NEWS
LETTER
kabar
STBM
Diproduksi oleh Plan Indonesia dengan dukungan Australian Aid
Media Informasi, Komunikasi & Edukasi STBM di Indonesia
Foto: ©Plan Indonesia.
Wirausaha STBM di Indonesia: Prospek, Peluang dan Tantangan Indonesia memasuki usianya yang ke-69, masih mengalami masalah dengan kondisi layanan sanitasi dasar, hal ini berdasarkan hasil Riskesdas Kementrian Kesehatan 2013. Hasil Riskesdas 2013 tersebut memaparkan bahwa akses masyarakat terhadap layanan sanitasi dasar yang layak baru mencapai 59,8 %. Artinya, jika penduduk Indonesia sekarang mencapai 259.940.857 jiwa (menurut pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, 31 Desember 2010) maka ada 155.444.632 jiwa belum memiliki akses terhadap layanan sanitasi dasar. Kalau dihitung 1 jamban untuk 1 keluarga dengan asumsi 1 keluarga dari rata rata 5 jiwa, berarti dibutuhkan sekitar 31.088.926 jamban keluarga untuk menjangkau masyarakat yang masih BABS tersebut. ...Halaman 2 & 3
Water, Sanitation and Hygiene (WASH)
Edisi 3, 2014 Mengembangkan Usaha Sanitasi melalui Dana Pinjaman dari Bank
H. 4
Papsigro: Gerakan Asosiasi Pengusaha Sanitasi untuk Grobogan yang Lebih Sehat
H. 6
Bu Mega, Srikandi Sampah dari Ende
H. 10
2
NEWSLETTER
kabar STBM, Edisi
Pembelajaran dan Kisah Sukses Wirausaha STBM di Indonesia
3, 2014
Ini artinya, ada kesempatan untuk pengadaan jamban sebanyak itu, yang dapat didekati secara sosial maupun ekonomi. Secara sosial, dengan segala macam kearifan lokal yang tersebar se-Nusantara, masalah ini dapat diselesaikan dengan melibatkan kader, toga maupun tomas, melalui pemicuan dan mendampingi masyarakat, sampai betul betul mendapatkan layanan sanitasi dasar. Secara ekonomi, pengadaan jamban keluarga sebanyak itu, tentu akan memberikan dampak ekonomi: (1) kesempatan kerja bagi tukang, (2) kesempatan usaha bagi toko bahan bangunan, dan tentu saja yang diharapkan program STBM: (3) munculnya wirausaha STBM. Upaya ini nampaknya dapat dikembangkan dengan menggabungkan pendekatan sosial sekaligus ekonomi, pemberdayaan masyarakat sekaligus pengembangan bisnis.
Wirausaha STBM Dari Sisi Prospek Bisnis Mengembangkan bisnis, tentu harus menguntungkan. Bukan bisnis kalau tidak untung. Hanya saja bedanya disini adalah, ada sisi sosialnya, karena upaya untuk memunculkan peluang usaha pengadaan jamban keluarga ini harus dimulai dengan proses pemicuan atau penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya jamban. Apabila kita hitung rata rata jamban keluarga yang sehat dan sederhana sebagaimana yang saat ini terjadi diseluruh pelosok negeri ini kita ambil yang paling murah,
sekitar Rp. 500 ribu, maka ada potensi usaha senilai Rp. 15.544.463.000.000 (15 Trilyun) tersebar di 34 provinsi di Indonesia, dengan sebaran sebagaimana grafik akses layanan sanitasi dasar diatas. Kalau kita hitung keuntungannya, katakanlah sekitar 5%, maka nilai profit yang dapat diambil dari bisnis sanitasi, khususnya pengadaan jamban keluarga, sekitar Rp. 777.222.315.000. Nilai keuntungan sekitar 0,8 trilyun rupiah tadi dapat disebarkan keseluruh Indonesia, tentu dapat menumbuhkan cukup banyak pengusaha STBM di Indonesia, karena sudah jelas potensi bisnisnya.
Pengalaman Pengembangan Pengusaha STBM di Indonesia Untuk meraih potensi bisnis STBM tersebut, saat ini banyak program, proyek maupun mitra kerja di Indonesia yang sudah berhasil mengembangkannya. Plan Indonesia berhasil mengembangkan Papsigro di Grobongan dan ASAS (Asosiasi Sanitasi Asal Soe) di Kabupaten TTS, NTT. Sementara itu, saat ini Plan Indonesia juga sedang melatih lebihh dari 100 calon wirausaha STBM di 5 kabupaten lainnya di NTT melalui Project STBM CS-Fund 2. Lalu ada TSSM di Jawa Timur dan Pamsimas 1 sudah berhasil mengembangkan di lebih 10 provinsi, dan akan berkembang di 32 provinsi pada Pamsimas 2.
