PENGAWASAN F.O.K.U.S
Tegas dan Mandiri
Nomor 25 Tahun VII Triwulan I 2010
Evaluasi Program Kerja 100 Hari Kementerian Agama: “Capaian dan Tantangan”
ISSN 1978-7634
Diterbitkan Oleh: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
Daftar Isi
Fokus FokusPengawasan Pengawasan
a. Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2010
2
Dewan Penyunting: Pembina : Mundzier Suparta Pengarah : Ichtijono, Mukhayat Achmad Ghufron Burhanuddin Achmad Zaenuddin Dewan Redaksi: Penanggung jawab: Maman Taufiqurohman Ketua : Sukarma Sekretaris: Budi Setyo Hartoto Anggota : O. Sholehuddin, Kusoy Maman Saepulloh Anshori, Nur Arifin Nugraha Stiawan Noer Alya Fitra Miftahul Huda Redaksi : Nurul Badruttamam Ali Ghozi Sirkulasi : Miftahul Hidayat Produksi : Hariyono Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, Jalan RS. Fatmawati Nomor 33A Cipete Jakarta Selatan 12420 PO. BOX 3867, Telp. (021) 75916038, 7697853, Fax. (021) 7692112 e-mail:
[email protected] Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam bentuk soft copy.
DAFTAR ISI Surat Pembaca - [3] Dari Redaksi - [4]
Fokus Utama ■■
Audit Visioner; Memperkuat Basic Audit - [5]
■■
Peran Auditor Sebagai Pembaharu Kementerian Agama - [14]
■■
Penguatan Profesionalitas Auditor - [21]
■■
Siklus PDCA Sebagai Pendekatan Proses Perbaikan Mutu APIP - [26]
Pengawasan ■■
Teknik Audit Berbantuan Komputer - [31]
■■
Urgensi Budaya Kerja - [33]
■■
Pembinaan SDM Kementerian Agama Melalui Standarisasi Quality Assurance - [41]
■■
Pengembangan Model Evaluasi Program Sosialisasi PPA - [45]
Opini ■■
Membumihanguskan Korupsi - [54]
■■
Budaya Kerja Menuju Reformasi Birokrasi Kementerian Agama - [61]
■■
Membentuk Watak dan Kepribadian - [65]
Hikmah ■■
Pergantian Tahun Momentum Muhasabah dan Syifaul Qolbi Pegawai - [72]
Randang ■■
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 - [76]
Resensi Buku ■■
Audit Investigasi - [78]
■■
Audit Perencanaan - [79]
Surat Pembaca Resume Buku-Buku Kementerian Agama Assalamu’alaikum Wr. Wb. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama banyak memproduksi buku-buku, untuk itu saya mohon Majalah Fokus meresume judul-judul buku yang telah diproduksi tersebut setiap tahunnya. Untuk kemudahan, mungkin resume bisa ditampilkan di akhir tahun. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Moh. Izzuddin Muzani, Sambongdukuh Jombang Jatim Redaksi: Usulan yang menarik, karena dengan itu publik mengetahui buku-buku terbitan kami. Akan kami pertimbangkan untuk tampil di edisi-edisi selanjutnya. Salam sukses selalu. Amin. Program PPA Salam sukses dan silaturrahim saya sampaikan. Sepengetahuan saya, di Inspektorat Jenderal Kementerian Agama mempunyai program unggulan PPA. Mohon penjelaskan, terima kasih. Siti Mabruroh Municha, Padang Sumatera Barat Redaksi: Itjen Kemenag dalam menjelaskan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pengawasan fungsional, memiliki dua kegiatan pengawasan: represif dan preventif. Pengawasan represif dilakukan untuk menepis penyimpangan. Pengawasan preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya perbuatan menyimpang. PPA merupakan rangkaian kegiatan melalui penanaman nilai-nilai agama pada aparatur
Kemenag agar selalu merasa diawasi Allah SWT, tidak memiliki niat berbuat menyimpang dan senantiasa mengikhtiarkan kinerja maksimal sesuai tugas dan fungsinya. Untuk lengkapnya silahkan bisa membaca buku Itjen yang berjudul: “Mengembangkan budaya Kerja melalui PPA.” Profil Auditor Assalamu’alaikum Wr. Wb Sahabat tim redaksi yang kami hormati. Sekedar usul, bagaimana jika Majalah Fokus Pengawasan ke depan dalam setiap edisinya disamping menampilkan profil pejabat di lingkungan Kementerian Agama, tetapi bisa juga menampilkan biografi auditor. Wassalamu’alaikum Ahmad Yunus, Pekanbaru Riau Redaksi: Terima kasih atas usul dan ide Saudara, insya Allah akan menjadi bahan masukan dan pertimbangan berharga sebagai rubrik baru di Majalah Fokus Pengawasan ke depan. Salam Sukses.
Redaksi memohon maaf, tidak semua surat pembaca dapat ditampilkan, karena keterbatasan tempat. Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan!
3
Dari Redaksi
S
yukur alhamdulillah, Majalah Fokus Pengawasan (FP) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Edisi 28 Tahun VII Triwulan IV 2010 telah terbit. Seperti kita ketahui, auditor menjadi kunci utama dalam upaya pemberantasan korupsi di semua satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama. Dan berbagai pengalaman mereka dalam memeriksa bisa dijadikan sebuah insipirasi dengan menuangkannya dalam tulisan di edisi kali ini.
4
Forum Fokus yang berbahagia, Tema yang diangkat dalam edisi kali ini yaitu “Audit Visioner; Penguatan Profesionalitas Auditor Inspektorat Kementerian Agama”. Tema ini selaras dengan orientasi Kementerian Agama yaitu menuju status Satuan Kerja Bebas Korupsi (SBK), untuk itu diperlukan penguatan bagi SDM pemeriksanya. Fokus Utama edisi kali ini membahas tentang bagaimana seorang auditor dituntut untuk memperkuat visi, misi dan tujuan yang jelas dalam menjalankan tugas. Fokus utama juga membahas Peran Auditor Sebagai Pembaharu, yaitu bagaimana mengarahkan sebuah instansi menuju perubahan-perubahan. Tema lain yaitu Penguatan Profesionalitas Auditor dan Siklus PDCA Sebagai Pendekatan Proses Perbaikan Mutu APIP. Dalam kolom Pengawasan, dibahas mengenai Teknik Audit Berbantuan Komputer. Dalam tulisan ini dibahas mengenai bagaimana auditor ke depan harus menggunakan sistem IT untuk mengerjakan
semua hal terkait laporan kegiatan maupun dalam laporan keuangannya. Urgensi Budaya Kerja membahas bagaimana pentingnya budaya kerja sebagai kerangka dalam meningkatkan kinerja pegawai. Dua tema lain dalam KOlom Pengawasan yaitu Pembinaan SDM Kementerian Agama Melalui Standarisasi Quality Assurance dan Pengembangan Model Evaluasi Program Sosialisasi PPA. Dua tulisan ini berusaha membahas bagaimana peningkatan SDM perlu terus diupayakan melalui beberapa program yang dicanangkan. Dalam kolom Opini, dibahas mengenai tema korupsi yaitu dengan tulisan yang berjudul Membumihanguskan Korupsi. Tulisan ini berusaha mengungkap beberapa upaya besar yang dicanangkan dapat merendan korupsi. Juga dibahas Budaya Kerja Menuju Reformasi Birokrasi Kementerian Agama, sebuah tema yang sedang menggema dalam beberapa tahun belakangan. Tema lain yaitu Membentuk Watak dan Kepribadian. Sebagai nuansa refleksi, dalam kolom Hikmah disinggung mengenai Pergantian Tahun Momentum Muhasabah dan Syifaqul Qolbi Pegawai. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto menjadi pilihan tampil di kolom Randang. Dalam kolom Resensi Buku, diulas 2 buku terbitan Itjen yaitu Audit Investigasi dan Audit Perencanaan. Selamat Membaca dan Sukses selalu. Amin. [ ]
Fokus Utama AUDIT VISIONER;
Memperkuat Basic Audit dalam Profesionalitas Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Oleh: Nasrullah
Serah Terima Jabatan Dari Sekretaris Lama Kepada Sekretaris Baru Itjen Kementerian Agama Dari Drs. H. Abdul Karim Kepada Drs. H. Maman Taufiqurohman, M.Pd.
P
encapaian sasaran sesuai dengan upaya untuk mewujudkan suatu iklim pengelolaan yang baik atau good governance, yaitu pemerintahan yang dapat menjalankan amanah dari rakyat melalui penyelenggaraan pemerintahan yang dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsive terhadap aspirasi atau informasi yang berkembang serta dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan amanah tersebut. Hal ini dapat mewujudkan transparansi yang dapat menimbulkan kepercayaan kepada pemerintah dan masyarakat mau berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan nasional secara bersama-sama. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kekayaan Negara yang dikelola oleh pemerintah mencakup dana yang jumlahnya cukup besar. Pertanggungjawaban atas penggunaan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan seharusnya didukung dengan suatu pengawasan yang cukup handal guna menjamin pendistribusian dana yang merata pada semua sektor publik sehingga efektifitas dan efisiensi penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini sudah tertuang dalam ketetapan Standar Audit-Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (SA-SAFP) tahun 1996 oleh BPKP dengan Keputusan Kepala BPKP Nomor : Kep.378/K/1996.
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
5
Fokus Utama SA – APFP secara garis besar mengacu pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku di Indonesia. Penyelenggaraan auditing sektor publik atau pemerintahan tersebut dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pembangunan negara yang dilakukan pemerintah dan bertanggungjawab atas tugasnya. Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara secara transparan, menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat di pertanggungjawabkan, hal ini perlu dikelola dalam suatu system pengelolaan dan tanggung jawab secara komprehensif dan kompeten sesuai dengan bidang masingmasing tugas dalam organisasi tersebut. Untuk mengetahui dan menilai, apakah pengelolaan dan tanggungjawab penyelenggaraan Negara secara memadai perlu dilakukan pemeriksaan oleh lembaga/badan pemeriksa internal dan ekternal secara independen dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan merupakan seluruh proses kegiatan penilaian dengan tujuan agar suatu organisasi melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemeriksaan adalah suatu kegiatan dari penilaian organisasi dengan cara membandingkan antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang seharusnya. Jenis pengawasan dapat digolongkan dalam beberapa jenis berdasarkan: Pertama, organisasi, terdiri dari pengawasan Intern
6
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan di dalam organisasi. Dan pengawasan ekstern yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berada di luar organisasi. Kedua, waktu, terdapat dua macam antara lain pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah kegiatan dilakukan. Dan pengawasan preventif yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilakukan. Ketiga, manajemen, yang terdiri dari pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung di samping itu juga pengawasan yang dilekatkan pada sistem. Dan pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah/Negara. Dalam rangka untuk memperbaiki kualitas pengawasan dan mengurangi jumlah temuan, maka auditor dituntut untuk meningkatkan profesinya secara professional, kompetensi, dan kapabilitasnya dalam melaksanakan tugas sebagai bentuk dedikasinya untuk memperbaiki suatu unit organisasi dan satuan kerja dalam pelayanan publik terutama di lingkungan Kementerian Agama, agar ke depannya menjadi lebih baik dan mendapatkan opini dari BPK dengan nilai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dalam hal ini SDM auditor perlu ditingkatkan kualitasnya sesuai dengan perkembangan tehnologi dan kemajuan informasi serta dapat mengakses info-info terkini agar mengetahui perkembangan yang sedang bergulir. Berikut adalah point-point untuk memperkuat basic audit para auditor (terutama di lingkungan Inspektorat Jenderal
Fokus Utama Kementerian Agama) sebagai penguatan kualitas, yaitu:
bentuk
Kualitas SDM Peran suatu unit organisasi sangat ditentukan oleh aparat pengawasnya, karena itu petugas dari aparat pengawas/ auditor internal sangat membantu dalam usaha mencapai tujuannya dengan cara memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas manajemen resiko, pengendalian, dan proses tata kelola. Dalam hal ini menjadi suatu keharusan seorang auditor meningkatkan kualitasnya dalam menjawab berbagai persoalan yang terjadi dalam unit/organisasinya disamping mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi serta perkembangan zaman yang terus berlangsung setiap saat seiring dengan berkembangnya tehnologi informasi yang semakin cepat dan tidak dapat dihindari. Seorang auditor yang telah menjalankan suatu profesinya juga mempunyai kode etik yang harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang sudah ditetapkan dari masing-masing lembaga/ organisasinya. Karena itu seorang auditor internal harus: Pertama, menunjukkan kejujuran, obyektifitas, dan kesanggupan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya. Kedua, menunjukkan loyalitas terhadap organisasinya atau terhadap pihak yang dilayani, namun demikian tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau melanggar hukum. Ketiga, tidak boleh
secara sadar terlibat dalam tindakan atau kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi audit atau mendiskreditkan organisasinya. Keempat, menahan diri dari kegiatankegiatan yang dapat menibulkan konflik dengan kepentingan organisasinya atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka, yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya secara obyektif. Kelima, tidak boleh menerima sesuatu dalam bentuk apapun dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok ataupun mitra bisnis organisasinya, yang dapat atau patut diduga dapat mempengaruhi pertimbangan profesionalnya. Keenam, hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesaikan dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya. Ketujuh, mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa memenuhi Standar Profesi Audit Internal. Kedelapan, bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya. Auditor internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia untuk mendapatkan keuntungan pribadi, secara melanggar hukum yang dapat menimbulkan kerugian terhadap organisasinya. Kesembilan, dalam melaporkan hasil pekerjaannya, auditor internal harus mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta yang jika tidak diungkap dapat mendistorsi laporan atas kegiatan yang direview atau menutupi adanya praktik-praktik yang melanggar hukum. Kesepuluh, senantiasa meningkatkan kompetensi serta efektivitas dan kualitas Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
7
Fokus Utama di investigasi dengan tim khusus juga. pelaksanaan tugasnya. Audit di sektor pemerintah harus Karena itu diperlukan auditor-auditor mencakup audit keuangan dan audit yang berpengalaman, jujur, berdedikasi, operasional. Sektor penggunaan keuangan mempunyai kemampuan yang bisa diandalkan untuk menjalankan pemerintahan perlu serta dapat mempertanggungjawabkan mendapatkan perhatian yang cukup laporan secara tepat waktu. mendalam karena dana yang digunakan cukup besar dan mencakup hajat hidup Meningkatkan Skill Profesionalisme menjadi tuntutan orang banyak serta berdampak langsung terhadap masyarakat. Aset yang dimiliki utama seseorang yang bekerja, terutama sebagai auditor. negara kita ini cukup Gambaran seseorang banyak, sehingga yang professional sistem administrasi Berbuatlah sesuatu, karena hanya dalam profesi auditor keuangan harus dengan begitu kita dapat membuat di cerminkan dalam 5 diubah dalam kemungkinan atas sesuatu (lima) dimensi yaitu: bentuk yang baru yang tidak mungkin. Pengabdian pada dan mempunyai profesi, kewajiban akuntabilitas. “Do something so we can make sosial, kemandirian, Tugas auditor possibilities instead of impossibilities” Kepercayaan selain mengaudit t e r h a d a p sektor keuangan peraturan profesi, juga memperhatikan audit pada sektor operasional, perhatian Keharmonisan dalam hubungan dengan auditor berkembang pada audit manajemen, rekan seprofesi. Hal tersebut dapat membantu audit kinerja, audit terpadu, audit efisiensi dan efektifitas serta berkembang menjadi memberikan kontribusi yang dapat dipercaya audit secara komprehensif. Penilaian- oleh para pengambil kebijakan. Hubungan ini penilaian yang dilakukan nantinya harus menunjukkan bahwa semakin seorang auditor menuju kearah penilaian atas ketaatan itu memiliki dedikasi yang tinggi terhadap terhadap kebijakan manajemen, penilaian profesi, memiliki kesadaran yang tinggi atas kewajaran penyajian laporan keuangan, bahwa profesi auditor adalah profesi yang penilaian terhadap peraturan perundang- dipercaya masyarakat, memiliki sikap mental undangan, penilaian efisiensi dan efektifitas yang mandiri, memiliki keyakinan terhadap penggunaan dana pemerintah. Apalagi kualitas diri dan rekan seprofesi yang samapada unit Inspektorat Jenderal kementerian sama memahami pekerjaan pengauditan dan Agama nantinya terdapat Inspektur Wilayah memiliki relasi dengan sesama profesi yang Investigasi sebagai bentuk pengembangan luas akan dapat membuat pertimbangan atas audit yang secara khusus perlu tingkat kualitas yang lebih baik.
8
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Fokus Utama Dalam melaksanakan audit, auditor sampai ke suatu tujuan. Bermotivasi adalah harus mengacu pada standar yang telah keinginan pergi ke suatu tempat berdasarkan ditetapkan oleh peraturan-peraturan yang keinginan sendiri atau terdorong oleh apa sudah ditetapkan, salah satunya adalah saja yang ada agar dapat pergi dengan perencanaan audit yaitu bahwa auditor antara sengaja dan untuk mencapai keberhasilan lain harus mempertimbangkan berbagai setelah tiba disana. resiko audit dan tingkat materialitas awal Menurut Heidjrachman ada tiga untuk tujuan audit. Resiko audit merupakan teori motivasi yang sudah dikenal dikalangan resiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa pakar manajemen Sumber Daya Manusia disadari tidak memodifikasi pendapatnya (SDM), yaitu pertama, content theory, yang sebagaimana mestinya atas suatu laporan menjelaskan tentang “apa” dari motivasi, audit yang mengandung salah saji material. kedua process theory yang menjelaskan Profesionalisme merupakan kualitas “bagaimana” dari motivasi, dan yang ketiga diri yang harus dipertahankan oleh auditor adalah reinforcement theory yang menekan terutama dalam melakukan pekerjaannya arti pentingnya faktor-faktor yang ada dalam yang berhubungan dengan pertimbangan seseorang yang menyebabkan mereka profesional, untuk dapat selalu menjaga bertindak. profesionalisme diperlukan pengembangan Prosedur evaluasi kinerja, peer review, kualitas atau potensi diri secara emosional reward system, mendukung terpeliharanya maupun spiritual dengan melakukan motivasi auditor untuk selalu bersikap dan pelatihan maupun keteladanan. bertindak profesional. Suatu komitmen Dengan selalu mengembangkan skill professional pada dasarnya merupakan dan kemampuan yang dimiliki, baik dengan persepsi yang berintikan loyalitas, tekad cara mengikuti kursus-kursus, mengikuti dan harapan seseorang dengan dituntun seminar, meningkatkan pendidikan ke jenjang oleh sistem nilai atau norma yang akan yang lebih tinggi maupun memperluas mengarahkan orang tersebut untuk bertindak jaringan dengan bergabung dalam suatu atau bekerja sesuai prosedur-prosedur organisasi dibidang audit baik di level tertentu dalam upaya menjalankan tugasnya nasional maupun internasional. dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Komitmen profesional pada dasarnya Motivasi Kerja dapat dijadikan gagasan yang mendorong Motivasi kerja adalah sesuatu yang motivasi seseorang dalam bekerja. Motivasi memulai untuk menggerakan, sesuatu yang adalah suatu konsep yang kita gunakan jika membuat orang bertindak atau berprilaku kita menguraikan kekuatan-kekuatan yang dalam cara-cara tertentu. Memotivasi orang bekerja terhadap atau didalam diri individu adalah menunjukkan arah tertentu kepada untuk memulai dan mengarahkan perilaku. mereka dan mengambil langkah-langkah Motivasi juga dapat diartikan sebagai yang perlu untuk memastikan bahwa mereka dorongan yang timbul pada diri seseorang Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
9
Fokus Utama secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu atau usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Meskipun bukan satu-satunya determinan tetapi motivasi dapat dikatakan sebagai determinan yang penting bagi prestasi seseorang. Komitmen professional akan mengarahkan pada motivasi kerja secara professional juga. Seorang profesional yang secara konsisten dapat bekerja secara profesional dan dari upayanya tersebut mendapatkan penghargaan yang sesuai, tentunya akan mendapatkan kepuasan kerja dalam dirinya. Oleh karena itu, motivasi tidak dapat dipisahkan dengan kepuasan kerja yang seringkali merupakan harapan seseorang. Komitmen yang tak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh seorang auditor adalah komitmen organisasional. jika seseorang yang bergabung dengan suatu organisasi tentunya membawa keinginan-keinginan, kebutuhan dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja baginya, bersama-sama dengan organisasinya berusaha mencapai tujuan bersama dan untuk bekerja sama dan berprestasi kerja dengan baik, seorang auditor harus mempunyai komitmen yang tinggi pada organisasinya. Komitmen organisasional dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam oganisasi itu. Komitmen pada organisasi yang
10
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
tinggi berarti pemihakan pada organisasi yang memperkerjakannya. Komitmen organisasional seseorang dapat tumbuh saat pengharapan kerjanya dapat terpenuhi oleh organisasi dengan baik yaitu saat seseorang merasa bahwa organisasi dimana ia bekerja telah memperhatikan kebutuhan dan pengharapan mereka atas pekerjaan yang telah mereka laksanakan yang tercermin dengan diberikannya penghargaan kepadanya, baik dalam bentuk misalnya seperti gaji atau promosi jabatan. Harapan-harapan kerja inilah yang dapat disebut sebagai motivasi seseorang dalam melaksanakan pekerjaan yang diembankan kepadanya. Selanjutnya, jika seseorang dalam sebuah organisasi merasa bahwa harapanharapan kerjanya yang dijadikan motivasi tersebut terpenuhi oleh organisasi maka nantinya akan menimbulkan kepuasan kerja. Istilah kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap positif terhadap kerja itu, seorang yang tak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan itu. Sikap tersebut berasal dari persepsi seseorang tentang pekerjaannya. Bahwa terdapat enam aspek yang dianggap paling dominan dalam studi kepuasan kerja yaitu antara lain gaji (pay), kondisi pekerjaan (working conditions), kelompok kerja (work group), supervisi (supervision), promosi (promotion) dan pekerjaan itu sendiri (the work it self). Dengan demikian, dapat dikatakan apabila seseorang, dalam hal ini auditor, jika
Fokus Utama ia memiliki komitmen profesional, maka akan mengarah pada terciptanya motivasi secara profesional dan dengan adanya motivasi yang tinggi maka akan menimbulkan kepuasan kerja pada auditor. Motivasi merupakan salah satu faktor yang mendorong sumber daya manusia dalam sebuah organisasi terlibat dalam membentuk goal congruence (merupakan keselarasan antara tindakan individu untuk meraih tujuan pribadi guna membantu mencapai tujuan organisasi). Motivasi yang membuat sumber daya manusia melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Motivasi juga membuat sumber daya manusia meraih kepuasan (satisfaction) dalam pekerjaan mereka. Kebanggaan atas apa yang telah dicapai sehingga menimbulkan rasa puas (satisfy), dapat pula disebut sebagai motivasi. Memperbanyak Pengalaman dan Pengetahuan Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan atau laporan dibidang yang lain baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani, semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Auditor yang berpengalaman akan membuat judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang auditor pemeriksa yang belum berpengalaman, dan mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik. Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang dengan
