Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 FUNGSI PENGAWASAN PARLEMEN INDONESIA: PROSPEK DAN TANTANGAN Masnur Marzuki Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
[email protected] Abstract Supervisory powers of Paliament play significant role in to strengthen check and balances mechanism among branch of legislative and executive power. The House of People Representative or the DPR still domintaes the function of supervisory because it has institutional and individual supervisory powers. It has control of policy making, control of policy executing, control of budgeting, control of budget implementation, control of government performances, control of political appointment of public officials. On the other hand, supervisory function of Regional House of Representative or the DPD only has institutional supervisory function and tends to be supportive organ toward the DPR. In fact, there is no constitutional authority of DPR to follow up the result of supervisory function of DPD. Key Words: parliament, supervisory, constitusionalism Abstrak Kekuasaan pengawasan parlemen memainkan peran penting dalam memperkuat mekanisme check and balances di antara cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dewan Perwakilan Rakyat masih dominasi fungsi pengawasan karena memiliki kekuasaan pengawasan institusi dan individu. DPR memiliki kontrol dalam penyusunan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pengendalian anggaran, pengendalian pelaksanaan anggaran, pengendalian pelaksanaan pemerintahan, pengangkatan pejabat publik. Di sisi lain, DPRD atau DPD hanya memiliki fungsi pengawasan secara kelembagaan atau institusi dan cenderung sebagai organ pendukung terhadap DPRD atau DPD. Bahkan, tidak ada kewenangan konstitusional DPR untuk menindaklanjuti hasil fungsi pengawasan DPRD/DPD. Kata Kunci: parlemen, pengawasan, konstitusionalisme A.
Pendahuluan Dalam paham konstitusionalisme1 modern, tidak ada satu organ negara pun yang
bebas dari kontrol atau pengawasan. Dalam kerangka itulah keberadaan lembaga legislatif atau parlemen menjadi urgen dan strategis dengan fungsi dan kewenangan yang melekat
1 Paham konstitusionalisme adalah paham yang menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan melalui konstitusi yang sedemikian rupa mendesain agar tidak terjadi dominasi satu organ kekuasaan atas organ kekuasaan lain sehingga hak-hak rakyat dapat dilindungi dan diakomodir oleh penyelenggara negara. Lihat Louis Fisher, Constitutional Conflicts between Congress and the President, Princeton University Press, New Jersey, 1985, hal. 3
65
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … padanya. Hal itu dimaksudkan agar penyelenggaraan negara terutama eksekutif tidak sampai terjerembab pada tindakan kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.2 Selain dibekali fungsi pengawasan (supervisory powers) lembaga parlemen juga lazim diberikan fungsi lain yakni fungsi legislasi dan anggaran. 3 Fungsi legislasi, anggaran dan fungsi pengawasan tersebut melekat sebagai pengejawantahan prinsip konstitusionalisme utamanya untuk memastikan terlindunginya warga negara dari tindakan sewenang-wenang pemerintah.4 Pengawasan memiliki arti penting tidak hanya untuk berfungsinya parlemen namun juga demi jalannya pemerintahan karena akan memberi umpan balik (feed back) bagi perbaikan pengelolaan pembangunan sehingga tidak keluar dari jalur atau tahapan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam sejarah Parlemen Inggris misalnya, fungsi pengawasan Parlemen terhadap eksekutif makin mendapatkan legitimasi seiring perkembangan sistem pemerintahan Parlementer. Tidak mengherankan bila pertengahan abad XIX kerap disebut sebagai puncak keemasan kontrol parlemen atas cabang kekuasaan eksekutif.5 Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen pada awal perkembangannya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam upayanya ikut andil menentukan jalannya pemerintahan. Artinya keputusan rakyat yang berdaulat haruslah direpresentasikan melalui kebijakan-kebijakan parlemen. Hal inilah yang kemudian melahirkan prinsip atau doktrin supremasi parlemen (the principle of supremacy of parliament).6
2