Berbagai kunci keberhasilan dalam mendampingi para pelaku bisnis STBM ini antara lain: 1. mengembangkan kebijakan, memediasi, yang memungkinkan pengusaha sanitasi dapat mengakses berbagai sumber daya secara mandiri, 2. mengembangkan berbagi pengalaman untuk memotivasi pengusaha sanitasi 3. mengembangkan berbagai produk, seperti kloset untuk berkebutuhan khusus 4. mendampingi untuk mendapatkan akses bahan bangunan ke toko bahan bangunan 5. mendampingi untuk mendapatkan akses sumber pembiayaan, baik dari perbankan atau koperasi 6. memberikan akses untuk mengikuti pameran untuk promosi produk yang dihasilkan pengusaha sanitasi.
Tantangan dan Peluang Wirausaha STBM ke Depan Melihat perkembangan wirausaha STBM di Indonesia tentu kita masih menghadapi beberapa tantangan ke depan. Beberapa tantangan tersebut adalah: 1. Perlunya mendorong pemerintah untuk terus memediasi pengusaha STBM dengan berbagai sumber daya – termasuk lembaga keuangan. Hal ini penting untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi pengusaha STBM khususnya para pengusaha kecil
2. Wirausaha STBM berpeluang mengembangkan lembaga pemasaran di tingkat desa/ kelurahan sampai dengan kabupaten – misalnya dalam bentuk koperasi atau BUMDes, sehingga keuntungan dinikmati juga oleh masyarakat. Sebagai contoh Asosiasi Hippams Lamongan, selain berhasil mengembangkan sistem air bersih perpipaan di 153 desa, juga berhasil mengembangkan kredit jamban. Selain tantangan wirausaha STBM juga memiliki peluang yang belum digarap secara maksimal Bila melihat perkembangan yang ada dan tulisan ini, wirausaha STBM baru terfokus pada pilar 1 saja: STOP BABS. Padahal ada pilar lainnya yang tak kalah menjanjikan, misalnya : pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Peluang ini tentu sangat menjanjikan jika digarap dengan serius. Sudah banyak dikembangkan Bank Sampah di seantero jagat Indonesia, salah satu contoh Bank Sampah Sahabat dari Ende dan Bank Sampah Mataram, NTB. Artinya, kalau di suatu wilayah sudah berkembang layanan usaha pengadaan jamban keluarga, tinggal mengembangkan bisnis sampah ini. Melihat hal tersebut, peluang untuk mengembangkan usaha sanitasi masih sangat menjanjikan, hitungan untuk jamban keluarga dengan nilai keuntungan sekitar 0,8 trilyun rupiah dapat disebarkan di seluruh nusantara, untuk selanjutnya mengembangkan juga bisnis sampah. Semoga! (Teks: Nur Apriatman)
3
Ibu Maryati salah seorang nasabah bank sampah di Kelurahan Bertais, Kota Mataram, NTB sedang memperlihatkan buku Bank Sampah Mataram miliknya. Setiap sampah yang dia jual ke pengepul akan dicatat dalam buku ini. Foto: ©Plan Indonesia/ Herie Ferdian.
Foto: ©Plan Indonesia/ Rio Robertus.
Foto: ©Plan Indonesia/ Suwardi. Suasana kegiatan pelatihan Wirausaha STBM di Kabupaten Manggarai Timur. Di waktu yang bersamaan pelatihan wirausaha STBM ini juga dilakukan di Kabupaten Kupang, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Ende. Lebih dari 100 orang mengikuti pelatihan wirausaha STBM ini sebagai bagian dari program kegiatan STBM yang dilakukan oleh Plan Indonesia kerja sama dengan AusAid melalui CS Fund 2.
4
NEWSLETTER
kabar STBM, Edisi
Pembelajaran dan Kisah Sukses Wirausaha STBM di Indonesia
3, 2014
Mengembangkan Usaha Sanitasi melalui Dana Pinjaman dari Bank
5
di hati Syamsu. Dia bertekad tetap lanjut berproduksi. Perlahan penjualannya meningkat menjadi 2-3 buis beton tiap minggu. Ketekunannya mulai membuahkan hasil saat mengikuti tender pengerjaan sumur gali oleh Dinas Pertanian Grobogan. “Saat itu saya mendapatkan jatah 10 titik, dimana tiap titik membutuhkan 8 buis beton,” kenangnya. Setelah itu mulailah Syamsu kebanjiran pesanan, apalagi ditambah meningkatnya kesadaran masyarakat Grobogan untuk membuat jamban. Tiap desa seakan berlomba meraih sertifikat terbebas dari BABS. Apalagi setelah dua toko bahan bangunan di Grobogan memintanya menjadi penyuplai buis beton, makin terbukalah jalan rejeki Syamsu.
Lancarnya Pinjaman Bank
“Ah tidak mungkin laku. Percuma saja pelatihan seperti ini, toh masyarakat sini tidak akan minat membelinya.”
