PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MASYARAKAT CINA DAN KEKERASAN OBYEKTIF DALAM KARYA SASTRA; SEBUAH KRITIK IDEOLOGI ATAS MULTIKULTURALISME
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh : Alwi Atma Ardhana 106322012
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MA$VARAKAT' CINA DAN KEKERASAN OBYEKTIF DALAM KARVA SASTRA; SEBUAH KRITIK IDEOLOGI ATAS MTJLTIKT]LTURALISME
TESIS Oleh: Alwi Atma Ardhana 106322012
fa--[
I
7,
"AIN
3" Dr" SL Sunardi
2014 Yogyakarta,9 September ana Direktur ProgramPascasarj
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERSEMBAHAN
Karya ini secara khusus saya persembahkan kepada kedua orang tuaku, Babe (Aliman Susilo Ajib, S. IP) dan Mami (Wiwik Hasta Pratiwi), kedua adikku tercinta, Lita dan Ara, Serta Dewi-ku.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Sejatinya, sebuah tesis adalah sebuah bagian kecil dari proses pendewasaan seseorang secara intelektual dan personal; sebuah proses untuk memberi makna pada lingkungan sekitar dan menyumbangkan sesuatu (sebuah jawaban mungkin?). meskipun saya dapat dikatakan telah menyelesaikan tesis ini, di titik ini, saya tidak yakin bahwa telah benar-benar memberi jawaban pada permasalahan yang ada melalui tesis ini. Akan tetapi, saya yakin benar bahwa saya kini memiliki pemaknaan yang lebih baik atas pertanyaan (permasalahan) yang ada. Permasalahan terkait dengan ideologi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia, yang saya coba angkat di tesis ini - bukanlah sebuah permasalahan yang bisa dipecahkan dalam waktu yang singkat. Jadi, selesainya tesis ini – meskipun telah menggunakan energi ekstra dalam proses pengerjaannya - hanyalah sebuah peran kecil yang saya ambil dalam ‘permainan’ di wilayah tersebut. Dan peran kecil saya tersebut tidak mungkin adanya jika saya saya tidak mendapat sokongan yang luar biasa dari banyak pihak. Karenanya halaman-halaman berikut ini saya persembahkan untuk mengucap terima kasih pada pihak-pihak tersebut. Yang pertama dan utama, saya ingin berterima kasih kepada kedua orang tua saya – babe dan mami – yang sejak awal, dengan segala kepercayaan dan keteguhan hatinya yang dimilikinya, mendukung pilihan studi lanjutan anaknya meskipun pilihannya agak ‘tidak wajar’. Saya juga berterima kasih pada dua adik perempuan saya – Lita dan Ara – yang selalu menemukan cara untuk mendorong saya untuk tidak menyerah. Terima kasih juga pada Pakdhe Edi, Budhe Indi’, Budhe Suster dan Mbeta (Bernadetta Diah Ariani) untuk dorongannya dengan caranya masing-masing. Berikutnya, saya ingin mengucapkan terima kasih pada keluarga baru saya terutamanya istri saya tercinta – Indra Puspita Dewi – yang kesetiaan, kesabaran, dan ketabahannya semenjak masih berstatus ‘pacar’ haram jika masih diragukan (saya yakin menunggu orang sekolah itu lebih berat dari orang sekolah). Keluarga Halim papah dan mamah mertua - saya kira juga lebih dari pantas disebut di kesempatan ini mengingat dorongan dan keyakinan mereka pada saya tak terkira pentingnya dalam proses penulisan tesis ini. Untuk bimbingan dan pengertiannya yang tak bertepi, saya akan menjadi durhaka jika tak berterima kasih kepada dua pembimbing saya: Dr. Katrin Bandel dan Dr. Albertus Budi Susanto S.J. Terutamanya untuk Mbak Katrin yang memberikan semua referensinya tentang Sastra Melayu Lingua Franca dan Sastra Indonesia kekinian. Saya juga ingin secara khusus berterima kasih pada Dr. St. Sunardi untuk ilmu baru – bagi saya - bernama Psikoanalisa yang akhirnya saya, viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan segala kenekatan, gunakan untuk menyusun tesis yang seadanya ini. Untuk semua staf pengajar di Ilmu Religi dan Budaya, saya juga haturkan terima kasih yang seluas-luasnya: Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. George Aditjondro dan dosen-dosen lain yang tak dapat sebutkan satu per satu. Jikalau ada kesalahan – dan pasti adanya – dalam tesis ini, hal tersebut sepenuhpenuhnya disebabkan oleh kemalasan dan keteledoran saya semata dan bukan karena kerja keras dosen-dosen sekalian. Selain itu, saya juga hendak berterima kasih pada semua staf Ilmu Religi dan Budaya: khususnya Mbak Desi (terima kasih untuk kegigihan ‘teror’-nya - trust me it works!) dan Mas Mul (terima kasih untuk kopi dan pertanyaan ‘nylekit’ ‘kapan rampung?’-nya dan maaf atas abu rokoknya ya, mas. Saya khilaf.). Rasa terima kasih yang tak terkira saya ucapkan pada kawan-kawan senasib dan sepenanggungan di IRB, mediasastra.com, eks-Sastra Sanata Dharma, ‘New Star’, kontrakan Monjali dan sekitarnya: Zuhdi dan tentu saja Mbak Laksmi (sembah miring wolak-walik plungkak-plungkik buat tuan dan nyonya ndalem Kabunan), Mando (obrigado, camarada!), Lisis, Aban Irpang, Gintani, Pongkot, Bang Ben, Mas Win, Amsa, thunder buddy saya - Acong, Muji (terima kasih untuk segalanya yang ruwet, ribet dan njelimet!), Fafa, Doni, Jati, Arham, Imran, Lamser, Frans, Ani, Vini, Umi, Padmo, Rendra, Jeje, Herman ‘Cheng’ (jebul kowe lulus e ngenteni aku to!), Pak Moko dan kawan-kawan lain yang tak dapat saya cantumkan satu per satu. Akhirul kalam, terima kasih banyak dan tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!
Yogyakarta, 1 Agustus 2014
Alwi Atma Ardhana
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Permasalahan identitas masyarakat Cina di Indonesia adalah sebuah permasalahan yang pelik karena selalu terkait dengan ideologi dominan yang berkuasa. Untuk itu saya ingin mengunjungi kembali permasalahan tersebut tapi pada kesempatan ini melalui karya-karya sastra; sebuah pilihan yang berangkat dari keyakinan bahwa karya sastra memiliki daya tawarnya yang unik. Hal tersebut karena bagi saya tumbuh-kembangnya komunitas masyarakat Cina di Indonesia terendapkan dan terwakili dengan baik dalam dunia sastra. Ketika ditelusuri lebih mendalam, enam karya, dari tiga masa yang berbeda, yang saya kaji memiliki hubungan yang ambivalen (symptomatic) dengan ideologi dominan pengelompokkan masyarakat di masanya masing-masing. Menariknya, karena tak sepenuhnya tunduk pada ideologi dominan tadi, karya-karya tersebut menunjukkan permasalahan dan posisi masyarakat Cina sesungguhnya. Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay, dari masa Politik Etis, menunjukkan bagaimana masyarakat Cina memiliki kesulitan untuk menjadi pribumi karena posisinya yang lebih diuntungkan sebagai akibat dari politik segregasi. Dengan kata lain, terdapat sebuah superioritas yang selalu menaungi hubungan Bangsa Cina dan kaum Indonesier (pribumi) sehingga persatuan identitas urung tercapai. Di Lucy Mei Ling yang ditulis di masa kejayaan Orde Baru, identitas berbasis superioritas ekonomi masyarakat Cina ini masih kental terasa. Novel ini tak mampu membahasakan permasalahan yang ada berkenaan dengan ketimpangan identitas (ekonomis) tadi karena politik asimilasi a la Orde Baru yang mewajibkan hilangnya sejarah (identitas). Di masa pasca-Orde Baru yang membawa multikulturalisme sebagai ideologi dominannya, karya-karya sastra bertema kehidupan masyarakat Cina memiliki kecenderungan menarasikan masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat yang merupakan korban penindasan kultural semata. Sehingga, sisi kultural identitas mereka harus dirayakan keberadaannya. Padahal jika dilihat secara historis, permasalahan dengan identitas masyarakat Cina bukan semata-mata urusan kultural. Sesungguhnya kepentingan ekonomis rezim penguasalah yang mendasari semua kebijakan-kebijakan tadi. Hasilnya adalah cara pandang esensialis dan ahistoris terhadap posisi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia. Perayaan multikulturalisme yang saya temui adalah perayaan kultural yang hanya menjunjung kesetaraan tanpa mempertimbangkan ketimpangan berbasis ekonomi yang ada. Kata kunci: Cina Indonesia; pribumi; ideologi; fantasi; kolonialisme; Orde Baru; reformasi; politik segregasi; politik asimilasi; multikulturalisme; Sastra Melayu Tionghoa; Sastra Indonesia; Identitas; symptom. x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
The case of Chinese-Indonesian is not a simple case for it was always related to reigning regimes and its’ dominant ideologies. From such understanding, I revisit the case. Yet, in this research, I sought to seek the case through the realm of literature for I believe that literary works offer unique ways of perceiving the case. Moreover, I believe the up-and-downs of the community of Chinese-Indonesians were well sedimented and represented in the realm of literature. When further acts of analysing were taken, the six literary works, from three different eras, I chose to be the subjects of the research showed an ambivalent (symptomatic) relationship with the ideologies of social-categorization of their times. Those six literary works (novels) led me to the transgressive side of the dominant ideologies and deeper understanding of the problems with the identity and position of Chinese-Indonesians. Drama di Boven Digoel written by Kwee Tek Hoay from Colonial Indonesia showed me how the ‘privileged’ socio-economic position – thus identity – of Chinese-Indonesians during the heyday of the Ethical Policy (politics of segregation) had become a hard-to-break wall to be pribumi. The next novel, Lucy Mei Ling, showed how difficult it was for a writer to write about ChineseIndonesians during the golden days of the politics of assimilation – the identification of Chinese-Indonesians through their economic presence and not the ethno-cultural presence. The novel contributed to the analysis in the sense of showing the deepest logic of assimilative social-categorization in New Order Indonesia. It showed us – for one more time - how dominant ideology became our horizon of identification while providing the language we use. In contemporary Indonesian literature, Chinese-Indonesians theme have become more and more visible. It happens under the light of multiculturalism with the celebration of Chinese-Indonesians’ culture and victimized minority. Furthermore, the four novels from post-New Order Indonesia with their complicated relationship with the dominant ideology (multiculturalism) showed the ideological edge of multiculturalism; its’ transgressive side; the abandonment of economic analysis. The abandonment itself was caused by over-exposure of cultural celebration (essentialism) and the story of victimization (ahistoricism). Thus, multiculturalism is driving us away from the real problem in the realm of economic gap created by older regimes. Key words : Chinese-Indonesians; native people; ideology; fantasy; colonialism; New Order; Reformation; segregation; assimilation; multiculturalism; Malay-Chinese Literature; Indonesian Literature; Identity; Symbolic order; objet petite a; symptom. xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………….……………………….…....…. i HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN TESIS…....…………..…………..…........…ii HALAMAN PENGESAHAN TESIS …………………………………………...… iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ………………………………………. iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………………………………. v MOTTO ………………………………………………………………………….… vi PERSEMBAHAN ……………………………………………………….……...… vii KATA PENGANTAR …………………………………………….…………..…. viii ABSTRAK ………………………………………………………………..…….…. ix ABSTRACT ………………………………………………….………………...…. xi DAFTAR ISI ……………………………………………………………….…….. xii BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..… 1 A. Latar Belakang ……………………………...………………………....... 1 B. Rumusan Masalah …………………………………..……..……...…… 13 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………...…..…... 13 D. Manfaat Penelitian ……………………………………..…...……….… 14 E. Kajian Pustaka ……………………………………….....……………... 14 F. Kerangka Teoritik …………………………...………..…….……….... 23 F.1. Multikulturalisme : Sejarah, Wacana dan Kritik Atasnya ..…. 29 F.2. Wacana Korban dan Fantasinya tentang Cina di (Sastra) Indonesia.............................................................................................41 BAB II TUMBUH-KEMBANGNYA WACANA PRIBUMI-NON-PRIBUMI DARI MASA KE MASA ………………...…………..…………………… 53 A. Politik Etis: Identitas Non-Pribumi (Cina) dalam Kepentingan Ekonomis Kolonial ……………………………..…………………………...……. 54 A.1. Sosial dan Ekonomi …………………………….......……….. 59 xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.2. Pendidikan ………………………………………...……….... 61 A.3. Politik dan Hukum ……………………………...………….... 64 B. Orde Baru: Identitas Cina Warisan Kolonial dalam Politik Asimilasi.... 66 B.1. Sosial dan Budaya …………………………….…….......…… 71 B.2. Politik dan Ekonomi………………………….……...………. 76 C. Masa Reformasi: Multikulturalisme dan Perayaan atas Hal-Hal yang Dipinggirkan …………………………………………….....………….. 84 C.1. Sosial dan Budaya ……………………………....………….... 88 C.2. Politik dan Ekonomi ………...……………...….……………. 92
BAB III WACANA CINA DAN (IDEOLOGI) KARYA SASTRA DARI MASA KE MASA ………………………….......………….………. 97 A. Drama di Boven Digul: Kolonialisme dan Masyarakat Cina ........……. 99 A. 1. Drama di sekitar Drama di Boven Digul ……....…..………. 99 A. 2. Drama di Boven Digul dan Peleburan Identitas melalui Narasi tentang Bahasa dan Agama.........................................................… 102 A. 3. Drama di Boven Digul dan Peleburan Identitas melalui Narasi Politik …......................................................................................... 108 A.4. Wacana Peleburan Identitas dan Politik Segregasi di Masa Kolonial….................................................................…....112 B. Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde Baru…...............................112 B.1. Lucy Mei Ling sebagai Sebuah Usaha Menyelamatkan Identitas Kultural Masyarakat Cina dalam Politik Asimilasi......…………...115 B.2. Wacana Cina sebagai Identitas Ekonomi....………………....121 C. Ca-Bau-Kan: Narasi tentang Orang Cina di antara Stereotip, Trauma pada Kekerasan dan Pengangkatan Kultural……………..............……………..123 C.1. Ca-Bau-Kan dan Penulisnya……..................…...…………..123 C.2. Ca-Bau-Kan dan Identitas Kultural Cina………………...…..124
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C.3. Ca-Bau-Kan dan Identitas Sosial-Ekonomi-Politik Cina…...127 C.4. Ca Bau Kan sebagai Sebuah Perayaan Kultural…….………130 D. Putri Cina : Sebuah Lamentasi atas Posisi Diuntungkan Masyarakat Cina….…………………………………............................132 D.1. Putri Cina dan sekitarnya….....…....…………………………132 D.2. Putri Cina dan Identitas Kultural Cina…....…………………134 D.3. Putri Cina dan Identitas Sosial-Ekonomi Orang Cina………137 D.4. Wacana Masyarakat Cina sebagai Korban yang Mapan secara Ekonomis …..………………………………......…….... 140 E. Dimsum Terakhir: KeCinaan dan Keperempuanan………………........141 E.1. Dimsum terakhir: Penulis Keturunan Cina dan Karyanya.…..141 E.2. Dimsum Terakhir: Identitas Kultural Cina Indonesia di Masa Reformasi……..........………………………….………….142 E.3. Identitas Sosial-Politik-Ekonomi Cina di Indonesia……....…146 E.4. Dimsum Terakhir dan Kegalauan Identitas Cina di Indonesia….….................................................................…....…148 F. Acek Botak dan Usaha Melampaui Stereotip Masyarakat Cina….….....149 F.1. Acek Botak: Penulis dan sekitarnya..……………..…………..149 F.2. Acek Botak dan Identitas Kultural Orang Cina..………….…153 F.3. Acek Botak dan Identitas Sosial-Politik dan Ekonomi Orang Cina.............................................................……..160 F.4. Wacana Sejarah sebagai Jalan Keluar Melampaui Stereotip Ekonomi Masyarakat Cina..……….…..…………………………..168
BAB IV IDEOLOGI MULTIKULTURALISME DAN IDENTITAS CINA WARISAN KOLONIAL DAN ORDE BARU..………………………..…170 A. Symptom dalam Karya Sastra yang Berhadapan dengan Ideologi Dominan............................................… 171 xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.1. Wacana Superioritas Kritis Kwee Tek Hoay di Masa Politik Segregasi Kolonial……...…………………………………….....171 A.2. Superioritas Ekonomis dan Inferioritas Kultural di Lucy Mei Ling….........................................................................178 A.3. Multikulturalisme dan Kekerasan di Empat Novel Masa Reformasi................................................….184 A.4. Multikulturalisme setelah Symptom-Symptom….....…………205 A.5. Multikulturalisme setelah Usainya Perayaan…….....….........217 BAB V PENUTUP…….…..………………………………….………….……..…227 DAFTAR PUSTAKA……………………..…………………………………...….231
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang “Cina” adalah sebuah kata yang asing di telinga saya paling tidak hingga menjelang lulus sekolah dasar. Bahkan saat itu, saya tidak dapat mengidentifikasi orang dengan label tersebut. Padahal saya lahir dan mengalami sebagian masa kecil saya di pusat kota Jogja. Rumah saya hanya berjarak satu kilometer dari Tugu Jogja. Saya tinggal di rumah peninggalan keluarga ibu saya yang tidak jauh dari jalan raya dan berada di belakang deretan pertokoan. Dengan kondisi tersebut, seharusnya saya akrab dengan istilah ‘Cina’. Karena – seperti yang saya sadari ketika dewasa – daerah pertokoan di pusat kota dimiliki oleh orang-orang Cina. Bahkan ternyata – ini baru saya sadari setelah menjelang lulus sekolah dasar tadi - tetangga sebelah rumah yang samasama membuka toko kelontong adalah seorang Cina. Lantas, apa yang kemudian membuat saya dapat menilai apakah seseorang tersebut Cina atau bukan? Jawabannya adalah iklan sebuah produk di televisi yang seingat saya memiliki tokoh-tokoh dari berbagai latar budaya. Salah satu tokohnya adalah seseorang bernama Acong. Nama yang cukup aneh, paling tidak untuk saya, jika dibandingkan dua tokoh lain di iklan tersebut memiliki nama yang dekat dengan telinga saya: Joko dan Sitorus. Saya tinggal di Jogja jadi ‘Joko’ tentu sangat familiar. Sedangkan untuk nama ‘Sitorus’, jelas saya sangat akrab. Ayah saya adalah seorang Jawa-Deli – orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatra Utara –seperti halnya kakek saya - yang merupakan keturunan dari kuli-kuli kontrak asal Jawa yang diculik dari Jawa oleh Belanda. Jadi, nama marga Batak seperti Sitorus adalah hal yang biasa saya dengar. Tapi ‘Acong’? Itu baru asing. Dalam iklan tersebut, Acong adalah anak seorang pedagang beras dan ia adalah keturunan Cina. Dari sana lah, saya kemudian mampu mengidentifikasi orang-orang Cina karena iklan tersebut menautkan beberapa hal di luar ciri-ciri fisik – seperti perdagangan – dengan ke-Cina-an. Saya kemudian tahu mana teman saya yang Cina dan mana yang bukan.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebelum saya melihat iklan tersebut, saya bahkan tak dapat melihat tetangga sebelah rumah tadi sebagai seorang Cina padahal saya selalu memanggilnya Bu Pin Hwa. Dampak lain dari iklan tersebut yang terjadi di sekitar saya, ada seorang anak di sekolah saya yang kemudian mendapat panggilan ‘Acong’. Menjadi Cina lah dia. Beberapa tahun setelahnya, Indonesia dipenuhi dengan kekacauan. Yang saya ingat ibu saya kemudian mengeluh karena tingginya harga barang-barang. Dan saya menjadi akrab dengan demonstrasi mahasiswa dan istilah-istilah yang sering diteriakkan di sana seperti KKN, sembako, MPR, DPR, dwifungsi ABRI dan lain-lain. Hingga sekolah menengah pertama, hanya itu yang saya ingat. Ketika saya telah di sekolah menengah atas, saya yang iseng membaca sembarang buku mengetahui tragedi-tragedi di balik kekacauan tersebut. Buku tersebut ditulis oleh seorang aktivis 98 yang kini menjadi anggota dewan dari Gerindra. Dari buku tersebut saya mengetahui bahwa ada penculikan atas aktivis-aktivis mahasiswa dan pembunuhan dalam skala besar atas orang-orang Cina. Yang langsung saya tanyakan saat itu, kenapa orang-orang Cina dibunuh? Buku tersebut hanya menyebutkan adanya pembunuhan namun tak menjelaskan alasannya. Baru di kemudian hari saya sadar ada sebuah sentimen mendalam atas masyarakat Cina di Indonesia. Ada sesuatu yang salah dalam identitas mereka. Apakah itu? Pertanyaan ini adalah pertanyaan utama di tesis ini. Ketika saya mengingat kembali cerita tentang ketidakmampuan saya mengidentifikasi ‘Cina’ dan pertemuan saya dengan tokoh ‘Acong’ si bocah dalam iklan, saya – terima kasih pada Teori Kritis! – dapat menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang lahir dengan sebuah identitas. Identitas adalah sebuah bentukan. Identitas bahkan baru muncul ketika subyek ditautkan dengan sebuah referen yang mana bisa terus berubah. Jadi, identitas tidak bersifat tetap. Contohnya identitas seorang anak di sekolah dasar saya tadi yang tiba-tiba menjadi seorang Cina karena iklan di televisi. Berangkat dari kejadian tersebut, saya membayangkan bahwa identitas Cina pasti tak sama dari masa ke masa. Referen-referen yang diberikan pasti selalu berbeda juga. Dan kekuasaan yang mengidentifikasi identitas tersebut pasti juga terus berubah. Kalau 2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
begitu, kejadian semacam yang terjadi di tahun 1998 pasti merupakan sebuah akibat dari pembentukan identitas tertentu. Saya ingin mengetahuinya dan ikut mengkritisi pembentukan identitas Cina yang ada saat ini. Tidak perlu membaca buku terlalu banyak untuk mengetahui bahwa di masa Orde Baru, berbagai bentuk kebudayaan orang-orang Cina dilarang. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk bekerja dalam pemerintahan. Tapi, anehnya, di masa tersebut kita juga dapat dengan mudah menyebutkan nama-nama orang-orang Cina berpengaruh yang ada di balik Soeharto. Saya kira kejadian di tahun 1998 berhubungan dengan dualitas kebijakan-kebijakan Orde Baru terhadap masyarakat Cina. Tapi, saya juga berpikir bahwa Orde Baru pasti bukan satu-satu penguasa yang memiliki pendekatan tertentu terhadap masyarakat Cina apalagi masyarakat Cina telah ada di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Jika kita melihat sejarah yang ada, kejadian seperti yang terjadi di tahun 1998 juga terjadi di penghujung kekuasaan Jepang di Indonesia. Dalam laporan jurnalistik yang dikemas seperti novel yang ditulis oleh Kwee Thiam Tjing dengan pseudonim Tjamboek Berdoeri – wartawan berbagai macam surat kabar - berjudul Indonesia Dalem Api dan Bara (1946), kita disuguhkan pandangan dari dalam tentang kejadian tragis yang terjadi di Malang tersebut. Mirip dengan 1998, saat itu, toko-toko milik orang Cina dijarah dan dibakar. Rumah-rumahnya diserang dan dirusak. Sedang pemiliknya dibunuh. Isunya saat itu adalah orang-orang Cina dianggap sebagai pemilik modal antek Jepang dan tidak simpatik dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Isu tersebut jelas menunjukkan kemana identitas Cina ditautkan. Artinya, saat itu ada konstruksi identitas yang mungkin berbeda dari yang ada di masa Orde Baru tapi berdampak kurang lebih sama dengan yang terjadi di pertengahan tahun 1998. Apakah keduanya
berhubungan
yang berarti
Orde
Baru
tidak
benar-benar
mampu
menyelesaikan permasalahan terkait dengan Cina yang diwariskan dari masa-masa sebelumnya? Saat ini ideologi yang sering didengung-dengungkan untuk mengkaji masalah yang terkait dengan minoritas adalah multikulturalisme yang berkembang setelah 3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
runtuhnya Orde Baru. Perayaan terhadap ekspresi kultural masyarakat Cina mulai digalakkan. Perayaan Cap Go Meh yang tadinya dilarang kini menjadi tontonan publik yang dinantikan. Dengan begitu ijin perayaan tentu kini bukan lagi menjadi masalah. Bahkan, perayaan tersebut masuk ke dalam agenda tahunan pemerintah daerah yang memanfaatkannya untuk menaikkan jumlah wisatawan. Sekarang ini juga tidak sulit untuk menemukan buku yang terkait dengan Cina di toko buku. Buku-buku sejarah yang menceritakan sejarah masyarakat Cina di Indonesia bukan lagi bacaan yang harus dibaca dengan sembunyi-sembunyi. Pengarang-pengarang Cina pun bermunculan dengan novel-novel yang dilihat dari judulnya jelas hendak bercerita tentang orang Cina. Saking diperhatikannya urusan yang terkait dengan hak masyarakat Cina, penyebutan atas mereka pun dibicarakan di tingkat pemerintahan. Hasilnya, penggunaan lema ‘Tionghoa’ lebih dianjurkan daripada ‘Cina’. Alasannya, lema ‘Tionghoa’ lebih tidak derogatif dibandingkan dengan ‘Cina’. Tapi, saya masih ingin menggunakan istilah ‘Cina’ untuk penelitian ini.1 Kesemarakan perayaan identitas Cina ini tidak lepas dari penindasan kultural yang terjadi di masa Orde Baru. Apalagi dengan berkembangnya pemikiran multikulturalisme di Indonesia, perayaan kultural jelas semakin meluas. Multikulturalisme sekarang ini menjadi wadah penghancuran diskriminasi dan pengangkatan ekspresi kultural masyarakat Cina. Pendekatan multikulturalisme yang digaung-gaungkan adalah diangkatnya identitas-identitas yang tertindas (minoritas) hingga mencapai kesetaraan dengan, 1
Alasannya, jika memang perubahan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan sentimen yang ada, seharusnya yang dibahas adalah asal-muasal sentimen tersebut dan bukan penamaan-ulang untuk menjadi wadah sentimen yang sama. Bahkan, bagi saya, nama ‘Tionghoa’ memiliki kecenderungan membuat sentimen yang ada menguat karena – meskipun istilah tersebut pernah digunakan dahulu sebelum masa Soeharto – nama tersebut kini menjadi asing lagi. Keasingan ini justru wadah yang baik untuk sentimen yang ada. Selain itu, kesan derogatif atas sebuah identitas seperti identitas etnis adalah hal yang lumrah ditemui. Saya kira setiap pemanggilan etnis selalu memiliki sisi derogatif karena ada sentimen dan stereotip atas setiap etnis yang ada e.g. ketika kita menyebut ‘Jawa’ terbayang sosok lemah lembut, transmigran, sopan, ndeso seperti yang disajikan berulang kali di film-film televisi di Indonesia. Kenapa tidak ada perdebatan perubahan nama acuan untuk ‘Jawa’? Kenapa tidak ‘Javanese’ seperti dalam ‘Chinese Food’? Jadi, bagi saya, perubahan mennjadi ‘Tionghoa’ tidak akan merubah apapun karena memang bukan di titik itu masalahnya.
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
katakanlah, mayoritas. Karenanya dengan ideologi ini, penerbitan novel-novel tentang masyarakat Cina atau ditulis oleh pengarang Cina adalah hal yang dianggap sebagai jalan keluar dari diskriminasi yang ada. Segala pengangkatan ini, pembacaan saya, berangkat dari sebuah penempatan atas identitas-identitas yang tertindas tadi. Untuk diangkat, identitas-identitas tersebut haruslah identitas-identitas pihak yang menjadi korban. Jadi, multikulturalisme membaca kondisi diskriminasi dalam kacamata pelakukorban yang mana korbannya harus diangkat (dirayakan) identitasnya. Dengan begitu, posisi masyarakat Cina dibaca sebagai korban di Indonesia. Di titik ini, saya memiliki masalah dengan multikulturalisme. Yang pertama, dalam kondisi diskriminatif, tidak ada hubungan pelaku-korban yang mencolok. Keduanya tak pernah selalu korban dan juga tak pernah selalu pelaku karena diskriminasi selalu berdasarkan sebuah ideologi yang menciptakan nilai-nilai diskriminatif i.e. para pelaku diskriminasi pada dasarnya adalah korban sebuah ideologi juga yang memanipulasi segala pikira dan tindakannya. Hal tersebut tampak dalam kejadian ketika seseorang melakukan diskriminasi atas orang lainnya, ‘pelaku’-nya tersebut tidak akan merasa ia sedang melakukan sesuatu yang salah karena ia melakukannya berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dominan di masa tersebut. Titik berat pada hubungan pelaku-korban yang ada dalam multikulturalisme membuat kita sesungguhnya melupakan masalah sebenarnya dan hanya menyalahkan pada pelakunya. Padahal, yang seharusnya dituju adalah penghancuran nilai-nilai diskriminatif dari masa lalu yang mungkin masih bertahan hingga kini. Lebih jauh tentang masalah di multikulturalisme, multikulturalisme memiliki kecenderungan ahistorisme dan esensialisme yang tinggi. Dengan fokus pada hubungan pelaku-korban tadi, tentu multikulturalisme hanya akan membaca adanya dua subyek saja dalam sejarah, yaitu pelaku dan korban. Dalam sejarah a la multikulturalisme, hanya akan ada dua hal tersebut. Untuk kasus identitas Cina di Indonesia, sudut pandang tersebut sangat tidak tepat. Masyarakat Cina, saya kira, dalam sejarahnya di Indonesia tak selalu menempati posisi seperti ketika Soeharto masih memenangkan pemilu terus-menerus. Ada masa ketika masyarakat Cina ekspresi kulturalnya tidak
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dilarang bahkan memiliki ‘modal’ lebih dibandingkan dengan pribumi. Sebagai contoh saja, jumlah karya sastra, yang diterbitkan di masa kolonial, yang pengarangnya orang Cina tidaklah sedikit. Karya-karya tersebut juga bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina. Bahkan, mereka memiliki penerbitan dan surat kabarnya sendiri. Artinya, di masa kolonial tidak ada pelarangan atas ekspresi kultural masyarakat Cina. Bagaimana mungkin multikulturalisme membaca fenomena semacam itu? Padahal, menurut saya, masa Kolonial adalah masa yang krusial ketika membicarakan identitas Cina dan hubungannya dengan identitas pribumi. Jelas, Pemerintah Kolonial Belanda memiliki pandangan dan kebutuhan tersendiri terhadap masyarakat Cina seperti halnya Orde Baru yang kemudian menempatkan masyarakat Cina di posisi tertentu. Bersamaan dengan ahistorisme tersebut, saya yakin adanya esensialisme dalam melihat identitas Cina. Esensialisme ini muncul dalam bentuk ‘korban’ dan ekspresi kultural tadi. Ketika kita mengidentifikasi masyarakat Cina sebagai korban terusmenerus tanpa mempedulikan masa dan kekuasaan yang ada saat itu, identitas Cina menjadi tetap. Berikutnya, dengan pengangkatan ekspresi kultural, yang berangkat dari pemposisian masyarakat Cina sebagai korban, tadi identitas Cina kemudian hanya akan dibaca melalui ekspresi kulturalnya semata. Hal tersebut membuat masyarakat Cina didefinisikan berdasarkan agama, bahasa, makanan dan lain-lain. Padahal, identitas Cina – bahkan hingga saat ini – juga lekat dengan hal-hal yang dekat di wilayah ekonomi. Lebih jauh, sampai saat ini, saya kira stereotip masyarakat Cina yang terkuat ada di wilayah ekonomi dan bukan kultural. Jika kita terlalu berfokus pada pembentukan identitas Cina menggunakan faktor-faktor kultural, akar dan proses pembentukan identitas masyarakat Cina yang terkait dengan ekonomi ini tidak akan terbaca. Sayangnya, itulah yang seharusnya kita tuju saat ini untuk mengakhiri ketimpangan identitas yang ada dalam konsep pribumi dan non-pribumi. Di atas adalah asumsi saya sesuatu yang akan dipegang namun terus akan saya ragukan di tesis ini sampai saya benar-benar mencapai sebuah kesimpulan. Satu hal yang pasti, di penelitian ini saya tidak mengkritisi ideologi-ideologi di atas – 6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terutamanya multikulturalisme – ketika mengidentifikasi Cina melalui tulisan-tulisan non-fiksi e.g. karya sejarah, buku politik, otobiografi etc. Saya akan melihat semuanya melalui karya sastra. Berikut ini beberapa alasannya. Pertama, tentu karena saya adalah seorang lulusan Fakultas Sastra. Menjadi seorang lulusan Fakultas Sastra yang benarbenar mencintai karya sastra tidaklah mudah di Indonesia. Kehidupan kritik sastra di Indonesia adalah seperti sebagian besar hal di negara ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Sebagai contohnya, bagaimana mungkin seorang profesor sastra di sebuah forum sastra tingkat nasional berkata “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra”?2 Bagi saya, komentar tersebut menunjukkan bagaimana kritik sastra kehilangan gairah hidupnya di Indonesia. Ada sebuah keengganan kuat di dalamnya untuk menancapkan tonggak-tonggak standar untuk menilai karya sastra. Karya-karya sastra di Indonesia - yang begitu melimpah dengan berbagai temanya dari pengarang yang latar belakangnya sama beragamnya dengan tema karya mereka – seolah-olah seperti pejalan kaki di depan rumah saja yang hanya numpang lewat tanpa diperhatikan lebih lanjut; seperti tak ada sisi kehidupan mereka yang menarik untuk dijadikan bahan perdebatan dan diambil pelajarannya. Jadi, saya ingin meningkatkan gairah atas kritik sastra karena saya percaya (kritik) sastra memiliki sesuatu untuk diberikan pada pembacanya. Alasan berikutnya, karena lemahnya standar-standar yang ada untuk melihat karya sastra – meskipun buku-buku teori kritik sastra baik yang praktis maupun teoritis dari Barat kini telah dapat dengan mudah ditemukan dalam Bahasa Indonesia – karya sastra seringkali dianggap sebagai tulisan personal yang hanya dapat dinikmati berdasarkan alasan-alasan personal juga. Hal tersebut mungkin tidak salah sepenuhnya namun jelas pandangan tersebut datang dari premis bahwa karya sastra itu bebas-nilai dan lepas dari pengaruh luaran seperti kondisi sosial dan ideologi dominan. Bagaimana jika sastra tidak se-‘murni’ itu? Ketika saya berkuliah di fakultas Sastra (jurusan Sastra 2
Komentar ini saya kutip dari makalah Budi Dharma dengan judul “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman” (Dharma, 2010). Makalah tersebut disampaikan di Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang tahun 2010.
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Inggris), dari semester pertama hingga akhirnya saya lulus, kepala saya dijejali dengan karya-karya kanon dari negara-negara berbahasa Inggris seperti karya-karya Shakespeare, William Blake dan Joseph Conrad. Karya-karya Joseph Conrad, yang salah satu karyanya berlatar-tempat di hutan Kalimantan, pada awalnya saya terima selayaknya novel-novel lainnya dan saya tak ada masalah dengan cerita-cerita yang ia angkat. Tetapi semua itu berubah ketika di tahun-tahun berikutnya di Fakultas Sastra, saya membaca buku berjudul ‘aneh’: Orientalism (1978). Orientalism ,yang ditulis oleh seorang Palestina namun tinggal di Amerika bernama Edward Said, meninju muka saya sekuat kombinasi hook kanan Muhammad Ali yang merobohkan George Foreman dengan menuliskan bahwa banyak karya sastra yang ditulis pengarang-pengarang kulit putih – termasuk Conrad - memiliki sebuah kecenderungan ketika menarasikan orangorang Timur. Ada kesan ke-liyan-an (inhumanitas) dalam narasi mereka. Gilanya, Edward Said juga menunjukkan bahwa ke-liyan-an tersebut ternyata merupakan bagian dari sebuah bangunan pemikiran yang oleh Said disebut sebagai orientalisme. Saya pun roboh. Tak pernah terlintas dalam benak saya bahwa sastra, yang saat itu masih menduduki posisi adiluhung di kepala saya, bisa memiliki kecenderungan yang mungkin tak berlebihan jika disebut rasis. Itulah kali pertama saya menyadari bahwa imajinasi seseorang, termasuk pengarang, memiliki hubungan yang sangat rumit dengan ideologi dan lingkup hidupnya. Dengan begitu, sesungguhnya karya sastra adalah situs yang baik untuk mengkritisi ideologi dan lingkup hidup itu sendiri karena keduanya hidup di dalam karya sastra. Tentu alasan kedua saya tersebut masih terlalu mudah untuk dipatahkan. Bukankah, katakanlah, tulisan sejarah juga pasti dipengaruhi dari sebuah ideologi dan tentunya ideologi juga hidup di dalamnya? Bukankah ia lebih ‘nyata’ sehingga lebih mudah untuk mengkritisi dibandingkan dengan karya sastra yang fiktif belaka? Bagi saya, ke-fiktif-an karya sastra membawa sesuatu yang lebih nyata dibandingkan dengan tulisan sejarah. Dalam studi sejarah yang saya kenal di Indonesia, perdebatan terlalu sering berkutat dengan kejadian mana yang benar dan tokoh mana yang melakukannya.
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kebenaran dalam studi sejarah selalu ditandingkan dengan kebenaran lain. Pada karya fiksi, tidak ada perdebatan semacam itu karena semua pihak tahu benar bahwa yang mereka hadapi adalah karya fiksi seberapapun muatan sejarahnya. Saya pun tak yakin kalau pengarang tahu benar apakah yang ia tulis adalah kebenaran atau kebohongan tapi itulah yang ia lihat. Jadi, melalui karya sastra, ideologi muncul dalam bentuk termurninya karena ia datang dari ‘kebohongan’, fantasi dan rekayasa linguistik. Rekayasa linguistik berarti usaha memunculkan fantasi si pengarang ke dalam karya sastra sedekat mungkin. Artinya, kita tak lagi memperdebatkan kebenaran fakta karya sastra tersebut namun dapat dengan langsung menuju fantasi si pengarang dan menilainya dari pilihan katanya semisal. Sebaliknya. dalam perdebatan studi sejarah, cukup sulit mengkaji dengan sudut pandang kritik ideologi karena tulisan-tulisan tersebut memiliki pretensi pada obyektifitas yang tinggi. Pretensi ini membangun tembok yang lebih tebal untuk menutupi sisi imajinatif (fantasi) sehingga cukup sulit untuk menggapainya. Padahal, fantasi adalah sisi yang penting dalam sebuah studi kritik ideologi. Dengan begitu, saya melihat karya sastra adalah jalan masuk yang lebih baik untuk mengkaji ideologi. Lalu, apakah semua karya sastra dapat dengan mudah dijadikan obyek sebuah studi kritik ideologi? Tentu tidak. Jelas kita membutuhkan karya sastra yang ditulis oleh pengarang yang memiliki fantasi menarik. Hal tersebut karena fantasi yang menarik berarti pengarangnya memiliki visi tertentu atas kehidupan yang ia lihat dan coba ia dorong ke depan dalam dunia naratifnya. Visi ke depan inilah yang sifatnya sangat ideologis. Di sini, saya telah memilih enam karya sastra dari berbagai masa di Indonesia untuk diletakkan di atas meja bedah ideologis. Bagi saya, mengkaji karya sastra dari berbagai masa adalah sesuatu yang sangat krusial untuk penelitian saya. Dengan menganalisa karya sastra yang datang dari berbagai masa dengan ideologi dominannya yang beragam, saya akan dapat memberikan sebuah perbandingan yang akan menunjukkan bagaimana identitas Cina tidak pernah bersifat tetap. Ia selalu berubah mengikuti – atau mengingkari - selera ideologi dominan. Bahkan, identitas-identitas
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang ada dapat sangat kontradiktif satu sama lain. Enam karya sastra tersebut adalah Drama di Boven Digoel (1933) karya Kwee Tek Hoay, Lucy Mei Ling (1978) karya Motinggo Busye, Ca Bau Kan (1999) karya Remy Sylado, Putri Cina (2006) karya Sindhunata, Dimsum Terakhir (2006) karya Clara Ng dan Acek Botak (2009) karya Idris Pasaribu. Lebih jauh, enam karya tersebut saya pilih di awal penelitian karena sebuah alasan. Alasan tersebut adalah mereka memiliki visi yang menarik yang langsung terlihat bahkan dari judulnya atau hanya dari beberapa halaman awalnya. Alasan pemilihan Drama di Boven Digoel (selanjutnya akan disebut DBD) adalah karena DBD memiliki lingkup penokohan yang janggal di masanya. Novel yang ia tulis awalnya sebagai cerita bersambung tersebut membangun dunia narasi dimana orang Cina dan pribumi terus mengalami kontak dan keduanya menjadi tokoh utama. Kebanyakan novel yang ditulis oleh Cina Peranakan, yang tradisi penulisannya seringkali disebut sebagai sastra Melayu-Tionghoa, menceritakan hanya pribumi saja atau hanya Cina saja. Dan judulnya menandakan bahwa ia bercerita tentang kejadian seputar perjuangan Partai Komunis Indonesia melawan penjajah di tahun 1926 – sebuah isu yang sesungguhnya sedikit sekali menyentuh kehidupan orang-orang Cina di Hindia-Belanda. Saya pikir itu adalah sebuah hal yang menarik untuk ditelusuri. Berikutnya, Lucy Mei Ling yang ditulis oleh Motinggo Busye yang terkenal dengan karyanya Malam Jahanam. Memberi judul karya semacam itu untuk dijadikan santapan publik di masa Soeharto adalah tindakan yang kata ‘berani’ pun tak cukup mendefinisikannya. Motinggo Busye memberi judul novelnya dengan sebuah nama khas Cina di masa ketika penggunaan nama Cina dilarang. Maksud saya, itu seperti mengantarkan nyawa kepada Babinsa atau Babinmas setempat. Keberanian Motinggo Busye jelas layak mendapatkan perhatian lebih. Berikutnya adalah empat novel dari masa setelah kejatuhan Soeharto dan rezim otoriter-militeristik-nya. Ca Bau Kan saya pilih karena novel ini adalah novel pertama
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di masa reformasi yang benar-benar dimaksudkan untuk berbicara tentang kehidupan masyarakat Cina di Indonesia sebagai tanggapan atas yang terjadi selama tiga puluh dua tahun di belakang. Menariknya, sebagian novel tersebut ditulis di masa ketika Soeharto masih berada di istana Negara. Jadi, pasti ada pergulatan menarik antara dua masa dengan dua semangat yang berbeda di dalamnya. Karenanya, saya mengambilnya. Selanjutnya adalah Putri Cina yang ditulis oleh seorang romo yang tulisan feature-nya tentang sepak bola sangat saya nikmati, Sindhunata. Sepengetahuan saya, novel tersebut adalah novel pertama karya seorang pengarang keturunan Cina yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Novel ini jelas harus ada dalam daftar obyek penelitian saya. Setelah ada Dimsum Terakhir. Novel karya Clara Ng karena novel ini membangun penokohan tokoh-tokoh utamanya yang semuanya Cina dengan stereotip atas Cina yang ada. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang Cina yang tinggal di sebuah daerah di Jakarta yang terkenal sebagai daerah Cina. Mereka hidup berdagang dan masih membakar hio. Dengan penokohan semacam itu, tentu novel ini memiliki pendekatan yang unik untuk membahas stereotip dan diskriminasi. Novel terakhir adalah Acek Botak – satu-satunya novel yang latar tempatnya bukan di Jawa. Pertama, saya tertarik dengan novel ini karena latar tempatnya yang merupakan tanah leluhur saya, Sumatra Utara. Dengan tokoh-tokohnya yang datang dari berbagai latar belakang kultural yang berbeda (Batak, Jawa, Cina dan India), hal tersebut jelas memberi nuansa kedekatan dengan identitas saya. Yang kedua, yang lebih nyambung dengan penelitian ini, novel ini menggambarkan perjalanan identitas Cina dengan utuh secara historis. Narasi utamanya dimulai ketika satu keluarga asal Cina datang ke Sumatra dan memulai hidup baru. Sudut pandang historis ini jelas akan berguna bagi penelitian saya. Selanjutnya, untuk mengkaji ideologi multikulturalisme dalam karya-karya sastra di atas, saya memanfaatkan pendekatan psikoanalisa sebagaimana dikembangkan oleh Slavoj Zizek sejak akhir tahun 1980-an. Kenapa Zizek? Siapa yang tidak tertarik ketika melihat Zizek berpidato atau membaca buku berjudul Looking Awry atau First as Tragedy then as Farce? Ketertarikan saya terhadap teori psikoanalisa yang diterapkan
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pada studi kritik ideologi hasil pengembangan Zizek dimulai ketika saya menonton video ceramahnya yang guyonan tongue-in-cheek-nya “nyelekit”.3 Pada kasus penelitian ini, ketertarikan saya untuk menggunakan teori milik Zizek terbangun ketika saya membaca bukunya yang berjudul Violence (2008). Sejujurnya, yang membuat saya tertarik adalah sikap Zizek yang acapkali politically incorrect ketika menanggapi konflik antar identitas; sebuah sikap yang terkadang, menurut saya, membuatnya mampu lebih kritis. Di buku tersebut Zizek mengkritisi konsep toleransi terutamanya di Barat. Toleransi saat ini adalah sebuah nilai yang posisinya mungkin sama sakralnya dengan kutipan ayat dari kitab suci. Dan Zizek mengkritisinya. Dengan sikapnya tersebut ia kemudian mampu menunjukkan batas-batas ideologis toleransi. Bahkan, ia mampu menunjukkan akar masalah konflik identitas berupa ideologi dominan yang membangun fantasi atas orang lain. Sederhananya, menurut Zizek, “[w]hat exploded in violence was a web of symbols, images, and attitudes”.4 Pembacaan saya dari teks Zizek tersebut adalah jika ada sesuatu yang harus dibongkar agar konflik antar identitas ini tak berkelanjutan adalah sumber dari identitas orang lain yang ada di benak kita. Identitas orang lain di benak kita tersebut lah yang membuat kita mampu melakukan kekerasan fisik pada mereka. Sikap Zizek di buku tersebut memberi saya sebuah sudut pandang baru atas multikulturalisme mengingat toleransi yang dikritisi Zizek berada dalam gerbong ideologi multikulturalisme. Saya menjadi lebih kritis pada segala perayaan ekspresi kultural sebagai tanggapan atas permasalahan identitas Cina di Indonesia. Bisa jadi karya-karya sastra yang saya sebutkan di atas adalah salah satu bentuk dari perayaan kultural tersebut. Seandainya demikian, saya menjadi ragu jika karya tersebut lantas mampu benar-benar membicarakan identitas Cina di Indonesia yang tingkat kerumitannya dapat disejajarkan dengan kerumitan konseptualisasi Negara-Bangsa di Indonesia sendiri. Saya menjadi ragu bahwa permasalahan identitas Cina di Indonesia 3
Nyelekit adalah istilah dalam Bahasa Jawa yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘menyakitkan’. Ungkapan ini biasa digunakan untuk menunjukkan jika kritik yang diberikan terlalu tajam. 4 Lih., (Zizek, Violence, 2008, p. 60)
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hanya terkait dengan isu kultural semata. Bahkan saya meragukan kalau identitas Cina adalah identitas kultural semata. Jadi, baiklah, mari kita lanjutkan diskusi ini ke tataran yang lebih mendalam. B. Rumusan Masalah Dengan kegelisahan-kegelisahan saya yang berkutat di sekitar wacana pribuminon-pribumi, identitas Cina dan ideologi-ideologi yang menaunginya, sebagai konsekuensi konseptualnya untuk kepentingan penemuan yang berarti dalam tesis ini, berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus diketemukan jawabannya: 1. Seperti apa wacana yang menaungi narasi tentang identitas dan hubungan pribumi dan non-pribumi di keenam karya sastra yang telah saya pilih untuk menjadi obyek penelitian? 2. Bagaimana karya-karya sastra Indonesia pasca-Orde Baru menghadapi ideologi multikulturalisme terutama konsep kekerasan dan kesetaraannya? C. Tujuan penelitian Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang saya rumuskan di bagian sebelumnya, saya akan merumuskan tujuan penelitian ini. 1. Mengenali wacana yang memayungi isu pribumi-non-pribumi dalam karyakarya sastra Indonesia. Saya harap bagian ini akan memberikan perbandingan (kontras) antara konteks karya dan karyanya. Dengan begitu kita dapat mengetahui bobot kritis dan historis karya-karya tadi. 2. Membaca cara bertahan karya-karya sastra dari hegemoni wacana kekerasan yang dominan dalam multikulturalisme. Saya berharap akan mendapatkan symptom-symptom yang dapat digunakan untuk mencari alternatif di luar multikulturalisme.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini akan saya kategorikan dalam dua poin. Poin yang pertama adalah manfaat bagi diri saya sebagai seorang intelektual. Bagi saya, penelitian ini mengajari saya untuk selalu ‘curiga’ pada segala macam wacana. Ini membuat saya untuk tidak memandang rendah produk kebudayaan apapun karena darinya kita dapat menemukan ideologi yang sedang bekerja di dalam masyarakat. Sehingga permasalahan sosial di dalam masyarakat dapat dirumuskan dan mulai digagas jalan keluarnya. Dengan begitu, harapannya, tugas intelektual untuk mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik dapat dijalankan. Poin kedua adalah manfaat yang berkaitan dengan khalayak umum. Di penelitian ini saya mengupas, harapannya hingga tuntas, kolonialisme sebagai ideologi dan dampaknya pada hubungan sosial pribumi-non-pribumi. Dari penelitian ini, saya berharap dapat ikut memberi sumbangan ide tentang akar permasalahan yang menjadi sumber segala kekerasan yang menimpa masyarakat Cina di Indonesia. Harapan saya, ketika akar permasalahan ditemukan, kita dapat mengarahkan diskusi seputar hubungan sosial yang adil ke arah yang lebih konstruktif. E. Kajian Pustaka Tentu, saya bukanlah orang pertama yang meneliti tentang identitas Cina di Indonesia. Sebelum saya, banyak pemikir dan penulis yang telah mencoba menelaah permasalahaan Cina di Indonesia dengan berbagai pendekatan. Bagian ini adalah wadah yang saya khususkan untuk mengapresiasi pemikiran-pemikiran tersebut. Tidak lupa saya juga berharap dapat mendapatkan posisi yang strategis di antara hasil penelitianpenelitian tersebut agar analisa yang saya lakukan nantinya berhasil memberikan sesuatu dan tidak terjebak dalam pengulangan.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
E.1. “Negara dan Etnis Tionghoa”5 Saya pikir cukup sulit untuk melakukan penelitian masyarakat Cina di Indonesia – apapun obyek penelitian dan sudut pandangnya – tanpa terlebih dahulu menjabarkan hasil penelitian-penelitian Leo Suryadinata. Selain karena ia telah banyak menulis tentang masyarakat Cina sejak awal karir intelektualnya (tahun 1970-an), cakupan studinya tentang kondisi masyarakat Cina di Indonesia – bahkan beberapa di antaranya dilakukan melalui perbandingan dengan kondisi di Negara tetangga – sangatlah luas. Di satu sisi, ia dapat berbicara tentang sepak terjang masyarakat Cina di dunia politik serta peranan sosial mereka. Di satu sisi, ia juga dapat bercerita tentang kebudayaan dan tradisi sastra Melayu-Tionghoa di Indonesia. Jadi, saya kira saya harus mencermati terlebih dahulu tulisan-tulisan Leo Suryadinata sebelum melangkah lebih jauh. Buku yang akan saya kaji di sini adalah Negara dan Etnis Tioghoa yang terbit tahun 2002. Saya memilih buku ini karena buku ini terdiri dari esai-esai Leo Suryadinata yang ditulis dari berbagai tahun dan kesempatan. Artinya, buku ini mencakup berbagai isu dari berbagai masa di Indonesia menggunakan sudut pandang yang mungkin beragam. Namun ada sebuah sudut pandang yang membuat esai-esai ini dapat dikumpulkan ke dalam satu buku tanpa membuat pembacanya kebingungan, yaitu semua esai ini menganalisa tentang tanggapan Negara terhadap masyarakat Cina. Di kesempatan ini saya tidak akan menjabarkan seluruh tulisan yang ada di buku. Saya hanya akan mengarahkan konsentrasi pada dua tulisan saja – Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia dan Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia - karena kedua tulisan ini adalah tulisan paling komperhensif dan representatif di buku ini dilihat dari kedalaman data dan panjangnya. Di tulisan pertama dalam buku tersebut yang
5
Negara dan Etnis Tionghoa (2002) adalah buku yang ditulis Leo Suryadinata. Leo Suryadinata adalah seorang pakar etnisitas dan memiliki perhatian khusus terhadap kondisi etnis Cina di Indonesia. Tulisantulisannya seputar etnis Cina sudah tak terhitung jumlahnya. Buku ini sendiri merupakan kumpulan esainya yang mencakup permasalahan politik, sosial hingga kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan keberadaan etnis Cina.
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diberi tajuk Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia,6 Leo Suryadinata menunjukkan berbagai permasalahan terkait identitas Cina – yang terkadang dianggap non-pribumi – di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Leo Suryadinata, masyarakat Cina pada awalnya memang adalah orang asing yang datang ke Negara-negara di Asia Tenggara untuk mencari penghidupan baru. Jumlahnya terus meningkat seiring dengan kolonialisme yang semakin mapan. Di bukunya Leo Suryadinata menulis, “[l]owongan kerja dan kesempatan baru ini menarik etnis Tionghoa ke daerah yang dulu dikenal sebagai Nanyang. Nanyang adalah istilah Tionghoa yang berarti Samudera Selatan”.7 Setelah Negara-negara di Asia Tenggara, menurut Leo Suryadinata, terjadi permasalahan dengan para pemukim Cina tersebut. Beberapa di antara mereka menjadi pribumi melalui proses pembauran. Akan tetapi, sebagian lainnya tetap dianggap menjadi non-pribumi alias warga asing. Karenanya pemerintah baru di Negara-negara tersebut – salah satunya Indonesia – membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan identitas para pemukim asal Cina tersebut. Ternyata, beberapa pemerintah tidak selalu memiliki pendekatan yang sama dari waktu ke waktu terhadap pemukim asal Cina tadi sesuai dengan perkembangan politik dan konseptualisasi Negara dan bangsanya. Di beberapa negara seperti Filipina dan Thailand, perubahan kewarganegaraan para pemukim Cina tadi berjalan cenderung mulus “karena cenderung mendefinisikan bangsa dalam terminologi budaya”.8 Proses pembauran ini dimulai sejak tahun 1970-an. Akan tetapi di Negara lain seperti Vietnam permasalahannya lebih rumit. Setelah penggabungan antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, kebijakan luar negeri Vietnam yang telah bersatu berubah arah dan condong ke arah Anti-Komunis (Baca : Anti-Cina) – terima kasih pada perang Amerika di Vietnam – sehingga muncul sentimen pada warga asal Cina. Di sini terlihat sekali bahwa identitas pribumi dan nonpribumi yang dihadapi masyarakat Cina adalah masalah yang ditinggalkan oleh 6
Tulisan ini adalah makalah yang dipresentasikan pada sebuah sidang khusus pada Musyawarah Keluarga Besar Ke-I Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) di Batam pada tanggal 29 November 2000. 7 (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 8) 8 LIh., Ibid., hal. 12
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kolonialisme. Bagaimana kondisinya di Indonesia? Itu juga pertanyaan yang dilontarkan Leo Suryadinata ketika memulai membahas Indonesia. Untuk kasus Indonesia, Leo Suryadinata memang membahasnya dengan rinci karena memang tujuan tulisan-tulisannya adalah untuk mencari pemecahan masalah identitas Cina di Indonesia. Leo Suryadinata membaca bahwa terus dipercayanya kenon-pribumi-an masyarakat Cina merupakan dampak langsung dari proses kolonialisme di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan keduanya yang telah saya sebut di atas, di masa ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan VOC, penduduk Hindia-Belanda dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan agama dan ras: Kristen, Islam dan Non-Kristen. Setelah kebangkrutan VOC dan Hindia-Belanda diambil-alih oleh Kerajaan Belanda, subyek-subyek kekuasaannya dibagi ke dalam empat kelompok: kulit putih, orang-orang asing yang disetarakan dengan kulit putih (orang Jepang adalah salah satunya), pribumi dan orang-orang asing yang dapat disetarakan dengan pribumi (masyarakat Cina termasuk ke dalam golongan ini). Di awal abad ke-20, pengelompokkan dikembalikan menjadi tiga kelompok lagi: kelompok teratas adalah orang kulit putih, di tengah adalah mereka yang disebut sebagai pemukim asing asal Asia (Cina, Arab dll.) dan yang paling dirugikan – seperti kata Leo Suryadinata – adalah pribumi.9 Dengan kondisi tersebut - ditambah beberapa sistem lain seperti sistem kapitan, surat jalan dan pemukiman terpisah yang memisahkan Cina dar pribumi – menurut Leo Suryadinata, hampir tidak mungkin saat itu orang berpikir tentang identitas tanpa mendasarinya dengan konsep superioritas ras. Hal tersebutlah yang lantas terus terbawa hingga masa kemerdekaan. Dari pemaparan Leo Suryadinata, ada beberapa jalan yang kemudian dijalankan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggapi kondisi tersebut. Salah satu yang paling ternama adalah asimilasi. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia (masa Demokrasi Liberal), tidak ada kebijakan asimilasi. Konsep asimilasi baru dirumuskan, dikenalkan 9
Lih., Ibid., hal. 77
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan dijalankan pada masa Orde Lama. Namun, menurutnya, asimilasi baru benar-benar dijalankan dengan gencar pada masa Orde Baru. Bahkan di masa Soeharto tersebut, menurutnya, yang terjadi bukanlah asimilasi namun absorpsi yaitu penghilangan identitas Cina. Arah kebijakan semacam itu kemudian berujung pada kebijakankebijakan diskriminatif seperti pembatasan lapangan pekerjaan, pelarangan Konghucu, pembatasan jumlah mahasiswa dari etnis Cina, nomor seri yang berbeda dan perubahan istilah dari ‘Tionghoa’ menjadi ‘Cina’. Pembacaannya – terutama terkait dengan perubahan
istilah
–
kebijakan-kebijakan
tersebut
dikarenakan
“pelampiasan
ketidaksukaan pribumi kepada Tiongkok yang Komunis dan menghina etnis Tionghoa”.10 Terlihat di titik ia melihat semangat anti-komunis yang dipupuk di masa Orde Baru dengan subur membawa racial prejudice terhadap orang Cina. Lebih lanjut, sebenarnya, menurut Leo Suryadinata, inti permasalahan terletak pada ketidakjelasan definisi Bangsa Indonesia - siapa yang dapat disebut sebagai pribumi atau orang Indonesia dan apa dasarnya. Dilihat dari sejarah tentang pemikiran identitas kebangsaan (di) Indonesia, seperti dituliskan oleh Leo Suryadinata, sebelum masa Orde Baru terdapat banyak pemikiran yang mendefinisikan Bangsa Indonesia tidak menggunakan ras namun menggunakan budaya dan orientasi politik seperti yang diperkenalkan oleh Soekarno, Hatta, Cipto Mangunkusumo, Raden Sutomo dan Amir Sjarifudin. Menurutnya, jika saat ini Indonesia mengembangkan dan menjalankan pemikiran-pemikiran Bangsa berdasarkan budaya dan politik tadi tentu tidak ada lagi permasalahan dengan identitas Cina. Sayangnya, semua itu berubah semenjak Orde Baru. Orde Baru memang tidak merumuskan konsep Bangsa berasarkan ras-nya namun kebijakan-kebijakan diskriminatifnya menjelaskan semuanya. Dari pemaparan dua tulisan yang terlalu panjang jika disebut esai ini, saya melihat bahwa identitas non-pribumi pada masyarakat Cina adalah sebuah bentukan yang terus berubah dari masa ke masa. Masing-masing masa juga saling mempengaruhi 10
Lih., Ibid., hal. 16
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terutama di tataran ideologi. Seperti yang kini kita ketahui, ideologi asimilasi Orde Baru memang berusaha memasukkan masyarakat Cina ke dalam konsep Bangsa Indonesia dengan pribumisasi-nya. Akan tetapi, hal tersebut tetap dilakukan dengan memegang teguh konsep-konsep rasial warisan kolonialisme sehingga membuat banyak kondisi diskriminatif bagi masyarakat Cina. Walhasil, identitas Cina terus ada dan berbeda dari pribumi dalam kerangka rasial – tentu beserta dengan stereotipnya. Dengan begitu, dalam penelitian saya ini, saya akan mempertimbangkan kolonialisme lebih jauh ketika melihat wacana identitas yang dibangun dalam karya sastra beserta dengan pengaruhnya ke depan. Mengingat kuatnya ideologi kolonial, tentu saya juga akan melihat cara para pengarang menanggapinya. Saya merasakan adanya superioritas dan inferioritas yang muncul bergantian ketika Leo Suryadinata menjabarkan sejarah identitas Cina sebagaimana diberikan oleh Negara – VOC, Kerajaan Belanda, Soekarno dan Soeharto – namun belum dianalisa dengan lebih jauh. Superioritas dan inferioritas adalah sesuatu yang sentimennya mampu menancap dengan dalam, jadi saya rasa karya sastra pasti terpengaruh olehnya.
Saya ingin
melihat apakah ideologi
termutakhir kita
(multikulturalisme) mampu mengatasinya. Kini saya akan melihat identitas Cina dari sudut pandang kajian representasinya dalam seni mengingat obyek penelitian saya adalah karya seni agar posisi studi saya lebih jelas.
E.2. “Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu”11 Buku di atas yang ditulis oleh Leo Suryadinata telah menjelaskan kepada kita perkembangan komunitas masyarakat Cina di Indonesia di hadapan kebijakan-kebijakan negara yang berubah-ubah. Di kesempatan ini saya akan masuk ke perkembangan sastra masyarakat Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa perkembangan sastra – meskipun tak selalu sejalan dengan perkembangan kondisi sekitarnya – akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya. Buku yang ditulis oleh 11
(Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, 1985)
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Claudine Salmon ini saya pilih untuk dibahas lebih jauh salah satunya karena alasan tersebut. Alasan lain pemilihan buku ini adalah karena buku ini merupakan salah satu karya akademis pertama yang dengan meyakinkan meletakkan sastra Melayu-Cina (Melayu Lingua Franca) sebagai sebuah tradisi sastra di Indonesia dan merupakan bagian dari sejarah sastra Indonesia – sebuah ide yang di masa penulisan buku belum populer. Lebih lanjut, buku ini digarap oleh Claudine Salmon berangkat dari keprihatinannya atas konsep dan sejarah sastra Indonesia yang masih sangat terpaku pada konsep-konsep yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda terutama melalui Balai Pustaka. Sejarah yang dimaksudkannya adalah sejarah bahwa puisi modern Indonesia dimulai oleh Muhammad Yamin dan prosa modern dimulai oleh Marah Rusli dengan Siti Nurbaya-nya seperti yang ditekankan oleh Teeuw. Karenanya ia, dengan semangat yang sama dengan Nio Joe Lan dan John B. Kwee untuk mengangkat tradisi sastra Melayu-Cina, berusaha dengan rinci membuat semacam ulasan singkat tentang tradisi ini. Hasilnya, ia berhasil mendapatkan data kuantitatif yang mengejutkan. Ada sekitar 800 pengarang dan penerjemah dengan jumlah karya lebih dari dua puluh ribu yang merupakan bagian dari apa yang ia sebut sebagai sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu.12 Dan karya-karya tersebut terdiri dari terjemahan, syair, prosa dan drama dengan pengarang Cina Peranakan yang berasal dari berbagai tempat di Nusantara. Namun, menurut Claudine Salmon, bukan itu saja yang membuat sastra Cina-Melayu tadi menjadi sebuah tradisi. Rentan waktu yang panjang adalah alasan lainnya. Claudine Salmnon mencatat bahwa tradisi sastra tersebut dimulai dari separuh akhir abad ke-19 hingga tahun 1960-an – sebuah hal yang harusnya dipertimbangkan ketika membicarakan sejarah sastra Indonesia. Selain itu, setelah merampungkan buku ini, ada sebuah hal penting yang bisa kita dapat dari buku ini berkenaan dengan tradisi sastra Melayu-Cina. Hal tersebut 12
Lih. Ibid., hal. xv
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah pengaruh. Setelah membaca penjelasan-penjelasan Claudine Salmon, saya menangkap bahwa tradisi-tradisi kepenulisan yang mempengaruhi para pengarang Cina Peranakan ini adalah tradisi-tradisi yang juga mempengaruhi sastra Indonesia secara umum di kemudian hari. Beberapa pengaruh yang saya lihat tercatat di buku ini di antaranya adalah huruf Arab, Bahasa Melayu dan sastra dari Eropa. Kemiripan pengaruh ini membuat ide Claudine Salmon bahwa sastra Melayu-Cina ini adalah bagian dari sejarah sastra Indonesia modern tak terbantahkan sehingga lebih dari sekedar layak untuk dikaji bahkan hingga sekarang ini. Lebih jauh, inti dari buku ini adalah pendataan sekaligus pembabakan tahap awal atas karya-karya yang masuk ke tradisi sastra ini. Menurut Claudine Salmon, ada empat masa – hingga tahun 1960-an – dalam tradisi sastra ini: masa awal mula hingga 1910, masa 1911-1923, masa 1924-1942, dan masa 1945-1960-an. Claudine Salmon melakukan pembabakan tersebut berdasarkan bahasa dan huruf yang digunakan, bentuk karya serta tema yang diangkat. Sebagai contoh, di masa awal mula, para pengarang dari masa tersebut sebagian masih banyak menggunakan huruf Arab dan baru akan beranjak ke penggunaan huruf latin. Fenomena yang terjadi di pertengahan hingga akhir abad ke-19 tersebut terjadi karena beberapa pengarang Cina berhubungan dekat dengan Islam, bahkan beberapa di antara seperti Abdoel Karim Tjiat, Intje Ismael, Kiai Hadji Koesta dan lain-lain telah memeluk Islam.13 Contoh lainnya adalah ketertarikan pada karya-karya sastra Melayu Klasik. Dengan pembabakan semacam itu, buku ini sangat membantu saya memulai penelitian ini. Alasannya, pembabakan tersebut – lengkap dengan penjabaran pengaruh-pengaruh dalam tradisi sastra Cina Peranakan – juga mengungkap bahwa tradisi sastra ini berubah seiring dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi; sebuah hal yang, pada dasarnya, coba saya buktikan di tesis ini terutamanya yang terkait dengan politik etnisitas di Indonesia.
13
Lih. Ibid., hal. 4-5
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Salah satu hal khusus yang juga saya dapati di buku ini adalah bahwa perkembangan sastra Cina Peranakan sangat terpengaruh dengan kondisi penjajahan di Indonesia; sebuah hal yang menguatkan kecurigaan saya bahwa pemasalahan masyarakat Cina di Indonesia terkait dengan penjajahan Belanda. Di masa awal mula hingga 1910 terjadi pergeseran penggunaan huruf (dari Arab ke Latin). Pergeseran ini tentu seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman Belanda di Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Salah satu hal yang ditunjukkan Claudine Salmon terkait dengan pergeseran huruf tadi adalah berkembangnya dunia percetakan dan penerbitan yang rata-rata dimiliki oleh orang Belanda atau Cina. Sebagai contoh adalah Ta Teng Kie, yang merupakan seorang penyair, menulis puisi tentang dibukanya rel kereta api jurusan Cikarang-Kedung dan diterbitkan oleh seorang Belanda bernama Alex Regensburg. Beberapa fenomena serupa yang lain juga dicatat oleh Claudine Salmon.14 Artinya, kekuasaan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia turut berpartisipasi dalam perkembangan sastra Cina Peranakan. Lebih lanjut, di wilayah isi hal yang serupa juga terjadi. Tema mulai berubah di masa setelah 1910. Ketertarikan pada kejadian-kejadian khas kolonial seperti tingkah laku korup para pejabat, fenomena kawin antar Bangsa, kehidupan nyai dan lain-lain menjadi hal yang wajar ditemui di dalam karya sastra Cina Peranakan.15 Melalui pembabakan ini, menurut saya, Claudine Salmon benar-benar menunjukkan bagaimana kolonialisme mempengaruhi perhatian para pengarangnya. Yang saya yakini kemudian adalah bahwa identitas masyarakat Cina di Indonesia terus berubah di bawah pengaruh ideologi dominan masanya. Di tesis ini, saya kembali ingin megkaji identitas tersebut dengan mempertimbangkan ideologi dominan masa kini. Dengan kata lain, saya ingin mengkaji babak lain yang belum termaktub dalam studi Claudine Salmon ini.
