Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 5 FEBRUARI 2003
Anggota Dewan yang terhormat, Pertama-tama, perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Komisi IX dan Anggota Dewan yang terhormat, yang telah mengundang kami untuk menghadiri Rapat Kerja pada hari ini. Bagi kami, Rapat Kerja kali ini memiliki arti yang sangat penting karena merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban kami kepada publik melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, Rapat Kerja ini sangat bermanfaat terutama untuk menyampaikan informasi sejauh mana pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang telah diamanatkan oleh undang-undang, sekaligus untuk mendapatkan masukan bagi kami guna terus mengupayakan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan tugas ke depan. Rapat kerja ini memiliki arti yang khusus bagi Bank Indonesia karena memberikan kesempatan kepada kami untuk menyampaikan laporan awal tahun Bank Indonesia kepada Anggota Dewan yang terhormat. Meskipun secara tertulis kami telah menyampaikannya kepada Ketua Dewan yang terhormat, ijinkanlah kami menyampaikan kembali secara singkat perkembangan dan kebijakan di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran periode tahun 2002 dengan menyoroti beberapa permasalahan penting dan tantangan yang dihadapi dalam perekonomian Indonesia pada tahun 2003. Dalam bagian akhir dari laporan ini, kami juga menyampaikan pandangan tentang rencana penyelesaian BLBI sebagaimana yang telah diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat kerja hari Jumat tanggal 31 Januari 2003 yang lalu.
Anggota Dewan yang terhormat, Kita patut bersyukur bahwa perekonomian Indonesia mulai menunjukkan kembali ketahanannya dalam menghadapi berbagai tekanan, seperti tercermin pada stabilitas ekonomi yang semakin mantap dalam tahun 2002. Konsistensi kebijakan moneter dalam mengendalikan berbagai besaran moneter dan kedisiplinan pengelolaan kebijakan fiskal serta didukung oleh beberapa kemajuan yang dicapai 1 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
dalam restrukturisasi ekonomi selama tahun 2002, telah memberikan iklim yang kondusif bagi stabilitas ekonomi. Kestabilan tersebut antara lain tercermin pada tingkat inflasi yang turun cukup tajam dan nilai tukar rupiah yang menguat secara signifikan dengan pergerakan yang stabil. Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi dalam tahun 2002 telah memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga SBI dalam rangka memberikan sinyal yang positif bagi proses pemulihan ekonomi. Sinyal penurunan suku bunga SBI tersebut juga diikuti dengan penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, meskipun belum sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Lambannya penurunan suku bunga kredit perbankan disebabkan oleh faktor internal perbankan dan masih tingginya risiko di sektor riil. Membaiknya stabilitas ekonomi serta berbagai kebijakan perbankan yang telah dilakukan telah mendorong perbaikan kinerja perbankan di tahun 2002. Perbaikan perbankan tersebut tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga, perbaikan kondisi permodalan (Capital Adequacy Ratio/CAR) serta penurunan rasio Non Performing Loans (NPLs). Pemulihan fungsi intermediasi perbankan juga terus berlangsung. Hal ini tercermin pada peningkatan penyaluran kredit baru, termasuk kredit untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), peningkatan Loan to Deposit Ratio (LDR), peningkatan pendapatan bunga kredit dan perubahan komposisi aktiva produktif perbankan. Namun kita harus mengakui bahwa peningkatan stabilitas ekonomi dan kinerja perbankan belum berhasil mempercepat proses pemulihan ekonomi pada tahun 2002. PDB diperkirakan tumbuh dalam batas bawah perkiraan awal tahun. Hal ini terutama terkait dengan pertumbuhan investasi dan ekspor yang kurang menggembirakan. Dalam kesempatan ini, saya ingin kembali menggarisbawahi permasalahan internal dan eksternal yang menghambat pemulihan kegiatan investasi dan ekspor. Di sisi internal, masih dijumpai permasalahan struktural antara lain menyangkut masalah ketidakpastian di bidang hukum, regulasi investasi dan perburuhan, serta faktor keamanan dalam negeri yang belum kondusif. Sementara itu, di sisi eksternal juga terdapat kendala berupa masih lemahnya perekonomian global dan meningkatnya persaingan di Asia dalam menarik investasi asing. Hambatan-hambatan tersebut bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dan konsisten dikhawatirkan akan menyebabkan kinerja investasi dan ekspor akan semakin tertekan.
2 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
Anggota Dewan yang terhormat, Secara lebih rinci, evaluasi atas perkembangan dan kebijakan di bidang moneter, perbankan, sistem pembayaran tahun 2002 serta prospek perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia tahun 2003 dapat kami laporkan sebagai berikut. Meskipun sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2002 tidak sebesar yang diharapkan semula. Berdasarkan perhitungan sementara, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2002 hanya mencapai 3,5%, atau berada di batas bawah perkiraan awal tahun sebesar 3,5%-4,0%. Dilihat dari komponennya, konsumsi masih menjadi pendorong utama perekonomian, sedangkan kegiatan investasi, ekspor dan impor masih belum memberikan kontribusi yang optimal. Sumbangan konsumsi terhadap pertumbuhan PDB mencapai 4,7%, terutama didukung oleh meningkatnya pertumbuhan konsumsi di sektor pemerintah. Sementara itu, pertumbuhan pengeluaran konsumsi di sektor rumah tangga sedikit melambat dari 5,4% pada 2001 menjadi 5,2% pada tahun 2002. Meskipun demikian, pengeluaran konsumsi rumah tangga masih menempati porsi terbesar terhadap PDB yang hingga triwulan III-2002 mencapai 73%. Kegiatan investasi dalam tahun 2002 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 1,6%. Penurunan kegiatan investasi tersebut tidak terlepas dari iklim investasi yang masih belum kondusif. Di sisi lain, kegiatan ekspor dikurangi impor (net ekspor) selama tahun 2002 memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap pertumbuhan PDB yaitu sebesar 2,0%. Meskipun demikian, pertumbuhan net ekspor yang terjadi lebih disebabkan karena penurunan impor yang lebih besar daripada penurunan ekspor. Penurunan ekspor dimaksud tidak terlepas dari kondisi perekonomian dunia yang belum pulih, persaingan yang semakin ketat di pasar global, dan adanya berbagai hambatan ekspor seperti proteksi. Pada sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi, kecuali sektor pertanian dan keuangan, mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi mengimbangi merosotnya pertumbuhan sektor industri pengolahan dan perdagangan, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan PDB dari sisi penawaran tetap meningkat.