Perjalanan panjang sejarah konflik Monarki dengan kehadiran Parlemen di Inggris misalnya turut memberikan pengaruh signifikan bagi berkembangnya Parlemen dalam menjalankan fungsi dan tugasnya terutama pada awal Abad XXI dimana empat abad sebelumnya yakni tahun 1689 merupakan tahun penanda supremasi Parlemen atas keberadaan Monarki dimana Raja Inggris tidak bisa melahirkan aturan hukum tanpa disepakati oleh Parlemen yang kemudian dikenal sebagai Bill of Rights. 3 Terkait dengan tiga fungsi parlemen tersebut, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa fungsi lembaga perwakilan atau parlemen sejatinya tidak termasuk fungsi anggaran sebab fungsi anggaran pada prinsipnya juga dituangkan dalam bentuk undang-undang yang pelaksanaannya juga harus diawasi oleh parlemen. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, BIP, Jakarta, 2007, hal. 160. 4 Hasil studi mendalam Arthur E. Sutherland tentang perkembangan konstitusionalisme Amerika menyimpulkan bahwa pemerintah semestinya menciptakan institusi dan sistem yang mampu mencegah kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan. Madison dalam the Federalist Paper juga telah mengingatkan bahwa kesulitan dalam membentuk suatu pemerintahan adalah memastikan bahwa pemerintah mengontrol mereka yang diperintah dan dalam posisi berikutnya mewajibkan pemerintah untuk mengawasi dirinya sendiri. Lihat Arthur E. Sutherland, Constitutionalism in America 2, 1965, hal. 2-3, sebagaimana dikutip dalam Louis Fisher, op.cit. hal. 8. 5 Lihat Matthew Flinders, “Shifting the Balance? Parliament, the Executive and the British Constitution” Political Studies Journal, 2002, Vol. 50, hal. 25. 6 Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal. 153.
66
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi pengawasan parlemen dapat dipilah menjadi bermacam-macam bentuk, antara lain;7 1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making); 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing); 3. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting); 4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation); 5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances); 6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials). Artinya berbagai bentuk pengawasan parlemen tersebut sesungguhnya bukan dimaksudkan mendikte jalannya pemerintahan negara melainkan dalam kerangka menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat.
B.
Pembahasan
B.1.
Fungsi Pengawasan DPR dalam UUD NRI 1945 dan UU MD3 Urgensi fungsi pengawasan cabang kekuasaan legislatif terhadap cabang kekuasaan
lain telah diatur sedemikian rupa dalam konstitusi dan UU organik. Amandemen Kedua yang melahirkan Pasal 20A Ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi pengawasan.8 Pengaturan konstitusional tersebut memuat pengaturan lebih lanjut dengan Undang-Undang (bij de wet geregeld). Fungsi pengawasan DPR tersebut kemudian dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).9 Pasal 69 UU MD3 menyatakan bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPR tersebut dilaksanakan dalam rangka representasi rakyat dan dilakukan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).10
7
Ibid, hal. 163. Pasal 20A ayat (1) UUD NRI 1945; “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” 9 UU ini adalah UU penggantian atas UU MD3 sebelumnya yakni UU Nomor 27 Tahun 2009. UU MD3 ini antara lain dimaksudkan untuk penguatan fungsi aspirasi, penguatan peran komisi sebagai ujung tombak pelaksanaan tiga fungsi dewan yang bermitra dengan Pemerintah, serta pentingnya penguatan sistem pendukung, baik sekretariat jenderal maupun Badan Keahlian DPR. 10 Lihat Pasal Ayat (20 dan pasal 70 Ayat (3) UU MD3. 8
67
