PENGAWASAN F.O.K.U.S
Tegas dan Mandiri
Nomor 25 Tahun VII Triwulan I 2010
Evaluasi Program Kerja 100 Hari Kementerian Agama: “Capaian dan Tantangan”
ISSN 1978-7634
Diterbitkan Oleh: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
Daftar Isi
Fokus FokusPengawasan Pengawasan
a. Diterbitkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2010
SURAT PEMBACA ......................................... 3 DARI REDAKSI .............................................. 4
2
Dewan Penyunting: Pembina : Mundzier Suparta Pengarah : Ichtijono, Mukhayat, Achmad Ghufron, Burhanuddin, Achmad Zaenuddin. Dewan Redaksi: Penanggung jawab: Abdul Karim Ketua : Maman Taufiqurrohman Sekretaris: Budi Setyo Hartoto Anggota : O. Sholehuddin, Kusoy, Maman Saepulloh, Anshori, Sukarma, Nur Arifin, Nugraha Stiawan, Noer Alya Fitra. Redaksi : Miftahul Huda, Ali Ghozi. Sirkulasi : Miftahul Hidayat Produksi : Hariyono Alamat Redaksi: Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, Jalan RS. Fatmawati Nomor 33A Cipete Jakarta Selatan 12420 PO. BOX 3867, Telp. (021) 75916038, 7697853, Fax. (021) 7692112 e-mail:
[email protected] Dewan Penyunting menerima artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam bentuk soft copy.
FOKUS UTAMA Mengukur Tingkat Inisiatif Anti Korupsi ....... 5 Implementasi Budaya Kerja ....................... 15 Budaya Kerja, Sekedar Retorika? ............... 20 Realisasi Budaya Kerja & Reformasi ........... 28 Peningkatan Budaya Kerja ......................... 32 Belajar dari Budaya Kerja Jepang .............. 39 PENGAWASAN Penggunaan Absensi Sistem Barcode ........ 42 Pentingnya Koordinasi Internal .................. 48 Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan ..... 55 Menakar Budaya Kerja Profesional ............ 58 OPINI Budaya Kerja, Konsep dan Realita ............. 63 Budaya Kerja Bisa Mereformasi Birokrasi .. 65 Ideologi Korupsi (Sebuah Renungan) ......... 69 JURNAL KEGIATAN Kunjungan Ke PT Astra Honda Motor ........ 71 Gelar Pengawasan (Gerwas) ...................... 73 RANDANG PMA Nomor 1 Tahun 2010 ........................ 76 RESENSI BUKU ........................................... 78
Surat Pembaca Program PIAK Kementerian Agama Salam Sukses, Redaksi majalah Fokus Pengawasan, saya mau bertanya, dan pertanyaan saya ini juga menjadi pertanyaan beberapa teman di kantor. Selama ini saya sering mendengar program PIAK? Pertanyaan saya, apakah benar PIAK itu menjadi program unggulan di Kementerian, apa saja programnya dan bagaimana pencapaiannya? Terimakasih Lulu Lutfiah, Pekayon - Pasar Rebo Redaksi: Kementerian Agama seperti kementerian yang lain juga mempunyai program kerja PIAK. Program Pengukuran Inisiatif Anti Korupsi, yang disingkat dengan PIAK, akan menjadi bahasan di Majalah FP edisi ini. Selamat membaca. Profil Satker Assalamu ’alaikum Wr. Wb. Dewan redaksi majalah FP yang saya hormati. Sebagai majalah yang diterbitkan oleh Itjen, saya mengusulkan hendaknya majalah ini juga memuat profil satker terbaik dan satker-satker yang banyak temuannya. Minimal kita dapat belajar banyak dari beberapa satker-satker tersebut. Terima kasih Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Agus Bahaji, Wanaraja - Garut - Jabar Redaksi: Terima kasih atas usulan sau dara. Kami akan menindaklanjuti usulan tersebut. Dan kedepan, disamping Itjen Kementerian Agama akan menampilkan profil satker terbaik, tetapi juga akan memberikan
opini terhadap hasil akhir audit kepada setiap satker, intern Kementerian Agama. Bagaimana Budaya Kerja ala Kemenag Assalamu’alaikum Wr. Wb Redaksi yang terhormat, mohon di jelaskan tentang Budaya Kerja yang telah dikembangkan oleh Kementerian Agama, dapat mereformasi birokrasi. Terima kasih. Wassalamualaikum Azka Jihadul Ulya, Bogangin-Sumpiuh Redaksi: Budaya kerja adalah cara pandang dan suasana hati yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja yang baik. Untuk lebih jelas dan rincinya silahkan saudara bisa membaca artikel yang berjudul “Budaya Kerja Bisa Mereformasi Birokrasi”. Selamat membaca dan sukses selalu. Amin.
Redaksi memohon maaf, tidak semua surat pembaca dapat ditampilkan, karena keterbatasan tempat. Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan!
3
Dari Redaksi
4
Syukur alhamdulillah, Majalah Fokus Pengawasan (FP) Itjen Kemenag edisi ke 26 Triwulan II Tahun 2010 telah terbit. Penerbitan kali ini adalah kali kedua dengan cover baru disertai dengan penambahan jumlah halaman untuk mengakomodasi banyaknya tulisan/artikel yang masuk dari para auditor dan pelaksana di lingkungan Itjen Kementerian Agama.
Unit Eselon I pada Kementerian Agama, selanjutnya seluruh jajaran unit/satker di lingkungan kementerian agama akan melaksanakan pengisian dokumen instrumen PIAK. Selanjutnya, fokus utama juga membahas tentang Implementasi Budaya kerja, realisasi pelaksanaannya serta memuat tulisan budaya kerja yang mengadopsi dari negara lain.
Forum Fokus yang berbahagia Menindaklanjuti nota dinas Inspektur Jenderal tentang Partisipasi Auditor dalam Penulisan Artikel Ilmiah pada Majalah Fokus Pengawasan, disampaikan bahwa setelah mencermati kontribusi penulisan artikel Majalah Fokus Pengawasan, fenomena yang ada minimnya auditor memberikan kontribusi penulisan artikel ilmiah. Oleh karena itu, dimohon agar para Inspektur Wilayah mendorong para auditor di wilayahnya masing-masing untuk memberikan kontribusi tulisan sesuai bidangnya, minimal 1 (satu) naskah untuk setiap penerbitan, dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan auditor dalam hal penulisan artikel ilmiah dan memenuhi KUM bidang pengembangan profesi. Tema yang diangkat pada edisi kali ini adalah ”Implementasi Budaya Kerja dalam Rangka Peningkatan Kinerja Menuju Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian Agama”. Dalam fokus utama akan membahas tentang Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) sebagai salah satu unsur untuk melakukan upaya-upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Pengisian instrumen PIAK saat ini diperuntukkan bagi seluruh
Pembaca Fokus yang budiman Dalam bidang pengawasan, edisi kali ini akan memuat tiga tulisan terkait dengan penggunaan absensi sistem barcode untuk mengukur capaian hasil kerja (kinerja) pegawai, pentingnya koordinasi internal dan strategi peningkatan Mutu Pendidikan. Selain itu, opini tentang konsep dan realita budaya kerja yang berkembang juga diungkapkan secara jelas dalam tulisan tersendiri juga ideologi korupsi. Reportase jejak kegiatan yang dilaksanakan Itjen juga tak luput dari pantauan redaksi majalah Fokus Pengawasan yaitu kunjungan ke PT AHM dan Gelar Pengawasan yang dilaksanakan oleh Inspektur Wilayah I-V, sebagai media koordinasi dan konsultasi antar pihak Itjen dengan Satker yang masih menyisakan temuan untuk ditindaklanjuti guna mencari solusi atas permasalahan yang ada sebagai upaya untuk meningkatkan opini penilaian hasil audit. Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca majalah ini, saran dan kritik sangat kami harapkan untuk mewujudkan majalah Fokus Pengawasan yang lebih baik dan berkualitas. [ ]
Fokus Utama MENGUKUR TINGKAT INISIATIF ANTI KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA Oleh: Mukhayat
D
Kunjungan dan Silaturrahim Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
alam rangka menilai kemajuan suatu instansi publik dalam mengembangkan upaya pemberantasan korupsi di instansinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki instrumen bernama Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) 2010. PIAK merupakan alat ukur untuk menilai kemajuan suatu instansi publik dalam mengembangkan upaya pemberantasan korupsi di instansi terkait. Pada tahun lalu, Kemenkeu dan KemenPendiknas adalah instansi yang dipilih untuk pilot project. PIAK merupakan pengembangan dari AIA (Anti Corruption Initiative Assessment) yang telah diterapkan oleh lembaga anti korupsi di Korea, ACRC (Anti Corruption and The Civil Rights Commission) sejak tahun 2002. PIAK ditujukan untuk mengukur apakah suatu instansi telah menerapkan sistem dan mekanisme yang efektif untuk mencegah dan mengurangi korupsi di lingkungannya. Indikator PIAK terdiri 6 (enam) unsur utama, yaitu kode etik, peningkatan transparansi dalam manajemen SDM, peningkatan transparansi dalam pengadaan, Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
5
Fokus Utama peningkatan transparansi PN, peningkatan akses publik dalam memperoleh informasi instansi, pelaksanaan rekomendasi perbaikan yang diberikan KPK, dan kegiatan promosi anti korupsi, serta satu unsur Inovasi, yaitu kecukupan dan efektifitas dari inisiatif anti korupsi lainnya. Instrumen PIAK ini akan dilaksanakan untuk semua Kementerian/ Lembaga di Pusat dan Daerah (dalam hal ini Pemda). Untuk keperluan dimaksud, maka KPK dengan suratnya Nomor: B-412/015/03/2010 tanggal 1 Maret 2010, menyelenggarakan sosialisasi program Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) kepada semua Kementerian/Lembaga di Pusat dan Daerah pada tanggal 17 Maret 2010 di Gedung KPK. Penilaian PIAK di setiap kementerian dilakukan kepada 3 (tiga) unit utama Eselon I, dengan ketentuan unit Sekjen wajib mengisi, untuk 2 (dua) unit Eselon I lainnya, diserahkan kepada pihak Irjen yang menentukannya. Pada tahun 2009 KPK telah melaksanakan PIAK 2009 melalui pilot project yang terdiri dari 2 Kementerian dengan 6 unit utama, yaitu Kementerian Keuangan dengan 4 Direktoratnya: Direktorat Jenderal Pajak; Direktorat Bea dan Cukai; Direktorat Jenderal Perbendaharaan; Direktorat Jenderal Anggaran dan dari Kementerian Pendidikan Nasional terdiri dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PMPTK) dan Sekretariat Jenderal. Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan mencapai nilai tertinggi dalam Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) 2009. Perolehan nilai tertinggi tersebut di antaranya karena 6
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
tingginya nilai transparansi penyelenggara negara melalui upaya untuk membantu pelaporan gratifikasi dan tingginya angka kepatuhan pelaporan harta kekayaan, kode etik, promosi antikorupsi, dan pelaksanaan rekomendasi KPK. KPK melakukan PIAK dengan dasar pemikiran karena menganggap bahwa inisiatif internal suatu instansi/lembaga merupakan salah satu kunci penting keberhasilan upaya pemberantasan korupsi. Beberapa inisiatif seperti pembuatan dan penegakan kode etik, pengawasan atas pengadaan barang dan jasa, serta transparansi dalam rekrutmen pegawai merupakan upaya yang dianggap mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Untuk pelaksanaan Penilaian Inisiatif Anti Korupsi pada Kementerian, KPK menugaskan kepada Inspektur Jenderal di tiap Kementerian agar berperan dan bertugas sebagai : (1) Sebagai koordinator pelaksanaan PIAK di Kementerian masing-masing; (2) Menerima koordinasi dari KPK atas pelaksanaan PIAK; (3) Mensosialisasikan program PIAK kepada peserta PIAK 2010; (4) Menetapkan 3 (tiga) unit utama yang menjadi target untuk mewakili dalam pelaksanaan PIAK 2010; (5) Menjadi penghubung antara KPK dengan unit utama terutama dalam tahap pengisian kuesioner, konfirmasi jawaban dan pemenuhan bukti untuk penilaian; (6) Melakukan verifikasi atas pengisian kuesioner dari unit utama peserta PIAK 2010; (7) Meneruskan isian kuesioner peserta PIAK ke KPK disertai bukti pendukungnya. Pokok-pokok penilaian inisiatif anti korupsi tahun 2010 meliputi 7 indikator utama dengan total 57 pertanyaan,
Fokus Utama meliputi: (a) Kode etik khusus meliputi 3 (tiga) sub indikator, yaitu: ketersediaan dan bentuk kode etik khusus, ketersediaan mekanisme penerapan dan pelembagaan kode etik khusus, dan penegakan kode etik khusus dengan 13 pertanyaan; (b) Peningkatan transparansi dalam manajemen SDM, meliputi 3 (tiga) sub indikator yaitu: tersedianya proses rekrutmen yang terbuka dan transparan, tersedianya sistem penilaian kinerja yang objektif dan terukur, dan tersedianya proses promosi dan pengisian jabatan yang terbuka dan transparan dengan 16 pertanyaan; (c) Peningkatan transparansi dalam pengadaan, meliputi 2 (dua) sub indikator yaitu: penetapan pengadaan secara elektronik, dan adanya mekanisme kontrol dari eksternal, dengan 8 pertanyaan; (d) Peningkatan transparansi dalam penyelenggaran negara dengan 2 (dua) sub indikator yaitu: pelaporan gratifikasi, dan kepatuhan LHKPN dengan 9 pertanyaan; (e) Peningkatan akses publik dalam memperoleh informasi unit utama meliputi 2 (dua) sub indikator yaitu: keterbukaan unit utama dalam menyebarkan informasi, dan tingkat keaktifan unit utama dalam menyebarkan informasi, dengan 5 pertanyaan; (f) Pelaksanaan rekomendasi yang diberikan oleh KPK/BPK/APIP, meliputi 2 (dua) sub indikator yaitu: respon terhadap rekomendasi dari KPK/BPK/APIP, dan pelaksanaan rekomendasi dari KPK/BPK/ APIP dengan 2 pertanyaan; dan (g) Kegiatan promosi anti korupsi meliputi 2 (dua) sub indikator yaitu: kegiatan promosi internal, dan kegiatan dengan 4 pertanyaan. Ketentuan pengisian Kuesioner PIAK oleh masing-masing unit utama Eselon I yang dipilih mengikuti ketentuan:
Pertama, semua pertanyaan dalam kuesioner ini harus dijawab kecuali jika ada petunjuk lain berdasarkan jawaban yang diberikan. Kedua, jawaban kuesioner disesuaikan dengan kondisi terakhir atau sesuai pertanyaan di unit utama Anda dan kondisi tersebut telah berlangsung minimal 6 bulan terakhir. Ketiga, demi objektivitas, maka setiap jawaban harus dilengkapi dengan dokumen pendukungnya yang sah. Dari indikator-indikator yang dijadikan ukuran penilaian PIAK oleh KPK, maka setiap unit utama Eselon I tentu menginginkan agar mendapatkan nilai positif dalam upaya pemberantasan korupsi di lingkungan unit yang dipimpinnya, dan hasil pengukuran inisiatif oleh KPK merupakan penilaian yang akuntabel, sebab dibuat oleh instansi yang berwenang. Untuk itu, bagaimana kita mengukur tingkat inisiatif anti korupsi di lingkungan Kementerian Agama? Secara objektif, masing-masing pimpinan unit utama harus jujur tentang bagaimana kualitas unitnya apabila dikaitkan dengan sub-sub indikator pada kuesioner PIAK. Tiap pimpinan diharuskan merumuskan, membuat dan melakukan inisiatif yang diarahkan kepada upaya pencegahan korupsi. Jenis inisatif anti korupsi dimaksud harus bersifat standar, dan minimal telah mencakup aspek-aspek inisiatif seperti dicontohkan pada instrumen PIAK 2010 yang meliputi 57 elemen. Dengan demikian, dapat menambahkan dengan jenis-jenis inisiatif lainnya yang menurut pertimbangan pimpinan unit utama Eselon I dianggap urgen. Pengukuran inisiatif anti korupsi dilakukan dengan membandingkan Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
7
Fokus Utama antara penilaian KPK yang tertuang dalam keputusan. Substansi kode etik terkait kuesioner PIAK 2010 seperti diutarakan dengan tugas-tugas spesifik unit utama, dengan apa yang telah dilakukan di tiap bisa pula berupa penjabaran kode etik PNS unit utama Eselon I yang bersangkutan. Kementerian Agama yang secara spesifik Untuk ini maka masing-masing Satker, dalam arti lebih rinci dan diberlakukan terutama bagi unit-unit utama Eselon untuk PNS di unit utama masing-masing. I harus menjawab apakah sampai saat Sebagai contoh misalnya pada unit ini sudah mempunyai atau apakah telah Inspektorat Jenderal Kementerian Agama telah mengeluarkan Kode Etik Auditor melakukan item-item PIAK dimaksud. Komponen PIAK yang dijadikan yang ditetapkan dengan Peraturan alat pengukur inisiatif anti korupsi tiap Inspektur Jenderal Departemen Agama Nomor IJ/219/2009; unit utama eselon I (3) Kode etik meliputi 7 indikator khusus dilengkapi yaitu: Pertama, dengan mekanisme Kode Etik Khusus: Nilai kehidupan adalah jika seseorang penerapan dan (1) Penilaian dapat menikmati hidup setiap saat pelembagaan kode inisiatif anti korupsi dalam kondisi apapun. etik, dalam hal ini dari aspek kode berupa: (1) unit kerja etik dilihat dari 3 Sesungguhnya nikmat yang besar yang yang melakukan aspek, yaitu sejauh harus dijaga adalah ketika kebaikan itu tugas mengawasi mana ketersediaan memenuhi jiwa dan membahagiakan hati. pelaksanaan kode dan bentuk kode etik pada unit etik khusus, utama Eselon I ketersediaan Disadur dari buku : dengan disertai m e k a n i s m e (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) ruang lingkup penerapan dan p e n ga w a s a n ny a , pelembagaan sampai pada tingkat kode etik khusus, dan bagaimana penegakan kode etik Eselon berapa yang diawasi, misalnya pada khusus dilakukan oleh unit utama; (2) tingkat eselon 2, atau eselon 3 ke bawah, Ketersediaan kode etik khusus di tiap unit dan tersedianya layanan konsultasi yang utama Eselon I, bukanlah kode etik pegawai bertugas mengawasi pelaksanaan kode etik negeri sepeprti diatur pada Peraturan khusus yang bertugas untuk memberikan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1980 keterangan/penjelasan kepada seluruh dan PP Nomor 42 Tahun 2004 ataupun pegawai terkait dengan hal-hal yang kode etik pegawai negeri sipil Kementerian diperbolehkan dan dilarang menurut kode Agama sebagaimana ditetapkan dengan etik khusus atau disebut dengan “whistle Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor blower”, (2) penyediaan sarana yang 421 Tahun 2001, akan tetapi kode etik dipakai dalam proses pelayanan seperti: yang khusus diberlakukan pada tiap unit faksimili, telepon, e-mail, ruang konsultasi, utama dan ditetapkan oleh masing-masing dan lainnya, (3) kegiatan sosialisasi kode pimpinan unit utama dalam bentuk surat etik khusus untuk para pegawai di lingkup
8
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Fokus Utama unitnya masing-masing dengan disertai: rencana kegiatan sosialisasi, jadual, dan sejenisnya. Setiap pelaksanaan sosialisasi harus didokumentasikan dengan baik; (4) Evaluasi secara periodik terhadap pelaksanaan kode etik dengan konsekuensi bila sesuai hasil evaluasi mengharuskan revisi terhadap kode etik dalam beberapa aspeknya, maka harus ditindaklanjuti dengan revisi. Hasil pelaksanaan evaluasi harus didokumentasikan dalam bentuk laporan tertulis yang memuat waktu kan kode etik, bisa dalam bentuk keputusan atau surat edaran dari pimpinan unit utama Eselon I masing-masing; (5) Mekanisme penanganan pelanggaran kode etik khusus dapat berupa tahapantahapan penanganan pelanggaran kode etik khusus mulai dari penerimaan laporan, proses pengolahan, sampai dengan tindak lanjut. Dalam rangka pelaksanaan kode etik diperlukan pula penunjukan kepada pejabat tertentu/ seseorang pejabat pada lingkup internal unit utama eselon I dengan tugas untuk memberikan informasi adanya tindakan pelanggaran atas peraturan atau kode etik khusus, baik kepada pihak pengawas internal atau penegak hukum (whistle blower). Dalam penanganan pelanggaran kode etik harus dapat terjamin/terjaga kerahasiaannya, dan jaminan kerahasiaan harus dicantumkan pada salah satu pasal dalam keputusan kode etik khusus. Kedua, Peningkatan Transparansi dalam Manajemen SDM. Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) 2010 tidak terlepas pula dari upaya-upaya unit utama dalam melakukan kegiatan peningkatan transparansi dalam manajemen SDM, meliputi ketersediaannya proses rekrutmen yang terbuka dan transparan,
tersedianya sistem penilaian kinerja yang objektif dan terukur, dan tersedianya proses promosi dan pengisian jabatan yang terbuka dan transparan: (1) Ketersediaan proses rekrutmen yang terbuka dan transparan, meliputi: ada/tidaknya pedoman pelaksanaan penerimaan/ rekrutmen pegawai baru yang terbuka dan transparan yang ditetapkan oleh Menteri atau a.n. Menteri, yang di dalamnya memuat ketentuan tentang: (a) pemberian jenis kewenangan kepada masing-masing unit utama, misalnya dalam proses penyampaian pengumuman penerimaan, berikut media atau sarana apa yang dipergunakan untuk penyampaian pengumuman penerimaan dimaksud. Dokumen suratsurat pengumuman rekrutmen melalui media cetak atau elektronik tersebut harus didokumentasikan dengan baik, (b) pengikutsertaan pihak ketiga yaitu institusi di luar Kemenag yang bersifat independen, berupa tenaga ahli atau firma/lembaga/organsiasi dalam proses rekruitmen pegawai. Bila dilibatkan pihak ketiga, maka harus dijelaskan sejauh mana peran-peran yang diberikan kepada pihak ketiga tersebut, apakah pada: seluruh tahap proses rekrutmen yaitu tahap pengumuman rekrutmen pegawai, seleksi administrasi, seleksi kompetensi, dan wawancara, atau hanya pada sebagian besar tahapan proses (2-3 tahap), atau pada sebagian kecil tahapan proses (1 tahap); (2) Ketersediaan sistem penilaian kinerja yang objektif dan terukur, yaitu ada tidaknya sistem penilaian terhadap kompetensi teknis, perilaku, dan kinerja yang dihasilkan oleh pegawai yang ditetapkan oleh pimpinan unit utama Eselon I (sistem tersebut bisa berupa Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
9
Fokus Utama penjabaran dari sistem yang ditetapkan oleh Menag). Sistem tersebut perlu memuat aspek-aspek seperti: kualitas pekerjaan berupa kecepatan/ketepatan/ kecermatan penyelesaian setiap pekerjaan yang dibebankan kepada pegawai yang bersangkutan dalam jangka waktu tertentu; kuantitas pekerjaan seperti banyaknya item pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh pegawai yang bersangkutan dalam jangka waktu tertentu; dan hal lainnya yang dipandang perlu; (2) Ada tidaknya kontrak kinerja (Penkin/Pakta Integritas) yang berisi kontrak pelaksanaan program kerja selama periode tertentu dengan pengukuran kinerja pegawai yang dapat dilakukan pada setiap triwulan/semester ataupun akhir periode kontrak kinerja. Misalnya: kontrak kinerja Sekretaris dengan Dirjen, antara Kabag dengan Kepala Biro, dan lain sebagainya; (3) Pemberlakuan kontrak kinerja sebaiknya dibuat dalam bentuk dengan surat edaran dari pimpinan unit utama dengan berisi ketentuan meliputi: sampai tingkat eselon berapa, periode waktuwaktu kapan dilakukannya evaluasi kontrak kinerja. Kontrak kinerja harus didokumentasikan dengan baik, untuk lembar asli dipegang oleh masing-masing pejabat yang melakukan kontrak, dan duplikatnya disimpan di bagian yang tugas fungsinya menangani kepegawaian; (4) Tersedianya proses promosi dan pengisian jabatan yang terbuka dan transparan. Yaitu dokumen/surat penetapan tentang job qualification yang telah diberlakukan di tiap unit utama Eselon I yang antara lain memuat ketentuan tentang mekanisme pengisian jabatan dipublikasikan atau tidak, terbuka, atau terbatas, ada tidaknya penterlibatan pihak ketiga.
