PERAN KEBERADAAN PENYULUHAN PERIKANAN DAN PENINGKATAN KAPASITASNYA
Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, APi, MPS PENYULUH PERIKANAN MADYA
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013
1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia sangat besar, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, terdiri atas 17.508 pulau dan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (tiga kali luas daratan), luas hamparan budidaya yang lebih dari 15,59 juta hektar, serta luas perairan umum 5,4 juta ha, mampu memberikan manfaat dengan perkiraan nilai ekonomi sebesar US$ 82 miliar per tahun. Sebagai negara kepulauan yang wilayahnya memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity), pesisir dan lautan menjadi tumpuan yang sangat menjanjikan untuk bersinergi dengan daratan (terrestrial) dalam menyediakan sumber daya alam sebagai modal dasar pembangunan di Indonesia pada masa yang akan datang. Senada dengan hal tersebut di atas, dari sisi pelaku utama pembangunan kelautan dan perikanan meliputi masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah hasil perikanan serta masyarakat yang memanfaatkan usaha di bidang perikanan yang jumlahnya lebih dari 6,5 juta Kepala Keluarga (KK) pelaku utama atau berkisar 35 juta orang (15% dari jumlah penduduk Indonesia); dengan catatan sekitar 90 persen berada pada skala usaha mikro dan kecil yang cenderung bersifat subsisten. Di lain pihak, faktor alam yang tidak menentu, pengaruh iklim yang sangat dominan menyebabkan usaha bidang ini mempunyai resiko tinggi. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, peran penyuluh kelautan dan perikanan sebagai dinamisator, fasilitator, motivator, dan mitra sejati sangat diperlukan. Peranan penting lain yang dilakukan penyuluh perikanan adalah melakukan pendampingan usaha, terkait dengan teknologi, informasi, dan kebijakan pemerintah di bidang kelautan dan perikanan melalui penyelenggaraan penyuluhan yang efektif. Sejalan dengan itu, penyuluh perikanan yang diperlukan adalah penyuluh yang profesional, artinya penyuluh tersebut harus merupakan ahli penyuluhan di bidang perikanan, dan spesialis di bidang kelautan dan perikanan. Hal ini juga amat terkait dengan karakteristik yang khas dari perikanan, yang berbeda dengan kegiatan non perikanan. Atas dasar perbedaan: (1) fungsi produksi pada proses budidaya, penangkapan, dan pengolahan hasil ikan; (2) karakteristik yang khas dari nelayan dan masyarakat pesisir, terutama sikap dan perilakunya; (3) tingkat mobilitas yang tinggi para nelayan; (4) keterbatasan kuantitas dan kualitas aparat perikanan di berbagai daerah; dan (5) potensi unsur swasta untuk berperan dalam penyuluhan; maka diperlukan Sistem Penyuluhan Perikanan yang spesifik. B. PENTINGNYA PERANAN PENYULUH PERIKANAN 1. Peran Dalam Mengurangi Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUU) Kegiatan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI secara nyata telah mengakibatkan kerugian besar bagi Indonesia. Beberapa kerugian tersebut 2
antara lain: overfishing, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan. Kondisi ini, mengakibatkan rusaknya citra Indonesia di mata dunia internasional karena dianggap tidak mampu mengelola perikanannya dengan baik. Berdasarkan analisa pada tahun 2004 (Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009), diperoleh estimasi sebagian kerugian ekonomi akibat illegal, unregulated, and unreported fishing (IUU Fishing) di perairan di Indonesia pada tahun 2004 sekitar Rp. 11.944.000.000 per kapal per tahun dari kapal berbendera asing dan nelayan lokal yang terdiri dari tangkapan dari pukat ikan di Laut Arafura, pukat ikan di Selat Malaka, pukat udang, pukat cincin pelagis besar, dan rawai tuna. Dari data kasus illegal fishing di Indonesia tersebut, tersirat pentingnya langkah penanganan dan preventif atau pencegahan guna mengurangi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia. Untuk itu, peranan penyuluh perikanan sebagai agent of change yang menjadi penting dalam mengurangi kerugian yang lebih besar bagi negara. Keberadaan penyuluh perikanan sebagai ujung tombak pembangunan kelautan dan perikanan ditengarai dapat melakukan perubahan sikap dan perilaku negatif masyarakat nelayan serta menumbuhkan kesadaran dan perilaku konservatif untuk kelestarian dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Proses penyadaran tersebut tidak tumbuh dengan sendirinya, sehingga konsep penyuluhan bagi nelayan untuk mengurangi kerugian negara akibat IUU fishing melalui meningkatkan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku nelayan dalam pemakaian alat tangkap yang bertanggungjawab simpul penting untuk kesejahteraan generasi bangsa. 