PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Oleh:
Kurniasih 116322005
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERSETUJUAN
TESIS
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
Oleh:
Kurniasih 116322005
Telah disetujui oleh :
Dr. Katrin Bandel Pembimbing
…………………………………. Tanggal 14 September 2015
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PENGESAHAN TESIS
JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS Oleh:
Kurniasih 116322005
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 10 Juli 2015 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Tim Penguji Ketua
: T. Tri Subagya M. A.
……………………
Anggota
: 1. Dr. Katrin Bandel
……………………
Moderator
: T. Tri Subagya M. A.
……………………
2. Dr. St. Sunardi
3. Dr. Gregorius Budi Subanar S.J.
…………………… ……………………
Yogyakarta, 14 September 2015 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma
Prof. Dr. A. Supratiknya
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama NIM Program Universitas
: Kurniasih : 116322005 : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya : Sanata Dharma
Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis Judul
: Jilbab Sebagai Lokus Pengelolan Diri: Sebuah Kajian Otoetnografis Pembimbing : Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 10 Juli 2015
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 14 September 2015 Yang memberikan pernyataan
Kurniasih
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama NIM Program
: Kurniasih : 116322005 : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul: JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI: SEBUAH KAJIAN OTOETNOGRAFIS
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di: Yogyakarta Pada tanggal: 14 September 2015 Yang menyatakan Kurniasih
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saya ingin sekali tesis yang
sedang saya kerjakan dapat dibaca oleh para perempuan di rumah. Ibu, kakak, kakak ipar, atau mungkin keponakan tidak akan terlalu kesulitan membaca tema yang juga merupakan bagian dari keseharian mereka. Keinginan itu muncul di
tengah perjalanan tesis yang sudah berjalan selama beberapa semester. Bidang keilmuan yang saya ikuti ini, Kajian Budaya, pada dasarnya memperhatikan persoalan sehari-hari. Jadi, saya pikir, mengapa tidak tesis ini dapat dibaca dengan nyaman, bukan hanya secara akademis tetapi juga menyapa keseharian. Secara tidak direncanakan pula, pilihan Otoetnografi yang mengharuskan saya
bereksperimen mengenai gaya penulisan memberi peluang yang cukup untuk keinginan saya tersebut. Sehingga, banyak waktu yang saya habiskan untuk
menjajal gaya bahasa, mulai dari gaya seorang etnografer, terlebih gaya seorang novelis yang lebih menggiurkan. Tetapi karena proyek ini adalah sebuah syarat
untuk kelulusan akademis, saya memutuskan untuk tidak terlampau ‘larut’ dalam
gaya novelis. Selain waktu yang tidak memungkinkan, saya juga belum punya banyak keberanian untuk menyodorkan gaya penulisan dari metodologi penelitian
yang masih terhitung baru ini, khususnya di Indonesia. Padahal institusi yang menaungi proyek penulisan tesis ini, yaitu Ilmu Religi dan Budaya, terlihat dari
sikap para dosennya terhadap Otoetnografi, tidak akan terlampau mempersoalkan
eksperimen gaya selama syarat-syarat penelitian akademis terpenuhi. Syaratsyarat tersebut misalnya akurasi data yang digunakan dan penggunaan literatur.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Meskipun batal menyodorkan hasil eksplorasi yang sudah sempat saya
kerjakan, masih ada kesempatan lain untuk melanjutkan eksplorasi tersebut di lain waktu. Toh, sebuah penelitian bisa tanpa akhir jika kita tidak mengakhirinya.
Seperti yang dinyatakan oleh dosen pembimbing saya, Katrin Bandel, bahwa jika
mau terus memperdalam tesis yang sedang dikerjakan, akan selalu ada
kesempatan. Katrin Bandel selaku dosen pembimbing telah mengingatkan banyak
hal sekaligus memberikan keleluasaan kepada saya. Ucapan terima kasih sedalamdalamnya saya haturkan kepada beliau. Mbak Katrin Bandel adalah dosen
pembimbing yang dapat diajak berdebat, meski kami sama-sama keras kepala, tetapi sifat lembut serta malas berlama-lama terjerat belitan emosi membuat kami segera dapat ‘segar’ kembali lalu melanjutkan sesuatu yang sudah seharusnya berjalan. Terutama kesabaran beliau, saya mesti belajar banyak darinya.
Tesis ini juga dapat lahir atas masukan berarti dari Romo Benny sejak awal,
yang menantang saya untuk mengerjakannya secara otoetnografis. Saya tidak menyangka tantangan tersebut selain mengasyikkan tetapi juga menyakitkan
karena bagian terdalam dari pengalaman hidup saya harus dibahasakan untuk
kemudian dibaca oleh para dosen. Rasa malu dan takut pengalaman pribadi tersebut dibaca orang lain, banyak teratasi oleh sosok didikan Pak Nardi, yang sudah seperti bapak saya sendiri, bahwasanya pengalaman hidup dapat menjadi
sumber dari karya keilmuan. Bapak satu ini terkadang bagaikan seorang analisan
daripada seorang pendidik sehingga terkadang saya merasa menjadi manusia transparan di hadapannya. Di sela-sela pengerjaan tesis ini, saya juga sering
bercengkrama dengan sosok Romo yang selalu bersemangat, yaitu Romo Banar.
Jika sedang sedikit putus asa, mendengarkan celoteh dan tawanya sering membuat vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
semangat saya bugar kembali. Ucapan terima kasih juga saya persembahkan untuk
sahabat-sahabat seangkatan 2011, yang sempat berpadu dalam sedu sedan sambil menemani mimik-mimik bareng, yaitu Frans, Imran, Arham, Vini, Lamser, Gogor. Sungguh
mereka
sahabat-sahabat
yang merupakan
adik-adik
saya
tapi
kedewasaannya membuat hati terharu, seperti halnya juga Wahmuji yang
merupakan ketua angkatan. Kesabarannya untuk mendengarkan curhat-curhat akademis maupun nonakademis sungguh mengharukan. Juga kepada kakak angkatan, Zuhdi Sang, yang terlibat banyak dalam pengerjaan tesis ini, saya ucapkan terima kasih. Ia seringkali mengingatkan saya tentang banyak hal,
terutama berjalannya roda waktu saat saya sedang ‘asyik’ larut dalam masalah
nonakademis. Tak akan pernah terlupa, ibu kami di sekretariat yang telah banyak
mengingatkan mahasiswa, yaitu Mbak Desy, serta bapak kami yang selalu berkeliaran di kampus, mondar-mandir ‘menengok’ para mahasiswa, yaitu Mas Mul, saya haturkan terima kasih sedalam-dalamnya.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Fenomena penggunaan jilbab semakin meluas. Bagi sebagian kalangan fenomena ini mungkin menggembirakan karena dianggap sebagai peningkatan kesadaran religi. Sementara bagi kalangan yang lain, jilbab tetap dipandang sebagai bentuk keterbelakangan Islam. Di antara kedua sisi yang bertentangan ini, pengguna jilbab ada di antaranya. Mereka ditarik ke salah satu sisi, ditarik juga ke sisi yang berlawanan tadi. Pertentangan semacam ini membuat perempuan muslim yang ada dalam pusarannya menjadi terus menerus direpresentasikan. Media Massa dan organisasi gerakan Islam adalah pihak yang secara konkrit merepresentasikan jilbab. Untuk mengatasinya, saya melakukan penelitian otoetnografi. Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam, menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui, membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali. Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya. Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak lapisan kesadaran.Hasil dari penelitian otoetnografi tersebut adalah untuk mendapatkan suara personal dari pengguna jilbab yang diawali oleh saya sendiri, lalu dari narasumber yang ada. Pengalaman personal jilbab ini, pada akhirnya juga mau mengatasi representasi jilbab dalam penelitian yang terkesan mengetahui suara kebenaran pengguna jlbab yang bernada kolonialistik, yaitu menganggap perempuan muslim dunia ketiga sebagai yang tidak mempunyai agensi.
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Putting on hijab has increasingly become a ‘thing’ among Muslim women in Indonesia nowadays. In some groups, it’s a thing to celebrate since this phenomenon marks an elevation in the realm of religious awareness. In other groups, this phenomenon represents the backward mentality of Islam. Between the two poles of discourse are the women in hijab. Each poles act as if a magnet. Trapped in the middle of the poles, the women in hijab suffer the pain of being objectified in the process of representation. In this case, mass media and Muslim organization play the pivotal role in the representation. To deal with this situation, in this research I take the advantage of using autoethnography as the theoretical background. To be more specific, in the research autoethnography is used to build a connection between the self and the other and to see the dimensions in the connection of the two. Here are the steps. First, I – as the ethnographer – will focus on the objective (socio-cultural) side of our personal experience. Then, I will move to the subjective side hoping to reveal the fragility of the self which is moved by and/or move through cultural interpretation. Not only that the self is also distorted in it. Furthermore, when we magnify – up and down or back and forth – the dimensions in the making of the self we witness the distorted dividing line between the cultural (objective) and the personal (subjective); the condition in which we struggle to detect, see and analyze any diamond-clear differences. In short, in autoethnographic writing we search for the relation between what’s personal and what’s cultural. It is a writing in which consciousness levels are many and highly valued. And all these steps hopefully will lead to the finding of a personal voice of the women in hijab starting from myself which has the same position with all of my informants. More importantly, I hope this finding will transcend the colonial sense in most of the representation (research) of hijab in which Muslim women of the Third-World countries are sentenced to be guilty of not having agency (subjectivity).
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
Sampul .......................................................................................................................................................i Persetujuan ............................................................................................................................................ ii
Pengesahan ........................................................................................................................................... iii Pernyataan keaslian .......................................................................................................................... iv
Pernyataan persetujuan publikasi .................................................................................................v Kata pengantar .................................................................................................................................... vi
Abstrak ................................................................................................................................................... ix
Abstract ....................................................................................................................................................x Daftar isi................................................................................................................................................. xi
BAB I ......................................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN.................................................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................................................................ 1 B. TEMA PENELITIAN ....................................................................................................................... 7 C. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................... 7 D. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................................... 8 E. MANFAAT PENELITIAN .............................................................................................................. 8 F. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................... 9 1. Susan Brenner (1996) - Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’ ............................................................................................................10 2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino .......................................................................................................................................................11 3. Sonya Wichelen (2007) - Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia....................................................................................................................................14 4. Deni Hamdani (2011) - Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women ...............................................................16
G. KERANGKA TEORI.......................................................................................................................17 1. Wacana .......................................................................................................................................20 2. Kekuasaan dan Wacana .......................................................................................................21 3. Problematisasi.........................................................................................................................22 4. Teknologi Diri ..........................................................................................................................23 5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty ....................................................................24
H. METODE PENELITIAN ...............................................................................................................29 xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1. Sejarah Otoetnografi .............................................................................................................29 2. Definisi Otoetnografi.............................................................................................................31 3. Strategi Pendekatan ..............................................................................................................35
I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN.................................................................................................37 BAB II......................................................................................................................................................38 TRANSFORMASI PENUTUP KEPALA DI INDONESIA...........................................................38
A. PAKAIAN DALAM KONTEKS RELIGI DAN ETNISITAS (JAWA, SUNDA, DAN MINANGKABAU) ................................................................................................................................41 1. Kerudung dan Kelas Sosial .................................................................................................44 2. Antara Standard Lokal dan Religiusitas ........................................................................49 3. Kerudung dalam Ruang Sosial...........................................................................................51 4. Jilbab dalam Konteks Global ..............................................................................................53 5. Kode Moral dalam Wacana Jilbab ....................................................................................55 6. Penyebaran Wacana Jilbab .................................................................................................57
B. GEGER BUDAYA JILBAB (PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, PEMINGGIRAN KESEMPATAN KERJA) .....................................................................................................................58 1. Alienasi Jilbab (pelarangan jilbab di sekolah, kantor) .............................................60 2. Konstelasi Politik Orde Baru dan Islam .........................................................................61
C. JILBAB DALAM BERBAGAI PRODUK BUDAYA .................................................................63 1. Kelahiran Jilbab Dalam Media ...........................................................................................64 2. Jilbab Dalam Iklan ..................................................................................................................66 3. Jilbab Dalam Kisah Fiksi ......................................................................................................68
D. TITIK BALIK DALAM JILBAB ...................................................................................................70 1. Pelembagaan Jilbab ...............................................................................................................71 2. Imaji Jilbab/Hijab sebagai Kewajaran (konsensus)..................................................75 3. Yang Berbeda Tafsir, Yang Tersisih.................................................................................77 4. Hilangnya Relatifitas Jilbab/Hijab ...................................................................................79
BAB III ....................................................................................................................................................87 JILBAB: LOKUS PENGOLAHAN DIRI SAYA DAN MEREKA.................................................87 A. JILBABKU ........................................................................................................................................87 1. Wacana .......................................................................................................................................87
B. DALAM BENTANGAN SEHELAI JILBAB KAMI HIDUP ................................................ 121 BAB IV ................................................................................................................................................. 144 xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
JILBAB SEBAGAI DISIPLIN HINGGA TEKNOLOGI DIRI.................................................... 144 A. SEJARAH WACANA JILBAB DI INDONESIA..................................................................... 149 1. Wacana Jilbab Syariat ........................................................................................................ 160 2. Wacana Jilbab Modis Tapi Syar'i ................................................................................... 161 3. Wacana Jilbab Perda Syari’ah ......................................................................................... 163 4. Wacana Jilbab Islam Liberal............................................................................................ 163 5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab..................................................................................... 164 6. Wacana Melepas Jilbab...................................................................................................... 166
B. ANALISA JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI .......................................... 167 1. Dari Problematisasi hingga Teknologi Diri ............................................................... 169 2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri ...................................................................... 185
C. NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL ........................... 189 1. Jilbab dan Poligami ............................................................................................................. 193 2. Jilbab dan Esensialisme..................................................................................................... 196
BAB V................................................................................................................................................... 201 KESIMPULAN ................................................................................................................................... 201 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 207
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sebuah mal baru kembali berdiri di kawasan Bandung. Balubur Town
Square atau disingkat menjadi Baltos nama mal tersebut. Selain karena jaraknya
yang tak jauh dari rumah, ada satu hal yang membuat saya tertarik untuk
mengunjunginya. Di bagian depan mal tersebut terpampang foto cantik artis
sinetron yang sedang naik daun, Citra Kirana. Dandanannya memukau dengan
jilbab yang dikenakan sedemikian rupa serta sapuan kosmetik tipis yang membuat sosok Citra Kirana tidak bosan dipandang. Citra Kirana, yang dalam kesehariannya
tidak mengenakan jilbab ini, hadir di dalam foto yang berukuran besar itu tengah berperan menjadi ikon sebuah merek busana muslim terkemuka. Di sampingnya,
tampil juga iklan merek busana muslim lainnya yang sama-sama memajang foto perempuan berjilbab yang juga cantik. Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa
iklan merek busana muslim menjadi bagian dari tawaran konsumsi di mal-mal, khususnya di kota Bandung.
Saat saya memasuki mal baru itu, aura magis yang menguar dari keindahan
busana muslim yang beraneka rupa dan gaya segera menyita perhatian saya. Saya
benar-benar tengah berada di pusat belanja yang tengah merayakan trend berjilbab. Toko-toko yang menata aneka perlengkapan berjilbab dengan apik dan menarik berderet memenuhi satu lantai penuh mal tersebut. Saya bisa
mengaguminya tetapi sebuah ingatan di masa lalu melemparkan saya pada 1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kegelisahan. Dulu, pada 90-an, ketika saya pertama kali mengenakan jilbab, pengalaman berada di mal jauh berbeda dengan yang kini saya rasakan. Saat saya
berpenampilan dengan jilbab di mal, saya merasa kurang begitu menyatu dengan
suasana yang dihadirkan di mal. Bagaimana tidak? Foto-foto berukuran besar memampang perempuan-perempuan yang mencerminkan trend masa kini. Trend
saat itu bukan perempuan berjilbab tentu saja. Sehingga, saya merasa ketinggalan
zaman gara-gara jilbab sederhana yang saya kenakan.1 Tetapi untuk mengubahnya
menjadi lebih modis agak sulit karena saat itu jilbab belum menjadi trend. Saya merasa, beginilah adanya jilbab yaitu pasti tidak sesuai dengan trend masa kini.
Sehingga, tidak ada padu padan antara pakaian dan jilbab begitu beragam. Padahal di mal besar di pusat kota, perempuan muda yang tidak berjilbab biasanya berpenampilan modis dan trendi.
Kini, sekitar dua puluh kemudian, situasi jauh berbeda. Saya merasa sedang
dimanjakan oleh dunia konsumsi yang menawarkan aneka model pakaian dan jilbab yang cantik. Tidak mudah untuk sekadar menerimanya dengan gembira karena pilihan untuk mengenakan model jilbab menjadi lebih beragam serta
kemungkinan disebut ketinggalan zaman dapat teratasi. Jika tersedia uang, saya
tinggal memilih gaya apa saja yang tersedia. Gaya yang merupakan perkawinan
antara menutup aurat menurut syariat Islam dan mode trend terbaru. Tetapi perubahan yang saya alami di mal semacam ini ternyata tidak membuat saya lebih
tenang. Malah keadaan ini menambah panjang daftar kegelisahan saya. Apa sebenarnya jilbab bagi saya kini? 1
Perasaan seperti ini, yaitu merasa kuno, tidak cair dengan suasana modern di sekitar mal masih tidak dapat dilepaskan, kecuali jika kita ikut mengakomodasi busana atau jilbab modis yang penuh warna.
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Merebaknya jilbab di mana-mana membuat saya bertanya-tanya, fenomena
apakah ini semua? Haruskah saya bergembira dengan semakin populernya jilbab
di kalangan masyarakat umum ini? Haruskah saya lega karena jilbab tidak lagi diolok-olok sebagai “Ninja” seperti tahun 90-an? Haruskah saya juga bersyukur
bahwa tak ada lagi ungkapan gegabah “Jilbab Racun” seperti yang terjadi di tahun
90-an? Dalam masa kegelisahan tersebut, saya tiba-tiba mendapatkan sebuah surat elektronik dari seorang teman lama yang kini berdomisili di Jepang. Ia bertanya dengan herannya kepada saya, “Kok bisa sih sekarang di Indonesia banyak banget
yang pake jilbab? Dulu engga sebanyak itu kan? Trus kenapa baru sekarangsekarang orang pake jilbab padahal kan Islam ada udah sejak abad berapa coba?
Kan shalatnya juga udah sejak dulu tapi kenapa jilbab baru muncul sekarangsekarang?”
Pertanyaan teman lama semasa saya kuliah Diploma 3 pada tahun 98 ini
membuat saya merasa tidak sendirian dalam merasa gelisah dengan fenomena jilbab yang terus menerus merebak ini. Fenomena jilbab ini pasti memiliki pola
tertentu yang menarik dan penting, bahkan tidak melulu bersifat teologis. Teringat
masa-masa ketika jilbab sempat dilarang dikenakan di sekolah-sekolah, banyak murid perempuan di sekolah negeri seperti di Bogor dan Bandung yang terpaksa
dikeluarkan dari sekolah hanya karena berjilbab. Pihak sekolah menganggap jilbab
melanggar aturan berseragam di sekolah. Mengapa kini ceritanya berbeda jauh?
Sebaliknya, kini di sekolah-sekolah negeri, seragam yang dikenakan mendekati
batasan pakaian berjilbab, yaitu rok yang panjang hingga mata kaki. Apakah
mungkin materi teologis jilbab yang sudah berubah atau baru dapat dipahami oleh umat Muslim? Sehingga, bisa dimaklumi bahwa sebelumnya jilbab tidak dianggap 3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai hal yang penting bagi perempuan Muslim atau bahkan dianggap penyimpangan oleh kalangan tertentu?
Karena popularitas jilbab di negeri ini yang semakin luas, aneka peristiwa
terkait jilbab yang sepertinya tidak mungkin muncul di tahun 90-an pun kini menjadi mungkin. Misalnya ketika seorang perempuan terdakwa kasus korupsi
mendadak mengubah penampilannya dengan mengenakan jilbab rapi. Sedangkan bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan, ia boleh mengenakan kostum
pengantin berjilbab meski dalam kesehariannya tidak berjilbab. Bahkan jilbab pun
bisa menjadi sebentuk seragam di instansi-instansi tertentu. Sementara itu, di ruang-ruang publik, tak jarang saya menemukan pengumuman tertulis, misalnya di sekolah-sekolah yang menggunakan warna Islami atau masjid yang berbunyi, “Anda Memasuki Kawasan Berjilbab.” Jika kita berlari sebentar ke Aceh,
perempuan yang tidak berjilbab dikejar-kejar oleh aparat agar mengenakan jilbab. Siapapun kini dapat mengenakan jilbab, bergantung kepentingan yang hendak dituju. Jilbab juga dapat “dipaksakan” kepada karyawan demi kepentingan instansi
atau lembaga atau peraturan daerah tertentu. Lagi-lagi saya mengingat masa lalu, periode 90-an saat tak banyak orang yang ramai-ramai mengumandangkan “kewajiban” berjilbab. Jilbab kini telah menjadi model identifikasi yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Sementara itu, secara internal, setelah mengenakan jilbab hampir 20 tahun
membuat saya kembali berefleksi dan mempertanyakan jilbab. Apa makna jilbab bagi saya? Model identifikasi apa yang saya peroleh saat mengenakan jilbab di saat
jilbab semakin populer? Mengapa hidup saya seakan tidak bisa dilepaskan dari
jilbab? Terkadang jilbab juga terasa begitu spiritual, tetapi terkadang terasa tidak 4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lebih daripada sekadar model berpakaian biasa saja. Pada titik yang paling
ekstrim, jilbab juga terkadang terasa menjadi gangguan akibat ketidaknyamanan
secara fisik. Pengalaman jilbab yang tidak linier secara personal ini juga mencerminkan adanya pergeseran penyikapan jilbab secara umum. Dengan demikian pada jilbab terdapat struktur diskursif yang membentuknya. Jilbab
mempunyai daya yang begitu kuat untuk menempatkan seorang perempuan
kedalam posisi tertentu di dalam masyarakat. Selain itu, model-model jilbab pun menjadi semakin beragam. Model tertentu yang dipilih pun dapat dipandang sebagai tanda nilai sosial religius secara khusus. Misalnya, jika jilbab yang dipilih
adalah yang serba longgar dan sederhana maka si pemakai akan ditempatkan sebagai seseorang yang ketat agamanya dan cenderung dianggap kolot. Sedangkan,
jika model jilbab yang dipilih adalah sesuai dengan trend terkini yang penuh
warna dan model maka ia akan ditempatkan pada posisi sebagai seseorang yang lebih modern.
Menyadari dan mengalami pergeseran di dalam jilbab secara intens
membuat saya terus menerus berefleksi. Dua puluh tahun saya mengenakan jilbab membuat saya hinggap pada kesadaran bahwa jilbab yang dikenakan bukanlah
sesuatu yang “sudah dari sananya” atau “terberi”. Setidak-tidaknya, cara menutup aurat berdasarkan syariat Islam ini telah mengkristal pada bentuk jilbab. Terdapat
proses diskursif yang kental di dalam jilbab. Kesadaran semacam itu pun
menghantarkan saya pada kondisi bahwa jilbab merupakan perangkat yang bukan saja menghadirkan keyakinan tetapi juga keraguan sekaligus! Jika jilbab adalah sebuah wacana yang membuat perempuan seperti saya harus mengalami berbagai
hal yang penuh warna, demikian juga perempuan lainnya, apakah kami memang 5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sedemikian patuh? Apakah jilbab merupakan sebuah wacana yang membuat
perempuan menjadi terepresi karenanya? Adakah cara untuk terbebas dari wacana jilbab? Kepatuhan pada wacana jilbab tidak mungkin dipungkiri. Tetapi apakah kepatuhan kami bersifat monolitis dan statis?
Jika kita perhatikan fenomena populer, misalnya melalui representasi
media, jilbab menjadi terlalu sederhana. Jilbab lebih sering disorot sebagai bukti
kepatuhan seorang perempuan Muslim terhadap aturan Islam. Di sisi lain, jilbab juga dipandang sebagai keniscayaan yang harus dipatuhi oleh setiap perempuan
muslim tanpa memberikan kemungkinan penyikapan yang berbeda. Sementara, identitas muslimah pun yang dikonstruksi secara performatif melalui penggunaan
jilbab. Demikian juga ketika perempuan memilih untuk melepaskan jilbabnya dengan pertimbangan tertentu. Dinamika yang kompleks dalam jilbab ini sangat
penting untuk diteliti, lalu dianalisa karena akan memperlihatkan hubungan timbal
balik antara pengguna dan jilbab sebagai sebuah wacana yang kompleks. Apa pentingnya hubungan timbal balik antara pengguna dengan diskursus jilbab? Hal
terpenting adalah bagaimana perempuan memandang dirinya, baik secara spiritual maupun tubuh.
Oleh karena itu saya menjadi tertarik untuk meneliti wacana jilbab. Jika
jilbab bukan sesuatu yang terberi, lantas bagaimanakah proses diskursif yang membentuknya? Jika jilbab membawa pengguna pada pengalaman yang khusus,
bagaimanakah model pemaknaannya? Terakhir, kegelisahan serta ambivalensi
atas jilbab yang saya alami membawa saya pada pertanyaan negosiasi seperti apakah yang hadir dalam jilbab, baik bagi saya sebagai peneliti maupun narasumber yang saya temui?
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pertanyaan-pertanyaan saya di atas berangkat dari kegelisahan saya
sebagai pengguna jilbab yang mengalami pergeseran diskursif, baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, akan sangat terbatas jika, seperti halnya
penelitian jilbab yang sudah ada, hanya dilakukan terhadap orang lain. Saya
sebagai pengguna jilbab mempunyai akses yang mendalam, baik pemikiran maupun emosi terhadap jilbab sehingga lebih baik untuk menggalinya. Kemudian saya dapat mendeskripsikannya secara mendetail serta reflektif. Dalam hal ini, meneliti secara otoetnografis adalah pilihan yang cocok untuk saya. B. TEMA PENELITIAN Popularitas jilbab yang semakin berkembang mendorong penelitian yang
akan berfokus pada analisa diskursif pada pengguna jilbab. Berkaitan dengan pengguna jilbab, peneliti yang juga pengguna jilbab mendorong untuk
menggunakan metodologi otoetnografi. Dengan metodologi tersebut, peneliti mempunyai ruang yang mendalam untuk mengemukakan pengalamannya sebagai pengguna jilbab.
C. RUMUSAN MASALAH 1.
2.
Bagaimanakah jilbab diwacanakan dari masa di Indonesia mulai dari Orde Baru hingga Pascareformasi?
Bagaimanakah wacana jilbab dialami dan dimaknai oleh pengguna jilbab?
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.
Sejauhmana makna jilbab dinegosiasikan oleh penggunanya? dan apa hasilnya?
D. TUJUAN PENELITIAN 1.
Untuk mengetahui proses jilbab diwacanakan di dalam masyarakat
2.
Untuk mengetahui pengalaman dan pemaknaan jilbab oleh pengguna
3.
pada beberapa periode sosial-politik yang ada; jilbab;
Untuk mengetahui negosiasi pengguna jilbab dan wacana jilbab.
E. MANFAAT PENELITIAN Penelitian mengenai jilbab, di saat jilbab sudah sangat populer di kalangan
masyarakat akan sangat berguna setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, wacana jilbab bukanlah sebatas persoalan ekspresi religius saja. Terdapat struktur
diskursif yang kental di dalam jilbab. Hal tersebut penting untuk diketahui agar
saya (khususnya) dan masyarakat pada umumnya dapat melihat adanya konstruksi di dalam jilbab. Sehingga jilbab dapat diposisikan secara lebih adil baik
bagi pengguna maupun yang memandangnya. Kedua, pergeseran wacana jilbab
merepresentasikan pemaknaan jilbab. Ketiga, menambah perspektif insider terhadap penelitian yang sejauh ini banyak dilakukan oleh outsider.
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F. TINJAUAN PUSTAKA Semenjak popularitas jilbab semakin meningkat di Indonesia, banyak
penelitian jilbab sudah dikerjakan. Di bawah ini akan disinggung beberapa hasil penelitian yang memiliki keterkaitan erat dengan tema penelitian yang akan saya lakukan. Ada dua kategori hasil penelitian yang saya gunakan. Pertama, adalah
penelitian yang mengandung kecenderungan orientalistik. Penelitian tersebut
adalah, “Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’”
(1996)2 yang dilakukan oleh Susan Brenner dan Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia (2007)3 yang ditulis oleh Sonya Wichelen. Sedangkan
kategori lainnya adalah penelitian yang dapat menjadi landasan atau titik berangkat bagi penelitian yang akan saya kerjakan. Penelitian tersebut adalah
Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino (2001).4 Selanjutnya, penelitian jilbab yang sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah Anatomy of Muslim Veils:
Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011)5 yang dikerjakan oleh Deni Hamdani.
2 3 4
5
Susan Brenner, “Reconstructing Self and Society: javanesse Muslim Women and ‘The Veil’” , 1996, Amerika: American Antropological Association, hal. 673-697. Sonya Wichelen, “Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia” , 2007, England: Ashgate Publisihing Limited, hal. 93-108. Karen Washburn, Jilbab, “Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa “ dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 111-146. Deni Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, 2011, Jerman: LAP Lambert AcademicPublishing GmbH & Co.KG.
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1. Susan Brenner (1996) - Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘The Veil’ Penelitian Brenner yang berupa artikel panjang ini disajikan untuk
menjawab pertanyaan signifikansi jilbab modern di kalangan Muslim Jawa, dengan
menganalisa pengalaman perempuan-perempuan muda dalam konteks gerakan Islam yang lebih luas. Brenner berusaha untuk menjawab pertanyaan penelitian di
seputar alasan yang diambil para perempuan muda untuk mengadopsi jilbab yang
(menurut Brenner sendiri) tidak berakar pada tradisi lokal serta tidak didukung oleh masyarakat luas karena dianggap sebagai cara berpakaian “impor” sehingga stigma sebagai esktrimis atau fanatis sering mereka dapatkan. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut,
Brenner
memperkirakan
bahwa
keputusan
untuk
mengenakan jilbab merupakan proses transformasi diri perempuan di Jawa. Brenner memang melakukan penelitian di seputar Yogyakarta dan Solo saja.
Gagasan yang menjadi perhatian dalam penelitian Brenner adalah soal
jilbab yang dikenakan para perempuan muda tidak mempunyai akar tradisi lokal. Dengan demikian, jilbab dipandang sebagai corak baru pakaian Islam yang diimpor dari Timur Tengah yang berkebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh
perempuan tua di Indonesia. Dalam hal ini, hasil penelitian Brenner cenderung
bersifat esensialis, yaitu seakan-akan Islam dan Jawa adalah dua hal yang terpisah dan murni. Sehingga, ia melihat jilbab sepenuhnya impor dari Arab.
Di samping itu, Brenner juga mengaitkan jilbab di Indonesia dengan di
negara-negara Timur Tengah atau Asia Jauh. Sambil berusaha memperlihatkan 10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dinamika jilbab dalam konteks Indonesia, hasil penelitian Brenner menjadi kurang tepat, terutama ketika sampai pada kesimpulan bahwa jilbab di kota yang ia teliti
juga berpotensi membatasi ruang gerak pemakainya bahkan lebih banyak menimbulkan kerugian karena membuat perempuan mendapatkan diskriminasi di lapangan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Gagasan tersebut kurang
kontekstual karena tidak melihat kehadiran jilbab dalam konteks yang lebih luas. Jilbab menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja atau naik jabatan karena bentuknya yang belum cair dengan masyarakat. Jika Brenner kembali melanjutkan penelitian jilbab di Jawa, ia akan melihat bahwa situasi justru berkebalikan, yaitu jilbab malah menjadi salah satu ‘prasyarat’ kerja di lapangan kerja tertentu.
2. Kelompok Studi Realino (2001) - Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa yang dilakukan oleh Kelompok Studi Realino Karen W. Washburn adalah seorang peneliti yang berasal dari U.C. Los
Angeles, menjadi peneliti tamu di Kelompok Studi Realino. Washburn hadir dengan penelitian tentang jilbab untuk tema yang lebih besar yaitu komoditi global yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian lainnya yang juga dimuat dalam buku
yang sama adalah tentang globalisasi identitas makanan. Mi Instan adalah komiditi yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia. Sedangkan, Washburn hadir
meneliti globalisasi identitas pakaian. Jilbab adalah komoditi yang diteliti sebagai siasat perempuan Indonesia (juga).
Sebagaimana lokasi Kelompok Studi Realino yang berada di Kota
Yogyakarta, Washburn pun melakukan penelitian tentang jilbab di kota yang sama. Meskipun Yogyakarta sebenarnya kota yang dihuni oleh perempuan dengan 11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
beragam suku karena merupakan pusat studi penting di seluruh Indonesia, responden yang dipilih adalah khusus perempuan bersuku Jawa. Tidak disebutkan secara khusus alasan pemilihan tersebut. Washburn melakukan penelitian untuk menangkap pengalaman personal (perspektif mikro) pengguna jilbab. Untuk upaya
tersebut Washburn menggunakan wawancara sejarah hidup (life history methodology) dengan beberapa perempuan muda dari berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hasil penelitian yang didapatkan oleh Washburn
adalah jilbab tidak semata-mata hadir atas nama “identitas orisinil” tetapi juga sebagai simbol siasat terhadap semangat zaman yang sedang menjadi “trend”. Jilbab
menjadi
ruang
rekonsiliasi
antara
otonomisasi
personal
untuk
memfungsikan kebebasannya dan berdamai dengan tuntutan konformitas sosial. 6
Dalam pendahuluan yang diberikan oleh Monika Eviandaru terhadap
penelitian tersebut juga disebutkan adanya keterkaitan antara penelitian yang dilakukan oleh Washburn dan Brenner. Penelitian yang dilakukan oleh Washburn berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Brenner. Terutama pada soal
lingkup kultural jilbab yang disimpulkan sebagai cara berpakaian yang tidak
berakar pada kejawaan. Gagasan yang digunakan dari Brenner adalah bahwa pada awalnya jilbab justru ditolak dalam perilaku kultur Jawa karena dianggap lebih
bersifat “Arab”. Seperti yang ditekankan oleh Eviandaru, penolakan tersebut biasanya dilandasi oleh argumentasi bahwa seseorang dapat menjadi muslim yang
baik tanpa harus mengenakan tata cara pakaian Timur Tengah. Dalam hal ini, baik
Washburn maupun Brenner mempunyai pandangan yang terkesan tidak berpijak 6
Washburn dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, 2001, Yogyakarta: Penerbit . Kanisius, hal. 21
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pada sejarah. Mengapa? Karena seakan-akan tidak pernah ada perkawinan atau
hibriditas antara kejawaan dan keislaman yang di dalamnya unsur kultur Timur Tengah sudah jelas akan hadir.
Mungkinkah sebenarnya yang dimaksud oleh Washburn maupun Brenner
adalah lebih kepada model jilbab modern, yaitu jilbab rapat yang tidak memperlihatkan rambut sama sekali? Tetapi walaupun demikian, tetap terdapat
perbedaan yang cukup penting antara jilbab perempuan Indonesia dengan yang dimaksud dengan cara berpakaian ala Timur Tengah. Perempuan Jawa, misalnya, pada umumnya mengenakan jenis pakaian seperti celana atau blus untuk
dipadankan dengan jilbab, tanpa harus ditambah oleh cadar. Meskipun cadar digunakan, tetapi bukan merupakan cara berpakaian yang lazim ditemukan.
Berkaitan dengan itu, memang salah satu responden yang dipilih oleh Washburn
adalah perempuan yang sehari-harinya mengenakan cadar. Tetapi sekali lagi penggunaan cadar di Indonesia bukanlah cara berpakaian yang umum dipilih oleh perempuan berjilbab.
Hal menarik lainnya, masih terkait dengan persoalan kultural adalah
adanya hasil penelitian (yang juga ditekankan oleh Eviandaru dalam bagian
pendahuluan) terkait Islam sebagai pilihan untuk menjadi modern.7 Istilah modern di sini, dapat dibaca sebagai ‘kebaruan’. Dengan kata lain, penelitian jilbab ini
hendak meneropong cara ber-Islam yang lebih baru daripada yang sudah ada. Tetapi dalam keseluruhan wawancara tertangkap kesan bahwa istilah modern di
sini juga merupakan pembedaan kutub antara “Islam”, “Modern” dan “Tradisional” 7
Ibid, hal. 24.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemudian dihubungkan pula dengan kutub “Barat” yang mau dihindari oleh kutub tersebut. Misalnya dalam wawancara, sosok ibu responden sering dirujuk sebagai
sosok yang belum melek sadar kesetaraan jender. Sosok ibu bagi Noor, salah satu
responden misalnya, dilihat sebagai perempuan yang sangat bergantung pada suaminya (ayah Noor) sehingga dianggap tidak memberikan warna pada kultur keluarga.
3. Sonya Wichelen (2007) - Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia Tulisan yang dikerjakan oleh Wichelen mengemukakan tentang kehadiran
citra tubuh baru di Indonesia yang bertema secara khusus “kemusliman”. Ada dua tema besar tentang tubuh yang dianalisa oleh Wichelen, yaitu citra tubuh feminin
dan maskulin. Citra tubuh kemusliman feminin yang dirujuk Wichelen
berdasarkan popularitas jilbab sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi. Seperti halnya pada umumnya tulisan mengenai jilbab di Indonesia, situasi politik
memang selalu dijadikan latar belakang yang tak pernah ditinggalkan. Dalam hal ini, Wichelen cukup memberikan konteks bagi hadirnya citra tubuh kemusliman berdasarkan jilbab. Tulisan Wichelen tidak mengetengahkan
responden.
Sementara itu, untuk citra tubuh maskulin, Wichelen mengambil tema tentang poligami. Tidak seperti halnya tema jilbab, untuk poligami tidak diberi konteks
yang lebih luas oleh Wichelen. Wichelen hanya menggunakan popularitas sebuah
kasus poligami yang digelontorkan oleh media massa. Popularitas poligami berdasarkan kasus seorang pelaksana poligami yaitu Puspo Wardoyo yang
memberikan gaung cukup luas melalui media massa telah dijadikan sebagai hadirnya tubuh maskulin kemusliman.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tulisan Wichelen penting untuk saya masukkan kedalam kajian pustaka
karena secara eksplisit tendensi orientalistik dapat terbaca. Kesan orientalistik tersebut hadir dalam perbandingan isu jilbab dan poligami dalam keseluruhan
tulisan. Tulisan Wichelen ini yang pada dasarnya hendak meneropong proses Islamisasi di Indonesia selama beberapa dekade yang telah melahirkan imaji dan
diskursus baru pada tubuh Muslim. Wichelen menandai periode pasca-Suharto tumbang. Pada periode tersebut beragam kelompok Islam mulai memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Dengan demikian telah muncul pula isu-isu yang menyangkut jender dan seksualitas dalam diskursus publik.
Isu terkait jilbab dan poligami memang benar adanya telah terangkat ke
permukaan dan menjadi bahan perdebatan. Tetapi mengapa dalam tulisan ini menjadi terkesan orientalistik? Sekilas membaca tulisan Wichelen langsung
mengingatkan pada penelitian-penelitian isu jender di negara-negara Timur Tengah atau Asia Jauh. Jilbab, cadar, harem, sunat perempuan dan poligami
diletakkan sebagai persoalan umum yang dialami oleh perempuan di negaranegara mayoritas Muslim. Dalam tulisan yang konteksnya Indonesia ini, bukan mustahil sebenarnya untuk menghasilkan kajian yang lebih objektif. Tetapi
sayangnya karena metodologi yang digunakan untuk melihat persoalan lebih bersifat sosiologis, hasilnya tidak terlalu mengesankan. Jilbab maupun poligami dilihat dari kacamata yang jauh. Baik pengguna maupun pelaku tidak hadir sebagai
subjek yang dapat memberikan suara atau integritas. Sehingga tak dapat terhindarkan tendensi mengobjektivikasi di dalamnya. Tendensi
objektivifikasi
ini
dapat
terlihat
ketika
dilakukan
pengkategorisasian jilbab yang ada, yaitu jilbab sebagai wacana konsumeris dan 15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Islamis. Perempuan pengguna jilbab dikelompokkan kedalam dua wacana tersebut seakan-akan batasnya
begitu tegas. Perempuan pengguna jilbab hanya
dikelompokkan kedalam kedua wacana
tersebut tanpa melihat adanya
kemungkinan dinamika yang lebih cair. Dalam hal ini, Perempuan pengguna jilbab
direpresentasikan sebagai objek penelitian yang bukan saja tidak bisa bersuara tetapi juga sebagai yang semata tunduk terhadap wacana jilbab sedemikian rupa.
Terlebih isu poligami yang disandingkan di dalam penelitian ini menciptakan
kesan adanya penaklukan tubuh perempuan atas jilbab dan perayaan tubuh lakilaki karena poligami.
4. Deni Hamdani (2011) - Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women Penelitian jilbab yang sangat membantu untuk periodisasi jilbab adalah
penelitian yang dilakukan oleh Deni Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice,
Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani menggunakan metode sejarah dan etnografi. Dengan penelitian jilbab yang sudah dilakukan Hamdani membuka kemungkinan bagi saya
untuk memperdalaman penelitian yang lebih bernuansa. Gerak bathin dan pemikiran yang dialami oleh pengguna jilbab dapat melengkapi dinamika jilbab
yang ada. Seperti yang nanti akan saya jabarkan di dalam penelitian ini, jilbab tidak
menjadi semata-mata sebuah wacana yang monoton bagi penggunanya. Ada paksaan dan pilihan yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian yang lebih bernuansa sangat penting untuk melanjutkan hasil penelitian Deni Hamdani ini.
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
G. KERANGKA TEORI Meneliti sebuah tema yang sudah terlampau cair dalam keseharian tentu
tidak mudah karena kita dipaksa untuk berjarak. Kita harus awas terhadap setiap
unsur yang dialami sebagai keseharian. Tanda-tanda, pemaknaan, identitas, religiusitas, bahkan gaya hidup bersatu di dalam sehelai kain yang dikenakan
sebagai jilbab. Satu-satunya amunisi yang membuat tema keseharian seperti jilbab dapat teratasi justru karena adanya kegelisahan di dalamnya sehingga
membutuhkan jawaban meskipun sifatnya sementara. Untuk memasuki proses berjarak lalu melakukan analisa berbagai unsur di dalam jilbab tersebut dibutuhkan konsep-konsep yang memungkinkan untuk dapat membahasakan
persoalan-persoalan yang ada di dalamnya. Konsep-konsep dibutuhkan untuk
dapat memperluas dan memperdalam tema yang sedang saya kaji. Dalam hal ini, beberapa konsep yang diambil dari pemikiran Michel Foucault akan saya gunakan. Konsep-konsep tersebut meliputi konsep tentang cara kerja wacana dan
kekuasaan, problematisasi, disiplin, dan teknologi diri. Selain konsep-konsep dari
Michel Foucalt, dipinjam juga cara berpikir Chandra Talpade Mohanty dalam menerangi persoalan representasi perempuan dunia ketiga dalam penelitian.
Penting untuk dikemukakan terlebih dahulu tentang proses Michel Foucault
mengembangkan konsep-konsep kritisnya. Untuk kemudian kita dapat sedikit
mengetahui, kiranya, untuk tujuan apa konsep-konsep yang bertemakan sejarah itu dielaborasi. Dalam sebuah wawancara, Foucault berbagi cerita tentang tradisi
filosofis yang dia alami pada masa tahun 1950-an. Foucault, sebagaimana juga orang-orang segenerasinya pada umumnya dipengaruhi oleh persoalan makna
yang diperoleh dari pendidikan teladan guru-guru baru. Guru, saat itu mendidik 17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
murid-muridnya dalam suasana aliran fenomenologi. Mereka dilatih untuk menganalisis pelbagai makna yang imanen dalam keseluruhan pengalaman yang
dihayati, serta pelbagai makna persepsi dan sejarah yang implisit. Proses ini kiranya penting sebagai bahan dasar bagi pengembangan tradisi filosofis Foucault.
Berkaitan dengan itu, perhatian Foucault juga dipenuhi oleh hubungan yang
mungkin ada antara eksistensi individu sehingga dapat hadir. Lebih dalam lagi, Foucault juga dipenuhi oleh berbagai pertanyaan mengenai hubungan antara makna dan sejarah, atau antara metode fenomenologis dan Marxis.
Foucault percaya bahwa semua orang pada masa tersebut mengalami
semacam perubahan yang pada awalnya tidak tampak penting tetapi ternyata
sangat mendasar untuk memisahkan para generasi pada saat itu. Penemuan kecil
atau kegelisahan kecil yang muncul di permulaan terkait syarat-syarat formal yang dapat memungkinkan makna muncul. Foucault menyebutkan bahwa generasi
muda pada zaman itu memeriksa kembali gagasan Husserlian bahwa dimanamana terdapat makna yang telah menyelimuti dan memberi kemampuan bahkan
sebelum orang-orang mulai membuka mata dan berbicara. Bagi orang-orang segenerasinya, makna tidak muncul dengan sendirinya, ia tidaklah “sudah berada
di sana” atau tepatnya, “ia sudah ada di sana”. Tetapi ada syarat-syarat di dalamnya, yaitu syarat-syarat formal. Lalu, sejak tahun 1955 generasi Foucault
mencurahkan diri untuk menganalisis syarat-syarat formal bagi kemunculan makna. 8
8
Jeremy R. Carrete (ed.), Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, 2011, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hal. 122.
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tetapi dalam proses mengembangkan konsep kritisnya, Foucault tidak
hanya dipengaruhi oleh tradisi yang di jelaskan di atas. Tetapi apa yang dilakukan
Foucault kemudian seperti bertentangan dengan tradisi yang ia alami tadi. Jika
sebelumnya, generasi dan perhatiannya tersita oleh syarat-syarat kemunculan makna, kini Foucalut mengarah pada pada bagaimana makna menghilangmelalui pembentukan objek. Penjelasan ini, secara eksplisit menunjukkan di mana letak posisi
Foucault
yang
problematis
untuk
dimasukkan
kedalam
aliran
strukturalisme. Foucault mengatakan, sejauh itulah dirinya tidak dapat dimasukkan
kedalam
apa
yang
didefinisikan
sebagai
‘strukturalisme.’
Strukturalisme, berkebalikan dengannya, mengajukan persoalan mengenai syaratsyarat formal bagi kemunculan makna, mulai terutama dari contoh istimewa berupa bahasa, yang juga merupakan sebuah objek yang kompleks, penuh potensi untuk pelbagai analisis. Tetapi, di saat yang bersamaan, ia berperan sebagai model
untuk menganalisis kemunculan makna-makna lain yang tidak persis merupakan makna sebuah tatanan linguistik atau verbal. Katanya, “dari sudut pandang itu, tak
dapat dikatakan bahwa saya mempraktikkan strukturalisme, karena kenyataannya saya tidak berkepentingan dengan makna maupun pelbagai syarat dimana makna
muncul, melainkan berkepentingan dengan syarat-syarat bagi modifikasi atau interupsi makna, dengan pelbagai syarat di mana makna menghilang, dan dengan demikian memungkinkan munculnya sesuatu yang lain.9
Penjelasan-penjelasan yang diambil dari wawancara Foucault itu penting
untuk mengatasi pertanyaan, hal mendasar apa yang ingin dijelaskan oleh Foucault
dalam berbagai teori yang ia kembangkan. Foucault mau mengatakan hal 9
Ibid. Hal.
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mendasar, yaitu tentang bagaimana manusia mengalami dirinya sendiri dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian, pada akhirnya tujuan dari
penelitiannya yang serba panjang itu sebenarnya adalah untuk menyentuh soal subjektivitas yang merupakan bentukan sejarah. Sebagai tambahan, saya sertakan kutipan dari Foucault sebagai berikut,
...tugas filsafat adalah membuat diagnosis, dan tujuannya bukan lagi mengumumkan sebuah kebenaran yang sah bagi semua orang dan bagi semua zaman. Saya hendak mendiagnosis, melakukan sebuah diagnosis terhadap masa kini: menyatakan siapa diri kita sekarang dan apa artinya, sekarang, mengatakan apa yang kita katakan…10
1. Wacana
“Wacana” merupakan istilah yang sangat penting dalam rangka
menginterogasi sebuah kasus atau objek. Wacana di sini merujuk pada gagasan
tentang “sesuatu yang mengatur dan meregulasi cara sesuatu, baik praktek sosial
maupun objek, dibicarakan.” Meskipun wacana merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu bahasa, tetapi yang dirujuk oleh Foucault bukan pada tataran intrinsik
atau struktur formalnya. Wacana yang dirujuk bukan tentang aspek linguistiknya
tetapi pada fungsi dan efek dari wacana yang nantinya berpengaruh terhadap subjek.
Dengan
demikian,
wacana
ini
bersifat
non-linguistik.
Foucault
mendefinisikan wacana sebagai satuan-satuan fungsi (unities of function), bukan sebagai makna atau signification.
Khususnya dalam The Archaeology of Knowledge, Foucault mengembangkan
seluruh rangkaian kategori untuk mengatur antara wacana dan relasinya terhadap praktik lainnya, peristiwa dan objek. Istilah yang dikenal dan sering dipakai dari 10
Ibid. Hal. 128.
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Foucault adalah ‘praktik wacana’ (discursive practice). Foucault menjelaskan gagasannya terkait ‘praktik wacana’ sebagai ‘berbicara adalah untuk melakukan
sesuatu’. 11 Praktik wacana beroperasi berdasarkan pada aturan-aturan yang sangat spesifik terhadap waktu, ruang dan latarbelakang kultural. Atau dengan kata lain, praktik wacana merujuk pada produksi wacana dalam suatu masyarakat dan zaman tertentu.
Dalam wawancaranya yang lain, Foucault secara eksplisit menyatakan
bahwa yang menjadi penting bagi dirinya dan apa yang ingin ia analisis bukanlah kemunculan makna dalam bahasa, melainkan cara pelbagai wacana berfungsi dalam sebuah kebudayaan tertentu: bagaimana sebuah wacana berfungsi sebagai yang patologis dalam satu periode dan sebagai yang literer dalam periode yang
lain. Karena itu, mekanisme wacanalah yang menjadi perhatian Foucault, bukan modus pemaknaannya.12
2. Kekuasaan dan Wacana
Kekuasaan di sini, bukan berarti kekuasaan yang merepresi individu karena
jika kekuasaan di sini bersifat merepresi seakan-akan ada ruang di mana individu dapat berdiri di luar kekuasaan. Padahal kekuasaan justru sering tidak disadari. Kekuasaan yang dibahas Foucault bersifat lebih mendalam lagi, yaitu kekuasaan yang hadir melalui wacana dan pengetahuan.
