MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 59/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON (V)
JAKARTA SELASA, 11 OKTOBER 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 59/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23], [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 22], [Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)], [Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3. 4.
Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Syamsul Hidayat, Abdul Kodir Jailani (Perkara Nomor 57/PUUXIV/2016) Yayasan Satu Keadilan (Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016) Leni Indrawati, Hariyanto, Wahyu Mulyana (Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016) Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera (DPP SBSI), Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dkk (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016)
ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (V) Selasa, 11 Oktober 2016 Pukul 11.05 – 14.55 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Patrialis Akbar Manahan MP Sitompul Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams
Mardian Wibowo Yunita Rhamadani Cholidin Nasir Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
ii
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016: 1. Muhammad Daud Berweh B. Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016: 1. Sugeng Teguh Santoso C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016: 1. Prasetyo Utomo 2. Heri Perdana Tarigan D. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016: 1. M. Pilipus Tarigan 2. Benny Hutabarat E. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 57, 58, 59/PUU-XIV/2016: 1. Eva Achjani Zulfa 2. Basuki Widodo F. Pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016: 1. Rusdi G. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016: 1. Eggi Sudjana 2. Basrizal 3. Agus Supriadi 4. Netty Saragih 5. Agus Hermawan H. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016: 1. Makmur Amir 2. Akhmad Akbar Susamto
ii
I. Pemerintah: 1. Hadiyanto 2. Ken Dwijugiasteadi 3. Suryo Utomo 4. Astera Prima 5. Yunan Hilmy 6. Tio Siahaan 7. Rina Widiyani W.
iii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.05 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sidang dalam Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUUXIV/2016, 59/PUU-XIV/2016, 63/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek kehadirannya. Pemohon Perkara Nomor 57/PUUXIV/2016?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: MUHAMMAD DAUD BERWEH
NOMOR
57/PUU-
Ya, Pemohon untuk Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016 dihadiri oleh Kuasa Hukumnya. 3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: PRASETYA UTOMO
PERKARA
NOMOR
58/PUU-
Baik, Yang Mulia. Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 dihadiri oleh Kuasa Hukumnya, saya, Prasetya Utomo. 5.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: HERI PERDANA TARIGAN
NOMOR
58/PUU-
Heri Perdana Tarigan dan didampingi oleh Prinsipal. 6.
PEMOHON PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016: TEGUH SANTOSO
SUGENG
Saya Prinsipal Pemohon dari Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso. 7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016?
1
8.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: BENNY HUTABARAT
NOMOR
59/PUU-
Baik, Yang Mulia. Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016 diwakili oleh kuasa hukumnya, saya, Benny Hutabarat bersama dengan Philipus Tarigan. Terima kasih, Yang Mulia. 9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016. Silakan, Pemohon.
10.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Terima kasih, Yang Mulia. Diwakili oleh saya, Eggi Sudjana sebagai lawyernya dan Agung, Agus, Netty Saragih, Basrizal, serta Prinsipalnya Rusdi. Kemudian Saksi Ahli kami ada 2, tapi yang datang baru 1, Saudara Ahmad Akbar Susamto. Terima kasih. 11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Pak Eggi. Dari DPR tidak hadir. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, saya persilakan.
12.
PEMERINTAH: HADIYANTO Baik, terima kasih, Yang Mulia. Izinkan kami perkenalkan tim Pemerintah. Dari sebelah kiri kami Bapak Ken Dwijugiasteadi, Direktur Jenderal Pajak dan Bapak Suryo Utomo, Staf Ahli Menteri Keuangan, Pak Prima, Staf Ahli Menteri Keuangan, Ibu Rina, Kepala Biro Hukum, Ibu Tio, Kepala Biro Bantuan Hukum, dan Pak Yunan, Direktur di Kementerian Hukum dan HAM. Saya sendiri Hadiyanto Sekretariat Jenderal dan didampingi teman-teman dari Kementerian Keuangan. Demikian, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pak Sekjen. Agenda kita … ini sidang yang kelima, agenda kita mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon yang mengajukan Ahli Pemohon Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016. Ada 2 Ahli, Pak Basuki Widodo sudah hadir? Kemudian, Ibu Eva Achjani Zulfa, ya. Kemudian dari Pemohon Nomor 63/PUU-XIV/2016 Pak Makmur Amin, belum hadir? Kemudian yang sudah hadir Pak Akhmad Akbar Susamto. Baik, untuk sebelum didengar keteranganya, diambil sumpah terlebih dahulu semuanya menurut 2
Agama Islam. Silakan maju ke depan, saya mohon berkenan Yang Mulia Pak Wahiduddin untuk mengambil sumpah. 14.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Untuk Para Ahli, ikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
15.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
16.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Yang Mulia. Silakan kembali ke tempat, terima kasih. Untuk Pemohon Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016 siapa dulu? Pak Basuki atau Ibu Eva?
17.
PEMOHON PERKARA NOMOR 58/PUU-XIV/2016: TEGUH SANTOSO
SUGENG
Kami mendahulukan Ibu Eva Achjani Zulfa. 18.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Ibu Eva saya persilakan di mimbar. Masing-masing bisa mempresentasikan keterangan ahlinya dalam waktu 15 menit. Nanti akan kita perdalam melalui diskusi sehingga supaya efisien penggunaan waktunya. Terima kasih, silakan.
19.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Bismillahirrahmaanirrahiim, assalamualaikum wr. wb. Yang terhormat Majelis Hakim Konstitusi. Yang terhormat Bapak-Ibu sekalian. Hari ini saya diminta untuk menjelaskan sebetulnya mengenai inti permasalahan yang disampaikan kepada saya berkaitan dengan adanya perkara … permohonan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
3
Ada beberapa pasal yang memang dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diujikan, tapi di antara materi-materi yang dimohonkan itu didasarkan pada kompetensi dan pengetahuan yang saya miliki dan dimintakan kepada saya untuk dijelaskan sesungguhnya terutama terkait dengan ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak dimana di dalam ketentuan tersebut, rumusanya adalah sebagai berikut. Untuk mengingatnya saya bacakan. Data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampiranya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidian, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Ketentuan ini menurut saya sesungguhnya memiliki dampak yang luas. Bukan hanya dalam penegakan hukum di bidang perpajakan saja, tetapi penegakan hukum terutama hukum pidana secara keseluruhan. Harus disadari bahwa penegakan hukum di bidang perpajakan merupakan penegakan hukum di bidang administrasi atau yang kita kenal sebagai administrative penal law karena Undang-Undang Pajak adalah undang-undang administratif yang bersanksi pidana. Tujuan dari penegakan hukum pajak adalah untuk mendapatkan atau untuk memberikan pendapatan negara secara maksimal dari sektor pajak. Hal ini menjadi berbeda kalau kita melihat kepada kepentingan umum … kepentingan hukum menurut … maksud saya, terutama dikaitkan dengan tujuan penegakan hukum pidana, yaitu menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat secara luas. Dalam konteks kebijakan tentang tax amnesty ini, maka hal ini dapat dimaklumi. Dalam pengertian bahwa adanya batasan kewenangan penuntutan oleh jaksa penuntut umum terhadap penegakan hukum di bidang perpajakan bukan merupakan hal yang baru. Mengapa bukan hal yang baru? Filosofi ini kalau kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 8 dari undang-undang yang ada saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak, pada dasarnya sudah di … sudah memberikan jalan adanya mekanisme administratif yang menyebabkan kewenangan penyidikan menjadi hapus, yaitu manakala iktikad … dengan iktikad baik wajib pajak dan dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya disertai dengan pembayaran denda dan pelunasan. Dalam artian bahwa kebijakan untuk menghapus kewenangan penuntutan sudah ada pada undang-undang sebelumnya. Ini bukan norma baru. Tetapi yang menjadi masalah di sini adalah pada frasa bahwa
dokumen atau lampirannya tidak dapat menjadi dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana. Mohon maaf, Majelis Hakim.
Penuntutan pidana, bukan penuntutan pidana di bidang perpajakan. Saya harus kasih highlight di situ, saya harus kasih catatan besar di situ. Frasa ini akan berdampak kepada pemahaman seolah-olah ketentuan 4
Pasal 20 ini menjadi sesuatu dasar penghapus penuntutan bukan hanya untuk tindak pidana di bidang perpajakan, tapi juga implikasinya kepada ranah kewenangan, penuntutan, penyelidikan, penyidikan di dalam tindak pidana lainnya. Kalau kita baca atau kita pahami dokumen … dokumen pajak atau lampirannya, bayangan saya akan tergambar pada kita, ini bukan hanya dokumen-dokumen seperti SKPT dan lain sebagainya. Barangkali terkait dengan izin usaha, terkait dengan katakanlah invoice, terkait dengan perjanjian. Oleh karena itu, kalau ketentuan ini kita pertahankan, maka akan menjadi kesulitan bagi penyelidik, penyidik, maupun penuntut umum manakala ada satu tindak pidana, apakah itu tindak pidana umum Pasal 263, Pasal 264, Pasal 265 misalnya mengenai pemalsuan surat yang kalau kita (suara tidak terdengar jelas) memang kalau hanya di … mengenai SKPT itu ada di Pasal 38 Undang-Undang Pajak. Tetapi tidak hanya itu, dokumen lainnya menjadi sulit dilakukan karena dikatakan tidak dapat dilakukan penuntutan. Atau kita kaitkan dengan tindak pidana yang lebih berat, korupsi, money laundry (pencucian uang), illegal fishing, illegal logging, tindak pidana pertambangan, atau tindak pidana lainnya juga akan terkendala dengan adanya ketentuan ini. Dengan kata lain, satu alat bukti, yaitu alat bukti surat yang sudah dijadikan lampiran di dalam dokumen tax amnesty tidak lagi bisa digunakan sebagai alat bukti. Implikasinya akan sampai ke sana. Bahkan, implikasinya kepada yang tadi saya katakan, ini akan menjadi seolah-olah dasar penghapus penuntutan karena kendala di bidang administratif terutama adalah kepada alat bukti surat yang menjadi andalan utama. Oleh karena itu, Majelis Hakim Yang Terhormat, Bapak-Ibu sekalian, berkaitan dengan pengujian materiil, maka saya bisa menyatakan bahwa apa yang dirumuskan di dalam Pasal 20 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang unconstitutional conditions. Dan oleh karenanya mohon kiranya dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim mengenai implikasi dari ketentuan ini dan menjadi kewenangan kiranya dari Majelis Hakim untuk mempertimbangkan keberlakuan atas ketentuan ini yang kalau menurut saya, sebetulnya ketentuan ini tidak perlu ada. Demikian pandangan saya, Majelis Hakim, Bapak-Ibu sekalian, terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Assalamualaikum wr. wb 20.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam wr. wb. Terima kasih, Ibu Eva. Berikutnya, Pak Basuki, saya persilakan. Ya, di sebelah situ enggak apa-apa, Pak Basuki. Dekat Pemerintah enggak apa-apa, kok.
5
21.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Terima kasih atas kesempatannya. Saya adalah pendiri sekaligus Direktur LSM Pajak Indonesia Tax Care. Saya beri judul, “Kebijakan Tax Amnesty Semakin Membuat Rapuh Sistem Pajak Indonesia.” Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Kepada Majelis Hakim yang kami Muliakan, selamat ... assalamualaikum wr. wb. Pada kesempatan ini, izinkan saya untuk menyampaikan pokok-pokok pandangan saya berkaitan dengan Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Para Pemohon. Dalam dunia internasional, ada satu slogan yang cukup populer taxation without representation is robbery yang memiliki makna bahwa pelaksanaan pajak tanpa ada undang-undang adalah perampokan. Kebijakan tax amnesty dibuat penuh dengan kontroversial, hal dini ... hal inilah yang melatarbelakangi saya sebagai lususan dari Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia dan menekuni bidang pajak akan menyoroti kebijakan tax amnesty dalam perspektif pembangunan sistem pajak Indonesia berdasarkan hasil penelitian pajak yang pernah INTAC lakukan pada tahun 2012. Pajak adalah pungutan oleh negara kepada rakyat berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat impalan langsung kepada wajib pajak atau kontraprestasi. Pajak berfungsi membiayai keperluan penyelenggaraan kenegaraan dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk kesejahteraan negara, bangsa, dan negara. Prof. Mansury, 1989. Dalam rangka mengoptimalkan peran pajak sebagai pengganti turunnya penerimaan negara dari migas, maka pada tahun 1983 pemerintah melakukan reformasi perpajakan atau tax reform menjadi self assessment system. Pada sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk menentukan sendiri besarnya angsuran serta pajak yang sesungguhnya terhutang, fiskus bersifat pasif hanya memberikan penjelasan, pengawasan, dan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak oleh Drs. Manuir ... Munawir, 1987. Dalam perkembangan selama 2 dasawarsa, terbukti dengan prinsip self assessment cukup berhasil menggali potensi wajib pajak Indonesia. Pajak telah membuktikan perannya dalam penerimaan negara dimana dari tahun ke tahun penerimaan pajak terus meningkat bahkan kontribusinya dalam menunjang penerimaan negara semakin besar. Namun, sejak 2007 penerimaan pajak Indonesia tidak pernah mencapai target yang dilatarkan pemerintah. Hasil penelitian pajak INTAC. Dari hasi penelitian menunjukkan bahwa sistem pajak Indonesia yang dibangun selama ini sangatlah rapuh dan rentan terhadap berbagai masalah. Terdapat 2 faktor yang menjadi indikasi sekaligus penyebab perapuhnya sistem pajak Indonesia, yaitu terabaikannya prinsip-prinsip 6
pembukuan self assessment system dan pembangunan pajak tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa. Tidak adanya arah yang jelas menjadikan secara pragmatis pajak diartikan terbatas pada target penerimaan. Pada akhirnya, berbagai kepentingan masuk memanfaatkan lemahnya sistem yang terbangun selama ini untuk kepentingan pribadi, kepentingan tersebut saling tumpang-tindih antara kepentingan negara, lembaga, dan kepentingan pribadi. Oknum yang memaknakan ... memanfaatkan kepentingan tersebut juga beragam, bisa dalam bentuk individu, kelompok bahkan yang mengatasnamakan lembaga, korupsi pajak merupakan salah satu bentuk kepentingan pribadi yang mendompleng kepentingan lembaga bahkan negara. Korupsi pajak dan pencapaian prestasi target penerimaan pajak menjadi 2 hal yang saling melengkapi untuk menutupi berbagai kecurangan yang terjadi di lingkungan pajak. Hal inilah yang sering kali menjadikan penyimpangan di lingkungan pajak sulit untuk dihapuskan. Korupsi pajak tidak pernah benar-benar hilang dan hanya berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya, menyesuaikan dengan kondisi dan arah kebijakan pemerintah. Kondisi ... kondisi ini memungkinkan terjadi karena praktik kecuria ... kecurangan oknum fiskus akan melakukan berbagai upaya dalam pencapaian target penerimaan. Fiskus cenderung akan menekan dan mencari-cari kesalahan wajib pajak agar dapat mengenakan pajak yang besar. Tidak jarang mereka mengatas ... tidak jarang mereka mengatasnamakan negara serta hukum yang berlaku. Tapi di saat para wajib pajak tidak berdaya, mereka tidak segan-segan untuk melakukan perdamaian dengan mengecilkan temuan pajak yang semula digunakan untuk menekan wajib pajak. Bila ada ... tidak ada titik temu mereka akan menetapkan hasil temuan tersebut dan ini sebagai prestasi kerja karena semakin pajak ... semakin tinggi pajak yang dikenakan akan memberikan pemasukan bagi negara sebagai pencatat ... pencapaian target penerimaan. Inilah modus yang sering kali digunakan dalam negoisasi di pajak. Pada akhirnya, hal ini memunculkan berbagai masalah dalam sistem pajak Indonesia yang semakin rumit dalam perkembangannya. Begitu pula perumasan ... perumusan kebijakan pajak seringkali tidak memiliiki perencanaan yang matang serta tidak dibangun secara terintegrasi, tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam rancangan kebijakan pajak. Kebijakan hanya bertumpu pada target penerimaan yang pada akhirnya kebijakan yang dibuat sering kali tidak terencana, sporadis, dan bersifat trial and error. Kondisi inlah ... kondisi inilah yang menjadikan sistem pajak menjadi semakin rapuh dan rentan terhadap berbagai macam masalah. Terabaikannya prinsip-prinsip self assessment. Lemahnya fungsi pembinaan pajak dengan prinsip self assessment, wajib pajak memiliki peran dalam menyukseskan pelaksanaan pemungutan pajak, 7
sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi, “Wajib pajak merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakan sebagai pelaksanaan kewajiban negara.” Jadi fungsi pembinaan adalah membangun kesadaran wajib pajak agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakan. Selama ini, fungsi pembinaan pajak tidak dilakukan secara terencana, berkesinambungan, dan terintegrasi. Pembinaan masih terbatas pada kegiatan mengkampanyekan pajak. Seharusnya diperlukan bimbingan dan pendampingan terus-menerus karena pajak merupakan masalah yang rumit. Hal ini penting mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk perlu arah dan strategi tepat. Begitu pula generasi terus berganti, yang tua suatu saat akan digantikan generasi berikutnya, yang tadinya anak-anak suatu saat menjadi wajib pajak berpotensi untuk menjadi pembayar pajak. Dari pembinaan yang terencana, berkeseimbangan, dan terintegrasi akan dapat dipetakan tingkat kepatuhan masyarakat pajak Indonesia. Hal ini akan memudahkan aparatur dalam mengawasi wajib pajak. Dua, Pembentukan akan representatif. Setelah reformasi birokrasi, Direktorat Jenderal Pajak menyediakan akun representatif atau AR. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, AR berperan sebagai konsultan yang akan memberikan arahan bagi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban pajaknya. Namun, keberadaan AR kurang mendapat tanggapan secara positif dari masyarakat. Dalam perkembangannya ternyata peran AR seringkali tidak jelas di lapangan, batas wewenang, dan tanggung jawabnya. Mereka bukan lagi sebagai penyuluh tapi lebih sebagai petugas pengawas pajak agar wajib pajak dapat dikenakan pajak. Tentu saja peran AR tersebut menyalahi prinsip self assessment. Peran AR yang harusnya dapat membangun kesadaran wajib pajak tapi pada kenyataannya lebih sebagai petugas pajak yang mencari-cari kelemahan wajib pajak demi target penerimaan pajak. Hal ini mengakibatkan sistem pajak Indonesia rentan penyimpangan. Dua. Menjauhnya prinsip self assessment. Sejak tax reform sejak tahun 1984, sistem pajak Indonesia tidak sepenuhnya dibangun dengan prinsip self assesement system. Bahkan semakin lama perkembangannya semakin menjauh dari prinsip-prinsip self assessment system. Seharusnya penyelenggaraan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan prinsip tersebut termasuk mental yang terbangun pembuat kebijakan, pemeriksa pajak, sampai para petugas pajak di lapangan. Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan sistem self assessment cenderung mengalami staknasi. Sampai saat … sampai dengan saat ini wajib pajak belum sepenuhnya 8
melakukan penghitungan, penyetoran, maupun pelaporan hutang pajaknya. Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak sering mengarah pada sistem quasi self assessment atau quasi official assessment. Terminologi quasi yang diartikan semu dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang jarang selama ini tidaklah murni. Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah. Pada tahun 2003 pemerintah menetapkan PP46 dengan mengenakan sebesar 1% dari omset dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil menengah. Begitu pula sistem quasi official assessment juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak, yaitu melakukan canvassing atau penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena akan canvassing justru menunjukkan tingkat kepatutan perpajakan atau tax complaint yang rendah karena metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Tiga. Dampak dari tolak ukur target penerimaan. Dengan target pajak menjadi tolak ukur keberhasilan menjadikan mental yang terbangun mengarah pada cara mengejar target penerimaan setinggitingginya untuk memenuhi target fiskus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Para kepala kantor mengakali penerimaan dan pengeluaran pajak dengan menggunakan modus mempercepat penyelesaian kasus pemeriksaan. Memaksakan pengenaan pajak yang bersifat grey area, memajukan angsuran PPh 25, menunda pencairan restitusi, menolak keberatan, menolak permohonan pengurangan angsuran, dan lain-lain demi pencapaian target penerimaan tahun ini. Artinya, penerimaan pajak yang menjadi hak tahun depan dimajukan ke tahun sekarang. Sebaliknya, pengeluaran tahun ini ditunda tahun berikutnya. Modus ini marak terjadi … sebelum terjadi kebijakan reformasi birokrasi. Target penerimaan yang belum tercapai terkadang juga membuat fiskus bersikap sangat selektif dalam menerima keberatan, terlebih apabila menyangkut jumlah yang materiil. Seringkali kasus keberatan ditolak bukan karena tingkat kebenaran kasus tersebut tapi lebih dikarenakan pertimbangan dampak terhadap target penerimaan. Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun cara tersebut dirasa tidak sesuai dengan prinsip self assessment system karena akan menimbulkan efek negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu juga dalam jangka pajang dapat menimbulkan kekacauan, misalkan potensi pajak masing-masing KPP sulit terukur. Momentum pengenaan pajak menjadi tidak jelas, kesulitan dalam menilai prestasi kerja aparatur kerja, menyuburkan terjadinya korupsi, dan lain-lain. Empat. Maksimalisasi target penerimaan. Dengan prinsip sistem self assessment, target penerimaan seharusnya mengarah pada titik 9
optimum yang bisa digali atau optimalisasi. Idealnya, pemungutan pajak tidak melebihi titik optimum atau bahkan melebihi potensi pajak sesungguhnya sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan penggalian potensi pemerintah melalui profiling atau benchmarking wajib pajak potensial. Profiling dilakukan untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan akan dikelompokkan berdasarkan jenis usaha yang sama sehingga dirjen pajak memiliki acuan atau benchmark mengenai kondisi usaha dan laba yang diperoleh wajib pajak di store tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih diintensifkan sehingga dapat memetakkan potensi setiap wajib pajak berapa tingkat optimum yang mampu mereka bayar. Namun pada kenyatannya selama ini kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya atau maksimalisasi. Hal ini tentu saja dapat memberikan … memberatkan masyarakat yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak. b. Pembangunan Sistem Pajak Yang Tidak Mengarah Pada Cita-Cita Pajak Bangsa 1. Arah kebijakan yang bertumpu pada target penerimaan. Dari tahun ke tahun pembuat kebijakan lebih berfokus pada pencapain target penerimaan. Ada kecenderungan pembuat kebijakan lebih fokus pada bagaimana menaikan target penerimaan. Perangkat hukum tinggal disiapkan agar kebijakan tersebut menjadi legal. Tentu saja tolak ukur target penerimaan pada akhirnya menjadikan masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan karena masyarakat sebagai pihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Masyarakat menjadi pihak yang harus menanggung beban atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan di saat target penerimaan pajak tercapai dan dianggap sebagai suatu keberhasilan, maka tahun berikutnya target penerimaan akan dinaikkan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya akan lebih memberatkan masyarakat jika target penerimaan pajak tidak tercapai yang dianggap sebagai kegagalan karena pemerintah akan melakukan berbagai upaya yang intinya akan menaikkan target penerimaan pajak pada akhirnya masyarakat hanya (suara tidak terdengar jelas) sebagai objek (suara tidak terdengar jelas) pajak. Potensi pajak masyarakat yang sesungguhnya tidak pernah tergali bahkan cenderung menjadi semakin menjauh. 2. Sistem pajak Indonesia tidak memiliki grand design. Dari hasil penelusuran serta wawancara yang mendalam terbukti sejak tax reform tahun 1983 sampai saat ini sistem pajak Indonesia tidak pernah memiliki grand design sebagai cetak biru atau blue print dalam penyelenggaraan dan pemungutan pajak. Sistem pajak Indonesia tidak memiliki area yang jelas dan startegi dalam pencapaian cita-cita pajak bangsa. Hal ini menjadikan tidak 10
ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam merancang kebijakan pajak pada akhirnya secara fragmatis terminology tax ratio dan maksimum budget menjadi dasar dalam proses pembuatan kebijakan. Begitu pula seringkali menjadikan pembenahan pajak Indonesia kurang tepat bahkan tidak jarang menimbulkan masalah baru yang seringkali menambah rumitnya permasalahan yang terjadi. Permasalahan pajak Indonesia juga menjadi semakin sulit untuk dipetakan saat lembaga pajak terkait atau tax stakeholder tidak memiliki data yang secara akurat dapat dijadikan acuan dalam pembuatan pajak. 3. Cita-cita pajak bangsa dan grand design Bila mengacu keterangan di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan maka tertuang harapan serta cita-cita pajak bangsa di bidang pajak. Cita-cita tersebut seharusnya menjadi tujuan bagi pemerintah dalam membangun sistem pajak Indonesia. Cita-cita tersebut harus dituangkan dalam satu grand design sebab grand design pajak akan membuat rancangan besar sistem pajak Indonesia akan membawa sistem pajak Indonesia menuju cita-cita pajak bangsa. Grand design nantinya akan menjadi induk utama sebagai dasar dalam membangun dan menyelenggarakan sistem pajak Indonesia. Dengan adanya grand design memudahkan dalam merancang pedoman serta perbaikan tata kelola sistem perpajakan Indonesia sehingga sistem perpajakan Indonesia memiliki peta jalan atau road map yang berisi rencana operasional tahapan serta langkah-langkah strategi yang berkelanjutan dalam pencapaian sasaran pembangunan dan cita-cita pajak Indonesia. Selain itu juga melalui grand design yang dapat dirancang cetak biru atau blue print dari sistem pajak Indonesia. Blue print merupakan definisi Wikipedia diartikan sebagai kerangka kerja terperinci sebagai landasan pembuatan kebijakan yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi pelaksanaan program dan fokus kegiatan, serta langkah-langkah implementasi yang harus dilakukan dari setiap lembaga sampai unit yang terkecil dari lembaga-lembaga pajak terkait. Cita-cita dan harapan pajak Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 tentang Ketentuan Umum Tata Perpajakan tersebut adalah: 1. Wajib pajak merupakan subjek yang harus dibina, diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakan sebagai pelaksanaan kewajiban negara. 2. Tuntutan masyarakat terhadap adanya aparatur pajak yang makin mampu dan bersih. 3. Dengan adanya self assessment diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan berbelit dan birokrasi akan dihilangkan. 11
4. Ketetuan peraturan pajak yang baru akan lebih memperhatikan jaminan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban wajib pajak dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran tanggung jawab perpajakan di masyarakat. 5. Adminsitrasi perpajakan akan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pengumpulan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pada akhirnya sistem yang terbangun diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya pemeirataan pendapatan masyarakat. Peningkatan serta pelulusan tingkat kewajiban perpajakan peraturan dan perluasan objek kena pajak dan peningkatan penerimaan pajak … penerimaan negara sejalan dengan perkembangan nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita proklamasi. Tujuan dan cita-cita bangsa tersebut dipertegas kembali pada revisi Undang-Undang Pajak Tahun 1994 dan 2000 yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimana bukan hanya butir yang disebutkan sebelumnya, tapi lebih diperluas lagi dalam rangka memenuhi amanat GBHN. 1. menuju kemandirian bangsa dalam membiayai negara dan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak. 2. Menunjuk ... menunjang pemerataan pembangunan dan menodorong investasi. 3. Menunjang usaha peningkatan ekspor. 4. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil. 5. Menunjang usaha pengembangan usaha so admin … SDM, teknologi, dan ilmu pengetahuan. 6. Menunjang usaha pelestarian ekosistem. 7. Menunjang usaha meningkatkan keadilan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. 8. Menunjang usaha terciptanya aparatur pajak yang makin mampu dan bersih, peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, peningkatan pengawasan, serta penegakan hukum yang berlaku. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. I. Kebijakan tax amnesty semakin membuat rapuhnya sistem pajak Indonesia, kami melihat berdasarkan ulasan penelitian yang sebelumnya kami jelaskan tadi. Tidak adanya pedoman yang dapat dijadikan dasar, menjadikan pembuat kebijakan tax amnesty lebih
12
memfokuskan diri pada target penerimaan. Kebijakan ini tentunya membuat semakin rapuhnya sistem pajak Indonesia. 1. Mengabaikan prinsip perpajakan Indonesia. a. Kebijakan yang menakutkan bagi masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menjadikan masyarakat menjadi resah, sebagai dampak dari salah sasaran. Masih minimnya pengetahuan pajak masyarakat, serta lemahnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah akan Undang-Undang Pengampuan Pajak menjadikan kebijakan ini menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Target memasukkan tax amnesty menjadikan aparatur di lapangan menyasar kepada masyarakat untuk ikut tax amnesty. Padahal, selama ini masyarakat telah dipotong pajak atas penghasilan yang diperoleh selama ini. Hanya karena harta yang tidak dicantumkan dalam SPT tahunan menjadi mereka sasaran untuk ikutkan tax amnesty. Hal ini tentunya menjadikan mereka dikenakan pajak 2 kali (double tax section). Hal berbeda bila dibandingkan dengan para pengemplang pajak yang bertahun-tahun memang tidak pernah membayar pajak. Uang tebusan tax amnesty sebagai cara untuk menahan pajak yang selama ini tidak pernah dikenakan. Tentu saja, hal ini selain tidak memenuhi unsur keadilan, juga tidak ada kepastian hukum. Karena kebijakan tax amnesty melukai wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak pasti adanya kemungkinan untuk dikenakan pajak kembali. Hal ini tentu menimbulkan efek kurang baik bagi membangun kesadaran pajak masyarakat. b. Berbagai kepentingan menunggangi kepentingan tax amnesty dan membuka peluang berbagai penyimpangan. Kebijakan tax amnesty yang lebih memfokuskan daripada target penerimaan menjadikan berbagai kepentingan masuk mendompleng kepentingan pajak itu sendiri. Dari kepentingan para pihak terkait dalam merancang kebijakan tax amnesty, bila target penerimaan tersebut tercapai yang dianggap sebagai pencapaian prestasi kerja. Para oknum aparatur pajak yang merangkap … yang sering kali merangkap sebagai konsultan pajak fiktif. Kemudian, para konsultan dan fraksi pajak akan mengambil peluang dalam membuka training dan pengurusan tax amnesty. Para pihak dalam memanfatkan terkait dengan pencucian uang. Sampai para oknum yang selama ini menaruh uangnya di luar negeri memungkinkan mengatur kebijakan ini agar dapat disahkan DPR … disahkan DPR sehingga uang mereka dapat diputihkan secara hukum. Tentu saja kebijakan ini semakin membuat maraknya korupsi di lingkungan pajak. 13
c. Rendahnya kinerja pemerintah dan aparatur pajak. Selain itu, kebijakan ini juga menggambarkan rendahnya kinerja pemerintah dan lembaga pajak dalam mengejar para wajib pajak yang nakal. Bertahun-tahun mereka tidak pernah membayar pajak, diputihkan dengan hanya membayar uang penebusan dengan tarif yang rendah. Mereka yang dihapuskan dendanya adalah para wajib nakal ... para wajib pajak nakal. Sangat tidak masuk akal, wajib pajak nakal malah mendapat pengampunan. Kebijakan tentu ... kebijakan ini tentunya sangat menyakitkan bagi para wajib pajak patuh. Banyak di antara mereka tidak semata-mata menyetor pajak, tapi juga mengeluarkan biaya karena menggunakan konsultan, mengorbankan waktunya, harus mengantre, mendalami peraturan, dan seterusnya. Seharusnya, fasilitas dan keringat yang diberikan kepada wajib pajak patuh, bukan wajib pajak nakal. Dengan memberikan pengampunan kepada para wajib nakal tentunya menimbulkan akses negatif terhadap kesadaran pajak masyarakat. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan perlawanan pasif dari masyarakat. Selain itu, jatuhnya wibawa pemerintah dalam penegakan hukum pajak, kebijakan ini akan berpengaruh di masyarakat. Mereka menjadi enggan untuk patuh, mereka berpikir suatu saat pasti ada pengampunan pajak dan itu bisa dimanfaatkan. 2. Tidak memiliki arah yang jelas. Target pemerintah untuk mendapatkan penerimaan Rp165 triliun merupakan target penerimaan sesaat. Kebijakan ini tidak menggali potensi pajak yang sesungguhnya, bahkan cenderung merusak sistem pajak itu sendiri. Kebijakan ini tanpa didasarkan pada perencanan yang matang, makanya banyak masalah pada saat pelaksanaan di lapangan. Kebijakan ini juga bersifat trial an error karena hanya bertumpu pada terget penerimaan. Salah satu cita-cita pajak tertulis menunjang usaha pembangunan usaha kecil. Kebijakan tax amnesty kurang menyentuh potensi pajak UMKM, kebijakan ini hanya memfokuskan pada berapa target penerimaan uang penebusan UMKM dari kebijakan tax amnesty. Tarif UMKM yang lebih rendah dibanding tarif umum lainnya tidak bisa dianggap sebagai cara dalam mewujudkan pengembangan usaha kecil. Berdasarkan data statistik di Indonesia, terdapat 57,9 juta pengusaha usaha mikro kecil dan menengah, UMKM. UMKM Indonesia juga menguasai seperempat dari potensi pertumbuhan pasar pengusaha kecil dan menengah di ASEAN. Selain itu, UMKM Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total GBB dan menampung 97% dari total tenaga kerja Indonesia. Ini merupakan potensi besar bagi pajak untuk dikembangkan. Para UMKM membutuhkan pembinaan dan bimbingan tentang kesadaran 14
pajak karena umumnya mereka belum mampu membayar konsultan pajak. Pembinaan kesadaran pajak UMKM akan berdampak jauh lebih strategis dalam menggali potensi pajak UMKM dibandingkan hanya menurunkan tarif agar mereka ikut tax amnesty. Bila target tax amnesty tercapai, sebenarnya suatu hal yang wajar karena jumlah tersebut sangatlah kecil bila dibandingkan dengan besarnya kerugian negara yang merupakan akumulasi bertahun-tahun dari para pengemplang pajak yang tidak pernah membayar pajak. Pemerintah tidak pernah menghitung secara transparan berapa kerugian negara atas pembebanan ... pembebasan pajak tersebut. Begitu pula sebagai hal wajar bila negara lain takut dengan kebijakan tersebut, mengingat selama ini mereka menikmati dana yang diparkir tersebut selama bertahun-tahun. Seharusnya Pemerintah sudah mengantisipasi sejak lama agar dana-dana tersebut tidak lari ke luar negeri melalui berbagai elemen kebijakan dan tidak harus mengorbankan sistem pajak secara instan. Demikian keterangan Ahli, terima kasih atas perhatian, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Wassalamualaikum wr. wb. 22.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam wr. wb. Terima kasih, Pak Basuki, silakan duduk.
23.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Sama-sama.
24.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Aman, ya, Pak Bas, dekat Pemerintah, enggak apa-apa toh. Sebelum saya minta Pak Akhmad, saya panggil masuk. Pak Makmur sudah hadir, ya? silakan, Pak Makmur Amin, Ahli dari Pemohon Nomor 63/PUU-XIV/2016. Langsung saja dua-duanya kita dengar pada persidangan kali ini. Silakan maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Pak Makmur beragama Islam, ya? Baik, diletakkan, maju ke depan untuk diambil sumpahnya. Yang Mulia Pak Wahid, mohon berkenan.
25.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, kepada Ahli untuk mengikuti lafal yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 15
26.
SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Silakan kembali. Pemohon Nomor 63 Pak Eggi, siapa dulu yang kita dengar? Pak Makmur atau Pak Akhmad?
28.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Pak Makmur. 29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Makmur, sekaligus. Masih ... sudah anu toh ... sudah tenang, enggak terengah-engah, toh? Langsung saja, Pak Makmur. Silakan. Itu dinyalakan, Pak. Ya.
30.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: MAKMUR AMIR Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Sejak diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pada tanggal 1 Juli 2016, terdapat sejumlah persoalan konstitusionalitas norma yang begitu krusial dan telah merugikan Para Pemohon. Norma yang diujikan oleh Para Pemohon dari Undang-Undang Pengampunan Pajak termaktub dalam sejumlah pasal, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun fokus utama dalam hal ini sebelum masuk ke normanorma yang diujikan oleh Para Pemohon kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi adalah terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional dari Para Pemohon yang telah nyata-nyata dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak. Hal ini sesuai dengan penugasan resmi dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Nomor 326/UN2F5D/SDM0300/2016. Perihal penugasan ahli berdasarkan
16
permintaan dari Dr. Eggi Sudjana, selaku Kuasa Hukum dari Para Pemohon. Oleh karena itu, perlu kiranya dalam hal ini Ahli menjelaskan kedudukan hukum daripada Pemohon itu sendiri. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu. a. Perorangan warga negara Indonesia. b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. c. Badan hukum publik atau privat. Atau, d. Lembaga negara. Kualifikasi Para Pemohon yang berhak mengajukan pengujian norma ke Mahkamah Konstitusi tersebut sama halnya dengan yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Terkait dengan hal ini perlu pula ditegaskan bahwa masing-masing Pemohon dalam Perkara 63/PUU-XIV/2016 ini, yakni dari KSPI, Partai Buruh, dan SBSI, masing-masing telah memenuhi Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana dalam norma ini dinyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat mengajukan uji meteriil kepada Mahkamah Konstitusi dikarenakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak ini, yaitu badan hukum publik atau privat. Hal ini dibuktikan pula bahwa masing-masing dari Pemohon tersebut jelas status hukumnya, misalnya untuk Serikat Buruh Sejahtera Indonesia tercatat sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM pada Desember 2015. Hal yang sama juga berlaku untuk Konfederasi Serikat Kerja Indonesia dan Partai Buruh. Oleh karena itu, dari sisi Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah terpenuhi. Lebih lanjut lagi, hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) UndangUndang MK tersebut juga dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saja yang termasuk hak konstitusinoal. Oleh karena itu, menurut undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai 17
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam Pemohon a quo sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo. Mengenai batasan kerugian konstitusional Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi lima syarat, yaitu Putusan Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, yaitu sebagai berikut. a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. b. Bahwa hak/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 merupakan suatu yurisprudensi tetap dan dalam hal ini perlu kiranya menjelaskan bahwa kelima syarat tersebut telah dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang Pengampunan Pajak, sehingga Para Pemohon memiliki kualifikasi kedudukan hukum sebagai Para Pemohon. Adapun masing-masing syarat tersebut dapat dibuktikan yakni sebagai berikut. 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Para Pemohon dalam hal ini mewakili serikat buruh adalah wajib pajak yang patuh dan merasa dirugikan dengan keberlakuan UndangUndang Pengampunan Pajak, karena amnesty pajak tersebut lebih rendah dari tarif normal. Sehingga dalam hal ini yang diuntungkan adalah pihak-pihak yang memiliki keuangan yang banyak. Hal ini nyata-nyata tidaklah sejalan dengan perintah konstitusi, yakni dalam 18
2.
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan sebagai berikut. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Keberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak tersebut telah menyebabkan bergesernya sistem perpajakan yang semula secara filosofis memiliki sifat memaksa, menjadi sistem perpajakan yang kompromis, melalui sistem pengampunan. Sehingga dalam hal ini, yang dirugikan adalah Pemohon selaku perwakilan serikat buruh, karena buruh justru memiliki keuangan yang tidak seberapa. Justru merupakan pembayar pajak yang patuh. Sedangkan para pihak yang memiliki keuangan dalam jumlah besar, justru diberikan pengampunan dalam membayar pajak. Selain juga hal ini, tentunya telah menghilangkan potensi pemasukan negara secara pasti dalam penerimaan pajak negara. Kedudukan Pemohon selaku pembayar pajak juga sesuai dengan yurisprudensi lainnya, yakni putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 dalam pengujian formil perubahan kedua Undang-Undang Mahkamah Agung yang menyebutkan sebagai berikut. Dari praktik Mahkamah 2003-2009 perorangan Warga Negara Indonesia, terutama pembayar pajak (tax payer) vide putusan Nomor 003/PUU-I/2003 tanggal 29 Oktober 2004 sebagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu undang-undang demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain. Oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ada lebih baik daripada membuat Undang-Undang Pengampunan Pajak ini pula. Bisa menjadi solusi, yakni cukup memperbaiki undang-undang lain terkait dengan perpajakan. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut, dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Pemohon yang dalam hal ini mewakili serikat buruh mempersoalkan misalnya mengenai frase yang uang tebusan dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pengampunan Pajak. Pemerintah dalam hal ini telah melakukan diskriminasi dengan memposisikan wajib pajak yang taat pajak dengan yang tidak taat pajak secara berbeda. Serta cenderung memberikan perlakuan khusus kepada wajib pajak yang tidak taat dalam melakukan pembayaran pajak yang dengan sengaja telah menghilangkan penerimaan negara dengan menyembunyikan hartanya, yang justru oleh negara diberi reward dengan cukup membayar uang tebusan sehingga jelas dalam hal ini, Pemohon selaku pembayar pajak yang taat dengan keberlakuan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pengampunan Pajak tersebut telah nyata-nyata dirugikan dan hal ini 19
jelas bertentangan dengan amanat Pasal 28 d ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga dalam hal ini jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional telah dirugikan dengan keberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Dalam hal ini misalnya Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pengampunan Pajak, karena terdapat perlakuan yang tidak sama/tidak setara antara Pemohon yang mewakili serikat buruh, yang merupakan wajib pajak yang taat membayar pajak dan para pihak yang mempunyai keuangan besar selaku wajib pajak yang tidak taat dalam melakukan pembayaran pajak dan sengaja telah menghilangkan penerimaan negara dengan menyembunyikan hartanya. Ketidaksetaraan ini juga bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mendalilkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum karena justru ketidakpatuhan atas hukum, yakni dalam hal ini kewajiban membayar pajak, justru oleh negara diberi reward dengan cukup membayar uang tebusan. Hal yang sama juga seperti termaktub dalam Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak ini yang menyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampiranya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal a quo disebutkan pula bahwa tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain. Pidana lain di sini berarti Undang-Undang Pengampunan Pajak ini jelas … jelas telah menjadi legalisasi kejahatan dan dalam hal ini pidana lain. Sangat mungkin berpotensi di dalamnya kejahatan luar biasa, misalnya pidana korupsi. Hal ini adalah kekeliruan besar yang menjadikan bahwa korupsi dimaafkan hanya demi melaksanakan visi-misi. Begitu juga program pemerintah, yang mana diuntungkan dan naik daun karenanya adalah rezim pada saat ini padahal dengan cara-cara yang keliru. Di negara-negara lain tax amnesty justru ada untuk membangun ekonomi. 31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Agar dipercepat, Pak.
20
32.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: MAKMUR AMIR Kenapa?
33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Agar dipercepat.
34.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: MAKMUR AMIR Ya. Yang ketiga, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa terdapat kerugian konstitusional yang jelas-jelas spesifik dirasakan telah merugikan Pemohon. Keberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak ini nyata-nyata telah memberikan perlakuan khusus bagi pihak-pihak yang justru tidak taat membayar pajak seperti halnya Pemohon. Pihak-pihak tersebut justru dikenakan sanksi pajak dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, yakni sejak peserta pengampunan pajak mendapat tanda terima pernyataan dan surat keterangan pengampunan pajak yang diterbitkan oleh menteri. Ketentuan pasal 11 undang-undang pengampunan pajak menurut Pemohon bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Bahwa menurut Para Pemohon, pemberian hak khusus yang bersifat ekslusif melalui frasa tidak dilakukan dalam Pasal 11 ayat (2), frasa yang ditangguhkan dalam Pasal 11 ayat (3), dan frasa pengampunan pajak dalam Pasal 11 ayat (5) telah bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Perlakuan khusus yang justru malah terlihat seakan-akan berupa reward kepada pihak-pihak yang justru tidak taat membayar pajak itu pula, diakui dalam konsideran Undang-Undang Pengampunan Pajak ini. Dimana dalam konsideran huruf c yang juga merupakan landasan sosiologis undang-undang a quo dinyatakan bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban pajaknya masih perlu ditingkatkan karena terdapat harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan. Seharusnya ada sanksi yang 21
justru diberlakukan bagi pihak-pihak yang nyata melakukan tindakan koruptif seperti ini. Namun, di luar dugaan justru negara dalam hal ini melegalkanya dan memberikan reward yakni pengampunan kepadanya. Empat. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Bahwa Pemohon mendalilkan dalam … bahwa Pemohon yang mewakili serikat buruh adalah wajib pajak yang patuh dan merasa dirugikan dengan keberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak karena amnesty pajak tersebut lebih rendah dari tarif normal. Sehingga dalam hal ini yang diuntungkan adalah pihak-pihak yang memiliki keuangan yang banyak. Dalam hal ini Pemerintah justru memperlakukan Pemohon secara berbeda dalam hal ini membayar pajak dan hal ini merupakan pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Pasal 28I ayat (4) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Adapun lebih lanjut lagi, keinginan Pemohon untuk menuju Undang-Undang Pengampunan Pajak ini juga sejalan dengan perintah konstitusi yakni dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan sebagai berikut, Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang sehingga dalam hal ini Pemohon memiliki kedudukan hukum dan sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon dapat diterima. Hal ini pula serupa secara filosofis sebagaimana terakhir terjadi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2014 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016. Dalam pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menekankan mengenai relevansi suatu permohonan dengan kerugian konstitusional yang dimiliki dan dialami oleh Pemohon. Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut mendasarkan pada asas hukum bahwa tiada kepentingan, maka tiada gugatan atau yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam reglement op de rechtsvordering, khususnya dalam Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa tiada gugatan tanpa hubungan hukum. Hal ini lain juga ya … yang juga dapat menjadi analogi lainnya kaitannya dengan adanya hubungan sebabakibat, dalam hal ini seperti misalnya buruh dapat berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial kaitannya dengan pengaturan yang di bawah level undang-undang. Maka, sudah patutnyalah buruh dalam hal ini dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi dalam hal kaitannya dengan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22
Yang kelima. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Pemohon juga mendalilkan misalnya terkait dengan pembatasan penyelesaian sengketa pengampunan pajak yang hanya pada gugatan peradilan pajak yang diatur dalam Pasal 19A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak merupakan bentuk diskriminasi hukum dan pengingkaran terhadap berlakunya aspek hukum lain dalam ranah perpajakan, yaitu hukum pidana dan hukum administrasi. Sehingga, ketentuan a quo menuntup akses pencarian keadilan secara materiil untuk mendapatkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan di dunia perpajakan. Hal ini jelas dan nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan secara tegas menyatakan sebagai berikut. “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Sebagaimana diketahui bahwa frasa diatur dengan undangundang adalah jelas merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang. Namun, terdapat pula batasan yang tidak boleh tidak pembentukan undang-undang (suara tidak terdengar jelas). Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51, Nomor 52, Nomor 59/PUU-VI/2008 yaitu, “Pertimbangan putusan angka 3.17 yang menyatakan bahwa menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tidak … tetap tidak dapat membatalkannya. Sebab yang dinilai buruk, tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, walaupun dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan bahwa pengaturan mengenai pajak lebih lanjut lagi diatur dengan undang-undang, namun jangan pernah melupakan frasa pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa. Karena dengan keberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak ini, sifat memaksa ini hanya berlaku bagi Pemohon selaku perwakilan buruh yang tidak lebih dari sekadar rakyat kecil bila dibandingkan dengan pihakpihak yang mempunyai keuangan yang besar yang justru diistimewakan sehingga walaupun pengaturan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang, namun tetap hal ini sebagaimana yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung … Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-VI/2008, Nomor 52/PUU-VI/2008, Nomor 59/PUU-VI/2008 telah 23
jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Hal ini jelas-jelas melanggar karena tidak sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak boleh seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Demikian, keterangan saya sampaikan. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikum salam wr. wb. Terima kasih, Pak Makmur Amin, silakan duduk. Berikutnya, Pak Akhmad Akbar, saya persilakan.
