Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 77
PENGEMBANGAN KONSEP MATA PELAJARAN TERPADU (Telaah Filsafat Ilmu) Muhamad Jaeni* Abstract: There is a thought that the moral crisis that occurred in our students one of them is caused by the inappropriate curriculum concepts given. Existing curricula tend to be oriented to the development of intellectual and less attention to the development of the moral aspects (affective domain). Another factor is the design of the curriculum tends to be partial. It means that the realm of science and moral aspects are separated according to subjects. Mathematics, Science, Chemistry, Economics, etc are the types of special subjects deliberately given to the students to equip science. While the development of moral and personality assumed by some teachers / educators as the duty of the subjects of Religion, character, citizenship, and other similar subjects. Likewise, philosophically, the curriculum existed today are not integrated nor based on the concept of human (students). In anticipation of these problems above, a concept of integrated subjects is needed. It is the concept of subjects containing knowledge resulting from the study of philosophical formulations which contained a full and comprehensive knowledge. The formulation of knowledge contained on these subjects includes not only the knowledge that examined ontologically, but also includes assessed knowledge epistemologically and axiologically. The concept of integrated lessons is also supportive to the efforts of developing the concept of subjects based on students’ potential. This concept is expected to equip children as a whole, that is educating the children * Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, Jl.Kusumabangsa No. 9 Pekalongan, e-mail:
[email protected]
78 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011 who will not only have knowledge, but possessing good manners as well. Kata Kunci: mata pelajaran terpadu, anak didik, kurikulum
PENDAHULUAN Setelah mencermati perjalanan bangsa akhir-akhir ini, dapat diperoleh sebuah gambaran yang menghawatirkan mengenai problematika kehidupan bangsa yang kita hadapi bersama. Salah satu gambaran yang terlihat dalam realitas yang ada adalah gambaran yang mengarah kepada krisis intelektual dan krisis moral. Sebagian besar masyarakat di negeri ini tidak saja kurang pengetahuan tetapi juga tidak lagi mengenal dasar-dasar nilai etika dan moral. Kemudian yang segera muncul dalam pikiran kita adalah sebuah pertanyaan yang barangkali “wajib” segera kita jawab; Seperti apakah sistem pendidikan nasional kita yang ditugaskan untuk membekali generasi bangsa dengan pengetahuan dan nilai-nilai moral? Apakah sistem pendidikan nasional kita sudah mampu mencerdaskan serta mendidik generasi bangsa? Kalau merasa sudah, mengapa realitasnya demikian? Barangkali banyak lagi pertanyaan yang harus kita lontarkan terkait dengan problematika pendidikan nasional di negeri ini. Dari berbagai pertanyaan di atas, tentunya harus segera ditanggapi serta ditemukan langkah-langkah solusinya, sekalipun hal ini tidak mudah dilakukan mengingat sistem pendidikan nasional kita sangat komplek. Untuk menjawab serta menyelesaikan persoalan-persoalan di atas tentunya membutuhkan perbaikan dari berbagai komponen yang ada dalam sistem pendidikan, dari mulai anak didik, tenaga pendidik, tujuan pendidikan, kurikulum, sarana prsarana, metode pembelajaran, lingkungan, dan lain sebagainya. Dari sekian komponen tersebut tentunya masing-masing memiliki persoalan tersendiri yang pada akhirnya berimplikasi pada munculnya problematika pendidikan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Namun demikian, tulisan yang akan dipaparkan di sini tidak akan mencakup semua komponen pendidikan yang ada akan tetapi hanya akan mencoba melihat persoalan ini dari satu komponen yaitu kurikulum. Komponen ini merupakan salah satu komponen terpenting dalam proses pendidikan, karena baik buruknya hasil pendidikan sangat tergantung dengan konsep kurikulum yang diberikan.