Kekuasaan menurut Foucault13 adalah seperti berikut ini:
11
Clare O’Farrel, Michel Foucault, London: Sage Publications, hal. 79. Carette, hal. 127 13 Michel Foucault, hal. 94-95. 12
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
a. Kekuasaan bukan sesuatu yang dapat dimiliki, diperoleh atau diberikan. Kekuasaan tidak berpusat pada manusia/institusi, tetapi MENYEBAR.
b. Kekuasaan bukan sebuah kekuatan yang hadir secara terpisah dari persoalan/relasi
lain
(misalnya
ekonomi
atau
pengetahuan),
lalu
mempengaruhinya dari luar. Sebaliknya, kekuasaan hadir di dalam relasi tersebut. Maka kekuasaan bukan sekadar membatasi atau melarang, tapi bersifat PRODUKTIF.
c. Tidak ada hubungan yang sederhana dan top-down antara kekuasaan di level makro (masyarakat luas) dan di level mikro (misalnya keluarga). Tidak ada semacam 'matriks' kekuasaan yang kemudian direproduksi di
semua level masyarakat. Kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan
berubah-ubah. kekuasaaan di level lokal dan di level yang lebih luas saling mempengaruhi (artinya, pengaruh itu tidak bersifat satu arah).
d. Kekuasaan beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tapi bukan
berarti bahwa ada orang/kelompok tertentu yang merancangnya dan menjalankannya.
e. Bahwa di manapun ada kekuasaan, ada perlawanan dan walaupun demikian, atau lebih tepat karena itulah, perlawanan tidak pernah berada pada posisi di luar kekuasaan. 3. Problematisasi
Foucault menjelaskan lahirnya wacana seksualitas di Barat sebagai sebuah
situasi perubahan perilaku. Katanya, pada awal abad ke 17 masih berlaku
keterbukaan tertentu. Saat kegiatan seksual tidak ditutup-tutupi. Misalnya, kata22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal yang menyangkut
seks tidak disamarkan. Ketika itu yang haram dianggap halal. Namun, lanjut Foucault, keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul oleh senja, sampai
tiba malam-malam monoton kaum borjuasi Victorian. Sejak saat itulah seksualitas dipingit rapi. 14 Ilustrasi tersebut kiranya menjadi contoh yang tepat untuk menjelaskan sebuah konsep dari Foucault sendiri, yaitu ‘problematisasi’.
Problematisasi adalah istilah yang digunakan Foucault untuk mendefinisikan
sejarah pemikiran dalam buku kumpulan kuliahnya, Fearless Speech. Foucault membedakan antara sejarah sebuah gagasan dengan sejarah sosial. Dia menyatakan tidak berupaya untuk mengidentifikasi kapan kiranya sebuah konsep khusus lahir, atau menulis sejarah sebuah periode atau institusi. Dia menjelaskan bahwa sejarah pemikiran sebagai “sebuah analisa cara sebuah wilayah
pengalaman yang semula tidak dipermasalahkan atau seperangkat praktik yang
diterima tanpa pertanyaan...menjadi sebuah masalah—problem—yang melahirkan perdebatan dan diskusi, mendorong reaksi-reaksi baru, serta menginduksi sebuah krisis di dalam tingkah laku, kebiasaan, praktik, institusi yang sebelumnya sunyi. 15 4. Teknologi Diri
Menurut Foucault, orang memungkinkan untuk melakukan ‘ontologi kritis
terhadap diri’, yaitu berusaha untuk menyadari wacana-wacana yang telah membentuk subjektivitasnya. Hal tersebut bertujuan untuk mengimajinasikan
ulang diri secara berbeda. Praktik ini disebut juga sebagai ‘teknologi diri’ 16 yang 14
Ibid, hal. 3-4. Clare O’Farrel, Michel Foucault, London: Sage Publications, hal. 70 16 Paula Saukko, ha. 77. 15
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bukan berarti dapat terbebasnya subjek dari wacana tetapi merujuk pada praktik
yang di dalamnya orang-orang dapat lebih kritis terhadap wacana yang telah membentuk dirinya melalui teknik yang hati-hati.
5. Negosiasi dan Chandra Talpade Mohanty
Dilihat dari agenda perlawanan terhadap sistem yang opresif terhadap
perempuan, terdapat hubungan yang dilematis antara feminisme dan agama. Agama seringkali dilihat sebagai sebuah sistem yang cenderung tidak menjadi
‘sahabat’ bagi perempuan karena agama mempunyai kecenderungan untuk mengeksklusi dan menomorduakan perempuan. Khususnya tentang citra
perempuan muslim yang melekat di kalangan sarjana-sarjana Eropa, misalnya, menyatakan
bahwa
relasi
antara
perempuan
dengan
Islam
sangat
memprihatinkan. Narasi yang muncul terkait hal tersebut adalah bahwa pada umumnya perempuan muslim diopresi, ditaklukkan, dan nyaris dianggap seperti
budak, baik yang berposisi sebagai istri maupun anak perempuan. 17 Citra kondisi perempuan Muslim yang mengenaskan dari sisi kemanusiaan ini ‘mengundang’
kalangan feminis barat untuk menyelamatkan mereka. Salah satu contoh yang paling sering dijadikan sebagai fokus perhatian adalah penggunaan jilbab. Jilbab dianggap sebagai simbol yang jelas atas opresi terhadap perempuan muslim.
Adalah Chandra Talpade Mohanty 18 yang secara radikal membongkar
sistem yang lebih spesifik dalam menempatkan wacana perempuan dan agama ini.
Mohanty, dalam artikelnya, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and 17
Deepa Kumar, Islamophobia and the Politics of Empire, 2012, Chicago: Haymarket Books, hal. 44. Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses”, 1988. 18
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Colonial Discourses” yang diterbitkan pada 1988 berusaha mengkritik hegemoni feminisme mainstream yang menguniversalkan pengalaman perempuan tanpa mempedulikan konteks ras, kultur, dan religi. Menggunakan perspektif Michel Foucault, Mohanty membongkar adanya wacana ‘perempuan dunia ketiga’ yang didukung dan disebarkan penelitian-penelitian feminis barat. Menguniversalkan
pengalaman
adalah
tindakan
kolonisasi.
Untuk
menjelaskan hal tersebut, Mohanty, menggunakan istilah ‘kolonisasi’ (colonization) untuk menunjukkan penguniversalan pengalaman dalam karya feminis. Istilah
‘kolonisasi’ ini biasanya digunakan untuk menjelaskan pertukaran ekonomi eksploitatif baik dalam tradisi Marxisme kontemporer maupun tradisional. Kemudian, digunakan oleh perempuan feminis kulit berwarna di Amerika, untuk
mengapropriasi pengalaman dan perjuangan mereka yang dihegemoni oleh gerakan feminis berkulit putih. Istilah kolonisasi ‘diperluas’ untuk menerangkan situasi hierarkhis, baik secara ekonomi maupun politis terhadap produksi wacana kultural, yaitu ‘Perempuan Dunia Ketiga’ ini.
Wacana ‘perempuan dunia ketiga’ muncul sedemikian rupa akibat
penggiringan isu-isu subjek perempuan dunia ketiga yang diteliti oleh feminis
barat melalui berbagai aliran dana studi penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut
kemudian diartikulasikan dan didukung Amerika dan Eropa. Akibat penggiringan isu semacam itu, tanpa disadari tercipta kategori diskursif, ‘perempuan dunia ketiga’ sebagai subjek yang diteliti dan ‘feminis barat’ sebagai subjek yang meneliti.
Relasi antara keduanya sudah jelas tidak setara karena dalam istilah ‘barat’ terdapat rujukan baik secara teoretis maupun praksis sebagai yang lebih sadar
akan keadilan jender. Feminis barat mempunyai pandangan yang tidak sama 25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam melihat relasi perempuan dunia ketiga/perempuan barat dalam
berhadapan dengan sistem patriarkhi. Dalam penelitian yang dilakukan feminis barat, sudah termuat asumsi bahwa perempuan dunia ketiga adalah sepenuhnya
korban patriarkhi, yang tidak bisa melawan, sudah jelas tunduk dan patuh
sehingga tidak memiliki daya agensi. Sedangkan perempuan barat sebaliknya, yaitu mempunyai daya agensi terhadap patriarkhi sehingga mereka mempunyai kesadaran untuk melawan dan tidak patuh.
Dengan kata lain, terdapat imaji perempuan (‘women’ yang ditulis dengan
‘w’ kecil) dan Perempuan (‘Women’ yang ditulis ‘W’ kapital). Kedua cara penulisan ini untuk membedakan posisi perempuan pada umumnya terhadap sistem
patriarkhi. Perempuan yang ditulis dengan huruf awal kapital, adalah perempuan
yang seperti diinginkan oleh sistem patriarkhi. Sedangkan ‘perempuan’ dengan
huruf awal non-kapital adalah individu-individu yang berusaha untuk mengelola sistem patriarkhi tersebut sesuai dengan kemampuan agensinya. Perempuan
dunia ketiga dipandang sebagai seluruhnya hanya patuh terhadap patriakhi
sehingga harus diberi kesadaran untuk melawan. Sedangkan feminis barat adalah perempuan yang mempunyai semangat perlawanan terhadap patriarkhi atau menjadi perempuan yang individual atau mandiri.
Dengan asumsi semacam itu pula, misalnya dalam penelitian mengenai
jilbab yang dikritik oleh Mohanty, wacana jilbab yang diteliti pada masyarakat muslim dunia ketiga menjadi terkesan monolitis dan statis. Wacana jilbab dilihat
tanpa memperhitungkan konteks etnografis secara khusus sehingga wacana jilbab
dilihat sebagai bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam wacana jilbab, para perempuan hanya dilihat sebagai pihak yang sudah jelas patuh. Kompleksitas 26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam wacana jilbab, misalnya keragaman cara perempuan muslim dalam
memaknainya seakan bukan sesuatu yang mungkin. Lebih lanjut bahkan Mohanty
menemukan, dalam tulisan-tulisan Frans Hosken, jilbab disejajarkan dengan isu seperti pemerkosaan, mutilasi, poligami, pornografi, kekerasan dan prostitusi. Kesemua kasus tersebut dimasukkan kedalam kejahatan hak asasi manusia yang mendasar.
Perhatian Mohanty di sini adalah pada kecenderungan penelitian feminis
Barat atas dasar dana studi atau beasiswa adalah mengenai subjek agensi.
Perempuan Timur yang direpresentasikan dalam hasil penelitian feminis Barat
ditunjukkan sebagai pihak yang tidak berdaya atau tidak mempunyai daya agensi. Dalam peta global beasiswa, secara struktur perempuan di Dunia Pertama dan Ketiga dianggap bukan kategori yang setara. Sehingga, penelitian tentang
perempuan lebih banyak dipusatkan pada Dunia Pertama. Isu-isu yang menjadi bahan penelitian dalam berbagai masyarakat yang berbeda adalah: Secara lebih tendensius, diskursus feminis di Dunia Ketiga seringkali diasumsikan sebagai
kategori yang homogen. Kelompok yang bernama “perempuan” dianggap sebagai
kelompok yang tidak punya kuasa. Mohanty menekankan bahwa jika perempuan di Dunia Ketiga direpresentasikan sebagai kelompok yang tidak berdaya dalam hasil-hasil penelitian feminis Barat maka di sinilah telah muncul gerakan
kolonialis. Perempuan Dunia Pertama yang merepresentasikan perempuan Dunia Ketiga dengan demikian memposisikan dirinya sebagai satu-satunya “subjek” sejarah. Secara menyedihkan, perempuan Dunia Ketiga selalu hadir di bawah generalisasi perempuan Dunia Pertama yaitu sebagai ‘objek’ mereka. 27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan kata lain, sejauh ini ‘Perempuan/Para Perempuan’ dan ‘Timur’
didefinisikan sebagai Liyan atau secara periferal bahwa Manusia/Humanisme Barat dapat merepresentasikan dirinya sebagai pusat. Di sini yang terjadi bukanlah
pusat yang menentukan yang sekeliling (periphery), tetapi yang sekeliling inilah, dalam keterbatasannya, yang menentukan pusat. Seperti halnya feminis Kristeva,
Cixous, Irigaray dan feminis lainnya yang merekonstruksi kecenderungan laten
antropomorfisme dalam diskursus Barat. Mohanty dalam hal ini menyarankan sebuah strategi paralel untuk menemukan sebuah etnosentrisme tersembunyi dalam tulisan-tulisan feminis tentang dunia ketiga.
Seperti telah dibahas sebelumnya, pembandingan antara feminis barat yang
menghadirkan-diri (self-presentation) dan representasi feminis barat tentang perempuan dunia ketiga memberikan hasil yang penting. Imaji ‘perempuan dunia
ketiga’ yang universal seperti perempuan berjilbab, perempuan perawan, dan lainlain) imajinya dibentuk dari ‘perbedaan dunia ketiga’ kepada ‘perbedaan seksual’
yang mendasarkan asumsi bahwa perempuan barat sebagai yang sekular, bebas dan mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Sebenarnya hal tersebut
tidak memberi kesan bahwa perempuan barat adalah sekular, bebas, dan
mempunyai kontrol terhadap hidup mereka sendiri. Mohanty merujuk pada penghadiran-diri secara diskursif, bukan sebagai realitas material. Jika dalam realitas material perempuan barat sekular, bebas dan mempunyai kontrol
terhadap hidupnya sendiri maka tak diperlukan lagi perjuangan feminis politis di barat.
Selain itu, penciptaan wacana ‘dunia ketiga’ sebagai yang kurang maju dan
tidak mandiri secara ekonomi meneguhkan wacana ‘dunia pertama’ (yang bersifat 28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tunggal dan istimewa). Tanpa wacana ‘perempuan dunia ketiga’ representasi feminis barat yang lebih maju dalam hal kesetaraan jender tidak akan ada. Bagi Mohanty, keduanya bersifat saling mendukung. Oleh karena itu, sudah saatnya
melampaui Marx yang sempat menyatakan bahwa yang terkoloni tidak bisa
merepresentasikan diri, mereka harus direpresentasikan. Melalui semangat Mohanty inilah,
perempuan
muslim dunia
ketiga,
sangat
perlu untuk
merepresentasikan diri agar dapat tergambar dengan jelas dan dinamis saat hidup
dalam wacana jilbab, yang seringkali dianggap sebagai sumber opresi.
Penyederhanaan pengalaman, dengan demikian merupakan penyederhanaan diri ‘perempuan’. oleh karena itu, menghadirkan pengalaman yang kompleks dalam jilbab yang akan dikerjakan dalam tesis saya ini, sepenuhnya sesuai dengan
semangat yang diusung oleh Mohanty. Sudah saatnya pihak yang selalu dibicarakan, kini berbicara.
H. METODE PENELITIAN 1. Sejarah Otoetnografi
Istilah otoetnografi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sebuah kajian yang di dalamnya pelaku budaya memberikan kisahnya sendiri
tentang budaya mereka. 19 Meskipun demikian, pada dasarnya semua jenis etnografi merupakan ‘etnografi-diri’ yang di dalamnya terdapat keterlibatan pribadi lalu dianalisa secara khusus. Sementara, otoetnografi secara khusus 19
K. Heider (1975) dalam Carolyn Ellis dan Tony E. Adams, “The Pursposes, Practices, and Principles of Autooethnographic Research: The Oxford Handbook of Qualitative Research, 2014, New York: Oxford University Press.
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
digunakan oleh mereka untuk menggali posisi antropologi dan relevansinya terhadap dunia akademis dan masyarakat. menggambarkan
antropolog
yang
20
Otoetnografi dipakai untuk
menghantarkan
dan
menulis
tentang
‘masyarakat mereka sendiri sekaligus sebagai peneliti yang memilih sebuah “lapangan penelitian”, yang menghubungkan pada satu identitas mereka sendiri
atau sebuah kelompok. 21 Meskipun istilah ‘otoetnografi’ tidak terlalu sering dipakai selama tahun 1980-an, para sosiolog, antropolog, sarjana komunikasi dan
lainnya melakukan interpretasi oral, etnografi pertunjukkan, dan peneliti feminis mulai menulis dan menganjurkan bentuk narasi personal, subjektivitas, dan
refleksi dalam penelitian. Para peneliti tersebut tertarik pada pentingnya berkisah dan penciptaan budaya, serta secara progresif terlibat dengan jejak pribadi dalam praktik
etnografi.
Terdapat
penolakan
gagasan
bahwa
etnografi
harus
menyembunyikan subjektivitas di belakang atau menghidupkan terus menerus
aura objektivitas dan kemurnian. Para peneliti ini mulai melibatkan diri mereka sebagai bagian dari apa yang mereka teliti, sering menulis cerita tentang proses penelitian dan sesekali memfokuskan diri pada pengalaman mereka sendiri. 22 Periode
1990-an
banyak
bermunculan
sumber-sumber
mengenai
otoetnografi lintas berbagai disiplin ilmu, misalnya Carolyn Ellis menerbitkan
sebuah buku: Final Negotiations; Ellis, 1995a) dan lebih dari dua lusin esai tentang otoetnografi dan menyunting dua buku tentang pengalaman pribadi dalam
penelitian—Investigating Subjectivity (dengan Michael Flaherty; Ellis, 1992) dan
Composing Ethnography (Dengan Art Bochner; Ellis, 1960an) Bochner (1994; 20 21 22
Ibid, Goldsmidt (1977) Ibid, Hayano (1979) Carolyn Ellis dan Tony E. Adams, 255.
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1997) menerbitkan esai-esai tentang pentingnya kisah pribadi dan relasinya
terhadap teori, lalu bersama-sama Ellis mereka mulai menyunting serial buku Ethnographic Alternatives yang kesemuanya menggambarkan cara dan alasan pengalaman pribadi harus digunakan dalam penelitian. Buku penting lainnya
adalah karya dari Reed-Danahay yaitu Auto/Ethnography (1997) dan buku Handbook of Qualitative Research (Denzin & Lincoln, 1994) yang memasukkan bab tentang pengalaman pribadi dan penelitian (Clandinin & Connely, 1994) dan menulis sebuah metode penelitian (Richardson, 1994).23 2. Definisi Otoetnografi
Otoetnografi merujuk pada sebuah pendekatan dan penulisan yang
mencoba untuk menjelaskan dan menganalisa secara sistematik pengalaman
pribadi (auto) (lihat misalnya Ellis, 2009a; Ellis, Adams, & Bochner, 2011). 24
Penelitian ini menentang cara kanonistik dalam melakukan penelitian, yaitu merepresentasi orang lain, dan memperlakukan penelitian sebagai sesuatu yang
politis, hanya untuk kepentingan keadilan sosial dan tindakan kesadaran-secara sosial. Seorang peneliti menggunakan prinsip-prinsip otobiografi dan etnografi untuk ‘melakukan’ dan ‘menulis’ otoetnografi. Oleh karena itu, sebagai sebuah
metode, otoetnografi merupakan sebuah proses sekaligus hasil (Ellis, Adams, and Bochner 2011).25
Lebih jelasnya lagi otoetnografi adalah kajian relasi antara diri dan orang
lain dengan seluruh dimensi di dalamnya. Pertama, kita melihat melalui lensa 23 24 25
Ibid., hal. 255-256. Ibid., hal. 253. Carolyn Ellis dan Tony E. Adams, 255.
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
besar seorang etnografer, memfokuskan diri pada lapisan luar sosial dan aspek budaya pengalaman personal kita; kemudian kita lihat dari lapisan dalam,
menyingkap diri yang rapuh yang digerakkan oleh atau bergerak melalui,
membiaskan, dan melawan interpretasi budaya. Ketika kita memperbesar lapisan luar dan dalam, depan dan belakang, perbedaan antara pribadi dan budaya
menjadi kabur, kadang-kadang melampaui perbedaan yang dengan jelas dikenali. Otoetnografi merujuk pada menulis tentang pribadi dan relasinya dengan budaya.
Ini adalah genre penulisan dan penelitian otobiografis yang menunjukkan banyak lapisan kesadaran. 26
Otoetnografi menggunakan refleksivitas untuk menggambarkan pertemuan
(intersection) antara diri dan masyarakat, yang khusus dan umum, yang personal
dan yang politis (Berry & Clair, 2011 dalam Ellis dan Adams: The Oxford Handbook of Qualitative Research 2014). Otoetnografi juga mengenal dan menghormati hubungan antara peneliti dengan orang lain (Ellis, 2007), dan memperlakukan peneliti sebagai sebuah tindakan yang secara sosial sadar (Holman Jones, 2005a) dan membantu memanusiakan secara emosi proses penelitian. 27
Otoetnografi juga menyatakan secara tidak langsung hubungan: kisah yang
ditulis peneliti menghubungkan antara diri dengan budaya; cara otoetnografer
meneliti dan menulis kisah ini menyatukan antara metode ilmu sosial dengan kepekaan estetika kemanusiaan, praktik etnografi dengan bentuk seni dan sastra
yang ekspresif. Otoetnografer menulis kisah tentang hidupnya karena berpikir 26 27
Carolyn Ellis, Ethnographic I: A Methodological Novel About Autoethnography, 2004, United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishing Group, hal. 37-38. Ibid., 257.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahwa kisah hidup yang khusus dapat membuktikan sebuah cara yang berguna tentang pengalaman manusia secara umum.
Perlu ditekankan di sini, meskipun dalam otoetnografi diberikan
kesempatan untuk menghadirkan pengalaman peneliti cukup besar, tetapi otoetnografi jelas tidak sama dengan otobiografi. Otoetnografi tetap berfokus pada
budaya yang hendak diteliti, bukan semata-mata pada diri personal peneliti seperti dalam otobiografi. Untuk persoalan-persoalan tertentu, jika peneliti mempunyai
akses yang lebih besar atau bahkan lebih dalam terhadapnya, alih-alih hanya meneliti orang lain, memeriksa persoalan atau wacana yang bekerja di dalam diri sendiri menjadi begitu penting. Kembali lagi ke persoalan ‘objektivitas’, kita menghadirkan pengalaman peneliti melebihi yang dilakukan dalam etnografi
tradisi lama, berupaya untuk tidak terjebak pada ‘mengobjektifikasi’ data atau pengamalan
hidup
orang
lain
yang
diteliti.
Kecenderungan
untuk
mengobjektifikasi pengalaman orang lain ini misalnya adalah ketika peneliti melihat data tersebut secara statis untuk kemudian dianalisa sesuai dengan kerangka teori yang akan dipakai.
Hal lainnya yang bisa ditambahkan tentang otoetnografi, jika merujuk pada
Paula Saukko, dapat dilakukan perbandingan dengan pengalaman hidup orang lain.28 Dengan demikian, di sini saya lebih memilih komparasi antara diri sendiri
dan orang lain. Jalan semacam ini memungkinkan bukan hanya perbandingan pengalaman tetapi juga (tentu saja) refleksi yang lebih kompleks atas bekerjanya
sebuah wacana di dalam diri—baik diri sendiri maupun narasumber—yang tengah 28
Paula Saukko menggunakan otoetnografi dalam rangka menginterogasi pengalaman sebagai anorexia, The Anorexia Self: A Personal, Political Analysis of a Diagnostic Discourse, New York: State University of New York Press.
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diteliti. 29 Secara konseptual, untuk mencapainya, otoetnografi menggunakan
prinsip-prinsip hermeneutika atau fenomenologi untuk memahami pengalaman hidup yang berbeda. Selain itu, prinsip fenomenologis ini bertujuan, pertama,
untuk mengetahui muatan sosial (social baggage) yang merintangi pemahaman kita mengenai pengalaman yang berbeda. Kedua, adalah agar menjadi lebih kritis
atas batasan-batasan pemahaman kita sendiri yang mengembangkan sensitifitas atau keterbukaan melalui kemungkinan perbedaan pengalaman hidup yang radikal.
Karakteristik fitur lainnya, sebagaimana juga fenomenologi, adalah secara
khusus tertarik pada moda pengalaman hidup seperti emosi (Douglas, 1977; Ellis,
1991), perwujudan (embodiment) (Merleau-Ponty, 1962) atau yang suci (Buber, 1970; Levinas, 1985) yang seringkali diabaikan dalam penelitian sosial yang berorientasi rasionalistik. Salah satu argumentasi paradigma bahwa ini adalah cara non-rasional untuk berhubungan dengan dunia ini seringkali dihubungkan
dengan kelompok-kelompok yang terbungkam, seperti perempuan atau orang non-Barat yang dibungkam oleh dunia Barat, atau laki-laki kulit putih yang berfokus pada rasionalitas. Kemudian, otoetnografi mengembangkan bentuk
kajian dan tulisan yang bertujuan untuk lebih adil terhadap emosi dan bentukbentuk pengetahuan yang mewujud.30
29
Maso, dalam Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, London: Sage Publications, hal. 57. 30 Paula Saukko, hal. 57.
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. Strategi Pendekatan
Adapun beberapa model pendekatan yang digunakan dalam metode
Etnografi-Baru ini adalah:
a. Wawancara (polyvocality) Bersama Sejumlah Responden di Kota Bandung dan Jakarta Responden yang akan diwawancarai tidak berdasarkan kategori khusus,
misalnya latar belakang organisasi sosial yang diikuti atau tingkat pendidikan.
Unsur terpenting yang digunakan untuk memilih responden adalah waktu
penggunaan jilbab (sudah lama menggunakan jilbab ataukah sebagai pengguna yang terhitung baru), gaya jilbab yang dikenakan (jilbab modis atau jilbab
sederhana), dan yang tak kalah penting adalah unsur konsistensi penggunaan
jilbab ( ada yang benar-benar tidak pernah dilepas selama di ruang publik, ada pula yang menggunakan jilbab untuk waktu khusus saja, atau bahkan seorang perempuan yang pernah berjilbab secara konsisten). Adapun nantinya latar belakang organisasi keagamaan hadir, hal tersebut bukan secara sengaja menjadi
unsur yang sangat penting tetapi mengemuka begitu saja dari responden. Misalnya,
latar
belakang
organisasi
Islam
seperti
Nahdatul
Ulama,
Muhammadiyah, Persis, atau juga Hizbut Tahrir Indonesia, atau NII. Mereka pun tidak ada yang bersedia untuk menjadi representasi dari organisasi yang memang mereka ikuti.
Responden yang dipilih berjumlah sepuluh orang yang tersebar di Kota
Bandung dan Jakarta. Wawancara dilaksanakan secara marathon dari satu
responden ke responden yang lain selama kurang lebih dua pekan selama tahun 35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2013. Karena yang dicari adalah pengalaman personal selama berhubungan atau menggunakan jilbab, wawancara diupayakan terjadi secara santai dan akrab. b. Self-Reflexivity (Pengamatan Diri) Pengalaman berjilbab peneliti menjadi sumber data. Di dalamnya ekspresi,
perasaan, dan pemikiran dikemukakan untuk melihat perjalanan wacana yang ada. Selain itu, seperti yang dinyatakan Saukko, kehadiran narasumber lain adalah
penting untuk meningkatkan kesadaran akan adanya perspektif yang berbeda.
Refleksi diri memungkinkan peneliti selalu sadar akan situasi dan pandangannya yang terbatas, sehingga memungkinkan membuka ruang untuk interpretasi yang berbeda dari orang lain serta realitas kita sendiri. c. Kepustakaan
Kepustakaan adalah metode untuk menggali data-data tertulis yang
bersumber dari buku atau media lainnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mencarinya di berbagai perpustakaan atau dengan menelusurinya melalui media internet.
d. Pengolahan Data
Data untuk penelitian ini akan diperoleh melalui pengalaman langsung
peneliti maupun responden. Peneliti tinggal di kota Bandung, tempat wacana jilbab bersentuhan dengan tiga aspek besar seperti negara, agama, dan fesyen. Dengan
tiga aspek tersebut penelitian tentang jilbab yang dilakukan di kota Bandung
cukup representatif untuk menelusuri konstruksi wacana jilbab yang berkembang. 36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain Bandung, penelitian juga akan dilakukan di kota Jakarta, yang secara demografis dekat dengan Bandung. I.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Pembahasan dari hasil penelitian ini akan dituangkan secara sistematis
kedalam empat bab, yang terdiri dari Bab I merupakan bab pendahuluan yang
akan memaparkan kerangka penelitian secara umum, mulai dari latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis,
metode penelitian, hingga sistematika pembahasan; Bab II akan diisi dengan deskripsi konteks dan latar belakang munculnya jilbab di Indonesia dari sejak
Orde Lama hingga Pasca-Reformasi; Bab III akan mengetengahkan data berupa
data personal dan hasil wawancara dengan beberapa narasumber; Bab IV adalah analisa pengalaman personal dan narasumber, mulai dari melihat jilbab sebagai sebuah disiplin lalu menjadi teknologi diri atau dengan kata lain jilbab sebagai
lokus pengelolaan diri; Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan refleksi akhir penelitian.
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II TRANSFORMASI PENUTUP KEPALA DI INDONESIA
Popularitas jilbab yang telah meresap dalam nafas budaya masyarakat tidak
terjadi dalam waktu yang instan. Analisa terhadapnya pun tidak dapat bersifat
instan pula, dengan menyatakan bahwa jilbab merupakan adopsi sepenuhnya
budaya Arab, misalnya. Jilbab, tak dapat dipungkiri telah menjadi budaya seharihari yang menghidupi para pengguna, maupun orang-orang di sekitarnya dengan cara-cara yang tidak sama. Berdasarkan hal tersebut, dalam Bab II ini, saya berupaya untuk menelusuri jejak-jejak cara menutup aurat yang kini berfokus pada jilbab tersebut. Tentu saja warna penulisan sejarah adalah yang paling
memungkinkan untuk digunakan, dengan tujuan yang tak lain adalah untuk
memahami keadaan di masa kini. Rekam jejak yang ditelusuri pun tidak terbatas
pada data-data yang sudah pada umumnya digunakan oleh peneliti jilbab yang sudah ada. Saya menggunakan beberapa ‘data’ ingatan atau pengalaman yang
masih tersimpan dengan baik dalam diri saya untuk memberi nafas data yang lain. Hal tersebut tak lain untuk menunjang metodologi otoetnografi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peneliti berusaha untuk meneliti budaya yang ia jalani dalam sehari-harinya.
Ketika saya melihat-lihat foto-foto sejarah Indonesia secara umum, dalam
rekaman peristiwa yang berlokasi di Jawa, misalnya berupa foto yang diambil
antara tahun 40-an, tidak mudah ditemukan sosok perempuan yang mengenakan penutup kepala secara rapat yang disebut dengan jilbab. Penggunaan kain untuk 38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menutupi rambut dan leher secara rapat, belum umum ditemukan pada masa itu. 31 Tengoklah misalnya potret bersejarah saat upacara hari kemerdekaan pada 1945.
Cara berpakaian formal yang umum pada masa tersebut adalah gaun ala pakaian Barat atau pakaian kebaya dan kain. Untuk melengkapi kebaya dan kain biasanya
ada selendang yang disampirkan di pundak. Gaya lainnya, ada juga selendang yang disampirkan di atas kepala yang menjuntai menyamarkan sebagian dada. Gaya
seperti itu menjadi cara berpakaian yang umum bagi para perempuan, khususnya
yang berada di wilayah pulau Jawa. Tetapi pada tahun 1980-an, mulai muncul cara berpakaian yang lebih khas lagi, yang menunjukkan identitas kemusliman yaitu
jilbab. Meskipun masih sangat jarang dan intens ditemukan, penggunaan jilbab semacam ini sudah ada. 32
Bisa dibilang cara berpakaian perempuan, khususnya perempuan Muslim
terus berkembang, bergantung pada jenis wacana yang melatarbelakanginya.
Tubuh perempuan menjadi medan pertarungan makna yang begitu jelas. Jika kita 31
32
Saya tidak bisa memastikan tidak ada penggunaan jilbab rapat sama sekali pada masa tersebut karena saya mendapatkan data yang ditulis oleh Kees Van Dijk. Van Dijk menulis dalam “Sarung, Jubah, Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, 2005, Yogyakarta: Penerbit LKIS menulis bahwa di wilayah Kota Bandung sempat terjadi insiden, yaitu rumah-rumah perempuan Muslim yang mengenakan kerudung dilempari batu. Penekanan huruf miring pada istilah kerudung adalah dari saya. Saya tidak sepenuhnya yakin, bentuk kerudung yang dimaksud oleh Van Dijk. Persoalannya adalah, insiden pelemparan batu terhadap rumah-rumah para perempuan berkerudung tersebut dipicu oleh pernyataan bupati pada masa itu, “Para perempuan yang tidak menutupi kepala akan masuk neraka.” Atas dasar pernyataan bupati tersebut, para penduduk desa bertanya-tanya, “Apakah kerudung yang hanya berharga lima sen dapat menjadi paspor untuk masuk surga.” Penggunaan kerudung macam apakah yang memicu insiden pelemparan batu semacam itu? Atau, apakah pernyataan bupati yang berbau neraka itu yang menjadi persoalan? Ada kemungkinan, jikapun kerudung yang dimaksud adalah kerudung longgar yang masih memperlihatkan rambut dan leher digunakan lebih kepada untuk kepantasan atau estetika atau standar lokal. Dalam bab 3 saya memaparkan tentang sosok guru mengaji perempuan di sekolah mengaji yang saya ikuti pada tahun 80-an. Guru mengaji saya mengenakan pakaian serba panjang, yaitu kemeja dan rok serta menambahkan jilbab. Tetapi setelah selesai mengajar, beliau melepaskan jilbabnya. Sementara itu, menjelang saya lulus sekolah dasar, saya mulai mengenal guru agama di sekolah formal yang mengenakan jilbab. Tetapi saya tidak ingat apakah selain di sekolah dia mengenakan jilbab secara ketat atau tidak.
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengembalikan ingatan-ingatan ke belakang, sungguh jauh berbeda penyikapan terhadap tubuh perempuan. Bisa disimpulkan bahwa secara historis, tubuh
perempuan Muslim semakin dipentingkan, oleh karenanya harus ditutupi. Kesan
semakin harus ditutupi ini akan sangat terasa jika kita menilik tubuh perempuan pada konteks kehari-ini-an.
Tepat dalam rangka menelisik wacana apa yang melatarbelakangi
ketertutupan tubuh itu, bab dua ini akan diselesaikan. Saya akan memulai dengan
menggali ingatan tentang cara perempuan generasi nenek saya, yang masa
mudanya ada pada tahun 1940-an, dalam cara berpakaian. Untuk menguatkan ingatan saya tersebut, sejumlah referensi berupa hasil penelitian serupa itu akan
saya sertakan. Bagaimanakah cara berpakaian generasi nenek saya, serta para perempuan sezamannya, dalam konteks yang khusus yaitu Jawa? Lalu dalam konteks lain, misalnya Minangkabau, adakah nafas serupa?
Selanjutnya, saya juga akan mengemukakan ihwal selembar kain bernama
jilbab mulai dikenal lalu disebarkan sebagai cara berpakaian yang dianggap benar. Konteks gerakan Islam tidak bisa dilepaskan dari penyebaran wacana jilbab.
Konteks politik Orde Baru hingga Reformasi pun turut mendukung fenomena
jilbab ini. Hingga kemudian, saya mendedahkan berbagai praktik budaya yang serba ‘berjilbab’. Iklan, film, peristiwa publik, karya sastra, hingga mulai munculnya pengkristalan imaji perempuan muslimah.
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A. PAKAIAN DALAM KONTEKS RELIGI DAN ETNISITAS (JAWA, SUNDA, DAN MINANGKABAU) Saya ingin menggambarkan sosok perempuan yang pada tahun 90-an
tengah berusia sekitar 60 tahun. Ia adalah nenek saya dari desa di Garut. Satu
bulan sekali, nenek akan mengunjungi anak-anaknya yang sudah tinggal bertahuntahun di Kota Bandung. Untuk menempuh perjalanan dari Garut menuju Bandung,
nenek berpakaian rapi. Ia akan mengenakan pakaian berupa kebaya dan kain. Tak lupa kemudian ia melengkapi penampilannya dengan mengenakan selendang berupa sehelai kain yang tidak terlalu transparan. Sehelai kain itu akan dikenakan
di kepala untuk menutupi sanggulnya seperlunya saja. Kebaya nenek yang dadanya berpotongan agak rendah itu akan sesekali tertutupi helaian selendang itu. Begitu nenek sampai di rumah, ia akan melepaskan selendangnya itu tanpa
beban. Lalu nenek akan mengunjungi satu per satu rumah anaknya yang berjarak berdekatan tanpa lagi mengenakan selendangnya. Saat beristirahat, nenek pun melepas kebayanya, tinggallah pakaian dalam seperti kemben yang menutup mulai dari dada hingga bagian perut. Sementara itu, nenek saya yang lain, yang
berdomisili sehari-harinya di Bandung, tak jauh berbeda dengannya dalam cara berpakaian. Elemen-elemen tubuh seperti dada, lengan, kaki selalu tertutup saat berada di luar rumah. Sedangkan rambut, leher, dan sebagain kecil bagian dada tidak begitu ketat ditutupi.
Sebelumnya, saya ingin mengajak terlebih dahulu pada hasil penelitian
Susan Brenner mengenai jilbab jika disandingkan dengan cara berpakaian para perempuan di zaman nenek saya hidup. Kita akan mendapatkan kesimpulan dari
Brenner bahwa jilbab di Indonesia sudah umum diketahui sebagai corak baru 41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pakaian Islam yang diimpor dari Timur Tengah dan dikenakan oleh kebanyakan wanita muda sebagai kebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh wanita tua di
Indonesia).33 Kesimpulan Brenner seperti itu bukan kesimpulan yang terlampau langka. Dalam perspektif keseharian, kalangan Islam liberal cenderung berkesimpulan yang sama. Benarkah demikian?
Cara penggunaan jilbab sebenarnya jauh berbeda dengan penggunaan
kerudung atau selendang. Bahkan secara bahasa, istilah jilbab pun baru-baru saja diperkenalkan secara luas sampai kemudian menjadi bahasa sehari-hari seperti sekarang. Cara berpakaian pada perempuan dari suku tertentu, misalnya suku
Minangkabau, mempunyai batasan menutup tubuh yang hampir mirip dengan jilbab, misalnya pada baju kurung. Baju kurung adalah baju lapang yang tidak
berlekuk seperti kebaya. Lurus ke bawah dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, panjangnya mencapai betis kaki. Kemudian, di bawahnya digunakan kodek yaitu kain sarung dengan jenis bernama “Kain Sarung Jawa”.
Kodek dipakai sebagai ganti rok, rok belum dikenal oleh orang dahulu atau tidak
ada dalam kebudayaan orang Minangkabau. Baju kurung dahulu rata-rata ialah baju kurung basiba yakni tidak berjahit di bahu, melainkan di siku. Kemudian, pakaian ini dihiasi dengan selendang bagi perempuan yang tidak suka
menggunakan lilik. Selendang ada yang sekadar jadi hiasan di bahu ataupun leher,
ada juga yang dipakai sebagai kerudung. Lilik adalah kain kerudung berukuran
lebar sekitar 60 cm dan panjang sekitar 1.5-2 m. Dinamakan lilik karena teknik 33
Brenner 1996 : 225
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemakaiannya memanglah dililitkan ke kepala. Lilik lazim dipakai oleh orangorang zaman dahulu.
Paparan Van Dijk dapat menerangi betapa persoalan pakaian merupakan
salah satu produk budaya yang kaya akan pengaruh berbagai budaya maupun
religi. Menurut Van Dijk, orang-orang pribumi pada masa awal penyebaran Islam banyak melakukan perjalanan ke pusat-pusat spiritual Islam dan kaum muslim seperti Saudi Arabia, Persia, Mesir atau India yang memperkenalkan, memperkuat,
atau memodifikasi ide-ide religius dan simbol-simbol yang dikaitkan dengan cara berperilaku yang benar bagi seorang Muslim dalam masyarakat, termasuk kaidah
berpakaian. 34 Dengan demikian pengaruh cara berpakaian dalam konteks antarbudaya merupakan proses yang lazim. Sehingga, agak sulit untuk menentukan pakaian yang sepenuhnya asli budaya ataupun religi tertentu.
Kita dapat melihat proses asimilasi terhadap pakaian laki-laki. Pada abad
pertengahan ketujuh belas, wakil VOC Rijckloff van Goens, mengunjungi istana Mataram. Goens menyaksikan salah satu penampilan publik Raja Mataram,
Susuhunan Mangkurat I (1646-1677) yaitu mengenakan turban gaya Turki selain
juga memakai tutup kepala Jawa. Gaya turban Turki tersebut jika tengah dikenakan oleh Raja Mataram maka diikuti oleh para bangsawan. 35Ilustrasi tersebut dapat menginspirasi bahwa cara berpakaian sejak lama merupakan media akulturasi dengan wilayah-wilayah berpenduduk Muslim.
34
Kees van Dijk, “Sarung, Jubah, Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, 2005, Yogyakarta: Penerbit LKIS, hal. 63-64. 35 Ibid, hal. 65.
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan menilik beberapa contoh di atas, baik yang ada pada pakaian
perempuan Minangkabau maupun laki-laki bangsawan Mataram, apakah jilbab
sepenuhnya cara berpakaian yang baru? Jika benar-benar baru, dimanakah letak kebaruan dari jilbab seperti yang banyak digunakan pada masa kini? Pada jilbab tidak selalu ditekankan pada cara menutup kepala yang rapat saja tetapi juga cara berpakaian longgar yang tidak membentuk badan secara ketat. Dalam hal bentuk
pakaian longgar inilah tampaknya perubahan model berpakaian mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Meskipun hal itu hanya terjadi di masa-masa awal jilbab disebarkan. Penggunaan jilbab dengan pakaian yang tidak sepenuhnya
longgar kemudian juga membudaya meskipun terus menerus ditentang kalangan
yang lebih konservatif. Tetapi substansi menutup aurat yang saya tangkap adalah bahwa pada dasarnya bagian dada hingga kaki merupakan bagian tubuh yang
hendak ditutup meski dengan cara memandang dan membicarakannya berbeda. Sehingga, keketatan untuk menutupinya pun tidak sama. 1. Kerudung dan Kelas Sosial
Kerudung yang merupakan sehelai kain yang dikenakan di kepala secara
longgar, dengan rambut dan leher yang masih tampaknya lebih mudah ditemukan.
Untuk memotret seputar kerudung pada masa-masa awal, penelitian yang dilakukan oleh Deny Hamdani dapat membantu untuk memberikan gambaran.
Dalam penelitiannya mengenai anatomi jilbab di Indonesia, terdapat bagian-bagian yang sangat penting untuk menjawab pertanyaan di atas. Deny menelusuri cara
penggunaan kerudung di kalangan khusus, perempuan santri. Kalangan santri yang ditelusuri
adalah
yang
berafiliasi
secara
44
langsung
dengan
organisasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ini, dua buah organisasi
perempuan santri dibentuk, Aisyiyah atau Nasyiyatul Aisyiyah (NA). Aisyiyah dibentuk pada 1914 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan
Siti Walidah (istri KH. Ahmad Dahlan). Tujuan dibentuknya organisasi Aisyiyah adalah untuk membantu para perempuan memahami Al-Qur’an dan Hadis sebagai penuntun hidup.
Beberapa tahun kemudian, organisasi hampir serupa dibentuk, Nasyiyatul
Aisyiyah. Di dalam organisasi Nasyiyatul Aisyiyah selain mempelajari ilmu-ilmu agama, juga digalakkan keterampilan-keterampilan seperti manajemen rumah
tangga, menjahit, memasak ataupun cara-cara berceramah (tabligh). Menurut Deny Hamdani, melalui kedua organisasi tersebut, cara berpakaian yang mengenakan kerudung dihimbau oleh KH. Ahmad Dahlan. Melalui hasil penelitian
Deny, kita dapat menemukan bahwa pada masa tersebut wacana mengenai ketertutupan tubuh di muka umum atau aurat sudah mulai dilegitimasi oleh klaim
religius, yaitu yang dikemukakan oleh KH. Ahmad Dahlan. Namun, patut dicatat bahwa bentuk penutup kepala di sini, yang disebut kerudung, adalah sehelain kain
yang digunakan secara longgar, tidak menutupi rambut dan leher secara ketat.
Selain kalangan perempuan santri yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, Deny
juga menelusuri kalangan santri Nahdatul Ulama (NU). Seperti halnya kalangan santri Muhammadiyah, di kalangan NU pun terdapat kecenderungan yang mirip, yaitu menggunakan kerudung. 36
36
Deny Hamdani, Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, 2011, Jerman: LAP Lambert AcademicPublishing GmbH & Co.KG, hal. 28-32.
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Patut digarisbawahi bahwa Deny secara khusus meneliti perempuan
kalangan santri, dengan merujuk pada definisi Clifford Geertz. Sejurus dengan itu, kita perlu memperhatikan kalangan yang bukan santri. Jika mengikuti kategori
Geertz, yaitu kalangan abangan. Dalam kasus ini, saya berusaha untuk
menghadirkan ingatan mengenai cara berpakaian nenek yang merupakan perempuan Sunda. Pada perempuan Sunda, unsur pakaian yang biasa dikenakan
adalah sinjang atau samping. Sinjang atau samping adalah sejenis kain batik,
terbuat dari kain yang halus dan dingin. Cara penggunaannya pun tidak berbeda-
beda. Misalnya, nenek saya mengenakan jenis samping atau sinjang sederhana saat berada di dalam rumah. Jenis kainnya biasanya tidak terlalu halus dan harganya
tidak terlalu mahal. Jika ia akan pergi ke pasar besar di pusat kota, ia akan
mengenakan samping atau sinjang yang lebih bagus. Kainnya halus dan tidak murah harganya. Jika ia akan menghadiri hajat kawinan, ia pun akan mengenakan
jenis samping atau sinjang terbaiknya. Pada masa yang sama, nenek dari pihak ibu
yang tinggal di Garut juga memiliki kebiasaan gaya berpakaian yang tak jauh berbeda. Sinjang
dan samping
adalah kain yang wajib dikenakan dalam
keseharian. Cara berpakaian nenek saya yang berada di desa ataupun di kota kurang lebih persis seperti yang juga digambarkan oleh Deny, meskipun merupakan suku yang berbeda, yaitu Jawa.
Unsur terpenting yang akan dibahas di sini adalah adalah selendang. Seperti
halnya Deny, hasil penelitian yang dilakukan Dennys Lombard atau Pijfer bernada
sama. Merujuk pada Lombard bahwa perempuan Sunda dan Jawa, selendang memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan tingkat sosialnya. Bagi perempuan dari kalangan rakyat, selendang bernilai sebagai pengikat keranjang atau untuk 46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menggendong anak, tetapi bagi kalangan perempuan kelas tinggi, perangkat selendang ini hanya berfungsi sebagai hiasan.
37Sementara
selendang untuk
mengikat di sini, khususnya untuk perempuan Sunda biasa disebut karembong
atau samping. Jenis karembong atau samping sebenarnya mirip dengan sinjang untuk dikenakan sebagai penutup dari pinggang hingga mata kaki. Tetapi jenis dan
ukuran kain yang digunakan berbeda, biasanya lebih kasar dan tidak terlalu lebar.
Nenek juga mengenakan selendang dengan jenis berbeda. Selendang ini lebih mendekati fungsi sebagai penutup kepala. Jenis kain yang digunakan adalah sejenis
kain sifon tipis dengan bunga-bunga sederhana hasil bordiran menghias beberapa
bagian tertentu. Selendang yang biasa dipakai di kepala ini biasa disebut tiyung. Setelah menata rambut panjangnya dengan membuat sanggul sederhana, nenek
melampirkan tiyung. Salah satu sisinya ditarik ke pundak, sementara satu ujung lainnya
dibiarkan
tergerai
berpotongan agak rendah.
sedikit
menyamarkan
kebaya
yang dadanya
Nenek di desa, juga menggunakan tiyung ini. Tiyung yang terbuat dari kain
tipis berbordir biasa dikenakan untuk acara-acara formal. Selain membuat penampilan para perempuan ini anggun juga berwibawa. Jika merujuk pada Pijfer,
terdapat perbedaan yang signifikan terkait penutup kepala ini. Pijfer melukiskan
para perempuan Sunda yang mengenakan penutup kepala, disebut sebagai tiyung (kukudung)38 khusus dikenakan oleh perempuan yang merupakan guru mengaji.
Istilah lain dari penutup kepala yang dilukiskan oleh Pijfer adalah mihrahmah atau mihram 37
dalam ucapan Sunda, bahasa Arabnya marahmah. Mihram adalah
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, 2008, Jakarta: Penerbit Gramedia, hal.158-159. 38 G.F. Pijfer, “Wanita dan Mesjid” dalam Fragmenta Ismica: Beberapa Studi Mengenai Indonesia Awal Abd XX, Jakarta: Penerbit UI Press, hal. 17
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kerudung putih yang dilipat di atas kepala yang dikenakan oleh perempuan yang
sudah pergi haji. 39 Sementara itu, nenek saya bukan guru mengaji, serta tidak pernah pergi haji. Tetapi dalam kesehariannya, penutup kepala berupa kain tipis
berbordir biasa dikenakan untuk kepentingan khusus. Mihram atau kerudung putih bahkan biasa dikenakan untuk aktivitas sehari-hari di luar rumah tetapi untuk kegiatan yang tidak formal. Misalnya saat nenek dan perempuan sekitarnya hendak pergi ke rumah tetangga.
Para perempuan leluhur saya tersebut adalah kalangan abangan, jika
merujuk pada kategori Geertz. Tetapi mereka mengenakan jenis-jenis penutup kepala seperti yang digambarkan oleh Pijfer. Fakta tersebut juga bertentangan
dengan kesimpulan Deny, bahwa misalnya, kerudung dikenakan oleh kalangan perempuan kelas sosial tertentu saja, yaitu santri. Kalangan perempuan abangan
menurut Deny tidak tertarik untuk mengenakan kerudung. 40Meskipun di sini
terdapat penggunaan istilah yang berbeda, yaitu tiyung-mihram-kudung tetapi semuanya merujuk pada penutup kepala. Apakah hal tersebut sejalan dengan
ungkapan Lombard yang menyatakan bahwa dari semua bagian badan, kepala
adalah yang paling kuat bertahan terhadap segala bentuk akulturasi pakaian? 41 Di samping itu, yang terpenting adalah meneliti cara berpakaian para perempuan di
masa lalu tidak mudah untuk disimpulkan menjadi sebuah kesimpulan yang
monolitik. Seringkali terdapat kekhususan di luar kesimpulan-kesimpulan yang diajukan para peneliti.
39
Ibid, hal. 18 Deny Hamdani, hal. 28. 41 Denys Lombard, hal. 157-158. 40
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Antara Standard Lokal dan Religiusitas
Aspek penting yang perlu dikemukakan dalam penggunaan penutup kepala
yang sudah dijabarkan di atas adalah muatan wacana yang mendorongnya, baik
dalam kerudung, tudung, tiyung, atau mihram. Deny, menggunakan kategori seperti
estetika,
kepantasan,
standard
lokal
atau
konservatisme
untuk
membahasakan wacana dalam kerudung yang ia teliti. 42 Di sini, saya meminjam
kategori-kategori tersebut untuk mencoba menelusuri adakah perbedaan antara muatan standard lokal atau religiusitas dalam aneka penutup kepala yang sudah
dijelaskan di atas. Hal ini perlu untuk mengetahui bagaimanakah cara para
perempuan pada masa itu terdorong atau didorong untuk mengenakan penutup kepala, khususnya saat berada di muka umum.
Ibu Sri,43 seorang perempuan Jawa berusia 60 tahun, yang menghabiskan
masa kecilnya di kota Magelang bercerita tentang ibu atau neneknya dalam
menggunakan selendang atau kerudung. Dalam menyebut sehelai kain yang ia
tunjukkan kepada saya, Ibu Sri terkadang menyebutnya selendang, atau slayer bahkan kerudung bergantung cara mengenakan kain tersebut. Kain berukuran
persegi panjang mirip brokat tersebut disebutnya sebagai selendang saat dikenakan di salah satu pundak dalam keadaan terlipat rapi. Biasanya cara penggunaan semacam itu saat ibu atau neneknya berangkat ke acara resmi seperti hajatan perkawinan. Sementara jika kain tersebut dibentangkan lalu disampirkan
pundak lalu naik ke kepala untuk mendatangi acara kematian, ia menyebutnya sebagai dikerudungkan. Saat ia ditanya cara keluarganya membahasakan cara 42 43
Deny Hamdani, hal. 33 Sri. 24/04/2015 Wawancara. Yogyakarta.