bertambahnya pengalaman bekerja. Partisipasi auditor dalam organisasi formal atau informal, forum diskusi, seminar, pendidikan profesi berkelanjutan, dapat menambah wawasan auditor terutama dalam bidang audit. Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang standar pemeriksaan keuangan dinyatakan “Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan professional yang memadai untuk melakukan tugas pemeriksaan”. Dengan pernyataan ini semua organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Kecakapan profesional adalah kemampuan dan keahlian spesifik pada bidang-bidang tertentu yang telah dipilih seseorang. Kecakapan tidak cukup hanya “mampu mengerjakan” tetapi juga memiliki kemampuan “memecahkan masalah” (trouble shooting) di bidangnya tersebut. Hal ini memungkinkan auditor untuk dengan cepat dan cekatan mengembangkan dan memperagakan pengetahuan kerja yang baru dan berbeda dalam kaitannya dengan persoalan, orang-orang dan situasi kerja. Menguasai Tugas Bidang Kerja Audit Salah satu bentuk profesionalitas auditor adalah ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan auditnya, jika pelaporannya tidak dilakukan secara Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
11
Fokus Utama tepat waktu, maka seharusnya ada konsekwensinya, selain itu tingkat relevansi dan keandalan laporannya juga dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itulah auditor harus selalu mengusahakan ketepatan waktu dan juga tidak mengabaikan obyektivitas dan independensinya. Oleh karena itu, seorang auditor juga selalu dituntut menguasai tugas bidang kerja yang diaudit untuk menghasilkan dan memperkuat organisasinya, bahwa selain sebagai pengawas juga sebagai konsultan pengawasan yang mempunyai pengertian bahwa bukan hanya menyuguhkan daftar temuan dan rekomendasi saja, melainkan juga memberikan pembinaan dan pemahaman terhadap auditan, pembinaan dilakukan terutama dalam membimbing auditan untuk memecahkan berbagai permasalahannya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk menunjang proses pemeriksaan yang memadai setidak-tidaknya harus dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang mempunyai suatu keahlian khusus dibidangnya. Maksudnya adalah auditor yang telah bersetifikat atau mempunyai izin praktik sebagai akuntan publik atau akuntan intern. Kalau kita perhatikan pada Negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya, seseorang yang menjadi auditor di sektor privat harus mempunyai CPA atau kalau di sector akuntansi manajemen dengan CMA-nya atau juga Certified of Internal Auditor (CIA) untuk auditor internal, sehingga kemampuannya tidak diragukan lagi. Dalam hal ini, sepertinya kita perlu lebih banyak belajar terhadap
12
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
sistem auditor internal sebagai wujud dari pertanggungjawaban publik sekaligus untuk memperbaiki kualitas maupun secara organisasi internal pada pemerintahan. Seperti misalnya seorang auditor yang memiliki spesialisasi audit pada bidang tertentu. Hal ini perlu kita perbanyak spesialisasi audit dalam menunjang kinerja organisasi seperti di Kementerian Agama. Sebagai contoh dengan mengadakan pelatihan atau pendidikan khusus dalam rangka menunjang spesialisasi keahlian audit. Bahwa untuk menghasilkan kualitas pengawasan pada Inspektorat Jenderal pada Kementerian Agama diperlukan profesionalitas auditor yang memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara sikap atau prilaku yang dimiliki oleh auditor terhadap kualitas pengawasan pada Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, karena itu auditor harus mampu menyerap dan mengembangkan pengetahuannya terutama pada bidang audit yang sedang di embannya, sebab hal ini akan berdampak langsung terhadap kualitas hasil pengawasannya dan secara otomatis sikap yang independen artinya tidak mudah dipengaruhi menjadi sangat penting sekali dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan umum. Kemandirian Audit Kemandirian merupakan syarat mutlak seorang auditor dalam arti independen. Independensi sikap mental memiliki arti tidak mudah dipengaruhi, dan tidak memihak pada kepentingan siapa
Fokus Utama pun. Walaupun seorang auditor memiliki dengan menerapkan konsep-konsep dasar keahlian tehnis yang sempurna, apabila pengelolaannya, hasil reformasi manajemen tidak disertai dengan sikap yang independen, keuangan Negara dan melakukan pengawasan maka auditor tersebut akan kehilangan sikap serta pemeriksaan yang intensif secara tidak memihak yang justru sangat penting berkelanjutan, tetapi sampai saat ini masih dalam mempertahankan pendapatnya. terdapat beberapa hal yang perlu mendapat Independensi adalah salah satu faktor yang perhatian yang lebih serius, masih banyaknya menentukan kredibilitas pendapat auditor. penyimpangan-penyimpangan pengelolaan Dua kata kunci dalam pengertian independensi keuangan Negara dan bidang lainnya, cukup adalah: 1) obyektifitas, yaitu suatu kondisi banyak yang mungkin saja berindikasi pada yang tidak bias, adil, tindakan pidana. dan tidak memihak. Kenyataan tersebut 2) integritas, yaitu merupakan bukti Tanggung jawab pertama seorang prinsip moral yang bahwa peraturan dan pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah tidak memihak, jujur, ketentuan perundangmengucapkan terima kasih. Dan memandang dan undangan yang di antara kedua hal itu, pemimpin mengemukakan fakta berlaku terutama adalah seorang pelayan (a servant) apa adanya. di bidang keuangan dan seorang yang berhutang Independensi Negara belum ditaati (a debtor). auditor dibedakan dan dilaksanakan menjadi dua, dengan baik oleh (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) yaitu independen semua pengelola dan dalam kenyataan pelaksana, disamping (independence in itu masih banyak pula fact) dan independen dalam penampilan peraturan-peraturan yang saling tumpang (independence in appearance). Independen tindih dan kadang-kadang bertentangan dalam kenyataan merupakan suatu kejujuran dengan peraturan yang kedudukannya lebih dalam diri auditor dalam mempertimbangkan tinggi, juga terdapat peraturan-peraturan berbagai fakta yang dijumpai dalam pelaksanaan yang terlambat dikeluarkannya pemeriksaannya. Sedangkan independen atau bahkan para pelaksana atau dalam penampilan merupakan keyakinan penyelenggara mensiasati peraturan agar dari pemakai laporan atau masyarakat bahwa terlihat sesuai dengan peraturan. Namun independen dalam kenyataan telah dicapai. demikian, usaha keras ke arah perbaikan tidak boleh berhenti dan harus diteruskan agar Penutup pengelolaan dan penyelenggaraan Negara Kita telah berusaha keras untuk semakin baik sehingga dapat menciptakan mewujudkan pengelolaan keuangan Negara, good governance, clean government dan pengelolaan manajemen organisasi yang baik good government. [Nasrullah Gresik] Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
13
Fokus Utama Peran Auditor Sebagai Pembaharu Kementerian Agama Oleh: M. Nailil Fijjar
T
Proses Finalisasi Pembangunan Gedung Inspektorat Jenderal Kementerian Agama ex. Madrasah
antangan yang dihadapi Inspektorat keuangan dan sistem, pengembangan SDM Jenderal (Itjen) Kementerian Agama belum optimal. Untuk mengoptimalkan peran semakin rumit sejalan dengan tersebut diperlukan perubahan paradigma tuntutan dan harapan masyarakat dari retroaktif menjadi pro aktif, dari auditor akan pelaksanaan tata kepemerintahan yang menjadi fasilitator, dari pemeriksa menjadi baik (good governance) terutama untuk konsultan dan mitra positif. Selama ini auditor transparansi, akuntabilitas, penegakan masih berkutat seputaran audit internal saja hukum, dan partisipasi. Bahwa pengawasan berupa pemeriksaan dokumen dan fisik. merupakan satu mata rantai dalam suatu proses Pengertian audit internal menurut manajemen pembangunan pada umumnya “Professional Practices Framework”: dan diharapkan dapat memberikan umpan International Standards for The Professional balik bagi pimpinan Kementerian terhadap Practice of Internal Audit, IIA ( 2004) adalah proses dan pelaksanaan tugas pokoknya. suatu aktivitas independen, yang memberikan Peran Itjen sebagai konsultan manajemen, jaminan keyakinan serta konsultasi (consulting)
14
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Fokus Utama yang dirancang untuk memberikan suatu nilai dan peran profesi internal auditor yang bisa tambah (to add value) serta meningkatkan menjadi mitra. (improve) kegiatan operasi Kementerian Konsep kemitraan dalam audit Agama. Internal auditing membantu internal dapat memberikan berbagai jenis Kementerian Agama dalam usaha mencapai layanan kepada Kementerian Agama yaitu tujuannya dengan cara memberikan suatu membantu mengevaluasi aktivitas dalam pendekatan disiplin yang sistematis untuk bidang-bidang: (1) pengendalian akuntansi mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas internal; (2) pencegahan dan pendeteksian manajemen risiko (risk management), kecurangan; (3) pemeriksa keuangan; (4) pengendalian (control) dan proses tata kelola pemeriksaan ketaatan; (5) pemeriksaan (governance processes). operasional; (6) pemeriksaan manajemen; (7) A u d i t o r pemeriksaan kontrak; internal harus (8) pemeriksaan merubah pendekatan sistem informasi; Cintailah dan cita-citakanlah dari audit secara (9) pengembangan kebenaran, karena kebenaran itu konvensional menuju kualitas internal; dan adalah teman yang baik dan audit berbasiskan (10) hubungan dengan mengantarkan manusia pada risiko (risk based audit masyarakat. keselamatan. approach). Pola audit F u n g s i yang didasarkan atas Internal Audit adalah Cintailah apa yang kamu miliki, pendekatan risiko salah satu fungsi tapi jangan miliki apa yang kamu cintai yang dilakukan oleh penting di suatu auditor internal lebih Kementerian . Internal difokuskan terhadap Auditor kadangmasalah parameter kadang dipandang risk assesment yang diformulasikan pada risk sebelah mata oleh satker lain karena based audit plan. Berdasarkan risk assesment dianggap tidak profesional, hanya mencaritersebut dapat diketahui risk matrix, sehingga cari kesalahan saja. Padahal Internal Audit dapat membantu auditor internal untuk mempunyai peran strategis dalam membawa menyusun risk audit matrix. Manfaat yang kepentingan Kementerian, bahkan untuk akan diperoleh auditor internal apabila memastikan pejabat di setiap satuan kerja menggunakan risk based audit approach, (satker) di dalam Kementerian berjalan dengan antara lain auditor internal akan lebih efisien baik. Aspek terpenting dari kontrol dan audit dan efektif dalam melakukan audit, sehingga adalah keberadaan dokumen perencanaan dapat meningkatkan kinerja Kementerian. dan laporan implementasinya. Tanpa dokumen Auditor internal juga harus berubah dari perencanaan yang rinci, fungsi kontrol tidak paradigma lama menuju paradigma baru, akan memiliki pegangan penentu arah. yang ditandai dengan perubahan orientasi Demikian pula, tanpa dokumentasi, auditor Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
15
Fokus Utama tidak dapat mengambil kesimpulan apa pun tentang pencapaian sistem yang diaudit. Satusatunya kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa pengembangan sistem tidak wajar karena tidak memiliki dokumentasi. Untuk mengatasi tantangan ke depan, pengawasan baik secara preventif maupun represif. Pengawasan secara preventif yaitu pengawasan yang dilakukan agar satker tidak melakukan kesalahan yaitu dengan sosialisasi peraturan perundangan, pelatihan SDM baik teknis maupun non teknis, dan waskat (pengawasan melekat) maupun wasmas (pengawasan masyarakat). Dalam melaksanakan pengawasan secara preventif ini, peran satker sangat besar jika dibanding dengan Itjen. Sedangkan pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah selesainya suatu kegiatan di lingkungan satker dengan menegakkan aturan-aturan yang berlaku. Peran Itjen sangat tinggi dalam melakukan pengawasan represif ini sejalan dengan tugas Itjen sebagai penyelenggara pengawasan fungsional di lingkungan Kementerian . Tetapi jika pengawasan secara preventif tidak dilakukan secara baik, maka akan didapat masalah yang lebih besar yang dapat mempengaruhi jalannya siklus. Lalu bagaimana Inspektorat Jenderal Kemenag sewaktu di daerah saat mengambil perannya? Jika dicermati dengan jeli, kondisi ini menjadi salah satu domain bagi Itjen di daerah ini untuk merevitalisasi dan mereposisi dirinya. Peran sebagai konsultan dan mitra positif lebih dikedepankan di samping menjalankan dengan fungsi audit lainnya dengan tetap mempertahankan
16
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
independensinya. Pengembangan kinerja auditor ini diawali dengan pola rekruitment yang baik yaitu dengan melalui test kualifikasi dan dilanjutkan dengan diklat-diklat yang diperlukan untuk pengembangannya. Idealnya auditor hendaknya memiliki kemampuan yang lebih daripada aparat auditan, sehingga Itjen sangat memerlukan auditor yang mempunyai kreativitas yang baik bagi pengembangan dirinya. Pihak auditor internal harus dapat berfungsi sebagai regulator internal yang disegani dan dipanuti oleh seluruh pegawai/ pejabat sehingga tidak ada pihak yang berani melakukan tindakan manipulasi atau penyalahgunaan dana dan aset pemerintah karena beratnya akibat yang ditimbulkan. Misalnya, besar atau kecilnya tindakan fraud akan menyebabkan pegawai/ pejabat kehilangan reputasi, bahkan yang bersangkutan tidak dapat masuk ke dalam Kementerian mana pun di dalam maupun di luar tempat ia sebelumnya bekerja. Dari berbagai literatur, terdapat tiga kondisi mengapa fraud (kecurangan/ penyimpangan/penipuan) terjadi. Pertama, adanya tekanan hidup, umumnya kesulitan dari segi keuangan. Kedua, rasionalisasi, yaitu orang melakukan kecurangan karena orang lain juga melakukan, atau berpikiran “ah jumlahnya kecil kok”. Ketiga, ada kesempatan melakukan fraud. Auditor internal harus lebih memusatkan perhatian pada faktor ketiga, yaitu memperkecil kesempatan. Auditor internal melakukan pengujian apakah kontrol internal berjalan baik dalam pencegahan berbagai jenis fraud. Akibatnya, mau tidak mau auditor internal terlebih dahulu harus
Fokus Utama
Monev Pelaksanaan Ujian Tertulis CPNS Tahun 2010 Kementerian Agama
mengetahui dan mengenal baik berbagai jenis fraud sebelum melakukan pengujian keefektifan dan kecukupan kontrol internal yang ada di dalam. Pada umumnya, banyak fraud terjadi bukan karena tidak adanya kontrol internal atau ada cacat dalam kontrol internal, melainkan adanya budaya “control do not apply to me”. Budaya ini dapat ditemukan dalam Instansi yang antara lain melakukan pembatasan kepada auditor internal untuk melakukan audit di bidang-bidang tertentu, misalnya gaji eksekutif dan pegawai. Praktek lain, banyak rekomendasi dari auditor internal kepada pihak eksekutif tidak ditindaklanjuti, bahkan ini yang membikin frustasi para auditor internal, para pelaku penyelewengan yang ada dalam rekomendasi auditor internal mendapat promosi jabatan. Di sinilah profesi auditor membutuhkan peran yang kuat dan proaktif di dalam Kementerian Agama harus menjaga budaya dan etika yang sehat untuk mencegah manajemen melakukan
fraud. Pengaruh fungsi audit internal harus menjangkau esensi yang paling dalam dari perilaku Instansi. Peranan regulator atau institusi yang mengatur/memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin ketertiban dan ketaatan pada peraturan, perundangundangan dan prosedur internal yang berlaku di dalam suatu Kementerian Agama sehingga tercipta suatu disiplin pasar yang pada akhirnya akan mewujudkan kestabilan sistem keuangan yang ada pada negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, regulator harus mampu memfungsikan dirinya sebaik mungkin dalam suatu sistem keuangan. Namun, upaya regulator tidak berdiri sendiri, harus didukung oleh semua perangkat dan komponen yang ada di dalam sistem keuangan tersebut yang pada akhirnya berguna untuk menunjang keberhasilan ekonomi di negara yang bersangkutan. Auditor yang di masa lalu bertindak pasif dan hanya berorientasi pada audit
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
17
Fokus Utama kepatuhan, maka tuntutan peran saat ini adalah sebagai pemberi deteksi dini dalam menidentifikasi risiko penyimpangan dan berorientasi pada kinerja satker secara keseluruhan, maka profesi internal auditor semakin hari semakin dihargai dalam Kementerian Agama. Supaya audit dapat berjalan dengan efektif, setidaknya ada elemen penting yang harus diperhatikan. Pertama, diperlukan komitmen dari Kementerian itu agar mau terbuka dan jujur dalam memberikan data. Kedua, adanya auditor yang mandiri yang tidak mempunyai kepentingan apa pun atas fasilitas yang sedang diaudit. Untuk menjaga keobyektifan penilaian, maka kemandirian auditor harus pula dijaga agar tidak terpengaruh oleh situasi atau tekanan pihak lain. Seperti pepatah mengatakan: “Janganlah menjadi pemaaf bila menemukan penyimpangan-penyimpangan yang terbukti harus ditindak, dan hendaknya dapat membedakan antara penyimpangan dan kinerja yang tidak/kurang baik”. Verifikasi prosedur dan pengukuran kinerja, merupakan dua hal berikutnya dari elemen audit. Hal ini penting dilakukan agar ada kepastian bahwa informasi yang didapat memang benar-benar akurat. Profesi audit internal memiliki kode etik profesi yang harus ditaati dan dijalankan oleh segenap auditor internal. Kode etik tersebut memuat standar perilaku sebagai pedoman bagi seluruh auditor internal. Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal (2004) telah menetapkan kode etik bagi para auditor internal yang terdiri dari 10 hal sebagai berikut : Pertama, auditor internal harus menunjukkan kejujuran, obyektivitas
18
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
dan kesanggupan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya. Kedua, auditor internal harus menunjukkan loyalitas terhadap organisasinya atau terhadap pihak yang dilayani. Namun demikian, auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau melanggar hukum. Ketiga, Auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam tindakan atau kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi audit internal atau mendiskreditkan organisasinya. Keempat, auditor internal harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya atau kegiatankegiatan yang dapat menimbulkan prasangka, yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya secara obyektif. Kelima, auditor internal tidak boleh menerima sesuatu dalam bentuk apapun dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok ataupun mitra bisnis organisasinya, yang dapat atau patut diduga dapat mempengaruhi pertimbangan profesionalnya. Keenam, auditor internal hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesikan dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya. Ketujuh, auditor internal harus mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa memenuhi Standar Profesi Audit Internal. Kedelapan, auditor internal harus bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya. Auditor internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia: (i) untuk mendapatkan keuntungan
Fokus Utama pribadi, (ii) secara melanggar hukum, (iii) Terkait dengan dengan peranan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap internal auditor sebagai salah satu profesi di organisasinya. bidang pengawasan yang merupakan jantung Kesembilan, dalam melaporkan dari keseluruhan proses kinerja juga internal hasil pekerjaannya, auditor internal harus auditorlah yang merupakan garda terdepan. mengungkapkan semua fakta-fakta penting Maka dengan demikian terjadi pergeseran yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta yang jika peranan internal auditor saat ini, yaitu dari tidak diungkap dapat (i) mendistorsi laporan sekadar pelaksana fungsi “penilai (appraisal)” atas kegiatan yang direview, atau (ii) menutupi pelaksanaan kepatuhan yang cenderung adanya praktik-praktik yang melanggar memperlakukan auditan sebagai obyek, ke hukum. Kesepuluh, arah peran “penjamin auditor internal (assurance)” melalui harus senantiasa perannya sebagai Cintailah dan cita-citakanlah meningkatkan konsultan. Sehingga kebenaran, karena kebenaran itu kompetensi serta dalam pelaksanaan adalah teman yang baik dan efektivitas dan kualitas audit tidak sekedar mengantarkan manusia pada pelaksanaan tugasnya. dituntut menemukan keselamatan. Auditor internal wajib permasalahan namun mengikuti pendidikan sekaligus menjadi Cintailah apa yang kamu miliki, p r o f e s i o n a l bagian dari solusi dan tapi jangan miliki apa yang kamu cintai berkelanjutan. memberikan usulan Perubahan perbaikan. paradigma dan Selain itu, dari perannya dalam “detector” yang bersifat Kementerian Agama yang merubah cara expose ke arah “pencegahan”. Internal auditor pandang auditor dari kesan “cop” menjadi terlibat dan berperan aktif memantau aktifitas “coach”. Dengan perubahan peran tersebut, susuai bisnis unit dan memberikan peran tuntutan internal auditor juga semakin berat, konsultatif dalam pelaksanaan proses operasi auditor dituntut sebagai “resource center” Instansi. Dari “operation” ke “strategy”. dan memberikan berbagai layanan yang Internal auditor lebih berorientasi pada strategi memberikan nilai tambah bagi Kementerian pencapaian visi dan misi Kementerian Agama Agama, dan bukan lagi sebagai “cost center”. dan bekerja “hand in hand” dengan seluruh Dengan demikian, cara pandang Auditan satker yang ada di Indonesia. Dari peran juga berubah, tidak lagi menganggap pengendalian yang sebelumnya dikatakan auditor sebagai polisi Kementerian Agama apablia telah mampu membantu efisiensi namun sebagai partner yang menjadi bagian operasional suatu kinerja suatu satker melalui internal dari suatu manajemen risiko, sistem pencegahan penyimpangan atas sistem dan pengendalian dan governance process. prosedur yang telah ditetapkan, bergeser ke Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
19
Fokus Utama arah pengendalian risiko melalui deteksi dini, ia berada, bekerja, dan berinteraksi, yang pengelolaan risiko dan implementasi aspek menyangkut integritas, etika dan nilai, serta Good Goverment Governance (G3). kompetensi. Sebaik apa pun sistem yang telah Sebagai cita-cita baru sebagai - dibangun, apabila individu atau orang yang Auditor Internal Pemerintah yang Proaktif ada di dalamnya berniat lalu bekerja sama, dan Terpercaya dalam menstransformasikan apakah dengan rekan atau pihak eksternal Manajemen Pemerintah menuju Pemerintahan untuk melakukan tindakan fraud, maka sistem yang Baik dan Bersih, maka Itjen harus rela tersebut menjadi sia-sia dan tidak berarti. melepas atribut sebagai auditor yang dilayani Kementerian Agama (Kemenag) menjadi aparat pemerintah yang melayani harus menyadari pentingnya memilih dan dan profesional. Selain perubahan paradigma mengembangkan sumber daya manusianya dari intern Itjen sendiri, Auditan juga harus dengan mengembangkan hiring standard yang membangun paradigma yang baru. Itjen di tinggi terutama dari sisi etika dan kompetensi. daerah tidak perlu dianggap sebagai musuh Penilaian data/informasi dari calon pegawai dalam selimut, ditakuti, harus dilakukan secara dicurigai sebagai independen. Artinya, Cintailah dan cita-citakanlah aparat yang akan pegawai yang akan kebenaran, karena kebenaran itu membocorkan dugaan diterima harus diteliti adalah teman yang baik dan penyimpangan kepada benar asal-usul dan aparat hukum lainnya. bagaimana perilaku mengantarkan manusia pada Pola kerjasama Itjen serta kinerjanya di keselamatan. dengan Auditan tempat kerja yang lama harus dibangun (past performance). Di dengan prinsip samping itu, Kemenag kejujuran, profesionalisme, demokrasi dan harus merevisi kode etik (code of ethics) yang sistemik. Kerjasama tidak boleh diarahkan ada menjadi lebih jelas, tegas, dan efektif untuk melindungi diri dari jerat pemeriksa sehingga diterapkan dengan baik dan benar di internal maupun eksternal, aparat hukum dalam Kementerian Agama yang bersangkutan. atau kepentingan pribadi lainnya. Oleh sebab Instansi harus mempunyai hotline atau jalur itu, pola kerjasama harus dibangun dengan komunikasi khusus yang tersedia kapan saja sistem yang profesional, transparan, dapat untuk mendengarkan keluhan dan aduan dipertanggungjawabkan dan diaudit oleh dari para pegawai/pejabat ataupun pihak lembaga independen, di mana laporan audit luar Kementerian Agama yang mengadukan kerjasama tersebut dapat diakses oleh publik. suatu tindakan apa pun yang menyangkut Pada akhirnya, terciptalah budaya kecurangan atau penyalahgunaan data/ pengendalian (control environment). Ini informasi/aset/wewenang/ otorisasi, dan lain berpulang kepada manusia atau individu yang sebagainya. [M. Nailil Fijjar] ada di dalam Kementerian Agama di mana