14 15
Lih. Ibid., Hal. 6-7 Lih. Ibid., hal. 59-60
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F. KERANGKA TEORITIK Saya percaya bahwa identitas seseorang bukanlah sesuatu yang terberi, dalam artian alamiah, dan bersifat tetap. Identitas merupakan bentukan dari kondisi di sekitar subyek dan bergerak seiring dengan perubahan kondisi yang terjadi. Pandangan semacam ini adalah paham para pemikir ilmu kemanusiaan yang oleh Suman Gupta, di bukunya yang mengelaborasi tentang politik identitas dan identitas politik di ranah kajian sastra, disebut sebagai ‘social constructionist’.16 Dalam tubuh pemikiran para pemikir social constructionists ini ada berbagai macam pendekatan dengan penekanan yang berbeda-beda. Yang saya ambil untuk saya jadikan sebagai pegangan di penelitian ini adalah sudut pandang Slavoj Zizek yang menghubungkan identitas subyek dengan ideologi. Titik berat pada ideologi untuk melihat identitas di pemikiran Zizek bukanlah sesuatu yang mengherankan mengingat tradisi pemikirannya yang berangkat dari Marxisme. Dan di tradisi pemikiran Marxis, konsep ideologi memang dekat dengan konsep identitas (kesadaran kelas). Ideologi, yang dianggap Marx sebagai sebuah ‘kesadaran palsu’ (false consciousness), berisi bukan semata seperangkat doktrin, namun juga cara seseorang memahami peran sosialnya dengan ide, nilai, etika dan gambaran tertentu.17 Disebut sebagai ‘kesadaran palsu’ oleh Marx karena dalam sistem kapitalis, buruh ‘diharuskan’ gagal melihat ke-buruh-annya dan menganggap bahwa tidak ada pembedaan dan antagonisme kelas di dalam masyarakat. Dimana posisi Zizek dalam melihat hubungan ideologi-identitas ini terutama dalam karya sastra? Bagaimana pula konsep identitas multikulturalisme, sebagai sebuah ideologi, menurut Zizek? Di pendekatan Marxis yang kini banyak disebut sebagai pendekatan Marxis ‘ortodoks’ atau, menggunakan istilah Terry Eagleton, ‘vulgar’,18 karya sastra berada di wilayah yang disebut sebagai supra-structure (lantai atas) bersama dengan institusiinstitusi ‘non-ekonomi lain seperti sistem peradilan (hukum), Negara (politik), dan lain16
Lih., (Gupta, 2007) Lih., (Eagleton, 2006, p. 8) 18 Ibid., 17
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lain. Semua institusi tersebut, termasuk sastra bersama dengan seni secara keseluruhan, keberadaannya disokong oleh keberadaan sisi ekonomi yang disebut sebagai infrastructure (lantai bawah) yang mana menentukan posisi kelas seseorang. Kata ‘disokong’ sebenarnya kurang tepat karena hubungan keduanya bersifat ‘directive’ (mengatur). Artinya, institusi-institusi lantai atas tadi merupakan ekspresi dari kelas tertentu yang proses pembentukannya ada di lantai bawah. Ideologi sebuah institusi ditentukan oleh corak produksi kelas penciptanya. Dengan begitu, ideologi sebuah karya sastra dapat ditentukan dengan melihat latar belakang penciptaannya. Jadi, narasi dalam karya sastra adalah sebuah ekspresi kelas tertentu. Aplikasi dari pendekatan semacam ini yang terbaik adalah buku-buku kritik sastra yang ditulis oleh kritikus sastra Marxis yang sangat berpengaruh, Georg Lukacs. Kritik Lukacs berkisar di permasalahan karya sastra sebagai bentuk (form). Di bukunya The Theory of The Novel (1920), Lukacs melihat bahwa dalam karya sastra hubungan antara isi, materi cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dan bentuk terus berubah dari masa ke masa. Ia mencatat di Eropa ada tiga bentuk utama: 1.) Epik, 2.) Tragedi, dan 3.) Novel. Dasar dari kategorisasi Lukacs ini berdasarkan sudut pandang filosofis atas sejarah para penulisnya. Ketika menjelaskan tentang perbedaan antara sastra epik dan novel, ia menyebutkan bahwa “[t]hese two major forms of great epic literature, differ from one another not by their authors’ intentions but by the given historico-philosophical realities with which the authors were confronted”.19 Dengan kata lain, ideologi karya adalah ideologi si pengarang, dalam melihat eksistensinya dan sejarah yang dibentuk oleh ideologi dominan di masanya. Dengan bentuk tertentunya, sebuah karya membawa ideologi dari masanya. Dan ideologi tersebut dibentuk seiring dengan perkembangan ekonomik dari masa ke masa. Sisi ekonomik sebagai ideologi ini Lukacs tunjukkan lebih rinci lagi di sebuah esainya, yang termaktub dalam buku Studies in European Realism (1950), tentang perkembangan realisme Eropa yang dibawa Tolstoy. Di esai tersebut, ia menyebutkan bahwa, 19
Lih. (Lukacs, The Theory of The Novel, 1971, p. 56)
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“[t]he principles he (Tolstoy –pen.) followed in his realism objectively represent a continuation of the great realist school, but subjectively they grew out of the problems of his own time and out of his attitude to the great problem of his time, the relationship 20 between exploiter and exploited in rural Russia.”
Artinya, yang membuat Tolstoy menarik adalah ia membawa ideologi, cara pandang tentang masanya dan sejarahnya, sehingga membuatnya menciptakan bentuk realismenya sendiri. Dengan begitu, kritik ideologi dalam fiksi dilakukan dengan membaca narasinya yang disandingkan dengan sisi ekstra-literernya seperti wacana dominan dan kehidupan sosial masyarakat. Lebih jauh, seiring dengan perkembangan pemikiran di diri kaum Marxis, beberapa pemikir menganggap bahwa pendekatan Marxis seperti di atas terlalu mengagungkan sisi ekonomi dan melupakan gejolak yang ada di lantai atas. Louis Althusser adalah salah seorang pemikir yang memiliki pandangan lain tentang hubungan lantai atas-lantai bawah ini. Di filsafat Marxisme-Strukturalnya, yang dipengaruhi oleh pemikir strukturalis dan psikoanalisa, Althusser menganggap bahwa lantai atas memiliki peran dalam membentuk kelas (lantai bawah). Ia membaca-ulang konsep ideologi yang ada di tradisi pemikiran Marxis dengan konsep-konsep seperti interpelasi dan overdeterminasi. Baginya, ideologi adalah institusi-institusi yang ada di lantai atas. Mereka lah yang menciptakan apa yang disebut sebagai kesadaran kelas dengan cara menginterpelasi subyek-subyek yang bersentuhan dengannya. Interpelasi adalah sebuah konsep yang dipinjam, dan dikembangkan, dari psikoanalisa. Interpelasi, menurut Althusser, adalah proses pembentukan kesadaran subyek yang terjadi di dalam Aparatur Negara Ideologis (ideological state apparatus) seperti gereja, bank, kantor imigrasi dan lain-lain. Pembentukan kesadaran subyek ini dilakukan dengan ‘memanggil’ subyek yang mana melalui pemanggilan tersebut subyek diarahkan untuk menjawab dengan cara tertentu sehingga membuatnya berada dalam posisi tertentu. Konsep ini dikembangkan, untuk diintegrasikan ke dalam Marxisme, oleh Althusser dari pemikiran Jacques Lacan. Interpelasi, dalam psikoanalisa Lacanian, adalah proses 20
Lih. (Lukacs, Studies in European Realism, 1950, p. 126)
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang terjadi dalam pertemuan subyek dengan Big Other yang memberi makna atas eksistensi si subyek. Hal tersebut dilakukan Big Other dengan cara menggambar-ulang kedirian (subyektifitas) si subyek – subyek ‘dipaksa’ menjalankan sederet aturan ketika ingin menggapai sesuatu yang diinginkannya. Misalnya, ketika kita memasuki kantor pemerintahan untuk membayar pajak, di dalam prosesnya kita akan diarahkan untuk mengerti bahwa kita, sebagai warga Negara yang baik, harus membayar pajak. Dengan begitu, kita akan melihat diri kita sebagai warga Negara di sebuah Negara dengan sejumlah hak dan kewajibannya. Di ranah kritik sastra, gagasan-gagasan Althusser dikembangkan oleh Pierre Macherey. Pierre Macherey, yang fokus pada produksi sebuah karya, setuju bahwa proses penciptaan karya sastra berada di wilayah supra-structure atau ideological state apparatuse yang berusaha menyuntikkan ideologinya. Dengan kondisi kesadaran pengarang yang seperi itu, Macherey mengungkapkan bahwa cara yang seharusnya dilakukan para kritikus ketika mengkaji narasi sebah karya adalah dengan mencari narasi yang absen. Kenapa? Karena si pengarang telah melalui proses interpelasi yang membuat “[t]he text is, as it were, ideologically forbidden to say certain things”.21 Usaha mengungkapkan kebenaran versi pengarang selalu bertabrakan dengan batasbatas ideologis yang dibangun oleh ideologi dominan. Artinya, kritik ideologi atas karya sastra a la Macherey adalah kritik ideologi yang berusaha mengungkapkan batas-batas ideologis kelas kapitalis. Menemukan ‘jarak’ (‘gaps’) dan ‘’kebungkaman’ (‘silence’) dalam narasi berarti menemukan sesuatu yang hilang dari kesadaran ideologis kita. Perbedaan mendasar Macherey dengan Lukacs adalah konsentrasinya yang lebih pada makna (meaning) dalam narasi daripada bentuk (form) narasinya. Untuk studi berskala lebih kecil dengan jumlah karya dan rentan waktu yang terbatas, seperti penelitian yang saya lakukan saat ini, pendekatan Macherey jelas lebih bermanfaat.
21
Lih., (Eagleton, 2006, p. 16)
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Posisi kritik ideologi Zizek dalam sebuah karya seni cenderung lebih dekat dengan Althusser dan Macherey dibandingkan dengan Lukacs. Ia memiliki ketertarikan lebih pada narasi dan maknanya. Yang ia tidak setujui dari Althusser, dan tentu Macherey, adalah cara pandang tentang ideologi yang orthodoks. Bagi Zizek, tidak ada hal disebut kesadaran palsu tadi. Yang ada hanyalah kesadaran semata karena setiap kesadaran, pada intinya, sudah bersifat ideologis. Kesadaran ada karena ideologi. Ideologi sebagai kesadaran yang berlaku di keseharian adalah ideologi dalam bentuk termatangnya. Ia lebih kuat daripada dua bentuk lain dari ideologi: sebagai doktrin dan sebagai ideological state apparatus. Jadi, dalam pandangan Zizek, Althusser hanya sampai pada kritik atas ideologi dalam bentuk ideological state apparatus. Apa dampak dari perubahan konseptual mendasar ini? Dampaknya adalah kita tidak dapat dengan begitu saja menawarkan ideologi baru, katakanlah, komunisme untuk mengganti ideologi yang tengah berkuasa, katakanlah, kapitalisme karena jika kita melakukannya kita akan tetap memandang ideologi pengganti tadi dengan sudut pandang ideologi lama yang mana artinya perubahan tidak benar-benar terjadi. Jadi, yang harus dilakukan untuk melakukan kritik ideologi saat ini adalah dengan mengungkap apa yang ditutupi – sisi tak sadar – ideologi lama tersebut. Begitu juga ketika berhadapan dengan karya sastra yang bukan lagi doktrin ataupun ideological state apparatus namun kesadaran keseharian yang dianggap lumrah. Jalan masuk ke kritik ideologi, menurut Zizek, adalah symptom. Dalam sebuah narasi, yang harus diperhatikan adalah symptom-nya. Menurut Lacan, seperti dikutip Zizek di pembukaan buku perdananya (Sublime Object of Ideology, 1989), yang menemukan symptom untuk pertama kalinya adalah Marx meskipun istilah symptom adalah istilah psikoanalisa.22 Rincian teoritik tentang symptom akan dibahas di bagian selanjutnya. Apakah temuan Marx menurut Lacan dan diamini oleh Zizek? Temuan Marx terkait symptom adalah konseptualisasinya tentang commodity fethitism (fetisisme komoditas). Fetisisme komoditas adalah kebiasaan masyarakat, yang hidup dengan 22
Lih. (Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, p. 3)
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sistem kapitalis, yang menukarkan segala komoditas dengan menyetarakan antara nilaitukar dan nilai-guna-nya padahal mereka tahu bahwa kedua jenis nilai tersebut jelas tidak sepadan. Namun, ada sesuatu yang membuat mereka terus melakukannya – ada sebuah nilai yang abstrak yang dipercaya – sehingga mereka terus melakukannya.23 ‘Keanehan’ inilah konsep symptom di pemikiran Marx menurut Lacan. Jadi, symptom adalah kontradiksi-kontradiksi atau kejanggalan-kejanggalan dalam sebuah fenomena sosial termasuk karya sastra. Untuk ia (symptom) terus hadir, ia membutuhkan penyangga agar kontradiksi-kontradiksi tadi tetap tak dipertanyakan. Penyangga tersebut bernama fantasi. Fantasi dalam pembayangan subyek atas apa yang dilakukannya yang sesungguhnya berbeda dengan apa yang ia benar-benar lakukan. Fantasi inilah kesadaran ideologis yang sebenar-benarnya. Jadi, langkah yang diambil dalam kritik ideologi Zizek adalah mencari kontradiksi-kontradiksi dan kemudian fantasi penyangganya. Dengan kata lain, pergeseran ideologis hanya dimungkinkan ketika fantasi ideologis yang lama telah hilang. Terkait dengan identitas, sebuah identitas ada karena adanya ideologi yang membangunnya. Cara subyek mengidentifikasi orang lain adalah cara pandang yang disediakan lewat ideologi. Cara kita melihat dan memaknai sebuah kelompok masyarakat, katakanlah masyarakat Cina, sesungguhnya terus berubah dari masa ke masa. Hal tersebut dikarenakan pergeseran ideologi yang terjadi. Cina tidak pernah benar-benar ada di kepala kita jika Orde Baru tidak melakukan segala pelarangan atas ekspresi-ekspresi kultural masyarakat Cina. Melalui pelarangan-pelarangannya, Orde Baru menciptakan image di fantasi kita tentang masyarakat Cina di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat non-Cina di Indonesia juga mengidentifikasi dirinya sendiri dan menjadi ‘pribumi’. Konsep pribumi-non-pribumi dengan segala image relasi sosialnya adalah fantasi ideologis Orde Baru. Singkatnya, subyek tidak pernah bertemu dengan liyan karena yang ia temui adalah fantasinya sendiri tentang liyan dan juga dirinya sendiri. Dalam enam karya sastra yang saya jadikan obyek penelitian ini, saya yakin 23
Ibid., hal. 9-12
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka merepresentasikan ideologi tertentu dengan fantasi tentang Cina yang khas. Hal tersebut saya yakin berkaitan dengan multikulturalisme sebagai wacana dominan saat ini ketika berbicara tentang hubungan antra etnis. F.1. Multikulturalisme : sejarah, wacana dan kritik atasnya Multikulturalisme, sebagai sebuah ‘kebutuhan’ pada awalnya, muncul setelah Perang Dunia II berbarengan dengan meningkatnya kesadaran atas hak asasi manusia yang kemudian disahkan dalam bentuk sebuah piagam bertandatangan banyak pihak – terutamanya pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Dunia ke-II. Akan tetapi, momen kemunculan sebenarnya multikulturalisme sebagai sebuah konsep adalah ketika masa perjuangan orang kulit hitam dengan kesadaran atas identitas ‘hitam’-nya di tahun 1960-an. Pada masa tersebut, multikulturalisme banyak bersinggungan dengan wacana pasca-kolonialisme yang digunakan untuk membicarakan keunikan kondisi identitas masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat.24 Di masa tersebut, semangat aktivis(me) berbasis multikulturalisme, yang sampai sekarang ini masih terasa, adalah penghargaan dan pengangkatan identitas kelompok masyarakat minoritas yang seringkali diabaikan hak-haknya oleh Negara. Andrew Heywood dalam bukunya menyatakan bahwa multikulturalisme “not only recognizes the fact of cultural diversity, but also holds that such differences should be respected and publicly affirmed; it practices the politics of recognition”.25 Dengan posisi semacam itu, pengakuan atas identitas minoritas adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi posisinya dan keberagaman dalam sebuah Negara (komunitas) adalah sebuah keharusan. Dilihat dari latar kemunculannya, mulikulturalisme berangkat dari kesadaran atas perbedaan, keberagaman dan kemajemukan dalam sebuah komunitas masyarakat. Melihat gerakan awal yang membawanya, keberagaman di titik latar belakang kultural adalah titik beratnya pemikiran multikulturalisme. Karenanya gerakan masyarakat kulit 24 25
Lih. (Heywood, 2004, p. 215) Ibid., hal. 214
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hitam di tahun 1960-an tersebut, seperti sering didengung-dengungkan oleh Malcolm X, mengedepankan identitas Afrika yang ada di diri orang kulit hitam Amerika. Sehingga, orang-orang
kulit
hitam,
pada
masa
tersebut,
belajar
memiliki,
sekaligus
mempromosikan, kebanggaan identitas Afrika mereka. Bahkan tidak jarang kemudian mengadopsi nama Afrika dan pindah agama seperti yang dilakukan Malcolm X. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan multikulturalis kemudian mulai melebarkan definisi mereka atas keberagaman. Kelompok-kelompok minoritas berdasarkan orientasi seks, gender dan kelas sosial-politik mulai digabungkan ke dalam jaringan gerakan multikulturalisme. Saat ini cukup sering kita melihat pawai-pawai atau demonstrasidemonstrasi yang mengusung multikulturalisme sebagai pendekatannya melibatkan kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang disebut terakhir tadi. Dengan kondisi seperti di atas, multikulturalisme tampaknya mampu membawa “vibrancy and richness that stems from cultural interplay…and tolerance and respect for other cultures and religions”26 seperti dikatakan oleh Andrew Heywood. Secara konseptual, lagi-lagi saya mengacu pada buku Andrew Heywood, multikulturalisme sangat dekat dengan liberalisme meskipun beberapa pemikirnya berusaha melampaui ideologi tersebut. Kenyataan tersebut jelas tak lepas dari kemenangan Blok Barat, dengan Amerika Serikat sebagai salah satu anggota terkuatnya, atas Jerman di Perang Dunia ke II. Namun, yang lebih penting, liberalisme, yang mengagungkan kebebasan dan hak individu di atas segalanya, setuju dengan konsep penghargaan atas keberagaman dalam multikulturalisme. Di pihak yang lain, yang mencoba melampaui liberalisme, mereka menyatakan dan menekankan batas yang ada dalam liberalisme yang sesungguhnya berbahaya bagi keberagaman itu sendiri. Konsep yang dicatat karena sedikit berbahaya pada keberagaman ini, seperti dicatat oleh Andrew Heywood, adalah konsep toleransi – toleransi atas budaya dan kepercayaan orang lain yang berbeda. Berbahayanya ada di titik batas orang bisa mentolerir perbedaan tadi karena pada akhirnya yang terjadi adalah pembiaran (ketidakpedulian) 26
Ibid., hal. 215
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang berujung pada tidak berjalannya komunikasi. Salah satu pemikir tentang multikulturalisme liberal yang mengangkat permasalahan ini adalah Thomas Scanlon di kumpulan esainya, The Difficulty of Tolerance, yang menyatakan, pada akhirnya, toleransi memiliki batasnya sehingga penilaian atas orang lain, yang berbeda budaya dan kepercayaannya, tidak berkembang.27 Dengan kata lain, rasisme akan tetap ada karena selalu ada sisi dimana kita tidak dapat menerima ekspresi kultural seseorang. Dan dari sana lah kekerasan dan konflik bersumber. Akan tetapi, Scanlon tetap mengedepankan pentingnya toleransi dengan mencoba mengkonsep-ulang toleransi dan mencari ‘pure tolerance’ – sesuatu yang dapat membuat kita tidak setuju dengan seseorang namun tetap menghormati orang tersebut. Tujuannya adalah membatasi konflik yang jelas akan terjadi.28 Dengan konsep seperti di atas, kritik Scanlon atas multikulturalisme liberal berada jelas berdasarkan kekhawatirannya atas kekerasan yang mungkin terjadi. Namun, tampaknya dia tidak mempertimbangkan kekerasan dalam beragam definisnya. Ia jelas tidak menganggap stereotip sebagai sebuah kekerasan karena toleransi, yang masih tetap ia percayai, bagaimanapun juga membawa masalah identitas dan cara pandang terhadap kelompok masyarakat yang lain. Perihal kekerasan ini akan dibahas di bagian selanjutnya dari kerangka teoritik ini. Kembali ke pemikir-pemikir yang mengkritisi multikulturalisme dan wacana-wacana turunannya seperti toleransi, beberapa pemikir lain memiliki pendekatan yang berbeda dengan Scanlon. Umumnya pemikir-pemikir ini bukan penganut liberalisme dan mencoba keluar dari kekuasaan wacana-wacana multikulturalis. Salah satunya adalah Homi Bhabha, seorang pemikir pasca-kolonial, yang memfokuskan kritiknya atas multikulturalisme pada wacana identitas yang dibawanya. Di esainya yang termaktub di buku The Post-Kolonial Studies Reader (1995), ia, tidak seperti para pendukung multikulturalisme, lebih
27 28
(Scanlon, 2003, pp. 188-189) Ibid.,
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengedepankan cultural difference dan bukannya cultural diversity. Di esainya, ia menulis: “[c]ultural diversity is the recognition of pre-given cultural ‘contents’ and customs, held in a time-frame of relativism; it gives rise to anodyne liberal notions of multiculturalism, cultural exchange, or the culture of humanity. Cultural diversity is also the representation of a radical rhetoric of the separation of totalized cultures that live unsullied by the intertextuality of their historical locations, safe in the Utopianism of a mythic memory of a unique collective identity. Cultural diversity may even emerge as a system of the articulation and exchange of cultural signs in certain…imperialist accounts of anthropology.”29
Artinya,
konsep
keberagaman,
seperti
yang
dibawa
oleh
multikulturalisme,
mendasarkan dirinya pada sebuah konsep yang tetap (esensialis) tentang sebuah kebudayaan dan identitas-identitas di dalamnya yang besar kemungkinannya dibangun oleh wacana kolonial – catatan antropologis Barat terhadap Timur. Sedangkan konsep cultural difference yang diajukannya mengandaikan bahwa masing-masing budaya dan identitas memiliki perjalanannya yang unik dan khusus yang membuatnya sulit jika dipandang menggunakan sebuah sudut pandang pengamat, katakanlah seperti antropolog-antropolog Barat. Cultural difference lebih mengedepankan proses penyuaraan (enunciation) atas sebuah identitas yang karenanya membuka ‘ruang ketiga’ atas identitas. Hal tersebut dikarenakan muncul identitas-identitas kultural tadi dipengaruhi banyak hal yang membuatnya menjadi sebuah campuran (hibrid) sehingga tak mungkin dilihat menggunakan nalar perbandingan seperti pada konsep cultural diversity.30 Menggunakan bahasa saya sendiri, kata ‘beragam’ menandakan adanya sebuah acuan dasar yang membuat hal lain seperti ragam – sesuatu yang lain - dari dirinya. Singkatnya, adalah esensialisme identitas yang dibawa oleh multikulturalisme lah yang ditentang paling keras oleh Homi Bhabha. Lebih
jauh
tentang
kritik
Bhabha,
selain
esensialisme
ia
juga
mempermasalahkan ahisorisme pendekatan multikulturalisme. Dengan titik berat pada cultural diversity (keberagaman), multikulturalisme memiliki premis dasar bahwa
29 30
(Bill Ashcroft, 2002, p. 206) Ibid.,
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
identitas-identitas dan budaya-budaya yang ada di dalam keberagaman tadi akan tetap seperti itu seakan-akan terpisah dari relasi kekuasaan, seperti penjajahan di kasus Bhabha, yang menaunginya. Sebuah kebudayaan oleh ideologi multikulturalisme dianggap sebagai sebuah bentuk akhir. Apabila dikaitkan dengan obyek penelitian tesis ini, dengan ideologi multikulturalisme identitas Cina dianggap selalu sama dari masa ke masa. Jika kita melihat kenyataan multikulturalis sekarang ini, identitas Cina yang muncul ke permukaan, katakanlah dalam festival-festival atau perayaan-perayaan, adalah mereka yang merayakan imlek, berbaju merah dengan sentuhan warna emas, etcetera yang di masa lalu, dengan acuan waktu tidak jelas, tidak boleh mengekspresikan bentuk-bentuk kebudayaan tadi karenanya perlu diberi tempat khusus untuk mengekspresikan dirinya saat ini. Apakah selalu seperti itu identitas masyarakat Cina di Indonesia? Apakah mereka selalu menjadi minoritas yang tertindas? Pertanyaan tersebut jelas bukan pertanyaan yang menjadi bagian dari logika multikulturalisme di Indonesia. Bagi saya, untuk melihat identitas masyarakat Cina di Indonesia pendekatan Bhabha sangat masuk akal, bahkan lebih dari masuk akal. Pendekatan pasca-kolonial Bhabha adalah sudut pandang yang tak terhindarkan untuk mengkaji dengan lebih baik identitas masyarakat Cina. Penjajahan adalah faktor penting dalam terciptanya identitas Cina, dengan segala fiturnya, yang lekat dengan konsep non-pribumi. Cina yang terpisah dari pribumi dan masuk ke golongan kedua yang lebih diuntungkan, di atas pribumi, di dalam tatanan kolonial terkait erat dengan kepentingan sosial, ekonomi dan politik Pemerintah Kolonial Belanda. Menariknya, bahkan hingga akhir-akhir, kondisi penjajahan dan posisi privileged masyarakat Cina di masa itu sangat jarang dibicarakan bahkan oleh para peneliti tentang masyarakat Cina di Indonesia yang dianggap mumpuni seperti Leo Suryadinata yang ‘hanya’ menitikberatkan penindasan kultural di
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masa Orde Baru.31 Di dalam buku berjudul Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia (2008), yang mana Leo Suryadinata menjadi penyuntingnya, hanya ada satu esai yang mengarah ke sana.32 Sebagian besar esai di buku tersebut masih berkutat dengan penindasan semasa Orde Baru dengan segala macam pelarangannya terkait dengan ekspresi kultural masyarakat Cina. Tampaknya pembicaraan terkait dengan posisi masyarakat Cina di masa kolonial adalah suatu wacana yang politically-incorrect untuk dibicarakan di masa multikulturalis yang memang memiliki etikanya sendiri ini. Padahal, jika kita tidak membicarakan relasi kekuasaan kolonial yang membentuk ketimpangan identitas pribumi-non-pribumi ini, kita akan terjebak di dalam ketimpangan tersebut untuk seterusnya meskipun dengan bahasa yang berbeda dan kejadian seperti kerusuhan Mei 98 terus memiliki kemungkinan untuk muncul lagi. Pemikir kontemporer lain yang memiliki kritik tajam juga atas multikulturalisme berbasis liberal, terutamanya sehubungan dengan kapitalisme-lanjut, adalah Slavoj Zizek. Kritikan tajamnya tersebut ia satukan dalam bukunya yang menjadi panduan teoritis utama tesis ini: Violence (2008). Berbeda dengan Bhabha, ia tidak saja mengkritik konsep-konsep turunan seperti identitas dan esensialisme. Dalam kritiknya, ia meletakkan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi – sebuah studi yang memang menjadi lahan kerjanya sejak buku teoritik pertamanya Sublime Object of Ideology (1989). Sekilas tentang teori ideologi miliki Zizek, teori ideologi miliknya, seperti kebanyakan pemikir marxis, adalah pengembangan dari teori ideologi milik Karl Marx. Ia mengembangkannya dengan konsep dialektika Hegelian dan konsep perjalanan subyek psikoanalisa Lacanian.
31
Untuk melihat lebih jauh sudut pandang Leo Suryadinata yang lebih mengedepankan kondisi masyarakat Cina di masa Orde Baru yang dianggapnya menindas identitas masyarakat Cina lih. (Suryadinata, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, pp. 2-3) 32 Esai yang berjudul Recent Developments in Indonesian Government Policies toward Ethnic Chinese ini ditulis oleh Eddie Lembong. Esai ini memang sedikit mengacu ke kondisi penjajahan namun esai ini masih percaya terhadap pendekatan multikulturalisme. Lih. (Suryadinata, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, pp. 48-56)
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tony Myers, yang menulis buku tentang pemikiran Zizek untuk seri Routledge Thinkers, mengkategorikan tiga jenis ideologi di pemikiran Zizek. Pertama, ideologi dengan wajah paling murninya adalah doktrin. Kedua, ideologi yang bekerja dengan efektif berkembang menjadi ‘ideological state apparatus’ atau kepercayaan yang diinstitusikan. Ketiga, yang paling lazim ditemui dan dianggap sebagai yang-palingtidak-ideologis (baca: halus) adalah spontaneity. Yang dimaksudkan spontaneity di sini adalah sesuatu yang telah dianggap biasa dan dipercaya sebagai sesuatu yang normal.33 Tony Myers, dalam buku yang sama, juga mengindikasikan bahwa ketiga wajah di atas bekerja serupa dengan narasi. Artinya, ketiganya mungkin terkait dalam bentuk urutan: apabila sebuah doktrin sukses diterima khalayak umum, ia dapat diinstitusikan, lantas, karena bekerja dengan efektif sebagai aparatus, ia menjadi common sense dan dijalankan pada keseharian khalayak umum. Di wajah yang ketiga inilah, ideologi bekerja dengan benar-benar efektif karena tak disadari bahwa ia adalah sebuah ideologi. Singkatnya, di versi ketiga, ideologi sudah diperlakukan bukan sebagai sebuah ideologi – sebagai sesuatu di luar diri subyek. Ia telah menyatu dengan subyek sehingga hampir mustahil bagi subyek untuk mengkritisi ideologi tersebut atau bahkan sekedar melihat hal lain, sekaligus memaknainya, di luar yang disajikan oleh ideologi tersebut. Lebih lanjut, dalam kutipan berikut ini ia menegaskan pembacaannya tentang konsep ideologi Marx: “ideology is not simply a 'false consciousness', an illusory representation of reality, it is rather this reality itself which is already to be conceived as 'ideological' 'ideological' is a social reality whose very existence implies the non-
knowledge of
its partidpants as toits essence”34 Jadi, bagi Zizek, ideologi bukanlah sebuah kesadaran palsu yang menutupi kesadaran asli – posisi kelas subyek dan antagonisme kelas – namun kesadaran itu sendiri.Ideologi adalah sebuah pengait yang mengaitkan segala hal yang ditemui oleh subyek pada sebuah cakrawala pemaknaan tertentu dan membentuk sebuah kesadaran.
33 34
Lih., (Myers, 2003, p. 71) Lih. (Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, pp. 15-16)
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengembangan Zizek ini dilakukan dengan melihat ideologi melalui kacamata pemaknaan psikoanalisa Lacanian. Dalam konsep (perjalanan) subyek psikoanalisa Lacan, terdapat tiga tatanan yang di dalamnya subyek bernaung dengan fitur-fiturnya yang berbeda-beda. Tiga tatanan tersebut adalah tatanan imajiner (the imaginary), tatanan simbolik (the symbolic) dan tatanan the real. Tatanan the real adalah tatanan yang paling dasar. Di sana subyek belum memiliki subyektifitasnya sendiri. Ia tidak melihat perbedaan antara dirinya dengan other (liyan). Di tatanan ini, satu-satunya dorongan yang ada di diri subyek adalah dorongan need (kebutuhan biologis). Tatanan berikutnya adalah pertemuan pertama antara subyek dengan liyannya (little other). Seperti nama dari tatanan ini, subyek bertemu dengan image (gambar) dari liyannya yang padanya si subyek berkaca. Jadi, di tatanan ini si subyek telah dapat membedakan antara dirinya dengan liyan kecil secara visual namun segala yang ia ketahui tentang dirinya masih ia dapat dari liyan kecil. Proses ini disebut alienasi. Satu hal yang penting dicatat di tatanan ini adalah bahwa subyek mengenal jouissance (kenikmatan) yang diberikan oleh liyan kecil. Sehingga, dorongan yang ada di diri subyek adalah dorongan demand (meminta) agar diberi jouissance oleh liyan kecil. Berikutnya, di tatanan simbolik subyek bertemu dengan liyan besar (big other) yang memutuskan hubungan subyek dengan liyan kecil. Proses pemutusan ini oleh Lacan disebut sebagai kastrasi. Namun, sesungguhnya big other tidak benar-benar memutuskan hubungan antara subyek dan liyan kecil. Yang big other lakukan adalah menyuruh subyek untuk melukiskan-ulang hubungannya dengan liyan kecil dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah sesuatu yang khas dalam tatanan simbolik. Yang dimaksudkan dengan pelukisan-ulang adalah agar subyek mendapatkan jouissance dari liyan kecil lagi, ia harus melakukan segala sesuatunya berdasarkan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Ia tidak dapat meminta dengan begitu saja. Di sini, jouissance tadi menjadi sebuah obyek hasrat (objet petite a) – obyek yang hilang dan coba terus dikejar oleh subyek karena dianggap di sanalah kenikmatan berada. Dengan kondisi tersebut, fase ini bukan lagi fase demand namun fase desire. Ketika subyek berusaha mendapatkan objet petite a, tatanan simbolik mengharuskannya melakukannya dengan menuruti segala 36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
norma yang ada di dalamnya. Karenanya, subyek menjadi subyek yang terbelah – di satu sisi ia berhasrat untuk mendapatkan obyek hasrat tapi, di sisi lain, ia harus tunduk dengan cara-cara yang ditentukan oleh tatanan simbolik. Di tatanan yang sama, fantasi muncul sebagai suplemen yang menyokong tatanan simbolik. Fantasi subyek berisi pembayangan bahwa ia telah mendapatkan obyek hasrat. Sehingga, ia, dengan patuh, mengikuti segala norma yang ada di dalam tatanan simbolik karena ia menganggap ia telah mendapatkan jouissance. Dalam proses pembentukan subyek(tifitas) ini, ketika proses perjalanan subyek ini terhenti di the real, ia menjadi subyek psikosis. Jika ia terhenti di imajiner, ia menjadi subyek perversif. Jika terhenti di simbolik, ia menjadi subyek histeris. Tapi, yang terpenting, bagaimana semua ini terkait dengan konsep ideologi? Dari ketiga kategori ideologi yang digariskan oleh Zizek, kesemuanya terletak di tataran simbolik yang mana semua terkait dengan pemaknaan dan subyektifitas. Dan yang terdalam masuk ke dalam subyektifitas subyek adalah yang ketiga, yang mana merupakan model ideologi paling dominan di masa kini menurut Zizek. Di kategori ke tiga ini, ideologi berfungsi sebagai sebuah master signifier yang mengaitkan kejadiankejadian keseharian pada sebuah pemaknaan tertentu yang berjalan hampir secara spontan. Artinya, ideologi memberi makna tertentu pada kejadian-kejadian yang dialami oleh si subyek sehingga, secara tak langsung, ‘memerintahkan’ tanggapan tertentu dari si subyek. Tidak berhenti sampai di sana, ideologi sebagai master signifier juga membatasi hal-hal yang dilihat oleh si subyek. Ia mengarahkan perhatian dan kesadaran subyek. Dengan kondisi ini, meminjam istilah Zizek, more than ever, masyarakat sekarang adalah subyek-subyek yang sangat patuh terhadap sebuah ideologi – kapitalisme lanjut – karena masyarakat sekarang ini telah menganggap dirinya tidak ideologis. Multikulturalisme, dengan penjelasan tersebut, lantas dapat dikategorikan sebagai sebuah ideologi yang masuk ke dalam kategori ketiga Zizek. Perayaan atas identitas kultural Cina adalah contoh terdekat yang dapat saya pikirkan. Saat ini 37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ekspresi-ekspresi kultural khas masyarakat Cina merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan kebudayaan di daerah-daerah sesuai dengan arah kebijakan pariwisata di Indonesia. Hal tersebut dianggap sebagai obat bagi diskriminasi di masa lalu. Bahkan seringkali tanpa mengkaji terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau, multikulturalisme langsung dirayakan. Kita seakan-akan diperintahkan untuk menjadi promotor atas multikulturalisme. Jika multikulturalisme adalah Mike Tyson, kita dengan gigih berusaha menjadi Don King-nya. Dengan begitu, seakan-akan, multikulturalisme adalah jalan keluar terbaik dan tidak memandangnya sebagai sebuah ideologi yang jelas memiliki latar belakang tertentu yang entah cocok atau tidak dengan kondisi di Indonesia. Tanpa disadarinya, cakrawala pemaknaan atas ‘kondisi’ Indonesia versi saat ini adalah dampak dari ideologi multikulturalisme. Dan karena kondisi tersebut adalah kondisi versi multikulturalisme sehingga, jelas saja, jalan keluarnya adalah multikulturalisme. Singkat kata, multikulturalisme adalah master signifier dari segala permasalahan pasca-Orde Baru yang memberi makna atas permasalahanpermasalahan tadi. Karenanya, meluas anggapan bahwa tidak cukupnya tempat untuk suara minoritaslah masalah utamanya dan bukan, e.g., ketimpangan identitas pribuminon-pribumi bentukan tatanan kolonial. Zizek sendiri, di bukunya Living in the End Times (2010), membaca kondisi semacam ini dengan sebuah pertanyaan yang menarik: “Why are so many problems today perceived as problems of intolerance, rather than as problems of inequality, exploitation, or injustice? Why is the proposed remedy tolerance, rather than emancipation, political struggle, or even armed struggle?”.35 Berangkat dari pertanyaannya tersebut, bagi Zizek, ideologi bekerja dengan cara “while designating a real problem, blurs a crucial line of separation” serta menjadi “a reduction to the simplified "essence" that conveniently forgets the "background noise" which provides the density of its actual meaning”.36 Seperti itulah ideologi menjadi master signifier dari kejadian-kejadian keseharian kita. Ia mengumpulkan masalah, memaknainya dan memberi jalan keluar. 35 36
Lih. (Zizek, Living in the End Times, 2010, p. 5) Ibid.,
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Wacana turunan multikulturalisme yang dijadikan jalan masuk untuk mengkritik multikulturalisme, sebagai sebuah ideologi, oleh Zizek adalah wacana toleransi. Sepertihalnya Bhabha, ia juga kemudian mengaitkan wacana tersebut dengan konsep identitas yang diusung oleh multikulturalisme. Yang mengerikan dan perlu perhatian lebih dari toleransi, menurut Zizek, bukanlah pendekatan anti-rasisme-nya yang berlebihan, namun, rasisme yang ada di premis dasarnya.37 Di bukunya Violence (2008), ia menyokong hipotesanya dengan mengambil contoh pernyataan-pernyataan Bush terkait dengan Islam dan terorisme. Di pidato inaugurasinya tahun 2005, ia menyatakan bahwa "America will not pretend that jailed dissidents prefer their chains or that women welcome humiliation and servitude".38 Kemudian, di kesempatan yang lain, ia seringkali menyatakan bahwa “Islam is a great religion of peace and is only misused by fundamentalists”.39 Melihat dua pernyataan tersebut Zizek mengatakan bahwa seorang multikulturalis liberal memiliki kecenderungan mengabaikan pernyataan pertama sebagai sebuah imperalisme kultural dengan sentimen eurosentris-nya yang kental dan melihat pernyataan kedua sebagai sesuatu yang dapat diterima meskipun mereka tak percaya Bush benar-benar serius dengan apa yang ia katakan. Singkatnya, seorang multikulturalis liberal akan mengangkat, dalam kritiknya, kemunafikan Bush. Akan tetapi, bagi Zizek cara pandang tersebut salah kaprah. Menurut Zizek, yang perlu diangkat justru premis dasar Bush yang eurosentris bukannya kemunafikannya karena dengan semata-mata mengkritisi kemunafikan Bush, mereka menyetujui rasisme dan eurosentrisme Bush. Jadi, keberatan utama Zizek atas wacana toleransi adalah rasisme yang bersembunyi, atau mungkin malah terang-terangan, di dalamnya. Zizek, sebagai seorang pemikir yang sangat terpengaruh dengan pemikiran psikoanalisa, memulai studinya tentang segala sesuatu dari symptom seperti sebagian besar psikoanalis. Begitu juga metode yang ia jalankan kala mengkritisi wacana toleransi. Symptom, dalam psikoanalisa, adalah paradoks-paradoks yang muncul dalam 37
Lih. (Zizek, Violence, 2008, p. 123) Ibid., 39 Ibid., 38
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pernyatan dan kelakuan subyek yang muncul akibat kondisi terbelahnya antara mengejar obyek hasrat dan norma-norma sosial (tatanan simbolik). Ia adalah hal yang menunjukkan apa yang sesungguhnya dimaksud atau diinginkan oleh subyek dari pernyataannya. Sehingga, bagi Zizek, adalah “the 'symptom' is, strictly speaking, a particular element which subverts its own universal foundation, a species subverting its own genus”.40 Dengan kata lain, symptom adalah suatu bagian dari sebuah bangunan, katakanlah, gangguan dalam sebuah pemikiran yang mungkin saja sepele namun mampu merubah keseluruhan makna bangunan pemikiran tadi jika dikaji lebih dalam. Pada toleransi, symptom terletak pada batasnya. Konsep dasar yang ada pada wacana toleransi sekarang ini adalah menerima dan menghormati perbedaan yang ada di diri orang lain. Di dalam konsep tersebut terdapat dua hal yang bermasalah. Yang pertama, menerima dan menghormati, e.g., bentuk-bentuk kebudayaan orang lain berada dalam kerangka berpikir bahwa orang lain tersebut memang berbeda dari kita. Sebagai liyan, orang lain mendapat tempat yang tidak seperti ‘kita’ yang normal dan manusiawi dengan tingkat peradaban yang lebih tinggi. Mereka tidak sederajat. Jika mereka, orang lain tadi, memang sederajat, mereka tidak memerlukan toleransi karena kita dapat berkomunikasi selayaknya dengan orang sesama kita. Karenanya mereka hanya dapat ditanggapi dengan penerimaan dan dibiarkan ada saja, i.e., toleransi didasari oleh rasa tak suka dengan bentuk-bentuk kebudayaan orang lain tadi. Hal tersebut terkait dengan masalah identitas. Wacana toleransi membawa konsep identitas yang statis (esensialis). Salah satu bentuk nyatanya adalah apa yang disebut Zizek sebagai kulturalisasi politik. Kulturalisasi politik berarti bahwa tindakan-tindakan politis seseorang diyakini murni berangkat dari latar belakang kulturalnya. Jadi, kebijakan-kebijakan Raja Arab Saudi berangkat dari kenyataannya sebagai seorang Arab dan bukan karena konstelasi politik yang lebih besar yang menaunginya. Sisi kultural menjadi satu-satunya faktor pembentuk identitas seseorang. Yang kedua, toleransi membawa seperangkat persyaratan yang harus diterima jika seseorang ingin diperlakukan secara toleran. Ini 40
Lih., (Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, p. 17)
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
salah satu hal yang saya sebut sebagai batas toleransi tadi. Sebagai contoh, seseorang harus menerima ide liberalisme terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjalankan budayanya. Contohnya, seorang perempuan imigran asal, e.g. , Syria di Eropa boleh saja mengenakan jilbab di negara barunya ini, namun, hanya jika perempuan tadi menganggap jilbab sebagai pilihan pribadinya dan bukan sebagai bentuk kepatuhannya terhadap agama karena agama bukanlah sebuah faktor yang dapat diterima dalam liberalisme. Jadi, sekali lagi, wacana toleransi, pada dasarnya, justru berangkat dari ketidaktahanan seseorang terhadap bentuk budaya orang lain yang berbeda. Secara garis besar, metode ini yang nantinya akan saya jalankan ketika menganalisa karya-karya sastra yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia. Saya akan memulai dengan mendeteksi wacana turunan multikulturalisme di Indonesia yang kemudian akan saya kaji symptom-symptom-nya. F.2. Wacana korban dan fantasinya tentang Cina di (sastra) Indonesia Sekilas kembali ke bagian sebelumnya di atas, multikulturalisme terkait erat, dalam artian dimaksudkan untuk memberi jalan keluar, atas permasalahan identitas dan kekerasan. Karenanya wacana toleransi yang dianggap sebagai ujung tombak penangkal terjadinya kekerasan atas kelompok-kelompok minoritas menjadi wacana yang dominan. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Di Indonesia, setelah jatuhnya Suharto dan Orde Baru, karya-karya sastra yang mencoba mengungkap segala jenis kekerasan yang terjadi di masa lalu, terutama masa berkuasanya Orde Baru (19671998), bermunculan. Wacana korban adalah nama yang lantas disematkan pada karyakarya tersebut. Pada awalnya, karya-karya ber-wacana korban ini adalah karya-karya yang bercerita tentang orang-orang, yang dilabeli ‘PKI’ atau ‘komunis’, yang terjebak dalam pusaran kekerasan yang dimulai oleh Orde Baru di tahun 1965 baik yang ditulis oleh korban langsungnya maupun orang-orang yang tertarik dengan kehidupan korban langsung tadi. Di sini saya tidak akan menjelaskan lebih jauh tentang kejadian di tahun
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
1965 tersebut maupun kekerasan yang dilakukan Orde Baru terhadap orang-orang tadi setelahnya karena saya pikir telah banyak buku yang menjabarkannya dengan cukup rinci. Yang menarik, bagi saya, adalah pendekatan wacana korban terhadap kekerasan dan identitas. Saya melihat wacana korban dalam sastra tidak terbatas pada terbatas pada tema-tema yang terkait dengan PKI, komunisme dan dampak Perang Dingin din Indonesia. Banyak karya sastra, menurut saya, yang memiliki wacana yang sama dengan karya-karya bertema yang berkisar di tahun 1965 tadi yang mengambil tema lain, e.g., kehidupan kaum mioritas di Indonesia – sesuatu yang akan dijabarkan dan dibuktikan lebih jauh di penelitian ini. Enam novel yang dipilih untuk menjadi bahan kajian di penelitian ini adalah novel-novel yang bercerita tentang kehidupan kelompok minoritas Cina di Indonesia. Saya melihat ada kemungkinan yang sangat terbuka bahwa para penulisnya, terutama yang menulis di masa Reformasi, menggunakan wacana korban di dalam karya-karyanya untuk mengungkap kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Terbuka lebarnya kemungkinan tersebut tidak lepas dari konsentrasi wacana korban itu sendiri yang tentunya memiliki persinggungan dengan kehidupan masyarakat Cina di masa Orde Baru yang dapat dikatakan tidak menyenangkan di beberapa sisinya. Fokus yang ada di dalam wacana korban adalah mengangkat suara-suara yang dianggap tidak mendapat tempat selama masa Orde Baru. Wacana korban adalah wacana yang mengangkat suara para korban kekerasan, dengan segala bentuknya, yang sengaja dilupakan di masa Orde Baru. Karenanya tak mengherankan jika kemudian wacana korban sangat dekat dengan konsep sejarah alternatif – sejarah yang mencoba memberikan sudut pandang lain atas tentang kejadian-kejadian di masa lalu yang seringkali dilupakan dalam narasi sejarah resmi versi pemerintah. Dengan visi semacam itu, tujuan jauh wacana korban adalah mengangkat harkat korban dengan melepaskan segala bentuk sisa-sisa kekerasan dari masa lalu seperti stereotip dan pelabelan. Dalam kasus orang-orang yang dianggap ‘komunis’ dengan KTP-nya yang memiliki tanda ‘X’, stereotip atas diri mereka masih berjalan hingga saat ini meskipun Orde Baru telah runtuh lebih dari sepuluh tahun. Dengan tujuan mengangkat harkat korban di hadapan masyarakat dan Negara, yang berarti menerima para korban tadi dan memberikan hak 42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang sama dengan warga Negara lain, saya sangat yakin bahwa wacana korban adalah wacana yang memiliki semangat multikulturalisme sangat tinggi dalam konteks Indonesia. Ia adalah wacana dominan turunan multikulturalisme di Indonesia pascaReformasi. Selanjutnya, yang menjadi masalah, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi, seperti disebut dua pemikir yang saya sebut di bagian sebelumnya, menyimpan permasalahan di dalamnya. Dengan kedekatan visi wacana korban dengan visi multikulturalisme, saya tidak yakin jika wacana korban, dengan definisinya seperti di atas,
mampu
melepaskan
diri
dari
lubang-lubang
ada
di
logika
berpikir
multikulturalisme terutamanya di kasus masyarakat Cina di Indonesia. Bisakah wacana korban melepaskan diri dari jeratan esensialisme dan ahistorisme? Wacana korban, seperti dititahkan dalam multikulturalisme, memiliki fokus di permasalahan kekerasan dan identitas. Ia berangkat dari keyakinan bahwa identitas seseorang menjadi korban tentu karena adanya kekerasan yang ditujukan pada diriya dan kekerasan dimungkinkan terjadinya karena seseorang memiliki identitas tertentu di benak para pelakunya. Dengan begitu, wacana korban berusaha menunjukkan bahwa ada kekerasan yang terjadi di satu masa namun tidak diakui sebagai sebuah kekerasan di narasi sejarah resmi. Kemudian, wacana ini berusaha menunjukkan sisa-sisa kekerasan di masa lalu dalam bentuk stereotip dan penyingkiran secara sosial-politik. Berikutnya, ia mengangkat harkat korban agar tidak menjadi korban semata dengan menjadikannya sumber primer sejarah (alternatif). Dengan terangkatnya suara-suara korban ini, harapannya ketimpangan yang terjadi seperti hubungan pelaku-korban dapat dihilangkan. Namun, bagaimana sebenarnya wacana korban melihat kekerasan? Apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam wacana korban? Kekerasan yang menjadikan seseorang, atau sekelompok orang, korban dalam wacana korban adalah kekerasan fisik yang bersifat langsung karena memang wacana korban dibangun dari kenyataan pembantaian 1965-1966. ‘Penindasan’ yang terjadi setelahnya seperti larangan menjadi pegawai negeri sipil bagi orang-orang ‘komunis’ dan keturunannya, tanda ‘X’ di KTP, wajib lapor bagi para mantan tahanan politik 43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(tapol) etcetera adalah dampak kekerasan semata. Identitas adalah dampak dari kekerasan di masa lalu. Apakah semua setuju dengan konsep kekerasan tersebut, bahkan untuk kasus yang sama? Wijaya Herlambang jelas tidak menyetujuinya. Menurutnya, kekerasan fisik hanya dapat terjadi dengan sejumlah pembenaran terlebih dahulu yang terkait dengan identitas orang-orang yang ‘layak’ dibunuh. Di dalam bukunya, yang dikembangkan dari disertasinya, yang membahas tentang kekerasan yang dialami orangorang yang dilabeli ‘PKI’ (Partai Komunis Indonesia) di Indonesia, Wijaya Herlambang menggunakan salah satu pemikir bernama Galtung yang membagi kekerasan ke dalam dua jenis. Yang pertama adalah kekerasan langsung. Kekerasan langsung (fisik) adalah kekerasan yang dimaksudkan para pelakunya untuk memberi akibat buruk atas tubuh korbannya secara langsung. Yang kedua, yang digunakan Wijaya Herlambang dalam bukunya, adalah kekerasan struktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang termaktub dalam sebuah struktur kekuasaan, semisal Negara. Korban dari kekerasan struktural adalah orang-orang yang ada dalam struktur tersebut namun, katakanlah, terlantar.41 Menurut Galtung, seperti dijabarkan oleh Wijaya Herlambang, kedua kekerasan tersebut berjalan dengan sebuah suplemen yang ia sebut sebagai kekerasan budaya (cultural violence). Kekerasan budaya adalah pembenaran atas kedua jenis kekerasan yang mengambil bentuk produk-produk kebudayaan seperti karya seni, media komunikasi, bahasa etcetera. Karenanya Wijaya Herlambang, di dalam bukunya, menyisir ide-ide tentang komunisme dan PKI yang ada di dalam produk-produk kebudayaan tadi untuk memahami kekerasan, terutama faktor pendorongnya, yang terjadi pada orang-orang ‘PKI’. Ia menengarai bahwa pengejaran dan pembunuhan orang-orang komunis di Indonesia yang terjadi di tahun 1965-66 memperoleh dorongan dan pembenarannya dalam produk-produk kebudayaan di masa tersebut. Artinya, menurut Wijaya Herlambang, dua jenis kekerasan yang berbeda tersebut bekerja secara bersamaan dalam kampanye pemberangusan PKI dan komunisme di Indonesia.
41
Lih. (Herlambang, 2013, pp. 35-37)
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jika kita kemudian menggunakan konsep kekerasan Galtung seperti halnya Wijaya Herlambang, artinya ada sejumlah produk kebudayaan yang ‘membenarkan’ tindakan-tindakan kekerasan atas masyarakat Cina di Indonesia. Secara sepintas, kita tentu dapat mengingat kekerasan-kekerasan budaya ini dalam bahasa sehari-hari ketika membicarakan identitas masyarakat Cina. Stereotip ‘pelit’, ‘eksklusif’ dan ‘cukong peralatan elektronik’ semisal adalah hal yang ‘wajar’ ditemui dan digunakan dengan berbagai konteksnya. Bisa jadi ini adalah kekerasan budaya yang menimpa masyarakat Cina yang menjadi ‘suplemen’ penambah ‘semangat’ para pelaku kekerasan fisik saat membakar sebuah tokoh milik pengusaha Cina di Glodok. Akan tetapi, saya kira rumusan Galtung ini tidak cocok untuk digunakan mengkaji masyarakat Cina di Indonesia karena kekerasan atas masyarakat Cina ini sangat dekat dengan identitas mereka. Bahkan, menurut saya, identitas masyarakat Cina bukan saja sebagai sumber kekerasan namun juga kekerasan itu sendiri. Dengan konsep kekerasan Galtung, identitas dianggap bukan sebagai hasil dari sebuah kekerasan tertentu. Artinya, dengan kata lain, identitas tetaplah sebuah wacana netral sehingga membutuhkan alat lain untuk mendorong
kekerasan
atasnya
–
kekerasan
budaya.
Jadi,
identitas
tidak
dipermasalahkan sebagai sebuah kekerasan. Padahal, identitas sendiri adalah sebuah kekerasan dan juga sumber kekerasan. Untuk kasus, masyarakat Cina saya kira konstruksi identitas menjadi ‘Cina’ adalah kekerasan tersendiri yang harus dikaji karena dengan melakukannya kekerasan akan hilang seiring dengan hilangnya identitas ‘Cina’. Dengan kegelisahan saya tentang identitas Cina sebagai sebuah kekerasan, saya akan menggunakan psikoanalisa pengembangan Zizek untuk menemukan jawabannya. Di bagian ‘pengantar’ bukunya, Zizek membagi kekerasan ke dalam dua kelompok: kekerasan subyektif dan kekerasan obyektif. Dalam bukunya, dengan gamblang, Zizek mengatakan bahwa: “subjective violence is experienced as such against the background of a non-violent zero level. It is seen as a perturbation of the "normal," peaceful state of things. However, objective violence is precisely the violence inherent to this "normal" state of things. Objective violence is invisible
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
since it sustains the very zero-level standard against which we perceive something as 42 subjectively violent.”
Artinya, kekerasan yang dianggap ‘gangguan’ atas apa yang dianggap sebagai situasi damai yang normal seperti kekerasan massal di beberapa kota di tahun 1998 terhadap masyarakat Cina disebut sebagai kekerasan subyektif. Sederhananya, kekerasan subyektif adalah kekerasan yang tidak setiap hari terjadi dan menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Sedangkan, di sisi lainnya, terdapat kekerasan lain yang bagi Zizek merupakan kekerasan sebenarnya karena kekerasan inilah yang membuat (baca: memaksa) orang-orang untuk menjadi ‘damai’, ‘normal’ serta ‘terkendali’. Kekerasan ini membuat orang-orang memiliki standar atas ‘kedamaian’ dan ‘kekerasan’. Kekerasan ini adalah kekerasan yang membuat orang berpikir bahwa menaikkan tarif dasar listrik yang dilakukan pemerintah dengan semena-mena bukan kekerasan tapi berdemonstrasi melawannya dan berujung dengan bentrokan dengan polisi adalah kekerasan. Kekerasan ini adalah kekerasan obyektif – kekerasan yang membuat kondisi obyektif sebagai sesuatu yang dapat diterima dan ditolerir sehingga tak muncul keinginan untuk merubahnya; sebuah kekerasan yang lebih halus mengingat pelakunya adalah wacana dan sistem yang berjalan dan bukan hal yang terlihat seperti negara atau pembunuh. Dengan konseptualisasi kekerasan yang seperti itu, saya, dalam penelitian ini, dapat meletakkan identitas Cina sebagai sebuah kekerasan dan tidak terjebak pada kekerasan subyektif semata seperti pembakaran toko tahun 1998. Sampai di titik ini, saya pikir saya harus melihat bagaimana sikap para penulis novel-novel yang akan saya kaji dalam melihat kekerasan ini atau bagaimana mereka menerima identitas Cina di Indonesia. Hal tersebut karena konsep kekerasan obyektif Zizek meletakkan identitas Cina sebagai pengkondisian atas hal yang ‘normal’ padahal identitas adalah kekerasan pada titik termurninya. Artinya, identitas adalah sesuatu yang diberikan atau dibentuk demi kepentingan siapapun yang menghendaki kondisi ‘damai’, ‘normal’ dan 42
Lih. (Zizek, Violence, 2008, p. 2)
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
‘terkendali’ berdasarkan versinya. Dengan memahami dengan lebih baik identitas Cina, kita akan mendapatkan kepentingan-kepentingan yang membentuk identitas tersebut. Namun, bukan hanya itu yang penting. Ketika kita memiliki pemahaman bahwa kekerasan subyektif bukanlah satu-satunya kekerasan dan bahwa ia hanyalah letupan dari kondisi ‘normal’, kita akan mampu melihat kekerasan sebenarnya yang membuat letupan tadi memungkinkan untuk memunculkan dirinya. Dengan begitu, setelah terbongkarnya kekerasan obyektif yang menjadi latar kekerasan subyektif, kekerasan dengan segala bentuknya tidak akan terjadi lagi. Lebih jauh tentang identitas masyarakat Cina, saya pikir kita harus merujuk pada konsep kekerasan obyektif Zizek. Dalam pembahasan lebih mendalamnya, Zizek mengatakan bahwa ada dua jenis kekerasan obyektif: 1.) kekerasan simbolik (symbolic violence) dan 2.) kekerasan sistemik (systemic violence). Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang ada dalam bahasa terutama di sisi horizon pemaknaan kita.43 Sedangkan kekerasan sistemik adalah kekerasan yang merupakan konsekuensi dari sistem ekonomi dan politik yang kita jalankan dan kita anggap baik-baik saja.44 Lantas, dimanakah letak permasalahan identitas Cina di kategorisasi pemikiran tentang kekerasan Zizek ini? saya melihat dua konsep turunan dari kekerasan obyektif ini dapat digunakan untuk membongkar kekerasan yang dialami masyarakat Cina. Dengan kerangka berpikir yang disediakan Zizek tentang kekerasan sistemik, kita akan dapat melihat melihat bahwa masyarakat Cina menempati posisi sosial-politik yang sedemikian rupa sehingga kekerasan kepada kelompok ini menjadi tak terelakkan. Dilihat dari catatan sejarah yang ada, masyarakat Cina, dari berbagai macam latar belakang sosial, politik dan etnokultural, datang ke Nusantara berabad-abad yang lalu. Sebagian yang menetap kemudian menjadi penduduk Nusantara dan mengikuti perkembangan yang terjadi. Pada masa Nusantara bernama Hindia-Belanda, baik di bawah bendera VOC maupun Kerajaan Belanda, mereka menjadi salah satu kelompok yang esensial keberadaannya. 43 44
Ibid., Ibid.,
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di masa tersebut, masyarakat Cina ditempatkan ke dalam kelompok masyarakat yang disebut vreemde oosterlingen (Bangsa Asia Asing) bersama dengan masyarakat asal Arab, India, Persia dan lain-lain. Mereka yang rata-rata pedagang (tauke)45 atau kuli di pelosok-pelosok daerah, di luar Jawa, yang belum terjangkau oleh VOC ditempatkan satu tingkat di atas pribumi dan satu tingkat di bawah warga kulit putih. Ini adalah posisi sosio-kultural yang menarik untuk dikaji. Dalam bahasa konseptual Zizek, masyarakat Cina yang memegang perdagangan, dalam pengertian impor barang dan orang (kuli dari Cina Dinasti Qing), adalah tatanan ‘normal’-nya. Melompat ke masa pasca-kemerdekaan, dan Hindia-Belanda berganti nama menjadi Indonesia, tatanan ‘normal’ kolonial ini hanya sedikit mendapat gugatan dan perubahan meskipun beberapa perubahan yang terkait langsung dengan identitas masyarakat Cina dijalankan. Sebagai contohnya, Di masa kepemimpinan Sukarno (Orde Lama), perjanjian, dengan pemerintah Republik Rakyat Cina, dan kebijakan tentang status kewarganegaraan dijalankan. Di sisi kebijakan, peraturan tentang lokasi usaha milik masyarakat Cina dikeluarkan. Di masa Suharto (Orde Baru), peraturan tentang nama Cina juga dikeluarkan. Para tauke-nya juga diposisikan-ulang. Intinya, masyarakat Cina selalu menempati posisi sosio-politik dan kultural tertentu sehingga layak masuk ke dalam pertimbangan pada penelitian ini - khususnya untuk memaknai kekerasan yang terjadi. Jika disandingkan dengan pendekatan kekerasan yang ada di buku Wijaya Herlambang, yang merupakan aplikasi dari konseptualisasi kekerasan Galtung, dan, terutamanya, konseptualisasi
dengan
pendekatan
kekerasan
dalam
psikoanalisa wacana
Zizek,
korban
sangat
masih
kentara
sangat
bahwa
bermasalah.
Permasalahan utamanya adalah wacana korban tidak sanggup mewadahi kompleksitas faktor-faktor pembentuk identitas masyarakat Cina di Indonesia. Karena terlalu menekankan pada kekerasan fisik, atau, dalam istilah Zizek, kekerasan subyektif, wacana korban menghilangkan fakta-fakta sejarah terkait dengan posisi masyarakat Cina dari masa ke masa yang sebenarnya justru mampu memberi kita sudut pandang 45
Diambil dari dialek Hokkian yang secara harafiah berarti ‘bos besar’
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang lebih baik tentang identitas Cina di Indonesia. Jika kita kemudian menerima logika wacana korban, kutub yang tercipta hanyalah pelaku dan korban yang mana identitas keduanya, baik sebagai pelaku maupun korban, sifatnya statis (tetap). Dengan begitu, dari awal kedatangannya hingga kini seakan-akan masyarakat Cina hanyalah korban i.e. siapapun penguasanya mereka adalah kelompok yang tertindas. Padahal, seperti yang akan dibahas di bab selanjutnya, posisi (identitas) mereka tidak selalu seperti itu. Dampaknya, yang pertama, esensialisme menjadi tidak terhindarkan karena konsep pelaku-korban yang bersifat tetap. Dengan penciptaan hubungan pelaku-korban dalam wacana korban, lantas sulit untuk dihindari pandangan bahwa masyarakat Cina adalah korban dan pelaku kekerasannya adalah pribumi. Dan identitas keduanya selalu seperti itu. Kedua, dengan penghilangan relasi kekuasaan, yang ada di sejarah Indonesia dan Nusantara, yang membentuk identitas masyarakat Cina di Indonesia, suara-suara dari korban ini, di kasus penelitian ini adalah novel-novel bertema kehidupan masyarakat Cina, menjadi salah kaprah. Yang saya maksudkan dengan salah kaprah adalah pengangkatan yang keterlaluan terhadap segala bentuk suara yang bercerita tentang masyarakat Cina yang mungkin dorongannya hanya berdasarkan rasa iba dan bukan keinginan untuk memahami kondisi sebenarnya i.e. wacana apapun tentang masyarakat Cina adalah suara yang penting dari korban yang harus diberi posisi khusus di peredaran wacana yang ada. Dengan kata lain, wacana korban bisa saja menghilangkan kekritisan kita atas wacana-wacana yang ada yang terkait dengan kekerasan hanya karena kita merasa ‘iba’ pada korban-korban tadi. Tidak hanya sampai di titik itu, kita bisa jadi meneruskan cara pandang tentang orang Cina yang ada di masa lalu yang sesungguhnya menciptakan
kekerasan-kekerasan
yang
ada
saat
ini.
Singkatnya,
tidak
dipertimbangkannya proses pembentukan identitas masyarakat Cina di masa yang lalu seperti masa Kolonial, dengan segala relasi kekuasaannya, dapat membuat kita di saat ini mereproduksi tatanan lama tadi meskipun dengan ekspresi yang lain. Posisi korban masyarakat Cina saat ini yang diletakkan sebagai korban bisa jadi membawa sesuatu dari posisi mereka sebagai masyarakat kelas dua di tatanan masyarakat kolonial.
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Apa dampaknya ketika relasi kekuasaan tadi tidak dipertimbangkan ketika melihat identitas Cina di Indonesia dan hanya mengedepankan pengangkatan semata? Di titik ini, konsep fantasi dan identitas Zizek sangat bermanfaat. Menurut Zizek, ketika kita berhadapan dengan seseorang, yang memiliki perbedaan latar belakang kultural yang kita sadari, kita sesungguhnya tidak bertemu dengan dirinya namun image mereka yang ada di kepala kita yang kita dapatkan di tatanan sosial yang kita hidupi. Dengan contoh anti-semitisme di Barat, Zizek mengatakan: “[t]ake the example of anti-Semitic pogroms, which can stand in for all racist violence. What the perpetrators of pogroms find intolerable and rage-provoking, what they react to, is not the immediate reality of Jews, but the image/figure of the "Jew" which circulates and has been constructed in their tradition. The catch, of course, is that one single individual cannot distinguish in any simple way between real Jews and their anti-Semitic image: this image overdetermines the way I experience real Jews themselves, and furthermore it affects the way Jews experience themselves. What makes a real Jew that an anti-Semite encounters on the street "intolerable," what the anti-Semite to destroy when he attacks the Jew, the true 46 target of his fury, is this fantasmatic dimension.”
Artinya, identitas kita ditentukan oleh wacana simbolik yang ada dan dibangun di fantasi orang lain dan fantasi itulah yang menentukan perlakuan orang lain terhadap kita, begitu juga sebaliknya. Di titik ini, saya takut multikulturalisme yang sangat menekankan pentingnya peranan perayaan kultural akan meleset melihat permasalahan pada identitas Cina di Indonesia. Singkatnya, bisa jadi wacana korban a la multikulturalisme membawa kita tetap memandang masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat yang eksklusif, gila harta, pelit dan lain-lain karena setiap informasi yang kita terima, seberapapun melimpahnya, akan terus mengacu ke stereotip-stereotip tersebut. Itulah dampak ketika kita gagal melampaui ideologi dominan dan terus mengikuti obyek a yang ia berikan. Terkait dengan (karya) sastra, jumlah bukanlah sebuah masalah lagi di Indonesia. Kini dengan mudah kita menemui buku-buku yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia (sejarahnya, etos bisnisnya, posisi sosialnya dan lainlain). Para penulis Cina juga dapat dengan bebas menulis dan mempublikasikan karya46
Lih. (Zizek, Violence, 2008, pp. 66-67)
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karyanya. Banyak pihak juga telah melakukan gugatan atas sejarah yang dianggap menghilangkan sumbangan orang-orang Cina di Indonesia dalam berbagai bentuk. Untuk kasus sastra Indonesia, sejak awal tahun 2000, Kepustakaan Populer Gramedia sebagai penerbit telah memulainya. Penerbit tersebut menerbitkan karya-karya lama yang ditulis oleh penulis-penulis Cina di Indonesia dalam Bahasa Melayu Lingua Franca yang selama ini tidak dianggap. Kumpulan karya tersebut kemudian diterbitkan dalam seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Berkebangsaan Indonesia. Meskipun penerbitan tersebut juga bermasalah secara konseptual seperti yang dituliskan oleh kritikus sastra Katrin Bandel dalam buku terbarunya,47 namun seri penerbitan tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi pasca-Orde Baru juga menyentuh masalah masyarakat Cina di Indonesia. Artinya, membagi dan mendapatkan informasi tentang masyarakat Cina sekarang ini bukan lagi sebuah pekerjaan yang sulit. Namun, menurut saya, semua kebebasan ini jatuh ke dalam kerangka berpikir wacana korban. Hal tersebut karena semua dilakukan dengan berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat Cina adalah korban dari sejarah di masa lalu yang mana, menurut saya, adalah kesadaran yang memukul rata kompleksitas sejarah Indonesia. Dengan kondisi tersebut, analisa saya akan berkutat dengan kecenderungan wacana korban dalam karya-karya sastra yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia. Dengan konsep identitas yang dekat dengan fantasi ini, karya sastra menjadi tempat sangat menarik untuk melihat masyarakat Cina karena karya sastra sesungguhnya adalah pemampatan dari fantasi. Fantasi adalah hal terpenting lantas dalam konsep kekerasan simbolik Zizekian. Di dalam sebuah karya sastra, identifikasi adalah sebuah hal yang harus dijalani. Artinya, di dalamnya terdapat fantasi penulis tentang posisi-posisi tokoh-tokoh yang dinarasikan. Zizek sendiri, secara umum, memandang karya sastra (seni) sebagai sebuah wadah yang sangat ideologis. Ia adalah alat seseorang meletakkan dirinya dan tentu orang lain dalam sebuah tatanan masyarakat. Jadi, harapannya dengan melihat lebih dalam wacana korban dalam karya 47
Lih. (Bandel, 2013)
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sastra di Indonesia, kita akan dapat melihat sampai dimana fantasi seorang penulis, dengan latar belakang tertentunya, melihat dirinya sendiri dan orang lain.
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II Tumbuh-kembangnya Wacana Pribumi-Non-Pribumi dari Masa ke Masa Tesis ini, seperti telah sedikit disentuh di Bab I, akan melihat, lantas mengkritisi, wacana pribumi-non-pribumi yang ada pada beberapa zaman di Indonesia melalui karya-karya sastranya. Saya percaya bahwa wacana pribumi-non-pribumi di Indonesia bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada begitu saja dan tidak ber-bapak-ibu. Ia memiliki sejarahnya sendiri yang mungkin memiliki nama berbeda dari zaman ke zaman. Yang pasti, setiap zaman dengan rezimnya sendiri memiliki modelnya sendiri dan unik karenanya patut dilihat lebih lanjut satu demi satu. Yang akan saya cari di bab ini adalah logika pengaturan sosial dari masa ke masa, melalui wacana pribumi-non-pribumi, yang digunakan ketika rezim penguasa berhadapan dengan keberagaman manusia nusantara. Hal ini penting untuk mengetahui latar belakang munculnya karya-karya sastra yang menjadi obyek penelitian tesis ini. Akan tetapi, data-data sejarah yang ada di sini tidak akan digunakan untuk memaknai karya-karya sastra tersebut. Data-data ini lebih digunakan untuk mencari wacana utama pengaturan sosial yang ada di zaman tersebut sehingga dapat dilakukan perbandingan dengan wacana-wacana tentang pengaturan sosial yang ada di karya-karya tersebut. Intinya, data-data di sini dibutuhkan untuk mencari sikap karya-karya tersebut terhadap arus wacana utama di bagian analisa nanti. Apakah ia mengikuti saja wacana arus utama sehingga memunculkan paradoks-paradoksnya wacana tersebut? Atau ia memiliki tawaran tersendiri? Tapi belum saatnya, kita membahas kedua pertanyaan tersebut. Kini kita akan mundur beberapa langkah ke belakang dan melihat hal-hal yang membentuk Indonesia dari sisi pengaturan hubungan sosial masyarakatnya.