10
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Ketiga, Penilaian Inisiatif Anti Korupsi 2010 dilihat pula dari ada tidaknya upaya-upaya unit utama eselon I dalam melakukan kegiatan peningkatan transparansi dalam pengadaan, meliputi: (1) Penetapan pengadaan secara elektronik, yang ditetapkaan oleh pimpinan unit utama meliputi: (a) Ada tidaknya penetapan pimpinan tentang pembentukan Unit Layanan Pengadaan yaitu unit khusus yang bertugas melakukan seluruh pengadaan yang ada di instansi, terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah; (b) Ada tidaknya pemberlakuan/penerapan metode pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement), yaitu kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi sehingga sebagian besar proses pengadaan barang/ jasa tidak menggunakan tatap muka lagi. Dalam dokumen/surat yang dibuat oleh pimpinan unit utama eselon I disertakan pula rencana target penerapan sistem e-procuremen di tiap unit utama Eselon I (mulainya tahun kapan); (c) Unit pelayanan pengadaan harus secara berkelanjutan mendata jumlah anggaran belanja modal dalam satu tahun dan data perkembangan dana yang telah dilaksanakan melalui metode e-procurement tersebut dengan disertai persentasenya; (2) Ada/tidaknya mekanisme kontrol dari eksternal yang ditetapkan oleh pimpinan unit utama, yaitu: (a) Ada/ tidaknya dokumen atau surat penetapan dari pimpinan unit utama eselon I yang mengatur tentang mekanisme pengaduan berisi atau memuat tentang: tata cara penyampaian, pemrosesan dan tindak
Fokus Utama
Irjen Kementerian Agama, Mundzier Suparta dan Inspektur Wilayah II, Mukhayat Saat Memberikan Arahan Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK)
lanjut terhadap pengaduan pengadaan barang/jasa yang dikelola di luar panitia pengadaan barang dan jasa. Bila telah ada pengaturan dari Menteri, maka di tiap unit utama pengaturan mekanisme dalam bentuk penjabaran atas peraturan menteri dimaksud; (b) Hasil penanganan pengaduan yang telah ditangani (diterima, ditelaah, dan diselesaikan) harus didokumentasikan dengan baik sebagai bukti kegiatan inisiatif anti korupsi. Keempat, Peningkatan Transparansi Penyelenggaraan Negara. Penilaian inisiatif anti korupsi 2010 diukur pula dari ada tidaknya peningkatan transparansi penyelenggaraan negara yang meliputi aspek pelaporan gratifikasi dan kepatuhan terhadap pelaporan LHKPN kepada KPK: (1) Pelaporan Gratifikasi. Pada aspek ini, diperlukan adanya penegasan dari pimpinan unit utama kepada bawahan yang telah diwajibkan melaporkan LHKPN dengan dibuat secara tertulis berupa pengaturan mengenai gratifikasi,
dilengkapi pula rencana pelaksanaan sosialisasinya kepada semua pejabat/ pegawai, mekanisme penanganan gratifikasi di intern unit utama. Rencana sosialisasi agar disertai waktu/jadwal pelaksanaannya, siapa pemberi sosialisasi, siapa yang diberi sosialisasi; (2) Kepatuhan dalam pelaporan LHKPN. Dalam aspek ini diukur dari telah ada tidaknya perjanjian kerjasama pengelolaan data wajib LHKPN dari pimpinan unit utama dengan KPK. Bila hanya dilakukan oleh Menteri Agama, maka dari unit utama bersifat meneruskan maksud/isi perjanjian tersebut kepada bawahannya di lingkup unit utamanya. Diukur pula dari ada tidaknya penetapan pimpinan unit utama tentang penetapan persyaratan LHKPN sebagai salah satu kelengkapan dalam sistem promosi/mutasi utuk intern unitnya. Bila telah ada ketetapan dari Menteri atau Sekjen a.n. Menteri, maka dari pimpinan unit utama bisa bersifat meneruskan kebijakan Menteri dimaksud Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
11
Fokus Utama untuk di lingkungan unit utamanya. Diukur pula dari ada tidaknya pemberian bimbingan teknis pengisian formulir LHKPN, baik dari nara sumber intern ataupun KPK. Pelaksanaan bimbingan teknis, termasuk surat undangan kepada KPK, dan kepada para pejabat di unitnya berikut daftar hadirnya, harus didokumentasikan dengan baik sebagai bukti kegiatan. Pimpinan unit utama harus pula mempunyai data nama pejabat wajib lapor LHKPN, yang telah dan belum melapor serta persentasenya. Diukur pula dari ada tidaknya ketentuan tertulis tentang pemberian sanksi internal bagi wajib lapor LHKPN yang belum melaporkan sesuai target waktu yang ditentukan. Kelima, Peningkatan Akses Publik dalam Memperoleh Informasi Utama. Penilaian inisiatif dari aspek akses publik dalam memperoleh informasi unit utama dilihat dari dua aspek meliputi aspek keterbukaan unit utama dalam menyebarkan informasi dan bagaimana tingkat keaktifan unit utama dalam menyebarkan informasi: (1) Keterbukaan unit utama dalam menyebarkan informasi dilihat dari sejauh mana jenis media informasi yang telah diterbitkan dan terbuka bagi publik yang telah diterbitkan seperti website, majalah/buletin yang terbit secara periodik, leaflet/flyer, majalah dinding, papan pengumuman, dan lainnya terkait masalah korupsi. Bila website misalnya, apa alamatnya, bila majalah, majalah apa, dan sebagainya; (2) Tingkat keaktifan unit utama dalam menyebarkan informasi. Dari aspek ini, apa telah ada atau belum surat penetapan dari pimpinan unit utama yang
12
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
menetapkan tentang pembentukan unit kerja khusus yang bertanggung jawab dalam penyebaran informasi kepada publik yaitu suatu unit kerja yang salah satu tugasnya mengumpulkan, mengelola, menyebarkan informasi kepada publik secara luas, disertai pula mekanisme waktu pelaksanaan pemutakhiran. Dalam hal pelaksanaan pemutakhiran informasi bagi publik, agar hasilnya didokumentasikan sebagai bukti. Keenam, Pelaksanaan Rekomendasi yang diberikan oleh KPK/BPK/APIP/Itjen. Penilaian inisiatif dari aspek pelaksanaan rekomendasi yang diberikan oleh KPK/ BPK/APIP dilihat dari dua aspek meliputi aspek bagaimana respon dan bagaimana pelaksanaan rekomendasi tersebut: (1) Dari aspek respon, maka akan dilihat apakah unit utama telah atau belum membuat action plan yaitu rencana aksi atau rencana tindak lanjut unit utama dalam satu tahun terakhir terhadap penyelesaian rekomendasi atas saran KPK/ BPK/BPKP/Itjen. Action plan dibuat dengan mencakup aspek : temuan, rekomendasi, penanggungjawab tindak lanjut, target waktu penyelesaian, dan realisasinya; (2) Dari aspek pelaksanaan rekomendasi dari KPK/BPK/APIP/Itjen, akan dilihat bagaimana persentase implementasi action plan terhadap rekomendasi KPK/BPK/APIP/Itjen yang merupakan gabungan jumlah rekomendasi dari hasil kajian KPK atau hasil audit BPK/BPKP/Itjen yang terakhir. Data tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan unit utama atau yang ditunjuk. Persentase dimaksud misalnya : > 85%; 70 – 85%; 50 – 69%; atau < 50%. Ketujuh, Kegiatan promosi anti korupsi. Penilaian inisiatif dari aspek
Fokus Utama pelaksanaan rekomendasi yang diberikan Prosedur pengisian kuesioner Penilaian oleh KPK/BPK/APIP dilihat dari dua aspek Inisiatif Anti Korupsi tahun 2010 meliputi aspek sejauh mana kegiatan Pengisian kuesioner Penilaian promosi internal dan promosi eksternal Inisiatif Anti Korupsi tahun 2010 didahului dilakukan oleh unit utama; (1) Kegiatan dengan sosialisasi oleh KPK kepada promosi internal, yaitu sejauh mana tiap kementerian/lembaga, dilanjutkan promosi internal telah dilakukan di intern sosialisasi oleh kementerian/Lembaga unit utamanya. Unit utama agar dapat yang dalam hal ini ditugaskan KPK kepada mendata/mendokumentasikan persentase masing-masing Itjen/Inspektur Utama. unit kerja Eselon III yang telah menerima Setelah pimpinan unit utama menerima sosialisasi anti korupsi, yaitu perhitungan sosialisasi, masing-masing mengisi persentase yang didasarkan pada unit kuesioner sesuai petunjuk pengisian, kerja setingkat Eselon III yang telah dengan ketentuan setiap jawaban yang menerima sosialisasi dipilih atau diisi, wajib dan dibandingkan disertai dokumen/ Hidup adalah indah bagi orang yang dengan total seluruh bukti pendukungnya, beriman. Akhirat dicintai bagi unit kerja setingkat sebab tanpa orang yang bertaqwa. Merekalah orang Eselon III yang ada di dilampiri data yang berbahagia. unit utama Eselon I pendukungnya, KPK yang bersangkutan. tidak memberikan Kemarin adalah mimpi yang telah berlalu. Dilengkapi pula nilai. Terhadap Esok hari adalah cita-cita yang indah, dengan data tentang kegiatan yang masuk : kapan dilakukan, kategori inisiatif anti dan hari ini adalah kenyataan oleh siapa, berapa korupsi yang telah orang yang dilaksanakan tetapi mengikuti. Persentase dimaksud yaitu: > baru dilakukan setelah Januari 2010, agar 85% ; 70 – 85%; 50 – 69%; atau < 50%; dilampirkan pada format tersendiri yaitu (2) Kegiatan promosi eksternal, pada laporan kualitatif anti korupsi, dan yaitu dilihat dari kegiatan-kegiatan ekternal akan diberikan penilaian oleh KPK dengan apa yang telah dilaksanakan, misalnya: bobot 17%, untuk isian kuesioner diberi website, spanduk, standing banner, nilai dengan bobot 87%. poster, stiker, papan pengumuman publik, Setelah unit utama mengisi iklan cetak - elektronik, leaflet, booklet, kuesioner, kemudian diserahkan ke Itjen atau lainnya. Dokumen materi anti korupsi untuk dilakukan validasi oleh Tim PIAK produk sendiri/dari unit utama yang Itjen, dan hasil validasi disampaikan bersangkutan harus didokumentasikan, kepada unit utama untuk disesuaikan, dan baik berupa asli atau foto copy, karena bila telah sesuai validasi Itjen, maka isian hal tersebut termasuk point penilaian kuesioner ditandatangani oleh pimpinan inisiatif anti korupsi; (3) Dilihat juga dari unit utama atau oleh pejabat lain ditunjuk, aspek bukti pendukung berupa anggaran minimal eselon II, misalnya di Ditjen dan rencana waktu pelaksanaan kegiatan adalah Sekretaris an. Dirjen. Dapat pula promosi anti korupsi yang dilakukan. ditugaskan sebagai pejabat pengisi kepada Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
13
Fokus Utama Kabag Ortrala dan Kepegawaian. Setelah itu isian diserahkan ke Itjen untuk dilakukan validasi kembali, setelah sesuai maka secara kolektif isian disampaikan ke KPK. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, sebuah satker/unit utama eselon I dinilai telah memiliki inisiatif anti korupsi di tahun 2010 dengan kategori “baik” atau bahkan “sangat baik”, apabila satker tersebut telah melakukan inisiatif paling tidak pada 7 aspek pokok/indikaktor inisiatif anti korupsi secara terus menerus, yaitu: di bidang: (1) Kode etik, telah memiliki dan menerapkan kode etik khusus di unitnya dengan dilengkapi mekanisme penerapan dan pelembagaan kode etik khusus, serta penegakan kode etik khusus; (2) Senantiasa meningkatkan transparansi dalam manajemen SDM dengan telah tersedianya proses rekrutmen yang terbuka dan transparan, tersedianya sistem penilaian kinerja yang objektif dan terukur, dan tersedianya proses promosi dan pengisian jabatan yang terbuka dan transparan; (3) Melakukan peningkatan transparansi dalam pengadaan dengan telah menetapkan pengadaan secara elektronik, dan adanya mekanisme kontrol dari eksternal; (4) Melakukan peningkatan transparansi dalam penyelenggaran negara dengan melakukan pelaporan gratifikasi, dan memiliki kepatuhan pelaporan LHKPN; (5) Senantiasa meningkatkan akses publik dalam memperoleh informasi unit utama dengan adanya keterbukaan unit utama dalam menyebarkan informasi, dan tingkat keaktifan unit utama dalam menyebarkan
14
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
informasi; (6) Responsif atas pelaksanaan rekomendasi yang diberikan oleh KPK/ BPK/APIP/Itjen; (7) Secara aktif melakukan kegiatan promosi anti korupsi baik promosi internal, maupun eksternal. Kedua, sejauh mana tingkat kualitas inisiatif anti korupsi tahun 2010 bagi tiap unit utama Eselon I Kementerian Agama, kiranya masih memerlukan perhatian serius, dan sebuah inisiatif tentunya harus tumbuh dari dalam diri tiap pimpinan unit utama disemua jenjang, dan dengan didorong, dimotivasi oleh pimpinan Kementerian Agama, yang pada saatnya perlu diberikan reward bagi yang kategori minimal “baik” dan diberikan punishment bagi unit yang s.d. target yang ditentukan belum mencapai kategori minimal “baik”. Konsekuensi lemahnya inisiatif dalam upaya pemberantasan korupsi, akan menimbulkan image negatif karena akan secara terbuka diketahui semua kementerian/lembaga di pusat dan daerah. Sebagaimana saran dan arahan Inspektur Jenderal Kementerian Agama, maka Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) bukan saja hanya dilaksanakan pada unit utama eselon I Pusat, tetapi harus dikembangkan kepada semuan unit Kanwil Kementerian Agama Propinsi dan pada UIN/IAIN/IHDN dan STAIN/STAKN/ IHDN/STABN. Untuk itu perlu dibuat juknis PIAK dan disosialisasikan secara intensip. Pengembangan PIAK sebagai upaya pencegahan korupsi sangat sejalan dengan rencana pemberian opini Satker Bebas Korupsi (SBK) yang sedang disiapkan dengan harapan di tahun 2010 telah terlaksana. Semoga, Amin. [Mukhayat]
Fokus Utama Implementasi Budaya Kerja Instansi Pemerintah Dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Aparatur Negara Oleh: Rofi Sari Dewi
S
istem nilai budaya merupakan konsepsi nilai yang ada dalam pemikiran sekelompok manusia atau individu yang berpengaruh terhadap budaya kerja aparatur negara. Hal tersebut disebabkan karena secara praktis budaya kerja mengandung beberapa pengertian. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilainilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja. Di dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi) baik sosial maupun lingkungan sosial. Bekerja merupakan bentuk atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya. Bekerja juga merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan. Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilainilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja. Secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan profesional. Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap
nya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja diharapkan bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit kerjanya, di mana secara pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, dan dalam kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja kelompok. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan dan pengembangan budaya kerja adalah bertumbuh kembangnya nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif aparat negara, meningkatnya persepsi, pola pikir, pola sikap, pola tindak, dan perilaku aparat negara sehingga terhindar dari perbuatan KKN, meningkatnya kinerja aparat negara, dan terbentuknya citra aparat negara dan kepercayaan masyarakat. Dengan terciptanya sebuah budaya kerja yang efektif dan efesien dalam instansi pemerintahan diharapkan mampu memberikan konstribusi maksimal guna mencapai tatanan bernegara yang baik karena sebagai aparatur negara setiap instansi pemerintahan memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencapai hal tersebut. Melaksanakan budaya kerja tidak bisa dipisahkan dengan sumber daya manusia (SDM) itu sendiri, karena budaya kerja sangat erat kaitannya dengan sikap/perilaku dan paradigma berpikir manusia dalam menciptakan Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
15
Fokus Utama produktivitas kerja yang memadai. Maka sebagai aparatur negara setiap manusia yang berada/bekerja dalam instansiinstansi pemerintahan hendaknya mampu menciptakan budaya kerja yang kondusif, di mana hal tersebut menjadi tuntutan dasar dalam menciptakan kinerja modern (tepat guna). Dalam menciptakan sebuah sistem kerja untuk mewujudkan kinerja modern maka ada 3 faktor pendukung yang sangat penting, yaitu : Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk menciptakan kinerja modern erat kaitannya dengan budaya kerja yang sedang berlaku sehingga peran serta setiap manusia di dalamnya menjadi hal mutlak yang menentukan arah budaya kerja itu sendiri. Dalam hal ini setiap aparatur negara dalam menunaikan tugas-tugas kerja seharusnya memiliki nilainilai: (a) Disiplin. Dalam hal ini bukan hanya disiplin waktu yang menjadi perhatian setiap pekerja akan tetapi disiplin dalam menunaikan setiap tugas yang dibebankan kepadanya atau tanggung jawab kerjanya seharusnya bisa diselesaikan dengan baik. Berdisiplin secara kuantitas waktu kerja dan kualitas hasil kerja harus menjadi budaya kerja disetiap instansi-instansi pemerintahan; (b) Terampil/mampu menciptakan inovasi kerja Dengan adanya tanggung jawab kerja berarti setiap pekerja juga diberikan keleluasaan untuk menunjukkan atau mengejewantahkan setiap keterampilan yang dimilikinya dalam menciptakan kualitas kerja yang inovatif sehingga terjadi pengembangan kerja yang berkualitas;
16
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
(c) Berbasis pada Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi. Penyaringan setiap tenaga kerja termasuk tenaga-tenaga kerja dalam instansi-instansi pemerintahan menjadi indikator bahwasanya kualitas sumber daya manusia menjadi syarat utama dalam menduduki setiap jabatan/ posisi yang tersedia. Termasuk juga adanya pendidikan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan di setiap instansi menjadi penunjang untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berbasis pada rasionalitas dan kecerdasan emosi. Sebagai aparatur negara kita harus dibekali dengan kematangan dan kecerdasan emosi dalam menghadapi setiap tantangan kerja; (d) Partisipatif atau mampu membangun budaya kerja kelompok atau kerjasama yang baik, baik itu secara horizontal maupun vertikal. Untuk mewujudkan team work yang baik setiap pekerja seharusnya memiliki kemampuan partisipatif agar dalam penyelesaian setiap tanggung jawab terjadi sinkronisasi kerja yang efektif; (e) Tulus dan Ikhlas atau mampu menempatkan atau memposisikan kerja sebagai tanggung jawab kemanusiaan sehingga terwujud motivasi kerja yang positif (tanpa pamrih). Hal ini menjadi sangat penting untuk terpenuhi karena harus diakui bahwasanya budaya kerja yang terjadi hampir di semua instansi pemerintahan banyak kehilangan nilai ini. Para pekerja tidak memandang setiap tanggung jawab kerja yang diberikan kepadanya mengandung nilai ibadah sehingga tidak mengherankan jika di setiap pelaksana kerja/tugas para pekerja tidak mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat yang menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan
Fokus Utama pelayanan publik, dan pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Kedua, Imbalan/Materi. Tidak dapat dinafikan bahwa setiap pekerja/ pegawai memiliki hak untuk memperoleh imbalan dari setiap tanggung jawab kerja yang mereka emban. Oleh karena itu, materi sebagai bentuk imbalan kerja menjadi hal penting untuk terpenuhi. Karl Marx (dalam bukunya Das Kapital) menekankan bahwasanya untuk mewujudkan sistem perekonomian yang baik termasuk untuk mencapai sebuah hasil kerja yang maksimal maka setiap pekerja harus menerima imbalan atau materi yang setimpal dari setiap hasil kerjanya, di mana hal ini juga menjadi motivasi terbesar bagi setiap pekerja untuk dapat menyelesaikan setiap pekerjaannya secara maksimal. Hal ini yang kemudian menjadi rujukan banyak negara dalam menciptakan sebuah budaya kerja, yang kemudian mengarah pada penerapan budaya kapitalis tersebut. Dalam dunia bisnis/ swasta budaya kerja kapitalis ini dapat dilihat dari pemberian “bonus” bagi para pekerja selain dari gaji pokok yang biasa mereka terima, dimana pemberian bonus ini sebagai bentuk imbalan dari hasil kerja mereka baik secara kuantitas maupun pencapaian kualitas hasil kerja sedangkan dalam instansi-instansi pemerintah biasa kita kenal dengan istilah honor yang belakangan ini kemudian menggelinding sebuah program sertifikasi (Guru) dan tunjangan kinerja dibeberapa instansi pemerintahan dimana semua itu merupakan “penghasilan tambahan”
sebagai buah dari hasil kerja yang dilakukan. Ketiga, Hasil Guna. Terlepas dari sistem apa yang kita anut dalam menciptakan budaya kerja hal terpenting adalah bagaimana kita bisa memberikan hasil kerja yang tepat guna karena dalam setiap pekerjaan bukan hanya hasil yang diinginkan akan tetapi bagaimana hasil kerja kita tepat guna dalam artian dalam melaksanakan setiap pekerjaan kita diberikan sebuah tanggung jawab besar untuk menyelesaikannya dengan baik. Dengan terpenuhinya poin-poin di atas Insya Allah akan menghantarkan kita pada pencapaian reformasi birokrasi kearah yang lebih baik. Walaupun penulis sadari tulisan ini masih sangat dangkal pengetahuan dan pengalaman akan tetapi semoga tulisan ini menumbuhkan semangat diaologis buat kita semua dalam melihat berbagai macam persoalan bangsa terutama dalam menciptakan budaya kerja yang paling ideal guna mewujudkan kinerja modern. Pemerintah telah menerbitkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk-bentuk kebijakan pemerintah yang ada tersebut antara lain: pertama, Penetapan Indikator Kerja. Dalam usaha meningkatkan kinerja aparaturnya, pemerintah menetapkan program manajemen kepegawaian berbasis kinerja. Salah satu peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk tujuan tersebut adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah. Yang dimaksud dengan kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
17
Fokus Utama tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan rencana strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Dalam pasal 3, peraturan Menpan tersebut, setiap instansi pemerintah wajib menetapkan indikator kinerja utama (Key Performance Indicators). Indikator kinerja utama yang dimaksud adalah ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi. Penetapan indikator kinerja utama di lingkungan instansi pemerintah harus memenuhi karakteristik spesifik, dapat dicapai, relevan, menggambarkan keberhasilan sesuatu yang diukur dan dapat dikuantifikasi dan diukur (pasal 8). Sebagai contoh, tercapainya pengurangan angka pengangguran 1 juta per tahun dengan memberdayakan 50 investor baik investor dalam negeri maupun investor asing setiap tahunnya. Dalam pasal 5 dikatakan, indikator kinerja utama instansi pemerintah harus selaras antar tingkatan unit organisai. Indikator kinerja utama pada setiap tingkatan unit organisasi meliputi indikator kinerja keluaran (output) dan hasil (outcome). Kinerja pegawai dijabarkan langsung dari misi organisasi. Penilaian kinerja dilakukan secara transparan dan obyektif. Penilaian kinerja menjadi bahan diagnosis dalam upaya peningkatan kinerja organisasi. Selanjutnya kinerja pegawai juga menjadi istrumen utama dalam pemberian reward and punishment termasuk untuk promosi dan rotasi pegawai. Dengan demikian, peraturan pemerintah tersebut menunjang dan mendukung upaya pengembangan
18
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
manajemen kepegawaian berbasis kinerja (berorientasi produk). Kedua, Peningkatan kompetensi pegawai melalui pendidikan dan latihan (Diklat), Disiplin dan Remunerasi. Upaya lain yang diupayakan pemerintah dalam memperbaiki kinerja aparaturnya adalah pendidikan dan pelatihan (Diklat) pegawai, penegakan disiplin PNS dan sistem remunerasi di lingkungan kerja instansi pemerintah. Dalam upaya peningkatan profesionalitas pegawainya, pemerintah menggalakkan pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai. Diklat dapat berupa diklat prajabatan dan diklat dalam jabatan antara lain diklat kepemimpinan, diklat fungsional dan diklat teknis. Pemerintah yakin perbaikan kinerja pemerintah dapat terlaksana bila setiap instansi pemerintah menegakkan disiplin PNS. Disiplin tersebut tidak terjadi hanya untuk sementara alias hangat-hangat tahi ayam. Penerapan peraturan disiplin PNS harus tegas dan konsisten. Selain itu diharapkan PNS wajib menjaga dan mengembangkan etika profesinya. Remunerasi adalah pemberian imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif, bonus atau prestasi, pesangon dan/ atau pensiun. Dengan remunerasi diharapkan adanya sistem penggajian pegawai yang adil dan layak. Besaran gaji pokok didasarkan pada bobot jabatan. Penggajian PNS juga berdasar pada pola keseimbangan komposisi antara gaji pokok dengan tunjangan dan keseimbangan skala gaji terendah dan tertinggi. Dengan remunerasi pula, peningkatan kesejahteraan pegawai dikaitkan dengan kinerja individu dan kinerja organisasi.
Fokus Utama Meski dianggap memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja dan produktivitas Instansi, ternyata tidak mudah menerapkannya keseluruhan anggota komunitas instansi. Banyaknya pegawai menjadi kendala terpenting dalam upaya penerapan budaya kerja tersebut. Untuk menerapkan budaya kerja pada pegawai yang jumlahnya ratusan ribu orang dengan latar belakang yang berbeda-beda dan untuk menerapkan sebuah pola Budaya Kerja yang disepakati tidaklah mudah. Tingkat kesulitan dalam mensosialisasikan nilai-nilai strategis instansi kepada pegawai yang ada tergantung pada beberapa faktor. Artinya Budaya Kerja itu diterapkan seiring dengan implementasi sebuah sistem, walaupun sulit tapi biasanya lebih konsisten. Tapi kalau budaya itu hanya semacam slogan atau himbauan tapi tidak ada suatu contoh konkret bagaimana melakukannya, susah untuk mengimplementasikannya. Kendala-kendala itu bukannya tidak bisa diatasi. Budaya kerja dapat diterapkan dengan berbagai cara yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku di instansi masing-masing. Salah satu faktor kunci keberhasilan Implementasi budaya kerja perusahaan adalah kepada komitmen untuk melaksanakannya. Seluruh jajaran pegawai mulai dari pimpinan tertinggi hingga pelaksana terendah harus memiliki komitmen yang sama dalam menerapkan budaya kerja yang disepakati. Komitmen yang dimaksud bukan hanya sekedar komitmen yang diucapkan ketika ditanyakan, tapi harus dibuktikan dengan perbuatan nyata dalam bekerja seharihari.