P
esimisme itu terus membayangi pikiran Syamsu usai mengikuti pelatihan wirausaha sanitasi yang diadakan Plan Indonesia di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, 2010 silam. Jika cara hidup tidak sehat saja sulit diubah, tidak akan mungkin masyarakat mau membelanjakan uang untuk membeli dan membangun sarana sanitasi. Begitulah yang ada di benak Syamsu saat itu. Namun ternyata tidak semua peserta pelatihan lantas patah arang dan layu sebelum berkembang. Syamsu yang semula begitu pesimistis, dibuat heran dengan cerita dari Umar Ali, rekannya sesama peserta pelatihan. “Sampai beberapa bulan setelah pelatihan, dia selalu semangat bercerita tentang banyaknya pesanan yang didapat mulai dari kloset hingga paket instalasi jamban. Akhirnya saya pun tertantang. Masak Pak Umar bisa, saya tidak bisa,” kata pria 47 tahun asal Desa Dapurno, Kecamatan Wirosari itu .
Memilih Buis Beton Keterbatasan modal membuat Syamsu mesti cermat memilih bidang yang akan ditekuni. Bagaimanapun dia sedikit terlambat dibandingkan beberapa rekannya. Melihat situasi ini, dia lantas memutuskan bergelut di pembuatan buis beton yang belum banyak dilirik. “Pertimbangan saya, buis beton dibutuhkan tidak hanya untuk pembuatan instalasi jamban tapi juga bisa sumur, gorong-gorong dsb. Jadi peluangnya lebih luas apalagi teman-teman belum banyak yang memproduksi,” tuturnya. Dengan bantuan seorang tukang, dia berhasil memproduksi 6 buis beton dengan modal awal pasir satu mobil colt seharga sekitar Rp 90 ribu. Tiap buis beton berdiameter 80 cm dan tinggi satu meter itu dia mematok harga Rp 70 ribu sudah termasuk ongkos kirim. Meski seluruh buis betonnya baru laku setelah hampir sebulan kemudian, bukan putus asa yang dirasakan tapi malah semangat yang mulai menyala
Saat ini dalam sehari Syamsu bisa menjual 2-4 buis beton. Bila semula hanya bisa membayar satu tukang untuk membantunya, kini sudah ada tujuh karyawan yang dikelolanya. Dalam tempo kurang dari tiga tahun, produksinya sudah merambah paving, batako, kloset hingga pilar. Bahkan selain sudah berhasil membeli molen mini untuk mengaduk semen, lahan yang semula disewa untuk tempat produksi pun telah dibelinya. “Sekitar akhir 2012 saya mendapat pinjaman Rp 50 juta dari BTPN untuk masa 4 tahun. Yang Rp 30 juta untuk membeli tanah, sisanya untuk membeli cetakan. Syukurlah sampai sekarang tetap lancar mengangsur,” jelasnya. Pinjaman tersebut relatif didapat tanpa kesulitan. Salah satu kuncinya adalah adanya bukti usaha serta pembukuan yang jelas. Pembukuan yang rinci, meski sederhana, telah ditanamkan oleh Plan sejak pelatihan. Dan terbukti menjadi faktor yang dapat mempermudah kucuran kredit oleh lembaga keuangan.
Selain menjual produk sanitasi, Pak Syamsu juga menjual produk cetakan lain seperti fondasi rumah, paving block dan batako. Foto-foto: ©Plan Indonesia.
Wariskan Jiwa Wirausaha Saat ini omzet yang berhasil diraih Syamsu rata-rata telah mencapai Rp 20 juta lebih tiap bulan. Banyaknya proyek pemerintah, seperti bedah rumah, yang mempersyaratkan adanya jamban hingga makin tingginya kesadaran masyarakat membangun sarana tersebut membuat pesanan terus meningkat. Pendapatannya kini tentu jauh dibandingkan dengan honornya yang tak seberapa sebagai Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa sejak 1994. Dulu dia sering mesti kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan keluarga. “Saya tidak pernah membayangkan sedikit pun bisa berhasil seperti sekarang,” ujarnya. Sejak menekuni wirausaha sanitasi, ekonomi keluarga menjadi jauh lebih baik bahkan mampu menguliahkan putra semata wayangnya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga hingga kini menginjak semester akhir. Berbeda dengan kebanyakan orangtua yang menginginkan anaknya menjadi PNS, Syamsu justru mendorong anaknya untuk berwirausaha. Salah satu caranya dengan melibatkannya dalam kegiatan bisnis di sela kuliah. Mulai dari mendalami proses produksi, instalasi jamban di rumah warga hingga administrasi. “Saya lihat dia punya ketertarikan menggeluti bidang ini, itu yang penting. Menjadi wirausahawan sanitasi prospeknya cerah dan juga punya tugas mulia membantu meningkatkan derajat hidup masyarakat lewat kampanye hidup sehat. Semangat itulah warisan utama saya untuk dia.” (Redaksi)
6
NEWSLETTER
kabar STBM, Edisi
Pembelajaran dan Kisah Sukses Wirausaha STBM di Indonesia
3, 2014
7
Papsigro: Gerakan Asosiasi Pengusaha Sanitasi untuk Grobogan yang Lebih Sehat
M