3 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
Anggota Dewan yang terhormat, Terkait dengan perkembangan inflasi dan nilai tukar, secara keseluruhan dalam tahun 2002 nilai tukar rupiah secara rata-rata menguat secara signifikan, yaitu sebesar 939 poin (10,1%), dari rata-rata Rp10.255 dalam tahun 2001 menjadi Rp9.316 dalam tahun 2002. Bahkan secara point to point, rupiah menguat lebih tajam, yaitu sebesar 1.450 poin (16,2%) dari Rp10.400 pada akhir tahun 2001 menjadi Rp8.950 pada akhir tahun 2002. Dengan perkembangan tersebut, nilai tukar rupiah menyandang predikat sebagai “mata uang berkinerja terbaik” di Asia. Setelah menguat tajam hingga menyentuh nilai tertinggi Rp8.425 per dolar AS dalam semester I-2002, nilai tukar rupiah sempat melemah bahkan terpuruk ke nilai terendah Rp9.425 per dolar AS paska tragedi bom di Bali pada bulan Oktober 2002. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam meredam tekanan permintaan valuta asing paska tragedi Bali tersebut cukup berhasil dalam mengurangi gejolak dan pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut. Penguatan rupiah selama tahun 2002 didorong oleh berbagai faktor, baik faktor fundamental dan sentimen maupunpengaruh positif dari upaya Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Faktor fundamental yang mempengaruhi penguatan rupiah antara lain berasal dari adanya tambahan pasokan valas di pasar domestik akibat membaiknya surplus transaksi berjalan. Di samping itu, kebutuhan akan valas juga mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya defisit transaksi modal yang didukung oleh keberhasilan penjadualan utang luar negeri pemerintah dalam Paris Club III dan London Club. Sementara itu, sentimen positif yang mendorong penguatan rupiah terutama terkait dengan dampak menguatnya mata uang regional, keberhasilan penjadwalan utang luar negeri pemerintah, pencairan pinjaman IMF, perbaikan peringkat utang Indonesia, terlaksananya beberapa program divestasi bank dan privatisasi BUMN, lancarnya pelaksanaan Sidang Tahunan MPR, dan keberhasilan investigasi kasus peledakan bom di Bali. Walaupun nilai tukar nominal mengalami apresiasi dalam tahun 2002, nilai tukar riil yang diukur dengan Real Effective Exchange Rate (REER) menunjukkan bahwa secara umum nilai tukar Rupiah masih cukup kompetitif untuk mendukung daya saing ekspor. Demikian juga apabila diukur dengan indeks Bilateral Real Exchange Rate (BRER), secara umum nilai tukar rupiah masih kompetitif dibanding negara Asia pesaing ekspor lainnya, kecuali Thailand. Seiring dengan perkembangan nilai tukar yang cenderung terapresiasi serta didukung oleh berkurangnya ekspektasi inflasi di kalangan masyarakat, 4 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
perkembangan harga-harga sepanjang tahun 2002 relatif terkendali. Laju inflasi menurun dari 12,55% pada tahun 2001 menjadi 10,03% pada tahun 2002. Dengan demikian, laju inflasi tahun 2002 tidak terlalu jauh dari sasaran yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 9%-10%. Selain didukung oleh perkembangan nilai tukar dan ekspektasi inflasi masyarakat yang terkendali, perkembangan inflasi dalam tahun 2002 juga didukung oleh lebih rendahnya dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan dibandingkan tahun 2001. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang secara langsung dan tidak langsung telah mempengaruhi perkembangan inflasi tahun 2002, antara lain adalah kenaikan BBM, TDL, tarif telpon dan angkutan, harga jual rokok (HJE), gas elpiji, dan kenaikan upah minimum (UMR dan UMP).
Anggota Dewan yang terhormat, Dalam kaitannya dengan upaya untuk menjaga kestabilan harga dan nilai tukar rupiah, dalam tahun 2002 kebijakan moneter diarahkan pada upaya pengendalian jumlah uang primer melalui penyerapan kelebihan likuditas perbankan. Berkaitan dengan hal tersebut, perkembangan uang primer selama tahun 2002 relatif terkendali dan berada di bawah target indikatifnya dengan pertumbuhan yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Terkendalinya perkembangan uang primer terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan masyarakat akan uang kartal untuk keperluan berjaga-jaga searah dengan relatif membaiknya kondisi sosial politik dalam tahun 2002. Terkendalinya uang primer yang disertai dengan membaiknya berbagai indikator makro ekonomi, telah memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk memberikan sinyal penurunan suku bunga lebih lanjut guna mempercepat proses pemulihan ekonomi. Upaya pemberian sinyal penurunan suku bunga ini dilakukan dengan menetapkan target lelang SBI yang lebih rendah dibandingkan yang jatuh tempo, penetapan pemenang lelang di bawah jumlah penawaran, serta didukung oleh penurunan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI ). Upaya ini telah berhasil mendorong penurunan suku bunga SBI sebesar 469 bps dan 451 bps untuk jangka waktu 1 dan 3 bulan hingga masing-masing tercatat pada posisi 12,93% dan 13,12% pada akhir Desember 2002. Pada periode yang sama suku bunga FASBI juga turun sebesar 300 bp dibandingkan dengan akhir tahun 2001.