Satu hal penting lainnya dalam penerapan nilai-nilai strategi adalah bagaimana seseorang itu bisa menjadi contoh bagi yang lain. Penerapan budaya kerja diawali dengan sosialisasi itu dari bagaimana memberikan contoh. Seorang pimpinan harus mencontohkan dulu, bahwa budaya kerja yang kita inginkan kepada jajaran adalah seperti ini, dari contoh itu mau tidak mau bawahan akan mengabsorb nilai-nilai budaya kerja baru yang harus dilaksanakan. Selain itu, sebuah reward penghargaan bagi mereka yang telah menerapkan budaya kerja tersebut secara konsisten hingga bisa membuat mereka perform, perlu juga untuk dilakukan. Selain itu, penerapan budaya kerja dapat dilakukan melalui pendekatan role model, pendekatan sistem, pendekatan inisiatif satuan kerja dan pendekatan komunikasi budaya kerja sebagai sebuah mata rantai yang harus diterapkan agar Budaya Kerja itu bisa disosialisasikan. Proses pengembangan ini memang harus secara simultan. Karena bila tidak simultan bisa tidak efektif. Efektif tidaknya penerapan Budaya Kerja di suatu instansi harus melalui sebuah mekanisme evaluasi tertentu. Mekanisme itu tentunya amat tergantung pada situasi dan kondisi perusahaan tersebut. Pada suatu instansi, misalnya, setiap enam bulan dan akhir tahun digelar evaluasi tentang efektivitas penerapan Budaya Kerja di lingkungannya. Laksanakan evaluasi dengan seluruh pimpinan, Apakah tercapai atau tidak implementasi budaya kerja yang telah dilakukan. Parameter atau indikatornya dapat dilihat dari perilaku pegawai. [Rofi Sari Dewi]
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
19
Fokus Utama Budaya Kerja, Akankah Sekedar Retorika? Oleh : Ali Yuddin
D
i tengah derasnya arus tuntutan akan perlunya mengedepankan prinsip keterbukaan dalam sistem dan mekanisme yang berlaku di birokrasi Indonesia, budaya kerja aparatur beserta seluruh aspeknya, menjadi hal mendasar yang perlu direduksi kembali oleh setiap aparatur penyelenggara pemerintahan. Hal ini terkait erat dengan realitas praktek penyelenggaraan pemerintahan dengan nuansa permasalahan yang semakin kompleks dengan konsekuensi tantangan kerja yang dIhadapi oleh organisasi pemerintahan dengan para aparatur pemerintahan di dalamnya yang semakin kompleks pula. Selama ini para pemimpin dan aparatur masih sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja yang ada. Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja merupakan tugas berat yang harus ditempuh secara utuh dan menyeluruh dalam waktu yang sangat panjang, karena hal ini menyangkut proses pembangunan karakter, sikap dan perilaku aparatur itu sendiri. Pembangunan karakter serta pembentukan sikap dan perilaku Aparatur yang dianalogikan sebagai Pengembangan Budaya Kerja Aparatur, merupakan suatu proses pengembangan cara pandang Aparatur dalam memberikan makna terhadap “kerja”, atau cara pandang Aparatur terhadap bidang yang ditekuninya dengan prinsip20
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
prinsip moral yang dimiliki dan menimbulkan keyakinan yang kuat atas dasar-dasar nilai yang diyakininya, memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik, sehingga dalam diri seorang Aparatur akan tertanam prinsip” bekerja adalah ibadah, bekerja adalah panggilan untuk melaksanakan tugas mulia, agar menjadi orang pilihan yang unggul”. Pengembangan Budaya Kerja Aparatur selama ini, telah dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, baik itu melalui aktivitas Pendidikan dan Pelatihan formal maupun non formal, seminar-seminar, pelaksanaan sosialisasi dan sebagainya dengan satu tujuan yaitu : “Terciptanya Aparatur Negara yang profesional, bermoral dan bertanggung jawab dan memiliki persepsi yang tepat terhadap pekerjaan, sehingga prestasi kerja merupakan suatu aktualisasi jati diri”. Dalam pencapaian tujuan pengembangan Budaya Kerja dimaksud, ada beberapa unsur penting yang saling berintegrasi yaitu nilai-nilai, institusi/sistem kerja dan Sumber Daya Aparatur, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Semua unsur ini, harus menjadi perhatian dalam menata budaya kerja, bermula dari pilihan nilai-nilai apa saja yang akan dijadikan acuan, kemudian diinternalisasikan dalam setiap pribadi aparatur dan selanjutnya
Fokus Utama diimplementasikan dalam setiap sistem, prosedur dan tata laksana, sehingga akan menghasilkan kinerja berupa produk atau jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaan tugas Birokrasi Pemerintahan selama ini, hal tersebut masih dirasakan “jauh panggang dari api”, karena terlalu banyak kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pencapaiannya. Kendala tersebut berasal dari lingkungan internal dan ekternal lingkup tugas aparatur itu sendiri. Ada beberapa faktor penting yang sering diabaikan dan menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu : Pertama, Masih Rendahnya Komitmen dan Konsistensi terhadap Visi, dan Misi Organisasi. Terjadinya hal ini karena belum adanya pemahaman yang benar dari masingmasing individu dalam organisasi mengenai urgensi dari makna Visi dan Misi Organisasinya yang pada dasarnya merupakan acuan dan sasaran yang harus dicapai oleh organisasinya, masih terdapatnya kepentingan pribadi yang lebih menonjol dibandingkan dengan tujuan organisasi, seringnya terjadi kesalahan dan penyimpangan dalam penetapan kebijakan bahkan banyak kebijakan, aturan dan instrumen manajemen lainnya yang telah diperbaiki tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh berbeda dari yang diharapkan. Kedua, Masih Belum Seimbangnya Pelaksanaan Wewenang dan Tanggung Jawab Aparatur. Terjadinya hal ini karena belum adanya upaya yang ditunjukkan oleh seluruh komponen sumber daya aparatur untuk menyeimbangkan wewenang yang dimiliki dengan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kewenangan yang dimiliki, adanya istilah lempar bola dan lari dari
tanggung jawab terhadap kewenangan yang telah dijalankan, dan belum adanya keberanian untuk mengambil resiko dari setiap kebijakan yang diambil. Hal ini disebabkan karena masih adanya kekuasaan yang berlebihan pada masa pemerintahan orde baru yang belum dapat diperbaiki sepenuhnya. Banyak wewenang dan tanggung jawab aparatur yang belum diatur sesuai dengan kebutuhan organisasi. Akibatnya dimasyarakat terbangun dan berkembang sebuah opini tentang masih rendahnya tanggung jawab aparatur dalam bidang tugas masing-masing, wewenang yang kurang jelas dan manajemen pelayanan yang masih kurang baik, sehingga pelayanan yang diberikan oleh aparatur masih jauh dari harapan masyarakat, baik dari aspek kualitas maupun kapasitas layanan; Ketiga, Masih Kurangnya Keikhlasan dan Kejujuran Aparatur dalam Melaksanakan Tugas. Terjadinya hal ini disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran dan keimanan sebagian aparatur, ditambah dengan faktor budaya turun temurun yang telah menjadi tradisi sejak zaman penjajahan, seperti dalam pelaksanaan tugas harus ada “hasil” yang diperoleh, pemberian tip atau semacamnya yang telah menjadi kebiasaan, keharusan bahkan pemaksaan dan pemerasan secara halus. Aparatur yang tidak mengikuti tradisi tersebut bukannya diberikan penghargaan tetapi malah dianggap sebagai manusia yang aneh dalam birokrasi saat ini; Keempat, Masih Rendahnya Integritas dan Profesionalisme dari Para Aparatur. Adapun penyebab utama terjadinya hal ini disebabkan oleh masih belum diterapkannya merit system yang jelas dalam mengukur kinerja aparatur dan belum adanya Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
21
Fokus Utama upaya tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja tersebut; tidak adanya keharusan untuk mengikuti pelatihan tertentu yang berhubungan dengan bidang tugas dan bahkan sering kali terjadi Diklat yang diikuti aparatur tidak melihat urgensi dan tidak berkaitan langsung dengan bidang tugasnya. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan sikap dan perilaku aparatur sehari-hari seperti, sifat dan perilaku sebagian aparatur yang masih mau menang sendiri dan biasanya tidak mau disalahkan karena menganggap dirinya adalah orang yang punya kewenangan lebih, kurangnya kemauan untuk meningkatkan kemampuan sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi aktual saat ini, sering mangkir, datang terlambat dan cepat pulang (sehingga ada istilah negatif yang berkembang dikalangan aparatur saat ini yaitu “hanya orang yang bodohlah yang mau terlambat dua kali dalam satu hari, peganglah prinsip kalau sudah terlambat datang maka jangan sampai terlambat untuk pulang, kalau bisa dipercepat”); Kelima, Masih Rendahnya Kreativitas dan Kepekaan Aparatur Terhadap Lingkungan Tugas. Lingkungan kerja yang mendorong kreativitas aparatur haruslah ditumbuhkembangkan untuk memperbaiki cara kerja dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja. Kepekaan terhadap keluhan masyarakat haruslah ditanggapi dan dicarikan jalan pemecahannya, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat dicapai dan masih sangat perlu untuk ditingkatkan dalam pelaksanaannya, disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : (a) Ide baru (kreativitas) dari bawahan sering kurang mendapat perhatian (respon positif) dari atasan, karena dianggap akan 22
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
mengganggu kebijakan dan prosedur baku yang sudah ada. (b) Banyak diantara para aparatur yang masih alergi terhadap kritikan. (c) Keluhan masyarakat sering kali diabaikan disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana, ataupun adanya keengganan aparatur untuk menanggapi keluhan tersebut karena adanya anggapan akan menyimpang dari kebijakan dan prosedur yang sudah ada dan bahkan akan merepotkan. (d) Tidak adanya kemauan untuk menciptakan inovasiinovasi baru, karena dianggap akan menjadi bertambahnya beban tugas dan tanggung jawab serta adanya kecenderungan untuk selalu mengerjakan pekerjaan rutin dari waktu kewaktu karena dianggap telah dikuasai sepenuhnya dan jauh dari resiko. (e) Rendahnya Manajemen Kepemimpinan dan Keteladanan Aparatur. Seorang Pemimpin harus menguasai manajemen kepemimpinan (leadership), mengenal secara mendalam Visi dan MIsi Organisasinya dan segala hal yang harus dilakukan oleh bawahannya, disamping itu seorang pimpinan harus dapat menjadi contoh bagi bawaannya dan dalam bidang pekerjaan dia harus cukup professional dan menguasai aspek-aspek yang diharapkan oleh bawahannya, harus mampu mengelola dan mendayagunakan potensi bawahan secara optimal, harus mampu memotivasi dan menumbuhkembangkan ide-ide bawahan serta punya kemampuan memimpin yang akan menjadi kerangka acuan bagi bawahannya, adil, tegas, rendah hati dan bertanggung jawab serta dapat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dalam sebuah Team Work dari berbagai keberagaman yang ada. Hal ini merupakan suatu unsur mutlak dalam pencapaian Pengembangan Budaya
Fokus Utama Kerja, namun seiring dengan perkembangan bekerja namun belum dapat untuk bekerja yang terjadi dewasa ini hal tersebut belum sama; sepenuhnya dapat diwujudkan mengingat Ketujuh, Ketepatan dan Kecepatan masih banyak pimpinan yang belum dapat masih dalam angan-angan. Analisis jabatan, dijadikan contoh tauladan bawahan, adanya uraian jabatan, persyaratan jabatan dan sikap pimpinan yang berorientasi Vertikal latihan dalam jabatan haruslah menjadi yang menyebabkan hilangnya kreativitas prosedur baku dalam setiap pelaksanaan bawahan, ingin menang sendiri dan tidak penempatan aparatur dalam suatu posisi mau melihat kekurangan dirinya, selalu jabatan, sehinga yang akan muncul adalah bersikap sebagai seorang “birokrat feodal” penempatan setiap orang pada tugas / yang selalu menuntut bawaannya untuk jabatan yang tepat (the right man on the right setia dan loyal, menuruti segala keinginan place). Disamping itu perlunya pemanfaatan dan kemauannya, namun kepentingan dan teknologi yang tepat, untuk dapat mengatasi kebutuhan bawahannya tidak diperhatikan, keterlambatan dan kesalahan, mendorong lebih senang dihormati dan dipuji walaupun transparansi, memperluas jangkauan bertentangan dengan kualitas dirinya. pelayanan sehingga akan meningkatkan Keenam, Kebersamaan dan Dinamika efisiensi dan produktifitas kerja. Kelompok masih merupakan slogan belum Kondisi yang ada saat ini adalah diterapkan secara bersungguh-sungguh. kebiasaan kerja aparatur yang kurang tepat Kebersamaan dimaksudkan disini adalah sasaran dan tidak cepat dalam menyelesaikan merupakan suasana hati yang merasakan suatu urusan, bahkan sering terkesan asal dirinya merupakan bagian dari suatu jadi, asal bekerja dan kurang berorientasi kelompok kerja tertentu, sehinga tumbuh pada kualitas pelayanan. Kebiasaan bekerja perasaan bersama dalam kelompok yang secara terburu-buru sehingga banyak terjadi melahirkan kelompok kerja dan sinerji dalam kesalahan dalam pekerjaan atau bekerja melaksanakan tugas bersama untuk mencapai dengan sangat lambat, bahkan ada pameo sasaran kerja secara menyeluruh. Sering kali yang berkembang “kalau bisa dipersulit kita mendengar ucapan dari para pimpinan” kenapa mesti dipermudah”, atau istilah satu untuk semua, semua untuk satu” atau “senang melihat orang susah, susah melihat istilah-istilah lainnya yang mempunyai makna orang senang”. Yang lebih mengkhawatirkan serupa. Namun kenyataannya kebersamaan bahwa pelaksanaan tugas atau pekerjaan ini sangat jarang kita jumpai, karena masing- tersebut sering kali diintervensi oleh faktor masing individu lebih banyak terpaku eksternal, sehinga aparatur tidak akan dapat pada kepentingan individu masing-masing, melaksanakan tugas dengan baik; enggan untuk mengorbankan kepentingan Kedelapan, Disiplin dan Keteraturan individunya demi kepentingan kelompok. Kerja belum dapat diwujudkan. Kedisiplinan Mereka bekerja sesuai dengan uraian tugas dan keteraturan kerja aparatur saat ini yang ada, namun belum memiliki kesadaran masih rendah, peraturan disiplin kerja telah bahwa dirinya bekerja dalam suatu system dituangkan dalam prosedur-prosedur kerja yang menyeluruh, mereka sama-sama yang lengkap, namun belum dilaksanakan Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
23
Fokus Utama
Ujian Test Kemampuan Komputer Bagi Auditor di Lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Kesembilan, Kurangnya Dedikasi dengan baik dan masih dalam bentuk formalitas. Dalam pelaksanaannya disiplin dan Loyalitas. Dedikasi dan loyalitas belum dapat dijiwai oleh aparatur, kesadaran yang dimaksudkan disini adalah sifat rela penegakan disiplin masih rendah dan masih berkorban dan jiwa pengabdian terhadap adanya “budaya kuli”. Para aparatur pada instansi, taat serta setia dalam menjalankan saat-saat tertentu akan aktif bekerja karena tugas dan kewajiban sebagai aparatur. Yang telah mengetahui jadwal dan kebiasaan pihak terjadi adalah kita salah dalam menerapkan atasan yang akan melakukan pengecekan, dedikasi dan loyalitas, banyak diantara kita seperti contohnya pada hari pertama bekerja sebagai aparatur yang hanya mempunyai setelah pelaksanaan libur bersama Hari Raya dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap keagamaan ataupun Tahun Baru, sudah dapat atasan, demi suatu maksud-maksud tertentu, dipastikan akan adanya Inspeksi Mendadak namun kita terkadang mengabaikan dedikasi (SIDAK), namun di luar itu menurut sebagian dan loyalitas terhadap Visi, Misi dan tugas mereka adalah waktu-waktu yang aman instansi serta budaya kerja yang ada; Kesepuluh, Ketekunan dan Kesabaran untuk mangkir dari pekerjaan, disamping itu masih terdapatnya sistem dan prosedur kerja yang masih kurang. Kurangnya ketekunan yang runit dan berbelit-belit menyebabkan dan kesabaran akan menyebabkan terjadinya “mentalitas jalan pintas”, yaitu tidak mengikuti aparat secara tidak sitematis;
24
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Fokus Utama prosedur yang normal agar cepat sampai kerjakan. Di satu sisi mungkin ini terjadi ketujuan. Pada kondisi sekarang hal inilah karena kurangnya kreativitas dan kepedulian yang sering terjadi, yang mengakibatkan bawahan terhadap lingkungan organisasinya, aparatur sering tersandung dan terpaksa namun disisi lain, kondisi seperti ini tidak berurusan dengan pihak pemeriksa. Hal ini akan terjadi apabila pihak atasan telah terjadi karena kurangnya kesabaran dan memberikan tugas dan tanggung jawab kurang amanah dalam mengemban tugas pekerjaan spesifik yang harus dikerjakan sehingga mudah goyah dengan godaan dan dan diselesaikan oleh setiap staf pada setiap iming-iming financial. Disamping itu masih harinya dan selalu melaksanakan pengawasan banyaknya para aparat yang kurang tekun dan evalusai terhadap pelaksanaan tugas dalam melaksanakan tugas, mereka sering yang dibebankan tersebut; kali menunda pekerjaan karena merasa Keduabelas, Pemberian tugas dan tidak ada beban dan tanggung jawab moral. tanggung jawab tidak memperhatikan karakter, Sebaliknya ada yang terburu-buru dalam kemampuan, bakat dan minat bawahan. melaksanakan suatu pekerjaan agar terbebas Selama ini sering kali kita mendengar bahwa dari tangung jawab tanpa memperhatikan si Anu tidak bisa bekerja, si Anu malas dan kualitas hasil kerja, baik dari segi ketelitian tidak bisa dipakai dalam pekerjaan. Pada maupun kesempurnaan pekerjaannya; prinsipnya tidak ada seorangpun dalam Kesebelas, Kurangnya Kejelasan dan suatu Satuan Kerja atau Organisasi yang Ketegasan pembagian tugas dan kewenangan tidak bisa dimanfaatkan. Ada pepatah dari dalam organisasi. Pada suatu kesempatan Ranah Minang yang mengungkapkan bahwa : penulis pernah bertanya kepada beberapa “Urang lumpuah panjago rumah. Urang buto orang staf rekan kerja “apakah untuk besok pa ambuih lasuang”. artinya setiap manusia hari mereka telah mengetahui apa yang itu ada manfaatnya. akan mereka kerjakan, kebanyakan mereka Dalam birokrasi pemerintahanpun menjawab belum tahu, mereka masih akan seharusnya kita mempunyai prinsip seperti menunggu perintah atasan, apa yang akan pepatah di atas, tidak ada bawahan yang mereka kerjakan untuk besok hari”. tidak mampu bekerja, tidak ada seorangpun Mungkin kondisi ini hampir terjadi di bawahan yang tidak terpakai, apabila setiap Satuan Kerja atau Organisasi di Negara pimpinan mengetahui karakter, kemampuan, ini. Melihat kondisi di atas, dalam benak potensi dan minat setiap bawahan. Seorang kita tentu akan muncul pertanyaan, kenapa bawahan yang tidak bisa mengoperasikan hal yang seperti ini terjadi ? Sama seperti komputer, janganlah disuruh untuk membuat yang ada dibenak mereka. Menurut mereka, dan mengetik laporan, surat ataupun hal ini terjadi disebabkan karena belum pekerjaan yang berhubungan dengan adanya kejelasan pembagian tugas dan komputer, tetapi berikanlah dia tugas diluar kewenangan yang jelas kepada staf, mereka itu seperti sebagai caraka (pengantar surat), bekerja setelah adanya perintah dari atasan supir, ataupun tugas tugas lainnya yang dan terkadang tanpa tahu apa yang mereka mampu dikerjakan dan sebaliknya, seorang
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
25
Fokus Utama staf yang punya kemampuan sebagai konseptor, ahli komputer dan pekerjaan administrasi, janganlah diserahkan tugas sebagai caraka ataupun tugas lainnya yang hanya mengandalkan tenaga, jika hal itu tetap dipaksakan maka lama kelamaan yang bersangkutan akan menjadi malas ataupun tetap bekerja karena terpaksa. Seorang pimpinan organisasi yang memahami kondisi organisasi dan bawahannya akan menganggap hal tersebut sebagai aset yang sangat potensial yang perlu dikembangkan dan diberdayakan dalam memajukan Visi dan Misi organisasinya; Ketigabelas, Pemberian Reward dan Konsistensi Penjatuhan Punishment Yang Masih Kurang. Dalam suatu kesempatan diskusi dikalangan aparatur, pernah terlontarkan pertanyaan yang perlu menjadi bahan pemikiran bersama, “Kenapa Budaya Kerja dapat diterapkan di Instansi Swasta?” Kenapa pelayanan yang diberikan aparatur dinilai oleh sebagian masyarakat masih rendah dan belum dapat memuaskan masyarakat, dibandingkan dengan yang diberikan oleh pihak Intsansi swasta? Kenapa motivasi dan semangat pegawai dalam melaksanakan tugasnya sebagai aparatur masih kurang?“ dan segala macam pertanyaan kenapa? Yang pada intinya semuanya menunjukkan rendahnya penilaian terhadap kinerja aparatur pemerintah saat ini. Menurut beberapa kalangan pengamat Budaya Kerja, hal ini terjadi disamping belum adanya standar baku dalam penilaian kinerja individu aparatur, pemberian reward (penghargaan terhadap prestasi) dan konsistensi dalam penjatuhan punishment (sanksi hukuman terhadap pelanggaran)
26
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
pun yang masih sangat kurang. Aparatur yang punya prestasi belum dihargai, sering terjadi kesenjangan dalam pengembangan karir aparatur, promosi dan pengembangan masih berorientasi kepada personal bukan berdasarkan kinerja. Begitu juga halnya dalam pemberian punishment, terlalu banyak toleransi, faktor dan pertimbanganpertimbangan lain yang digunakan di luar aturan baku yang telah ditetapkan; Keempatbelas, Keadilan dan Keterbukaan tidak sepenuhnya dijalankan. Idealnya seorang Aparatur haruslah dapat memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang dilayaninya sesuai dengan fungsi, tanggung jawab dan kewenangan yang dimilikinya dengan tetap memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai aparatur, dan setiap tugas yang dilaksanakan tidak dikerjakan secara sembunyi-sembunyi, adanya keterbukaan, dan tetap mengacu kepada standar baku yang telah ditetapkan, baik itu mengenai prosedur, persyaratan, waktu maupun biaya yang diperlukan dalam penyelesaian urusan. Keadaan yang terjadi dewasa ini adalah masih banyaknya aparatur yang belum memahami makna keadilan dan keterbukaan itu sendiri, sehingga dalam penerapannya sering terjadi kesenjangan dan perlakuan yang diskriminatif disebabkan karena adanya faktor-faktor kepentingan pribadi dan golongan, kepentingan material lebih diutamakan karena masih rendahnya pendapatan aparatur itu sendiri. Kondisi seperti ini makin berkembang dengan belum adanya rekruitmen dan pengembangan karir aparatur yang belum mengacu kepada merit sistem serta penilaian kinerja individu yang
Fokus Utama belum jelas. Kelimabelas, Penguasaan Ilmu dan Teknologi Yang Masih Rendah. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan suatu persyaratan yang sangat mutlak dalam penerapan Budaya Kerja. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat dialihkan (ditransformasikan) menjadi nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam manajemen pemerintahan sehingga akan diperoleh hasil yang optimal, efektif dan efisien. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan dapat dikembangkan dalam mencari cara/motodemetode baru yang lebih cepat dalam penyelesaian pekerjaan, sehingga efektifitas dan efisiensi kinerja akan dapat diwujudkan. Dikalangan aparatur sendiri, penguasaan IPTEK ini dirasakan masih sangat kurang sekali. Seringkali kebijakankebijakan yang diambil selama ini masih belum berorientasi kepada perkembangan dan kemajuan, masih banyak diantara kita yang masih berfikiran sempit dalam menanggapi kemajuan IPTEK tersebut, tanpa memperhatikan hasil yang akan diperoleh dengan pengembangan IPTEK di lingkungan kerjanya, usulan pengembangan IPTEK pun masih dipandang sebelah mata, masih adanya anggapan kalau bisa dikerjakan secara manual kenapa mesti mengunakan kecanggihan teknologi. Keadaan yang terjadi seperti inilah yang menyebabkan birokrasi pemerintahan selalu tertinggal jauh dari swasta yang selalu mengikuti, mengadopsi serta menerapkan teknologi dalam pencapaian kinerja organisasinya. Melihat kondisi riil di atas dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi dalam mewujudkan Budaya Kerja Aparatur di
Birokrasi Pemerintahan ini, maka untuk dapat mewujudkan Budaya Kerja Aparatur tersebut merupakan hal yang masih sangat sulit pada saat ini, disamping harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan adanya komitmen bersama untuk memutuskan rantai budaya negatif birokrasi yang sudah tertanam dan mengakar di lingkungan aparatur selama ini, namun menurut beberapa rekan-rekan aparatur di lingkungan kerja penulis, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, dengan niat baik, kemauan, komitmen dan kebulatan tekad dari semua pihak untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik, serta diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan aparatur, mereka sangat yakin dan percaya Budaya Kerja Aparatur tersebut akan dapat tercapai, dan menurut mereka kunci dari semua itu adalah adanya kemauan dan dukungan dari pimpinan, kebersamaan bukan hanya slogan, namun dapat diaplikasikan dalam setiap oganisasi secara nyata, dengan moto : “ Aku ada karena orang lain. Aku berhasil karena orang lain dan Aku tidak akan berarti apa-apa tanpa orang lain”. [Ali Yuddin]
Seseorang yang berfikir, akan mampu mengubah padang pasir menjadi kebun yang indah. Hitunglah nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepadamu sebagai ganti dari menghitung kelelahanmu.
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
27
Fokus Utama Realisasi Budaya Kerja dan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian Agama Oleh: Pramono
D
alam suatu hadist dikisahkan bahwa Nabi pernah melaksanakan suatu perbuatan yang menjadi idola, dan menjadi pekerjaan yang rutinitas dan sekaligus menjadi budaya yang selama hidupnya dikerjakan oleh Nabi, yaitu shalat di malam hari, dan selalu berbuat baik terhadap tetangganya, walaupun tetangganya belum memeluk agama Islam, walaupun tetangganya selalu mengganggu ketenangan hidup Nabi. Namun, Nabi selalu bersikap toleransi, dan sikap sabar dan tawakal. Dasar pemikiran penulis dalam mengungkapkan suatu hadist diatas, dapat diambil suri tauladan Nabi dalam menjalankan hidupnya sehari-hari, yaitu selalu berpikir posisitif. Hal ini berkaitan dengan semboyan budaya kerja yang tengah disuarakan atau didengung-dengungkan oleh para pemimpin di lingkungan Kementerian Agama. Budaya kerja adalah cara pandang dan suasana hati yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja yang baik. Memahami dan mengimplementasikan dan mengembangkan budaya kerja yang merupakan tugas berat yang harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku manusia serta akan memiliki makna yang lebih jika dijiwai dengan nilai-nilai spiritual sebagai sumber nilai yang tidak pernah kering.