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … Artinya fungsi pengawasan DPR tersebut tidak hanya mengawasi pelaksanaan undangundang melainkan juga pelaksanaan APBN yang telah disetujui DPR dan Pemerintah. Selain dimaknai sebagai suatu fungsi, pengawasan menurut UU MD3 juga merupakan suatu tugas yang melekat pada DPR. Ketentuan tersebut termaktub pada Pasal 72 UU MD3 yang menegaskan bahwa DPR bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Dalam melaksanakan tugas pengawasan DPR kemudian dibekali hak interpeleasi, angket, dan menyatakan pendapat. Lebih jauh, dalam kerangka representasi kepentingan rakyat fungsi dan tugas pengawasan juga dilekatkan haknya kepada anggota DPR.11 Hak pengawasan anggota DPR tersebut dapat diidentifikasi dari ketentuan Paragraf 9 tentang Hak Pengawasan, Pasal 227 UU MD3. Bahkan dalam menopang pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut anggota DPR dapat meminta pihak terkait untuk menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh anggota DPR dimaksud. Pihak terkait wajib menindaklanjutinya dan menyampaikan hasil tindak lanjut tersebut kepada anggota DPR.12 Dapat disimpulkan bahwa sifat fungsi dan tugas pengawasan DPR mencakup dua hal yakni, pertama, pengawasan yang bersifat institusional. Kedua, pengawasan yang bersifat individual. Pengawasan yang bersifat institusional adalah dalam kerangka tugas dan fungsi kelembagaan DPR dalam lingkup cabang kekuasaan legislatif. Adapun pengawasan yang bersifat personal dalam kerangka hak yang melekat pada anggota DPR sebagai wakil rakyat. Hal ini karena UUD NRI 1945 dan UU MD3 memang menasbihkan bahwa anggota DPR mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. Dengan bekal payung hukum dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, DPR tentu tak boleh berpangku tangan dan kemudian mengabaikan fungsi pengawasannya terhadap cabang kekuasaan negara lainnya baik eksekutif maupun yudikatif. Apalagi fungsi pengawasan tersebut telah dilekatkan tidak hanya pada institusi DPR melainkan juga pada anggota DPR itu sendiri. Di sinilah tantangan terberat DPR dalam memfungsikan sistem pengawasannya secara akuntabel dan bertanggungjawab. Pasal 22D Ayat (3) UUD NRI 1945 mengamanahkan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. 11 12
Lihat Pasal 80 huruf i UU MD3. Lihat Pasal 227 Ayat (5) dan Ayat (6) UU MD3.
68
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Redaksi atau kata “dapat” merupakan constitutional choice yang diberikan UUD 1945 kepada DPD. Manakala DPD menempuh pilihan untuk menggunakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu maka pilihan yang ditempuh mengandung sifat imperatif, tidak dapat dimodifikasi, direduksi, dibatasi, disimpangi, apalagi dikangkangi oleh DPR dan pemerintah. Hanya saja ketentuan tersebut dibarengi dengan prinsip bahwa DPD menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dengan ketentuan demikian, DPD seolah hanya ditempatkan sebagai 'colegislator' di samping DPR khususnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Sifat tugas DPD dalam kerangkan fungsi pengawasan hanya bersifat menunjang (auxiliary agency) tugas-tugas konstitusional DPR. Implikasi politik yang terjadi kemudian adalah kekuasaan yang bersifat vertikal fungsional, di mana kedudukan lembaga perwakilan rakyat (DPR) dan lembaga perwakilan daerah (DPD) seolah menjadi tidak setara dan berimbang. 13 Padahal dalam kerangka dasar struktur ketatanegaraan pasca amandemen konstitusi, organ negara inti tidak lagi dalam posisi atas-bawah melainkan dalam posisi yang sederajat. Anomali struktur ketatangeraan dan fungsi kelembagaan ini tidak boleh dibiarkan menjadi bom waktu yang akan mengancam keberlangsungan konstitusionalisme dan mekanisme check and balances dalam politik ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagai pengganti UU MD3 sebelumnya ternyata masih belum memberikan ruang yang otoritatif kepada
DPD dalam
melaksanakan tugas-tugas
konstitusionalnya
terutama
fungsi
pengawasan. Padahal UU MD3 sebelumnya telah diajukan pengujiannya oleh DPD ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusannya mengabulkan sebagian besar permohonan DPD.14 Pasal 248 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan bahwa:
13
Padahal melalui perubahan ketiga UUD 1945, terjadi pergeseran ke arah susunan kekuasaan yang bersifat horizontal fungsional, dimana kedudukan lembaga-lembaga negara menjadi setara. Masing-masing lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan negara melakukan pengawasan secara fungsional terhadap lembaga negara lainnya. Perubahan yang dilakukan bertujuan antara lain untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan. 14 Lihat putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012