36.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AKHMAD AKBAR SUSAMTO Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Izinkanlah saya untuk pada kesempatan ini memberikan pandangan mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, khususnya dari sudut pandang saya sebagai seorang pembelajar ekonomi. Judul apa yang saya sampaikan adalah “Meluruskan Kekeliruan-Kekeliruan Berpikir Terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.” Saya akan mulai terlebih dahulu dengan menjelaskan empat poin yang menunjukkan kekeliruan berpikir dalam undang-undang ini. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, saya mulai dengan kekeliruan yang pertama, yaitu kekeliruan yang menyangkut dasar pemikiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pembangunan nasional sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan sejahteraan rakyat, memang memerlukan pendanaan besar. Dalam konteks Indonesia saat ini, pendanaan bangunan dapat berasal dari berbagai sumber termasuk di antaranya dalah penerimaan pajak. Penerimaan pajak merupakan komponen penerimaan terbesar pemerintah dalam APBN, misalnya tahun 2015 penerimaan yang bersumber dari pajak menyumbang 84,5% total pendapatan negara dan hibah yang direncakan. Tahun ini tepatnya dalam APBN perubahan 2016 penerimaan yang bersumber dari pajak diharapkan mencapai Rp1.539,166 trilliun atau 86,2% dari total pendapatkan negara dan hibah yang mencapai Rp1.7826,225 trilliun. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar bersungguhsungguh menegakkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perpajakan. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 24
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan sebagaimana telah diundang ... diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Paksa Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diundang ... diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan diperlukan, tetapi bukan yang paling utama sebab pada hakikatnya pemungutan pajak bukan didasarkan pada kesukarelaan. Oleh karena itu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, keliru menurut saya, jika Undang-Undang Nomor 19 ... 11 Tahun 2016 dalam konsiderannya antara lain menyebutkan fakta bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksankan kewajiban perpajakan yang masih perlu didekatkan sebagai dasar pemikiran untuk pengampunan pajak. Jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23A pemungutan pajak bersifat memaksa, sifat memaksa ini telah diturunkan dalam sejumlah undang-undang yang tadi sebagian sudah saya sebutkan. Pemerintah dalam undang-undang itu disebutkan tidak hanya memiliki wewenang untuk memberikan sanksi administasi kepada para wajib pajak tak, tak taat, tapi juga melakukan penyidikan, tindak pidana di bidang perpajakan, dan membawa perkara pidana di bidang perpajakan tersebut ke pengadilan. Oleh karena itu, ketika pemerintah mengakui bahwa terdapat harta bagi dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam suatu pemberitahuan pajak penghasilan. Maka, kewajiban pemerintah adalah mengejar tunggakan pajak dari harta tersebut, terlebih pemerintah dalam berbagai kesempatan selalu menyebutkan angka-angka yang fantastis sebagai contoh Pemerintah sebagaimana yang dibacakan oleh Menteri Kuangan dalam sidang tanggal 20 September yang lalu pernah menyebutkan, misalnya US$200 miliar atau sekitar Rp2.600 trilliun yang disimpan di negara Singapura sendiri dan sebagainya. Namun, bukannya berusaha mengejar tunggakan pajak dari para wajib pajak taat, pemerintah bersama DPR justru membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Undang-undang ini memberi pengampunan kepada para wajib pajak yang selama ini tak taat dengan uang tebusan yang sangat kecil. Ketua dan anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, kekeliruan berpikir yang menyangkut alasan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 terjadi karena sesuatu yang implisit yang tidak dapat disebutkan sangat tegas oleh DPR dan Pemerintah sebagai dasar pemikiran pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Apakah itu? Menurut saya ada 2 hal. Pertama, pemerintah tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menegakkan 25
peraturan perundang-undangan yang menyangkut pemungutan pajak, dengan berbagai keterbatasan yang ada baik menyangkut organisasi, sumber daya manusia, maupun basis data dan teknologi informasi, dan komunikasi, Direktorat Pajak sebagai organ Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pemungutan pajak tidak mampu mendeteksi ketidakpatuhan memberikan sanksi administrasi kepada wajib pajak tak taat, melakukan pendidikan tindak pidana diperpajakan, apalagi membawa perkara pidana di bidang ke pengadilan. Dalam keterangan Presiden atas permohonan pengujian UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tanggal 20 September yang sudah dibacakan yang lalu, tersempit pengakuan ini yang membenarkan ketidakkemampuan pemerintah tersebut. Di sana disebutkan bahwa tanpa Undang-Undang Pengampunan Pajak yang menjadi bridge to legality atau sebagai jembatan kepatuhan bagi wajib pajak yang menempatkan dananya di luar negeri, maka data-data mereka tersebut akan sulit dapatkan oleh otoritas perpajakan karena wewenang otoritas perpajakan saat ini masih sangat lemah. Pengakuan itu dibacakan oleh Menteri Keuangan, namun pengakuan tersebut bukan ditempatkan sebagai dasar pemikiran bagi pembentukan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 melainkan sebatas bagi keterangan pelengkap bagi tanggapan pemerintah tentang dampak pembatalan pengampunan pajak. Masalahnya adalah jika benar pemerintah tidak mampu menegakkan peraturan perundang-undangan tentang Perpajakan telah ada saat ini, maka sebagaimana mungkin mereka akan menegakkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 khususnya Pasal 18 ayat (3) dan (4), pasal ini ... ayat ini mengatur sanksi yang diberikan kepada mereka yang tidak melaporkan salah benar dalam kesertaan mereka dalam pengampunan pajak. Jadi, memang kalau tidak bisa menegakkan peraturan perundangundangan yang lain, maka bagaimana akan penegakkan peraturan perundang-undangan ini? sebaliknya jika pemerintah yakin akan dapat menegakkan ketentuan sebaimana telah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Pasal 18 ayat (3) dan (4) mengapa pemerintah harus membuat kebijakan pengampunan pajak? Mengapa sekali lagi mengapa pemerintah menegakkan saja peraturan perundang-undangan yang telah ada, sehingga penerimaan pajak negara dari penerimaan negara dari pajak meningkat. Itu yang pertama. Hal yang kedua yang kemudian membuat penjelasan tentang dasar pemikiran Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak ini menjadi tidak terlalu jelas karena secara implisit menurut saya, ada kepentingan besar yang berhasil mengambil kesempatan dalam kesempitan, ya, ada kepentingan besar yang berhasil mengambil kesempatan dalam kesempitan. Di tengah lambatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional dan global, dimunculkanlah alasan-alasan untuk 26
menjustifikasi pengampunan pajak, padahal alasan yang sesungguhnya berbeda. Sebagaimana kita tahu ini alasan yang sesungguhnya sebenarnya, salah satunya, sebagaimana kita tahu, kesepakatan sistem pertukaran formasi otomatis atau Automatic Exchange Of Information (AEOI) secara global akan berlaku pada tahun 2018. Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20 yang menandatangani Brisbane Communique akan mengadopsi sistem tersebut lebih awal mulai September 2017. Sistem pertukaran informasi otomatis akan memungkinkan pertukaran data perbankan dan data perpajakan antarnegara. Melalui sistem ini, semua rekening wajib pajak di luar negeri akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal. Dengan demikian, kemungkinan seorang wajib pajak untuk menghindari pajak dengan menyembunyikan harta di luar negeri akan sangat kecil. Begitu juga melalui sistem ini, otoritas pajak negara asal akan dapat lebih mudah mencegah praktik penghindaran pajak dengan menurunkan nilai penjualan kepada perusahaan terkait di luar negeri. Di dalam negeri, sistem pertukaran informasi otomatis akan diikuti perubahah peraturan tentang kerahasiaan bank. Saya kira beberapa kali di media disebutkan Pak Dirjen Pajak dan juga Menteri Keuangan menyebut tentang ini. Tidak bisa tidak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan khususnya Pasal 40 ayat (1) akan diamandemen. Mengapa? Karena tanpa perubahan ketentuan tersebut dan tanpa akses yang dimiliki pemerintah terhadap rahasia perbankan, maka Pemerintah Indonesia tidak akan bisa memenuhi kesepakatan di level internasional untuk bertukar informasi, rekening wajib pajak secara otomatis. Dengan demikian, di dalam negeri pun kemungkinan seorang wajib pajak untuk menghindari pajak dengan menyembunyikan harta juga akan menjadi kecil. Nah, ini poin pentingnya. Tanpa UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, para wajib pajak yang selama ini menyembunyikan harta di luar negeri dan di dalam negeri bukan hanya akan terkena kewajiban membayar pajak yang terhutang selama 5 tahun terakhir karena batas kedaluwarsa 5 tahun melainkan juga menanggung sanksi administrasi perpajakan berupa bunga dan denda dan bahkan risiko tuntutan perpajakan. Seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 22 ayat (1), “Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak baru akan kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun.” Itu pun masih bisa diperpanjang apabila terbukti bahwa seorang wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
27
dengan (suara tidak terdengar jelas) pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Nilai sanksi berupa bunga yang harus ditanggung para wajib pajak yang taat adalah 2% per bulan, 2% per bulan paling lama selama 24 bulan. Selain itu juga ditambah kenaikan sebesar denda-denda yang mencapai 50 sampai 100% dari hitungan tertentu. Sementara ketentuan pidana di bidang perpajakan untuk perbuatan yang pertama kali dilakukan adalah denda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terhutang dan paling banyak 2 kali jumlah pajak terhutang atau kurungan antara 3 bulan hingga 1 tahun. Singkatnya, tanpa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, para wajib pajak yang selama ini menyembunyikan harta di luar dan di dalam negeri akan benar-benar menghadapi situasi sulit pasca berlakunya sistem pertukaran informasi otomatis. Sebaliknya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, para pengemplang pajak tersebut akan aman, semua pajak yang seharusnya terhutang akan otomatis dihapuskan, begitu pula sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana akan dihapuskan. Sebagai imbalan, mereka hanya perlu membayar uang tebusan dalam proporsi yang sangat kecil dari nilai yang belum dilaporkan. Maka tidak mengherankan bila kemudian ada sebagian orang mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak merupakan jalan penyelematan bagi para wajib pajak yang selama ini tidak taat. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Tadi saya sempat menyinggung sekilas tentang kelesuan ekonomi domestik dan internasional. Mohon izin untuk menjelaskan sedikit mengenai kelesuan ekonomi domestik (suara tidak terdengar jelas) yang tadi saya sebutkan sekilas. Pemerintah selalu mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang lambat membuat realisasi target penerimaan pajak saat ini sudah terwujud. Tak lupa pemerintah juga selalu mengatakan bahwa kondisi perekonomian global yang lesu membuat pemerintah tak punya banyak pilihan. Faktanya, dulu kita pernah menghadapi situasi yang lebih sulit. Tahun 2000, 2001, 2002, 2003 kita juga pernah mengalami situasi yang sulit. Kondisi perekonomian kita pertumbuhannya bahkan lebih lambat daripada sekarang. Situasi perekonomian global juga lebih lambat daripada sekarang. Tetapi pada waktu itu, realisasi pajak hampir mencapai 100%. Pada tahun 2009, Indonesia pernah mengalami situasi yang juga sangat sulit. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut hanya 4,6%, lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang mencapai 4,8%. Kondisi perekonomian global pada tahun 2019 bahkan lebih parah pascaglobal ekonomi krisis. Namun kita tetap survive tanpa pengampunan pajak. Realisasi target prima negara pajak bahkan mencapai 94,3%. Mengapa? Mengapa saat ini kita dipaksa untuk 28
percaya bahwa pengampunan pajak jelas satu-satunya cara untuk selamat? Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Hingga akhir kuartal pertama 2016, realisasi target penerimaan pajak dalam APBN baru mencapai 13,6%. Memang realisasi ini paling rendah dibandingkan dengan realisasi sebelumnya selama 5 tahun terakhir untuk kuartal yang sama. Realisasi penerimaan pajak kuartal pertama tahun 2011 sampai 2014 misalnya, berkisar antara 19,2 sampai 19,7% . Sementara pada tahun 2015, 14,9%. Pertanyaannya, mengapa realisasi target penerimaan pajak kuartal 1 tahun 2016 sangat terbatas? Saya tidak ingin mengatakan bahwa realisasi target penerimaan pajak yang rendah pada awal tahun 2016 merupakan sebuah kesengajaan. Yang ingin saya katakan … misalnya, misalnya untuk memberikan justifikasi bagi pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. “Oh, penerimaan kita masih sedikit loh, maka kita perlu perngampunan pajak.” Kira-kira begitu. Namun, yang ingin saya katakan adalah bahwa besar kemungkinan realisasi target penerimaan pajak yang rendah tersebut dipengaruhi oleh ekspektasi dan perilaku para stake holder pajak terhadap UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016. Orang kemudian menunggu, yang harusnya mengejar pajak, tidak mengejar pajak. Karena apa? Tunggu sajalah, sebentar lagi ada pengampunan pajak. Yang harusnya membayar pajak, tunggulah, kita tunggu situasi sampai kemudian Undang-Undang ini keluar dan sebagainya. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Itu tadi adalah kekeliruan pertama yang berkaitan dengan dasar pemikiran bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Sekarang saya akan lanjut dengan kekeliruan yang kedua. Kekeliruan yang menyangkut tujuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 khususnya Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa pengampunan pajak bertujuan untuk. a. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi perekonomian melalui pengalihan harta yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan tingkat investasi. b. Mendorong reformasi perpajakan menuju situasi perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi, dan c. meningkatkan penerimaan pajak yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Pertanyaannya, seberapa jauh pengampunan pajak sebenarnya memiliki relevansi dengan ketiga tujuan tersebut? Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, tujuan pertama pengampunan pajak sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 lebih banyak terkait 29
dengan pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri atau lebih popular dengan sebutan repatriasi aset. Pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri memang dapat berdampak positif bagi perekonomian. Namun, pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri tak harus identik dengan pengampunan pajak, sebab masalah perpajakan bukanlah satu-satunya alasan seseorang menyimpan harta di luar negeri. Diantara alasan yang lain adalah melindungi harta dari instabilitas politik dan keamanan, menjaga nilai harta agar tak tergerus kondisi perekonomian (suara tidak terdengar jelas) yang sangat tidak stabil, misalnya nilai tukar rupiah yang naik turun dan sebagainya. Dan menjaga … dan mendiversifikasi portofolio. Oleh karena itu, untuk mengalihkan harta dari luar negeri ke dalam negeri yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan rasa aman dari instabilitas politik dan keamanan, memelihara stabilitas perekonomian, dan mendorong diversifikasi portofolio di pasar modal dan juga di berbagai bidang investasi yang lain. Pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri melalui … dari luar negeri ke dalam negeri melalui pengampunan pajak hanya relevan bagi mereka yang selama ini menyimpan harta di luar negeri karena alasan pajak. Lebih tegasnya, pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri melalui pengampunan pajak hanya relevan bagi para wajib pajak yang selama ini menyembunyikan harta di luar negeri karena memang niat melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Jikapun saya harus menambahkan pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri melalui pengampunan pajak mungkin juga relevan bagi mereka yang selama ini menyembunyikan harta di luar negeri karena hartanya memang bermasalah, misalnya harta yang diperoleh dari korupsi atau tindak kejahatan lain seperti perdagangan senjata atau perdagangan narkoba. Bagi mereka yang menyembunyikan harta di luar negeri karena alasan ini maka pengampunan pajak merupakan kesempatan emas untuk memutihkan harta mereka sehingga menjadi seolah-olah harta yang halal. Bagi mereka yang menyimpan uang di luar negeri bukan karena alasan pajak maka pengampunan pajak itu enggak relevan. Ketua dan Anggota Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, berkaitan dengan tujuan kedua. Reformasi perpajakan merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya pada tatanan kebijakan tapi juga pada tatanan sistem administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan diperlukan untuk mengikuti perkembangan zaman, memberikan rasa keadilan, menegakkan kepastian hukum, dan/atau menyempurnakan sistem yang ada. Sejarah mencatat bahwa bangsa … bahwa Indonesia pernah beberapa kali melakukan reformasi perpajakan, yaitu pada tahun 1983, 1994, 1997, dan 2000. Namun menjadi sebuah kekeliruan jika kita menerima begitu saja klaim DPR dan pemerintah bahwa pengampunan pajak yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 benarbenar bertujuan untuk mendorong reformasi pajak. 30
Pengampunan pajak yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 merupakan sesuatu yang muncul tiba-tiba di luar peta jalan reformasi perpajakan. Saya ulangi, pengampunan pajak yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 merupakan suatu yang muncul tiba-tiba di luar peta jalan reformasi perpajakan. Sebelum RUU tentang Pengampunan Pajak muncul, pemerintah sebenarnya telah terlebih dahulu menyiapkan RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. RUU ini sangat penting karena merupakan acuan bagi semua UU lain yang mengatur tentang perpajakan. Meskipun sudah masuk dalam daftar program registrasi nasional prolegnas prioritas sejak awal tahun 2015 RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan tersebut gagal dibahas DPR. Yang menarik, bukannya terus memperjuangkan RUU tentang perubahan kelima atas undang-undang tadi, pada bulan Oktober 2015 tiba-tiba pemerintah mengusulkan RUU tentang Pengampunan Pajak. Saat itu masih dengan judul RUU Pengampunan Nasional. RUU yang terakhir ini sempat dipaksakan masuk ke dalam prolegnas pada Januari 2016 sebelum ditolak oleh Bamus DPR pada Februari 2016. Setelah melalui perdebatan a lot, RUU tentang Pengampunan Pajak akhirnya dibahas DPR dengan proses yang tergesa-gesa, hanya dalam waktu beberapa minggu, RUU Pengampunan Pajak disetujui DPR pada Juni 2016. Bagaimana dengan RUU tentang Perubahan Kelima atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan? Sampai sekarang tak terbahas. Saya mungkin salah, namun sependek pengetahuan saya tidak ada satu pun dokumen semacam road map atau peta jalan yang pernah dibuat pemerintah sebelumnya yang menjelaskan di mana posisi pengampunan pajak dalam reformasi perpajakan Indonesia. Hadirin, Ketua, dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Pemerintah selalu mengklaim bahwa pengampunan pajak jika berhasil akan diberikan tambahan penerimaan pajak bagi negara. Ini berkaitan dengan tujuan ketiga. Dalam jangka pendek tambahan penerimaan akan berasal dari uang tebusan yang dibayar oleh para wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak. Dalam jangka panjang tambahan penerimaan dari pengampunan pajak berasal dari pajak yang dikenakan terhadap pendapatan aset produktif baru yang semula tak tercatat dan kini menjadi tercatat. Klaim tersebut hanya benar jika kita mengabaikan opportunity cost berupa potensi peneirmaan negara yang hilang dari pajak terutang, bunga pajak terutang, dan denda. Padahal bisa dipastikan bahwa sebenarnya nilai potensi penerimaan negara yang hilang dari pajak terutang, bunga pajak terutang, dan denda jauh lebih besar dari nilai total uang tebusan. 31
Klaim pemerintah bahwa pengampunan pajak akan menambah penerimaan jangka panjang hanya relevan jika kita mengabaikan fakta bahwa dalam waktu yang tak terlalu lama lagi sistem pertukaran informasi otomatis akan berlaku. Ingat sistem pertukaran informasi otomatis tidak hanya akan memungkinkan pemerintah untuk mengakses informasi tentang aset wajib pajak di luar negeri tetapi juga diikuti dengan perubahan peraturan pelaksanaan bank yang akan merugikan pemerintah mengakses informasi rekening wajib pajak di dalam negeri. Jadi, tanpa harus kemudian meminta-minta para wajib pajak yang selama ini tidak taat untuk ikut pengampunan pajak pun pemerintah pasti akan lihat datanya. Tanpa kebijakan pengampunan pajak pun bisa dipastikan bahwa dalam jangka panjang penerimaan pajak akan meningkat. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, berikutnya saya akan menyampaikan kekeliruan ketiga yang menyangkut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu kekeliruan yang menyangkut susbtansinya. Jika dilihat secara utuh substansi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2116 tentang Pengampunan Pajak lebih mencerminkan pragmatis pemerintah dalam menyikapi para wajib pajak tidak taat. Tadi sudah saya sampaikan mengingat Pemerintah tidak mampu melaksanakan amanat peraturan perundangundangan untuk (suara tidak terdengar jelas) pajak dari para wajib pajak taat-taat, maka pemerintah pun memilih berdamai dengan para wajib pajak taat-taat itu dengan cara membuat tawaran yang “sama-sama menguntungkan”. Bagi pemerintah, logika yang digunakan adalah lebih baik dapat penerimaan pajak sedikit dari uang tebusan, ketimbang tidak mendapatkan penerimaan pajak sama sekali karena kita enggak tahu siapa yang enggak bayar pajak, kira-kira begitu. Sementara bagi para wajib pajak taat-taat, logika yang digunakan adalah oke, asalkan saya aman, enggak apa-apa, saya ikut. Nah, maka saya sudah menjelaskan di atas bahwa dalam waktu yang tak terlalu lama, sistem pertukaran informasi otomatis akan berlaku. Tanpa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampuan Pajak, para wajib pajak yang selama ini menimbunkan harta di luar dan di dalam negeri akan benar-benar menghadapi situasi sulit. Sebaliknya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, para pengguna pajak tidak perlu khawatir apapun dengan masa lalunya, maka saya bisa memahami bila ada sebagian masyarakat memandang bahwa pemerintah telah kalah dari para wajib pajak taat-taat. Terlebih secara kasat mata pemerintah memperlakukan para wajib pajak taat-taat sebagai tamu istimewa yang layak disambut dengan kartu merah di istana negara. Bapak, Ibu sekali, Majelis Ketua, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Saya juga memahami jika ada sebagian ekonom berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 32
melawan prinsip redistribusi dan perpajakan. Seharusnya, dalam prinsip redistribusi itu yang kaya itu dipajaki, lalu kemudian hasil pajak itu dibawa kepada yang miskin. Tapi yang terjadi sekarang adalah mereka para buruh, tadi sudah disebutkan oleh Ahli sebelumnya, itu membayar pajak secara reguler karena pajak mereka harus dibayarakan sebelum gajinya diterima, sementara mereka yang kaya, yang mereka mendapatkan penghasilan lebih besar, menyimpan lebih besar, mereka justru tidak dikenai pajak. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Saya sekarang berlanjut pada kekeliruan yang keempat. Kekeliruan yang keempat, yaitu yang timbul sebagai dampak dari UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampuan Pajak. Pengampuan pajak adalah ... penghapusan pajak sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Oleh karena itu, pengampuan pajak tidak relevan bagi para wajib pajak yang selama ini telah taat. Sebaliknya, pengampuan pajak sangat relevan bagi para wajib pajak yang selama ini tak membayarkan kewajiban pajak mereka. Dengan kata lebih lugas, pengampuan pajak hanya relevan bagi pengemplang pajak. Menariknya, dalam beberapa minggu terakhir kita menyaksikan para peserta pengampuan pajak yang secara terbuka tampil ke publik, dan bahkan memberikan pernyataanpernyataan ke media massa, seolah-olah mereka para pahlawan yang baru saja melaksanakan tugas suci demi bangsa dan negara. Saya mohon maaf tidak dapat menyampaikan kutipan dari pernyataan mereka karena khawatir kesaksian saya yang bersifat umum bergeser menjadi semacam serangan kepada individu tertentu, maka saya memilih untuk tidak menyebutkan contoh kutipannnya, tapi saya yakin siapa pun yang membaca media massa akan dapat dengan mudah menemukan apa yang saya maksud. Pemerintah dalam beberapa hari terakhir juga berkali-kali membuat pernyataan seolah-olah telah berhasil membuat prestasi yang luar biasa dalam pemungutan pajak. Presiden Joko Widodo bahkan sempat dikutip media massa mengklaim pelaksanaan program pengampuan pajak di Indonesia yang tersukses dibandingkan negara lain di dunia yang pernah menerapkan kebijakan serupa. Padahal, jika kita kembali kepada ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23A, jelas sekali bahwa sebenarnya pemerintah telah gagal menerapkan ... menegakkan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pemungutan pajak. Keberhasilan kebijakan pengampuan pajak, kalau pun disebut berhasil, hanyalah keberhasilan semu yang berasal dari kekeliruan berpikir tentang kewenangan pemerintah melakukan pemungutan pajak. Sungguh, semakin besar jumlah harta tambahan yang dilaporkan pasal pemungutan pajak, 33
artinya semakin besar pula nilai pajak terutang yang selama ini gagal dideteksi, dan dikejar oleh pemerintah. Semakin besar harta tambahan yang dilaporkan peserta pengambilan pajak, berarti semakin besar pula kebobolan pajak kita selama ini. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, terkait dengan kekeliruan yang kemarin itu yang saya maksud bahwa gara-gara undang-undang itu, maka kemudian kita jadi berpikir salah melihat apa sih yang dimaksud dengan berhasil? Dan apa yang dimaksud dengan gagal? Karena itulah kemudian saya maksud ... saya katakan sebagai kekeliruan yang timbul sebagai dampak dari UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, demikianlah pandangan saya mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampuan Pajak. Saya memohon, agar kekeliruan-kekeliruan berpikir terkait undang-undang tersebut benarbenar menjadi pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam membuat keputusan. Dari kacamata saya yang sempit sebagai seorang pembelajar ekonomi, saya berharap agar Majelis Hakim Konstitusi akan membatalkan atau setidak-tidaknya mengoreksi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Namun karena keputusan Majelis Hakim pasti memiliki implikasi ekonomi, maka saya juga memohon agar keputusan tersebut juga disertai dengan opsi-opsi jalan tengah, sehingga implikasi negatif dari pembatalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 dapat diminimalisir. Demikian, terima kasih. 37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih Pak Akhmad Akbar. Berikutnya, dari Pemohon apakah akan ada hal-hal yang akan dimintakan penjelasan atau pertimbangan lebih lanjut? Saya persilakan dari mulai Pemohon Nomor 57/PUU-XIV/2016?
38.
PEMOHON PERKARA TEGUH SANTOSO
NOMOR
58/PUU-XIV/2016:
SUGENG
Ya ada yang (...) 39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
34
40.
PEMOHON PERKARA TEGUH SANTOSO
NOMOR
58/PUU-XIV/2016:
SUGENG
Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016 dulu, Perkara Nomor 57/PUUXIV/2016 dulu. 41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ini Ahlinya Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUUXIV/2016, 59/PUU-XIV/2016 jadi satu ya? Jadi semuanya boleh punya hak untuk menanyakan, ya, terhadap Pak Basuki dan Ibu Eva ini.
42.
PEMOHON PERKARA TEGUH SANTOSO
NOMOR
58/PUU-XIV/2016:
SUGENG
Ya, baik. 43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti bagiannya Pak Eggi untuk Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016, ditanyakan pada Pak Makmur dan Pak Akhmad ya, silakan.
