Peran Masyarakat Sipil Memelihara Perdamaian: Dari Reaktif ke Proaktif Lambang Trijono ® Pengantar Masyarakat sipil sejauh ini banyak terlibat dalam ikut serta menciptaan perdamaian (peace making) di berbagai daerah. Berbagai pengalaman selama ini menunjukkan masyarakat sipil memiliki peran khusus di bidang ini, antara lain, bersama-sama dengan kelompok-kelompok strategis lain, pemerintah, TNI-Polri, lembaga donor, dan agen pembangunan lain, membuka ruang bagi bergulirnya dialog, berlangsungnya negosiasi, tercapainya perjanjian damai, dalam penghentian kekerasan, dan mendorong de-eskalasi konflik di berbagai tempat. Di Aceh, misalnya, sejak awal perdamaian bergulir, baik dalam perjanjian Geneva maupun Helsinki, masyarakat sipil aktif terlibat membuka ruang dialog, menjembatani pihak berkonflik, GAM dan pemerintah RI, hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai sepertiterjadisekarang 1 . Demikian pula di daerah-daerah lain. Di Maluku, Maluku Utara, dan Poso, daerah dilanda konflik komunal etnis-agama, peran sipil bahkan langsung terlibat dalam perjanjian Malino dan melakukan penghentian kekerasan di tiga daerah. Di banyak kasus di negara lain, kita juga bisa belajar bagaimana masyarakat sipil, dengan segala kelebihan dan kelemahannya, berperan dalam penciptaan damai, seperti dilakukan berbagai kelompok hak asasi manusia di di Irlandia Utara, inisiatif sipil untuk perdamaian di Sri Lanka, dan komite demokrasi dan rekonsiliasi di Afrika Selatan, dan sebagainya. Namun, setidaknya dari pengalaman lima tahun terakhir, ketika konflik kekerasan sudah mulai mereda, peran masyarakat sipil untuk memelihara perdamaian (peace keeping) dan membangun perdamaian (peace building) jangka panjang di daerah-daerah paska-konflik menjadi menurun. Padahal, tantangan perdamaian dihadapi masyarakat paska-konflik sesungguhnya masih sangat besar. Daerah paska-konflik, seperti Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Aceh dan tingkat tertentu Papua (karena perjanjian damai sepenuhnya belum tercapai disana), sangat membutuhkan percepatan pemulihan dan pembangunan perdamaian menuju perdamaian jangka panjang. Menjamin agar supaya butirbutir perjanjian damai diimplementasikan di masyarakat, mencegah agar konflik tidak kembali terjadi, dan menciptakan kondisi keamanan kondusif bagi tercapainya perdamaian jangka panjang, merupakan langkah-langkah penting harus dilakukan di masa paska-konflik. Belajar dari pengalaman praktek pembangunan perdamaian di berbagai negara, banyak kasus menunjukkan perjanjian damai seringkali menemui kebuntuan, gagal diimplementasikan dalam kehidupan nyata, sehingga konflik kekerasan muncul kembali dan perdamaian berhenti di tengah jalan 2 . Bahkan bisa dikata kasus perjanjian damai yang gagal ®
Dosen Fisipol, UGM, Direktur The Padii Institute, Yogyakarta. (Disampaikan pada FGD ProPatria Institute, 17 Februari 2009) 1 Lihat Otto Syamsuddin Ishak, ‘Position Map: The Civilian Figure in the Dynamic Peace Process in Aceh’, dalam Kamarulzaman Askandar dan Ang Ming Chee (eds), Building Peace in Aceh, Problems, Strategies, and Lessons from Sri Lanka, and Northern Ireland, Forum Asia, SEACSN, dan IDR, 2005. 2 Lihat perbandingan kasus perjanjian damai antara Aceh, Sri Langka dan Irlandia Utara, lihat Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), ibid.; juga perbandingan perjanjian damai antara Israel, Irlandia Utara, dan
