RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI XI DPR RI TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
1. Pendahuluan Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan dan Anggota Komisi XI DPR yang telah mengundang kami dalam Rapat Kerja pada hari ini. Dalam catatan kami, Rapat Kerja pada hari ini merupakan Rapat Kerja kami yang pertama diselenggarakan di tahun 2006, dari sebelumnya yang diselenggarakan pada tanggal 27 Desember 2005. Rapat Kerja dengan DPR RI merupakan forum yang penting bagi kami, mengingat di satu sisi merupakan satu bentuk akuntabilitas dan transparansi Bank Indonesia, sementara di sisi lain menjadi media yang efektif untuk saling bertukar informasi mengenai berbagai aspek yang terkait dengan tugas Bank Indonesia serta sekaligus sebagai media untuk masukan dan pandangan/pemikiran dari Anggota Dewan. Kesemuanya itu diharapkan menjadi masukan/pertimbangan yang berharga bagi Bank Indonesia dalam meningkatkan efektivitas kebijakan di masa-masa mendatang. 2. Sesuai dengan agenda yang kami peroleh, dalam Rapat Kerja kali akan dibahas mengenai kebijakan BI dalam menurunkan tingkat inflasi dan tingkat suku bunga tahun 2006 serta kebijakan BI di bidang pengawasan bank. Terkait dengan agenda Raker hari ini pula, dalam rangka pemenuhan kewajiban dalam pasal 58 ayat (1) dan (2) UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, pada akhir Januari 2006 yang lalu, kami telah menyampaikan Laporan Triwulan IV-2005 yang merupakan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran untuk periode triwulan IV-2005 (Oktober – Desember 2005). Dalam laporan dimaksud, kami telah pula menyampaikan prospek ekonomi dan arah kebijakan yang akan ditempuh BI pada triwulan berikutnya.
3. Oleh karenanya, pada kesempatan Raker hari ini, sebelum kami memaparkan kebijakan BI di bidang moneter dan perbankan tahun 2006 serta mendengarkan masukan, pertanyaan, dan pandangan dari Anggota Dewan, ijinkan kami untuk memaparkan secara singkat pokok-pokok penting dari evaluasi atas kinerja kebijakan Bank Indonesia tahun 2005, evaluasi pencapaian sasaran inflasi tahun 2005, prospek tahun 2006 dan arah kebijakan tahun 2006.
1
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
2. Kebijakan Moneter dan Evaluasi Pencapaian Sasaran Inflasi Tahun 2005 Anggota Dewan yang terhormat, 4. Sebagaimana telah kita cermati bersama, perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dari sisi stabilitas makro berupa gejolak eksternal kenaikan harga minyak dunia dan ketidakseimbangan keuangan global. Pada awal tahun 2005, terdapat optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi akan semakin menguat dengan sumber pertumbuhan mulai bergeser pada investasi, yang ditopang oleh proyek-proyek infrastuktur. Optimisme tersebut terbukti pada triwulan I-2005, dimana pertumbuhan ekonomi mencapai 6,12% yang terutama didorong oleh peningkatan investasi. Namun menginjak triwulan II-2005, perkembangan ekonomi mengalami perubahan karena adanya tekanan eksternal dan internal yang menyebabkan investasi kembali melemah. Peningkatan biaya produksi yang disebabkan karena kenaikan harga minyak disertai dengan penurunan kepercayaan investor yang disebabkan karena belum adanya perubahan struktural dalam iklim investasi dan belum optimalnya kepastian hukum telah menyebabkan investasi swasta menjadi terbatas. Sementara pertumbuhan konsumsi melambat akibat naiknya suku bunga dan turunnya daya beli masyarakat pasca kenaikan BBM. Perlambatan konsumsi dan investasi tersebut pada gilirannya mempengaruhi permintaan impor yang menurun secara drastis. Sementara, kinerja ekspor relatif stabil, meskipun cenderung melemah pada triwulan IV-2005. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2005 secara keseluruhan mencapai 5,6%, yang terutama didukung oleh kinerja perekonomian yang cukup baik pada triwulan I-2005 5. Dari sisi internal, pola ekspansi pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak tahun 2004 telah menyebabkan tingginya laju kenaikan impor di tengah kinerja ekspor yang masih terbatas. Kinerja ekspor yang demikian tidak terlepas dari volume perdagangan dunia yang melambat dan daya saing yang belum menunjukkan perbaikan. Akibatnya, kondisi Neraca Pembayaran Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan. Sementara itu, lonjakan harga minyak dunia juga