PROSPEK DAN TANTANGAN EKONOMI 2010 Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Jakarta, 12 Januari 2010
Perkiraan global Berdasarkan proyeksi terakhir International Monetary Fund (IMF) pertumbuhan ekonomi dunia akan naik tajam dari -1,1 persen tahun 2009 menjadi 3,1 persen tahun 2010. Pemulihan ini tampaknya akan merata. Tak satu pun perekonomian besar dunia yang akan mengalami kontraksi. Dapat dilihat dari proyeksi sebagai berikut: Description (%) 2009 World GDP Growth -1.1 United States -2.2 Euro Area -4.2 Japan -5.4 Developing Economies 1.7 China 8.5 Asean-5 0.7 World Trade Growth -11.9 Sumber: IMF, World Economic Outlook, Oktober 2009
2010 3.1 1.5 0.3 1.7 5.1 9 4 2.5
Bahkan, data terbaru menunjukkan bahwa perekonomian dunia mulai bergerak menuju pemulihan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Sejak triwulan kedua 2009 sejumlah negara utama di berbagai belahan dunia sudah menunjukkan perbaikan sangat berarti. Tanda-tanda menggembirakan berlanjut pada triwulan ketiga. Euro zone secara keseluruhan sudah membukukan pertumbuhan positif, dengan Jerman dan Prancis sebagai penghela utamanya. Perekonomian Jepang juga mencatatkan pertumbuhan signifikan, yakni 4,8 persen (year on year). Semua negara yang tergabung di dalam BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) mengalami strong rebound. Sementara itu, Emerging Markets Asia menjadi bintang pemulihan. Majalah Economist menjuluki fenomena ini sebagai astonishing rebound. 1 Bahkan, pada triwulan ketiga pertumbuhan ekonomi (quarter to quarter, annual rate) Singapura dan Korea mencapai dua dijit, masing-masing 14,2 persen dan 13,6 persen. Industrial production dan ekspor merupakan dua indikator yang memberikan pertanda kuat. Hampir semua negara pengekspor utama dunia telah beringsut dari titik terendah. Beberapa bulan sebelumnya telah terjadi untuk industrial production.
1
The Economist print edition, 13 Agustus 2009.
1
Hanya perekonomian Amerika Serikat yang tampaknya masih digelayuti oleh ketidakpastian tinggi. Sekalipun pertumbuhan pada triwulan ketiga sudah positif, namun lebih rendah dari perkiraan. Angka pengangguran telah menembus dua dijit sejak Oktober 2009. Kendati demikian, ada beberapa pertanda perekonomian Amerika Serikat menuju perbaikan. Indeks keyakinan konsumen dalam dua bulan terakhir (November-Desember 2009) naik, setelah pada bulan sebelumnya turun cukup tajam. Tampaknya Amerika Serikat membutuhkan waktu yang lebih lama menuju normal, mengingat negara ini adalah pusat gempa krisis finansial global. Tantangan terbesar ialah bagaimana menyedot kembali likuiditas yang melimpah dan mengelola utang yang menggunung. Perkembangan Terakhir Perekonomian Indonesia Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2009 sudah kembali naik menjadi 4,2 persen, dari angka terendah 4,0 persen pada triwulan sebelumnya. Laju inflasi tahun 2009 mencatat angka terendah sebesar 2,7 persen. Sementara itu, nilai tukar mulai stabil di kisaran Rp9.000 – Rp 9.500 per dollar AS. Eskpor year on year sudah beberapa bulan terakhir meningkat kembali, juga pertumbuhan produksi industri besar dan menengah. Penjualan sepeda motor, mobil, dan semen sudah menggeliat lebih awal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah menembus 2.600 pada minggu kedua Januari 2010. Tercatat pada hari penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 2009, investor asing membeli lebih dari 1 miliar saham (Rp 2,5 triliun) dan melakukan transaksi jual 700an juta lembar saham (Rp 1,7 triliun) sehingga pada posisi pembelian bersih. Porsi asing tampaknya juga mendominasi. Modal asing juga meminati Surat Utang Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tercatat pada akhir 2009 investor