MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 59/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PRESIDEN (VIII)
JAKARTA SELASA, 8 NOVEMBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 59/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23], [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 22], [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)], [Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3. 4.
Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016) Yayasan Satu Keadilan (Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016) Leni Indrawati, Hariyanto, Wahyu Mulyana (Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016) Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera (DPP SBSI), Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dkk (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016)
ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Presiden (VIII) Selasa, 8 November 2016 Pukul 09.38 – 12.56 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Arief Hidayat Anwar Usman Suhartoyo I Dewa Gede Palguna Patrialis Akbar Wahiduddin Adams Maria Farida Indrati Aswanto Manahan MP Sitompul
Mardian Wibowo Yunita Rhamadani Cholidin Nasir Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016: 1. Muhammad Daud Berweh B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016: 1. Prasetyo Utomo C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016: 1. M. Pilipus Tarigan 2. Benny Hutabarat D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016: 1. Eggi Sudjana 2. Agus Supriadi 3. Netty Saragih E. Pemerintah: 1. Hadiyanto 2. Ken Dwijugiasteadi 3. Suryo Utomo 4. Astera Prima 5. Tio Siahaan 6. Rina 7. Awan Nurmawan F. Ahli dari Pemerintah: 1. Romli Atmasasmita 2. Zainal Arifin Mochtar 3. Refli Harun 4. Saldi Isra
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.38 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 57, 58, 59, dan 63/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Saya cek kehadirannya. Pemohon Nomor 57? 2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Pemohon Nomor 57 dihadiri Kuasanya Muhammad Daud Berweh. 3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Nomor 58?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: PRASETYO UTOMO
PERKARA
NOMOR
58/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Perkara Nomor 58 dihadiri Kuasanya, saya Prasetyo Utomo. 5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Nomor 59?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: M. PILIPUS TARINGAN
NOMOR
59/PUU-
Perkara Nomor 59 dihadiri Kuasanya Pilipus Taringan dan Benny Hutabarat, Yang Mulia. Terima kasih. 7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Untuk Perkara Nomor 63, Pemohon belum hadir ini? Sudah? Sudah dicek? Tidak ... belum hadir, ya? Baik, kalau begitu kita langsung lanjutkan dari DPR tidak hadir. Dari Pemerintah? Silakan, Pak Sekjen.
1
8.
PEMERINTAH: HADIYANTO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah hadir bersama kami adalah Bapak Ken Dwijugiasteadi (Direktur Jenderal Pajak), Saudara Awan Nurmawan (Staf Ahli), kemudian Bapak Suryo Utomo juga Staf Ahli, Pak Prima (Staf Ahli), Bu Rina (Kepala Biro Hukum), Bu Tio (Kepala Biro Bankum), serta dari teman ... rekan-rekan dari Kementerian Hukum dan HAM. Dan saya sendiri Hadiyanto (Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan). Yang Mulia, izinkan kami juga bersama kami hadir ... telah hadir Ahli dari Pemerintah yaitu Bapak Prof. Romli Atmasasmita sebagai Ahli Hukum Pidana, serta Bapak Zainal Arifin Mochtar sebagai Ahli Hukum Tata Negara. Nanti akan menyusul Bapak Refli Harun (Ahli Hukum Tata Negara) juga akan memberikan keterangan Ahli. Selanjutnya untuk Prof. Saldi Isra (Ahli Hukum Tata Negara) juga akan memberikan keterangan melalui video converence, Yang Mulia. Demikian, Yang Mulia, kami sampaikan.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Sebelum kita dengar keterangannya, kita akan minta disambungkan ke Universitas Andalas. Baik. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, Prof. Saldi.
10.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Waalaikumsalam wr. wb., Yang Mulia. Selamat pagi.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah ada Rohaniawan yang akan memandu sumpah di situ?
12.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Alhamdulillah, sudah ada, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kita mulai. Untuk Prof. Romli dan Pak Zainal nanti dulu. Kita akan selesaikan dulu Prof. Saldi melalui video conference. Baik. Prof. Saldi, kita ambil sumpahnya terlebih dahulu supaya bisa (...)
2
14.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Siap, Yang Mulia.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Yang mendampingi, Silakan. Baik, saya persilakan Yang Mulia Pak Wahiduddin untuk memandu sumpah Prof. Saldi.
16.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Untuk Ahli Prof. Saldi Isra.
17.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Ya, Yang Mulia.
18.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Ikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan.
19.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Ya.
20.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
21.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih. Saya persilakan, Prof. Saldi untuk waktu 15 menit. Nanti akan langsung kita lanjutkan untuk berdiskusi dengan Prof. Saldi terlebih dahulu, baru kita Ahli yang hadir di sini. Silakan, Prof., sekitar 15 menit.
3
23.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Om swastiastu. Sekalipun bukan pertama kali diterapkan di Indonesia kebijakan program pengampunan pajak melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak mendapat perhatian lebih bilamana dibandingkan dengan kebijakan serupa pada waktu-waktu sebelumnya. Sebelum pernah juga dilakukan kebijakan pengampunan pajak tahun 1964, pengampunan pajak tahun 1984, dan kebijakan sunset policy tahun 2008. Perhatian lebih ini bukan saja karena target utama dan lingkupnya yang lebih luas, melainkan juga disebabkan bentuk hukum pengaturan yang lebih kuat. Jika sebelumnya hanya diatur oleh peraturan yang lebih rendah dari undang-undang, misalnya penetapan presiden atau keputusan presiden, kebijakan tahun 2016 langsun dimuat dalam undang-undang. Artinya, secara hukum terjadi penguatan dari aspek bentuk aturan dan dasar hukum yang digunakan dalam menjalankan program ini. Pada titik tertentu, penguatan bentuk hukum pengaturan tertentu tentu saja memiliki korelasi dengan menguatnya tingkat kekhawatiran akibat dari kebijakan yang dikeluarkan. Salah satu wujud kekhawatiran tersebut termanifestasi dalam pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 kepada Mahkamah Konstitusi. Serangkaian permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 yang tengah diperiksa Mahkamah Konstitusi ini mempersoalkan sejumlah ketentuan yang dapat dikatakan sebagai jantung dari undang-undang ini, misalnya Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, dan lainlain. Ketentuan-ketentuan tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945, Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setidaknya terdapat 8 dalil-dalil pokok yang dikemukakan oleh Pemohon, diantara dalil yang dikemukakan ikhwal kepastian hukum yang adil bagi wajib pajak yang taat, kepastian hukum terkait dengan akses terhadap informasi yang bersumber dari surat pernyataan bagi proses penegakan hukum, kepastian hukum yang terkait dengan uang tebusan, kepastian terkait dengan sifat memaksa pajak yang diatur dengan undang-undang sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945. Mengikuti dan melacak serangkaian proses sidang sebelumnya, lembaga pembentuk undang-undang dalam hal ini wakil pemerintah dan wakil DPR sesungguhnya telah berupaya menjelaskan berbagai alasan dan pertimbangan mengapa undang-undang ini akhirnya dibentuk.
4
Mengikuti dalam acara proses tersebut, pembentuk undangundang berupaya menjelaskan mulai dari pertimbangan, sistem pengaturan pajak, dan latar belakang pembentukannya sampai pada soal-soal tujuan dan manfaat yang diterapkan undang-undang a quo. Bahkan dalam posisi pembentuk undang-undang, wakil pemerintah dan DPR pun berupaya untuk mengemukakan dampak yang akan ditimbulkan bilamana permohonan ini dikabulkan. Berbagai pertimbangan yang disampaikan Pemerintah kiranya dapat dijadikan pertimbangan untuk dinilai … menilai konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Dalam posisi demikian untuk lebih memberikan perspektif dalam memutus permohonan ini, perkenankan saya menerangkan lebih jauh kebijakan pengampunan pajak tersebut dengan berangkat dari pertanyaan, apakah kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 telah menjamin adanya kepastian hukum, terutama pada level norma yang terkandung di dalamnya? Apakah undang-undang a quo betul-betul dapat memberikan kepastian terhadap berbagai dimensi yang dipermasalahkan Pemohon, dimensi kepastian dalam hubungan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, dimensi kepastian dalam penerapan uang tebusan, dimensi kepastian pemberlakuan yang sama di hadapan hukum, dan dimensi kepastian atas data dan informasi surat pernyataan baik bagi wajib pajak maupun bagi proses penegakan hukum? Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Jawaban atas pertanyaan terkait dengan kepastian hukum yang adil di atas memang tidak mudah, lebih-lebih ketika Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat ikhwal kepastian hukum dirumuskan para pengubah konstitusi tidak membahas begitu dalam tentang apa yang mereka maksud dengan frasa kepastian hukum tersebut. Sehingga cara menemukan makna kepastian hukum dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual. Oleh karena itu, untuk mengawali keterangan ini akan di-review kembali ajaran atau doktrin kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum atau ide des recht. Gustav Radbruch sebagaimana telah diterima secara luas oleh komunitas ilmu hukum mengemukakan bahwa cita hukum ditopang oleh 3 nilai dasar, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan cita hukum yang muncul terakhir ketika hukum modern mulai muncul dengan segala sifat bawaannya, seperti hukum itu mesti dituliskan, dipositifkan, dan hukum itu menjadi milik publik. Kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri, dimana kepastian itu mencakup 4 hal. Pertama bahwa hukum itu positif, artinya ia adalah dituliskan dalam bentuk peraturan perundangundangan. Kedua bahwa hukum itu didasarkan pada fakta bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti kemauan baik, kesopanan. Ketiga fakta bahwa itu harus dirumuskan 5
dengan cara yang jelas, sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga dijalankan. Keempat, hukum positif tidak boleh sering berubah-ubah. Lebih jauh bagi kalangan penganut paham positifisme hukum, kepastian hukum merupakan kondisi dimana hukum menjamin adanya kepastian dan bisa diprediksi. Setiap tindakan mengambil keputusan maupun hakim harus merujuk pada peraturan-peraturan yang ada. Dalam konteks ini kepastian hukum diukur sejauh mana unsur prediktibilitas dan otoritas dijamin keberadaannya dalam hukum itu sendiri. Lebih jauh salah seorang pengkaji hukum di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang juga Direktur van Vollenhoven Institute Prof. Jan Michiel Otto mengatakan bahwa kepastian hukum yang nyata (real legal certainty) sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis yang di dalamnya mempersyaratkan diantaranya tersedianya aturan-aturan hukum yang jelas. Terkait dengan kepastian hukum Lon Fuller sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengemukakan diantaranya kepastian hukum itu adalah suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Dalam arti tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. Terkait dengan kepastian hukum dalam sejumlah putusanputusan pengujian undang-undang yang menetapkan Pasal 28D UndangUndang Dasar 1945 sebagai batu ujinya, Mahkamah Konstitusi memberikan panduan terkait dengan frasa kepastian hukum dalam konstitusi, baik berkenaan dengan hukum materil maupun hukum formil. Pertama kepastian hukum dalam konteks pembentukan hukum materil mengharuskan rumusan undang-undang tidak boleh menimbulkan penafsiran berbeda dan membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Bisa dirujuk Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Dua. Kepastian hukum dalam konteks pembentukan hukum formil menempatkan kepastian hukum sebagai kepastian yang tidak harus atau mesti diukur secara matematis, melainkan juga dapat diukur dari ketersedianya kontrol terhadap pelaksanaan hukum tersebut oleh aparat penegak hukum. Bisa dibaca dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018//PUU-IV/2006. Konstruksi berpikir Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan kepastian hukum dalam pembentukan undang-undang melalui pengujian sejumlah undang-undang sebelumnya sejalan dengan berbagai ajaran hukum sebagaimana disinggung di atas, dimana kepastian hukum itu setidaknya menyangkut empat hal. Yaitu pertama, bentuk pengaturan. Apakah hukum tersebut telah dituangkan dalam bentuk hukum yang tepat? Kedua, perumusan norma. apakah norma undang-undang yang dibentuk telah disusun secara jelas dan tidak multitafsir? Dan apakah 6
norma tidak diubah setiap saat sehingga menimbulkan kebingungan? Ketiga, konsistensi antar norma, baik vertikal maupun horizontal. Apakah norma yang dibentuk telah sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak bertabrakan dengan norma setingkat dengannya? Dan keempat, keberlakuannya. Norma hukum harus diberlakukan secara perspektif dan diberlakukan sesuai dengan … secara proporsional. Setidaknya empat indikator tersebut dapat digunakan untuk menilai dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, khususnya terkait dengan dugaan ketidakpastian hukum yang dikandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Dalam hal keempat indikator tersebut terpenuhi, sulit mengkualifisir bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berbagai aspek sebagaimana dikemukakan Pemohon. Lebih lanjut masing-masing indikator tersebut akan dielaborasi lebih jauh dalam kaitanya dalam permohonan ini. Pertama, mengenai bentuk hukum. Pengaturan kebijakan pengampunan pajak memilih bentuk undang-undang merupakan pilihan yang tepat dan memiliki posisi sangat kuat karena telah mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan lain. Lebih jauh juga telah sesuai dengan mandat Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan agar pengaturan terkait pajak dan pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam undang-undang. Pada saat yang sama, pilihan bentuk hukum tersebut juga berkolerasi dengan kepastian hukum bagi setiap warga negara sebagai subjek yang dituju oleh undangundang tersebut. Sebab baik tindakan pengampunan pajak, perlindungan terhadap informasi pajak dilindungi oleh undang-undang. Kedua, terkait dengan perumusan norma. Sejumlah norma yang dipersoalkan Pemohon meliputi norma yang disebutkan pada awal keterangan ini, sesungguhnya tidak mengandung penafsiran ganda. Pasal 1 angka 1 mendefinisikan pengampunan pajak dengan rumusan yang jelas. Begitu juga misalnya Pasal 1 angka 7 pun memberikan definisi uang tebusan secara tegas dan tidak multitafsir. Dalam arti, uang tebusan lebih sebagai konsekuensi dari adanya pengampunan. Demikian pula dengan Pasal 3 dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam perspektif perumusan norma tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa perumusan norma seperti yang didalilkan Pemohon menimbulkan keraguan karena dirumuskan secara multitafsir. Semuanya dirumuskan secara jelas, tegas, dan pasti siapa pihak-pihak yang dituju di dalamnya. Dan yang lebih penting, semua norma ditujukan untuk tujuan yang jelas sehingga mampu memenuhi asas kejelasan tujuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2011 … Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ketiga, konsistensi norma. Ikhwal ini dapat dilihat di dalam dua rupa, yaitu konsistensi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan harmonisasi dengan peraturan 7
perundang-undangan lainnya. Terkait dengan konsistensi UndangUndang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 23, pertanyaan yang mesti dijawab adalah apakah pengampunan pajak sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Frasa bersifat memaksa merupakan sifat yang dilekatkan kepada pajak dan pungutan lainnya yang dilakukan kepada warganya, dimana karena sifat memaksanya ketika negara hendak membebani warga negara dengan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa, pengaturannya mesti melalui undang-undang. Pertanyaan berikutnya, mengapa mesti undang-undang? Dalam hal ini Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengandung pesan, segala kebijakan yang membebani rakyat harus terlebih dahulu meminta persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan. Persetujuan rakyat tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaturan pajak dalam suatu undang-undang dan pembentukannya atau surat sah persetujuan lembaga perwakilan sebagai representasi pajak. Secara gramatikal, lawan kata dari frasa bersifat memaksa adalah bersifat tidak memaksa. Dalam arti, negara bisa saja melakukan pungutan yang bersifat memaksa dan bisa juga pungutan yang tidak bersifat memaksa. Jika dilakukan pungutan yang memaksa seperti pajak, maka harus terlebih dahulu diatur dengan undang-undang. Sebaliknya juga pungutan tidak bersifat memaksa atau sukarela, maka tidak ada keharusan untuk mengaturnya lebih dulu dengan undang-undang. Sebab pungutan yang tidak memaksa akan sangat tergantung pada kerelaan warga negara untuk memberikan kepada negara. Jadi lawan kata frasa bersifat memaksa bukan kata mengampuni yang didalilkan oleh Pemohon, dimana Pemohon menyatakan sifat pajak adalah memaksa, bukan mengampuni. Frasa yang digunakan Pemohon tersebut tidak dapat ditempatkan ... telah ditempatkan pada pemahaman yang bersifat mengikat Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara tidak tepat karena memperhadapkan sesuatu yang tidak berimbang atau tidak apple to apple. Justru apabila dianalisis lebih jauh menggunakan pendekatan gramatikal, pengampunan pajak sesungguhnya cocok dengan sifat memaksa dari pajak. Mengapa demikian? Sebab oleh karena sifat memaksa itulah, kemudian muncul apa yang dikenal dengan pengampunan. Pengampunan itu merupakan konsekuensi logis dari langkah melonggarkan sifat memaksa yang dimiliki pajak untuk waktu dan tujuan tertentu yang dikendaki oleh pembentuk undang-undang. Yang keempat. Mengenai pemberlakuan norma, demi menjamin kepastian ... kepastiannya, norma hukum tidak boleh diberlakukan surut. 8
Hal ini juga menjadi bagian yang telah dipenuhi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Sebab pemberlakuannya berjalan secara prospektif, yaitu sejak ditetapkan. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, hadirin sekalian, wakil Pemerintah, wakil DPR, Pemohon, dan Para Ahli. Selanjutnya, hendak ... saya juga hendak menyinggung ihwal cita kemanfaatan hukum yang dikandung oleh Undang-Undang Pengampunan Pajak. Setelah membaca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 secara komprehensif, terdapat cita-cita jangka panjang yang hendak diwujudkan, yaitu mereformasi sistem perpajakan dengan memperluas basis data wajib pajak. Dengan menjalankan program ini, tentu Pemerintah akan memiliki tambahan sumber pendapatan negara dari sektor pajak, dari wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak. Secara bersamaan, hal itu juga menguntungkan bagi perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional untuk selanjutnya akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, sekalipun dalam sudut pandang penerimaan negara dinilai berkurang karena adanya pengampunan, namun untuk jangka panjang justru menguntungkan. Lagipula jika tidak ada pengampunan, Pemerintah belum tentu memperoleh tambahan penerimaan dari sektor pajak, dari pihak-pihak yang selama ini memang belum atau tidak membayar pajak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 cukup kuat alasan mengatakan bahwa undangundang ini mempertemukan antara asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan. Mengapa dikatakan memenuhi asas demikian? Karena dengan adanya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016, yang jelas bagi wajib pajak yang selama ini bermasalah dalam pelaporan pajaknya, baik karena tidak tahu, mungkin saja ada yang disengaja tidak membayar pajak. Dengan ada undang-undang ini, mereka memiliki kepastian. Sementara di sisi lain, negara juga memperoleh manfaat dari kebijakan ini. Jadi, saya hendak mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 menurut pandangan saya, mempertemukan dua tujuan hukum, yaitu kemanfaatan dan kepastian hukum itu sendiri. Demikianlah keterangan ini disampaikan, semoga dapat membantu Majelis dalam memeriksa dan memutus permohonan ini. Terima kasih. Wabillahi taufik walhidayah. Wassalamualaikum wr. wb. Selamat pagi. Om shanti shanti om.
9
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Saldi. Silakan, masih di situ untuk kita lanjutkan diskusi. Dari Pemerintah, ada yang perlu diklarifikasi atau dimintakan penjelasan lebih lanjut kepada Ahli Prof. Saldi?
25.
PEMERINTAH: HADIYANTO Cukup, Yang Mulia, tidak.
26.
KETUA: ARIEF HIDAYAT di (...)
27.
Cukup, baik. Ini Kuasa Perkara Nomor 63 sudah hadir, ya? Tolong
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: AGUS SUPRIYADI
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Hadir, Yang Mulia. 28.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Hadir, ya?
29.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: AGUS SUPRIYADI
Saya sendiri Agus Supriyadi, Yang Mulia. 30.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Ini Kuasa Nomor 63 juga? Oh, ya, baik.
31.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: AGUS SUPRIYADI
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Ya, Nomor 63 juga. 32.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Lain kali, tolong jangan terlambat, ya. Kita mulai sekarang, kalau Pemerintah tidak ada. Dari Pemohon, saya persilakan. Ada yang akan dimintakan klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut dalam ... oleh
10
anu ... apa yang sudah disampaikan oleh Ahli Prof. Saldi? Perkara Nomor 57? 33.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Oke, baik. Terima kasih, Yang Mulia. Ahli tadi sudah ... apa namanya ... menjelaskan banyak hal terkait dengan posisi ... apa namanya ... hukum ketatanegaraan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty. Nah, yang saya tanyakan, pertama, tentu terkait dengan sifat memaksa tadi, ya. Nah, sifat memaksa dalam konteks relasi ketatanegaraan yang kemudian diimplementasikan ke dalam undangundang, apakah dalam konteks tersebut ada satu alasan yang jelas, sehingga kemudian ditafsirkan menjadi mengampuni? Karena dalam pemahaman kami, tentu memaksa itu dalam konteks undang-undang berarti undang-undang kemudian harus dijalankan secara ... apa namanya ... utuh untuk menjalankan Pasal 23 tadi yang sifat memaksa. Itu mungkin pertanyaan dari Nomor 57, Yang Mulia. Terima kasih. 34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pemohon Nomor 58, silakan.