1
lebih banyak jumlahnya dibanding yang sukses membuahkan perdamaian. Beberapa masalah perdamaian dihadapi masyarakat paska-konflik, seperti kuatnya sejarah dan siklus konflik di masa lalu tertanam, lemahnya konsensus dan komitmen nilai dicapai dalam perdamaian damai, tidak efektifnya kelembagaan perdamaian mengimplementiskan perjanjian damai di masyarakat, lemahnya fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan keamanan menciptakan kondisi keamanan dan perdamaian kondusif bagi terciptanya perdamaian jangka panjang, bersarnya masalah sosial-ekonomi, dampak kekerasan, keadilan transisional yang harus ditangani oleh perjanjian damai, seringkali menjadi penghambat serius tercapainya perdamaian berkelanjutan. Menjawab tantangan dihadapi masyarakat paska-konflik ini, masyarakat sipil diharapkan semakin berperan memelihara dan membangun perdamaian di daerah-daerah paska-konflik. Peran baru dalam pemeliharaan dan pembangunan perdamaian perlu didefinisikan untuk menjawab tantangan ini. Orientasi, pendekatan, strategi dan agenda aksi masyarakat sipil untuk antisipasi dan mencegah kemungkinan perdamaian terjebak dalam konflik (relapsed to conflict), memastikan perjanjian damai efektif berjalan, mengatasi dampak kekerasan, menciptakan kondisi keamanan kondusif bagi perdamaian, dan pelembagan demokrasi dan reformasi kebijakan untuk mengatasi potensi konflik dan masalah-masalah sosial-ekonomi di masa paska-konflik, penting dilakukan. Daerah paskakonflik menghadapi tantangan perdamaian khusus memerlukan pendekatan dan strategi khusus pula. Reorientasi pendekatan dan kerangka kerja untuk pembangunan perdamaian penting dirumuskan untuk menjawab hambatan-hambatan perdamaian dihadapi masyarakat paska-konflik ini. Paper ini memaparkan masalah-masalah utama perdamaian dihadapi daerah paskakonflik dan strategi dan pendekatan diperlukan untuk membangun perdamaian serta bagaimana masyarakat sipil berperan menjawab tantangan ini menuju tercapainya perdamaian berkelenjutan. Fokus pembahasan ditekankan pada bagaimana masyarakat sipil berperan lebih proaktif dalam memelihara dan membina perdamaian, tidak hanya tanggap tetapi juga respon dini, dalam kerangka pendekatan perdamaian jangka panjang, tidak hanya bersifat transisional tetapi lebih transformatif dan rekonsiliatif menuju tercapainya perdamaian berkelanjutan. Pentingnya reorientasi nilai, pendekatan, strategi, kerangka kerja dan agenda pembangunan perdamaian disini sangat ditekankan, agar supaya masyarakat sipil memberikan kontribusi yang luas pada tercapainya konsolidasi perdamaian di daerah-daerah paska-konflik di Indonesia.
Masalah-masalah perdamaian paska-konflik Peran sipil dalam memelihara dan membangun perdamaian di daerah-daerah paskakonflik sangat penting, terutama untuk mengatasi masalah-masalah penghambat perdamaian di daerah ini. Masalah-masalah perdamaian di daerah paska konflik terutama bersumber dari masalah-masalah terjadinya kesenjangan perdamaian (peace gaps), antara tujuan perdamaian ideal diharapkan dan realisasi perdamaian nyata di masyarakat, sehingga perdamaian menjadi rentan dan konflik kekerasan mudah muncul kembali ke permukaan. Masyarakat sipil sangat penting berperan mengatasi, atau mengurangi, kesenjangan perdamaian ini (fullfiling the
Afrika Selatan, dalam Colin Knox and Padraic Quirk, Peace Building in Northern Ireland, Israel, and South Africa, MacMillan Press, 2000.