menyebabkan permintaan valas untuk kebutuhan impor minyak oleh Pertamina meningkat tajam. Sentimen penguatan dolar AS di tengah belum membaiknya iklim investasi di dalam negeri telah mendorong pembalikan arus modal portfolio jangka pendek, terutama pada triwulan II dan III-2005. Besarnya subsidi BBM yang harus disediakan Pemerintah seiring dengan tingginya harga minyak dunia telah pula menimbulkan sentimen negatif para pelaku pasar terhadap sustainabilitas kondisi fiskal. Sebagai akibat dari perkembangan sisi internal, rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2005 mengalami pelemahan sebesar 8,6% dibandingkan rata-rata tahun 2004. Anggota Dewan yang terhormat, 6. Menghadapi tekanan kestabilan makroekonomi dimaksud serta sebagai langkah antisipatif untuk mencegah peningkatan inflasi yang persisten ke depan, Bank Indonesia pada tahun 2005 menempuh kebijakan yang ketat dengan tetap memperhatikan momentum perumbuhan ekonomi. Pada triwulan I-2005, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan moneter yang cenderung ketat, dengan menetapkan indikatif pertumbuhan base money untuk keseluruhan tahun sekitar 11,5-12,5%, lebih rendah dari realisasi pertumbuhan test date base money pada tahun sebelumnya, sebesar 15,1%. Pada triwulan
2
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
I, level base money terjaga pada kisaran perkiraan indikatif dan diikuti oleh pergerakan rata-rata tertimbang SBI 1 bulan yang relatif tidak mengalami perubahan seiring dengan masih cukup tingginya ekses likuiditas perbankan. Pengambilan kebijakan moneter pada periode ini dilatarbelakangi oleh pola ekspansi perekonomian yang dipandang mulai menimbulkan tekanan, baik terhadap kurs rupiah maupun inflasi ke depan. Meskipun perekonomian beroperasi di bawah tingkat potensialnya, kuatnya permintaan domestik yang pemenuhannya lebih banyak melalui impor mulai memberikan tekanan terhadap kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), sementara pada saat yang sama kondisi perbankan masih diwarnai oleh meningkatnya ekses likuiditas. Akibatnya, kurs rupiah mengalami pelemahan yang berdampak buruk, baik bagi sisi fiskal, neraca perusahaan, maupun inflasi. Tekanan inflasi bahkan semakin meningkat seiring dengan ditempuhnya kebijakan kenaikan BBM sekitar 30% oleh Pemerintah pada 1 Maret 2005. 7. Intensitas pengetatan kebijakan moneter semakin meningkat pada triwulan II-2005. Kondisi NPI yang semakin buruk menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit akibat impor yang meningkat lebih tinggi dari ekspor, sementara neraca modal mengalami tekanan permintaan valas yang meningkat terutama untuk pembayaran utang luar negeri, di tengah terbatasnya penanaman modal asing dan portofolio investasi. Pelemahan nilai tukar juga dipicu oleh persepsi pasar yang negatif atas kondisi sustainabilitas fiskal di tengah meningkatnya beban subsidi dan adanya bandwagon effect pembelian valas oleh sejumlah perusahaan domestik dan nasabah individu. Pelemahan kurs rupiah tersebut pada akhirnya berdampak pada peningkatan inflasi, selain juga dipicu oleh meningkatnya ekspektasi inflasi akibat kenaikan BBM di bulan Maret. 8. Pada triwulan II, kebijakan moneter yang lebih ketat ditempuh dengan penyerapan likuditas secara lebih optimal, yaitu dengan menjaga base money agar dapat tumbuh selaras dengan proyeksi besaran makroekonomi dan target inflasi yang ditetapkan Pemerintah. Pada periode ini, di satu sisi, kebutuhan masyarakat akan uang kartal meningkat lebih tinggi dari perkiraan dan di sisi lain kondisi pasar uang dihadapkan pada keterbatasan penempatan likuiditas jangka pendek yang menyebabkan tingginya kelebihan simpanan perbankan di Bank Indonesia. Pada periode tersebut, tekanan terhadap terjadinya currency switching cukup besar, sehingga memberi tekanan lebih lanjut terhadap pelemahan rupiah. Untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah tersebut, upaya penyerapan ekses likuiditas diikuti oleh kenaikan suku bunga SBI 1 bulan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 82bps dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya. Selanjutnya, dalam upaya mengurangi ekses likuiditas perbankan dan meredam pelemahan kurs rupiah, Bank Indonesia juga mengeluarkan paket stabilisasi nilai tukar rupiah melalui PBI No.7/14/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank yang dapat mengurangi tekanan pelemahan rupiah dari arus modal asing jangka pendek (khususnya dalam bentuk swap beli) karena transaksi valas dengan pihak asing yang tidak mempunyai dasar transaksi ekonomi berkurang. Pada saat bersamaan, Bank Indonesia juga tetap menempuh sterilisasi valas secara terukur untuk mengurangi volatilitas kurs rupiah di pasar. Bank Indonesia juga telah mengambil langkah-langkah koordinatif dengan Pemerintah khususnya dalam manajemen permintaan valas BUMN. Dengan kebijakan moneter yang telah ditempuh tersebut, tekanan inflasi yang berasal dari ekspektasi inflasi relatif dapat ditahan seiring dengan meningkatnya suku bunga SBI. Namun demikian, paket stabilisasi rupiah belum sepenuhnya mampu menahan pelemahan kurs rupiah lebih lanjut, karena faktor fundamental ekonomi yang lemah dan dollar AS yang menguat terhadap hampir seluruh mata uang kuat dunia. 3
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
9. Selanjutnya, guna meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, Bank Indonesia pada awal Juli 2005 mengimplementasikan langkah-langkah penguatan kerangka kerja kebijakan moneter yang konsisten dengan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini ditandai dengan penggunaan BI Rate sebagai sinyal kebijakan moneter untuk menggantikan penggunaan base money agar sinyal kebijakan moneter menjadi lebih transparan. Penerapan kerangka kerja ini diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan tata kelola kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 10. Pada periode Juli-Desember 2005, rencana kenaikan harga BBM memicu peningkatan ekspektasi inflasi yang cukup tajam. Sementara, kenaikan harga BBM pada bulan Oktober membawa konsekuensi dampak lanjutan antara lain berupa kenaikan tarif angkutan dan harga jual eceran minyak tanah yang lebih tinggi dari yang ditetapkan Pemerintah. Demikian pula kelangkaan BBM di berbagai daerah telah menimbulkan gangguan pasokan dan distribusi yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga bahan makanan. Dengan kondisi demikian, inflasi IHK tahun 2005 mencapai angka 17,1% (yoy), telah jauh melebihi sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar 6,0%±1% 11. Selanjutnya, untuk menjaga agar akselerasi peningkatan ekspektasi inflasi tidak berlebihan dan mengarah ke sasaran inflasi jangka menengahnya, maka Bank Indonesia masih memandang perlu untuk melanjutkan kebijakan moneter ketat selama dua triwulan terakhir 2005. Suku bunga BI Rate dinaikkan secara bertahap dan terukur, sebanyak 3 kali selama triwulan IV-2005 sehingga mencapai 12,75% pada awal Desember 2005. Kebijakan ini diperkuat dengan peningkatan efektivitas pengelolaan likuiditas di pasar uang –antara lain dengan kembali mengaktifkan instrumen Fine Tune Kontraksi (FTK) overnight (O/N), menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM), menaikkan suku bunga FASBI 7 hari dan maksimum suku bunga penjaminan simpanan—, upaya stabilisasi di pasar uang antar bank O/N dan perbaikan struktur suku bunga. Sementara itu, dalam upaya meredam tekanan depresiasi rupiah beberapa kebijakan yang telah ditempuh pada periode sebelumnya diperkuat pula dengan pelarangan ‘margin trading’ terhadap semua valas, penyediaan fasilitas swap investasi, pemberlakuan intervensi swap valas, dan penyempurnaan ketentuan PDN. 12. Selain dari sisi moneter, upaya pengendalian inflasi sepanjang tahun 2005 juga dibarengi dengan penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah melalui Tim Penetapan Sasaran, Pemantauan, dan Pengendalian Inflasi, khususnya dalam meminimalkan dampak kenaikan inflasi dari sisi administered prices dan volatile food. 13. Upaya pengetatan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia bersama-sama dengan kebijakan Pemerintah dalam meminimalkan dampak lanjutan kebijakan kenaikan harga BBM telah menimbulkan ekspektasi positif pasar. Kebijakan ini telah berhasil menahan pelemahan rupiah. Rupiah bergerak lebih stabil dengan kecenderungan menguat hingga akhir 2005 yang terutama disebabkan oleh meningkatnya ‘interest rate differential’, membaiknya indeks risiko seiring dengan membaiknya persepsi pasar terhadap kebijakan fiskal pasca kenaikan BBM, meningkatnya investasi portofolio investor asing dan meningkatnya efektivitas pengelolaan likuiditas di pasar rupiah yang dalam dua triwulan terakhir.
