SKK Migas!” (DB.KKT,21/11/014) Konteks tuturan : Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) di Indonesia masih berantakan, sehingga dibutuhkan pemimpin yang bisa membenahinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya akan berusaha membenahi SKK Migas untuk memunculkan daya kabar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung penegasan dari Amin, yang baru saja
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
222
dilantik menjadi Kepala SKK Migas pada 18 November 2014 oleh presiden Jokowi, bahwa ia akan berusaha membenahi SKK Migas dengan cara membasmi para koruptor. Daya khabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tubuh Amien yang siap menyingkirkan koruptor-koruptor, yang ditandai dengan berjalan sambil membawa sapu menuju ke sarang tikus (koruptor). 73. Data tuturan: A : “Kok bau ya?” B : “Bau banget!” C : “Bau partai!” (DB.KKT, 22/11/014) Konteks tuturan : Jokowi memilih Muhammad Prasetyo yang berasal dari Partai Nasdem, yang juga merupakan salah satu pendukung Jokowi, sebagai Jaksa Agung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Bau partai! untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran dari masyarakat terkait keputusan dari presiden Jokowi yang telah memilih Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Karena selama menjadi Jaksa Agung Prasetyo tidak menunjukkan rekam jejak yang menonjol atau pun gebrakan-gebrakan program yang konkret. Masyarakat menilai bahwa terpilihnya Prasetyo sebagai Jaksa Agung karena ia berasal dari partai Nasdem yang merupakan salah satu pendukung Jokowi. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah para penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah akibat mencium bau yang tidak sedap. Selain itu, salah satu penutur juga sambil menunjuk ke foto Muhammad Prasetyo. 74. Data tuturan: “Sibuk amat komentar. Wong belum kerja sudah dikomentari! Beri kesempatan dulu....” (DB.KKT, 23/11/014) Konteks tuturan : Muncul berbagai komentar negatif tentang Muhammad Prasetyo yang dipilih oleh presiden Jokowi sebagai Jaksa Agung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sibuk amat komentar. Wong belum kerja sudah dikomentari! Beri kesempatan dulu untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi berbagai pihak yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
223
mencari-cari sisi buruk dari Prasetyo. Penutur juga mempertimbangkan berbagai pihak untuk memberi kesempatan kerja terlebih dahulu kepada Prasetyo, jangan berkomentar dulu. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan yang menunjuk sebagai tanda mengkritik pihak-pihak yang bersangkutan. 75. Data tuturan: “Persiapan sebelum musim hujan” (DB.KKT,24/11/014) Konteks tuturan : Di musim kemarau Jakarta selalu dilanda bencana banjir, terutama di bulan November-Desember. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Persiapan sebelum musim hujan untuk memunculkan daya paksa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung imbauan bagi masyarakat Jakarta untuk bersiapsiap menyambut banjir yang selalu datang di bulan November-Desember. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa berbagai persiapan yang telah dilakukan masyarakat, seperti payung, pelampung, dan oksigen sebagai tanda untuk mewaspadai datangnya banjir. 76. Data tuturan: “Tidak akan tinggal diam!!” (DB.KKT, 25/11/014) Konteks tuturan : Kenaikan harga BBM menimbulkan banyak penolakan bagi masyarakat luas. Bahkan anggota DPR pun juga menolak hal itu. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tidak akan tinggal diam untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya penolakan karena mengandung ketidaksetujuan dari sejumlah anggota DPR, terutama yang dulu menyokong calon presiden Prabowo atas kenaikan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintahan presiden Jokowi, sehingga merekan akan melakukan suatu tindakan untuk mengusik kuputusan tersebut. Daya penolakan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang dengan mantap ingin memanah sebagai tanda sudah berancang-ancang untuk mengeluarkan hak interpelasinya. 77. Data tuturan: “Tunggu, STOP dulu! ” (DB.KKT,26/11/014) Konteks tuturan : Terjadinya perseteruan DPR yang kian memanas antara koalisi dengan koalisi, sehingga Jokowi meminta menterinya untuk menunggu perseteruan itu selesai terlebih dahulu, baru memenuhi undangan DPR.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
224
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tunggu, STOP dulu! untuk memunculkan daya paksa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung permintaan dari Jokowi agar menteri jangan bertemu dan memenuhi panggilan DPR terlebih dahulu, sebelum DPR menyelesaikan konflik internal mereka. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian lambang STOP dari presiden Jokowi bagi menterinya, sebagai tanda untuk menunggu terlebih dahulu. 78. Data tuturan: “Pohon beringin... pohon beringin... murah.. tinggal pilih...” (DB.KKT,27/11/014) Konteks tuturan : Kisruh Golkar tak kunjung usai. Kubu Agung Laksono kembali menantang untuk melaksanakan Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Pohon beringin... pohon beringin... murah.. tinggal pilih.. untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi kubu Ical mau pun kubu Agung Laksono yang hingga saat ini masih belum bisa menyelesaikan konflik internalnya, bahkan konflik ini semakin luas dan berkepanjangan. Sindiran tersebut semakin jelas ketika muncul klausa tinggal pilih, karena dimaknai sebagai suatu pilihan bagi publik untuk memilih kubu yang mana. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata penutur sambil tersenyum dan tangan kanan kacak pinggangnya. 79. Data tuturan: “Kapal asing berbendera Indonesia” (DB.KKT,28/11/014) Konteks tuturan : Adanya nelayan asing yang menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk mencuri hasil laut Indonesia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kapal asing berbendera Indonesia untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi nelayan asing yang selama ini telah mencuri hasil laut Indonesia dengan cara menggunakan kapal asing yang berbendera merah putih agar tidak ketahuan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
225
berupa gambar para nelayan asing yang ditandai dengan hidung mancung yang sedang mencuri ikan di lautan Indonesia dengan menggunakan kapal berbedera merah putih. 80. Data tuturan: “Berani nggak?” (DB.KKT,29/11/014) Konteks tuturan : Kisruh Golkar semakin memanas. Kubu Agung Laksono kembali menantang untuk melaksanakan Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Berani nggak untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung ejekan dari kubu Agung Laksono yang kembali menantang Ical dalam Munas tandingan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa kerutan dahi dari Agung Laksono sambil menurunkan jempolnya. 81. Data tuturan: “Iya... Kapal asing berbendera Indonesia” (DB.KKT,30/11/014) Konteks tuturan : Adanya nelayan asing yang menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk mencuri hasil laut Indonesia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : Kapal asing berbendera Indonesia untuk memunculkan daya ancam. Klausa tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi nelayan asing yang selama ini telah mencuri hasil laut Indonesia dengan cara menggunakan kapal asing yang berbendera merah putih agar tidak ketahuan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang mengacungkan jari telunjuk kanannya di depan dada, dan jari tangan kirinya terbuka. Selain itu terlihat ekspresi wajah mitra tutur yang kaget dengan membuka mulutnya sambil melotot. 82. Data tuturan: “Tidak adil!!!” (DB.KKT,02/12/014) Konteks tuturan : Pollycarpus Budihari Prianto, terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Talib, telah dibebaskan pada Jumat, 28 November 2014. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : tidak adil untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan, karena telah membebaskan Pollycarpus Budihari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
226
Prianto dari hukuman penjara dengan menggunakan pembebasan bersyarat. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi ekspresi wajah penutur yang melongo sambil meneteskan air matanya. 83. Data tuturan: “Ngomong apa sih? Haha...” (DB.KKT,03/12/014) Konteks tuturan : Agung Laksono mengajukan Munas Tandingan, karena tidak setuju dengan hasil putusan munas Ical di Bali. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ngomong apa sih? Haha untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung ejekan bagi Agung Laksono bahwa apapun yang akan dilakukan oleh Agung, tak akan membuat Ical turun jabatan, atas hasil Munas Golkar di Bali yang menyebut Ical sebagai ketua umum Golkar. Daya ejek tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi Ical yang tersenyum menghina dengan keaddaan tangan memangku kuping kiri. Hal itu menjadi tanda, bahwa apa yang ia dengar di kuping kiri, akan keluar melalui kuping kanan. 84. Data tuturan: “Saya lebih setuju ini!” (DB.KKT,04/12/014) Konteks tuturan : Ahok mencari wakil gubernur Jakarta. Muncul beberapa calon wakil gubernur yang diusulkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya lebih setuju ini untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena mengandung harapan dari Ahok bahwa beliau lebih berharap jika PDIP mengusulkan Djarot yang pernah sebagai wakil gubernur Jakarta, karena sebelumnya Djarot pernah menjabat sebagai wali kota Blitar selama dua periode. Daya harap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur sambil mengerutkan dahi dan tangannya terbuka ke arah PDIP sebagai tanda meminta. 85. Data tuturan: “Hati-hati dan berwaspadalah!” (DB.KKT,05/12/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
227
Konteks tuturan : Pada saat itu, marak terjadi aksi perampokan di taksi, bahkan mereka menggunakan taksi yang menyerupai taksi dari perusahaan Express Group. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Hati-hati dan berwaspadalah untuk memunculkan daya paksa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung imbauan kepada masyarakat yang hendak bepergian dengan menggunakan taksi agar lebih berhati-hati, karena banyak terjadi kasus perampokan. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gesture penumpang yang menggunakan perhiasan mewah dan tas. Hal ini menjadi implikatur bahwa jangan menonjolkan harta yang dimiliki, karena akan menjadi sasaran para sopir taksi palsu. Selain itu, penumpang juga harus bisa membedakan taksi yang asli dan palsu. 86. Data tuturan: “Saya tidak setuju!” (DB.KKT,06/12/014) Konteks tuturan: Masyarakat mengecam pengesahan UU pilkada DPRD, sehingga SBY mengeluarka perpu pilkada langsung, yang ternyata juga menimbulkan kontroversi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya tidak setuju untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya penolakan karena mengandung ketidaksetujuan Golkar terhadap perpu pilkada langsung, yang telah menjadi salah satu poin keputusan Munas di Bali yang harus dijalankan oleh Aburizal Bakrie. Daya penolakan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah tersenyum dari Aburizal Bakrie sambil merobek Perpu Pilkada Langsung yang dibuat oleh SBY. 87. Data tuturan: “Sepertinya perlu dihukum berat penjual dan pembuat minuman keras oplosan!” (DB.KKT,07/12/014) Konteks tuturan : Pada saat itu, di Indonesia banyak korban meninggal akibat minum minuman keras jenis oplosan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sepertinya perlu dihukum berat penjual dan pembuat minuman keras oplosan untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi penegak peraturan di setiap daerah yang kian melemah, sehingga banyak orang yang dengan leluasa menjual bahkan membuat
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
228
