PENGEMBANGAN TERPADU PESISIR IBUKOTA NEGARA (PTPIN)
I. PENDAHULUAN Tingkat keparahan banjir di ibukota telah menjadi isu nasional yang mengakibatkan dampak dan kerugian finansial yang besar pada masyarakat di wilayah Jakarta. Untuk alasan ini, Pemerintah Pusat dan Pemda DKI melakukan kerja sama dalam pengelolaan banjir tersebut. Penanganan yang telah diusulkan sebelumnya, seperti Banjir Kanal Timur (BKT) telah dilaksanakan. Pemda DKI dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah melaksanakan normalisasi dan meningkatkan sistem kanal eksisting dengan mengembalikan pada kapasitas awal baik menggunakan dana Pemerintah Pusat dan Pemda DKI maupun menggunakan cara lain seperti Bank Dunia yang membantu Proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project /Jakarta Emergency Dredging Intitiative (JUFMP / JEDI Project). Pemda DKI juga meninjau kembali zona pengelolaan banjir di dalam kota dan mengembangkan skema polder di daerah utara. Di daerah hulu, kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan banjir dilakukan oleh berbagai pihak. Kegiatan ini meliputi peningkatan pengoperasian BKT, sudetan dari Ciliwung ke BKT dan Ciliwung ke Cisadane, normalisasi Sunter, Pesanggrahan dan Angke, dan merencanakan rehabilitasi sungai Cisadane dan Bekasi serta pengembangan retensi banjir di hulu, yaitu di daerah Ciawi-Sukamahi. Untuk mengatasi tenggelamnya Jakarta, Pemerintah Pusat dan Pemda DKI telah menyelesaikan Master plan NCICD pada bulan November 2014. Strategi NCICD terdiri dari beberapa alternatif penanganan termasuk memperkuat dan meninggikan tembok laut yang ada dan untuk jangka panjang dengan menciptakan tanggul di laut yang berbentuk Garuda. NCICD telah digunakan sebagai acuan untuk mengatasi kondisi darurat di pesisir dengan mengembangkan zona pesisir Jakarta, dan menetapkan perkuatan dan peninggian tembok laut eksisting (NCICD Fase A) harus selesai dalam waktu 3 tahun, dan harus melakukan evaluasi lebih lanjut untuk NCICD Fase B dan C. Selain itu harus disiapkan penanganan huluhilir yang diperlukan. Merupakan hal yang penting untuk menyepakati dan konsisten dalam perencanaan dan pelaksanaan hulu-hilir untuk pengelolaan banjir di wilayah Jakarta. Perencanaan hulu-hilir harus didasarkan pada visi jangka panjang dan strategi praktis yang didukung oleh Pemerintah Pusat dan Pemda DKI. Pelaksanaan program pengelolaan banjir yang dimulai setelah banjir 2007 sudah hampir selesai. Beberapa alternatif penanganan masih dalam tahap studi, perencanaan maupun yang sudah berlangsung. Pada saat ini, tidak ada rencana pengelolaan banjir yang aktif untuk wilayah Jakarta. Master Plan Drainase Jakarta (NEDECO 1973) masih digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan banjir di wilayah Jakarta. Saat ini, prinsip-prinsip dasar NEDECO 1973 masih berlaku, namun diperlukan pengkinian yang mendesak untuk mengatasi penurunan muka tanah yang berkelanjutan, dan mensinkronkan dengan Master plan NCICD dalam menentukan tingkat keamanan dan strategi banjir saat ini.
Setelah selesainya Banjir Kanal Timur (BKT) pada tahun 2010, diperkenalkan strategi pengendali banjir yang baru yaitu sudetan Ciliwung ke BKT dan Ciliwung ke Cisadane yang dikombinasikan dengan tampungan di hulu. Kementerian PU sudah melaksanakan penanganan ini dengan baik. Untuk memungkinkan terlaksananya NCICD Fase A, Pemda DKI sudah mulai dengan persiapan dan pelaksanaan skema pemompaan/polder skala besar di Jakarta Utara.
II. PERENCANAAN KONPREHENSIF HULU-HILIR Master plan NCICD, melalui pengembangan wilayah pesisir memberikan solusi untuk perlindungan jangka panjang wilayah Jakarta dalam menghadapi banjir dari laut. Pengembangan wilayah pesisir ini menciptakan lahan baru bagi Ibukota Negara, dengan memperluas daratan ke arah laut. Lokasi rencana pengembangan (Gambar 1.) pada dasarnya difokuskan pada sepanjang garis pantai saat ini (A) sampai ke Teluk Jakarta (B dan C).
Gambar 1. Lokasi perencanaan NCICD dari garis pantai saat ini (A) sampai Teluk Jakarta (B dan C). Master plan NCICD memberikan solusi penanganan banjir dari laut. Sedangkan banjir perkotaan akibat hujan di kota dan/atau banjir dari daerah hulu sungai di luar lingkup NCICD. Penanganan kedua banjir ini masih diperlukan dan NCICD mengasumsikan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pengendalian banjir yang ada di hulu dan hilir daerah aliran sungai (DAS) telah selaras. Daerah ‘Hulu-Hilir' DKI Jakarta mencakup seluruh daerah dari garis pantai saat ini (A) sampai ke hulu DAS. Daerah perencanaan utama meliputi DKI sampai ke hulu DAS (Gambar 2.), tetapi
perencanaan dan pelaksanaan strategi ‘Hulu-Hilir’ perlu diselaraskan dengan S. Cisadane dan S. Bekasi (Gambar 3.) yang mencakup interkoneksi antar-basin. Dengan demikian daerah perencanaannya meliputi hampir seluruh wilayah pengelolaan Wilayah Sungai CiliwungCisadane (WS Cil-Cis). Untuk pengendalian banjir di daerah hilir, Pemda DKI sudah mulai dengan persiapan dan implementasi system pemompaan/polder skala besar dikombinasikan dengan pelaksanaan NCICD Fase A.