28
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Budaya kerja dalam reformasi birokrasi dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam institusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku aparatur Negara. Makna yang terkandung dalam budaya kerja perlu dijabarkan dan diimplementasikan melalui 5 tahapan audit yang menurut penulis perlu dilakukan yakni: (1) Bekerja sama yang baik maksudnya adalah didalam melakukan sesuatu pekerjaan kita harus melaksanakan pekerjaan secara bersama sama, saling mendukung antara satu dengan yang lain, saling memberikan informasi, saling memberikan masukan dan saling memberikan data yang dibutuhkan pada saat kita melakukan audit yang bersifat komprehensif, sehingga diharapkan hasil audit yang sulitpun dapat dilaksanakan dengan mudah dan mendapatkan hasil yang positif; (2) Jujur maksudnya adalah didalam melakukan audit atau suatu pekerjaan hendaknya berlaku jujur dalam mengungkap masalah, tidak ditutup-tutupi dan tidak berlaku curang, berbuat jujur dengan sesama tim dan anggota tim, kemudian hasil audit supaya disampaikan kepada ketua tim apa adanya dengan mengacu pada hasil audit yang relevan, kompeten, material dan cukup bukti serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya; (3) Amanah maksudnya adalah didalam melakukan audit supaya berlaku amanah, serta menyampaikan kepada orang yang mempunyai hak, tidak disampaikan kepada orang yang tidak mempunyai hak
Fokus Utama
Pembinaan dan Penilaian Jabatan Fungsional (PAK) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
dan tanggungjawab. Hasil audit yang akan disampaikan hendaknya kepada orang yang tepat sasaran dan tujuan, sehingga dapat ditindaklanjuti segera mungkin dan hasil audit dapat ditindaklanjuti ditempat atau didaerah tersebut; (4) Hemat maksudnya adalah didalam melakukan audit tidak boros, dan tidak menghambur hamburkan biaya oleh karena itu diperlukan skala prioritas dengan memberikan bobot yang paling tinggi terhadap resiko audit yang akan dihadapi, karena dengan menerapkan audit berbasis resiko maka akan dapat mendeteksi sedini mungkin masalah yang akan terjadi dan dapat diminimalisir permasalahan yang ada; (5) Rukun dan kompak maksudnya adalah didalam melakukan audit kita harus rukun dan kompak dengan teman satu tim baik dalam hal audit maupun dalam berinteraksi sesama teman, bersosialisasi, saling tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama teman satu tim, antara satu dengan yang lain tidak ada yang merasa lebih pintar dari yang lain, merasa lebih hebat. Kita semua auditor adalah sama, karena kita telah diuji
melalui ujian JFA oleh BPKP dengan melalui beberapa tahapan, sehingga jangan ada yang merasa dirinya lebih pintar dari auditor yang lain, sebab bila ada yang merasa lebih pintar, lebih hebat dan lebih dari segalanya, maka kerukunan dan kekompakan tidak akan terwujud, akibatnya hasil audit tidak maksimal dan tidak menghasilkan audit yang memuaskan. Menurut Asip. F. Hadipranata, menyatakan bahwa Budaya kerja adalah perilaku budaya yang terjadi karena internalisasi (budaya) keyakinan nilai kerja yang berasal dari bahan kebudayaan, baik nilai keagamaan Imtaq, Imas, Iptek, adat istiadat, hukum, etika, dsb serta ditumbuhkembangkan sebagai etos. Sedangkan menurut Bahrul Hayat menyatakan Budaya kerja merupakan implementasi nilai dasar “Ikhlas Beramal“ memerlukan tahapan dan proses panjang serta terus menerus sehingga menjadi budaya kerja yang sehat (healthy) dan kuat (strong).
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
29
Fokus Utama Berdasarkan pendapat kedua pakar paradigma birokrasi yang primordial menjadi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa melayani masyarakat; (5) Birokrasi yang budaya kerja adalah merupakan perilaku yang terdesentralisasi, dengan menejemen yang didasarkan atas perintah Allah semata-mata benar, dibuat aturan agar pimpinan lembaga untuk melakukan perbuatan yang baik dan mendelegasikan sebagian kewenangan benar menurut aturan yang telah disepakati pengambilan keputusan kepada aparatur oleh kita bersama melalui norma dan susila terdepan, sehingga pengambilan keputusan administrasi pemerintahan dan pelayanan yang ada d dalam dunia ini. Terkait dengan reformasi public dapat dipersingkat dan dipercepat, birokrasi, ada 5 sasaran yang dicanangkan efektif, efisien, dan lebih produktif. U n t u k pemerintah yakni; melakukan reformasi (1) Terwujudnya birokrasi dalam birokrasi yang bersih Hidup ini singkat, maka jangan membuat meningkatkan dan berwibawa, lebih singkat lagi Kinerja Kementerian dengan upaya yang dengan sesuatu yang sia-sia. Agama diperlukan difokuskan pada tahapan dan langkah pencegahan KKN Berbahagialah sekarang sebagai berikut: melalui pembenahan dan jangan menundanya esok ...... (1) Penciptaan tata sistem pengelolaan kelola pemerintahan anggaran, perbaikan Jangan ceritakan beban kehidupan yang bersih dan kesejahteraan kecuali kepada orang-orang bebas KKN; Dalam pegawai, peningkatan yang membantumu dengan pikiran rangka mendorong pengawasan, dan dan ucapan demi sebuah kebahagiaan. terwujudnya tata penegakan aturan kelola pemerintahan hukum; (2) Birokrasi (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah) yang bersih dan bebas yang efisien, efektif, dari KKN diperlukan dan produktif, kreatif, adanya semangat dan inovatif dengan mengurangi pemborosan keuangan Negara atau cita-cita kearah yang lebih baik, oleh melalui program program penghematan karena itu kita harus mampu menciptakan pembiayaan birokrasi; (3) Birokrasi yang budaya kerja atau etos kerja yang lebih baik transparan dan akuntabel, yang difokuskan dari hari kemarin melalui campur tangan para agar praktek penyelenggaraan urusan pimpinan serta memberikan suri tauladan, pemerintahan dan pelayanan umum dapat tingkah laku serta sikap yang santun, berlaku diakses secara luas oleh masyarakat, sehingga jujur dalam bertindak dan memberikan dapat mempersempit peluang KKN, serta rewards and punishment terhadap bawahan dalam rangka pemberdayaan masyarakat; apabila menjalankan tugas dengan baik. (4) Birokrasi yang amanah melayani, yang Pemimpin jangan hanya dapat mengatakan dilakukan dengan mengubah orientasi dan sesuatu itu baik, harus dilaksanakan, harus
30
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Fokus Utama dikerjakan, harus diikuti , tetapi pimpinan itu sendiri tidak mau menjalankan dan melaksanakan sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Kaburo maqtan indallaahi an taquuluu maa laa taf’alun artinya Besar dosanya disisi Allah yaitu orang-orang yang dapat berkata-kata tetapi tidak dapat mengamalkan atau menjalankan; (2) Terwujudnya kerukunan intern dan antar umat beragama; Dengan adanya Forum Kerukunan Umat Beragama dalam rangka mendukung terciptanya kerukunan antar dan inter umat beragama, maka forum ini diperlukan untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan keberadaan umat beragama di muka bumi ini, sehingga saling toleransi antar sesama umat beragama, saling menghargai, saling menghormati, hidup berdampingan, tidak saling mengusik satu agama dengan agama lain, saling rukun dan kompak. Antar pemuka agama agar saling mendukung program kerja masing-masing agama, tidak saling curiga mencurigai, serta mempunyai wawasan kebangsaan yang lebih baik; (3) Terlaksananya penyelenggaraan haji yang semakin baik dari sisi pelayanan; Penyelengaraan haji yang sukses dan baik dapat memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi Negara Indonesia, terutama di mata negara asing yang selalu mendiskreditkan Negara Indonesia yang kita cintai, dengan adanya pelaksanaan haji yang baik dan sukses menjadi cermin dan tolok ukur keberhasilan khususnya Kementerian Agama, dan umumnya bangsa Indonesia ini. Oleh karena itu diperlukan tanggungjawab semua pihak, baik aparatur pemerintah maupun swasta demi terwujudnya kinerja Kementerian Agama yang lebih baik dari sisi
pelayanan maupun tanggungjawabnya; (4) Peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan; Peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan merupakan prioritas yang utama dalam rangka mendorong terwujudnya kinerja Kementerian Agama yang lebih baik melalui kerja keras di setiap unit instansi Kementerian Agama, dengan terbitnya Surat Edaran Sekjen Kementerian Agama tentang Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Agama RI, dalam rangka reformasi Birokrasi diperlukan peningkatan disiplin dan produktifitas kerja pegawai sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1985 tentang hari kerja di lingkungan lembaga pemerintah, maka kita harus melakukan tugas secara maksimal dalam rangka meningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan melalui rekruitmen guruguru agama yang berkualitas dan mempunyai keahlian yang memadai serta professional di bidangnya. Sehingga dengan produk guru yang berkualitas dapat menjamin mutu pendidikan agama dan keagamaan semakin semarak dan meningkat. Bahkan sekarang ini para guru dituntut untuk berperan aktif dalam rangka meningkatkan profesionalitas dan kreatifitas yang sangat tinggi dalam hal mewujudkan cita cita peserta didik melalui jenjang pendidikan yang dapat mengarahkan siswa kepada tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu peran para guru sangat dominan di dalam mendorong siswa-siswinya untuk dapat bersaing dengan negara lain dalam hal peningkatan kualitas standard nilai yang saat ini masih kalah dibandingkan dengan negara lain. [Pramono]
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
31
Fokus Utama Peningkatan Kinerja Menuju Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian Agama Oleh: Nasrullah
D
i antara upaya pemerintah dalam menindaklanjuti tuntutan aspirasi reformasi adalah diterbitkannya Undangundang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Yang terpenting dalam kebijakan tersebut yaitu dikembangkannya akuntabilitas kinerja aparatur sebagai wujud implementasi dari tuntutan aspirasi arus reformasi yang sedang berjalan, agar aparatur Negara mampu mempertanggungjawabkan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada rakyat Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Negara sesuai dengan tata aturan. Selanjutnya, sebagai penjabarannya diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Negara. Peraturan Pemerintah tersebut dimaksudkan antara lain menjelaskan bahwa yang dimaksud peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilaksanakan dengan menaati aturan-aturan hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Good governance atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang telah menjadi tuntutan masyarakat agar pengelolaan Negara dijalankan secara amanah dan bertanggungjawab. Sebagaimana kita ketahui
32
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
bahwa kepemerintahan ini mempunyai komitmen melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, baik dijajaran aparatur pemerintah maupun sektor swasta dengan menerbitkan Insruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Keseriusan aparatur pemerintah dalam menindaklanjuti komitmen tersebut sangat diharapkan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang diharapkan. Tentunya melalui kerja keras, komitmen, dan konsistensi dari seluruh elemen masyarakat menjadi unsur utama dalam upaya pemberantasan KKN. Konsep reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah untuk mewujudkan good governance tersebut sudah selayaknya mendapakan dukungan penuh dari seluruh kompenen aparatur Negara. Perbaikan manajemen pemerintahan harus dimulai dari perubahan mental, budaya kerja, dan restrukturisasi organisasi, dan perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai. Visi reformasi berokrasi merupakan terwujudnya tata kepemerintahan yang baik, sedangkan misi reformasi birokrasi adalah membangun, menata ulang, menyempurnakan, membina, dan menerbitkan birokrasi pemerintahan, agar mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya. Adapun target dan sasaran reformasi birokrasi adalah terbentuknya: birokrasi yang bersih dan anti KKN, birokrasi yang efisien, efektif dan hemat dalam memanfaatkan sumber daya, birokrasi yang transparan, birokrasi yang melayani,
Fokus Utama serta birokrasi yang terdesentralisasi. Sebagaimana kita ketahui dalam birokrasi masih banyak kelemahan dan hambatan, antara lain disebabkan rendahnya kualitas pegawai yang berpengaruh terhadap rendahnya produktifitas, lemahnya daya saing, dan inefisiensi. Kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan. Dengan demikian diperlukan upaya mereformasi birokrasi agar mampu memberdayakan sumber daya yang ada untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Untuk itu diperlukan: perubahan mindset budaya organisasi; penyempurnaan struktur organisasi; penyempurnaan peraturan perundang-undangan; remunerasi pegawai/perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai, serta upaya-upaya yang sangat diperlukan untuk perbaikan suasana kinerja dan system organisasi dalam menjawab berbagai tantangan zaman. Di lingkungan Kementerian Agama, reformasi birokrasi tersebut segera diimplementasikan dalam struktur birokrasi sesuai dengan komitmen Menteri Agama untuk membersihkan Kementerian Agama dari KKN dan hal-hal yang bisa merusak lingkungan kerja. Sebagaimana diketahui bahwa tugas dan fungsi Kementerian Agama cukup luas dan langsung berdampak kepada pelayanan masyarakat. Tugas tersebut meliputi pelayanan bimbingan ibadah, pelayanan nikah pada KUA Kecamatan, pelayanan pendidikan pada madrasah/sekolah dan perguruan tinggi, serta pelayanan ibadah haji. Dalam rangka menciptakan reformasi birokrasi tersebut sangat dibutuhkan upaya yang kuat dari dalam organisasi dengan melakukan banyak perubahan mulai dari pimpinan sebagai teladan hingga ke level
terendah dalam struktur birokrasi. Untuk itu dibutuhkan kesamaan persepsi dan kesamaan langkah serta cara pandang di seluruh satuan unit kerja, baik di pusat maupun daerah untuk merumuskan dan mengaplikasikannya ke dalam praktek kinerja sehari-hari di lingkungan Kementerian Agama. Fungsi Itjen Sebagai Katalisator dan Konsultan dalam Pengawasan Tugas dan fungsi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, selanjutnya berubah menjadi Kementerian Agama dalam Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi Kementerian Negara, sebagaimana tersebut bahwa Inspektorat Jenderal sebagai unsur pengawas yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri melaksanakan pengawasan intern dengan menyelenggarakan fungsinya yaitu penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern; pelaksanaan pengawasan intern terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, revieu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya; pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan menteri; penyusunan laporan laporan hasil pengawasan; dan pelaksanaan administrasi Inspektorat Jenderal. Sebagai pembantu Menteri Agama dibidang pengawasan, Inspektorat Jenderal berupaya untuk meningkatkan dan menyempurnakan kinerjanya dalam rangka mendukung perwujudan prima menuju reformasi birokrasi dilingkungan Kementerian Agama. Hasil pemeriksaan
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
33
Fokus Utama merupakan hal penting dalam menjalankan Agama Nomor IJ/154/2006 tentang penetapan program kerjanya sesuai dengan visi dan misi prosedur dan mekanisme kerja koordinator organisasi. Oleh karena itu fungsi Sebagai penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan. katalisator artinya pengawasan harus dapat Prosedurnya yaitu dengan membentuk tim mendorong terwujudnya good governance, koordinasi penyelesaian Tindak Lanjut Hasil mengandung arti bahwa pengawasan harus Pengawasan (TLHP) dilingkungan satuan menjadi tauladan dalam membangun kinerja organisasi; melakukan rapat pembahasan sebagai salah satu lembaga pemerintah, penyelesaian TLHP dilingkungan satuan disamping itu lembaga pengawasan harus organisasi masing-masing; menghimpun dan dapat membangun system nilai berupa menginventarisir Saran Tindak Lanjut dari kehidupan birokrasi pemerintah yang setiap LHA/STL yang diterima dari Inspektorat akuntabel, transparan dan partisipatif Jenderal Kementerian Agama, BPKP, BPK-RI, sebagai modal dan pilar dan/atau surat pengaduan utama terwujudnya masyarakat; melakukan good governance. analisis LHA/STL terdiri Sedangkan fungsi sebagai atas temuan, penyebab, Hal yang tersulit sekalipun konsultan pengawasan rekomendasi, dan akan menjadi mudah memiliki pengertian pelaksanaan tindak lanjut; dengan seulas senyum bahwa bukan hanya melakukan konfirmasi dari seseorang yang jujur. menyuguhkan daftar baik secara lisan maupun temuan dan rekomendasi tertulis atas laporan saja, melainkan juga penyelesaian tindak memberikan pembinaan lanjut kepada pimpinan satuan organisasi/ dan pemahaman terhadap auditan, kerja sebagai penanggungjawab pelaksana pembinaan dilakukan terutama dalam tindak lanjut; mencatat perkembangan membimbing auditan untuk memecahkan penyelesaian TLHP dari semua informasi yang berbagai permasalahannya sesuai dengan diterima dari penanggungjawab auditan; peraturan perundang-undangan yang melakukan pemantauan dan evaluasi berlaku. penyelesaian TLHP dengan melakukan telaah dan analisis terhadap surat tanggapan Mekanisme Penyelesaian Tindak Lanjut atau laporan pelaksanaan TLHP yang Hasil Pengawasan (TLHP) diterima dari pimpinan satuan organisasi Dalam rangka efektifitas dan efisiensi penaggungjawab auditan; melakukan pelaksanaan tugas penyelesaian tindak inventarisasi permasalahan dan hambatan lanjut hasil pengawasan serta percepatan penyelesaian TLHP; mendorong percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan penyelesaian TLHP terhadap pimpinan dan peningkatan kinerja dilingkungan auditan yang melebihi batas waktu yang telah Kementerian Agama. Maka sesuai dengan ditentukan dalam STL; menjadi utusan dalam Keputusan Inspektorat Jenderal Departemen pelaksanaan pemutakhiran data hasil audit
34
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Fokus Utama Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, BPKP, BPK-RI, dan pengaduan masyarakat, baik yang dilaksanakan ditingkat pusat maupun daerah; membuat laporan perkembangan penyelesaian TLHP; menyampaikan laporan pelaksanaan penyelesaian TLHP secara berkala agar tidak terjadi penundaan tindak lanjut. Adapun mekanismenya yaitu Inspektorat Jenderal menyampaikan analisis hasil pengawasan internal, eksternal, dan pengaduan masyarakat kepada koordinator TLHP; koordinator TLHP menerima analisis hasil pengawasan tersebut untuk klasifikasi berdasarkan auditan dan temuan sebagai bahan rapat koordinasi penyelesaian TLHP; koordinator TLHP mengundang para pimpinan satuan organisasi/ kerja auditan untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian TLHP; pimpinan satuan organisasi/kerja auditan melakukan penyelesaian tindak lanjut bersama pihak terkait disertai dengan bukti penyelesaian yang sah. Khusus temuan hasil audit BPKP, penyelesaian tindak lanjutnya harus mendapatkan legalitas dari pejabat BPKP perwakilan; koordinator TLHP menerima, meneliti, dan menguji kebenaran bukti penyelesaian TLHP dari pimpinan satuan organisasi/kerja auditan; koordinator TLHP dapat melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada pimpinan satuan organisasi/kerja auditan dan penanggung jawab temuan bila tidak melaksanakan upaya penyelesaian tindak lanjut paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak auditan mendapatkan Laporan Hasil Audit/Saran Tindak Lanjut; koordinator TLHP dapat melakukan konfirmasi kepada pimpinan satuan organisasi/kerja auditan terhadap penyelesaian TLHP yang tidak sesuai dengan
rekomendasi; koordinator TLHP menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan tindak lanjut kepada Inspektur Jenderal Kementerian Agama; Inspektur Jenderal menerima dan memberikan penilaian atas laporan penyelesaian tindak lanjut yang disampaikan koordinator TLHP; Inspektur Jenderal dapat menyampaikan surat teguran kepada pimpinan satuan organisasi auditan dengan tembusan atasan langsungnya bila tidak segera melakukan penyelesaian tindak lanjut atas temuan yang melebihi batas 6 bulan terhitung sejak diterimanya Laporan Hasil Audit/Saran Tindak Lanjut; Inspektur Jenderal dapat melimpahkan kasus yang penyelesaian tindaklanjutnya melebihi batas waktu yang ditentukan kepada aparat penegak hukum setelah memperoleh masukan dari koordinator TLHP; Inspektur Jenderal dapat memberikan penilaian positif berupa penghargaan atas kinerja koordinator TLHP. Temuan Hasil Audit Inspektorat Jenderal Kementerian Agama mempunyai tugas melakukan pengawasan fungsional di lingkungan Kementerian Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu upaya meningkatkan fungsi pengawasan adalah melakukan pemantauan tindak lanjut hasil audit untuk melihat dari dekat sampai sejauhmana temuan-temuan yang belum ditindaklanjuti dan menampung berbagai permasalahan yang timbul baik dalam proses pelaksanaan pekerjaan maupun berdasarkan laporan/informasi yang disampaikan. Hasil audit adalah laporan hasil
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
35
Fokus Utama pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeiksaan terutama data temuan, simpulan hasil pemeriksaan, saran/rekomendasi. Temuan yang dicatat adalah temuan yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan, adapun unsur-unsurnya adalah: Kondisi kejadian yang melingkupi temuan; Kriteria atau ketentuan yang dilanggar; Sebab terjadinya penyimpangan; Akibat ditimbulkan oleh penyimpangan; Saran/rekomendasi pemeriksaan sebagai acuan dalam tindak lanjut hasil pengawasan. Adapun data lain yang terkait dengan temuan dan perlu dicatat antara lain yaitu Pelaku atau penanggungjawab utama penyimpangan; Instansi tempat kejadian; Instansi yang memeriksa/melaporkan temuan; Waktu kejadian; Jenis kejadian; Nilai kerugian Negara; Nilai anggaran; Periode anggaran. Tindak Lanjut Hasil Audit Dalam melaksanakan pengawasan fungsional, inspektorat jenderal melaksanakan audit operasional, audit investitigasi, maupun audit special. Hasil audit tersebut berupa temuan, sebab, dan rekomendasi yang wajib dilaksanakan tindak lanjut sesuai dengan saran yang diberikan. Kualitas hasil audit sangat berpengaruh terhadap kinerja pengawasan secara khusus, maupun kinerja Kementerian Agama secara umum. Tindak lanjut atas pelaksanaan audit merupakan upaya perbaikan, masukan, dan evaluasi bagi unit terperiksa (auditan) sehingga penyimpangan yang terjadi segera diperbaiki, kinerja ditingkatkan, dan kesalahan yang sama tidak terjadi lagi pada masa mendatang. Sehingga tindak lanjut atas
36
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
hasil pengawasan merupakan keharusan dan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari system pengawasan. Untuk memberikan status terhadap kesahihan dan kevalidan bukti penyesuaian tindak lanjut hasil pengawasan, dibutuhkan penilaian dari para auditor yang dahulu melaksanakan audit pada auditan yang bersangkutan. Dengan pemberian status tersebut, maka aspek legalitas penyelesaian tindak lanjut dapat terpenuhi dan sekaligus auditor dapat melaksanakan monitoring terhadap penyelesaian temuan tersebut. Oleh karena itu, adanya suatu kegiatan koordinasi internal Tindak Lanjut Hasil Pengawasan (TLHP) merupakan salah satu wujud dari upaya menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas pengawasan. Pada kegiatan ini akan dikoordinasikan jumlah temuan hasil audit Inspektorat Jenderal dan penyelesaian saran tindak lanjutnya. Hal ini diperlukan mengingat para auditor merupakan pelaksana tugas pengawasan, sedangkan dari pihak sekretariat bertugas mengolah hasil pengawasan. Kedua unsur tersebut dibutuhkan kesepahaman/ kesamaan persepsi dan data atas temuan dan perkembangan penyelesaian tindak lanjutnya. Kewenangan untuk menyatakan status temuan selesai adalah auditor, sedangkan sekretariat bertugas menghimpun dan mengolah temuan dan tindak lanjutnya, serta menyampaikan hasilnya kepada pimpinan sebagai bahan penetapan kebijakan lebih lanjut. Dalam beberapa kasus yang masih terdapat temuan yang belum ditindak lanjuti, baik yang bersifat administrasi, kerugian Negara, maupun hukuman disiplin pegawai.
