PENGAWASAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA (Studi Kasus
Desa Modayag Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara)
OLEH FREDIE A. OCHOTAN A. 14202316
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Perubahan Orientasi Pembangunan Desa Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004 – 2009 menyatakan meskipun terdapat kemajuan dalam penegakan hukum dan reformasi birokrasi, kapasitas kelembagaan baik pada Lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Peradilan mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja, koordinasi, antara lemb aga penegakan hukum satu dengan yang lainnya serta dukungan sarana dan prasarana untuk mempercepat pemberantasan korupsi belum optimal. Dijelaskan pula bahwa
belum tuntasnya
pembenahan kelembagaan
penegakan hukum untuk mempercepat pemberantasan korupsi, kendala aparat penegakan hukum untuk bertindak cepat, tepat, dan akurat dalam melakukan penyelidikan
dan
profesionalisme dan
penyidikan kualitas
kasus yang
korupsi
terlihat
dari
kemampuan,
masih jauh dari yang diharapkan, selain
itu pula permasalahan yang mengemuka adalah masih lemahnya sistem pengawasan. Kondisi demikian mendorong terjadinya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang di berbagai tingkatan kekuasaan lembaga – lembaga pemerintah mulai dari tingkat terendah ya itu desa sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Pada ruang lingkup birokrasi hal ini juga terjadi dari jajaran pemerintahan terendah sampai pada tingkat eksekutif pemerintahan. Mekanisme hubungan pusat dan daerah
1
pun cenderung
menganut sentralisasi kekuasaan yang dapat menghambat
penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pemerintah sangat dominan dalam mengatur pemerintahan desa, dengan penyeragaman sistim pemerintahan desa secara nasional (social engineering). Peran masyarakat dalam menentukan pembangunan desanya dibatasi atau sangat kurang. Sementara di aras desa, kekuasaan kepala desa juga mendominasi, peran serta masyarakat tidak diperhatikan. Kepala desa sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memiliki rangkapan jabatan yang cukup banyak baik sebagai perencana, pelaksana dan juga pengawas atau pengendali pembangunan desa. Disamping itu jabatan kepala desa secara ex-officio menjadi ketua LMD dan Ketua Umum LKMD. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
5 tahun 1974
tentang
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa, menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa dan Perangkatnya. Badan Permusyawaratan Desa (BPD), merupakan Parlemen atau Badan Legislatif di tingkat desa yang bersama-sama kepala desa membuat peraturan desa. Pelaksanaan dan penjabaran Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut secara Nasional telah diberlakukan, di desa lokasi penelitian pemberlakuannya secara otomatis pada tahun 2004. Kedudukan kepala desa sejajar dengan BPD (Badan Perwakilan Desa) dan keduanya merupakan mitra kerja. Badan Permusyawaratan Desa mempunyai
2
fungsi sebagai pengayom adat- istiadat dan pengemban tugas menerima, menampung, mengolah dan menyalurkan/menyampaikan aspirasi masyarakat yang disampaikan, serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan desa. Dari beberapa tugas dan fungsi (BPD) tersebut,
di desa penelitian pelaksanaannya telah dilakukan dengan
diterbitkannya beberapa Surat Keputusan Desa menyangkut pelaksanaan kegiatan perkawinan, pemanfaatan fasilitas desa seperti lapangan sepak bola, balai desa bagi kepentingan umum. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979
tentang
Pemerintahan Desa, yang
dikenal dengan
kebijakan otonomi daerah memuat berbagai klausul penting, memperlihatkan dan memberikan penilaian atas kebijakan masa lalu, khususnya mengenai desa. Terlaksananya proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa, berhubungan langsung dengan masyarakat. Pengawasan masyarakat (social control) mempunyai peranan penting demi terlaksananya kegiatan dimaksud.
Dalam proses pelaksanaannya pengawasan
masyarakat
(social control) dapat berlangsung pada tataran dan ruang lingkup tertentu sesuai dengan obyek dan subyek tertentu pula. Kasus–kasus yang nampak dari proses pengawasan masyarakat (social control) yang dilakukan warga desa pada desa penelitian kebanyakan menyangkut permasalahan-permasalahan yang bersifat pelayanan umum (public service) antara lain penyelesaian ganti rugi tanah warga oleh perusahan pertambangan emas, penyaluran beras bagi warga kurang mampu
3
(raskin), diduga warga masyarakat kepala desa melakukan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sejalan dengan tumbuhnya optimisme yang menyertai usaha-usaha tersebut, berbagai hasil studi menemukan bahwa masih ada masalah mendasar yang dapat mempengaruhi kelanjutan dan keberhasilan upaya pemerataan hasilhasil pembangunan di waktu-waktu mendatang. Masalah dimaksud berkenaan dengan praktek kehidupan pada institusi- institusi formal desa yang gejala nya cenderung masih memarginalkan
dan mengesampingkan partisipasi warga
masyarakat desa. Kenyataan ini berlangsung di setiap bidang kehidupan masyarakat, yaitu kurang terakomodasikannya aspirasi
mereka
dalam dinamika yang bekerja
dalam kelembagaan yang bersangkutan, baik pada tahap gagasan, penetapan memutuskan maupun pelaksanaannya dan evaluasi. Kondisi dinamika seperti ini dapat diduga merupakan faktor terpenting yang mendorong dan memberikan ruang pada kinerja institusi formal desa yang terpolakan mengikuti model pada tingkat di atasnya yang terbangun, dan membentuk sebuah korporasi. Kuatnya pengaruh kelompok (korporasi) dalam memperlakukan institusiinstitusi formal di desa menjadikannya sebagai unit perwakilan kepentingan pemerintah tertentu di atasnya sesuai dengan kepentingannya. Lapera (2001) menyatakan di mana pada ma sa Orde Baru
penempatan pemerintahan desa
sebagai badan kekuasaan di tingkat lokal, yang berlangsung di bawah Camat dan kekuasaan yang merupakan sub ordinat dari kekuasaan kabupaten, pada dasarnya adalah menempatkan pemerintah desa tidak lebih sebagai perpanjangan tangan dari negara.
4
Pengawasan masyarakat (social control) penyampaiannya dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui media cetak dan media elektronik dan media lainnya.Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa pengawasan masya rakat (social control) terhadap pemerintah desa dalam hal ini kepala desa dan perangkatnya di bidang pembangunan meliputi : 1. Adanya pengaduan masyarakat di bidang pembangunan, di antaranya penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa. 2. Kasus-kasus yang dilaporkan di antaranya penyimpangan atas pelaksanaan pembangunan. 3. Kurangnya
disiplin
aparatur
Desa
dalam
melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya. 4. Masalah pelayanan aparatur Desa yang kurang baik terhadap pelaksanaan pembangunan. Kasus-kasus dan permasalahan di maksud disampaikan dengan berbagai cara seperti pengaduan langsung kepada perangkat atau pimpinan di tingkat atasnya (Camat, Bupati, DPRD dan Kejaksaan Negeri serta Pengadilan Negeri), melalui pemanfaatan media masa baik cetak maupun elektronik dan bahkan tidak jarang dilakukan dengan demontrasi massa. 1.1.2. Pengawasan Masyarakat Pengawasan adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan atau diadakan untuk penyempurnaan dan penilaian sehingga dapat mencapai tujuan seperti yang direncanakan. Sangat penting untuk mengetahui sampai di mana pekerjaan sudah dilaksanakan, mengevaluasi dan menentukan tindakan korektif
5
atau tindak lanjut, sehingga pengembangan pekerjaan dapat ditingkatkan pelaksanaannya. Dengan demikian pengawasan merupakan segala usaha, kegiatan atau tindakan untuk mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas atau kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Adanya suatu proses perbandingan antara rencana dan pelaksanaan, maka pengawasan dapat disebut sebagai bagian dari manajemen. Hal mana disebut demikian karena dalam proses manajemen
yang lengkap dan sempurna
dilakukannya fungsi- fungsi manajemen, antara lain menurut. Terry sebagaimana dikutip Panglaikim dan Kansil (1960) dalam Supriatna (1997) yaitu meliputi empat fungsi manajemen masing- masing Planning, Organizing, Actuiting, and Controlling. Nawawi (2003) menyatakan
pengawasan masyarakat (social control)
disingkat dalam bahasa Indonesia (Wasmas) adalah setiap pengaduan,
kritik,
saran, pertanyaan dan lain- lain yang disampaikan anggota masyarakat mengenai pelaksanaan
pekerjaan
oleh unit organisasi
kerja
non profit di bidang
pemerintahan dalam melaksanakan tugas pokoknya memberikan pelayanan umum (public service) dan pembangunan untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Zainum (2004) menyatakan terhadap manajemen sumber daya (Wasmas) yang
dapat
dilakukan
masyarakat pun melakukan pengawasan manusia melalui
berupa pengawasan masyarakat media massa, termasuk surat
pembaca, melalui kotak pos 5000, melalui surat ke instansi masing- masing, melalui petisi atau resolusi melalui demonstrasi, melalui lembaga perwakilan, melalui delegasi dan melalui pengaduan ke Pengadilan Umum dan/atau
6
Pengadilan Tata Usaha Negara yang secara khusus menampung
pengaduan
masyarakat bila mana terdapat tindakan melanggar hukum dari pejabat maupun pegawai pemerintah. Keputusan
Presiden Republik Indonesia
Nomor 74
Tahun 2001
tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, pasal 9 ayat (1) menyatakan masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota; pasal (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara perorangan, kelompok maupun organisasi masyarakat. Secara nyata dapat dikatakan bahwa pengawasan masyarakat (social control) dapat diartikan sebagai pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat baik perorangan maupun kelompok, baik secara lisan atau tertulis yang ditujukan kepada organ pemerintah yang berkompoten dalam melaksanakan pelayanan umum (public service) dalam bentuk pikiran, ide/gagasan, maupun keluhan pengaduan yang bersifat positif atau membangun
secara langsung
maupun melalui medium/sarana lain (media massa). Dalam pelaksanaan pengawasan masyarakat (social control) tidak terlepas dari
norma
umum
pengawasan
sehingga
tujuannya
tidak
berorientasi
subyektivitas akan tetapi berorientasi obyektivitas. Pengawasan masyarakat (social control) yang dilakukan masyarakat di desa penelitian, ditujukan kepada pemerintah desa (Kepala Desa dan perangkatnya) sebagai suatu reaksi yang timbul akibat kinerja pemerintah desa yang tidak maksimal dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan secara umum. Dari beberapa permasalahan yang terjadi,
7
bermula dari kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah desa yang tidak melibatkan atau mengikutsertakan warga dalam pengambilan keputusan. Adapun beberapa kasus yang me nonjol di desa penelitian antara lain proses ganti rugi tanah warga oleh perusahan pertambangan emas, tindakan kepala desa mengganti beberapa nama anggota masyarakat yang berhak menerima ganti rugi dengan nama orang lain. Berkaitan dengan kasus yang sama pula kepala desa melakukan pemotongan uang biaya ganti rugi tanah warga dengan alasan untuk partisipasi pembangunan sarana ibadah (Masjid dan Gereja). Atas tindakan ini masyarakat melakukan protes dalam bentuk demonstrasi ke kantor desa dan kecamatan akan tetapi tidak mendapatkan tanggapan positif dari pihak Kepala Desa Modayag dan Camat Modayag, maka oleh masyarakat melaporkan kepada instansi yang berwenang lainnya yaitu Bupati Bolaang Mongondow, DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, Polisi Resort Bolaang Mongondow, dan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara untuk menuntut pertanggung jawaban keuangan hasil pemotongan biaya ganti rugi tanah tersebut. Akhirnya kejadian-kejadian tersebut muncul terekspose pada beberapa media masa lokal, Manado Pos. Mengacu pada permasalahan-permasalahan
tersebut di atas, maka
kejadian di atas menunjukkan bahwa pengawasan masyarakat yang dilakukan oleh warga mengandung arti sebagai suatu bentuk peran serta masyarakat dalam pembangunan desa berbentuk
non fisik. Perwujudan pengawasan masyarakat
(social control) dimaksud untuk merubah sistim perencanaan pembangunan gaya Orde Baru yang (top down) menuju pada bentuk perencanaan pembangunan yang partisipatif (bottom up).
8
1.1.3. Pembangunan Desa Rahardjo (2002) menyatakan, bahwa pembangunan desa memiliki arti pembangunan nasional yang ditujukan pada usaha
meningkatkan taraf hidup
masyarakat desa, menumbuhkan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat desa dan menciptakan hubungan yang selaras antara masyarakat dengan lingkungannya. Pembangunan desa berarti membangun swadaya masyarakat dan rasa percaya diri sendiri. Departemen Sosial Republik Indonesia (1998) menyimpulkan
bahwa
pembangunan
desa
adalah
keseluruhan
kegiatan
pembangunan yang berlangsung di desa dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat
dilaksanakan
secara terpadu dengan mengembangkan swadaya
gotong royong. Beratha (1982) dalam Supriatna (1997) menyatakan pembangunan masyarakat adalah suatu proses yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, tetapi pada permulaan
terutama
mengembangkan ekonomi.
Keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung pada setiap tahapan pembangunan di desa, pelaksanaannya dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Tahapan-tahapan tersebut merupakan siklus yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan menggambarkan suatu sinergis dinamika yang berkelanjutan. Kesempurnaan siklus ini akan menentukan hasil seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat. Batten sebaga imana dikutip Supriatna (1997) menjelaskan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, dimana mereka mendiskusikan kebutuhan dan masalahnya secara bersama, serta
9
merencanakan
masalah yang mereka hadapi secara bersama pula. Umalele
sebagaimana dikutip Supriatna (1997) pembangunan masyarakat desa sebagai upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagian besar penduduk yang berpenghasilan rendah
yang tinggal di daerah pedesaan
seraya menciptakan
pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan masyarakat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dikutip Supriatna (1997) ialah bahwa pembangunan masyarakat merupakan
suatu proses, baik usaha masyarakat sendiri yang berdasarkan
prakarsa, inisiatif, kreativitas, dan kemandiriannya bersama dengan pemerintah memperbaiki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi komunitas yang bersangkutan menjadi integritas bangsa dalam memberikan dukungan bagi kemajuan bangsa dan negara. Pembangunan desa merupakan bagian dari pembangunan masyarakat yang secara khusus dilakukan di desa. Pembangunan desa
adalah proses kegiatan
pembangunan yang berlangsung di desa/kelurahan dan merupakan bagian yang utuh dan tak terpisahkan dari pembangunan nasional yang mencakup seluruh aspek
kehidupan dan penghidupan masyarakat
terpadu, terintegrasi
dengan mengembangkan
dimana dilaksanakan secara potensi sumberdaya alam,
manusia, dan kelembagaannya. Keikutsertaan masyarakat secara langsung pada setiap tahapan pembangunan di desa mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta tindak lanjutnya adalah merupakan kunci keberhasilan pembangunan itu sendiri.
10
Atas
berbagai
kebutuhan
masyarakat,
perencanaan,
pelaksanaan
pembangunan di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow secara umum dan lebih khusus yakni di desa Modayag kegiatan pembangunan dimaksud dilakukan dalam
bentuk
fisik dan
non- fisik.
Kegiatan
fisik
seperti
pelaksanaan
pembangunan sarana transportasi jalan desa, pembangunan sarana gedung peribadatan (Masjid, Gereja), sarana irigasi desa, pembangunan sarana pendidikan,
sedangkan bentuk non fisik yakni penyusunan keputusan desa,
pelayanan administrasi umum lainnya yang didanai oleh swadaya murni masyarakat
melalui penerimaan anggaran pendapatan dan belanja desa dan
bantuan dari pemerintah atas desa serta bantuan dari lembaga lainnya. Pemerintah desa dalam merancang
dan menyusun program kegiatan
pembangunan serta pelaksanaannya bekerja sama dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang mempunyai fungsi dan tugas pokok menggerakkan, menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi anggota masyarakatnya untuk bersama-sama turut serta melaksanakan pembangunan desa secara terpadu baik yang berasal dari kegiatan pemerintah atas desa maupun kegiatan yang didanai dari swadaya murni masyarakat. Hasil musyawarah tentang rencana pembangunan disusun sesuai dengan
skala prioritas dan kemampuan masyarakat desa dan selanjutnya
dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Desa. Adapun untuk kegiatan pembangunan lainnya yang tidak dapat dibiayai atau didanai oleh masyarakat melalui swadayanya, hal ini diajukan ke tingkat pemerintah lebih tinggi melalui forum diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) dan Temu karya LKMD tingkat kecamatan dan
kelanjutan proses
11
tersebut
diajukan
melalui
Rapat
Koordinasi Pembanguna n (Rakorbang)
Kabupaten dan Provinsi. Dalam penyusunan rencana pembangunan diperlukan adanya kesepakatan dan komitmen bersama tentang apa yang perlu dan akan dibangun atau diperbaiki atau ditingkatkan. Konsep rencana pembangunan tersebut tidak lain memuat halhal yang dapat menjawab berbagai kebutuhan masyarakat antara lain : 1. Tujuan yang diinginkan masyarakat 2. Kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk mencapai tujuan. 3. Waktu bilamana kegiatan dilaksanakan. 4. Pelaksana dan penanggung jawabnya. 5. Dari mana sumber dana dan jumlah dana yang diperlukan. Adapun
hasil
yang
diperoleh
dalam
pelaksanaan
musyawarah
pembangunan desa adalah dalam bentuk konsep; (a) rencana pembangunan yang dibiayai dengan swadaya murni masyarakat, (b) rencana pembangunan yang dibiayai denga n bantuan pemerintah atas, (c) gabungan dari kedua rencana pembangunan yang
dibiayai
dari swadaya dan program pemerintah atas,
(d) rencana pembangunan yang diusulkan kepada pemerintah atas. Pelaksanaan musyawarah pembangunan desa dilakukan setiap tahun, yang berperan di dalamnya adalah pengurus LKMD dan kepala desa. Pejabat pemerintah
atas
yang
diundang
adalah
Dinas/instansi/UPT di tingkat Kecamatan,
Camat,
Kepala
Seksi
PMD,
pengurus BPD, tokoh masyarakat,
kepala seksi pembangunan desa, RT/RW. Dalam musyawarah tersebut dihasilkan konsep Rencana Pembangunan Tahunan Desa ( RPTD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD).
12
1.1.4. Dampak Pembangunan Desa Dampak adalah suatu perubahan
yang terjadi sebagai akibat
suatu
aktivitas, Sumarwoto sebagaimana dikutip Amirudin (1997). Sedangkan menurut Suratmo dalam Amirudin (1997), dampak atau impak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan yakni kepentingan pembangunan proyek dengan kepentingan usaha melestarikan lingkungan sosial. Dengan kata lain dampak adalah setiap fakta perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat Albrecht, 1991)
adanya aktivitas manusia.
(Chadwick, Bahr, dan
dalam Amirudin (1997) dampak juga dapat didefinisikan
sebagai perubahan dalam kondisi ekonomi, sosial dan kependudukan yang sudah mapan atau sedang berkembang, yang disebabkan oleh pengenalan suatu proyek baru. Dampak dari suatu aktivitas (pembangunan) dapat bersifat biofisik, sosialekonomi, dan budaya. Dampak primer biofisik – sosial – ekonomi dan budaya secara langsung dapat mempengaruhi sasaran kesejahteraan yang ingin dicapai. Akan tetapi dapat juga terjadi dampak primer itu menimbulkan dampak sekunder, tersier, dan seterusnya (Sumarwoto sebagaimana dikutip Amirudin 1997). Menurut Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 yang dimaksud
dengan dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomo r 51 Tahun 1993 menyatakan perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan.
13
Secara skematis
terjadinya dampak
dapat digambarkan seperti
pada Gambar 2.
PEMBANGUNAN
DAMPAK SOSIAL EKONOMIDAN BUDAYA
DAMPAK BIOFISIK
DAMPAK SOSIAL EKONOMIBUDAYA
DAMPAK BIOFISIK
TUJUAN : KENAIKAN KESEJAHTERAAN
Gambar 2. Terjadinya Dampak Akibat Suatu Kegiatan. Sumarwoto dalam Amirudin (1997). Pada kasus-kasus yang terjadi di desa penelitian, dampak timbul oleh suatu kegiatan pembangunan, yakni pada komponen
kegiatan
pembangunan
sarana peribadatan, pembangunan jalan lorong, pembangunan satu unit menara / tower transmisi gelombang serat optik, proses ganti rugi tanah perkebunan warga untuk kepentingan investasi pembangunan industri pertambangan. 1.2. Perumusan Masalah Berbagai kekurangan-kekurangan yang merupakan kelemahan pelaksanaan pemerintahan desa pada masa yang lalu pada dasarnya disebabkan oleh (1) kontrol masyarakat yang lemah terhadap pemerintah desa (Kepala desa dan perangkatnya), (2) adanya dominasi Kepala Desa pada jabatan-jabatan strategis
14
pemerintahan desa sehingga terjadinya perangkapan jabatan, secara ex-offisio sebagai Ketua Umum LKMD dan Ketua LMD, (3) dimana kondisi ini di satu pihak kepala desa sebagai pelaksana juga
sebagai lembaga perencana dan
pengawas (4) desa dijadikan sasaran program pemerintah tingkat atas dimana program yang dilaksanakan tidak menyentuh kebutuhan strategis masyarakat desa, (5) masyarakat tidak diberikan akses dan ruang yang cukup untuk menyalurkan aspirasinya (bergainning position) dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Bergulirnya
reformasi
di
berbagai
bidang
kehidupan
bernegara,
bermasyarakat memberikan ruang dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk mengakses berbagai kepentingannya. Dengan adanya reformasi terjadi perubahan yang diharapkan mampu dan dapat mengakomodasikan berbagai tuntutan akan kepentingan masyarakat desa. Kiranya pengawasan masyarakat (social control) dalam pelaksanaannya dapat mencerminkan wujud hubungan dua arah antara pemerintah sebagai aktor pelaku pengendali masyarakat (social engineering) dan masyarakat sebagai aktor pelaku pengawasan masyarakat (social control), dan diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi
aktif dalam pelaksanaan pembangunan mulai
dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dengan keinginannya masyarakat kiranya memberikan respon
terhadap pelaksanaan pembangunan, sedangkan
pemerintah desa (Kepala Desa dan perangkat) diharapkan dengan kearifannya dapat menangkap, memahami keinginan masyarakatnya.
15
Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, peneliti mencoba merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah mekanisme pengawasan masyarakat
(social control) dalam
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Bagaimanakah tanggapan dan respons pemerintah desa (kepala desa dan perangkatnya) terhadap pengawasan yang dilakukan masyarakat. 3. Bagaimanakah penekanan pengawasan masyarakat dapat memperbarui pelaksanaan kegiatan pembangunan desa. 1.3. Tujua n Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah bagaimana mendapatkan gambaran dan
mengetahui
tentang
pengawasan
masyarakat
terhadap
pelaksanaan
pembangunan desa di desa Modayag. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis pemahaman masyarakat tentang pengertian pembangunan desa. 2. Menganalisis keikutsertaan / keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. 3. Menganalisis pengawasan masyarakat (social control)
dalam pelaksanaan
pembangunan desa. 4. Menganalisis respons pemerintah desa (kepala desa dan perangkat) terhadap pengawasan masyarakat di bidang pemerintahan, pembangunan
dan
kemasyarakatan.
16
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian tentang
pengawasan masyarakat (social control) terhadap
pelaksanaan pembangunan dan pemerintah di desa Modayag diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh pemahaman tentang penerapan teori-teori pengawasan pembangunan pada kehidupan masyarakat desa. 2. Memberikan
masukan
kepada
pemerintah
daerah
dalam
upaya
penyempurnaan kebijaksanaan operasional pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan daerah dan pembangunan desa khususnya.
17
BAB II METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Metode Kualitatif Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan
penelitian kualitatif, menggunakan strategi studi kasus dengan menerapkan multi metode dalam pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langs ung dan studi dokumen Menurut
Crewell dan Yin sebagaimana dikutip Agusta, (1998).
Denzim dan Lincoln dalam Agusta (1998)
kata ”kualitatif”
menekankan kepada proses dan makna dengan menganalisis dan memahami pola dan proses sosial masyarakat, yang diakui tidak dapat di ukur dan diuji secara tepat (rigorously examined) dalam konteks kuantitas, jumlah, intensitas, dan frekwensi.
Dalam penelitian ini akan diteliti
proses pengawasan
masyarakat (social control) dalam pelaksanaan pembangunan desa. Menurut Yin sebagaimana dikutip Agusta (1998), studi kasus memadai sebagai pilihan strategi penelitian untuk menjawab ”bagaimana” atau ”mengapa”, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang
untuk mengontrol peristiwa-
peristiwa ya ng akan diteliti, serta fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata. Pertanyaan tersebut menekankan pada usaha memahami, menganalisis dan menafsirkan gejala dan proses pengawasan dari golongan masyarakat /warga terhadap elit pemerintah (Kepala Desa dan perangkatnya) pada suatu komunitas tertentu.