asing membeli SBI sebesar Rp 44,1 triliun dan pada akhir minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 49,5 triliun. Sedangkan investor asing membeli SUN hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 106,3 triliun dan pada minggu pertama Januari 2010 menjadi Rp 109 triliun. Data di perbankan hingga November tahun lalu menunjukkan bahwa sejumlah Rp 1.398 triliun kredit tersalurkan dengan penekanan pada kredit sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 290 triliun, kredit manufaktur Rp 243 triliun, jasa dunia usaha Rp 146 triliun dan sisanya untuk pertanian, pertambangan, utilitas, konstruksi, pengangkutan dan telekomunikasi dan lainnya. Wisatawan mancanegara selama Januari-November 2009 bertambah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, walau hanya 1,3 persen. Wisatawan asing yang masuk ke negara-negara tetangga pada umumnya mengalami penurunan. Perkembangan positif ini tak terlepas dari penyelenggaraan berbagai perhelatan internasional di tanah air di tengah pesta domokrasi yang panjang. Oleh karena itu, International Institute for Management Development dalam publikasi tahunan terbarunya, World Competitiveness Yearbook (2009) menempatkan daya saing Indonesia pada posisi 42 tahun 2009, dari urutan 51 tahun 2008. Memang harus diakui bahwa peningkatan ini bukan disebabkan oleh pembenahan mendasar di dalam negeri, melainkan lebih karena negara-negara lain banyak yang terkapar akibat krisis global. Kendatipun demikian, momentum ini harus cepat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan terhadap unsur-unsur utama penentu daya saing. Jika kita abaikan lagi, negara-negara yang kini 2
mengalami kesulitan ekonomi akan segera pulih dan berpotensi segera mengejar Indonesia. Bagaimana Tumbuh Lebih Tinggi dan Berkualitas APBN 2010 menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen. Dengan mempertimbangkan modal dasar yang kita miliki dan optimisme yang merebak di awal tahun, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, agaknya target sebesar 5,5 persen tersebut tergolong konservatif. Kadin Indonesia sejak awal lebih optimistik. Sebagaimana tertuang di dalam “Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009-2014” yang telah diserahkan oleh Kadin Indonesia kepada Presiden RI pada Oktober tahun lalu, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2010 adalah 5,4-5,9 persen. Artinya, secara ”alamiah” kita bisa tumbuh sekitar 5,4 persen. Dengan mempertimbangkan ada perbaikan dan langkah-langkah khusus yang bakal ditempuh oleh pemerintahan baru, terbuka peluang untuk tumbuh lebih tinggi, yakni 5,9 persen.2 LP3E Kadin membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi berbasis pengeluaran sebagai berikut: Description (%)
2008*
2009**
2010***
Private Consumption Expenditures Government Consumption Expenditures
5.3
5.2
4.8 - 5.3
10.4
15.1
9.6 - 13.2
Gross Fixed Capital Formation
11.7
3.4
7.1 - 8.6
Export of goods and services
9.5
-14.1
6.4 - 7.1
10.0
-22.7
8.0 - 8.8
GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP) 6.1 4.2 Economic Sectors(%) 2008 2009*) Agriculture 4.8 3.4 Mining 0.5 4.1 Manufacturing 3.7 1.43 Utilities 10.9 13.86 Construction 7.3 7.18 Trade and Hospitality 7.2 -0.16 Transport & Communications 16.7 17.62 Finance 8.2 5.51 Services 6.4 6.67 6.10 GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP) 4.23 * Actual, ** Actual (January-September), *** Projection Sumber: BPS dan LP3E Kadin Indonesia
5.4 - 6.5
Minus: Import of goods and services
2010**) 3.4 - 3.6 1.4 - 3.0 3.5 - 5.0 10.7 - 11.2 6.6 - 7.5 4.6 - 6.5 15.2 - 16.6 6.8 - 6.9 6.4 - 6.5 5.4 - 6.5
Dengan catatan proses politik Hak Angket di DPR tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian.