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 79
Ada satu pemikiran awal bahwa terjadinya krisis moral yang terjadi pada anak didik kita salah satunya disebabkan oleh kurang tepatnya konsep kurikulum yang diberikan. Kurikulum yang ada saat ini cenderung berorientasi kepada pengembangan intelektual dan keterampilan (ranah kognitif dan psikomotorik) dengan kurangnya memperhatikan pengembangan aspek-aspek moral (ranah afektif). Demikian juga, di sebagian besar institusi pendidikan masih banyak yang keliru dalam memahami konsep kurikulum. Sebagian besar mereka menganggap kurikulum hanya sebagai mata pelajaran yang orientasinya semata-mata pada penguasaan ilmu pengetahuan. Dalam konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat dengan usaha untuk memperoleh nilai-nilai normatif dan legal, seperti angka-angka dan ijazah. Ijazah sendiri pada dasarnya menggambarkan kemampuan. Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijazah berarti ia telah menguasai pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, dalam pandangan ini kurikulum hanya berorientasi kepada isi atau materi pelajaran (content oriented). Pandangan-pandangan seperti ini tak pelak mengakibatkan kurikulum di sekolah hanya berorientasi pada peningkatan pengetahuan tanpa memperhatikan pembentukan kepribadian. Padahal, dengan munculnya berbagai persoalan kehidupan menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi institusi pendidikan, yang tidak saja dituntut untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian (Sanjaya, 2008: 5). Faktor lain dari kurikulum yang menyebabkan munculnya krisis moral adalah desain kurikulum yang dimaknai secara parsial. Artinya, ranah ilmu pengetahuan dan ranah moral dipisahkan sesuai dengan mata pelajaran. Seperti contoh, mata pelajaran Matematika, IPA, Kimia, Ekonomi, dan lain-lain adalah jenis-jenis mata pelajaran yang khusus sengaja diberikan kepada anak didik untuk membekali ilmu pengetahuan. Adapun untuk pendidikan moral dan kepribadian itu diasumsikan oleh sebagian guru/ pendidik adalah tugas dari mata pelajaran Agama, mata pelajaran Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang sejenis. Disadari atau tidak desain kurikulum seperti ini memakasa para siswa untuk bersikap menganggap penting untuk beberapa mata pelajaran dan mengabaikan sebagian mata pelajaran yang lainnya.
80 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011
Begitu juga, secara filosofis kurikulum yang demikian tidak terpadu dan tidak berbasis pada konsep manusia (anak didik). Bangunan ilmu yang dituangkan dalam materi ajar dengan berbagai perangkat indikator keberhasilannya masih pada tataran telaah ontologis dan itupun masih bersifat materialistis. Materi-materi kurikulum belum mencakup pengetahuanpengetahuan yang dihasilkan dari analisis epistemologis dan aksiologis. Padahal, dalam konsep filosofis semua yang “ada” (termasuk ilmu) pasti memiliki ketiga bangunan filosofis tersebut. Implikasinya adalah pengetahuan yang dihasilkan siswa sifatnya sangat kognitif dan normatif. Misalnya, ketika anak mempelajari IPA maka pada dasarnya mereka sedang mempelajari ilmu pengetahuan alam. Demikian juga ketika mereka mempelajari bahasa pada dasarnya mereka sedang mempejari gramatika bahasa, juga dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, dan lain sebagainya. Hal yang demikian sifatnya masih normatif, karena mereka belum belajar sampai pada tataran pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan dari telaah epistimologis dan aksiologis, seperti; Apakah asal mula ilmu pengetahuan tersebut? Corak-corak pengetahuan apakah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan tersebut? Bagaimanakah kita memperoleh ilmu pengetahuan tersebut? Seperti apa seharusnya menyikapi ilmu pengetahuan tersebut? Bagaimanakah menggunakannya? Bagaimanakah caranya supaya ilmu ini bermanfaat bagi kehidupan? Dan apa saja bahaya ilmu tersebut kalau disalahgunakan? Apa saja kode etik yang harus ditaati ketikia ilmu tersebut digunakan? dan lain sebagainya. Di samping itu, untuk menujang kurikulum yang terpadu tentunya kurikulum juga harus berbasis pada kebutuhan manusia, artinya konsep kurikulum harus diselaraskan dengan potensi-potensi insani yang sudah dianugerahkan Allah kepada manusia. Seperti kita ketahui bersama bahwa secara umum para ahli pendidikan mengatakan manusia memiliki tiga ranah potensi yang harus dikembangkan yaitu ranah kognitif (cognitive field), ranah afektive (afektive field), dan ranah psikomotorik (pshycomotoric field). Dengan demikian, desain kurikulum yang mencakup materi pelajaran apapun semestinya harus memberikan muatan-muatan ilmu pengetahuan sekaligus nilainilai yang terkait dengan ilmu tersebut, karena manusia dengan berbagai potensinya diciptakan oleh Allah tidak hanya disiapkan untuk menerima “pengetahuan” untuk digunakan tetapi juga siap menerima “nilai-nilai” untuk dilaksanakan.