2
peace gaps), untuk mencegah konflik dan memastikan perdamaian berjalan di masyarakat, baik pada level makro kebijakan maupun pada level mikro di dalam komunitas masyarakat. Kesenjangan perdamaian ini bisa bersumber dari beberapa sebab. Bisa jadi bersumber dari masalah-masalah sekitar kesepakatan perjanjian damai dicapai (peace accord/aggrement), bisa juga bersumber dari masalah kelembagaan, operasionalisasi dan implementasi pembangunan damai di masyarakat. Tinjauan atas kesepakatan perjanjian damai dan review atas masalah-masalah kelembagaan, monitoring atas operasionalisasi dan implementasi kesepakatan damai di masyarakat, dalam hal ini penting dilakukan. Dalam kasus Aceh misalnya, memastikan sejauhmana hasil kesepakatan perjanjian Helsinki diimplementasikan secara nyata penting dilakukan. Demikian pula dalam kasus perjanjian Malino, dalam kasus Maluku, Maluku Utara, dan Poso-Sulawesi Selatan, dan implementasi Otsus, dalam kasus Papua, dan kesepakatan-kesepakatan damai lainnya di daerah. Belajar dari pengalaman di berbagai negara, perjanjian damai seringkali gagal mencapai perdamaian berkelanjutan, dan konflik kekerasan kembali muncul, disebabkan banyak sebab, antara lain kurang kuatnya konsensus nilai dalam perjanjian damai, lemahnya operasionalisasi dan implementasi perdamaian di masyarakat, kuat tertanamnya sejarah dan siklus konflik kekerasan di masa lalu, dan besarnya dampak kekerasan dan masalah-masalah ketidakadilan, kesenjangan, dan sosial-ekonomi dihadapi masyarakat yang harus diatasi perjanjian damai. Perjanjian damai secara substantif dikatakan kuat bila ditopang oleh konsensus nilai yang luas (broad based concensus), melibatkan berbagai pihak sehingga mempunyai basis legitimasi yang kuat, berbagai pihak merasa memiliki dan berkomitmen mendukung perjanjian damai. Dukungan mayoritas penduduk, kelompok politik dominan, koalisi partai dan konstituen mendukung perjanjian damai juga sangat menentukan stabilitas perdamaian. Demikian pula, pemecahan atas maslaah-masalah menjadi sumber konflik dan dampak kekerasan di masa lalu, pembagian kekuasaan paska-perjanjian, penciptaan kondisi keamanan kondusif, rekonsiliasi, reintegrasi dan kohesi sosial, dan pemecahan masalahmasalah ketidakadilan transisional, juga sagat menentukan keberhasilan pembangunan perdamaian 3 . Meskipun perjanjian damai secara substantif kuat, perdamaian tidak akan terwujud bila secara prosedural tidak disertai pendekatan dan kerangka kerja pembangunan memadai bisa memastikan perjanjian damai berjalan dalam realitas kehidupan nyata. Masalah utama dalam operasionalisasi dan implementasi perdamaian antara lain terdapat pada lemahnya kelembagaan, ketidakpercayaan berbagai pihak terhadap perdamaian, banyaknya penganggu atau spoiler yang tidak menginginkan perdamaian berlangsung, tidak adanya kepemimpinan memadai, lemahnya koalisi politik dan sipil mendukung perdamaian, dan hambatan-hambatan lain berkaitan dengan pembagian kekuasaan (power sharing) sesudah perjanjian dicapai 4 , dan lambatnya pemulihan sosial-ekonomi di level komunitas. Demikian itu seringkali menimbulkan kesenjangan harapan, tingginya ekspektasi perdamaian dari perjanjian damai dicapai tidak sebanding implementasi dijalankan, ‘too high peace promises, too little peace realization’ 5 .
3
Siobhan Ni Chulchain, ‘The Peace Frameworks and Peace Accord: A Comparative Analysis of Northern Ireland’, dalam dalam Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), Op.cit., 2005. 4 ‘Sri Lanka: The Evolution of A Political Framework for Inter Ethnic Justice and Conflict Resolution’, dalam Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), Op.cit, 2005; 5 ‘The Peace Framework and Peace Accord’, dalam dalam Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), Ibid., 2005.