35.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: PRASETYO UTOMO
PERKARA
NOMOR
58/PUU-
Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Mohon Ahli dapat memperjelas lagi ketika tadi Ahli uraikan bahwa kepastian hukum itu harus mengingat empat hal, hukum positif ... yang keempat adalah hukum positif tidak perlu ... tidak selalu berubah-ubah atau tidak perlu berubah-ubah dan dikaitkan dengan tidak boleh mengandung putusan yang bersifat ad hoc. Nah, mengenai tax amnesty ini sendiri pemberlakuannya kan, ada jangka waktunya, apakah itu tidak bersifat ad hoc? Lalu apakah juga tidak berubah kemudian hukum positif itu karena jangka waktunya berakhir, maka berakhir pula ketentuan tersebut? Terima kasih. 36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Untuk Perkara Nomor 59, ada? Silakan.
11
37.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: M. PILIPUS TARINGAN
NOMOR
59/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Kepada Ahli, terkait Pasal 20 dan seterusnya tentang kepastian bahwa wajib pajak yang mengikuti tax amnesty tidak akan dilakukan penuntutan penyidikan terhadap perkara paja ... pidana pajak dan perkara pidana lainnya. Nah, bagaimana jika diketahui bahwa dana yang dilakukan diikuti dengan tax amnesty tersebut merupakan hasil kejahatan, baik itu korupsi, trafficking, narkoba, dan lain-lain sehingga dengan mengikuti tax amnesty tersebut, maka tidak akan dilakukan lagi penyidikan dan penuntutan untuk pemidanaan lainnya. Pandangan Ahli bagaimana terhadap terkait dengan pasal tersebut? Demikian, terima kasih, Yang Mulia. 38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Perkara Nomor 63, ada? Silakan, Pak Eggi.
39.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Maafkan agak terlambat, tapi logika hukumnya saya bisa pahami. Di dalam hal yang perlu ditanyakan pada Ahli bahwa kita sudah membahas beberapa sebelum ini dengan Ahli-Ahli yang lain yang belum terjawab secara konkret menurut ilmu hukum adalah dengan hadirnya Undang-Undang Tax Amnesty ini, Nomor 11 Tahun 2016 itu menimbulkan satu ketidakpastian hukum bagi yang lain, misalnya Undang-Undang tentang KPK, Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Informasi Publik yang banyak terabaikan pasal-pasal di sana dengan hadirnya undang-undang ini, itu satu persoalan serius yang terutama di Pasal 20, ya, dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini. Kemudian yang kedua, dari sisi perspektif hukum ekonominya juga, itu seolah-olah dalam pengertian penjelasan sangat bermanfaat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 ini dan dilihat dengan animo yang begitu banyak. Padahal kita tahu nilai kebenaran itu bukan karena jumlah. Kebenaran atau kesalahan itu ada substansinya, bukan banyak yang ikut atau tidak ikut, begitu. Yang menjadi masalah dari segi hukumnya adalah hukum itu kan, harus ada muatan filosofis, muatan sosioligis, muatan historis, dan baru muatan yuridisnya, begitu lho. Nah, dikaitkan dari komparatif itu, saya terutama memahaminya undang-undang ini justru melindungi yang sifatnya uang-uang tidak halal atau hasil dari money laundry, narkoba, korupsi yang ada di luar negeri hanya di-declare 2%, kemudian setelah ini 3%, terakhir 5%. Bayangkan jika konsistensi hukum pajak yang harus dijalankan secara historis ya, kita lihat ya, harusnya hukum pajaknya itu yang sudah 12
ada yang dijalankan dengan ketat itu jumlah uang yang didapat oleh hasil pekerjaan yang begitu berat ya, tapi perlu kerajinan, makanya saya bilang ini Pemerintah pemalas, kenapa tidak dilaksanakan undangundang yang sudah ada yang justru kedatangan uang jauh lebih banyak, 2% saja kemarin katanya sudah lebih Rp100-an trilliun, itu baru 2%, apalagi dijalankan undang-undang yang sebelumnya yang harusnya dijalankan, gitu. Nah, saya kira pandangan-pandangan Ahli yang diharapkan secara objektif jangan kalian Para Ahli melakukan bunuh diri intelektual, gitu lho. Intelektual kalian, kalian bunuh dengan kepentingankepentingan sesaat, tidak objektif, tidak sistematis, dan tidak toleran kepada nilai-nilai kebenaran itu sendiri. Terima kasih. 40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Eggi. Ahli sudah bisa mendengar seluruhnya, ya? Kita tambah dengan Hakim? Cukup, Hakim. Baik. Silakan, dari Hakim tidak ada. Prof. Saldi.
41.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih Para Kuasa Hukum. Ada empat pertanyaan, tapi pertanyaan keempat itu ada dua substansi di dalamnya. Saya mulai memberikan penjelasan soal pertanyaan pertama. Sifat memaksa dalam konteks ada satu alasan yang jelas untuk mengampuni. Saya melihat begini, salah satu fungsi hukum apalagi dalam konteks hukum publik itu kan jelas memaksa. Nah, kalau dikaitkan kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, ini kan bisa dibaca sebagai terobosan yang dilakukan oleh … apa … pemerintah untuk menghadapi kebuntuan dalam wajib pajak yang selama ini dianggap bermasalah. Jadi saya menganggap undang-undang itu sebetulnya tidak menghilangkan sifat memaksa sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi, dia kemudian memaksa orang yang memang dituju atau sasaran pembentuk undang-undang ini. Kalau mereka kemudian tidak melakukan itu, kan kita tahu apa yang akan terjadi setelah undang-undang ini diberlakukan. Dan soal kepastian hukum yang berubah-ubah, pertanyaan kedua, dan tadi saya mengutip pendapat Lon Fuller. Kan tidak boleh ada aturan … apa namanya … kebijakan yang ad hoc. Kalau dibaca pendapat Lon Fuller itu soal kepastian hukum, dia mengatakan, dia memperhadapkan soal pertama itu harus dalam bentuk peraturan. Jadi sistem hukum yang harus mengandung peraturan-peraturan. Jadi saya menganggap ini sifatnya regeling atau bentuknya peraturan perundangundangan dan tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan 13
yang ad hoc. Nah, ini sebetulnya kalau dia dibuat dalam policy pemerintah yang bentuknya berapa … apa namanya … beschikking, nah itu yang dikatakan ad hoc. Jadi aturan-aturan yang dibuat ini bukan terkategori mengandung standar keputusan karena ini dia merupakan peraturan atau regeling sebagaimana sifat peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling bukan beschikking. Jadi saya menganggap ini tidak berbenturan dengan … apa namanya … keputusan yang bersifat ad hoc sebagaimana yang dikatakan oleh Lon Fuller tadi. Soal Pasal 20 ini memang pasal yang banyak diperdebatkan. Saya termasuk orang yang berpandangan Pasal 20 ini tidak menghilangkan … apa namanya … soal kemungkinan uang itu didapat dengan … apa namanya … cara yang tidak sah. Yang dilindungi di sini kan lebih kepada laporan yang dikait … yang terkait … yang disampaikan dalam proses amnesti pajak. Tapi kalau aparat penegak hukum lain, memiliki data lain, itu sepertinya tidak menutup ruang untuk melakukan penegakan hukum kalau uang-uang tersebut memang kemudian berasal dari hasil kejahatan, korupsi, narkoba, dan segala macam. Itu pandangan saya terhadap Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Terakhir ini soal … apa namanya … soal menimbulkan ketidakpastian bagi yang lain. Nah, saya tadi mengatakan Kuasa Hukum Perkara Nomor 63, saya tadi mengatakan, kalau dilihat undang-undang ini mempertemukan 2 hal, kepastian hukum dengan kemanfaatan. Lalu kalau kemudian dikaitkan dengan orang yang dulu membayar pajak dengan undang-undang pajak, sekarang tiba-tiba ada orang membayar pajaknya ditagihnya dengan cara sederhana di Undang-Undang Amnesti Pajak. Nah, saya menganggap dulu itu memang dibuat dalam UndangUndang Pajak dan ini yang saya katakan tadi kan ini menjadi terobosan pemerintah untuk memperbesar jumlah wajib pajak dan ini tentu dalam jangka panjang akan memberikan manfaat yang besar kepada pemerintah. Nah, titik yang mungkin bisa diperdebatkan memang soal keadilan. Tapi saya menjelaskan tadi ini soal kepastian dan kemanfaatan. Keadilan itu, itu kan bisa diaggap relatif. Mungkin bagi orang yang sudah pernah membayar pajak ini dianggap tidak adil dan mereka bisa menganggap bahwa kok kalau begitu kita bisa menunggu saja amnesti pajak berikutnya. Yang namanya amnesti itu kan sesuatu yang tidak mungkin terus-menerus, makanya waktunya dibataskan … dibatasi dalam undang-undang ini. Soal … apa namanya … soal jumlah dan segala macam kalau di … apa … kalau yang dikatakan oleh kuasa hukum yang terakhir, mungkin kalau saya, saya percaya kalau dilakukan dengan Undang-Undang Pajak yang jumlah persentasenya lebih besar, tentu akan lebih besar. Tapi itu kan sudah berkali-kali dicoba dan tidak berhasil. Makanya kemudian ada
14
inisiatif untuk membuat Undang-Undang Amnesti Pajak yang ini. Terima kasih. 42.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Silakan Yang Mulia Prof. Saldi, ada dari Hakim Yang Mulia Pak Suhartoyo. Baik.
43.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia dan Prof. Saldi yang saya hormati. Begini, Prof. Berkaitan dengan Pasal 20, kalau Anda mengatakan bahwa itu terbuka kemungkinan apabila memang ada tindak pidana lain yang datanya dari luar, yang kemudian ditemukan bisa dijadikan acuan untuk memproses tindak pidana lain tersebut yang dimaksudkan. Kenapa dalam konteks ini saya ingin menanyakan keharmonisan Pasal 20 dengan Pasal 21 yang Pasal 21 ini sebenarnya lebih kepada memperjelas atau memperluas daripada Pasal 20 itu sendiri seperti misalnya kalau memang itu terbatas pada internal perpajakan, coba diperhatikan Pasal 21, kenapa menteri dan lain sebagainya pejabat ini tidak boleh memberikan data kepada siapa pun pihak lain? Kalau memang konteksnya adalah untuk dalam konteks wajib pajak di dalam bidang perpajakan kenapa ini ada pembatasan yang diangkat di Pasal 21 huruf 1, huruf 2, dan huruf 3. Kalau memang ini bukan untuk mengantisipasi bahwa data-data dan dokumen-dokumen tersebut dimungkinkan untuk pembuktian dalam perkara lain yang kemudian yang sebenarnya ini sudah ter-cover yang secara tersirat ada di Pasal 20 sebenarnya. Saya minta pandangan Prof. Saldi jangan nanti kemudian … ini juga mungkin akan saya tanyakan kepada Ahli yang lain nanti kalau berkaitan para Ahli menjelaskan tentang ini. Terima kasih, Prof.
44.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Yang terakhir dari Yang Mulia Pak Patrialis, saya persilakan.
45.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Prof. Saudara Ahli.
46.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Ya, Yang Mulia.
15
47.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Jadi, kita memang ingin agar di persidangan ini bisa terungkap keragu-raguan masyarakat, ya. Tentu juga keterangan Ahli ini sangat dibutuhkan. Saya melanjutkan apa yang disampaikan oleh Pak Suhartoyo bahwa di dalam undang-undang ini sama sekali tidak menafikan kehadiran undang-undang yang lain, artinya undang-undang yang lain itu masih dijamin kepastian hukumnya bahwa undang-undang itu masih berlaku, ya. Nah, bagaimana halnya dengan undang-undang ini yang melarang ya yang melarang pemberian informasi-pemberian informasi kepada pihak penegak hukum lainnya, sementara dalam undang-undang yang lain itu masih berlaku? Apalagi misalnya dengan kehadiran UndangUndang Korupsi … Antikorupsi dengan hadirnya KPK. Kalau KPK itu mempunyai hak koordinasi dan ada dan lain itu bagaimana? Supervisi, bahkan. Dan undang-undang itu enggak … enggak dicabut. Jadi, saya ingin kepastian hukum terhadap keberlakuan undang-undang yang lain. Terima kasih.
48.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Silakan, Prof. Saldi.
49.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Yang Mulia, sebelum dijawab saya kira boleh diberi hak untuk pendalaman sedikit saja. 50.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Silakan, Pak.
51.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
NOMOR
63/PUU-
Ini karena ini kita kan diuji (…) 52.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
53.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Ahli. 16
54.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Ya.
55.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Saya senang dengan kejujuran Anda tadi mengatakan bahwa jika Undang-Undang Pajak yang sebelum ini atau belum tax amnesty ini diberlakukan mengakui pendapat dari saya berkata tentang jauh akan lebih banyak yang didapat jika undang-undang itu dilaksanakan sebaikbaiknya dan Anda mengakui ya jadi lebih banyak, tapi Anda mengatakan kemudiannya adalah sudah dicoba namun tidak berhasil. Saya kira inilah yang saya maksud bunuh diri intelektual itu, artinya mengakui bahwa itu secara ilmu hukum Undang-Undang Pajak yang lalu itu jauh lebih baik dan bisa efektif, tapi beralih kepada argumentasi pelaksanaannya. Kalau beralih kepada pelaksanaannya, mari kita uji. Kan, ini ada dirjen pajak. Apa yang sudah dilaksanakan yang serius dan konkret? Kita tahu ada kasus Gayus dulu, mana pelaksanaannya? Ada kasus yang BCA, kasus Djarum juga pernah saya ingat ya, begitu banyak pajaknya yang tidak ditegaskan untuk diberlakukan. Jadi, janganlah berpendapat yang tidak faktual. Kita ini intelektual, judicial review itu kan, tentang intelektualitas kita di sini. Jadi, tolong argumentasi yang lebih konkret. Anda sisi lain mengakui bahwa kalau Undang-Undang Pajak yang lama dijalankan berhasil jauh lebih banyak didapat uangnya. Kalau keduanya Anda bilang ini terobosan. Saya belajar ilmu hukum, mungkin saya kurang pengetahuannya ya karena bukan ahlinya, tapi bicara hukum itu enggak ada terobosan, itu politik. Kalau politik, oke, manuver namanya. Kalau hukum kok terobosan, itu bagaimana itu, ya. Hukum ya pasti berlaku, enggak berlaku cabut dulu, gitu lho. Jangan pakai istilah lex specialis segala macam ya, terus berargumentasi kepada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lagi, itu saya kira mengada-ada. Inilah yang … Yang Mulia, mohon definisi yang kaitan bunuh diri intelektual, saya kira terbukti di sini. Terima kasih. 56.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ini sudah (...)
57.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Mohon pendapatan, Yang Mulia. Singkat saja, Yang Mulia, dari Pemohon Perkara Nomor 57. 17
58.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ini yang terakhir, ya.
59.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Ya, ya, Yang Mulia. 60.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ini kita waktunya, ada sidang lagi jadi terbatas.
61.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Ya, oke, baik, terima kasih, Yang Mulia. Tadi Ahli terkait dengan sifat memaksa ya, saya tidak mendapatkan satu … apa namanya ... rasionalisasi jawaban yang tepat, ya karena dalam konteks memaksa, dalam pemahaman kami juga berangkat dari beberapa … apa namanya ... literatur yang sudah kami pelajari, memaksa itu ya berarti memaksa, tidak ada satu situasi apa pun untuk kemudian diberikan amnesti. Berbeda amnesti untuk urusan yang lain, tidak dengan terkait dengan hal yang pajak, seperti itu. Itu yang pertama. Yang kedua. Saya belum mendapatkan juga, tadi ada satu pertanyaan yang menarik, terkait dengan Pasal 20, ini kan kami coba ujikan dengan Pasal 28D ayat (1), “Kurang-lebih setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.” Nah, jadi Pasal 20 soal data dan informasi yang kemudian tidak bisa dijadikan dasar bagi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, kan kalau kita koneksi kan dengan penjelasan pasalnya. Ada tidak ... kata tindak pidana lain, nah seperti itu. Itu yang kami maksudkan, kemudian itu mengandung suatu ketidakpastian hukum. Kenapa? Karena ada situasi, dimana undang-undang ini memberikan perlakuan yang berbeda. Misalnya, si A dia membayar ... mengikuti tax amnesty, kemudian dia mendapatkan perlakuan khusus seperti itu, tapi yang lain yang juga misalnya yang taat membayar pajak, tidak mendapatkan apa pun. Nah, ini dalam pemahaman kami yang kemudian menimbulkan satu situasi dimana Undang-Undang Tax Amnesty tidak memberikan suatu kesetaraan. Nah, jadi tolong kasih kami ilustrasi atau logika yang sederhana, bagaimana kemudian menarasikan sebuah proses keilmuan yang menjelaskan soal itu karena ini bagi kami yang paling fundamental, seperti itu. Terima kasih, Yang Mulia.
18
62.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Silakan, Prof. Saldi.
63.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia.
64.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Jadi perlu saya sampaikan, terlebih dahulu. Pemohon, Ahli, dan seluruhnya hadir bahwa persidangan ini kan tidak … apa namanya ... tidak harus Pemohon itu atau Ahli sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Pemohon, nanti kalau tidak sepakat, masih harus didalami bisa disampaikan di dalam kesimpulan bahwa keterangan Ahli, Anda tidak sependapat dan Anda yang benar adalah begini, nanti kita yang menilai seluruhnya ya. Baik, silakan, Prof. Saldi.
65.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Perkenankan saya menjawab pertanyaan, Yang Mulia Hakim Suhartoyo dan Hakim Patrialis Akbar, soal keragu-raguan. Saya menganggap ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 itu yang mengatakan bahwa tidak memberikan data kepada pihak lain, ini kan semacam insentif yang diberikan kepada mereka yang mengikuti tax amnsety, tapi itu tidak berarti pihak atau penegak hukum lain tidak bisa mendapatkan data, data yang dikecualikan di sini memang data yang kemudian menjadi bahan yang kemudian digunakan oleh wajib pajak yang menggunakan rezim tax amnesty dalam penyelesaian soal-soal pajak mereka. Tapi, kalau penegak hukum lain dapat data dari tempat lain yang terkait dengan kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh pembayar pajak itu, itu tidak menutup untuk dilakukan penegakan hukum kepada peserta tax amnesty. Jadi ... jadi, tidak boleh juga berpikir bahwa ini melindungi tax amnesty 100%, enggak menurut saya. Tapi memang ada soal apa ... yang dilindungi itu data yang diberikan kepada dalam … apa namanya ... dalam ikut serta dalam tax amnesty. Kemudian, soal … apa namanya ... soal penjelasan tadi, dua Kuasa Hukum, saya sudah berupaya sesuai dengan apa ... sumpah saya tadi menjelaskan, dan itu yang bisa saya jelaskan terkait dengan keberatan-keberatan yang diajukan oleh dua Kuasa Pemohon. Terima kasih.
19
66.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Prof. Saldi. Jadi seluruh keterangan dan diskusi yang harus kita dengar dari Ahli Prof. Saldi sudah kita selesaikan, sekali lagi terima kasih, Prof. Saldi, sudah selesai. Salam untuk Rektor, Dekan, dan Teman-Teman Dosen, dan Mahasiswa di Universitas Andalas.
67.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Selamat siang.
68.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Assalamualaikum wr. wb.
69.
AHLI DARI PEMERINTAH: SALDI ISRA Waalaikumsalam wr. wb.
70.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kita kembali ke persidangan di sini. Sebelum menyampaikan keterangan, saya mohon bisa maju ke depan, Prof. Romli, kemudian Pak Refly dan Pak Zainal Arifin Muchtar, silakan. Ya, silakan. Semuanya Muslim, saya persilakan, Pak Wahiduddin.
71.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Untuk Para Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
72.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
73.
KETUA: ARIEF HIDAYAT
20
Terima kasih, Pak. Silakan kembali ke tempat, Prof. Romli, Pak Refly, dan Pak Zainal. Dari tiga orang ini, siapa dulu yang harus kita dengarkan? Pak Sekjen, silakan. 74.
PEMERINTAH: HADIYANTO Prof. Romli dulu barangkali.
75.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, berturut-turut, nanti Prof. Romli, setelah itu?
76.
PEMERINTAH: HADIYANTO Prof. Romli, Dr. Zainal, kemudian Dr. Refly Harun.
77.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Silakan, Prof. Romli.
78.