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 81
KONSEP MANUSIA 1. Konsep Manusia Banyak para ahli yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang unik dan misteri, seperti halnya yang diungkapkan oleh Alexis Carrel dalam bukunya Man, the Unknown, yang dikutip Hanna Djumhana. Di antara vertebrata, manusia konon paling lembut dagingnya dan paling mudah luka kulitnya. Tubuh manusia tidak ditumbuhi bulu-bulu tebal seperti beruang kutub, kulit sekeras kura-kura atau setajam landak sebagai pelindung dari keganasan lingkungan sekitar. Manusia pun tidak beradaptasi pada perubahan lingkungan, tetapi justru berupaya mengolah lingkungan untuk disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan hidupnya. Sikap tubuhnya yang dapat berdiri tegak lurus dengan mampu berputar, serta jari jemari yang dapat bergerak bebas memungkinkan manusia memerlukan berbagai gerakan dengan lentur, sigap dan lembut. Volume otak manusia yang cukup besar untuk ukuran kepalanya dengan sistem syaraf yang rumit dan lengkap menandakan proses mental jauh lebih tinggi, canggih, bervariasi, dan halus yang semuanya terungkap dalam kemampuan, keterampilan, dan berbagai pola dan bentuk perilaku yang hampir tak terbatas ragam dan jumlahnya. Sejalan dengan volume otaknya yang besar manusia mempunyai akal luar biasa yang menyebabkan ia mampu membuat berbagai sarana dan peralatan serta menciptakan peradaban (Bastaman, 1997: 47). Selain keistimewaan struktur dan fungsi-fungsi tubuhnya manusia memiliki pula kualitas-kualitas insani yang unik. Manusia memiliki berbagai potensi ruhaniyah dan batiniyah yang ada dalam dirinya. MANUSIA DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI Dalam pandangannya mengenai manusia, paling tidak ada empat aliran besar psikologi, yaitu: psikonalisis (psychoanalysis), psikologi perilaku (behavior psychology), psikologi humanistik (humanistic psychology), dan terakhir psikologi transpersonal (transpersonal psychology). Penentu dan pendiri Psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856-1939). Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain dan masing-masing memiliki fungsi dan mekanisme yang khas.
82 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011
Id, adalah berbagai potensi yang terbawa sejak lahir, insting-insting dan nafsu-nafsu primer, sumber energi psikis yang memberi daya kepada Ego dan Superego untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Pada Id berlaku prinsip kenikmatan: ia selalu berorientasi pada kenikmatan dan menuntuk kenikmatan untuk segera dipenuhi pemuasannya serta senantiasa menghindari hal-hal yang tak menyenangkan. Ego berfungsi merealisasikan kebutuhan-kebutuhan Id dengan jalan memilih bentuk pemuasan kenikmatan yang benar-benar ada dan tersedia, dan caranya pun dapat diterima dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian pada sistem Ego berlaku prinsip realitas. Adapun Superego berkembang dari Ego, karena Ego yang dalam fungsi memenuhi secara realistis dorongan-dorongan Id mau tak mau harus mempertimbangkan tuntutan etis-normatif lingkungan. Kontak dengan lingkungan dan norma-normanya inilah yang mengembangkan Superego. Berlainan dengan Id yang orientasinya kenikmatan semata-mata dan Ego yang senantiasa berfungsi dengan dasar prinsip realitas, maka Superego menuntut kesempurnaan dan idealitas perilaku dengan ketaatan terhadap norma-norma lungkungan sebagai tolak ukurnya, sehingga dikatakan bahwa pada Superego berlaku prinsip idealitas . Psikoanalisis (klasik) memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tak sadar, dan dorongan-dorongan biologis (nafsu-nafsu) yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian tak heran bila psikoanalisis menganggap hakikat manusia adalah buruk, liar, kejam, non etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Sementara itu, aliran psikologi perilaku menjelaskan bahwa manusia itu memiliki beberapa unsur manusiawi, yaitu: kognisi (pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kehendak), aksi (tindakan). Dengan kata lain: Cipta, Rasa, Karsa, dan Karya. Menurut aliran ini, keempat unsur manusia ini pada dasarnya netral, sehingga pengetahuan serta perilaku yang akan diberikan dapat dibentuk oleh lingkungan. Banyak teori dan metode yang digunakan oleh aliran ini dalah hal membentuk manusia, diantaranya Classical Conditioning, Law of effect, Operant Conditioning, Modelling, dan lain sebagainya (Bastaman, 1997: 51). Namun demikian, aliran psikologi ini bukan berarti tidak ada bantahan dari para pakar psikologi yang lain, diantaranya adalah bahwa teori ini menganggap atau cenderung mengasosiasikan manusia sama dengan binatang yang bisa dibentuk apa saja tanpa mempertimbangkan potonsi-potensi manusia yang dapat berkembang secara alami.
