PENGAWASAN PEMBANGUNAN PEMERINTAHAN DESA Oleh; H. Abdul Azis, SH,MH
ABSTRAKSI
Kepala Desa dalam menjalankan pengawasan pembangunan desa tidak boleh menyimpang dari peraturan, instruksi dan rencana Bupati dan Camat sehingga tercapai efektifitas pembangunan desa. Dalam suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif, efisien apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan. Dengan demikian pengawasan pada hakekatnya merupakan tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen). Kepala Desa dalam menjalankan pengawasan pembangunan desa tidak boleh menyimpang dari peraturan, instruksi dan rencana Bupati dan Camat sehingga tercapai efektifitas pembangunan desa. penulis menyarankan agar dapat menjadi perhatian para pembuat kebijakan di daerah agar Otonomi Daerah yang dihajatkan dapat diterapkan lebih efektif menuju otonomi daerah yang mandiri. Kata Kunci: Camat, Desa, Pengawasan, Pembangunan.
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB 2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Penyelenggaraan pemerintahan memerlukan adanya seorang pemimpin yang selalu mampu untuk menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdayaguna dan berhasil guna. Keberhasilan pembangunan akan terlihat dari tingginya produktivitas, penduduk makmur dan sejahtera secara merata. Efektifitas
pembangunan
pada
hakekatnya
merupakan
tindakan
membandingkan antara perencanaan dengan hasil yang ada. Hal ini disebabkan karena antara kedua hal tersebut sering terjadi penyimpangan, maka tugas pengawasan
adalah
melakukan
koreksi
atas
penyimpangan
tersebut.
Pembangunan desa adalah suatu strategi pembangunan yang dirangsang bagi peningkatan kehidupan ekonomi dan sosial dari kelompok khusus masyarakat, dalam hal ini masyarakat yang kurang mampu di pedesaan. Khusus di Desa, pembangunan yang ada berupa pembangunan pedesaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, serta tersedianya sarana dan prasarana fasilitas umum untuk menunjang segala kebutuhan masyarakat ternyata masih kurang untuk membantu masyarakat Desa dalam beraktifitas sehari-hari. Disini diperlukan Peranan camat dalam bidang pembangunan masyarakat nampak begitu luasnya, camat dalam melaksanakan perannya selaku kepala
2
pemerintahan di kecamatan dalam bidang pengawasan terhadap pembangunan desa bekerjasama dengan kepala desa. Dengan demikian camat lebih berkonsentrasi pada bidang pengawasan yang lebih penting dan juga dalam menjalankan perannya akan memprioritaskan pada tugas-tugas yang pokok. Dengan adanya peran camat dibidang pengawasan terhadap pembangunan desa, dalam hal ini pengawasan pembangunan fisik desa diwilayah masingmasing maka sebagai konsekuwensinya kepala desa harus bertanggung jawab kepada camat namun sayangnya tanggung jawab Kepala Desa langsung Ke Bupati sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004, pada pasal 286 . Apabila Camat diberikan Pelimpahan Wewenang oleh Bupati berdasarkan Perda baru maka Camat berperan dalam memberikan pengawasan pembangunan di tingkat Desa. Kepala Desa dalam menjalankan pengawasan pembangunan fisik diwilayahnya tersebut tidak menyimpang dari peraturan, instruksi dan rencana Bupati Kepala Daerah yang dikoordinasikan dengan Camat setempat selaku pimpinan yang baik, apabila mengingat sesuatu pengawasan yang efektif. Partisipasi masyarakat juga ikut menentukan keberhasilan pembangunan, dengan melihat apakah suatu pembangunan itu sesuai dengan kehendak masyarakat yang bersangkutan. Disamping peran Bupati,camat dan Desa juga keikut sertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan berarti masyarakat itu peduli dengan keberadaan pembangunan sehingga untuk mencapai efektifitas pembangunan fisik desa akan mudah dicapai.