Gambar 2. Daerah ‘Hulu-Hilir’ utama: DKI Jakarta dan seluruh DAS nya
Gambar 3. Daerah ‘Hulu-Hilir’ utama dengan DAS Cisadane dan Bekasi
III. STRATEGI PENGENDALIAN BANJIR HULU-HILIR DAN INTER-BASIN Strategi pengelolaan banjir untuk wilayah Jakarta dikembangkan berdasarkan Masterplan Drainase Jakarta tahun 1973 (NEDECO 1973) sebagai bagian dari Proyek Pengendalian Banjir (KoproBanjir). Langkah-langkah utama pengendalian banjir termasuk pengembangan Cengkareng drain dan Cakung drain, polder Pluit, Melati, Setiabudi Barat dan Timur, Tomang, Grogol dan Sunter, rehabilitasi sungai Cideng dan Krukut dan desain Banjir Kanal Timur disertai polder dan sistem drainase di hilir (Gambar 4). NEDECO 1973 dilanjutkan oleh JICA 1991, 1997, WJEMP 2002; JFM 2007-2009, JCDS 2012, JFMO 2014 dan NCICD 2014. Sedangkan Strategi Penanganan Banjir‘Hulu-Hilir’ menjadi rencana berikutnya. NEDECO 1973 sudah mengidentifikasi perlunya polder besar untuk melindungi dan mengalirkan air banjir di dataran rendah, di daerah utara (yang terjadi penurunan secara perlahan). Strategi pengendalian banjir mempunyai 3 prinsip: 1) mengalihkan aliran sungai dari hulu melalui saluran banjir (menghindari air banjir mengalir melalui daerah padat penduduk),
2) melindungi daerah dataran rendah dengan skema polder, dan 3) mengalirkan sisa air yang tidak melalui polder ke laut melalui saluran gravitasi. Saluran Banjir (1) dirancang untuk periode ulang 100 tahun; sedangkan skema polder (2,3) dirancang untuk periode ulang 25 tahun. Pada dasarnya pelaksanaan Masterplan berlangsung sejak tahun 1973 danpelaksanaan Banjir Kanal Timur (BKT) selesai pada tahun 2012.
Gambar 4. Drainase utama Jakarta dalam Master Plan 1973 (NEDECO, 1973) 3.1 Strategi Pengendalian Banjir DKI Jakarta Dorongan akhir untuk dimulainya pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) dilakukan melalui Jakarta Flood Management Project (JFM 2007-2009). Pada saat yang sama diakui pula bahwa dengan selesainya BKT, strategi pengelolaan banjir dapat ditingkatkan dengan menghubungkan/sudetan Ciliwung dan BKT. Sudetan ini untuk mengalihkan air banjir dari saluran lama dan melalui padat penduduk ke Banjir Kanal Barat (BKB) menuju BKTyang
merupakan saluran baru dan besar yang dikombinasikan dengan rehabilitasi dan peningkatan Cakung Drain. Pembangunan sudetan Ciliwung ke BKTdimulai tahun 2013.
Gambar 5. Penyesuaian strategi pengelolaan banjir (JFM 2007) Meskipun NEDECO 1973 sudah mengindentifikasi penurunan permukaan tanah di Jakarta, tetapi besarnya tingkat penurunan seperti saat ini yang mencapai hingga 20 cm/tahun tidak terantisipasi. Pada JFM 2007-2009 menjadi jelas bahwa jika penurunan permukaan tanah akan berlanjut sampai setelah tahun 2020, dan drainase secara gravitasi tidak dapat dipertahankan di daerah hilir, maka diperlukan strategi penanganan banjir yang baru. Sistem drainase gravitasi untuk saluran seperti Kamal, Grogol-Angke Bawah, Sentiong-Marina masih bisa dialihkan ke polder di darat, tetapi sistem drainase yang lebih besar seperti Cengkareng, BKB, Cakung dan BKT akan membutuhkan skema pompa/polder yang jauh lebih besar sehingga perlu memanfaatkan Teluk Jakarta sebagai polder. Kenaikan laju penurunan permukaan tanah yang berlanjut membutuhkan penyesuaian strategi penanganan banjir dengan membuat sudetan dari Ciliwung ke BKT dan mengganti drainase secara gravitasi dengan skema pompa/polder (lihat Gambar 6). Untuk muara saluran dari sistem drainase perkotaan di sepanjang pantai utara Jakarta yang akan ditutup dengan pintu dan pompa, maka skema pompa/polder harus diselaraskan dengan peninggian tanggul pantai saat ini (NCICD, Fase A). Sedangkan untuk muara saluran
yang tidak ditutup seperti Cengkareng Drain, BKB, Cakung Drain dan BKT peninggian tanggul sungainya juga perlu diselaraskan dengan peninggian tanggul pantai saat ini (NCICD, Fase A). Desain dan implementasi skema polder yang baru (lihat Gambar 8) sudah sejalan dan terintegrasi dengan peninggian dan penguatan tanggul laut saat ini (NCICD, Fase A). Untuk Polder Kamal, Grogol-Angke Bawah, Sentiong-Marina akan dilaksanakan dalam 3 tahun mendatang. Sedangkan untuk Sistem Sunter-Cakung-Marunda masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
Gambar 6. Usulan penyesuaian pengendali banjir utama Master Plan Drainase Jakarta (Deltares, 2014) Strategi baru sudah dikembangkan untuk menyederhanakan dan mengoptimalkan pengoperasian, yaitu semua polder harus memiliki tingkat operasional yang sama (sama dengan tingkat operasional polder Pluit) dan dapat bekerja bersama melalui interkoneksi darurat. Sedapat mungkin akan diimplementasikan kombinasi sistem pompa-storage (pompa dan danau). Untuk menghindari peningkatan risiko banjir karena tertundanya akuisisi lahan untuk storage/danau maka perlu disesuaikan dengan meningkatkan kapasitas pompa. Untuk perencanaan polder baru, tingkat keamanan banjir telah ditingkatkan dari hujan dengan periode ulang 25 tahun menjadi hujan dengan periode ulang 100 tahun. Peningkatan sistem drainase perkotaan ini akan dilaksanakan dalam 5 tahun mendatang. Perubahan tingkat
keamanan dari periode ulang 25 tahun menjadi 100 tahun masih harus diformalkan dan dilegalisasikan melalui peraturan pemerintah.