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 83
Berlainan dengan Psikoanalisis yang memandang buruk hakikat manusia, dan psikologi perilaku yang memandang netral, Humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya daripada buruknya. Pandangan ini memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpateri pada eksistensi manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya anlisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dan rasa estetika. Kualitas-kualitas ini benar-benarbenar khas insani dan tidak dimiliki makhluk lain, kecuali manusia. Selain itu, Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya dirinya sendiri. Asumsi ini menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif, yang dapat menentukan (hampir) segalanya. Ia adalah makhluk dengan julukan the self determining being yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling tepat. Psikologi Transpersonal merupakan aliran psikologi yang mengembangkan Psikologi Humanistik, karena itu konsep manusia menurut aliran ini hampir sama dengan Psikologi Humanistik. Seperti halnya Psikologi Humanistik, aliran psikologi ini menganggap bahwa pada diri manusia terdapat berbagai dimensi kemanusiaan yaitu; dimensi raga (somatis), dimensi kejiwaan (psikis), yaitu dimensi neotik (neotic) atau sering juga disebut dimensi keruhanian (spiritual). Pengertian ruhani di sini sama sekali tidak mengandung konotasi agamis, tetapi dimensi ini dianggap sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup dan potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang sejauh ini terabaikan (Bastaman, 1997: 54). MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM Islam sebagai agama memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu makhlukNya, karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan Sang Pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Sekurang-kurangnya terdapat empat ragam relasi manusia yang masing-masing memiliki kutub positif dan negatif, yaitu: Pertama, hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang ditandai
84 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011
oleh kesadaran untuk melakukan ’amal ma’ruf nahi munkar (S.3:110) atau sebaliknya mengumbar nafsu-nafsu rendah (S.30:41). Kedua, hubungan antar manusia (hablum minannas) dengan usaha membina silaturrahmi (S.4:1) atau memutuskannya (S.12:100). Ketiga, hubungan manusia dengan alam sekitar (hablum minal ’alam) yang ditandai upaya pelestarian dan pemanfaatan alam dengan sebaik-baiknya (S.11:6) atau sebaliknya menimbulkan kerusakan alam (S.30:41). Keempat, hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallah) dengan kewajiban ibadah kepada-Nya (S.51:56) atau menjadi ingkar dan syirik kepada-Nya (S.4:48). Manusia diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya (S. 95:4) dan rupa yang seindah-indahnya (S.64: 3) serta dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti panca indra dan hati (S. 16: 78), agar manusia bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan keistimewaan-keistimewaan itu. Ia pun diberikan kemampuan berpikir untuk memahami alam semesta (S. 13:3) dan dirinya sendiri (S.30:20-21) sebagai ciptaan Tuhan untuk kemudian meningkatkan keimanan kepada Sang Pencipta. Selain itu ia memiliki akal dan memahami tanda-tanda keagungan-Nya (S.22:46), kalbu untuk mendapat cahaya iman (S. 24: 35), nafsu yang paling rendah (S.12: 53) sampai yang tertinggi (S. 89: 27-30), dan ruh yang kepadanya Allah SWT mengambil kesaksian manusia mengenai keesaan Ilahi (S.7:72-74). Bahkan kepadanya pun ditawarkan pula agama sebagai tuntutan agar hidupnya selamat di dunia dan di akhirat (S. 3: 85). Manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (S. 2:30), dan diciptakan Tuhan bukan secara main-main (S. 23:115), melainkan untuk mengemban amanah (S. 33: 72) dan untuk beribadah kepadaNya (S. 51: 56) serta selalu menegakkan kebajikan sekaligus menghilangkan keburukan (S. 3: 110) dengan segenap tanggungjawab (S. 75: 36). Keistimewaan lain manusia adalah memiliki kebebasan luas untuk mengembangkan diri setinggi-tingginya atau serendah-rendahnya (S. 91: 7-10), bahkan agama pun tidak dipaksakan kepadanya (S. 2: 256). Di samping berbagai keistimewaannya, manusia pun memiliki banyak kelemahan, antara lain selalu tergesa-gesa (S.17:11), pembantah (S.18:54), melampaui batas (S.10:12), kikir (S.70:19), mudah putus asa (S.41:49), selalu berkeluh kesah (S.70:20), ingkar (S. 80:17), tidak mau bersyukur (S.100: 6), mudah lupa setelah mendapat nikmat (S.17:83). Sekalipun memiliki banyak kelemahan tetapi dalam pandangan al-Qur’an manusia pada dasarnya baik.