5 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
Arah pergerakan yang sama juga terjadi pada suku bunga di pasar uang dan suku bunga simpanan. Suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) pagi dan sore, yang pergerakannya dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga FASBI, masingmasing turun sebesar 348 bp dan 739 bp. Selain itu, suku bunga rata-rata tertimbang deposito 1 dan 3 bulan masing-masing turun sebesar 320 bps dan 348 bps hingga masing-masing berada pada posisi 12,87% dan 13,76% pada bulan November 2002. Meskipun demikian, penurunan suku bunga kredit masih relatif lamban dan bergerak dengan arah yang berbeda-beda. Suku bunga kredit modal kerja hanya turun sebesar 75 bps hingga tercatat pada posisi 18,44 di bulan November 2002, sementara suku bunga kredit investasi dan konsumsi masingmasing meningkat sebesar 10 bps dan 32 bps hingga tercatat pada posisi 18,00% dan 20,17%. Meskipun belum optimal, iklim yang positif melalui penurunan suku bunga ini telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil, kondisi moneter yang stabil telah memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal serta membantu masyarakat dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penurunan suku bunga juga telah mendorong perusahaan bereputasi baik untuk mencari alternatif pembiayaan dari pasar keuangan. Terkait dengan upaya pengendalian moneter di atas, Bank Indonesia mendukung penerbitan Surat Utang Negara yang telah diatur di dalam UU No. 24 tahun 2002. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pemerintah telah menerbitkan Obligasi Negara sebesar Rp 2 triliun pada bulan Desember 2002 dan pada tahun 2003 merencanakan untuk menerbitkan Surat Piutang Negara (SPN) dan Obligasi Negara masing-masing sebesar Rp2 triliun s.d. Rp2,7 triliun. Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pengembangan pasar SUN, antara lain melalui pengembangan infrastruktur berupa pencatatan SUN tanpa warkat; penggunaan SUN sebagai agunan dalam Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) serta membuka kemungkinan penggunaan SUN sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT). Meskipun demikian, secara umum kami berpendapat bahwa penggunaan SUN sebagai piranti moneter memerlukan beberapa persyaratan, yaitu SUN harus diterbitkan dalam jumlah yang memadai dan penerbitan SUN harus dilakukan secara berkesinambungan. Dapat kami sampaikan, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki stock SUN. Untuk memupuk stock berarti Bank Indonesia harus 6 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
melakukan pembelian SUN di pasar sekunder mengingat berdasarkan Undangundang No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia tidak diperbolehkan melakukan pembelian di pasar perdana, sehingga hal ini memerlukan solusi penyelesaian lebih lanjut. Dalam kaitan ini, ke depan guna mendukung keberhasilan pengembangan SUN sebagai salah satu piranti moneter, Bank Indonesia akan terus melakukan koordinasi dengan pemerintah.
Anggota Dewan yang terhormat, Di bidang perbankan, sebagai kelanjutan kebijakan pada tahun-tahun sebelumnya, kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2002 tetap difokuskan pada kelanjutan program penyehatan perbankan dan program pemantapan ketahanan sistem perbankan. Dalam program penyehatan perbankan, Bank Indonesia masih tetap mendukung program penjaminan pemerintah, disamping terus memantau perkembangan program rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan. Sementara dalam program pemantapan sistem perbankan, Bank Indonesia terus melakukan perbaikan infrastruktur perbankan, meningkatkan mutu tata laksana perbankan (good corporate governance), serta menyempurnakan ketentuan perbankan yang mengacu pada 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Sampai dengan akhir tahun 2002, dari 25 Core Principles (CP) tersebut, Indonesia sudah mematuhi dan melaksanakan 2 principles, yaitu CP-1 mengenai Preconditions for Effective Banking Supervision yang mencakup Objectives, Independence and Resources, Legal Protection, serta CP-2 mengenai Permissible Activities of Banks. Sementara itu, 10 CP lainnya juga hampir seluruhnya telah dapat dipenuhi. Dalam tahun 2002 Bank Indonesia mengeluarkan beberapa ketentuan kehatihatian, diantaranya adalah penerapan prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari BPPN. Sementara itu, dalam tahun yang sama Bank Indonesia juga mengeluarkan ketentuan yang memperingan kriteria penilaian kualitas kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah-daerah tertentu, khususnya daerah-daerah yang sedang dilanda konflik. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk lebih mendorong pemulihan fungsi intermediasi perbankan dan mendorong penyaluran kredit kepada sektor UMKM. Dalam kaitan tersebut Bank Indonesia juga telah melakukan upaya-upaya lain, seperti melanjutkan Proyek Kredit Mikro, memberikan informasi melalui Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil, mengadakan kerjasama dengan Pemerintah dalam rangka pemberdayaan UKM dan pengentasan
7 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