2.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Modayag, Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, (Gambar 1, 2 dan 3), yang dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Desa Modayag adalah ibu kota Kecamatan Modayag, dengan latar belakang penduduk dari beragam etnis, masing- masing etnis Mongondow, etnis Minahasa, etnis Jawa, etnis Sangihe dan Talaut, etnis Gorontalo, etnis Batak, etnis Toraja, dan etnis keturunan Cina. Dari beberapa etnis tersebut etnis Mongondow
merupakan
etnis
yang
paling
banyak
jumlahnya
dan
mendominasi posisi struktur pemerintahan dan kelembagaan di desa. Hal ini menimbulkan kontravensi dengan etnis lain, seperti pada kasus ganti rugi tanah warga, dalam daftar nama- nama penerima dana ganti rugi, Kepala Desa menggantikan atau menukarkan nama warga dari etnis lain dengan etnis Mongondow. Kontravensi ini terjadi pada pertemuan-pertemuan seperti
pada
acara
pernikahan. Hal serupa
syukuran/selamatan,
pertemuan
rukun
warga keluarga,
terjadi pula pada pendaftaran nama-nama warga
penerima beras Raskin, dimana yang terdaftar dan menerima beras raskin terbanyak adalah etnis Mongondow atau yang dekat hubungannya dengan Kepala Desa dan keluarganya. 2. Peneliti bertempat tinggal di desa tersebut. Sepengetahuan peneliti dari ke tiga kepala desa terakhir (saat ini) pernah dilaporkan oleh masyarakat kepada pejabat tingkat atasnya yang berwenang (Bupati, DPRD, Camat). Hal ini menunjukkan berjalannya proses pengawasan masyarakat (social control) terhadap pemerintah desa dimana warga masih tetap menuntut pertanggung
19
jawaban Kepala Desa atas penggantian nama- nama mereka dengan nama orang lain pada proses ganti rugi tanah pertambangan emas. 3. Studi lapangan dalam penelitian ini dilakukan selama kurang lebih satu bulan yaitu terhitung mulai tanggal 1 Agustus sampai
dengan
tanggal
1 September tahun 2005. Dalam periode waktu tersebut bentuk-bentuk pengawasan masyarakat (social control) masih muncul dalam bentuk gugatan hukum dan pertanggung jawaban berkaitan dengan ganti rugi tanah untuk pertambangan, Raskin, dan rencana pemilihan kepala desa. Akhir penelitian ini pada bulan September 2005. (Tabel 1.). Tabel 1. Jadwal Penelitian.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kegiatan Penyusunan Proposal Kolokium Proposal Perbaikan Proposal Pengumpulan Data Lapangan Analisis Data Lapangan Penyusunan Draf Laporan Seminar Hasil Penelitian Perbaikan Draf Laporan Ujian
Juli 1 2 3
4 1
Agustus September 2 3 4 1 2 3 4
Lokasi Kampus IPB Kampus IPB Kampus IPB Lokasi penelitian Lokasi penelitian, Kampus IPB. Lokasi penelitian/ Kampus IPB Kampus IPB Kampus IPB Kampus IPB
20
GAMBAR 1. PETA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW DAN KECAMATAN DI DALAMNYA
21 PROPINSI GORONTALO
LAUT SULAWESI
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow.
GAMBAR 2. PETA DESA MODAYAG DAN DESA -DESA LAIN DI KECAMATAN MODAYAG KEC. PASSI
KEC. KOTAMOAGU
KEC. KOTABUNAN
KEC. NUANGAN
PETA DESA MODAYAG
Sumber : Kantor Camat Modayag
22
GAMBAR 3 . SKETSA DESA MODAYAG
23
2.3. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan hipotesis, maka metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif dengan strategi studi kasus. Tahap pertama dalam pengumpulan data ini adalah pemilihan responden dan informan. Responden dan informan dipilih secara sengaja (purposive) menurut hal, peristiwa, struktur masyarakat dan situasi yang ada kaitannya dengan topik penelitian (Tabel 2.) menunjukkan dalam penelitian ini, responden yang diambil berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari unsur Badan Perwakilan Desa (BPD) elit ekonomi, elit politik dan unsur pemerintah desa (Kepala Desa dan perangkatnya) warga masyarakat serta sumber lain yang dapat memberikan informasi sesuai dengan topik penelitian. (Tabel 3). Tabel 2. Topik Wawancara TOPIK
SUB TOPIK
1 1. PEMBANGUNAN
2 DESA
1. Mekanisme Perencanaan kegiatan pembangunan. 2. Mekanisme pelaksanaan pembangunan 3. Mekanisme evaluasi 4. Manfaat dan kegunaan Pembangunan.
2. DAMPAK PEMBANGUNAN 1. Dampak fisik. 2. Dampak non fisik DESA
SUMBER INFORMASI 3
METODE 4
1.Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, (BPD)Badan Perwakilan Desa, Masyarakat.
- Wawancara - Pengamatan
1. Aparat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Masyarakat : - Pro Aparat - Kontra Aparat 2. Masyarakat : - Pro Aparat - Kontra Aparat
- Pengamatan - Wawancara
1.Aparat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD).
- Wawancara - Pengamatan
- Pengamatan - Wawancara
3. PENGAWASAN MASYARAKAT
1. Maksud dan Tujuan pengawasan. 2. Bentuk–bentuk pengawasan. 3. Sasaran Pengawasan 4. Bila mana pengawasan dilakukan. 5. Kapan pengawasan dilakukan.
4. RESPON PEMERINTAH DESA
1. Tanggapan Pemerintah atas 1.Aparat Desa, Badan - Wawancara pengawasan yang dilakukan Perwakilan Desa (BPD), - Pengamatan warga. 2. Perubahan apa yang terjadi /konkrit atas pengawasan masyarakat. 3. Bentuk-bentuk respon apa yang muncul dari pemerintah .
24
Tabel 3. Responden Penelitian JENIS KELAMIN LAPISAN MASYA RAKAT
Pemerintah Desa Masyarakat Desa
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
Aparat Desa BPD Pro Aparat Desa
1 2 3
4
Kontra Aparat Desa
5
6
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah tahap pengumpulan data. Data diperoleh melalui teknik bola salju (Snow Ball), yaitu proses pengumpulan data secara
bertahap
dan
berlapis, dimana
setiap
ketambahan
data
akan
menambah kelengkapan dan kedalaman data yang diperoleh. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interviewing) dengan pedoman pertanyaan selain dari pada itu pula dilakukan juga pengamatan (observation). Data primer diperoleh dari subyek penelitian dan informan yang bekerja sama dalam menggali informasi
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
topik penelitian. Bila data yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diperlukan, maka dilanjutkan dengan metode triangulasi (metode yang berfungsi untuk melakukan cross check) yang berkaitan dengan topik penelitian. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti kantor Desa, Kecamatan, kantor Bupati, Badan Pengawas Kabupaten, media massa cetak dan arsip atau dokumen yang berkaitan dan sesuai dengan topik penelitian (Tabel 3.) Dari
semua
data
yang
diperoleh, dicatat
dalam catatan harian peneliti
(Lampiran 2. ), isi catatan harian peneliti memuat seluruh catatan fakta- fakta, teori/konsep yang diperoleh di lapangan dan catatan metodologi.
25
2.4. Analisis Data Analisis data dengan cara kualitatif melalui telaan data primer dan sekunder, kemudian disusun dan dikategorikan sesuai dengan masing- masing unit analisis. Analisis kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Reduksi data adalah merupakan kegiatan pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, mengabstraksikan, dan mentransformasikan data kasar yang terdapat pada catatan-catatan lapangan.
Pembangunan Desa - Fisik - Non Fisik
Respon Aparat - Koreksi Kinerja - Memberikan Penjelasan
Dampak - Fisik dan - Non Fisik
Pengawasan Masyarakat - Nilai dan Norma Adat - Hukum dan Sanksi Adat - Pengetahuan / kearifan lokal (indigenous knowledge).
Gambar 4. Pengawasan Masyarakat Dalam Pembangunan Desa
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pembangunan desa yang dilakukan oleh pemerintah desa yang berwujud fisik dan non fisik akan memberikan dampak kepada masyarakat atau warganya. Dampak tersebut dapat
26
berupa dampak positif ataupun dampak negatif. Dari dampak negatif pembangunan fisik dan non fisik ini, maka secara langsung akan mendorong warga untuk melakukan pemerintah. Dengan
pengawasan masyarakat (social control) terhadap
pengawasan masyarakat (social control) maka akan
merespon pemerintah desa dalam pelaksanaan kinerjanya sebagai lembaga pemerintah ataupun subyek pribadinya sebagai oknum. Adanya perubahan kinerja aparat sebagai respon terhadap pengawasan masyarakat (social control) akan memberikan pengaruh yang positif pada pelaksanaan pembangunan berikutnya. Proses tersebut merupakan suatu dinamika yang berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu secara siklikal.
27
GAMBAR. 2. PETA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW DAN KECAMATAN DI DALAMNYA
25 PROPINSI GORONTALO
LAUT SULAWESI
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow.
GAMBAR 3. PETA DESA MODAYAG DAN DESA -DESA LAIN DI KECAMATAN MODAYAG KEC. PASSI
KEC. KOTAMOAGU
KEC. KOTABUNAN
KEC. NUANGAN
PETA DESA MODAYAG
Sumber : Kantor Camat Modayag
GAMBAR . 4 . SKETSA DESA MODAYAG
27
BAB III KONTEKS LOKASI 3.1. Pengawasan Di Kabupaten Bolaang Mongondow Pengawasan menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Sugandha dalam Alamsyah 1998), dilakukan oleh Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara terhadap eksekutif yang bertindak sebagai penyele nggara Negara. Pengawasan keuangan (financial control)
dilakukan
oleh
badan
pemeriksa
keuangan
(BPK).
Pengawasan legislatif (legislative control) dilakukan oleh DPR. Pengawasan hukum (yudicial control) dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan pengawasan pertimbangan (advisory control) dilakukan oleh DPA. Pengawasan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 15 tahun 1983, (Sujamto dalam Alamsyah 1998) dilakukan oleh (1) Badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP), (2) Inspektorat jenderal departemen dalam negeri dan aparat pengawas lembaga pemerintah non departemen/instansi pemerintah lainnya, (3) Badan pengawas provinsi dan badan pengawas kabupaten/kota. Dengan demikian secara struktural pengawasan di Indonesia mencakup pengawasan pada tingkat lembaga tinggi negara, dan pengawasan pada tingkat penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara operasional dikenal berbagai macam pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah, yang menurut LANRI (1992) dapat dibedakan sebagai berikut : 1). Berdasarkan subyek yang melakukan pengawasan dalam administrasi Negara Indonesia dikembangkan empat macam pengawasan, yaitu ; - Pengawasan Melekat, pengawasan yang dilakukan setiap pimpinan terhadap bawahan dalam satuan kerja yang dipimpinannya.
28
- Pengawasan Fungsional,
pengawasan yang dilakukan
oleh aparat yang
tugas pokoknya melakukan pengawasan seperti badan pengawas propinsi, inspektorat jenderal, BPKP, serta deputi-deputi pengawasan pada lembaga non departemen atau badan lainnya. - Pengawasan
legislatif,
pengawasan
yang
dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat baik dipusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). - Pengawasan masyarakat, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik secara langsung, maupun melalui media massa. 2). Berdasarkan cara pelaksanaannya dibedakan : - Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilaksanakan
di tempat
kegiatan berlangsung dengan membedakan inspeksi dan pemeriksaan. - Pengawasan tidak langsung , yaitu pengawasan yang dilaksanakan dengan membedakan pemantauan dan pengkajian laporan dari pejabat satuan kerja yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, pengawasan legislatif, dan pengawasan masyarakat. 3). Berdasarkan waktu pelaksanaan pengawasan dibedakan ; - Pengawasan sebelum kegiatan. - Pengawasan selama kegiatan. - Pengawasan sesudah kegiatan. Menurut Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983, pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan dengan sasaran sebagai berikut : (1). Agar pelaksanaan
tugas umum pemerintahan
dilakukan secara tertib
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan
29
sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai daya guna, hasil guna, dan tepat guna yang sebaik-baiknya. (2). Agar pelaksanaan pembangunan dilakukan sesuai dengan rencana program pemerintah
serta peraturan perundangan yang berlaku sehingga tercapai
sasaran yang ditetapkan. (3).
Agar hasil
pembangunan
dapat
dinilai
seberapa jauh tercapai untuk
memberikan umpan balik berupa pendapat, kesimpulan dan saran terhadap kebijaksanaan, perencanaan, pembinaan, dan pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. (4). Agar sejauh mungkin mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran, dan penyimpangan
dalam
penggunaan
wewenang,
tenaga,
uang,
dan
perlengkapan milik Negara, sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berhasil guna, dan berdaya guna. Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai badan yang dibentuk dan didasarkan pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 38 tahun 2000 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow Desember 2000, Peraturan Menteri Dalam
tanggal
30
Negeri 16 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penanganan Pengaduan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri tanggal 7 Mei 2003. Menyadari akan pentingnya peranan pengawasan
masyarakat (social
control), pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow mengajak warga masyarakat untuk ikut serta dalam melakukan pengawasan pembangunan melalui
30
saluran-saluran yang tersedia baik formal dan informal untuk menampung atau mewadahi berbagai aspirasi dan tanggapan atas penyelenggaraan proses pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Bolaang Mongondow. Masukanmasukan dari masyarakat tersebut direspons secara positif dan ditindak lanjuti untuk kepentingan penyelenggaran proses pemerintahan itu, untuk dan
demi
masyarakat itu sendiri, sesuai Peraturan Daerah Nomor 25 tahun 2003 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan di daerah Kabupaten Bolaang Mongondow. Untuk mengetahui laporan pengaduan masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Gambar 5.
D P R D)
DINAS TEKNIS
BUPATI
PENGADILAN
KEJAKSAAN
KEPOLISIAN
BADAN PENGAWAS
M A S
Y A R
A K
A
T
Ket : Garis laporan masyarakat. Garis koordinasi antar Pimpinan Daerah, Dinas terkait.
Gambar 5. Alur Laporan Pengaduan Masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow. Laporan
masyarakat baik
perorangan,
kelompok
dan
lembaga,
disampaikan atau ditujukan kepada pemerintah dan jajarannya di daerah. Berdasarkan laporan masyarakat tersebut maka badan pengawas daerah, dinas teknis, lembaga legislatif dan yudikatif sesuai dengan kewenangannya, merespons
31
laporan masyarakat dan mengambil langkah penyelesaian permasalahan dimaksud. Adapun masing- masing instansi dalam menanggapi dan menyelesaikan laporan masyarakat yang diterima, dalam prosesnya berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan dasar ketentuan-ketentuan,
peraturan masing- masing
institusi dan tata cara, mekanisme dan prosedur pada masing- masing instansi. Akan tetapi di antara instansi ini secara bersama melakukan koordinasi antar institusi dalam proses penyelesaian setiap permasalahan/laporan masyarakat, agar di dalam pencapaian hasil akhir dari penyelesaian permasalahannya benar-benar dilakukan secara obyektif
dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum
kepada masyarakat. Adapun bentuk koordinasi yang dilakukan yakni apabila ada pejabat atau oknum pejabat yang terkait dalam suatu kasus tindak pidana baik pidana umum maupun pidana khusus (korupsi), oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, dalam proses pengusutannya akan memohon kepada Bupati untuk menerbitkan Surat Ijin Pemeriksaan (SIP) sebagai atasan langsung yang bersangkutan. 3.1.1. Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow menjalankan tugas dan fungsinya sebagai badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tentang Otonomi
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten
Bolaang Mongondow
nomor
38
Tahun 2000 tentang
Struktur Organisasi
Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow tanggal 30 Desember 2000. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 74 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyelesaian Kasus Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Lembaga Departemen
32
Dalam Negeri, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri tanggal 7 Mei 2003, sebagai dasar hukum pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di daerah. Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow menerima laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan langsung maupun tidak langsung dalam bentuk tertulis (surat) ataupun lisan (tatap muka, demonstrasi massa, perorangan atau kelompok) ataupun laporan yang disampaikan melalui media masa cetak (harian, mingguan, tabloi dan lain- lain). Oleh bagian tata usaha laporan dimaksud dicatat atau dibukukan dalam buku agenda surat masuk dan buku agenda inventaris laporan pengaduan masyarakat. Adapun tata cara pelaksanaan penanganan kasus pengaduan masyarakat pada instansi badan pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow adalah sebagai berikut : I. Penatausahaan Pengaduan Pada tahap proses ini, berkas surat-surat pengaduan, informasi langsung yang diterima badan pengawas kabupaten meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut : A. Penerimaan : 1. Sumber Pengaduan, Lembaga tertinggi / tinggi Negara, Departemen / lembaga non departemen, Badan/lembag/Instansi daerah , Badan hukum, Mass media, Organisasi masyarkat, Partai politik, Perorangan. 2
Surat-surat pengaduan yang sifatnya penting
dan strategis
serta
penanganannya perlu segera dilakukan, setelah diagendakan di bagian administrasi, disampaikan kepada kepala
badan pengawas
untuk
33
mendapatkan petunjuk lebih lanjut copy surat pengaduan disampaikan kepada kepala bagian evaluasi dan pelaporan. 3
Surat pengaduan yang dimaksud meliputi surat-surat sebagai berikut : Surat pengaduan
masyarakat / le mbaga / instansi
yang disampaikan
langsung kepada Menteri Dalam Negeri dan atau Inspektur Jenderal yang mempunyai muatan informasi tentang adanya penyimpangan dan tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negeri sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. 4
Surat penyaluran pengaduan dari kantor Menpan atau Tromol Pos 5000 dan pelimpahan dari lembaga pemerintah lainnya
yang oleh instansi
tersebut ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri. 5
Tembusan surat pengaduan, dan tembusan surat pengaduan dari Menpan /Tromol Pos 5000 dan lembaga pemerintah lainnya yang oleh instansi tersebut
ditujukan (antara lain)
kepada
Inspektur Jenderal dan atau
Menteri Dalam Negeri. B. Inventarisasi Surat Pengaduan Proses inventaris surat-surat dilaksanakan oleh bagian evaluasi dan pelaporan meliputi kegiatan sebagai berikut : 1. Pencatatan Data surat pengaduan oleh bagian administrasi mencakup data-data sebagai berikut : a. Nomor agenda, tanggal agenda, tanggal surat masuk, katagori surat perihal surat. b. Data pelapor ; nama, alamat, kab/kota /provinsi, katagori pelapor.
34
c. Data terlapor; Nama, Nip/Nrp, jabatan , instansi terlapor, katagori instansi. d. Lokasi kasus, meliputi Kabupaten/kota, provinsi, negara, e. Materi pokok pengaduan 2. Klasifikasi, adalah proses pengelompokan surat-surat pengaduan sesuai kaidah dan standart yang ditetapkan. a. Berkadar
pengawasan,
pengaduan yang mempunyai identitas
pengiriman yang jelas, isinya mengadung informasi adanya dugaan atau indikasi
terjadi penyimpangan/penyalahgunaan wewenang
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku. b. Tidak berkadar pengawasan, isi surat mengandung informasi, himbauan, permintaan sumbangan pikiran, saran, dan kritik terhadap penyelenggaraan pemerintah. c.
Pengelompokan surat merugikan
pengaduan menurut masalah; kasus yang
negara/daerah,
kewajiban penyetoran kepada negara/
daerah, pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, pelanggaran terhadap prosedur dan tata kerja ya ng ditetapkan, penyimpangan ketentuan anggaran, hambatan terhadap kelancaran pelaksanaan proyek dan tugas pokok, kelemahan adminstrasi,
pelanggaran
terhadap pelayanan masyarakat, lingkungan hidup. II. Pengkajian, konfirmasi, dan pelaporan surat pengaduan A. Pengkajian Pengkajian pengaduan adalah proses mempelajari materi surat pengaduan yang diterima. Hasil pengajian berupa rekomendasi atau usul
35
penanganan dalam bentuk surat nota dinas. Rekomendasi disampaikan kepada kepala badan berupa usulan sebagai kegiatan sebagai berikut: 1. Bahan pemantauan, apabila surat pengaduan yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku merupakan kewenangan pejabat sesuai hirarkhis, atau instansi lain tetapi loksi kejadian berada dalam wilayah kerja badan pengawas bersangkutan. 2. Bahan klarifikasi, apabila pengaduan yang diterima, berkadar pengawasan namun menurut pengkajian terdapat hal yang meragukan, tidak jelas atau sumir. 3. Konfirmasi, apabila surat pengaduan yang diterima berkadar pengawasan dengan identifikasi jelas, tetapi materi yang diadukan diragukan kebenarannya dan dipandang perlu memberikan penjelasan
mengenai
permasalahan yang diadukan. 4. Pemeriksaan, apabila surat pengaduan yang diterima pengawasan dan menurut pengkajian dan konfirmasi
berkadar
perlu dilakukan
pemeriksaan. B. Pemeriksa dan Penelitian Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow, pada tahap proses pembentukan tim pemeriksa dan penelitian ini, kegiatan yang dilaksanakan yaitu berdasarkan isi disposisi kepala Badan Pengawas Kabupaten, Sekretaris kantor sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya antara lain membentuk tim pemeriksa /peneliti untuk melakukan penelitian dan pemeriksaan di lapangan. Adapun proses pembentukan tim pemeriksa dan penelitian di lapangan dilakukan berdasarkan pada struktur organisasi dan tata kerja Badan Pengawas Kabupaten Bolaang
36
Mongondow. Struktur organisasi dan tata kerja badan pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow terdiri dari kepala badan, kepala tata usaha (sekretaris), kepala bidang
pemerintahan dan pertanahan, kepala bidang ekonomi dan
pembangunan, kepala bidang kesejahteraan sosial, kepala bidang keuangan dan perlengkapan, kepala bidang kesatuan bangsa, perlindungan masyarakatan dan kepegawaian, serta Penunjukan
seksi-seksi sesuai pada bidang-bidang
masing- masing.
anggota personil tim dilakukan berdasarkan pada latar
belakang pendidikan dan keahlian yang telah diperoleh selama dalam pendidikan internal pengawasan. Dari hasil kegiatan penyusunan tim pemeriksa dan peneliti maka terbentuklah struktur susunan tim
yang
terdiri dari ketua, sekretaris,
pengendali tim dan anggota. Kegiatan tim tersebut sebelum turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian atas laporan pengaduan masyarakat melakukan identifikasi atas isi laporan pengaduan masyarakat. Sebelum tim pemeriksa/peneliti turun ke lapangan, tim berkewajiban mengindentifikasi isi laporan pengaduan masyarakat tersebut. Adapun proses identifikasi ini bertujuan untuk menganalisis isi laporan,
serta untuk
mendapatkan indikator- indikator yang terkandung dalam laporan. Dengan diketahuinya indikator-indikator yang terkandung dalam laporan maka dapat pula diketahui oleh tim
hal- hal apa yang
berhubungan dalam
pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian nanti di lapangan. Yang dimaksud dengan hal-hal yang berhubungan dalam pemeriksaan dan penelitian di lapangan adalah obyek, subyek, data dan fakta tertulis dan lisan (hasil wawancara) yang diperlukan untuk dijadikan alat periksa serta bahan analisa tim dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaan dan penelitian. Pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian atas laporan pengaduan masyarakat yang dilakukan tim pemeriksa dan peneliti
37
di lapangan. Berdasarkan surat perintah tugas yang diterbitkan atau yang dikeluarkan oleh kepala badan pengawas atas nama Bupati atau pejabat yang berwenang (Bupati, Wakil Bupati) sebagai dasar hukum perintah melaksanakan pemeriksaan
dan penelitian
atas laporan yang
disampaikan masyarakat
di lokasi, instansi atau di wilayah (desa, kelurahan, kecamatan). Adapun laporan masyarakat yang diterima oleh Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow selang enam tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel. 4. Laporan Masyarakat pada Kantor Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow selang tahun 2000 s/d 2005. URAIAN BIDANG N0
1 1 2 3 4 5 6
TAHUN
2 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah
JML PEMERINTA HAN
PEMBANGU NAN
KEMASYARA KATAN
3 5 7 5 6 8 9 40
4 4 3 6 8 7 5 33
5 3 3 4 2 5 6 23
6 12 13 15 16 20 20 86
STATUS PENANGANAN
7 Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai Selesai
% SELESAI
8 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 %
Sumber : Kantor Badan Pengawas Kab. Bolaang Mongondow
Selama enam tahun terakhir, 86 kasus pengaduan masyarakat yang dilaporkan kepada Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow, mencakup bidang pemerintahan terdapat (40 kasus ), bidang pembangunan berjumlah (33 kasus) dan bidang kemasyarakatan (23 kasus). Dari ketiga bidang masalah tersebut dapat dikategorikan pula laporan yang berasal masyarakat, yakni penyalahgunaan wewenang, pelayanan masyarakat, korupsi/pungutan liar, aparat, pertanahan / perumahan, hukum / peradilan, kewaspadaan nasional, tata laksana birokrasi, dan lingkungan hidup. Badan Pengawas
menyelesaikannya secara
tuntas dengan status penanganan selesai.
38
Kasus-kasus yang dilaporkan warga kepada instansi/dinas dan lembaga pemerintah yang lain (DPRD, Pengadilan Negeri, dan Kejaksaan Negeri) di Kabupaten Bolaang Mongondow antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kegiatan DPRD Menerima Delegasi/Demonstrasi Kelompok Massa Masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow tahun 1999 s/d 2005 BENTUK KUNJUNGAN NO.
TAHUN
DEMONTRASI
1 1 2 3 4 5 6
2 2000 2001 2002 2003 2004 2005 JUMLAH Sumber : Kantor DPRD
JUMLAH
TATAP MUKA
3 4 42 22 23 25 48 32 31 18 37 26 35 32 216 155 Kabupaten Bolaang Mongondow
5 64 48 80 49 63 67 371
Laporan masyarakat yang dilakukan secara tatap muka langsung maupun dengan cara melakukan demonstrasi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berjumlah 371 kasus. Dari jumlah kasus sebanyak ini hampir mencapai rata-rata 50 - 65 persen pengaduan masyarakat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan cara demonstrasi massa. Sedangkan tatap muka langsung tanpa melakukan demonstrasi sebesar 40 – 42 persen. Tabel 6. Jumlah Laporan Tindak Pidana Khusus Pada Kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu Tahun 2000 s/d 2005. NO. 1 1 2 3 4 5 6
TAHUN 2 2000 2001 2002 2003 2004 2005 JUMLAH
EKONOMI PEMBANGUNAN 3 3 4 2 6 5 5 25
4 7 9 11 5 7 10 47
JUMLAH 5 10 13 13 11 12 15 72
Sumber : Kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu.