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 85
Fitrah manusia adalah suci dan beriman (S.7:72). Kecenderungan kepada agama merupakan sifat dasar manusia (S.30:30), dan sadar atau tak sadar manusia selalu merindukan Tuhan (S.39:8, S.39:49), taat, khusuk, tawakal dan tidak ingkar (S.17:66-69) terutama bila sedang mengalami malapetaka dan kesulitan hebat (S.31: 32, S.17: 66) (Chairuddin Hadahari, 1994: 1314). Demikian konsep manusia dalam pandangan psikologi dan agama, yang secara garis besar dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang diberikan kepadanya berbagai potensi insani, baik potensi-potensi yang nantinya condong pada kebaikan maupun potensipotensi yang nantinnya condong pada kejahatan. 2.
Konsep Ilmu dan Filsafat Ilmu Ilmu atau Sains di pahami sebagai batang tubuh pengetahuan yang yang teroganisir dan sebagai sebuah disiplin yang mempunyai tujuan, premis dasar, dan objek serta metode penelitian tertentu (Osman Bakar, 1998: 104). Secara korelatif, hubungan antara Ilmu dan Filsafat sangatlah erat, karena pada dasarnya filsafat harus memperhatikan hasil-hasil Ilmu. Begitu juga sebaliknya, Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia sesuatu (alam, manusia, benda, dan lain-lain) haruslah mengetahui anggapan-anggapan kefilsafatan mengenai sesuatu tersebut (Soejono, 1995: 106). Terkait dengan kajian filsafat, ilmu memiliki empat jenis materi, yaitu; fakta, kebenaran, kepastian dan logika inferensi (Noeng, 2001: 39). Dalam telaah Filsafat, terutama yang terkait dengan eksistensi ilmu terdapat tiga telaah filosofis dalam memperoleh sebuah pengetahuan. Ketiga telaah ini ada yang menyebutnya sebagai bagian dari cabang ilmu filsafat. Ketiga cabang filsafat tersebut adalah “Ontologi”, “Epistemologi”, dan “Aksiologi”. Ontologi Ilmu akan membahas tentang hakikat subtansi dan pola struktur sebuah ilmu. Epistemologi Ilmu akan membahas tentang hakikat objek formal dan material sebuah ilmu. Sementara Aksiologi Ilmu membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis dari sebuah ilmu (Redja Mudyahardjo, 2006: 7). Lebih jauh, Lenzen dalam bukunya; Phylosofy Of Science menyebutkan bahwa telaah filosofis tersebut seringkali dikaitkan dengan filsafat yang akan membahas masalah-masalah yang mencakup: (1) struktur ilmu, yang meliputi metode dan bentuk pengetahuan ilmiah; dan (2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan tentang kenyataan (Lenzen, 1962: 94).