minuman keras oplosan. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerak tubuh penutur yang terlihat santai, namun lebih diperkuat dengan ekspresi mitra tutur yang terkesan lebih emosi, dengan berkacak pinggang. 88. Data tuturan: “Segera laksanakan Munas tandingan!” (DB.KKT,08/12/014) Konteks tuturan : Golkar kembali kisruh. Kubu Agung Laksono menolak hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar periode yang akan datang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Segera laksanakan Munas tandingan untuk memunculkan daya penolakan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya penolakan karena mengandung ketidaksetujuan dari kubu Agung Laksono atas hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar berikutnya, sehingga beliau mengajukan diadakannya Munas tandingan yang telah disetujui oleh wakil presiden Yusuf Kalla. Daya penolakan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata Agung Laksono kepada Aburizal Bakrie. 89. Data tuturan: “Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu!” (DB.KKT,09/12/014) Konteks tuturan : Sejumlah sekolah dinilai belum siap menerima kurikulum 2013. Banyak guru yang merasa kesulitan menerapkan dan memberi penilaian terhadap siswa. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu untuk memunculkan daya kabar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung penegasan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah, Anies Rasyid Baswedan telah membatalkan pelaksanaan kurikulum 2013 di sejumlah sekolah yang dinilai belum siap menerima kurikulum tersebut. Daya kabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian gembok di buku kurikulum 2013. 90. Data tuturan: “Laki-laki atau perempuan sih?” (DB.KKT,10/12/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
229
Konteks tuturan : SBY kembali mendukung pelaksanaan pilkada langsung. Padahal dulunya beliau juga sempat mendukung pilkada oleh DPRD. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Laki-laki atau perempuan sih untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi SBY yang terkesan sebagai orang yang bermuka dua, plintat plintut, dan tidak mempunyai pendirian dalam menanggapi kontroversi pelaksanaan pilkada Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerak tubuh SBY yang mirip seorang wanita dengan menjinjing tangannya. Selain itu, mimik mukanya juga menyerupai wanita. 91. Data tuturan: “Mungkin ini cara yang tepat!” (DB.KKT,11/12/014) Konteks tuturan: Banyaknya tekanan yang dirasakan oleh Kubu Aburizal Bakrie, sehingga Ical berkeinginan mendukung perpu pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Mungkin ini cara yang tepat untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung pendapat dari Ical bahwa dukungannya terhadap perpu pilkada langsung merupakan salah satu cara untuk mengeluarkannya dari berbagai tekanan. Daya ungkap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang terlihat sangat tertekan. Hal ini ditandai dengan batu besar yang menimpa Ical, sebagai lambang tekanan yang dirasakan Ical, sehingga ia mendukung perpu pilkada langsung. 92. Data tuturan: “Aku harus bagaimana?” (DB.KKT,12/12/014) Konteks tuturan: Partai Golkar mendadak mendukung Perpu Pilkada langsung, sehingga membuat beberapa partai lain melakukan hal serupa. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Aku harus bagaimana untuk memunculkan daya ungkap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung pendapat dari Ketua PKS, Amin Matta yang masih merasa bingung perihal perpu pilkada langsung. Daya ungkap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
230
ekspresi wajah penutur (Amin Matta) yang melirik ke arah perpu pilkada langsung, sambil garuk-garuk kepalanya. 93. Data tuturan: “Saya akan menindak tegas!” (DB.KTT,13/12/014) Konteks tuturan : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya akan menindak tegas untuk memunculkan daya kabar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung penegasan yang disampaikan oleh Susi Pudjiastuti bahwa beliau akan menindak tegas bagi nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Daya kabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata peledak, sebagai akibat atas apa yang dituturkannya. 94. Data tuturan: “Yang jelas ini dagelan politik yang sangat menghibur” (DB.KKT,14/12/014) Konteks tuturan : Sebagian kader Golkar menolak penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar periode yang akan datang, sehingga akan digelar Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : dagelan politik yang sangat menghibur untuk memunculkan daya ancam. Klausa tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi semua kubu Golkar yang dari dulu masih saja mempermasalahkan Munas, sehingga akan diadakan Munas tandingan yang telah disetujui oleh wakil presiden Yusuf Kalla. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa praanggapan masyarakat bahwa hal itu hanyalah lawakan atau sandiwara politik yang bisa dijadikan sebagai hiburan bagi masyarakat. Selain itu, juga diperkuat dengan ekspresi penutur yang mencibir. 95. Data tuturan: “Rasa kemanusiaannya dimana Pak?” (DB.KKT,15/12/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
231
Konteks tuturan : Terjadi bencana longsor di Karang Kobar, Banjarnegara pada Jumat, 12 Desember 2014. Banyak elite politik yang sibuk bersaing berebut kursi pemerintahan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Rasa kemanusiaannya dimana ya untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi elite politik yang berebut memperjuangkan jabatannya masing-masing. Hingga mereka lupa bahwa duka mendalam sedang dirasakan oleh saudara-saudara yang terkena bencana longsong di Karang Kobar, Banjarnegara. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi masing-masing DPR yang saling mencibir dan masing-masing membawa sendok dan garpu sebagai tanda bahwa mereka siap untuk bertanding memperebutkan jabatan. 96. Data tuturan: “Auwwwww......!” (DB.KKT,17/12/014) Konteks tuturan : Dollar AS semakin naik, dan rupiah semakin melemah. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : auwwww untuk memunculkan daya ungkap. Diksi tersebut dipersepsi sebagai daya ungkap karena mengandung ungkapan bahwa Indonesia akan semakin terbebani dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Daya ungkap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gesture penutur sebagai warga Indonesia yang terlihat tidak kuat mengangkat beban. 97. Data tuturan: “Khusus motor, dilarang melintas!” (DB.KKT,18/12/014) Konteks tuturan : Kemacetan di Jakarta semakin parah. Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : dilarang melintas untuk memunculkan daya paksa. Frasa tersebut dipersepsi sebagai daya paksa karena mengandung larangan bagi pengguna sepada motor untuk tidak melintasi jalan MH Thamrin. Daya paksa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar tanda “STOP”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
232
dengan tulisan “KHUSUS MOTOR” yang dipasang di jalan utama MH Thamrin. 98. Data tuturan: “Diskon gede-gedean enggak, bu?” (DB.KKT,19/12/014) Konteks tuturan : Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno berbiat menjual gedung kantor kementeriannya yang terletak di jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Diskon gede-gedean enggak, bu untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi Rini Soemarno yang hendak menjual gedung kementeriannya. Daya ancam tersebut diperkuat oleh punsur ekstralingual berupa mata yang membelalak dan berdekap. 99. Data tuturan: “Lari dari tanggung jawab, pak?” (DB.KKT,20/12/014) Konteks tuturan : Kasus lumpur Lapindo di Jawa Timur tidak kunjung tuntas, dan penyelesaian ganti rugi juga belum ada kepastian. Presiden Jokowi pun turun tangan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Lari dari tanggung jawab, pak untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi Aburizal Bakrie yang tidak membayar ganti rugi korban Lapindo, sehingga presiden Jokowi yang langsung turun tangan, dengan menyiapkan anggaran sebesar Rp 781 Miliar sebagai dana talangan bagi para korban Lapindo. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa jejak kaki Aburizal Bakrie yang pergi begitu saja atas kasus Lapindo sambil bernyanyi, tanpa ada rasa tanggung jawab berupa ganti rugi bagi para korban Lapindo. 100. Data tuturan: “Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti...” (DB.KKT,21/12/014) Konteks tuturan : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
233
dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung peringatan berupa teguran bagi nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur, sambil melotot, dan menunjuk-nunjuk di depan wajah mitra tutur, yaitu nelayan asing. 101. Data tuturan: “Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat. Hehehe...” (DB.KKT,22/12/014) Konteks tuturan : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memberikan data sepuluh kepala daerah, yang terdiri dari gubernur dan bupati yang memiliki harta tidak wajar atau rekening gendut. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung sindiran bagi para gubernur dan bupati yang masuk daftar pemilik harta tak wajar atau tabungan yang membengkak, salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah seorang penutur yang berbadan gemuk dengan gaya berbicara sambil tertawa, dan menunjuk celengan babi yang paling gendut. 102. Data tuturan: “Damai di bumi damai di hati...” (DB.KKT,24/12/014) Konteks tuturan : Banyak umat yang merasa tidak nyaman ketika mengikuti perayaan natal di gereja, dikarenakan sering terjadi aksi pengeboman di gereja-gereja oleh para teroris. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Damai di bumi damai di hati untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena mengandung harapan agar di natal tahun 2014, tidak terjadi aksi pengeboman, sehingga sukacita dan damai natal dapat dirasakan oleh semua umat. Daya harap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa menggenggam kedua tangan di depan dada, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
234
103. Data tuturan: “Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu?” (DB.KKT,28/12/014) Konteks tuturan : Banyaknya lahan sawah di Indonesia yang dijadikan sebagai perumahan, sehingga import beras semakin meningkat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu untuk memunculkan daya ancam. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan bagi pemerintah agar mempertegas peraturan penggunaan lahan, agar nantinya tidak perlu mengimport beras lagi. Daya ancam tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi santai dari penutur sambil tersenyum manis. 104. Data tuturan: “Siap memberantas!!” (DB.KKT,29/12/014) Konteks tuturan : Negara Islam dan Suriah (ISIS) sudah menyebar ke Indonesia. Semakin banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Siap memberantas untuk memunculkan daya kabar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya kabar karena mengandung penegasan bahwa kepolisian RI akan mengawasi orang yang keluar-masuk Indonesia, dan menindak tegas orang yang terbukti bergabung dengan organisasi ISIS. Daya kabar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi penutur yang terlihat serius, dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata untuk memberantas penyebaran ISIS. 105. Data tuturan: “Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin!” (DB.KKT,31/12/014) Konteks tuturan : Pada tahun 2014, di Indonesia banyak terjadi peristiwa atau masalah, seperti masuknya nelayan asing, jatuhnya pesawat Air Asia, bencana longsor di Banjarnegara, pemilihan presiden baru, dan lain sebagainya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya harap karena mengandung harapan agar tahun 2015 menjadi tahun yang lebih baik dari tahun sebelumnya, sehingga tidak terjadi lagi bencana dan masalah politik yang berkepanjangan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
235
Daya harap tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa langkah mantap penutur yang melintasi jembatan dari tahun 2014 menuju 2015, sebagai tanda bahwa ia siap menyambut tahun 2015 dengan harapan yang lebih baik.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
236
LAMPIRAN 2 DATA UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM NILAI RASA BAHASA PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014 UNTUK MENGEFEKTIFKAN KESANTUNAN
1.
Data tuturan: Nelayan :“Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak...” Petugas SPBU : “ ! “ (NR.KKT,01/09/014) Konteks tuturan : Pada waktu itu harga BBM dinaikkan oleh pemerintah, dan pemerintah mengeluarkan larangan untuk tidak membeli BBM menggunakan jeriken. Hal tersebut merepotkan para nelayan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Katanya beli BBM dilarang pake jeligen pak untuk memunculkan nilai rasa halus yang berupa sindiran secara halus bagi pihak Pemerintah pusat dan SPBU. Penutur memang tidak secara langsung menggunakan kata pemerintah atau pun pengelola SPBU.. Selain itu, diksi pak merupakan kata hormat yang dianggap lebih menghargai mitra tutur. Nilai rasa halus juga diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar penutur (seorang nelayan) yang membawa kapal ketika mendatangi SPBU, sebagai akibat adanya larangan membeli BBM menggunakan jeriken, sehingga penutur mempunyai praanggapan bahwa tidak ada larangan membeli BBM menggunakan kapal. Hal ini bersifat imajiner, yang menjadikan penanda sindiran secara halus atau secara tidak langsung.