39
Dari Tabel 6. tersebut secara keseluruhan ada kecenderungan peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan masyarakat di kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu. Pada tahun 2003 khusus untuk bidang pembangunan
laporan
masyarakat mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu rata-rata setiap tahun antara 2 hingga 3 kasus laporan yang disampaikan. Kasus – kasus pada bidang pembanguan ini terjadi pada proses-proses kegiatan pelaksanaan perencanaan, proses tenderisasi proyek pada dinas-dinas daerah, pelaksanaan kegiatan fisik dan non fisik, pada penyaluran dana KUT tahun-tahun sebelumnya, serta pada laporan atas kegiatan ilegal loging di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Dari sekian kasus yang masuk, beberapa diantaranya telah disidangkan di Pengadilan Negeri Kotamobagu dan telah mendapatkan putusan hukum tetap, sedangkan yang lainnya masih dalam tahap perampungan berkas penuntutan.Gambar 6. menunjukan bentuk pengawasan masyarakat yang dilakukan melalui demonstrasi massa dibawah ini.
Gambar 6. Demonstrasi massa di kantor DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow
3.1.2. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan fungsinya Berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
40
Daerah
tanggal 15
Oktober 2004, Bab XI
Bagian Ketiga
Pasal
209
menyatakan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 64 Tahun 1999 tanggal 6 September 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, Bab III Bagian Kelima pasal 36 ayat (1) menyatakan BPD mempunyai fungsi : (a). Mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di Desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan, (b). Legislasi yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama Pemerintah Desa, (c). Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala Desa, (d). Menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi diterima dari masyarakat kepada pejabat dan instansi yang berwenang. Jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa. Anggota
BPD
dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan Adat, Agama,
Organisasi sosial politik, golongan profesi, dan unsur pemuka masyarakat, yang lamanya memenuhi persyaratan.
Hasil pemilihan BPD tahun 2002, terpilih
jumlah anggota BPD di desa penelitian berjumlah 16 orang.
Untuk mengisi
struktur Ketua, Bendahara, Sekretaris, dan Komisi. Komisi A diketuai J. Mamonto, yang membidangi hukum dan pemerintahan; Komisi B diketuai R. Wowor, membidangi ekonomi dan pembangunan; Komisi C diketuai Hi. J. Suadu membidangi kesejahteraan sosial;
41
Komisi D diketuai Sumaryono
Mokoginta membidangi Adat dan Agama.
Masing- masing komisi dibantu oleh tiga orang anggota. 3.1.3. Guhanga Lipu Di Bolaang Mongondow perorangan adalah subyek hukum yang tersendiri sesuai status dalam masyarakat. Dalam (Wetbook 1930) Bolaang Mongondow (Undang-Undang Bolaang Mongondow) masyarakat berpegang pada sistim pemisahan/penggolongan yaitu: (1). Kaum bangsawan (Ninggrat), (2). Simpal (Pembesar raja atau pegawai kerajaan, kaum terpelajar), (3). Nonow (Keluarga kaya, Saudagar), (4). Tompunu (Pejabat pemerintah tingkat Kecamatan, Desa), (5). Taling (Bala rakyat, petani, buruh tani), (6). Yobuat (Para budak atau orang belian). Sebagai masyarakat hukum terkecil, adalah keluarga – keluarga (kaum). Dalam setiap kaum terdapat seorang yang disebut Guhanga atau tua-tua negeri, atau tua-tua kampung. Guhanga adalah seorang yang dianggap cakap, trampil dan
mampu dalam kapasitasnya untuk memimpin keluarga atau kaumnya
sesuai hukum adat. Sedangkan fungsi Guhanga yaitu membantu pemerintah desa dalam penyelesaian permasalahan di desa atau kampung/lipu seperti sengketa pertanahan, pertunangan/peminangan dan pernikahan, serta permasalahan pembangunan lainnya. (Beschrijving Van het Adatrecht In Bolaang Mongondow). Dengan
adanya
fungsi- fungsi
yang
berkaitan
dengan
kegiatan
pemerintahan desa, maka oleh masyarakat atau warga kampung atau Lipu menyebutnya
Guhanga Lipu, disamping melaksanakan fungsinya di tengah
keluarga masing- masing secara internal.
42
3.2. Kecamatan Modayag 3.2.1. Letak Gografis Kecamatan Modayag adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Passi yang dilakukan pada tahun 1960. Kecamatan Modayag diapit oleh Gunung Ambang dan
Gunung Tobongon. Sebagian besar areal
perkebunan.
merupakan daerah hutan dan
Bentuk topografi permukaan yaitu dataran tinggi yang berbukit.
Jarak pusat pemerintahan wilayah Kecamatan dengan ibu kota provinsi berjarak 198 kilometer. Sedangkan jarak pusat pemerintahan daerah Kabupaten Bolaang Mongondow 10 kilometer. Pusat pemerintahan Kecamatan Modayag berada pada ketinggian 650 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 16 °C hingga 20 ºC serta suhu minimum 10 ºC. Sebelah Utara Kecamatan ini dengan wilayah Kecamatan Kotamobagu Timur,
sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Kotabunan,
sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Lolayan. Luas wilayah Kecamatan Modayag berjumlah 1.786.600 Ha, di wilayah ini berjumlah 13 desa yaitu Desa Moyongkota, Desa Bangunan Wuwuk, Desa Bongkudai, Desa Modayag,
Desa Purworejo, Desa Liberia, Desa Tobongon,
Desa Bongkudai Baru, Desa Mo’at, Desa Guaan, Desa Badaro, Desa Lanut, Desa Buyandi.
Ibu kota kecamatan
terletak di Desa Modayag. Letak Desa
Modayag sangat strategis dan dapat dijangkau oleh masyarakat dari desa-desa tetangga se Kecamatan Modayag. 3.2.2. Penduduk Penduduk Kecamatan Modayag berjumlah 27.086 jiwa, dengan kepala keluarga (KK) berjumlah 8.171, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar
1.47 % pertahun.
Penduduk terdiri dari beberapa suku yaitu suku
Mongondow, Minahasa, Sanger Talaut, Gorontalo, sedangkan suku pendatang 43
adalah suku Bugis Makasar, Jawa, Sunda, Batak, di samping terdapat pula warga keturunan seperti Belanda, Cina Taiwan, Jepang, Pakistan lihat Tabel 7. Tabel 7. Penduduk Kecamatan Modayag Dirinci menurut Desa Tahun 2005. JENIS KELAMIN NO
NAMA DESA
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2 Moyongkota Bangunan wuwuk Bongkudai Modayag Purworedjo Liberia Moat Guaan Bongkuday baru Tobongon Badaro Lanut Buyandi JUMLAH
L
P
3 1986 502 1887 2198 1192 996 419 742 779 519 381 598 544 12743
4 2114 645 1914 2883 1333 989 542 767 880 608 410 680 578 14343
JUMLAH JIWA 5 4100 1147 3801 5081 2525 1985 961 1509 1659 1127 791 1278 1122 27086
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
Jumlah penduduk di Desa Modayag terbanyak dari desa lainnya yaitu 5.081 jiwa (18,75 %). Sedangkan desa yang menempati urutan kedua adalah Desa Moyongkota dengan jumlah penduduk 4.100 Jiwa (15,13 %), Desa Bongkudai adalah desa yang berada pada urutan ketiga dengan jumlah penduduk 3.801 jiwa (14,03 %). Ketiga desa ini mengalami pertambahan penduduk yang sangat cepat karena memiliki keunggulan dari desa yang lain, antara lain dahulu merupakan desa lama atau induk. Kedua desa yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Badaro dengan jumlah 791 jiwa. Desa ini berada di bagian Selatan Kecamatan Modayag. Desa ini baru karena adanya proyek tranmigrasi lokal pada tahun 1985, Desa Badaro merupakan desa penghasil gula
44
aren di Kecamatan Modayag. Selain usaha tani aren, penduduk Desa Badaro juga melakukan usaha tani perkebunan cengkih, hasil hutan lainnya kayu dan rotan. Desa Moat dengan jumlah penduduk 971 jiwa, terletak di bagian Timur di bawah kaki / lereng gunung Ambang bersama dua desa lainnya yaitu Guaan, dan Bongk udai
Baru. Penduduk di desa ini adalah petani yang berasal dari desa
Bongkudai Lama yang telah menetap di lahan perkebunannya, dengan usaha tani holtikultura. Lokasi desa ini merupakan dataran tinggi berbukit dan berada pada ketinggian ± 800 - 850 meter di atas pemukaan laut. Desa Moat, Guaan dan desa Bongkudai Baru
adalah sentra penghasil sayur mayur di Kabupaten Bolaang
Mongondow, dan Purworejo di Kecamatan Modayag. Luas wilayah Kecamatan Modayag 1.589.469 Ha. Kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Penduduk, Luas dan Kepadatan Dirinci menurut Desa di Kecamatan Modayag Tahun 2005. NO.
NAMA DESA
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2 Moyongkota Bangunan Wuwuk Bongkudai Modayag Purworedjo Liberia Moat Guaan Bongkudai Baru Tobongon Badaro Lanut Buyandi JUMLAH
JUMLAH PENDUDUK (JIWA) 3 4100 1147 3801 5081 2525 1985 961 1509 1659 1127 791 1278 1122 27086
LUAS (KM²) 4 19,76 5,95 19,76 22,75 17,50 18,76 13,21 11,71 10,56 7,22 17,50 13,34 2,11 178,66
KEPADATAN / (JIWA/KM²) 5 207,48 192,77 191,02 239,95 144,28 100,45 36,03 128,86 157,10 156,09 21,25 112,69 225,11 151,61
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005
Terdapat tiga desa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi yaitu Desa Modayag, dengan jumlah penduduk 5.081 jiwa dalam kepadatan penduduk
45
per kilometer 239,95. Desa Moyongkota
jumlah penduduk 4.100 dengan
kepadatan per kilometer 207,48 jiwa, dan di Desa Buyandi jumlah pend uduk 1.122 jiwa dengan kepadatan 225,11 jiwa per kilometer. Secara keseluruhan penduduk Kecamatan Modayag berjumlah 27.086 jiwa dengan kepadatan ratarata 151,61 jiwa per kilometer. Kerukunan antar umat beragama, di Kecamatan Modayag sejak masa pemerintahan kerajaan raja Cornelis Manoppo sudah terbina dengan baik. Lebih dari 67 persen
penduduk di Kecamatan Modayag menganut agama Islam.
Adapun penduduk Kecamatan Modayag menurut golongan agama dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Penduduk Menurut Golongan Agama di Kecamatan Modayag tahun 2005. A G A M A No.
DESA / KEL ISLAM
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2 Moyongkota Bangunan Wuwuk Bongkudai Modayag Purworedjo Liberia Moat Guaan Bongkudai Baru Tobongon Badaro Lanut Buyandi JUMLAH
3 4.053 5 3.715 3.046 2.454 1.965 422 623 338 525 1.025 18.171
KRISTEN
KHATOLIK
HINDU
BUDHA
4
5 27 67 786 25 46 951
6 11 11
7 -
47 1.115 86 1.968 60 20 539 723 1.634 504 453 707 97 7.953
JUMLAH JIWA
8 4.100 1.147 3.801 5.081 2.525 1.985 961 1.509 1.659 1.127 791 1.278 1.122 27.086
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005 .
Sebanyak 67.08 % penduduk mayoritas menganut atau beragama Islam. Sedangkan golongan lain seperti Kristen
Protestan dan Katholik
32,87 %,
beragama Hindu 0,04 % sedangkan agama Budha 0%. Tiga desa yang dihuni mayoritas non Muslim yakni Desa Guaan, Bongkudai Baru dan Bangunan
46
Wuwuk. Dilihat dari sisi etnis ketiga desa ini mayoritas suku/etnis Minahasa. Selain itu ketiga desa ini menjadi pintu masuk ke Kabupaten Bolaang Mongondow bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Minahasa Selatan. Tabel 10. Sarana Pendidikan Berdasarkan Jenjang, Status, Jumlah Murid dan Guru di Kecamatan Modayag Tahun 2005. STATUS NO
1 1 2 3 4
JENJANG
2 TK SD SMP SMU
GEDUNG KELAS MURID NEGERI
SWASTA
3 v v v
4 v -
5 10 30 4 1
6 10 191 12 6
7 328 3882 1071 248
GURU
RASIO MURID & GURU
8 4 254 85 18
9 10,36 15,28 12,60 13,78
Sumber data statistik diknas kecamatan modayag tahun 2005
Berdasarkan Tabel 10.
sarana pendidikan di Kecamatan Modayag
secara umum terjadi meningkat, dibangunnya 1 unit Sekolah Menengah Umum (SMU) yang berlokasi di Desa Modayag. Unit sekolah ini pada tahun 2005 telah menerima murid baru angkatan pertama sebanyak 248 murid.
Gambar. 6. Sarana Pendidikan Menengah Atas di Kecamatan Modayag
47
Rasio murid terhadap guru pada semua jenjang pend idikan yaitu ratarata berada pada rentang angka 10,36 sampai dengan 15,28. Setiap satu orang guru pada semua jenjang pendidikan menangani kira-kira 10 sampai dengan 15 murid. Mata pencaharian utama warga masyakarakat di Kecamatan Modayag pada umumnya pertanian. Jenis usaha tani dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Usahatani tanaman pangan yaitu padi, jagung, sayur mayur, (holtikultura) dan tanaman umbi- umbian serta jenis palagung dan berbagai sumber pangan lainnya. Tanaman pangan dan holtikultura untuk kebutuhan keluarga dan dapat diperdagangkan / dijualbelikan. Tabel 11. Luas panen, Produksi Padi Sawah dirinci Menurut Desa di Kecamatan Modayag tahun 2005. NO. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
DESA
LUAS
PRODUKSI
(HA)
(TON)
2 3 Moyongkota 75 Bangunan Wuwuk 55 Bongkudai 30 Modayag 30 Purworedjo 50 Liberia 40 Moat Guaan Bongkudai Baru Tobongon 35 Badaro Lanut Buyandi JUMLAH 315 Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
4 420,0 302,5 168,0 159,0 270,0 220,0 192,5 1732
RATA-RATA 5 5,6 5,5 5,6 5,3 5,4 5,5 5,5 5,5
Tabel 11. menggambarkan bahwa jumlah areal lahan khusus jenis usaha tani padi sawah, berjumlah 315 Ha dengan produksi sebesar 1.732 ton per tahun dengan rata-rata tingkat produksi 5,5 ton per Ha. Produksi pada sawah pada
48
kondisi demikian masih dibawah rata-rata produksi padi dengan pola intensifikasi secara nasional 6 – 8 ton per Ha gabah. Kondisi ini
disebabkan sumber air irigasi
ya ng dipergunakan adalah
irigasi non teknis pada wilayah/lokasi persawahan tertentu, sedangkan yang bersifat semi teknis hanya beberapa desa yakni Desa Purworejo, Tobongon, dan Moyongkota. Terdapat enam desa yang sama sekali tidak menghasilkan padi sawah yaitu Desa Badaro, Buyandi, Lanut, Moat, Bongkudai Baru dan Guaan. Secara goegrafis terdapat 3 desa (Moat, Guaan, Bongkudai baru) yang terletak di bagian Timur, berada pada ketinggian
± 600 - 750
di permukaan laut.
Sedangkan tiga desa lainnya di bagian Selatan yaitu Badaro, Lanut dan Buyandi adalah daerah pegunungan berbukit, sehingga tidak memungkinkan diadakannya budidaya tanaman padi. Maka warga masyarakat di tiga desa ini memanfaatkan lahan dengan menanam tanaman perkebunan (cengkih, kopi, kakao, kayu, pala, aren,vanilli). Tabel 12. Luas Perkebunan Rakyat Dirinci menurut Jenis, Desa di Kecamatan Modayag tahun 2005. No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 14
Desa 2 Moyongkota Bangunan Wuwuk Bongkudai Modayag Purworedjo Liberia Moat Guaan Bongkudai Baru Tobongon Badaro Lanut Buyandi JUMLAH
Kelapa (Ha) 3 100,50 56,50 245,00 22,75 8,25 16,25 14,50 19,50 20,50 25,06 529,31
Cengkih (Ha) 4 7,25 2,25 38,50 114,50 28,00 7,25 2,25 2,75 3,25 198,25 139,00 235,50 254,50 913,25
Pala (Ha)
Kopi (Ha)
Kakao (Ha)
5 6,50 2,25 4,00 2,75 1,75 1,50 2,25 1,75 22,75
6
7
37,00 6,25 154,00 175,00 389,75 357,75 103,00 6,25 41,50 338,50 96,25 45,50 17,25 1.768,00
25,50 8,50 38,50 13,75 9,25 9,25 25,25 15,50 13,75 149,25
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
49
Tabel 12. menggambarkan bahwa produksi tanaman perkebunan di wilayah Kecamatan Modayag, setiap desa memiliki andalan produksi komoditas tanaman perkebunan, sesuai dengan luas lahan perkebunan yang ada di desa masing- masing.
Tanaman kelapa di Desa Bongkudai memiliki luas areal 245
Ha atau (46,38 %) dari 529,31 Ha luas tanaman kelapa di Kecamatan Modayag sedangkan urutan kedua Desa Moyongkota yakni 100,50 atau 18,99 %. Untuk komoditas cengkih Desa Buyandi menduduki urutan pertama luas areal 254,50 Ha atau 27,87 % tanaman Cengkih di Kecamatan Modayag, urutan kedua Desa Lanut 235,50 Ha atau 25,78 %, urutan ke tiga Desa Tobongon 198,25 Ha atau 21,71 %. Perkebunan Kopi terluas berada di Desa Purworejo 387,75 Ha atau 22,04 % luas areal tanaman Kopi di Kecamatan Modayag, urutan kedua Desa Liberia 357,75 Ha atau 20,23 %, urutan ketiga Desa Tobongon 338,50 Ha atau 19,15 %.
Untuk komoditas Pala dan Kakao merupakan komuditas perkebunan
yang baru dikembangkan di Kecamatan Modayag sejak tahun 1999, sehingga jumlah areal kedua komoditi ini masih sangat kecil. Untuk mengetahui jumlah produksi komoditas perkebunan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dirinci menurut Desa di Kecamatan Modayag tahun 2005. NO
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 14
D E S A
2 Moyongkota Bangunan Wuwuk Bongkudai Modayag Purworedjo Liberia Moat Guaan Bongkudai Baru Tobongon Badaro Lanut Buyandi JUMLAH
KELAPA (TON )
CENGKIH
PAL A (TON )
KOPI
(TON)
3 150,000 84,750 375,500 34,115 12,375 24,370 21,750 28,500 30,750 37,500 1.252,99
4 7,250 2,250 38,500 107,00 22,250 4,750 2,250 2,750 3,000 185,250 109,750 209,750 247,500 957,500
5 7,500 1,125 4,500 0,375 13,500
6 25,900 4,375 107,800 109,900 250,425 272,825 72,100 4,200 29,050 236,950 66,850 25,375 11,900 1.160,75
(TON)
CACAO (TON)
7 30,900 4,200 38,700 11,700 3,600 2,100 9,300 15,600 10,500 5,400 132,000
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005
50
Tabel 14. Sarana Angkutan Menurut Jenis di Kecamatan Modayag Tahun 2005 NO
D E S A
RODA DUA
RODA TIGA
RODA EMPAT
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 14
2 Moyongkota Bangunan Wuwuk Bongkudai Modayag Purworedjo Liberia Moat Guaan Bongkudai Baru Tobongon Badaro Lanut Buyandi JUMLAH
3 22 11 25 73 26 15 9 18 19 15 5 11 9 258
4 9 4 6 9 4 2 34
5 5 3 6 14 9 3 3 4 6 2 2 3 58
KET ERANGAN 6 Jenis angkutan roda tiga dikenal dengan nama Bentor (bendimotor)digunakan warga sejak tahun 2000.
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005
Dari Tabel 14. tergambar bahwa terdapat beberapa desa yang tidak bisa diakses dengan kendaraan roda tiga (bentor). Hal ini sesuai dengan topografi lokasi desa yang berbukit dengan tanjakan yang melebihi dari
45 derajat,
sehingga tidak memungkinkan kendaraan roda tiga (bentor) untuk beroperasi atau dapat digunakan. Sebaliknya desa-desa yang memiliki roda tiga adalah desa-desa dengan kondisi topografi wilayah datar atau landai, dengan sarana jalan yang baik dan telah memenuhi sya rat teknis (hotmix). Gambar 7. menunjukkan sarana angkutan masyarakat desa di dalam desa.
Gambar 7. Sarana Transportasi di Desa Modayag.
51
3.3. Desa Modayag 3.3.1. Konteks Fisik Dan Ekonomi Desa Modayag merup akan perkembangan dari Desa Moyag, kurang lebih tahun 1800. Pada saat itu sebagian besar masih berupa hutan, sedangkan wilayah perkebunan masyarakat sangat kecil. Kondisi sangatlah rawan dengan adanya binatang buas, sapi hutan Sulawesi (anoa) dan ular. Di wilayah timur desa ini dikelilingi hutan lebat dan pegunungan, yaitu Gunung Ambang, gunung yang berstatus gunung berapi aktif, sedangkan pada bagian Barat adalah jajaran Gunung Mata Guma. Keadaan Vulkanis pegunungan ini memberikan kesuburan tanah di wilayah ini, sehingga memungkinkan untuk tumbuhnya tanaman yang memberikan sumber pangan bagi masyarakat pada waktu itu. Daya tarik semakin memikat penduduk di lereng pegunungan ini, sehingga semakin luaslah areal perkebunan ke arah Timur, berkembang sampai pada ujung pegunungan yang bernama Gunung Tobongon. Pendudukpun semakin bertambah oleh karena tersedianya kebutuhan pokok pangan untuk hidup. Kira-kira pada awal tahun 1850-an wilayah ini sudah menjadi lokasi perkebunan masyarakat yang tetap dengan berbagai jenis usaha taninya. Pada tahun 1900, pada masa pemerintahan Kerajaan Mongondow, Raja Cornelius Lourens Adrian Manoppo, menyetujui dan meresmikan Tobongon menjadi desa baru dan terdaftar pada daftar inventaris kerajaan sebagai sebuah Lipu (bahasa Mongondow) atau Kampung. Di bawah kekuasaan seorang Mayor Kadato, setingkat pejabat camat pada saat ini, yang bernama Gereths Bronthjie Mokoagow sekaligus sebagai Sangadi.
52
Pada tahun 1910
terjadi musibah
serangan hama tikus yang sangat
merugikan petani di lokasi desa baru tersebut. Berbagai usaha dilakukan akan tetapi keadaan ini tidak berubah. Serangan tikus makin meningkat. Bukan hanya jagung, padi ladang/gogo akan tetapi tikus menyerang tanaman pangan lainnya seperti ketela pohon, ubi jalar, pisang.
Pada waktu itu belum ada racun anti
hama tikus. Sangadi
memerintahkan warganya meninggalkan wilayah desa ini
sementara waktu untuk menghindari bencana kelaparan akibat hama tikus ini. Atas perintah Sangadi, yang menjadi tujuan lokasi perkebunan adalah Modayag yang merupakan lokasi lama.
Di lokasi lama ini warga menetap. Dengan tingkat
kesuburuan tanah yang tinggi pula, masyarakat bercocok tanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Desa Modayag berkembang menjadi desa
yang maju seperti sekarang ini. Desa diresmikan sekitar tahun 1912. Sangadi masa itu masih ditunjuk oleh Raja
Gereths
Bronthjie Mokoagow, sangadi
yang memerintah Desa Modayag sejak tahun 1912
dapat dilihat pada lihat
Tabel 15. di bawah ini. Tabel 15. Kepala Desa Modayag Tahun 1912 Sampai Sekarang. NO. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
NAMA PEJABAT 2 Gereths B. Mokoagow Pasikin Lamuda Antang Mamonto Sambe Gan Lamuda Kodja Mamonto Gereths B. Mokoagow Leppy mamonto Ansah B. Mamonto Majampa Mamonto A. Kairupan Uju . J. Mamonto Ahmad Mokodompit J.U. Mamonto Hajir Pasambuna Majai Mamonto Umar Mokoapa
SELANG TAHUN 3 1912 s/d 1912 1912 s/d 1913 1913 s/d 1915 1915 s/d 1918 1918 s/d 1919 1919 s/d 1920 1921 s/d 1922 1923 s/d 1926 1926 s/d 1951 1951 s/d 1955 1955 s/d 1957 1957 s/d 1959 1959 s/d 1961 1962 s/d 1963 1964 s/d 1979 1980 s/d 1988 1988 s/d 1996 1996 s/d sekarang
Sumber : Data Primer.