4
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
3. Kinerja dan Kebijakan Perbankan Tahun 2005 Anggota Dewan yang terhormat, 14. Kinerja perbankan sampai dengan akhir tahun 2005 masih cukup baik meskipun terdapat tekanan pada keseimbangan makroekonomi. Fungsi intermediasi perbankan selama tahun 2005 dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan. Kredit (termasuk channeling) tahap demi tahap tumbuh sesuai target yaitu mencapai kisaran 22,7%. Dari sisi intermediasi, perkembangan kredit sampai dengan akhir tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 82% dana yang dihimpun dari masyarakat disalurkan kembali dalam bentuk kredit. Sementara itu, pangsa kredit UMKM telah mencapai 50,7% dari total kredit. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran UMKM melalui pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro Indonesia. 15. Di sisi lain, kemampuan perbankan untuk melakukan penghimpunan Dana Pihak Ketiga juga terus mengalami pertumbuhan secara moderat yang berada pada kisaran 15%. Dengan angka percepatan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tersebut, maka LDR perbankanpun sampai dengan akhir tahun 2005 naik cukup signifikan mencapai sekitar 65%. Total aset industri perbankan-pun mengalami pertumbuhan yang hampir sama besarnya dengan pertumbuhan DPK yaitu sekitar 12%. Profitabilitas perbankan sedikit mengalami peningkatan sebagaimana tercermin pada rasio Return on Asset (ROA) meningkat dari 2,6% menjadi 2,8%, sementara net interest income (NII) naik dari Rp5,9 triliun menjadi Rp6,2 triliun. Dengan membaiknya profitabilitas dan tidak terlalu besarnya peningkatan kredit, rasio kecukupan modal (CAR) juga mengalami peningkatan dari 19,4% menjadi 19,6%. Angka tersebut merupakan CAR tertinggi dibandingkan CAR perbankan di negara-negara Asia lainnya. Anggota Dewan yang terhormat, 16. Kinerja perbankan dimaksud tidak lepas dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia di bidang perbankan selama tahun 2005 yang tetap difokuskan untuk memperkuat stabilitas sistem perbankan guna menciptakan stabilitas sistem keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan tersebut ditempuh melalui beberapa langkah antara lain melalui implementasi program-program yang telah dicanangkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dalam meningkatkan efektivitas pengawasan bank dan ketahanan sistem perbankan, penyempurnaan regulasi dan sistem pengawasan perbankan yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip pokok basel serta penerapan tata kelola yang baik, manajemen risiko dan pengendalian internal yang efektif dan efisien, serta pengembangan SDM perbankan melalui sertifikasi manajemen risiko. 17. Selanjutnya guna mendukung penguatan sistem perbankan, pada tanggal 22 September 2005 LPS resmi beroperasi. Dalam prakteknya, lembaga tersebut akan menetapkan suku bunga penjaminan atas dana masyarakat di perbankan. Kebijakan umum lembaga tersebut adalah secara bertahap mengurangi cakupan dan jumlah dana yang dijamin pemerintah, yaitu dari Rp 5 miliar pada bulan Maret 2006 menjadi Rp 1 miliar pada bulan September 2006 dan akan berakhir pada jumlah Rp 100 juta pada bulan Maret 2007. Pengurangan penjaminan dimaksud ditujukan agar perbankan dapat lebih berhati-hati dalam mengelola usahanya serta mendidik masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih bank. Dengan demikian, akan tercipta disiplin pasar keuangan yang lebih baik. 5
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
18. Pemerintah dan BI telah menyusun kerangka kebijakan jaring pengaman sektor keuangan (financial safety net), dimana pada tanggal 30 Desember 2005 telah dilakukan penandatangan nota kesepahaman antara Gubernur BI, Menteri Keuangan dan Ketua Dewan Komisioner LPS untuk menetapkan batas-batas peran dan fungsi dari ketiga lembaga keuangan tersebut dalam memelihara stabilitas sistem keuangan. Nota kesepahaman tersebut juga memuat mekanisme kerjasama ketiga instansi tersebut melalui sebuah forum Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebagai sarana koordinasi dan pertukaran informasi, sehingga hal-hal yang terjadi dalam sistem keuangan termasuk gejala instabilitas dapat diketahui lebih dini dan dicarikan solusinya lebih cepat. Hal ini merupakan tonggak sejarah penguatan infrastruktur perbankan.