69
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … (1) DPD mempunyai fungsi: a. ...... b. ...... c. ..... d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. (2) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah. Ketentuan tersebut kemudian diulang kembali pada Pasal 249 ayat (1) huruf f yang menyatakan bahwa DPD berwenang dan bertugas untuk dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 249 ayat (1) huruf f kemudian menyatakan bahwa DPD berwenang dan bertugas menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undangundang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Berbeda dengan pengawasan DPR yang bersifat dual function yakni pengawasan yang bersifat institusional dan pengawasan yang bersifat individiual, pengawasan DPD hanyalah bersifat tunggal (single function) yakni pengawasan yang bersifat institusional. Ketentuan ini tercantum jelas dalam Pasal 256 UU MD3 yang mengatur tentang Hak DPD. Secara lengkap Pasal 256 berbunyi; DPD berhak: a. ...... b. ...... c. ...... d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 256 UU MD3 hanya menyebutkan hak kelembagaan DPD dan bukan hak keanggotaan DPD. Dalam pasal yang mengatur tentang hak anggota DPD, tidak ada satu pun 70
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 nomenklatur yang menyatakan bahwa anggota DPD memiliki hak melakukan pengawasan.15 Pasal 257 tentang Hak anggota DPD hanya menyebutkan bahwa Anggota DPD berhak untuk bertanya, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, protokoler, dan keuangan dan administratif. Berbeda dengan DPR, DPD tidak memiliki hak angket dan hak interpelasi sebagai tindak lanjut dari hasil pengawasan sebab hasil pengawasan DPD harus disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Ketentuan mengenai fungsi pengawasan DPD dalam UU MD3 yang terbaru memang tidak bisa diharapkan bergeser signifikan dari UU MD3 sebelumnya sebab pda kenyataannya MK tidak mengabulkan permohonan DPD dalam Uji Materi UU MD3 terkait nomenklatur fungsi pengawasan DPD. Bahkan perubahan signifikan UU MD3 juga belum terlihat dalam pengaturan fungsi-fungsi DPD yang lain seperti fungsi legislasi dan anggaran. 16 Tidak mengherankan bila saat ini DPD kembali mengajukan permohonan pengujian atas UU MD3 yang baru.
B.2.
Prospek dan Tantangan DPR-DPD dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, fungsi pengawasan adalah tugas konstitusional
(constitutional authority) yang melekat pada lembaga parlemen dalam upaya terciptanya fungsi saling kontrol dan saling mengimbangi antar cabang kekuasaan (check and balances). Prospek dan tantangan DPR 2014-2019 dalam melakukan fungsi pengawasan antara lain, pertama, peta kekuatan politik yang dikuasai oleh Koalisi Merah-Putih (KMP) akan memberi pengaruh pada kinerja pengawasan DPR ke depan. Pemerintahan Jokowi-JK yang didukung PDIP, PKB, Hanura dan Nasdem akan dihadapkan pada pertarungan sengit di Parlemen.17 Dominasi KMP akan berimplikasi pada performance DPR yang semakin “galak” pada pemerintah termasuk mengawasi pelaksanaan UU dan anggaran. Bukan tidak mungkin menteri di Kabinet Jokowi-JK akan disibukkan dengan panggilan-panggilan oleh berbagai komisi di DPR. Realitas yang demikian bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan negatif. 15
Bandingkan dengan Pasal 80 huruf i UU MD3 yang menyatakan bahwa anggota DPR berhak melakukan pengawasan. 16 Sebagai ilustrasi, meskipun MK telah menyatakan bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU di DPR (Pembicaran Tingkat I) bersifat imperatif, UU MD3 yang baru menyatakan keikutsertaan DPD dalam Pembahasan Tingkat I atas RUU tidak mempengaruhi proses pembahasan. Lihat Pasal 170 ayat (5) UU MD3. 17 Konflik politik di DPR sempat memanas dengan terbentuknya DPR tandingan setelah Koalisi Merah Putih menyapu bersih seluruh posisi pimpinan DPR dan MPR serta posisi pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR. Ketegangan politik tersebut akhirnya mencair dengan disepakatinya konsensus politik bahwa jumlah pimpinan alat kelengkapan DPR akan ditambah setelah dilakukannya revisi terhadap UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR.