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A. Politik Etis: identitas non-pribumi (Cina) dalam kepentingan ekonomis kolonial Politik Etis adalah tonggak penting di sejarah perjalanan penting bangsa Indonesia karena, dapat dikatakan, inilah masa ketika bangsa yang terjajah mulai benarbenar diperhatikan oleh penjajahnya, walaupun lema ‘diperhatikan’ di sini tak selalu bermakna positif. Pergerakan-pergerakan modern bangsa Indonesia, yang akhirnya berujung pada kemerdekaan, berakar di masa ini. Perkumpulan-perkumpulan politik dengan pemaknaan modern tumbuh di masa ini. Akan tetapi, di saat yang sama, permasalahan-permasalahan yang hingga kini tak terselesaikan juga dipupuk di sana. Masa ini adalah masa ketika pemerintah kolonial Belanda dengan lebih terorganisir membentuk tanah jajahan yang nantinya bernama Indonesia ini dan tidak hanya memperlakukannya sebagai pemasok bahan baku alami. Peningkatan kesejahteraan penduduk Hindia-Belanda adalah slogan yang dijadikan semacam acuan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankan oleh pemerintah. Peningkatan kesejahteraan ini bertumpu pada dua titik yaitu ekonomi dan pendidikan. Namun, hal tersebut berarti juga pengolahan di sektor yang lain seperti sosial, politik dan hukum karena mau tidak mau ketika kita meletakkan ekonomi sebagai panglima semua sektor akan mengekor kepadanya. Itulah yang benar-benar terjadi di Hindia-Belanda pada saat itu. Masyarakat dengan segala hubungan sosial yang terbentuk, urusan-urusan administratif di gedung-gedung pemerintahan, hingga urusan tata kota dan tempat tinggal penduduk dikonfigurasi-ulang oleh pemerintah kolonial demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan penduduk Hindia-Belanda tadi. Secara luas, perubahan besar Politik Etis dimulai dengan perubahan status Hindia-Belanda di hadapan Kerajaan Belanda yang mana, di satu sisi, menjadi lebih mandiri. Hal tersebut diawali dengan reformasi undang-undang Kerajaan Belanda di tahun 1848 yang memberi hak lebih besar pada anggota dewan Belanda untuk mengatur Hindia-Belanda. Kemudian, di tahun 1903, setelah runtuhnya VOC, kas Hindia-Belanda
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipisahkan dari kas Kerajaan Belanda. Artinya, kemandirian ekonomis didapatkan oleh Hindia-Belanda. 19 tahun kemudian, kemandirian politis mengikuti. Tahun 1922, hanya 23 tahun sebelum Hindia-Belanda merdeka dan menjadi Indonesia, Hindia-Belanda diberi status Rijksdeel (persemakmuran) yang jelas lebih mandiri walaupun masih berada di bawah naungan Kerajaan Belanda.48 Dengan perubahan administratif di tingkatan Negara yang berubah, proses-proses birokratif di bawahnya pun mengikuti. Dengan ketukan yang sama, beberapa kantor dengan spesifikasinya masing-masing dibuka. Sistem peradilan dan pendidikan juga ikut berubah. Pemanfaatan Kapiten Cina sebagai petugas-petugas pengatur kehidupan masyarakat Cina dihapuskan dan tugasnya diambil-alih oleh kantor Chineesch Bestuur. Contoh lain adalah dua jenis peradilan (Raad van Justitie dan Landraad) yang diubah rinciannya. Selain perubahan-perubahan tadi masih banyak perubahan yang terjadi. Namun, hal tersebut akan dibahas lebih mendalam nanti sekaligus dengan pembacaan logika makronya (baca: semangat zaman) yang mana merupakan bagian terpenting bab ini. Seperti halnya zaman-zaman lain, zaman Politik Etis adalah sebuah reaksi atas kondisi zaman yang sebelum-sebelumnya. Cerita kebijakan Politik Etis dimulai ketika awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1829, Kerajaan Belanda dalam kondisi terhimpit secara ekonomi (terutama karena utang VOC dan perang) dan seorang pejabatnya yang bernama Johannes Van Den Bosch mengusulkan sebuah program besar bercakupan luas bernama cultuurstelsel atau yang biasa disebut Tanam Paksa. Sederhananya, program ini mengharuskan para petani dengan lahan menanam komoditi tertentu dan mengirim pajak sebesar 40% kepada Pemerintah atas tanahnya. Program ini, di bawah pengawasan Van Den Bosch yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda antara tahun 1930-1933, menjadi sebuah cerita sukses yang membanggakan (paling tidak untuk pihak ‘Gubermen’). Baru satu tahun Van Den Bosch dilantik guna menjalankan idenya, kas Hindia-Belanda telah kembali ke titik seimbang dan utang-utang VOC terbayar. Namun, manisnya cerita cultuurstelsel bagi Pemerintah kolonial hanya sampai 48
Lih. (Lohanda, 2002, p. 8)
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di titik itu dan berubah menjadi pahit setelah berakhirnya masa jabatan Van Den Bosch. Seperti para pendahulunya, menir satu juga pergi tanpa membawa pulang masalahnya; masalah yang memuncak di awal tahun 1840-an. Dalam buku sejarahnya yang bercakupan waktu mencengangkan, Ricklefs membuat daftar permasalahan runtuhnya culturstelsel yang ternyata selama ini hanyalah api di dalam sekam. Kurangnya pengawasan, korupsi dan penindasan tak terbayangkan adalah masalah utamanya yang ternyata hanya dapat terkuak melalui waktu. Penindasan berkelanjutan tanpa logika mengakibatkan kelaparan hebat yang dimulai dari Cirebon karena gagalnya panen tahun 1844 yang kemudian menyebar ke sebagian besar Jawa dan berlangsung hingga 1850. Hal tersebut diperparah dengan merebaknya wabah tipus dan urbanisasi (untuk menghindari kerja-paksa) di Jawa.49 Walhasil, proses produksi komoditi agraris yang berpondasikan keringat dan darah orang banyak pun terhenti. Sebagai reaksi runtuhnya program cultuurstelsel, program-program yang dengan arah liberal mulai dimunculkan dari Belanda. Tekanan dari berbagai pihak terutama dari dewan parlementer adalah awal reformasi liberal ini. Maksud dari ‘liberal’ di sini adalah “a drastic reduction of the role of the government in the kolonial economy, a freeing of the restrictions on private enterprise in Java and an end to forced labour and oppression of the Javanese and Sundanese”.50 Zaman ini diawali dengan pemberian wewenang lebih besar pada dewan parlementer untuk mengatur tanah jajahan tahun 1848. Dari revisi undang-undang inilah zaman liberal dibuka. Maksud awal dari kebijakan liberal ini tentu untuk menutupi lubang-lubang yang ditinggalkan cultuurstelsel atau, dengan kata lain, membuatnya lebih efektif tanpa penindasan yang lebih parah. Dua kebijakan besar yang dijalankan di masa ini adalah penghapusan kewajiban menanam tanaman wajib sesuai ketentuan pemerintah dan pelibatan pihak-pihak swasta dalam proses produksi dan distribusi komoditaskomoditas tanah jajahan. Dua program ini dijalankan secara berurutan. Yang saya sebut 49 50
Lih. (Ricklefs, 2001, p. 160) Lih. Ibid,. hal. 161
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pertama di atas adalah yang pertama kali dijalankan. Berdasarkan catatan Ricklefs, penanaman paksa merica mulai dihapuskan tahun 1862; cengkeh dan pala tahun 1864; terung nila, teh dan kayu manis tahun 1865; tembakau tahun 1866; kopi dan gula tahun 1870 melalui Peraturan Gula tahun 1870 namun baru benar-benar terwujud tahun 1878.51 Untuk program berikutnya (pelibatan pihak-pihak swasta), Undang-Undang Agraria tahun 1870 diluncurkan guna memastikan jaminan berbisnis pihak-pihak swasta. Undang-undang tersebut memperbolehkan pihak swasta menyewa lahan untuk digarap baik dari pemerintah maupun langsung dari pemilik lahan. Untuk penyewaan dari pemerintah, rentang waktunya dapat mencapai 75 tahun. Sedangkan, penyewaan lahan langsung dari pemilik mencapai 20 tahun. Hasilnya, mirip dengan masa awal cultuurstelsel, tingkat ekspor Hindia melambung tinggi. Bahkan untuk sektor-sektor yang dipegang pihak swasta, nilainya jauh melebih nilai yang dihasilkan pemerintah. Puncaknya, tahun 1885, nilai ekspor pihak swasta mencapai sepuluh kali lipat nilai yang dihasilkan pemerintah. Ini tentu tidak lepas dari cakupan swasta yang lebih luas (hingga pedalaman-pedalaman Kalimantan dan Sulawesi) sesuatu yang tak mungkin dilakukan sendiri tanpa bantuan swasta oleh pemerintah. Di sisi ini, pengawasan yang lemah ketika cultuurstelsel memang menjadi lebih kuat karena mencapai pedalaman. Akan tetapi, lagi-lagi cerita indahnya hanya berhenti di sana. Dampak yang serupa dengan dampak yang ditimbulkan cultuurstelsel pun menjamur mulai akhir 1880-an. Kelaparan dan epidemi kembali melanda Jawa. Lahanlahan mulai tak terurus. Masalah-masalah tersebut berhulu dari penindasan yang ternyata tak jauh beda dari zaman cultuurstelsel. Ternyata pihak swasta juga memiliki tanaman-tanaman favoritnya untuk ditanam yang jelas membuat para petani tak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang lebih parah, para penyewa sewenang-wenang ketika menentukan biaya sewa guna menggembungkan laba karena memang tak ditetapkan oleh pemerintah.
51
Lih. Ibid,.
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Itu hanya dari segi ekonomi, secara sosial, yang menjadi titik fokus bab ini, dampak yang tak kalah besar juga terjadi. Bentuk-bentuk kelas sosial baru, yang dipertajam di zaman Politik Etis, mulai terbentuk dan mengerak di zaman ini. Pada zaman cultuurstelsel, paling tidak menurut Ricklefs, ada empat golongan yang mana hanya tiga di antaranya yang memperoleh keuntungan; Pejabat-pejabat kolonial (yang sebagian besar orang Belanda), pejabat-pejabat lokal yang menandatangani surat persetujuan tanam-paksa, para pengusaha (rata-rata dari kalangan Asia asing (Vreemde Oosterlingen): Arab dan Cina) dan, yang sengsara, rakyat biasa (petani penggarap).52
Setelah Undang-undang Agraria tahun 1870, pintu gerbang Masa Liberal, empat golongan ini diperkuat karena undang-undang ini, secara hukum, melegalkan, sekaligus menguatkan, keberadaan para pengusaha swasta yang merupakan golongan Vreemde Oosterlingen.
Logika pengaturan sosial zaman Politik Etis berangkat dari kategori sosial yang terbentuk selama zaman Cultuurstelsel dan zaman Liberal. Namun, pondasi sebenarbenarnya ada di zaman Liberal karena memiliki titik tolak yang sama; perhatian pada mereka yang paling tertindas (setidaknya, begitu menurut Pemerintah Kolonial). Wacana Politik Etis pertama-tama dimunculkan oleh seorang pengacara bernama Th. van Deventer yang tinggal di Hindia antara tahun 1880–97. Berdasarkan pengamatannya atas kehidupan di Hindia, pada tahun 1899 ia menulis sebuah artikel di jurnal berbahasa Belanda “de Gids” dengan judul ‘Een eereschuld’ (‘Sebuah hutang kehormatan’). Di tulisannya ia beragumen bahwa bangsa Belanda seharusnya membalas budi atas apa yang telah diberikan oleh Hindia-Belanda selama ini dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat Hindia-Belanda.53 Pertanyaannya kemudian, “siapa yang dimaksud dengan rakyat Hindia yang pantas mendapat perhatian Pemerintah?”. Pertanyaan inilah yang menjadi pusaran logika kebijakan-kebijakan kolonial di zaman Etis di segala bidang. Tapi, sebelum jauh 52 53
Lih. Ibid,. hal. 159. Ibid.,
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memasukki logika besarnya, saya ingin melihat satu per satu kebijakan-kebijakan Etis di beberapa bidang. A.1. Sosial dan ekonomi Politik Etis sebenar-benarnya dibangun di atas kegagalan sistemik Pemerintah Kolonial mengelola tanah jajahannya; kegagalan yang menciptakan jurang-jurang di dalam masyarakat yang lantas menjadi pagar pembatas kelas-kelas di atas tadi. Politik Etis adalah politik rasa bersalah dari Pemerintah Kolonial yang sebenarnya tak ingin dipersalahkan. Singkatnya, mereka butuh kambing hitam. Mereka yang termasuk dalam Vreemde Oosterlingen atau Bangsa Asia Asing.54 Peng-kambing-hitam-an tersebut merupakan campuran antara kecemburuan Pemerintah Kolonial karena kelompok ini meraup keuntungan finansial besar semasa Cultuurstelstel dan zaman Liberal dan kenyataan bahwa mereka menjadi kelompok tersendiri yang juga karena pengkondisian kebijakan-kebijakan kolonial yang menjadikan mereka sebagai kelompok perantara penghubung antara petani dan Pemerintah sebagai pihak peng-ekspor. Usaha pengkambing-hitam-an ini diantaranya berbentuk pewacanan Bangsa Asia Asing, terutamanya Cina, sebagai Bloedzuiker Der Javanen (penghisap darah Bangsa Jawa) dan pewacanaan Gale Gevaar (Bahaya Epidemi Kuning).55 Sejurus dengan pewacanaan tersebut, kebijakan-kebijakan yang bersifat memisahkan antara pribumi dan yang dianggap sebagai ‘penghisap’-nya, Bangsa Asia Asing, dan bertujuan melumpuhkan pengaruh ekonomis Bangsa Asia Asing, dijalankan. Pemerintah Kolonial, yang saat itu telah mampu menaklukkan dan mengawasi pulaupulau di nusantara, lantas mengeluarkan undang-undang pass-en Wijkenstelsel tahun 1897. Undang-undang tersebut mengatur tentang residensi dan kewajiban kepemilikkan paspor perjalanan bagi Bangsa Asia Asing. Terkait dengan pengelompokkan tempat tinggal dan paspor, sebelumnya sebenarnya telah ada undang-undang yang mengatur ini 54
Kelompok masyarakat ini sebelumnya juga disebut sebagai Oostersche Vreemdelingen dan diubah menjadi Vreemde Oosterlingen pada tahun 1818. Lih. (Williams, 1960, p. 5); (Lohanda, 2002, p. 79) 55 Lih. (Lohanda, 2002, pp. 208-209)
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di Hindia terutama setelah kejadian 1740 di Batavia.56 Namun, undang-undang tersebut kembali dihidupkan hanya kali ini dengan alasan ekonomi Etis. Di masa Etis, yang diawali di beberapa kebijakan di akhir masa Liberal, semua yang berbau Cina dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga dikontrol secara terpisah. Beragam paspor dikeluarkan tergantung kepentingan bepergiannya. Kantor khusus didirikan (Chineesch Bestuur) didirikan untuk mengatur urusan-urusan yang terkait dengan Cina. Wilayah tempat tinggal para pemukim Cina dipisahkan beserta dengan segala fasilitasnya seperti klenteng, sekolah, rumah sakit, pasar, perkumpulan sosial, dll. Tempat khusus ini bernama Chineesch Kamp.57 Di sisi lain, yang undang-undang yang lebih blak-blakan ekonomis dikeluarkan. Tahun 1902, Pemerintah Kolonial mengakhiri lisensi pertanian opium dan pertanian sistem ngijo yang sebagian besar dipegang oleh Bangsa Asia Asing (Cina dan Arab di kasus ini). Hal tersebut dimulai dari daerah Madura dan Jawa Timur di tahun 1894.58 Di saat yang hampir bersamaan, Pemerintah mengambil-alih pertanian opium dan membuka Bank Simpan-Pinjam Rakyat.59 Dari sisi ekonomi ini terlihat bagaimana sebenarnya Politik Etis dan keinginan membalas budi hanyalah bahasa yang digunakan Pemerintah Kolonial untuk me-lipat-ganda-kan keuntungan dengan ‘menasionalisasi’ asset-aset yang ada. Dari sisi yang lain, kebijakan-kebijakan Etis ini mempromosikan semacam segregasi yang mirip dengan “Warsaw Ghetto” untuk Yahudi atau kamar mandi khusus kulit berwarna di Amerika tahun 1960-an.
56
Pada tahun 1740, terjadi pemberontakkan terhadap VOC oleh para buruh Cina di Batavia. Pemberontakkan ini disebabkan karena beberapa Kapitan Cina yang mengutil uang pajak dari para buruh dan kenaikan pajak. Saat itu, para buruh membunuh beberapa prajurit dan Kapitan Cina. Sebagai balasannya, prajurit-prajurit VOC mulai memburu para buruh dan membunuh mereka dengan cara memenggal kepala mereka di sisi Sungai Angke sehingga kepala yang lepas langsung terbawa arus sungai. Konon, sesaat setelah kejadian tersebut warna air sungai berubah menjadi merah darah. Tragedi 1740 memakan korban lebih dari seribu jiwa buruh asal Cina. Berikutnya, dengan alasan keamanan, sistem paspor dan pengelompokkan residensi diberlakukan. Lih., (Blusse, 2004) 57 Lih. (Lohanda, 2002, pp. 38-39) 58 Lih. (Williams, 1960, p. 19) 59 Lih. (Lohanda, 2002, p. 210)
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pembagian kelas yang awalnya tak disengaja terbentuk di masa cultuurstelsel dan masa Liberal, kini, di masa Politik Etis, diformalkan. Undang-undang Wijkenstelsel menjadi tembok tebal pemisah antara Bangsa Eropa, Bangsa Asia Asing dan Pribumi. Lebih jauh, undang-undang tersebut tidak hanya membatasi hubungan pribumi-Bangsa Asia Asing secara fisik akibat dikuranginya kontak komunikatif namun juga membatasinya secara mental. Yang saya maksud dengan mental adalah tertanamnya stereotipe-stereotipe di antara mereka, yang saya percaya telah ada sebelumnya hanya kini diperkuat dan diberi ruang hidup. Dengan diletakkannya posisi pribumi dan Bangsa Asia Asing pada sebuah hubungan yang bersifat antagonis, tidak heran di kemudian hari banyak terjadi benturan fisik antara keduanya. Salah satunya adalah bentrokan antar kelompok-kelompok dagang berbasis etnis (Rekso Roemekso yang berangggotakan orang-orang Jawa dan Kong Sing yang beranggotakan orang-orang Cina) di Solo tahun 1920-an.60 Tapi, bagaimanapun, segregasi terus dijalankan. A.2. Pendidikan Pendidikan adalah salah satu isu utama kebijakan-kebijakan Politik Etis. Sekolah-sekolah mulai banyak dibuka dan, sebagai konsekuensinya, guru-guru juga banyak didatangkan dari Belanda. Jenjang-jenjang sekolah juga mulai dirapikan. Bagi Pemerintah Kolonial, pendidikan menjadi ujung tombak bagi perbaikan nasib orangorang jajahan; orang jajahan dengan definisi Politik Etis tentu saja. Di bidang pendidikan, perdebatan awal berkisar di isu-isu seputar gaya pendidikan dan obyek pendidikan. Terdapat dua pihak dengan dua jenis pendekatan yang muncul. Pihak pertama digawangi oleh Snouck Hurgronje dan J. H. Abendanon yang menjadi Direktur Pendidikan zaman Etis (1900-1905). Pihak pertama ini lebih menginginkan pendidikan yang bersifat lebih elit dan bergaya Eropa. Ia dimaksudkan bagi kaum priyayi agar tercipta kelas yang telah di-Barat-kan dan mampu menjalankan tugas-tugas administratif kolonial sehingga memotong biaya administrasi. Di sini, 60
Lih. (Siraishi, 2005, pp. 52-54)
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekarang kita tahu bahwa, lagi-lagi, Politik Etis bukan semata usaha balas budi namun juga usaha untuk mencari jalan lain untuk meneruskan penjajahan yang lebih manusiawi. Di pihak lain ada Idenburg and Gubernur Jendral van Heutsz (1904–1909). Keduanya memiliki pendekatan yang lebih praktis dan massal. Pendidikan ini akan ditujukan bagi seluruh rakyat Hindia dengan bahasa Melayu dan dimaksudkan untuk, secara langsung, meningkatkan kesejahteraan rakyat Hindia. Yang diberlakukan pada awalnya adalah pendekatan yang pertama karena memang saat itu Abendanon lebih berkuasa secara politik di bidang pendidikan karena jabatannya sebagai Direktur Pendidikan. Pada masa Abendanon, di tataran sekolah dasar, terdapat dua jenis sekolah yaitu Eerste Klass Indlandsche Scholen (sekolah bumiputra angka satu), yang diperuntukkan bagi kaum priyayi dan kaum ‘berada’, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputra angka dua) yang diperuntukkan bagi kelas bawah.61 Kemudian, di tahun 1908, ia mengubah keduanya gar lebih sesuai dengan kebijakan-kebijakan Etis yang segregatif. Tweede Klass Inlandsche Scholen diubahnya menjadi Standaardscholen (sekolah umum). Sedangkan Eerste Klass Indlandsche Scholen diubah menjadi HIS enam tahun kemudian. HIS ini lebih dimaksudkan oleh Pemerintah untuk persiapan memasukki sekolah tinggi dan sekolah ketrampilan (OSVIA dan STOVIA). Di sisi lain, Standaardscholen memiliki orientasi yang lebih praktis. Sekolah ini diperuntukkan bagi mereka yang tercabut dari lingkaran kehidupan agraris dan mereka yang hidup di lingkaran perdagangan.62 Artinya, siapa lagi yang akan memasuki sekolah ini kalau bukan anak-anak Bangsa Asia Asing? Secara teoritis, pribumi memang mungkin saja memasukki sekolah ini, akan tetapi dengan kondisi finansial yang jauh lebih buruk dari saudara-saudara Cina mereka, tentu saja, hampir secara otomatis, mereka akan memilih untuk masuk ke sekolah-sekolah pedesaan. Di sini, lagi-lagi, Bangsa Asia Asing,
61 62
Lih. Ibid., hal. 38-39 Lih. (Ricklefs, 2001, p. 202)
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terutama Cina, ditempatkan sebagai sesuatu yang ada di tengah-tengah dan dipisahkan dari pribumi. Di tahun-tahun berikutnya setelah masa Abendanon, sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah berbasis ketrampilan khusus didirikan. HBS (sekolah menengah berbahasa Belanda), OSVIA (sekolah pelatihan calon pegawai negeri pribumi) dan STOVIA (sekolah pelatihan calon dokter pribumi dibuka) dibuka. Keduanya dimaksudkan sebagai kelanjutan sekolah dasar yang telah ada sejak 1893. Siapapun diperbolehkan mendaftar namun karena tingginya uang sekolah pada akhirnya hanya pihak priyayi sajalah yang dapat menikmatinya. Jika dilihat sepintas, dua sekolah tinggi ini diperuntukkan bagi pribumi saja. Memang semua orang yang mampu membayar uang sekolah dapat memasukkinya termasuk Bangsa Asia Asing, akan tetapi, seperti tersurat di nama sekolah ini, sekolah ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing pribumi. Lantas kemana anak-anak Cina pergi bersekolah setelah sekolah dasar baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah (Standaardscholen) atau oleh Tiong Hoa Hwe Koan (selanjutnya disingkat dengan THHK)?63 Tahun 1908, memantapkan kebijakan-kebijakan segregatifnya yang lain, Pemerintah Kolonial membangun sekolah menengah khusus anak-anak Cina: Hollandsch-Chineesche School. Namun, karena sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai media proses belajar-mengajar-nya, biayanya pun tinggi. Anak-anak 63
Tiong hoa Hwe Koan adalah organisasi kemasyarakatan yang digadang-gadang sebagai salah satu organisasi masyarakat modern pertama di Hindia. Awalnya, THHK hanyalah sebuah organisasi yang mengurusi perihal keagamaan dan fasilitas-fasilitas yang menunjangnya. Akan tetapi, hanya setahun setelah didirikan di tahun 1900, bersamaan dengan mulainya Politik Etis, THHK telah membuka sekolah bagi anak-anak keturunan Cina: Sekolah Tjina THHK. Tujuan awal sekolah ini adalah sebagai usaha resinisasi; sebuah usaha untuk mengikat kembali identitas mereka dengan tanah air mereka. Selain menggunakan bahasa Mandarin, sekolah ini juga mengintegrasikan ajaran-ajaran Konghucu ke dalam mata pelajarannya. Selain yang terkait dengan urusan keagamaan, hadirnya THHK dengan Sekolah Tjina THHK-nya juga menyuntikkan ideologi pada anak-anak ini. Ideologi yang dimaksud adalah nasionalisme Cina a la Kuo Min Tang yang saat itu, di bawah kepemimpinan Sun Yat Sen sedang mencoba menggulingkan Kekaisaran Manchu yang disokong oleh Inggris. Dengan ideologi yang tentu anti-Barat ini, kehadiran THHK bukanlah kabar baik bagi Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Lih. (Lohanda, 2002, pp. 52-55, 72-73), (Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4, 2003, pp. 395-400)
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kuli atau pedagang kecil-kecilan tak sanggup membayarnya. Mendapati hal tersebut, ditambah tekanan dari kaum Cina peranakan yang enggan menyekolahkan anakanaknya di THHK karena terlalu berorientasi ke Cina Daratan, tahun 1927 Pemerintah Kolonial, yang tak terlalu suka dengan kehadiran THHK dengan orientasi politiknya, dengan senang hati, membuka Maleich-Chineesche School yang berbahasa Melayu. Dengan dibukanya MCS, makin kuatlah segregasi yang coba dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Kini, anak-anak keturunan Cina dengan saudara-saudara Jawa atau Sundanya hampir tak pernah duduk di ruang kelas yang sama (apalagi dengan anak-anak meneer). Spesifikasi yang dilakukan Pemerintah Kolonial benar-benar membatasi komunikasi yang mungkin terjadi sejak dini. A.3. Politik dan Hukum Di sub bab mengenai kebijakan-kebijakan Politik Etis di bidang hukum ini terdapat dua isu besar: 1.) Status kewarganegaraan dan 2.) Sistem peradilan. Dari penjabaran dua bidang sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan Politik Etis membentuk adanya tiga kelas besar: Kulit putih, Bangsa Asia Asing (walaupun sebagian besar dari kelompok ini adalah para pemukim Cina), dan pribumi. Dari
sudut
pandang
hukum,
terutamanya
hukum
yang
mengatur
status
kewarganegaraan, orang-orang kulit putih, dengan cukup pasti, merupakan subyek dari Kerajaan Belanda dan, meskipun dengan perlakuan yang berbeda, pribumi juga diletakkan di ketagori yang sama. Di sisi lain, para pemukim Cina, baik yang totok maupun peranakan, secara ambigu diletakkan di antara keduanya “depending on how the dutch government looked at the matter fitted into the kolonial interest”.64 Terkadang mereka diletakkan sebagai subyek Kerajaan Belanda dan dianggap warga Negara Hindia-Belanda. Terkadang, mereka dianggap masih merupakan subyek Kekaisaran Cina karenanya Pemerintah Kolonial tak merasa perlu memberi fasilitas apapun seperti telah dijabarkan di penjabaran bidang pendidikan. 64
(Lohanda, 2002, p. 40)
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan catatan yang didapat Mona Lohanda terdapat tiga undang-undang (1854, 1892 dan 1910) dan satu surat perjanjian (1911) terkait dengan status kewarganegaraan warga Cina, baik yang totok maupun peranakan, selama masa HindiaBelanda.65 Yang mengherankan, mungkin karena logika kebijakan politik Belanda yang berubah-ubah, undang-undang tersebut seringkali berbenturan satu dengan lainnya. Benturan yang pertama terjadi ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan tahun 1854, terutama ayat 109, yang menempatkan posisi pemukim Cina, khususnya yang lahir di Hindia (peranakan), pada kelompok yang sama dengan pribumi. Sehingga memiliki keterbatasan yang sama dengan pribumi dan tidak merasakan keuntungan-keuntungan berupa fasilitas bagi orang-orang Belanda atau kulit putih lainnya.66 Tapi, anehnya, pada undang-undang berikutnya, tahun 1892, warga Cina posisikan sebagai orang asing. Berikutnya, pada tahun 1902, di masa Politik Etis, dengan berbasis prinsip kwarganegaraan jus soli, Pemerintah mengembalikan status warga Cina sebagai subyek Pemerintah Hindia-Belanda. Artinya, kini, seharusnya, warga Cina ini tidak masuk ke dalam kelompok Bangsa Asia Asing. Benturan kedua, dengan anehnya, istilah Vreemde Oosterlingen tetap terus digunakan di Undang-undang Hukum Sipil (Wet op de Staatsinricht van Nederlandsch-Indie) yang dikeluarkan tahun 1925.67 Artinya, di masa Politik Etis, Pemerintah memiliki caranya sendiri kala memaknai istilah ‘warga negara’ untuk warga Cina di Hindia-Belanda. Jadi, dengan status kewarganegaraan yang mengambang tersebut, hukum mana yang harus diikuti oleh warga Cina di meja hijau? Menurut Buergerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel yang dikeluarkan tahun 1848, semua kasus legal yang terkait dengan Cina seperti “[t]rading business, bankruptcy, and inheritance should be handled under European Administration of Justice i.e. Raad van Justitie”.68 Namun terdapat pengecualian, jika kasus legal tersebut berkaitan dengan kasus kriminal, hukum yang 65
Lih. Ibid., hal 79. Lih. (Willmott, 2009) 67 Lih. (Lohanda, 2002, p. 79) 68 Ibid., hal. 80 66
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipakai adalah ayat-ayat di dalam Wetboek van strafrecht voor Inlanders dimana ayatayat tersebut dimaksudkan untuk pribumi sesuai dengan tajuknya dan pengadilannya adalah Landraad. Untuk menambah semua ambiguitas pemposisian Cina yang terjadi, di ayat 3 dalam ‘Dienstplichtbesluit voor Nederlandch-Indie’ yang dikeluarkan tahun 1917, Pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan semua laki-laki berbadan sehat yang tinggal di Hindia-Belanda untuk wajib militer. Akan tetapi, wajib militer dengan bentuk Indie Werbaar ini pun berbeda dengan milisi pribumi. Indie Werbaar ini mirip dengan tentara Gurkha milik Inggris atau legiun asal Aljazair milik Perancis yang meski diakui sebagai warga Perancis namun tetap dipisahkan. Peliknya, warga Cina ini juga dipisahkan dari milisi. Hal serupa juga terjadi dunia politik praktis Hindia-Belanda yang mana warga Cina memiliki perwakilan Volksraad-nya sendiri dan tidak menjadi satu bagian dengan perwakilan pribumi. Singkatnya, politik segregasi yang dijalankan Pemerintah Kolonial selama masa Politik Etis, yang membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berbasis etnis, adalah sebuah politik yang penuh dengan ambiguitas. Ambiguitas ini muncul karena, sejak awalnya, usaha pengangkatan ekonomi pribumi yang menjadi senjata utama Pemerintah Kolonial sesungguhnya adalah usaha melanjutkan dominasi mereka di segala bidang. Segregasi bukanlah demi kemajuan pribumi. Hal tersebut hanyalah bahasa yang digunakan untuk merengkuh dukungan pribumi. Pemerintah Kolonial adalah pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan tersebut. B. Orde Baru: identitas ekonomis warisan kolonial dalam politik asimilasi Setelah Indonesia merdeka, dalam artian dipimpin bukan oleh pemerintah kulit putih, ternyata periihal “Chineesche Kwestie”, yang diperkenalkan Belanda melalui Politik Etis, masih berlanjut terutamanya di masa kepemimpinan Jendral Soeharto yang baru berakhir tahun 1998. Bahkan, permasalan ini, di tataran kewarganegaraan masuk
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ke dalam bagian yang dibahas di BPUPKI dan PPKI. 69 Artinya, pembahasan mengenai siapa yang warga (bukan) Negara Indonesia serta (non-)pribumi terus menjadi penting. Lebih jauh, dapat dikatakan, bahwa hal tersebut merupakan salah satu wacana yang mengawali pembangunan Bangsa Indonesia. Tepat dari titik tersebut permasalahan yang semakin besar lahir, tumbuh dan berkembang. Sub bab ini akan membahas wacana besar tentang hubungan antar-etnis yang ada di masa setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia. Fokus utamanya adalah masa Orde Baru (1966-1998). Orde Baru (selanjutnya disebut Orba) adalah masa ketika banyak kebijakan terkait kehidupan antar-etnik di Indonesia dikeluarkan. Itulah kenapa masa ini dijadikan fokusnya. Di masa tersebut serangkaian jalur birokrasi dibuat hanya khusus mengatur perihal hubungan antar-etnik. Sejak tahun 1966 hingga 1998, kebijakan-kebijakan memunculkan badan-badan yang mengatur masalah etnik ini dari yang bertataran nasional hingga regional, bahkan hingga tataran Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Tapi, yang menarik, ketika Pemerintah menyibukkan diri dengan urusan yang terkait dengan etnik, kebijakan-kebijakan yang hadir justru dimaksudkan agar masyarakat ‘melupakan’ permasalahan ini. Tentu dengan definisi kata ‘melupakan’ a la Orde Baru. Sekarang ini sangatlah lazim kita membaca selebaran-selebaran, baik dalam bentuk salinan lunak di internet atau salinan keras di papan-papan pengumuman kampus, tentang lomba menulis yang, dalam peraturannya, mencantumkan tulisan: “tulisan dilarang berbau SARA”. Secara spontan, saya seringkali bereaksi, “terus kalau tidak berbau SARA, kita harus menulis apa? Apalagi ini Indonesia yang, katanya, majemuk di segala sisi!”. Nah, ini adalah salah satu warisan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada masa Orba yang masih dilestarikan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya kebijakan-kebijakan Orba. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan, dampak kebijakan-kebijakan Orba adalah yang kedua terkuat perngaruhnya terhadap kehidupan 69
Lih. (Prasetyadji, 2008, p. 12)
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kekinian setelah kebijakan-kebijakan masa Kolonial. Jadi, kini kita akan membaca lebih jauh tentang orde ini. Rezim Orba, yang sangat ‘tertarik’ dengan masalah etnik, terdapat fakta menarik bahwa orde ini diawali sekaligus diakhiri dengan gejolak di ranah politik yang, kemudian, berimbas ke permasalahan etnik dan berujung kekerasan. Jendral Soeharto, sebagai satu-satunya presiden di orde ini, dilantik menjadi presiden setelah dianggap mampu menyelesaikan gejolak-gejolak yang ada di pertengah dekade 60-an. Pelantikkan Soeharto diawali terlebih dahulu dengan sebuah surat yang memberi dirinya wewenang untuk menggunakan segala cara untuk mengatasi segala permasalahan kala itu. Setelah dianggap mampu mengatasi usaha ‘kudeta’ Partai Komunis Indonesia (PKI), dilantiklah ia menjadi presiden. Hingga saat ini, perihal ‘kudeta’ PKI dan naiknya Soeharto menjadi presiden masih merupakan lahan yang menarik bagi para peneliti khususnya sejarah. Hal tersebut dikarenakan pada masa Orba kebanyakan buku sejarah yang dikeluarkan adalah sejarah yang menggunakan sudut pandang Soeharto sehingga banyak hal yang tetap tak tersentuh. Setelah jatuhnya Soeharto, buku-buku sejarah tentang hari-hari kelam di tahun 1965 dan beberapa tahun berikutnya mulai bermunculan. Walaupun demikian, usaha pemberangusan atas buku-buku tersebut masih terjadi. Setelah dilantik menjadi presiden Republik Indonesia, Soeharto benar-benar merealisasikan wacananya yang ikut mengangkat dirinya ke tampuk kekuasaan tertinggi: Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Yang ia dahulukan adalah butir pertama dan kedua. Alasannya jelas karena dua butir ini lah yang memastikan kekuasaannya. Untuk butir pertama, melalui Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 Soeharto membubarkan PKI sekaligus, untuk memastikan ketidakberlanjutan PKI, melarang komunisme.70 Hal tersebut terbukti mujarab karena Ketetapan tersebut masih berlaku, hanya tindak-lanjut 70
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDYQFjAB&u rl=http%3A%2F%2Fwww.tatanusa.co.id%2Ftapmpr%2F66TAPMPRSXXV.pdf&ei=MWKTUZy6NMTRrQfv64H4DA&usg=AFQjCNESuksop2r7ZgNMJfidP6JvnW1H8g&sig2=hnVd a4O7wVplrqF2pGMc1Q&bvm=bv.46471029,d.bmk
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berdasarkannya saja kini sedikit dikendurkan dan memanfaatkan bentuk-bentuk nonkenegaraan seperti Ormas. Kemudian, sebagai realisasi butir kedua, ia mengeluarkan semua anggota PKI dari parlemen dan membentuk parlemen sementara. Dengan tindakan tersebut, resmi lah Orba sebagai rezim baru; rezim anti-komunis berbasis militer. Bagaimana dengan politik Orba yang terkait dengan etnik? Garis besarnya, kebijakan-kebijakan Orba memiliki arah yang hamper mirip dengan masa-masa akhir Kolonial (Politik Etis). Orba juga, meskipun dengan kepentingan dan latar belakang yang berbeda, mengarahkan kebijakan-kebijakan tentang etniknya pada orang-orang Cina. Dalam hal tersebut, bahkan, dapat dikatakan, bahwa Orba semacam melanjutkan kebijakan-kebijakan segregatif a la Politik Etis. Tapi, Orba jelas memiliki gayanya sendiri. Yang berbeda, di masa Orba, kebijakan-kebijakan tersebut tidak terpisahkan dengan logika anti-komunis-nya. Singkatnya, logika anti-komunis Orba menyatakan bahwa tidak hanya PKI yang dapat menyebarkan komunisme namun juga warga keturunan Cina karena Cina merupakan Negara berlandaskan komunisme. Tentu logikanya tak selalu seketat itu namun itu lah awalnya. Yang ada di kemudian hari adalah variannya. Berbicara tentang logika pengaturan etnik, terutamanya pemposisian etnis Cina, terdapat sebuah perdebatan di masa awal Orba. Para birokrat Orba melihat ada dua jalan yang dapat digunakan untuk meletakkan etnis Cina di Indonesia: 1.) Asimilasi dan 2.) Integrasi.71 Yang dimaksud dengan asimilasi adalah menghilangkan semua tanda-tanda identitas ke-Cina-an di orang-orang keturunan Cina, seperti nama, perayaan, agama, bahasa dll., sehingga membuat mereka terlihat sama dengan penduduk Indonesia lain yang sejak masa Kolonial dilabeli pribumi (Inlander). Sedangkan integrasi dimaknai dengan usaha merengkuh tanda-tanda ke-Cina-an tadi dan memasukkan semantic properties tersebut ke dalam semantic properties orang Indonesia. Artinya, melalui 71
Lih. (Dieleman, 2010, pp. 49-50)
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
proses integrasi, nama-nama dan/atau perayaan-perayaan Cina menjadi salah satu bentuk-bentuk kebudayaan pembentuk Indonesia. Secara non-formal, Orba memilih jalan asimilasi yang ditetapkan lewat pidato Soeharto bulan agustus 1967 yang mengharuskan proses asimilasi warga negara Indonesia "keturunan asing" dalam tubuh bangsa Indonesia harus dipertjepat.72 Untuk menjalankannya, Pemerintah Orba membentuk banyak badan dengan spesifikasi dan kewenangannya masing-masing. Badan yang didirikan khusus untuk menangani kasus (non-)pribumi bukanlah barang asing. Di masa Kolonial tentu kita masih ingat adanya Kantoor Voor Chinesche Bestuur. Di masa kemerdekaan, pada tahun 1961, setelah dikeluarkannya Undang-undang no. 4 tahun 1961,73 badan semacam ini dimulai dengan pendirian Lembaga Pengkajian Kesatuan Bangsa (LPKB); sebuah badan yang disponsori oleh militer. LPKB diketuai oleh seorang purnawirawan Angkatan Laut berpangkat terakhir Mayor keturunan Cina bernama Sindhunata. Lembaga ini adalah lembaga yang memberi komando dan mengawasi segala proses asimilasi dan integrasi selama masa kepemimpinan Soekarno. Kemudian, di masa Orba, segala kewenangan LPKB dilimpahkan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan LPKB dibubarkan pada tahun 1968. Namun badan ini tak benar-benar hilang. Ia diaktifkan-kembali oleh Soeharto yang merubahnya menjadi Badan Komunikasi Penhayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB), dengan tetap mempertahankan ketuanya di tahun 1977. Hanya kali ini badan tersebut berada di bawah Depdagri. Di dalam Depdagri selalu terdapat badan yang memang dikhususkan untuk menangani permasalahan asimilasi dan segala hal yang terkait dengan permasalahan
72
Ibid., hal. 69. Undang-undang ini mewajibkan penggantian dan/atau penambahan nama bagi warga keturunan Cina sekaligus mengatur tata caranya. Namun, seperti dicatat oleh Andreas Susanto (Dieleman, 2010, p. 69), undang-undang tersebut tak pernah benar-benar dilaksanakan secara menyeluruh. Baru pada masa Orba undang-undang tersebut direvisi sekaligus dijalankan secara menyeluruh. 73
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SARA. Adanya badan semacam ini karena memang tugas besar Depdagri semasa Orba adalah memastikan proses sekaligus hasil Pemilihan Umum. Dengan pengawasan ketat atas perkembangan wacana SARA, diharapkan gangguan-gangguan berbasis SARA yang dapat mengganggu jalannya Pemilu dapat ditanggulangi. Tugas ‘berat’ tersebut awalnya diserahkan pada Biro Politik. Kemudian, sejak tahun 1970, tugas tersebut diserahkan pada Biro Politik. Setelah tahun 1975 hingga lengsernya Soeharto dan badan ini dihilangkan, tugas ini dijalankan oleh Dirjen Sosial-Politik. Dirjen Sosial-Politik ini dalam menjalankan tugas membawahi Divisi Sosial-Politik yang dibentuk tahun 1978. Divisi ini di tingkatan daerah memiliki Direktorat Pembinaan Kesatuan Bangsa (Kesbang) untuk memaksimalkan pengawasan (dengan bantuan BAKOM PKB). Kesbang ini lah yang secara spesifik menangani “Chineesche Kwestie” a la Orba. Dengan birokrasi serumit ini, apa saja yang dilakukan badan-badan tersebut? Hal tersebut akan dibahas selanjutnya dengan memilah-milah bidang-bidang yang ada di masyarakat. B.1. Sosial dan Budaya Berbeda dengan masa Kolonial yang memulai usaha pengaturan kehidupan sosial masyarakat Hindia dari bidang ekonomi, Orba mula-mula menitikberatkan kebijakan-kebijakannya pada bidang sosial dan budaya. Sebagai latar sejarahnya, bidang ini merupakan dampak langsung dari pergolakkan politik saat itu (kudeta yang dituduhkan ke PKI, walau yang naik ke kekuasaan Soeharto, dan pidato Soeharto tentang percepatan proses asimilasi). Hal tersebut membuat kebijakan-kebijakan di bidang ini berjalan sejurus dengan proses pengganyangan PKI. Di masa tersebut, menjadi PKI tidak perlu menjadi anggota organisasi-organisasi sayapnya (BAPERKI, BTI, SOBSI, GERWANI dll.). Siapapun yang dituduh oleh pihak berwenang karena dianggap melawan Pemerintah, jadilah ia seorang PKI dan layak diganyang. Permasalahan tersebut terjadi, selain pada mereka yang bukan anggota PKI tapi pernah terlibat di salah satu acaranya, pada orang-orang keturunan Cina. Orang71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang tersebut tersebut dianggap datang dari sebuah Negara komunis meski kenyataannya sebagian besar pendatang asal Cina yang datang dan tinggal di Indonesia datang jauh sebelum masa Mao Zedong. Namun, memang bersamaan dengan masa Orba, Cina sedang menjalankan Revolusi Kebudayaannya yang mahsyur. Sehingga, di Cina Daratan, memang terjadi semacam redefinisi identitas Cina dan penyebarannya identitas anyar ini tentu berdampak pada mereka yang telah menjalankan migrasi jauh sebelumnya.74 Dengan kenyataan seperti di atas, Soeharto berekasi dengan keras (sesuatu yang terbukti terus-menerus selama karirnya sebagai Presiden). Untuk menghindarkan penduduk Indonesia keturunan Cina terpapar identitas baru bentukan Ketua Mao dan Partai Komunis Cina (PKC), Soeharto mengeluarkan beragam kebijakan. Tujuannya sederhana yaitu: menghilangkan segala bentuk yang mengarah pada identitas ke-Cinaan. Inilah makna asimilasi sesungguhnya bagi Orba. Kebijakan pertamanya terkait asimilasi adalah kebijakan penggantian atau penambahan nama sehingga nama orang-orang keturunan Cina ini tidak terasa berbeda dengan saudara-saudara mereka yang dianggap pribumi. Walaupun, kenyataannya di lapangan, nama-nama pengganti yang lebih ‘pribumi’ juga tetap mengacu pada mereka yang keturunan Cina.75 Tapi, bagi Pemerintah Orba, yang terpenting adalah ke-Cina-an tersebut tak muncul ke permukaan. Peraturan yang mengatur penggantian nama ini adalah Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966. Saat Kepres ini dikeluarkan memang Soeharto belum resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia namun, praktis, ia lah yang memegang kekuasaan tertinggi setelah keluarya 74
Kondisi ini sebenarnya mirip dengan kondisi masa Politik Etis yang mana kala itu nasionalisme Cina sedang memuncak karena genderang revolusi melawan Kekaisaran sudah ditabuh. Kala itu, adalah Sun Yat Sen dengan Kuomintang-nya melakukan propaganda nasionalisme sekaligus identitas baru ini. Masyarakat keturunan Cina, bukan hanya yang Totok, di Hindia tak lepas dari euphoria nasionalisme tersebut. Karenanya, saat itu, muncul perkumpulan seperti THHK dan pers-pers milik etnis Cina di Hindia. 75 Untuk contoh nama-nama ini Lih. (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 87)
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Supersemar. Peraturan ini hanya berupa Kepres karena memang undang-undang yang mengatur perihal yang sama telah dikeluarkan lima tahun sebelumnya (UU no. 4 tahun 1961). Kepres ini hadir sebagai paksaan untuk sesegera mungkin menjalankan undangundang tadi. Setelah Kepres ini dikeluarkan bulan Desember 1969, pada bulan Januari 1967, ia mulai dijalankan. Pada awalnya, batas akhir pengurusan pergantian nama dibatasi hingga bulan Maret di tahun berikutnya. Namun, karena jumlah keturunan Cina yang mengurus pergantian nama dianggap tidak mencapai target76, batas akhirnya diundur hingga bulan Agustus 1969. Di batas akhir ini, Departemen Kehakiman, sebagai pengetuk palu untuk nama baru, mencatat terdapat 232. 882 warga keturunan Cina yang telah sah mendapatkan nama baru.77 Berikutnya, kebijakan yang dikeluarkan di masa Orba adalah yang terkait dengan bentuk-bentuk budaya dan agama masyarakat keturunan Cina. Selama masa Orba, perayaan hingga keluar area rumah di hari-hari raya seperti Imlek, Cap Go Me, Sin Cia dll., dilarang. Penggunaan bahasa dan huruf-huruf Cina di tempat-tempat umum juga dilarang. Lebih jauh, Konghucu juga tidak diakui sebagai salah satu agama resmi Republik Indonesia. Bahasa, tentu dengan aksaranya, adalah salah satu penanda identitas seseorang. Bahasa yang ia gunakan dapat dikatakan sebagai penentu identitas seseorang. Itulah kenapa bahasa dan aksara Cina menjadi semacam momok bagi Orba. Dengan kebijakan asimilatif, penggunaan bahasa dan aksara Cina dikurangi ke level terendah. Di titik ini, Orba memanfaatkan hal-hal yang telah dilakukan di masa Orla. Tapi Pemerintah Orba melakukannya dengan melupakan konteks kebijakan-kebijakan Orla. Artinya, Orba melakukan semuanya demi berlangsungnya kekuasaannya semata.
76 77
Tidak terdapat catatan yang pasti terkait dengan jumlah orang-orang mengganti namanya. Lih. (Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 172)
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di masa Orla, di tahun 1958, terjadi kampanye anti-Kuomintang, partai warisan SunYat Sen yang kala itu dipimpin seorang Jendral ber-pelindung Amerika bernama Chiang Kai Sek (pendiri Taiwan), karena Pemerintah Taiwan dengan Amerika terbukti secara aktif terlibat dalam Pemberontakkan PRRI/Permesta. Sebagai reaksinya, sekolahsekolah berbahasa Cina, warisan THHK, banyak yang diubah menjadi sekolah berbahasa Indonesia dengan mata pelajaran Bahasa Mandarin. Beberapa sekolah lain yang memang memiliki hubungan Taiwan ditutup. Di masa awal Orba, sebagai reaksi G30S, semua sekolah tersebut ditutup tanpa pandang bulu. Beberapa sekolah yang berhasil mencari jalan untuk tetap ada dengan masuk ke program Sekolah nasional Proyek Khusus pun akhirnya ditutup juga. Pada tahun 1975, tidak satu pun sekolahsekolah berbahasa Mandarin tersebut yang aktif.78 Hal yang sama terjadi pada pers milik warga keturunan Cina. Di masa Politik Etis pers Cina berjumlah banyak. Sebagian dari mereka mengeluarkan koran-koran berbahasa Mandarin. Pers-pers tersebut sempat dibredel di masa Orla namun hanya berjalan sebentar kemudian diijinkan kembali dengan format yang sama. Di masa Orba, koran-koran berbahasa Mandarin tersebut semuanya ditutup. Lebih jauh, Koran asing berbahasa Mandarin juga dilarang masuk atau harus melalui penyensoran. Saat itu, hanya satu Koran yang masih diberi ijin-edar. Koran tersebut adalah Yindunixiya Ribao alias Harian Indonesia.79 Alasan diijinkannya koran ini adalah karena Pemerintah merasa memerlukannya sebagai pengabar kebijakan-kebijakan Pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan pelarangan pengggunaan aksara Cina di tempat-tempat umum, Yang dimaksud dengan tempat umum di sini termasuk dengan tempat-tempat usaha para pengusaha keturunan Cina. Bahkan, saking ketatnya pelarangan bahasa Cina ini, operator telepon diperintahkan untuk memutus sambungan telepon berbahasa Cina.80
78
Lih. (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, pp. 84-85) Lih. Ibid., hal. 86 80 Ibid., hal. 85. Perintah yang dikeluarkan oleh Jenderal Soemitro, Komando Divisi Brawijaya saat itu, sempat berlaku di wilayah Jawa Timur. 79
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di ranah terdekat dengan bahasa, sastra, tidak dapat dipungkiri, betapa besarnya pengaruhnya para penulis keturunan Cina dengan bahasanya di sastra Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian terkini yang dimulai dari pengumpulan karya oleh Pramoedya Ananta Toer, sastra Indonesia yang kita kenal saat ini berangkat dari sastra Melayu-Lingua Franca yang mana sebagian penulisnya, selain orang-orang Indo, merupakan keturunan imigran-imigran asal Cina.81 Ini adalah kenyataan yang coba dipungkiri sejak berdirinya Balai Pustaka tahun 1920 sebagai lembaga pentasbih sastra(wan) di masa Kolonial dan diteruskan hingga kini. Sekarang ini, buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih mencantumkan bahwa sastra Indonesia modern lahir tahun 1920-an dengan tonggak karya Marah Rusli, Siti Nurbaya. Wacana ini jelas tak sesuai jika dibandingkan dengan pengamatan Nio Joe Lan atau, yang lebih kini, Claudine Salmon yang memberi data bahwa sastra dengan bahasa Melayu-Lingua Franca, yang berbeda dengan Melayu-Tinggi yang digunakan acuan Balai Pustaka, telah ada jauh sebelum Balai Pustaka atau novel Siti Nurbaya.82 Di masa Orba, dengan segala pelarangannya atas hal-hal yang berbau Cina, kelompok masyarakat yang dulunya merupakan salah satu kelompok penulis terbesar tidak tampak lagi karya-karyanya. Istilah-istilah dari dialek Hokkien yang dibikin gadogado dengan istilah-istilah dari bahasa Jawa atau, bahkan, bahasa Eropa, tak tampak lagi di karya-karya sastra masa Orba. Tema-tema seputar kehidupan antar etnik atau tentang etnik tertentu juga turut menghilang. Bahkan, pengarang-pengarang atau penyairpenyair dengan nama keluarga Cina tak muncul di permukaan meskipun beberapa penulis memang keturunan Cina. Beginilah politik asimilasi di ranah sastra yang mana membuat sastra seperti bebas dari beban etnis, agama dan pandangan politik. Di sisi agama, cerita yang terjadi sedikit berbeda. Konghucu yang sebagian besar penganutnya etnis Cina sebenarnya telah diakui sebagai agama resmi di Indonesia. 81
Lebih lengkapnya lih., (Toer, Tempo Doeloe, 2003) Untuk data lebih rincinya Lih. (Salmon, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa, 2009), (Jedamski, 1992) dan yang khusus mengenai pembabakan Sastra Indonesia dari sudut pandang pengaruhnya lih., (Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, 2003) 82
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Keputusan tersebut berangkat dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965. Di awal masa Orba, UU no. 5 tahun 1969, yang mengaktifkan kembali undang-undang di masa Orla dengan beberapa pengecualian, dikeluarkan. Memang hingga awal 1970-an tidak terjadi masalah apapun terkait dengan undang-undang yang disebut terakhir ini. Bahkan, pada pada kongres-kongres yang diselenggarakan Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu se-Indonesia (GPAKSI) atau, bentuknya kemudian, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), beberapa pejabat mengikutinya. Lebih jauh, Soeharto sendiri sempat menulis kata sambutan untuk Kongres ke VI GPAKSI di Surakarta. Kemudian hal yang mengejutkan terjadi. Kongres ke-IX MATAKIN yang dijadwalkan diadakan 21-26 Februari 1979 tiba-tiba dilarang. Beberapa waktu kemudian, ketua MATAKIN dipanggil ke Kementerian Agama. Pada pertemuan tersebut, Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara, yang didampingi oleh Dirjen Bimas Hindu dan Budha (Gde Puja M.A. S.H.), memutuskan bahwa segala perihal terkait dengan Konghucu akan berada di bawah pengawasan Dirjen Hindu dan Budha. Begitulah, salah satu penanda identitas warga keturunan Cina (di)hilang(kan). B.2. Politik dan ekonomi Kebijakan-kebijakan terhadap warga keturunan Cina di dua bidang politik dan ekonomi sangat erat di Masa Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa stereotipe terhadap orang-orang Cina yang enggan berpolitik dan hanya berkutat di bidang ekonomi diperkuat dan ditancapkan dalam-dalam di Masa Orba. Di bidang politik, yang pertama kali dipermasalahkan, dan lantas jadi akar semua masalah, adalah perihal kewarganegaraan. Dari titik tersebut, segala hak dan kewajiban ditentukan. Masalah kewarganegaraan bangsa-bangsa yang tadinya masuk ke dalam golongan Bangsa Asia Asing di Masa Kolonial terutamanya warga keturunan Cina telah dibahas oleh badan-badan panitia persiapan kemerdekaan (BPUPKI dan PPPKI). Perdebatan saat itu terkait dengan penggunaan kata ‘asli’, berikut pemaknaannya, sebagai kata penjelas istilah ‘warga negara’ Indonesia. Artinya, di pertemuan-pertemuan
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka pembahasan siapa yang dapat menjadi orang Indonesia dan siapa yang tidak mulai dipikirkan. Setelah deklarasi kemerdekaan, dibuatlah Undang-undang no. 3 tahun 1946 yang mengatur bahwa golongan yang tadinya bernama Asia Asing dan Eropa diberi waktu hingga 1948 untuk menjadi warga Negara Indonesia. Untuk perlakuannya, yang masih menggunakan pembagian sosial a la Belanda, dijelaskan lebih jauh di Konferensi Meja Bundar.83 Masalah mulai muncul bagi mereka yang keturunan Cina karena perbedaan prinsip yang dianut oleh Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Indonesia, dengan jus soli-nya, jelas berpendapat bahwa siapapun yang lahir di tanah Indonesia adalah orang Indonesia. Di sisi lain, RRC dengan jus sanguinis-nya berpendapat bahwa mereka yang lahir dari bapak atau ibu berdarah Cina adalah warga Negara Cina. Lantas, guna menghindari konflik yang mungkin terjadi, dibuatlah kesepakatan bilateral yang ditanda-tangani Presiden Soekarno dan Mao Zedong di tahun 1958. Hasilnya, warga keturunan Cina di Indonesia harus memilih salah satu kewarganegaraan. Hal tersebut, diperkuat dengan keluarnya undang-undang no. 62 tahun 1958. Di awal masa orde Baru, undang-undang di atas digugurkan dan digantikan dengan undang-undang no. 4 tahun 1969 yang mengatur bahwa anak-anak yang lahir dari orang tua keturunan Cina, yang telah memilih menjadi warga Negara Indonesia, mengikuti kewarganegaraan orang tuanya dan tak boleh memilih lagi. Akan tetapi, masalah muncul lagi dengan dikeluarkannya Kepres No. 7 tahun 1971 karena Kepres ini membuat dualitas status kewarganegaraan warga keturunan Cina. Dualitas ini muncul karena Kepres ini ‘menghidupkan’ kembali Undang-undang no. 3 tahun 1946 yang menyatakan bahwa orang Indonesia adalah penduduk ‘asli’ nusantara. Sebagai
83
Lih. (Prasetyadji, 2008, p. 13). “Kaula Bumiputra dengan sendirinya menjadi warga Negara Indonesia. Kaula Timur Asing dengan stelsel pasif, yaitu jika diam berarti memilih menjadi warga Negara Indonesia dan jika menolak, harus dengan pernyataan. Kaula Belanda dengan stelsel aktif, yaitu jika ingin menjadi warga Negara Indonesia harus memiliki pernyataan dan sebaliknya, jika diam berarti tetap menjadi warga Negara Belanda”.
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akibatnya dibutuhkanlah surat yang memastikan bahwa mereka ini orang Indonesia: SBKRI. Di arena politik praktis, di masa Orba, pergerakan politik orang-orang keturunan Cina dibatasi hingga taraf sekarat. Di masa lalu, terutama setelah adanya Kuomintang, warga keturunan Cina sangat aktif di bidang politik. Paling tidak saat itu terdapat tiga organisasi besar dengan identitas, orientasi, alat politik (koran)-nya masing-masing: Sin Po (Pro Reublik Rakyat Cina), Chung Hwa Hwee (Pro Pemerintah Kolonial) dan Partai Tiong Hoa Indonesia (Pro Indonesia). Hal yang kurang-lebih sama terjadi di masa awal kemerdekaan dan Orla. Di tahun 1948, sebuah organisasi warga keturunan Cina yang pro Republik Indonesia Serikat muncul: Persatuan Tionghoa (PT). Bulan Februari tahun 1950, sebagai reinkarnasi PTI, muncul PTI Baru (Persatuan Tenaga Indonesia Baru). Bulan berikutnya, setelah RIS lahir, organisasi ini berubah menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Tahun 1954, setelah melebur diri dengan beberapa organisasi lain dan merancang anggaran dasar yang baru, PDTI berubah wujud menjadi Badan Pemusyawarahan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang pada masa 19651966 seringkali dianggap sebagai underbow PKI dan turut diganyang. Padahal organisasi ini adalah organisasi dengan pemrakarsa warga Tionghoa pertama yang anggota tidak hanya mereka yang memiliki darah keturunan Cina.84 Semua hal ini berubah di masa Orba. Organisasi-organisasi dengan pemrakarsa warga keturunan Tionghoa dibubarkan. Pemerintah Orba kemudian membentuk LPKB, yang tugastugasnya telah dijabarkan sebelumnya, untuk menampung aspirasi warga keturunan Cina. Satu hal yang pasti pasti tentang LPKB adalah bahwa organisasi ini adalah organisasi pemerintah. Ini berbeda dengan organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan warga keturunan Cina yang lalu. Karenanya, dengan rincian birokrasi yang telah ditulis sebelumnya, LPKB bekerja lebih sebagai mesin politik Orba daripada 84
Lih. (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, pp. 39-46)
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penjaring aspirasi warga keturunan Cina. Tugas LPKB adalah tugas pengawasan yang merupakan bagian dari tugas pengamanan jabatan Soeharto sebagai presiden di setiap pemilunya. Dengan hadirnya LPKB, yang juga merupakan ujung tombak proyek asimilasi Orba, di bidang politik, warga keturunan Cina kehilangan suaranya. Suara mereka, yang tadinya muncul dengan kekhasan organisasi-organisasinya, kini harus dibungkam karena dipandang akan memunculkan perbedaan yang mana haram hukumnya untuk muncul mengingat politik asimilasi (SARA) yang dijalankan. Penghilangan perbedaan-perbedaan melalui politik representasi kepartaian diperkuat di masa Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (Repelita I). Di masa pematangan Orba ini, partai-partai dilebur dan dimodifikasi menjadi tiga partai saja yang bertahan hingga lengsernya Soeharto tahun 1998. Sistem tiga partai ini membuat orang-orang keturunan Tionghoa melebur ke partai-partai tersebut. Yang telah beragama Islam membentuk Ukhuwah Islamiyah dan tergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang, walaupun tak kentara dari namanya, merupakan leburan dari partai-partai Islam. Yang memiliki kedekatan dengan penguasa jelas merapatkan diri ke Golongan Karya (Golkar). Yang tidak cocok dengan keduanya lari ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mana sebagian besar dari mereka. Hal ini khas Orba yang sangat ingin menghilangkan perbedaan SARA namun justru menajam dengan nama-nama yang berbeda. Dimana lantas orang-orang keturunan ini kemudian diletakkan oleh Orba? Apakah Orba sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada kelompok masyarakat yang satu ini? Sejurus dengan kebijakan-kebijakan masa Kolonial, Pemerintahan Orba hanya memperdulikan keuntungan ekonomis dari kelompok ini. Wilayah ekonomi adalah wilayah yang tampaknya secara khusus memberi kelonggaran pada kelompok masyarakat ini. Karenanya lah asosiasi langsung dari kelompok masyarakat keturunan Cina di kepala kita semua hingga kini mengarah pada wilayah ekonomi. Walaupun, kenyataannya, hanya sebagian kecil yang merasakan kelonggaran ekonomis ini.
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebelum beranjak langsung ke kebijakan-kebijakan Orba, kita akan terlebih dahulu meniliknya dari awal masa kemerdekaan Indonesia. Secara politik, sebelum naik tahtanya Soeharto terdapat dua masa demokrasi: 1.) Demokrasi Liberal (1949-1958) dan 2.) Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Untuk masa Demokrasi Liberal, dengan sistem serikatnya (RIS), dekolonisasi adalah arah utamanya. Di segala bidang, hal tersebut diartikan sebagai proses Indonesianisi (nasionalisasi) “dalam hal kepemimpinan dan sektor-sektor lainnya termasuk tanah pertanian, perpabrikkan, produksi tambang, prasarana, angkutan, keuangan dan perdagangan”.85 Permasalahan bidang ekonomi muncul karena di masa itu kewarganegaran mereka belum jelas bahkan sejak 1958, seperti telah dijelaskan sebelumnya, mereka ber-kewarganegaran ganda (IndonesiaCina). Karenanya, seperti ditulis Leo Suryadinata, kebijakan-kebijakan Indonesianisasi yang “sasaran pertama-tama adalah orang Belanda…kemudian orang Tionghoa lokal menemui nasib yang sama”.86 Kebijakan-kebijakan berlandaskan Indonesianisasi ini dibarengi dengan sistem perlindungan, sekaligus pengembangan, kehidupan ekonomi lokal yang dikenal dengan nama Sistem Benteng. Sistem Benteng, yang mulai dijalankan tahun 1950-an, dimaksudkan untuk menguatkan importir-importir nasional (lokal) yang adalah “importir pribumi lokal, atau perusahaan impor yang 70 persen dari modalnya dimiliki pribumi”.87 Penguatan ini berbentuk perlakuan istimewa dalam hal pemberian kredit, ijin dan jenis barang-barang yang dapat diimpor. Perlakuan istimewa ini tentu tidak akan dirasakan pada pelaku-pelaku perdagangan yang bukan pribumi. Dibalik berjalannya sistem resmi (Sistem Benteng) terbentuk sebuah sistem semi-legal yang diberi nama Sistem Ali Baba. Sistem Ali Baba ini adalah sebuah sistem yang mencoba mengakali susahnya ijin bagi para pelaku perdagangan non-pribumi dengan menggunakan orang-orang pribumi sebagai pemohon ijin dan terdaftar sebagai 85
Lih. (Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 135) Ibid., 87 Ibid., 86
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemilik usaha. Walaupun mereka terdaftar sebagai pemiliki usaha, di lapangan, yang menjalankan perusahaan ini, berikut dengan kerjasama-kerjasama yang dilakukan, adalah mereka yang masuk ke golongan non-pribumi. Mudah saja disimpulkan bahwa Sistem Ali Baba ini hanyalah bentuk lain dari pemposisian Bangsa Asia Asing, di masa lalu, sebagai bangsa perantara karena mereka tidak benar-benar berada dalam identitas yang sama dengan pribumi di ranah ekonomi. Inilah fenomena yang akan kita lihat lagi di masa Orba (tentu dengan beberapa komodifikasi). Di masa berikutnya, Demokrasi Terpimpin (1959-1965), yang diberi label Orla oleh Soeharto, penguatan kekuatan-kekuatan ekonomi nasional berbasis pribumi, yang mana saat itu warga keturunan Cina belum dianggap penuh sebagai warga Negara Indonesia, masih menjadi arah besar kebijakan-kebijakan ekonomis yang dikeluarkan. Hal tersebut dibuktikkan dengan munculnya Peraturan Presiden no. 10 tahun 1959. Peraturan ini menegaskan bahwa peraturan-peraturan di masa sebelumnya masih berlaku. Artinya, para pemodal yang dianggap asing tidak dapat memiliki tanah atau perusahaan dengan keistimewaan-keistimewaan seperti ditulis di paragraf sebelumnya.88 Melalui Perpres ini juga orang asing “tidak diperkenankan berusaha di bidang perdagangan eceran dan oleh hukum diwajibkan untuk mengalihkan perusahaan mereka ke warga Negara Indonesia sebelum 1 Januari 1960”.89 Sebagai akibatnya, banyak warga keturunan Cina, baik Totok maupun Peranakan, melakukan urbanisasi ke kotakota besar untuk masuk ke bisnis-bisnis besar (non-eceran). Lebih jauh, pada pelaksanaannya, istilah ‘asing’ ini terkadang dikenai bagi seluruh warga keturunan Cina entah Totok entah Peranakan; baik yang telah berstatus penuh warga Negara Indonesia maupun yang masih berstatus ganda. Walaupun
88
Kehatian-hatian Pemerintah Soekarno terhadap modal asing ini tidak lepas dari pengalamanpengalaman pemberontakkan di masa Demokrasi Liberal. Banyak pemberontakkan-pemberontakkan terhadap RIS tersebut berdonorkan asing. Keterlibatan Amerika dan Inggris di Pemberontakkan PRRI/Permesta adalah fakta yang umum diungkapkan sekarang ini. Keterlibatan asing pada Pemberontakkan Westerling juga hal yang banyak ditulis saat ini. 89 ibid., hal. 141.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
demikian banyak peranakan yang setuju dengan hal tersebut karena Perpres ini dianggap hanya berlaku pada mereka yang totok. Tapi, apabila ditelisik lebih dalam, kebingungan yang terjadi lebih karena perjanjian dengan RRC yang mengamini kewarganegaraan ganda. Perjanjian ini membuat mereka yang peranakan juga terkena imbas peraturan-peraturan yang sebenarnya diperuntukkan bagi kaum Totok. Selain itu, penguasa lokal juga banyak melakukan modifikasi-modifikasi atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan. Fenomena ini terjadi juga karena Perpres no. 10 membuka peluang tersebut dengan menyatakan bahwa komandan militer dapat mengatur per-pindahtangan-an usaha dan relokasi dengan alasan keamanan.90 Silang-sengkarut kebijakan pusat dan daerah ini tampaknya akan selalu muncul dari masa ke masa. Kini, kita akan membicarakan masa terlama, Orde Baru. Di masa Orba, perihal kewarganegaraan warga keturunan Cina terutama yang peranakan sudah tidak jadi isu utama walaupun tetap ada pembedaan (SBKRI). Namun, secara luas, apalagi di bidang ekonomi, mereka telah diterima sebagai warga Negara Indonesia yang sah. Bidang ekonomi memang tampaknya untuk kasus Indonesia memang selalu diperuntukkan bagi mereka yang keturunan Cina. Tak heran jika lantas sebagian kelompok ini menjadi elit bisnis di Indonesia. Soeharto menyadari hal tersebut. Karenanya, meskipun ia keras terhadap kelompok ini di bidang selain ekonomi, di bidang ekonomi, ia memelihara hubungan baik dengan elit-elit kelompok ini. Pedoman ekonomi Orba adalah wacana ‘pembangunan’ dengan Repelita-nya. Pedoman ini sangat terbuka dengan modal dan penanam asing; hal yang sangat diperhatikan di masa Demokrasi Terpimpin. Keterbukaan terhadap asing inilah yang membuat para pengusaha keturunan Cina jatuh ke dalam kategori pribumi walaupun hanya sebatas pada bidang ekonomi. Asing, di kepala Soeharto, adalah Barat karena memang merekalah yang banyak disasar Soeharto untuk dijadikan rekanan. Bahkan, bagi pihak asing yang menanamkan modal minimal 2,5 milyar dolar Amerika akan 90
ibid.,
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bebas pajak selama dua tahun dan juga tidak dibatasi “pengalihan/transfer keuntungan dan dividen”-nya.91 Hal tersebut menjadi wajar karena pada tahun 1967, Soeharo menandatangani surat perjanjian penanaman modal dengan pihak swasta dan negeri Amerika; pertemuan yang kemudian disahkan dalam bentuk undang-undang (Undangundang Penanaman Modal Asing no. 1 tahun 1967).92 Jika sekarang kita melihat bagaimana Indonesia dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional dan hutang, genesis-nya adalah pertemuan tersebut. Misi utama Soeharto dengan wacana pembangunannya diawali dengan pengumpulan modal yang besar. Ia adalah seorang yang piawai di titik ini. David Jenkins, di esainya yang berjudul One Reasonably Capable Man: Soeharto’s Early Fundraising di buku kumpulan esai guna menghormati Harold Crouch ini, menulis bagaimana Orba didirikan di atas pondasi yang dibangun bersama penanam-penanam modal asing dan lokal yang dikumpulkan Soeharto dan hal tersebut dilakukannya kurang dari lima tahun setelah ia menjabat sebagai presiden.93 Artinya, juga Soeharto tidak begitu saja melupakan modal lokal apalagi dari kalangan elit bisnis keturunan Cina malahan kelompok ini yang mendapat perhatian lebih. Tanggal 6 Juni 1968 di Jakarta, Soeharto membentuk badan pengumpulan modal milik pengusaha-pengusaha keturunan Cina: Indonesian Business Center (IBC). Badan ini diketuai oleh seorang tentara, Mayjen Suhardiman. Tujuan badan ini tidak lain untuk menyokong berjalannya Repelita I (1969-1974). Kemudian, sebagai perpanjangtanganan badan ini, didirikanlah National Development Corporation (NDC) yang jajaran direksi beranggotakan pengusaha-pengusaha keturunan Cina; Hamid (Ong Ah Lok, seorang banker), Sulindro (Ma Shih-ling, seorang pengusaha), Ch’iu Ch’eng Sao, dan Chang Chan-en. NDC ini bertugas “mengkoordinasi berbagai kegiatan ekonomi 91
Ibid., hal. 145 Konon pertemuan ini setengah rahasia dan dihadiri elit-elit bisnis asal Amerika seperti Rockefeller dan Ford. Secara umum, pertemuan ini membicarakan, dan kemudian menyepakati, kapling-kapling penanaman modal jangka panjang. Salah satu hasil perjanjian ini adalah pendirian Freeport di Papua. 93 Untuk lebih rincinya lih. (Edward Aspinall, 2010, pp. 17-21) 92
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari kaum Tionghoa lokal termasuk impor-ekspor, industri, pertambangan, kehutanan, perikanan dan usaha lainnya”.94 Dengan kata lain, NDC adalah badan yang mengumpulkan modal dari pengusaha keturunan Cina sekaligus mengatur ke bidang mana saja modal-modal tersebut harus dialirkan. Jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang terkait dengan warga keturunan Cina pada masa Orba adalah kebijakankebijakan yang merupakan semacam gabungan antara sistem Kapiten di masa Kolonial pra-Politik Etis dan sistem segregasi Politik Etis. Orang-orang yang berada di IBC dan NDC adalah para kapitan yang mengatur nafas perekonomian kelompoknya dan pengusaha-pengusaha kecil adalah buruh-buruh asal Cina. Di waktu yang sama, modal milik kaum keturunan Cina ini dibedakan dengan modal lokal lainnya yang cenderung tak diatur (tak berpusat) dan lebih berlandaskan sistem kolusi dan nepotisme dengan para Jendral. Ini adalah politik asimilasi Orba di ranah ekonomi. Persamaan dengan ranah lain yang tak terhindarkan juga adalah bahwa perbedaan etnis yang tak boleh mucul justru dimunculkan dengan lebih tajam dalam bentuk lain yang dipandang lebih netral seperti badan ekonomi atau yayasan. Di titik inilah, pada akhirnya, politik asimilasi tidak menyelesaikan masalah hubungan antar etnis (pribumi – non-pribumi). C. Masa Reformasi: Multikulturalisme dan perayaan atas hal-hal yang dipinggirkan Setelah Soeharto tumbang tahun 1998, Indonesia memasukki masa ‘kebebasan’nya; masa Reformasi. Perasaan yang hampir mirip dengan perasaan merdeka dari Belanda menyeruak meskipun di masa-masa awalnya banyak permasalahan muncul ke permukaan; masalah-masalah yang selama masa Orba dibungkus rapat-rapat. Kebijakan-kebijakan yang bersifat tiran dan menindas mulai dipangkas satu per satu; sebuah proses yang masih berjalan hingga kini.