2
3
Setelah mencermati perkembangan selanjutnya hingga dewasa ini, LP3E Kadin Indonesia merevisi batas atas pertumbuhan ekonomi 2010 menjadi 6,5 persen. Dari sisi pengeluaran, seluruh komponen mengalami koreksi ke atas. Koreksi yang paling besar adalah untuk investasi. Kadin Indonesia memperkirakan investasi3 bisa tumbuh hingga 8,6 persen, lebih tinggi satu persen dibandingkan dengan versi Roadmap. Optimisme ini dilandasi oleh: - Pertumbuhan kredit perbankan yang lebih tinggi, sekitar 20 persen. - Peningkatan arus penanaman modal asing langsung. - Perbaikan kualitas belanja modal pemerintah - Percepatan proyek-proyek infrastruktur Hal lain yang memberikan kontribusi berarti adalah konsumsi swasta, yang batas atasnya dinaikkan dari 5,0 persen (versi Roadmap) menjadi 5,3 persen. Mengingat porsi komsumsi masyarakat ini sangat dominan di dalam PDB (sekitar 60 persen), maka peningkatan sebesar 0,3 persen saja bisa meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar nominal 0,2 persen. Penyumbang berikutnya adalah ekspor. Batas atas dinaikkan dari 6.4 persen menjadi 7,2 persen. Namun, mengingat pertumbuhan impor pun terkoreksi ke atas, maka secara neto perdagangan luar negeri praktis tak memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Dari sisi sektoral, pendongkrak utama diharapkan dari sektor industri manufaktur. Jika upaya-upaya maksimal bisa dilakukan, industri manufaktur bisa tumbuh hingga 5,0 persen (bandingkan dengan batas atas versi Roadmap sebesar 3,9 persen). Di bidang perindustrian industri otomotif, semen, dan makanan & minuman diharapkan menjadi ujung tombak pertumbuhan industri manufaktur. Peningkatan akan lebih mulus dengan mulai sedikit teratasinya persoalan listrik dan pembenahan logistik. Selama ini persoalan logistik sangat akut. Sedemikian mahalnya, terlihat dari pengeluaran logistik yang mencapai 30 persen PDB. Di China hanya 20 persen dan di Thailand hanya belasan persen. Harapan pertumbuhan lebih tinggi juga ditumpukan pada sektor pertambangan. Secara keseluruhan, penopang utama pertumbuhan 2010 tetap saja sektor jasa, utamanya jasa-jasa modern di kota besar. Bahkan, selama tiga triwulan terakhir, sektor pengangkutan & komunikasi serta sektor utilitas (listrik, gas, dan air bersih) tumbuh dua dijit, masing-masing 17,6 persen dan 13,9 persen. Sektor jasa lainnya yang tumbuh cukup tinggi adalah konstruksi. Satu-satunya sektor jasa yang tergopoh-gopoh ialah perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini mengalami kontraksi sebesar 0,2 persen, akan tetapi diperkirakan bakal segera pulih menuju jalur normal kembali tahun depan. Kadin Indonesia memproyeksikan sektor perdagangan, hotel dan restoran berpotensi tumbuh hingga 6,5 persen, lebih tinggi dari batas atas versi Roadmap sebesar 5,7 persen. Perhatian Khusus: Industri Manufaktur Satu-satunya sektor yang sangat memprihatinkan belakangan ini ialah industri manufaktur. Sektor ini terus mengalami perlambatan hingga mencapai titik terendah pada triwulan ketiga, dengan pertumbuhan hanya 1,3 persen. Tantangan bagi sektor industri manufaktur terus menghadang hingga tahun 3
Diukur dengan Pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation)
4
depan. Deraan krisis listrik kian menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan implementasi free trade agreement (FTA) Asean-China yang nyaris penuh mulai 2010. Tanpa FTA ini saja kita sudah keteteran menghadapi penetrasi produk-produk manufaktur dari China. Neraca perdagangan kita dengan China berbalik dari surplus sebesar 1,1 miliar dollar AS tahun 2007 menjadi defisit sebesar 3,6 miliar dollar AS tahun 2008. Tahun 2009, hingga hingga November, defisit perdagangan nonmigas kita dengan China sudah mencapai 4,3 miliar dollar AS. Dampak dari penerapan perdagangan bebas lainnya adalah kenaikan ekspor negara ASEAN ke Indonesiapun akan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena produkproduk dari negra ASEAN tersebut menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan Indonesia kerana beberapa sektor industri mereka mendapatkan akses ke bahan baku dan bahan baku antara yang lebih murah dari China, sedangkan produsen Indonesia tidak. Selain itu sejumlah sektor akan mengalami tekanan seperti produk kulit, produk metal, dan