Gambar 7. Gambaran usulan terbaru lokasi stasiun pompa utama
Gambar 8. Gambaran rencana baru sistem polder di DKI Jakarta
3.2 Strategi Pengendalian Penurunan Permukaan Tanah di DKI Untuk mengatasi tenggelamnya Kota Jakarta (Gambar 9), Pemerintah Pusat dan Pemda DKI telah menyelesaikan Masterplan NCICD pada bulan November 2014. Kombinasi penerapan Masterplan NCICD fase A dan pembangunan sistem polder di daerah utara akan melindungi DKI dari banjir yang berasal dari laut sampai tahun 2030. Dalam kasus penurunan permukaan tanah terus berlanjut, diperlukan penerapan Masterplan NCICD Fase B dan C untuk melindungi Jakarta dari tahun 2025 dan seterusnya.
Gambar 9. Penurunan Permukaan Tanah, INSAR 2007 - 2010 Jika penghentian secara penuh pemanfaatan air tanah dalam dapat dilakukan pada tahun 2020, maka diperkirakan pada tahun 2025 laju penurunan muka tanah telah sangat berkurang, sehingga pembangunan tanggul laut raksasa tidak diperlukan. Di sisi lain jika laju penurunan permukaan tanah yang tinggi tetap berlanjut setelah 2025 dan Masterplan NCICD Fase B dan C diterapkan, penurunan permukaan tanah tidak bisa dibiarkan berlanjut terus tetapi tetap harus dihentikan. Dalam kasus penurunan permukaan tanah tetap tidak dapat dihentikan dan terus berlanjut maka pilihan terbaik adalah mengevakuasi seluruhnya dari daerah pesisir. Saat ini tidak ada pembahasan mengenai besarnya laju penurunan permukaan tanah, tetapi terdapat opini yang berbeda terkait penyebab terjadinya penurunan permukaan tanah. Dalam pertemuan “International Subsidence expert roundtable” (May 25-26, 2015) dapat disimpulkan bahwa tidak seluruh ahli sepakat, penyebab utama penurunan permukaan tanah di Jakarta diakibatkan oleh besarnya pemanfaatan air tanah. Di sisi lain, para ahli nasional dan internasional sepakat bahwa pemanfaatan air tanah dalam secara besar besaran di Kota Jakarta harus dihentikan dan merupakan strategi yang tidak bisa ditawar lagi. Pada masa lalu, banyak kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, Shanghai, Bangkok, Taipei telah berhasil
menghentikan secara total pemanfaatan air tanah dalam. Dalam diskusi ini, pengelola kota Tokyo, Bangkok, Venice dan USGS secara jelas menunjukan bahwa pengelolaan airtanah yang tepat dapat menghentikan terjadinya penurunan permukaan tanah dalam waktu 5-10 tahun. Dalam strategi pengendalian banjir Jakarta, tindakan yang tidak dapat ditawar adalah: “STOP PENGAMBILAN AIRTANAH DALAM” Penghentian pengambilan airtanah dalam, disadari bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan hal tersebut sudah didiskusikan sejak 30 tahun yang lalu. Perlu diketahui bahwa sejak dahulu sudah ada usaha untuk menghentikan pengambilan airtanah dalam, tetapi tidak sebesar seperti yang terjadi saat ini. Sejauh ini penghentian pengambilan air tanah oleh pengusaha (contoh: hotel, industri dan gedung) telah menjadi target tetapi tidak pernah berhasil. Pemerintah Pusat dan Pemda DKI serta gedung gedung pemerintah lainnya merupakan pengguna airtanah dalam yang besar. Hampir seluruh gedung pemerintah di DKI memiliki Sumur air tanah dalam. Belajar dari Tokyo, Bangkok dan kota lain menunjukan bahwa penghentian pengambilan air tanah secara penuh dapat berhasil jika Pemerintah sendiri member contoh dan menunjukkan bahwa hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan pemanfaatan suplai air perpipaan secara baik. Tetapi hal ini sulit diterapkan karena untuk gedung-gedung pemerintah, pengambilan airtanah dalam tidak dikenai biaya oleh peraturan pemerintah daerah setempat. Sehingga walaupun di gedung pemerintah sudah mendapat layanan air perpipaan, tetapi pengambilan airtanah dalam tetap dilakukan. Tidak ada perhatian dan usaha yang serius dari Pemerintan Pusat atau Pemda DKI untuk menghentikan pengambilan air tanah dalam. Dengan peraturan yang jelas dan juga menyiapkan anggaran untuk mendapatkan suplai air perpipaan, pemerintah dapat memberikan contoh bagaimana cara menghentikan pengambilan air tanah yang terkoordinasi dengan meningkatkan pemanfaatan air perpipaan. Peningkatan pemanfaatan air perpipaan harus dikombinasikan dengan proram penghematan air yang terkini baik dari sisi teknologi maupun peraturan. Di Kota Tokyo, program penghematan air dapat mengurangi penggunaan air oleh gedung tinggi hampir mencapai 66%. Untuk pemerintah, penghentian pengambilan air tanah dalam dirasakan tidak mudah, tetapi semua setuju bahwa “Jika pemerintah tidak dapat melakukan itu, jangan diharap pihak swasta dapat atau akan berhenti mengambil air tanah dalam”. Mengikuti saran dari pertemuan “International Subsidence expert roundtable” di Jakarta, sudah diputuskan untuk merevisi Perda DKI No. 10/1998 tentang penyelenggaraan dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Strategi yang harus dilakukan mengenai pemanfaatan air tanah: - menghentikan pengambilan air tanah dalam (zero policy)