44.
PEMOHON PERKARA TEGUH SANTOSO
NOMOR
58/PUU-XIV/2016:
SUGENG
Baik. 45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pendek, jangan terlalu panjang uraiannya, to the point.
46.
PEMOHON PERKARA TEGUH SANTOSO
NOMOR
58/PUU-XIV/2016:
SUGENG
NOMOR
58/PUU-XIV/2016:
SUGENG
Mohon, ya. 47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
48.
PEMOHON PERKARA TEGUH SANTOSO
Mohon izin, Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi. Saya mau melakukan pendalaman terhadap Ahli Ibu Eva, ya. Saya langsung saja, 35
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan, “Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administratif perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Penjelasan Ahli tadi membahas tentang Pasal 20. Pasal 20 yang penjelasannya adanya pidana lain. Mohon pendapat Ahli, apakah Pasal 1 ayat (1) ini yang menjadi dasar berpikir, menjadi ketentuan umum dalam undang-undang ini, ya, menjadi dasar atau bertentangan dengan Pasal 20 itu sendiri? Itu yang pertama, ya. Yang kedua adalah pertanyaan saya, ini belum di apa ... mungkin belum dibahas, ya, oleh Ahli, tapi saya mau bertanya pada Ahli. Bab 10 dalam undang-undang ini tentang ... diberi judul manajemen data dan informasi. Pada Pasal 22 yang menjadi satu kesatuan dari bab 10 ini yang merujuk Pasal 22 ini, yang saya katakan adanya imunitas, Pasal 22 itu tidak perlu saya bacakan. Imunitas yang diberikan kepada pejabat dalam pelaksanaan undang-undang ini, ya. Sementara Pasal 20 tadi dinyatakan oleh Ahli sebagai ... sebagai unconditional constitution, ya. Apakah apabila Pasal 20 dinyatakan unconditional constitution, dimana ada pejabat yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hal tersebut, apakah hak imunitas pada Pasal 22 dengan sendirinya menjadi batal demi hukum? Itu dua pendalaman yang saya mintakan. Terima kasih. 49.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, berikut (...)
50.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: M. DAUD BERWEH
PERKARA
NOMOR
57/PUU-
Mohon izin menambahkan, Yang Mulia Majelis Hakim. Dari 57/PUU-XIV/2016, ya. 51.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan.
52.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: M. DAUD BERWEH
PERKARA
NOMOR
57/PUU-
Ya, pertama saya ingin tanyakan ke Ahli Pajak, ya. Pertama, saya mau mencoba menyambungkan dengan pasal yang kami mohonkan terutama di Pasal 4, ya. Di Pasal 4 disebutkan, Pasal 4 Undang-Undang Tax Amnesty, di ayat (1) sampai ayat (3). Kemudian berikutnya ada uang tebusan, ya, tarifnya. Misalnya untuk dari dalam negeri, kisarannya 36
2% sampai 5%, kemudian untuk luar negeri kisarannya 6% sampai 10%. Nah, yang saya tanyakan dalam apa namanya ... pemahaman kami sebagai Pemohon tentu dengan besaran uang tarif tebusan tersebut sangat memberikan nilai yang kecil, katakanlah dalam bahasa kami diskon yang saya pikir cukup luar biasa. Nah, saya ingin minta penegasan dan juga pendapat dari Ahli bahwa dengan diskon tersebut apakah dalam konteks perpajakan terutama yang dianut oleh prinsip perpajakan Indonesia sesuai atau tidak, sehingga pasal tersebut bagi kami bertentangan dengan prinsip-prinsip perpajakan dalam konteks negara hukum? Yang berikutnya untuk Ahli Pidana, terkait dengan apa namanya ... pertentangan, saya ulangi dari awal. Di Pasal 20 tidak perlu saya bacakan. Nah, Pasal 20 Undang-Undang Tax Amnesty dalam tindak pidana jelas dalam penjelasan pasalnya disebutkan, “Tindak pidana yang lain.” Nah, saya ingin masuk dalam satu ilustrasi. Dalam Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasal 2 misalnya bahwa salah satu klausul kejahatan tindak pidana pencucian uang termasuk juga kejahatan di bidang perpajakan. Nah, dalam pemahaman kami sebagai Pemohon tentu ketika disebutkan tindak pidana lainnya ini ada dua pesan yang berkontribusi negatif pada hukum pidana Indonesia. Misalnya pertama adanya satu impunitas atau impunity, ini satu bahasa yang baru popular, ya, ini dipraktikkan yang artinya kejahatan tanpa hukuman terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tapi kemudian dikenal di Indonesia dengan impunitas atau kejahatan tanpa hukuman. Nah, itu yang terjadi. Kemudian yang kedua, juga mereduksi atau mengamputasi peran dari penegak hukum, salah satunya adalah dalam penegakan hukum tindak pidana pencucian uang tadi, yang saya pikir dalam reformasi hukum di Indonesia sedang terus di apa namanya ... galakkan seperti itu. Jadi saya minta pendapat dari Ahli bagaimana Pasal 20 ternyata dalam pasal-pasal di beberapa katakanlah undang-undang sektoral lainnya atau undang-undang ketentuan khusus lainnya sangat bertentangan. Terima kasih, Yang Mulia, itu dua dari kami. 53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari 58/PUU-XIV/2016 enggak ada? Cukup. Sekarang Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016.
54.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Ya, ada, Yang Mulia. Terima kasih. Oh, masih ada? Silakan.
37
55.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: M. PILIPUS TARIGAN
NOMOR
59/PUU-
Dari 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, sekarang 59/PUUXIV/2016. 56.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, sekarang 59/PUU-XIV/2016.
57.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: M. PILIPUS TARIGAN
NOMOR
59/PUU-
NOMOR
59/PUU-
Ya, Yang Mulia. 58.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, ya.
59.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: M. PILIPUS TARIGAN
Ahli Pidana, ya, Ibu Eva. Sebetulnya mirip dan hampir sama dengan pertanyaan yang sebelumnya dan juga terkait dengan penjelasan Ahli tadi. Bahwa sebagaimana yang disampaikan selama ini oleh Dirjen Pajak juga, dari kantor pajak bahwa tidak dipermasalahkan asal-usul harta yang dideklarasikan, sehingga dugaan-dugaan bahwa adanya dugaan tentang asal-usul harta yang dari hasil kejahatan katakanlah beberapa dekade ini ada rekening gendut atau pengusaha yang nakal, dengan tax amnesty ini maka mereka ini kan menjadi halal, menjadi bersih, yang selama ini diduga melakukan suatu tindak pidana yang extra ordinary crime. Nah, dengan tax amnesty ini kan menjadi jembatannya, Ibu. Apakah ada kompromi dalam pemidanaan? Prinsip-prinsip pidana seperti apa? Mohon penjelasan kepada kami supaya kami ini tidak menjadi galau sebagai penegak hukum yang masih muda juga bahwa ada sesuatu yang menjadi membuat kami tidak tenang dengan adanya undang-undang ini bahwa pemerintah butuh dana untuk membangun bangsa, tetapi apakah boleh diambil dari uang yang tidak halal untuk diberikan kepada negara kita menjadi biaya pembangunan atau katakanlah hasil pencurian saya, saya kasih makan anak saya? Seperti itu. Apakah sedarurat itu? Kapan pidana itu bisa menghalalkan hal seperti itu? Atau memang tidak ruang terhadap hal tersebut? Untuk itu mohon penjelasan kepada ahli pidana. Terima kasih, Yang Mulia.
38
60.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, sebelahnya.
61.
Pemohon
Nomor
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
63/PUU-XIV/2016.
PERKARA
Dimatikan
NOMOR
itu
63/PUU-
Ya, terima kasih, Yang Mulia. Saudara keterangan saksi … ahli ya untuk yang bisa memberi keterangan ahli. Saudara mengutip tentang putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUUV/2007, yaitu sebagai berikut. Saya ambil poin c-nya saja. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Kaitannya dengan legal standing yang ingin saya tanyakan adalah karena Menteri Keuangan, Ibu Ani, dengan anggunnya dan lembut menyatakan, “Kita ini tidak punya legal standing,” katanya begitu. Makanya saya hadirkan Anda, resmi saya minta ke Fakultas Hukum UI, Dekan Fakultas Hukum, dan Anda yang diutus, tolong jelaskan lebih spesifik dan khususnya ini kok kita ini dianggap tidak punya legal standing, gitu lho. Ini bagaimana pemahaman spesifik, khususnya tadi dalam segi menurut penalaran yang wajar dan dapat dipastikan akan terjadi? Yang kedua, saya bertanya juga kepada Pak Makmur Amir. Bahwa pengertian tax amnesty ada kata amnesty itu pengampunan, apakah ini bagian dari hak prerogatif dari presiden? Apakah presiden bisa sewenang-wenang mengeluarkan undang-undang seperti ini yang istilah Achmad Akbar tadi seperti tiba-tiba munculnya, dikaitkan dengan hak prerogatif dari presiden yang terkait dengan amnesty. Apakah tax amnesty ini betul-betul ada kewenangannya presiden di dalam konteks ini? Kalau ada betul hak presiden, kenapa bentuknya undang-undang? Itu logika yang harus diluruskan secara ilmu hukum supaya kita ini jangan diklaim-klaim seenak-enaknya, “Oh, ini kan amnesty. Amnesty kan hak presiden.” Kalau presiden jatuhnya hak prerogatif tidak perlu dalam undangundang, bisa dengan perpu. Saya kira tolong dijelaskan secara detail menurut ilmu hukum seperti itu. Kemudian di dalam konsteks yang selanjutnya buat Makmur Amir juga, yaitu kita bisa melihat lagi di poin d-nya bahwa kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan dan/atau tidak lagi terjadi. Pertanyaan seriusnya, jika undang-undang tax amnesty ini diloloskan, berhasil, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan saja, apa yang kemungkinan akan terjadi dari segi kekacauan hukum nanti bisa terjadi ini karena dengan adanya tax amnesty, Undang-Undang tentang 39
Korupsi, Undang-Undang tentang Kepolisian yang berkaitan dengan penyidikan ... KUHAP bahkan, Kitab ... apa ... Hukum Acara Pidana itu terabaikan karena ada pasalnya yang mengatakan tidak boleh dilaporkan, bahkan yang melaporkan akan dipidana, juga bertentangan dengan undang-undang keterangan publik itu. Jadi, dengan dasar-dasar tentang seperti ini adanya kemungkinan bahwa dikabulkannya permohonan, maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan terjadi lagi. Jadi. kita sangat berharap permohonan kita ini dikabulkan, begitu ya. Karena hal-hal yang tadi tidak akan terjadi, tapi sebaliknya logikanya tentu kalau tidak dikabulkan, berarti akan terjadi kekacauan hukum tadi itu. Yang untuk Saudara Makmur Amir selesai. Untuk Akhmad Akbar Susamto, ya. Saudara, Anda menyatakan dengan sangat jelas, ada 4 kekeliruan. Keliru itu bahasa halus menurut saya dari salah, gitu lho, ya kan? Kalau ... kalau menurut pemahaman nanti Ahli bahasalah, tapi logika saja. Kalau orang sudah keliru, ya salah begitu. Berarti yang mendasar adalah karena ini sifatnya undang-undang yang diajukan oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berarti Presiden dan DPR ini keliru. Ya kan? Itu logikanya. Nah, kalau Presiden dan DPR keliru, kita rakyatnyanya bagaimana ini untuk menjalankan undang-undang? Apalagi muncul dengan tiba-tiba, padahal ada di PROLEGNAS undang-undang sudah diajukan tentang perbaikan kelima dari Undang-Undang Perpajakan itu. Itu justru kenapa tidak diberlakukan? Anda juga bertanya seperti itu. Nah, mungkin dari kajian analisis yang terdalamnya, kita perlu lihat kok bisa terjadi kekeliruan atau mindset berpikirnya kok keliru berat, gitu lho. Ini kan berbahaya buat berbangsa dan bernegara, kalau Presiden dan DPR sudah keliru ya, dan juga perhatian juga Yang Mulia, saya ingatkan DPR tidak pernah datang sejak yang kemarin ini. Kemarin juga enggak datang, karena Pak Arief waktu minggu kemarin enggak ada. Sekarang enggak datang, kemarin enggak datang. Padahal dia wakil rakyat, kita ini rakyat. Kok ga sesuai wakil rakyat kaya begini ya? Jadi dalam pengertian kekeliruan yang dimaksud, mohon Anda jelaskan sedetil-detilnya. Karena saksi yang waktu lalu itu kami sudah ajukan adanya ambisi, kebohongan, dan kejahatan. Jadi sangat berbahaya kalau Pemerintah dan DPR keliru, berarti melakukan kejahatan atau perampokan berseragam. Seragam Pemerintah, seragam DPR ya, merampok dari uang negara. Atau dikaitkan dengan istilah Anda tadi, tapi pakai istilah saya. Kerugian konstitusional yang kami alami sebagai buruh adalah keuntungan yang didapat oleh pengemplang pajak tadi. Nah, sekarang tolong definisikan apa itu orang yang taat pajak dan apa yang tidak taat pajak? Sehingga Anda bisa menyimpulkan bahwa Pemerintah lebih menguntungkan kepada yang tidak taat pajak. 40
Sementara kita yang taat pajak dirugikan. Nah, itulah kerugian konstitusional. Juga ditambah adalah yang menarik statement Anda adalah bahwa kebobolan Pemerintah selama ini justru begitu banyak dengan bukti diumumkannya sekian ribu triliun ya, yang diumumkan kemudian cuma dikutip “2%” ya? Jadi oleh karena itu ... tapi dibanggabanggakan, dipelintir oleh media, ini seolah-olah keberhasilan dari Pemerintah. Padahal itu benarkah menurut Anda, supaya saya tidak salah mengerti. Justru ini adalah karena buah dari kekeliruan Pemerintah menjadi kesalahan Pemerintah dan sesungguhnya ketidakmampuan Pemerintah untuk menegakkan hukum perpajakan, sehingga negara justru rugi ... negara justru rugi. Nah, kalau negara justru rugi, ada satu klausul dari undangundang korupsi, adanya kerugian negara. Nah, kerugian negara yang sudah diciptakan oleh orang-orang seperti ini, oleh Presiden, dan DPR, dan Pemerintah, Menteri Keuangan dan jajarannya, apakah kalau dalam hukum pidana termasuk turut serta melakukan kejahatan ini? Ya. Saya kira itu, terima kasih. 62.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Berikutnya sekarang dari Pemerintah. PEMERINTAH: HADIYANTO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Izinkan kami untuk menanya atau mengklarifikasi terhadap beberapa Ahli tadi. Pertama, terhadap Ibu Zulfa. Tadi Ibu lebih banyak menyoroti Pasal 20 sebagai suatu pasal yang melindungi. Tadi katakanlah berbagai tindak pidana yang di luar tindak pidana perpajakan. Menurut hemat Pemerintah, Pasal 20 itu justru adalah satu pasal yang memberikan jaminan kepastian hukum, bahwa data dan informasi yang sudah disampaikan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Tax Amnesty ini harus dijaga sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi basis bagi penyelidikan, penuntutan tindak pidana. Kenapa? Karena dalam konstelasi asas legalitas hukum dan sebagainya juga itu dimungkinkan. Banyak peraturan perundangundangan yang juga memberikan room untuk itu. Jadi mungkin ini mohon dapat dijelaskan. Pak Basuki Widodo, tadi fokusnya Undang-Undang Tax Amnesty ini lebih kepada maximizing revenue government, kira-kira begitu ya, revenue pemerintah. Padahal sebetulnya Undang-Undang Tax Amnesty itu banyak, multi dimensi dari tujuan diadakannya Undang-Undang Tax Amnesty. Salah satunya yang terpenting adalah selain penerimaan pajak dalam jangka pendek (short term periode), tetapi juga satu, membangun database perpajakan yang akan justru memperkuat argumen-argumen
41
Saudara Ahli dalam banyak hal di halaman-halaman sebelumnya. Bahwa perlu reform, bahwa perlu pelaksanaan undang-undang, dan seterusnya. Jadi, justru dengan kita punya Undang-Undang Tax Amnesty ini, kita punya kapasitas menata database perpajakan. Kalau kita lihat statistik secara global, wajib pajak itu kira-kira 20% dari jumlah penduduk, Yang Mulia. Nah, jumlah penduduk Indonesia itu ada 25.000.000 ... 250.000.000 kira-kira. Idealnya kita punya wajib pajak kira-kira 50.000.000 wajib pajak. Nah, sekarang berapa wajib pajak kita? Kira-kira hanya 30.000.000. Dari 30.000.000 itu yang isi SPT hanya 2.700.000 kira-kira seperti itu. Dari itu yang membayar PPH Pasal 29 hanya 800.000, yang membayar kurang pajak 850.000. Artinya kita memang perlu membangun database yang me-cover demikian banyak wajib pajak lebih luas lagi sehingga pada saat pelaksanaan UndangUndang Perpajakan lebih baik lagi itu, itu akan jelas kita memperoleh kue yang lebih besar. Kita akui saat ini memang pemerintah khususnya di bidang perpajakan sedang terus melakukan reform dan memastikan proses itu. Seperti penagihan pajak, haseling, surat paksa lelang, itu sudah dilakukan oleh pemerintah, Yang Mulia, sekarang pun dengan UndangUndang Penagihan Pajak, dengan surat paksa. Untuk Pak Makmur Amir. Legal standing yang dikutip tadi itu sebetulnya justru kita masih mempertanyakan, di mana kerugian dan causal verband dari Pemohon berkaitan dengan adanya Undang-Undang Tax Amnesty ini? Kami belum bisa diwujudkan kalau tadi dari Pemohon me-refer ke Pasal huruf c, justru di situlah. Dengan adanya undangundang, kita bisa membangun atau bisa memperoleh hal, 3 hal. Pertama adalah restrukturisasi ekonomi dengan mengalirnya dana masuk dari repatriasi, meningkatkan liquiditas dan seterusnya. Kedua, peningkatan penguatan database. Yang ketiga, dalam rangka … dalam jangka pendek ada short term penerimaan negara. Itu masuk ke APBN dan digunakan untuk pembangunan masyarakat pada umumnya. Termasuk masyarakat yang diwakili oleh Para Pemohon. Jadi kami Pemerintah tidak melihat isu Pemohon dirugikan mengenai kerugian konstitusionalnya. Untuk Pak Akhmad Akbar Susamto. Kalau di persepsi … bukan dipersepsikan, tadi disampaikan bahwa dalam roadmap perpajakan itu tidak kelihatan tax amnesty. Nah, kalau ada di roadmap orang akan menolak, orang sudah ada di roadmap, saya enggak akan bayar pajak. Bagaimana mungkin saya membayar pajak untuk saya ketahui tahun sekian bakal ada tax amnesty? Jadi, Yang Mulia. Justru kekeliruan Ahli di sinilah yang ditampilkan Ahli sudah keliru membawa Undang-Undang Tax Amnesty harus ada dalam roadmap. Kalau dalam roadmap, kita bisa mengantisipasi nanti saja dulu kita tunggu ada tax amnesty. Nah, jadi, Yang Mulia. Justru tax amnesty itu muncul dari pemikiran, dari kondisi di mana seluruh instrumen penegakan hukum pajak maupun pelksanaan Undang-Undang Perpajakan ini belum sepenuhnya efektif 42
bisa dijalankan dalam rangka short term, bisa cepat langsung kita memperbaiki database. Oleh karena itu, kalau tadi disampaikan Undang-Undang KUP dan seterusnya sudah masuk di prolegnas. Undang-Undang Tax Amnesty pun sejak awal Januari 2015 sudah kita bahas. Makanya cut off-nya adalah SPT PPH 2015. Jadi tidak ada kekeliruan di Pemerintah dalam konteks mendesain Undang-Undang Tax Amnesty itu. Terutama dari semua dimensi yang menyangkut kepastian hukumnya Pasal 20, 21, 22, dan pasal-pasal lainya. Aspek keadilanya, UMKM semua orang berhak untuk ikut tax amnesty atau melalui pembetulan SPT. Dan yang ketiga, bagaimana ini dampak impact-nya terhadap perekonomian nasional. Saya kira itu, Yang Mulia. Silakan. 63.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Pak Sekjen. Masih ada?
64.
PEMERINTAH: KEN DWIJUGIASTEADI Masih ada, Yang Mulia.
65.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Yang pendek, Pak Dirjen, waktunya.
66.
PEMERINTAH: KEN DWIJUGIASTEADI Ya terima kasih, Yang Mulia. Yang akan saya tanyakan kepada Ahli Ibu Eva. Apakah Ibu Eva mempunyai bukti bahwa dengan adanya amnesty ini banyak tindak pidana lain dihentikan? Yang kami lihat kok informasinya atau beritanya semakin banyak orang ditindak pidana lainya. Dan itu pun kalau mereka yang bersangkutan atau tersangkanya meminta data tentang tax amnesty, kita berikan, dan sudah terjadi. Jadi tidak ada masalah yang dikhawatirkan Ibu Eva di Pasal 20. Kemudian bagi Pak Ahmad Akbar. Apakah Bapak juga mempunyai data mengenai bahwa buruh itu adalah subjek pajak? Karena yang saya tahu, buruh di seluruh Indonesia UMR-nya selalu di bawah PTKP. Artinya buruh tidak membayar pajak penghasilan karena membayar pajak itu ada ketentuannya. Kemudian saya juga minta Pak Akbar definisi tentang tunggakan pajak. Yang menurut Ahli bahwa potensi itu sudah tunggakan. Oleh karena itu, kami minta definisi ahli tentang tunggakan pajak. Kemudian juga minta Pak Akbar, bagaimana Ahli membaca pikiran orang bahwa baru berpikir sudah keliru, ya. Masa sekarang Ahli tahu enggak saya berpikir apa? Kan enggak tahu, kok tahu-tahu keliru. Ini 43
saya minta definisinya berpikir keliru karena kalau menurut saya kok enggak keliru, ya. Demikian, Yang Mulia, terima kasih. 67.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Masih ada, satu lagi saja, Pak Staf Ahli, silakan.
68.
PEMERINTAH: SURYO UTOMO Terima kasih, Yang Mulia. Mohon izin, mungkin menambahkan beberapa yang disampaikan Pak Sekjen sama Pak Dirjen Pajak. Kepada Ahli Pak Basuki dan juga terkait dengan pengusaha yang kecil tadi. Disampaikan bahwa masih ada 57.900.000 pengusaha yang tergolong sebagai pengusaha kecil. Nah, mohon diberikan penjelasan apabila kita mencoba membandingkan 57.900.000 orang yang berusaha dengan kondisi bahwa 30.000.000 yang terdaftar sebagai wajib pajak, yang sebagian besar mungkin didominasi oleh karyawan. Apakah memang bahwa 57.900.000 ini memang seharusnya menjadi wajib pajak atau tidak? Karena untuk menjadi wajib pajak, batasannya cuma dua, subjektif dan objektif. Subjektif, dia berada di Indonesia. Kemudian, objektif, mendapatkan penghasilan di Indonesia. Paling tidak di atas penghasilan tidak kena pajak, seperti yang disampaikan oleh Pak Dirjen Pajak tadi. Kalau memang dalam konteks 57.900.000 bisa dijelaskan, mereka sudah masuk dalam kriteria sebagai wajib pajak. Seharusnya kepadanya juga terdaftar sebagai wajib pajak. Tapi kenyataannya, sampai dengan akhir Desember 2015, baru 30.000.000 yang terdaftar sebagai wajib pajak. Dengan, Yang Mulia, tambahan. Terima kasih.
69.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Pak. Berikutnya … masih Hakim. Saya persilakan urutan, Prof. Aswanto, kemudian Pak Wahid, dan Pak Palguna, ya. Silakan, Prof. Aswanto dulu.
70.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Yang Mulia. Saya ke Ibu Eva tadi, ya. Nah, ini tadinya saya tidak mau bertanya, tapi setelah Pak Dirjen menyampaikan bahwa apakah Ibu Eva punya data bahwa setelah adanya norma yang diatur di dalam Pasal 20 ini, kemudian banyak tindak pidana lain yang kemudian tidak bisa jalan, gitu. Karena datanya tidak bisa diberikan, gitu. Tadi Pak Dirjen mengatakan, “Datanya bisa kita berikan.”