usim kemarau rupanya malah menjadi masa panen bagi bisnis jamban. Umar Ali, Ketua Paguyuban Pengusaha Sanitasi Grobogan atau akrab disebut Papsigro, menceritakan kesibukannya melayani pesanan yang rata-rata mencapai 40 dalam sebulan di musim kering seperti sekarang. “Saya sendiri masih ada 29 titik yang belum terlayani. Begitulah kalau musim kemarau, teman-teman Papsigro justru malah basah karena banjir pesanan,” kata pria 40 tahun itu sambil tertawa. Bila harga paket instalasi jamban yang paling murah Rp 750 ribu, bisa dibayangkan omzet Umar dan teman-temannya. Situasi sekarang tentu tidak datang dengan instan. Perjuangan dalam kebersamaanlah yang hasilnya kini mulai mereka tuai. Kelahiran Papsigro berawal dari pelatihan wirausaha sanitasi yang difasilitasi Plan Indonesia. Termasuk di dalamnya mencakup teknis pembuatan jamban sehat hingga pemasaran. Meski sebagian peserta belum begitu yakin peluang keberhasilannya, namun sebagian lain tetap bersemangat. Mereka ini kemudian membentuk wadah bersama yang diberi nama Papsigro pada 30 Juni 2011. Pertimbangan awal pendiriannya agar bisa saling bertukar pikiran dan memberi semangat. “Memang cukup berat di awal, sebab masing-masing masih belum sepenuhnya yakin dengan prospek berwirausaha sanitasi. Situasi masyarakat Grobogan
yang baik pendapatan maupun kesadarannya masih rendah menjadi penyebab keraguan laku tidaknya produk sanitasi ini,” kata Umar. Menurutnya, semua anggota sering mengalami masalah teknis terkait pesanan yang kemudian mendapatkan solusinya berasal dari teman di Papsigro. “Padahal solusinya sebetulnya sederhana, tapi kalau sedang panik kadang tidak terpikir,” jelasnya.
Mulai Terkenal
Hingga Mancanegara
Berawal dari hal sederhana seperti itulah Papsigro mulai berjalan dengan 30 anggota. Pada 12 Februari 2012, mereka pun mengurus legalitas paguyuban berupa akte notaris. Tujuannya antara lain untuk memudahkan Papsigro menjalin kerja sama dengan lembaga lain.
Itulah sebabnya permintaan sarana sanitasi seperti kloset dari Papsigro tidak hanya dari Grobogan tapi juga dari Kabupaten Blora, Demak dan Boyolali. Permintaan untuk melakukan pelatihan pun juga terus ada, baik dari lintas kabupaten, lintas provinsi bahkan hingga ke luar negeri, antara lain Vietnam.
Menurut Umar, yang menarik adalah masing-masing anggota kemudian secara alami sudah memilih spesialisasi masing-masing. Ada yang menekuni produksi kloset dan buis beton. Sebagian lain memilih sebagai pemasar sarana sanitasi. Dari 30 orang anggota Papsigro, sekitar 17 orang di antaranya melakukan kegiatan produksi dan sisanya sebagai pemasar. “Seperti saya misalnya, karena latar belakangnya pedagang dan kurang menguasai pertukangan akhirnya ya memilih sebagai marketing. Teman-teman pun memiliki pertimbangan sendiri saat memilih. Tapi meski ada yang pilihannya sama, tidak terjadi persaingan dalam Papsigro karena semua selalu dikomunikasikan secara terbuka,” katanya. Pesanan yang terus mengalir tak hanya berasal dari masyarakat. Pemerintah pun turut mendukung melalui program-programnya, seperti bedah rumah hingga TMMD (TNI Manunggal Membangun Desa). “Memang penyediaan sarana sanitasi dengan harga terjangkau tapi tetap berkualitas menjadi pembelajaran yang menarik bagi semua wilayah yang kebiasaan buang air besar sembarangannya masih tinggi,” ujarnya.
Akhir Oktober 2013 lalu menjadi tonggak penting dalam perjalanan Papsigro. Saat itu mereka berhasil meraih penghargaan AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) Award 2013 atas inovasi dan inisiatif penyediaan jamban yang sehat dan terjangkau, serta ramah anak dan orang berkebutuhan khusus. Penghargaan ini merupakan bentuk pengakuan dari pihak luar terhadap kerja keras Papsigro selama ini. Bagi mereka kerja keras tersebut berarti dua hal yang sama penting. Pada satu sisi, mereka dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan program stop BABS. Harga yang terjangkau membuat masyarakat pun cenderung mampu
Umar Ali, Ketua Papsigro sedang berada di lokasi produksi buis beton miliknya di Desa Pojok, Kabupaten Grobogan. Foto: ©Plan Indonesia/ Suwardi.
membangun sendiri jambannya dan pemerintah pun dapat berhemat miliaran rupiah sekaligus mempercepat proses realisasi program itu. Di sisi lain, dampaknya bagi pendapatan keluarga jelas signifikan. Ada yang mampu membangun rumah hingga bisa naik pesawat, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya. “Bisa saja berdiri sendiri tanpa harus membentuk paguyuban. Tapi semua risiko harus ditanggung sendiri, semua persoalan harus dijawab sendiri dan mustahil bisa menjalin kerja sama dengan banyak pihak dalam waktu bersamaan dengan jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Itulah kenapa kami yakin dan telah membuktikan, berjuang bersama dalam satu wadah jauh lebih baik,” tegasnya. (Redaksi)
Foto: ©Plan Indonesia/ Herie Ferdian.