3
Pemerintah Desa adalah suatu lembaga dan organisasi pemerintah yang berupaya melakukan pelaksanaan peran pemerintah Kabupaten dan Kecamatan secara
efektif
demi
terciptanya
pembangunan
disegala
bidang
teruma
dipembangunan fisik agar masyarakat dapat merasakan esensi dari otonomi daerah yang berimbas kepada otonomi desa. Dengan adanya peran Bupati dan camat dalam bidang pengawasan terhadap pembangunan dalam hal ini pengawasan pembangunan fisik desa sebagai suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target yang telah dicapai sesuai dengan target yang ditentukan terlebih dahulu, yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu 1 kualitas atau kemampuan dalam melakukan pekerjaan. 2 Kuantitas atau Jumlah dalam hal ini sebarapa banyak hasil yang telah dicapai. 3
Kemudian yang terakhir yaitu waktu atau kedisiplinan dalam masalah ketepatan waktu dalam penyelasaian program yang telah ditetapkan. Selanjutnya
Kepala
Desa
dalam
menjalankan
pengawasan
pembangunan desa tidak boleh menyimpang dari peraturan, instruksi dan rencana Bupati dan Camat sehingga tercapai efektifitas pembangunan desa. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Peran Kepala Desa dalam bidang Pelaksana pembangunan di Desa B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Peran Kepala Desa dalam Bidang Pelaksana Pembangunan di Desa ? 4
C.
TUJUAN DAN MANFAAT 1 Tujuan
; Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Bagaimana
Peran Kepala Desa Dalam Bidang Pembangunan Desa.
2 Manfaat ; Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis ; Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal peran camat dalam bidang pengawasan terhadap efektifitas pembangunan desa. b. Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten, Kecamatan dan Desa pada umumnya atas pelaksanaan pembangunan dan sekaligus pengawasannya di Desa.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. PERAN CAMAT Lebih jelasnya kata “peran” atau “role” dalam kamus oxford dictionary diartikan :Actor’s part; one’s task or function. Yang berarti aktor; tugas seseorang atau fungsi. Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti Pemain sandiwara (film), perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Karena itulah ada yang disebut dengan role expectation. Harapan mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut. Peran merupakan suatu istilah sehari-hari dan semua orang pasti sudah tahu makna dan fungsinya. Misalnya, anak kecil berperan, wanita berperan, tentara berperan, mamak berperan, pemerintah berperan. Pokoknya semua manusia berperan, yakni bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan darinya oleh masyarakat, oleh norma-norma, oleh orang-orang lain, oleh keluarga dan lain-lain. Sedangkan definisi camat yaitu kepala pemerintahan daerah dibawah bupati/walikota yang mengepalai kecamatan. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2008, Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam 6
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Camat diangkat oleh Bupati atau Walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian secara sederhana peran camat dapat didefinisikan sebagai: “seorang pegawai negeri sipil yang diberi peran untuk membantu tugas bupati/walikota dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pembinanaan kehidupan kemasyarakatan diwilayah kecamatan” (PP No,19 tahun 2008). Pedoman tersebut di atas hendaknya dapat dipakai oleh seorang camat sebagai manajer puncak di organisasi kecamatan, karena peranan camat sangat penting
dalam usaha meningkatkan
diharapkan
mampu
memberikan
kinerja perangkat
pelayanan
terbaik
kecamatan yang
kepada
masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut maka seorang camat hendaknya mengetahui kedudukan, tugas dan fungsinya (Suradinata,2006:144). Menurut pendapat di atas kedudukan, tugas dan fungsi camat adalah : 1.
Kedudukan camat, sebagai kepala pemerintahan di kecamatan.
2.
Tugas
camat,
memimpin
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembinaan
pemerintahan desa dan kelurahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan kemasyarakatan, menyelenggaraan koordinasi atas kegiatan instansi vertikal dengan dinas di daerah dan diantara instansi vertikal lainnya di dalam wilayah kecamatan.
7
3. Fungsi camat yaitu penyelenggaran tugas-tugas pemerintahan umum dan pembinaan desa dan kelurahan, pembinaan ketentraman dan pembinaan lingkungan hidup, pembinaan kesejahteraan sosial, pembinaan pelayanan umum,
penyusun
rencana
dan
program,
pembinaan
administrasi,
ketatausahaan dan rumah ketertiban wilayah, pembinaan pembangunan masyarakat
desa
yang
meliputi
pembinaan
sarana
dan
prasarana
perekonomian, produksi, dan pembinaan pembangunan pada umumnya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah mengubah status pemerintah
kecamatan.