2. Peran Dalam Konservasi Sumberdaya Pesisir Penyuluh perikanan adalah key point bagi keberadaan sumberdaya pesisir, khususnya dalam membina perilaku konservasi terumbu karang (coral reefs), bakau (mangroves), lamun (sea grass) serta biota laut lainnya. Berdasarkan data Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2009, perkiraan jumlah hutan mangrove yang ditebang mencapai 2.649,6 Ha s/d 4.636,8 Ha per tahun dan umumnya dijadikan bahan baku pembutan arang bakau atau dijual dalam bentuk gelondongan ke Singapura dan Malaysia. Kerusakan tutupan terumbu karang di Indonesia berdasarkan data Puslit Oseanografi 2004, terdapat 40 persen tutupan karang yang rusak di Indonesia dan hanya sekitar 29 persen saja dalam kondisi baik. Tuntutan kepada perbaikan dan konservasi sumber daya pesisir menjadi urgensi tugas seorang penyuluh perikanan dalam melakukan penyadaran terhadap masyarakat akan pentingnya sumber daya pesisir untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat khususnya di wilayah pesisir dan secara nasional pada umumnya. Untuk itu, upaya meningkatkan keterampilan masyarakat pesisir dan mengubah perilaku mereka dari destruktif menjadi konstruktif dan preventif menjadi kunci dalam mewujudkan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
3
3. Peran Dalam Pertahanan Dan Ketahanan Pangan Pulau-Pulau Perbatasan Dan Terluar Indonesia Dalam Amandemen UUD 1945 Bab IX A tentang Wilayah Negara, Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang. Di sini jelas disebutkan bahwa NKRI adalah negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Dampak dari ratifikasi UNCLOS ini adalah keharusan Indonesia untuk menetapkan Batas Laut Teritorial (Batas Laut Wilayah), Batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga. Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara. Kompleksitas permasalahan di laut akan semakin memanas akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara 90 persen dilakukan dari laut, ditambah dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya dan terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung-tanjung terluar dan di wilayah pantai. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan dan harus mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara-negara yang belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, penyuluh perikanan memegang peranan penting bagi pertahanan dan keutuhan negara persatuan Indonesia, yakni sebagai motivator, dinamisator dan mitra sejati bagi masyarakat di pulau-pulau perbatasan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau terluar dan perbatasan. Pendekatan penyuluhan dilakukan guna meningkatkan keterampilan mereka dengan kemampuan teknis perikanan dan membuka peluang akses pasar produktif serta mencari investor asing untuk penanaman modal di sektor usaha perikanan, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan mereka dan secara psikologis memperkuat nasionalisme kebangsaan dan merasa sebagai bagian dari NKRI. 4. Peran Dalam Ketahananan Pangan Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap 4
saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Untuk itu, kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan nasional. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk terwujudnya stabilitas pangan nasional Sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1996, pangan dalam arti luas mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik produk primer maupun olahan. Data tahun 2008 menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan pangan sebesar 3.076 Kkal/kapita/hari dan 76.54 gr protein/kapita/hari, angka tersebut sudah melebihi standar yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII pada Tahun 2004 yakni untuk ketersediaan energi sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari dan ketersediaan protein 55 gr/kapita/hari. Namun untuk tingkat konsumsi energi pada tahun 2009 baru 1.927 Kkal/kapita/hari dan untuk konsumsi protein baru 54,35 gr/kapita/hari atau di bawah rekomendasi WKNPG VIII, dengan demikian tetap saja pangan selalu menjadi permasalahan utama mendasar yang harus diperhatikan. Khusus untuk konsumsi ikan tahun 2009 baru mencapai 28 kg/kapita/hari atau masih di bawah negara ASEAN. Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan (termasuk perikanan) yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan yang meningkat cepat tersebut merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta stagnannya pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor ini terkait dengan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional, termasuk produk perikanan. Krisis pangan akan menyebabkan dampak yang sifatnya sistemik karena pemenuhan kebutuhan pangan yang layak oleh pemerintah menjadi hak asasi setiap warga negara Indonesia. Penyuluh perikanan sebagai ujung tombak keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan memiliki peran di dalam meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan nasional. Ikan dan sumber daya laut lainnya banyak mengandung protein yang layak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai upaya pemenuhan pangan dan gizi. Kontribusi penyuluh perikanan adalah mampu melakukan akselerasi di dalam peningkatan produktivitas perikanan baik yang berasal dari budidaya maupun nelayan. Penyuluh perikanan dengan profesionalisme kerjanya dapat menjadi mitra dan pendamping teknologi tepat guna dan terekomendasi bagi pelaku utama (pembudidaya ikan, nelayan dan pengolah ikan) dan meningkatkan keterampilan 5