3
Selain memastikan perjanjian damai berjalan efektif, mencegah agar konflik kekerasan tidak kembali terjadi (relapsed) merupakan langkah penting untuk memelihara dan membangun perdamaian. Pencegahan konflik (conflict prevention) di masa paska-konflik pada esensinya sama dengan memelihara perdamaian (peace keeping). Langkah ini akan efektif bila masyarakat sipil memahami bagaimana implementasi perdamaian seharusnya dilakukan, dan juga bagaimana sejarah, akar konflik, dan dinamika siklus kekerasan di masa lalu berlangsung di masyarakat. Kebanyakan daerah-daerah paska-konflik di Indonesia, seperti Aceh, Maluku, dan Papua, dulunya adalah daerah konflik berlarut-larut dan berlangsung cukup lama (protracted conflicts) disertai dampak kekerasan sangat tinggi 6 . Sejarah dan siklus konflik kekerasan begitu tertanam dalam di daerah ini. Karena itu, mempertimbangkan realitas historis ini, pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian di daerah ini sangat penting dilakukan. Khusus berkaitan dengan meningkatnya dinamika konflik di daerah di masa transisi demokrasi, menjelang dan sesudah pemerintahan Orde Baru jatuh, adalah penting dipertimbangkan bagaimanan dinamika konflik meningkat di daerah selama ini. Konflik di daerah umumnya terjadi akibat perubahan-perubahan politik berlangsung pada masa transisi. Jatuhnya Orde baru disertai bergulirnya desentralisasi dan demokratisasi membawa perubahan-perubahan politik tersendiri di daerah, menciptakan peluang-peluang dan kesempatan-kesempatan politik baru, menciptakan kecemasan-kecemasan politik di kalangan elit politik lama, dan harapan-harapan politik baru di kalangan elit politik baru, untuk mempertahankan dan meraih posisi kekuasaan dan mendorong mereka memobilisasi kekuatan politik massa berbasis etnis dan agama sehingga konflik kekerasan terjadi di masyarakat 7 . Memahami dinamika konflik ini adalah sangat penting untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik berulang kembali dan memastikan perdamaian tetap berjalan, dengan memberi tekanan perhatian pada pengelolaan politik untuk mengatasi perilaku politik elit dan dinamika konflik politik terjadi dengan memastikan mereka masuk dalam kerangka dan aturan main demokrasi dan perdamaian disepakati bersama. Terjadinya konflik kekerasan, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh elit politik partai, calon legislatif, di Aceh baru-baru merupakan indikasi berulangnya dinamika konflik ini menjelang pemilu terbuka dan perubahan politik di tingkat nasional tahun 2009 8 . Kaitan perdamaian, demokrasi, dan pembangunan dengan demikian harus diperkuat di daerah-daerah paska-konflik untuk tercapainya perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.
Pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian Daerah paska-konflik dengan demikian menghadapi masalah perdamaian tidak ringan, baik bersumber pada masalah-masalah, akar, dan dampak konflik kekerasan di masa lalu yang belum terselesaikan, maupun dari lemahnya kapasitas perdamaian yang ada sekarang. Dalam tahapan paska-konflik, potensi konflik atau konflik terpendam (latent conflict) dapat muncul kembali ke permukaan, dan perdamaian yang masih rentan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi konflik kekerasan terbuka. Demikian itu terjadi terutama ketika potensi konflik berupa ketegangan struktural (structural tensions) yang umum terdapat di masyarakat paskakonflik belum mampu diatasi oleh sistem dan kelembagaan sosial-politik yang ada, oleh agen6
Lambang Trijono, Keluar dari Kemelut Maluku, Pustaka Pelajar, 2001; Lambang Trijono, The Making of Ethnic and Religious Conflict in Southeast Asia, CSPS BOOKS, 2004. 7 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, Yayasan Obor dan KITLV-Jakarta, 2007. 8 Lihat Kompas, 13 Februari, 2009.
4
agen pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat sipil untuk mencegah konflik dan memastikan perdamaian tumbuh berkembang melalui kebijakan pembangunan 9 . Menghadapi tantangan perdamaian ini, diperlukan pendekatan dan strategi khusus, bukan hanya mengatasi potensi konflik dan ketegangan struktural yang ada, tetapi juga mengatasi perdamaian yang rentan (peace vurnerabilities) karena belum jelasnya visi, arah, orientasi, tujuan dan kerangka pendekatan pembangunan perdamaian ke depan (peace building roadmaps). Pembangunan perdamaian di daerah paska konflik yang dulunya mengalami konflik yang akut dan disertai segregasi sosial-politik yang tajam membutuhkan pendekatan pengembangan perdamaian secara organik, dari gerak sinergis intervensi perdamaian berbagai pihak mencakup berbagai aspek kehidupan. Lederach dalam hal ini menekankan pentingnya pendekatan organis transformasi konflik dan rekonsiliasi jangka panjang untuk