53
Sejak tahun 1912 sampai tahun 2005, kepala desa yang menjabat berjumlah 16 (enam belas) pejabat dari delapan belas periode peralihan/ pergantian pimpinan kepala desa. Kepala Desa yang menjabat sebanyak dua kali adalah Gereths Bronthjie Mokoagow, pada pada tahun 1912 dan pada tahun 1923 sampai 1926, selama ± 3 (tiga) tahun masa kekuasaan raja
Cornelius
Lourens Adrian Manoppo. Pejabat lainnya yaitu Lamuda pada tahun 1913 sampai tahun 1915 ± 3 (tiga), dan pada tahun 1919 sampai 1920. Sedangkan seorang pejabat Mamonto
yang paling lama memerintah desa Modayag yaitu
Leppy
pada tahun 1926 sampai tahun 1951, selama 25 (dua puluh lima)
tahun, mengalami dua masa pemerintahan, yakni sebelum dan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia. Desa Modayag terdiri dari enam dusun, yaitu dusun I (Kampung Bawah), Dusun II (Kampung Tengah), Dusun III (Kampung Baru), Dusun IV (Dusun Maesan), Dusun V (kompleks pasar/terminal) dan Dusun VI (Kampung Kaliputih). Nama dusun menunjukkan keadaan lokasi dan
etnis. Kampung
Maesan, berasal dari bahasa Minahasa berarti persatuan, Dusun ini dihuni oleh etnis Minahasa. Dusun III (Kampung Baru) adalah lahan perkebunan lama yang dijadikan perluasan pemukiman penduduk, dihuni oleh etnis Mongondow. Dusun VI Kampung Kaliputih dihuni oleh etnis Gorontalo. Batas wilayah desa Modayag adalah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan desa Liberia. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tobongon. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Purworedjo. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bongkudai dan desa Motoboy.
54
Luas wilayah Desa Modayag sebesar 22,75 Km² dengan tingkat kepadatan penduduk 239,93 per kilometer persegi. Penduduk Desa Modayag pada tahun 2005 berjumlah 5.081 jiwa, dengan komposisi 2.198 laki- laki dan 2.883 jiwa perempuan.
Adapun
rasio
jenis kelamin 76,24, menggambarkan
jumlah
perempuan di Desa Modayag lebih banyak dari pada jumlah laki- laki. Kepala keluarga di Desa Modayag berjumlah 1.369 KK, dengan
anggota rumah tangga
3 – 4 jiwa. Tabel 16. menunjukkan penduduk menurut kelompok umur. Tabel 16. Penduduk Desa Modayag menurut Kelompok Umur Tahun 2005. KELOMPOK UMUR
NO.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14
2 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-44 55-59 60-64 65+ JUMLAH
JUMLA H
L 3 130 197 251 220 295 271 206 146 101 89 83 71 60 78 2.198
P 4 167 234 281 311 384 327 348 175 150 112 111 93 71 119 2.883
JUMLAH
SEX RATIO
5 297 431 532 541 679 598 554 321 251 201 194 164 131 190 5.081
6 77,84 84,18 89,96 70,41 76,82 82,87 59,19 83,42 67,33 76,78 74,77 76,34 84,50 65,54 76,24
Sumber : Data Statistik Desa Modayag tahun 2005.
Jumlah golongan umur produktif umur 14 tahun sampai umur 64 tahun berjumlah
4.161 jiwa atau 81,81 %. Sedangkan umur tidak/non
produktif
berjumlah 926 jiwa atau 18,20 %, dari total jumlah penduduk. Mata pencaharian utama warga adalah sektor pertanian. Jenis usahatani yang diusahakan yaitu padi, jagung, sayur mayur (holtikultura) dan perkebunan
55
(Kelapa, Cengkih, Pala, Kopi, Kakao, komuditas lain seperti vanili, Kayu manis, Lada). Usaha pertanian dan perkebunan warga dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel .17. Produksi Pangan dan Komoditas Perkebunan Desa Modayag tahun 2001 s/d 2005. No.
Tahun
1 2 1 2001 2 2002 3 2003 4 2004 5 2005 JUMLAH
Kelapa (Ton) 3 34,115 30,735 32,125 33,415 31,235 161,625
Cengkih P a l a (Ton) (Ton) 4 5 137,00 0,375 158,00 0,395 147,00 0,285 132,00 0,295 125,00 0,305 797,00 1,655
Kopi (Ton) 6 109,900 119,900 106,900 138,800 143,900 619,400
Kakao (Ton) 7 11,700 14,100 12,600 15,200 16,500 70.100
Padi (Ton) 8 159,00 153,00 149,00 157,00 152,00 770,00
Jagung (Ton) 9 15,75 18,25 14,95 16,15 15,25 70,35
Sumber : Data Potensi Desa Modayag tahun 2005.
Produksi padi sawah rata-rata 154,5 ton per tahun atau sebesar 5,5 ton per hektar. Jagung dengan luas 3.0 hektar memiliki nilai produksi per tahun sebesar 9,1 ton. Tanaman perkebunan yakni kopi, kelapa, cengkih, kakao menjadi komoditas penopang ekonomi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Luas pemanfaatan lahan di Desa Modayag, dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Penggunaan Lahan di Desa Modayag tahun 2005 NO. 1 1 2 3 4 5 6
PERUNTUKAN PENGGUNAAN LAHAN 2 Sawah Ladang Perkebunan Hutan Sarana umum Jalan JUMLAH
LUAS (HA) 3 30,00 25,00 961,25 1.247,50 3,50 7,75 2.275,00
PERSENTASE % 4 1,32 1,1 42,25 54,83 0,15 0,35 100
Sumber : Data monografi desa tahun 2005.
Mata pencaharian
sebagai petani,
penambang, pedagang, pegawai
negeri sipil, karyawan swasta, tukang, dan buruh tani lihat Tabel 19.
56
Tabel 19. Pekerjaan dan Mata Pencaharian Warga Masyarakat Desa Modayag tahun 2005. NO. 1 1 2 3 4 5 6 7 8
PEKERJAAN 2 Tani Pemilik Tani Penggarap Tukang Penambang Pegawai Negeri/ABRI/Sipil Karyawan Perusahan Swasta Sopir Taksi Sopir Ojek JUMLAH
JUMLAH JIWA 3 1.283 585 147 302 48 71 21 42 1.999
PERSENTASE % 3 64,18 29,26 7,35 15,11 2,40 3,55 1,05 2,10 100
Sumber : Data monografi desa tahun 2005.
3.3.2. Sosial Berdasarkan Tabel 20. dapat tergambar bahwa jumlah sarana pendidikan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan jumlah murid di Desa Modayag masih rasional. Dari 1.239 jiwa anak didik terdapat sarana, tenaga pengajar/guru berada pada angka 19,32. Dapat diartikan bahwa satu orang guru pada semua tingkatan pendidikan menangani rata-rata 19,32 jumlah anak/murid. Tabel 20. Sarana Pendidikan, Murid, Kelas, dan Guru di Desa Modayag Tahun 2005. Status
Rasio Gedung Kelas Murid Guru No Jenjang Murid Negeri Swasta (Unit) (Ruang) (Jiwa) (Jiwa) & Guru 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 TK 1 1 1 30 3 10,00 2 SD 2 1 3 24 691 35 19,74 3 SMP 1 1 6 270 8 33,75 4 SMU 1 1 6 248 18 13,78 JUMLAH 3 3 6 26 1.239 64 19,32 Sumber : Data monografi desa tahun 2005.
Tabel. 21. menyajikan penduduk Desa Modayag berdasarkan jenjang dan tingkat pendidikan tahun 2005.
57
Tabel 21. Penduduk Yang Menempuh Pendidikan dirinci menurut Jenjang Pendidikan di Desa Modayag Tahun 2005. NO. 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
TINGKAT PENDIDIKAN 2
JURUSAN 3 Ekonomi Ekonomi Ekonomi Teknik Kedokteran Ekonomi Kehutanan Hukum Social Pendidikan Pertanian Theologia
TK SD SMP SMU sederajat D1 D2 D3
Sarjana (S1)
JUMLAH
JUMLAH ORANG 4 30 691 270 248 3 3 1 7 1 5 2 6 6 3 4 9 1.289
% 5 2,33 50,61 20,95 19,24 0,23 0,23 0,08 0,54 0,08 0,39 1,06 3,17 3,17 0,23 0,31 0,70 100
Sumber : Data monografi Desa Modayag tahun 2005
Sarana kesehatan di Desa Modaya g
adalah sebagai berikut: BKIA 1
unit, poliklinik 1 buah, Posyandu 1 buah. Sedangkan tenaga kesehatan yakni dokter 2 orang, paramedis/perawat 7 orang, bidan 6 orang, mantri 2 orang, dukun terlatih 3 orang. Desa Modayag menjadi ibu kota kecamatan, maka terdapat 1 unit pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), yang berstatus puskesmas rawat inap. Terdapat tenaga dokter 2 orang dan 4 orang tenaga medis yang setiap hari selama 24 jam merawat dan melayani masyarakat di
desa
Modayag maupun dari desa tetangga. Lihat Tabel 22. Tabel 22. Sarana, Tenaga Kesehatan di Desa Modayag Tahun 2005 NO 1 1 2 3 4 5
SARANA KESEHATAN 2 RSU BKIA PUSKESMAS POLIKLINIK POSYANDU JUMLAH
JUMLAH 3 1 1 1 1 4
TENAGA KESEHATAN 4 Dokter Perawat Bidan Mantri Dukun
JUMLAH ORANG 5 2 7 6 2 3 20
PERSENTASE % 6 10 35 30 10 15 100
Sumber : Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Modayag Tahun 2005
58
Pada tahun 2000 Desa Modayag dipilih dan ditunjuk untuk menjadi lokasi/tempat dilaksanakannya kegiatan yang berskala nasional di bidang agama, yakni kegiatan pertemuan Dialog Kerukunan Antar Umat Beragama se Asia Pasifik. Pada masa kejayaan raja Mongondow, raja dan sebagian dari anggota keluarganya yakni anak-anaknya menganut agama Islam dan yang lainnya ada juga menganut agama non Islam, sedangkan warganya masyarakat pada waktu itu sebagian menganut agama Islam dan lainnya menganut agama non Islam. Kerukunan antar umat beragama ini diwujudkan dalam kehidupan seha rihari warga Desa Modayag dalam pembangunan fisik sarana ibadah yakni masjid dan gereja. Telah terjadi pula perkawinan
antar
suku. Tabel 23 menyajikan
keadaan penduduk menurut agama di Desa Modayag. Tabel .23. Penduduk menurut Agama dan Sarana Ibadah di Desa Modayag Tahun 2005. NO 1 1 2 3 4 5
AGAMA 2 Islam Kristen Protestan Katolik Hindu Budha JUMLAH
SARANA IBADAH
JUMLAH PEMELUK
PERSENTASE %
3 3 4 1 8
4 3330 1712 137 2 5081
5 65,54 33,82 2,70 0,04 100
Sumber : Data Kecamatan Dalam Angka tahun 2005. Sebanyak 3.330 jiwa menganut agama Islam (65,53 %) dan yang menganut agama Kristen Protestan berjumlah 1.712 jiwa (33,82 %) sedangkan penganut ketiga agama yang lain yakni Katholik, Hindu dan Budha hanya 139 jiwa atau 0,767 %.
59
Gambar 8. Sarana peribadatan di Desa Modayag.
3.3.3. Budaya Sistem adat masih perpedoman pada struktur dan pemerintahan (Lipu) atau kampung. Walaupun masih terkesan feodalisme karena keputusan diambil dari lapisan atas, pengambil keputusan adalah orang yang dianggap yang teruji kepemimpinannya dan kemampuannya, yang disebut Guhanga lipu, sehingga masyarakat masih
mematuhi mekanisme yang terlahir
dari kepemimpinan
kampung lipu. Pada suku Mongondow, dikenal perjanjian Dodandian I Paloko Bo I Kinalang. Dodandian berasal dari bahasa daerah/suku Mongondow tua atau lama yang berarti Janji Leluhur. Perjanjian Paloko dan Kinalang ini, diuraikan sebagai berikut, Paloko = berarti Rakyat , dan Kinalang = berarti Pemerintah. Kutipan Perjanjian Kinalang;
luhur dalam bahasa daerah suku/etnis Mongondow; “Kai
Baba in akuoy,
ba bibitonku
Iko.
Dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai berikut “Kata Kinalang; Dukung aku, supaya Engkau (Paloko) Ku angkat, dan kemudian dijawab oleh Paloko “O’ o, Kuntungonku in Iko tonga?, bibit in Akuoy. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut ; “ Iya, jawab Paloko, engkau aku dukung tapi angkat pula aku.
60
Dalam
kehidupan
masyarakat
suku
Mongo ndow
perjanjian
ini
dipraktekkan dalam semua bidang kehidupan masyarakat. Perjanjian ini adalah landasan dan tercermin sosial-budaya masyarakat suku Mongondow dalam proses interaksinya antara warga masyarakat dengan pemerintah. Tergambar di dalamnya suatu sistem kerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Ketika seseorang didukung, ditolong, diangkat derajatnya, di kemudian hari, ia harus juga berbuat demikian kepada orang lain sesamanya, untuk mengangkat harkat dan martabat sesamanya. Dalam praktek pemerintahan,
jelas bahwa
pemerintah dan semua kemampuannya diarahkan untuk kepentingan masyarakat warga. Ketika pemerintah membutuhkan dukungan rakyat dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, ketika itu pula secara langsung pemerintah harus dapat memahami apa yang dibutuhkan rakyat saat itu. Tersirat juga di dalamnya sikap mental dan moral yang baik, jujur, adil, dan berani mengambil keputusan, serta bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada manusia.
Gambar 9. menunjukkan pertemuan tokoh agama dan
dewan adat di tingkat desa.
Gambar 9. Kegiatan Pertemuan Tokoh Agama dan Dewan Adat di Desa Modayag.
61
62
Tabel.......Jumlah Perkara Pidana da n Gugatan pada Pengadilan Negeri Kotamobagu selang tahun 2000 s/d bulan Oktober 2005. PIDANA
PERDATA
77
59
1119
1255
50
16
J U M L A H 9 66
70
61
1668
1799
60
16
76
2002
68
101
4323
4492
58
17
75
2003
168
58
7812
8038
39
16
55
2004 2005
159 171
42 70
4736 5671
4937 5917
37 213
14 24
51 237
713
391
25329
27537
457
103
560
N O M O R
T A H U N
1 1
2 2000
2
2001
2 3 4 5
Jumlah
BIASA
3
SING KAT 4
J U M L A H
CEPAT /LALIN 5
6
GUGAT AN 7
PERMO HONAN 8
KET 10
Sumber Kantor Pengadilan Negeri Kotamobagu
63
Tabel .......Perkara pada Kejaksaan Negeri Kotamobagu selang tahun 2003 s/d Nopember 2005 TAHUN NO
JENIS
1
2
PERKARA 2003
2004
2005
PASAL
JLH
3 67
4 52
5 68
6 351
7 187
3 29
4 21
338 / 340 362 / 363
31 148
26
20
359
79
-
14
359 / 360
14
17
26
378
43
7 27
8 27
310 293 / 284
15 61
161
188
-
538
1 Penganiayaan 24 2 Pembunuhan 49 3 Pencurian 33 4 Mengakibatkan orang mati 5 Mengakibatkan org lain luka berat 11 6 Penggelapan 7 Penghinaan 12 8 Perbuatan cabul 196 Jumlah Sumber Kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu
KET 8
Tabel.......Laporan /gugatan Perdata pada Pengadilan Negeri Kotamobagu selang tahun 2000 s/d 2005
NO
T A H U N
JENIS
GUGATAN
HASIL PENANGANAN
PERTA NAHAN
PERCER AIAN
HUTANG PIUTANG BELUM DLL
DALAM PROSES
SELESAI
PRESENT ASI
K E T 10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4
2000 2001 2002 2003
31 43 36 31
11 17 20 6
8 2 5
-
-
50 60 58 42
100 100 100 100
-
64
5 2004 6 2005 JUMLAH
30 40 211
7 13 74
2 17
-
25 25
37 30 277
100 54,54
Sumber Pengadilan Negeri Kotamobagu
65
BAB IV KASUS PEMBANGUNAN DESA MODAYAG Reformasi memberi peluang kepada masyarakat untuk mewujudkan kepercayaan,
nilai dan pengharapan sehingga masyarakat semakin kritis dan
peka terhadap penyimpangan dan penyelewengan (Alamsyah 1998). Masyarakat dapat melihat dan menilai kinerja pemerintah yang telah dilakukan dahulu dan sekarang baik fisik maupun non fisik. Kegiatan yang dilakukan pemerintah di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa, ada kalanya tidak sesuai
dengan
keinginan dan harapan sebagian atau bahkan keseluruhan masyarakat. Kondisi ini mendorong masyarakat melakukan tindakan pengawasan (social control) terhadap
berbagai penyimpangan yang terjadi dalam lingkup kekuasaan dan
kewenangannya. Sujamto dalam Alamsyah (1998)
mengemukakan beberapa faktor
pendorong terjadinya penyalahgunaan wewenang, meliputi : (1) faktor- faktor subyektif, yaitu faktor- faktor yang melekat pada diri subjek pekerjaan yang bersangkutan, (2) faktor- faktor obyektif, yaitu faktor-faktor yang melekat pada pekerjaan atau standar pekerjaan yang bersangkutan, (3). faktor-faktor ekologis, yaitu faktor- faktor yang berasal dari lingkungan kerja yang bersangkutan. 4.1. Pembangunan Fisik. Pembangunan desa di Kabupaten Bolaang Mongondow berdasarkan pada Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional 0259/M.PPN/I/2005 Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor : 050/166/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005 tanggal 20 Januari 2005.
62
Berdasarkan mekanisme
ketentuan-ketentuan
pembangunan
evaluasi/pengawasan,
desa
dari
dan
peraturan
perencanaan,
tersebut
di
atas
pelaksanaan,
dan
sistim perencanaan dilakukan secara (bottom up) atau
perencanaan pembangunan dari bawah. Mekanisme perencanaannya di tingkat desa dengan nama Musrenbang Desa / Kelurahan. 4.1.1. Pembangunan Sarana Peribadatan Masjid adalah sarana ibadah yang dibutuhkan oleh jamaah atau umat muslim di Desa Modayag. Dalam perencanaan dusun I sampai dusun IV diwakili oleh kepala dusun masing- masing dalam suatu rapat di desa, tahun 1998. Hasil rapat yakni untuk membangun kembali masjid lama yang telah dibangun pada tahun 1964. Hal ini ditindaklanjuti denga n hasil musyawarah kepala desa dengan LKMD dan LMD tanggal 18 Agustus 1998 tentang rencana pembangunan masjid Baiturrahman Desa Modayag. Dibentuklah panitia pembangunan. Saat ini masjid telah terbangun dengan kemajuan fisik mencapai ± 60 % selesai. Masyarakat menyumbang berupa materi maupun non materi, sesuai dengan kategori keadaan ekonomi masing- masing keluarga. Kategori I adalah Pegawai Negeri (Sipil, ABRI dan Polri, Pensiunan) dan karyawan Swasta, dengan beban tanggungan sebesar Rp. 7.500 per bulan. Kategori II petani pemilik lahan dengan beban tanggungan sebesar Rp. 5000 per bulan dan Kategori III yakni petani penggarap, buruh tani, buruh tambang, buruh harian lepas dengan beban tanggungan sebesar Rp. 2500 per bulan. Ketiga kategori ini menjadi dasar dalam penagihan, namun ada keluarga yang menyumbang lebih dari nilai yang telah ditentukan. Kewajiban ini disepakati
63
bersama, dan realisasi penagihannya disampaikan kepada panitia seksi dana setiap bulan berdasarkan jadwal penagihan oleh masing- masing kepala dusun. Kegiatan pengumpulan dana juga dilakukan berupa penjualan makanan oleh wanita di dusun masing- masing sesuai jadwal mingguan. Dibangun pos penghimbau untuk menghimpun dana dari donatur yang tidak terikat setiap hari, yang dilakukan oleh pemuda masjid. Jadwal pelaksanaan dilakukan dalam seminggu yakni pada hari Senin sampai Kamis secara bergulir pemuda masjid dusun I sampai dusun VI, rata-rata pendapatan berjumlah Rp. 200.000 – 300.000 per minggu. Penerimaan dana melalui pos penghimbau sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 berjumlah Rp. 7. 920.000. Dana pembangunan juga diperoleh dari sumbangan pemerintah lewat dana bantun desa Tahun Anggaran 2000 sampai dengan 2001 berjumlah Rp. 5.000.000 dan bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Bolaang Mongondow tahun 2001 berjumlah Rp. 3.500.000.
Akan tetapi untuk sekarang ini bantuan
pemerintah tidak dapat lagi diarahkan pada pembangunan fisik namun pada kegiatan ekonomi produktif di desa. Pelaksanaan pembangunan fisik masjid kegiatan dilakukan dengan secara Bobakid (kerja bakti) baik yang beragama Islam maupun Kristen dan agama lain. Perencanaan teknis disusun oleh bapak Arsad Mamonto. Kelompok kerja ini diawasi oleh kepala tukang sebagai pembantu kepala teknis. Akan tetapi saat ini pembangunan menurut. Masyarakat curiga terhadap panitia dan kepala desa dalam pengelolaan anggaran pembangunan. Hasil pengumpulan dana dari kegiatan sepak bola pada tahun 2001 berjumlah ± 70 juta, namun setelah diadakan evaluasi oleh badan pemeriksa
64
panitia pembangunan masjid terdapat selisih kurang sejumlah Rp. 4.275.000. Kekurangan tersebut menjadi topik perbincangan di tengah jamaah. Setelah diklarifikasi melalui rapat panitia ternyata ada beberapa orang oknum panitia masing- masing
sekretaris
pelaksana
berinisial
(YN)
mengunakan dana
pembangunan sebesar Rp. 2.500.000 untuk kepentingan pribadi untuk penambah modal usaha dagang (warung). Ketua seksi pengadaan dana berinisial (SM) sebesar Rp. 1.125.000 dari perolehan penjualan kalender
sebanyak 150 eksemplar x @ Rp. 7500, dan
partisipasi donatur dari kartu kawan Rp. 650.000 digunakan untuk belanja bahan bangunan rumah tinggalnya. Dana yang diperoleh dari warga hasil ganti rugi lahan perkebunan oleh perusahaan tambang emas Rp. 1.000.000– 1.5000.000 setiap orang. Dari dana berjumlah Rp. 15.000.000 ini tidak jelas berapa yang disetor Sangadi kepada bendahara pembangunan masjid. Dana ini menjadi perbincangan di antara warga jamaah, karena menurut pandangan mereka ketambahan dana ganti akan mempercepat penye lesaian masjid. Pengawasan BPD sangat lemah atau BPD kurang berfungsi. Hal ini terbukti BPD tidak mendesak kepada Sangadi untuk memperingatkan bahkan mengganti mereka dengan orang lain dalam jabatannya secara resmi dan segera mengembalikan dana pembangunan yang telah digunakan untuk kepentingan pribadi. Pembangunan masjid saat ini bukan lagi dilaksanakan oleh panitia akan tetapi sudah di bawah kendali Sangadi atau kasarnya Sangadi sudah berfungsi ganda sebagai ketua pembangunan dan sebagai kepala desa. Hal ini terbukti dari tindakannya, dimana dalam pengadaan belanja barang/bahan material dilakukan
65
langsung oleh Sangadi. Begitu pula dengan pembuatan/penyusunan proposal permohonan
bantuan
dana
dilakukan
oleh
Sangadi
tanpa
melalui
rapat/musyawarah dengan BPD dan panitia pembangunan. Proposal tersebut dikirim kepada warga masyarakat desa Modayag yang bekerja di luar daerah (Jakarta, Makasar, Manado) dan pemerintah Propinsi, serta pimpinan partai politik.
Ada tidaknya realisasi dari proposal tersebut sampai saat ini tidak
dipertanggung jawabkan atau disampaikan kepada panitia pembangunan dan masyarakat. Partisipasi warga dalam bentuk Gotong royong dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar. 10. Partisipasi Warga Dalam Bentuk Gotong Royong Majid Baitulrahman Desa Modayag .
Pembangunan
4.1.2. Proyek Pembangunan Lorong Desa Pembangunan fisik di antaranya proyek pelebaran lorong. Perencanaan kegiatan ini, telah dimusyawarahkan oleh warga masyarakat bersama kepala dusun IV dan ketua-RT 1 /RW.1. Inisiatif warga tersebut disampaikan kepala dusun kepada Sangadi, Kepala Desa memusyawarahkan dengan BPD. BPD menyetujuinya. BPD merekomendasikan kepada Sangadi untuk menguatkan
66
usulan warga tersebut dengan Surat Keputusan Desa. Surat Keputusan tersebut menjadi usulan desa ke tingkat kecamatan. Atas proposal kegiatan pembangunan tersebut Camat mengajukannya ke tingkat kabupaten. Setelah mendapat persetujuan dari Bupati, usulan tersebut resmi untuk dilaksanakan di desa. Ketika proyek
ini akan dilaksanakan di desa, terdapat permasalahan
baru. Di lokasi kegiatan 18 Kepala Keluarga (KK) warga masyarakat tinggal di depan jalan utama desa dan tidak merelakan halaman rumahnya dikurangi 1 meter untuk pelebaran lorong. Mereka
beralasan, bahwa
pada saat rapat
musyawarah di tingkat dusun tidak diundang hadir pada pertemuan membahas perencanaan pelebaran. Pagar halamannya terbuat dari beton secara permanen sehingga sayang untuk dibongkat.