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemakaian kain tersebut, ia menjelaskan bahwa tidak ada bahasa khusus berupa
nada perintah untuk mengenakannya. Kain tersebut dikenakan lebih sebagai dorongan kepantasan atau standard lokal perempun pada masa itu. Sedangkan pada acara khusus seperti pengajian, penggunaan kain sebagai kerudung pun tidak terlampau
ditekankan,
meskipun
banyak
perempuan
memang
sengaja
mengenakan kain dengan cara dikerudungkan. Ia sempat berseloroh bahwa dalam pengajian yang terkadang ia ikuti, yang paling penting adalah ia mendengarkannya
dengan telinga, bukan dengan kerudungnya. Maksudnya adalah pada masa
tersebut, di lingkungannya masih memungkinkan para perempuan tidak mengenakan kain yang dikerudungkan meski dalam acara religius. Cara penggunaan kain yang dikerudungkan pun tidak terbatas pada kalangan santri, atau guru mengaji.
Tetapi walaupun dalam pengalaman Bu Sri penggunaan kerudung dan
semacamnya cukup longgar dan merupakan ekspresi kepantasan dan standard
lokal secara umum, tidak sepenuhnya demikian. Dorongan wacana yang ada bergantung juga pada afiliasi dengan organisasi Islam secara khusus. Meskipun
bukan berarti tersebar secara merata di berbagai wilayah seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Menurut data yang dikemukakan oleh Van Dijk, pada tahun 1930an, tokoh terkemuka Persatuan Islam (Persis) yaitu Ahmad Hassan, mengeluh bahwa sebagian besar perempuan birokrat Jawa dan elit keagamaan tidak memakai kerudung, demikian pula para istri dan puteri pemimpin tingkat tinggi
Jawa seperti bupati—dan banyak Muslim yang saleh. Misalnya adalah pemimpin organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan
Persatuan Islam sendiri. Ahmad Hassan berpendapat bahwa alasan yang 50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mendorong para perempuan membiarkan kepala tidak tertutup adalah salah
satunya karena para suami senang ketika orang-orang mengagumi konde para istri. Alasan lain adalah mereka menghindari anggapan “fanatik” dalam beragama. 44Berdasarkan
data tersebut, dapat kita temukan bahwa cara menutup aurat
dengan menggunakan kerudung sudah mulai disebarkan atau tepatnya dipermasalahkan oleh kalangan Persis melalui Ahmad Hassan meskipun daya jangkaunya belum luas.
3. Kerudung dalam Ruang Sosial
Fedwa El Guindi yang melakukan penelitian tentang antropologi jilbab
secara panjang dalam mendalam di berbagai negara khususnya Mesir, menyinggung hasil penelitian yang dilakukan oleh Makhlouf bahwa jenis-jenis tutup kepala merupakan indikator kondisi sosial seseorang dalam masyarakat dan
juga status sosial. 45Penelitian Makhlouf yang dilakukan di Yaman ini menemukan bahwa terdapat beberapa jenis penutup kepala yang berbeda-beda bergantung status sosial pemakainya, misalnya status menikah atau lajang. Bagaimanakah
halnya dengan kerudung atau selendang dalam konteks Jawa atau Sunda? Deny
Hamdani sudah menjelaskan bahwa kerudung dipakai oleh kalangan santri yang berafiliasi dengan organisasi Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama. Sementara
saya menunjukkan bahwa kerudung atau selendang yang dikerudungkan
dikenakan juga oleh kalangan perempuan yang tidak termasuk pada organisasi Islam tersebut. 44
Kees van Dijk, hal. 97 Fedwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2004, Jakarta: Penerbit Serambi, hal.99. 45
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lalu bagaimanakah penggunaan kerudung atau selendang ini direspons
oleh lingkungan di sekitar mereka? Jika kerudung atau selendang merupakan salah satu bentuk dari ekspresi standard kesopanan lokal, dalam aktivitas apa sajakah
penggunaannya? Lantas bagaimanakah respons terhadap perempuan yang tidak mengenakannya? Kembali pada aktivitas sehari-hari perempuan Sunda, misalnya yang dilakukan oleh nenek saya di Bandung. Ia akan mengenakan selendang baik
disampirkan di pundak ataupun sesekali naik ke kepala di saat melakukan aktivitas di luar rumah secara formal, misalnya mengunjungi hajatan atau pesta
pernikahan/sunat. Saat pergi ke luar rumah seperti ke pasar, ia tidak mengenakannya. Demikian juga saat ia menerima tamu di rumah, hanya pakaian
kebaya dan kain yang dikenakannya. Sementara nenek yang berada di desa, tidak terlalu jauh berbeda. Meskipun sesekali nenek mengenakan mihram yang dilipat di kepala seperti layaknya para perempuan Minang, saat ia menengok sanak saudara atau mengontrol sawah.
Merujuk pada aktivitas perempuan Sunda yang berada secara spesifik di
kota Bandung dan wilayah pedesaan Garut, rambut bukanlah bagian dari tubuh
yang teramat sakral sehingga terlarang untuk ditunjukkan di muka umum. Rambut
panjang para perempuan digulung secara rapi lalu ditusuk dengan konde yang indah. Selendang atau kerudung yang terbuat dari kain transparan dan tipis masih dapat memperlihatkan keindahan rambut yang ditata sedemikian rupa. Tetapi jika
merujuk pada kalangan santri yang digambarkan oleh Deny, keadaannya tidak persis sama. Apalagi perempuan di kalangan Muhammadiyah atau Nahdatul Ulama kerap melakukan kegiatan yang bersinggungan dengan politik. Seperti yang para
perempuan NU yang menjadi anggota parlemen, seperti Mahmudah Mawardi, 52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Maryam Kantasumpena, Maryamah Junaiedi, Hadiniyah Hadi, dan Asmah
Sjahruni.16 Walaupun demikian, untuk menyimpulkan secara monolitik jelas tidak mungkin, terlebih dengan adanya protes Hasan terhadap para perempuan baik
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Persatuan Islam yang membiarkan kepala mereka terbuka saat menjabat sebagai pejabat publik atau mendampingi suami yang menjadi pejabat. 46
4. Jilbab dalam Konteks Global
Seperti halnya di Indonesia, terdapat keanekaragaman pakaian tradisional
di kawasan Timur Tengah, demikian juga di Iran. Perbedaan dapat terlihat berdasarkan daerah, suku, kelompok agama dan kelas sosial. Pakaian tradisional
tersebut berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut Chalebi seperti
yang dijabarkan oleh El Guindi, “jilbab” bagi perempuan beraneka ragam
tergantung pada provinsi dan strata sosialnya.47 Selain bentuknya yang berbedabeda, penggunaan Di Iran, terdapat jenis penutup tubuh berupa jubah yang disebut
chador. Chador adalah kain hitam pembungkus tubuh dari kepala sampai kaki, yang biasa dikenakan oleh perempuan tradisional di desa dan di kota sebelum terjadinya masa revolusi. Demi tujuan Westernisasi, Syah kemudian melarangnya,
lalu setelah revolusi Islam demi melestarikan tradisi maka chador diperintahkan untuk dikenakan.
Sementara itu, Leila Ahmed terdorong untuk melakukan
penelitian tentang jilbab setelah disaksikannya adanya perubahan dalam cara
46 47
Kees van Dijk, hal. 96 El Guindi, hal. 200.
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menutup tubuh para perempuan.
48
Sejak masa kecilnya, di Kairo, Leila
menyaksikan adanya perbedaan antara penutup tubuh yang dipakai para
perempuan secara tradisional dengan jilbab yang muncul bersamaan dengan
adanya gerakan Islamisme (Muslim Brotherhood) atau dikenal dengan Ikhwanul Muslimin. Leila juga menerangkan bahwa semula para perempuan yang taat dan saleh tidak mengenakan jilbab seperti yang kemudian tersebar luas itu. Tetapi
kemudian para perempuan, pada tahun 1970-an mulai banyak yang mengenakan jilbab. Leila mempertanyakan mengapa para perempuan mengadopsi jilbab, mulai
dari negara-negara Timur Tengah dan ke berbagai belahan dunia lainnya, termasuk Amerika.
Respons terhadap para perempuan yang tiba-tiba mengenakan jilbab
secara sangat tertutup, mulai dari kepala sampai ujung kaki, bahkan termasuk muka banyak dibahas oleh El Guindi. Misalnya, respons yang sangat meremehkan
datang dari kalangan sekularis radikal, yang mengolok-olok gejala baru ini dengan bahasa eksklusif dan materialis, “Wanita-wanita ini menutup rambutnya karena mereka tidak punya uang untuk pergi ke penata rambut!”. Mereka juga dicap sebagai “mereka berjilbab untuk menutupi tampang buruknya.” Sementara reaksi
yang paling umum diekspresikan dengan istilah-istilah kelas/gaya hidup, “mahasiswa-mahasiswa dari kalangan rakyat jelata/miskin merasa minder dengan
kehidupan kota besar”. Respons yang menyerang moralitas juga muncul seperti,
“mereka berjilbab untuk menutupi hubungan seksual gelapnya dan perilakunya
yang tak bermoral. Penelitian-penelitian mengenai jilbab pun dibuat. Para
ilmuwan sosial Mesir secara berulang-ulang mengklaim bahwa “kelas” sosial 48
Leila Ahmed, The Veil’s Resurgence, From Middle East to America: A Quiet Revolution, London: Yale University Press, hal. 3-4.
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merupakan faktor yang mendorong munculnya gejala baru itu, yaitu kehilangan
orientasi di kalangan pemuda dari golongan pedesaan yang baru bermigrasi ke pusat-pusat kota dan kembali pada agama sebagai pelipur lara atau menghapus
asal-usulnya.20 Pada intinya, berbagai upaya untuk menjelaskan fenomena jilbab
yang telah muncul di tahun 1970-an itu dikaji dengan berbagai macam pendekatan dan menghasilkan bermacam-macam kesimpulan. Bahkan kalangan feminis Barat
pun turut serta berargumen bahwa jilbab tidak benar-benar membebaskan mereka karena jilbab adalah berbahaya dan berujung ganda. 49
Jilbab di berbagai negara Timur Tengah, dengan demikian juga merupakan
cara berpakaian yang menyebar secara pasti. Cara berpakaian yang secara visual tidak sama persis dengan pakaian tradisional itu telah memicu berbagai penafsiran
bahkan reaksi keras. Lalu secara bertahap, juga memasuki masyarakat Indonesia, melalui kalangan perempuan-perempuan muda seperti pelajar dan mahasiswa. 5. Kode Moral dalam Wacana Jilbab Secara bahasa, istilah jilbab mulai sering digunakan dalam keseharian saat
wacananya mulai diperkenalkan. Dalam Al-Qur’an, lebih khusus lagi dalam hadis terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sangat
memperhatikan aturan berpakaian bagi muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ayat Al-Qur’an yang secara khusus dirujuk untuk cara berpakaian
termaktub dalam Surat Al-Ahzab (33:55) yang berisi tentang bagaimana para istri
Nabi dilindungi dari gangguan pengunjung laki-laki. Sementara pada ayat 33:59
adalah soal bagaimana status para istri Nabi dibedakan dengan status orang-orang 49
El Guindi: hal. 258.
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
beriman dari yang lainnya. Sementara kode tingkah laku yang islami secara khusus merujuk pada Surat An-Nur 7 (24:30-31) yang diterjemahkan sebagai berikut:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga padangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami, ayah, ayah suami, anak laki-laki, anak laki-laki suami, saudara laki-laki atau anak laki-lakinya, anak laki-laki saudara perempuan, atau kepada wanita-wanita di antara mereka, para budak, atau para kasim dan anak-anak di bawah umur; dan jangnlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.50
Tiga
aspek
dalam
surat
An-Nur
menunjukkan
bagaimana
menyembunyikan dan menampakkan itu sangat terkait dengan ide-ide (notions) kultural berupa kehormatan, seksualitas, erotisisme, dan privasi. Satu segmen
memerintahkan perempuan untuk mengulurkan khimar (tutup kepala) sampai juyub (dada) mereka. Khimar adalah satu dari dua perangkat pakaian perempuan
yang disebut dalam teks Al-Qur’an. Perangkat lainnya adalah jilbab (baju panjang).
Definisi jilbab yang dapat kita temukan di dalam teks-teks tertulis selalu
merujuk pada akar katanya, jalaabiib (bentuk jamak), yang artinya pakaian yang lapang dan luas. Berdasarkan akar kata tersebut biasanya dimaknai bahwa jilbab adalah pakaian yang lapang dan dapat menutup aurat perempuan. Secara lebih
mendetail, aurat perempuan yang dimaksud adalah seluruh tubuh kecuali wajah, pergelangan tangan dan kedua telapak tangan. Meskipun secara bahasa batasan jilbab itu jelas, tetapi pada praktik penggunaannya tidak selalu sederhana. Ada 50
Al-Qur’an dan terjemahan Departemen Agama RI Al-Aliyy, Penerbit Dipenogoro, Bandung.
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
banyak adaptasi yang dilakukan oleh para penggunanya. El Guindi, seorang
antropolog yang menelusuri jilbab sedikit menyinggung bahwa makna jilbab di
Indonesia tidak cukup konsisten—ada yang menggunakannya untuk merujuk pada penutup kepala itu sendiri. Sedangkan yang lain menggunakannya untuk merujuk pada pakaian komplit.51
6. Penyebaran Wacana Jilbab
Meskipun batasan tubuh perempuan Muslim yang pantas diperlihatkan di
muka umum bukanlah hal yang baru, misalnya seperti yang dianjurkan oleh KH.
Ahmad Dahlan kepada para santrinya, tetapi sejak tahun 80-an terdapat penekanan yang berbeda. Aturan dalam berpakaian semakin ditekankan
berdasarkan tafsir atas kode moral yang diambil dari ayat Al-Qur’an (QS. An Nur dan QS. Al Ahzab) yang ditafsirkan secara literal. Penyebaran tafsir literal tersebut
tidak bisa dilepaskan dari gerakan Islamisme seperti Ikhwanul Muslimin, Negara Islam Indonesia, Imron, dan sebagainya. Visi politis gerakan Islamisme mereka adalah gerakan pemurnian Islam secara harfiyah dan pembentukan negara Islam.
Istilah menjadi seorang muslim yang kaffah (sempurna), misalnya, sering menjadi status bagi orang-orang yang mengikutinya. Demikian pula dalam hal berpakaian, jilbab adalah cara berpakaian untuk menjadi seorang muslimah yang kaffah.
Dengan adanya faktor gerakan Islamisme yang kental, jilbab pada awalnya
seringkali dilekatkan dengan status aktivis. Wacana mengenai jilbab seringkali
dibahas dalam ruang-ruang perkumpulan seperti ta’lim atau mentoring yang secara umum mengkaji mengenai ajaran Islam. 51
El Guindi, hal. 225.
57
Ta’lim atau mentoring ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
biasanya dilakukan oleh kalangan mahasiswa di kampus, lalu menyebar ke sekolah-sekolah.
Di
dalam
perkumpulan-perkumpulan
tersebut,
batasan
mengenai cara berpakaian yang benar menurut Al-Qur’an terus menerus
ditekankan dan dibahas. Karena jilbab adalah cara berpakaian yang benar maka di luar itu terdapat cara berpakaian yang bertentangan atau disebut sekuler. Dalam
pengalaman saya saat bersinggungan dengan perkumpulan-perkumpulan masjid di kampus, cara berpakaian yang benar ini selalu menjadi sorotan khusus.
Berjilbab tidak sekadar berjilbab, tetapi harus sesuai dengan batasan berdasarkan Al-Qur’an tetapi menurut interpretasi mereka. Jilbab yang dianggap paling benar, misalnya, adalah pakaian longgar panjang dengan tambahan kain yang menjulur
ke dada secara rapi. Secara halus, bentuk-bentuk pakaian dan jilbab yang dikenakan menciptakan kelas, yaitu jilbab yang benar dan jilbab yang masih
sekuler. Tetapi walaupun cara berjilbab rapat dengan batasan-batasan yang berbeda
semacam
mengenakannya.
itu
hadir,
makin
banyak
perempuan
muda
yang
B. GEGER BUDAYA JILBAB (PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, PEMINGGIRAN KESEMPATAN KERJA) Dengan muatan wacana bahwa jilbab rapat adalah cara berpakaian yang
sesuai dengan hukum Islam, maka sejak tahun 80-an penggunaannya pun semakin bertambah. Jika wacana mengenai jilbab menyebar di kalangan terdidik kelas menengah ke atas, tidak mengherankan jika para penggunanya pun berasal dari
kalangan mereka. Mulailah muncul para perempuan muda yang mengenakan
jilbab di ruang-ruang publik seperti sekolah, kampus, pusat perbelanjaan, dan
sebagainya. Cara berpakaian yang notabene baru serta dihubung-hubungkan 58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan identitas kemusliman ini melahirkan implikasi terhadap perilaku
antarindividu. Terdapat perubahan cara bergaul di antara kalangan para pengguna
jilbab dengan lingkungan sosial sekitarnya. Mereka tidak lagi menampakkan rambut secara terbuka di hadapan laki-laki yang tidak termasuk dalam katergori keluarga inti. Jika mereka menerima tamu di rumah, mereka pun tetap
mengenakan jilbab secara lengkap. Di angkutan-angkutan umum orang-orang umum tiba-tiba berdampingan dengan perempuan yang seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan tertutup oleh kain.
Penampakan tubuh perempuan yang tertutup oleh kain sedemikian rupa
bukanlah sebuah kebiasaan. Orang-orang menerka-nerka kemiripan penampilan mereka misalnya dengan cara berpakaian ala ninja yang serba tertutup, kecuali
kedua mata saja. Meskipun tidak mesti para perempuan tersebut mengenakan
penutup wajah berupa cadar, tetapi julukan ‘ninja’ tak terelakkan. Julukan yang tidak sepenuhnya mengejek tetapi tetap mengindikasikan bahwa para perempuan berjilbab tidaklah biasa. Sementara itu, pada taraf yang lebih serius, jilbab juga
diidentikkan dengan keketatan cara beragama, yang terepresentasi dalam cara
berpakaian. Cap yang identik dengan ‘fanatisme’, ‘ekstrimis’, diberikan kepada para perempuan berjilbab. Ukuran jilbab yang dikenakan juga dianggap merepresentasikan sedalam apa tingkat fanatismenya.
Selain cap fanatisme, ekstrimis yang dilekatkan kepada pengguna jilbab,
sempat terjadi peristiwa yang cukup menegangkan, yaitu ketika sekelompok perempuan berjilbab dikelilingi oleh isu ‘jilbab beracun’. Ketakutan masyarakat
sempat diganggu oleh menyebarnya rumor racun yang dibawa oleh perempuan di dalam jilbab yang dikenakannya. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1993. 59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ruang publik, tempat banyak orang dari berbagai kalangan berjumpa seperti pusat perbelanjaan adalah salah satu tempat yang diwarnai rumor jilbab beracun itu.
Sempat juga tercatat sejumlah perempuan berjilbab yang mengalami teror seperti dilempari batu.52
1. Alienasi Jilbab (pelarangan jilbab di sekolah, kantor)
Reaksi sosial terhadap penggunaan jilbab juga mengemuka melalui sikap
pihak institusi seperti sekolah ataupun tempat bekerja. Para perempuan muda yang tiba-tiba menggunakan jilbab sebagai cara berpakaian ke sekolah
mendapatkan reaksi cukup keras dari pihak sekolah, khususnya adalah para perempuan yang bersekolah di institusi negeri. Penggunaan jilbab yang juga
mengubah bentuk seragam mereka dianggap sebagai menyalahi aturan sekolah. Di beberapa sekolah negeri, mereka mendapatkan sangsi berupa pengeluaran dari
sekolah jika tidak mematuhi aturan sekolah yang sudah berlaku. Kalaupun ada
sekolah yang berafiliasi dengan pendidikan Islam yang menjadikan jilbab sebagai bagian dari aturan seragam sekolah, tetap terdapat pengecualian. Pengecualian
tersebut misalnya, meskipun dalam aktivitas belajar sehari-hari para siswi mengenakan jilbab tetapi untuk urusan surat penting seperti ijazah kelulusan,
mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan jilbab. Alasan yang dikemukakan
adalah bahwa foto diri harus memperlihatkan konstruksi wajah secara utuh, yaitu bagian telinga dan rambut.
Penyikapan terhadap para siswi yang mengenakan jilbab secara ekstrim,
seperti pengeluaran dari sekolah, sempat melibatkan ranah hukum. Di beberapa 52
Kees van Dijk, hal. 97.
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kota besar seperti Bogor, mereka mengadukan perlakuan sekolah ke meja hijau. Seragam jilbab yang dikriminalisasi diajukan para siswi sebagai tindakan yang
sangat merugikan. Salah seorang siswi yang sempat mengajukan tuntutan untuk diizinkan berjilbab menuliskan kisahnya dalam bentuk biografi, yaitu Ranti Aryani
yang mengalaminya pada tahun 80-an. 53 Dalam proses pengajuan tersebut, masyarakat secara umum melihatnya sebagai sesuatu yang penting untuk dibela. Masyarakat mulai melihat jilbab bukan melulu sebagai cara berpakaian yang aneh.
Sementara itu, para perempuan yang lebih dewasa, yang berada di ranah
kerja juga mendapatkan perlakuan yang tidak jauh berbeda. Brenner, misalnya
mencatat bahwa di jilbab dapat menghambat perkembangan karir. “Nek jilbaban ora munggah pangkate.” Ungkapan tersebut berasal dari seseorang yang bekerja di bidang pemerintahan.30 Bidang-bidang kerja seperti bisnis, jasa, dunia hiburan adalah dunia yang terbatas bagi para pengguna jilbab. Terlebih gaya busana jilbab
yang ada saat itu berbeda benar dengan busana-busana kantoran yang sudah
umum, misalnya jas kerja. Kesan fanatik ataupun terlalu tertutup masih belum dapat dilepaskan dari busana jilbab yang umum pada saat itu. 2. Konstelasi Politik Orde Baru dan Islam
Konstelasi politik tidak dapat dilepaskan dari keberterimaan jilbab
tersebut. Rezim politik yang tengah berkuasa secara leluasa mereproduksi nilainilai yang kemudian berkembang di masyarakat. Misalnya, pada masa 1980-an masyarakat Indonesia secara umum belum terbiasa dengan hadirnya jilbab. Jilbab
seringkali dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam ekstrimis. Hal tersebut 53
Ranti Aryani, In God We Trust, 2014, Penerbit Matahari: Bandung.
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkenaan dengan posisi Islam politik yang masih dianaktirikan oleh rezim Orde Baru, sehingga kelompok ekstrimis atau disebut fanatik tidak mudah diterima secara luas.
Popularitas jilbab terdongkrak oleh adanya rekonsiliasi antara Islam dan
negara pada era akhir Orde Baru. Pada saat yang hampir bersamaan, gelombang protes pelarangan jilbab di lingkungan atau ruang publik seperti sekolah terjadi
secara mengharukan yang dilakukan oleh sekelompok siswi-siswi sekolah,
terutama sekolah Negeri. Dua peristiwa tersebut kemudian melahirkan Surat Keputusan yang membolehkan jilbab dikenakan sebagai bagian dari seragam
sekolah, yaitu SK 100/1991. SK yang akhirnya dikeluarkan tersebut menjadi awal mula para perempuan Muslim, khususnya yang muda untuk mengenakan jilbab di
ruang publik. Peristiwa politik yang juga mempermudah keberterimaan jilbab
adalah runtuhnya rezim Orde Baru. Penerbitan media cetak dan elektronik pada masa Suharto diatur secara ketat dan cenderung homogen menemukan era baru.
Media cetak tumbuh subur, termasuk media cetak yang secara khusus bertemakan Islam.
Majalah yang bercetak glossy menampilkan
pernak-pernik yang
berhubungan dengan jilbab. Kalangan selebritis yang memutuskan mengubah penampilannya pun disorot secara khusus di berbagai macam media.
Popularitas jilbab pada era pascareformasi semakin meningkat. Stigma
jilbab yang semula lekat dengan aliran Islam fanatik sudah bergeser. Faktor yang
turut mewarnainya adalah semakin beragamnya latar belakang perempuan yang
memutuskan untuk mengenakan jilbab di ruang publik. Jika pada awalnya jilbab lebih banyak dikenakan oleh siswi sekolah menengah dan mahasiswi kelas menengah, kini tidak lagi. Perempuan dari berbagai kalangan dan usia memilih 62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk mengubah penampilannya. Fenomena ini jauh berbeda dengan apa yang
ditemui oleh Suzanne Brenner. Brenner melakukan penelitian pada tahun 1996. Brenner masih mempertanyakan faktor pendukung jilbab di tengah situasi kultural yang secara mengakar tidak sesuai dengan jilbab yang mereka kenakan.
Misalnya, jilbab tidak dianggap berakar pada busana tradisional seperti kerudung atau sarung. Masyarakat pun belum secara luas diterima dengan baik sebagai cara berpakaian Islami.
C. JILBAB DALAM BERBAGAI PRODUK BUDAYA
Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran media merupakan salah satu faktor
yang teramat penting dalam penyebaran wacana jilbab di seluruh masyarakat dengan berbagai lapisannya. Pengguna jilbab tidak hanya dapat disaksikan di
jalan-jalan tanpa bertegur sapa atau asing. Masyarakat dapat ‘bersentuhan’ dengan
pengguna jilbab melalui media. Mata, yang merupakan faktor paling mendasar untuk bersentuhan dengan pengguna jilbab dengan segala macam cara
berpakaiannya yang terhitung baru, mulai dibiasakan untuk melihat. Mata tidak lagi asing dengan penampilan yang serba tertutup itu. Apalagi hadirnya kaum
selebriti yang mengenakan jilbab diangkat secara dramatis melalui berbagai bentuk media, seperti televisi maupun majalah, bahkan buku. Motif mereka beralih penampilan menjadi berjilbab disoroti sebagai ‘kemajuan’ yang positif. Selebriti
yang kisahnya dibungkus seperti opera sabun menjadi pusat perhatian yang juga membantu semakin merembesnya jilbab di berbagai kalangan.
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melalui media juga kemudian mulai muncul bentuk-bentuk fetish yang
disandarkan pada imaji jilbab. Iklan-iklan produk kesehatan, make up, bahkan cat tembok menggunakan model yang mengenakan jilbab. Bahkan imaji jilbab seperti
kepolosan, halal dikait-kaitkan dengan produk yang tengah dipromosikan.
Sementara itu, selain terbentuknya fetish, terciptalah juga mitos-mitos baru dalam fiksi ataupun komik untuk anak-anak. Mitos tersebut adalah mitos tentang sosok perempuan yang bermoral adalah perempuan yang menggunakan jilbab. Lahirlah
kisah-kisah Cinderela ala muslim, yaitu para putri-putri kerajaan yang mengenakan jilbab rapat. Jilbab semakin populer dan menjadi tren, meski seringkali dilihat secara monolitik, yaitu selalu baik bagi perempuan. 1. Kelahiran Jilbab Dalam Media
Kehadiran jilbab tidak lagi hanya dapat ditemukan di ruang publik seperti
sekolah, kampus, pusat perbelanjaan, atau ketika berada di dalam saran transportasi umum. Tetapi jilbab mulai memasuki dunia representasi, yaitu media.
Melalui media, proses pengenalan secara lebih mendalam dan meluas lebih memungkinkan. Apalagi berakhirnya rezim Orde Baru merupakan babak baru bagi
geliat media, terutama media cetak. Sebelumnya, sejak 1990-an jumlah media cetak yang muncul tidak terlalu banyak. Tetapi setelah rezim Orde Baru berakhir,
surat izin penerbitan media cetak tidak seketat sebelumnya. Berbagai tema media
cetak baru bermunculan, termasuk yang berfokus pada isu-isu kemusliman. Tercatat hanya sekitar 12 media muslim yang diterbitkan pada masa Orde Baru
dan setelahnya. Majalah, jurnal ataupun koran bertajuk kemusliman bermunculan
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
misalnya Ummi, Sabili, Jurnal Islam, Laskar Jihad, Saksi, Nur Islam, Tarbawi, AlIzzah ataupun Darul Islam. 54
Majalah seperti Ummi dan Sabili yang terbit sejak 1998 dengan dukungan
jaringan Islam yang disebut Lembaga Dakwah Kampus (LDK) memuat tema-tema jilbab seperti konflik penggunaan jilbab dengan aturan sekolah serta cara penggunaan jilbab secara syar’i. Muatan mengenai jilbab juga menjadi tema yang
sangat penting dalam media cetak yang terbit pasca-Orde Baru. Majalah seperti Paras dan Muslimah adalah majalah yan mengedepankan gaya hidup muslim urban.55 Dalam konstruksi gaya hidup muslim yang dimuat majalah tersebut, jilbab
merupakan elemen yang paling penting. Di dalamnya mulai diproduksi berbagai model pakaian dan jilbab yang disebut sebagai busana muslimah. Nilai yang
dihadirkan majalah Ummi atau Sabili berbeda secara signifikan dengan Majalah
Paras atau Muslimah. Dalam Majalah Ummi atau Sabili, jilbab tetap dilihat sebagai cara berpakaian yang aturannya ketat, bukan pada keindahan berbusana. Sehingga, di dalamnya tidak akan ada model jilbab yang, misalnya disebut sebagai
‘jilbab gaul’. Sedangkan dalam Majalah Paras atau Muslimah, mulai muncul model-
model jilbab yang lebih mengedepankan keindahan. Apalagi Majalah Paras dan Muslimah adalah majalah yang bentuknya mengilat (glossy), jilbab lengkap dengan pakaiannya tampil menjadi lebih bergaya.56
Mata pembaca ataupun calon pembaca yang melihat foto perempuan
berjilbab secara berbeda, yaitu indah dan bergaya. Mereka tak hanya melihat jilbab secara berjarak, tak tersentuh sehingga keterasingan tak terhindarkan. Melalui 54
Deny Hamdani, hal. 121-126. Ibid. 56 Ibid. 55
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perantara media, mulai tumbuh kontak yang lebih dekat. Bukan hanya itu,
kehadiran para selebritis misalnya Ida Royani, Neno Warisman, Ida Leman, yang bertahun-tahun sebelumnya mengenakan jilbab dengan gaya yang modis, turut mempermudah proses keakraban antara masyarakat dengan jilbab. Hampir setiap
tahun pula muncul selebritis yang tiba-tiba menggunakan jilbab sebagai pakaian keseharian sehingga membuat banyak orang terkejut. Kisah selebritis yang mengenakan jilbab diangkat secara dramatis kedalam media, bahkan dieksplorasi kedalam acara-acara infotainment.
Melalui televisi yang merupakan sumber daya yang terbuka bagi semua
orang dalam masyarakat industri serta mengalami pertumbuhan di negara-negara berkembang, jilbab dalam kehidupan para selebritis menjadi sumber pengetahuan
populer. Para ibu yang kesulitan untuk memahami cara berpikir anak gadisnya yang memilih mengenakan jilbab dapat berkaca tuturan selebritis mengenai pilihannya yang serupa. Seperti yang dijelaskan oleh Hall mengenai televisi,
televisi berdampak pada ‘ketentuan konstruksi selektif pengetahuan sosial,
imajinasi sosial, di mana kita memersepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami. 32 2. Jilbab Dalam Iklan
Jilbab tidak lagi berada dalam ruang lingkup yang erat kaitannya dengan
dunia gerakan Islam. Jilbab menjadi salah satu aspek penting dalam menjadi seorang muslim, baik sebagai bagian dari gaya hidup maupun politik identitas.
Jilbab merupakan cara berpakaian perempuan muslim modern, yang tak lagi sama 66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan generasi perempuan yang tua. Jilbab juga menjadi penanda penting dalam
menjadi seorang perempuan muslim dalam ruang publik yang ditempati oleh
berbagai pemeluk agama non-Islam. Selain itu, akibat jilbab menjadi semakin populer dalam berbagai level masyarakat ini, telah terjadi pula perkawinan antara
jilbab dengan sekularitas. Dalam hal ini, jilbab tidak semata-mata berhubungan dengan ekspresi spiritualitas tetapi juga menjadi aspek penting dalam bisnis
berbagai produk yang diperjualbelikan secara luas. Imaji yang terkandung dalam
jilbab seperti kesalehan ataupun kepolosan diambil untuk membungkus produkproduk yang sedang diperjualbelikan.
Adakah kaitan antara produk pembersih kewanitaan dengan jilbab? Terlalu
sulit untuk menemukan kaitan yang jelas di antara keduanya. Tetapi dalam sebuah iklan yang sempat ditayangkan di televisi swasta, jilbab secara eksplisit dikaitkan
dengan perlunya menjaga area kewanitaan dengan cairan antiseptik. Jilbab dalam iklan tersebut dijadikan sebagai cara berpakaian yang lebih baik karena
melindungi tubuh. Lalu sejurus dengan itu diselipkan pesan produk bahwa setiap perempuan harus menjaga area kewanitaannya. Iklan lainnya, yang tidak secara
eksplisit mengaitkan jilbab dengan produk yang ditawarkan misalnya iklan produk kecantikan seperti Wardah. Iklan produk cat tembok pun menjadikan model
berjilbab di dalamnya. Sementara di wilayah sehari-hari, sudah tak aneh lagi jika
iklan lembaga pendidikan seperti universitas negeri mengambil perempuan berjilbab kedalam foto-foto yang mempromosikan lembaga tersebut. Dalam hal ini, kita bisa mengamati dua hal. Pertama, citra jilbab berupa kepolosan, kebaikan, dan kebersihan diambil untuk membungkus dan mengangkat produk (baik produk
kecantikan, rumahan, maupun pendidikan) yang sedang dipromosikan. Sementara, 67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kedua, seiring dengan penggunaan citra jilbab dalam berbagai produk tersebut semakin mempopulerkan jilbab di masyarakat. Popularitas
jilbab terangkat benar oleh kontribusi media. Sehingga,
perkembangan gaya hidup Muslim di ruang publik semakin merembes di berbagai
level masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah. Gaya hidup perempuan
Muslim yang ditekankan pada jilbab dipromosikan melalui majalah maupun buku yang diterbitkan secara luas. Majalah yang merupakan generasi awal yang
mempromosikan gaya hidup perempuan Muslim adalah Paras dan Muslimah. Aneka bentuk dan model jilbab, aneka ragam model busana, serta segala hal yang berkaitan dengan penampilan dibahas di dalamnya. 3. Jilbab Dalam Kisah Fiksi
Konstruksi jilbab dapat kita temukan juga dalam berbagai macam kisah-
kisah populer, seperti cerita pendek, novel, komik anak-anak. Jilbab menjadi inspirasi bagi para penulis untuk membuat sebuah cerita dengan gaya mereka
sendiri. Misalnya adalah The Jilbab Code yang ditulis oleh Gatot Aryo.57 Dari judul novel tersebut sudah tergambar tema cerita yang disajikan di dalamnya, yaitu
tentang kode-kode yang harus dipecahkan. Diceritakan dua tokoh utama yaitu Fana dan Marina yang keduanya dipertemukan dalam proyek pemecahan sandi
wasiat, yang ternyata merupakan simbol-simbol jilbab. Tanpa diduga, mereka dapat memecahkan sandi-sandi tersebut. Cerita yang bergaya petualangan ini pada dasarnya berupaya untuk memasukkan jilbab sebagai gagasan utama tetapi 57
Gatot Aryo, The Jilbab Code, 2010, Jakarta: Coretan Book Publising.
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan bungkus yang berbeda agar dapat diterima oleh kalangan perempuan muda.
Jilbab dalam bentuk cerita remaja, tidak hanya diperuntukkan bagi
perempuan-perempuan berusia muda saja. Sejumlah penerbit, misalnya Penerbit
Mizan, menerbitkan buku-buku bagi anak-anak. Buku tersebut menjadi semacam pengganti cerita-cerita mitologi modern seperti Cinderella atau
Putri Salju.
Sejumlah penulis membuat cerita mengenai para putri di berbagai kerajaan yang
mengenakan jilbab. Tema cerita yang disajikan di dalamnya bermacam-macam, mulai dari pengajaran ajaran Islam seperti mengenal nama-nama Allah (Asma’ul Husna) hingga cerita-cerita mengenai putri kerajaan. Benang merah di dalam
cerita-cerita anak tersebut adalah tokoh-tokoh utama di dalamnya adalah para perempuan berjilbab. Dengan demikian, anak-anak diajari untuk mengetahui
bahwa cara berpakaian yang baik bagi perempuan, seperti di dalam tokoh-tokoh di dalam cerita, adalah mengenakan jilbab. Contoh-contoh buku anak-anak berilustrasi di antaranya adalah Cincin Ajaib Princess Jalila, Princess Mubdiya dan
Kincir Angin, Princess Ghafira dan Sepatu Yang Tertukar, Princess Ghafira dan Sepatu Yang Tertukar.
Sementara untuk para perempuan dewasa, salah satu cerita yang berhasil
memikat banyak pembaca adalah Catatan Hati Seorang Istri. Buku yang ditulis oleh penulis produktif, Asma Nadia, termasuk buku yang laris di pasaran.
Buku
tersebut, yang sering disingkat menjadi CHSI, sebenarnya tidak mengangkat soal pergulatan batin perempuan untuk mengenakan jilbab atau tidak. CHSI adalah
buku yang memuat pergulatan batin para perempuan menghadapi kehidupan
rumah tangga yang seringkali tidak lurus-lurus saja. Tetapi sosok penulisnya, yaitu 69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Asma Nadia, adalah perempuan berjilbab yang sudah dikenal luas sebagai penggerak Forum Lingkar Pena ini tidak bisa dilepaskan pengaruhnya. Perempuan
berjilbab digambarkan sebagai sosok yang mempunyai kekuatan hati luar biasa dalam menghadapi persoalan hidup. Tak mengherankan juga ketika CHSI diangkat kedalam sinetron, sosok pemeran utamanya adalah aktris berjilbab pula, yaitu
Dewi Sandra. Jika kita menyelami kepribadian sosok berjilbab di dalam cerita CHSI ini, jilbab digambarkan secara sangat positif.
Sosok Asma Nadia sebagai penulis berjilbab yang produktif adalah sangat
penting. Selain menulis Catatan Hati Seorang Istri yang ditujukan untuk pembaca
perempuan dewasa, Asma juga menulis cerita untuk remaja. Kita bisa menengok sebuah novel yang berjudul, Jilbab in Love. 58Di dalamnya, seperti yang tampak jelas dalam judulnya, jilbab adalah tema yang menjadi fokus utama. Buku ini
ditujukan untuk para gadis remaja. Hal tersebut dapat terlihat dari pergulatan
batin tokoh utamanya dalam menghadapi diri dan lingkungannya saat mengenakan jilbab untuk pertama kalinya. D. TITIK BALIK DALAM JILBAB
Sejak era Reformasi, hampir setiap elemen masyarakat yang semula tidak
sanggup merepresentasikan identitas dirinya mulai beramai-ramai menggeliat bangun. Tak pelak lagi, kaum perempuan muslim dengan skema pertarungan wacana di dalamnya yang cukup kompleks, juga ikut mencoba menegaskan
identitasnya. Bagi para perempuan berjilbab yang mengalami proses ‘melawan’ 58
Asma Nadia, Jilbab in Love, 2014, Jakarta: Asma Nadia Publishing House.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rezim Orde Baru yang tidak mengijinkan penggunaan jilbab di ruang publik, masamasa ini adalah masa kemerdekaan dalam berjilbab. Jilbab yang berkibar
dikenakan adalah jilbab kemenangan. Tetapi secara berlawanan, muncul titik balik di mana perempuan tidak lagi hanya memperjuangkan penggunaan jilbab sebagai
bagian dari keseharian dan identitasnya. Tetapi kepentingan politik kelompokkelompok tertentu mulai bermain dan mengendalikannya secara politis.
Perempuan tak lagi semata berujar, “Sudah saatnya saya mengenakan jilbab.” Tetapi kini semakin sering terdengar, “Kapan kau akan berjilbab?”
Wacana yang berkembang semakin menguat saat ini adalah bahwa jilbab
merupakan sebuah kewajiban bagi perempuan muslim. Jika pada masa Orde Baru, wacana jilbab mendapat ‘suntikan’ ideologi dari gerakan Islam internasional, kini
tak mudah untuk menemukan suara yang berbeda. Suara yang berbeda itu adalah suara
yang
di
dalamnya
dicetuskan
pertimbangan-pertimbangan
secara
kontekstual mengenai penggunaan jilbab. Misalnya seperti suara yang dicetuskan
oleh Muhammad Quraish Shihab yang berusaha untuk menempatkan jilbab sebagai bagian dari pilihan sadar penggunanya, bukan dipaksakan. Suara yang
dikemukakan Quraish Shihab seringkali mendapatkan kontra di masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pada titik yang paling ekstrim, jilbab menjadi elemen yang dipentingkan sebagai penanda moralitas. 1. Pelembagaan Jilbab
Penggunaan jilbab sebagai cara berpakaian sehari-hari di ruang publik
didorong oleh berbagai macam motif. Terutama penggunaannya pada level formal
atau institusi. Jilbab dikenakan bukan semata-mata cara berpakaian sehari-hari, 71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tetapi sebagai bagian dari institusional, misalnya sekolah. Demikian pula jilbab
yang didorong oleh peraturan daerah. Jilbab semacam ini dapat kita temui sebagai contoh dari penggunaan jilbab tidak hanya didorong oleh motif pribadi, sebagai pilihan bebas. Persoalan pemaknaan, atau mungkin kenyamanan dalam penggunaan dapat menjadi sesuatu yang penting pula di sini untuk diketahui.
Adakalanya meski jilbab di sini merupakan bagian dari aturan kelembagaan, pengguna juga dapat merasakan kenyamanan di dalamnya. Meskipun hal tersebut tidak selalu terjadi pada setiap pengguna.
Contoh pertama yang akan kita lihat adalah pemberlakuan jilbab sebagai
bagian dari seragam sekolah. Sejak diberlakukannya izin atau surat keterangan untuk mengenakan jilbab bagi siswi sekolah secara umum, yang termaktub dalam
SK 100/1991 fenomena sebaliknya tak disangka-sangka akan terjadi. SK tersebut
sebenarnya lahir dari proses perjuangan dari kalangan siswi dan pihak-pihak terkait sebagai cara berseragam baru. Meskipun izin untuk mengenakannya sudah lahir, tetapi yang terjadi adalah pemberlakuan jilbab sebagai bagian dari
seragam sekolah secara menyeluruh. Hal ini menjadi ganjil karena awalnya segelintir siswi meminta izin untuk mengenakan jilbab, tetapi yang terjadi adalah
jilbab malah diwajibkan. Di sini yang hilang adalah pilihan yang hadir dari pihak siswi untuk mengenakan jilbab atau tidak.
Sekolah yang menjadikan jilbab sebagai bagian wajib dari seragam,
misalnya adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Padang. Di sekolah ini, batasan seragam yang diberlakukan bagi siswi maupun siswa secara umum adalah
merujuk pada batasan aurat dalam Islam. Aturan sekolah ini disepakati kedalam
aturan yang bernama Haluan yang bernomor 03/21/2005. Aturan tersebut juga 72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disepakati oleh pihak orangtua murid. Demikian juga yang terjadi pada SMAN 2
Padang. Selanjutnya di Sekolah Menengah Pertama 2 Padang dan Sekolah Dasar Alang Lawas menjadikan kombinasi baju kurung dan jilbab sebagai seragam sekolah.59
Selain pemberlakuan jilbab di sekolah, kita juga dapat menemui hal serupa
pada level aturan kerja. Misalnya yang aturan kerja yang harus diikuti oleh polisi wanita di wilayah tertentu. Aturan seragam di wilayah kerja ini biasanya terkait
erat citra daerah tempat mereka berada. Daerah yang secara khusus menggunakan afiliasi Islam sebagai Peraturan Daerah, misalnya, maka akan
memberlakukan jilbab sebagai bagian terpenting dari seragam kerja. Misalnya adalah yang diberlakukan di Kepolisian Wilayah Madura. Kapolda Jawa Timur
Irjen Anton Bachrul Alam memberikan ‘imbauan’ kepada seluruh polwan
muslimah untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam. ‘Imbauan’ dalam hal ini merupakan sebentuk aturan yang harus ditaati. Bripda Ela, yang
merupakan salah satu ajudan Kapolwil Madura ini mengatakan, ”Mulai hari ini (Selasa kemarin,Red.) seluruh polwan di Madura berjilbab Mas. Kelihatan lebih cantik ya,” seperti dikutip oleh Koran Jawapos.60
Sementara itu, pemberlakuan jilbab sebagai cara berpakaian sehari-hari,
bukan lagi sebagai seragam dapat kita lihat wilayah tertentu. Pemberlakuan jilbab di ruang publik, meliputi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh penggunanya,
selalu terkait dengan peraturan daerah yang berafiliasi secara formal dengan
Islam. Islam tidak dijadikan sebagai cara hidup sehari-hari saja, tetapi juga 59
Deny Hamdani, hal. 153. Meisusilo dalam “Polwil Madura Mulai Berlakukan Jilbab bagi Polwan Muslimah”, 2009, Koran Jawa Pos: 11 Maret. 60
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dijadikan sebagai landasan hukum positif yang harus ditaati. Contoh yang paling terkait dengan kasus kita kali ini adalah pemberlakuan jilbab dengan segala persyaratannya di Aceh Barat.
Penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi
Aceh diatur oleh Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah, yaitu Qanun. Qanun terdiri atas:
Qanun Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Aceh.
Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Qanun kabupaten/kota
disahkan
oleh
bupati/walikota
setelah
mendapat
persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau Dewan Perwakilan Rakyat Kota).
Bupati Aceh Barat, Ramli Mansur, menegaskan kembali upaya-upaya untuk
menegakkan Syariah Islam di wilayah yang ia pimpin. Ia melakukan penertiban
cara berpakaian perempuan. Perempuan dilarang untuk mengenakan pakaian ketat, khususnya celana panjang. Larangan tersebut dituangkan dalam Peraturan
Bupati Nomor 5/2010 yang berlaku efektif mulai 27 Mei 2010. Dalam Pasal 15 ayat (1) huruf (d) disebutkan bahwa para pedagang yang masih menjual pakaian ketat akan dikenakan sanksi, hingga pencabutan izin usaha.
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Imaji Jilbab/Hijab sebagai Kewajaran (konsensus)
Popularitas jilbab dan hijab di masyarakat bukan hanya diperlihatkan oleh
banyaknya pengguna. Tetapi ditandai juga apa yang disebut wajar atau tidaknya
penampilan santun seorang perempuan muslim, baik secara formal maupun kultural. Jilbab dan hijab sudah dijadikan sebagai salah satu faktor penting
konsensus ciri perempuan ‘baik-baik’. Jilbab dan hijab yang tarafnya masih
sebagai ‘kulit’ penampilan ini menjadi tak terhindarkan menjadi sedemikian penting. Persoalannya kini bukan hanya perempuan yang memilih dengan sukarela atas jilbab sebagai bagian dari penampilan santunnya. Tetapi juga
terdapat imaji bahwa sosok perempuan yang dianggap baik adalah yang mengenakan jilbab atau hijab.
Pada era pascareformasi, kita tidak akan kesulitan mendapatkan pengguna
jilbab, dimanapun. Di sekolah, kampus, pusat bisnis, pabrik, kantor pemerintahan, hotel, mal, pusat hiburan, panggung hiburan, catwalk, dan lain sebagainya. Kita
juga tidak hanya akan menemukan para perempuan muda saja yang mengenakan jilbab atau hijab, melainkan juga para ibu yang sudah manula, demikian juga
batita atau balita di taman-taman bermain. Jilbab telah sedemikian populer dan
diterima di masyarakat, sampai-sampai menandai identitas sebagai perempuan muslim yang baik. Akan
berbeda
halnya
jika
‘bukan
perempuan
baik-baik’
yang
mengenakannya. Jilbab bukan sebatas cara berpakaian yang mengekspresikan
nilai estetik tertentu tetapi dianggap sebagai ekspresi kesalehan seseorang. Citra kesalehan yang termuat di dalamnya, dapat juga dipakai oleh kalangan tertentu 75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk menciptakan citra khusus. Misalnya ketika seorang perempuan yang
menjadi pesakitan atau terdakwa karena kasus korupsi yang tiba-tiba mengenakan jilbab di ruang sidang akan menuai kecaman. Mereka misalnya
adalah Malinda Dee, Neneng Sri Wahyuni, dan Nunun Nurbaeti. 61 Terbukanya kasus korupsi saja sudah membuat orang tercengang dan gemas. Tentu saja
pelakunya menjadi sorotan berbagai media. Wajahnya akan muncul di berbagai
media dengan cara yang ganjil. Dalam hal ini, sebuah majalah berita, Forum, mengangkat profil mereka dengan berfokus pada perubahan penampilan (bukan
pada kasus korupsi yang dilakukannya saja). Di dalam majalah Forum dipajang foto-foto ketiga perempuan tersebut sebelum menjadi terdakwa koruptor.
Sebelum tersangkut kasus korupsi, para perempuan ini tidak mengenakan jilbab apalagi cadar. Foto mereka antara penampilan tak berjilbab dan berjilbab
(bahkan ada yang menutup sebagian wajah bak cadar)34 kemudian ditampilkan dengan cara yang menekan. Mereka dianggap telah mencuri citra kesalehan
dalam jilbab dan cadar untuk memanipulasi penampilan mereka di hadapan
publik. Judul besar yang diangkat oleh majalah tersebut tajam dengan bunyi “Cadar dan Kerudung Munafik Perempuan-Perempuan Korup”. Sejak saat itu, jilbab tiba-tiba hadir di ruang-ruang pengadilan sebagai cara berpakaian baru
para perempuan yang terjerat hukum.3 Melalui kasus-kasus di atas, menjadi sedemikian penting bagaimana jilbab dan hijab ini dilekatkan dengan imaji kewajaran,
termasuk
mengenakannya.
61
siapa
saja
yang
terkesan
Dalam Majalah Forum Keadilan, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15.
76
‘tidak
layak’
untuk
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. Yang Berbeda Tafsir, Yang Tersisih
Pada era pasca-reformasi ini, popularitas jilbab di masyarakat secara umum
telah begitu kuat. Terutama dalam penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam
percakapan sehari-hari maupun dalam tulisan yang tercetak di media massa, istilah jilbab sudah menjadi hal biasa. Sambil sesekali istilah jilbab digantikan
dengan istilah yang terkesan lebih trendi, seperti ‘hijab’. Penggunaan istilah
kerudung masih dapat ditemui dimana-mana, tetapi istilah jilbab atau hijab jauh lebih populer. Popularitas seperti ini, ditanggapi sebagai sebuah kebenaran yang
sudah mutlak atau ‘sudah dari sononya’. Jilbab dianggap sebagai cara berpakaian yang menutup tubuh sedemikian rupa yang telah diperjuangkan selama beberapa dekade. Jilbab dianggap sebagai cara berpakaian yang sudah sepantasnya
dikenakan perempuan muslim manapun. Sementara itu, sejarah para perempuan muda yang secara eksklusif memilih jilbab ini pada tahun 80-an menjadi terlupakan. Sedemikian populernya jilbab ini, sikap ‘memilih’ para perempuan
muda tersebut tidak demikian diingat. Hal yang diingat adalah jilbab
diperjuangkan sedemikian rupa. Sehingga, kini sudah selayaknya siapapun (apalagi perempuan muda seperti pelajar dan mahasiswa) mengenakan jilbab.