71
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … Positif dalam artian bahwa DPR akan semakin memaksimalkan fungsinya sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif. Di sisi lain, menjadi negatif karena bisa saja pengawasan tersebut lebih didominasi kepentingan politik sesaat ketimbang kepentingan menyuarakan aspirasi rakyat. Kecurigaan bahwa DPR akan lebih dominan memperjuangkan hal ihwal bagi-bagi kekuasaan tercermin dari dinamikan politik di mana untuk mengakhiri ketegangan politik di DPR yang terbelah antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih DPR sepakat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Norma yang akan direvisi utamanya hanyalah soal jumlah komposisi pimpinan
alat kelengkapan DPR. Dari 16 alat kelengkapan DPR, komposisi jumlah
pimpinannya akan ditambah karena nomenklatur jumlah pimpinan alat kelengkapan menggunakan batas maksimal yang rata-rata hanya terdiri dari satu ketua dan tiga wakil ketua.18 Artinya mayoritas publik cenderung menilai bahwa rencana revisi terhadap UU MD3 lebih didorong pada gejala perilaku politik di DPR yang hanya mementingkan persoalan bagi jatah kekuasaan, bukan dimaksudkan untuk memperbaiki tata kelola pelaksanaan fungsi keparlemenan yang bermuara pada kepentingan rakyat. Padahal akan lebih baik bila DPR melakukan revisi UU MD3 dalam kerangka perbaikan kelemahan regulasi untuk parlemen dalam
melakukan
tugas-tugas
konstitsional
untuk
mewujudkan
akuntabilitas
dan
profesionalisme parlemen ke depan. Kedua, fungsi pengawasan DPR sepertinya akan lebih banyak terporsir pada kepentingan jangka pendek untuk “menjegal” kebijakan pemerintah ketimbang fokus pada substansi persoalan yang tengah dihadapi. Berkaca pada Pemerintahan dan periode DPR sebelumnya, meskipun DPR dikuasai oleh partai pemenang Pileg dan Pilpres, fungsi pengawasan DPR termasuk fungsi yang cukup dinamis. Salah satu contohnya adalah pembentukan timwas Century yang cukup merepotkan pemerintahan SBY.19 Meskipun demikian, Direktur Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Sri Budi Eko W pada tahun 2010 pernah merilis bahwa fungsi pengawasan relatif berjalan 18
Dari 16 alat kelengkapan DPR tersebut, hanya Mahkamah Kehormatan Dewan yang jumlah pimpinannya berbeda yakni terdiri atas satu ketua dan dua wakil ketua. Pasal 121 UU MD3 menyatakan; Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. 19 Selain Timwas Century sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR 2009-2014 juga pernah membentuk Timwas Sengketa Pertanahan dan Konflik Agraria, Timwas TKI, dan Timwas Pengawasan Penyelenggaraan Haji. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/14064011/Ini.Capaian.Kerja.DPR.2009-2014 diakses 2 Oktober 2014.
72
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 dengan frekuensi penggunaan hak interpelasi, hak angket maupun dalam forum rapat kerja di komisi.20 Namun menurutnya pengawasan dijalankan dalam kerangka kepentingan politis jangka pendek dan sangat sedikit menyentuh substansi. Ketiga, fungsi pengawasan DPR ke depan tampaknya tidak akan mengalami perubahan signifikan bilamana tidak dilakukan langkah progresif untuk memetakan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi bangsa dan negara. Selama ini fungsi pengawasan DPR seringkali berangkat dari sikap reaktif DPR terhadap isu-isu yang sedang hangat di publik. Liberalisasi politik Indonesia memang menghadapkan terjadinya fenomena pencitraan dalam bingkai marketing politik. Sulit membantah bahwa selama ini fungsi pengawasan kian dihadapkan pada realitas politik pencitraan dalam rangka pengawasan yang menjadi bagian dari strategi marketing untuk mendapat dukungan politik dari publik. Keempat, fungsi pengawasan DPR juga akan dihadapkan pada friksi kepentingan politik dan kepentingan publik. Absurdnya prinsip keterwakilan DPR sebagai wakil rakyat sekaligus wakil partai politik akan berimplikasi pada performa DPR dan anggotanya dalam melakukan fungsi pengawasan. Dengan sistem Pemilu Legislatif Proporsional Terbuka, para wakil rakyat seharusnya makin memiliki hubungan yang erat dengan konstituennya, sehingga akuntabilitas para wakil semakin nyata. Akibat yang muncul, para rakyat yang diwakili dapat menuntut kepada para wakilnya untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat. Jika tak dipenuhi wakil rakyat akan mendapatkan hukuman pada Pemilu berikutnya untuk tidak dipilih kembali. Dalam konteks ini maka fungsi pengawasan individual anggota DPR dapat lebih efektif demi meraih dukungan konstituen atau rakyat yang diwakili. Di sisi