Dirk Supit menyatakan sebagai berikut:
“Torang nin tau kalu di kampong ada pembangunan jalan/pelebaran lorong. Selama ini sangadi nda perna kasih tau pa torang tentang proyek ini, probis lei deng kepala dusun (Papa Nie) lewat-lewat ndak pernah babilang pa torang apa-apa. Makanya, sapa nyanda mo’kage,, torang pe pagar kintal/halaman rumah dorang ada kerja bakti/mapalus somo bongkar. Kalu jadi panggulu jang burako, pake kua torang pe adat mongondow biar jo cuma itu bobahasaan atau oaeran, kalu itu pemerintah jadikan pegangan, samua tu pekerjaan atau oaid pasti nyada ada hambatan, samua pekerjaan akan mo jadi lancar deng mobagus bo mogaga mollapad. Selama ini torang tau, cuma dorang jo yang salalu sangadi deng probis ja undang kalu ada rapat.” Terjemahannya sebagai berikut : Kami tidak mengatahui bila di desa ini ada kegiatan proyek pembangunan pelebaran jalan/lorong. Selama ini kepala desa tidak memberitahukan kepada kami. Kepala dusunpun sering lewat melalui jalan ini tapi tidak juga menginformasikan kepada kami tentang kegiatan proyek ini. Kami terkejut ketika melihat warga yang sedang gotong-royong kerja bakti akan membongkar pagar/tembok halaman depan rumah kami. Bila menjadi pejabat atau pemerintah jangan bersikap dan bertindak sewenang-wenang atau arogan. Tolong pakai adat istiadat orang Mongondow. Walaupun hanya berupa salam yang didasari dengan ketulusan hati dan menghargai, menghormati sesama. Sebelumnya informasikanlah. Bila ini yang dijadikan dasar pegangan maka semua pekerjaan dapat dilaksanakan tanpa hambatan dengan hasil baik dan memuaskan. Selama ini bila ada rapat atau musyawarah kampung hanya mereka saja (oknum-oknum yang dekat dengan pemerintah) yang diundang.
67
Kejadian ini dilaporkan kepala dusun kepada sangadi. Sangadi secara kekeluargaan mengunjungi dan menemui warga yang tidak merelakan halaman rumahnya selebar 1 meter untuk
pelebaran lorong. Sangadi menjelaskan dan
memohon persetujua n serta kerelaannya mengik hlaskan tanahnya kepada pemerintah desa demi kepentingan umum. Upaya sangadi tersebut tidak membuahkan hasil, karena warga tetap pada pendiriannya untuk tidak menyerahkan tanah bagi kepentingan tersebut. Sepengetahuan Sangadi saat ia masih menjabat sebagai kepala urusan pembangunan,
lorong desa tersebut
semulan sangat lebar. Akan tetapi saat ini sudah menyempit di beberapa sisi bagian ruas lorong. Warga memperlebar, menambah, mengambil, sepanjang satu meter dan menjadikannya halaman
rumah. Di bagian depan jalan masuk
menyempit. Pada tahun 2005 Desa Modayag mendapat alokasi dana sebesar Rp 85.000.000. dari pemerintah kabupaten khusus proyek peningkatan jalan kabupaten (PPJK). Berdasarkan petunjuk Dinas Kimpraswil Kabupaten Bolaang Mongondow bahwa untuk pene ntuan lokasi proyek, harus dimusyawarahakan terlebih dahulu dengan warga desa agar dalam pelaksanaan kegiatan proyek nanti tidak menemui permasalahan. Sangadi dan BPD, Kepala Dusun serta warga yang berada di depan jalan utama melaksanakan rapat membahas alokasi dana tersebut. Hasil musyawarah Sangadi dan BPD, Kepala Dusun I sampai dengan Dusun VI dan warga,
sepakat menunjuk lokasi proyek di Dusun IV.
Kesepakatan ini
didasarkan atas pertimbangan lorong di dusun IV merupakan ruas jalan alternatif yang menghubungkan dusun V dan lokasi terminal, Pasar Modayag.
68
Selanjutnya kegiatan pembuatan parit/saluran atau got air menimbulkan masalah baru. Penyimpangan terjadi atas penyaluran/distribusi bahan semen oleh bendahara bernama (MN).
Biasanya semen didistribusikan atau disalurkan oleh
kepala teknik bernama bapak Herson Tuela, yang bersangkutan adalah seorang tukang di desa yang telah berpengalaman, sehingga pemakaian semen dapat dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis untuk menghindari pemborosan material. Akan tetapi semen disalurkan oleh (JW) yang ditunjuk langsung oleh Sangadi. Warga tetap semangat mengerjakan parit, mengejar waktu dan cuaca sebelum musin penghujan yang nantinya menghambat penyelesaian. Beberapa hari kemudian (JW) mengurangi stok semen dan komposisi campuran antara semen dan pasir. (JW) mengatakan sebagai berikut : “Depe campuran semen deng paser kase robah akang karna sangadi ada kase tau pa kita torang mo ba hemat semen, kalu ada lebe itu semen mopake di kerja laeng. Skarang depe campuran 1 kantong semen di campor deng 5 kantong paser, torang mo robah beking jadi 1 kantong semen campur jo deng 7 kantong paser. Kalu ngoni mo perlu semen harus kase tau pa kita jang sambarangan pi ba ambe pa bendahara karna bendahara so tau lai ini kabar dari sangadi tadi pagi. Terjemahannya : Campuran komposisi semen dan pasir tolong harus dirubah, karena sesuai informasi dari sangadi, kita semua harus menghemat material semen. Kelebihan atau sisa semen dalam pekerjaan ini sisanya akan dipergunakan pada pekerjaan lain atau kegiatan lain. Sekarang komposisi satu kantong semen dicampur dengan 5 kantong pasir, harus dirubah menjadi 1 kantong semen dicampur dengan 7 kantong pasir. Bila kalian nanti butuh semen beritahu saya, jangan langsung minta kepada bendahara karena bendaharapun sudah mengetahui informasi ini langsung dari sangadi pagi tadi.
Empat hari
kemudian (JW) menginformasikan kepada warga yang
bergotong royong bahwa bahan semen telah habis. Pekerjaan untuk sementara dihentikan karena dana yang dicairkan dari bank pada rekening desa saat ini baru sebesar 70 persen. Pekerjaan akan dilaksanakan lagi bila dana telah disalurkan seluruhnya seratus persen. Warga heran atas informasi ini karena merasa realisasi
69
pekerjaan belum sesuai target yang ada dalam bestek gambar proyek. Dalam bestek tertera volume pekerjaan fisik sepanjang 100 meter, sedangkan hasil capaian yang dikerjakan saat ini hanya mencapai volume 45 meter. Sepenge tahuan warga biasanya pada tahun-tahun yang lalu dana bantuan desa untuk kegiatan fisik sebesar 70 persen dari total anggaran itu diperuntukan khusus mendanai fisik proyek, sedangkan sisanya 30 persen untuk membiayai administrasi atau non fisik kegiatan operasional desa. Beberapa waktu kemudian diketahui warga bahwa material semen dimanfaatkan oleh seorang oknum aparat desa yang dekat dengan Sangadi (MN) untuk membuat kolam ikan pribadi di belakang halaman rumahnya. Kejadian ini dilaporkan oleh warga kepada Camat Modayag. Akan tetapi permasalahannya hanya didiamkan. Atas kejadian ini masyarakat resah, dimana masyarakat mengambilan kembali material (batu, pasir) yang dipersiapkan sebelumnya di lokasi proyek. Kegiatan proyek pembangunan jalan ini danai dari dana alokasi umum (DAU) Kabupaten Bolaang Mongondow untuk Subsektor Pembangunan Desa, dan swadaya masyarakat baik materil (Dana, batu, pasir, peralatan, transportasi) maupun non materil (tenaga kerja, waktu). 4.1.3. Pembangunan Pabrik Pengolahan Material Batuan Logam Mulia dan Pengolahan Kayu Warga desa mengadukan pencemaran limbah lingkunga n perusahaan pengolahan
kayu (sawmill) PT Rocky,
milik warga Desa Modayag (RW).
Kasus ini disebabkan tercemarnya udara, air, dengan debu gergajia n dan unit pengeringan kayu ( dryer ) di lingkungan pemukiman warga sekitar pabrik. Kasus ini mengakibatkan gangguan pernafasan, batuk serta air sumur warga kotor
70
terkontaminasi debu, berbau, berwarna. Seorang warga, ibu korban pencemaran lingkungan ini yang bernama (AD) memprotes pemilik perusahaan, “ Om (RW tolong do akang patorang, torang nyanda larang itu perusahaan kayu ada, malahan torang senang karena torang pe warga lain ada dapa karja di perusahaan. Cuma itu depe abu dan arang yang angin tiup so masok pa torang pe rumah, parigi, mengotori itu jemuran deng yang lebe para torang sering kena penyakit kokehe”. Terjemahannya sebagai berikut: “ Om (RW) tolonglah kepada kami (warga), warga sekitar pabrik tidak melarang atau protes perusahan dibangun disekitar lokasi ini, malahan kami menerima dan senang karena warga sekitar mendapatkan pekerjaan diperusahaan. Akan tetapi debu dan arang yang ditiup angin sudah masuk ke rumah kami, sumur, juga mengenai jemuran pakaian, dan lebih parah lagi kami sering terkena penyakit batuk dan sesak nafas”. Jawaban dari pemilik perusahaan “ Io kwa kita tau tapi tolong jangan lapor pa pemerintah. Saya suka torang selesaikan ini masalah deng cara musyawah jo. Kalo ada parlu kase tau pa kita misalnya ngoni perlu aliran listrik kita mo Bantu pasang akang atau parlu air bersih kita mosambung akang. Samua depe ongkos pasang dengan biaya rekening nanti kita yang tanggung jawab. Yang penting jang lapor neh.” Terjemahannya sebagai berikut : Jawaban dari pemilik perusahaan “. Iya saya mengerti dan saya tahu tapi jangan laporkan kepada pemerintah. Saya suka permasalahan ini kita selesaikan bersama secara musyawarah saja. Jika kalian perlu atau memerlukan bantuan saya bersedia, misalnya butuh air bersih atau listrik saya akan membantu pasang. Semua rekening dan ongkosnya saya yang bertanggung jawab.”
Debu tetap terbawa angin ke dalam rumah warga di sekitar pabrik, sehingga
kantor AMDAL Kabupaten memberikan sanksi. Direkomendasikan
kepada perusahaan untuk memberikan dana kompensasi kepada masyarakat yang dirugikan. Besarnya dana kompensasi dimusyawarahkan dengan warga setempat secara rasional dan wajar, serta layak. Perusahaan juga harus merehabilitasi unitunit produksi pengolahan kayu sesuai persyaratan teknis. Kasus pencemaran lingkungan yang lain disebabkan lumpur beracun, oleh perusahaan pengolah bahan material pertambangan emas, PT. Rocky yang juga dimiliki (RW). Kasus ini disebabkan pipa penyalur limbah tambang (tailling) patah dan bocor
dan dam/pond penampung
limbah
lumpur bocor. Lumpur
71
limbah ini mengalir masuk perkebunan warga (AS) serta mencemari sungai. Kejadian ini mengakibatkan beberapa jenis tanaman perkebunan dan pangan, buah-buahan mati. (DN) memprotes pengawas perusahaan bapak bernama (JP) sebagai berikut : “ Om (JP) tolong pergi lia akang itu bak/pond penampungan pece, karna so penuh, torang kuatir kalo ta buang meluap ke kebong pa torang, dengan mo masuk ke sungai. Itu air sungai torang ada pake untuk kolam ikan, deng tetangga kobong yang laeng, pake disawah. Terjemahnya sebagai berikut : Bapak (JP) tolong lihat itu bak penampungan lumpur karena sudah penuh. Saya kuatir bila terbuang atau meluber ke kebun kami, dan juga nanti masuk ke sungai. Air sungai dipakai warga untuk mengairi sawah, tambak kolam ikan, serta tetangga kebun lainnya Jawab Bapak (JP) saat itu “ (DN) ngana jang kuatir kita tau kwa karna itu volume limbah pece yang ke bak penampung torang lebe tau deng ngana, depe jumlah yang ada skarang belum apa-apa”. Terjemahnya sebagai berikut : Jawab Bapak (JP) “ (DN) anda jangan kuatir. Saya tahu volume limbah lumpur yang berada dan masuk kedalam bak penampungan. Saya lebih tahu dari pada anda. Jumlah lumpur yang ada sekarang ini belum banyak.”
Menurut (DN) memang saat itu masih musim kemarau, namun jika musim hujan bak penampungan tidak akan cukup menampung masuknya air hujan. (AS) melaporkan kejadian ini kapada kepala desa dan Camat Modayag. Tuntutannnya sebagai berikut : (1). bahwa limbah / material lumpur CV Rocky telah mencemari lokasi ladang/kebun, (2). bahwa dengan adanya pencemaran akibat limbah lumpur yang mengadung bahan kimia beracun
asam sianida
(NaCN) telah merusak kebun / ladang, baik kondisi fisik, keseimbangan kimia tanah dan tanaman perkebunan dan pangan yang tumb uh (kopi, kelapa, matoa, alpukat, rambutan, lengkeng, singkong, ubi talas, nenas dll). Beberapa daun tanaman mulai kuning, layu, gugur bahkan sudah ada yang mati, (3) bahwa limbah lumpur telah mengalir mencapai sungai air tawar, di mana air sungai
72
digunakan untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan darat, (4) pencemaran limbah/material lumpur tersebut disebabkan bocornya bak/pond limbah pada sisi bagian barat dan patah / pecahnya pipa saluran limbah lumpur
yang
dibenam/ditanam pada sisi kanan jalan kebun/lorong, (5) pembuatan bak limbah lumpur dan saluran pipa limbah lumpur tidak sesuai syarat teknis. (6). akibat aliran limbah lumpur
yang menggerus, secara fisik telah
mengakibatkan
longsornya bagian tebing lahan/kebun yang berbatasan dengan sungai (Moayat), limbah lumpur mengalir masuk sungai (Moayat) (7). bahwa jarak bak/pond limbah lumpur hanya kurang lebih satu meter dengan batas lahan/kebun ladang milik kami sebagai korban. Camat meminta kepada korban agar tidak mengirim surat serupa ke Kabupaten, karena Camat menyelesaikan kasus ini secepatnya. Dengan kejadian ini pemilik lahan/tanah menuntut ganti rugi.
Atas musyawarah yang dimediasi
oleh Camat Modayag maka disepakati biaya ganti rugi sebesar Rp 6.500.000,00. Perusahan juga diwajibkan melakukan reklamasi lokasi yang tercemar milik warga. (Gambar 11).
Gambar 11. Kasus Pencemaran Lingkungan Akibat Penambangan Mineral Emas di Desa Modayag.
73
4.1.4. Pembangunan Tower Transmisi Gelombang Optik PT Satelindo Kasus pembangunan lainnya yaitu kasus pembangunan tower satelindo di Lorong Maesaan. Kasus ini disebabkan tidak direalisasikannya janji perusahaan kepada masyarakat. Untuk memberikan penerangan lampu di lokasi tower dan persimpangan tiga lokasi lorong masuk. Kasus ini mengakibatkan diput uskannya aliran listrik yang dimanfaatkan untuk unit tower sehingga tower tidak dapat berfungsi sebagimana mestinya. Hal ini juga mengakibatkan signal handphone di wilayah itu hilang beberapa minggu.
Kondisi ini
merugikan masyarakat umum penggunan
handphone di wilayah Kecamatan Modayag dan kecamatan lain yang menggunakan fasilitas tower Satelindo. Atas kejadian ini perusahaan melalui bagian humasnya datang menemui pemerintah desa dan warga di sekitar lokasi tower untuk memusyawarahkan perjanjian antara perusahaan dengan masyarakat. Hasil rapat disepakati bersama bahwa perusahaan akan merealisasikan janjinya seminggu kemudian dengan mamasang tiang dan lampu mercuri, setiap tiang dipasang satu buah lampu. 4.2. Pembangunan Non Fisik 4.2.1. Ganti Rugi Lahan Perkebunan Warga untuk Industri Pertambangan Emas Kasus-kasus pembangunan khusus non fisik yang terjadi di Desa Modayag, menyangkut proses ganti rugi tanah warga oleh salah satu perusahaan pertambangan emas di wilayah perkebunan masyarakat di lokasi Gogagoman dan Talugon.
Kasus ini disebabkan tidak transparannya
pemerintah desa dan
kecamatan. Pemerintah desa dan kecamatan tidak mensosialisasikan kepada warga
74
masyarakat sejelas-jelasnya menyangkut ganti rugi lahan/tanah oleh perusahaan kepada warga pemilik lahan. Pada pertengahan tahun 2002 sebuah perusahaan pertambangan emas bernama PT Avocet Minning berkedudukan di Inggris menandatangani kuasa usaha pertambangan dengan pemerintah Indonesia di Jakarta, dengan konsesi usaha lahan pertambangan seluas ± 1300 Ha lokasinya di wilayah Desa Lanut Kecamatan Modayag. Ketika proses ganti rugi tanah warga, sesuai tahapannya yakni tahap pertama pemetaan / pengukuran, tahap dua kelengkapan administrasi ke PPAT-an dan tahap ketiga transaksi pembayaran untuk keperluan kegiatan penambangan emas oleh PT Avocet Minning Bolaang Mongondow di Kecamatan Modayag pada September 2005, terjadi sengketa lahan perkebunan antara warga Desa Modayag dan warga Desa Tobongon. Sengketa ini terjadi disebabkan tumpang tindih peta lokasi perkebunan kedua kelompok tani dimaksud. (DK) anggota kelompok tani masyarakat
Desa Modayag melaporkan permasalahan ini ke
DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, serta melalui media massa Manado Pos mengekspos permasalahan ini. Masing- masing
warga kedua
desa
mempertahankan wilayah yang akan diganti
saling
mengklaim
dan
rugi oleh perusahaan sebagai
milik mereka. Warga Desa Modayag dipimpin ketua kelompok tani bapak (RA), sedangkan dari warga Desa Tobongon Sangadi sendiri bapak (AI).
Sebenarnya
permasalahan ini sudah lama dilaporkan (RA) kepada Sangadi Desa Modayag. Sangadi Desa Modayag menyatakan akan menyelesaikan permasalahan dengan Camat Modayag.
75
Pada
bulan Januari 2005 kepala desa
bersama kelompok tani
mengadakan rapat membahas pemasalahan tanah perkebunan ini. Akan tetapi Sangadi
tidak dapat memutuskan karena menyangkut hak kepemilikan,
sedangkan yang bersengketa bukan warga se desa akan tetapi warga antar desa. Mengkhawatirkan hal- hal yang terjadi, Sangadi melaporkan kepada
Camat
Modayag. Seminggu kemudian Camat mengundang kedua Sangadi dan warga dari kelompok tani masing- masing di kantor Camat dalam rangka penyelesaian sengketa dimaksud. Camat mengatakan bahwa apabila kedua kelompok tidak mendapatkan kesepakatan maka disarankan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum yang tetap. Atas pernyataan Camat demikian, kelompok tani dari Desa Modayag beranggapan tidak mendapatkan pelayanan semestinya dari pejabat pemerintah kecamatan. Kelompok dari Desa Modayag menyatakan
bahwa
Camat
Modayag
”plinplan”
dalam
menyelesaikan
permasalahan ini, Camat bersikap tidak netral. Penyebab permasalahan tersebut yakni ; (1) adanya tarik ulur tanda batas lokasi perkebunan antara
warga
Desa
Modayag
Tobongon dan Liberia. (2) terjadi perebutan lahan Modayag, (3) terjadi pelanggaran
atas
Surat
dengan antara
Keputusan
warga
Desa
warga se Desa Bupati
Nomor.
521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 Pebruari 1984, tentang Izin Penetapan Lokasi Perkebunan Gogagoman dan Talugon, (4) terjadi manipulasi nama warga, tidak sesuai lagi dengan SK Bupati. (5) terjadi perampasan hak warga oleh oknum pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten. ”Data bocoran” yang di temukan salah satu anggota kelompok tani Desa Modayag bernama (DK) bahwa oknum Camat dan beberapa anggota DPRD
76
namanya terdaftar sebagai penerima ganti rugi tanah pada kelompok tani Desa Tobongon. Sedangkan oknum-oknum pejabat tersebut namanya tidak terdaftar dalam lampiran Surat Keputusan Bupati Bolaang Mongondow
Nomor
521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 Pebruari 1984. Pada tanggal 25 September 2005 kasus ini diselesaikan lewat dengar pendapat (hearing) kelompok tani dengan instansi terkait. Instansi yang berkompeten dalam hearing tersebut yakni assisten I dan II Setda Bolaang Mongondow, Dinas Pertambanga n dan Energi Kabupaten Bolaang Mongondow, Badan Pertanahan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Camat Modayag, Sangadi
Modayag dan Tobongo n. Hearing
dipimpin oleh ketua DPRD dengan anggota
komisi A yang membidangi
hukum dan pertanahan. Dalam hearing kedua kelompok menyampaikan bukti-bukti kepemilikan sebagai alas hak masing- masing berupa berkas yang terdiri dari peta lahan, surat keputusan dari pejabat yang berwenang, dan saksi ahli serta alasan-alasan dan argumentasi. Kedua kelompok saling berdebat untuk meyakinkan pimpinan DPRD dan pemerintah kabupaten agar mereka dapat memperoleh pengakuan serta legalitas atas kepemilikan tanah dimaksud.
Permasalahan ini tidak selesai pada
hari itu, dan dilanjutkan dengan peninjauan lapangan/lokasi oleh tim yang dipimpin oleh ketua komisi A. Pada
tanggal
1 Oktober
2005
kelompok tani dari kedua desa ini
diundang oleh DPRD Kabup aten Bolaang Mongondow, instansi/dinas dan badan Setda Kabupaten Bolaang Mongondow, tim berkesimpulan bahwa tanah yang disengketakan adalah sah secara hukum menjadi milik masyarakat Desa
77
Modayag. Gambar 12. menunjukkan kunjungan Bupati Bolaang Mongondow, DPRD pada acara peresmian perusahaan tambang.
Gambar 12. Bupati, DPRD dan Pimpinan perusahaan pada acara pengresmian perusahaan pertambangan.
4.2.2. “Pernikahan di Bawah Tangan” oleh Aparat Desa Kasus tindakan amoral oleh oknum aparat pemerintah Desa Modayag (UM) dengan seorang wanita yang sudah bersuami. UM sengaja melarikan WM ke luar desa dan mengawininya secara agama (”di bawah tangan”) tanpa seijin istri pertama. Kasus ini dilaporkan oleh suami korban kepada BPD, akan tetapi BPD tidak dapat mengatasi karena pelaksana
adat
berada di bawah
pengaruh kuat Sangadi. Kasus ini
mengakibatkan cerainya pernikahan yang sah
wanita berinisial WM.
AM dengan
Kasus inipun menjadi topik perbincangan warga pada
saat itu. Seorang kepala desa sebagai pemimpin adat berbuat dan berperilaku amoral, merusak hubungan keluarga suami- istri.
Kepercayaan
masyarakat
kepada pemerintah desa menurun.
78
4.2.3. Pemilihan Kepala Desa Modayag Pada bulan Juli 2004
Desa Modayag mengadakan proses pemilihan
kepala desa (Pilkades), karena memang saat itu jabatan kepala desa lama sudah berakhir. Camat pada waktu itu (Drs.SM), memerintahkan Kepala Desa untuk membentuk panitia
pemilihan Kepala Desa Modayag.
Berdasarkan perintah
kecamatan maka dibentuklah panitia pilkades, dengan susunan panitia sebagai berikut ketua (CL), sekretaris (MN) dan bendahara (JM). Pada bulan Agustus 2004 diadakanlah pendaftaran bakal calon kades, secara bersamaan dilakukan pendaftaran wajib pilih. Pada saat itu terjaring 5 (lima) bakal calon Sangadi yaitu (1) (UM), (2) (FJO), (3) (NM), (4) JM dan (5) ARM. Berdasarkan hasil tes penjaringan di tingkat kabupaten
semuanya
memenuhi syarat untuk ikut dalam pilkades menjadi calon kepala desa. Sebetulnya terdapat satu sangadi yang tidak memenuhi syarat berijasah minimal SMP. Bakal calon dimaksud, (UM) ternyata lolos ditingkat kecamatan dan kabupaten. FJO berijasah sarjana lainnya berijasah setingkat SMU/SMA. Pada proses pelaksanaan , sesuai daftar nama pemilih tetap jumlah pemilih tercatan
sebesar 3.814 wajib pilih. Ketika tiba saat hari pemilihan
terjadi
kejanggalan, yaitu warga desa luar ikut melakukan pencoblosan kertas suara atau ikut memilih. Namanya tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap. Ia adalah adik kandung (UM). Seorang pemilih lagi masih di bawah umur. Keadan ini diprotes saksi calon di tempat pemungutan suara. Pilkades terhenti sekitar satu jam. Atas kesepakatan dan untuk menjaga tidak terjadi keributan yang memancing massa calon masing- masing, maka pelaksanaan pilkades dilanjutkan kembali.
79
Pada proses perhit ungan kartu suara, terjadi perbedaan menyolok antara jumlah wajib pilih dengan jumlah kartu suara yang masuk sebesar 32 suara. Kejadian inipun diprotes oleh seorang saksi calon di TPS. Saksi calon (JR) sempat berang. Aparat keamanan yang berada di lokasi langsung menetralkan situasi dengan menenangkan saksi calon. Perhitungan suara dilanjutkan. Hasil perhitungan suara menunjukan UM mendapat 2.027 suara, FJO mendapat 1.504 suara, NM mendapat 103 suara, ARM mendapat 67 Suara, JM mendapat 81 suara. Sebagian
warga heran, karena saat kampanye massa masing- masing
calon terlihat memungkinkan untuk menggantikan kepala desa lama UM, akan tetapi di saat perhitungan suara semuanya berubah. Setelah dua hari lewat, muncul kabar dari warga HM bahwa pada waktu persiapan pilkades tepatnya sehari sebelum pemilihan,
calon UM melakukan taktik politik dengan membagikan
uang (Money Politic) kepada wajib pilih di waktu pagi dini hari (serangan fajar) yang disalurkan oleh JU tim suksesnya. Setelah ditelusuri hal ini ternyata memang benar, kebenaran informasi ini ditemukan pada saat informan menanyai dua orang warga Ela dan Fin dengan tulus mengaku menerima uang masing- masing sejumlah Rp. 20.000. Hal lain yang mempengaruhi pilkades yaitu bahwa beberapa anggota BPD, tokoh masyarakat, pengusaha, dan tua-tua kampung (guranga lipu) termasuk sekretaris panitia pilkades turut berkampanye mendukung UM, serta beberapa ketua-ketua kerukunan keluarga. UM menyampaikan pernyataan sebuah istilah ” Inga-Inga tu di Talugon dan Gogagoman” (Jangan lupa waktu di lokasi Talugon dan Gogagoman). Lokasi talugon dan gogagoman adalah lokasi perkebunan warga
80
yang pada tahun 2002 yang lalu oleh perusahan pertambangan telah melakukan ganti rugi tahap pertama. Gambar 13. menunjukan pemilihan Kepala Desa Modayag tahun 2004.