Hal
ini
sebagaimana
yang
dikemukakan
Suhariyono,(1999:40) bahwa kecamatan selama ini merupakan tingkatan wilayah administrative paling rendah, menjadi wilayah atau daerah kerja operasional daerah yang kedudukannya akan disejajarkan dengan dinas dan lembaga teknis daerah yang sama-sama sebagai perangkat daerah. Tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang semakin komplek di tingkat kecamatan, menuntut adanya pendelegasian wewenang kepada perangkat kecamatan. Salah satunya adalah dengan memberdayakaan perangkat kecamatan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Revida (2005:110) bahwa munculnya konsep pemberdayaan pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subjek dari dunianya sendiri. Pendapat di atas menjelaskan bahwa seorang pimpinan dalam memberdayakan bawahannya dimulai dengan memberikan
tanggung
jawab
atas
pekerjaannya,
sehingga
bawahannya
mempunyai wewenang penuh untuk dapat mengambil keputusan yang berkaitan
8
dengan perbaikan hasil kerjanya. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Keban (2004 : 124) diharapkan kontrol hirarkis dalam organisasi dialihkan ke tangan para pegawai yang berhadapan langsung dengan pelayanan terhadap masyarakat.
B.
KONSEP PENGAWASAN Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controlling, yang oleh Dale (dalam Winardi, 2000:224) dikatakan bahwa: “… the modern concept of control … provides a historical record of what has happened … and provides date the enable the … executive … to take corrective steps …”. Hal ini berarti bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan
mengawasi,
tetapi
juga
mengandung
arti
memperbaiki
dan
meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Dengan demikian pengawasan pada hakekatnya merupakan tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen). Hal ini disebabkan karena antara kedua hal tersebut sering terjadi penyimpangan, maka tugas pengawasan adalah melakukan koreksi atas penyimpangan tersebut. Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem
9
pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. 1 Pengertian tentang pengawasan sangat beragam dan banyak sekali pendapat para ahli yang mengemukakannya, namun demikian pada prinsipnya kesemua pendapat yang dikemukan oleh para ahli adalah sama, yaitu merupakan tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen), yang dilakukan dalam rangka melakukan koreksi atas penyimpanganyang terjadi dalam kegiatan manajemen, (Mockler, 2001 :213). Konsep pengawasan dari Mockler di atas, menekankan pada tiga hal, yaitu harus adanya rencana, standard atau tujuan sebagai tolak ukur yang ingin dicapai, 2 Adanya proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan, 3 Adanya usaha membandingkan mengenai apa yang telah dicapai dengan standard, rencana, atau tujuan yang telah ditetapkan, dan 4 Melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian konsep pengawasan dari Mockler ini terlihat bahwa ada kegiatan yang perlu direncanakan dengan tolak ukur berupa kriteria, norma-norma dan standar, kemudian dibandingkan, mana yang membutuhkan koreksi ataupun perbaikanperbaikan. Hal senada juga diungkapkan oleh Admosudirdjo (dalam Febriani, 2005:11) yang mengatakan bahwa: Pada pokoknya controlling atau pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang
10
sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma, standar atau rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Sementara Mockler (dikutip Stoner & Freeman dalam Wilhelmus dan Molan 1994:241) mengatakan bahwa: Pengendalian adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan standard kinerja dengan sasaran perencanaan, merancang sistem umpan balik informasi, membandingkan kinerja sesungguhnya dengan standard yang terlebih dahulu ditetapkan itu, menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan tengah digunakan sedapat mungkin dengan cara yang paling efektif dan efisien guna tercapainya sasaran perusahaan. Siagian (1990:107) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah: “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.” Ciri terpenting dari konsep yang dikemukan oleh Siagian ini adalah bahwa pengawasan hanya dapat diterapkan bagi pekerjaan yang sedang berjalan dan tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan yang sudah selesai dilaksanakan. Terry
(dalam
Winardi,
1986:395)
juga
berpendapat
tentang
pengertian
pengawasan ini, ia mengatakan bahwa: Pengawasan berarti mendeterminasi apa yang dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana. Jadi pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan dan mengoreksi penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari aktivitas