2. Data tuturan: “Salam gigit jari pak!” (NR.KKT,02/09/014) Konteks tuturan: Kabinet Jokowi-JK harus segera menentukan menteri-menterinya. Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar akan gigit jari apabila PKB tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Salam gigit jari pak untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena kata salam dimaknai sebagai pernyataan tanda hormat, dan kata gigit jari dimaknai sebagai ungkapan rasa kecewa. Tuturan di atas seakan bermakna pernyataan hormat, karena diawali dengan “salam”. Namun, setelah dirangkai dengan “gigit jari” penutur jelas tidak bermaksud memberi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
237
pernyataan hormat, tetapi kadar nilai rasa yang terkandung justru berupa ejekan kepada mitra tutur. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang menirukan ekspresi ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar yang akan gigit jari jika tidak mendapat kursi menteri di kabinet Jokowi-JK. 3. Data tuturan: “Tidak merapat kok...” (NR.KKT,03/09/014) Konteks tuturan: Perseteruan yang terjadi sejak pemilu lalu antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) semakin memanas. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : kok untuk memunculkan nilai rasa yakin. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena dimaknai sebagai kata yang digunakan untuk menekankan atau menguatkan maksud. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa konteks melalui fenomena implikatur tentang perseteruan yang terjadi antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak dapat terhindarkan sejak pertarungannya di pemilu lalu. Hatta sudah berusaha menjadi perantara perdamaian dari kedua koalisi tersebut, dengan cara menemui presiden Jokowi untuk mengucapkan ucapan selamat dan bersilaturahmi sebagai tanda bahwa kompetisi sudah selesai, namun kunjungan Hatta tersebut tanpa dampingan dari KMP, termasuk Prabowo. 4. Data tuturan: “Plin... Plan... Plin... Plan...” (NR.KKT,04/09/014, Survei: Aburizal Kurang Berhasil Pimpin Golkar) Konteks tuturan: Kubu Aburizal Bakrie, selaku ketua umum Golkar ingin Musyawarah Nasional (MUNAS) Golkar digelar pada tahun 2015, padahal seharusnya dilaksanakan tiap 5 tahun, dan mestinya jatuh pada tahun 2014. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : plin plan untuk memunculkan nilai rasa plintat-plintut. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa plintatplintut karena tuturan mengandung makna denotatif atau makna sebenarnya yang berarti berpendirian tidak tetap. Nilai rasa plintat-plintut tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar cecak sebagai tanda hewan yang tidak mempunyai sarang, sehingga habitatnya juga tidak jelas, sering berpindah-pindah, hal itu menjadikan cecak sebagai simbol orang yang tidak mempunyai pendirian.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
238
5. Data tuturan: “Aku tidak menyangka” (NR.KKT,05/09/014) Konteks tuturan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merasa terkejut atas penetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang di kementeriannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : tidak menyangka untuk memunculkan nilai rasa kaget. Frasa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kaget karena karena penutur (Susilo Bambang Yudhoyono) merasa kaget atas kasus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik yang telah melanggar hukum karena terlibat dalam kasus pemerasan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Nilai rasa kaget ini diperkuat dengan unsur ekstralingual gerakan tangan kiri penutur yang memegang kepalanya sambil memejamkan matanya dan menyangga tangan kanannya (berpangku tangan). 6. Data tuturan: “Ditinggal ya, bu?” (NR.KKT,06/09/014) Konteks tuturan: PDIP menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mencalonkan Rismaharini lagi untuk Pilkada Surabaya 2015. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : bu untuk memunculkan nilai rasa halus. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena dimaknai sebagai kata sapaan untuk orang tua perempuan (KBBI). Nilai rasa halus ini juga dimunculkan melalui unsur ekstralingual berupa implikatur, yaitu bahwa tuturan tersebut tidak semata-mata dimaksudkan sebagai sebuah pertanyaan tetapi mengandung ejekan secara tidak langsung bagi Tri Rismaharini yang tidak lagi dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk Pilkada Surabaya 2015. Hal itu ditandai oleh ekspresi wajah penutur yang berbicara sambil menengadah dan memelototkan matanya. 7. Data tuturan: “Katakan tidak ! Pada korupsi. Tidak! Tidak! Tidak!” (NR.KKT,07/09/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
239
Konteks tuturan: Indonesia banyak terjadi kasus korupsi yang sangat sulit untuk diberantas, bahkan korupsi itu sampai melibatkan para pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh penekanan diksi : Tidak! Tidak! Tidak! Untuk memunculkan nilai rasa mantap. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa mantap karena mengandung penegasan agar semua masyarakat tidak melakukan tindak korupsi seperti yang telah dilakukan oleh Jero Wacik. Kata yang diucapkan lebih dari satu kali juga menjadi penanda kemantapan akan apa yang ingin dimaksudkan. Nilai rasa mantap tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gesture penutur yang berkata “tidak” sambil menurunkan jempol dan melambaikan tangannya sebagai isyarat bahwa korupsi itu bukanlah perbuatan yang baik, dan tidak pantas untuk ditiru. 8. Data tuturan: “Ayo kita minum Migas sampai habis!!” (NR.KKT,08/09/014) Konteks tuturan: Kembali maraknya kasus penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ilegal di Batam sejak 2008 yang dilakukan oleh para pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ayo kita minum Migas sampai habis!! untuk memunculkan nilai rasa egoistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa egoistis karena Ahmad Mahbub dinilai serakah sebab telah menguasai minyak dan gas negara dengan cara menjualnya dengan harga yang murah. Nilai rasa egoistis tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang bersemangat dari beberapa mafia yang berlomba-lomba menyedot minyak dan gas. 9. Data tuturan: “Jika UU Pilkada disahkan pasti saya menang!” (NR.KKT,09/09/014) Konteks tuturan: Munculnya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, sehingga UU Pilkada langsung akan dihilangkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : pasti saya menang untuk memunculkan nilai rasa sombong. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa sombong karena menghargai diri secara berlebihan. Nilai rasa sombong ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah Prabowo Subianto yang tertawa lebar sambil mengusung
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
240
banyak kepala daerah. Penanda ketubuhan lain yang memperkuat nilai rasa sombong ialah ekspresi wajah mitra tutur yang tercengang. 10. Data tuturan: SBY : “Merci untuk kabinet Jokowi...” Jokowi : “ ? ” (NR.KKT,10/09/014) Konteks tuturan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pemerintahan lama memiliki kewajiban mempersiapkan kendaraan operasional untuk pemerintahan berikutnya, yaitu masa pemerintahan Jokowi-JK. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh tanda tanya (?) untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Nilai rasa kecewa ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah preuiden Jokowi yang terlihat kecewa dengan mengerutkan dahinya sambil menggigit jari sebagai ungkapan rasa kecewa karena apa yang diharapkan tidak dikabulkan. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapa bahwa Jokowi merupakan seorang yang sederhana, sehingga beliau masih ingin menggunakan mobil yang kemarin dan tidak perlu membeli yang baru. 11. Data tuturan: “Turut berduka cita atas matinya suara rakyat...” (NR.KKT,11/09/014) Konteks tuturan: Indonesia sebagai negara yang demokratis seharusnya mementingkan kepentingan rakyat, sehingga muncul berbagai aksi dari rakyat Indonesia, yang mendengar adanya RUU Pilkada oleh DPRD. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : turut berduka cita untuk memunculkan nilai rasa sedih. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa sedih karena dimaknai sebagai suatu perasaan bersusah hati atau bersedih hati. Nilai rasa sedih tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang meneteskan air matanya ketika melihat kotak suara rakyat dililit oleh karangan bunga sebagai tanda bahwa suara rakyat sudah mati. 12. Data tuturan: Kita harus bangun ekonomi yang kuat! (NR.KKT,12/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu, tata kehidupan perekonomian di Indonesia melemah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
241
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kita harus bangun ekonomi yang kuat! Untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi pemerintah yang menginginkan perekonomian Indonesia meningkat, namun tidak diibarengi dengan usaha yang sepadan. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar seseorang yang membangun gedung dengan pilar yang megah, tetapi dasar bangunan atau fondasinya tidak kuat. Hal ini menjadi sindiran bahwa apa yang diinginkan tidak dibarengi dengan usaha yang sepadan. 13. Data tuturan: “Masih menginginkan Pilkada oleh DPRD dengan alasan biaya Pilkada langsung mahal? Bukankah hanya untuk kepentingan politik dan karena sakit hati ya?” (NR.KKT,13/09/014) Konteks tuturan: Koalisi Merah Putih (KMP) menginginkan pengembalian Pilkada ke zaman Orde Baru yakni melalui DPRD dengan alasan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk Pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Masih menginginkan Pilkada oleh DPRD dengan alasan biaya Pilkada langsung mahal? Bukankah hanya untuk kepentingan politik dan karena sakit hati ya? untuk memunculkan nilai rasa kesal. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kesal kerena penutur merasa kecewa bercampur jengkel sebab Koalisi Merah Putih terus memperjuangkan Pilkada oleh DPRD dengan alasan biaya Pilkada langsung yang mahal. Nilai rasa kesal ini diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa fenomena praanggapan penutur yang menilai alasan utama KMP menginginkan Pilkada oleh DPRD bukan itu, tetapi keberadaan KMP hanya dijadikan sebagai alat balas dendam Prabowo atas kekalahannya dalam pemilihan Presiden lalu. Selain itu, KMP juga dianggap nafsu akan kekuasaan tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Karena dengan dilaksanakannya pilkada oleh DPRD, otomatis Prabowo akan menang atas Jokowi. Selain itu, juga ditandai oleh ekspresi penutur yang melotot dengan gerakan salah satu tangan menggaruk pipinya. 14. Data tuturan: “A : Pilkada oleh DPRD!! B : Pilkada langsung!!” (NR.KKT,14/09/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
242
Konteks tuturan: Timbulnya kontroversi pelaksanaan Pilkada melalui DPRD dan pilkada langsung. KoalisiMerah Putih menginginkan pilkada oleh DPRD, sedangkan kubu Jokowi-JK menginginkan pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Pilkada oleh DPRD!! dan Pilkada langsung!! untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena merupakan kalimat perdebatan yang diucapkan oleh masing-masing kelompok. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya tanda seru (!) di akhir masing-masing kalimat yang menunjukkan ungkapan kemarahan. Nilai rasa marah tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang berteriak mempertahankan pendapatnya, dengan membuka mulut dan mata lebar-lebar dari masing-masing kelompok. Bahkan beberapa orang dari kubu Jokowi-JK mengangkat tangan dan mengepalkan jari-jarinya sebagai isyarat untuk tetap mempertahankan proses pilkada langsung. 15. Data tuturan: “Konflik horizontal.. High cost politics.. Apa bener alasannya cuma itu?” (NR.KKT,14/09/014) Konteks tuturan: Muncul alasan tidak dilaksanakannya Pilkada langsung adalah karena mengeluarkan biaya yang mahal sehingga akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : cuma untuk memunculkan nilai rasa ragu. Diksi tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa ragu karena dimaknai sebagai tidak ada yang lain, yang memunculkan keraguan bagi penutur. Nilai rasa ragu ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melongo sambil menggigit jarinya sebagai ungkapan kekecewaannya karena keraguannya kepada pemerintah yang menginginkan pilkada oleh DPRD dengan alasan biaya pilkada langsung lebih mahal. 16. Data tuturan: “Itu bapak-bapak yang di atas mendengarkan kita nggak ya?” (NR.KKT,15/09/014) Konteks tuturan : Di dalam menanggapi kontroversi pilkada, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi rakyat.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
243
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : itu bapak-bapak yang di atas mendengarkan kita nggak ya untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung. Selain itu, penutur juga menggunakan diksi : bapak-bapak yang di atas yang dimaknai sebagai panggilan kepada orang yg dipandang sebagai orang yang dihormati (KBBI), dalam hal ini adalah pejabat atau pemerintah. Nilai rasa halus tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah memelas penutur yang terlihat kecewa. Ekspresi wajah kecewa ini dimaksudkan agar mitra tutur sadar akan perbuatannya. Unsur konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan sikap pemerintah seolah-olah tuli akan hak suara rakyat, sehingga terus mempertahankan pilkada oleh DPRD. 17. Data tuturan : “Lihat tu, mereka berpura-pura berdamai” (NR.KKT,16/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu terjadi perseteruan antara Ahok dan Haji Lulung. Namun, seolah-olah mereka berdamai di depan masyarakat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : berpura-pura untuk memunculkan nilai rasa munafik. Diksi tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa munafik karena dimaknai sebagai seolah-olah berbuat, tetapi sebenarnya tidak berbuat. Nilai rasa munafik tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar Ahok dan Haji Lulung yang di depan berdamai dengan saling marangkul dan saling menggenggam tangan. Namun, di belakang mereka saling membawa alat pukul sebagai tanda aksi saling serang. 18. Data tuturan: “Tak disangka!” (NR.KKT,17/09/014) Konteks tuturan: Israel memiliki senjata-senjata canggih dalam melancarkan serangannya kepada Palestina. Bahkan anak-anak kecil pun menjadi sasarannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : tak disangka untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena dimaknai sebagai suatu tindakan yang tidak terlitas dipikiran akan terjadi. Penutur merasa dikejutkan dengan serangan Israel yang semakin menjadi-jadi dengan senjatanya yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
244
semakin canggih. Nilai rasa heran tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan membuka mulut sambil melotot. 19. Data tuturan: “A : Pak ada Tilpun. B : Dari pak Jokowi!” (NR.KKT,18/09/014) Konteks tuturan: Tuturan terjadi di rumah. Ketika itu suatu pagi, ada seorang Debtcollector yang menelepon. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Dari pak Jokowi! untuk memunculkan nilai rasa gembira. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa gembira karena mitra tutur menyangka bahwa yang menelepon adalah pak Jokowi. Nilai rasa gembira tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tubuh mitra tutur yang langsung bangun dari tempat tidurnya dengan ekspresi wajah tersenyum bahagia dan berseri-seri. Penanda konteks berupa fenomena praanggapan mitra tutur ialah telepon itu berasal dari Pak Jokowi. 20. Data tuturan: “Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih!” (NR.KKT,19/09/014) Konteks tuturan: Banyak menteri-menteri di Indonesia yang melakukan tindak korupsi. Kabinet Jokowi-JK akan segera memilih menteri-menterinya yang baru. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Semoga calon Menteri Kabinet Jokowi-JK benar-benar bersih! untuk memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa khawatir karena mengandung kecemasan terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti, yaitu calon menteri-menteri dari kabinet Jokowi-JK. Nilai rasa khawatir tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang meneropong calon menteri kabinet Jokowi, sebagai salah satu cara untuk melihat dan menyelidiki calon menteri kabinet Jokowi-JK. 21. Data tuturan: A : “Hu..hu... Sakit juga dicabut giginya...” B : “Hu..hu... Sakit juga dicabut hak politiknya...”