mereka sehingga bermanfaat bagi usahanya untuk meningkatkan produktivitas bagi ketahanan pangan nasional. Dalam rangka ketahanan pangan, penyuluh perikanan ditekankan kepada upaya supporting program Gerakan Perempuan Tanam, Tebar dan Pelihara yang digagas oleh Ibu Hj Ani Bambang Yudhoyono (28-29 Juni 2009), maka semangat gerakan ini lebih ditekankan kepada peningkatan kesadaran dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Untuk itu, diharapkan dapat mendorong generasi muda agar lebih siap dalam menghadapi persoalan ketahanan pangan dan kesehatan keluarga dengan menebar benih-benih ikan dengan memanfaatkan area pekarangan dan lahan tidur yang tidak termanfaatkan untuk membantu dan mendorong ketahanan pangan nasional karena pemenuhan keperluan pangan akan tetap menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Dalam hal ini, peranan penyuluh perikanan perempuan sebanyak 14 persen dari total penyuluh perikanan di Indonesia menjadi sangat penting dan menjadi salah satu keunggulan seorang penyuluh perikanan perempuan di Indonesia untuk mendukung stabilitas pangan nasional dengan melakukan upaya signifikan melalui peranan ganda di dalam memerankan peranan publik sebagai seorang penyuluh perikanan dan peranan domestik sebagai seorang ibu rumah tangga. Dengan demikian, penyuluh perikanan perempuan telah menjadi menjadi subjek (pelaku utama) dalam mengakselerasi keberhasilan revitalisasi perikanan dengan keberhasilannya mencapai pilar-pilar ”pro-growth”, pro–job” dan propoor. 5. Peran Dalam Pengentasan Kemiskinan Berdasarkan data BPS, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 37.170.000 jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 16.58 persen dari total populasi penduduk di Indonesia berada dibawah garis kemiskinan dan tersebar di wilayah perkotaan dan perdesaan dan kemiskinan terbesar salah satunya banyak terpusat pada kantung-kantung wilayah pesisir. Dengan kondisi ini, penyuluh perikanan mampu berfungsi sebagai inisiator, motivator, dan katalisator dalam mengurangi kemiskinan tersebut karena tujuannya melakukan pemberdayaan (empowerment) pelaku utama dan pelaku usaha perikanan dalam peningkatan kemampuan dan keterampilan mereka melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta pendampingan dan fasilitasi dalam pengembangan bisnis perikanan. Pendapatan dan produktifitas usaha sebagian besar pelaku utama perikanan saat ini masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan pembinaan dan bimbingan secara berkelanjutan serta fasilitasi untuk penumbuhkembangan bisnis perikanan dalam mendukung usaha atas kemampuan sendiri (kemandirian progresif), dan salah satu bentuk kegiatannya adalah melalui penyuluhan perikanan. Upaya pengentasan kemiskinan yang dapat dilakukan oleh seorang penyuluh perikanan antara lain adalah dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Kontribusi UMKM dalam PDB sebenarnya saat ini tergolong besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya 6
dalah kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal dan perbankan yang menyebabkan pelaku utama bergantung pada sumber-sumber informal seperti pelepas uang (rentenir) dan tengkulak. Model-model seperti ini bukan melepaskan masyarakat dari kemiskinan malah menjadi momok berbahaya untuk menjatuhkan ke dalam jurang kemiskinan. Oleh karena itu peran penyuluh perikanan sangat kompleks selain sebagai pendamping dan mitra pelaku utama, juga sebagai mediator dan negosiator handal yang mampu menjembatani pelaku utama perikanan dan masyarakat kepada akses permodalan dan perbankan hingga kepada kemampuan untuk mengembangkan bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain, sehingga berkembang usahanya dan mampu meningkatkan pendapatannya untuk lepas dari ancaman kemiskinan. Penyuluh Perikanan yang berperan sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator merupakan ujung tombak pembangunan perikanan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Sejalan dengan itu, keberadaan dan mekanisme kerja penyuluh perikanan sebagai jabatan fungsional telah diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.PER/19/M/PAN/10/2008 tahun 2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Perikanan dan Angka Kreditnya. 6. Peran Penyuluh Perikanan dalam Mengurangi Pengangguran Penyuluh perikanan merupakan subjek yang langsung bersinggungan dengan masyarakat. Kemampuan penyuluh perikanan di dalam menumbuhkembangkan kelompok dan membimbing mereka serta melakukan pembinaan secara kontinuitas menjadi kekuatan bagi peran penyuluh perikanan dalam mengurangi pengangguran. Berdasarkan data BPS, 2002, jumlah penduduk miskin di daerah pesisir sekitar 32.14 % dari jumlah penduduk di Indonesia dan umumnya tidak memiliki pekerjaan. Eksistensi penyuluh perikanan mampu membuka peluang bagi terciptanya lapangan kerja baru bagi masyarakat pesisir produktif. Seorang penyuluh perikanan mampu membina 5 s/d 10 kelompok pelaku utama, dimana 1 kelompok terdiri dari 10 s/d 15 orang, sehingga seorang penyuluh akan mampu membina sekitar 50 s/d 150 orang di masyarakat pesisir untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan pola pembinaan dan pendampingan secara kontinuitas, maka masyarakat pesisir pada akhirnya akan mampu menciptakan peluangpeluang lapangan kerja.