Perdebatan mengenai sejauh mana jilbab ini harus digunakan pada era
pascareformasi ini sudah tidak terlalu kuat seperti masa-masa sebelumnya. Banyak kalangan, dimanapun, sudah menjadikan jilbab sebagai bagian dari cara berpakaian sehari-hari. Mulai dari busana pengantin dengan ragam desainnya,
imaji perempuan santun di desa, hingga anak-anak perempuan belum berusia baligh pun telah diberi jilbab. Jilbab diserap sebagai bagian penting dari cara 77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbusana sehari-hari maupun khusus. Jika pada tahun 80-an saya masih bisa menemukan dengan mudah dialog mengenai jilbab dalam keseharian seperti,
“Emang jilbab wajib gitu?”, kini tidak sama lagi. Nada yang diungkapkan mengenai jilbab ini adalah, “Kapan Anda akan mengenakan jilbab, bukankah jilbab kewajiban bagi kita?”
Para pemuka agama secara umum, melalui media massa maupun
pertemuan publik menyebarkan jilbab sebagai sebuah kewajiban yang tak bisa
ditawar lagi. Seakan wacana mengenai jilbab ini sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Lantas apa jadinya jika masih ada kalangan yang berasal dari pemuka agama
menyatakan bahwa jilbab tidak wajib? Dan mengapa sampai muncul argumentasi
dari kalangan tertentu, yang menyatakan bahwa jilbab adalah bagian dari kultur Arab? Terdapat fenomena yang patut untuk digarisbawahi terkait dengan hal
tersebut. Kalangan yang tidak bersepakat dengan warna wacana jilbab
sebagaimana yang diyakini masyarakat pada umumnya mendapat tempat yang berbeda. Warna wacana jilbab di sini adalah jilbab diyakini sebagai cara
berpakaian sedemikian rupa, yang menutup batas-batas yang sudah disepakati berdasarkan Al-Qur’an, tidak bisa ditawar lagi. Dalam hal ini, saya akan
mengangkat fenomena Quraish Shihab, seorang penafsir Al-Qur’an terkemuka di negeri ini, yang sempat menuai perdebatan publik cukup keras yang disebabkan oleh perbedaan warna wacana jilbab yang ia kemukakan. Untuk mendapatkan
pembanding warna wacana yang berbeda, saya akan mengangkat wacana jilbab yang dikemukakan oleh Jaringan Islam Liberal melalui buku yang mereka terbitkan.
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4. Hilangnya Relatifitas Jilbab/Hijab a. Quraish Shihab dan Jaringan Islam Liberal Quraish Shihab adalah seorang penafsir (mufassir) Al-Qur’an terkemuka di
Indonesia. Sebuah buku yang berjudul Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah;
Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer telah diterbitkan sejak 2004. 62Dalam buku yang saya pegang, telah tercatat enam kali cetak, dengan edisi cetakan terakhir 2012. Buku yang ditulis oleh Quraish Shihab ini saya ambil untuk
menjadikannya sebagai contoh warna wacana mengenai jilbab yang berbeda dengan warna wacana dominan. Melalui kata sekapur sirih yang diuraikannya, jelas terlihat bahwa ‘di belakang’ sana telah terjadi perdebatan cukup tajam
mengenai apa yang dikemukakan Quraish Shihab mengenai jilbab ini kepada publik atau umat. Ia menulis begini,
Keinginan bahkan desakan untuk menulis persoalan ini, sudah lama terbetik dalam benak penulis. Desakan itu lahir bukan saja dari banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada penulis menyangkut jilbab yang merupakan busana muslimah ini---baik melalui media massa maupun secara langsung dalam pertemuan dan ceramah agama---tetapi juga karena ada yang menyalahpahami pandangan penulis menyangkut persoalan ini. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam yang membahas tentang Pemikiran dan Peradaban, dikemukakan bahwa menyangkut jilbab, penulis menyatakan ketidakharusannya* padahal yang selama ini penulis kemukakan hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa menetapkan satu pilihan. Ini karena hingga saat itu penulis belum lagi dapat men-tarjih-kan salah satu dari sekian pendapat yang beragam itu. Dalam salah satu seminar di Surabaya, pernah penulis “setengah dipaksa” untuk menyatakan pendapat final, karena sementara hadirin boleh jadi tidak mengetahui bahwa banyak ulama yang mengambil sikap tawwaquf, yakni tidak atau belum memberi pendapat menyangkut berbagai persoalan keagamaan, akibat tidak memiliki pijakan yang kuat dalam memilih argumentasi beragam yang ditampilkan oleh berbagai pendapat. 63
62
Quraish Shihab, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer telah diterbitkan sejak 2004, Jakarta: Penerbit Lentera Hati. 63 Ibid. hal. xiv.
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ungkapan panjang yang ditulis oleh Shihab di atas memperlihatkan situasi
perdebatan yang cukup keras. Tahun 2004 adalah tahun ketika jilbab telah diizinkan untuk dikenakan di ruang publik, khususnya bagi kalangan pelajar.
Secara wacana dapat juga kita bayangkan pada tahun-tahun tersebut tengah terjadi proses penyebaran wacana jilbab secara intens. Jika jilbab telah diizinkan
di ruang publik, maka jilbab semakin diterima baik oleh kalangan masyarakat
umum, terlebih lagi oleh kalangan pemuka agama yang notabene merasa mempunyai akses khusus terhadap hukum Islam. Dengan adanya ‘pengakuan’
Shihab yang menyatakan bahwa ia setengah dipaksa untuk ‘mengambilkeputusan’ mengenai hukum jilbab, dapat terlihat wilayah abu-abu semakin tidak mudah diterima. Jilbab harus diyakinkan sebagai sebuah kewajiban bagi perempuan muslim, tidak bisa ditawar lagi. Situasi pencapaian pendapat yang
berbeda, apalagi sebenarnya Shihab pun menuliskan bahwa sikap tawwaquf bagi seorang ulama sangat mungkin, tetapi tidak demikian dipahami oleh publik, terutama bagi sesama ulama.
Dalam lanjutan sekapur sirihnya tersebut, Shihab bahkan mengakui bahwa
ia tidak jarang dikecam oleh koleganya sendiri akibat ia menghidangkan aneka
pendapat keagamaan tanpa melakukan pen-tarjih-an, atau menetapkan mana yang lebih kuat. Sehingga ada kegelisahan para koleganya tersebut bahwa
masyarakat akan bingung. Shihab menekankan bahwa umat sudah selayaknya diberikan aneka pendapat ulama terdahulu mengenai sebuah urusan. Alasan yang
dikemukakan Shihab adalah secara mendasar hampir dalam semua persoalan rincian keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat. Bahkan Shihab
menambahkan bahwa keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al-Qur’an dan 80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hadis yang secara leluasa dapat menampung aneka pendapat. Hal yang paling penting
untuk
digarisbawahi
dari
Shihab
adalah
bahwa
menurutnya,
mengemukakan lebih dari satu pendapat, sama dengan memberi alternatifalternatif yang kesemuanya dapat ditampung oleh kebenaran, kemudian dapat
mempermudah umat dalam melakukan aneka aktivitas yang dapat dibenarkan agama.64
Tampaknya Shihab tengah berada dalam arus besar wacana jilbab yang
mengerucut menjadi keseragaman. Meskipun pada tahun-tahun 80-an, ketika
para perempuan muda hendak memilih jilbab sebagai cara berpakaian mereka di ruang publik, saat itu mereka justru menemukan banyak rintangan, seperti dikeluarkan dari sekolah. Jika saat ini, jilbab dipandang sebaliknya, merupakan
sebuah kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi, maka dapat kita lihat persoalan
yang mengemuka bukan lagi sejauh mana jilbab itu harus dikenakan, tetapi juga
merupakan masalah otoritas ulama terhadap umat. Ulama, dengan wajah yang
menekankan keseragaman yang berada di seberang posisi Shihab lebih menekankan kepatuhan daripada pemahaman umatnya.
Masih dalam sekapur sirih yang ia tulis, Shihab juga menerangkan bahwa
beberapa koleganya menasihatinya agar tidak menerbitkan buku yang
mempersoalkan jilbab tersebut. Alasannya adalah kekhawatiran timbulnya
kesalahpahaman dan tuduhan serta caci maki dari sementara kalangan sebagaimana pernah dialami oleh sementara cendikiawan yang mengemukakan pendapat baru, atau bahkan menyampaikan kembali pendapat ulama yang sudah
diketahui masyarakat kita pada umumnya. Shihab mengambil contoh seorang 64
Ibid. Hal. 10.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ulama, Nashiruddin al-Albani yang diakui sebagai pakar hadis kontemporer yang
harus bernasib dikecam dan dimaki oleh sementara ‘ulama’ ketika buku tentang
jilbab yang ditulisnya terbit. Apa yang dilakukan al-Albani sebenarnya hanya
menunjukkan dan mengulangi pendapat mayoritas ulama terdahulu tentang lemahnya pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Hal menarik dari al-Albani adalah penjelasannya mengenai aurat wanita.
Shihab menjelaskan bahwa menutup wajah dan tangan dianjurkan, tetapi
bukanlah sesuatu yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Seiring dengan itu, alAlbani menekankan bahwa pakaian yang dikenakan tidak boleh ketat, transparan.
Batasan yang ditekankan al-Albani adalah bahwa penting bagi wanita dalam
konteks berpakaian untuk tampil secara hormat, tidak menampakkan dari tubuhnya sesuatu yang rawan. Dan itu bukan berarti seluruh tubuh perempuan adalah aurat.
Kembali kepada Shihab, ia pun tidak menekankan bahwa jilbab bukan
merupakan kewajiban bagi perempuan muslim. Ia menekankan begini:
Kepada mereka yang telah mengenakan jilbab, penulis harapkan tidak menanggalkan jilbabnya setelah membaca pandangan yang lebih longgar – kendati dia menilai argumentasinya lebih kuat – karena betapapun, semua sepakat menghargai mereka yang berhati-hati dalam pelaksanaan ajaran agama, sedang mengenakan jilbab paling tidak – merupakan sikap kehati-hatian.65
b. Jaringan Islam Liberal
Buku kedua yang akan dibahas terkait wacana jilbab yang cenderung
berbeda dengan arus besar, yaitu bahwa jilbab tak bisa ditawar lagi, adalah yang 65
Ibid. Hal. xv.
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Buku tersebut
berjudul, Kritik Atas Jilbab yang ditulis oleh Muhammad Sa’id Al-Asyamawi. 66 Argumentasi
yang dikemukakan oleh Al-Asyamawi berbeda dengan yang
dipaparkan oleh Quraish Shihab. Tetapi sebelumnya, mari kita simak terlebih dahulu motif diterbitkannya buku yang ditulis dalam bahasa Arab ini oleh Jaringan Islam Liberal kita.
Sebagaimana layaknya sebuah buku yang diterbitkan, bagian redaksi
mempunyai otoritas untuk memberi kata pengantar. Dalam hal ini, buku ini diberi
kata sedikit catatan yang ditulis oleh editornya, Nong Darol Mahmada. Nong
langsung membuka catatan yang ia tulis dengan pertanyaan, Apa sih pentingnya Jaringan Islam Liberal (JIL) menerbitkan buku tentang hijab atau di Indonesia dikenal dengan jilbab, ini? Sebelum menjawabnya, Nong langsung pula memberi
keterangan lanjutan bahwa pertanyaan tersebut sebenarnya bersifat sangat personal karena jawabannya pasti akan sangat subyektif. Saya sangat concern dengan tema ini berawal dari pengalaman pribadi. Catatan yang diberikan oleh Nong menarik karena seakan-akan buku
tersebut diterbitkan untuk mewakili perempuan muslim seperti dirinya. Seperti apakah sosok Nong? Dan bagaimana kaitannya dengan pengalaman jilbab? Nong menjelaskan secara cukup panjang lebar bahwa ia mempunyai pengalaman tidak
mengenakan dengan jilbab. Ia diajari bahwa rambut perempuan adalah aurat. Jika
66
Muhammad Sa’id Al-Asyamawi, Kritik Atas Jilbab, 2003, Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal.
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
aurat tersebut tidak ditutup maka ia akan dibakar di neraka. Sejak saat itulah Nong mengenakan jilbab karena takut dibakar di neraka. 67
Adapun terkait dengan buku yang diterbitkan JIL yang ia editori mampu
memberikan argumentasi bahwa jilbab atau tradisi menutup rambut karena
dianggap aurat ini bukan semata ajaran Islam. Jilbab bukan sebuah kewajiban.
Dan bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in merujuk pada Al
Asymawi merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. Kira-kira demikianlah kesimpulan yang kemudian diuraikan panjang lebar dalam buku setebal 169 halaman ini. Selanjutnya,
paparan
penulisnya,
Al-Asyamawi
akan
pentingnya
pembahasan mengenai hukum jilbab. Penting untuk dicatat juga, yaitu AlAsyamawi berasal dari negara Mesir. Konteks negara seperti Mesir tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan mengenai tulisan ini karena juga berhubungan
dengan tantangan Islam politik di dalamnya, yang juga dalam turut mewarnai
wacana jilbab di Indonesia. Al-Asyamawi membuka tulisannya secara tajam langsung merujuk pada bahaya atas bercampurnya pemikiran dan retorika
keagamaan dengan warisan budaya masyarakat (folklor), yang disebutnya sebagai tradisi terbelakang, dan klise-klise murahan yang mempunyai dampak buruk bagi
pemikiran keagamaan. Tampaknya, Al-Asyamawi mengusung kemurnian retorika keagamaan alih-alih hibriditas dengan tradisi dan sebagainya. Kegelisahannya
adalah akan terjadinya konsep-konsep yang berantakan, retorika bercampur aduk
serta nilai-nilai dasar agama menjadi melemah. Kegelisahan terkuat dari AlAsyamawi adalah masyarakat akan jatuh terperosok ke dalam jurang imajinasi 67
Nong Darol, ibid. Hal v.
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan khayalan yang tak dapat membedakan antara realitas dan mitos, serta tidak mampu memilah mana kebenaran dan mana propaganda belaka.
Agaknya, kegelisahan terkuat dari Al-Asyamawi ini adalah berkaitan erat
dengan situasi politik Mesir yang seringkali mencampur aduk antara retorika
keagamaan dan kepentingan politik. Ia menyebutkan bahwa ketika politik mencampuri urusan agama, kepartaian mengintervensi urusan agama, kepartaian mengintervensi syariat, maka keduanya akan membentuk ideologi (kemazhaban) yang totaliter (diktator), lalu perlahan berubah menjadi keyakinan (dogma) yang kaku. Dalam perjalanannya menuju totalitarianisme, dan guna meliputi segala perkara, menyentuh semua unsur, merambah semua aktivitas, maka dia mesti mencampuradukkan pemikiran dengan tradisi yang berkembang dalam masryakat, menyingkat perjalanannya dengan tradisi yang usang, dan mencampurkan teksteks dengan klise-klise tertentu. Dengan begitu, perkara menjadi kabur bagi banyak orang, memusingkan. Kalau sudha begitu, tidak mudah dan tidak mungkin lagi membedakan antara pemikiran keagamaan yang genuine dengan tradisi masyarakat; antara teks-teks agama dan retorika klise .68
Selanjutnya, menurutnya mengaitkannya secara langsung dengan masalah
jilbab. Jilbab sudah jelas merupakan persoalan tercampurnya antara pemikiran
keagamaan dengan tradisi masyarakat. Sehingga, menyebabkan banyak kesulitan dalam
mengungkap
akar
masalah
dan
hakikatnya.
Sebagian
kalangan
menganggap bahwa jilbab adalah kewajiban agama, sedangkan sebagian lainnya menanggapnya sebagai slogan politik belaka tanpa studi yang memadai. 68
Ibid, hal.2.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Buku Al-Asyamawi ini, yang kegelisahannya sudah kita paparkan di atas,
diterbitkan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan argumentasi yang dijelaskan
Quraish Shihab, tampak berbeda. Quraish Shihab memberikan landasan
argumentasi dari sisi sifat Islam yang dapat menenggarai perbedaan pendapat perihal sebuah masalah. Sehingga jika dikerucutkan menjadi satu warna saja,
sebenarnya menjadi tidak mencerminkan semangat Islam lagi. Sementara itu, AlAsyamawi, menekankan argumentasi berdasarkan kemurnian antara retorika
keagamaan dan tradisi yang dapat diperalat menjadi sekadar kepentingan politis. Kedua buku dengan argumentasi yang berbeda ini, bagi saya, sebenarnya dapat
memberikan peluang bagi pengguna jilbab untuk memilih posisi dirinya. Dalam
hal ini, tidak semata-mata apakah jilbab menjadi sebuah kewajiban bagi saya atau bukan. Tetapi mengambil jilbab bagi perjalanan diri secara personal. Mengapa?
karena jilbab bagi kita dapat benar-benar menjadi milik, entah itu dikenakan atau
tidak. Semuanya bergantung perjalanan diri, sejauh mana jilbab menjadi bagian dari hidup kita. Tetapi hal tersebut dapat memungkinkan terjadi sejauh para pemilik otoritas hukum dapat bersikap bijaksana, dengan cara tidak memaksakan sebuah hukum sedemikian saja.
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III JILBAB: LOKUS PENGOLAHAN DIRI SAYA DAN MEREKA A. JILBABKU
1. Wacana
Akan kuceritakan kepadamu perjalanan sehelai kain yang biasa diletakkan
di kepala perempuan muslim yang biasa disebut ‘jilbab’. Bersama dengan jilbab,
akan terdedahkan pula semesta bernama tubuh perempuan. Ya, tentu saja karena jilbab pada dasarnya adalah untuk menutupi tubuh. Di manapun konteksnya,
bukan hanya aku yang mengenakan jilbab tetapi banyak perempuan lainnya, tua,
muda ataupun anak-anak. Dalam beragam latar belakang, pilihan gaya, atau
konsistensi penggunaan jilbab pada kami, jilbab tidak pernah menjadi sematamata urusan personal. Selalu saja ada saatnya jilbab merupakan urusan banyak orang, baik perempuan ataupun laki-laki. Mereka ikut terlibat dalam dunia jilbab
dengan berbagai alasan, mulai dari sekadar berkomentar secara ringan dalam
keseharian, tetapi juga banyak yang ikut merumuskan konsepnya secara ketat atas nama syariat Islam seraya menghubungkannya dengan moralitas yang harus kami
jaga. Tak ketinggalan ada pula yang antusias mencipta kepantasan jilbab secara estetis. Mereka adalah para perancang busana yang tergiur dengan popularitas
jilbab yang semakin kuat. Selain mereka semua, tentu saja ada orang-orang yang bersemangat mengamati jilbab sebagai objek penelitian.
Inilah aku. Seorang mahasiswi yang sungguh bersemangat meneliti jilbab
yang telah akrab dengan tubuh dan pikirannya sejak dua puluh tahun yang lalu. 87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mari kumulai dari pengalamanku sendiri. Aku tak akan sendirian di sini. Akan
kuhadirkan perempuan-perempuan yang kuajak berdialog mengenai jilbab. Bagiku sendiri, jilbab dalam kurun waktu sekian tahun tidaklah pernah bermakna sama.
Maknanya terus-menerus terumuskan seiring dengan dinamika pengalaman yang berbeda karena jilbab tidak pernah menjadi sebuah pengalaman yang statis. Apakah bagi para perempuan lainnya pun demikian? a. Mira sebagai Pembawa Wacana Perkenalanku dengan jilbab baik sebagai wacana maupun sebagai praktik
dimulai sejak kecil, sekitar tahun 80-an ketika aku duduk di sekolah dasar. Adalah
Mira, bukan seorang nabi yang turun ke bumi untuk meluruskan akhlak umatnya. Mira adalah gadis kecil berambut lurus, parasnya elok sehingga menarik perhatian
banyak teman, baik perempuan maupun lelaki. Dia juga cukup disegani karena
kepandaiannya. Hubunganku dengan Mira sebenarnya tidak terlalu dekat. Kami bergaul biasa saja. Tetapi tiba-tiba pada saat istirahat sekolah, Mira seperti tengah membawa sebuah “Ayat” kepadaku. Mira membawa “ayat” dengan diawali sebuah pertanyaan yang menggugat, “Tau gak kamu, jilbab itu gak wajib. Ibuku yang
bilang begitu. Al-Qur’an ga nyebutin kalau kita harus pake jilbab.” “Ayat” yang
dibawa oleh Mira khusus kepadaku itu terngiang-ngiang hingga berhari-hari. Ini adalah salah satu percakapan paling pribadi bersama Mira. Biasanya, di waktu
istirahat, tidak hanya aku, tetapi empat anak perempuan lainnya sering berbincang-bincang bersama. Kami bergerombol untuk sekadar jajan di waktu istirahat lalu duduk-duduk di tepi lapangan sambil bercengkrama. Terkadang kami
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
juga duduk-duduk di bawah pohon yang rindang, menjadikan akarnya yang tebal dan kuat sebagai pengganti kursi.
Aku tidak terlalu ingat reaksiku terhadap gugatan Mira soal jilbab yang tiba-
tiba itu. Sepertinya bahan obrolan yang menjadi penghubung aku bersama temanteman sekolah tidak mudah dicerna saat itu. Gugatan Mira soal jilbab adalah salah satu bahan pembicaraan yang tidak mudah beres dalam sekali waktu. Misalnya,
sempat juga kami membahas tentang dosa Nabi Adam. Aku tidak ingat siapa yang memulai percakapan seperti ini, “Tahu gak? Andai Nabi Adam tidak memakan
buah Khuldi, dunia ini gakan ada loh?!” Aku hanya mengingat bahwa “perbuatan”
Nabi Adam yang memakan buah Khuldi itu sungguh mengecewakan karena membuatku merasai derita hidup.
Dari segala macam bahan obrolan bergulir ketika kami sedang bersama,
salah satu yang paling meresahkan adalah soal jilbab. Setelah dikagetkan Mira soal
jilbab, saat tiba di rumah aku langsung mengambil Al-Qur’an berwarna merah
kepunyaan ibuku, yang juga menjadi Al-Qur’an satu-satunya di rumah. Al-Qur’an merah ini memang sangat identik dengan ibu karena ia adalah sosok pertama yang memperkenalkan Al-Qur’an di keluargaku. Setiap habis shalat Maghrib, ibu selalu menunggu lima anaknya di ruang tengah untuk mengajari mengaji. Bagi ibu,
belajar mengaji di Madrasah belakang rumah tidaklah cukup. Al-Qur’an versi dua bahasa, Arab dan Indonesia itu kubuka. Mataku mencari-cari ayat Al-Qur’an yang dimaksud oleh Mira, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 33. Ketika kubaca, memang tak kutemukan
pernyataan
langsung
yang
menyeru
agar
para
perempuan
mengenakan jilbab. Kubayangkan bahwa ayat tersebut akan secara gamblang 89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkata, “Wahai perempuan, tutuplah kepalamu dengan jilbab!” Aku memang tidak menemukan ayat sejelas yang kubayangkan.
Ketika aku memeriksa Al-Qur’an, ibu tengah berada di dapur. Karena sosok
ibu dekat dengan Al-Qur’an maka aku mencari ibu untuk bertanya perihal ayat jilbab yang Mira singgung. Tetapi ketika kuceritakan pernyataan Mira, soal jilbab,
ibu hanya berkata, “Jilbab tidak wajib? Masa iya?” Tetapi ibuku juga tidak
mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sesekali berdandan sangat rapi, mengenakan seragam berwarna ungu muda,
rambut disasak ke atas, mengenakan sepatu hak tinggi jika sedang ada pertemuan
ibu Dharma Wanita di kantor bapak yang seorang Pegawai Negeri Sipil. Saat itu ibuku pun tidak mengikuti perkumpulan pengajian manapun, sehingga tidak
pernah kutemukan ibuku mengenakan jilbab atau sekadar menyampirkan kerudung di kepalanya.
Peristiwa bersama Mira itu terjadi pada tahun 80-an. Dalam keseharian di
masa itu, sulit sekali menemukan perempuan yang mengenakan jilbab rapat, yaitu
sehelai kain yang dilipat dan disambungkan dengan menggunakan peniti agar
rambut maupun leher tidak tampak. Di sekolah, guru agamaku adalah seorang lakilaki. Tak pernah sekalipun digantikan oleh guru perempuan berjilbab rapat. Sementara di masjd kecil atau madrasah belakang rumah yang berafiliasi dengan organisasi Persis (Persatuan Islam), aku hanya bisa menemukan salah satu guru
mengajiku yang mengenakan jilbab rapat. Itu pun jilbab dikenakan saat ia mengajar mengaji saja, diluar jam mengajar ia tidak mengenakan jilbab. Adapun
perempuan yang mengenakan kerudung berupa selendang lebih mudah kutemukan. Biasanya perempuan yang berusia senja yang mengenakannya. 90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Misalnya nenek atau uyutku. Hampir tidak pernah kutemukan perempuan muda
yang mengenakan kerudung berupa selendang seperti itu dalam aktivitas seharihari.
Langkanya perempuan yang mengenakan jilbab rapat membuatku tidak
mudah mengelak dari pernyataan Mira bahwa jilbab tidak wajib bagi perempuan Muslim. Jika jilbab adalah cara menutup aurat yang harus dilaksanakan oleh
perempuan Muslim, mengapa jarang ada perempuan yang mengenakannya? Prof.
Dr. Zakiah Darajat adalah seorang pemuka Islam perempuan yang kuingat
sosoknya. Ia pun mengenakan kerudung selendang seperti halnya nenek atau uyutku. Jangan-jangan Mira benar, bahwa jilbab memang tidak wajib, demikian kesimpulanku saat itu.
b. Guru Mengaji Pembawa Isu “Jilbab Membuat Kita Cantik” Meski ibuku yang pertama kali mengajarkan membaca Al-Qur’an, shaum
serta shalat, ia tidak mengajariku cara menutup aurat perempuan yang secara
khusus dikaitkan dengan Islam. Tidak ada aturan khusus yang begitu ditekankan
terhadap tubuhku yang perempuan. Walaupun demikian, bukan berarti aku mau
seenaknya sendiri dalam berpakaian. Meskipun aku masih anak-anak, aku tidak suka mengenakan pakaian minim. Jika kebetulan ibu menjahit pakaian untukku
dengan model yang agak minim, aku cenderung rikuh mengenakannya. Tetapi karena kusaksikan sendiri usaha ibu untuk menjahit pakaian untukku, aku tidak
tega jika tidak mengenakannya. Aku tidak mau membuat ibu kecewa. Misalnya, dengan menahan rasa risih dan malu aku akan mengenakan sebuah rok pendek 91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
buatan ibu untuk bermain. Jika ada tetangga yang memuji keindahan pakaian yang dibuat ibu, aku ikut bangga karena ibu pandai menjahit.
Selama beberapa waktu, pertanyaanku soal kewajiban berjilbab belum
terjawab. Tetapi jika aku mengaji, pakaian yang kukenakan selalu rapi dan
tertutup. Ibuku yang membuat seragam mengaji berupa gamis panjang berwarna hijau daun. Gamis sederhana tapi cantik itu selalu kubanggakan karena aku
nyaman mengenakannya. Tidak risih seperti ketika mengenakan rok kependekan.
Sebagai jilbab, kain Paris berwarna putih, yang biasanya dibawa dari Mekkah sebagai oleh-oleh orang berhaji adalah kain yang menjadi andalanku. Jika kain Paris berwarna putih bersih ini kukenakan, aku merasa wajahku semakin bersinar.
Kain berbentuk segi empat yang halus itu akan kulipat menjadi bentuk segitiga. Lalu kupertemukan kedua ujung kain paris yang sudah berbentuk segitiga itu di leher dengan mengikatnya menggunakan peniti. Salah satu ujungnya kutarik ke
salah satu samping dan disematkan bros cantik hadiah dari sabun mandi Lux.
Salah satu guru mengajiku di Madrasah belakang rumah, Teh Siti, sekali waktu memberikan pujian kepadaku. “Ehhh Ani, cantik ya kalau pakai jilbab.” Aku
tersenyum mendengar pujiannya. Pikiranku melayang jauh ke depan. Aku bercitacita mengenakan jilbab di saat dewasa nanti. c. Tubuh yang Tengah Tumbuh Usia 6 hingga 12 tahun, yang berarti masa aku duduk di sekolah dasar dan
madrasah adalah masa yang sangat penting bagiku. Masa tersebut merupakan
awal mula pembentukan cara pandangku terhadap tubuh sebagai anak perempuan. Tubuh perempuan dalam masa perkembangan seperti mengandung 92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
banyak bunga yang bermerkaran. Bentuk tubuh yang semula lurus, mekar meliuk
menjadi pinggang. Dada yang rata memekarkan bunga secara perlahan yang
dinamakan payudara. Bunga-bunga yang bermekaran di tubuhku membuatku mengalami perjalanan yang tidak selalu indah, malah lebih banyak kesulitannya.
Pengalaman demi pengalaman yang berhubungan dengan bermekarannya bunga di tubuhku pun dimulai.
Anak perempuan yang bunganya tengah bermekaran mengundang tangan-
tangan jahil. Suatu saat kudapati Mira tengah menangis tersedu-sedu akibat diperlakukan tak senonoh oleh anak laki-laki sekolah sebelah. Ia mengaku
payudaranya diremas secara brutal oleh anak-anak jahil yang lewat di sekolah kami. Anak-anak lelaki yang beda sekolah rupanya tak tahan untuk berbuat jahil melihat anak perempuan yang tengah tumbuh. Terbitlah rasa kasihanku pada Mira yang menjadi korban kenakalan anak-anak yang tak tahu diri itu. Aku ikut marah dan sedih seperti Mira.
Tak berapa lama dari kejadian tersebut, siapa nyana jika aku pun akan
menjadi korban dari kenakalan anak-anak yang ternyata jumlahnya tak hanya satu. Sepulang dari kegiatan pramuka, seperti biasanya, aku berjalan kaki bersama
sahabatku menuju rumah. Kami bercengkrama dengan riangnya meskipun badan lelah sehabis latihan pramuka. Di saat kami asyik bercerita, tanpa kusadari,
segerombolan anak laki-laki muncul di belakangku. Satu per satu dari mereka tibatiba menangkapku dari belakang, memeluk secara kasar. Tubuhku yang masih
berkeringat sehabis latihan pramuka menjadi sasaran kenakalan anak laki-laki. Dadaku sesak, oleh cengkraman tangannya dan juga oleh amarah. Aku menjerit 93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
marah. Anak-anak lelaki itu buru-buru melepaskan pelukannya. Mereka lalu berlarian sambil tertawa-tawa penuh senang.
Kejadian yang memalukan dan menyakitkan itu berlangsung hanya
beberapa meter dari rumahku! Sahabatku pun tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya melongo dan kemudian berusaha menyabarkanku. Air mata turun deras hingga
aku tiba di rumah. Begitu aku membuka pintu rumah, tangisku meledak. Aki, bapak
dari ibuku yang kebetulan tengah bertandang dari Garut buru-buru memelukku.
“Kunaon, Nyi?” (Kenapa, Nyi?) tanyanya. Aku tidak dapat berkata-kata apa pun. Aku hanya bisa menangis di hadapan Aki.
Tubuh yang tengah tumbuh seperti sumber teror bagi masa kanak-kanakku.
Tidak ada yang dapat menghindarkan diri dari proses alamiah semacam itu.
Dengan demikian tumbuh pula sindrom paranoid terhadap segala bentuk
sentuhan dan tatapan laki-laki. Tentang sentuhan laki-laki, aku mencurigai ketika guru mengaji mendekat. Tentang tatapan laki-laki, tak peduli apakah ia ayah, guru les, atau kakak laki-lakiku amatlah terasa mengganggu! Sindrom paranoid itu
muncul akibat pengalaman tidak menyenangkan seputar tubuh. Saat itu anak-anak lelaki, maupun dewasa sepertinya tidak paham bahwa perbuatannya yang tidak
senonoh akan menggali bekas yang tidak mudah dihapuskan dari ingatan. Sosok
guru agama di sekolah pun bahkan tidak menolong sama sekali. Sesekali
berkelebat ingatan menyebalkan tentang guru agamaku itu dengan tatapan matanya yang nakal bertanya, “Udah punya pacar belum?” Bukan pertanyaannya
yang membuatku sebal. Tetapi sindrom paranoidku yang membuatnya tampak begitu mengerikan. Selalu saja kubayangkan bahwa dia berniat buruk terhadapku. 94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam imajinasi kanak-kanakku, sosok guru agama atau mengaji di
madrasah menjadi sosok yang tidak aman bagiku. Citra guru agama di sekolah yang suka menggoda sungguh menjijikkan. Di madrasah, jika kebetulan Ibu Siti
berhalangan hadir ia akan digantikan oleh guru laki-laki yang usianya lebih muda daripada ibu Siti. Guru lelaki itu tidak hanya mengajarkan mengaji tetapi juga cara
menggunakan alat musik Tagoni. Caranya mengajar dengan cara memelukku dari
belakang sungguh tidak mengenakan. Bahkan aku jijik dibuatnya. Wajahnya akan segera kusandingkan dengan sederet anak-anak lelaki yang jahil.
Tubuh terus tumbuh, demikian pula ketakutan dan kecurigaanku pada laki-
laki. Semakin tumbuh dadaku, semakin aku takut dan curiga. Teman sepermainan
yang tak selalu dikenal dengan baik oleh orang tuaku membuatku mengalami halhal yang semakin membuatku tumbuh menjadi anak perempuan penuh curiga.
Anak laki-laki seringkali kucurigai selalu mencari-cari kesempatan untuk memperdayaiku, baik sekadar colek-colek maupun bertindak lebih kurang ajar. d. (Awalnya) Jilbab sebagai Penangkal Saat aku duduk di sekolah menengah pertama di tahun 90-an, pengalaman
dilecehkan masih teralami sehingga menimbulkan trauma. Pengalaman tidak
mengenakan semacam itu cenderung merebut harga diri. Pelecehan itu biasanya terjadi di ruang-ruang umum. Misalnya di jalanan, atau alat transportasi umum. Seingatku, aku hanya pernah satu kali berani bicara kepada ibuku. Waktu itu aku
masih duduk di sekolah menengah pertama. Seorang bapak menyentuh dadaku di angkutan umum. Aku geram hingga turun di tengah jalan. Aku katakan pada ibu bahwa aku ingin melaporkannya ke radio yang biasa kami dengarkan, yaitu radio 95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mara. Di radio Mara terdapat acara yang menyangkut kepentingan warga Bandung. Tetapi niat itu batal. Salah satu penyebabnya adalah kami belum memasang
telepon di rumah. Ibuku lalu tenggelam kembali dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga. Sementara aku berusaha melupakannya.
Akibat pelecehan yang dialami, saat remaja aku menjadi rikuh terhadap
tubuhku sendiri. Memang ada saat-saat manis ketika aku mengagumi bertumbuh dan berkembangnya tubuh menjadi sedemikian rupa. Tetapi sebegitu muncul
ingatan pelecehan maka aku cenderung ingin mengingkari tubuh. Tubuh di masa
sekolah menengah atas, meski tidak secara sempurna, telah menampakkan bentuk yang ideal sebagai seorang perempuan muda. Payudaraku cukup berisi,
pinggangku sudah berlekuk. Aku mulai rikuh jika berada di antara tatapan matamata lelaki. Rasa rikuh itu seakan hendak melenyapkan keseluruhan tubuhku lalu menyisakan sebatas wajah saja. Jika aku tertarik pada seorang lelaki di sekolah
atau di rumah, aku hanya ingin mereka jatuh hati pada wajahku, bukan pada tubuhku karena kurasa tubuh perempuan adalah sebagai sumber dosa, sumber dari masalah. Persepsiku terhadap tubuh telah rusak akibat pelecehan yang terjadi berulang kali tersebut.
Karena aku rikuh pada tubuhku sendiri, pilihan sekolah selepas SMP pun
menjadi dilema. Aku tahu tubuhku masih akan terus berkembang. Dadaku masih
akan tumbuh, pinggangku masih akan terus mencari lekuknya yang sempurna. Jika kubayangkan masa SMU dengan mengenakan pakaian seragam, aku bergidik sendiri. Telah kubayangkan aku akan menjadi seorang perempuan muda yang
membungkuk demi menyembunyikan dada yang mekar itu. Gambaran kakak
perempuanku yang bersekolah di sekolah muslim, yang seragam sehari-harinya 96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yaitu kemeja panjang, rok semata kaki, dilengkapi dengan jilbab putih segera
memberiku inspirasi. Padahal aku sudah mendaftar di sekolah lain. Dihantui oleh bayangan aku mengenakan seragam serba pendek sambil membungkukkan
punggung demi menyembunyikan dada yang mekar itulah yang mendorongku mengganti pilihan sekolah!
Ketidakpastian adalah salah satu hantu yang menakutkanku. Contoh
ketidakpastian itu adalah trend atau mode di kalangan anak muda. Entah itu trend sepatu, jam tangan, pakaian, model rambut, apa pun. Aku merasa yakin jilbab yang
dijadikan sebagai seragam sekolah akan menangkal kemungkinan bergantigantinya mode. Kupikir jilbab identik dengan konsistensi dan kesederhanaan. Saat sekolah di mana jilbab menjadi seragam, ternyata pemikiranku tidak benar. Sekolah yang kupilih ini adalah salah satu sekolah swasta yang banyak “dihuni”
oleh anak-anak pengusaha yang memungkinkan mereka bisa tampil berbeda daripada siswi kebanyakan, misalnya jenis jilbab atau kain sebagai seragam yang
kualitasnya berbeda-beda. Meskipun jilbab yang dikenakan sama-sama berwarna putih, tetapi kualitas yang dikenakan tidaklah sama. Jilbab yang halus serta
memiliki hiasan-hiasan bordir di sampingnya menjadi tren saat itu. Pemikiranku tentang konsistensi dan kesederhanaan dalam jilbab tidaklah benar dan di luar perkiraan.
Sensasi pertama ketika aku mulai memasuki sekolah dengan mengenakan
seragam dilengkapi jilbab adalah sakit kepala. Sakit kepala yang disebabkan oleh tekanan penahan rambut yang saat itu berbentuk semacam topi rajut atau disebut ciput. Bahannya yang terbuat dari rajutan wol terasa tidak nyaman di kepalaku.
Aku berusaha untuk bertahan dengan mengenakan penahan rambut dan jilbab 97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang sangat tidak nyaman itu. Kupikir, beginilah memang rasanya jika berjilbab. Sebegitu aku sampai di rumah, pada tengah hari yang cukup terik, aku akan segera
melepaskan jilbabku dan membuka ikatan rambutku lalu pelipisku kuberi
tempelan penghangat yang bernama Koyo. Jika belum sembuh juga, aku punya resep pilihan untuk mengobatinya. Biasanya ada dua pilihan: antara meminum teh
manis panas atau kopi hitam panas. Di hari-hari berikutnya, demi menghindari sakit kepala, penahan rambut yang kupakai semakin minim. Semula yang berupa topi rajut atau ciput, berubah menjadi sapu tangan tipis, lalu berganti menjadi bandana sederhana saja.
Mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah, meskipun
seringkali menimbulkan sakit kepala tetap menyenangkan. Kau bisa bayangkan ketika seluruh murid perempuan keluar dari kelas saat jam pelajaran telah usai.
Lautan jilbab putih, meminjam istilah Emha Ainun Najib, bergerak ke arah yang sama yaitu gerbang sekolah. Di sekolah negeri khususnya, pemandangan murid perempuan mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam tidak bisa ditemukan.
Kudengar malahan beberapa murid baru masuk ke sekolahku akibat dikeluarkan
dari sekolahnya yang melarang mereka berjilbab. Kupikir, sekolahku ini tempat
“pembuangan” murid perempuan yang membandel. Kebandelan yang ganjil, hanya karena ingin mengenakan jilbab putih sebagai bagian dari seragam sekolah.
Jilbab yang saat itu didominasi warna putih saat dipopulerkan oleh siswi
sekolah sebagai seragam itu terasa heroik. Kesan heroik lebih terasa saat teman kenalan dari sekolah negeri menceritakan pengalamannya. Di sekolahku, termasuk
bagiku sendiri, jilbab dikenakan sebagai bagian dari seragam setiap hari. Begitu
jam sekolah usai malah ada saja yang melepaskannya karena menganggapnya 98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebatas bagian dari seragam sekolah. Sementara itu, murid dari sekolah negeri justru berkebalikan dengan siswi yang menjadikan jilbab sebatas bagian dari
seragam sekolah. Setiap angkatan, ada saja murid baru yang berasal dari sekolah
negeri. Mereka adalah yang mempertahankan jilbab hingga dikeluarkan dari sekolah
lalu
masuk
mempertahankan jilbab.
ke
sekolahku
sebagai
“tempat
pelarian”
untuk
Perlakuanku terhadap jilbab yang terkadang dibuka dan lepas, tak
kusangka akan menjadi bahan olok-olok teman sekolah laki-laki yang kebetulan tetanggaku. Lagi-lagi anak laki-laki membuat hari-hariku tak menyenangkan. Lelaki, di manapun berada, entah di sekolah, entah di angkutan umum, entah
tetanggaku, mereka mempunyai mulut yang usil. Padahal jika aku tengah mengenakan jilbab di perjalanan sepulang sekolah, sapaan “ninja” bukanlah hal yang aneh. Mengapa mereka begitu perhatian terhadap jilbab yang dikenakan
perempuan? Oh, jikapun jilbab dilepas-pakai mereka tetap tak bisa tutup mulut.
Aku belum pernah mengalami ada perempuan yang meledek hanya karena terdapat jilbab di kepala seorang perempuan lainnya, apalagi menjulukinya ‘Ninja’.
Di kelas dua SMU, aku belajar untuk konsisten mengenakannya. Konsep
tentang melaksanakan Islam secara kaffah (sempurna) sering kudengar. Aku tidak begitu ingat siapa yang secara langsung membahasakan tentang Islam kaffah ini.
Ada semacam pemahaman bahwa kesempurnaan seorang perempuan Muslim adalah dengan mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Di sekolah dan Masjid
Salman, seruan yang merujuk langsung Al-Qur’an kudapatkan. Perdebatan apakah jilbab wajib ataukah tidak, atau sekadar mempertanyakan tafsir atas ayat yang 99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
biasanya dirujuk sudah jarang kudengar saat itu. Penekanan lebih kepada: laksanakan atau tidak kaffah.
Pemandangan sosok senior-senior perempuan entah di sekolah, entah di
tempatku mengaji, yang mengenakan jilbab begitu rapih begitu mempesona. Selain
karena melihat sosok-sosok yang secara takzim mengenakan jilbab, tidak ada paksaan secara eksplisit kepadaku untuk mengenakan jilbab. Aku menyikapi
hadirnya seruan untuk berjilbab pun lebih untuk menguatkanku dalam
mengenakan jilab secara lebih konsisten. Toh aku memilih sekolah Islam ini agar aku mengenakan jilbab. Meski landasanku mengenakan jilbab dikuatkan oleh latar
belakang pengalaman buruk terhadap tubuh, semangat mengimaninya sebagai bagian dari Islam yang kaffah mulai tersimpan di kepalaku. Meskipun demikian, aku memperlakukan jilbab secara khusus hanya untuk diriku sendiri. Aku nyaris
tidak pernah “menularkan” semangat berjilbab ini kepada teman-teman yang belum berjilbab.
Penampilan baru, yaitu mengenakan jilbab selain ke sekolah, berarti
pakaian baru. Jika sebelumnya aktivitas di luar sekolah yang mengenakan jilbab
adalah pengajian di masjid Kampus ITB, kini mulai hari Senin-Minggu harus
mengenakan jilbab. Hari pertama ketika kukenakan jilbab sehari-hari, bapakku-lah yang pertama bereaksi. Reaksi yang tidak terlampau keras, seperti melarang misalnya, tetapi sebatas heran. Bapak heran karena aku mengenakan jilbab di usia
yang menurutnya terlalu muda. Karena ia tidak melarangku, aku berusaha untuk yakin dengan jilbabku.
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Aku sendiri memang mengikuti acara keagamaan di tempat yang relatif
“aman” dari gerakan Islam politis, seperti NII misalnya. Kuikuti kegiatan di masjid
kampus ITB semata untuk mengisi hari libur dan menambah kawan. Oleh karenanya, aku tidak pernah mengalami “transformasi” cara berpakaian dari pakaian potongan menjadi gamis, misalnya. Aku merasa tidak pernah tertarik.
Bagiku jilbab yang kukenakan sudah cukup menutupi tubuh. Malah aku membeli
jilbab dan pakaian panjang untuk sehari-hariku dari uang hasil undian PORKAS yang dimenangkan oleh bapakku.
e. Mengapa Tuhan Menciptakan Tubuh yang Berbeda? Masjid Salman ITB adalah tempat yang asri. Para perempuan muda
seusiaku berkumpul di tamannya yang berumput. Hampir tidak pernah dibahas soal pergerakan anak-anak muda yang terkait politik di kelompok mengaji ini. Pemandu yang biasa disebut Teteh Mentor adalah mahasiswi Jurusan Biologi ITB.
Sepertinya bukan hanya aku yang tengah gelisah dengan kebertubuhan. Tetapi kawan-kawan yang berasal dari sekolah lain pun demikian. Kami tidak hanya
membahas materi wajib yang sudah ditetapkan. Ada saja pertanyaan seputar tubuh perempuan, terutama bila kebetulan materi yang tengah dibahas adalah
tentang bersuci (thaharah). Seorang kawan berani bertanya tentang isu seputar keperawanan misalnya. Teteh Mentor pun menjelaskan secara biologis.
Hingga lepas SMU aku masih terus mengikuti acara pengajian khusus untuk
anak sekolah itu. Ada kesadaran bahwa aku tidak ingin terlibat kedalam masa
muda yang hura-hura. Aku lebih nyaman duduk-duduk di taman bersama kawankawan, sambil malu-malu bertanya soal-soal biologi perempuan. Setelah lulus SMU 101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
aku tidak melanjutkan kegiatan pengajian tersebut. Praktis aku tak lagi punya wadah untuk berbincang soal seputar agama maupun soal keperempuanan.
Aku meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi di sebuah kota pinggiran,
Jatinangor. Untuk menuju ke sana dibutuhkan waktu sekitar satu jam dengan
menggunakan bis kota. Rambutku yang sejak kecil selalu mencapai pinggang telah naik ke atas bahu. Aku telah memotongnya pendek karena alasan kesehatan. Aktivitas kuliah yang lebih berat di perjalanan telah membuat kepalaku semakin
sering terbebani. Agar beban itu berkurang akhirnya aku memotong rambut hingga pendek.
Penampilanku jika pergi ke kampus, menurutku, jauh dari seksi. Karena
ibuku jarang memberikan uang untuk membeli pakaian sehingga pakaian kuliahku
sangat terbatas. Malah aku sering meminjam kemeja kakak laki-lakiku yang kebetulan modelnya panjang, serta berwarna cerah seperti salem atau biru muda.
Bayangkanlah aku mengenakan kemeja laki-laki yang serba gombrong lalu dipadankan dengan jilbab yang menutup dada. Aku memang merasa nyaman juga
mengenakan pakaian laki-laki. Tak ada lekuk-lekuk berlebihan di bagian pinggang
misalnya. Kemeja gombrong laki-laki itu seperti melindungi bagian-bagian tubuhku dari rasa rikuh karena tatapan mata yang tidak kuinginkan.
Tetapi meskipun secara sadar aku merasa telah menyembunyikan tubuhku
kedalam pakaian laki-laki ternyata aku tak sepenuhnya terhindar dari ketakutan akan imajinasi laki-laki. Di pagi hari yang agak panas, begitu aku aku tiba di kelas seorang teman laki-laki sekelasku mendekat. “Ani bisakah kita bicara sebentar?”
Aku tidak pernah akrab dengan temanku ini. Di pelataran kelas kami berbincang, 102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengarah ke pembicaraan yang serius, entah kenapa. “Ani, aku minta maaf ya.”
Laki-laki ini mulai terbata-bata berbicara. Kacamatanya berkali-kali tak perlu dibetulkan tetapi selalu disentuhnya. “Kenapa memangnya, kenapa kamu minta
maaf?” Aku mulai kesal dengan tingkahnya yang serba salah dan serba tidak jelas.
“Aku betul-betul tidak menyengajanya. Aku semalam mimpi tentang kamu. Aku betul-betul minta maaf.” Aku hanya bengong mendengarkan penjelasannya. Mimpi
apa? Mengapa dia meminta maaf untuk mimpi yang jelas bukan keinginannya?
Agak lambat aku memahaminya hingga kemudian tiba-tiba darahku berdesir naik lebih cepat. Benarkah apa yang kudengarkan ini? Apakah yang dia maksudkan
adalah mimpi basah? Dan mengapa harus diceritakan serta meminta maaf kepadaku? Mukaku seketika itu juga mengeras. Aku mulai berdiri dan angkat
bicara, “Mimpi begitu kok kamu ceritakan sih?” Laki-laki ini tiba-tiba seperti berubah menjadi lelaki kodok yang menjijikkan. Ketika aku hendak beranjak pergi dia menahanku. Aku tambah murka. Suasana tak dapat ditolerir lagi. Aku
membanting tasku di hadapannya dan berlari meninggalkannya. Seorang sahabatku memergoki adegan tersebut. Di hadapan sahabatku tampak air mataku berlelehan.
Airmata yang keluar dari mataku bukan semata karena rasa harga diri yang
terkoyak. Tetapi itulah airmata yang keluar karena ketidakpahaman akan yang bernama “aurat”. Dalam sebuah pertemuan pengajian di masa SMU itu, sempat
dibahas soal jilbab dan mata lelaki. Teteh mentor bercerita tentang kawan sesama mentor yang mempunyai pengalaman unik dengan jilbab. Kawan Teteh mentorku membagi
pengalamannya
ketika
memandang
seorang
perempuan
yang
mengenakan jilbab panjang dan lebar. Perempuan itu tengah menyebrangi jalan di 103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
depan Mal di pusat kota. Saat ia menyebrang jalan, jilbabnya berkibar-kibar kena hembusan angin. Sang lelaki mengisahkan pengalaman memandang itu sebagai sebuah keindahan fisikal. Kami di pengajin tersebut membincangkan adegan lelaki
yang memandang keindahan jilbab yang berkibar-kibar itu sebagai adegan yang tidak cukup pantas. Teteh Mentorku kuingat berkata, “Jadi, meski mengenakan jilbab panjang lebar, kita tetap indah sebagai perempuan!”
Aku merasa ada yang salah ketika kawan sekelasku di kampus bercerita
tentang mimpi basahnya, demikian pula dengan lelaki yang memandang indah jilbab yang berkibar tersapu hembusan angin. Aku heran sendiri, “Ada apa dengan
tubuh perempuan? Dan ada apa dengan mata lelaki? Mengapa tubuh perempuan
harus ditutupi sedemikian rupa tetapi mata lelaki sepertinya memandang kami seperti manusia transparan?” Pada saat yang bersamaan, salah satu kawanku
melepas jilbabnya. Aku tanya dia alasannya. Kawanku menjelaskan bahwa ia lelah jika tubuhnya dikenai ideologi tertentu terus menerus. Jilbab baginya mengandung
ideologi tertentu. Aku bisa saja melakukan hal yang serupa dengannya. Tetapi aku
tidak melakukannya. Aku merasa mengalami kemunduran jika aku yang
melakukannya. Seharusnya laki-laki itu yang mengatur mata imajinasinya, bukan
aku yang harus repot mempertanyakan diri sendiri apalagi harus sampai melepas
jilbab. Tetapi kegelisahan tidak selesai sampai di situ, sampai-sampai aku bolos kuliah berminggu-minggu.