-
Pemerintah harus memimpin dan menunjukkan cara untuk menghentikan pengambilan air tanah dalam (digantikan oleh PDAM) untuk semua bangunan Pemerintah/Publik, termasuk program penghematan air
-
menghimbau sektor swasta
-
menerapkan system monitoring terkini, termasuk memanfaatkan citra LIDAR 5 tahunan
Dengan tindakan yang efektif sebagian dari pengambilan airtanah oleh Pemerintah dapat dihentikan pada pertengahan tahun 2016. Untuk mengganti airtanah dengan air perpipaan dan melindungi supply air baku untuk wilayah Jakarta, Master Plan Alokasi Air 6Cis (ADB 2013) perlu dilegalisasikan dan diimplementasikan. Master plan 6Cis mengkaji seluruh alternatif untuk pengembangan sumber daya air dan penyediaan air minum di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Strategi penyediaan air minum jangka panjang mencakup pembangunan Bendung Karian di Sungai Ciujung, beberapa waduk dengan skala yang relatif kecil di daerah Bogor, dan penyediaan air dari Jatiluhur melalui peningkatan Banjir Kanal Barat (BKB) dan juga sistem pipa sepanjang Kanal 2 (Gambar 10). Kemungkinan penggunaan Teluk Jakarta sebagai sumber air baku harus dimasukkan dalam master plan, tetapi meskipun tanpa Teluk Jakarta, pasokan air baku untuk Jakarta dapat dijamin setidaknya selama 50 tahun (Gambar 11).
Gambar 10. Master Plan alokasi air 6 Cis - Sistem Suplai RKI 2030 (Rencana WS CilCis)
Gambar 11. Master Plan alokasi air 6 Cis – Kebutuhan RKI Jakarta - Sistem Suplai 2050 (Rencana WS CilCis)
Gambar 12. Peningkatan pengelolaan situ-situ dan imbuhan air tanah Pada saat yang sama pengelolaan air DKI Jakarta memerlukan peningkatan dengan pengelolaan pemanfaatan lahan yang tepat dan mendefinisikan kembali peran situ-situ untuk mengoptimalkan supply, imbuhan air tanah, pengendali banjir dan rekreasi. Melalui Pedoman Inspeksi Keamanan Situ Situ (S3I, 2009) pemerintah pusat dan pemerintah DKI sudah mulai suatu program besar untuk meningkatkan keamanan dan penggunaan situ yang lebih baik. Saat ini upaya yang dilakukan adalah meningkatkan imbuhan airtanah (Gambar 12).
3.3 Strategi Sudetan dan Retensi di Hulu Sejak kejadian banjir tahun 2007 telah banyak program pengendalian banjir yang sudah berjalan dengan baik, tetapi pada tahun 2013 dan tahun 2014 terlihat bahwa pengendalian tersebut tidak cukup untuk mengendalikan banjir dari Ciliwung dan Angke dengan kapasitas pengaliran yang terbatas dan padatnya ruang kota Jakarta. Dengan keterbatasan ini semakin sulit untuk menemukan ruang bagi pengendalian banjir. Selain itu karena pembangunan yang terus berlanjut di daerah hulu, Depok-Bogor-Puncak, karakteristik banjir telah berubah menjadi lebih besar dan lebih sering terjadi. Banjir besar yang lebih sering ini juga akan menjadi ancaman kedepan untuk dataran rendah yang sedang mengalami penurunan, bahkan ketika mereka akan diubah menjadi kawasan polder. Jebolnya tanggul BKB di Latuharhari pada 2013, mengakibatkan banjir parah selama 10-20 hari di bagian hilir dari Polder Pluit. Hal ini jelas menunjukkan bahwa tingkat keamanan sepanjang BKB akan sulit dipertahankan. Ketika aliran tinggi di Ciliwung terjadi kembali pada tahun 2014, Pemda DKI dan Kementerian PU menyimpulkan bahwa perlu mengurangi aliran dari hulu untuk pengendalian banjir yang efektif di hilir Jakarta. Untuk lebih mengontrol arus Ciliwung hulu, sudetan Ciliwung ke Cisadane dianggap merupakan penanganan yang paling efektif dan segera dapat dilaksanakan. Pengalihan banjir Ciliwung–Cisadane ini sudah disarankan oleh NEDEO 1973, dijabarkan lebih lanjut oleh JICA tahun 1997 dan disesuaikan JFMO 2014. JFMO juga menunjukkan bahwa sungai Cisadane dengan kapasitas desain 2.000 m3/s hampir sepanjang waktu dapat menyerap dan efektif menerima aliran sekitar 300 m3/s yang dialihkan dari Ciliwung. Sudetan Ciliwung–Cisadane telah dibahas dengan Pemda Tangerang dan disimpulkan bahwa pengalihan Ciliwung ke Cisadane merupakan langkah yang efektif, tapi sebelum itu dilaksanakan, harus dimulai dengan rehabilitasi Cisadane. Diputuskan juga untuk memulai persiapan bendungan Gambar 13. Pengendali banjir utama Hulu-Hilir pengendali banjir Ciawi-Sukamahi di hulu Katu Lampa. Usulan terbaru mengenai jaringan pipa dari Katulampa - Ancol masih dalam penyelidikan (Gambar 13).