lain, beberapa tantangan DPD dalam melakukan fungsi pengawasan bisa dipetakan ke dalam beberapa hal berikut; pertama, pengawasan DPD terhalang aturan konstitusi karena hanya bersifat memberi pertimbangan dan masukan kepada DPR atas hasil pengawasan yang dilakukannya itu. Artinya, efektifitas pengawasan DPD bergantung pada political will DPR itu sendiri. Meskipun UUD NRI 1945 menggariskan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, fungsi pengawasan DPD tidak secara otomatis terlembaga karena secara normatif hasil pengawasan DPD itu harus disampaikan ke DPR sebagai bahan pertimbangan. Lalu bagaimana memfasilitasi fungsi pengawasan DPD supaya lebih efektif dan terinstitusionalisasikan secara apik? Agar pertanyaan ini terjawab, perlu terlebih dahulu 20
Lihat Sulistyowati, Ketidak-adilan DPR dalam Menjalankan Fungsinya, artikel terdapat di portal http://download.portalgaruda.org/article.php?article=23003&val=1295 diakses 3 Oktober 2014.
73
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … dipahami seberapa jauh DPD telah melembaga sehingga bisa dipetakan kinerja pengawasannya. Kedua, selain bergantung pada political will DPR atas hasil pengawasan DPD, fungsi pengawasan DPD amat dipengaruhi oleh tantangan institusionalitas DPD itu sendiri. Pengawasan DPD barulah dapat disebut berada dalam kondisi optimal bilamana DPD telah benar-benar berperan sebagai instrumen lembaga negara. Tantangan terberat DPD selama ini sesungguhnya terletak pada sejauh mana DPD berperan dalam mengelola hubungan pemerintahan tingkat nasional dengan pemerintahan tingkat daerah. Haruslah diakui bahwa sejauh ini peran tersebut masih dalam kendali DPR dan Presiden.
Skema 1. Tiga Domain Keterlembagaan DPD DPD sebagai bagian
DPD dalam Pusaran Hubungan
dari Parlemen
Pusat-Daerah
DPD dalam Aktivitas Operasionalnya di Daerah
(Sumber: Purwo Santoso, Penguatan Basis Jejaring DPD dalam Menguatkan DPD RI, Parliamentary Support Program UNDP, 2010, hal. 152.)
Fungsi dan mekanisme pengawasan seharusnya tidak boleh hanya berlangsung melalui jalur perwakilan berbasis faksi-faksi politik di DPR melainkan juga variasi lokal sebagaimana tercermin di DPD. Untuk itulah pengawasan DPD harus disinergikan dan terinstitusikan secara matang dan akuntabel. Institusionalisasi pengawasan DPD akan menjadikan lembaga perwakilan daerah berbasis teritori benar-benar menjadi komplemen sekaligus penyeimbang pengawasan berbasis politik di DPR. Ketiga, belum adanya mekanisme kerja bersama DPR dan DPD khususnya menyangkut pemberdayaan fungsi pengawasan parlemen. Patut dicatat bahwa hingga saat ini belum terbangun mekanisme kerja bersama DPR dan DPD di bidang legislasi termasuk 74
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 bidang pengawasan.21 Akibatnya hubungan kerja DPR dan DPD di bidang legislasi yang meliputi keikutsertaan DPD dalam perencanaan, pengajuan, penyusunan dan pembahasan RUU, tindak lanjut pandangan/pendapat dan pertimbangan atas RUU, serta pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan bidang tugas DPD masih belum terlaksana sebagaimana mestinya untuk memenuhi harapan daerah. Pada tanggal 3 Mei 2010 pernah dilaksanakan pertemuan konsultasi Pimpinan DPD dan Pimpinan DPR.22 Pokok-pokok materi DPD dalam pertemuan tersebut meliputi hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan prolegnas prioritas tahunan, pembahasan RUU, Rapat Kerja DPR RI dengan Pemerintah, Wakil DPD dalam pembahasan RUU di DPR RI, Pembahasan RUU APBN, Sidang Bersama DPR dan DPD, RUU yang telah disampaikan oleh DPD, UU yang terkait dengan DPD, Pencantuman Keputusan DPD dalam konsideran Keputusan DPR, pencantuman Pasal 22D UUD 1945 dalam konsideran RUU terkait DPD. Sayangnya pertemuan konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil dan keputusan yang bersifat institusional dalam Tatib baik di DPR maupun DPD. Keempat, belum adanya kesepahaman undang-undang apa saja yang masuk dalam ranah kepentingan daerah yang menjadi kewenangan konstitusional DPD. Selama ini tugas pengawasan DPD tidak memiliki blue print yang jelas soal nomenklatur undang-undang mana yang seharusnya dapat dilakukan pengawasannya oleh DPD. Oleh karena itu, ke depan kewenangan bidang pengawasan DPD seharusnya hanya terbatas pada pengawasan atas undang-undang yang terkait dengan jenis Undang-Undang yang ikut dibahas dan/atau diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya. Hal ini dimaksudkan sebagai kesinambungan kewenangan DPD untuk mengawasi pelaksanaan berbagai RUU yang berkaitan dengan aspirasi dan kepentingan daerah.
