BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik dari Indonesia sendiri maupun dari negara lainnya (Mboi, 2009 : 2). Setelah kemunculanya tahun 1987 tersebut, dan setelah dipantau ternyata terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Secara kumulatif, jumlah kasus AIDS dari 1 April 1987 sampai dengan 30 Juni 2011 yang dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, adalah 26.483 kasus dengan 5.056 kematian, dimana lima besar Provinsi yang memiliki kasus AIDS terbanyak adalah DKI Jakarta 3.997 kasus, Papua 3.938 kasus, Jawa Barat 3.809 kasus, Jawa Timur 3.775 kasus dan Bali 1.747 kasus. Namun apabila dilihat dari prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk, maka yang menjadi peringkat pertama adalah Provinsi Papua sebesar 180,69 per 100.000 penduduk, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Barat 51,48 per 100.000 penduduk dan Provinsi Bali berada di peringkat ketiga yaitu sebesar 48,29 per 100.000 penduduk. Indonesia telah memasuki epidemi terkonsentrasi (Concentrated Level Epidemic) untuk kasus HIV dan AIDS, yang artinya adanya prevalensi lebih tinggi pada populasi-populasi tertentu atau yang sering disebut dengan populasi kunci. 1
2
Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku menunjukkan prevalensi HIV pada populasi kunci yaitu WPS (Wanita Pekerja Seks) langsung sebesar 10,4%, WPS tidak langsung sebesar 4,6%, Waria sebesar 24,4%, Pelanggan WPS sebesar 0,8%, LSL (Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelaki) sebesar 5,2%, dan Pengguna Narkoba Suntik (Penasun) atau yang sering disebut dengan IDU (Injecting Drug Users) yaitu sebesar 52,4% (STHP Populasi Kunci, 2007). Berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat yang terdapat pergerakan kasus HIV ke arah Generalized Epidemic Level, atau meluas ke masyarakat umum lainnya tidak hanya pada populasi kunci saja, dengan prevalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk 15-49 tahun (STHP Penduduk Papua, 2007). Di Provinsi Bali sendiri, kumulatif jumlah kasus HIV dan AIDS dari tahun 1987 sampai dengan November 2011 mencapai 5.222 kasus, dimana kasus AIDS sebanyak 2.443 kasus dan HIV sebanyak 2.779 kasus (KPA Provinsi Bali, 2011). Hasil surveilans yang juga dilaksanakan setiap tahun di Provinsi Bali menunjukkan bahwa Provinsi Bali sudah berada pada tingkat epidemi terkonsentrasi karena prevalensi HIV tertinggi terdapat pada
populasi kunci tertentu terutama pada
kelompok narapidana, WPS dan IDU secara terus-menerus di atas 5% (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2010). Populasi kunci merupakan populasi yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV, baik karena menggunakan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian bagi IDU, maupun berhubungan seksual yang berisko tinggi dengan tidak menggunakan kondom dan berganti-ganti pasangan seksual. Menurut
hasil
surveilans
generasi
kedua
yang
memproyeksikan
kecenderungan epidemi HIV di masa mendatang yaitu sampai tahun 2025, terjadi
3
peningkatan pada populasi kunci yaitu pada kelompok Pelanggan WPS, LSL dan dengan meningkatnya epidemi HIV pada pelanggan WPS, maka secara otomatis meningkatkan epidemi HIV pada pasangannya pula (KPAN Indonesia, 2011). Kecenderungan epidemi HIV ke depan menggambarkan perubahan penularan HIV, dimana selain populasi kunci yang sudah ditangani selama ini, penting pula memperhatikan
peningkatan
infeksi
HIV
pada
kelompok
LSL
(SRAN