Secara rutin Papsigro melaksanakan pertemuan dengan para anggotanya untuk membahas perkembangan usaha para anggotanya masing-masing. Foto: ©Plan Indonesia/ Herie Ferdian.
Pada tahun 2013 lalu, Papsigro mendapatkan penghargaan AMPL Award dari pemerintah RI karena telah berhasil menciptakan inovasi kloset ramah anak serta kloset untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus. Foto: ©Plan Indonesia/ Herie Ferdian.
8
NEWSLETTER
kabar STBM, Edisi
Pembelajaran dan Kisah Sukses Wirausaha STBM di Indonesia
3, 2014
9
Sinergi Indah Pemerintah dan Pegiat Sanitasi di Grobogan
Pak Arief Oerbandi (tengah) sedang memberikan pengarahan kepada Papsigro dalam acara Pelatihan dan Administrasi Keuangan untuk pengusaha sanitasi. Selama ini pemerintah Kabupaten Grobogan secara aktif mendampingi Papsigro dalam mengembangkan wirausaha sanitasi di Kabupaten Grobogan. Foto: ©Plan Indonesia/ Herie Ferdian.
D
alam tempo tiga tahun terakhir ini sebanyak 216 desa di Kabupaten Grobogan telah resmi meraih sertifikat terbebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Hasil itu dicapai dengan menerapkan metode nonsubsidi. Masyarakatlah yang mengubah kebiasaan hidupnya menjadi lebih sehat dan kemudian secara swadaya membangun jamban di rumah masing-masing. “Itu yang kami pelajari dari Plan Indonesia saat mulai proyek STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) di Grobogan awal 2011 lalu,” kata Arif Orbandi, Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Grobogan yang juga tim Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL). Selama pelaksanaan STBM di Kabupaten Grobogan investasi yang dilakukan oleh Plan menurutnya lebih banyak untuk menggarap pengubahan perilaku dengan pelatihan dan kampanye secara intens oleh fasilitator yang berasal dari desa setempat.
Terjangkau Masyarakat Arif menegaskan salah satu kunci keberhasilannya selain perilaku yang berubah menjadi lebih sehat, masyarakat juga membutuhkan sarana sanitasi yang harganya terjangkau. Inilah menurut Arif arti penting kehadiran Papsigro (Paguyuban Pengusaha Sanitasi Grobogan). “Mereka inilah yang kemudian mampu menyediakan sarana pembuatan jamban yang harganya terjangkau masyarakat sebagai solusi riil kampanye hidup sehat yang mereka lakukan ke lingkungan sekitarnya,” lanjutnya.
Konsistensi dan Kapasitas Produksi Secara khusus memang pemkab tidak mengeluarkan kebijakan formal terkait Papsigro. Dukungan yang diberikan adalah secara program. Misalnya saat ini Pemkab Grobogan sedang implementasi program rehabilitasi rumah dengan target minimal sebanyak 130 keluarga tiap tahun. “Kami lantas merekomendasikan para penerima program ini untuk membangun jamban karena itu memang syarat rumah sehat. Mereka ini lantas memilih pesan ke Papsigro dengan pertimbangan lebih ekonomis tapi tetap berkualitas,” jelasnya. Dukungan lain berupa memfasilitasi komunikasi dengan pihak lembaga keuangan, dalam hal ini perbankan. Pemkab Grobogan sempat mengumpulkan beberapa bank untuk mempromosikan Papsigro, mulai dari BKK milik pemda, hingga Bank Jateng dan BRI. “Agar bisa makin maju, Papsigro tentu harus menggenjot produksi karena permintaan makin tinggi. Itulah kenapa mereka butuh bantuan lembaga keuangan untuk kredit modal. Tapi kami hanya memfasilitasi pertemuan awal, selanjutnya tentu tergantung mereka karena sifatnya bussiness to bussiness,” tuturnya. Konsistensi memang menjadi syarat bagi para anggota Papsigro, baik dari sisi kualitas produksi maupun upaya tetap menjadikan bisnis ini sebagai bagian dari kampanye besar cara hidup yang lebih sehat. Menurut Arif bukan tidak mungkin Papsigro telah menginspirasi beberapa orang di Grobogan untuk mengikuti jejak menekuni wirausaha sanitasi. Maka pemerintah juga akan konsisten mendukung dan mendampingi mereka, agar sinergi semakin banyak buahnya yaitu Grobogan yang serba plus. (Redaksi)
Foto: ©Plan Indonesia/ Irfan Arianto.