21
Uniknya, pertengahan September 2014 jelang pembahasan RUU Kelautan, pimpinan DPD dan DPR melakukan rapat konsultasi terkait mekanisme pembahasan RUU yang menjadi usul inisiatif DPD RI. Dengan mengacu pada UU MD3 dan Tatib DPR yang baru, tonggak sejarah baru telah diciptakan dengan terjadinya pembahasan bersama DPR-DPD-Pemerintah untuk melakukan Pembicaraan Tingkat Pertama hingga akhirnya RUU Kelautan disahkan menjadi UU Kelautan. 22 Forum ini turut dihadiri Ketua DPR Marzukie Ali dan Ketua DPD Irman Gusman, dua wakil ketua DPD, Laode Ida dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas; Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ignatius Mulyono (Fraksi Partai Demokrat) dan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Harry Azhar Azis (Fraksi Partai Golkar) serta Ketua Komite IV DPD Abdul Gafar Usman (Riau) dan wakilnya, Ella Giri M Komala (Jawa Barat), dua wakil ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPPU), Parlindungan Purba (Sumatera Utara) dan Amang Syafrudin (Jawa Barat). Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Nining Indra Saleh dan Sekjen DPD Siti Nurbaya Bakar juga menghadiri acara tersebut. http://www.dpd.go.id/artikel-sinergi-dprdpd-mengefektifkan-fungsi-legislasi-danpengawasan diakses pada tanggal 3 Oktober 2014.
75
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … Prospek pengawasan DPD haruslah dilihat dalam kerangka DPD sebagai institusi politik. Sebagai lembaga perwakilan politik maka fungsi utama DPD adalah menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi daerah yang diwakilinya. Dalam menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi tersebut DPD seharusnya memiliki kewenangan yang kuat dalam legislasi, budgeting dan pengawasan dalam bidang-bidang tertentu yang terkait dengan daerah. Hal ini tentu saja mensyaratkan amandemen lanjutan terhadap UUD 1945 karena constraint utama DPD selama ini secara yuridis konstitusional adalah limitasi kewenangan yang diatribusikan oleh UUD NRI 1945. Pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya dalam mengartikulasikan fungsi pengawasan parlemen adalah mewujudkan mekanisme check and balances di internal lembaga parlemen itu sendiri.23 Hal ini penting agar ciri negara demokratis semakin melekat dan fungsi pengawasan parlemen semakin efektif. Oleh karenanya maka penyelenggaraan pemerintahan negara selain harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang membatasi kekuasaan, diperlukan pula prinsip dan mekanisme checks and balances di internal cabang kekuasaan legislatif (DPR-DPD). Akhirnya, dalam sistem pemerintahan Presidensial, berfungsinya pengawasan parlemen akan menentukan efektifitas kontrol lembaga legislatif atas eksekutif yang memang terpisah satu sama lainnya.24 Dengan karakteristik sistem presidensial yang dimiliki oleh Indonesia, fungsi pengawasan parlemen menjadi poin strategis bagi bekerjanya demokrasi konstitusional ke depan. Studi Jone Antonia Cheibub menjelaskan betapa sistem pemerintahan akan turut berpengaruh pada masa depan demokrasi dengan mengatakan bahwa “....the form of government is probably the most important aspect of how democracy is to be organized, and debates about it remain feature of the political landscape in many countries”.25 Cheibub bahkan turut menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang
masih
mencari
format
terbaik
untuk
menyempurnakan
sistem
pemerintahannya.26
Butterworths Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances sebagai berikut; “A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.” Lihat Peter Butt (eds.), Butterworths Concise Australian Legal Dictionary, LexisNexis, Australia, 2004, hal. 68 24 Jose Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism and Democracy, Cambridge University Press, New York, 2007, hal. 26 25 Ibid, hal. 4 26 Ibid. 23
76
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 C.