7
BAB II KERAGAAN PENYULUH PERIKANAN Berkorelasi dengan perannya yang begitu urgen, eksistensi penyuluh perikanan perlu diestimasi secara tepat untuk mengakselerasi pembangunan perikanan secara utuh. Untuk sementara, jumlah penyuluh perikanan yang ada sekarang tersebar di 33 Provinsi, yang terdiri dari: 3.387 orang PNS fungsional, 283 orang CPNS, dan 1.400 orang sisanya merupakan ketenagaan kontrak didaerah dan Penyuluh Tenaga Kontrak (PPTK) Pusbangluh yang menjalankan fungsi penyuluhan perikanan. Dari sebaran jumlah penyuluh perikanan, maka 8 propinsi yang terbanyak memiliki penyuluh fungsional adalah Jawa Barat (202 orang), Jawa Tengah (236 orang), Sulawesi Selatan (241 orang), Jawa Timur (236 orang), Kalimantan Selatan (142 orang), Bali (115 orang), Papua (106 orang), dan Sumatera Selatan (119 orang). Sedangkan sebaran tersedikit, adalah Propinsi DKI Jakarta (29 orang), Bangka Belitung (26 orang), Sulawesi Barat (40 orang), Kepulauan Riau (3 orang), Gorontalo (50 orang), Lampung (65 orang), Maluku Utara (78 orang), dan Bengkulu (93 orang). Jumlah penyuluh PNS fungsional yang menangani bidang perikanan sampai dengan 15 Agustus 2013, tercatat hanya 3.387 orang yang terdiri atas 2.082 orang penyuluh terampil dan 1.305 orang penyuluh ahli. Secara kalkulasi komparatif 3.387 orang penyuluh yang menangani perikanan dibanding 15.380 orang jumlah ideal penyuluh perikanan (2011), memiliki prosentase 22,02 persen. Keberadaan penyuluh yang menangani perikanan terkonsentrasi di Pulau Jawa, sehingga di luar Jawa ada beberapa kabupaten yang tidak memiliki penyuluh perikanan sama sekali. Jumlah tersebut masih sangat kurang karena baru mampu melayani sekitar 18,24 persen dari jumlah pelaku utama dan pelaku usaha di bidang perikanan, serta masyarakat pesisir yang memiliki usaha skala mikro dan relatif lemah dalam mengakses permodalan. Dari jumlah tersebut, berdasarkan beberapa dasar perhitungan, jika dilakukan konversi terhadap cakupan luas total potensi perikanan budidaya sebesar 11.806.392 Ha (KKP dalam Angka 2009), maka baru sekitar 9,03 % atau 1.071.418 Ha saja potensi yang termanfaatkan, dan dari angka tersebut, pemasukan negara berdasarkan neraca perdagangan tahun 2009 senilai US$ 2.371.000.000. Tentunya pemasukan Negara ini tidak luput dari peran penyuluh perikanan sebagai ujung tombak keberhasilan kelautan dan perikanan di Indonesia, dan jika dilakukan penghitungan input 57,74 % penyuluh perikanan PNS dari 4.534 orang penyuluh bidang perikanan di Indonesia terhadap devisa negara, maka daya ungkit (leverage) seorang penyuluh perikanan di dalam meningkatkan devisa negara per tahunnya sekitar US$ 1.369.015.400/luas total cakupan potensi atau satu orang penyuluh perikanan per tahunnya mampu berkontribusi untuk devisa negara sebesar US$ 522.924/ha Dengan mengaitkan elemen - elemen yang terkandung dalam konsepsi “community and development”, pengertian pengembangan masyarakat adalah sebagai proses yang menyangkut usaha-usaha: (1) masyarakat bersama pihak lain (diluar sistem sosialnya) untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan budayanya; (2) untuk mengintegrasikan masyarakat kedalam suatu pola dan 8
tatanaan kehidupan yang lebih baik; dan (3) mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya; serta (4) meningkatkan inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Berbagai elemen tersebut, menyiratkan adanya proses pendidikan pada setiap diri manusia sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Pengembangan kepribadian dan kemampuan seseorang dapat terwujud dan tertempa melalui berbagai proses kehidupan yang didasarkan pada nilai dan asas normatif yang berlaku pada peradaban dan kebudayaan suatu bangsa. Sebuah pendekatan psikologis mendefinisikan bahwa pendidikan sebagai suatu proses pertumbuhan dimana individu dibantu mengembangkan daya-daya kemampuannya, bakatnya, kecakapan, dan minatnya. Dalam konteks tupoksi pemerintah, dengan berlakunya UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, maka secara substansial berarti adanya tuntutan untuk melaksanakan proses penyuluhan secara berkualitas, baik untuk jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek (tahunan). Apabila dilihat dari definisinya, maka penyuluhan perikanan dapat diartikan sebagai proses pembelajaran dan pendampingan kepada masyarakat yang dilakukan secara profesional oleh seorang penyuluh perikanan, atau oleh lembaga/unit organisasi yang secara fungsional melakukan penyuluhan. Dari kedua butir di atas, secara administratif dapat disimpulkan adanya kebutuhan terhadap penyediaan tenaga penyuluh perikanan profesional yang tentunya memiliki kualifikasi dan kompetensi yang tepat di berbagai lembaga pemerintah (pusat, propinsi dan kabupaten/kota) dalam jumlah yang memadai. Pada titik inilah, maka kebutuhan terhadap fungsional penyuluh perikanan jenjang ahli madya dan utama menjadi urgensi yang mendesak untuk dipenuhi. Hal ini terkait dengan kebutuhan analisis kebijakan (policy analysis) yang diperlukan sebagai masukan (input) dalam proses penyusunan kebijakan nasional yang bersifat teknokratik. Kebutuhan tersebut notabene diharapkan dapat dipenuhi oleh seorang penyuluh perikanan fungsional madya dan utama. Namun, pada titik ini pula terdapat berbagai tantangan dan kendala terutama berkaitan dengan jaminan ketersediaan fungsional penyuluh ahli madya dan utama dalam jumlah memadai sekaligus keseimbangan distribusinya. Selain itu, pada titik lainnya penyuluh perikanan saat ini secara dominansi terdapat pada level penyuluh perikanan terampil penyelia, atau sekitar hampir 75 persen. Namun pengalaman dan eksistensi mereka di dalam melakukan upaya penyuluhan perikanan dapat menjadi contoh bagi penyuluh perikanan yang masih baru.