Bersama Pappsir untuk Sanitasi Rembang yang Lebih Layak
M
“odal kami yang terbesar adalah tekad untuk mencoba” ujar Didik lelaki paruh baya yang menjadi ketua Pappsir ini. Pappsir adalah singkatan dari Paguyuban Pengusaha Peduli Sanitasi Rembang. Paguyuban ini dibentuk sejak Oktober 2012 dan dibentuk atas dasar solidaritas sesama peserta pelatihan wirausaha sanitasi yang dilaksanakan oleh Plan Indonesia Program Unit Rembang. Awal memulai bisnis adalah tantangan terberat. Mulai dari sumber daya manusia, modal, hingga strategi bisnis perlu disiapkan. Para anggota yang sebagian besar merupakan para petani belum memiliki pengalaman memulai usaha. Namun dengan tekad yang kuat akhirnya Mas Didik pun “nekad” menjalankan usaha ini. Terjadi seleksi alam, dari 30 peserta pelatihan hanya 7 orang yang berkomitmen menghidupkan Pappsir. Lima laki-laki dan dua perempuan. Mereka inilah yang akhirnya
menjadi perintis Pappsir. Para perintis tersebut terus mencoba mencari rumus kloset yang pas dan sistem pelayanan konsumen hingga pada akhirnya mereka menemukan rumus dan sistem bisnis yang terbaik. Kerja keras dan tekad yang kuat Mas Didik dan kawan-kawan akhirnya membuahkan hasil. Pappsir mulai mendapat pesanan kloset dari desa di sekitar tempat tinggal para pengurus. Produk jamban harga terjangkau buatan Pappsir semakin meluas ketika seorang pengusaha perumahan di kota Rembang memesan kloset sebanyak 30 buah. Setelah itu Pappsir mulai banyak pesanan. Pesanan besar datang ketika ada yang memesan 70 bangunan jamban. Dengan semangat paguyuban akhirnya mereka mengumpulkan modal bersama untuk menjalankan proyek besar tersebut. Kini Pappsir semakin berkembang. Keberadaannya sudah sah secara akta notaris sebagai badan usaha. Pappsir juga memberikan jasa
Foto: ©Plan Indonesia/ Bastomi Ali. Dalam rangka memenuhi kebutuhan sanitasi kaum difabel, Pappsir juga mengembangkan model jamban untuk masyarakat berkebutuhan khusus. Terlihat di gambar, salah satu jamban yang dilengkapi handrail (pegangan tangan) untuk konsumen yang memiliki kecacatan low vision (penglihatan kabur).
konsultasi membangun jamban sehat yang irit. Konsultasi mereka gratis bagi warga miskin. Bahkan mereka juga memberikan harga khusus bila ada konsumennya yang kurang mampu tetapi memiliki greget untuk membangun jamban sehat. Syaratnya hanya konsumen tersebut bersedia turut serta membangun jamban milliknya. Pappsir juga dipercaya Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang untuk membantu memonitor akses jamban di semua desa di Kabupaten Rembang. Beberapa pengurusnya diikutkan pelatihan untuk menambah wawasan dan keterampilan. Mereka juga pernah diundang sebagai trainer untuk pelatihan membuat jamban dan kloset. Pappsir juga terpilih sebagai mitra untuk melaksanakan program kerja di tahun terakhir program sanitasi Plan Program Unit Rembang. Semua sepak terjang Pappsir mampu memberikan keuntungan finansial dan kepuasan hati karena bersifat ekonomis dan sosialis. (Teks:
[email protected])
10
NEWSLETTER
kabar STBM, Edisi
Pembelajaran dan Kisah Sukses Wirausaha STBM di Indonesia
3, 2014
Bu Mega, Srikandi Sampah dari Ende
S
alah satu pilar dalam Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah “Pengelolaan Sampah Rumah Tangga” dan dalam tulisan kali ini saya ingin memperkenalkan seorang wanita bernama Maria Fatima Megathey atau biasa dipanggil “Bu Mega” yang seharihari bekerja sebagai staf kontrak di Kantor Pertamanan dan Kebersihan (KPK) Kabupaten Ende. Selain itu ia juga menjabat sebagai Direktur Bank Sampah Sahabat (Sampah Hasilkan Berkat). Ia mulai terlibat dalam kegiatan penanganan sampah ketika diterima sebagai tenaga kontrak di lingkungan Kantor KPK Kabupaten Ende. Di bawah pimpinan Bu Drg. Ellya Dewi saat itu, mereka aktif melakukan pembersihan dan pengumpulan sampah di pasarpasar, jalanan dan sekolah di sekitar Kota Ende. Pada Tanggal 30 Desember 2011, bank sampah di Kabupaten Ende diinisiasi pembentukannya oleh Bu Ellya,
Beberapa produk daur ulang sampah yang dihasilkan oleh Bank Sampah Sahabat, Kabupaten Ende.
dan akhirnya pada Tanggal 2 Januari 2012 berkat kegigihan dan kepeduliannya pada sampah, Bu Mega dipercaya sebagai Direktur Bank Sampah Sahabat, Kabupaten Ende. Menurut keterangan Bu Mega, pengelolaan keuangan di Bank Sampah Sahabat menggunakan mekanisme perbankan, dimana nasabah yang menabung sampah di Bank Sampah Sahabat akan mendapatkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah sampah yang ditabung. “Ada biaya administrasi 10% setiap kali pencairan dimana uang itu digunakan untuk keperluan administrasi di Bank Sampah seperti untu beli buku rekening, kertas, tinta printer dan lainnya!” Ujar beliau.