44
Nah, ini saya jadi bingung ini. Undang-undang mengatakan, “Data enggak boleh diberikan.” Tapi Pak Dirjen mengatakan, “Data bisa diberikan,” gitu. Kita enggak patuh undang-undang nanti jadinya. Nah, mungkin Ibu Eva bisa menjelaskan kembali. Norma yang ada di Pasal 20 ini, apa memang betul itu bisa menjadi penyebab terjadinya dekriminasi … apa namanya … dekriminalisasi? Tadinya mestinya kriminal, tapi kemudian enggak bisa jalan, gitu. Nah, apakah betul norma yang ada di dalam … atau bisa mungkin diberi gambaran lebih konkret. Kenapa bisa norma yang ada di dalam Pasal 20 ini melahirkan dekriminalisasi, gitu? Bukan kriminalisasi, tapi dekriminalisasi, gitu? Itu yang … yang pertama. Yang kedua, ke Pak Makmur, ya, Pak Makmur. Pak Makmur, saya ingin klarifikasi. Coba nanti kita lihat di dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang. Jadi … apa namanya … ada penekanan yang diampuni itu adalah pajak yang terutang. Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi, administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar utang tebusan sebagaimana diatur di dalam undang-undang ini. Saya minta pandangan Bapak, jika Pasal 1 ayat (1) dikaitkan dengan pasal … sebentar, ini pasal … mengenai … ini … Pasal 5 ayat (2). Pasal 5 ayat (2) itu bunyinya begini, Pak, “Dasar pengenaan uang tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan nilai harta bersih yang belum atau seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir.” Ini juga terkait dengan Pak Akbar. Apakah serta-merta ketika harta tidak dimasukkan di SPT PPh, itu bisa dikualifikasi sebagai utang pajak? Kemudian, untuk Pak Akbar lagi. Ini yang banyak muncul di kalangan masyarakat, baik awam maupun yang tidak awam sebenarnya. Itu kekhawatiran dengan Pasal 5 ayat (2) ini, itu terjadi pajak ganda. Saya sudah pernah tanyakan ke Pak Dirjen, tapi Pak Dirjen mengatakan, “Itu tidak ganda.” Tapi kemudian, saya tidak bisa menjawab … mendapat jawaban, kira-kira apa kualifikasinya? Pajak apa yang dimaksud dengan uang denda itu? Misalnya begini, Pak … Pak Akbar. Saya punya kendaraan, saya sudah bayar pajak, pajaknya, pajak ketika … apa namanya ... balik nama ketika membeli pertama dan pajak tahunan, gitu. Tetapi kemudian, saya luput, saya tidak memasukkan di SPPT, saya tidak memasukkan di SPT. Nah, sekarang saya tidak mau dianggap tidak patuh hukum, saya harus masukkan, saya harus lapor, ”Ini ada mobil saya yang tidak masuk di SPT.” Lalu kemudian saya diminta untuk membayar 2%, kira-kira bisa dikategorikan pajak apa itu yang 2% yang di dalam undang-undang nomenklaturnya dalah uang tebusan.
45
Demikian juga kalau misalnya saya punya rumah gitu, saya sudah bayar PBB tiap tahun, tidak pernah nunggak, tapi tidak masuk di SPT. Lalu kemudian, saya harus membayar lagi uang, apakah itu tidak bisa dikualifikasi sebagai pajak ganda? Karena saya sudah bayar PBB, cuma karena saya tidak masukkan di SPT? Tolong klarifikasi. Karena mohon maaf pada sidang sebelumnya saya sudah tanya kepada Pak Dirjen, Pak Dirjen mengatakan, ”Itu tidak ganda”. Nah, kalau tidak ganda apa namanya itu? Apa namanya itu uang tebusan? Bagi yang tadi saya kira Pak Akbar mengatakan, ”Bagi orang ... pengusaha besar dengan membayar 2% yang memang bersumber dari yang tidak benar, enggak ada persoalan. Tapi, bagi masyarakat kecil, bagi PNS yang beli rumah dari cicilan gaji kemudian luput dimasukkan di SPT, lalu kemudian diminta untuk dibayar lagi uang tebusan,” ini saya kira secara sepintas saya tidak mengatakan bahwa … apa … Ahli katakan benar bahwa pada sidang sebelumnya juga ada Ahli yang mengatakan bahwa UndangUndang Amnesty ini, ini saya catat betul Pak Sulai ... Pak Salamuddin Daeng, Salamuddin Daeng pada sidang sebelumnya mengatakan, “Tax amnesty ini adalah hukuman bagi orang yang baik.” Tolong juga bagaimana pandangan Bapak mengenai itu? Saya tidak masuk ke salah-salah pikir tadi, biarlah kita yang memikirkan siapa yang salah pikir sebenarnya. Terima kasih. 71.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Yang Mulia Pak Wahid. Kemudian nanti Pak Palguna.
72.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik. Terima kasih, Pak Ketua. Saya ke Ibu Dr. Eva. Karena pendapatnya sudah sangat fokus, jadi objek yang dibahas, yang diuji adalah Pasal 20 kemudian alasannya, ketentuan ini sesungguhnya memiliki dampak yang luas, bukan hanya dalam penegakan hukum di bidang perpajakan, tetapi penegakan hukum terutama hukum pidana secara keseluruhan, lalu di dalam yang sudah semi petitum ini agar Pasal 20 ini dinyatakan sebagai ketentuan yang unconstitutional condition, dan karenanya menjadi kewenangan Mahkamah mempertimbangkan atas ketentuan tersebut. Saya ingin minta penegasan, apakah yang dimaksud ini Pasal 20nya atau penjelasan Pasal 20? Pasal 20 itu menegaskan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang (suara tidak terdengar jelas) oleh kementerian atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksaan undang-undang ini, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana saja terhadap wajib pajak. Kenapa ini ingin saya minta penegasan dari Ibu, apakah Pasal 20, apakah penjelasannya karena Pasal 20 ini apabila 46
itu yang dinyatakan tidak konstitusional, ini menyangkut juga Pasal 1 angka 1. Karena Pasal 1 angka 1 itu adalah pengampunan Pajak adalah penghapusan Pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Ini sanksi pidana di bidang perpajakan. Lalu, ketentuan Pasal 1 angka 8 jelas mengatakan, “Tindak pidana di bidang perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.” Jadi, memang hanya disebut adalah pidana di bidang perpajakan. Lalu di penjelasaan umum di alinea 6, bagian akhir disebut, “Dari aspek yuridis pengaturan kebijakan pengampunan pajak melalui Undang-Undang Pengampunan Pajak seseorang dengan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena berkaitan dengan penghapusan pajak yang harusnya terhutang sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan.” Jadi, kalau Pasal 20 yang ingin Ibu, maka ini Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 8 ini kena, ini bisa tergantungnya, Bu. Nah, tapi kalau Pasal 20 itu penjelasannya memang di penjelasan itu disebutkan tindak pidana yang diatur melalui tindak pidana di bidang perpajakan, nah ini ada, dan tindak pidana lain. Satu-satunya kata tindak pidana lain ini ada di penjelasan. Nah, fungsi penjelasan, kalau kita ke undang-undang itu ya, tafsir resmi dan tidak menambah norma. Nah, apakah menurut Ibu kalau ini penjelasannya yang bertentangan, ini sudah melebihi normanya? Karena di … tadi Pasal 20, Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 8 itu tidak ada menyebut tindak pidana lain. Nah, ketika di penjelasan 20, ada kata tindak pidana lain. Nah, apakah yang dimaksud Ibu itu … apa … bertentangan itu penjelasannya 20 ini atau pasalnya? Terima kasih, Ibu. 73.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia. Ini Ibu Eva ini jadi laris-manis, mungkin karena … bukan karena beliau perempuan satu-satunya jadi ahli sekarang, tapi memang karena pendapatnya dalam pidana dipentingkan karena klir yang mau disampaikan. Tapi menurut saya yang perlu didalami begini, Bu Eva. Tadi di dalam teks tidak ada, tapi dalam penjelasan lisan tadi saya mendengar bahwa dengan penekanan pada baris terakhir dari kalimat Pasal 20 itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Tadi Ibu mengatakan ini sebagai ketentuan yang menjadi penghapus pidana, alasan penghapus pidana. Penghapus pidana, betul ya, Ibu? Eh, penghapusan penuntutan, bukan penghapusan pidana. Penghapusan penuntutan jadinya, seperti itu. 47
Oh, kalau begitu pertanyaan saya berubah jadinya, bukan dari … berarti tadi saya salah dengar, bukan penghapus pidana ya, penghapus penuntutan karena yang mau saya tanyakan sebenarnya begini, kalau penghapus pidana itu secara doktriner, apa saja sebenarnya menjadi alasan penghapusan pidana dan apa filosofinya di belakang dari alasan penghapusan pidana itu sehingga dia dijadikan alasan penghapusan pidana? Nah, kalau sekarang pertanyaan saya jadi berubah. Kalau demikian halnya kalau ini adalah dikatakan kemudian sebagai alasan penghapus penuntutan, pertanyaan saya menjadi mirip dengan yang tadi, secara doktriner itu kemudian, apa yang biasa menjadi alasan … katakanlah yang secara doktriner diterima sebagai alasan penghapus penuntutan atau yang secara best practice itu juga diterima oleh negaranegara sebagai alasan penghapus penuntutan. Dengan kata lain, saya ingin menanyakan apabila dihubungkan dengan permohonan a quo, apakah alasan-alasan yang seperti yang disebut atau diatur dalam permohonan ini juga termasuk ke dalam alasan untuk menghapus penuntutan? Kalau alasan menghapus penuntutan ini, apa jadinya, Ibu? Tergolong seponering atau deponering ini kalau dikaitkan dengan ini? Nah, itu barangkali nantilah, sekalian dijawab karena nanti saya takut jadi berdialog ini. Karena ini catatan banyak yang akan bertanya, nanti Ibu jawab sendirian ini. Ya, nanti … itu saja. Karena mungkin kalau konteksnya demikian, pemahaman kita tentang undang-undang akan menjadi berubah, apakah berubah menjadi benar ataukah berubah menjadi salah? Itu biar kami yang akan menilai nanti itu. Itu khususnya berkenaan dengan Pasal 20 ini. Terima kasih, Yang Mulia. 74.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Patrialis?
75.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Ya, Pak.
76.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, Prof. Maria. Pak Patrialis dulu, kemudian nanti Prof. Maria.
77.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Saya juga ke Ibu Eva. Pertanyaan saya sekarang agak terbalik ini Ibu, saya ingin memposisikan Ibu sebagai … selain dari sebagai ahli tapi juga memikirkan persoalan pengampunan 48
pajak ini agar aman dan nyaman. Ini agak terbalik pertanyaannya ini, Ibu. Terus terang saja, semua wajib pajak yang sekarang ikut pengampunan pajak ini pastilah mereka menginginkan supaya lebih safe, aman, nyaman, dan ke depan justru tidak ada masalah lagi termasuk dari sumber asal-usul keuangan mereka, pasti itu. Makanya sekarang berbondong-bondong. Ini bukan hanya persoalan pidana pajak saja ya, tapi juga ada pidana lainnya. Sebetulnya pertanyaan ini juga dulu pernah saya sampaikan kle Ibu Menteri, Pak Sekjen, Pak Edianto, dan Pak Dirjen Pajak, kayaknya belum dijawab ya. Secara tertulis ya, ya. Nah, pertanyaan saya, Ibu Eva ya, bagaimana caranya Ibu sebagai seorang ahli pidana bisa memberikan satu landasan hukum agar bisa memproteksi para wajib pajak yang ikut pengampunan pajak ini agar tidak dituntut di kemudian hari. Bisa apa enggak? Cara pikirnya sebagai ahli pidana ya, terutama berkaitan dengan tindak pidana lainnya. Kalau tindak pidana pajak, ini kan sudah dijamin. Tindak pidana lainnya? Karena ini kan pasti ada kaitannya dengan lembaga penegak hukum lainnya yang tidak berada di bawah pemerintah, tapi khusus lembaga penegak hukum yang independen. Seperti KPK misalnya, bisa enggak diproteksi menurut pikiran Ibu ya, sebagai Ahli pidana. Jadi, saya memposisikan Ibu ingin membela Pemerintah. Ini posisinya. Kemudian Pak Basuki. Pak Basuki, kalau saya ikuti dari cara pikirnya tadi, ya, ini Undang-Undang Pengampunan Pajak ini enggak ada benarnya sama sekali ini, sama sekali enggak ada. Apa memang demikian? Begini, Pak. Ini ada pemikiran yang berkembang belakangan ini, bahkan di tengah-tengah masyarakat. Bahwa ini adalah sebetulnya rezim reformasi dalam bidang perpajakan. Jadi, kalau bukan sekarang itu kapan lagi dimulai? Karena tax amnesty ini bukan baru kali ini di Indonesia, pernah juga dulu. Kalau menurut Bapak, kalau memang ingin negara ini memiliki basis data-data penghasilan maupun sumber kekayaan atau kekayaan yang dimiliki oleh para wajib pajak, ya, bagaimana sih caranya pemerintah supaya mereka datang mengemukakan bahwa inilah harta saya, ini kewajiban saya, baik dalam negeri maupun luar negeri? Kalau enggak sekarang itu kapan dan kalau enggak dengan cara begini terus caranya bagaimana? Jadi, saya minta supaya jangan kritikan tapi juga kontribusi. Kalau memang kontrinya bagus, kontribusinya bagus saya kira Pak Sekjen sama Pak Dirjen Pajak bisa diminta Beliau pikiran-pikiran briliannya, ya, ke depan, begitu. Nah, itu Pak yang saya inginkan dari Bapak, ya. Karena memang selama ini kan terus terang saja kita ini para wajib pajak inikan memang kucing-kucingan, Pak. Memang pertama wajib pajaknya banyak yang juga ingin atau tidak jujur karena memang khawatir terlalu banyak, apalagi tadi Ibu Eva juga mengatakan bahwa justru karena perilaku oknum-oknum di kantor pajak yang juga suka damai, begitu kan. Ibu Eva mengatakan seperti itu. 49
Jadi, ada dua hal baik dari wajib pajaknya maupun juga ada oknumnya, tapi saya kira sekarang reformasi ini enggak berani lagi, ya, Pak Dirjen Pajak, ya, Pak Kan, ya, enggak berani lagi ini, y,a petugas pajak, ya? Karena ini berat sekali, kan ya. Itu ke Pak Widodo ya supaya inginlah … saya ingin mendapatkan pikiran-pikiran solusinya, ya. Kemudian, Pak Ahmad Akbar. Banyak hal tadi cuma saya satu hal saja tentang masalah Bapak mengatakan, “Pemerintah gagal dalam menegakkan Undang-Undang Perpajakan.” Kalau misalnya tidak ada Undang-Undang Tax Amnesty ini apakah bisa terobosan-terobosan keinginan masyarakat berbondong-bondong datang sekarang mendaftarkan hartanya ke pemerintah, menyerahkan pembukuannya secara terbuka kepada pemerintah, ya, kalau bukan dengan cara ini? Kalau Bapak anggap ini adalah gagal. Apakah dengan Undang-Undang Perpajakan yang masa lalu bisa? Gitu ya. Kalau enggak tolong tunjukan bagaimana caranya orang mau secara ikhlas dan rela datang menyodorkan data-data mereka sebagai basis pajak untuk yang akan datang oleh pemerintah? Saya kira begitu, Pak Ketua. Terima kasih. 78.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Prof. Maria, saya persilakan.
79.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Saya hanya akan menambahkan apa yang ditanyakan oleh Pak Wahiduddin tadi dan Pak Palguna. Kepada Ibu Eva, sebetulnya saya biasanya tidak bertanya kepada klien atau satu kolega, tapi saya tergelitik dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Eva. Saya melihat bahwa sekarang mulai moncer Ibu Eva, ya. Saya suka itu sehingga saya akan juga memberikan satu pertanyaan yang dapat menambah kepakaran Anda. Di dalam kesimpulan Anda di sini menyatakan, “Pasal 20 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang unconstitutional condition yang harus kita perhatikan oleh Majelis ini.” Tapi kenapa hanya Pasal 20? Kan karena di sini di dalam permohonan Pemohon ini ada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, tapi pasal yang lainnya tidak. Karena Pasal 20 ini dalam ketentuan selanjutnya, Pasal 21, itu dinyatakan bahwa ayat (1), Pasal 21, “Menteri mennyelenggarakan management data dan informasi dalam rangka pelaksanaan undang-undang ini.” Ayat (2)-nya ini lebih gawat lagi sebetulnya, “Menteri, Wakil Menteri, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak dilarang membocorkan,
50
menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui, atau diberitahukan oleh wajib pajak kepada pihak lain.” Pasal ini, ayat ini, tidak berdiri sendiri. Tapi ini kemudian dilanjutkan oleh Pasal 23 dimana dikatakan ayat (1)-nya, “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.” Tidak sedikit itu 5 tahun, dan ini juga bisa pada menteri, wakil menteri, dan lain sebagainya. Tapi kalau Ibu mengatakan bahwa Pasal 20 itu unconstitusional condition, bagaimana dengan pasal-pasal berikutnya tersebut yang ini dapat menjadikan dampak bagi para pejabat-pejabat yang dimaksud dalam Pasal 21 tersebut. Terima kasih, Ibu. 80.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pak Wakil, masih? Ya, silakan.
81.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Saya ke Pak Basuki Widodo, dan Pak Akhmad Akbar. Ini juga sebenarnya saya sudah menanyakan atau meminta pendapat dari Kuasa Presiden waktu itu, lalu Ibu Menteri yang jawabannya secara tertulis. Kenyataanya memang yang memberlakukan tax amnesty ini ada beberapa negara, bahkan sampai saat ini pun ada pada saat yang bersamaan dengan Indonesia juga. Tetapi yang ingin saya tanyakan kepada kedua Ahli tadi, terutama yang memarkir kekayaannya di luar ya, para wajib pajak, yang menyimpan uangnya di luar ya terlepas dari apakah uang halal apa uang haram. Bisa terjadi seperti itu, apakah karena regulasi perpajakan Indonesia yang lemah atau kelihaian para wajib pajak, ya termasuk mungkin para wajib pajak yang tidak jujur yang ada di dalam negeri? Itu yang pertama. Yang kedua, mana yang lebih utama menurut Para Ahli membiarkan para wajib pajak itu memarkir kekayaannya di luar yang kalau saya kutip pendapat terakhir dari Pak Basuki Widodo ini, begitu pula sebagai hal wajar bila negara lain takut dengan kebijakan tersebut, mengingat selama ini mereka menikmati dana yang diparkir tersebut selama bertahun-tahun? Artinya ini kan membuat kaya negara sendiri, sementara di negara sendiri semakin melarat, semakin miskin. Nah, dengan kebijakan seperti ini menurut Ahli ya, ya terlepas dari pro-kontra yang begitu tajam di tengah masyarakat maupun dalam sidang yang mulia ini, tetapi dari Ahli mana yang lebih utama mengingat apalagi tujuan negara kita kan negara kesejahteraan? Ya, terima kasih, Yang Mulia.
51
82.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Sedikit yang terakhir dari saya. Saya minta komentar dari Pak Basuki dan Pak Akhmad Akbar, dalam hal perpajakan di dalam konstitusi itu sudah jelas bahwa yang membebani atau meringankan masyarakat, itu harus dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi dalam posisi ini, saya melihat ada pilihan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, bersama dengan persetujuan rakyat, itu membuat kebijakan alternatif, ya. Pak Basuki dan Pak Akhmad itu kebijakan alternatifnya, apakah bisa dikatakan sebagai kebijakan alternatif garis keras sehingga mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah itu kebijakan yang keliru karena menggunakan kebijakan garis lunak? Kan gitu. Tetapi, kalau kita lihat dari sisi kemanfaatannya, itu bermanfaat mana, yang garis keras atau garis lunak tadi? Tadi dikatakan oleh Pak Sekjen, pada waktu menanyakan kepada Ahli bahwa ini adalah proses yang bisa saya katakan win win solution antara orang yang mau ngemplang pajak atau orang yang tidak menaati pajak dengan pemerintah, yang kemudian berorientasi pada jangka panjang, menaikkan populasi jumlah wajib pajak yang selama ini dia bersembunyi, sehingga ada database yang benar dalam perpajakan Indonesia, sehingga untuk kepentingan ke depan, ini sangat positif, gitu? Tapi sebaliknya, kalau dengan garis keras maka itu tidak akan tercapai karena mereka akan tetap bersembunyi terus, gitu. Ini ada sisi kayak begitu, nah, saya mau minta komentar dari aspek pendapatnya Ahli. Kalau dari aspek keterangan Pemerintah, saya melihat bahwa ini kebijakan yang soft ini bermanfaat begini, begini, begini, saya kemarin sudah mendapat penjelasan pada waktu keterangan yang sudah saya baca meskipun kita masih memerlukan penjelasan yang tertulis yang tadi sudah dimintakan oleh Hakim yang mohon bisa diserahkan segera karena akan kita bagikan juga kepada Para Pemohon. Nah, ini kita di dalam posisi kan begini, ada pilihan kebijakan yang mau tidak mau diambil oleh negara sehingga saya juga bisa mengatakan tadi kalau pilihan kebijakan ini sudah diungkap lebih dulu, ada di dalam grand design dan ada di dalam prolegnas, itu yang namanya ini keadaan darurat, tax amnesty ini keluar dalam keadaan darurat. Kalau dalam keadaan darurat, apakah itu tadi, Pak Sekjen juga sudah mengatakanlah sudah diketahui nanti dia malah akan, ya, menunda-nunda dan dia tidak akan mengungkap karena ini adalah kebijakan darurat sehingga ada pendadakkan itu, ya. Supaya ini bisa ... tidak bisa diantisipasi sebelumnya oleh siapa pun itu.
52
Nah, ini ada masalah-masalah yang begini saya mohon komentar dari pandangan yang berbeda, pandangan yang sebaliknya karena Para Ahli itu mengatakan bahwa kebijakan ini yang sebaliknya, itu. Karena ini untuk kita semua punya wawasan yang ... ya, dari kedua belah pihak, Ahli yang didatangkan oleh Pemohon dan nanti juga akan kita mendengar ahli dari Pihak Pemerintah. Saya mohon komentarnya. Saya persilakan lebih dulu, siapa dulu yang akan menjawab? Mulai dari ladies first, Bu Eva. Saya suka sekali Bu Eva itu kalau ngomong tersenyum. 83.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Yang Mulia. 84.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Gimana?
85.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
Saya hanya mengingatkan tidak bermaksud mengajari, tapi Yang Mulia Pak Patrialis mengarahkan saksi supaya bicara atas nama Pemerintah, gitu. 86.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ini anu ... jadi ada hak dari Pemohon untuk tidak menjawab pun tidak apa-apa, dari Ahli. Ya.
87.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Terima kasih. 88.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Jadi, Ahli kalau memang tidak bisa menjawab atau berkeberatan tidak menjawab juga tidak apa-apa, itu hak dari Ahli. Kita tidak bisa memaksakan, ya, gitu. Silakan Ahli.
53
89.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Terima kasih, Ketua Majelis. Bapak/Ibu sekalian, izinkan saya menjawab pertanyaan yang ditujukan pada saya. Pertanyaan pertama adalah berkaitan dengan ketentuan dari Pasal 1 angka 1 yang memberikan definisi tentang makna pengampunan pajak, apakah kemudian bertentangan dengan Pasal 20. Kenapa di dalam pendapat yang saya berikan, saya sangat fokus? Karena sebagai seorang yang mempelajari dan memberikan perkuliahan di bidang hukum pidana, saya punya kepentingan yang besar secara pribadi terhadap ketentuan ini sebetulnya. Karena apa? Karena kalau kita lihat, yang pertama sangat kelihatan sekali undang-undang ini dibuat dengan amat tergesa-gesa. Ada inkonsistensi di dalam perumusan pasalpasalnya. Yang kita tahu pada dasarnya amnesti adalah satu deklarasi dari pemerintah untuk mengatakan tidak dilakukannya satu proses hukum terhadap satu perkara secara umum, apakah perkara hukum dalam konteks ini saya selalu mengatakan perkara pidana yang tidak memberikan implikasi dampak hukum apa pun. Kalau kita mengacu kepada makna amnesti, maka sesungguhnya apa yang terjadi di dalam undang-undang mengenai pengampunan pajak seperti yang ditanyakan oleh salah satu Pemohon, dalam hal ini Pak ... yang terakhir mengenai definisi amnesti saya lupa tadi, disampaikan, ya. Pak Eggi, mohon maaf, Pak Eggi. Itu menjadi menarik buat saya karena jelas definisi Pasal 1 ini secara teoretis akan bertentangan dengan makna amnesty atau pengampunan itu sendiri. Itu yang pertama. Yang kedua. Kalau kita lihat di sini bahwa makna pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, satu. Bagaimana konteks syarat adanya uang tebusan, bukankah mekanisme ini secara administrasi adalah merupakan sanksi administratif. Jadi, definisi ini sebetulnya tidak klir menurut saya. Itu satu. Ya, apalagi kemudian tidak dikenai sanksi administratif itu sendiri sudah bertentangan dengan angka ... Pasal 1 angka 7. Kemudian ... dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Sanksi pidana di bidang perpajakan sebetulnya dalam konteks ini, ini dalam kacamata hukum pidana dengan tidak diprosesnya secara administratif sesungguhnya sanksi pidana di bidang perpajakan dirumuskan secara berlebihan. Ultimum remedium. Hukum pidana itu dipakai manakala mekanisme dalam mekanisme hukum lain itu tidak bekerja, filosofinya terbalik. Kalau kemudian kita mengedepankan filosofi ultimum remedium dalam kacamata hukum pidana di dalam membaca rumusan Pasal 1 ayat (1) ini, ini sesungguhnya frasa mengenai sanksi pidana di bidang perpajakan menurut saya berlebihan. Satu itu.