Masa ketika diganggu oleh bayangan menyebalkan kawan kuliahku itu, tiba-
tiba bermunculan kembali pula pengalaman-pengalaman buruk dilecehkan di transportasi umum yang terjadi meski aku telah mengenakan jilbab. Sehelai kain bernama jilbab itu rontok maknanya seperti rontoknya helai demi helai rambut. 104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lintasan pikiran untuk melepaskan jilbab tidak bisa hilang begitu saja. Tetapi akhirnya aku lebih memilih membiasakan diri dengan makna jilbab yang porak
poranda itu. Di dalam hati aku bertekad untuk merangkai makna jilbab secara baru. Aku merasa harus memperbaharui makna jilbabku selama ini, yang masih sekadar untuk menutupi tubuh dari mata lelaki.
Tinggal di dalam sebuah bangunan yang sudah porak poranda tidaklah
menenangkan. Bangunan makna jilbab yang kubangun sejak bertemu dengan Mira
teman SD-ku tak lagi berada di tempatnya. Jika Mira mengatakan bahwa jilbab
tidak wajib, aku memilih memahami sebaliknya. Jilbab wajib kukenakan sejauh aku memilihnya. Oleh karena itu, aku nyaris tidak pernah menyarankan seorang
sahabat perempuan yang tidak berjilbab misalnya, untuk ikut berpakaian
sepertiku. Semasa kuliah, pada satu saat hampir setiap bulan teman perempuan di kelasku mengenakan jilbab. Aku menanggapinya biasa saja. Terkadang terlalu
biasa malah. Jika tidak ikut-ikutan teman yang lain memberikan ucapan selamat
atas penampilan barunya, aku tidak akan melakukannya. Tetapi jilbab yang kukenakan sendiri haruslah punya makna pribadi.
f. Rehabilitasi Sosok Laki-Laki (era 1990-2000) Di saat situasi politik negeri gonjang-ganjing, saat singgasana ‘Bapak
Bangsa’ yaitu Suharto sedang goyah, aku justru dipertemukan dengan sosok lakilaki yang menyejukkan hati. Pertemuan itu dihantarkan oleh perkenalanku dengan pengalaman berdzikir di Tarikat Naqsabandiah di Tasikmalaya. Pengalaman yang awalnya terasa ambigu karena di satu sisi aku merasa dijauhkan dari diri sendiri,
dari perasaan yang ada di dalam diri melalui zikir. Tetapi di saat yang bersamaan 105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
aku juga merasa dihantarkanku pada pengalaman akan diri yang lebih dalam. Diri
yang terkadang berusaha dipinggirkan, enggan untuk diketahui teksturnya, serta
muatan-muatan di dalamnya mulai mengemuka. Perjalanan ke dunia tarikat yang hanya memakan beberapa hari saja itu seperti perahu yang membawaku mengarungi diri sendiri.
Tiba saatnya aku bertemu dengan Abah Anom. Pertemuan itu bukan
pertemuan privat yang memungkinkanku memperoleh wejangan khusus darinya. Tetapi aku belajar melihat sosok laki-laki secara berbeda. Abah Anom adalah seorang laki-laki berusia senja, memiliki kharisma yang menarik perhatian banyak
orang serta dihormati. Aku mulai belajar melihat laki-laki yang ‘kuasanya’ bukan sebatas kuasa yang mendominasi tetapi justru menyejukkan. Berikutnya sosok
demi sosok laki-laki yang hidupnya diwarnai oleh cahaya agama kutemukan. Keteduhan dan kesejukkan yang ketemukan pada mata mereka menandakan kematangan
dalam
mengarungi
hidup,
menghadapi
diri
sendiri
dan
menghambakan diri kepada Yang Maha Tak Berbatas. Mata laki-laki yang rendah hati itu juga ikut menyinariku.
Salah seorang laki-laki yang menginspirasiku di kemudian hari hadir dari
kalangan tarikat yang berbeda. Sebut saja ia Bapak Dawud. Kawankulah yang memperkenalkanku kepadanya. Saat itu aku memasuki sebuah rumahnya yang
sederhana untuk mengobrol dengannya. Aku lebih banyak memperhatikan sikapsikapnya. Ia duduk lesehan di lantai dengan cara yang membuatku heran. Bapak
Dawud yang ada di hadapanku duduk dengan begitu anggunnya, lebih anggun daripada caraku duduk. Kedua kakinya dilipat lalu duduk dengan cara khas
perempuan Sunda yang dianggap santun. Sedangkan cara duduk laki-laki Sunda 106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
biasanya adalah bersila. Tetapi Bapak Dawud duduk seperti cara perempuan. Sedangkan aku duduk dengan cara laki-laki yaitu bersila.
Ia mengenakan baju koko putih bersih yang sederhana. Kulitnya bersinar
bersih seperti umumnya lelaki Sunda yang biasa kutemui. Sikap tubuhnya tegak,
tidak menundukkan kepala atau menundukkan pandangan kepadaku. Jarak antara aku dengannya pun sewajarnya saja. Matanya lurus memandang wajahku. Bibirnya
selalu tersenyum ketika mulai berbincang denganku. Ia terlalu feminin untuk
seorang lelaki, tetapi sekaligus memperlihatkan aura maskulin yang kuat. Mungkin berasal dari keteguhannya dalam memegang sebuah kebijaksanaan tertentu, yang belum dapat kutahu bentuknya pada saat itu.
Aura maskulin yang seringkali menggangguku adalah aura yang
memperlihatkan
dominasi
atau berkuasa. Serta pandangannya
terhadap
perempuan yang seakan perempuan adalah makhluk yang transparan. Mata Bapak
Dawud lurus menatap wajahku ketika berbicara. Tetapi ia hanya fokus pada apa yang kubicarakan. Perasaanku langsung menyangka bahwa ia adalah lelaki yang amat sopan sekaligus jujur. Pada masa itu aku seringkali terganggu jika ada lelaki
yang sekuat tenaga menjaga pandangan dengan cara bicara tanpa menatap wajah perempuan di depannya. Persepsiku terhadap tubuh sebagai sumber dosa kembali
muncul pada situasi semacam itu. Sehingga, pengalaman ‘dipandang’ dengan cara sewajarnya seperti yang dilakukan Bapak Dawud membuatku nyaman.
Pertemuan dengan Bapak Dawud sebagai awal dari pencarian baru akan
ketubuhan, termasuk jilbab di dalamnya yang perlu diberi makna baru. Melalui Bapak Dawud aku mengenal konsep tentang pertaubatan. Pertanyaan biasa yang 107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bisa muncul adalah mengapa harus bertaubat? Penjelasannya panjang lebar. Tetapi hal mendasar dari pertaubatan yang kuresapi salah satunya adalah
penataan ulang cara pandang terhadap hidup dan diri sendiri. Penataan ulang dalam rangka menjajaki hidup yang lebih berterima terhadap diri sendiri (apa pun yang pernah dialaminya). Bukanlah perkara yang menyenangkan ketika diri terus
menerus menyimpan dan membawa luka hidup kemana-mana. Rasanya aku rindu terbangun di pagi hari, tersenyum melihat cahaya pagi lalu menjalani hari dengan bebas dari dendam.
Penataan diri dan hidup secara bertahap itu juga menyentuh hal-hal yang
pernah menjadi masalahku. Aku mulai bertanya soal sehelai rambut dan bagian tubuh lainnya. Aku sebagai makhluk tidak pernah meminta apa yang kini ada di
dalam tubuhku. Jika lekuk pinggang dan perhiasan tubuh lainnya yang membuatku
menjadi seorang perempuan begitu “rawan” sehingga harus ditutupi, apakah tidak ada makna lain yang bisa kuraih? Seperti halnya ketika kukenakan jilbab tetapi
tubuhku masih dapat menjadi sumber mimpi basah laki-laki, tentu esensi jilbab bukan pada hal tersebut saja. Atau bisa saja makna jilbab yang semula kuyakini itu
terlalu naif karena ternyata hidup tidak sebatas pada tubuh perempuan, tetapi pikiran laki-laki.
Kebahagiaan muncul ketika pada suatu saat aku bertemu dengan seorang
laki-laki berusia senja yang tatapan matanya begitu meneduhkan. Melalui
perjalanan panjang sekitar 5 jam dengan menggunakan bis kutemui ia di sebuah kota yang terkenal hawa panasnya. Hawa panas yang juga diakibatkan oleh adanya
pabrik baja yang begitu besar. Sesampainya aku di rumahnya yang sunyi, kami
mulai beramah tamah. Aku mengunjunginya untuk belajar agama bersama seorang 108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kawan perempuan lainnya. Aku yang berasal dari kota Bandung yang hawanya
lebih sejuk, seketika merasa kepanasan dan kelelahan. Jika sudah kepanasan, aku biasanya terkena sakit kepala dan lemas.
Aku kembali dipertemukan dengan seorang laki-laki yang mampu membuat
cara pandangku terhadap tubuh berubah. Ia dengan tatapan iba dan penuh kasih
sayang berkata, “Nduk, kamu kan sudah Bapak anggap sebagai anak-anakku, jika kalian kepanasan bahkan sakit tidak perlu mengenakan jilbab seperti di luar
rumah.” Perkataan bapak yang bijak ini sama sekali tidak terasa sebagai ungkapan
dari seorang yang berpaham liberal misalnya. Seketika itu aku mendapatkan
sebuah gagasan bahwa seorang laki-laki yang bijaksana bukanlah yang melulu
memberi telunjuknya di hadapan perempuan untuk mendikte bagaimana cara ia seharusnya berpakaian. Laki-laki bijaksana adalah yang menata dirinya sedemikian rupa, termasuk matanya di hadapan perempuan. Dengan demikian, tanggung jawab pandangannya berada dalam otoritasnya, bukan untuk
disandarkan secara mutlak pada tubuh perempuan. Ilmu pertama yang kuperoleh
dari beliau, seorang laki-laki yang mengajarkan kebijaksanaan, dilingkupi oleh hawa panas kota kecil dekat pelabuhan. Ilmu yang kemudian, beberapa bulan
kemudian terus menerus hadir untuk mewarnai pikiran dan perasaanku mengenai tubuh, jilbab, dan berbagai hal penting lainnya.
g. Tubuh dalam JaRinin Mata Sufi dan Feminis (era 2000-an) Sebelum mengenal wacana tentang perempuan dan menstruasi dalam
perspektif agama tertentu, tidak banyak gagasan atau inspirasi yang muncul di kepalaku. Rasa sakit yang muncul akibat menstruasi masih dimaknai sebatas 109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
proses biologis yang kurang menyenangkan. Terlarangnya perempuan yang tengah menstruasi untuk beribadah shalat atau puasa pun semula kuterima dengan santai saja.
Tetapi lagi-lagi pengalaman tidak menyenangkan terhadap tubuh, seperti
pelecehan yang terjadi di jalan, membuatku bengong sendiri. Apakah aku yang
terlalu sensitif sehingga membawa pengalaman semacam itu hingga ke ranah
teologi? Aku selalu tak habis pikir dengan pengalaman yang sungguh tidak menyenangkan ini. Sempat seorang teman perempuan yang tidak mengenakan
jilbab memberitahukanku bahwa mengenakan jilbab malah semakin membuat
imajnasi laki-laki bermain liar dan lebih penasaran. Jika ada kebenaran dalam pendapat kawanku ini, sungguh Tuhan tega! Betapa tidak, Dia telah menciptakan kontradiksi-kontradiksi.
Di manakah letak pertemuan antara pengalaman tidak menyenangkan
dengan pertanyaan soal seputar tubuh secara teologis? Aku menerka bahwa jika ada salah satu bagian tubuh yang merasa sakit, misalnya mata, maka perhatian
pada mata secara berbeda akan terjadi. Cara kerja mata, keistimewaan mata, dan lain-lain, akan lebih mengemuka gara-gara ada fungsinya yang terganggu. Demikian juga tentang tubuh. Sering kudengar perempuan yang mengalami pelecehan atau bahkan kekerasan seksual cenderung menyalahkan dirinya sendiri.
Memang benar ada semacam penyalahan diri sendiri yang kualami, tetapi tidak berhenti di situ.
Pengalaman itu menghantarkanku pada arahnya yang baru. Ketika rasa
tersentak karena tiba-tiba di angkutan umum seorang laki-laki asing menyentuh 110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dadaku secara sembrono, dunia sepertinya berhenti sesaat. Aku lebih banyak terperosok kedalam perenungan yang suram. “Apa salahnya dengan tubuhku ini?
Bukankah sudah kututup sedemikian rupa? Mengapa mereka tidak tahu bahwa itu
artinya ‘Dilarang menyentuh sembarangan!’” Apakah para laki-laki diajarkan secara teologis bahwa menyentuh perempuan secara sembarangan adalah perbuatan yang terkutuk?!
Setiap kali pengalaman buruk itu terjadi kepalaku rasanya gonjang ganjing.
Apalagi aku sudah melaksanakan cara berpakaian yang dijanjikan akan melindungiku. Hey, kalian tentu tidak menyalahkanku karena masih menganggap
cara berpakaianku belum layak kan? Ketakutan yang terpelihara tanpa disengaja
membuatku merasa aman bepergian jika membawa sebilah cutter di dalam saku
baju. Ingatan akan pengalaman buruk itu tidak pernah lekang dari pikiranku. Memelihara ingatan buruk sama sekali tidak menyenangkan.
Karena aku tidak mempunyai bahasa untuk mengungkapkan luka traumatis
kepada siapapun secara langsung, aku butuh bahasa. Aku tidak bisa menangis di
hadapan orang lain, misalnya ibuku, bahwa aku mengalami luka akibat dilecehkan orang asing. Dalam doa pun aku tidak punya bahasa untuk satu hal ini. Secara
umum, kemudian aku tidak punya bahasa untuk mengungkapkan segenap persoalan tubuh dalam konteks pengalaman sehari-hari.
Apa itu bahasa sehari-hari terkait persoalan tubuh? Bukankah dalam
hukum Islam segala hal berkaitan dengan tubuh ada pembahasan dan tata kramanya? Untuk menghadapi selesainya menstruasi saja hukum Islam
mengaturnya secara detail. Dalam hal ini hadis Siti Aisyah lebih detail dalam 111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjelaskannya. Meskipun semua itu tidak kalah pentingnya, tetapi ada bahasa
lain yang aku butuhkan saat itu. Bahasa yang dapat mewadahi kegelisahan
kedalamnya. Kau ingat ketika pertama kali aku dilecehkan kawan sekolah, begitu tiba di rumah aku tak bisa berkata apa pun. Hanya airmata yang berbicara. Secara
sederhana mungkin bahasa seperti, “Kek, aku terluka karena perbuatan kurang ajar kawan sekolah tadi di jalanan.“ Dengan demikian, aku membutuhkan bahasa
yang dapat mewadahi tekstur pengalaman, bukan aturan-aturan mengenai tata cara menghadapi menstruasi misalnya.
Bahasa untuk menyapa diri sendiri itu mulai kukenali dari bacaan karya
sastra. Karya sastra yang cukup mengguncangku adalah novel Iwan Simatupang
yang berjudul Kering. Aku seperti terjerembab kedalam dunia yang begitu dapat
dihirup suasananya oleh uraian kata-kata. Seperti itukah pengalaman yang kuinginkan? Sebuah kisah yang mampu membuka lubang hitam di dalam diri, lalu
muncul ke permukaan? Penyapaan terhadap diri yang di dalam mulai terbuka. Meskipun rasanya sakit.
Membaca karya sastra membuatku ketagihan. Hingga kemudian kutemukan
karya yang secara khusus berbicara tentang pengalaman tubuh. Karya itu adalah
yang ditulis Nh. Dini. Pada saat yang bersamaan, karena aku kuliah di Fakultas Sastra Inggris, kukenali juga kritik sastra Feminis. Nh. Dini yang menulis dengan
gaya yang mengalir serta membahasakan pengalamannya sebagai seorang istri
memberiku inspirasi. Kupikir, “Oh, mengapa aku merasa seperti terbahasakan oleh Nh. Dini?” Perasaanku saat itu sepertinya mengembang karena ada sesuatu yang terbebaskan. Sementara itu, kritik sastra feminis memberi inspirasi bahwa tubuh merupakan persoalan penting dalam kajian feminis. 112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dapatkah kau mengerti bahwa gagasan-gagasan yang kita temukan, meski
berasal dari dunia yang berbeda tetapi bisa sejalan? Pada saat aku mulai
berkenalan dengan karya maupun kritik sastra feminis, juga aku mengenal
beberap konsep penting tentang tubuh dari perspektif sufistik. Konsep yang sebenarnya begitu dekat dengan diri tetapi sepertinya terhijab sedemikian rupa.
Pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi pada tubuh, membuat tubuh secara perlahan terpinggirkan. Tubuh mau dihindari jika memungkinkan. Tetapi ketika
aku diingatkan tentang bahwa tubuh perempuan adalah perlambang sifat Allah yang paling dekat, aku terpesona olehnya. Bahkan salah satu sifat Allah dilekatkan namanya kedalam tubuh perempuan, yaitu Rahim/rahim.
Hubunganku dengan rahim/Rahim menjadi terkesan romantik. Orang
mungkin akan berpikir bahwa aku mengimani agama panteistik. Tetapi menurutku
pikiran maupun hati tidak mudah untuk disederhanakan menjadi sebatas satu
sebutan aliran saja. Gagasan-gagasan di kepalaku, yang berasal dari wacana yang kutemui satu sama lain terkesan tabrakan bahkan bertentangan. Tetapi sepertinya aku malah keasyikan mempermainkannya sesuka hati karena hal tersebut begitu menyegarkan.
Bersama kalangan feminis, mungkin karena sesama perempuan, meski
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, aku merasa dekat. Kedekatan karena gagasan dan bahasanya yang dapat kumaknai secara pribadi. Atau dengan
kata lain, dari kalangan feminis aku menemukan cara untuk membahasakan
persoalan tubuh yang sehari-hari. Sementara itu kalangan sufi seperti laki-laki berusia senja, yang hidupnya jatuh bangun menata diri, lalu mereka
menghadiahkanku mutiara berupa ajaran. Dunia keduanya bertemu di dalam 113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kepalaku. Simaklah uraian dari Luce Irigaray ini: Jelas bahwa siapa pun tidak mampu merekacipta kembali seluruh sejarah. Namun, aku pikir setiap individu, perempuan atau laki-laki, dapat dan harus merekaciptakan kembali riwayatnya, baik riwayat individual maupun kolektif. Untuk melakukan tugas itu, sangat diperlukan penghormatan pada tubuh dan persepsi setiap perempuan dan laki-laki. (Irigaray : 32)69
Rehabilitasi persepsi tentang tubuh yang selama beberapa tahun
sebelumnya rusak membuat makna jilbab menjadi berbeda pula. Aku tidak lagi
menutup tubuh karena untuk menjaga hasrat laki-laki agar aman. Aku tidak lagi
mempersepsi tubuh sebagai sumber dosa. Tidak, tubuhku tidak kuperlakukan seperti itu. Kudapatkan amunisi baru bahwa tubuh adalah pusat sejarah, bahkan
representasi paling dekat untuk mengenal karakter Penciptaku. Sehelai jilbab yang
menutup dada dan bagian tubuh yang lainnya telah menjadi milikku sendiri, bukan semata kupersembahkan untuk orang lain agar hasrat mereka aman. Jilbab yang kumaknai adalah jilbab yang intim sekaligus bersahabat, bukan jilbab sebagai penghakim, yang wajahnya keras dan berjarak. h. Jilbabku Kini 2008. Di kota Yogya babak baru jilbab sempat dimulai. Di kota yang suhu
panasnya lebih panas daripada kota kelahiranku, Bandung, mengantarkanku pada
pengalaman yang mungkin bagi perempuan pada umumnya tidak aneh atau malah
tidak spesial sama sekali. Pengalaman yang akan kuceritakan ini adalah tentang melepas jilbab sejenak. Apa istimewanya? Bagiku yang sudah sejak kelas dua SMU 69
Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, 2005, Jakarta: Penerbit KPG, hal. 32.
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengenakannya di muka umum, pengalaman ini spesial. Memang aku tidak terlalu
ketat juga mengenakan jilbab. Di dalam rumah, jika ada tamu, kecuali ada teman sekolah/kerja, aku tidak pernah mengenakannya.
Padahal perempuan yang
memegang aturan jilbab yang lebih ketat hanya akan memperlihatkan auratnya di depan muhrimnya.
Di kota Yogya, untuk pertama kalinya, kurasakan sensasi yang aneh hanya
karena tidak mengenakan jilbab seperti biasanya. Waktu itu tak berapa lama setelah Gunung Merapi meletus, aku berlibur ke Pantai Parang Tritis. Suhu di pantai terasa lebih panas pula daripada di tengah kota Yogya. Jika suhu udara
terasa panas, biasanya tubuhku akan segera merespons dengan cara tertentu. Tubuhku lemas, mengantuk lalu kepalaku tegang dan mengalami migrain. Oleh karena kepalaku sering mengalami migrain yang disebabkan kepanasan, aku
merasa mempunyai alasan untuk tidak mengenakan jilbab dan pakaian panjang serba menutup seperti biasanya.
Bayangan liburan untuk bersantai di pantai segera merasukiku pagi itu.
Akan kusaksikan matahari terbit. Kudandani diriku seperti tengah memerankan
tokoh baru. Kukenakan kaos berlengan pendek putih bergambar Minnie Duck, dipadankan dengan rok batik selutut. Sensasi pertama ketika keluar dari kamar
seperti menghadapi tamu tak terduga. Meski saat itu pagi masih begitu muda, suhu
panas khas pantai sudah mulai terasa. Kakiku mulai melangkah keluar sambil
merasakan yang terhembus angin hingga kedalam kamar. Saat hembusan angin kecil mulai menyentuh betisku yang biasanya tertutup rasa janggal mulai hadir.
Begitu pula ketika leher, dan rambutku yang biasanya tertutup mulai disentuh
angin hingga segar kurasakan. Beberapa saat kemudian, aku mulai dapat 115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memahami kejanggalan yang hadir itu. Aku membatin, “Selama bertahun-tahun kukenakan jilbab itu, dan kini kulepas sejenak di pantai ini bukan karena aku
marah terhadap Tuhan, bukan juga karena aku merasa menjadi korban Islam
politis yang menjadikan jilbab sebagai penentu identitas perempuan.” Perasaanku waktu itu adalah kenikmatan karena angin mendesiri tubuhku, mulai dari helai rambut, leher, betis hingga telapak kaki dengan kesejukan yang bercampur dengan
rasa garam laut. Rambutku nyaris tidak pernah terkena angin ataupun sinar matahari di tempat terbuka, apalagi di pantai. Demikian juga dengan kulit di
bagian-bagian yang biasanya tertutup, misalnya betis dan kaki. Kesejukan angin
pantai telah telah bercampur dengan mulai hangatnya matahari pagi yang membuatku ingin segera berlari menginjakkan pantai dengan kaki telanjang. Pengalaman ini mungkin sederhana bagi orang lain, tetapi tidak bagiku.
Ketika kubawa tubuhku ke pantai, hangat matahari pagi melembut di
kulitku. Rambutku berkibar-kibar diterpa angin. Saat itu juga teringat pada guru mengajiku yang berniat membuat pesantren dengan pengaturan tata ruang yang menyehatkan bagi para santri perempuan. “Para akhwat harus punya tempat
terbuka pada sinar matahari agar mereka sehat.” Aku merasa tubuhku berhak mendapatkan asupan matahari pagi, termasuk rambutku. Sesederhana itu keinginanku pada pagi yang terasa membebaskan itu.
Anak-anak, remaja dan juga orang dewasa berlarian di pantai. Mereka
memburu ombak yang masih ramah. Tawa mereka sesekali membuyarkan
lamunanku. Para lelaki berkulit sawo matang juga bertingkah seperti anak-anak. Mereka bermain-main dengan ombak, loncat-loncat lalu tertawa bahagia. Beberapa dari mereka berangkat berenang ke tengah laut. Di tempatku duduk, 116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berulang kali kudapati tatapan heran terhadapku. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan itu. Tapi ingin sebenarnya kukatakan pada mereka, “Aku juga ingin
bahagia seperti kalian, bermain-main dengan segala keasyikan pantai ini…bagiku
cukuplah merasakan desir angin dan cahaya mentari pagi di seluruh tubuhku secara sedikit lebih leluasa.”
2013 adalah tahun ketiga aku mulai menetap di kota Yogyakarta untuk
melanjutkan studi S2. Di awal semester, cara berpakaianku masih sama seperti di
kota asalku. Kota Bandung cukup sejuk dan berangin, sehingga pakaianku didominasi pakaian yang berlapis. Minimal kaos bertangan panjang tipis dikenakan sebagai pakaian dalam lalu ditambah lagi pakaian luar agar lebih
tertutup. Di tahun ketiga, cara berpakaianku sudah berubah total. Aku tidak lagi
mengenakan pakaian berlapis seperti sebelumnya. Suhu panas kota Yogyakarta tidak cocok untuk pakaian berlapis seperti yang kukenakan di Bandung. Tubuhku
pun tidak mudah untuk beradaptasi dengan suhu yang berbeda. Di tahun ketiga,
saat kota tengah dihajar oleh panas, aku masih saja sering merasa kepanasan lalu
lemas. Selain itu, kulit di bagian-bagian tertentu seperti leher dan lengan tiba-tiba gatal-gatal dan merah-merah. Kulit wajahku pun demikian, seringkali timbul
bercak merah seperti jerawat tetapi keesokan harinya lenyap begitu saja.
Pengalamanku membuka jilbab saat berada di pantai pada tahun 2008 tiba-tiba terkenang kembali. Saat itu aku melepas jilbab demi merasai udara dan alam
terbuka, tidak ada alasan lain. Aku mengenang lagi saat berada di pantai. Mungkinkah aku bisa melakukannya lagi? Dengan perasaan yang tidak nyaman
aku mulai memberanikan diri. Aku tidak nyaman seandainya diketahui ibu kos karena tiba-tiba aku tidak mengenakan jilbab saat keluar rumah. Meskipun ia 117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bukan orang yang sudah kukenal lama, aku merasa khawatir ia akan berpikir macam-macam terhadapku. Jika bertemu dengan orang yang kukenal, aku khawatir tindakanku dikaitkan dengan wacana tertentu, misalnya Islam Liberal.
Tetapi cerita seorang kawan tentang mahasiswi yang melepas jilbab dengan penuh kemarahan karena merasa telah dikungkung membuatku mengurungkan diri untuk sekadar sesekali melepas jilbab akibat kepanasan. Kejengkelanku
terhadap
“tangan-tangan”
yang
mengatur
tubuhku
terkadang begitu nyata, membuatku lelah sendiri karena berusaha mencari-cari ruang kosong dari ideologi. Tetapi mungkinkah itu? Rasa gerah dan penasaran tiba-tiba menjadi satu. Aku ingin tahu apa sebenarnya yang akan aku rasakan jika
aku menuruti keinginanku untuk melepas jilbab? Lingkungan yang tidak terlalu menekankan norma Islam, membuatku memberanikan diri untuk mencoba pengalaman itu, yaitu tidak mengenakan jilbab sambil terus menerus
memperhatikan apa yang terjadi di dalam diriku. Suatu malam aku berangkat
menuju sebuah kafe di sekitar tempatku tinggal. Aku masih mengenakan pakaian yang sama dengan sehari-hari tetapi jilbab hanya kusampirkan di pundak. Aku duduk di sebuah meja yang agak sepi dari pengunjung lainnya. Ada sensasi yang
berbeda dengan saat aku berada di pantai untuk merasakan sinar matahari pagi dan hembusan angin pantai. Di meja yang agak terpencil itu, aku merasakan
hembusan angin malam menyapa rambut dan leherku. Sepertinya aku tengah menyaksikan diriku sendiri melalui sebuah kamera tentang pengalaman yang bagi
ribuan perempuan lainnya adalah pengalaman yang teramat biasa saja. Aku berjilbab sejak kelas dua SMU, baru kali ini berada di ruang publik, tanpa mengenakan penutup kepala. Aku sepertinya tersenyum sendiri, merasakan 118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sensasi ganjil tapi menyenangkan. Sensasi rambut tanpa ikatan agar tak nampak
oleh orang lain yang bukan muhrim bersatu padu dengan sensasi yang mengantarkanku pada pertanyaan, “Jika aku tidak mengenakan jilbab, siapa aku sekarang?” Jika ada seorang kawan dari lingkungan yang kukenal religius
melihatku seperti ini, apa yang akan mereka pikirkan?” Tetapi walaupun rambutku terlihat, aku hampir tidak pernah meninggalkan jilbab dari tubuhku. Aku
membawa sehelai jilbab kemana-mana seakan ia adalah penanda identitasku meski kukenakan dengan cara yang berbeda.
Saat tidak mengenakan jilbab seperti biasanya, kuamati diri kembali.
Kubayangkan para perempuan di zaman nenekku yang tekun beribadah tanpa mengenakan penutup rambut yang serba tertutup itu. Kuperiksa sebisa mungkin
apakah rasa religiusitas itu akan lenyap saat jilbab tidak lagi bertempat di tempat yang sama? Selama bergantian antara mengenakan jilbab dan tidak, aku tidak sanggup mendefinisikan situasi religiusitas di dalam diri dengan begitu dalam. Ada
momen ketika rasa rindu kepada Yang Ilahi tidak berhubungan sama sekali dengan jilbab. Demikian pula sebaliknya, aku tidak menjadi lebih mampu mengendalikan
amarah, misalnya, saat aku mengenakan jilbab. Setelah kupikir-pikir, bukankah jilbab hanya dikenakan di luar rumah saja? Maksudnya, selama berada di rumah
proses hidup terkait religiusitas tetap berlangsung meskipun ada ataupun tanpa jilbab. Mengapa religiusitas menjadi kupersoalkan saat ada atau tidaknya jilbab di kepalaku? Dapatkah daya religiusitas itu tertampung oleh sehelai kain saja?
Jadilah sepenggal hidupku sejak 2013 hingga kini adalah hidup yang cair
antara religiusitas dengan kenyamanan karena mulai tidak terlalu ketat dalam
memandang jilbab. Rasanya aku lebih jujur terhadap diri sendiri. Tetapi, kawan, 119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
apalah artinya kejujuran terhadap diri sendiri itu? Diri yang mana? Adakah kejujuran itu? Kenyamanan saat merasakan angin semilir yang melenyapkan keringat akibat panas terik itu tidak berlangsung lama. Saat tengah tidak berjilbab
kurasakan “tangan-tangan” yang lain mulai berebut hendak mendefinisikan diriku.
Saat berjilbab, aku nyaris tidak pernah mempersoalkan bentuk tubuhku sendiri. Aku seperti lebur begitu saja tanpa harus terganggu apakah ada lemak di bagian
tertentu di tubuhku yang bergelambir. Saat berjilbab, yang kuperhatikan hanya
sebatas wajah. Perawatan sewajarnya hanya kulakukan di seputar wajah saja. Tetapi kini berbeda! Saat tidak mengenakan jilbab, tubuh selain wajah menjadi
lebih terperhatikan! Tiba-tiba aku mulai gelisah saat menyadari bentuk tubuhku
tak lagi ideal. Jika tubuhku bergelambir, tandanya minim berolahraga! Dan itu tandanya aku kurang merawat diri! Apalagi komentar teman sesama perempuan di kampus sering mencandaiku karena lemak di mana-mana!
Tubuh yang memiliki gelambir lemak di bagian tertentu misalnya perut dan
lengan membuatku merenungkan pakaian-pakaian yang selama ini sering kukenakan, yaitu yang bermodel longgar. Model pakaian longgar ternyata
membuatku luput memperhatikan lemak-lemak yang ada dalam tubuh! Tetapi saat
lemak-lemak itu muncul kedalam perhatianku, aku mulai memikirkan cara untuk menghilangkannya. Aku mulai sering berolahraga, bersemangat membaca cara
melenyapkan lemak, dan aktivitas semacamnya. Saat lemak-lemak itu nyaris tidak pernah berhasil kulenyapkan dari tubuh, aku mulai mempertanyakan lagi tentang diri, “Jika aku sudah langsing, pantas mengenakan pakaian apa pun, lantas definisi semacam apa yang ingin kucapai? Apakah aku ingin didefinisikan sebagai
perempuan yang memperhatikan kebugaran dan bentuk tubuh? Lantas hal apa 120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang berikutnya harus kucapai? Sensualitaskah? Apakah nantinya aku akan masuk kedalam wacana tubuh ideal? Sejak saat itu aku jadi lebih memperhatikan tubuh,
tetapi bukan dalam kerangka sejauhmana tubuh harus ditutup tetapi sebaliknya:
Tubuh yang ideal adalah tubuh tanpa lemak! Tiba-tiba aku jadi sering memperhatikan bentuk-bentuk tubuh perempuan, apakah berlemak atau tidak, padat atau bergelambir. Demikian juga dengan rambut, tidak lagi kuperhatikan cara menutupnya tetapi apakah rambut tersebut terawat atau tidak, indah atau
tidak. “Tangan-tangan” yang berusaha mendefinisikan diri, kini telah berubah, atau mungkin malah bertambah. Tubuh tidak pernah lepas dari wacana yang berebut hendak mendefinisikan dirinya.
B. DALAM BENTANGAN SEHELAI JILBAB KAMI HIDUP
Kini, jilbab telah benar-benar melahirkan makna yang lebih baru lagi. Baik
maknanya secara personal maupun umum. Di mana-mana para perempuan, dari berbagai usia mengenakan jilbab dengan gayanya sendiri. Situasi seperti ini tidak
lahir dalam setahun atau dua tahun. Semua berjalan perlahan. Orang-orang semakin terbiasa menemukan perempuan berjilbab, di manapun, siapapun. Tak ada lagi ledekan “Ninja” bagi pengguna jilbab. Hal sebaliknya malah dapat terjadi yaitu perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab bisa mengalami
pengalaman tidak mengenakkan. Di masa 90-an mungkin tak dapat misalnya, jika ia memasuki wilayah yang jelas-jelas menggunakan Islam sebagai bagian penting, misalnya sekolah atau instansi, mereka harus mengenakan jilbab. Jika tidak
mengenakan jilbab, seakan terdapat stigma bahwa mereka belum menjadi perempuan Muslim yang penuh.
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Seorang kawan bertanya, “Apa makna jilbabmu sekarang?” Menjawab
pertanyaan itu susah-susah gampang. Jilbab bagiku tidak lagi sebatas “kewajiban”
atas nama agama ataupun sebagai perlindungan diri dari mata laki-laki. Cara memandang tubuh pun semakin cair seiring dengan pengalaman tubuh yang
semakin beragam. Jilbab juga tidak lagi bermakna ketat dan berat seperti masamasa sebelumnya. Meskipun sebaliknya, wacana jilbab semakin menguat. Ungkapan yang dibawa Mira saat dulu yang menyatakan bahwa jilbab tidak wajib, kini sulit didengar secara biasa saja. Alasan yang panjang dan lebar harus menyertainya jika tidak ingin dianggap sebagai bagian aliran Islam sesat.
Jika kau pergi ke toko buku, di sana dapat kau temukan aneka buku
mengenai jilbab (kebanyakan ditulis oleh laki-laki) yang lebih mengedepankan pesan moral di dalamnya. Mereka ingin melihat kita menutup tubuh sedemikian rupa! Padahal mereka tidak tahu jilbab bukan sekadar melaksanakan aturan
agama. Ya, ada saja penulis yang seperti itu. Atau kau juga bisa mencoba mengambil satu buku yang mengemukakan mengenai pendapat jilbab dari seorang selebritis misalnya, maka kau akan menemukan betapa jilbab terkadang
diletakkan kedalam posisi yang terbatas. Posisi yang selalu ada pada batasan moral. Seakan segala kisah yang ada dibalik jilbab adalah kisah “positif” dan
moralis semata. Apakah memang demikian adanya? Oleh karena itu, aku akan
mengajakmu “menemui” kawan-kawanku sesama pengguna jilbab dan juga mantan pengguna jilbab. Mereka bukan selebritis. Mereka juga bukan politisi. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mudah kau temui sehari-hari.
Mereka, adalah kawan-kawan yang mau berbagi mengenai pengalaman
berjilbab. Sebagian besar aku telah mengenal mereka sebelumnya. Beberapa cara 122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kulakukan agar percakapan mengenai jilbab ini dapat berjalan dengan nyaman,
seperti obrolan dua orang perempuan yang tengah curhat saja, bukan tengah melakukan wawancara yang kaku. Ada yang berhasil kulewati dengan nyaman, ada
juga yang tidak. Semua bergantung pada berkelindannya obrolan. Masing-masing obrolan berjalan dalam waktu yang berbeda-beda. Ada yang berlangsung hingga tiga jam, bahkan ada juga yang cukup setengah jam saja. ***
Dalam bentangan sehelai kain yang sering disebut sebagai jilbab, kerudung,
lalu kemudian hijab, kisah kami bernaung. Kami perempuan berbeda-beda latar belakang dan usia mengalami jilbab dalam rentang waktu tertentu. Bagiku, jilbab yang telah dialami selama hampir 20 tahun, mempunyai warna yang unik. Unik karena sekali waktu terasa begitu bermakna karena merasa menjadi lambang
kepatuhan, di sisi lain penuh harapan untuk dapat terlindungi karena menggunakannya. Tetapi di sisi lain, sekali waktu terasa tidak bermakna apa pun selain sebatas cara berdandan tertentu.
Kisah dimulai ketika aku tiba di Kota Jakarta sebelum tengah hari. Tetapi
begitu turun dari kereta api yang ber-AC, kurasakan terik hari mulai menyengat. Lagi-lagi aku merasa salah kostum. Tapi apakah aku memang salah kostum? Meski sudah kubuka pakaian luar berupa Cardigan, aku tetap kepanasan. Pada dasarnya
tubuhku selalu saja menanggapi rasa panas kota secara tidak bersahabat. Saat ini aku akan menemui Rini di kantornya yang jaraknya lumayan jauh dari stasiun kereta Gambir.
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Setelah merasakan teriknya panas matahari di perjalanan, aku bertemu
dengan Rini di kantornya. Bukan hanya terpaan AC yang membuatku merasa tidak
kegerahan. Tetapi sosok perempuan di depanku membuat gerahku lenyap. Rini, yang saat kuwawancarai masih tercatat sebagai mahasiswi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tidak mengenakan jilbab atau kerudung. Aku
sudah tahu ceritanya dari seorang kawanku yang mengatakan bahwa Rini adalah aktivis perempuan yang telah melepas jilbab belum lama ini. Cara Rini berpakaian sangat santai. Dia mengenakan rok selutut berpotongan lebar dengan padu padan
kaos berlengan pendek. Hey, bukankah cara berpakaiannya ini adalah gaya berpakaian favoritku? Seperti saat aku tengah berada di pantai Yogyakarta? Ya,
aku tiba-tiba mulai cemburu karena Rini, yang seorang aktivis perempuan, berusia jauh lebih muda daripada aku tetapi sanggup melepas cara berpakaian yang sudah
lama akrab dengannya, yaitu jilbab. Rambutnya pun dipotong pendek hingga di
atas telinga seperti potongan rambut laki-laki. Sungguh potongan rambut yang sangat berani pula. Kisah hidup seperti apa yang telah dialami oleh Rini sehingga berani memilih gaya yang sekarang?
Aku mulai bertanya, “Bagaimana awal kamu mengenal jilbab?” Rini
menuturkan, “Aku sempat mengenakan jilbab permanen saat duduk di SMP. Di Sekolah Dasar pas lagi ngaji aja atau pas acara keluarga disuruh pakai jilbab oleh orang tua. Bukan keluarga pesantren, tapi kakek punya yayasan yang berafiliasi
dengan Islam, Islam fundamental banget, literal Al-Qur’an bangetlah. Keluarga besar mengabdi di sana, kecuali orangtuaku. Sempat juga dipaksa mengabdi. Keluargaku mempunyai doktrin bahwa jilbab itu baik, berpahala dan itu ajaran agama. Jadi sejak SMP, aku dimasukkan ke yayasan kakek, dan pakai jilbab di situ, 124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
semi pesantren. Aku juga harus tahajud setiap malam. Lulus SMP masuk pesantren
di Banten, 2003. Empat tahun pesantren. 2007 Tmii aliran Gontor juga. Doktrin jilbab makin kental.” Sejujurnya, tak kusangka Rini berasal dari latar belakang
keluarga kental keislamannya seperti itu. Apa tanggapan keluargnya jika mengetahui gayanya saat ini? Keberaniannya untuk memilih gaya yang sekarang tentu mempunyai pemicu yang kuat.
“Tapi, tepatnya siapa yang pertama kali mengenalkan jilbab sama kamu?”
tanyaku. “Yang menyuruh berjilbab adalah ayahku. Ayah awalnya ngajarin bahwa perempuan harus tutup aurat. Naik kelas 4 SD sudah mulai pakai jilbab. Kalau beres ngaji ditanya ayah. Kalau pakai celana pendek bermasalah. Semakin dewasa
semakin sangat dikontrol. SMP kalau keluar rumah ga pakai kerudung dimarahi ayah. Sedangkan, ibu, lebih mau membuka dialog. Tapi sejak ayah naik haji 2008, makin ketat. Di rumah juga ga boleh pakai baju tidur pendek padahal tadinya
boleh. Kalau pake celana pendek, ayah ngambil sarung untuk kupakai. Sebenarnya
ayah bukan keluaran pesantren tapi mendapat pengaruh dari kakek. Ajaran kakek,
apa pun persoalan hidup maka kita harus kembali ke Al-Qur’an. Semuanya dikembalikan
ke
Al-Qur’an,
mentah-mentah
tanpa
interpretasi.
Ayahku
Palembang, ibu Jawa. Keluarga ibu di Jawa lebih religius tapi tidak memaksakan.
Untuk urusan keagamaan tidak ada pemaksaan. Tante-tantenya ada yang tomboy, pake rok mini, celana pendek, nenek tidak marah. Menurut nenek, mereka sudah
diajari agama, mereka tahu mana yang baik/tidak. “ Jilbab telah masuk kedalam kehidupan Rini dengan warna yang cenderung ‘memaksa’ karena kekentalan Islam di keluarganya. Untuk hal semacam ini, aku tidak pernah mengalaminya.
Keluargaku bukan keluarga yang mempunyai keterikatan khusus dan kuat dengan 125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
organisasi Islam manapun, bukan pula keluarga santri. Rini mengenal jilbab lebih dahulu dari pihak luar, yaitu keluarga, bukan karena pencarian diri terlebih dahulu.
Dari penuturan Rini lebih lanjut tentang keluarganya, aku semakin sadar
bahwa latar belakang keluarga kami sangat jauh berbeda sehingga cara berkenalan dengan jilbab pun sangat berbeda pula. “Ibu, karena ada pemahaman ikut suami,
apa yang ayah katakan pasti baik. Sejak saat itu berjilbab permanen. “ Dengan menyimak cara Rini berhadapan dengan jilbab dan orangtua pun sangat berbeda. Dulu ayahku malah cukup heran dengan pilihanku untuk mengenakan jilbab. Aku pun tidak sembunyi-sembunyi untuk mengenakannnya.
Akibat merasa begitu dipaksanya untuk berjilbab, Rini bahkan sempat
ketika ia sekolah di pesantren Rini sempat kabur. Rini bak seorang ketua sebuah kelompok anak muda, mengajak serta kawan-kawan sekelasnya untuk melarikan diri. Mereka lari ke daerah pantai. Di sana Rini membuka jilbabnya sambil berkata,
“Apaan sih ini? Gue bete banget pake beginian.” Kawan-kawan perempuannya saat itu menegur Rini karena tindakannya melepas jilbab. Rini pada usia belia telah
melakukan pemberontakan pertamanya, meski hanya beberapa saat. Rini
kemudian kembali mengenakan jilbabnya. Ada rasa bersalah juga pada dirinya karena melepas jilbab. Tetapi pemberontakannya membawanya pada pertanyaan terus menerus mengenai ‘apa itu jilbab’.
Ketika di universitas, pencariannya tentang jilbab dimulai. Rini berpikir,
bahwa tradisi jilbab bukan hanya terintegrasi dengan Islam. Banyak budaya yang
juga kira-kira punya tradisi menutup tubuh seperti jilbab dalam Islam. Pikirnya, 126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Oh tradisi jilbab ternyata tidak dimiliki Islam saja. Kebetulan saja aku berada dalam lingkungan Islam. Yahudi juga berjilbab, kalau begitu jilbab bukan tuntunan agama. Ada semacam budaya yanga berkelanjutan dengan jilbabnya itu.” Rini terus mempertanyakan dan memperluas wawasan tentang jilbab. Pertanyaan seperti
cara menutup aurat di Timur Tengah yang berlaku bagi muslim maupun
nonmuslim membawanya pada wawasan tentang menutup aurat akibat latar belakang geografis. Faktor seperti terik matahari dan debu di kawasan Timur
Tengah adalah faktor-faktor yang mendukung cara menutup aurat sedemikian rupa. Rini menjelaskan juga tentang kalangan yang memahami jilbab sebagai
pembacaan literal terhadap surat Annisa, yang diterjemahkan secara mentah lalu dikonsumsi secara mentah juga lalu disebut sebagai kewajiban.
Tetapi Rini menambahkan pikirannya mulai berubah saat bertemu dengan
jilbab yang makin beragam. Ia juga menambah banyak literatur soal jilbab, yang menurutnya mulai dari pandangan yang sangat kanan sampai yang kiri sekali.
Jilbab menurut Fatima Mernissi, Nasaruddin Umar, Quraish Shihab, juga menurut
Musdah Mulia ia lahap. “Aku banyak melihat ulang, pemikiran garis lain, misalnya
yang kanan banget seperti tuntunan berjilbab dalam Islam, terbitan buku-buku kanan. Sampai kemudian mengkaji secara sosio-kultural.
Seiring dengan pemahaman dan wawasan yang berubah dan bertambah,
demikian juga yang terjadi pada jilbab yang dikenakannya. Rini mulai mengenakan celana panjang. Suatu waktu jilbabnya diikat ke belakang demi kepraktisan. Lalu
berubah menjadi semacam sehelai selendang yang menyampir di pundak. Hingga kemudian ketika ia berkesimpulan bahwa jilbab lebih bersifat kontekstual, campuran antara budaya yang kental, Rini mulai berbeda dalama memaknai 127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jilbabnya. Sejak Oktober 2012 Rini secara permanen melepaskan jilbab dari
tubuhnya. Seiring dengan itu, makna jilbab di kepalanya berubah menjadi lebih
konseptual. “Jilbab adalah cara menutup diri kita, individu kita sendiri dari hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Misalnya korupsi atau mencuri.”
Dengan berapi-api, Rini berusaha menyimpulkan, “Adanya budaya, ayat-
ayat kewajiban. Tapi apa yang disebut menutup aurat? Baik laki-laki maupun perempuan harus menundukkan pandangan. Tidak ada hubungannya dengan fisik karena menutup pandangan. Aku mengkaji ulang, belajar, bertanya: aurat adalah bagian aman diri kita, menutup individu kita dari merugikan orang lain. Tutup diri
kita dari hal- hal yang merugikan orang lain misalnya korupsi atau mencuri. Aurat tidak hanya sekadar fisik yang ditutupi. Kesimpulan itu juga bertahap berpengaruh
pada caraku berjilbab: awalnya pake celana, jilbab diikat.... per kesimpulan itu
mengubah penampilan. Sambil melihat bahwa ada pola yang berbeda dalam penggunaan jilbab. Beda dengan Timur Tengah yang jilbabnya seragam. Sementara
Malaysia berbeda, jilbabnya lebih beragam.” Rini juga turut menjelaskan sejarah
jilbab di Indonesia, “Awalnya tahun 80-an doktrin jilbab masuk ke Indonesia yaitu pasmina panjang itu. Tudung, orang minang, orang Jawa...jilbab masuk ke indonesia melebur ke indonesia harus melebur seperti itu. Tahap melepas jilbab
ga ujug-ujug: rok, celana, jilbab mulai naik. Aurat bukan persoalan fisik semata. Bukan sekadar fisik yang ditutup-tutupi. Tahap aku melepas jilbab itu sangat bertahap juga. Klimaks dari pergulatan itu aku menyimpulkan aurat adalah
individu, mampu menghargai tubuh orang lain, diri orang lain. Lalu kemudian melepas jilbab yang ternyata hanya menjadi simbol semata..” 128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Aku bertanya lagi, “Ketika melepas mulai berubah cara berjilbabnya,
bagaimana reaksi lingkunganmu?” Rini menjelaskan: Di pekerjaan responsnya baik-baik saja. Tetapi di kampus, ikut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai
Ketua Umum Sekretariat (Desember 2012). Waktu itu diminta isi materi pelatihan kaderisasi HMI cabang Ciputat dan Yogyakarta. Pada saat melepas jilbab Bulan
Oktober, teman-teman sudah pada tahu, bikin tulisan di facebook juga. Tapi ketika diundang isi materi ngga pakai jilbab belum pada tahu. Ketika mengisi materi selama 15 menit, aku diberhentikan, lalu disuruh keluar. Dipanggil fasilitator. Panitia memanggilku, ‘Kak dipanggil fasilitator, penting kak, kak sangat penting.’
Panggilan sudah tiga kali berarti sangat urgent. Di luar ruangan 5 fasilitator lakilaki, menghakimi: ‘kampus kita kampus Islam, dan kampus Islam mengajarkan berjilbab, dan bahwa Islam mengajarkan bahwa HMI adalah Islam, karena kultur
kita karena Islam mengajarkan berjilbab, tuntunan Islam. Intinya aku dianggap menyalahi aturan. Tawaran solusi saat itu: lanjutkan mengisi forum dengan
mengenakan jilbab. Aku katakan kepada mereka, ini bukan solusi tapi paksaan. Jika aku ikut solusi itu, bisa dibayangkan apa yang ada di kepala peserta, mahasiswa
semester satu yang masih polos. Tadinya saya engga pake jilbab isi materi, disuruh keluar oleh fasilitator lalu masuk lagi kedalam pakai jilbab. Mereka akan berpikir bahwa yang tadi (ga pakai jilbab) itu salah, sekarang yang pakai adalah benar. Aku
tak mau ambil resiko itu. Lalu aku akhirnya keluar. Aku kaget karena ini HMI Ciputat, bukan Sumatera atau Aceh yang masih konservatif. Itu sebuah pukulan sekaligus refleksi diri bahwa pemaknaan jilbab sedemikian rupa itu sudah telalu
jauh dan tidak ada yang menggugat.” Selain pengalaman yang tidak mengenakkan
tersebut, Rini juga tiba-tiba saja dipandang berbeda oleh kakak seniornya. Tiba129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tiba seorang senior mengajaknya untuk tidur! Rini berusaha untuk tidak langsung
murka saat itu. Ia ajak berdebat kakak seniornya yang kurang ajar itu. Tetapi Rini mengakui bahwa ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pengalaman seperti itu.
“Sekarang
pandangan
Rini
terhadap
perempuan
yang
berjilbab
bagaimana?” tanyaku. Rini menjawab, “Menghargai sekali. Mereka punya komintmen religi terhadap Tuhan, selama mereka tidak maksain pemahaman ke
orang lain. “Aku bertanya lagi, “Masalah di urusan privat bagaimana?” Rini menjelaskan lagi, “Hubungan dengan Tuhan gimana? Aku lebih menikmati
Tuhanku sekarang, lebih ramah, Tuhan masa lalu sangat membelenggu. Aku selalu dipenuhi oleh dosa. Kalau buka jilbab selalu merasa dosa, Tuhan saat itu sangat membelengguku. Kalau kritis sedikit takut sesat. Tuhan sangat membelenggu. Sekarang, semakin banyak interaksi, Tuhan rasanya sangat ramah.”