11
yang direncanakan. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggung jawab setiap pimpinan pada tingkat mana pun. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas organisasi. Sementara Sarwoto (dalam Febriani, 2005:12) mengatakan bahwa: ”Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki”. Dari pendapat Sarwoto ini secara implisit dapat terlihat tujuan dari pengawasan yaitu mengusahakan agar pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana. Seluruh pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang sedang dalam pelaksanaan dan bukan pekerjaan yang telah selesai dikerjakan. Berkaitan dengan arti pengawasan sebagai suatu proses seperti diungkapkan oleh Lembaga Administrasi Negara di atas, Soekarno (dalam Situmorang dan Juhir, 1994:20)
menyatakan
bahwa:
“Pengawasan
adalah suatu proses
yang
menentukan tentang apa yang harus dikerjakan, agar apa yang dikerjakan sejalan dengan rencana”. Certo (dalam Maman Ukas, 2004:337) mengatakan bahwa : “Controlling is the process managers go trough to control”. Sementara Maman Ukas (2004:337) menyatakan bahwa: Pengawasan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk memantau, mengukur dan bila perlu melakukan perbaikan atas pelaksanaan pekerjaan sehingga apa yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal senada dikemukakan oleh Manullang (1997:136) bahwa: “Pengawasan adalah suatu proses untuk
12
menetapkan
pekerjaan
apa
yang
sudah
dilaksanakan,
menilainya
dan
mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula”. Pada hakekatnya, pandangan Manullang di atas juga menekankan bahwa pengawasan merupakan suatu proses dimana pekerjaan itu telah dilaksanakan kemudian diadakan penilaian apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan ataukah terjadi penyimpangan, dan tidak hanya sampai pada penemuan penyimpangan tetapi juga bagaimana mengambil langkah perubahan dan perbaikan sehingga organisasi tetap dalam kondisi yang sehat. Bertitik tolak dari pengertian para ahli tentang pengawasan sebagai mana diungkapkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah sebagai suatu proses kegiatan pimpinan yang sistematis untuk membandingkan (memastikan dan menjamin) bahwa tujuan dan sasaran serta tugas organisasi yang akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan standard, rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan, guna pemanfaatan manusia dan sumber daya lain yang paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan. Menurut Situmorang dan Juhir (1994:22) maksud pengawasan adalah untuk : 1 Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak 2
Memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru.
13
3
Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah direncanakan.
4 Mengetahui
pelaksanaan
kerja
sesuai dengan
program
(fase
tingkat
pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak. 5
Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning, yaitu standard.
Rachman (dalam Situmorang dan Juhir, 1994:22) juga mengemukakan tentang maksud pengawasan, yaitu: 1 Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan 2 Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan instruksi serta prinsip yang telah ditetapkan 3 Untuk mengetahui apakah kelemahan serta kesulitan-kesulitan dan kegagalan, sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki serta. mencegah pengulangan kegiatan yang salah. 4 Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah dapat diadakan perbaikan lebih lanjut, sehingga mendapat efisiensi yang lebih benar. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa maksud pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan segala sesuatunya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, serta mengukur tingkat kesalahan yang terjadi sehingga mampu diperbaiki ke arah yang lebih baik.
14
Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Maman Ukas (2004:337) mengemukakan: 1 Mensuplai pegawai manajemen dengan informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan. 2 Memberi kesempatan pada pegawai dalam meramalkan rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja secara teliti dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau mengurangi gangguangangguan yang terjadi. 3 Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari pada hasil yang diharapkan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya tujuan pengawasan adalah: 1 Membandingkan antara pelaksanaan dengan rencana serta instruksi-instruksi yang telah dibuat. 2 Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja. 3 Untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan, atau dengan kata lain disebut tindakan korektif.