54
Apakah ini bertentangan dengan Pasal 20? Menurut saya ini menunjukkan lagi inkonsistensi sifat keterburu-buruan di dalam perumusan pasal ini. Saya tahu dalam pandangan yang … bahasa saya, saya enggak ... tidak mau suudzan, saya khusnudzon saja, Majelis Hakim. Saya melihat memang semangat di dalam penyusunan undangundang ini adalah semangat bagaimana kita mencoba menegakkan hukum pajak dalam pandangan yang positif. Undang-undang ini adalah undang-undang administratif, itu yang harus kita pegang, sehingga mekanisme administratif harusnya dikedepankan. Nah, kalau kemudian kita mau membawa mekanisme administratif itu dikedepankan, asas hukum pidana sebagai subsidiaritas atau hukum yang kedua atau yang terakhir mau diterapkan mestinya konsisten. Pasal 20 harusnya dikatakan bahwa tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, klir. Tetapi ketika kita melakukan interpretasi secara sistematis terkait dengan penjelasan Pasal 20, maka pertanyaan di dalam hati saya adalah apa maksud pembuat undang-undang dengan mengatakan bahwa ini tidak hanya terhadap tindak pidana di bidang perpajakan, tapi juga tindak pidana lainnya? Bapak, Ibu semua, ini rontok, khusnudzon saya ... suudzan saya jadi timbul, yang khusnudzon tadi jadi suudzan. Apakah ini bentuk dari upaya secara politis untuk kemudian melegalkan hal-hal yang sebetulnya merupakan suatu tindak pidana. Kenapa? Kalau tadi ada pertanyaan berikutnya mengenai TPPU yang kalau dalam Pasal 2, Pasal 3 ... Pasal 2 dikatakan, “Tindak pidana asal adalah tindak pidana salah satunya di bidang perpajakan,” apakah dengan pengampunan ini tidak bisa dituntut TPPU-nya? Kalau kita mengatakan secara konsisten pengampunan adalah amnesty, artinya pelanggaran atau tindak pidana pajak itu menjadi tidak ada. Dasar atau implikasinya adalah uang itu adalah halal, bukan uang haram. Sehingga penggunaan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 di dalam Undang-Undang TPPU tidak bisa dipakai. Ini baru masalah tindak pidana pencucian uang, ada dampak. Bagaimana dengan tindak pidana lain? Bapak, Ibu sekalian, dengan mengatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya, buat saya yang penting ada lampirannya. Lampirannya ini bisa surat apa saja. Kita rujuk ke Pasal 9 undang-undang ini, bukti investasi, segala sumber kekayaan, data tentang asal kekayaan, dan sebagainya itu bisa menjadi lampiran. Kenapa itu penting buat saya? Kalau kita baca Pasal 187 KUHAP, kualifikasi alat bukti surat adalah surat yang salah satunya adalah didasarkan pada ketentuan di dalam aturan perundang-undangan, sehingga kualifikasi alat bukti sangat bergantung kepada bagaimana ketentuan perundang-undangan itu. Kalau kita bicara tentang undangundang mengenai keterbukaan informasi publik, memang ada beberapa 55
... apa namanya ... informasi yang dikecualikan dikaitkan dengan keamanan negara dan lain sebagainya. Sehingga di sini kalau kita kaitkan dengan tujuan maka pengecualian itu sangat bisa kita terima. Karena apa? Karena keamanan negara, keamanan masyarakat menjadi taruhan. Bagaimana dengan ini? Ketentuan ini pada hakikatnya adalah berkaitan dengan hak-hak terhadap harta kekayaan individu. Perlindungan terhadap konteks kepentingan individu yang berhadapan dengan kepentingan negara untuk mendapatkan pajak yang dibayarkan. Kalau kemudian itu didapat dari hasil satu tindak pidana, kekayaan itu menjadi halangan sebetulnya bagi penyidik, apalagi kalau kita tahu katakanlah tindak pidana korupsi, saya berkali-kali mengatakan, tindak pidana korupsi itu sangat kental nuansa administratifnya, alat bukti surat menjadi salah satu alat bukti yang sangat penting. Kalau alat bukti yang penting ini kemudian dinihilkan dengan kualitasnya dengan ketentuan Pasal 20, saya tidak tahu bagaimana KPK, PPATK, Mabes Polri, lembaga kejaksaan kemudian melakukan kerjanya? Jadi implikasinya sangat luas, Bapak, Ibu sekalian. Itu sebabnya buat saya walaupun permohonannya banyak, tapi secara pribadi Pasal 20 ini menurut saya sangat-sangat penting. Jadi kalau kemudian tadi ditanyakan, apakah saya punya bukti? Saya memang belum punya bukti. Karena apa? Saya tidak bisa mengevaluasi satu ketentuan yang baru berlaku tahun 2016, proses penyidikan satu perkara pidana bisa memakan waktu yang sangat panjang. Saya kira kalau kita mau melakukan satu studi empiris saat ini, hasilnya akan nihil. Jadi kalau dikatakan saya punya bukti, memang betul saya tidak punya bukti, tapi secara normatif, implikasi ini bisa kita ... bisa kita duga sebelumnya dan sebelum hal itu terjadi, selayaknya ini menjadi perhatian besar kita semua. Kemudian (...) 90.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bu Eva, saya potong sebentar. Supaya lebih klir, ya?
91.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Ya.
92.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Kalau kita begini. Dalam hukum pidana, dalam suatu keadaan darurat, apakah bisa ada pengecualian? Suatu tindak pidana bisa
56
dianggap bukan tindak pidana, misalnya dalam keadaan perang, dalam keadaan overmacht, dan sebagainya. Apakah bisa dalam hukum pidana? 93.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Dalam hukum pidana, keadaan darurat itu sering dikenal sebagai notustan, Pak Hakim ... Mohon maaf, Pak Arief, Ketua Majelis. Notustan itu keadaan darurat, beda dengan overmacht. Overmacht itu daya paksa. Pasal 48 yang diperluas. Keadaan darurat ini pada dasarnya adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan satu tindak pidana, namun dalam melakukan satu tindak pidana itu didasarkan pada pertimbanganpertimbangan di mana harus dia memilih. Apa pun pilihannya berujung kepada terlanggarnya ketentuan undang-undang. Satu contoh yang sederhana dalam banyak literatur. Seorang yang terapung-apung ... dua orang terapung-apung di laut, ada satu pelampung. Artinya, kalau pelampung itu dia pakai, dia akan melindungi dirinya sendiri, tetapi sesungguhnya dia sudah melakukan pembunuhan terhadap temannya. Itu keadaan darurat. Seorang dokter yang ada di tengah-tengah satu daerah wabah, dia sendirian, banyak pasien yang harus dia tolong. Ketika dia memilih satu pasien, pasien lain tidak tertangani. Dia dalam keadaan darurat. Jadi makna keadaan darurat sangat spesifik di dalam hukum pidana.
94.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Begini, kalau dalam kasus ini. Ini kasus di bidang ekonomi dan kasus dalam perpajakan.
95.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Saya kira (...)
96.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pemerintah menganggap ya, harta-harta yang diperoleh itu bisa harta hitam. Ya, tapi untuk kepentingan darurat penerimaan negara, untuk kepentingan menjaga perekonomian nasional, untuk menjaga ... apa ... pertumbuhan dan sebagainya. Kemudian itu diampuni asalnya, itu gimana? Darurat begini bisa dianukan? Dalam hukum pidana.
57
97.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Oke. Dalam konteks hukum pidana, pilihan-pilihan yang dilakukan tadi sebetulnya juga ada syaratnya, Ketua Majelis Yang Mulia. Jadi syaratnya adalah dua ... dua asas yang biasanya menjadi dasar, proporsionalitas dan subsidiaritas. Subsidiaritas artinya tidak ada jalan lain, tidak ada cara lain, tidak ada jalan keluar alternatif yang bisa dipilih kecuali itu, dan proporsionalitas seimbang. Apakah melindungi seorang pelaku tindak pidana untuk tidak me ... untuk tidak ... tidak menuntut dia, menjadi imbang dengan kepentingan masyarakat, kepentingan negara? Apakah hanya pajak kemudian kita bisa hidup? Saya tidak tahu, saya bukan ahli ekonomi. Tapi apakah proporsional antara pengorbanan penegakan hukum, trafficking, korupsi, bukan hanya pajak dikorbankan untuk kemudian semata-mata menambah jumlah pendapatan negara yang belum tentu besar? Itu jawaban saya, Yang Mulia.
98.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Silakan berikutnya, Pak Basuki.
99.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Mohon maaf (...)
100. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, masih terus? 101. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Masih ... masih banyak sekali pertanyaan (...) 102. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, ya, diteruskan. Ya itu tadi. Ya. Silakan. 103. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Ya, jadi (...)
58
104. KETUA: ARIEF HIDAYAT Tapi waktunya tolong bisa dibatasi. 105. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: EVA ACHJANI ZULFA Ya. Saya ... saya langsung saja, Pak, dengan ... dengan … apa namanya ... secara garis besar. Kalau tadi saya kira hal-hal yang apakah kemudian berbasis upaya paksa dari Pak Sekjen tadi yang sempat disampaikan kepada saya. Saya ingin mengatakan begini bahwa kalau kita bicara dalam konteks kepentingan hukum. Tadi saya sudah katakan berbanding terbalik dengan kepentingan masyarakat secara luas, kita ingat tentang sifat melawan hukum, materiil yang juga pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan beberapa yurisprudensi dari Mahkamah Agung. Satu perbuatan yang kemudian bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas, maka itu dianggap melawan hukum. Jadi, itu bisa menjadi ... dijadikan salah satu lagi pertimbangan untuk mengatakan, apakah kemudian ketentuan Pasal 20 termasuk dalam hal ini penjelasannya itu adalah ketentuan yang secara normatif bisa kita terima. Saya lanjut saja kepada tadi tantangan Pak Patrialis. Mohon maaf, Pak. Ini saya terima tantangannya Pak Patrialis kalau saya berdiri sebagai Ahli dari Pemerintah. Masalah tax fraud atau penyelundupan pajak, itu pada dasarnya bukan hanya negara kita yang mengalaminya. Banyak negara dan hampir semua negara di dunia mengalami ini. Dan tindak pidana ini sesungguhnya adalah tindak pidana yang tidak mudah pembuktiannya. Saya paham kalau kemudian Ahli yang lain mengatakan, “Ini adalah kegagalan pemerintah” karena dalam konteks hukum pidana, memang bukan tindak pidana yang mudah. Ada model mediasi penal. Mediasi penal yang banyak sekali dipakai sebagai dasar untuk bukan tax amnesty pada dasarnya, tapi menjamin untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap pelaku pengemplang pajak, tetapi tentunya ada syaratnya. Yang pertama, syaratnya kalau dalam konteks hukum pidana adalah pengakuan bersalah dari wajib pajak tersebut. Ini untuk melindungi rasa keadilan masyarakat. Ini tidak tergambar dalam undang-undang ini kalau kita mau menggunakan mekanisme mediasi penal sebagai saran. Kalau dia mengaku bersalah, kemudian dia mau membayarkan pajaknya, atau kemudian karena ini konteksnya mediasi mirip dengan perdata, pemerintah boleh saja melakukan tawar-menawar terhadap mekanisme penyelesaiannya dan ada jaminan dari pemerintah untuk tidak menuntut. Tapi bukan begini caranya, itu. Kemudian, yang terkait dengan impunitas, satu lagi. Berikan kesempatan saya untuk mengomentari keputusan … apa namanya … 59
ketentuan ini dan apa yang ditanyakan oleh Ibu Maria terkait dengan Pasal 23. Buat … kenapa kemudian saya juga tidak mengomentari ketentuan mengenai Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23? Kalau menurut saya, ketentuan ini adalah bentuk ketakutan dari para pejabat negara secara berlebih-lebihan, Ibu Maria Yang Mulia. Kenapa bentuk ketakutan yang berlebih-lebihan? Karena filosofi dalam hukum pidana (suara tidak terdengar jelas) tidak ada pidana tanpa kesalahan. Kalau kita baca Pasal 22 misalnya, “Menteri, wakil menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau penuntutan, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik.” Untuk apa norma seperti ini dirumuskan? Undang-Undang Nomor 30 tentang Administrasi Pemerintahan pun mengatakan, “Kalau bentuk diskresi dilakukan dengan iktikad baik sesuai dengan tujuannya, maka itu bukan merupakan sesuatu yang harus ditakutkan dan bukan merupakan hal yang harus dijamin untuk tidak dituntut karena hukum pidana pasti tidak akan menuntut itu.” Kemudian, kalau dikatakan mengenai Pasal 21 dengan … hubungannya dengan Pasal 23, ini menjadi hal atau isu yang lain yang menarik buat saya. Sebetulnya ini jaminan justru dari … kepada masyarakat. Jaminan kepada masyarakat kalau kita mau berpikiran positif juga jaminan bagi para penyelenggara negara, atau barangkali ini semacam games rules-nya bahwa kemudian tidak ada penyalahgunaan terhadap ketentuan ini, terutama terkait dengan informasi. Nampaknya pembentuk undang-undang sudah praduga bersalah dulu. Jadi, dengan mengatakan, “Ada kemungkinan bahwa pihak-pihak yang dirumuskan di sini akan berpotensi untuk membocorkan, menyebarluaskan, memberitahukan data.” Ini menjadi lex specialis saya kira dibanding dengan UndangUndang Keterbukaan Informasi Publik yang kemudian diancam dengan sanksi pidana. Saya kira itu menjadi satu isu yang … apa namanya … berbeda dibanding dengan Pasal 20 dari ketentuan ini. Itu jawaban dari saya. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 106. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Bu Eva. Ada sebetulnya mau saya tanya lagi, tapi saya nanti terlalu panjang, menarik soalnya. Baik. Pak Basuki, saya persilakan.
60
107. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Baik, terima kasih. Sori, saya posisinya harus diubah sedikit. Jadi begini, saya bicara tentang pajak di sini bukan antipasti terhadap tax amnesty, bukan. Tapi, saya berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan. Saya berusaha … jadi, pendapat saya bukan pendapat pribadi, tapi apa yang terjadi di lapangan yang kita … kita tangkap? Grand desain selama ini dari hasil penelusuran, tidak pernah ada dalam sistem pajak. Saya bisa gambarkan bagaikan seorang manusia. Kalau dianalogikan pajak itu manusia, grand desain itu bisa dibilang sebagai karakter atau kecerdasan jiwa seseorang yang menjadikan seseorang bisa menjadi berkualitas atau tidak, berkarya atau tidak, bermanfaat atau tidak, seperti itu. Jadi prinsip-prinsip perpajakan Indonesia, self assessment itu, itu sudah dituangkan sejak kebijakan tax reform tahun 1983. Bisa digambarkan dalam diri seseorang itu sebagai karakter. Kita punya karakter. Oke, pajak kita pungut dengan paksaan tapi kita harus tahu rohnya, kita harus tahu jiwanya, gitu. Yang kedua, cita-cita pajak bangsa. Itu ada lho, itu tertuang lho di undang-undang, dalam pembukaan atau keterangan, “Didasarkan oleh keinginan masyarakat untuk terciptanya aparatur pajak yang bersih,” kan gitu di itunya, “Maka dilakukan tax reform ini,” gitu. Nah, artinya bila itu manusia, manusia yang berkualitas, manusia yang memiliki jiwa yang kuat adalah manusia yang memiliki cita-cita. Apakah manusia … bisa tidak mempunyai cita? Bisa. Apakah manusia bisa tidak memiliki yang namanya karakter? Bisa. Hidup seenaknya setiap hari, tidak punya agama, misalkan begitu. Tidak punya cita-cita. Akhirnya apa terbentuknya? Manusia yang semacam ini, yang ada di pikiran hanya pada uang, pada materi. Ya, ini yang terjadi di pajak kita. Tidak ada panduan, tidak ada yang namanya apa sih yang akan dibangun, target apa? Padahal di situ sudah ditulis. Makanya munculah yang namanya target. Target ini menjadi ukuran yang selama ini bisa dibilang kita capek dengan pajak. Karena apa? Masyarakat, pemerintah, semua tarik-menarik, dan ini yang terjadi saat kita kumpul sekarang. Tax amnesty sudah jadi, kita berdebat tarikmenarik. Masyarakat di lapangan juga tarik-menarik. Jadi semua capek. Para pelaksana pemeriksa pajak di lapangan pun capek. Banyak yang mengeluh, setiap hari ditelepon. Apalagi menjelang akhir tahun, berapa targetnya? Ini yang sering terjadi di para pemeriksa pajak, di aparatur pajak. Saat keberatan dilakukan yang pertama kali yang menjadi pertimbangan berapa ini akan … akan menurunkan penerimaan pajak? Seringkali ini menjadi perdebatan di kalangan para aparat pajak. Bukan melihat pada sisi esensi daripada keberatan itu. Prinsip-prinsip keadilannya bagaimana, itu? 61
Nah, kami punya dasar penelitian ini, ini yang akan kita bawa ke sini untuk memperbaiki ke depan. Maaf, Yang Terhormat Pak Patrialis Akbar. Jadi kalau dikatakan sudah enggak ada korupsi, maaf saya banyak menemukan. Kebetulan kita membuka pos-pos pengaduan. Kita telah dampingkan masyarakat. Beberapa bahkan PMA-PMA dari Korea Selatan, dari ini, itu ditekan habis di lapangan. Kita dampingkan bagaimana ketidaktahuan masyarakat tentang pajak. Masalah soal PKP saja itu bisa ajukan, tolak lagi, ajukan, tolak lagi. Mereka sudah melaporkan, melaporkan ke MK, melaporkan ke mana-mana tapi enggak ada hasil. Mereka telepon ke kami, “Bisa enggak, Pak, dampingi?” Katanya. Kita transaksi terus berjalan, miliaran masuk uang ini. “Tapi kita tidak bisa mengkritikan PPN ini. Kita rugi besar,” katanya. Oke, kita datang. Saya sampai dikawal sama polisi untuk ini. Saya bingung kenapa harus dikawal begini? Ternyata di sana itu, ya, maaf, oknum kepala kantornya terlibat, tekanan ini. Ada sekitar berapa kepala seksi turun semua. Saya dikurung untuk berdebat tentang pajak. Ya saya bilang, “Kalau memang kalian berani, oke, saya bawa ini ke MK.” Ternyata enggak berani mereka itu. Ya saya katakan, “Kalau memang kepala kantor ini benar, turun hadapi saya.” Dia ada tamu, Pak. Sibuk, katanya. 10 menit, 15 menit, paling ini 5 menitlah, ketemu saya mengatakan, “Oke. Ketemu sore lagi. Sore. Nanti saya akan datang sore kemudian atau besok pagi. Saya akan terima itu.” Tapi enggak berani dia sama sekali hadapi saya. Ternyata di balik itu, kepala kantor sudah ketakutan. Dan kita ternyata di luar itu sudah dikurung oleh salah satu ormas karena saya mengklaim sebagai LSM. Padahal saya LSM bukan LSM ormas, LSM pajak. Kita kalau … apa … tawuran, ya, pasti kalahlah. Tapi berhubung ada polisi, ya, mereka enggak berani fisik juga, gitu. Itu yang menjadikan ini. Jadi, harus dipahami pertama, apa? Kita tidak punya patokan apa yang akan kita perbuat terhadap pajak. Sehingga saat ada masalah tentang tax amnesty, kita buat saja peraturan. Toh ini juga menaikan target penerimaan kita. Kenapa tax amnesty yang baru sekarang kita lakukan? Parkir dana luar negeri kita di luar negeri itu sudah lama terjadi, bertahun-tahun, puluhan tahun. Mungkin sama dengan tax reform-nya kita, tapi kita tidak pernah membuat kebijakan-kebijakan apa pun. Tapi saat 2018 akan dirilis informasi itu, baru itu rame. Dan saya pernah melakukan diskusi dengan forum pajak berkeadilan, ternyata forum pajak berkeadilan mengatakan ... ada bocoran dari ... dari Direktorisi di bawah ... itu sudah ... akan dirilis, makanya sebenarnya ini sudah, sudah lama diperjuangkan oleh maaf … kekuatan lain di balik ini untuk mengatur ini, tapi kan sulit untuk membuktikan itu, tapi dengan tidak adanya grand design ini membuka 62
peluang untuk apa pun masuk, gitu lho. Kita sekarang masuk dalam pusaran target penerimaan, semuanya, tapi apakah di dalam itu sistem pajak kita seperti apa? Kita tidak pernah perhatikan, saat target ini tercapai kita dianggap ini, “Wah, sukses,” tapi saat tidak tercapai dianggap gagal, kasian rakyat kita hanya sebagai sapi perah selama ini, siapa mereka yang bisa bicara, enggak ada. Takut bicara pajak, enggak ada yang berani. Nah, kalau menurut saya tax amnesty ini menjadi pertimbangan terakhir, hulu ke hilir, dia menjadi kebijakan yang terakhir. Jadi, kalau bisa dibilang grand design-nya harus disusun. Kita sejak awal tahun 1983 ada cita-cita terhapuskannya apa ... penyimpangan di kantor Pajak di aparatur pajak, itu dari 1983 sampai sekarang masih terus berjalan. Bisakah saya katakan korupsi di pajak itu seperti penyakit lupus, belum ada obatnya dia hanya berubah bentuk (...) 108. KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Basuki, mohon maaf. 109. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Ya. 110. KETUA: ARIEF HIDAYAT Supaya lebih difokuskan ini ke arah konstitusionalitas. 111. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Oke. Oke, maaf. 112. KETUA: ARIEF HIDAYAT Semua yang diceritakan itu tatarannya implementasi (...) 113. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Oke, Saya (…) 114. KETUA: ARIEF HIDAYAT Supaya kita mendapatkan pemahaman masalah konstitusionalitas. 63
115. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Baik. Ya, saya berusaha untuk berbicara sesuai bingkai (suara tidak terdengar jelas) bukan diri saya, oke, maaf. Saya akan teruskan dengan langsung ke pertanyaan berikutnya. Kalau dikatakan tax amnesty ... dari Pemohon ada yang mengatakan ... tadi bertanya, “Tax amnesty ini berapa sih kisarannya?” Kita tidak pernah tahu. Karena memang tidak ada patokan di sini, berapa kok, kok muncul 2%, kok muncul 3%, 5%, luar negeri ya muncul 6%, UKM-nya muncul lebih rendah lagi 0,5. Nah, hal-hal yang seperti ini karena enggak ada patokan kalau menurut saya, kita hanya berpikir pada target, gitu. Nah, yang kedua, sori saya lihat. Tax amnesty ini lebih mengarah pada mengobral pajak itu sendiri, gitu sebenarnya. Jadi kalau menurut saya kebijakan ini banyak, banyak merugikan sistem pajak itu sendiri, gitu lho. Nah, kalau ditanya, kita harusnya sudah ... ini tax amnesty adalah pintu masuk untuk membuka database, seharusnya database itu dibuka sejak 1983 kita melakukan test reform itu sudah dibuka karena masyarakat terus memasukkan data, dan itu haram menjadi bahan analisa, harus dipetakan, wajib pajak mana yang patuh, wajib pajak mana yang tidak patuh, wajib pajak mana yang ngemplang? Itu harus dibuat pemetakan seperti itu, terus sampai yang namanya cita-cita kemandirian bangsa itu nanti menjadi, menjadi tujuan akhir dan tax amnesty merupakan bagian dari kebijakan itu, tax amnesty bukan tujuan, bukan yang utama, dia hanya bagian kecil saja dari kebijakankebijakan pajak. Transpor pressing ini kasusnya luar biasa besar, kenapa enggak dimasuki? Kenapa enggak rame gitu? Sampai sekarang. Sekarang UMKM dari pihak pemerintah menanyakan ada 57.900.000 UMKM menurut data, tapi yang baru terjaring 30.000.000. Nah, di sini UMKM itu jangankan pemerintah, saya sendiri sekarang ada program pembinaan UMKM. Karena apa? UMKM ini mempunyai potensi bisnis yang lumayan bagus, mereka mandiri membuka peluang-peluang usaha, tapi sering kali terhadap pajak bingung mereka, takut, satu hal yang takuti adalah pajak saat berhadapan dengan pajak, mereka takut. Kalau bicara tentang ke depannya mereka optimis, tapi saat bicara pajak, mereka takut, tapi mereka mau mengadu kemana? Mereka ke kantor pajak, takut. Ingin bayar konsultan, enggak mampu. Merekrut pegawai pajak juga enggak bisa, kan gitu. Nah, akibatnya apa? Mereka sering kali sembunyi, entah caranya bagaimana sembunyi, termasuk Pasal 4, 1% terhadap omset, itu bagian dari ketidakmampuan dia, sehingga menjadi double pengenaan pajaknya. Banyak UMKM, UMKM yang bermain di pemerintah, 64