Gambar 13 . Pelaksanaan Pilkades Desa Modayag tahun 2004.
Hal ini terbukti dengan diloloskannya yang bersangkutan pada proses (pilkades) pemilihan kepala desa. Sedangkan menyangkut pemilih dari luar desa panitia menyatakan bahwa yang bersangkut an adalah warga Desa Modayag, karena yang bersangkutan adalah adik kandung dari UM. Akan tetapi warga mengetahui identitas dan tempat tinggal yang bersangkutan
dengan jelas,
walaupun ia adalah adik kandung calon. 4.2.4. Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin di Desa Modayag Laporan warga kepada Bupati Bolang Mongondow, Polres Bolaang Mongondow,
Camat Modayag,
atas penyimpangan beras keluarga miskin
(Raskin) di Desa Modayag, dilakukan oleh seorang penyalur (TM). Kasus ini disebabkan ; (1). Pend ataan dan inventarisasi keluarga miskin di desa tidak akurat. (2). Pemotongan volume fisik beras sebesar 2 – 3 kilogram terhadap setiap
81
keluarga penerima raskin.; (3). Penyalur menaikkan harga beras Rp 250,00 rupiah per kilogram sehingga menjadi Rp1250,00 per kilogram dan pengambilan kartu keluarga miskin dikenakan biaya sebesar keluarga miskin.
Rp. 2000,00 untuk
setiap
Jatah volume beras yang diterima warga keluarga miskin
berkurang dan terjadi
pembebanan
uang
kepada
warga
keluarga miskin.
Kegiatan distribusi beras untuk keluarga miskin dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Distribusi Raskin di Kantor Dolog Bolaang Mongondow.
82
BAB V DAMPAK PEMBANGUNAN DESA 5.1. Pembangunan Sarana Peribadatan Pelaksanaan pembangunan sarana warga
peribadatan
yang dilakukan oleh
bersama pemerintah desa yakni pembangunan satu unit rumah ibadah
(masjid) Baitulrahman
Desa Modayag.
Masjid adalah sarana ibadah yang
memang sangat dibutuhkan oleh jamaah muslim. Sebelum dibangunnya masjid baru ini, masyarakat menggunakan/memanfatkan gedung lama masjid Baitulrahman. Bangunan masjid lama secara fisik sudah tidak layak lagi untuk dipergunakan. Masjid lama dibangun pada tahun 1975 dengan ukuran 16 meter x 20 meter semi permanen. Atap masjid dari seng. Rangka atap terbuat dari kayu lokal kelas 3 (tiga) Kayu Cempaka, rehab bagian atap masjid terakhir tahun 1988. Kondisi alam Desa Modayag yang sangat dekat dengan gunung Ambang, yang merupakan gunung berapi aktif. Gunung Ambang setiap saat mengeluarkan asap yang mengandung zat asam belerang. Bila hujan hari atau kabut asap turun menutupi wilayah desa-desa yang berada di bawah kaki gunung. Desa Modayag berada dekat kaki gunung kurang lebih tiga kilometer, sehingga bangunan yang menggunakan atap seng akan mudah berkarat dan cepat bocor. Kebocoran atap berakibat rusaknya rangka atap dan pada bagian lain, tiang, dinding dan lantai. Kondisi masjid, kapasitasnya tidak lagi sesuai dengan jumlah Jama’ah dan kualitas struktur fisik sudah memprihatinkan bahkan berbahaya bila terjadi bencana alam gempa bumi. Warga mengkuatirkan keadaan
83
fisik masjid sehingga setiap pelaksanaan ibadah sholat Jum’at, ada warga yang duduk di luar, di masjid. Setelah masjid dibangun, masyarakat sudah merasakan manfaatnya, tidak lagi beribadah diluar gedung, karena daya tampung gedung baru berukuran lebih besar yakni lebar 18 meter x panjang 22 meter. Sedangkan kualitas gedung sudah baik terutama lantai sudah dipasang ubin/tegel sehingga warga sudah dapat melakukan ibadah di dalam ruangan masjid, walaupun belum 100 % selesai. Warga tidak lagi merasa kuatir dengan keadaan cuaca dan bencana alam gempa bumi. Dengan adanya pembangunan fisik sarana peribadatan diatas beberapa manfaat langsung yang dirasakan warga yakni (1). Secara phsikologis timbul kebanggaan warga, karena walaupun bertahap selangkah
demi
selangkah
sudah dapat membangun masjid kondisi permanen. (2). Masyarakat merasa nyaman dalam beribadah, tidak ada rasa kuatir bila terjadi hujan, dan keadaan panas pada siang hari. (3). Tumbuh dan berkembang, kebersamaan diantara warga jamaah, dan antar umat beragama, karena dalam pelaksanaan dilakukan secara bersama pula bergotong royong (Bobakid). Ketika pembangunan fisik dilaksanakan dan dilakukan bersama warga muncul beberapa permasalahan yakni; (1) adanya pembebanan biaya berupa target dalam bentuk uang kepada setiap keluarga. (2) adanya korbanan waktu ,tenaga saat setiap pelaksanaan kegiatan setiap hari jum’at. (3). Pembuangan talang air hujan yang menggenangi halaman rumah warga, karena talang pembuangan air sudah bersinggungan dengan tanah warga. Dampak negatif non fisik yang muncul yakni secara psikologis adalah (1). Adanya kecurigaan warga masyarakat terhadap pemerintah desa dan panitia
84
pelaksana dalam pengelolaan anggaran pembangunan yang tidak transparan kepada masyarakat, (2). Menurunnya partisipasi baik materil dan non materi warga masyarakat dalam menunjang pelaksanaan pembangunan, (3).Menurunnya kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah dan panitia pelaksana pembangunan,(4) memunculkan rasa apatis warga masyarakat
terhadap
pelaksanaan kegiatan, (5). Menimbulkan pengawasan masyarakat
terhadap
pemerintah dan aparaturnya. Seorang warga (MS) menuturkan : Saat ini torang perhatikan pembangunan masjid ini so nyanda dilaksanakan oleh panitia tapi so Sagadi langsung kasarnya Sangadi So berfungsi ganda sebagai ketua pembangunan masjid dan sebagai kepala desa. Contohnya blanja pengadaan barang/materia,l so Sangadi langsung yang blanja di toko. Torong duga dana pembangunan masjid dorang so pake untuk kepentingan pribadi. Tetapi setelah torang tanya pa dorang(Panitia pembangunan dan sangadi) dorang jawab bahwa kekurangan yang terjadi pada buku kas hanya disebabkan kesalahan administrasi pembukuan. Yang lebe parah lagi bahwa ketua BPD ta iko-iko pa sangadi. Sampe skarang torang masih mempertanyakan itu beberapa kekurangan yang terjadi pada keuangan pembangunan masjid, tetapi dorang (panitia pembangunan dan sangadi) badiang nyanda perhatikan lagi seolah-olah nyanda terjadi apa-apa. Diterjemahkan : Saat ini setelah saya perhatikan pembangunan masjid ini bukan lagi dilaksanakan oleh panitia tetapi sudah dibawah kendali kepala desa atau kasarnya kepala desa sudah berfungsi ganda sebagai ketua pembangunan masjid dan sebagai kepala desa. Contohnya banyak pengadaan barang/material yang dilakukan langsung oleh kepala desa. Pernah juga ada dugaan bahwa dana pembangunan masjid telah dimanfaatkan oleh sekretaris panitia pembangunan. Tetapi setelah dipertanyakan masyarakat, panitia dan kepala desa menjawab bahwa kekurangan yang terjadi pada buku kas hanya disebabkan kesalahan administrasi pembukuan. Yang sangat parah lagi bahwa ketua BPD dibawah kendali kepala desa. Sampai saat ini kami masih mempertanyakan beberapa kekurangan yang terjadi pada keuangan pembangunan masjid, panitia dan Sangadi hanya diam tidak memperhatikan lagi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
85
5.2. Pembanguna n Lorong Desa Pembangunan sarana transportasi di wilayah desa
memungkinkan
tumbuhnya kesempatan untuk serangkaian tingkah laku inovatif, menyangk ut lebih banyak individu yang melakukan perjalanan, teknologi baru usaha tani, bentuk baru lapangan kerja, pelayanan baru, kegiatan waktu senggang yang baru, pola konsumsi baru, dan peningkatan partisipasi warga dalam pembangunan, (Cook dalam Agusta 2004). Pelaksanaan pembangunan sarana transportasi yang dilakukan oleh warga bersama pemerintah desa yakni pembangunan jalan lorong (pelebaran dan saluran air) desa Modayag.
Pembangunan sarana transportasi ini memang sangat
dibutuhkan oleh warga masyarakat di desa Modayag khusus nya yang bermukim di lorong menuju ke BPU desa Modayag. Sebelum dibangunnya
sarana
transportasi ini, kondisi jalan lorong tersebut kurang baik, keadaannya becek dan dibeberapa bagian berlobang tidak rata, juga terdapat bebatuan yang nampak di permukaan jalan. Bila melalui jalan lorong tersebut pada malam hari sangat jika tidak hati- hati bisa jatuh atau terantuk batu. Namun setelah dibangun atau di tingkatkan
kondisinya sudah lebih baik, dan masyarakat telah dapat
menggunakan/memanfaatkan, walaupun belum 100 % selesai. Warga yang bertempat tinggal dan bermukim di lorong tersebut merasa legah. Ada beberapa dampak yang nyata setelah dibangunnya jalan lorong dan saluran airnya yakni
(1).
Kemudahan jangkauan pelayanan kendaraan yang
masuk di lorong tersebut, sebelum dibangun/di tingkatkan kualitas jalannya mobil taksi/angkot tidak mau masuk melalui lorong tersebut (2). Lorong sudah
86
dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan baik roda empat maupun roda dua, lebih cepat, nyaman, (3). Bertambahnya bangunan rumah tinggal penduduk di lokasi lorong tersebut, sekarang lorong sudah mulai ramai
atas
ketambahan
warga di dusun tetangga yang membeli dan tinggal di jalan lorong tersebut, (4). Adanya kenyamanan warga berjalan kaki, tidak kuatir lagi jatuh terantuk batu atau licin karena becek. Dituturkan warga (RS). Bila torang bandingkan itu kondisi jalan yang lalu sangat besae , oto-oto taksi umum nimau maso di lorong ini, tapi sekarang so ada peningkatan. Torang warga merasa senang, dengan berbagai kemudahan transportasi ini. Waktu lalu, torang pigi ke Kotamobagu beli bahan / material bangunan, oto taksi so suka antar sampe dirumah. Belum lagi kepentingan laeng, seperti anak skolah so dapa naik oto langsung di depan rumah masingmasing,dan ibu-ibu ke pasar. Diterjemahkan : Bila dibandingkan dengan kondisi jalan yang lalu sangat jelek, kendaraan umum tidak dapat melalui lorong ini, tapi sekarang sudah ada peningkatan. Kami warga pun merasa senang, dengan berbagai kemudahan transportasi. Waktu yang lalu, saya ke kotamobagu membeli bahan / material bangunan, kendaraan angkutan mengantar sampai kerumah. Belum lagi kepentingan lainnya, seperti anak sekolah sudah dapat naik mobil langsung di depan rumah masing- masing dan ibu-ibu ke pasar. Selain dampak positif fisik yang dirasakan langsung oleh warga masyarakat ada juga positif non fisik, yakni ; (1). Adanya suasana baru bagi warga yang bertempat tinggal di lorong tersebut, jalan lorong terasa luas/lebar, rata, tidak becek, berlobang, (2). Waktu terasa lebih cepat untuk ke sekolah bagi anak-anak, pasar, ke puskesmas, ke kantor desa, dll, berbeda sebelum dibangun harus jalan kaki ke sekolah, ke kantor dan ke pasar serta berbagai kepentingan lain, (3). Warga merasa tidak terisolasi atau minder untuk tinggal di lorong yang menjorok masuk ke dalam areal pemukiman, (4). Kesehatan sanitasi, peningkatan
87
kesehatan lingkungan, saluran air sudah baik, bila hujan sampah tidak berserakan di jalan, tidak becek mengotori pakaian, sandal, dan sepatu. Selama ini yang menjadi keluhan warga dengan adanya pembangunan jalan/lorong tersebut menimbulkan dampak negatif yakni
; (1). Terjadi
peningkatan jumlah kendaran roda dua dan roda empat, karena lorong tersebut dijadikan jalan alternatif, mudah terjadi kecelakaan lalu lintas bila jalan induk ditutup untuk kepentingan umum masyarakat dan pemerintah, (2). Bila musim kemarau terjadi polusi udara debu beterbangan masuk kerumah warga dan polusi suara saat mobil atau motor masuk keluar lorong tersebut. Dampak negatif non fisik muncul kemudian setelah dibangunnya jalan tersebut yakni disebabkan oleh ; (1). Saat kegiatan pelaksanaan pembangunan, terjadi penyelewengan/penyimpangan atas penggunaan material yang dilakukan oleh oknum aparat desa,
(2). Terjadi
kecurigaan dan menurunnya tingkat
kepercayaan warga masyarakat yang tinggal dilorong tersebut kepada pemerintah desa, (3). Menurunkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desanya. 5.3. Tower Transmisi Gelombang Optik PT Satelindo Tower satelindo dibangun pada tahun 2004 dengan lokasi pembangunan di Desa Modaya g dengan tinggi kurang lebih 75 meter dan lebar bagian ukuran pondasi bawah 9 meter x
9 meter. Pelaksanaan
melibatkan masyarakat sekitar lokasi tower.
pembagunan tower ini
Dengan dibangunnya bangunan
tower oleh PT Satelindo, beberapa dampak muncul yakni : Dampak positif fisik dibangunnya tower PT. Satelindo dilokasi dusun IV lorong Maesaan adalah yaitu ; (1) bertambahnya jumlah banguna n permanen
88
di dusun IV Maesaan, (2) Berubahnya kondisi lingkungan sekitar tower. (3) Bertambahnya pengguna Handphone di Desa Modayag, karena kualitas signal telah menjangkau wilayah Kecamatan Modayag dan beberapa kecamatan tetangga. Dampak positif non fisik dengan dibangunnya bangunan tower PT. Satelindo yakni ; (1). Saat dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik, warga masyarakat selama kurang lebih empat
bulan mendapatkan pekerjaan
sebagai buruh, tukang, pada kegiatan tersebut, bertambahnya pendapatan keluarga pekerja, (2). Dengan beroperasinya tower, dua orang warga mendapatkan pekerjaan tetap untuk menjadi operator tower dan penjaga bangunan tower, (3) Bertambahnya nilai dan jumlah pajak (PBB) di desa, (4). Secara teknis, meningkatnya kualitas signal handphone (HP) di wilayah Kecamatan Modayag secara khusus dan meningkatnya hubungan komunikasi antar warga se Kecamatan Modayag dan kecamatan tetangga secara umum. Sebelum di bangunnya tower signal,
handphone di Desa Modayag kurang baik sering putus-putus, tetapi
dengan adanya tower, sekarang sudah baik. (5). Pemanfatan uang hasil penjualan tanah warga yang menjual tanahnya untuk kepentingan pembangunan tower, mendapatkan harga jual ya ng tinggi, dari perusahaan dan digunakan untuk membeli rumah dan tanah yang lebih luas. Dituturkan warga (JA). So bagus itu signal, setelah ada beking to tower, dua taong lalu itu signal di Kecamatan Modayag putus-putus nyanda bagus. Torang kalu mo aktifkan itu Handphone musti cari tampa tinggi baru dapa depe signal. Skarang biar di kamar itu signal pe kuat sebab tu tower perusahaan so beking.
89
Diterjemahkan : Signal sudah bagus setelah perusahaan membangun tower, dua tahun yang lalu signal handphone di Kecamatan Modayag sering hilang atau putus tiba-tiba. Bila kami mengaktifkan Handphone, harus mencari tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan kualitas signal yang baik. Sekarang walaupun di dalam kamar, signal sudah kuat/baik sebab perusahan telah membangun tower. Selain dampak positif baik fisik mupun non fisik pembangunan tower transmisi signal PT Satelindo berdampak negatif fisik dan non fisik, untuk dampak negatif fisik yaitu ; (1). Rusakanya jalan dan gorong- gorong (leput) yang dibangun pemerintah di dusun IV lorong Maesaan, disebabkan transportasi alat berat saat mendistribusikan material pembangunan tower, sebelum dibangunnya tower ini jalan masuk lorong kondisinya aspal sangat baik akan tetapi ketika dimulainya pembangunan tower kendaraan yang mengangkut material bahan bangunan dan besi membuat lapisan aspal pecah/retak dan ketika hujan, aspal jalan mulai terangkat, turunnya permukaaan jalan, (2). Meningkatnya frekuensi terjadi petir di lokasi lingkungan sekitar bangunan tower lorong pada radius 250 meter,
(3). Meningkatnya kerusakan peralatan elektronik Televisi, Telepon
rumah, CD Player, dan Radio. Adapun dampak negatif non fisik yang ditimbulkan atas dibangunnya tower transmisi signal PT Satelindo
di dusun IV lorong Maesaan adalah ; (1)
Kekuatiran warga di lingkungan tower saat terjadi hujan yang disertai kilat/petir. Sebelum dibangunnya tower dilokasi tersebut jarang terjadi petir yang kuat, namun setelah dibangunnya
tower sekarang
ini
intensitas petir semakin
tinggi, (2). Sengketa warga dengan PT Satelindo atas pemutusan aliran listrik yang digunakan pada penerangan lampu tower oleh warga, (3). Kepercayaan
90
warga terhadap perusahaan menurun, (4). Berkurangnya kepemilikan tanah warga, karena beralih kepada pihak swasta atau investor, (5)..Memicu warga untuk melakukan tuntutan dan melaporkan permasalahan ini kepada pemerintah daerah, untuk membongkar tower yang sudah dibangun. Ditutur seorang warga (RP) : Setelah tower dorang beking, warga torang yang tinggal disekitar lingkungan tower sering menjadi sasaran kilat/petir. Torang pe barang-barang elektronik (Televisi, telephon, VCD, tape recorder) slalu rusak sebab sambaran kilat/petir. Selain itu torang tako kalu ada gempa bumi, torang rasa kuatir kalu nanti tower runtuh kong tatindis pa torang pe rumah, torang pe keselamatan jiwa terancam. Diterjemahkan : Setelah tower dibangun, kami yang tinggal disekitar lingkungan tower menjadi sasaran kilat/petir. Barang-barang elektronik (Televisi, telephon, VCD, tape recorder) sering rusak akibat sambaran petir. Selain itu kami juga ketika terjadi gempa bumi merasa kuatir jika nanti tower runtuh dan menimpa warga sekitar, keselamatan jiwa kami terancam. 5.4. Pembangunan Pabrik Pengolahan Emas dan Pengolahan Kayu (Sawmill) Pembangunan pabrik pengolahan material batuan logam mulia (emas) dan Pengolahan kayu (sawmill) menimbulkan berbagai dampak
baik dampak
positif fisik maupun non fisik dan dampak negatif fisik dan non fisik. Dampak
positif fisik yakni; (1). Jalan menuju ke pabrik/perusahaan
sepanjang satu kilometer dibangun perusahan dengan kondisi yang baik terbuat dari aspal hotmix, (2). Memberikan daya tarik kepada masyarakat, membangun
rumah
tempat
tinggal
untuk
dan usaha di sepanjang jalan menuju
pabrik, (3) Adanya lampu penerangan jalan yang dipasang oleh perusahaan sepanjang satu kilometer, menambah keindahan dan meningkatkan keamanan lingkungan sekitar pabrik. (4). Adanya kelancaran transportasi bagi warga yang bermukim di sekitar pabrik, karena kendaran umum roda empat, roda dua dan
91
sepeda dapat menjangkau kebutuhan warga seperti ibu- ibu ke pasar untuk belanja keperluan sehari- hari, anak-anak ke sekolah, ke Puskesmas, ke kantor pemerintah kecamatan, karena sebelum perusahaan membangun jalan ini kondisinya kurang baik, berbatu, tidak rata, berlobang. Bila hujan becek, sebaliknya saat kemarau berdebu. Kendaraan umum tidak dapat melalui lorong tersebut, sekarang berbagai kepentingan transportasi warga dengan cepat diperoleh. Dampak
positif
non
fisik
pembangunan pabrik tersebut yakni ;
yang
ditimbulkan
dengan
adanya
(1). Adanya lapangan usaha baru dan
terbukanya peluang kerja didalam lingkungan perusahaan dan diluar bagi warga sekitar pabrik dan di desa pada umumnya, warga masyarakat dapat bekerja dipabrik pengolaha n kayu dan pengolahan bantuan material logam mulia (emas), (2). Adanya kontribusi berupa partisipasi perusahaan kepada pemerintah desa secara materil, (3). Adanya kontribusi materil dari perusahan kepada warga berupa penyediaan air bersih dan energi listrik bagi warga yang belum mampu membayar biaya administrasi sambungan instalasi listrik dirumah tinggalnya (4). Adanya pengetahuan alih teknologi pengolahan dengan bahan kimia yang berbeda dari yang terdahulu kepada warga. Dampak positif fisik dan non fisik pembangunan pabrik pengolahan kayu dan logam mulia, terdapat juga dampak negatif fisik yakni ; (1). Terjadi pencemaran lingkungan polusi ( air, udara, tanah dan suara) bagi warga yang bermukin disekitar pabrik. (2). Berkurangnya lahan pertanian warga
yang
disebabkan terjadinya peralihan hak atas tanah melalui proses transaksi jual beli
92
antara warga dan perusahaan, (3). Meningkatnya arus transportasi dilingkungan pabrik karena aktivitas perusahaan. Selain adanya dampak positif fisik dan positif non fisik, adanya pembangunan
pabrik pengolahan
kayu dan logam mulia ini terdapat juga
dampak negatif non fisik yakni ; (1). Adanya gugatan warga atas pencemaran lingkungan
yang disebabkan
limbah pabrik yang berbentuk
lumpur, debu,
gas/asap, (2). Menimbulkan gangguan kesehatan bagi warga yang bermukim disekitar pabrik, (3). Hilangnya rasa nyamanan hidup warga yang tinggal di lingkungan sekitar pabrik, (4). Menimbulkan ketidakharmonisan warga di sekitar lingkungan pabrik dengan pihak perusahaan. 5.5. Ganti Rugi Tanah Lahan Perkebunan Warga untuk Industri Pertambangan Emas Dampak dari pada pembangunan industri pertambangan di wilayah Kecamatan Modayag, terkait langsung dengan warga desa modayag yakni pada proses ganti rugi tanah perkebunan warga masyarakat Modayag yang berlokasi di Desa Lanut. Akan tetapi di Desa Modayag dimana warga pemilik adalah warga Desa Modayag, maka dampak positif yang terjadi di Desa Modayag adalah sebagai berikut; (1). Dari dana ganti rugi lahan perkebunan yang diterima warga, dimanfaatkan untuk membangun rumah,
biaya pendidikan anak, membeli
kendaraan roda dua, roda empat, serta membeli lahan pengganti di lokasi lain, (2). Dengan dibangunnya jalan menuju kelokasi perusahaan, masyarakat yang lahannya tidak masuk pada kawasan eksplorasi hijau
(green belt)
dan ekploitasi atau kawasan
dapat memanfatkan jalan tersebut, serta ke kebun sudah
93
menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua, (3). Warga membangun rumah dengan dana ganti rugi, karena sebelumnya kondisi bangunan rumah warga tidak sesuai dengan standar rumah sehat, masih menggunakan atap (rumbia), atap yang dibuat dari susunan daun sagu, dan
berdinding terbuat dari anyaman batang
bambu. Tetapi sekarang terjadi peningkatan, sudah semi permanen bahkan beratap genteng, lantai ubin, berdinding bata plesteran semen. (4). Bertambahnya kepemilikan kendaraan roda empat dan roda dua, (5). Meningkatnya sarana transportasi desa. Dampak positif non fisik dari pada proses ganti rugi tanah perkebunan warga masyarakat modayag yang berlokasi di Desa Modayag yakni, (1). Adanya perbaikan dan peningkatan taraf hidup khusus bagi warga penerima dana ganti rugi, (2). Terbukanya lapangan pekerjaan dan usaha ekonomi warga di desa, bahkan secara umum di Kecamatan Modayag, sebab dana ganti rugi oleh sebagian warga dimanfaatkan untuk modal usaha (3). Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam partisipasi terhadap pembangunan di desa, (4). Meningkatnya status sosial warga penerima dana ganti rugi. Dampak
negatif
fisik proses ganti rugi tanah perkebunan warga
masyarakat modayag (1). Terjadinya penambahan unit kendaran roda empat dan roda dua, hal ini disebabkan warga yang menerima dana ganti rugi sebagian membeli kendaraan roda empat dan roda dua, (2). Terjadinya peningkatan polusi, suara dan gas emisi buangan kendaraan, ( 3). Terjadinya peningkatan kepadatan lalulintas di ruas jalan utama desa, yang disebabkan adanya penambahan armada
94
kendaraan roda empat dan roda dua di desa yang mengakibatkan kecelakaan lalulintas. Dampak negatif
non fisik dari pada
proses ganti rugi tanah
perkebunan warga masyarakat modayag yang berlokasi di desa penelitian yakni ; (1). Muncul kecemburuan sosial diantara warga yang disebabkan karena beberapa warga yang namanya terdaftar dan berhak menerima sesuai surat keputusan bupati
nomor. 521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 pebruari 1984,
tidak menerima ganti rugi, (2). Terjadi manipulasi nama warga, perampasan hak warga oleh oknum pemerintah desa, (3). Terjadi sengketa lahan (perebutan) antara warga Desa Modayag dengan desa tetangga, yang disebabkan oleh tumpang tindih (overlapping)
peta lahan, tidak jelasnya tanda batas
mengakibatkan tarik ulur tanda batas lokasi perkebunan antara
warga
yang Desa
Modayag dengan warga dua desa tetangga, (4). Menurunya kredibilitas dan kepercayaan sebagian warga kepada pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, yang disebabkan mengakibatkan
oleh tindakan kesewenangan
mereka
kehilangan
sebagian
aparat pemerintah, dan atau
keseluruhan
hak
miliknya, (5). Memicu warga melakukan tekanan atau protes kepada pemerintah melalui pengawasan masyarakat Dari
beberapa
kasus
kejadian
mengenai
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan, terdapat tiga kasus pembangunan desa di Desa Modayag yang hanya berdampak negatif non fisik yakni seperti dibawah ini. 5.6. Pernikahan di ”Bawah Tangan” oknum Aparat Desa Dari kejadian permasalahan pernikahan dibawah tangan yang dilakukan oleh seorang oknum aparat desa ini, secara fisik tidak ditemukan, sedangkan yang
95
ditemukan hanyalah dampak negatif non fisik yakni (1). Terjadi pelanggaran hukum adat yang berlaku di dalam desa dan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Nomor 29 Tahun 2000 tanggal 30 Desember 2000 Tentang Pemerintahan
Desa, oleh seorang oknum pemerintah desa, (2). Rusaknya
hubungan keluarga (suami istri) yang berakibat cerainya pernikahan yang sah (AM) dengan (WM), (3). Menimbulkan keresahan warga, karena seorang oknum pemerintah desa sebagai panutan di desa, pengayom adat berbuat dan berprilaku amoral,
(4).Menurunya kredibilitas dan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah desa. 5.7. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Modayag Pelaksanakan pesta demokrasi di desa yakni pemilihan kepala desa. Masyarakat menyambut dengan baik kegiatan tersebut karena masyarakat berpendapat bahwa sudah seharusnya Desa Modayag melaksanakannya, karena masa jabatan kepala desa sekarang ini sudah waktunya berakhir. Adanya pimpinan formal di desa akan dapat membantu masyarakat dalam hal melayani kepentingan masyarakat. Secara umum dalam bentuk kegiatan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemilihan Kepala Desa adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi pada proses politik demokrasi di aras desa. Keikutsertaan warga adalah mutlak mulai pada tingkat perumusan hingga pada tingkat memutuskan. Sebagai pemimpin nanti ia harus mendapatkan dukungan politik dari berbagai komponen masyarakat desa
untuk
mengkukuhkan
kekuasaannya
dalam
rangka
kepemimpinannya kemudian. Proses pemilihan Kepala Desa
mendukung
diletakkan pada
96
dasar ketentuan dan aturan yang baku dan berlaku di wilayah sesuai dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Kondisi sosial politik di aras desa akan
kondusif baik jika pimpinan pemerintah desa memiliki dukungan politik yang besar. Integritas seorang pimpinan pemerintah
di desa yang baik akan
menggambarkan keadaaan dan kondisi sosial politik di wilayah desa, dan warga masyarakatnya. Proses pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Desa/Sangadi di desa penelitian menimbulkan dampak positif non fisik yakni ; (1). Memberikan ruang bagi partisipasi dalam pembangunan politik di aras desa, (2). Memberikan pendidikan politik kepada warga masyarakat, (3). Memberikan kesempatan kepada warga dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik di aras desa. Sedangkan dampak negatif non fisik yang muncul pada proses pemilihan Kepala Desa (pilkades) yakni; (1). Munculnya kegiatan yang dilakukan kandidat calon, menggunakan segala cara yang bertentangan dengan norma- norma hukum yang berlaku, (2). Pelanggaran terhadap aturan dan perundang- undangan yang berlaku, (3). Adanya
cara mengeksploitasi potensi politik warga untuk
kepentingan pribadi oknum kandidat calon tertentu, (4). Adanya kegiatan pembodohan politik warga. Pernyataan calon Sangadi (UM) kepada warga (massa) saat melaksanakan kampanye pemilihan Kepala Desa ” Inga-Inga tu di Talugon dan Gogagoman” Diterjemahkan “Jangan lupa waktu di lokasi Talugon dan Gogagoman”. Lokasi Talugon dan Gogagoman adalah lokasi perkebunan warga yang diganti rugi oleh perusahaan tambang pada tahun 2002. Pernyataan
97
warga masyarakat saat proses pemilihan Kepala Desa Modayag (ARM) sebagai berikut : Kami heran, karena saat kampanye, massa salah satu calon Sangadi (FJO) sangat mendominasi sehingga memungkinkan Ia menggantikan kepala desa lama (UM), akan tetapi disaat perhitungan suara semuanya berubah. Setelah dua hari kemudian, ditemukan informasi, dari masyarakat bahwa waktu persiapan pilkades sehari sebelum pemilihan, calon Sangadi (UM) melakukan kecurangan dengan membagikan uang (money politic) kepada masyarakat di waktu pagi dini hari (serangan fajar) dengan manfaatkan beberapa orang tim suksesnya.