membangun perdamaian di daerah-daerah paska-konflik yang dulunya dilanda konflik kekerasan akut dan segregasi sosial-politik yang tajam. Pendekatan ini bukan hanya bersifat transisional atau respon sesaat atas konflik dan potensi konflik yang ada, tetapi juga membangun perdamaian jangka panjang, mengatasi kesenjangan, ketidakadilan, dan rekonstruksi komunitas yang hancur akibat konflik kekerasan di masa lalu menuju tercapainya perdamaian yang berkeadilan secara berkelanjutan (sustainable just-peace) 10 . Pendekatan diajukan Lederach ini sangat komprehensif bisa digunakan mengatasi kesenjangan perdamaian dihadapi daerah-daerah paska-konflik dan bagaimana masyarakat sipil sebaiknya berperan mengatasi dan mengisi kesenjangan perdamaian ini. Pendekatan ini mencakup berbagai area dan aspek masalah yang harus ditangani, tidak hanya bersifat transisional tetapi juga transformatif, dalam berbagai level masalah, di level atas; negosiasi tingkat tinggi, membangun koalisi dan konsensus damai, pembagian kekuasaan, dan penghentian kekerasan, di level menengah; meningkatkan kapasitas perdamaian, advokasi perdamaian, resolusi konflik berbasis pemecahan masalah, pembetukan komisi perdamaian, dan di level bawah memecahkan masalah-masalah sosial-ekonomi di tingkat komunitas, trauma, prasangka, kesenjangan, ketidakadilan dan masalah-masalah sosial-ekonomi lainnya dihadapi masyarakat akar rumput. Contoh terbaik bagaimana pendekatan transformasi ini dijalankan, dalam spektrum kontinum transisi, transformasi da rekonsiliasi jangka panjang, adalah dilakukan presiden Nelson Mandela di Afrika Selatan. Menekankan pentingnya empat agenda dan proses pencapaian perdamaian, Nelson Mandela merumuskan pembangunan perdamaian di Africa Selatan sebagai upaya mencapai: (1) kesatuan dan rekonsiliasi nasional, menjawab kebutuhan warga kulit putih dan hitam hidup bersama secara sederajad; (2) pembentukan sistem demokrasi untuk menjamin semua warga negara memiliki hak sama dan kesempatan menentukan masa depannya; (3) mengakhiri dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi dan kesejahteraan antara penduduk kulit putih dan kulit hitam yang begitu tajam, dan (4) kebutuhan membangun kembali dan memodernisasi ekonomi untuk peningkatan kamajuan ekonomi untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan mayoritas penduduk, khususnya warga kulit hitam. Mengikuti pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian ini, pembagian peran berbagai pihak penting dilakukan antara pemerintah, TNI-Polri, pemimpin politik, tokoh sipil, 9
Jeroen de Zeeuw, ‘Building Peace in War-Torn Society: From Concept to Strategy’, Netherland Institute of International Relations, Clingendael Conflict Research Unit, August, 2001. 10 John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. US Institute for Peace, 1998.
5
akademisi, aktivis perdamaian, organisasi berbasis komunitas dan pemimpin komunitas, mengatasi berbagai level masalah yang ada. Dalam pendekatan ini, peran masyarakat sipil di level menengah sangat penting, berkolaborasi dengan kelompok-kelompok strategis lainnya di level atas dan level komunitas, menjembatani dan mengisi kesenjangan perdamaian, menjadi kelompok perantara strategis (intermediary strategic groups), melakukan transfromasi konflik dan mendorong rekonsiliasi untuk memperkuat basis konsolidasi perdamaian di daerah-daerah paska-konflik. Berbagai langkah strategis dan agenda aksi penting digulirkan masyarakat sipil untuk mengatasi dan mengisi kesenjangan perdamaian ini dalam kerangka pendekatan transformasi konflik dan perspektif perdamaian jangka panjang. Mengikuti pendekatan ini, kesenjangan perdamaian bisa terjadi dalam bentuk kesenjangan strategis, antara perdamaian jangka pendek dan jangka panjang (immediate-long term peace building gaps), kesenjangan koordinasi antar berbagai pihak pemangku perdamaian (coordination gaps), dan kesenjangan implementasi antara konsensus perdamaain ideal diharapkan dalam pakta perjajian damai dengan realisasi dan implementasinya di masyarakat (implementation gaps). Memastikan perjanjian damai berjalan efektif, melakukan monitoring atas operasionalisasi dan implementasi perdamaian, melakukan tangap dan respon dini pencegahan konflik kekerasan, mengurangi potensi konflik dan akumulasi sumberdaya kekerasan, mengatasi ketegangan struktural dan meningkatkan kapasitas perdamaian di tingkat lokal, merupakan beberapa agenda penting digulirkan. Rancangan kerangka kerja pembangunan perdamaian, disertai parameter dan indikator jelas dalam monitoring, tanggap dan respon dini, dan mengatasi masalah-masalah keadilan transisional, kesenjangan, dan masalah-masalah sosial-ekonomi menghambat perdamaian di level komunitas, sangat penting dirumuskan.