C. KONSEP EFEKTIFITAS Efektifitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan
15
pengertian efektifitas menurut Hidayat (1986:49) yang menjelaskan bahwa :“Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”. Adapun pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984:31), “Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input“. Efektivitas kerja pegawai yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Adapun pengertian efektivitas menurut para ahli diantaranya sebagai berikut : Sondang P. Siagian (2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut : “Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Sementara itu Abdurahmat (2003:92) “Efektivitas adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif, efisien apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.
16
D.
KONSEP PEMBANGUNAN Definisi
pembangunan
berkesinambungan/berkelanjutan
merupakan
upaya
untuk menciptakan
yang
sistematik
dan
keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternative yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik Anwar (2005:45, Dalam Hubungan Dengan Konsep Pembangunan Daerah). Salah satu titik berat bagi pembangunan nasional adalah wilayah pedesaan dengan berbagai kenyamanan dan daya tarik tersendiri Kemiskinan dan ketidak mampuan masyarakat pedesaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka. Hal ini merupakan salah satu kegagalan kebijakan pemerintah dimasa lalu karena seringkali kebijakan yang ditempuh tidak sesuai dengan kondisi ekosistim wilayah, keinginan serta nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakat. Kebijakan
pemerintah
tersebut
hanya
didasarkan
kepada
tujuan
meningkatkan kapital dan kepentingan segolongan tertentu saja yang merugikan golongan masyarakat yang lain, tidak memperhatikan keberagaman wilayah yang ada serta tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Seharusnya keberagaman potensi wilayah baik kondisi biofisik wilayah, kemampuan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan akses ke pasar yang berbeda menghendaki perlakuan ataupun kebijakan yang berbeda pula yang sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Kesalahan dalam pengaturan dan perancangan programprogram pembangunan menyebabkan kegagalan proses pembangunan itu sendiri.
17
Keragaman wilayah pedesaan di Indonesia tergantung kepada tipologinya yang bervariasi, yang oleh Anwar (2005:71), kebijakan pertanian dan pedesaan tidak dapat dilakukan secara seragam untuk semua keadaan wilayah yang masing-masing memiliki kekhasan dan sifat-sifat khusus yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga setiap kebijakan harus memperhatikan kondisi perkembangan dari wilayah yang bersangkutan yang secara konseptual tergantung kepada akses pasar dan biaya-biaya transaksi. Kesenjangan spasial yang terjadi antar wilayah perkotaan yang bercorak industri dan jasa dengan wilayah pedesaan yang di dominasi oleh sektor pertanian. Maka diperlukan terobosan dalam menyeimbangkan pembangunan yang berdapampak pada pembangunan infrastruktur (fisik) desa, dan perekonomian rakyat pedesaan (non fisik).
Untuk
pembangunan
itu
Wresniwiro
untuk
(2007:202),
mengurangi
mengemukakan
ketimpangan
spasial
suatu
konsep
tersebut
dengan
menyeimbangkan pembangunan yang dilakukan secara terpadu. Keseimbangan spasial tersebut dapat tercapai apabila dalam perencanaan pembangunan pedesaan memperhatikan berbagai faktor yang terkait dan pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan: (1) pemerataan, (2) pertumbuhan, (3) keterkaitan, (4) keberimbangan, (5) kemandirian, dan (6) keberlanjutan. Keterpaduan tujuan pembangunan tersebut dalam perencanaan dan proses pembangunan akan meningkatkan produktifitas daerah pedesaan dengan berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan yang dianut masyarakat. Pembangunan bukanlah kegiatan pada ruang kosong tetapi kegiatan yang dilakukan pada tempat dimana
18
sejumlah penduduk yang memiliki nilai-nilai tertentu menjadi obyek dan sekaligus sebagai subyek pembangunan.Sehingga nilai-nilai keutamaan yang dianut masyarakat, organisasi swadaya dan pengelolaan sumberdaya yang bersifat swadaya hendaknya menjadi landasan penyelenggaraan pembangunan. Pendekatan pembangunan ke wilayah pedesaan harus dilakukan tidak hanya kegiatan fisik saja (infrastruktur), melainkan yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah kegiatan ekonomi (non fisik) berdasarkan pada potensi unggulan dimasing-masing wilayah, sehingga kesejahteraan rakyat pedesaan dapat segera terwujud.Sebab kunci dari pembangunan yaitu kurangnya masyarakat yang masih tergolong kurang sejahtera dibidang perekonomian, dimana hal itu dikategorikan sebagai rakyat miskin. Dikarenakan prekenomian rakyat yang tidak memenuhi kebutuhan hidup dari segi sandang, pangan, papan. Dimana sebagaian orang terkadang pembangunan diartikan adanya gedung megah. Padahal pembangunan itu ada dua segi yaitu pembangunan fisik dan non fisik. (Wresniwiro, 2007:207). Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas pemerintah adalah melaksanakan