AHLI DARI PEMERINTAH: ROMLI ATMASASMITA Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait. Yang saya hormati rekan saya sebagai Ahli Pihak Termohon, menyampaikan pendapat saya berdasarkan keahlian yang saya miliki sampai saat ini, mengenai pendapat terkait permohonan uji materi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Langkah pengampunan pajak dalam pandangan saya di Indonesia bukan hal yang baru, ya karena sudah terjadi ketiga kalinya hari ini, tahun 1964, tahun 1984, tahun 2008, dan juga tahun 2016. Jadi, bukan sesuatu yang baru, ya. Dan juga itu diakui oleh Pemohon bahwa Pemohon memahami pengetahuan tentang tax amnesty, saya apresiasi sekali ya, Pemohon mendalami itu. Bahkan Pemohon juga menyampaikan definisi sekaligus ya, berarti Pemohon tahu bahwa tax amnesty itu eksis, bukan tidak eksis. Bertolak dari tiga definisi yang disampaikan Pemohon, saya melihat ada tiga ciri di situ bahwa tax amnesty itu penawaran dari Pemerintah dan juga bukan ... dalam pengertian bukan harus diikuti oleh wajib pajak. Juga tujukan untuk danres kemauan kelompok pembayar pajak tertentu saja. Juga yang ketiga bahwa dengan tax amnesty melaksanakan pembayaran pajak dengan nilai tertentu, tapi dengan kompensasi dan itu universal di semua negara ada kompensasi pengampunan, immunity (imunitas) dari penuntutan dari negara. Juga 21
saya katakan bahwa memang langkah pengampunan pajak oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 bukan langkah yang tidak tepat, ganjil ya, tapi juga bukan made in Indonesia murni ya, tapi juga adalah kebijakan nasional yang memiliki tujuan tertentu dalam keadaan tertentu, ya. Nah, di sini saya katakan bahwa di dalam langkah pengampunan pajak di dalam praktik bidang keuangan perpajakan ya, sudah merupakan hukum ya, hukum yang telah diakui oleh masyarakat secara universal dan merupakan langkah yang tepat, terbaik dalam situasi tertentu, begitu kira-kira. Jadi kalau Saudara amati kemarin, keterangan Pemerintah yang saya baca juga sudah jelas Pemerintah menyampaikan latar belakang alasan-alasan, baik dari sudut analisis ekonomi dan keuangan tentang perlunya undang-undang ini, ya. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, Pemohon, dan Termohon, saya ingin menguraikan tentang apa yang saya bisa sampaikan hari ini dari beberapa masalah, tidak normatif, tapi lebih banyak pada aspekaspek yang bergerak pada (suara tidak terdengar jelas) konseptual dan filosofis. Pertama masalah kepastian hukum. Tadi berulang-ulang disampaikan juga. Menurut saya legal certainty itu sudah diakui universal ya, dalam berbagai sistem hukum di dunia dengan tujuan ketertiban, keadilan, dan kemanfaatan. Dan kepastian itu padahal melengkapi ketiga-tiganya. Di dalam konteks hukum pidana yang saya ketahui, legal certainty itu mempunyai makna pertama, norma itu harus tertulis (lex scripta). Jadi, satu-satunya pengakuan tentang hukum tertulis, lex scripta, harus ditulis. Kedua, lex stricta. Bahwa norma itu harus bisa ditafsirkan sesuai dengan apa yang ditulis. Dan ketiga, lex certa. Bahwa norma itu harus jelas dan tidak multitafsir. Dalam konteks ketiga aspek tersebut, saya menyimpulkan bahwa kepastian ad hoc itu harus diartikan dalam lingkup hukum yang tertulis, dengan lain kata tidak diakui hukum yang tidak tertulis, ini akibat dari paham Legisme. Paham ini diwujudkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana tentang asas legalitas yang mengandung tiga hal, pengakuan hukum tertulis, dilarang tafsir analogi, dan hukum tidak berlaku surut kecuali untuk keuntungan terdakwa. Dalam konteks inilah, maka saya berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak menganut paham Legisme, dalam arti bahwa tafsir terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak memutlakkan paham tersebut. Ketidakmutlakkan ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tercermin dalam alinea keempat mukadimah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) di-juncto-kan ke BAB XIV Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan ketiga Pasal 28J BAB XA Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengenai hak asasi, dan keempat hak prerogratif presiden sebagai kepala negara sebagaimana tercantum dalam Pasal XIV. 22
Kalau kita lihat, kita kaji memang tidak ada kemutlakkan dalam persoalan kepastian hukum, dari sudut pandang saya. Saya tidak tahu sudut pandang ahli tata negara. Misalnya alinea keempat kalau kita baca pembentukan NKRI ini melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah untuk memajukan kesejahteraan masyarakat umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dan di dalam alinea keempat tidak dituntut secara eksplisit tujuan penegakan hukum selain mengikuti ketertiban dunia, namun dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) dalam rangkaian dengan BAB XIV Undang-Undang Dasar Tahun 1945 jelas bahwa negara hukum yang dibentuk harus dapat mengawal dan turut menciptakan kesejahteraan rakyat, mungkin ini yang dilupakan oleh ahli hukum bahwa negara hukum yang kita bentuk itu bukan negara hukum an sich hanya untuk kepastian saja ataupun ketertiban, kemanfaatan, tapi harus bisa mengawal tujuan dari kesejahteraan rakyat, tujuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mungkin lupa. Kita para ahli hukum selalu diarahkan sejak awal kepastian hukum nomor satu, ternyata juga tidak, nanti saya uraikan di bawah. Jadi dengan demikian, menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia ini dalam konteks pengertian keadilan sosial tidak sematamata keadilan hukum, tidak semata-mata keadilan hukum. Hal ini saya pahami bahwa masalah keadilan sosial tidak akan dapat tercapai jika tidak ada ketertiban dan kepastian tegaknya hukum dalam kehidupan bangsa dan negara. Kepastian hukum dan kesejahteraan rakyat itu conditio sine quanon dalam bingkai kehidupan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jadi adanya hubungan saling pengaruh antara keadilan sosial dan ranah hukum di situ, maka kita lihat ada dua bab tentang hal tersebut. Jadi di dalam rangka kita menegakkan hukum, negara hukum, maka kita harus ingat bahwa negara hukum kita harus bisa menciptakan kesejahteraan rakyat, bukan kepastian hukum saja. Dalam konteks Pasal 28J Undang-Undang Dasar Tahun 1945 misalnya saya melihat ada hal-hal yang bersifat menisbikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dikatakan di situ untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketentuan umum adalah suatu masyarakat yang demokratis. Jadi di situ ada pembatasan juga hak asasi manusia jika hal itu dipenuhi. Jadi salah satu menunjukkan bahwa tidak ada yang pasti, relatif, ya kan? kalau kita melihat Undang-Undang Pengampunan Pajak yang sedang diuji materi hari ini menurut saya Undang-Undang Pajak itu dihubungkan dengan ketentuan umum perpajakan, lex spesialis. Ketentuan-ketentuan umum tentang perpajakan bersifat legi generali, tipe yang ini yang diujikan ini lex spesialis. Sehingga berlaku ketentuan, berlaku ketentuan lex spesialis 23
derogat legi generali. Kenapa diderogasi? Kenapa ketentuan UndangUndang Perpajakan diderogasi? Karena dianggap tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dalam konteks penerimaan negara dari pajak. Oleh karena itulah di sini saya katakan bahwa lex specialis. Semakin luas dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak, ada dua persoalan di situ, deklarasi dan repatriasi, tapi tujuan utamanya adalah memperluas basis tata perpajakan. Kenapa harus diperluas? Karena banyak wajib pajak yang tidak patuh atau warga negara Indonesia yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya. Perlu dipuas ... diperluas basis perpajakan, semakin besar jumlah wajib pajak tentunya harapannya semakin besar penerimaan negara. Dan semakin besar penerimaan negara, maka meningkatkan intensitas gerak roda perekonomian nasional. Jadi, ini cara memandang Undang-Undang Pengampunan Pajak. Juga di dalam praktik bernegara, tentu Presiden dalam keadaan memaksa, kepentingannya memaksa, boleh saja membuat perppu yang sekarang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 perppu itu setingkat dengan undang-undang. Apa itu perppu? Kepentingan yang memaksa karena sekarang perppu dengan undang-undang sudah setingkat. Juga dalam tataran kondisi keamanan. Ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, Sipil, Militer, dan Perang. Nah, di dalamnya banyak penyimpangan-penyimpangan dan perampasan hak-hak asasi. Dibolehkan. Jadi, mendalami hal tersebut, maka secara komprehensif tafsir kepastian hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan, circumstances. Waktunya, situasinya, tenggat waktunya, tempusnya, dan juga tempat kejadiannya, lokusnya. Jadi, tidak mungkin apa yang terjadi di negara lain harus sama dengan kita. Sebaliknya, apa yang kita lakukan hari ini, tidak harus juga sama dengan negara lain. Jadi karena itu. Juga misalnya UndangUndang Pengadilan HAM yang katanya dengan tujuan to put an end to impunity. Meniadakan impunitas. Tapi nyatanya dalam suatu (suara tidak terdengar jelas), boleh juga kompensasi, rekonsiliasi, tidak juga mutlak. Pengadilan HAM, kita bicara perspektif. Tadi dalam lokus dan tempus digit tertentu bisa ad hoc, berlaku surut Pengadilan HAM. Juga dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Selain rujukannya undang-undang, para pejabat boleh juga mengambil keputusan atau kebijakan yang bersifat tindakan diskresioner, UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014. Dalam hal apa diskresioner dilakukan? Satu, menjalankan pemerintahan, melancarkan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, juga mengatasi stagnasi. Jadi kalau kita bicara kepastian hukum, jangan hanya dilihat dalam konteks konsistensi das sollen dan das sein. Enggak akan ada das sollen dan das sein. Jadi, selama ini memang kita bermimpi tentang 24
kepastian hukum sebetulnya. Bahkan keadilan, ini pendapat saya. Bahkan international convention. Jadi, saya ingin mengulas juga supaya kita melihat juga keluar ya, sedikit. Konvensi PBB tentang hak sipil dan hak politik tahun 1966, Pasal 4. Disebut di situ, in time of public emergency with threaten the live of the nation and the existence of with is officially proclaimed. The state part is to the present covenant, may take such measure derogating from the obligation other depression convention. Jadi, international convention boleh, tiap negara memiliki kekuatan hukum untuk menderogasikan juga hal-hal yang bersifat umum. Yang namanya HAM, Pasal 15 konvensi Eropa, sama. Jadi, anggaplah dengan keterangan pemerintah, kita harus akui karena pemerintah paling mengetahui kondisinya. Kita pengamat, ya. Dia mengetahui kondisi rumah tangganya yang sudah disampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan, saya kutip juga di sini. “Berdasar data pemerintah, dapat kami sampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren perlambatan sejak tahun 2012. Tahun 2012 tercatat sebesar 6%, 2013=5,6%, 2014=5%, 2015=4,8%.” Kalau orang hukum membaca angka memang kadang-kadang apa … orang hukum kan tidak suka angka, tapi saya suka angka sekarang karena saya mempelajari analisis ekonomi tentang hukum pidana. Ternyata setelah saya baca, saya lihat negara-negara lain, negara maju itu beda mereka melihat kita. Mereka menggunakan yang namanya pragmatic legal realism dengan analisis economy of law. Contoh, KPK memburu Monsanto yang menyuap pejabat kita, juga Innospec menyuap pejabat kita. KPK dengan besar hati, percaya diri mendatangi Inggris, Pemerintah Inggris, (suara tidak terdengar jelas) juga Kementerian Kehakiman meminta informasi, informasi saja siapa yang disuap, siapa lagi, dan siapa, siapa, berapa suapnya itu? Apa kata department justice? “Kasus Monsanto bagi kami sudah selesai.” “Selesai bagaimana?” “Karena Monsanto sudah kooperatif. Voluntary melaporkan bahwa kami menyuap pejabat pemerintah Indonesia.” Bayangkan, mengakui menyuap. Dianggap jujur, honest. “Karena kamu jujur mengaku, saya ampuni, tidak perlu saya tuntut, tapi kekhilafan kamu ini harus bayar, Saudara, denda, pinalti, bayar, kalau tidak 25 tahun.” Dua kasus. (Suara tidak terdengar jelas). Dari saat itu saya berpikir, saya tanya, saya cari tahu, kenapa? Ternyata dua perusahaan itu memberikan devisa yang besar sekali kepada negaranya. Jadi, dengan kata lain, tidak ada kepastian. Kita mengukuhkan kepastian sambil kemanfaatannya kita buang. Contoh, Texmaco dihajar habis oleh Kejaksaan Agung, jadi besi tua. Contoh, Dipasena, urusan ekspor udang terbesar ketiga sedunia, dihajar habis Kejaksaan Agung, jadi lumpur sekarang. Nah, kita sekarang dalam konteks ini saya cerita. Kita juga harus punya pegangan yang wise. Sarjana hukum itu bukan normatif, tetapi 25
kita harus melihat nilai-nilai, the value behind the law, double coop hanya norma yang kita baca. Nah, the value behind the law dari pengampunan pajak ini adalah ada hal-hal yang lebih besar yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk masa depan bangsa ini. Salah satu contoh, saya memperoleh informasi dari Pasca Suzetta, Menteri Bappenas, saya penasihat, “Pak Romli 2020 kalau kondisi keuangan kita seperti ini, enggak sanggup kita bayar pegawai negeri gajinya.” Kemarin informasi saya, Kabupaten Garut, mungkin kabupaten lain cuma enggak muncul, sampai harus berutang pada Bank Jabar untuk menggaji pegawai. Jadi, kalau kita melihat dari sudut situ kepastian hukum enggak ada artinya sama sekali, tidak ada value apa pun. Tapi mari kita uji nanti Pasal 20 yang selalu dipersoalkan, apakah benar enggak ada kepastian hukum? Ya, ini ceritanya begitu kira-kira. Nah, kemudian di dalam konferensi internasional tersebut, kembali, ada yang disebut principle of exceptional trade, yaitu prinsip hukum yang diterapkan dalam situasi abnormal. Apa situasi abnormal itu? Public emergency, pertama, it must be actual or imminent, the threatened itu, it’s effect must involve the whole nation. Ketiga, the continuance of the organized life of community must be threatened, tadi saya katakan. Dan keempat, the crisis of danger must be exceptional in that the normal measures or restrictions permitted by the convention. For the maintenance of public safety, health, order, and plainly are adequate. Jadi, persoalan ini terkait Undang-Undang PA ya ini yang kita lihat. Kalau Saudara melihat dari sudut sini nilai kepastian hukum buat saya tidak lebih penting dari nilai kemanfaatan untuk 250.000.000 penduduk. Berkaitan dengan Pasal 20, saya baca berulang-ulang pasal ini, data dan informasi yang bersumber dari pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan terwajib pajak. Jelas apa enggak itu? Kalau menurut saya jelas ini. Certain apa enggak? Certain, pasti. Itu yang saya baca. Bahkan disebutkan dalam penjelasan, tindak pidana yang diatur melalui tindak ... meliputi tindak pidana di bidang perbankan dan tindak pidana lain. Terus, tadi ada pertanyaan saya lanjutkan dari Pihak Pemohon. Di mana undang-undang lain? Dari Yang Mulia tadi juga ada Tipikor tentang pencucian uang. Hukum pajak itu adalah hukum administrasi sebetulnya yang diperkuat dengan sanksi pidana. Artinya, kalau ada pelanggaran Undang-Undang Pajak itu sanksi administrasi itu yang didahulukan, bukan sanksi pidana. Di dalam Undang-Undang KUP yang saya baca, Tipikor baru terjadi di dalam pajak jika fiskus memeras, bukan PP-nya. Kecuali fiskus
26
memeras, wajib pajaknya memperoleh keuntungan yang besar. Tipikor turut serta jadinya. Jadi kalau kita kembali ke Undang-Undang Pajak, administratif yang diperkuat dengan sanksi pidana. Adapun pasal di dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945 Pasal 23, itu hanya mengatakan kalau mau maksa pakai undang-undang. Kalau mau maksa, pakai undang-undang. Bukan memaksanya, pajak. Kalau mau memaksa, pakailah undangundang. Kenapa undang-undang? Karena berkaitan dengan hak warga negara. Harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ya. Itu yang dalam pandangan saya, ya. Jadi, di sini ada persoalan yang lebih besar dari kepastian hukum. Masalah kedua, equality before the law. Saya melihat equality before the law itu angan-angan, ya karena tidak pernah ada yang equal. Kita lihat kita juga enggak boleh buta terhadap ... dan buta mata dan nurani, ya. Bukan maksudnya apa tadi ... Pak Eggi itu bilang apa tadi? Ahli jangan apa itu tadi? Nah, “jangan bunuh diri intelektual,” apalagi itu, ya. Bukan intelektual itu pasti yang suka bunuh diri begitu. Jadi kalau menurut saya, persamaan di muka hukum itu sejalan dengan pengertian keadilan hukum, bukan keadilan sosial. Persamaan di muka hukum harus dimaknai ... dimaknai equality before the law dalam pidana yang saya ketahui treatment aparatur penegak hukum terhadap setiap warga negara yang masuk ke dalam sistem, gitu. Kan, itu idealismenya di sana. Perlakukanlah sama. Jadi, kenyataannya memang enggak. KPK saja enggak, enggak equal dia, saya tahu. Ini di sini kita berbicara sesuatu yang menjadi suatu cita dihadapkan pada kenyataan. Nah, di sini persoalannya, gitu. Dan jangan lupa ya, equality before the law itu selalu dikaitkan dengan diskriminasi pastinya. Tapi jangan lupa, diskriminasi itu bukan masalah gini, bukan. Ada enam hal kalau di internasional itu, erna, etnis, agama, RAS, dan sebagainya. Coba perhatikan tentang konverensi tentang anti RAS diskriminasi beda dalam kaitan persoalan kebijakan ... kebijakan dalam bidang perpajakan. Nah, kalau yang kedua yang perlu juga dalam rangka persamaan ini, ya. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini ketentuan perpajakan juga memberikan kewajiban pada setiap orang untuk membayar pajak. Itu silakan, hak. Setiap orang berhak mendapat pengampunan. Mau digunakan haknya, mau enggak, urusan yang bersangkutan. Nah, jadi kalau begitu berarti kalau mau juga, nah, dia harus mau bayar sesuai dengan nilai harta kekayaannya yang tentu berbeda-beda dan besaran pajaknya berbeda-beda, ditambah lagi bayar uang tebusan, gitu ya. Jadi, kesesuaian antara kewajiban bayar pajak dan besaran nilai pajak pada wajib pajak itulah bentuk persamaan di muka hukum, sebetulnya, menurut hukum perpajakan. 27
Jadi, persamaan di muka hukum dalam konteks perpajakan itulah kewajiban bayar pajak basi ... bagi setiap orang sesuai dengan besaran nilai harta kekayaan yang dimilikinya, logis. Penghasilan Rp1 miliar pajaknya masih lebih besar dari penghasilan di bawah itu. Bukan persamaan dimuka hukum harus sama-sama, kalau sama-sama berat juga yang miskin, gitu. Juga buat yang kaya senang juga dia bayar sama dengan yang miskin, bukan itu maksudnya. Jadi persamaan di muka hukum (...) 79.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Maaf, Prof. Romli. Waktunya agak dipersingkat. Terima kasih.
80.
AHLI DARI PEMERINTAH: ROMLI ATMASASMITA Baik, saya loncat saja ke keadilan. Keadilan misalnya, ya, keadilan berdasarkan hukum. Undang-Undang Pajak. Tapi dalam perpajakan hari ini, Undang-Undang Pengampunan Pajak, keadilan dalam pengertian keadilan sosial sebetulnya. Jadi harus dibedakan. Contoh konkrit, misalnya hak milik adalah yang terkuat dan terpenuh, tapi juga ada kalimat hak milik adalah fungsi sosial. Bagaimana ini? Nah, ini konsepkonsep yang dikatakan ini sesuatu konsep yang tidak harus seperti itu, gitu. Ada hal-hal yang juga merupakan hal yang pengecualian. Jadi adil, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Dari situ saja kita baca bahwa kaum ahli barat pun meragukan tentang keadilan, makanya saya sendiri dalam pengalaman saya, pandangan saya, ternyata keadilan itu fatamorgana saja, ya. Oleh karena itu, terus terang tujuan hukum yang katanya keadilan itu buat saya untuk kita belum cocok karena dipersoalkan adalah konflik antara yang menang dan yang kalah. Jadi the survival of the fittest. Nah ini akibat dari individualisme-individualisme. Keadilan dalam konteks perpajakan, bayangkan dari official assessment diubah menjadi self assessment. Dari self assesment diubah lagi menjadi diberikan syarat-syarat tertentu asal mau mengembalikan uang yang dibawa dari luar. Kira-kira itu suatu hal yang saya kira wajar, ya. Jadi tidak harus seperti yang dikatakan kepastian hukum tadi, gitu. Kemudian saya kira saya loncat saja karena panjang, ya, kita tidak perlu harus ... saya loncat lagi. Karakter wajib pajak dalam UndangUndang Pajak. Di sini saya sudah sebutkan bahwa tidak ada karakter memaksa dari Undang-Undang Pajak itu dibaca dengan seperti apa adanya. Saya melihat bahwa harus dengan undang-undang kalau mau memaksa dan makanya saya katakan yang Undang-Undang Pengampunan Pajak ini adalah lex specialist terhadap Undang-Undang KUP. Lex specialist-nya di mana? Ya, diberi pengampunan, seharusnya
28
kan diberi penalti tetapi diberi pengampunan. Nah, itu lex spesialist-nya kenapa begitu tadi sudah saya jelaskan. Saya kira itu saja, Yang Mulia, pandangan saya. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 81.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Prof. Romli. Silakan duduk kembali. Pak Dr. Zainal saya persilakan.
82.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Yang Mulia, kita belum dapat makalahnya. 83.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Zainal, sori, sebentar. Pak Zainal di dekat Pak Eggi saja enggak apa-apa, enggak apa-apa, Pak Eggi itu lembut hati nampak di luar saja galak tapi sebetulnya Beliau lembut hati.
84.
AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Saya sering juga bertemu dengan Pak Eggi soalnya. Bismillahirrahmanirahim. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Izinkan saya membacakan keterangan yang saya sampaikan adapun keterangan yang lebih lengkapnya dan kemudian akan saya sampaikan … akan menyusul segera saya sampaikan kepada Majelis dan Pemohon, serta Pihak Pemerintah. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat, Pihak DPR, dan Pemerintah yang saya hormati, Pemohon atau Kuasa Hukum Pemohon yang saya hormati, Hadirin sekalian yang saya hormati. Pada dasarnya permohonan pengujian Undang-Undang Pengampunan Pajak ini didasarkan atas pengujian beberapa pasal di dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak yang dianggap dan didalilkan oleh Pemohon telah melanggar beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kapasitas saya sebagai Ahli yang dimintai keterangan pada perkara ini setidaknya ada tiga hal yang akan saya sampaikan dikaitkan dengan kapasitas dan keahlian saya. Yakni, pertama perihal konsep pajak dalam relasi antara negara dan warga negara. Kedua, memandang kebijakan pajak … kebijakan pengampunan pajak dalam kerangka kebijakan publik. Dan yang ketiga, perlindungan atas tindakan pelaksanaan kebijakan negara dalam hal pengampunan pajak.
29
Yang pertama, pajak dalam relasi negara dan warga negara. Teori hukum ketatanegaraan yang paling kuat menganalisis antara relasi negara dengan warga negara dari terbentuknya negara adalah model kontrak sosial yang dicetuskan oleh J.J Rousseau yang pandangannya mirip dengan Thomas Hobbes dan John Locke yang meskipun ada sedikit perbedaan di antara mereka, namun pada hakikatnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa sumber kewenangan yang dimiliki oleh negara dalam memerintah dan mengatur warga negara adalah kontrak sosial yang ada. Kontrak sosial yang dimiliki akan berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk mengatur apa saja yang akan digunakan untuk mengatur kehidupan warga negara sepanjang penggunaan kewenangan tersebut tidak mencerminkan sikap kesewenang-wenangan. Atau yang disebutkan dengan J.J. Rousseau dengan Leviathan. Artinya negara memiliki kewenangan dalam mengambil dan memungut pajak selama tindakannya tersebut tidaklah merupakan tindakan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang pada dasarnya dapat dilihat dan/atau dikonstruksikan dari ada tidaknya produk hukum yang mendasari pungutan pajak tersebut. Dan tidak tanggung-tanggung karena pajak merupakan hal yang penting bagi negara, maka pengaturan dasarnya selalu dicantumkan dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar China Tahun 1982 misalnya memasukkan dalam capter II tentang Fundamental Rights and Duty of Citizen berbunyi, “It’s duty of citizen of the people Republic of the China to pay taxes in accordance with the law.” Artikel 56. Hal yang sama juga dalam Undang-Undang Dasar Swedia yang memasukkannya dalam Basic Principal of Constitution yang berbunyi, “The parliament is the formost representative of the people, the parliament next law determine taxes and decide how public fine should be use.” Pasal 4. Prinsip yang kurang lebih sama ada di Indonesia yang dijelaskan di dalam setiap Undang-Undang Dasar. Misalnya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 praamandemen yang berbunyi, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Pasal 23 ayat (2). Undang-Undang Dasar RIS yang berbunyi, “Tidak diperkenankan memungut pajak untuk menggunakan kas federal kecuali dengan kuasa Undang-Undang Federal.” Pasal 171. Undang-Undang Dasar Tahun 1950 berbunyi, “Tidak diperkenankan memungut pajak, bea, dan cukai untuk kegunaan kas negara kecuali dengan undang-undang atau atas kuasa undangundang.” Pasal 117. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pascaamandemen yang mengatur bahwa pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang pada Pasal 23A.
30
Karena itu, dari perspektif konstitusi setidaknya ada 3 hal yang dapat dibaca. Pertama, negara memiliki kewenangan untuk menarik dan pungutan pajak yang bersifat memaksa lainnya. Kedua, untuk menghilangkan kesan sewenang-wenang, maka pengaturan, pengelolaan, pengurusan, perumusan kebijakan haruslah diatur dalam produk wakil rakyat tertinggi, yakni bentuk undang-undang. Ketiga, logika pajak adalah untuk melakukan pembiayaan atas keperluan negara. Akan tetapi pada saat yang sama, pajak seringkali merupakan problem besar yang menjadi penyebab gerakan revolusi besar atau perlawanan besar. Dalam Federalist Paper misalnya, James Madison menyebutkan bahwa the apportianment of taxes on various description of the property isn’t act which seem to require the most exact impartiality. Seperti apa yang kita pahami, Amerika … revolusi Amerika yang terjadi tahun 1775 sampai 1783 terjadi salah satunya karena penyebab diterapkannya pajak yang sangat tinggi oleh British Parliament di British Colony. Menariknya, pengampunan pajak sebenarnya berlogika berlawanan dengan pendanaan pajak yang tinggi ini. Karena pada hakikatnya pengampunan pajak adalah bagian tindakan negara untuk menghapus pajak dalam kaitan pembayar pajak yang terutang yang tidak dikenakan sanksi administrasi maupun pidana sepanjang melakukan pengungkapan harta dan pembayaran atas denda yang ditentukan nilainya. Artinya ini merupakan tindakan yang menjadi bagian dari kebijakan negara yang dibuat oleh negara melalui pembentuk undangundang dengan tujuan tidak sekadar hanya pengampunan atas pajak, tetapi juga harus dilihat pada sumbangsihnya pada keuangan dan perekonomian negara secara lebih luas. Jika memahami tax amnesty ataupun kebijakan pajak lainnya misalnya sunset policy, tax card, dan lain sebagainya, dalam kerangka seperti disampaikan Pemohon bahwa merupakan bentuk diskriminasi dengan memposisikan wajib pajak taat dengan tidak taat pajak berbeda, maka tentu akan memberikan kesimpulan yang tidak terlalu pas. Pertama, kerangka kebijakan perpajakan tidak bisa dipandang secara sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan stimulus perekonomian. Misalnya saja, kebijakan perpajakan yang ada di Indonesia tahun 1984 … 1964 dan 1984. Begitu juga dengan kebijakan perpajakan yang ada di Amerika. Setidaknya berlaku 3 kali secara massif tahun 1920 pada masa Presiden Warren Harding, tahun 1960 John F. Kennedy, dan tahun 1980 pada masa Ronald Reagan. Dan terbukti ketiga massa tersebut semuanya berhasil secara gilang gemilang melakukan stimulus ekonomi. Ini yang ditulis oleh Giramisu Roglu pada tahun 2003 halaman 218 dan 219.
31
Kedua, tarif rendah pengampunan pajak hanya untuk saat pertama pengumpanan pajak. Akan tetapi selanjutnya akan melakukan pembayaran dengan deklarasi yang jauh lebih benar dan karenanya akan mempengaruhi jumlah pendapatan negara karena harta yang diungkapkan tersebut akan masuk dalam masa pajak tahun berikutnya. Aturan yang jelas mengatakan bahwa berlaku bagi siapa saja, siapa pun diperbolehkan mengakses pembayaran pengampunan pajak ini. Dan implikasinya adalah secara sadar yang mengakses ini akan mengikutsertakan dirinya pada pembayaran pajak yang lebih benar berdasrakan jumlah harta yang disampaikan pada tahun-tahun berikutnya. Dan dengan kata lain, diskriminasi yang ditujukan sebenarnya tidak terjadi secara kuat. Hal tersebut senada dengan cara berpikir Mahkamah Konstitusi Jerman pada salah satu putusannya tahun 1960 yang dituliskan oleh Dana de Arsalan tahun 2016. Ia mengutip Jacques Malherbe yang menuliskan bahwa MK Jerman membangun konstitusionalitas kebijakan serupa tax amnesty adalah bukan soal diskriminasi pembayar pajak dan tidak taat ... pembayar pajak taat dan tidak. Akan tetapi yang harus dilihat adalah tax amnesty adalah jembatan bagi pembayar pajak yang tidak jujur agar kembali ke kepatuhan hukum untuk melakukan pembayaran pajak secara lebih benar dan memiliki implikasi pada peningkatan penerimaan negara. Kedua. Hal soal penyusunan kebijakan publik. Pada konsepsi hukum kebijakan publik dalam ranah hukum dapat dianalisis pada tiga segi. Pertama, pengambil kebijakan haruslah punya kewenangan untuk mengambil kebijakan tersebut. Hal ini dikenal dengan asas hukum bahwa tanpa kewenangan, maka suatu tindakan tidak dapat dijalankan. Artinya, mengambil kebijakan harus memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan tersebut. Dalam negara hukum, maka hulu dan hilir dari kebijakan haruslah memiliki dasar hukum. Maksudnya adalah ketika kebijakan tersebut diambil, harus ada dasar kewenangan dari pengambil kebijakan. Dan tatkala kebijakan tersebut dikeluarkan, juga haruslah dalam bentuk produk hukum. Kedua, sumber kewenangan pengambil kebijakan. Sumber lahirnya kewenangan, secara teoritik maupun peraturan perundangundangan menyebutkan ada tiga, atribusi, delegasi, dan mandat. Dan yang ketiga, konformitas hukum, pengambilan kebijakan. Pada dasarnya kebijakan hukum dapat dianggap benar secara hukum tatkala diambil dengan proses hukum yang benar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Jika hal tersebut diambil dalam bentuk regeling, maka harus diambil dalam sebuah proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang sudah benar dan tepat, sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Artinya, dalam tiga kerangka tersebut, Undang-Undang Pengampunan 32
Pajak ketika sudah memenuhi ketiga hal tersebut, dapat dilihat secara lebih luas, yakni dalam konteks open legal policy. Bahwa UndangUndang Pengampunan Pajak merupakan salah satu model dari open legal policy yang dimiliki pemilik kewenangan, pengambil kebijakan perpajakan dalam rangka mengisi kebijakan perpajakan sepanjang kebijakan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan pengambilan kebijakan telah dilakukan secara benar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Open pegal policy pada dasarnya adalah kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menerjemahkan makna dan visi negara yang ada dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam beberapa putusan MK, telah diperkenalkan model open legal policy ini yang setidaknya dalam dua hal. Pertama, tatkala undang-undang mengatur hal pemberian mandat kepada undang-undang untuk mengaturnya ke hal yang lebih khusus. Dan yang kedua, tatkala Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak mengatur pendelegasian pengaturannya. Dalam konsepsi open legal policy ini yang menjadi ukuran utama adalah tujuan utama yang lebih besar yang ingin dicapai dari pengaturan tersebut. Sehingga jika pun dikenakan pembatasan, maka pembatasan konsepsi open legal policy akan menempatkan negara dalam pengambilan kebijakan ... mengambil tindakan, dapat mengambil langkah yang diperlukan sepanjang tetap menjaminkan penghormatan hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini bisa dilihat dalam Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012. Dengan sudut pandang open legal policy ini, maka tujuan lebih besar yang ingin dicapai mempertimbangkan cara berpikir lesser evil atau memilih mudarat yang terkecil, yang mungkin didapat dalam kebijakan yang dikeluarkan. Karenanya dalam konteks tujuan yang lebih besar yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak, maka dapat dipandang sebagai cara pandang open legal policy dalam pengurusan dan pengelolaan pajak demi keperluan negara yang dilakukan sepanjang tidak melanggar batasan-batasan sebagaimana yang disebutkan dalam putusan MK. Yang terakhir, perlindungan hukum pengambilam kebijakan. Hal lain adalah perlindungan hukum bagi pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak. Dalam kaitan dengan pihak-pihak dari suatu kebijakan, setidaknya ada lima fungsi hukum menurut Sjachran Basah. Pertama, direktif, yaitu sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk hal yang ingin dicapai dalam kehidupan bernegara. Kedua, integratif sebagai sarana pemersatu bangsa. Ketiga, stabilitatif, yakni sebagai pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Keempat, 33
pervektif, yakni sarana untuk menyempurnakan tindakan negara. Dan yang kelima, korektif sebagai catatan cara untuk melihat, apakah negara telah memberikan keadilan? Dalam fungsi yang kompleks ini, maka peraturan tersebut tidak bisa dan mustahil ditentukan hal dalam satu undang-undang yang mendetail. Akan tetapi, ketentuan dan penegakan hukum tersebut berkaitan dengan berbagai undang-undang. Bahkan juga dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya, termasuk hingga keputusan yang bersifat teknis dalam rangka menjaga fungsi hukum secara administratif tersebut. Hal yang harus diingat dalam pelaksanaan kebijakan ini, maka tidak hanya sekadar mengikatkan pada pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu aturan, tetapi juga mengikat para pihak yang mengeluarkan. Karenanya tindakan yang pas harus dilihat berdasarkan pada beban kesalahan yang harus dikoreksi pada wilayah mana. Tinggal hanya dapat dilihat dan dibedakan secara mendetail, sanksi apa yang dijatuhkan pada saat adanya pelanggaran dalam melaksanakan suatu kebijakan tersebut. Tanggung jawab tersebut dapat diukur berdasarkan derajat kesalahan. Pada Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak mengatur menteri, wakil menteri, pengawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep ini pada dasarnya diberikan kepada pelaksana kebijakan yang diperintahkan di dalam undangundang sebagai pelaksana dari suatu ketentuan perundang-undangan. Jika mau dilihat, maka Pasal 22 itu sama sekali tidak melakukan perlindungan menyeluruh atau impunitas secara absolute, akan tetapi memberikan perlindungan secara terbatas kepada pengambil kebijakan yang kompleks tersebut sepanjang ketika kebijakan tersebut diambil tidak berdasarkan iktikad buruk atau tidak melawan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, artinya tidak ada imunitas absolut Kedua, jika dilih ... dipahami bahwa perlindungan ini dalam kaitan dengan pelaksanaan undang-undang, maka jika dalam kaitan pelaksanaan undang-undang sudah selayaknya pelaksana yang bersifat hanya sebagai pengeksekusi dari kebijakan yang diperintahkan oleh negara melalui undang-undang dilindungi dari kemungkinan dipersalahkan dari kesalahan yang diperintahkan oleh negara. Secara kesimpulan, pada hakikatnya hal yang telah dirangkan di atas dapat dikatakan bahwa pertama, Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita-cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan menguatkan pendanaan bagi keperluan
34
negara sebagai cita-cita yang lebih besar untuk membuat pembayar pajak menjadi lebih taat. Kedua, Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah merupakan bagian dari open legal policy pembentuk undang-undang dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan perpajakan. Dan yang ketiga, perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak persifat absolut hanya dilindungi jika sudah melaksanakan dengan iktikad baik dan benar secara perundang-undangan secara baik, iktikad yang baik, dan benar secara peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, perlindungan yang diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agar dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam UndangUndang Pengampunan Pajak. Semoga keterangan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan mumutus perkara yang sedang diajukan dan diperiksa. Wallahul mulafiq ... Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq. Assalamualaikum wr. wb 85.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumussalam wr. wb. Terima kasih, Pak Zainal Arifin Mochtar. Silakan, Pak Refly.
86.
AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera bagi kita semua. Yang saya Hormati, Ketua dan anggota Majelis Hakim konstitusi, Pemohon dan Kuasa Hukum Pemohon, Wakil Pemerintah dan DPR, dan hadirin sekalian. Saya diminta bicara di sini lupa agendanya, Yang Mulia. Saya pikir sidangnya besok dan mohon maaf, saya tidak menyiapkan keterangan tertulis karena baru saya di depan komputer. Tetapi karena tanggung jawab saya, saya akan menyampaikannya secara lisan pokok-pokok pemikiran saya dan nanti insya Allah akan saya buat secara tertulis untuk disampaikan ke sidang Yang Mulia ini. Ketua dan Majelis Hakim yang saya muliakan. Bisa dipahami kalau seandainya kemudian Pemohon merasa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini berpotensial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Misalnya, soal legal certainty (kepastian hukum), soal equality before the law, soal larangan untuk melakukan tindakan diskriminasi, soal justice (keadilan), dan kalau kita bungkus barangkali soal yang lebih besar, soal rule of law (negara hukum). Tetapi, untuk melihat Undang-Undang Tax Amnesty ini, saya ingin melihatnya dari tiga pendekatan. Pertama, dari sisi proportionality test. Yang kedua, dari 35
konstitusional atau legal morality. Dan ketiga dari post factum, ini baru saya orek-orek tadi. Tetapi, sebelumnya sudah saya sampaikan secara publik juga. Pertama dari tes proporsionalitas, seperti yang sudah disampaikan oleh Ahli yang lainnya, sesungguhnya kadang-kadang ketika kita merumuskan sebuah kebijakan open legal policy, dan lain sebagainya selalu kita menimbang antara mudharat dan manfaat yang akan diperoleh ketika kebijakan itu akan diambil. Terlebih kalau kebijakan itu menyerempet dengan ketentuan-ketentuan yang barangkali potensial dianggap bertentangan dengan konstitusi, kita paham bahwa UndangUndang Tax Amnesty ini adalah bukan undang-undang yang biasa, undang-undang yang luar biasa, undang-undang yang tidak mungkin dikeluarkan setiap saat dalam kondisi yang normal. Tetapi dalam kondisi tertentu dengan alasan-alasan rasionalitas, dia kemudian dikeluarkan. Nah, persoalannya adalah pertanyaan paling besarnya adalah apakah manfaat yang diperoleh dari Undang-Undang Tax Amnesty ini bisa kemudian mengalahkan potensi-potensi pelanggaran yang barangkali sudah dinyatakan oleh Pemohon? Sepeti tadi misalnya, potensi untuk melanggar asas kepastian hukum, equality before the law, diskriminasi, keadilan rule of law. Untuk menjawabnya nanti saya akan masuk pada bagain post factum, bagaimana kemudian ternyata UndangUndang Amnesty ini bahkan di luar perkiraan Ahli sendiri ternyata mendapat sambutan yang luar biasa, dan kemudian bukan lagi menjadi sebuah kebijakan yang ‘membuat malu’ wajib pajak yang selama ini tidak tertib membayar pajak, tapi justru menjadi sebuah gerakan untuk ikut menyumbang dari ... bagi partisipasi masyarakat dalam mengatasi krisis bangsa ini. Terbukti misalnya, Yang Mulia, kita melihat dari pemberitaanpemberitaan di media massa, mereka yang ikut program tax amnesty bukanlah orang-orang yang kemudian merasa malu untuk berpartisipasi dalam program tax amnesty. Bahkan kita tahu bahwa tokoh-tokoh masyarakat dan mungkin juga Yang Mulia Hakim-Hakim Konstitusi juga mengikuti program ini untuk kemudian kita sama-sama memperbaiki performence wajib kita sebagai wajib pajak. Nah, karena itulah kemudian dari sisi proportionality test, dari manfaat yang ditimbulkan, Ahli menganggap bahwa sangat justified memiliki justifikasi untuk mengatakan bahwa apa yang sudah diperoleh dengan Undang-Undang Amnesti ini dari sisi proporsionalitas maka kemudian lebih manfaat yang bisa diperoleh ketimbang kemudian potensi-potensi kerugian yang sudah didalilkan oleh Pemohon. Yang kedua adalah mengenai constitutionality atau legal morality. Kita pahami sering sekali sebuah produk hukum memiliki agenda-agenda tersembunyi untuk melakukan kemudian perlindungan-perlindungan tertentu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, proteksi tertentu kepada para pihak atau misalnya ada kekuatan-kekuatan politik 36