Pemerintah Pusat dan Pemda DKI masih harus memutuskan penanganan yang akan dilaksanakan. Salah satu penanganan yang dapat dipertimbangkan adalah pembangunan “Giant Seawall” yang menciptakan danau di Teluk Jakarta yang merupakan bagian dari NCICD Fase B. Air banjir yang disimpan di bendungan Ciawi-Sukamahi masih akan mengalir ke Danau Teluk Jakarta dan harus dipompa ke laut. Sudetan Ciliwung-Cisadane mengalihkan air dari daerah tangkapan Teluk Jakarta ke Cisadane, sebagian besar mengurangi besarnya pemompaan di hilir (Gambar 14). Ini harus secara jelas dicatat bahwa Sudetan Ciliwung Cisadane dan Bendungan Ciawi-Sukamahi tidak akan memiliki efek pada ukuran danau dan/atau kapasitas pompa, NCICD Fase B dan C. Bendungan hanya mengurangi besarnya banjir dalam beberapa jam, dan sudetan kadang-kadang tidak dapat digunakan ketika Cisadane pada kapasitas penuh. Kementerian PU, Pemda DKI dan Pemda Tangerang, sudah sepakat pada saat kondisi seperti itu, sudetan tidak dioperasikan. Untuk pengendalian banjir lebih lanjut, aliran Ciliwung hulu yang lewat di Katulampa dan mengalir ke Jakarta perlu lebih dikendalikan karena aliran banjir ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan di sungai Ciliwung yang mengalir melalui Jakarta. Dengan selesainya BKT, pengendalian banjir Ciliwung akan lebih baik dengan dibangunnya sudetan ke BKT. Berdasarkan JFMO 2013 (Gambar 13), sudetan ini akan efektif jika dapat mengalirkan banjir Ciliwung sebesar 150-200 m3/s ke BKT. Pembangunan bagian pertama dari Sudetan CiliwungBKT dimulai pada tahun 2013 dan akan mencakup 3 sampai 6 pipa terowongan sepanjang Otista 3, yang dapat mengalihkan 45-90 m3/s. Untuk meningkatkan pengalihan banjir menjadi 200 m3/s, bagian kedua sudetan sedang dalam tahap persiapan sebagai Sistem Culvert Box Ganda (double box-culvert system) di bawah jalan dari jembatan Kampung Melayu ke BKT sepanjang Jl. Abdullah Syafi'ie dan Jl. Basuki Rachmat. Persiapan tersebut dikombinasi dengan pembangunan jalan kota. Begitu pula dalam sistem Angke-Cengkareng, meningkatnya volume banjir tidak dapat lagi dipertahankan dengan keterbatasan Kota Jakarta. Meskipun sebelumnya Cengkareng Drain direncanakan untuk tingkat keamanan dengan periode ulang 100 tahun, saat ini diperkirakan tingkat keamanan hanya sekitar periode ulang 50 tahun. Dengan hampir selesainya normalisasi sepanjang Angke dan Pesanggrahan, maka harus ditentukan tindak lanjut penyelesaian sistem AngkePesanggrahan-Cengkareng. Cengkareng 2 drain sudah digambarkan sekitar 20 tahun lalu.
Gambar 13. Arah aliran sudetan KatulampaCisadane dan Bendungan Ciawi-Sukamahi
Cengkareng 2 Drain didesain untuk meningkatkan tingkat keamanan di hilir sungai Angke karena Cengkareng 2 mengalihkan air dari Angke ke laut melalui daerah Kamal ke arah barat. Dengan penerapan NCICD, Fase A yang dikombinasikan dengan polder Kamal, pembangunan Cengkareng 2 Drain akan menjadi sangat sulit. Dengan alternatif trase yang ada. Pada tahun 1997, JICA mengusulkan untuk menghubungkan Angke dengan Cisadane dekat klub Damai Indah Golf. Meskipun wilayah tersebut padat, sudetan yang diusulkan masih tampak mungkin terutama dalam kombinasi dengan usulan pekerjaan jalan baru. Sama dengan sudetan Katulampa-Cisadane, sudetan Angke-Cisadane akan mengurangi aliran ke Danau Teluk Jakarta (NCICD Fase B). Sudetan ini akan menurunkan kapasitas pompa di Danau Teluk Jakarta. Tetapi pembangunan sudetan Katulampa-Cisadane dan juga sudetan AngkeCisadane, harus didahului oleh rehabilitasi Cisadane.
IV. SOLUSI TERPADU PENGEMBANGAN PESISIR PANTAI Masalah-masalah Ibukota sangat saling terkait dan perlu diselesaikan dengan menerapkan suatu pendekatan terpadu. Ini berlaku baik untuk masalah pengembangan perkotaan strategis, maupun solusi masalah-masalah praktis seperti penyediaan perumahan untuk penghuni berpendapatan rendah yang tinggal di tanggul laut ketika tanggul laut yang ada diperkuat. Pada saat yang sama, pendekatan terpadu memberikan kesempatan-kesempatan, yang menemukan sinergi antara solusi untuk masalah-masalah sosial. Misinya adalah untuk memadukan solusi-solusi keamanan banjir dengan pengembangan perkotaan, yang dengan demikian akan menyelesaikan masalah-masalah perkotaan dan pada waktu yang sama akan menghasilkan pendapatan untuk membiayai perlindungan banjir ini. Rencana ini dengan demikian lebih dari sekadar rencana manajemen banjir. Rancana Induk ini ditujukan untuk menjadi katalisator untuk pengembangan wilayah pesisir. Kebutuhan mendesak akan tanggul laut untuk perlindungan banjir menjadi tumpuan untuk rencana terpadu itu. 4.1 Pendekatan Pendekatan atas perencanaan ini adalah mengembangkan suatu solusi untuk masalah keamanan banjir merupakan tujuan utamanya. Banjir perlu diselesaikan sesegera mungkin dan oleh sebab itu merupakan katalisator untuk pengembangan lain. Sebagai dasar untuk itu, solusi terbaik yang terkait hidrolika untuk masalah banjir telah dikembangkan, termasuk solusi jangka pendek (no regret) dan juga jangka panjang. Tetapi pada waktu yang sama, solusi dari segi hidrolika telah digabungkan dengan reklamasi lahan, jalan tol, dan perluasan pelabuhan. Gabungan ini akan menyumbang terhadap ambisi pengembangan perkotaan atas wilayah pesisir, maupun menghasilkan pendapatan untuk membiayai upaya-upaya perlindungan banjir. Kesempatan investasi telah dioptimasi untuk menciptakan pendapatan maksimum, yang menyeimbangkan pendapatan yang mungkin dan penyerapan pasar atas produk real estat.