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
245
C : “Masih bersyukur dari pada dicabut kesehatannya...” (NR.KKT,21/09/014) Konteks tuturan : Pada waktu itu, Anas Urbaningrum yang menjadi terdakwa korupsi proyek Hambalang, dituntut hukuman selama 15 tahun penjara serta dicabut hak politiknya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : dicabut hak politiknya dan dicabut kesehatannya untuk memunculkan nilai rasa kasar. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung ejekan secara langsung bagi Anas Urbaningrum yang diberhentikan hak politiknya karena terlibat kasus korupsi. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang mengolok-olok sambil tertawa terbahak-bahak. 22. Data tuturan: “Yang bukan trah cukup jadi Sekjen, ketua DPP aja..” (NR.KKT,22/09/014) Konteks tuturan: PDIP mengadakan rapat di Semarang, dan hasil rapat itu berupa rekomendasi agar Megawati Soekarnoputri kembali menjadi ketua umum PDIP periode 2015-2020. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai diksi : trah untuk memunculkan nilai rasa halus. Diksi tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa halus karena merupakan ungkapan bahasa Jawa halus yang dimaknai sebagai keluarga besar. Nilai rasa halus ini dimunculkan melalui unsur ekstralingual berupa fenomena praanggapan bahwa yang bisa menjadi ketua umum PDIP hanyalah orang berasal dari keluarga atau keturunan Soekarno, sedangkan yang tidak berasal dari keluarga Soekarno hanya bisa menjadi sekjen ketua DPP saja, sehingga pengetahuan umum penutur tersebut dapat dijadikan sebagai penanda sindiran secara halus, yang diperkuat dengan ekspresi wajah penutur yang melongo sambil menggigit jarinya sebagai ungkapan rasa kekecewaannya atas keputusan tersebut. 23. Data tuturan: “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang secara berulang." (NR.KKT,24/09/014) Konteks tuturan: Tuturan diucapkan di pengadilan oleh hakim kepada Anas Urbaningrum yang terlibat dalam korupsi proyek Hambalang.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
246
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : terbukti secara sah untuk memunculkan nilai rasa yakin. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena mengandung kepastian bahwa orang yang didakwa telah terbukti terlibat kasus korupsi. Nilai rasa yakin ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ketukan palu di meja hijau sebagai tanda bahwa keputusan sudah disahkan dan tidak dapat diganggu gugat. 24. Data tuturan: “Ayo, musnahkan ISIS!!” (NR.KKT,25/09/014) Konteks tuturan: Semakin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), terutama di Amerika. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : musnahkan untuk memunculkan nilai rasa kasar. Diksi tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa kasar karena mempunyai makna membinasakan atau melenyapkan, yaitu melenyapkan kelompok ISIS karena dianggap telah meresahkan masyarakat, salah satunya dengan memenggal seorang wartawan Amerika Serikat, James Foley dengan sebilah pisau. Nilai rasa kasar tersebut juga diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa perlokusi dengan membawa alat pemusnah untuk menyingkirkan gerakan ISIS, karena penutur sudah geram dengan aksi gerakan ISIS. 25. Data tuturan: “Kami akan memantau menteri kabinet Jokowi!” (NR.KKT,26/09/014) Konteks tuturan: Kabinet Jokowi sudah mulai melaksanakan tugasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu mengawasi terhadap anggota kabinet Jokowi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : memantau untuk memunculkan nilai rasa curiga. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa curiga karena dimaknai sebagai suatu kegiatan mengamati atau mengecek dengan cermat, terutama untuk tujuan khusus; mengawasi; memonitor karena adanya unsur kurang percaya atau sangsi terhap kebenaran atau kejujuran seseorang. Nilai rasa curiga tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah yang serius dengan tatapan mata yang tajam dari penutur sambil melihat ke kaca pembesar sebagai tanda sedang memantau atau mengawasi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
247
26. Data tuturan: “Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD?” (NR.KKT,27/09/014) Konteks tuturan: Kabinet Jokowi sudah mulai melaksanakan tugasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu mengawasi terhadap anggota kabinet Jokowi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kata kalimat : Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD? untuk memunculkan nilai rasa munafik, karena dimaknai sebagai berpura-pura setia, dan suka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Nilai rasa munafik tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa isyarat tangan SBY yang satu memegang pilkada langsung, dan yang satu memegang pilkada oleh DPRD. Selain itu juga diperkuat dengan gambar wajah SBY yang bermuka dua. Hal itu menjadi penanda bahwa ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono bersikap mendua dalam menyikapi rencana proses pilkada. 27. Data tuturan: “Mari kita berbela sungkawa atas meninggalnya demokrasi rakyat...!” (NR.KKT,28/09/014) Konteks tuturan: Munculnya tanggapan dari berbagai kalangan rakyat Indonesia tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, bukan lagi melalui pemilihan langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : berbela sungkawa untuk memunculkan nilai rasa sedih. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa sedih karena dimaknai sebagai perasaan bersedih hati, berduka cita, atau berkabung. Dalam hal ini berduka cita atas matinya suara rakyat. Nilai rasa sedih tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah melamun dan sedih dengan memejamkan mata sambil mengepalkan kedua tangannya. 28. Data tuturan: “Pejabat 1 : UU Pilkada ini demi rakyat! Pejabat 2 : Ini kemenangan rakyat! Rakyat : Rakyat yang mana?” (NR.KKT,29/09/014) Konteks tuturan: Rakyat merasa dirugikan atas munculnya pelaksanaan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
248
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Rakyat yang mana? untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara halus bagi pemerintah yang mendukung pelaksanaan pilkada oleh DPRD. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa implikatur bahwa UU Pilkada oleh DPRD hanyalah untuk mementingkan dan mengedepankan kepentingan pribadi. Selain itu, ditunjukkan oleh ekspresi wajah yang melongo sambil menggigit jarinya ketika melihat para pejabat yang duduk manis dengan ekspresi bahagianya. 29. Data tuturan: “Sinetron terbaru walk out” (KKT,30/09/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu, sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : sinetron terbaru walk out untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi anggota Fraksi Demokrat yang walkout dalam sidang paripurna revisi UU Pilkada. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata yang tajam ketika menyaksikan acara/berita di televisi tentang partai Demokrat yang walkout dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Masyarakat menilai kejadian tersebut merupakan sandiwara politik baru yang dilakukan Demokrat agar Pilkada langsung tidak tercapai, dan lebih mempertahankan Pilkada melalui DPRD. 30. Data tuturan: “Reformasi ala KMP” (NR.KKT,01/10/014) Konteks tuturan: Pada waktu itu, Koalisi Merah Putih telah memilih Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang diragukan kejujurannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Reformasi ala KMP untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung kritikan secara halus bagi Koalisi Merah Putih yang mempunyai cara sendiri untuk perubahan sebagai perbaikan di bidang sosial, politik, atau agama suatu masyarakat atau negara, dengan cara memilih sosok Setya Novanto, Bendahara Partai Golkar yang sudah disebut-sebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
249
dalam urusan yang kurang baik sejak 1998, sehingga cara itu dinilai malah merugikan rakyat Indonesia. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar Prabowo yang salah langkah dalam mewujudkan keinginannya menunjukkan perubahan, sehingga beliau bukanlah sosok reformis sejati. 31. Data tuturan: A : “Aku ini aja” B : “Aku yang itu” C : “Aku itu” (NR.KKT,03/10/014) Konteks tuturan: Para pejabat berhasil menduduki kursi pemerintahanyang selama ini diidamidamkannya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Aku ini aja, Aku yang itu, dan Aku itu untuk memunculkan nilai rasa bangga. Kalimat-kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa bangga karena penutur merasa gagah dapat menduduki kursi pemerintahan. Nilai rasa bangga tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tersenyum sambil melirik dan menunjuk ke kursi, sebagai lambang telah berhasil mendapatkan kedudukan. 32. Data tuturan: “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik” (NR.KKT,04/10/014) Konteks tuturan: Sejumlah anggota Fraksi Demokrat walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada pada Jumat, 26 September 2014, dini hari. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi Partai Demokrat karena dinilai memainkan sandiwara politik dengan cara walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian piala sebagai tanda penghargaan dengan gambar logo Demokrat yang bertuliskan “Partai Demokrat adalah penulis & pemain skenario terbaik”, sebagai sindiran halus karena dianggap berhasil menjadi pembohong.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
250
33. Data tuturan: “Mereka telah memanfaatkan kekuasaannya “ (NR.KKT,06/10/014) Konteks tuturan: Semakin maraknya tindak korupsi yang terjadi di Indonesia, terutama di kalangan pejabat pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Mereka telah memanfaatkan kekuasaannya untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi pejabat yang telah memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan tindak korupsi. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar tikus berdasi yang sering dipersepsi sebagai ikon seorang koruptor, dan gambar keju yang merupakan makanan kesukaan tikus sebagai ikon gedung pemerintah atau pejabat. Maksud dari gambar tersebut adalah bahwa para koruptor itu berasal dari orang yang memegang kekuasaan. 34. Data tuturan: “Hore...menang!” (NR.KKT,07/10/014) Konteks tuturan: Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD belum disahkan. Prabowo terlalu percaya diri. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Hore...menang! untuk memunculkan nilai rasa sombong. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa sombong karena Prabowo akan merasa puas dengan kemenangannya yang mengusung banyak kepala daerah jika UU Pilkada oleh DPRD disahkan. Nilai rasa sombong ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah Prabowo yang tertawa lebar, dan mengangkat kedua tangannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa RUU Pilkada oleh DPRD belum disahkan, Prabowo dianggap terlalu percaya diri. 35. Data tuturan: “Maaf, kami kecewa.” (NR.KKT,08/10/014) Konteks tuturan: Pada saat itu sedang terjadi proses pemilihan pemilihan ketua dan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019. Koalisi Merah Putih tidak memberi posisi PPP sebagai pimpinan MPR.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
251
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Maaf, kami kecewa untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa kecewa karena penutur merasa berkecil hati sebab PPP tidak masuk daftar paket calon pimpinan MPR. Kondisi inilah yang membuat suara PPP beralih ke Kolaisi Indonesia Hebat. Nilai rasa kecewa ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gesture penutur yang pergi meninggalkan Koalisi Merah Putih (KMP), dan beralih ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). 36. Data tuturan: “Enak ya rasanya menikmati kekuasaan?” (NR.KKT,09/10/014) Konteks tuturan: Banyak pejabat yang drngan sengaja memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Enak ya rasanya menikmati kekuasaan untuk memunculkan nilai rasa egoistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa egoistis karena dimaknai sebagai proses mengalami sesuatu yang memuaskan, dengan cara menguasai masyarakat berdasarkan kewibawaannya. Nilai rasa egoistis tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi para pejabat yang serakah memakan kekuasaan sebagai tanda bahwa orang itu memanfaatkan kekuasaannya untuk mementingkan kepentingan pribadinya. 37. Data tuturan: “Sepandai-pandainya kamu bersembunyi, pasti akan tertangkap juga!!” (NR.KKT,10/10/014) Konteks tuturan: Akhirnya pada waktu itu, KPK berhasil menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : pasti akan tertangkap juga untuk memunculkan nilai rasa yakin. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena mengandung kepastian. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar pipa yang dihubungkan ke keran. Keran sebagai sumber air ditandai sebagai sumber kasus Hambalang, yang kemudian menyebar yang ditandai dengan aliran air ke pipa. Selain itu, gambar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