Penanggulangan HIV dan AIDS, 2010). LSL merupakan salah satu populasi kunci yang keberadaanya akan meningkat menurut hasil proyeksi KPA Nasional. Kelompok LSL merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap penularan IMS (Infeksi Menular Seksual) maupun HIV dan AIDS. Hal tersebut dikarenakan perilaku seksual mereka yang berisiko tinggi seperti melakukan anal seks tanpa kondom dan pelicin serta bergantiganti pasangan seksual. Selain itu, keberadaan kelompok LSL juga menyerupai fenomena gunung es, dimana yang bisa dan telah dijangkau hanya sebagian kecil saja, dan lainnya masih tersembunyi dan tidak mau mengungkapkan dirinya sebagai LSL ataupun tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai LSL, sehingga membuatnya menjadi Hidden Population. Menurut hasil penjangkauan dari Yayasan GAYa Dewata (YGD) Bali dari Juni 2010 sampai dengan 25 Oktober 2011, memperlihatkan bahwa jumlah LSL yang sudah berhasil dijangkau adalah sebanyak 1.213 orang, yang terdiri dari kelompok Gay, Pekerja Seks Laki-laki (PSL), kelompok Biseksual, maupun pelanggan PSL (YGD Bali, 2011). Dari seluruh LSL yang dijangkau tersebut yang melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dari Januari 2011 sampai
4
Oktober 2011 adalah sebanyak 165 orang, dimana yang hasil testnya reaktif atau positif HIV adalah sebanyak 18 orang atau sebesar 10,9% (YGD Bali, 2011). Untuk mencegah meningkatnya kasus HIV, maka pemakaian kondom yang benar dan konsisten saat berhubungan seksual menjadi satu metode yang paling baik (Davis dan Weller, 1999), begitu juga di kalangan LSL. Pencapaian pemakaian kondom konsisten di kalangan LSL di tahun 2011 masih sangat rendah yaitu sebesar 30%, kurang dari setengahnya dari target yang tercantum dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pencapaian MDGs, yaitu mencapai 65% sampai tahun 2014 (Inpres No.3, 2010 : 42-43). Hasil STBP tahun 2011, memperlihatkan pemakaian kondom konsisten pada LSL pada pasangan tetap (laki-laki) 19,5%, pada pasangan kasual 26,4%, pada pasangan komersial (laki-laki) 29,2%, pada pasangan waria 30,6%, pada pasangan perempuan 18,3% dan pada pasangan pekerja seks perempuan 18,5%. Di Provinsi Bali sendiri, perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL, menurut hasil Survei Perilaku Populasi Paling Berisiko dan Kepuasan Pelanggan di Provinsi Bali untuk LSL (2010), memperlihatkan bahwa dari 266 LSL yang menjadi responden, frekuensi penggunaan kondom dalam sebulan terakhir dengan pasangan tetap adalah tidak pernah sebesar 12%, kadang-kadang 25%, sering 26% dan selalu sebesar 36% (KPA Provinsi Bali, 2010). Sedangkan frekuensi penggunaan kondom sebulan terakhir dengan pasangan tidak tetap atau pelanggan yaitu tidak pernah 9%, kadang-kadang 17%, sering 27% dan selalu sebesar 47% (KPA Provinsi Bali, 2010). Dari data di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan antara perilaku selalu memakai kondom atau perilaku pemakaian kondom konsisten pada masing-masing jenis pasangan seksual LSL. Hal tersebut erat dipengaruhi oleh beragamnya
5
karakteristik dan persepsi dari pasangan seksual yang pada akhirnya mempengaruhi persepsi individu LSL tentang pemakaian kondom saat berhubungan seksual. Program-program penanggulangan HIV di kalangan LSL selama ini melihat bahwa ketersediaan kondom dan pelicin merupakan Enabling Factor dan rendahnya pengetahuan LSL adalah Predisposing Factor. Kedua faktor tersebut merupakan bagian dari Contributing Risk Factor yang dapat menyebabkan Risk Factor terjadi yang dalam hal ini adalah tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual, yang berujung pada adanya peningkatan kasus HIV di kalangan LSL sebagai Health Problem (Hawe et al, 1991 : 33-35). Namun tidak banyak yang melihat ataupun berorientasi pada persepsi yang kuat dari individu LSL untuk tidak memakai kondom saat berhubungan seksual karena pengaruh pasangan seksual ataupun menyesuaikan dengan perasaannya dengan pasangan-pasangan seksualnya, yang menjadikan pemakaian kondom tidak konsisten di masing-masing jenis atau tipe pasangan seksual (pasangan tetap, kasual dan komersial). Sebenarnya persepsi dari masing-masing individu LSL yang seperti dijelaskan di atas merupakan Predisposing Factor yang penting selain pengetahuan yang rendah dari kelompok LSL tentang HIV dan pemakaian kondom, yang selama ini
telah diidentifikasi.