4.2 Upaya-upaya yang harus segera dilaksanakan Tindakan-tindakan jangka pendek untuk pertahanan banjir sudah mendesak. Pertahanan laut akan dilimpasi dalam beberapa tahun mendatang dan tidak boleh ada waktu yang terbuang. Upaya-upaya yang disebutkan di bawah ini merupakan upaya-upaya mendesak yang segera harus dilaksanakan. Memperkuat tanggul yang ada Melaksanakan solusi yang berkelanjutan akan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama daripada waktu yang tersedia. Oleh sebab itu tanggul laut dan sungai saat ini haruslah diperkuat dan dipertinggi sedikitnya 1,5 meter guna memberi kelongaran waktu. Karena penurunan muka tanah secara perlahan menurunkan permukaan tanggul, upaya ini akan menyediakan perlindungan terhadap banjir hingga tahun 2022, yang memberi kesempatan untuk mengembangkan solusi-solusi yang tangguh. Tindakan paling mendesak di dekat Pluit, Pantai Mutiara dan di sepanjang Ancol. Pada ketiga tempat ini tingkat pertahanan sudah sedemikian rendahnya sehingga pelimpasan mungkin saja terjadi pada kondisi normal tahunan.
Gambar 14. Rencana perkuatan tanggul di pesisir pantai Mengingat keadaan seperti ini, perancangan awal telah dibuat (seperti pada Gambar 14). Untuk keperluan ini, Jakarta bagian utara dan sekitarnya telah dibagi ke dalam sistem yang terdiri atas 7 lingkaran tanggul yang melindungi daerah-daerah yang berada di dalamnya dari genangan. Untuk 5 sungai dan kanal, DPU telah menyiapkan pembangunan stasion pompa baru yang akan menyekat kelima sungai ini dari Teluk Jakarta: air tidak akan mengalir lagi secara alami tetapi akan dipompakan ke teluk ini. Menyekat sungai-sungai ini akan sangat mengurangi panjang penanggulan sungai yang harus diperkuat. Mengingat penanggulan ini terletak di daerah perkotaan yang padat, pengurangan panjang ini juga akan mengurangi jumlah orang yang perlu direlokasi. Karenanya, upaya ini juga disarankan untuk Kali Grogol, Kanal Ancol, dan Kali Sunter. Pelaksanaan penguatan tanggul sudah dimulai sejak tahun 2014. Di banyak tempat, ruang yang tersedia untuk peningkatan tanggul ini sangat terbatas. Oleh
sebab itu perencangan telah dibuat yang dipadukan dalam lingkungan perkotaan yang padat penduduk. Jika memungkinkan, fungsinya akan digabungkan dengan atau pada tanggultanggul ini. Penurunan muka tanah Pada waktu yang sama, dalam skenario mana pun, merupakan hal yang penting untuk menghentikan penyebab risiko banjir yang terus meningkat, dan mengurangi penurunan muka tanah. Di seluruh wilayah pesisir, penurunan muka tanah ini sudah parah. Di bagian tengah dan bagian barat Teluk Jakarta, laju penurunan muka tanah saat ini rata-rata 7,5 cm per tahun. Ke arah timur wilayah pesisir, laju penurunan muka tanahnya sekitar 3 cm per tahun, seperti terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Laju penurunan permukaan tanah di pesisir Jakarta Penurunan muka tanah, yang sebagian besar, disebabkan oleh penyedotan air tanah, yang harus dihentikan dan diganti dengan pasokan air perpipaan. Tidak menghentikan penurunan muka tanah, berarti wilayah pesisir Jakarta akan semakin turun hingga di bawah muka laut, yang membuat solusi untuk masalah banjir menjadi bertambah sulit dan mahal. Jika berhasil menghentikan atau memperlambat penurunan muka tanah secara cukup nyata, akan sangat menguntungkan: pengurangan penurunan muka tanah yang nyata sebelum tahun 2020 dapat menunda investasi untuk solusi jangka panjang, atau bahkan akan membuat solusi jangka panjang ini tidak dibutuhkan sama sekali. Hal seperti ini agaknya tidak memungkinkan untuk bagian barat Jakarta, tetapi masih mungkin untuk bagian timur. Akan
tetapi, tantangan ini sangat berat karena daerah ini juga mengalami urbanisasi yang cepat yang membuat kebutuhan akan air tanah menjadi meningkat. Untuk secara teratur menilai kebutuhan akan investasi besar pada upaya jangka panjang, penurunan muka tanah haruslah dipantau secara seksama. Meningkatkan mutu air Saat ini sungai-sungai dan Teluk Jakarta memiliki masalah mutu air yang parah. Konsentrasi oksigennya rendah akibat polusi parah dengan bahan-bahan organic dan limbah manusia, yang menyebabkan keadaan beracun untuk ikan dan sepsis air lainnya. Konsentrasi nutrien dan logam berat sudah jauh melebihi standard. Aroma limbah yang tidak diolah meliputi sebagian besar Jakarta. Keadaan yang tak higienis sudah lazim pada jalan-jalan kecil sejumlah kampung. Meningkatkan mutu air sudah mendesak dan sudah merupakan prasyarat untuk menciptakan kota berbatas-perairan yang sehat dan layak. Kadang-kadang air perkotaan digunakan juga sebagai sumber air baku. Oleh sebab itu program peningkatan mutu air terpadu harus juga dimulai, yang mencakup pengolahan air limbah, manajemen limbah padat, pengerukan dan upaya-upaya non-struktural. Percepatan Master Plan sanitasi yang ada dibutuhkan untuk memenuhi ambisi pusat mencakupkan sanitasi secara keseluruhan wilayah pada tahun 2020. 4.3 Solusi jangka panjang Jika penurunan muka tanah tidak dihentikan tepat waktu, solusi tambahan akan dibutuhkan untuk memberikan keamanan banjir pada warga Jakarta Utara. Tiga solusi jangka-panjang utama telah dipertimbangkan: menelantarkan Jakarta Utara, penguatan tanggul laut yang ada di darat, dan solusi lepas-pantai seperti pada Gambar 16.