Fokus Utama Temuan tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk mencari penyebab atas hambatan kendala penyelesaiannya: 1). Apabila terdapat hambatan/kendala karena temuan tidak dapat ditindaklanjuti, maka perlu dianalisis lebih lanjut, mengapa tidak dapat ditindaklanjuti dan diberikan solusi pemecahannya. 2). Apabila hal tersebut disebabkan kelalaian penanggungjawab temuan dan kelalaian atasan langsungnya, maka perlu langkah lebih lanjut untuk diberikan sanksi hukum atas kelalaian penyelesaian temuan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan: 1). Pemanggilan para pimpinan tertinggi satuan kerja daerah (Kakanwil, Rektor, Ketua STA Negeri) untuk mendapatkan informasi dan teguran atas lambatnya penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan.; 2). Pemberian surat peringatan kepada pimpinan auditan untuk segera menyelesaikan temuan agar tidak menjadi berlarut-larut. Perlu diketahui bahwa penyelesaian tindak lanjut akan dapat berjalan efektif bagi peningkatan kinerja bila dilaksanakan tepat waktu dan sesegera mungkin. Sebagai contoh, penjatuhan hukuman disiplin pegawai harus dilaksanakan saat itu juga, jangan sampai pegawai tersebut sudah beralih status, mutasi, atau pensiun, sedangkan tindakan belum dilaksanakan. Pemberian surat peringatan akan diformulasikan sebagai berikut: 1). Pemberian surat peringatan pertama (SP1) bila temuan belum ditindaklanjuti selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak LHP/STL disampaikan; 2). Pemberian surat peringatan kedua (SP2) bila temuan belum ditindaklanjuti selama 2 (dua) bulan terhitung sejak SP1 disampaikan; 3). Pemberian surat peringatan ketiga (SP3) bila
temuan belum ditindaklanjuti selama 1 (satu) bulan terhitung sejak SP2 disampaikan; 4). Bila temuan belum ditindaklanjuti hingga batas waktu 6 (enam) bulan, maka perlu diambil kebijakan lebih lanjut berupa: a). Penugasan tim monitoring penyelesaian tindak lanjut; b). Tindakan berupa sanksi hukuman disiplin, atau; c). Penyerahan kasus kepada pihak yang berwajib (alternative terakhir). Jenis-jenis tindak lanjut dikelompokkan berkaitan dengan bunyi saran/rekomendasi yang diterima antara lain: (1). Penyetoran ke kas Negara; 2). Pengembalian barang kepada Negara; 3). Perbaikan fisik barang/jasa dalam proses pembangunan; 4). Penghapusan barang atau inventaris kekayaan Negara; 5). Pelaksanaan sanksi hukum pidana penjara sesuai putusan pengadilan; 6). Pelaksanaan sanksi administrasi kepegawaian; 7). Perbaikan laporan dan penertiban administrasi atau kelengkapan administrasi; 8). Perbaikan system, prosedur, peraturan, kebijakan, dan struktur; 9). Penyerahan penanganan kasus pada instansi penegak hukum; 10). Penyerahan penagnanan kasus pada instansi selain penegak hukum; 11). Pelaksanaan penelitian oleh tim khusus atau audit lanjutan oleh unit pengawas intern; 12). Belum dilakukan tindak lanjut atas saran/ rekomendasi pemeriksaan. Sedangkan dalam status tindak lanjut antara lain mengelompokkan perkembangan tindak lanjut seperti berikut: a). Telah selesai ditindak lanjuti; b). Telah selesai ditindak lanjuti instansi tetapi menunggu klarifikasi pemeriksa; c). Baru sebagian ditindaklanjuti atau dalam proses tindak lanjut (dipantau); d). Belum ditindak lanjuti; e). Tidak dapat ditindak lanjuti atau dilakukan tindakan
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
37
Fokus Utama lainnya. Kemudian menentukan status tindak lanjut atas temuan, temuan lazimnya terdiri atas satu saran atau lebih. Oleh karena itu penyajian status tindak lanjut dapat berupa: a). Temuan telah selesai ditindaklanjuti jika seluruh saran dengan temuan telah dinyatakan selesai, melalui klarifikasi yang mengaudit; b). Temuan telah ditindaklanjuti instansi tetapi menunggu klarifikasi auditor; c). Temuan baru sebagian ditindaklanjuti atau dalam proses tindak lanjut jika baru sebagian yang telah selesai ditindaklanjuti dan sebagian sisanya masih dalam proses tindak lanjut; d). Temuan belum ditindaklanjuti (pending) jika temuan tersebut belum ada upaya pelaksanaan tindak lanjut. Status tindak lanjut atas saran, identifikasi melalui pelaksanaan tindak lanjut sebagai berikut: a). Saran telah selesai ditindaklanjuti jika dinyatakan selesai serta mendapat pengesahan atau klarifikasi pemeriksa; b). Saran telah ditindaklanjuti instansi tetapi menunggu klarifikasi pemeriksa jika belum mendapat klarifikasi status tindak lanjut dari pemeriksa; c). Saran baru sebagian ditindaklanjuti/dalam proses (pantau) jika belum mendapat pengesahan atau klarifikasi pemeriksa; d). Saran belum ditindaklanjuti jika belum ada data tindak lanjut yang dilaporkan. Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Audit pada hakekatnya dilkukan atas dasar saran/rekomendasi pemeriksa. Sedangkan saran/rekomendasi yang menjadi acuan untuk dilakukan adalah sebagaimana terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan yang diterima instansi. Suatu tindak lanjut dinyatakan sah jika telah dilakukan klarifikasi
38
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
tindak lanjut kepada yang melakukan audit. Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Audit menjadi tanggungjawab pemimpin instansi yang diperiksa, pejabat yang bertanggungjawab melaksanakan tindak lanjut adalah pihak yang paling berkompeten melakukan tindakan sesuai saran/rekomendasi pemeriksaan. Diharapkan dengan adanya langkah-langkah konkrit atas penyelesaian tindak lanjut, dapat memberikan kontribusi bagi perwujudan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama. Penutup Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) merupakan tiga kata yang sangat membantu dalam proses pencapaian tujuan organisasi, melihat pentingnya arti tersebut perlu penjabaran; bahwa Koordinasi adalah kegiatan memadukan elemen fungsi dan sumber daya yang ada dalam satu sistem atau organisasi, sehingga dapat dicapai hasil yang optimal dalam upaya pencapaian dan sasaran serta tujuan organisasi. Sedangkan Integrasi adalah proses mengkoordinasikan berbagai tugas, fungsi, dan bagian-bagian tertentu, untuk dapat bekerja sama dan tidak saling bertentangan dalam pencapaian sasaran dan tujuan. Selanjutnya Sinkronisasi adalah kegiatan menyerasikan elemen fungsi atau bagian-bagian tertentu dalam sistem atau organisasi, sehingga menghasilkan keluaran yang harmonis dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan. Ketiga hal tersebut harus dilakukan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program kerja sebuah unit kerja dalam setiap kebijakan yang diambil sesuai kewenangannya masingmasing. [Nasrullah]
Fokus Utama Belajar dari Budaya Kerja Jepang
M
Oleh: Yanis Naini
enurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (2002), Budaya adalah pikiran, akal budi. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin atau akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu. Budaya kerja di lingkungan Kementerian Agama RI. Berdasarkan Peraturan menteri Agama Nomor 3 Tahun 3006 tentang organisasi dan Tata Kerja, Kementerian Agama RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang kegamaan (Pasal 2). Dengan memperhatikan tugas tersebut, Kementerian Agama telah menetapkan “ikhlas beramal” sebagai nilai dasar yang merupakan pondasi bangunan budaya organisasi yang harus diperkuat agar mampu menopang elemen budaya kerja lainnya, yakni persepsi kerja, sikap kerja, dan perilaku kerja. Sikap Kerja Aparatur Kementerian Agama bekerja untuk melayani, memberdayakan, dan meneladani, maka persepsi kerja dimaksud akan menjadi landasan fungsional untuk membentuk sikap kerja yang dikembangkan di lingkungan Kementerian Agama, yakni: (1)Jujur dan integritas; (2) Etika, akhlak mulia, dan keteladanan (3) Taat hukum dan keputusan; (4) Tanggung jawab dan
akuntabel; (5) Hormat Sejawat; (6) Komitmen; (7) Transparansi dan koordinasi; (8) Disiplin; (9) Bersahaja Perilaku Kerja Berdasarkan sikap kerja yang dikembangkan, maka perlu dibangun perilaku kerja yang akhirnya menjadi perilaku kerja produktif yang mengakar, yakni: (1) Bekerja sesuai rencana kerja; (2) Mencatat dan melaporkan hasil kerja; (3) Menunaikan amanah waku kerja; (4) Merekam/mencatat/ menabulasi data/informasi; (5) Melakukan monitoring dan evaluasi; (6) Melaksanaan pembinaan terhadap bawahan;(7) melakukan pelayanan, pembinaan, dan bimbingan kepada pelanggan, stakeholders, dan masyarakat; (8) Melahirkan gagasan untuk mengembangan sistem kerja dan pelayanan yang dituangkan dalam rencana kerja; (9) Memelihara martabat diri, harmoni kerja, hormat pimpinan, dan pencitraan organisasi; Pengembangan budaya kerja di lingkungan Kementerian Agama diharapkan dapat menjadi dasar melaksanakan reformasi birokrasi untuk mewujudkan good governance. Budaya Kerja di Jepang Melirik ke Negeri Sakura, dikenal 5S budaya kerja bangsa Jepang, yaitu: Seiri, Seiton, Seiso, Sheiketsu, Shitsuke. Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai 5R, yaitu: Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin.
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
39
Fokus Utama Ringkas Prinsip kerja ini merupakan prinsip kerja pemilahan barang. Sering kali kita jumpai suatu lingkungan kerja dengan kondisi barang yang tidak tertata rapi dan terkesan semrawut. Kita harus memilah antara barang yang masih digunakan, dan yang tidak. Antara barang yang reject dan yang siap pakai. Barang-barang tersebut harus dipilah sesuai dengan tempatnya masing-masing agar suasana kerja menjadi lebih ringkas. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam meringkas adalah (a) Frekuensi penggunaan barang (jarang, sering, selalu); (b) Fungsi kerja barang (rusak, perlu perbaikan, bagus). Dengan melakukan fase yang pertama ini, kita akan mendapatkan keuntungan antara lain: (1) Area kerja menjadi lebih luas, dan banyak space (tempat) yang bisa dimanfaatkan. Apabila kita menggunakan space sewa, kita dapat mengurangi biaya sewa tersebut; (2) Mencegah disfungsional dari barang yang ada. Yang seharusnya sudah rusak, dapat diketahui, dan tidak akan digunakan atau dikirim. (3) Mengurangi jumlah penggunaan media penyimpanan dan material handling tools. Misalnya barang yang tadinya letaknya berjauhan, karena sudah diringkas menjadi lebih dekat dan mengurangi jarak tempuh. Hal ini akan menghemat biaya transport.
penyimpanan yang dilakukan. Misal barang disimpan berdasarkan jenis materialnya, maka barang-barang tersebut juga harus dirapikan sesuai dengan jenis materialnya. Yang akan diperoleh jika prinsip yang kedua ini berjalan adalah: (1) Mempermudah pencarian barang karena barang-barang sudah terletak pada tempatnya; (2) Mempermudah penghitungan barang karena barang-barang sudah dirapikan sesuai dengan standar penyimpanan; (3) Kondisi kerja akan terlihat jauh lebih rapi dan sedap dipandang mata. Resik
Rapi
Resik adalah R yang ketiga yang juga kelanjutan dari 2R sebelumnya. Sesuai dengan namanya, Resik berarti membersihkan. Baik barang maupun lingkungan. Contoh keadaan yang disebut sebagai Resik antara lain: (1) Tidak ada jaring laba-laba di ruangan kerja; (2) Tidak ada coretan tidak perlu di pintu, papan pengumuman, atau rak; (3) Tidak ada meja kerja yang tidak bersih dan tidak tertata; (4) Tidak ada peralatan yang berdebu. Dengan melakukan R yang ketiga ini, akan diperoleh beberapa keuntungan seperti: (a) Lingkungan kerja jauh lebih bersih; (b) Meningkatkan mood untuk bekerja karena lingkungan lebih bersih; (c) Kualitas barang akan lebih bagus karena tidak kotor, terutama untuk barang yang sensitif terhadap kotoran seperti komputer, printer, dan lain-lain. (d) Meningkatkan image perusahaan di mata orang lain.
Setelah barang-barang diringkas, selanjutnya barang tersebut dirapikan sesuai dengan tempat penyimpanan dan juga standar penyimpanannya. Proses merapikan ini dapat dikerjakan sesuai dengan metode
Rawat Rawat adalah prinsip ke-4 dalam 5R. Rawat dimaksudkan agar masing-masing individu dapat menerapkan secara kontinu
40
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Fokus Utama
Budaya Kerja di Kementerian Agama
ketiga prinsip sebelumnya. Dalam fase ini dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan 3R sebelumnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah membuat checklist terhadap pekerjaan yang harus dilakukan, terkait dengan 3R sebelumnya. Pelaksanaan fase Rawat ini akan membuat lingkungan selalu terjaga dalam kondisi 3R secara terus menerus. Rajin Prinsip yang terakhir adalah Rajin. Fase ini lebih mengarah kepada membangun kesadaran masing-masing individu untuk secara konsisten menjalankan 4R sebelumnya. Diharapkan secara disiplin, masing-masing individu dapat menjalankan prinsip kerja tersebut meski tidak diawasi oleh atasannya. Beberapa hal yang menunjukkan bahwa seseorang sudah berada di level teratas dalam 5R ini adalah: (1) Membuang sampah pada tempatnya; (2) Tidak meludah di sembarang tempat; (3) Memungut sampah yang berceceran; (4) Merapikan barang tanpa
harus ada perintah dari atasan. Secara umum, 5R akan memberikan dampak besar pada perusahaan/organisasi seperti: (1) Peningkatan image perusahaan; (2) Peningkatan sense of belonging karyawan; (3) Efisiensi; (4) Mengurangi waste (sampah/ waktu luang). Bagaimanakah agar 5R dapat berjalan? Pertanyaan mendasar yang selalu diajukan adalah seperti itu. Secara teori sangat mudah menjalankan 5R, namun 5R ini adalah masalah budaya. Mengubah budaya kerja tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh komitmen, ketelatenan, dan semangat: (1) Segalanya harus dimulai dari atas. Untuk mendukung pelaksanaan 5R, pihak owner dan top management harus giat untuk menggalakkan budaya ini. Tanpa dukungan dari yang diatas, hal ini akan sulit dilakukan; (2) Melakukan kampanye 5R dengan memasang slogan dan poster terkait 5R; (3) Breakdown tiap bagian/tim dalam perusahaan untuk membuat pola kerja terkait 5R; (4) Memantau pelaksanaan program kerja masing-masing bagian yang telah dibuat; (5) Jika perlu, adakan kompetisi 5R antar bagian dalam perusahaan dengan sedikit rangsangan berupa bonus atau hadiah Sesuai dengan prinsipnya, 5R merupakan budaya kerja. Alangkah jauh lebih baik jika suatu budaya itu muncul dari dalam diri masing-masing individu, tanpa ada paksaan atau iming-iming hadiah. Sehingga budaya kerja (disiplin, tanggungjawab, jujur, visioner, peduli dan adil) yang sedang dikembangkan di Kementerian Agama dapat menjadi tauladan bagi para aparatur negara. [Yanis Naini]
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
41
Pengawasan Penggunaan Sistem Barcode pada Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI Oleh: Abdul Karim
I
nspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan PMA Nomor: 3 Tahun 2006 pasal 720. Untuk melaksanakan tugas dimaksud, berdasarkan pasal 721 Inspektorat Jenderal Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi, yaitu: Perumusan visi, misi, dan kebijakan pengawasan fungsional di lingkungan kementerian; pelaksanaan pengawasan fungsional akuntabilitas kinerja aparatur; pelaksanaan penyelenggaraan administrasi Inspektorat Jenderal; pembinaan teknis terhadap kelompok jabatan fungsional auditor; penyusunan laporan hasil pengawasan. Visi Inspektorat Jenderal adalah: ”Menjadi Pengendali dan Penjamin Mutu Kinerja Kementerian Agama”. Menjadi pengendali mutu kinerja memiliki arti bahwa Itjen diharapkan mampu mengendalikan pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh satuan organisasi/kerja melalui peran pengawasan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Ruang lingkup pengendalian dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, hingga pelaporan. Sedangkan menjadi penjamin mutu kinerja memiliki pengertian bahwa Itjen diharapkan mampu melakukan pengawasan dalam rangka memastikan bahwa seluruh satuan organisasi/kerja pada Kementerian Agama dapat mewujudkan kinerja yang tinggi sesuai tugas dan fungsinya (quality assurance). 42
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Pencapaian kinerja yang tinggi tersebut adalah salah satu wujud dari akuntabilitas publik. Dalam rangka terwujudnya Implementasi program Reformasi Birokrasi yang terdiri dari 9 program meliputi 23 kegiatan, yaitu: Arahan strategis, mencakup kegiatan percepatan (quick wins), penilaian kinerja organisasi, dan postur birokrasi 2025; manajemen perubahan, dengan kegiatan proses sosialisasi dan internalisasi; penataan sistem, dengan kegiatan analisis jabatan, evaluasi jabatan dan sistem tunjangan kinerja; penataan organisasi, dengan kegiatan redefinisi visi, misi, strategi, restrukturisasi, dan analisa beban kerja; penataan tata laksana, meliputi kegiatan penyusunan tata laksana (business process) yang menghasilkan Standard Operating Prosedure (SOP), elektronifikasi dokumentasi/ kearsipan; penataan sistem manajemen SDM, meliputi asesmen kompetensi individu bagi pegawai/tenaga ahli, membangun sistem penilaian kinerja, mengembangkan sistem pengadaan dan seleksi, mengembangkan pola pengembangan dan pelatihan, memperkuat pola rotasi, mutasi, promosi, memperkuat pola karir, dan membangun/memperkuat database pegawai; penguatan unit organisasi, dengan kegiatan penguatan unit kerja/ organisasi kepegawaian, penguatan unit kerja kediklatan, dan perbaikan sarana dan prasarana; penyusunan peraturan perundang-undangan, dengan kegiatan memetakan regulasi, deregulasi, menyusun regulasi baru; dan pengawasan internal,
Pengawasan dengan kegiatan menegakkan disiplin kerja, dan menegakkan kode etik. Sesuai dengan kebijakan Menteri Agama bahwa Reformasi Birokrasi pada Kementerian Agama akan mulai dilaksanakan tahun 2011 dan try out mulai bulan Juli 2010. Inspektorat Jenderal telah melakukan langkah konkrit dalam melaksanakan kegiatan guna mempercepat langkah Reformasi Birokrasi dan mendukung pelaksanaan remunerasi pada Kementerian Agama. Beberapa prasyarat yang menjadi karakteristik remunerasi telah dilakukan, misalnya penggunaan sistem absensi dengan pinjer print (sidik jari), sistem penggajian melalui bank umum pemerintah, tersedianya SOP, tersedianya uraian dan analisis jabatan, serta penerapan jam kerja pegawai mulai pukul 07.30 dan pulang pukul 16.00 atau setara dengan 8,5 jam kerja efektif. Peningkatan kinerja pegawai yang ditandai dengan kehadiran atau presensi pegawai juga menjadi perhatian serius untuk dilaksanakan. Saat ini Inspektorat Jenderal sedang mencanangkan penggunaan sistem barcode yang akan dipergunakan untuk mendeteksi, mengontrol, dan memonitor kehadiran pegawai pada Inspektorat Jenderal. Hal ini dilakukan selain untuk meningkatkan budaya kerja untuk menghasilkan nilai kinerja yang lebih baik, juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan Teknologi Informasi di tempat kerja. Pada tulisan kali ini akan dijabarkan secara singkat mengenai sistem barcode, meliputi pengertian, sejarah, manfaat atau kegunaan, keuntungan serta karakteristik penggunaannya. Ada dua kelompok pendekatan dalam mendefinisikan sistem, yaitu menekankan pada prosedurnya dan komponen atau
elemennya. Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada prosedur mendefinisikan sistem sebagai suatu jaringan kerja dari prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran tertentu. Menurut Robert A. Leitch, sistem informasi adalah suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan. Sedangkan menurut Jerry Fitzgerald, Ardra F. Fitzgerald dan Warren D. Stallings, Jr., mendefinisikan prosedur: Prosedur adalah urut-urutan yang tepat dari tahapan-tahapan instruksi yang menerangkan apa (What) yang harus dikerjakan, siapa (Who) yang mengerjakannya, kapan (When) dikerjakan dan bagaimana (How) mengerjakannya. Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada elemen atau komponennya mendefiniskan sistem sebagai berikut, yaitu suatu kumpulan dari elemenelemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Barcode atau Kode batang adalah suatu kumpulan data optik yang dibaca mesin. Barcode dimaksud dirancang dapat mengumpulkan data dalam lebar (garis) dan spasi garis paralel dan dapat disebut sebagai barcode atau simbologi linear atau 1D (1 Dimensi). Di samping juga memiliki bentuk persegi, titik, heksagon dan bentuk geometri lainnya di dalam gambar yang disebut kode matriks atau simbologi 2D (2 Dimensi). Selain tanpa ada garis, sistem 2D sering juga disebut sebagai barcode. Penggunaan awal Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
43
Pengawasan barcode adalah untuk mengotomatiskan sistem pemeriksaan di swalayan, tugas di mana mereka menjadi universal saat ini. Penggunaannya telah menyebar ke berbagai kegunaan lain juga, tugas yang secara umum disebut sebagai Auto ID Data Capture (AIDC). Barcode dapat dibaca oleh pemindai optik yang disebut pembaca barcode atau dipindai dari sebuah gambar oleh perangkat lunak khusus. Definisi lain menyatakan bahwa arti barcode adalah kode batang, sehingga datanya adalah berupa kumpulan batang yang kebanyakan berwarna hitam dan putih dan bisa diterjemahkan menjadi sebuah angka. Komputer tidak dapat dengan cepat menterjemahkan tulisan dan angka tetapi dengan mudah menterjemahkan warna hitam dan putih atau 0 dan 1. Komputer memerlukan sebuah media untuk menterjemahkan kode tersebut yaitu Barcode Scanner. Mengapa kita menggunakan Barcode Scanner? karena memenuhi peran Itjen sebagai lembaga pengawasan harus lebih dahulu memastikan adanya kedisiplinan dalam pelaksanaan tugas, dengan adanya Barcode Scanner kita tidak perlu lagi memasukan angka atau nomor secara manual melalui keyboard, hanya dengan menyinari (meng-scan) kode tersebut menggunakan Barcode Scanner maka kita telah memperoleh angka yang diperlukan secara cepat melalui kumputer. Aplikasi database melalui media barcode sangat mendesak untuk dilakukan. Penggunaan Aplikasi database melalui media barcode adalah sebuah solusi pengganti lemari kertas yang menumpuk, pencarian data yang manual dari satu kertas ke kertas yang lain dengan nomor petunjuk yang rumit menjadi sebuah otomatisasi pencarian nomor 44
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
atau berkas yang akurat dan menampilkan dengan cepat informasi yang diperlukan dalam sebuah kumpulan data tanpa harus menghafal angka atau nomor yang tertera. Sejarah mencatat bahwa penggunaan barcode dimulai pada tahun 1932, yaitu Wallace Flint membuat sistem pemeriksaan barang di perusahaan retail. Awalnya, penggunaan teknologi barcode dikendalikan oleh perusahaan retail, lalu diikuti oleh perusahaan industry. Lalu pada tahun 1948, pemilik toko makanan lokal meminta Drexel Institute of Technology di Philadelphia, untuk membuat sistem pembacaan informasi produk selama checkout secara otomatis. Pada perkembangan selanjutnya, Bernard Silver dan Norman Joseph Woodland, lulusan Drexel patent application, bergabung untuk mencari solusi. Woodland mengusulkan tinta yang sensitif terhadap sinar ultraviolet. Prototype ditolak karena tidak stabil dan mahal. Tangal 20 Oktober 1949 Woodland dan Silver berhasil membuat prototipe yang lebih baik. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1952, mereka mendapat hak paten dari hasil penelitian mereka. Tahun 1966 Pertama kalinya barcode dipakai dan secara komersial tahun 1970 ketika Logicon Inc. membuat Universal Grocery Products Identification Standard (UGPIC). Barcode sudah menjadi bagian penting dalam peradaban modern. Penggunaan yang sudah tersebar luas menjadikan barcode terus digunakan dan berkembang dengan baik; hampir semua barang yang dijual di toko grosir, departement store, sudah menggunakan dan memiliki Barcode UPC. Hal tersebut sangat membantu dalam melacak seluruh item yang dibeli dengan memunculkan harga dan data yang sebelumnya sudah diprogram;
Pengawasan penggunaan pada kartu anggota Ritel (hampir seluruh toko ritel seperti alat olah raga, kosmetik, peralatan kantor, obat, dan factory outlet) untuk mengidentifikasikan konsumen yang menjadi anggota; pelacakan gerakan item, termasuk sewa mobil, bagasi maskapai penerbangan. Sejak tahun 2005, maskapai menggunakan standar IATA 2D barcode di boarding pass (BCBP); Beberapa 2D barcode embed hyperlink ke halaman web page. Sebuah telepon genggam dapat digunakan untuk membaca barcode dan browsing situs yang terhubung; Pada 1970-an dan 1980-an, perangkat lunak kode sumber ini kadang-kadang dikodekan dalam barcode dan dicetak di atas kertas. Terdapat 6 (enam) kategori barcode berdasarkan kegunaannya, yaitu: Barcode untuk keperluan retail. Barcode untuk keperluan retail, salah satu contohnya adalah UPC (Universal Price Codes), biasanya digunakan untuk keperluan produk yang dijual di supermarket; Barcode untuk keperluan packaging. Barcode untuk packaging biasanya digunakan untuk pengiriman barang, dan salah satunya adalah barcode tipe ITF; barcode untuk penerbitan. Barcode untuk keperluan penerbitan, sering digunakan pada penerbitan suatu produk, misalkan barcode yang menunjukkan ISSN suatu buku; barcode untuk keperluan farmasi. Barcode untuk keperluan farmasi biasanya digunakan untuk identifikasi suatu produk obat-obatan. Salah satu barcode farmasi adalah barcode jenis HIBC; Barcode untuk keperluan non retail. Barcode untuk kepentingan non retail, misalkan barcode untuk pelabelan bukubuku yang ada di perpustakaan. Salah satu tipe barcode untuk keperluan non retail ini adalah Code 39; Barcode untuk keperluan
lain. Pada awalnya pembaca Barcode yaitu scanner atau pemindai dibangun dengan mengandalkan cahaya yang tetap dan satu photosensor yang secara manual digosokkan pada Barcode. Barcode terdiri dari garis hitam dan putih. Ruang putih di antara garis-garis hitam adalah bagian dari kode. Ada perbedaan ketebalan garis. Garis paling tipis “1”, yang sedang “2”, yang lebih tebal “3”, dan yang paling tebal “4”. Setiap digit angka terbentuk dari urutan empat angka. 0 = 3211, 1 = 2221, 2 = 2122, 3 = 1411, 4 = 1132, 5 = 1231, 6 = 1114, 7 = 1312, 8 = 1213, 9 = 3112. Standar Barcode retail di Eropa dan seluruh dunia kecuali Amerika dan Kanada adalah EAN (European Article Number) – 13. EAN-13 standar terdiri dari: Kode negara atau kode sistem: 2 digit pertama Barcode menunjukkan negara di mana manufacturer terdaftar; Manufacturer Code: Ini adalah 5 digit kode yang diberikan pada manufacturer dari wewenang penomoran EAN; Product Code: 5 digit setelah manufacturer code. Nomor ini diberikan manufacturer untuk merepresentasikan suatu produk yang spesifi; Check Digit atau Checksum. Digit terakhir dari Barcode, digunakan untuk verifikasi bahwa Barcode telah dipindai dengan benar. Keuntungan atau benefit yang didapatkan jika menggunakan barcode, antara lain adalah Proses Input Data lebih cepat, karena Barcode Scanner dapat membaca/ merekam data lebih cepat dibandingkan dengan melakukan proses input data secara manual; proses Input data lebih tepat, karena Teknologi Barcode mempunyai ketepatan yang tinggi dalam pencarian data; Proses Input lebih akurat mencari data, karena teknologi barcode mempunyai akurasi dan Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
45
Pengawasan ketelitian yang sangat tinggi; mengurangi Biaya, karena dapat mengindari kerugian dari kesalahan pencatatan data, dan mengurangi pekerjaan yang dilakukan secara manual secara berulang-ulang; peningkatan Kinerja Manajemen, karena dengan data yang lebih cepat, tepat dan akurat maka pengambilan keputusan oleh manajemen akan jauh lebih baik dan lebih tepat, yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan perusahaan; kemampuan bersaing dengan perusahaan saingan atau kompetitor akan lebih terjaga. Pelaksanaannya mempunyai beberapa karakter yang saling terkait satu sama lain. Karakteristik sistem dimaksud antara lain adalah: Pertama, Komponen Sistem. Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi, yang artinya saling bekerja sama membentuk satu kesatuan. Komponen-komponen sistem atau elemen-elemen sistem dapat berupa suatu subsistem atau bagian-bagian dari sistem. Setiap sistem tidak perduli betapapun kecilnya, selalu mengandung komponenkomponen atau subsistem-subsistem. Setiap subsistem mempunyai sifat-sifat dari sistem untuk menjalankan suatu fungsi tertentu dan mempengaruhi proses sistem secara keseluruhan. Jadi, dapat dibayangkan jika dalam suatu sistem ada subsistem yang tidak berjalan/berfungsi sebagaimana mestinya. Tentunya sistem tersebut tidak akan berjalan mulus atau mungkin juga sistem tersebut rusak sehingga dengan sendirinya tujuan sistem tersebut tidak tercapai. Kedua, Batas Sistem. Batas sistem merupakan daerah yang membatasi antara suatu sistem dengan sistem yang lainnya atau dengan lingkungan luarnya. Batas sistem 46
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