kemiskinan, serta memfasilitasi pertemuan atau dialog antara bank dan pelaku usaha. Berbagai kebijakan perbankan yang didukung oleh perbaikan-perbaikan pada indikator makro, terus mendorong perbaikan kinerja perbankan. Perbaikan tersebut tercermin dari peningkatan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun, peningkatan permodalan (CAR), perbaikan rasio NPLs. Pemulihan fungsi intermediasi perbankan juga terus berlangsung sebagaimana tercermin pada peningkatan penyaluran kredit baru, peningkatan LDR, peningkatan pendapatan bunga kredit, dan perubahan komposisi aktiva produktif perbankan. Secara nominal, dana pihak ketiga perbankan selama tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 2,3% atau sebesar Rp18 triliun menjadi Rp815,4 triliun. Sementara itu, perbaikan dalam intermediasi perbankan tercermin dari meningkatnya posisi kredit yang disalurkan oleh perbankan, yaitu dari Rp316 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp363,9 triliun pada tahun 2002 atau mencatat kenaikan sebesar 15,2%. Dilihat dari perkembangan kredit baru, jumlah kredit baru yang disalurkan oleh perbankan selama tahun 2002 (s.d. November 2002) telah mencapai Rp72,17 triliun, meningkat dibandingkan dengan penyaluran kredit baru untuk keseluruhan tahun 2001 yang hanya mencapai Rp56.8 triliun. Dari total kredit baru yang disalurkan selama tahun 2002, sebanyak 41% merupakan penyaluran kredit kepada debitur dengan pagu kredit dibawah Rp5 miliar yaitu berupa kredit mikro, KUK, dan Kredit Usaha Menengah. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp6,4 triliun (27,1%) dibandingkan dengan tahun 2001 yang mencapai Rp23,8 triliun. Peningkatan penyaluran kredit baru kepada sektor UKM tersebut sejalan dengan upaya Bank Indonesia dan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan sektor UKM. Sementara itu, berdasarkan jenis penggunaannya, dari jumlah kredit baru yang disalurkan selama tahun 2002, kredit yang disalurkan untuk modal kerja sebesar Rp45,3 triliun, kredit investasi sebesar Rp16,1 triliun, dan kredit konsumsi sebesar Rp10,7 triliun. Dilihat dari rasio NPL netto, beban kredit bermasalah menurun dari 3,6% pada akhir tahun 2001 menjadi 2,9% pada akhir November 2002. Sementara itu, permodalan bank secara keseluruhan meningkat sebesar 52,8% menjadi Rp95,1 triliun. Membaiknya kualitas aktiva perbankan yang diiringi dengan peningkatan permodalan bank menyebabkan CAR secara nasional meningkat dari 20,5% menjadi 22,17%.
8 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
Anggota Dewan yang terhormat, Di bidang sistem pembayaran, kebijakan Bank Indonesia di sektor pembayaran tunai mencakup langkah-langkah untuk meningkatkan pelayanan perkasan kepada perbankan, meningkatkan pendistribusian uang pecahan kecil kepada masyarakat, serta menyempurnakan perhitungan Rencana Distribusi Uang (RDU). Sementara untuk sistem pembayaran non tunai, kebijakan dititikberatkan pada upaya penurunan risiko pembayaran antar bank dan peningkatan efisiensi serta kualitas dan kapasitas layanan sistem pembayaran. Secara umum aktivitas sistem pembayaran pada tahun 2002 mengalami peningkatan yang sesuai dengan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap alat pembayaran. Peningkatan tersebut terjadi baik untuk alat pembayaran tunai maupun non tunai. Dari sisi pembayaran tunai, pada tahun 2002 Bank Indonesia meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan kebutuhan masyarakat akan uang kartal baik untuk kebutuhan rutin maupun untuk kebutuhan menghadapi bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, dan Tahun Baru 2003. Posisi Uang Yang Diedarkan (UYD) pada tahun 2002 mencapai Rp98,41 triliun atau meningkat 7,82 % dibandingkan dengan tahun 2001. Dilihat dari jenisnya, komposisi uang kertas dan uang logam tidak banyak mengalami perubahan yakni sebesar 98% untuk uang kertas dan 2% untuk uang logam. Sementara itu, bila dilihat dari pecahannya posisi UYD tersebut didominasi oleh pecahan Rp100.000 dan Rp50.000 dengan pangsa masing-masing mencapai 39% dan 37% dari total UYD. Selain menyediakan uang dalam jumlah yang cukup, Bank Indonesia juga menjaga agar uang yang dipegang masyarakat terjaga kualitasnya serta meminimalisasi beredarnya uang palsu. Sementara pada sistem pembayaran non tunai, kebijakan tahun 2002 dititikberatkan pada upaya untuk penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem pembayaran. Kebijakan ini dilaksanakan antara lain melalui perluasan penerapan sistem Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), penurunan batas nominal (capping) nota kredit yang diproses melalui kliring, pembentukan bagian pengawasan sistem pembayaran di Bank Indonesia dan pembentukan Forum Komunikasi Sistem Pembayaran Nasional (FKSPN). Aktivitas sistem pembayaran pada tahun 2002 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut tercermin dari meningkatnya nilai nominal dan jumlah transaksi rata-rata harian yang menggunakan RTGS yaitu masing-masing sebesar 28,8 % dan 113 %. Sementara itu, aktivitas pembayaran melalui sistem kliring dilihat dari jumlah transaksi meningkat sebesar 2,76%, sementara dilihat dari nilai nominal menurun sebesar 9 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
20,38%. Pada aktivitas alat pembayaran berbasis kartu, aktivitas pemakaian kartu Automatic Teller Machine (ATM) meningkat paling tinggi dibandingkan alat pembayaran berbasis kartu yang lain yaitu tumbuh sebesar 17,12% dibandingkan dengan kartu kredit yang hanya tumbuh sebesar 4,24%. Dalam pada itu, aktivitas pembayaran menggunakan kartu debet justru menurun sebesar 0,96%. Dalam rangka mengakomodasi kebutuhan atas penyelesaian transaksi yang menggunakan cek/bilyet giro antar kota di seluruh wilayah Indonesia, Bank Indonesia telah mengembangkan sistem kliring antar wilayah atau dikenal dengan nama Intercity Clearing. Penyelenggaraan kliring yang semula hanya dapat memproses warkat yang diterbitkan oleh bank di satu wilayah kliring lokal, dengan sistem intercity clearing dapat memproses cek/Bilyet Giro dari wilayah kliring lokal manapun. Sistem kliring antar wilayah ini dapat meningkatkan efisiensi waktu dan biaya yang dikeluarkan dalam memproses warkat-warkat inkaso yaitu yang semula diselesaikan dalam jangka waktu berkisar antara 2-7 hari menjadi sama dengan jangka waktu penyelesaian kliring lokal. Sistem kliring antar wilayah (intercity clearing) mulai diimplementasikan pada tanggal 1 November 2002 dan diikuti oleh 35 bank peserta kliring di seluruh wilayah Indonesia.