Gambar 16. Tiga model solusi untuk mengatasi banjir Jakarta
Menelantarkan Jakarta Utara Satu jalan pikiran adalah berupa penelantaran Jakarta Utara. Penelantaran ini merupakan satu-satunya pilihan yang layak jika manfaat perlindungan banjir tidak akan melebihi biaya atau jika tidak tersedianya solusi teknis yang layak. Kajian ekonomis menunjukkan bahwa penelantaran wilayah-wilayah yang berisiko banjir akan berarti bahwa 4,5 juta orang harus direlokasi dan bahwa lahan dan produk real estat yang bernilai USD103 milyar di daerah yang padat penduduk ini akan lenyap. Menelantarkan Jakarta Utara dengan demikian tidak dipertimbangkan sebagai opsi yang diinginkan atau yang layak, karena modal investasi dan jumlah penduduk yang terlalu banyak. Terhindarnya kerusakan material yang bernilai USD103 milyar tersebut sudah membenarkan biaya yang diperuntukkan bagi keamanan banjir ini. Solusi di darat Solusi di-darat berarti memberi perlindungan pada kota ini berupa tanggul laut besar pada garis pantai yang ada dan menyatu dengan tanggul sungai yang sama tingginya. Polder di wilayah pesisir akan menjadi tambah dalam. Tanggul tinggi di sepanjang sungai, yang jauh di darat, dan di sepanjang laut (hingga 7 meter dalam jangka panjang) akan diperlukan untuk mencegah air mengalir ke dalam polder. Semua sistem penyeberangan sungai harus ditinggikan beberapa meter, yang membutuhkan ruang untuk jalan masuk yang panjang dan tinggi. Di samping itu, ribuan hektar waduk retensi dan pompa berkapasitas besar akan dibutuhkan untuk membuat polder bebas banjir. Melaksanakan pilihan ini berarti upaya-upaya drastis harus dijalankan pada kota yang telah berpenduduk padat ini. Membangun tanggul-tanggul dan waduk retensi ini mengharuskan pemindahan banyak orang. Karena penurunan muka tanah, lahan yang luas yang dibutuhkan untuk waduk retensi akan bertambah sejalan dengan waktu dalam 50 tahun mendatang, hanya sebuah tanggul laut yang lebarnya 50 meter yang akan memisahkan Jakarta Utara dari laut yang lebih tinggi 5 meter. Jika tanggul ini pecah, bencana besar akan terjadi. Agaknya dalam keadaan seperti itu evakuasi sudah tidak mungkin lagi, dan risiko korban jiwa akan tinggi. Disamping itu, ribuan hektar waduk retensi dan pompa berkapasitas besar akan diperlukan untuk menjaga polder bebas dari banjir. Solusi lepas-pantai Solusi lepas-pantai ini terdiri atas tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta, yang menciptakan danau pemompaan yang sangat luas (waduk raksasa) yang terletak di lepas pantai. Dengan menggabungkan tanggul laut dengan reklamasi lahan, pertahanan laut yang tangguh dan tidak bisa bobol dapat dibuat. Danau penahan yang ada di belakang tanggul ini akan memiliki muka air yang lebih rendah yang akan mempermudah aliran alami sungai-sungai yang membelah Jakarta. Instalasi pemompaan akan mempertahankan muka air di danau retensi ini cukup rendah. Akan tetapi, alternatif ini menimbulkan tantangan baru. Untuk mewujudkan mutu air yang diizinkan di dalam waduk raksasa ini, polusi pada sungai harus dikurangi kirakira sebesar 75 %. Pembuatan pengumpul air selokan dan sistem pengolahannya di wilayah pesisir Jakarta harus lebih dipercepat. Waduk raksasa ini akan memperkecil keperluan
pembangunan waduk di dalam kota. Pilihan ini akan memberikan perlindungan yang kokoh hingga tahun 2080, yang memberikan waktu untuk mengurangi penurunan muka tanah. Di samping itu, solusi ini memberikan kesempatan pengembangan sosioekonomi yang sejalan dengan MP3EI karena tanggul ini dapat digabungkan dengan pengembangan perkotaan. Tanggul dan reklamasi ini memungkinkan terbangunnya jalan lingkar kedua dan ketiga di Jakarta. Waduk raksasanya memberikan sumber air baku tambahan dan terbukanya kesempatan untuk perluasan pelabuhan. Solusi ini membutuhkan investasi besar, tetapi dapat dibiayai melalui penggabungannya dengan pengembangan kota berbatasperairan. Kota berbatas-perairan ini akan menjadi daratan berbatas-perairan yang menawan yang pantas dimiliki Jakarta. Model pelaksanaan Solusi lepas-pantai ini merupakan solusi yang tangguh. Di samping itu, solusi ini memberikan banyak kemungkinan untuk menciptakan nilai tambah untuk kota ini dan pembiayaan melalui reklamasi lahan. Model pelaksanaan ini dibuat bertahap: penguatan garis pantai saat ini akan sudah dimulai pada tahun 2014. Pelingkaran tanggul laut dibagi dalam dua tahap (Fase B dan C). Karena penurunan muka tanah itu terbesar di bagian barat zona teluk ini, daerah ini perlu ditutup paling awal. Risiko banjir menjadi parah di daerah ini sekitar tahun 2025 karena lebih 10 % dari daerah barat pelabuhan Tanjung Priok akan mengalami penurunan muka tanah di bawah tingkat kritis yang 2,5 meter di bawah muka air tertinggi (HHWS). Muka ini dipilih sebagai nilai ambang karena dengan genangan 2,5 meter “evakuasi vertikal” (ke atas atap) dan lantai pertama rumah menjadi bertambah sulit, yang akan secara cepat memperbesar resiko korban. Dari saat ini bagian barat tanggul laut luar perlu ditutup. Pada bagian timur wilayah pesisir penurunan muka tanahnya lebih rendah. Ketinggian kritis akan dicapai setelah tahun 2040, yang memberikan waktu lebih lama sebelum penutupan teluk diperlukan dan untuk mengurangi penurunan muka tanah.