4. Kinerja dan Kebijakan Sistem Pembayaran Tahun 2005 Anggota Dewan yang terhormat, 19. Di sisi pembayaran tunai, selama tahun 2005 kebijakan diarahkan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Kebijakan tersebut ditempuh antara lain melalui penerbitan uang kertas baru pecahan Rp10.000 dan Rp50.000 tahun emisi 2005 pada tanggal 20 Oktober 2005. Selain memiliki beberapa tambahan unsur pengaman yang lebih canggih dan mudah dikenali oleh masyarakat, uang kertas pecahan baru tersebut juga menyediakan kode tertentu sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan para tuna netra. Disamping itu, BI terus melakukan langkahlangkah peningkatan efektivitas distribusi/pengedaran uang kartal dan meminimalisir risiko uang palsu melalui upaya peningkatan pemahaman terhadap ciri-ciri keaslian uang rupiah. 20. Beberapa indikator pengedaran uang kartal selama tahun 2005 menunjukkan bahwa penggunaan uang kartal sebagai alat transaksi selama tahun 2005 masih cukup tinggi, tercermin dari peningkatan UYD serta kegiatan inflow dan outflow yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Posisi uang kartal yang diedarkan (UYD) selama tahun 2005 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, dengan laju pertumbuhan UYD pada posisi akhir tahun 2005 mencapai sebesar 14,2%, lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan UYD tahun sebelumnya yang mencapai 12,5%. Peningkatan rata-rata UYD dan laju pertumbuhannya tersebut sejalan dengan terjadinya peningkatan kebutuhan masyarakat untuk bertransaksi. Sementara itu, jumlah outflow tertinggi selama tahun 2005 terjadi pada bulan Oktober yang mencapai sebesar Rp50,7 triliun atau naik 62,5% dari outflow tertinggi tahun lalu yang mencapai sebesar Rp31,2 triliun. Tingginya jumlah outflow pada bulan Oktober tersebut sesuai dengan pola musiman yaitu pada periode menjelang hari raya keagamaan, namun demikian pada tahun 2005 outflow yang meningkat secara signifikan tersebut terutama terkait dengan tingginya perkiraan perbankan untuk mengantisipasi penyediaan uang kartal menghadapi periode hari raya keagamaan menyusul terjadinya kenaikan harga-harga secara umum paska kenaikan BBM. Hal ini terlihat dari aliran kembali uang masuk yang cukup tinggi pada periode setelah masa lebaran berakhir. 21. Disisi pembayaran nontunai, kebijakan tetap dititikberatkan pada upaya pengurangan risiko, peningkatkan efisiensi sistem pembayaran serta perlindungan konsumen terhadap 6
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
pengguna sistem pembayaran melalui perluasan implementasi Sistem Kliring Nasional (SKN). Selanjutnya dalam rangka pemenuhan prinsip-prinsip manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring, sejak tanggal 28 November 2005 telah diimplementasikan mekanisme Failure to Settle (FtS). Mekanisme tersebut mewajibkan peserta kliring untuk menyediakan dana awal (prefund) untuk mengantisipasi adanya potensi kewajiban yang mungkin timbul pada akhir hari dari peserta kliring. Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi menanggung risiko kegagalan setelmen karena pelaksanaan mekanisme FtS menjamin terealisasinya transaksi kliring. Dengan turunnya risiko kegagalan setelmen, pada akhirnya konsumen yang memperoleh manfaat terbesar dari penerapan mekanisme FtS. 22. Dalam kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran, Bank Indonesia terus melaksanakan dan menyempurnakan baik pengawasan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan melalui pemeriksaan kepada penyelenggara sistem pembayaran dengan fokus pada kepatuhan pada prosedur yang berlaku. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui kewajiban penyampaian laporan penyelenggaraan sistem pembayaran. Pada triwulan laporan penyempurnaan pengawasan mencakup upaya meningkatkan aspek perlindungan konsumen akhir sistem pembayaran khususnya pengguna Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Pada akhir periode laporan Bank Indonesia menerbitkan aturan teknis dari PBI APMK yang telah diterbitkan tahun sebelumnya.