20
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Fokus Utama Penguatan Profesionalitas Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Oleh: Margi Sugiarto
I
Penguasaan Kemampuan Komputer Bagi Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
nspektorat Jenderal Kementerian Agama RI merupakan Satuan Kerja (Eselon Pusat) yang berfungsi sebagai pengawas dalam lingkungan organisasi Kementerian Agama RI. Sebagai organisasi pengawasan Inspektorat Jenderal dituntut untuk lebih profesional dan mempunyai Visi yang mengagumkan dalam tata kelola sumberdaya manusia atau karyawan. Reformasi birokarasi yang sedang on going proses merupakan gerbang dalam pengelolaan sistem pemerintahan yang lebih transparan, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam membangun visi atau tujuan Kementerian Agama RI maka diperlukan alat atau komponen yang mampu mendukung terwujudnya sistem kerja yang profesional dan
mampu melayani masyarakat dengan efektif. Dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama merupakan satuan organisasi di Kementerian Agama sebagai garda terdepan untuk mewujudkan Good Governance sehingga pemerintah mampu memberikan keterbukaan (transparency), kedua accountability suasana pemerintahan yang bertanggung jawab mulai dari individu (intern) atas pelaksanaan kebijakan dan praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan, kemudian ketiga partisipatif. Negara yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menguraikan mengenai Azas akuntabilitas dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintah. Hal Ini menyangkut bahwa untuk mweujudakan suatu pemerintahan yang responsive, bebas KKN serta berkinerja. Maka, Inspektorat Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
21
Fokus Utama Jenderal sebagai Auditor internal berfungsi kehancuran) demikain Steve Marr mengutip membantu manajemen dalam pencegahan, sebuah Kuotasi terkenal. Satuan Kerja tanpa pendeteksian dan penginvestigasian fraud mendalami Tugas dan Fungsi sebagai pegawai yang terjadi di suatu organisasi (pemerintah). akan berjalan tanpa Arah. Menilik Concep Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Business Continuity hanya memaparkan Internal (SPAI) – standar 120.2 tahun 2004, konsep ini dalam implementasi perencanaan tentang pengetahuan mengenai kecurangan, di Inspektorat Jenderal Kementerian Agama: dinyatakan bahwa auditor internal harus sehingga kita mampu mengenal kendala apa memiliki pengetahuan yang memadai untuk saja yang di alami oleh organisasi kita. BCM dapat mengenali, meneliti dan menguji “Business Continuity Management” adalah adanya indikasi kecurangan. tindakan untuk mengantisipasi insiden yang Membangun peran positif Auditor akan mempengaruhi fungsi-fungsi dan proses dalam lingkungan Inspektorat Jenderal misi yang penting organisasi dan memastikan Kementerian Agama Republik Indonesia bahwa tindakan itu akan mampu merespon diantaranya: (1) Visi dan Misi Kementerian insiden apapun dengan cara yang terencana Agama; (2) Peran Internal Auditor; (3) Sumber dan terlatih. Ada berbagai resiko dan potensi Daya Manusia. kerusakan yang tidak dihindari sistem Visi dan Misi Inspektorat Jenderal pemerintahan yang modern. Kementerian Agama sebagai Milestone Added Value Aparatur Optimalisasi Peran Pengendali Auditor Pernyataan Visi dan Misi Kementerian Sebelum berbicara peran auditor Agama adalah titik awal untuk bisa survive penulis akan mencoba menjelaskan definisi dalam proses tugas Negara. Jika tidak apa itu auditing. Auditing merupakan proses memiliki pernyataan Misi, sekaranglah sistematik, yang terdiri dari langkah-langkah saatnya untuk mulai membagikan misi dan yang berurutan, termasuk (1) evaluasi internal visi untuk organisasi atau leading sector accounting control (2) test terhadap substansi masing-masing. Para atasan perlu fokus untuk transaksi-transaksi dan saldo. Sistem Akuntansi, menyatakan alasan mengenai tata kelola yang mencakup pengendalian intern sebelum dilakukan selama ini, siapa yang mempunyai melakukan test atas substansi transaksi Peran tugas dan fungsi atau siapa yang dilayani? utama dari internal auditor sesuai dengan Mungkin hal ini sulit dilakukan akan tetapi fungsinya dalam pencegahan kecuarangan organisasi pemeritahan yang profesional adalah berupaya untuk menghilangkan hendaknya mempunyai “Peta” yang jelas atau mengeleminir sebab-sebab timbulnya untuk menetukan rute yang harus di tempuh. kecurangan tersebut. Karena pencegahan Misalnya mewujudkan Inspektorat Jenderal terhadap akan terjadinya suatu perbuatan mendapatkan WTP. curang akan lebih mudah daripada mengatasi “Without vision, the people will perish bila telah terjadi kecurangan tersebut. (tanpa vsi, orang banyak akan mengalami Kecurangan sering terjadi jika satuan
22
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Fokus Utama organisasi ada beberapa hal: (1) Pengendalian suatu organisasi, mempengaruhi kesadaran intern longgar dan tidak efektif; (2) Pegawai pengendalianorang-orangnya. Lingkungan dipekerjakan tanpa menempatkan nilai pengendalian merupakan dasar untuk semua kejujuran dan integritas; (3) Pegawai diatur, komponen pengendalian intern, menyediakan dengan tidak baik, atau ditempatkan dengan disiplin dan struktur; (b) Penaksiran risiko (risk tekanan yang besar untuk mencapai sasaran assessment) adalah identifikasi entitas dan dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan analisis terhada risiko yang relevan untuk yang tidak benar; (4) Model manajemen mencapai tujuannya, membentuk suatu sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien. dasar untuk menenetukan bagaimana risiko Dalam memperkuat pengendalian harus dikelola; (c) Standar Pengendalian internal suatu organisasi, seperti Inspektorat (control activities) adalah kebijakan dari jenderal Kementerian Agama, penulis prosedur yang membantu menjamin bahwa mencoba mengurai arahan manajemen tentang Auditor dilaksanakan; Apabila Anda ingin jujur kepada orang intern di perusahaan, (d) Informasi COSO (The Committee dan komunikasi lain, jujurlah lebih dahulu kepada diri of Sponsoring (information and sendiri. Organizations communication) of The Treadway a d a l a h “Be honest to yourself Commission) p e n g i d e nt i f i ka s i a n , before giving honesty to the others” memperkenalkan penangkapan, dan k e r a n g k a pertukaran informasi (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) pengendalian yang dalam suatu bentuk lebih luas daripada dari waktu yang model pengendalian memungkinkan orang akuntansi yang tradisional dan mencakup melaksanakan tanggungjawab mereka. Sistem menejemen risiko, dan agar terhidandar dari imformasi mencakup sistem akuntansi, terdiri kecurangan atau Fraud maka diperlukan atas metode dan catatan yang dibangun beberapa pijakan untuk menghindari tindakan untuk mencatat, mengolah, meringkas, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang dan melaporkan transaksi entitas dan yaitu: untuk memelihara akuntabiltas bagi aktiva, Pertama, membangun struktur utang dan ekuitas. Komunikasi mencakup pengendalian intern yang baik diantaranya penyediaan suatu pemahaman tentang peran terdiri atas 5 (lima) komponen yang saling dan tanggung jawab individual berkaitan terkait, sebagaimana ditulis oleh Amrizal dengan pengendalian intern terhadap tentang pencegahan dan pendeteksiaan pelaporan keuangan; (e) Pemantauan kecurangan yaitu : (a) Lingkungan pengendalian (monitoring) adalah proses menentukan mutu (control environment) menetapkan corak kinerja pengendalian intern sepanjang waktu. Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
23
Fokus Utama Pemantauan mencakup penentuan disain dan operasi pengendalian yang tepat waktu dan pengambilan tindakan koreksi. Kedua, mengefektifkan aktivitas pengendalian. Untuk membangun nilai profesionalitas Auditor Kementerian Agama RI harus memahami pola piker dan pemahaman yang bijakasana sehingga mampu bekerja dengan efektivis dan profesional, antara lain akan penulis gambarkan sebagai berikut: (a) Review Kinerja. Aktivitas pengendalian ini mencakup review atas kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran, prakiraan, atau kinerja periode sebelumnya, menghubungkan satu rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan perbaikan; dan review atas kinerja fungsional atau aktivita seseorang manajer kredit atas laporan cabang perusahaan tentang persetujuan dan penagihan pinjaman. (b) Pengolahan informasi. Berbagai pengendalian dilaksanakan untuk mengecek ketepatan, kelengkapan, dan otorisasi transaksi. Dua pengelompokan luas aktivitas pengendalian sistem informasi adalah pengendalian umum (general control) dan pengendalian aplikasi (applicationcontrol). Pengendalian umum biasanya mencakup pengendalian atas operasi pusat data, pemrosesan dan pemeliharaan perangkat lunak sistem, keamanan akses, pengembangan dan pemeliharaan sistem aplikasi. Pengendalian ini berlaku untuk maiframe, minicomputer dan lingkungan pemakai akhir (end-user). Pengendalian ini membantu menetapkan bahwa transaksi adalah sah, diotorisasi
24
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
semestinya, diolah secara lengkap dan akurat. (c) Pengendalian fisik. Aktivitas pengendalian fisik mencakup keamanan fisik aktiva, penjagaan yang memadai terhadap fasilitas yang terlindungi dari akses terhadap aktiva dan catatan; otorisasi untuk akses ke program komputer dan data file; dan perhitungan secara periodik dan pembandingan dengan jumlah yang tercantum dalam catatan pengendali. (d) Pemisahan tugas. Pembebanan tanggungjawab ke orang yang tepat sehingga handling sesuai dengan kemampuan dan kapasitas. Kemudian sesuai aturan main atau SOP, karena itu merupakan pijakan yang harus detail dan jelas sehingga tidak terjadi overlapping. Ketiga, Membangun good culture organisasi. Salah satu tonggak penting reformasi adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dimana diperkenalkan azas akuntanbilitas kinerja dan transaparansi. Semangat Reformasi Manajamen pemerintahan harus didukung dengan nilai good culture organisasi. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI, yang berperan sebagai pengawas atau konsultan bagi kementerian agama dalam proses terselenggaranya reformasi birokrasi (Saifuddien Hasan: 2000) Keempat, mengefektifkan fungsi Auditor. Internal Auditor tidak mampu menjamin bahwa kecurangan tidak akan terjadi, namun ia harus menggunakan segala kemampuannya dan kemahiran untuk mencegah kecurangan dalam kementerian agama, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajemen agar fungsi internal Audit berperan efektif:
Fokus Utama Efektivitas fungsi Auditor, ditunjang beberapa hal diantaranya posisi independent tidak terlibat dalam kegiatan operasional perusahaan atau satuan kerja, uraian tugas yang jelas ini adalah segala wewenang jelas tertulis dan detail dalam uraian wewenang pekerjaan atau dalam melaksanakan tugas, kemudian supported dari top management, dukungan dan fasilitas dalam melaksanakan tugas, gaji yang tinggi ini untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dengan memanfaatkan tugasnya. Kemudian Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional, the right man, on the right place merupakan kata maklum yang selalu didengar ketika kita terjun di dunia pekerjaan dimana sumber daya manusia yang tepat mampu menciptakan kinerja yang berkualitas. Dan yang terakhir adanya sanksi yang jelas, untuk memberikan efek jera terhadap auditor yang melakukan penyalahgunaan wewenang. Sumber Daya Manusia yang Profesional Profesional, sebuah kata yang berkonotasi dengan sesuatu yang dibayar tinggi, atau tahapan setelah melalui sebutan amatiran. Menilik Itjen sebagai elemen Pengawasan bertanggung jawab membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi. Agar dapat menjalankan tugas yang diemban tersebut auditor internal perlu meningkatkan pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill) melalui pendidikan profesi berkelanjutan (continuing professional education). Atau lebih tepatnya Auditor Visioner dari sudut pandang kinerjanya, bukan dari kedudukanya karena kedudukan Auditor
adalah Independent. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sebagai organisasi pemerintah yang berfungsi utama untuk mengawasi internal Kemenag agar terwujudnya pemerintahan dilingkungan kementerian agama yang transparan dan akuntabilitas. Dalam mewujudkan visi Tata Kelola Itjen Kemenag sebagai internal auditor antara lain memiliki peranan dalam pencegahan kecurangan (fraud prevention), pendeteksian kecurangan (fraud detection), penginvestigasian kecurangan (fraud investigation). Seperti apa sumber daya manusia yang profesional yang wajib dimiliki oleh aparatur pemerintah khususnya Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. (1) Memiliki Kemampuan Profesional. Artinya seseorang harus ahli dibidangnya, memahami konsep sistem dan prosedur, mengetahui kegunaan dan peralataan sebagai media pendukung pekerjaan tersebut. Tanpa keahlian yang mumpuni bagaimana mungkin auditor melakukan pengawasan atau investigasi kasus bagi objek auditinya. Kedua mewujudkan pengetahuanya yaitu menggunakan segenap pengetahuanya dalam upaya menyelesaikan masalah; (2) Memiliki karakter profesional integritas dan tanggung jawab; (3) Memiliki penampilan profesional. Pertama dalam berhubungan dengan managemen mampu menyampaikan laporan hasil audit atau pekerjaan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Memiliki citra diri dalam pekerjaan , artinya aparatur senantiasa mengembangkan diri menjadi pribadi yang pro aktif dan bertanggung jawab. [Margi Sugiarto] Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
25
Fokus Utama Siklus PDCA Sebagai Pendekatan Proses Perbaikan Mutu APIP Oleh: Khalilurrahman
P
Halal Bi Halal dan Silaturrahim Keluarga Besar Kementerian Agama
endekatan proses merupakan bagian dari sistem teori tentang pengelolaan organisasi yang terintegrasi dalam sistem perencanaan dan pelaksanaan perbaikan mutu. Pendekatan proses juga merupakan strategi untuk meningkatkan daya saing organisasi melalui peningkatan mutu sehingga memiliki kekuatan dalam menghadapi tantangan dan rintangan. Audit yang bermutu merupakan tujuan utama hasil pelaksanaan; program dan kegiatan pengawasan APIP. Program dan kegiatan audit yang efektif adalah yang menetapkan harapan mutu yang tinggi. Untuk menghasilkan audit dengan mutu tinggi, Instansi dan lembaga pengawasan
26
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
internal pemerintah perlu melakukan perbaikan pengelolaan dan proses audit secara terus menerus. Pihak manger atau pimpinan perlu menggunakan waktu yang ketat, pengalokasian sumber sarana, serta biaya yang efisien, meningkatkan mutu pelaksanaan audit yang memenuhi prosedur paedagogis, inovatif dan transformatif pula. Keberhasilan audit sangat bergantung pada tenaga auditor professional yang menguasai ilmu dan menerapkan ilmu, serta terlatih melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Perbaikan mutu audit APIP dapat dicapai di antaranya dengan mengaplikasikan total quality management secara integral dalam proses audit. Total quality management merupakan suatu
Fokus Utama pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya (Fandi, 1995 dalam M.N Nasution, 2000:28). Untuk mencapai usaha tersebut digunakan sepuluh unsur utama TQM, yaitu fokus pada pelanggan, obsesi terhadap kualitas, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan kerkesinambungan, pendidikan dan latihan, kebebasan terkendali, kesatuan tujuan, dan ketertiban serta pemberdayaan karyawan (Goetsch dan Davis, 1994 dalam M.N. Nasution, 2000:29-30). Perbaikan mutu audit tidak diperoleh tanpa usaha dan langkah-langkah nyata. Di samping itu, perbaikan juga menuntut adanaya proses yang disebut dengan proses perbaikan. Pada dasarnya proses audit bermutu harus dipandang sebagai suatu peningkatan terus-menerus (continuous audit process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya penyusunan program audit, penyusunan tim, pembuatan program kerja, penyusunan KKA, review KKA, penyusunan LHA, penyampaian LHA sampai saran tindak lanjut. Demikian pentingnya proses, sehingga Josep Juran, salah seorang tokoh manajemen mutu, menyatakan bahwa 85 persen masalah-masalah mutu dalam sebuah organisasi adalah hasil dari desain proses yang kurang baik (Edward Sallis, 2008: 108). Perbaikan mutu yang berkesinambungan menekankan pola pikir yang berorientasi pada proses, karena proses harus disempurnakan agar hasil
dapat meningkat. Kegagalan mencapai hasil yang direncanakan merupakan cermin dari kegagalan proses. Manajemen harus menemukan kembali dan memperbaiki kesalahan dan kelemahan yang ditemukan pada proses tersebut. Untuk menghasilkan mutu audit diperlukan siklus yang mengatur dan mengendalikan jalannya aktifitas manajemen yang memberikan hasil yang efektif, terarah dan bermutu. Siklus tersebut sangat dibutuhkan organisasi dalam mengembangkan ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai distribusi kepada konsumen. Dalam konsep Kaizen, sebagaimana yang dijelaskan Masaaki Imai, untuk menjamin terlaksananya kesinambungan guna mewujudkan kebijakan diperlukan suatu siklus yang disingkat PDCA. Siklus ini merupakan konsep yang terpenting dari proses Kaizen (perbaikan terus menerus) (Masaaki Imai, 1998:4). Siklus Proses Peningkatan Mutu Peningkatan mutu audit memerlukan proses yang baik sejak awal perencanaan, baik dalam pelaksanaan, baik dalam pemantauan, dan baik dalam tindak perbaikan. Mutu memerlukan sistem pemantauan berkelanjutan untuk mengetahui keterpenuhan standar. Efektivitas pengelolaan mutu disarankan Deming (1986) dikembangkan dalam bentuk siklus sebagaimana yang dijelaskan pada teori TQM (Total Quality Management). Prinsip-prinsip penting proses peningkatan mutu menurut Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
27
Fokus Utama
Sekretaris, dan Para Irwil Sedang Memaparkan Evaluasi Realisasi Kinerja Triwulan IV Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Deming adalah dengan melalui tahapan sebagai berikut: (1) merumuskan tujuan yang jelas yang ditandai dengan indikator pencapaian dan kriteria yang terukur; (2) menyelenggarakan sistem pembinaan dengan menggunakan prosedur operasional standar; (3) melaksanakan pembinaan dengan materi yang didisain khusus untuk meningkatkan pemahaman mengenai pengetahuan dan keterampilan pengelola sekolah dalam meningkatkan mutu dan penjaminan mutu. (4) melakukan perbaikan berkelanjutan. (5) melaksanakan perbaikan mutu sebagai budaya. Dalam konsep kaizen, siklus PDCA (plan-do-check-act) merupakan konsep yang digunakan untuk melakukan perbaikan yang berkesinambungan. Penerapan siklus ini digunakan sebagai langkah pertama dari kaizen. Perencanaan (Plan) Berdasarkan siklus PDCA di atas, APIP dapat mengimplementasikannya dalam
28
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
rangka perbaikan mutu audit. Dalam tahap perencanaan, APIP melakukan proses memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatankegiatan audit yang akan dilaksanakan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Perencanaan haruslah berisi sejumlah strategi dan rancangan kegiatan dengan tujuan, strategi, indikator, target mutu yang terdefinisikan dengan jelas, mengambarkan kondisi nyata dan kondisi yang diharapkan, serta hasil analisis lingkungan dan analisis potensi. Perencanaan dalam lembaga/ instansi pengawasan internal dituangkan dalam Renstra, Renja dan PKAT. Menurut Konsep kaizen, rencana (plan) sebagaimana dalam gambar 1 di atas berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan (karena kaizen adalah cara hidup, maka harus selalu ada target perbaikan untuk semua bidang), dan perumusan rencana tindakan
Fokus Utama Study (Check) Study (Pengkajian) dilakukan melalui kegiatan monitoring atau supervisi oleh pengendali mutu atau supervisor untuk memastikan bahwa seluruh proses kegiatan audit sedang mengarah pada pencapaian tujuan. Dalam konsep kaizen, periksa (check) merujuk pada penetapan apakah pelaksanaan Pelaksanaan (Do) Pelaksanaan berisi kegiatan- audit tersebut berada dalam jalur yang benar kegiatan audit yang meliputi tindakan audit sesuai rencana dan memantau kemajuan di lapangan sebagai bentuk implementasi perbaikan yang direncanakan. Kegiatan supervisi atau proses dari perencanaan di atas. Pelaksanaan ini merupakan bagian change management pengecekan ini harus fokus pada APIP sebagai aparat yang yang diperlukan menyajikan laporan agar perubahanaudit dan fokus perubahan yang Memberi contoh dengan perbuatan mengeksplorasi dua terjadi mampu adalah lebih baik, isu: pertama, pada dikelola secara efektif daripada memberi contoh dengan perkataan. tingkatan mana APIP dan efisien (Vincent mampu memenuhi Gaspersz, 2008:203). “Action is better than words” standar audit dan Dalam konsep kaizen, menghasilkan lakukan (do) berkaitan temuan yang relevan, dengan penerapan kompeten, cukup dari rencana tersebut. Pelaksanaan audit APIP yang efektif dan bukti dan material dan sejauh mana APIP efisien haruslah didukung oleh sumber dana, dapat memerankan fungsi konsultan dan sumber daya manusia yang professional dan katalisator kepada auditinya; dan kedua sejauh mana APIP mampu mencapai misi ketersediaan waktu. Di samping itu, Pelaksanaan audit dan tujuan strategi instansi/lembaganya. APIP akan mencapai mutu yang maksimal jika pelaksanaan audit mengikuti tahapan- Tindakan Perbaikan (Act) Tindak lanjut atau penyempurnaan tahapan pelaksanaan audit yang telah ditetapkan dalam standar audit internal kegiatan, yaitu mencocokan hasil kegiatan pemerintah. Konsistensi, ketelitian, relevan, audit yang dicapai dangan standar yang kompeten, cukup bukti dan material dalam ditetapkan serta melakukan perbaikan review KKA, penyusunan KKA, dan LHA mutu audit jika dipandang perlu. Dalam menjadi aspek penting dan mempengaruhi konsep kaizen, tindak (act) berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari mutu audit. guna mencapai target tersebut (Masaaki Imai, 1998:5). Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang tanpa cacat (zero defect planning) sebagaimana yang menjadi langkah ketujuh dalam program mutu Philip B. Crosby (Edward Sallis,2008:116).