94
(Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 146)
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Secara umum, dapat dikatakan, bahwa masa reformasi adalah masa (pe)muncul(an) masalah. Kebijakan-kebijakan Soeharto adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat membungkam. Hal tersebut membuat di permukaan tampak tak terjadi apa-apa. Pembantaian orang-orang yang dianggap PKI selama tahun 1965-1966 lewat begitu saja. Bencana-bencana yang terjadi di daerah-daerah tidak mendapat publikasi karena memang satu-satunya saluran televisi yang ada adalah televisi milik Negara. Bentuk-bentuk kebudayaan kaum minoritas tidak boleh muncul. Bentuk-bentuk kebudayan dan hiburan populer (film, lagu dll.) harus melalui proses sensor yang kuat. Masa Reformasi adalah masa yang membuka tabir atas luka-luka lama tersebut meskipun terkadang hanya bersifat praktis dan non-formal. Pada masa ini, hal-hal yang tadinya haram untuk dibicarakan masuk ke ruang-ruang diskusi publik. Buku-buku tentang komunisme yang tadinya dilarang beredar kini, dengan cukup mudah, dapat ditemukan di rak-rak toko buku. Pencarian, yang biasanya berakhir dengan penemuan, atas korban-korban kekerasan negara di tahun 1965-1966 dilakukan. Bentuk-bentuk kebudayaan kaum minoritas kini menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu khalayak umum, bahkan masuk ke agenda program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun, hal tersebut sebatas pembiaran dan bukan perubahan undang-undang. Pada kasus yang terkait dengan PKI, buku-buku boleh beredar luas tapi undang-undang pelarangan legalnya belum dicabut. Bahkan, tidak ada pihak yang dihukum atas kejahatan struktural tersebut. Akan tetapi, satu hal yang pasti, masa Reformasi adalah masa yang, dengan penuh ketertarikan, mengangkat yang tadinya dipinggirkan. Logika tersebut juga berlaku bagi masalah-masalah yang terkait dengan hubungan antar etnis. Selain karena pembungkaman dan pemberangusan bentuk-bentuk kebudayaan minoritas dengan politik SARA-nya, logika mengangkat-yang-dipinggirkan ini muncul karena kejadian-kejadian berdarah di awal masa Reformasi yang berbau SARA. Bahkan keruntuhan rezim Soeharto, yang jadi tonggak berdirinya era Reformasi, diwarnai dengan kerusuhan anti-Cina.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebelum 1997, demonstrasi-demonstrasi yang diprakarsai mahasiswa hanya berada di dalam tembok-tembok kampus. Hal tersebut tidak lepas dari kebijakan normalisasi kampus oleh jendral-jendral Orba. Namun, ketika Soeharto terpilih kembali di Pemilu 1997 setelah mengobrak-abrik kekuatan politik salah satu partai oposisinya yang memuncak di bulan Juli 1996, mahasiswa sudah tidak dapat menahan lagi amarahnya.95 Saat itu, dengan bantuan dari tokoh-tokoh oposisi96, tokoh masyarakat dan intelektual, mahasiswa menggelar aksi-aksi yang bersifat massal dan publik (turun ke jalan). Aksi turun ke jalan yang diprakarsai mahasiswa kemudian hampir selalu diakhiri dengan bentrok fisik dengan aparat bersenjata yang saat itu jelas penguasa dari Sabang sampai Merauke. Bentrokan-bentrokan ini memuncak dengan terbunuhnya beberapa mahasiswa. Kejadian ini sekarang dikenal Tragedi Semanggi I dan II (13 Mei 1998) karena TKP-nya berada di bawah jembatan Semanggi, Jakarta. Para mahasiswa yang umurnya berakhir di ujung peluru aparat ini kemudian diberi gelar Pahlawan Reformasi walaupun begitu mereka tetap tak lebih ternama dari Pahlawan Revolusi buatan Orba di kepala anak-anak Sekolah Dasar. Satu minggu setelah Tragedi Semanggi II, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan menunjuk kawan lamanya, yang saat itu menjabat sebagai wakilnya, sebagai penerusnya; B.J. Habibie. Sebelum mengulas masa Reformasi lebih jauh, kita akan kembali sebentar menelisik hari-hari gelap sebelum Soeharto lengser. Di bulan Mei 1998, saat demonstrasi besar-besaran dan bentrokan mulai jadi tontonan harian masyarakat di kotakota besar Indonesia, tragedi lain terjadi di saat yang sama. Entah datang dari mana, sekelompok orang tiba-tiba mulai membakar dan menjarah toko-toko dan rumah-rumah milik warga keturunan Cina. Tidak puas dengan sekedar menghabisi harta bendanya, para pemiliknya juga, di beberapa kasus, ikut dihabisi. Pemerkosaan pada kaum hawa 95
Lih., (O'Rourke, 2003, hal. 9-14) Kaum oposisi ini menamakan dirinya sebagai Poros Tengah. Rata-rata mereka datang dari kalangan akademia. 96
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari kelompok masyarakat ini juga kemudian ditemukan.97 Biasanya tindakan keji khas manusia tersebut juga diikuti dengan pembunuhan. Laporan tentang kejadian-kejadian ini datang dari wilayah yang sangat acak: Jakarta, Solo, Palembang, Medan dll. Peristiwa-peristiwa tragis ini sampai kini belum terang duduk perkaranya walaupun, dengan malu-malu, beberapa Jendral kroni Orba mulai membicarakannya. Tapi, yang pasti, tidak ada satupun dari kalangan berpangkat yang dijebloskan ke balik jeruji besi hingga kini. Tentu tidak akan pernah terang karena, paling tidak, dua dari jendral ini telah mencalonkan dirinya sebagai presiden dan segera berlomba di Pemilu 2014. Akan tetapi, entah terencana, baik secara militer maupun politis, entah tidak, peristiwaperistiwa tragis berbau SARA di akhir masa Orba ini menjadi semacam katalis politik SARA Orba. Peristiwa ini menunjukkan bahwa politik SARA Orba yang mengharamkan pembicaraan seputar SARA sama sekali tidak menyelesaikan masalah, bahkan memperparahnya. Beberapa tahun kemudian setelah masa transisi Habibie, tragedi-tragedi dengan unsur SARA terjadi. Peristiwa-peristiwa ini tentu juga mendorong munculnya diskusidiskusi lebih terbuka seputar hubungan sosial yang ada di masyarakat. Kejadiankejadian tersebut antara lain Tragedi Sampit, Tragedi Poso, Tragedi Ambon dan beberapa tempat lain. Kemudian, muncullah teroris-teroris masa Reformasi yang diduga mendalangi Bom Bali I dan II dan Bom Malam Natal tahun 2000. Kesemua tragedi di atas adalah tragedi dengan label SARA. Sebagai reaksinya, saat itu, Pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah lantas menggencarkan forum-forum diskusi yang melibatkan tokoh-tokoh dari semua kelompok masyarakat dan mencari jalan rekonsiliasi. Harapannya tentu ketika perihal terkait SARA dibicarakan di forum-forum diskusi publik, tragedi-tragedi seperti yang telah saya sebutkan tidak akan muncul dengan bahasa kekerasan.
97
Untuk lebih rinci tentang kejadian-kejadian ini lih. (O'Rourke, 2003, pp. 97-102)
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berangkat dari tahun-tahun gelap itulah wacana besar multikulturalisme dan toleransi mulai semarak di Indonesia. Kemudian, lahir banyak LSM-LSM pengusung multikulturalisme yang membantu masyarakat melalui trauma konflik dan melakukan konseling konsep-konsep hidup bersama. Multikulturalisme dipandang sebagai sebuah jalan untuk mengangkat dan menerima bentuk-bentuk kebudayaan yang selama masa Orba dipinggirkan. Karenanya, salah satu konsep yang kuat di wacana ini adalah toleransi yang mana masyarakat harus menerima hal-hal yang dianggap berbeda dengan dirinya. Wacana penerimaan-atas-yang-lain ini diawali oleh dua pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia; Amien Rais (Muhammadiyah) dan Abdurrahman Wahid (Nahdhatul Ulama). Akan tetapi, keduanya memiliki versi yang berbeda. Amien Rais lebih mengedepankan konsep Bangsa Indonesia bagi kaum minoritas (contoh yang ia pakai adalah kaum keturunan Cina). Kaum ini, bagi Amien Rais harus menjadi, secara penuh, sebagai Bangsa Indonesia. Konsep pribumi-non-pribumi untuk mereka harus dihilangkan. Konsep yang dekat dengan konsep asimilasi ini berlawanan dengan konsep penerimaan atas perbedaan a la Gus Dur.98 Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden setelah masa transisi Habibie, wacana multikulturalisme ini benar-benar dihidupkan. Berikutnya adalah penjabaran yang berhubungan dengan etnis Cina di berbagai bidang kehidupan. C.1. Sosial dan budaya Dipandang dari sisi agama dan perayaan, naiknya Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia tahun 1999 membawa beberapa perubahan yang cukup berarti bagi masyarakat keturunan Cina. Segera setelah menjabat Gus Dur mencabut larangan penyelenggaraan perayaan hari-hari raya masyarakat keturunan Cina yang tertera di Keppres no. 14 tahun 1967. Bahkan, di masa ketika sentimen anti-Cina masih bergaung, Gus Dur berani berkata bahwa dirinya merupakan keturunan Cina dala wawancaranya 98
Lih. (Ricklefs, 2001, p. 410)
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan majalah Asiaweek.99 Selain urusan perayaan, Gus Dur juga memulihkan kembali kekuatan PP no. 1 tahun 1965 dan PP no. 5 tahun 1969 yang di dalamnya tercantum pengakuan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Hal yang cukup berani tersebut lantas menjadi semacam penanda bagi hubungan sosial yang baru antara kaum minoritas dan mayoritas dengan segala pemaknaannya. Pembatalan undang-undang diskriminatif tahun 1967 dilakukan Gus Dur dengan menyatakan “penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini” dalam Kepres No. 6 tahun 2000 yang disahkan pada 17 Januari tahun 2000.100 Artinya, pembatasan ekspresi kultural masyarakat keturunan Cina kini dapat memasukki ruang-ruang publik dan tidak terbatas dalam tembok-tembok pekarangan rumah. Hal tersebut diperkuat pada masa pemerintahan Megawati (Kepres no. 19 tahun 2000) yang menyatakan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Setelah kemunculan ekspresi kultural ini disahkan secara legal, di masyarakat, keran informasi dan tontonan popular berbau Cina terbuka selebar-lebarnya. Buku yang disunting oleh Ignatius Wibowo mencatat fenomena-fenomena yang ada. Agus Setiadi, yang menyumbang esai berjudul “Geliat Sang Naga dalam Pustaka” di buku tersebut, berfokus pada buku-buku tentang Cina setelah Reformasi. Terdapat dua jenis buku yang bermunculan terkait dengan Cina: 1.) Buku-buku yang berhubungan dengan RRC dan 2.) buku-buku yang berhubungan dengan orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Di kelompok pertama, kemunculan buku-buku tersebut diawali dengan karya-karya fiksi sejarah dari zaman dinasti-dinasti (Sam Kok, Tiong Ciu Liat Kok, Tepi Air dll.). Buku-buku tersebut kemudian diikuti dengan kemunculan buku-buku fiksi dan buku non-fiksi (kondisi sosial-politik) tentang kehidupan Cina kekinian. Untuk kelompok bacaan yang kedua, fenomena ini diawali dengan penerbitan karya-karya fiksi dari golongan penulis Melayu-Tionghoa, dari masa sebelum 99
Lih. (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 192) (Ignatius Wibowo, 2010, p. 126)
100
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemerdekaan bahkan sebelum masa Balai Pustaka, yang hingga kini telah mencapai seri ke-10. Lantas, yang paling menarik, muncul karya-karya fiksi tentang Cina yang ditulis penulis-penulis Indonesia (baik yang keturunan Cina maupun bukan). Yang terakhir ini menunjukkan adanya semacam kebangkitan-kembali sastra Melayu-Tionghoa. Di sisi lain, berbarengan dengan diperbolehkannya perayaan-perayaan orangorang keturunan Cina di ruang-ruang publik, bentuk-bentuk kultural yang terkandung di dalamnya pun menggeliat naik ke permukaan. Salah satu yang paling kentara adalah tarian Barongsai yang kini hadir di berbagai acara dan tidak terbatas di acara-acara milik orang-orang keturunan Cina. Bahkan, para pemainnya pun tidak hanya dari golongan mereka. Yang menarik, setelah 30 tahun dilarang muncul ke ruang publik, kemunculannya langsung dapat diterima dengan hangat bahkan terus coba dimunculkan di setiap kesempatan yang ruangnya memungkinkan. Fenomena ini diawali pada tahun 2000. Setelah Kepres Gus Dur dan Megawati, klenteng-klenteng di berbagai wilayah mulai dengan rutin menggelar latihan tari Brongsai. Dari sana kemudian terbentuklah organisasi-organisasi yang mewadahi kelompok-kelompok Barongsai yang ada. Salah satu yang paling awal, untuk organisasi bertaraf lokal, adalah Persatuan Liong Barongsai Bogor (PLBB) yang didirikan tahun 2000. Untuk tingkat nasional, yang berada di bawah struktur legal Negara, KONI di kasus ini, adalah Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia (Persobarin). Badan yang lain adalah Persatuan Kungfu Liong dan Barongsai Seluruh Indonesia (PKLBSI).101 PKLBSI seterusnya menjadi corong tari Barongsai Indonesia di kancah internasional dan tergabung dalam International Dragon and Liong Dance Federation (IDLDF) yang berpusat di Beijing. Bahkan di tahun 2007, PKLBSI menjadi penyelenggara kompetisi Barongsai se-dunia. Sedangkan, Persobarin menjadi wadah bagi perkumpulan-perkumpulan Barongsai yang ada di daerah-daerah. 101
PKLBSI awalnya bernama Persatuan Tarian naga Barongsai Seluruh Indonesia (Pernabi). Badan ini berganti nama tahun 2006 walaupun memiliki misi yang sama. Lih. (Ignatius Wibowo, 2010, hal. 199200)
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berbicara ruang dipertontonkannya Barongsai, kini ruang tersebut sangat sulit diidentifikasi. Penandan Barongsai kini dapat dilekatkan kemana saja. Akan tetapi, paling tidak, ruangnya dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan misinya. Yang pertama adalah ruang kebudayaan. Yang kedua adalah ruang komersil. Yang pertama biasanya berbentuk pawai-pawai kebudayaan atau hari-hari peringatan nasional. Sekarang sudah lazim di Indonesia untuk memasukkan tari Barongsai di acara-acara peringatan yang bersifat nasional atau lokal seperti Peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus atau Peringatan Ulang Tahun berdirinya sebuah kota. Di sisi lain, beberapa kelompok Barongsai dipanggil untuk meramaikan acara-acara yang bersifat komersil seperti pembukaan pusat belanja atau pembukaan perusahaan baru. Tapi, yang penting untuk dicatat, adalah ruang untuk tari barongsai tidak terbatas pada ruang-ruang khusus kelompok masyarakat keturunan Cina. Salah satu bentuk kebudayaan Cina yang diberangus di masa Orba dan muncul kembali ke permukaan setelah reformasi adalah bahasa sekaligus aksara Cina. Kini muncul lembaga-lembaga yang menyediakan sarana pembelajaran bahasa Cina di berbagai wilayah. Selain digandrungi oleh anak-anak muda keturunan Cina yang tidak dapat lagi berbahasa Cina, anak-anak muda dari etnis lain juga banyak mempelajarinya. Menurut catatan Assa Kaboel dan Nita Madona Sulanti, hingga tahun 2006, di wilayah provinsi DKI Jakarta, saja terdapat sekitar 141 lembaga kursus bahasa Mandarin. Jumlah lulusannya pun sudah ribuan dan terus meningkat dari tahun ke tahun.102 Maraknya tempat-tempat kursus Bahasa Mandarin ini dikarenakan sejak tahun 2001, tempat-tempat kursus tersebut telah diwadahi dalam Konsorsium Kursus Bahasa Mandarin. Konsorsium tersebut kemudian dijadikan mitra oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional. Hasilnya, kini tempattempat kursus tadi telah memiliki standar pengajaran (kurikulum, spesifikasi tenaga
102
Untuk daftar lengkapnya dalam bentuk tabel lih. (Ignatius Wibowo, 2010, hal. 215-223)
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengajar, buku acuan dll.).103 Bahkan, sekarang ini, kursus Bahasa Mandarin telah terbagi dalam jenjang-jenjang mirip dengan yang ada di universitas-universitas. Lebih jauh, akhir-akhir ini, tidak jarang universitas-universitas pada jurusan-jurusan tertentu memiliki mata kuliah tambahan Bahasa Mandarin. Begitulah bentuk-bentuk kebudayaan Cina yang tadinya diberangus kini diakui, diangkat bahkan digandrungi (terutama yang bersifat tontonan). Tidak ada perdebatan tentang cara mengangkat yang tadinya tertindas ini; apakah harus asimilasi atau integrasi? Sepertinya dengan pengakuan dan pengangkatan bentuk-bentuk kebudayaan di atas, masalah yang ada di belakang telah selesai. Hal serupa juga berlaku terhadap bentuk-bentuk kebudayaan dari etnis lain di Indonesia. Tidak sulit bagaimana saat ini pemerintah sedang berusaha ‘menjual’ produk-produk daerah. Lihat saja penggabungan antara budaya dan pariwisata dalam satu departemen (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata) yang mencanangkan program besar Visit Indonesia; sebuah program yang membanggakan lokalitas, perbedaan dan harmonisasinya. Inilah wacana utama terkait dengan etnisitas di masa Reformasi. C.2. Politik dan Ekonomi Dilihat dari sisi tatanan kekuasaan, Indonesia telah banyak berubah semenjak Reformasi. Perubahan ini jelas berdampak pada kehidupan ekonomi dan posisi politis yang dimainkan orang-orang keturunan Cina. Yang paling mencolok adalah mereka kini hampir-hampir tak dapat lagi dimasukkan ke dalam satu identitas politik karena begitu cair dan tersebarnya mereka di berbagai organisasi politik. Begitu juga secara ekonomi karena mereka kini, paling tidak secara structural, tidak lagi dikelompokkan sebagai satu entitas ‘sapi perah’. Bersamaan dengan hal-hal tersebut, muncullah orang-orang keturunan Cina di partai-partai bahkan sebagai calon legislatif dan terkikislah sistem Ali Baba di perusahaan-perusahaan walaupun belum menyeluruh. 103
Untuk latar belakang pengakuan tempat-tempat kursus tersebut dan tugas-tugas konsorsium mereka lih. Ibid., hal. 208-211
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kenyataan bahwa penduduk keturunan Cina gemar ber-organisasi tidak terbantahkan lagi jika dilihat di halaman-halaman yang lalu. Sempat dilarang kemunculannya semasa Orba, organisasi-organisasi berbasis ataupun ber-pionir kaum keturunan Cina tumbuh subur di masa Reformasi. Akan tetapi bukan berarti pertumbuhannya jauh dari perdebatan karena memang sejak dari awalnya kaum keturunan Cina memang tak pernah benar-benar beerada dalam satu paying organisasional yang sama. Lihat saja di masa Politik Etis dengan koran-koran kaum keturunan Cina. Tradisi tak disadari berupa perdebatan ini juga diwariskan hingga masa Reformasi. Apakah kemudian yang menjadi pusat perdebatan di masa reformasi? Bagaimanakah mereka meletakkan organisasi-organisasi tersebut di hadapan organisasiorganisasi lain yang, katakanlah, berbasis ‘pribumi’? Sebelum masuk ke wilayah tersebut, saya, terlebih dahulu, ingin mendaftar dan membaca, sekaligus memetakan, organisasi-organisasi kaum keturunan Cina pada masa Reformasi. Ignatius Wibowo, di esainya yang dikumpulkan dalam sebuah kumpulan esai bersama yang mana ia juga menjadi tim penyuntingnya, membedakan antara aktivisme politik dan partisipasi politik yang mana kedua hal tersebut merupakan landasan berorganisasi. Menurutnya, “[a]ktivisme politik muncul dalam situasi krisis, sementara patisipasi politik adalah kegiatan rutin warga Negara dalam situasi tidak krisis”.104 Dari segi isi, aktivisme politik lebih condong menggunakan gaya bahasa menggugat dan menuntut perubahan. Contoh yang diberikan oleh Ignatius Wibowo dalam esainya, tentu dalam konteks pergerakan kaum keturunan Cina, adalah pembangunan organisasiorganisasi yang menuntut hak-hak kaum keturunan Cina.105 Pada partisipasi politik, meskipun tidak dijelaskan dengan gamblang dari segi isi, saya menyimpulkan bahwa partisipasi politik hanyalah sebatas penggunaan hak-hak politik warga Negara seperti mencoblos dalam Pemilihan Umum. Artinya, jelas, menurut Ignatius Wibowo, aktivisme politik memiliki visi ke depan yang lebih progresif dan, kemungkinan besar, 104 105
Lih., Ibid., hal. 25-29 Ibid.,
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ideologis (dalam artian gerakannya memiliki basis pemikiran tertentu seperti Hak Asasi Manusia). Pada masa Reformasi, organisasi-organisasi kaum keturunan Cina juga jatuh pada dua visi pembentukkannya seperti di paragraf sebelumnya. Untuk yang partisipasi politik, organisasi-organisasinya lebih bersifat sosial seperti perkumpulan marga, daerah asal di Cina Daratan, sekolah dll.106 Di organisasi-organisasi tersebut mereka hanya menjalankan saja hak politik mereka sebagai warga Negara yang bebas berkumpul. Hal yang berbeda terjadi dengan partai-partai atau organisasi-organisasi politik. Pada bulan Juni 1998, satu bulan saja setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, tiga partai politik ber-pionir kaum keturunan Cina hadir: Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dan Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI). Ketiganya memiliki visi yang kurang-lebih sama yaitu: menuntut hak-hak kaum keturunan Cina yang dirampas dan menjunjung tinggi persatuan nasional. Ditilik dari segi ini, tampaknya telah ada kemajuan yang cukup berarti pada pergerakan kaum keturunan Cina yang tidak hanya ber-partisipasi politik namun juga ber-aktivisme politik yang hanya ada dalam angan selama masa Orba. Setelah dibebaskannya orang-orang kerturunan Cina untu berpolitik, bukan berarti tidak ada perdebatan di kalangan mereka. Ini bukan berarti kemunduran karena perdebatan adalah elemen yang tak terpisahkan dari kehidupan berpolitik yang sehat. Perdebatan ini berkisar tentang cara berpolitik orang-orang keturunan Cina. Parti dan Parpindo, yang muncul di tahun 1998, adalah partai yang beranggotakan orang-orang keturunan Cina meski memiliki visi yang berbeda. Parti lebih bermaksud menghilangkan segala diskriminasi dengan cara membuat orang-orang keturunan Cina lebih ‘terlihat’ secara politik. Di sisi lain, Parpindo, yang rata-rata anggotanya adalah kaum keturunan Cina yang beragama Islam, lebih menjunjung tinggi cara-cara warisan
106
Untuk informasi jumlah dan jenis perkumpulannya dalam bentuk tabel lih. Ibid., hal. 49-70
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Orba yaitu, pembauran.107 Kritik kemudian datang dari aktivis-aktivis politik keturunan Cina yang tidak setuju dengan adanya partai-partai politik yang beranggotakan orangorang keturunan Cina saja. Kwik Kian Gie, yang merupakan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menyatakan bahwa tidak mungkin menghilangkan diskriminasi dengan
terus
bergerombol
berdasarkan
etnis
seperti
yang dilakukan
Parti.
Pernyataannya ini juga diamini beberapa tokoh keturunan Cina yang lain seperti Christian Wibisono dan Sofyan Wanadi di Majalah Adil.108 Meskipun tidak kemudian menyatakan apa yang seharusnya dilakukan, namun ,dengan kenyataan pilihan Kwik Kian Gie untuk menjadi anggota PDI-P, tampaknya ia lebih menganjurkan bagi orangorang keturunan Cina untuk bergabung ke partai-partai yang tidak eksklusif secara etnis dan menyandarkan perjuangan melawan diskriminasi pada perjuangan yang lebih besar (perjuangan Bangsa Indonesia). Di masa Reformasi, unsur-unsur Cina dalam Bangsa Indonesia mulai dihidupkan kembali hampir di segala lini. SKBRI dihapuskan. Tempat-tempat les bahasa mandarin bertebaran. Karya sastra yang bercerita tentang orang-orang keturunan Cina dan diceritakan oleh penulis-penulis bermarga Cina mudah ditemukan di rak-rak toko buku ternama. Politikus-politikus keturunan Cina hampir ada di setiap partai politik. Ini adalah masa dimana segala hal, yang tadinya selama 30 tahun ditutupi, dibuka dan diangkat ke ruang-ruang dan kesadaran publik. Tak ayal wacana multikulturalisme dan toleransi adalah barang yang terus didengung-dengungkan karena dianggap sebagai jalan untuk membuka segala tabir yang dulu ada. Yang tersisa kini, selesaikah masalah? Mampukah multikulturalisme menjadi jalan keluar permasalahan yang terkait dengan identitas Cina? Inilah pertanyaan terbesar penelitian ini yang belum akan terjawab di bab ini. Namun beberapa hal telah kita ketahui untuk melanjutkan studi ini. Yang pertama, terlihat jelas bahwa di masa kolonial lah – terutama masa Politik Etis – masyarakat Cina memilliki identitas yang berbeda dengan pribumi; sebuah 107 108
Lih. Ibid., hal. 38 Ibid.,
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pembedaan yang terjadi karena kepentingan ekonomi dan politik Pemerintah Kolonial Belanda. Berbedanya tempat tinggal, pelayanan publik seperti pendidikan, posisi di mata hukum, kewarganegaraan adalah bukti-bukti yang tak dapat dimungkiri lagi bahwa masyarakat Cina tidak dianggap sebagai pribumi; sebuah hal yang kita kemudian ketahui bertahan hingga masa yang lama. Kedua, masa Orde Baru adalah masa yang secara kultural tidak menguntungkan bagi orang Cina. Segala ekspresi kultural mereka dikekang. Namun, warisan identitas ekonomis sebagai pedagang dan cukong tetap dimanfaatkan oleh Orde Baru. Di satu sisi, bahasa, agama dan perayaan mereka dilarang. Tetapi, di sisi lain, para pedagang-pedagang besar dikelompokkan ke dalam satu barisan untuk mendukung program-program Orde Baru. Dampaknya, identitas masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi sebagaimana dibentuk oleh kekuasaan kolonial terus hidup. Di masa reformasi, semua kekangan kultural yang dialami masyarakat Cina dilepaskan. Dan sebuah pendekatan baru untuk melihat identitas minoritas didegung-dengungkan, multikulturalisme. Jadi, mari kita lanjutkan perbincangan ke bab berikutnya.
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III Wacana Cina dan (ideologi) Karya Sastra dari masa ke masa
Pada bab sebelumnya, yang menyoroti wacana-wacana Simbolik hubungan antar bangsa dan etnis dari tiga masa di Indonesia, terlihat dengan gamblang bahwa telah terjadi penggolongan-penggolongan berdasarkan kebangsaan dan etnisitas di Indonesia. Masing-masing masa memiliki ideologi dan logika yang berbeda-beda mengenai tatanan sosial yang seharusnya: segregasi (pemisahan berdasarkan bangsa), pembauran (penghilangan identitas etnis) dan multikulturalisme (pengangkatan identitas-identitas minoritas). Dari kenyataan tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa yang terus dipermasalahkan adalah status, berikut identitas, orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Posisi kaum ini terus diombang-ambingkan dalam kerangka berpikir biner pribumi-non-pribumi. Dari data yang ada di bab sebelumnya, juga dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya posisi orang Cina tidaklah tetap biarpun selalu dengan label non-pribumi. Di masa kolonial, orang-orang Cina dijadikan warga kelas dua, di bawah kulit putih dan di atas pribumi, dengan kategori “bangsa” yang berdasarkan ras (warna kulit): putih, kuning dan coklat. Artinya, pada masa tersebut, orang Cina memang dianggap sebagai pendatang asing, karena berbeda rasnya dengan pribumi, yang masuk dan tinggal di Hindia-Belanda, namun dengan syarat-syarat yang berlaku saat itu, seperti surat jalan dan pajak yang lebih tinggi, karena memang mereka dianggap sebagai orang asing oleh Pemerintah Kolonial. Setelah Hindia-Belanda menjadi Indonesia, dimulai dari masa Orde Lama, orang Cina tidak lagi dipandang sebagai bangsa asing dengan menggunakan istilah “etnis”. Mereka juga mulai disebut sebagai Tionghoa dan bukan lagi Cina untuk membedakan mereka dengan penduduk Republik Rakyat Cina. Dengan istilah etnis Tionghoa, mereka menjadi bagian dari Indonesia yang sejajar dengan etnisetnis lain; Sunda, Batak, Jawa, Bali, dll. Namun hal tersebut hanya jika dilihat dari
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengkajian lebih dalam dari istilah etnis semata karena, pada kenyataannya, terutama di masa Orde Baru, banyak kebijakan-kebijakan Pemerintah yang masih memiliki pendekatan seperti layaknya Belanda yang membedakan etnis ini dengan etnis lainnya seperti penggantian nama dan pelarangan penyelenggaraan perayaan-perayaan hari besar. Dari titik tersebut, saya ingin memfokuskan bab ketiga ini pada tanggapantanggapan yang ada di dalam karya-karya sastra yang melibatkan kehidupan sosial orang-orang keturunan Cina. Melihat kenyataan, di paparan Bab II, wacana-wacana Simbolik seputar hubungan antar etnis di Indonesia sangatlah kuat karena sebagian besar wacana-wacana ini muncul dari pihak penguasa (Pemerintah) dengan peraturanperaturannya. Sastra, sebagai salah satu sendi penting di kehidupan sosial, tentu, suka tidak suka, terpengaruh dengan wacana-wacana besar tadi. Pertanyaannya, bagaimana kecenderungan karya-karya tersebut me-narasi-kan identitas orang Cina serta hubungan sosial antar-etnis? Juga, bagaimana karya-karya ini bergelut dengan wacana-wacana Simbolik di masing-masing zaman? Seperti telah disebutkan di awal penelitian ini, ada enam buah karya yang menjadi obyek penelitian: Drama di Boven Digul karya Kwee Tek Hoay, Lucy Mei Ling karya Motinggo Busye, Ca Bau Kan karya Remy Silado, Putri Cina karya Sindhunata, Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Acek Botak karya Idris Pasaribu. Di bab ini, keenam karya sastra tersebut akan dibagi ke dalam tiga sub-bab yang pembagiannya berdasarkan zaman dan wacana Simbolik di Bab II. Pembagian ke dalam tiga sub-bab ini demi mempertahankan bangunan logika yang telah disusun di Bab II yang artinya menunjukkan adanya korelasi wacana Simbolik dan wacana dalam karya. Dengan susunan yang selaras secara logika ini diharapkan membuka pintu ke arah analisa yang lebih tajam dan teoritik di bab selanjutnya. Dengan begitu, Drama di Boven Digul pada sub-bab pertama akan diletakkan sebagai ‘perwakilan’ masa Kolonial. Kemudian diikuti Lucy Mei Ling untuk masa Orba.
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sedangkan, empat karya yang tersisa akan digunakan untuk membahas masa Reformasi. Untuk masa yang disebut terakhir sengaja diperbanyak jumlah obyeknya karena memang masa Reformasi akan menjadi fokus utama penelitian ini. Dua karya lain akan menjadi semacam pembuktian bahwa karya-karya sastra (pra-)Indonesia memiliki tradisi membicarakan isu-isu identitas kebangsaan semenjak dahulu. Kini, kita akan memulai membedah narasi keenam karya tersebut. A. Drama di Boven Digul: Kolonialisme dan masyarakat Cina A. 1. Drama di sekitar Drama di Boven Digul Drama di Boven Digul, selanjutnya disingkat sebagai DBD, mulai ditulis oleh Kwee Tek Hoay (selanjutnya disingkat menjadi KTH) tahun 1927 dan muncul pertama kali sebagai bacaan umum di penghujung tahun 1928, akan tetapi, belum dalam bentuk yang digunakan pada penelitian ini.109 DBD pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung di majalah mingguan Panorama110 dimulai dari edisi Desember 1928 hingga awal 1932. Kemudian, karena permintaan pembaca, potongan-potongan cerita di Panorama tersebut disatukan menjadi 56 bab (empat jilid) dan diterbitkan secara berkala. Jilid pertama dan kedua diterbitkan pada tahun 1938. Tiga tahun setelahnya, jilid ketiga dan keempat mengikuti. Enam puluh tahun kemudian (tahun 2001), KPG menggabungkannya dalam satu jilid, yang terdiri dari 747 halaman, dan menerbitkannya kembali. Ditilik dari sisi penulis, KTH adalah seorang penulis yang serba bisa. Ia mendalami teosofi (terutama ajaran Tridharma atau Sam Kauw Hwee) dan pergerakan 109
Versi yang digunakan pada tesis ini adalah versi terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dalam seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid ketiga yang terbit pada tahun 2001. Seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia memiliki dua jilid (ketiga dan Keempat) yang secara khusus diperuntukkan bagi karya-karya Kwee Tek Hoay. Jilid keempat berisi dua novella dan dua esai panjang Kwee Tek Hoay. 110 Panorama adalah mingguan berbahasa Melayu Linguafranca yang beredar di awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Di mingguan ini, Kwee Tek Hoay pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi selama enam tahun (1926-1932).
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kaum peranakan Cina karenanya ia menjadi tokoh penting di dalam tubuh Tiong Hoa Hwe Koan dan pergerakan kaum peranakan secara umum. Terkait dengan bidang tersebut, KTH banyak menulis mengenai kebangkitan dan pergerakan kaum peranakan Cina di awal abad ke-20. Salah satu tulisannya yang termashyur adalah Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia111 yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang Sinolog asal Amerika yang bukunya telah dijadikan salah satu sumber penulisan di Bab II penelitian ini, Lea Williams. Lebih jauh, pentingnya KTH di pergerakan kaum peranakan dikarenakan keterlibatannya dalam berbagai macam pergerakan jurnalistik baik yang dimotori kaum pribumi maupun peranakan. Tulisan-tulisannya tersebar di media-media tersebut. Di samping itu, ia pernah menjabat sebagai pemred majalah Moestika Panorama yang kemudian berubah wujud menjadi Moestika Romans. Dari dunia jurnalistik inilah karir kepenulisannya sebagai seorang sastrawan dimulai. Sebagai seorang sastrawan, KTH dapat dibilang sebagai seorang sastrawan yang produktif. Ia mulai menulis karya sastra di pertengahan tahun 1920-an hingga masamasa menjelang kemerdekaan Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, ia menghasilkan sembilan karya drama dan empat belas karya prosa. Jumlah yang terbilang tidak sedikit. Karirnya dimulai dengan terbitnya novel pertamanya Boenga Roos dari Tjikembang tahun 1927. DBD sendiri adalah novel ketiganya (1938). Dengan kenyataan tersebut dapat dipastikan bahwa KTH adalah penulis yang benar-benar berkarya di masa segregasi Politik Etis. Bagi DBD, lahir di masa Politik Etis berarti lahir di dunia sastra yang mulai digalakkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1920, Pemerintah Kolonial 111
Seperti halnya DBD, esai panjang ini, yang bercerita tentang hubungan antara gerakan nasionalis Sun Yat Sen dengan Kuomintang-nya di Cina Daratan dan gerakan kaum peranakan Cina di Indonesia (Tiong Hoa Hwe Koan), terbit pertama kali di mingguan Panorama sebagai tulisan bersambung. Esai ini muncul di Panorama mulai edisi Agustus 1936 hingga Januari 1939. Esai ini lantas diterbitkan kembali, bersama esai KTH yang lain tentang zaman Malaise, dalam seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid keempat yang terbit pada tahun 2001 oleh KPG.
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Belanda membentuk sebuah lembaga sastra yang dimaksudkan untuk memberii bacaan pada rakyat Hindia-Belanda bernama Balai Pustaka. Hingga kini, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka masih menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah seperti Siti Nurbaya. Namun, pada saat itu, tidak sembarang karya sastra dapat diterbitkan melalui Balai Pustaka, karya-karya tersebut harus sejurus dengan ideologi kolonial Belanda mulai dari tema hingga bahasa yang digunakan. Untuk bacaan dari luar Balai Pustaka, biasanya disebut bacaan liar.112 Karenanya wajar jika karya-karya KTH tidak ada satupun yang diterbitkan melalui Balai Pustaka. KTH menulis menggunakan bahasa sehari-harinya yaitu Bahasa Melayu Lingua Franca. Dari segi tema, ia mengangkat tema pemberontakkan dengan bumbu interaksi antar manusia yang hampir tidak memandang batasan bangsa. Jelas, hal tersebut tidak sesuai dengan selera orang-orang yang ada di Balai Pustaka. Singkatnya, DBD adalah karya yang dicap sebagai bacaan liar. Ia berada di luar lingkaran kekuasaan. Dari sisi ini terlihat gaya pemberontakan DBD. Selayang pandang atas diri KTH, sebelum jauh memasukki dunia DBD, pergerakan KTH yang memang individu cetakan Politik Etis mencerminkan kegerahannya atas wacana segregasi. Dari karirnya kentara sekali ia mencoba menerobos tembok-tembok yang memisahkan manusia berdasarkan warna kulit. Di satu sisi, ia bergerak dengan aktif di dalam THHK yang mana terlihat dengan jelas di tulisan (non-)fiksi-nya.113 Tidak lain tentu hal tersebut dikarenakan tekanan pihak pemerintah kolonial yang, di masa Politik Etis, mengeluarkan berbagai larangan bagi kaum keturunan Cina dan, tentu, nasionalisme Bangsa Cina yang sedang meningkat karena Kuomintang. Akan tetapi, di sisi lain, ia terjun ke dunia pers tanpa pandang bulu. Ia masuk ke pers-pers berbagai golongan. Sebagai contohnya, ia menulis di majalah yang memang diperuntukkan bagi kaum peranakan seperti Sam Kauw Gwat Po, namun juga ia menulis di koran yang pangsa-pasar-nya pribumi (Bintang Betawi) dan, bahkan, menjadi pimpinan redaksi mingguan Panorama yang berbahasa Melayu Lingua-franca 112
Lih., (Jedamski, 1992) Selain melalui esai tentang THHK yang telah disebut di atas, kegetolan KTH di pergerakan kaum peranakan juga terlihat di salah satu novella-nya; Roema Sokola Jang Saja Impiken. 113
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan tim penyuntingnya dari berbagai kalangan.114 Artinya, ia melintas di berbagai golongan yang tidak hanya berbasis ideologi politik tapi juga bangsa. Lantas, bagaimana dengan narasi karya sastranya? Bagaimana ia melihat permasalahan politik di tanah Nusantara? Seperti apa posisinya? A. 2. Drama di Boven Digul dan peleburan identitas melalui narasi tentang bahasa dan agama Cerita DBD mengambil salah satu peristiwa sejarah berdarah perjuangan Bangsa Indonesia sebagai latar waktunya. Sejarah tersebut, yang kini dilupakan atau diartikan secara lain, adalah perlawanan PKI pada kekuasaan Pemerintah Kolonial di tahun 1926. Perlawanan yang terjadi di beberapa tempat di Jawa dan Sumatra tersebut gagal menggulingkan kekuasaan Belanda. Sebagai akibatnya, pemburuan, pembunuhan dan pengasingan atas anggota-anggota PKI dijalankan oleh Pemerintah Kolonial. PKI pada akhirnya juga kemudian menjadi partai terlarang. Untuk mereka yang diasingkan, dibukalah sebuah lahan di Papua yang bernama Boven Digul. Latar tempat yang dimanfaatkan di DBD adalah salah satu tempat terjadinya pemberontakan (Batavia) dan penghukuman oleh Pemerintah (Boven Digul). Rentetan kejadian-kejadian di beberapa wilayah tersebut lah yang dinyatakan ulang dalam DBD. Narasi utama pada alur cerita DBD adalah kisah percintaan antara Moestari dan Noerani yang datang dari dua keluarga dengan latar belakang sosio-kultural, lantas politik, yang berbeda. Latar belakang sosio-kultural dua keluarga mereka mewakili pandangan-pandangan dari golongan pribumi pada pemberontakan PKI. Percintaan mereka, karena terjadi di persilangan ideologi, lantas melibatkan banyak pihak yang mana pihak-pihak tersebut berbeda-beda dalam memandang pemberontakan PKI. Moestari adalah anak seorang bangsawan yang bersekolah di sekolah berbahasa Belanda dan kemudian menjadi pegawai Gubermen. Dapat ditebak, dengan kenyataan tersebut, tentu ia tidak setuju dengan pemberontakan PKI. Di sisi lain, Noerani adalah 114
Untuk keterangan tentang Panorama lebih lanjut lih. (Dieleman, 2010, p. 106)
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anak seorang tokoh PKI bernama Boekarim yang pensiunan guru dan tentu merupakan golongan rakyat jelata. Pihak ketiga yang hadir dengan pandangannya sendiri adalah orang-orang Cina peranakan (Tjoe Tat Mo dan anaknya, Dolores) yang bertemu Noerani kala menyepi di daerah Jawa Barat. Pihak yang disebut terakhir ini memiliki kecenderungan lebih netral dan mementingkan kebahagiaan bersama; sebuah posisi yang nanti akan dijabarkan lebih lanjut. Ada dua narasi dalam perjalanan kisah percintaan Moestari dan Noerani yang menjadi fokus di sini: pemberontakan PKI dan pertemuan dengan Dolores dan Tjoe Tat Mo. DBD dibuka dengan penggambaran kota Batavia yang suram di suatu sore. Dengan suasana alam yang suram itu, sepasang kekasih, yang cintanya mencoba menembus sekat-sekat sosial dan politik, bertemu. Mereka bertemu dengan sembunyi-sembunyi di Wilhelmina Park karena tak mendapat restu dari kedua keluarga mereka. Dari pertemuan tersebut, Moestari kemudian mengetahui dari Noerani bahwa akan terjadi pergolakan berdarah di Jawa. Moestari, yang jelas tak setuju dengan adanya pemberontakan tersebut, lantas berusaha menghentikannya dengan melaporkannya ke pemerintah. Namun hal tersebut dicegah Noerani karena ia takut ayahnya, yang turut serta di dalamnya, akan diburu pihak pemerintah. Setelah berhasil berdamai, keduanya pun kembali ke rumah masing-masing. Setelah terjadi pemberontakan, ayah Noerani ditangkap pihak pemerintah dan diasingkan. Noerani yang mendengar kabar tentang lokasi pengasingan ayahnya kemudian berusaha menyusul. Di saat yang sama, Moestari justru mengalami pengasingan dalam bentuk lain. Ia diangkat menjadi seorang regent di daerah yang jauh dari Batavia. Atas dasar rasa kehilangan yang amat sangat karena jauh dari Noerani, ia pun kembali mencari Noerani dan meninggalkan calon istri hasil perjodohan antar keluarga priyayi. Namun yang ditemukannya hanyalah sebuah rumah kosong tempat tinggal Noerani dan keluarganya sebelum pemberontakan. Dari sana, dengan bantuan
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seorang sahabat (Soebaidah), ia pergi mencari Noerani. Pencarian tersebut lantas menjadi sebuah pencarian yang penuh rintangan. Noerani, dalam usahanya menemui ayahnya, bertemu dengan seorang penulis muda bernama Dolores. Dolores, setelah mendengar curahan hati Noerani dan mengerti, mengajaknya untuk menemui orang pintar di pedalaman Jawa Barat (Cisaat). Saat itu, ia belum mengetahui bahwa Moestari membatalkan pernikahannya. Jadi ia hanya berusaha menemui ayahnya saja sembari mencoba menguburkan segala kenangannya bersama Moestari dalam-dalam. Selanjutnya, Dolores mengajak Noerani tinggal di rumahnya bersamanya dan ayahnya, Tjoe Tat Moe. Pada pertemuan-pertemuannya, yang dilanjutkan dengan perbincangan-perbincangan mendalam, dengan Tjoe Tat Mo memberii banyak pandangan hidup baik yang bersifat batiniah, dalam artian relijius, maupun yang cenderung bersifat keseharian, seperti pandangan politik dan kehidupan sosial termasuk yang terkait dengan pemberontakan yang telah terjadi. Di titik ini, Dolores dan Tjoe Tat Mo menjadi semacam representasi pandangan-pandangan kaum keturunan Cina. Nasehat-nasehat yang diberikan, Tjoe Tat Moe pada Noerani, dekat dengan ajaran Konfusionisme seperti bahwa manusia harus saling menghormati dengan sesama karena hal tersebut adalah bagian dari proses mendekatkan diri dengan Tuhan. Di sisi politik, Tjoe Tat Mo tidak setuju dengan pemberontakan yang dilakukan PKI. Namun, di sisi lain, ia setuju dengan kenyataan bahwa Hindia Belanda membutuhkan perubahan mendasar. Yang ia tak setujui adalah pendekatan PKI yang, mau tak mau, membutuhkan pertumpahan darah. Hal tersebut tak sejurus dengan kepercayaannya yang mengharuskan semua makhluk untuk saling mengasihi. Beberapa waktu kemudian, Moestari berhasil menemui Noerani yang kini telah berada di tanah pengasingan (Boven Digul). Di tempat terpencil tersebut, keduanya menikah dan membangun keluarga dan sebuah komunitas kecil yang anggotanya tak dibatasi identitas rasial, kebangsaan dan politik dan juga hampir tak berjarak dengan alam.
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berdasarkan Politik Segregasi yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial di masa penulisan novel ini ada tiga bangsa yang mendiami Hindia-Belanda: Pribumi, Bangsa Asing Asia dan Kulit Putih. Dalam DBD hanya dua bangsa (pribumi dan Bangsa Asia Asing) yang menjadi tokoh-tokohnya. Tapi tentu saja KTH, sebagai penulis, tidak dengan begitu saja menerima penggolongan tersebut meskipun nantinya kita akan sama-sama melihat bagaimana ia tak dapat melepaskan diri darinya. Ditilik dari latar sosio-kultural tokohnya, KTH bermaksud untuk mengaburkan, atau bahkan menghilangkan, identitas kultural tokoh-tokohnya. Ia ingin memangkas habis jarak kultural antara pribumi dan bangsa Cina. Sisi kultural yang pertama-tama akan dibahas adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam penulisan novel DBD adalah bahasa Melayu Lingua-Franca (Melayu Pasar). Semua tokohnya, baik yang Cina maupun pribumi, juga berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut. Bahkan, bahasa Melayu Pasar ini juga digunakan tidak hanya dalam komunikasi antar bangsa namun juga komunikasi di dalam golongan bangsa tertentu; pribumi pada pribumi dan Cina pada Cina. Di bawah ini adalah contohnya: “Anakku yang tersayang, Papa merasa girang telah meliat itu kemajuan pesat yang kau dapetken dalem pekerjaan mencari tau rasianya penghidupan. Memang betul sekalih kalu mau kenal penghidupan, orang musti mulai dengen fahamken manusia punya segala kesedihan dan kasusahan, kerna jikalau kita sudah tau sebab dan lantarannya dari itu semua, seperti Buddha Gautama telah berbuat, barulah kita bisa mengenal pada wet Tuhan, pada itu Tao atawa 115 Dharma, yang orang cumah bisa mengarti kapan sudah dapet cukup pengalaman.”
“Ini perkara ada terlalu penting, Noer, hingga aku tida bisa pulang ka pondokanku aken umpetken diri dari bahaya seperti satu anak perempuan. Kau musti tau yang aku ini ada satu bestuur ambtenaar yang sudah mengangkat sumpah aken bersetia pada gouvernement, hingga tida boleh tinggal diam sesudahnya mendapet dengan resia besar. Aku musti kasih tau pada 116 politie aken ambil aturan buat menangkis ini bahaya.”
Kutipan yang pertama adalah pembicaraan yang terjadi antara Tjoe Tat Mo dan Dolores sedangkan yang kedua antara Moestari dan Noerani. Keduanya sama-sama menggunakan bahasa Melayu Lingua-Franca. Tidak ada perbedaan penggunaan di 115 116
Lih. (Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3, 2001, pp. 285-286) Ibid. hal. 33
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kedua dialog tersebut. Bahkan, tidak ada dialek khusus di sana meskipun latar Moestari sebagai seorang Jawa tulen (keturunan ningrat lagi) dan Tjoe Tat Mo yang seorang Cina. Mengapa penggunaan bahasa Melayu Pasar hingga sejauh ini dilakukan oleh KTH? Seperti apa posisi KTH terkait dengan politik bahasa di Hindia-Belanda? KTH memiliki visi yang menarik terkait dengan pemisah-misahan orang-orang dengan politik segregasi
yang dilakukan
Pemerintah Kolonial Belanda.
Ia
mendambakan sekaligus mempromosikan sebuah gagasan peleburan identitas rakyat Hindia-Belanda seperti yang lukiskan di akhir DBD. Dengan gagasan seperti itu, bahasa tentu saja memiliki posisi yang sangat strategis. Bahasa adalah identitas. Ketika orangorang dapat berkomunikasi dengan lancar satu sama lain menggunakan bahasa tertentu, dapat dikatakan orang-orang tersebut memiliki identitas yang sama di titik tertentu. Penggunaan Bahasa Melayu Pasar merupakan bagian dari gagasannya tersebut. Ia ingin berbicara pada khalayak seluas mungkin di Hindia-Belanda. Bahasa Melayu Pasar adalah bahasa yang paling lazim digunakan di Hindia-Belanda. Penggunaan Bahasa Melayu Pasar yang dapat dikatakan merupakan campuran hampir semua bahasa yang ada di Hindia-Belanda, sehingga dimengerti hampir semua orang di Hindia-Belanda, adalah sebuah usaha meleburkan diri ke dalam satu identitas di bawah bendera HindiaBelanda. Bahkan, lebih jauh, kemampuan merangkul sebagian besar masyarakat HindiaBelanda dengan Bahasa Melayu Pasar ini adalah sebuah kekuatan yang membahayakan bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Karenanya DBD tidak terbit melalui Balai Pustaka dan masuk ke dalam kriteria ‘bacaan liar’. Untuk mempertegas posisinya terkait dengan penggunaan Bahasa Melayu Pasar dibanding dengan Bahasa Melayu Tinggi (bahasa resmi Pemerintah Kolonial Belanda), ia bahkan memasukkan pandangannya atas rumusan Van Ophuizen yang dijadikan dasar pembentukan Bahasa Melayu Tinggi. Penegasan posisinya tersebut ia ungkapkan di dalam percakapan antara Noerani dan Dolores kala Noerani hendak belajar menulis dari Dolores. Dalam perbincangan yang terjadi di rumah Tjoe Tat Mo tersebut Dolores menyarankan agar Noerani, sebelum memulai untuk menulis syair, mendalami bahasa Melayu Lingua-Franca terlebih dahulu karena bahasa Melayu Lingua-Franca dianggap 106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai media ekspresi yang lebih dekat dengan kaum Bumiputera dibandingkan dengan bahasa Melayu Tinggi hasil rumusan Van Ophuizen melalui pendataannya atas penggunaan bahasa Melayu di Sumatra. Artinya, KTH di titik ini bertentangan dengan Pemerintah Kolonial Belanda dengan kebijakan bahasa resminya. Di kesempatan yang sama, bahkan Dolores dengan cukup lugas bertanya, “[a]pakah gunanya dipake bahasa yang asing dan sabagian besar tida cocok dengen kabiasa’an kita?”.117 Di kutipan tersebut, Dolores menggunakan kata ganti “kita”. Hal tersebut berarti dirinya, yang Cina, dan Noerani, yang Jawa, berada dalam sebuah arena pemaknaan bahasa yang sama. Tampak dengan terang-terangan, KTH mempertegas kesan satu identitas antara Pribumi dengan orang-orang Cina. Secara politis, posisi KTH yang berseberangan dengan Van Ophuizen dan Melayu Tingginya menggambarkan ketidaksukaannya dengan Pemerintah Kolonial Belanda dan bersimpati pada pejuang Pribumi; simpati yang akan dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya. Selain bahasa, sisi kultural orang-orang Cina yang banyak diperkarakan di DBD adalah agama. Walaupun kali ini dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Apabila melalui bahasa golongan Pribumi dan Cina dipersatukan, agama adalah sisi yang membedakan keduanya di DBD. Hal tersebut terlihat ketika Dolores dan Noerani membicarakan tentang agama yang dianut Tjoe Tat Mo dan pandangan hidupnya: “Agama apakah yang dipegang oleh ayahmu?” “Ia junjung semua agama. Ia puja abu leluhurnya sebagi yang diajar oleh Kong Hu Cu; ia bersila di tiker dan turut berdowa menurut aturan Nabi Mohammad kapan hadirin sidekah slametan dari orang desa tetangganya. Ia berhadirin dalem perhimpunan orang-orang Kristen, dan ia sembahyang di hadepan Toapekong kapan kunjungin klenteng. Ia bilang semua agama ada baek, tapi aku liat yang ia paling hargaken tinggi ada agama Buddha, 118 maski juga ia tida turut dengen membuta.”
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana Buddha diletakkannya di tengah-tengah agama dan kepercayaan lain yang ada di Hindia-Belanda. Meskipun, Tjoe Tat Mo terkesan menjunjung tinggi dan menghargai semua agama dan kepercayaan, ia memegang satu dengan teguh dan itulah yang membuatnya berbeda dengan mayoritas masyarakat Hindia-Belanda. Penggunaan nama Nabi Muhammad ketika menjelaskan juga 117 118
Ibid., hal. 351 Ibid., hal. 395-396
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dikarenakan kedekatan Noerani dengan sosok nabi tersebut karena ia memang seorang Muslim dan pengetahuan Dolores bahwa mungkin Noerani tidak mengenal Buddha atau Konghucu. Di sini, Dolores berbicara menggunakan nalar seseorang yang berasal dari kaum minoritas. Nalar Dolores ini menunjukkan betapa kuatnya politik Segregasi di masa Politik Etis sehingga masing-masing golongan saling tidak mengetahui kehidupan golongan lain. Perbedaan yang paling kentara antara cara KTH membicarakan bahasa dan agama terletak di kesulitan KTH untuk melebur golongan Pribumi dan Cina. Di sisi bahasa, KTH dengan mudah menemukan alasan kenapa kedua golongan ini harus bersatu. Di sisi agama, KTH harus terlebih dahulu memperkenalkan agama golongan Cina (Konghucu dan Buddha) melalui dialog-dialog Tjoe Tat Mo dan Dolores. Baru kemudian ia menambahi dengan pendekatan, yang mungkin terdengar klise untuk pembaca masa kini, bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Begitu klise karena walaupun semua agama mengajarkan kebaikan, toh ia tetap meneguhi yang satu itu sesuai dengan latar belakangnya. Ia tidak dapat dengan begitu saja menyodorkan kesatuan identitas seperti ketika ia berbicara tentang bahasa Melayu Lingua-Franca. Namun, seperti terlihat pada kutipan di atas, Tat Mo menerima semua agama dan tidak mencoba membangkitkan perbedaan-perbedaan yang ada. Penerimaan dan penghargaan terhadap agama-agama ini adalah bentuk lain dari percobaannya untuk meleburkan identitas-identitas yang ada seperti pada narasi tentang bahasa tadi.
A. 3. Drama di Boven Digul dan peleburan identitas melalui narasi politik Di masa segregasi, yang memisah-misahkan manusia berdasarkan bangsa, menulis tentang bangsa (golongan) lain bukanlah perkara mudah karena wacana segregasi, sebagai wacana Simbolik, jelas tidak menyediakan bahasa untuk hal tersebut dan seandainya pun tersedia tentu akan bersifat me-liyan-kan golongan lain tersebut. Dengan wacana Simbolik yang memisah-misahkan ini, tentu kesatuan identitas bangsabangsa yang ada di Hindia Belanda bukanlah sesuatu yang diinginkan. KTH tampaknya
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyadari betul kenyataan tersebut. Karenanya ia mencoba mengangkat satu wacana yang menurutnya dapat digunakan untuk mengaitkan dan menyatukan semua golongan: Pemberontakan PKI. Pemberontakan PKI tahun 1926 adalah sebuah isu nasional karena memang PKI beroperasi di tingkatan Hindia Belanda. Pemberontakan tersebut bukanlah isu kedaerahan atau golongan bangsa tertentu. Itulah kenapa pihak Pemerintah Kolonial mengatasinya dengan cukup serius (baca: sadis).119 Dengan mengangkat cerita pemberontakan PKI, KTH, yang merupakan seorang Cina Peranakan dan termasuk dalam golongan Vreemde Oosterlingen, ingin menyatukan diri ke dalam identitas Indonesier (pribumi). Dengan menuliskan novel DBD, ia membuat pemberontakan PKI sebagai hal yang perlu ia cermati juga meskipun diposisikan sebagai sebuah entitas asing. Dengan begitu, ia mencoba menerobos dinding-dinding tiga golongan masyarakat. Ia menjadikan paling tidak membuat dua golongan besar (Indonesier dan Vreemde Oosterlingen) luruh dalam satu identitas. Tapi, bagaimana sesungguhnya perdebatan tersebut disajikan dalam DBD? Perdebatan seputar baik tidaknya pemberontakan di tahun 1926 tersebut muncul, pada awalnya, hanya sebatas di ruang-ruang pribadi Moestari dan Noerani. Perdebatan ini muncul semenjak awal novel. Saat itu Moestari tidak mengetahui apa yang akan terjadi di Hindia Belanda. Noerani yang mengetahui akan terjadi pemberontakan dari ayahnya mengabari Moestari dengan cara yang metaforis. Ketika Noerani melanjutkan ceritanya dengan lebih gamblang, perdebatan diantara keduanya pun memanas. Masingmasing mengemukakan apa yang didapat dari lingkungannya. Hingga pertengahan novel hanya terdapat dua sudut pandang ini. Kemudian, di pertengahan novel, saat Noerani pergi menyepi untuk menenangkan diri, bertemulah ia dengan sepasang ayahanak yang penulis: Tjoe Tat Mo dan Dolores. Walhasil, Tjoe Tat Mo dan Dolores ikut dalam perdebatan seputar Pemberontakan 1926.
119
Sekitar 13.000 anggota PKI dibunuh dan lebih dari 1.000 orang diasingkan ke Boven Digul.
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Setelah pertemuan Noerani dengan dua orang dari kelompok Bangsa Asia Asing ini, terdapat tiga golongan masyarakat yang masing-masing memiliki sudut pandang tersendiri terkait dengan PKI dan pemberontakannya. Yang pertama adalah Moestari. Moestari adalah pemuda pribumi yang merupakan “Assistant-Wedana yang lagi belajar di Bestuur school dan ada putra dari Bupati di Sukabuwana”. 120 Yang kedua adalah Noerani. Noerani adalah seorang pemudi pribumi yang merupakan anak dari seorang pemimpin PKI, yang mantan guru, bernama Mas Boekarim. Yang ketiga adalah Tjoe Tat Mo dan anaknya yang merupakan keluarga Cina dengan latar belakang pendidikan otodidak yang di atas rata-rata. Ternyata dari tiga golongan ‘resmi’ hasil kebijakan Pemerintah Kolonial di masa itu, hanya dua yang terlibat dalam perdebatan: Pribumi dan Cina (Bangsa Asia Asing). DBD tidak menghadirkan tokoh, sekaligus sudut pandang, kulit putih terkait dengan masalah ini. Moestari, yang, menggunakan istilah sekarang, pegawai negeri jelas menentang keras pemberontakan PKI. Saat pertama kali mendengar rencana pemberontakan dari Noerani, ia hendak melaporkannya pada polisi. Saat itu dengan tegas ia berkata: “[i]ni perkara ada terlalu penting, Noer, Kau musti tau yang aku ini ada satu bestuur ambtenaar yang sudah mengangkat sumpah aken bersetia pada gouvernement, hingga tida boleh tinggal diam sesudahnya mendapet dengan resia besar. Aku musti kasih tau pada politie aken ambil 121 aturan buat menangkis ini bahaya.”
Jelas bahwa Moestari di sini membela kepentingan Pemerintah Kolonial karena ia adalah golongan pribumi yang diuntungkan dengan pendidikan dan jabatan. Kembali ke percakapan Moestari dan Noerani di suatu sore di Wilhelmina Park, reaksi Noerani atas pernyataan Moestari di atas tentu sebuah ketidaksetujuan. Ia tidak ingin Moestari membeberkan rencana ayahnya yang PKI karena ia tidak ingin sesuatu terjadi dengan ayahnya bukan karena, secara ideologis, mengamini komunisme dan PKI. Akan tetapi, meskipun ia bukan seorang komunis, seperti ayahnya, tetap ia berada 120 121
(Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3, 2001, p. 22) Ibid., hal. 33
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di golongan pribumi yang berbeda dengan Moestari. Noerani melihat ayahnya Mas Boekarim sebagai ayahnya yang meskipun PKI tetap satu manusia, berbeda dengan Moestari yang melihat Mas Boekarim sebagai pemberontak semata. Selain itu, Noerani juga mengungkapkan bahwa memang negeri ini butuh perubahan dengan semua penderitaan
yang
ditimpakan
atas
rakyat
Hindia-Belanda.
Moestari
melihat
pemberontakan hanya semata-mata sebagai aksi kekerasan. Singkatnya, Noerani masih melihat adanya kebaikan arah dari PKI, satu hal yang tak dilihat Moestari. Bagaimana dengan Tjoe Tat Mo dan Dolores di perkara ini? Kembali ke pernyataan awal saya di sub-bab ini, menariknya DBD, yang ditulis di masa kuatnya wacana segregasi adalah sudut pandang Cina yang diberikan atas perkara politik di Hindia-Belanda. Secara umum, Pemberontakan PKI sangat sedikit kaitannya dengan Bangsa Asia Asing di Hindia-Belanda. Di masa sebelum pemberontakan hingga pemberontakan, sangat sedikit Bangsa Asia Asing yang menjadi anggotanya. Di titik ini terlihat keberhasilan politik segregasi yang dijalankan oleh Pemerintah Kolonial. Bagi Pemerintah Kolonial hal ini tentu sangat membantu apabila Bangsa Asia Asing tidak bergabung dengan PKI karena, tentu saja, mengurangi jumlah pemberontak dan kekuatannya. Mereka ingin urusan politik semata-mata urusan kulit putih dan pribumi karena kepentingan mereka terhadap golongan Asia Asing hanyalah kepentingan ekonomis seperti telah saya jabarkan di Bab II. Hadirnya Tjoe Tat Mo dan Dolores di arena politik Hindia-Belanda menandakan bahwa golongan Cina adalah bagian dari Hindia-Belanda dan dengan memasukki arena politik ini golongan Cina dianggap satu identitas dengan pribumi. DBD adalah sebuah penolakkan KTH atas larangan membicarakan perkara-perkara yang dianggap perkara pribumi seperti Pemberontakan PKI; sebuah penolakkan atas segregasi dan pengasingan antara Bangsa Asia Asing dan pribumi.
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.4. Wacana Peleburan Identitas dan politik segregasi di masa kolonial Dapat dipastikan, jika dilihat dari beberapa fakta di atas, bahwa KTH adalah seorang penulis yang tidak berada di arus utama ideologi masanya. Ia menolak menulis dengan Bahasa Melayu Resmi. Ia bercerita tentang permasalahan pribumi dan HindiaBelanda (Pemberontakan PKI). Ia juga mengajukan sebuah ide yang tak terbayang subversifnya di masa tersebut: peleburan identitas orang-orang Hindia-Belanda. Melalui penggunaan Bahasa Melayu Pasar, ia merangkul seluruh khalayak agar dapat membaca karyanya tanpa mengenal batas bangsa seperti yang ditekankan sistem politik segregasi. Dengan berbicara lebih mengenai agama yang dianutnya (Buddha), ia ingin orang-orang lebih mengerti tentang agama-agama yang ada di Hindia-Belanda. Melalui masukanmasukannya terhadap kondisi politik Hindia-Belanda, ia memasukkan diri dan bangsanya ke perdebatan yang ‘seharusnya’ jadi perdebatan di kalangan pribumi semata. Semua hal tersebut diperkuatnya dengan bagian akhir novel yang menceritakan komunitas yang dibentuk Noerani dan Moestari; sebuah komunitas yang dibentuk pasangan yang tidak berangkat dari dari sebuah landasan kultural tertentu; komunitas yang dibentuk oleh orang-orang yang menanggalkan atribut-atribut konstrusi sosial yang ada di diri mereka dan berusaha hidup berdampingan dengan damai sekaligus menyelaraskan diri dengan alam. Akan tetapi, biar bagaimanapun, KTH tetap tak dapat lepas dari jaringan kekuasaan dan kungkungan wacana segregasi kolonial yang ada. Apakah peleburan identitas yang diajukan oleh KTH adalah jalan keluar terbaik dari politik segregasi? Apakah ia, dengan tepat telah memetakan pemasalahan yang ditimbulkan oleh politik segregasi? Apakah segregasi hanya terkait dengan pemisahan semata? Pertanyaanpertanyaan ini akan dibahas di bab selanjutnya. B. Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde baru Politik asimilasi a la Orba adalah politik yang mendorong persamaan di dalam masyarakat dengan menghilangkan fitur-fitur kultural identitas-identitas yang ada. Salah
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
satu dampaknya yang masih terasa hingga saat ini adalah politik SARA; sebuah politik yang mengharamkan segala pembicaraan yang terkait dengan suku, ras dan agama. Pemerintah Orba secara serius mempopulerkan pandangannya dengan membentuk serangkaian birokrasi rumit, namun efektif, karena hingga menyentuh atom-atom elemen masyarakat Indonesia. Maksudnya tidak lain untuk menghilangkan elemenelemen etnis, terutama Cina, di komunikasi keseharian masyarakat. Walhasil, ekspresiekspresi kultural masyarakat Cina terpaksa berubah bentuk namun, sesungguhnya, tetap distinct. Sebagai contoh, nama-nama masyarakat keturunan Cina, yang katanya telah diIndonesia-kan, tetap terlihat, katakanlah, khas Cina. Ketika pertama kali mendapatkan novel Lucy Mei Ling karya Motinggo Busye, yang sebelumnya belum pernah saya dengar karena kalah terkenal dengan karyakaryanya yang lain seperti Malam Jahanam, saya cukup terkejut. Keterkejutan saya ini tentu saja terkait dengan judul novel ini dan masa diterbitkannya (masa yang sedikit disinggung di paragraf sebelumnya). Novel ini diterbitkan pada tahun 1977 yang mana, seperti banyak di buku-buku yang dikutip di Bab II, merupakan masa ‘keemasan’ Orba. Akan tetapi, judul novel ini dengan jelas menggunakan nama khas etnis yang selama masa Orba dianggap tidak ada. Bagi saya ini sebuah nilai tambah di sisi keberanian si penulis untuk mendobrak zamannya karena karya sastra yang bercerita tentang etnis Cina hampir tidak ada. Kita mengetahui bahwa ada penulis-penulis dari kalangan etnis Cina seperti Marga T. yang cukup produktif, akan tetapi di karya-karyanya hampir tidak muncul tokoh-tokoh dengan penjelasan latar belakang etnisnya. Hal-hal seperti nama, agama, adat-istiadat yang biasanya dapat menjadi penanda etnis tertentu selalu absen. Lantas, bagaimana dengan karya Motinggo Busye ini yang memakai nama yang, saya yakin, di benak orang Indonesia, merupakan nama dari kalangan etnis Cina? Sebelum ke sana, berikut adalah ringkasan cerita novel Lucy Mei Ling. Lucy Mei Ling bercerita tentang seorang dokter asal Indonesia bernama Sanjaya yang dikirim untuk belajar di Taiwan University. Di Taiwan, ia bertemu dengan dua
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perempuan yang, kemudian, dengan keduanya, dr. Sanjaya membentuk sebuah hubungan yang rumit. Perempuan tersebut adalah Linda Wu dan Lucy Mei Ling yang seorang mahasiswa di Taiwan University. Pada awalnya, dr. Sanjaya berkawan dengan dua orang Taiwan yaitu Linda Wu dan Lu Chen yang ternyata merupakan teman dekat Lucy Mei Ling. Oleh Lu Chen, di sebuah permainan kartu, dr. Sanjaya diperkenalkan dengan Lucy Mei Ling dan ternyata momen tersebut adalah sebuah momen cinta-padapandangan-pertama bagi kedua orang dari dua bangsa yang berbeda tersebut. Setelah perkenalan tersebut, hubungan antara dr. Sanjaya dengan Lucy Mei Ling pun berlanjut. Keduanya kemudian lebih sering bertemu dan, pada akhirnya, memutuskan untuk berhubungan lebih jauh. Tantangan pertama hubungan keduanya datang dari Linda Wu yang memang menyukai dr. Sanjaya apalagi Linda merasa ‘ditanggapi’ oleh Sanjaya karena keduanya pernah berciuman. Namun, hal tersebut terjadi jauh sebelum Sanjaya berkenalan dengan Lucy. Linda memulai serangannya pada Lucy dengan fitnah-fitnah yang dilontarkan atas diri Lucy. Ia memfitnah Lucy dengan mengatakan pada Sanjaya bahwa Lucy adalah seorang perempuan ‘gampangan’ yang telah dikenal karena banyak berhubungan badan dengan banyak laki-laki termasuk Lu Chen. Bahkan, ia mengatakan kalau Lucy mengidap penyakit kelamin. Akan tetapi, fitnah-fitnah tersebut tidak berhasil mengubah perasaan Sanjaya terhadap Lucy. Tantangan kedua datang dari keluarga Lucy. Lu Sheng Lei, papa Lucy, yang mengetahui hubungan Lucy dengan Sanjaya dari Linda Wu, tidak menyetujui hubungan mereka apalagi di kemudian hari ia mendengar kabar dari Lu Chen bahwa dokter dari Indonesia tersebut pernah berhubungan dengan Linda Wu dan meninggalkannya begitu saja. Namun bukan itu saja alasan ketidaksetujuan Lu Sheng Lei. Alasan utamanya adalah bahwa Lu Sheng Lei telah menjodohkan Lucy dengan anak keluarga Chiang: Chiang Chou-pou. Untuk mencegah hubungan Sanjaya-Lucy berjalan lebih jauh, Lu Sheng Lei memindahkan kuliah Lucy ke sebuah universitas seni yang berjarak jauh dari Taipei, tempat tinggal dan bertugasnya Sanjaya.