Proaktif membina perdamaian Refleksi dan pembelajaran atas pengalaman praktis pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian dilakukan masyarakat sipil di Indonesia selama ini penting dilakukan untuk menemukan peran dan praktek pembangunan perdamaian terbaik dilakukan untuk mengatasi masalah dan tantangan perdamaian dihadapi daerah paska-konflik. Masyarakat sipil memiliki potensi besar untuk membuka ruang perdamaian, dialog, negosiasi, perdamaian, dari karakternya yang selalu menghargai pertumbuhan masyarakat secara natural, genuine, alamiah, dan komitmennya pada pentingnya rasa aman dan terciptanya perdamaian, nir-kekerasan, budaya sipil (civic culture), harmoni sosial, tolerasi, kerjasama, bagi kemajuan peradaban 11 . Fleksibilitas dan genuinitas dalam berinisiatif, berkreasi, melakukan inovasiinovasi dan improvisasi-improvasi dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan di masyarakat, merupakan potensi penting dimiliki masyarakat sipil untuk membangun perdamaian di daerah-daerah paska konflik. Dalam konteks hubungan sipil dan negara atau pemerintah di era demokrasi sekarang, masyarakat sipil berperan sangat penting untuk mengisi arena publik yang bebas dan kreatif, menumbuhkan wacana publik bermakna untuk reformasi dan perbaikan kualitas kebijakan. Masyarakat sipil kini semakin berkembang dalam arena politik bebas dan terbuka memasuki 11
John Keane, Global Civil Society, MacMillan Press, 1998.
6
era demokrasi, dimana warga sipil dari berbagai latar belakang sosial dan kultural, mengorganisir diri, masuk ke ranah politik, mengekspresikan kepentingan mereka dalam kehidupan politik. Dinamika hubungan sipil-negara dalam transisi demokrasi sekarang, mengindikasikan dalam masyarakat sipil sarat dengan perdebatan dan kontestasi kepentingan politik. Perkembangan demikian penting dicermati, mengingat kebanyakan konflik di Indonesia selama ini terjadi sebagian besar karena didorong dinamika konflik elit politik (elite driven), sehingga penting bagi masyarakat sipil mengkonsilidasi diri dalam perjuangan mewujudkan perdamaian dan politik tanpa kekerasan. Namun demikian, ditengah prospek peran sipil semakin meningkat itu, peran sipil dalam pembangunan perdamaian masih sangat lemah dan harus ditingkatkan. Selain karena sangat bervariasinya kelompok kepentingan dalam masyarakat sipil, sehingga sulit melakukan koordinasi dan kolaborasi diantara mereka, juga karena perbedaan persepsi mereka tentang visi perdamaian karena lemahnya orientasi nilai perdamaian. Gerakan sipil di bidang perdamaian sendiri merupakan arena baru di Indonesia. Sejak tahun 1970an, kebanyakan organisasi sipil disibukkan berbagai kegiatan mengatasi masalah pembangunan, khususnya melakukan advokasi dan pemberdayan masyarakat melawan negara dalam berbagai praktek pembangunan. Sebagai warisan politik Orde Baru ini, kepercayaan antara sipil dan pemerintah hingga kini masih terasa rendah, sehingga sulit untuk bersinergi menggulirkan perdamaian. Aktivitas perdamaian di kalangan organisasi sipil baru tumbuh berkembang pada masa reformasi, sejak tahun 1998, ketika terjadi konflik dan kekerasan di banyak daerah. Banyak organisasi sipil yang dulunya konsetrasi pada masalah-masalah pembangunan kini bergeser ke masalah perdamaian. Setidaknya sejauh ini telah berkembang tiga generasi organisasi sipil di bidang perdamaian sejak masa reformasi dilihat dari segi orientasi dan agenda aksi mereka dalam aktivitas perdamaian. Pertama, organisasi sipil generasi pertama bergerak di bidang kemanusiaan, memberi bantuan kemanusian di daerah konflik, terutama organisasi sipil berbasis keagaman. Kedua, organisasi sipil berorientasi pada pencegahan dan resolusi konflik, secara praktis melakukan pelatihan dan lokakarya resolusi konflik, memfasilitasi berbagai pihak di daerah konflik dalam kapasitas pencegahan dan resolusi konflik. Ketiga, organisasi sipil generasi ketiga, dalam jumlah masih sedikit, berorientasi pada pembangunan perdamaian jangka panjang, mengintegrasikan pembangunan perdamaian dengan demokrasi dan perbaikan kualitas kebijakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar dalam hidup warga negara, sebagai upaya mengatasi sumber konflk dan kekerasan di masyarakat 12 . Meskipun aktivitas organisasi sipil di bidang perdamaian ini meningkat selama sepuluh tahun terakhir, kebanyakan kegiatan mereka masih bersifat reaktif, sebagai bagian dari reaksi alamiah untuk bertahan dalam menghadapi represi dan realitas konflik di masyarakat. Demikian pula, mereka pada umumnya masih memiliki kapasitas terbatas, seringkali didorong oleh orientasi bersifat pragmatis dan sensasional mengejar popularitas. Gerakan mereka belum proaktif dan transformatif untuk mencegah konflik dan membangun perdamaian jangka panjang. Karena itu adalah penting searang ini untuk menengok kembali aktivitas organisasi sipil di bidang perdamaian, untuk ditemukan pembelajaran atas aktivitas dilakukan, kelebihan dan kelemahannya, demi perbaikan praktek pembangunan perdamaian.