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
29
Fokus Utama
Menag Suryadharma Ali dan Irjen Mundzier Suparta Kegiatan Dharma Wanita Kementerian Agama
terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya. Siklus PDCA berputar secara berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya. Hal ini dilakukan disebabkan APIP pada umumnya lebih senang dengan kemapanan (status quo) dan mereka jarang memiliki prakarsa sendiri untuk meningkatkan kualitas profesionalitasnya. Dalam hal ini, manajemen senior/top manajemen harus secara continue merumuskan program kegiatan, baik berupa pelatihan, seminar, review meeting dan aktivitas lain yang memberikan stimulus dan tantangan bagi APIP untuk terus menerus melakukan perbaikan mutu (continuous quality improvement). Akhirnya, dengan memperhatikan proses dan siklus proses peningkatan mutu
30
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
secara konsisten dan berkesinambungan dengan optimalisasi sumber daya dan dana, mutu audit APIP yang memerlukan proses yang baik sejak awal perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan tindak perbaikan dapat dicapai. [Khalilurrahman] Daftar Pustaka Bryson, John M. Perencanaan Strategis, penterjemah M. Miftahudin, Cet. Ke-6, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Hasibuan, Malayu S.P., Manajemen Sumber Daya Manusia, Cet. Ke-7, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005. Imai, Masaaki, Gemba Kaizen, penterjemah:Kristianto Jahja. Jakarta: Pustaka Binaan Pressindo, 1998. Gaspersz, Vincent, Total Quality Manajemen, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. Nasution, MN, Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000
Pengawasan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK) Computer Assisted Audit Techniques (CAAT’s) Oleh: Iksan
D
Orientasi Komputer Bagi Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
ewasa ini perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara organisasi, baik swasta maupun pemerintahan dalam mengumpulkan data, memproses dan melaporkan informasi yang ada, kondisi tersebut mau tidak mau harus menjadi pemikiran bersama bahwa kedepan auditor akan banyak menemukan lingkungan dimana data tersimpan lebih banyak dalam media elektronik dibanding media kertas. Auditor harus menentukan bagaimana organisasi menggunakan sistem teknologi informasi untuk merencanakan, mencatat, memproses dan melaporkan kegiatan dan transaksi dalam laporan kegiatan maupun dalam laporan keuangannya. Penggunaan TABK atau CAATs adalah salah satu cara dalam meningkatkan efisiensi
dan efektivitas auditor dalam melaksanakan audit dengan memanfaatkan segala kemampuan yang dimiliki oleh komputer. Untuk itu mengkombinasikan pemahaman mengenai pentingnya keahlian audit dengan pengetahuan sistem informasi berbasis komputer akan menghasilkan peningkatan yang sangat signifikan dalam proses audit sistem informasi. Persiapan auditor sistem informasi untuk memiliki keahlian tersebut harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk dapat melakukan tugas sebuah audit sistem informasi Secara umum, Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK) atau Computer Assisted Audit Techniques (CAAT’s) adalah setiap penggunaan teknologi informasi sebagai alat bantu dalam kegiatan audit. TABK/CAAT’s dapat juga didefinisikan Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
31
Pengawasan sebagai penggunaan perangkat dan teknik untuk mengaudit aplikasi komputer serta mengambil dan menganalisa data. Dengan kata lain TABK/CAAT’s merupakan perangkat dan teknik yang digunakan untuk menguji (baik secara langsung maupun tidak langsung) logika internal dari suatu aplikasi komputer yang digunakan untuk mengolah data. Sebenarnya tidak ada perbedaan konsep audit yang berlaku untuk sistem yang kompleks dan sistem manual, yang berbeda hanyalah metode-metode spesifik yang cocok dengan situasi sistem informasi akuntansi yang ada. Pemahaman ini diperlukan dalam rangka mendapatkan pemahaman internal control yang baik agar dapat merencanakan audit dan menentukan sifat, timing dan perluasan pengujian yang akan dilakukan. Beberapa item dalam standar audit mengatur tata cara audit dalam lingkungan sistem informasi berbasis komputer. Menurut standar pada dasarnya tata cara auditnya adalah melakukan pengujian berikut: Pertama, uji kepatuhan terhadap prosedur yang berlaku (otorisasi, kelengkapan, dan keakuratan). Kedua, uji Substantif (uji terhadap transaksi dan hasil pengolahan). Ketiga, pengolahan kembali transaksi dalam prosedur pengujian kepatuhan atau substantive. Tentunya luasnya pengujian terkait dengan resiko deteksi yang dapat diterima oleh auditor. Jenis dan luas pengujian tidak tergantung besarnya organisasi/satuan kerja tetapi ditentukan oleh kompleksitas lingkungan TI yang ada seperti luasnya sistem on-line yang digunakan, tipe dan signifikansi transaksi keuangan, serta sifat dokumen/
32
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
database, serta program yang digunakan. Pengaruh terbesar penggunaan teknologi informasi sebagai perangkat yang digunakan oleh suatu organisasi untuk menghasilkan informasi sebagai objek data diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Perubahan bentuk informasi sebagai bukti audit dari informasi yang menggunakan kertas (visual) menjadi bentuk elektronik (non visual) yang tersimpan dalam media penyimpanan komputer; (2) Perubahan bentuk bukti audit tersebut pada gilirannya juga mempengaruhi cara memperoleh bukti audit dan cara mengevaluasi bukti audit yang telah diperoleh tersebut; (3) Volume data yang tersimpan pada sebuah organisasi/satuan kerja, apalagi satuan kerja eselon I pusat, misalnya telah mencapai ukuran yang sangat besar, yaitu mencapai kapasitas terra byte, bahkan mungkin penta byte; (4) Perubahan jejak audit, yakni suatu mekanisme yang memungkinkan pelacakan kronologis suatu transaksi dari awal sampai akhir ataupun sebaliknya; (5) Adanya perubahan struktur pengendalian internal organisasi, terutama yang berkaitan dengan pengolahan data. Seluruh bentuk pengaruh diatas menjadikan Teknik Audit Berbantuan Komputer sebagai salah satu hal penting yang harus mulai dipertimbangkan penerapannya pada Inspektorat Jenderal sebagai satuan kerja pengawasan internal pelaksanaan fungsional dan tugas Kementerian, apabila ingin meningkatkan kualitas dan pelayanan terbaik, dengan pekerjaan audit yang berkualitas, tepat waktu, serta adanya efisiensi biaya dan tenaga dalam pengerjaan audit. [Iksan]
Pengawasan Urgensi Budaya Organisasi Oleh: Masrukhin
Pejabat I, II, III dan IV Sedang Mengikuti Sosialisasi Internal Reformasi Birokrasi (RB)
P
engertian budaya organisasi sering juga disebut dengan budaya kerja karena tidak dapat dipisahkan dengan kinerja (performance). Semakin kuat budaya, makin kuat pula dorongan untuk berprestasi. Budaya organisasi yang mengacu kepada suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya sehingga budaya organisasi dapat memberikan perbedaan antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain, dan budaya organisasi ini juga merupakan pedoman bagi para karyawan untuk bertindak dan berperilaku yang sesuai dengan norma atau kebiasaan yang berada
didalam organisasi tersebut, selain itu juga sebagai pegangan prinsip relawan dalam kerja. Robbins (2006:721) mengungkapkan bahwa budaya organisasi mengacu pada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi tersebut. Oleh karena itu, para relawan sebagai anggota dalam suatu organisasi harus bertindak dan berperilaku sesuai dengan sistem dalam organisasi yang Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
33
Pengawasan dinaunginya. Setiap organisasi maupun setiap usaha memiliki budayanya sendiri, yang tercermin dari perilaku anggotanya, peraturannya dan lain-lain. Seperti yang diungkapkan oleh Schein (dalam A.S Munandar, 2001:262) bahwa budaya organisasi adalah asumsiasumsi dasar yang dipelajari baik sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, maupun sebagai hasil memecahkan yang timbul dari dalam organisasi antar unit-unit organisasi yang berlainan dengan integrasi. Budaya timbul, sebagai hasil dari belajar bersama dari para anggota organisasi agar dapat tetap bertahan. Budaya merupakan elemen penting bagi keberhasilan sebuah organisasi, budaya ini memberikan identitas organisasi bagi anggotannya. Dan juga merupakan sumber stabilitas dan kontinuitas yang penting bagi organisasi sehingga memberikan rasa aman bagi para anggotanya. Menurut, O’Reilly (2000:238) mengatakan bahwa budaya perusahaan atau dalam hal ini budaya organisasi adalah nilai yang merupakan dasar dari seperangkat norma-norma yang mengandung harapanharapan. Norma-norma akan menjadi arahan sikap dan perilaku dari karyawan. Nilai budaya oranisasi yang berlaku dan dirasakan para kadernya, diharapkan dapat mengarahkan perilaku kadernya dalam bekerja. Hal ini dapat mencegah agar anggota tidak berjalan sendiri-sendiri dalam menyelesaikan tugas dari organisasi, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik dan kuat dalam menjalankan visi dan misinya.
34
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Selanjutnya A.S Munandar (2001:263) menyatakan bahwa budaya organisasi ialah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian organisasi. Dengan demikian hal tersebut akan menjadi dasar dalam membuat system kebijakan organisasi yang menjadi acuan kadernya dalam bekerja. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah diungkapkan di atas maka budaya organisasi dalam hal ini di partai republikan dapat disimpulkan sebagai suatu pedoman atau pola nilai-nilai yang telah diyakini setiap kadernya. Nilai-nilai ini diperoleh dari sejarah organisasi maupun dan hasil memecahkan masalah yang timbul dalam proses penyesuaian dengan lingkungan, juga mendasari tindakan yang kurang lebih seragam pada para kadernya. Budaya juga merupakan integrasi berbagai norma dan perilaku para relawannya. Dimensi-dimensi Budaya Organisasi Menurut Hofstede (dalam A.S Munandar, 2001:243) menyatakan bahwa terdapat beberapa dimensi dari budaya organisasi yaitu : Pertama, dimensi jarak kuasa adalah sejauh mana perusahaan membangun keterkaitan otoritas yang sesuai dengan organisasi, antara lain menjelaskan hubungan antara atasan dan bawahan. Dalam masyarakat dengan jenjang kekuasaan tinggi, individu akan menerima begitu saja adanya jarak kuasa dalam masyarakat dan tempatnya dalam tangga kekuasaan tersebut. Masyarakat lebih menerima jarak
Pengawasan kepemimpinan yang birokratis, sebaliknya Ketiga, dimensi individualitas dalam masyarakat dengan jarak kuasa rendah, ini menjelaskan tentang sejauh mana lebih diinginkan pemerataan kekuasaan dan keterkaitan nilai-nilai individu dihargai menuntut perbaikan keadaan ketimpangan dalam lingkungan kedua sebagai kolektivitas. kekuasaan. Beberapa indikator jarak kuasa Dimensi individualitas ini menunjukkan yang membentuk budaya perusahaan seberapa besar hak otonomi dan dominasi adalah ketergantungan antar individu, sikap ego individu di sekitarnya, biasanya akan pimpinan, sikap bawahan, kedudukan sama, menganggap bahwa individu harus mengurus hak anggota, posisi salah dalam konflik, kepentingannya sendiri. Sebaliknya yang kerjasama, tujuan bersama dan saling menunjukkan kolektivitas akan menganggap percaya. individu harus melindungi setiap kepentingan Kedua, dimensi penghindaran setiap individu dalam hubungan kekerabatan ketidakpastian adalah sejauh mana yang erat. Indikator dari dimensi individualitas p e r u s a h a a n kolektivitas antara mengurangi dan lain yaitu identitas diri, Karakter tidak dapat dibentuk mengantisipasi rasa ikut bertanggung dengan mudah & tenang. Hanya melalui situasi yang tidak jawab, problem pengalaman mencoba dan mengalami jelas dan kecemasan solving, orientasi dapat menguatkan jiwa, menjelaskan visi, serta bagaimana tugas dan relasi, menginspirasikan ambisi dan mencapai sukses. m e m fo r m u l a s i ka n pendapat kelompok, nilai pada kondisi kekompakan, dan masa akan datang, kepuasan pribadi. yang berubah dan Keempat, tidak menentu. Dimensi ini menunjukkan dimensi maskulin dan feminim seberapa jauh suatu kelompok masyarakat Dimensi maskulin dan feminim adalah dapat menghadapi situasi-situasi yang seberapa jauh organisasi menganut dianggap tidak menentu, tidak jelas, atau nilai-nilai maskulin seperti keberhasilan tidak dapat diramalkan sebagai dampak serta prestasi anggotanya. Maskulinitas psikologis dari suatu sistem. Dimensi ini adalah keinginan kuat masyarakat akan juga berhubungan dengan pandangan keberhasilan, kepahlawanan, keyakinan, mengenai waktu dan masa depan yang keuntungan materi, lebih berambisi, suka tidak diketahui, apakah seseorang berusaha, bersaing. Individu harus lebih cenderung menganggur dikemudian hari, atau pasrah berusaha untuk mencapai keberhasilan, saja. Beberapa indikator dalam dimensi ini dan menghargai apapun yang besar, kuat, antara lain yaitu penerimaan, perbedaan dan cepat. Feminin yaitu menunjukkan pendapat, penyimpangan kebiasaan, rasialis, keinginan mempunyai hubungan, berperilaku perbedaan usia, resiko, prinsip, pemahaman, sederhana, memperhatikan yang lemah atau dan penyelesaian. lebih rendah, dan mementingkan suatu Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
35
Pengawasan kehidupan. Indikator dari dimensi ini antara lain yaitu emansipasi, mutu kehidupan, hidup-kerja, orang-uang, kecil-besar, gender, sukses-gagal, santai-kerja. Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu dengan adanya dimensi budaya organisasi akan membentuk karakter bagi organisasi dan memiliki perbedaan antar organisasi.
terhadap orang lain; (4) Orientasi hasil (Outcome Orientation). Memiliki perhatian dan harapan yang tinggi terhadap hasil, capaian dan tindakan; (5) Orientasi tim dan kolaborasi (team orientation and collaboration) Bekerja bersama secara terkoordinasi dan berkolaborasi; (6) Keagresifan dan persaingan (Aggressiveness and Competition). Mengambil tindakantindakan tegas dalam menghadapi para Ciri-ciri Budaya Organisasi pesaing. Budaya yang dapat diamati ialah pola- Robbins (2006:721) mengemukakan pola perilaku yang merupakan manifestasi tujuh karakteristik primer berikut yang atau ungkapan-ungkapan dari asumsi-asumsi bersama-sama menangkap hakikat dari dasar dan nilai-nilai. suatu budaya O’Reilly, Chatman dan organisasi yaitu : Caldwell (dalam A.S Pertama, inovasi dan Kesuksesan berasal dari Munandar, 2001:267pengambilan resiko. kemauan dan kesungguhan hati. 268) mengemukakan Sejauh mana para “Success comes from strong desire” ciri-ciri budaya anggota didorong organisasi sebagai untuk inovatif dan Bekerja keras dan sungguh-sungguh berikut : (1) Inovasi mengambil resiko. adalah jalan satu-satunya ke arah sukses. dan pengambilan Kedua, perhatian “The only way to success is working resiko (Innovation terhadap rincian. hard and earnestly” and Risk Taking). Sejauh mana para (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) Mencari peluang baru, anggota diharapkan berani bereksperimen memperlihatkan dan tidak merasa kecermatan, analisis terhambat oleh dan perhatian kebijakan dan praktek-praktek formal; terhadap rincian. Ketiga, orientasi hasil. (2) Stabilitas dan keamanan (Stability Sejauh mana manajemen memusatkan and Security). Menghargai hal-hal yang perhatian pada hasil bukan pada teknik dan dapat diduga sebelumnya (predictability), proses yang digunakan untuk mencapai hasil keamanan dan penggunaan dari aturan- itu. Keempat, orientasi orang. Sejauh mana aturan yang mengarahkan perilaku; keputusan manajemen memperhitungkan (3) Penghargaan kepada orang efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam (Respect for People). Memperlihatkan organisasi itu. Kelima, orientasi tim. Sejauh toleransi, keadilan dan penghargaan mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar
36
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Pengawasan tim, bukannya individu. Keenam, keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukan santai-santai. Ketujuh, kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo daripada pertumbuhan. Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu tingkatan yang rendah ke tinggi. Maka dengan menilai oranisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi tersebut. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya dan para anggota diharapkan berperilaku. Sedangkan Denison (1990:6-14) menyebutkan empat ciri utama dalam budaya organisasi, yaitu: (1) Keterlibatan (involvement), yaitu keikutsertaan dan partisipasi yang menciptakan sense of ownership dan tanggung jawab, sehingga timbul komitmen pada organsisasi yang lebih besar dan sistem pengontrolan yang lebih rendah; (2) Konsistensi (consistency), yaitu sistem kepercayaan, nilai dan simbol yang dipahami dan dihayati oleh para anggota organisasi yang membentuk tindakan atau perilaku terkoordinasi berdasarkan dukungan consensus; (3) Adaptabilitas (adaptability), yaitu kemampuan untuk tanggap terhadap lingkungan ekstemal, pelanggan internal dengan cara menerjemahkan permintaan lingkungan bisnis menjadi tindakan, yang memberi kesempatan untuk bertahan, tumbuh, serat berkembang. Serta kemampuan untuk mengembangkan perilaku
sejalan dengan penyesuaian yang dilakukan organisasi; (4) Penghayatan misi (mission), yaitu kemampuan untuk memahami arah jangka panjang yang bermanfaat bagi organisasi dan kemampuan untuk menampilkan tindakan sesuai dengan tujuan organisasi. Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu atas dasar teori yang dipaparkan nampaknya budaya organisasi dalam suatu organisasi menjadi landasan untuk menampilkan perilaku yang mewakili tujuan organisasi termasuk visi dan misinya. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi Umumnya budaya diciptakan oleh para pendiri organisasi. Para pendiri memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya yang telah diciptakan dan dikembangkan karena para pendirilah yang mempunyai visi dan misi mengenai apa yang pendiri tanamkan akan menjadi petunjuk dan pedoman bagi anggota organisasi. Apabila falsafah yang para pendiri tanamkan dalam organisasinya dapat bertahan lama, maka falsafah tersebut akan berkembang menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi tidak muncul begitu saja, namun melalui berbagai macam proses. Sumber pembentukan budaya organisasi yang ada ditemukan dari konsep yang ditawarkan oleh Schein (dalam A.S Munandar, 2001:264) terdiri dari: Pertama, pengaruh ekstemal yang luas (broad external influences), mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi, lingkungan alam misalnya. Kedua, nilai-nilai Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
37
Pengawasan masyarakat dan budaya nasional (societal penghasilan tambahan eksekutif dan pakaian values and national culture) yaitu keyakinan- yang memperlihatkan kepada organisasi siapa keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari yang penting, sejauh mana egalitarianisme masyarakat luas, misalnya kebebasan individu. yang diinginkan oleh eksekutif puncak dan Ketiga, unsur-unsur khas dari organisasi jenis perilaku apa yang tepat. Keempat, (organization spesific elements), organisasi bahasa, hal ini bisa berupa istilah-istilah selalu berinteraksi dengan lingkungannya, unik dalam bentuk akronim atau jargon yang dalam usaha mengatasi permasalahan digunakan untuk menamakan peralatan internal dan ekstemal secara baik dan ini kantor, personil utama, pemasok, pelanggan, merupakan ungkapan dari nilai-nilai dan produk yang berkaitan dengan bisnisnya dan keyakinan-keyakinan yang merupakan dasar bertidak untuk menyatukan anggota-anggota organisasi tumbuhnya budaya organisasi. Dari beberapa penjelasan mengenai Selanjutnya, Tossi, Rizzo, dan Caroll yang mempengaruhi budaya (dalam A.S Munandar, 2001:264) mengatakan faktor bahwa budaya organisasi dipengaruhi oleh organisasi nampaknya Schein dan Tossi, Rizzo, empat faktor, antara lain : (1) Pengaruh dan Caroll (dalam A.S Munandar, 2001) umum dari luar yang luas; (2) Pengaruh dari mengemukan pendapat yang tidak berbeda, nilai-nilai yang ada di masyarakat (societal yaitu budaya organisasi dipengaruhi oleh values); (3). Faktor-fakor spesifik dari faktor eksternal yang sangat bagus, nilai-nilai organisasi; (4) Nilai-nilai dasar dari koalisi sosial yang berkembang dimasyarakat serta kekhasan atau ciri utama dalam organisasi. dominan. Menurut Robbins (2006:735) Sedangkan pendapat yang dikemukan oleh proses pembentukan budaya organisasi Robbins (2006:735) agak berbeda dengan melalui sejumlah cara, yaitu: Pertama, pendapat yang diberikan oleh Schein serta melalui cerita mengenai pendiri organisasi, Tossi, Rizzo, dan Caroll (dalam A.S Munandar, pelanggaran aturan, kesuksesan organisasi, 2001). Robbins lebih menekankan bahwa reaksi terhadap kesalahan masa lalu dan suatu budaya organisasi terbentuk melalui cara mengatasi masalah organisasi yang pengalaman organisasi, kebiasaan yang biasa memberikan penjelasan dan pengesahan terjadi diorganisai, dan keinginan manajemen untuk praktek-praktek organisasi di masa serta istilah-istilah yang sesuai dengan arah tujuan orgnisasi. depan. Kedua, ritual, hal ini berupa kegiatan yang sering dilakukan untuk menyampaikan Fungsi Budaya Organisasi Budaya organisasi melakukan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi, tujuan organisasi serta orang-orang yang sejumlah fungsi di dalam organisasi. Fungsi berprestasi. Ketiga, lambang materi, yang budaya organisasi memberikan peran dalam berupa tipe mobil eksekutif puncak, ukuran mempengaruhi perilaku anggota yang dan tata letak kantor, keanggunan perabot, memastikan semua anggotanya ke arah
38
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Pengawasan
Rapat Koordinasi dan Konsolidasi Persiapan Kegiatan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
yang sama. Fungsi budaya organisasi sebagai batasan bagi para kadernya dalam berperan, berkomitmen, berpikir dan berperilaku, sehingga memberikan identitas, pedoman menunjukkan stabilitas sistem sosial dalam organisasi dan memperlihatkan perbedaan yang jelas antar organisasi. Robbins (2006:725) mengatakan bahwa fungsi budaya organisasi, yaitu: (1) Mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain; (2) Membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota dalam organisasi; (3) Mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang; (4) Meningkatkan kemantapan sistem sosial. Budaya organisasi merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan harus dilakukan para relawan.