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Melalui segala tantangan yang menghadang sebelumnya, Sanjaya dan Lucy dapat bersatu dan membentuk sebuah keluarga. Setelah menikah keduanya tinggal di Indonesia. Lucy memilih untuk menjadi warga Negara Indonesia. Buah hati mereka satu-satunya lahir di Indonesia dan diberi nama Pauline. Akan tetapi pernikahan mereka tak berjalan lama. Telah diketahui sejak awal pertemuan keduanya bahwa ada sesuatu yang salah di dalam tubuh Lucy. Ia mengidap sebuah penyakit yang terkait dengan otak dan mata. Pada sebuah pemeriksaan, Sanjaya mendapat kabar bahwa hidup Lucy tak akan lama lagi. Mengetahui kabar yang mematahkan hatinya tersebut, Sanjaya memiliki rencana lain. Di malam sebelum tanggal yang ditetapkan menjadi malam terakhir hidup Lucy, Sanjaya – untuk menghindari kesedihan karena kehilangan Lucy – memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun sebelum tidur. Benar saja, pada hari berikutnya, Sanjaya tak pernah bangun dari tidurnya. Beberapa saat setelah mengetahui kematian suaminya, Lucy pun meninggal dunia seperti prediksi dokternya. Bagaimana cerita yang berlatar sebagian besar di Taiwan ini terkait dengan kondisi orang Cina di Indonesia? Apakah Taiwan digunakan oleh Motinggo Busye sebagai simbol untuk menggambarkan Indonesia? Ataukah Taiwan dipilih karena memiliki beberapa kemiripan dengan kondisi di Indonesia? Bagaimana perbedaan novel Lucy Mei Ling dengan DBD yang jarak penerbitan berjarak puluhan tahun dengan kondisi masyarakat yang jauh berbeda? Seperti sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dengan beberapa sub-bab yang pembagiannya berdasarkan ranah yang muncul di dalam novel. B.1. Lucy Mei Ling sebagai sebuah usaha menyelamatkan identitas kultural masyarakat Cina dalam politik asimilasi B.1.a. Bahasa Pada masa Orba bahasa Cina dan huruf kanjinya bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah ditemui atau dipelajari bahkan di daerah pertokoan yang rata-rata dihuni
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat Cina. Percakapan-percakapan berbahasa Cina hanya terjadi di ruang ruangruang privat yang dibatasi oleh tembok rumah dan ditutup rapat-rapat bersama dengan bentuk-bentuk kebudayaan mereka yang lain. Bahkan, secara umum, berbicara tentang kebudayaan daerah apapun mendapat tantangannya dengan tidak diperbolehkannya segala peredaran wacana berbau SARA. Kondisi yang menekan bentuk-bentuk kebudayaan Cina tersebut dipertahankan oleh Pemerintahan Orba sampai akhir masanya. Dengan konteks tersebut tentu membutuhkan keberanian tersendiri untuk menceritakan hal-hal yang dianggap tabu oleh penguasa Orba. Lucy Mei Ling mengambil Taiwan, sebuah Negara yang bahasa nasinalnya adalah bahasa Mandarin, sebagai latarnya. Mungkinkah kemudian novel ini menghindari penggunaan bahasa Mandarin, walaupun hanya sekilas, di dalam narasinya? Tentu tidak. Ini bisa jadi langkah menarik yang diambil oleh Motinggo Busye. Dengan bangunan latar sedemikian rupa, ia kemudian dapat, bahkan tak terhindarkan, menggunakan bahasa Mandarin. Paling tidak, jika ia dapat beradu argumen dengan otoritas Orba mengenai penggunaan bahasa Mandarin dalam novelnya, ia dapat menjawab bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari narasi yang dibangunnya. Meskipun tidak banyak bagian (percakapan) dalam bahasa Mandarin namun, bagi saya, Motinggo Busye berani menampilkan sesuatu yang dekat sekali dengan klaim ‘haram’ di masa penulisan novelnya. Titik paling menarik dari munculnya bahasa Mandarin adalah mengungkap bahwa orang Cina di Indonesia memiliki latar belakang dan akar kebudayaannya sendiri. Di masa kini, hal tersebut bukanlah rahasia dan bukanlah sebuah pengetahuan yang sulit didapat. Akan tetapi, di masa Orba, saya pikir tidak semua orang benar-benar memahaminya karena telah bertahun-tahun orang-orang tidak melihat bentuk-bentuk kebudayaan tersebut muncul ke permukaan. Bagi orang pribumi, terutama yang tidak
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tinggal berdekatan dengan orang-orang Cina, tentu bentuk-bentuk kebudayaan tersebut bukan sesuatu yang familiar bahkan mungkin asing. Lebih jauh, penggunaan bahasa Mandarin di dalam Lucy Mei Ling tidak hanya terbatas pada komunikasi antar orang Taiwan saja. Dr. Sanjaya yang dokter asal Indonesia juga acapkali terlibat dalam percakapan dalam bahasa Mandarin. Salah satu contohnya adalah ketika Linda Wu berbincang-bincang dengan Dr. Sanjaya tentang Lucy, jauh sebelum keduanya terlibat cinta segitiga, yang ada di halaman 13, “Hah, saya selalu segan”, kata Sanjaya. “Pukantang”, kata Linda mengganti bahasa Inggerisnya dengan bahas Tionghoa lagi, supaya lebih akrab, dan dia lanjutkan: “Tepien c’ingtao-shehsia t’ant’an-pa …. Hmm, if you’re in convenience, Dr. San!” “Saya memang segan untuk datang kerumahmu untuk ngobrol-ngobrol”, kata Dr. Sanjaya.122
Terlihat di kutipan percakapan tersebut kedua berganti-ganti bahasa antara bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Tampaknya Dr. Sanjaya juga secara aktif dan pasif dapat berbahasa Mandarin karena Linda disebutkan ingin menggunakan bahasa Mandarin “supaya lebih akrab” jadi dalam kondisi yang tidak resmi keduanya memang terbiasa bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin. Posisi Dr. Sanjaya ini, di konteks Indonesia Orba, sangat tidak lazim. Dengan minimnya jumlah tempat kursus di masa itu, jelas tak banyak orang, baik yang pribumi maupun non-pribumi, dapat berbahasa Mandarin. Dapat dikatakan, belajar bahasa Mandarin bukan hal yang menarik untuk dilakukan. Jadi, kemampuannya berbahasa Mandarin tentu saja patut mendapat perhatian khusus. Tokoh Sanjaya bisa jadi asalmuasal kecenderungan sastra Multikulturalis di masa Reformasi. Yang saya maksud adalah kecenderungan mengenal dan mengangkat tema yang tadinya dipinggirkan dengan tokoh-tokoh di dalamnya yang saling berhubungan dengan latar belakang kebudayaan masing-masing dan saling mengenal dan mempelajari satu sama lain seperti 122
(Busye, 1977, p. 13)
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di empat karya dari masa Reformasi yang akan saya bahas di belakang. Mengenal dan menjadikannya satu identitas dengan dirinya sebuah kebudayaan lain adalah semangat yang dibawa di tokoh Dr. Sanjaya yang gemanya diteruskan hingga penulisan karya sastra di Masa Reformasi. B.1.b. Nama Pada awalnya, ketika menbaca novel ini untuk pertama kalinya dan masih berada di lembar-lembar awal, saya mengalami kebingungan denga identitas, menggunakan bahasa Orba, kesukuan Dr. Sanjaya. Nama Sanjaya di kepala saya adalah nama seorang keturunan Cina di Indonesia karena nama tersebut dekat dengan namanama belakang orang-orang Cina di Indonesia yang lazim ditemui seperti Wijaya, Chandra, Tanuwijaya dll. Nama-nama tersebut adalah nama hasil perubahan sesuai dengan kebijakan penguasa Orba yang kebanyakan didapatkan karena kedekatan bunyi atau makna dengan marga-marga orang Cina. Sanjaya bisa jadi merupakan gubahan (baca: pemaksaan) dari nama belakang ‘San’. Namun, setelah beberapa lembar kemudian, saya salah. Nama orang Cina di Kartu Tanda Penduduk-nya adalah urusan yang pelik. Mengidentifikasi mereka bukanlah urusan mudah walaupun di kemudian hari namanama Jawa-nya menjadi mudah dikenali. Di narasi Lucy Mei Ling, nama-nama Cina, baik yang telah mengadaptasi nama depan Barat maupun yang tidak dan masih menggunakan sistem tiga kata atau frasa, dapat dengan mudah ditemui. Bagi orang Indonesia, apalai di masa jayanya Orba, melihat nama belakang asli orang Cina adalah sebuah hal yang ‘mewah’ karena sangat jarang ditemui kecuali mungkin di beberapa daerah di luar Jawa yang mana dulu di masa pemberlakuan kebijakan pergantian tidak terawasi seketat di Jawa dan penduduk Cina-nya cukup banyak seperti di Pontianak atau Singkawang. Dengan nada yang sama dengan ketika menceritakan perihal bahasa Mandarin, saya katakan bahwa Motinggo Busye cukup memiliki nyali untuk mencantumkan nama-nama tersebut.
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lebih jauh, di titik wacana, saya pikir Motinggo Busye ingin memperkarakan kembali hak atas identitas orang Cina di Indonesia. Saya kira ia membayangkan para pembacanya bertanya, “kenapa tidak ada nama seperti ‘Wu’ atau ‘Mei Ling’ di belakang nama orang-orang Cina di Indonesia?” atau “kenapa hampir tidak ada yang bernama, yang di telinga orang Indonesia sangat Cina, seperti Lu Sheng Lei?” Meskipun, secara naratif, tidak se-vulgar itu namun saya pikir dengan serentetan nama Cina tersebut, orang akan mulai berpikir. Namun, apabila dibandingkan dengan panjang novel ini dan pendalaman naratif adegan-adegan lain, sesungguhnya identitas kultural masyrakat Cina terbilang tidak mencolok. Sejauh saya membaca Lucy Mei Ling hanya dua sisi kultural yang terlihat dari orang-orang Taiwan tersebut seperti yang telah saya jabarkan di sub-bab sebelumnya. Sisi-sisi lain seperti adat-istiadat dan kegiatan keagamaan sama sekali tidak terlihat. Dr. Sanjaya tinggal di Taiwan dalam jangka waktu yang cukup lama terutama karena tentu proses belajar di sebuah universitas jelas memakan waktu. Saya pikir selama di Taiwan ia seharusnya melewati waktu-waktu tertentu di setiap tahun yang sakral bagi orang Cina di seluruh dunia seperti Imlek, Sincia Capgomeh dll. Ketiga hari besar yang saya sebutkan tersebut adalah hari-hari besar yang terkait dengan penanggalan dan tahun baru masyarakat Cina. Meskipun Taiwan secara politik berseberangan dengan RRC namun saya yakin Taiwan masih menggunakan penanggalan berbasis peredaran bulan tersebut. Jadi, tidak mungkin tidak ada perayaan berskala besar di Taiwan. Sebagai orang berasal dari Indonesia, cukup logis jika saya berpikir ia seharusnya terkesima, atau minimal tertarik, dengan perayaan-perayaan tersebut karena perayaan-perayaan tersebut tidak mungkin ditemuinya di Indonesia. Jadi, absennya perayaan-perayaan tersebut dalam narasi Lucy Mei Ling cukup janggal. Terkait dengan peribadatan dan adat-istiadat lagi, tidak pernah disinggung tata cara ibadah Buddha atau Konghucu sebagai agama yang dianut sebagian besar rakyat Taiwan. Padahal ia sehari-hari bekerja dan berkomuninkasi dengan orang Taiwan.
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagaimana mungkin ia tidak pernah melihat orang-orang tersebut beribadah? Bagaimana mungkin ia tidak melihat kuil di sepanjang jalan yang ia lewati atau altar di rumah-rumah kolega yang ia kunjungi? Parahnya, ketidakhadiran sisi kultural orang Cina ini juga ditemukan di narasi pernikahan Sanjaya dan Lucy seperti di kutipan berikut : “[t]ak disangka, pesta itu benar-benar sengaja diberikan kesan luar biasa bagi sepasang pengantin, sehingga tujuh juru potret terkenal pun ikut mengabadikan pesta itu bagi album kenangan dua insan yang kawin karena jalinan cinta. O, perkawinan semacam ini memang perkawinan yang sangat abadi, perkawinan bagi dua makhluk yang saling mencintai yang kalau perlu sehidup serta semati.”
123
Terlihat di penjelasan yang cukup singkat tersebut tentang tata cara berdasar adatistiadat Cina yang mereka berdua harus lalui. Tidak ada penjelasan tentang dekorasi yang biasanya penuh warna merah dan emas. Tidak ada upacara sujud memberii penghormatan pada orang tua. Padahal acara tersebut digelar di Taipei. Satu-satunya penjelasan di sisi kultural adalah baju pengantin yang digunakan Lucy yang penuh dengan simbol liong. Tapi, kemana atraksi liang-liong atau barongsai-nya? Kasus yang lain adalah hal-hal yang terkait dengan kegiatan sehari-hari seperti makan. Karena novel ini berlatar Taiwan tentu akan dengan mudah ditemui rumahrumah makan bergaya Cina dengan segala jenis menu dan perangkat makannya yang khas seperti mangkuk dan sumpit. Hal-hal seperti itu, yang saya kira seharusnya menarik perhatian Dr. Sanjaya, terutama di awal-awal kedatangannya di Taiwan, ternyata tidak muncul di narasi. Padahal banyak bagian di dalam novel yang bercerita tentang makan malam yang melibatkan Dr. Sanjaya. Salah satunya adalah ajakan Lucy pada Dr. Sanjaya bersama beberapa teman lain untuk makan malam di New Angel Hotel. Di sana hanya disebutkan bahwa rumah makan tersebut memiliki menu “makanan laut yang enak sekali”.124 Tidak diikuti penjelasan lain seperti ke-khas-annya yang membuatnya tidak ditemukan di manapun. Padahal, dalam percakapan 123 124
Lih. Ibid., hal. 458-459 Lih. Ibid., hal. 16
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersebut Lucy membahasakan Dr. Sanjaya sebagai “tamu Indonesia kita” yang artinya Dr. Sanjaya dianggap datang dari latar belakang yang berbeda dan seharusnya dibuat menjadi tertarik dengan penjelasan lebih jauh tentang makanan laut tadi. Tapi ternyata tak satu pun dari ‘suguhan’ tersebut yang menarik Sanjaya. Sedikitnya identifikasi kultural terhadap tokoh-tokoh Cina ini semakin tertutupi dengan attitude Lucy setelah menikah dan pindah ke Indonesia bersama suami dan anaknya. Di masa tersebut Lucy menjadi sangat nasionalis ke arah Indonesia dan orang tuanya pun mengamini nasionalismenya tersebut. Identitasnya di Taiwan seperti tak berbekas dan dengan semangatnya menerima ke-Indonesia-annya tanpa mempedulikan sejarah yang ia miliki di Taiwan. Menurut saya, dengan pendekatan naratif semacam itu Lucy Mei Ling memiliki kecenderungan untuk percaya pada jalan keluar versi Orba atas Chinesche Kwestie yaitu penghilangan sejarah dan identitas masyarakat Cina di Indonesia supaya mereka dapat dengan segera di-Indonesia-kan (di-pribumi-kan?). B.2. Wacana Cina sebagai identitas ekonomi Dengan membaca sub-bab B.1. dapat disimpulkan bahwa identitas orang Cina tidak dibangun melalui pondasi kultural karena jelas wacananya tidak mencukupi. Jadi, bagaimana kemudian Motinggo Busye membangun identitas-identitas Cina yang ada? Kemana ia beralih? Mengingat kuatnya ideologi Orba yang disokong dengan segala macam program ‘cuci otak’-nya, tentu narasi novel Lucy Mei Ling beralih ke arah yang telah ditentukan oleh wacana Simbolik Orba di masa tersebut. Tiga puluh dua tahun panjangnya Orde Baru adalah titik terendah sekaligus titik tertinggi masyarakat Cina di Indonesia. Di sisi kultural, mereka memang dihabisi hingga titik terendahnya dengan segala bentuk pelarangan yang dipaksakan atas ekpresiekspresi kultural mereka. Akan tetapi, di sisi yang lain, orang-orang Cina dari golongan tertentu bukanlah sosok-sosok asing di dalam mesin Orba. Suharto membangun ekonomi Indonesia salah satunya dengan memanfaatkan sisa-sisa kekuasaan kolonial
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang terpatri kuat di dalam tubuh masyarakat Cina. Sejak masa kolonial, orang-orang Cina banyak didatangkan oleh Belanda untuk memperluas jaringan kekuasaan ekonominya . Sebelum masa Hindia-Belanda, ketika nusantara masih berada di tangan VOC, merambah bahan-bahan baku di pedalaman Kalimantan adalah sebuah pekerjaan yang tak dapat dilakukan VOC sendiri. Dalam kerangka tersebutlah banyak orang Cina yang kemudian didatangkan entah sebagai kuli maupun tauke. Dengan begitu, sejak awal, orang-orang Cina memang diposisikan untuk hanya berada di sisi ekonomi semata karenanya sebagian besar dari masyarakat ini mapan di sisi ekonomi. Itulah yang belum terpecahkan dan dimanfaatkan Orba. Tidak dapat dipungkiri, ketika membangun ekonomi Indonesia, Suharto memanfaatkan jaringan yang dimiliki orang-orang Cina. Lihat saja nama-nama pengusaha seperti Ciputra dan Sudono Salim yang tentu tidak asing dan besar usahanya di masa Orba. Posisi kedua pengusaha tersebut benar-benar mirip dengan Tjong A Fie di masa kolonial yang kemegahannya warisan masih dapat kita lihat sampai sekarang di pusat kota Medan. Suharto memperlakukan masyarakat Cina tidak ubahnya seperti VOC memperlakukan kuli-kuli dan tauke-tauke Cina yang diperas secara ekonomis. Kembali ke Lucy Mei Ling, saya tidak memndapat informasi apakah Motinggo Busye sebelum, atau ketika, menulis novel ini melakukan perjalanan ke Taiwan. Tapi, image dan wacana yang saya tangkap ketika membaca narasi tentang orang-orang Cina di sekitar Sanjaya adalah image dan wacana tentang anggota keluarga Ciputra atau Sudono Salim. Hampir tidak ada kolega Sanjaya di Taiwan yang bukan bagian dari kaum jetset. Sanjaya pertama kali melihat Lucy di padang golf ketika ia bermain bersama Lu Chen dan Linda Wu. Mereka sering sekali menginap dan makan di tempattempat yang, dilihat dari namanya, mewah. Mereka kerap kali berlibur ke tempat-tempat eksotis di pinggiran kota dan, di kasus Lucy, keluarganya telah berlangganan di sebuah kondominium di tempat wisata Kaohsiung. Lebih jauh, melihat sekali lagi prosesi pernikahan Sanjaya dan Lucy, gayanya begitu khas keluarga Cina kaya di Indonesia. Di satu sisi, tidak ada kegiatan yang berangkat dari adat-istiadat dan keagamaan karena
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dilarang. Namun, sisi lain, prosesinya dipenuhi dengan kemewahan seperti hadiah dari keluarga Lucy, yang mengejutkan Sanjaya, yang berbentuk batangan emas bernilai seratus juta dalam kurs rupiah. Hingga di titik ini, saya yakin Motinggo Busye memang mengambil image-image tersebut dari keluarga pengusaha Cina yang kaya di Indonesia. Taiwan hanyalah latar yang memudahkannya bercerita tentang orang Cina. Cerita-cerita tentang orang-orang di sekitar Sanjaya adalah wacana-wacana yang membangun identitas Cina sebagai sebuah identitas yang ditentukan oleh wacana ekonomi. Kenyataan tersebut adalah jalan alternatif yang ‘harus’ ditempuh Motinggo Busye untuk bercerita tentang masyarakat Cina. Jadi, seperti petunjuk Bapak Presiden, mengutip kata (baca: mantra) Harmoko, orang Cina adalah masyarakat yang identitasnya bergantung pada ranah ekonomi dengan segala ‘efek samping’-nya seperti keculasan, gila harta etcetera.
C. Ca-Bau-Kan: narasi tentang orang Cina di antara stereotip, trauma pada kekerasan dan pengangkatan kultural C.1. Ca-Bau-Kan dan penulisnya Ca-Bau-Kan adalah sebuah novel yang ditulis oleh Remy Sylado (Yapi Tambayong), sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Ia banyak terlibat di dunia kesenian Indonesia mulai dari teater hingga seni rupa. Seperti halnya kegiatannya, tulisan-tulisannya juga tidak terbatas pada satu disiplin ilmu tertentu. Ia banyak menulis tentang bahasa, dramaturgi, sastra, bahkan teologi. Ca-Bau-Kan adalah karya ke empat dari Remy Sylado. Novel ini diterbitkan tahun 1999 dengan berselang hanya satu tahun setelah runtuhnya Rezim Soeharto. Novel, yang pernah dipublikasikan di Republika ini, adalah salah satu novel paling awal yang menceritakan tentang kehidupan orang-orang Cina di Indonesia di masa Reformasi dan, pastinya, proses penulisannya masih berada di kurun waktu 90-an yang mana Soeharto masih berjaya. Lebih jauh, dalam timeline sejarah sastra Indonesia, Remy
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masuk ke dalam golongan sastrawan 80-an yang artinya wacana besar tentang Cina di sekitarnya saat itu adalah wacana rasis a la Orba dan Remy bukanlah seorang keturunan Cina. Adalah sebuah fakta sosial bahwa ada segudang stereotip terhadap kaum minoritas Cina dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana Remy Sylado menghadapinya? Sudut pandang macam apa yang dipakainya untuk menceritakan masyarakat Cina Indonesia? Secara garis besar Ca-Bau-Kan bercerita tentang kehidupan Tinung dan Tan Peng Liang yang hidup di awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Narator novel ini adalah nyonya G. P. A. Dijkhoff alias Giok Lan, anak dari Tinung dan Tan Peng Liang. Setelah berpuluh tahun tak kembali ke Indonesia, setelah diadopsi oleh sebuah keluarga Belanda, ia kembali ke Indonesia dan, pelan-pelan, mencari asal-usul. Cerita tentang kedua orangtuanya, Tinung dan Tan Peng Liang, muncul dan menjadi cerita utama dalam kerangka pencarian jati diri tersebut. Di Indonesia, Giok Lan menemukan bahwa kisah cinta ayah-ibu-nya tak seindah yang dibayangkan. Tinung, alias Siti Noehaijati, adalah perempuan betawi miskin yang, karena tuntutan ekonomi dan dorongan orang tuanya,menjadi seorang pelacur (cabo’an) di Kali Jodo. Ia kemudian dijadikan nyai oleh Tan Peng Liang, yang asal Bogor dan bukan ayah Giok Lan si narator. Setelah melarikan diri, ia belajar ke Njoo Tek Hong agar dapat bekerja sebagai penyanyi cokek di orkes milik Njoo Tek Hong. Ketika menyanyi di sebuah acara yang menyewa jasa Tek Hong, Tinung kemudian bertemu Tan Peng Liang yang lain, asal Semarang (bapak dari Giok Lan si narrator). Dari sana lah, naik-turunnya konflik novel ini benar-benar dimulai. C.2. Ca-Bau-Kan dan identitas kultural Cina C.2.a. Bahasa Adalah sebuah kenyataan bahwa identitas para pemukim Cina di Hindia Belanda sebagai sebuah bangsa yang satu merupakan bagian dari politik segregasi pemerintah kolonial Belanda. Karena Ca-Bau-Kan ditulis berpuluh tahun setelah masa jaya politik segregasi, penulisnya, Remy Sylado, tentu memiliki cara yang berbeda dengan KTH yang hidup di zaman pemisah-misahan berdasar bangsa tersebut. Remy Sylado hidup di 124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
zaman dengan ideologi yang berbeda tentu menanggapi politik segregasi menggunakan kacamata ideologi zamannya. Di novel ini, Remy Sylado, alih-alih berfokus untuk menyatukan pribumi dengan bangsa Asia asing seperti KTH, mencoba memecah apa yang oleh pihak pemerintah kolonial sebagai Bangsa Cina. Di novel ini ia tidak percaya bahwa memang, secara kultural, semua orang yang bermata sipit dan berkulit lebih terang berada di bawah satu payung identitas. Bahasa adalah salah satu sisi kultural yang dapat membuat orang-orang Cina tidak dapat, dengan begitu saja, diletakkan dalam satu kotak identitas. Yang dimaksud Remy Sylado dengan bahasa yang memecah identitas orang-orang Cina adalah dialek lokal yang diserap orang-orang Cina. Di novel ini, paling tidak, terdapat empat dialek berbeda tergantung asal daerah orang-orang Cina tersebut di Hindia Belanda. Dialekdialek tersebut adalah dialek Semarangan, Betawi, Sunda dan yang ke empat adalah dialek yang masih kental dengan bahasa Cina Daratannya atau Kou-Yo. Jadi, sekarang, mari kita lihat satu per satu. Sebagai representasi orang Cina yang lahir dan besar di daerah Jawa Tengah, dengan dialek Semarangan, adalah Tan Peng Liang yang ayah dari Giok Lan. Ia berasal dari Semarang dan pindah ke Batavia untuk berdagang. Ia tidak dapat berbahasa Kou-Yo. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa campuran antara Bahasa Melayu Lingua Franca, Bahasa Jawa dan Bahasa Hokkian. Remy Sylado bahkan di dalam novelnya memberii beberapa contoh istilahistilah yang sering digunakan: “[j]ika ia berkata “dia”, yang diucapkannya adalah “diake; kata “di mana” menjadi “ada mana” atau “dah mana”; “ambilkan” jadi “ambik-ke”; “tidak dapat” jadi “ndak isa”; “lihat” jadi “liak”; “cantik” jadi “ciamik”; “sial” jadi “cialat”; dan seterusnya”.125 Berikutnya adalah Tan Peng Liang yang merupakan orang Cina pertama yang mengangkat Tinung menjadi nyai-nya. Ia adalah seorang Hokkian yang lahir dan besar di Bogor sehingga Bahasa Sunda sangatlah dekat dengan dirinya. Kenyataan tersebut
125
(Sylado, 2001, p. 65)
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membuatnya berbahasa yang hasil campuran antara Bahasa Sunda dan Bahasa Hokkian.
Yang ketiga adalah Njoo Tek Hong. Ia adalah seniman yang besar di Batavia sehingga sudah menggunakan Bahasa Betawi untuk keperluan sehari-hari. Kutipan ini adalah contohnya, “Njoo Tek Hong senang. “Bagus!” kata dia. Lalu dia ketawa keras. Melengking. “Nah, sekarang gue terima lu jadi murid. Gua jadiin lu cokek paling hebat di ini Betawi. Cokek nyang jagoan nyanyi lagu klasik Cina. Cokek yang bakalan jadi lu punya yeh, ngarti kagak, lu?”.126 Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana Tek Hong dengan luwesnya menggunakan kata ganti seperti “lu” dan “gue” namun laki-laki tua, yang selalu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan kata-kata “ngarti kagak lu?” itu, juga tetap memakai istilah-istilah dalam Bahasa Hokkian seperti “yeh”. Yang ke empat adalah orang-orang Cina, yang jadi antagonis di Ca-Bau-Kan kecuali Lie Kok Pien, yang tergabung dalam Kong-koan bentukan Belanda. Kelompok ini adalah kelompok elit di kalangan Cina yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi. Mereka ini, antara lain, adalah Oey Eng Goan (ketua), Timothy Wu, Lie Kok Pien, Thio Boen Hiap dll. Sebagian besar dari mereka besar di Batavia, kecuali Timothy Wu yang lulusan Singapura. Rata-rata dari mereka memiliki jaringan orang-orang Cina di berbagai Negara. Sehingga mereka masih lancar memakai Bahasa Kou-Yo atau Hokkian. Berikut adalah contohnya, yang saya ambil ketika mereka membicarakan tanggapan Liem Koen Hien atas pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai, “…“[b]agaimanapun Wo tidak suka pernyataan Liem Koen Hien terhadap pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai. Tidak seharusnya Liem omong begitu. Apa-apaan dia meralat yang kepalang dia ucapkan?” Lie Kok Pien, yang selalu tak sejalan dengan Oey Eng Goan, meremehkannya. Katanya, “Itu urusan dia. Urusan kita bukan itu, tapi apa sikap kita di depan seandainya Indonesia betul-betul menerima kemerdekaannya dari Jepang.” “Tidak,” kata Oey Eng Goan. “Omongan Liem di Donkoritsu Zunbi Chosakai tidak taktis. Itu bisa dianggap generalisasi terhadap semua Tionghoa. Harusnya dia tak perlu meralat. Sebab dia harus tahu, semua Tionghoa di seluruh dunia, memiliki satu kebangsaan, yaitu Tionghoa, dan dua kewarganegaraan, yaitu Tiongkok dan negeri di mana dia berdiri untuk sementara.” “Itu betul. Seratus persen betul,” kata Thio Boen Hiap mendukung Oey Eng Goan. “Sebentar,” kata Lie Kok Pien, merasa nasteng. “Wo memang tidak bilang itu salah.
126
Ibid., hal. 49
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Yang Wo pikirkan, seandainya, nah, perhatikan, Wo bilang ‘seandainya nanti Indonesia dapat kemerdekaannya, apa tatanan status quo masih bisa bertahan? Maksud Wo, kenapa kita tidak fleksibel. Ingat pepatah kita, ‘qianli zhi xing, shi yu xia’. Di dalam pidato Bung Karno itu, tergambar dengan jelas tentang cita-cta satu kebangsaan yang – seperti katanya ‘bhineka tunggal ika’ – artinya inter-rasial dan inter-tribal”…”127
Ciri khas yang paling terlihat di kelompok ini adalah kata ganti orang yang masih menggunakan Bahasa Kou-Yo yaitu “wo”, atau “saya”, dan “ni” yang berarti anda. Artinya, pengaruh Bahasa Kou-Yo di dalam diri mereka sangat kuat. Lebih jauh, bahasa Melayu mereka adalah Melayu TInggi. Tentu ini dikarenakan kedekatan organisasi ini dengan penguasa kolonial. Dengan ragam bahasa ini, menurut Ca-Bau-Kan, terdapat empat identitas orangorang Cina yang mana membuat konsep Vreemde Oosterlingen menjadi absurd. Lebih jauh, orang-orang Cina ini telah terpecah ke dalam banyak identitas sesuai dengan wilayah mereka dibesarkan di Hindia Belanda. Melalui pendalaman di sisi bahasa, Remy melawan penyatuan identitas orang-orang Cina karena baginya orang-orang Cina tersebut juga asing satu dengan lainnya. C.3.Ca-Bau-Kan dan identitas sosial-ekonomi-politik Cina C.3.a. Ekonomi Adalah sebuah fakta sejarah bahwa sebagian besar orang Cina yang datang ke tanah Hindia-Belanda, dan bahkan sebelum bernama Hindia-Belanda, memiliki latar belakang dan tujuan ekonomis, entah yang sebagai tauke (pedagang besar) atau sebagai kuli perkebunan. Baru di awal abad ke-20, latar belakang lain, seperti politik, mendorong orang Cina datang ke Hindia-Belanda. Artinya memang orang-orang Cina ini di Hindia-Belanda kehidupannya ada di arena ekonomi atau perdagangan. Hal tersebut tentu juga berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap orang-orang tersebut walaupun tidak selalu dalam artian yang menyenangkan. Saking kuatnya basis ekonomi orang-orang ini, di bukunya, Lea Williams bahkan menggunakan istilah ‘trading minority’ untuk menyebut orang-orang Cina ini; sebuah penamaan di luar kebangsaan yang dikedepankan oleh Belanda di masa Kolonial.
127
Ibid., hal. 321-322
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Novel Ca-Bau-Kan tampaknya sulit untuk tidak mengamini sejarah tersebut. Hampir seluruh tokoh-tokoh Cina di dalamnya ada di lingkaran perdagangan berskala besar. Tan Peng Liang, yang berlogat Semarangan, adalah seorang pedagang tembakau. Karenanya ia bersitegang dengan Oey Eng Goan, yang anggota Kong-koan, yang juga pedagang tembakau. Jika dilihat lebih jauh, cara mereka saling menjatuhkan adalah cara-cara khas dunia perdagangan seperti membakar gudang, memamerkan kekayaan, menjatuhkan nama dan penipuan. Keduanya melakukan hal tersebut. Artinya meskipun Tan Peng Liang adalah ‘orang baik’-nya di novel ini namun ia tetaplah seorang Cina yang pedagang dengan semua triknya. Di sisi yang sama ada Tan Peng Liang yang asal Bogor. Ia merupakan pemilik perkebunan pisang di Sewan. Ia juga membuka usaha rentenir atau ‘Tien Terug Twaalf’ (‘sepuluh kembali duabelas’) yang memakan banyak korban. Di lain pihak ada Njoo Tek Hong yang pemilik sebuah kelompok musik. Tek Hong sedikit berbeda wilayah perdagangannya karena skalanya jelas tak sebesar Tan Peng Liang maupun orang-orang di Kong-koan. Namun tidak itu saja perbedaannya, Tek Hong digambarkan lebih sebagai seorang seniman aneh yang dengan hampir cumacuma mengajari Tinung menyanyi cokek. Ia bukanlah seorang Cina dengan mental pedagang seperti kelompok sebelumnya. Di kelompok Tek Hong, hampir-hampir tidak ada yang lain kecuali petani-petani Cina di Sewan yang korban Tan Peng Liang si rentenir. Namun, baik Tek Hong maupun para petani tersebut tidak memiliki perang vital di keseluruhan cerita Ca-Bau-Kan. Di sisi pribumi yang berperan banyak secara keseluruhan di Ca-Bau-Kan, orangorang pribumi ini tidak dapat dikelompokkan ke dalam sebuah corak ekonomis tertentu. Tinung adalah perempuan Betawi yang gonta-ganti pekerjaan; mulai dari pelacur hingga penyanyi cokek. Max Awuy yang selalu hadir dari adegan pertama Tinung adalah seorang wartawan yang di kemudian hari menjadi pejuang. Kakak sepupu Tan Peng Liang asal Semarang, Soetardjo Rahardjo, adalah seorang aktivis yang ikut perang. Jeng Tut adalah seorang komunis yang pedagang senjata juga. Dari empat tokoh tersebut
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tampak bahwa mereka tidak dapat disatukan secara ekonomis dan, secara ekonomis, tidak ada satupun yang sesukses tokoh-tokoh Cina. C.3.b. Sosial dan Politik Di sub-bab bagian ini yang dimaksud dengan politik adalah orientasi politik orang-orang Cina. Yang dilihat adalah cara pandang mereka atas kemerdekaan HindiaBelanda serta loyalitas politiknya. Di masa yang dijadikan latar novel tersebut orangorang Cina di Hindia Belanda dikelompokkan ke dalam sebuah golongan yang bukan pribumi namun juga bukan orang kulit putih. Mereka dianggap warga negara Cina Daratan, yang orang asing, namun di beberapa sisi dianggap setara dengan pribumi. Dengan begitu, orientasi politik mereka menjadi menarik karena keberadaannya yang serba tidak jelas. Bagaimana Ca-Bau-Kan menanggapinya? Di Ca-Bau-Kan, orang-orang Cina di Hindia Belanda kembali dipecah menjadi beberapa faksi politik yang masing-masing memiliki loyalitasnya sendiri; sebuah pendekatan yang mirip dengan yang terjadi di sub bab bahasa. Di awal cerita hanya terdapat dua faksi saja yaitu, kelompok yang mendukung kemerdekaan Hindia Belanda dan yang masih ragu-ragu. Hal tersebut terkait dengan status mereka di Hindia Belanda nantinya setelah merdeka. Ini terjadi di dalam obrolan di Kong-koan yang telah dikutip di bagian Bahasa. Di satu pihak, yang masih gamang, yang diwakili Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap, menyatakan keinginannya agar tetap memiliki kewarganegaraan Cina juga selain Hindia Belanda. Pihak lainnya, yang diwakili Lie Kok Pien, menginginkan untuk mendukung sepenuhnya usaha kemerdekaan Hindia Belanda dan menjadi orang Indonesia karena ia percaya pada konsep Bhineka Tunggal Ika. Yang menarik, obrolan yang dengan terbuka membicarakan masalah kewarganegaraan ini hanya terjadi di Kong-koan saja. Orang-orang yang telah ‘lebih pribumi’, dari sisi bahasa, seperti dua Tan Peng Liang dan Njoo Tek Hong tidak pernah membicarakannya dengan terbuka. Orang-orang di luar Kong-koan ini tampaknya telah menerima identitasnya sebagai orang Hindia Belanda semata. Itu terbukti dengan tindakan Tan Peng Liang yang bersedia membantu perjuangan dengan membiayai pergerakan dan, di kemudian hari, menyelundupkan senjata dari Jeng Tut. 129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di akhir cerita, baru kemudian bermunculan faksi-faksi yang lebih kecil hingga titik partai. Mr. Liem Kiem Jang dan Timothy Wu cenderung pada Kuo Min Tang dan memasang foto Chang Kai Shek di dinding rumah mereka, sementara Oey Eng Goan dan Kwee Tjwie Sien berkiblat ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang komunis, dan memasang foto Mao Tse Tung di dinding rumah mereka. Oey Eng Goan belakangan menjadi pendukung PKI melalui partai golongan Tionghoa komunis BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).128 Dengan temuantemuan ini, artinya Ca-Bau-Kan ingin memecah identitas orang-orang Cina yang sering kali sikap sosial-politiknya dipukul rata secara keseluruhan. Sepertinya ini adalah politik Ca-Bau-Kan agar serangan membabi-buta terhadap orang-orang Cina di tahun 1998 tidak terulang kembali. Itu adalah sebuah kemungkinan mengingat dekatnya peluncuran novel ini dengan hari-hari gelap Mei 1998.
C.4. Ca Bau Kan sebagai sebuah perayaan kultural Yang terlihat sangat membekas di benak Remy Sylado ketika menyusun narasi novelnya ini adalah penindasan kultural masyarakat Cina selama masa Orde Baru. Meskipun tidak disebutkan dengan terang (hanya di bagian sekapur sirih) di narasinya karena memang latarnya yang berada jauh di belakang masa Orde Baru – namun titik berat narasinya yang ‘merayakan’ ekspresi kultural masyarakat Cina menunjukkan hal tersebut. ‘Perayaan’ bahasa, nama, hari besar dan lain-lain adalah jalan yang diambil oleh Remy Sylado untuk mengatasi permasalahan dengan identitas Cina di Indonesia yang ditinggalkan Orde Baru. Ca Bau Kan, bagi saya, adalah sebuah tanggapan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif Orde Baru. Di masa Orde Baru, sebagaimana telah saya jabarkan di bab sebelumnya, menganut pendekatan asimilatif untuk mengatasi permasalahan pribumi-non-pribumi yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumya. Dengan pendekatan semacam itu, masyarakat Cina Cina tidak diberi ruang gerak di wilayah kultural dan hanya 128
Ibid., hal. 380
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diperbolehkan untuk berkembang bebas di wilayah ekonomis. Hilangnya identitas kultural masyarakat Cina di masa Orde Baru tersebutlah yang mendorong Remy Sylado untuk menghidupkan kembali identitas tersebut. Contoh terbaik yang digunakan untuk memberi gambaran tersebut adalah pengelompokkan masyarakat Cina berdasarkan ekspresi kulturalnya. Tokoh-tokoh Cina di novel ini dibagi, dan dibedakan satu dengan lainnya, berdasarkan kebudayaan yang paling mempengaruhinya; ada yang memiliki dialek Sunda, Jawa, Betawi dan lain-lain. Perayaan semacam itu saya lihat memiliki kedekatan dengan pendekatan multikulturalisme yang mengedepankan identitas kultural sebuah kelompok masyarakat. Dalam teori multikulturalisme, ekspresi kultural setiap kelompok masyarakat harus dihargai dan memiliki tempat yang sama dengan ekspresi kelompok-kelompok lain karena semua bentuk kebudayaan bersifat setara satu sama lain. Di kasus masyarakat Cina di Indonesia, ekspresi kultural masyarakat Cina tidak mendapatkan ruang hidup terutamanya
di
masa
Orde
Baru.
Karenanya,
jika
menggunakan
logika
multikulturalisme yang digunakan Remy Sylado, ekspresi-ekspresi kultural tersebut harus mulai dimunculkan ke kesadaran publik lagi agar terjadi kesetaraan. Kesetaraan dengan memberi ruanh hidup bagi ekspresi kultural masyarakat Cina inilah yang menjadi titik yang ingin dituju oleh Remy Sylado melalui Ca Bau Kan. Akan tetapi, ada sebuah permasalahan yang tak dibahas dengan mendalam oleh Remy Sylado dan menjadi sebuah ganjalan di narasi ciptaannya: permasalahan ekonomi. Secara ekonomis, tokoh-tokoh Cinanya tampak tidak setara dengan tokoh-tokoh pribumi karena hampir semua tokoh Cina merupakan pemilik usaha besar dan mapan secara ekonomis. Fenomena ini juga melupakan salah satu masalah terkait dengan identitas Cina yang merupakan warisan dari rezim-rezim pemerintahan yang lalu. Kenapa hal tersebut tidak tersentuh? Kenapa narasi jalan keluar terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia
hanya
menempatkan
mereka
sebagai
korban
semata?
Apakah
multikulturalisme tidak memiliki metode untuk melihat hal tersebut?
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D. Putri Cina : sebuah lamentasi atas posisi diuntungkan masyarakat Cina D.1. Putri Cina dan sekitarnya Putri Cina ditulis oleh seorang romo keturunan Cina, bermarga Liem, yang cukup ternama di arena kesenian Indonesia bernama Sindhunata atau yang biasa dipanggil Romo Sindhu. Romo Sindhu lahir di kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada tanggal 12 Mei 1952. Ayahnya bernama Liem Swie Bie dan ibunya bernama Koo Soen Ling. Ia tinggal di Malang hingga menyelesaikan pendidikannya di Seminarium Marianum, Lawang, Malang, di tahun 1970. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakra Jakarta dan Institut Filsafat Teologi Kentungan Yogyakarta (hingga 1980). Kemudian, studi doktoralnya ia jalani di Hocshule fur Philosophie, Philosophische Fakultat SJ Munchen, Jerman (1986-1992) dengan disertasi bertajuk Menanti Ratu Adil-Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes Petani di Jawa Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20. Mulai tahun 1970-an, hingga kini, ia telah berkecimpung di dunia kepenulisan terutama di dunia jurnalisme. Ia pernah menjadi wartawan untuk majalah terbitan Balai Pustaka, Teruna. Kini ia menjadi penulis feature dan berbagai macam rubrik di banyak koran dan majalah. Ia juga merupakan penanggung jawab sekaligus pemimpin redaksi majalah BASIS. Sejak tahun 1980-an, ia telah menjadi salah satu penulis produktif di Indonesia. Ia tidak hanya menulis karya sastra namun juga karya non-fiksi dengan beragam tema mulai dari yang dianggap serius seperti filsafat Jawa dan filsafat Barat hingga hal-hal yang dianggap remeh, namun dekat dengan masyarakat Indonesia, seperti sepak bola. Karya sastra buah pemikirannya antara lain Anak Bajang Menggiring Angin, Air KataKata, Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka etcetera. Selain menulis karya dalam Bahasa Indonesia, ia juga menulis dalam Bahasa Jawa. Karya sastra dalam Bahasa Jawa dari Romo Sindhu antara lain, Aburing Kupu-kupu Kuning, Redi Merapi dan lain-lain. Lebih jauh, dari sekian banyak karya fiksinya, baik yang ber-Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa, hanya Putri Cina yang berkutat dengan masalah Cina. Tampaknya, Romo Sindhunata memang tak mau melewatkan kesempatan jatuhnya Orba untuk kembali berbicara tentang orang Cina di Indonesia. 132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada awalnya, Putri Cina adalah sebuah tulisan pengiring di sebuah pameran lukisan Hari Budiono yang hendak bercerita tentang orang-orang Cina di Indonesia. Kemudian, oleh Romo Sindhu tulisan tersebut dikembangkan menjadi sebuah novel dan diberi judul sama dengan tajuk pameran lukisan tadi: Putri Cina. Putri Cina terbit setahun setelah pameran tersebut. Novel tersebut terbit ketika tema tentang Cina di Indonesia telah lazim dibicarakan dan perayaan-perayaan masyarakat Cina telah di‘halal’-kan kembali. Dengan kondisi ini, tentu saja, Putri Cina memiliki kebebasan bertutur yang tidak dimiliki novel-novel yang terbit di masa Orba. Walaupun begitu, tetap ia memiliki batasannya seperti yang ditemukan novel-novel yang sebelumnya telah ditelaah lebih jauh di atas. Secara garis besar, Putri Cina bercerita tentang seorang perempuan asal Cina Daratan yang kemudian menjadi diperistri raja-raja di Jawa dan ikut terombang-ambing dalam gelombang politik di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh utama yang mampu melintasi batas ruang dan waktu sehingga mengetahui masa lalu dan masa depan terkait dengan kondisi kehidupan orang-orang Cina di tanah Jawa. Namun, hal tersebut tidak terjadi begitu saja. Putri Cina digambarkan seperti orang yang kehilangan ingatan sehingga sebelum mengetahui segalanya ia merunut asal-muasal dirinya melalui cerita-cerita gabungan antara cerita-cerita kuno Cina dan Jawa. Putri Cina adalah anak perempuan dari keluarga miskin di sebuah desa bernama Yut-Wa-Hi. Ibunya bernama Kim Liyong. Ia sampai di tanah Jawa karena Kaisar Cina memintanya agar mau menjadi istri kelima Prabu Brawijaya. Namun, setelah beberapa waktu saat tengah mengandung, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya Putri Cina diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang memerintah di Palembang (Arya Damar). Di Palembang, Putri Cina melahirkan anak Prabu Brawijaya bernama Raden Patah. Ia juga mendapat anak dari Arya Damar bernama Raden Kusen. Raden Patah dan Raden Kusen, di kemudian hari, memeluk Islam dan mendirikan Kerajaan Demak yang menggulingkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kejadian penggulingan kekuasaan Majapahit tersebut adalah cerita pertama tentang orang Cina dalam pusaran konflik-konflik di tanah Jawa. Dengan bantuan tokoh 133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bernama Sabdopalon-Nayagenggong yang mampu memberi penglihatan ke masa depan, Putri Cina lantas menyaksikan naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Ceritacerita berlatar naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa tersebut kemudian terus muncul hingga akhir novel. Satu hal yang selalu disaksikan oleh Putri Cina dalam konflik-konflik tadi adalah dikorbankannya orang-orang Cina. Salah satunya adalah kejadian di Pedang Kemulan yang mana kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diarahkan kepada orang-orang Cina, bahkan yang juga anak dan istri dari panglima Medang Kemulan. Tidak berhenti sampai di situ, dengan lompatan ruang-waktu yang cukup jauh, bahkan Putri Cina juga dapat bercerita tentang pembantaian orang-orang Cina oleh Belanda di tahun 1740. Bagi Putri Cina, semua darah orang Cina yang tertumpah di tanah Jawa ini aneh mengingat darah Cina yang mengalir di dalam diri di banyak raja di Jawa. Lebih jauh, menurutnya di dalam diri orang-orang Cina tersebut juga mengalir darah biru Jawa karena perkawinan Jaka Prabangkara, anak Prabu Brawijaya, dengan perempuan Cina yang merupakan adik dari si Putri Cina. Karenanya, ia menganggap bahwa ia bukanlah tamu melainkan juga seorang pribumi. Jadi, seperti apa sebenarnya wacana tentang Cina menurut Putri Cina? Mari kita mulai saja pembicaraan lebih dalam tentang novel ini. D.2. Putri Cina dan Identitas kultural Cina D.2.a. Asal Muasal dan Kedekatan Darah Di bagian awal novel ini, Putri Cina. yang diposisikan sebagai tokoh perwakilan orang-orang Cina, digambarkan sebagai orang yang hilang identitasnya. Ia tidak tahu dari mana ia berasal. Ia seperti tercabut dari akarnya. Meskipun begitu, anehnya, ia menggambarkan perasaan ketercabutannya melalui sajak seorang penyair Cina T’ao Ch’ien yang tentu, di masa itu, sangat sedikit orang yang mengenal penyair tersebut di luar Cina. Bukankah itu berarti ia sesungguhnya, paling tidak, sedikit mengetahui tentang identitas kebudayaannya? Nanti kegamangan semacam ini akan dibahas lebih lanjut. Yang pasti, ia “[k]atanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tidak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekalipun ia
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tak pernah”.129 Dengan kata lain, kegamangan identitasnya terletak di titik bahwa ia tak tahu kemana harus menyandarkan identitasnya karena yang ia sebut sebagai ‘tanah leluhur’ sudah tak dikenalnya. Hal pertama yang dipertanyakan si Putri Cina yang hilang ingatan adalah identitas asalnya. Diceritakan ia memang berasal dari Cina karenanya ia disebut sebagai Putri Cina. Ia datang dari sebuah negeri yang jauh yang kemudian menjadi ‘tamu’ di tanah orang meskipun sebagai permaisuri raja. Ia beranggapan orang-orang Cina yang lain juga memiliki kondisi yang sama. Namun, ketika ia mendengar cerita tentang Jaka Prabangkara yang memiliki dua istri asal Cina dan kemudian anak-anaknya ‘hijrah’ ke Tanah Jawa, ia jadi beranggapan bahwa sesungguhnya orang-orang Cina yang datang ke Tanah Jawa adalah orang Jawa juga. Dalam batinnya ia mengucap “[t]anah Jawa bukan hanya tempat ia dan kaumnya berlabuh dari pengembaraannya, tapi juga tempat dari mana ia berasal.”130 Di sini ia mulai berpikir bahwa Tanah Jawa juga dapat dikatakan sebagai kampung halamannya dan kaumnya. Setelah mendengar cerita tentang Jaka Prabangkara ini kegalauan Putri Cina bergeser pada kenyataan bahwa ia menyaksikan kaumnya yang selalu dijadikan kambing hitam atas segala kejadian buruk di Tanah Jawa dan karenanya kaumnya selalu diburu. Karenanya, wacana tentang kedekatan darah (biologis) ini kemudian diteruskan ke cerita raja-raja di Jawa. Putri Cina berpikir jika kaumnya dibantai karena darah Cinanya kenapa hal tersebut tak terjadi pada raja-raja di Jawa yang ia lahirkan dan tentunya memiliki darah Cina. Kenapa mereka tak dianggap Cina? Melalui wacana kedekatan darah ini, Sindhunata tampaknya ingin menunjukkan betapa absurdnya pembantaian berulang-ulang atas orang-orang Cina karena jika ditilik dari darah Cina yang mengalir di diri raja-raja di Jawa konsep pribumi-Cina sudah tak dapat lagi digunakan. D.2.b. Referensi kultural Kehidupan Putri Cina, dengan naik-turunnya, diceritakan dalam sebuah alur sejarah di Tanah Jawa dan dunia pewayangannya. Ia diceritakan telah tinggal di tanah 129 130
(Sindhunata, 2007, p. 9) Ibid., hal. 22
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang nantinya menjadi Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu dan Buddha. Ia menjadi istri ke lima Prabu Brawijaya yang raja Majapahit. Ia kemudian melahirkan anak (Raden Patah) yang di kemudian hari membangun kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Demak, yang mengikis habis kekuasaan Kerajaan Majapahit sekaligus menandai dimulainya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Lantas, dengan bantuan SabdopalonNayagenggong, ia melihat ke belakang, ke dunia yang sekarang disebut dunia pewayangan, ke sejarah Perang Kususetra. Dengan alur cerita yang demikian, Sindhunata ingin mewacanakan peran orang-orang Cina di Jawa apalagi ia memposisikan Putri Cina sebagai saksi langsung. Dengan kenyataan seperti di atas, bagaimana ia menyikapi semua kejadian yang ia saksikan dan rasakan? Seperti apa cara pandang dan referensi yang ada di kepalanya? Ternyata, seberapapun tercerabutnya ia dari akarnya, seperti pengakuannya, dan seberapapun dalamnya ia terlibat dalam pergolakan di Tanah Jawa, secara kultural ia masih seseorang yang baru saja datang dari Cina dan seperti tidak terpengaruhi dengan segala kejadian. Putri Cina selalu menghibur diri dan melihat hal-hal yang ada di sekitarnya dengan referensi kultural yang ia bawa dari tanah Cina. Untuk menggambarkan perasaan terdalamnya tentang kondisi tercabut dari akarnya, ia menggunakan syair dari penyair Cina T’ao Ch’ien.131 Untuk menggambarkan dirinya yang cantik tapi tak berwajah (tak beridentitas) ia mengutip syair penyair asal Cina lainnya, Han San.132 Hal serupa juga terjadi ketika si Putri Cina mengkritik kaumnya yang di Tanah Jawa hanya peduli dengn harta benda semata. Ia mengambil referensi dari ajaran Tao milik Chuang Zhu.133 Dengan penggambaran seperti contoh-contoh di atas, tentu hal tersebut merupakan sebuah pendekatan yang berbeda ketika si Putri Cina melukiskan betapa dekatnya, secara biologis, orang Cina dan pribumi melalui cerita Jaka Prabangkara. Referensi-referensi kultural yang ada di diri Putri Cina yang keluar kala dirinya melihat 131
Ibid., hal. 9 Ibid., hal. 12-13 133 Ibid., 132
136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
banyak hal membuatnya sama sekali bukan ‘pribumi’. Di titik tersebut si Putri Cina malah menjadi orang lain di antara konflik ‘pribumi’. ia seperti kehilangan keyakinannya bahwa ia memang pribumi yang tadinya ia miliki saat bercerita tentang Jaka Prabangkara dan anak keturunannya. Nyatanya, kutipan-kutipan puisi dari negeri Cina di atas lantas menjadi semacam penghiburan atas kondisinya menyedihkan ketika si Putri Cina menghadapi konflik-konflik dimana ia menjadi korbannya. Puisi-puisi tersebut menjadi representasi untuk sebuah tempat dimana ia berasal dan diterima apa adanya. Bagi saya, hal tersebut menunjukkan bagaimana sesungguhnya ia tetap menganggap bahwa Cina lah kampung halamannya dan bukan Jawa; sebuah hal yang berbeda dengan wacana yang dilontarkan Putri Cina dengan menggunakan kisah Jaka Prabangkara.
D.3. Putri Cina dan identitas sosial-ekonomi orang Cina D.3.a. Putri Cina dan kedekatan dengan darah biru Sebuah hal yang menarik untuk dibahas di dalam novel ini adalah bagaimana sebenarnya posisi orang-orang Cina di latar novel Putri Cina sehingga membuat mereka digambarkan sebagai korban di setiap konflik. Cerita-cerita di dalam Putri Cina adalah cerita-cerita yang berlatar kerajaan-kerajaan di Jawa dengan hirarki feodalnya. Dimanakah orang-orang Cina di hirarki tersebut? Adakah posisinya dalam hirarki masyarakat feodal tersebut berpengaruh terhadap kondisi mereka yang selalu dikambinghitam-kan? Yang pertama dibahas adalah si Putri Cina yang istri dari beberapa raja keturunan Majapahit. Ia datang pertama kali ke Tanah Jawa, dengan perintah dari Kaisar Cina, untuk dijadikan istri ke lima Prabu Brawijaya. Kemudian, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya, si Putri Cina dibuang dengan diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang berkuasa di daerah Palembang tempat ia melahirkan dua orang anak yang nantinya meruntuhkan Majapahit. Yang kedua adalah kisah Giok Tien. Giok Tien adalah istri dari Patih Gurdo Paksi yang merupakan panglima tertinggi di Negara Pedang Kemulan. Di dalam Putri Cina, Pedang Kemulan diceritakan sedang 137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengalami goncangan yang luar biasa karena rakyat menuntut turunnya sang raja, Prabu Amurco Sabdo. Kemarahan rakyat tersebut kemudian oleh Tumenggung Joyo Sumengah dan Patih Wrehonegoro dialihkan kepada orang-orang Cina yang dianggapnya merusak kemakmuran rakyat Pedang Kemulan. Di tengah-tengah kekacauan tersebut, Giok Tien dan kedua cici’134-nya, Giok Hwa dan Giok Hong, menyaksikan bagaimana orang-orang Cina dikejar-kejar kemudian dibunuh bahkan ada yang diperkosa terlebih dahulu. Ada sebuah kesamaan yang mencolok pada dua karakter utama di atas terkat dengan posisi di hirarki masyarakat Jawa. Keduanya, meskipun datang dari luar Tanah Jawa, memiliki posisi yang dihormati. Mereka bukanlah masyarakat biasa atau sekedar pedagang namun merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Mereka adalah darah biru. Si Putri Cina adalah istri Prabu Brawijaya, seorang raja kerajaan terbesar di masanya. Walaupun kenyataannya ia ‘dibuang’ namun tetap menjadi bagian dari keluarga kerajaan karena tetap jadi istri raja dan kemudian jadi ibu dari kerajaan berikutnya (Demak). Sedangkan, di kasus Giok Tien, ia adalah istri dari seorang panglima tertinggi yang posisi memiliki daya tawar kuat di kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kerajaan Pedang Kemulan. Hal tersebut terlihat ketika terjadi perdebatan antara Prabu Amurco Sabdo dan penasehat-penasehatnya, termasuk Patih Gurdo Paksi, guna memutuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi amarah rakyat. Artinya, dengan kenyataan-kenyataan di atas, orang-orang Cina di Putri Cina datang dan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan di Jawa. Mereka menjadi bagian dari kekuasaan tersebut. D.3.b. Putri Cina dan pedagang-pedagang Cina Dimanakah posisi orang-orang Cina lain selain kedua karakter utama di atas? Di dalam novel tersebut, orang-orang Cina selain keluarga kerajaan di atas tidak mendapat penggambaran mendalam. Tidak satu pun karakter yang di dalam secara khusus. Tampaknya Sindhunata tidak begitu tertarik membicarakan masalah ekonomi orangorang Cina ini. Akan tetapi, dari informasi yang sedikit tadi, satu hal yang dapat 134
Sebutan untuk kakak perempuan di antara orang Cina
138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipastikan adalah orang-orang Cina yang lain ini berprofesi sebagai pedagang yang tersebar di wilayah-wilayah kerajaan-kerajaan di Jawa. Lebih jauh mengenai kaum Cina pedagang, informasi-informasi, dalam bentuk narasi, yang ada disampaikan oleh si Putri Cina. Tentu saja, hal tersebut diikuti dengan penilaian-penilaiannya tentang mereka yang pedagang ini; pujian dan cercaan tentang mereka. Di satu sisi, sebagai pedagang mereka, oleh si Putri Cina, dianggap para pekerja keras yang memiliki “[k]esungguhan, ketekunan, dan kerja keras, tak pantang menyerah”135, jadi “[t]ak mengherankan, di Tanah Jawa ini, banyaklah di antara mereka yang menjadi kaya dengan harta berlimpah”.136 Akan tetapi, si Putri Cina tak sepenuhnya bersimpati pada kaumnya yang pedagang ini. Baginya, kelakuan para pedagang ini merupakan salah satu penyebab begitu dibencinya kaumnya secara umum di Tanah Jawa; sebuah hal yang tampak dari awal novel. Si Putri Cina menganggap kaumnya “hanya terjerumus ke dalam nikmat-nikmat benda-benda duniawi, tapi melupakan yang rohani. Karena itu orang Cina hanya mau berdagang dan terus berdagang…lalu enggan membagi kekayaannya terhadap sesama”.137 Baginya, kelakuan semacam itu dari kaumnya lah pemicu kekacauan yang ada selain politik dan asal-usul yang selalu dipermasalahkan di Tanah Jawa. Lebih jauh, si Putri Cina berpikir bahwa kaumnya melupakan darah seni yang mengalir di darahnya yang diturunkan oleh Jaka Prabangkara yang pelukis alam; sebuah hal yang makin menjauhkan dari Tanah Jawa yang kampung halamannya juga. Pada kaumnya yang pedagang, kesengsaraan yang menimpanya ia tautkan. Walaupun pada kenyataannya, kaumnya yang pedaganglah yang menderita lebih banyak dan bukan dirinya yang cenderung aman karena ‘darah biru’-nya. Dengan kata lain, si Putri Cina hanya menangisi kondisi yang ‘tak bersalah’-nya dan kemudian terkena imbas semuanya.
135
Ibid., hal. 75 Ibid., 137 Ibid., hal. 75-76 136
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D.4. Wacana masyarakat Cina sebagai korban yang mapan secara ekonomis Hampir serupa dengan novel yang sebelumnya dibahas, wacana korban yang ada dalam Putri Cina jauh lebih kental. Jika Ca Bau Kan langsung berupa tanggapan atas penindasan atas masyarakat Cina yang terjadi, Putri Cina sekaligus menggambarkan penindasan yang terjadi. Selain itu, Putri Cina dikemas melalui nada yang lamentatif dari sudut pandang tokoh-tokoh Cina-nya. Hal tersebut jelas membuat para pembacanya meletakkan masyarakat Cina sebagai korban. Lebih jauh, terdapat dua jenis penindasan yang dimunculkan untuk memposisikan masyarakat Cina sebagai korban. Yang pertama adalah
penindasan
berupa
kekerasan
fisik:
pengejaran,
pembakaran
rumah,
pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain. Berikutnya adalah penindasan berupa pelupaan atas jasa-jasa masyarakat cina terhadap pribumi secara kultural khususnya. Dua jenis penindasan tersebutlah yang lantas mengkonsepkan jalan keluar yang didambakan oleh Sindhunata. Jalan keluar yang pertama adalah pengangkatan bahwa penindasan atas masyarakat Cina nyata adanya. Dengan menggambarkan kengerian yang ‘sebenarnya’ Sindhunata berharap agar kejadian-kejadian tersebut tak terulang kembali. Kedua, yang menjadi pusat perhatian saya, adalah pengakuan atas kontribusi masyarakat Cina di Indonesia. Secara politis, Putri Cina menceritakan sumbangsihnya atas berdirinya kerajaan-kerajaan besar – salah satunya Demak – melalui penceritaan hidup tokoh Putri Cina. Secara kultural, Putri Cina memberi ruang pada bentuk-bentuk sumbangan kultural masyarakat Cina pada proses pembentukan kebudayaan pribumi seperti makanan. Seperti halnya Ca Bau Kan, Putri Cina mengangkat hal-hal yang tadinya tak mendapat ruang di masa lalu. Membuatnya setara dengan kelompok masyarakat lain adalah tujuan utamanya. Putri Cina ingin agar sumbangan kultural masyarakat Cina di Indonesia diakui sama pentingnya dengan sumbangan dari kelompok-kelompok masyarakat lain. Di sini kita melihat bagaimana multikulturalisme menjadi pegangan lagi untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia. Sayangnya ada sebuah hal lagi, yang mirip dengan yang muncul di Ca Bau Kan, yang luput dari perhatian Sindhunata, yaitu kenyataan bahwa tokoh-tokoh Cina yang ia 140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ajukan sebagai korban tidaklah semata-mata korban. Mereka adalah kelompok masyarakat yang memiliki posisi sosial, politik dan ekonomis yang mapan ketika dibandingkan dengan pribumi. Seperti disebutkan dalam novel ini, orang-orang Cina yang menjadi korban adalah para pedagang dan keluarga kerajaan. Dua golongan tersebut jelas bukan golongan akar rumput. Kondisi yang tak setara di sisi tersebut tidak dibahas lebih lanjut dan hanya disebutkan dengan lugunya. Pertanyaan seperti “bagaimana dengan kesetaraan ekonomis?” tidak muncul di kesadaran naratif novel Putri Cina.
E. Dimsum Terakhir: keCinaan dan keperempuanan E.1. Dimsum terakhir: penulis keturunan Cina dan karyanya Dimsum Terakhir ditulis oleh seorang perempuan penulis keturunan Cina bernama Clara Ng. Clara yang lahir di Jakarta pada tahun 1973 adalah seorang penulis yang cukup produktif dengan karya-karya yang sering digolongkan sebagai fiksi populer meskipun saya tidak tahu benar standar-standar yang digunakan pada penggolongan tersebut. Di penelitian ini saya tidak mempermasalahkan hal tersebut karena yang menarik bagi saya adalah bahwa novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya Jakarta, dengan segudang masalahnya yang terkadang tak ada hubungan dengan keCinaan. Clara Ng sendiri tidak selalu menulis tema-tema yang berhubungan dengan (ke)Cina(an). Bahkan Dimsum Terakhir , novel ke tujuhnya, yang terbit tahun 2006, adalah novel pertamanya yang mengulik permasalahan Cina di Indonesia. Di novelnovel sebelumnya Clara tidak pernah, dengan rinci, menjabarkan latar budaya dan kesukuan tokoh-tokohnya. Tapi, di Dimsum Terakhir adat-istiadat orang-orang Cina di Indonesia digambarkan secara detil mulai dari makanan dan ritual-ritual keagamaannya meskipun latar tempatnya tak berbeda dengan novel-novelnya sebelumnya yang perkotaan. Tampaknya Clara tak mau melewatkan kebebasan berekspresi paska-Orba
141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bagi orang-orang Cina tanpa menyumbangkan sebuah karya yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia seperti halnya yang dilakukan penulis-penulis keturunan Cina yang lain: Lan Fang, Hanna Fransisca, Sindhunata dll. Dimsum Terakhir menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Cina di kota besar (Jakarta). Kepala keluarga bermarga Tan tersebut adalah Nung (Tan Tjin Yung) yang memiliki seorang istri bernama Anas. Keluarga tersebut memiliki empat orang anak perempuan kembar yang interval kelahirannya hanya dalam hitungan menit. Ke empat anak tersebut adalah Rosi (Tan Mei Xi), yang petani mawar, Novera (Tan Mei Mei), yang guru TK di Yogyakarta, Siska (Tan Mei Xia), yang bekerja di sebuah perusahaan di Singapura, dan Indah (Tan Mei Yi), yang penulis sekaligus wartawan. Cerita di novel ini dimulai ketika empat orang anak perempuan yang telah memiliki jalan hidup masing-masing tersebut harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang dengan keluarga, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu. Konflikkonflik yang terjadi bersumber dari tabrakan yang terjadi antara dunia empat perempuan tersebut dengan nilai-nilai yang mereka temui (lagi) di dalam keluarga inti mereka. Novel ini ditulis oleh seorang keturunan Cina dan berkisah tentang sebuah keluarga Cina. Sehingga, dapat dikatakan,ini adalah tulisan dengan tingkat pengalaman pribadi yang cukup mendalam. Permasalahannya, bagaimana si penulis menggambarkan keluarga yang mungkin memiliki kemiripan dengan latar belakang keluarganya sendiri? Masalah-masalah apakah yang dihadapi masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba? Sebelum nantinya di bab berikutnya kita lebih jauh menyisir dampak asimilasi Orba dan multikulturalisme, pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah, terlebih dahulu, terjawab. E.2. Dimsum Terakhir: Identitas kultural Cina Indonesia di masa Reformasi E.2.a. Bahasa Seperti telah diulas di Bab II, semoga dengan mencukupi, bahwa segala hal yang berbau Cina disingkirkan selama masa Orba. Sebagai usaha untuk melawannya, di masa Reformasi hal-hal yang disingkirkan tadi coba diangkat kembali ke permukaan. Di sub-
142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bab ini saya akan terlebih dahulu membahas marjinalisasi di sisi kultural dan saya akan memulainya dari bahasa. Bahasa yang digunakan oleh keluarga ini untuk berkomunikasi dengan orang-orang non-Cina dan Cina adalah bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dengan lu-gue-nya. Ketika Rosi hendak ke rumah sakit mengunjungi ayahnya, Nung, mobil yang ia kendarai bertabrakan dengan sebuah angkot yang berujung dengan keributan. Yang menarik bagi saya, meskipun keributan dengan kernet angkot tersebut berisi dengan lontaran cacian berbau SARA, namun kedua pihak Rosi, yang Cina, dan si kernet, yang jelas bukan Cina, dapat berkomunikasi dengan lancar. Hal tersebut karena keduanya sama-sama menggunakan bahasa Indonesia. Justru ketika salah satu dari empat anak perempuan Nung tersebut berkomunikasi dengan tetangganya yang Cina Medan terdapat perbedaan bahasa (logatnya). Siska, yang saat itu mengobrol dengan tetangganya (Tante Yu Lan), berbahasa Indonesia dengan lebih ‘baik dan benar’ seperti halnya Rosi daripada Tante Yu Lan “...dengan aksen Cina Medannya yang kental dan khas. Dia mempunyai kesulitan ucap dalam bahasa Indonesia, khususnya menggetarkan lidah dalam pengucapan konsonan “r”.”.138 Di sini Siska malah terkesan berbeda dengan Tante Yu Lan. Dapat dikatakan, dibanding Tante Yu Lan, ia adalah orang Cina yang telah lebih modern dan lebih menyerupai pribumi. Dengan ini, ditilik dari sudut penggunaan bahasa tokoh-tokohnya, paling tidak, terdapat dua identitas berbeda di dalam tubuh masyarakat Cina di Indonesia: Cina yang modern dan lebih condong pribumi dan Cina yang lebih totok. Kasus lain dari sisi bahasa yang ada adalah masalah proper name. Di wilayah tempat tinggal Nung dan keluarganya yang sebagian besar merupakan Cina peranakan terdapat kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan nama Cinanya meskipun semuanya memiliki nama Indonesia. Pada sebuah obrolan di rumahnya, Nung dikomentari oleh tetangganya Qian Xen karena tidak memanggil anak-anaknya dengan nama Cina mereka; sebuah komentar yang ternyata sudah puluhan kali ditodongkan 138
Lih., (Ng, 2006, hal. 94)
143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pada dirinya. Jawaban Nung pun tetap sama dari waktu ke waktu yaitu bahwa mereka adalah orang Indonesia dan, meskipun, mereka tidak dipanggil menggunakan nama Cinanya, toh darah Cina mengalir di darah mereka.139 Artinya, Nung meletakkan identitas Indonesia di atas identitas Cina keluarganya. Hal tersebut jelas berseberangan dengan orang-orang Cina di sekitarnya. Di sini Nung mengambil posisi yang lebih modern sedangkan orang-orang di sekitarnya lebih memilih untuk memegang teguh adat-istiadat. Lebih jauh, dapat disimpulkan, keluarga Nung adalah keluarga Cina yang telah lebih modern dan lebih mengakui dirinya sebagai orang Indonesia sehingga menganggap dirinya sama seperti orang Indonesia lainnya yang, katakanlah, pribumi.