pengusaha-pengusaha yang tergolong 4,8 miliar kategori kecil, itu melakukan bisnis di pemerintah. Saat dia harus dikenakan 1% itu harus punya yang namanya surat keterangan bebas, tapi mereka enggak berani mengurusnya. Tapi, oleh pemerintah ... oleh, oleh pihak pemerintah, (suara tidak terdengar jelas) dipotong itu pajaknya, padahal pada akhir tahun, mereka dikenakan 1%. Nah, di sini terjadi double, saya pernah menanyakan ke kantor pajak, kantor pajak bilang, “Ya, kalau memang pengin ini restitusi saja.” Ya kalau restitusi pemeriksaan, kan jadi ruwet lagi ini kalau sudah pemeriksaan masalahnya sudah lain lagi, tekanan-tekanan luar biasa, gitu, gitu lho. Jadi di sini, UMKM ini seharusnya dibina, ini potensi besar yang harus dibina. Kalau dikatakan tadi 30.000.000 yang baru terjaring, bagaimana kualitas pelaporannya? Banyak di antara mereka itu pelaporan-pelaporan yang sifatnya fiktif dan ini tidak pernah bisa dijangkau, tidak bisa didata oleh kantor pajak seberapa jauh kepatuhan mereka, gitu. Jadi sebenarnya, di balik ini masyarakat telah membuat semacam perlawanan-perlawanan pasif, membuat yang namanya laporan-laporan yang supaya pajaknya aman. Ada yang sudah operasional, dia membuat surat pernyataan belum beroperasi sehingga tidak kena pajak. Banyak lagi segala macam. Nah, sekarang kalau ada pertanyaan tadi tentang pajak berganda. Sekarang dikatakan pajak berganda bagaimana? Ini ada laporan banyak dari masyarakat ke kami. Jadi mereka enggak mengerti pajak, intinya dari situ. Fungsi pembinaan yang gagal ini menjadikan mereka bingung. Saat mereka ke kantor pajak, kantor pajak ini sudah ditargetkan terhadap tax amnesty untuk menyasar ke mana saja, termasuk wajib pajak dalam negeri. Padahal, para wajib pajak dalam negeri ini punya penghasilan sudah dipotong pajaknya. Bagi mereka yang dari gaji dipotong, PPh 21. Tabungan inilah yang dibeli aset oleh mereka. Aset ini karena tidak tahu tidak didaftarkan SPT. Itu langsung, “Wah, kalau begitu, Ibu bisa tax amnesty.” Memang kata-kata bisa itu … itu pengertiannya kelihatannya sangat-sangat halus. Tapi … terus kalau misalkan saya mengubah SPT, bisa enggak? “Bisa, Bu, tapi Ibu enggak aman nanti ke depannya. Kemungkinan masih akan diperiksa terus,” katanya. Ini kan, sesuatu yang menakutkan. Siapa yang tidak takut dengan pajak? Kalau Ibu lewat tax amnesty, ke depannya aman, tidak diobok-obok. Siapa yang berani untuk tidak tenang? Semacam itu. Jadi kalau dikatakan, kenapa ini double taxation? Sekarang kita bandingkan dengan uang-uang yang diparkir di luar negeri, puluhan tahun mereka memarkir di sana. Mereka menikmati hasilnya, tapi bebas pajak. Saat mereka melakukan penebusan pajak, wajar. Itu sekali 65
selama sekian puluh tahun terakumulasi tidak pernah tersentuh pajak dan ditebus 2% selesai semua. Nah, kalau dikatakan tax amnesty sebagai pintu masuk … sori, tadi sudah saya bahas ya. Tax amnesty sebagai pintu masuk untuk membuka data base. Saya pikir data base ini sudah harus dibangun sejak tahun 1983, 32 tahun yang lalu, gitu. Jangan tax amnesty ini menjadi pembuka, gitu lho. Dari pemeriksaan pajak, dari awal pajak … apa … wajib pajak melaporkan SPT, itu sudah bisa untuk dianalisa, dan itu harus dipetakan, patuh dan tidak patut dan lain sebagainya. Kemudian tax amnesty beberapa negara, 1 regulasi lemah atas … sori, dari Pak Anwar Usman tadi, apakah ini regulasi atau kelihaian wajib pajak? Kan begitu. Saya pikir tax amnesty ini muncul karena sistem kita yang lemah karena sistem kita yang lemah menjadikan kita menyasar pada target, kita menjadi kalap. Target penerimaannya menjadi pusaran dari semua yang … semua pembuat kebijakan sampai pemeriksa pajak, gitu. Nah, akibatnya wajib pajak ini menjadi salah satu sasaran untuk dikenakan tax amnesty. Tapi saya pikir kebijakan apapun kalau masih tidak memiliki yang namanya grand design atau tidak memiliki kapatokan akan munculah seperti ini. Tax amnesty ini menjadi masalah saat masyarakat kebingungan. Bagaimana sih sebenarnya aturan ini? Ini yang membuat resah. Nah, apakah ini sebaiknya kita tarik atau didiamkan? Kan menjadi pertanyaan begitu, kan? Kalau saya pikir kita menjadi buah simalakama sekarang ini. Apabila didiamkan ya, kita enggak dapat apa-apa, apabila ditarik ya kita dapatnya hanya segitu. Saya pikir pemerintah harus berani untuk membuat semacam rancangan, rancangan besar tentang pajak kita karena yang kita tuju adalah kemandirian bangsa yang bersumberkan dari pajak. Kita harus satu-satu, berapa tahun kita ingin membuat sistem pajak kita bersih? 5 tahun, 10 tahun? Buat yang namanya aparat-aparat pajak yang kuat untuk tidak mempan untuk melakukan korupsi, buat kader-kader itu. 1000 orang yang kita kader, apa tidak bisa? Saya yakin bisa. Sebagaimana juga ada tim Kopassus dalam TNI, Kopassus itu luar biasa kemampuannya. Di pajak ada, enggak? Dididik itu, untuk menjadi yang paling depan untuk membuat terobosan-terobosan, gitu. 116. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, waktunya, Pak. 117. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 57, 58, 59/PUUXIV/2016: BASUKI WIDODO Ya, ya. Maaf ini … maaf ini terakhir, ya. Tadi Pak Arief, ya. Yang Mulia Pak Arief Hidayat menanyakan apakah undang-undang harus 66
disahkan kebijakan alternative, garis keras. Ya, artinya apakah kita melakukan kebijakan tax amnesty atau apa alternatif lainnya? Kan gitu, kan. Kalau menurut saya selama tidak ada grand design kita akan terus membuat kebijakan-kebijakan yang salah arah karena kita akan masuk dalam pusaran-pusaran target penerimaan dan ini sangat-sangat membahayakan ke depannya saya rasa itu saja. Terima kasih. 118. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Terima kasih. Pak Amin? Makmur, ya, Pak Makmur. Silakan. 119. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: MAKMUR AMIR Ya, terima kasih. Mudah-mudahan bisa singkat karena waktu juga. Dalam perspektif pidana sudah tegas dari Ibu Eva, dalam praktisi perpajakan juga lebih jelas. Karena itu saya soroti saja dalam perspektif hukum tata negara, dimana forum ini sesungguhnya adalah bagaimana undang-undang itu bisa direvisi atau tidak karena Majelis ini adalah pengawal konstitusi jangan sampai menurut penanya dari Pemohon juga jangan-jangan ini amburadul semua jadinya, gitu. Mudah-mudahan tidak … tidak muncul apa namanya … undang-undang pengampunan korupsi, undang-undang pengampunan pengedaran narkoba, gitu. Artinya, kalau kita merujuk Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 saya kira saya hanya memberikan pandangan yang terhormat Para Hakim Konstitusi yang lebih … apa … lebih berpotensi untuk memberikan makna daripada Pasal 14 ini. Pasal 14 sebelum diamandemen itu menyebutkan, “Presiden memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi.” Kemudian diamandemen lalu menjadi dua ayat, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.” Sehingga nuansanya lebih dalam perspektif hukum. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Sangat beda dengan pasal-pasal yang lain, ya kan, diatur lebih lanjut dengan undang-undang karena memang kewenangan presiden dan DPR untuk membentuk undang-undang. Tapi terkait dengan grasi, rehabilitasi, dan amnesti, dan seterusnya, khusus amnesti karena konteks pembicaraan kita adalah amnesty. Itu tidak dalam bentuk undang-undang tapi diminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Kenapa tidak dalam bentuk undang-undang? Karena mana mungkin juga sih pengampunan itu dalam bentuk undang-undang, nanti lahir pengampunan macam-macam nanti. Pengampunan ini hanya spesifik, tertentu karena itu dilakukan oleh presiden selaku kepala 67
negara bukan selaku kepala pemerintahan. Kalau dia selaku kepala pemerintahan tentu dengan undang-undang. Nah, saya enggak tahu para pembuat undang-undang ini kenapa jadinya posisi presiden sebagai kepala negara, lalu menjadi kepala pemerintahan karena dia harus bersama DPR membuat Undang-Undang Pengampunan dan celakanya pengampunan namanya, gitu, mestinya apa, gitu. Nah, menurut saya ini kan akibat kegagalan atau tidak berjalan dengan baik pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan yang ada. Lalu, ya, begini kata Ibu Eva tadi dalam perspektif pidana, apa ya memang? Bayangkan saja kalau saya sebagai masyarakat awam dalam UndangUndang Perpajakan yang ada ketentuan umum dan tata cara perpajakan di situ kan, diatur sanksi-sanksinya pidana dan administrasi, kan begitu. Lalu kemudian diampuni. Ini bahasa awam saja, lalu diampuni, gitu. Nah, celakanya pengampunan ini kok kayaknya berlaku umum karena ini berupa undang-undang, gitu lho. Padahal pengampunan yang dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu hanya spesifik tertentu dan itu kewenangan presiden sebagai kepala negara. Kenapa saya katakan kewenangan presiden sebagai kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan? Karena tidak dibentuk dalam undang-undang sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) ini. Kalau sebagai kepala pemerintahan itu partnernya DPR membentuk undang-undang. Jadi, itu yang pertama. Yang kedua, pastilah kita ini semuanya masyarakat Indonesia apalagi wajib pajak mempunyai kedudukan hukum, punya legal standing dalam persoalan ini, apalagi jangan saja sebagai wajib pajak. Sebagai rakyat Indonesia kita merasa dirugikan sebagai warga negara, kok amburadul begini sih peraturan perundang-undangan ini? Kok mestinya, kok kenapa mesti ada pengampunan, sih? Kenapa tidak dijalankan dengan tegas saja, peraturan perundangan-undangan yang ada dengan sanksi yang ada, sebagaimana dianjurkan dengan Ibu Eva? Dan itu harus ditegakkan. Apa jadinya negeri ini? Nah, kepentingan saya setidak-tidaknya sebagai warga negara, enggak usah sebagai wajib pajak. Begini peraturan perundangundangan kita di republik ini? Nanti besok ada usul Undang-Undang Pengampunan Koruptor, Undang-Undang Pengampunan Pengedar Narkotika. Banyak macam-macam undang-undang. Nah karena itu pengampunan harus tertentu dan spesifik, maka cukup presiden saja. Jangan lagi diturunkan dong hak prerogatif presiden ini menjadi rendah. Ini kewenangan Presiden, biarlah presidennya yang tentu dengan pertimbangan DPR. Mengapa dihindari undang-undang, pembentukan undang-undang itu? Selain posisi Presiden sebagai kepala negara, mana sih kok ada peraturan perundang-undangan, lalu itu harus dilabrak, dengan ketentuan perundangan-undangan berupa pengampunan? Nah, Yang Mulia yang terhormat, ya saya singkat itu saja. Mudah68
mudahan kita pahami sesungguhnya substansi persoalannya di situ, terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 120. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Makmur. Yang terakhir Pak Akhmad Akbar, silakan. 121. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AKHMAD AKBAR SUSAMTO Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum menjawab lebih detail, saya mulai dulu dengan statement yang lebih general, baik terkait dengan diskusi itu. Apakah memang ada sesuatu yang sangat darurat secara ekonomi sekarang, sehingga kita harus membuat sesuatu yang luar biasa? Jawab saya enggak ada. Apa yang darurat? Pertumbuhan ekonomi kita tahun 2015 itu 4,79%, itu enggak jelek-jelek amat, gitu. Memang terendah dalam lima tahun terakhir, tetapi itu masih tumbuh 4,79% itu artinya masih tumbuh, masih mengalami perbaikan, memang tidak terlalu cepat, tetapi itu tidak jelek. Kedua, dilihat dari sisi penerimaan pendapatan negara misalnya, tidak ada yang sangat darurat. Memang betul bahwa di kuartal pertama tahun 2016 itu realisasi penerimaan pajak kita itu terendah di antara sekian tahun terakhir, tapi tadi saya sudah katakan bahwa kalau pun dia terendah itu, ada dua kemungkinan dimana salah satu kemungkinananya adalah karena memang dari awal sudah ada isu tentang Undang-Undang Tax Amnesty yang itu sudah muncul sejak tahun 2015 akhir. Sehingga kemudian apa? Ya mungkin itu akan berpengaruh pada perilaku para stake holder berkaitan dengan pengumpulan pajak, gitu. Dan sekarang kita lihat bahwa pajak itu sudah terus berlanjut, gitu. Nah kalau kemudian kita bicara tentang global economic rises, sekarang enggak ada apa-apanya. Situasi ekonomi sekarang memang belum terlalu baik, tetapi dibandingkan dengan tahun 2009, 2008 enggak ada apa-apanya. Apalagi katakanlah juga dibandingkan dengan situasi kita ketika tahun 2000, sesudah kita krisis ekonomi enggak ada apa-apanya, sekarang ini baik-baik saja. Tentu saja masalah, tetapi masalahnya masalah itu tidak kemudian menjadi sesuatu yang levelnya sangat darurat. Tidak ada. Nah, lalu kemudian terkait dengan masalah indikator-indikator lain yang sebagai ekonom, itu sering digunakan misalnya tingkat pengangguran, tidak ada yang terlalu luar biasa sekarang. Tingkat kemiskinan tidak ada yang luar biasa sekarang. Kalau pun ada sering disebut-sebut, misalnya berkaitan dengan tingkat pemerataan pendapatan, indeks Gini misalnya indeks Gini kita memang tinggi, 0,41. Tetapi saya khawatir justru dengan kebijakan pengampunan pajak justru 69
indeks Gini akan semakin naik. Karena yang ... yang ... yang kaya dapat diskon banyak dari pajaknya dan sebagainya. Jadi, artinya dari sisi di situ saya ingin mengatakan bahwa tidak ada alasan yang sangat kuat untuk mengatakan bahwa kita butuh sesuatu yang luar biasa secara ekonomi, gitu. Nah, Bapak, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang saya ... Majelis Hakim Konstitusi. Nah, sekarang saya ingin menjawab pertanyaan secara lebih detail. Pertama, berkaitan dengan pertanyaan dari Pak Eggi Sujana tentang Presiden atau DPR membuat kebijakan keliru. Saya ingin menghindari jawaban yang terlalu politis karena saya tidak berada dalam posisi itu. Tetapi, sebagai warga negara saya ingin katakan bahwa kemungkinan keliru itu selalu ada, siapa pun pemerintahannya. Yang menjadi isu apakah itu sebagai sebuah desaing tertentu, ada suatu desaing tertentu di baliknya, ataukah itu sebuah kekeliruan biasa? Nah, tapi terlepas dari itu bagi saya yang paling penting adalah ketika ada sebuah kekeliruan, maka kemudian harus kita perjuangkan supaya kemudia kekeliruan itu bisa diperbaiki dan dalam konteks itulah, maka kemudian misalnya saya hadir di sini. Ketika saya tahu bahwa sebagian ekonom luar memilih tiarap untuk tidak berkomentar lagi tentang tax amnesty karena mereka kemudian terjebak pada euforia di luar sana yang mengatakan bahwa tax amnesty sedang berhasil. Dan bagi saya justru ketika orang kemudian euforia berpikir bahwa tax amnesty berhasil, maka saya harus berani datang ke sini untuk mengatakan bahwa ada yang keliru dengan cara berpikir itu. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati. Kemudian, berkaitan dengan … apa ... keliru tadi di mana? Ya, keliru yang saya maksudkan tadi sudah saya jelaskan adalah keliru yang berkaitan dengan dasar pemikiran kenapa kita harus punya undangundang itu. Keliru berkaitan dengan tujuan undang-undang itu, apakah betul dengan pengampunan pajak maka tujuan itu akan tercapai dan sebagainya. Kalau kemudian keliru yang berkaitan dengan substansi isinya, lalu keliru berkaitan dengan implikasi, cara berpikir karena adanya undang-undang itu dan sebagainya. Dan ... dan saya tidak ingin terjebak pada apa posisi yang kemudian seolah-olah kalau sudah keliru, terus kemudian habis semua. Yang saya ingin sampaikan adalah ada kekeliruan dan kekeliruan itu harus kita perbaiki. Nah, Yang Mulia Majelis Hakim yang saya hormati, lalu kemudian tadi ada pertanyaan taat pajak versus tidak taat pajak. Di dalam undangundang yang saya pahami itu tidak ada definisi itu. Jadi, kalau kita buka undang-undang yang berkaitan dengan perpajakan, di Pasal 1 gitu setiap yang berkaitan dengan definisi, enggak ada definsi pajak taat pajak itu enggak ada. Tapi kemudian yang kita pahami sebagai taat pajak adalah mereka yang memang melaksanakan kewajiban-kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. Nah, kewajibannya apa 70
saja, tentunya itu banyak dan saya terus terang tidak hapal satu-satu pasalnya banyak sekali. Nah tapi insya Allah saya bisa menyediakan dalam bentuk jawaban yang tertulis. Nah, kemudian berkaitan dengan … apa tadi ... kerugian karena kegagalan yang memang dipelintir menjadi kerugian, inilah yang terjadi sekali lagi saya kaitkan tadi, ya, kekeliruan berpikir gara-gara kemudian kita itu terjebak pada euforia, tax amnesty, ini harus dilakukan, ini darurat, kita tidak punya pilihan lain, dan sebagainya yang ujungnya adalah kita berpikir keliru. Nah, sekali lagi itu menurut saya harus dikoreksi. Nah, berkaitan dengan pertanyaan dari Bapak Sekjen dan Pak Dirjen. Saya tentu ingin menyampaikan secara tegas bahwa kalau kemudian saya berdiri di sini untuk menjadi Ahli bagi penggugat, tentu saja bukan berarti kemudian saya secara personal harus berhadaphadapan dengan Bapak/Ibu sekalian yang ada di Pemerintah. Ini lebih pada konteks pencarian kebenaran, gitu, dan daripada saya harus berdebat dengan teman di facebook yang membuat saya jadi enggak enak dengan teman-teman yang kerja di Kementerian Keuangan begitu, mendingan di sini sekalian karuan, gitu, dan kemudian Hakimlah yang akan memutuskan. Atau saya berdebat dengan teman-teman saya di kampus, gitu, yang juga beda-beda karena ada yang seperti ini dan yang berlain, daripada begitu, mendingan saya ngomong di Mahkamah Konstitusi karuan dan kemudian hakimlah yang akan memutuskan. Nah, Bapak/Ibu Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Tax amnesty pasti berkaitan dengan kejutan. Lalu kemudian dikatakan bahwa yang namanya tax amnesty harus kejutan dong, kalau enggak kejutan (suara tidak terdengar jelas) kemudian orang sudah siap-siap ikut itu. Betul bahwa tax amnesty itu kejutan, tetapi yang ingin saya tegaskan poin saya bukan itu. Poin saya adalah bahwa ketika Pemerintah itu mengklaim bahwa tax amnesty itu adalah sebuah awal dari formasi pajak. Nah, itu yang saya katakan adalah bahwa tidak ada bukti bahwa tax amnesty itulah sebuah bagian dari reformasi pajak itu karena ini Pemerintah sebutkan itu dalam undang-undang. Dalam undang-undang tujuan tax amnesty katanya begitu ayat di undang-undang itu, lalu kemudian salah satu ayatnya mengatakan adalah untuk mendorong apa itu ... reformasi pajak. Menurut saya keliru karena reformasi pajak sudah kita gulirkan dan harusnya kita kerjakan dengan lebih serius sejak awal. Tadi sudah saya bilang bahwa kita harusnya sudah punya perbaikan terhadap undang-undang yang berkaitan dengan ketentuan umum perpajakan dan sebagainya. Artinya itu sebenarnya sudah jalan, begitu. Lalu kemudian tiba-tiba muncul tax amnesty yang kemudian diklaim sebagai pendorong bagi reformasi perpajakan. Nah, itulah yang kemudian saya ... menurut saya harus diluruskan, tidak, itu tidak benar kalau kemudian tax amnesty itu adalah pendorong bagi reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan itu memang 71
harus dilakukan tanpa tax amnesty ... adanya atau tanpa tax amnesty begitu. Nah, klaim itu yang pengin saya bantah. Bahwa kemudian ... saya setuju dengan apa tadi ... pernyataan bahwa, lho kalau misalnya tax amnesty diumumkan, ya, enggak ada yang ikut, saya setuju dengan itu, tetapi saya kira itu bukan poin utamanya. Nah, lalu kemudian berkaitan dengan apa, ya tadi, ya, data buruh sebagai subjek pajak. Saya kira sebaik-baik lembaga yang punya data tentang perpajakan itu, ya, desain pajak dan saya tidak punya data itu, tetapi bukan ... saya kira poin utamanya bukan di sana. Poin (...) 122. KETUA: ARIEF HIDAYAT Itu, ya, itu yang sering dipakai Bu Eva bagus itu suaranya. 123. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AKHMAD AKBAR SUSAMTO Terima kasih. Jadi, terkait dengan itu, pajak ... nah, di sini gini. Jadi, buruh di situ bukan buruh dalam konteks individual menurut saya. Buruh yang dimaksud adalah mereka yang bekerja untuk orang lain dan mereka yang bekerja untuk orang lain itu artinya digaji. Nah karena dalam sistem perundang-undangan kita itu kalau saya gajian itu maka otomatis dipotong gaji saya sebelum saya terima, maka otomatis artinya saya tidak punya ruang untuk kemudian tidak membayar pajak karena apapun saya sudah langsung terima itu dari ... artinya yang saya katakan bahwa ketika kemudian kita diskusi tentang buruh tadi sebagai sebuah subjek pajak, kita tidak boleh terjebak pada konteks buruh individual, tapi buruh sebagai sebuah posisi di dalam masyarakat apa pun. Apakah kita sebut profesi atau tidak, tetapi kemudian sebagai satu posisi masyarakat dimana mereka itu tipe orang yang digaji, gitu. Nah, di situlah kemudian memang kalau kita merasa begitu, maka buruh ini pasti akan dirugikan dalam hubungan tax amnesty karena apa? Karena mereka itu enggak akan punya ruang untuk enggak bayar pajak. Saya itu gajian itu sebelum saya gajian sudah dipotong, kalaupun saya sesekali jadi pembicara seminar atau apa begitu juga sebelum ... sebelum itu sudah langsung dipotong duluan sama panitianya, gitu kan. Saya enggak pernah tahu pajak saya berapa (suara tidak terdengar jelas) langsung dipotong. Nah, maka yang seperti itu terjadi, maka ya sekali lagi bahwa buruh itu konteksnya bukan pada individu buruhnya tapi pada konteks posisi mereka dalam masyarakat dan juga dalam perpajakan. Nah, bandingkan dengan misalnya mereka yang pengusaha misalnya, pengusaha yang mereka kemudian bisa (suara tidak terdengar jelas) pendapatan lain, lalu kemudian mereka akan melaporkan dan di 72