Dari berbagai fungsi budaya organisasi di atas, maka dapat diketahui bahwa budaya memegang peran yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan organisasi, karena merupakan seperangkat pemahaman, dan aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-hari dalam tempat kerja sehingga dapat membuat suatu organisasi mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakannya dari perusahaan yang lain. Budaya organisasi tidak muncul begitu saja. Sekali budaya organisasi ditegakkan, akan sulit budaya itu berangsur hilang. Ada kekuatan yang mempengaruhi terciptanya suatu budaya organisasi dan memperkuat budaya organisasi. Robbins (2006:730) mengemukakan terdapat tiga kekuatan yang memainkan bagian sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya yaitu: Pertama, praktek seleksi. Proses seleksi memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai organisasi itu dan Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
39
Pengawasan jika pelamar merasakan suatu konflik antara nilai pelamar dan nilai organisasi, pelamar dapat menyeleksi diri keluar dari kumpulan pelamar. Kedua, tindakan manajemen puncak. Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi, apa yang pimpinan katakan dan bagaimana pimpnan berperilaku, menegakkan normanorma yang merembes ke bawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan resiko diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para pimpinan kepada bawahan, apakah pakaian yang pantas dan tindakan yang pantas dalam reward. Ketiga, metode sosialisasi. Metode sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai suatu proses yang terdiri atas tiga tahap: pra kedatangan, perjumpaan dan metamorfosis. Tahap pertama meliputi semua pembelajaran yang terjadi sebelum seorang anggota baru bergabung dengan organisasi tersebut. Dalam tahap kedua, anggota baru itu melihat seperti apakah organisasi itu sebenarnya, dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan berbeda. Dalam tahap ketiga perubahan yang relatif akan terjadi. Anggota akan menguasai keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaannya, dengan berhasil melakukan perannya, dan melakukan penyesuaian ke nilai dan norma kelompok kerjanya. Proses tiga tahap ini berdampak pada produktivitas kerja, komitmen pada organisasi dan keputusan akhir untuk tetap bersama organisasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dapat dibangun dan diturunkan dari
40
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
pandangan hidup pendirinya, bagaimana pemilik organisasi menyampaikan informasi. Selanjutnya budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan kadernya. [Masrukhin] Daftar Pustaka Baron & Byrne, Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, Edisi kedua, 2002. Baron & Byrne, Psikologi Sosial,. Jakarta: Erlangga, Edisi kesepuluh, 2005. Baron & Byrne, Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, Edisi ketiga, 2003. Gerungan, WA, Psikologi Sosial, Bandung: Eresco, 1996. Kerlinger, N. Fred, Azas-azas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004. Kuncono, Aplikasi Komputer Psikologi, Diktat Kuliah dan Panduan Praktikum, Jakarta: Penerbit Fakultas Psikologi UPI YAI, 2004. Munandar, Ashar Sunyoto, Psikologi Industri dan Organisasi,. Jakarta : UI Press, Edisi I 2001. Pandji Anoraga, Psikologi Kerja, Jakarta : Rineka Cipta, 2001. Robbins, Stephen P., Perilaku Organisasi Edisi Lengkap, Jakarta: PT. Indeks kelompok Gramedia, 2006. Saifudin Azwar, Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Santrock, W.J, Life Spand Development, New york: Mc Graw-hill, 2002. Sarlito W.S, Psikologi Remaja, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Sarlito W.S., Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Pengawasan Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Agama Melalui Standarisasi Quality Assurance Oleh: Abdul Mughits
S
Suasana Penerimaan dan Pembinaan Jamaah Haji Kloter 23 Di Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo Jateng
umber daya manusia (SDM) merupakan aset terpenting dalam sebuah organisasi. Keberadaannya merupakan syarat mutlak bagi eksistensi organisasi dan sangat menentukan arah perjalanannya, apakah menuju keberhasilan atau sebaliknya, kegagalan. Oleh karena itu kualitas SDM menjadi isu terpenting dalam rangka membangun organisasi modern yang bagus, efektif, dan meraih kesuksesan. Banyak cerita tentang keberhasilan organisasi karena faktor SDM pengelolanya yang berkualitas, meskipun tidak harus banyak jumlahnya. Sebaliknya, tidak sedikit organisasi besar yang gagal karena kualitas SDM pengelolanya yang sangat rendah,
meskipun jumlahnya banyak. Di sinilah pentingnya kualitas daripada kuantitas SDM pada organisasi. Artinya faktor kuantitas tidak serta merta menentukan keberhasilan organisasi. Bahkan dalam konteks lembaga publik, kuantitas SDM yang tidak didukung dengan kualitas yang memadai justru akan menjadi beban negara yang pada akhirnya rakyatlah yang akan dirugikan. Kualitas SDM pegawai dapat diukur dari kompetensi yang dimilikinya. Sementara kompetensi seorang pegawai dapat dilihat dari back ground pendidikannya. Oleh karena itu plotting pegawai dalam sebuah lembaga publik mensyaratkan adanya kesesuaiannya dengan kompetensinya. Jika tidak, maka lembaga itu akan berjalan terseok-seok
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
41
Pengawasan dan tidak memberikan pelayanan publik yang memuaskan. Bahkan yang lebih ironis adalah, karena kualitas SDM yang rendah banyak pegawai yang kurang memahami dan menyadari bahwa tugas pokok lembaga publik adalah melayani kepentingan publik, bukan sebaliknya, yakni menyulitkan mereka, membebaninya, bahkan meminta dilayaninya. Oleh karena itu mengenai pembinaan kualitas SDM strategis pengelola harus menjadi isu dan arus utama dalam rangka pengembangan organisasi pemerintahan yang berkualitas. Dengan demikian maka akan terpenuhi relevansi antara bentuk dan kualitas pelayanan dengan kepentingan publik, sehingga kepercayaan akan semakin terbangun kuat, sebagai indikator utama bagi keberhasilan organisasi pemerintahan, seperti organisasi Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Sketsa Kemenag RI Kemenag RI adalah organisasi pemerintahan yang sangat besar. Banyak bidang dan aspek publik yang dikelola oleh institusi ini, dan hampir semua bidang itu sangat dibutuhkan oleh publik terutama yang terkait dengan bidang pembinaan umat beragama dan pendidikan agama. Semua umat beragama dengan berbagai latar belakangnya sangat berharap kepada Kemenag RI ini agar dapat mengemban amanat dengan sebaikbaiknya dan memberikan pelayanan yang memuaskan, mulai dari ranah administrasi perkantoran sampai kepada kebijakankebijakan publik. Untuk mencapai itu semua maka kata kuncinya adalah kualitas SDM yang
42
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
memadai. Saat ini Kemenag RI membawahi 33 kantor wilayah tingkat propinsi, ratusan kantor kemenag tingkat kabupaten dan kota, ribuan kantor urusan agama (KUA) kecamatan, dan ribuan madrasah dan perguruan tinggi agama islam (PTAI). Ilustrasi tersebut cukup menggambarkan bahwa Kemenag RI merupakan organisasi pemerintahan yang besar, strategis, dan sangat dibutuhkan masyarakat, disamping juga menggambarkan besarnya jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Kemenag RI, mulai dari tingkat pusat sampai kecamatan. Saat ini, Kemenag RI mempunyai jumlah pegawai yang cukup banyak. Belum lagi pegawai swasta (honorer) yang terlibat langsung dalam lembagalembaga yang pembinaannya di bawah Kemenag. Kelompok ini memang bukan pegawai negeri, namun peranannya sangat penting bagi keberhasilan program-program Kemenag. Sementara kuantitas yang besar tersebut tidak secara otomatis berbanding lurus dengan kualitas yang tinggi. Dari sekian PNS, ternyata yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan tugasnya. Hal ini menuntut Kemenag untuk melakukan pembinaan kualitas SDM secara maksimal, sehingga dapat menjembatani kesenjangan antara kompetensi dan tugas PNS. Lebihlebih di lingkungan Kemenag masih banyak PNS angkatan lama (senior) yang proses rekruitmennya dulu belum memperhatikan kompetensi calon pegawai. Hal itu dimaklumi karena eranya belum mendukung ke arah itu, dimana pendidikan, terutama pendidikan tinggi masih menjadi “barang mahal” bagi
Pengawasan masysrakat luas. Untuk konteks sekarang sudah tidak ada alasan lagi kembali ke era dulu lagi. Disamping itu, meskipun semua institusi di lingkungan Kemenag berjalan sesuai dengan undang-undang dan peratutan pemerintah yang ada, namun dalam banyak hal masih ada yang menerapkan ”hukum adat” yang telah berlaku sejak lama, yang dalam konteks tertentu justru akan menjadi tradisi organisasi yang tidak sehat. QA dalam hal ini dapat menjadi motor dibangunnya tradisi lembaga yang sehat dan berkualitas. Standarisasi Quality Assurance Quality Assurance (QA) atau penjaminan mutu saat ini sedang menjadi trend di kalangan lembaga pemerintahan dan swasta. Banyak sekali lembaga yang merasa memerlukan terhadap QA ini, bahkan sudah menjadi keniscayaan. Dengan QA ini diharapkan semua program lembaga dapat berjalan secara efektif dan efisien sehingga dapat mencapai target-target yang telah dicanangkan. Di lingkungan Kemenag RI, belum semuanya telah menerapkan QA, baru beberapa saja, terutama lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). QA yang merupakan standar penjaminan mutu lembaga tidak hanya berfungsi menekan pengelola lembaga agar dapat bekerja dengan baik tetapi juga harus dibarengi dengan program-program strategis lembaga untuk memenuhi kekurangankekurangan yang ada. Misalnya dalam poin QA tertulis bahwa setiap pegawai harus dapat mengoperasionalkan komputer, maka
harus dibarengi dengan program pendidikan dan pelatihan komputer bagi para pegawai yang belum bisa mengoperasionalkannya. Sehingga dengan standarisasi kualitas pelayanan yang tertulis itu dapat dengan mudah mengidentifikasikan kekurangankekurangan yang ada untuk dibenahi seperlunya. Dalam rangka itu perlunya standarisasi QA untuk semua komponen lembaga di lingkungan Kemenag, mulai dari tingkat bawah sampai tingkat pusat. Standarisasi QA ini penting untuk dijadikan acuan yang seragam dalam pembinaan SDM di lembaga sesuai dengan tingkat dan bidangnya. Dengan demikian maka metode pengukurannya pun juga bisa seragam dan tentu lebih mudah dilakukan. Secara general langkah-langkah yang dapat ditempuh minimal tigal hal, yakni identifikasi masalah, monitoring, dan evaluasi. Dengan adanya QA yang standar di lingkungan Kemenag RI, maka identifikasinya akan mudah dilakukan. Identifikasi adalah menggali proses pengembangan sehingga dapat diketahui apa yang paling cocok bagi individu pegawai dan lembaga tertentu. Dalam proses ini perlu dilakukan asesmen mengenai kekuatan dan area untuk pengembangan. Dengan demikian maka monitoring dan evaluasinya pun juga akan tepat sasaran dan tepat guna. Sedangkan monitoring adalah kegiatan audit dari jaminan mutu yang ada. Untuk mencapai itu semua maka harus dilakukan tahapan-tahapan, seperti pembuatan lembaga khusus yang membidangi penjaminan mutu Kemenag yang bertugas membuat semua satuan operasional (SOP), Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
43
Pengawasan merekrut para auditor, dan mengaudit kinerja pekerjaan yang bersifat individual maka semua lembaga sesuai dengan tingkat dan reward and punishment dapat diberikan bidangnya masing-masing. Apa yang telah kepada perseorangan yang bersangkutan dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemenag dan untuk tugas dan pekerjaan yang bersifat RI selama ini mungkin bagian dari itu semua, institusional maka reward and punishment namun akan lebih maksimal hasilnya maka diberikan kepada lembaga. Dengan adanya reward and panisment perlunya standarisasi QA untuk semua ini diharapkan dapat memicu bagi setiap tingkatan dan bidang Kemenag RI. Sudah tidak rahasia lagi bahwa pegawai dan lembaganya untuk menjalankan mental (etos) kerja pegawai di lingkungan tugas dengan semestinya, sesuai dengan pemerintahan, termasuk Kemenag masih rambu-rambu yang ada. Apresisasi itu dapat kurang memadai, untuk tidak mengatakan berupa fasilitasi dalam kenaikan pangkat dan rendah. Dari sekian banyak pegawai dalam golongan, mempercepat pencairan anggaran satuan kerja dapat dihitung berapa orang yang lembaga, mutasi,dan lain-lain. Penting juga diperhatikan, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan faktor standarisasi mutu mental kerja ini juga seperti rencanasangat menentukan Seorang pemimpin yang baik rencana mutu di berjalannya lembaga. adalah yang bisa membesarkan masing-masing Dengan QA yang semangat dan harapan-harapan lembaga seharusnya standar diharapkan kepada anak buahnya. menyesuaikan dapat mengeliminir dengan standar mental kerja yang mutu dari lembagakurang sehat, (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) lembaga akreditasi, sehingga terbangun baik dalam negeri mental dan tradisi maupun luar negeri. yang baik. Dengan diterapkannya QA di sebuah Seperti untuk rencana mutu akademik harus lembaga tidak secara otomatis akan merubah disesuikan dengan standar-standar dalam kinerja lembaga menjadi lebih baik. Masih borang akreditasi Badan Akreditasi Nasional ada lembaga yang telah menerapkan QA Perguruan Tinggi (BAN-PT), misalnya. Dengan tetapi grafik kinerjanya tidak mengalami demikian maka masing-masing lembaga akan peningkatan yang siginifikan, bahkan tetap lebih bersemangat dalam mengikuti standar rendah. Hal itu disebabkan karena tidak mutu yang ada karena menjadi bagian dari adanya konsekwensi, yakni reward bagi yang kebutuhannya. Standar mutu di beberapa kinerjanya bagus dan punishment bagi yang Perguruan Tinggi sementara ini ada yang kinerjanya jelek. Reward dan punishment belum matching dengan standar akreditasi ini dapat diberikan secara personal pegawai BAN-PT sehingga kurang efektif. [Abdul dan institusional lembaga. Untuk tugas dan Mughits]
44
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Pengawasan Pengembangan Model Evaluasi Program Sosialisasi Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) Oleh: Ade Irma Solihah
S
Sosialisasi PPA di Pekanbaru Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
ampai dengan tahun 2010 Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) yang dimiliki Inspektorat Jenderal (Itjen) sudah berusia 7 tahun. Adalah hal yang wajar jika kemudian eksistensinya PPA dipertanyakan. Utamanya berkaitan dengan bagaimana dampak PPA bagi perubahan perilaku peserta yang telah disosialisasi. Hal tersebut tentu menjadi suatu Pekerjaan (PR) besar bagi pengelola program PPA untuk dapat menjawabnya. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mendesain kembali format evaluasi yang akan dilakukan.
Akhir tahun 2008, penulis melakukan riset tentang sikap auditor terhadap PPA. Diperoleh data mean sebesar 75,06. Sebanyak 88% auditor yang menjadi responden memiliki skor diatas mean. Artinya bahwa 88 auditor memiliki sikap positif terhadap program PPA. Sementara dari data form kuesioner yang penulis bagikan kepada peserta pasca pelaksanaan sosialisasi PPA tahun 2009 di Kabupaten Tangerang, secara garis besar peserta menyambut baik pelaksanaan sosialisasi, diperoleh data bahwa 83% peserta memberi nilai baik, 15% menilai cukup dan hanya 2% menilai kurang. Namun, tentu saja Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
45
Pengawasan pengelola program tidak hanya boleh puas dengan hasil penilain kuantitatifnya saja. Evaluasi terhadap sesuatu, dapat diibaratkan sebagai salah satu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah dari sesuatu tersebut. Secara teoritis, ada beberapa ahli menyebutkan tentang makna evaluasi diantaranya Suchman (1961, dalam Anderson 1975) sebagaimana dikutip dalam syikascienceblogspot.com, dinyatakan bahwa evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai dari beberapa kegiatan yang direncanakan. Worthen dan Sanders (1973, dalam Anderson), intinya adalah kedua ahli ini menyebutkan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu, termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan program, produksi, prosedur serta alternatif strategi. Sedangkan Stufflebeam (1971, dalam Fernandes 1984), mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menetukan altenatif keputusan. Dalam memaknai program (Arikunto 2009), ada pengertian khusus dan umum. Secara umum “program” diartikan dengan rencana. Dalam pengertian umum, program adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan atau dalam kurun waktu relatif lama. Sedangkan pengertian khusus program hanya berlangsung dalam waktu singkat, misalnya Sosialisasi PPA, Pelatihan di Kantor Sendiri (PKS), Gelar Pengawasan, dan lain-lain. Jika program dikaitkan
46
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
dengan evaluasi program, maka defenisi program adalah sebagai suatu unit usaha atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Dengan demikian, dilihat dari sisi pengertian khusus dan dikaitkan dengan istilah evaluasi, Sosialisasi PPA merupakan sebuah program. Itu dikarenakan PPA terdiri dari serangkaian kegiatan mulai dari Survei Lokasi, Pemberian Materi Sosialisasi, dan Penyusunan Rencana Aksi. Tujuan Evaluasi Program Menurut Fernandes, pemikiran secara serius mengenai evaluasi program dimulai sejak tahun 80-an, sebagai contoh teori yang dikemukakan oleh Cronbach (1982, dalam Fernandes 1984), tentang pentingnya sebuah rancangan kegiatan evaluasi program. Dilihat dari tujuannya, evaluasi program dapat dikatakan sebagai bentuk dari penelitian, yaitu penelitian evaluatif. Namun terdapat perbedaan antara keduanya, antara lain bahwa pada Penelitian Evalusi Program, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan. Pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah data terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar mutu. Dalam hal ini, penelitian dituntun oleh rumusan masalah. Pelaksana ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, jika belum tercapai maka pelaksana
Pengawasan ingin mengetahui dimana letak kekurangan terlaksana dan apa sebabnya. dan apa sebabnya. Adapun Manfaat evaluasi program, Program merupakan sistem apabila suatu program tidak dievaluasi sedangkan sistem adalah satu kesatuan maka tidak dapat diketahui bagaimana dari beberapa bagian atau komponen dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah program yang saling berkaitan dan bekerja dikeluarkan dapat terlaksana. Wujud dari sama satu dengan lainnya untuk mencapai hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem. dari evaluator untuk mengambil keputusan Sehingga komponen dipandang sebagai (decision maker). Ada 3 (tiga) kemungkinan bagian dari sistem, maka disebut sebagai kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan “subsistem” karena komponen atau subsistem hasil dalam pelaksanaan sebuah program merupakan bagian keputusan, yaitu: dari suatu program (a) Melanjutkan yang merupakan program; (b) Kejujuran adalah makna keadilan itu kata benda, oleh Menghentikan sesungguhnya. karena itu harus program atau c) “Fairness is what justice really is” disebut dalam kata Merevisi program benda. Andaikata Kejujuran mendekati kesalehan. ingin mengetahui Sosialisasi PPA “Honesty is next to godliness” sabar dan tidaknya S o s i a l i s a s i (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) seseorang, maka yang (Wiggins:1994) harus diukur adalah adalah sebuah proses kesabarannya, begitu penanaman atau juga mau mengkur transfer kebiasaan indah tidaknya taman, maka yang harus atau nilai dan aturan dari satu generasi ke diukur adalah keindahannya. generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau Sistem berada dibawah naungan masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut yang lebih besar yang dikenal dengan istilah sosialisasi sebagai teori mengenai peranan suprasistem yang antara suprasistem, sistem (role theory). Karena dalam proses sosialisasi dan subsistem saling berhubungan. Sebagai diajarkan peran-peran yang harus dijalankan contoh: Kementerian Agama, madrasah dan oleh individu. pembelajaran di madrasah. Sosialisasi adalah satu konsep umum Tujuan dari evaluasi program adalah yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses untuk mengetahui pencapaian tujuan program di mana kita belajar melalui interaksi dengan dengan langkah mengetahui keterlaksanaan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, kegiatan program, karena evaluator program dan bertindak, di mana kesemuanya itu ingin mengetahui bagianmana dari komponen merupakan hal-hal yang sangat penting dan sub komponen program yang belum dalam menghasilkan partisipasi sosial yang Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
47
Pengawasan efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup manusia. Sosialisasi PPA adalah kegiatan pembudayaan pengawasan dengan menyampaikan pesan-pesan moral yang dilandasi nilai-nilai agama sehingga bermanfaat dalam pelaksanaan pengawasan fungsional, pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat dalam rangka mencapai keberhasilan dan ketepatan pembangunan nasional. Menentukan Model Desain Evaluasi Pemilihan model evaluasi menjadi penting dikarenakan setiap program memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap model evaluasi memiliki asumsi, pendekatan, terminologi, dan logika berpikir yang berbeda pula. Penggunaan lebih dari satu model dalam suatu evaluasi dapat saja dilakukan dengan kontrol dan pertimbangan akan memunculkan kerancuan dan benturan logika antar model dapat diantisipasi. Meskipun setiap model evaluasi tetap memiliki keterbatasan, namun pemilihan model yang tepat akan berimplikasi langsung terhadap kualitas informasi yang dihasilkan oleh suatu evaluasi. Kualitas informasi dalam suatu evaluasi bisa menjadi ukuran keberhasilan suatu evaluasi. Sebab tujuan utama evaluasi adalah menyediakan informasi bagi pengambil keputusan mengenai suatu program untuk menentukan apakah suatu program dihentikan, diteruskan dengan perbaikan, atau diteruskan dengan pengembangan. Untuk menentukan jenis atau model evaluasi yang hendak digunakan, seorang
48
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
evaluator biasanya mempertimbangkan dua hal yaitu jenis program yang hendak dievaluasi dan tujuan dari program dimaksud. Dari sisi tujuan evaluasi, ada evaluasi yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesenjangan suatu program, tingkat efektifitas suatu program, ada pula evaluasi yang bertujuan untuk menemukan hasil suatu program di luar tujuan program yang direncanakan. Salah seorang tokoh yang mencoba memperkenalkan model evaluasi untuk program-program short-term dengan bidang garapan dan tujuan yang spesifik (misalnya pelatihan, sosialisasi, dan lain-lain) adalah Kirkpatrick. Ia memperkenalkan model evaluasinya pertama kali pada tahun 1959. Model ini diakui memiliki kelebihan karena sifatnya yang menyeluruh, sederhana, dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi pelatihan/sosialiasi (findarticles.com/p/ articles) Disebut menyeluruh karena model evaluasi ini mampu menjangkau semua sisi dari suatu program pelatihan. Dikatakan sederhana karena model ini memiliki alur logika yang sederhana dan mudah dipahami serta kategorisasi yang jelas dan tidak berbelit-belit. Sementara dari sisi penggunaan, model ini bisa digunakan untuk mengevaluasi berbagai macam jenis pelatihan dengan berbagai macam situasi. Menurut Kirkpatrick, evaluasi didefinisikan sebagai kegiatan untuk menentukan tingkat efektifitas suatu program pelatihan. Dalam model Kirkpatrick, evaluasi dilakukan melalui empat tahap evaluasi atau kategori. Tahap ini adalah: (1) Reaction; adalah evaluasi untuk mengetahui tingkat
Pengawasan
Peserta Sosialisasi PPA Balikpapan Kalimantan Timur Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2010
kepuasan peserta terhadap pelaksanaan suatu pelatihan; (2) Learning; adalah evaluasi untuk mengukur tingkat tambahan pengetahuan, ketrampilan maupun perubahan sikap peserta setelah mengikuti pelatihan; (3) Behaviour; adalah evaluasi untuk mengetahui tingkat perubahan perilaku kerja peserta pelatihan setelah kembali ke lingkungan kerjanya; (4) Result; adalah evaluasi untuk mengetahui dampak perubahan perilaku kerja peserta pelatihan terhadap tingkat produktifitas organisasi. Selanjutnya ke empat tahap evaluasi tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut: Reaction Evaluasi terhadap reaksi bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan peserta pelatihan/sosialisasi terhadap penyelenggaraan pelatihan/sosialisasi. Yang menjadi pertanyaan adalah: Mengapa tingkat kepuasan peserta mesti diukur? Apakah ada
relevansinya terhadap pelatihan itu sendiri? Pertama, sesungguhnya evaluasi reaksi ini merupakan evaluasi terhadap proses pelatihan itu sendiri. Kualitas proses atau pelaksanaan suatu pelatihan dapat kita ukur melalui tingkat kepuasan pesertanya. Keduanya berbanding lurus. Semakin bagus pelaksanaan suatu pelatihan, akan semakin bagus pula respon kepuasan peserta terhadap penyelenggaraan suatu pelatihan. Kedua, kepuasan peserta terhadap penyelenggaraan atau proses suatu pelatihan akan berimplikasi langsung terhadap motivasi dan semangat belajar peserta dalam pelatihan. Peserta pelatihan akan belajar dengan lebih baik ketika dia merasa puas dengan suasana dan lingkungan tempat ia belajar. Mengetahui tingkat kepuasan peserta sosialisasi PPA dapat dilakukan dengan mengukur beberapa. Aspek itu antara lain pelayanan panitia penyelenggara, kualitas instruktur/fasilitator, modul/kurikulum Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
49
Pengawasan pelatihan, materi pelatihan, metodelogi, dalam evaluasi tahap kedua ini relatif lebih suasana kelas, fasilitas utama dan fasilitas sulit dan lebih memakan waktu jika dibanding pendukung, kebernilaian dan kebermaknaan dengan mengukur reaksi peserta. Oleh karenanya penggunaan alat isi pelatihan, dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan suatu pelatihan. ukur dan pemilihan waktu yang tepat akan Mengukur reaksi ini relatif mudah karena dapat membantu kita mendapatkan hasil bisa dilakukan dengan menggunakan reaction pengukuran yang sahih dan akurat. Alat ukur yang bisa kita gunakan adalah tes tertulis dan sheet yang berbentuk angket. Evaluasi terhadap reaksi tes kinerja. Tes tertulis kita gunakan untuk sesungguhnya dimaksudkan untuk mengukur tingkat perbaikan pengetahuan mendapatkan respon seasaat peserta dan sikap peserta, sementara tes kinerja terhadap kualitas penyelenggaraan kita gunakan untuk mengetahui tingkat pelatihan/sosialisasi. Oleh karena itu waktu penambahan ketrampilan peserta. Untuk yang paling tepat untuk menyebarkan angket dapat mengetahui tingkat perbaikan aspekaspek tersebut, tes adalah sesaat setelah dilakukan sebelum pelatihan. Kita belajar Sejarah dan sesudah bukan untuk menjadi lebih pandai, program. Learning Tahapan kedua tetapi untuk lebih bijaksana. Menurut dalam mengevaluasi Kirkpatrick, belajar (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) sosialisasi PPA harus dapat didefinisikan dilakukan adalah sebagai perubahan sebelum pelaksanaan sikap mental (attitude), perbaikan pengetahuan, dan atau sosialisasi, seluruh peserta diberikan tes penambahan ketrampilan peserta setelah untuk mengukur aspek perubahan kognitif selesai mengikuti program. Melalui definisi (misalnya pemahaman awal tentang tersebut kita dapat menentukan aspek pengawasan, tentang budaya kerja yang ada apa saja yang mesti diukur dalam evaluasi di Kementerian agama pada wilayahnya, dll. tahap kedua ini. Evaluasi tahap kedua ini Setelah proses sosialisasi selesai, peserta sesungguhnya evaluasi terhadap hasil kemudian diberikan tes kembali untuk diketahui apakah terjadi peningkatan pelatihan. Program dikatakan berhasil ketika pemahaman atau tidak. Selain tes pemahaman, dapat pula aspek-aspek tersebut diatas mengalami perbaikan dengan membandingkan hasil diberikan tes kinerja. Misalnya kepada masingpengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. maisng peserta diminta untuk membuat Semakin tinggi tingkat perbaikannya, rencana aksi pencegahan korupsi. Rencana dikatakan semakin berhasil pula suatu aksi tersebut kemudian dibandingkan dengan program pelatihan. Kegiatan pengukuran realisasinya pada waktu yang berbeda. Jadi,
50
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Pengawasan dengan demikian evaluasi terhadap aspek psikomotorik peserta dapat dipenuhi. Kirkpatrick juga menyarankan penggunaan kelompok pembanding sebagai referensi efek pelatihan terhadap peserta. Kelompok pembanding ini adalah kelompok yang tidak ikut program pelatihan. Kedua kelompok diukur dan diperbandingkan hasil pengukuran keduanya hingga dapat diketahui efek program terhadap peserta. Behaviour Evaluasi terhadap perilaku difokuskan pada perilaku kerja peserta pelatihan setelah mereka kembali ke dalam lingkungan kerjanya. Perilaku yang dimaksud di sini adalah perilaku kerja yang ada hubungannya langsung dengan materi pelatihan, dan bukan perilaku dalam konteks hubungan personal dengan rekan-rekan kerjanya. Jadi, yang ingin diketahui dalam evaluasi ini adalah seberapa jauh perubahan sikap mental (attitude), perbaikan pengetahuan, dan atau penambahan ketrampilan peserta membawa pengaruh langsung terhadap kinerja peserta ketika kembali ke lingkungan kerjanya. Apakah perubahan sikap mental (attitude), perbaikan pengetahuan, dan atau penambahan ketrampilan peserta itu diimplementasikan dalam lingkungan kerja peserta ataukah dibiarkan berkarat dalam diri peserta tanpa pernah diimplementasikan. Mengingat sikap mental itu sangat luas, maka bisa saja kita batasi hanya pada salah satu sikap mental yang menjadi pesan moral PPA, (diambil dari 9 sikap kerja yang dikembangkan di Kemenag; sebagai contoh
Jujur dan memiliki integritas yang tinggi). Untuk hal ini tentu saja harus disusun dan disepakati terlebih dahulu indikator-indikator dari aspek yang akan diukur. Evaluasi perilaku ini dapat dilakukan melalui observasi langsung ke dalam lingkungan kerja peserta. Disamping itu bisa juga melalui wawancara dengan atasan maupun rekan kerja peserta. Mereka diminta untuk memberikan penilaian ada/tidaknya perubahan perilaku atas setiap peserta sebelum versus sesudah mengikuti PPA. Jadi diharapkan akan diketahui perubahan perilaku kerja peserta sebelum dan setelah ikut program. Karena terkadang ada kesulitan untuk mengetahui kinerja peserta sebelum ikut pelatihan, disarankan juga untuk melakukan dokumentasi terhadap catatan kerja peserta sebelum mengikuti pelatihan. Pada program pelatihan yang sifatnya rutin yang merupakan kerjasama suatu institusi dengan penyelenggara pelatihan, mengukur perilaku kerja peserta dapat dilakukan secara simultan dari satu angkatan (lokasi sosialisasi) ke satu angkatan berikutnya. Dalam kasus ini, biasanya pimpinan organisasi atau institusi memegang peranan penting dan biasanya pimpinan organisasilah yang mengambil inisiatif sebab merekalah yang paling berkepentingan dengan hasil pelatihan/sosialisasi. Seringkali peserta pelatihan membutuhkan waktu transisi dalam merubah perilaku kerjanya setelah ikut program. Oleh karena itu sangat disarankan pelaksanaan evaluasi perilaku ini dilakukan dengan terlebih dahulu memberi waktu jeda untuk masa transisi itu. Sementara pakar Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
51
Pengawasan
Keceriaan dan Keakraban Peserta ToT PPA Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
evaluasi menyarankan paling cepat 3 bulan setelah pelatihan berakhir. Disamping itu disarankan juga evaluasi ini dilakukan lebih dari satu kali dalam rentang waktu yang cukup untuk mengetahui apakah perubahan perilaku itu bersifat sementara ataukah permanen. Result Evaluasi terhadap result bertujuan mengetahui dampak perubahan perilaku kerja peserta pelatihan terhadap tingkat produktifitas organisasi. Aspek yang bisa disasar dalam evaluasi ini meliputi misalnya kenaikan produksi, peningkatan kualitas produk, penurunan biaya, penurunan angka kecelakaan kerja baik kualitas maupun kuantitas, penurunan turn over, maupun kenaikan tingkat keuntungan. Jika kita kaitkan dengan sosialisasi PPA, aspek yang bisa kita ukur dalam evaluasi result ini adalah iklim kerja, dan kinerja peserta. Dalam skala yang lebih luas, aspek
52
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
ini bisa dikembangkan menjadi kenaikan peringkat lokasi yang disosialisasi sebagai instansi yang profesional, pandangan masyarakat mengenai kualitas kerja Instansi yang telah disosialisasi, dan lain-lain. Satu hal yang perlu disadari bahwa yang bisa dimasukkan dalam aspek evaluasi result ini tidak hanya melulu yang berhubungan dengan produktifitas/kinerja, namun bisa lebih luas dari itu. Terbangunnya teamwok yang makin solid dan kompak yang berimplikasi langsung terhadap motivasi dan suasana kerja dalam suatu organisasi juga merupakan aspek yang bisa dijadikan pertimbangan dalam evaluasi di tahap ini. Selain melalui observasi langsung dan wawancara dengan pimpinan organisasi, evaluasi terhadap result ini sangat disarankan menggunakan metode dokumentasi. Untuk PPA, dumas yang ada pada lokasi sosialisasi bisa dijadikan bahan yang dievaluasi (melihat apakah misalnya jenis dumas tentang satu hal yang ada sebelum PPA kemudian masih muncul padahal sudah diberikan PPA?).