Anggota Dewan yang terhormat, Setelah melihat kondisi dan pencapaian perekonomian di tahun 2002, ijinkanlah kami untuk menyampaikan prospek dan arah kebijakan moneter dan perbankan di tahun 2003. Dalam kaitan ini, kami berpendapat bahwa membaiknya indikator makroekonomi, yang diperkirakan masih terus berlangsung pada tahun 2003, akan terus mendorong terciptanya ekspektasi positif di kalangan para pelaku usaha dan mendorong terus pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Sementara itu, dorongan stimulus fiskal dan mulai berjalannya proyek-proyek besar yang sementara ini tertunda akan memberikan dampak multiplier di berbagai sektor perekonomian. Namun demikian, berbagai faktor risiko dan ketidakpastian seperti yang dikemukakan sebelumnya menyebabkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi masih terbatas. Dalam situasi demikian, secara keseluruhan, kami memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2003 akan membaik pada kisaran 3.5%-4,0%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 diperkirakan masih bertumpu pada konsumsi. Penurunan suku bunga dan masih rendahnya tingkat leverage sektor rumah tangga diperkirakan akan terus mendorong meningkatnya penyaluran kredit konsumsi, terutama bagi kelas menengah ke atas. Kenaikan konsumsi juga
10 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
didukung oleh kenaikan gaji pegawai negeri sipil dan Upah Minimum Pekerja. Sementara itu, walaupun tidak terlalu signifikan, investasi diperkirakan mulai tumbuh positif, terutama dengan bertumpu pada investasi pemerintah melalui berbagai proyek besar yang tertunda. Ekspor diperkirakan akan meningkat seiring dengan mulai membaiknya perekonomian mitra dagang dan meningkatnya permintaan komoditi andalan Indonesia, seperti minyak sawit, karet dan produk agribisnis lainnya. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi diperkirakan terjadi di semua sektor ekonomi. Sektor listrik dan sektor angkutan terutama subsektor telekomunikasi dan sektor bangunan diperkirakan akan mencatat pertumbuhan tertinggi. Rencana pemerintah untuk melanjutkan kembali sejumlah proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan proyek-proyek kelistrikan, diperkirakan akan memberikan dampak multiplier yang besar terhadap beberapa sektor usaha lainnya, sehingga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Neraca Pembayaran Indonesia pada tahun 2003 diperkirakan akan menunjukkan penurunan surplus dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar USD 0,1 miliar. Penurunan surplus neraca pembayaran ini terutama disebabkan oleh penurunan surplus transaksi berjalan. Di sisi neraca perdagangan, ekspor dan impor dalam tahun 2003 diperkirakan akan tumbuh masing-masing sebesar 2,4% dan 2,7% sehingga surplus neraca perdagangan diperkirakan hanya naik sekitar USD 0,4 miliar. Sementara itu, neraca lalu lintas modal pada tahun 2003 diprakirakan akan sedikit membaik yang tercermin dari penurunan defisit dari USD5,6 miliar menjadi USD5,5 miliar. Terkait dengan prospek nilai tukar dan inflasi, rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2003 diprakirakan membaik pada kisaran Rp8.800-Rp9.200 per dolar AS. Secara fundamental, prospek nilai tukar tersebut didasarkan pada prakiraan meningkatnya pasokan valas dan berkurangnya permintaan valas. Peningkatan pasokan valas diprakirakan bersumber dari perolehan devisa hasil ekspor serta aliran modal asing, baik dalam bentuk pinjaman luar negeri maupun investasi serta pembelian aset BPPN. Keberhasilan program privatisasi BUMN dan divestasi bankbank rekap, serta aliran modal masuk portfolio juga akan menambah pasokan valas. Keberhasilan restrukturisasi utang luar negeri swasta, baik melalui Prakarsa Jakarta maupun secara bilateral, akan mengurangi tekanan permintaan valas untuk pembayaran utang. Sementara itu, salah satu faktor yang diperkirakan dapat memberikan tekanan pada nilai tukar adalah meningkatnya suhu politik menjelang Sidang Tahunan MPR dan persiapan menjelang Pemilu 2004. 11 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
Tekanan inflasi tahun 2003 diprakirakan lebih rendah dari tekanan inflasi tahun 2002. Hal ini didasarkan pada prakiraan masih lemahnya sisi permintaan, relatif menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya ekspektasi inflasi di kalangan masyarakat. Sumber utama inflasi ke depan diprakiraan bersumber dari dampak penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang diperkirakan masih cukup tinggi. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan (administered prices), yakni TDL, BBM, tarif telpon, dan UMP, pada tahun 2003 diperkirakan memberikan sumbangan terhadap inflasi sebesar 3,02%. Namun, angka ini masih lebih kecil daripada kenaikan administered prices pada tahun 2002 yang mencapai 3,3%, dan diharapkan pada tahun-tahun berikutnya akan semakin menghilang sejalan dengan semakin dekatnya harga barang dan jasa tersebut dengan harga pasar. Dengan mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah serta dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan maka Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi tahun 2003 sebesar 9% dengan deviasi antara –1% s.d. 1%. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia menetapkan pertumbuhan uang primer rata-rata sekitar 13%-14%. Dengan prospek perkembangan tersebut, Bank Indonesia memandang masih terdapat peluang untuk membawa suku bunga ke arah yang lebih rendah.