ini memungkinkan suatu sistem dipandang sebagai satu kesatuan. Batas suatu sistem menunjukkan ruang lingkup (scope) dari sistem tersebut. Ketiga, Lingkungan Luar Sistem. Lingkungan luar dari suatu sistem adalah apapun di luar batas dari sistem yang mempengaruhi operasi sistem. Lingkungan luar sistem dapat bersifat menguntungkan dan dapat juga bersifat merugikan sistem tersebut. Lingkungan luar yang menguntungkan merupakan energi dari sistem dan dengan demikian harus tetap dijaga dan dipelihara. Sedang lingkungan luar yang merugikan harus ditahan dan dikendalikan, kalau tidak maka akan menggangu kelangsungan hidup dari sistem. Keempat, Penghubung Sistem. Penghubung sistem merupakan media penghubung antara satu subsistem dengan subsistem lainnya. Melalui penghubung ini memungkinkan sumber-sumber daya mengalir dari satu subsistem ke yang lainnya. Keluaran (output) dari satu subsistem akan menjadi input untuk subsistem lainnya dengan melalui penghubung. Dengan penghubung satu subsistem dapat berintegrasi dengan subsistem yang lainnya membentuk satu kesatuan. Kelima, Input Sistem. Sistem adalah energi yang dimasukkan ke dalam sistem. Masukan dapat berupa masukan perawatan (maintenance input) dan masukan sinyal
Tanamkan dalam setiap detik satu pujian, setiap menit satu gagasan,
dan setiap jam satu pekerjaan. (Syahdunya Untaian Pujangga Hikmah)
Pengawasan (signal input). Maintenance input adalah energi yang dimasukkan supaya sistem tersebut dapat beroperasi. Signal input adalah energi yang diproses untuk didapatkan keluaran. Sebagai contoh di dalam sistem komputer, program adalah maintenance input yang digunakan untuk mengoperasikan komputernya dan data adalah signal input untuk diolah menjadi informasi. Keenam, Output Sistem. Keluaran sistem adalah hasil dari energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dan sisa pembuangan. Keluaran dapat merupakan masukan untuk subsistem yang lain atau kepada supersistem. Misalnya untuk sistem komputer, panas yang dihasilkan adalah keluaran yang tidak berguna dan merupakan hasil sisa pembuangan, sedang informasi adalah keluaran yang dibutuhkan. Ketujuh, Pengolah (process) Sistem. Suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah yang akan merubah masukan menjadi keluaran. Suatu sistem produksi akan mengolah masukan berupa bahan baku dan bahan-bahan yang lain menjadi keluaran berupa barang jadi. Sistem akuntansi akan mengolah data-data transaksi menjadi laporan-laporan keuangan dan laporan-laporan lain yang dibutuhkan oleh manajemen. Kedelapan, Sasaran (objectives) atau Tujuan (goal). Suatu sistem pasti mempunyai tujuan atau sasaran. Kalau suatu sistem tidak mempunyai sasaran, maka operasi sistem tidak akan ada gunanya. Sasaran dari sistem sangat menentukan sekali masukan yang dibutuhkan sistem dan keluaran yang akan dihasilkan sistem. Suatu sistem dikatakan berhasil bila mengenai sasaran atau tujuannya. Perbedaan suatu objektives dan suatu goal
adalah, goal biasanya dihubungkan dengan ruang lingkup yang lebih luas dan sasaran dalam ruang lingkup yang lebih sempit. Bila merupakan suatu sistem utama, seperti misalnya sistem bisnis perusahaan, maka istilah goal lebih tepat diterapkan. Untuk sistem akuntansi atau sistem-sistem lainnya yang merupakan bagian atau subsistem dari sistem bisnis, maka istilah objectives yang lebih tepat. Jadi tergantung dari ruang lingkup mana memandang sistem tersebut. Seringkali goal dan objectives digunakan bergantian dan tidak dibedakan. Penerapan barcode untuk keperluan lain seperti absensi kehadiran pegawai sangat dimungkinkan penggunaannya. Dengan menggunakan sistem barcode yang terintegrasi dengan ID Card pegawai atau Kartu Pegawai Elektronik (KPE) yang telah terkompurisasi dalam satu sistem akan sangat memudahkan pendataan keberadaan pegawai, baik menyangkut kedatangan, keaktifan (keberadaan) pegawai di ruangan kerja akan memudahkan kontrolnya. Ke depan jika dimungkinkan penerapan kinerja pegawai juga dapat diukur dengan menggunakan sistem barcode ini. Bagaimana aplikasi, penerapan, penyediaan infrastruktur yang meliputi hardware dan softwarenya bisa dilaksanakan di lingkungan Kementerian Agama? Hal ini perlu dikaji secara matang dan pembentukan sebuah Tim Khusus yang menangani penerapan sistem barcode ini sebagai suatu keharusan. Dapatkah sistem barcode ini dilaksanakan, dengan membaca basmallah, Insya Allah akan diterapkan untuk mewujudkan Kementerian Agama yang lebih baik demi mewujudkan Reformasi Birokrasi yang akan dilaksanakan. [Abdul Karim]
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
47
Pengawasan Pentingnya Koordinasi Internal Untuk Peningkatan Kualitas Hasil Pengawasan Oleh: Ahmadun
P
Sidang Komisi Kegiatan Pemutakhiran Data Hasil Temuan Audit dengan BPKP Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
engawasan adalah mendeter- minasi apa yang telah di laksanakan; yaitu mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakantindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (George R. Tery, 2006:395). Pengawasan adalah tanggung jawab pimpinan, namun karena tidak mungkin pimpinan melakukan semuanya, maka pengawasan dilimpahkan kepada unit pengawasan. Pada Sidang Kabinet Terbatas di Kantor BPKP pada 7 Januari 2008, Presiden menginstruksikan agar fungsi pengawasan intern (APIP) segera ditata kembali sehingga dapat melakukan fungsinya dengan baik. Presiden juga menyatakan sangat memahami pentingnya peran dan fungsi pengawasan
48
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
intern sebagai fungsi manajemen pemerintahan secara menyeluruh. Untuk dapat menjawab instruksi Presiden itu, maka Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) jangan hanya bisa menghitung dan memeriksa, namun harus mampu mengawal pencapaian visi dan misi instansinya masing-masing. APIP juga harus dapat memberikan kesadaran pada pimpinan akan pentingnya akuntabilitas, terutama akuntabilitas di bidang pengelolaan keuangan Negara. APIP harus berupaya agar fungsi pengawasan intern dapat memberikan manfaat dan nilai tambah. Hasil kerja APIP harus memberikan manfaat bagi pimpinan dan lebih jauh lagi pada masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan Negara yang akuntabel
Pengawasan dan transparan diperlukan penguatan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan sinergi atau koordinasi dengan pemeriksa ekstern. Pengawasan intern pemerintah merupakan unsur manajemen Pemerintah yang penting dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai pelaksana pengawasan intern pemerintah harus mampu merespon secara signifikan berbagai permasalahan dan perubahan yang terjadi, baik politik, ekonomi, dan sosial melalui suatu program dan kegiatan yang ditetapkan dalam suatu kebijakan pengawasan yang berlaku secara menyeluruh. Perubahan yang terjadi akibat dinamika tuntutan masyarakat tercermin dari penetapan peraturan perundang-undangan yang mendukung penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan peningkatan peranan Inspektorat Jenderal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mendukung kepemerintahan yang baik terutama berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu dalam bidang keuangan telah ditetapkan paket UndangUndang Keuangan Negara yang terdiri atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 yang mendorong penerapan sistem administrasi keuangan negara yang berbasis kinerja serta lebih transparan dan akuntabel. Tuntutan masyarakat kepada Pemerintah untuk segera mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan tuntutan untuk terselenggaranya pemerintah yang bersih, efektif, efisien, dan taat kepada peraturan perundang-undangan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan melalui suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dalam hal ini pengawasan intern pemerintah memegang peranan penting untuk memberikan keyakinan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pertanggungjawaban melalui sistem akuntabilitas tersebut telah dapat dilaksanakan seperti yang diharapkan. Untuk dapat melaksanakan peran pengawasan secara optimal, setiap unit APIP sesuai dengan lingkup kewenangan serta tugas dan fungsi masing-masing harus dapat memilih prioritas sasaran pengawasan, melaksanakan kegiatan pengawasan yang tepat dan relevan untuk diterapkan sesuai dengan sasaran pengawasan yang telah ditetapkan. Prioritas sasaran pengawasan tersebut perlu dirumuskan secara jelas dan terinci dalam program kerja pengawasan tahunan. Signifikansi Koordinasi Internal Pengawasan Kegiatan koordinasi pengawasan kinerja kelembagaan merupakan suatu kegiatan penting yang terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sesuai Tupoksi dari Unit Kerja Inspektorat Jenderal,
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
49
Pengawasan yaitu melakukan kegiatan pengawasan dan pemeriksaan kinerja pelaksanaan tugas, pokok dan fungsi di lingkungan Kementerian Agama. Tujuannya adalah meningkatkan akuntabilitas dan kinerja kelembagaan Kementerian Agama sebagai lembaga yang mengemban amanat di bidang keagamaan. Untuk meningkatkan kualitas dan membangun proses pelaksanaan pengawasan kinerja diperlukan suatu sistem audit kinerja beserta pelaporannya yang berdaya guna dan mendukung reformasi/perbaikan dalam sistem birokrasi yang berkelanjutan di lingkungan Kementerian Agama. Di dalam internal organisasi Kementerian Agama, kegiatan koordinasi diperlukan utamanya untuk menunjang: Pertama, Pengembangan sarana transparansi dari akuntabilitas kinerja unit kerja/organisasi; Kedua, Pengembangan Knowledge Management untuk menunjang kinerja Kementerian Agama sebagai lembaga yang mengemban di bidang keagamaan. Untuk itu perlu dilakukan koordinasi internal yang intensif di antara masingmasing unit kerja yang terkait. Selain dari itu, kegiatan Koordinasi ini juga akan diperluas di dalam lingkup aparat pengawas internal pemerintahan secara umum sepeti kegiatan koordinasi yang akan dilakukan dengan aparat terkait di lingkungan BPK, BPKP, dan MenPan. Koordinasi pengawasan penyelenggaraan atas pemerintahan di tingkat Pusat dilaksanakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara berdasarkan Perpres No. 9 tahun 2005. Untuk mewujudkan koordinasi pengawasan Kementerian
50
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Agama tingkat nasional yang efektif, diperlukan koordinasi internal. Kegiatan koordinasi pengawasan yang perlu dilaksanakan mencakup: Rapat Koordinasi Pengawasan (Rakorwas) Untuk meningkatkan koordinasi pengawasan internal perlu dilaksanakan Rapat Koordinasi Pengawasan (Rakorwas) guna di peroleh kesamaan persepsi mengenai kebijakan pengawasan antara Inspektorat Jenderal dengan unit kerja/satuan organisasi yang menjadi obyek audit. Rakorwas diselenggarakan dalam bentuk Rakorwas Nasional yang diikuti unsur Inspektorat Jenderal dan seluruh unit kerja/satuan organisasi di lingkungan Kementerian Agama. Tujuan Rakorwas adalah untuk membahas isu-isu pengawasan yang relevan. Koordinasi Pelaporan Koordinasi pelaporan dilakukan melalui pengiriman laporan dari setiap ketua tim yang selesai melaksanakan tugasnya. Pelaporan dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa aspek diantaranya tepat waktu, pembuatan laporan memenuhi prinsip-prinsip penulisan laporan sesuai de¬ngan standar yang telah ditentukan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) baik dari segi kualitas/mutu maupun dari segi formatnya. Sehingga, rekomendasi dalam laporan dapat segera ditindaklanjuti dan berguna bagi instansi yang diaudit dalam memperbaiki kinerja pada masa mendatang. Frekuensi Pemeriksaan Dalam satu tahun anggaran, terhadap satu obyek pengawasan dapat dilakukan satu
Pengawasan
Sekretaris Itjen, Abdul Karim dan Para Inspektur Wilayah Kementerian Agama Saat Memberikan Arahan Koordinasi Internal TLHP
kali pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal, dengan sasaran dan tujuan pemeriksaan yang sama. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pemeriksaan investigatif yang dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Sasaran dan jadwal pengawasan oleh Inspektorat Jenderal di Pusat dan Daerah masing-masing ditetapkan oleh Inspektur Jenderal Koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yang dituangkan dalam dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan di Pusat dan Daerah. Monitoring Koordinasi internal lainnya yang penting adalah monitoring atau pemantauan. Monitoring oleh Inspektorat Jenderal dilakukan secara terus-menerus terhadap seluruh tahap pelaksanaan tugas pokok instansi pemerintah sejak tahap perencanaan, sebagai salah satu bentuk pengarahan dan penjagaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah, agar tetap berjalan sesuai dengan kebijakan, rencana, prosedur dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Inspektur Jenderal dapat segera memberikan saran atau rekomendasi kepada pimpinan instansi pemerintah/unit kerja yang bertanggungjawab, jika hasil monitoring menunjukkan bahwa ada hal-hal yang perlu dikoreksi untuk menjamin agar tujuan/sasaran program atau kegiatan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Saran atau ekomendasi tersebut antara lain dapat berupa perbaikan dalam penerapan sistem pengendalian intern, misalnya penyempurnaan kebijakan, pengorganisasian, perencanaan, prosedur, dan sistem pelaporan. Selain itu, untuk mencapai hasil pengawasan yang optimal dan memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan, Inspektorat Jenderal wajib untuk memantau tindak lanjut dari rekomendasi hasil pengawasan intern, ekstern dan pengawasan masyarakat dan mendorong pimpinan instansi untuk memperhatikan dan melaksanakan tindak lanjut tersebut. Pemantauan tindak lanjut ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa instansi pemerintah telah melaksanakan Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
51
Pengawasan
Budaya Disiplin Menjadi Karakter Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Kementerian Agama
tindak lanjut sebagaimana mestinya. Apabila dari pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan tersebut ditemukan adanya rekomendasi yang tidak dilaksanakan, maka pimpinan instasi pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada pimpinan unit kerja atau personil yang bertanggungjawab. Evaluasi Sistem Pengendalian Intern Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang selama ini dikenal dengan istilah pengawasan melekat (waskat) merupakan lapisan pengawasan terdepan yang menjadi benteng pertahanan terhadap setiap upaya penyimpangan dan hambatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Inspektorat Jenderal mempunyai kewajiban untuk melakukan evaluasi secara berkala
52
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
terhadap efektivitas atau keandalan Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Evaluasi secara berkala merupakan suatu sistem pengendalian intern pada tingkat kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pemeriksaan atas kegiatan tertentu. Evaluasi efektivitas Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan menggunakan metodologi evaluasi yang ditetapkan dalam Kepmen PAN No. 46/Kep/M.PAN/04/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat. Optimalisasi Peran Koordinasi Internal Bagi Peningkatan Kualitas Hasil Pengawasan Inspektorat Jenderal sebagai lembaga pengawasan internal pemerintah diperlukan untuk mendorong terselenggaranya
Pengawasan manajemen pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien. Pengawasan internal tidak hanya dilakukan pada saat akhir proses manajemen saja, tetapi berada pada setiap tingkat proses manajemen. Perubahan paradigma pegawasan internal yang telah meluas dari sekedar watchdog (menemukan penyimpangan) ke posisi yang lebih luas yaitu pada efektifitas pencapaian misi dan tujuan organisasi, mendorong pelaksanaan pengawasan kea rah pemberian nilai tambah yang optimal. Harapan yang terkait dengan tantangan yang dihadapi oleh Inspektorat Jenderal tersebut adalah: Pertama, pengawasan internal diharapkan tidak hanya menggunakan pendekatan single loop learning, akan tetapi lebih kepada double loop learning. Artinya, tidak hanya melakukan pengujian atas realisasi yang dicapai dengan rencana yang telah ditetapkan, tetapi juga mempertimbangkan dan memberdayakan system pengendalian intern yang ada pada organisasi, sehingga terjadi suatu sistem pengawasan yang terintegrasi antara pencegahan dan penindakan secara terus menerus dalam menanggulangi dan mencegah praktekpraktek KKN, serta menutup celah-celah yang membuka peluang bagi tindakan yang merugikan organisasi serta menghambat pencapaian misi dan tujuan organisasi. Kedua, dengan paradigma pengawasan yang dianut sekarang ini, timbul harapan bahwa terselenggaranya pengawasan dapat berperan untuk memberikan nilai tambah pada manajemen pemerintahan melalui pendekatan konsultasi dan risk based audit. Pengawasan internal pemerintahan
diharapkan lebih mampu melakukan evaluasi yang diarahkan pada berbagai aspek yang memiliki resiko tinggi yang dapat mengganggu pencapaian kinerja pemerintah. Pengawasan internal pemerintah harus dapat mendorong instansi pemerintah untuk lebih mampu meningkatan pelaksanaan tugastugas dan pencapaian kinerja yang tinggi, dengan mewujudkan akuntabilitas publik, meningkatkan kredibilitas atau akuntabilitas instansi pemerintah, dan meyakinkan bahwa pembangunan nasional berjalan sebagaimana mestinya. Inspektorat Jenderal diharapkan lebih responsif untuk menjadi pengamat kegiatan pada satuan kerja. Fungsi pengawasan internal diharapkan berlangsung secara dinamis dan terus menerus memberdayakan Ada 2 (dua) langkah besar yang harus dilakukan dalam meningkatkan kualitas hasil pengawasan agar menjadi optimal yaitu: Pertama, Optimalisasi Pelaksanaan Tugas dan Fungsi. Mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi agar dapat bekerja secara efektif dan efisien, serta memberikan nilai tambah yang optimal dalam mencapai misi dan tujuan organisasi (bukan sekedar watchdog untuk menemukan penyimpangan) pada setiap tingkatan proses manajemen. Inspektorat Jenderal yang berfungsi sebagai penyeimbang (check and balance) terhadap fungsi pelaksanaan satuan organisasi sejajar dan merupakan mitra dalam meningkatkan efisiensi Negara serta concern (menaruh perhatian) terhadap pengawasan yang efektif dan efisien. Inspektorat Jenderal diharapkan lebih mampu melakukan evaluasi yang diarahkan
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
53
Pengawasan pada berbagai aspek yang berisiko tinggi (KKN) yang dapat mengganggu pencapaian kinerja kementerian. Pengawasan internal diharapkan juga dapat mendorong satuan kerja atau organisasi dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan pencapaian kinerja yang tinggi. Optimalisasi Inspektorat Jenderal perlu diuraikan secara tegas dan jelas serta dituangkan dalam Rencana Strategis dan kebijakan pengawasan Inspektur Jenderal sehingga pelaksanaan pengawasan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP). Kedua, Pembenahan Standar Pengendalian Intern. Pembenahan standarstandar pengendalian intern agar dapat berjalan secara efektif dan memudahkan pengawasan/pemeriksaan, serta mencegah terjadinya KKN sedini mungkin. Tugas Inspektorat Jenderal adalah untuk mendorong dan membantu percepatan implementasi standar-standar pengendalian intern baik melalui law enforcement, maupun pembinaan secara aktif/langsung melalui asistensi dan konsultasi. Demikian juga, dalam penetapan standar-standar dalam sistem pengendalian intern secara menyeluruh, Inspektorat Jenderal harus terlibat aktif agar memudahkan pengawasannya di masa mendatang. Penutup Berdasarkan refleksi terhadap pelaksanaan pengawasan, menunjukkan bahwa masih banyak kendala yang dihadapi dalam menuju kualitas hasil pengawasan. Kendaala utama yang dihadapi dapat dibagi
54
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
menjadi 2 (dua) bagian besar. Kendala pertama, optimalisasi yang jelas dan tegas dalam menuju suatu kualitas hasil pengawasan yang efektif dan efisien, sehingga temuannya berkualitas tidak sekedar menguji ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku melainkan mempunyai nilai tambah bagi peningkatan kinerja manajemen pemerinthan, serta fokus pada bidang atau program yang berisiko tinggi. Kendala kedua adalah belum lengkapnya standar-standar pengendalian intern pemerintah, baik secara menyeluruh oleh Presiden maupun secara parsial oleh Menteri yang diberi kuasa oleh Presiden selaku Kuasa pengguna Anggaran. Bahkan untuk beberapa standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku masih perlu perjuangan untuk menerapkannya seperti anggaran berbasis kinerja, standar pelayanan minimal, standar analisa belanja, pengembangan ukuran kinerja/indikator kinerja, dan lain sebagainya. Langka pembenahan pertama yang harus dilaksanakan adalah membenahi koordinasi aparat pengawas internal pemerintah termasuk Inspektorat Jenderal dalam peningkatan mutu hasi pengawasan yang bukan sekedar temuan watchdog (penyimpangan dari ketentuan) yang focus pada prioritas atau program berisiko tinggi (risk based audit). Langkah pembenahan kedua adalah melengkapi standar-standar pengendalian intern serta mendorong implementasi secepatnya, dengan didasarkan suatu aturan yang tegas dan jelas. [Ahmadun]
Pengawasan Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Oleh: Makobah
P
Irjen Kementerian Agama, Mundzier Suparta Sedang Melakukan Dialog Tentang Optimalisasi Mutu Pendidikan
emberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Nomor 20 Tahun 2003 tentang Isi dan Peraturan Mendiknas Nomor 23 Sistem Pendidikan Nasional, yang Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi kemudian disusul dengan Peraturan Lulusan. Standar-standar lainnya masih terus Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang diupayakan untuk diselesaikan pemerintah Standar Nasional Pendidikan, semakin melalui Badan Standar Nasional Pendidikan mempertegas keberadaan madrasah yang (BSNP). Kedelapan standar dimaksud secara sistemik terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Karenanya, lembaga merupakan standar minimal yang dicanangkan madrasah merupakan bagian integral dari pemerintah untuk dicapai dan dipenuhi program pendidikan nasional; artinya bahwa oleh satuan-satuan pendidikan. Meskipun keberadaan madrasah sama dan sederajat harus diakui bahwa sebagian standar yang dengan keberadaan sekolah umum, baik dipatok pemerintah sebagai sesuatu yang dalam implementasi kurikulum maupun “minimal” ternyata masih terasa cukup berat untuk dipenuhi oleh sebagian besar satuan kualifikasi lulusannya. Sebagaimana tercantum dalam Bab pendidikan, terutama madrasah. Namun II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah demikian, masyarakat madrasah tidak perlu Nomor 19 Tahun 2005 bahwa lingkup terlalu khawatir, karena sesungguhnya Standar Nasional Pendidikan meliputi: standar-standar itu hanyalah semacam Standar Kompetensi Lulusan, Standar “stasiun-stasiun” yang harus dilalui untuk Isi, Standar Proses, Standar Pengelolaan, menuju pendidikan berkualitas yang dicitaStandar Pembiayaan, dan Standar Penilaian citakan. Dengan sikap yang wajar, tidak panik Pendidikan. Dari delapan standar di atas, tetapi juga tidak santai serta dibarengi upaya pemerintah baru menyelesaikan dua standar yang maksimal, madrasah diharapkan dapat yakni Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi secara bertahap memenuhi standar-standar Lulusan (SKL). Kedua standar dimaksud telah dimaksud; bahkan diharapkan juga ada yang ditetapkan melalui Peraturan Mendiknas dapat melampauinya. Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
55
Pengawasan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dirujuk oleh setiap pendidik; begitu juga kerangka dasar dan struktur kurikulum serta jumlah jam belajar dan kalender akademik yang sangat urgent bagi setiap satuan pendidikan sebagai dasar untuk mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tertuang dalam Standar Isi. Berbagai hal yang harus dikuasai pendidik sekaligus harus dirujuk oleh satuan pendidikan dalam melakukan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik terdapat dalam Standar Kompetensi Lulusan. Dengan demikian, kedua produk kebijakan pemerintah di atas sangat mendesak untuk disosialisasikan dan dikoordinasikan pelaksanaannya kepada stakeholders madrasah, terutama para Kepala Seksi Mapenda di kabupaten/kota serta kepalakepala madrasah, tidak terkecuali Kepala Madrasah Swasta serta Perguruan Tinggi. Inspektorat Jenderal sebagai aparat fungsional pada Kementerian Agama dalam pelaksanaannya mempunyai peran strategis dalam mendorong perwujudan kebijakan pendidikan Islam. Sebagai pemeriksa internal Departemen, guna mengukur tingkat capaian kinerja sebagai gambaran tingkat efisiensi dan efektifitas kinerja, serta tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan pemeriksaan dengan pendekatan komprehensif dan ke depan sedang dipersiapkan pemeriksaan kinerja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggungjawab Keuangan Negara, Pasal 4 ayat (1) menyatakan macam pemeriksaan adalah pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Peraturan Menteri Agama Nomor 56
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
03 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Bab XI Pasal 720 menyatakan Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Fokus Peningkatan Mutu Pendidikan Pertama, Mengejar Ketertinggalan Kualitas Lulusan Pendidikan: (a) Mengurangi bantuan dengan nilai kecil; (b) Pemberian bantuan dengan nilai besar berdasarkan persyaratan dan target tertentu; (c) Memberikan bantuan beasiswa pendidikan dan penetapan program ”menyekolahkan”; (d) Mencari peluang kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi unggulan selain UIN seperti IPB, UGM, ITB, UI untuk dapat menerima dan memberikan perlakuan khusus/tertentu bagi lulusan MA untuk dapat diterima diperguruan tinggi tersebut; (e) Meningkatkan kerja sama dengan beberapa negara, baik Negara Barat maupun Negara Timur Tengah, baik dengan pemerintah maupun dengan perguruan tinggi, baik dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Informasi Teknologi (IT) maupun pendanaan; (f) Memberikan kebebasan kepada madrasah untuk memilih buku-buku ajar yang akan dipakai sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditentukan; (g) Melakukan rekrutmen tenaga pendidikan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan; (h) Mengevaluasi dan mengkaji pengelompokan madrasah sebagaimana yang sudah ada sekarang; (i) Mengurangi pertemuan-pertemuan; seperti seminar, workshop, pelatihan, lokakarya,
Pengawasan konsultasi dan lain-lain, kecuali yang bersifat darurat, urgen dan mendesak. Diklat dilakukan benar-benar untuk kebutuhan peningkatan kualitas dan dampaknya dapat dirasakan secara nyata; (j) Berupaya meningkatkan anggaran pendidikan; (k) Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi arah kebijakan dan program intern antar pusat dan daerah; (l)Melanjutkan program yang selama ini sudah berjalan, sepanjang secara prinsip tidak bertentangan dengan arah dan kebijakan umum Ditjen Pendidikan Islam. Kedua, Mengubah Sistem Manajemen dan Birokrasi Pendidikan: (a) Mengedepankan dan memprioritaskan program dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pemeran utama dalam pendidikan, yaitu untuk kepentingan pihak yang belajar pihak yang mengajar, dan tempat proses pembelajaran dilaksanakan; (b) Mengurangi sistem yang banyak mengatur, regulasi, membina, mengawasi, tetapi lebih banyak kebebasan dan kepercayaan yang bertangungjawab dan dapat dipertanggungjawabkan; (c) Memprioritaskan anggaran untuk memenuhi kepentingan pemeran utama pendidikan, baik untuk peningkatan kualitas SDM, kesejahteraan tenaga pengajar, maupun untuk memenuhi sarana dan prasarana; (d) Menentukan perencanaan untuk selalu diarahkan kepada kepentingan peningkatan kualitas pendidikan; (e) Perencanaan dibuat berdasarkan usulan dari bawah. Kesimpulan Pertama, Lembaga madrasah merupakan bagian integral dari program pendidikan nasional; artinya bahwa keberadaan madrasah sama dan sederajat dengan keberadaan sekolah umum, baik