9
BAB III POTRET KESEDIAAN TENAGA PENYULUH PERIKANAN Secara nasional, sampai tahun 2013, ketersediaan tenaga penyuluh perikanan PNS tercatat sebanyak 3.387 orang. Dari jumlah tersebut 319 orang (atau sekitar 7,68 persen) adalah penyuluh perikanan madya dan terdata masih belum adanya penyuluh perikanan utama atau sekitar 0 persen dari total fungsional penyuluh perikanan di Indonesia.
1.
2.
3.
4.
Dari eksplorasi data tersebut, dapat disimpulkan beberapa fakta, yakni: Adanya kelangkaan (scarcity) fungsional Penyuluh Perikanan secara nasional apabila dibandingkan dengan jumlah PNS seluruh Indonesia. Jumlah fungsional Penyuluh Perikanan sebanyak 3.387 orang secara nasional tentunya jauh dari kebutuhan optimal ketersediaan pegawai yang secara profesional dan fungsional mampu melaksanakan penyuluhan perikanan Adanya ketimpangan ketersediaan fungsional Penyuluh Perikanan antar jenjang, dimana jumlah fungsional Penyuluh Perikanan Utama dan Madya masih belum proporsional dengan fungsional Penyuluh Perikanan pertama dan muda. Adanya ketimpangan jumlah fungsioanal Penyuluh Perikanan antar Kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan peningkatan akselerasi penyediaan fungsional Penyuluh Perikanan di kabupaten/kota untuk mendukung optimalitas proses penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat. Dari total penyuluh perikanan PNS, terlihat adanya pola rekruitmen yang kurang mampu mendukung pemenuhan kebutuhan penyuluh perikanan di Indonesia dalam jangka pendek. Dari 3.387 orang penyuluh perikanan terampil, terdapat 1.305 penyuluh terampil dengan level terampil pelaksana adalah jumlah terbesar sebanyak 410 orang atau 9,879 %, diikuti oleh level terampil pelaksana penyelia sebanyak 349 orang atau sebesar 8,39 %, penyuluh perikanan terampil lanjutan sebanyak 336 orang atau 8,09 % dan 210 orang penyuluh perikanan level terampil pemula atau sebesar 5,05 %. Dari data tersebut, 472 orang adalah penyuluh tingkat terampil yang berada pada usia 55 tahun dan 159 orang adalah level terampil pada usia 56 tahun ke atas. Dan dari data tersebut berdasarkan jenjang karier penyuluh tingkat ahli dan usianya, terdata sebanyak 2.082 orang penyuluh ahli, dengan posisi pada usia 55 tahun sebanyak 24 orang dan usia 56 tahun ke atas sebanyak 57 orang . Dari data tersebut, maka pada tahun 2014, dengan BUP 56 tahun akan pensiun sebanyak 141 orang penyuluh perikanan tingkat terampil dan 81 orang penyuluh perikanan ahli akan langsung pensiun. Sehingga dengan keterbatasan rekruitmen dan dibutuhkannya waktu dalam mempersiapkan mental seorang penyuluh perikanan sekitar 6 sampai 7 tahun, maka akan menyulitkan untuk melakukan regenerasi dalam waktu dekat.
Selanjutnya pada tahun 2013, tercatat total fungsional PP Ahli di Pusbangluh adalah sebanyak 16 orang dan 3 orang akan pensiun pada 20152016. Apabila dilihat dari komposisi berdasarkan tingkatan fungisonal Penyuluh Perikanan terdata 66% atau 10 orang baru merupakan calon Penyuluh Perikanan Ahli Pertama.