5. Arah Kebijakan Moneter 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 23. Arah kebijakan moneter yang akan ditempuh pada 2006 tidak terlepas dari perkiraan beberapa besaran makroekonomi, terutama inflasi, dan asesmen faktor risiko yang akan dihadapi. 24. Prospek ekonomi Indonesia pada tahun 2006 diprakirakan akan kembali membaik. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada pada kisaran 5,0-5,7% dan inflasi kembali turun seiring dengan nilai tukar yang stabil dan cenderung menguat. Kegiatan ekonomi yang kembali menguat diperkirakan akan terjadi pada paro kedua 2006. Pada paro I pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih tertahan oleh dampak buruk kenaikan harga yang terjadi di 2005. Laju inflasi diperkirakan masih akan tinggi hingga triwulan III dan baru akan menurun pada triwulan IV. Sementara itu, perkembangan nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2006 diperkirakan akan mengalami penguatan secara gradual seiring dengan perbaikan di lalulintas modal swasta, membaiknya premi risiko, dan berakhirnya siklus pengetatan moneter global. Sumber pasokan valas khususnya dari FDI diperkirakan membaik sehingga akan menurunkan volatilitas nilai tukar dibandingkan tahun 2005. Seiring dengan menguatnya nilai tukar, tekanan terhadap inflasi IHK diprakirakan akan semakin berkurang dan mencapai 7-9% (yoy) pada akhir tahun 2006, yang terutama didorong oleh penurunan laju inflasi kelompok administered dan kelompok bahan makanan. 25. Prakiraan laju inflasi IHK tersebut didasarkan pada beberapa asumsi meliputi:
7
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
1. Kebijakan administered prices yang strategis (yang mempunyai bobot cukup tinggi pada IHK) relatif minimal, yaitu TDL diasumsikan maksimal naik sebesar 30%. 2. Pasokan dan distribusi barang terjaga, sehingga inflasi volatile foods kembali normal sekitar 6-8%. 3. Nilai tukar rupiah relatif stabil, sehingga dampak langsungnya terhadap inflasi juga diperkirakan tidak signifikan. 4. Adanya perbaikan ekspektasi inflasi seiring dengan nilai tukar yang stabil, kenaikan administered prices yang minimal, pasokan barang terjaga, dan kebijakan moneter yang konsisten. 5. Ekspansi ekonomi yang masih sedikit di bawah kapasitas potensialnya, sehingga diperkirakan belum memberikan tekanan inflasi yang besar. 26. Walaupun secara umum perekonomian diperkirakan mengalami perbaikan, namun perlu diwaspadai beberapa faktor risiko dan ketidakpastian yang dapat mengganggu kestabilan ekonomi moneter. Faktor risiko tersebut terutama terkait dengan kemungkinan berlanjutnya gejolak perekonomian dunia dan kemampuan perekonomian Indonesia dalam meredam dampak buruk yang ditimbulkan. Berbagai faktor risiko tersebut antara lain : 1. Ketidakpastian harga minyak dunia terkait dengan potensi meningkatnya ketidakstabilan politik dan keamanan di wilayah Timur Tengah. 2. Semakin memburuknya kondisi ketidakseimbangan perekonomian dunia (global economic imbalances). 3. Kepastian pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang investasi dan ekspor. 27. Berdasarkan perkiraan ekonomi dan berbagai faktor risiko yang berpotensi memberikan tekanan pada kestabilan ekonomi, Bank Indonesia pada tahun 2006 secara konsisten berupaya menurunkan inflasi. Upaya ini dilakukan dengan membawa ekspektasi inflasi ke depan ke arah sasaran inflasi jangka menengah dengan mempertahankan arah kebijakan moneter yang saat ini telah ditempuh. Namun demikian, stance kebijakan ini dimungkinkan untuk ditinjau lagi apabila Bank Indonesia memandang bahwa tekanan inflasi ke depan menjadi lebih berkurang. 28. Selain kebijakan moneter, upaya untuk menurunkan laju inflasi memerlukan dukungan sinergi antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal dan sektor riil. Upaya untuk mengkoordinasikan langkah-langkah pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah diwujudkan dalam Tim Pengendalian Inflasi. Guna memberikan kejelasan agenda yang akan ditempuh, Tim telah menyusun Roadmap yang memfokuskan pada lima hal, yaitu: (i) upaya untuk menjaga pasokan dan kelancaran distribusi barang, terutama pada kelompok barang yang cenderung menunjukkan fluktuasi harga yang cukup tinggi (volatile food); (ii) upaya untuk meminimalkan dampak langsung maupun lanjutan dari rencana penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga; (iii) upaya untuk mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat pada prakiraan dan sasaran inflasi ke depan; (iv) upaya untuk menjaga agar kegiatan ekonomi berada dalam batas kapasitas perekonomian nasional; dan (v) upaya menjaga kestabilan nilai tukar agar tidak berdampak buruk terhadap inflasi.