12
‘Peran Masyarakat Sipil dalam Membangun Perdamaian’, dalam Lambang Trijono, Pembangunan sebagai Perdamaian, Rekonstruksi Indonesia Paska-Konflik, Yayasan Obor dan the Padii Institute, 2007.
7
Belajar dari pengalaman ini, sangat penting bagi organisasi sipil untuk mengubah orientasi dan strategi mereka dari bersifat reaktif, atau tanggap dini, menuju proaktif atau respon dini, mengurangi potensi konflik dan meningkatan kapasitas perdamaian, melakukan pencegahan dan transformasi konflik untuk perdamaian jangka panjang melalui kebijakan pembangunan. Pencegahan konflik merupakan strategi penting untuk mencegah konflik, mulai dari pencegahan agar potensi konflik tidak muncul ke permukaan, atau kalau sudah terjadi tidak berkembang menjadi kekerasan kolektif dan komunal, termasuk di dalamnya dalam konteks paska-konflik mencegah agar persetujuan damai tidak jatuh kembali terjebak dalam konflik (relapsed to conflict), sebagai bagian dari pembangunan perdamaian. Selain itu, adalah sangat penting untuk melakukan reorientasi pendekatan dan strategi dari tidak hanya mengatasi konflik sasaat hanya ketika konflik muncul di permukan, tetapi menanamkan perdamaian, membangun perdamaian dan rekonstruksi masyarakat paska-konflik menuju tercapainya perdamaian berkelanjutan. Menuju strategi dan agenda pembangunan perdamaian ke depan, masyarakat sipil perlu merumuskan strategi, agenda aksi dan mendefinisikan peran mereka dalam kerja pemeliharan dan pembangunan perdamaian. Beberapa strategi dan agenda aksi pembangunan perdamaian berikut bisa dijadikan acuan bagi organisasi sipil dalam mendefinisikan kembali peran mereka dalam pembangunan perdamaian. Pertama, pemeliharan perdamaian di daerah paska-konflik dilakukan dengan memperkuat komitmen, prinsip nilai, kultur perdamaian serta memperkokoh pendekatan, strategi, mekanisme dan kerangka kerja pembangunan perdamian. Penguatan secara substansial hasil kesepakatan damai penting dikembangkan. Dalam hal ini, organisasi sipil bisa berperan mengembangkan prinsip nilai, budaya damai, budaya sipil, etika perdamaian, kode etik pembangunan perdamaian, sejalan dengan karakter sipil yang sangat berkomitmen terhadap penghormatan hak-hak asasi warga negara dan pentingnya kebutuhan rasa aman, kebebasan, kesejahteraan sosial-ekonomi dan identitas diri untuk maju dan berkembang. Kedua, pemeliharan dan pembangunan perdamaian di daerah paska-konflik mensyaratkan adanya jaminan kepastian bahwa perjanjian damai efektif diimplementasikan di masyarakat, yang akan semakin menumbuhkan kepercayaan berbagai pihak terhadap perdamaian, meminimalisir konflik kekerasan dilakukan para penganggu, atau spoiler, yang tidak menginginkan perdamaian, serta mencegah terjadinya konflik muncul kembali karena implementasi perjanjian damai terancam menemui kebuntuan. Organisasi sipil dalam hal ini penting melakukan monitoring atas operasionalisasi dan implementasi perjanjian damai, memastikan dan advokasi agar perdamaian berlanjut, tanggap dan respon dini terhadap segala kemungkinan terjadinya konflik kekerasan, dan memperkuat bekerjanya kelembagaan politik, pemerintah, TNI-Polri, dan para pengambilan kebijakan, dalam kerangka demokrasi konstitional, demi konsolidasi demokrasi dan perdamaian. Ketiga, pembangunan perdamaian penting diarahkan untuk mengatasi masalahmasalah paska-konflik, kesenjangan, ketidakadilan transisional, dampak kekerasan, masalah sosial-ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan kemerosotan kualitas hidup akibat konflik kekerasan di masa lalu, yang seringkali menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan politik dan ketidakamanan masyarakat. Organisasi sipil dalam hal ini berperan penting dalam mendorong pemilihan, demobilisasi dan reintegrasi serta pembangunan kembali masyarakat paska-konflik dalam kerangka pendekatan transformatif, rekonsiliatif dan perdamaian berkelanjutan.