Walaupun
ketersediaan kondom
dan peningkatan
pengetahuan sudah diprogramkan oleh pihak pemerintahan maupun LSM, namun tetap saja penggunaan kondom secara konsisten masih tetap rendah untuk setiap tipe pasangan seksual, yaitu kurang dari satu pertiganya (STBP, 2011). Banyak penelitian-penelitian terkait perilaku penggunaan kondom pada kelompok beresiko lainnya yang melihat adanya korelasi antara penggunaan kondom dan tipe relasi
6
dengan pasangan seksualnya. Namun, sangat sedikit informasi yang tersedia mengenai hubungan antara kedua hal tersebut pada kelompok LSL. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraian di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan atribut relasi seksual yang mencakup tipe hubungan dengan pasangan seksual, status hubungan dengan pasangan seksual, perilaku anal seks dengan pasangan seksual dan alasan memilih pasangan seksual. Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data sekunder menggunakan data dari penelitian yang dilakukan Universitas Udayana (Wulandari, Supriyadinata dan Lubis, 2011). Informasi yang diperoleh pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk membuat suatu program yang lebih komprehensif oleh pihak-pihak yang bergerak dalam bidang penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan LSL di Kabupaten Badung, khususnya di Wilayah Kuta.
1.2 Rumusan Masalah Kelompok LSL merupakan salah satu populasi kunci dalam penyebaran HIV di Indonesia pada umumya dan Bali pada khususnya, namum keberadaanya masih tersembunyi (Hidden Population). Banyak program yang telah dilakukan pihak pemerintahan ataupun LSM untuk menjangkau dan memberikan intervensi kepada kelompok LSL ini, termasuk upaya penyediaan kondom dan peningkatan pengetahuan. Namun program-program tersebut terbilang masih kurang berhasil karena tingkat penggunaan kondom di kalangan LSL masih di bawah 50%. Sehingga timbul pemikiran bahwa adanya beberapa faktor determinan lainnya yang mempengaruhi penggunaan kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL seperti halnya adanya atribut relasi. Maka dari itu, rumusan masalah dalam penelitian
7
ini adalah perlu untuk mengetahui hubungan antara pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi pada kelompok LSL yang berada di Wilayah Kuta.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat ditarik pertanyaan penelitian berupa “Bagaimanakah hubungan antara perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta?”.
1.4 Tujuan Penelitan 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi di kalangan LSL dan pasangan seksualnya di Wilayah Kuta. 1.4.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara: 1. Tipe hubungan pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. 2. Status hubungan pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. 3. Perilaku anal seks pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta.
8
4. Alasan memilih pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta.
1.5 Maanfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan di bidang kesehatan masyarakat terutama dalam isu HIV dan AIDS di kalangan LSL di Kabupaten Badung, khususnya di Wilayah Kuta dalam hal pemakaian kondom terkait atribut relasi seksual. 1.5.2 Manfaat Praktis Bagi instansi pemerintahan seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, KPA Kabupaten Badung dan pihak LSM seperti YGD Bali, agar penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam menyusun strategi maupun program yang menyasar kelompok LSL di Kabupaten Badung khususnya Wilayah Kuta, sehingga program dapat lebih komprehensif lagi.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. Dimana penelitian ini nantinya dapat dijadikan acuan atau refernsi dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat terutama dalam penyusunan program penanggulangan HIV dan AIDS khususnya pada populasi kunci LSL.