8
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
29. Berkenaan dengan ekspektasi inflasi yang tinggi pada akhir-akhir ini, Bank Indonesia memandang perlunya upaya untuk menurunkan ekspektasi inflasi masyarakat. Upaya ini diantaranya dapat ditempuh melalui kejelasan mengenai rencana kenaikan administered price. Kejelasan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakpastian di masyarakat, sehingga tidak menimbulkan peningkatan ekspektasi inflasi yang berlebihan.
6. Arah Kebijakan Industri Perbankan Anggota Dewan yang terhormat, 30. Tidak dipungkiri bahwa sistem perbankan yang sehat, efisien dan bermanfaat bagi perekonomian menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga kelangsungan pembangunan ekonomi nasional. Untuk itu, seluruh kebijakan, komitmen dan langkah-langkah yang diambil pada tahun 2006 tetap diarahkan untuk memperkuat sistem perbankan dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Dengan demikian diharapkan peran perbankan dalam pembiayaan perekonomian nasional dapat semakin meningkat. 31. Dengan mempertimbangkan beratnya beban yang dihadapi dunia perbankan, BI berupaya untuk memberikan ruang gerak perbankan dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Untuk itu, pada tanggal 30 Januari 2006 BI telah mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006, yang terdiri dari 5 Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan 2 Surat Edaran (SE), 6 diantaranya merupakan ketentuan yang mengatur bank umum dan 1 ketentuan yang mengatur bank syariah. Ketujuh ketentuan tersebut meliputi: a. Penyempurnaan ketentuan PBI No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Langkah ini merupakan sebuah temporary measure, yang pada intinya merupakan langkah simplifikasi dan pentahapan dalam penerapan ketentuan tersebut. Dengan mempertimbangkan bahwa jenis kredit dan kondisi dari setiap debitur berbeda satu sama lain, maka disusun suatu pentahapan dalam penerapan sistem uniform classification, mengingat hal ini sangat erat kaitannya dengan prakondisi yang dipersyaratkan bank kepada setiap debiturnya. Tahapan penerapan dari ketentuan ini akan dimulai dari kredit sindikasi yang sejak awal telah memiliki sarana komunikasi yang memadai, kemudian diikuti dengan debitur-debitur besar yang mempengaruhi kinerja bank secara signifikan, sampai dengan debitur-debitur yang memenuhi jumlah tertentu. b. Ketentuan pelaksana mengenai Penahapan Penetapan Kualitas yang sama (uniform classification) untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur atau proyek yang sama. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu ketentuan pelaksana atau pedoman atas penyempurnaan ketentuan PBI No.7/2/PBI/2005. c. Dalam rangka menggerakkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, BI memandang perlu untuk meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan kegiatan ekonomi, terutama dalam rangka pembiayaan terhadap usaha kecil, pemilikan rumah dan pegawai/pensiunan. Kebijakan tersebut dilakukan dengan menurunkan penetapan bobot risiko atas Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pegawai/Pensiunan dalam 9
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), yaitu menjadi KUK dikenakan bobot risiko sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus, KPR yang dijamin dengan hak tanggungan pertama dikenakan bobot risiko sebesar 40% (empat puluh perseratus), dan Kredit Pegawai/Pensiunan dikenakan bobot risiko sebesar 50% (lima puluh perseratus). d. Dengan mempertimbangkan bahwa eksposur risiko bank dapat timbul baik secara langsung dari kegiatan usahanya, maupun tidak langsung dari kegiatan usaha perusahaan anak, maka BI menerbitkan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi. Sesuai ketentuan dimaksud, setiap bank wajib menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan perusahaan anak, serta memastikan bahwa prinsip kehati-hatian yang diterapkan pada kegiatan usaha bank diterapkan pula pada perusahaan anak.. Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi tidak berlaku bagi perusahaan anak yang dimiliki atau dikendalikan oleh bank karena adanya penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit. e. Selanjutnya, guna menunjang pelaksanaan kegiatan usaha perbankan yang sehat, transparan dan bertanggungjawab, diterbitkan pula ketentuan mengenai pelaksanaan good corporate governance (GCG) bagi Bank Umum. Ketentuan dimaksud mewajibkan industri perbankan memenuhi 5 (lima) prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness), disamping mewajibkan pula adanya transparansi kepada publik dimana bank harus menyusun laporan pelaksanaan good corporate governance serta melakukan penilaian (self assessment) atas pelaksanaan good corporate governance Bank. Selanjutnya, Bank Indonesia akan melakukan penilaian pelaksanaan good corporate governance Bank. f. Guna menampung kasus-kasus pengaduan nasabah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik di internal bank, Bank Indonesia saat ini juga tengah mengupayakan pendirian Lembaga Mediasi Perbankan sebagai institusi yang diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank secara sederhana, murah, dan cepat. Sebagai tahap awal, Bank Indonesia telah menerbitkan ketentuan tentang Mediasi Perbankan. Dengan diterbitkannya ketentuan tersebut, Bank Indonesia akan menjalankan fungsi mediasi perbankan sampai dengan akhir tahun 2007 dan selanjutnya akan diteruskan oleh Lembaga Mediasi Perbankan Independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan. g. Untuk dapat terus mendorong perkembangan industri perbankan syariah, Bank Indonesia menilai diperlukan adanya peningkatan kemudahan akses masyarakat kepada jasa perbankan syariah, terutama dalam menerima dana simpanan. Untuk itu, BI menerbitkan ketentuan bahwa bank yang telah memiliki Unit Usaha Syariah diperbolehkan untuk juga melayani transaksi syariah di kantor-kantor cabang bank konvensionalnya (office channelling). Dengan demikian, masyarakat akan dengan mudah untuk mendapatkan jasa perbankan syariah dan bank tidak perlu lagi membuka cabang Unit Usaha Syariah di banyak tempat agar dapat memberikan pelayanan perbankan syariah.