Kesimpulan Fungsi pengawasan (supervisory powers) parlemen mutlak diperlukan dan
diberdayakan demi terlindunginya kepentingan rakyat dan terwujudnya mekanisme check and balances. Secara yuridis konstitusional, DPR masih mendominasi fungsi pengawasan karena pada lembaga tersebut melekat fungsi pengawasan yang bersifat institusional dan individual. Sementara itu, pengawasan DPD masih bersifat institusional an sich dan sekedar menjadi sub-ordinat atas DPR. Alhasil pengawasan DPD menjadi semacam supporting element bagi pertimbangan DPR untuk ditindaklanjuti. Ditambah lagi dengan tidak adanya kewajiban konstitusional DPR untuk menindaklanjuti hasil pengawasan DPD tersebut. Tantangan DPR dalam melakukan pengawasan antara lain luasnya cakupan pengawasan DPR yang meliputi organ eksekutif dan yudikatif sementara sumber daya di DPR hanya berjumlah sembilan alat kelengkapan dengan jumlah anggota sebanyak 560 anggota. Selain itu, pengawasan DPR seringkali dipicu sikap reaktif DPR terhadap isu-isu yang sedang hangat di publik. Adapun tantangan DPD ke depan dalam melakukan fungsi pengawasan antara lain pertama, DPD terhalang aturan konstitusi karena hanya pengawasannya hanya bersifat memberi pertimbangan dan masukan kepada DPR. Kedua, pengawasan DPD dalam implementasinya masih dalam kendali DPR (fungsi yang tak berimbang). Ketiga, belum adanya mekanisme kerja bersama DPR dan DPD khususnya menyangkut pemberdayaan fungsi pengawasan parlemen. Dalam prospeknya ke depan, fungsi dan mekanisme pengawasan seharusnya tidak hanya berlangsung melalui jalur perwakilan berbasis faksifaksi politik di DPR melainkan juga variasi lokal kedaerahan yang harus direpresentasikan secara akuntabel oleh DPD.
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: BIP, 2007 Butt, Peter (eds.). Butterworths Concise Australian Legal Dictionary. Australia: LexisNexis, 2004 Cheibub, Jose Antonio. Presidentialism, Parliamentarism and Democracy. New York: Cambridge University Press, 2007 Fisher, Louis. Constitutional Conflicts between Congress and the President. New Jersey: Princeton University Press, 1985
77
Masnur Marzuki : Fungsi Pengawasan Parlemen Indonesia … Santoso, Purwo. Penguatan Basis Jejaring DPD dalam Menguatkan DPD RI. Parliamentary Support Program UNDP, 2010 Sutherland, Arthur E. Constitutionalism in America 2. 1965 Jurnal Flinders, Matthew. “Shifting the Balance? Parliament, the Executive and the British Constitution”. Political Studies Journal Vol. 50, 2002 Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Putusan Pengadilan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 Internet http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/14064011/Ini.Capaian.Kerja.DPR.2009-2014 diakses 2 Oktober 2014 Sulistyowati, Ketidak-adilan DPR dalam Menjalankan Fungsinya, artikel terdapat di portal http://download.portalgaruda.org/article.php?article=23003&val=1295 diakses 3 Oktober 2014 http://www.dpd.go.id/artikel-sinergi-dprdpd-mengefektifkan-fungsi-legislasi-danpengawasan diakses pada tanggal 3 Oktober 2014 Lain-lain Peraturan Tata Tertib DPR RI Peraturan Tata Tertib DPD RI
78