5.8. Penyaluran Beras untuk Keluarga Miskin di Desa Modayag Kasus lain yang dilaporan warga kepada Bupati Bolang Mongondow, Polres Bolaang Mongondow,
Camat Modayag,
yakni penyimpangan beras
keluarga miskin (Raskin), yang dilakukan oleh seorang penyalur warga desa berinisial (TM).
Kasus ini disebabkan; (1). Pendataan dan inventarisir
terhadap jumlah keluarga miskin di desa tidak jelas. (2). Pemotongan volume fisik beras sebesar 2 – 3 kilogram terhadap setiap keluarga penerima raskin; (3) Penyalur menaikan harga
beras
setiap kilogram sejumlah Rp. 250
rupiah
sehingga menjadi Rp.1250, dan pengambilan kartu keluarga miskin dikenakan biaya sebesar
Rp. 2.000 setiap
keluarga miskin. Atas tindakan penyalur
mengakibatkan berkurangnya jatah volume beras yang diterima warga keluarga miskin dan terjadi pembebanan sejumlah uang kepada warga keluarga miskin. Kasus penyimpangan atas penyaluran beras untuk keluarga miskin (raskin) berdampak
non fisik yakni : (1). Menurunnya kepercayaan warga terhadap
kredibilitas pemerintah, (2). Adanya kecemburuan sosial di antara warga desa, yang menerima dan yang tidak menerima sedangkan kondisi kehidupan mereka
98
juga sama keluarga miskin, (3). Adanya pembebanan biaya tambahan kepada warga miskin, (4). Adanya pelanggaran terhadap ketentuan
yang berlaku.
Seorang warga (IM) memprotes penyaluran raskin sebagai berikut : Papa mantan porobis (kepala Dusun), brenti dari tugas karena usia tua, deng so saki-saki. Papa saki, karna dulu nyada brenti karja siang malang bantu pa sangadi, skarang papa saki nyanda pernah Sangadi datang lia. Lia jo torang pe keadaan hidup. Masakan petugas nyada daftar Papa pe nama sedangkan yang bantu papa Cuma saya anak perempuan satu-satunya. Diterjemahkan : Ayah saya adalah mantan porobis (kepala Dusun) yang berhenti dari tugasnya karena usia lanjut dan kondisi fisik dalam keadaan sakit. Dahulu ayah rajin bantu sangadi siang maupun malam. Sekarang ayah sakit sangadi tidak pernah menjenguk. Beginilah keadaan kami Petugas desa juga tidak mendaftarkan nama ayah sebagai penerima Raskin. Saya anak perempuan satusatunya yang merawat papa.
99
BAB VI ETIKA PENGAWASAN MASYARAKAT DESA Sebagaimana suku dan masyarakat lokal yang lain, Suku Mongondow juga memiliki adat istiadat dan sosial budaya (pengetahuan lokal) yang dijadikan sebagai penuntun perilaku masyarakatnya. Babcock, (1999) sebagaimana dikutip Arafah (2000) menyatakan pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berfikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Menurut Zakaria sebagaimana dikutip Arafah (2002), pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan dengan model- model pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Pada suku Mongondow dikenal semboyan ”tiga moto” dan sebutan Tule Molantud. Ketiga moto ini disebut juga sebagai pesan leluhur (Singog Ing Mogoguyang) nenek moyang suku Mongondow yang berisikan janji (Dodandian) yang dalam praktek kehidupan berguna sebagai pedoman/penuntun kepada keturunnya suku/etnik Mongondow sebagai satu keturunan yang memiliki sifat geneologis atau ya ng berhubungan darah. Sedangkan Tule Molantud adalah merupakan sebutan
kepada seseorang (warga) yang memiliki kapasitas dan
kualitas intelektual yang handal serta status yang tinggi dalam komunitas suku Mongondow.
100
6.1. Tiga Moto (Singog Ing Mogoguyang) 6.1.1. Mototompia’an Tompia, berarti membangun, sehat, baik, atau kondisi baik, bagus, terbangun tidak dalam keadaan sakit. Kata mototompia’an telah diberi awalan ”moto” dan akhiran ”an”, yang mengandung arti saling membangun, saling memperbaiki.
Harapan leluhur ialah bahwa bila mototompia’an dipraktekkan
dalam kehidupan sehari- hari oleh keturunannya akan tercipta keluarga yang damai dan sejahtera, terhindar dari berbagai pertikaian yang akan menghancurkan hubungan kekeluargaan. Dalam kehidupan nyata mototompia’an dipraktekkan atau diwujudkan dalam bentuk
secara fisik
gotong royong dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat. Dalam
kaitan
dengan
pengawasan
masyarakat,
mototompiaan
mengandung maksud untuk mengaplikasikan hakekat yang benar, yakni untuk saling bahu-membahu, bersama menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di tengah warga masyarakat, makna lainnya menunjukan rasa kepedulian sebagai sesama warga, atau terhadap anggota, pimpinan dengan tujuan untuk membangun baik fisik, dan mental. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk kritik membangun yang mengoreksi suatu hal atau kondisi menjadi lebih baik dan menuju pada kesempurnaan yang hakiki dan dapat di pertanggungjawabkan. Kasus yang dapat menggambarkan adanya nilai-nilai pengetahuan lokal di desa penelitian yakni ketika warga desa mengetahui adanya penyimpangan terhadap pengelolaan dana pembangunan masjid yang lakukan oleh beberapa oknum panitia pelaksana (Ketua, Sekretaris, Bendahara) dan pemerintah desa
101
(Sangadi). Dilandasi nilai- nilai adat tersebut warga merasa bertanggung jawab untuk mengoreksi, mempertanyakan kepada panitia pembangunan masjid dan pemerintah desa (Sangadi) menyangkut pengelolaan dana pembangunan masjid serta meminta tanggung jawabannya, sehingga pengelolaan dana pembangunan masjid dapat dilakukan sesuai dengan nilai- nilai adat dan ketentuan yang berlaku. Hal ini bermaksud pula untuk menghindarkan oknum pemerintah dan panitia terhindar dari perbuatan tercelah dan bertentangan dengan adat- istiadat dan ketentuan formal lainnya serta akibat lain yang dapat merugik an semua pihak. 6.1.2. Mototabian Kata kotabi, berarti sayang / rasa sayang, kasih/rasa mengasihi. Kata kotabi telah diberi awalan ”moto” dan akhiran ”an” sehingga mengandung arti saling sayang. Saling sayang – menyayangi dapat juga berarti baku-baku sayang (saling menyayangi satu dengan lainnya) bergandengan tangan mengangkat derajat hidup sesama warga.
Mototabian menunjukan hubungan
kasih persaudaraan antara satu suku, keluarga, warga, di daerah Bolaang Mongondow. Berkaitan dengan pengawasan masyarakat, bahwa ketika pelaksanaan pembangunan, khususnya kegiatan ganti rugi lahan perkebunan warga untuk kepentingan industri pertambangan, warga merasakan ada ketidakadilan yang dilakukan oknum pemerintah desa mengganti nama warga yang berhak menerima dengan warga lain yang tidak berhak. Di tingkat Kecamatan dan Kabupaten terjadi pula hal yang sama, oknum Camat Modayag dan beberapa anggota DPRD
102
Kabupaten Bolang Mongondow namanya terdaftar sebagai penerima ganti rugi. Oknum-oknum pejabat tersebut namanya tidak terdaftar dalam lampiran Surat Keputusan Bupati Bolaang Mongondow Nomor 521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 Pebruari 1984. Pada tanggal 25 September 2005. Masyarakat menilai telah terjadi perampasan atas hak mereka. Oleh masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut telah menyimpang dari adat istiadat dan ketentuan hukum lainnya. Pemerintah telah menyimpang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai norma- norma adat dan ketentuan formal Negara, untuk menjamin hak dan kewajiban warga sebagai wujud kasih sayangnya dan tidak membeda-bedakan status warga satu dengan yang lainnya. 6.1.3. Mototanoban Kata tanoban, berarti ingat, rasa mengingat, tidak melupakan. Kata tanoban telah diberi awalan ”moto” menjadi mototanoban yang mengandung arti saling mengingatkan (baku-baku inga). Mototanoban menunjukan hubungan dua arah antara warga suku, keluarga, warga, daerah Bolaang Mongondow. Dalam kehidupan nyata masyarakat Mongondow sebagai warga, individu, pemerintah di daerah (lipu) kampung, bila kehidupannya telah berhasil atau melebihi dari warga yang lain baik materil (harta) maupun non materil (jabatan), harus mengingat, membantu, menolong, tidak sewenang-wenang terhadap saudaranya atau warga yang lain. Kasus yang dapat menggambarkan adanya nilai- nilai pengetahuan lokal berkaitan dengan pengawasan masyarakat di desa penelitian yakni masyarakat
103
mengharapkan pemerintah desa memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga sebagai bentuk pengabdiannya. Pada kasus ganti rugi lahan perkebunan warga untuk kepentingan industri pertambangan, warga yang berhak menerima ganti rugi tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, nama mereka diganti dengan nama
warga lain
yang tidak berhak. Sebaliknya, terjadi tindakan
sewenang-wenang berupa perampasan hak warga dari oknum pemerintah. Kondisi ini mendorong warga untuk melakukan protes, karena warga beranggapan pemerintah telah menyimpang dari adat - istiadat yang berlaku serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 6.2. Tule Molantud Tule Molantud berasal dari dua kata yakni kata Tule, yang berarti teman, rekan yang setia, dan kata Molantud yang mengadung arti tertinggi, pandai, unggul, berani, jujur dan trampil. (Lasabuda, 2006). Jadi Tule Molantud dapat diartikan sebagai teman yang setia, yang mempunyai keunggulan dalam hal intelektual, jujur dan pemberani, pengayom Ia bukan menjadi seorang penguasa, sebaliknya adalah menjadi pelindung, berlaku adil, mendahulukan kepentingan umum atau bersama. Seorang tule molantud tidak akan dan pernah melakukan hal- hal yang tidak terpuji seperti memperkosa hak rakyat, mementingkan diri sendiri, dan keluargannya saja, berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara dalam komunitasnya, egoistis, serakah, korup, dan penindas rakyat. Warga Mongondow, yang diberi gelar dan kedudukan dalam masyarakat sebagai Tule Molantud dipandang benar-benar memiliki komitmen yang kuat
104
terhadap Dodandian Paloko Bo Kinallang, serta mampu mempratekkan dalam kehidupan sosial ketiga moto yakni mototabian, mototompiaan dan mototanoban. Pengawasan masyarakat yang dilakukan, berkaitan dengan pengetahuan lokal (local knowledge) di daerah penelitian yakni adanya benturan nilai yang dianut warga komunitas dan nilai baru yang mengintervensi perilaku dan kebiasaan warga masyarakat. Berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan di aras desa, merupakan bentuk pengendalian masyarakat di dalamnya membawa nilai- nilai baru. Nilai- nilai baru tersebut di dalamnya terdapat keselarasan dengan nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini ditemukan di desa penelitian yaitu ketika pelaksanaan proyek pembangunan jalan lorong yang dibiayai dari dana APBDDAU Kabupaten Bolaang Mongondow masyarakat menerima, buktinya dengan partisipasi yang diberikan warga berbentuk bahan material (batu, pasir, tenaga dll) proyek dilaksanakan bersama warga dalam bentuk gotong royong (Bobakid). Proyek ini bertujuan membuka keterisolasian warga, serta meningkatkan aksesibilitas kebutuhan warga. Akan tetapi nilai- nilai baru inipun terkadang bahkan bertentangan atau tidak selaras dengan nilai- nilai yang ada di dalam masyarakat di sisi lain. Akumulasi dari pada ketidakselarasan ini secara psikologis mempengaruhi ruang kesadaran warga, sehingga menimbulkan dampak, terjadinya penolakan yang diwujudkan dengan bentuk perlawanan. Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan baik kelompok masa, individu oleh warga kebanyakan, bahkan boleh dikatakan hampir semua bersumber pada kekecewaan mereka terhadap perlakukan yang tidak adil atau ketidakpuasan
105
terhadap kebijaksanaan pemerintah, baik tingkat Kabupaten, Kecamatan maupun Desa. Sebagian menampakan aktivitas protes secara langsung melalui aksi masa, seperti demonstrasi dan unjuk rasa, sebagian menulis surat ke beberapa lembaga atau instansi
yang mempunyai fungsi pengawasan (DPRD, Badan Pengawas,
Kejaksaan, Pengadilan maupun ke Kepolisian di daerah. (Suyanto, et all 1995). Di desa penelitian perlawanan yang dilakukan oleh warga yakni dengan melakukan tindakan protes massa, seperti pada kasus ganti rugi lahan perkebunan warga , proyek subsidi beras keluarga miskin (raskin), pelaksanaan kegiatan pemilihan kepala desa (pilkades), pencemaran lingkungan oleh perusahaan tambang dan pengolahan kayu (sawmill). Sedangkan kasus yang dilaporkan langsung kepada pejabat pemerintah di tingkat kecamatan maupun desa yakni seperti kasus pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana transportasi pelebaran jalan dan saluran air, pernikahan di bawah tangan oleh oknum pemerintah desa. 6.3. Guhanga Lipu Di Bolaang Mongondow perorangan adalah subyek hukum yang tersendiri sesuai status dalam masyarakat. Dalam (Wetbook 1930) Bolaang Mongondow (Undang-Undang Bolaang Mongondow Tahun 1930) masyarakat berpegang pada sistim pemisahan/penggolongan yaitu: (1). Kaum bangsawan (Ninggrat), (2). Simpal (Pembesar raja atau pegawai kerajaan, kaum terpelajar), (3). Nonow (Keluarga kaya, saudagar), (4). Tompunu (Pejabat pemerintah tingkat Kecamatan, Desa), (5). Taling (Bala rakyat, petani, buruh tani), (6). Yobuat (Para budak atau orang belian).
106
Masyarakat hukum terkecil adalah keluarga – keluarga (kaum). Dalam setiap kaum terdapat seorang yang disebut Guhanga atau tua-tua negeri, atau tuatua kampung. Guhanga adalah seorang yang dianggap cakap, trampil dan mampu kapasitasnya memimpin keluarga atau kaumnya sesuai hukum adat. Sedangkan fungsi Guhanga
yaitu
membantu
pemerintah desa dalam
penyelesaian permasalahan di desa atau kampung/lipu seperti sengketa pertanahan, pertunangan/peminangan dan pernikahan, serta permasalahan pembangunan lainnya. (Beschrijving Van het Adatrecht In Bolaang Mongondow). Dengan fungsi–fungsi yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan desa, maka oleh warga kampung menyebutnya Guhanga Lipu. Guhanga Lipu dalam melaksanakan fungsinya di tengah keluarga masingmasing secara internal, juga melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan kegiatan pemerintah desa. Berbagai permasalahan yang terjadi di desa penelitian antara lain yakni kasus tindakan amoral oknum pemerintah desa yang melarikan perempuan bersuami warga desa dan menikahinya di ”bawah tangan” di luar desa. Kasus ini dilaporkan warga ke pemerintah kabupaten dengan tembusan surat yang sama kepada Camat Modaya g dan BPD, karena warga beranggapan bahwa oknum pemerintah desa (UM)
telah melakukan pelanggaran Hukum
Adat dan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Nomor 29 Tahun 2000 tanggal 30 Desember 2000 Tentang Pemerintahan Desa.
Adapun warga
yang melaporkan kasus tersebut terdiri dari keluarga pihak laki- laki (AM) dan keluarga pihak perempuan (WM), dan warga yang lain (kaum bapak dan ibu
107
rumah tangga), yang bersimpati kepada kedua belah pihak keluarga (AM) dan (WM). Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan menyerahkan kembali penanganan dan penyelesaian kasus tersebut ke tingkat desa untuk diselesaikan secara adat. Ketika kasus ini dikembalikan oleh pemerintah Kecamatan ke tingkat Desa, maka otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah desa dalam hal ini Guhanga Lipu, BPD dan dewan Adat. Berkaitan dengan kasus tersebut Guhanga Lipu, BPD dan dewan Adat dalam penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah kampung yang bertempat di rumah ketua BPD (TM) di Dusun I Desa Modayag. Pada musyawarah tersebut, hadir ke dua pihak keluarga perempuan (WM), keluarga pihak laki- laki (AM), Ketua BPD dan tiga anggota, dewan adat, Guhanga Lipu, serta disaksikan oleh masyarakat desa. Pada pertemuan ini pelaku (UM) oknum pemerintah desa
tidak menghadiri pertemuan tersebut. Rapat
dipimpin oleh ketua BPD bapak (T.M). Kesempatan pertama untuk mena nggapi kasus tersebut diberikan kepada Guhanga Lipu bernama (AM), selanjutnya kepada dewan adat kampung dan berturut-turut kepada kedua belah pihak keluarga laki- laki dan perempuan. Setelah mendengar tanggapan dari kedua pihak keluarga dengan tuntutannya masing- masing, suasana musyawarah mulai menghangat dimana tuntutan keluarga pihak laki- laki (AM) meminta, melalui BPD dan dewan adat, serta Guhanga Lipu kiranya : (1). Kepada oknum pemerintah desa (UM) diturunkan dari jabatannya sebagai Kepala Desa, (2). Kepada oknum pemerintah desa (UM) dikenakan sangsi adat berupa denda uang sejumlah Rp. 1.500.000. sesuai ketentuan adat kampung yang berlaku. Dipihak keluarga perempuan (WM), yang
108
menjadi tuntutan mereka yakni (1). Oknum pemerintah desa (UM) harus bertanggung jawab atas masa depan dua orang anak hasil pernikahan dari (AM) dengan (WM), (2). Oknum pemerintah desa (UM) harus menceraikan istri pertama. Tanggapan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
atas kasus tersebut
adalah jika permasalahan ini tidak terselesaikan hingga tuntas di tingkat desa maka BPD akan melanjutkannya atau menyerahkan kasus ini ketingkat Kabupaten melalui Camat Modayag. Sedangkan menurut dewan adat bahwa secara agama hal tersebut dapat diterima, asalkan yang bersangkutan (UM) dapat menafkahi kedua istrinya, namun menyangkut ketentuan adat sudah jelas (UM) telah melakukan pelanggaran dan sanksi adat dikenakan kepadanya, karena menyangkut pelaksanaan huk um adat di desa tidak ada warga yang dikecualikan. Pada musyawarah penyelesaian kasus tersebut, tuntutan keluarga pihak laki- laki (AM) menyangkut pencopotan jabatan Kepala Desa tidak dapat diterima dengan alasan bahwa menyangkut penggantian jabatan seorang Kepala Desa adalah merupakan kewenangan Bupati atas usul Camat, bukan kewenangan BPD, sedangkan tuntutan-tuntutan yang lainnya dapat dipertimbangkan. Menyangkut hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, oleh dewan adat akan dilaksanakan sesuai dengan ketetapan hukum adat. Karena tidak merasa puas, keluarga pihak laki- laki tidak menerima hasil musyawarah tersebut sehingga mereka melaporkan permasalahan tersebut ke tingkat Kabupaten dengan tembusan surat kepada Camat Modayag, akan tetapi laporan masyarakat tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Camat Modayag pada waktu itu (Drs.S.M).
109
Tabel 24, menunjukan kasus-kasus yang terjadi di desa penelitian dan lembaga pengawasan masyarakat desa yang terlibat dalam penanganan dan penyelesaiannya. Tabel 24. Kasus dan Lembaga Pengawasan Masyarakat dalam Penanganan dan penyelesaiannya.
NO.
URAIAN KASUS
TAHUN
LEMBAGA PENGAWASAN
R E SOL USI
1
2
3
4
5
Kasus Pembangunan Pabrik Pengolahan Material Batuan Logam Mulia dan Pengolahan Kayu
2005
BPD, Guhanga Lipu, Polsek, Pemkab.