pakaian jadi. Oleh karena itu sektor-sektor yang tertekan tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah agar tidak semakin terpuruk. Nilai Tukar Rupiah Nilai tukar rupiah rata-rata untuk tahu 2010 diperkirakan mengalami penguatan. Jika tahun 2009 rata-rata nilai masih di atas Rp10.000 per dollar AS, maka tahun 2010 berpotensi menguat ke sekitar Rp9.250 sampai Rp9.500 per dollar AS. Ada dua faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, sepanjang likuiditas yang melimpah di AS belum disedot kembali oleh The Fed, nilai US$ akan cenderung melemah. The Fed dalam waktu dekat tampaknya belum akan menaikkan suku bunga secara berarti karena akan mengancam pemulihan ekonomi. Sekalipun Menteri Keuangan AS sesumbar akan berupaya membuat dollar AS kuat, namun faktorfaktor obyektif tidak mengarah ke sana. Kedua, dengan pasar domestik yang cukup besar, Indonesia semakin menarik bagi FDI. Beberapa investasi asing sudah masuk, di antaranya tergolong baru, seperti Turki. Polandia pun mulai menunjukkan minat untuk masuk. Akan cukup banyak yang bakal menyusul. Sudah barang tentu ada prasyarat yang perlu terhadirkan. Yakni, kekuatan ekonomi domestik harus terintegrasi. Prospek Pangan dan Agribisnis: Menyongsong Acara “Feed The World” Prospek ekonomi bidang pangan dan agribisnis Indonesia pada tahun 2010 sebenarnya cukup cerah, karena tanda-tanda kelesuan ekonomi global telah berangsur menghilang. Produksi pangan dan produk agribisnis sepanjang tahun 2009 juga telah menunjukkan peningkatan, kecuali beberapa komoditas. Walaupun demikian, prospek ekonomi 2010 bidang pangan dan agribnisnis sangat tergantung pada pencapaian kinerja dan strategi kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 100 hari masa pemerintahannya. Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah mencanangkan tiga strategi besar yang akan menjadi prioritas selama masa pemerintahaanya, yaitu: (1) pengadaan lahan bagi pertanian, perkebunan, dan perikanan, (2) perbaikan iklim investasi pertanian dan perikanan, dan (3) kesinambungan swasembada pangan. Program-program tersebut sebenarnya merupakan kristalisasi dari Pertemuan Nasional (National Summit) 2009 yang difaslitasi oleh Kadin. Masyarakat awam pun 5
menyadari bahwa strategi di atas mensyaratkan kesungguhan kerja para pembantu presiden dan aparat birokrasi lain menerjemahkan gagasan strategis menjadi operasional dan dapat dilaksanakan dalam rentang waktu yang sudah ditentukan. Selama 100 hari pertama, Pemerintahan SBY akan menyelesaikan empat prioritas penting, yaitu (1) penyusunan peraturan pemerintah tentang usaha pertanian komersial, (2) pencangan usaha pangan skala luas (food estate), (3) cetak biru peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pertanian berbasis pedesaan, dan (4) cetak biru swasembada pangan berkelanjutan. Berikut ini penjelasan singkat tentang prospek pencapaian dari keempat prioritas pemerintah tersebut. Dua prioritas pertama sebenarnya lebih bersifat administratif-birokratis, yang seharusnya dapat diselesaikan pada waktunya. Hal krusial yang perlu menjadi perhatian adalah esensi dari Rencana Peratura Pemerintah usaha pertanian komersial itu perlu melingkupi perbaikan iklim investasi tanpa diskriminasi yang berbasis skala usaha ekonomi. Sebagai aransemen kelembagaan yang lebih mengikat, RPP itu tidak boleh terlalu gegabah mengabaikan agribisnis dan pertanian skala kecil, apalagi jika sampai menggusur. Dalam kaitannya dengan investasi agribisnis bidang pangan skala luas (food estate) yang direncanakan di beberapa tempat seperti: di Merauke, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan mungkin di Kalimantan Tengah, saat ini yang diperlukan adalah kepastian acuan hukum dan kebijakan yang kondusif. Apabila hal ini diabaikan maka kinerja bidang pangan dan agribisnis Indonesia tahun 2010 tidak akan sesuai harapan, bahkan dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Misalnya, struktur agribisnis akan menjadi lebih timpang, kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam tersingkirkan, dan Indonesia akan menuai bencana yang lebih dahsyat. Dua prioritas terakhir memang lebih banyak bersifat strategis dan akademis, sehingga mensyaratkan kedalaman analisis dan akurasi data yang