86 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011
Dengan demikian, maka filsafat ilmu sangatlah penting eksistensinya dalam menelaah konsep sebuah ilmu dan bagaimana merumuskannya agar supaya ilmu tersebut tidak hanya bermuatan teoritis akan tetapi juga memiliki muatanmuatan pengetahuan dan nilai-nilai aplikatif di dalam kehidupan. KONSEP KURIKULUM Pengembangan kurikulum merupakan sesuatu hal yang dapat terjadi kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Kurikulum sendiri adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu (Oemar Hamalik, 2008: 91). Dari pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya kurikulum memiliki dua diemensi pengertian, yakni kurikulum sebagai mata pelajaran dan kurikulum sebagai pengalaman belajar. Pengertian kurikulum yang pertama merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan di negara ini. Sehingga desain yang dugunakan juga cenderung menggunakan pendekatan disiplin ilmu dengan menggunakan model Subject Centered Curriculum yang menyusun kurikulum mata pelajaran yang terpisah-pisah (parsial), misalnya: mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, kimia, fisika, berhitung, kewarganegaraan, agama, dan lain sebagainya. Mata pelajaran-mata pelajaran itu tidak berhubungan satu sama lain. Sehingga standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dihasilkan dari masing-masing mata pelajaran tersebut dibuat sendiri-sendiri, dan tentunya mempunyai tanggung jawab sendiri dalam memberikan pengetahuan, keterampilan serta pola sikap terhadap anak didik. Model kurikulum yang parsial seperti ini secara tegas hanya akan membuat kesulitan bagi siswa, karena pemisahan seperti itu akan memberikan
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 87
pengalaman belajar yang bersifat artifisial. Sementara di jenjang sekolah dasar khususnya siswa pada kelas-kelas awal lebih menghayati pengalamannya secara totalitas. Hal ini akan mengandung kesulitan belajar dengan pemilahanpemilahan penglaman secara artifisial tersebut (Udin Syaefudin, 2010: 117). Di samping itu, karena kurikulum yang digunakan lebih kepada pendekatan pengetahuan, maka kurikulum yang ada sekarang ini kurang memperhatikan orientasi siswa. Padahal secara mendasar pendidikan diselenggarakan untuk membantu anak didik. Maka semestinya kurikulum juga harus berorientasi kepada siswa. Dengan kata lain kurikulum harus selaras dengan kondisi siswa. Anak didik adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik tertentu. Anak dengan segala potensi yang dimillikinya adalah makhluk yang sedang berkembang yang memiliki minat, bakat, serta sikap yang beragam. Kurikulum harus dapat menyesuaikan irama perkembangan mereka. Berangkat dari realitas di atas, kiranya perlu dibuat model kurikulum yang memuat mata pelajaran terpadu. Konsep mata pelajaran terpadu yang penulis tawarkan ini sedikit besarnya lebih didasarkan kepada telaah filosofis. Istilah “terpadu” yang dimaksud adalah adanya keterpaduan muatan-muatan ontologis, efistemologis dan aksiologis dalam setiap mata pelajaran serta keselarasan kurikulum dengan potensi-potensi anak didik sebagai manusia. 1.
Keterpaduan Muatan Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Dalam Mata Pelajaran Seperti yang telah dikemukan di atas konsep mata pelajaran terpadu yang penulis tawarkan lebih kepada melihatnya dari telaah filsafat. Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum (mata pelajaran). Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawah kemana siswa yang kita didik itu. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menetukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolok ukur keberhasilan prose pendidikan (Sanjaya, 2010: 43).
88 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011
Karena filsafat yang digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum maka kurikulum yang berisi mata pelajaran harus dapat menjawab beberapa pertanyaan pokok seperti: Hendak dibawa kemana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikkan? Apa hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang harus diwarikan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung? Bagaimana siswa menyikapi ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya? Apa yang mereka dapat lakukan dari ilmu pengetahuan untuk kebaikan kemanusiaan? Seperti apa kandungan mata pelajaran yang baik itu? dan lain sebagainya. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas tentunya harus bisa dijawab dan sudah tersurat dalam masing-masing mata pelajaran sebagai muatan kurikulum. Karena itu, mata pelajaran harus memiliki muatanmuatan analisis ontologis epistemologis dan aksiologis. Selama ini Standar kompetensi juga Kompetensi Dasar yang digariskan dalam setiap mata pelajara masih mencakup muatan ontologi yang berupa subtansi dan organisasi mata pelajaran tersebut. Padahal, mata pelajaran sebagai ilmu semestinya di dalamnya harus mengandung tidak hanya muatan ontologis, akan tetapi muatan epistemologis yang mengetahui objek forma dan materia serta bagaiman cara mempelajarinya serta muatan aksiologis sebagai sistem nilai kegunaan teoritis dan praktis dalam mata pelajaran tersebut. Sehingga standar kompetensi yang dimiliki mata pelajaran menjadi komprehensif dan terpadu. Gagasan model mata pelajaran seperti ini, penulis kuatkan dengan pandangan filosofis yang menganggap bahwa semua ilmu ( dalam hal ini mata pelajaran) masing-masing mempunyai basis etis. Tidak ada ilmu yang terbebas dari nilai, karena ilmu akan dilihat dari manfaat dan kegunaannya. Adalah Al-Farabi, seorang filosof yang berpendapat bahwa setiap ilmu pengetahuan mempunyai basis etis. Kegunaan setiap ilmu seharusnya diukur dalam hubungannya dengan tujuan akhir manusia mencapai kesempurnaan dalam kehidupan ini dan kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan nanti. Basis etis sebuah ilmu yang dimaksud Al-Farabi adalah kebaikan-kebaikan teoritis yang ada dalam ilmu tersebut (Oesman Bakar, 1992: 137). Dengan kata lain, bahwa dalam setiap ilmui mempunya muatan nilai, etika, dan moral yang harus dipelajari. Karena itulah konsep basis etis yang cenderung masih konseptual harus dikaji dengan telaah epistemologis dan aksiologis agar supaya dapat dirumuskan dalam Standar Isi dan dijabarkan kembali dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk dipelajari dan dipahami oleh para siswa.