8
Memastikan agar ketiganya berjalan efektif, kolaborasi antar masyarakat sipil, terutama organisasi sipil level atas dan organisasi sipil berbasis komunitas, dan organisasi sipil menengah, untuk menjembatani mereka, dan antara organisasi sipil dengan kelompok strategis lainnya, dengan pemerintah, TNI-Polri, parlemen, partai politik, sangat penting dilakukan. Pendekatan multi-track pembangunan perdamaian ini penting untuk mengatasi multi-demensi persoalan paska-konflik, sosial-psikologis, ekonomi, sosial, politik dan kultural, untuk mengatasi kesenjangan perdamaian.
Penutup Masyarakat sipil di Indonesia sejauh ini sangat berperan dalam menciptakan perdamaian, meski orientasi mereka belum mengarah pada upaya pencegahan konflik dan pembangunan dalam perspektif pembanguan damai dalam jangka panjang. Masyarakat Indonesia kini, khususnya di daerah-daerah paska-konflik, menghadapi masalah dan berbagai hambatan tercapainya perdamaian berkelanjutan disebabkan oleh kesenjangan perdamaian, bersumber dari masalah-masalah berkaitan dengan perjanjian damai dicapai selama ini, operasionalisasi dan implementasi perjanjian damai di masyarakat, dan beban berat masalah dihadapi masyarakat akibat dampak konflik kekerasan di masa lalu menumbulkan masalah ketidakadilan transisional, kesenjangan, kemerosotan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang dapat menyebabkan berkembangnya potensi konflik, ketidakstabilan sosialpolitik dan ketidakamanan di masyarakat. Masyarakat sipil, terutama di lapis menengah, penting melakukakn kolaborasi dengan kelompok strategis lainnya, dari kalangan pemerintah, TNI-Polri, parlemen, partai politik, dan organisasi sipil berbasis komunitas, melakukan pencegahan konflik dalam kerangka pendekatan dan perspektif transformatif dan rekonsiliatif untuk tercapainya perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Reorientasi strategi dan peran sipil dalam perdamaian perlu dilakukan, dari semula hanya reaktif menuju lebih proaktif, dari tanggap dini menuju respon dini, dari bersifat transisional menuju transfromatif dan rekonsiliatif mencapai perdamaian berkelanjutan. Pendekatan, strategi, model dan kerangka kerja pembangunan perdamaian dengan itu perlu dirumuskan untuk masyarakat sipil, guna meningkatkan peran dan kontribusi mereka pada pencapaian perdamaian jangka panjang berkelanjutan. Fokus prioritas strategis dan agenda aksi perlu diarahkan pada selain memperkuat basis atau fondasi perdamaian dari kesepakatan perjanjian damai telah dicapai, juga penting untuk memastikan operasionalisasi dan implementasi perjanjian damai efektif berjalan di masyarakat untuk mencegah perdamaian terancam gagal dan kemungkinan terjadinya konflik kembali muncul. Selain itu, upaya mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi, kemerosotan kualitas hidup, kesenjangan, sebagai akibat dari konflik kekerasan di masa lalu, dan masalah-masalah ketiadakadilan transisional agar tercapai rekonsiliasi dalam jangka panjang, penting ditekankan dalam meningkatkan peran sipil memberikan kontribusi yang luas pada tercapainya perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. ________
9