dalam implementasi kurikulum maupun kualifikasi lulusannya. Kedua, Mutu pendidikan dapat ditandai antara lain kesesuaian dengan standar, mencapai dan/atau melampaui standar, lulusannya kompetitif dengan lulusan lembaga yang setara dan sejenis dan baik serta sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan stakeholders. Ketiga, Lembaga pendidikan sebagai bagian dari satuan kerja yang merupakan entitas obyek pengawasan yang harus memberikan akuntabilitasnya atas penerimaan dana yang diperoleh, baik yang berasal dari pemerintah (DIPA) dan dari sumber dana lainnya yang sah. Keempat, Substansi pengawasan mengarah pada pengawasan yang berbasis pada mutu kinerja (quality performance based system), yang mencakup aspek mutu kinerja akademis, mutu kinerja ketenagakerjaan, pendidikan/kepegawaian dan mutu kinerja keuangan. Masing-masing aspek pengawasan dipertimbangkan dari input, proses, output/ outcome dan dampak. Ketiga aspek ini menjadi satu kesatuan kinerja yang menjadi substansi pengawasan. Kelima, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama merupakan lembaga perangkat Kementerian Agama dengan penekanan tugas dan fungsinya pada pengawasan internal pada Kementerian Agama, dimana didalamnya termasuk institusi Pendidikan Islam dan Perguruan Tinggi. Sedangkan lingkup pengawasan perguruan tinggi Islam mencakup dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. [Makobah]
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
57
Pengawasan Menakar Budaya Kerja Profesional Oleh: M. Ali Zakiyudin
K
Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Mundzier Suparta Sidak Ujian Nasional (UN) di MAN Insan Cendekia Serpong BSD Tangerang
erja pada hakekatnya adalahnya neraka”. manifestasi amal kebajikan. Dalam kisah lain disebutkan bahwa Sebagai sebuah amal, maka niat ada seseorang yang berjalan melalui tempat dalam menjalankannya akan Nabi Muhammad. Orang tersebut sedang menentukan penilaian. Dalam sebuah hadits, bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai nilai amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal Rasulullah, andaikata bekerja semacam seseorang akan dinilai berdasar apa yang orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, diniatkannya. Suatu hari Nabi Muhammad maka alangkah baiknya.” Mendengar itu berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan untuk menghidupi anak-anaknya yang masih Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam- kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja hitaman seperti terpanggang matahari. untuk menghidupi kedua orangtuanya yang “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya “Tanganku seperti ini karena aku mengolah sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi tanah dengan cangkul itu untuk mencari sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani). nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Orang bijak juga pernah berkata: Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad ”Orang yang beruntung adalah yang hari ini dan menciumnya seraya berkata, “Inilah prestasinya lebih baik dari kemarin. Orang tangan yang tidak akan pernah disentuh api yang merugi adalah orang yang hari ini sama
58
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Pengawasan prestasinya dengan kemarin. Dan orang yang celaka adalah orang yang hari ini prestasinya lebih buruk dari kemarin”. Kata-kata bijak tersebut diatas harus selalu disimpan dibenak pikiran kita untuk sementara untuk mendiskusikan budaya kerja dan peningkatan kerja. Dan tidaklah salah ungkapan itu dijadikan landasan untuk pengembangan budaya kerja khususnya di Kementerian Agama. Sebab budaya kerja itu hakikatnya merupakan cara pandang seseorang terhadap bidang yang ditekuninya dan prinsip-prinsip moral yang dimilikinya, yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang diyakini, memiliki semangat yang tinggi dan bersungguhsungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik. Bagaimanapun seseorang telah berusaha meningkatkan kinerja namun pada akhirnya akan ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor kerja tim dan budaya kerja itu sendiri, dimana yang sering berlaku di instansi adalah yang sering berlaku. Budaya suatu instansi sangat menentukan keahlian aktual dalam penerapan setiap rencana atau tugas. Setiap peningkatan ukuran kinerja yang bermanfaat harus dibuat, atau sekurangkurangnya harus ada beberapa parameter operasional yang ada untuk mengawasi dan pada tingkatan berapa mereka harus akan ditempatkan. Tujuan dari hal ini adalah untuk mencapai sasaran target yang telah ditetapkan, misi, dan nilai-nilai organisasi. Persoalan tentang visi, misi, dan sasaran harus diberi perhatian yang besar dan tidak boleh dibiarkan mendua dan semua harus diprioritaskan! Makna dari definisi budaya kerja tersebut sangatlah idealis dan mengandung
sejuta harapan untuk memperbaiki kinerja aparatur negara kedepan. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah budaya kerja itu hanyalah sebuah wacana yang sangat sulit untuk diimplementasikan oleh aparatur negara? Bernasib sama dengan wacana dan retorika-retorika lainnya yang dibiayai dengan anggaran yang besar tetapi tidak ada hasilnya? Tantangan yang dihadapi aparatur negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan benar. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengembangkan program yang menyangkut budaya kerja aparatur, peningkatan efisiensi, disiplin, penghematan, dan kesederhanaan hidup, yang semuanya diarahkan pada perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Masalah mendasar dalam memahami dan mengimplementasikan budaya kerja itu merupakan tugas berat yang ditempuh secara utuh menyeluruh dalam waktu panjang karena menyangkut proses pembangunan karakter, sikap, dan perilaku serta peradaban bangsa. Budaya kerja aparatur negara dapat diawali dalam bentuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi, atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan. Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
59
Pengawasan
Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Mundzier Suparta Temu Wicara Pengawasan Unit Eselon I Pusat
budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Untuk mengimplementasikannya diperlukan perbaikan persepsi, pola pikir, dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Proses sosialisasi peningkatan kinerja aparatur baik secara individu dan secara nasional akan dapat berdaya guna bila nilainilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi dengan cara penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk pengembangan jati diri, sikap dan perilaku aparatur negara sebagai pelayanan masyarakat; 60
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
penerapan nilai-nilai budaya kerja melalui pengembangan kerja sama dan dinamika kelompok; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki kebijakan publik; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan manajemen dan pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan, evaluasi kinerja dan penegakan hukum secara konsisten. Budaya kerja ini diharapkan tidak terhenti sebagai wacana melainkan benarbenar bisa terwujud sebagai standard operating procedure (SOP). Karena itu dua pendekatan dapat ditempuh secara strategis yaitu sosialisasi dari dalam aparatur negara sendiri dipadukan dengan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat sangat strategis karena dapat membentuk opini publik yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap perubahan
Pengawasan lingkungan sosial yang mampu ”memaksa” perubahan sikap dari perilaku setiap aparatur negara. Solusi Pengembangan Budaya Kerja Upaya menyikapi dan menyiasati era globalisasi serta tuntutan reformasi ada beberapa aspek strategis di bidang kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan pengawasan operasional yang meliputi analisis jabatan, pengawasan melekat, pendidikan dan pelatihan, serta pembinaan pola karier. Upaya lain dalam rangka pendayagunaan aparatur negara melalui penyempumaan perilaku pegawai sebagai sumber daya dominan diharapkan akan membawa hasil yang lebih optimal. Sistem nilai budaya merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia atau individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja aparatur negara. Hal tersebut disebabkan karena secara praktis budaya kerja mengandung beberpa pengertian. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja. Di dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi) baik sosial maupun lingkungan sosial. Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya, di samping itu bekerja juga merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan. Permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilai-
nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas kerja. Secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan profesional. Kondisi budaya kerja yang diharapkan ”Terbangunnya Kultur Birokrasi terutama di Kementerian Agama” untuk mewujudkan kondisi tersebut antara lain terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja. Dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang andal dan profesional efektif dan efisien serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan global yang merupakan landasan kokoh bagi Indonesia menuju civil society yang demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing serta bersih dalam penyelenggaraan negara. Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindaklanjuti dengan beberapa strategi antara lain perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah di setiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi, dan privatisasi; Pengembangan sistem dan metode kerja aparatur; Penerapan sistem Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
61
Pengawasan merit dalam manajemen PNS; Penerapan sistem remunerasi PNS yang layak dan adil; Pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan peningkatan pelayanan publik yang berkualitas. Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien di antaranya: Pertama, penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya organisasi pemerintahan yang ramping, efektif, dan efisien yang dapat mendukung peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional dan global. Kedua, pengaturan tata laksana pemerintahan dengan sasaran terbentuknya mekanisme, prosedur, hubungan, metode, dan tata kerja aparatur negara yang tertib dan efektif. Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan sasaran hadirnya pegawai negeri sipil yang proporsional, netral, dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan serta tindakannya. Keempat, pemberantasan KKN dengan sasaran tampilnya aparatur negara yang bebas KKN dan kinerja instansi pemerintah yang accountable. Dan Kelima, peningkatan kualitas pelayanan publik dengan sasaran terwujudnya pelayanan publik yang sederhana, transparan, tepat, terjangkau, lengkap, wajar, serta adil. Diharapkan dengan strategi dan langkah-langkah konkret dimaksud dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan publik terhadap performance, baik instansi maupun pejabat publik, pada gilirannya
62
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
dapat mendekatkan pemerintah dengan masyarakat serta terjalin aliansi atau linkage antara institusi negara, masyarakat, dan sektor swasta. Aliansi antara ketiga pilar tersebut (pemerintah, masyarakat, dan kalangan swasta) diperlukan untuk menghindari sikap dan perilaku aparat pemerintah terjebak dalam pola birokrasi yang kaku eksklusif dan kebebasan berkreasi. Semangat reformasi birokrasi di Kementerian Agama, yang menjadi harapan masyarakat seyogyanya memotivasi setiap pengambil kebijakan agar memiliki kemauan dan keberanian secara moral dan politik, untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada terwujudnya good governance yang dapat mendukung kelancaran dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah secara demokratis. Akhirnya, komitmen untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam mewujudkan birokrasi profesional yang tekah menjadi agenda Kementerian Agama, seiring dengan tuntutan demokratisasi dan globalisasi, sangat memerlukan konsistensi dan kontinuitas perjuangan baik oleh pemerintah, dan masyarakat tanpa tergantung kepada siapa yang memegang kendali pemerintahan. Karena itu sosialisasi dan impementasi tata pemerintahan yang baik perlu terus ditingkatkan sehingga resonansi dan gerakan bersih, transparan, dan profesional dapat menjadi agenda semua pihak dan perlu dicanangkan di segala bidang kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. [M. Ali Zakiyudin]
Opini Budaya Kerja, Konsep dan Realitas Oleh: Abdullah
Irjen Kementerian Agama, Mundzier Suparta. Saat Memberikan Arahan Rapat Kerja Pejabat Kementerian Agama Se-Provinsi Sumatera Utara
M
anusia diciptakan Allah SWT dengan segala keunikannya. Masing-masing orang dengan segala karakteristiknya, fisik maupun psikis, memiliki potensi kebaikan dan keburukan di dalam dirinya. Keberagaman manusia baik tingkah pola dan berbagai kekhasan lainnya adalah keniscayaan yang telah dititahkan oleh Tuhan Yang Maha Mengatur. Potensi jahat (fujur) dan potensi baik (taqwa) telah lekat dan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri setiap manusia. Siapapun, kapanpun, di manapun memiliki peluang yang sama untuk menjadi orang baik atau orang jahat. Peran seseorang dalam bekerja di berbagai instansi, baik negeri maupun swasta memberikan peluang yang sama untuk bisa sukses dan memberikan peran yang produktif dan berarti.
Namun dalam kenyataannya, masih banyak anggapan bahwa Abdi Negara (PNS) memiliki kinerja berbeda dibanding dengan pegawai-pegawai swasta. Anggapan berbeda karena kekhasan dan keunikan bidang tugas dan fungsi mungkin tidak menjadi masalah, akan tetapi dianggap berbeda di sini adalah lebih pada kualitas kinerja yang dilakukan dan dicapai oleh abdi negara dalam menunaikan tugastugasnya masih di bawah kelas instansi swasta. Tentu saja abdi negara perlu memperhatikan anggapan ini, apakah memang demikian adanya. Anggapan miring tersebut perlu menjadi pertimbangan dan bahan instropeksi tentang realitas kinerja dan etos kerja yang dimiliki oleh segenap aparatur negara, sehingga pada tindak lanjutnya tersemaikan kesadaran dan pengejawantahan budaya kerja dalam pelaksanaan tugas. Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
63
Opini Kementerian Agama yang menyandang sematan agama di dalamnya, tentu memiliki beban yang lebih berat di banding kementerian dan lembaga lain. Agama identik dengan pesan-pesan moral dan realisasi kebaikan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, sangat wajar apabila segenap pegawai Kementerian Agama menjadi sorotan masyarakat dalam kinerjanya, khususnya yang terkait dengan pelayanan publik. Boleh jadi, anggapan masyarakat benar, bahwa masih terdapat banyak kelemahan dalam kinerja pegawai Kementerian Agama. Indikator sederhana yang bisa dilihat adalah pada out put pelayanan yang diterima masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, haji dan umrah, serta bimbingan dan pembinaan masyarakat seperti pelayanan nikah dan rujuk. Boleh jadi juga, bahwa pada kenyataannya usaha yang dilakukan oleh segenap pegawai dalam melaksanakan tugasnya telah dianggap maksimal dan sudah dengan kesungguhan yang paling tinggi. Akan tetapi, terlepas dari anggapan masyarakat terhadap pegawai Kemenag, kita sebagai diri kita dalam keluarga besar Kementerian Agama layak untuk terus melihat ke dalam diri kita sendiri sejauh mana kinerja yang telah kita lakukan dan kemudian berlanjut pada nasihat-nasihat individual dari hati kita untuk terus melakukan perbaikan dan kebaikan. Berbagai konsep dan nilai yang terkait dengan budaya kerja telah sedemikian banyak masuk dalam memori kita. Arahan pimpinan, berbagai pedoman, panduan, petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), buku-buku referensi, bahan bacaan dan segala informasi tentang budaya kerja telah kita cerap dan kita simpan dalam diri kita. Tinggal kemudian semua terserah pada diri kita sendiri.
64
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Untuk menjadi orang yang beruntung atau sukses kita hendaknya senantiasa mengasah, menghindarkan dan mengendalikan diri kita dari segenap anasir jahat. Apabila yang kita lakukan adalah mengotori diri kita dengan kejahatan, maka kita termasuk sebagai orangorang pecundang. Kesuksesan diukur dari kebaikan-kebaikan yang kita lakukan bukan capaian-capaian material yang kita dapatkan dan kegagalan (pecundang) diukur dari seberapa berat dan banyak kejahatan yang kita lakukan dan membuat kelam dan hitam hati kita. Selain itu, kesuksesan juga diukur pada sejauh mana pengabdian kita lakukan, ketaatan pada nilai-nilai dan aturan yang ditetapkan serta kesadaran pada kebaikan yang harus dilaksanakan dan diimplementasikan. Sikap yang tidak simpati, tidak empati, serta materialistis, berlanjut pada pengingkaran pada kebaikan akan membawa kita pada kejahatan dan keburukan yang berujung pada kegagalan, kegalan pribadi dan kegagalan organisasi dalam mencapai cita-cita dan tujuannya. Dalam keadaan apapun, kebaikan dan keburukan memiliki jeda dan jarak yang tidak bisa disatukan, meski sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena kebaikan ada di satu sisi dan keburukan di sisi yang lain. Tinggal kita untuk memilih, mendekat ke arah kebaikan atau keburukan. Konsepsi budaya kerja sendiri merupakan berbagai perangkat nilai tentang kebaikan sedangkan realitas kita adalah pada posisi sejauh mana kita mengimplementasikan budaya kerja tersebut dalam diri kita. Semakin banyak nilai-nilai budaya kerja kita amalkan, maka semakin dekat kita dengan kebaikan dan otomatis semakin beruntung dan sukses. [Abdullah]
Opini Budaya Kerja Bisa Mereformasi Birokrasi Oleh: Moch. Bukhori Muslim
Penandatanganan Pakta Integritas Pejabat Eselon II, III dan IV di Lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
D
alam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda
pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government) dalam keseluruhan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang perlu
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
65
Opini diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah koplitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara, baik unsur aparatur negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa. Sehingga patut menjadi perhatian semua pihak bahwa birokrasi merupakan kekuatan yang besar sekali. Kegiatannya menyentuh hampir setiap kehidupan warga negara. Maka kebijakan yang dibuat oleh birokrasi sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena warga yang hidup dalam suatu negara terpaksa menerima kebijaksanaan yang telah dibuat oleh birokrasi, selain itu memang birokrasi merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, tidak berlebihan bila dikatakan, gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi akan berdampak luas pada nasib rakyat, dan tentu saja berdampak pada proses demokratisasi. Nasib rakyat akan semakin terpuruk karena kualitas pelayan publik dan tidak berfungsinya pelayanan publik karena akan cenderung mendistorsi proses menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat. Reformasi birokrasi di Indonesia merupakan pekerjaan besar dan rumit, karena berkaitan dengan ribuan proses overlapping fungsi-fungsi pemerintahan. Selain itu juga berkaitan dengan jutaan manusia, dan melibatkan anggaran yang tidak sedikit.
66
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Oleh karena itu, reformasi birokrasi dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan. Langkahlangkah yang diambil juga harus konkret, realistis, dan dilakukan dengan sungguhsungguh. Itu semua memerlukan out of the box thinking, inovation breakthrough, a new paradigm shift, dan upaya yang luar biasa. Sebab dalam pelaksanaan reformasi birokrasi mencakup tiga aspek besar, yakni organisasi, ketatalaksanaan dan sumberdaya manusia aparatur. Action Penjaga Moral Bangsa Kementerian Agama merupakan salah satu Kementerian yang memiliki tugas menyelenggarakan pemerintahan di bidang agama. Tugas dimaksud menjadi penting karena Kementerian Agama harus mampu berperan sebagai penjaga moral bangsa. Prasyarat yang sangat penting untuk meningkatkan peran tersebut yaitu melakukan upaya percepatan pelaksanan reformasi birokrasi terhadap seluruh satuan organisasi/kerja di lingkungan Kementerian Agama. Reformasi birokrasi tersebut sangat penting karena kondisi obyektif yang menunjukkan adanya beberapa hal yaitu: (1) persepsi, sikap, dan perilaku sebagian aparatur yang masih belum sesuai harapan masyarakat; (2) masih muncul sejumlah kasus penyimpangan yang membentuk stigma bahwa Kementerian Agama tidak dapat dilepaskan dari belenggu KKN; (3) kualitas pelayanan kepada masyarakat yang belum sesuai dengan harapan; (4) produktivitas kerja pegawai relatif masih rendah, dan sejumlah faktor lainnya. Kondisi tersebut, akan berdampak pada tingkat capaian kinerja Kementerian Agama secara menyeluruh.
Opini Reformasi birokrasi merupakan paradigma yang dikonstruksi untuk menjawab sejumlah isu kritis tentang sikap, dan perilaku kerja aparatur yang dinilai kurang memuaskan. Reformasi birokrasi Kementerian Agama menjadi keharusan dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang agama. Reformasi dimaksud dilakukan untuk merespon atas maraknya tuntutan masyarakat terhadap perwujudan tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih. Proses reformasi birokrasi sangat terkait dengan transformasi cara berpikir (mindset) dan perubahan manajemen (management change) menuju good governance. Perubahan manajemen berkaitan dengan penerapan “total quality management“ yang memberikan tekanan pada perbaikan secara terus-menerus pada setiap proses kinerja, berorientasi kepada kepuasan pelayanan dan menekankan pada basis kebutuhan pelayanan. Keduanya menjadi cikal bakal terbentuknya pencitraan Kementerian Agama sebagai “penjaga moral bangsa”. Reformasi birokrasi tidak sekedar menyentuh ranah kelembagaan melalui restrukturisasi semata, melainkan memperhatikan pula perubahan orientasi budaya kerja yang memberikan kontribusi terhadap kualitas pelayanan masyarakat yang cepat, tepat, murah, aman, dan nyaman. Pengembangan Budaya Kerja Kementerian Agama merupakan strategi yang digunakan untuk mempercepat reformasi birokrasi. Pengembangan budaya kerja adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sikap dan perilaku yang harus ditampilkan setiap aparatur Kementerian Agama, yaitu perilaku kerja aparatur yang mampu melaksanakan setiap
tugas pekerjaan secara profesional, rasional, bermoral, dan bertanggung jawab berdasarkan persepsi yang tepat, yaitu bekerja sebagai panggilan Tuhan (ibadah). Dalam hal ini, model pengembangan budaya kerja Kementerian Agama sangat dikaitkan dengan birokrasi yang bersih dan bebas dari KKN, birokrasi yang efisien dan efektif, birokrasi yang transparan, dan birokrasi yang melayani. F o k u s p e n g e m b a n ga n b u d aya kerja adalah membangun kepemimpinan, kemampuan intelektual dan pendidikan karakter. Sumber pengembangan budaya kerja dimaksud digali dari nilai dasar sebagai etos kerja bagi setiap aparatur di lingkungan Kementerian Agama yaitu “ikhlas beramal”. Nilai dasar “ikhlas beramal” harus sosialisasikan dan diaktualisasikan ke dalam persepsi dan sikap kerja aparatur yang mencakup: (1) jujur dan integritas, (2) etika, akhlak mulia dan keteladanan, (3) taat hukum dan keputusan, (4) tanggung jawab dan akuntabel, (5) hormat sejawat, (6) cinta kerja dan kerja keras, (7) transparansi dan koordinasi, (8) disiplin, dan (9) bersahaja. Sikap kerja tersebut kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perilaku kerja yang mencakup: (1) bekerja atas dasar rencana kerja, (2) hasil kerja dapat dilaporkan, (3) waktu kerja ditunaikan, (4) data/informasi direkam/ dicatat, ditabulasi dan dikaji, (5) monitoring dan evaluasi dijalankan. (6) pembinaan terhadap bawahan dilaksanakan, (7) Pelayanan kepada pelanggan, stakeholder, dan masyarakat dijalankan, (8) gagasan untuk mengembangkan sistem kerja dan pelayanan dilahirkan dan dituangkan dalam rencana kerja, dan (9) memelihara martabat diri, harmoni kerja, hormat pimpinan dan memelihara citra
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
67
Opini organisasi. Dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Agama terdapat dua hal mendasar yang menjadi tujuan, yaitu: perubahan cara berpikir (mindset) yang segera harus dilakukan dan perubahan manajemen (change management) berbasis kinerja. Perubahan manajemen yang baik, tidak hanya melihat output, akan tetapi juga pada outcome dan dampak mengurangi atau mempersempit kesempatan untuk melakukan berbagai bentuk penyimpangan. Budaya kerja dalam reformasi birokrasi merupakan sumber penting untuk membangun budaya kerja pegawai Kementerian Agama agar kembali kepada niat dan semangat bahwa bekerja merupakan kewajiban dan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa. Tentu saja pandangan ini akan menggugah kesadaran bersama terhadap kedudukan aparatur negara sebagai ”khadimul ummah” untuk memberikan pelayanan prima, yaitu kepuasan publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi, dan memiliki standar moral yang tinggi. Berbagai prosedur dan tatanan yang mengakibatkan sistem pelayanan kurang berjalan lancar harus segera ditata ulang. Karena reformasi dilakukan bertujuan untuk mewujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Untuk itu, dukungan sumber daya manusia (SDM) yang memahami akan hak dan kewajibannya dengan baik merupakan tuntutan pertama yang harus dibenahi. Dengan kualitas manusia yang baik (good man) akan menghasilkan leadership yang kuat di dalam mengelola suatu kementerian/ lembaga termasuk di lingkungan Kemenag.
68
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Kementerian Agama sebagai institusi besar yang memiliki jajaran sampai ke daerahdaerah harus memiliki orang-orang terbaik sebagai leaders. Mereka tidak berarti harus memiliki nilai akademik terbaik karena hasil akademik terbaik lebih menunjuk pada kemampuan analisis saja. Yang lebih penting adalah pembinaan karakter (character building) dan akhlak mulia. Oleh karena itu, pribadipribadi yang memiliki kesadaran (sense of reality), imajinasi, kualitas leadership, dinamisme, dan lebih penting lagi memiliki prinsip kejuangan yang telah diwariskan oleh para pendahulu, jujur dalam pelaksanaan tugas, tidak sekedar menuntut haknya, dan tidak hanya diam tanpa perubahan. Berani berpijak pada kebenaran yang hakiki serta berani membuat keputusan yang berat, tetapi benar demi kemaslahatan umat dan rela berkorban. Sosok pimpinan inilah yang diharapkan mampu memperbaiki orang-orang yang dipimpinnya dan meningkatkan kinerja Kementerian Agama pada masa mendatang. Satu hal yang harus disadari bahwa sebaik apa pun suatu sistem dalam rangka pembangunan suatu bangsa tidak akan berjalan baik tanpa integritas tinggi yang didasari dengan nilai moralitas yang baik. Oleh sebab itu, pengembangan budaya kerja yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama merupakan langkah strategis dalam perannya menjadi konsultan pengawasan untuk mendorong perubahan yang drastis bagi perwujudan reformasi birokrasi Kementerian Agama. Sehingga sudah pasti, budaya kerja bisa mereformasi birokrasi. [Moch. Bukhori Muslim]
Opini Ideologi “Korupsi” (Sebuah Renungan)
A
Oleh: Sri Sudewi
ku adalah sosok yang hidup dalam wilayah Indonesia yang telah aku diami selama dasawarsa ini, tapi aku sungguh terkejut mendapati keganjalan yang terjadi dinegeriku ini, dimana antara satu dengan lainya saling terkam, saling jegal, saling tendang, saling makan bahkan saling bunuh. Tapi kenapa hal ini sudah sangat akrab dengan bangsaku ini. Kami saling mengamankan dan mengesahkan tindakan diantara kami, dengan berjalannya waktu kami baru tahu bahwa ini adalah tindakan yang kami kenal dengan nama ”Korupsi”, ya kata ini sudah menjadi trend bagi sebagian manusia, karena kata ini sudah menyatu dengan setiap lini kehidupan dalam setiap lapis masyarakat, korupsi telah mendarah daging karena sudah menjadi aktifitas sehari-hari dari generasi ke generasi. Sehingga model dan modusnya hampir sama yang membedakan hanya dari segi teknik dan finansialnya, pembaharuan selalu terjadi dan mengiringi setiap modusnya, di samping itu adanya struktur yang selalu mengawal setiap aktifitasnya sehingga dengan pengamanan dari struktur yang ada maka kegiatan ini bisa dikoordinir dan dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok, dalihpun bisa bermacam-macam tergantung kepentingan dan suasana yang terjadi sehingga dari segi alasanpun bisa diatur dan diselaraskan dengan elemen yang ada. Kami menganggap tindakan ini bukan suatu kesalahan hanya suatu kebiasaan karena bagi kami yang bersalah hanya orang yang ketahuan saja.