252
pipa yang ruwet dengan ujungnya terdapat gambar borgol menjadi tanda bahwa bagaimanapun usaha tersangka untuk menyembunyikan kasus itu, pasti akan terbongkar juga. 38. Data tuturan: “Suka bohong yaa?” (NR.KKT,11/10/014) Konteks tuturan: Sejumlah anggota Fraksi Demokrat, yang diketuai oleh SBY walkout dalam sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : suka bohong ya untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung ejekan secara langsung bagi SBY yang selalu bertindak tidak sesuai dengan yang dibicarakannya. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah dengan hidung SBY yang memanjang akibat dari kebohongannya. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa hidung mancung mengingatkan pada tokoh pinokio yang apabila berbohong, hidungnya akan bertambah panjang. 39. Data tuturan: A : “Sikut aja... Jangan beri ruang deh!Kepuuung!!” B : “Politik pasti nih... ah bikin malas!” (NR.KKT,12/10/014) Konteks tuturan: Saat ini, di Indonesia banyak terjadi manipulasi atau permainan politik yang dilakukan oleh para pejabat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat percakapan di atas untuk memunculkan nilai rasa salah paham. Kalimat percakapan tersebut dipersepi sebagai nilai rasa salah paham karena tidak adanya keselarasan antar dialog. Nilai rasa salah paham ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa praanggapan dari si B yang menganggap bahwa si A sedang membicarakan masalah politik. Tetapi kenyataannya, si A hanya bersorak sebagai ekspresi untuk memberi semangat kepada pemain sepak bola U21 yang dilihatnya di televisi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
253
40. Data tuturan: A : “Ebola itu apa pak?” B : “ ? “ (NR.KKT,13/10/014) Konteks tuturan: Munculnya virus Ebola yang semakin menyebar ke seluruh dunia, dan dianggap sebagai virus yang mematikan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh tanda tanya (?) untuk memunculkan nilai rasa heran. Tanda tanya (?) tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena virus Ebola merupakan virus mematikan yang sedang diperbincangkan banyak orang. Virus ini berbahaya dan berpotensi mudah menyebar ke seluruh dunia. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi menggigit jari sambil memutarkan matanya. 41. Data tuturan: “Komunikasi semakin mudah..”(NR.KKT,14/10/014) Konteks tuturan : Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook berkunjung ke Indonesia dan menawarkan proyek internet murah untuk masyarakat Indonesia agar semua kalangan bisa mengakses aplikasi facebook. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : komunikasi semakin mudah untuk memunculkan nilai rasa gembira. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa gembira karena dimaknai sebagai kegiatan yang bertambah gampang untuk dilaksanakan, sehingga dapat menciptakan suasana yang bahagia. Nilai rasa gembira tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tersenyum senang sambil mengakses aplikasi facebook. 42. Data tuturan: “Milih menteri yang transparan ya, pak?” (NR.KKT,15/10/014) Konteks Tuturan: Presiden Joko Widodo mempunyai tugas mendesak, yaitu harus segera menentukan nama menteri-menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : transparan untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa optimistis karena penutur mempunyai harapan penuh bagi Presiden terpilih, Joko Widodo untuk memilih menteri-menteri yang transparan, yaitu profesional, cakap, pandai, dan bebas dari tindak korupsi.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
254
Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa tindak perlokusi yang ditunjukkan presiden Jokowi dengan melihat dan menunjukkan rapor masing-masing calon menterinya. Sikap tersebut dianggap sebagai langkah awal untuk mewujudkan harapan yang baik. 43. Data tuturan: “Lain kali saja!!!” (NR.KKT,16/10/014) Konteks tuturan : Ahok harus memilih satu calon wakil gubernur DKI Jakarta yang telah diajukan oleh partai pengusung dalam pilkada, yaitu partai PDIP dan Gerindra, dan yang harus bebas korupsi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Lain kali saja untuk memunculkan nilai rasa ragu. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa ragu karena dimaknai sebagai „tidak menerima untuk saat ini‟ dalam menentukan pilihannya. Ketidaksetujuan dari Ahok itu muncul karena adanya keraguan atas wacana Gerindra yang menunjuk Muhammad Taufik sebagai calon wakil gubernur. Hal ini dikarenakan Taufik merupakan mantan terpidana kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2014. Nilai rasa ragu tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa konteks yang dimunculkan melalui fenomena praanggapan penutur bahwa Muhammad Taufik yang telah ditunjuk partai Gerindra sebagai calon wakil gubernur tersebut merupakan mantan terpidana kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2014. Selain itu, gesture Ahok yang membelakangi Muhammad Taufik, dan lebih tertarik dengan calon gubernur yang diajukan oleh partai PDIP. 44. Data tuturan: “Don’t forget to remember me..” (NR.KKT,17/10/014) Konteks tuturan : Pemerintahan presiden SBY berakhir. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Don’t forget to remember me (jangan lupa untuk ingat saya) untuk memunculkan nilai rasa gembira. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa gembira karena penutur (SBY) merasa senang pernah menjadi pemimpin bangsa Indonesia dan berharap rakyat Indonesia selalu mengingatnya, apapun profesinya nanti. Nilai rasa gembira tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah SBY yang tersenyum sambil bernyanyi ketika berjalan meninggalkan gedung pemerintahannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
255
45. Data tuturan: “Bung, tuh lihat, RUPIAH LANGSUNG MENGUAT!” (NR.KKT,19/10/014) Konteks tuturan : Di Indonesia banyak pejabat yang saling bermusuhan, bahkan slaing menjatuhkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : RUPIAH LANGSUNG MENGUAT untuk memunculkan nilai rasa halus. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bahwa demi uang, apapun akan dilakukan. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual ekspresi wajah penutur yang melirik ke belakang, sambil menunjukkan jempolnya ke belakang sebagai tanda untuk melihat kembali sandiwara-sandiwara politik yang dibangun demi mendapatkan uang. Salah satu caranya dengan pura-pura baik dan saling memuji, hingga akhirnya bekerja sama untuk melakukan tindak korupsi. 46. Data tuturan: A : “Kardus Durian.. kardus Durian.. Sukhoi.. Sukhoi..” B : “Hehe.. Jangan ngledek kang..” (NR.KKT,20/10/014) Konteks tuturan: Sudah tersiar pengumuman nama menteri kabinet Jokowi. Namun, dalam pengumuman itu, tidak ada nama terpilih Muhaimin Iskandar. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kardus Durian.. kardus Durian.. Sukhoi.. Sukhoi untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung ejekan secara langsung bagi Ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar yang gagal menjabat di menteri kabinet Jokowi karena dianggap terlibat kasus “Kardus Durian”. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa gambar penutur yang membawa kardus durian, yang jelas mengingatkan mitra tutur yang terlibat dalam kasus “kardus durian”. Selain itu, juga ditambah ekspresi wajah yang membaca pengumuman nama menteri kabinet Jokowi sambil tertawa untuk memberikan ejekan bagi Muhaimin Iskandar. 47. Data tuturan: “Kursi kita di mana, pak JK?” (NR.KKT,21/10/014) Konteks tuturan : Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, dan langsung mendatangi ruang kerjanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
256
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Kursi kita di mana, pak JK? untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung kritikan secara langsung bagi pemerintahan sebelumnya yang belum bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa banyaknya tumpukan kertas yang berserakan sebagai tanda tumpukan tugas-tugas yang belum terselesaikan sehingga kursi presiden dan wakil presiden tidak terlihat. 48. Data tuturan: “Saya harus teliti ” (NR.KKT,22/10/014) Konteks tuturan : Jokowi sangat berhati-hati dan teliti dalam memilih dan menetapkan nama menteri-menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : harus teliti untuk memunculkan nilai rasa yakin. Frasa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena dimaknai sebagai suatu hal yang wajib, tidak boleh tidak, dan mesti. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah pak Jokowi yang terlihat sungguh-sungguh dalam membaca rapor dari masing-masing calon menterinya. 49. Data tuturan: “Lambatnya hasil pengumuman menteri.” (NR.KKT,23/10/014) Konteks tuturan: Jokowi dinilai lamban dalam mengeluarkan pengumuman hasil menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Lambatnya hasil pengumuman menteri untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena merasa dicela sebab pengumuman hasil menteri belum dipublikasikan. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar kura-kura, yang memanggul pengumuman menteri. Binatang kura-kura dipersepsi sebagai binatang melata yang jalannya sangat lambat. 50. Data tuturan: “Sebelum pak Jokowi ngumumin kabinet, kita harus sudah keluar loh pak.” (NR.KKT,24/10/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
257
Konteks tuturan : Kompleks perumahan Widya Candra di Jakarta Selatan dikenal sebagai perumahan yang elite dan menjadi rumah dinas para menteri yang melakukan tindak korupsi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sebelum pak Jokowi ngumumin kabinet, kita harus sudah keluar loh pak untuk memunculkan nilai rasa yakin. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena mengandung kemantapan bahwa mereka harus segera pindah dari perumahan Widya Candra sebelum pak Jokowi mengumumkan kabinetnya. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar koper dan kardus-kardus sebagai tanda bahwa mereka akan segera pindah dari perumahan Widya Candra. 51. Data tuturan: A : “Pengumuman menteri kabinet jokowi lambat ya bung?” B : “Iya, karena calon menteri yang sedianya dipilih ada beberapa yang bermasalah.” A : “Itu yang dinamakan calon menteri KATEGORI MERAH ya bung?” (NR.KKT,26/10/014) Konteks tuturan : Lambannya pengumuman menteri kabinet Jokowi, karena Jokowi sangat berhati-hati dalam menentukan calon menterinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : yang bermasalah dan kategori merah untuk memunculkan nilai rasa halus. Yang bermasalah ini merupakan makna kiasan bagi para calon menteri yang tidak bersih (terlibat kasus korupsi), sedangkan kategori merah dimaknai sebagai warna yang diberikan kepada kandidat menteri Jokowi yang beresiko terjerat kasus korupsi. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi santai dari penutur sambil tersenyum manis.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
258
52. Data tuturan: “Sudah siap semuaaa... Ayo tancap gas!” (NR.KKT,27/10/014) Konteks tuturan : Seluruh Menteri Presiden Jokowi dalam kabinet kerja diharapkan langsung menjalankan tugasnya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sudah siap semuaaa... Ayo tancap gas untuk memunculkan nilai rasa yakin. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena dengan mantap meminta kabinetnya untuk langsung bekerja menjalankan tugasnya masing-masing. Nilai rasa yakin ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa mengankat tangan sambil mengepalkan jari-jarinya, sambil tersenyum.