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 89
Sebagai contoh, mata pelajaran Biologi yang diajarkan kepada siswa hendaknya tidak hanya memuat subtansi, struktur, dan klasifikasi materi pelajaran tetapi juga memuat pengetahuan dan pemahaman tentang objek ilmu tersebut, baik itu objek forma maupun objek material. Pengajaran terhadap objek-objek yang terdapat dalam mata pelajaran biologi tersebut secara tidak langsung menjadikan anak-anak mendapatkan pengalaman belajar untuk memahami objek tersebut. Seperti contoh objek forma mata pelajaran biologi adalah makhluk hidup. Dengan sendirinya anak-anak akan balajar langsung dengan sesuatu yang hidup dalam kehidupan. Demikian masih dalam epistemologis, model pengalaman belajar tersebut anak-anak akan dibiasakan untuk belajar berfikir sistematis, baik itu secara deduktif maupun induktif. Selanjutnya, rumusan filosofis pada mata pelajaran tersebut juga harus sampai pada rumusan aksiologis, dimana rumusan kempetensi aksiologis ini menggambarkan anak-anak didik yang mampu menggunakan ilmu biologi itu bermanfaat dan memberikan kebaikan pada dirinya dan semua makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Rumusan-rumusan ontologis, epistemelogis dan aksiologis ini harus dituangkan secara jelas dalam Standar Isi mata pelajaran Biologi. Lalu, rumusan-rumusan tersebut, tentunya harus dikaji dan ditelaah dalam kajian filsafat ilmu. Sebagai contoh sederhana Standar Isi yang penulis tawarkan adalah sebagai berikut: STANDAR ISI KURIKULUM TERPADU No 1
Mata Pelajaran Biologi
Standar Kompetensi 1. Melakukan percobaan pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan 2. dst
Kompetensi Dasar Muatan Ontologis 1. Merencanakan percobaan pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tumbuhan 2. dst
Muatan Epistemologis 1. Melaksanakan percobaan pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tumbuhan 2. Mengkomunikasikan hasil percobaan pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tumbuhan 3. dst
Muatan Aksiologis 1. Mampu menyadari akan pentingnya tumbuhtumbuhan 2. Mampu bersikap menjaga dan menyayangi tumbuhtumbuhan 3. dst
90 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011 2
Pendidikan Jasmani, Olah raga dan Kesehatan
4
Dan lain
1. Mempraktikkan keterampilan permainan olah raga dengan peraturan yang sebenarnya 2. dst
1. Mempraktikkan keterampilan bermain salah satu permainan olah raga bola besar lanjutan dengan peraturan yang sebenarnya 2. dst
1. Memainkan salah satu permainan olah raga besar lanjutan dengan peraturan yang benar dan diterapkan dengan teoriteori dalam permainan 2 dst
1. Mampu bersikap kerjasama, toleransi, sportif, tanggung jawab, dan memiliki sikap keberanian
Lain-
Demikianlah konsep mata pelajaran terpadu, yang mengandung muatanmuatan ontologis, epistimologis dan aksiologis. Konsep filosofis terpadu ini harus terdapat pada setiap mata pelajaran. Dengan model mata pelajaran terpadu ini diharapkan kurikulum yang diberikan kepada siswa dapat membekali siswa tidak hanya pada ranah kognitif dan psikomotorik (pengetahuan dan keterampilan) tetapi juga dapat menanamkan nilai-nilai secara sekaligus. Begitu juga, dengan model mata pelajaran terpadu seperti ini, maka semua mata pelajaran memiliki tugas untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang terkait dengan subtansi materi pelajaran tersebut. Dengan kata lain, peran proses pendidikan nilai tidah hanya dimiliki oleh mata pelajaran agama dan budi pekerti akan tetapi semua mata pelajaran mengajarkan sistem nilai tersebut. Sebagai contoh; mata pelajaran Ekonomi akan mengajarkan kejujuran, kedermawanan, kehati-hatian, dan lain sebagainya. Pelajaran Matematika akan mengajarkan keadilan, kejernihan berpikir, kejujuran, kerja sama, dan lain-lain. Pelajaran Bahasa Indonesia akan menanamkan nilai-nilai seperti kesantunan, kepekaan rasa, keindahan dan lain sebagainya. 2.