10
Sehingga dari eksplorasi data di atas dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1. Ketersediaan fungsional Penyuluh Perikanan di Pusbangluh yang notabene bisa dijadikan benchmark bagi lembaga yang menangani penyuluhan di kabupaten/kota di Indonesia relatif belum memadai apabila dibandingkan dengan kebutuhan penyediaan tenaga profesional untuk mendukung proses penyuluhan perikanan. 2. Apabila dilihat dari konteks perbandingan unit eselon I ataupun UPT yang seharusnya didukung oleh tenaga penyuluh perikanan yang profesional sama sekali belum memiliki satupun fungsional Penyuluh Perikanan (apalagi jenjang utama).
11
BAB IV EXERCISE PENYEDIAAN Dari hasil eksplorasi data diatas, secara nasional dapat disimpulkan bahwa ketersediaan Penyuluh Perikanan (terutama Penyuluh Perikanan Madya dan Utama) secara umum masih sangat jauh dari kebutuhan ideal yang diperlukan untuk mendukung proses penyusunan kebijakan yang optimal secara nasional. Exercise dapat dibedakan dalam 2 alternatif, pertama exercise kebutuhan ideal dan kedua exercise kebutuhan optimal selama 5 tahun. Permasalahan kedua yang harus diselesaikan berkaitan dengan pemetaan yang tuntas terhadap kebutuhan ideal sekaligus rasional (need assestment) dalam penyediaan seluruh jenjang fungsional PP untuk seluruh lembaga dan untuk seluruh jenis pemerintahan. Selanjutnya permasalahan ketiga terkait dengan “tindak lanjut” pemetaan tersebut kedalam penyusunan “neraca fungsional Penyuluh Perikanan” baik untuk lembaga maupun jenis pemerintahan secara keseluruhan. Pemetaan dan neraca tersebut dalam jangka harus terintegrasi secara utuh kedalam perencanaan penyediaan (rekruitmen) dan pengembangan SDM di lingkungan birokrasi pemerintahan dalam jangka panjang. Selanjutnya jika dilihat berdasarkan kemampuan ideal penyuluh perikanan yang ada dalam membina para pelaku utama tidak lebih dari 15 kelompok atau setara dengan 300-450 orang, artinya kemampuan 3.387 penyuluh perikanan yang ada hanya dapat melayani sekitar 1.354.800 pelaku utama, atau dengan ratio pelayanan sekitar 20,84 persen dari keseluruhan pelaku utama. Proyeksi kebutuhan ideal penyuluh perikanan PNS hingga tahun 2017 adalah 15.380 orang. Hal ini didasarkan pada visi Kementerian Kelautan dan Perikanan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkeIanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Implikasinya, Indonesia harus mampu melakukan peningkatan produksi sebanyak 353%. Salah satu upaya yang dilaksanakan adalah optimalisasi pendampingan pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Sebagai ujung tombak, penyuluh perikanan difokuskan pada pembangunan kawasan potensi perikanan yang meliputi 330 kawasan dengan prakiraan sebanyak 5.000 jumlah kelompok binaan. Dari pemaparan diatas dapat diterangkan bahwa upaya akselerasi pembangunan perikanan belum diimbangi dengan ketersediaan jumlah penyuluh perikanan yang cukup memadai. Saat ini kemampuan pemerintah dalam rekruitmen pegawai termasuk penyuluh perikanan terbatas. Keterbatasan rekruitmen yang dilakukan oleh pusat, memberikan implikasi pada stagnasi regenerasi penyuluh perikanan dimasa yang akan datang, hal ini akan berdampak fatal pada program yang akan dijalankan. Kekurangan sumberdaya penyuluh perikanan berimplikasi pada tidak berjalannya program penyuluhan yang ada di daerah. Dilain pihak isu pembangunan kelautan dan perikanan yang perlu ditangani ke depan semakin luas dan komplek. Dengan terbitnya UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, penyuluh dari ketiga sektor digabungkan di Propinsi dan Kabupaten/Kota pada satu wadah lembaga penyuluhan. Penyetaraan BUP (batas usia pensiun) perlu segera dilakukan sesuai dengan amanat dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang menyatakan 12
bahwa “penyuluh pegawai negeri sipil memperoleh kesetaraan persyaratan jenjang jabatan, tunjangan jabatan fungsional, tunjangan profesi, dan usia pensiun”. Apologi lainnya terkait dengan batas usia pensiun dibangun dengan dasar, bahwa perlu adanya pembedaan oleh pejabat pembuat kebijakan, sebab optimalisasi kinerja seseorang dapat dikonversi dengan batas usia pensiun yang akan ditentukan olehnya. Secara ketenagaan seorang penyuluh yang bekerja lebih banyak dari segi fisik, sedangkan bagi penyuluh yang bekerja dengan pemikiran (konsepsi) dan kontribusi manajerial dapat ditingkatkan hingga 60 tahun untuk jenjang Penyuluh Terampil Penyelia dan Jenjang Penyuluh Perikanan Ahli Madya dan Ahli Utama. Untuk efisiensi dan sekaligus memenuhi kebutuhan jumlah penyuluh perikanan yang mempunyai kapasitas, kemampuan, dan berpengalaman sebagai pendamping pelaku utama dan pelaku usaha, maka peningkatan usia pensiun penyuluh