Pengawasan Dokumentasi terhadap catatan atau laporan organisasi sangat penting digunakan untuk mengetahui dampak pelatihan terhadap produktifitas organisasi. Karena kebanyakan materi program pelatihan tidak berdampak secara langsung terhadap result organisasi, maka evaluasi di tahap ini membutuhkan jeda waktu yang lebih lama dibanding evaluasi terhadap perilaku. Apalagi biasanya perhitungan terhadap aspek-aspek result suatu organisasi dilakukan dalam periode laporan tahunan. Oleh karenanya evaluasi di tahap ini membutuhkan rentang waktu yang lebih lama dalam pelaksanaannya.
dilakukan meski sangat terbatas pada salah satu aspek dari perilaku peserta yang disosialisasi. [Ade Irma Solihah]
Daftar Pustaka Arikunto Suharsimi., 2004, Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis dan Praktis bagi Praktisi Pendidikan, Bumi Aksara: Jakarta. Center Partners. (2006). Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus. Diambil pada tanggal 2 Januari 2008, dari http://www.coe.wayne.edu/eval/pdf. Fitzpatrick Jody L, 2004., Program Evaluation Alternative Approaches and Practical Guidelines Third Edition USA: Penutup Model Kirkpatrick dapat dijadikan Pearson and Education Inc. Sutikno Muzayana., 2007, Evaluasi sebagai salah satu alternatif model dalam menentukan desain evaluasi terhadap Program Pendidikan, Materi Kuliah PPS program sosialisasi PPA. Meski model inipun Universitas Negeri Jakarta. Patton, Michael Quinn., 1987, memiliki kelemahan yaitu mengasumsikan bahwa input dalam suatu program sosialisasi Qualitative Research and Evaluation Methode, dianggap sudah terstandar; dan terdapat Second Edition, Newbury Park London New kesulitan mengukur dampak program Delhi:Sage Publications. Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994. pelatihan terhadap peningkatan kinerja. Hal ini disebabkan karena, sering kali ditemui ”Early Socialization” Inspektorat Jenderal Departemen bahwa peningkatan kinerja dipengaruhi oleh banyak faktor. Apabila dianalogikan, pengaruh Agama, 2009, Modul Pengawasan dengan sosialisasi yang hanya berlangsung 3 hari Pendekatan Agama, Jakarta. Kirkpatrick, Donald. 1998. Evalaution dalam setahun (dan entah kapan lagi dapat disosalisasi kembali) terhadap perbaikan Training Programs: The Four Level. Second kinerja peserta secara khusus dan instansi Edition. San Fransisco: Berrett-Koehler yang diberi sosialisasi secara luas, seperti Publisher, Inc Naugle. (2000). LPMP D.I.Yogyakarta -- “The Services ingin mengukur pengaruh setetes embun di padang pasir. Namun untuk kepentingan for better Education” http://lpmpjogja. pemenuhan curiosity dan keberlangsungan diknas.go.id Powered by Joomla! Generated: program di masa yang akan datang, evaluasi 12 April, 2010. dengan semua tahapannya mutlak harus Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
53
Opini Membumihanguskan Korupsi Oleh: Nurul Badruttamam
R
Program Unggulan PPA Sebagai Upaya Penguatan Character Building dan Pencegahan Terhadap KKN
eformasi Birokrasi tidak akan diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik terwujud, apabila akar masalah harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi yang paling mendasar tidak birokrasi dilaksanakan dalam rangka disentuh sama sekali (mentalitas). mewujudkan tata kelola pemerintahan yang Selama masih subur dan banyak peluang baik (good governance). Dengan kata lain, untuk melakukan korupsi, program kerja reformasi birokrasi adalah langkah strategis reformasi birokrasi yang selama ini digembar- untuk membangun aparatur negara agar gemborkan tidak pernah akan berhasil. lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam Sebab reformasi birokrasi pada mengemban tugas umum pemerintahan dan hakikatnya merupakan upaya untuk pembangunan nasional. Selain itu dengan melakukan pembaharuan dan perubahan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, mendasar terhadap sistem penyelenggaraan teknologi informasi dan komunikasi serta pemerintahan terutama menyangkut perubahan lingkungan strategis menuntut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), birokrasi pemerintahan untuk direformasi ketatalaksanaan (business prosess) dan dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan sumber daya manusia aparatur. masyarakat. Berbagai permasalahan/hambatan Oleh karena itu harus segera yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan diambil langkah-langkah yang bersifat pemerintahan tidak berjalan atau mendasar, komprehensif, dan sistematik,
54
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Opini sehingga tujuan dan sasaran yang telah suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1991), ditetapkan dapat dicapai dengan efektif korupsi berarti buruk, rusak, suka menerima dan efisien. Reformasi di sini merupakan uang sogok, menyelewengkan uang/barang proses pembaharuan yang dilakukan secara milik negara atau perusahaan, menerima bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak uang dengan menggunakan jabatan untuk termasuk upaya dan/atau tindakan yang kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002), bersifat radikal dan revolusioner. Kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Kenapa Bisa Korupsi Webster Dictionary. 1978), atau penggelapan Munculnya multipraktik korupsi di uang negara, perusahaan, dan sebagainya Indonesia bukan saja karena adanya perilaku untuk keuntungan pribadi atau orang lain dan nilai-nilai moral yang membangun niat (Kamus Indonesia Kontemporer:2002). untuk korupsi, tetapi juga akibat adanya Dalam Undang-undang Nomor 28 multikesalahan Tahun 1999: tindak sistem dalam pidana sebagaimana Orang bijak adalah orang yang birokrasi di negeri dimaksud dalam mengerti dan peka ini yang memberikan ketentuan peraturan akan lingkungan disekitarnya. k e s e m p a t a n p e r u n d a n g seseorang untuk undangan yang Setiap kali ada masalah, melakukan praktik mengatur tentang dia merespons dengan sikap tenang korupsi. Maka, untuk tindak pidana korupsi. sambil berpikir mengenai jalan keluar mengatasi korupsi, Sedang dalam yang terbaik. harus dilakukan Undang-Undang pembenahan sistem Nomor 31 tahun 1999 birokrasi secara yang telah diubah holistik dan kontinyu. dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun Korupsi merupakan bagian perilaku 2001: (a) Pada pasal 2: setiap orang yang zalim yang dapat merusak fitrah suci manusia, secara melawan hukum melakukan perbuatan sebab siapapun, dari kalangan apa pun, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain berasal dari manapun, dengan fitrah sucinya atau suatu korporasi yang dapat merugikan pasti akan menolak tindak korupsi ini. Korupsi keuangan negara atau perekonomian negara; menjadi bagian dari perilaku yang zalim dan (b) Pasal 3: setiap orang dengan tujuan menuju pada ketidakadilan. Selama individu menguntungkan diri sendiri atau orang lain masih memiliki hati nurani dan masih terjaga atau suatu korporasi, menyalahgunakan fitrahnya, maka ia akan menentang tindakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ini. Hati nurani menjadi filter terhadap ada padanya karena jabatan atau kedudukan perilaku yang ada. yang dapat merugikan keuangan negara Korupsi memiliki arti busuk, palsu, atau perekonomian negara; (c) Pasal 13: Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
55
Opini setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
publik, tahap korupsi tersebut hanya pada level pemerintahan serta bisnis besar atau raksasa saja, (b) Tahap merajalela (rampant stage), korupsi yang telah menembus di seluruh kehidupan masyarakat dari level manapun, dan (c) Tahap dinamika penghancuran diri (self mutilation stage), tingkat Karakteristik Korupsi korupsi yang sudah berbalik membahayakan Korupsi biasanya dilakukan lebih tingkat kehidupan masyarakat. Dalam dari satu orang (berjamaah), merahasiakan tahap ketiga ini, terjadi kemerosotan motif/serba rahasia, melibatkan keuntungan ekonomi, sehingga pendapatan masyarakat timbal balik, berlindung di balik pembenaran terganggu, konsumsi menurun, investasi hukum, mampu mempengaruhi keputusan, menurun, indeks pertumbuhan ekonomi dan m e n g a n d u n g kesehatan masyarakat penipuan masyarakat merosot, kemiskinan Hanya satu cara bagi manusia untuk jujur umum, melakukan bertambah dan terhadap dirinya sendiri. Jika ia tidak pengkhianatan lain-lain, yang mengetahui apa yang baik, manusia kepercayaan, fungsi secara keseluruhan tidak dapat jujur terhadap dirinya sendiri. ganda kontradiktif masyarakat merasa antara tugas dan lebih menderita “There is only one way for a man to be true peluang dari partner dalam kehidupan to himself. If he does not know what is good, untuk bekerja bernegaranya. a man cannot be true to himself” sama memperoleh Korupsi bisa terjadi ke u n t u n g a n , apabila didukung melanggar norma dan oleh dua faktor melakukan pelanggaran tugas serta kewajiban utama, yakni adanya niat dan kesempatan. sebagai pejabat publik. Karakteristik korupsi Niat pada dasarnya lebih bersifat personal tersebut mencerminkan betapa hebat dan individual, ada dalam setiap masingbesarnya jaringan yang terkait dalam tindak masing orang. Ada tidaknya niat atau besar perilaku korupsi yang ada. kecilnya niat turut menentukan dalam kemungkinan terjadinya tindakan korupsi Tahapan Perilaku dan Tindakan Korupsi di samping adanya kesempatan yang bisa Secara garis besar, korupsi dalam dimanfaatkan. Kesempatan dalam hal ini proses pengembangan perbuatannya lebih sebagai keadaan eksternal di luar diri dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu: (a) masing-masing orang yang memungkinkan Tahap terbatas (limited stage), yaitu korupsi suatu niat bisa terlaksana. Kedua hal ini, yang relatif tidak mempengaruhi wilayah niat dan kesempatan harus mendapatkan kehidupan sosial yang luas dan tanpa beban perhatian secara seksama agar tidak terjadi
56
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Opini kemungkinan tindakan korupsi. Secara lebih luas dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) dinyatakan bahwa penyebab korupsi terdiri dari empat aspek, yaitu: Pertama, aspek individual manusia. Aspek individual manusia, yaitu faktorfaktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi karena sifat tamak, tidak kuat dalam menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup yang wajar, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras serta tidak mengamalkan ajaran agama secara konsisten. Kedua, aspek organisasi. Suatu organisasi dapat menjadi ajang praktik korupasi karena terbuka peluang atau kesempatan bagi pengurus dan anggota untuk melakukan penyimpangan. Praktik penyimpangan tersebut dapat terjadi, karena: (a) Pimpinan satuan organisasi kurang memberikan teladan. (b) Pelaku pelanggaran belum diberi sanksi hukum dan tindakan yang tegas, (c) Pimpinan lambat dalam mengambil keputusan saat terjadi benturan kepenti ngan, (d) Sistem akuntabilitas atau pertanggungjawaban tugas kurang memadai, (e) Pengendahan intern tidak memberikan kewenangan untuk menyelidiki kegiatan pimpinan terutama berkaitan dengan pengeluaran dana yang besar, (f) Jajaran manajemen cenderung menutupi kasus penyimpangan yang terjadi, (g) Reward and punishment belum dilaksanakan secara efektif, dan (h) Tuntutan pimpinan di luar kemampuan organisiasi. Ketiga, aspek lingkungan. Aspek
lingkungan, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat tempat individu/ dan masyarakat berada. Penyimpangan yang terjadi karena: (a) Nilai-nilai yang terjadi dan berlaku di lingkungan masyarakat cenderung mendukung terjadinya penyimpangan, (b) Kurang kesadaran bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktik KKN adalah masyarakat, (c) Kurang kesadaran bahwa masyarakat ikut terlibat dalam praktik KKN baik langsung maupun tidak, (d) Kurang kesadaran bahwa pencegahan praktik KKN hanya akan berhasil apabila masyarakat ikut berperan serta aktif melakukan upaya pencegahan, (e) Penyalahartian pengertian filosofi budaya bangsa Indonesia, misalnya pengertian kekeluargaan disalahartikan sebagai upaya menomorsatukan keluarga atau kerabatnya, dan (f) Kontrol sosial dari masyarakat lemah. Keempat, aspek peraturan perundang-undangan. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu penerbitan peraturan perundangan bersifat monopotistik yang hanya menguntungkan kerabat kroni penguasa negara. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab penyimpangan semakin banyak, yang diakibatkan antara lain: (a) Sosialisasi peraturan perundangan-undangan kurang efektif, (b) Penerapan sanksi tidak konsisten dan pemberlakuan sanksi oleh aparat yang berwenang tidak adil, (c) Penegakan hukum masih lemah dan sanksi yang diberikan terhadap para pelanggar masih terlalu ringan, (d) Sosialisasi, evaluasi, dan revisi perundang-undangan masih lemah. Faktor niat sebagaimana disebutkan Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
57
Opini terdapat dalam aspek individu manusia sedangkan kesempatan dapat berwujud dalam aspek organisasi, lingkungan dan peraturan perundang-undangan. Pembenahan sistem birokrasi dan pengawasan yang efektif akan dapat menghilangkan faktor kesempatan. Sedangkan niat untuk korupsi bisa dieleminasi dengan internalisasi nilai-nilai agama atau dengan pendekatan agama. Oleh karena itu, pengawasan dengan pendekatan agama akan berakibat pada pencegahan perilaku korupsi dan juga segala bentuk penyimpangan lainnya.