Keselarasan Ilmu (Mata Pelajaran) dengan Potensi Anak Didik Konsep keselarasan antara mata pelajaran dengan potensi anak didik adalah implikasi lanjutan dari konsep mata pelajaran terpadu. Konsep mata pelajaran terpadu sedikit besarnya juga diselaraskan dengan potensi manusia (anak didik). Seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa manusia memiliki banyak potensi baik itu yang terkait dengan penerimaan pengetahuan
Pengembangan Konsep Mata Pelajaran Terpadu (Muhamad Jaeni) 91
intelektual maupun potensi-potensi yang terkait dalam proses penerimaan dan internalisasi nilai-nilai pada dirinya. Secara umum, para pakar pendidikan sepakat membagi potensi manusia ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual dan kecerdasan. Ranah afektif berhubungan dengan pengembangan dengan pengembangan sikap dan ranah psikomotor berhubungan dengan keterampilan (Sanjaya, 2010: 45). Terkait dengan konsep keselarasan mata pelajaran dengan potensi anak didik seperti di atas maka konsekuensi desain kurikulum harus berorientasi pada siswa. Untuk mendesain kurikulum yang berorientasi kepada siswa, perlu hal-hal penting yang harus diperhatikan, seperti: (1) kurikulum/ mata pelajaran harus disesuaikan dengan perkembangan anak; (2) isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang; (3) Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk belajar sendiri. Artinya, siswa harus didorong untuk melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan hanya sekedar menerima informasi dari guru; (4) Mata Pelajaran harus terpadu (muatan ontologis, aksiologis, dan epistemologis); (5) Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat dan tingkat perkembangan mereka. Artinya, apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau dari sudut orang lain akan tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri. SIMPULAN Konsep mata pelajaran terpadu, mata pelajaran yang mangandung muatan-muatan pengetahuan yang dihasilkan dari telaah filosifis diharapkan dapat memberikan rumusan-rumusan pengetahuan yang utuh dan komprehensif. Rumusan-rumusan pengetahuan yang terdapat pada mata pelajaran tersebut tidak hanya mencakup pengetahuan yang dikaji secara ontologis, tetapi juga mencakup muatan-muatan pengetahuan yang dihasilkan dari kajian epistimologis dan aksiologis. Sehingga, pengetahuan yang diperoleh oleh para siswa pun dapat diterima secara utuh. Dengan kata lain, ketika anak didik mempelajari sebuah mata pelajaran, maka mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan kognitif dari mata pelajaran tersebut, tetapi juga
92 FORUM TARBIYAH Vol. 9, No. 1, Juni 2011
mereka dapat berpikir sistematis serta dapat menginternalisasi nilai-nilai yang terkait dengan pelajaran tersebut. Singkat kata, anak didik tidak hanya akan memiliki pengetahuan an sich, tetapi ia juga memiliki budi pekerti yang baik. Demikian juga, konsep mata pelajaran terpadu ini akan selaras dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia (anak didik). Karena manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang tidak semata-mata dapat menerima pengetahuan akan tetapi juga diciptakan sebagai makhluk yang siap menerima dan melaksanakan nilai-nilai kebaikan, terlebih nilai-nilai tersebut bersumber dari nilai-nilai agama. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya Bakar, Osman . 1998. Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan. Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hadhari, Chaeruddin. 1994. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani. Hamalik, Oemar. 2008. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kattsoff, Louis O. 1995. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lenzen, Victor . 1962. Philosiphy of Science, Living School of Philosiphy. Littlefield: Adams & Co. New Jersey. Mudyahardjo, Redja. 2006. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muhajir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu; Positivisme, PostPositivisme dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin. Sanjaya, Wina. 2010. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Syaefudin, Udin. 2010. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.