perikanan merupakan suatu pemecahan masalah. Penyusunan tulisan dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang situasi dan kondisi penyuluhan dan penyuluh perikanan saat ini, sebagai bahan pertimbangan dalam pengadaan, penyetaran, dan penyesuaian jenjang kepangkatan. Secara sosiokultur, ditengarai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan SDM pelaku utama masih rendah dalam memanfaatkan sumberdaya laut dan perikanan secara optimal. Hal inilah yang mendasari pentingnya pendampingan dan pembinaan yang lumintu oleh penyuluh perikanan terhadap pelaku utama. Upaya pendampingan tersebut diselenggarakan dengan intensitas yang rutin serta dalam waktu yang cukup lama. Dibutuhkan kemampuan untuk mengorganisir pelaku utama dan pelaku usaha, hingga mereka mempunyai trust (kepercayaan) terhadap seorang penyuluh perikanan. Tingkat kemapanan inilah yang menjadi value (nilai) bagi seorang penyuluh perikanan dalam menjalankan fungsinya. Proses yang dijalankan akan dirasakan kurang optimal, manakala pada tataran emosional yang matang dan bijak, eksistensinya terestriksi (terhambat) oleh pengaturan usia pensiun pada usia yang dianggap masih produktif. Padahal pada tataran usia tersebut, seorang pengambil kebijakan dapat memberikan pengaruh dan rekam jejak penyuluhan yang selama ini dijalankan. Harapannya, memberi manfaat yang tidak sedikit bagi kemajuan dan kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha. Secara futuristik arah kebijakan dalam menangani permasalahan penyuluhan perikanan, haruslah mengakomodir kepentingan penyuluh perikanan dalam mengoptimalisasi fungsinya. Keberadaan ini, mencerminkan replikasi kemapanan dan profesionalisme Penyuluh Perikanan. Uraian diatas, menjadi sinyalemen betapa besarnya nilai kemanfaatan penyuluhan perikanan bagi pembangunan nasional. Atas dasar berbagai pemikiran di atas, Kementeriaan Kelautan dan Perikanan mengajukan pemikiran ini sebagai bahan kebijakan. Menurut Paul Scholten asas hukum adalah kecenderungankecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita kepada
13
hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada (1934:84).1 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkret yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangundangan. Asas hukum diketemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkret pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkret. Secara prinsip, setiap regulasi memiliki landasan yang kuat untuk disahkan. Asas hukum selalu menjadi nilai yang dipandang perlu untuk diterbitkannya peraturan. Terdapat konsepsi yang sekiranya perlu untuk menjadi alasan lahirnya peraturan tersebut. Asas hukum yang tidak tersurat tersebut bertalian dengan kemanfaatan regulasi. Selanjutnya melalui upaya penemuan hukum (rechtsvinding) yang merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metodemetode tertentu, seperti interpretasi, argumentasi atau penalaran (redenering), konstruksi hukum, dan lain-lain. Kaidah-kaidah dan metode-metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwanya tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. Ini artinya penemuan hukum dapat diartikan sebagai proses konkretisasi peraturan (das sollen) ke dalam peristiwa konkret tertentu (das sein). 2
Adanya Asas Kemanfaatan Sistem penyuluhan perikanan, dalam hal ini perpanjangan batas usia pensiun, memberikan implikasi logis pada stabilitas pola penyuluhan perikanan yang akan dijalankan. Kaidah yang dapat diterapkan dari keberadaan asas tersebut adalah berkerjanya metoda dan pengawalan terhadap proses yang dapat berkesinambungan. Realita menunjukkan bahwa penyuluh perikanan dapat memberikan nilai tambah terhadap konstanta penyelenggaraan penyuluhan itu sendiri, manakala tersedia alokasi waktu yang diberikan dalam rentang yang cukup panjang, sebab akumulasi interaksi dengan pelaku utama dan pelaku usaha dapat menjadi kaitan emosional yang erat. Dengan perpanjangan batas usia pensiun, terdapat pula Asas Penjagaan investasi. Analogi yang dibangun didasarkan pada kecenderungan penghitungan finansial. Adopsi dilakukan dengan proses pengkondisian seorang penyuluh perikanan dari tahapan awal hingga menjadi seorang profesional. Kisaran finansial yang harus dibayarkan oleh negara dari 18 pelatihan standar yang harus dilewati seorang penyuluh perikanan menuju jenjang tertinggi diestimasikan senilai Rp. 300-500 juta per orang. Selain itu, penjagaan investasi juga dihitung dari nominal seorang penyuluh perikanan menjalankan studi dari 1 2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty,Yogyakarta,2000, hal 4 Amir Syamsuddin , Praktisi Hukum, Jakarta Penemuan Hukum ataukah Perilaku "Chaos"? http://klikhukum.blogspot.com/2008/01/penemuan-hukum-ataukah-perilaku-chaos.html diambil dari internet hari Rabu tanggal 17 Februari 2008 pukul 20.24