53. Data tuturan: “Tidak mengejutkan...” (NR.KKT,28/10/014) Konteks tuturan : Presiden Jokowi mengumumkan kabinet pemerintahannya pada Minggu, 26 Oktober 2014. Muncul nama menteri yang dinilai belum mempunyai pengalaman yang lebih. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tidak mengejutkan untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena penutur sebenarnya merasa terkejut dengan pemilihan menteri kabinet kerja Jokowi yang masih melibatkan campur tangan Megawati. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang terlihat heran ketika mengetahui pengumuman kabinet kerja Jokowi, yaitu dengan melototkan matanya sambil menutup mulutnya. 54. Data tuturan: “Selamat datang bu!” (NR.KKT,29/10/014) Konteks tuturan: Susi Pudjiastuti dilantik menjadi menteri kelautan dan perikanan yang baru. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Selamat datang bu! untuk memunculkan nilai rasa gembira. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa gembira karena mengandung ungkapan rasa bahagia karena Indonesia memiliki menteri kelautan dan perikanan yang baru, yang mempunyai sikap yang unik tetapi bertanggungjawab.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
259
Nilai rasa gembira tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa loncatan ikan-ikan di laut sebagai tanda kegembiraan atas menteri perikanan yang baru. Selain itu juga ditandai oleh ekspresi wajah Susi Pudjiastuti yang tersenyum bahagia. 55. Data tuturan: “Pake guling meja. Pake tandingan. Kayak anak kecil, memalukan! Menyebalkan!” (NR.KKT,02/11/014) Konteks tuturan : Kisruh Golkar masih berlangsung, dan kian memanas. Kubu Agung Laksono mengajukan diadakannya Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kayak anak kecil, memalukan! Menyebalkan untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur merasa sebal sebab sampai saat ini kubu Ical dan Agung Laksono belum bisa menyelesaikan masalah internalnya, hingga harus diadakan politik tandingan. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur dengan mengerutkan dahinya sambil menunjuk pipinya sambil menggigit-gigit giginya. 56. Data tuturan: “Duluan ya, Pak...” (NR.KKT,03/11/014) Konteks tuturan: Wacana kenaikan harga BBM membuat harga-harga sembako menjadi naik. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Duluan ya, Pak untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi presiden Jokowi yang telah mengeluarkan wacana kenaikan harga BBM. Nilai rasa halus ini diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melirik ke arah Jokowi, sambil membuka kedua tangannya untuk mempertegas bahwa harga-harga sembako akan lebih dulu naik, sebelum harga BBM dinaikkan. 57. Data tuturan: “PERGI! ” (NR.KKT,04/11/014) Konteks tuturan : Terjadi konflik seputar persepakbolaan Indonesia. PSSI memberhentikan Indra Sjafri sebagai pelatih tim Nasional sepak bola U-19.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
260
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : pergi! untuk memunculkan nilai rasa kasar. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena dimaknai sebagai kata untuk mengusir paksa. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang menunjuk mitra tutur, sebagai tanda mengusir. 58. Data tuturan: “Awan, eh, pesawat? Ah, awan, eh... Pesawat Asing!” (NR.KKT,06/11/014) Konteks tuturan : Pesawat tak berizin mulai gentar masuk ke kawasan udara Indonesia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Awan, eh, pesawat? Ah, awan, eh... Pesawat Asing!” untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena penutur merasa terkejut dengan adanya pesawat yang menyerupai awan yang masuk ke Indonesia, tanpa adanya izin. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata pilot Indonesia yang terus memandang ke arah pesawat menyerupai awan (pesawat asing). 59. Data tuturan: “Ooo... Pak Menteri!” (NR.KKT,07/11/014) Konteks tuturan : Menteri Indonesia selalu berusaha bersembunyi dan lari ketika masyarakatnya melakukan aksi demo. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ooo... Pak Menteri! untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena penutur merasa dikejutkan ketika melihat reaksi menterinya yang kabur ketika rakyatnya berdemo. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tampak terkejut dengan sedikit melotot dan menutup mulutnya. 60. Data tuturan: “Apa nanti tidak merepotkan?” (NR.KKT,09/11/014) Konteks tuturan : Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan salah satu kartu identitas diri yang penting. Di Indonesia, muncul wacana bahwa kolom agama dalam KTP akan dihilangkan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
261
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Apa nanti tidak merepotkan? untuk memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa khawatir karena penutur merasa cemas sebab kolom agama dalam KTP akan dihilangkan. Nilai rasa khawatir tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang mengerutkan dahinya sambil meletakkan jari telunjuk di pipinya. 61. Data tuturan: “Ini kesempatan bagi Anda.” (NR.KKT,11/11/014) Konteks tuturan: Jokowi menjadi salah satu pembicara dalam forum CEO APEC yang berlangsung di Beijing. Ia mempromosikan sektor kemaritiman. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ini kesempatan bagi Anda untuk memunculkan nilai rasa simpatik. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa simpatik karena kalimat yang dituturkan Presiden Jokowi tersebut bersifat membangkitkan rasa simpati atau berusaha menarik hati negara lain untuk bekerja sama dengan Indonesia. Nilai rasa simpatik tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan Jokowi yang dengan mantap mempromosikan peluang bisnis dengan Indonesia dengan cara menunjuk ke peta Indonesia yang memiliki ribuan pulau, untuk bisa digunakan dalam kaitannya dengan salah satu investasi yang ditawarkan, yaitu pembangunan pelabuhan di pulau-pulau Indonesia. 62. Data tuturan: “Turun sekarang!” (NR.KKT,12/11/014) Konteks tuturan : Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi demo. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : turun sekarang untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena massa FPI menolak keras apabila Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena gaya Ahok yang terlalu tinggi. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan Ketua FPI, Rizieq Shihab yang menunjuk ke Ahok yang menjadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
262
tanda aksi kemarahan. Selain itu juga diperkuat oleh banyaknya massa yang mengelu-elukan Rizieq. Massa juga mengepalkan tangannya sambil berterikteriak. 63. Data tuturan: “Apa-apaan ini!!” (NR.KKT,13/11/014) Konteks tuturan : Kemacetan di Jakarta semakin parah. Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Apa-apaan ini!! untuk memunculkan nilai rasa kaget. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kaget karena merasa kaget atas munculnya larangan bagi pengguna sepeda motor untuk tidak melintasi Bundaran HI. Nilai rasa kaget tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan memelototkan matanya ketika melihat adanya tanda “STOP” ketika hendak melewati Bundaran HI. 64. Data tuturan: “Kolom agama untuk selain yang diakui negara rencananya mao diilangin mbah...” (NR.KKT,14/11/014) Konteks tuturan : Banyak pihak yang tidak setuju perihal munculnya wacana akan ada penghapusan kolom agama di KTP bagi agama yang tidak diakui negara. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kolom agama untuk selain yang diakui negara rencananya mao diilangin mbah untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi pemerintah yang membuat kebijakan penghapusan kolom agama di KTP. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi penutur yang melongo ketika mendatangi mbah dukun. Maksud dari tuturan tersebut ialah jika wacana tersebut benar-benar diterapkan, maka akan banyak orang yang menganut ajaran sesat, dan lebih percaya kepada hal-hal mistis. 65. Data tuturan: “Setelah tiga desa di Nunukan, mana lagi ya yang akan diklaim??” (NR.KKT,15/11/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
263
Konteks tuturan : Malaysia telah mengklaim batik, makanan tempe, wayang, tari reog, dan tiga desa di Nunukan. Kini muncul modus baru dari Malaysia dengan memberikan identitas penduduk Malaysia kepada warga desa di sejumlah wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Setelah tiga desa di Nunukan, mana lagi ya yang akan diklaim? untuk memunculkan nilai rasa kesal. Kalimat tersebut dipersepsi mengandung nilai rasa kesal karena penutur merasa kecewa bercampur jengkel atas tingkah Malaysia yang kembali hendak mengklaim desa perbatasan Indonesia-Malaysia. Nilai rasa kesal tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan melotot sambil menggigit jarinya. 66. Data tuturan: “Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik!” (NR.KKT,16/11/014) Konteks tuturan : Kasus narkoba semakin marak di berbagai kalangan, bahkan hal ini juga melibatkan dua mahasiswi yang tertangkap sedang pesta sabu-sabu bersama Wakil Rektor Universitas Hasanuddin. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : wah..wah.. untuk memunculkan nilai rasa heran. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena menimbulkan rasa tidak menyangka atas kasus Wakil Rektor Universitas Hasanuddin yang seharusnya dapat menjadi contoh pemimpin yang baik, tetapi malah menunjukkan citra yang buruk, yaitu dengan berpesta sabu-sabu bersama mahasiswanya. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang berbicara sambil tersenyum. 67. Data tuturan: “Rapat di luar lagi, Pak?” (NR.KKT,17/11/014) Konteks tuturan : Para aparat negara lebih sering melaksanakan rapat di hotel-hotel berbintang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya: Rapat di luar lagi, Pak?” untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi aparat negara yang sering melaksanakan rapat di hotel.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
264
Hal ini ditandai oleh diksi lagi, yang dalam kalimat tersebut berarti kegiatan yang dilakukan lebih dari satu kali, atau berulangulang. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa banyaknya sarang laba-laba yang ada di ruang rapat negara, karena tidak pernah dipakai. 68. Data tuturan: “Tolong selamatkan kami!” (NR.KKT,18/11/014) Konteks tuturan : Kebutuhan gula rafinasi impor di Indonesia semakin meningkat, bahkan gula rafinasi kini telah menjalar ke rumah tangga dengan harga yang relatif murah. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tolong selamatkan kami untuk memunculkan nilai rasa pesimistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa pesimistis karena penutur (petani tebu) berpandangan sudah tidak mempunyai harapan lagi sebab banyak kalangan yang telah mengkonsumsi gula rafinasi, industri gula nasional menurun. Nilai rasa pesimistis tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (seorang petani tebu) yang tercengang akibat semakin meningkatnya impor gula rafinasi di Indonesia. Selain itu, ekspresi wajah penutur juga menunjukkan keputusasaan karena tebu yang merupakan bahan baku gula nasional yang telah mereka tanam tidak laku di pasaran. 69. Data tuturan: “Harga-harga pasti akan ikut naik!!” (NR.KKT,19/11/014) Konteks tuturan : Secara tiba-tiba ada pengumuman harga BBM bersubsidi naik menjadi Rp.8.500,00/liter dari Rp.6.500,00/liter sejak Senin, 17 November 2014 pukul 21:30 WIB. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Harga-harga pasti akan ikut naik untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena penutur kembali dikejutkan dengan kenaikan harga-harga lainnya, sebagai akibat dari kenaikan harga BBM. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan membuka mulutnya lebar-lebar sambil melotot.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
265
70. Data tuturan: “Saya siap mengatasi masalah kota ini!” (NR.KKT,20/11/014) Konteks tuturan : Semakin banyaknya masalah yang melanda ibukota, seperti tindak kriminalitas, banjir, macet, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : siap untuk memunculkan nilai rasa yakin. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena mengandung kepercayaan diri akan suatu kepastian dari Ahok bahwa ia akan sungguhsungguh dalam mengatasi masalah yang akhir-akhir ini menimpa warga Jakarta, seperti tindak kriminalitas, banjir, macet, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan kuda-kuda sebagai tanda sikap siaga dengan posisi kaki dan tubuh yang siap menerima serangan. 71. Data tuturan: “Saya akan berusaha membenahi SKK Migas!” (NR.KKT,21/11/014) Konteks tuturan : Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) di Indonesia masih berantakan, sehingga dibutuhkan pemimpin yang bisa membenahinya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya akan berusaha membenahi SKK Migas untuk memunculkan nilai rasa yakin. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena mengandung pernyataan tegas dari Amin, yang baru saja dilantik menjadi Kepala SKK Migas pada 18 November 2014 oleh presiden Jokowi, bahwa ia akan berusaha membenahi SKK Migas dengan cara membasmi para koruptor. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tubuh Amien yang siap menyingkirkan koruptor-koruptor, yang ditandai dengan berjalan sambil membawa sapu menuju ke sarang tikus (koruptor). 72. Data tuturan: A : “Kok bau ya?” B : “Bau banget! C : “Bau partai!” (KKT, 22/11/014) Konteks tuturan : Jokowi memilih Muhammad Prasetyo yang berasal dari Partai Nasdem, yang juga merupakan salah satu pendukung Jokowi, sebagai Jaksa Agung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Bau partai! untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung terkait keputusan dari presiden Jokowi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