Anggota Dewan yang terhormat, Meskipun gambaran prospek perekonomian tahun 2003 menunjukkan suatu harapan positif menuju percepatan pemulihan ekonomi di masa-masa mendatang, di balik itu masih terdapat tantangan dan permasalahan, baik dari sisi eksternal maupun internal, yang perlu diwaspadai dan dihadapi guna mewujudkan harapan tersebut. Dari sisi eksternal, prospek pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2003 secara keseluruhan diperkirakan akan membaik. Namun, pertumbuhan yang akan terjadi lebih banyak merupakan kontribusi kinerja ekonomi beberapa negara di kawasan Asia, seperti Cina dan Korea Selatan. Sementara itu, perekonomian sebagian besar negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, diperkirakan belum akan tumbuh secara berarti. Situasi ini telah semakin memperketat persaingan antarnegara dan memicu proteksionisme. Situasi yang sama juga telah mendorong berbagai negara untuk mengaktifkan pola perdagangan bilateral, baik dengan sistem imbal beli maupun dengan meratifikasi perjanjian perdagangan bebas secara bilateral. Salah satu 12 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
perjanjian perdagangan bebas yang telah mulai diimplementasikan pada tahun ini adalah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau AFTA. Di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang masih belum berjalan normal, terdapat kekhawatiran bahwa produk-produk Indonesia tidak dapat bersaing dengan produk-produk dari negara-negara anggota AFTA lainnya. Dari sisi internal, berbagai permasalahan struktural, khususnya yang terkait dengan penegakan hukum, ketenagakerjaan dan otonomi daerah, yang tahun lalu telah menyebabkan sektor riil kurang responsif terhadap perbaikan kondisi makroekonomi dan moneter, tahun ini diperkirakan masih akan menjadi faktor yang akan membatasi pertumbuhan investasi dan ekspor. Selain itu, suhu sosialpolitik menjelang Sidang Tahunan MPR 2003 dan Pemilu 2004 diprediksikan juga akan meningkat. Semua permasalahan ini, apabila tidak diantipasi dengan baik dapat semakin menurunkan kepercayaan dunia usaha terhadap iklim usaha domestik. Tantangan lain yang juga akan menentukan prospek ekonomi ke depan adalah menyangkut upaya optimalisasi fungsi intermediasi perbankan. Ekspansi kredit di tahun 2002 memang relatif membaik namun peningkatannya dirasakan masih jauh dari yang diharapkan oleh sektor riil. Selain berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, keengganan bank untuk menyalurkan kredit juga akan mempengaruhi efektifitas kebijakan moneter akibat tidak optimalnya mekanisme transmisi kebijakan moneter. Dalam kaitan ini, dunia perbankan juga perlu bersiap diri dan berperan serta dalam upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang, pencapaian target maksimum NPL netto 5%, persiapan menuju penerapan Basel Accord II, penyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia, serta rencana penggantian secara bertahap kebijakan Program Penjaminan (blanket guarantee) melalui pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Anggota Dewan yang terhormat, Dengan memperhatikan prospek ekonomi-moneter ke depan dan sasaran inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia pada awal tahun serta mencermati berbagai tantangan yang muncul, dalam tahun 2003 ini Bank Indonesia akan berupaya untuk secara konsisten dan berhati-hati menempuh kebijakan-kebijakan di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di bidang moneter, kebijakan moneter secara konsisten akan diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi IHK sebesar 9% pada tahun 2003 dalam rangka 13 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
memenuhi komitmen pencapaian sasaran inflasi jangka menengah sebesar 6%-7% pada tahun 2006. Dalam kaitan itu, Operasi Pasar Terbuka (OPT) akan diarahkan untuk mencapai sasaran pertumbuhan uang primer rata-rata sekitar 13%-14%, yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Secara operasional, hal ini akan tetap didukung oleh penggunaan instrumen sterilisasi di pasar valuta asing dalam menyerap kelebihan likuditas perbankan serta meminimalkan fluktuasi nilai tukar rupiah. Di bidang perbankan, kebijakan di bidang perbankan masih meneruskan program penyehatan perbankan dan ketahanan sistem perbankan, dengan lebih menekankan pada pengawasan bank berbasis risiko. Disamping itu, Bank Indonesia akan tetap mendorong pemulihan fungsi intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan ketentuan kehati-hatian serta melanjutkan upaya-upaya pemberdayaan UKM. Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efektivitas pengedaran uang kepada masyarakat melalui kerjasama dengan pihak ketiga dan upaya untuk meningkatkan penanggulangan peredaran uang palsu. Di bidang sistem pembayaran non tunai, kebijakan di tahun 2003 diarahkan pada upaya untuk mengurangi risiko dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran. Untuk itu, kami akan melanjutkan program implementasi sistem RTGS dan menyusun ketentuan yang terkait dengan masalah penyelenggaraan kegiatan usaha alat pembayaran berbasis kartu serta upaya mengatasi kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian akhir pembayaran.