14
SUPM, D3 ke S1/DIV hingga S3, alokasi pembiayaan diestimasikan berkisar Rp. 350.000.000 per orang. Adanya perpanjangan batas usia pensiun, setidaknya memberikan stimulus penghematan anggaran negara yang terkait dengan nilai investasi tersebut. Asas Kebijaksanaan Kondisional (Conditional Wisdom) dari adanya Peraturan Presiden tentang batas usia pensiun ini bertalian erat dengan realita permasalahan yang dihadapi dalam penyuluhan perikanan. Hal ini sebagai langkah untuk mencegah terputusnya regenerasi (lost generation), didasarkan pada kenyataan bahwa keberadaan penyuluh perikanan saat ini lebih didominasi oleh mereka yang telah memiliki usia mendekati pensiun. Apabila tidak diambil langkah strategis terkait dengan kondisi ini, maka akan berimplikasi pada lumpuhnya penyelenggaraan penyuluhan perikanan dalam satu periode bahkan satu dekade, sebab ketiadaan sumberdaya manusia menjadi hal yang fatal bagi pelaksanaan penyuluhan. Asas Penghargaan dan Apresiasi (Prestise), menjadi sebuah catatan tersendiri bagi penyuluh perikanan, sebab perpanjangan batas usia pensiun dapat diejawantahkan sebagai bentuk pengabdian yang sangat bernilai. Nilai yang dimaksud adalah rekam jejak penyuluhan yang diakumulasikan sebagai sebuah rujukan bagi penyelenggaraan penyuluhan kedepan. Adanya estafet pegalaman dari saksi hidup (pelaku) sebuah proses penyuluhan kepada generasi berikutnya, serta menjadi bagian dari sebuah kerja yang memiliki nilai-nilai adiluhung filosofi penyuluhan itu sendiri.
15
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari paparan naskah akademis di atas, maka disimpulkan bahwa: 1. Kondisi ketenagaan penyuluhan perikanan saat ini dinilai kurang kondusif, hal ini dikarenakan sebagian besar penyuluh perikanan PNS memasuki usia 50 tahun dan mendekati batas usia pensiun. Kodisi ini menjadi bahan pertimbangan dan kebijakan dalam rekrutmen dan pengadaan penyuluh perikanan ke depan. 2. Usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 70,6 tahun, sehingga pada usia 60 tahun seseorang masih dalam kondisi prima. Masih ditambah dengan penggunaan teknologi komunikasi yang mereduksi jarak dan waktu. Disamping itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan perlu peningkatan batas usia pensiun PNS menjadi 60 tahun. Hal ini menjadi implikasi tentang pentingnya keberadaan penyuluh perikanan dan peningkatan kapasitasnya. 3. Salah satu upaya yang akan dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha perikanan terhadap penyuluhan adalah dengan mempertahankan potensi yang ada dan meningkatkan jumlah penyuluh melalui tahapan yang sistematis. Sehingga sudah sangat mendesak untuk segera membuat regulasi penerimaan penyuluah perikanan dan peningkartan kapasitasnya sesuai harapan, serta menjadikan penyuluh perikanan sebagai tenaga fungsional yang tersendiri, mandiri, dan profesional, serta memberikan jaminan jenjang karier yang jelas dan terukur. B. SARAN 1. Perlu kebijakan yang dapat mengakomodir adanya keterbatasan kondisi ketenagaan penyuluhan yang ada saat ini, melalui mekanisme penyesuaian dan pengadaan penyuluh perikanan terampil penyelia dan penyuluh perikanan ahli muda-utama. 2. Perlu diwujudnyatakan penegasan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam hal penetapan pentingnya keberadaan penyuluh perikanan dan pola rekrutmen, serta peningkatan kapasitasnya. 3. Perlu upaya legalisasi dan penguatan eksistensi dan profesionalisme penyuluh perikanan melalui mekanisme perpanjangan batas usia pensiun dengan ekspektasi kelumintuan ketenagaan dan regenerasi yang tersistem berupa Peraturan Presiden. Kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan bagi tulisan tertentu.
16
DAFTAR ISI
Halaman PENDAHULUAN……………………………………………….. A. Latar Belakang……………………………………………... 1. Peran dalam mnangani IUU Fishing ........................... 2. Peran dalam menangani Konservasi dan Sumberdaya pesisir..................................................... 3. Peran dalam Pertahanan dan Keamanan Pangan Daerah Perbatasan dan daerah terluar Indonesia................ 4. Peran Dalam Ketahanan Pangan........……………….. 5. Peran dalam pengentasan kemiskinan …………….. 6. Peran penyuluh Perikanan dalam mengurangi pengangguran ….......................................................
1 1 2 4
BAB II
KERAGAAN PENYULUH PERIKANAN
8
BAB III
POTRET KETERSEDIAAN PENYULUH PERIKANAN …………………………………………………………...
10
BAB I
4
6 6 7
BAB IV
EXERCISE PENYEDIAAN PENYULUH …………………………………...
PERIKANAM
13
BAB IV
PENUTUP……………………………………………………….. A. Kesimpulan…………………………………………………. B. Saran………………………………………………………...
16 16 16
17