digunakan. Kesalahan atau kealpaan memperhitungkan dua faktor penting tersebut, kinerja ekonomi bidang pangan dan agribisnis pada tahun 2010 tidak akan secerah yang diharapkan. Peningkatan nilai akan jauh lebih bermakna jika disesuaikan dengan proses transformasi dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. Nilai tambah akan bervisi perbaikan kesejahteraan pelaku dan perbaikan ekonomi bangsa jika strategi yang disusun juga sejalan dengan perbaikan kapasitas pelaku dan peningkatan skala usaha. Strategi baru ini pasti mensyaratkan perbaikan penguasaan teknologi dan informasi pasar. Menurut istilah Michael Porter, transformasi demikian dikenal dengan pemanfaatan kekayaan nasional yang sengaja dirancang dan diciptakan, bukan semata karena kandungan dan berkah sumberdaya alam. Sektor pangan dan agribisnis ke depan sangat memerlukan suatu strategi kebijakan dan langkah konkrit bagi berupa pemberian insentif pajak, akses permodalan dan informasi bagi pelaku agribisnis yang akan melakukan investasi pada sektor pengolahan dan pemasaran di hilir. Di sinilah esensi peningkatan nilai tambah (added value) komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan akan sejalan dengan upaya peningkatan keunggulan kompetitif yang dimaksudkan di atas. Logikanya, investasi di sektor hilir tersebut pasti akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi. Aktivitas ini akan menggairahkan ekonomi pedesaan, tanpa 6
harus bekerja keras membendung arus urbanisasi yang terkadang didominasi tenaga tidak terampil dan berpendidikan rendah. Inilah esensi dari strategi pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas dan lebih produktif yang mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Penyusunan cetak biru swasembada berkelanjutan bagi pangan strategis: beras, jagung, kedelai, gula dan daging, juga bervisi strategis dan akademik, sehingga pemerintah tidak diharapkan terjebak pada persoalan birokratis-administratif semata. Pencapaian Indonesia dalam peningkatan produksi pangan strategis mungkin perlu diapresiasi, sekalipun masih terdapat kontroversi statistik dan metode penghitungan. Angka resmi dari BPS menyebutkan bahwa produksi beras pada 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling atau meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Kecenderungan yang terus meningkat ini tentu sangat diharapkan untuk mendukung pencapaian swasembada berkelanjutan. Produksi jagung tahun 2009 sekitar 17 juta ton, terutama karena peningkatan luas panen di beberapa sentra produksi jagung di Sulawesi dan Sumatera, terutama jagung hibrida yang juga menjadi input industri makanan ternak. Pada tahun 2010 produksi jagung juga masih diperkirakan meningkat, karena penggunaan benih unggul jagung hibrida semakin memasyarakat, dan bahkan cenderung telah menjadi kebutuhan petani. Produksi kedelai tahun 2009 telah mendekati 701 ribu ton biji kering, suatu peningkatan signifikan dibandingkan angka produksi tahun 2008 yang hanya tercatat 590 tibu ton. Namun demikian, pada tahun 2010 mendatang, prospek produksi kedelai tetap menghadapi tantangan berat karena faktor internal ekonomi dan kebijakan di dalam negeri sendiri. Produksi gula tahun 2009 ini diperkirakan mencapai 2,84 juta ton yang masih cukup jauh dari total kebutuhan konsumsi gula di Indonesia yang diperkirakan mencapai 4,85 juta ton. Harga gula dunia yang melambung tinggi pada awal tahun 2010 ini seharusnya menjadi insentif tersendiri bagi pelaku ekonomi di sektor gula untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Keputusan impor gula seharusnya dilandasi taktisstrategis yang jitu agar tidak mengganggu sistem insentif di atas. Tindakan Preventif: Selalu Waspada Ada tiga hal yang perlu diwaspadai sehingga diperlukan tindakan preventif. Pertama, kemungkinan harga minyak menembus 100 dollar AS per barrel. Pemulihan ekonomi dunia yang pesat akan meningkatkan real demand terhadap minyak. Selain itu, harga-harga komoditas juga berpotensi naik, walaupun tidak akan setinggi yang terjadi tahun 2008. Kedua, walaupun rupiah cenderung menguat, volatilitasnya masih cukup tinggi, mengingat arus modal masuk masih didominasi oleh modal jangka pendek yang jumlahnya lebih besar daripada cadangan devisa. Keandalan Bank Indonesia mengawal pergerakan rupiah menjadi taruhannya. Ketiga, ada kesan bahwa pemerintahan baru masih akan melanjutkan beberapa kebijakan populis yang berpotensi justru mengakumulasi masalah, sehingga pada gilirannya nanti harus menempuh penyesuaian yang lebih pahit. Beberapa di antaranya adalah: - Rencana menggelontorkan subsidi untuk stabilisasi harga-harga kebutuhan pokok seperti: pupuk, beras, minyak goring, dan gula. 7