- Kompensasi Ganti rugi tanaman - Reklamsi lokasi Limbah. - Pembenahan unit produksi sesuai persyaratan Amdal.
2
Kasus Pembangunan Tower Transmisi Gelombang Optik PT Satelindo
2005
BPD, Guhanga, Lipu, Polisi, Pemkab.
- Realisasi pemasangan lampu jalan Sesuai sepakatan dengan warga. - Warga menjamin keamanan tower.
3
Kaus Pembangunan Sarana Peribadatan
2003
BPD, Guhanga Lipu - Pengembalian dana pembagunan. Lembaga Agama, - Penggantian anggota panitia. Pemerintah Desa.
4
Kaus Ganti Rugi lahan Perkebunan Warga Untuk Industri Pertambangan Emas.
2003
5
Kasus Pernikahan di Bawah Tangan oleh Aparat Desa
2004
BPD, Guhanga Lipu, Lembaga Adat
- Tidak ada realisasi kasus tersebut.
6
Kasus Pemilihan Kepala Desa Modayag
2004
BPD, Guhanga Lipu Pemkab.
- Dilaksanaklan sesuai ketentuan yang berlaku. - Hasil pemilihan dinyatakan sah oleh pemerintah Kabupaten.
7
Kasus Proyek Pembangunan Lorong Desa
2004
BPD, Guhanga Lipu Pemkab.
- Warga menyerahkan satu meter halaman depan untuk pembangunan jalan. - Warga dilibatkan dalam proses pelaksanaannya.
8
Kasus Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin di Desa Modayag
2004
BPD, Guranga lipu - Sanksi Ganti Rugi kepada Petugas Polres, Pemkab, Media penyalur. Massa. - Membebaskan yang bersangkutan dari jabatannya.
1
- Dilaksanakan sesuai ketentuan BPD, Guhanga lipu, hukum yang berlaku. Polisi DPRD, Pemkab, - Ganti rugi oleh perusahaan kepada LSM, Media Massa. yang berhak sesuai harga yang layak. konkrit atas
Sumber : Data Primer.
110
BAB VII RESPONS APARAT DESA TERHADAP PENGAWASAN MASYARAKAT Respons (response) merupakan istilah yang digunakan menggantikan kata ”tanggapan” sebagai reaksi atau sambutan terhadap masalah atau berita yang datang, atau reaksi tingkah laku yang merupakan akibat dari kejadian sebelumnya (Reading sebagaimana dikutip Sapja 1998). Menurut Anwar (1988) sikap dapat nyatakan sebagai respons. Dijelaskan lebih lanjut bahwa respons hanya timbul ketika individu diperhadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individual. Respons evaluatif itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberikan kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif, menyena ngkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka, kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap. Kleden sebagaimana dikutip
Agusta
(1997)
menyatakan,
dalam
merespons rangsangan-rangsangan dari luar, suatu institusi sosial dalam komunitas berperan meringankan proses pelajar,
dengan cara menciptakan
rujukan bagi respons-respons tersebut. Dijelaskan pula bahwa institusi juga menjaga stabilitas hubungan anggota komunitas melalui pembinaan kebiasaankebiasaan, yang
mencakup respons fisik. Respons sosial
tidak dikonsepkan
secara formal dalam sosiologi, meskipun sering digunakan oleh para ahli sosial. Respons dalam arti umum berarti jawaban atau reaksi terhadap kesempatan. Dalam kajian skripsi ini, pemberi aksi adalah institusi pemerintah, adapun
111
yang menjadi media pemberi aksi yakni suatu aktivitas terencana atau kegiatan proyek pembangunan pada ruang tertentu yang menimbulkan dampak. Ini dikategorikan sebagai penyebab atau sebab.
Dampak adalah suatu keadaan
(kondisi) yang tercipta sebagai hasil dari aktivitas pemberi aksi yakni kegiatan pembangunan pada suatu ruang biotik fisik (komunitas, lingkungan) dan abiotik non fisik (sosial dan ekonomi) ini dikategorikan sebagai (kondisi). Sedangkan perespons yakni komunitas, merupakan salah satu komponen lingkungan yang menjadi obyek dan subyek pemerintah atau pemberi aksi. Tekanan pemberi aksi dalam bentuk aktivitas kegiatan pembangunan kedalam lingkungan biotik (hidup) komunitas warga yang di dalamnya membawa nilai- nilai positif maupun negatif tertentu.
Dampak sebagai hasil aktivitas
pemberi aksi, selanjutnya diterima dan diartikulasikan atau di interpretasikan oleh lingkungan biotik (komunitas) perespons. Reaksi atas dampak oleh perespon (komunitas) berupa perubahan tingkah laku baru (control) atau pengawasan. Pengawasan dilakukan dengan berbagai bentuk (pikiran, ide/gagasan,)
pada
Bagan 3.
PEMBERI AKSI § Aktivitas Pembangunan (Aksi) pemerintah.
DAMPAK § Lingkungan Biotic, (komunitas)Abiotik (Sosek & Sosbud)
PERESPONS § Pengawasan masyarakat (Control Sosial) dalam bentuk ide/gagasan.
Koreksi kinerja dan memberikan penjelasan
SEBAB
KONDISI
AKIBAT
Bagan 3. Proses respons Aparat Terhadap Pengawasan Masyarakat.
112
Respons organisasi pemerintahan desa atau institusi desa terhadap pengawasan masyarakat (social control) akan menghasilkan kondisi atau keadaan baru untuk menjawab kebutuhan komunitas warga. Proses ini akan terus menerus terjadi dan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pemberi aksi dan perespons. Secara keseluruhan pelaksanaan kegiatan pembangunan tersebut direspon warga, akan tetapi ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah bersama sebagian warga yang memiliki kedekatan pribadi dengan pemerintah, serta pelaksana kegiatan pembangunan lainnya (swasta) untuk kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan umum yang menimbulkan dampak menjadi (akibat), maka respons yang muncul kemudian adalah pengawasan masyarakat (social control). Warga masyarakat merasa teralienasi dari hak asasi dan demokrasi, dominasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan, biasanya menyebabkan timbulnya bentuk perlawanan. Ketika proses pelaksanaan ganti rugi
lahan
perkebunan
warga
bagi
kepentingan
pembangunan
pertambangan terjadi penyimpangan oleh oknum aparat pemerintah.
industri Atas
kejadian ini warga beranggapan bahwa hak mereka di alihkan pemerintah kepada orang lain yang tidak berhak, maka masyarakat melakukan perlawanan berupa demonstrasi massa, melaporkan tindakan sewenang-wenang oknum pemerintah desa, kecamatan kepada oleh lembaga penegak hukum. Apa pun yang dilakukan warga untuk menuntut dipulihkannya hak dan kewajibannya, malah justru sering menyebabkan semakin melemahnya kekuatan tawar-menawar warga. Sementara disisi lain kekuatan mulai tumbuh karena
113
didukung oleh warga terdidik dan media, tak pelak protes warga masyarakat pun perlahan mulai tampil kepermukaan. 7.1. Koreksi Kinerja Dalam kamus Inggris – Indonesia kata koreksi berasal dari kata correction. Diterjemahkan ke dalam bahasan Indonesia koreksi, yang mengandung arti pembetulan, perbaikan, hal-hal yang harus dibetulkan atau perbaikan dari penyimpangan-penyimpangan yang ada (Echols dan Shadily 1996). Joko sebagaimana dikutip Handaka (2004), mengemukakan bahwa kinerja diartikan sebagai hasil kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan standard, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Benardin dan Russel dalam Handaka (2004), menyatakan bahwa kinerja (performance) adalah Peformance is defined the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period (Prestasi adalah catatan tentang hasil- hasil yang diperoleh dari fungsi- fungsi pekerjaan tertentu selama kurun waktu tertentu). Sebagaimana difinisi yang dikemukakan di atas, bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi yang menekankan hasil atau apa yang keluar (outcome) dari sebuah pekerjaan dan kontribusinya kepada organisasi, sebagai satu kesatuan tak terpisahkan antara input, proses, hasil, dan dampak sesuai dengan konteksnya. Meningkatnya
daya
kritis
masyarakat
terhadap
kinerja
aparatur
pemerintah, seakan membuat masyarakat memiliki banyak mata dan telinga untuk memantau kiprah para penyelenggara negara, tidak terkecuali pemerintah desa. Tanggapan yang diberikan dapat berupa pujian terhadap capaian yang positif,
114
namun yang lebih sering terdengar adala h berupa kecaman terhadap ”record” buruk yang dicapai. Aksi-aksi protes yang dilakukan warga masyarakat baik perorangan, kelompok, organisasi profesi dan lain lain, kebanyakan – bahkan boleh dikatakan hampir semua – bersumber pada kekecewaan mereka terhadap perlakuan yang tidak adil atau ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, baik pemerintah daerah, kecamatan dan desa. Bentuk manifestasi protes yang dilakukan warga masyarakat
sangat beragam.
Sebagian menampakan aktivitas
langsung melalui aksi massa, seperti menulis surat
ke beberapa
protes secara
unjuk rasa dan demonstrasi, sebagian
lembaga atau instansi yang mempunyai fungsi
pengawasan, dan sebagian yang lain memanivestasikan protes mereka dengan tidak mendukung berbagai kegiatan pemerintah atau bersikap apatis dan acuh tak acuh. Terlepas dari bentuk perlawanan yang dilakukan dan saluran yang ditempuh, protes dikalangan masyarakat warga bermakna sama. Yakni, sebagai reaksi dan bentuk perlawanan terhadap tekanan dari luar pemerintah atau negara dan kekuatan swasta yang dinilai telah mengancam eksistensi dan melanggar hak asasi warga. Berbagai tekanan dilakukan warga masyarakat melalui pengawasan masyarakat (social control) terhadap pemerintah, sebagai respon masyarakat terhadap dampak yang muncul di tengah-tengah kehidupan warga. Atas tekanan-tekanan warga melalui berbagai kasus kejadian protes dan pengawasan masyarakat, maka dengan arif dan bijaksana dengan tidak merasa rendah diri pemerintah desa menerima dan mewujudkannya dalam bentuk pelayanan yang lebih baik lagi kepada warga serta
merekonstruksi kembali
115
model- model dan cara pelayanannya sebagai bentuk respons atas pengawasan masyarakat (social control). 7.1.1. Penggantian Aparat Struktur pemerintahan Desa Modayag, berdasarkan ketentuan yang berlaku yakni Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow nomor 27 tahun 2000 tanggal 31 Desember 2000, tentang Pemerintahan Desa. Struktur pemerintahan
sesuai perda
tersebut
terdiri dari Kepala desa (Sangadi),
Sekretaris desa (juru tulis), dan 4 (empat) kepala urusan (probis) yakni probis pemerintahan, probis umum, probis pembangunan serta probis kemasyarakatan dan sosial. Kepala dusun sebanyak enam kepala dusun yakni kepala dusun I sampai dengan VI, serta dibantu oleh 18 (delapan belas) orang hansip desa dan seorang penghubung (juru palakat). Sedangkan lembaga lain seperti BPD terdiri dari 16 (enam belas) orang anggota. A. Pengantian Ketua BPD Desa Modayag Hasil pemilihan anggota BPD pada tahun
2001, dengan mekanisme
demokrasi desa yang murni, maka terpilihlah putra-putri desa yang dianggap cakap dan trampil serta mampu mengemban tugas-tugas dalam pengabdiannya kepada masyarakat di Desa Modayag, yang berjumlah 16 (enam belas) orang. Pada pemilihan tersebut juga secara demokratis pula dipilih dari ke 16 (enam belas) orang tersebut yang akan mengisi struktur BPD. Maka terpilihlah Th.O. Mamonto sebagai ketua, wakil ketua A. Lambertus,
dan bendahara yakni
Sumaryo Mamonto, serta sekretaris M. Nayoan. Disamping itu pula dipilih dari antara anggota yang tidak terpilih pada pengisian struktur pimpinan,
sesuai keahlian dan latar belakang
pendidikan
116
masing- masing, untuk mengisi struktur komisi. Komisi yang ada yakni empat komisi yakni komisi A yang diketuai J. Mamonto, yang membidangi hukum dan pemerintahan;
komisi B diketuai R. Wowor, membidangi ekonomi dan
pembangunan; komisi C diketuai Hi. J. Suadu membidangi kesos, pendidikan dan kesehatan ; komisi D diketuai Sumaryono Mokoginta membidangi Adat dan Agama. Masing- masing komisi dibantu oleh tiga sampai empat orang anggota. Penggantian ketua BPD di Desa Modayag berpangkal dari berbagai kasuskasus permasalahan
pelaksanaan
kegiatan
Ganti rugi lahan perkebunan warga untuk
pembangunan di desa yaitu (1). industri pertambangan; (2).
Pembangunan sarana ibadah; (3). Pembangunan sarana transportasi jalan lorong dan saluran air; (4). Pembangunan sarana komunikasi (tower satelindo); (5). Pembangunan non fisik institusi pemerintahan (pilkades); (6). Distribusi subsidi beras keluarga miskin( Raskin); (7). Pembangunan pabrik pengolahan material logam mulia (emas) dan pengolahan kayu (sawmill) oleh pihak swasta; (8). Tindakan amoral oknum pemerintah desa melarikan perempuan bersuami warga desa dan menikahinya di bawah tangan diluar desa. Atas kejadian kasus-kasus diatas menimbulkan protes warga dengan melakukan demonstrasi dirumah kepala desa dan rumah ketua BPD. Desakan dan tekanan warga masyarakat maka ketua BPD dengan sukarela meletakan jabatannya dan bersedia untuk diganti. Pada tanggal 15 Januari 2005, BPD mengadakan rapat/musyawarah atas inisiatif ketua BPD dan beberapa orang anggota. Pada rapat musyawarah tersebut dibahas menyangkut masalah pernyataan sikap ketua untuk mengndurkan diri dari jabatan sebagai ketua BPD.
117
Ketika rapat musyawarah dimulai, ketua menyampaikan beberapa penyampaiannya, yang di dalamnya terkandung maksud menyatakan pengunduran diri dari jabatan. Pada proses penggantian ketua BPD ini terjadi permasala han baru, karena beberapa orang anggota BPD tidak menyetujui ketua mengundurkan diri, hanya karena demonstrasi massa, anggota BPD yang menginginkan ketua tetap berada pada posisinya adalah mereka yang dekat dengan kepala desa, keluarga ketua BPD dan Sangadi. Akan tetapi di dalam tubuh BPD secara internal, beberapa anggota BPD yang lain menginginkan ketua BPD untuk mundur dari jabatannya dengan alasan karena sudah lanjut usia dan tidak produktif lagi. Tarik ulur pengunduran diri dari jabatan ketua BPD tersebut, maka disepakati untuk diadakan votting dari semua anggota BPD. Dari hasil votting ternyata bahwa dari ke 16 (enam belas) orang anggota BPD, 8 (delapan) orang anggota menerima pengunduran diri
ketua dan 6 (enam) orang menolak
sedangkan 2 (dua) orang menyatakan abstain. Secara kuorum maka dari hasil votting tersebut dengan sendirinya ketua BPD harus meletakan jabatannya atau mundur dengan sendirinya. Untuk mengisi kekosongan jabatan ketua BPD karena pengunduran diri dari ketua Th.O. Mamonto, maka pada rapat musyawarah malam itu juga dilangsungkan pula pemilihan ketua yang baru. Berbaga i usul, saran, bahkan kritikan muncul diantara
para anggota BPD mengenai sistim yang akan
digunakan pada proses pemilihan ketua, ada yang mengusulkan bahwa secara otomatis wakil ketua sudah dapat menduduki dan jabatan ketua untuk
118
menggantikan pejabat lama, ada juga yang lain mengusulkan kiranya harus diadakan pemilihan ketua melalui mekanisme secara demokrasi. Pada saat itu disepakati bersama pemilihan dilakukan secara demokrasi. Melalui mekanisme pemilihan, Anton Lambertus memperoleh 8 (delapan) suara, S. Sumaryono 6 (enam) suara, dan J. Mamonto memperoleh 2 suara. Dengan terpilihnya
Anton Lambertus sebagai ketua yang baru maka secara
otomatis permasalahan-permasalahan yang ada saat ini menjadi tanggung jawabnya. Melihat kinerja yang dilakukan oleh BPD yang diketua oleh Anton Lambertus saat ini, beberapa permasalahan yang terjadi di desa menyangkut gugatan dan laporan masyarakat baik di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten beberapa dintaranya telah terselesaikan dan tuntas. Adapun capaian kenerja atas permasalahan-permasalahan di Desa Modayag dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Capaian Penyelesaian Penanganan Kasus-Kasus di Desa Modayag Tahun 2005. STATUS PERMASALAHAN NO.
1 1 2 3 4 5 6 7 8
URAIAN PERMASALAHAN
2 Pembangunan sarana ibadah Ganti rugi lahan perkebunan untuk industri pertambangan Pembangunan jalan lorong dan saluran air Pembangunan sarana komunikasi Pembangunan institusi pemerintahan (pilkades) Distribusi beras keluarga miskin (Raskin); Pencemaran Lingkungan lumpur logam mulia (emas) dan pengolahan kayu (sawmill). Tindakan amoral oknum pemerintah desa.
DALAM PROSES 3 v
SELESAI
BELUM
%
4 -
5 -
6 75 %
v -
v v v v
-
75 % 100 % 100 % 100 % 100 %
-
v
-
100 %
v
-
-
50 %
Sumber : BPD Modayag, olahan data primer
Berdasarkan tabel. 25 diatas dari 8 (delapan) kasus yang terjadi didesa penelitian sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 telah 5 (lima) kasus yang diselesaikan atau yang telah ditangani penyelesaiannya dengan status selesai. Sedangkan 3 (tiga) kasus yang lain masih berstatus dalam proses. Pada kasus
119
pembangunan sarana ibadah telah
± 75 % selesai.
Kasus ganti rugi tanah
perkebunan warga untuk kepentingan industri pertambangan,
sampai saat
penelitian masih dalam proses melalui DPRD kabupaten, tinggal mena nti proses pencairan dana ganti rugi kepada warga yang berhak. Untuk amoral oknum pemerintah desa
kasus tindakan
sampai saat penelitian, dalam proses yakni
melalui musyawarah keluarga korban dengan BPD dan dewan adat kampung. B. Penggantian Kepala Urusan Pemerintahan Tindakan penggantian kepala urusan pemerintahan desa modayag yang dilakukan oleh kepala desa/sangadi berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh BPD atas pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh kepala desa/sangadi selama satu tahun. Adapun alasan penggantian aparat desa yang dilakukan oleh kepala desa kepada aparat bawahannya atas nama berinisial (JK) probis pemerintahan, kepada yang bersangkutan dinilai sudah tidak loyal atau sering melalaikan tugas yang dipercayakan
kepadanya, seperti melakukan
perjalanan keluar desa tanpa memberitahukan Sangadi dan menggunakan kendaran dinas roda dua milik desa, membocorkan rahasia dinas atas kebijakan Sangadi kepada pihak lain, melakukan kegiatan politik menjadi anggota partai tertentu di tingkat kecamatan dan desa, atas kegiatan tersebut akan menggangu tugas pokok dan fungsinya sebagai aparat desa. 7.2. Penjelasan Tindakan Respons aparat terhadap pengawasan masyarakat tentang memberikan penjelasan kepada masyarakat dilakukan atau disampaikan dalam bentuk forum rapat, musyawarah, yang dilakukan di kantor desa, balai pertemuan umum (BPU) desa, pertemuan yang bersifat rutin dinas pemerintahan desa yakni rapat bersama
120
BPD yang dilakukan setiap 4 (empat) bulan sekali. Pertemuan hajatan/syukuran, pesta nikah kampung dan keluarga. Rapat keluarga pogogutat (kaum), rapat persekutuan ibu dan persekutuan bapak desa, baik di tingkat dusun masingmasing maupun secara umum desa. Rapat di tingkat dusun, dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan masyarakat yang terlibat atau terkait. Adapun tempat pelaksanaan dilakukan sesuai situasi. Pelaksanaan penyelesaian kasus – kasus yang lakukan di tingkat desa dari delapan kasus yakni ; (1). Pembangunan sarana ibadah;
(2). Pembangunan sarana transportasi jalan lorong dan saluran
air; (3). Pembangunan sarana komunikasi (tower satelindo); (4). Tindakan amoral oknum pemerintah desa
melarikan perempuan bersuami
warga
desa dan
menikahinya dibawah tangan diluar desa; (5). Pembangunan non fisik institusi pemerintahan desa (pilkades). Sedangkan yang dilakukan penyelesainnya ditingkat kecamatan yakni kasus ; (1). ganti rugi lahan perkebunan warga untuk industri pertambangan. (2). Pembangunan
pabrik pengolahan material logam
mulia (emas) dan pengolahan kayu (sawmill) oleh pihak swasta. Kasus yang di laporkan ke tingkat pemerintah kabupaten yakni kasus ganti rugi tanah perkebunan warga untuk industri pertambangan yang dirujuk oleh kecamatan, karena di tingkat kecamatan tidak memperoleh kesepakatan. Dua kasus yang merupakan laporan langsung
kepada Bupati Bolaang Mongondow
yakni kasus Penyimpangan distribusi subsidi beras keluarga miskin (Raskin). Kasus penyimpangan distribusi
beras keluarga miskin (Raskin) tersebut
penanganan penyelesaian masalahnya dilakukan di tingkat Kabupaten, melalui Polres Bolaang Mongondow. Dan hasil penyidikan pihak Polres Bolaang Mongondow bahwa tindakan penyimpangan ini ditemukan terbukti. Oleh karena
121
itu yang bersangkutan bersedia untuk mengganti kekurangan beras keluarga miskin yang telah digunakannya untuk kepentingan pribadi, maka yang bersangkutan diberikan sangsi tuntutan ganti rugi (TGR) dan diberhentikan dari tugasnya sebagai pelaksana penyalur beras keluarga miskin di desa. Selanjutnya kasus tindakan amoral oknum pemerintah desa
melarikan
perempuan bersuami warga desa dan menikahinya di ”bawah tangan” di luar desa, kasus ini oleh pemerintah kabupaten menyerahkan kembali ke tingkat desa, untuk diselesaikan penanganannya secara adat. Jika nanti secara adat telah dilakukan namun tidak terselesaikan juga, maka pihak kabupaten akan menyelesaikan secara struktural kedinasan, karena seorang oknum pemerintah desa atasannya adalah Bupati dan Camat.
122
BAB VIII PENUTUP 8. 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman masyarakat tentang pembangunan di desa adalah
kegiatan
pemerintah desa dalam memenuhi kebutuhan sosial (pendidikan, ekonomi, kesehatan) warga di desa. Warga menyadari dan memahami bahwa pembangunan yang dilaksanakan pemerintah desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan warga, sehingga menjadi tanggung jawab bersama warga dan pemerintah dalam
pelaksanaanya
mulai
dari
tahap
perencanaan,
pelaksanaan
dan
evaluasi/pengawasannya. Pelaksanaan pembangunan di desa ditanggapi warga bahwa pemerintah sangat dominan dalam pelaksanaan kegiatan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi/pengawasannya. Kurang dipahami dan diperhatikan partisipasi dan aspirasi warga.
Program-program pembangunan
yang dilaksanakan di desa kurang disosialisasikan kepada warga. Pengawasan
masyarakat
(social
control)
dalam
pelaksanaan
pembangunan di desa melalui lembaga formal desa (BPD) tidak optimal sesuai harapan warga. Warga melakukan pengawasan secara pribadi, kelompok dalam bentuk demonstrasi massa, melaporkan kepada pemerintah atas desa dan lembaga penegak hukum di tingkat Kecamatan, Kabupaten, bahkan ke tingkat Provinsi dengan memanfaatkan sarana media massa lokal. Pemerintah desa menerima, menyadari dan memahami (merespons) bahwa pengawasan masyarakat (social control) yang dilakukan warga adalah bentuk kepedulian warga dan ketidakpuasannya terhadap kinerja pemerintah desa dan aparatnya pemerintah kabupaten.
123
Atas tekanan warga
melalui pengawasan masyarakat
(social control)
pemerintah desa merespons dengan cara mereorganisasi institusi desa yakni dengan adanya penggantian Ketua BPD Desa Modayag, Kepala Urusan Pemerintahan, mengganti petugas penyalur/distribusi beras untuk keluarga miskin (raskin) untuk menjawab kebutuhan dan keinginan warga. Di tingkat kecamatan kasus ganti rugi lahan perkebunan warga untuk kepentingan industri pertambangan, oleh kecamatan camat tidak dapat memutuskannya dan merujuk ke tingkat kabupaten, karena menyangkut hal yang prinsip. 8. 2. Rekomendasi Berdasarkan
data dan hasil analisa dapat direkomendasikan hal- hal
sebagai berikut : 1. Meningkatkan pembinaan dan penyuluhan aparatur, penegakkan hukum di daerah dalam rangka menciptakan pemerintah yang bersih (clean governance) dan berwibawa (good governance) untuk menekan korupsi dan meningkatkan transparansi birokrasi. 2. Kiranya pemerintah daerah mengintensifkan penyuluhan, pembinaan dan pemasyarakatan program-program pembangunan desa, supaya ada komunikasi dua arah pemerintah dan masyarakat. 3. Meningkatkan pemasyarakatan pengawasan masyarakat (social control) dan pengawasan fungsional secara luas di Kabupaten Bolaang Mongondow. 4. Menumbuhkembangkan masyarakat,
sebagai
pengetahuan upaya
lokal
pemberdayaan
(indigenous masyarakat
knowledge)
dalam
rangka
meningkatkan program - program pembangunan desa, misalnya lewat aturan adat.
124