Pertanyaan berikutnya yang kuajukan adalah soal perasaan. “Sekarang
merasa lebih baik nggak, Lin?” Rini menjawab, “Mungkin secara pemaknaan iya,
tapi ritus sudah berbeda. Puasa Senin-kamis, shalat tahajud, dan lain-lain belum bisa menikmati lagi.” Kini pertanyaan beralih ke soal spesifik tentang tubuh.
“Bagaimana Rini memaknai tubuh sekarang?” Rini menjelaskan lagi: Setelah banyak berkenalan dengan tulisan Michel Foucault, soal relasi kuasa, tentang
tubuh perempuan, bagaimana penghargaan terhadap tubuh. Tubuh bukan sekadar tubuh tapi integral dengan kemanusiaan. Kalau dulu tubuh perempuan ini adalah sebuah aib yang ditutupi, maka hari ini tidak lagi, tubuh yang harus dihargai yang
teritegrasi dengan kemanusiaan. Konsep cantik: cantik adalah yang mampu menghargai isi kepalanya.”
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Aku mulai bertanya tentang fenomena jilbab saat ini, “Lalu bagaimana
tentang tren jilbab sekarang?” tanyaku. Rini menjawab, “Manis, dan menghabiskan banyak waktu. Itu fesyen saja, turunan pemaknaan, bukan sekadar budaya tapi
juga fesyen. Tapi sah-sah aja jilbab dianggap fesyen. Perkembangan pemahaman soal jilbab makin luas, sekalipun tidak semuanya bisa luas. Jilbaber: kanan banget.
Sedangkan hijaber, sebagai sebuah fesyen. Ada juga yang beriringan: modis tapi syar’i. “
Ketika aku berefleksi terhadap cara Rini memaknai jilbabnya, perubahan
yang dialaminya, lalu mengubah pada caranya mengenakan jilbab, hingga ia melepasnya, aku tidak seperti itu. Makna jilbab terjadi justru karena adanya
pengalaman tubuh secara khusus, seperti tidak terlindunginya tubuh dari gangguan laki-laki. Tetapi saat aku mengalami perubahan makna jilbab, tidak begitu berpengaruh terhadap caraku berjilbab. Aku tidak pernah mengalami
mengenakan jubah atau baju kurung. Aku tidak pernah mau memilihnya. Terlebih
mungkin karena tidak ada yang memaksaku untuk mengenakannya. Semua kupilih sendiri, mulai dari berjilbab hingga cara mengenakannya. Bisa dibilang perubahan
jilbab pada diriku hanya terjadi di dalam kepala dan hatiku saja. Meskipun aku
mempunyai penyakit migrain yang cukup mengganggu, aku tidak serta merta melepasnya. Bahkan hingga empat tahun lalu, aku tidak pernah memikirkan untuk
sekalipun melepasnya, apalagi secara permanen. Hal ini mengingatkanku pada responden lainnya, ia adalah Marlina.
Marlina adalah kawanku semasa aku seringkali menjadi mahasiwa
pendengar di jurusan Filsafat dan Teologi, Universitas Parahyangan. Sebenarnya aku baru mengetahui bahwa ia pernah mengenakan jilbab belum lama ini. Ketika 131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
aku sudah mulai sering mendatangi Unpar, Marlina sudah tidak mengenakan jilbab sama sekali. Oleh karena itu aku tertarik untuk menjadikan pengalamannya untuk
dipadankan dengan pengalamanku dalam penelitian tentang jilbab ini. Ternyata Marlina mengenakan sejak sekolah menengah. Tetapi ketika suatu waktu karena migrainnya kambuh, ia tidak mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya bersifat permanen hingga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi sebelumnya. Unpar
adalah tempat kedua setelah ia tidak menyelesaikan di tempat pertama. Sebelum
masuk Unpar, Marlina masih mengenakan jilbab. Sudah sejak lama pula ternyata Marlina sering mengalami sakit kepala yaitu migrain.
Pembawaan personal Marlina memang begitu santai dan ceria. Termasuk
ketika ia menuturkan tentang ihwal ia membuka jilbab. “Saya waktu itu mau
nonton ke bioskop sama pacar. Tapi kepala berat karena migrain. Saya coba ah ga
pake jilbab. Eh ternyata enak.“ Marlina menuturkannya dengan santai sambil diiringi tawa. Bahkan Marlina mengaku tidak begitu merasa bersalah. “Saya mah buka jilbabnya bukan karena alasan ideologis.” Begitu ia mengatakannya kepadaku
dengan santainya. Sosok Marlina maupun latar belakang hidupnya memang tidak sama persis seperti
halnya Rini. Jilbab dikenal Marlina juga tanpa paksaan.
Sungguh aku takjub dengan cara penyikapan Marlina yang sedemikian santai saat ia melepas jilbab secara permanen itu.
Pengalaman responden lainnya, tak kalah unik dan menariknya. Tetapi
sosok dan perjalanan jilbab pada Mariana memiliki banyak kesamaan denganku.
Terutama tentang pilihannya untuk tetap mengenakan jilbab meski pandangannya
sudah lebih cair. Ia adalah Mariana yang kuwawancarai tepat setelah bertemu Rini 132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di Jakarta. Mariana lahir di Batang Jawa Tengah. Latar belakang keluarga terkait
erat dengan Nahdhatul Ulama (NU). “NU jeklek.” Begitu terang Mariana soal keterikatan keluarganya terhadap tradisi NU. Mariana meskipun lahir di keluarga
NU, tetapi karena ia terlambat mendaftar sekolah, akhirnya memilih masuk Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah. Padahal menurut pengakuannya,
masyarakat di kampungnya membenci Muhammadiyah sampai-sampai mereka punya selorohan, “Lebih baik menyekolahkan anak di sekolah Kristen daripada di
sekolah Muhammadiyah.” Tetapi karena Mariana tidak menemukan sekolah lain, ia
masuk sekolah Muhammadiyah tersebut lalu mengikuti aktivitas IRM(Ikatan Remaja Muhammadiyah). Di dalam organisasi tersebut, siswa yang bisa ikut
hanyalah siswa teladan. Selain itu, jilbab adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi saat beraktivitas di IRM. Mariana mengakui bahwa selama berada di IRM, ia mendapatkan kedalaman nilai-nilai spiritual.
Cara Mariana mengenakan jilbab tersebut sebenarnya tidak sama dengan
aliran NU. Mariana menegaskan bahwa jilbab dalam tradisi NU lebih bersifat batiniah, yaitu “yang penting dijilbabi itu adalah hati.” Pengalaman Mariana yang berasal dari keluarga beraliran NU, menjadi sangat unik karena ia memilih untuk
mengenakan jilbab yang menutupi tubuh, yang ukurannya pun serba panjang.
Mariana berseloroh bahwa gayanya tersebut karena “tersesat” bersekolah di sekolah yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, lalu aktif berorganisasi di Ikatan Remaja Muhammadiyah yang mewajibkan penggunaan jilbab. Saat itu, tahun 1998,
Mariana masih duduk di kelas satu. Tetapi jilbab sudah dikenakannya, dengan model serba panjang dan tertutup, termasuk mengenakan kaos kaki setiap kali
beraktivitas di luar rumah. Cara Mariana berjilbab yang serba panjang dan 133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tertutup tersebut tentu saja berbeda dengan keluarganya yang beraliran NU.
Mariana bercerita dengan bersemangat mengingat bahwa ia pernah sampai
dikejar-kejar oleh ibunya agar lepas jilbab! “Iya, jilbabku tuh sampe ditarik-tarik disuruh dibuka!” Selain itu, Mariana juga satu-satunya perempuan yang pertama kali mengenakan jilbab di kampungnya. Tanggapan warga di kampungnya juga ada yang menyindir, “Ngapain pakai kerudung, sok alim.”
Aktivitasnya di IRM tersebut membuatnya mengenal konsep-konsep ketat
dalam bergaul. Mereka yang aktif di IRM diangkat menjadi teladan sehingga harus
memberi contoh yang baik. Mereka dilarang berpacaran, tidak bergaul bebas
seperti bersentuhan dengan laki-laki. Konsep-konsep tersebut diajarkan kepada aktivis IRM sebagai bentuk penyadaran. Mariana mengakui bahwa meskipun di
awal terasa seperti doktrin, tetapi kemudian muncul sebagai kebutuhan. Jilbab yang ia kenakan panjang dan lebar. Saat ia kemudian melanjutkan kuliah ke
Semarang, ia pun secara tak sengaja bertempat tinggal di sebuah kos-kosan yang
penghuninya merupakan anggota salafi. Ketika di IRM, cara berpakaian sebenarnya masih terhitung beragam, misalnya diperbolehkan menggunakan
celana panjang longgar. Tetapi saat kuliah, Mariana ditarik oleh kawan-kawan kos-
nya untuk masuk kedalam Ikhawanul Muslimin (IM). Kawan-kawan Mariana di kos adalah para perempuan yang mengenakan cadar. Kemudian cara berjilbab Mariana pun menjadi semakin ketat, dalam arti semakin menutup tubuh. Jilbabnya berukuran satu meter setengah, menutup mulai dari kepala hingga lutut. Cara
berpakaian seperti ini berlangsung sampai ia lulus sarjana. Mariana mengakui,
bahwa keyakinan cara berpakaian serba tertutup seperti itu terasa nyamannyaman saja bagi dirinya karena sudah menjadi keyakinan diri. Justru Mariana 134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
merasa tidak nyaman sebenarnya ketika mengenakan celana panjang, rok.
“....logika gak main, kalah sama keyakinan, untuk menghindari dari mata laki-laki, agar aman.” tukasnya. “Tetapi saat itu ada kasus mahasiswi Undip bercadar diperkosa. Berarti ga ngefek ya, pikirku. Tapi tetep terus pakai pakaian yang sama. Orangtua udah pasrah aja. Hubungan yang sebatas anak-orangtua. “
Setelah lulus kuliah di Semarang, Mariana yang masih aktif di organisasi
Muhammadiyah menghantarkannya ke ibukota Jakarta untuk masuk PPIRM.
Kejadian ini terjadi pada tahun 2005. Di sinilah Mariana mulai mengalami perubahan pandangan terhadap jilbab. “Jakarta mengubah banyak orang.” Begitu seloroh Mariana. Bagaimana tidak, di Jakarta, jilbab lebih berwarna dibandingkan di kota tempat ia tinggal maupun kuliah. Mariana yang berasal dari kampus,
Universitas Dipenogoro Semarang, menemukan betapa berbedanya para perempuan berjilbab di ibukota! Mereka berdandan cantik dengan mengenakan
pakaian potongan seperti celana panjang dan blus. Wajah mereka pun tampil
mempesona dengan sentuhan kosmetik. Mariana melihat kerlap-kerlip perempuan berjilbab begitu memukaunya. Kawan-kawan satu kosnya pun adalah kalangan
perempuan yang penuh warna itu. Mariana juga sempat diledek kawan-kawan kosnya. “Sampai jilbab gue tuh pada disumpetin sama temen-temen kosku.” Begitu Mariana menggambarkan betapa penampilannya itu berbeda dengan kawankawan di sekitarnya.
Perkenalan dengan aliran-aliran pemikiran bernada liberal pun mengubah
cara pandang Mariana. Bahkan Mariana menyebutnya sebagi fase “pertaubatan”.
Mariana menyukai pemikiran Jaringan Islam Liberal, seperti Ulil misalnya. Ia pun aktif di komunitas Kenduri Cinta, Bentara Budaya, Freedom Institute. Pertemuan 135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
antara kalangan perempuan berjilbab yang lebih berwarna dan pertemuannya dengan aliran pemikiran liberal kemudian mengubah cara berpikir Mariana.
Aku sempat bertanya, “Apakah sempat terpikir olehnya untuk melepas
jilbab?” Dia mengatakan kalau dirinya sudah biasa saja memandang jilbab tapi tak
sampai dilepas. “Gue tanya sama temen-temen gue lebih cakep pake jilbab atau engga. Temen-temen bilang lebih cakep pake. Ya udah. Gue juga gak mau ribet mikirin karena takut item kena sinar matahari atau keringatlah. Ya jadi kayak pelindung ya akhirnya.”
Mariana secara prinsipil juga menganggap jilbab adalah sebuah upaya
negosiasi dengan kultur. Konteks yang menentukan cara berjilbab seperti apa yang bisa dia pilih. Jika ia sedang berada di lapangan, ia akan mengenakan pakaian yang
tidak ribet. Misalnya dengan mengenakan celana panjang dan kaos saja. “Yang
penting punya prinsip. Nggak hanya ngikut aja. Itu intinya.” Demikian Mariana memberi penegasan untuk jilbabnya, apa pun bentuknya.
Mariana juga sempat menjawab pertanyaanku tentang fenomena jilbab
modis. Ia menjawab, “Biarkan temen-temen muda yang berkreasi. Yang udah
dewasa kayak kita mah punya prinsip. Gak bisa ribet gayaku karena aktivitas
kemana-mana. Sewaktu ngajar di Binus (Bina Nusantara) sempat ga boleh pake
jilbab gede. Jadinya aku pake aksen modis. Mau ga mau jadinya, gantiganti/negosiasi kultur. Penghargaan terhadap kultur. Memahami tubuhnya lebih negosiatif, lihat situasi dan kondisi, biasa saja. Wawancara ditutup dengan pernyataan Mariana, “Cara berjilbab berubah seiring dengan apa yang dipahami dan ditemui. Yang penting punya prinsip. Punya alasan. Jangan cuma ngikut aja.” 136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di samping sosok Mariana, lain pula cara mengenakan dan memaknai jilbab
bagi Alin. Tubuhnya yang mungil tampak menarik dengan padu padan antara jilbab hitam polos yang diikat ke belakang, dengan kaos berwarna senada yang
dilengkapi dengan rompi bernuansa etnik. Seuntai kalung sederhana menambah
cantik penampilan Alin. Aku agak rikuh membuka obrolan seputar jilbab ini karena
sebelumnya aku dan Alin tidak pernah berbincang secara mengenai hal-hal serius. Ketika kutanya awal Alin mengenal jilbab, Alin menjelaskan bahwa dari ibunyalah yang memperkenalkan jilbab. Jilbab diperkenalkan ibunya ketika Alin duduk di
kelas empat SD. “Biar cantik kayak mbak siapa..kalau ngga salah...Perasaannya, pingin cantik, ga ada hubungannya dengan kesalehan. Waktu itu gua masih polos kali ya, jadi nurut aja…hehehe.”
Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, Alin mengenakan jilbab
karena merupakan seragam sekolah. Alin bersekolah di pesantren. Saat di sekolah
menengah atas pun, Alin tetap mengenakan jilbab meski sekolahnya adalah
sekolah negeri. “Karena mungkin udah terbiasa jadi pake ke sekolah dengan kerudung juga, tapi Ngga tahu kalau jilbab pernah dilarang.. karena ga ngalamin.” Begitu penjelasan Alin saat kutanya tentang wawasan sejarah jilbab di negeri ini.
Jilbab mulai dikenakan Alin sebatas sebagai pelengkap seragam sekolah.
Sedangkan ketika waktunya bermain, jilbab tidak dikenakannya. Kebiasaan mengenakan jilbab sebagai bagian dari pakaian formal terus terbawa hingga masa dewasa. Alin masuk pesantren yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama.
Alin menambahkan bahwa jilbab yang diperkenalkan ibunya adalah sebagai persiapannya sebelum memasuki pesantren. 137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selama berada di pesantren, Alin menjadi santri tetap. Ia mondok setiap
hari. Sosok Alin dalam berjilbab adalah, Alin selalu mengenakan jilbab hitam. Alin mengaku hanya punya lima buah jilbab yang kesemuanya berwarna hitam, yang ia
kenakan setiap harinya. Sedangkan untuk di rumah, Alin mengenakan jilbab langsung (jilbab praktis, masih berwarna hitam juga). Ia mengaku warna hitam
mulai dipilih sejak sekolah di sekolah menengah atas. Alin menjelaskan, “Gak tau
ya, gua ngerasa waktu di pesantren ga terlalu suka baur dengan anak-anak yang lain. Ya gua ga terlalu suka misalnya ngegosip. Jadi, gua ngerasa warna hitam itu
jadi pembeda antara gua dengan anak-anak yang lain. Yah, bisa dibilang warna hitam itu kayak “ruang” untuk menyembunyikan eksistensi gua, tempat gua sembunyi dari realitas, kayak tempat sembunyi.” Alin menjelaskan lebih lanjut,
sambil berseloroh, “Warna hitam, bisa dibilang jadi kayak fashion statement gua.” Alin menjelaskan sambil tertawa dengan renyahnya. Jilbab masih dikenakan
meskipun ia tak lagi berada di lingkungan pesantren. Alin mengakui bahwa jilbab di masa SMA pun posisinya masih sebagai bagian dari pelengkap pakaian formal
atau seragam. Di saat di luar sekolah, Alin tidak mengenakan jilbab. Hingga masa di perguruan tinggi sampai jenjang S1 pun Ali masih memposisikan jilbab sebagai bagian dari pakaian formal. Tetapi saat mulai studi paskasarjana, Alin mulai ingin
melihatnya secara berbeda. Warna jilbab hitam pun tak sama lagi maknanya dengan maknanya yang dulu. Warna hitam lebih sebagai pilihan saja. Pada masa
studi S2, Ali mulai mempertanyakan untuk apa ia berjilbab. “Waktu masuk S2,
sempet mikir: Ari urang nanaonan pake kerudung, kelakuan juga ga berubah, ga jadi alim, nempel doang. Ngapain sih gua pake kerudung? Apa yang gua cari? Kenapa gua masih pake? Toh gua ga jadi lebih deket sama Tuhan. Pergaulan juga 138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ga pernah gubris. Akhirnya masuk juga alasan-alasan...saya itu self restrain-nya kurang. Istilahnya saya kalau dikasi ganja ya bisa saya bakar saat itu juga. Nah
kalau pake kerudung godaan itu bekurang karena berpakaian sopan. Proteksinya dari dalam. Alat kontrol tapi saya tidak merasa religius. “
Ketika aku bertanya, “Kamu merasa lebih saleh gak pake jilbab?” Alin
menjawab, “Kayaknya engga ya. Gua ga merasa soleh gitu setelah pake jilbab. Kali
karena udah jadi kebiasaan ya. Kebiasaan pake sejak SMP.” Diingetin, karena pakai jilbab...soal kesalehan: I dont think so...beragama tidak untuk kesalehan. Saya beragama untuk ketenangan. Tidak peduli saleh atau tidak. Kalau saya ...Ke sininya saya merasa tenang pake jilbab. “
Alin berasal dari keluarga yang berayahkan mualaf. Ayahnya berasal dari
Yogyakarta yang dulunya beragama Katolik. Sedangkan ibunya berasal dari Bandung. Orangtua Alin bisa dikatakan menerapkan cara yang demokratis,
setidaknya itu yang dirasakan oleh Alin. Misalnya, Alin memberi contoh soal
kebiasaannya merokok sejak masa sekolah yang tidak terlalu dipermasalahkan keluarga.
Alin termasuk penikmat musik. Saat bercerita tentang menikmati konser
musik ia menjelaskan, “Nonton konser saat aku masih agak rikuh. Aku juga main
sama anak-anak punk street. Terus disebut jilbab-riot, kacau. Kata mereka, ‘Kerudung-kerudung kelakuan mah kacau.. punk Bekasi. Tertarik sama musiknya, punk 2001-an masih S1. Musiknya masih saya suka. Tapi tidak lagi bergaul dengan
anak punk. Musik punk 80-an, ramon.” Berkaitan dengan selera musiknya aku
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bertanya, “Pernah merasa terhegemoni dengan pakaian?” Alin menjawab, “Tidak, cuek aja. “
Setelah bertemu dengan Alin yang notabene lebih cuek ini, aku bertemu
dengan Sari Asih. Sari mengenakan jilbab secara permanen ketika resmi menjadi
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Sebelumnya, kerudung hanya dikenakan ketika sedang mengaji di sekolah baca Al-Qur’an atau madrasah. Selama
wawancara, Sari hampir konsisten menggunakan istilah kerudung daripada jilbab.
Menurut pengakuan Sari, kerudung sudah mulai dikenalnya sejak kecil saat ia duduk di sekolah dasar. Sari tinggal di Pulau Biak. Di lokasi tersebut, mayoritas nonmuslim atau Kristen Protestan. Setelah Kristen Protestan, barulah jumlah
Muslim adalah jumlah terbesar kedua. Masyarakat muslim yang dikenal Sari di
Pulau Biak pun terkesan biasa saja, tidak terlampau ketat. “Kan kalau di Bandung
itu cewek-cewek yang berpakaian mini, kalau waktunya adzan mereka langsung melaksanakan shalat. Kalau di Biak sih enggak. Adzan ya adzan aja. “ Begitu Sari
menggambarkan perbedaan keberagamaan di Bandung dan Biak yang dikenalnya. Tetapi Sari sejak di sekolah dasar rajin mengikuti pesantren kilat di saat liburan
sekolah tiba. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas selalu mengikuti pesantren kilat.
Tentang kerudung, Sari menegaskan bahwa, “Dari SD sebenarnya aku udah
pengen pake jilbab terus. Lihat guru ngaji yang pake rok rapi cantik. Beliau lulusan
IAIN. Bilang sama mamah, pengen pake jilbab. Tapi kata mamah, nanti ajah. Waktu
itu juga pengen masuk ke pesantren juga ga dibolehin karena kualitasnya kurang bagus. Lalu aku bilang sama mamah pengen sekolah di Jawa. Aku pengen masuk pesantren tapi ga diizinkan juga. Terus, pas sekolah dekat sama guru agama, 140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perempuan. Aku pengen pake kerudung, tapi kata mamah jangan dulu, nanti kamu buka pakai. Tapi sempat bilang sama guru, pengen pake kerudung. Kata guruku, ya
kamu pakai aja, kan selama ini udah kayak pake kerudung. Jadi aku tuh sehariharinya selalu pakai baju dan celana panjang. Jadi meskipun boleh diizinkan pake
kerudung sama mamah, sehari-hari aku diajarin pake rok, celana panjang, jadi enggak boleh pakai yang ketat-ketat. Guruku bilang, ‘Iya kmu setiap hari udah pakai baju dan celana panjang tinggal pake kerudung aja.’ Aku pikir, iya juga ya,
tapi aku masih galau gitu. Sering juga kepikiran misalnya suatu hari kalau sudah
besar aku jemput anak di Taman Kanak-kanak aku pakai kerudung. Terus sama temen-temenku yang laki-laki juga disemangatin pakai kerudung.”
Aku mulai bertanya pengetahun Sari mengenai keleluasaan perempuan
mengenakan jilbab. Sari menjelaskan, “Pernah dulu masih kecil dengar dari
mamah ada saudara yang dari pesantren yang pake jilbab trus pas poto ngga boleh pakai jilbab karena harus kelihatan kuping. Aku pikir, oh pakai jilbab enggak
bebas-bebas juga ya. Sejarah tentang pengizinan jilbab juga sempat aku dengar pas mentoring di salman. Dulu katanya pakai jilbab belum boleh tapi orang berusaha.
Sekarang udah boleh tapi malah pada susah pakainya. Trus pernah baca buku
Asma Nadia, “Jilbab Pertamaku.” Perjuangan pakai jilbab meski dilarang. Asma
Nadia itu pas Ujian umum, ada razia jilbab karena dilarang. Asma Nadia cepatcepat ngerjain ujiannya terus loncat lewat jendela biar ga ketahuan gitu sama
pengawas razia. Eh nilai ujiannya bagus sampai bisa masuk Universitas Indonesia.” Llau aku bertanya, “Kamu pernah ngga baca buku-buku yang mewajibkan jilbab?” “Aku baca juga dari buku-buku ulama, dibaca di mushala. Tapi enggak ingat isinya. Lebih inspiratif baca yang ditulis oleh asma nadia. Ikut mendorong untuk 141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengenakan jilbab. Bentuk jilbab pas pakai enggak lebar-lebar amat tapi melingker-lingker gitu. Dulu waktu SMA suka pake jilbab dililit, trus dikatain
temen masa pake jilbab kayak gitu. Ada yang dicontoh ngga selain guru ngaji?
Selalu ingat guru ngaji di waktu SD dulu, pakai rok kaos kaki. Aku nyontoh kayak
gitu. Yang penting nutupin dada, kalau warnanya cerah suka digangguin mamangmamang. Kalau warnanya netral cenderung engga digangguin. “ Selain itu, Sari tidak pernah digangguin orang apalagi dilecehkan orang.
Setelah lumayan panjang lebar bercerita tentang perkenalannya dengan
jilbab secara wacana, aku bertanya tentang definisi jilbab. Sari menjawab, “Harus
menutup dada kalau menurut Syar’i. Kalau sekarang kan engga begitu ya. Jilbabnya
belum sempurna yang kayak gitu. Jilbab sempurna di kalangan selebriti itu
misalnya Astri Ivo. Rasanya waktu jilbab dililitkan ya biasa aja, baik-baik aja, karena dulu belum tahu batasan-batasannya.” Lanjut Sari.
Sari pulang ke Biak tahun 2009 saat tengah ramai isu teroris. “Pas sampe di
kompleks rumah dibilang teroris. Aku emang pake kerudung panjang, berwarna hijau atau biru dan juga bermotif biar lebih baur. Eh tapi sama tetangga dibilangin
di belakang teroris. Bahkan orangtua juga curiga aku teroris. Tapi untungnya ayah
suka nonton berita jadi enggak polos-polos banget. Sampe aku nangis-nangis sama mamah kalau aku bukan teroris.” Sari mengaku sangat sulit jika harus berhadapan
dengan orangtua, tidak mudah untuk membela diri. Menurut Sari, berangsurangsur orangtuanya menyaksikan bahwa anaknya baik-baik saja. Meskipun saat di lingkungan keluarga jadi seperti berbeda hanya karena sering mengaji atau shalat
Dhuha. Soal cara berpakaian, ibu Sari sering memprotes, “kayak ibu-ibu pake rok terus coba pakai celana biar gaul dikit.”
142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Aku bertanya tentang perempuan seperti Najwa Shihab yang tidak
berkerudung. Menurutnya, “Sayang sih, ayahnya ulama tapi dia tidak berjilbab padahal di Al-Qur’an kan wajib. Saya pernah dengar sih dari ayahnya dia ngga
pernah memaksakan anaknya untuk berjilbab. Tapi biar aja itu jadi proses dia berjilbab. Jadi ya orang bertindak sesuai dengan pemahaman mereka sendiri. Tapi menurut saya sayang sekali mereka berkerudungnya kayak gitu.” ***
Bukankah kami, para perempuan yang bernaung di bawah bentangan sehelai kain bernama jilbab itu
adalah sosok-sosok yang sangat berbeda?
Cara kami
berkenalan dengan wacana jilbab, bernegosiasi dengannya, serta cara mengalami
jilbab sungguh berbeda-beda. Jika aku merasa menemukan cermin diriku pada
mereka, itu pun tidak persis sama. Selain Sari Asih, yang memang sangat berbeda
denganku, merupakan serpihan-serpihan cermin bagiku. Kalian pun dapat menyaksikan sendiri bahwa sebuah kewajiban dari agama bukan begitu saja untuk
mengatur hidup kami tetapi untuk memberi hidup itu sendiri. Jika para penulis yang bernada moralis tentang jilbab memahami pengalaman Rini, jilbab yang
diperkenalkan secara paksa, apa yang akan mereka bayangkan kira-kira? Mungkin sosok Sari Asih adalah sosok yang ideal karena sepakat sepenuhnya pada jilbab
sesuai dengan wacana besarnya. Tetapi kita tahu tidak bisa memaksa semua
perempuan menjadi Sari Asih. Dalam bentangan sehelai jilbab, beragam riak kehidupan dan pribadi bernaung di bawahnya. Tidak ada yang seragam, atau bahkan sama persis.
143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV JILBAB SEBAGAI DISIPLIN HINGGA TEKNOLOGI DIRI
Sudah dijelaskan dalam bagian metodologi bahwa penelitian jilbab yang
saya kerjakan menggunakan otoetnografi. Peneliti dalam jalur otoetnografi
berupaya untuk mengkaji posisi mereka dalam bidang akademis tertentu, dalam hal ini kajian budaya, untuk menghantarkan dan menulis tentang masyarakat
mereka sendiri sekaligus menjadi peneliti yang memilih sebuah ‘lapangan
penelitian’ yang menghubungkan pada satu identitas mereka sendiri atau sebuah kelompok. Ini artinya, sang peneliti mencoba untuk meneliti budaya yang mereka
hirup sehari-hari, tidak dengan cara berjarak seakan-akan diri tidak terlibat di
dalamnya, tetapi mencoba untuk menggali secara analitis kontruksi budaya tersebut. Selain (tentu saja) untuk memahami diri sendiri tetapi juga pada
dasarnya untuk mencoba masuk lebih dalam pada masyarakat melalui budaya tadi. Masyarakat tidak diandaikan sebagai sebuah kelompok statis yang dapat dianalisa
secara obyektif, sedangkan diri sendiri sebagai peneliti tidak dimatikan sedemikian rupa dalam rangka mengedepankan obyektivitas.
Sebelum benar-benar memasuki bagian analisa, perlu diketahui bahwa
penelitian yang dikerjakan sejak tahun 2013 ini, pada awalnya bertujuan untuk menyuarakan suara pengguna jilbab. Mengapa demikian? Bukankah sudah banyak penelitian jilbab yang mengetengahkan wawancara mendalam para penggunanya?
Dalam hal ini, selain bertujuan memberi perspektif lain untuk melengkapi
penelitian jilbab yang sudah ada, saya terkadang menemukan hal-hal yang kurang 144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tepat dalam membahas jilbab, yaitu penelitian yang kurang mengakomodasi suara pengguna jilbab secara lebih utuh. Bukankah dalam penelitian yang saya gunakan
sebagai kajian pustaka juga digunakan wawancara para pengguna jilbab? Memang
benar, tetapi penelitian yang selalu dikerjakan oleh peneliti outsider memiliki keterbatasannya sendiri. Apalagi jika peneliti atau penulis tersebut berasal dari
latar belakang kultur yang sangat berbeda. Tanpa mengecilkan upaya penelitian yang telah dikerjakan oleh peneliti outsider, sangat penting untuk mengerjakan
penelitian dari kacamata seorang insider agar emosi-emosi yang tertimbun dalam
budaya yang mereka hidupi sehari-hari tersebut dapat mengemuka secara lebih leluasa.
Walaupun demikian, memang tak dapat dipungkiri juga, saat saya
membaca hasil penelitian baik oleh Indonesianis maupun peneliti lokal terkadang
saya merasa kurang nyaman karena tiba-tiba muncul rasa asing setelahnya. Meskipun penelitian yang ada tersebut tidak secara khusus meneliti saya, tetapi saya tidak dapat melepaskan diri dari merasa ‘terlibat’ dengan wacana yang sedang diperbincangkan. Sehingga, untuk penelitian yang terkesan berhasil
mendapatkan ‘kebenaran’ suara pengguna jilbab, saya merasa harus melibatkan diri. Terlebih setelah bersentuhan dengan wacana Poskolonialisme, kecurigaan
terhadap upaya-upaya pendefinisian subjek yang bersifat tidak adil tidak mungkin
dihindarkan. Bahkan kecurigaan semacam ini sangat penting mengingat saya
mempunyai posisi sebagai perempuan pengguna jilbab yang seringkali direpresentasikan. Suara yang hendak saya kemukakan dalam sebagian besar bab ini, bukanlah suara yang merupakan bagian dari wacana yang bersifat arus besar
tetapi suara yang merupakan hasil negosiasi dengan berbagai hal yang hanya 145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mungkin mengemuka jika dilakukan penggalian lebih dalam mengenai makna jilbab dalam perjalanan hidup yang panjang.
Mengapa penting untuk mengemukakan negosiasi jilbab yang lebih
personal? Dalam hal ini, kita tengah berada dalam permainan wacana yang lebih besar lagi, yang melebihi sebatas jilbab. Perempuan dan pakaiannya cenderung
dijadikan simbol yang merepresentasikan sesuatu yang lebih luas, yaitu Islam atau
Timur. Di satu sisi, pakaian muslimah memainkan peran penting dalam wacana islamofobia, yaitu melambangkan kekolotan dan kekejaman Islam. Sedangkan di
sisi lain, dalam wacana dakwah ataupun nasionalis perempuan dan pakaian
melambangkan unggul dan bermoralnya Islam karena perempuannya lebih sopan
serta bisa menjaga diri.70 Kedua perlambang tersebut saling memperebutkan perempuan dan pakaiannya. Sementara, di sisi lain, terdapat pengalaman negosiasi
pribadi yang mungkin tidak selalu sesuai dengan perlambangan manapun. Tetapi pengalaman negosiasi tersebut tenggelam dalam arus besar perlambangan
tersebut. Tenggelamnya pengalaman negosiasi tersebut juga merupakan dampak dari apa yang dibebankan pada pundak perempuan tidak lagi sebatas masalahnya
70
Dalam catatan diskusi yang ditulis oleh Sigit Budhi, yang bertajuk Jender dan Politik Pluralisme di Indonesia dijelaskan mengenai proyek identitas yang selalu menyasar perempuan, sejak awal abad 18-19, Pasca Perang Dunia II. Pada abad 18-19, saat kesadaran pembentukan kesadaran kolektif bernama nasionalisme dan negara bangsa mencitrakan laki-laki dengan keberanian maka perempuan diasosiasikan dengan penjaga moralitas dan nilai-nilai tradisi. Sedangkan pada masa Pasca Perang Dunia II, saat kolonialisme runtuh dan lahir kemerdekaan yang hampir menyeluruh di negara-negara Islam di seluruh dunia, Muslim pada tahun 60-70-an terdapat fenomena gerakan Islam Politik yang juga muncul di hampir seluruh dunia Islam. Di kalangan kelompok Islam Politik terdapat konsensus bahwa perempuan harus mematutkan dan memerankan dirinya tidak hanya berpenampilan fisik yang sopan, secara emosional pun mereka harus memahami peran jender yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai manifestasi kepatutan itu adalah pengenaan jilbab bagi kaum perempuan. Catatan yang saya rujuk ini diterbitkan dalam buku Pengetahuan Dari Perempuan; Prosiding Konferensi tentang Hukum dan Penghukuman; Jakarta, 28 November-1 Desember 2010, hal. 218.
146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sendiri. Tetapi perempuan menanggung beban yang cakupannya melebihi dirinya sendiri, yaitu citra agama dan negara.
Perempuan dan jilbabnya berada di antara kedua wacana besar yang saling
bertolak belakang ini pula. Masing-masing wacana tersebut beredar sedemikian
rupa secara konkrit dalam hidup sehari-hari yang dijalani. 71Tetapi jika dilihat lebih dekat lagi, jilbab tidak sebatas menjadi dua wacana besar yang saya jelaskan
tadi. Jilbab juga menjadi lokus bagi penggunanya, baik ketika dikenakan maupun tidak. Untuk mengilustrasikan posisi pengguna jilbab di antara dua kubu wacana
ini, saya hendak meminjam logika wacana Sati yang dibahas oleh Gayatri
Chakravorty Spivak.72 Sati adalah tradisi Hindu yang mengharuskan seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk ikut membakarkan diri saat
jenazah suaminya dibakar. Tradisi ini menjadi kontroversial karena di satu sisi,
dari kacamata kolonial, merupakan kekerasan terhadap perempuan yang harus dihentikan. Tetapi di sisi yang lain, menurut kacamata tradisi Hindu, Sati adalah
tindakan mulia bagi seorang janda. Janda yang membakarkan diri ikut bersama jenazah suaminya ini, tidak berbicara. Sati hanya membahasakan dua kubu wacana yang bertolak belakang ini. Sementara, janda yang melakukan Sati tidak pernah
benar-benar berbicara mengenai perasaannya sendiri. Melalui tradisi ini, Spivak menjadikannya sebagai simbol untuk mempertanyakan posisi janda tersebut, “Dapatkah seorang subaltern berbicara?” Melalui logika wacana Sati dalam karya 71
72
Dalam pengantar Bab I saya memberi ilustrasi mengenai pengalaman berada di pusat belanja di pusat kota di mana saya merasa kuno dan kolot karena mengenakan jilbab. Pengalaman tersebut terjadi sebelum tahun 2000. Wacana jilbab masih dalam proses formasi. Perasaan seperti ini tidak pernah hilang, kecuali jika wacana jilbab modis diakomodasi untuk mengatasi ketidakpercayaan diri akibat citra jilbab yang kolot di dalamnya. Gayatri Cakravorty Spivak. “Can the Subaltern Speak?” dalam Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader. New York : Harvester/Wheatsheaf, hal. 93.
147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Spivak ini, saya juga bertanya, “Dapatkah seorang Pengguna Jilbab Berbicara?” Berbicara yang bukan sebatas membahasakan lagi kedua wacana besar saja tetapi
juga mengemukakan proses negosiasi di dalamnya. Untuk pertanyaan inilah, pada dasarnya Bab Empat ini saya kerjakan.
Untuk sampai pada rumusan pertanyaan, ‘Dapatkah seorang Pengguna
Jilbab Berbicara sesuai dengan pengalaman negosiasinya sendiri?’ Beberapa langkah saya rencanakan di Bab 4 ini. Pada subbab pertama, pada dasarnya akan
dibahas praktik diskursif jilbab. Penjelasannya akan berupa pemeriksaan
munculnya wacana jilbab dan perkembangannya. Melalui penjelasan munculnya wacana jilbab tersebut sebenarnya untuk mengetahui bagaimana orang mengalami
dirinya bersamaan dengan munculnya peristiwa-peristiwa yang berhubungan
dengan lahirnya wacana jilbab. Untuk lebih lanjut memeriksa hal tersebut, atau subjektivitas jilbab, akan dilakukan pada subbab kedua. Di dalam subbab kedua ini, kita akan melihat bagaimana orang, khususnya perempuan Muslim mengelaborasi
wacana jilbab yang mereka temui, di dalam dirinya. Proses yang akan
dikemukakan ini mulai dari momen problematisasi jilbab hingga jilbab menjadi lokus subjektivitas diri. Hal ini sangat penting dilakukan untuk dapat menemukan pengalaman negosiasi dari perempuan terkait wacana jilbab yang menjadi
semakin plural itu. Subbab kedua ini penting juga untuk mengetengahkan bahwa perempuan yang mengalami wacana jilbab tidaklah pasif atau sekadar tunduk.
Ketundukkan perempuan Muslim semacam ini seringkali menjadi stereotipe
perempuan Dunia Ketiga yang berada di bawah bayang-bayang Islam patriarkhis.
Tetapi persoalan tersebut harus dielaborasi dalam bab tersendiri, yaitu dalam subbab 3. Di dalamnya saya mengutarakan kritik 148
terhadap representasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perempuan dunia ketiga, khususnya Muslim, yang terdapat dalam tulisan feminis
barat. Untuk menanggapi kecenderungan orientalistik tersebutlah pada dasarnya penelitian otoetnografi ini menjadi penting.
Sehingga, secara keseluruhan
penelitian yang saya kerjakan ini saya niatkan sebagai bagian dari penelitian perspektif poskolonial.
A. SEJARAH WACANA JILBAB DI INDONESIA
Dalam Bab II sudah dijelaskan mengenai tujuan penulisan sejarah jilbab,
yaitu untuk memahami keadaan masa kini. Rekam jejak yang ditelusuri juga dinyatakan bukan hanya data tertulis yang digunakan tetapi juga ingatan dan
pengalaman. Berdasarkan hal tersebut, tiba saatnya dalam bagian ini saya mencoba untuk menganalisa hasil penulisan di Bab II ditambah juga dipadukan dengan hasil pendalaman pengalaman berjilbab di Bab III.
Sebagai titik tolak penelusuran, tahun 1980-an merupakan tahun yang
penting. Sebelum tahun 1980-an dapat dikatakan sebagai masa peralihan yang krusial untuk wacana jilbab. Pada masa tersebut, sebuah perubahan mengenai cara memperlakukan tubuh perempuan Muslim mulai terjadi. Perubahan ini terjadi
ketika perempuan Muslim di Jawa, khususnya, masih dapat berbangga dengan rambutnya yang hitam legam indah itu. Belum begitu dipersoalkan tentang keindahan rambut yang tampak di muka umum, meskipun ada dalam ruang
agamis. Bukanlah pernyataan yang umum, “Itu rambutmu kelihatan,” yang ditujukan kepada seorang perempuan Muslim yang kebetulan tengah berada di lingkungan masjid misalnya. Rambut, leher, atau lengan tidak terlalu ditekankan 149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai unsur tubuh yang perlu disikapi secara sangat serius. Tetapi walaupun
demikian, perempuan Muslim saat itu, mempunyai cara berpakaian yang dianggap santun seperti sehelai kain bernama selendang yang tersampir di kepala secukupnya saja. Demikian juga dengan dada, jika sudah tertutup oleh bagian dari
kebaya, sudah cukup. Kita juga tidak akan menemukan pengumumanpengumuman tertera di lingkungan masjid yang secara literal berbunyi, “Kawasan
Menutup Aurat” yang mengisyaratkan pakaian sehari-hari itu dianggap kurang santun. Tetapi pada tahun 1980-an, sudah mulai muncul cara memperlakukan
tubuh perempuan Muslim secara berbeda. Sebuah cara berpakaian yang ketat unsur filosofisnya, yang didasarkan pada tafsir Al-Qur’an, mulai menggeliat.
Definisi kesopanan cara berpakaian perempuan Muslim di ruang publik dan
interaksi di antara masyarakat sebelum tahun 1980-an, belum mengandung pada
batasan-batasan yang secara spesifik merujuk pada aturan-aturan pengetahuan Islam, Al-Qur’an. Tetapi walaupun demikian, tidak ada satu pun perempuan yang
melaksanakan shalat tanpa mengenakan pakaian khusus bernama mukena untuk menutup tubuhnya saat tengah beribadah, baik ketika shalat di rumah atau di
masjid yang memungkinkan pertemuan dengan orang luar. Melalui contoh tersebut, pada saat itu sudah terdapat pengetahuan tentang cara menutup tubuh
atau aurat secara khusus, tetapi dikenakan sepanjang itu bersifat pribadi, yaitu untuk beribadah shalat.
Dalam momen sejarah, problematisasi mulai terjadi secara signifikan mulai
tahun 1980-an. Sebuah objek pengetahuan baru, dalam hal ini jilbab telah hadir. Dalam awal mula kemunculan sebuah objek baru tidaklah dapat hadir secara mandiri tetapi menggunakan syarat-syarat bagi kecukupan objek tersebut melalui 150
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengetahuan yang sudah ada. Sehingga, nantinya objek pengetahuan yang ‘baru’
tersebut dapat diterima sebagai seperangkat aturan. 73 Merujuk pada wacana jilbab, sebenarnya batasan-batasan atau aturan tersebut sudah ada dalam sumber
pengetahuan Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis sejak lama. Tetapi karena wacananya belum tersusun, batasan-batasan penampilan perempuan tidak terlalu dipersoalkan, dibahas, dan dirumuskan sedemikian rupa. Cara berpakaian yang
sudah dianggap sopan, salah satunya adalah kebaya bagi perempuan Jawa, sedangkan ada juga pakaian kurung bagi perempuan Minang. Dalam momen
problematisasi, cara berpakaian yang semula tidak terlalu banyak dibatasi secara formal kini telah memasuki wilayah penuh aturan. Aturan yang selalu dirujukkan pada sumber tertulis, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Problematisasi hadir melalui penghadiran secara terus menerus sumber
aturan tentang jilbab yang secara literal merujuk pada Al-Qur’an dan seperangkat Hadis kedalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang diyakinkan bahwa aturan berpakaian tersebut sangat penting dan harus dipatuhi. Sebelum momen problematisasi, Surat Al-Ahzab, belum menjadi materi yang dibahas oleh kalangan pemuka agama umumnya, lalu menyebarkannya secara massif dan intens. Dalam
dinamika keagamaan, terdapat hal-hal yang silih berganti ditekankan agar diketahui oleh umat secara luas. Dalam hal ini, aturan tentang menutup tubuh
dengan jilbab belum menjadi perhatian khusus kalangan pemuka agama saat itu, 74 73 74
Agama, Seksualitas, Kebudayaan; Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih, 2011, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hal. 123. Saat jilbab dilarang penggunaannya di sekolah-sekolah, pejuang jilbab terus mempersoalkan aturan sekolah yang dinilai tidak adil. Perjuangan para perempuan muda tersebut membuahkan hasil. Tetapi ketika itu pihak MUI (Majelis Ulama Indonesia) memandang tidak perlu adanya fatwa tentang pemakaian jilbab/kerudung karena menurut wakil dari MUI, yaitu sekretaris bernama Prodjokusumo, hukum jilbab sudah jelas yaitu hukum wajib tutup aurat. Prodjokusumo menyatakan bahwa wajibnya
151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
meskipun di beberapa daerah misalnya Padang, cara berpakaian semacam jilbab
sudah mulai ada. Tetapi sekali lagi, karena wacananya belum benar-benar terformasi sehingga problematisasi, pembahasaan, pembicaraan, penyebarannya belum bersifat massif dan intens.
Pembahasan mengenai jilbab dimulai secara eksplisit ketika muncul
kalangan-kalangan yang menyebarkan aturan jilbab sesuai dengan Al-Qur’an. Kalangan ini, merupakan salah satu ‘pintu masuk’ bagi penyebaran wacana jilbab yang secara internasional sudah terformasi lebih dulu, misalnya yang terjadi di
Iran, atau Mesir. 75 Formasi wacana jilbab di berbagai negara yang sudah
mengalami terlebih dahulu itu, mendarat dalam konteks ideologis yang berbedabeda, termasuk di Indonesia. Sehingga terdapat makna-makna khusus yang melekat dalam jilbab tersebut beragam sesuai dengan konteks ideologis dan budayanya sendiri. Tetapi, formasi wacana jilbab adalah formasi yang menyebar sesuai dengan gerak kekuasaan yang dibawa oleh wacana dan pengetahuan yang ada dalam jilbab sehingga memungkinkan tersebar hingga ke Indonesia.
Di Indonesia, sumber teks yang membahas seputar jilbab, yang
penerbitannya paling tua, yang saya temukan adalah terbitan tahun 1986. Buku
tersebut berjudul, Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab (Kerudung) yang disusun oleh tiga orang dari Yayasan Karya Pembangunan Islam. Buku tersebut dicetak sejak tahun 1986, 1989, 1992, 1998, 2001, 2003, 2004: Durasi pencetakan
75
jilbab sama “halnya dengan shalat, puasa, dan sebagainya. dalam “Kurrotu Aini: Aktivis Pejuang Jilbab” dalam Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentnag Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, 2014, Jakarta: Rumah Kitab, hal. 52. Berbagai sumber sejarah penggunaan jilbab biasanya merujuk pada kelompok-kelompok atau khalaqah di kampus. Menurut salah satu sumber yang saya rujuk, penyebaran wacana jilbab juga terdapat di masjid tersendiri. Seperti yang dialami oleh seorang jilbaber awal, Aini. Ibid hal. 51.
152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang semakin rapat jedanya. Saya sendiri mendapatkan edisi yang dicetak tahun
2004. Dalam hal ini, pihak yang mempunyai otoritas untuk ‘menyentuh’ Al-Qur’an ataupun Hadis terkait jilbab bersifat eksklusif. Dalam kata pengantar penerbitnya, dijelaskan bahwa buku tersebut diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan informasi yang diperlukan bagi masyarakat. Berikut petikannya secara langsung, Buku tanya jawab tentang Jilbab ini diterbitkan sebagai bagian informasi yang diperlukan masyarakat. Pemakaian busana Jilbab, yang dari waktu ke waktu semakin pesat berkembang dan menyebar ke berbagai kalangan, dalam beberapa hal masih perlu dijernihkan, dalam arti diolah agar sesuai dengan tuntunan Syariat Islam. Dengan demikian, jawaban dari berbagai persoalan yang terurai dalam buku ini jelas merujuk kepada nash Al-Qur’an dan Hadits yang shahih. Di samping dalil naqli itu, penulis buku ini juga mengajukan alasan-alasan yang logis dan gampang dicerna, yang terangkum dalam dalil ‘aqli yang cukup argumentatif (Hal: v).
Melalui kutipan yang saya sajikan di atas, kita dapat memeriksa bahwa
secara jelas cara berpakaian yang disebut jilbab ini adalah cara berpakaian yang
‘baru’ diketengahkan. Meskipun terdapat cara berpakaian yang memenuhi standar
kesopanan itu dianggap tidak mencukupi. Hal ini berbeda dengan bentuk-bentuk syariat atau hukum yang secara mendasar sudah diketahui oleh umat Muslim
seperti shalat, misalnya. Di sini bukan saja mengetengahkan seruan untuk
mengenakan jilbab tetapi juga berbagai alasan-alasan manusiawi agar diterima
oleh pembaca, khususnya perempuan Muslim. Pada umumnya, teks-teks yang menerangkan
mengenai
syariat
adalah
berupa
panduan
atau
cara
melaksanakannya. Tetapi untuk wacana jilbab, penerbit serta para penulisnya
berusaha untuk meyakinkan pembaca seakan-akan teks rujukan seperti Al-Qur’an dan Hadis tidak mencukupi untuk membuat para perempuan Muslim yakin bahwa
jilbab adalah sebuah kewajiban, bahkan nyaris setara dengan rukun-rukun Islam
lainnya. Hal semacam ini, akan terus menerus kita dapatkan dalam buku-buku 153
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terbaru sekalipun yang diterbitkan beramai-ramai saat ini. Para perempuan
Muslim, seakan adalah manusia bebal yang harus terus menerus ‘diingatkan’ bahkan diancam agar ‘rela’ mengenakan jilbab.
Aturan yang dijadikan rujukan jilbab berkisar pada berbagai sumber
pengetahuan Islam, bukan sebatas Al-Qur’an, misalnya Hadis. Banyak peristiwa
yang terjadi di zaman Nabi, yang juga dijadikan sebagai rujukan. Sebagai contoh, rujukan berupa riwayat Abu Dawud dan Shafiyah binti Syaibah seperti berikut ini,
merupakan rujukan cara perempuan di masa Nabi, mematuhi turunnya ayat tentang menutup aurat dengan jilbab. Peristiwa tersebut dikemukakan karena
terdapat penekanan di kalangan perempuan Muslim untuk mencontoh para istri Nabi.
“Berkata Syafiyah binti Syaibah: Ketika kami bersama-sama ‘Aisyah, mereka sebut-sebut wanita-wanita Quraisy dan kelebihannya. Maka ‘Aisyah berkata: Sesungguhnya bagi wanita-wanita Quraisy ada kelebihannya. Tetapi sesungguhnya aku, demi Allah, aku tidak melihat yang lebih mulia selain dari para wanita Anshar, mereka membenarkan Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sangat kuat imannya kepada wahyu yang diturunkan. Sungguh ketika diturunkan surat An-Nur—dan ulurkanlah kerudung-kerudung mereka hingga ke dadanya— para lelaki mereka pun pulang, lalu membacakan ayat yang baru turun itu kepada para wanitanya. Maka mereka pun mengambil kain yang kemudian dengan kain itu mereka jadikan kerudung. Itu karena sangat membenarkan dan beriman kepada apa yang telah diturunkan Allah dalam Kitab-Nya.76
Pada masa awal, sekitar tahun 1980-1990-an wacana jilbab masih belum
terlalu beragam. Wacana yang ada saat itu lebih banyak mengedepankan
penekanan akan wajibnya masalah aurat secara terus menerus. Beberapa kalangan yang secara khusus membicarakan dan menyebarkan wacana jilbab adalah
kalangan aktivis gerakan Islam. Sehingga, tak dipungkiri, pilihan bentuk pun belum
beragam karena mengingat wacananya masih lebih menekankan kedalam 76
Al-Qur’an.