-
Kecenderungan tidak mengubah tarif dasar listrik. Padahal sudah sangat mendesak untuk merestrukturisasi tarif listrik, mengingat yang berlaku sekarang sangat memberatkan industri. - Tidak akan mengutik-utik harga BBM padahal ada kemungkinan bagaimana seandainya harga minyak menembus 100 dollar AS per barrel. Mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, diperlukan tindakan nyata dan langkah tepat serta cepat dari pemerintah. Dengan demikian, peluang yang ada dapat diwujudkan menjadi kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan mencapai 6,5 persen. Perdagangan Bebas AFTA dan ACFTA Pada tahun 2010 pasar ASEAN akan menjadi lebih terbuka lagi dari sebelumnya. Enam negara ASEAN utama (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) akan menambah 7.881 jenis tarif yang diturunkan menjadi nol, sehingga total jumlah pos tarif yang masuk ke dalam Tarif Preferensi Efektif untuk Perdagangan Bebas ASEAN menjadi 54.457 atau 99,11 persen dari seluruh jenis tarif perdagangan. Akibatnya, rata-rata tarif yang berlaku di antara enam negara itu akan turun dari 0,79 persen pada 2009 menjadi 0,05 persen pada 2010 ini. Pada saat yang bersamaan, negara-negara ASEAN juga telah sepakat untuk meliberalisasikan perdagangannya dengan Cina. Artinya, tarif impor antar Cina dengan negara-negara ASEAN akan turun dengan amat signifikan. Perjanjian perdagangan ini dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif yang amat besar terhadap perekonomian kita. Akan tetapi, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Global Trade Analysis Project (GTAP), secara keseluruhan penjanjian perdagangan ini sebenarnya akan memberi dampak positif yang cukup signifikan. Akses pasar yang lebih mudah akan membuat ekspor kita secara keseluruhan meningkat dengan signifikan. Perjanjian perdagangan ini memberikan keuntungan pada sektor-sektor tertentu, misalnya, sektor-sektor Produk Karet, Produk Mineral, dan sektor Mesin dan Peralatan. Walaupun demikian, ada banyak juga sektor-sektor yang akan mengalami tekanan. Sektor-sektor produk kulit, pakaian jadi, dan produk metal adalah contoh sektor-sektor yang akan mengalami tekanan. Walupun demikian, pilihan untuk menunda AFTA dan ACFTA bukanlah alternatif kebijakan yang baik saat ini. Menunda AFTA, misalnya, akan membuat barang kita sulit bersaing di pasar ASEAN. Sedangkan menunda ACFTA juga bukan pilihan yang optimal bagi kita, bila negara ASEAN yang lain tidak turut menunda liberalisasi perdagangan dengan Cina. Penundaan implementasi perjanjian perdagangan dengan Cina secara unilateral akan cenderung merugikan Indonesia karena: (i) Daya saing produk kita di pasar Cina akan tergerus oleh produk-produk dari negara-negara ASEAN lainnya yang sekarang menjadi lebih murah dibandingkan produk kita karena tarif impornya di Cina mengalami penurunan yang amat signifikan (ii) Produk-produk dari negara-negara ASEAN tersebut menjadi lebih kompetitif (di seluruh pasar dunia) dibandingkan dengan produk Indonesia karena mereka mendapatkan akses ke bahan baku atau bahan input antara (intermediate product) yang lebih murah dari Cina (iii) Ada peluang negara ASEAN yang lain akan memanfaatkan keadaan dengan cara mengimpor 8
barang dari Cina kemudian mengekspornya ke Indonesia. Walupun menurut perjanjian tidak diperbolehkan, namun pada kenyataanya sulit untuk mencegah terjadinya praktek seperti ini. Pada saat ini hal yang paling utama yang harus dilakukan Indonesia adalah mengoptimalkan manfaat penjanjian yang ada dengan memaksimalkan potensi keuntungan dari sektor-sektor yang memiliki keunggulan dipasar ASEAN dan Cina. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga harus berusaha mengurangi dampak negatif yang akan dialami oleh sektor-sektor yang diperkirakan akan terpukul oleh perjanjian perdagangan tersebut
-------------oOo-------------
9