Sungguh fantastis tindakan penyelewengan terkoordinasi dan terstruktur dengan rapih, yang menjadi pertanyaan kenapa ini bisa terjadi ? faktor apa yang sangat dominan ? menurut pengamatan kami kiranya ada sebagian faktor yang mempengaruhi tindakan ini diantaranya adalah: Pertama, faktor alam, alam menyediakan berbagai perangkat yang mendukung setiap aktifitas manusia dari lahir sampai purna manusia, mengapa alam menjadi faktor dominan, karena alam adalah pencetus intuisi pertama ketika manusia itu muncul pertama dimuka bumi, alam berkaitan erat dengan intuisi karena alam adalah sarana untuk muncul tumbuh dan berkembang. Intuisi berkaitan erat dengan tindakan korupsi karena intuisi berkaitan dengan sifat dasar manusia dimana manusia punya kecenderungan untuk bersikap mempertahankan diri dari dunia diluar dirinya kondisi ini akan terakumulasi dengan adanya gangguan dari luar, dan juga bersifat tidak pernah puas dimana sifat dasar ini muncul ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dan berusaha menyerang jika terdapat gangguan. Kedua, faktor sosial, hubungan sosial juga sangat berpengaruh terhadap tindakan penyelewengan karena faktor ini berkaitan erat dengan hubungan sesama di mana setiap manusia melakukan interaksi dengan yang lainya, dan setiap interaksi membutuhkan komitmen, dimana komitmen ini akan saling mengikat antara yang satu dengan yang lainya sebagai bentuk konsekuensi diri.
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
69
Opini Ketiga, Faktor Mental, faktor ini berbeda antara individu dengan individu yang lain karena banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya faktor lingkungan dimana ia tinggal, faktor keluarga dimana ia dibesarkan, dan yang paling dominan adalah keluarga karena disitulah semua orang akan kembali dari setiap persoalan dan tempatnya ia berbagi kesenangan, Keempat, faktor ekonomi menjadi faktor yang sangat menentukan dari tindakan ini karena kebutuhan akan finansial menjadi kebutuhan yang sangat krusial, transendental, dan kompleks. Ketika individu dihadapkan pada persoalan ekonomi baik ketika pada saat susah maupun senang maka yang pertama bereaksi adalah ”Filling” untuk menyikapi persoalan yang terjadi. Keempat point di atas adalah sebagian dari faktor yang mendukung terjadinya tindakan tersebut, dan masih banyak sekali faktor yang mempengaruhi tindakan ini terjadi, sungguh dalam lingkup negara Indonesia dimana alam menyediakan suasana yang teduh, asri, sejuk, dan gemah ripah loh jinawi seharusnya menjadi keteduhan bagi orang yang tinggal didalamnya, menjadi penyejuk bagi yang bisa meresapi alam yang dikandungnya, dan menjadi ketentraman bagi yang menghayatinya, seharusnya alam dan segala yang dikandungnya dan lingkungan yang mendukungnya menjadi inspirasi untuk bertindak lebih bijak dalam menghadapi hidup dan menghayati kehidupanya, tapi mengapa hal ini menjadi terbalik, dimana alam dan lingkungan menjadi ajang untuk berlatih dan melatih menjadi subyek tangguh dalam meluruskan segala tindakannya. Berkaca dari kenyataan tersebut aku kini berusaha menyelami tindakanku selama
70
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
ini, benarkah tindakan ini? Rohku membumi tercabut dari ragaku untuk mengevaluasi perjalananku di alam pertiwiku. Indonesia alamku, Indonesia tanah airku, Indonesia tumpah darahku. Aku mengabdi padamu, aku berkorban untukmu, aku adalah anak bangsamu, aku malu padamu, sungguh naif tindakanku, aku sudah menjadi anak bangsa yang tidak tau akan kata-kata bijakmu, aku anak bangsa yang lupa akan sejarahmu, dimana engkau telah berkorban demi generasimu, aku telah melupakan sosok seorang Gajah Mada yang telah menjadi inspirasi dalam hidupku di mana beliau telah mengabdikan hidup dan kehidupanya. Beliau telah menghapus kesenanganya dengan tidak beristri dan tirakat seumur hidupnya dengan “Hamukti Palapanya” yang bertekad menyatukan seluruh nusantara ketika beliau diangkat oleh Raja Majapahit sebagai Maha Patih menggantikan Maha Patih Arya Tadah yang sudah uzur, sungguh sumpah yang menggemparkan seluruh makhluk yang hidup di zamannya dimana banyak yang menyangsikan sumpahnya akan tetapi dengan keyakinan dan kesadaran penuh dan didukung dengan fisik dan kemampuan yang mumpuni serta semangat yang tak pernah pupus beliau mampu menyatukan nusantara, sungguh perjalanan yang sangat panjang di mana setiap langkahnya selalu disertai dengan semangat perjuangan yang tidak pernah padam dan kerja keras yang luar biasa. Maka, belajarlah dan petiklah hikmah dari kegigihan dan semangat juang para pahlawan bangsa ini. Insa Allah kita (Kementerian Agama) akan menjadi tauladan dalam upaya terus mencegah dan membumihanguskan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). [Sri Sudewi]
Jurnal Kegiatan Implementasi Budaya Kerja (Nilai dan Sistem)
N
Refleksi Kunjungan Ke PT Astra Honda Motor
ilai, sistem, dan implementasi merupakan tiga hal yang harus saling menguatkan. Nilai tanpa sistem dan implementasi hanya sekedar wacana dan idealitas. Sistem tanpa nilai menjadi tidak bermakna dan kering dari kesadaran. Sedangkan implementasi tanpa nilai dan sistem sekedar kesia-siaan dan kehampaan, tidak berarti. Ibarat pepatah ”ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak berbuah” dan juga pepatah ”barang siapa yang melaksanakan suatu pekerjaan tanpa didasari ilmu maka pekerjaannya sia-sia dan tidak diterima”. Manusia dalam menjalani kehidupannya memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda. Banyak di antaranya yang tahu dan mengerti tentang sesuatu tetapi tidak melaksanakannya, demikian juga banyak yang beraktifitas apa saja tanpa berdasarkan pengetahuan yang memadai, selain juga banyak yang tidak tahu dan juga tidak melakukan sesuatupun. Namun yang sedikit adalah mereka yang tahu dan mengerti serta mengimplementasikannya dalam kehidupan. Pada hari Rabu 26 Mei 2010, Tim Pengembangan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama melakukan studi banding ke PT Astra Honda Motor (AHM) Cikarang. Tujuan kunjungan tersebut adalah mencari masukan terkait dengan SPI berbasis teknologi informasi yang dapat mengukur kinerja pegawai, mengembangkan sistem online dalam mengukur efektifitas kinerja dan grade
pegawai, mengetahui capaian kinerja pegawai, mengendalikan kedisiplinan pegawai melalui kehadiran dan presensi kerja, mendapatkan informasi yang cukup sebagai bahan kendali pimpinan yang diterapkan. Beberapa hal yang bisa dijadikan refleksi dari kunjungan tersebut adalah: Pertama, Penanaman Nilai (value). Pemilihan nilai (value) yang tepat dan keberhasilan dalam penanamannya ke dalam setiap hati karyawan akan menghasilkan kesesuaian antara nilai dan perilaku yang diharapkan dalam sebuah instansi, lembaga, atau perusahaan. PT AHM menanamkan nilai (value) berupa nilai utama perusahaan yang dijadikan sebagai budaya kerja yang berlaku, mengikat dan dilaksanakan oleh seluruh karyawan perusahaan mulai dari grade terbawah, level manajerial, hingga top manajemen. Nilai yang ditanamkan tersebut harus menjadi dasar setiap langkah kerja dan aktivitas mereka, baik pada saat bekerja di pabrik maupun kehidupan sehari-hari. Konseling juga disediakan untuk memberikan solusi dan mengarahkan langkah dan kerja karyawan. Konseling yang tepat akan mengarah pada ketaatan setiap karyawan pada tingkat ketaatan terhadap sistem serta peraturan yang diberlakukan, yang berbanding lurus dengan etos kerja pegawai. Ke d u a , M e ka n i s m e Ke r j a d a n Penilaiannya. Meskipun belum sepenuhnya menerapkan aplikasi online dalam memantau kinerja semua karyawannya, AHM memiliki mekanisme dasar pekerjaan. Satu jenis
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
71
Jurnal Kegiatan pekerjaan diidentifikasi dan didesain terlebih dahulu. Pekerjaan tersebut kemudian akan dilaksanakan oleh karyawan yang dalam pelaksanaannya terlebih dahulu disusun KPI (Key Performance Indicator) bagi masing-masing karyawan. KPI kemudian dilanjutkan dengan appraisal dan assesment untuk menajamkan potensi dan kompetensi karyawan yang akan mengerjakan pekerjaan yang telah didesain tersebut. Kendali kehadiran dan ketidakhadiran pegawai di AHM dilakukan dengan sistem clock in dan clock out melewati pintu masuk dan keluar yang berbeda-beda dan tercatat secara online. Ketiga, pemberian reward dan punishment yang tegas dan berlaku bagi seluruh karyawan tanpa memandang jabatan dan posisinya diberlakukan di AHM. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan untuk memberikan reward, yaitu, hasil kerja, kemampuan manajerian dan leadership, dan sikap kerja. Pemberlakuan dan perhitungan kerja di luar jam kerja (lembur) dilakukan dengan jelas, sehingga kewajiban dan hak waktu kerja karyawan dihargai secara profesional. Keempat, pelayanan prima yang diberikan oleh AHM tidak saja yang berorientasi eksternal. Artinya tidak saja menjamin kualitas produk dan layanan bagi konsumen. Namun juga pada aspek internal. Yaitu bagaimana semua karyawan/pegawai saling bekerja sama, membangun kinerja yang optimal antar semua unit utama dan unit pendukung. Hal-hal kecil seperti menghargai bagian terkecil pun diperhatikan. Seperti bagaimana menghargai karyawan cleaning service, sopir, tukang kebun, dan sebagainya. Mental menghargai orang lain tersebut dapat melahirkan perasaan ‘dihargai’, sehingga
72
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
dengan merasa dihargai, setiap komponen baik yang utama maupun pendukung akan merasa bangga menjadi bagian dari sebuah instansi, lembaga, atau perusahaan. Kelima, Remunerasi yang dilakukan di AHM dilakukan dengan memperhatikan grade karyawannya. Untuk grade bawah (pekerja) remunerasi dikategorikan secara umum dan kenaikan atau penurunan salary (gaji) ditentukan melalui rapat bersama perusahaan dan diberlakukan untuk semua. Sedangkan untuk level manajerial serta top manajemen, dilakukan secara personal sehingga salary (gaji) dan bonus kerja berbeda satu dengan lainnya. Remunerasi tersebut dilakukan dengan memperhatikan regulasi yang ada. Diawali dengan survey, kemudian dilakukan simulasi, dan berikutnya dievaluasi kemungkinan diberlakukannya. Secara spesifik, hal mendasar yang mendorong kinerja dan produktifitas pegawai adalah integrasi nilai dengan sistem. Keduanya menjadi prasyarat untuk secara seimbang dan maksimal diterapkan, sehingga implementasinya dalam bentuk output dan outcome juga optimal. Selain itu, keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam bentuk pemberian reward dan punishment juga mesti diterapkan sebaik mungkin. Nilai sebagai ruh pegawai harus menjadi jiwa dan ghirah yang menggerakkan pegawai untuk selalu berkarya, beretos positif dan produktif. Sistem mefasilitasi berbagai kerangka pikir dan karya sesuai dengan jalur yang semestinya menuju tercapainya tujuan organisasi. Implementasi yang merupakan proses pembumian nilai ideal beriring sistem yang bagus akan dapat menjamin tercapainya target dan tujuan organisasi. [Abdul Hamid]
Jurnal Kegiatan Gelar Pengawasan (GERWAS) Sebagai Media Koordinasi dan Akselerasi Hasil Pengawasan
Gelar Pengawasan (GERWAS) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
D
alam rangka upaya penguatan sistem pembinaan SDM, pencegahan dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Inspektorat Jenderal Kementerian Agama, kembali mengadakan acara Gelar pengawasan (GERWAS). Acara ini berlangsung selama tiga hari, tanggal 12-14 Mei 2010 bertempat di Hotel Parama Bogor Jawa Barat, diikuti sekitar 333 peserta, terdiri dari para pejabat Eselon I-IV di lingkungan Itjen, kabag, kasubag, auditor, pelaksana dan peserta dari daerah. Gerwas ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kita bersama untuk memberikan penilaian dan gambaran tentang kinerja Kementerian Agama selama ini. Profil temuan hasil audit dan langkahlangkah penyelesaian TLHP, dan berbagai
problematika di bidang pendidikan, wakaf, nikah, laporan keuangan, sertifikasi tanah wakaf adalah bahan-bahan yang baik dalam rangka implementasi reformasi birokrasi dan dalam rangka peningkatan kinerja secara sistemik. Pemerintah senantiasa berupaya untuk melakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan aparatnya dengan menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan guna mencegah dan memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Peraturan tersebut diterbitkan oleh DPR RI (sebagai lembaga legislatif) bersama dengan pemerintah, maupun yang diterbitkan oleh pemerintah sendiri, antara lain: (1) TAP MPR RI Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; (2) Undang-undang Nomor Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
73
Jurnal Kegiatan 31 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK); (4) Instruksi Presiden nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pemerintah sangat serius dalam rangka melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme baik dikalangan birokrasi, swasta, maupun masyarakat, walaupun tidak semua penyimpangan yang merugikan keuangan negara adalah kesengajaan. Beberapa hal yang menjadi faktor penyebab adalah kemampuan SDM sehingga pengelola keuangan kurang memadai, adanya kecerobohan, kurang independen sehingga mudah dipengaruhi oleh pihak lain dan kualitas kerja yang tidak maksimal. Selain itu terdapat kelemahan dalam perencanaan yang selama ini dilakukan dan di samping itu Juklak, Juknis, SOP, SPM pelaksanaan program dan kegiatan masih belum disiapkan. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pengawasan sejak proses perencanaan. Itjen selama ini sudah berupaya melakukan pencegahan dan inisiatif meminimalisir penyimpangan. Pengawasan dari sejak proses perencanaan, selain mengawal dan mendampingi agar perencanaan yang ada sesuai dengan analisis yang kuat juga sebagai bentuk pengawasan preventif dan konsultatif mengingat itjen juga mempunyai peran sebagai konsultan dan katalisator. Pada internal pelaksana anggaran pun sangat penting dilakukan pembenahan dan peningkatan SDM. Pengelolaan keuangan negara akan lebih optimal dan memenuhi aturan yang berlaku secara baik dan benar jika didukung oleh SDM yang memadai, 74
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
disisi lain KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) di masing-masing unit kerja tidak boleh di intervensi. Keseriusan ini perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan dalam rangka menciptakan good governance (kepemerintahan yang baik) serta menciptakan suasana kerja dan sistem birokrasi yang diinginkan oleh amanat reformasi. Implementasinya kita bisa melihat para pejabat negara maupun anggota Dewan, serta para pelaksana yang telah ditindak sesuai dengan peraturan dan perundangundangan yang berlaku dalam kaitan dengan prilaku penyimpangan yang dilakukan. Lewat Kementerian Agama ini, sebagai pembantu Presiden untuk membangun masyarakat Indonesia di bidang agama menjadi semakin penting perannya dalam membentengi akhlak umat, karena dari sinilah aspek-aspek moral manusia sejak dini terus kita bina dalam pendidikan baik formal maupun non-formal. Harus kita akui bahwa korupsi adalah kejahatan yang berbahaya secara sistemik dan berdampak jangka panjang bagi kehidupan dimasa akan datang yang bisa merugikan banyak pihak serta mampu merusak sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis yang berkepanjangan yang diakibatkan korupsi telah kita rasakan sampai hari ini sehingga dibutuhkan komitmen kuat untuk memberantasnya walau tantangan dan hambatan semakin berat. Pengawasan melalui ajaran agama yang tertanam dalam hati nurani kita adalah langkah preventif yang perlu terus kita galakkan. Oleh karena itu, mulai dari pribadipribadi dengan berdasar pada ajaran agama yang diyakini, kita dapat memulai melakukan pengawasan sejak dini dalam bentuk
Jurnal Kegiatan pencegahan penyimpangan. Keteladanan menjadi hal penting untuk diterapkan oleh segenap aparatur khususnya pejabat disemua tingkatan. Pejabat teras (teratur dan selalu mawasdiri) harus dijadikan pola hidup dan pola pikir sehingga dapat tertanamkan dan menjadi sikap mental atau kebiasaan baik. Selain itu dalam pola kinerja dapat diterapkan motto Sukses, Damai, dan Aman (SDA) sehingga tujuan Kementerian dapat tercapai dan memenuhi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaannya. Inspektur Jenderal Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana disebutkan dalam pasal 720 mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri. Komitmen Menteri Agama dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembantu Presiden juga ingin mewujudkan Kementerian Agama yang bebas dan bersih dari KKN. Dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut, salah satu unsur manajemen yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas sebuah organisasi adalah pengawasan yang bertujuan melakukan pengendalian terhadap seluruh faktor pendukung organisasi agar dapat melaksanakan tugas secara efektif, efisien dan ekonomis yang juga sesuai dengan visi Itjen Kementerian Agama yaitu menjadi pengendali dan penjamin mutu kinerja Kementerian Agama. Tugas yang cukup berat tersebut menjadikan aparat pengawasan senantiasa berupaya meningkatkan kinerja pelaksanaan tugas, baik dalam mekanisme pengawasan
melekat, pengawasan fungsional, maupun pengawasan masyarakat. Oleh karena itu, urgensi dari Penyelenggaraan kegiatan Gelar Pengawasan ini dimaksudkan sebagai media penyaji data, informasi dan pemberian bimbingan serta konsultasi antara Inspektorat Jenderal dengan unit kerja di daerah dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan kinerja bagi seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut untuk: Pertama, terwujudnya upaya pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang bidang teknis tertentu kepada para pejabat/pengelola tugas yang bersangkutan, bahwa satuan kerja wajib melaksanakan Tindak Lanjut; Kedua, terwujudnya pemahaman yang sama pada jajaran pejabat dan pegawai di lingkungan unit kerja tertentu tentang permasalahan dan penyebab lemahnya pelaksanaan tugas, terkait dengan hal tersebut bahwa hasil Tindak Lanjut harus dilaporan kepada Inspektorat Jenderal; Ketiga, terwujudnya perbaikan dan peningkatan pelaksanaan tugas tertentu sehingga temuan kelemahan dan kesalahan yang sama tidak akan terjadi lagi pada masa mendatang dan Itjen berkewajiban mendokumentasikan hasil Tindak Lanjut; Keempat, terselenggaranya percepatan tidak lanjut hasil temuan Itjen, bahwa Gelar Pengawasan ini dilaksanakan untuk mengetahui posisi terakhir status temuan yang kemudian menjadi saldo Tindak Lanjut; Kelima, terciptanya tertib administrasi dalam penyelenggaraan tugas pada satuan kerja dalam mendukung peningkatan kinerja organisasi. [Nurul Badruttamam]
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
75
Randang Ralat Fokus Pengawasan Nomor 25 Tahun VII Triwulan I 2010
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PENYEBUTAN DEPARTEMEN AGAMA MENJADI KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan Peraturan presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Perubahan Penyebutan Departemen Agama Menjadi Kementerian Agama;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 2. Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2OO8 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Departemen Agama; 3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2OO9 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 4. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama: MEMUTUSKAN: Menetapkan :
76
PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PERUBAHAN PENYEBUTAN DEPARTEMEN AGAMA MENJADI KEMENTERIAN AGAMA.
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Randang Pasal 1 Menetapkan perubahan penyebutan Departemen Agama menjadi Kementerian Agama. Pasal 2 Semua Peraturan, Keputusan dan/atau lnstruksi Menteri Agama atau pejabat lain di lingkungan Kementerian Agama yang sudah ada sebelum peraturan ini berlaku, yang menggunakan penyebutan Departemen Agama harus dibaca Kementerian Agama. Pasal 3 Semua penggunaan atribut seperti logo, lencana, badge, kop surat, stempel, papan nama, dan lain-lain yang menunjuk kepada Kementerian Agama yang menggunakan penyebutan Departemen Agama harus disesuaikan menjadi Kementerian Agama. Pasal 4 Peraturan ini berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
77
Resensi Buku
Judul
: Mengembangkan Budaya Kerja Melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) Penulis : Tim Penulis Itjen Penerbit : Inspekrorat Jenderal Kementerian Agama Tebal : 317 Halaman
S
aat ini paradigma pengawasan dalam birokrasi sudah semakin berkembang ke arah yang lebih luas. Pengawasan tidak hanya berfungsi menyelesaikan dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, melainkan juga diarahkan pada peran konsultasi dan katalis dalam penyelenggaraan pengawasan fungsional. Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan suatu program yang bertujuan untuk mengurangi setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Pencegahan berbagai penyimpangan dengan pendekatan agama ini merupakan substansi dari program ini. “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi…” (Q.S. Al-Fajr ayat 14), dengan slogannya tersebut bahwa Tuhan tidak pernah lengah mengawasi hamba-hamba-Nya, kesadaran ini diharapkan mampu menghilangkan niat setiap pegawai dan para pemegang kebijakan Negara untuk melakukan segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan, sehingga bisa melaksanakan tugas sebagai pelayan masyarakat dengan pelayanan yang prima. Buku yang berjudul “Mengembangkan Budaya Kerja melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama, tahun 2009” merupakan kombinasi Modul Induk PPA dan penyempurnaan dari modul PPA sebelumnya dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi, hal ini disesuaikan untuk mengikuti terus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan pengkajian ulang atas pesan-pesan moral PPA dan merumuskan strategi, format, dan metodologi untuk membangun jati diri aparatur Negara melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan, sehingga akan tercipta nilai budaya kerja yang tinggi dengan indikator utama tidak memiliki niat berbuat menyimpang dan senantiasa memiliki etos kerja yang tinggi untuk memaksimalkan potensi positif yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Buku ini terdiri dari 5 (lima) modul ini menjadi sangat penting bagi aparat birokrasi dan para pemegang kebijakan agar penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang akan terkikis dengan kesadaran individu dari pemahaman agama yang dimiliki dan merupakan intisari dari nilai-nilai spiritual keagamaan. Karena itu PPA merupakan alternatif model pengawasan dini yang pendekatannya menekankan pada pemberdayaan nilai-nilai agama, juga akan terjalin hubungan antara manajemen pemerintahan dengan nilai-nilai ketuhanan yang disuarakan dari dalam hati nurani, kemudian dipraktekkan dalam budaya kerja melalui permanen sistem dalam meningkatkan peran serta pemerintah untuk mewujudkan cita-cita clean government dan good governance. [Nasrullah]
78
Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010
Resensi Buku
Judul : Editor : Penerbit : Tebal :
B
Himpunan Pidato dan Arahan Irjen Dr. H. Mundzier Suparta, MA. Nurul Badruttamam dan Ali Ghozi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama 355 Halaman
erbagai kegiatan telah dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal, sebagai unit Eselon I di tingkat pusat yang bertugas untuk mengawal dan menjamin mutu Kementerian Agama. Tugas ini memang mengalami banyak tantangan dan dibutuhkan dedikasi yang tinggi untuk mensukseskan program kerja organisasi secara menyeluruh. Dari berbagai kegiatan yang telah berjalan, terkumpul materi-materi yang telah disampaikan dari berbagai kesempatan oleh Bapak Inspektur Jenderal menjadi sebuah buku, hal ini penting karena untuk lebih memahami lebih mendalam kebijakan dan langkah-langkah strategis dan taktis di bidang pengawasan. Buku yang berjudul “Himpunan Pidato dan Arahan Inspektur Jenderal Kementerian Agama RI Tahun 2009” mengingatkan kita sebagai Aparatur Negara harus disiplin, bekerja secara profesional, transparan, partisipatif, dan dapat mempertanggungjawabkan kinerja kepada masyarakat dan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk pengabdian kita agar tercipta pelayanan yang prima. Buku ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, berisi tentang Pidato dan arahan Inspektur Jenderal Kementerian Agama tahun 2009 yang terdiri dari 28 arahan dari berbagai kegiatan di lingkungan Kementerian Agama. Kedua, kumpulan paparan Inspektur Jenderal Kementerian Agama yang terdiri dari 14 paparan yang berbentuk Power Point. Tema pengarahan antara lain bahwa tekad pemerintah untuk mewujudkan birokrasi yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang membutuhkan konsistensi dan komitmen yang tinggi, reformasi birokrasi tersebut dimulai dari penerbitan peraturan perundang-undangan, penyempurnaan sistem birokrasi, hingga pembentukan lembaga pemberantasan korupsi. Target dan sasaran reformasi birokrasi tersebut adalah menjadikan birokrasi yang bersih, efisien, efektif, transparan, birokrasi yang melayani, dan birokrasi yang terdesentralisasi. Bahwa pengawasan diarahkan pada perannya sebagai quality assurance dan quality control untuk mendukung administrasi dan manajemen Kementerian Agama yang lebih baik, melalui berbagai peningkatan mutu yaitu percepatan pemberantasan korupsi, pelayanan publik, efektifitas dan efisiensi penggunaan dana APBN, efektifitas tindak lanjut hasil pengawasan, disiplin kerja dan pemberian motivasi kepada para pegawai di lingkungan Kementerian Agama guna terwujudnya Good Governance dan Clean Government. Buku ini menjadi penting karena sebagai salah satu bahan dan media dalam menentukan kebijakan, program, dan kegiatan organisasi bisa terukur dan terarah, selain itu juga sebagai sarana dalam mengembangkan wawasan pengetahuan di bidang pengawasan. [Yudi Dwinanto] Fokus Pengawasan Nomor 26 Tahun VII Triwulan II 2010 79
Fokus Foto Itjen
Silaturrahim dan Kunjungan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Inspektur Jenderal Mundzier Suparta Sidak Ujian Kemampuan Komputer Bagi Para Auditor di Lingkungan Itjen Kemenag
Deputi BPKP, Irjen dan Ses Itjen pada Acara Pemutakhiran Data Hasil Temuan Audit di Lingkungan Kementerian Agama
Irjen Mundzier Suparta Memberikan Arahan pada Acara Rapat Kerja Pimpinan IAIN Raden Intan Lampung
Doa Bersama Pembangunan Gedung ex. Madrasah Tahap II Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
Peserta Gelar Pengawasan (Gerwas) Tahun 2010 Inspektorat Jenderal Kementerian Agama