266
yang telah memilih Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung, karena selama menjadi Jaksa Agung Prasetyo tidak menunjukkan rekam jejak yang menonjol atau pun gebrakan-gebrakan program yang konkret. Masyarakat menilai bahwa terpilihnya Prasetyo sebagai Jaksa Agung karena ia berasal dari partai Nasdem yang merupakan salah satu pendukung Jokowi. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah para penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah akibat mencium bau yang tidak sedap. Selain itu, salah satu penutur juga sambil menunjuk ke foto Muhammad Prasetyo. 73. Data tuturan: “Sibuk amat komentar. Wong belum kerja sudah dikomentari! Beri kesempatan dulu....” (NR.KKT, 23/11/014) Konteks tuturan : Muncul berbagai komentar negatif tentang Muhammad Prasetyo yang dipilih oleh presiden Jokowi sebagai Jaksa Agung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sibuk amat komentar. Wong belum kerja sudah dikomentari! Beri kesempatan dulu untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena penutur merasa ganjil ketika mendengar komentar negatif dari banyak pihak tentang Prasetyo. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan yang menunjuk sebagai tanda memberi masukan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. 74. Data tuturan: “Persiapan sebelum musim hujan” (NR.KKT,24/11/014) Konteks tuturan : Di musim penghujan Jakarta selalu dilanda bencana banjir, terutama di bulan November-Desember. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Persiapan sebelum musim hujan untuk memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa khawatir karena mengandung kecemasan penutur akibat banjir yang selalu datang di bulan November-Desember. Nilai rasa khawatir tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa berbagai persiapan, seperti payung, pelampung, dan oksigen sebagai tanda untuk mewaspadai datangnya banjir.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
267
75. Data tuturan: “Tidak akan tinggal diam!!” (NR.KKT, 25/11/014) Konteks tuturan : Kenaikan harga BBM menimbulkan banyak penolakan bagi masyarakat luas. Bahkan anggota DPR pun juga menolak hal itu. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tidak akan tinggal diam untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur yang merupakan anggota DPR akan melakukan suatu tindakan untuk mengusik kuputusan kenaikan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang dengan mantap ingin memanah sebagai tanda sudah berancang-ancang untuk mengeluarkan hak interpelasinya sebagai DPR. 76. Data tuturan: “Tunggu, STOP dulu! ” (NR.KKT,26/11/014) Konteks tuturan : Terjadinya perseteruan DPR yang kian memanas antara koalisi dengan koalisi, sehingga Jokowi meminta menterinya untuk menunggu perseteruan itu selesai terlebih dahulu, baru memenuhi undangan DPR. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Tunggu, STOP dulu! untuk memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa khawatir karena masih terjadi konflik internal DPR, sehingga Jokowi memberi saran agar menteri jangan bertemu dan memenuhi panggilan DPR terlebih dahulu. Nilai rasa khawatir tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian lambang STOP dari presiden Jokowi bagi menterinya, sebagai tanda untuk menunggu terlebih dahulu. Selain itu, penutur juga mengerutkan dahinya sebagai ekspresi kecemasan yang dirasakannya. 77. Data tuturan: “Pohon beringin... pohon beringin... murah.. tinggal pilih...” (NR.KKT,27/11/014) Konteks tuturan : Kisruh Golkar tak kunjung usai. Kubu Agung Laksono kembali menantang untuk melaksanakan Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Pohon beringin... pohon beringin... murah.. tinggal pilih.. untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
268
sindiran secara tidak langsung bagi kubu Ical mau pun kubu Agung Laksono yang hingga saat ini masih belum bisa menyelesaikan konflik internalnya, bahkan konflik ini semakin luas dan berkepanjangan. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata penutur sambil tersenyum dan tangan kanan kacak pinggangnya. 78. Data tuturan: “Kapal asing berbendera Indonesia” (NR.KKT,28/11/014) Konteks tuturan : Adanya nelayan asing yang menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk mencuri hasil laut Indonesia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalmat : Kapal asing berbendera Indonesia untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi nelayan asing yang selama ini telah mencuri hasil laut Indonesia dengan cara menggunakan kapal asing yang berbendera merah putih agar tidak ketahuan. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gambar para nelayan asing yang ditandai dengan hidung mancung yang sedang asyik mengambil ikan di lautan Indonesia dengan menggunakan kapal berbedera merah putih. 79. Data tuturan: “Berani nggak?” (NR.KKT,29/11/014) Konteks tuturan : Kisruh Golkar semakin memanas. Kubu Agung Laksono kembali menantang untuk melaksanakan Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Berani nggak untuk memunculkan nilai rasa benci. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa benci karena penutur (Agung Laksono) merasa dendam dengan mitra tutur, sehingga ia kembali menantang mitra tutur (Ical) dalam Munas tandingan. Nilai rasa benci tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa kerutan dahi penutur sambil menurunkan jempolnya. Selain itu, ekspresi benci juga ditunjukkan oleh mitra tutur yang juga mengerutkan dahinya dan melirik ke arah penutur, sambil bercekak pinggang.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
269
80. Data tuturan: “Iya... Kapal asing berbendera Indonesia” (NR.KKT,30/11/014) Konteks tuturan : Adanya nelayan asing yang menggunakan kapal berbendera Indonesia untuk mencuri hasil laut Indonesia. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh klausa : Kapal asing berbendera Indonesia untuk memunculkan nilai rasa heran. Klausa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena mitra tutur dikagetkan dengan ucapan penutur bahwa ada kapal asing berbendera Indonesia yang selama ini telah mencuri hasil laut Indonesia. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah mitra tutur yang kaget dengan membuka mulutnya sambil melotot dan mengelus dadanya. 81. Data tuturan: “BEBAAS!” (NR.KKT,02/12/014) Konteks tuturan : Pollycarpus Budihari Prianto, terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Talib, telah dibebaskan pada Jumat, 28 November 2014. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : bebaas untuk memunculkan nilai rasa gembira. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa gembira karena mengandung ungkapan rasa puas Pollycarpus Budihari Prianto sebab telah terbebas dari hukuman penjara dengan menggunakan pembebasan bersyarat. Nilai rasa gembira tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bebas dari besi borgol. 82. Data tuturan: “Ngomong apa sih? Haha...” (NR.KKT,03/12/014) Konteks tuturan : Agung Laksono mengajukan Munas Tandingan, karena tidak setuju dengan hasil putusan munas Ical di Bali. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Ngomong apa sih? Haha untuk kasar karena penutur dianggap tidak menghargai apa yang telah didengarnya. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi Ical yang tersenyum menghina dengan posisi tangan memangku kuping kiri. Hal itu menjadi tanda, bahwa apa yang ia dengar di kuping kiri, akan keluar melalui kuping kanan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
270
83. Data tuturan: “Saya lebih setuju ini!” (NR.KKT,04/12/014) Konteks tuturan : Ahok mencari wakil gubernur Jakarta. Muncul beberapa calon wakil gubernur yang diusulkan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya lebih setuju ini untuk memunculkan nilai rasa yakin. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa yakin karena mengandung keyakinan dari Ahok bahwa Djarot yang pernah menjabat sebagai wali kota Blitar selama dua periode ini diyakini mampu menjadi wakil gubernur Jakarta yang baik. Nilai rasa yakin tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (Ahok) yang membuka tangan kanannya sebagai tanda meminta calon wakil gubernur Jakarta dari PDIP. 84. Data tuturan: “Hati-hati dan berwaspadalah!” (NR.KKT,05/12/014) Konteks tuturan : Pada saat itu, marak terjadi aksi perampokan di taksi, bahkan mereka menggunakan taksi yang menyerupai taksi dari perusahaan Express Group. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Hati-hati dan berwaspadalah untuk memunculkan nilai rasa khawatir. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa khawatir karena mengandung kecemasan dari penutur dengan semakin maraknmya kasus perampokan yang terjadi di taksi. Nilai rasa khawatir tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual gesture penumpang yang menggunakan perhiasan mewah dan tas merupakan implikatur bahwa jangan menonjolkan harta yang dimiliki, karena akan menjadi sasaran para sopir taksi palsu. Selain itu, penumpang juga harus bisa membedakan taksi yang asli dan palsu 85. Data tuturan: “Saya tidak setuju!”(NR.KKT,06/12/014) Konteks tuturan: Masyarakat mengecam pengesahan UU pilkada DPRD, sehingga SBY mengeluarkan perpu pilkada langsung, yang ternyata juga menimbulkan kontroversi. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya tidak setuju untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
271
rasa marah karena penutur merasa kesal dengan munculnya perpu pilkada langsung. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (Aburizal Bakrie) yang mengerutkan dahinya sambil merobek Perpu Pilkada Langsung yang dibuat oleh SBY. 86. Data tuturan: “Sepertinya perlu dihukum berat penjual dan pembuat minuman keras oplosan!” (NR.KKT,07/12/014) Konteks tuturan : Pada saat itu, di Indonesia banyak korban meninggal akibat minum minuman keras jenis oplosan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Sepertinya perlu dihukum berat penjual dan pembuat minuman keras oplosan untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai daya ancam karena mengandung kritikan secara tidak langsung bagi penegak peraturan di setiap daerah yang kian melemah, sehingga banyak orang yang dengan leluasa menjual bahkan membuat minuman keras oplosan. Hal ini terlihat dari penekanan pada kata sepertinya. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gerak tubuh penutur yang terlihat santai, dengan mengantongkan tangan kirinya di saku celana, juga gaya bicaranya sambil tersenyum. 87. Data tuturan: “Segera laksanakan Munas tandingan!” (NR.KKT,08/12/014) Konteks tuturan : Golkar kembali kisruh. Kubu Agung Laksono menolak hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar periode yang akan datang. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Segera laksanakan Munas tandingan untuk memunculkan nilai rasa benci. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa benci karena kubu Agung Laksono merasa iri atau tidak terima atas hasil penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar berikutnya, sehingga beliau mengajukan diadakannya Munas tandingan yang telah disetujui oleh wakil presiden Yusuf Kalla. Nilai rasa benci tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata tajam Agung Laksono kepada Aburizal Bakrie.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
272