mana mereka punya ruang untuk memainkan pajak yang harus dibayarkan dan sebagainya. Lalu berkaitan dengan PTKP, ya, setuju. Sekali lagi bahwa poinnya bukan soal punya PTKP atau tidak. Tapi poinnya bahwa mereka posisi itu di antara yang bayar lalu kemudian mereka pada posisi apa itu ... pada posisi di mana kemudian, ya, tadi sesuai dengan apa yang saya jelaskan, gitu. Tapi PTKP, tidak itu kan sebenarnya kita dipotong duluan sebelum bayar pajak itu. Dan kita saya kira, saya enggak tahu tetapi saya kira enggak usah saya lanjutkan. Nah, kemudian berkaitan dengan tunggakkan pajak. Tunggakkan pajak kalau kita lihat dalam ketentuan umum perpajakan itu adalah pajak yang terutang ditambah dengan bunga yang harus dibayar oleh orang yang enggak segera bayarin pajaknya, plus kemudian adalah denda-denda jika ada. Nah, ini diatur di dalam undang-undang itu detail, gitu, tapi saya kira saya terus terang tidak hafal kalimat satu-satu dan saya kira saya akan lebih suka untuk menjelaskan itu secara tertulis. Nah, lalu kemudian tadi ... lho, baru berpikir kok sudah keliru. Saya kira sama, kita juga tidak bisa melihat ketika saya ngomong begini, kita juga tidak bisa melihat kan apa yang saya omongkan, cuma yang bisa kita ... kita dengarlah apa yang kemudian suara saya itu muncul, tapi saya kira ... tapi saya kira ini enggak terlalu penting. Intinya adalah saya hanya ingin mengatakan bahwa ada yang ... kalau pakai menggunakan istilah Pak Eggi Sudjana, ada yang salah gitu, walaupun saya menggunakan istilah keliru, begitu. False kalau bahasa Inggrisnya. Nah, Majelis Hakim Yang Mulia. Berkaitan dengan pertanyaan Hakim Aswanto, Yang Mulia Hakim Aswanto. Apakah serta merta harta yang tidak masuk SPT PH bisa di (suara tidak terdengar jelas) utang pajaknya? Saya kira di sini pertanyaannya menjadi sangat teknis, ya, sangat teknis dan kemudian jawabannya itu akan menjadi sangat kasus per kasus. Nah karena itu supaya saya tidak terlalu terjebak pada jawaban kasus per kasus itu, saya mohon izin untuk kemudian masuk ke level yang lebih tinggi gitu, tidak (suara tidak terdengar jelas) kasus per kasus. Nah, ketika undang-undang tax amnesty itu dikenakan, maka sebenarnya yang harus kena ... yang harus ... yang harus ikut tax amnesty, kalau menurut undang-undang ya, begitu ya, menurut undangundangnya bahwa yang harus ikut tax amnesty adalah harta yang selama ini dikumpulkan dari pendapatan yang belum dipajaki karena pajak itu bukan dikenakan lewat aset, tapi pajak itu dikenakan terhadap pendapatan. Nah, ketika pendapatannya itu selama ini enggak kena pajak atau enggak dibayari pajaknya, maka kemudian pendapatan (suara tidak terdengar jelas) berkumpul menjadi aset, gitu. Nah, di situlah kemudian memang hitung-hitungan teknisnya menjadi lebih rumit, begitu, tetapi saya ingin kembali ke ... apa ... ke 73
semangat awal bahwa yang harus terjadi adalah bahwa kalau memang sudah ada undang-undangnya dan pesan saya sebenarnya yang utama adalah itu, kalau sudah ada undang-undanganya tegakkan saja undangundang itu dan jangan sampai kemudian kita membuat undang-undang baru yang kemudian justru tadi saya kira banyak argumen saya sampaikan justru mengandung kekeliruan-kekeliruan. Nah, tadi di sana ada juga pertanyaan tentang ini, tadi misalnya kendaraan sudah bayar pajak, tapi pertanyaannya sama, Pak, saya kira Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi bahwa kalau bicara tentang kedaraan dan sebagainya itu nanti sangat kasus per kasus dan itu sekali lagi saya tidak bisa mengeneralisir, gitu. Saya khawatir akan terjebak pada generalisir. Nah, prinsipnya harusnya tidak membayar pajak ganda, tentu saja. Kalau memang sudah dipajaki jika dulu pendapatannya itu sudah dipajaki maka mestinya tidak perlu bayar lagi. Kalau saya dulu punya pendapatan tiap bulan, lalu dari pendapatan saya tiap bulan itu saya belikan ... saya cicil, gitu, beli motor bekas, gitu misalnya, lalu kemudian motor bekas itu sekarang jadi aset yang belum saya laporkan, ya, sebenarnya tidak apa-apa dengan motor itu, wong itu dulu sudah bayarkan dari gaji saya sudah dipotong setiap bulan pajanya, gitu. Nah, kalau kemudian terjadi pajak ganda, saya kira itu sudah pada level implementatif. Nah, lalu kemudian bagaimana dengan pandangan bahwa tax amnesty adalah hukuman bagi orang baik? Kira-kira begini penjelasannya, seandainya saya boleh menyesal, saya menyesal, gitu misalnya. Atau seandainya masyarakat belum menyesal, mereka menyesal. Kenapa? Kok dulu saya bayar pajak, ya, mendingan enggak usah saja, kira-kira begitu. Nah karena saya pada waktu itu saya membayar pajak, maka kemudian saya sekarang menyesal dan karena itu saya dihukum. Kenapa? Karena orang-orang yang bayar pajak ternyata malah dapat sesuatu, saya yang sudah bayar pajak enggak dapat apa-apa. Itu yang kemudian disebut sebagai hukuman bagi orangorang yang sudah bayar pajak. Tahu begitu dulu enggak usah. Itu seperti orang yang hukuman juga kepada orang baik, orang baik itu adalah kalau lampu kuning itu siap-siap pelan, jangan ngebut karena kalau ngebut nanti yang terjadi adalah ... jangan ngebut, itu simbol bahwa kuning itu siap-siap untuk berhenti, habis itu merah. Tapi kemudian yang terjadi adalah kalau saya kuning dan saya berhenti, saya mungkin tabrak mobil dari belakang dan itu ... ini firman ini sama. Atau kemudian kita ketika saya dapat undangan rapat, saya kemudian niatnya baik, saya datang paling pertama, ternyata saya dihukum. Karena apa? Justru rapatnya baru dimulai dua jam kemudian. Yang paling diuntungkan adalah siapa? Yang datang pas dua jam itu, nonton tv dulu, main dulu, dan sebagainya. Maka saya dihukum. Nah, ini sama. Jadi, orang yang sudah bayar pajak mereka kemudian dihukum. 74
Dihukum oleh siapa? Dihukum aturan ini dimana kemudian, “Eh, tahu begitu dulu enggak usah bayar pajak saja.” Kira-kira begitu. Nah, pertanyaan dari Hakim ... Yang Mulia Hakim Patrialis Akbar tentang pemerintah gagal (suara tidak terdengar jelas) uang perpajakan, apakah bisa kita berharap bahwa suatu saat masyarakat berbondongbondong bayar pajak? Tadi saya sudah jelaskan bahwa pada tahun 2017 itu kita sudah mengadopsi AEOI (Automatic Exchange of Information) atau sistem pertukaran informasi secara otomatis yang di situ semuanya itu terbuka semua, dalam level internasional semuanya terbuka, dalam konteks luar negeri itu sekarang sebagai konsekuensi dari kesepakatan itu maka pemerintah akan merevisi, saya kira pemerintah sudah sering menyatakan itu, akan merevisi undang-undang yang berkaitan dengan kerahasiaan bank. Nah, jika itu sudah benar-benar terjadi, maka informasi tentang ruang orang untuk menyembunyikan hartanya itu sangat sulit, kecil sekali kemungkinan orang sehingga pada waktu itu semua orang itu akan mau enggak mau itu mengaku, artinya mau enggak mau bayar pajak karena ruang mereka untuk kemudian bermain-main itu menjadi lebih kecil dibandingkan dengan sekarang. Nah, maka kemudian apakah mungkin masyarakat berbondong-bondong? Menurut saya masih mungkin pada waktu itu dan apakah itu perlu dengan pengampunan pajak? Enggak. Yang terjadi adalah bahwa pemerintah itu konsisten menegakkan peraturan yang sudah ada, tegakkan saja undang-undang yang sudah ada itu tanpa harus diampuni-diampuni pada waktu itu akan datang. Nah, kalau begitu saya masih ingat suatu saat di beberapa media muncul pernyataan seseorang, seorang teman yang dikenal sangat pro tax amnesty. Dia mengatakan, “Wah, kalau ini enggak ada tax amnesty, suatu saat banyak orang masuk penjara.” Semua orang masuk penjara semua, begitu kira-kira logika dia dan penjara penuh, begitu. Karena apa? Karena dia tahu bahwa akan ada implikasi dari AEOI ini. Tapi saya berpikir yang harus kita khawatirkan itu bukan bahwa penjara menjadi penuh. Yang harus kita khawatirkan adalah bahwa orang itu tidak taat pada peraturan. Dan bahwa kemudian bagaimana supaya penjara enggak penuh? Tadi saya kira Bu Ova ... Bu Eva sudah menjelaskan, itu ruang bagi ahli hukum untuk menyebutkan misalnya tadi apa yang berkaitan dengan ... apa itu ... tidak dituntut dan sebagainya, saya kira saya sebagai ekonom enggak ... tidak pas untuk menyebutkan. Tapi yang saya katakan adalah bahwa pada waktu itu kemudian orang mau tidak mau memang harus ikut, harus lebih tertib dalam perkara dengan perpajakan, baik menyimpan hartanya itu dalam negeri maupun di luar negeri. Nah, ketika semuanya sudah tertib, semuanya orang itu enggak punya pilihan selain itu, maka ya, berarti kemudian pemerintah punya ruang untuk kemudian ... ya tadi itu, mungkin kalau 75
yang kecil-kecil itu enggak usah dituntutlah, gitu ya. Yang penting mengaku salah, sudah selesai. Tapi kalau yang besar-besar dituntut, cuma memang masalahnya adalah itu nanti secara politik susah, kita tahu bahwa politik kita itu oligarkinya tinggi dan siapa yang berkuasa di sana orang-orang yang sekarang ini punya kekuasaan dan mereka yang punya kekuasaan adalah mereka punya uang banyak. Nah, kalau sudah sampai ke situ maka kita akan menjad paham kenapa harus muncul tax amnesty, gitu. Jadi, cerita di balik itu semualah menjadi kemudian menjadi satu kesatuan yang runtut, kemudian jadilah tax amnesty itu, gitu. Nah, Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, masih berkaitan dengan pertanyaan dari Hakim Anwar Usman bahwa tax amnesty itu berlaku di berbagai negara? Betul. Banyak sekarang, tax amnesty itu rombongan, negara-negara di mana-mana pada rombongan. Kok bisa begitu? Saya terus terang tidak mengamati satu per satu, tetapi sebenarnya ada satu benang merah. Benang merahnya apa? Ya AEOI tadi. Jadi Automatic Exchange of Information tadi itu dan orang kaya itu kan enggak cuma di Indonesia dan orang yang bahkan mengakali peraturan itu kan, enggak cuma di Indonesia. Dan itu muncul di mana-mana, maka jangan (suara tidak terdengar jelas) kemudian Thailand punya tax amnesty, India punya tax amnesty, dan negara-negara lain juga punya tax amnesty. Karena logika berpikirnya sama, bahwa mereka kemudian waduh ini ada sebuah peraturan yang akan menyulitkan kita di masa depan, maka kita harus buat penyelamatan sekarang, dan itu kemudian menjadi tren yang mewabah termasuk masuk ke Indonesia, gitu. Jadi kalau kemudian Pemerintah mengatakan bahwa oh, ini karena ada di negara mana-mana, maka wajar dong kalau kita bikin, menurut saya itu bukan. Jadi banyaknya yang sekarang banyak negara yang punya tax amnesty, bukan sebuah argumen untuk membenarkan bahwa kita harus punya tax amnesty juga. Nah, lalu berkaitan dengan ini ... apa ... tadi banyaknya warga negara kita yang memarkir uang di luar negeri. Apakah itu karena (suara tidak terdengar jelas) atau karena kelemahan undang-undang kita? Saya kira dua-duanya. Dua-duanya dan ada kelemahan peraturan-peraturan kita atau kelemahan dari Pemerintah kita yang sebenarnya saya bersimpati dengan mereka. Saya bersimpati dengan teman-teman yang bekerja di Dirjen Pajak bahwa namanya mengejar ... apa itu ... orang yang tidak bayar pajak itu ya memang tidak mudah, begitu. Dan ... dan karena itu kemudian justru saya sadar bahwa mereka itu memang pada titik tertentu tidak mampu. Tadi sudah saya sebutkan itu. Nah, di sisi lain memang juga lihai, karena ada banyak cara untuk kemudian menghindari pajak. Saya kira ketika kita dengar fenomena ... apa itu ... Panama Paper sekian bulan yang lalu itu, hanyalah sebuah contoh sederhana saja. Bagaimana kemudian orang itu bisa membuat 76
perusahaan cangkang dan sebagainya, dan orang sudah pintar melakukan itu. Sekarang saja mungkin sebenarnya ada lagi, cuma enggak ... belum terbongkar. Saya enggak bilang apa gitu. Nah, lalu kemudian mana yang lebih utama, memarkir uang di luar negeri atau kemudian ... ya, sebenarnya begini. Idealnya kalau bisa uang itu di bawa ke Indonesia, lebih baik. Tetapi kemudian adalah kalau kita bawa ke Indonesia, tapi dengan cara yang rusak-rusakan, itu yang kita tidak mau, gitu. Jadi kalau kita tarik uang itu ke Indonesia dengan cara yang baik ya, ya kenapa tidak? Begitu. Tapi persoalannya adalah tidak ada sesuatu ... tadi saya sudah sebutkan di awal. Tidak ada sesuatu yang darurat, yang luar biasa, yang tidak bisa kita hindari sedemikian rupa, sehingga kita harus memanggil mereka pulang ke Indonesia dengan cara yang tidak baik, dengan cara yang rusak-rusakan tadi Para Ahli Hukum sudah menyampaikan itu. Jadi tidak ada alasan untuk itu. Jadi itu. Lalu kemudian, berkaitan dengan pertanyaan dari Hakim Arief Hidayat. Tadi ya, kebijakan garis keras dan garis lunak? Kalau saya kira ini konteksnya bukan garis keras atau garis lunak. Kalau saya boleh mengatakan, Yang Mulia Hakim Konstitusi, ini pada ... pada konsisten dengan peraturan atau tidak. Ataukah kemudian kita membuat-buat sesuatu yang kemudian kita cari alasannya, untuk kemudian diterapkan demi sesuatu yang lain. Nah, pertanyannya adakah alternatif lain? Banyak, banyak. Misalnya begini bahwa Pemerintah itu kekurangan, selalu setiap tahun harus berpikir tentang mengejar ... pemerintah itu setiap tahun harus berpikir bagaimana mengejar realisasi penerimaan pajak, itu sudah kerjaan rutin tiap tahun, tidak ada yang istimewa. Begitu. Nah, bahwa kemudian pada tahun tertentu akan mencapai 100% atau lebih pada tahun yang lain mencapai <100% itu biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang istimewa dengan itu. Dan kalau kemudian kurang, terus kemudian ya dilakukan kan kita biasa punya namanya APBN perubahan gitu ya, diubah. Nah, cuma yang agak aneh itu begini. Tahun 2015 itu sebenarnya realisasi penerimaan pajak kita itu sampai dengan kuartal I, kuartal II, itu relatif menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tadi sudah saya menyebutkan, Tahun 2001 sampai 2014 itu realisasi target penerimaan pajak sampai dengan kuartal I, artinya sampai Januari, Februari, Maret, sampai akhir bulan Maret. Itu kira-kira di 19%-an. Lalu Tahun 2015 itu cuma sekitar 14%. Dan pada waktu itu prediksi ekonom mengatakan bahwa kira-kira pertumbuhan ekonomi 2014-2015 itu enggak akan terlalu bagus. Tapi apa yang terjadi? Kemudian di dalam APBN perubahan 2015, Pemerintah itu bukannya kemudian menurunkan target penerimaan pajak, tapi malah dinaikkan. Saya enggak apal angkanya, tapi malah dinaikkan, tentu ada yang janggal. Lho kok malah naik wong sudah tahu bahwa realisasinya sudah tahu perekonomian ... 77
perekonomian itu prediksinya enggak terlalu bagus, lalu kemudian ... apa itu ... realisasi sampai bulan maret itu enggak terlalu bagus, tapi kemudian dalam APBN perubahan itu malah dinaikkan dibandingkan dengan APBNP-nya ... APBN aslinya 2015? Maka ada sesuatu di situ. Nah, lalu kemudian ketika kita bicara tentang tax amnesty yang kemudian dibawa ke DPR pada bulan Oktober 2015, itu yang lebih lucu lagi adalah bahwa sampai dengan bulan Oktober, itu berarti APBN 2016 itu belum diketuk atau paling enggak belum ... belum sampai final. Begitu. Tetapi kemudian kita sudah siap dengan tax amnesty, gitu. Jadi kemudian argumen bahwa oh kita harus mengejar penerimaan pajak sekian itu enggak ada, argumen itu, gitu. Sekali lagi, di situlah saya kemudian tadi mengatakan bahwa, lho lalu kalau gitu apa sih alasan dibalik itu semua? Tadilah bahwa pemerintah itu tidak bisa secara ekplisit menyebutkan apa sih dasar pemikiran kenapa punya tax amnesty. Karena memang yang dasar pemikiran sebetulnya itu enggak boleh disebutkan. Apa itu tadi? Ya tadi itu. Bahwa di satu sisi ada ketidakmampuan untuk me ... me … apa ... mengejar target penerimaan pajak yang ... ketidakmampuan untuk benar-benar menegakkan peraturan perpajakan. Dan yang kedua ada sebuah kepentingan besar yang menginginkan disahkannya undang-undang tentang tax amnesty karena itu menguntungkan bagi mereka-mereka yang selama ini enggak bayar pajak, gitu. Nah, lalu apa bukankah ini sebuah win-win solution? Win-win solution menurut saya tergantung kaca mata apa. Kalau kita masuk adalah “win-win solution” ya itu memang sekarang dilakukan pemerintah. Tapi itu “win-win solution”. Jadi dari sudut pandang pemerintah, “Ah gampang, ah lumayan nih mengurangi pekerjaan.” Walaupun saya tahu, saya bersimpati dengan teman-teman yang harihari ini teman di neraca yang bersimpati mereka kerja keras luar biasa. Tetangga saya itu pegawai dirjen pajak luar biasa dan kerja keras, tapi konteks saya bukan pada personal. Konteks saya adalah pada sebuah kebijakan. Nah, win-win solution di situ adalah dimana kepentingan dari pemerintah yang tidak bisa menegakkan peraturan pajak secara tegas, di satu sisi dengan kepentingan para pengusaha atau para orang kayalah, gitu di area pengusaha semuanya. Para orang kaya yang selama ini mereka tidak taat pajak. Nah, maka ketemulah kepentingan itu dalam konteks Undang-Undang Pengampunan Pajak. Pemerintahnya kemudian bisa mengatakan, “Oke, bayar kami uang tebusan, maka kemudian kalian saya bebaskan.” Pengusaha mengatakan, “Ya sudahlah, kami bayar uang tebusan, habis itu kami merdeka.” Malah kemudian kan Bapaknya lega habis itu, gitu. Nah, tapi kemudian kalau kita lihat dalam konteks masyarakat dan dalam konteks bangsa Indonesia (suara tidak terdengar jelas) apalagi kalau kita lihat 78
dalam konteks konstitusi tadi itu saya kira masuk ke perdebatan tentang apakah yang seperti ini kemudian konstitusional atau tidak. Dan saya pribadi cenderung melihatnya ini tidak konstitusional. Ini bertentangan dengan apa yang seharusnya. Nah, terakhir ya, sekali. Apa tadi yang berkaitan dengan … sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa tidak ada alasan. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa situasi sekarang itu darurat. Dan begitu tidak ada alasan itu, tentu tidak ada alasan untuk kemudian kita mengambil sebuah kebijakan yang gaya darurat. Terima kasih. 124. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih Pak Akbar. Sebelum saya mengakhiri persidangan ini. Ini persidanganya panjang sekali. Kelihatanya sudah pada pucat ini, terutama Pemohon. Ketawa-ketawa tapi sudah lapar itu. Saya mau tanya kepada Pemohon, apakah masih mengajukan ahli? Sudah 6 ahli dari semuanya. 125. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
NOMOR
63/PUU-
Dari pihak kami ada 2 lagi, Yang Mulia. 126. KETUA: ARIEF HIDAYAT Dua lagi? 127. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
Kan sesuai kemarin 5. 128. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik, masih bisa diakomodasikan. Jadi, Pemerintah masih menunggu nanti urutan, ya. Jadi, Pemohon Perkara Nomor 63/PUU-XIV2016 masih 2. Pemohon yang lain, sudah cukup? Satu dari Pemohon Nomor 58/PUU-XIV-2016, ya. Oh, tiga-tiganya? Baik. tiga-tiganya 1, baik. Nanti kita dengar sekaligus 3 ini. Tapi mohon begini, betul-betul kompetensi keahlianya tolong bisa diperhatikan, ya. Jangan sampai sama dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Para Ahli karena kalau persidangan ini, persidangan di Mahkamah itu bukan dari jumlah ahli yang kita dengar, tapi dari kualitas keahlian yang berbeda sehingga memberikan nuansa pemahaman yang lain itu. Ya, jadi kalau yang sudah
79
sama misalnya apa yang mau dikemukakan Ibu Eva sudah diborong semua, jangan datangkan lagi, rugi itu Pemohon ya. Kalau yang perspektifnya Pak Akbar ya jangan lagi, gitu. Karena ini sudah cukup ya. Jadi, tolong bisa dari perspektif yang lain jangan ada duplikasi keterangan yang disampaikan ya. Baik, kalau begitu (…) 129. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AKHMAD AKBAR SUSAMTO Yang Mulia, bolehkah saya mengatakan satu hal, tadi lupa betul, tapi penting saya kira ini harus saya sampaikan. Boleh? 130. KETUA: ARIEF HIDAYAT Tadi katanya mau tertulis? 131. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AKHMAD AKBAR SUSAMTO Oh, enggak. Ini bukan yang bagian tertulis, ini bagian yang penting saya kira harus saya sampaikan, kalau boleh. 132. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan. 1-2 menit. 133. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 63/PUU-XIV/2016: AKHMAD AKBAR SUSAMTO Ya, jadi tadi kan selalu ada muncul ini, kenapa kok ada ketakutan yang berlebihan seperti yang dikatakan Ibu Eva. Boleh saya jelaskan dari sisi ekonomi. Itu ceritanya mirip sebenarnya dengan BLBI. Jadi kita tahu sesudah kebijakan BLBI itu diambil. Pada waktu BLBI itu diambil itu dan kemudian kasus misalnya juga kasus yang lain. Kasus Bank Century misalnya diambil. Itu di sana yang pola yang sama itu gini. Ini darurat, ini darurat. Kalau kita enggak lakukan maka ini bisa berbahaya bagi perekonomian, polanya mirip dengan yang sekarang pakai tax amnesty, itu pertama. Yang kedua, begitu sudah diambil, maka yang sekarang ini belajar dari pengalaman dulu di mana ternyata sesudah mengambil kebijakan itu, yang kontroversial itu ternyata ada ruang di mana mereka yang (suara tidak terdengar jelas) itu dipidanakan. Nah, itulah ceritanya kenapa kok menurut saya harus ada pasal ini. Terima kasih.
80
134. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, cukup, terima kasih. Jadi anu … persidangan yang akan datang kita akan mendengarkan keterangan ahli. Supaya Pemerintah juga bisa diakomodasikan, siap-siap. Berapa ahli Pemerintah sudah siap? 135. PEMERINTAH: HADIYANTO Siap, Yang Mulia. 136. KETUA: ARIEF HIDAYAT Atau sekarang supaya (…) 137. PEMERINTAH: HADIYANTO Nanti pada saatnya disampaikan ahli-ahli tersebut. 138. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, ya. Baik. Kalau begitu persidangan yang akan datang, Kamis, 20 Oktober 2016 pada pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Pemohon Nomor 57, 58, 59/PUU-XIV-2016=1 orang, dan Pemohon Nomor 63/PUU-XIV-2016=2 orang. 139. KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: EGGI SUDJANA
PERKARA
NOMOR
63/PUU-
Yang Mulia. Kalau bisa pukul 09.00 WIB bisa enggak? Karena pukul 11.00 WIB kita lewat nih, zuhur, asharnya nih. 140. KETUA: ARIEF HIDAYAT Persidangan pagi kita selalu tiap hari ada rapat internal untuk membuat putusan, itu mulai pukul 08.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB. Jadi, sudah ada agenda yang anu. Kemudian pukul 11.00 WIB bisa sampai pukul 13.00-13.30 WIB, itu ada. Ini pukul 14.00 WIB juga sebetulnya tadi sudah ada, tapi ini yang pukul 14.00 WIB sudah ditunda karena memang ini ya. Jadi mohon bisa dimengerti, Pak Eggi. Kita tetap memulai pukul 11.00 WIB.
81
Saya ulangi, Kamis, 20 Oktober 2016 pada pukul 11.00 WIB dengan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Saya kira sudah cukup. Terima kasih Ibu Eva, Pak Akbar, Pak Basuki, dan Pak Amir … Makmur Amir atas keterangannya di persidangan Mahkamah. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.55 WIB Jakarta, 11 Oktober 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
82