Anggota Dewan yang terhormat, Dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan bahwa berbagai hasil positif yang telah diperoleh, khususnya dalam tahun 2002 yang lalu, bukan sematamata kontribusi dari berbagai kebijakan yang ditempuh di tahun 2002 saja. Dalam konteks lebih luas, hasil menggembirakan itu juga buah dari kedisiplinan langkahlangkah kebijakan yang telah diambil sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Hasil-hasil positif tersebut pada dasarnya juga merupakan hasil dari konsistensi para Anggota Dewan yang terhormat dalam memberikan masukan dan mengawasi kebijakan dan kinerja Bank Indonesia. Terkendalinya indikator moneter dan perbankan dalam tahun 2002, pada dasarnya juga tidak terlepas dari berlangsungnya koordinasi yang baik antara sektor fiskal, riil, dan moneter. Oleh karena itu, ke depan, Bank Indonesia memandang bahwa jalinan koordinasi yang baik tersebut perlu dipertahankan 14 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
guna meningkatkan efektivitas kebijakan di bidang moneter, perbankan, dan fiskal dalam mendukung pemulihan perekonomian di tahun 2003.
Anggota Dewan yang terhormat, Selanjutnya, setelah menyampaikan kondisi dan prospek perekonomian, ijinkanlah kami menyampaikan penjelasan atas beberapa permasalahan yang sangat penting dewasa ini, terutama mengenai penyelesaian BLBI. Sebagaimana Bapak dan Ibu Anggota Dewan ketahui, dalam rapat kerja antara Komisi IX-Dewan Perwakilan Rakyat dengan Saudara Menteri Keuangan pada hari Jumat tanggal 31 Januari 2003 yang lalu, Pemerintah secara resmi telah menyampaikan rencana penyelesaian BLBI untuk dipertimbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Rencana penyelesaian tersebut diajukan dengan menunjuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara pada penjelasan Pasal 20 yang berbunyi ‘Surat Utang yang telah diterbitkan dalam rangka BLBI dapat ditukar dengan surat utang lainnya dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang disepakati Pemerintah dan BI setelah mendapat persetujuan DPR’. Dalam kesempatan tersebut, Saudara Menteri Keuangan menyatakan Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyepakati bahwa Surat Utang baru yang akan diterbitkan untuk menggantikan Surat Utang lama, dalam rangka BLBI, akan berbentuk Capital Maintenance Notes (CMN). Dalam kaitan ini, kami ingin menyampaikan kembali bahwa selama ini Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan koordinasi dan bekerja bersama dalam menyelesaikan, khususnya pada aspek keuangan. Pemerintah dan Bank Indonesia, pada tanggal 17 November 2000 telah mencapai pokok-pokok kesepakatan bahwa sesuai prinsip burden sharing, Bank Indonesia menanggung Rp 24,5 trilyun dari seluruh surat utang BLBI sebesar Rp 144,5 trilyun. Kesepakatan ini ditindaklanjuti pada tanggal 5 Desember 2000 dengan penyampaian Surat Utang BI sebesar Rp24,5 trilyun kepada Pemerintah. Selanjutnya pada tanggal 2 April 2001, Saudara Menteri Keuangan meminta konfirmasi pendapat Komisi IX DPR mengenai kesepakatan tersebut. Sampai saat ini konfirmasi tersebut belum diperoleh. Dalam koordinasi terakhir yang dilakukan Pemerintah dan Bank Indonesia, kedua belah pihak telah mencapai Pokok-Pokok Kesepakatan tanggal 11 Juni 2002 sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Saudara Menteri Keuangan kepada anggota Dewan yang terhormat. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, ijinkanlah kami menyampaikan bahwa bagi Bank Indonesia prinsip atau prioritas yang mendasari penyelesaian BLBI dalam kesepakatan dimaksud adalah : 15 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
1. Memberikan kepastian dan meringankan beban APBN yang dewasa ini masih mengalami kondisi yang perlu memperoleh perhatian. 2. Memperhatikan kondisi keuangan bank sentral yang wajar dan berkelanjutan (sustainable) guna menjamin pelaksanaan tugas yang diembannya. 3. Memperhatikan kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 17 November 2000 sebagai bagian tidak terpisahkan dalam penyelesaian BLBI secara keseluruhan. 4. Memberikan kesempatan baik bagi Pemerintah dan Bank Indonesia maupun komponen bangsa lainnya agar lebih fokus kepada upaya pemulihan ekonomi di masa kini maupun di masa depan. 5. Memisahkan upaya penyelesaian aspek keuangan BLBI antara Pemerintah dan Bank Indonesia yang harus secepatnya diselesaikan dengan masalah hukum BLBI yang tetap berjalan sesuai proses hukum yang berlaku. 