88. Data tuturan: “Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu!” (NR.KKT,09/12/014) Konteks tuturan : Sejumlah sekolah dinilai belum siap menerima kurikulum 2013. Banyak guru yang merasa kesulitan menerapkan dan memberi penilaian terhadap siswa. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Kami akan lakukan evaluasi terlebih dahulu untuk memunculkan nilai rasa merasa bersalah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa bersalah karena penutur merasa penerapan K2013 ini gagal, sehingga harus dilakukan evaluasi kembali. Nilai rasa bersalah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa pemberian gembok di buku kurikulum 2013. 89. Data tuturan: “Laki-laki atau perempuan sih?” (NR.KKT,10/12/014) Konteks tuturan : SBY kembali mendukung pelaksanaan pilkada langsung. Padahal dulunya beliau juga sempat mendukung pilkada oleh DPRD. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Laki-laki atau perempuan sih untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena penutur merasa aneh atas sikap SBY yang terkesan sebagai orang yang bermuka dua, plintat plintut, dan tidak mempunyai pendirian dalam menanggapi kontroversi pelaksanaan pilkada. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa lirikan mata Prabowo sambil berpikir dengan meletakkan jari telunjuknya di pipi. Selain itu juga ditandai ekspresi dari Ical yang menggaruk-garuk kepalanya. 90. Data tuturan: “Mungkin ini cara yang tepat!” (NR.KKT,11/12/014) Konteks tuturan: Banyaknya tekanan yang dirasakan oleh Kubu Aburizal Bakrie, sehingga Ical berkeinginan mendukung perpu pilkada langsung. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Mungkin ini cara yang tepat untuk memunculkan nilai rasa merasa tertekan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa merasa tertekan karena penutur (Ical) merasa mendapatkan banyak tekanan, seperti tekanan internal dari kubu Agung Laksono, tekanan dari masyarakat luas, dan tekanan atas kesepakatan KMP dan SBY, sehingga penutur mempunyai cara untuk mengeluarkannya dari berbagai tekanan tersebut dengan mendukung perpu pilkada langsung.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
273
Nilai rasa merasa tertekan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang terlihat sangat terancam. Hal ini ditandai dengan batu besar yang menimpa Ical, sebagai lambang tekanan yang dirasakan Ical, sehingga ia mendukung perpu pilkada langsung. 91. Data tuturan: “Aku harus bagaimana?” (NR.KKT,12/12/014) Konteks tuturan: Partai Golkar mendadak mendukung Perpu Pilkada langsung, sehingga membuat beberapa partai lain melakukan hal serupa. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Aku harus bagaimana untuk memunculkan nilai rasa bingung. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa bingung karena Ketua PKS, Amin Matta masih bingung dan belum tahu apa yang harus dilakukan partainya perihal telah sepakatnya beberapa partai yang tergabung dalam KMP untuk mendukung perpu pilkada langsung. Nilai rasa bingung tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur (Amin Matta) yang melirik ke arah perpu pilkada langsung dan sedikit melongo, sambil menggaruk-garuk kepalanya. 92. Data tuturan: “Saya akan menindak tegas!” (NR.KTT,13/12/014) Konteks tuturan : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya akan menindak tegas untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur, yang merupakan menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti merasa kesal dengan adanya nelayan asing yang mencuri ikan di laut Indonesia. Beliau akan menindak tegas masalah tersebut. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh Unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata peledak, sebagai bagian dari apa yang telah dituturkannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
274
93. Data tuturan: “Yang jelas ini dagelan politik yang sangat menghibur” (NR.KKT,14/12/014) Konteks tuturan : Sebagian kader Golkar menolak penyelenggaraan Munas di Nusa Dua, Bali, yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar periode yang akan datang, sehingga akan digelar Munas tandingan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh frasa : dagelan politik untuk memunculkan nilai rasa halus. Frasa tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara halus dengan menggunakan kata kias. Sindiran tersebut ditujukan bagi semua kubu Golkar yang dari dulu masih saja mempermasalahkan Munas, sehingga akan diadakan Munas tandingan yang telah disetujui oleh wakil presiden Yusuf Kalla. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa kspresi penutur yang sedikit menganjurkan bibir bawah ke depan untuk menyatakan tidak senang atau mencibir. 94. Data tuturan: “Rasa kemanusiaannya dimana Pak?” (NR.KKT,15/12/014) Konteks tuturan : Terjadi bencana longsor di Karang Kobar, Banjarnegara pada Jumat, 12 Desember 2014. Banyak elite politik yang sibuk bersaing berebut kursi pemerintahan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Rasa kemanusiaannya dimana ya untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur merasa kesal kepada elite politik yang dinilai tidak mempunyai rasa kemanusiaan, dengan berebut memperjuangkan kekuasaannya masing-masing. Hingga mereka lupa bahwa duka mendalam sedang dirasakan oleh saudara-saudara yang terkena bencana longsong di Karang Kobar, Banjarnegara. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa sebab yang terjadi yaitu para DPR yang berebut memperjuangkan jabatannya masing-masing. Hingga mereka lupa bahwa duka mendalam sedang dirasakan oleh saudara-saudara yang terkena bencana longsong di Karang Kobar, Banjarnegara. 95. Data tuturan: “Auwwwww......!” (NR.KKT,17/12/014) Konteks tuturan : Dollar AS semakin naik, dan rupiah semakin melemah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
275
Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh diksi : auwwww untuk memunculkan nilai rasa tertekan. Diksi tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa merasa tertekan karena penutur merasa terbebani dengan semakin merosotnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Nilai rasa tertekan tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa gesture penutur sebagai warga Indonesia yang terlihat tidak kuat mengangkat beban nilai Dollar AS yang semakin meningkat. 96. Data tuturan: “Khusus motor, dilarang melintas!” (NR.KKT,18/12/014) Konteks tuturan : Kemacetan di Jakarta semakin parah. Pada waktu itu, muncul larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Khusus motor, dilarang melintas untuk memunculkan nilai rasa heran. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa heran karena mitra tutur dikagetkan dengan adanya larangan bagi pengguna sepada motor untuk tidak melintasi jalan MH Thamrin. Nilai rasa heran tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi mitra tutur yang tercengang dengan memelototkan matanya dan menggigit jarinya. 97. Data tuturan: “Diskon gede-gedean enggak, bu?” (NR.KKT,19/12/014) Konteks tuturan : Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno berbiat menjual gedung kantor kementeriannya yang terletak di jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Diskon gede-gedean enggak, bu untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung sindiran secara tidak langsung bagi Rini Soemarno yang hendak menjual gedung kementeriannya. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa mata yang membelalak dan berdekap. 98. Data tuturan: “Lari dari tanggung jawab, pak?” (NR.KKT,20/12/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
276
Konteks tuturan : Kasus lumpur Lapindo di Jawa Timur tidak kunjung tuntas, dan penyelesaian ganti rugi juga belum ada kepastian. Presiden Jokowi pun turun tangan. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Lari dari tanggung jawab, pak untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi Aburizal Bakrie yang tidak membayar ganti rugi korban Lapindo, sehingga presiden Jokowi yang langsung turun tangan, dengan menyiapkan anggaran sebesar Rp 781 Miliar sebagai dana talangan bagi para korban Lapindo. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa jejak kaki Aburizal Bakrie yang pergi begitu saja tanpa ada beban atas kasus Lapindo sambil bernyanyi, tanpa ada rasa tanggung jawab berupa ganti rugi bagi para korban Lapindo. 99. Data tuturan: “Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti...” (NR.KKT,21/12/014) Konteks tuturan : Ada nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa menggunakan izin. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Itu namanya mencuri tahu!!! Bisa dihukum berat nanti untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur merasa kesal dengan adanya nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi marah penutur, sambil melotot, dan menunjuk-nunjuk di depan wajah mitra tutur, yaitu nelayan asing. 100. Data tuturan: “Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat. Hehehe...” (NR.KKT,22/12/014) Konteks tuturan : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memberikan data sepuluh kepala daerah, yang terdiri dari gubernur dan bupati yang memiliki harta tidak wajar atau rekening gendut. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat untuk memunculkan nilai rasa kasar. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi para gubernur dan bupati yang masuk daftar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
277
pemilik harta tak wajar atau tabungan yang membengkak, salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Nilai rasa kasar tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa penutur yang berbadan gemuk dengan gaya berbicara sambil tertawa, dan menunjuk celengan babi yang paling gendut. 101. Data tuturan: “Damai di bumi damai di hati...” (NR.KKT,24/12/014) Konteks tuturan : Banyak umat yang merasa tidak nyaman ketika mengikuti perayaan natal di gereja, dikarenakan sering terjadi aksi pengeboman di gereja-gereja oleh para teroris. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Damai di bumi damai di hati untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa optimistis karena mengandung harapan penuh umat Kristiani yang hendak merayakan natal agar tidak terjadi aksi pengeboman, sehingga sukacita dan damai natal dapat dirasakan oleh semua umat. Nilai rasa optimistis yang berpengharapan penuh tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual dengan menggenggam kedua tangan yang diletakkan di depan dada, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata, seakan-akan penutur berharap dengan sungguhsunggung agar kejadian itu tidak terjadi lagi. 102. Data tuturan: “Yahhh.. sudah penuh!” (NR.KKT,26/12/014) Konteks tuturan : Tingkat hunian hotel pada libur Natal 2014 dan tahun baru 2015 mengalami peningkatan, yaitu terjadi di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Yahhh.. sudah penuh untuk memunculkan nilai rasa kecewa. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa kecewa karena penutur merasa berkecil hati sebab hotel-hotel yang mereka kunjungi sudah penuh, atau sudah tidah ada kamar kosong lagi. Nilai rasa kecewa tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang melongo. 103. Data tuturan: “Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu?” (NR.KKT,28/12/014)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
278
Konteks tuturan : Banyaknya lahan sawah di Indonesia yang dijadikan sebagai perumahan, sehingga import beras semakin meningkat. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat tanya : Harus ada peraturan tanah peruntukan ya bu untuk memunculkan nilai rasa halus. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa halus karena mengandung kritikan secara tidak langsung bagi pemerintah agar mempertegas peraturan penggunaan lahan, agar nantinya tidak perlu mengimport beras lagi. Nilai rasa halus tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi santai dari penutur sambil tersenyum manis. 104. Data tuturan: “Siap memberantas!!” (NR.KKT,29/12/014) Konteks tuturan : Negara Islam dan Suriah (ISIS) sudah menyebar ke Indonesia. Semakin banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Siap memberantas untuk memunculkan nilai rasa marah. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa marah karena penutur merasa kesal dengan semakin banyaknya orang Indonesia yang hendak bergabung dengan organisasi ISIS. Nilai rasa marah tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi penutur yang terlihat serius, dengan lirikan mata yang tajam, sambil membawa senjata untuk memberantas penyebaran ISIS di Indonesia. 105. Data tuturan: “Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin!” (KKT,31/12/014) Konteks tuturan : Pada tahun 2014, di Indonesia banyak terjadi peristiwa atau masalah, seperti masuknya nelayan asing, jatuhnya pesawat Air Asia, bencana longsor di Banjarnegara, pemilihan presiden baru, dan lain sebagainya. Penanda tuturan: Unsur intralingual ditandai oleh kalimat : Semoga lebih baik dari hari-hari kemarin untuk memunculkan nilai rasa optimistis. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai nilai rasa optimistis karena penutur hendak menyambut tahun yang baru dengan harapan agar tahun 2015 menjadi tahun yang lebih baik dari tahun sebelumnya, sehingga tidak terjadi lagi bencana dan masalah politik yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
279
berkepanjangan. Nilai rasa optimistis tersebut diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa langkah mantap penutur sambil tertawa ketika melintasi jembatan dari tahun 2014 menuju 2015, sebagai tanda bahwa ia siap menyambut tahun 2015 dengan harapan yang lebih baik.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
280
BIODATA PENELITI
Agnes Devi Utami lahir di Gunungkidul, pada tanggal 13 April 1993. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN Kelor dari tahun 1999-2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Kanisius Wonosari dari tahun 2005-2008, Sekolah Menengah Atas di SMA Dominikus Wonosari selama tiga tahun dari tahun 20082011. Selain itu, penulis menempuh pendidikan S1 program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.