V. PENUTUP Penguatan tanggul laut yang ada dan meningkatkan kapasitas pompa drainase tidak dapat lagi memberikan perlindungan yang cukup untuk jangka panjang. Tambahan lagi, ruang di Jakarta sangat terbatas untuk menciptakan waduk tampung yang berkapasitas besar. Solusi lepas-pantai untuk perlindungan banjir tidak terelakkan lagi untuk mencegah terjadinya banjir di wilayah pesisir kota akibat air laut dan sungai. NCICD sebagai salah satu program yang akan memberikan keamanan banjir buat Jakarta Utara baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Tiga fase dapat dibedakan dalam pengembangan infrastruktur keamanan banjir. Fase A, Meningkatkan perlindungan pantai yang ada saat ini merupakan upaya dengan prioritas tinggi. Seperangkat upaya prioritas tinggi ini mencakup 1) memperlambat penurunan muka tanah (dengan menyediakan alternatif selain penyedotan air tanah), 2) memperkuat dan mempertinggi tanggul laut 3) peningkatan sistem drainase perkotaan, dan
4) mencegah air sungai di hulu memasuki daerah rendah Jakarta. Percepatan sanitasi air juga termasuk ke dalam Fase A. Bagian tanggul laut di Pluit and Ancol sedang mengalami ancaman, yang dengan demikian sudah akan dimulai pada 2014. Ketinggian perancangan untuk bagian tanggul ini telah memperhitungkan laju penurunan muka tanah saat ini, dan akan memberikan keamanan hingga tahun 2022. Jika pelaksanaan upaya-upaya jangka panjang ditunda, profil tanggul memberikan dasar yang memadai untuk lebih mempertinggi tanggul ini demi memberikan keamanan tambahan untuk 5 – 10 tahun berikutnya. Fase B, Agaknya penurunan muka tanah tidak akan melambat dalam beberapa tahun mendatang karena akan butuh waktu untuk mengembangkan alternatif selain dengan penyedotan air tanah. Muka air laut akan naik, kanal-kanal dan sungai sungai berangsurangsur akan berhenti mengalirkan airnya secara gravitasi ke laut. Pompa-pompa drainase besar dibutuhkan, khususnya di bagian tengah Jakarta Utara dimana laju penurunan muka tanahnya tinggi. Stasiun-stasiun pemompaan membutuhkan danau-danau untuk penyimpanan sementara debit sungai yang mencapai puncaknya. Perlunya danau-danau (waduk) penyimpanan yang berukuran besar merupakan salah satu alasan utama untuk menciptakan waduk lepas-pantai, daripada mencari tempat untuk danau-danau penyimpanan tersebut di kota Jakarta. Tempat tanggul laut luar (Fase B) ditentukan terutama oleh kapasitas waduk raksasa yang dibutuhkan yakni antara garis pantai saat ini dan tanggul laut. Ini akan menyediakan tempat untuk perluasan reklamasi lahan pada masa mendatang dan peningkatan kapasitas penyimpan untuk pasokan air. Solusi lepas-pantai ini memberikan banyak kesempatan untuk pengembangan wilayah pesisir dan berkontribusi pada pengembangan sosioekonomi Ibukota sebagaimana yang telah dipaparkan pada rencana MP3EI. Membangun sebuah kota pada Tanggul Laut Luar memberikan banyak sekali potensi untuk menyelesaikan masalah perkotaan yang beragam, dan pada saat yang sama menghasilkan cara-cara untuk memperoleh pendapatan. Akan tetapi, jika dipandang dari semua segi, mengembangkan tanggul laut itu sendiri merupakan suatu mega-proyek, apalagi menggabungkannya dengan reklamasi lahan skala besar. Mengelola risiko merupakan hal yang sangat penting. Kedua risiko paling besar yang mempengaruhi kasus bisnis dikaitkan dengan ketersediaan pasir dan pertumbuhan ekonomi. Pengembangan tanggul laut dan reklamasi lahan di perairan dalam (hingga 18 meter) membutuhkan pasir yang sangat banyak. Risiko lain adalah ekonomi umum: pertumbuhan ekonomi dapat saja menjadi lesu selama beberapa waktu dan kebutuhan untuk produk real estat (khususnya kantor) dalam periode seperti itu dapat saja lebih rendah daripada yang sekarang diandaikan.