E.2.b. Adat-istiadat dan agama Adat-istiadat dan agama adalah sisi kehidupan keluarga Nung dengan ke empat anaknya yang mendapat sorotan paling dalam oleh Clara. Penggambarannya sangat mendalam. Tak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan Clara soal agama orang-orang Cina di Indonesia, tentu dengan segala rintangannya, sangat mumpuni. Keluarga Nung adalah seorang penganut Konghucu dan tradisi Cina yang taat. Di rumah mereka terdapat patung Dewi Kwan Im yang sangat dihormati keberadaannya, juga altar leluhur, milik Akong (kakek), yang didoakan dengan hio setiap harinya, dan perangkat-perangkat doa lainnya. Mereka juga dengan rutin mengadakan acara-acara peringatan khas masyarakat Cina seperti Imlek bahkan hingga memiliki tradisi khusus keluarga. Penanggalan-penanggalan penting bagi masyarakat Cina juga, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, digambarkan, dengan rinci, oleh Clara. Sepintas, Dimsum Terakhir terlihat memiliki pendekatan yang sama dengan DBD dengan penjelasan tentang agama orang-orang Cina yang rinci, namun, sebenarnya, memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Di DBD, pandangan hidup orang-orang Cina, yang diwakili oleh Tjoe Tat Mo yang tentu berangkat dari dalamnya 139
Ibid., hal. 205
144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ia mempelajari agamanya (Buddha) serta agama-agama lain, menjadi pusatnya. Sedangkan di Dimsum Terakhir, perayaan-perayaan adalah pusat ceritanya. Contohnya adalah penjelasan mengenai penanggalan seperti ce it dan cap go atau perayaan kue bulan. Meskipun ketika di penjelasan atas filosofi di balik perayaan kue bulan terdapat pandangan orang-orang Cina terhadap keluarga yang harus tetap utuh namun hal tersebut bersifat internal; internal dalam artian ia tidak memberii masukan ke luar komunitas Cina seperti halnya yang dilakukan oleh Tjoe Tat Mo pada Noerani dan gerakan perlawanan pribumi meskipun secara tak langsung. Kembali ke perkara dua golongan Cina seperti di bagian bahasa, hal tersebut muncul ketika salah satu anak perempuan Nung, Novera, yang bermaksud untuk pindah agama menjadi seorang Katolik: “...“Kenapa dibaptis?” “Karena saya ingin menjadi Katolik,” jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama berminggu-minggu. “Menjadi Katolik harus dibaptis.” “Katolik adalah agama. Agama bisa menyelamatkan kita, jawab Novera, tetap tenang. Dalam hati dia mengagumi ketenangan dirinya yang luar biasa, hasil latihan di depan cermin. “kan kita sudah punya agama? Kenapa harus ganti agama lagi?” Nah. Ini dia. Pertanyaan ala Siska yang tajam dan menyengat. Taktik Siska untuk mengalihkan perhatian. To the point. Untung Novera sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya. “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…adalah menghormati leluhur dan patuh terhadap tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut sebagai agama, Siska. Ini adalah…” “Mama tidak setuju kamu dibaptis.” Kali ini seluruh kepala menoleh ke arah Anas, lalu terdiam seakan-akan dia mengatakan pernyataan maha penting yang turun dari langit. “Kalau mau ke gereja pergi saja ke gereja. Tidak perlu baptis-baptisan segala. Mama dengar, kalau 140 kamu sudah dibaptis, kamu tidak boleh pegang hio.”...”
Perdebatan sengit dalam keluarga Nung terpicu setelah Novera mengutarakan maksudnya untuk pindah agama atau lebih tepatnya, berdasarkan logika Novera, memiliki agama. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyetujuinya atau menerimanya dengan baik-baik saja. Bagi saya, perdebatan yang terjadi adalah perdebatan dua kubu yang sama dengan saat kita membahas pemakaian bahasa. Novera sekarang bertindak sebagai pihak yang lebih modern dan lebih pribumi. Kini ia lebih dekat dengan pribumi dengan agama Katolik. Anggota keluarga lainnya adalah pihak
140
Ibid., hal. 70-71
145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang lebih totok yang menganggap diri mereka lebih teguh memegang keCinaannya seperti Tante Yu Lan pada kasus sebelumnya. Pertarungan antara pihak dengan sudut pandang yang lebih modern dengan yang, katakanlah, lebih kuno juga terjadi di banyak tempat lain dalam Dimsum Terakhir. Ada satu kejadian saat Imlek ketika Rosi menolak memakai rok dan berpakaian berwarna merah yang menandakan kebahagiaan dan khas Imlek. Di lain tempat, ada Siska yang membenci hujan karena merusak segala kegiatan. Di kedua kasus tersebut, Anas, sang ibu, meluruskan mereka berdua agar tidak melenceng dari sudut pandang Cina seperti bahwa hujan membawa berkah karena “para dewa sedang bersukacita”.141 Pertarungan dua identitas Cina di Indonesia ini menjadi poros utama alur cerita yang dibangun di Dimsum Terakhir. Tampaknya, bagi Clara, inilah permasalahan utama masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba.
E.3. Identitas sosial-politik-ekonomi Cina di Indonesia Di sub-bab di atas telah banyak digambarkan bagaimana konflik dan tarik ulur yang terjadi terkait dengan adat-istiadat masyarakat Cina dengan nilai-nilai yang dipandang lebih modern. Permasalahan modern yang masuk ke dalam perdebatan dalam keluarga Nung masuk melalui ke empat anaknya. Jadi, paling tidak, ada empat masalah di sini. Masalah pertama adalah masalah Siska. Siska adalah seorang wanita karir yang gila kerja. Ia bekerja sebuah perusahaan besar kelas internasional. Ia adalah anak yang paling sukses secara ekonomi. Akan tetapi, oleh saudari-saudarinya, ia dianggap pihak yang paling egois, tidak sensitif dan keras kepala. Menurutnya, ia adalah perempuan mandiri yang tak mau menggantungkan hidupnya di pundak laki-laki. Ia tak suka dengan konsep pernikahan. Ia lebih suka dengan hubungan yang cenderung kasual tanpa ikatan pernikahan; sebuah tingkah laku yang lazim dihardik di Indonesia.
141
Ibid., hal. 59
146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Masalah kedua adalah masalah Rosi. Masalah Rosi adalah orientasi seksualnya. Ia adalah penyuka sesama jenis yang merasa dirinya adalah laki-laki yang lahir di tubuh perempuan. Bukan isapan jempol bahwa di Indonesia kondisi Rosi, yang kemudian berganti nama menjadi Rony, belum dapat diterima dengan baik oleh khalayak umum. Ia sadar akan kenyataan tersebut karena ia cukup gugup ketika mengajak Dharma, pacarnya, untuk ke rumah sakit mengunjungi Nung. Masalah ketiga adalah masalah Novera. Masalahnya adalah masalah wacana kewanitaan (gender). Ketika masih remaja, rahim Novera diangkat sehingga ia tidak akan mungkin memiliki anak. Wacana umum di masyarakat Indonesia, perempuan akan lebih dihargai apabila ia dapat menjadi seorang ibu; sebuah kenyataan yang membuatnya cenderung rendah diri dan pendiam. Hal tersebut menjadi masalah karena ia tidak seperti Rosi yang lesbi dan tomboy. Ia adalah perempuan yang feminin dan penyayang anak-anak (karenanya ia bekerja sebagai guru taman kanak-kanak). Masalah keempat adalah masalah Indah. Ada dua masalah yang dibawa dalam tokoh Indah: pilihan pekerjaan dan kehamilan di luar pernikahan. Indah memilih bekerja sebagai penulis dan wartawan; pekerjaan yang, di Indonesia, belum begitu dihargai karena dianggap tidak memberii jaminan untuk masa depan. Di beberapa bagian di novel ini, terlihat Indah beberapa kali direndahkan oleh Siska yang mapan ekonominya. Yang kedua, ia hamil di luar pernikahan dengan seorang pastor yang jelas-jelas tak mungkin menikahinya. Ia mewakili fenomena single-parent yang kini kerap dijumpai di kota-kota besar di Indonesia dan seringkali dipandang sebagai sebuah ketidakwajaran. Jika di sub-bab sebelumnya Clara memecah identitas Cina, secara kultural, menjadi dua golongan, kini, ia memecah identitas Cina yang ada di diri ke empat anak perempuan Nung berdasarkan perkara hidup masing-masing. Sehingga, tak tampak lagi sisi ‘Cina’ mereka. Perkara-perkara yang mereka hadapi adalah perkara masyarakat perkotaan di Indonesia saat ini; sebuah permasalahan lintas-etnis. Wacana tersebut membuat permasalahan pribumi-non-pribumi tidak relevan lagi karena permasalahan tersebut hilang, atau minimal tak kasat mata, ditumpuki masalah-masalah gender tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi keempatnya memang semuanya ke dalam 147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
wacana gender; konstruk sosial perempuan yang berlaku di masyarakat kekinian Indonesia.
Yang
menarik,
kesimpulannya,
ke-Cina-an
bukanlah
satu-satunya
permasalahan yang dihadapi masyarakat Cina saat ini. Menjadi orang Indonesia dan tinggal di Indonesia berarti memiliki masalah yang juga dimiliki orang-orang Indonesia lainnya. E.4. Dimsum Terakhir dan kegalauan identitas Cina di Indonesia Dari sub-bab sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Cina dalam Dimsum Terakhir memiliki masalah dengan identitasnya. Di satu sisi, mereka harus mereka harus menjaga identitas Cina-nya dengan memegang teguh adatistiadatnya. Di sisi lain, mereka seusungguhnya memiliki masalah dengan lain yang oleh sebagian dari mereka dianggap berada di atas masalah etnisitas: gender (keperempuanan). Masalah ini, dengan dua kutubnya, membuat identitas orang-orang Cina di narasi novel ini terjebak dalam kegalauan. Namun, justru di titik tersebut novel ini menarik. Melalui novel ini, Clara ingin menyatakan bahwa masalah orang Cina tidak selalu terkait dengan posisinya sebagai orang Cina. Masalah yang dihadapi komunitas Cina ikut berkembang seiring dengan perkembangan Indonesia. Artinya, di banyak sisi masalah orang Cina, tidak ubahnya adalah masalah orang Indonesia seperti yang digambarkan Clara melalui tokoh empat anak kembar Nung. Melalui empat masalah di diri empat anak kembar Nung, Clara menggambarkan bagaimana seringkali masalah seorang keturunan Cina bukanlah karena ia seorang keturunan Cina meskipun terkadang tercampur dan memperparah keadaan seperti komentar dalam hati Rosi: “[l]ebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini. Di dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin ini 142 nerakanya neraka.”
Melalui penambahan masalah khas perkotaan yang dialami keluarga Nung, Clara berhasil memecah identitas komunitas Cina yang selama ini, yang terlihat terutama
142
Ibid., hal. 45
148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ketika kerusuhan semacam Mei 1998, dianggap sebagai sebuah entitas yang utuh dan khas. Clara membuat penyerangan atas orang-orang Cina di berbagai tempat di Indonesia selama bulan Mei 1998 makin absurd dan tak beralasan. Kesimpulannya, Clara menyampaikan wacana bahwa orang-orang Cina juga memiliki masalah terhadap keperempuanan dan lingkup perkotaannya yang mana mereka juga harus hadapi dengan sesamanya, semisal Rosi bersama dengan komunitas lesbinya. Clara mengintegrasikan orang Cina ke dalam masyarakat melalui permasalahan sosial lain di luar etnisitas. Di sini, Clara dekat dengan wacana integrasi yang muncul di masa Orla dan Orba dan wacana multikulturalisme di masa Reformasi. Meskipun, ia memiliki pendekatan yang berbeda karena tidak bertumpu pada sisi kultural semata. F. Acek Botak dan usaha melampaui stereotip masyarakat Cina F.1. Acek Botak: penulis dan sekitarnya Acek Botak adalah novel terakhir sekaligus novel terbaru, dilihat dari tahun penerbitannya, yang akan dibahas di tesis ini. Novel ini terbit sebelas tahun setelah runtuhnya rezim Orba. Dengan jarak sepuluh tahun ini tentunya, atau mungkin sudah sewajarnya, wacana yang dihasilkan telah lebih berjarak dengan wacana-wacana tentang orang Cina a la Orba. Saya percaya sepuluh tahun cukup memberii ruang bagi penulis untuk melihat wacana-wacana yang digelontorkan di masa berkuasanya rezim Orba dengan lebih berjarak dan kritis. Dengan begitu, adalah sebuah hal yang tidak dapat saya hindari bahwa saya mengharapkan untuk mendapati usaha yang lebih matang untuk melampaui stereotip-stereotip atas orang-orang Cina ketika saya berhadapan dengan novel Acek Botak ini. Novel ini terbit tahun 2009; sebelas tahun setelah reformasi dan delapan tahun setelah dicabut larangan bagi orang Cina untuk merayakan hari-hari besarnya secara terbuka oleh Gus Dur. Novel ini terbit ketika karya-karya di berbagai disiplin seputar
149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang Cina di Indonesia sudah menjadi konsumsi publik yang lumrah. Para pembuat karya-karya tadi pun sudah tidak berbatas identitas etnik juga. Di dunia sastra Indonesia, penulis-penulis keturunan Cina pun telah bebas menulis dan mempublikasikan karyanya tanpa harus menyembunyikan identitas kulturalnya. Bahkan, penulis-penulisnya, baik yang menulis sastra popular maupun sastra ‘kelas berat’, juga masuk dalam jajaran penulis elit yang karyanya laku keras di Indonesia seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya dan bahkan sebagian menjadi bagian dari Dewan Kesenian-Dewan Kesenian yang ada di berbagai daerah. Jadi, novel dengan tema kehidupan orang Cina selayaknya Acek Botak ini sudah bukan barang ‘berbahaya’ lagi seperti ketika Menteri Penerangan-nya masih dijabat oleh Harmoko. Dilihat dari sisi penulisnya, Acek Botak memiliki kesamaan dengan Ca-Bau-Kan yang memang sezaman. Kedua novel yang berkisah tentang kehidupan orang-orang Cina tersebut sama-sama ditulis oleh penulis yang bukan keturunan Cina. Penulis novel Acek Botak adalah seorang penulis Batak bernama Idris Pasaribu. Menariknya, Idris Pasaribu, sebelumnya keluarnya novel ini, tidak pernah menulis karya yang bercerita tentang kehidupan orang Cina. Ia juga bukan seseorang yang dianggap sebagai ‘pemerhati’, dengan definisi terluasnya, kebudayaan Cina (di) Indonesia. Namun, setelah membaca novel ini, saya pikir Idris Pasaribu benar-benar mengenali kehidupn orang-orang Cina dari masa ke masa di daerah asalnya yaitu Sumatra Utara. Lebih jauh tentang Idris Pasaribu, selain sebagai seorang penulis fiksi, ia dikenal sebagai salah satu wartawan senior untuk daerah Sumatra Utara. Ia pernah bergabung dengan berbagai macam terbitan ‘besar’ sejak tahun 1970-an. Ia mulai menulis ketika masih duduk di bangku SMA. Ia menjadi kontributor untuk Harian Suluh Marhaen. Kemudian, di masa kuliahnya di Medan, buah tangannya mulai muncul di terbitan-terbitan nasional. Sedangkan sebagai wartawan, namanya mulai dikenal ketika bergabung dengan Harian Analisa Medan. Dengan pengalamannya yang segudang di dunia jurnalisme, tak heran gaya tulisnya di novel Acek Botak dekat dengan gaya tulis tulisan-tulisan jurnalistik
150
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang padat, jelas dan tak berkutat dengan berbagai bentuk majas seperti yang diungkapkan oleh Choking Soesilo Sakeh di bagian komentar dalam Acek Botak.143 Kembali ke isu tentang hubungan latar belakang etnis penulis dengan tema novel, ada satu kesamaan antara Idris Pasaribu dengan Remy Sylado. Kedua penulis yang menulis tentang kehidupan orang Cina di Indonesia tersebut bukan keturunan Cina. Malahan, Idris Pasaribu terkenal sebagai salah seorang penggerak kehidupan kebudayaan batak. Akan tetapi, tampaknya menulis budaya local adalah kesenangan tersendiri bagi Idris Pasaribu. Novelnya yang lain, Pincalang, berkisah mengenai seorang anak dari suku Pincalang dengan budaya maritimnya. Terlihat Idris Pasaribu memang getol mempelajari budaya-budaya lain selain budaya asalnya. Tapi apakah misinya sebenarnya dengan semua tulisan tentang budaya orang lain tersebut? Katrin Bandel, di esai penutup untuk novel Acek Botak, menyebutkan bahwa novel ini adalah novel ‘warna lokal’ dengan pendekatan baru karena tidak menceritakan budaya asal si penulis namun budaya di sekitar si penulis.144 Dengan pengertian ‘warna lokal’ tadi, artinya, budaya Cina telah dianggap oleh Idris, dan tentu Remy Sylado dengan Ca-BauKan, sebagai budaya lokalnya dan bukan budaya asing. Masalahnya kemudian, jika di Ca-Bau-Kan Remy Sylado masih menyisakan sebuah hal yang mengganjal tentang stereotip orang Cina di Indonesia, bagaimana dengan Acek Botak? Dan dimana posisi orang Cina di narasi ‘warna lokal’ ini? Sebelum membicarakan wacana di novel ini lebih jauh, berikut adalah ringkasan novel ini. Acek Botak berkisah tentang sebuah keluarga Cina, yang menolak disebut Cina dan lebih suka disebut Tionghoa karena perkara sejarah, bermarga Tan. Si ayah bernama Tan Bun Nyan dan si ibu bernama Tan Sui Tin. Mereka memiliki empat orang anak. Tokoh utama yang kehidupannya dibahas paling dalam adalah anak sulung keluarga Tan tadi yaitu Tan Sui Tak alias Atak si Acek Botak.
143 144
Lih. (Pasaribu, 2009) Ibid., (Pasaribu, 2009, p. 354)
151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Cerita dimulai ketika keluarga ini hijrah dari kampung halamannya di Cina Daratan ke Sumatra Utara. Bersama dengan imigran Cina yang lain mereka datang dengan menumpang kapal tongkang yang kemudian berlabuh di kota Labuhan Deli, Sumatra Utara. Tidak jelas tahun pasti kedatangan mereka. Yang pasti, tampak dari sistem administrasi dan perkebunan, Belanda sudah berkuasa dengan mapan. Jadi, kemungkinan keluarga Tan ini datang sekitar akhir 1800-an atau awal 1900-an. Satu hal yang membedakan mereka dengan para pendatang Cina yang lain adalah bahwa keluarga Tan ini tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjadi kuli di perkebunanperkebunan yang ada. Rencana mereka adalah mereka akan hidup dengan menyewa atau membeli tanah dari tuan tanah yang ada dan bertani sepertihalnya yang mereka lakukan di kampung halamannya dahulu. Untuk mewujudkannya, Bun Nyan mendatangi seorang bangsawan Melayu bernama Tengku Chaeruddin yang memang berencana menjual tanahnya untuk naik haji. Setelah sepakat dengan harganya, Bun Nyan membeli sepetak tanah yang terletak di pinggiran kota yang masih jarang penduduk, sebuah lahan yang ia pikir cocok tanahnya untuk digarap. Dari sepetak tanah itu, keluarga tersebut memulai kehidupannya di tanah harapan ini. Keluarga Tan tersebut mencari penghidupan dengan bertani sekaligus berdagang. Hasil pertanian yang mereka dapat dijual ke pasar. Selain itu, Atak juga berdagang keliling kampung dan keluar-masuk perkebunan. Ia berkeliling menjajakan kebutuhan sehari-hari yang pembayarannya dapat dicicil. Dari hari ke hari, penghidupan keluarga ini semakin membaik namun pergolakan pun terjadi ketika Jepang masuk Nusantara. Singkat kata, Atak dan sahabatnya semenjak dari Cina Daratan, A Hong, memutuskan untuk ikut berjuang melawan Jepang dan Sekutu dengan bergabung dengan milisi yang terdiri dari rakyat jelata dari berbagai macam etnis. Setelah merdeka, Atak pensiun dari ketentaraan dengan pangkat lumayan tinggi. Ia kemudian menikahi seorang gadis Jawa dan membuka sebuah warung kopi. Sayangnya, andil Atak dan beberapa temannya yang non-pribumi tidak diakui oleh pemerintah. Mereka diharuskan terlebih dahulu mengurus Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia
152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(SKBRI) sebelum dapat dianggap sebagai veteran dan mendapatkan uang pensiun. Novel ini kemudian ditutup dengan keberhasilan perjuangan Atak dan teman-temannya untuk diakui sebagai orang Indonesia. F.2. Acek Botak dan identitas kultural orang Cina F.2.a. Asal-usul Acek Botak adalah novel kedua yang dibahas di tesis ini yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia dari awal kedatangannya setelah Putri Cina. Perbedaannya, Keluarga Tan pertama kali datang di Labuhan Deli dan si Putri Cina datang di Jawa Timur. Namun tidak hanya hal tersebut yang membuat dua novel ini berbeda. Yang lebih mendasar adalah pendekatannya. Yang saya sebut sebagai pendekatan di sini adalah kegunaan dari cerita tentang asal-usul ini. Di Putri Cina cerita tentang asal-usul si Putri Cina digunakan oleh si penulis untuk membuat dasar tindakan-tindakan kejam atas orang-orang Cina yang terjadi di Nusantara menjadi sebuah hal yang tidak masuk akal. Menurut Putri Cina, salah satu penyebab orang-orang Cina di Nusantara sering di-kambinghitam-kan karena mereka bukan dari daerah manapun di Nusantara alias bukan pribumi. Karenanya, untuk membongkar pandangan non-pribumi itu, di Putri Cina digambarkan bahwa si Putri Cina dan orang-orang Cina yang datang ke Nusantara adalah keturunan Jaka Prabangkara yang berasal dari Jawa. Artinya, orang-orang Cina seharusnya dianggap bukan sebagai orang asing karena di dalam diri mereka mengalir darah Jawa. Karenanya mereka tak layak dijadikan kambing hitam di setiap pergolakan yang terjadi. Di Acek Botak, cerita tentang asal-usul keluarga Tan ini, berbanding terbalik dengan di Putri Cina, menempatkan mereka (para pendatang Cina termasuk keluarga Tan) sebagai orang asing yang datang untuk mencari penghidupan baru di Nusantara. Bahkan Bun Nyan mengakui bahwa mereka memang pendatang dan orang asing.
153
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kesadaran itu muncul dalam bentuk bertamu ke Sultan Chaerudin yang merupakan bangsawan setempat. Ia meminta ijin sekaligus membeli tanah darinya untuk ditinggali. Dari dua wacana di atas terlihat adanya perbedaan yang mencolok. Putri Cina membenarkan tindakan orang Cina yang tinggal di Nusantara dengan alasan bahwa Tanah Jawa adalah juga tanah airnya karena asal-usul biologisnya (hubungan darahnya dengan Jaka Prabangkara). Sedangkan di Acek Botak, cerita tentang asal-usul ini murni hanya untuk menceritakan asal-usul para pendatang Cina dan menelusuri latar belakang imigrasi mereka. Dengan sudut pandang yang ada di dalam Putri Cina, masalah selesai ketika disadari bahwa orang-orang Cina adalah saudara jauh orang pribumi (minimal orang Jawa karena Jaka Prabangkara berasal dari Jawa) dan bukan orang asing. Dengan begitu, kasus pembantaian atas orang-orang Cina di Nusantara bisa ditutup. Hal tersebut bukanlah kasusnya di Acek Botak. Dilihat dari serita tentang asal-usul ini, Acek Botak melatakkan orang Cina memang sebagai orang asing. Sebagai orang asing artinya orang-orang tersebut adalah sasaran empuk labelasi (stereotip) karena mereka ‘berbeda’ dan ‘asing’ dari orang-orang lain yang ada di Sumatra Utara yang menjadi latar cerita Acek Botak. Dengan cerita semacam itu, Acek Botak menghadirkan stereotip ke dalam permainan non-pribumi-pribumi yang ada. Hal tersebut makin kentara karena cerita kemudian dilanjutkan dengan cerita naik-turunnya kehidupan ekonomi keluarga Tan dan ekonomi merupakan salah satu lahan stereotip Cina di Indonesia. Untuk menjabarkan dan melampaui segala stereotip yang ada, cerita tentang bahwa mereka tadinya orang asing diperlukan. Hal ini berbeda dengan wacana di Putri Cina yang meniadakan perihal stereotip ini karena di dalamnya permasalahan terletak pada dilupakannya ‘kenyataan’ bahwa orang Cina adalah anak-anak dari Jaka Prabangkara. Karenanya, Putri Cina malah terjebak dalam stereotip yang ada ketika bercerita tentang orang-orang Cina yang serakah dan gila harta karena meletakkannya sebagai sebuah kenyataan berdasarkan hasil pengamatan si Putri Cina yang mampu melihat dari masa ke masa. Karena ia tidak melihat relasi kekuasaan yang ada atas wacana orang Cina adalah kaum yang gila harta dan labelisasi, ia cenderung mempersalahkan, dengan nada
154
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lamentatif, orang-orang Cina ini yang dianggapnya tak patuh dengan pandanganpandangan hidup a la Tao ataupun Buddha. Yang mengerikan, bukankah itu berarti ada sisi dimana si Putri Cina menganggap orang-orang Cina yang gila harta ini mendapatkan apa yang pantas bagi mereka? F.2.b. Agama dan adat Setelah tidak diakuinya oleh Negara selama kurang lebih 30 tahun, Konghucu yang merupakan agama sebagian masyarakat Cina di Indonesia. Agama kemudian menjadi isu menarik yang sepertinya ‘harus’ diangkat di novel-novel yang menceritakan kehidupan masyarakat Cina. Di masa reformasi, setelah tiga novel yang telah dibahas di atas, Acek Botak juga mengikuti corak yang sama. Novel ini tidak lupa menceritakan sisi agama dari masyarakat Cina. Novel Acek Botak jika dibandingkan dengan novel dari masa reformasi yang lain di atas berada di antara Ca-Bau-Kan dan Dimsum Terakhir. Seperti telah dibahas terlebih dahulu, Dimsum Terakhir dengan dalam membahas sisi agama keluarga Nung. Perdebatan tentangnya muncul ketika salah satu anak Nung (Novera) memutuskan untuk pindah agama. Dari perdebatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Konghucu adalah bagian penting dari identitas orang Cina. Karenanya keluarga Nung tidak menyetujui tindakan yang diambil Novera walaupun, di akhir cerita, setelah Nung meninggal, semuanya menerima kenyataan tersebut. Wacana seputar agama di Acek Botak tidak sampai sedalam itu. Namun, bagi saya, tetap menjadi sebuah titik yang layak didiskusikan. Di hari pertamanya di Sumatera, sebelum memulai kehidupannya di tanah tersebut, keluarga Bun Nyan terlebih dahulu mendatangi sebuah kelenteng. Di kelenteng tersebut, mereka disambut oleh si penjaga kelenteng. Kemudian, Bun Nyan menyatakan maksudnya untuk tinggal dan berdagang di daerah tersebut. Saran yang ia dapat dari si penjaga kelenteng adalah ia harus menemui Tengku Chaerudin untuk mendapatkan tanah. Dari cerita tersebut dapat ditangkap bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah 155
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konghucu yang dianut sebagian besar orang Cina di masa tersebut merupakan pusat dari komunitas Cina yang ada dan yang baru tiba. Kelenteng menjadi semacam pusat informasi yang berguna terutama bagi mereka yang baru saja datang dan mencari arah penghidupan seperti Bun Nyan. Bisa jadi, tidak berhenti hingga titik tersebut, mungkin saja, kelenteng menjadi tempat bertukar pengalaman antara mereka yang telah terlebih dahulu sampai dengan mereka yang baru saja tiba. Si penjaga kelenteng menjawab pertanyaan Bun Nyan dengan lugas. Mungkin saja itu bukanlah saran pertama yang ia berikan. Mungkin saja ia telah berkali-kali mendapat pertanyaan serupa dari mereka yang baru saja tiba sehingga, dengan mudah, ia dapat memberii acuan pada Bun Nyan. Tapi, satu hal yang harus dicatat di sini adalah bahwa kelenteng bukan saja menjadi tempat ibadah namun juga tempat mencari saran. Di sini, kelenteng memiliki peran yang besar di tubuh komunitas masyarakat Cina. Dengan kenyataan tersebut, dekatnya mereka dengan tempat ibadah, tentu saja agama memainkan peranan penting. Setelah mendapatkan tanah dari Tengku Chaerudin, Bun Nyan sekeluarga langsung memberisihkan tanah tersebut. Di atasnya kemudian didirikan beberapa bangunan. Salah satu bangunan awal, setelah rumah, yang dibangun mereka adalah altar penyembahan Dewa Bumi. Altar tersebut kemudian menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan keluarga Bun Nyan. Setiap hari, pada pagi hari, sebelum memulai aktifitas keseharian seperti menggarap ladang dan berjualan, mereka terlebih dahulu memanjatkan doa di altar tersebut. Pentingnya sisi relijius orang-orang Cina di Acek Botak
adalah Konghucu
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas orang Cina. Karenanya sisi relijius ini digambarkan hanya ada di wilayah keseharian semata. Tidak ada diskusi lebih jauh tentang Konghucu, apalagi dalam perbandingan dengan agama dan kepercayaan lain, seperti dalam DBD. Identitas masing-masing pihak (orang-orang yang ada di tanah Sumatra) yang dihargai adalah pendekatan utama di Acek Botak. Tidak ada imajinasi Tjoe Tat Mo tentang bersatunya identitas dan agama dalam novel Acek Botak. Dengan sisi relijius yang hanya muncul dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Cina, terutama 156
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bun Nyan, Acek Botak ingin mengatakan bahwa orang Cina harus dipandang dan dihargai berikut dengan segala hal yang turut membentuk identitas seperti agamanya; sebuah pendekatan yang sama dengan yang ada di Dimsum Terakhir yang juga hanya menceritakan agama sebagai praktik keseharian semata. Karenanya di Acek Botak, masing-masing orang dihargai agamanya walaupun tidak ada pembahasan lebih lanjut. Kartinah dan Iyem adalah dua orang perempuan yang ditolong keluarga Bun Nyan dan, kemudian, tinggal bersama mereka setelah melarikan diri dari kamp kuli perkebunan. Yang satu beragama Islam dan yang lain beragama Kristen Katolik. Wacana tentang hidup berdampingan yang damai antar umat beragama lantas menjadi wacana yang tak terelakkan dengan pendekatan yang mencoba menghargai masing-masing pihak dengan identitasnya. Tampaknya inilah wacana terkuat tentang agama di Acek Botak.
F.2.c. Penyebutan: antara Cina, Tionghoa, Pribumi dan Huanna Di Tanah Harapan ini Keluarga Tan ini jelas bertemu dengan sekian orang asing. Mereka juga adalah orang-orang asing bagi orang-orang yang kemudian disebut pribumi. Dengan hubungan sosial yang terus terjalin diantara orang-orang ini, mereka kemudian, mau tidak mau, saling menamai dengan referensi yang ada di kepala masingmasing. Kemudian mucullah beberapa istilah dalam novel ini: Cina, tionghoa, pribumi dan huanna. Acek Botak adalah novel pertama yang dibahas di tesis ini yang menggali permasalahan pemanggilan ini lebih jauh. Memang di novel Dimsum Terakhir terdapat satu adegan ketika Rosy bertabrakan dengan angkot di jalan menuju rumah sakit untuk menjenguk Nung, ia marah-marah karena dipanggil ‘Cina pelit’ oleh si kondektur angkot tapi tidak ada pembahasan lebih lanjut di sana. Si Putri Cina juga mengesankan hal yang sama. Ia menolak disebut Cina dan ingin disebut pribumi saja. Namun, kedua novel tersebut hanya menceritakan dari sudut pandang orang Cina saja yang berkomentar tentang pemanggilan pada diri mereka. Di Acek Botak, masalah 157
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemanggilan ini dibahas lebih lanjut dengan dua sudut pandang yaitu Cina dan pribumi dan masing-masing pihak berkomentar tentangnya. Ketika keluarga Tan sampai di Sumatra, mereka dipanggil dengan sebutan ‘Cina’ karena mereka datang dari negeri Cina. Namun, kemudian, Bun Nyan menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak menyukai panggilan tersebut. Mereka lebih senang disebut Tionghoa. Alasannya, mereka bukanlah orang Qin, yang merupakan kata asal dari kata ‘Cina’. Mereka adalah orang Tionghoa, yang kata dasarnya adalah Tang, yang merupakan dinasti pertama yang menyatukan daerahdaerah yang sekarang dikenal sebagai RRC. Bahkan, menurut Bun Nyan. “[m]ereka harus meninggalkan kampong halaman mereka beribu mil jauhnya karena dikejar-kejar akan dibunuh oleh Cina, atau orang-orang bekas Dinasti Qin atau pengikut Cin. Orang-orang Cin itulah yang mereka sebut Cina.”
145
Bahkan isu tentang pemanggilan
ini juga ada di obrolan atar pribumi yang tidak melibatkan orang Cina seperti ketika Kartinah dan Iyem membicarakan bagaimana mereka seharusnya memanggil keluarga Bun Nyan. Di obrolan tersebut, Kartinah mengacu pada omongan Bun Nyan tentang identitas mereka walaupun Kartinah cukup kebingungan dengannya. Dengan kenyataan tersebut, artinya, isu identitas dan pemanggilan ini adalah hal yang penting di Acek Botak karena isu ini nyaris tidak hadir di novel-novel sebelumnya di bab III ini. Dari sisi pemanggilan pada orang Cina, penjelasan Bun Nyan menyatakan bahwa panggilan ‘Cina’ adalah panggilan yang menyinggung karena hal tersebut adalah asil pukul rata dan tidak sesuai dengan identitas mereka sendiri yang sebenarnya. Lantas, bagaimana panggilan orang Cina terhadap orang pribumi? Di bagian menjelang akhir cerita, di bagian ketika Atak mengalami diskriminasi karena tidak mendapat pension sebagai tentara pejuang kemerdekaan, muncul cerita tentang asal-muasal diskriminasi tersebut. Dikisahkan bahwa untuk merebut kembali Hindia-Belanda setelah lepas dari Jepang, Belanda membentuk milisi-milisi. Salah satu milisi tersebut adalah 145
Lih. (Pasaribu, 2009, p. 30)
158
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
milisi yang beranggotakan orang Cina, Poh An Tui. Poh An Tui ini banyak melakukan kekejaman terhadap penduduk. Bahkan, kekejaman mereka ini mencakup kekejaman bahasawi. Mereka menghidupkan sentimen anti-pribumi dengan panggilan huanna pada orang pribumi yang berarti primitif. Hal tersebut tidak lain untuk mengembalikan tatanan masyarakat segregatif yang dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum kedatangan Jepang yang mana, dalam tatanan masyarakat tersebut, orang Cina berada satu tingkat lebih tinggi dibandingan pribumi yang merupakan golongan masyarakat terbawah. Tentu saja hal tersebut memancing sentimen di dalam diri masyarakat pribumi. Mereka menolak disebut huanna karena pengertiannya yang merendahkan diri mereka: “mereka lebih suka disebut pribumi”.146 Dibandingkan dengan DBD, novel pertama yang dibahas di Bab III ini, Acek Botak memiliki pendekatan yang berbeda ketika bercerita tentang identitas orang-orang di Hindia-Belanda. Wacana DBD adalah wacana yang menganjurkan untuk meleburkan identitas-identitas yang ada di Hindia-Belanda; sebuah peleburan atas segala jenis identitas mulai dari bangsa, agama hingga orientasi politik. Hampir mirip dengan CaBau-Kan yang merayakan identitas-identitas yang ada dengan menceritakan berbagai macam identitas orang Cina yang melebur dengan beragam lokalitas di Hindia-Belanda, Acek Botak mengedepankan identitas-identitas yang ada di Hindia-Belanda. Acek Botak ingin menghidupi identitas-identitas di Hindia-Belanda yang ada dengan membaca lebih lanjut pemanggilan-pemanggilan yang ada. Novel ini ingin agar masing-masing golongan diacu sesuai dengan sejarahnya masing-masing dan bukan berdasarkan stereotip-stereotip yang bermunculan dari berbagai pihak. Ia ingin masing-masing pihak, pribumi maupun Cina, bercerita tentang identitasnya sehingga menghasilkan perdebatan tentang identitas yang adil pada kedua belah pihak. Di titik ini, wacana di Acek Botak satu langkah lebih maju dibanding Ca-Bau-Kan yang hanya merayakan idenitas-identitas Cina di Hindia-Belanda semata (baca: sepihak).
146
Ibid., hal. 303
159
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
F.3. Acek Botak dan identitas sosial-politik dan ekonomi orang Cina F.3.a. Identitas sosial-politik: menelusuri posisi orang Cina di masa kolonial Seperti telah dijelaskan sebelumnya di Bab II, Hindia-Belanda memiliki strata masyarakat dengan tiga strata sosial yang berbeda. Strata yang pertama, yang paling diuntungkan, adalah orang kulit putih. Di bawahnya, yang kedua, adalah mereka yang disebut vreemde oosterlingen yang mana orang Cina berada di dalamnya. Strata terbawah, pihak yang paling tidak diuntungkan, adalah pribumi. Sub-bab ini akan membahas bagaimana perkara ini dinarasikan dalam sebuah novel yang ditulis di masa Reformasi. Dilihat dari interaksi sosial yang terjadi di dalam Acek Botak, orang-orang Cina digambarkan lebih dekat dengan pribumi daripada dengan orang Belanda. Interaksi orang Cina-orang kulit putih hampir-hampir tidak diperlihatkan. Sedangkan interaksi pribumi-kulit putih, sebaliknya, cukup banyak diceritakan terutamanya di adeganadegan yang berlatar perkebunan: pribumi diambil sebagai nyai, pengawas perkebunan yang memarahi mandor etcetera. Di antara ketiga jenis interaksi tersebut terdapat sebuah perbedaan yang mendasar dari segi retorika. Interaksi pribumi-kulit putih menggambarkan sebuah arena kekuasaan yang timpang. Kulit memberi perintah dan pribumi mererimanya. Sedangkan, di sisi lain, interaksi sosial pribumi-orang Cina berjalan cenderung setara seakan keduanya berada dalam strata sosial yang sama. Memang, di beberapa ranah, seperti hukum (peradilan), pribumi dan orang Cina ditempatkan dalam satu bentuk peradilan yang sama: Landraad. Namun, di ranah-ranah yang lain, keduanya dengan tegas dipisahkan. Kontradiksi hubungan pribumi-Cina dalam strata sosial kolonial yang segregatif itu dengan lugas dibicarakan dalam Acek Botak. Di satu sisi, Acek Botak bercerita, di kehidupan sehari-hari, keluarga Bun Nyan, terutama Atak, berinteraksi secara setara dengan orang-orang pribumi. Atak sehari-harinya, setelah bekerja di ladang, berkeliling ke kamp-kamp kuli perkebunan untuk menjajakan barangnya. Di masa-masa 160
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perjuangan, Atak bergabung dengan ketentaraan dan bukan milisi khusus orang Cina. Di masa tuanya, Atak membuka kedai dengan pelanggan yang tentu saja kebanyakan adalah pribumi dan kenalannya selama turut berjuang. Di tiga masa tersebut, dengan kondisi sekitar yang berbeda, pola komunikasinya tidak berubah. Mereka tetap setara. Kalaupun Atak dihormati, hal tersebut karena pangkatnya di ketentaraan. Di luar itu, tidak ada panggilan kehormatan seperti ‘tuan’ yang lazim muncul ketika pribumi mengacu pada orang kulit putih. Panggilan yang merendahkan yang biasa dipakai tuantuan kulit putih di perkebunan pada kuli juga tidak tampak di pergaulan pribumi-orang Cina. Di dalam interaksi sosial pribumi-Cina tersebut yang membedakan hanyalah corak produksi (pekerjaan) keduanya. Atak dibesarkan dan bekerja sebagai seorang pedagang. Sebagian besar teman pribuminya sangat jarang yang menjadi pedagang. Hal tersebut akan dibahas lebih jauh di sub-bab berikutnya. Apabila dibandingkan dengan novel dengan latar waktu yang sama, namun dari masa yang berbeda (DBD), kita akan mendapati cerita yang sama sekali berbeda. Sepintas kita melihat interaksi antara Dolores, Tat Mo, Moestari dan Noerani sangatlah dekat namun, seperti telah diungkap di awal bab ini, ada jarak yang jauh di interaksi pribumi-orang Cina ini yang mana Tat Mo menjadi sumber pengetahuan dari Noerani dan Moestari dan menciptakan hubungan yang hampir-hampir seperti guru dan murid (tidak setara): sebuah hal yang menunjukkan bahwa mereka berada di kelompok sosial yang berbeda. Ketimpangan tersebut muncul secara tidak sadar di DBD. Kasus yang hampir serupa saya dapati di Ca-Bau-Kan. Ketimpangan muncul secara tidak sadar melalui cerita yang dirangkai seperti centeng selalu pribumi, semua tokoh Cina di sana memiliki pembantu pribumi dan tokoh-tokoh Cina yang muncul sebagian besar adalah pengusaha-pengusaha besar yang biasa dipanggil ‘tuan’. Tidak ada cerita gamblang tentang konstelasi kehidupan sosial segregatif yang jelas merupakan sumber ketimpangan tersebut. Di dalam Acek Botak, meskipun memiliki wacana tentang Cina yang inklusif, dengan penggambaran interaksi sosial yang setara, sumber ketimpangan tadi diceritakan dengan lugas terutama kebijakan-kebijakan kolonial.
161
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
. Terkait dengan kebijakan segregatif tersebut, di awal kedatangan keluara Bun Nyan diceritakan kondisi Sumatra yang berisi perkebunan-perkebunan milik Pemerintah Kolonial Belanda. Di dalam perkebunan-pekebunan tersebut, kuli-kulinya diberi tempat tinggal yang terpisah-pisah berdasarkan bangsa. Kuli-kuli Cina memiliki tempat tinggal dan lahan bekerja yang berbeda dengan kuli-kuli pribumi yang sebagian besar didatangkan dari Jawa. Lebih jauh, terkait dengan segregasi yang memiliki keuntungannya tersendiri bagi para pendatang Cina adalah kebebasan orang Cina dalam hal perjalanan. Hal tersebut ketika Atak menjemput A Lin yang melarikan diri dari tempat pelacuran. Hal tersebut terjadi ketika malam hari. Beberapa hari sebelum Jepang masuk Sumatra. Mereka, Atak dan A Lin, sempat diberhentikan di sebuah pos penjagaan namun segera dilepaskan setelah diketahui bahwa mereka orang Cina dan mengaku dari sebuah keluarga terpandang. Hal yang serupa diceritakan kembali pada masa Agresi Militer Belanda. Saat itu, di beberapa wilayah, dibagi-bagi antara wilayah Belanda dan Indonesia. Namun, yang menarik, “[o]rang-orang Tionghoa, dibebaskan memasuki kedua wilayah. Bagi orang Tionghoa, tidak ada batas embarkasi.”147 Sedangkan untuk pribumi, mereka tidak boleh memasuki wilayah yang termasuk ke dalam wilayah Belanda. Sekarang kita akan memasuki masa pergolakan politik; perebutan kekuasaan politik antara kekuatan republik dan Belanda. Bagaimana posisi orang Cina yang posisinya mendua sebagai warga kelas dua? Di Acek Botak diceritakan seluruh warga Hindia-Belanda gembira ketika mendengar Jepang akan memasuki Hindia-Belanda dan mengusir Belanda. Hal yang sama juga dirasakan keluarga Bun Nyan terutama Atak dan kawan-kawannya baik yang pribumi maupun yang Cina. Setelah kekalahan Belanda, mereka memanfaatkan momen tersebut untuk membumihanguskan kantor-kantor perkebunan beserta dengan arsip-arsip di dalamnya agar nama-nama kuli dan catatancatatan yang terkait hilang sehingga para kuli menjadi orang bebas termasuk keluarga A Hong dan A Lin. Bersatunya pribumi dan Cina ini kemudian dimanfaatkan oleh Jepang 147
Ibid., hal. 238
162
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan membentuk Heiho. Atak dan kawan-kawannya seperti A Hong, Darsono, Asiong, Tek Gan dan Supri lantas bergabung dengan paramiliter bentukan Jepang tersebut. ”Mereka latihan setiap pagi sampai sore. Pukul 16 mereka baru pulang ke rumah masingmasing…latihan terasa berat dan penuh dengan disiplin tentara...empat bulan lamanya mereka latihan dengan tekun. Setelah selesai latihan, mereka dilantik. Kemudian dibagi dalam peleton tertentu. Ternyata keenam sahabat itu, tidak berada dalam satu peleton, justru 148
berlainan peleton.”
Begitulah kehidupan kehidupan orang-orang di daerah Atak pada masa awal pendudukan Jepang. Dari sana tampak bahwa hampir seluruh warga baik yang pribumi maupun yang Cina berpihak pada Jepang yang mereka pikir akan membawa kemerdekaan bagi mereka. Tampaknya kehadiran Jepang tidak hanya mengusir Belanda namun juga segregasi yang selama pendudukan Belanda dihidupi. Di masa berikutnya, saat Jepang telah kalah, pelatihan ketentaraan yang didapat keenam sahabat tadi digunakan untuk bergerilya melawan Belanda yang mencoba kembali. Sebelum mereka bergabung dengan tentara Republik, mereka masing-masing mencari orang dan membentuk regu yang masing-masing dipimpin oleh keenam sahabat tadi ditambah regu milik Sami, seorang India Tamil, yang bersikeras anak buahnya harus berada di bawah pimpinannya. Pasukan milisi tersebut kemudian menamai dirinya sebagai Pasukan Alap-alap. Dari sana lah Atak dan kawan-kawannya merintis karir militernya. Atak kemudian pensiun dengan pangkat sersan. Hal yang mengenaskan kemudian justru terjadi di masa kemerdekaan karena Atak dan kawan-kawannya yang bukan
pribumi
seperti
Sami,
Asiong
dan
A
Hong
tidak
tidak
diakui
kewarganegaraannya sehingga dianggap tidak layak mendapatkan pensiun sebagai veteran. Akan tetapi, yang jelas, di masa-masa tersebut digambarkan sekat-sekat yang dibentuk Belanda memudar dan orang Cina memiliki keberpihakan politik yang sama dengan pribumi. Akan tetapi, permasalahan segregasi ini, tidak hilang sama sekali
148
Ibid., hal. 178
163
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karena ada sekelompok orang Cina yang ingin tetap hidup di alam segregasi karena, seperti
telah
diungkapkan
sebelumnya,
mereka
memiliki
keuntungan
lebih
dibandingkan dengan pribumi. Orang-orang Cina ini diwadahi oleh Belanda, yang tentu ingin mempertahankan kekuasaannya di Hindia-Belanda, dalam Poh An Tui; sebuah kelompok milisi yang beranggotakan orang-orang Cina. Apabila dibandingkan dengan DBD, yang lahir di masa yang menjadi latar novel tersebut, pandangan politik orang Cina di Acek Botak jelas lebih tegas. Meskipun Tat Mo menunjukkan ketidaksenangannya dengan Belanda namun ia juga sangat sinis dengan pergerakan PKI yang ia kritik habis-habisan dan dianggapnya sebagai kumpulan orang yang tidak mengerti secara mendalam tentang Komunisme. Di DBD juga tak terlihat adanya tokoh Cina yang dengan jelas memihak salah satu pihak di pergolakan politik yang terjadi. Acek Botak, selain lebih tegas, juga berhasil menangkap dampak dari segregasi yang paling tidak memecah orang Cina menjadi dua kelompok: prokemerdekaan dan pro-Belanda. Bagaimana jika Acek Botak disandingkan dengan CaBau-Kan yang se-zaman kemunculannya dan berlatar waktu sama? Di kedua novel tersebut, orang-orang Cina digambarkan terpecah juga. Di Ca-Bau-Kan ada para anggota Kongkoan yang pro-Belanda dan Tan Peng Liang yang pro-kemerdekaan dan menjadi pemasok senjata. Namun ada perbedaan yang menurut saya perlu diperhatikan yaitu gaya perjuangannya. Atak, A Hong, Asiong dan Tek Gan menjadi tentara. Sedangkan Tan Peng Liang memberii sokongan ekonomi. Padahal Atak dan A Hong juga pedagang. Artinya, seperti ditekankan di pembahasan novel Ca-Bau-Kan, novel tersebut yang terbit di awal masa Reformasi memang belum lepas dari stereotip orang Cina sebagai orang kaya dan hanya berkecimpung di dunia bisnis bahkan keculasannya yang terus mengikuti kemanapun orang Cina pergi juga hadir di tokoh-tokoh Cinanya. Di sisi lain Acek Botak telah mengkritisi stereotip tersebut. Dengan penggambaran kondisi dan interaksi sosial-politik yang ada, Acek Botak merekam dan mengkritisi kontradiksi-kontradiksi yang hadir di masa kolonial terutama ketimpangan yang muncul pada hubungan pribumi-orang Cina. Dengan menceritakan 164
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ketimpangan-ketimpangan di masa kolonial tersebut, novel Acek Botak menyediakan sebuah latar yang dapat mengubah cara pandang pada pada yang terjadi kemudian hari seperti tidak diakuinya kewarganegaraan orang-orang Cina meskipun mereka adalah veteran perang kemerdekaan seperti Atak. Dengan kata lain, dengan lugas, Acek Botak menunjuk hidung Pemerintah Kolonial Belanda, dengan politik segregasinya, sebagai akar permasalahan dan hanya dengan menceritakannya dengan adil masalah hubungan pribumi-Cina dan stereotip yang muncul di dalamnya ini dapat diselesaikan. F.3.b. Identitas ekonomi: menelusuri sebuah stereotip Ditilik dari sekian penjelasan di atas, tak pelak akan terbesit pemikiran bahwa novel Acek Botak adalah novel yang adil melihat orang Cina. Benarkah begitu? Tunggu dulu sampai kita melihat penjabaran sisi ekonomis orang Cina di novel ini. Membicarakan perihal ekonomi apa lagi tentang orang Cina tentu bukan perkara mudah mengingat stereotip terkuat orang Cina ada di sisi ini; sebuah sisi yang cenderung tidak ingin dibahas lebih lanjut apabila dilihat dari novel-novel lain yang ada di tesis ini. Jadi, bagaimana wacana ekonomi di Acek Botak? Kehidupan perdagangan memang tak pernah jauh dari keluarga Bun Nyan karena sejak awal kedatangannya mereka memang berniat untuk berdagang. Atak dan saudara-saudara memang dididik untuk hidup sebagai seorang pedagang. Hal tersebut terlihat dari nasehat-nasehat dan petuah-petuah yang diberikan Bun Nyan kepada anakanaknya. Salah satu nasehat Bun Nya pada Atak, yang ia dapat dari ayahnya, di awal kehidupan mereka di Tanah Harapan adalah sebagai berikut: “Jadi, pedagang selain harus benar-benar hemat, juga harus licik. Tipu dalam dagang, sesuatu yang lumrah. Sungguh luar biasa jika ada pedagang yang hanya sedikit menipu,” ayah Bun Nyan terhenti sejenak meneruskan batuknya. Dengan bersusah payah, kemudian melanjutkan nasihatnya, “Jika ingin hidup jadi pedagang yang jujur dan tenang, harus pandai mencari dan menjaga pelanggan dan bekerja keras. Hidup jujur dan tulus, membuat hidup menjadi tenteram dan damai, tak perlu takut dikejar-kejar.”149
149
Ibid., Hal. 14
165
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kutipan tersebut menunjukkan pedoman hidup keluarga Bun Nyan dalam hal berdagang untuk dijadikan pegangan hidup. Nasehat turun-temurun ini terus dipegang oleh Atak sedari awal hingga memiliki usahanya sendiri di kemudian hari. Cerita yang dirangkai di Acek Botak bukanlah semata-mata cerita tentang orang Cina di perjuangan kemerdekaan Indonesia. Cerita-cerita tersebut juga merupakan cerita tentang naik-turunnya kehidupan ekonomi orang-orang Cina yang datang ke Sumatra yang diwakilkan melalui kehidupan keluarga Bun Nyan. Sedari awal kedatangannya, keluarga Bun Nyan memang tidak berniat untuk bekerja di perkebunan, tidak seperti keluarga A Hong dan A Lin. Mereka memilih untuk bertani karenanya mereka membuka lahan di pinggiran. Semua anggota keluarga dilibatkan di perkejaan di ladang. Hany Atak yang dilatih secara khusus, karena ia adalah anak tertua, dan diajak berdagang hasil panen di pasar. Setelah Atak memasukki usia dewasa, ia meminta modal ayahnya untuk memulai usaha sendiri. Modal tersebut ia belikan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang lantas ia jajakan dengan berkeliling ke pondok-pondok perkebunan. Ia menjadi seorang mindring.150 Ketika, ia telah memiliki usahanya sendiri, setiap hari, setelah membantu ayahnya di ladang, ia berkeliling ke pondok-pondok dan kampung-kampung. Panggilan Acek Botak ia dapat dari interaksinya dengan kuli-kuli di perkebunan. Selang beberapa waktu, Ahong bergabung dengan keluarga Atak setelah melarikan diri. Oleh Bun Nyan ia diajari dan diberi modal untuk berdagang. Ia memulai dengan berternak bebek. Dari bebek-bebek tersebut, ia mendapatkan telur yang kemudian ia jual di pasar setelah sebelumnya sebagian dijadikan telur asin. Dengan berjualan telur ini juga ia menghidupi A Lin setelah menikah. Seiring dengan waktu, usaha mereka semua pun mengalami kemajuan. Namun, itu tidak berjalan dengan lama. Dengan goyahnya kekuasaan Belanda di Sumatra, Atak tak dapat lagi pemasukan lagi
150
Mindring adalah seseorang yang menjajakan barang dagangannya dengan berkeliling kampung dengan sistem pembayaran yang dapat dicicil. Jadi, selain berkeliling untuk menjajakan barang dagangannya, seorang mindring juga menagih cicilan-cicilan dari pembeli-pembeli di hari-hari yang lalu. Segala cicilan dicatat di sebuah buku. Buku tersebut berisikan daftar hutang yang ditandatangani si penghutang setiap kali mencicil hutangnya.
166
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari usaha mindring-nya. Hal tersebut dikarenakan banyak pondok-pondok kuli yang kosong ditinggalkan para kuli yang melarikan diri. Kehidupan ekonomi secara menyeluruh di Sumatra juga terganggu. Puncak kemacetan ekonomi keluarga tersebut adalah ketika mereka diikutkan ke dalam Heiho. Di masa awal kemerdekaan, Atak membuka warung kelontong bersama istrinya, Sutinah. Kedai tersebut oleh para pelanggannya diberi julukan ‘Kedai Sampah’ karena hampir tak ada barang kebutuhan sehari-hari yang tidak dijual di sana. Usaha tersebut lantas dikembangkannya menjadi kedai kopi yang menjadi tempat pertemuan nonformal di daerah tersebut tidak terkecuali oleh teman-teman seperjuangan Atak di perang kemerdekaan. Di kedai kopi tersebut, mereka bertukar berita dan cerita termasuk saling bantu-membantu permasalahan yang dialami Atak dan veteran non-pribumi lainnya. Untuk menarik pelanggan dan komunikasi kultural antar kelompok masyarakat, ia sering mengadakan acara-acara kebudayaan berbasis kultur tertentu seperti opera Batak, wayang dan opera Cina. Cerita yang lengkap dari awal perjalanan di sisi ekonomi ini adalah sisi menarik lainnya dari Acek Botak. Cerita dari awal inilah yang absen dari semua novel yang dibahas di tesis ini. Bagi saya, novel ini berani memasuki stereotip orang Cina dan berusaha melampauinya. Ketika berhadapan dengan sebuah stereotip kita jarang sekali tahu tentang darimana asalnya stereotip tersebut. Acek Botak berusaha memberiikan jawabannya dengan menceritakan proses perjalanan kehidupan ekonomi orang Cina. Acek Botak mengungkap bahwa kedekatan orang Cina dengan dunia perdagangan bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada dengan begitu saja. Walaupun tidak mendalam namun Acek Botak cukup memberii pencerahan bagaimana para pendatang Cina memang dibentuk untuk hanya berada di wilayah ekonomi dengan beberapa keuntungan selain mereka memang dididik untuk menjadi pekerja keras nan tekun. Ketika datang ke tanah Sumatra, orang Cina, tidak seperti pribumi khususnya orang Jawa yang ‘diculik’, memiliki pilihan untuk mandiri secara
167
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ekonomi dengan diperbolehkan membuka usahanya sendiri. Menjadi kuli hanyalah salah satu pilihan untuk hidup bagi pendatang Cina. Tapi, bagi orang Jawa, tidak ada pilihan karena mereka khusus didatangkan untuk menjadi kuli perkebunan.
F.4. Wacana sejarah sebagai jalan keluar melampaui stereotip ekonomi masyarakat Cina Novel Acek Botak adalah novel yang paling sadar tentang identitas dan stereotip orang Cina di Indonesia yang berada di titik ekonomi. Karenanya Idris Pasaribu memfokuskan narasinya di kehidupan keluarga Bun Nyan yang datang ke Sumatra hampir dengan tangan kosong dan, di akhir cerita, memiliki usaha yang telah jauh berkembang. Di sana, ia menekankan bahwa kekayaan yang dimiliki orang Cina adalah hasil usaha kerasnya yang panjang dan tidak datang begitu saja. Sehingga, kenyataan tersebut, jika dikaitkan dengan kejadian tragis seperti penjarahan dan pembunuhan di tahun 1998, membuat mereka tidak patut mendapatkan perlakuan di masa yang telah lalu. Sejarah keluarga Bun Nyan dijadikan ujung untuk membongkar cara pandang orang-orang terhadap kekayaan yang dimiliki masyarakat Cina. Yang menjadi lubang sehingga menyisakan masalah adalah sejarah yang disajikan di Acek Botak membuat identitas orang Cina tetap berada di lingkaran ekonomi dan tetap terkesan terberi begitu saja (taken-for-granted) dan esensialis. Bahkan, mungkin secara tak sadar, dampak dari pendekatan sejarah yang jadi garis besar Acek Botak ini ditampakkan, menariknya, oleh tokoh pribumi (Kartinah) yang menyebut orang Cina sebagai kaum yang tekun, pekerja keras dan pandai berhemat. Yang artinya, cara pandang orang lain (pribumi) terhadap Cina tidak berubah karena tiga fitur tersebut adalah fitur-fitur yang ranahnya ada di ranah ekonomi. Sehingga, sesungguhnya, pendekatan Acek Botak tidak menghilangkan stereotip yang ada. Kenyataan tersebut membuat seakan-akan orang Cina seakan-akan memang sejak awal adalah orang-orang yang tekun, pekerja keras dan pandai berhemat. Terlebih, dengan 168
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pendekatan sejarah tersebut, seakan-akan orang-orang Cina yang datang ke Indonesia lepas dari relasi kekuasaan kolonial yang ada di masa kedatangan mereka. Jadi, alih-alih menghilangkan posisi korban masyarakat Cina karena stereotip yang ada, sejarah yang dimunculkan justru membenarkan stereotip yang ada. Fitur-fitur yang ada dan membangun identitas Cina (baca: stereotip) malah dibaca sebagai sesuatu yang inheren dalam tubuh masyarakat Cina dan bukan bentukan, katakanlah, rezim kolonial atau Orde Baru. Hal tersebut hadir karena fitur-fitur seperti rajin dan pandai berhemat diposisikan sebagai kultur khas milik masyarakat Cina yang dibawa kemanapun mereka pergi dan tinggal termasuk di Indonesia. Selain karena penempatab fitur-fitur di atas sebagai bawaan kultural masyarakat Cina, sejarah atas stereotip yang disajikan novel ini memberi kesan bahwa stereotip hanya terdapat pada masyarakat Cina karenanya sejarah yang dihadirkan hanyalah sejarah masyarakat Cina dan tidak bersentuhan dengan stereotip-stereotip kelompok masyarakat lain. Tentu identitas pribumi, apapun etnisnya, di kepala masyarakat Cina juga kental dengan nuansa stereotipikal, yang sesungguhnya samar-samar terasa dan mungkin tak disengaja oleh si pengarang kemunculannya, sebagai hasil dari hubungan sosial yang timpang. Namun hal tersebut tak mendapat ruang di narasi novel ini. Serupa dengan novel-novel dari masa Reformasi sebelumnya, novel Acek Botak masih berkutat dengan penempatan masyarakat Cina sebagai korban saja. Jadi, kenyataan ini – setelah diperhatikan dengan lebih seksama - sesungguhnya bukanlah hal yang aneh di masa Reformasi.
169
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bab IV Ideologi Multikulturalisme dan Identitas Cina warisan kolonial dan Orde baru
A. Symptom dalam karya sastra yang berhadapan dengan Ideologi dominan Satu hal yang pasti dari enam narasi di enam novel dari berbagai masa di atas adalah bahwa mereka memiliki pendekatan yang berbeda-beda ketika mengidentifikasi dirinya dan orang lain. Saya pikir kenyataan tersebut terkait erat dengan proses identifikasi yang disediakan oleh ideologi masing-masing masa karena bagaimanapun juga para penulis novel-novel tersebut tidak lepas dari kungkungan ideologi masanya. Seperti telah dibahas di bagian Kerangka Teoritik, ideologi pada tingkatan termatangnya sudah tidak dipandang – atau digunakan - sebagai sebuah ideologi lagi. Ideologi telah berubah menjadi seperangkat kesadaran kita lengkap dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya dan menjadi sebuah common sense. Kehadirannya dalam diri subyek tidak lagi disadari. Dengan begitu, proses produksi karya sastra tidak mungkin dilepaskan dari ideologi dominan sebuah masa yang menjadi tempat tinggal dari penulisnya. Jadi, dengan konseptualisasi semacam itu, paling tidak, terdapat tiga jenis ideologi yang harus dihadapi keenam karya di atas: ideologi segregatif kolonial, ideologi asimilasi Orba dan ideologi multikulturalisme. Dengan pembacaan semacam itu dan wacana-wacana dari novel-novel yang telah saya sarikan di Bab III, Bab IV ini saya maksudkan untuk mendapatkan logika pembentukan sebuah narasi yang berangkat dari ideologi tertentu. Saya ingin mendapatkan kontradiksi dan batas-batas ideologis sebuah ideologi yang termaktub dalam karya sastra. Selain itu, saya juga – mungkin ini yang lebih penting – ingin dapat menilai apakah ideologi multikulturalisme, sebagai ideologi dominan sekarang ini, menyediakan jawaban yang tepat untuk permasalahan identitas Cina di Indonesia. Jika tidak – dan sepertinya tidak – kenapa ideologi tersebut masih sangat dipercaya saat ini? Di sini saya kira saya harus sampai hingga pembahasan mengenai fantasi karena, secara
170
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
teoritik, fantasi adalah penyokong sebuah ideologi yang membuatnya terus berjalan tanpa adanya gugatan. Dengan bekal cara kerja fantasi yang telah dikembangkan Zizek di bukunya Seven Plagues of Fantasy, saya akan mencoba membaca identitas Cina yang coba dibangun oleh multikulturalisme pada karya sastra. Pertanyaan utamanya, apakah fantasi ‘baru’ a la multikulturalisme ini benar-benar baru dan menyediakan identitas baru bagi masyarakat Cina? Atau ia sebenarnya tetap terpengaruh dengan ideologiideologi pendahulunya dalam mengidentifikasi masyarakat Cina? Baiklah, sekarang saya akan mencoba membaca ideologi-ideologi yang ada di dalam karya sastra dari berbagai masa agar jalannya pembahasan lebih terang. A.1. Wacana superioritas kritis Kwee Tek Hoay di masa politik segregasi kolonial Bagian yang menarik dari DBD adalah bahwa ia ditulis dengan kesadaran atas politik segregasi kolonial yang tinggi. Sikap KTH di titik itu sangat menarik yaitu bahwa ia tidak percaya dengan pemisahan rasis semacam itu. Itu terbukti dari lingkup narasinya yang juga bercerita tentang orang-orang pribumi (Indonesier). Ia juga merumuskan sebuah masalah yang mana merupakan masalah nasional – dalam artian Hindia-Belanda – yaitu pemberontakan PKI 1926. Kenyataan ini cukup berbeda dengan karya-karya penulis Cina yang lain yang ‘sibuk’ menarasikan lingkungannya sendiri dengan orang-orangnya sendiri. Tidak hanya sampai di sana, KTH juga mengungkapkan visinya tentang hubungan sosial yang lebih baik yang merangkul semua golongan. Itu terlihat ketika ia berbicara tentang agama dan pandangan politik. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti KTH mampu lepas dari kesadaran (ideologi) kolonial yang melingkupi kehidupannya yang mana ia merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang lebih diuntungkan dibandingkan dengan pribumi; ia adalah seorang Cina yang satu kelas di bawah orang kulit putih dan di atas Indonesier. Bagaimana kah dampaknya? Di DBD, tokoh Tjoe Tat Mo, yang merupakan suara dari KTH, ketika berbicara dengan tokoh-tokoh pribumi seperti Noerani dan Moestari tentang hubungan mereka, politik, agama etcetera, terkesan berada di atas semua tokoh tadi. Ia terkesan memiliki
171
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan dua orang yang disebut terakhir tadi. Ia lebih tahu tentang segalanya. Karenanya ia dengan mudahnya memberi masukan pada dua orang tadi apa yang harusnya dilakukan. Yang menarik, superioritas KTH ini terkadang terkesan berlebihan. Hal tersebut terlihat ketika Tat Mo membicarakan tentang komunisme dan orang-orang komunis pada Noerani. Seperti telah saya kutip di atas, Tat Mo mengatakan bahwa orang-orang komunis itu tidak mengerti tentang komunisme termasuk Mas Boekarim, ayah Noerani, dan Radeko. Sehingga mereka, orang-orang komunis tadi, melakukan hal bodoh seperti memberontak pada Pemerintah Kolonial Belanda. Karenanya, sebelum Noerani berangkat ke Digoel untuk menyusul ayahnya, Tat Mo mengajari Noerani tentang komunisme agar tidak terperdaya dengan orang-orang komunis di Digoel dan membenarkan pengertian mereka tentang komunisme. Bagaimana mungkin Tat Mo lebih mengerti tentang komunisme dibandingkan dengan Mas Boekarim dan Radeko yang jelas-jelas propagandis PKI dan telah lama terlibat dalam organisasi tersebut? Datang darimana keberanian klaim-klaim Tat Mo tersebut? Saya melihat superioritas golongannya lah yang menjadi sumber masalahnya. Wajar saja kan seseorang yang melihat dirinya lebih tinggi merasa lebih tahu meskipun sebenarnya dasar pengetahuannya tidak begitu jelas? Dugaan saya ini berangkat dari absennya narasi tentang latar pendidikan Tat Mo. Jika saja dijelaskan bahwa Tat Mo belajar ilmu politik, semisal di Universitas Beijing di bawah bimbingan Mao Zedong, saya akan mengatakan bahwa klaim-klaim Tat Mo masuk akal. Superioritas lain ada di ranah sosial, dari narasi DBD kita tahu bahwa Moestari adalah seorang ningrat. Ia juga berpendidikan cukup baik dan kemudian bekerja menjadi seorang asisten Wedana – sebuah jabatan yang mana cukup tinggi. Terlihat di beberapa kesempatan posisinya membuat Moestari mendapatkan posisi yang ditinggikan oleh orang-orang lain (pribumi). Namun tampaknya hal tersebut hampir tidak berpengaruh ketika ia berhadapan dengan Tat Mo. Tat Mo berbicara dengan Moestari, yang jelas kurang akrab dengannya, seperti ketika ia berbicara dengan Noerani. Bukankah itu berarti Tat Mo memasukkan keduanya ke dalam kelompok yang sama sebagai pribumi yang statusnya tidak lebih baik dari dirinya? Jelas di titik ini Tat Mo membayangkan 172
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dirinya lebih ningrat lagi dibanding Moestari yang ningrat. Singkatnya, identifikasi Tat Mo atas posisinya dan posisi orang-orang di sekitarnya adalah identifikasi ideologis kolonial. Jika dipikirkan kembali sejenak, bisa saja kita mempertanyakan klaim superioritas Bangsa Cina yang saya ajukan ini dengan mengatakan bahwa klaim-klaim Tat Mo ini berangkat dari faktor umur, dengan pengalamannya di dunia jurnalistik, yang terpaut jauh jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pribumi yang berinteraksi dengannya (Noerani dan Moestari). Namun, hal yang kurang lebih serupa muncul di interaksi antara Noerani dan Dolores, anak perempuan Tat Mo yang seumuran dengan Noerani, bahkan sejak pertemuan pertama keduanya. Noerani dan Dolores bertemu pertama kali di sebuah padepokan di Giricahya milik Kyai Achmad Bhakti. Di tempat tersebut, Dolores sedang mencari tempat baru untuk berpikir dan menulis. Sedangkan, Noerani, di sisi lain, hendak mencari kabar tentang keberadaan Moestari. Pertemuan mereka bermula secara kebetulan. Noerani menemukan salah satu tulisan Dolores yang tercecer dan lantas ia berusaha mencari tahu siapa penulisnya dengan maksud untuk mengembalikan puisi tersebut. Bertemulah Noerani dengan Dolores. Sesaat setelah berkenalan, Noerani dengan kalut mengatakan niatnya untuk mengakhiri hidupnya karena tak kuat menopang beratnya permasalahannya. Jelas saja, Dolores melarangnya. Dolores berusaha melarangnya dengan mendasarkan diri pada perintah agama: “[a]pakah kau bilang? Kau hendak cari kamatian? Hendak bunuh diri sendiri? Bagaimana bisa jadi kau, yang masih begitu muda dan cantik, serta terpelajar, bisa dapet itu pikiran nekat! Atas nama Allah dan atas namanya Buddha Gautama, yang pelajarannya aku anut dan jungjung tinggi, aku minta, ah, tida: aku perentah! Kau batalken itu niatan ngeri, dan berilah ketika padaku ake menimbang kau punya ka’adaan. Tida ada satu kasusahan hati dan kajengkelan pikiran yang tida bisa terhibur, apalagi kau punya kesukeranyang aku rasa tiada laen cuman 151
soal percintaan!”