pembangunan
disegala
bidang
termasuk
didalamnya
pembangunan fisik desa. Tujuan pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, termasuk didalamnya masyarakat desa. Untuk memperjelas tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan fisik desa, maka terlebih dahulu penulis akan mengutip pendapat para ahli: Menurut Racmat Sumitro (2005:98), pembangunan didefinisikan sebagai berikut pembangunan adalah segala usaha
19
baik dari pemerintahan maupun swasta yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan penduduk sehingga dapat memenuhi keburuhanya secara layak.
E.
KONSEP DESA Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah desa dimakani sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, megakui otonomi yang dimiliki oleh pemerintah desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan
penugasan
ataupun
pendelegasian
dari
pemerintah
ataupun
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu. Sebagai perwujudan demokrasi sesuai dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 maka pemerintahan dalam tatanan pemerintah desa dibentuk Badan Pesmusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang
disesuaikan dengan budaya yang
berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengatur dan pengontrol dalam penyelenggaraan pemerintah desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peratuan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
20
Kemudian sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang definisi Desa yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena ini Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APB Desa adalah rencana keuangan tahunan pemerintah desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, yang ditetapkan dengan Peraturan Desa. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa. Kemudian pemerintah desa menyelenggarakan administrasi pemerintah desa yang baik, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa,
melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa,
21
mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa, membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa dan mengembangkan potensi sumber daya alam serta melestarikan lingkungan hidup. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintah desa kepada Camat dan selajutnya kepada Bupati atau Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada Badan Permusyawaratan Desa, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah desa kepada masyarakat.
Selanjutnya
Kepala
Desa
menginformasikan
laporan
penyelenggaraan pemerintah desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh Bupati atau Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintah desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut. Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada
Bupati
atau
Walikota
melalui
Camat
dan
kepada
Badan
Permusyawaratan Desa.
22
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah serta ditunjang oleh ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta pandangan para ahli, maka peranan Kepala Desa dalam pembangunan di daerahnya sangatlah penting dalam meningkatkan kehidupan masyarakat desa baik secara ekonomi, social, politik guna kehidupan yang lebih sejahtera. Dalam hal ini hiraskis kepemimpinan birokrasi perlu ditunjang oleh kelengkapan hokum yang berlaku terutama terhadap pelimpahan sebagian kewenangan Bupati ke Pemerintah Kecamatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 286 Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
B. SARAN Terhadap hal ini penulis menyarankan agar dapat menjadi perhatian para pembuat kebijakan di daerah agar Otonomi Daerah yang dihajatkan dapat diterapkan lebih efektif menuju otonomi daerah yang mandiri.
23
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa PP No,19 tahun 2008 Tentang Peran dan Pungsi Camat Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk
Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Desa dan Kelurahan. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Sarundayang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, 2000, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Simandjuntak Payaman, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusi, 1998, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Siagian, Sondang. 1995. Organisasi, Kepemimpinan & Perilaku Administrasi. PT. Gunung Agung; Jakarta. Sugiyono, Prof.Dr. 2007, Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta; Bandung. Terry George R., 1986, Azas-Azas Manajemen. Bandung Alumni. Thoha Mifta, Administrasi Kepegawaian Daerah, 1983, Ghalia Indonesia, Balai Aksara Jakarta-Yudhistira, Jakarta. Widjaya A.W, 1986. Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.
24