10
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
Anggota Dewan yang terhormat, 32. Selain program jangka pendek dalam rangka memberikan ruang gerak lebih bagi perbankan, secara jangka menengah panjang kebijakan Bank Indonesia tetap difokuskan untuk memperkuat fondasi perbankan. Langkah tersebut dijabarkan lebih lanjut pada beberapa program dari Arsitektur Perbankan Indonesia, yang meliputi: 1) memperkuat struktur permodalan dalam rangka mempercepat proses konsolidasi, 2) meningkatkan peran bank asing dalam perekonomian; 3) mempersiapkan perbankan dalam mengantisipasi perkembangan bisnis perbankan ke depan. Mengacu pada trend perkembangan industri perbankan yang mengarah pada Universal Banking, Bank Indonesia merencanakan untuk memperjelas posisi dan arah kebijakan BI dalam menata kembali hubungan antara perbankan dan pasar keuangan; 4) memperkuat manajemen internal perbankan dan 5) memperbaiki infrastruktur industri perbankan, melalui penyempurnakan Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), Pembentukan Lembaga Apex bagi BPR, Lembaga Mediasi Perbankan, Penataan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu, dan Lembaga Penelitian Perbankan di berbagai daerah di Indonesia. 33. Selanjutnya dalam konteks konsolidasi perbankan untuk memperkuat struktur dan kelembagaan perbankan, BI akan menjajaki kemungkinan penerapan ‘single presence policy’ dalam kepemilikan bank. Kebijakan ini nantinya akan meminta ultimate shareholder bank yang mengendalikan lebih dari satu bank di Indonesia, untuk mengkonsolidasikan bentuk kepemilikannya. Kebijakan ini juga merupakan kebijakan kunci yang akan mendukung upaya BI dalam menyempurnakan sistem pengawasan bank menuju ke pendekatan pengawasan berdasarkan risiko secara terkonsolidasi. Anggota Dewan yang terhormat, 34. Di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia akan terus mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal dengan penekanan pada perlindungan konsumen akhir (end user). Penekanan terhadap kebijakan ini diambil guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas di bidan moneter dan perbankan serta turut menciptakan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Di bidang pembayaran non tunai, kebijakan yang akan dilakukan antara lain perluasan Sistem Kliring Nasional dan mekanisme failure to settle, meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggara sistem pembayaran menggunakan kartu, menerbitkan ketentuan terkait dengan penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional, serta implementasi Daftar Hitam Nasional. Di bidang pembayaran tunai, Bank Indonesia akan tetap mengupayakan pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal dalam jumlah yang cukup, baik secara nominal maupun jenis pecahan yang sesuai serta tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar.
9. Penutup Anggota Dewan yang terhormat, 35. Demikianlah Bapak dan Ibu Anggota Dewan yang terhormat, paparan singkat kami mengenai kinerja kebijakan Bank Indonesia tahun 2005, proyeksi ekonomi-moneter tahun 2006 dan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan. Kami berharap agar momentum yang
11
RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI DENGAN BANK INDONESIA TANGGAL 20 FEBRUARI 2006
terbangun akhir-akhir ini dapat mendorong pencapaian kinerja Bank Indonesia menjadi semakin baik sesuai dengan amanat Undang-undang. Jakarta, 20 Februari 2006
12