atau kelompok tertentu yang memaksakan sebuah kebijakan perundangundangan agar kemudian menguntungkan pihak tertentu itu pula. Kita tahu pada dasarnya kemudian ketika Undang-Undang Tax Amnesty ini kemudian di-launching, banyak yang mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk kemudian dana repatriasi untuk menarik dana dari luar negeri dan kemudian yang disasar adalah mereka-mereka saja yang memiliki dana di luar negeri, hanya kelompok-kelompok tertentu. Tetapi, Yang Mulia, saya termasuk yang kemudian sangat berterima kasih ketika yang dirumuskan itu adalah bahwa program tax amnesty ini berlaku bagi semua warga negara. Ini yang menurut saya kunci untuk mengatakan bahwa program ini tidak diskriminatif. Bahwa program ini bisa dimanfaatkan oleh semua warga negara untuk memperbaiki performance perpajakannya dan saya dengan bangga menyatakan bahwa saya juga termasuk peserta tax amnesty. Kemudian kalau kita lihat misalnya dari sisi legal atau constitutional morality, kita juga bertanya apakah ada hidden agenda. Mungkin pada awalnya ya, tetapi ketika dia dirumuskan, ternyata program ini berlaku bagi semua waib pajak dan semua warga negara. Kalau kita lihat juga, Yang Mulia, kalau kita kaitkan dengan Pasal 20 yang sering dipertentangkan dan sering diperbincangkan, saya mengatakan dari sisi legal morality, pasal tersebut tidaklah menghilangkan … apa … tidaklah melindungi kejahatan-kejahatan lainnya. Karena awalnya kemudian ada … ada … apa … ada konsepsi yang menyatakan bahwa dengan tax amnesty ini, maka kejahatankejahatan itu terlindungi. Ternyata tidak. Dalam Pasal 20 kita tahu bahwa sesungguhnya yang diampuni itu hanyalah potensi tindak pidana perpajakan atau pelanggaranpelanggaran perpajakan. Tetapi bukan membenarkan, tetapi konsepnya mengampuni. Seperti sering saya katakan hukuman mati ketika seorang presiden memberikan pengampunan bukan berarti kemudian hukuman mati … kejahatan yang menimbulkan hukuman mati tersebut kemudian dibenarkan, tetapi diampuni. Jadi, hukuman matinya tetap dikatakan bahwa dia sudah melakukan kejahatan terhadap sesuatu dan kemudian dihukum mati, tetapi kemudian dia diampuni. Nah, tax amnesty ini, Yang Mulia, tidak membenarkan bahwa kemudian … apa … perilaku wajib pajak yang barangkali tidak membayar sesuai dengan apa yang digariskan dalam peraturan perundangundangan sebelumnya, tetapi kemudian dia mengampuni karena ada keinginan, ada target, ada manfaat yang lebih besar yang ingin dicapai. Itulah yang saya katakan tadi proportionality tax. Karena itu kemudian, saya mengatakan bahwa kalau kita lihat Pasal 20 sama sekali Undang-Undang Tax Amnesty ini tidak kemudian mem … apa … mengampuni kejahatan-kejahatan lainnya, tidak menjadi tameng bagi kejahatan-kejahatan lainnya. Kalau ada kejahatan korupsi, narkoba, dan lain sebagainya, maka silakan, tetap bisa diusut, tetap bisa 37
diselidiki, tetap bisa disidik, tetapi memang tidak bisa menggunakan data-data yang sudah diserahkan melalui program tax amnesty. Tetapi dari cara lain, dari tempat lain, silakan bisa dilakukan. Yang diampuni hanyalah soal potensi tindak pidana perpajakan. Yang terakhir, Yang Mulia, mengenai post faktum. Sering kadangkadang kita melihat bahwa ketika kita merumuskan sebuah kebijakan, ketika kita menginterpretasikan sebuah ketentuan dalam konstitusi, bukan hal yang dilarang ketika kita melihat realitas yang timbul dari sebuah pasal atau dari sebuah ketentuan tersebut, maka kemudian konstitusi disebut dengan the living constitution karena tafsir konstitusi bisa berubah dari saat ke saat. Sebagai contoh misalnya, ketika kita berbicara tentang hukuman mati, Yang Mulia, pada tahun 2007 kalau tidak salah, MK sudah mengatakan bahwa hukuman mati adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi bukan tidak mungkin suatu saat, MK kemudian mencapai sebuah keputusan bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi karena itulah hakikat sebagai the living constitution. Apa yang kita katakan konstitusional hari ini bisa jadi tidak konstitusional pada saat yang lain. Apa yang kita katakan tidak konstitusional bisa saja konstitusional. Saya ingin memberikan contoh, misalnya pemilu serentak, Yang Mulia. Putusan MK 2013 … 2014 menyatakan bahwa yang konstitusional itu adalah pemilu serentak 5 kotak. Pemilihan presiden, wakil presiden, DPR, DPD, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Tapi bisa dibayangkan kalau seandainya memang itu dilakukan, maka begitu sulitnya pemilu kita nanti dalam proses penghitungan dan lain sebagainya. Kalau seandainya sistem yang dipakai tetap proporsional dengan daftar terbuka, bagaimana proses perhitungannya, at the same time, ada perhitungan terhadap perolehan presiden/wakil presiden, ada perolehan DPD, preolehan DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota at the same time? Bisa dibayangkan hal seperti ini barangkali potensial akan melanggar justru ketentuan konstitusional sendiri, yaitu pemilu harus dilakukan secara luber dan jurdil, misalnya. Maka kalau suatu saat kemudian ada pihak-pihak tertentu yang kemudian ingin mengubah paradigma itu dan kemudian mengajukan lagi permohonan misalnya, kalau seandainya undang-undang itu kemudian sudah disahkan DPR dan mengatakan pemilu serentak lima kota itu adalah inkonstitusional tetapi dengan pertimbangan the living constitution, kemudian dikatakan bahwa ini justru potensil untuk melanggar konstitusi dan Mahkamah Konstitusi kemudian berubah pikiran dan mengatakan bahwa itu adalah open legal policy. Mau serentak/tidak serentak itu adalah bukan konstitusional apa … apa … itu adalah bukan sebuah constitutional important tetapi soal policy, soal pilihan, maka menurut saya, Yang Mulia, itu adalah sah-sah saja. Nah karena itu, kalau kita lihat misalnya, terakhir, dari sisi post factum. Tadi sudah saya katakan, kebijakan tax amnesty ini bukan 38
kebijakan yang kemudian memalukan mereka yang mengikutinya. Bahkan kita tahu bahwa dari pemberitaan-pemberitaan yang apa yang kita baca setiap saat, Presiden sendiri misalnya bagaimana kemudian mengundang para pengusaha, mengundang pihak-pihak tertentu untuk ikut tax amnesty, pemerintah melalui Menteri Keuangan misalnya membicarakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang seharusnya berpartisipasi dalam tax amnesty, dan sampai saat ini program tax amnesty ini sudah paling tidak apa … memberikan sumbangan bagi negara kurang lebih mungkin, correct me kalau saya keliru, Rp100 triliun dan ini pada hanya baru pada gelombang pertama, belum pada gelombang kedua yang diperkirakan akan … akan banyak pada bulan Desember, dan juga kemudian gelombang ketiga yang akan diperkirakan akan banyak pada bulan Maret, misalnya. Lalu kemudian database perpajakan juga yang bertambah wajib pajak sampai 15.000 yang … yang saya dengar. Dan lebih dari pada itu memunculkan optimisme dan kemudian ada perasaan pratisipasi bagi masyarakat. Dan saya merasakan ada tone yang positif terhadap apa … terhadap kegiatan atau apa … upaya melakukan tax … sosialisasi tax amnesty ini dengan partisipasi yang luar biasa, walaupun pada awalnya ada pesimisme di sana. Tetapi ternyata hingga saat ini target Rp165 triliun, kalau tidak salah, paling tidak sudah tercapai Rp100 triliun dan bukan mustahil kemudian target akan terlampaui. Itulah yang ingin saya katakan, Yang Mulia. Dari tiga pendekatan ini yaitu pendekatan proportionality test, pendekatan konstitusional atau legal morality, dan pendekatan post factum saya mengatakan kebijakan ini mungkin bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tertentu dalam konstitusi, tetapi manfaat yang diperoleh jauh lebih besar sehingga kemudian bisa mengalahkan potensi itu. Dan kemudian kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebijakan yang sama sekali legal constitutional dan kemudian apa … dan akhirnya saya ingin mengatakan tidak bertentangan dengan konstitusi. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 87.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Pak Refly. Dari Pemerintah ada, Pak sekjen?
88.
PEMERINTAH: HADIYANTO Baik, Yang Mulia. Kami menyimak keterangan Ahli yang mengaitkan dengan memadai antara tujuan hukum, keadilan, kepastian serta kemanfaatan. Dari Ahli tadi tercermin bahwa kemanfaatan dari Undang-Undang Tax Amnesty demikian besar. Jadi, kalau boleh saya
39
kutip dari Jeremy Banthem itu, “The greatest happiness for the greatest people.” Kemudian Ahli Prof. Romli juga menyampaikan soal pragmatic legal realism. Nah, ingin pertanyaan kami kepada Prof. Romli, kira-kira dengan melihat benefit Undang-Undang Tax Amnesty untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan seterusnya, apakah dari perspektif teori tadi ini merupakan satu terobosan penting, terobosan hukum dari pemerintah dalam konteks sebagaimana hukum berfungsi sebagai alat rekayasa sosial dari Rosce Gorban. Mungkin itu, Yang Mulia Pak Majelis. 89.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pemohon, ada? Mulai dari 57.
90.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Ya. Terima kasih, Yang Mulia. Pertama ke Ahli Prof. Romli terlebih dahulu, saya ingin katakan begini, sudah apa namanya … banyak hal yang disampaikan saya coba mau review singkat saja terkait dengan ahli yang sudah dihadirkan oleh Pemerintah pada persidangan sebelumnya. Jadi, ada satu situasi dimana ketika tax amnesty ini kemudian harus diundangkan karena ada satu … pertama ada kelemahan dalam database perpajakan. Yang kedua yang paling penting sebenarnya, tax amnesty salah satu upaya. Jadi salah satunya, gitu, untuk dalam konteks tadi apa … penerimaan pajak, melakukan reformasi perpajakan, dan lain sebagainya. Kalau kita merujuk pada tiga tujuan utama di UndangUndang Tax Amnesty. Jadi hanya salah satu, berarti ada upaya yang lain, gitu. Karena kemarin yang dihadirkan ahli ekonomi dan juga apa namanya … perpajakan. Kemudian yang menarik dalam apa namanya … report yang disampaikan tabel kemarin juga cukup jelas. Jadi pendapatan yang artinya yang saya mau bilang banyak yang mengikuti tax amnesty justru berasal dari wajib pajak yang sudah ada, seperti itu. Bahkan kalau merujuk pada semangat awal, sebenarnya kan ingin menarik sebesarbesarnya aset yang ada di luar, nah itu pengantar singkatnya. Sekarang saya mau masuk ke pertanyaan. Terkait dengan pidana, ya, tadi sudah berkali-kali disampaikan bahwa yang di soal adalah Pasal 20 dan penjelasannya. Nah, dalam penjelasannya kalau Ahli mungkin melihat secara utuh, ada kata tindak pidana lain. Nah kalau di Pasal 20, tidak dapat dijadikannya, tidak dapat ini kan … apa namanya ... kemudian, punya relasi yang kuat dengan penjelasan. Nah, sementara yang kami pahami, kita juga tidak menutup mata gitu ya, dalam konteks realita sekarang bahwa kejahatan semakin canggih ya, Prof, ya. Human trafficking, kejahatan narkoba, saya pikir ini 40
satu situasi juga yang harus kita pertimbangkan serius. Nah bagaimana mungkin kemudian, ketika ada … apa namanya ... seseorang yang mengikuti tax amnesty, tapi kemudian tidak ada satu sistem yang menelaah secara jauh, darimana harta tersebut berada, nah itu juga jadi satu soal. Nah, pertanyaan saya ke Prof. Romli adalah kata tindak pidana lain, dalam perspektif pidana itu seperti apa? Karena dalam bayangan kami ini juga … apa namanya ... menjadi bersayap, ada tindak pidana korupsi, ada tindak pidana kejahatan lingkungan, tindak pidana dan lain sebagainya. Nah, terus tadi Prof juga sudah menyinggung satu … apa namanya ... pengadilan juga yang sudah dibuat, kekhususan pengadilan HAM, saya pikir juga tidak tepat jika dikaitkan dengan Undang-Undang Tax Amnesty karena Undang-Undang Pengadilan HAM dalam konteks ad hoc sementara atau berlaku surut, ada satu situasi yang menjadi suatu kebiasaan internasional karena kejahatan pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, dia tidak mengenal kedaluwarsa, maka dari itu dibolehkan pengadilan berlaku surut. Nah, satu bukti saya pikir cukup menempatkan posisi kejahatan tidak mengenal kedaluwarsa adalah dengan merujuk pada putusan di Pengadilan Belanda, ketika warga kita warga Rawa Gede Karawang menggugat Belanda untuk mempertanyakan soal kompensasi, kemudian dijawab oleh Pengadilan Belanda bahwa kompensasi adalah kewajiban, tapi kejahatan ya kejahatan. Ini tidak mengenal kedaluwarsa, saya pikir ini ada satu terobosan ya untuk memperkuat bahwa itu kejahatan yang tidak mengenal kedaluwarsa, dalam putusan pengadilan di Belanda tahun 2012 baru-baru ini. Nah itu untuk Prof. Romli. Yang kedua untuk … apa namanya ... Ahli yang kedua, Dr. Zainal Arifin Muchtar terkait dengan open legal policy ya. Nah, kalau tadi sudah disampaikan bahwa ada satu syaratsyarat tertentu dimana open legal policy itu tidak boleh bertentangan dengan beberapa hal ya. Nah, kalau Pemohon kan sudah jelas posisinya bahwa beberapa undang-undang ... Undang-Undang Pengadilan ... sori, Undang-Undang Tax Amnesty maksud saya, ada beberapa pasal yang tidak sejalan dengan undang-undang yang lain. Misalnya tadi Pasal 20 tidak sejalan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, kejahatan lingkungan, dan lain sebagainya. Terus juga misalnya, di Pasal 21 terkait dengan informasi yang dirahasiakan, ini juga tidak sejalan dengan semangat keterbukaan informasi publik. Bahkan juga pemerintah kita akan mengikuti (...) 91.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, Pemohon jangan diulang-ulang itu. 41
92.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Ya, oke, baik. Jadi pertanyaan saya, ketika ada pertentangan dalam Pasal yang satu dengan undang-undang yang lain, apakah itu dibolehkan dalam open legal policy? Itu saja, Yang Mulia. Terakhir, ke Dr. Refly Harun soal … apa namanya ... relasi antara warga negara ya, ini kan ada satu situasi, ketika tax amnesty ini diundangkan, berarti ada ketidaksamaan, warga negara yang satu dengan warga negara yang lain. Warga negara yang taat bayar pajak dengan yang tidak. Nah dalam konteks kewarganegaraan, dalam ketatanegaraan kita apakah dimungkinkan … apa namanya ... memberikan suatu privilege khusus, sementara posisi yang diberikan privilege sendiri itu tidak tahu kita … apa namanya ... dari mana harta dan sebagainya? Terima kasih, Yang Mulia itu pertanyaan dari Pemohon Perkara Nomor 57. 93.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik, untuk Pemohon lain supaya jangan diulang-ulang, ya. Kalau mau, ya mereka bertiga diminta untuk menjawab apa yang dimasalahkan begitu saja, ya. Itu tadi yang selalu mengemuka adalah harmonisasi dengan undang-undang yang lain, kan sebetulnya intinya begitu. Silakan, untuk Pemohon Nomor 58? Cukup? Cukup, baik. Pemohon Perkara Nomor 59, saya persilakan.
94.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: M. PILIPUS TARINGAN
NOMOR
59/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Kepada Para Ahli seluruhnya saja ya, mungkin mana yang berkaitan saja nanti. Kalau dari penjelasan yang kami simak tadi adalah tax amnesty ini adalah karena kondisi keuangan negara yang sulit, bagaimana melakukan pencapaian pendapatan income negara untuk melaksanakan pemerintahan. Nah, terkait … sejauh mana apa … dalam pemahaman Ahli. Bahwa kondisi sebagaimana ... kondisi yang seperti apa yang bisa digunakan yang tidak melihat secara legisme, positivisme aturan yang ada bahwa dana itu harus diambil untuk kepentingan perjalanan roda pemerintahan dari sisi income negara, seperti itu. Nah, jika memang bisa dilakukan dari ... pendapatan dari manapun misalnya, kan juga tidak harus melalui memudahkan para pihak-pihak yang melakukan pengemplang pajak, jika memang tujuannya pengemplang pajak, mengapa hanya 2% seperti itu, dana deklarasi, repatriasi juga sendiri kan, juga tidak terlalu sukses, ya. Bahwa dana yang dalam negeri yang begitu banyak untuk mendeklarasi … apa ... mendeklarasikan. 42
Nah, kalau memang menjaring yang di dalam negeri tentu uang ini kan, tidak perlu ... tidak bisa juga ke mana-mana, kalau hanya untuk data wajib pajak baru tentu warga ... wajib pajak ini tidak bisa juga lepas dari melakukan transaksi-transaksi terhadap aset-aset pribadinya di mana ketika melakukan transaksi akan muncul dan lahir sebagai wajib pajak baru yang bisa dipantau oleh kantor pajak. Pertanyaannya adalah sejauh mana keinginan dari kantor pajak untuk melakukan menginventarisasi wajib pajak yang merupakan data baru sebagai potensi pendapat negara, seperti itu. Terima kasih, Yang Mulia. 95.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Yang terakhir, untuk Pemohon Nomor 63/PUUXIV/2016. Saya persilakan, Pak Eggi.
96.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Dalam tinjauan intelektual tentunya kita yang bahas di sini ada parameternya. Pertama kalau menurut saya objektif, sistematis, dan toleran. Objek kita semua sama tahu bahas tax amnesty, ya, harus betul-betul objektif. Kemudian sistematis kaitannya dengan judicial review, pasal-pasal yang kita persoalkan. Kemudian toleransinya adalah jika kita Pemohon pada in position benar menurut parameternya Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ya, dengan legowo dari Pemerintah, dari Ahli, dan Hakim Yang Mulia, tentunya, ya, memutuskan sesuai dengan yang dibenarkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nah, itu yang saya maksud intelektualitas kita. Jadi yang tidak demikian itu melakukan bunuh diri intelektual, gitu. Bahkan tambah satu lagi, jadi sihir intelektual. Nah, di sini telah terjadi penyihiran intelektual. Apa yang disihir? Di dalam konteks ini yang harusnya benar menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dipelintirpelintir menjadi dicocok-cocokkan hanya dengan ukuran parameter kemanfaatan saja semata-mata, jauh lebih manfaat terobosanterobosan, padahal secara intelektual tidak mungkin bicara hukum itu bicara terobosan, gitu. Nah, sekarang kita fokus, ada Prof. Romli, ya. Saya ingin mempersoalkannya dari sisi pendapat Anda sendiri yang ditulis di sini. Bertolak dari definisi mengenai pengampunan pajak tersebut, maka pengampunan pajak memiliki tiga ciri, yaitu satu penawaran dari pemerintah. Kedua, hanya ditujukan pembayar pajak tertentu saja. Ketiga, melaksanakan kewajiban pajak nilai tertentu dengan kompensasi pengampunan dan imunitas dari penuntutan dari negara.
43
Nah, di dalam konteks penawaran, kalau betul penawaran, bagaimana pada tingkat berikutnya kok ada sanksi, ya, kok ada ketentuan-ketentuan yang ... yang harus dilaksanakan. Kalau penawaran, namanya nawar kan enggak mau, ya, sudah dong. Ini kan enggak demikian, ada konsekuensi hukum lainnya. Kemudian yang kedua dalam konteks ditujukan hanya kepada pembayar pajak tertentu dikaitkan dengan pendapat Saudara Refly. Ini bagus, tidak ada diskriminasi karena ini untuk seluruh WNI. Bagaimana di antara Para Ahli ini saja enggak se … apa namanya ... sejalan. Kalau istilah Hakim tadi tidak harmonis, begitu, dalam argumentasi karena di sini dijelaskan dengan sangat jelas hanya ditujukan, tapi kata lain ini bagus buat seluruh warga Indonesia. Ya, itulah yang kemarin dari saksisaksi kita yang lalu itu mengatakan tentang ini seperti jaring ikan, mau besar, mau kecil semuanya ke ambil, begitu. Jadi justru di situlah diskriminasinya. Kalian mesti tahu yang kami wakili ini buruh, berapa jumlah buruh di Indonesia ini? Jutaan, ya. Berapa jumlah rakyat miskin? Mereka mewakili ada (suara tidak terdengar jelas) banyak sekali rakyat miskin yang mempersoalkan ini. Kemudian Pak Refly dengan enak mengatakan bahwa katanya ini sudah diakui, ya, di sini dipastikan dalam kepastian hukum. Bahwa tentang (suara tidak terdengar jelas) itu sudah diakui untuk konteksnya kepada ini semua, maka ini dianggap lex spesialis. Bagaimana mau diakui? Kalau diakui itu enggak ada judicial review, semua terima baik sebagai suatu bangsa. Jangan dipikir kita melakukan ini juga karena enggak suka dengan pemerintah, tidak. Mau suka enggak suka pada pemerintah karena dia sudah resmi jadi pemerintah ya kita harus taat sebagai warga negara. Tapi dalam perspektif ilmu hukum yang di mana kita semua tahu adalah mencapai tadi antara lain kepastian hukum dan juga keadilan, maka kita mempersoalkannya. Yang saya cukup ... apa ... kritik keras di sini yang tidak siap tampil dalam konteks sebagai ahli, ya, dadakan, dadakan, sehingga tidak membahas yang kita persoalkan, Yang Mulia. Kami mempersoalkan satu, Pasal 1 ayat (3) dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa negara kita adalah negara hukum, kaitannya dengan Pasal 1 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 11 tentang Pengampunan Pajak, bagaimana … sehingga bisa terjadi demikian? Kemudian kita mempersoalkakn Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 ayat (1) pajak bersifat memaksa. Nah, mengapa di Pasal 3 ayat (1) wajib pajak mendapat pengampunan? Kemudian tentang tebusan, ada 2%, 3%, 5%, bagaimana menentukan angka-angka itu? Apa seenaknya saja demikian? Padahal ada Undang-Undang Pajak yang lama jauh lebih besar. Kalau bicara kemanfaatan, saya sudah mengatakan dan juga diakui oleh ahli ekonomi yang kemarin, tidak satu-satunya tax amnesty ini, ada cara lain yang lebih baik untuk ini juga ada, salah satunya dia menyebut waktu itu dan saya ingat betul, mungkin Majelis 44
juga mengingat, melaksanakan Undang-Undang Pajak sebelum ini dengan betul-betul serius dan jauh lebih banyak pasti dapatnya. Maka logikanya saya katakan dengan 2% saja bisa dapat ratusan triliun, dengan 2% saja mendapatkan ratusan triliun, apalagi Undang-Undang Pajak dijalankan yang sebelumnya, jauh lebih banyak. Kalau pakai teori tadi Jeremy Banthem, pakai Raschcupon segala macam yang disebut tadi tentang kemanfaatan dalam konteks hukum. Jauh lebih manfaat mana tax amnesty undang-undang ini dengan yang kaitannya dengan UndangUndang Pajak yang lama? 97.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Eggi, sekarang pertanyaan untuk Ahli, silakan.
98.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Saya kira karena Ahli sih sudah mengerti apa yang harus ditanya, gitu lho. Tapi kalau mau itu kan jadi mendikte, Pak. Cuma ini logika tadi. Saya pertanyaanya sudah jelas, Yang Mulia. Kita mengajukan judicial review pasal-pasalnya jelas, tapi dia enggak ada bahas pasal-pasal. Katanya ahli hukum, itu yang mesti kita persoalkan, Yang Mulia. 99.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, nanti biar (...)
100. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Itu, satu. Kemudian yang seriusnya lagi, Yang Mulia. Inilah yang saya maksud sihirnya itu di sini sebenarnya. Di dunia semua orang tahu orang yang paling mafia jagoan itu adanya Al Capone kalah dengan Undang-Undang Pajak. Nah, banyak di sini yang saya baca di medsos kaitannya dengan salah satu seorang, uangnya sampai lebih dari Rp500 triliun, dia bayar tax amnesty 12,5% ... eh Rp12,5 triliun, itu 2%-nya, Pak. Rp12,5 triliun. Jadi kalau kata Pak Romli orang hukum enggak suka angka, enggak benar. Ini suka banget angka ini, jelas sekali ini angkaangkanya, 12,5%-nya saja Rp12,5 triliun. Bagaimana kalau hukum pajak itu yang sesungguhnya dilaksanakan? Jadi tidak konsisten dari sistematis yang saya maksud tadi sebagai intelektual, tidak objektif dalam pembahasannya ini, sehingga apa yang kita maksud dengan pengujian ini untuk mencapai kepastian hukum, untuk persamaan di muka hukum, untuk keadilan, dan untuk pertentangan sifat pajak yang ada dalam undang-undang ini, ya. 45
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan yang bersifat memaksa dan ketentuan Undang-Undang PA yang sekarang ini yang bersifat mengampuni atau tidak memaksa, itu kan jelas sekali diameternya, itu yang kita uji di sini. Jadi di dalam konteks lagi dikatakan logika berikutnya adalah mengatakan tentang bisa saja konstitusi hari ini tidak berlaku lagi untuk yang akan datang, itu urusan nanti. Yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 itu yang masih berlaku dalam konteks pajak, kenapa itu enggak dilaksanakan? Kenapa? Katanya tadi yang profesor sebelumnya ini mengatakan tidak bisa dilaksanakan atau tidak berhasil. Bahasa lain kalau tidak berhasil berarti tidak mampu pemerintah. Nah, kalau pemerintah tidak mampu ya tahu diri dong, dalam demokrasi mundur, kenapa jadi sasarannya ke pajak? Kenapa dipaksa-paksa menjadi kontrak sosial? Ini kan bicara relasi … yang buat Zainal ini, relasi antara negara dan warga negara. Anda bicara tentang kontrak sosial. Saya dalam konteks hukum ini diberi ruang oleh undang-undang untuk melakukan judicial review, artinya kontrak sosialnya belum terjadi, belum diakui. Maka sesungguhnya, Yang Mulia, seharus dengan logika perkara ini tidak boleh pada bayar dulu karena lagi diipersoalkan, bagaimana nanti keputusannya? Juga DPR-nya enggak pernah hadir, enggak ada teguran juga dari Yang Mulia. Harusnya dianggap contempt of court juga itu DPR karena tidak pernah hadir (...) 101. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, begini Pak Eggi (...) 102. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA Enggak, ini enggak menyampaikan pendapat.
PERKARA
apa-apa,
Yang
NOMOR Mulia.
Kita
63/PUUmerdeka
103. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, cukup. Ya, saya kira sudah cukup dan mengerti. 104. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Belum cukup, Yang Mulia. Karena masih ada (...)
46
105. KETUA: ARIEF HIDAYAT Lho, ini yang anu saya lho Eggi. 106. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Pasal 21. Pasal 21 ayat (2) tentang pejabat dilarang (...) 107. KETUA: ARIEF HIDAYAT Yang mengatakan cukup saya, Pak Eggi. 108. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Ya, Yang Mulia. Tapi kita sebagai Pemohon, kita punya hak yang sama di sini. 109. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. 110. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Tidak bermaksud Hakim itu lebih hebat, Yang Mulia. 111. KETUA: ARIEF HIDAYAT Bukan ... bukan ... bukan begitu. 112. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Kita ini sama, setara, Yang Mulia. 113. KETUA: ARIEF HIDAYAT Bukan begitu.
47
114. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA izin.
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Ya makanya, beri kesempatan saya, masih ada satu lagi. Mohon
115. KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, yang singkat. 116. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Ya, singkat. Pasal 21 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ini pejabat dilarang untuk memberitahu. Kalau kaitannya dengan ... apa ... informasinya itu, ya. Di situ jelas ada hukumannya lima tahun. Jelas itu pidana lima tahun itu. Nah, dikaitkan dengan pendapat Prof. Romli katanya, “Enggak ada yang sifat pidana, ini administratif dan lain sebagainya.” Saya kira bagaimana cara memahaminya. Terima kasih, Yang Mulia. Jangan jadi tukang sihir sebetulnya. 117. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Jadi ini tadi sudah saya beri kesempatan seluas-luasnya, ya. Untuk memberikan tanggapan. Saya persilakan berikutnya sekarang Ahli ... dari Hakim? Oh, masih ada? Prof. Maria, saya persilakan. Oh, Pak Wahid masih ada dan Pak Aswanto. Silakan. 118. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih, Pak Ketua. Dalam satu paragraf dari Pak Romli, ini pertanyaannya ini buat Ahli dan buat Pemerintah tapi … Pak Romli berpendapat bahwa ketentuan mengenai pengampunan pajak merupakan kekecualian yang bersifat terbatas dan tidak untuk selamanya serta hanya ditujukan untuk wajib pajak tertentu dengan tujuan menyelamatkan keuangan negara dari pajak dalam keadaan krisis keuangan. Kalau kita melihat pada undang-undang ini, undang-undang ini disahkan dan diundangkan tanggal 1 Juli Tahun 2016 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan. Judulnya atau namanya UndangUndang Pengampunan Pajak. Kalau kita melihat pada Pasal 4, maka pengampunan pajak itu tarif dan tata cara penghitungannya itu sampai Pasal 4 ayat (2). Periode yang ketiga itu sampai 31 Maret 2017. Sedangkan kemudian kalau ada perlakuan pajak yang lainnya, adanya pengalihan pajak atau balik nama terhadap objek pajak itu, dilakukan 48
paling lambat tanggal 31 Desember 2017. Artinya, kalau demikian bagaimana dengan eksistensi dari Undang-Undang Pengampunan Pajak ini setelah tanggal itu? Karena pengampunan pajaknya sudah selesai, 31 Maret, tapi kemudian sampai 31 Desember masih ada pembaliknamaan, tapi setelah itu kan undang-undang ini sudah selesai. Apakah kemudian dianggap setelah itu tidak ada lagi pengaturan yang berhubungan dengan undang-undang ini? Itu saja, Pak Ketua. Terima kasih. 119. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Yang Mulia Pak Wahid, silakan. 120. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, terima kasih. Saya ingin ke Pak Prof Romli dan juga mungkin terkait dengan yang sampaikan Pak Refly Harun. Terkait Pasal 20, di mana Prof Romli menyatakan bahwa hendaknya program pengampunan pajak versi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 dilihat sebagai suatu hal yang simbolik, mutualisme, dan bukan terhadap tujuan kepastian hukum. Namun rumusan Pasal 20 ini, yang oleh Pak Refly Harun sebutkan ini mempunyai legal morality, legal certainty di dalamnya. Dalam keterangan Ahli-Ahli yang ... dan juga pertanyaan-pertanyaan yang muncul sampai hari ini, ada dua pendapat terhadap rumusan ini. Rumusannya Pasal 20 karena salah satu undang-undang yang baik itu menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah asas rumusan yang jelas. Di Pasal 20 ini menimbulkan dua hal yang diajukan oleh Para Penanya dan Ahli yang saya simak. Pertama, nyatakan pasal ini multitafsir. Karena apa? Karena dengan bunyi bentuk rumusan ini, aparat hukum menjadi tidak dapat memproses mereka berdasarkan bukti yang ada karena data tersebut sama dengan yang dilaporkan dalam pengampunan pajak. Nah, yang kedua yang saya amati juga Ahli Pemohon nyatakan dan juga beberapa ahli nyatakan bahwa Pasal 20 ini berlebihan. Karena apa? Karena ranah penegakan hukum pidana di bidang perpajakan tidak hanya berjalan sendirian. Tindak pidana ini tidak jarang berhubungan juga dengan tindak pidana lainnya. Misalnya, dengan pemalsuan surat atau dokumen, Pasal 263, Pasal 264, Pasal 266 KUHP atau dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, illegal phishing, illegal logging, tindak pidana pertambangan atau tindak pidana lainnya. Oleh karenanya, pembatasan status dimana dinyatakan bahwa status dokumen yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain tidak dapat menjadi dasar dilakukannya penyelidikan, penyidikan, dan/atau 49
penuntutan pidana sehingga membuat Ketentuan Pasal 20 rumusan ini berimbas pada kualitas dari dokumen yang akan menjadi alat bukti atau barang bukti dalam proses penyidikan atau penuntutan, bukan hanya dalam tindak pidana perpajakan, tapi juga pada tindak pidana lainnya. Nah, ini saya mohon penegasan dari Prof. Romli dan juga Pak Refly Harun. Terima kasih. 121. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Yang Mulia, terima kasih. Yang terakhir dari Prof. Aswanto, saya persilakan. 122. HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Saya tujukan ke Prof. Romli. Berangkat dari teori yang Prof sampaikan tadi lex specialis derogate legi generali bahwa undang-undang yang kita lagi uji sekarang sebenarnya adalah lex specialis dari ketentuan umum perpajakan, begitu. Nah, dalam situasi tertentu menurut Prof dan sesuai dengan apa yang berkembang dari beberapa persidangan sebelumnya bahwa ada kondisi dimana target penerimaan pemerintah jauh dari apa yang ditargetkan, antara lain pada sektor pajak itu tidak memenuhi target. Nah, apakah karena kondisi seperti itu, lalu kemudian norma umum sebagaimana yang Prof sampaikan tadi itu bisa diderogasi? Dan derogasi yang dilakukan dalam hal ini adalah membuat norma baru sebagaimana yang ada di dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak ini yang kita lagi uji sekarang ini. Nah, salah satu yang dipersoalkan oleh para Pemohon itu adalah soal kepastian hukum. Apakah derogasi semacam ini itu tidak bertentangan dengan legal certainty tadi atau kepastian hukum itu? Dan apakah tadi Pak Eggi selalu mempersoalkan soal terobosan, apakah derogasi semacam ini juga bisa dikategorikan sebagai apa namanya … pragmatic legal realism? Tadi Prof mengatakan bahwa di negara-negara yang maju, salah satu metode penegakan hukumnya adalah pragmatic legal realism, begitu. Apakah ini bisa juga di-judge sebagai pragmatic legal realism? Mungkin juga Pak Refly atau Pak Zainal Muchtar bisa menambahkan. Terima kasih. 123. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ini sebelum dijawab Ahli, perlu saya sampaikan pada semua pihak yang hadir di sini, persidangan di dalam Mahkamah Konstitusi yang pertama yang harus diingat bersama tidak harus pendapat antara Pemohon, Pemerintah, dan Ahli itu sama. Kita tidak mencari kesamaan pendapat di situ. Yang menilai nanti adalah Hakim, mana yang benar menurut keyakinan 9 orang Hakim itu. 50
Kemudian yang kedua, Pihak Pemerintah atau Pihak DPR atau MPR atau DPD, Pak Eggi, untuk semua pihak saja, hadir atau tidak hadir di sini tidak jadi masalah. Itu Pasal 54 Undang-Undang MK mengatakan, “DPR, Pemerintah, dan lembaga-lembaga itu dapat didengar.” Kalau mereka enggak datang juga enggak masalah, bukan contempt of court, tapi keterangannya berarti hanya satu-satunya sepihak dari Pemohon. Itu malah menguntungkan Pemohon. Jadi, bukan contempt of court, ya. Ini perlu kita tegaskan kembali supaya semua pihak tahu di dalam persidangan terbuka ini bahwa DPR tidak pernah hadir, DPR sudah memberikan keterangan yang pertama kalau dianggap masih, mereka akan hadir. Tapi kalau dianggap sudah, enggak hadir juga enggak apa-apa sebetulnya. Sejak awal juga tidak hadir itu bukan contempt of court atau bukan apa-apa karena Undang-Undang MK khususnya Pasal 54 mengatakan dapat didengar. Artinya, kalau enggak hadir, enggak didengar juga enggak masalah bagi persidangan ini. Ya, baik. Silakan Ahli untuk merespons. Saya persilakan dari yang paling senior, Prof. Romli dulu. 124. AHLI DARI PEMERINTAH: ROMLI ATMASASMITA Mudah-mudahan tidak tersihir saya ini. 125. KETUA: ARIEF HIDAYAT Jangan sihir-menyihir, Prof. 126. AHLI DARI PEMERINTAH: ROMLI ATMASASMITA Jangan memaksakan kehendak lagi, enggak benar itu. Datang terlambat lagi. Jadi, menurut saya begini, itu contempt of court. Jadi, Saudara tahu sendiri, kan, tata tertib. Jadi, begini, ya, pertanyaan tadi dari Pemohon saya dengar terlalu berkisar Pasal 20. Kita baca samasamalah, ya, supaya lebih jelas. “Data informasi bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasi oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan undangundang ini tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana.” Jelas ini, rumusannya jelas. Lex certa-nya juga ada. Apanya yang tidak jelas? Di mana multitafsirnya? Pertanyaan yang kedua. Kalau saya baca, jelas. Multitafsirnya kenapa? Mungkin muncul dari persoalan penjelasannya, ya kan? Kok masuk tindak pidana pajak dan yang lain-lain. Pasti berpikir, ini tipikor bagaimana, TPPU bagaimana. Saya kembali asas lex posterior derogat legi priori. Hanya mengenai wajib pajak saja berlaku ini, bukan pada yang lainnya. Tapi Saudara juga baca Pasal 21 ayat (3), “Data informasi yang disampaikan 51
wajib pajak dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri.” Logis, dia dengan sukarela kembali men-declaire hartanya, repatriasi hartanya, lalu kompensasinya apa buat saya? Perlindungan. Dan itu dilakukan oleh negara maju juga sama, ya. Negara maju juga. Jadi, konsen dari wajib pajak itulah yang menjadi kuncinya. Kalau dia konsen, why not, gitu? Kecuali wajib pajak itu tersangka. Wajib dibuka. Persoalannya di sana. Dan juga di pasal sebelumnya, saya baca memang tidak semua wajib pajak bisa ikut. Kalau saya baca, tidak semua bisa ikut di sini. Pasal 3 ayat (1), dikecualikan di ayat (3). Semua yang bermasalah dalam proses, enggak bisa ikut. Jadi, klirkan saya kira. Enggak ada ya ... enggak ada yang perlu dipersoalkan lagi sebetulnya. Kepastian hukumnya jelas, pasti. Kepada siapanya, jelas. Apa yang dilarang, jelas. Apa yang diwajibkan, jelas. Bahkan diancam pidana bagi ... bagi mereka yang melanggar ketentuan ini, Pasal 21 ayat (2). “Wakil menteri, menteri, diancam pidana lima tahun.” Berat ini, ya. Itu satu ya, dari saya ya penjelasannya. Jadi, kalau menurut saya ini imunitas pun bersyarat, bukan imunitas seperti dikatakan Pak itu, mutlak ya. Enggak, memang bersyarat. Itu satu hal. Yang kedua, segi filosofis. Kita selalu dalam pemikiran kita, pidana itu primum remedium. Harus selalu diutamakan. Tapi lupa bahwa asas pidana itu proporsionalitas dan subsidiaritas. Kapan pidana itu harus ... bagunan pidana harus dibentuk? Kalau dia proporsional. Artinya, tujuan dan cara harus seimbang, tidak boleh lebih daripada itu. Ancaman pidana, misalnya mati, padahal perbuatannya tidak sampai mengakibatkan matinya orang. Jadi, kedua subsidiaritas. Pidana itu kalau dibuat, dibentuk harus mempertimbangkan risiko yang terkecil. Jadi, dari dua asas itulah, maka undang-undang ini saya lihat proporsional dan juga merupakan subsidiaritas. Jadi, bukan bunuh diri intelektual ini kalau saya bicara, ya. Bukan itu maksudnya. Saya bicara apa adanya sesuai dengan keahlian saya. Soal sependapat, tidak sependapat, tadi dikatakan Hakim Ketua ... Ketua Majelis, Beliau-Beliau itu yang menilai, bukan Pak Eggi, bukan saya. Enggak kan, yang menilai. Ya, itu satu hal yang perlu saya tekankan. Yang kedua, ya. Yang saya baca dan saya dengar tadi, Ibu Maria bertanya tentang tenggat waktu. Saya kira itu saya persilakanlah ahli perundang-Undangan yang bicara. Kalau saya tidak punya kompeten untuk bicara masalah perundang-undangan dan tenggat waktu keberlakuannya. Tadi dari Pihak Pemohon tadi mengatakan bahwa ya memang pelanggaran HAM itu tidak melalui daluwarsa. Saya tahu persis itu, pasti. Satu (suara tidak terdengar jelas), Pasal 20. Tapi begini, walaupun saya 52
katakan pengadilan HAM itu, itu kan semacam perbandingan, ya, membandingkan, gitu. Pengadilan HAM yang sangat berat pun growth violation of human right, gitu, toh juga dia tidak seperti apa yang dibayangkan sejak awal ya, ada konvensi HAM. Bahkan sampai diberlakukan surut ke belakang. Dalam hukum Undang-Undang Pidana juga kita mengenal ada defence. Kalau dalam keadaan terpaksa, bunuh saja, boleh. Jadi, tidak ada yang seperti yang dikatakan tadi bahwa segala sesuatu harus apa adanya, gitu. Kembali saya katakan bahwa kalau kita membaca undangundang itu nilai-nilai dibalik itu, tadi ditanya parameternya apa? Gitu. Tadi saya kutip tentang principle of (suara tidak terdengar jelas), ada beberapa kondisi dimana memang tindakan-tindakan hukum dalam keadaan darurat bisa dilakukan sekalipun ... nah, ini bertentangan dengan kepastian hukum, gitu. It must back (suara tidak terdengar jelas) menjadi ancaman itu sangat jelas dan sifatnya juga segera terasa, jadi kalau tidak diambil tindakan oleh pemerintah, gitu kan, pemerintah dalam keadaan kolaps di bidang keuangan, pemerintah tidak bertanggung jawab, justru Undang-Undang TA ini menyelamatkan keseluruhan, gitu. Nah, pola pikir ini menurut saya ini, ya, cocok dengan pola pemikiran komunal, ya. Kalau kita berpikiran individualistik, pasti berpikir ini pelanggaran HAM. Kita negara Indonesia Pancasila, asas jelas komunalistik, kita komunalistik, jangan salah, ya. Oleh karena itulah dengan filosofis seperti ini sebagai pemerintah, negara bertanggung jawab. Adapun nanti berhasil tidaknya itu urusan pertanggungjawaban pemerintah. Kita tidak bicara pada tataran operasional, kita ahli bicara pada konsep. Nah, konsep kedua efeknya menyangkut seluruh bangsa, itu parameter sebetulnya, ya. (Suara tidak terdengar jelas) kemudian ada kesinambungan menghadapi ancaman tersebut dan juga ada krisis yang tidak bisa dielakkan, begitu. Kalau dihubungkan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 makanya ada hak preogratif presiden, ada juga yang namanya kegentingan yang memaksa yang presiden harus membuat undang-undang. Jadi tidak harus selalu mengatakan tidak sama dengan perintah undang-undang, tapi nyatanya saya baca ada hal-hal yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Dasar. Jadi juga tidak lurus seperti itu, begitu, ada hal-hal yang memungkinkan bahkan pelanggaran HAM pun boleh Pasal 28J. Jadi itu dasar-dasarnya, ya, masalah-masalah yang tadi dikhawatirkan, diragukan. Saya juga duduk di sini itu pasti dengan tanggung jawab moral, intelektual, ya, jadi Pak Eggi jangan suuzan, ya. Kalau saya duduk di sini itu dengan kata-kata yang seperti itu menurut saya bukan pada tempatnya mengatakan saya menyihir, ini enggak betul, ya. Saya juga menolak itu sebab kita harus bisa sama-sama menghargai posisi kita, ya, keahlian kita, kita juga harus seperti itulah 53
karena ini sidang yang sangat mulia, ya, saya menghargai semua yang hadir di sini, kita juga harus sama-sama ... karena apa? Yang kita bicarakan kan bukan nasib negara lain, bukan Republik Argentina, bukan Singapura, bukan Filipina, Republik Indonesia, rumah saya, rumah Pak Eggi, rumah semua. Jadi di sini kita tidak ingin mencari yang menang, yang benar, tidak benar, yang menang, yang tidak menang. Saya silakan nanti Majelis Konstitusi menilai, kewenangan ada pada Majelis Konstitusi. Pertanyaan berikut dari Pak Aswanto tolong dikoreksi kalau ... derogasi dimaksud itu pasti dalam situasi keadaan tertentu, tidak untuk selamanya, kalau kita baca ini ada tenggat waktu sampai Maret 2017, ya itu, tergantung tempusnya juga, tergantung itu dibutuhkannya sampai di sana. Kalau pertanyaan kenapa pemerintah seperti itu, ya, pemerintah harus menjawab itu kenapa gitu karena saya tidak terlibat dalam pembentukan itu, undang-undang itu, pemerintah dan DPR harus menjelaskan, seperti itu. Kemudian juga tadi pertanyaan berikut mengenai kembali ke multitafsir, ya, jadi jangan penjelasan Pasal 20 kemudian disimpulkan pasal ini multitafsir, ya karena untuk Pasal 20 penjelasan selain pajak, tindak pidana lainnya, nah ini equal, dua undang-undang yang duduk sama-sama, yang satu mengatur tipikor, TPPU, yang satu mengatur mengenai perpajakan. Ranahnya hukum administrasi yang diperkuat sanksi pidana, bukan hukum administrasi yang tidak ada sanksi pidana, ini juga keliru Pak Eggi. Saya katakan hukum administrasi yang diperkuat oleh sanksi pidana, ada sanksinya. Nah, di satu sisi ada undang-undang yang sifatnya khusus, tipikor dan TPPU. Kalau terjadi pelanggaran di sini, pasti di sini yang dilakukan sanksinya. Nah, kalau kaitannya dengan uang haram, ya, yang dibawa oleh wajib pajak. Nah, ini akan menjadi masalah kalau dia itu menjadi tersangka. Kalau selama dia bukan tersangka, tidak ada masalah, gitu. Dan kalau dia tersangka dia harus buka. Jadi, tidak juga mengganjal … undang-undang ini mematahkan, mengganjal, menghambat proses-proses penyidikan terhadap status dia sebagai tersangka. Jadi, ini jaminan negara terhadap dia. Ya juga di pasal sebelumnya kan, disebut ada beberapa syarat kenapa mereka itu harus memenuhi syarat. Tidak semua yang mau ikut itu bisa diterima dalam proses penyelidikan, penyidikan, sidang, dan sebagainya. Tidak bisa, gitu. Jadi, sangat hati-hati undang-undang disusun sedemikian rupa, terseleksilah, gitu. Itu mungkin bagian pertanyaan saya yang … apa … pendapat saya yang bisa saya jelaskan. Kalau ada tambahan koreksi silakan mungkin ada yang terlewat. Ya, demikian pendapat saya. wassalamualaikum wr. wb.
54
127. KETUA: ARIEF HIDAYAT dulu?
Walaikumsalam, terima kasih. Pak Zainal, silakan, atau Pak Refly
128. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Pak Romli bilang kalau ada tambahan koreksi boleh katanya, Pak. Saya ada satu yang terlupa. 129. KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti anu … kita untuk yang jawab yang lain dulu, Pak. Silakan. 130. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Ya, terima kasih. Hitungannya kan, dari yang senior dulu tadi, ya. Saya lebih tua dari Zainal. Ya, ada beberapa pertanyaan, tapi ini saya ingin mengajak kita sama-sama berpikir mengenai konstitusi kita secara umum, Yang Mulia, dan juga mungkin Pemohon, ya. Bahwa memang ada banyak aliran dalam menafsirkan konstitusi. Dan kalau saya menyebut the living constitution itu kan, hanya salah satu aliran saja. Tetapi memang … apa … kita tidak bisa kemudian hanya berpatokan pada satu pendekatan saja bahwa seolah-olah bahwa ingin mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu ya, itu saja. Memang itu, teksnya itu remains. Tapi yang namanya interpretasinya itu bisa berubah-ubah, bisa berganti-ganti. Dan itulah kemudian ada yang namanya constitutional review seperti ini. Ya seperti saya katakan, sekarang kita mengatakan hukuman mati konstitusional, tapi bukan tidak mungkin nanti berapa tahun ke depan kita mengatakan hukuman mati itu inkonstitusional. Teksnya remains, tetap, Pasal 28I, tapi interpretasinya yang berubah. Jadi, saya tidak mengatakan bahwa seolah-olah tidak mengakui konstitusi tertulisnya. Jadi, itu yang perlu kita pahami. Lalu kemudian ketika tadi Pemohon Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengatakan bagaimana ketika kemudian undang-undang ini diundangkan ada nuansa ketidaksamaan. Seolah-olah ada yang mendapatkan privilege, begitu. Ini pertanyaan yang terus terang susahsusah mudah kita menjawabnya. Tetapi biasanya kalau kita bicara tentang privilege tentang diskriminasi dan lain sebagainya, biasanya objeknya lebih certain, lebih tertentu biasanya yang paling mudahnya. Itulah saya katakan tadi mengatakan bahwa undang-undang ini tidak diskriminatif karena undang-undang ini bisa dimanfaatkan oleh semua wajib pajak. Tetapi kemudian, tapi kan, ada pengecualiannya. Nah, 55
pengecualian tersebut kan karena kondisi tertentu. Bukan kemudian dia dikecualikan dari awal. Anda kalau menjadi terpidana misalnya, tentu hak-haknya akan dikurangi. Menjadi tersangka, haknya dikurangi. Tetapi rumusan di dalam undang-undang atau aturan tertulis itu sendiri sering memang begitu. Jadi, menunjuk kondisi yang umum, tapi pasti ada pengecualianpengecualiannya, baik karena kondisi yang negatif maupun kondisi yang positif saja. Sebagai contoh misalnya Pasal 27, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.” Tetapi Pasal 6A mengatakan, “Anda kalau mau menjadi presiden ya harus diusung oleh partai politik, gabungan partai politik.” Kalau tidak bisa diusung oleh partai politik dan gabungan partai politik, tidak bisa jadi presiden. Walaupun kita warga negara Indonesia asli, tidak pernah menjadi warga negara asing dengan kehendaknya sendiri, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak pernah berkhianat terhadap negara. Jadi, kita harus melihatnya … apa … tidak diskriminasinya adalah konsep umumnya. Makanya saya termasuk mengatakan gembira ketika awalnya terlibat diskusi mengenai Undang-Undang Tax Amnesty ini, jadi bukan baru, Pak Eggi. Jadi, sebelum undang-undang diundangkan, kita sudah berapa kali juga berdiskusi. Pada awalnya kan, agak mengkhawatirkan karena seolah-olah hanya ditujukan kepada merekamereka yang memiliki dana di luar negeri, jadi repatriasi. Tapi begitu dirumuskan ternyata berlaku bagi semua warga negara dan ada uang penebusannya cuma berapa? Belasan ribu rupiah kalau tidak salah. Ya, belasan ribu rupiah. Jadi, ada yang … apa … peserta tax amnesty dan kemudian uang tebusannya hanya belasan ribu rupiah, maka kemudian kan ini saya pribadi menganggap bahwa tidak bisa dikatakan diskriminatif. Bahkan kemudian menjadi partisipasi dengan teori post factum. Kalau saya mengatakan proportionality test dan kemudian constitutional morality itu cara untuk salah satu kita mengukurnya. Dan itu sudah saya katakan kira-kira pada bulan awal September ketika ada … apa … diskusi di Indonesia Lawyers Club misalnya. Tetapi post factum ini kan, baru kita lihat setelah akhir September. Awalnya saya termasuk orang yang pesimistis walaupun barangkali dari sesi proportionally testnya bisa dibenarkan dari sisi constitutional morality-nya masih bisa dibenarkan. Tetapi kemudian post factum kita tidak melihat, apakah ini program yang bermanfaat atau tidak? Berhasil atau tidak? Tapi ternyata paling tidak sampai pada saat ini, secara material kita mengatakan tidak bisa katakan bahwa Rp100 triliun itu kecil, data base perpajakan yang bertambah 15.000 itu kecil misalnya. Tetapi lebih daripada itu adalah ada nuansa tone positif untuk berpartisipasi. Yang tadinya merasa malu ... kan kita tahu kalau kita ikut tax amnesty itu biasanya ada tempat yang khusus agar kemudian kita tidak dilihat orang lain karena kita ikut 56
tax amnesty. Tapi sekarang orang kemudian habis tax amnesty, dia fotofoto, dan kemudian disebarkan ke media sosial. Jadi, ada perasaan bahwa itu bukan sebuah pelanggaran, tetapi justru keinginan untuk berpartisipasi dalam ... apa ... krisis yang sedang kita hadapi. Lalu kemudian, kondisi seperti ... apa ... tadi Pemohon yang Nomor 59. Sebenarnya kalau saya katakan tiga tadi, proportionality test. Kemudian, conditional ... apa ... legal atau conditional constitutional morality. Dan kemudian, post factum. Paling tidak, sebenarnya kondisikondisi seperti itulah yang kemudian bisa kita katakan untuk merumuskan sebuah kebijakan. Tentu post factum-nya nanti. Bahwa kalau kita mau me ... apa ... merumuskan sebuah kebijakan, kebijakan itu murni karena kita ingin mencapai tujuan yang baik misalnya, bukan karena kita ingin mellindungi kelompok-kelompok tertentu atau mungkin kejahatan-kejahatan tertentu, misalnya. Kemudian, kita juga ingin mancapai manfaat yang lebih besar. Walaupun barangkali dalam manfaat yang lebih besar itu, kemudian ada kelompok-kelompok yang barangkali merasa didiskriminasi. Perasaan didiskriminasi ini kan baru perasaan, bukan sebuah ... bukan sebuah ... apa ... pola yang sudah tetap begitu saja. Nah, tetapi saya ... kalau kita bandingkan dengan perpu misalnya, putusan MK sudah mengatakan bahwa yang namanya hal ihwal kegentingan yang memaksa saja. Itu silakan ... silakan saja Presiden merumuskan bahwa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa. Tetapi kita mengalami dua tes nanti, yaitu political test di DPR. DPR yang akan mengujinya, apakah secara rasional (rationable) ada hal ihwal kegentingan yang memaksa? Dan kemudian, ada constitutional test di Mahkamah Konstitusi, yang juga kemudian MK pernah juga membatalkan undang-undang yang berasal dari materi perpu. Karena menganggap bahwa tes ... proportionality test bahwa tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga munculnya perpu tersebut, misalnya. Jadi, ada subjektifitas Presiden. Tapi kemudian, constitutional test-nya ada di MK dan kemudian ... apa ... political test-nya ada di DPR. Nah, sekarang tes ... Undang-Undang Tax Amnesty ini sedang menghadapi constitutional test. Karena sesungguhnya tidak ada lagi political test karena sudah ada proses politik di DPR dan kemudian ... dan barangkali juga sociological test, ya, tes secara sosial. Apakah secara sosial, Undang-Undang Tax Amnesty ini diterima? Saya mengatakan diterima. Mungkin Pemohon berbeda pendapat. Tapi saya mengatakan paling tidak, tidak ada penolakan yang masif terhadap adanya Undang-Undang Tax Amnesty ini. Kalau ada judicial review, itu wajar. Tidak ada undang-undang yang tidak lolos judicial review. Bahkan, Undang-Undang Perkawinan yang sudah kita rumuskan tahun 1974 saja masih di-judicial review juga. Tidak menunjukkan bahwa tidak ada legitimasi di sana, tetapi kadang-kadang memang ada subjektifitas individual yang memang merasa bahwa perlu diuji. 57
Sekarang yang paling lucu adalah Undang-Undang Keistimewaan Yogya diuji juga oleh orang-orang yang membuatnya, kan begitu kirakira. Orang-orang yang menginisiasinya. Jadi, itu yang saya katakan bahwa time to time, waktu ke waktu, cara pandang kita terhadap konstitusionalitas sebuah norma itu bisa berbeda. Dua tahun yang lalu kita mengatakan itu konstitusional, tapi ternyata karena kondisinya berubah, kita mengatakan ini tidak konstitusional, begitu. Kemudian, Pasal 23 yang sering disampaikan Pemohon. Saya tertarik membaca Pasal 23A ayat ... Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berkali-kali disebutkan oleh Pemohon, bunyinya, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ini kan soal ... ini sama dengan sebenarnya pemberatannya di mana? Kalau saya mengatakan, justru pasal ini adalah pasal yang pro hak asasi manusia. Ini adalah properlindungan kepada warga negara. Ini bukan pasal yang memberikan instrumen ... negara instrumen untuk memaksa orang. Karena dikatakan adalah pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa. Karena pajak itu kan memaksa? Dan mungkin ada pungutan lain yang juga bersifat memaksa. Nah, kalau negara ingin membuat instrumen yang seperti itu, pungutan yang bersifat memaksa, Anda boleh melakukannya kalau dengan undangundang. Kalau dengan instrumen lain, tidak boleh. Kalau ... karena ini adalah potensial melanggar hak asasi manusia warga negara. Itulah sebabnya harus dengan undang-undang. Jadi, Pasal 23A ini adalah pasal yang melindungi warga negara, bukan pasal yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah. Terima kasih, Pihak Pemohon. Karena saya baru membaca saat ini dan saya merasa firm untuk mengartikannya seperti itu. Kemudian, Pasal 20, saya menganggap tidak ada yang tidak jelas kalau bagi ... bagi ... bagi saya. Karena di situ dikatakan, ketentuan undang-undang atau pasal ini tidak membebaskan seseorang dari kejahatan-kejahatan atau tindak pidana lainnya. Yang diampuni kan cuma tindak ... potensi tindak pidana perpajakan, tentu kita mengatakan potensi karena kan belum ada putusan dan lain sebagainya. Tetapi, tindak pidana lainnya tidak diampuni. Nah, saya khawatir kemarin kan mengatakan,”Dikecualikan tindak pidana terorisme dan korupsi,” berarti tindak pidana lainnya boleh? Misalnya untuk kemudian diampuni, tidak. Ini tidak mengampuni tindak pidana lainnya. Tindak pidana lainnya silakan diusut, silakan diselidiki, silakan disidik, tapi jangan pakai data tax amnesty ini, jadi cit apa ... silakan cari data yang lain penyidik, penegak hukum kalau mendapatkan data lain, tetapi untuk data yang kita setor kepada institusi tax manesty ini tidak boleh dibuka ke pihak manapun, bahkan diancam kalau seandainya institusi itu membagikannya ke tempat lain, misalnya.
58
Nah, itulah sebabnya kemudian undang-undang ini untuk menjawab yang ter ... Yang Mulia, Hakim Maria Farida, masih tetap penting kendati setelah 31 Maret 2017. Karena ada Pasal 20, 21, misalnya, kalau seandainya undang-undang ini dibatalkan, maka kemudian perlindungan yang ... perlindungan dan juga proteksi atau sanksi yang diatur di dalam Pasal 20 dan 21 itu hilang. Maka kemudian segala data yang kita serahkan kepada institusi tax amnesty, itu bisa kemudian akhirnya dibuka dan tanpa ada ancaman apa pun atau tanpa ada proteksi apa pun bagi yang menyerahkan data. Nah, ini yang ... lalu kenapa kemudian ada pasal yang demikian? Nah, saya tidak tahu kenapa pemerintah, tetapi bayangan saya memang itu adalah insentif, insentif bagi mereka yang mau kemudian apa ... mendeklarasikan harta kekayaannya dan ini kan sekali lagi kita apa ... ber apa ... bermain kemudian kita ber apa ... kita berdiskusi dalam kaca mata proportionality test itu, apakah masih proporsional atau tidak, misalnya jaminan-jaminan yang diberikan oleh ketentuan pasal ini. Saya masih menganggapnya proporsional. Saya kira itu saja, Yang Mulia, yang bisa saya sampaikan, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb 131. KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumussalam wr. wb. 132. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Om shanti, shanti, om. 133. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Refly. Berikutnya, Pak Zainal. Saya persilakan. 134. AHLI DARI PEMERINTAH: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Baik. Bissmillah ... audzubillah himinasyaitonirrajim, bismillahirrahmaanirrahiim. Saya sengaja sampaikan ini supaya hilang sihir-sihir itu, Pak. Biasa kan katanya kalau pakai ta'awudz, insya Allah sihirnya hilang. Yang pertama, saya ngajak kembali barangkali membaca buku semester 1 pengantar ilmu hukum, Mengenal Hukum judulnya ditulis oleh Soedikno. Ada bagian yang ditulis dengan sangat baik. Bicara soal antinomi, antinomi itu apa? Antinomi itu adalah penyakit dalam hukum itu sendiri, dimana setiap perumusan kebijakan, perumusan aturan pada hakikatnya itu selalu bertarik terjadi tarik-menarik antarberbagai kepentingan. Tidak bisa dihindari sama sekali, misalnya apa? 59
Pertarungan antara individual dengan komunal, nasional-internasional, liberal-konservatif, kepastian-keadilan, tekstual-kontekstual, selalu bertarung dalam suatu perumusan kebijakan hukum. Dan tanpa sadar sebenarnya pengacara kan pun sering pindah saja kalau di ruang sidang, kalau kita lihat. Kan pengacara sering-sering saja pindah-pindah, pada suatu saat dia tiba-tiba tekstual. Ketika dia tekstual, dia diserang dengan kontekstual. Dia mengatakan bahwa Anda menciptakan hukum yang tidak adil. Lain sisi dia kemudian akan kontekstual. Lalu ketika orang bicara tekstual, dia akan bicara bahwa anda sedang bermain positivistik semata. Saya ingat betul, Pak Eggi, saya ini kan sering sekali berhadapan dengan Pak Eggi. Saya ingat betul dalam kasus BG kan sangat tekstual ... kontekstual Beliau. Mengatakan bahwa yang namanya praperadilan itu harus dibuka demi hak asasi, bla-bla dan lain sebagainya walaupun teksnya begini. Tapi kalau di lain sisi kenapa kemudian menjadi sangat tekstual? Maksud saya adalah itulah penyakit dalam ilmu hukum, jadi tidak perlu diserang. Lalu dengan mengatakan sihirlah, apalah, dan lain sebagainya, menurut saya itu bagian dari pelajaran ilmu hukum dan silakan baca buku semester 1 kok, Mengenal Hukum judulnya ditulis oleh Soedikno Mertokusumo, kalau enggak punya nanti saya kirimkan. Maksud saya adalah mari, mari kita sadari bahwa yang namanya hukum itu sendiri punya penyakit memang. Dasarnya itu adalah dia tarik-menarik antarberbagai kepentingan. Tax amnesty ini pasti tarikmenarik antara individu, antarkepentingan negara, antarindividual, komunal, ada banyak tarik-menariknya, dan di situlah kemudian pengujian konteks, kontis ... konstitusional dilakukan untuk menilai mana yang akan kita dahulukan dalam membaca undang-undang ini, kan begitu saja sebenarnya. Kalau perlu saya kenalkan lagi, tapi panjang bicara soal antinomi, Kelsen, bla-bla, dan lain sebagainya sampai kemudian ke apa ... immanuel kant sampai ke bawah dan lain sebagainya. Tapi yang ingin saya sampaikan sesungguhnya adalah tentu saja kalau mau dilihat yang namanya peraturan apa pun dengan menggunakan corak pandangan yang kita persempit, kita perlebar, dan sebagainya, memang pasti ada problem dalam aturan hukum, tidak mungkin tidak ada, sodorkan ke kami mana ada aturan hukum yang kemudian tidak bisa kita alihkan, tidak kita bisa dorong. Nah, tugas dari constitutional review sebenarnya adalah ingin melihat makna konstitusionalitas macam apa yang sedang kita pertahankan? Anda silakan baca misalnya buku ditulis oleh Justin Lenkuis, judulnya Court Divided, Court Divided itu meceritakan apa? Pertarungan dalam yang namanya perumusan hukum, itu bertarung saja antara yang namanya konservatif dengan liberal misalnya dalam tradisi Amerika. Apakah berarti kalau liberal, Anda salah? Tidak. Apakah kalau Anda konservatif Anda salah? Tidak. Tapi itulah cara pandang. Dan izinkanlah orang 60
memperlebar cara pandangnya, melihat cara pandangnya, tidak perlu kemudian mengatakan Anda bermain sihir, akrobat, dan lain sebagainya. Saya karena memang tahu betul, Pak Eggi ini sering menyerang individu, bukan menyerang cara berpikirnya orang, gitu lho. Jadi, maksud saya itu adalah satu-satunya yang harus diakhiri, tidak bisa lagi dilakukan yang model seperti itu. Tolong baca baik-baik yang namanya mengenal hukum pengantar … apa … pengantar ilmu hukum. Yang kedua, dalam kaitan pertanyaan dengan saya, ada pertanyaan dari Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016 soal open legal policy. Open legal policy itu memang tradisi baru yang dibuat oleh MK. Saya mencatat ada beberapa … saya lupa pastinya tapi silakan, mungkin ada sekitar 6 atau 7 putusan MK dimana MK kemudian mengembangkan yang namanya open legal policy. Open legal policy itu apakah itu teori hukum? Ndak ada dalam teori hukum. Biasanya itu adalah teori yang mengawinkan antara teori public policy dengan pembentukan peraturan legislasi. Nah, keluarlah doktrin yang disebut dengan open legal policy. Apakah salah? Saya tidak tahu. Tanyakan kepada hakim-hakim MK. Seperti ketika hakim MK mengeluarkan tafsiran soal huruf besar, huruf kecil. Kalau huruf besar, Bank Sentral berarti namanya boleh, kalau huruf kecil Bank Sentral namanya boleh selain Bank Sentral. Tapi kalau Bank Sentral-nya hurufnya b kecil s kecil, maka namanya Bank Indonesia pun boleh. Apakah itu teori? Silakan. Itu bagian dari cara berpikir pengembangan keilmuan yang sudah dilakukan MK dalam berbagai putusan. Nah, open legal policy yang menarik dalam putusan MK, MK mengatakan open legal policy itu tidak berarti bisa dibuka seenakenaknya, ada beberapa pembatasan. MK menuliskannya dalam putusan yang kemudian saya kutip, pembatasan-pembatasan itu misalnya apa? Menjaminkan penghormatan hak, kebebasan orang lain, memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban dalam suatu masyarakat yang demokratis. Nah, silakan menurut saya kemudian kalau itu dimaknai sebagai open legal policy, bagaimana kemudian aturan hukum yang memang pada dasarnya pasti punya problem yang saya bilang tadi antara komunal, internasional, dan lain sebagainya, itu dinilai dalam kerangka itu. Apakah ber … tidak pas dengan undang-undang lain? Ya, bisa jadi. Sangat tergantung cara membacanya akhirnya. Misalnya kalau dibaca sebagai sebuah yang lex specialis, ya berarti memang derogate legi yang tidak spesial, yang umum. Nah, memang sangat bergantung cara membacanya dan menurut saya inilah pentingnya melakukan pengujian konstitusional. Di sinilah kemudian akan didudukkan porsinya bahwa MK akan menetapkan bahwa inilah makna konstitusional yang seharusnya didudukkan dan lain sebagainya.
61
Nah, terakhir yang saya bisa jawab adalah pertanyaan dari Yang Mulia Prof Maria. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh yang terdahulu bahwa pada hakikatnya undang-undang ini tidak hilang karena sebagian besar ketentuannya masih dipakai dan ini kemudian ketentuan yang bisa menjadi alasan bahwa orang kemudian masih menjadi peserta dari tax amnesty berdasarkan undang-undang ini. Lagipula ada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 yang lebih panjang term-nya. Jadi, memang sebagian undang-undang ini bisa jadi dianggap hilang setelah berlalunya proses … apa … telah berlalunya seiring waktu. Tetapi memang pada perundang-undangan yang saya baca dari sekian banyak memang peraturan perundang-undangan yang hilang seiring dengan waktu. Misalnya ini, misalnya Undang-Undang Nomor 586 pasal … pasal yang menyatakan bahwa mengenai Undang-Undang Nomor 586 ini berlaku … apa … berlaku secara optimal setelah 5 tahun. Pasal ini kemudian hilang setelah tahun 1991, tidak diperlukan lagi. Artinya memang terjadi perubahan-perubahan dan seperti juga perubahanperubahan makna, misalnya Undang-Undang Nomor 586 menggunakan doktrin yang disebut dengan fiti … putusan fiktif negatif, Pasal 3 UndangUndang Nomor 586 yang mengatakan orang kalau bermohon sesuatu kemudian menjadi fiktif negatif. Kalau dia tidak dikasihkan, maka dianggap sudah dikeluarkan dalam bentuk penolakan. Tapi di UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014, doktrin fiktif negatif itu diubah menjadi fiktif positif. Bahwa orang kalau bermohon dalam waktu … dalam batas waktu tertentu tidak dikabulkan, maka dianggap sudah dikabulkan sebenarnya. Apakah kemudian artinya … apa … tidak konsisten dengan undang-undang sebelumnya atau berlawanan? Ya, bagi saya bisa saja kita menggunakan model … apa … hukum Islam bahwa seakan-akan menjadi model nasih mansuh atau kemudian … apa … yang kemudian … yang ada kemudian itu menegasikan yang sebelumnya. Saya pikir itu catatan dari saya, terima kasih. 135. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Perlu saya sampaikan juga sebelum … nanti kalau Pak Eggi masih ada … apa yang akan ditanyakan lebih lanjut, tapi waktunya nanti singkat. Begini, persidangan ini adalah persidangan judicial review. Persidangan judicial review itu sebetulnya karena kalau saya merumuskan adalah upaya bersama untuk melihat konsistensi, koherensi, dan korespondensi yang mengarah … yang benar menurut konstitusi. Jadi, ini upaya bersama, upayanya Pemohon, upaya Pemerintah, DPR, dengan kita menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan dan yang memutus adalah Hakim.
62
Jadi kalau saya melihat tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, apakah yang Pemohon kalah, atau yang menang pemerintah, atau yang sebaliknya, tapi yang dalam rangka untuk mencari kebenaran konstitusi itu yang menang adalah bangsa Indonesia, yang menang seluruh rakyat Indonesia. Jadi, ini harus kita mengertikan bersama, sehingga kita seluas-luasnya harus bisa apa namanya … mencari pandangan-pandangan yang sebaik-baiknya. Hakim me … apa namanya … berusaha untuk mencari pandangan-pandangan dari Para Ahli, pandangan dari Pemohon, dan pandangan dari Pemerintah, dan DPR. Jadi, ini upaya bersama dalam rangka mencari kebenaran konstitusi. Jadi, tidak ada yang dimenangkan dan dikalahkan, yang menang adalah bangsa Indonesia, yang menang adalah rakyat Indonesia. Jadi, kita harus sama-sama berpikir jernih, gitu. Saya persilakan, kalau Pak Eggi masih ada waktunya, singkat. 136. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Ada, Yang Mulia. Jadi bukan karena di sihir saya setuju dengan Yang Mulia tadi bahwa begitulah judicial review. Nah, yang ingin saya pertanyakan buat ketiganyalah nanti Anda mikir sendiri mana bagian yang harus dijawab. Saya berangkat dari penjelasan di halaman 3 makalah Pak Prof. Romli yang dimuliakan oleh Allah SWT. Jadi, insya Allah enggak kena sihir, gitu. “Kepastian hukum atau legal certainty dalam konteks hukum pidana memiliki tiga aspek, yaitu lex scripta hanya diakui hukum tertulis. Kemudian lex stricta, hukum harus ditafsirkan sesuai dengan yang ditulis … harus ditafsirkan sesuai dengan yang ditulis. Dan lex certa, hukum harus jelas dan tidak multitafsir. Dalam konteks ketiga aspek tersebut disimpulkan bahwa kepastian hukum harus diartikan dalam lingkup hukum yang tertulis saja … hukum yang tertulis saja. Dengan kata lain tidak diakui … tidak diakui hukum yang tidak tertulis atau sering dikenal sebagai paham legisme.” Pertanyaan saya, baik lex scripta, kemudian lex stricta, dan lex certa, dimana dikaitkan dengan Pasal 23 tadi Undang-Undang Dasar 1945 tentang bersifat memaksa kemudian jadi ditafsirkan boleh diampuni? Dari mana ilmu melompat paksa terus diampuni? Karena ampuni dan paksa itu bertentangan sekali. Kalau sudah dipaksa ya mesti diambil dipungut. Itu pajak itu kan definisinya pungutan dari negara oleh pemerintah ini kepada rakyatnya. Pungutan sifatnya memaksa, kok dibolehkan dalam pengertian diampuni. Lalu bagaimana memahaminya dari lex scripta, lex stricta, kemudian enggak boleh dari yang di luar tertulis? Kemudian yang keduanya, juga di Pasal yang 21 belum begitu dijelaskan menjadi pidana ada kena lima tahun. Itu bagaimana dikaitkan 63
dengan Undang-Undang Keterbukaan Publik yang enggak boleh di apa … Undang-Undang Keterbukaan Publik atau informasi itu kita berhak tahu masyarakat itu, tapi di sini pejabat dilarang enggak boleh tahu kalau kita tanya nanti ke Dirjen Pajak enggak mau kasih dia karena enggak tahu? Apalagi kita sebagai aktivis, Bung Zainal juga sebagai aktivis kan tahu malah masalah korupsi malah ya, ingin tahu, enggak bisa. Lalu bagaimana jadi kan multitafsirnya sangat jelas. Jadi, kenapa kita terus membolehkan sesuatu yang sudah kita sendiri berpendapat khususnya lex stricta dan lex scripta juga tadi, itu kok jadi boleh begitu? Ditambah lagi dikaitkan dengan apa namanya … yang membolehkan untuk tidak memberitahu padahal harusnya memberitahu menurut undang-undang yang lainnya. Pidana lainnya juga demikian dikaitkan juga dengan satu situasi nasional lain yang katanya kalau tersangka harus buka. Saya enggak melihat ada kecuali tersangka boleh dibuka, enggak ada juga. Tapi kok kenapa dalam tafsir boleh disebut ada tersangka kecuali tersangka? Kalau mengacu kepada kepastian hukum legal certainty tadi, lex stricta yaitu ditafsirkan sesuai dengan yang ditulis. Kan yang ditulisnya enggak ada tentang tersangka, lalu kenapa kok jadi boleh? Jadi, saya kira dikaitkan juga dengan yang lainnya. Kepada Refly tadi ada satu inkonsistensi juga bahwa ini katanya untuk semua warga negara, tapi pada kata Prof. ini pajak hanya ditujukan untuk kemauan kelompok pembayar pajak tertentu. Jadi, tidak semua dan hukum yang berlaku hari ini, ya hari ini, gitu lho. 137. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya, Pak Eggi, terima kasih. Ada komentar dari Ahli? Kalau tidak ada juga tidak masalah, silakan kalau mau dikomentari, tanggapi Pak Romli, Prof. Romli, silakan, Prof. 138. AHLI DARI PEMERINTAH: ROMLI ATMASASMITA Ya, alhamdulillahlah ya. Di sebelah ada apa pernyataan, penjelasan dari Saudara Eggi yang tidak bersihir-sihir tadi, ya. Jadi menurut saya begini, Pak Eggi ya, tadi sudah saya kembalikan ke Bab 1 Pasal 1 ayat (3) negara hukum. Mau ke mana negara hukum kita ini? Akan mencapai hanya tujuan mencari kepastian hukum, kan ada bab 14, “Negara hukum yang bisa mengawal tujuan negara menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat luas.” Dalam kondisi sekarang, situasi sekarang sebagai keterangan pemerintah, situasinya tidak mungkin pemerintah mencapai sana karena pemasukan negara dari pajak tidak memberikan satu apa ... kemungkinan-kemungkinan yang terbaik. Oleh karena itu, walaupun asas legalitas dikatakan, kepastian hukum harus dibalut dalam kepentingan keadilan, kemanfaatan. Tidak 64
cukup di sana. Memang harus dibaca seperti itu tapi dalam konteks penerapan hukum, apalagi menyangkut kebijakan legal policy, maka itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Itu, bagaimana caranya negara mengambil kebijakan seperti itu dalam kondisi yang keadaan seperti ini? Maka saya katakan, saya mengambil contoh parameter tentang pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang berat pun masih ada parameter-parameter di mana bisa dilakukan cara-cara yang luar biasa, yang dikatakan tadi principle of threat (ancaman). Nah dari situ kita tentu bisa melihat, menyimpulkan bahwa tujuan hukum itu bukan hanya kepastian hukum an sich yang dibaca dari tiga aspek, tapi harus dilihat dan yang paling penting keseruan dalam hal penerapan. Jadi kita harus bedakan dalam pengertian konsep dan pengertian kebijakan, di sini beda. Kebijakan itu bisa beda, harus ada justifikasi. Justifikasinya antara lain kalau dia anggap itu melanggar hak asasi setiap warga, ada Pasal 28J. Jadi sebetulnya, bahkan disebut kalau mau maksa pun pakai undang-undang, enggak boleh di bawah itu, sudah jelas itu. Jadi sah-sah saja pemerintah mengeluarkan undangundang tentang Pengampunan Pajak, apalagi disetujui DPR, begitu sah. Nah soal mau diajukan permohonan hak uji materi ya hak setiap warga, gitu boleh ya. Itu penjelasan saya, Pak. Demikian. 139. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ya, silakan. 140. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Prof. Romli barangkali ada pertanyaan yang agak krusial tadi dari Pak Eggi itu bahwa kalau tidak salah saya menyimak tadi Bapak mengatakan bahwa ketika seseorang sudah berstatus sebagai tersangka, itu kemudian hal ini bisa dibuka, bukanya dalam Pasal 20, Pasal 21 ini straight ya? Untuk tingkat penuntutan, penyelidikan, penyidikan, bahkan kalau menurut pemahaman sebagian orang mengatakan bahwa sampai kapan pun, sampai status orang itu seperti apa mestinya tidak boleh dibuka, kalau mau konsisten dengan pasal ini. Jadi kita minta pandangan, Prof ketegasanlah supaya tidak ini karena persidangan barangkali terakhir, Pak Ketua. Terima kasih. 141. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Prof. Romli ada? Singkat, silakan.
65
142. AHLI DARI PEMERINTAH: ROMLI ATMASASMITA Begini, saya baca Pasal 20, baca Pasal 21, kalau kita baca Pasal 20, sepertinya tertutup kemungkinan itu, baca Pasal 21 ayat (3), dibuka kalimat terakhir, “Kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri.” Dibuka, Pak. Nah, saya katakan tadi, Pak Eggi bingung, “Tersangka kok bisa dibuka, di mana enggak ada tulisan tersangka?” Bukan, tadi pertanyaanya, bagaimana undang-undang yang lain? Tipikor, TPPU, begitu kan? Nah, saya hubungkan. Manakala di wajib pajak itu kemudian menjadi tersangka, setelah ini dilakukan, dia tetap saja harus dibuka, enggak ada kecuali karena status tersangka. Tapi dalam posisi ini wajib pajak kan bukan tersangka, makanya konsen, harus ada konsen dari yang bersangkutan, begitu kira-kira pikiran saya. Jadi, ketika nanti wajib pajak setelah mengikuti ini kemudian ada penyelidikan lain kita tahu bukan dalam kaitan ini, misalnya ya wajib dibuka sebagai tersangka, itu pikiran saya. Ini saja, terima kasih. 143. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik, Prof Romli. Sebelum saya, oh, Pak (...) 144. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA situ.
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Mohon izin, terakhir. Yang Mulia, enggak ada kata tersangka di
145. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ya, boleh berbeda pendapat, silakan. Silakan, Pak Refly. 146. AHLI DARI PEMERINTAH: REFLY HARUN Ya, dua poin ya. Tadi saya ingin menegaskan kembali bahwa apakah pajak itu bersifat memaksa? Ya, memang pajak memaksa. Tetapi kalau kita negara pemerintah mau menetapkan atau membuat sebuah instrumen pajak tertentu, katakanlah sebuah benda, sebuah penghasilan dan lain sebagainya ingin dipajak, maka kemudian itu harus dibuat dalam bentuk undang-undang. Nah itulah perlindungannya sesungguhnya. Jadi kalau kita bicara mengenai angka 2%, angka 3%, pajak progresif 20%, 25%, itu adalah soal kesepakatan yang harus dibuat dalam undang-undang karena ini potensial melanggar hak asasi manusia, dalam hal ini property rights. Kan sebenarnya kan uang, uang saya, hak, hak saya, saya yang bekerja. Tetapi kemudian negara mengatakan Anda harus bayar pajak karena negara membutuhkan itu. 66
Silakan, negara memungut uang saya, meminta pajak dari saya, dan itu bersifat memaksa, tetapi harus dengan undang-undang. Nah, ketika kemudian negara mengatakan kami ubah peraturannya, tidak 25% atau 20%, kami cuma mau butuh 2%, yang penting Anda laporkan sesungguhnya, kan sah-sah saja. Karena itu kemudian kita bicara asas hukum yang namanya lex posterior derogat legi priori, jadi hukum yang kemudian bisa mengalahkan hukum terdahulu atau kita bicara lex specialis kalau ini dimaksudkan memang untuk spesialis saja dan ini memang dimaksudkan hanya sampai Maret 2017. Jadi itu adalah spectrum negara, bukan berarti kemudian negara mengkhianati atau tidak mampu dan lain sebagainya. Itu yang pertama. Yang kedua. Kalau kita baca Pasal 3 dan Pasal 4 ini jelas dan saya juga sudah paham itu dari awal. Ini untuk semua wajib pajak, tapi in time dia dalam kondisi sebagai tersangka atau terdakwa pada saat tax amnesty itu dijalankan, ya, enggak bisa, dia enggak terkena dari itu. Misalnya dia kena pidana perpajakan, di sini kan dikatakan, “Dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, dalam proses peradilan menjalani hukuman pidana.” Ya, dia tidak boleh kena, dia tidak bisa mendapatkan amnesti pajak. Nah, cuma mungkin sedikit perbedaan saya dengan Prof. Romli, kan berbeda juga tidak apa-apa, dan tidak haram hukumnya, Pak Eggi. Kalau saya mengatakan misalnya ternyata di kemudian hari ada indikasi bahwa uang yang dilaporkan itu sebenarnya berasal dari tindak pidana lainnya. Misalnya katakanlah apa saja korupsi dan lain sebagainya, apakah bisa disidik, apakah bisa diselidik? Bisa, tapi jangan gunakan data tax amnesty itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan, tapi kan jelas. Tapi kalau dia misalnya mendapatkan dari pihak lain misalnya, silakan. Misalnya mendapatkan dari … apa ... penelaahan PPATK dan lain, silakan tapi tidak boleh data yang sudah diberikan kepada institusi tax amnesty. Kecuali ya, namanya juga selalu ada kecuali kan, di dalam aturan, kecuali yang bersangkutan sukarela mau membukanya, membolehkannya. Nah, itu konsen by him atau her. Saya kira itu saja. Terima kasih. 147. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, cukup. Pak Zainal enggak usah, ya? Terima kasih, Pak Zainal. 148. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Yang Mulia, singkat saja, Yang Mulia. Singkat saja.
67
149. KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah cukup saya kira, ya. Persidangan kali ini, siang hari ini sungguh sangat menarik dan kita membuka seluas-luasnya itu, ya, sudah, ya. Dari Pemerintah masih mengajukan ahli atau sudah cukup? 150. PEMERINTAH: HADIYANTO Terima kasih, Yang Mulia. Nanti ada keterangan ahli tertulis, Yang Mulia (...) 151. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik (...) 152. PEMERINTAH: HADIYANTO Menambahkan saja. 153. KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti segera disampaikan bersamaan dengan kesimpulan, ya. 154. PEMERINTAH: HADIYANTO Selain itu, Yang Mulia. Sebagaimana persidangan pada tanggal 20 Oktober, dari Pemohon akan menyampaikan keterangan ahli, namun kami belum ... tertulis, namun kami belum (...) 155. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik. Ya, baik. Ini nanti kita ingatkan semua, ya, persidangan ... rangkaian persidangan dalam Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016, dan 63/PUU-XIV/2016 sudah selesai. Yang terakhir Pemohon, Pemerintah menyerahkan kesimpulan ya, kesimpulan tadi Ahli yang diajukan oleh Pemohon juga keterangan tertulisnya belum ada, tadi diminta oleh Pemerintah dan juga Mahkamah berkepentingan untuk melihat keterangan ahli yang tertulis dari Pemohon seluruhnya. Kalau tidak menyerahkan bersamaan dengan kesimpulan, dianggap tidak ada keterangan Ahli yang sifatnya tertulis, ya, yang sifatnya tertulis, tapi lisan sudah kita dengar. Begitu juga dari Pemerintah, keterangan dari Pak Refly, Pak Zainal, juga belum ada yang tertulis nanti bisa disampaikan bersamaan dengan keterangan Ahli yang tertulis.
68
Paling lambat kesimpulan dan keterangan tertulis Ahli yang akan disusulkan, Kamis, 17 November 2016, pada pukul 10.00 WIB. Saya ulangi, penyerahan kesimpulan dan keterangan tertulis Ahli, baik dari Pemohon maupun dari Pemerintah, Kamis, 17 November 2016, pada pukul 10.00 WIB. Ya, ada? Pak Sekjen, silakan. 156. PEMERINTAH: HADIYANTO Yang Mulia, dapat kami laporkan di persidangan ini bahwa Ibu Menteri Keuangan akan berdinas ke luar negeri sampai dengan tanggal 21 baru masuk, sehingga penandatanganan tadi terakhir itu menunggu Bu Menteri Keuangan tanggal 21. 157. KETUA: ARIEF HIDAYAT Anu kan ... menterinya dua, Menteri Kumham kan juga sebagai pihak yang mewakili Pemerintah kan? Ya, nanti bisa itu. Jadi kesimpulannya nanti dari Menteri Kumham bisa. 158. PEMERINTAH: HADIYANTO Kami akan melalui mekanisme yang memungkinkan dibaca terlebih dahulu oleh Ibu Menteri Keuangan. 159. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, ya, boleh silakan kalau itu, ya. Jadi Kamis, 17 November tapi harus sudah anu ... karena untuk segera dirapatkan dalam RPH untuk proses pengambilan putusan. Baik, Kamis, 17 November 2016, pada pukul 10.00 WIB. Terima kasih, sidang selesai. Sekali lagi Para Ahli, terima kasih telah memberikan keterangan di persidangan ini. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.56 WIB Jakarta, 8 November 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
69