154
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kesadaran masyarakat akan pentingnya menutup aurat. Pada masa itu, pilihan wacana jilbab baru ada dua jenis, jilbab biasa, yaitu bentuk jilbab yang sudah rapat,
tanpa memperlihatkan rambut, tetapi ukurannya tidak terlalu besar atau lebar. Sementara jenis pakaian yang dikenakan pun masih berupa padu padan antara
celana panjang, kemeja panjang, atau juga rok. Di sisi lain, wacana jilbab yang merujuk pada wacana yang lebih ketat, yang sering dianggap lebih benar secara
syariat adalah jilbab yang serba panjang atau lebar (seringkali juga disebut khimar), dengan jenis pakaian yang tidak mempunyai potongan melainkan pakaian terusan (gamis). Pakaian berupa kemeja dan celana panjang disebut sebagai jilbab
yang belum kaffah (sempurna) karena menyerupai pakaian laki-laki. Sementara itu, sebagai upaya penekanan keketatan batasan pakaian yang memenuhi standar syariat, beberapa aliran mengenakan cadar serta berpakaian serba hitam.
Cara kalangan aktivis memperkenalkan dan menyebarkan wacana jilbab
biasanya adalah melalui aktivitas mentoring atau khalaqah yang berupa pengajian
dalam kelompok kecil. Wacana jilbab diperkenalkan, aturan-aturan yang menjadi
rujukan dipelajari, lalu diproduksi kedalam bentuk-bentuk majalah kecil seperti An-Nida, atau Ummi, juga kedalam bentuk buletin yang disebarkan secara terbatas. Corak wacana jilbab yang masih belum beragam seperti saya jelaskan di atas, dapat
dipahami karena pada saat itu merupakan momen-momen awal pembentukan kesadaran akan pentingnya jilbab bagi seorang muslimah. Juga dapat dipahami alasan keketatan wacana jilbab saat itu karena wacana jilbab saat itu memang
masih baru. Sehingga penekanan-penekanan batasan aurat tidak terlalu banyak
bisa diolah atau diinterpretasi secara lebih beragam karena masih dalam tahap penyesuaian dengan cara berpakaian yang sebelumnya tidak menyorot jilbab. 155
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Apakah wacana jilbab terformasi secara represif? Dalam hal ini bagaimana
kekuasaan berperan sehingga wacana jilbab dapat tersebar secara luas untuk diakomodasi menjadi salah satu cara menampilkan identitas khusus? Pembentukan suatu tipe wacana, dalam hal ini wacana jilbab harus ditempatkan bukan dalam
konteks penindasan atau hukum, melainkan dalam konteks kekuasaan. Setidaknya kalau kita mencoba memahami awal mula penyebaran wacana jilbab dengan menggunakan konsep kekuasaan Michel Foucault. Kekuasaan menyebar lewat pengetahuan, dalam arti bahwa orang mulai menggunakan jilbab secara sukarela
akibat persentuhan dengan pengetahuan tentang jilbab. Meskipun, nanti ada masanya wacana jilbab juga ‘terkesan’ merepresi penggunanya karena tampak dipaksakan oleh institusi berupa dibuatnya aturan peraturan daerah.
Menurut Foucault, kekuasaan seringkali tidak disadari. Kekuasaan di sini,
bukan berarti kekuasaan yang pada umumnya dipahami orang, khususnya dalam
konteks budaya Barat seperti yang dirujuk Foucault. Kekuasaan bukan berbentuk
represi terhadap individu karena jika demikian, seakan-akan ada ruang di mana individu dapat berdiri di luar kekuasaan. Padahal, masalahnya, kekuasaan justru sering tidak disadari dan hadir melalui wacana dan pengetahuan yang tersebar itu,
dalam hal ini dalam wacana jilbab. Ketika orang ikut turut mengamini,
membicarakannya, lalu menyebarkannya, ia sudah ada dalam kekuasaan wacana. Dalam penyebarannya, seperti sudah saya kemukakan di atas, meskipun ‘pintu masuknya’ adalah melalui kalangan aktivis gerakan Islam, bukan berarti berpusat
pada mereka. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki, diperoleh atau diberikan. Kekuasaan tidaklah berpusat pada manusia atau institusi tertentu, tetapi ia menyebar.
156
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kekuasaan merupakan kata kunci dalam penyebaran wacana, karena
kekuasaan
bukan
persoalan/relasi
sebuah
lain
kekuatan
(misalnya
yang
ekonomi
hadir
atau
secara
terpisah
pengetahuan),
dari
lalu
mempengaruhinya dari luar. Justru sebaliknya, kekuasaan hadir di dalam relasi
tersebut, yang kemudian memungkinkan menjadi produktif, bukan malah
membatasi atau justru melarang. Misalnya melalui faktor non-diskursif, yaitu politik pada saat rezim Orde Baru berakhir, sebuah momen baru bagi wacana jilbab menjadi lebih produktif. Wacana yang semula masih berkutat di kalangan aktivis
gerakan Islam, khususnya perempuan dan laki-laki berpendidikan, kelas menengah, mulai merambah kedalam kalangan yang jauh lebih luas. Jilbab yang semula dilarang kemudian diizinkan dipakai sebagai bagian dari seragam sekolah.
Lalu semakin banyak orang ikut menjadi pihak yang menyebarkan dengan cara
terus-menerus membicarakannya dan mengapresiasinya. Perubahan dalam memperlakukan wacana jilbab tengah disongsong. Bukan lagi masanya untuk
mempertanyakan kewajiban berjilbab. Keganjilan jilbab yang semula dikaitkan
dengan aliran-aliran keras atau fundamentalis mulai mencair pada masa pascaOrde Baru. Sebelumnya, organisasi-organisasi Islam masih menjadi ‘anak tiri’ Orde Baru, maka apa pun yang menegaskan wajah ‘keislaman’ akan merujuk pada kelompok-kelompok yang berbau berseberangan dengan pemerintah Orde Baru.
Sehingga tidak mengherankan jika saat itu, selain karena sifatnya yang masih
eksklusif, seringkali bersinggungan antara pernyataan-pernyataan khas internal dan eksternal. Di kalangan aktivis Islam, pernyataan seperti ‘Islam kaffah’, ‘ukhti’,
‘tutup aurat’ ketika berada di ruang publik bersinggungan dengan pernyataan yang
157
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
datang dari masyarakat seperti ‘Islam fundamentalis/fanatik’, ‘ninja’ atau bahkan ‘jilbab racun’. 77
Kekuasaan juga beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tetapi
bukan artinya bahwa ada orang/kelompok tertentu yang merancangnya dan menjalankannya. Wacana jilbab menjadi semakin massif karena terjalin melalui jaringan hubungan kekuasaan yang luas. Pengetahuan bahwa jilbab adalah inheren
dengan kemusliman diakomodasi berbagai kalangan dan beragam media akibat kekuasaan di dalam pengetahuan tersebut. Melalui keduanya, kekuasaan akan pengetahuan mengenai jilbab sebagai sebuah kewajiban menyebar tanpa bisa dibendung.
Kekuasaan juga beroperasi dengan strategi dan tujuan yang jelas, tapi
bukan berarti bahwa ada orang/kelompok tertentu yang merancangnya dan
menjalankannya. Tidak ada orang yang secara sengaja mencipta taktik-taktik khusus. Bahkan Foucault menjelaskan bahwa hanya sedikit yang mampu
merumuskannya. Sehingga, ketika muncul semacam perluasan wacana, di mana
wacana jilbab menjadi semakin kompleks dan plural tidak ada yang benar-benar mendesainnya. Semua wacana yang hadir dalam formasi wacana tumbuh satu per
satu, terkadang bersilangan, berhierarkhi secara rumit dan segalanya tersusun di sekitar sebuah jaringan hubungan kekuasaan.
77
Jilbab racun adalah isu yang tiba-tiba dihembuskan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab pada masa itu. Jilbab racun merujuk pada penyebaran racun yang disimpan di balik jilbab perempuan penggunanya. Dalam isu tersebut dinyatakan bahwa jilbab racun beredar di pusat-pusat belanja. Saya ikut mengalami masa tersebut. Meskipun saya sudah mengenakan jilbab, biasanya jilbab racun merujuk pada pengguna jilbab lebar dan gamis.
158
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wacana jilbab terus mengalami rangsangan untuk berformasi sedemikian
rupa, menjadi berlipat ganda tetapi tetap berada dalam jaringan kekuasaan, dan
tidak bersifat melawan kekuasaan. Malah, di dalam ruang kekuasaan sendiri dan sebagai alat penerapan kekuasaan itu. Berikut ini adalah kategorisasi wacana jillbab yang dapat diinventarisir tetapi wacana ini tidak secara secara ketat
membatasi dan mengotak-ngotakkan sedemikian rupa secara kaku penggunanya.
Selalu ada kalangan-kalangan yang berganti-ganti, berjalan, serta mengalami satu jenis wacana menjadi wacana yang lain, bergantung konteks pengalaman yang ditemui oleh masing-masing perempuan.
Di lain pihak, pada tataran berbagai wacana dan bidang terkait wacana
tentang jilbab—wacana khusus yang berbeda baik dari segi bentuk maupun
objeknya—terus bertambah dan meluas: mungkin seperti pembiakan wacana mengenai jilbab yang masih ada dalam wilayah kekuasaan itu sendiri, yaitu berupa
dorongan institusional untuk membicarakannya secara terus menerus. Sehingga
pembicaraan tentang jilbab semakin eksplisit dan rinci, hingga batas-batas yang tidak dapat terduga sebelumnya.
Perkembangbiakkan wacana jilbab selalu
bersifat saling berhadapan, menguatkan, bahkan juga terkadang penuh perlawanan.
Berikut saya akan secara singkat membahas beberapa jenis wacana jilbab yang kemudian tumbuh, lalu menyebar antara lain lewat media massa dan aktivisme organisasi Islam.
159
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1. Wacana Jilbab Syariat
Wacana jilbab syariat, bisa dikategorikan sebagai wacana awal yang
terbentuk, yaitu wacana yang terus menerus memberi batasan jilbab yang sah atau
tidak menurut sumber Al-Qur’an dan Hadis. Wacana ini masih berhubungan dengan wacana awal yang bergulir di kalangan aktivis gerakan Islam, yang beredar
di kampus-kampus. Cara berjilbab secara langsung ‘masih’ terus menerus disesuaikan dengan ideologi yang ada dalam aliran gerakan Islam tersebut. Faktor bentuk komunitas, atau keorganisasian, batasan jilbab masih dapat ‘mungkin’
untuk terus menerus diperhatikan oleh sesama anggota. Dalam hal ini, kelompok seperti Ikhwanul Muslimin, Tarbiyah, Salafi Wahabi, lalu juga dapat disebut
kelompok Hizbut Tahrir (HT) biasanya mempunyai gaya berjilbab yang khas, yaitu
ukuran jilbab serba panjang yang seluruhnya menutup dada. Sebagian ada yang mengenakan khusus kain berwarna hitam, sebagian lain cukup berwarna tapi tidak
mencolok dan tetap berukuran panjang. Kalangan dari kelompok-kelompok seperti Ikhwanul Muslimin atau Salafi Wahabi, maupun HT ini yang terlihat berusaha untuk menjaga tata cara berjilbab. Misalnya dapat ditemukan di situs HT yang memuat tata cara berjilbab yang sesuai syariat.
160
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Wacana Jilbab Modis Tapi Syar'i
Pada masa 90-an, ketika jilbab masih memuat wajah yang berseberangan
dengan masyarakat secara umum, ada citra khusus yang melekat di dalamnya,
yaitu citra kuno, terbelakang, dan kumal. 78 Pada masa itu, pilihan cara untuk berpakaian maupun berjilbab memang masih sangat minim. Jilbab biasanya hanya
dapat dibeli di toko-toko kecil yang tersembunyi, bukan di pusat perbelanjaan yang ramai pengunjung. Paling tidak, toko yang menjual secara terbuka dan mudah diakses misalnya toko di lingkungan masjid. Para pengguna jilbab juga terbiasa membuat jilbab sendiri dengan membeli kain sendiri di pertokoan untuk dijadikan
sebagai jilbab sehari-hari. Model yang tidak tren secara luas, padahal dikenakan 78
Pada masa itu, citra jilbab tidak sebaik pada hari ini. Jilbab atau busana muslimah pada tahun 1970an dan 1980-an “identik dengan tradisional, kampungan , ndeso, pesantren,...” dalam “Kurrotu Aini: Aktivis Pejuang Jilbab” dalam Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, 2014, Jakarta: Rumah Kitab, hal. 51
161
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
oleh para perempuan muda ini, menjadi salah satu faktor jilbab masih terkesan sebagai cara berpakaian yang kurang pantas untuk dipakai di banyak tempat
seperti lingkungan kerja seperti kantor-kantor besar, atau bahkan pusat keramaian seperti pertokoan.
Tetapi keadaan mulai berubah secara perlahan ketika pengguna jilbab
semakin banyak. Mulai bermunculan model-model pakaian atau jilbab yang lebih
bergaya dan cantik. Bahkan kemudian muncul juga kalangan perempuan yang membuat semacam gerakan berjilbab lebih cantik dan modis. Perubahan tersebut secara spesifik ditandai oleh sebuah gejala baru, yaitu saat para perempuan muda
berusaha untuk “memperbaharui” citra jilbab yang dinilainya sudah usang. Jilbab dinilai mempunyai citra “kurang modern, tua, dan membosankan”. Dengan alasan agar tampilan perempuan yang menutup aurat masih dapat bergaya secara
estestis, istilah hijab diambil untuk menandai gerakan baru mereka. Lantas
diciptakanlah sebuah komunitas yang bernama hijabers Community pada tahun 2013 yang semula hanya terdiri dari sejumlah desainer muda. Mereka merancang secara kreatif gaya berpakaian dan berjilbab yang sama sekali baru. Dengan alasan
untuk melakukan dakwah melalui hijab mereka terus menerus menciptakan kreativitas barunya.
Wacana jilbab modis juga berkembang dengan sangat pesat. Dengan
topangan faktor ekonomi dan bisnis, jilbab menjadi sebuah wacana gaya hidup
modern yang menggiurkan. Kebaruan bentuk-bentuk model jilbab semakin beragam, mulai dari yang sederhana dengan harga murah hingga dengan model rumit dengan harga yang sangat tinggi. Akibat persaingan bisnis yang terjadi 162
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam dunia bisnis jilbab ini, juga semakin memperteguh wacana jilbab di berbagai kalangan, termasuk di kalangan para publik figur. 3. Wacana Jilbab Perda Syari’ah
Telah muncul pula jilbab yang dijadikan sebagai sebentuk kewajiban yang
ditekankan pemerintah daerah. Jilbab dijadikan sebagai sebentuk ‘seragam’ yang wajib dikenakan, misalnya seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Syariah,
seperti yang dipraktikkan kabupaten Aceh. Jilbab tidak sebatas dikenakan sebagai bentuk pilihan perempuan tetapi sebagai aturan yang harus dipatuhi karena instansi atau lembaga yang mewajibkan. Wacana jilbab seperti ini pun, kurang
mendapat apresiasi dan banyak dikritik masyarakat, kalangan feminis pun yang
seringkali mempersoalkan betapa kebebasan perempuan di dalamnya yang menjadi hilang apabila jilbab diwajibkan demikian rupa. 4. Wacana Jilbab Islam Liberal
Wacana jilbab dari kalangan Islam Liberal hadir sebagai salah satu bentuk
reaksi terhadap wacana jilbab mainstream yang kekuasaannya semakin meluas dan mendalam. Sehingga, orang-orang di lingkaran Islam Liberal mendiskusikan dan menerbitkan buku atau teks untuk mewakili pemikiran mereka. Argumentasi
mereka pada dasarnya adalah menyatakan bahwa jilbab tidaklah sedemikian ketat harus dilakukan oleh semua perempuan Muslim karena terdapat unsur konteks yang berbeda antara masyarakat saat ayat tentang jilbab diturunkan, dengan masyarakat masa kini.
163
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tetapi muncul juga pandangan yang terkesan mengkritik tajam jilbab
dengan argumen bahwa jilbab adalah adopsi dari budaya Arab serta tidak ada hubungan khusus dengan religiusitas. Warna yang berbeda ini muncul dari
kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan diterbitkannya sebuah buku yang
ditulis oleh Muhammad Sa’id wa Hujjiyyatul Al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab (2003). Buku tersebut diterbitkan karena dapat mewakili pandangan JIL secara umum mengenai jilbab. JIL menolak pelembagaan jilbab sebagai bagian penting dari
ajaran Islam. Alasannya adalah jilbab secara historis bukan hanya milik ajaran
Islam melainkan terdapat asimilasi kultur yang kompleks di dalamnya. Warna tafsir yang ditawarkan oleh JIL bersifat lebih longgar terhadap jilbab. Jilbab dapat dipandang sebagai sebuah kewajiban, bisa juga tidak. Ketidakwajiban jilbab
tersebut dibahasakan oleh Al-Syamawi. Al-Syamawi menunjukkan bahwa hadis-
hadis yang menjadi rujukan pewajiban jilbab adalah bersifat dha’if sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Wacana jilbab yang disuarakan oleh JIL
biasanya, selain beredar melalui penerbitan buku, juga melalui diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa.
5. Wacana Penyalahgunaan Jilbab
Jilbab pada era pascareformasi adalah tanda khusus yang sudah menyatu
dengan identitas kemusliman perempuan di negeri ini. Jilbab bukan sebatas cara
berpakaian yang mengekspresikan nilai estetik tertentu tetapi dianggap sebagai ekspresi kesalehan seseorang. Citra kesalehan yang termuat di dalamnya, dapat
juga dipakai oleh kalangan tertentu untuk menciptakan citra khusus. Misalnya
ketika seorang perempuan yang menjadi pesakitan atau terdakwa karena kasus 164
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
korupsi yang tiba-tiba mengenakan jilbab di ruang sidang akan menuai kecaman. Mereka misalnya adalah Malinda Dee, Neneng Sri Wahyuni, dan Nunun Nurbaeti. Terbukanya kasus korupsi saja sudah membuat orang tercengang dan gemas.
Tentu saja pelakunya menjadi sorotan berbagai media. Wajahnya akan muncul di berbagai media dengan cara yang ganjil. Dalam hal ini, sebuah majalah berita,
Forum, mengangkat profil mereka dengan berfokus pada perubahan penampilan
(bukan pada kasus korupsi yang dilakukannya saja). Di dalam majalah Forum dipajang foto-foto ketiga perempuan tersebut sebelum menjadi terdakwa
koruptor. Sebelum tersangkut kasus korupsi, para perempuan ini tidak mengenakan jilbab apalagi cadar. Foto mereka antara penampilan tak berjilbab
dan berjilbab (bahkan ada yang menutup sebagian wajah bak cadar)kemudian ditampilkan dengan cara yang menekan. Mereka dianggap telah mencuri citra kesalehan dalam jilbab dan cadar untuk memanipulasi penampilan mereka di
hadapan publik. Judul besar yang diangkat oleh majalah tersebut tajam dengan bunyi “Cadar dan Kerudung Munafik Perempuan-Perempuan Korup”. Sejak saat itu, jilbab tiba-tiba hadir di ruang-ruang pengadilan sebagai cara berpakaian baru
para perempuan yang terjerat hukum. 79 Pemberitaan secara menyudutkan seperti itu dapat dibaca sebagai wacana penertiban, yaitu mengingatkan orang bahwa
jilbab harus dipakai dengan niat dan syarat tertentu. Seakan-akan sudah pasti mereka hanya sekadar menyalahgunakan jilbab untuk menutupi wajah buruknya.
79
Dalam Majalah Forum Keadilan, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15.
165
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6. Wacana Melepas Jilbab
Wacana melepas jilbab tentu saja tidak dapat dilepaskan dari formasi
wacana jilbab. Posisi perempuan yang tidak atau belum mengenakan jilbab tidak sama dengan yang melepas jilbab. Perempuan yang melepas jilbab didefinisikan
sebagi orang yang tidak lagi memegang aturan Islam secara khusus, yaitu dalam cara berpakaian. Definisi tersebut hadir sebagai konsekuensi hadirnya wacana
jilbab dominan, yang menyatakan bahwa jilbab adalah lambang kesadaran spiritual, atau lambang akan hadirnya ‘hidayah’ dari Tuhan. Sehingga ketika
dilepaskan, situasinya menjadi berkebalikan, seakan-akan mereka juga ikut melepaskan nilai-nilai yang ada di seputar jilbab. Sehingga, meskipun di negeri ini masih banyak perempuan Muslim yang tidak berjilbab, perempuan yang sempat berjilbab lalu melepaskannya akan disorot oleh lingkungan. Bahkan fenomenanya pun telah menjadi kajian tersendiri di kalangan peneliti. Melepas dan memaki
penutup kepala yang sebelum adanya formasi wacana jilbab adalah sesuatu yang wajar saja, kini tidak lagi demikian.
Wacana melepas jilbab bergulir, biasanya melalui pemberitaan di berbagai
media yang disiarkan pada masyarakat luas. Biasanya yang disorot adalah perempuan yang mempunyai posisi pusat perhatian publik. Media seakan menjadi
sarana untuk mengungkap ‘kebenaran’ apa yang dimiliki oleh para perempuan yang melepas jilbab. Keputusan mereka dianalisa, dikemukakan, lalu dimasukkan
kedalam kategori-kategori tertentu yang berkaitan dengan psikis. Selain dihubungkan dengan situasi psikis. Terkait dengan fenomena tersebut, saya
menemukan sebuah penelitian psikologi untuk menggali fenomena melepas jilbab 166
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ini. Penelitian tersebut sudah diterbitkan menjadi buku yang berjudul, Psychology of Fashion; Fenomena Perempuan [Melepas Jilbab] 80 yang dikerjakan oleh Juneman. Penelitian yang menggunakan perspektif psikologi ini berusaha untuk menggali alasan dan latar belakang perempuan melepas jilbab. Buku ini hadir seakan untuk merespons wacana bahwa melepas jilbab seringkali berhubungan dengan masalah psikis.
Setelah menelusuri wacana-wacana yang berkembang biak tanpa bisa
dibendung tersebut, wacana jilbab di Indonesia secara umum sesuai dengan kecenderungan besar yang disebut di atas, yaitu, pertama, jilbab sebagai representasi kesalehan, kesopanan dan sebagainya. Sedangkan yang kedua jilbab
sebagai represi. Dengan adanya wacana tersebut, persepsi tentang publik
diarahkan untuk cenderung memaknai tindakan-tindakan manusia terkait jilbab seperti mulai mengenakannya atau melepasnya, sesuai dengan wacana tersebut.
Pengalaman dan pemaknaan yang lebih personal jarang mendapat tempat. Wacana-wacana besar yang dibuat oleh media, organisasi, dan sebagainya cenderung dominan. Lalu dimanakah suara pengguna jilbab? Bisakah mereka bersuara dan didengarkan?
B. ANALISA JILBAB SEBAGAI LOKUS PENGELOLAAN DIRI
“Siapakah saya? Siapakah Anda?” adalah sebuah pertanyaan mengenai
identitas diri. Ada banyak cara untuk menjawabnya. Serta ada banyak jawaban
yang dengan senang hati bisa dipilih untuk memberi definisi diri. Salah satu 80
Juneman, Psychology of Fashion; Fenomena Perempuan [Melepas Jilbab], 2010, Yogyakarta: Penerbit LKIS.
167
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sumber yang bisa memberi jawaban dalam berbagai pilihan di ruang simbolik yang
kita huni, jilbab adalah salah satunya. Setelah melalui proses yang bertahap, wacana jilbab telah tersedia untuk dipilih menjadi sumber definisi diri. Salah satu
orang yang telah memilih wacana jilbab sebagai sarana untuk mendefinisikan dan
mengolah diri adalah saya. Sejak awal berkenalan, lantas masuk kedalam wacananya, saya terus menerus menjadikan wacana jilbab sebagai lokus untuk
menggali ketaksadaran diri, mempreteli berbagai luka di dalamnya, bahkan menata ulang diri sebagai seorang manusia yang bertubuh perempuan.
Sejauh ini,
eksistensi saya ke dunia ini adalah melalui wacana jilbab karena usianya yang
termasuk sudah dewasa, sekitar 20 tahun lebih. Sarana untuk merumuskan diri ini,
tentu tidak sama bagi orang lain, khususnya perempuan pada generasi di atas ibu saya karena wacana jilbab belum terbentuk di zaman mereka. Dengan demikian,
subjektivitas dan identitas saya telah dibentuk ‘oleh dan dalam’ wacana jilbab. Saya telah tersubjektivasi melalui wacana jilbab.
Namun demikian, bagaimanakah cara kerja sebuah wacana sehingga telah
menciptakan subjek di dalamnya? Apakah subjek dipandang sebatas tubuh yang
patuh karena sekadar efek dari wacana? Kepatuhan semacam apakah yang kita bicarakan di sini? Kepatuhan tanpa mempunyai pilihan lain ataukah kepatuhan
yang produktif sebagaimana ada dalam ciri kekuasaan? Kepatuhan yang tidak bersifat monolitik karena ia berpotensi menjadi produktif. Dalam pergulatan ini,
saya kembalikan lagi pada salah satu ciri kekuasaan menurut Foucault yaitu, bahwa
di manapun ada kekuasaan, ada perlawanan dan walaupun demikian, atau lebih tepat karena itulah perlawanan tidak pernah berada pada posisi luar terhadap 168
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kekuasaan.81 Dalam wacana jilbab, akan tampak bahwa setiap subjek mempunyai
cara yang khas ketika hidup di dalam sebuah wacana, yang tidak bersifat monolitik
dan statis. Dengan kata lain, subjek mempunyai caranya sendiri untuk bernegosiasi.
Sekilas, praktik jilbab bagi setiap orang seperti sama saja. Mereka seakan
hanya berada dalam masa peralihan dari ‘tidak tahu/tidak sadar’ akan batas tubuh
yang boleh tampak di muka umum, menjadi ‘tahu/sadar lalu mengenakan jilbab’.
Kepatuhan tidak berhenti sampai di situ, disiplin tubuh telah dimulai. Tetapi kepatuhan dan disiplin yang juga tidak berhenti sampai di situ. Hidup dalam
wacana jilbab tidak bersifat sesaat saja. Sehingga, di dalamnya sebuah perjalanan
panjang sangat mungkin teralami. Dalam bagian analisa berikut ini, saya hendak menunjukkan bahwa subjek hidup dalam wacana jilbab secara negosiatif. Dengan kata lain, wacana jilbab adalah lokus dalam mengelola diri. 1. Dari Problematisasi hingga Teknologi Diri
Setelah problematisasi cara berpakaian terjadi secara sosial, bagaimanakah
hal tersebut terjadi pada lingkup personal atau pada pengguna jilbab? Dalam hal ini, sebuah perubahan baru cara pandang terhadap tubuh tidak hanya
menghasilkan ketundukkan personal pada sebuah tata aturan. Setidaknya jika hanya dilihat dari wacana dakwah, penggunaan jilbab sudah dikategorikan sebagai
ketundukkan yang positif serta patut ditiru oleh perempuan yang belum
memilihnya. Tetapi jika dalam level personal, warnanya tidaklah statis seperti itu. Ketundukkan hanyalah satu hal di dalam jilbab. Pengenalan wacana jilbab, 81
The History of Sexuality Volume I, 1978, New York: Pantheon Books, hal.95.
169
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengubah diri agar sesuai dengan wacana tersebut atau negosiasi, pertemuan
dengan wacana lain yang melahirkan negosiasi ulang merupakan fase-fase yang mengubah penggunanya. Sebuah wacana dapat meresap kedalam diri seseorang, mengubahnya, lalu menjadikannya diri yang tidak monoton. Berikut ini akan saya jabarkan proses wacana jilbab telah mengubah setiap diri. a. Aku Saya sudah mengenal cara mengenakan jilbab secara rapat sejak belajar
mengaji di sekolah membaca Al-Qur’an di masjid belakang rumah yang berafiliasi dengan organisasi Islam Persis (Persatuan Islam). Semua murid perempuan mengenakan jenis pakaian yang sama, yaitu baju Gamis dan jilbab berwarna putih.
Demikian pula dengan guru mengaji kami saat itu, sama-sama mengenakan jilbab dengan rapat. Tetapi begitu kami pulang dari masjid, tidak ada satu pun dari kami
yang tetap mengenakannya, termasuk guru mengaji yang tinggalnya tepat di
belakang rumah. Situasi saat itu, baik di lingkungan rumah maupun sekolah, jilbab hanya dipandang sebagai cara berseragam khusus saat belajar mengaji. Di sekolah formal, tidak ada yang mengenakan jilbab meskipun sedang mengikuti pelajaran
agama. Sampai suatu saat semuanya berubah saat seorang kawan yang bernama Mira hadir dengan membawa gugatan, “Tau gak kamu, jilbab itu gak wajib. Ibuku yang bilang begitu. Al-Qur’an ga nyebutin kalau kita harus mengenakan jilbab.”
Melalui Mira kawan saya itu, momen problematisasi wacana jilbab mulai
saya alami. Meskipun dalam suasana di sekolah mengaji saya telah mengenal cara berpakaian
dengan
mengenakan
jilbab,
tetapi
tidak
ada
yang
mempermasalahkannya selain menganggapnya sebagai pakaian yang nyaman dan 170
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pantas saja. Tetapi saat Mira menyatakan bahwa ‘jilbab tidak wajib’ mulai membuat saya bertanya mengenai jilbab. Pernyataan yang dibawa oleh kawan ini terkesan ganjil karena saat itu jilbab memang belum umum dikenakan. Saya mulai
mempermasalahkan jilbab kepada ibu padahal saya juga tahu ibu tidak pernah mengenakan jilbab. Pada umumnya, orang-orang pada saat itu, tahun 80-an, tidak terlalu memperhatikan dan mempersoalkan jilbab. Bahkan belum banyak orang yang tahu jilbab baik secara bahasa maupun praktik. Tetapi kawan saya datang
membawa sebuah penentangan terhadap jilbab. Sepertinya, pada kawan saya, Mira, situasi problematisasi sudah dialaminya terlebih dahulu, yang kemungkinan besar terjadi melalui ibunya.
Situasi problematisasi bagi saya dapat dipastikan terjadi sejak duduk di
sekolah dasar tersebut. Saya mulai mencium sebuah gelagat bahwa ada cara berpakaian yang diatur oleh Islam secara langsung. Meskipun demikian, saya tetap hanya mengenakan jilbab jika sedang belajar mengaji di masjid. Saya tidak terlalu
memikirkannya, serta tidak ada seorang pun yang menyeru saya untuk berjilbab.
Tetapi sejak saat itu jilbab menjadi salah satu cita-cita di kala dewasa nanti. Saya membayangkan di masa dewasa nanti saya mengenakan jilbab karena dengan
jilbab saya merasa nyaman. Cita-cita berjilbab mulai menemukan ruang untuk dipraktikkan saat saya secara sengaja memilih sekolah menengah atas yang masih
berafiliasi dengan organisasi Persis. Jilbab yang merupakan seragam di sekolah
membuat saya merasa aman karena saya sering mengalami pelecehan seksual.
Pada saat bersamaan, saya mengalami kenyamanan sambil masuk kedalam proses
disiplin tubuh. Disiplin menurut Foucault adalah sebuah “teknologi” yang menyebabkan ‘cara untuk membuat seseorang berada di bawah pengawasanan, 171
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
cara untuk mengontrol tingkah lakunya, kecerdasannya, cara memperbaiki penampilannya, melipatgandakan kemampuannya, cara untuk membuat seseorang
lebih berguna.82 Jilbab saya harapkan dapat mengamankan tubuh saya karena lebih
menutup daripada pakaian seragam biasa. Masih pada saat bersekolah di sekolah Islam tersebut pula saya kemudian memutuskan berjilbab secara konsisten. Sejak
saat itu jilbab telah benar-benar saya jadikan sebagai lokus kedirian saya. Definisi
diri yang saya bawa adalah bahwa saya adalah seorang perempuan berjilbab, yang lebih serius dalam menjalani masa muda, lebih taat lagi pada agama, dan tidak akan terombang-ambing kedalam tren mode.
Di masa kulliah, saya bertemu dengan wacana jilbab yang lebih keras. Saat
mencoba aktif di organisasi keislaman di kampus tempat saya kuliah, saya bertemu
dengan wacana gerakan Islam yang menuntut cara berpakaian sehari-hari benarbenar diubah. Bahasa yang dipakai biasanya, hijrah. Hijrah atau pindah dari sebuah
gaya hidup tertentu menjadi lebih Islami secara kaffah, yang tercermin dalam jilbab. Saya sempat dinilai secara terbuka di depan teman-teman yang tengah melakukan khalaqah bahwa cara berpakaian seperti saya belum sesuai dengan
nilai-nilai yang diusung Islam. Dengan kata lain, cara berpakaian saya dan teman yang seperti saya belum berpakaian secara kaffah atau sempurna. Cara berpakaian
yang lebih ‘baik’ itu, yaitu berupa gamis dan jilbab lebar menyebar di lingkungan
kampusku waktu itu. Tidak jarang kawan-kawanku memutuskan untuk mengganti pakaiannya menjadi lebih tertutup, tidak mengenakan pakaian seperti kemeja atau celana panjang. saya sempat dikelilingi oleh para perempuan yang memutuskan
untuk mengenakan gamis dan jilbab lebar, termasuk kakak perempuan saya di 82
Clare O’Farrel, Michel Foucault, hal. 102.
172
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rumah. Meskipun berulang kali mengalami pelecehan seksual di tempat umum, saya tidak pernah memutuskan untuk mengambil cara berpakaian tersebut. Saya tidak pernah mengganti model pakaian ataupun jilbab. Saya tetap mengenakan
celana panjang dan kemeja longgar warisan dari kakak laki-laki saya. Alasan yang saya punya saat itu bisa dikatakan sederhana. Bagi saya pakaian tanpa potongan seperti gamis justru membuat saya merasa tidak aman. Tubuh yang dibalut gamis saat berada di lingkungan yang ramai justru membuat tubuh saya tidak tertutup
dengan aman karena pakaian demikian justru membuat tubuh saya mudah terbentuk, misalnya saat tertiup angin.
Ketika pengalaman pecelehan seksual, termasuk saat masuk kedalam mimpi
seorang kawan laki-laki yang berada di kelas perkuliahan yang sama, membuat
saya kembali mempermasalahkan jilbab. Saya mulai benar-benar berefleksi atas jilbab yang sudah beberapa tahun dikenakan. Situasi kegamangan antara keinginan melepas
jilbab
karena
merasa
kosong
makna
dan
keinginan
untuk
mempertahankannya muncul bersamaan. Saya merasa sudah terhubung dengan jilbab sejak masih duduk di sekolah dasar, meskipun baru mengenakannya secara
konsisten saat duduk di sekolah menengah atas. Saya memperlakukan jilbab sebagai bagian dari diri yang sulit dilepaskan. Padahal tidak ada satu orang pun
yang membuat saya mengenakannya. Dengan kata lain, baik orangtua maupun guru mengaji tidak menyuruh saya untuk berjilbab. Jilbab saya jadikan sebagai pelindung karena pengalaman buruk akan tubuh. Mungkin yang ‘mendesak’ saya
untuk berjilbab adalah tubuh saya sendiri saat itu. Meskipun situasi tersebut ‘rusak’ oleh peristiwa tak terduga yaitu masih teralaminya pelecehan selama berada di transportasi umum.
173
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jilbab tetap menjadi lokus bagi saya untuk mengolah diri lagi, dengan warna
yang berbeda. Saya memilih mencari hal lain yang dapat meredefinisi jilbab yang saya kenakan dengan cara meredefinisi konsep tubuh yang negatif akibat sering dilecehkan yaitu merasa tubuh sebagai sumber dosa. Lalu saya bertemu dengan
kelompok-kelompok sufi baik di daerah maupun di perkotaan. Meski tidak secara langsung memperkuat keberjilbaban saya, wacana baru yang saya temui itu sangat
berpengaruh. Jilbab dan religiusitas mulai berpadu lagi di dalamnya. Wacana keagamaan aliran sufisme menyediakan pemahaman tentang tubuh perempuan
sebagai yang istimewa (bukan sebagai sumber dosa, termasuk bagi laki-laki) sehingga keistimewaan tersebut layak untuk diberi tabir berupa jilbab. Kekuatan
yang saya peroleh tidak hanya dihidupi oleh wacana kegamaan saja. Beberapa
tahun kemudian saya menemukan wacana feminisme yang di dalamnya isu tentang tubuh pun dipersoalkan. Melalui wacana feminisme, khususnya melalui seorang
feminis Prancis, Luce Irigaray, saya mendapatkan pemahaman bahwa jelas bahwa siapapun tidak mampu merekacipta kembali seluruh sejarah. Namun aku pikir setiap individu, perempuan atau laki-laki, dapat dan harus mereka ciptakan kembali riwayatnya, baik riwayat individual maupun kolektif. Untuk melakukan tugas itu, sangat diperlukan penghormatan pada tubuh dan persepsi setiap perempuan dan laki-laki.
83
Melalui tulisan Irigaray tersebut,
saya melakukan semacam
penghormatan terhadap tubuh, bukan menyesalinya karena gagasan tubuh sebagai sumber dosa. Jilbab dengan konteks pemahaman semacam itu, saya jadikan sebagai cara untuk menghormati tubuh.
Sebenarnya logika umum antara wacana
keagamaan dan feminisme tidaklah sama meskipun sama-sama membicarakan 83
Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, 2005, Jakarta: Penerbit KPG, hal. 32.
174
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tentang perempuan. Agama, khususnya Islam sering dijadikan sebagai ‘kambing hitam’ bagi ketertindasan perempuan. Tetapi dalam pengalaman mengolah diri ini, wacana feminisme menjadi salah satu wacana yang memperkuat saya, khususnya
tentang tubuh tanpa harus ditabrakkan dengan pemahan yang berasal dari sumber
yang lain. Dengan demikian, saya justru tidak terdorong untuk membuka jilbab akibat bertemu dengan wacana feminisme yang mengusung kebebasan perempuan
dengan cara yang berbeda. Agama dan feminisme dapat duduk berdampingan untuk mengisi jibab yang saya kenakan sehari-hari.
Setelah mempunyai makna personal akan jilbab, pengalaman selanjutnya
mengantarkan saya pada pertemuan dengan wacana-wacana lain yang tak kalah
berusaha untuk mendefinisikan diri. Dalam hal ini berkaitan dengan pengalaman membuka jilbab. Seperti yang sudah saya tulis dalam Bab III, pengalaman membuka jilbab pertama kali tidak berhubungan dengan wacana besar yang ada,
yaitu memasuki wacana Islam Liberal yang melihat jilbab sebagai sebatas bentuk budaya, bukan Islam. Alasan membuka jilbab yang hanya sesaat saja itu adalah
faktor alam yang untuk tubuh saya terlalu panas. Bertahun-tahun kemudian, pengalaman membuka jilbab saya alami lagi dengan sejumlah alasan yang kurang
lebih tidak jauh berbeda dengan pengalaman pertama, yaitu akibat faktor alam. Tetapi pengalaman berikutnya ini tidak sama benar dengan pengalaman pertama. Pada pengalaman pertama, saya sepertinya memasuki sebuah ruang yang tanpa
ideologi, yaitu sebatas menikmati kebebasan alam semesta tanpa tabir jilbab. Kali ini, situasinya justru berkebalikan dengan pengalaman pertama. Salah satu penyebabnya adalah durasi membuka jilbab yang lebih intens daripada pengalaman yang pertama. Sehingga saya lebih mempunyai waktu yang lebih 175
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
leluasa untuk memeriksa wacana apa yang kemudian saya masuki saat tidak mengenakan jilbab.
Kecurigaan feminis Barat terhadap tubuh yang serba ditutup oleh pakaian
adalah sebagai bagian dari kontrol terhadap tubuh. Tubuh yang ditutupi
sedemikian rupa merupakan bentuk penaklukan, khususnya sebatas untuk menjaga keamanan moral lingkungan sekitarnya. Tubuh dianggap tidak mempunyai kebebasan karena harus memenuhi hajat kepentingan orang lain,
dalam hal ini melindungi mata laki-laki. Tetapi tubuh perempuan bersifat performatif, yaitu tubuhnya selalu merupakan medan berbagai kepentingan, tidak
ada tubuh yang bebas dari wacana.84 Hal ini terbukti saat saya tidak mengenakan
jilbab. Saya mulai masuk kedalam wacana kecantikan populer yang sama-sama mempunyai daya kontrol terhadap tubuh. Di saat tubuh saya dapat lebih leluasa menikmati udara, kepala saya juga tidak menahankan tekanan jilbab, muncul
‘tekanan’ yang lain. Saya mulai masuk kedalam wacana tubuh ideal yaitu tubuh langsing tanpa lemak bergelambir. Saya mulai memasuki sebuah disiplin tubuh yang lain, yaitu mulai berolahraga secara teratur, mengurangi asupan makanan
yang berpotensi kegemukan, dan lain-lain. Semua itu tidak dilakukan sebatas untuk kesehatan. Tetapi hadir kesadaran bahwa disiplin yang saya lakukan itu demi terciptanya kecantikan yang dihasilkan oleh tubuh yang ideal. Sehingga, ketika
dalam kesempatan lain saya masih mengenakan jilbab, ada pemaknaan baru akan jilbab. Jilbab menjadi sebentuk tabir bagi tubuh yang tidak ideal. 84
Judith Butler, dengan gaya Foucauldian berpendapat bahwa wacana mendefinisikan, mengonstruksi dan memproduksi tubuh sebagai objek pengetahuan. Wacana adalah sarana kita memahami bagaimana kondisi tubuh sebenarnya. Dalam Chris Barker, Cultural Studies; Teori dan Praktik, 2013, Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, hal. 259.
176
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
b. Mariana Mariana lahir di sebuah kampung bernama Batang. Baik keluarga maupun
warga sekampungnya dominan merupakan muslim beraliran Nahdatul Ulama
(NU). Kekentalan NU orang-orang di sekitar Mariana begitu kuat sehingga mereka membedakan diri dengan organisasi atau aliran Islam lainnya yang berbeda, yaitu Muhammadiyah. Tetapi nasib menghantarkan Mariana pada aliran Islam yang
berseberangan dengan keluarga maupun warga di kampungnya. Akibat terlambat mendaftar sekolah lanjutan dari sekolah menengah, tidak ada satu pun sekolah yang bisa menerima Mariana, kecuali sebuah sekolah yang berafiliasi dengan
Muhammadiyah. Padahal bersekolah di sekolah Muhammadiyah sangat tidak
diharapkan. Mariana menjelaskan bahwa orang-orang di kampungnya punya prinsip, ‘Mending masukkin anak ke sekolah Kristen daripada Muhammadiyah’.
Mariana tidak tahu menahu ihwal prinsip tersebut kecuali menganggapnya sebagai doktrin.
Saat bersekolah di SMK Muhammadiyah, Mariana mulai bergiat sebagai
aktivis Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Dalam organisasi IRM keteladanan adalah hal yang utama. Sosok murid yang dapat menjadi aktivis yang setara dengan
OSIS di sekolah umum ini, harus memenuhi syarat seperti prestasi pendidikan di sekolah harus bagus, yaitu termasuk kedalam lima besar, harus memiliki prestasi, sanggup menjadi pendamping murid lainnya di kelas serta harus mengenakan
jilbab baik di rumah maupun di sekolah. Dengan demikian, jilbab adalah sebuah kewajiban untuk aktivis IRM. Melalui organisasi yang diikutinya, Mariana mengalami konsep keteladanan dan prestasi dikaitkan dengan jilbab. Dengan
demikian mulai muncul penanda baru dalam konsep keteladanan dan prestasi 177
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mariana yaitu jilbab. Walaupun demikian, Mariana mengakui bahwa di sekolahnya tersebut ia menemukan nilai-nilai spiritual.
Mudahkah bagi Mariana untuk mengenakan jilbab? Padahal pada masa itu,
baik di keluarga maupun di kampungnya, jilbab yang umum dipahami adalah
bersifat batiniah atau jilbab letaknya di hati. Saat Mariana mengenakan jilbab yang modelnya pun serba lebar membuat keluarga Mariana sama sekali tidak sepakat.
Penampilan Mariana mulai menjadi berbeda. Jilbab yang sebelumnya dipahami
sebatas di hati tiba-tiba menjadi konkrit. Lingkungan di sekitar Mariana mulai bereaksi bahkan menekankan bahwa jilbab itu tempatnya di hati, bukan seperti
yang dikenakan Mariana. Dalam hal ini, problematisasi bukan saja dihadapi oleh
Mariana, tetapi juga oleh keluarganya. Di sini mulai muncul persoalan bahwa ada penampilan yang merujuk pada sumber pengetahuan Islam, yang diadopsi oleh
organisasi sekolah Mariana yaitu jilbab. Keluarga Mariana, khususnya ibu, juga
dihadapkan pada persoalan cara berpakaian. Mariana bahkan menuturkan bahwa ia sempat dikejar ibunya agar ia melepaskan jilbab besarnya itu. Tetapi jilbab tetap dipertahankannya. Mulai sejak saat itu, jilbab menjadi sebuah disiplin yang
dilakukan Marina untuk kemudian menjadi lokus untuk mendefinisikan diri.
Mariana mulai mengolah dirinya kedalam disiplin di seputar wacana jilbab yang berbentuk konkrit itu (bukan sebatas di batin seperti yang diyakini keluarganya pada saat itu). Keteladanan dan prestasi melekat dalam jilbab yang ia kenakan.
Sehingga, konsep diri yang bermain di dalam diri Mariana adalah berjilbab, teladan, dan berprestasi.
Proses mengolah diri dengan menjadikan jilbab sebagai lokus tidak berhenti
sampai pada wacana kemuhammadiyahan-keteladanan atau prestasi. Konteks yang 178
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melingkari Mariana mulai beralih dari Muhammadiyah ke Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam konteks lingkungan IM, Mariana mengenal cara menggunakan jilbab yang lebih serius lagi, misalnya jilbabnya lebih lebar dari biasanya (hingga sebatas lutut)
bahkan kemungkinan untuk menambahkan cadar penutup wajah. Mariana pun sempat hendak memutuskan untuk mengenakan cadar. Lingkungan IM ini dikenal Mariana saat ia melanjutkan kuliah ke kota Semarang. Mariana cukup lama berada
dalam lingkungan IM sampai kemudian ia pindah kota untuk melanjutkan aktivitasnya sebagai aktivis Muhammadiyah. Mariana pindah ke kota Jakarta.
Saat berada di ibukota Jakarta, Mariana bertemu dengan beragam jilbab.
Mariana mengaku terpukau oleh warna-warni dan model jilbab yang dikenakan
kawan-kawan di lingkungannya. Mariana mulai bertemu dengan wacana jilbab modis. Kawan-kawan Mariana bahkan ikut terlibat untuk mendorong Mariana segera mengganti gaya jilbabnya yang dinilai tidak cocok untuk dikenakan di
ibukota. Kawan-kawannya mulai memperkenalkan cara berjilbab yang lebih modis.
Wacana jilbab modis hadir untuk memberikan peluang bagi diri berpenampilan lebih cair dengan lingkungan. Wacana jilbab modis yang diakomodasi Mariana
memberikan peluang bagi Mariana untuk menampilkan diri lebih cantik dan
berwarna. Nantinya, melalui jilbab modis ini membuat Mariana dapat masuk kedalam lingkungan yang nonagamis, misalnya tempat ia bekerja.
Selain wacana jilbab modis, Mariana pun bertemu dengan dengan
lingkungan yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal. Wacana Islam Liberal
dirasakan oleh Mariana lebih terbuka atau moderat. Mariana bahkan berseloroh bahwa
pertemuannya
dengan
wacana
Islam
Liberal
adalah
semacam
pertaubatannya dari aliran Islam sebelumnya yang lebih ketat. Dalam wacana 179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Islam Liberal, Mariana berkenalan dengan wacana yang menyatakan bahwa jilbab adalah budaya, bukan kewajiban agama. Tetapi dalam hal ini, Mariana tidak serta merta melepas jilbabnya. Mariana memilih untuk mulai meredefinisi jilbab. Ia
mulai memasukkan unsur budaya kedalam konsep berjilbabnya. Mariana mulai memperhitungkan lingkungan tempat ia hidup. Mariana tidak lagi seperti di masa sekolah
menengah
dulu
yang
mengambil
keputusan
drastis
tanpa
memperhitungkan lingkungan. Sambil mendefinisikan ulang konsep jilbab, bentuk
jilbab Mariana pun berubah. Mariana mulai mengubah penampilannya, mulai dari jenis pakaian hingga bentuk jilbab. Jilbab yang dikenakan Mariana kini lebih beragam. Saat Mariana harus mengajar di universitas swasta yang tidak
mengijinkannya untuk berjilbab lebar, Mariana mengenakan jilbab modis. Pandangannya tentang jilbab pun tidak lagi sama dengan sebelumnya. Jilbab dilihat juga sebagai cara untuk tampil menjadi cantik. Mariana mengakui bahwa
kecantikan karena berjilbab membuatnya bertahan untuk mengenakan jilbab.
Berkaitan dengan itu, Mariana memposisikan jilbab tidak secara kaku, jilbab adalah sebentuk negosiasi dengan kultur yang ia masuki. c. Rini Rini adalah seorang perempuan yang hidup di lingkungan Islam ketat. Sejak
kecil sudah didisiplinkan untuk menutup aurat secara tertib, meskipun tidak
langsung diharuskan mengenakan jilbab. Ayah Rini yang mendidiknya sedemikian rupa, bahkan Rini menyatakan bahwa ia dikontrol oleh ayahnya. Dengan
pendidikan agama yang ditanamkan sejak usia dini itu, membuat Rini mulai mengenakan jilbab permanen di saat Rini duduk di sekolah menengah pertama. 180
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pendidikan agamis ditanamkan sejak kecil, termasuk cara menutup aurat yang
ditekankan oleh ayahnya. Tetapi yang jelas, ketika Rini mulai mengenakan jilbab
secara permanen, yaitu di sekolah menengah pertama, bibit pemberontakan di dalamnya dirinya tumbuh. Rini mulai gelisah dengan jilbab yang dikenakannya sehingga mendamparkannya pada sebuah pantai, tempat pelariannya dari asrama
sekolah, untuk menyatakan sikap, “Apaan sih ini gue bete pake beginian?!” Rini dengan marah melepaskan jilbabnya di tepi pantai. Rini tiba-tiba merasakan asing dengan sehelai kain yang didisiplinkan ayahnya untuk dikenakan. Pendidikan dari
kakeknya yang diturunkan kepada keluarganya tentang jilbab adalah jilbab
merupakan sebuah kewajiban dan berpahala. Tetapi Rini tidak lagi memandangnya demikian. Rini menyatakan sikap bahwa ia tak paham jilbab selalu dilekatkan pada dirinya yang perempuan.
Saat Rini mulai memproblematisasi jilbabnya, Rini tak lagi menghadapi
situasi dirinya secara sama lagi. Rini tiba-tiba merasa berdosa karena pernah
melepas jilbab di tepi pantai. Rini mulai mencicipi kegelisahan, terombang-ambing
di antara dua sisi, yaitu di satu sisi ia kesal karena diatur untuk berjilbab tetapi di sisi lain ia merasa berdosa karena sempat melepaskannya. Sejak saat itu, Rini berusaha untuk mengisi kegelisahannya dengan menggali lebih dalam tentang
jilbab. Rini tak lagi berpaku pada pendidikan kakek ataupun ayahnya. Ia mulai
mencari warna tafsir lain tentang jilbab, sambil jilbab tetap dikenakannya dalam aktivitas sehari-hari. Rini tidak sepenuhnya berusaha untuk bebas dari jilbab, tetapi ia melakukan refleksi sambil menggali wacana jilbab untuk ia kritisi.
Dalam perjalanan ia mencari warna tafsir lain tentang jilbab, Rini pun
bertemu dengan aneka macam cara berjilbab. Saat itu Rini sudah lulus dari 181
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pesantren. Sehingga ketika berbaur dengan banyak kalangan, Rini mulai melihat
bahwa cara berjilbab beraneka rupa. Rini sendiri masih mengenakan jilbab secara
rapi dengan pakaian longgar berupa rok. Setelah keluar dari pesantren Rini memungkinkan menemukan berbagai macam wacana tentang jilbab. Apalagi Rini kuliah di sebuah universitas Islam yang dikenal progresif, yaitu Universitas Islam
Negeri di Jakarta. Wacana jilbab yang digali kembali oleh Rini dimulai dari aliran normatif yang menekankan wajibnya berjilbab hingga wacana jilbab yang berbeda,
yang ia dapatkan dari buku-buku yang dibacanya, yaitu buku-buku yang ditulis Quraish Shihab, Nasaruddin Umar dan Fatima Mernissi yang nuansanya lebih moderat. Buku terpenting yang ia temukan adalah yang beraliran Islam Liberal seperti yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia.
Horison pemikiran Rini kini sudah diwarnai oleh beragam aliran pemikiran
Islam terhadap jilbab. Rini pun mulai mengubah penampilannya. Dengan riwayat
pengenalan jilbab yang secara paksa oleh ayahnya, membuat Rini lebih mudah
mengakomodasi wacana jilbab yang lebih moderat. Rini pun telah menjadi
perempuan yang meredefinisikan jilbab serta dirinya sendiri. Semua itu
berpengaruh terhadap caranya berpakaian dan berjilbab. Semula Rini yang mengenakan jilbab dan pakaian serba lebar, mulai berubah. Rini mulai mengenakan rok atau celana panjang dengan jilbab yang tidak lagi lebar. Ketika
Rini bertemu dengan wacana Islam Liberal yang mempunyai argumentasi bahwa jilbab bukanlah cara berpakaian yang khas Islam, melainkan ada dalam konteks
banyak budaya di dunia, pandangan Rini pun semakin berubah. Puncaknya adalah
pada tahun 2012 Rini menyatakan tidak lagi mengenakan jilbab. Rini sudah terus menerus mengambil keputusan, bukan saja mengubah bentuk jilbabnya tetapi 182
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mulai melepaskannya. Bersamaan dengan melepas jilbabnya, Rini merangkai definisi aurat menurut dirinya sendiri yaitu bahwa aurat bukanlah persoalan fisik, tetapi moral. Menjaga aurat bagi Rini, bukan lagi diletakkan pada jilbab, tetapi cara untuk menjaga diri sendiri agar tidak merugikan orang lain, misalnya mencuri atau
korupsi. Dengan demikian, dengan semakin abstrak definisi aurat yang Rini punya,
jilbab tidak lagi dikenakannya secara formal seperti biasanya. Penampilan Rini bermetamorfosis
menjadi
sebatas
mengenakan
selendang
yang
masih
memperlihatkan sebagian rambut, kemudian puncaknya adalah melepasnya.
Tetapi Rini masih menyimpan jilbabnya untuk kegiatan-kegeiatan tertentu misalnya saat menghadiri acara keluarga besarnya di kampung halaman.
Saat Rini sudah melepaskan jilbab dari sebagian besar aktivitas sehari-
harinya, baik aktivitas formal maupun nonformal, apakah ia terbebas dari wacana
jilbab yang sudah berkembang biak sedemikian rupa itu? Bagi Foucault,
perlawanan tidak ada di luar wilayah kekuasaan. Bila tindakan Rini yang melepas jilbab adalah perlawanan, tetapi bukan berarti ia kemudian menjadi bebas
sepenuhnya. Rini meskipun sudah melepaskan jilbab, ia tetap berada dalam wacana jilbab. Wacana jilbab yang ia masuki kali ini adalah wacana melepas jilbab
yang di dalamnya terdapat sejumlah pembicaraan, asumsi, analisa yang spesifik
mengenai faktor-faktor yang memicu tindakan melepas jilbab. Salah satu asumsi yang melekat pada tindakan melepas jilbab adalah lepasnya nilai-nilai spiritual dari diri. Sehingga tidak mengherankan jika pengguna jilbab yang tiba-tiba melepaskan jilbabnya akan direpresentasikan macam-macam. Mereka bisa dianggap mengalami guncangan psikologis akibat beban hidup yang tak tertahankan, atau bisa juga
dianggap sudah menjadi perempuan yang membebaskan tubuhnya secara 183
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sepenuhnya. Pengalaman Rini menyatakan anggapan semacam itu, yaitu Rini tibatiba dipandang sebagai perempuan yang bisa diajak tidur dengan sembarang orang
oleh senior di komunitas tempatnya berkegiatan. Rini dipandang sebagai perempuan yang tidak lagi memegang nilai-nilai spiritualitas secara ketat lagi
seperti saat berjilbab. Kepada saya, Rini menceritakan pengalaman yang sungguh tidak mengenakkan itu, pengalaman yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan
seksual. Selain diperlakukan sebagai perempuan yang melepas jilbab berarti
melepas tubuhnya pada kebebasan mutlak, Rini juga tidak lagi diizinkan untuk memberikan materi di organisasi Islam tempat ia beraktivitas. Tanpa jilbab, ia dipandang tidak lagi merepresentasikan ajaran Islam. d. Dua Perempuan: Sari Asih dan Alin Hal menarik dari dua narasumber saya lainnya, yaitu Alin dan Sari Asih,
adalah problematisasi mereka tidak sama seperti yang dialami oleh saya, Mariana, dan Rini. Pada diri Alin, problematisasi tidak terjadi seperti pada kami bertiga yang
umumnya terjadi pada masa-masa awal mengenal wacana jilbab untuk kemudian membuat kami harus mengelola diri melalui jilbab. Jilbab bagi Alin tidak terlalu banyak mengubah dirinya karena jilbab dijalani sedemikian rupa tanpa ada kebutuhan untuk mempertanyakannya. Alin mengenakan jilbab seperti tidak ada
bedanya dengan pakaian biasa. Cara Alin mengenakan jilbab pun hanya saat berada di lingkungan formal, misalnya sekolah atau kampus. Alin menjelaskan lebih lanjut
bahwa ia merasa tidak ada hubungan antara kesalehan dan pakaian yang dilengkapi jilbab.
184
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perubahan situasi atau problematisasi pada Alin justru terjadi pada saat ia
menempuh sekolah pascasarjana. Saat itu Alin mulai memikirkan sepak terjangnya,
termasuk tentang berjilbab. Semula jilbab dirasakanya tidak banyak mengubah apa pun dalam hidupnya, sejak ia sekolah pascasarjana mulai mempertanyakan fungsi
jilbab dalam kehidupannya. Sebuah refleksi dialami Alin, yaitu bahwa ternyata jilbab menjadi lokus bagi dirinya juga. Alin mengakui bahwa ia membutuhkan
semacam pertahanan dari sikap-sikap yang cenderung permisif. Jilbab mulai dimaknai oleh Alin sebagai salah satu cara untuk bersikap melindungi diri sendiri dari potensi permisif di dalam dirinya.
Sedangkan pada Sari Asih, problematisasi yang ia alami dijembatani oleh
sang ibu. Meskipun Sari sejak lama ingin mengenakan jilbab tetapi ibunya tidak
mengijinkan dengan alasan konsistensi. Ibu Sari tidak melarang Sari untuk
berjilbab tetapi ia mempunyai pemahaman bahwa jilbab bukan cara berpakaian yang bisa sembarangan dipakai atau dilepaskan begitu saja. Semula jilbab yang
dipandang Sari bisa dengan mudah dikenakan karena hasrat kesalehan dan kecantikan tidak lagi sama. Melalui ibu, Alin mencoba untuk belajar mengenai perbedaan antara berjilbab dan tidak berjilbab. Berjilbab adalah konsistensi yang
harus dijaga karena jilbab dinilai sebagai pernyataan keteguhan dan spiritualitas diri.
2. Refleksi sebagai Teknik Teknologi Diri
Dalam sebagian besar pengalaman terkait wacana jilbab yang sudah saya
bahas di atas, gagasan penting yang harus digarisbawahi adalah pada ‘refleksi’.
Sebagian besar dari kami melakukan refleksi terhadap jilbab yang sudah melekat 185
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam definisi diri. Refleksi yang berpotensi untuk (bahkan) mempertanyakan lagi bukan sebatas pada jilbabnya saja, tetapi juga pada definisi diri yang telah
dibangun di atasnya. Hampir tidak ada dari kami yang tidak mengalami
problematisasi yang kemudian memancing munculnya refleksi. Kami pernah, dengan kadar yang berbeda-beda, berada dalam situasi problematisasi yang di dalamnya berbagai hal tidak lagi sama. Kami mengalami masa adanya kesadaran
akan wacana dan pendekatan yang ada. Kami sama-sama menghadapi situasi perubahan hidup karena jilbab, mengalami disiplin berdasarkan wacana jilbab.
Tetapi dalam hal ini jelas bahwa wacana jilbab memang membentuk kami tetapi tidak secara deterministik. Merujuk kembali pada Foucault tentang kekuasaan wacana yang tidak bersifat secara monolitik, melainkan di mana ada kekuasaan di
situlah ada resistensi. Sehingga, kita dapat sama-sama melihat dan mengkaji bagaimana orang-orang tidak hanya sebatas mengalami ketundukkan terhadap wacana tetapi juga resisten terhadapnya.
Dalam hal ini kembali lagi pada persoalan refleksi, adalah sebuah sikap yang
sangat penting. Sebagaimana Foucault jelaskan bahwa orang-orang dapat
melakukan ‘ontologi kritis terhadap diri’ yang menyediakan wacana yang membentuk subjektivitas seseorang dan kemudian mengarahkan orang untuk melihat ulang dirinya secara berbeda. Atau merujuk pada istilahnya, yaitu ‘teknologi diri’ yang bukan mengarah pada kebebasan dari wacana tetapi merujuk
pada sebuah praktik yang melaluinya orang-orang dapat menjadi lebih kritis
terhadap wacana yang telah membentuk dirinya melalui teknik atau cara yang hati-
186
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hati.85 Refleksi diri atau teknologi diri ini dapat kita lihat pada pengalaman Rini dan saya misalnya. Rini mempertanyakan ulang wacana jilbab dengan mencari
beragam versi wacana jilbab yang ada. Rini seperti halnya juga saya, mengembalikan wacana jilbab pada sejarah kelahirannya. Sehingga dapat dimungkinkan sebuah situasi di mana kami dapat memposisikan kembali diri di
dalamnya, bukan sebatas diatur sedemikian rupa oleh wacana jilbab. Kami juga
bukan orang yang tidak sadar akan wacana yang sudah membentuk dan mendisiplinkan kami. Khususnya yang terjadi pada saya misalnya, saya tidak lagi
melihat wacana jilbab sebagai sebuah kebenaran sejati. Dengan kata lain, saya tidak
merasa berdosa seandainya sempat melepas jilbab. Terlebih setelah melakukan analisa sejarah wacana jilbab, saya sadar bahwa saya berada dalam pusaran
wacana yang baru terbentuk pada tahun 80-an. Tetapi di saat bersamaan, saya juga
sadar telah menjadikan jilbab sebagai lokus bagi definisi diri saya. Jilbab adalah lokus yang sejak dua puluh tahun saya berputar di dalamnya.
Refleksi juga dilakukan oleh narasumber yang lain dan menjadi sebuah
kekuatan untuk negosiasi. Dari kami berlima, penampilannya berbeda-beda, ada yang mengenakan jilbab dan gamis yang serba panjang serta menutup, ada yang mengenakan jilbab pendek hitam, ada yang mengenakan jilbab pendek yang
berwarna-warni, dan ada pula yang melepas jilbab. Dalam perbedaan wujud fisik
yang tampak, mencerminkan pengalaman yang berbeda-beda pula, bukan hanya setiap orang sudah mapan dengan wujud jilbab atau penampilannya yang terkini.
Jilbab panjang, jilbab pendek penuh warna, hingga yang tidak mengenakannya sama sekali, bisa jadi pernah dialami oleh beberapa narasumber tersebut sekaligus. 85
Dalam Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Appoaches, 2003, London: Sage Publication Ltd, hal.76-77.
187
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perubahan bentuk jilbab yang begitu dinamis adalah akibat pertemuan dengan
berbagai wacana yang ada di dalamnya. Satu orang bisa saja pernah mengalami mengenakan jilbab serba lebar, lengkap dengan pakaian serba lebar pula, bahkan
terpikirkan untuk melengkapinya dengan cadar. Tetapi karena ia bertemu dengan wacana Islam yang berbeda, Jaringan Islam Liberal, kemudian pandangannya berubah terhadap jilbab. Jilbab lebar dan gamis secara perlahan berganti menjadi
jilbab modis yang dianggap lebih ramah dengan lingkungan, yaitu tidak dianggap terlalu serius. Lebih ekstrimnya lagi, ada juga yang mengalaminya tidak sampai di situ, yaitu mengganti dari jilbab lebar menjadi modis, tetapi berubah menjadi jilbab
yang memperlihatkan sedikit rambut, lalu kemudian benar-benar melepasnya. Perubahan tersebut merupakan hasil dari perjalanan individu dalam bernegosiasi dengan wacana yang ia temui.
Kami berlima, tidak dapat dipisahkan karena masing-masing bagi yang lain
merupakan cermin yang bisa saling merefleksikan diri. Keempat narasumber jilbab yang saya gunakan dalam subbab analisa ini berusia di atas 20 tahun dan di bawah
40 tahun. Faktor usia dapat memperlihatkan kompleksitas pengalaman hidup setiap individu yang saya coba amati di sini. Meskipun, bukan berarti terdapat
standar kompleksitas menurut usia. Kompleksitas yang saya maksud di sini berhubungan erat dengan pengalaman mengelola diri saat berhadapan dengan
berbagai wacana sosial yang hidup di dalam ruang simbolik yang sama-sama kita
huni ini. Wacana sosial selalu ada dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga pengalaman sehari-hari tidaklah bersifat sederhana karena wacana sosial selalu berusaha untuk mendefinisikan siapa kita. Untuk wacana jilbab yang sifatnya pun
berusaha untuk mendefinisikan diri setiap penggunanya, memiliki formasi wacana 188
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang beragam, tidak hanya terbatas pada satu wacana saja, misalnya wacana jilbab syariat saja. Kini saatnya untuk melihat bagaimana setiap narasumber yang saya
amati, termasuk diri saya sendiri mengelola diri dalam formasi wacana jilbab semacam itu.
C. NARASI DIRI SEBAGAI BAGIAN DARI WACANA POSKOLONIAL
Seperti yang sudah saya jelaskan dalam pembuka Bab IV ini, fenomena
jilbab yang semakin meluas telah menarik perhatian berbagai pihak, tak terkecuali
kalangan peneliti. Indonesia memang bukan negara Islam seperti halnya Iran. Tetapi justru karena itulah, para perempuan yang semakin banyak mengenakan jilbab menjadi pusat perhatian yang menarik. Pertanyaan seputar alasan dan tantangan yang dialami perempuan Muslim Indonesia saat mulai mengadopsi
jilbab kedalam keseharian biasanya menjadi pertanyaan penelitian yang
mendasar. Apalagi pada era 80-an, ketika jilbab belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat umum, maka pertanyaan penelitian tersebut menjadi sangat penting.
Tetapi seperti yang sudah saya bahas juga, fenomena meluasnya penggunaan jilbab bukanlah fenomena nasional atau hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara yang terdapat perempuan Muslim yang semakin banyak yang mengadopsi
jilbab. Oleh karena itu pula, di tengah narasi besar tentang Islam yang buruk dalam kancah global, maka jilbab terus menarik perhatian, khususnya bagi kalangan peneliti Barat. Jilbab berdiri dalam sebuah narasi besar menempati posisi yang unik (baca: eksotis), yang hingga saat ini masih terus bertahan. Umumnya, jilbab
dinarasikan sebagai contoh buruknya Islam dalam memperlakukan dan 189
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memposisikan perempuan. Islam dianggap sebagai agama yang sangat seksis. 86 Narasinya adalah perempuan Muslim diatur sedemikian rupa, mulai dari cara bersikap hingga cara berpakaian, serta ditindas dengan berbagai cara pula. Dengan
cara yang serampangan, jilbab juga sering disejajarkan dengan kasus-kasus penindasan seperti sunat perempuan, atau disamakan dengan harem dan poligami.
Menarik apa yang dikatakan oleh El Guindi dalam pengamatannya tentang jilbab
secara antropologis, bahwa beberapa sarjana pengkaji Islam telah menunjukkan perhatian bahwa “jilbab” (veil) telah menggantikan “bulan sabit” (crescent) sebagai simbol Islam di Barat, yang mana ini cukup menyakitkan. Bahkan, sepertinya jilbab
telah datang untuk menggantikan obsesi sebelumnya yang terkandung dalam
harem. Di Barat, kata-kata harem, veil dan poligamy mengandung citra yang menyudutkan perempuan.87
Islam
serta
sinonim
dengan
kelemahan
dan
penindasan
Dengan narasi besar tentang Islam yang buruk dalam memperlakukan dan
memposisikan perempuan seperti itu, dapatkah penelitian-penelitian yang dikerjakan di Indonesia terbebas darinya? Ternyata memang tidak mudah untuk
keluar atau sekadar bersikap kritis terhadap narasi yang sudah bercokol kuat itu. Konteks religi sering luput dari pertimbangan dalam memeriksa persoalan perempuan. Bahkan ketika objek material yang diteliti adalah mengenai jilbab.
Hingga kemudian memunculkan sebuah tulisan kritis yang salah satu bahasannya 86
87
Annemarie Schimmel, seorang pengkaji sufisme Islam mengalami bagaimana sulitnya memberikan penjelasan deskriptif akurat terkait peran perempuan dalam Islam karena berhadapan dengan prasangka para mahasiswanya yang sudah berakar kuat, demikian juga ketika berhadapan dengan kolega-koleganya. Prasangka kuno bahwa posisi perempuan dalam Islam tidak pernah berubah, yaitu sebagai kaum yang paling tertindas dan tertekan di muka bumi. Dalam The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Jender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, 1996, Bandung: Penerbit Mizan, hal. 21. Fedwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2004, Jakarta: Penerbit Serambi, hal. 36.
190
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah terbentuknya wacana feminis tentang perempuan dunia ketiga yang tidak
memperhatikan aspek religi, etnis maupun kelas. Sehingga, penelitian yang dikerjakan malah mengonstruksi perempuan kedalam posisi yang tertindas.
Tulisan kritis tersebut disusun oleh Chandra Talpade Mohanty. Mohanty, dalam tulisannya, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourse”
membongkar kecenderungan hasil penelitian yang dihasilkan oleh feminis Barat. Secara
khusus,
Mohanty
menunjukkan
beberapa
kecenderungan
yang
memprihatinkan dalam tulisan-tulisan feminis Barat tentang perempuan “dunia ketiga”. Untuk tidak terjebak pada kecenderungan yang sama yaitu generalisasi,
Mohanty tidak menganggap semua tulisan feminis Barat tentang perempuan nonBarat bersifat sama. Mohanty secara khusus menunjukkannya melalui analisa
tulisan-tulisan yang ada dalam satu seri yang berjudul, Women in the Third World yang diterbitkan oleh Zed Press London. Gagasan penting dari Mohanty
berdasarkan analisanya ini adalah terutama mengenai nada “universalisme etnosentris” yang ada dalam tulisan feminis Barat. Faktor yang harus diperhatikan
dalam tulisan feminis Barat ini adalah pada cara menganalisis kehidupan
perempuan di seluruh dunia dengan menggunakan perempuan Barat sebagai standarnya. Sehingga menghasilkan generalisasi yang berlebihan atas kehidupan perempuan tanpa memperhitungkan aspek budaya.
Nada ‘universalisme etnosentris’ ini mempunyai ciri-ciri yang spesifik. Nada
yang, menurut Mohanty, bukan saja dihasilkan dari penelitian Barat, tetapi bahkan bisa juga berasal dari perempuan kelas menengah tentang perempuan kelas
bawah sebangsanya. Ciri-ciri spesifik tersebut adalah perempuan dipandang sebagai kelompok yang homogen, artinya pengalaman dan posisi perempuan 191
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dianggap hampir sama di seluruh dunia. Karena kategori “perempuan” sudah diasumsikan dari awal, para penulis cenderung lupa menjelaskan konstruksi
jender setempat. Penekanan “persaudaraan” perempuan di seluruh dunia
membuat perbedaan historis, etnis, kelas, agama dan sebagainya menjadi luput
untuk diperhatikan. Perempuan—dan terutama sekali perempuan dunia ketiga— selalu didefinisikan sebagai korban yang tidak berdaya, artinya dilihat terutama
sebagai objek penindasan bukan pihak yang punya daya agensi. Kemudian, setiap analisis dimulai dengan asumsi bahwa perempuan ditindas laki-laki di manapun di dunia. Dengan berbagai kondisi seperti itu, secara implisit atau eksplisit penulis sering menyampaikan pesan bahwa perempuan dunia ketiga berada dalam posisi
di mana mereka sama sekali tidak dapat berkutik, dan karena itu perlu dibantu dan “dibebaskan” oleh feminisme yang berasal dari Barat. Tulisan para feminis Barat
tentang perempuan dunia ketiga dalam konteks pemikiran pascakolonial dinilai
Mohanty menjadi kolonialis terselubung. Terutama saat mereka menggambarkan perempuan
dunia
ketiga
yang
sepenuhnya
inferior
dan
terkebelakang
dibandingkan dengan perempuan Barat. Hal tersebut juga kemudian diperparah
saat mereka biasanya tidak membicarakan pascakolonialitas secara eksplisit, artinya mereka tidak memperhatikan persoalan-persoalan negara “dunia ketiga” sebagai negara bekas jajahan, dan mereka tidak merefleksikan posisi mereka sebagai warganeraga bekas negara penjajah. Berkaitan khusus dengan jilbab,
Mohanty menemukan adanya gejala-gejala tertentu diinterpretasikan sebagai tanda baik-buruknya posisi perempuan dalam sebuah masyarakat tanpa melihatnya dalam konteks historis dan kultural melalui jilbab. Banyaknya
192
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perempuan berjilbab dalam sebuah negara dipahami sebagai tanda betapa tertindasnya perempuan di negara tersebut.
Setelah memperhatikan ciri-ciri nada universalime etnosentris di atas, saya
akan memberikan salah satu contoh tulisan mengenai jilbab yang ditulis oleh
seorang Indonesianis. Berdasarkan salah satu contoh tersebut, menjadi sangat relevan bagi saya untuk menggunakan metodologi otoetnografi dalam meneliti jilbab.
1. Jilbab dan Poligami
Ciri khas tulisan tentang perempuan dunia ketiga yang bersifat orientalistik
di antaranya adalah penyamaan antara jilbab, sunat perempuan, purdah (segresi
perempuan) dan poligami. Penyamaan berbagai macam isu semacam ini
dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa perempuan dunia ketiga rata-rata menjalani hidup yang pada dasarnya terpangkas berdasarkan jender femininnya (dihambat secara seksual) dan menjadi Dunia Ketiga (baca: bodoh, miskin, tidak berpendidikan, dibatasi tradisi, religius, dijinakkan berorientasi pada keluarga,
menjadi korban dan lain-lain). Dengan gaya bahasa yang tidak eksplisit, jika dibaca secara lebih kritis, beberapa ciri tersebut ada dalam tulisan Wichelen, Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia (2007).88
Dalam tulisan Wichelen, kita akan menemukan penjabaran mengenai
hadirnya imaji tubuh muslim yang baru, yang muncul setelah berlalunya era 88
Sonja van Wichelen, “Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia” dalam Geographies of Muslim Identities: Diaspora, Jender and Belonging, 2007, England: Ashgate Publishing Limited, hal.93.
193
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Suharto. Tubuh feminin muslim hadir melalui jilbab. Berlawan dengan itu, tubuh maskulin muslim hadir melalui poligami. Wichelen tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa baik jilbab maupun poligami bersifat menindas perempuan.
Tetapi melalui cara pemaparan tersebarnya jilbab di Indonesia ini sebatas sebagai pengaruh dari sosial politik, seakan jilbab dilepaskan dari konteks penggunanya.
Jilbab hanya dilihat dari unsur fisiknya saja untuk kemudian diambil sebagai bahan
dasar imaji tubuh muslim feminin. Di dalam tulisan Wichelen, kita tidak akan menemukan suara pengguna jilbab sedikit pun karena jilbab hanya dimampatkan menjadi sebuah imaji, yang tentu saja terkesan kaku. Kemudian, pembahasan imaji beralih pada poligami.
Sebenarnya, antara praktik jilbab maupun poligami tidak terhubung sama
sekali. Jika dikembalikan pada proses praktik wacananya, jilbab baru saja
mengalami problematisasi sejak tahun 80-an untuk kemudian menemukan formasi wacananya secara bertahap hingga sekarang. Asumsi ketundukkan perempuan Muslim pada wacana jilbab secara mutlak sudah saya bahas dalam subbab kedua. Ketundukkan terhadap wacana jilbab tidak bersifat mutlak karena dalam hidup
sehari-hari, berbagai wacana lainnya juga ikut masuk dan saling menunjang satu
sama lain. Sementara itu, jika kita menilik pada wacana poligami, baik aturan maupun muatan teologisnya sama sekali tidak sama dengan jilbab. Poligami
bukanlah semacam cara ‘berpakaian’ atau hidup yang harus dipraktikkan oleh seorang muslim. Secara sederhana, poligami adalah sebuah cara hidup yang sangat
terbatas dan khas, dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Tetapi dalam
tulisan-tulisan yang orientalistik mengenai posisi perempuan di negara-negara mayoritas muslim seringkali terjadi penyejajaran antara kedua isu tersebut. Tema 194
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang digarisbawahi melalui kedua isu tersebut adalah pada dasarnya mengenai
kondisi perempuan muslim yang terkesan di bawah dominasi laki-laki, dikontrol oleh keluarga, serta tidak punya daya agensi apa pun. Dalam cara berpakaian, perempuan
muslim harus patuh mengenakan
jilbab.
Sedangkan
dalam
berkeluarga, ketika mereka berada dalam poligami, sudah jelas mereka ditindas karena tidak berdaya untuk memilih selain diatur oleh laki-laki.
Lebih lanjut lagi, Wichelen menggambarkan poligami melalui isu yang saat
itu sedang berkembang dalam berbagai media, yaitu tentang Puspo Wardoyo yang
menyelenggarakan ‘Polygamy Award’. Puspo Wardoyo dikenal sebagai laki-laki berduit sehingga sanggup memperistri lebih dari satu orang perempuan, atau
poligami. Mengenai poligami ini, Wichelen sepenuhnya hanya menjelaskan tentang Puspo Wardoyo, yang sebenarnya merupakan isu sesaat saja yang sempat meledak di media-media. Puspo Wardoyo dengan poligaminya tidak cukup untuk dijadikan
sebagai bahan dasar hadirnya imaji tubuh muslim maskulin laki-laki di Indonesia. Apalagi jika disandingkan dengan wacana jilbab yang sejarahnya jauh lebih rumit
daripada isu poligami yang hanya merujuk pada Puspo Wardoyo. Melalui penyandingan dua isu yang sama sekali tidak berbanding ini, justru terkesan
bahwa Wichelen telah menggambarkan bahwa perempuan muslim di Indonesia adalah perempuan yang tidak mempunyai agensi, tidak berdaya karena dalam cara berpakaian mereka tunduk patuh pada jilbab, sedangkan dalam berkeluarga ada
dalam dominasi laki-laki sehingga tidak dapat menghindarkan diri dari poligami. Hal ini sesuai dengan ciri yang disebutkan oleh Mohanty di atas, perempuan dunia ketiga selalu didefinisikan sebagai korban yang tidak berdaya atau dilihat sebagai 195
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
objek penindasan. Analisis sudah dimulai dengan asumsi bahwa perempuan ditindas laki-laki di manapun di dunia, termasuk di Indonesia. 89 2. Jilbab dan Esensialisme
Secara tidak sengaja, tulisan berikutnya yang akan saya bahas sama-sama
dimulai dengan kata, yaitu ‘reconstructing’. Tulisan ini ditulis oleh Susan Brenner yang merupakan hasil penelitian jilbab yang berlokasi di Jawa, khususnya
Yogyakarta dan Solo. Penelitian yang dilakukan Brenner jauh lebih mendalam daripada yang telah dilakukan oleh Wichelen. Tetapi saya tidak dapat menemukan
durasi penelitian ini. Informasi yang saya dapatkan, penelitian ini diterbitkan dalam sebuah jurnal antropologi yang terbit pada tahun 1996. Selain itu,
wawancara bersama responden dilakukan pada 20 perempuan yang berada di
kota Yogyakarta dan Solo pada tahun 1993. Hal menarik yang langsung mengemuka dalam tulisan Brenner adalah mengenai pertanyaan penelitian yang
hendak dijawabnya. Katanya, What prompts young Muslim women to veil in a society where veiling is neither deeply rooted in local tradition nor encouraged by a
majority of the population? Why have some women been willing—even eager—to adopt a practice from abroad that many Indonesians see as restrictive or extrimist? 89
Salah satu kasus tentang poligami yang banyak disorot akibat liputan media yang menggembargemborkannya, adalah poligami yang dilakukan oleh Syekh Puji Cahyo Widianto. Syekh Puji (demikian julukan yang begitu populer) semakin disorot karena perempuan yang dipoligaminya masih berusia sangat muda, 14 tahun. Kasus poligami syekh Puji ini juga dimasukkan kedalam sebuah penelitian tentang jilbab yang dikerjakan oleh peneliti dari Indonesia, Dewi Chandraningrum. Tema poligami menjadi salah satu pembahasan. Judul bagian tersebut adalah Servility and Obedience: The Ugly Side of Poligamy dalam judul penelitian secara keseluruhan, Negotiating Women’s Veiling: Politics & Sexuality in Contemporary Indonesia, 2013, Thailand: Irasec, hal. 39-42. Penelitian di sini berpusar pada negosiasi perempuan berjilbab dengan sejumlah isu di masyarakat, misalnya poligami, operasi pelastik, waria, dan lain-lain. Tema poligami sekadar disorot sebagai pernikahan yang dialami perempuan berjilbab yang masih berusia remaja. Penekanan ada pada sisi buruk poligami yang banyak ditentang oleh orang, khususnya oleh feminis muslim. Sedangkan perempuan yang dipoligami dilihat sebagai perempuan yang dieksploitasi, terlebih karena usianya masih sangat muda sehingga seakan tidak paham akan nasib yang menimpanya.
196
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
In Java veiling symbolize a new historical consciousness that deliberately dissociates itself from local past… 90 Melalui kutipan tersebut, dalam usaha untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang akan dilakukannya, Brenner telah mempunyai kategori tersendiri terhadap jilbab, yaitu veiling is neither deeply rooted in local tradition
and deliberately dissociates itself from local past. Jilbab oleh Brenner sudah sejak
awal diperlakukan sebagai tidak berakar pada tradisi lokal dan merupakan praktik yang diadopsi dari luar negeri. Secara mendasar, Brenner sudah mapan dalam kesimpulan bahwa jilbab adalah cara berpakaian impor dari luar negeri (baca:
Arab). Sehingga konsekuensi dari kesimpulan yang sudah dibuat di awal tersebut mengantarkan penelitian tersebut pada dua kutub yang berhadapan, yaitu tradisi
lokal dan luar negeri (sebenarnya merujuk pada negara-negara Islam dimana para perempuannya mengenakan jilbab). Sementara, kita tahu bahwa citra jilbab pada
era 80-an, khususnya, masih sangat kental sebagai tradisional, kampungan atau ndeso.
Asumsi apa yang kira-kira dibayangkan oleh Brenner saat menyebutkan
bahwa jilbab adalah cara berpakaian impor dari negara-negara Islam di Timur
Tengah dan sepenuhnya tidak mempunyai akar pada tradisi lokal? Dalam hal ini Brenner memisahkan secara kaku antara Islam dan tradisi. Bahkan disebutkan
pula bahwa melalui pakaian yang merupakan impor dari Timur Tengah ini merupakan kebalikan dari pakaian tradisional seperti sarung, kebaya, dan
selendang kepala longgar atau topi tenunan yang dipakai oleh perempuan tua di Indonesia. Asumsi bernada esensialis ini, dipakai oleh Brenner dengan klaim
bahwa gagasan ini merupakan pengetahuan umum dalam masyarakat Jawa. Alih90
Susan Brenner, “Reconstructing Self and Society: Javanesse Muslim Women and ‘The Veil”, 1996, Amerika: American Anthropological Association, hal 673.
197
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
alih memeriksa pengetahuan umum tersebut, Brenner menyetujuinya meskipun
dengan konsekuensi bernada esensialis. Seakan-akan pernah ada pakaian perempuan Jawa ‘asli’. Sementara yang bernama tradisi selalu merupakan ciptaan
yang tidak pernah mapan. Jika saja Brenner melakukan penelitian lanjutan pada masa sekarang, ia akan menemukan perkembangan biakkan kode-kode hibrid yang ada dalam jilbab. Misalnya kebaya dikenakan bersamaan dengan jilbab, baik
dalam gaya pakaian formal ataupun untuk sehari-hari. Kita dapat menemukan ibuibu tua di berbagai sudut kota Yogyakarta yang mengenakan kebaya tetapi dilengkapi dengan jilbab yang berbentuk sederhana (bukan ciput).
Sebenarnya penelitian jilbab yang sudah dilakukan oleh mereka adalah
penting. Mereka telah meneliti serta menyusun sejarah singkat tentang jilbab. Tetapi jika kurang memperhatikan aspek-aspek yang mendasar tadi, saya khawatir apa yang ditulis oleh Mohanty menjadi kenyataan, yaitu bahwa mereka menjadi kolonialis
terselubung.
Nada
esensialis
dalam
memandang
jilbab
akan
mengantarkan juga pada asumsi bahwa perempuan pengguna jilbab seakan harus memilih antara tradisi atau agama dalam hal berpakaian. Padahal keduanya bisa menyatu menjadi hibrid. Dengan demikian, dalam hal ini ruang untuk negosiasi di
antara keduanya menjadi mungkin. Di sisi lain, bentuk jilbab yang dikenakan di Timur Tengah, misalnya, tidak sepenuhnya sama dengan yang dikenakan oleh perempuan Jawa. Meskipun cara berpakaian berupa gamis dan jilbab lebar ada,
tetapi masih ada bentuk jilbab lain yang lebih pendek serta tanpa gamis. Sehingga, jika diperhatikan secara lebih teliti, cara berjilbab perempuan Jawa yang dimaksud Brenner sebenarnya tidak sama persis dengan perempuan di Timur Tengah. 198
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perbedaan tersebut dimungkinkan karena muatan ideologis antara jilbab Timur Tengah dan Jawa sangat berbeda.
Oleh karena adanya kecenderungan kolonialis dalam penelitian tentang
jilbab di Indonesia seperti yang sudah saya jelaskan di atas, kiranya perlu
diupayakan cara untuk mengatasinya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
pengenalan akan kesadaran poskolonial untuk dapat mengendus persoalan relasi kekuasaan yang ada. Lantas, langkah selanjutnya yang bisa diambil adalah
mencoba untuk mengkritisinya. Bentuk kritis yang memungkinkan untuk
dikerjakan adalah dengan menulis narasi sendiri, tidak hanya sebatas menunggu untuk direpresentasikan oleh pihak lain, peneliti Barat. Baik Mohanty maupun
pemikir Poskolonial lainnya, Deepa Kumar91 mempunyai saran dan visi yang sama. Mereka selalu menekankan akan pentingnya orang-orang dari bekas negara jajahan untuk menuliskan sendiri narasinya, bukan hanya selalu direpresentasikan
oleh pihak lain. Hal ini untuk menghapus anggapan bahwa perempuan dunia
ketiga tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri. Penulisan tentang diri sendiri ini tentunya untuk menyuarakan pengalaman dan kepentingan mereka
yang belum tentu sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh peneliti atau feminis
Barat. Sedangkan saat meneliti praktik tertentu di kalangan perempuan sebangsa, tetap harus berhati-hati agar tidak terjebak kedalam kecenderungan yang sama.
Cara untuk menarasikan diri sendiri yang dapat kita pilih, salah satunya
adalah melalui penelitian yang bersifat otoetnografis ini.
Dalam penelitian
pengalaman sehari-hari, gagasan ontologi kritis akan diri diterjemahkan menjadi, misalnya, otoetnografi refleksi-diri. Dalam analisa ini, peneliti tidak hanya 91
Deepa Kumar, Islamophobia and the Politics of Empire, 2012, Chicago: Haymarket Books, hal.45.
199
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bertujuan untuk membuka secara introspektif pengalamannya tetapi juga menginterogasi
secara
kritis
wacana-wacana
yang
telah
membentuk
pengalamannya. Saya sebagai saksi, pelaku, sekaligus peneliti sebuah praktik
budaya yang sudah melekat selama bertahun-tahun di dalam diri. Horison yang
terbayang dalam ruang imajinasi saya terkait jilbab lebih luas daripada orang yang baru saja berada di Indonesia untuk kemudian meneliti selama beberapa waktu saja. Saya mempunyai akses yang lebih dalam terhadap praktik jilbab, yang oleh
orang lain sungguh mudah untuk dilihat sebatas sebagai sebuah pendisipRinin atau kontrol mutlak terhadap tubuh perempuan. Sehingga, seakan kami pengguna jilbab harus dibebaskan dari disiplin yang menindas ini.
200
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN
Saya sempat menggambarkan suasana ketika berada di pusat belanja yang
banyak sekali menyediakan produk keperluan busana muslimah dalam pengantar Bab I. Situasi yang saya alami saat itu adalah keheranan terhadap jilbab yang sudah
sedemikian menyebar hingga produk di pusat belanja pun berusaha untuk
memenuhinya. Keheranan yang juga dipengaruhi oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai makna jilbab. Jilbab sudah semakin biasa dikenakan banyak orang, saya
pun mengenakannya sudah hampir dua puluh tahun. Mengapa saya harus merasa heran? Bukankah ini pertanda menggembirakan karena citra jilbab yang positif di
masyarakat? Tetapi seiring dengan semakin diterimanya jilbab, saya merasa justru semakin ‘keras’ aturan tersebut beredar. Memang sejak dulu jilbab memang tidak
semata-mata hadir dari dalam diri untuk dikenakan, tetapi ada faktor eksternal
yang mendorongnya. Tetapi kini dorongan eksternal itu dirasa semakin kuat bahkan menjadi semacam tuntutan sosial yang terkadang sukar dielakkan. Situasi
semacam ini, pada masa sebelum melakukan penelitian jilbab seringkali mengantarkan saya pada ambiguitas. Saya mengenakan jilbab dengan alasan personal tetapi saya juga menggugatnya.
Semula gugatan yang sering mengemuka itu mengarah ke berbagai arah.
Saya tidak terima jilbab terlampau dipercaya sebagai kontrol moral. Saya juga
tidak setuju pada pihak-pihak yang terlalu mendiskreditkan jilbab. Gugatangugatan yang ada tidak jelas mengarah kepada siapa. Tibalah saatnya menjadikan 201
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jilbab sebagai objek material penelitian. Beberapa dimensi terkait jilbab perlu saya akomodasi dalam penelitian ini. Semula metodologi yang dipilih masih berupa studi etnografi lama. Tetapi sisi pengalaman jilbab yang saya punya tidak dapat
terakomodasi sepenuhnya dengan metodologi tersebut. Otoetnografi kemudian
menjadi penemuan yang tepat karena saya dapat melibatkan dimensi personal
kedalam penelitian secara lebih leluasa. Metodologi otoetnografi lalu dipertajam
dengan konsep-konsep kritis Michel Foucault sehingga dapat mengantarkan saya
pada sebuah penelitian yang menggairahkan. Konteks sosial, kultural, dan personal hadir sebagai latarbelakang bagi objek material yang sedang saya teliti. Dengan
otoetnografi yang dipertajam oleh konsep-konsep Foucault, khususnya mengenai praktik wacana dan kekuasaan, saya tidak sebatas menganalisa dari luar. Wacana jilbab saya lihat mulai dari bagian terluarnya (sosial dan kultural) hingga bagian terdalam (pengalaman personal) seperti yang ditekankan oleh Carolyn Ellis.
Dalam perjalanan penelitian yang sudah dikerjakan selama beberapa tahun
itu, saya mulai menganalisa sejarah wacana jilbab. Berbagai ingatan, perasaan,
serta imajinasi dikumpulkan untuk disandingkan dengan berbagai data yang sudah
disusun oleh para peneliti sebelumnya. Sambil menginterpretasi data yang ada,
saya berusaha untuk mencocokkan dengan ingatan dan perasaan saya sendiri
karena sudah pasti sejak tahun 80-an saya berada dalam pusarannya. Ingatan tentang awal mula dan problematisasi wacana jilbab saya dapatkan melalui
konsep-konsep Foucault. Karena penelitian ini memang bersifat personal, setiap tahap penelitian berpengaruh terhadap pemikiran saya. Semula saya baru bisa
menyatakan gugatan ke segala penjuru akibat merasa diatur oleh tangan-tangan abstrak yang terasa mencengkram. Saat menggunakan konsep praktik wacana, 202
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk melihat sejak kapan kiranya jilbab dipersoalkan, gugatan-gugatan saya mulai lebih jelas. Praktik wacana jilbab pada dasarnya bergulir sesuai dengan sifat
kekuasaan yang tersebar kemana-mana tanpa bisa dibendung dan tanpa pusat sehingga menjadi formasi wacana yang berkembang biak terus hingga sekarang. Gugatan yang tadinya diarahkan secara tidak jelas, mulai dilunakkan oleh penemuan bahwa jilbab tidak sepenuhnya sesuatu yang baru. Apakah yang baru
dari jilbab itu? Cara orang-orang membicarakannya, membahasnya, lalu menjadikannya sebagai sesuatu yang sedemikian penting dalam keseharian. Itulah kiranya gagasan baru berkaitan dengan jilbab. Jilbab yang sering dibicarakan
sehingga menjadi wacana yang beranak pinak itulah yang membuat situasi terkadang menjadi rumit. Jilbab tidak sebatas sebagai yang personal. Jilbab malah
berpotensi dijadikan lambang untuk merepresentasikan sesuatu di luar penggunanya.
Karena jilbab sudah dibahas sedemikian rupa oleh siapapun, orang-orang
pengguna jilbab khususnya, serta perempuan muslim pada umumnya, berpotensi untuk selalu direpresentasikan dalam batas-batas wacana yang sudah ada tersebut. Representasi yang beredar tidak seragam, tapi bahkan bertolak belakang
satu sama lain, yaitu di satu sisi jilbab dipahami sebagai lambang akan terjaganya moral, tetapi di sisi lain juga sebagai perlambang kekolotan dan keterbelakangan.
Penilaian stereotipikal semacam itu ternyata tidak mudah dihapus dari keseharian.
Menyadari berbagai representasi tersebut, upaya yang penting dilakukan melalui penelitian otoetnografi adalah memberi suara alternatif, suara yang personal.
Suara yang tidak sesuai dengan representasi-representasi yang ada. Proses untuk mengeluarkan suara personal tersebut pun bukan sebatas berangkat dari sebuah 203
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kesaksian tetapi lebih dalam lagi. Kesaksikan yang saya bayangkan di sini adalah
sebatas melihat pengalaman. Dalam hal ini pengalaman disadari untuk diinterogasi.
Dalam perjalanan penelitian, mulai tampak persoalan yang ada secara lebih
jelas. Konsep formasi wacana membuat lebih jelas lagi faktor-faktor yang membuat wacana jilbab menjadi kompleks seperti sekarang ini. Wacana jilbab bukan saja sebatas pada jilbab syariat tetapi sejumlah wacana lainnya, misalnya wacana jilbab
Islam Liberal, hingga wacana melepas jilbab. Dengan semakin jelasnya perkembangbiakkan wacana jilbab semacam itu, arahnya tetap saja sama, yaitu hendak merepresentasikan jilbab pada sebatas urusan moralitas. Padahal pengalaman personal jauh melebihi urusan moralitas.
Selain menginterogasi pengalaman personal yang dikaitkan dengan latar
belakang sosial dan kultural saya menyandingkan beberapa narasumber sebagai
pembanding sekaligus sumber refleksi. Suara personal dalam wacana jilbab
semakin kompleks. Suara personal yang muncul, yang dalam hal ini merupakan penemuan penelitian, menjadi lebih kaya. Penemuan penelitian yang dapat saya rangkum adalah sebagai berikut:
1. Jilbab sebagai lokus pengolahan diri yang berdiri bersama wacanawacana lain, sufisme dan feminisme (hasil interogasi terhadap pengalaman wacana jilbab saya);
2. Jilbab sebagai negosiasi kultur (hasil interogasi pengalaman Mariana);
204
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. Jilbab sebagai penutup aurat yang bersifat konseptual, bukan pada
tubuh. Menjaga aurat berarti tidak merugikan orang lain (hasil interogasi pengalaman Rini).
Tetapi setelah menemukan suara yang personal, persoalan tidak selesai
sampai di situ. Saat berhadapan dengan hasil penelitian jilbab yang sudah ada,
misalnya yang sudah dikerjakan oleh kalangan Indonesianis muncul masalah yang butuh proses untuk dapat membahasakannya. Semula saat membaca hasil penelitian Indonesianis untuk pertama kalinya, saya hanya merasa kurang nyaman
tanpa tahu penyebabnya. Setelah dibaca beberapa kali, saya mulai menemukan
alasan ketidaknyamanan tersebut. Mereka terlalu percaya diri dapat menggali suara kebenaran tentang jilbab. Tetapi secara mengejutkan, meskipun saya sudah
mencoba berulang kali untuk membahasakannya secara jelas, rasa ragu selalu datang. Saya sering dilanda rasa tidak percaya diri dapat mengkritik hasil penelitian mereka. Ternyata posisi saya sebagai perempuan dari dunia ketiga yang
biasanya direpresentasikan oleh kalangan dunia pertama berpengaruh terhadap artikulasi. Dibutuhkan upaya untuk meyakinkan diri bahwa kritik saya terhadap
mereka cukup beralasan. Setelah meyakinkan diri bahwa mereka juga berpotensi ‘merebut’ suara yang personal, artikulasi dapat terucapkan sedikit demi sedikit. Artikulasi yang pada dasarnya mau menyatakan bahwa jilbab bukan sebatas alat kontrol bagi moral, yang menuntut kepatuhan mutlak.
Di sisi lain, imajinasi saya terhadap jilbab pun ikut berubah saat
dilakukannya penelitian jilbab ini. Jilbab merupakan lokus saya mengolah diri
selama bertahun-tahun, namun untuk waktu yang lama, keresahan saya kurang 205
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menemukan wujud dan arah yang pasti. Berkat proses penelitian ini, kini gugatangugatan saya berkaitan dengan jilbab sudah jelas arahnya, yaitu ditujukan kepada
pihak-pihak yang selalu berebut untuk ‘memberi suara’ kebenaran. Suara
kebenaran yang berpotensi untuk menghilangkan suara personal. Seakan suara personal tidak mungkin hadir, selain tunduk pada representasi dominan yang ada.
206
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Leila. 2011. The Veil’s Resurgence, From Middle East to America: A Quiet Revolution, New Heaven: Yale University Press. Aini, Kurrotu. 2014. “Aktivis Pejuang Jilbab” dalam Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentnag Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia. Jakarta: Rumah Kitab. Al-Asyamawi, Muhammad Sa’id. 2003. Kritik Atas Jilbab. Jakarta: Jaringan Islam Liberal. Aryo, Gatot. 2010. The Jilbab Code, Jakarta: Coretan Book Publishing. Barker, Chris. 2013. Cultural Studies; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Brenner, Susan. 1996. Reconstructing Self and Society: javanesse Muslim Women and ‘The Veil’, Amerika: American Antropological Association. Candraningrum, Dewi. 2013. Negotiating Women’s Veiling: Politics & Sexuality in Contemporary Indonesia. Thailand: Irasec. Carrete, Jeremy R. (ed.). 2011. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. El Guindi, Fedwa. 2004. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, Jakarta: Penerbit Serambi. Ellis, Carolyn. 2004. Ethnographic I: A Methodological Novel About Autoethnography, 2004, United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishing Group. _____, dan Tony E. Adams. 2004. The Pursposes, Practices, and Principles of Autooethnographic Research: The Oxford Handbook of Qualitative Research. New York: Oxford University Press. Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality Volume I, New York: Pantheon Books. Hamdani, Deny. 2011. Anatomy of Muslim Veils: Practice, Discourse and Changing Appearance of Indonesian Women, Jerman: LAP Lambert AcademicPublishing GmbH & Co.KG. Irigaray, Luce, 2005. Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda. Jakarta: KPG. Juneman. 2010. Psychology of Fashion; Fenomena Perempuan [Melepas Jilbab]. Yogyakarta: LKIS. Kumar, Deepa. 2012. Islamophobia and the Politics of Empire, Chicago: Haymarket Books. Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia. Mohanty, Chandra Talpade. “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses”, dalam Feminist Postcolonial Theory, Reina Lewis and Sara Mills (ed.). 2003. Edinburgh: Edinburgh University Press. Murata, Sachiko. 1996. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Bandung: Mizan. 207
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Nadia, Asma. 2014, Jilbab in Love, Jakarta: Asma Nadia Publishing House. O’Farrel, Clare. 2011. Michel Foucault, London: Sage Publications. Pijfer, G.F. 1934. “Wanita dan Mesjid” dalam Jurnal Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Indonesia Awal Abd XX , Jakarta: UI Press. Saukko, Paula. 2008. The Anorexic Self: A Personal, Political Analysis of a Diagnostic Discourse, New York: State University of New York Press. ______, 2008. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, London: Sage Publications. Shihab, Quraish. 2004. Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer. Jakarta: Lentera Hati. Spivak, Gayatri Cakravorty. Can Subaltern Speak? dalam Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader. New York: Harvester/Wheatsheaf. van Dijk, Kees. 2005. Sarung, Jubah, Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, Yogyakarta: LKIS. van Wichelen, Sonja. 2007. “Reconstructing ‘Muslimness’: New Bodies in Urban Indonesia” dalam Geographies of Muslim Identities: Diaspora, Gender and Belonging, ... (ed.). England: Ashgate Publishing Limited. Wichelen, Sonya. 2007. Reconstructing “Muslimness”: New Bodies in Urban Indonesia, England: Ashgate Publisihing Limited. Washburn, Karen. 2001. Jilbab, Kesadaran “Identitas” Poskolonial dan Aksi Tiga Perempuan Jawa, dalam Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, Yogyakarta: Kanisius. Koran dan Majalah Meisusilo. Polwil Madura Mulai Berlakukan Jilbab bagi Polwan Muslimah, Koran Jawa Pos: 11 Maret 2009. Majalah Forum Keadilan, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15. ______, No. 10, 01 Juli 2012, hal. 11-15.
208