Maria Fatima Megathey sedang berpose di atas tumpukan sampah kardus.
Menurut beliau, dari volume sampah 4 kecamatan dampingan (Kecamatan Ende Utara, Ende Tengah, Ende Timur dan Ende Selatan) sebesar rata-rata pertahun sebesar 1.725.451 kg sampah non organik, Bank Sampah Sahabat telah berkontribusi mengurangi sampah sebesar 82.171 kg.
Sampai saat ini jumlah nasabah Bank Sampah Sahabat sebanyak 416 orang dari unsur individu, kelompok keagamaan, sekolah-sekolah, kantor SKPD dengan rata-rata pengepulan sampah non organik 8-9 ton dengan nilai sekitar 7 jutaan per triwulan dengan volume sampah terbanyak dari kertas dan kardus. Bu Mega sangat optimis dengan keberadaan Bank Sampah Sahabat karena menurutnya akan memberi dampak besar terhadap lingkungan seperti: • Berkurangnya volume sampah yang dibuang ke TPA. • Membantu mengurangi pencemaran udara akibat pembakaran sampah. • Membantu menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih. • Menanamkan pentingnya mengelola sampah rumah tangga kepada masyarakat dengan cara ditabung. • Pendidikan lingkungan sejak dini terhadap anak-anak dengan tidak meninggalkan tumbuh kembang mereka. • Menambah pendapatan keluarga dari sampah yang ditabung di bank sampah.
“Tidak ada lagi yang akan memandang remeh terhadap sampah, Saya yakin nantinya setiap melihat sampah mereka akan berpikir Mbeku Ngaza Jadi Doi – melihat sampah jadi duit!” Begitu ujarnya dengan semangat. Bu Mega optimis sekali akan eksistensi Bank Sampah Sahabat ke depannya, apalagi baru-baru ini Bu Amsis, Kepala Kantor KPK telah memperjuangkan sekretariat Bank Sampah Sahabat yang lebih besar dan didukung peralatan yang lebih lengkap. Ia yakin bank sampah akan lebih professional dan mampu menjangkau sampai ke kecamatan sampai memiliki unit tersendiri di sana. Ia ingin juga nantinya Bank Sampah Sahabat mampu memperluas pengolahan sampah organik untuk dijadikan pupuk, biogas maupun peruntukan lainnya yang tentu saja lebih bermanfaat. Mimpinya kelak seluruh rumah tangga di Kabupaten Ende sadar akan kebersihan lingkungan dengan cara melakukan pemilahan sampah dan menerapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle sehingga lingkungan semakin bersih dan sehat untuk keberlangsungan anak-anak di masa depan menuju Ende Lio Sare Pawe – Ende Lio Bersih Sejahtera. (Teks dan foto:
[email protected])
Salah satu kader Bank Sampah Ende. Setiap minggu dia mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang untuk selanjutnya dia jual ke Bank Sampah Sahabat, Kabupaten Ende.
11
Disseminasi Hasil Penelitian Wirausaha Air dan Sanitasi di Indonesia
P
ada tanggal 12 Juni 2014 Plan Indonesia mengadakan acara Diseminasi Hasil Penelitian Wirausaha Air dan Sanitasi di Indonesia di JS Luwansa Convention Centre, Jakarta. Penelitian ini dilakukan atas kerja sama Plan Indonesia dengan University of Technology Sydney melalui Institute for Sustainable Future (ISF) dan Universitas Gajah Mada (UGM) dan dengan dukungan dari Australian Aid. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan model yang paling tepat untuk mendukung wirausaha air dan sanitasi di Indonesia dengan harapan pelayanan air dan sanitasi di Indonesia dapat diakses lebih luas dan universal. Penelitian ini merupakan tahap pertama dari 3 tahap penelitian yang direncanakan oleh ISF dan UGM. Dilaksanakan dari tahun 2013 -2014 dengan mengambil wilayah penelitian di Jakarta, Tangerang, Surabaya, Semarang, Grobogan, Sidoarjo, Lamongan dan Yogyakarta. Penelitian tahap pertama ini memfokuskan pada 3 fokus penelitian yakni motivasi melakukan wirausaha sanitasi, dukungan pemerintah terhadap wirausaha sanitasi dan keterlibatan LSM dalam kegiatan wirausaha sanitasi. Temuan awal dari hasil penelitian ini adalah bahwa motivasi meraih keuntungan merupakan salah satu dorongan terkuat seseorang melakukan wirausaha sanitasi. Artinya para pelaku wirausaha sanitasi di Indonesia saat ini sudah mengetahui bahwa wirausaha sanitasi di Indonesia menguntungkan dan memiliki prospek yang baik. Namun pelaksanaan wirausaha sanitasi di Indonesia masih menghadapi hambatan karena dukungan pemerintah belum maksimal khususnya terkait kebijakan, hal ini juga menjadi temuan dalam penelitian ini. Temuan terakhir yakni terkait keterlibatan LSM dalam wirausaha sanitasi. Sebagian besar pendampingan wirausaha sanitasi di Indonesia difasilitasi oleh NGO. Kelemahannya adalah selama ini NGO sangat tergantung pada donor. Jika pendanaan dari donor terhenti maka proses pendampingan NGO kepada para pengusaha sanitasi terhenti pula. Rekomendasi dari hasil penelitian tahap pertama ini adalah perlunya adanya suatu model dan strategi wirausaha sanitasi yang lebih sustain dimana pemerintah harus berperan sebagai pemimpin dalam gerakan wirausaha sanitasi ini. (Teks dan foto:
[email protected])
12
Pembelajaran dan Kisah Sukses Wirausaha STBM di Indonesia
Kusplus: Kisah Usaha Sanitasi dari Kabupaten TTS
K
ERJA KERAS, tekun dan disiplin merupakan ciri khas dari Pak Lukas, seorang pengusaha sanitasi asal Soe, Kabupaten TTS.