Analysis of the Causes Corruption in the Judiciary (1999), bahwa korupsi merupakan bagian tak terpisahkan dari berjalannya suatu pemerintahan negara dan perkembangan budayanya dan adalah mustahil memperbaiki negara tersebut ketika korupsi masih ada. Dengan demikian, perang melawan korupsi merupakan pusat masalah yang harus lebih dulu dipecahkan dalam proses perbaikan suatu negara. Dan untuk membasmi korupsi demi masa depan negara, harus dilakukan secara serius dan tidak boleh main-main. Pertanyaannya, Ketika kamu sedang bekerja. Kerjakan dengan kemauan. Sampai Membumihanguskan apakah kita benarmencapai puncak bukit yang tertinggi. Korupsi benar serius Berbicara memberantas korupsi “When you have a work to do biys. tentang korupsi, atau terus bermainDo it with a will. Those who reach sebagaimana ditulis main dengan korupsi the top boys. Fist must climb the hill” oleh Thomas Koten dan tidak serius untuk yang berjudul m e m b e ra n t a s ny a ? bermain dengan Apakah kita korupsi. Dia mengatakan bahwa sudah tidak menginginkan bangsa dan negara ini dapat dimungkiri lagi bahwa salah satu semakin baik, maju, dan beradab, atau penyebab utama yang merusak Indonesia membiarkannya semakin terpuruk karena dan telah menggiring bangsa ini ke lembah digerogoti wabah korupsi? keterpurukan adalah korupsi. Dan sudah Jangan-jangan, kita, terutama para tidak dapat dimungkiri pula bahwa korupsi di aparat penegak hukum menganggap korupsi negeri ini sudah menjadi penyakit kronis dan di negeri ini bukan hal luar biasa gawat membudaya sejak dulu. Ini pun sudah lama sehingga tidak perlu ditangani secara serius. dipertegas oleh Novelis Pramudya dan Bapak Lalu, apakah seorang Gayus Tambunan yang Bangsa, Bung Hatta. Sehingga, logikanya, jika hanya pegawai golongan IIIA, tetapi dapat bangsa ini ingin selamat, berkembang, maju, mengorupsi pajak hingga puluhan, bahkan dan beradab, praktik dan mentalitas korupsi ratusan miliar rupiah bukan sesuatu yang harus lebih dulu diberantas. luar biasa? Lanjutnya, logika tersebut Perlu ditegaskan lagi bahwa wabah digarisbawahi oleh Edgardo Buscoglia dan korupsi di negeri ini sudah sangat gawat Maria Dakolias dalam tulisan mereka, An dan nasib bangsa ini benar-benar sudah
58
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Opini jadi taruhannya sehingga sangat diperlukan penanganan-penanganan yang sangat serius. Tetapi, ironisnya, para penegak hukum kita, seperti kepolisian dan kejaksaan tampak sekali bermain-main dengan korupsi dan tidak serius menjalankan panggilan tugas sebagai penegak hukum. Keluar masuknya Gayus secara bebas dari rumah tahanan (rutan) setelah menyuap para petugas rutan adalah bukti otentik semua permainan dan ketidakseriusan itu. Ingat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang diharapkan menjadi garda depan pemberantasan korupsi, dipaksa berseteru dengan Polri dalam lakon cicak dan buaya. Penyakit korupsi itu sendiri, di mana sebenarnya bukan hanya telah menjadi budaya bangsa, melainkan sudah begitu sistemis dan sudah menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri dan berjalan secara terstruktur sehingga merupakan kejahatan struktural yang meliputi sistem organisasi dan struktur kekuasaan. Karena itulah, korupsi menjadi sangat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial hingga dapat membelenggu kekuasaan. Inilah yang menggiring seorang penguasa dalam ketidakberdayaan. Kesadaran tentang pentingnya pemberantasan korupsi harus terus diupayakan dan ditumbuhkan di segenap lapisan masyarakat, tidak sekedar slogan atau iklan belaka. Kesadaran tersebut harus bisa menggerakkan setiap individu masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan nyata dalam upaya pemberantasan korupsi sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Peringatan hari anti korupsi sedunia pada
tanggal 9 Desember 2010 dalam berbagai bentuknya harus menjadi momentum penting dan landasan pijak dalam usaha dan upaya pemberantasan korupsi. Unjuk rasa yang berlangsung tidak hanya di Jakarta yang melibatkan ribuan massa tapi juga di kotakota lain di seluruh Indonesia merupakan bahagian dari keprihatinan elemen masyarakat terhadap maraknya korupsi di Indonesia. Peringatan hari anti korupsi sedunia juga melibatkan aparat pemerintahan atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melakukan upacara atau apel untuk menumbuhkan solidaritas dan kesadaran pemberantasan korupsi melalui upaya reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik dengan pelayanan prima serta upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan menumbuhkan kesadaran mulai dari diri sendiri. Upaya-upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Meskipun korupsi bukan hal yang menarik karena seolah-olah telah mendarah-daging dalam sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akan tetapi dampaknya sangat merugikan bagi keseluruhan elemen masyarakat saat ini maupun di masa-masa yang akan datang, baik kerugian material maupun non-material. Karena itu, mau tidak mau, suka atau tidak suka kita semua harus turut bertanggung jawab dan berupaya agar praktik-praktik korupsi bisa diberantas sampai tuntas. Salah satu penyebab korupsi di Indonesia menjadi sukar diberantas adalah Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
59
Opini karena baik pemerintah maupun anggota masyarakat kurang memahami dan mengenali korupsi secara baik tentang jenis-jenis korupsi yang sering terjadi dalam masyarakat dan pemerintahan. Kita harus melakukan kontrol sosial melalui pengawasan dan berperan aktif melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi. Untuk itu, pemahaman akan pengertian korupsi, modus operandi, sanksi dan akibatnya sangat penting untuk dimiliki. Karena itu pula sosialisasi pemberantasan korupsi melalui pendekatan agama di Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap pentingnya upaya pemberantasan korupsi menjadi sangat penting dan strategis. Agama dipandang sebagai kekuatan moral karena perannya sangat penting bagi pemeluknya. Agama dianggap mampu memberikan tuntutan dan motivasi, sehingga manusia memiliki kesanggupan dan kesadaran untuk mengenal diri dan eksistensi Allah SWT dalam perilaku keseharian. Dengan demikian agama memiliki daya konstruktif, regulatif dan reformatif dalam membangun tatanan kehidupan di berbagai dimensi dan aktivitas manusia. Agama memiliki daya tangkal yang efektif terhadap kecenderungan manusia untuk berperilaku menyimpang/negatif seperti KKN. Seluruh daya yang dimiliki tersebut menempatkan agama sebagai bagian penting dalam proses pengawasan. Agama dijadikan salah satu model pendekatan berupa pengawasan melekat, yaitu setiap individu dibangun kesadarannya, digugah nurani dan spiritualnya. Setiap aktivitas yang dilakukan
60
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
merupakan konsekuensi kontrak sosialnya dan implementasi kontrak metafisisnya dengan Tuhan. Namun permasalahan selanjutnya adalah cara/proses pemanfaatan agama dan instrumen yang diperlukan untuk melakukan internalisasi pada setiap individu, dalam hal ini aparatur negara khususnya yang bertugas sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Kementerian Agama RI sudah berusia 65 tahun, usia yang sudah cukup tua, lebih dari setengah Abad. Perjalanan Kementerian Agama sudah cukup panjang, sepanjang perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Berbagai upaya untuk memberikan layanan kepada umat telah dilakukan dan pembenahan terhadap berbagai sisi dan lini juga telah di galakkan, namun secara sadar harus diakui bahwa masih terlalu banyak Pekerjaan Rumah (PR) ke depan yang harus dipikul, tak terkecuali persoalan korupsi yang masih memprihatinkan kita. Memang dalam batas-batas tertentu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan Kementerian Agama telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Namun disadari bahwa upaya tersebut masih memiliki berbagai keterbatasan sesuai dengan besarnya organisasi dan luasnya cakupan wilayah kerja, serta besarnya jumlah pelanggan, maka masukan dan saran serta dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan Kementerian Agama yang bersih dan bebas KKN dapat segera terwujud. Selamat berulang tahun, selamat berkarya dan berjuang, semoga yang kita lakukan bermanfaat bagi kepentingan umat dan bangsa Indonesia. [Nurul Badruttamam]
Opini Budaya Kerja Menuju Reformasi Birokrasi Kementerian Agama Oleh: Mundzier Suparta
P
Menteri Agama Suryadharma Ali dan Para Pejabat Eselon I Kementerian Agama Republik Indonesia
elaksanaan reformasi birokrasi Kementerian Agama terdapat tiga hal mendasar yang menjadi tujuan, yaitu: perubahan cara berpikir (mind setting) yang segera harus dilakukan dan perubahan budaya kerja (culture set), dan perubahan manajemen (change management). Perubahan manajemen yang baik, tidak hanya melihat output, akan tetapi juga pada outcome dan dampak mengurangi atau mempersempit kesempatan untuk melakukan berbagai bentuk penyimpangan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan reformasi birokrasi bertujuan untuk mengubah cara berpikir, budaya kerja, dan perubahan manajemen. Memahami, mengimplementasikan, dan mengembangkan budaya kerja merupakan tugas berat yang
harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku manusia. Budaya kerja dalam reformasi birokrasi dapat dilakukan dalam bentuk penanaman nilai-nilai yang terkandung di dalam institusi, atau sistem kerja, sikap dan perilaku aparatur yang melaksanakan. Interaksi antara ketiga unsur tersebut dan faktor lingkungan yang ada sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Unsur-unsur itu harus diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur Kemenag sehingga menghasilkan kinerja dalam bentuk produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat di bidang urusan agama. Pengembangan budaya kerja menuju reformasi birokrasi Kementerian Agama Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
61
Opini merupakan upaya yang sangat strategis, karena akan mengubah sikap dan perilaku SDM aparatur Kementerian Agama dalam mencapai produktivitas kerja yang tinggi dan siap menghadapi tantangan masa depan. Dengan kata lain, pengembangan budaya kerja bertujuan untuk meningkatkan kinerja Kementerian Agama melalui pembinaan dan perubahan sikap dan perilaku SDM aparatur yang jujur, disiplin, profesional, bertanggung jawab, dan produktif dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Model pendekatan yang digunakan dalam pengembangan budaya kerja melalui tahapan; identifikasi nilai-nilai dasar, identifikasi persepsi kerja, identifikasi sikap kerja, identifikasi perilaku kerja, dan sosialisasi bidaya kerja Kementerian Agama. Sedangkan proses sosialisasi budaya kerja dilakukan melalui tahapan: institusionalisasi, komunikasi, dan internalisasi. Yang dimaksud dengan institusionalisasi adalah tahapan “melembagakan” konsep/disain budaya kerja yang sudah benar-benar disepakati di tingkat pimpinan melalui ketetapan yang mengikat kepada semua aparatur. Berikutnya adalah tahapan “menyampaikan dan membangun pemahaman/penerimaan” melalui berbagai pendekatan komunikasi (lisan, tulisan, pelatihan, simulasi, dan lain-lain). Selanjutnya adalah tahapan “menanamkan dan mematrikan pada jiwa, pemikiran, sikap, dan perilaku” aparatur, sehingga nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja benar-benar mengakar kuat pada setiap individu aparatur, dengan kata lain bahwa budaya kerja telah
62
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
terinternalisasi dengan baik. Dari hasil kajian dokumen dan beberapa naskah yang dimiliki dan diterbitkan oleh Kementerian Agama, kata “ikhlas beramal” dapat diidentifikasi sebagai nilai dasar. Kedudukan Ikhlas Beramal sebagai nilai dasar memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu: Pertama, fungsi jati diri: fungsi ini berlaku bagi individu aparatur Kementerian Agama yang merefleksikan karakter dan kesiapan untuk berbuat “ikhlas beramal”, baik dalam kehidupan diri sendiri, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Kedua, fungsi kinerja: fungsi ini berlaku sebagai landasan komitmen bekerja aparatur yang siap “mengabdikan dirinya”, sejak melamar, bekerja, dan berkarir, dengan penuh “keikhlasan” dan senantiasa meningkatkan “amaliah” (produktivitas dan profesionalitas), untuk melaksanakan tugas dan fungsi Kementerian Agama. Ketiga, fungsi dakwah: fungsi ini berlaku sebagai landasan misi kelembagaan yang menjadi penjaga moral bagi Bangsa Indonesia. Keutamaan dan keberhasilan menebarkan benih semangat “ikhlas beramal” mencerminkan eksistensi Kementerian Agama sebagai “garda reformasi” dan “garda revitalisasi”. Garda reformasi adalah peran pengawal reformasi birokrasi pemerintahan sebagai koreksi atas tindak penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Garda revitalisasi adalah: peran penyeru perbuatan baik dan mencegah/ melawan tindak kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar) serta mengajak berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat). Secara keseluruhan formulasi “ikhlas beramal” sebagai nilai dasar Kementerian
Opini
Pelantikan Sekretaris Baru Itjen Kemenag Maman Taufiqurohman Oleh Menteri Agama Suryadharma Ali
Agama adalah: “Nilai yang melandasi niat yang tulus untuk beramal, bekerja, dan berdakwah sebagai bagian ibadah kepada Allah SWT., diinspirasi oleh pemikiran yang lurus dan benar, dilaksanakan melalui ikhtiar yang terarah untuk kemashlahatan, dan ditujukan dalam rangka pencapaian hasil kerja, yang bermuara kepada kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia lahir dan batin, sebagai wujud berkhidmat kepada bangsa dan negara, organisasi, dan umat”. Dari nilai dasar ini, memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa nilai dasar “ikhlas beramal” menjadi landasan filosofis untuk membentuk persepsi kerja aparatur yang diberlakukan dan dikembangkan Kementerian Agama. Persepsi kerja di lingkungan Kementerian Agama dimaksud adalah melayani, memberdayakan, dan meneladani. Pentingnya nilai dasar ini ditransformasikan untuk dijadikan persepsi kerja, agar nilai dasar menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dan sebagai elemen dari kerangka Budaya Kerja Kementerian Agama. Hubungan antara nilai dasar “ikhlas beramal” dengan persepsi kerja “melayani, memberdayakan, dan meneladani”. Identifikasi persepsi kerja melayani, memberdayakan dan meneladani berdasarkan tugas dan fungsi Kementerian Agama. Secara umum fungsi Kementerian Agama sebagaimana fungsi instansi pemerintahan adalah melayani, memberdayakan, merumuskan/membuat/ menjalankan aturan, mengorganisasikan sumber daya, dan membangun/mengadakan fasilitas/sarana untuk bekerjanya organisasi dan melayani masyarakat. Hubungan antara persepsi kerja dengan sikap kerja Kementerian Agama adalah bahwa bila terhadap aparatur dapat diinternalisasikan tentang persepsi kerja Kementerian Agama yakni bekerja untuk melayani, memberdayakan, dan meneladani, Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
63
Opini maka persepsi kerja dimaksud akan menjadi Dengan penguatan 9 sikap kerja landasan fungsional untuk membentuk 9 yang diarahkan melalui semangat “amar (sembilan) sikap kerja yang dikembangkan di ma’ruf nahi munkar” dan “fastabiqul khairat” lingkungan Kementerian Agama, yakni: dapat membentuk 9 perilaku kerja produktif Pertama, menjunjung tinggi kejujuran Kementerian Agama, yakni: bekerja sesuai dan integritas pada organisasi (jujur dan rencana kerja, mencatat dan melaporkan integritas). Kedua, menjunjung tinggi hasil kerja, menunaikan amanah waktu kerja, etika, akhlak mulia, dan keteladanan (etika, merekam/mencatat/mentabulasi data/ akhlak mulia, dan keteladanan). Ketiga, informasi, melakukan monitoring dan evaluasi, menghormati apa yang diatur dan keputusan melaksanakan pembinaan terhadap bawahan, yang yang telah disepakati (taat hukum dan mmelakukan pelayanan, pembinaan, dan keputusan). Keempat, menunjukkan sikap bimbingan kepada pelanggan, stakeholders, tanggungjawab kepada dan masyarakat, pekerjaan dan mampu melahirkan gagasan Kesuksesan adalah tidak lebih dari pada melaporkan kinerja untuk pengembangan sedikit kedisiplinan sederhana (tanggungjawab dan sistem kerja dan yang di praktekkan setiap hari. akuntabel). Kelima, pelayanan yang menghormati hak-hak dituangkan dalam Rahasia kedisiplinan adalah motivasi. Jika orang lain dan tidak rencana kerja; dan seseorang cukup termotivasi, kedisiplinan mudah menyalahkan memelihara martabat akan terbentuk sendiri. orang lain (hormat diri, harmoni kerja, (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) sejawat). Keenam, hormat pimpinan, mencintai pekerjaan dan pencitraan dan mau bekerja keras (komitmen). Ketujuh, organisasi. menunjukkan sikap keterbukaan dan Secara keseluruhan elemen-elemen kerjasama (transparansi dan koordinasi). yang menjadi kerangka Budaya Kerja Kedelapan, menunjukkan sikap disiplin yang yang akan dikembangkan di lingkungan tinggi (disiplin). Kesembilan, menunjukkan Kementerian Agama, meliputi: nilai dasar, sikap bersahaja dalam hidup dan kehidupan persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja. (bersahaja). Nilai dasar, persepsi kerja, sikap kerja, dan Selanjutnya hal yang harus perilaku kerja pada hakikatnya sudah ada dan dipertimbangkan dan dilakukan adalah terwujud di lingkungan Kementerian Agama, memberikan pemahaman dan keyakinan namun perlu dilakukan upaya “penguatan” bahwa 9 (sembilan) sikap kerja, menjadi agar nilai dasar (tertanam pada jiwa), persepsi landasan afektif bagi pembentukan perilaku kerja (terbentuk pada pemikiran), sikap kerja kerja produktif aparatur yang diberlakukan (terpolakan menjadi sikap dan kepribdian), dan dikembangkan di lingkungan Kementerian dan perilaku kerja (terbiasa dalam bekerja). Agama. [Mundzier Suparta]
64
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Opini Membentuk Karakter dan Watak Kepribadian Oleh: Ade Irma Solihah
D
Pembinaan dan Penguatan Character Building Generasi Islam Sejak Usia Dini
alam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan mempunyai fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk membentuk manusia cerdas yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Tapi mengapa pada era atau pada zaman imperialisme budaya saat ini, tingkat kriminalitas anak-anak dan remaja sangat tinggi dan jumlah mereka yang masuk penjara lebih dari satu juta orang. Mengapa pula banyak siswa (khususnya yang ada pada fase perkembangan remaja) tidak merasa bersalah jika berbohong, sering membolos,
memalak teman sekelas, dan rendah rasa hormat kepada guru, bahkan arsipnet.com menulis bahwa 70% dari 4 juta pecandu narkotika dan zat adiktif (NARKOBA) adalah anak sekolahan. Yang lebih miris adalah kasus seorang pelajar SMU menikam gurunya dengan sebilah pisau tajam karena sang siswa tersinggung setelah diberi nasehat oleh sang guru di depan kelas. Data yang disampaikan oleh salah satu media nasional bulan Januari tahun lalu, sebagai hasil penelitian dari Komnas Perlindungan Anak dan PKBI BKKBN, sungguh membuat kita prihatin dan merinding, terutama para orangtua dan kalangan pendidik. Pasalnya, para remaja dan pelajar di beberapa kota besar di Indonesia sudah begitu jauh terjebak pada pergaulan bebas. Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
65
Opini Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa 62,7% remaja kita SMP/SMA pernah melakukan hubungan seks pranikah; 21,2% pernah melakukan aborsi, 93,7% remaja pernah melakukan ciuman, genital stimulan, oral seks dan yang sangat mencengangkan, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Globalisasi banyak dituduh sebagai kambing hitam luntur dan menurunnya moral seperti perilaku jujur, saling menghormati, toleransi, kasih sayang dan berjiwa luhur manusia Indonesia yang selama ini agung. Kemerostotannya sudah memasuki tahap mengkhawatirkan, bukan lagi sekadar memprihatinkan. Mengapa moral serta perilaku agung dan luhur bisa luntur? Siapa salah dalam hal ini? Benarkah pendidikan yang salah? Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral. Lebih lanjut Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Sahal Mahfudz menilai bahwa pendidikan (formal) agama gagal, karena belum bisa memengaruhi sistem etika dan moral peserta didik. Hal
66
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
inilah yang menurut penulis merupakan salah satu isu kritis dan kontempoter dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pendidikan Budi Pekerti Sebagai suatu materi pendidikan maupun sebuah mata pelajaran, pendidikan budi pekerti timbul tenggelam dalam kurikulum pendidikan nasional di Indonesia. Ada saatnya budi pekerti tampil sebagai mata pelajaran yang dominan dalam kurikulum, kemudian disatukan dengan mata pelajaran lain, lalu terpisah lagi. Pada saat materi budi pekerti diintegrasikan atau disisipkan ke dalam mata pelajaran lain, maka mata pelajaran yang mendapatkan titipan itu adalah yang paling dekat dengan sifat, karakter, atau misi mata pelajaran ini, yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan-perubahan ini mencerminkan pandangan bangsa ini terhadap arti pendidikan budi pekerti, dan sekaligus merefleksikan terjadinya pergulatan pemikiran yang berlangsung sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Hal tersebut juga menggambarkan perubahan kepedulian bangsa ini terhadap pendidikan yang bernuansa etika-moral yang diwakili oleh struktur kurikulumnya. Arena pendidikan nasional juga diwarnai dengan munculnya tema-tema atau idiom-idiom lain yang lebih menonjol atau ditonjolkan. Mulai akhir 1960-an dengan berlakunya Kurikulum 1968 hingga pertengahan tahun 1980-an, tema-tema yang bernuansa (moral) Pancasila sangat mendominasi, seiring dengan kuatnya
Opini kepedulian (bangsa ini, atau pemerintah yang berkuasa) terhadap upaya menjabarkan dan mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam segenap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama pada saat itu dapat dikatakan “terpinggirkan” oleh harubiru semangat pendidikan Pancasila. Memasuki pertengahan tahun 1980an hingga akhir 1990-an, sejalan dengan warna keagamaan sangat mendominasi sistem pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti seakan-akan hilang (kecuali hanya tercantum dalam satu-satu ciri manusia Indonesia seutuhnya dalam tujuan pendidikan nasional). Giliran tema-tema “keimanan dan ketakwaan” (imtak) menurut Supriadi (1996) mendominasi pendidikan nasional yang sekaligus mencerminkan terjadinya “titik balik” dalam kehidupan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih religius setelah sekian lama melalui babak pendidikan yang cenderung sekuler dan bernuansa “budaya abangan” (meminjam Clifford Geertz) model budaya Jawa pada puncak zaman keemasan Orde Baru. Bila dilukiskan dalam sebuah kurva normal, kurun waktu mulai pertengahan tahun 1970-an hingga pertengahan 1980an merupakan puncak kejayaan Orde Baru. Kurun waktu sebelumnya adalah saat Orde Baru membangun landasannya dengan berbasis nasionalisme-sekuler (meskipun tidak pernah dinyatakan secara eksplisit) dan dengan doktrin “pembangunan nasional”. Mulai pertengahan 1980-an, kurva perkembangan Orde Baru mulai menurun, justru pada saat kekuasaannya semakin besar
sehingga sulit dikendalikan, yang kemudian berakhir pada Mei 1998. Yang menarik adalah, pada saat mulai menurun itulah, justru ada keinginan untuk memberikan perhatian yang kuat pada tema-tema keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun, perkembangan ini dapat memberikan konteks terhadap kajian isi kurikulum pendidikan. Era Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidakberdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya. Bangsa ini berusaha mencari kembali akar budayanya, nilai-nilai dasarnya, basic and core values-nya. Maka bertemulah dengan sebuah nama, sebuah kekayaan, sebuah “harta karun” yang dianggap sebagai bagian inti dari budaya bangsa. Pada saat MPR-RI bersidang menyusul ambruknya Orde Baru, mulai berkembang wacana yang kemudian semakin mengental untuk mengangkat (kembali) “harta karun” itu yang diberi nama “budi pekerti”. Sejak saat itulah, kembali pendidikan budi pekerti dihidupkan dan menjadi tema besar dalam sistem pendidikan nasional hingga saat ini yang mendapatkan tekanan kuat dalam GBHN. Seperti lazimnya, orang segera melirik kurikulum pendidikan nasional -yang ternyata sejak tahun 1975 tidak lagi secara khusus mencantumkan budi pekerti. Dengan semangat yang menyala-nyala, ibarat ingin menebus “kekeliruan” di masa lalu -mungkin juga disertai rasa bersalah (guilty feeling) -- maka bangsa ini segera menunjuk kurikulum pendidikan sebagai sarana yang efektif untuk mengembangkan budi pekerti. Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
67
Opini
Oase Spiritualitas Pegawai Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan budi pekerti pertama kali diperkenalkan dalam Kurikulum 1947 sebagai salah satu dari 16 mata pelajaran di SD yang berdiri sendiri dan terpisah dari Pendidikan Agama. Jumlah jam pelajarannya meningkat seiring dengan meningkatnya kelas, masingmasing untuk kelas I-VI adalah 1-1-2-2-2-3 jam per minggu. Pendidikan Agama yang diputuskan melalui Ketetapan Bersama Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama malah baru dimulai sejak kelas IV SD reguler masing-masing 2 jam per minggu. Bahkan di SD yang diselenggarakan sore hari, Pendidikan Agama baru diberikan di kelas V-VI masing-masing dengan 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu, pendidikan budi pekerti mendapatkan perhatian yang lebih besar (artinya dianggap lebih penting) daripada pendidikan agama. Isi pendidikan budi pekerti saat itu lebih banyak berupa sopan santun, etika, sikap hormat dan saling menghargai -- dalam arti berdasarkan 68
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