Tampak dengan cukup meyakinkan Dolores memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk menggunakan referensi teks agama, bahkan lebih dari satu, untuk menenangkan 151
(Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4, 2003, pp. 303-304)
173
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Noerani yang gundah-gulana. Setelah kejadian tersebut, Dolores pun mengajak Noerani untuk tinggal di rumahnya guna menenangkan hatinya. Di rumahnya, Dolores memperkenalkan dirinya lebih jauh. Di satu kesempatan ia berkata, “[k]etahuilah, Noerani, aku ini ada satu pengarang yang membantu ayahku menulis ceritacerita dengan di dasarken pada penghidupan yang betul dari manusia segala bangsa. Satu ahli dari etnology, sifatnya bangsa-bangsa manusia, kapan dikasih liat selembar rambut, sering kali 152
lantes bisa unjuk dengen jitu kebangsaannya orang yang punya itu rambut.”
Sudut pandang yang digunakan Dolores untuk memperkenalkan dirinya dan ayahnya adalah sudut pandang intelektual. Dengan memperkenalkan dirinya dengan cara semacam itu Dolores hendak membantu Noerani dengan pengetahuannya tentang manusia. Yang menarik, cara Dolores meyakinkan Noerani bahwa ia dapat membantu ini cukup janggal mengingat usia mereka yang seumuran. Dolores seakan-akan mampu, seperti ayahnya, melihat hal-hal dengan lebih obyektif dengan tidak terperangkap sisi emosional. Bahkan, lebih jauh, Dolores kemudian mengajari Noerani untuk menulis puisi agar perasaanya memiliki wadah yang lebih konstruktif. Sejalan dengan itu, ia juga memberi beberapa referensi penyair-penyair Barat pada Noerani. Rasa superior Dolores begitu kentara di interaksinya dengan Noerani. Dengan narasi seperti di atas, KTH - yang sesungguhnya telah menciptakan narasi yang cukup progresif di masanya karena berani menyatukan dunia pribumi dan non-pribumi dalam payung masalah yang sama – harus berhadapan dengan kesadaran turunan ideologi kolonial (politik segregasi). Ideologi dalam bentuk ter-mutakhirnya telah menjadi sebuah kesadaran yang tidak mampu lagi dipandang sebagai barang yang asing oleh subyek. Ideologi bukan lagi pandangan-pandangan yang keberadaan eksternalnya dalam bentuk dogma atau peraturan administratif disadari oleh subyek. Ia adalah nilai-nilai dan kenyataan-kenyataan umum yang telah dipandang lumrah adanya. Artinya, kesadaran dan sudut pandang kolonial yang tersisa di narasi DBD bukanlah sebuah pilihan atau keinginan si pengarang namun sebuah pandangan umum yang 152
Ibid., hal. 307
174
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjadi lumrah jika kemudian digunakan dalam karya sastra. Di Hindia-Belanda kehidupan intelektual dan pergerakan modern kaum Cina (peranakan) memang lebih maju dibandingkan dengan saudara Indonesier-nya. Hal tersebut terbukti dengan pendirian organisasi modern non-kulit putih pertama di Hindia-Belanda adalah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada 1900 seperti dicatat oleh KTH sendiri di esainya (Atsal Moelahnja Tomboelnja Pergerakan Tionghua jang Modern di Indonesia). Boedi Oetomo sendiri yang dianggap sebagai tonggak pergerakan nasional berbasis pribumi baru berdiri delapan tahun setelahnya. Kenyataan ini tentu tak lepas dari posisi masyarakat Cina di Indonesia yang memang mengenyam pendidikan jauh lebih dahulu dibandingkan dengan pribumi. Apalagi setelah berdirinya THHK, pendidikan kaum Cina semakin melesat. Sekolah berbasis kaum pribumi sendiri baru ada setelah sekolah Taman Siswa dibuka di bulan juli 1922. Hampir sedari awal, anak-anak Cina sekolah bersama dengan anak-anak kulit putih – sebuah hal yang hanya mungkin terjadi untuk pribumi jika mereka datang dari keluarga ningrat. Walhasil, di masa awal abad ke-20, tulisan-tulisan yang beredar memang didominasi oleh penulis-penulis dari kaum vreemde oosterlingen tadi. Di dunia sastra, misalnya, karya-karya sastra dengan tradisi bahasa Melayu Lingua Franca sebagian besar ditulis oleh penulis-penulis Cina dan Indo – tentu dengan beberapa pengecualian seperti Mas Marco Kartodikromo dan Semaun. Jika dilihat dari dunia penerbitan, kemajuan kaum Cina ini semakin sulit terbantahkan. Segala kemajuan di dunia intelektual tersebut tentu adalah hal yang muncul sehari-hari di dunia yang dihidupi KTH. Karenanya lumrah saja jika KTH menempatkan Tat Mo dan Dolores di narasinya lebih tinggi daripada Noerani atau Moestari. Baginya, itulah kenyataannya. Begitulah kesadaran yang dibentuk oleh tatanan masyarakat saat itu. Superioritasnya tidak datang dari sebuah pemikiran tertentu yang ia geluti. Superioritasnya adalah caranya melihat posisinya dan orang lain, termasuk pribumi, yang sangat masuk akal jika ditilik dari nilai-nilai kolonial. Superioritasnya adalah caranya untuk ‘ada’ di dunia kolonial. Jadi, meskipun ia mengajukan penyatuan identitas-identitas yang ada di Hindia Belanda dengan
175
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menggencarkan interaksi antar Bangsa – seperti yang terlihat dalam interaksi Noerani dan keluarga Tjoe – hal tersebut tidak berarti kesetaraan antar identitas. Superioritas yang juga merupakan bagian dari bentukan politik kolonial tetap hadir di tengah-tengah kesatuan identitas tadi. Lebih jauh, jika kemudian kita melihat adanya sikap anti-pati terhadap PKI dan komunisme yang muncul di DBD, itupun bagian dari keberhasilan Pemerintah Kolonial Belanda membangun kesadaran subyek-subyek dan berada di gerbong yang sama dengan superioritas kaum Cina tadi. Narasi di DBD memang berusaha menyatukan kehidupan dua dunia (pribumi dan Cina) yang dipisahkan melalui dogma segregasi kolonial akan tetapi penyatuan tersebut bukan berarti penyetaraan karena jelas terlihat ketimpangan khas hubungan sosial kolonial. Di sini KTH memang telah menyadari politik pemisahan dalam segregasi namun belum benar-benar dapat menggenggam dampak dari pemisahan tersebut pada identitasnya sebagai anggota kelompok masyarakat yang lebih diuntungkan dibandingkan dengan identitas pribumi, yaitu superioritas. Karenanya meskipun ia telah sangat kritis terhadap ideologi kolonial namun ia – dalam narasi novelnya – menciptakan-ulang tatanan masyarakat kolonial dengan meletakkan masyarakat Cina di atas masyarakat pribumi. Penyatuan yang ia junjung tinggi ternyata tidak sama artinya dengan kesetaraan. Tetapi, yang jelas, dilihat dari kuatnya ideologi kolonial kekritisan narasi ciptaan KTH adalah sebuah pencapaian yang penting karena memberi para pembacanya – terutamanya yang lahir jauh setelah masa kolonial – gambaran tentang ambiguitas dan kontradiksi hubungan ideologi kolonial dengan subyek-subyek kritisnya yang berusaha melampauinya. Menggunakan bahasa teknis psikoanalisa, sumbangan besar KTH adalah memberi kita symptom-symptom subyek yang berhadapan dengan ideologi kolonial. Pada dasarnya, symptom selalu berbentuk kontradiksi-kontradiksi yang muncul hampir secara spontan seperti superioritas masyarakat Cina di dalam narasi yang sesungguhnya berangkat dari kesadaran kritis terhadap ideologi kolonial. Secara teoritik, symptom muncul dari usaha subyek untuk mengartikulasikan ‘ketidakbebasan’-nya yang tentu bahasanya tak disediakan oleh ideologi yang menindasnya. Walhasil, muncullah ia
176
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam bentuk-bentuk yang aneh dan kontradiktif i.e. subyek menjadi subyek-yangterbelah ($). Dalam kasus DBD, KTH ingin membahasakan permasalahan yang ada di Hindia-Belanda sebagai akibat dari politik segregasi yang dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun karena ia telah menduduki posisi tertentu di tatanan Simbolik kolonial – sebagai warga kelas dua – ia telah secara ideologis mengidentifikasi dirinya secara ideologis dengan ideologi kolonial. Kenyataan tersebut membuatnya tak mampu melihat inti dari ideologi kolonial. Ia memang memahami bahwa terjadi pemisahan namun ia tetap tak dapat sampai pada kesimpulan bahwa pemisahan tersebut diciptakan dengan sebuah alasan, yaitu kepentingan ekonomis Belanda yang secara tak langsung membuat masyarakat Cina setingkat di atas pribumi. Dengan kondisi seperti di atas, KTH mengidentifikasi tokoh-tokoh Cina di novelnya seperti Pemerintah Kolonial mengidentifikasi masyarakat Cina. Jadi, dari mana kah symptom-symptom tadi berasal? Pertanyaan ini dapat kita jawab jika kita kembali ke konsep kekerasan Zizekian di bagian Kerangka Teoritik. Menurut saya, ketidakmampuan KTH untuk benar-benar menyatukan identitas Cina dan pribumi dikarenakan fokusnya pada kekerasan subyektif dan bukan obyektif. Pemersatuan identitas yang diusung oleh KTH berangkat dari keprihatinannya atas pemisah-misahan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Kondisi keterpisahpisahan inilah yang benar-benar menggoresnya. Dalamnya goresan ini tampak salah satunya ketika ia mengomentari soal agama yang semuanya sama yaitu mengajarkan kebaikan. Berdasarkan pemikiran semacam itu tentu manusia tak selayaknya dipisahpisahkan dan disusun tinggi rendahnya. Pemisah-misahan ini, bagi saya, hanyalah kekerasan subyektif. Hal tersebut bukanlah ide sesungguhnya dari politik segregasi. Segregasi kolonial bukan semata-mata dimaksudkan untuk memisahkan manusia satu dengan manusia lainnya. Namun, ia dimaksudkan untuk efisiensi ekonomis dan tentu politis. Konsep Bangsa yang digunakan – yang dekat sesungguhnya dekat dengan konsep warna kulit (ras) – oleh Pemerintah Kolonial hanyalah pembahasaan-ulang dari tatanan ekonomi yang diinginkan. Kelas vreemde oosterlingen – yang di dalamnya
177
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat Cina bernaung – dibentuk berdasarkan kepentingan ekonomi kolonial dan bukan ras. Jadi, berjalannya sistem ekonomi inilah yang merupakan ide utama dari segregasi. Singkat kata, sistem ekonomi kolonial sebagai – menggunakan istilah Marxis – economic base inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian karena ia menempati posisi sebagai kekerasan obyektif; kekerasan yang memberi makna atas apa yang layak disebut kekerasan dan apa yang tidak; kekerasan yang memutuskan siapa harus bekerja apa dan dengan siapa. Kesimpulannya, symptom superioritas – yang menandakan sulitnya KTH merumuskan persatuan identitas - dalam DBD muncul karena ketimpangan ekonomi sebagai bentukan sistem ekonomi kolonial tak terbaca. Artinya, persatuan identitas akan dengan lebih mudah dirumuskan jika kesetaraan ekonomi terwujud. A.2. Superioritas ekonomis dan inferioritas kultural di Lucy Mei Ling Di atas kita telah melihat bagaimana sulitnya seorang pengarang, yang bahkan sehebat KTH, untuk melepaskan diri sekaligus melampaui wacana identitas yang disediakan oleh ideologi dominan. KTH, dengan kesadaran kritisnya terhadap politik segregasi, berusaha menyatukan dunia yang dipisahkan oleh politik segregasi Belanda. Ia ingin menyatukan tokoh-tokoh di DBD, baik yang Indonesier maupun yang vreemde oosterlingen, lewat pengangkatan permasalahan ‘nasional’ semacam pemberontakan PKI. Akan tetapi, ketika ia masuk lebih dalam hubungan sosial antara tokoh pribumi dan Cina-nya, sudut pandang yang ia gunakan masih dengan jelas membawa kesadaran segregatif. Bagaimana kemudian Motinggo Busye menghadapi kebijakan-kebijakan a la Soeharto yang tak kalah tiran dibandingkan dengan Belanda? Mampukah ia, dengan konteks Orba, memberikan wacana identitas pribumi-non-pribumi yang kritis sehingga memberi sumbangan berupa symptom seperti halnya KTH di atas? Sekedar pengingat, Soeharto dengan Orde Baru-nya memiliki hubungan yang unik – untuk tidak mengatakan kontradiktif – terhadap komunitas Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya jabarkan – semoga dengan cukup komperhensif – bahwa di satu 178
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sisi kebijakan-kebijakan Orde Baru sangatlah menindas terhadap ekspresi kultural masyarakat Cina di Indonesia. Di masa tersebut, merayakan Imlek adalah sebuah tindakan yang mungkin berujung di meja hijau. Memberi anak dengan nama khas Cina dengan tiga kata-nya di masa Orde Baru adalah sebuah keberanian yang sangat dekat dengan kebodohan. Membuka toko dengan dengan nama ber-huruf kanji Cina juga merupakan tindakan yang hampir sama taraf kebodohannya. Aparat pemerintah di masa Orde Baru tidak akan segan-segan menindak usaha ‘makar’ yang jelas-jelas tak sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden semacam itu. Di sisi yang lain, di masa Orde Baru pedagang-pedagang besar Cina bermunculan. Nama-nama seperti Salim Sudono atau Ciputra menjadi tak asing ketika membicarakan arah kebijakan ekonomi Orde Baru.153 ‘Keunikan’ lain adalah konsep ‘etnis’ yang ditawarkan oleh pemegang kekuasaan Orde Baru. Jika di masa kolonial, masyarakat digolongkan berdasarkan ‘Bangsa’-nya, setelah merdeka penggolongan berdasarkan ‘etnis’. Jika sebagai ‘bangsa’ masyarakat Cina dipisahkan dari pribumi – dan tidak diperlakukan sama di beberapa bidang seperti ekonomi dan politik - karena dianggap memiliki ras yang berbeda, dalam konsep ‘etnis’ mereka (seharusnya) dianggap sebagai bagian dari Indonesia seperti halnya etnis-etnis lainnya. Tetapi, yang terjadi, etnis yang satu ini tidak mendapatkan hak dan kewajibannya seperti etnis-etnis lainnya. Mereka tetap dipertanyakan ke-Indonesia-annya dengan bentuk-bentuk birokratis seperti SKBRI dan cap non-pribumi. Yang artinya, bagi Orde Baru yang membedakan ‘etnis’ dan ‘bangsa’ hanyalah penyebutannya semata karena pemaknaan yang muncul tidak ada bedanya. Untuk membuat segalanya semakin rumit kondisi yang ada, arah kebijakan Orde Baru berpegang pada konsep asimilasi yang berarti mem-pribumi-kan masyarakat Cina. Jika memang masyarakat Cina adalah sebuah etnis di Indonesia, kenapa diperlukan asimilasi? Kenapa etnis lain – semisal Jawa atau Sunda – tidak dikenakan kebijakan yang sama? Dengan kata lain, memang Cina diterima sebagai salah satu etnis di Indonesia, namun tetap dengan label-label tertentu. Kontradiksi-kontradiksi di atas adalah jantung pemikiran Orba pada 153
Untuk daftar pengusaha-pengusaha yang menjadi ‘tim’ pengembangan ekonomi Indonesia di era Soekarno ini lih. (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 128)
179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat Cina. Bagaimana kemudian Lucy Mei Ling menanggapi kontradiksi semacam ini yang merupakan kesadaran utama masanya? Saya kira Motinggo Busye dengan novelnya yang bercerita tentang seorang gadis Taiwan yang lantas menjadi orang Cina di Indonesia ini menggambarkan kontradiksi masa kepemimpinan Soeharto dengan sangat baik. Di satu sisi, ia mencerminkan semangat kritis atas wacana identitas Cina yang ditawarkan Orba. Di sisi yang lainnya, ia tak memiliki referensi bahasa yang cukup mumpuni di luar bahasa Orba untuk menarasikan masyarakat Cina. Novel ini mulai ditulis di pertengahan tahun 1970an dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 yang merupakan masa keemasan Orba sebelum kemunculan berbagai oposisi, meskipun masih belum kuat, di akhir tahun 1980-an. Ditilik dari latar tersebut, judul yang digunakan novel ini adalah sebuah hal yang sesungguhnya dapat dengan mudah dianggap sebagai usaha subversif – atau menggunakan istilah yang lebih lazim digunakan otoritas mas Orba, makar – terutama karena di masa tersebut penggunaan nama Cina adalah sebuah hal yang dilarang. Di halaman-halaman antar bab, novel ini mengisinya dengan gambar-gambar yang khas produk kebudayaan Cina seperti kipas, alat musik, hiasan dinding dan lain-lain. Mengingat dilarangnya penggunaan barang-barang tersebut di ruang publik, apalagi di perayaan-perayaan masyarakat Cina, butuh keberanian untuk mencantumkannya – sebuah hal yang patut diapresiasi dari novel ini. Terlihat benar keinginan Motinggo Busye untuk mengangkat sisi-sisi masyarakat Cina yang dihilangkan Orba yaitu sisi kultural. Akan tetapi kemudian, novel ini seperti kehabisan referensi lain untuk membicarakan masyarakat Cina dan, pada akhirnya, mengikuti bahasa yang disediakan Orba – bahasa ekonomi. Seperti yang terlihat di dalam narasi Lucy Mei Ling, cerita-cerita yang dihadirkan untuk membangun tokoh Lucy adalah cerita-cerita tentang betapa bergelimangnya harta keluarga Lucy. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses. Kemanapun ia pergi, ia selalu menggunakan mobil yang merknya bukan main-main, Rolls Royce! Pada hari pernikahannya dengan Sanjaya, ia dihadiahi uang yang 180
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jumlahnya membuat Sanjaya tercengang. Bahkan, keluarganya memiliki hotel-hotel langganan di tempat-tempat wisata. Berbanding terbalik, latar ekonomis keluarga Sanjaya tidak mendapat jatah di narasi Lucy Mei Ling. Bagaimana sisi kultural identitas Lucy sebagai Cina? Hampir tidak ada cerita-cerita sisi kultural dari Lucy kecuali namanya dan nama-nama keluarganya. Tidak ada narasi tentang prosesi kultural a la Cina di pernikahannya. Ia, dan beberapa tokoh Cina lain di dalam novel, juga sangat jarang menggunakan istilah-istilah berbahasa Mandarin atau dialek-dialek daerah di Cina yang lain. Menariknya, sisi kultural ini malah disajikan dalam bentuk gambargambar yang muncul di setiap halaman jeda antar bab di novel tersebut. Gambargambar yang muncul adalah gambar-gambar yang khas Cina e.g. kipas dengan ornament kanji, alat musik, lukisan pemandangan dengan kanji di sampingnya dan lainlain. Tampaknya yang lolos dari sensor Orba hanyalah bentuk-bentuk non-narasi seperti itu. Gambar-gambar tersebut adalah symptom dari keinginan Motinggo Busye untuk menggambarkan secara kultural masyarakat Cina namun terbentur ideologi dominan yang secara simbolik tidak menyediakan bahasa untuknya. Seperti diungkapkan Zizek, “[t]he symptom arises where the world failed, where the circuit of the symbolic communication was broken: it is a kind of 'prolongation of the communication by other means'; the failed, repressed word articulates itself in a coded, cyphered form.”154 Gambar-gambar tadi adalah ‘other means’ dan ‘cyphered form’ yang merupakan dampak dari kegagalan mencari bahasa Simbolik untuk lebih jauh menarasikan tokoh Cina di Lucy Mei Ling. Bahasa yang tersedia adalah bahasa dengan referensi yang mengacu pada cukong-cukong yang dijadikan peliharaan Soeharto. Di titik ini, maksud Motinggo Busye untuk menarasikan masyarakat Cina – dan membuatnya ada - terjebak dengan kuatnya politik Orba yang mengganti identitas dan posisi masyarakat Cina di Indonesia. Absennya narasi kultural atas masyarakat Cina dan diangkatnya narasi ekonomi di Lucy Mei Ling adalah bentuk ‘kepatuhan’-nya terhadap ideologi asimilasi Orba. 154
Lih. (Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, p. 79)
181
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Logika asimilasi tersebut, yang menghilangkan identitas Cina dan meleburnya dengan begitu saja ke dalam identitas pribumi, terpampang dengan semakin jelas di Lucy Mei Ling ketika menarasikan hubungan antara Sanjaya dan Lucy di masa awal pernikahan mereka. Setelah menikah dengan Sanjaya, Lucy tampak sangat mengagumi Indonesia dan dengan sangat cepat menjadi sangat nasionalis. Tidak lama sebelum berangkat ke Indonesia beserta suami dan anaknya, Lucy berkata, “[a]ku ingin sekali melihat negeri khatulistiwa yang subur makmur itu.”155 Dan seperti tak akan merasa kehilangan anaknya yang akan pergi jauh, ayahnya berkata, “[y]a. Kau harus mengenal negeri suamimu. Anakmu harus belajar udara equator yang panas itu sejak kecil, agar dia bisa menyesuaikan diri nantinya.”156 Tidak berhenti sampai di situ, ketika telah berada di Indonesia untuk beberapa hari saja, Lucy telah berani menyatakan, “[a]ku sudah menjadi orang Indonesia kini! Anakku Indonesia! Hidup dan matiku akan di Indonesia, karena ini tanah airku yang baru.”157 Menurut saya, sentimen nasionalisme Lucy dan dorongan tak bersyarat ayahnya agak berlebihan. Berlebihan karena sebelumnya hampir tidak ada obrolan yang menceritakan tentang Indonesia di antara Sanjaya dan Lucy. Bahkan tidak ada tawar-menawar di antara mereka tentang kewarganegaraan dan tempat tinggal nantinya. Lucy tiba-tiba menerimanya dengan begitu saja. Ia terlihat sama sekali tak keberatan meninggalkan Taiwan dan posisinya sebagai warga Negara Taiwan. Anehnya ayahnya juga mendorong perpindahan kewarganegaraan Lucy tersebut. Menurut saya adegan-adegan ini adalah visi Orba atas orang Cina yang tak mampu ditolak oleh Motinggo Busye. Bagi Orba, masyarakat Cina harus rela meninggalkan sama sekali akarnya dan menerima Indonesia dengan cara yang digariskan oleh undangundang yang ada. Mereka harus rela melepaskan ekspresi-ekspresi kulturalnya dan menggantinya dengan ekspresi-ekspresi yang Indonesia (baca: pribumi) karena mereka tak punya pilihan lain selain Indonesia – tentu a la Soeharto yang mewajibkan
155
Lih. (Busye, 1977, p. 465) Ibid., hal. 465-466 157 Ibid., hal. 470-471 156
182
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penghapusan identitas etnis Cina. Di titik ini, wacana asimilasi Orba benar-benar mengurung kesadaran Motinggo Busye ketika menulis novel ini. Narasi tentang gadis yang lahir dan dibesarkan di Taiwan – dengan bahagia karena latar keluarganya yang berkecukupan - namun dengan mudahnya menjadi orang Indonesia bahkan sangat nasionalis ini bagi saya juga menyimpan bentuk symptom yang lain. Ada proses perubahan identitas di diri Lucy yang tidak hadir pada narasi novel. Absensi semacam itu juga merupakan bentuk symptom karena sebelumnya narasi mengambil latar di Taiwan. Bagaimana mungkin kemudian kenyataan tersebut tidak berbekas sama sekali ketika Lucy memutuskan untuk menjadi orang Indonesia? Ada sebuah permasalahan yang tidak dijabarkan dan langsung meloncat ke ‘solusi’-nya yaitu, menerima ke-Indonesia-an-nya dan melupakan sejarahnya. Kebijakan-kebijakan asimilatif mengarahkan agar masyarakat Cina menjadi pribumi dengan jalan menghilangkan latar kultural mereka seperti perubahan nama. Hal tersebutlah yang dimunculkan dalam novel Lucy Mei Ling. Jadi, tidak ada tempat bagi proses dan pergulatan batin Lucy dalam usahanya menjadi orang Indonesia. Karenanya narasi semacam itu absen. ‘Kepatuhan’ novel tersebut pada ideology asimilasi ini – yang merupakan sumber dari symptom-symptom yang ada – dikarenakan ketidakmampuan narasi novel tersebut membahasakan-ulang obyek a identitas Cina yang diberikan oleh ideology asimilasi. Narasi Lucy Mei Ling terus berputar pada pendalaman penokohan Lucy yang orang asing yang ‘harus’ menerima nasionalisme Indonesia versi Orde Baru dengan begitu saja. Karena ‘kepatuhan’ narasinya pada ideologi asimilasi Orba, Lucy Mei Ling memberi sebuah keuntungan untuk pembaca dan kritikus di masa Reformasi yang ingin memahami lebih lanjut. Novel ini memberi kita gambaran tentang batas-batas ideologis Orba terkait dengan masyarakat Cina. Di masa Orba, istilah ‘bangsa’ yang digunakan di masa kolonial dihapuskan. Istilah tersebut digantikan dengan istilah ‘etnis’. Menjadi sebuah etnis berarti masyarakat Cina seharusnya diperlakukan dengan setara seperti etnis-etnis lainnya karena melalui istilah etnis ia disetarakan dengan etnis Dayak, Batak, 183
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jawa, Madura dan lain-lain. Bukankah begitu makna asmilasi? Semua orang menjadi sama dan setara. Sayangnya perubahan yang terjadi hanya sebatas istilah karena, yang pertama, etnis Cina, tidak seperti etnis-etnis lain, tidak diperkenankan berekspresi secara kultural. Di masa kepemimpinan Soeharto, jika diselenggarakan sebuah festival kebudayaan, kebudayaan Cina atau peranakan selalu absen. Jadi, asimilasi, di masa Orba, tidak berarti meleburkan identitas-identitas yang ada karena, seperti diperlihatkan oleh narasi Lucy Mei Ling, tetap diciptakannya pemisah antara pribumi dan non-pribumi berupa keuntungan-keuntungan ekonomis. Singkatnya, istilah etnis bagi Orba memiliki logika yang sama dengan ‘bangsa’ yang mana pengelompokkannya berdasarkan kepentingan ekonomi. Sesungguhnya visi Orba bukanlah menyatukan identitas-identitas yang ada namun mempertahankan kekuasaannya. Itulah kenapa identitas Cina warisan kolonial tidak banyak dipikirkan kembali oleh Pemerintahan Suharto – ada sebuah keuntungan yang dapat diambil dari kondisi paska-kolonial tersebut. A.3. Multikulturalisme dan kekerasan di empat novel masa Reformasi Pada Masa Reformasi terlihat dengan cukup jelas bahwa ada semangat yang berbeda ketika para pengarang menarasikan identitas Cina (terima kasih tentunya pada keruntuhan tirani Orba!). Setelah 1998 ada sebuah kebebasan untuk mengungkapkan hal-hal yang selama masa ‘penjajahan’ militeristik Orba dilarang kemunculan di ruangruang dan kesadaran publik – sebuah hal yang tentunya berpengaruh pada narasi, dan identitas, masyarakat Cina di Indonesia. Yang langsung, dengan begitu saja, terlihat adalah nama penulis dan judul karya sastra yang dengan terang-terangan ditulis atau bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina. Hal tersebut jelas tidak mungkin mendapatkan ruang di masa Orba. Kita lihat ada nama marga ‘Ng’ di belakang nama Clara yang jelas menandakan bahwa ia merupakan seorang perempuan dari etnis Cina. Ia juga menggunakan nama makanan khas masyarakat Cina sebagai judul novelnya (dimsum). Fakta lain adalah judul tiga novel lain yang dengan jelas memberitahu (calon) pembacanya bahwa novel-novel tersebut akan bercerita tentang masyarakat Cina (Ca-Bau-Kan, Putri Cina dan Acek Botak). Pada masa berkuasanya Suharto yang cukup 184
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lama, bahkan terlalu lama, para pengarang yang datang dari etnis Cina tidak akan menunjukkan nama marganya seperti halnya Clara Ng. Lihat saja nama-nama seperti Marga T atau Mira W yang tidak menunjukkan identitas kultural mereka. Judul-judul novel mereka pun tidak menunjukkan bahwa mereka sedang menceritakan masyarakat Cina atau seorang tokoh etnis Cina e.g. Mimpi-mimpi Terpendam, Perempuan Kedua, Merpati Tak Pernah Ingkar Janji karenanya, seperti telah saya sebutkan di atas, Motinggo Busye memiliki keberanian yang besar dengan judul novel seperti Lucy Mei Ling. Dengan kebebasan yang tersedia ini, bagaimana para pengarang, baik yang pribumi maupun non-pribumi, menanggapinya dalam narasi yang diciptakannya? Untuk menjabarkan logika narasi ketika mengungkapkan identitas Cina dalam novel-novel masa Reformasi ini, saya memutuskan untuk membahasnya berdasarkan latar belakang pengarangnya. Saya melihat ada kecenderungan yang berbeda di keduanya meskipun keduanya saling mempengaruhi dan memiliki kesamaan. Harapannya dengan pembagian tersebut, saya dapat memperlihatkan tidak saja kekhasan narasi kedua kelompok pengarang di atas namun juga sekaligus kenyataan bahwa ideologi dominan mempengaruhi semua pengarang. Hal yang terasa begitu saya membaca karya-karya yang telah saya ringkas di atas adalah adanya dua logika yang mengatur narasi ke empat novel ini. Kedua logika tersebut menyangkut dengan identifikasi posisi masyarakat Cina dan ‘jalan keluar’ yang diambil para pengarang atas permasalahan tersebut. Yang pertama, di sisi identifikasi posisi masyarakat Cina saat ini, adalah penempatan masyarakat Cina sebagai korban kekerasan tertentu di narasinya. Kedua, berangkat dari identifikasi tersebut, para pengarang memutuskan untuk memberi tempat khusus di narasinya untuk menyuarakan bentuk-bentuk khas penyusun identitas Cina di narasinya. Bahkan, untuk yang kedua, penyuaran (pengangkatan) ini menjadi semacam semangat utama penulisan novel-novel ini.
185
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.3.a. Multikulturalisme dalam bentuk wacana masyarakat Cina sebagai korban dan perayaan kultural Lamentasi kontradiktif Putri Cina Melalui buku Andrew Heywood yang telah dibahas di bagian Kerangka Teoritik, ideologi multikulturalisme adalah ideologi yang menitikberatkan pada pengakuan identitas-identitas yang dipinggirkan. Lebih lanjut, pengakuan tersebut adalah jalan mengangkat harkat mereka yang menjadi korban. Melalui pengakuan tersebut, diharapkan adanya kesetaraan antara korban, katakanlah minoritas, dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain, katakanlah, mayoritas. Pengakuan ini adalah pengakuan terhadap hak-hak minoritas terutamanya yang terkait dengan ekspresi kulturalnya.
Di
bagian
ini
saya
akan
menunjukkan
bagaimana
dalil-dalil
multikulturalisme tersebut terlihat dalam dua novel berikut ini. Yang pertama akan saya bahas adalah dua novel yang ditulis oleh dua orang pengarang yang berbeda latar etnisnya yang saya pikir ada di tahap yang sama terkiat dengan identifikasi identitas Cina-nya: Putri Cina oleh Sindhunata dan Ca Bau Kan oleh Remy Sylado. Yang jadi fokus pertama di sini adalah tokoh utama di Putri Cina yaitu si Putri Cina sendiri. Nada utama si Putri Cina saat menceritakan dirinya sendiri dan keadaan sekitar serta kejadian yang ia saksikan adalah nada lamentatif i.e. kemurungan,
kesedihannya
melihat
nasibnya
dan
mengiba
adalah
caranya
mengekspresikan diri. Namun tidak hanya sampai di sana, Putri Cina juga menceritakan bentuk-bentuk kebudayaan Cina dan peranannya di Indonesia yang ditempatkan sebagai dasar penilaian kenapa si Putri Cina merasa ia tak pantas diperlakukan dengan kejam. Jadi, melalui lamentasinya si Putri Cina menunjukkan bagaimana sesungguhnya ia, dan kaumnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Tampak sekali ia ingin menunjukkan bagaimana masyarakat Cina bukan saja kaum yang sekedar melintas atau numpang tinggal tapi juga merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang sayangnya dilupakan.
186
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam Putri Cina terdapat dua wacana besar utama – yang sangat terpengaruh dengan multikulturalisme - yang terkait satu dengan lainnya sebagaimana telah saya sentuh di Bab III. Yang pertama adalah wacana korban dan berikutnya adalah wacana perayaan bentuk-bentuk kultural masyarakat Cina. Dua wacana tersebut terkait satu dengan lainnya karena wacana korban menjadi sebuah pembacaan masalah yang digunakan untuk membenarkan wacana perayaan. Dengan kata lain, pembaca diajak memahami kondisi masyarakat Cina sebagai korban kemudian diajak menuntaskan kondisi korban tersebut dengan pengangkatan (perayaan) kultural. Jadi, pertama kali kita harus memahami wacana korbannya. Pertama, masyarakat Cina di Indonesia, berdasarkan narasi Putri Cina, merupakan korban dari kekerasan fisik. Di dalam novel tersebut, tokoh Putri Cina menceritakan sebuah kisah tentang sebuah kerajaan bernama Medang Kemulan yang mana di dalam wilayah kerajaan banyak orang Cina yang menetap dan mencari penghidupan terutama dengan berdagang. Suatu saat di kerajaan tersebut terjadi pergolakan karena ketidaksukaan rakyat pada rajanya tidak tertahankan lagi. Bingung dan khawatir akan kehilangan singgasananya, sang raja memerintahkan agar ada sebuah ‘pengalihan isu’. Sebagai tindak-lanjut-nya, ketidaksukaan rakyat diarahkan pada para pemukim Cina dengan menyebarkan isu bahwa penderitaan rakyat disebabkan oleh keserakahan dan ketidakpedulian para pemukim Cina yang terdiri dari para pedagang. Hasilnya, rakyat pun melampiaskan amarahnya pada orang-orang Cina. Mereka membakar rumah orang-orang Cina. Mereka juga membunuh orang-orang Cina yang ditemuinya. Cerita Putri Cina tersebut, menurut saya, adalah metafora bagi kejadian di Indonesia di tahun 1998 saat gelombang reformasi menyapu di Indonesia. Saat itu, ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi di banyak kota di Indonesia dan menyuarakan kemunduran Soeharto, beberapa pihak - yang hingga kini tak jelas siapa karena tampaknya Pemerintah enggan melakukan investigasi dengan sungguh-sungguh - memicu kerusuhan. Walhasil, terjadi kekerasan dengan skala yang besar dengan isu 187
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anti-Cina di beberapa kota besar di Indonesia (Jakarta, Solo, Lampung, Medan dan Palembang). Toko-toko milik orang Cina dibakar bahkan sebagian sekaligus dengan pemiliknya yang dikunci di dalam. Selain itu, banyak laporan juga tentang pemerkosaan perempuan-perempuan Cina. Jadi, Putri Cina adalah sebuah pernyataan bahwa masyarakat Cina adalah korban di pergolakan politik di tahun 1998 yang telah lalu. Bahkan, tidak berhenti sampai di titik itu, narasi Putri Cina juga memasukkan beberapa catatan sejarah tentang kekerasan yang ditujukan terhadap masyarakat Cina e.g. pembantaian pemukim Cina di Batavia di tahun 1740.158 Saya pikir masuknya catatan sejarah tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa masyarakat Cina selalu menjadi korban di setiap pergolakan yang terjadi di Indonesia. Yang kedua, Sindhunata membaca bahwa masyarakat Cina di Indonesia adalah korban dari manipulasi sejarah terutamanya yang terkait dengan peran mereka di Indonesia. Karenanya di dalam narasi Putri Cina terdapat beberapa bagian yang menceritakan bagaimana sebenarnya secara sosio-kultural masyarakat Cina memiliki peranan yang cukup penting. “[m]ereka membaur dalam kebudayaan pribumi, dan memperkaya kebudayaan pribumi. Mereka juga ikut memajukan dan memakmurkan hidup kaum pribumi. Kepada kaum pribumi, mereka memberikan ilmu yang mereka bawa dari Negeri Cina. Maka dibuatlah di sini bersama penduduk pribumi usaha gula, penyulingan alkohol, dan alat-alat rumah tangga. Penduduk pribumi mereka ajari cara membuat tahu, mi, kecap, juga makanan seperti bakpao dan 159
kompyang.”
Kutipan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa beberapa produk kebudayaan yang selama ini dianggap merupakan produk kebudayaan pribumi ternyata berasal dari Cina yang dibawa oleh para pendatang Cina di satu masa. Berikutnya, secara historis, Putri Cina juga mengangkat peran ‘politik’ di perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa. Di kasus tokoh Putri Cina, dari kedua suaminya (Prabu Brawijaya dan Arya Damar) ia 158
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai pembantaian yang dilakukan VOC pada para pemukim Cina terutama mengenai latar belakang serta konteks ekonomi, sosial dan politiknya ini lih. (Blusse, 2004, hal. 171-174) 159 Ibid., hal. 104
188
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memperoleh dua orang anak laki-laki (Raden Patah dan Raden Kusen). Dua orang anaknya tersebut lantas memberontak pada Majapahit yang dipimpin ayahnya dan berhasil. Setelahnya, keduanya mendirikan Kerajaan Islam terbesar di Jawa – Kerajaan Demak. Melalui narasi tersebut, Sindhunata ingin mengatakan bahwa secara politis masyarakat Cina memiliki andil juga dalam pergolakan politik di Jawa. Dengan, pertama-tama, menunjukkan kerumitan identitas masyarakat Cina di awal novelnya, ia membuat landasan berpikir bagi para pembacanya bahwa ada masalah dengan identitas Cina yang selama ini dikenal; ada sebuah penindasan yang terjadi terkait dengan identitas tersebut. Dengan begitu kemudian ia dapat melanjutkan narasi dengan mengungkapkan bagaimana selama ini, di sejarah Indonesia, masyarakat Cina menjadi korban kekerasan baik fisik maupun non-fisik. Secara fisik, di beberapa waktu yang telah lalu, mereka diburu, diperkosa dan dibunuh serta properti-properti milik mereka dihancurkan. Kekerasan non-fisik yang mereka alami adalah penghilangan peran, baik yang sosio-kultural maupun yang politis, mereka dari sejarah. Dengan semua cerita yang bersumber dari identifikasi masyarakat Cina sebagai korban tersebut Sindhunata membangun narasi wacana korbannya. Jadi, wacana korban yang diinginkan oleh Putri Cina adalah wacana korban yang memberi keadilan bagi pihak yang diidentifikasinya sebagai korban. Akan tetapi narasi pengangkatan peran masyarakat Cina dalam wacana korban ini memiliki masalah. Salah satu bentuk wacana korban Putri Cina adalah sejarah dengan sudut pandang Cina sebagai korban. Dan tepat di sudut pandang melihat sejarah tersebut masalah bersemayam. Saya kira ‘sejarah’ yang diangkat ini, yang menyatakan bahwa di setiap masanya masyarakat Cina selalu menjadi korban, sangat berlebihan. Seperti yang telah kita lihat di Bab II, masyarakat Cina tidak selalu menjadi korban, atau bahkan pihak yang paling ditindas, di sejarah pembentukan Indonesia i.e. di masa kolonial, masyarakat Cina berada satu golongan di atas pribumi – posisi yang jelas lebih menguntungkan dan lebih dekat dengan kekuasaan dibandingkan dengan posisi pribumi. Versi ‘sejarah’ yang meragukan ini sebenarnya muncul mungkin tanpa disadari oleh si 189
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengarang, Sindhunata, karena tokoh-tokoh Cina yang ia jadikan protagonis seperti si Putri Cina dan Giok Tien sekeluarga adalah orang-orang yang lebih diuntungkan karena mereka adalah bagian dari keluarga kerajaan, namun hal tersebut seperti tidak dipertimbangkan dalam pemposisian tokoh-tokoh Cina tersebut sebagai korban. Si Putri Cina, atau Giok Tien, tak pernah mengungkapkan sisi diuntungkannya mereka dalam lamentasi-lamentasinya. Memang dalam satu adegan narasinya, tentang pembantaian masyarakat Cina di Batavia tahun 1740, si Putri Cina mengakui bahwa masyarakat Cina diletakkan di atas pribumi oleh Belanda, namun hal tersebut tak membekas dalam komentar-komentar dan kesimpulan-kesimpulannya. Di bagian tersebut si Putri Cina mengatakan: “Sayangnya, orang-orang Cina itu tak merasa, penjunjungan ini sebenarnya hanyalah akal licik Kompeni belaka. Dengan akalnya itu, Kompeni membuat warga Cina menjadi sasaran iri dan curiga kaum pribumi yang masih miskin.”160 Dengan pengetahuan semacam itu, tentu si Putri Cina seharusnya sadar bahwa yang ‘korban’ bukan saja orang-orang Cina yang dibunuh, namun juga pribumi juga yang terperdaya oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang menghasut. Kenapa lantas kondisi batin pribumi-pribumi tersebut tak didalami dan diberi ruang dalam narasi Putri Cina? Apakah yang membuat mereka tak layak menjadi seorang korban? Bukankah hal tersebut adalah sebuah keanehan? Berangkat dari keanehan itulah saya pikir ada semacam ahistorisme dalam sejarah yang disajikan dalam Putri Cina. Bentuk wacana korban yang lain yang saya catat di Putri Cina adalah pengangkatan bentuk-bentuk kebudayaan yang terkait dengan masyarakat Cina baik yang dibawa dari Negeri asalnya maupun yang ditemukan di kemudian hari di negeri barunya. Contoh yang menunjukkan bagaimana Sindhunata ingin sekali mengenalkan bentuk-bentuk budaya Cina Daratan yang dibawa oleh para pemukim Cina adalah banyaknya kutipan puisi karya penyair-penyair Cina. Sebagian besar di antara puisi160
Lih. (Sindhunata, 2007, p. 104)
190
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
puisi tersebut muncul dari penokohan si Putri Cina. Salah satu contohnya adalah ketika si Putri Cina menggambarkan perasaannya atas posisi dan identitasnya yang tak jelas melalui puisi seorang penyair Cina Kuno, T’ao Ch’ien: “Manusia ini tak punya akar. Dia diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalanan.”161 Mengikuti di belakangnya, muncul kutipan-kutipan dari Han San, Chuang Tzu, Liu Tsung-yuan dan lain-lain. Di kesempatan yang lain, Sindhunata memberi porsi lebih pada narasi novelnya untuk menjabarkan dengan detil ritual sembahyang si Putri Cina. Dalam narasinya tersebut, Sindhunata menjelaskan bentuk dan makna yang ada di dalam ritual tadi. “Bersujudlah ia di kimsin atau patung Kongco Hok Tek Ceng Sin. Kongco Hok Tek Ceng Sin adalah pelindung orang miskin. Ia tak menuntut persembahan apa-apa. Ia juga mau ditempatkan di mana saja. Jambangan pecah pun dapat dijadikan tempat pemujaannya. Katanya, akan mudah terkabullah bila orang memohon rezeki lewat perantaraan Konco Hok Tek Ceng Sin… Karena kemurahan hatinya, ia diangkat menjadi petugas di Pintu Langit Selatan untuk menjaga kebun buah dewa. Karena itu orang-orang memuja dia sebagai dewa bumi. Kongco Hok Tek Ceng Sin digambarkan sebagai orang tua, putih jenggot dan rambutnya, dan selalu tersenyum ramah. Ia ditemani seekor harimau, yang namanya Hu Jiang Jun. Harimau itulah yang membantu Kongco Hok Tek Ceng Sin mengusir roh jahat dan menolong rakyat dari 162
malapetaka.”
Di kutipan di atas, terlihat memang Sindhunata berusaha memperkenalkan ritual Konghucu dengan tata caranya. Ia berusaha membangun identitas Cina yang berangkat dari bentuk-bentuk kebudayaannya. Ia ingin memberi keadilan pada masyarakat Cina dengan memberinya ruang di kesadaran umum karena baginya identitas tersebut ditindas di masa lalu. Pertanyaannya, apakah pemberian keadilan semacam itu tepat sasaran dan mampu menghindarkan kelompok masyarakat yang telah ratusan tahun bermukim di Nusantara ini dari bahaya kekerasan yang masih terus mungkin terjadi? Sebelum menjawab pertanyaan berat tersebut, saya terlebih dahulu ingin memperjelas 161 162
Ibid., hal. 9 Ibid., hal. 39
191
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kejanggalan (kontradiksi) yang ada di narasi Putri Cina. Kontradiksi terkuat yang ada di narasi novel ini adalah posisi masyarakat Cina yang dianggap sebagai korban – paling tidak melalui ungkapan-ungkapan tokoh Putri Cina dan Giok Tien – meskipun jika dilihat dari penokohan keduanya kehidupan mereka jauh lebih mapan dibandingkan dengan kebanyakan orang. Bukankah sebelum terjadinya kekacauan mereka adalah keluarga
kerajaan
yang
mapan
kehidupannya?
Kenapa
hal
tersebut
tidak
dipertimbangkan oleh Putri Cina dan Giok Tien dalam lamentasi mereka? Dengan begitu, perayaan kultural sebagai jalan keluar dari keterkungkungan menjadi korban tersebut menjadi kontradiktif. Kalau mereka tidak selalu menjadi korban kenapa ekspresinya dirayakan?
Bukankah si Putri Cina tak pernah dilarang aktivitas
keagamaannya di dalam novel ini? Bagi saya, narasi semacam itu adalah narasi yang symptomatic. Bagaimana kontradiksi tersebut menjadi sebuah symptom dan bukan merupakan kontradiksi literer biasa? Wacana kontradiktif dalam Putri Cina merupakan symptom karena ia menunjukkan ketidakbebasan Sindhunata. Ketika Sindhunata memunculkan posisi masyarakat Cina sebagai korban, terselip cerita-cerita yang menunjukkan hal yang sebaliknya – cerita-cerita yang entah kenapa seperti tak dihiraukan. Titik berat terus-menerus dengan nada lamentatif pada posisi korban yang ada dalam tokoh Putri Cina dan Giok Tien menunjukkan bahwa ada semacam tembok bahasa yang dihadapi oleh Sindhunata; sebuah tembok dengan sensor yang mengatur hal yang dapat diceritakan dan yang tidak. Kehidupan ekonomi Putri Cina dan Giok Tien adalah halhal yang tak lulus sensor. Sensor tersebut adalah multikulturalisme. Multikulturalisme yang mengedepankan perayaan kultural yang mewajibkan pemposisian sebagai korban tidak memberi ruang wacana-wacana tentang Cina yang mapan secara ekonomis. Dengan begitu, bagi saya, novel Putri Cina menunjukkan kepada kita kontradiksikontradiksi yang ada dalam konsep multikulturalisme yang hanya menitikberatkan kesetaraan secara kultural namun tak menyentuh kesetaraan ekonomi. Di satu sisi, multikulturalisme ingin menghilangan ketimpangan yang ada, namun di sisi lain,
192
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjaga ketimpangan yang lain (ekonomi) tetap ada. Paling tidak, hingga titik ini, terlihat bahwa multikulturalisme malah menjadi hambatan bagi kesetaraan sepenuhnya karena ideologi ini menghalangi pandangan Sindhunata untuk mencari kesetaraan di antara ketimpangan ekonomis yang nyata adanya. Perayaan kontradiktif a la Ca Bau Kan Bagaimana dengan Ca Bau Kan? Kebebasan lebih dalam berekspresi setelah runtuhnya represi Orba tidak hanya dinikmati dan digunakan oleh masyarakat dan pengarang Cina, seperti yang terlihat dari hadirnya dua novel di atas, untuk menceritakan barang ‘haram’ semacam kehidupan masyarakat Cina. Para pengarang pribumi juga memanfaatkan momen kebebasan ini dengan mengeluarkan karya-karya yang mengulik keberadaan dan kehidupan saudara-saudaranya yang ada di komunitas Cina di Indonesia. Bahkan ‘tren’ tersebut dimulai oleh seorang pengarang pribumi kenamaan bernama Remy Sylado dengan menerbitkan karyanya Ca Bau Kan hanya setahun setelah kejatuhan Soeharto. Dan karya tersebut telah diadaptasi dalam bentuk film dengan judulnya yang sama dengan sutradara oleh Nia Dinata. Sebelumnya memang telah novel yang ditulis oleh pengarang pribumi, seperti yang telah dibahas di atas, namun terdapat perbedaan-perbedaan mencolok antara novel-novel yang ditulis di masa Orde Baru dan novel-novel yang ditulis setelahnya sebagaimana yang (akan) dibahas di bagian ini dan berikutnya. Bagi saya, novel-novel yang ditulis oleh pengarang pribumi setelah masa Orde Baru cenderung lebih dekat dengan yang ditulis oleh pengarang-pengarang Cina di masa yang sama daripada dengan, misalnya, Lucy Mei Ling. Jadi, saya kira ideologi sebuah masa jauh lebih dominan pengaruhnya dalam penulisan sebuah karya dibandingkan dengan latar belakang etnis pengarangnya meskipun hal tersebut jelas memiliki pengaruh – sebuah hal yang jadi inti diskusi bagian ini. Di Lucy Mei Ling terlihat dengan jelas bagaimana ideologi asimilasi yang dipromosikan Orba melalui badan-badan kepanjangantangan-nya memiliki pengaruh
193
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang cukup besar pada logika penarasian tokoh-tokoh Cina-nya e.g. nasionalisme berlebihan Lucy dan kerelaan ayahnya. Di karya tersebut juga tampak betul logika penggantian identitas Cina ke arah identifikasi yang lebih ekonomis e.g. latar belakang ‘mewah’ Lucy yang jelas merupakan hasil dari kebijakan-kebijakan Orba. Apakah kemudian hal-hal tersebut meninggalkan jejak di narasi Ca Bau Kan mengingat novel ini ditulis ketika Indonesia masih di bawah cengkeraman Soeharto dan politik asimilasinya dan diterbitkan hanya setahun setelah jatuhnya Orba? Atau ideologi multikulturalisme dengan wacana korbannya telah benar-benar menyediakan bahasa baru untuk menarasikan masyarakat Cina seperti dalam Putri Cina dan Dimsum Terakhir? Sejauh apakah pembacaan wacana korban di Ca Bau Kan dan Acek Botak yang akan dibahas di bagian selanjutnya? Dengan tajuk seperti Ca Bau Kan saya kira Remy Sylado semacam terinspirasi dengan keberanian yang ditunjukkan Motinggo Busye. Ia, meskipun tak menggunakan nama khas Cina sebagai judul novelnya, ia memilih sebuah julukan yang mana para (calon) pembacanya tak perlu memutar otak untuk mengetahui bahwa novel di hadapannya bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina. Dari sisi tersebut, Ca Bau Kan juga sama lantangnya dengan Putri Cina dan Dimsum Terakhir. Namun tentu Ca Bau Kan memiliki lingkungan ideologis yang berbeda. Setelah masa Reformasi, pengarang cenderung ‘bebas’ memilih temanya. Judul tersebut jelas berangkat dari kebebasan yang ditawakan reformasi dan gelombang pasang multikulturalisme. Lebih jauh, terkait dengan judul, Remy Sylado telah memulai tren novel yang menggunakan judul yang dengan jelas hendak bercerita tentang masyarakat Cina i.e. judul menjadi salah satu sarana untuk menyatakan kebebasan bercerita. Ketika kita membaca Ca Bau Kan, kita akan langsung tersadar akan betapa kayanya pengetahuan Remy Sylado tentang kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya jabarkan di Bab sebelumnya – paling tidak sebagian besarnya – Remy Sylado berusaha dengan keras memunculkan dan memperkenalkan masyarakat Cina kepada pembacanya. Ia menarasikan perayaan hari 194
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
besarnya, menjelaskan golongan-golongan yang ada di dalam tubuh kelompok masyarakat Cina dan bahkan membuat semacam kamus untuk dialek-dialeknya. Selain itu, melalui sepak terjang Tan Peng Liang, ia mengangkat peran masyarakat Cina di dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk merdeka dari Belanda. Dengan dua fokus tersebut, menurut saya Ca Bau Kan ditulis dengan kesadaran penuh mengenai penindasan yang terjadi pada masyarakat Cina i.e. novel ini ditulis untuk mengangkat posisi masyarakat Cina sebagai korban dari penindasan. Memang latar belakang tersebut tidak terlihat dengan terang di narasi Ca Bau Kan, bagian pengantar novel tersebut lah, sebagaimana telah saya tuliskan di Bab II, yang menunjukkan dengan terang wacana korban tersebut. Meskipun begitu, sesungguhnya di dalam narasinya kita masih dapat melihat dampak dari latar belakang yang meletakkan masyarakat Cina sebagai korban tersebut. Dampak dari wacana korban tesebut terlihat terutamanya dari ‘berlebih’-nya informasi yang disuguhkan pada pembaca mengenai budaya masyarakat Cina. Terlihat sekali bahwa Remy Sylado memang merancang novelnya untuk menjadi ajang memperkenalkan budaya dan peran masyarakat Cina di Indonesia. Contoh terbaiknya adalah kamus yang telah saya sebut sebelumnya. Ketika narrator, yang menggunakan orang ketiga, menjabarkan penokohan Tan Peng Liang, ia menuliskan sejumlah dialek khas Cina Peranakan yang ia sebut sebagai dialek Semarangan: “[j]ika ia berkata “dia”, yang diucapkannya adalah “diak-e; kata “di mana” menjadi “ada mana” atau “dah mana”; “ambilkan” jadi “ambik-ke”; “tidak dapat” jadi “ndak isa”; “lihat” jadi “liak”; “cantik” jadi “ciamik”; “sial” jadi “cialat”; dan seterusnya.”163 Alih-alih memasukkan dan memperkenalkan lema-lema tersebut melalui percakapan sehingga terkesan lebih menyatu dengan narasi keseluruhan novel, Remy Sylado memilih untuk menggabungkannya dalam sebuah “glosarium”. Mungkin ini dapat dibaca sebagai dampak dari kegemaran Remy Sylado pada studi Bahasa (linguistik) seperti yang ditunjukkan di beberapa buku karyanya. Namun pembacaan saya, pembuatan 163
Lih. (Sylado, 2001, p. 65)
195
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“glosarium” tersebut dimaksudkan lebih untuk membuat para pembacanya mengerti benar tentang budaya Cina Peranakan terutama di Jawa Tengah. Karenanya lema-lema tersebut disatukan ke dalam sebuah bentuk yang non-fiksional: sebuah “glosarium”. Contoh lainnya adalah penokohan tokoh-tokoh Cina yang perannya cukup besar yang mengedepankan latar belakang kulturalnya sehingga memiliki ke-khas-an linguistik. Tan Peng Liang yang suami kedua Tinung adalah seorang Cina Peranakan yang lahir di tengah-tengah masyarakat Sunda. Hal tersebut membuatnya memiliki dialek khas campuran Melayu, Cina dan Sunda. Tan Peng Liang, yang tokoh utama dan suami ketiga Tinung, memiliki dialek yang sangat kental pengaruh bahasa Jawa-nya karena memang ia dibesarkan di Semarang. Kemudian tokoh-tokoh yang tergabung dalam Kong-Koan, yang memusuhi Tan Peng Liang asal Semarang, memiliki dialek yang dekat dengan dialek Betawi dan rata-rata merupakan Cina Totok dan cukong. Penokohan semacam itu, bagi saya, adalah strategi lain dari Remy Sylado untuk memperkenalkan golongan-golongan dalam masyarakat Cina secara kultural. Padahal latar belakang tersebut sedikit sekali pengaruhnya terhadap narasi keseluruhan. Hampir tidak ada tindakan khas tokoh-tokoh tersebut yang berangkat dari latar belakang kulturalnya. Malahan tokoh-tokoh tersebut memiliki kesamaan-kesamaan yang tak dapat dipungkiri. Meraka semua adalah pedagang culas yang tega melakukan apapun demi usahanya e.g. Tan Peng Liang yang Sunda adalah seorang rentenir di daerah miskin, Tan Peng Liang asal Semarang mencetak uang palsu demi keuntungan dan orang-orang di Kong-koan ingin membakar gudang tembakau milik Tan Peng Liang asal Semarang. Singkatnya, apa maksud dari penokohan semacam itu jika bukan untuk mengenalkan secara rinci kemajemukan masyarakat Cina di Indonesia? Begitu mendalam dan ‘berlebih’-nya ini jelas berangkat dari wacana korban yang meletakkan masyarakat Cina sebagai korban dari penindasan kultural rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru, identitas dan ekspresi kultural masyarakat Cina dihilangkan secara struktural melalui berbagai macam peraturan yang membuat masyarakat Cina sebagai sebuah identitas yang khas di Indonesia ‘hilang’. Sehingga khalayak pribumi 196
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau bahkan Cina sendiri tak mampu mengenali identitas Cina secara kultural. Walhasil, identifikasi yang terjadi hanya berada di tataran ekonomis semata i.e. Cina sebagai pedagang. ‘Berlebih’-nya informasi yang disuguhkan novel tersebut adalah usaha untuk memunculkan identitas kultural tersebut. Dengan latar belakang penindasan Orde Baru, Remy Sylado merasa perlu menyisihkan, dalam porsi yang besar, di novelnya untuk menjadikan Cina ‘ada’ lagi di kesadaran pembacanya. Sederhananya, karena kekosongan referensi kultural tentang siapa itu masyarakat Cina di kepala masyarakat luas, informasi yang memadai adalah sebuah hal yang tak terhingga pentingnya. Harapannya, posisi masyarakat Cina sebagai sebuah etnis yang mana dijunjung sekaligus dilupakan oleh Orde Baru dapat disadari bersama. Itulah logika yang saya kira bermain di kepala Remy Sylado ketika menuliskan Ca Bau Kan. Bukti lain yang menunjukkan bahwa pembacaan Ca Bau Kan tentang identitas Cina yang terpaku pada penindasan Orde Baru semata ini terdapat pada kesadaran tokoh-tokoh di dalamnya yang anggota Kong-koan. Diceritakan di Ca Bau Kan, beberapa waktu setelah rapat BPUPKI, anggota-anggota Kong-koan (Lie Kok Pien, Oey Eng Goan, Thio Boen Hiap dan lainnya) berkumpul dan membicarakan pidato Liem Koen Hian yang menjadi perwakilan masyarakat Cina. Mereka juga membicarakan nasib orang-orang Cina di Hindia Belanda setelah merdeka dan posisi yang harus diambil. Beginilah Remy Sylado menarasikan perbincangan tersebut: “Ini sudah Juli 1945. Tapi Oey Eng Goan, selaku ketua Kong Koan masih terganggu atas peristiwa 1 Juni yang lalu, tentang seorang-orang Tionghoa yang hadir di sidang Donkoritsu Zunbi Chosakai (Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Oey Eng Goan tak puas. Itu berkali-kali dikatakannya. “Bagaimanapun Wo tidak suka pernyataan Liem Koen Hien terhadap pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai. Tidak seharusnya Liem omong begitu. Apa-apaan dia meralat yang kepalang dia ucapkan?” Lie Kok Pien, yang selalu tak sejalan dengan Oey Eng Goan, meremehkannya. Katanya, “Itu urusan dia. Urusan kita bukan itu, tapi apa sikap kita di depan seandainya Indonesia betul-betul menerima kemerdekaannya dari Jepang.” “Tidak,” kata Oey Eng Goan. “Omongan Liem di Donkoritsu Zunbi Chosakai tidak taktis. Itu bisa dianggap generalisasi terhadap semua Tionghoa. Harusnya dia tak perlu meralat. Sebab dia harus tahu, semua Tionghoa di seluruh dunia, memiliki satu kebangsaan, yaitu Tionghoa, dan dua kewarganegaraan, yaitu Tiongkok dan negeri di mana dia berdiri untuk sementara.” “Itu betul. Seratus persen betul,” kata Thio Boen Hiap mendukung Oey Eng Goan.
197
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Sebentar,” kata Lie Kok Pien, merasa nasteng. “Wo memang tidak bilang itu salah. Yang Wo pikirkan, seandainya, nah, perhatikan, Wo bilang ‘seandainya nanti Indonesia dapat kemerdekaannya, apa tatanan status quo masih bisa bertahan? Maksud Wo, kenapa kita tidak fleksibel. Ingat pepatah kita, ‘qianli zhi xing, shi yu xia’. Di dalam pidato Bung Karno itu, tergambar dengan jelas tentang cita-cta satu kebangsaan yang – seperti katanya ‘bhineka 164
tunggal ika’ – artinya inter-rasial dan inter-tribal”
Untuk kutipan ini saya akan mengutipnya dengan utuh agar adegan ini dapat dimengerti secara kontekstual. Di kutipan tersebut, terutamanya di bagian akhir perkataan Oey Eng Goan, ada semacam kesadaran atas rapuh dan rentannya kondisi mereka dan masyarakat Cina di Indonesia. Ada semacam ketakutan akan nasib mereka setelah Hindia Belanda merdeka. Orang-orang tersebut seperti mengerti bahwa akan nada kekerasan terhadap mereka dikarenakan tatanan masyarakat yang berubah jika Hindia merdeka. Mereka takut bahwa identitas Cina mereka tidak akan diterima dan menjadi sumber malapetaka di kemudian hari. Saya melihat ketakutan para anggota Kong-koan ini, sebagai kesadaran Remy Sylado tentang kejadian Mei 1998 yang menyusup masuk ke dalam narasi. Ketakutan Eng Goan tak ubahnya adalah ketakutan Remy Sylado akan terulangnya kejadian seperti ketika Mei 1998. Hal tersebut semakin menunjukkan bagaimana penindasan Orde Baru adalah titik berangkat Remy Sylado ketika menyusun Ca Bau Kan. Sehingga kesadaran sejarahnya pun adalah kesadaran yang merupakan respon atas kekuasaan Orde Baru. Ia tidak menggambarkan tokoh-tokoh tersebut sebagai manusia-manusia kolonial yang hidup di masa kolonial. Jadi, sekali lagi, wacana korban adalah semangat, yang berusaha membawa keadilan bagi para korban kekuasaan Orde Baru, yang merupakan respon atas penindasan di masa Orde Baru saja karenanya pembacaan sejarahnya berhenti hanya sampai di sana. Tatanan kolonial bukanlah bagian dari kesadaran dan pertimbangan ketika melihat masyarakat Cina di Indonesia. Logika (wacana) korban Remy Sylado dalam novelnya tersebut jelas memiliki semangat multikulturalisme karena ia berusaha mengangkat bentuk-bentuk kebudayaan
164
Ibid., hal. 321-322
198
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang terpinggirkan ke permukaan dan mengajak pembacanya untuk menyadarinya sekaligus menerimanya. Meskipun dengan rincian naratif yang berbeda, akan tetapi ada benang merah yang menyambungkan Ca Bau Kan dengan novel-novel yang telah terlebih dahulu dibahas di bab ini yaitu bahwa ada sebuah masyarakat yang selama ini ditindas identitasnya sehingga perlu diangkat kembali sebagai sebuah bentuk keadilan. Artinya, sama seperti novel-novel di atas yang juga diterbitkan di masa Reformasi, multikulturalisme adalah semangat utamanya. Dan satu hal lagi yang penting untuk dicatat adalah bahwa multikulturalisme, lewat wacana korban, yang ketiga novel tersebut angkat adalah sebuah tanggapan atas penindasan masa Orde Baru. Di Ca Bau Kan tanggapan tersebut berupa pengangkatan informasi tentang bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat Cina yang mana sejalan dengan pengangkatan peran masyarakat dalam sejarah Indonesia di Putri Cina. Sayangnya, karena terlalu berfokus pada penindasan yang terjadi di masa Orde Baru, Ca Bau Kan seakan melupakan kenyataan bahwa permasalahan dengan masyarakat Cina dimulai sejak masa kolonial dengan politik segregasinya. Akibatnya isu lain di luar penindasan kultural terhadap masyarakat Cina menjadi tak tergarap. Isu tersebut adalah posisi sebagian kecil pedagang Cina yang diuntungkan bisnisnya karena dijadikan mesin ekonomi Orde Baru dan memperkuat stereotip ekonomis terhadap masyarakat Cina secara keseluruhan. Dengan langsung memposisikan masyarakat Cina sebagai korban semata – meskipun ada sebagian yang diuntungkan - dan tidak melihatnya ke belakang lebih jauh ke masa kolonial, Ca Bau Kan kemudian terjebak ke dalam mitos ekonomi, dalam bentuk stereotip, yang disuburkan Orde Baru dengan memanfaatkan warisan kolonial berupa posisi ekonomis masyarakat Cina yang unggul di atas pribumi. Di masa Orde Baru, pedagang-pedagang besar Cina yang rata-rata Cina Totok dikelompokkan untuk dijadikan mesin penggerak ekonomi Orde Baru. Kelompok yang disebut cukong tersebut lantas menjadi acuan stereotip pedagang dan kaya-raya versi Orde Baru dan menjadikan seluruh masyarakat Cina, bahkan yang bukan pedagang serta miskin sekalipun, korban dari segala bentuk kekerasan. Sisi bukan-korban sebagian masyarakat
199
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Cina yang ada di masa Orde Baru seperti yang ditunjukkan dengan keberadaan cukongcukong tadi muncul hampir secara alami (baca: tidak kritis) di narasi Ca Bau Kan. Lihat saja tingkah laku tiga kelompok kultural tokoh (Tan Peng Liang asal Sewan yang rentenir, Tan Peng Liang asal Semarang yang pencetak uang palsu dan anggota-anggota Kong-koan yang ingin memonopoli jalannya perdagangan di Hindia Belanda) yang ada di Ca Bau Kan yang semuanya adalah pedagang culas, keji dan penuh dengan trik untuk mengelabui lawan bisnisnya. Bahkan, apa yang disebut sebagai peran masyarakat Cina dalam perjuangan menuju Indonesia yang merdeka, sebagaimana diwakilkan lewat Tan Peng Liang, adalah peran ekonomis. Tidak seperti peran pejuang pribumi yang angkat senjata seperti yang dilakukan bekas wartawan Max Awuy, Tan Peng Liang menjadi pemasok senjata dari Thailand. Artinya, ia tetap berada di ranah ekonomi dengan menjadi pedagang senjata. Bahkan di kondisi perang dan kekacauan, Remy Sylado masih menokohkan Tan Peng Liang sebagai pedagang ulung dan penuh perhitungan seperti yang terlihat di kutipan di bawah: “Jeng Tut tertawa kecil. “Tuan tidak perlu ada di situ,” katanya dengan segera pula. “Tuan berdagang. Tuan cari untung. Dan saya sedang bicara soal keuntungan Tuan.” “O?” Tan Peng Liang seperti terpesona. “Bagaimana jalannya?” “Terus terang, senjata,” kata Jeng Tut. “Nah, apakah Tuan berminat bekerja menyelundupkan senjata kepada mereka? Ini kerja sambil menyelam meminum air. Modal Tuan bukan hanya uang,tapi juga keberanian dan kepetualangan. Tuan dapat untung dari saya, saya dapat untung dari Inggris.” Tan Peng Liang tertawa dalam cara yang tidak disangka oleh Jeng Tut. “Kedengarannya menarik.” “Kalau begitu kenapa Tuan ketawa?” “Tidak apa-apa. Saya ingin berhitung dulu.” “Baik.” Jeng Tut berdiri, siap hendak pergi. “Kalau Tuan berminat, besok kita lanjut kembali. Tapi, terus terang saya ingin bilang, sebelum Tuan memutuskan untuk menyatakan minat Tuan haruslah Tuan ketahui, bahwa perjalanan ke Malaya melalui pesisir barat, itu beresiko tinggi.” “Seentengnya Tan Peng Liang berkata “Saya biasa menempuh jalan yang sulit dan riskan.” Jeng Tut berjalan tanpa menoleh. Hanya tangannya dilambaikan ke belakang.“Syukurlah,” katanya.165
Di lain kesempatan, Tan Peng Liang juga memperlihatkan kecenderungannya sebagai pedagang ketika dalam masa perjuangan: 165
Ibid., hal. 272-273
200
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Untuk melawan dan mengucar-kacirkan Belanda, bukan dengan bedil, sebab bedil selalu kalah. Coba saja sampeyan ingat perang dengan bedil yang pernah terjadi di sini, mulai dari Pattimura, Hasanuddin, Diponegoro, sampai Cut Nyak Dien, semuanya dikalahkan hanya oleh muslihat tipu. Ya toh? La sekarang, sebab bedil kalah, ya, kita perlu pakai perang dengan 166 senjata ekonomi, uang.”
Di dua kutipan tersebut, segala stereotip atas masyarakat Cina yang dikembangkan Orde Baru terakumulasi dengan naifnya. Berbeda dengan tindakan Remy Sylado yang sebelumnya memberikan informasi lebih dengan pendekatan yang sedikit non-fiksional (glosarium) di titik bahasa (kultural), di sisi kehidupan ekonomi Tan Peng Liang, ia hanya menyajikan dengan begitu saja tanpa, katakanlah, sudut pandang yang mendalam. Yang ia sajikan hanyalah tingkah laku Tan Peng Liang sebagai pedagang dan bukan, misalnya, sejarah ia, atau orang Cina lainnya, menjadi seorang pedagang dan dalam konteks yang seperti apa. Jatuhnya novel ini pada mitos ekonomis masyarakat Cina versi Orde Baru menurut saya justru karena novel ini begitu terpaku dengan wacana korban yang analisisnya dimulai pada masa Orde Baru. Meskipun Ca Bau Kan berlatar-waktu akhir abad ke-20 dan awal abad 21 yang mana Indonesia masih bernama Hindia Belanda di bawah Kerajaan Belanda, namun pembicaraan seputar tatanan segregatif yang khas Politik Etis Belanda tidak muncul. Pembacaan sejarah yang dilakukan dalam novel tersebut adalah pembacaan sejarah dengan kacamata wacana korban yang sesungguhnya hanyalah tanggapan atas penindasan Orde Baru. Kong-koan, sebagai sebuah badan perwakilan untuk masyarakat Cina yang didominasi Cina Totok, yang khas politik segregasi di Hindia Belanda memang memiliki porsi yang lumayan banyak di narasi. Sayangnya, cerita-cerita tentang (anggota-anggota) Kong-koan hanya berkisar pada ketidaksukaan mereka pada tingkah laku Tan Peng Liang yang dianggap sombong dan tidak tahu peraturan. Pertemuan-pertemuan mereka hanya diisi dengan pembicaraan seputar cara-cara untuk memberi pelajaran pada Tan Peng Liang. Tidak ada penjelasan mengenai latar belakang anggota-anggotanya secara ekonomis dan politis atau hal lain 166
Ibid., hal. 211-212
201
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang membuat mereka masuk ke dalam Kong-koan. Hanya ada satu adegan yang sedikit membahas dampak dari politik segregasi tersebut terhadap orang-orang Cina yaitu ketika Lie Kok Pien, Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap membahas pidato Liem Koen Hian di Donkoritsu Zunbi Chosakai (Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Adegan tersebut, selain menunjukkan kesadaran yang tidak wajar seperti telah dijabarkan sebelumnya, juga menunjukkan – meski tidak secara kentara dan bahkan mungkin secara tak sengaja – adanya kedekatan masyarakat Cina dengan mantan penguasa saat itu yang belum lama lengser, Belanda. Mereka yang diuntungkan semasa Hindia Belanda – sebagai hasil dari politik segregasi yang mengedepankan sisi ekonomis masyarakat Cina - jelas merasa terusik ketika kemerdekaan Hindia Belanda telah di ambang pintu. Namun, di adegan tersebut saya pikir Remy Sylado tidak benarbenar mengarah pada dampak politik segregasi kolonial karena ketakutan Eng Goan, yang berusaha ditenangkan oleh Kok Pien, adalah ketakutan tak diterima secara rasial. Jadi, saya rasa tidak ada pendalaman serius pada politik segregasi dalam Ca Bau Kan. Dari pembicaraan di atas kita telah melihat bagaimana sesungguhnya wacana korban tak mampu membaca dengan utuh penindasan Orde Baru dan kondisi masyarakat Cina. Wacana korban juga mengandung semacam ahistorisme karena ternyata waktu yang dipertimbangkan hanya sampai Orde Baru dan tidak sampai masa kolonial padahal wacana ekonomi atas masyarakat Cina di masa Orde Baru hanyalah adaptasi dari politik segregasi Pemerintah Kolonial Belanda. Hasilnya jelas kemudian Ca Bau Kan tak mampu kritis melihat mitos dan stereotip masyarakat Cina dan cenderung mengulanginya. Tapi hal tersebut bisa saja dianggap wajar mengingat Ca Bau Kan memang sebagian darinya ditulis di masa Orde Baru dan diterbitkan hanya setahun setelah rezim militeristik Soeharto jatuh. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Acek Botak yang sama-sama ditulis oleh pengarang pribumi dan ditulis hampir sepuluh tahun setelahnya? Atau Dimsum Terakhir yang ditulis oleh pengarang keturunan Cina?
202
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebelum beranjak ke dua novel selanjutnya, saya ingin terlebih dahulu membaca kecenderungan multikulturalis di dua novel di atas. Saya ingin menunjukkan bagaimana multikulturalisme telah menjadi ideologi karya-karya sastra untuk bercerita tentang identitas Cina. Andre Heywood – dengan mengutip pemikir-pemikir yang fokus pada permasalahan multikulturalisme seperti Bikkhu Parekh dan Will Kymlicka – menyimpulkan bahwa pada dasarnya politik multikulturalisme, yang merupakan bagian dari studi politik identitas, adalah politik pengakuan (politics of recognition) yang berangkat dari “the idea that identity should be fully and formally acknowledged, and that difference should be embraced, even celebrated.”167 Yang ia tempatkan sebagai pendukung dalam argumennya adalah gerakan awal multikulturalisme di Amerika Serikat yang berangkat dari kesadaran masyarakat Kulit Hitam-nya di tahun 1960-an. Artinya, multikulturalisme lahir dari sebuah kesadaran atas identitas yang tadinya disingkirkan (tidak hadir) dari ruang publik. Jadi, pertama-tama harus ada sebuah identitas yang dibentuk dan dipegang teguh bersama agar sebuah perjuangan multikulturalis dapat berjalan. Dua novel di atas, saya kira menggunakan logika yang sama. Keduanya menautkan identitas Cina yang terpinggirkan dalam sebuah wacana yang saya sebut wacana korban karena memang wacana tersebut menempatkan masyarakat Cina sebagai korban. Keduanya juga mengafirmasi posisi masyarakat Cina di Indonesia yang disingkirkan karena identitas nya dihapuskan di masa Orde Baru. Di Putri Cina, kita melihatnya dalam adegan-adegan seperti ketika si Putri Cina menyaksikan wajahnya yang tak ia kenali. Ia merasa sebagai ‘pribumi’ namun mendapatkan perlakuan berbeda. Hal tersebut tentu mengacu pada kenyataan dilarangnya pemakaian nama Cina dan ritual-ritualnya. Selain itu, Sindhunata membangun kondisi identitas Cina sebagai korban ini melalui dua jenis penarasian lainnya. Pertama, ia menarasikan pembunuhan atas masyarakat Cina melalui mata tokoh Putri Cina. Kedua, ia menarasikan penghilangan peran dan kontribusi masyarakat Cina pada perkembangan produk-produk 167
Lih., (Heywood, 2004, hal. 46)
203
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kultural pribumi e.g. makanan. Di Ca Bau Kan, Remy Sylado lebih mengedepankan penghilangan peran dan kontribusi masyarakat Cina pada proses kemerdekaan Indonesia. Itu terlihat dari pendalaman naratif peran Tan Peng Liang sebagai pemasok senjata bagi para pejuang kemerdekaan. Ia juga menyatakannya di bagian pengantar novel tersebut. Berikutnya setelah terbangunnya sebuah (kesadaran) identitas yang ada di daftar adalah pengangkatan. Seperti dalam kutipan Andrew Heywood, logika yang disajikan setelahnya adalah pengakuan (embrace) atau bahkan perayaan (celebrate). Di perjuangan masyarakat Kulit Hitam yang diusung oleh Andrew Heywood, setelah kemunculan kesadaran identitas, orang-orang kulit hitam mulai membaca kembali sejarah mereka mulai dari penculikan di Afrika hingga perbudakan. Mereka juga kemudian menuntut hak-hak sipil mereka seperti suara dalam pemilihan umum. Di konteks kedua novel, tuntutannya lebih pada pengakuan atas tempat mereka di Indonesia. Keduanya menginginkan agar peran masyarakat Cina diangkat, ekspresiekspresi kulturalnya dikembalikan dan dihentikannya kekerasan yang ada. ‘Tuntutantuntutan’ tersebut muncul dalam bentuk narasi yang mendalam. Terkait dengan pengangkatan ekspresi kultural, di kedua novel informasi, yang tadinya dilarang oleh Orde baru, muncul hampir secara berlebihan – mungkin karena memang identitas tersebut harus dirayakan. Apalagi multikulturalisme memang memiliki fokus pada pengakuan perbedaan ekspresi kultural yang ada. Di Ca Bau Kan, penggunaan bahasa masyarakat Cina disajikan hampir mirip dengan glosarium. Di Putri Cina, disajikan banyak referen kultural pada permenungan yang dilakukan si Putri Cina dalam bentuk nukilan-nukilan puisi dari masa Cina Klasik. Selain itu, adegan berdoa Putri Cina juga didalami dengan penjelasan mengenai tata cara beserta istilahnya dalam Bahasa Cina dan dewa-dewanya. Dengan penataan dan pendalaman narasi semacam itu, perayaan perbedaan latar belakang kultural dalam pemaknaan multikulturalisme adalah semangat dua novel di atas.
204
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A.4. Multikulturalisme setelah symptom-symptom A.4.a. Multikulturalisme dan kekerasan obyektif Kini kita telah mengetahui bahwa multikulturalisme muncul pada dua novel di atas dalam bentuk wacana masyarakat Cina sebagai korban dan jalan keluar atasnya yang diambil yaitu perayaan kultural. Sekarang kita harus berhadapan dengan symptomsymptom dari keduanya. Di sini, yang saya letakkan sebagai sebuah symptom adalah narasi tentang kemapanan ekonomi tokoh-tokoh Cina di dua novel tersebut. Alasannya, narasi tersebut adalah narasi yang tidak diinginkan adanya meskipun sepertinya tak terelakkan kehadirannya. Narasi tersebut terus muncul namun tidak didalami seperti halnya narasi tentang bahasa Kuo-Yu atau dialek per daerah. Contohnya, kali ini dari novel Ca Bau Kan, asal-usul kultural Tan Peng Liang dijelaskan panjang-lebar bahkan diikuti dengan glosarium kata-kata khas masyarakat Cina yang besar di Semarang (Jawa Tengah). Hal tersebut tentunya merupakan sebuah pencarian keadilan (kesetaraan) atas ketidakadilan di masa Orde Baru yang melarang munculnya segala wacana tentang Bahasa Cina. Akan tetapi, hal yang sama tidak ditemukan di wilayah ekonomi. Tan Peng Liang tiba-tiba seorang yang kaya-raya. Tidak dijelaskan apakah dia meneruskan bisnis warisan keluarga atau ia merangkak dari bawah. Tidak dijelaskan pula bagaimana kondisi nenek moyangnya ketika dahulu pertama kali datang ke Indonesia. Dengan bahasa yang lebih gamblang, tidak ada narasi pencarian kesetaraan di wilayah ekonomi meskipun terdapat ketimpangan yang jelas-jelas terpampang di Ca Bau Kan: hampir seluruh tokoh Cina di novel tersebut kaya-raya dan berada dalam jaringan bisnis besar. Berikutnya, symptom yang ada di Putri Cina juga mengarah pada kejanggalan yang sama. Di Putri Cina ada sebuah permintaan agar sumbangan kultural masyarakat Cina – makanan adalah contoh yang diambil oleh Sindhunata – diakui. Permintaan tersebut adalah tuntutan agar masyarakat Cina diperlakukan setara dengang kelompok masyarakat lain yang sumbangannya diakui; sebuah permintaan yang menanggapi penghilangan sejarah yang berbau Cina oleh Orde Baru. Akan tetapi, kita tidak melihat permintaan yang sama atas posisi ‘darah biru’ tokoh Putri Cina dan Giok Tien. Seakan205
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akan ke-darah-biru-an mereka adalah hal yang semestinya dan begitu adanya (tanpa sejarah). Sesungguhnya, pembangunan tokoh-tokoh Cina di dua novel di atas bisa saja berhenti di wilayah kultural dengan penjelasan bahasa dan adat yang mumpuni menurut saya. Namun, kenapa muncul penarasian menggunakan bahasa ekonomi ini? Ada sesuatu yang sepertinya membuat kedua pengarang tersebut tidak puas dengan pembangunan tokoh yang ada. Keduanya seperti menghadapi keharusan untuk menjelaskan identitas Cina menggunakan wacana umum – namun tabu - yang ada di masyarakat tentang kelompok masyarakat yang satu ini dan wacana tersebut menurut keduanya adalah wacana ekonomi e.g. pedagang, pemilik bisnis besar, kaya raya dan lain-lain. Dalam konsep psikoanalisa, symptom bukan saja sebuah kode rahasia yang harus diinterpretasi namun – terutamanya pemikiran Lacan-akhir yang juga diadopsi oleh Zizek - juga sebuah bentuk “signifying formation in which an individual subject organizes its relationship to enjoyment, or jouissance”.168 Dengan menggunakan katakata Zizek sendiri, “[a] particular, ‘pathological’, signifying formation, a binding of enjoyment, an inert stain resisting communication and interpretation, a stain which cannot be included in the circuit of 169 discourse, of social bond network, but is at the same time a positive condition of it. ”
Dan yang dimaksud dengan “a positive condition of it” adalah kenyataan bahwa “the only point that gives consistency to the subject...the way we ‘choose something (the symptom-formation) instead of nothing (radical psychotic autism, the destruction of the 170 symbolic universe)’...which assures a minimun of consistency to our being-in-the-world”
Artinya, senyapnya penjelasan tentang kehidupan ekonomi di dua novel di atas disebabkan karena narasi-narasi tersebut merupakan ‘stain’ – seperti kata Zizek – sebagai bentuk pengolahan enjoyment dua pengarang tersebut atas identitas ekonomi Cina; sebuah enjoyment pada obyek a bentukan kolonial dan Orde Baru yang kini tabu 168
Lih., (Myers, 2003, hal. 86) Lih., (Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, hal. 81-82) 170 Ibid., hal. 81 169
206
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk diceritakan meski masih dipercaya karenanya dijadikan pegangan oleh dua pengarang di atas. Jadi, kenapa pengarang-pengarang di atas sangat sulit membahasakan symptom tadi? Jawabannya karena hal tersebutlah yang sangat membekas. Keyakinan saya bahwa ‘bekas luka’ (stain) terdalam kedua novel di atas berada di wilayah ekonomi (ketimpangan ekonomi) berangkat dari perbandingan dengan symptom-symptom pada dua novel dari dua masa sebelumnya (DBD dan Lucy Mei Ling). Jika kita bandingkan symptom multikulturalis ini dengan symptom-symptom dalam novel-novel dari masa-masa sebelumnya, mereka terlihat mengalami masalah yang serupa. Di DBD, mirip dengan yang ditemukan dalam Ca Bau Kan dan Putri Cina, pendalaman sekitar economic base Tat Mo, yang merupakan perwakilan KTH dalam novel tersebut, tidaklah banyak. Namun, symptom-symptom superioritas identitas Cina menunjukkan bahwa ada yang salah dengan hubungan pribumi-non-pribumi bentukan politik segregasi Belanda; satu sisi yang belum benar-benar tergarap oleh KTH. Timpangnya posisi pribumi dan non-pribumi secara ekonomi terlihat benar dari sudut pandang tersebut. Walhasil, konsep pembauran identitas yang diusung KTH – walaupun terhitung sangat subversif dan berani di masanya - tidak benar-benar mampu membayangkan peleburan identitas pribumi-non-pribumi dalam narasi DBD. Seperti kini telah kita ketahui, ada superioritas yang menghalangi persatuan antara orang-orang dari vreemde oosterlingen dengan Indonesier e.g. Tat Mo berkomunikasi dengan tetap menjaga posisi yang di atas Noerani dan Moestari sebagai ‘guru’ (seseorang yang derajatnya lebih tinggi). Begitu membekasnya tatanan masyarakat segregatif di tataran ekonomi, KTH menjadi sangat sulit melihat dengan mata yang tajam dan harus ‘mengalihkan’ bahasa ekonomi tadi – yang merupakan dasar kategorisasi masyarakat kolonial – ke bahasa-bahasa yang lain seperti rasa memiliki ilmu pengetahuan yang lebih. Dengan kemiripan asal-muasal symptom ini, ada kesan multikulturalisme tak mampu membaca permasalahan yang ditinggalkan oleh tatanan masyarakat kolonial sehingga pengarang-pengarang besar seperti Remy Sylado dan Sindhunata harus
207
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
‘memanfaatkan’ symptom-symptom yang sama sebagai alternatif untuk menarasikan kondisi masyarakat Cina di Indonesia. Setelah melihat symptom-symptom yang ada, pertanyaannya, ideologi seperti apakah multikulturalisme ini? Bagaimana cara pandangnya atas kekerasan dan kondisi masyarakat Cina di Indonesia? Jika melihat sejenak ke atas, kita melihat bahwa narasi utama yang diajukan oleh dua novel di atas adalah narasi yang mengedepankan posisi masyarakat Cina sebagai korban dan narasi tentang bagaimana ekspresi kultural masyarakat korban tadi harus dirayakan. Dengan narasi utama semacam itu, tampaknya yang menjadi dasar ‘gerakan’ multikulturalisme adalah kekerasan yang sifatnya subyektif – berdasarkan konseptualisasi Zizek. Dalam Putri Cina, kekerasan yang menjadikan masyarakat Cina sebagai korban adalah kekerasan fisik e.g. pengejaran, perusakan properti, pembunuhan, perkosaan etc. dan penghilangan peran dalam sejarah. Begitu juga yang dapat ditemukan dalam Ca Bau Kan meskipun penghilangan peran di novel Remy Sylado ini berada lebih di tataran politik yang diceritakan lewat perjuangan Tan Peng Liang sebagai pemasok senjata pada pasukan pro-kemerdekaan Indonesia. Kekerasan fisik dan penghilangan dari sejarah tersebut adalah bagian dari kekerasan subyektif karena keduanya berangkat dari sebuah standar yang menganggap bahwa dua hal tersebut tak dapat diterima dan merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan. Keduanya merupakan kejahatan yang berusaha menghilangkan eksistensi sebuah kelompok masyarakat i.e.kejahatan yang menolak kehadiran masyarakat Cina sebagai subyek. Di sisi yang lain, multikulturalisme tidak memperhatikan kekerasan obyektif baik simbolik maupun sistemik. Multikulturalisme tidak menyoroti konstruk yang membuat subyek tadi ada apalagi menanggapinya sebagai sebuah kekerasan e.g. konstelasi ekonomi kolonial atau Orde Baru dengan akumulasi kapitalnya. Dengan kata lain, jika kekerasan subyektif – yang menjadi sorotan utama multikulturalisme – mendefinisikan sebuah tindakan sebagai sebuah kekerasan karena ia melanggar aturan, di sisi lain, kekerasan obyektif mendefinisikan aturan tadi sebagai sebuah kekerasan 208
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
juga karena, pada dasarnya, aturan tersebut yang ‘menjadikan’ sebuah tindakan tadi kekerasan. Salah satu bentuk dari kekerasan obyektif adalah kekerasan simbolik – kekerasan yang terkait dengan tanda dan sistem pemaknaannya. Di luar narasi Cina sebagai korban kekerasan fisik dan perayaan yang menjadi fokus utama, penokohan tokoh-tokoh Cina di dua novel di atas sangat kental nuansa ekonomisnya dan terkesan stereotipikal seperti telah saya bahas sebelumnya. Stereotip masyarakat Cina yang kaya raya karena memiliki usaha besar sama sekali tidak coba untuk dibongkar dalam dua novel di atas. Tidak ada sejarah atas posisi masyarakat Cina tersebut. Tidak ada usaha usaha membangkitkan kontradiksi terhadap gambaran Cina di kepala para pembaca. Bentuk kedua dari kekerasan obyektif yaitu kekerasan sistemik juga tidak tampak dipermasalahkan dalam dua novel di atas. Ideologi-ideologi dari masa lalu dengan penataan sosio-ekonomis-nya yang mewariskan permasalahan identitas Cina untuk masa kini tidak mendapatkan ruangnya. Contoh terbaik untuk menunjukkan kondisi tersebut ada pada novel Ca Bau Kan. Di sebuah kesempatan hampir di akhir novel, ada sebuah cerita yang menempatkan posisi ekonomi masyarakat Cina tadi sebagai sebuah sumbangan dan bukan hasil kekerasan. Hal tersebut tampak dari sebuah pidato perayaan kemerdekaan oleh sepupu pribumi Tan Peng Liang, Soetardjo Rahardjo, yang merayakan sumbangan sepupu Cina-nya dengan kata-kata: “[d]oa kita semua, semoga saudara kita Tan Peng Liang mencapai sukses, dan menjadi sokoguru perekonomian bangsa bagi pembangunan Indonesia.”171 Tepat di kutipan tersebut, penanda ‘Cina’ dimaknai sebagai sekelompok orang yang pandai berbisnis dan merupakan penyokong ekonomi Indonesia dan bukan kelompok kultural tertentu – sebuah bentukan dan pemaknaan khas Orde Baru dengan pemanfaatan warisan dari masa kolonial yang tak dikritisi. Dengan pemaknaan-ulang multikulturalisme melalui symptom-symptom kedua novel tersebut, kita mengetahui sebuah lubang menganga dalam multikulturalisme ketika berfungsi sebagai sebuah ideologi. Kini kita mengerti kemana harus 171
Lih., (Sylado, 2001, hal. 381)
209
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengarahkan perhatian untuk melampaui ideologi semacam itu. Pembahasan lebih lanjut mengenai penataan ekonomi dalam ideologi-ideologi yang lalu sepertinya harus dikaji lebih jauh. Sebelum melangkah lebih jauh mengenai bagaimana kita harus menanggapi pengolahan hasrat dalam multikulturalisme, kita harus bertanya ‘bagaimana lubang sebesar itu menjadi tak terlihat?’ Inilah yang akan dibahas di bagian selanjutnya. A.4.b. Fantasi multikulturalisme Jika saya, sebagai peneliti yang mengkaji novel-novel, melihat ‘keanehan’ – symptom-symptom tadi - pada narasi-narasi di atas tentu hal tersebut karena saya memiliki versi realita yang berbeda dengan para pengarang di atas. Mungkin ketika para pengarang di atas melihat tesis ini nantinya, mereka akan melihat keanehan-keanehan juga di dalamnya. Yang akan saya bahas di bagian ini adalah bagaimana saya tidak dapat melihat keanehan dalam tesis ini sebagaimana para pengarang tersebut tak melihat keanehan di dalam narasi yang mereka ciptakan. Versi realita yang saya bicarakan di atas dekat dengan sebuah konsep dalam psikoanalisa yang disebut sebagai fantasi – sebuah konsep yang hampir mustahil untuk tidak dibicarakan ketika kita membicarakan ideologi melalui mata Zizek. Kedekatan dua konsep tersebut akan terjelaskan dengan kutipan di bawah ini: “in its (ideologi-pen.) basic dimension it is a fantasy-construction which serves as a support for our ‘reality’ itself: an ‘illusion’ which structures our effective, real social relations and thereby masks some insupportable, real, impossible, kernel (conceptualized by Ernesto Laclau and 172 Chantal Mouffe as ‘antagonism’: a traumatic division which cannot be symbolized). ”
Artinya, bagi Zizek dan penelitian ini, setiap ideologi memiliki versi realitanya sendiri dalam bentuk fantasi. Tanpa fantasi tersebut yang menyokongnya, ideologi akan hilang karena tidak akan diamini dan diikuti oleh subyek. Multikulturalisme, tak terkecuali, saya kira juga memiliki fantasinya sendiri; sebuah bangunan gambar yang membuat para pengarang ‘melupakan’ kekerasan mendasar seperti ketimpangan sosial. Di titik 172
Lih., Ibid., (Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, hal. 45)
210
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
inilah pentingnya memahami symptom-symptom di atas dengan menggunakan konsep fantasi. Ketertindasan (kultural) sebagai obyek a Di bukunya, Zizek menjelaskan perbedaan yang ada antara Marxisme dengan psikoanalisa ketika melihat hubungan antara ideologi dengan ‘kenyataan’ yang ditutupinya. Jika, menurutnya, Marxisme menekankan bahwa ideologi membuat subyeknya tak mampu melihat kenyataan karena tertutupi oleh ideologi itu sendiri, psikoanalisa memiliki pandangan yang satu langkah ke depan: “the relationship between fantasy and the horror of the Real it conceals is much more ambiguous than it may seem: fantasy conceals this horror, yet at the same time it creates what it purports to conceal, its 'repressed' point of reference (are not the images of the ultimate horrible Thing, from the gigantic deep-sea squid to the ravaging twister, phantasmic creations par 173 excellence?)?”
Artinya, selain mengganggu pandangan subyeknya, dalam fantasi, ideologi membangun versi kenyataannya sendiri. Dan kenyataan tersebut berisi rumusan masalahnya sendiri dan tanggapan yang harus dilakukan atas masalah tersebut e.g. di dalam fantasi kita mendapatkan obyek hasrat ‘baru’ yang untuk menautkan tindakan-tindakan yang kita ambil. Di sini jouissance subyek diarahkan dan subyek menjadi budak jouissance pemberian ideologi tersebut. Gestur dalam dua novel di atas yang menguak symptom-symptom yang ada adalah ketika narasi dipenuhi dengan penempatan masyarakat Cina sebagai korban serta penjabaran ekspresi kultural mereka dan, di saat yang sama, seakan-akan menghindari penjabaran kekerasan obyektif yang berada dalam wilayah ekonomi. Gestur mengulangulang dan menghindar tersebut, bagi saya, menunjukkan bagaimana ketimpangan ekonomi hasil kekerasan obyektif tadi adalah ‘luka’ yang paling membekas di dua novel di atas. Akan tetapi, pengulang-ulangan pembangunan tokoh melalui ekspresi kultural dan penempatan masyarakat Cina sebagai korban menunjukkan obyek hasrat baru yang 173
Lih., (Zizek, The Plague of Fantasies, 2008, p. 6)
211
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
digunakan oleh multikulturalisme untuk mewadahi ‘luka’ tadi. Dengan kata lain, Multikulturalisme, yang memiliki penekanan pada perayaan ekspresi cultural serta perayaan posisi korban, membuat para pengarang tersebut menokohkan tokoh-tokoh Cina-nya melalui agama, bahasa, makanan, perayaan dan kekerasan fisik yang dialami. Diulang-ulangnya narasi tentang ekspresi kultural ini adalah bukti adanya jouissance yang dibangun dalam fantasi multikulturalisme ketika mengidentifikasi masyarakat Cina di Indonesia; sebuah jouissance yang menulis-ulang hasrat subyek (para pengarang). Hal ini tentu berkaitan dengan pembacaan novel-novel tersebut terhadap sikap Pemerintah Kolonial Belanda dan Orde Baru. Sebagai contoh, kesemuanya novel tersebut setuju bahwa masa Orde Baru adalah masa-masa gelap bagi masyarakat Cina karena penindasan kultural yang terjadi. Itulah yang paling membekas di dalam tokohtokoh novel tersebut. Itulah “horror” versi multikulturalisme yang menutupi “horror” yang sesungguhnya. Jika kita lihat di Ca Bau Kan, narasi lebih banyak menjelaskan ekspresi-ekspresi kultural khas Cina daripada menjelaskan tentang posisi tokoh-tokoh Cinanya yang ke semuanya merupakan pemilik bisnis besar. Sejarah bisnis masyarakat Cina tersebut tampak terlupakan justru karena hal tersebutlah yang merupakan kengerian sebenarnya – apalagi mengingat kejadian mengerikan di tahun 1998 yang sebenarnya adalah dampak dari kekerasan sistemik di masa yang lalu; sebuah hal yang menempatkan masyarakat Cina satu garis di atas pribumi. Namun karena penindasan kultural adalah titik acuan (obyek a) untuk mendefinisikan kata “horror”, narasi Ca Bau Kan menumpuk banyak informasi seputar ekspresi masyarakat Cina. ‘Keuntungan’ masyarakat Cina yang dimulai sejak masa kolonial dan kemudian dibudidayakan kembali oleh Orde Baru. Di novel lainnya, Putri Cina, narasi yang berisi lamentasi si Putri Cina menjadi mood keseluruhan cerita. Kesedihan tokoh Putri Cina sebagai perempuan Cina di Indonesia adalah pengendali narasinya. Hal tersebut terjadi karena pembacaan atas Orde Baru yang semata-mata menindas masyarakat Cina tadi sehingga si Putri Cina dengan gundah-gulananya memproyeksikan dirinya sebagai korban.
212
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Padahal, seperti telah saya ungkap di atas, posisi tokoh Putri Cina – seperti halnya Giok Tien yang juga perempuan Cina yang memproyeksikan dirinya sebagai korban - adalah anggota kerajaan yang jelas berada di posisi yang menguntungkan dibandingkan dengan, katakanlah, rakyat pelaku kekerasan yang haus darah. Tidak terelakkan lagi, fantasi multikulturalisme adalah tabir yang menutupi kontradiksi tersebut dengan menyajikan posisi ‘korban’ sebagai obyek hasrat tokoh-tokoh Cina di Putri Cina. Hasilnya tokoh-tokoh Cina di novel tersebut terus membaca dirinya melalui obyek hasrat berupa posisi korban tersebut. Di titik ini fantasi multikulturalisme benar-benar “creates what it purports to conceal” seperti kata Zizek. Meskipun, narasi tentang penyebab kekacauan sebenarnya muncul seperti posisi ‘diuntungkan’ masyarakat Cina namun obyek a yang muncul tak dapat mengakomodasinya dan memberinya makna. Selain membuat para subyek tak dapat lagi membaca permasalahan mendasar berupa ketimpangan ekonomi tadi, fantasi yang mengedepankan perayaan kultural sebagai jalan keluar untuk kesetaraan membuat para subyek berpikir bahwa sisi kultural sama sekali tidak berkaitan dengan sisi ekonomi yang merupakan dasar dari pergerakan di wilayah kultural. Sebagai buktinya, tuntutan yang ada di dua novel di atas adalah tuntutan atas pengakuan sumbangan kultural, yang harapannya akan membuat masyarakat Cina tak lagi menjadi korban dari penghilangan sejarah, yang tidak diikuti dengan tuntutan keadilan ekonomi. Di Putri Cina memang sempat disebutkan bagaimana tokoh Putri Cina menyesalkan kaumnya yang selalu hanya mencari harta dengan terus-menerus menjadi pedagang dan tidak mempedulikan kondisi sekitar. Namun, yang menjadi titik berat di bagian tersebut adalah menjadi pribadi yang penuh kepedulian dan bukan bahwa posisi mereka sebagai pedagang tersebut merupakan bagian dari kekerasan sistemik yang penuh ketimpangan. Juga tidak disebutkan bahwa hal tersebut adalah penghambat bagi leburnya konsep pribumi-non-pribumi. Yang ditekankan hanyalah bahwa masyarakat Cina menjadi target kekerasan fisik karena hal tersebut. Jadi, gamblangnya, ‘saran’ si Putri Cina agar masyarakat Cina tak hanya menjadi pedagang, hanya dimaksudkan agar mereka tak lagi dikejar-kejar atau dibakar
213
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tokonya dan bukan pencarian keadilan bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, di dalam pandangan tersebut para pelaku kekerasan tidak dipandang juga sebagai korban sebuah sistem. Ketika kehidupan kultural dipandang terpisah dengan sistem kategorisasi ekonomi masyarakatnya, fenomena superioritas dari masa kolonial yang kita temukan dalam DBD tidak akan terpecahkan. Menghasrati identitas Cina dengan esensialis dan ahistoris Di titik ini – dimana telah ditemukannya obyek a versi multikulturalisme yang mengesampingkan permasalahan yang lebih mendasar ini – kita juga menemukan sisi lain dari fantasi yang menunjukkan bagaimana sebenarnya politik identitas untuk identitas Cina a la multikulturalisme dalam karya sastra. Di bagian skema fantasi ini, Zizek menjelaskan bahwa “fantasy mediates between the formal symbolic structure and the positivity of the objects we encounter in reality - that is to say, it provides a 'schema' according to which certain positive objects in reality can function as objects of desire, filling in the empty places opened up by the 174 formal symbolic structure.”
Dengan kata lain, fantasi menyambungkan obyek yg subyek temui dengan tatanan simbolik dengan cara membuatnya menjadi obyek hasrat sehingga jarak antara benda dengan tatanan simbolik sebagai lahan pemaknaan jadi hilang. Singkatnya, fantasi membuat kita secara otomatis memiliki sebuah pemaknaan tentang ‘Cina’ sehingga kita tak lagi mempertimbangkan identitas yang berdiri di hadapan kita tersebut. Dalam karya sastra proses penautan sebuah tokoh ke sebuah identitas berada di tataran penokohan – bagaimana sebuah tokoh diberi sifat. Di Ca Bau Kan, tokoh-tokoh Cina-nya selain dibangun berdasarkan ekspresi kulturalnya – terutama melalui dialeknya – juga disertai dengan penokohan yang bersifat ekonomis. Anehnya, sifat ekonomis yang diberikan pada tokoh-tokoh Cina ini serupa dan buruk; sesuatu yang aneh mengingat novel ini merupakan bagian dari usaha untuk melawan diskriminasi
174
Ibid., hal. 7
214
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang ada seperti ditulis dengan jelas di bagian sekapur sirihnya. Sebagai contoh, kali ini dari Ca Bau Kan, Tan Peng Liang yang asal Sunda adalah seorang rentenir yang kikir dan gemar menyiksa para ‘pelanggan’-nya. Tan Peng Liang yang asal Semarang – tokoh utama novel ini – meskipun terlibat dalam perjuangan namun sebagai seorang pengusaha, ia melakukan kecurangan dengan mencetak uang palsu dan menipu. Kemudian para anggota Kong-koan ,terutama Oey Eng Goan, adalah orang-orang yang terhormat tapi mampu melakukan tindakan kejahatan untuk membuat usaha Tan Peng Liang si tokoh utama bangkrut dengan membakar gudang miliknya. Di sini saya melihat usaha pengangkatan identitas kultural masyarakat Cina yang dilakukan dengan mendalam – lewat penjabaran mengenai dialek yang berbeda-beda – diikuti dengan penokohan yang membenarkan stereotip yang telah ada di sebagian besar kepala masyarakat Indonesia. Hal tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa secara inheren – untuk tidak mengatakan secara rasial – masyarakat Cina memiliki satu sisi yang ‘berbahaya’ untuk didekati. Dengan penokohan – pengarahan hasrat untuk memaknai identitas Cina – seperti ini tampaknya pengangkatan identitas kultural masyarakat Cina melalui multikulturalisme tidak menghilangkan warisan identitas (obyek a) Cina Orde Baru yang melarang masyarakat Cina berada di luar wilayah perdagangan. Tokoh Cina yang dilihat – lantas dibangun - oleh Remy Sylado adalah tokoh Cina sebagaimana Orde Baru namun dengan sentuhan kultural lebih banyak. Dengan kalimat sederhana – dan mungkin sedikit menyakitkan – kita harus mengenal dan menghargai ekspresi kultural masyarakat Cina namun kita juga harus hati-hati dengan sisi lainnya. Dengan cara memaknai sosok Cina yang kita hadapi seperti di atas, fantasi multikulturalisme gagal memaknai kerumitan identitas Cina yang sebenarnya ada di Indonesia. Dalam fantasi multikulturalisme, identitas Cina selalu mereka yang berbahasa dan bertindak ‘Cina’. Mereka yang tak berbahasa dan bertindak ‘Cina’ akan tetap dimaknai dengan sama karena multikulturalisme tidak menyediakan tempat lahan pemaknaan lain. Bagaimana dengan orang-orang yang secara biologis memang Cina namun tak memiliki toko? Atau bagaimana multikulturalisme melihat kondisi
215
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebenarnya dari seorang Cina yang sedari lahir beragama Islam dan tidak merayakan Sincia lagi? Identitas-identitas Cina yang ‘aneh’ tersebut dapat dipastikan dengan segera diidentifikasi ke dalam stereotip seperti yang terus dibawa oleh multikulturalisme. Hal tersebut jelas membuat identitas seseorang seperti tak bergerak kemanapun. Sederhananya, multikulturalisme memiliki pandangan yang esensialis dan ahistoris terhadap sebuah identitas karena penekanan berlebihannya pada sisi kultural dan meletakkan di atas faktor-faktor mendasar seperti ekonomi. Di titik ini, fantasi yang disediakan multikulturalisme dekat dengan konsep perversif. Kondisi pervesif adalah kondisi ketika subyek tidak memasuki tatanan Simbolik dengan baik. Karenanya obyek hasrat subyek pervert belum berhasil dibahasakan-ulang dalam tatanan simbolik – sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Walhasil, subyek masih terus mengejar obyek a dalam bentuk terdahulunya dan terkadang mengacuhkan norma sosial (tatanan simbolik). Menggunakan bahasa Zizek sendiri, “the perverse ritual stages the act of castration, of the primordial loss which allows the subject to enter the symbolic order. Or - to put it more precisely - in contrast to the 'normal' subject, for whom the Law functions as the agency of prohibition which regulates (access to the object of) his desire, for the pervert, the object of his desire is law itself - the Law is the Ideal he is longing for, he wants to be fully acknowleged by the Law, integrated into its functioning…The irony of this should not escape us: the pervert, this 'transgressor' par excellence who purports to violate all the rules of'normal' and decent behaviour, effectively longs for the very rule of Law.”175
Dari kutipan di atas terlihat bahwa fantasi adalah sebuah penantian agar si subyek yang berfantasi diberi tata cara oleh tatanan simbolik untuk melampaui fantasi yang ia miliki saat
ini. Hal
tersebut
terlihat
dalam
fantasi
Cina
yang dibangun dalam
multikulturalisme. Fantasi identitas Cina yang terus diisi dengan figur-figur yang meskipun beragam di sisi kultural namun seragam di sisi ekonomi seperti membutakan diri dari kenyataan bahwa identitas Cina di Indonesia sangat beragam. Fantasi tersebut adalah fantasi yang masih percaya bahwa stereotip adalah sebuah identitas. Subyek 175
Lih., (Zizek, The Plague of Fantasies, 2008, p. 17)
216
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan
fantasi
multikulturalisme
seperti
menunggu
diberi
Hukum
yang
memberitahunya bahwa masyarakat Cina di Indonesia tidak mungkin masuk ke dalam pengelompokkan identitasnya. Kesimpulan singkat dari bagian ini adalah bahwa multikulturalisme hanya mempertimbangkan kekerasan subyektif dalam gerakan dan konsep-konsepnya. Segala permasalahan adalah permasalahan perbedaan ekspresi kultural serta kesetaraan atasnya. Dan penekanan tersebut berangkat dari pandangan bahwa identitas bukanlah sebuah bentukan karena identitas telah ada dan harus dirayakan. Multikulturalisme tidak mempertimbangkan kontradiksi-kontradiksi mendasar seperti ketimpangan sosial dan ekonomi yang sesungguhnya merupakan faktor pembentuk identitas juga karena dalam ideologi ini ekspresi kultural tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang dijalankan. Jadi, perayaan a la multikulturalisme sebenarnya adalah perayaan senyap atas ketimpangan sosial dan ekonomi warisan kolonial dan Orde Baru.
A.5. Setelah usainya perayaan Sampai di sini, kita telah mengetahui bagaimana multikulturalisme memonopoli cakrawala naratif dua novel dari Indonesia pasca-Orde Baru sekaligus cara dua karya tersebut meloloskan diri melalui symptom-symptom-nya. Di bagian menjelang akhir ini, saya ingin melihat dua karya lain yang saya pikir lebih memiliki ‘jarak’ dengan multikulturalisme. Dua karya di bawah ini – Dimsum Terakhir dan Acek Botak – bagi saya mampu lebih membahasakan hal-hal yang di dua novel sebelumnya hanya menjadi symptom. Saya kira kita akan mendapatkan alternatif yang menarik dari dua novel berikut untuk melihat kembali permasalahan dengan identitas Cina di Indonesia. A.5.a. Dimsum Terakhir: usaha untuk menyasar kekerasan obyektif Sepintas, kita akan menemukan kemiripan fokus narasi Dimsum Terakhir dengan Ca Bau Kan dan Putri Cina. Narasi yang menempatkan masyarakat Cina 217
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai korban kekerasan fisik dan pelarangan ekspresi kultural dapat dengan mudah kita jumpai. Sebagai contoh untuk penarasian masyarakat Cina sebagai korban pelarangan adalah pengalaman Siska ketika berada di Hong Kong dan berinteraksi dengan penjaja makanan yang jelas berbahasa Cina dengan dialek Kanton, ia merasa gusar tentang kenyataan bahwa ia tidak mampu berbahasa Cina dengan dialek apapun – sesuatu yang ia anggap telah menjadi pergunjingan atas orang Cina di Indonesia.176 Di sana jelas terlihat bahwa Siska merasa sebagai korban dari penindasan kultural Orba yang melarang penggunaan dan pembelajaran Bahasa Cina, dengan dialek apapun, di Indonesia. Contoh lain adalah pengalaman Novera ketika ia sakit di hari Imlek. Nung tidak memperbolehkannya untuk tidak datang ke sekolah karena ia takut dianggap ‘meliburkan’ anaknya karena perayaan Imlek yang nantinya pasti membuat Novera terkena sanksi.177 Pengalaman Novera ini adalah bentuk lain kekerasan atas identitas Cina yang tidak dilarang merayakan hari besarnya. Lebih lanjut, kali ini terkait dengan penarasian masyarakat Cina sebagai korban kekerasan fisik, pengalaman Siska muncul dalam bentuk ingatan tentang kerusuhan Mei 1998 ketika ia sedang di dalam taxi menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Yang ia ingat dari masa tersebut adalah kenyataan bahwa toko elektronik ayahnya yang menghidupi mereka semenjak kecil habis dijarah dan dibakar. Ia mengingat dengan nada penuh kemarahan bahwa “[h]anya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa. Bangkrut mendadak.”178 Semua pengalaman tersebut kemudian semacam disimpulkan oleh narator novel ketika mengomentari kondisi Rosi dengan singkat dan mengerikan: “[l]ebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih
gawat
176
(Ng, 2006, p. 86) Ibid., hal. 218 178 Ibid., hal. 265 177
218
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena 179
terlalu tertekan”
Terlihat dari empat pengalaman dari empat perempuan Cina tersebut bahwa novel ini setuju bahwa masyarakat Cina di Indonesia adalah korban dari beragam kekerasan (subyektif). Di tahap pertama, wacana korban yang ada di Dimsum Terakhir ini mirip dengan narasi Putri Cina. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat narasi korban Dimsum Terakhir lebih konstruktif dibandingkan dengan Putri Cina. Hal tersebut adalah kenyataan bahwa Clara Ng tidak memukul rata ketika melihat sejarah. Sindhunata dengan mudahnya menyejajarkan kekerasan yang terjadi atas masyarakat Cina dari waktu ke waktu. Bagaimana mungkin menyamakan apa yang terjadi di tahun 1740 dan 1998? Secara sekilas saja, hal tersebut tidak masuk akal mengingat di tahun 1740 pelakunya adalah tentara V.O.C. dan bukan perusuh yang datang entah darimana seperti di tahun 1998. Clara lebih menyadari keterbatasan pengetahuannya tentang sejarah sehingga tidak mengumbar ‘dongeng’ seperti Sindhunata. Artinya, narasi korban dalam Dimsum Terakhir tidak dalam rangka perayaan posisi korban. Narasinya yang ‘secukupnya’ semata-mata dimaksudkan untuk penokohan, pemberian pengalaman pada pembacanya sekaligus menitikberatkan bahwa hal-hal semacam itu tak boleh terulang kembali. Di sisi penokohan melalui ekspresi kultural, nada perayaan juga tidak ditemui padahal penjelasan bentuk-bentuk kebudayaan khas Cina Indonesia mendapatkan ruang yang cukup banyak: ada penjelasan mengenai penanggalan penting bagi masyarakat Cina, kebiasaan-kebiasaan di hari-hari besar (pakaian, makanan dan lain-lain), dialek khas, etc. Namun semua hal tersebut tidak dinarasikan dengan mood perayaan. Banyak penjelasan ekspresi kultural tersebut yang justru diikuti dengan cerita tentang resistensi – terutamanya oleh empat anak perempuan Nung – terhadap ekspresi-ekspresi tadi.
179
Ibid., hal. 45
219
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Beberapa contohnya adalah keengganan Rosy di masa kecil untuk berdandan ketika hari besar, perdebatan Rosy tentang rezeki dengan ibunya,180 kebencian Siska pada hujan meski tahu hujan selalu dianggap berkah oleh ibunya yang penganut ajaran Buddha teguh,181 keinginan Indah untuk berpindah agama yang dibalut melalui perdebatan seputar bolehkah ia kemudian berdoa memakai hio dan lain-lain. Narasi semacam itu jelas menunjukkan bahwa Dimsum Terakhir memiliki intensi yang berbeda dengan dua novel sebelumnya dimana pengenalan dan pengakuan atas ekspresi kultural masyarakat Cina ditonjolkan dan dijadikan jalan keluar untuk kekerasan; sebuah hal yang menunjukkan bagaimana masyarakat Cina adalah korban dan pelakunya selalu dari luar. Di Dimsum Terakhir, para korban tadi sekaligus juga para pelaku. Clara Ng jauh lebih dewasa dengan menunjukkan bagaimana ide tentang Cina yang dipercaya dan dijalankan baik oleh orang Cina sendiri maupun, katakanlah, pribumi adalah masalah utamanya. Clara Ng menunjukkan bagaimana identitas kultural Cina terkadang merupakan kekerasan bagi mereka sendiri. Di titik ini, Clara Ng menunjukkan dengan sangat baik bagaimana wacana dominan adalah masalah utamanya dan bukan sematamatanya penyingkiran negara terhadap identitas Cina. Pembacaan saya, kontradiksi-kontradiksi internal masyarakat Cina ini yang sengaja dimunculkan oleh Clara Ng adalah usahanya untuk tidak terjebak pada kekerasan subyektif yang menjadi fokus utama di dua novel sebelumnya. Lebih jauh, hal baru yang dapat kita temui di Dimsum Terakhir dan tidak ditemukan di novel-novel sebelumnya adalah sudut pandang yang meletakkan posisi sebagian besar masyarakat Cina sebagai pedagang – sebuah identitas yang dibentuk dan disuburkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Orde Baru – terutama di daerah-daerah yang biasa disebut Pecinan adalah bagian dari kekerasan. Ini menarik mengingat dengan sudut pandang tersebut Clara Ng tidak hanya merujuk pada kekerasan subyektif namun juga kekerasan obyektif – di kasus ini kekerasan sistemik. Meskipun tidak ditulis dengan 180 181
Lih., Ibid., hal. 46 Lih., Ibid., hal. 58
220
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gamblang bahwa posisi masyarakat Cina yang rata-rata pedagang merupakan hasil pembentukan kelas oleh Pemerintah Kolonial, akan tetapi posisi tersebut dipandang oleh empat tokoh utama sebagai sebuah posisi yang mengurung identitas mereka. Di dalam novel Dimsum Terakhir, tidak satu pun dari ke empat anak perempuan Nung yang menetap di rumah dan melanjutkan bisnis keluarga bahkan dua dari empat anak perempuan tadi pekerjaannya sama sekali tidak berhubungan - paling tidak tidak secara langsung – dengan perdagangan (Novera yang guru TK dan Indah yang penulis). Penolakan ke empat perempuan tersebut menunjukkan bagaimana identitas Cina di Indonesia dibangun berdasarkan sebuah economic base dan mengutak-atik dasar tersebut berarti menggoncangkan identitas mereka. Dengan begitu, kontradiksikontradiksi yang sengaja dibangun ini juga merupakan penolakan menjadi satu identitas dengan tokoh-tokoh Cina di Ca Bau Kan dan Putri Cina. Singkat kata, Clara Ng memecah identitas Cina yang ada. Ia membuat kata ‘Cina’ harus menemukan maknanya lagi – obyek a baru -selain yang diberikan oleh multikulturalisme ataupun ideologiideologi sebelumnya. Lebih dari itu, yang terpenting, Clara Ng mampu memberi kita alternatif terhadap cara pandang multikulturalisme yang melepaskan hubungan antara kesetaraan ekonomi dan kesetaraan kultural. Empat perempuan tokoh utama novel mampu memecah identitas Cina – dengan segala resistensinya atas pendisiplinan kultural karena mereka memiliki economic base yang berbeda dengan, katakanlah, ayahnya sebagai representasi identitas Cina yang telah mapan. Tampaknya ke-urban-an mereka menjadi kunci utamanya di sini. Bahkan, saya melihat, Clara Ng di Dimsum Terakhir tidak hanya sekedar memecah identitas Cina yang ada namun juga memberi alternatif yang ia tunjukkan melalui bentuk-bentuk kultural Cina yang dicampur dengan kondisi urban tokoh-tokoh utamanya. Bentuk terkuat identitas alternatif ini ada di adegan ketika Rosy akhirnya yang dipilih untuk memegang bendera dan memimpin upacara pemakaman Nung padahal seharusnya menurut kepercayaan yang memegang bendera adalah laki-laki. Pemilihan Rosy menandakan bagaimana ekspresi kultural Cina
221
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diharuskan melanjutkan pergulatan sejarahnya dengan mengamini konteksnya, kali ini, kehidupan urban dengan mode ekonominya atau bahkan orientasi seksualnya yang beragam. A.5.b. Acek Botak dan wacana korban yang sadar stereotip Setelah membaca untuk pertama kalinya novel Acek Botak – tentu setelah membaca Ca Bau Kan terlebih dahulu – sangat mudah mudah bagi pembacanya untuk melihat banyak kesamaan antara novel tersebut dengan Ca Bau Kan. Dua novel tersebut sama-sama memiliki dua buah cerita yang menjadi pengisi alurnya: cerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Cina yang mengungkap sisi kultural mereka dan peran mereka dalam kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi bagi saya terlalu gegabah jika kita mengira bahwa keduanya memiliki pendekatan yang sama ketika mengangkat kehidupan masyarakat Cina. Ada sebuah kesadaran yang memisahkan – bahkan dengan cukup berjarak – kedua karya tersebut. Kesadaran tersebut adalah kesadaran atas stereotip terhadap masyarakat Cina. Jika di Ca Bau Kan kesadaran atas stereotip masyarakat Cina sebagai sebuah entitas ekonomi tidak begitu kentara, yang terjadi di narasi Acek Botak adalah kebalikannya. Narasi Acek Botak benar-benar berangkat dari kesadaran atas kuatnya stereotip tersebut sehingga novel ini berusaha mencari akar dan penjelasannya agar pembacanya tak terjebak ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya. Seperti halnya Ca Bau Kan, saya melihat Acek Botak juga memiliki wacana korban di narasinya meskipun dengan rincian yang berbeda – terutama perihal stereotip. Di sisi pengangkatan kehidupan sehari-hari dengan kulturnya, Acek Botak lebih fokus dibandingkan dengan Ca Bau Kan. Idris Pasaribu menceritakan tokoh-tokoh utamanya (Keluarga Tan) dari sisi perkembangan kehidupan ekonominya di berbagai masa. Bagi saya, Idris Pasaribu lebih mengerti kesadaran umum tentang masyarakat Cina yang selalu dipandang sebagai masyarakat yang pedagang dan kaya raya. Sehingga ia mengarahkan narasi novelnya ke arah yang dapat membuat pembacanya mengkritisi
222
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau bahkan melampaui kesadaran umum (wacana dominan) tersebut. Ia tidak sekedar merayakan apa yang tadinya haram untuk dibicarakan. Saya membaca Acek Botak dengan cukup matang melampaui euforia dan histeria paska-Orde Baru – sebuah hal yang membuat narasi novel ini lebih fokus dan tidak berlebihan ketika menghidupkan tokoh-tokoh Cina-nya. Sebagai contoh, Acek Botak tidak terlalu rinci ketika membicarakan sisi kultural tokoh-tokoh Cinanya. Dalam penarasian terkait dengan prosesi doa yang dilakukan Bun Nyan atau Atak, Idris Pasaribu tidak lantas menjelaskan detil-detil tentang Konghucu atau perangkat lengkap dalam doanya. Ia hanya menjelaskan kepada siapa mereka berdoa dan latar belakangnya. Di satu adegan, ketika baru beberapa hari tiba di Sumatra, Tan Bun Nyan dan keluarganya, yang telah selesai membangun rumah dan membuat ladang, menuju ke kuil (Teh Cu Kong) untuk berdoa kepada Dewa Bumi karena mereka adalah petani dan Dewa Bumi adalah penaung bagi mereka para pengolah tanah. Dijelaskan juga di sana, ia mengeluarkan patung Dewa Bumi tersebut dan arak serta dupa sebagai persyaratan dalam berdoa. 182 Penjelasan berhenti di sana. Ia tidak membuat glosarium selayaknya dalam Ca Bau Kan atau memberi informasi tentang istilah-istilah dalam Bahasa Mandarin atau dialek lainnya seperti pada Putri Cina. Panjang dan kedalaman narasi yang kurang lebih sama juga ditemui di kesempatan berdoa lainnya yang kali ini kepada Dewa Langit. Di adegan ini, hanya diceritakan ia meletakkan sebuah papan sarana doa dan menyembahnya dengan dupa.183 Karena bukan merupakan fokus utamanya, adeganadegan ritual tersebut tidak diperdalam atau diperpanjang. Kedalaman narasi yang berbeda jika kita bandingkan dengan deskripsi kehidupan ekonomi keluarga Tan Bun Nyan. Cara keluarga tersebut bertahan hidup diceritakan dengan pelan dan mendalam dari masa ke masa. Di awal hidup baru di Sumatra, keluarga tersebut bertahan hidup dengan bercocok tanam (membuka ladang) kemudian menjual hasil panen sayurannya ke pasar. Mereka juga berternak yang 182 183
(Pasaribu, 2009, p. 13) Ibid., hal. 16
223
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hasilnya juga dijual ke pasar. Di akhir masa kekuasaan Belanda hingga masa kekuasaan Jepang, Atak, yang saat itu telah cukup dewasa, berjualan keliling perkampungan dan perkebunan secara mindring. Sedang A Hong, yang tadinya numpang hidup di keluarga Bun Nyan, juga berternak bebek. Setelah masa kemerdekaan, Atak membuka warung kelontong dan juga kedai kopi. Penjelasan tersebut juga dilengkapi dengan narasi tentang tantangan-tantangan yang dihadapi keluarga tersebut seperti sepinya pembeli, perintah untuk turut latihan dalam Heiho dan seringnya razia di masa awal kekuasaan Jepang.184 Bahkan petuah-petuah dalam dunia perdagangan juga digarap di novel ini di adegan-adegan obrolan antara Bun Nyan dengan Atak atau Bun Nyan dengan A Hong. Contohnya adalah ketika Bun Nyan menasehati Atak tentang tata cara orang berdagang sebagaimana telah saya kutip di Bab III. Alasan dibalik pendalaman semacam itu tidak lain adalah menunjukkan asalmuasal dan akar dari stereotip ekonomis terhadap masyarakat Cina. Idris Pasaribu ingin menunjukkan bagaimana masyarakat Cina, terutama pedagangnya, dapat mencapai posisi (identitas) yang ada di wacana dominan dalam masyarakat. Idris Pasaribu hendak menunjukkan bahwa tidak setiap pedagang Cina – apalagi yang lantas menjadi sukses – adalah pedagang yang curang dan berkomplot dengan penguasa. Melalui narasi seperti di bawah ini: “[p]ekerjaan bertanam sayur-mayur, membersihkannya, mencabutinya setelah ditanam selama 28 hari umur sayuran lalu menjualnya. Atak, istrinya, inu dan ayah mertua serta tiga adik iparnya Atak bekerja keras. Melihat Atak sangat rajin tak bisa diam itu, membuat mertuanya 185 tak bisa diam juga.”
Idris Pasaribu membangun citra pekerja keras dan rajin tadi. Harapannya setelah pencerahan ini, pandangan pembacanya terhadap masyarakat Cina berubah seiring dengan memudarnya stereotip di pikiran mereka. Idris Pasaribu menginginkan agar para pembacanya memiliki pandangan seperti para pribumi dalam Acek Botak yang diwakilkan oleh Kartinah dan Iyem yang menyimpulkan bahwa “keluarga Bun Nyan 184 185
Ibid., hal. 144 Ibid., hal. 159
224
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah keluarga pekerja keras dan sangat disiplin…[p]antas mereka bisa hidup dengan baik”.186 Pernyataan dua orang perempuan pribumi yang ditolong hidupnya oleh Bun Nyan ini kemudian membuat sebuah kesimpulan yang lebih mendasar dan filosofis yang, bagi saya, menunjukkan visi anti-diskriminasi Idris Pasaribu: ”[j]angan pandang suku dan dan (sic) orang apa. Yang jelas, mereka adalah manusia seperti kita juga. Mereka juga punya hati. Orang baik tetap baik. Orang jahat tetap jahat. Buktinya Parto dan para mandor adalah orang Jawa, tetapi tega-teganya memukuli orang sukunya 187
sendiri. Demikian juga para centeng…”
Di titik ini, pendalaman narasi tentang perkembangan ekonomi keluarga Bun Nyan memang dimaksudkan untuk membuyarkan segala stereotip terhadap masyarakat Cina dan menunjukkan bahwa tidak seharusnya siapapun itu dinilai berdasarkan sukunya. Sepertihalnya Dimsum Terakhir, Acek Botak tidak menggunakan mood perayaan ketika menarasikan bentuk-bentuk kultural Cina. Narasi Acek Botak jauh lebih tertarik pada pembongkaran kekerasan simbolik berupa stereotip atas masyarakat Cina. Dan pembongkaran stereotip berarti membuat masyarakat Cina setara dengan kelompok masyarakat yang lain. Kesetaraan di Acek Botak dibangun dengan penempatan ekonomis keluarga Bun Nyan yang rinci. Kesetaraan dalam Acek Botak bukan sematamata kesetaraan wilayah kultural semata namun juga kesetaraan mendasar: ekonomi. Ide kesetaraan yang terlihat dalam Acek Botak salah satunya terlihat dari bagaimana Atak bergabung dengan milisi pro-Indonesia sebagai tentara biasa – tidak seperti Tan Peng Liang. Hal tersebut tentu sangat dipengaruhi economic base-nya sebagai seorang pedagang kecil yang juga petani. Tan Peng Liang tak mampu melakukannya karena ia adalah pedagang besar. Dengan konsep kesetaraan semacam itu, saya kira Acek Botak – serupa dengan Dimsum Terakhir – percaya bahwa kesetaraan kultural seperti yang ditunjukkan kawan-kawan seperjuangan Atak yang berbeda-beda latar kulturalnya disokong oleh kesetaraan ekonomi. Konsep kesetaraan ini bagi saya jauh lebih masuk
186 187
Ibid., hal. 174 Ibid., hal. 174-175
225
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akal dibandingkan dengan konsep kesetaraan kultural multikulturalisme. Paling tidak, konsep kesetaraan yang diajukan novel ini mengarah pada kekerasan yang lebih mendasar.
226
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V Penutup
“Why are so many problems today perceived as problems of intolerance, rather than as problems of inequality, exploitation, or injustice? Why is the proposed remedy tolerance, rather than emancipation, political struggle, or even armed struggle?”188
Sekali lagi, saya mengulang pertanyaan dari Zizek di atas di bagian penutup ini. Pertanyaan yang diltulis Zizek tersebut adalah sebuah pertanyaan – atau mungkin gugatan – terhadap dominasi wacana multikulturalisme di dunia sekarang ini. Multikulturalisme sekarang ini hampir selalu menjadi wacana yang didengungdengungkan ketika pembicaraan mengenai perbedaan dan penghargaan atas ekspresi kultural tertentu terjadi. Ideologi tersebut menjadi semacam pintu keluar untuk banyak pintu masuk. Bagi saya bahkan multikulturalisme bukan lagi sebuah ideologi jika dipandang dari cara orang menggunakan istilah tersebut. Multikulturalisme telah menjadi seperti simbol – dan bukan lagi satu set pemikiran dengan implikasi-implikasi teoritis dan praktis – bagi perjuangan menuju kesetaraan di tengah masyarakat yang majemuk; sebuah hal yang membuat kekritisan pada multikulturalisme sekarang ini sebagai salah satu hal tersulit untuk dilakukan. Kritis terhadap multikulturalisme dapat dengan mudah membuat kita diberi cap fundamentalis, konservatif atau bahkan fasis – cap-cap yang meskipun memiliki pemaknaan yang berbeda-beda namun tetap mengacu pada sebuah identitas yang dianggap ‘abnormal’. Itulah kekuatan yang dimiliki multikulturalisme saat ini. Di penelitian ini, yang saya lakukan adalah kembali melihat multikulturalisme sebagai sebuah ideologi dan sebagai satu set pemikiran yang datang dengan dari konteks tertentu yang lantas ‘diterapkan’ juga di Indonesia. Artinya, saya mencoba melihat implikasinya ketika ideologi ini telah menjadi common sense di Indonesia; sebuah 188
Lih. (Zizek, Living in the End Times, 2010)
227
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
common sense yang sangat kuat sehingga mampu mempengaruhi narasi karya-karya sastra – wilayah yang seringkali dipandang independen. Pada dua karya dari masa reformasi – Ca Bau Kan dan Putri Cina – tampak bagaimana kesetaraan identitas pribumi dan non-pribumi yang coba dikonsepkan adalah kesetaraan kultural melalui bentuk-bentuk perayaannya. Di titik tersebut, dua karya tadi ‘dipaksa’ mengarahkan hasrat ke obyek a (identitas Cina yang esensialis dan ahistoris) versi multikulturalisme dengan versi sejarahnya sendiri; sebuah kondisi yang membuat narasi dua karya tersebut melupakan kontradiksi yang ada. Dengan hanya mengejar kesetaraan kultural – yang mana hanya menyelesaikan perihal kekerasan subyektif – kontradiksi di wilayah ekonomi berupa ketimpangan ekonomi hasil tatanan masyarakat sebelumnya (kolonial dan Orde Baru) tak terangkat. Kondisi tersebut lah yang lantas membuat narasi-narasi tentang kontradiksi ekonomi harus menepi dalam bentuk-bentuk yang symptomatic. Lebih jauh, kondisi tersebut - selain menunjukkan bagaimana sebuah karya dibentuk kesadaran naratifnya – juga menunjukkan bahwa multikulturalisme sebagai sebuah
ideologi
tak
mampu
membaca
permasalahan
yang
sesungguhnya.
Multikulturalisme tak mampu menangkap, menulis-ulang dan melampaui jejak-jejak ideologi-ideologi lalu berupa symptom-symptom di karya-karya seperti Drama di Boven Digoel dan Lucy Mei Ling. Namun yang terpenting, bagi saya, kondisi Ca Bau Kan dan Putri Cina tadi adalah seberapapun kuatnya sebuah ideologi mengungkung kesadaran kita, hal yang benar-benar ‘menggores’ subyek – seperti segregasi dan asimilasi dengan segala ketimpangan yang diciptakannya – tidak dapat dengan begitu saja digantikan. Nyatanya, meskipun multikulturalisme terlihat sangat dominan, narasi Ca Bau Kan dan Putri Cina masih dapat menyelipkan symptom-symptom yang menandakan kegagalam simbolisasi multikulturalisme atas ketimpangan ekonomi. Dengan kata lain, seberapapun dua novel tersebut berada dalam pusaran ideologi multikulturalisme, keduanya mampu meninggalkan jejak
yang mengarah pada
lubang logika
multikulturalisme.
228
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada konsep Tatanan Simbolik (ideologi) Zizek, seperti disimpulkan oleh Tony Myers, pada proses kastrasi “[i]n order for the subject to enter the Symbolic Order, then, the Real of enjoyment or jouissance has to be evacuated from it...[a]lthough not all enjoyment is completely evacuated by the process of signification...most of it is not Symbolized. What this means is that the Symbolic Order cannot fully account for enjoyment – it is what is missing from the big Other. The big Other is therefore 189 inconsistent or structured around a lack,the lack of enjoyment. ”
Yang artinya, setiap symptom menunjukkan kegagalan sebuah ideologi menanungi seluruh enjoyment subyek i.e. hal yang paling membekas di diri subyek justru tak terbahasakan. Membuat identitas Cina sebagai kelas yang diuntungkan secara ekonomi tak terkritisi, di dua novel tadi, menandakan bahwa ‘lack’ dari multikulturalisme adalah keengganannya berbicara masalah ketimpangan ekonomi ataupun berbicara tentang identitas Cina berdasarkan identifikasi ekonomi sebagai warisan dari tatanan sosial masa kolonial dan Orde Baru; sebuah hal yang wajar mengingat obyek a yang dibangun olehnya adalah identitas kultural. Fungsi versi sejarah yang saya bicarakan tadi, yang berada di tataran fantasi, adalah menutupi lubang ini. Lebih jauh, dua novel dari masa pasca-Orde baru berikutnya (Dimsum Terakhir dan Acek Botak) menunjukkan alternatif dari multikulturalisme dengan narasinya yang menyasar kekerasan obyektif; sebuah kekerasan yang terkait erat dengan ‘lack’ multikulturalisme yang tertutupi oleh fantasi. Dari dua novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana ekspresi-ekspresi kultural tokoh-tokoh Cina yang dibangun berdasarkan economic base i.e. keduanya tak memisahkan wilayah kultural dan ekonomi seperti konsep-konsep
kesetaraan
multikulturalisme.
Yang
sederhananya,
keduanya
menempatkan posisi kesetaraan kultural sebagai konsekuensi logis dari kesetaraan ekonomis. Walhasil keduanya dapat dengan mudah menunjukkan kondisi ekonomi serta identitas kultural masyarakat Cina sebagai sebuah kekerasan (obyektif), dua novel tersebut telah mengarah pada diskusi untuk meruntuhkan fantasi multikulturalisme yang hanya mengisyaratkan posisi masyarakat Cina sebagai korban kekerasan subyektif 189
Lih., Ibid., (Myers, 2003, hal. 97)
229
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan pelaku negara ataupun perusuh. Pemecahan identitas Cina di dalam novel tersebut tak lain adalah usaha untuk membuat fantasi multikulturalisme tak lagi dapat digunakan karena kata ‘Cina’ sekarang harus menemukan makna lain selain entitas kultural yang terpinggirkan. Dan, menurut Zizek, menunjukkan bagaimana sebuah fantasi sesungguhnya tak memiliki dasar apapun kecuali dasar yang disediakan sendiri oleh ideologi yang memanfaatkannya adalah salah satu cara untuk meruntuhkan (melampaui) fantasi atau ‘traversing the fantasy’. Bagi saya, metode pencarian keadilan bagi identitas-identitas yang ada di Indonesia pada dua novel tersebut jauh lebih konstruktif dan visioner dibandingkan dengan multikulturalisme yang hanya bereaksi pada apa yang terlihat mata seperti pembunuhan atau ejekan.
230
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Daftar Pustaka Buku:
Bandel, K. (2013). Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Yogyakarta: Penerbit Pustaha Hariara. Benedanto, P. (2001). Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Benedanto, P. (2003). Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Bill Ashcroft, G. G. (2002). The Post-Colonial Studies Reader. London: Routledge. Blusse, L. (2004). Persekutuan Aneh. Yogyakarta: LKIS. Busye, M. (1977). Lucy Mei Ling. Jakarta: Pustaka Jaya. Dieleman, M. (2010). Chinese Indonesians and Regime Change. (J. K. Marleen Dieleman, Ed.) Leiden, Boston: Brill Academic Publishing. Eagleton, T. (2006). Marxism and Literary Criticism. London: Routledge. Edward Aspinall, G. F. (2010). Soeharto's New Order and Its' Legacy. Canberra: ANU E Press. Gupta, S. (2007). Social Constructionist Identity Politics and LIterary Sudies. New York: Palgrave Macmillan. Herlambang, W. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: Marjin Kiri. Heywood, A. (2004). Political Theory: an introduction. New York: Palgrave Macmillan. Ignatius Wibowo, T. J. (2010). Setelah Air Mata Kering. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Lohanda, M. (2002). Growing Pains: the chinese and the dutch in colonial Java, 18901942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
231
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Lukacs, G. (1950). Studies in European Realism. Massachusetts: The MIT Press. Lukacs, G. (1971). The Theory of The Novel. Massachusetts: The MIT Press. Myers, T. (2003). Slavoj Zizek. New York: Routledge. Ng, C. (2006). Dimsum Terakhir. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. O'Rourke, K. (2003). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Crows Nest: Allen & Unwin. Pasaribu, I. (2009). Acek Botak. Jakarta: Kakilangit Kencana. Prasetyadji, W. E. (2008). Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI. Jakarta: Visimedia Pustaka. Ricklefs. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Hampshire: Palgrave Macmillan. Salmon, C. (1985). Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka. Salmon, C. (2009). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Scanlon, T. (2003). The Difficulty of Tolerance. New York: Cambridge University Press. Sindhunata. (2007). Putri Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Siraishi, T. (2005). Zaman Bergerak: radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Suryadinata, L. (1984). Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press. Suryadinata, L. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Suryadinata, L. (2005). Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Suryadinata, L. (2008). Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Pasir Panjang: Institute of South East Asian Studies.
232
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sylado, R. (2001). Ca-Bau-Kan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Toer, P. A. (2003). Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara. Toer, P. A. (2003). Tempo Doeloe. Jakarta: Lentera Dipantara. Williams, L. (1960). Overseas Chinese Nationalism. Illonois: The Free Press. Willmott, D. (2009). The National Status of the Chinese in Indonesia in 1900-1958. Shenton, Singapore: Equinox Publishing Asia. Yang, T. P. (2005). Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Penerbit Niagara. Zizek, S. (2010). Living in the End Times. New York: Verso. Zizek, S. (2008). The Plague of Fantasies. London: Verso Books. Zizek, S. (1989). The Sublime Object of Ideology. New York: Verso Books. Zizek, S. (2008). Violence. New York: Picador.
Jurnal dan Makalah : Dharma, B. (2010). Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman. Makalah dalam Temu Sastrawan Indonesia III. Jedamski, D. (1992). Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep's Clothing. Archipel , 2346.
Sumber internet : https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ve d=0CDYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.tatanusa.co.id%2Ftapmpr%2F66TAPMP RSXXV.pdf&ei=MWKTUZy6NMTRrQfv64H4DA&usg=AFQjCNESuksop2r7ZgNMJfid P6JvnW1H8g&sig2=hnVda4O7wVplrqF2pGMc1Q&bvm=bv.46471029,d.bmk (diakses pada tanggal 20 Mei 2013)
233