Foto: ©Plan Indonesia/ Agus.Haru.
Mengawali impiannya sebagai seorang pengusaha sanitasi, Pak Lukas hanya memiliki modal yang sangat terbatas yaitu Rp. 500.000. Namun modal finansial bukan satu-satunya modal yang dimiliki oleh Pak Lukas. Ketekunan, kerja keras dan rasa optimis merupakan modal lain yang tak kalah penting yang dimiliki Pak Lukas pada saat itu. Ketertarikannya akan wirausaha sanitasi dimulai setelah beliau mengikuti pelatihan wirausaha sanitasi yang difasilitasi oleh Plan Indonesia pada tahun 2012 silam. Pelatihan itu memberinya inspirasi untuk bisa menyelesaikan masalah sosial sekaligus menguntungkan secara finansial. Dengan modal usaha seadanya dan berbekal keterampilan dari hasil pelatihan wirausaha sanitasi yang dia ikuti selama 5 hari, Pak Lukas mulai menjalankan usaha sanitasinya. Dia berprinsip bahwa bila kita menjalankan usaha dengan serius, kerja keras dan semangat, pasti
Pelatihan Wirausaha Sanitasi yang difasilitasi Plan Indonesia yang membawa Pak Lukas menjadi pengusaha kloset yang murah dan berkualitas. Foto: ©Plan Indonesia/ Ivan Novianto.
usaha tersebut ada hasilnya. Dalam menjalankan usaha ini Pak Lukas tidak bekerja sendiri, beliau dibantu oleh beberapa rekannya yang tergabung dalam Kusplus (Kelompok Usaha Sanitasi Pak Lukas). Pada bulan agustus 2013, Puskesmas Kot’olin atas kerja sama dengan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Plan Indonesia serta pemerintah kecamatan atas kesepakatan bersama semua masyarakat mencanangkan program 1000 jamban di Kecamatan Kot’olin yang terdiri dari 8 Desa. Hal ini ternyata menjadi menjadi berkah bagi Kusplus karena Kepala Puskesmas Kot’olin Ransan Tino, SKM menjatuhkan pilihannya pada produk kloset buatan Kusplus dengan pertimbangan selain harga klosetnya murah juga berkualitas. “Waktu itu beta kaget, karena tibatiba Pak Rensat (Kapus Kot’Olin) pesan kloset 1000 buah, untung
Newsletter Kabar STBM merupakan media informasi STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang diterbitkan tri wulanan kerja sama antara Plan Indonesia dengan Australian Aid. Redaksi menerima tulisan berita yang terkait STBM. Kirimkan tulisan Anda ke herie.ferdian@ plan-international.org dengan panjang tulisan antara 400-500 kata dengan dilengkapi foto pendukung berita dengan kapasitas 1-1,5 MB format jpg. Tulisan terpilih akan dimuat di newsletter Kabar STBM edisi selanjutnya.
sa’ katong su’ kerja hampir 1 tahun jadi su’ lumayan banyak yang diproduksi,” ungkap Pak Lukas saat ditanya berkaitan dengan pesanan kloset sejumlah 1000 buah. Harga kloset hasil produksi Kusplus tergolong murah jika dibandingkan dengan kloset yang dijual di toko-toko material yang ada di Kabupaten TTS. Rata-rata kloset di Kabupaten TTS dijual dengan kisaran harga Rp. 100-150 ribu/kloset. Hal inilah yang menjadi keunggulan produk kloset milik Kusplus.Selain menjual kloset, Kusplus juga sudah mulai melayani pesanan paket jamban dengan harga terjangkau oleh masyarakat, harga yang ditawarkan berkisar antara Rp. 500-600 ribu/jamban. Pak Lukas sangat antusias dengan kegiatan wirausaha sanitasi ini karena selain mendapatkan keuntungan secara finansial, dia juga berkontribusi untuk mendukung program pemerintah untuk mempromosikan hidup bersih dan sehat melalui STBM. (Teks:
[email protected])
Plan Indonesia
Menara Duta Building 2nd Floor Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B-9 Kuningan, Jakarta Selatan 12910 Indonesia T. +62-21-5229566 F. +62-21-5229571 www.plan-indonesia.org