6. Memperhatikan pandangan Tim Panel Ahli yang dipimpin Mr. Paul Volcker yang telah mempertimbangkan praktek-praktek internasional. Berdasarkan prinsip atau prioritas tersebut, Bank Indonesia pada prinsipnya sependapat dengan rencana penyelesaian BLBI sebagaimana yang telah diajukan Pemeritah kepada DPR. Dalam kaitan ini, ijinkanlah kami memberikan beberapa catatan tambahan mengenai rencana atau skema dimaksud, yaitu sebagai berikut: 1. Mengenai nama Surat Utang baru yang oleh Pemerintah di sebut Capital Maintenance Note (CMN), kami mengusulkan kiranya perlu menggunakan nama yang mencerminkan substansi yang disepakati atau diperjanjikan oleh kedua belah pihak yaitu adanya surat utang Pemerintah baru dengan persyaratan baru. 2. Pemenuhan standar akuntansi keuangan hendaknya mengikuti kelaziman yang berlaku khususnya di dalam akuntansi bank sentral yang bersifat unik. 3. Rencana penyelesaian BLBI mencakup pula kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk tidak melakukan verifikasi atas jumlah BLBI yang diselesaikan yaitu sebesar Rp159 trilyun yang terdiri atas BLBI sebesar Rp144,5 trilyun dan BLBI sebesar Rp14,5 trilyun untuk periode setelah Januari 1999. Dalam kaitan ini, kami memahami bahwa DPR akan mempelajari dan mempertimbangkan dengan seksama rencana atau skema penyelesaian BLBI dimaksud. Untuk itu, Bank Indonesia akan selalu siap dan bersedia, apabila diperlukan, guna melakukan pembahasan-pambahasan lanjutan baik yang bersifat umum maupun teknis dengan anggota Dewan yang terhormat. Bagi jajaran Bank Indonesia, komitmen yang selama ini kami yakini dan pegang teguh dalam 16 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
penyelesaian BLBI adalah selalu memprioritas kepada kepentingan bangsa yang lebih luas terutama dalam meringankan beban APBN dengan tetap menjaga sustainaibility kondisi keuangan bank sentral di masa depan. Anggota Dewan yang terhormat, Setelah memaparkan pelaksanaan tugas Bank Indonesia dan rencana penyelesaian BLBI, ijinkanlah kami menyampaikan secara singkat upaya pembenahan internal di Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, kami menyadari bahwa kualitas dan efektivitas kebijakan di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran pada akhirnya sangat ditentukan juga oleh kualitas SDM yang kami miliki serta dukungan organisasi yang solid. Dalam kerangka tersebut, sejalan dengan program Transformasi Bank Indonesia yang telah dicanangkan sejak tahun 2001, kami terus melakukan proses perubahan pada organisasi menuju suatu organisasi baru yang lebih mampu mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan global serta memenuhi harapan para stakeholders Bank Indonesia. Tuntutan perubahan secara mendasar ini antara lain disebabkan adanya Undangundang yang baru No. 23 Tahun 1999. Program perubahan internal tersebut terus bergulir dan berhasil kami lakukan hingga sekarang dan telah melewati beberapa tahapan. Beberapa proyek perubahan organisasi yang dilakukan antara lain berupa pelaksanaan suatu sistem Perencanaan, Anggaran, dan Manajeman Kinerja yang baru. Dalam sistem ini, kami menetapkan agar perencanaan dan anggaran bersifat lebih fokus pada tugas pokok Bank Indonesia. Sementara itu, jajaran pimpinan satuan kerja level Direktorat juga diberikan tanggung jawab dan akuntabilitas yang lebih jelas dalam mengimplementasikan perencanaan dan anggaran dimaksud. Selain itu, program transformasi juga terus melaksanakan revitalisasi beberapa unit pendukung pelaksanaan tugas BI seperti pembentukan unit khusus manajemen informasi serta penyempurnaan fungsi teknologi informasi dan logistik. Dapat kami sampaikan pula sejalan dengan program transformasi, dalam rangka menerapkan prinsip good governance di Bank Indonesia, pembenahan fungsi pengawasan intern terus dilanjutkan. Hal ini menyangkut baik menyangkut sistem dan implementasi, peningkatan kompetensi sumber daya manusia, peningkatan daya konsultasi maupun penerapan fungsi kemitraan. Untuk meyempurnakan kualitas pengawasan internal Bank Indonesia serta untuk memperoleh pengakuan mutu secara obyektif dari pihak ekstern yang independen, telah dilaksanakan penyempurnaan pelaksanaan audit sesuai dengan prosedur mutu internasional dengan memenuhi syarat mutu ISO 9001:2000. Dalam kaitan ini, penyerahan ISO tersebut telah dilakukan pada tanggal 30 Januari 2003 oleh lembaga assesor 17 Bank Indonesia
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Februari 2003
internasional yang berkedudukan di Inggris, Lloyd’s Registered Quality Assurance, setelah lembaga tersebut melakukan penilaian mengenai pelaksanaan audit di Bank Indonesia secara independen dan obyektif. Anggota Dewan yang terhormat. Sebagai penutup, dari berbagai pemaparan kami tersebut, kami menyadari bahwa beberapa permasalahan struktural dan tantangan perekonomian yang akan dihadapi masa-masa mendatang memang bukanlah merupakan permasalahan yang mudah dan dapat secara cepat dan seketika dipecahkan. Namun demikian, dengan komitmen yang kuat melalui perencanaan kebijakan yang matang, koordinasi yang solid, serta kedisiplinan, kesabaran dan ketekunan dalam melaksanakan langkah-langkah kebijakan yang diambil, maka berbagai tantangan dan permasalahan akan dapat diatasi. Untuk itulah, kami mengharapkan masukan dan dukungan anggota Dewan sekalian agar Bank Indonesia mampu menjawab permasalahan, tantangan dan agenda perekonomian secara optimal.
Jakarta, 5 Februari 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA
Syahril Sabirin
18 Bank Indonesia