acuan-acuan nilai budaya - dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat, keluarga, dan sekolah. Pada tahun 1964, Kurikulum SD 1947 diubah dengan Kurikulum Sekolah Rakyat (SR). Dalam kurikulum ini, pendidikan budi pekerti yang semula terpisah dari pendidikan agama, disatukan dalam mata pelajaran yang disebut “Agama/Budi Pekerti”. Mata pelajaran ini berada dalam kelompok Perkembangan Moral bersama Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan gabungan dari Sejarah, Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan. Jumlah jam pelajarannya lebih sedikit lagi (artinya terjadi penciutan materi) dibandingkan dengan pada kurikulum sebelumnya, masing-masing untuk kelas I-VI adalah 1-2-2-2-2-2 jam pelajaran per minggu. Dalam pola ini, pendidikan budi pekerti “dititipkan” ke dalam pendidikan agama. Pada Sekolah Pribumi Kelas Dua” (Tweede Inlandsche School) pendidikan budi pekerti (PBP) disampaikan melalui ceritacerita atau dongeng. Di bagian inilah moral
Opini cerita dirumuskan. Dalam zaman Pendudukan yang bahkan “membawahi” mata pelajaran Jepang, PBP diberikan dalam bentuk Pendidikan Agama. Jumlah jam Pendidikan indoktrinasi. Dan dalam zaman reformasi Agama itu sendiri cukup banyak, yaitu 2-2-3sampai sekarang fungsi PBP diambil alih oleh 4-4-4 di kelas I-VI SD, sama seperti Pendidikan pendidikan agama, dan dilaksanakan melalui Kewarganegaraan. Pergeseran ini sangat pendekatan khotbah atau nasihat. dapat dimaklumi, mengingat semangat Orde Pada pertengahan tahun 1960-an, Baru ketika pertama kali naik ke panggung saat kurikulum 1964 baru berjalan setahun, kekuasaan adalah “melaksanakan Pancasila situasi politik berubah menyusul terjadinya dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” G-30 S/PKI, dan arah pendidikan pun ikut -- apa pun tekad ini diartikan. berubah. Namun baru tiga tahun kemudian Kurikulum 1975 datang menggantikan berhasil disusun kurikulum baru, yaitu Kurikulum 1968. Dalam kurikulum ini, Kurikulum 1968. Pendidikan Agama kembali berdiri sendiri Salah satu prinsip yang melandasi dengan jumlah jam 2-2-2-3-3-3, terpisah kurikulum SD ini ialah bahwa dasar pendidikan dari Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang nasional adalah falsafah Pancasila, tujuan masing-masing memiliki 2 jam pelajaran pendidikan nasional adalah membentuk per minggu. Menarik dicatat bahwa dalam manusia Pancasila sejati, dan isi pendidikan kurikulum ini, diperkenalkan istilah ”moral terdiri atas tiga hal, yaitu mempertinggi Pancasila” dengan maksud untuk memberikan mental budi pekerti dan memperkuat penekanan bahwa Pancasila merupakan keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan acuan dasar dalam pengembangan moral dan keterampilan, serta membina fisik yang peserta didik di sekolah. Di mana gerangan kuat dan sehat. pendidikan budi pekerti berada?. Karakteristik yang menonjol dalam Sebagai sebuah nama, pendidikan kurikulum ini ialah munculnya kelompok budi pekerti memang telah hilang sejak Pembinaan Jiwa Pancasila sebagai komponen berlakunya Kurikulum 1968, dan semakin yang dominan yang meliputi Pendidikan diperkuat lagi dengan Kurikulum 1975. Namun Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, bila disimak isinya, pendidikan budi pekerti Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan terkandung dalam PMP dan Pendidikan Bahasa Daerah, dan Pendidikan Olahraga. Agama, tetapi tidak lagi dieksplisitkan; Dalam Kurikulum SD 1968, pendidikan artinya dipandang tidak lagi terlalu penting budi pekerti tidak lagi muncul sebagai sebuah untuk diberi tempat khusus. nama mata pelajaran, baik berdiri sendiri maupun digandengkan dengan pendidikan Respon Masyarakat agama seperti pada kurikulum sebelumnya. Sejumlah pendidik dan pemerhati Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pendidikan yang tergabung dalam Forum pergeseran orientasi pendidikan dengan Komunikasi pemerhati Pendidikan Yogyakarta mengangkat secara kuat Pendidikan Pancasila meminta sekolah berinisiatif sendiri untuk Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
69
Opini kembali menyelenggarakan mata pelajaran budi pekerti. Dihapusnya mata pelajaran ini berakibat pada pendidikan yang miskin etika dan nilai budaya. Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta (FKPPY) Gideon Hartono mengatakan, meskipun tidak ada dalam kurikulum nasional, sekolah bisa berinisiatif sendiri menambahkan mata pelajaran budi pekerti. Ini dimungkinkan dengan berlaku kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang memberi kelonggaran sekolah mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan. “Pelajaran setidaknya diselenggarakan satu jam sepekan, sebagai tambahan muatan lokal di sekolah. Menurut Gideon, meskipun dengan nama berbeda, sejumlah sekolah di Yogyakarta telah berinisiatif menyelenggarakan pelajaran tambahan budi pekerti. Di SD Budaya Wacana, misalnya, pendidikan budi pekerti dinamai Pembangunan Karakter dan sudah berlangsung selama enam tahun terakhir. Gerakan ini dimaksudkan sebagai gerakan moral yang bisa menyebar ke seluruh Indonesia. “Materinya mirip dengan pelajaran budi pekerti yang dulu ada, seperti ajaran menghormati orangtua, menghargai orang lain, tata krama, serta menggali nilainilai kearifan lokal sendiri,”. Dalam berita kapanlagi.com edisi Rabu 2 Mei 2007 tertulis Sepuluh rektor perguruan tinggi tersebut berasal dari UGM, UII, Universitas Atmajaya, Universitas Janabadra, UPN Veteran, UIN Sunan Klijaga, Universitas Taman Siswa, Universitas Sanata Dharma, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Menurut Sofian (Rektor
70
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
UGM) , saat ini tercatat 70 persen perguruan tinggi negeri tidak lagi mengajarkan kuliah Pancasila. Lebih lanjut disebutkan “Selama ini pendidikan Pancasila terus tereduksi dan dikhawatirkan pada suatu saat nanti akan hilang sama sekali dari kurikulum pendidikan,” Kekhawatiran ini wajar muncul karena Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang dapat merekatkan berbagai macam paham di Indonesia, atau merekatkan keping-keping bangsa. “Karena itu, akan ada masalah besar yang bakal dihadapi bangsa Indonesia jika nilai-nilai Pancasila itu tidak ditanamkan dalam dada dan jiwa generasi penerus bangsa,” katanya. Analisa Kebijakan pemerintah yang pada akhirnya menjadikan pendidikan pancasila dan budi pekerti bukan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, melainkan diajarkan dengan pendekatan integrasi ke dalam mata pelajaran yang relevan (jika perlu semua mata pelajaran yang diajarkan) menurut penulis adalah lebih tepat. Pemerintah mengharapkan dengan pendekatan ini setiap guru mengajarkan substansi mata pelajarannya dengan memberikan nilai-nilai budi yang terkandung dalam 36 butir yang dapat mewarnai sifat-sifat manusia Indonesia sehingga nilai ke-36 butir tersebut menjadi sebuah moral dan karakter bangsa. Pengintegrasian ini sangat masuk akal karena dalam setiap mata pelajaran pada hakikatnya selalu mengandung dua aspek yang tidak dapat dilepaskan, yakni aspek materi dan aspek nilai. Jika guru telah mengintegrasikan keduanya, maka pada
Opini hakekatnya guru itu telah melaksanakan proses pengajaran dan pendidikan dalam arti yang sebenar-benarnya karena hampir dapat dipastikan, semua pihak sepakat bahwa budi pekerti dan moralitas anak didik sekarang ini akan menentukan nasib bangsa ini di masa yang akan datang. Oleh karena itu menjadi sebuah harga mati untuk membentuk budi pekerti yang luhur pada anak didik pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Pendidikan, tepatnya usaha pembelajaran di sekolah, sebagai usaha sadar yang diarahkan dalam rangka meningkatkan kualitas eksistensialitas manusia, tentu tidak dapat dilepaskan sedikitpun dari moralitas bahkan semestinya penentuan penilaian akan keberhasilan suatu pembelajaran dalam pendidikan pada materi pelajaran apa pun tidak dapat dilepaskan dari nilai moral yang didapat oleh anak didik ketika telah menyelesaikan suatu pembelajaran materi pelajaran tertentu. Kemestian mengikutkan nilai moral dalam setiap aktivitas pembelajaran di sekolah, apalagi dalam setiap materi pelajaran memang bukan sesuatu yang baru namun sayangnya fenomena pembelajaran di sekolah, pada materi-materi pelajaran tertentu justru enggan mengikut sertakan nilai-nilai moral yang mesti tentunya disampaikan melalui materi pelajaran tersebut. Jadi dengan ringkas dapat dikatakan bahwa pembelajaran materi apapun dalam pendidikan mesti mengikutkan nilai-nilai moral disamping pengetahuan yang akan diberikan tersebut, bahkan yang pertama merupakan sesuatu yang sangat esensial, sekaligus sasaran utama dalam penilaian
keberhasilan pembelajaran pendidikan, tanpa keberhasilan meraih yang pertama ini maka dapat dikatakan kegagalan dalam pembelajaran pendidikan di sekolah khususnya dan pendidikan dalam artian luas. Sebuah tulisan menarik, Samuel Smiles (1887) mencatat dalam bukunya Life and Labor: “tanamkan pemikiran, dan kamu akan memanen tindakan. Tanamkan tindakan, dan kamu akan memanen kebiasaan. Tanamkan kebiasaan, dan kamu akan meraih karakter. Tanamkan karakter dan kamu akan memanen tujuan” Saran Seluruh komponen yang terlibat dalam sektor pendidikan hendaknya mendukung dan mengupayakan reaktualisasi pendidikan (nilai luhur) pancasila sebagai dasar dan landasan filosofis pendidikan salah satunya melalui spiritualisasi pendidikan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya penanaman nilai-nilai baik itu lebih berkaitan dengan ranah afeksi dan psikomotorik. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi agenda yang harus di transfer oleh seluruh pendidik melalui pembiasaan dan keteladanan. Pendidik sebagai elemen penting dalam dunia pendidikan hendaknya tidak mendominasi jalannya proses pembelajaran. Pembelajaran sebaiknya didesain dengan metode partisipatif yang melibatkan peserta didik dan bertumpu pada nilai-nilai demokrasi dan kebebasan anak didik. [Ade Irma Solihah]
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
71
Hikmah Pergantian Tahun Momentum Muhasabah dan Syifaul Qolbi Pegawai Oleh: Khalilurrahman
Pembinaan Rohani dan Pelatihan Sholat Khusyu’ Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
P
ada Desember 2010, umat Islam memasuki dua peristiwa pergantian tahun yaitu peristiwa pergantian hijriah dan masehi. Pergantian tahun baru hijriah 1432 H telah berlalu pada tanggal 7 Desember 2010 dan sesaat lagi peristiwa pergantian tahun masehi akan segera tiba. Pergantian tahun bukanlah peristiwa yang istimewa bagi mereka yang tidak dapat mengambil ibrah dari peristiwa tersebut. Bagi mereka yang pandai mengambil hikmah dari pergantian tahun, tentunya banyak hal dan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan peristiwa pergantian tahun tersebut. Bagi pegawai, seyogyanya pergantian tahun dapat dijadikan momentum untuk muhasabah dan syifaul qolbi.
72
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Muhasabah Pegawai Aktifitas dan rutinitas kerja yang berlangsung di lingkungan kerja setahun lamanya tentu membawa pengaruh dan hasil yang dapat dilihat dan dievaluasi pegawai. Terakadang pengaruh dan hasil tersebut menyenangkan dan sesuai target dan rencana dan adakalanya pengaruh dan hasil tersebut mengecewakan dan jauh dari harapan dan rencana. Hasil yang diperoleh dari aktifitas selama setahun itu, baik hasil yang menyenangkan maupun mengecewakan seharusnya menjadi bahan muhasabah (introspeksi diri) pegawai untuk memacu dan memperbaiki kelemahan yang terjadi. Muhasabah bagi pegawai merupakan sarana untuk meningkatkan semangat baru dalam melakukan perpindahan (hijrah)
Hikmah dari kegagalan program dan kegiatan menuju kesuksesan, kebodohan menuju kepandaian, kemalasan menuju kepandaian, keterlambatan menuju kedisiplinan, kemunduran menuju kemajuan, kemaksiatan menuju ketaatan. Muhasabah menjadi penting tidak hanya dalam meningkatkan kerja pegawai tetapi juga sangat efektif untuk membersihkan dosa-dosa yang diakibatkan oleh kelalaian atau kesengajaan pegawai di saat melaksanakan program dan kegiatan. Tingginya beban kerja dan beratnya tugas yang diemban yang terkadang tidak sebanding dengan upah dan gaji yang diterima menyebabkan pegawai melakukan penyimpangan-penyimpangan (korupsi). Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, banyak pihak yang dirugikan baik pribadi pegawai, institusi, rakyat dan negara. Yang perlu disadarin pula bahwa penyimpangan itu juga menimbulkan dosa bagi pegawai yang bersangkutan yang tentunya mendapat murka Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. Agar pegawai tersebut tidak larut dan terus menerus dalam jurang maksiat dan dosa dan mendapat murkaNya, muhasabah merupakan sarana untuk penyadaran diri untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan di masa mendatang. Umar ibn Khattab pernah berpesan, “Lakukanlah muhasabah (introspeksi/ perhitungan) diri saat ini (di dunia) sebelum diintrospeksi nanti di akhirat kelak, karena hal itu lebih baik dan meringankan kamu daripada kamu dihisab di akhirat kelak”. Dalam Al-Quran Allah telah memperingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (AlHasyr: 18) Momentum Syifaul Qolbi Ketika maksiat dan dosa sudah terjadi dan agar hal itu tidak menumpuk di hati pegawai karena dosa yang menumpuk akan mengeraskan hati, perlu ditempuh upaya pembersihan jiwa dan penyembuhan penyakit hati. Banyak amaliah-amaliah yang dianjurkan para ulama yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan hati yang keras akibat maksiat dan dosa. Dalam kitab Madârijus Sâlikin, al–Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi menyebutkan sebab-sebab yang mewariskan hati menjadi keras, antara lain adalah dosa, maksiat dan terlalu banyak melakukan hal yang diperbolehkan (mubah) seperti banyak bicara tanpa zikir kepada Allah, banyak makan tanpa perlu atau di luar batas, banyak tidur dan banyak bergaul yang tidak bermanfaat. Orang yang hatinya keras tidak mau menerima hidayah, enggan dan benci mendengarkan ayat-ayat al-Quran atau dalil al-Qur’an dan Hadits, sulit untuk mengeluarkan hartanya untuk disedekahkan kepada mustahiqnya. Banyak para ulama, khususnya ulama tasawuf, yang menjelaskan metode pengobatan hati yang telah dipenuhi maksiat dan dosa sehingga menjadi penyebab kerasnya hati. Di antaranya adalah penjelasan yang diberikan oleh as-Sayyid Abu Bakar bin as-Sayyid Muhammad Syathâ ad-Dimyathi dalam kitabnya Kifâyatul Atqiyâ Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
73
Hikmah wa Minhâjul Ashfiyâ yang merupakan Syarah daya pandang untuk melihat seisi ruangan, Manzhumah Hidayah al-Azkiyâ ilâ Tharîqil sedangkan hati yang kotor ibarat kaca Auliyâ karya Zainuddin bin Ali al-Malîbâriy. yang penuh dengan debu semakin banyak Dalam karyanya, beliau menjelaskan ada lima debu yang menempel pada kaca tersebut perkara yang dapat menjadi obat penyembuh maka akan menghambat dan menghalangi hati (syifaul qalbi). cahaya masuk dan menghalangi pandangan Pertama, tilawatun bitadabburil penglihatan. ma’na, membaca al-Quran dengan Kedua, walilbathnil khalâ, menghayati dan meresapi maknanya. Allah mengosongkan perut (berpuasa). SWT menurunkan al-Quran bukan sekedar Mengosongkan perut dapat menjadi obat dibaca untuk pembukaan perayaan hari hati karena di dalamnya dapat melegakan, besar Islam atau musabaqah tilawatil quran menyenangkan hati (râhatul qalbi) dan atau ditulis salah satu ayatnya sebagai jimat menghindari diri dari penyalahgunaan (kufur) atau pengusir setan atau jin, tetapi al-Quran atas nikmat yang diberikan Allah (as-salamah diturunkan sebagai petunjuk bagi bagi minaththughyân wal bathor). Di samping manusia dan pembeda itu mengosongkan antara haq dan batil. perut juga dapat Kegigihan adalah kekuatan yang tidak Agar pegawai dapat meringankan badan kelihatan, yang bisa menyingkirkan rintangan menjadikannya untuk ibadah (khiffatul rintangan besar. sebagai petunjuk dan badan lil ibadah) (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) pembeda antara haq dan menolak bahaya dan batil maka ia harus dan segala penyakit mampu membacanya, (daf’ul amrâdl). memahami dan meresapi maknanya. Allah Terdapat beberapa hadis yang memuji perut SWT berfirman, “Ini adalah sebuah kitab kosong dan mencela perut terlalu kenyang yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan di antaranya hadis sahih dari A’isyah r.a. dari berkah supaya mereka memperhatikan ayat- Nabi SAW bersabda, “Bencana yang menimpa ayatNya dan supaya mendapat pelajaran umat ini setelah nabinya adalah kekenyangan orang-orang yang mempunyai fikiran” (Q.S karena suatu kaum ketika perutnya kenyang, .Ash-Shaad: 29). badannya akan bertambah gemuk sehingga Membaca al-Quran dengan meresapi lemahlah hatinya dan syahwatnya tambah dan menghayati maknanya akan membuat bergelora (H.R. Bukhari). Dengan penjelasan hati lapang dan bersinar, bercahaya sehingga ini jelas bahwa manfaat puasa dengan cahaya (nur) ilahi akan mudah masuk karena mengosongkan perut tidak hanya dapat hati yang bersih ibarat kaca yang bersih dan meringankan badan untuk ibadah, menolak terang semakin kaca itu bersih maka akan berbagai penyakit tetapi dapat pula meredam semakin mudah cahaya masuk dan menerangi gelora nafsu. ruangan di sekitarnya dan memudahkan Ketiga, waqiyamu lailin, banyak
74
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Hikmah bangun malam (qiyamullail). Yang dimaksud qiyamullail adalah shalat dan segala amalan yang berbentuk ibadah kepada Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan Imam as-Showi dalam tafsir As-Shôwi ketika menafsirkan ayat 1 surat al-Muzammil, qumillail disini adalah qum lishalat wal ibadah. Dalam bulan Ramadhan, shalat taraweh dan witir dapat dikategorikan qiyamullail di samping shalat tahajjud. Manfaat bangun malam (qiyamullail) di antarnya yang banyak dijelaskan dalam kitab-kitab tashawuf yaitu dapat menghilangkan tipu daya setan, dan menghapus dosa, qiyamullail juga dapat menolak penyakit dari tubuh mendapat ridlo Allah SWT dan kebiasaan orang-orang shaleh. Dalam Surat Al-Muzammil ayat 6 Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” Demikian pula dalam surat Al-Isra ayat 79, Allah SWT berfirman, “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. Keempat, wattadlorru’u bissahari, bersikap tadlarru’ (rendah diri di hadapan Allah) pada waktu sahur termasuk ketika berdo’a atau memperbanyak berzikir pada waktu sahur. Waktu sahur adalah waktu bermunajat dan berdoa kepada Allah SWT. Dalam kitab shohihain, Abu Hurairah RA. berkata, Nabi SAW bersabda, “Tuhan Kami turun setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir,” lalu Ia berkata, “Barangsiapa berdoa kepadaKu
niscaya akan kuterima, barangsiapa yang meminta kepadaKu niscaya akan kuberi, dan barang siapa yang memohon ampun kepadaKu niscaya akan Aku ampuni.” (H.R. Bukhori Muslim). Waktu sahur (menjelang subuh) menurut Imam Nawawi al-Banteni dalam Nashoihul Ibad adalah waktu yang di dalamnya mengandung ketenangan dan waktu diturunkannya rahmat AllahSWT. Kelima, wamujâlisâtusshâlihînal fudlalâ, banyak hadir dan berkumpul di majilis orang-orang shaleh yang mulia. Orang-orang sholeh adalah mereka yang senantiasa melaksanakan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Berkumpul dengan orangorang sholeh dapat menjadi obat hati karena dengan banyak berkumpul dengan mereka akan mendatangkan qudwah (teladan) tentang perbuatan, ucapan dan tingkah laku mereka yang mulia dan terpuji. Berkumpul dengan orang-orang sholeh mendorong jiwa untuk senatiasa dekat dan berbakti kepada Allah, menunaikan hak-hak Allah dan hakhak hamba. Berkumpul dengan orang-orang sholeh juga dapat memberikan motivasi untuk senantiasa mengerjakan amal sholeh yang akan menghantarkan dirinya meraih kebahagiaan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Dalam surat az-Zukhruf ayat 67, Allah SWT berfirman, “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” Dengan cara inilah, niscaya pegawai akan selamat dari kerasnya hati dan dapat menjadi pegawai yang memiliki pribadi yang suci, penuh prestasi kerja yang berguna bagi pribadi dan instansi. Amin. [Khalilurrahman] Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
75
Randang
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893). MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
76
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Randang Pasal 1 (1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi: a. zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. (2) Zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau yang disetarakan dengan uang. Pasal 2 Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 4 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Agustus 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
77
Resensi Buku
Judul
: Audit Investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2010 Penulis : Tim Penulis Itjen Penerbit : Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Terbit : September 2010 Tebal : 45 Halaman
B
u ku b a r u ka r ya t i m p e n u l i s Inspektorat Jenderal Kementerian Agama ini berjudul“Audit Investigasi” yang nantinya akan menjadi rujukan, ajuan dan panduan bagi para auditor dalam menjalankan tugasnya, tentunya dalam rangka meningkatkan kualitas dan profesionalitas auditor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Audit Investigasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kebenaran a d a nya i n d i ka s i p e ny i m p a n ga n ata u penyalahgunaan wewenang terhadap peraturan dan perundangan-undangan, juga untuk memperoleh informasi terhadap indikasi penyimpangan kebijakan termasuk pengaturan, perencanaan, dan pelaksanaan yang juga dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme serta bentuk penyimpangan lainnya. Audit Investigasi dimaksud dapat juga dilakukan berdasarkan permintaan pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama, pengembangan dari audit kinerja atau dilaksanakan berdasarkan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya p e ny i m p a n ga n ata u p e nya l a h g u n a a n wewenang di lingkungan Kementerian
78
Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV 2010
Agama. Dalam buku Pedoman Audit Investigasi ini disusun dalam 5 (lima) bab sebagai berikut: Bab Pendahuluan yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, dasar hukum, ruang lingkup pedoman, dan sistematika buku pedoman. Bab Audit Investigasi menjelaskan secara garis besar mengenai pengertian, dasar penugasan, prosedur penanganan informasi awal, dan Standar Audit. Ketiga, bab persiapan audi. Dalam bab ini memperdalam tentang dasar audit, sasaran dan ruang lingkup audit, penyusunan program kerja audit, jangka waktu dan anggaran biaya audit dokumentasi persiapan audit. Bab Pelaksanaan Audit, dalam bab ini menguraikan tentang pembicaraan pendahuluan dengan auditan, pelaksanaan audit Investigasi dan pembicaraan akhir audit. Bab Pelaporan Hasil Audit dan Tindak Lanjut, menguraikan tentang pelaporan secara umum, proses pelaporan, bentuk dan susunan Laporan Hasil Audit dan penyampaian laporan serta pemantauan tindak lanjut hasil audit. Selanjutnya dalam lampirannya dilengkapi beberapa form yang ada kaitannya dengan Audit Investigasi [Nurul Badruttamam]
Resensi Buku
Judul
: Audit Perencanaan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2010 Penulis : Tim Penulis Itjen Penerbit : Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Terbit : September 2010 Tebal : 49 Halaman
D
alam isi buku “Audit Perencanaan” ini memulai penjelasan tentang bagaimana pelaksanaan kegiatan, sering ditemukan kegagalan atau tidak optimalnya pelaksanaan kegiatan diantaranya disebabkan karena kesalahan perencanaan. Kesalahan perencanan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti penyusunan rencana kegiatan yang belum mengakomodir kebutuhan instansi, perencanaan tidak realistis sehingga relatif sulit untuk dilaksanakan, tidak dilakukan survei harga sehingga penetapan harga tidak dapat diyakini kewajarannya, adanya pengaruh politis sehingga mengabaikan pertimbangan teknis, perencanaan tidak sesuai ketentuan dan sebagainya. Sehingga perencanaan kegiatan yang baik, seyogyanya mempertimbangkan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan instansi, kemampuan sumber daya dan sumber dana yang akan digunakan, mekanisme pengawasan dalam penyusunan perencanaan, kesesuaian dengan peraturan, tujuan akhir yang dikehendaki, sasaran-sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya serta jangka waktu mencapai sasaran-sasaran tersebut. U nt u k d a p at m e n i l a i a p a ka h perencanaan kegiatan sudah sesuai dengan ketentuan dan kriteria tersebut di atas, maka
diperlukan audit atas kegiatan perencanaan untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan perencanaan yang dapat mengakibatkan terhambatnya atau tidak tercapainya pelaksanaan kegiatan secara optimal. Buku ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama Pendahuluan, bab ini menguraikan tentang gambaran umum pedoman yang meliputi latar belakang, dasar hukum, tujuan dan sasaran, ruang lingkup, dan sistematika pedoman audit perencanaan. Bab kedua Audit atas Perencanaan, terdiri dari subbab konsep dasar perencanaan, konsep dasar audit perencanaan, manfaat audit perencanaan dan tahapan audit perencanaan. Bab ketiga Perencanaan Audit, menjelaskan tentang persiapan audit yang harus dilakukan meliputi tujuan, informasi yang harus diperoleh, pihak-pihak yang terkait yang menjadi mitra kerja saat melakukan audit, teknik dan metode yang digunakan, serta langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan perencanaan audit. Bab Keempat Pelaksanaan audit dan di bab terakhir menjelaskan tentang Laporan Hasil Audit dan Pemantauan tindak lanjut serta dilampiri beberapa form yang ada kaitannnya dengan Audit Perencanaan. [Ali Ghozi] Fokus Pengawasan Nomor 28 Tahun VII Triwulan IV
79
Fokus Foto Itjen
Serah Terima Jabatan Sekretaris Baru Itjen Maman Taufiqurohman Disaksikan Irjen Mundzier Suparta
Irjen Mundzier Suparta Saat Halal Bi Halal dan Silaturrahim Keluarga Besar Kementerian Agama
Halal Bi Halal dan ilaturrahim Keluarga Besar Kementerian Agama
Monev Embarkasi Haji 1431 H/2010 M Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo JawaTengah
Evaluasi Realisasi Kinerja Triwulan IV Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Program Unggulan Itjen Kemenag Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA)